Dalam mempersiapkan masukan ILO kepada Komite Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, 12 seri paparan teknis singkat (Technical Briefing Notes-TBNs) telah disusun untuk memenuhi dua tujuan. Pertama, sebagai dokumen latar belakang tentang persoalan dan pilihan-pilihan kebijakan kunci yang sangat penting bagi pengentasan kemiskinan. Dan kedua, sebagai pondasi dalam penyusunan laporan komprehensif: "Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia". Paparan teknis ini membahas: Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs. Tema-tema lain dalam seri paparan teknis singkat meliputi: •
Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral;
•
Penciptaan Pekerjaan dan Pengembangan Usaha (Usaha Kecil, Menengah dan Ekonomi Lokal);
•
Lapangan Kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah menuju Pekerjaan;
•
Pembangunan Pedesaan: Akses, Ketenagakerjaan dan Peluang Meraih Pendapatan;
•
Pengembangan Keterampilan untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Kehidupan yang Berkelanjutan;
•
Mempromosikan Deklarasi ILO mengenai Prinsipprinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja;
•
Menghapuskan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak;
•
Perlidungan Sosial bagi Semua;
•
Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik di Pasar Kerja dengan memperkuat Tripartisme dan Dialog Sosial;
•
Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan.
•
Jender dan Kemiskinan
Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2004 Pertama terbit tahun 2004 Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention ). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. _______________________________________________________________________________ ILO Seri Rekomendasi Kebijakan: Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, 2004 ISBN 92 2 015540 0 _______________________________________________________________________________ Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas batas negara tersebut. Dalam publikasi publikasi ILO sebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur penyalur buku utama atau melalui kantor kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Menara Thamrin, Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma cuma pada alamat tersebut, atau melalui e mail:
[email protected] ;
[email protected]. Kunjungi website kami:www.ilo.org/publns ; www.un.or.id/ilo, www.ilo-jakarta.or.id Dicetak di Jakarta, Indonesia
DESENTRALISASI DAN PEKERJAAN YANG LAYAK: MENGAITKANNYA DENGAN MDGs
1
Strategi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang pekerjaan yang layak (decent work) dirancang untuk “meningkatkan peluang memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam keadaan bebas, setara, aman, dan bermartabat bagi perempuan dan laki-laki”. 1 Untuk mewujudkan visi ini, agenda pekerjaan yang layak (Decent Work Agenda/DWA) bertujuan mengintegrasikan keempat tujuan strategis ILO: prinsip-prinsip dasar dan hak untuk mendapatkan pekerjaan, lapangan pekerjaan, perlindungan sosial, dan dialog sosial.
Pendahuluan
Bagaimana kita dapat menyatukan “agenda pekerjaan yang layak” dengan “agenda pengentasan kemiskinan” yang dimasukkan oleh masyarakat dunia dalam Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs)? Yang lebih penting adalah bagaimana penyatuan seperti itu, dalam konteks Indonesia yang makin terdesentralisasi, makin demokratis, dan mampu, serta memungkinkan para pengambil kebijakan di kalangan pemerintahan secara kredibel berupaya mencapai tujuan pengentasan kemiskinan? Inilah masalah-masalah yang dibahas dalam paparan teknis (Technical Briefing Note/TBN) ini.
DWA dan relevansinya dengan MDGs: berkembang melebihi fokus nasional
Sebagaimana sudah secara luas diketahui, MDGs m e n e k a n k a n p a d a t u j u a n d a n t a r g e t pembangunan utama yang oleh masyarakat internasional harus diusahakan pencapaiannya 1
ILO. Decent Work: Laporan Direktur Jenderal. Jenewa. Konferensi Perburuhan Internasional, sesi ke 87
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
pada tahun 2015 (dengan menggunakan 1990 sebagai tahun dasarnya).3 Tujuan utamanya antara lain pengentasan kemiskinan yang meliputi penghapusan kemiskinan ekstrim dan kelaparan, penghapusan diskriminasi jender dalam pendidikan dasar, peningkatan kesehatan anak dan ibu, penanganan HIV AIDS/malaria dan penyakit lainnya yang menular karena infeksi, serta pelestarian lingkungan hidup. Indonesia, bersama dengan 180 negara lainnya telah mencanangkan tujuan dan target ini. Masyarakat donor internasional telah menerima MDGs (Tabel 1 memuat daftar 8 MDGs ) karena rancangan ini menyatukan visi untuk kerjasama pembangunan. Institusi Bretton Woods—IMF, Bank Dunia (The Bretton Woods Institutions—IMF, WB) memainkan peran utama dalam penyebaran dokumen strategi pengentasan kemiskinan ( poverty reduction strategy papers/PRSP) di mana MDGs dapat memainkan peran penting dalam menentukan berbagai kebijakan dan target utama. Indonesia telah secara resmi menyatakan keikutsertaannya dalam pola pembangunan ini dengan mengawali proses penyusunan Dokumen Strategy Pengentasan Kemiskinan (PRSP—Poverty Reduction Strategy Paper)—suatu proses yang dimulai tahun 2002.
Tabel 1: Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium Sasaran 1: Sasaran 2: Sasaran 3: Sasaran 4: Sasaran 5: Sasaran 6:
2
Sasaran 7: Sasaran 8:
MDGs m e ngajukan cara yang pragmatis dalam mengonsep berbagai atribut kemiskinan, terutama dari segi kemiskinan pendapatan (daya beli yang tidak memadai untuk memperoleh kebutuhan pokok) dan kekurang-mampuan (serbakurang dalam hal kesehatan, gizi, pendidikan, dan sebagainya). Sementara itu, tujuan dan target yang jelas masih perlu disusun untuk menggambarkan dimensi penting lain dari kemiskinan, yaitu, kerentanan ketiadaan suara dan keterwakilan.
Menghapus kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan Mencapai pendidikan dasar universal Meningkatkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan Menurunkan angka kematian anak Meningkatkan kesehatan ibu melahirkan Memberantas HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya Menjamin kelestarian lingkungan hidup Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Dalam hubungan dengan DWA , perhatian pada kemiskinan pendapatan diatasi melalui penekanan pada lapangan kerja yang langgeng sebagai cara untuk mengatasi masalah kekurangan daya beli. Masalah kekurangmampuan dimasukkan dalam upaya meningkatkan ‘martabat manusia’ dan kenyataan bahwa lapangan kerja produktif memerlukan investasi yang sesuai dalam pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kelayakan seseorang diterima bekerja. DWA juga secara eksplisit menyoroti perlunya jaminan sosial untuk mengatasi kerentanan (atau masalah jaminan) dan perlunya menggunakan ‘dialog sosial’ sebagai cara untuk menyampaikan suara dan keterwakilan bagi rakyat jelata. Dalam hubungan ini, MDGs dan DWA saling melengkapi. Kiranya adil untuk mengatakan bahwa baik DWA m a u p u n MDGs t i d a k s e c a r a e k s p l i s i t menetapkan patokan untuk memantau kemajuan dalam pencapaian tujuan dan target dalam konteks pemerintah yang terdesentralisasi. Badan PBB untuk P r o g r a m P e m b a n g u n a n (UNDP-United Nation Development Programme) dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development ReportHDR) tahun 2003-nya meminta adanya kesepakatan atas MDGs dan mengajukan cara yang pragmatis untuk memantau kemajuan, tetapi ini dilaksanakan di tingkat nasional. HDR tahun 2003 mengakui bahwa fokus pada tingkat nasional tampaknya tidak sesuai untuk negara-negara besar dan majemuk di mana kesenjangan antarwilayah cukup besar. Namun demikian, permintaan tentang perlunya kesepakatan tadi berupa imbauan, dan dapat disesuaikan dengan berbagai kebutuhan kebijakan yang terdesentralisasi. UNDP meminta ‘kesepakatan semua negara untuk mengakhiri kemiskinan umat manusia’, sementara paparan teknis ini meminta ‘kesepakatan masyarakat daerah di Indonesia untuk mengakhiri kemiskinan umat manusia’.
3
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
Pengalaman Indonesia yang terdesentralisasi dan implikasinya untuk mengatasi tantangan utama pengentasan kemiskinan dalam konteks kesetaraan pertumbuhan
4
Seperti sudah diketahui, pemerintah Indonesia melaksanakan program radikal yaitu pelaksanaan desentralisasi pada tahun 1999 yang dilaksanakan dalam bentuk penyerahan kewenangan dan sumber daya kepada pemerintah kabupaten/kota di dalam provinsi, bukan kepada provinsi itu sendiri. Agenda tidak tertulisnya adalah bahwa kabupaten/kota yang secara administratif lebih kecil tidak mempunyai kemampuan dan kesadaran politik atas identitas wilayah yang dapat mengubah daerah-daerah ini menjadi negara-negara mini. Pengaturan kelembagaan yang ada sekarang yang mengatur hubungan pusat-daerah—yang d i l a k s a n a k a n s e j a k 2 0 0 1 —d i d a s a r k a n p a d a kerangka peraturan perundang-undangan yang disusun pada tahun 1999 di bawah pemerintah peralihan Habibie setelah jatuhnya Suharto. Salah satu undang-undang (UU No. 22/1999) berisi penyerahan wewenang kepada kabupaten/kota dan memberikan hak bagi daerah-daerah ini untuk memilih sendiri bupati dan walikota mereka melalui DPRD. Ini secara efektif mengakhiri cara sebelumnya dimana pemimpin politik di daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat di Jakarta. Melengkapi penyerahan wewenang administratif adalah berlakunya undang-undang desentralisasi fiskal (UU No. 25 tahun 1999) yang menentukan hubungan fiskal antara pusat dan daerah dengan istilah ‘Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah’ Ada tiga komponen yang diatur, yakni (a) pembagian pendapatan, (b) pemberian dana alokasi umum, dan (c) pemberian dana alokasi khusus. Komponen pembagian pendapatan dalam pola Perimbangan Keuangan jelas dimaksudkan sebagai jawaban atas ketidak-puasan daerahdaerah yang kaya sumber daya dan lebih berkemampuan. Dana alokasi umum, yang merupakan gabungan antara komponen tetap dan variabel (yang disebut terakhir mencerminkan atribut khas-daerah seperti tingkat kemiskinan, penduduk, luas wilayah, dan sebagainya), dimaksud untuk mengalokasikan suatu jumlah tertentu (25 persen) dari pendapatan daerah yang dipungut oleh pemerintah terutama ke kabupaten/kota agar daerah-daerah ini dapat menyediakan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Akhirnya, dana alokasi khusus dimaksud
untuk memenuhi kebutuhan daerah-daerah tertentu yang khas sifatnya (misalnya daerah-daerah dengan kapasitas keuangan di bawah rata-rata dan daerahdae r a h y a ng menj a d i t emp a t k eg i atan yan g dianggap berarti bagi kepentingan nasional) yang tidak dapat ditutup dengan dana alokasi umum. Ketika agenda desentralisasi pertama kali diumumkan pada pertengahan 1999 dengan rencana pemberlakuan tahun 2001, muncul berbagai keprihatinan bahwa tanpa modifikasi yang memadai, pelaksanaan desentralisasi hanya akan menjadi kacau dan kontra-produktif. Para komentator berpendapat bahwa dengan melangkahi provinsi, peraturan perundangundangan yang dibuat tahun 1999 itu akan menghasilkan kabupaten/kota yang taat yang akan menjadi pelopor desentralisasi tanpa penyerahan kewenangan secara murni. Ada pula komentar yang mengatakan bahwa pelaksanaan yang terlalu cepat akan menimbulkan berbagai hambatan dalam penyelenggaraan layanan masyarakat, sementara aliran fiskal yang diperlukan antara pemerintah pusat dan daerah dapat mengancam stabilitas ekonomi makro. Namun ada pula pengamat lain yang menyatakan bahwa Perimbangan Keuangan akan secara paradoks memperlebar ketidak-merataan antar wilayah karena biasnya yang lebih memihak kepada wilayah-wilayah yang lebih kaya.
5
Untunglah, sejauh ini, beberapa skenario terburuk tampaknya tidak terjadi. Tercatat kenaikan terus dalam sumber-sumber anggaran yang diberikan untuk kebutuhan pembiayaan daerahdaerah dalam kurun waktu antara tahun 2000 dan 2002 tanpa berkembang menjadi hambatan fiskal yang berarti. Pengalihan lebih satu juta pegawai negeri dan sekian ribu fasilitas umum penyelenggaraan layanan masyarakat dari pemerintah pusat kepada daerah berjalan tanpa hambatan berarti. Hasil jajak pendapat—apakah d e s e n t r a l i s a s i b e r n i l a i b a g i m e r e k a —t i d a k menunjukkan adanya peningkatan ketidakpuasan dalam kualitas pelayanan masyarakat, sementara beberapa hasil penilaian menunjukkan adanya peningkatan kegiatan pemerintahan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
Walaupun awal yang menjanjikan yang secara luas mencerminkan penyesuaian pragmatis oleh pemerintah atas masalah-masalah yang langsung timbul dalam masa transisi, agenda desentralisasi Indonesia perlu mengatasi sejumlah tantangan yang timbul pada waktu itu atau juga tantangan ke depan. Ketergantungan keuangan banyak daerah kepada pemerintah pusat tampaknya akan tetap menjadi beban seperti selama ini. Perluasan pungutan oleh daerah menunjukkan adanya hambatan berarti pada perdagangan dalam negeri tetap belum terpecahkan. Ancaman bahwa pemerintah daerah akan ‘dikuasai’ oleh elit daerah tidak dapat diabaikan, bila kita melihat pengalaman internasional dalam pelaksanaan desentralisasi. Pemerintah sekarang—atau pun pemerintah yang akan datang, harus memecahkan berbagai perbedaan ideologis antara para mitra sosial (stakeholder) penting dalam perkembangan Indonesia dalam era pascakrisis. Apakah fokus politik dan pemerintahan tetap ditujukan kepada daerah-daerah—sebagaimana halnya sekarang— atau pemerintah perlu membuat provinsi-provinsi sebagai unsur-unsur utama dalam struktur yang lebih federalistis yang pada gilirannya akan secara mendasar menyatukan sifat kesatuan negara Indonesia?
6
Masih belum jelas apakah inti dari perbedaan antarwilayah—serta masalah ketegangan antar daerah, golongan dan etnik yang berkaitan dengannya—telah diatasi secara memuaskan dalam kerangka desentralisasi yang berlaku sekarang ini. Yang disebut terakhir tampaknya tergantung pada tindakan seimbang yang memuaskan antara mempertahankan status quo dan memberikan imbalan kepada daerah-daerah yang lebih kaya di negara ini. Walaupun berbagai upaya sudah mendapatkan persetujuan dari provinsi-provinsi yang kaya sumber dayanya melalui perimbangan keuangan, para kritikus khawatir bahwa ini akan menjadi suatu hal yang terlambat untuk dibenahi. Sementara itu, keprihatinan awal bahwa aliran fiskal pusat-daerah yang sudah direstrukturisasi tidak akan mampu menjamin kepentingan daerah-daerah yang paling miskin, ternyata tidak berkembang sebagaimana dikuatirkan. Suatu penilaian awal menunjukkan bahwa Perimbangan Keuangan sebagaimana yang sudah diberlakukan selama ini akan memperburuk kesenjangan antara wilayah.
Pada kenyataannya, sebagaimana terlihat dalam Bagan 1, bila dilihat dari perspektif tren jangka panjang (1964-2002), terdapat bukti adanya peningkatan kesenjangan yang nyata antara tahun 1999 dan 2002, walaupun masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ini merupakan awal dari tren yang akan berjalan permanen. Perlu diakui bahwa desentralisasi, sebagaimana yang telah dicatat oleh sejumlah pengamat, tidak perlu dianggap sebagai ‘suatu wabah atau obat mujarab untuk segala macam penyakit.’
Nilai Gini dari Indeks L
Kesimpulan Bagan 1. yang luas ini Indeks ketidak-merataan dalam belanja rumah tangga, dibantah oleh 1964-2002 b u k t i internasional yang 0.4 menunjukkan Koefisien Gini bahwa dampak desentralisasi 0.3 pada pemerataan Indeks L t e r n y a t a b e r v a r i a s i . Desentralisasi 0.2 tidak mampu untuk, dengan kemampuan 0.1 sendiri, menutup m a s a l a h mendasar dari 0.0 pertumbuhan 64-65 1976 1981 1987 1993 1998 2002 yang lambat yang s e n a n t i a s a menjadi ciri Sumber dan keterangan: BPS, tabulasi khusus sebagaimana dilaporkan oleh Stalker (2003:6). perekonomian Indonesia di masa pascakrisis. Pertumbuhan menyeluruh sangat tergantung pada keseluruhan kebijakan dan lingkungan kelembagaan di mana desentralisasi menjadi salah satu unsur dan mungkin bukan merupakan unsur terpenting. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan tercatat di bawah 4 persen dibanding dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen yang dicatat selama masa pemerintahan Suharto. Walaupun tidak perlu mengulangi pertumbuhan tinggi di masa lalu, tingkat pertumbuhan yang lamban sekarang ini berada di bawah ambang yang diperlukan untuk menyerap
7
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
pendatang baru di pasar kerja dan berada di bawah potensi pertumbuhan jangka panjang perekonomian Indonesia. Sebagaimana sudah banyak diketahui, pertumbuhan sangat penting artinya untuk pengentasan kemiskinan. Hasil estimasi terakhir berdasarkan data tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa untuk suatu distribusi pendapatan tertentu, tiap satu persen peningkatan pertumbuhan akan menyebabkan penurunan angka kemiskinan sebesar 0,8 persen. Dengan adanya berbagai keprihatinan ini, bagaimana kita melangkah dari sini? Tampaknya masalah mengatasi ketidak-merataan antara wilayah dalam era desentralisasi Indonesia memerlukan pendekatan dalam konteks yang lebih luas. Secara khusus, dirasa perlu mengaitkan isu desentralisasi dengan ketidaksetaraan antar wilayah dalam pembaruan komitmen untuk pengentasan kemiskinan yang sudah demikan nyata di tingkat global dan nasional. Keterkaitan itu mungkin diwujudkan dengan menetapkan kesepakatan MDGs dalam konteks Indonesia di era desentralisasi.
Menggunakan MDGs untuk menyelaraskan kesejangan antarwilayah dengan upaya pengentasan kemiskinan secara nasional: suatu usulan kesepakatan 8
Suatu kenyataan yang menggembirakan adalah bahwa, terlepas dari kemunduran selama krisis keuangan tahun 1997, Indonesia tampaknya berada di jalur yang benar untuk mencapai inti dari MDGs pada tahun 2015. Anggapan akan adanya tingkat pertumbuhan sekitar 6 persen dan asumsi bahwa tren masa lalu dalam pengentasan kemiskinan baik dalam dimensi pendapatan maupun non-pendapatan akan dipertahankan. Namun demikian, pencapaian di tingkat nasional dapat menyesatkan, terutama di negara majemuk seperti Indonesia. Pesan penting dalam 2001 Laporan Pembangunan Manusia Nasional (National Human Development Report) menyatakan bahwa pemantauan tujuan dan target dalam hubungan dengan pengentasan kemiskinan di tingkat nasional tidak dapat dipisahkan dari kesenjangan antarwilayah. Intinya adalah bahwa beberapa provinsi—dan banyak kabupaten/kota di dalam provinsi—tidak akan mampu mencapai MDGs (atau target yang sama) pada tahun 2015. Tabel 1 menyajikan keadaan untuk dibahas tentang implikasi yang berkembang setelah upaya
kreatif untuk menyesuaikan MDGs dengan kondisi Indonesia yang majemuk. Jelas bahwa, bila kita memusatkan perhatian pada tingkat nasional, kita mungkin akan membuat kesimpulan optimistik bahwa dengan pengecualian pada akses universal pada air yang aman dan tingkat partisipasi pendidikan dasar, Indonesia akan mencapai target 2015. Namun, beberapa provinsi (berkisar antara 2 sampai 21 provinsi) tidak akan mencapai target ini. Secara rata-rata, sekitar 32 persen provinsi-provinsi akan ketinggalan—kadang-kadang jauh tertinggal —sekurang-kurangnya dalam satu dari sekian target 2015. Yang lebih parah lagi adalah, baik dalam jumlah maupun jenisnya, provinsi-provinsi tersebut tidak memiliki kesamaaan dalam hal kegagalan mereka mencapai target 2015 karena menyadari bahwa provinsi-provinsi ini berbeda dalam kinerja di masa lalu dalam soal penurunan kemiskinan pendapatan dan non-pendapatan. Ini menunjukkan sifat kompleksitas dan perbedaan menyangkut kekurangan di tingkat daerah di Indonesia. Tabel 1: Daerah-daerah Indonesia dan target tahun 2015 (dengan tahun 1990 atau 1993 sebagai dasar)
Tidak ada perbedaan jender di Penurunan 100% 2/3 100% tingkat bersih pendidikan angka pendaftaran tingkat pendidikan kemampuan dasar dan kematian Penurunan dasar melek menengah bayi pada pada 50% sebelum huruf tahun tahun kemiskinan tahun orang 2015 2015 pendapatan 2015 dewasa
9
Penurunan 4/5 angka kematian ibu melahirkan pada tahun 2015
Akses universal ke air minum yang aman pada tahun 2015
Akses universal ke hunian mutu minimum (hunian tanpa lantai tanah) pada tahun 2015
Jumlah provinsi (dari 26) yang 15 akan gagal mencapai target pada tahun 2015
15
3
4
0
6
21
2
Tahun dimana Indonesia akan mencapai target
2023
2006
2003
2003
2011
2030
2003
2008
Sumber: Disarikan dari National Human Development Report, BPS/BAPPENAS/UNDP (2001: 49-50)
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
Bila, sebagaimana dikemukakan dalam argumen tadi, pencapaian nasional dalam MDGs berbeda di tingkat provinsi, besar kemungkinan bahwa tingkat perbedaan itu akan menjadi lebih besar lagi di tingkat kabupaten/kota. Ini masalah penting karena kabupaten/kota merupakan lokasi desentralisasi wilayah di Indonesia. Sesungguhnya, estimasi awal berdasarkan data tahun 2002 menunjukkan bahwa hanya 21 persen dari seluruh kabupaten/ kota di Indonesia yang akan mencapai target yaitu menurunkan setengah angka kemiskinan ekstrim pada tahun 2015 (kabupaten/ kota ini merupakan daerah berpenduduk paling banyak di Indonesia).
10
Temuan tentang adanya perbedaan antar wilayah yang signifikan dalam hal pencapaian target 2015 perlu menjadi inspirasi bagi para pembuat kebijakan untuk mulai menempuh langkah yang diperlukan. Usulan penting dari 2001 National Human Development Report adalah bahwa MDGs dapat menjadi dasar untuk mengusahakan kesepakatan dalam desentralisasi wilayah. Pendekatan ini akan menafsirkan-kembali MDGs sebagai suatu inisiatif ‘hak atas pembangunan’ yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, landasan filosofis tentang desentralisasi seharusnya menjadi dasar pemikiran bagi segenap rakyat Indonesia; karena sebagai rakyat Indonesia mereka berhak atas standar minimum ekonomi dan sosial yang sama pentingnya dengan hak politik dan kebebasan sipil. Salah satu cara menentukan standar minimum ekonomi dan sosial adalah dengan mengaitkannya dengan MDGs. D e n g a n d e m i k i a n , k i t a d a p a t mengatakan suatu visi strategis dalam pengentasan kemiskinan di mana pemerintah pusat, dalam kemitraan dengan pemerintah daerah, merumuskan-kembali MDGs, sehingga pencapaian target dan tujuan 2015 dapat ditetapkan untuk tingkat kabupaten/kota. Perumusan-kembali seperti itu perlu menjelaskan bahwa MDGs adalah standar minimum yang menjadi hak penduduk di wilayahwilayah Indonesia, sambil mengakui bahwa daerahdaerah yang dinamis dan lebih giat dalam usaha dapat, dan akan, maju lebih cepat dan melampaui standar itu. Keuntungan dari pendekatan yang dikemukakan di sini adalah bahwa hal itu menciptakan prospek yang nyata dan tidak semu
tentang pengurangan kesenjangan antarwilayah (dalam jangka waktu yang ditentukan) vis-à-vis standar nasional yang diambil dari norma-norma yang diangkat dari konsensus global. Ini memperkuat keadaan saling-melengkapi antara meningkatnya kesenjangan antarwilayah dan pengentasan kemiskinan dan tampaknya menjadi tujuan kebijakan yang lebih menarik minat, dan pragmatis, dibanding dengan pernyataanpernyataan yang kabur tentang pengurangan kesenjangan pendapatan antara daerah kaya dan daerah miskin. Pendekatan yang dikemukakan di sini —yang memastikan penentuan standar nasional dalam segi indikator kemajuan manusia yang dikembangkan dari MDGs—menghindari pemikiran yang dapat diperdebatkan tentang memenangkan masyarakat miskin melawan masyarakat kaya di suatu negara-bangsa.
11
Tantangan bagi pemerintah adalah menempuh langkah yang diperlukan untuk menerjemahkan visi strategis yang diusulkan tentang meluasnya kesenjangan antarwilayah dan pengentasan kemiskinan menjadi seperangkat kebijakan dan program yang layak secara administratif dan dapat terus dilangsungkan secara fiskal. Dalam sistim otoriter di masa lalu, suatu pendekatan ‘perintah dan pengawasan’ menjadi pilihan untuk pelaksanaan MDGs. Dalam demokrasi yang terus berkembang, diperlukan pendekatan yang lebih kreatif dan lebih menantang. Hal itu bisa berbentuk peran dimana pemerintah pusat, bermitra dengan pemerintah daerah, dapat mengembangkan visi bersama tentang pengentasan kemiskinan secara nasional dan pengurangan kesenjangan antar wilayah dimana kesepakatan yang disarankan menjadi pendorong utama. Artikulasi tentang visi bersama perlu ditengahi melalui serangkaian musyawarah dan konsultasi publik dengan berbagai mitra sosial (stakeholders)—s e r i k a t p e k e r j a , organisasi pengusaha, tokoh masyarakat madani lainnya dan mitra pembangunan—yang demokratik dalam jiwa dan substansi dan pada gilirannya memperkuat norma-norma dan nilai-nilai demokratik. Prinsip ini juga sangat sesuai dengan penekanan DWA pada prinsip dialog sosial untuk memberikan hak bersuara dan perwakilan kepada warganegara biasa.
Berbagai tantangan dalam pengembangan kesepakatan tentang MDGs di Indonesia dalam era desentralisasi
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
Walaupun proses musyawarah dan konsultasi publik dalam demokrasi sangat berarti dalam mengembangkan dukungan berbasis-luas, dukungan demikian dapat berkurang dengan mudah bila masalah-masalah yang berkaitan dengannya tidak diatasi. Apakah kesepakatan itu sesuai dengan pengaturan kelembagaan yang ada dan yang berkembang, dengan kemampuan menuangkannya menjadi program-program konkrit dalam kerangka waktu yang disetujui (seperti tahun 2015 sebagaimana diusulkan dalam MDGs)? Apakah ada kerangka pemantauan yang kredibel yang dapat memberitahu debat-debat publik, mengarahkan alokasi sumber-sumber anggaran dan membuat evaluasi atas kinerja sehubungan dengan tujuan dan target? Apakah tujuan dan target itu dapat berkelanjutan secara fiskal? Suatu badan tingkat nasional—seperti Komite Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang baru dibentuk—dapat memberikan pemikiran penting yang sangat diperlukan pemerintah dalam upayanya yang sudah diperbaharui untuk mengatasi masalah kesenjangan antarwilayah dan kemiskinan di Indonesia dalam masa pascakrisis. Komite ini dapat menjadi pelindung dari kesepakatan tentang MDGs yang diusulkan dengan mengkoordinir pekerjaan analitik dan teknis yang diperlukan, mengembangkan dukungan berbasis-luas untuk strategi tindakan secara nasional dan dengan menyusun kerangka pemantauan dan evaluasi yang akan memberitahu debat-debat publik, mengarahkan alokasi sumber-sumber anggaran dan membuat evaluasi atas kinerja sehubungan dengan tujuan dan target.
12
A p a k a h MDGs y a n g d i u s u l k a n i t u d a p a t berkelanjutan secara fiskal masih belum bisa dijawab secara pasti. Pertumbuhan lamban yang terus berlangsung dapat menjadi penghambat fiskal karena adanya bukti yang sudah diketahui bahwa pendapatan dan anggaran belanja di negara-negara berkembang sangat peka terhadap perubahan tingkat pertumbuhan. Dengan demikian, kembalinya pertumbuhan ekonomi yang pesat secara layak di Indonesia penting artinya untuk kesehatan fiskal negara dan untuk pengentasan kemiskinan. Ada juga isu bantuan pembangunan untuk menunjang sumber daya domestik. Masyarakat
global sependapat bahwa tanpa bantuan berganda dalam pembangunan, MDGs tidak akan dapat dicapai pada tahun 2015 di semua negara berkembang. Penerapan pemikiran ini dalam kasus Indonesia, kita dapat bertanya: sumber daya tambahan apa—baik dari sumber internal dan lembaga-lembaga eksternal—yang diperlukan agar MDGs tercapai pada tahun 2015 untuk semua masyarakat di wilayah Indonesia, setelah mengusahakan penurunan inefisiensi statis yang saat ini mengganggu anggaran? Apakah semua ini sesuai dengan konsolidasi fiskal untuk memperbaiki keadaan karena krisis tahun 1997? Ini adalah masalahmasalah utama yang perlu dipecahkan sebagai bagian dari pencanangan dan pelaksanaan kesepakatan yang diusulkan tentang MDGs untuk Indonesia dalam era desentralisasi dan demokrasi.
Catatan paparan teknis ini telah menyampaikan pemikiran tentang bagaimana tujuan pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat dicapai dengan pola MDGs dan jiwa serta prinsipprinsip DWA dalam konteks pemerintahan yang terdesentralisasi. Sebagai rangkuman, penurunan kemiskinan dalam dimensi pendapatan dan nonpendapatan dalam satu kurun waktu (sampai tahun 2015) di Indonesia perlu memperhitungkan keragaman wilayah negara serta tradisi demokratik yang sedang berkembang. Sebagaimana tampak dalam matriks yang diusulkan (tabel 2), yang menjadi tujuan di sini adalah menerjemahkan tujuan dan target dalam pengentasan kemiskinan menjadi rencana aksi yang kredibel. Ini pada gilirannya memerlukan interaksi sinergis antar berbagai mitra sosial (stakeholder) pemerintah Indonesia (pusat dan daerah), serikat pekerja, organisasi pengusaha dan pelaksana masyarakat madani lainnya serta para mitra pembangunan.
13
Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan: suatu usulan matriks
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
Tabel 2 Pengembangan kerangka untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam era desentralisasi: suatu usulan matriks
Tujuan
Kegiatan
Hasil
Untuk pada tahun 2015 mengurangi kemiskinan dalam dimensi pendapatan dan nonpendapatan sesuai dengan tujuan dan target yang ditetapkan di tingkat kabupaten/ kota yang dikembangkan dari MDGS dan konsisten dengan jiwa dan prinsipprinsip DWA
Mengumpulkan data yang relevan dan memantau kemajuan dengan menggunakan 2015 sebagai target waktu, dan baik 1990 atau 1993 sebagai tahun dasar dengan menggunakan disagregasi tingkat kabupaten/kota Menyusun kerangka diagnostik untuk menilai kelayakan politik dan administratif serta keberlanjutan fiskal dari tujuan dan target yang sesuai dengan MDGS.
Pembuatan suatu kerangka pemantauan dan evaluasi kemiskinan yang terdisagregasi secara layak, berdasarkan kesepatakan MDGS yang diusulkan. Skenario administratif, politik dan keuangan sebagai bagian dari kerangka pemantauan dan evaluasi kemiskinan yang dicanangkan dan disebarkan ke para mitra sosial (stakeholder) yang terkait
Menilai kebutuhan sumber daya eksternal untuk melengkapi sumber daya domestik dalam pembiayaan kesepakatan tentang MDGS yang diusulkan
14
Menetapkan proses musyawarah publik yang konsisten dengan pemikiran dialog sosial untuk menjelaskan, menyesuaikan dan melaksanakan kesepatakan MDGS yang diusulkan.
Musyawarah publik berkembang menjadi kongres nasional tentang MDGS yang menuangkan rencana aksi pengentasan kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota pada tahun 2004.
Tanggung jawab (instansi dan mitra) Pemerintah pusat Pemerintah daerah Serikat Pekerja (nasional/ daerah) Organisasi Pengusaha (nasional/ daerah) Asosiasi masyarakat madani lainnya (nasional/ daerah) Mitra pembangunan
Lampiran Acuan (sumber-sumber berikut ini digunakan untuk menyusun Paparan Teknis Singkat ini) Ahmad et al (1999) ‘Indonesia: decentralisation managing the risks’, Aide Memoir for the Minister of Finance, Government of Indonesia, Jakarta, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund, June. Alm, J, Aten, R.H. and Bahl, R (2001) ‘Can Indonesia decentralise successfully’? Plans, problems and prospects’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37(1): 83-102. Azfar, O et al (1999) ‘Decentralisation, governance and public services: the impact of institutional arrangements, a review of the literature’, September, IRIS Centre, University of Maryland. Azis, I.J (1990) ‘Inpres’ role in the reduction of interregional inequality’, Asian Economic Journal, 4(2): 1-26. Balisacan, A.M, Pernia, E.M. and Asra, Abuzar (2002) ‘Revisiting growth and poverty reduction in Indonesia: what do subnational data show’? October, ERD Working Paper Series No.25, Manila: Economic and Research Department, ADB. BAPPENAS (2002) ‘Interim poverty reduction strategy’, mimeo, October, Jakarta. Bird, R.M. and Villancourt, F (eds) (1998) Fiscal decentralisation in developing countries, Cambridge: Cambridge University Press.
15
Blair, H (1998) Spreading power to the periphery: an assessment of democratic local governance, Assessment No.21, Washington DC: USAID, Programs and Operations. Booth, A and McCawley, P (1981) ‘ Conclusions: looking to the future’, in Booth, A and McCawley, P (eds) The Indonesian Economy during the Soeharto era, Kuala Lumpur and Oxford: Oxford University Press. BPS (2003) ‘Berita resmi statistik’, no.08/IV, February 17.
Desentralisasi dan Pekerjaan yang Layak: Mengaitkannya dengan MDGs
BPS/BAPPENAS/UNDP (2001) Towards a new consensus: democracy and human development in Indonesia, Indonesia Human Development Report, Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, BAPPENAS and UNDP. Crook, R.C and Sverrison, A.S (1999) ‘To what extent can decentralised forms of government enhance the development of pro-poor policies and improve poverty alleviation outcomes’?, Background Paper for World Bank, Sussex: Institute for Development Studies. GOI/ADB (2000) ‘Poverty reduction partnership agreement (2001-2004) between the Government of Indonesia and Asian Development Bank’, Jakarta, April. Hill, H (1997) ‘Regional development in Southeast Asia: the challenges of sub-national diversity, Journal of the Asia Pacific Economy, 2(3): 261302. Hill, H (2002) Spatial disparities in developing East Asia: a survey, Asian Pacific Economic Literature, 16(1): 10-35. Hull, T (1999) ‘Striking a most delicate balance: the implications of Otonomi Daerah for the planning and implementation of development co-operation projects’, ANU, Canberra, Final Report for AUSAID, December 3. ILO (1999) Indonesia: strategies for employment-led recovery and reconstruction, Geneva: ILO. Islam, I (1999a) ‘Regional decentralisation in Indonesia: towards a social accord’, July 30, Jakarta, UNSFIR Working Paper No.99/01. Islam, I (1999b) ‘Making decentralisation work: reaping the rewards and managing the risks’, September 3, Jakarta, UNSFIR Working Paper 99/ 03.
16
Islam, I (2002) ‘Formulating a strategic approach to poverty reduction: from a global framework to an Indonesian agenda’, July, Jakarta, UNSFIR Working Paper. Lustig, N (2000) ‘Crises and the poor: socially responsible macroeconomics’, February, Washington DC: InterAmerican Development Bank.
Manor, J (1999) T h e p o l i t i c a l e c o n o m y o f decentralisation, Washington DC: World Bank. OECD (1996) Shaping the 21st century: The contribution of development cooperation, DAC, Paris: OECD Prud’home, R (1995) ‘The dangers of decentralisation’, World Bank Research Observer, 10(2): 201-220 Ray, D and Goodpaster, G (2001) ‘Policies and institutions to ensure free internal trade under decentralisation’, April, paper presented at a conference on Trade, Decentralisation and Globalisation, Jakarta. Stalker, P and Mishra, S (2003) ‘The Right to Development in Indonesia’, Working Paper, Jakarta, UNSFIR Working Paper. Stalker, P (2003) ‘The case for an Indonesian social summit’, March 2, Working Paper, Jakarta, UNSFIR. Suharyo, W (2002) ‘Indonesia’s fiscal decentralisation: a preliminary assessment of the first year experience, Jakarta, UNSFIR Working Paper 02/07. UNDP (2002) Human Development Report 2002: Deepening democracy in a fragmented world, New York and Oxford: Oxford University Press. UNDP (2003) Human Development Report 2003: A compact among nations to end human poverty, New York and Oxford: Oxford University Press. UNSFIR (2002) ‘Indonesia 2020’, mimeo, Jakarta.
17