Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 DESAIN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU DI INDONESIA Dwi Putra Nugraha Fakultas Hukum UPH Karawaci
[email protected] Abstract Elections are often referred to as the culmination and reflection of a democracy. However, elections can be violated and paralyzed if the electoral management bodies (badan penyelenggara pemilu) and electoral dispute resolution mechanisms (mekanise penyelesaian sengketa) cannot enforce the electoral justice system (sistem keadilan pemilu). Electoral management bodies in Indonesia currently include Komisi Pemilihan Umum (KPU) and Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). In addition, there is also Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), a new agency to enforce ethics and the dignity of electoral management bodies. Disputes of election results are part of the authority of the Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi), while criminal fall under the jurisdiction of General Court. Institutional egoism often leads to clashes, overlap, or tensions in decisions regarding electoral justice, among the various administrative and judicial bodies. Decisions of the General Court potentially interfere with and restrict the electoral management bodies work. This paper describes the role and function of the electoral management bodies. Assessment is based on data derived from theory, comparative studies and factual developments that occurred after the 2014 general election. Key Words: elections, electoral dispute resolution, electoral justice system Abstrak Pemilihan umum kerap disebut sebagai puncak dan refleksi dari demokrasi. Akan tetapi, pemilihan umum dapat tercederai dan lumpuh jika para penyelenggara pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu tidak dapat menegakkan sistem keadilan pemilu. Penyelenggara pemilu di Indonesia saat ini berada pada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, terdapat pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga baru yang menegakkan etika dan martabat para penyelenggara pemilu. Di samping itu juga perhitungan perselisihan hasil pemilu menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sementara perbuatan yang memenuhi unsur pidana dalam penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dan peserta menjadi ranah Peradilan Umum. Egoisme institutional sering menjadikan kewenangan diantara para penyelenggara, pengawas dan peradilan pemilu (MK) dan Peradilan Umum menjadi superior dan patut untuk didahulukan dan bisa saja dalam pelaksanaanya nantinya dapat terjadi saling tumpang tindih. Tulisan ini menggambarkan mengenai peran dan fungsi dari penyelenggara pemilu yang didasarkan pada data yang bersumber dari teori, studi komparasi dan perkembangan faktual yang terjadi pasca pemilihan umum 2014. Kata Kunci: pemilihan umum, penyelesaian sengketa pemilu, sistem keadilan pemilu
1
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia A.
Pendahuluan Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang terbaik jika dibandingkan dengan
sistem lainnya. Demokrasi memang bukan penyembuh (panaceia)1 bagi seluruh permasalahan manusia , namun sistem ini menawarkan prinsip yang paling komprehensif untuk mencari legitimasi sebagai dasar tatanan politik: “Keinginan rakyat”. 2 Winston Churcill pernah menyebutkan: “It has been said that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.” Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik tetapi belum ada sistem lain yang lebih baik daripadanya. Disinilah letak keunikan demokrasi itu.3 Akan tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai: “lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi (either the institutions or devices employed to effect the idea or in the cultural or historical circumtances by which word, idea and practice are conditioned).4 Pemilihan umum yang disebutkan sebagai puncak demokrasi memiliki sifat dasar yang kompetitif dan memecah belah pemilihan rakyat. Selain itu, rumitnya proses teknis juga menunjukkan rapuhnya sistem ini yang menuju kepada terbukanya celah kekerasan, penipuan ataupun persepsi kecurangan pelanggaran di dalamnya. Pada waktu yang sama, pemilihan umum mampu mencapai tujuan kuncinya untuk menghadirkan legitimasi terhadap pemerintahan yang berkuasa jika sistem pemilihan umum sepenuhnya dipercayai, dianggap adil dan tidak memihak. Maka kebutuhan untuk mekanisme yang efektif untuk mencegah, mengurangi atau menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dalam setiap proses pemilu, dan untuk melestarikan dan bila perlu mengembalikan kesetaraan secara nyata dan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat dan perwakilan mereka menjadi sesuatu tidak terelakkan. Sebuah sistem keadilan pemilu (electoral justice system) yang efektif dan efisien merupakan hal yang fundamental untuk menjadi dasar agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Tanpa
1
Dalam mitologi Yunani terdapat satu tokoh bernama Panacea yang merupakan dewi penyembuh dunia (universal remedy). Panacea memiliki 4 saudari (Hygieia, Laso, Aceso, Egle) yang menjadi personifikasi berkaitan dengan kesehatan. http://www.theoi.com/Ouranios/Asklepias Panakeia.html diakses pada tanggal 26 Juni 2014 2 David Held, Models of Democracy, (Jakarta: The Akbar Tandjung Institute, 2006), hal. ix 3 Ibid., hal. xviii 4 Lihat S.I. Benn dan R.S. Peters, Principles of Political Thought (New York: Collier Books, 1964), hal. 393, dalam Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 105
2
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 adanya sistem yang mencegah atau mengelola ketidakadilan atau setidaknya persepsi akan ketidakadilan, bahkan sistem pengelolaan dalam proses pemilu sekalipun, dapat membawa kepada hilangnya kepercayaan rakyat pada legitimasi demokrasi. 5 Sistem keadilan pemilu (EJS) berada pada posisi sebagai batu penjuru demokrasi. Dalam hal ini, ia adalah penjaga baik bagi legalitas proses pemilu maupun bagi hak-hak politik warga negara. Ia memiliki peranan penting dalam mendemokratisasi dan mengkatalisasi transisi dari penggunaan kekerasan sebagai alat politik untuk menyelesaikan konflik menjadi cara yang legal untuk mencapai solusi yang adil. Sebuah sistem keadilan pemilu yang menyelesaikan konflik politik melalui berbagai mekanisme hukum, akan menjamin kepatuhan penuh kepada hukum, dan akhirnya akan memungkinkan demokrasi untuk tumbuh lebih subur.6 Hal ini juga akan memperdalam peran penting dari badan penyelenggara pemilu (Electoral Management Bodies7) yang kuat, dan meningkatkan kerangka di mana politik, administratif dan lembaga peradilan hidup berdampingan. Akibatnya, sistem ini menyediakan unsur-unsur kognitif yang akan menjamin stabilitas sosial.8 Sistem keadilan pemilu (EJS) dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran. Keadilan pemilu didefinisikan mencakup cara dan mekanisme yang tersedia di suatu negara tertentu, komunitas lokal atau di tingkat regional atau internasional untuk: 1. menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum;
5
Jesus Orozco-Henriques, Electoral Justice: The International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2010), hal. iii. Dapat diunduh dengan alamat laman: http://www.idea.int/publications/electoral_justice/upload /inlay-Electoral-Justice.pdf 6 Dari sudut pandang internasional, topik mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan lapangan ilmu yang sedang berkembang terutama di Amerika Serikat. Lihat Steven F. Huefner, What can the United States Learn from Abroad about Resolving Disputed Elections?, New York University Journal of Legislation and Public Policy, Volume 13, Number 3, 2010, hal. 523 7 Kompleksitas dan ketrampilan khusus untuk menyelenggarakan pemilu mensyaratkan dibentuknya suatu institusi atau lembaga yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilu. Badan-badan tersebut memiliki berbagai bentuk dan ukuran, dengan berbagai nama yang beraneka seperti, ‘Election Commission’, ‘Department of Elections’, ‘Electoral Council’, ‘Election Unit’, atau ‘Electoral Board’. Lihat pengertian Electoral Management pada alamat situs http://aceproject.org/ace-en/topics/em/ema/ema01, diakses pada tanggal 11 April 2014 8 Jesus Orozco-Henriquez, Loc. Cit
3
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia 2. melindungi atau memulihkan hak pilih serta memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.9 Konsep sistem keadilan pemilu tidak hanya terbatas pada penegakan kerangka hukum, tetapi juga merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang dan menjalankan seluruh proses pemilu. Keadilan pemilu juga merupakan faktor yang memengaruhi perilaku para pemangku kepentingan dalam proses tersebut. Karena sistem keadilan pemilu sangat dipengaruhi kondisi sosial-budaya, konteks sejarah dan politik masing-masing negara, maka sistem dan praktiknya di seluruh dunia berbeda-beda. Meskipun demikian, sistem keadilan pemilu perlu mengikuti sejumlah norma dan nilai tertentu agar proses pemilu lebih kredibel dan memiliki legitimasi yang tinggi. Norma dan nilai ini dapat bersumber dari budaya dan kerangka hukum yang ada di masing-masing negara ataupun dari instrumen hukum internasional. Sistem keadilan pemilu harus dipandang berjalan secara efektif, serta menunjukkan independensi dan imparsialitas untuk mewujudkan keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta kesetaraan dan inklusivitas. Apabila sistem dipandang tidak kokoh dan tidak berjalan dengan baik, kredibilitasnya akan berkurang dan dapat mengakibatkan para pemilih mempertanyakan partisipasi mereka dalam proses pemilu, atau bahkan menolak hasil akhir pemilu. Dengan demikian, keadilan pemilu yang efektif dan tepat waktu menjadi elemen kunci dalam menjaga kredibilitas proses pemilu.10 Desain sistem keadilan pemilu yang disebutkan di atas haruslah dapat adaptable dalam kerangka budaya politik dan kerangka hukum suatu negara. Berdasarkan hasil penelitian komparatif yang dilakukan oleh International IDEA sistem keadilan pemilu pada tiap negara yang diteliti menunjukkan bahwa tidak ada sistem yang sempurna atau sistem ‘terbaik’.11 Indonesia sejak reformasi 1998 telah melakukan berbagai upaya perubahan sistem keadilan pemilunya. Lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E adalah “komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil)12, tetapi oleh undang-undang penyelenggara pemilihan umum dijabarkan menjadi terbagi kedalam dua kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar) 9
CETRO (peny.), Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA, (Jakarta: Indonesia Printer, 2010), hal. 5 10 Ibid 11 Ibid., hal. 7. Pada bagian pembahasan akan dideskripsikan secara singkat komparasi sistem keadilan pemilu secara khusus electoral dispute resolution/penyelesaian sengketa pemilu. 12 Penulisan huruf kecil pada setiap kata menunjukkan nama lembaga tidak harus sama dengan pemilihan diksi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).13 Bawaslu merupakan lembaga khas milik Indonesia.14 Kewenangannya kini diperkuat tidak hanya menjadi ‘tukang pos’ yang menerima berbagai pengaduan dari peserta pemilu atau masyarakat tetapi sekarang telah menjadi lembaga yang dapat disebut sebagai adjudikator pemilu dan juga sebagai lembaga banding administrasi (administratief beroep)15. Selain itu, sistem keadilan pemilu di Indonesia secara khusus terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu (electoral dispute resolution) memakai pula cabang kekuasaan yudikatif sebagai the last resort institution untuk menegakkan keadilan pemilu. Cabang kekuasaan kehakiman yang dimaksud ialah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan MK) yang menangani sengketa pemilu terkait dengan hak politik peserta pemilu, tindak pidana pemilu, dan sengketa hasil pemilu. Berbagai lembaga yang “bermain” dalam electoral justice system terutama sebagai electoral dispute resolution bodies (EDRB) yang menangani pelanggaran dan sengketa pemilu menciptakan friksi antar lembaga tersebut. Pola hubungan yang tidak harmonis antara penyelenggara pemilu mengemuka sepanjang proses pemilu 2009 antara KPU dan Bawaslu. Bahkan kini dengan hadirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disebut dengan DKPP) yang berwenang mengawasi pelanggaran kode etik disinyalir akan menambah seru kompleksitas sistem keadilan pemilu Indonesia.16 Berdasarkan uraian yang telah dinyatakan, maka pertanyaan pokok yang dapat diajukan sebagai permasalahan adalah “Bagaimana desain Penyelesaian Sengketa Pemilu (Electoral Dispute Resolution) di Indonesia dalam Pemilihan Umum 2014?” Penelitian hukum yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan studi pustaka atas bahan-bahan hukum primer berupa paket peraturan politik. Bahan hukum sekunder yang diteliti terdiri dari pendapat para ahli dan doktrin yang terdapat pada berbagai literatur hukum yang tersedia, sedang bahan hukum tersier dalam penelitian ini terdiri dari kamus hukum dan Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan tentang DKPP untuk Penegak Hukum” http://www.jimly.com/makalah/namafile/162/Pengenalan_DKPP_01.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2014 14 Didik Supriyanto dkk, Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, (Jakarta: Perludem, 2012), hal. 7 15 Lihat Fatwa Hukum Mahkamah Agung Nomor 34/KMA/HK.01/II/2013 yang menyatakan secara jelas bahwa Keputusan KPU yang menjadi penyebab sengketa pemilu dapat dibatalkan demi hukum oleh Keputusan Bawaslu kecuali terkait verifikasi partai politik peserta pemilihan umum dan daftar calon tetap anggota legislatif. Fatwa Hukum Mahkamah Agung dapat diunduh di http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_03_04_11_50_14_Fatwa%20MA %20terkait%20sengketa%20PKPI%20-%20KPU.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2014 16 Bandingkan dengan kata pengantar yang ditulis oleh Titi Anggraini dalam Ibid., hal. v 13
5
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia sumber-sumber hukum lainnya. Dengan penelitian di atas akan diberikan suatu uraian deskriptif sebagai hasil analisis mengenai masalah yang diteliti.17
B.
Pembahasan Penyelesaian sengketa pemilu (electoral dispute resolution) merupakan salah satu dari
empat sub kajian dalam pemilu, keempat sub kajian dalam pemilu, yaitu perilaku memilih (voting behavior), ”marketing” (pemasaran) politik yang dilakukan oleh kandidat atau partai, metode pemilihan umum berupa prosedur dan mekanisme dalam mengkonversi suara rakyat menjadi kursi dan proses penyelenggaraan pemilihan umum (electoral management atau management for electoral processes).18 Sistem untuk penyelesaian sengketa pemilu di negara demokrasi modern merupakan hal yang fundamental untuk membangun sistem politik yang stabil dan untuk membangun sistem hukum yang teratur. Kontribusi sistem ini untuk melindungi hak-hak dasar dan untuk memperkuat pemerintahan yang demokratis dari negara manapun jelas adanya. Sebuah kerangka hukum karenanya harus jelas menyatakan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik memiliki hak untuk mengajukan keberatan (complaint) dengan pengadilan atau komisi pemilihan yang berwenang, mengharuskan lembaga tersebut pada gilirannya akan membuat keputusan yang cepat dan menyediakan hak untuk mengajukan banding hingga ke pengadilan terakhir.19 Hak politik yang terlanggar niscaya dapat membawa keadaan sosial pada masa konflik. Hal ini disebabkan oleh karena pemilu merupakan peristiwa hak asasi manusia20 karena pemilu ialah alat bagi orang untuk menyatakan kemauan politik mereka. Pemilu menjadi ajang bagi rakyat untuk tidak hanya mendengar tetapi dapat bersuara dan didengar oleh suprastruktur pemerintahan. Pemilu merupakan mekanisme yang paling penting dan paling umum bagi pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.21 Ian Refalo 17
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 33 18 Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, (Jakarta: Kemitraan, 2008), hal. 24 19 The ACE Encyclopedia: Legal Framework, hal. 114. Dokumen elektronik dapat diunduh pada alamat situs http://aceproject.org/ace-en/topics/lf/#_edn1, diakses pada 10 April 2013 20 Pusat Hak Asasi Manusia PBB, Professional Training Series No. 2, Human Rights and Elections: A Handbook on the Legal, Technical and Human Rights Aspects of Elections, (New York: United Nations, 1994). Dokumen elektronik dapat diunduh pada alamat situs http://www.ohchr.org/Documents/Publications/ training2en.pdf, diakses pada tanggal 11 April 2014 21 Setidaknya terdapat tujuh standar internasional yang menjadi rujukan IFES (International Foundation for Electoral Systems) dalam buku GUARDE (Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Dispute in Elections) untuk penanganan keberatan pemilu atau penyelesaian sengketa pemilu, yaitu hak untuk memperoleh pemulihan pada keberatan dan sengketa pemilu; sebuah rezim standar dan prosedur pemilu yang
6
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 mengatakan bahwa safeguarding these rights becomes a key element in ensuring a free and balanced election which truly expresses the people’s will.22 Pemilu yang bebas dan adil (free and fair) menjadi nilai dasar dan universal daya lakunya dalam suatu pemilu yang demokratis. Nilai-nilai ini tidak akan teraplikasi dengan nyata jika lembaga penyelenggara pemilu bukanlah lembaga yang imparsial dan adil. Selain itu,
mekanisme
penyelesaian
sengketa
pemilu
(Electoral
Dispute
Resolution
Mechanism/EDRM) telah menjadi konsensus internasional, khususnya di bidang politik dan hukum, sebagai kondisi mutlak hadir atau conditio sine qua non dengan pemilu yang bebas dan adil.23 Mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia sebagaimana dijabarkan di atas dilakukan oleh berbagai lembaga (EDRB) sesuai dengan kategori pelanggaran atau sengketanya. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menglasifikasi gugatan pemilu. Umumnya satu sistem penyelesaian sengketa pemilu (EDR) dipakai untuk memproses beberapa gugatan dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian satu sistem penyelesaian sengketa pemilu dapat mencakup beberapa jenis badan penyelesaian sengketa pemilu (EDRB). Salah satu cara menglasifikasi sistem penyelesaian sengketa pemilu adalah berdasarkan organisasi yang pertama kali menerima pengaduan gugatan pemilu. Tetapi mengingat hampir semua gugatan pemilu disampaikan pertama kali kepada badan
didefinisikan secara jelas; arbiter yang tidak memihak dan memiliki pengetahuan; sebuah sistem peradilan yang mampu menyelesaikan putusan dengan cepat; penentuan beban pembuktian dan standar bukti yang jelas; ketersediaan tindakan perbaikan yang berarti dan efektif; pendidikan yang efektif bagi para pemangku kepentingan. Lihat Chad Vickery, Pedoman untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu, (Washington, D.C., IFES, 2011), hal. 19 Bandingkan dengan tiga hal yang mesti diberi perhatian mendalam untuk menegakkan hukum pemilu menurut Kemitraan yaitu pertama berkaitan dengan perlindungan proses politik dari pelanggaran, rintangan, pengaruh buruk, kepentingan tertentu, penipuan, kecurangan, intimidasi, dan segala bentuk tindakan ilegal, dan praktik korup. Kedua, terkait dengan hak untuk menggugat hasil pemilu dan pihak yang dirugikan untuk menyelesaikan masalah. Ketiga, berhubungan dengan dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu. Selain itu, masih menurut Kemitraan, terdapat pula tiga hal yang harus dipertimbangkan untuk menegakkan hukum atas pelanggaran pemilu yaitu pertama, perilaku yang tidak wajar, baik atau tidak langsung, memengaruhi hasil pemilu seharusnya dilarang. Kedua, tindak pidana pemilu harus mencakup segala tindakan yang dilakukan yang mengancam proses pemilu. Ketiga, ketentuan terkait dengan tindak pidana pemilu harus melindungi secara memadai setiap tahapan pemilu. Lihat Sidik Pramono (edt), Penanganan Pelanggaran Pemilu, Buku 15 seri advokasi demokrasi elektoral di Indonesia, (Jakarta: Kemitraan, 2011), hal. 6-8 22 Ian Refalo, Electoral Disputes: An Issue Which Falls Into The Jurisdiction Of The Constitutional Court?, Paper, dalam Seminar Cancellation of Election Results, Malta, 12 November 2008, hal. 2. Diunduh dari http://www.venice.coe.int/webforms/documents/default.aspx?pdf file=CDL-UD(2008) 009-e, diakses pada tanggal 11 April 2014 23 Orozco Henríquez & Raul Avila, Electoral Dispute Resolution Systems: Towards A Handbook And Related Material, Summary Of Concept Paper, dipresentasikan pada Electoral Disputes Resolution Expert Group Workshop, Mexico City, 27-28 May 2004. hal.2. Diunduh dari http://www.idea.int/news/newsletters/upload/concept_paper_EDR.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2014
7
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia penyelenggara pemilu, International IDEA24 melakukan analisis berdasarkan organisasi yang membuat keputusan akhir (final decision or challenge of last resort). Organisasi ini, yang dikenal sebagai ‘badan pembuat keputusan tertinggi’, diberi kewenangan terkait pemilu legislatif tingkat nasional yang diselenggarakan di semua negara demokrasi. Berdasarkan kriteria di atas, system penyelesaian sengketa pemilu yang berlaku di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu: 1. badan legislatif (dewan perwakilan rakyat atau badan politik lain) 2. badan peradilan a. peradilan umum yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman b. dewan atau mahkamah konstitusi c. pengadilan tata usaha negara d. pengadilan khusus pemilu 3. badan penyelenggara pemilu (EMB) yang memiliki kekuasaan kehakiman 4. badan ad hoc yang dibentuk dengan melibatkan badan internasional atau badan yang dibentuk sebagai badan internal yang menangani penyelesaian sengketa pemilu tertentu di tingkat nasional. Menurut CETRO, tren penyelesaian sengketa pemilu kini mengalami proses ‘yudisialisasi’ karena semakin banyaknya badan peradilan yang diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik pemilu dan menjamin prosesnya berjalan sesuai dengan ketentuan hukum. Dahulu partai politik terlibat langsung dalam penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa pemilu; namun aktivitas mereka sekarang semakin dibatasi, yakni hanya memantau dan mengawasi kerja badan penyelenggara pemilu. Penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan oleh badan legislatif kini sedikit jumlahnya. Negara yang menggunakan cara ini tetap melibatkan badan peradilan untuk menguji keputusan yang diambil dalam pemilu selain hasil pemilu atau keputusan yang diambil dewan perwakilan rakyat menyangkut hasil pemilu. Mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh badan legislatif atau badan politik yang dipercayakan menjalankan sistem penyelesaian sengketa pemilu, kini sistem penyelesaian sengketa pemilu kebanyakan ditangani oleh badan peradilan di tingkat pertama yang objektif dan imparsial. Menjadi catatan dalam penyelesaian sengketa oleh badan peradilan ialah mengenai independensi dan kredibilitas sistem peradilan yang ada – terutama di negara demokrasi baru atau di negara yang berada di masa 24
8
Jesus Orozco-Henriques, 2010, Op. Cit., hal. 60
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 konsolidasi demokrasi. Sedangkan dalam sistem penyelesaian sengketa pemilu oleh badan penyelenggara pemilu yang independen, EMB bertugas selain menyelenggarakan dan mengurus proses pemilu ia juga memiliki kewenangan yudisial untuk menangani gugatan dan mengeluarkan putusan akhir. Penerapan sistem penyelesaian sengketa pemilu yang memberikan kewenangan yudisial mutlak kepada badan penyelenggara pemilu harus dipertimbangkan dengan matang karena adanya risiko penyalahgunaan wewenang, terutama jika keputusan yang dibuat tidak dapat diuji atau dibanding. Yang terakhir, beberapa sistem penyelesaian sengketa pemilu melibatkan badan ad hoc yang dibentuk berdasarkan perjanjian peralihan setelah terjadinya konflik di suatu negara. Solusi ini seringkali disponsori oleh organisasi internasional. Dalam sistem ini, mekanisme penyelesaian sengketa pemilu bersifat sementara, ditetapkan untuk satu kali atau lebih pemilu atau sampai terbentuknya sistem penyelesaian sengketa pemilu yang permanen.25 Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Penyelesaian Sengketa Pemilu (EDR) 26 Sistem Penyelesaian Sengketa Pemilu Badan Legislatif
25 26
Kelebihan
Kekurangan
1) Memudahkan penyelesaian seca-ra politik untuk mengatasi kebuntuan atau konflik yang genting 2) Menghasilkan pemerintahan yang demokrasi dengan adanya duku-ngan dari badan legislatif untuk representasi politik 3) Menjamin independensi ketiga ca-bang kekuasaan karena badan peradilan tidak terlibat dalam masalah-masalah partisan
1) Dapat mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pi-hak mayoritas di dewan perwakilan yang cenderung mendahulukan kepentingan politik mereka. 2) Dapat mengurangi legitimasi jika keputusan yang diambil tidak berdasarkan hukum melainkan berdasarkan pertimbangan politik. 3) Penyelesaian konflik pemilu dila-kukan melalui negosiasi atau mobilisasi, bukan melalui wadahwadah kelembagaan dan hukum
CETRO, Op. Cit., hal. 14-17 Ibid., hal. 17.
9
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia Badan Peradilan
(a) Pengadilan umum yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman
10
4) Meningkatkan legitimasi karena keputusan terkait pemilu diambil berdasarkan hukum serta demi kea-dilan, kepastian hukum, dan sta-bilitas politik 5) Mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak mayoritas di badan legislatif sehingga hak pihak minoritas ikut diperhatikan 6) Mengakui bahwa sengketa pemilu, merupakan persoalan hukum meski bermuatan politik, sehingga penye-lesaiannya pun harus sesuai konstitusi dan undang-undang
1) Merefleksikan aspek yudisial seng-keta pemilu yang penye-lesaiannya dipercayakan kepada badan peradilan yang lebih berpengalaman 2) Tidak menelan biaya besar karena tidak perlu membentuk lembaga baru
4) Dapat mendorong kekuatan politik yang tidak sepakat dengan keputusan yang dibuat badan peradilan mempertanya-kan kapasitas atau imparsialitas badan tersebut 5) Membahayakan jika hakim terlibat dalam masalah-masalah hukum politik partisan ada risiko bahwa kekuatan politik menunjuk hakim berdasarkan kriteria politik, bukan berdasarkan kemampuan kerja, inde-pendensi, dan imparsialitas pihak yang ditunjuk 6) Dapat membuat pengadilan tinggi kehilangan kewibawaan jika keku-atan politik yang kalah mempertanyakan keputusan yang dibuat 1) Keputusan yang dibuat tidak selalu yang terbaik dan mem-butuhkan waktu lama karena badan ini bukan badan khusus dan/atau harus menangani banyak perkara 2) Dapat memperburuk citra sistem keadilan pemilu di negara ber-kembang yang lembaga keha-kimannya tidak berwibawa atau tidak independen 3) Pemilihan hakim pengadilan tanpa melibatkan parlemen akan mengurangi konsensus politik
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 (b) dewan atau mahkamah konstitusi
(c) Pengadilan tata usaha negara
(d) Pengadilan khusus pemilu
1) Meningkatkan legitimasi dan peng-hargaan terhadap sistem keadilan pemilu karena anggota dewan atau mahkamah konstitusi biasanya memiliki kedudukan, prestise, dan kapasitas pro-fesional yang tinggi 2) Menjamin bahwa penyelesaian sengketa pemilu dilakukan bukan hanya berdasarkan hukum tetapi juga sesuai konstitusi 1) Merefleksikan aspek yudisial dan administrative dari sengketa pemilu dan mempercayakan penyelesaian-nya kepada pengadilan tata usaha negara yang paling berpengalaman 2) Tidak menelan biaya besar karena tidak perlu membentuk lembaga baru
1) Keputusan yang dibuat lebih berkualitas dan tepat waktu 2) Memfokuskan perhatian kekua-tan politik pada proses pemilihan anggota pengadilan khusus pemilu, sehingga ada jaminan independensi dan imparsialitas anggota
1) Jika sebelumnya sudah ada keputusan dari badan peradilan lain, waktu akan menjadi kendala, dan dapat meme-ngaruhi kualitas putusan dan tidak efektifnya putusan 2) Dapat memengaruhi citra sistem keadilan pemilu di negara berkembang yang mahkamah konstitusi-nya lebih banyak memainkan peran politik dibanding hukum 1) Dapat menurunkan wibawa penga-dilan tata usaha jika kekuatan politik yang kalah memperta-nyakan keputusan yang dibuat 2) Keputusan yang dibuat tidak selalu tepat waktu karena perkara yang harus ditangani pengadilan sangat banyak 3) Pemilihan hakim pengadilan tata usaha yang tidak melibatkan dewan perwakilan akan mengu-rangi konsensus politik 1) Memicu konflik antara badan penyelenggara pemilu dan pengadilan pemilu 2) Menelan biaya lebih besar karena harus membentuk pengadilan pe-milu yang baru 3) Ada risiko bahwa pemilihan hakim pengadilan pemilu didasar-kan pada pertimbangan partisan
11
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia Badan penyelenggara pemilu dengan kekuasaan kehakiman
Badan ad hoc, baik nasional maupun internasional
1) Mencegah munculnya kesen-jangan antara badan penye-lenggara pemilu dan badan yang bertanggung jawab atas penyelesaian sengketa pemilu 2) Lebih mudah mengidentifikasi badan yang bertanggung jawab atas seluruh proses pemilu, dan fokus pada penetapan anggota dan mandat 3) Menekan biaya pemilu yang umumnya tinggi 1) Adanya mekanisme kelemba-gaan untuk kembali ke prinsip demokrasi setelah terjadinya krisis atau konflik politik 2) Menjamin partisipasi seluruh ke-lompok atau sektor masyarakat dalam proses pemilu melalui keterlibatan masyarakat interna-sional
1) Adanya konsentrasi kewena-ngan pemilu di sebuah badan tunggal sehingga ada risiko penyalahgu-naan kekuasaan jika tidak ada pengecekan oleh badan lain 2) Mengingkari hak asasi manusia internasional untuk mendapat-kan penyelesaian hukum melalui pe-ngadilan yang independen dan imparsial 1) Ada risiko mempertahankan rezim peralihan 2) Ada risiko kekuatan politik yang kalah tidak menghormati hasil pemilu 3) Dapat mendorong kekuatan po-litik yang kalah untuk mempertanyakan keterlibatan masyarakat internasional
Indonesia mengatur pelaksanaan pemilu 2014 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD27 (selanjutnya disebut UU Pemilu 2012). Dalam Undang-Undang ini ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan pelanggaran diatur lebih jelas dibandingkan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu28 yang menjadi aturan main bagi pemilu 2009.29 BAB XXI UU Pemilu 2012 membagi pelanggaran pemilu dalam enam jenis atau kategori yaitu pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, tindak pidana pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil pemilihan umum (selanjutnya disebut dengan PHPU).30 Hal ini kerap menimbulkan kerancuan apakah 27
Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5316 Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836 29 UU Pemilu 2008 ini membagi pelanggaran pemilu kedalam tiga jenis yaitu pelangggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Tiga jenis ini kemudian berkembang menjadi enam jenis atau kategori dalam UU Pemilu untuk tahun 2014. Pelanggaran kode etik dan sengketa pemilu-sengketa tata usaha negara dahulu masuk ke dalam jenis pelanggaran administrasi pemilu. 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan hanya mengenal terminologi perselisihan hasil pemilihan umum. Terminologi “pelanggaran” hanya berkaitan dengan 28
12
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 penyebutan “pelanggaran pemilu” mencakup enam jenis tersebut atau hanya dua jenis yaitu pelanggaran kode etik dan pelanggaran administrasi sedangkan yang lain merupakan jenis yang berdiri sendiri. Apapun terminologi kategorial yang digunakan dalam bahasa normatif perundang-undangan setidaknya ada enam jenis “pengingkaran” sistem keadilan pemilu. Di bawah ini dapat dilihat secara singkat definisi dan lembaga yang menyelesaikan kategorial sengketa/pelanggaran pemilu.
Tabel 2. Jenis Pelanggaran Pemilu dan Lembaga Penyelesaiannya Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 No Jenis Pelanggaran Definisi 1 Pelanggaran Kode Pelanggaran terhadap etika Etik Penyelenggara pe-nyelenggara Pemilu Pemilu yang ber-pedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu (Pasal 251) 2 Pelanggaran Pelanggaran yang meliputi Administrasi tata cara, prosedur, dan Pemilu mekanisme yang berkaitan dengan admi-nistrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu (Pasal 253) 3 Sengketa Pemilu Sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penye-lenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 257 )
Lembaga Penyelesaian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (Pasal 252)
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabu-paten/Kota menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu berda-sarkan rekomendasi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya (Pasal 254 ayat (3)) BAWASLU (Pasal 258 ayat (1))
impeachment/pemakzulan presiden. Sedangkan terminologi “sengketa” hanya berkaitan dengan kewenangan antar lembaga negara yang kewenangan diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
13
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia 4
Tindak Pidana Pemilu
5
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu
6
Perselisihan Hasil Pemilu
Tindak pidana pelanggaran dan /atau kejahatan terhadap keten-tuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 260) Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara. (Pasal 258)
Pengadilan Negeri (Pasal 262)
PT TUN dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan (Pasal 269 (1)) Perselisihan antara KPU Mahkamah Konstitusi dan Peserta Pemilu (Pasal 272) mengenai pene-tapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional (Pasal 271)
UU Pemilu 2012 tidak menyebutkan secara jelas mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik dan hanya menyebutkan bahwa hal tersebut ditentukan dalam UndangUndang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disebut UU Penyelenggara Pemilu31).32 Maksud kode etik adalah untuk menjaga kemandirian, integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Sedangkan tujuan kode etik adalah memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam UU Penyelenggara Pemilu yang lama (UU No. 22/2007)33, untuk memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi, dibentuk Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc yang ditetapkan dengan keputusan KPU. Dewan Kehormatan KPU tersebut berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota KPU dan 2 (dua) orang dari luar anggota KPU. Dewan Kehormatan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dewan Kehormatan KPU menetapkan rekomendasi
31
Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 101. Tambahan Lembaran Negara Nomor 5246 Dalam Pasal 122 UU Penyelenggara Pemilu disebutkan bahwa Kode Etik dan Pedoman Tata Laksana Penyelenggara Pemilu dibentuk dalam Peraturan Bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Pengaturan ini selanjutnya tertuang dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Mengenai hukum acara yang dipakai diatur dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. 33 Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 59. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4721 32
14
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 yang bersifat mengikat. KPU wajib melaksanakan rekomendasi Dewan Kehormatan KPU.34 Hal ini kemudian berubah, di dalam UU Penyelenggara Pemilu yang lahir 2011, saat ini lembaga yang berwenang sebagai penegak kode etik dari penyelenggara pemilu ialah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga ini berwenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik, baik untuk KPU maupun Bawaslu. DKPP bersifat permanen dan bertugas menangani pelanggaran kode etik serta berkedudukan di ibukota negara. Keanggotaannya pun lebih beragam, yaitu ada unsur KPU, Bawaslu, partai politik, masyarakat, dan unsur pemerintah.35 Pengaturan mengenai penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 255 ayat (2) UU Pemilu 2012 diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU No. 25 Tahun 2013. Kategori pelanggaran ini dapat disebutkan merupakan jenis pelanggaran yang paling banyak dan didasarkan pada rekomendasi dari Bawaslu. Pelanggaran terhadap peraturan KPU dalam setiap tahapan pemilu merupakan pelanggaran administrasi pemilu. Hal ini dikarenakan UU Pemilu tidak menyebutkan secara detail apa saja pelanggaran administrasi pemilu dan bentuk sanksi pelanggaran administrasi. Seharusnya lembaga legislatif dapat merinci jenis pelanggaran dan tidak menyerahkan fungsi pembuatan norma kepada KPU maupun Bawaslu karena kedua lembaga tersebut sejatinya bukan lembaga pembuat norma yang membatasi atau menambahkan kewenangannya. Sengketa pemilu yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa pemilu peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, selain dari keputusan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD diselesaikan oleh Bawaslu. Pengaturan mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Bawaslu No. 15 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kategori sengketa pemilu ini sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama (UU No. 10 Tahun 2008). Pada saat itu banyak yang mempertanyakan saluran atau kanal hukum apa yang harus dilalui jika objek sengketa berkaitan dengan keputusan dari KPU. Hal ini dikarenakan keputusan KPU dinilai merupakan norma hukum dengan bentuk penuangan beschikking. Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa keputusan KPU yang menjadi sumber sengketa pemilu.
34
Pasal 111 Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Sidik Pramono (edt), Op. Cit., hal. 19. Lihat dasar hukumnya dalam BAB V Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum 35
15
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia Tabel 3. Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota Yang Menjadi Sumber Sengketa Pemilu Tahapan Penetapan Peserta Pemilu Pendaftaran Pemilih Penetapan Daerah Pemilihan Pencalonan
Kampanye
Pemungutan dan Penghitungan Suara Penetapan Calon Terpilih
Lembaga
Jenis Keputusan yang Menjadi Lembaga yang Sumber Sengketa Menyelesaikan KPU Penetapan Partai Politik Peserta Bawaslu atau Pemilu Anggota DPR dan DPRD bisa diteruskan ke PT TUN KPU, KPU Penetapan Daftar Pemilih Tetap Bawaslu Provinsi, KPU Kabupaten/Kota KPU Penetapan Jumlah Kursi dan Daerah Bawaslu Pemilihan Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota KPU, KPU Penetapan Daftar Calon Tetap Bawaslu, atau Provinsi, KPU Anggota DPR, DPRD Provinsi, bisa diteruskan Kabupaten/Kota DPRD Kabupaten/Kota ke PT TUN KPU, KPU Waktu, Tanggal dan Tempat Bawaslu Provinsi, KPU Pelaksanaan Kampanye Pemilu Kabupaten/Kota Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota KPU Penetapan Hasil Pemilihan Pemilu Mahkamah DPR, DPD, DPRD Kabupaten/Kota Konstitusi
KPU, KPU Penetapan Calon Terpilih Anggota Bawaslu Provinsi, KPU DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota DPRD Kabupaten/Kota
Sekali lagi, khusus keputusan KPU mengenai verifikasi partai politik peserta pemilihan umum dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD diselesaikan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan syarat jika sudah melalui upaya administratif di Bawaslu. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas bahwa berdasarkan Fatwa Mahkamah Agung No. 34/KMA/HK.01/II/2013 Bawaslu dinyatakan merupakan Lembaga Banding Administrasi Khusus Pemilu (Administratief Beroep). Oleh karenanya hanya dalam dua keputusan KPU ini saja PT TUN dilibatkan dalam penyelesaian sengketa pemilu yang oleh UU Pemilu disebutkan sebagai sengketa tata usaha negara pemilu harus melewati proses upaya administrasi terlebih dahulu di Bawaslu.. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
16
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Partai Politik atau Bakal Calon Tetap Anggota DPR, DPD, DPRD yang masih belum puas dengan putusan PT TUN dapat melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.36 Pencantuman tindak pidana pemilu dalam ketentuan spesifik sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil. Maksud dari prinsip tersebut untuk mencegah pelanggaran, praktik korupsi dan ilegal selama pemilu. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip tersebut dikenal dengan prinsip Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL). Undang-Undang Pemilu yang lama telah mengatur juga tindak pidana pemilu. Ada beberapa catatan terkait tindak pidana pemilu pada UU itu, antara lain37: 1. Tidak sinkron dalam hal perumusan sanksi pidana, penyebutan unsur yang tidak tepat, rumusan politik uang yang menyediakan lubang untuk dilanggar, dsb. 2. Dari 54 tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 10/ 2008, ada yang mirip dengan tindak pidana di KUHP, misalnya memberikan keterangan tidak benar, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, perbuatan curang, dan membuat atau menggunakan dokumen palsu. 3. Masalah baru muncul dalam penanganan tindak pidana dalam UU No. 10/ 2008 yang khas pemilu (tidak ada padanannya dalam KUHP). Sebagai contoh, melakukan kampanye di luar jadwal (Pasal 269), pelanggaran pidana dalam kampanye (Pasal 270), politik uang (Pasal 274), dana kampanye melebihi batas (Pasal 276). Dalam menghadapi tindak pidana pemilu semacam ini acapkali terjadi kegamangan baik di kalangan pengawas pemilu bahkan juga di kalangan penegak hukum. Sedangkan dalam UU Pemilu yang kini berlaku terdapat juga banyak pasal tentang tindak pidana pemilu yang membagi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.38 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam undang-undang ini terkait tindak pidana pemilu, antara lain: 1.
Ancaman pidana (secara umum) diserasikan, antara lamanya kurungan/penjara dan besarnya denda; ada juga pengecualiannya
2.
Sifat ancaman pidana yang kumulatif (kurungan/ penjara dan denda);
36
Pasal 269 ayat (7) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 37 Catatan ini merupakan tulisan Topo Santoso bagian dari Rancangan Buku Pedoman bagi hakim pemilu yang didapatkan penulis dalam Lokakarya Penegakan Pidana Pemilu bagi Hakim untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 pada akhir Maret 2014 yang diselenggarakan oleh Kemitraan 38 BAB XII Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
17
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia 3.
Klasifikasi Pelanggaran (19 pasal) dan kejahatan (29 pasal);
4.
Adanya gradasi berat/ ringannya tindakan dan gradasi berat/ ringannya sanksi;
5.
Tidak ada lagi ancaman pidana minimum khusus; di UU Lama seluruhnya ada ancaman minimum khusus (bahkan termasuk tindak pidana yang ringan)
6.
Unsur kesalahan (kelalaian atau kesengajaan) yang membedakan berat/ ringannya ancaman pidana pada beberapa pasal
7.
Semua Pasal tindak pidana pemilu diberi penjelasan : CUKUP JELAS
8.
Subyek tindak pidana sangat beragam: setiap orang, petugas pemilu (KPPS, anggota KPU, dsb), petugas negara (polisi, TNI), pejabat (hakim, pejabat BKP, Gubernur BI, dll), kelompok, perusahaan, badan usaha, dsb
9.
Sifat sanksi (kumulatif kurungan/ penjara DAN denda) hanya bisa digunakan untuk subyek orang, bukan korporasi
10. Sanksi terendah : Kurungan/ penjara : paling lama 6 bulan; dan untuk Denda : paling banyak Rp 6 juta 11. Sanksi tertinggi : Penjara : paling lama 6 tahun; dan untuk Denda : paling banyak Rp 5 Milyar Pada Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II dengan Bawaslu39 disebutkan jumlah pelanggaran Pemilu Legislatif 2014 di seluruh Indonesia sebanyak 9.553. Jumlah ini hasil temuan dan pelaporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan seluruh jajarannya. Dugaan pelanggaran tersebut sebesar 7.478 merupakan temuan. Sementara 2.075 adalah laporan. Berdasarkan kajian pengawas pemilu sebesar 7.520 kasus direkomendasikan sebagai dugaan pelanggaran. Pelanggaran terbesar pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD itu adalah pelanggaran administrasi sebanyak 7.296 pelanggaran. Pelanggaran pidana sebanyak 186 kasus. Sementara pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu sebesar 38 pelanggaran.40 Menjadi tambahan catatan, KPU menyebutkan bahwa jumlah suara sah dalam pileg yang lalu sebesar 124.972.491, jumlah suara tidak sah sejumlah 15.076.606, jumlah
39
Untuk dapat melihat agenda dari Komisi II dapat diakes di http://www.dpr.go.id/id/ agenda/2014/05/21 diakses pada tanggal 3 Juli 2014 40 “Bawaslu: Terjadi 7520 Pelanggaran di Pileg 2014”, http://www.rumahpemilu.org /in/read/5900/BawasluTerjadi-7520-Pelanggaran-di-Pileg-2014 diakses pada tanggal 3 Juli 2014
18
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 pemilih yang memberikan suaranya sebanyak 140.049.097. Sedangkan tingkat partisipasi pemilih dalam pileg 2014 sebesar 75,11 persen.41 Mengenai kategori perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang merupakan kewenangan MK aturan formalnya tertuang dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pada tanggal 1 Juli 2014, setelah 30 hari kerja memeriksa perkara PHPU disebutkan MK telah memutus keseluruhan 903 perkara PHPU Legislatif 2014 yang diregistrasi. Dari keseluruhan permohonan, perkara yang dikabulkan sebanyak 23 perkara, yang terdiri atas perhitungan ulang (putusan sela) sebanyak 13 perkara dan penetapan hasil (putusan langsung) sebanyak 10 perkara. MK mengambil kebijakan untuk menghentikan proses pemeriksaan yang tidak memenuhi syarat baik perkara yang tidak sesuai dengan UU maupun yang tidak memenuhi tenggang waktu. Ini pertama kali dilakukan oleh MK karena pada 2009, MK belum melakukan mekanisme ini.42 Setidaknya sebanyak 312 perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak dapat memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan perudang-undangan dan 26 permohonan ditarik kembali oleh para pemohon. Selebihnya, yakni 542 perkara dinyatakan ditolak karena dalil-dalil para pemohon tidak terbukti di dalam persidangan.43
C.
Kesimpulan Mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum (Electoral Dispute Resolution
Mechanism) dalam rangka menyukseskan pemilu yang bebas, adil dan berintegritas sekali lagi merupakan suatu hal yang mutlak hadir (conditio sine qua non). Sistem keadilan pemilu (EJS) yang diusung oleh tiap negara beserta dengan lembaga yang menangani permasalahan hukum “pengingkaran” keadilan pemilu tentu saja berbeda-beda disesuaikan dengan faktor kekuatan riil masyarakat (de riele machtsfactoren) negara tersebut termasuk konfigurasi politik di dalamnya. Bahkan IDEA menyebutkan tidak ada satu sistem keadilan pemilu yang terbaik dan sempurna. Indonesia dengan perangkat/paket hukum politik terutama Undang“KPU dan Komisi II DPR Bahas Pelaksanaan Pileg 2014”, http://www.kpu.go.id/index .php/post/read/2014/3271/KPU-dan-Komisi-II-DPR-Bahas-Pelaksanaan-Pileg-2014 diakses pada tanggal 3 Juli 2014 42 “MK Rampungkan Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014”, http:// www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10046#.U7UBJV4xFSU diakses pa- da tanggal 3 Juli 2014 43 “Dari 903 Gugatan MK Kabulkan 23 Perselisihan Hasil Pileg”, http://nasional.kompas.com /read/2014/07/01/1501527/Dari.903.Gugatan.MK.Kabulkan.23.Perkara.Perselisihan.Hasil.Pileg 41
19
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sejak awal membagi kategori “pengingkaran” pemilu ke dalam enam jenis (pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, tindak pidana pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil pemilihan umum) dalam satu rangkaian (by design). Setiap kategori tersebut diselesaikan oleh lembaga/institusi yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan ciri khas atau karakteristik “pengingkaran” yang ada. Contoh saja dalam jenis sengketa tata usaha negara pemilu yang obyeknya ialah keputusan (beschikking) yang harus diselesaikan oleh Bawaslu-PT TUN, tentu sengketa ini tidak bisa diselesaikan oleh peradilan umum karena berkaitan dengan kompetensi absolut. Begitu juga dengan tindak pidana pemilu tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan tata usaha negara karena hakim-hakim di dalam lingkungan peradilan tata usaha negara tidak secara khusus mumpuni dalam menyelesaikan tindak pidana. Selain itu, desain penyelesaian pelanggaran/pengingkaran/sengketa/tindak pidana pemilu yang diatur dalam BAB XI Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 menurut hemat penulis banyak mendelegasikan pengaturan kepada setiap lembaga penyelesai sengketa terkait dengan tata laksana sampai dengan substansi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Buku Benn, S.I. dan R.S. Peters. Principles of Political Thought. New York: Collier Books, 1964 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008 CETRO (peny.). Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA. Jakarta: Indonesia Printer. 2010 Held, David. Models of Democracy. Jakarta: The Akbar Tandjung Institute. 2006 Henriques, Jesus Orozco. Electoral Justice: The International IDEA Handbook. Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2010 Pramono, Sidik. (edt). Penanganan Pelanggaran Pemilu, Buku 15 seri advokasi demokrasi elektoral di Indonesia. Jakarta: Kemitraan. 2011 Supriyanto, Didik, dkk. Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014. Jakarta: Perludem. 2012 Surbakti, Ramlan. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan. 2008 20
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Vickery, Chad. Pedoman untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu. Washington, D.C.: IFES. 2011 Jurnal Huefner, Steven F. “What can the United States Learn from Abroad about Resolving Disputed Elections?”. New York University Journal of Legislation and Public Policy, Vol. 13, Number 3. 2010 Internet Asshiddiqie, Jimly. “Pengenalan tentang DKPP untuk Penegak Hukum” http://www.jimly.com/makalah/namafile/162/Pengenalan_DKPP_01.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2014 Henríquez, Orozco & Raul Avila. “Electoral Dispute Resolution Systems: Towards A Handbook And Related Material”. Summary Of Concept Paper dipresentasikan pada Electoral Disputes Resolution Expert Group Workshop. Mexico City, 27-28 May 2004. Diunduh dari http://www.idea.int/news/newsletters/upload/concept_paper_EDR.pdf http://www.theoi.com/Ouranios/AsklepiasPanakeia.html. Diakses pada tanggal 26 Juni 2014 http://aceproject.org/ace-en/topics/em/ema/ema01. Diakses pada tanggal 11 April 2014 http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_03_04_11_50_14_Fatwa%20MA %20terkait%20sengketa%20PKPI%20-%20KPU.pdf. Diakses pada tanggal 10 April 2014 Refalo, Ian. “Electoral Disputes: An Issue Which Falls Into The Jurisdiction Of The Constitutional Court?”. Paper dalam Seminar Cancellation of Election Results, Malta, 12 November 2008. Diunduh dari http://www.venice.coe.int/webforms/documents/default.aspx?pdffile=CDL-UD(2008) 009-e. Diakses pada tanggal 11 April 2014 Professional Training Series No. 2, Human Rights and Elections: A Handbook on the Legal, Technical and Human Rights Aspects of Elections. New York: United Nations, 1994. http://www.ohchr.org/Documents/Publications/ training2en.pdf diakses pada tanggal 11 April 2014 “Bawaslu: Terjadi 7520 Pelanggaran di Pileg 2014”. http://www.rumahpemilu.org /in/read/5900/Bawaslu-Terjadi-7520-Pelanggaran-di-Pileg-2014 “Dari
903 Gugatan MK Kabulkan 23 Perselisihan Hasil Pileg”. http://nasional.kompas.com/read/2014/07/01/1501527/Dari.903.Gugatan.MK.Kabulkan .23.Perkara.Perselisihan.Hasil.Pileg. Diakses pada tanggal 3 Juli 2014
“KPU dan Komisi II DPR Bahas Pelaksanaan Pileg 2014”. http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2014/3271/KPU-dan-Komisi-II-DPR-BahasPelaksanaan-Pileg-2014. Diakses pada tanggal 3 Juli 2014
21
Dwi Putra Nugraha : Desain Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia “MK Rampungkan Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014”. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10046#.U7UB JV4xFSU. Diakses pada tanggal 3 Juli 2014 “The ACE Encyclopedia: Legal Framework”. http://aceproject.org/ace-en/topics/lf/#_edn1. Diakses pada 10 April 2013
22