DESAIN PALKA KAPAL PENGANGKUT IKAN DITINJAU DARI ASPEK TEKNIS, MITIGASI RISIKO DAN KETAHANAN HIDUP IKAN
YOPI NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASINYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Palka Kapal Pengangkut Ikan Ditinjau dari Aspek Teknis, Mitigasi Risiko dan Ketahanan Hidup Ikan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 2 Februari 2011
Yopi Novita C 461070031
ABSTRACT YOPI NOVITA. Fish Hold Design of Live Fish Carrier Based on Technique, Risk Mitigation and Fish Survival Aspects. Supervised by BUDHI HASCARYO ISKANDAR, BAMBANG MURDIYANTO, BUDY WIRYAWAN and HARIYANTO. The continuity of humpback grouper (Cromileptes altivelis) culture activity is influenced by availability of juvenile in lot of number in the right time, right size, and right quality. A certain method and transportation moda is needed due to a long distance between location of hatchery and rearing (growing) location in order to maintain high survival ratio. Nowadays, closed system method is applied for transporting juvenile of hunchback grouper with total length of less than 8 cm. In this method, the juveniles are put into the plastic bag with sea water and oxygen of certain composition before transported by land, sea or air transportation moda. By using this method some limitations appear such as, amount of fish juveniles and time needed for transportation. The objectives of this research are: 1) to determine the risk level of life fish carrier with ‘opened system’ to mortality ratio of fish juvenile with total length (TL) 5 – 7 cm and its risk source, 2) to determine the risk mitigation steps that can reduce level of fish juveniles mortality and 3) to determine the design of life fish carrier that can transport fish juveniles, especially the design related to existence of fish juveniles in the fish hold during transportation. Literatures review, laboratory experiments simulations, and numerical analysis methods have been applied in this research. An asessment to open system life fish carrier transporting juvenile with 5 – 7 cm TL was carried out. In general, this kind of carrier was used to transport juvenile of minimum 16 cm TL. Transporting juvenile with 5 – 7 cm TL by using open system carrier indicates high risk. A risk mitigation attempt was done by designing a fish hold equipped with resirculation water system and optimizing the amount of juveniles that could be transported in the fish hold. The result of this mitigation process showed that fish hold with keel damper constructed at the inner wall was able to reduce free surface effect during ship rolling and to maintain the ship stability toward free surface effect occured during rolling. Besides, keel damper gives positive effect in increasing oxygen concentration in the fish hold during rolling event. Another result showed that the use of combination between recirculation and aeration shows a good perfomance to maintain sea water quality in the fish hold. A certain amount of juveniles that were put in the fish hold model for simulation of the designed system resulted in the stability of seawater quality in the fish hold during the experiment and 100% survival ratio of juvenile at the end of 48 hours experiment. Based on the above result, recomended transportation moda for fish juvenile with 5 – 7 cm TL in large amount with long sailing time and high survival ratio is closed system of life fish carrier equipped with keel damper and combination system of resirculation and aeration in the fish hold with fish juvenile density depend on the oxygen consumption rate for each individual fish juvenile. Key words: humpback grouper (Cromileptes altivelis) risk assessment, fish hold design, combination system of recirculation and aeration, juvenile density
RINGKASAN YOPI NOVITA. Desain Palka Kapal Pengangkut Ikan Ditinjau dari Aspek Teknis, Mitigasi Risiko dan Ketahanan Hidup Ikan. Dibimbing oleh BUDHI HASCARYO ISKANDAR, BAMBANG MURDIYANTO, BUDY WIRYAWAN dan HARIYANTO. Keberlanjutan kegiatan budidaya ikan kerapu bebek sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan benihnya dalam jumlah yang banyak, ukuran yang tepat, mutu yang baik serta ketersediaannya dalam waktu yang tepat. Hal ini disebabkan karena lokasi budidaya pembesaran dengan lokasi budidaya pembenihan tidak dekat, maka dibutuhkan metode dan sarana transportasi yang mampu mengangkut benih ikan tersebut dengan tingkat survival ratio yang tinggi hingga tiba ke tujuan. Kondisi saat ini, untuk transportasi benih ikan kerapu bebek berukuran total length (TL) kurang dari 8 cm, umumnya menggunakan cara tertutup (closed hull) yaitu dengan cara menempatkan benih ikan ke dalam kantong plastik yang telah diisi air laut dan oksigen dengan komposisi tertentu. Selanjutnya kantong-kantong plastik berisi benih ikan tersebut diangkut dengan menggunakan moda angkutan darat, udara maupun laut. Cara ini mengakibatkan transportasi tidak dapat dilakukan untuk waktu yang lama dan jumlah benih ikan yang dapat diangkut oleh moda tersebut terbatas, tergantung kepada kapasitas muat di atas moda angkutan yang ditumpanginya. Oleh karena itu, alternatif penggunaan kapal pengangkut ikan hidup sebagai moda angkutan benih ikan perlu diperhitungkan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menentukan tingkat risiko penggunaan kapal pengangkut ikan hidup ‘Opened system’ terhadap tingkat kematian benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran panjang total (TL/Total Length) 5 – 7 cm serta sumber risikonya, 2) menentukan dan mengkaji langkah-langkah mitigasi risiko yang dapat menurunkan tingkat risiko kematian benih ikan kerapu bebek, dan 3) menentukan desain kapal pengangkut ikan hidup yang dapat mengangkut ikan kerapu bebek dalam fase benih, khususnya desain yang berkaitan dengan keberadaan benih ikan selama berada di dalam kapal pengangkut ikan hidup. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode yaitu telaah literatur, metode survei, eksperimen dan simulasi. Metode survei dan simulasi dilakukan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB. Metode eksperimen dilakukan di dua tempat yaitu di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB. Tahapan penelitian diawali dengan mengkaji tingkat risiko Kapal Pengangkut Ikan Hidup (KPIH) ‘Opened hull’ apabila digunakan untuk mengangkut benih ikan yang berukuran TL 5 – 7 cm. Saat ini KPIH tersebut digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran TL minimal 16 cm. Dari hasil analisis risiko, akan ditetapkan langkah mitigasi risiko untuk menurunkan tingkat risiko apabila dari hasil kajian diketahui bahwa KPIH ‘Opened hull’ memiliki risiko yang tinggi. Adapun tahapan kajian selanjutnya, ditentukan setelah langkah mitigasi risiko ditetapkan dari hasil kajian risiko. Barulah pada tahap akhir, dibuat desain KPIH berdasarkan hasil kajian risiko. Tingkat risiko pada KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran TL 5 – 7 cm adalah berisiko tinggi. Dengan demikian langkah mitigasi yang disarankan adalah memodifikasi desain palka, mengganti sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka kapal dengan sistem resirkulasi dan menentukan serta menetapkan densitas benih ikan
di dalam palka. Dari hasil uji coba menunjukkan bahwa desain palka yang dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di dinding dalam palka, mampu meredam efek free surface yang terjadi pada saat terjadinya gerakan rolling. Bahkan keberadaan sirip peredam mampu menahan penurunan kualitas stabilitas kapal yang disebabkan karena efek free surface yang terjadi saat terjadinya gerakan rolling. Selain itu, keberadaan sirip peredam turut berperan dalam meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut di dalam palka saat terjadinya gerakan rolling. Penggunaan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka, cukup menunjukkan kinerja yang baik dalam mempertahankan kualitas air laut di dalamnya selama kurang lebih 48 jam. Untuk selanjutnya sistem kombinasi resirkulasi-aerasi tersebut diujicoba dengan memasukkan benih ikan kerapu bebek ke dalam model palka, dengan jumlah benih ikan sesuai dengan densitas benih ikan yang telah ditetapkan. Dari hasil uji coba menunjukkan bahwa kondisi parameter fisik air yang terdiri dari konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air, serta parameter kimia air yang terdiri dari nilai pH dan NH3 cenderung menunjukkan kestabilan. Hal ini dibuktikan dengan nilai survival ratio benih ikan di akhir simulasi transportasi (48 jam) yang mencapai 100 %. Oleh karena itu, moda angkutan yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai moda angkutan bagi benih ikan kerapu bebek berukuran TL 5 – 7 cm dalam jumlah banyak, waktu yang cukup lama serta tingkat ketahanan hidup yang tinggi adalah berupa Kapal Pengangkut Ikan Hidup (KPIH) dengan sistem tertutup (closed hull) yang dilengkapi dengan palka bersirip peredam dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka. Selain itu, densitas benih ikan yang ditempatkan di dalam palka adalah densitas benih ikan berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen tiap individu ikan, yaitu 6 ekor/liter. Kata kunci: ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kajian risiko, desain palka, sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, densitas benih ikan.
Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut kan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DESAIN PALKA KAPAL PENGANGKUT IKAN DITINJAU DARI ASPEK TEKNIS, MITIGASI RISIKO DAN KETAHANAN HIDUP IKAN
YOPI NOVITA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Moh. Imron, M.Si. 2. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc.
Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Tri Haryanto, M.M. 2. Dr. Ir. Yulistyo Mudho, M.Sc.
Judul Disertasi
: Desain Palka Kapal Pengangkut Ikan Ditinjau dari Aspek Teknis, Mitigasi Risiko dan Ketahanan Hidup Ikan
Nama Mahasiswa
: Yopi Novita
Nomor Pokok
: C461070031
Program Studi
: Teknologi Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Hariyanto, M.Eng. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 5 April 2011
Tanggal Lulus: 25 April 2011
PRAKATA Keterbatasan moda transportasi bagi benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) menjadi titik awal permasalahan yang akan dicari solusinya oleh penulis dalam kajian ilmiah ini, yang berjudul Desain Palka Kapal Pengangkut Ikan Ditinjau dari Aspek Teknis, Mitigasi Risiko dan Ketahanan Hidup Ikan. Penulis berharap, dengan hasil kajian ilmiah ini akan diperoleh suatu moda transportasi yang mampu mengangkut benih ikan kerapu bebek dalam jumlah besar dengan ketahanan hidup yang tinggi. Dalam mewujudkan karya ilmiah ini, Alhamdulillah, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada: 1) Ketua Departemen PSP FPIK IPB Periode 2005/2009: Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. dan Ketua Departemen PSP FPIK IPB Periode 2009/2013: Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. atas ijin melanjutkan studi yang telah diberikan, 2) DIKTI, yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis, 3) Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si., Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. dan Dr. Ir. Hariyanto, M.Eng selaku komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu, pikiran dan perhatian selama penyelesaian karya ilmiah ini, 4) Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si., Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si., Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc., Dr. Ir. Tri Haryanto, MM. dan Dr. Ir. Yulistyo Mudho, M.Sc. selaku penguji luar komisi dalam ujian tertutup dan terbuka, atas saran yang telah diberikan, 5) Ir. Irzal Effendi, M.Si. yang telah berbaik hati memfasilitasi penulis selama melakukan penelitian serta membuka wawasan penulis tentang transportasi benih ikan kerapu bebek saat ini, 6) Keluarga tercinta: Bapak H. Rafni Fachruddin, BE (Alm) dan Ibu Hj. Zustiari Thalib, Bapak H. J. Iskandar dan Ibu Sundari Iskandar, Unita, Ade dan Bang Agus, Fadhil dan Rafi, atas cinta, kasih sayang dan doa yang selalu diberikan hingga saat ini kepada penulis, 7) Suami tercinta dan kedua bintang kecilku, Zalfa dan Zahran, atas pengorbanan, cinta dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis, 8) Teman Sejawat di Departemen PSP pada umumnya dan Bagian KTP pada khususnya, atas semangat dan dukungan yang selalu diberikan, 9) Teman seperjuangan TPT/SPT 2007: Rusmilyansari, Albert, Danial, Syahrir, Karnan dan Joyce, atas kebersamaannya selama menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB, 10) Tim sukses yang terdiri dari: Da Wazir, Adi, Fis, Bobi, Komar, Dini Kuching, Ibnu, Eko, Ima, Vita, Shinta, Bram, Dama, Noer, Yosep, Dian, Anja, Haryo, Golek dan Ika, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan selama ini, 11) Tim penyemangat, PSP 42: Novel, Leo dan ABY 42 pada khususnya: Ojan, Golek, Nisa dan Arif, yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis,
Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak serta memberikan inspirasi bagi para peneliti di bidang perikanan, khususnya di bidang kapal perikanan.
Bogor, 2 April 2011 Yopi Novita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 September 1971 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan H. Rafni Fachruddin, B.E. (Alm) dan Hj. Zustiari Thalib. Penulis menikah dengan Dr. Ir. H. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si dan telah dikaruniai seorang putri bernama Annisa Zalfa Putri Hascaryo serta seorang putra bernama Nauval Zahran Putra Hascaryo. Pendidikan formal penulis diawali di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Mekarsari di Jakarta pada tahun 19781984. Sepanjang tahun 1984-1987, penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 74 di Jakarta. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 21 di Jakarta dan lulus pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1990, melalui jalur Undangan Siswa Masuk IPB (USMI), penulis diterima sebagai mahasiswi Strata 1 di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis menyelesaikan pendidikan di Strata 1 IPB pada tahun 1994. Kemudian pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan ke Strata 2 di Program Studi Teknologi Kelautan, Pascasarjana IPB dengan dibiayai oleh beasiswa URGE-DIKTI BATCH III. Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Hingga akhirnya pada tahun 2007, dengan dibiayai oleh BPPS DIKTI, penulis melanjutkan studi ke Strata 3 Pascasarjana IPB, Mayor Teknologi Perikanan Tangkap. Selama menyelesaikan studi di Strata 3 Pascasarjana IPB, penulis telah menghasilkan tiga karya ilmiah yang berjudul: 1) Keragaan Free Surface Pada Model Palka Berbentuk Kotak dan Silinder, 2) Konsumsi Oksigen Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Ukuran Panjang 5 – 7 cm dan 3) Pengukuran Konsumsi Oksigen Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dengan Closed Respirometer Sederhana. Dua karya ilmiah pertama dipublikasi di ‘MARINE FISHERIES’ Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut, masing-maing di Vol. 1, No. 2 Edisi November 2010 dan Vol. 2, No. 1 Edisi Mei 2010 (in press). Adapun karya ilmiah ketiga dipublikasi di Jurnal Ilmu Perikanan Tropis; Vol. 13, No. 1, Oktober 2010.
Sebuah Renungan Hidup ini diibaratkan sebuah perahu, yang terbuat dari kayu terbaik, dilengkapi dengan alat-alat komunikasi dan navigasi yang lengkap dan canggih, serta mesin penggerak yang kuat dan tangguh. Demikian pulalah manusia diciptakan oleh Allah, dilengkapi dengan bakat, talenta serta kemampuan yang luar biasa, dan diberi hati nurani dan akal budi serta kebebasan untuk menjalani perahu kehidupan secara baik dan benar. Namun sehebat apapun perahu tersebut, tidak akan ada gunanya bila hanya ditambat di dermaga. Demikian pula seorang yang berilmu yang tidak pernah mengamalkan ilmunya, bagai kapal yang hanya di tambat di dermaga. Kesejatian hidup adalah berlayar mengarungi samudera, menembus badai, menghalau gelombang dan menemukan pantai harapan kebahagiaan dan keselamatan hidup. Akan ada banyak risiko dalam menjalani kehidupan. Akan ada banyak bahaya yang akan kita hadapi. Sebuah muhasabah dari Tengku Abdul Wahab: bahaya keberanian adalah melampaui batas, bahaya toleransi adalah menyebut-nyebut kebaikannya, bahaya kecantikan adalah sombong, bahaya ucapan adalah dusta, bahaya pemurah adalah berlebih-lebihan, bahaya kepandaian adalah berbuat sekehendak hati dan bahaya ilmu adalah lupa. Prestasi Prestasi ini kupersembahkan untuk Papa (alm) dan mama, Mas Budhi, Zalfa dan Zahran tercinta.
April 2011
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan kerapu merupakan salah satu produk perikanan laut yang memiliki nilai jual yang tinggi, terlebih jika dijual dalam keadaan hidup. Ekspor ikan kerapu mulai mengalami peningkatan pada tahun 2000, sebagaimana ditulis oleh Satyono dalam Majalah Trobos (2006). Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 yaitu sekitar 2.398 ton atau senilai US $ 7,6 juta, volume ekspor ini lebih besar dibandingkan dengan volume ekspor tahun 2004 yang hanya sekitar 1.552 ton atau senilai US $ 4,4 juta. Lebih lanjut Kompas.com (2009) mennginformasikan bahwa pada tahun 2008, Bali mengirim ikan kerapu hidup sebanyak 22.841 ekor dengan nilai US $ 787.052. Oleh karena itu, untuk memenuhi target ekspor, budidaya kerapu merupakan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan stok kerapu di Indonesia, dibandingkan dengan hasil tangkapan dari alam. Keberlanjutan dan keberhasilan usaha budidaya ikan kerapu sangat ditentukan oleh ketersediaan benih ikan kerapu itu sendiri secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga.
Oleh karena itu, membuka akses kepada benih hatchery
merupakan solusi. Letak panti benih dengan lokasi pembesaran biasanya sangat jauh sehingga dibutuhkan teknik pengiriman yang tepat agar benih dapat hidup sehat sampai tempat tujuan dan pasca transportasi. Saat ini pengiriman benih khususnya benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang memiliki ukuran panjang badan total (Total Length, TL) kurang dari 8 cm per ekor umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem tertutup. Transportasi sistem tertutup adalah transportasi dengan cara memasukkan benih-benih ikan ke dalam kantong plastik yang telah diisi dengan air laut dan oksigen dengan komposisi tertentu. Selanjutnya kantong-kantong berisi benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam kotak stearofoam, dan selanjutnya kotak-kotak tersebut diangkut dengan menggunakan moda angkutan darat, udara dan laut. Penerapan sistem tertutup dalam transportasi benih ikan tersebut mengakibatkan jumlah benih ikan yang dapat diangkut dalam sekali perjalanan sangat terbatas. Tidak saja dikarenakan sistem kemasan pengangkutannya saja yang terbatas dari segi ukuran, akan tetapi juga memiliki keterbatasan daya muat di moda yang ditumpanginya.
Lamanya waktu transportasi benih ikan dengan sistem tertutup tersebut, biasanya tidak lebih dari 6 jam. Walaupun sistem transportasi yang umum dilakukan untuk mengangkut benih ikan adalah dengan sistem tertutup, akan tetapi ada juga yang telah menggunakan sistem terbuka untuk mengangkut benih ikan kerapu. Pengangkutan benih ikan kerapu dengan sistem terbuka dilakukan dengan menggunakan kapal pengangkut ikan hidup (KPIH). KPIH tersebut dilengkapi dengan palka yang digunakan untuk menampung benih ikan selama perjalanan. Untuk menjaga kualitas air laut di dalam palka, maka di bagian bawah kapal dilengkapi dengan lubang untuk memasukkan air laut ke dalam palka (inlet) dan lubang untuk mengeluarkan air laut ke luar palka (outlet). Proses masuk dan keluarnya air laut ke dalam dan keluar kapal terjadi pada saat kapal melaju, sehingga sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka adalah sistem sirkulasi. Dalam pembahasan selanjutnya, KPIH tersebut disebut dengan KPIH ‘Opened hull’. Pengistilahan ini dikarenakan adanya lubang inlet dan outlet yang mengakibatkan adanya bagian kasko kapal yang terbuka. Sebenarnya, penggunaan KPIH ‘Opened hull’ sebagai moda transportasi ikan hidup telah umum dilakukan, yaitu untuk mengangkut ikan-ikan berukuran konsumsi (berkisar antara 450 – 1.000 gram per ekor untuk ikan kerapu).
Walaupun penggunakan KPIH tersebut lebih umum digunakan untuk
mengangkut ikan berukuran konsumsi, akan tetapi ada juga yang menggunakan KPIH ‘Opened hull’ untuk mengangkut benih ikan, seperti yang dilakukan oleh pemilik Keramba Jaring Apung (KJA) di Kepulauan Natuna. Benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ tersebut adalah benih ikan yang berukuran minimal 16 cm (TL) per ekor dengan berat benih ikan sebesar 50 gram per ekor. Pengangkutan benih ikan tersebut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ terkadang hanya menghasilkan nilai survival ratio sebesar 80 % saat menempuh perjalanan dari Batam ke Kepulauan Natuna. Bahkan adapula pemilik KJA di Batam yang berani mengangkut benih ikan kerapu berukuran TL kurang dari 8 cm dengan menggunakan KPIH, dimana benih tersebut diangkut dari balai pembenihan ikan kerapu di Situbondo dan dibawa ke Batam. Akan tetapi data survival ratio benih ikan dalam transportasi tersebut tidak dapat diperoleh. Kuat dugaan bahwa transportasi benih ikan berukuran TL 8 cm yang diangkut dengan KPIH ‘Opened hull’ memiliki tingkat survival ratio yang rendah. Dugaan ini mengacu pada FishVet.Inc (2000) yang menyebutkan bahwa benih ikan sangat rentan terhadap penyakit, terlebih jika benih berukuran semakin kecil. Penyakit
dapat muncul apabila kualitas air laut di habitat ikan buruk. Sistem sirkulasi yang diterapkan sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka KPIH ‘Opened hull’ mengakibatkan kualitas air laut di dalam palka seringkali berubah sesuai dengan kualitas air laut yang dilalui oleh kapal selama bergerak. Seringnya perubahan kualitas air laut yang masuk ke dalam palka mengakibatkan ikan yang terdapat di dalam palka tersebut harus seringkali melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Seringnya ikan melakukan adaptasi akan mengakibatkan ikan mengalami ‘exhausted’. Kondisi inilah yang dijadikan alasan untuk menduga rendahnya tingkat survival ratio benih ikan kerapu berukuran TL 8 cm yang diangkut dengan KPIH ‘Opened hull’. Pada kenyataannya, bagi petani budidaya pembesaran, pembelian benih ikan yang berukuran kecil lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan karena harga satu ekor benih ikan kerapu ditetapkan berdasar panjang benih ikan itu sendiri. Biasanya harga beli benih ikan adalah berkisar antara Rp. 1.200 – Rp. 1.500 per cm. Pada umumnya, pemilik KJA lebih mengutamakan membeli benih ikan berukuran kurang dari 8 cm (TL) per ekor. Sehingga diperkirakan harga beli benih ikan yang berukuran 7 cm berkisar antara Rp. 8.400 – Rp. 10.500 per ekor benih ikan. Harga ini jauh lebih murah jika mereka membeli benih ikan berukuran 16 cm per ekor, yaitu berkisar antara Rp. 19.200 – Rp. 24.000 per ekor benih. Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu diadakan moda transportasi untuk mengangkut benih ikan yang berukuran kecil dalam jumlah yang banyak dengan tingkat survival ratio yang tinggi. Moda transportasi yang memungkinkan untuk mengangkut benih ikan dalam jumlah banyak dan jangkauan transportasi yang luas adalah dengan menggunakan KPIH. Guna mewujudkan KPIH yang sesuai untuk mengangkut benih ikan kerapu yang berukuran kecil, maka tujuan akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan desain KPIH berdasarkan kajian risiko operasional yang berkaitan dengan tujuan transportasi benih ikan, yaitu mempertahankan nilai survival ratio benih ikan yang diangkutnya hingga 100 %. Pewujudan KPIH yang dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran kecil tersebut, selain diharapkan dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek dalam jumlah besar dan dengan tingkat survival ratio yang tinggi, juga diharapkan dapat mencapai lokasi budidaya pembesaran yang terdapat di pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan Rumusan RAKORNAS Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 yang menetapkan beberapa kebijakan dalam pengelolaan perikanan dan kelautan di Indonesia yaitu pemberdayaan pulau-pulau kecil di Indonesia terutama pulau-pulau kecil di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Penelitian tentang kapal perikanan telah banyak dilakukan.
Akan tetapi
penelitian yang dilakukan terhadap kapal perikanan didominasi oleh penelitian yang hanya mengkaji aspek teknis. Demikian pula saat pembangunan kapal, penentuan desain kapal lebih difokuskan pada kelaiklautan kapal ditinjau dari aspek teknis. Adapun penelitian tentang transportasi ikan hidup, didominasi oleh penelitian tentang metode transportasi dan tidak menyinggung moda transportasi. Dalam penelitian ini, akan dikaji moda transportasi berupa kapal pengangkut ikan hidup yang laiklaut secara teknis dan dengan mempertimbangkan aspek biologis yang berupa kebutuhan benih ikan selama transportasi. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menentukan tingkat risiko penggunaan KPIH ‘Opened hull’ terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran antara 5–7 cm TL dan sumber risikonya 2) Menentukan dan mengkaji langkah-langkah mitigasi risiko yang dapat meningkatkan survival ratio benih ikan kerapu bebek. 3) Menentukan desain rancangan umum KPIH yang dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek, khususnya desain yang berkaitan dengan ketahanan hidup benih ikan selama berada di dalam palka KPIH.
1.3 Perumusan Masalah Tingginya permintaan akan ikan kerapu bebek dalam kondisi hidup mengakibatkan terjadinya pengalihan pengadaan ikan kerapu bebek dari alam ke upaya budidaya ikan kerapu bebek. Kegiatan budidaya ikan kerapu bebek terdiri dari dua kegiatan yaitu budidaya pembenihan ikan dan budidaya pembesaran ikan yang biasanya berada pada lokasi yang terpisah dan berjauhan.
Sebagai contoh, saat ini lokasi
budidaya pembenihan ikan kerapu terdapat di tiga lokasi yaitu di Lampung, Situbondo dan Bali. Adapun lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu di antaranya adalah di Kepulauan Seribu, Kepulauan Natuna, Nusa Tenggara Barat dan sebagainya. Lokasi yang berjauhan tersebut mengakibatkan perlu adanya mekanisme yang tepat dalam mendistribusikan benih-benih ikan tersebut dari lokasi budidaya pembenihan ke lokasi budidaya pembesaran. Akan tetapi media transportasi yang khusus untuk mengangkut benih ikan kerapu, khususnya benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL), dalam jumlah besar dan dengan risiko kematian yang rendah belum tersedia. Dalam FAO Corporate Document Repository, penyebab kematian ikan dalam transportasi adalah disebabkan karena kurangnya konsentrasi oksigen terlarut, dan tingginya konsentrasi amoniak di dalam air. Selain itu, perubahan suhu air yang ekstrim dan terjadinya stres ikan akibat perubahan kondisi lingkungan dan keterbatasan ruang gerak ikan juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kematian ikan dalam transportasi.
Oleh karena itu, permasalahan transportasi benih ikan yang harus
dicarikan solusinya, khususnya apabila transportasi benih ikan dilakukan dengan menggunakan KPIH adalah: 1) Bagaimana cara menyediakan dan mempertahankan kualitas air laut yang sesuai dengan kebutuhan benih ikan selama transportasi.
Kualitas air laut yang
dimaksud adalah air laut dengan konsentrasi oksigen terlarut yang sesuai dengan kebutuhan benih ikan, suhu air yang tidak berfluktuasi dan kadar amoniak yang rendah. 2) Menyediakan ruang gerak yang optimal bagi benih ikan untuk menghindari terjadinya stres pada ikan, dan 3) Menyediakan palka yang mampu meredam efek free surface dari muatan yang terdapat di dalam palka KPIH. Free surface akan terjadi pada muatan yang
berupa liquid. Jenis muatan KPIH adalah muatan liquid. Hal ini disebabkan karena muatan KPIH terdiri dari ikan yang dimasukkan ke dalam air laut, sehingga sifat muatannya akan didominasi oleh sifat muatan liquid. Efek free surface akan memperburuk kualitas stabilitas kapal terlebih saat terjadi gerakan rolling. Selain itu, efek free surface diduga akan mengakibatkan benih ikan stres pada saat terjadinya pergerakan air laut saat kapal melakukan gerakan rolling. Apabila ketiga permasalahan tersebut dapat dicarikan solusinya, maka penggunaan KPIH sebagai moda angkutan benih ikan yang berukuran kecil dapat digunakan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan alternatif moda angkutan ikan hidup dengan kapasitas angkut yang besar dan tingkat risiko kematian ikan yang kecil. Pada akhirnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas budidaya kerapu di Indonesia. Terlebih jika lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu bebek tersebut berada di pulau-pulau kecil di Indonesia. 1.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan transportasi sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab perumusan masalah, maka terdapat beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Penggunaan sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut pada KPIH akan menurunkan survival ratio ikan selama transportasi, 2) Penetapan densitas benih ikan berdasarkan kebutuhan oksigen ikan akan meningkatkan survival ratio benih ikan selama transportasi, dan 3) Pembuatan desain palka yang mampu meredam efek free surface akan meningkatkan survival ratio benih ikan selama transportasi dan mencegah menurunnya kualitas stabilitas kapal.
1.6 Kerangka Pemikiran Kapal pengangkut benih ikan kerapu merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan benih ikan di lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu yang tersebar luas di wilayah Indonesia, terutama yang berada di pulau-pulau kecil yang sulit diakses melalui jalur darat maupun udara.
Penggunaan kapal pengangkut khusus
tersebut diharapkan dapat mengangkut benih ikan kerapu dalam jumlah yang besar dan dengan tingkat survival ratio yang tinggi. KPIH ‘Opened hull’ diduga dapat dijadikan sebagai moda angkutan benih ikan kerapu yang berukuran kecil. Akan tetapi dengan rendahnya tingkat survival ratio benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap KPIH ‘Opened hull’. Sebelum modifikasi dilakukan terhadap KPIH ‘Opened hull’, maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian risiko terhadap KPIH ‘Opened hull’. Risiko yang akan dikaji adalah jenis risiko operasional yang terkait dengan tujuan transportasi ikan yaitu mempertahankan kualitas hidup ikan selama transportasi.
Oleh karena itu, risiko yang akan dikaji adalah risiko yang
berkaitan dengan risiko operasional sistem pemeliharaan benih ikan di dalam kapal. Hasil kajian risiko tersebut diharapkan dapat menentukan tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai moda transportasi benih ikan kerapu berukuran kecil (TL kurang dari 7 cm).
Setelah tingkat risiko diketahui, maka
diharapkan langkah mitigasi risiko dapat ditetapkan berdasarkan jenis dampak dan probabilitas yang mengakibatkan tingginya risiko pada KPIH ‘Opened hull’. Agar langkah mitigasi risiko benar-benar dapat diterapkan sebagai acuan dalam memodifikasi KPIH ‘Opened hull’, maka perlu dilakukan kajian dan ujicoba terhadap setiap langkah mitigasi yang telah ditetapkan. Barulah kemudian desain KPIH yang sesuai untuk mengangkut benih ikan kerapu berukuran kecil dapat diwujudkan. Secara sistematis, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai
Kebutuhan benih ikan kerapu dalam jumlah banyak, ukuran dan waktu yang tepat serta biaya yang murah Lokasi budidaya pembenihan dan pembesaran ikan kerapu berjauhan
Permasalahan yang terkait dengan transportasi benih ikan kerapu bebek berukuran kecil: Moda transportasi benih ikan untuk jumlah besar, jarak jangkauan yang luas dan risiko kematian benih ikan yang rendah belum ada Moda angkutan ikan ukuran konsumsi dalam jumlah yang besar adalah: KPIH ‘Opened hull’ Permasalahan KPIH ‘Opened hull’: rendahnya survival ratio ikan selama transportasi. Diduga disebabkan karena: 1) Sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut belum sesuai dengan kebutuhan benih ikan, 2) Ketersediaan ruang gerak benih ikan belum optimal dikarenakan densitas benih ikan yang optimal belum ditetapkan 3) Desain palka yang ada belum mampu meredam efek free surface yang akan terjadi pada saat kapal melakukan gerakan rolling
Solusi bagi permasalahan KPIH ‘Opened hull’: Kajian risiko terhadap KPIH ‘Opened hull’ Penilaian tingkat risiko
Tidak
Risiko tinggi ?
Ya
Menentukan langkah mitigasi
Kajian mitigasi risiko
Ya
Penilaian ulang tingkat risiko
Risiko tinggi ? Tidak
Memodifikasi KPIH ‘Opened hull’ berdasarkan langkah mitigasi risiko
Rancangan umum KPIH khusus benih ikan Selesai
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan kerapu merupakan salah satu produk perikanan laut yang memiliki nilai jual yang tinggi, terlebih jika dijual dalam keadaan hidup. Ekspor ikan kerapu mulai mengalami peningkatan pada tahun 2000, sebagaimana ditulis oleh Satyono dalam Majalah Trobos (2006). Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 yaitu sekitar 2.398 ton atau senilai US $ 7,6 juta, volume ekspor ini lebih besar dibandingkan dengan volume ekspor tahun 2004 yang hanya sekitar 1.552 ton atau senilai US $ 4,4 juta. Lebih lanjut Kompas.com (2009) mennginformasikan bahwa pada tahun 2008, Bali mengirim ikan kerapu hidup sebanyak 22.841 ekor dengan nilai US $ 787.052. Oleh karena itu, untuk memenuhi target ekspor, budidaya kerapu merupakan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan stok kerapu di Indonesia, dibandingkan dengan hasil tangkapan dari alam. Keberlanjutan dan keberhasilan usaha budidaya ikan kerapu sangat ditentukan oleh ketersediaan benih ikan kerapu itu sendiri secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga.
Oleh karena itu, membuka akses kepada benih hatchery
merupakan solusi. Letak panti benih dengan lokasi pembesaran biasanya sangat jauh sehingga dibutuhkan teknik pengiriman yang tepat agar benih dapat hidup sehat sampai tempat tujuan dan pasca transportasi. Saat ini pengiriman benih khususnya benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang memiliki ukuran panjang badan total (Total Length, TL) kurang dari 8 cm per ekor umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem tertutup. Transportasi sistem tertutup adalah transportasi dengan cara memasukkan benih-benih ikan ke dalam kantong plastik yang telah diisi dengan air laut dan oksigen dengan komposisi tertentu. Selanjutnya kantong-kantong berisi benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam kotak stearofoam, dan selanjutnya kotak-kotak tersebut diangkut dengan menggunakan moda angkutan darat, udara dan laut. Penerapan sistem tertutup dalam transportasi benih ikan tersebut mengakibatkan jumlah benih ikan yang dapat diangkut dalam sekali perjalanan sangat terbatas. Tidak saja dikarenakan sistem kemasan pengangkutannya saja yang terbatas dari segi ukuran, akan tetapi juga memiliki keterbatasan daya muat di moda yang ditumpanginya.
Lamanya waktu transportasi benih ikan dengan sistem tertutup tersebut, biasanya tidak lebih dari 6 jam. Walaupun sistem transportasi yang umum dilakukan untuk mengangkut benih ikan adalah dengan sistem tertutup, akan tetapi ada juga yang telah menggunakan sistem terbuka untuk mengangkut benih ikan kerapu. Pengangkutan benih ikan kerapu dengan sistem terbuka dilakukan dengan menggunakan kapal pengangkut ikan hidup (KPIH). KPIH tersebut dilengkapi dengan palka yang digunakan untuk menampung benih ikan selama perjalanan. Untuk menjaga kualitas air laut di dalam palka, maka di bagian bawah kapal dilengkapi dengan lubang untuk memasukkan air laut ke dalam palka (inlet) dan lubang untuk mengeluarkan air laut ke luar palka (outlet). Proses masuk dan keluarnya air laut ke dalam dan keluar kapal terjadi pada saat kapal melaju, sehingga sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka adalah sistem sirkulasi. Dalam pembahasan selanjutnya, KPIH tersebut disebut dengan KPIH ‘Opened hull’. Pengistilahan ini dikarenakan adanya lubang inlet dan outlet yang mengakibatkan adanya bagian kasko kapal yang terbuka. Sebenarnya, penggunaan KPIH ‘Opened hull’ sebagai moda transportasi ikan hidup telah umum dilakukan, yaitu untuk mengangkut ikan-ikan berukuran konsumsi (berkisar antara 450 – 1.000 gram per ekor untuk ikan kerapu).
Walaupun penggunakan KPIH tersebut lebih umum digunakan untuk
mengangkut ikan berukuran konsumsi, akan tetapi ada juga yang menggunakan KPIH ‘Opened hull’ untuk mengangkut benih ikan, seperti yang dilakukan oleh pemilik Keramba Jaring Apung (KJA) di Kepulauan Natuna. Benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ tersebut adalah benih ikan yang berukuran minimal 16 cm (TL) per ekor dengan berat benih ikan sebesar 50 gram per ekor. Pengangkutan benih ikan tersebut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ terkadang hanya menghasilkan nilai survival ratio sebesar 80 % saat menempuh perjalanan dari Batam ke Kepulauan Natuna. Bahkan adapula pemilik KJA di Batam yang berani mengangkut benih ikan kerapu berukuran TL kurang dari 8 cm dengan menggunakan KPIH, dimana benih tersebut diangkut dari balai pembenihan ikan kerapu di Situbondo dan dibawa ke Batam. Akan tetapi data survival ratio benih ikan dalam transportasi tersebut tidak dapat diperoleh. Kuat dugaan bahwa transportasi benih ikan berukuran TL 8 cm yang diangkut dengan KPIH ‘Opened hull’ memiliki tingkat survival ratio yang rendah. Dugaan ini mengacu pada FishVet.Inc (2000) yang menyebutkan bahwa benih ikan sangat rentan terhadap penyakit, terlebih jika benih berukuran semakin kecil. Penyakit
dapat muncul apabila kualitas air laut di habitat ikan buruk. Sistem sirkulasi yang diterapkan sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka KPIH ‘Opened hull’ mengakibatkan kualitas air laut di dalam palka seringkali berubah sesuai dengan kualitas air laut yang dilalui oleh kapal selama bergerak. Seringnya perubahan kualitas air laut yang masuk ke dalam palka mengakibatkan ikan yang terdapat di dalam palka tersebut harus seringkali melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Seringnya ikan melakukan adaptasi akan mengakibatkan ikan mengalami ‘exhausted’. Kondisi inilah yang dijadikan alasan untuk menduga rendahnya tingkat survival ratio benih ikan kerapu berukuran TL 8 cm yang diangkut dengan KPIH ‘Opened hull’. Pada kenyataannya, bagi petani budidaya pembesaran, pembelian benih ikan yang berukuran kecil lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan karena harga satu ekor benih ikan kerapu ditetapkan berdasar panjang benih ikan itu sendiri. Biasanya harga beli benih ikan adalah berkisar antara Rp. 1.200 – Rp. 1.500 per cm. Pada umumnya, pemilik KJA lebih mengutamakan membeli benih ikan berukuran kurang dari 8 cm (TL) per ekor. Sehingga diperkirakan harga beli benih ikan yang berukuran 7 cm berkisar antara Rp. 8.400 – Rp. 10.500 per ekor benih ikan. Harga ini jauh lebih murah jika mereka membeli benih ikan berukuran 16 cm per ekor, yaitu berkisar antara Rp. 19.200 – Rp. 24.000 per ekor benih. Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu diadakan moda transportasi untuk mengangkut benih ikan yang berukuran kecil dalam jumlah yang banyak dengan tingkat survival ratio yang tinggi. Moda transportasi yang memungkinkan untuk mengangkut benih ikan dalam jumlah banyak dan jangkauan transportasi yang luas adalah dengan menggunakan KPIH. Guna mewujudkan KPIH yang sesuai untuk mengangkut benih ikan kerapu yang berukuran kecil, maka tujuan akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan desain KPIH berdasarkan kajian risiko operasional yang berkaitan dengan tujuan transportasi benih ikan, yaitu mempertahankan nilai survival ratio benih ikan yang diangkutnya hingga 100 %. Pewujudan KPIH yang dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran kecil tersebut, selain diharapkan dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek dalam jumlah besar dan dengan tingkat survival ratio yang tinggi, juga diharapkan dapat mencapai lokasi budidaya pembesaran yang terdapat di pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan Rumusan RAKORNAS Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 yang menetapkan beberapa kebijakan dalam pengelolaan perikanan dan kelautan di Indonesia yaitu pemberdayaan pulau-pulau kecil di Indonesia terutama pulau-pulau kecil di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Penelitian tentang kapal perikanan telah banyak dilakukan.
Akan tetapi
penelitian yang dilakukan terhadap kapal perikanan didominasi oleh penelitian yang hanya mengkaji aspek teknis. Demikian pula saat pembangunan kapal, penentuan desain kapal lebih difokuskan pada kelaiklautan kapal ditinjau dari aspek teknis. Adapun penelitian tentang transportasi ikan hidup, didominasi oleh penelitian tentang metode transportasi dan tidak menyinggung moda transportasi. Dalam penelitian ini, akan dikaji moda transportasi berupa kapal pengangkut ikan hidup yang laiklaut secara teknis dan dengan mempertimbangkan aspek biologis yang berupa kebutuhan benih ikan selama transportasi. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 4) Menentukan tingkat risiko penggunaan KPIH ‘Opened hull’ terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran antara 5–7 cm TL dan sumber risikonya 5) Menentukan dan mengkaji langkah-langkah mitigasi risiko yang dapat meningkatkan survival ratio benih ikan kerapu bebek. 6) Menentukan desain rancangan umum KPIH yang dapat mengangkut benih ikan kerapu bebek, khususnya desain yang berkaitan dengan ketahanan hidup benih ikan selama berada di dalam palka KPIH.
1.3 Perumusan Masalah Tingginya permintaan akan ikan kerapu bebek dalam kondisi hidup mengakibatkan terjadinya pengalihan pengadaan ikan kerapu bebek dari alam ke upaya budidaya ikan kerapu bebek. Kegiatan budidaya ikan kerapu bebek terdiri dari dua kegiatan yaitu budidaya pembenihan ikan dan budidaya pembesaran ikan yang biasanya berada pada lokasi yang terpisah dan berjauhan.
Sebagai contoh, saat ini lokasi
budidaya pembenihan ikan kerapu terdapat di tiga lokasi yaitu di Lampung, Situbondo dan Bali. Adapun lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu di antaranya adalah di Kepulauan Seribu, Kepulauan Natuna, Nusa Tenggara Barat dan sebagainya. Lokasi yang berjauhan tersebut mengakibatkan perlu adanya mekanisme yang tepat dalam mendistribusikan benih-benih ikan tersebut dari lokasi budidaya pembenihan ke lokasi budidaya pembesaran. Akan tetapi media transportasi yang khusus untuk mengangkut benih ikan kerapu, khususnya benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL), dalam jumlah besar dan dengan risiko kematian yang rendah belum tersedia. Dalam FAO Corporate Document Repository, penyebab kematian ikan dalam transportasi adalah disebabkan karena kurangnya konsentrasi oksigen terlarut, dan tingginya konsentrasi amoniak di dalam air. Selain itu, perubahan suhu air yang ekstrim dan terjadinya stres ikan akibat perubahan kondisi lingkungan dan keterbatasan ruang gerak ikan juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kematian ikan dalam transportasi.
Oleh karena itu, permasalahan transportasi benih ikan yang harus
dicarikan solusinya, khususnya apabila transportasi benih ikan dilakukan dengan menggunakan KPIH adalah: 2) Bagaimana cara menyediakan dan mempertahankan kualitas air laut yang sesuai dengan kebutuhan benih ikan selama transportasi.
Kualitas air laut yang
dimaksud adalah air laut dengan konsentrasi oksigen terlarut yang sesuai dengan kebutuhan benih ikan, suhu air yang tidak berfluktuasi dan kadar amoniak yang rendah. 2) Menyediakan ruang gerak yang optimal bagi benih ikan untuk menghindari terjadinya stres pada ikan, dan 3) Menyediakan palka yang mampu meredam efek free surface dari muatan yang terdapat di dalam palka KPIH. Free surface akan terjadi pada muatan yang
berupa liquid. Jenis muatan KPIH adalah muatan liquid. Hal ini disebabkan karena muatan KPIH terdiri dari ikan yang dimasukkan ke dalam air laut, sehingga sifat muatannya akan didominasi oleh sifat muatan liquid. Efek free surface akan memperburuk kualitas stabilitas kapal terlebih saat terjadi gerakan rolling. Selain itu, efek free surface diduga akan mengakibatkan benih ikan stres pada saat terjadinya pergerakan air laut saat kapal melakukan gerakan rolling. Apabila ketiga permasalahan tersebut dapat dicarikan solusinya, maka penggunaan KPIH sebagai moda angkutan benih ikan yang berukuran kecil dapat digunakan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan alternatif moda angkutan ikan hidup dengan kapasitas angkut yang besar dan tingkat risiko kematian ikan yang kecil. Pada akhirnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas budidaya kerapu di Indonesia. Terlebih jika lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu bebek tersebut berada di pulau-pulau kecil di Indonesia. 1.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan transportasi sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab perumusan masalah, maka terdapat beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 4) Penggunaan sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut pada KPIH akan menurunkan survival ratio ikan selama transportasi, 5) Penetapan densitas benih ikan berdasarkan kebutuhan oksigen ikan akan meningkatkan survival ratio benih ikan selama transportasi, dan 6) Pembuatan desain palka yang mampu meredam efek free surface akan meningkatkan survival ratio benih ikan selama transportasi dan mencegah menurunnya kualitas stabilitas kapal.
1.6 Kerangka Pemikiran Kapal pengangkut benih ikan kerapu merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan benih ikan di lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu yang tersebar luas di wilayah Indonesia, terutama yang berada di pulau-pulau kecil yang sulit diakses melalui jalur darat maupun udara.
Penggunaan kapal pengangkut khusus
tersebut diharapkan dapat mengangkut benih ikan kerapu dalam jumlah yang besar dan dengan tingkat survival ratio yang tinggi. KPIH ‘Opened hull’ diduga dapat dijadikan sebagai moda angkutan benih ikan kerapu yang berukuran kecil. Akan tetapi dengan rendahnya tingkat survival ratio benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap KPIH ‘Opened hull’. Sebelum modifikasi dilakukan terhadap KPIH ‘Opened hull’, maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian risiko terhadap KPIH ‘Opened hull’. Risiko yang akan dikaji adalah jenis risiko operasional yang terkait dengan tujuan transportasi ikan yaitu mempertahankan kualitas hidup ikan selama transportasi.
Oleh karena itu, risiko yang akan dikaji adalah risiko yang
berkaitan dengan risiko operasional sistem pemeliharaan benih ikan di dalam kapal. Hasil kajian risiko tersebut diharapkan dapat menentukan tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai moda transportasi benih ikan kerapu berukuran kecil (TL kurang dari 7 cm).
Setelah tingkat risiko diketahui, maka
diharapkan langkah mitigasi risiko dapat ditetapkan berdasarkan jenis dampak dan probabilitas yang mengakibatkan tingginya risiko pada KPIH ‘Opened hull’. Agar langkah mitigasi risiko benar-benar dapat diterapkan sebagai acuan dalam memodifikasi KPIH ‘Opened hull’, maka perlu dilakukan kajian dan ujicoba terhadap setiap langkah mitigasi yang telah ditetapkan. Barulah kemudian desain KPIH yang sesuai untuk mengangkut benih ikan kerapu berukuran kecil dapat diwujudkan. Secara sistematis, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai
Kebutuhan benih ikan kerapu dalam jumlah banyak, ukuran dan waktu yang tepat serta biaya yang murah Lokasi budidaya pembenihan dan pembesaran ikan kerapu berjauhan
Permasalahan yang terkait dengan transportasi benih ikan kerapu bebek berukuran kecil: Moda transportasi benih ikan untuk jumlah besar, jarak jangkauan yang luas dan risiko kematian benih ikan yang rendah belum ada Moda angkutan ikan ukuran konsumsi dalam jumlah yang besar adalah: KPIH ‘Opened hull’ Permasalahan KPIH ‘Opened hull’: rendahnya survival ratio ikan selama transportasi. Diduga disebabkan karena: 4) Sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut belum sesuai dengan kebutuhan benih ikan, 5) Ketersediaan ruang gerak benih ikan belum optimal dikarenakan densitas benih ikan yang optimal belum ditetapkan 6) Desain palka yang ada belum mampu meredam efek free surface yang akan terjadi pada saat kapal melakukan gerakan rolling
Solusi bagi permasalahan KPIH ‘Opened hull’: Kajian risiko terhadap KPIH ‘Opened hull’ Penilaian tingkat risiko
Tidak
Risiko tinggi ?
Ya
Menentukan langkah mitigasi
Kajian mitigasi risiko
Ya
Penilaian ulang tingkat risiko
Risiko tinggi ? Tidak
Memodifikasi KPIH ‘Opened hull’ berdasarkan langkah mitigasi risiko
Rancangan umum KPIH khusus benih ikan Selesai
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan, Waktu dan Tempat Penelitian 3.1.1 Tahapan penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap sebagaimana terlihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 terlihat bahwa penelitian diawali dengan mengkaji tingkat risiko transportasi benih ikan sistem terbuka dengan menggunakan kapal pengangkut ikan hidup (KPIH) yang ada saat ini, yaitu KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai kapal pengangkut benih ikan berukuran kecil yaitu antara 5 – 7 cm (TL). Dalam pembahasan selanjutnya, untuk mempersingkat penulisan, maka istilah benih ikan kerapu bebek berukuran kecil yaitu antara 5 – 7 cm (TL) hanya disebut dengan istilah ‘benih ikan’.
KPIH ‘Opened hull’ menerapkan sistem sirkulasi sebagai sistem
pemeliharaan kualitas air di dalam palka. Kondisi ini mengakibatkan pada bagian bawah badan kapal terdapat lubang inlet untuk memasukkan air laut dari luar badan kapal ke dalam kapal dan lubang outlet untuk mengeluarkan air laut dari dalam kapal ke luar badan kapal.
Apabila dari hasil kajian tingkat risiko menunjukkan bahwa KPIH
‘Opened hull’ memiliki risiko yang tinggi terhadap kematian benih ikan, maka untuk selanjutnya akan ditetapkan langkah mitigasi untuk mengurangi tingkat risiko kematian benih ikan. Tahap berikutnya adalah tahap kajian terhadap setiap langkah mitigasi yang disarankan.
Setelah kajian langkah mitigasi, untuk selanjutnya kembali dilakukan
kajian ulang risiko terhadap setiap hasil kajian langkah mitigasi tersebut. Apabila dari hasil kajian ulang tingkat risiko menunjukkan terjadinya penurunan tingkat risiko hingga tingkat risiko rendah, maka barulah untuk selanjutnya dibuat desain KPIH khusus untuk mengangkut benih ikan.
Mulai
Kajian risiko kapal pengangkut ikan hidup (KPIH) ‘Opened Hull’
Penilaian tingkat risiko
Risiko tinggi ?
Ya
Menentukan langkah mitigasi risiko
Kajian mitigasi risiko
Penilaian ulang tingkat risiko Tidak
Risiko tinggi ?
Ya
Tidak
Pembuatan rancangan umum KPIH hasil mitigasi risiko
Selesai
Gambar 11 Tahapan penelitian.
3.1.2 Waktu dan tempat penelitian Keseluruhan tahap penelitian sebagaimana dipaparkan dalam sub bab 3.1.1, dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu mulai bulan Oktober 2009 hingga Juli 2010.
Adapun tempat penelitian dilakukan di beberapa tempat berdasarkan kebutuhan dalam pelaksanaan tahap penelitian. Tempat penelitian tersebut adalah: 1) PPP Muara Angke dan Stasiun Kelautan IPB-Ancol di Jakarta dan PPN Palabuhanratu di Sukabumi untuk tempat melaksanakan survei lapang guna mendapatkan informasi tentang transportasi benih ikan kerapu bebek dan ikan kerapu bebek ukuran konsumsi, 2) Laboratorium Desain dan Dinamika Kapal, Bagian Kapal dan Transportasi Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB untuk tempat melaksanakan wawancara jarak jauh dengan para pelaku transportasi benih ikan kerapu bebek dan budidaya ikan kerapu bebek, eksperimen dan simulasi, serta 3) Laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB untuk tempat melaksanakan uji coba ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek. Selanjutnya paparan tentang alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, jenis dan metode pengumpulan data serta pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, dipaparkan berdasarkan tahap penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 11.
3.2
Kajian Risiko KPIH ‘Opened Hull’ dan Kajian Ulang Hasil Mitigasi Risiko KPIH ‘Opened Hull’
3.2.1 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan terdiri dari: alat tulis, tape recorder dan personal computer (PC).
Adapun bahan yang digunakan adalah berupa lembar
kuesioner yang dibutuhkan saat melakukan wawancara. 3.2.2 Jenis dan metode pengumpulan data Jenis data yang dibutuhkan adalah: 1) Sumber risiko KPIH ‘Opened hull’ terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek,
2) Jenis dan kriteria dampak terhadap risiko pengoperasian KPIH ‘Opened hull’ dan hasil kajian mitigasi KPIH ‘Opened hull’, 3) Jenis dan kriteria probabilitas terhadap risiko pengoperasian KPIH ‘Opened hull’ dan hasil kajian mitigasi KPIH ‘Opened hull’ Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan studi literatur. Wawancara dilakukan terhadap para pelaku yang berkaitan dengan masalah transportasi ikan hidup jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis) baik yang menggunakan KPIH ‘Opened hull’ maupun tidak. Adapun studi literatur dilakukan melalui internet dan perpustakaan. 3.2.3 Pengolahan dan analisis data Data-data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk tabulasi. Data-data yang diperoleh selanjutnya diolah secara deskriptif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis risiko dengan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 12. Penilaian dampak dan probabilitas dilakukan secara kualitatif (Ramli, 2010). Penilaian secara kualitatif dapat dilakukan jika ketidakpastian tinggi serta data-data yang tersedia terbatas atau tidak lengkap. Dalam pengkajian tingkat risiko pada KPIH ‘Opened hull’ sebagai moda transportasi ikan hidup dalam phase benih, data-data belum tersedia.
Hal ini dikarenakan data tentang kematian benih ikan selama
transportasi tidak pernah dibukukan. Dalam penentuan nilai dampak secara kualitatif, penilaian dilakukan dalam bentuk kata, yaitu dampak ringan (nilai 1), sedang (nilai 2) dan besar (nilai 3). Adapun penilaian probabilitas secara kualitatif dilakukan dalam bentuk kata jarang terjadi (nilai 1), kadang terjadi (nilai 2) dan sering terjadi (nilai 3). Penilaian risiko adalah dengan menggunakan tabel analisis risiko sebagaimana tertera pada Gambar 13.
Mulai
Identifikasi sumber risiko Identifikasi jenis dan kriteria dampak yang menyebabkan tingginya tingkat risiko
Identifikasi jenis dan kriteria probabilitas yang menyebabkan tingginya tingkat risiko
Penilaian dampak dan probabilitas penyebab tingginya tingkat risiko Penilaian tingkat risiko (R): R = dampak × probabilitas
Risiko tinggi?
Ya
Penentuan langkah mitigasi risiko
Tidak
Tidak dilakukan langkah mitigasi risiko
Selesai
Gambar 12 Tahapan analisis risiko pada kajian risiko KPIH ‘Opened hull’.
Dampak
Probabilitas
1
2
3
1
1
2
3
2
2
4
6
3
3
6
9
Keterangan: Risiko rendah (Rr) Risiko sedang (Rs) Risiko tinggi (Rt)
Risiko (R) = Probabilitas × Dampak
Gambar 13 Tabel analisis risiko. Padat Gambar 13 terlihat bahwa untuk nilai risiko antara 1 – 2 adalah risiko sedang (Rr), nilai risiko antara 3 – 4 adalah risiko sedang (Rs) dan nilai risiko antara 6 – 9 adalah risiko tinggi (Rt).
3.3
Kajian Mitigasi Risiko (Berdasarkan Sumber Risiko)
3.3.1 Sumber risiko: desain palka Kajian terhadap desain palka akan dilakukan secara bertahap, yaitu: (1) Kajian desain palka tahap pertama: Pengujian terhadap dua model palka yang berbeda bentuk, yaitu bentuk kotak dan silinder (Gambar 14a dan 14b). Kedua bentuk palka tersebut adalah merupakan bentuk umum bak pemeliharaan benih ikan yang biasa digunakan dalam budidaya pembenihan. Tahapan pertama ini dilakukan untuk mengkaji efek free surface pada kedua bentuk palka yang berbeda tersebut.
Keluaran yang diharapkan adalah
menentukan bentuk palka dengan efek free surface yang paling rendah. (2) Kajian desain palka tahap kedua: Pengujian terhadap dua model palka yang memiliki bentuk yang sama, yaitu bentuk model palka yang dianggap memiliki efek free surface terkecil berdasarkan hasil kajian tahap pertama. Berdasarkan hasil kajian pertama, bentuk model palka dengan efek free surface terkecil adalah model palka berbentuk kotak. Sehingga pada tahap kedua ini, efek free surface akan dikaji lebih lanjut pada model palka berbentuk kotak. Akan tetapi pada salah satu model palka kotak dilengkapi dengan
sirip peredam
(Gambar 14). Tahap kedua ini dilakukan untuk mengkaji efek free surface pada kedua
model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam maupun yang dilengkapi dengan sirip peredam. Keluaran yang diharapkan adalah untuk mengetahui pengaruh pemasangan sirip peredam terhadap efek free surface yang terjadi. (1) Alat dan bahan Alat yang digunakan pada kedua tahap penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Alat dan bahan kajian desain palka No 1.
Jenis alat yang digunakan Satu buah model palka berbentuk silinder, dengan
Tahap penelitian pertama
kedua
√
-
√
√
-
√
√
√
ukuran diameter 25 cm dan tinggi 30 cm (Gambar 14a) 2.
Satu buah model palka berbentuk kotak, dengan ukuran p × l × t = (25 × 25 × 25) cm3 (Gambar 14b)
3.
Satu buah model palka berbentuk kotak, dengan ukuran p × l × t = (25 × 25 × 25) cm3 yang dilengkapi dengan sirip peredam
yang dipasang di sekeliling dinding
dalam model palka. Lebar sirip peredam sebesar 2 cm (Gambar 15) 4.
Peranti jungkat-jungkit untuk memberikan dampak gerakan rolling kapal (Gambar 16)
5.
Video camera
√
√
6.
Stopwatch
√
√
Bahan yang digunakan dalam kedua tahap penelitian tersebut adalah: air laut dan zat perwarna merah. Pemberian warna pada air yang dimasukkan ke dalam model palka adalah agar lebih jelas profil permukaan air saat model palka digerakkan.
25 cm 30 cm
25 cm
25 cm 25 cm
(a)
(b)
Gambar 14 Model palka silinder dan kotak tanpa sirip peredam.
Sirip peredam
25 cm
15 cm 25 cm 25 cm
Gambar 15 Model palka kotak dengan sirip peredam.
(a) Tampak samping atas
(b) Tampak depan
Gambar 16 Piranti jungkat-jungkit.
(2) Jenis dan metode pengumpulan data Jenis data yang dikumpulkan dalam kedua tahap penelitian terdiri dari: 1) Profil permukaan air saat terjadi rolling, 2) Profil permukaan air selama ± 1,0 detik mulai saat kapal kembali tegak setelah terjadi gerakan rolling, 3) Waktu redam, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air untuk kembali tenang yang dihitung mulai saat palka kembali tegak setelah terjadi gerakan rolling. Pengumpulan data dalam kedua tahap penelitian dilakukan dengan cara eksperimen. Selanjutnya pelaksanaan eksperimen pada kedua tahap kajian adalah sama. Pada langkah awal, ke dalam model palka yang akan dikaji dimasukkan air laut yang telah diberi warna merah.
Ketinggian air pada model palka kotak adalah 15 cm.
Ketinggian air tersebut ditetapkan berdasarkan batas maksimal air akan keluar saat model palka diolengkan hingga sudut 10º berdasarkan hasil pra-eksperimen. Khusus untuk model palka silinder, ketinggian air tergantung pada volume air yang dimasukkan. Dimana volume air yang dimasukkan adalah sebanyak volume air laut yang terdapat di dalam model palka kotak, yaitu sebanyak 9,04 liter. Selanjutnya kedua palka yang akan diuji diletakkan di atas piranti jungkat-jungkit. Peletakkan model palka pada piranti jungkat-jungkit adalah sesuai dengan tahap kajian, dimana pada kajian desain palka tahap pertama, model palka yang diletakkan di atas jungkat-jungkit adalah model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka silinder. Adapun pada kajian desain palka tahap kedua, model palka yang diletakkan di atas jungkat-jungkit adalah model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka kotak yang telah dipasang sirip peredam.
Posisi penempatan kedua model palka yang akan dikaji, disajikan pada
Gambar 17a dan 17b. Kemudian, untuk selanjutnya piranti jungkat-jungkit tersebut dimiringkan ke kanan dan ke kiri selayaknya gerakan rolling yang terjadi pada kapal. Kemiringan jungkat-jungkit ± 10º ke kiri dan kanan dengan periode rolling 2 detik. Pengambilan data dilakukan dengan 10 kali ulangan. Khusus untuk model palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam, sirip peredam dipasang tepat pada ketinggian 15 cm, sehingga posisi sirip peredam adalah tepat di permukaan air laut yang akan dimasukkan ke dalam model palka.
Model palka kotak
Model palka silinder
(a) Tahap pertama Sirip peredam
Tanpa sirip peredam
Dengan sirip peredam
(b) Tahap kedua Gambar 17 Posisi kedua palka di atas piranti jungkat-jungkit saat eksperimen berdasarkan tahap kajian
(3) Pengolahan dan analisis data Pengolahan data dilakukan secara numerik, dengan terlebih dahulu merubah garis air yang terdapat pada dinding model palka dalam format foto menjadi grafik garis air.
Contoh ilustrasi garis pada profil permukaan air di dalam model palka serta
penempatan garis profil tersebut pada grafik, disajikan pada Gambar 18. Selanjutnya akan dihasilkan profil kemiringan permukaan air dan profil permukaan air setelah terjadi rolling dalam bentuk grafik.
Dari grafik dapat diukur sudut kemiringan
permukaan air (º) dan ketinggian riak yang timbul di permukaan air (mm). Analisis data dilakukan secara komparatif dan uji statistik.
Perbandingan
dilakukan antara profil kemiringan permukaan air dan profil permukaan air setelah terjadi rolling baik pada model palka kotak dengan model palka silinder dan model palka kotak tanpa sirip peredam dengan model palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam.
a
Keterangan:
b
a
b
a = garis air pada model palka tanpa sirdam b = garis air pada model palka dengan sirdam
Gambar 18 Ilustrasi pembuatan profil permukaan garis air. Pengujian secara statistik dilakukan dengan terlebih dahulu data ulangan dari setiap perlakuan diuji kenormalannya dengan menggunakan uji satu-contoh Kolmogorov-Smirnov. Perlakuan yang diuji adalah perbedaan desain model palka, yaitu antara model palka kotak dengan model palka silinder dan antara model palka kotak yang tidak dilengkapi sirip peredam dengan model palka yang dilengkapi sirip peredam. Apabila dari hasil uji kenormalan data, menunjukkan data menyebar normal, maka dilakukan uji anova dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel and Torrie, 1995). 3.3.2 Sumber risiko: sistem pemeliharaan kualitas air Kajian ini dilakukan secara eksperimen dengan jenis perlakuan adalah sistem pemeliharaan kualitas air yang terdiri dari: sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Dalam pelaksanaan eksperimen, ke dalam tiap model palka dimasukkan air laut sebanyak 9,04 liter dari sumber yang sama. Bentuk model palka yang digunakan adalah model palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Penggunaan desain palka tersebut adalah berdasarkan hasil kajian pada tahap sebelumnya, yaitu kajian sumber risiko yang berasal dari desain palka.
Dalam
eksperimen ini, ke dalam model palka belum dimasukkan benih ikan, jadi hanya berisi air laut saja.
(1) Alat dan bahan Alat yang dibutuhkan dalam tahap penelitian ini adalah: 1) Model palka berbentuk kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam, dengan ukuran p × l × t = (25 × 25 × 25) cm3 (Gambar 15). Model palka yang digunakan dalam eksperimen ini adalah sama dengan model palka yang digunakan dalam kajian mitigasi dengan sumber risiko adalah desain palka. 2) Video camera 3) DO meter 4) Refraktometer 5) pH meter 6) termometer air (water thermometer) 7) Instalasi sistem pemeliharaan kualitas air, yang terdiri dari: - aerator - Air stone dan selang instalasi udara - sistem filter (karbon aktif, gravel dan dacron) (Gambar 19) - water pump (700 liter/jam)
ke model palka
dacron karang
arang karbon pompa air Keterangan:
dari model palka arah aliran air di dalam bak filter
Gambar 19 Bak filter dan arah aliran air di dalamnya. Filter yang digunakan terdiri dari filter fisik yaitu dacron dan filter kimia yaitu karang (gravel) dan arang karbon. (2) Jenis dan metode pengumpulan data Jenis data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan kajian adalah: 1) Jumlah oksigen terlarut pada setiap perlakuan (sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi) (mg O2/liter) 2) Suhu air laut pada setiap perlakuan (sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi) (ºC) 3) Nilai ph air laut pada setiap perlakuan (sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi) 4) Konsentrasi NH3 un-ionized dalam air laut pada setiap perlakuan (sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi) (mg/liter) Berdasarkan kajian pustaka (FishVet.Inc, 2000), oksigen terlarut dan suhu air adalah merupakan faktor fisik lingkungan yang dapat mengakibatkan ikan terkena dampak stres. Adapun nilai pH dan NH3 un-ionized adalah merupakan faktor kimia lingkungan yang dapat mengakibatkan ikan terkena dampak stres. Sebenarnya selain keempat faktor yang diukur dalam eksperimen ini, masih terdapat faktor-faktor lainnya yang dapat mengakibatkan ikan terkena dampak stres.
Akan tetapi, berdasarkan faktor
penyebab kematian ikan dalam transportasi sebagaimana yang tertera dalam Delince et al (1987), hanya keempat faktor itu saja yang menjadi faktor penyebab kematian ikan dalam transportasi. Selain suhu air laut, pengukuran suhu juga dilakukan terhadap suhu ruangan. Pengukuran faktor fisik dan kimia air laut (kecuali konsentrasi NH3 un-ionized) di dalam model palka dan suhu ruang dilakukan setiap empat jam sekali selama 24 jam. Pengukuran selama 24 jam ini dimaksudkan untuk melihat kondisi kestabilan ketiga parameter yang diukur. Khusus untuk pengukuran NH3 un-ionized, diperoleh melalui pengambilan contoh air dari masing-masing model palka setiap 8 jam sekali selama 24 jam pengamatan, yaitu di awal, tengah dan akhir pengamatan. Desain percobaan dengan sistem pemeliharaan kualitas air sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 20 - Gambar 22.
aerator
aerator
(a) Tampak samping
(b) Tampak atas
air stone
Gambar 20 Model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi.
Pipa inlet
Model palka
Bak filter
Pipa outlet
(a) Tampak samping Pipa inlet
Model palka
Bak filter
Pipa outlet
(b) Tampak atas Gambar 21 Model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi.
Pipa inlet
Model palka
Bak filter
aerator Pipa outlet
Air stone
(a) Tampak samping
Model palka Pipa inlet
aerator Bak filter
Pipa outlet Model palka
(b) Tampak atas
Gambar 22 Model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi.
(3) Pengolahan dan analisis data Data konsentrasi oksigen terlarut, pH, suhu air, NH3 un-ionized dan suhu ruang selama 24 jam atau 1 hari pengamatan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Selanjutnya data-data tersebut diolah secara matematis untuk mendapatkan nilai kisaran dan rata-rata. Analisis data dilakukan secara komparatif dan uji statistik.
Perbandingan
dilakukan antara hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut, pH, suhu air pada ketiga sistem pemeliharaan kualitas air yang dikaji. Untuk uji statistik, terlebih dahulu data ulangan dari setiap perlakuan diuji kenormalannya dengan menggunakan uji satucontoh Kolmogorov-Smirnov.
Perlakuan yang diuji adalah sistem aerasi, sistem
resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Apabila dari hasil data menyebar normal, maka dilakukan uji anova dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun untuk menentukan sistem pemeliharaan yang lebih baik di antara ketiga sistem tersebut, digunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) (Steel and Torrie, 1995). 3.3.3 Sumber risiko: densitas benih ikan Kajian yang dilakukan untuk menentukan densitas benih ikan dilakukan dengan menggunakan persamaan matematik. Prinsip penentuan densitas benih ikan adalah berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen per individu ikan serta ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Oleh karena itu, sebelum ditentukan densitas benih ikan dalam suatu volume air, maka terlebih dahulu dilakukan eksperimen untuk mendapatkan tingkat konsumsi benih ikan kerapu bebek. Benih ikan kerapu bebek yang diukur tingkat konsumsi oksigennya adalah benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran panjang badan total (Total Length/TL) antara 5 – 7 cm. Sistem pengukuran konsumsi oksigen benih ikan adalah dengan mengukur konsentrasi oksigen terlarut dalam tabung respirometer.
Perlakuan yang dilakukan
adalah berupa perbedaan kondisi pengukuran, yaitu: Kondisi 1:
pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada tabung respirometer yang tidak berisi benih ikan (Kondisi kosong, Kk)
Kondisi 2:
pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada tabung respirometer yang berisi 1 ekor benih ikan (individu ikan= Ii), dan
Kondisi 3:
pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada tabung respirometer yang berisi 3 ekor benih ikan (Ikan berkelompok= Ik)
Sebelum dilakukan pengukuran, sebanyak 80 ekor benih ikan kerapu bebek dimasukkan ke dalam akuarium yang berukuran p × l × t = (60 × 30 × 30) cm3 yang diisi air laut hingga ketinggian 20 cm. Salinitas dan suhu air laut yang terukur adalah sebesar 30 ‰ (1,022 ton/m3) dan ± 28 ºC. Pengkondisian benih ikan kerapu di dalam akuarium tersebut dilakukan selama satu minggu. Pengukuran kondisi kosong dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang diakibatkan oleh respirasi ikan dan bukan organisme hidup lainnya yang mungkin saja terdapat di dalam tabung respirometer tersebut. Adapun penggunaan tiga ekor benih ikan pada pengukuran kondisi 3 (yaitu kondisi ikan kelompok = Ik) adalah mengacu pada kepadatan benih ikan kerapu saat pengkondisian di akuarium penampungan sebelum eksperimen dilakukan, yaitu sebesar 1,67 ekor/liter. Pengukuran konsumsi oksigen ikan pada perlakuan Ii dan Ik dilakukan masingmasing sebanyak tiga kali ulangan.
Lamanya waktu setiap pengukuran konsumsi
oksigen benih ikan adalah 2 jam, dengan setiap 5 menit sekali dilakukan pengambilan data yang terdiri dari DO, suhu air laut, pH dan suhu ruang. Setiap benih ikan yang akan dimasukkan ke dalam tabung respirometer, dipuasakan terlebih dahulu minimal selama 24 jam. Pemuasaan ini dimaksudkan untuk mengosongkan usus benih ikan, sehingga selama pengukuran tidak ada muntahan makanan yang akan mencemari air laut di dalam tabung respirometer. Pemuasaan ini juga dilakukan pada proses transportasi benih ikan yang ada saat ini. Dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Yamin dan Palinggi (2007), bahwa jumlah muntahan ikan paling banyak terjadi saat ikan setelah 9 jam makan. Selanjutnya jumlah muntahan cenderung menurun seiring dengan semakin lama waktu setelah pemberian pakan. Bahkan sampai 24 jam setelah makan masih ditemukan ikan yang muntah walaupun volume muntahannya tidak sebanyak waktu-waktu sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa sampai 24 jam setelah makan, pada lambung ikan masih terdapat sejumlah sisa pakan dan belum seluruhnya dicerna dalam usus.
(1) Alat dan bahan Alat yang digunakan terdiri atas: 1 unit respirometer (closed hull) (Gambar 23), yang terdiri dari: -
dua buah tabung kaca yang masing-masing tabung berukuran 2,04 liter, yang selanjutnya ke dalam kedua tabung tersebut diisi penuh dengan air laut
-
DO meter, merk Lutron: tipe YK-2001PH (1 unit)
-
Waterpump dengan kekuatan: 400 liter/jam (water flow) (1 unit)
-
Aerator (1 unit)
-
Selang dengan ukuran diamater sebesar 5 mm
-
1 unit video recorder
Bahan yang digunakan terdiri dari air laut dan benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7
cm (TL) (Gambar 24).
Benih ikan yang digunakan dalam setiap
pengukuran konsentrasi oksigen terlarut diambil secara acak dari dalam aquarium yang berisi 80 ekor benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL). Pada setiap pengukuran konsentrasi oksigen terlarut menggunakan benih ikan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar kondisi awal setiap benih ikan yang diukur adalah sama.
Tutup tabung
Tabung respirometer Keterangan:
arah aliran air
Gambar 23 Respirometer (closed hull)
Gambar 24 Benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Klasifikasi kerapu bebek (Cromileptes altivelis) (Valenciennes, 1828 dalam Froese and Pauly, 2000): Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Class: Actinopterygii Ordo: Perciformes Family: Serranidae Genus: Cromileptes Species: Cromileptes altivelis
(2) Jenis dan metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan berasal dari hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek saat sendirian (Ii) dan tidak sendirian (Ik) selama pengukuran. Data tersebut adalah: 1) Konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam air (mg O2/liter) 2) Kandungan NH3 un-ionized (mg/liter) dalam air saat awal dan akhir pengukuran 3) Suhu air laut dalam respirometer (ºC) 4) Nilai pH 5) Suhu ruang (ºC)
6) Tingkah laku ikan berdasarkan: lamanya waktu bukaan operculum, aktivitas dan posisi ikan selama di dalam tabung respirometer. Pengambilan data yang terdiri dari konsentrasi DO, suhu air dan suhu ruang serta nilai pH dilakukan setiap lima menit sekali selama 2 jam. Adapun data NH3 unionized diperoleh dengan cara mengambil contoh air laut di awal dan di akhir pengukuran.
(3) Pengolahan dan analisis data Khusus data konsentrasi DO yang diperoleh, untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan persamaan Schreck dan Moyle (1990), guna memperoleh nilai laju konsumsi oksigen ikan. Persamaan yang digunakan adalah: ..................................................................... di mana: KO DO0 DO1 V T
= = = = =
(1)
kecepatan konsumsi O2 (mg O2/menit) oksigen terlarut saat awal pengukuran (mg O2/liter) oksigen terlarut saat akhir pengukuran (mg O2/liter) Volume air dalam tabung respirometer (liter) waktu pengukuran (menit)
Adapun data lainnya (kecuali data tingkah laku ikan) disajikan dalam bentuk grafik untuk dikaji perubahannya selama waktu pengamatan. Pengolahan data tingkah laku ikan dilakukan dengan cara mendeskripsikan tingkah laku ikan yang terdiri dari aktivitas, posisi dan lamanya waktu yang dibutuhkan ikan untuk membuka dan menutup operculum. Analisis data dilakukan dengan cara numeric-comparative.
Data yang
dibandingkan adalah data suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut, konsumsi oksigen ikan serta NH3 un-ionized pada dua kondisi yaitu kondisi Ii dan Ik. Perbandingan dilakukan dengan cara tampilan grafik dan atau tabulasi.
Analisis statistik juga
dilakukan untuk melihat beda nyata antara kontribusi suhu di air yang dihasilkan dan nilai konsumsi oksigen yang digunakan oleh individu ikan dan individu ikan pada kondisi berkelompok. Perlakuan adalah individu ikan saat sendiri (kondisi Ii) dan
individu ikan saat berkelompok (kondisi Ik). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk membuktikan adanya perbedaan perlakuan. Perlakuan yang dimaksud adalah hasil pengukuran pada saat kondisi Ii dan Ik (Steel and Torrie, 1995). Nilai tingkat konsumsi benih ikan kerapu bebek yang diperoleh pada akhirnya digunakan untuk menentukan densitas benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5-7 cm (TL) dalam satu liter air laut.
Penentuan densitas benih ikan dilakukan dengan
menggunakan persamaan:
DB =
JO2 × Vol sw KBO2
......................................................................................... (2)
di mana: DB = Densitas benih (ekor/liter) JO2 = Jumlah O2 yang terkandung dalam 1 liter air laut (mg O2/liter) KBO2 = Jumlah O2 yang dibutuhkan oleh 1 ekor benih ikan kerapu (mg O2/ekor) Volsw = volume air laut yang terdapat dalam 1 unit model palka (liter) Hasil kajian mitigasi risiko untuk selanjutnya diuji coba dalam simulasi transportasi benih ikan kerapu bebek. 3.4
Uji Coba Hasil Mitigasi Risiko dalam Simulasi Transportasi Benih Ikan Kerapu Bebek Pelaksanaan uji coba adalah dengan cara eksperimen dalam skala laboratorium.
Materi uji coba terdiri dari 4 unit model palka berbentuk kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam, yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air dan dengan densitas benih ikan sebesar 6,4 ekor/liter. Penggunaan materi uji coba tersebut adalah berdasarkan hasil kajian mitigasi risiko yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu pada kajian sumber risiko yang berasal dari desain palka, sistem pemeliharaan kualitas air dan densitas benih ikan.
Uji coba ini
dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Melihat kinerja sistem pemeliharaan kualitas air terutama saat terjadi gerakan rolling kapal, 2) Melihat dampak tingkah laku ikan pada saat dan sesudah gerakan rolling kapal, dan
3) Memastikan ketepatan penentuan densitas benih ikan berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen benih ikan.
3.4.1 Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam uji coba adalah terdiri dari: 1) Model palka kotak ukuran p × l × t = (25 × 25 × 25) cm3 (yang dilengkapi dengan sirip peredam) sebanyak 4 unit (Gambar 15) 2) Bak filter dan perlengkapannya sebanyak 1 unit (Gambar 19) 3) Aerator sebanyak 2 unit 4) Water pump (700 liter/jam) 5) Potongan model kapal (bagian tengah kapal) ukuran L × B × D = (120 × 80 × 35) cm3 sebanyak 1 unit (Gambar 25) 6) Stopwatch sebanyak 1 unit 7) DO meter (untuk mengukur konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan pH) 8) Thermometer ruang 9) Video camera 10) Digital Camera
Gambar 25 Potongan model kasko kapal.
Adapun bahan penelitian yang digunakan adalah benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran antara 5-7 cm (TL) dan air laut. Jumlah ikan yang akan diikutkan dalam keseluruhan uji coba adalah sebanyak 700 ekor benih ikan kerapu bebek.
Dimana dalam satu unit percobaan akan digunakan sebanyak 232 ekor benih ikan yang akan dimasukkan ke dalam 4 unit model palka, sehingga satu unit model palka berisi 58 ekor ikan. 3.4.2 Jenis dan metode pengumpulan data Data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan uji coba adalah: 1) Rasio jumlah ikan yang bertahan hidup terhadap total jumlah ikan di dalam model palka. 2) Parameter fisik air laut di dalam model palka, yang terdiri dari: konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan suhu air. 3) Parameter kimia air laut di dalam model palka, yang terdiri dari: pH dan NH3 unionized). 4) Tingkah laku ikan berdasarkan jenis aktivitas yang dilakukan serta posisi ikan di dalam model palka. 5) Parameter fisik dan kimia air laut serta tingkah laku ikan sebelum dan sesudah dilakukan simulasi gerakan rolling kapal. Data dikumpulkan dari hasil pengukuran selama eksperimen dengan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 26. Sebelum dilakukan uji coba ketahanan hidup ikan selama 48 jam, sebanyak 700 ekor benih ikan kerapu bebek dimasukkan ke dalam 4 unit aquarium yang berukuran p × l × t = (60 × 30 × 30) cm3 yang diisi air laut hingga ketinggian 20 cm. Hingga masing-masing akuarium berisi 175 ekor benih ikan kerapu bebek. Salinitas dan suhu air laut sebesar 30 ‰ (1,022 ton/m3) dan ± 28 ºC. Pengkondisian benih ikan kerapu di dalam akuarium tersebut ± selama satu minggu. Pada pelaksanaan uji coba, contoh uji benih ikan yang digunakan pada setiap kali perlakuan uji coba ketahanan hidup benih ikan adalah individu benih ikan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar kondisi awal setiap contoh uji benih ikan yang diukur relatif sama. Sebelum uji coba dilakukan,
benih ikan yang akan diuji coba, dipuasakan
terlebih dahulu minimal selama 24 jam. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, pemuasaan ini dimaksudkan untuk mengosongkan usus benih ikan. Hal ini
dimaksudkan agar selama pengukuran tidak ada muntahan makanan yang akan mencemari air laut di dalam tabung respirometer. Pemuasaan ini juga dilakukan pada proses transportasi benih ikan.
Mulai
Media sebagai badan kapal diletakkan di atas permukaan air dan dibiarkan mengapung Persiapan model palka dan bak filter dan kemudian ditempatkan ke dalam model kasko kapal (Gambar 27) Pengisian air laut ke dalam bak model palka Pengoperasian sistem pemeliharaan kualitas air pada model palka Pengisian benih ikan kerapu bebek ke dalam bak model palka
Benih ikan kerapu telah dipuasakan 24 jam sebelum percobaan di dalam akuarium penampungan
Pengamatan hingga 2 hari: selama pengamatan model kasko kapal diolengkan hingga 25º ke kiri dan ke kanan selama 20 detik dan kemudian dilepas hingga kapal(Survival akhirnya ratio) berhenti. Pengolahan danSimulasi rolling dilakukan setiap analisis data 8 jam sekali Selesai
Data yang dikumpulkan saat kapal diolengkan: jumlah gerakan oleng model kasko kapal saat diolengkan, jumlah gerakan oleng dan waktu redam mulai saat gerakan rolling dihentikan hingga kapal kembali tenang dan kembali ke posisi tegak semula
Keterangan: Arah tahapan eksperimen Informasi tambahan
Gambar 26 Diagram ilustrasi tahapan eksperimen.
Gambar 27 Penempatan model palka dan sistem pemeliharaan di dalam model kasko kapal. Selama percobaan 48 jam, pengambilan data oksigen terlarut, pH, suhu air dan suhu ruang dilakukan setiap 4 jam sekali. Adapun pengambilan sampel air dilakukan di awal uji coba, yaitu sebelum ikan dimasukkan ke dalam model palka dan di akhir uji coba yaitu setelah ikan dikeluarkan dari dalam model palka. Sampel air selanjutnya diukur konsentrasi NH3 nya (un-ionized). Uji coba untuk melihat pengaruh simulasi gerakan rolling model kapal terhadap parameter fisik dan kimia air laut serta tingkah laku ikan di dalam palka, dilakukan dengan cara mengolengkan model kapal selayaknya gerakan rolling kapal. Simulasi gerakan rolling kapal dilakukan setiap 8 jam sekali, dengan kemiringan sudut oleng ke kiri dan ke kanan masing-masing sebesar 25º.
Proses mengolengkan model kapal
dilakukan selama 20 detik, sehingga dalam 20 detik dihasilkan rata-rata 20 gerakan rolling. Tiap satu gerakan rolling tersebut memiliki periode oleng selama 1 detik. Pengolengan model kasko kapal dilakukan dengan cara menekan salah satu sisi model kasko kapal hingga kemiringan yang ditentukan (Gambar 28). Pengambilan data untuk melihat dampak simulasi gerakan rolling dilakukan sebelum dan sesudah simulasi dilakukan. Data yang diambil saat sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling kapal terdiri dari konsentrasi oksigen terlarut, suhu air laut dan tingkah laku ikan. Khusus untuk dampak simulasi gerakan rolling kapal terhadap konsentrasi oksigen terlarut, selain dilakukan pada model palka yang berisi benih ikan,
pengukuran juga dilakukan pada satu unit model palka yang hanya berisi air laut. Model palka yang hanya berisi air laut juga ditempatkan di dalam model kasko kapal yang sama dalam waktu yang bersamaan.
ditekan
25º θ
Gambar 28 Ilustrasi pengolengan model kasko kapal. Dalam simulasi transportasi, hanya gerakan rolling kapal saja yang diimplementasikan dalam simulasi. Pada kenyataannya, terdapat enam gerakan bebas kapal (Bhattacharyya, 1978), yaitu gerakan rolling, heaving, pitching, yawing, surging dan swaying. Keenam gerakan tersebut tidak terjadi sendiri-sendiri akan tetapi terjadi dengan gerakan kopel antara dua atau lebih dari dua gerakan. Akan tetapi dari keenam gerakan kapal tersebut, gerakan rolling merupakan gerakan yang paling sering dan mudah terjadi dibandingkan dengan lima gerakan kapal lainnya. 3.4.3 Pengolahan dan analisis data Data tingkah laku ikan diolah berdasarkan posisi keberadaan ikan di dalam model palka dan aktivitas ikan selama pengamatan. Penentuan posisi keberadaan ikan di dalam model palka adalah: i) di dasar (kode: dasar), ii) di tengah (kode: tengah) dan iii) di permukaan (kode: permukaan). Adapun penentuan aktivitas ikan adalah: i) diam tanpa menggerakkan sirip (kode: diam), ii) hanya menggerakkan sirip (kode: menggerakkan sirip) dan iii) berenang kecil (kode: berenang kecil). Penggunaan istilah ‘diam’ adalah untuk benih ikan yang tidak melakukan gerakan apapun kecuali gerakan membuka tutup mulut.
Kemudian penggunaan istilah ‘hanya menggerakkan sirip’
adalah untuk benih ikan yang hanya menggerakkan siripnya saja tanpa terjadi perpindahan tempat. Adapun penggunaan istilah ‘berenang kecil’ adalah untuk benih ikan yang menggerakkan siripnya dengan disertai perpindahan posisi yang tidak lebih jauh dari panjang tubuhnya. Jumlah benih ikan berdasarkan posisi dan aktivitas benih ikan yang teramati, selanjutnya disajikan dalam bentuk diagram batang (bar chard). Data yang terdiri dari konsentrasi oksigen terlarut, pH, suhu air dan suhu ruang disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat perubahan nilainya pada saat pengamatan selama 48 jam. Nilai Survival ratio (SR) ikan diperhitungkan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: SR = dimana: SR N1 N0
N1 ×100% ............... ................................................................. . (3) N0 = Survival Ratio = Jumlah ikan hidup di akhir percobaan = Jumlah ikan hidup di awal percobaan
Analisis data dilakukan secara descriptive-comparative untuk menjelaskan keadaan benih ikan kerapu bebek dan kondisi air laut yang menyertainya selama 48 jam eksperimen. 3.5 Penentuan Rancangan Umum KPIH ‘Closed hull’ (Hasil Mitigasi Risiko) 3.5.1 Alat dan bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa 1 unit personal computer (PC) yang dilengkapi dengan program Excel dan Maxsurf. Adapun bahan yang digunakan adalah berupa data-data yang diperoleh dari hasil kajian mitigasi risiko yang terdiri dari jenis dan berat muatan serta luasan free surface. 3.5.2 Jenis dan metode pengumpulan data Data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan kajian pada tahap ini adalah: 1) Jenis dan berat muatan yang akan ditempatkan di atas kapal.
2) Luas permukaan palka kapal yang ditutupi oleh liguid. 3) Dimensi kapal pembanding. Dimensi kapal pembanding yang digunakan adalah dimensi dari beberapa kapal cargo khususnya yang mengangkut liquid cargo, seperti kapal tanker atau kapal pengangkut ikan hidup sistem terbuka (opened hull). Data pertama dan kedua diperoleh berdasarkan hasil kajian pada bab 5. Adapun data ketiga diperoleh dengan cara studi literatur. 3.5.3
Pengolahan dan analisis data Pengolahan data untuk mengkaji desain kapal, dilakukan dengan menggunakan
perhitungan rasio dimensi utama dan perhitungan naval architecture (Fyson, 1985). Perhitungan rasio dimensi utama yang digunakan terdiri dari: 1) Rasio antara panjang kapal (Lpp) dengan lebar kapal (B) 2) Rasio antara panjang kapal (Lpp) dengan tinggi kapal (D) 3) Rasio antara lebar kapal (B) dengan tinggi kapal (D) Adapun perhitungan naval architecture digunakan untuk menghitung parameter hidrostatik kapal.
Perhitungan naval architecture yang digunakan menggunakan
peraturan sympson (Sympson’s rule). Beberapa perhitungan naval architecture yang digunakan dapat dilihat pada persamaan 4 sampai dengan 21. Water plane area (m2), dengan Sympson I: Aw = h/3 (Y0 + 4Y1 + 2Y2 + …. + 4Yn + Yn+1) .................................... ....
(4)
Keterangan: h = jarak antar ordinat pada WL tertentu Yn = lebar pada ordinat ke-n (m) Volume displacement (m3), dengan Sympson I: ∇ = h/3 (A0 + 4A1 + 2A2 + …. + 4An + An+1) ..........................................
(5)
Keterangan: An = luas pada WL ke-n (m2) Ton displacement (ton): ∆=∇x
δ
............................................................................................
(6)
Keterangan: δ = densitas air laut (1,025 ton/m3) Coefficient of Block (Cb):
∇ L× B×D
Cb =
................................................................................
(7)
Coefficient of Midship (C⊗):
C⊗ =
A⊗ ....................................................................... ...... B × D
(8)
Keterangan: A⊗ = luas pada tengah kapal (m2) Coefficient of Water plan (Cw): =
Cw
Aw L × B
................................................................................
(9)
Coefficient of Prismatic (Cp):
Cp =
Cb ∇ = A⊗ × L C⊗
..............................................................................
(10)
Coefficient of Vertical prismatic (Cvp):
Cvp =
Cb ∇ = .................................................................... ........ Aw × d Cw
(11)
Ton per centimeter immerssion (TPC), (ton/cm): TPC = Aw
100
× 1,025 .................................................................. .......
(12)
Jarak titik apung (KB), (meter):
(
KB = 1 2,5d − ∇ 3 Aw
)
............................................................... .......
(13)
Jarak titik apung-metacenter (BM), (meter): BM = I
∇
................................................................................ ............
(14)
Keterangan: I = Moment Inertia Jarak metacenter (KM), (meter):
KM = KB + BM ........................................................................... ....
(15)
Jarak titik apung – metacentre longitudinal (BML), (meter): BML = I
∇
................................................................................. ..........
(16)
Jarak lunas – metacentre longitudinal (KML), (meter):
KML = KB + BML .......................................................................
....
(17)
I ................................................................................................. ∆
(18)
Jarak lunas – gravity (KG), (meter):
KG =
Jarak gravity – metacentre (GM), (meter):
GM = KM − KG ........................................................................ ........
(19)
Selain persamaan di atas, diperlukan juga beberapa persamaan untuk menghitung kapasitas internal kapal. Perhitungan kapasitas internal mengacu pada Nomura and Yamazaki (1977) sebagai berikut: 1) Kapasitas tangki bahan bakar: Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan = laju konsumsi bahan bakar × kekuatan mesin (HP) × jam pemakaian Laju konsumsi bahan bakar untuk mesin diesel (jenis marine engine) adalah sebesar 0,22 kg/HP/jam. Berat jenis bahan bakar untuk mesin diesel jenis marine engine adalah sebesar 920 kg/m3. Sehingga volume tangki bahan bakar yang dibutuhkan adalah: ........................................
(20)
2) ................................................................................................ Kapasitas tangki pelumas: Untuk mesin diesel jenis marine engine = 0,03 × jumlah bahan bakar yang digunakan. 3) ................................................................................................ Tangki tawar: Kebutuhan air tawar tiap orang adalah sebesar 4 liter/hari/orang. Maka volume tangki air tawar =
................
(21)
air
Selanjutnya pengolahan data untuk mengkaji efek free surface pada palka yang dilengkapi maupun yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam, dilakukan dengan menggunakan formula yang disampaikan oleh Lewis (1988). Efek free surface yang dikaji meliputi: 1) Efek free surface terhadap tinggi metacentre: ...............................
(22)
= correction of metacentric height = momen inertia dari permukaan liquid = dari liquid
dimana: δ ∆
= ton displacement , dimana: l = panjang tangki b = lebar tangki
2) Efek free surface terhadap lengan penegak (Righting arm, Pengurangan
)
..............................................
(23)
dimana: d = centre of gravity of the liquid to shift through a certain distance w = berat liquid g = titik berat tiap muatan Selanjutnya,
dikenal sebagai moment of transference. Oleh karena itu,
maka:
..............................................................................
(24)
dimana: C = faktor untuk moment of transference
Pengolahan data untuk mengestimasi kualitas stabilitas kapal pengangkut benih ikan kerapu bebek yang menggunakan sirip peredam di sisi dalam palka dan yang tidak menggunakan sirip peredam, dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (IMO, 1995):
T=
2CB GM
.....................................................................................
dimana: T
= rolling period (detik)
(25)
C
= 0,373 + 0,023 (B/d) – 0,043 (L/100)
GM = radius metacentric (m) B = lebar kapal (m)
Pada Gambar 29 disajikan ilustrasi stabilitas kapal pada sudut kemiringan yang besar.
M
M θ
.
v
h
. .
G B
h1
.
G
Z
Righting Z lever
θ
B1
T B
R B1
weight
Gambar 29 Stabilitas pada sudut kemiringan yang besar.
GZ = BR – BT (dimana BR adalah horizontal transfer of the centre of buoyancy), dan the moment of transfer of the wedges adalah:
v × hh1 = BR × ∇ .............................................................................
(26)
dimana: v = volume of wedge; hh1 = horizontal transfer of wedge ∇ = displacement of volume ∴ BR =
v × hh1 ............................................................................... ∇
dimana BT = BG sin θ
(27)
v × hh1 − BG sin θ ........................................................... ∇
(28)
v × hh1 − BG sin θ ............... ∴ Moment of statical stability = ∆ ∇
(29)
∴ GZ =
Analisis data dilakukan untuk mengkaji efek free surface terhadap kualitas stabilitas kapal. Analisis dilakukan secara numeric-comparative terhadap nilai
,
dan rolling period pada tiga kondisi kapal, yaitu: 1) Kapal dengan kondisi muatan tanpa free surface (kode: tanpa FS) 2) Kapal dengan kondisi muatan memiliki free surface (kode: Full FS) 3) Kapal dengan kondisi muatan memiliki free surface yang ditahan oleh sirip peredam (kode: FS-Sirdam)
4
KAJIAN RISIKO KPIH ‘Opened Hull’
KPIH ‘Opened hull’ telah digunakan sebagai moda untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek. Transportasi benih ikan dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ adalah merupakan sistem transportasi terbuka. Seperti yang dilakukan oleh beberapa transportir benih ikan kerapu di Kepulauan Natuna dan Batam. Akan tetapi transportasi benih ikan kerapu bebek dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’ masih menghasilkan survival ratio benih ikan yang rendah yaitu sekitar 80 % atau bahkan kurang. Umumnya, transportasi benih ikan berukuran kurang dari 10 cm (TL) per ekor dilakukan dengan ‘Closed system’, yaitu benih ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah berisi air laut dan oksigen dengan komposisi tertentu. Selanjutnya kantong-kantong plastik tersebut dimasukkan ke dalam kotak sterofoam dan kemudian ditumpangkan pada moda transportasi umum, seperti pesawat udara untuk jarak jauh serta kapal laut dan mobil untuk jarak pendek. Desain KPIH ‘Opened hull’ yang digunakan oleh transportir di Batam dapat dilihat pada Gambar 30.
2,8 m
2,1 m
16,8 m
Skala 1 : 146 Gambar 30 Desain KPIH ‘Opened hull’ (contoh di Batam).
Pada saat KPIH ‘Opened hull’ digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran minimal 16 cm (TL), dalam perjalanan dari Batam ke Kepulauan Natuna (kurang lebih 2 jam perjalanan), kematian benih ikan sering terjadi dengan tingkat kematian berkisar antara 5 – 25 %. Sehingga timbul pertanyaan, apakah KPIH ‘Opened hull’ dapat digunakan sebagai moda untuk mengangkut benih ikan yang berukuran lebih kecil lagi dari ukuran TL= 16 cm? FishVet.Inc (2000), menyebutkan bahwa benih ikan sangat rentan terhadap penyakit, terlebih jika benih berukuran semakin kecil. Apabila benih ikan telah terinfeksi oleh virus atau bakteri, maka ketahanan hidup ikan menjadi berkurang yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian pada saat transportasi maupun pasca transportasi. Oleh karena itu, untuk mencegah terjangkitnya benih ikan oleh virus atau bakteri penyakit, kualitas air dimana benih ikan tersebut ditempatkan perlu dijaga. Keberadaan virus dan bakteri penyakit tersebut sangat ditentukan oleh kualitas air itu sendiri. Selain itu, benih ikan yang berukuran kecil lebih rentan terhadap perubahan fisik maupun kimia lingkungan air yang terjadi secara berfluktuasi. Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai kapal pengangkut benih ikan yang berukuran lebih kecil dari 16 cm (TL), khususnya benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran antara 5 – 7 cm (TL). Mengapa ditujukan kepada benih ikan berukuran antara 5-7 cm (TL)?
Hal ini
disebabkan karena harga benih ikan ditentukan persentimeter panjang tubuh benih ikan, yaitu berkisar antara Rp. 1.200,- – Rp. 1.500,- per sentimeter (cm) panjang benih ikan. Sehingga harga per ekor benih ikan ukuran 7 cm sekitar Rp. 8.400,- – Rp. 10.500,-, dan harga ini lebih murah dibandingkan dengan membeli benih ikan ukuran 16 cm seharga Rp. 19.200,- – Rp. 24.000,- per ekor. Oleh karena itu, kajian risiko KPIH ‘Opened hull’ memiliki tujuan khusus yaitu: 1) Menentukan tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek apabila KPIH tersebut digunakan sebagai moda angkutan benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm TL, 2) Menentukan sumber risiko operasional KPIH ‘Opened hull’ yang dapat menurunkan survival ratio benih ikan kerapu bebek. 3) Menentukan langkah mitigasi yang dapat disarankan untuk menurunkan tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek.
4.1 Identifikasi Sumber Risiko Pada transportasi benih ikan, tingkat risiko kematian benih ikan adalah merupakan masalah utama yang harus dieliminir untuk mengurangi kerugian secara finansial yang akan ditanggung oleh pemilik benih ikan. Oleh karena itu, kajian risiko yang akan dilakukan pada kajian ini adalah kajian risiko operasional KPIH ‘Opened hull’ yang berhubungan dengan tingkat survival ratio benih ikan selama transportasi. Pada KPIH ‘Opened hull’, benih ikan dimasukkan ke dalam palka.
Untuk
menjaga kualitas air laut di dalam palka, maka digunakan sistem sirkulasi air laut. Sistem sirkulasi mengakibatkan masuknya air laut dari luar badan kapal ke dalam palka melalui lubang inlet selama kapal bergerak.
Sistem sirkulasi air yang demikian
mengakibatkan kualitas air laut yang masuk ke dalam palka sangat tergantung kepada kualitas air laut yag dilewati oleh kapal itu sendiri. Yang dimaksud dengan kualitas air laut yang sesuai adalah bukan hanya tidak tercemari oleh virus dan bakteri yang merugikan saja, akan tetapi ketersediaan oksigen terlarut (dissolved oxygen) yang cukup, kondisi suhu air laut dan kadar pH yang sesuai serta kandungan amoniak terutama NH3 un-ionized yang sedikit. Penerapan sistem sirkulasi sebagai sistem untuk menjaga kualitas air laut di dalam palka mengakibatkan terdapatnya lubang di bagian bawah kasko kapal. Sehingga dikatakan kasko kapal terbuka. Kondisi inilah yang mengakibatkan KPIH dengan sistem sirkulasi disebut sebagai KPIH ‘Opened hull’. KPIH ‘Opened hull’ yang dijadikan objek kajian, saat ini digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek dari Batam menuju ke P. Natuna atau P. Tarempa. Dalam perjalanannya tersebut, kapal akan melewati Tanjung Pinang. Pada saat akan melewati Tanjung Pinang, maka lubang air di bawah kasko kapal segera ditutup untuk mencegah masuknya air laut di perairan Tanjung Pinang tersebut yang diduga memiliki kualitas air laut yang buruk. Jika aktivitas ini dilakukan saat mengangkut benih ikan yang berukuran lebih kecil lagi, yaitu berukuran antara 5 – 7 cm (TL), dikhawatirkan aktivitas menutup dan membuka lubang di bagian bawah badan kapal dapat mengakibatkan stres pada ikan. Akan tetapi, jika dibiarkan air laut dengan kualitas yang buruk masuk ke dalam palka yang berisi benih ikan, dikhawatirkan benih ikan yag terdapat di dalamnya akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri penyakit yang terbawa oleh aliran air yang masuk ke dalam palka.
Masuk dan keluarnya air laut dari dalam badan kapal selama kapal bergerak, bukan saja mempengaruhi kualitas air laut di dalam palka. Akan tetapi juga akan mempengaruhi ketinggian air laut di dalam palka yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketinggian badan kapal yang terendam oleh air laut (yang disebut dengan istilah draf, d). Kecepatan kapal semakin lambat, maka jumlah air laut yang masuk ke dalam palka akan semakin banyak sehingga ‘draf (d)’ kapal akan semakin tinggi. Demikian pula yang terjadi sebaliknya, draft kapal akan berkurang apabila ketinggian air laut di dalam palka berkurang. Perubahan draf kapal akan mempengaruhi stabilitas kapal. Kestabilan kapal juga akan terganggu oleh jenis muatan di kapal yang cenderung berupa muatan liquid.
Hal ini disebabkan karena muatan berbentuk liquid mudah
berubah bentuk. Muatan liquid apabila ditempatkan pada sebuah palka dan di dalam palka tersebut tidak terisi penuh oleh liquid, maka liquid tersebut akan memiliki free surface. Keberadaan free surface ini akan mengakibatkan perubahan posisi liquid di dalam palka terlebih apabila kapal mengalami gerakan oleng. Kondisi ini akan memperburuk kualitas stabilitas kapal. Apabila kapal memiliki stabilitas yang buruk, maka peluang kapal tersebut untuk terbalik (capsize) akan bertambah.
Jika kapal
terbalik, maka kehilangan benih ikan akan semakin besar karena akan banyak ikan yang mati atau hilang disebabkan karena ikan-ikan tersebut berenang ke laut lepas. Selain pemaparan di atas, pengangkutan benih ikan kerapu bebek dengan menggunakan KPIH, saat ini sering dilakukan tanpa batasan jumlah benih ikan yang akan diangkut. Jumlah ikan yang dimasukkan ke dalam setiap palka sering dilakukan hanya berdasarkan jumlah benih ikan yang harus diangkut. Semakin banyak benih ikan yang dimasukkan ke dalam suatu volume palka, maka akan semakin tinggi densitas benih ikan di dalam palka. Apabila densitas benih ikan di dalam palka tidak sesuai dengan ketersediaan oksigen terlarut di dalam palka, maka benih-benih ikan tersebut akan mengalami kekurangan oksigen dan yang akan berdampak kepada timbulnya stres pada ikan. Selain itu, tingginya densitas benih ikan di dalam suatu volume air akan mengakibatkan ruang gerak benih ikan semakin terbatas sehingga benih ikan dapat menjadi stres. Benih ikan yang mengalami stres akan mengalami kemunduran kualitas hidup sehingga rentan terhadap penyakit. Francis and Floyd (1990) menyebutkan bahwa stres adalah suatu kondisi dimana ikan tidak dapat menjaga kondisi normalnya
yang disebabkan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya saat itu. Stres terjadi pada saat kondisi ikan melewati batas normal toleransi ikan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhinya, beberapa faktor di antaranya adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (chemical stressor) dan densitas yang tinggi (biological stressor). Rendahnya konsentrasi okesigen terlarut bisa disebabkan karena kurangnya asupan oksigen ke dalam air atau tingginya konsumsi oksigen oleh makhluk-makhluk hidup di dalam air. Lain halnya jika densitas benih ikan di dalam suatu palka sangat rendah, maka ketersediaan konsentrasi oksigen terlarut akan cukup. Akan tetapi akan mempengaruhi sisi finansial berupa keuntungan usaha bagi pemilik benih ikan. Oleh karena itu, perlu ditentukan densitas benih ikan yang maksimal di dalam palka sehingga ketersediaan oksigen terlarut cukup dan keuntungan secara finansial pun dapat terpenuhi. Misi KPIH adalah mengangkut muatan yang berupa ikan hidup dalam jumlah banyak.
Pengangkutan benih ikan dalam jumlah banyak dimaksudkan untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Oleh karena itu, risiko terhadap
kematian ikan selama transportasi menjadi permasalahan yang harus ditemukan solusinya. Berdasarkan definisi dari tiap tipe risiko yang telah dipaparkan di atas serta pemaparan tentang permasalahan yang dihadapi oleh KPIH ‘Opened hull’ sebagaimana telah dipaparkan pula sebelumnya, maka KPIH ‘Opened hull’ yang ada saat ini jika digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL) akan memiliki risiko murni.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mengeliminir tingkat risiko yang ada paling tidak menjadikan risiko murni menjadi risiko spekulatif yang berada pada tingkatan yang rendah. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dipastikan bahwa sumber risiko operasional KPIH ‘Opened hull’ terhadap tingkat survival ratio benih ikan adalah: (1) Desain palka (2) Sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka yang menerapkan sistem sirkulasi dengan bentuk kapal dengan sistem terbuka (opened hull) (3) Densitas benih ikan
Penggunaan sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka menjadikan kestabilan kualitas air laut sangat tergantung kepada kualitas air laut yang masuk ke dalam palka kapal. Desain palka yang terkait pada bentuk palka, sangat menentukan besar kecilnya efek free surface dari muatan liquid yang terdapat di dalam palka KPIH. Bentuk palka yang memungkinkan permukaan air bergerak bebas di dalam palka, akan mengakibatkan efek free surface semakin besar. Adapun densitas benih ikan, sangat terkait pada ketersediaan kebutuhan dasar makhluk hidup termasuk ikan, yaitu kebutuhan akan oksigen. Densitas ikan yang tinggi dalam suatu volume air, akan mengakibatkan tingginya tingkat pemanfaatan oksigen terlarut di dalam air. Apabila kebutuhan akan oksigen berkurang, maka akan mengakibatkan kualitas hidup ikan menurun. 4.2 Jenis dan Kriteria Dampak Risiko pada KPIH ‘Opened Hull’ Berdasarkan hasil kajian terhadap sumber risiko pada KPIH ‘Opened hull’, diperoleh tiga sumber risiko yaitu: 1) desain palka, 2) sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka, dan 3) densitas ikan yang akan mempengaruhi tingkat survival ratio benih ikan. Berdasarkan sumber risiko tersebut, maka dampak yang dihasilkan ada yang langsung mengakibatkan kematian benih ikan dan ada pula yang tidak langsung mengakibatkan kematian benih ikan. Penggunaan sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air laut di dalam palka, akan berdampak pada kestabilan kualitas air laut di dalam palka yang sesuai untuk benih ikan. Seringnya perubahan kualitas air laut di dalam palka, secara langsung akan mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan bahkan dapat mengakibatkan kematian benih ikan. Demikian pula halnya dengan densitas benih ikan yang tidak diatur. Apabila densitas ikan tinggi, maka akan mengakibatkan kualitas air laut di dalam palka berkurang dan secara langsung akan menurunkan kualitas hidup atau kematian benih ikan.
Lain halnya dengan desain palka, tidak secara langsung
mengakibatkan kematian benih ikan. Kematian benih ikan akan terjadi apabila kapal terbalik yang disebabkan karena efek free surface yang besar.
Berdasarkan hasil
penelitian Piniella et.al (2008) dan Suwardjo et.al (2010), disebutkan bahwa stabilitas kapal yang buruk merupakan risiko spesifik (specific risk) yang dihadapi oleh kapal perikanan terutama kapal perikanan skala kecil. Berdasarkan beberapa hasil kajian
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka kondisi alam dan stabilitas kapal yang buruk dapat mempertinggi risiko terbaliknya kapal.
Adapun keberadaan air yang
terperangkap di kapal menjadi salah satu penyebab memburuknya stabilitas kapal. Hal ini disebabkan karena air memiliki permukaan bebas (free surface) yang mudah bergerak dan berpindah tempat saat media yang ditempatinya berubah posisi. Oleh karena itu, maka jenis dan definisi dari setiap jenis dampak risiko pada KPIH ‘Opened hull’ diidentifikasikan sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan definisi dampak pada risiko KPIH ‘Opened hull’ Jenis Dampak Finansial
Definisi Kerugian finansial yang mungkin timbul sebagai dampak dari operasional KPIH ‘Opened hull’: - biaya pembelian benih ikan sebanyak benih ikan yang mati selama trasnportasi - biaya transport per ikan - biaya upah kerja SDM dalam membesarkan ikan (dihitung per ikan)
Pencemaran air laut Kerugian yang mungkin timbul sebagai dampak dari di dalam palka operasional KPIH ‘Opened hull’ apabila terjadi pencemaran air laut di dalam palka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku transportir benih ikan kerapu bebek, yang mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran minimal 16 cm (TL), jumlah kematian benih ikan terbanyak yang pernah terjadi adalah sebesar 25 %. Adapun jumlah kematian benih ikan kerapu bebek tersebut minimal rata-rata selama transportasi adalah sebesar 5 - 10 %. Jumlah benih ikan yang diangkut oleh KPIH ‘Opened hull’ yang dikaji adalah berkisar antara 20.000 – 30.000 ekor, dengan ongkos transportasi sebesar Rp. 2.500,- - Rp. 3.000,- per ekor dari Batam ke Kepulauan Natuna. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harga beli benih ikan kerapu bebek berkisar antara Rp. 1.200,- – Rp. 1.500,- per cm panjang ikan. Wawancara dengan beberapa pelaku dalam pembesaran benih ikan kerapu bebek juga dilakukan untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan untuk upah pekerja dan harga jual ikan kerapu bebek ukuran ekonomis (500 – 1.000 gram per ekor). Pada umumnya, setiap KJA dikerjakan oleh 3 – 4 orang dalam satu unit KJA berukuran 9 m2 – 16 m2. Mengacu pada hasil penelitian Santoso dan Purwanta (2008), padat penebaran yang optimum
untuk ikan kerapu adalah sebesar 134 ekor/m3 untuk ikan berukuran 50 gram (TL berkisar antara 16 cm – 18 cm). Adapun upah pekerja berkisar antara Rp. 750.000,- – Rp. 1.000.000,- per orang per bulan. Untuk harga jual ikan kerapu berukuran ekonomis minimal sebesar US$ 50/kg (Rp. 450.000,-/kg). Berdasarkan informasi yang di atas, maka pada Tabel 5 disajikan hasil simulasi kerugian untuk menghitung kerugian finansial sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan dalam Tabel 4.
Simulasi
kerugian finansial diperhitungkan dari tiga komponen pembiayaan yang tetap dikeluarkan walaupun benih ikan dalam kondisi mati di dalam perjalanan. Ketiga komponen tersebut yang terdiri dari: biaya pembelian benih ikan, biaya transportasi dan biaya upah pekerja. Dari ketiga komponen tersebut, dicoba untuk menghitung biaya yang dikeluarkan dan akan tetap dikeluarkan per individu benih ikan.
Tabel 5 Perhitungan kerugian finansial pada pengoperasian KPIH ‘Opened hull’ Kerugian finansial (minimal): 1
Jumlah benih yang diangkut (ekor)
2
Jumlah kematian benih ikan saat transportasi (5%) (ekor)
3
Harga beli benih ikan (Rp/ekor)
4
Ongkos transportasi per ikan (Rp/ekor)
5
Upah pekerja (Rp/orang)
6
Jumlah pekerja (orang)
7
Waktu untuk membesarkan benih hingga ukuran minimal 500 gram/ekor (bulan)
8
Jumlah ikan per unit KJA (padat tebar= 134 ekor/m3) - 250 ekor yang mati saat transportasi (ekor)
9
Estimasi upah kerja untuk pembesaran 1 ekor benih (Rp/ekor)
10
Total biaya yang dikeluarkan untuk membeli benih ikan sejumlah benih ikan yang mati (Rp)
11
12
Total ongkos transportasi yang telah dikeluarkan untuk benih ikan yang mati saat transportasi (Rp) Total upah pekerja yang tetap dikeluarkan untuk benih ikan yang telah mati saat transportasi (Rp) Total kerugian finansial (minimal) (Rp)
20.000 1.000 1.200,2.500,750.000,3
9 4.038
5.015,-
1.200.000,-
2.500.000,-
5.014.859,8.714.859,-
Tabel 5 (Lanjutan) Kerugian finansial (maksimal): 1
Jumlah benih yang diangkut (ekor)
2
Jumlah kematian benih ikan saat transportasi (25%) (ekor)
3
Harga beli benih ikan (Rp/ekor)
4
Ongkos transportasi per ikan (Rp/ekor)
5
Upah pekerja (Rp/orang)
6
Jumlah pekerja (orang)
7
Waktu untuk membesarkan benih hingga ukuran minimal 500 gram/ekor (bulan)
8
Jumlah ikan per unit KJA (padat tebar= 134 ekor/m3) - 1.250 ekor yang mati saat transportasi (ekor)
9
Estimasi upah kerja untuk pembesaran 1 ekor benih (Rp/ekor)
10 Total biaya yang dikeluarkan untuk membeli benih ikan sejumlah benih ikan yang mati (Rp) 11 Total biaya yang dikeluarkan saat transportasi untuk benih ikan yang mati saat transportasi (Rp) 12 Total upah pekerja yang tetap dikeluarkan untuk benih ikan yang telah mati saat transportasi (Rp) Total kerugian finansial (maksimal) (Rp)
20.000 5.000 1.500,2.500,1.000.000 4
9 3.038
11.850,-
7.500.000,-
12.500.000,-
59.249.506,79.249.506,-
Berdasarkan tabel simulasi kerugian finansial di atas, maka terlihat bahwa kerugian finansial minimal adalah sekitar Rp. 7.700.000,- dan kerugian finansial maksimal adalah sekitar Rp. 79.000.000,-. Sistem sirkulasi yang digunakan sebagai sistem pemeliharaan kualitas air sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, memungkinkan terjadinya pencemaran air laut di dalam palka. Pencemaran ini terjadi akibat terlambatnya menutup lubang masuk air (inlet) ke dalam palka kapal saat kapal melewati perairan dengan kualitas air yang buruk. Dampak yang paling buruk akan terjadi apabila seluruh lubang inlet di setiap
palka terlambat ditutup. Adapun dampak yang terjadi akan minimal apabila seluruh lubang inlet dapat tepat waktu ditutup pada saat kapal melewati perairan dengan kualitas air yang buruk. Berdasarkan pemaparan terhadap dampak risiko KPIH ‘Opened hull’ di atas, maka kriteria dan tingkatan dampak dapat diidentifikasi sebagamana disajikan pada Tabel 6 dan 7. Tabel 6 Kriteria dan tingkatan dampak finansial Kriteria
Tingkat
Kerugian yang dialami < Rp. 7.700.000,- (jumlah benih ikan yang mati selama transportasi < 5 % dari total jumlah benih ikan yang diangkut) Kerugian yang dialami berkisar antara Rp. 7.700.000,- – Rp. 79.000.000,- (jumlah benih ikan yang mati selama transportasi berkisar antara 5 % - 25 % dari total jumlah benih ikan yang diangkut) Kerugian yang dialami > Rp. 79.000.000,- (jumlah benih ikan yang mati selama transportasi ≥ 25 % dari total jumlah benih ikan yang diangkut)
1
2
3
Tabel 7 Kriteria dan tingkatan dampak pencemaran air laut di dalam palka Kriteria
Tingkat
Maksimal pencemaran air laut terjadi hanya di satu unit palka kapal Pencemaran air laut terjadi pada setengah dari jumlah palka kapal yang ada Pencemaran air laut terjadi pada semua palka kapal
1 2 3
4.3 Jenis dan Kriteria Probabilitas Risiko pada KPIH ‘Opened Hull’ Berdasarkan jenis dampak risiko yang telah teridentifikasi sebagaimana dipaparkan pada sub bab 4.2, maka jenis probabilitas yang dapat mempengaruhi tingkat risiko adalah: 1) Efek free surface 2) Penggunaan sistem pemeliharaan kualitas air 3) Densitas benih ikan dalam palka
Efek free surface adalah suatu fenomena yang disebabkan karena adanya permukaan bebas (free surface) pada benda berbentuk liquid. Keberadaan permukaan bebas mengakibatkan benda liquid tersebut mudah berubah bentuk sesuai dengan media yang ditempatinya. Jenis muatan pada KPIH adalah muatan liquid. Efek free surface akan dirasakan terutama saat kapal melakukan gerakan rolling.
Pada saat kapal
melakukan gerakan rolling, maka terjadilah pergerakan air di bagian permukaan yang mengikuti arah kemiringan kapal akibat momen yang terjadi. Jika massa air yang bergerak ke sisi kapal yang sedang oleng berlebihan, maka titik berat kapal pun akan bergeser ke arah kemiringan kapal. Apabila periode oleng kapal sangat lambat, maka kemungkinan kapal akan terbalik menjadi lebih besar. Piniella et.al (2008) dan Suwardjo et.al (2010) mengemukakan bahwa stabilitas kapal yang buruk merupakan risiko spesifik (specific risk) yang dihadapi oleh kapal perikanan terutama kapal perikanan skala kecil. Berdasarkan beberapa hasil kajian sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka kondisi alam dan stabilitas kapal yang buruk dapat mempertinggi risiko kecelakaan kapal.
Adapun keberadaan air yang
terperangkap di kapal menjadi salah satu penyebab memburuknya stabilitas kapal. Hal ini disebabkan karena air memiliki permukaan bebas (free surface) yang mudah bergerak dan berpindah tempat saat media yang ditempatinya berubah posisi. Penggunaan sistem pemeliharaan kualitas air yang tidak tepat akan mengakibatkan semakin besarnya peluang kematian benih ikan yang terdapat di dalamnya.
Terjadinya kematian benih ikan tersebut disebabkan karena kegagalan
sistem pemeliharaan kualitas air tersebut dalam menjaga kestabilan kualitas air laut yang sesuai dengan kebutuhan ikan yang dibawanya. Yang dimaksud dengan kualitas air laut yang sesuai adalah bukan hanya tidak tercemari oleh virus dan bakteri yang merugikan saja, akan tetapi ketersediaan oksigen terlarut (dissolved oxygen) yang cukup, kondisi suhu air laut dan kadar pH yang sesuai serta kandungan amoniak terutama NH3 un-ionized yang sedikit. Whittington and Chong (2007), melakukan kajian terhadap risiko perdagangan ikan hias di Australia.
Hasil kajian tersebut
menyebutkan bahwa risiko tertinggi yang mengakibatkan ketahanan hidup ikan menurun salah satunya adalah disebabkan karena menurunnya kualitas air laut yang menyertainya sehingga mengakibatkan munculnya virus dan bakteri phatogen. Selain itu, menurunnya kualitas air laut yang menyertai ikan tersebut mengakibatkan
menurunnya ketahanan hidup ikan sehingga mudah terinfeksi virus atau bakteri phatogen tersebut. Kekhawatiran akan kualitas air laut di dalam palka yang sangat tergantung kepada kualitas air laut yang dilewati oleh kapal tersebut, maka salah seorang transportir benih ikan kerapu bebek di Kepulauan Natuna hanya berani mengangkut benih ikan kerapu berukuran minimal 50 gram per ekor.
Biasanya pada saat kapal
melaju di perairan yang dekat dengan daratan terlebih jika di daratan tersebut terdapat aktivitas industri, lubang yang terdapat di bawah badan kapal pasti segera ditutup untuk mencegah masuknya air laut dari perairan yang dikhawatirkan tercemar tersebut. Contohnya adalah, saat kapal tersebut dalam perjalanannya dari Batam menuju ke P. Natuna atau P. Tarempa dan akan melewati Tanjung Pinang, maka lubang air di bawah badan kapal segera ditutup untuk mencegah masuknya air laut di perairan Tanjung Pinang tersebut.
Jika aktivitas ini dilakukan saat mengangkut benih ikan yang
berukuran lebih kecil lagi, yaitu benih berukuran antara 5 – 7 cm (TL), dikhawatirkan aktivitas menutup dan membuka lubang di bagian bawah badan kapal dapat mengakibatkan stres pada ikan. Akan tetapi, jika dibiarkan air laut dengan kualitas yang buruk masuk ke dalam palka yang berisi benih ikan, dikhawatirkan benih ikan yang terdapat di dalamnya akan terkontaminasi oleh virus atau bakteri penyakit yang terbawa oleh aliran air yang masuk ke dalam palka. Selain itupula dikhawatirkan ikan akan mengalami ‘exhaustion’ apabila harus seringkali beradaptasi terhadap perubahan lingkungan air di sekitarnya. Pengangkutan benih ikan berukuran minimal 16 cm (TL) itupun tak luput dari adanya kematian benih ikan selama transportasi atau pasca transportasi. FishVet.Inc (2000), menyebutkan bahwa benih ikan sangat rentan terhadap penyakit. Apabila benih ikan telah terinfeksi oleh virus atau bakteri, maka ketahanan hidup ikan menjadi berkurang yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian pada saat transportasi maupun pasca transportasi.
Oleh karena itu, untuk mencegah
terjangkitnya benih ikan oleh virus atau bakteri penyakit, kualitas hidup benih ikan harus dijaga. Terutama harus dijaga terhadap ketersediaan oksigen terlarut yang cukup dan rendahnya konsentrasi NH3 un-ionized di lingkungan tempat hidup benih ikan. Masuk dan keluarnya air laut dari dalam badan kapal selama kapal bergerak, bukan saja mempengaruhi kualitas air laut di dalam palka. Akan tetapi juga akan
mempengaruhi volume air laut di dalam palka kapal. Kecepatan kapal semakin lambat, maka jumlah air laut yang masuk ke dalam palka akan semakin banyak sehingga akan mengakibatkan mengecilnya densitas benih ikan di dalam palka kapal. Hal ini terjadi karena jumlah benih ikan di dalam palka tetap, akan tetapi volume air laut di dalam palka bertambah. Demikian pula yang terjadi sebaliknya, densitas benih ikan akan meningkat apabila volume air di dalam palka berkurang akibat kecepatan laju kapal yang semakin cepat. Sehubungan dengan densitas benih ikan di dalam palka kapal, pengangkutan benih ikan kerapu bebek dengan menggunakan KPIH ‘Opened hull’, lebih sering dilakukan tanpa batasan jumlah benih ikan yang akan diangkut. Jumlah benih ikan yang dimasukkan ke dalam setiap palka sering dilakukan hanya berdasarkan jumlah benih ikan yang harus diangkut. Semakin banyak benih ikan yang akan dibawa, maka akan semakin tinggi densitas benih ikan di dalam palka. Apabila densitas benih ikan di dalam palka tidak sesuai dengan ketersediaan oksigen terlarut di dalam palka, maka benih-benih ikan tersebut akan mengalami kekurangan oksigen yang akan bertampak kepada timbulnya stres pada benih ikan.
Benih ikan yang menderita stres akan
mengalami kemunduran kualitas hidup sehingga rentan terhadap penyakit. Francis and Floyd (1990) menyebutkan bahwa ‘stres’ adalah suatu kondisi di mana ikan tidak dapat menjaga
kondisi
normal
fisiknya
yang
disebabkan
berbagai
faktor
yang
mempengaruhinya saat itu. Stres terjadi pada saat kondisi ikan melewati batas normal toleransi ikan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhinya, beberapa faktor tersebut di antaranya adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (chemical stressor) dan densitas yang tinggi (biological stressor). Rendahnya konsentrasi okesigen terlarut bisa disebabkan karena kurangnya asupan oksigen ke dalam air atau tingginya konsumsi oksigen oleh makhluk-makhluk hidup yang berada di dalam air tersebut. Lain halnya jika densitas benih ikan di dalam suatu palka sangat rendah, maka ketersediaan konsentrasi oksigen terlarut akan cukup. Akan tetapi akan mempengaruhi sisi finansial berupa keuntungan usaha bagi pemilik benih ikan. Oleh karena itu, perlu ditentukan densitas benih ikan yang maksimal di dalam palka sehingga ketersediaan oksigen terlarut cukup dan keuntungan secara finansial pun dapat diperoleh. Misi KPIH adalah mengangkut muatan yang berupa ikan hidup dalam jumlah besar. Pengangkutan
ikan dalam jumlah besar dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang setinggitingginya. Berdasarkan pemaparan tentang probabilitas risiko pada KPIH ‘Opened hull’, disajikan kriteria dan tingkatan probabilitas risiko pada Tabel 8, 9 dan 10. Tabel 8
Kriteria dan tingkatan probabilitas risiko terhadap efek free surface Kriteria
Tingkat
Permukaan air di dalam palka tidak bergerak setiap kapal melakukan gerakan rolling
1
Permukaan air di dalam palka terkadang bergerak terkadang tidak, saat kapal melakukan gerakan rolling
2
Permukaan air di dalam palka selalu bergerak setiap kapal melakukan gerakan rolling
3
Tabel 9
Kriteria dan tingkatan probabilitas risiko terhadap efek sistem pemeliharaan kualitas air Kriteria
Tingkatan
Air laut dari luar kapal hanya masuk ke dalam salah satu palka yang ada di dalam kapal, sehingga hanya benih ikan yang terdapat di dalam palka itu saja yang beradaptasi terhadap perubahan kualitas air yang masuk ke dalam palka tersebut.
1
Air laut dari luar kapal masuk ke beberapa palka yang ada di dalam kapal, sehingga hanya benih ikan yang terdapat di dalam palka itu saja yang beradaptasi terhadap perubahan kualitas air yang masuk ke dalam palka tersebut.
2
Air laut dari luar kapal masuk ke semua palka yang ada di dalam kapal, sehingga semua benih ikan yang diangkut oleh kapal harus beradaptasi terhadap perubahan kualitas air yang masuk ke dalam palka tersebut.
3
Tabel 10 Kriteria dan tingkatan probabilitas risiko terhadap densitas benh ikan Kriteria
Tingkat
Densitas benih ikan jarang terjadi perubahan selama transportasi
1
Densitas benih ikan terkadang berubah selama transportasi
2
Densitas benih ikan sering berubah selama transportasi
3
4.4 Penilaian Tingkat Risiko KPIH ‘Opened Hull’ KPIH ‘Opened hull’ sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya adalah merupakan kapal yang dilengkapi dengan sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas airnya. Sistem ini mensyaratkan kapal memiliki lubang inlet dan outlet di bawah kasko kapal yang berfungsi untuk masuk dan keluarnya air laut ke dalam dan keluar dari kapal, sehingga apabila lubang-lubang tersebut terlambat ditutup pada saat melewati perairan dengan kualitas air yang buruk, maka peluang tercemarnya air laut di dalam palka menjadi semakin besar. Ketidakstabilan kualitas air laut di dalam palka akan mempertinggi tingkat kematian benih ikan yang berukuran lebih kecil lagi. Pada saat mengangkut benih ikan yang berukuran minimal 16 cm (TL), kematian benih ikan kadang terjadi hingga 25 % dari total benih ikan yang diangkut. Apabila KPIH ini digunakan untuk mengangkut benih ikan yang berukuran lebih kecil lagi dari 16 cm (TL) per ekor, maka tingkat kematian diperkirakan akan lebih besar lagi. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harga beli benih ikan ditetap berdasarkan panjang ikan. Sehingga semakin kecil ukuran benih ikan, harga beli benih ikan akan semakin murah, dan hal inil lebih diminati oleh para pemilik KJA pembesaran benih ikan kerapu. Penggunaan sistem sirkulasi juga menyebabkan sering kali terjadi perubahan volume air laut di dalam palka seiring dengan perubahan kecepatan laju kapal. Kondisi ini menyebabkan densitas air laut sering berubah pula. Perubahan volume air laut di dalam palka kapal juga akan mempengaruhi besar kecilnya efek free surface yang akan terjadi. Pertambahan volume air di dalam palka akan mengakibatkan semakin tingginya posisi permukaan air laut di dalam palka. Semakin tingginya posisi permukaan air di
dalam palka maka efek free surface yang akan terjadi semakin besar pula, sehingga peluang menurunnya kualitas stabilitas kapal semakin besar. Berdasarkan pemaparan di atas, maka tingkatan dari masing-masing jenis dampak dan probabilitas risiko KPIH ‘Opened hull’ disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Penilaian dampak dan probabilitas risiko KPIH ‘Opened hull’ Jenis Dampak Risiko
Finansial
Tingkat 3
Jenis Probabilitas Risiko
Tingkat
Efek free surface
3
Sistem pemeliharaan kualitas air
3
Pencemaran air laut di dalam palka
3
Densitas benih ikan
3
Penilaian Dampak
3
Penilaian Probabilitas
3
Penilaian dampak dan probabilitas risiko masing-masing menghasilkan nilai 3. Hal ini disebabkan karena semua jenis dampak dan probabilitas memiliki masingmasing memiliki nilai 3. Secara teoritis, risiko adalah fungsi dari kemungkinan dan dampak sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kristiansen (2005) dan Ramli (2010). Apabila dianggap tingkat risiko adalah proporsional terhadap setiap dampak dan kemungkinannya, maka fungsi risiko pada dasarnya adalah sebuah perkalian sebagai berikut: Risiko = dampak × kemungkinan (R = D × P). Oleh karena itu, berdasarkan penilaian dampak dan probabilitas risiko, maka tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ adalah berisiko tinggi dengan nilai 9. Berdasarkan tingkat risiko yang diperoleh sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11, maka tampilan tingkatan risiko KPIH ‘Opened hull’ disajikan pada Gambar 31.
Nilai Dampak
Nilai Probabilitas
Keterangan:
1
2
3
1
1
2
3
2
2
4
6
3
3
6
9
tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’
Gambar 31 Tingkat risiko kematian ikan pada KPIH ‘Opened hull’. Tingginya tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran ntara 5 – 7 cm (TL), mengakibatkan KPIH tersebut perlu dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan benih ikan yang akan dibawanya. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat risiko yang ada, maka perlu ditetapkan langkah mitigasi risiko yang bertujuan untuk mengurangi tingkat risiko, dari risiko tinggi berubah menjadi risiko rendah. Mengacu pada sumber risiko yang ada, beberapa langkah mitigasi risiko yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat risiko adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Upaya mitigasi terhadap sumber risiko Sumber Risiko
Langkah Mitigasi Risiko
Desain palka
Desain palka dimodifikasi menjadi desain palka yang mampu meredam efek free surface yang akan terjadi
Sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air
Mengganti sistem sirkulasi dengan sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air
Densitas benih ikan
Menentukan dan menetapkan densitas benih ikan di dalam palka berdasarkan tingkat konsumsi benih ikan dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air
Ketiga saran langkah mitigasi risiko tersebut diharapkan dapat menurunkan tingkat risiko yang semula tinggi menjadi risiko rendah. Untuk lebih memperkuat rekomendasi terhadap saran mitigasi, maka perlu dilakukan kajian khusus terhadap langkah mitigasi risiko yang disarankan tersebut.
5 KAJIAN MITIGASI RISIKO (BERDASARKAN SUMBER RISIKO)
5.1 Desain Palka Sebagaimana telah dipaparkan pada bab 4, muatan kapal terbesar pada KPIH adalah berupa muatan berbentuk liquid, yaitu air laut dan ikan yang berenang bebas di dalamnya. Muatan berbentuk liquid mudah berubah bentuk. Oleh karena itu Hind (1982) menyarankan agar pada tangki atau palka yang berisi muatan cair, dihindari adanya ruang bebas antara permukaan cairan dengan tutup atau dinding di atasnya. Kondisi ini dimaksudkan agar stabilitas kapal tidak terganggu oleh akibat adanya efek free surface muatan cair yang berada di dalam tangki atau palka. Penentuan desain palka yang sesuai merupakan salah satu langkah mitigasi risiko yang direkomendasikan. Tujuan dari penentuan desain palka yang sesuai adalah untuk memperkecil kemungkinan terbaliknya kapal yang disebabkan karena adanya efek free surface dari muatan liquid yang dibawanya pada saat kapal melakukan gerakan rolling. Semakin kecil efek free surface yang timbul saat kapal melakukan gerakan rolling, maka peluang kapal untuk terbalik menjadi lebih kecil. Selain itu, apabila pergerakan free surface pada muatan liquid tidak terlalu bebas saat kapal melakukan gerakan rolling, maka keberadaan benih ikan di dalam palkapun tidak terlalu terpengaruhi. Sehingga dugaan terjadinya benih ikan mengalami dampak stres akibat timbulnya gerakan massa air yang tidak beraturan saat terjadinya gerakan rolling kapal dapat dihindari. Free surface adalah kondisi permukaan yang biasanya terdapat pada benda berbentuk liquid. Keberadaan permukaan bebas mengakibatkan benda liquid tersebut mudah berubah bentuk sesuai dengan media yang ditempatinya. Efek free surface akan dirasakan terutama saat kapal melakukan gerakan rolling. Pada saat kapal melakukan gerakan rolling, maka terjadilah pergerakan air di bagian permukaan yang mengikuti arah kemiringan kapal akibat momen yang terjadi. Jika massa air yang bergerak ke sisi kapal yang sedang oleng berlebihan, maka titik berat kapal pun akan bergeser ke arah kemiringan kapal. Apabila periode oleng kapal sangat lambat, maka kemungkinan kapal akan terbalik menjadi lebih besar. Dalam kajian terhadap desain palka, kajian pertama adalah mengkaji bentuk palka yang dapat meredam efek free surface. Setelah
bentuk palka yang memiliki kemampuan untuk meredam efek free surface ditentukan, maka kajian dilanjutkan dengan memodifikasi bentuk palka terpilih tersebut hingga bentuk palka tersebut lebih mampu lagi meredam efek free surface muatan. Penelitian tentang efek free surface pada kapal pengangkut ikan hidup telah dilakukan oleh Lee et.al (2005) secara simulasi dengan menggunakan model kapal skala laboratorium. Adapun Braathen and Faltinsen (2002), Naito and Sueyoshi (2002), Shiotani and Kodama (1998), dan Shibata et.al (2007) mencoba mengkaji tentang free surface secara numerik.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ketinggian
muatan cair dalam tangki, sudut oleng dan periode rolling kapal sangat mempengaruhi besar kecilnya efek free surface yang akan terjadi. Efek free surface dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai “profil kemiringan”), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai “profil diam”). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai “waktu redam”. 5.1.1 Bentuk palka terhadap efek free surface (1) Profil kemiringan permukaan air Profil kemiringan diperoleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut kemiringan sekitar 10º. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan.
Beberapa contoh profil kemiringan
permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 32. Pada gambar tersebut terlihat adanya perbedaan ketinggian permukaan air. Kondisi ini terjadi karena perbedaan bentuk palka dengan volume air yang sama pada masing-masing palka tersebut menyebabkan ketinggian air yang dihasilkan berbeda. Model palka silinder (model
palka B) memiliki ketinggian permukaan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian permukaan air di model palka kotak (model palka A). Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder memiliki profil yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan dari hasil pengukuran sudut kemiringan permukaan air terhadap garis yang sejajar permukaan air saat sebelum terjadinya gerakan rolling (Tabel 13). Pada tabel tersebut terlihat tidak adanya perbedaan sudut kemiringan permukaan air baik pada model palka A dan palka B. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa nilai F hit < F Tab, atau nilai P-Value > 0,05 maka tidak terjadi perbedaan kemiringan air pada palka berbentuk kotak dengan silinder. Atau dengan kata lain, bentuk palka tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kemiringan air pada palkah yang dicobakan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1.
Kiri 1
Kanan 1
Kiri 2
Kanan 2
Kiri 3 Kiri 3
Keterangan: Model B
Kanan 3 Kanan 3
Model A
Rata air model B
Gambar 32 Profil permukaan air saat rolling.
Rata air model A
Tabel 13 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Posisi Data kemiringan ke-
Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rata-rata kiri 1 2 3 4 5 Kanan 6 7 8 9 10 Rata-rata kanan
Kemiringan air (º) model palka model palka kotak silinder 7 7 8 8 9 9 6 7 8 8 9 9 7 7 9 9 9 8 7 7 5,3 2,9 5 5 8 9 6 7 8 9 8 9 7 6 5 5 8 7 7 6 6 6 5,3 2,9
Beda kemiringan (º) 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 2,4 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 2,4
Shibata et.al (2007) telah mengkaji hubungan gerakan kapal dengan “green water” di atas dek kapal. “Green water” adalah istilah untuk keberadaan air di atas dek kapal akibat hempasan gelombang pada gerak dinamik kapal di laut. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa bentuk permukaan bebas (free surface), tidak mempengaruhi efek yang akan ditimbulkannya. Informasi inilah yang menjelaskan mengapa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak dan model palka silinder saat terjadi rolling tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi jika diperhatikan bentuk ujung permukaan air yang tertahan oleh dinding palka, terdapat perbedaan, dimana bentuk ujung permukaan air pada model palka kotak lebih landai dibandingkan pada model Palka silinder. Penelitian Bai (2005) terhadap aliran free surface pada ketinggian permukaan air yang berbeda, menjawab fenomena tersebut.
Dari hasil
penelitian tersebut terungkap bahwa permukaan air yang lebih rendah akan memiliki bentuk aliran free surface yang landai pada saat bertubrukan dengan dinding pembatas. Adapun pada permukaan air yang lebih tinggi, bentuk aliran free surface-nya saat bertubrukan dengan dinding pembatas berbentuk kemiringan yang curam.
Bentuk
aliran free surface yang landai pada ujung yang bertubrukan dengan dinding pembatas akan menghasilkan gelombang balik yang lebih pendek dan landai dibandingkan dengan bentuk aliran free surface yang curam. Kondisi ini mengakibatkan permukaan air yang lebih rendah akan lebih cepat stabil atau tenang kembali setelah tidak ada gaya eksternal yang mengganggunya. Lee et.al (2005) dalam penelitiannya yang mengkaji keragaan gerakan rolling kapal ikan yang dilengkapi dengan palka ikan hidup, mengemukakan bahwa keberadaan free surface akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Damping moment coefficient adalah merupakan momen koefisien yang menunjukkan kemampuan kapal untuk meredam gaya dari luar (external force) yang mengenai kapal (Bhattacharyya, 1978). Semakin tinggi keberadaan free surface tersebut, akan meningkatkan damping moment coefficient kapal. Jika damping moment meningkat maka kemampuan kapal untuk meredam gaya eksternal yang mengenai kapal (gelombang), akan semakin berkurang. Berdasarkan kajian sebelumnya diperkirakan bahwa efek free surface akan lebih besar dirasakan oleh kapal yang menggunakan palka berbentuk silinder. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment coefficient pada kapal dengan palka silinder akan lebih besar bila dibandingkan dengan kapal yang memakai palka kotak. Dengan demikian maka kemampuan kapal dengan palka silinder untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang memakai palka kotak. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun karena dinamika kapal lebih banyak dipengaruhi oleh gaya eksternal. Akan lain permasalahannya jika pada kedua palka diisi penuh oleh air laut. Apabila terjadi gerakan rolling, maka tidak akan terjadi pergerakan fluida dipermukaannya. Sehingga tidak akan terjadi perubahan posisi titik berat di palka yang pada akhirnya tidak akan mempengaruhi stabilitas kapal. Akan tetapi pengkondisian ini mengakibatkan volume air laut di dalam model palka kotak lebih besar bila dibandingkan dengan model palka silinder.
(2) Profil permukaan air setelah terjadi rolling Setelah model palka kotak dan silinder diolengkan ke kanan dan ke kiri selama kurang lebih 20 detik, selanjutnya model palka kotak dan silinder diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan dapat dilihat pada Gambar 33.
Keterangan: Model B
Model A
Rata air Model B
Rata air Model A
Gambar 33 Profil permukaan air saat palka kembali tegak setelah rolling (0 detik).
Sebagaimana hasil penelitian Bai (2003), pada gambar tersebut di atas, permukaan air pada model palka B (silinder) yang lebih tinggi daripada model palka A (kotak) nampak sangat dinamis dibandingkan dengan permukaan air pada model palka kotak yang nampak seakan-akan langsung stabil. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 34). Pada Gambar 34 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka kotak permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka kotak cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka silinder. Permukaan air yang lebih tinggi pada model palka silinder menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka silinder lebih dinamis dibandingkan pada model palka kotak. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk
kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit.
Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi
gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas.
Keterangan: Palka B
Palka A
Rata air Palka B
Rata air Palka A
Gambar 34 Profil permukaan air 0,1 - 0,9 detik setelah model palka kembali tegak.
172
Pada Gambar 35 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa pada model palka kotak permukaan airnya relatif telah lebih banyak bagian yang telah sejajar dengan garis rata air dibandingkan dengan pada model palka silinder.
Keterangan: Palka B
Palka A
Rata air Palka B
Rata air Palka A
Gambar 35 Profil permukaan air setelah 1 detik model palka kembali tegak.
(3) Waktu Redam Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut relatif tenang kembali atau stabil.
Dari 10 kali pengukuran, terlihat bahwa
waktu redam permukaan air pada model palka kotak adalah antara 9 - 13 detik. Adapun di model palka silinder waktu redam permukaan air adalah antara 27 - 37 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka kotak lebih kecil dibandingkan di model palka silinder. Bahkan dari data waktu redam, permukaan air pada model palka kotak rata-rata tiga kali lebih cepat stabil dibandingkan dengan permukaan air pada model palka silinder. Waktu redam permukaan air yang lebih singkat pada model palka kotak dimungkinkan terjadi, mengingat profil ujung aliran permukaan air berada pada dinding palka yang landai sehingga tekanan balik pada ujung aliran saat bertubrukan dengan dinding palka tidak terlalu besar sehingga momen tubrukan antara aliran air di permukaan dengan dinding pembatas tidak terlalu besar.
Kondisi inilah yang
mengakibatkan waktu redam permukaan air pada model palka kotak lebih singkat
173
dibandingkan dengan di model palka silinder yang memiliki profil ujung aliran permukaan air pada dinding palka yang curam. Hal ini dibuktikan pula oleh ketinggian permukaan air terhadap garis rata air di model palka kotak yang cenderung lebih rendah daripada di model palka silinder selama 1 detik pengamatan. Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa waktu redam permukaan air pada model palka berbentuk kotak dengan pada model palka berbentuk silinder berbeda nyata. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 1. Bentuk palka silinder yang lebih hidrodinamis dibandingkan dengan palka kotak, memungkinkan gerakan permukaan air di dalam palka silinder lebih dinamis. Hal ini disebabkan tidak ada bagian di dalam palka silinder yang dapat menghambat gerakan atau aliran muatan cair atau fluida cair tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka model palka berbentuk silinder memiliki efek free surface lebih besar dibandingkan pada palka berbentuk kotak. 5.1.2 Pengaruh sirip peredam terhadap efek free surface Beberapa upaya telah dilakukan oleh manusia untuk mengurangi efek free surface yang berlebihan saat membawa atau mengangkut muatan cair. Cara yang lebih umum dilakukan adalah dengan memenuhi wadah dengan muatan cair hingga penuh sehingga tidak ada ruang kosong di antara permukaan muatan cair dengan tutup atau dinding atas wadah atau media. Para pedagang ikan hias, sebelum menggunakan jirigen atau kantong plastik yang diisi air dan oksigen, telah menggunakan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang dilapisi dengan cat kedap air. Keranjang tersebut memiliki dinding yang miring ke arah dalam sebagaimana terlihat pada ilustrasi yang disajikan pada Gambar 36.
Saat keranjang tersebut dipikul dan dibawa berjalan oleh si pedagang, maka
permukaan air di dalam keranjang tersebut akan bergerak bebas sesuai dengan arah ayunan keranjang.
Semakin kuat gerakan keranjang ikan saat dipikul, maka akan
semakin besar pula pergerakan free surface-nya. Akan tetapi dengan bentuk konstruksi keranjang yang demikian, maka pergerakan permukaan air menuju ke dalam keranjang. Kondisi ini memperkecil peluang tumpahnya air keluar dari keranjang.
174
38 cm 38 cm
43 cm
43 cm
(a) Tampak atas
(b) Tampak samping
Gambar 36 Keranjang pengangkut ikan hias. Pada prinsipnya, bentuk keranjang tersebut memungkinkan untuk membatasi gerakan aliran air. Demikian pula prinsip penggunaan bilge keel atau sirip kseimbangan yang dipasang di sisi luar badan kapal dan breakwater di pelabuhan. Pemasangan bilge keel ini dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas kapal dengan cara menahan laju gerakan rolling kapal. Adapun breakwater yang dipasang di depan jalur masuk ke kolam pelabuhan, berfungsi untuk menahan gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan.
Tertahannya gelombang oleh breakwater menjadikan gelombang yang
masuk ke kolam pelabuhan telah memiliki energi yang jauh kecil dibandingkan dengan gelombang yang sebelum mengenai breakwater. Terilhami dari bentuk media pengangkut ikan hias, sirip keseimbangan, dan breakwater, maka peneliti mencoba memasang sirip yang akan dipasang di bagian dalam dinding palka. Sirip tersebut diharapkan dapat menahan gerakan atau aliran air yang akan melewatinya, sehingga gerakan free surface dapat tertahan dan pada akhirnya akan teredam. Prinsip kerja sirip peredam dapat dikatakan hampir sama dengan break water di pelabuhan, bilge keel pada kapal atau bentuk lengkung media pengangkut muatan cair pada keranjang pengangkut ikan hias. Break water yang di pasang di depan jalur kolam pelabuhan, berfungsi untuk mengurangi energi gelombang yang akan masuk ke kolam pelabuhan. Apabila energi gelombang (Ew) yang masuk ke dalam kolam pelabuhan
175
dapat dikurangi bahkan jika mungkin Ew = 0, maka diharapkan tidak terdapat gelombang di dalam kolam pelabuhan. Demikian pula bentuk lengkung di bagian atas pada keranjang pengangkut ikan hias, dimaksudkan untuk mengurangi energi yang timbul saat permukaan benda cair bergerak seiring dengan bergeraknya media yang ditempatinya. Adapun bilge keel pada kapal berfungsi untuk meredam pergerakan oleng kapal dengan menahan sejumlah luasan massa air yang tertahan oleh luasan permukaan bilge keel. Sirip peredam dipasang di sisi bagian dalam di sekeliling dinding model palka (Gambar 14). Luas sirip peredam yang dipasang di dua sisi dinding bagian dalam model palka adalah sebesar lebar sirip peredam (ls) dikalikan dengan panjang seluruh sirip peredam yang dipasang di sisi bagian dalam model palka. Panjang sirip peredam yang dipasang di sisi dinding dalam model palka terdiri dari dua ukuran, yaitu: 1) Ukuran panjang sirip peredam pertama (ps1) adalah = panjang palka (pp) 2) Ukuran panjang sirip peredam kedua (ps2) adalah = lebar palka (lp) dikurangi dua kali lebar sirip peredam (ls), sehingga ps2 = lp – 2ls. Dikarenakan dinding palka berbentuk kotak terdiri dari empat sisi, maka penentuan panjang sirip sebagaimana dijelaskan di atas mengakibatkan tiap ukuran panjang sirip peredam masing-masing terdiri dari dua unit. Oleh karena itu, maka luas sirip peredam adalah: ...........................................................
(31)
..................................................
(32)
atau
dimana Asp adalah luas sirip peredam. Dengan demikian total luas sirip peredam yang dipasang di sekeliling model palka dengan ukuran panjang palka (pp) × lebar palka (lp) = 25 cm × 25 cm adalah sebesar {(50 cm × 2) + (42 cm × 2)} = 184 cm2. Adapun luas permukaan muatan liquid (Afs) di dalam model palka tersebut adalah sebesar 625 cm2. Pada saat terjadi gerakan oleng, dapat dikatakan bahwa permukaan cair yang bergerak adalah seluas permukaan palka yaitu 625 cm2. Akan tetapi karena adanya sirip peredam yang dipasang di sekeliling dinding model palka yaitu tepat di bagian atas permukaan cair, maka permukaan liquid seluas sirip peredam yaitu 184 cm2 akan tertahan oleh sirip
176
peredam. Jika luas sirip peredam dibandingkan dengan luas permukaan cair yang terdapat di dalam model palka, maka akan diperoleh rasio sebagai berikut: ............................................................
(33)
Sehingga dapat dikatakan bahwa luas sirip peredam yang menghambat pergerakan free surface adalah sebesar 29 % dari luas free surface. Berdasarkan paparan di atas, maka kajian terhadap desain palka ini memiliki tujuan khusus yaitu:
untuk mengetahui apakah penggunaan sirip peredam yang
dipasang di sepanjang dinding dalam model palka mampu meredam efek free surface saat terjadi rolling ataukah tidak. Selanjutnya efek free surface dalam penelitian ini akan ditinjau berdasarkan bentuk profil permukaan air pada saat terjadi gerakan oleng, dalam hal ini adalah implementasi dari dampak gerakan rolling kapal (diistilahkan sebagai ‘profil kemiringan’), dan profil permukaan air saat tidak ada lagi gerakan rolling hingga permukaan air relatif tenang (diistilahkan sebagai ‘profil diam’). Selain itu kajian juga dilakukan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air relatif tenang atau stabil yang untuk selanjutnya diistilahkan sebagai ‘waktu redam’. (1) Profil kemiringan permukaan air Sebagaimana telah disampaikan dalam metode penelitian, profil
kemiringan
diper-oleh dengan menggerakkan jungkat-jungkit ke atas dan ke bawah hingga mencapai sudut sekitar 10º dengan periode oleng rata-rata selama 2 detik. Diperkirakan panjang lintasan gerakan rolling dari kemiringan di sisi kiri ke kemiringan di sisi kanan kapal dan kembali ke kemiringan di sisi kiri kapal sekitar 40º atau 0,698 radian. Pengamatan terhadap kemiringan permukaan air dilakukan saat palka mencapai kemiringan maksimal yaitu 10º ke kiri dan ke kanan.
Beberapa contoh profil
kemiringan permukaan air yang terjadi disampaikan pada Gambar 37. Pada gambar tersebut terlihat bahwa profil kemiringan permukaan air pada model palka kotak tanpa sirip peredam dan model palka kotak dengan sirip peredam memiliki profil yang berbeda. Profil permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam tidak terlalu miring jika dibandingkan dengan profil permukaan air pada palka tanpa sirip
177
peredam. Berdasarkan besarnya sudut yang terbentuk antara kemiringan permukaan air dengan garis rata air saat tidak terjadi rolling, terlihat bahwa sudut kemiringan permukaan air pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam lebih besar jika dibandingkan dengan sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Besarnya sudut kemiringan permukaan air pada kedua palka tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sudut kemiringan permukaan air saat rolling Data Posisi kemiringan ke-
Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rata-rata kiri 1 2 3 4 5 Kanan 6 7 8 9 10 Rata-rata kanan
Kemiringan air (º) tanpa sirdam 5 5 5 6 5 6 5 5 6 5 5,3 4 6 5 6 6 6 4 6 5 5 5,3
dengan sirdam 3 2 3 3 2 4 3 3 3 3 2,9 2 3 3 3 4 3 2 3 3 3 2,9
Beda kemiringan (º) 2 3 2 3 3 2 2 2 3 2 2,4 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 2,4
178
Kiri 1
Kanan 1
Kiri 2
Kanan 2
Kiri 3 Kiri 3
Kanan 3 Kanan 3
Keterangan: dengan sirdam
tanpa sirdam
Rata air
Gambar 37 Profil permukaan air saat rolling.
Besar sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 4 - 6º dengan sudut rata-rata sebesar 5,3º. Adapun besarnya sudut kemiringan permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam berkisar antara 2 - 3º dengan sudut rata-rata sebesar 2,9º. Perbedaan
179
kemiringan permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam dengan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah berkisar antara 2 - 3º dengan perbedaan sudut rata-rata sebesar 2,4º. Berdasarkan hasil uji statistik, menunjukkan bahwa nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemiringan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dan tanpa sirip peredam. Artinya penggunaan sirip peredam berpengaruh nyata terhadap perbedaan kemiringan air pada palkah. Analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan perbedaan sudut kemiringan permukaan air tersebut, maka diperkirakan bahwa keberadaan sirip peredam mampu menahan pergerakan free surface antara 40 - 60 %. Fenomena ini terjadi dikarenakan pada saat gerakan rolling terjadi, free surface pada model palka tanpa sirip peredam mengalir dengan bebas ke arah kemiringan palka hingga kondisi free surface kembali rata. Lain halnya dengan yang terjadi pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, saat terjadi gerakan rolling, free surface juga mengalir ke arah kemiringan palka. Akan tetapi sebelum kondisi free surface kembali rata, sirip peredam yang dipasang di dinding dalam palka menghambet.aliran free surface tersebut. Pada saet.aliran free surface tersebut mengenai sirip peredam, maka akan ada sebagian aliran free surface tersebut yang tertahan oleh sirip peredam. Bukan saja tertahan, akan tetapi juga terjadi refleksi dari aliran free surface yang mengenai sirip peredam. Refleksi aliran free surface yang terjadi biasanya memiliki gaya atau tekanan yang sama besarnya dengan gaya atau tekanan aliran free surface saat mengenai sirip peredam. Hanya saja arahnya berlawanan. Triatmodjo (1999) mengemukakan bahwa apabila gelombang mengenai dinding pembatas, maka akan terjadi refleksi gelombang. Dinding pembatas yang vertikal terhadap kedatangan gelombang dan tidak permeabel, akan memantulkan sebagian besar energi gelombang. Oleh karena itu tinggi gelombang yang dipantulkan sama dengan tinggi gelombang datang. Demikian pula lah yang terjadi pada aliran free surface di dalam palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Adanya refleksi aliran free surface yang tekanannya sama besar dengan tekanan aliran free surface yang mengenai sirip peredam akan tetapi berlawanan arah, mengakibatkan tertahannya aliran free surface yang berada dibelakangnya.
Sehingga timbulah
turbulensi yang pada akhirnya menghambat gerakan aliran free surface. Apabila luas penampang sirip peredam sebanding dengan luas aliran free surface yang mengenainya,
180
maka aliran free surface tidak melewati sirip peredam. Lain halnya jika luas sirip peredam lebih kecil dibandingkan dengan luas aliran free surface yang mengenainya, walaupun terjadi refleksi aliran free surface, sebagian aliran free surface yang tidak mengenai sirip peredam akan melewati sirip peredam tersebut.
Akan tetapi dapat
dipastikan bahwa volume aliran free surface yang melewati sirip peredam tersebut jauh lebih sedikit dan dengan tekanan yang telah berkurang. Fenomena inilah yang diduga menjadi penyebab lebih kecilnya sudut kemiringan permukaan air pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam dibandingkan pada palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam saat terjadi gerakan rolling. Berdasarkan kajian terhadap profil permukaan air saat terjadi gerakan rolling, penggunaan sirip peredam dapat mengurangi besarnya sudut yang dibentuk oleh profil permukaan air saat oleng dengan pernukaan air saat tidak oleng. Jika dihubungkan dengan damping moment coefficient kapal, maka diperkirakan damping moment coefficient pada kapal yang menggunakan palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam akan lebih besar dibandingkan dengan kapal yang menggunakan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Sehingga kemampuan kapal dengan palka kotak tanpa sirip peredam untuk meredam gaya eksternal akan lebih kecil dibandingkan kapal dengan palka kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam. Mengecilnya kemampuan redam kapal akan mengakibatkan stabilitas kapal menurun dikarenakan dinamika kapal lebih dipengaruhi oleh gaya eksternal. (2) Profil permukaan air sesaat setelah terjadi rolling Kedua model palka tersebut diolengkan ke kanan dan ke kiri dengan cara menaik-turunkan jungkat-jungkit pada salah satu sisinya, dengan periode oleng selama 2 detik. Kemudian untuk selanjutnya kedua model palka tersebut diposisikan tegak kembali. Pengamatan mulai dilakukan terhadap profil permukaan air mulai saat posisi model palka tegak hingga 1 detik kemudian. Profil permukaan sesaat setelah posisi model palka ditegakkan (s= 0 detik ) dapat dilihat pada Gambar 38.
181
Gambar 38 Profil permukaan air saat model palka kembali tegak setelah rolling (0 detik).
Pada Gambar 38 terlihat bahwa profil permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, membentuk gelombang di salah satu ujung aliran free surface. Lain halnya dengan yang terjadi pada profil permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam.
Profil permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip
peredam, sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, banyak membentuk riak di sepanjang free surface. Bentuk free surface sesaat setelah kedua model palka kembali ditegakkan, dapat dilihat pada Gambar 39.
Gelombang di permukaan
Riak di permukaan
(a) (b) Keterangan: (a) gelombang di permukaan model palka tanpa sirdam (b) riak di permukaan model palka dengan sirdam
Gambar 39 Profil permukaan air dilihat dari atas pada kedua model sesaat setelah gerakan rolling.
182
Pada Gambar 39 terlihat bahwa gerakan free surface pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam masih dapat bergerak bebas sehingga terbentuklah gelombang. Lain halnya pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, gerakan free surface tertahan oleh keberadaan sirip peredam tersebut. Sehingga refleksi aliran free surface mengakibatkan terjadinya tubrukan dengan aliran free surface yang berada di belakangnya, dan pada akhirnya mengakibatkan timbulnya riak pada permukaan. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap bentuk permukaan air serta ketinggian permukaan air pada profil permukaan air setiap 0,1 detik selama 1 detik (Gambar 40). Pada Gambar 40 terlihat bahwa pada ordinat pengukuran tertentu, menjelang 1 detik pengamatan, pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya semakin banyak yang telah menyamai garis rata air pada saat tidak ada gerakan. Berdasarkan ketinggian permukaan air pada ordinat pengukuran, terlihat bahwa ketinggian permukaan air pada ordinat-ordinat pengukuran pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam cenderung lebih rendah dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
Jika dilihat dari bentuk profil
permukaan yang terjadi, pada palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, permukaan airnya membentuk riak-riak kecil. Riak-riak kecil tersebut terbentuk karena seringnya aliran free surface bertubrukan dengan sirip peredam yang di pasang di sekeliling dinding palka. Saet.aliran free surface menabrak sirip peredam, maka aliran free surface akan terpecah sebagaimana yang terjadi pada gelombang yang menabrak breakwater. Kondisi tersebut di atas, menunjukkan bahwa permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam tersebut lebih dinamis dibandingkan pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam. Apabila permukaan muatan cair di dalam palka sangat dinamis, maka kondisi kapal untuk kembali tegak setelah gaya yang mengakibatkan gerakan rolling kapal hilang akan lebih sulit. Perlu diketahui bahwa walaupun palka sudah tidak diolengkan, akan tetapi gerakan fluida cair masih terus terjadi terlebih jika fluida cair tersebut terus bertubrukan dengan dinding pembatas. Berdasarkan uji statistik, diperoleh nilai Fhit > FTab, atau nilai P-Value < 0,05. Artinya bahwa terdapat perbedaan ketinggian riak air maksimum pada palka yang dilengkapi dengan sirdam dan tanpa sirdam.
Dengan kata lain, bahwa penggunaan sirdam
berpengaruh nyata terhadap perbedaan ketinggian riak air yang terjadi di dalam kedua
183
model palka. Data tinggi permukaan air tertinggi yang dihasilkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peradam dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam disajikan pada Tabel 15. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 2. Tabel 15
Ketinggian riak air maksimum pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam (non sirdam) dan model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam (sirdam)
Waktu pengamatan detik ke0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0
Ketinggian riak tertinggi dari rata garis air (mm) tanpa sirdam dengan sirdam 2,0 1,2 2,0 1,9 1,8 0,8 1,0 1,0 3,0 1,6 1,0 1,0 2,0 2,0 2,0 0,5 1,8 1,0 2,0 1,1 2,0 0,5
Pada Gambar 41 disajikan profil permukaan air pada kedua model palka setelah 1 detik. Terlihat bahwa permukaan air pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam relatif telah banyak yang sejajar dengan garis rata air dibandingkan pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
184
100
Keterangan:
tanpa sirip peredam
dengan sirip peredam
Rata air
Gambar 40 Profil permukaan air setelah 0,1 – 0,9 detik model palka kembali tegak.
Gambar 41 Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak.
(3) Waktu redam Waktu redam adalah lamanya waktu yang dibutuhkan oleh permukaan air di dalam model palka, mulai saat gerakan rolling berhenti hingga permukaan air tersebut kembali relatif tenang atau stabil.
Pada Tabel 16 disajikan lamanya waktu yang
dibutuhkan oleh permukaan air mulai dari saat gerakan rolling ditiadakan hingga relatif tenang atau stabil atau yang diistilahkan sebagai waktu redam.
Dari tiga kali
pengukuran terlihat bahwa waktu redam permukaan air pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 14 – 18 detik. Adapun waktu redam di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah antara 5 –7 detik. Dengan demikian waktu redam permukaan air di model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam 2 – 3 kali lebih cepat dibandingkan di model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam.
158
Tabel 16 Waktu redam permukaan air di dalam model palka Data ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata:
Tanpa sirip peredam (detik) 18 14 14 14 14 18 18 14 14 18 15,6
Dengan sirip peredam (detik) 6 5 6 7 5 7 6 5 7 6 5,95
Pada kondisi yang normal, bentuk profil permukaan air sesaat setelah gerakan rolling ditiadakan, seperti yang terjadi pada model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Permukaan air terus bergerak bebas cenderung ke atas dinding pembatas searah gerakan rolling yang telah ditiadakan.
Akan tetapi, pada model palka yang
dilengkapi dengan sirip peredam, setiap gerakan air tertahan oleh permukaan sirip peredam. Tertahannya gerakan air inilah yang memungkinkan waktu redam pada model palka yang dilengkapi dengan sirip peredam lebih cepat jika dibandingkan dengan model palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam. Berdasarkan hasil kajian terhadap profil kemiringan permukaan air dan waktu redam, maka dapat dikatakan bahwa luas permukaan sirip peredam yang hanya sebesar 29 % dari luas free surface telah mampu meredam atau mereduksi efek free surface yang akan muncul saat terjadinya gerakan oleng pada kapal. Jika luas sirip peredam yang digunakan lebih dari 29 %, maka akan lebih banyak lagi free surface yang dapat ditahan oleh sirip peredam. Terlebih jika rasio luas sirip peredam dengan luas free surface mencapai nilai 1, maka dikatakan tidak terdapat free surface. Kondisi ini sama dengan kondisi dimana muatan liquid dimasukkan ke dalam palka hingga terisi penuh sehingga muatan liquid mengisi palka hingga ke dinding bagian atas palka. Selain itu pula, berdasarkan hasil kajian terhadap profil permukaan air di dalam model palka baik pada saat diolengkan maupun sesaat setelah dioleng, maka dapat diperkirakan bahwa
159
pemasangan sirip peredam pada sisi bagian dalam model palka mampu meredam efek free surface hingga 40 – 60 %. Akan tetapi berdasarkan waktu redam, keberadaan sirip peredam mampu meredam efek free surface antara 33,3 – 50 %. 5.2 Sistem Pemeliharaan Kualitas Air Pada KPIH ‘Opened hull’, sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dilakukan dengan menggunakan sistem sirkulasi.
Sistem sirkulasi mengakibatkan
terjadinya pertukaran air laut di dalam palka dengan air laut yang berasal dari luar badan kapal. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada kajian risiko KPIH ‘Opened hull’, kualitas air laut di dalam palka sangat ditentukan oleh kualitas air laut yang masuk. Berdasarkan saran langkah mitigasi risiko, sistem sirkulasi diganti dengan sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka.
Pada
kenyataannya, sistem resirkulasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang biasa digunakan di bak-bak atau aquarium penampungan ikan. Penggunaan sistem tersebut dapat menjaga kestabilan kualitas air di dalam bak hingga waktu yang lama (lebih dari 1 minggu). Bahkan di toko-toko yang menjual ikan hias, terkadang di dalam akuarium hanya dimasukkan aerator yang berfungsi untuk menambah konsentrasi oksigen terlarut di dalam akuarium. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufik et.al (2008), menyimpulkan bahwa sistem resirkulasi merupakan sistem pergantian air yang paling baik dalam pemeliharaan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr).
Diduga, sistem resirkulasi inipun sesuai pula sebagai sistem
pergantian air dalam pemeliharaan benih ikan kerapu bebek. Berdasarkan paparan di atas, maka dalam kajian sistem pemeliharaan kualitas air, akan dikaji kinerja dari sistem pemeliharaan kualitas air yang hanya dilengkapi dengan aerator (sistem aerasi), sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasiaerasi. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu untuk mendapatkan kinerja dari masing-masing sistem pemeliharaan kualitas air dalam menjaga kondisi fisik (konsentrasi oksigen terlarut/DO dan suhu air) dan kimia (nilai pH dan NH3 tak terionisasi/un-ionized) air laut di dalam model palka. Pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, terjadi pertukaran air di dalam model palka. Pertukaran air terjadi antara model palka dengan bak filter. Lain halnya dengan model palka yang
160
dilengkapi dengan sistem aerasi, tidak terjadi pertukaran air di dalam model palka tersebut. 5.2.1 Suhu air laut Pengamatan terhadap suhu air laut di dalam model palka pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 24 - 25ºC. Hasil pengukuran suhu air laut pada setiap perlakuan, disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 42. Adapun nilai hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka pada ketiga sistem pemeliharaan kualitas air disajikan pada Tabel 17.
Gambar 42 Fluktuasi suhu air laut (selama 24 jam pengamatan)
Tabel 17 Rata-rata suhu air laut pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air laut (ºC) Sistem pemeliharaan kualitas air
Jam 7:30 10:30 13:30 16:30 19:30 22:30 01:30 04:30 Rata-rata:
Resirkulasi-aerasi
Resirkulasi
Aerasi
25,6 25,7 25,8 25,9 25,9 25,8 25,6 25,5 25,70
26,0 26,3 26,3 26,5 26,9 26,7 26,6 26,4 26,44
24,9 25,1 25,3 25,4 25,5 25,4 25,2 24,9 25,23
161
Pada grafik tersebut terlihat adanya perbedaan antara suhu air laut yang berada pada sistem aerasi, resirkulasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Pada grafik juga terlihat bahwa suhu air laut pada sistem aerasi lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem resirkulasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi. Lebih rendahnya suhu air laut pada sistem aerasi dimungkinkan dapat terjadi. Kondisi isi disebabkan karena pada dua sistem lainnya terdapat pompa air yang pemasangannya berada di dalam bak filter. Selama mesin pompa air tersebut bekerja, mesin pompa tersebut menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air laut yang berada di sekitarnya. Air laut yang berada di dalam filter tersebut untuk selanjutnya dialirkan ke dalam model-model palka. Jika dibandingkan antara sistem resirkulasi dan sistem kombinasi aerasiresirkulasi, walaupun keduanya dilengkapi dengan pompa air yang dipasang di dalam bak filter, akan tetapi suhu air laut yang terdapat di dalam model palka berbeda. Suhu air laut pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem kombinasi aerasi-resirkulasi. Kondisi ini diduga terjadi karena keberadaan aerasi yang melengkapi sistem kombinasi aerasiresirkulasi turut membantu menurunkan suhu air laut di dalam model palka. Proses aerasi memungkinkan terjadinya pencampuran air yang lebih merata di dalam model palka.
Pada model palka yang hanya dilengkapi dengan sistem resirkulasi,
pencampuran massa air di dalam model palka tersebut hanya tergantung kepada aliran air yang masuk ke dalam model palka melalui saluran inlet dan keluar dari dalam model palka melalui saluran outlet. Selanjutnya jika pada grafik tersebut ditarik garis ‘trend’, terlihat bahwa pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi cenderung untuk terus mengalami peningkatan suhu. Lain halnya dengan model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi, berdasarkan garis ‘trend’ terlihat bahwa model palka yang dilengkapi dengan kedua sistem tersebut tidak menunjukkan peningkatan suhu yang signifikan. Pada sistem aerasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi, terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan suhu air laut, yaitu mulai siang atau sore hari, akan tetapi menjelang pagi hari, suhu air laut mulai mengalami penurunan. Pada sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, kisaran suhu air laut yang terjadi selama 24 jam
162
berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Adapun kisaran suhu air laut pada sistem aerasi dan resirkulasi masing-masing berkisar antara 24,9 – 25,5 ºC dan 26,0 – 26,9 ºC. Berdasarkan perubahan suhu air laut yang terjadi di dalam model palka selama 24 jam, terlihat bahwa suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi. Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kisaran suhu air antara 25,7 – 29,1ºC terlihat dalam kondisi normal. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal (FishVet.Inc., 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut dapat mempertahankan suhu air pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu. 5.2.2 Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved oxygen concentration) Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air.
Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya.
Organisme hidup
tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Pada Gambar 43 disajikan hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka pada setiap perlakuan, dan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang terukur disajikan pada Tabel 18.
163
Gambar 43 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut (selama 24 jam pengamatan) Tabel 18
Rata-rata nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan (mg O2/liter)
Jam 7:30 10:30 13:30 16:30 19:30 22:30 1:30 4:30 Kisaran: Rata-rata:
Sistem pemeliharaan kualitas air Rersirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 6,8 6,6 6,5 6,8 6,5 6,6 6,7 6,5 6,6 6,7 6,5 6,6 6,6 6,4 6,5 6,6 6,4 6,5 6,5 6,5 6,5 6,6 6,5 6,5 6,5 – 6,8 6,4 – 6,6 6,5 – 6,6 6,66 6,49 6,54
Pada Gambar 43 terlihat bahwa berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan.
Berdasarkan uji
statistik pun menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur), sistem kombinasi resirkulasiaerasi memberikan dampak yang berbeda bila dibandingkan dengan sistem resirkulasi dan aerasi. Mengacu pada nilai rata-rata yang terdapat pada Tabel 18, terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menghasilkan konsentrasi oksigen terbesar
164
dibandingkan dengan dua sistem lainnya. Adapun hasil uji Tukey (Beda Nyata Jujur) terhadap sistem resirkulasi dan aerasi, keduanya tidak memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka. Hal ini terlihat pula dari nilai rata-rata dan nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut dari kedua sistem tersebut. Mengacu pada perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut dengan pengukuran selama 24 jam, terlihat bahwa pada setiap perlakuan ada kecenderungan yang sama, yaitu nilai konsentrasi oksigen terlarutnya cenderung bertambah besar mulai saat siang hari dan kembali turun menjelang sore hari. Hasil pengukuran suhu air laut sebelumnya juga menunjukkan bahwa pada siang hari terjadi peningkatan suhu air laut dan menjelang sore hari suhu air mulai mengalami penurunan. Apabila dikaitkan antara suhu air dan konsentrasi oksigen terlarut, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu air akan berakibat pada meningkatnya konsentrasi oksigen terlarut, demikian pula sebaliknya, penurunan suhu air akan berakibat pada menurunnya konsentrasi oksigen terlarut. Beberapa penelitian yang terkait dengan kebutuhan ikan akan jumlah konsentrasi oksigen terlarut di lingkungan hidupnya, diantaranya adalah Langkosono (2006), Pescod dan Okun (1973), Huet (1971) dan Sun et.al (2007). Langkosono (2006) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95-4,28 ml/liter, sedangkan Sun et.al (2007) menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara) masih tetap dalam kondisi normal pada kondisi air laut dengan konsentrasi oksigen terlarut di atas 6 mg O2/liter. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal serta kondisi berkelompok (FishVet.Inc., 2000).
Adapun Pescod dan Okun (1973) menyatakan
bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm.
Terkait dengan jumlah konsentrasi oksigen yang dibutuhkan selama
pengangkutan, Huet (1971) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut minimal yang masih dapat ditoleransi oleh ikan selama pengangkutan berkisar antara 2 – 3 mg/liter. Mengacu pada beberapa hasil penelitian di atas, berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan oleh ketiga sistem pemeliharaan kualitas air sebagaimana disajikan pada Gambar 37, maka dapat dikatakan bahwa ketiga sistem
165
tersebut mampu mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut dengan kisaran nilai yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu. 5.2.3 Amoniak tak terionisasi (NH3 un-ionized) NH3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH3 un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun lagi apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan.
Boyd (1992)
menyatakan bahwa amoniak adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa organisme hidup yang tinggal di dalam perairan tidak saja organisme yang berukuran besar, akan tetapi juga organisme yang berukuran kecil yang mungkin saja tidak terlihat secara kasat mata, seperti misalnya phytoplankton dan zooplankton. Pada Gambar 44 dan Tabel 19 menunjukkan hasil pengukuran amoniak unionized di awal, tengah dan di akhir pengamatan pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air.
Gambar 44 Perubahan kandungan NH3 un-ionized selama 24 jam pengamatan.
166
Tabel 19 Rata-rata hasil pengukuran NH3 un-ionized (mg/liter) Contoh air saat di Awal Tengah Akhir
Sistem pemeliharaan kualitas air Resirkulasi-aerasi Resirkulasi 0,013 0,013 0,009 0,008 0,015 0,011
Aerasi 0,013 0,015 0,025
Gambar 44 menunjukkan nilai NH3 un-ionized dari setiap contoh air yang diambil di awal, tengah dan akhir pengamatan. Pada grafik terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi yang sama-sama dilengkapi dengan sistem filter, menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada kedua sistem tersebut, konsentrasi NH3 un-ionized di tengah pengamatan cenderung menurun, dan kembali meningkat pada akhir pengamata. Penurunan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized terbesar (saat di tengah pengamatan) terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yaitu sebesar 0,005 mg/liter. Adapun penurunan jumlah konsentrasi NH3 unionized terkecil terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi yaitu sebesar 0,004 mg/liter. Akan tetapi peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di akhir pengamatan, peningkatan terbesar terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, yaitu sebesar 0,006 mg/liter. Adapun peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi sebesar 0,003 mg/liter. Lain halnya dengan konsentrasi NH3 un-ionized pada air laut yang dilengkapi dengan sistem aerasi terus mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir pengamatan. Berdasarkan kondisi perubahan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di awal, tengah dan akhir pengamatan di setiap sistem pemeliharaan kualitas air, terlihat bahwa keberadaan filter dan air stone diduga memiliki peranan dalam setiap fenomena perubahan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut.
Peranan filter dalam sistem pemeliharaan kualitas air dipastikan dapat
mereduksi jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air. Akan tetapi timbulnya gelembung udara yang disebabkan oleh keberadaan air stone di dalam model palka, diduga sebagai pemicu terjadinya peningkatan aktivitas mikro organisme yang telah ada di dalam air. Meningkatnya aktivitas suatu organisme, umumnya disertasi dengan meningkatnya ekskresi dari organisme itu sendiri.
167
Apabila konsetrasi amoniak pada lingkungan meningkat, maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang terus menerus terekspos amoniak pada kosentrasi lebih dari 0,02 mg/liter, dapat menurunkan ketahanan hidup ikan terhadap penyakit (Boyd, 1992). Mengacu pada kadar amoniak sebagaimana dijelaskan oleh Boyd (1992), sistem aerasi dikhawatirkan tidak dapat menahan peningkatan kadar amoniak di dalam air. Terlebih pada saat pengukuran amoniak di akhir pengamatan, kadar amoniak dalam air laut di dalam model palka yang masih belum diisi ikan, telah mencapai nilai 0,025 mg/liter. 5.2.4 Kadar pH Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al, 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Perubahan kadar pH yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Tingkat sensitifitas ikan terhadap kadar pH yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Pada Tabel 20 disajikan hasil pengukuran pH pada setiap kombinasi perlakuan. Untuk mempermudah penilaian, maka nilai pH hasil pengukuran disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana tertera pada Gambar 45.
168
Gambar 45 Fluktuasi nilai pH (hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan)
Tabel 20 Nilai pH hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan Sistem pemeliharaan kualitas air Jam Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 7:30 8,02 8,09 8,15 10:30 8,03 8,08 8,18 13:30 8,04 8,07 8,19 16:30 8,07 8,01 8,20 19:30 8,04 7,98 8,16 22:30 8,08 7,99 8,18 1:30 8,08 7,98 8,16 4:30 8,08 7,99 8,17 Kisaran: 8,02-8,08 7,98-8,09 8,15-8,20 Rata-rata: 8,06 8,02 8,17 Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 45, nampak terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasiaerasi dengan sistem resirkulasi tidak berbeda siknifikan. Lain halnya dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup siknifikan dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi. Hal ini dipertegas dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) yang disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan rata-rata nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 20, terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi
169
memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pH air laut di kedua sistem lainnya. Adapun nilai pH pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi, berdasarkan rata-rata nilai pH, memiliki kisaran yang paling rendah dibandingkan dengan dua sistem pemeliharaan kualitas air lainnya. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi lebih bersifat basa di bandingkan dengan kondisi air laut di kedua sistem lainnya. Walaupun memiliki perbedaan kisaran nilai pH, akan tetapi semua kisaran nilai pH tersebut masih berada pada kisaran yang normal bagi benih ikan kerapu. Sun et.al (2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kadar pH antara 7,56 – 8,90 terlihat dalam kondisi hidup yang normal. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa ketiga sistem pemeliharaan dapat mempertahankan kadar pH pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu. Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, sistem resirkulasi dan sistem aerasi dapat menjaga kestabilan nilai konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan nilai pH air laut di dalam model palka. Berdasarkan perubahan nilai konsentrasi NH3 un-ionized, sistem resirkulasi memiliki kinerja yang lebih baik dalam mempertahankan kestabilan nilai konsentrasi NH3 unionized. 5.3 Densitas Benih Ikan Kerapu Bebek Berdasarkan Kebutuhan Konsumsi Oksigen Dalam FAO Document Repasitory tentang Transport of Fish Seed and Brood Fish, turunnya kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen) dalam air karena respirasi ikan, dan hiperaktivitas dan stress karena penanganan dan ruang terbatas merupakan dua dari beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kematian ikan selama transportasi. Oleh karena itu, densitas benih ikan yang optimal dalam suatu volume air sangat mempengaruhi tingkat ketahanan hidup ikan selama transportasi.
Santoso (2007)
mengemukakan bahwa laju pemakaian oksigen oleh ikan hidup tidak saja dipengaruhi oleh bobot ikan dan suhu air, akan tetapi juga ditentukan oleh tingkat kepadatan ikan dalam suatu volume air tertentu.
170
Beberapa penelitian telah dilakukan sehubungan dengan densitas ikan dan benih ikan dalam sistem transportasi ikan hidup, diantaranya Harianto (2003), Slamet et.al (2002), Suriansyah et.al (2006) dan Purwaamidjaja (2006). Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan adalah penentuan densitas ikan atau benih ikan dalam transportasi tertutup. Kondisi saat ini, penentuan densitas benih ikan dalam transportasi yang menggunakan KPIH, hanyalah berdasarkan kebiasaan semata. BPPT (2008) dalam kajian desain KPIH, memperhitungkan densitas ikan dalam palka berdasarkan kapasitas produksi dari tiap unit karamba jaring apung (KJA). Densitas benih ikan yang terlalu padat atau besar, akan mengakibatkan ketersediaan oksigen terlarut di dalam palka akan berkurang karena banyak yang terkonsumsi oleh benih ikan yang ada. Apabila benih ikan mengalami kekurangan oksigen, maka dapat dipastikan benih ikan akan mulai memasuki fase stres. Apabila benih ikan mengalami stres, maka produksi amoniak sebagai hasil sekresi benih ikan akan berlebih sehingga akan mempengaruhi kualitas air laut di sekitar benih ikan. Peningkatan amoniak di air, akan terakumulasi seiring dengan semakin tinggi tingkatan stres benih ikan yang pada akhirnya tidak saja mengakibatkan peningkatan konsentrasi amoniak, akan tetapi juga akan meningkatkan suhu dan menurunkan pH air di sekitar benih ikan itu berada. Semakin buruk kualitas air di sekitar benih ikan, maka akan semakin berkurang ketahanan hidup benih ikan. Sehingga tingkat risiko kematian benih ikan akan semakin besar. Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus tersedia di lingkungan dimana ikan (termasuk benih ikan) tersebut berada. Ketersediaan oksigen terlarut di lingkungan merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang dapat menyebabkan ikan (termasuk benih ikan) stres. Ikan yang stres akan mengalami penurunan kualitas hidup ikan. Kajian yang dilakukan pada sub bab 5.3 ini adalah merupakan kajian mitigasi tingkat risiko yang bersumber dari densitas benih ikan yang diduga akan berdampak pada kesediaan dan kestabilan konsentrasi oksigen terlarut dalam air di dalam palka. Oleh karena itu, kajian ini memiliki tujuan khusus yaitu: untuk menghitung tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL) dan menentukan densitas benih ikan kerapu bebek dalam satu liter air.
171
5.3.1 Konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) Pembahasan tentang konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek, dilengkapi dengan pembahasan tentang perubahan suhu air laut, konsentrasi NH3 un-ionized dan tingkah laku ikan kerapu bebek selama di dalam tabung respirometer.
Tujuannya
adalah untuk mendukung hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh. (1) Suhu air laut selama pengukuran Pada Gambar 46 disajikan grafik hasil pengukuran suhu air rata-rata pada kondisi Kk, Ii dan Ik dalam tabung respirometer selama 2 jam pengamatan. Nilai yang ditunjukkan pada masing-masing grafik tersebut adalah merupakan nilai pengukuran dari hasil tiga kali pengukuran.
Gambar 46 Perubahan suhu air laut rata-rata selama 120 menit (2 jam) pada kondisi Ii, Ik dan kosong.
Pada Gambar 46 terlihat bahwa suhu ruang selama pengamatan tidak mengalami perubahan. Dapat dipastikan bahwa perubahan suhu air laut tidak dipengaruhi oleh faktor luar.
Terlihat pula bahwa hasil pengukuran suhu air laut selama 2 jam
pengamatan, baik pada kondisi Kk, Ii dan Ik, mengalami peningkatan. Pada kondisi Ii, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan berkisar antara 0,7 – 0,9 ºC. Adapun pada kondisi Ik, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan berkisar antara 0,9 – 1,0 ºC. Jika perubahan suhu air laut pada kondisi Ii
172
dibandingkan dengan kondisi Ik, maka terlihat bahwa pada kondisi Ik mengalami perubahan suhu air laut yang lebih besar dibandingkan pada kondisi Ii. Kondisi ini dapat dipahami karena pada kondisi Ik, perubahan suhu air laut merupakan penjumlahan dari aktivitas yang dilakukan oleh tiga ekor benih ikan di dalam tabung respirometer. Sedangkan pada kondisi Ii, perubahan suhu air laut hanya disebabkan oleh aktivitas satu ekor benih ikan. Selanjutnya jika hasil pengukuran pada kondisi Ii dan Ik dirata-ratakan, maka terlihat bahwa suhu air pada saat pengukuran Ik mencapai 2 hingga 3 kali suhu air pada pengukuran Ii. Pada Gambar 46 terlihat pula bahwa pada kondisi Kk, suhu air laut selama 2 jam pengamatan tetap mengalami perubahan. Berdasarkan hasil pengukuran, diketahui bahwa perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan pada kondisi Kk berkisar antara 0,6 – 0,7 ºC.
Perubahan suhu air laut tersebut walaupun di dalam tabung
respirometer tidak terdapat benih ikan, kuat dugaan hal ini disebabkan adanya mesin pompa yang di tempatkan di salah satu tabung respirometer. Selama bekerja, mesin pompa menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air di sekitarnya. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer yang tidak dilengkapi dengan mesin pompa. Pengukuran suhu air laut di dalam tabung respirometer juga dilakukan selama 2 jam. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa suhu air di dalam tabung respirometer tersebut di awal pengukuran tetap sama dengan saat setelah 2 jam pengamatan, yaitu sebesar 27,2 ºC pada suhu ruang 27,0 ºC. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa perubahan suhu air pada kondisi Ii dan Ik adalah tidak sepenuhnya diakibatkan oleh adanya aktivitas benih ikan di dalamnya, akan tetapi juga karena adanya mesin pompa yang saat bekerja menghasilkan panas. Apabila suhu air laut pada kondisi Ii dan Ik dikurangi dengan suhu air laut pada kondisi Kk, maka hasil pengurangan tersebut adalah merupakan suhu air laut yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan. Dengan demikian, perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi Is berkisar antara 0,1 – 0,3 ºC. Adapun perubahan suhu air laut selama 2 jam pengamatan yang disebabkan oleh aktivitas benih ikan pada kondisi Ik adalah berkisar antara 0,2 – 0,4 ºC. Secara sederhana, dapat dihitung besarnya kontribusi tiap benih ikan terhadap perubahan suhu air pada kondisi pengukuran Ik, yaitu sebesar 0,07 - 0,13 ºC per benih ikan selama 120 menit (2 jam). Dengan demikian terlihat bahwa kontribusi perubahan
173
suhu air yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada tidak sendiri di dalam tabung respirometer (Ik) lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perubahan suhu air yang disebabkan oleh individu benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer (Ii). Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan nilai Fhit > Ftab. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kontribusi suhu yang dihasilkan oleh individu benih ikan pada kondisi Ii dengan individu benih ikan pada kondisi Ik. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 4. Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas ikan pada saat ikan mengalami stres. Stres dapat mengakibatkan meningkatnya produksi amoniak dan peningkatan suhu tubuh pada ikan. Grøttum and Sigholt (1998) menyebutkan bahwa metabolisme individu ikan dalam tabung respirometer lebih tinggi dibandingkan dengan di kolam budidaya. Tingkat stres yang tinggi dalam tabung respirometer diduga sebagai penyebab meningkatnya metabolisme dalam tubuh benih ikan. Kondisi ini disebabkan keterbatasan ruang gerak benih ikan di dalam tabung respirometer yang berbeda dengan kondisi normal keberadaan benih ikan baik di bak penampungan atau keramba apung atau alamnya. Budidaya pembenihan ikan kerapu bebek biasanya dilakukan dalam keramba jaring apung atau bak penampungan. Benih-benih ikan tersebut ditempatkan tidak sendirian akan tetapi bersama ratusan hingga ribuan benih ikan kerapu lainnya dalam satu unit penampungan. Kondisi benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer yang memiliki volume terbatas diduga menjadi penyebab meningkatnya metabolisme benih ikan akibat stres sehingga pada akhirnya menyebabkankan peningkatan suhu air selama pengukuran.
Walaupun demikian ketidaksendirian benih ikan di dalam tabung
respirometer, diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat stres benih ikan yang terjadi. Lebih rendahnya tingkat stres yang muncul, mengakibatkan peningkatan metabolisme dan suhu tubuh benih ikan tidak terlalu besar. (2) Konsentrasi oksigen terlarut Walaupun individu benih ikan yang dimasukkan ke dalam tabung respirometer pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran tidaklah sama, akan tetapi kesemua benih ikan tersebut memiliki ukuran TL antara 5 – 7 cm. Penggunaan benih ikan yang berbeda pada setiap pengukuran dan kondisi pengukuran dimaksudkan untuk
174
menghindari pengaruh faktor keterbiasaan ikan di dalam tabung respirometer yang mungkin dapat terjadi. Ukuran panjang dan berat tiap benih ikan kerapu bebek yang digunakan disajikan pada Tabel 21. Pada tabel tersebut terlihat bahwa benih ikan kerapu bebek yang berukuran TL antara 5 - 7 cm, memiliki kisaran berat tubuh antara 3,35-3,86 gram per benih ikan. Adapun tinggi badan ikan yang diukur dari bagian perut paling bawah hingga bagian punggung paling atas adalah berkisar antara 2,5-2,8 cm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ukuran benih ikan kerapu yang digunakan relatif sama besar. Pada Gambar 47, disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut (DO) rata-rata dari masing-masing kondisi Kk, Ii dan Ik. Tabel 21 Panjang dan berat ikan kerapu bebek yang dijadikan contoh uji Kondisi
Pengukuran
Ukuran Benih Ikan Kerapu Bebek Panjang (cm)
Ii
Berat (gram)
ke-1
6,5
3,47
ke-2
6,6
3,55
ke-3
6,8
3,58
6,8
3,40
6,9
3,62
6,1
3,35
6,8
3,55
6,9
3,86
6,7
3,43
6,7
3,63
6,8
3,70
6,7
3,51
ke-1
Ik ke-2
ke-3
175
Gambar 47 Rata-rata perubahan konsentrasi oksigen terlarut selama 120 menit (2 jam) pada kondisi Kk, Ii dan Ik. Gambar 47 menampilkan grafik perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut secara rata-rata dari tiga kondisi pengukuran, yaitu kondisi Kk, Ii dan Ik. Terlihat bahwa pada pengukuran kondisi kosong tidak terjadi pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama 2 jam pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penggunaan oksigen selama 2 jam pengamatan pada kondisi kosong. Adapun grafik untuk kondisi Ii dan Ik mengalami perubahan, yaitu terjadi penurunan nilai konsentrasi oksigen terlarut. Dari nilai rata-rata hasil pengukuran konsentrasi oksigen pada kondisi Ii, terlihat bahwa ketiga individu benih ikan yang diukur selama 2 jam pengamatan menggunakan oksigen dalam jumlah yang relatif sama.
Demikian pula pada pengukuran tiga
kelompok benih ikan pada kondisi Ik, menunjukkan hasil pengukuran yang relatif sama. Dari jumlah konsentrasi oksigen terlarut yang berkurang selama 2 jam pengamatan, pengurangan jumlah konsentrasi oksigen terlarut pada pengukuran Ii adalah berkisar antara 0,8 – 0,9 mg O2/liter. Adapun jumlah pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama pengukuran tiga kondisi Ik adalah berkisar antara 1,1 – 1,3 mg O2/liter. Dapat dikatakan bahwa pengurangan konsentrasi oksigen terlarut sebesar 1,1 – 1,3 mg O2/liter pada pengukuran kondisi Ik merupakan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang diakibatkan oleh adanya aktivitas 3 ekor benih ikan di dalamnya. Oleh karena itu diperkirakan setiap individu benih ikan pada ketiga kelompok benih ikan yang diukur, selama 2 jam pengamatan mengkonsumsi oksigen sebesar 0,37 – 0,40 mg O2/liter. Jika dibandingkan antara pengurangan konsentrasi oksigen terlarut selama 2 jam
176
pengamatan oleh individu benih ikan pada pengukuran kondisi Ii dengan individu benih ikan pada pengukuran Ik, terlihat bahwa pengurangan oksigen terlarut oleh individu benih ikan pada kondisi Ik, lebih kecil bila dibandingkan dengan individu benih ikan pada kondisi Ii. Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa benih ikan yang mengalami stres, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan metabolisme dalam tubuh benih ikan. Sehingga untuk mengimbangi peningkatan metabolisme di dalam tubuh benih ikan tersebut, maka benih ikan yang stres akan mengkonsumsi oksigen lebih benyak lagi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer diduga mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabung respirometer. Jika grafik Ii dan Ik saling dibandingkan, maka terlihat bahwa mulai menit ke-0 hingga menit ke-70 pengamatan, kedua grafik cenderung mengalami penurunan yang relatif sama. Barulah pada menit ke-70 hingga ke-120, terjadi perubahan penurunan konsentrasi oksigen terlarut yang cukup signifikan di antara keduanya. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan nilai Fhit > Ftab. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai konsumsi oksigen benih ikan yang digunakan oleh individu ikan pada kondisi Ii dengan individu ikan pada kondisi Ik. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 4. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, pengkondisian benih ikan yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang selama ini ditempatinya, dapat menimbulkan stres pada benih ikan. Benih ikan yang stres akan mengalami peningkatan metabolisme di dalam tubuh yang ditandai dengan meningkatnya produksi amoniak dan suhu tubuh. Berdasarkan hasil pengukuran suhu air laut pada pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa peningkatan suhu air laut yang disebabkan oleh satu ekor benih ikan kerapu bebek pada kondisi Ii lebih besar bila dibandingkan dengan satu ekor benih ikan kerapu bebek pada kondisi Ik. Lebih besarnya perubahan konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air di dalam tabung respirometer yang disebabkan oleh individu benih ikan yang sendirian di dalam tabung respirometer (kondisi Ii) menunjukkan kecenderungan untuk menduga bahwa benih ikan tersebut mengalami tingkat stres yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung
177
respirometer (kondisi Ik). Dugaan ini diperkuat dari hasil pengamatan tingkah laku benih ikan yang berada pada kondisi Ii dan Ik. (3) Tingkah laku benih ikan Tingkah laku benih ikan juga turut diamati selama pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam tabung respirometer. Informasi tentang tingkah laku benih ikan dibutuhkan untuk melengkapi analisis hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air. Pada Tabel 22 disajikan perbandingan tingkah laku benih ikan pada kondisi Ii dan Ik, ditinjau dari gerakan operculum dan aktivitas fisik selama 120 menit pengamatan. Schreck and Moyle (1990) mengemukakan bahwa respirasi pada ikan merupakan proses mengambil oksigen dari lingkungan dan mengeluarkan gas buang ke lingkungan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses membuka dan menutupnya operculum ikan juga merupakan bagian dari proses respirasi. Berdasarkan pengamatan terhadap gerakan operculum, yaitu waktu yang dibutuhkan mulai dari saat terbukanya operculum hingga tertutup, rata-rata di menitmenit awal pengamatan setiap gerakan operculum membutuhkan waktu rata-rata 0,656 detik/bukaan untuk benih ikan yang sendiri (kondisi Ii), dan rata-rata 0,698 detik/bukaan untuk benih ikan yang tidak sendiri (kondisi Ik). Ditinjau dari gerakan operculum di awal pengamatan yang tidak berbeda secara signifikan di kedua kondisi tersebut, menunjukkan bahwa kondisi benih ikan pada kedua kondisi di awal pengamatan berada pada kondisi stres yang sama,yaitu kondisi dimana benih ikan mengalami stres saat dimasukkan ke tempat yang baru.
178
Tabel 22 Tingkah laku benih ikan pada kondisi Ii dan Ik. No
Pengamatan terhadap
Kondisi pengamatan Ii
1
2
Gerakan operculum: - di awal pengamatan - di tengah pengamatan - di akhir pengamatan Aktivitas fisik: - di awal pengamatan:
Ik
0,656 detik/bukaan 0,946 detik/bukaan 0,951 detik/bukaan
0,698 detik/bukaan 0,629 detik/bukaan 0,464 detik/bukaan
diam tanpa menggerakkan sirip
diam tanpa menggerakkan sirip
± 20 menit setelah di dalam tabung respirometer
± 50 menit setelah di dalam tabung respirometer
± 30 menit setelah di dalam tabung respirometer
± 70 menit setelah di dalam tabung respirometer
- berenang ke atas
± 60 menit setelah di dalam tabung respirometer
± 85 menit setelah di dalam tabung respirometer
- di akhir pengamatan
> 10 kali hingga akhir pengamatan
< 5 kali hingga akhir pengamatan (bergantian)
- mulai bergerak dari kondisi diam: - melakukan gerakan renang: - mulai berenang ke atas
diam dengan hanya menggerakkan sirip dada
3 Posisi benih ikan: - di awal pengamatan: - di akhir pengamatan
di dasar di dasar
diam dengan hanya menggerakkan sirip dada dan ekor di dasar di dasar
Gerakan operculum benih ikan pada kondisi Ii dan Ik diawal pengamatan hingga akhir pengamatan mengalami perubahan. Benih ikan pada kondisi Ii, semakin lama berada di dalam tabung respirometer, gerakan membuka dan menutup operculumnya semakin bertambah lama. Operculumnya pun terbuka semakin lebar. Semakin lama atau lebarnya bukaan operculum ikan, menandakan bahwa benih ikan tersebut semakin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengambil oksigen dari lingkungan. Lain halnya yang terjadi pada kondisi benih ikan yang tidak sendiri (Ik), dimana gerakan operculum di awal hingga akhir pengamatan semakin bertambah cepat. Kondisi ini
179
menunjukkan adanya pengurangan waktu gerakan operculum di akhir pengamatan bila dibandingkan dengan di awal pengamatan.
Peneliti juga mencoba melakukan
pengamatan terhadap gerakan operculum benih ikan di bak penampungan dalam kondisi normal. Pada kondisi normal, teramati gerakan operculum benih ikan kerapu dengan ukuran yang sama dengan yang diteliti, memiliki gerakan yang lebih cepat sehingga peneliti sulit untuk menghitung kecepatan gerak operculum benih ikan tersebut. Diduga kecepatan gerak operculum benih ikan di bak penampungan lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan gerak operculum di akhir pengamatan pada kondisi Ik (lebih kecil dari 0,464 detik/bukaan). Semakin lamanya waktu yang dibutuhkan oleh operculum untuk membuka hingga menutup kembali, menunjukkan adanya upaya yang lebih keras lagi dari benih ikan tersebut untuk menyaring oksigen dari air yang berada di sekitarnya. FishVet.Inc. (2000), menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan stres, yaitu escape, adapt, fatique, dan exhaustion. Keempat tingkatan stres tersebut ditandai dengan meningkatnya gerakan operculum pada ikan. Peningkatan gerakan operculum yang dimaksud bisa berupa semakin bertambah cepat atau sebaliknya, semakin lambat tergantung pada kondisi normal ikan.
Berdasarkan pemaparan di atas, semakin
besarnya bukaan operculum pada benih ikan kerapu bebek menandakan bahwa benih ikan kerapu bebek mengalami peningkatan metabolisme sehingga membutuhkan oksigen yang lebih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi benih ikan yang sendiri diduga lebih stres bila dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya oleh Grøttum and Sigholt (1998). Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi benih ikan kerapu di akhir pengukuran pada kondisi Ik lebih mendekati kondisi normal benih ikan kerapu tersebut saat di bak penampungan. Berdasarkan aktivitas fisik, benih ikan yang sendiri lebih cepat melakukan gerakan setelah diam beberapa saat sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri. Bahkan benih ikan yang sendiri rata-rata 25 menit lebih cepat bila dibandingkan benih ikan yang tidak sendiri untuk melakukan gerakan berenang ke atas. Pada Gambar 48 dan 49 disajikan beberapa kondisi benih ikan saat pengamatan dilakukan.
180
(a) Ikan sendiri (Ii)
(b) Ikan tidak sendiri (Ik)
Gambar 48 Tingkah laku ikan di awal pengamatan.
(a) Ikan berenang ke atas
(b) Salah satu ikan berenang ke atas
Gambar 49 Aktivitas ikan: berenang ke atas.
Pada Tabel 22 terlihat bahwa benih ikan yang sendiri (kondisi Ii) mulai berenang ke atas setelah 60 menit sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer. Adapun benih ikan yang tidak sendiri (kondisi Ik) mulai berenang ke atas setelah 85 menit sejak dimasukkan ke dalam tabung respirometer, dan aktivitas berenang ke atas dilakukan secara bergantian di antara ketiga benih ikan tersebut. Di akhir pengamatan, benih ikan pada kondisi Ii rata-rata diam di dasar hanya dengan menggerakan sirip dada. Adapun benih ikan pada kondisi Ik, rata-rata ketiganya juga diam di dasar, akan tetapi sambil menggerakkan sirip dada dan ekor.
181
(4) Amoniak tak terionisasi (NH3 un-ionized) Gowen and Bradbury (1987) dalam Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan. Ikan mengeluarkan nitrogen dalam bentuk amoniak, urea, amines dan amino acids.
Boyd (1982) menyatakan bahwa total ammoniak
nitrogen (NH3-N) adalah merupakan penjumlahan dari ion ammonium (NH4+) dan NH3 un-ionized. Ion ammonium tidak bersifat racun bagi ikan. Lain halnya amoniak unionized bersifat racun bagi ikan. Amoniak tersebut akan lebih bersifat racun lagi apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. The European Inland Fisheries Advisory Commission (1973) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa konsentrasi amoniak yang membahayakan dalam waktu singkat adalah jika mengandung 0,6 sampai dengan 2,0 mg/liter dari NH3-N untuk hampir semua jenis ikan. Berdasarkan hasil uji konsentrasi NH3 un-ionized selama pengukuran berlangsung (2 jam) pada setiap kondisi, NH3 un-ionized yang dihasilkan oleh benih ikan yang sendiri (kondisi Ii) rata-rata mencapai 0,021 mg/liter. Adapun kandungan NH3 un-ionized yang dihasilkan oleh 3 ekor benih ikan yang tidak sendiri (kondisi Ik) rata-rata mencapai 0,017 mg/liter. Diperkirakan produksi amoniak un-ionized untuk 1 ekor benih ikan pada kondisi Ik adalah sebesar 0,006 mg/liter. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya oleh Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004), stres ikan mengakibatkan peningkatan metabolisme atau aktivitas ikan yang ditandai salah satunya adalah dengan meningkatnya produksi amoniak. Tingkat stres yang lebih rendah pada benih ikan yang tidak sendiri bila dibandingkan dengan benih ikan yang sendiri menjadi penyebab produksi amoniak rata-rata oleh 1 ekor benih ikan pada kondisi tidak sendiri (kondisi Ik) menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan produksi amoniak oleh benih ikan yang sendiri (kondisi Ii). Pada kondisi yang tertutup sebagaimana yang terjadi pada tabung respirometer selama pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dilakukan, diduga akan selalu terjadi akumulasi pertambahan suhu air dan amoniak yang pada akhirnya akan menambah tingkat stres benih ikan. Secara sederhana dapat dideskripsikan proses terjadinya peningkatan level stres pada benih ikan yang terdapat di dalam tabung respirometer selama pengukuran.
Panas yang dihasilkan oleh mesin yang bekerja, akan
182
meningkatkan suhu air di dalam tabung respirometer. Suhu air menurut FishVet.Inc (2000) adalah merupakan salah satu faktor fisika lingkungan yang dapat menyebabkan ikan stres. Perubahan suhu lingkungan tersebut segera dirasakan oleh benih ikan yang ada di dalamnya. Tubuh benih ikan mulai bereaksi untuk beradaptasi dengan adanya peningkatan suhu lingkungan tersebut, yaitu berupa peningkatan metabolisme dalam tubuh benih ikan. Peningkatan metabolisme benih ikan pada akhirnya akan mengakibatkan semakin bertambah banyaknya keluaran amoniak dari tubuh benih ikan, dan amoniak merupakan salah satu faktor kimia lingkungan yang dapat mengakibatkan benih ikan stres. Peningkatan metabolisme benih ikan akan diikuti oleh peningkatan konsumsi oksigen terlarut oleh benih ikan. Selama pengukuran dilakukan, tidak terjadi penambahan konsentrasi oksigen terlarut dalam air yang terdapat di dalam tabung respirometer.
Peningkatan konsumsi oksigen oleh benih ikan, mengakibatkan
ketersediaan oksigen terlarut di lingkungan semakin berkurang.
Pengurangan
konsentrasi oksigen terlarut di lingkungan, merupakan salah faktor fisik lingkungan selain suhu air yang dapat mengakibatkan benih ikan stres. Pertambahan suhu air dan amoniak serta pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di lingkungan yang terjadi secara terus menerus di duga sebagai penyebab meningkatnya level respon stres benih ikan di dalam tabung respirometer. Terlebih jika kandungan amoniak di lingkungan sangat tinggi, maka akan semakin cepat terjadinya peningkatan level stres pada benih ikan, dan mungkin saja akan mempercepat kematian benih ikan. (5) Konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek Penentuan konsumsi oksigen benih ikan dilakukan dengan mengukur konsentrasi oksigen di awal dan di akhir pengukuran dengan memperhitungkan volume air dan waktu pengukuran sebagaimana persamaan yang dikemukakan oleh Schreck dan Moyle (1990) (persamaan 1). Akan tetapi sebelum pengukuran konsumsi oksigen benih ikan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran dalam kondisi kosong, yaitu pengukuran dimana di dalam tabung respirometer hanya terdapat air laut tanpa benih ikan di dalamnya. Tujuan pengukuran kondisi kosong adalah untuk memastikan bahwa air laut yang berada di dalam tabung respirometer tidak berisi jasad renik. Berdasarkan hasil pengukuran saat kondisi kosong, konsentrasi oksigen terlarut di awal dan di akhir pengukuran tidak berubah (Gambar 47). Kondisi ini menunjukkan bahwa air laut di
183
dalam tabung respirometer tidak mengandung jasad renik. Pada Tabel 23 disajikan nilai konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh dengan menggunakan persamaan 1. Tabel 23 Nilai konsumsi oksigen
Kondisi
Pengukuran
Ii
ke-1 ke-2 ke-3
Ukuran benih ikan kerapu bebek Panjang Berat (cm) (gram) 6,5 3,47 6,6 3,55 6,8 3,58
Nilai tengah: Ik
ke-1
ke-2
ke-3
6,8 6,9 6,1 6,8 6,9 6,7 6,7 6,8 6,7
3,40 3,62 3,35 3,55 3,86 3,43 3,63 3,70 3,51
Nilai tengah:
Konsumsi oksigen/ekor (mg O2/jam/ekor) 1,836 1,632 1,632 1,734 0,884
0,816
0,748 0,816
Pada Tabel 23 terlihat bahwa nilai konsumsi oksigen tiap individu benih ikan pada pengukuran kondisi Ii adalah berkisar antara 1,632 – 1,836 mg O2/jam dengan nilai tengah sebesar 1,734 mg O2/jam. Adapun nilai konsumsi oksigen rata-rata tiap individu benih ikan pada pengukuran kondisi Ik adalah berkisar antara 0,748 – 0,884 mg O2/jam dengan nilai tengah sebesar 0,816 mg O2/jam.
Jika mengacu pada nilai tengah
konsumsi pada kedua kondisi pengukuran, maka nilai konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran TL antara 5 – 7 cm adalah berkisar antara 0,816 – 1,734 mg O2/jam per ekor. Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa nilai konsumsi oksigen satu ekor benih ikan yang tidak sendiri lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai konsumsi oksigen satu ekor benih ikan yang sendiri. Jika dikaitkan dengan paparan sebelumnya tentang perubahan suhu air dan tingkah laku benih ikan, lebih kecilnya nilai konsumsi oksigen satu ekor benih ikan yang tidak dalam kondisi sendiri mungkin saja terjadi. Diduga benih ikan yang dalam kondisi sendiri di dalam tabung respirometer (kondisi Ii) lebih stres bila dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabung
184
respirometer (kondisi Ik). Sehingga diduga bahwa metabolisme benih ikan yang sendiri lebih tinggi bila dibandingkan dengan metabolisme benih ikan yang tidak sendiri. Dugaan ini diperkuat dari hasil uji contoh air yang menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 un-ionized pada kondisi Ik lebih kecil bila dibandingkan dengan konsentrasi NH3 un-ionized pada kondisi Ii. Dengan demikian, maka benih ikan yang sendiri mengalami metabolisme yang lebih tinggi sehingga membutuhkan oksigen yang lebih banyak bila dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabung respirometer. Dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang sendiri di dalam tabung respirometer lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabungrespirometer. 5.3.2 Densitas benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) Densitas benih ikan kerapu bebek yang akan diestimasi dalam sub bab ini mengacu pada kebutuhan konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang berukuran TL antara 5 – 7 cm serta konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia di dalam suatu volume air laut. Berdasarkan hasil kajian terhadap konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5-7 cm, konsumsi oksigen benih ikan tersebut berkisar antara 0,816 – 1,734 mg O2/jam per ekor atau sebesar 0,231 – 0,492 mg O2/gr berat/jam. Untuk selanjutnya, estimasi densitas benih ikan tersebut dalam satu liter air laut dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.
Hasil
perhitungannya disampaikan pada Tabel 24. Penentuan densitas minimum benih ikan kerapu bebek adalah berdasarkan nilai tengah dari konsumsi oksigen benih ikan tersebut yang diukur dalam kondisi Is (sendiri) dan penentuan densitas maksimum adalah berdasarkan nilai tengah dari konsumsi oksigen satu ekor benih ikan kerapu bebek yang diukur dalam kondisi Ik (tidak sendiri/kelompok) sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab 5.3.1.
185
Tabel 24 Estimasi densitas benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) ukuran panjang badan total antara 5 – 7 cm
Jenis perlakuan
Konsentrasi O2 terlarut terendah (mg O2/liter)
Resirkulasiaerasi
6,5
Resirkulasi
6,4
Aerasi Keterangan:
6,5
Densitas
JB /model palka (ekor)
JB/model DB palka (-20%) (ekor/liter) (ekor)
DBmin
34
27
3,0
DBmaks
72
58
6,4
DBmin
33
27
3,0
DBmaks
71
57
6,3
DBmin
34
27
3,0
DBmaks
72
58
6,4
JB = jumlah benih ikan DB = densitas benih ikan
Tabel 24 menyajikan hasil estimasi densitas benih ikan berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut terendah yang terukur selama 24 jam pada kajian sistem pemeliharaan kualitas air.
Pada Tabel 24 terlihat bahwa pada setiap sistem
pemeliharaan kualitas air yang berbeda, jumlah benih ikan dalam satu liter air laut relatif sama. Hal ini disebabkan karena nilai minimal dari konsentrasi oksigen terlarut pada ketiga sistem pemeliharaan kualitas air relatif sama. Untuk selanjutnya, densitas benih ikan yang diperhitungkan adalah 80 % dari jumlah benih yang diperoleh dengan menggunakan persamaan 2. Pengurangan 20 % dilakukan untuk lebih memberikan zona aman (save zone) bagi ketersediaan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Hal ini dikarenakan, pada saat transportasi benih ikan tersebut dilakukan, sangat sulit dilakukan proses sterilisasi palka, air laut dan ikan yang akan dimasukkan ke dalam palka dari kemungkinan adanya jasad renik seperti bakteri dan virus yang mungkin saja terdapat di dalam air laut atau bahkan menempel pada benih ikan.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Zimmermann and Kunzmann (2001), bahwa di dalam air laut dan pada tubuh ikan, banyak terdapat bakteri atau virus yang juga mengkonsumsi oksigen sebagaimana halnya ikan.
186
Berdasarkan hasil estimasi terhadap densitas benih ikan kerapu bebek tersebut, terlihat bahwa densitas benih ikan pada setiap perlakuan memiliki nilai yang sama baik pada densitas minimum maupun maksimum, yaitu masing-masing 3 dan 6 ekor/liter. 5.4 Uji Coba Mitigasi Risiko Terhadap Ketahanan Hidup Benih Ikan Kerapu Bebek Kajian pada tahap ini adalah merupakan uji coba dari hasil kajian mitigasi yang meliputi desain palka (sub bab 5.1), sistem pemeliharaan kualitas air (sub bab 5.2) dan densitas benih ikan kerapu bebek berdasarkan konsumsi oksigen benih ikan (sub bab 5.3).
Dalam uji coba mitigasi, desain palka yang digunakan adalah model palka
berbentuk kotak yang dilengkapi sirip peredam di dinding bagian dalam model palka. Adapun sistem pemeliharaan kualitas air yang digunakan dalam uji coba adalah sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Pemilihan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dalam uji coba disebabkan karena sistem tersebut secara rata-rata menghasilkan nilai konsentrasi oksigen yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kedua sistem pemeliharaan kualitas air lainnya. Adapun suhu air laut yang dihasilkan oleh sistem kombinasi resirkulasi-aerasi tersebut tidak terlalu
tinggi bila dibandingkan dengan sistem
resirkulasi. Selanjutnya densitas benih ikan kerapu bebek yang digunakan dalam uji coba adalah 80 % dari densitas maksimum (DBmaks, - 20%). Pengurangan sebesar 20 % dari DBmaks telah dipaparkan dalam sub bab yang membahas tentang densitas benih ikan (5.3.2), sehingga jumlah benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5-7 cm yang digunakan dalam uji coba adalah sebanyak 58 ekor per unit model palka atau sebanyak 232 ekor per percobaan (untuk 4 unit model palka per percobaan). Tingkat ketahanan hidup benih ikan merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan dalam transportasi benih ikan. Tingkat ketahanan hidup benih ikan yang tinggi merupakan indikasi keberhasilan sistem transportasi tersebut. Oleh karena itu, sistem pemeliharaan kualitas air dan densitas benih ikan yang tepat dalam suatu volume air merupakan dua faktor yang mendukung keberhasilan transportasi benih ikan. Pada kajian risiko yang dipaparkan dalam bab 4, kematian benih ikan selama transportasi dapat pula disebabkan karena terbaliknya kapal. Terbaliknya kapal yang dimaksud adalah disebabkan karena adanya efek free surface saat terjadinya gerakan rolling kapal yang dapat mengakibatkan menurunnya stabilitas kapal.
187
Berdasarkan paparan di atas, maka uji coba adalah merupakan upaya untuk membuktikan hasil kajian mitigasi yang telah dilakukan terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek dalam simulasi transportasi. Oleh karena itu, materi uji coba yang digunakan adalah implementasi dari hasil kajian mitigasi yang sebelumnya telah dilakukan. Materi uji coba yang dimaksud adalah mencakup desain palka, sistem pemeliharaan kualitas air dan densitas benih ikan hasil kajian mitigasi tingkat risiko. Hasil uji coba ini sekaligus akan digunakan pada kajian ulang tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ untuk benih ikan kerapu bebek. Dengan demikian, tujuan khusus dalam pelaksanaan uji coba ini adalah: 1) Mengetahui apakah sistem kombinasi resirkulasi-aerasi mampu menyediakan kualitas air laut sesuai dengan kebutuhan benih ikan kerapu bebek. 2) Mengetahui apakah pemasangan sirip peredam akan mempengaruhi survival ratio benih ikan kerapu bebek dan kualitas air laut yang berada di dalam model palka, 3) Mengetahui apakah densitas benih ikan yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek dapat diterapkan dalam transportasi. 4) Menentukan tingkat survival ratio benih ikan kerapu bebek selama simulasi transportasi dengan menggunakan hasil kajian mitigasi risiko, Uji coba dilakukan selama 48 jam. Hal ini dimaksudkan karena desain palka dan sistem pemeliharaan kualitas air yang melengkapinya, dirancang untuk dapat mempertahan hidup benih ikan kerapu bebek yang diangkut dengan menggunakan KPIH selama minimal 48 jam perjalanan. 5.4.1 Tingkat ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek Berdasarkan hasil uji coba ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek diketahui bahwa seluruh benih ikan kerapu bebek tetap bertahan hidup hingga akhir pengamatan, yaitu setelah 48 jam. Setelah benih-benih ikan tersebut melewati masa eksperimen selama 48 jam, selanjutnya benih-benih ikan tersebut dikeluarkan dari dalam model palka untuk dimasukkan ke dalam bak penampungan. Peneliti menyiapkan dua bak penampungan, satu bak penampungan hanya berisi air laut saja sedangkan bak penampungan lainnya telah diisi beberapa ekor benih ikan kerapu bebek berukuran yang sama.
188
Saat dimasukkan ke dalam bak penampungan, tidak dilakukan proses aklimatisasi yang bertujuan untuk mempercepat proses adaptasi benih ikan dengan lingkungan yang barunya. Proses pengangkatan benih ikan dari dalam keempat model palka ke bak penampungan berlangsung sekitar 5 menit. Saat benih ikan yang telah diikutkan dalam percobaan dimasukkan ke dalam bak penampungan yang hanya berisi air laut saja, benih-benih ikan tersebut segera berenang ke dasar bak dan kemudian diam di dasar tanpa menggerakkan siripnya untuk beberapa saat. Sekitar 6 menit kemudian, beberapa ikan baru ada yang mulai bergerak berenang ke atas permukaan. Tidak lebih dari 1 menit kemudian (atau tidak lebih dari 7 menit setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan), ikan yang telah berada di permukaan mulai diberi makan dan mau. Setelah sekitar 15 menit setelah ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan, semua ikan telah naik ke permukaan dan memakan makanan yang diberikan. Adapun benih ikan yang dimasukkan ke dalam bak penampungan yang telah berisi beberapa ekor benih ikan kerapu bebek dengan ukuran yang sama,
saat
dimasukkan ke dalam bak penampungan, benih-benih ikan tersebut juga segera berenang ke dasar bak dan kemudian diam di dasar tanpa menggerakkan siripnya untuk beberapa saat. Akan tetapi sekitar 2 menit kemudian, beberapa ikan telah ada yang mulai bergerak berenang ke atas permukaan. Kurang dari 1 menit kemudian (atau tidak lebih dari 3 menit setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan), ikan yang telah berada di mulai memakan makanan yang diberikan. Tidak lebih dari 5 menit setelah ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan, semua ikan telah naik ke permukaan dan memakan makanan yang diberikan. Jika kedua kondisi benih ikan kerapu bebek di kedua bak penampungan tersebut dibandingkan, maka terlihat bahwa benih ikan yang dimasukkan ke dalam bak penampungan yang berisi beberapa ekor benih ikan kerapu bebek, lebih cepat beradaptasi yaitu sekitar 5 menit. Pernyataan ini sebaiknya diteliti lebih lanjut lagi. Kesimpulan sementara, penerapan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan benih ikan kerapu bebek selama transportasi tidak saja mampu mempertahankan hidup benih ikan hingga 100 %, akan tetapi juga setelah transportasi. Hasil perhitungan survival ratio dari masing-masing pengukuran disajikan pada Tabel 25.
Adapun grafik survival ratio pada saat simulasi transportasi dan pasca
189
simulasi transportasi, disajikan pada Gambar 50.
Pada grafik survival ratio
menunjukkan survival ratio benih ikan dalam dua fase, yaitu fase simulasi transportasi dan pasca simulasi transportasi. Pada grafik tersebut terlihat bahwa survival ratio benih ikan kerapu bebek mencapai nilai 100 %. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi mampu mempertahankan hidup benih ikan selama simulasi transportasi. Demikian pula pasca simulasi, walaupun tanpa dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu, hingga 3 hari setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan tujuan, benih ikan tetap bertahan hidup.
Purbayanto et.al (2001), melakukan penelitian
terhadap ketahanan hidup ikan setelah penangkapan. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada hari kedua, penurunan kurva survival mulai berkurang dan mulai stabil pada hari ketiga setelah penangkapan. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka nilai survival ratio benih ikan yang tetap berada pada nilai 100 % menunjukkan bahwa benih-benih ikan tersebut akan tetap bertahan hidup untuk selanjutnya. Tabel 25
Nilai survival ratio benih ikan kerapu bebek selama 48 jam di dalam model palka kotak yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi-aerasi Ulang
an
Jumlah benih ikan kerapu bebek Di Awal
Survival Ratio
Di
(%)
Akhir 1
58
58
100
2
58
58
100
3
58
58
100
Rata-
58
58
100
rata
190
Simulasi transportasi
Setelah simulasi transportasi
Gambar 50 Survival ratio benih ikan kerapu saat dan pasca simulasi transportasi.
5.4.2 Parameter fisik dan kimia air laut di dalam palka (1) Konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus dipenuhi di lingkungan tempat ikan tersebut berada. Kandungan oksigen dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan.
Schreck and Moyle (1990)
mengemukakan bahwa respirasi pada ikan adalah proses mengambil oksigen dari lingkungan dan mengeluarkan gas buang ke lingkungan. Apabila dalam suatu volume air tertentu tidak terdapat suplai oksigen ke dalamnya, maka oksigen yang digunakan oleh makhluk hidup yang berada di dalam air tersebut makin lama akan semakin berkurang dan bahkan habis. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air.
Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya.
Organisme hidup
191
tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Dalam pembahasan tentang konsentrasi oksigen terlarut pada sub bab 5.2 tentang sistem pemeliharaan kualitas air, diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/liter) pada air laut yang terdapat di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi berkisar antara 6,5 – 6,9 mg O2/liter dengan nilai rata-rata sebesar 6,66 mg O2/liter selama 48 jam pengamatan. Pada Gambar 51 disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut selama 48 jam pengamatan. Grafik tersebut adalah merupakan hasil pengukuran ratarata dari empat palka dalam setiap ulangan uji coba. Pada grafik tersebut dalam ketiga pengamatan, terlihat bahwa setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka, konsentrasi oksigen terlarut yang terukur mengalami pengurangan bila dibandingkan dengan saat sebelum benih ikan dimasukkan ke dalam model palka tersebut. Pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang terjadi berkisar antara 0,3 – 1,2 mg O2/liter. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,3 – 1,2 mg O2/liter oleh 58 ekor benih ikan selama 10 menit setelah benih ikan dimasukkan ke dalam model palka. Secara sederhana dapat dihitung laju konsumsi oksigen tiap benih ikan kerapu bebek di dalam model palka pada 10 menit pertama setelah dimasukkan ke dalam model palka, yaitu berkisar antara 0,294 – 1,040 mg O2/ekor benih ikan/menit. Pada ketiga grafik juga terlihat bahwa hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut mulai cenderung stabil setelah 8 – 16 jam benih ikan berada di dalam model palka. Rata-rata konsentrasi oksigen terlarut yang terukur saat kondisi stabil tersebut adalah berkisar antara 5,9 – 6,6 mg O2/liter. Jika dibandingkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebelum benih ikan dimasukkan, yaitu berkisar antara 6,5 – 7,2 mg O2/liter, terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,5 – 1,3 mg O2/liter oleh 58 ekor benih ikan kerapu bebek di dalam model palka selama 40 jam. Secara sederhana dapat dihitung rata-rata nilai laju konsumsi oksigen per benih ikan, yaitu sebesar 0,068 – 0,311 mg O2/jam/ikan. Jika nilai laju konsumsi oksigen tersebut bila dibandingkan dengan laju konsumsi oksigen benih ikan pada saat pengukuran konsumsi oksigen benih ikan di dalam tabung respirometer (0,816 – 1,734 mg O2/jam/ikan, sub bab 5.3), diketahui bahwa laju konsumsi benih ikan di dalam model palka jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat benih ikan berada di dalam tabung respirometer. Kondisi ini menunjukkan bahwa metabolisme benih ikan di dalam tabung respirometer jauh lebih tinggi bila
192
dibandingkan dengan saat benih ikan berada di dalam model palka. Hal ini diduga karena tingkat stres di dalam tabung respirometer lebih tinggi.
Gambar 51
Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan).
Pada Gambar 51 terlihat bahwa nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia (setelah pemakaian) yaitu berkisar antara 5,4 – 6,8 mg O2/liter. Berdasarkan hasil penelitian Gray et.al (2002) dan Setyadi et.al (2008) menyebutkan bahwa semua ikan akan mati apabila konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia mencapai 2,0 mg O2/liter.
Akan tetapi Brule et.al (1996) menyebutkan bahwa kematian benih ikan
kerapu merah (Red grouper) dapat terjadi jika konsentrasi oksigen terlarutnya berkisar antara 3,9 – 4,7 mg O2/liter. Berdasarkan literatur yang ada, maka ketersediaan oksigen terlarut di dalam air laut setelah pemakaian oleh ikan, masih mencukupi untuk mendukung hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model palka. (2) Nilai pH air laut di dalam model palka Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al. 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Hal ini disebabkan karena kadar pH yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan
193
meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Penurunan pH di dalam air dapat disebabkan oleh banyaknya karbondioksida yang diproduksi selama ikan berespirasi. turunnya
pH
akan
Tingginya kandungan karbondioksida dibarengi dengan
lebih
berbahaya
terhadap
kelangsungan
hidup
ikan
(hobiikan.blogspot.com, 2008). Tingkat sensitivitas ikan terhadap kadar pH yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Hasil pengukuran pH pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kualitas air kombinasi resirkulasi dan aerasi adalah berkisar antara 8,02 – 8,08. Pada Gambar 52 disajikan grafik hasil pengukuran kadar pH air laut rata-rata dari keempat palka selama 48 jam simulasi transportasi. Pada grafik tersebut terlihat kecenderungan terjadinya penurunan nilai pH setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka. Penurunan pH yang terjadi berkisar antara 0,1 – 0,2, akan tetapi pada salah satu ulangan uji coba (ulangan 1), penurunan pH baru diketahui saat pengukuran dilakukan setelah 4 jam benih ikan di dalam model palka, dengan penurunan nilai pH sebesar 0,4. Untuk selanjutnya nilai pH pada ketiga pengamatan cenderung menunjukkan kestabilan setelah benih ikan berada di dalam model palka selama 4 jam, dengan nilai pH rata-rata berkisar antara 7,5 – 7,7. Jika dibandingkan hasil pengukuran pH pada sub bab 5.3, yaitu antara 8,02 – 8,08 pada kondisi tanpa benih ikan, terlihat bahwa keberadaan benih ikan di dalam model palka mengakibatkan kadar pH menurun dari basa menuju ke netral.
Kondisi ini menunjukkan adanya
sejumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh benih ikan di dalam palka tersebut. Akan tetapi menurut Swingle dan Pescod dalam Wardoyo (1981), kisaran pH air yang ideal bagi perikanan adalah antara 6,5 – 8,5.
Dengan demikian, walaupun mengalami
penurunan nilai pH, kadar pH di dalam model palka masih dalam rentang nilai ideal bagi hidup benih ikan.
194
Gambar 52 Fluktuasi pH (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan).
(3) Suhu air di dalam model palka Eksperimen terhadap ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 25,5 – 27 ºC. Perbedaan suhu ruang yang terjadi adalah sebesar 1,5 ºC.
Saat eksperimen yang bertujuan untuk mengukur
parameter fisik air laut di dalam model palka dengan sistem pemeliharaan yang berbeda dilakukan (lihat sub bab 5.2), eksperimen dilakukan dalam kisaran suhu ruang antara 24 – 25 ºC, dengan perbedaan suhu ruang sebesar 1 ºC. Terlihat bahwa perbedaan suhu ruang antar kedua eksperimen tidak berbeda jauh. Dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi diketahui bahwa suhu air laut yang terukur selama 48 jam adalah berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Pengukuran suhu air laut tersebut adalah pada saat tidak terdapat benih ikan di dalamnya. Pada Gambar 53 disajikan hasil pengukuran suhu air laut secara rata-rata dari keempat model palka selama 48 jam eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek. Pada grafik tersebut terlihat bahwa rata-rata suhu air laut dalam tiga pengamatan berkisar antara 27,5 - 28,3 ºC.
195
Gambar 53 Fluktuasi suhu air laut (hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan). Pada grafik di atas terlihat bahwa suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka cenderung meningkat. Hal ini diduga terjadi karena adanya aktivitas benih ikan di dalam model palka tersebut. Sebagaimana manusia, umumnya saat seseorang melakukan aktivitas yang lebih dibandingkan biasanya seperti misalnya melakukan aktivitas olah raga, biasanya suhu tubuh meningkat. Kondisi ini terjadi disebabkan karena adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh manusia tersebut. Demikian pula halnya dengan benih ikan yang dimasukkan ke dalam model palka. Pada saat benih-benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam model palka, maka untuk sesaat benih-benih ikan tersebut akan melakukan adaptasi dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan barunya. Proses adaptasi ini diduga mengakibatkan adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh benih ikan yang pada akhirnya akan meningkatkan suhu tubuh benih ikan. Peningkatan suhu tubuh benih ikan inilah yang diduga memberikan kontribusi kepada peningkatan suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka. (4) Amoniak tak terionisasi (NH3 Un-ionized) di dalam model palka NH3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH3 un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang relatif rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam
196
Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan. Pada eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek, dilakukan pengambilan contoh uji air untuk diukur konsentrasi NH3 un-ionized, yaitu di awal dan di akhir hari pengamatan. Pada Tabel 26 disajikan nilai konsentrasi NH3 un-ionized hasil pengukuran dari eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek. Tabel 26 Konsentrasi NH3 un-ionized saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek NH3 (mg/liter) Pengukuran ke-
Awal
Akhir
Selisih
1
0,025
0,167
0,142
2
0,037
0,144
0,107
3
0,048
0,061
0,013
Rata-rata
0,037
0,124
0,087
Pada Tabel 26 terlihat bahwa nilai konsentrasi NH3 un-ionized di akhir eksperimen mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,087 mg/liter. Secara grafik, peningkatan nilai konsentrasi NH3 un-ionized disajikan pada Gambar 54. Timbulnya peningkatan nilai konsentrasi NH3 un-ionized sebesar 0,087 mg/liter, apabila diasumsikan bahwa di dalam air laut tersebut tidak terdapat biota air lainnya selain benih ikan kerapu bebek, adalah disebabkan oleh adanya aktivitas dari benih ikan kerapu bebek sebanyak 58 ekor. Secara sederhana dikatakan bahwa satu ekor benih ikan kerapu bebek selama dua jam mengeluarkan NH3 un-ionized sebesar 0,002 mg/liter/ekor. Dari hasil eksperimen untuk mengestimasi konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek (sub bab 5.3), diketahui bahwa benih ikan kerapu bebek yang berada sendiri di dalam tabung (kondisi Is) menghasilkan NH3 un-ionized sebesar 0,021 mg/liter/ekor. Adapun NH3 un-ionized untuk satu ekor benih ikan pada kondisi tidak sendiri (kondisi Ik) adalah sebesar 0,006 mg/liter/ekor. Jika kedua nilai NH3 un-ionized tersebut
197
dibandingkan dengan nilai NH3 un-ionized yang dihasilkan oleh satu ekor benih ikan kerapu bebek saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek yaitu sebesar 0,002 mg/liter/ekor, maka terlihat bahwa semakin banyak benih ikan dalam suatu volume air NH3 un-ionized yang dihasilkan satu ekor benih ikan akan semakin sedikit. Merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya oleh Inoue et.al (2008) dan Chandroo et.al (2004), bahwa stres ikan mengakibatkan peningkatan metabolisme atau aktivitas ikan yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya produksi amoniak, maka hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres benih ikan di dalam model palka jauh lebih rendah dibandingkan di dalam tabung respirometer.
Keterangan: P1-3 = ulangan ke 1 – 3
Gambar 54 Nilai konsentrasi NH3 un-ionized selama 48 jam pengamatan
5.4.3 Tingkah laku benih ikan di dalam model palka Ikan, sebagaimana umumnya makhluk hidup, seperti biasanya akan melakukan adaptasi setiap kali berada di tempat baru yang bukan merupakan tempat yang biasa ditempatinya. Demikian pula saat benih ikan dimasukkan ke dalam palka, di awal waktu, benih-benih ikan yang dimasukkan ke dalam palka akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Lamanya waktu benih ikan beradaptasi dengan lingkungan barunya tergantung kepada seberapa beda kondisi lingkungan yang baru tersebut dengan kondisi lingkungan asal.
Semakin sedikit perbedaan kondisi
lingkungannya, maka akan semakin cepat pula benih-benih ikan tersebut beradaptasi. Terlebih apabila di dalam palka tersebut, benih-benih ikan tersebut tetap dalam
198
komunitas dengan jumlah yang banyak.
Hal ini sesuai dengan hasil kajian saat
pengukuran konsumsi oksigen benih ikan, dimana terlihat bahwa benih ikan yang tidak berada sendiri di dalam tabung respirometer, nampaknya lebih tidak stres bila dibandingkan dengan yang sendirian di dalam tabung respirometer.
Kondisi ini
didukung dari pengurangan nilai konsumsi oksigen terlarut oleh individu benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai konsumsi oksigen terlarut oleh individu benih ikan yang tidak berada sendiri di dalam tabung respirometer. Lebih tingginya konsentrasi NH3 yang dihasilkan oleh benih ikan yang sendiri di dalam tabung respirometer bila dibandingkan dengan konsentrasi NH3 yang dihasilkan oleh benih ikan yang tidak berada sendiri di dalam tabung respirometer, turut menjadi bukti yang memperkuat dugaan bahwa benih ikan yang berada sendiri di dalam tabung respirometer lebih stres bila dibandingkan dengan benih ikan yang tidak sendiri di dalam tabung respirometer. Pada Gambar 55 disajikan aktivitas benih ikan kerapu bebek sebanyak 58 ekor selama 48 jam pada tiga kali pengamatan. Dalam eksperimen, benih ikan dimasukkan ke dalam model palka pada jam 08.00 WIB dan baru diangkat dari dalam model palka pada jam 08.00 WIB dua hari kemudian. Pada pengamatan aktivitas awal setelah 10 menit benih ikan dimasukkan ke dalam model palka, pada ketiga pengamatan tingkah laku benih ikan berdasarkan tiga jenis aktivitas yang dilakukan yaitu diam, hanya menggerakkan sirip dan berenang kecil, terlihat bahwa benih-benih ikan tersebut cenderung hanya diam saja tanpa menggerakkan sirip. Barulah setelah empat jam di dalam model palka, saat pengamatan terlihat beberapa benih ikan, yaitu sekitar 30 – 60 % dari total jumlah benih ikan di setiap model palka, menggerakkan siripnya dan bahkan sekitar 5 – 25 % dari total jumlah benih ikan di dalam model palka sudah ada yang melakukan aktivitas berenang kecil. Pada ketiga pengamatan terhadap aktivitas benih ikan di dalam model palka, tidak terlalu menampilkan kecenderungan aktivitas yang sama pada ketiga pengamatan. Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa benih-benih ikan tersebut selama di dalam model palka didominasi oleh benih-benih ikan yang hanya diam saja tanpa menggerakkan sirip apalagi berenang kecil. Pada Gambar 56 disajikan posisi keberadaan benih ikan di dalam model palka selama 48 jam pada tiga kali pengamatan. Pengamatan posisi keberadaan benih ikan
199
dilakukan bersamaan dengan pengamatan aktivitas benih ikan.
Identifikasi posisi
keberadaan benih ikan dilakukan pada tiga posisi secara vertikal di dalam model palka, yaitu di dasar, tengah dan permukaan. Pada pengamatan posisi benih ikan setelah 10 menit benih ikan dimasukkan ke dalam model palka, terlihat bahwa benih-benih ikan tersebut semuanya masih berada di dasar air di dalam model palka. Berdasarkan jenis aktivitas yang dilakukannya, benih-benih ikan yang berada di dasar air tidak melakukan aktivitas apapun termasuk menggerakkan siripnya. Barulah setelah sekitar satu jam berada di dalam model palka, sekitar 1 – 2 ekor benih ikan ada yang berenang ke permukaan atau kolom air. Pada pengamatan setelah empat jam di dalam model palka, terlihat sekitar 5 – 10 % dari total jumlah benih ikan di setiap model palka, berada di permukaan air di dalam model palka. Pada pengamatan selama 48 jam, terlihat bahwa benih-benih ikan cenderung berada di dasar air di dalam model palka. Dapat dikatakan bahwa sekitar 50 % benih ikan selalu berada di dasar air di dalam model palka pada setiap pengamatan. Pada pengamatan aktivitas dan posisi benih ikan selama 48 jam, tidak dapat disimpulkan apakah terdapat kecenderungan tingkah laku benih ikan pada jam pengamatan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena dalam tiga kali pengamatan tidak terdapat kecenderungan hasil pengamatan yang sama.
Kondisi ini diduga karena
pengamatan hanya dilakukan berdasarkan penampakan fisik dan tingkah laku benih ikan saja. Akan tetapi dalam pengamatan tingkah laku benih ikan secara keseluruhan, benihbenih ikan tersebut selama 48 jam pengamatan menunjukkan tingkah laku yang normal. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal serta kondisi berkelompok (FishVet.Inc., 2000).
200
Gambar 55 Aktivitas benih ikan selama 48 jam pada tiga kali pengamatan.
201
Gambar 56 Posisi benih ikan selama 48 jam pada tiga kali pengamatan.
202
5.4.4 Dampak simulasi gerakan rolling kapal Simulasi gerakan rolling terhadap unit percobaan dilakukan selama 20 detik, dengan rolling periode selama 1 detik. Gerakan rolling terjadi dengan sudut oleng sebesar 25 ºC. Perlakuan simulasi gerakan rolling ini dimaksudkan untuk mengkaji dampak gerakan rolling terhadap tingkah laku benih ikan sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling dilakukan. Selain itu, simulasi gerakan rolling ini juga dilakukan untuk melihat dampak pemasangan sirip peredam terhadap konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka. (1) Dampak terhadap tingkah laku benih ikan Pada saat simulasi gerakan rolling dilakukan, aktivitas benih ikan yang teramati adalah menggerakkan-gerakkan siripnya. Diduga benih-benih ikan tersebut berusaha beradaptasi atau mempertahankan posisinya terhadap pergerakkan massa air yang terjadi. Jika dianalogkan, aktivitas yang dilakukan oleh benih-benih ikan tersebut adalah sama dengan upaya manusia yang merentangkan kedua tangannya untuk menjaga posisi tegaknya saat terjadi gempa.
Adapun posisi benih ikan yang teramati pada saat
terjadinya gerakan rolling model kapal adalah menyebar mulai dari dasar hingga di bagian tengah model palka. Dapat dikatakan bahwa pada saat terjadi gerakan rolling model kapal, benih-benih ikan tersebut tersebar mulai dari dasar hingga kolom air sambil menggerak-gerakan siripnya. Pada Gambar 57 disajikan grafik perbandingan antara aktivitas benih ikan di dalam model palka sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling dilakukan. Jumlah benih ikan yang disajikan pada Gambar 54 adalah merupakan jumlah benih ikan ratarata dari 15 kali pengamatan. Pada grafik tersebut terlihat bahwa sebelum dilakukannya simulasi gerakan rolling, aktivitas yang dilakukan oleh benih-benih ikan di dalam model palka adalah sebanyak 59 % benih ikan hanya diam, kemudian sebanyak 28 % melakukan aktivitas menggerakkan siripnya saja, dan sisanya sebanyak 14 % berenang kecil.
Kemudian setelah dilakukan gerakan simulasi rolling, benih ikan yang
melakukan aktivitas diam bertambah menjadi 81 %.
Adapun benih ikan yang
melakukan aktivitas menggerakkan sirip dan berenang kecil lebih sedikit, yaitu masingmasing menjadi 16 % dan 3 %.
203
Gambar 57 Rata-rata aktivitas benih ikan sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling.
Pada Gambar 58 disajikan grafik perbandingan antara posisi keberadaan benih ikan di dalam model palka, sebelum dan sesudah dilakukan simulasi gerakan rolling. Jumlah benih ikan yang disajikan pada Gambar 58 adalah merupakan rata-rata jumlah benih ikan dari 15 kali pengamatan.
Pada grafik tersebut terlihat bahwa sebelum
dilakukan simulasi gerakan rolling, sebanyak 83 % benih ikan berada di dasar model palka, dan yang berada di tengah dan permukaan model palka masing-masing sebanyak 11 % dan 6 %. Setelah simulasi gerakan rolling dilakukan, semakin banyak benih ikan yang berada di dasar model palka, yaitu sebanyak 96 %. Sisanya yaitu sebanyak 4 % berada di tengah model palka. Dapat dikatakan bahwa sesaat setelah terjadinya gerakan rolling model kapal, benih-benih ikan tersebut hanya diam saja tanpa menggerakkan siripnya di dasar air di dalam model palka.
204
Gambar 58 Rata-rata posisi ikan sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa perubahan aktivitas dan posisi benih ikan di dalam model palka setelah dilakukannya simulasi gerakan rolling tidak terlalu nyata. Pernyataan ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa aktivitas dan posisi benih ikan di dalam palka tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah simulasi rolling (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa gerakan rolling tidak mempengaruhi kondisi benih ikan di dalam palka. Kondisi ini diduga disebabkan karena tidak terlalu bergesernya posisi benih ikan di dalam palka saat terjadinya gerakan rolling. Tidak terlalu bergesernya posisi benih ikan selama terjadinya gerakan rolling diperkirakan karena tertahannya pergerakan air oleh sirip peredam yang di pasang di dinding dalam model palka. (2) Dampak terhadap konsentrasi oksigen terlarut Pengukuran terhadap konsentrasi oksigen terlarut dilakukan pada air laut yang terdapat di dalam model palka yang berisi benih ikan dan air laut di dalam model palka yang tidak berisi benih ikan.
Pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dilakukan
sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling. Hasil pengukuran terhadap konsentrasi oksigen terlarut, disajikan pada Gambar 59 dan 60.
205
Gambar 59 Nilai konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling (tanpa benih ikan di dalam model palka)
Pada Gambar 59 terlihat bahwa nilai konsentrasi oksigen terlarut di dalam air yang tidak berisi benih ikan, setelah terjadinya gerakan rolling cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan nilai konsentrasi oksigen terlarut sesudah gerakan rolling berkisar antara 0,1 – 0,6 mg O2/liter. Dari hasil uji statistik (lampiran 7), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling pada model palka yang tidak berisi benih ikan. Diduga bahwa peningkatan nilai konsentrasi oksigen terlarut setelah terjadinya gerakan rolling disebabkan karena keberadaan sirip peredam yang dipasang di dinding dalam model palka.
Pada saat gerakan rolling terjadi, permukaan air bergerak menuju ke arah
kemiringan model kapal. Akan tetapi keberadaan sirip peredam menahan pergerakan air tersebut. Pada saat gerakan air tertahan oleh sirip peredam, terjadilah turbulensi air di sepanjang sirip peredam yang berada di lintasan pergerakan air. Turbulensi air inilah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen terlarut. Konsentrasi oksigen terlarut juga cenderung meningkat pada air laut yang terdapat di dalam model palka yang berisi benih ikan setelah dilakukannya simulasi gerakan rolling sebagaimana disajikan pada Gambar 60. Perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang terjadi berkisar antara 0,1 – 0,3 mg O2/liter. Pada grafik yang
206
terdapat pada Gambar 60 terlihat bahwa pada umumnya terjadi peningkatan konsentrasi oksigen terlarut antara 0,1 – 0,3 mg O2/liter, walaupun demikian pengurangan nilai konsentrasi oksigen terlarut pun terjadi pada beberapa pengukuran, yaitu sebesar 0,1 mg O2/liter. Selain itu terdapat pula hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut yang tidak mengalami perubahan antara sebelum dan sesudah gerakan rolling. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena adanya penggunaan oksigen terlarut yang berbeda oleh benih-benih ikan yang terdapat di dalam model palka setelah terjadinya gerakan rolling. Fenomena ini diperkuat dari hasil uji statistik (Lampiran 7) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai konsentrasi oksigen sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling pada model palka yang diisi benih ikan.
Gambar 60 Rata-rata nilai konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling (dengan ikan di dalam model palka)
Walaupun terjadi perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah gerakan rolling, akan tetapi pada pengukuran 4 jam setelah simulasi gerakan rolling dilakukan, konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka kembali normal yaitu berkisar antara 5,4 – 6,8 mg O2/liter (sesuai hasil pengukuran pada sub sub bab 5.4.3.2 (1)).
207
5.5
Kajian Ulang Tingkat Risiko Terhadap Hasil Kajian Mitigasi Risiko Kajian terhadap mitigasi risiko yang disarankan telah dilakukan. Berdasarkan
hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa: 1)
Desain palka berbentuk kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam mampu mengurangi efek free surface yang timbul pada saat terjadi gerakan rolling dan sesudah terjadinya gerakan rolling. Selain itu, keberadaan sirip peredam mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut saat terjadinya gerakan rolling, yaitu sebesar 0,1 – 0,6 mg O2/liter.
2) Sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air menunjukkan kinerja yang stabil dalam menjaga dua parameter fisik air laut yang terdiri dari konsentrasi oksigen terlarut dan suhu air laut, serta dua parameter kimia air laut yang terdiri dari nilai pH dan NH3 un-ionized. Bahkan setelah palka kapal diisi dengan benih ikan kerapu bebek dalam uji coba mitigasi risiko yang disarankan, keempat parameter yang diukur tersebut memiliki kisaran nilai yang masih sesuai dengan kebutuhan benih ikan kerapu bebek berdasarkan hasil studi literatur. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dapat mendukung kebutuhan benih ikan kerapu bebek selama proses transportasi. 3) Penentuan densitas benih ikan berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen individu benih ikan dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air menjamin kecukupan kebutuhan oksigen bagi benih ikan selama di dalam palka. 4) Hasil uji coba terhadap unit percobaan yang menerapkan mitigasi risiko yang disarankan, yaitu menggunakan model palka berbentuk kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam dan juga dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasiaerasi sebagai sistem pemeliharaan kualiatas air, serta densitas benih ikan yang sesuai dengan kebutuhan oksigen individu ikan, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan hidup benih ikan yang diuji coba mencapai 100 % untuk simulasi transportasi selama 48 jam perjalanan. Oleh karena itu, maka kajian ulang tingkat risiko terhadap hasil kajian mitigasi risiko memiliki tujuan khusus yaitu:
208
1) Menentukan kembali tingkat risiko KPIH yang menerapkan hasil kajian mitigasi risiko terhadap survival ratio benih ikan kerapu bebek 2) Menentukan modifikasi KPIH ‘Opened hull’ sesuai dengan hasil kajian mitigasi risiko.
Berdasarkan hasil kajian dan uji coba kajian mitigasi risiko sebagaimana dipaparkan kembali di atas, dengan mengacu pada kriteria dampak dan probabilitas sebagaimana yang telah disajikan pada Tabel 5 – 10 dalam Bab 4, maka penilaian dampak dan probabilitas terhadap hasil kajian mitigasi risiko tersebut apabila diterapkan pada KPIH akan memberikan penilaian sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Tabel 27
Penilaian dampak dan probabilitas terhadap risiko KPIH yang akan menerapkan hasil kajian langkah mitigasi risiko
Jenis Dampak
Tingkat
Jenis Probabilitas Efek free surface
Tingkat 2
1 Finansial
Sistem pemeliharaan 1 kualitas air
Pencemaran air laut di 1
Densitas benih ikan
1
1
Penilaian Probabilitas
1
dalam palka Penilaian Dampak
Penilaian dampak dan probabilitas terhadap risiko, masing-masing menghasilkan nilai 1.
Hal ini disebabkan karena semua jenis dampak dan hampir semua jenis
probabilitas memiliki nilai 1. Secara teoritis, risiko adalah fungsi dari kemungkinan dan dampak sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kristiansen (2005) dan Ramli (2010). Apabila dianggap tingkat risiko adalah proporsional terhadap setiap dampak dan kemungkinannya, maka fungsi risiko pada dasarnya adalah sebuah perkalian sebagai berikut: Risiko = dampak
209
× kemungkinan (R = D × P). Oleh karena itu, berdasarkan penilaian dampak dan probabilitas risiko, maka tingkat risiko KPIH yang akan menerapkan hasil kajian langkah mitigasi risiko adalah berisiko rendah dengan nilai 1. Berdasarkan tingkat risiko yang diperoleh sebagaimana yang terlihat pada Tabel 27, maka tampilan tingkatan risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila dimodifikasi sesuai dengan hasil kajian mitigasi, disajikan pada Gambar 61.
Nilai Dampak
Nilai Probabilitas
Keterangan:
1
2
3
1
2
3
2
4
6
3
6
9
tingkat risiko KPIH modifikasi
Gambar 61 Tingkat risiko kematian ikan pada KPIH yang dimodifikasi dengan menerapkan hasil kajian langkah mitigasi risiko.
Kondisi ini menunjukkan adanya penurunan tingkat risiko pada KPIH ‘Opened hull’ dari tingkat risiko tinggi dengan nilai 9 menjadi tingkat risiko rendah dengan nilai 1, apabila KPIH tersebut dimodifikasi dengan menerapkan hasil kajian mitigasi risiko. Berdasarkan hasil paparan di atas, maka modifikasi KPIH yang dapat dilakukan adalah merubah kasko KPIH yang semula terbuka (karena terdapat lubang inlet dan outlet) menjadi tertutup semua tanpa lubang di kasko kapal.
Kondisi kasko yang
demikian mengakibatkan KPIH ‘Opened hull’ dimodifikasi menjadi KPIH ‘Closed hull’.
Dengan demikian, maka KPIH ‘Closed hull’ harus dilengkapi dengan sistem
kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dan
210
untuk mengurangi efek free surface, maka palka harus dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di sisi dalam dinding palka.
211
6 RANCANGAN UMUM KPIH ‘CLOSED HULL’
Berdasarkan hasil kajian dan uji coba hasil kajian mitigasi risiko, maka KPIH yang direkomendasikan untuk mengangkut benih ikan kerapu adalah KPIH ‘Closed hull’. Dimana KPIH ‘Closed hull’ ini dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kualitas air berupa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Sehingga tidak terjadi percampuran air laut yang berasal dari luar badan kapal dengan air laut yang berada di dalam palka kapal. Selain itu, untuk mengurangi efek gerakan rolling kapal terhadap pergerakan free surface di dalam model palka, pada bagian dinding dalam palka dilengkapi dengan sirip peredam. Dampak penggunaan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air terhadap ketahanan hidup benih ikan serta dampak penggunaan sirip peredam terhadap efek free surface telah dibahas pada bab 5 sebelumnya. Pada bab ini, akan dipaparkan desain KPIH ‘Closed hull’ yang akan digunakan untuk mengangkut benih ikan khususnya untuk benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm. Kajian yang dilakukan terhadap desain KPIH ‘Closed hull’ hasil mitigasi risiko terdiri dari kajian terhadap dimensi utama kapal, parameter hidrostatik dan stabilitas kapal.
Khusus kajian terhadap stabilitas kapal dilakukan dengan
membandingkan stabilitas kapal yang dilengkapi dengan sirip peredam dan tanpa sirip peredam. 6.1 Desain KPIH ‘Closed Hull’ Menurut Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undangundang No. 31 Tahun 2004 (Pasal 34), KPIH berdasarkan fungsinya termasuk ke dalam kategori kapal pengangkut ikan. Akan tetapi berdasarkan dominansi jenis muatan yang dibawanya, maka kapal pengangkut ikan hidup dikategorikan sebagai kapal liquid cargo. Oleh karena itu, berdasarkan jenis muatan yang dibawa oleh KPIH, yaitu berupa muatan liquid (liquid cargo), maka data-data kapal pembanding yang digunakan adalah kapal-kapal tanker sebagaimana yang disajikan pada Tabel 28.
212
Tabel 28 Data kapal pembanding jenis kapal tanker
1
Contoh Kapal Pertamina1025
Pertamina
2
Plaju
3
No
Bm
Dm
d
B/D
d/D
154,0
26,8
11,5
7,0
5,7
13,4
2,3
0,6
Pertamina
102,0
19,2
9,3
-
5,3
11,0
2,1
0,0
Enduro
Pertamina
169,1
32,0
15,1
13,8
5,3
11,2
2,1
0,9
4
Katomas
Pertamina
99,0
18,8
9,5
6,0
5,3
10,4
2,0
0,6
5
Klawotong
Pertamina
99,0
18,8
9,5
-
5,3
10,4
2,0
0,0
6
Mundu
Pertamina
84,0
15,2
7,0
-
5,3
10,4
2,0
0,0
7
Balongan
Pertamina
102,0
19,2
9,3
6,0
5,3
11,0
2,1
0,6
8
Pandan
Pertamina
62,0
13,8
5,5
4,0
4,5
11,3
2,5
0,7
9
Pertamina
84,0
15,0
7,0
5,0
5,6
12,0
2,1
0,7
Pertamina
171,0
30,0
15,0
9,0
5,5
12,0
2,2
0,6
Pertamina
171,1
30,0
15,0
9,0
5,3
11,0
2,1
0,6
12
Pertamina-33 Pertamina3009 Pertamina3010 Pertamina3011
Pertamina
171,1
30,0
15,0
9,0
4,5
11,3
2,5
0,6
13
Pertamina-37
Pertamina
84,0
15,0
7,0
5,0
5,6
12,0
2,1
0,7
14
P-3001
Pertamina
170,0
27,0
17,0
12,7
5,7
11,4
2,0
0,7
15
Pertamina-58
Pertamina
99,0
18,8
8,5
6,0
5,7
11,4
2,0
0,7
16
Pertamina-59
Pertamina
99,0
18,0
8,0
6,0
5,7
11,4
2,0
0,8
17
P-1023
Pertamina
150,0
25,8
10,9
7,0
5,6
12,0
2,1
0,6
18
P-1019
Pertamina
140,0
24,6
11,8
7,0
6,3
10,0
1,6
0,6
19
P-1022 Pertamina3008
Pertamina
140,0
24,6
11,8
7,0
5,3
11,6
2,2
0,6
Pertamina
171,0
30,0
15,0
9,0
5,5
12,4
2,3
0,6
126,1
22,6
10,9
7,6
5,4
11,4
2,1
0,6
10 11
20
Rata-rata
Pemilik
LBP
L/B
L/D
Sumber: www.klasifikasiindonesia.com
Mengacu pada data-data sebagaimana tertera pada Tabel 28,
maka KPIH
‘Closed hull’ yang akan didesain memiliki rasio dimensi dan parameter teknis sebagaimana tertera pada Tabel 29.
213
Tabel 29 Rasio dimensi utama dan dimensi utama KPIH ‘Closed hull’ No
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
L/B L/D B/D d/D Length Over All (LOA) Length of Water Line (LWL) Length Between Perpendicular (LBP) Lebar Kapal (Breadth, B) Tinggi Kapal (Depth, D) Draf (d) Freeboard Displacement Volume (∇) Cubic Number (CUNO) Perkiraan Gross Tonnage
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Ukuran 5,40 11,40 2,10 0,60 19,00 m 17,06 m 18,05 m 3,33 m 1,95 m 1,50 m 0,45 m 50,30 m3 85,21 m3 ± 30,00 GT
Berdasarkan data teknis kapal sebagaimana tertera pada Tabel 29, maka diperkirakan ruang muat di bawah dek kapal sebesar 50,30 m3. Draf kapal sebesar 1,50 m memungkinkan kapal tersebut untuk berlabuh pada kolam pelabuhan yang memiliki kedalaman lebih dari 2 m. Rancangan umum (General Arrangement) kapal disajikan dalam Gambar 63. Pada Gambar 63 terlihat bahwa di atas dek, dibangun dua buah bangunan. Bangunan pertama berada di bagian haluan kapal yang berfungsi sebagai ruang kemudi dan ruang tidur nahkoda. Adapun bangunan kedua berada di bagian buritan kapal yang berfungsi sebagai ruang tidur ABK serta dapur. Di bawah dek kapal terdapat beberapa ruangan yang terdiri dari ruang mesin, tangki bahan bakar dan oli, palka dan bak filter serta gudang perlengkapan. Palka tempat menyimpan benih ikan selama perjalanan di rancang tidak memiliki tutup. Hal ini dimaksudkan agar tetap terjadi interaksi antara udara dengan permukaan air di dalam palka. Untuk melindungi dari bahaya masuknya air laut ke bawah dek saat kapal berada pada gelombang ekstrim, maka disepanjang lantai dek yang berada tepat di atas palka dipasangi dinding setinggi 60 cm. Palka ditempatkan di bagian tengah kapal. Hal ini disebabkan karena bagian tengah kapal merupakan bagian kapal dengan volume terbesar. Sehingga diharapkan dapat memuat
214
ikan hidup dalam jumlah yang maksimum. Penempatan muatan yang diperkirakan akan menghasilkan berat yang terbesar, yaitu di bagian tengah kapal, diharapkan tidak mengakibatkan kapal tidak terlalu dalam kondisi trim by bow (kapal posisi menukik ke arah haluan) atau trim by stern (kapal posisi menukik ke arah buritan). Bak filter diletakkan dekat bagian haluan kapal. Untuk mempermudah pengangkatan bak-bak berisi benih ikan yang dikeluarkan dari dalam palka ke luar kapal, maka di atas kapal pengangkut benih ikan dilengkapi dengan sebuah crane. Berdasarkan hasil kajian pada bab 5, diketahui bahwa densitas benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm yang dimasukkan ke dalam air laut yang diresirkulasi dan di aerasi sebanyak 6,4 ekor/liter. Sesuai dengan volume air laut yang akan diisikan ke dalam masing-masing palka, maka jumlah benih ikan kerapu bebek yang dapat dimuat ke dalam masing-masing palka dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30
Volume dan berat air laut dan benih ikan kerapu bebek di masing-masing palka
Volume Densitas Palka air (ekor/liter) (liter) 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
3.778 3.778 3.998 3.998 3.955 3.955 3.594 3.594 30.651
6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4
Jumlah benih ikan (ekor) 24.000 24.000 25.500 25.500 25.200 25.200 23.000 23.000 195.400
Berat ikan* (ton) 0,054 0,054 0,057 0,057 0,057 0,057 0,052 0,052 0,440
Berat air (ton) 3,873 3,873 4,098 4,098 4,054 4,054 3,684 3,684 31,418
Total berat muatan (ton) 3,927 3,927 4,156 4,156 4,111 4,111 3,735 3,735 31,857
Keterangan: *berat ikan di dalam air (2,25 gram/ekor)
Penetapan volume palka adalah mengacu pada proporsi volume palka terhadap volume displacement pada kapal tuna longline hasil kajian Laila dan Novita (2006). Oleh karena itu, total volume palka adalah sebesar 65% dari displacement volume KPIH ‘Closed hull’. Adapun volume tandon adalah sekitar 10 % dari volume palka. Pada Tabel 30 terlihat bahwa KPIH ‘Closed hull’ ini dirancang untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm sebanyak 195.400
215
ekor (kapasitas maksimum) dengan berat total ikan di dalam air sebesar 0,440 ton. Adapun air laut yang menyertainya adalah sebanyak 30.651 liter dengan berat 31,418 ton. Dengan demikian, total muatan palka yang diangkut oleh kapal tersebut adalah sebesar 31,857 ton. Untuk mensirkulasi air laut sebanyak 30.651 liter yang tersebar di 8 palka, maka diperlukan pompa air (water pump). Kekuatan pompa air yang digunakan sangat tergantung pada jumlah air yang akan disirkulasi serta berapa banyak air tersebut akan disirkulasi dalam 24 jam.
Pada Tabel 31 disajikan kekuatan pompa yang
dibutuhkan berdasarkan hasil simulasi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mensirkulasi air serta banyaknya sirkulasi dalam 24 jam. Tabel 31 Kekuatan pompa air yang dibutuhkan untuk mensirkulasi air laut sebanyak 30.651 liter. Lamanya sirkulasi air (jam)
Jumlah sirkulasi air dalam 24 jam (kali) ±2 ± 10 ±3 ±8 ±5 ±5 ±6 ±4 ±8 ±3 Keterangan: LPH = Liter Per Hour
Kekuatan Pompa Air (LPH) 3.000 4.000 6.000 8.000 10.000
Air laut yang berasal dari palka, untuk selanjutnya dialirkan ke dalam bak filter. Kemudian air laut yang telah difilter untuk selanjutnya akan mengalir ke dalam bak penampungan (tandon), dimana tandon tersebut dapat menampung sekitar 2,8 ton air laut, atau sekitar 8,9 % dari total air laut di dalam palka. Berdasarkan Nomura dan Yamazaki (1977), rumus untuk menentukan besarnya kekuatan mesin yang dibutuhkan adalah: IHP =
................................................................................ (31),
di mana v adalah kecepatan kapal dan C adalah admiralty coefficient sebesar 80. Selain itu disebutkan pula bahwa kecepatan normal kapal yang memiliki panjang kurang dari 20 m adalah antara 9 – 10 knot. Apabila kecepatan kapal ditentukan maksimal sebesar 10 knot, maka dengan ton displacement (∆) sebesar 50,3 ton, besar kekuatan mesin yang dibutuhkan adalah sebesar 170,3 HP. Sehingga diperkirakan kapal tersebut dalam dua
216
hari perjalanan (tanpa berhenti) dapat menempuh perjalanan hingga kurang lebih 480 mil. Radius capaian jelajah kapal pengangkut ikan hidup tersebut dari lokasi budidaya pembesaran ikan kerapu bebek dapat dilihat pada Gambar 62. Titik pusat masingmasing radius jelajah kapal adalah berasal dari tiga lokasi budidaya pembenihan ikan kerapu bebek, yaitu di Lampung, Situbondo dan Bali. Berdasarkan kekuatan mesin yang digunakan, maka bahan bakar yang dibutuhkan untuk 48 jam perjalanan adalah sebanyak 2,032 ton bahan bakar (telah termasuk bahan bakar cadangan 10 %). Sehingga volume tangki bahan bakar yang dibutuhkan adalah minimal sebesar 2,2 m3. Dengan pertimbangan distribusi muatan di atas kapal, maka tangki bahan bakar disediakan dua tangki dengan kapasitas masingmasing tangki adalah maksimal 1,1 m3 yang dapat memuat minimal 1,016 ton bahan bakar jenis solar. Pembagian ruang di atas dan di bawah dek kapal serta kapasitas muatnya, disajikan pada Tabel 32.
217
Tabel 32
No
Jenis ruangan dan kapasitas muat di atas dan di bawah dek KPIH ‘Closed hull’ serta estimasi berat muatan di dalamnya. Jenis Ruangan
Jumlah
Estimasi berat muatan (ton)
Kapasitas
A. Di atas dek kapal 1.
Ruang kemudi
1 unit
-
-
2.
Ruang tidur nahkoda
1 unit
2 ABK/ruang
-
3.
Ruang tidur ABK
3 unit
2 ABK/ruang
-
4.
Ruang umum
1 unit
-
-
5.
Dapur
1 unit
-
-
6.
Kamar mandi dan WC
1 unit
-
-
7.
Tangki air tawar
1 unit
0,44 m3
440 liter
8.
Ruang akomodasi
1 unit
-
-
-
1 ton
2 unit
1,100 m /unit
2,032 ton
3
B. Di bawah dek kapal 9. 10.
Ruang mesin Tangki bahan bakar
1 unit 3
11.
Tangki pelumas
1 unit
0,070 m
12.
Palka
8 unit
32,490 m3
31,857 ton
13.
Bak filter
1 unit
2,777 m3
-
14.
Tandon
1 unit
2,773 m3
2,842 ton
15.
Gudang perlengkapan kerja
1 unit
-
-
Jenis muatan yang berupa liquid dan berada dalam jumlah yang cukup banyak, mengakibatkan KPIH ‘Closed hull’ ini harus dirancang dengan bentuk kasko yang lebih stabil. Bentuk kasko yang lebih stabil adalah bentuk kasko berbentuk U-bottom (Fyson, 1985).
Lines plan kapal pengangkut ikan hidup disajikan pada Gambar 64. Adapun
pada Tabel 33 dan Gambar 65 masing-masing disajikan hasil perhitungan parameter hidrostatis kapal pengangkut ikan hidup yang dirancang secara tabulasi dan grafik.
218
Tabel 33 Hasil perhitungan parameter hidrostatis KPIH ‘Closed hull’ 1,50
Ketinggian Water Line (m) 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25
0,00
49,07 50,30 1,50 1,50 1,50 17,06 3,21 78,60 42,47 0,67 0,60
38,13 39,08 1,25 1,25 1,25 16,96 3,17 68,39 40,23 0,64 0,57
27,98 28,68 1,00 1,00 1,00 16,86 3,13 58,08 37,31 0,61 0,53
18,74 19,21 0,75 0,75 0,75 16,76 3,08 47,82 33,97 0,57 0,48
10,51 10,77 0,50 0,50 0,50 16,66 3,00 37,50 29,90 0,53 0,42
3,57 3,66 0,25 0,25 0,25 16,56 2,78 26,35 23,80 0,47 0,31
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 16,45 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,90
0,89
0,87
0,85
0,79
0,66
0,00
0,78
0,75
0,71
0,66
0,60
0,52
0,00
-0,10
0,00
0,13
0,25
0,37
0,40
0,04
-0,56 0,86 0,56 0,57 16,20 0,87 16,50 1,43 17,06
-0,48 0,72 0,56 0,66 18,99 0,82 19,15 1,38 19,71
-0,28 0,58 0,56 0,80 22,34 0,83 22,36 1,39 22,92
-0,04 0,44 0,56 1,03 28,02 0,92 27,90 1,48 28,46
0,23 0,30 0,56 1,44 40,74 1,18 40,48 1,74 41,04
0,45 0,16 0,56 2,72 82,13 2,32 81,73 2,88 82,29
0,04 1,34 0,56 0,00 0,00 0,78 0,78 1,34 1,34
0,44 0,49
0,41 0,44
0,38 0,38
0,35 0,31
0,31 0,26
0,24 0,18
0,00 0,00
0,76
0,56
0,41
0,31
0,22
0,15
0,00
Parameter Volume displacement (m3) Displacement (ton) Draft at FP (m) Draft at AP (m) Draft at LCF (m) WL Length (m) WL Beam (m) Wetted Area (m2) Waterplane Area (m2) Prismatic Coefficient Block Coefficient Midship Area Coefficient Waterplane Area Coefficient LCB dari ⊗ (+ve fwd) (m) LCF dari ⊗ (+ve fwd) (m) KB (m) KG (m) BMt (m) BML (m) GMt (m) GML (m) KMt (m) KML (m) Immersion (TPc) (ton/cm) MTc (ton.m) RM at 1deg = GMt.Disp.sin(1) (ton.m)
Keterangan: FP = Fore Perpendicular AP = After Perpendicular WL= Water Line
LCF = Longitudinal Centre of Floatation ⊗ = amidship
219
110º BT
120º BT
140º BT
130º BT
10º LU
0º
10º LS
Lampung Situbondo Bali
Gambar 62 Perkiraan radius jelajah KPIH ‘Closed hull’
220
Cr
P2
P4
P6
P8
F
GP P1-8: palka GP : gudang perlengkapan T : tandon F : Filter ER : Engine room Room: kamar ABK LOT: Lub Oil Tank FOT: Fuel Oil Tank W : WC D : Dapur Cr : crane
D
W
P1
P3
P5
P7
P2
P4
P6
P8
T F
Gambar 63 Rencana Umum (General Arrangement) KPIH ‘Closed hull’
221
Skala 1 : 75 Gambar 64 Lines Plan KPIH ‘Closed hull’
222
1.5
MTc Immersion (TPc)
1.25
KML
D r aft m
KMt 1 KB LCF 0.75
LCB WPA
0.5
Wet. Area Disp.
0.25
0
5
10
15
20
25 30 Displacement tonne
35
40
45
50
55
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
0.75
1
1.25
1.5
1.75
2
2
2.25
2.5
2.75
3
3.25
70
80
90
100
110
120 0.45
Area m^2 -0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5 LCB, LCF, KB m
0.5
0.75
1
1.25
1.5
1.75 KMt m
10
20
30
40
50
60 KML m
0.175
0.2
0.225
0.25
0.275
0.325 0.3 Immersion tonne/cm
0.35
0.375
0.4
0.425
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.45 0.4 Moment to Trim tonne.m
0.5
0.55
0.6
0.65
Draft = 1.500 m
WPA = 43.676 m^2
Gambar 65 Kurva hidrostatis KPIH ‘Closed hull’
197
Berdasarkan nilai koefisien kegemukan kapal yang terdiri dari block coefficient, prismatic coefficient, midship coefficient dan waterplane coefficient, dengan nilai koefisien lebih dari 0,6 menunjukkan bahwa kapal tersebut gemuk. Bentuk kapal yang gemuk ini menguntungkan dari segi stabilitas kapal. Desain palka pada KPIH ‘Closed hull’ berbentuk segiempat. Arif et.al (2004) menyarankan bahwa apabila menggunakan bak berbentuk empat persegi untuk memelihara dan membesarkan benih ikan, maka sebaiknya setiap sudut bak dibuat berbentuk rounded untuk menghindari stagnannya air di satu sudut palka. Mengacu pada pernyataan Arif et.al tersebut, maka selain dilengkapi dengan sirip peredam, bagian sudut palka dibuat berbentuk rounded (Gambar 66). Selain itu, bagian atas tiap palka yaitu tepatnya disepanjang sisi panjang palka, diberikan penutup yang lebarnya sebesar 0,45 m. Penutup ini dimaksudkan agar tidak ada air di dalam palka yang keluar dari dalam palka saat kapal rolling.
Dengan lebar penutup palka sebesar 0,45 m
tersebut, maka diperkirakan hingga kapal oleng pada sudut 31,5º, air di dalam palka masih dapat ditahan oleh atap palka sehingga tidak keluar dari dalam palka. Ilustrasi posisi atap palka dan sirip peredam disajikan pada Gambar 67. Penggunaan sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka mengakibatkan palka dilengkapi dengan bak filter yang fungsinya untuk memperbaiki kualitas air yang masuk ke dalam bak filter. Secara sederhana, instalasi dalam sistem pemeliharaan kualitas air pada KPIH ‘Closed hull’ disajikan pada Gambar 68.
Sirip peredam
Rounded
Gambar 66 Desain palka pada KPIH ‘Closed hull’
198
0,60 m
0,45 m
garis air
1,95 m 1,75 m
1,5 m 1,4 m
Keterangan:
0,12 m
: atap palka : sirip peredam
Gambar 67 Ilustrasi penampang melintang kapal bagian midship
a
b
(a) Tampak samping
c
Tanpa skala a c
(b) Tampak atas Keterangan: a = blower b = air stone c = water pump
= palka = bak filter = instalasi inlet
= instalasi outlet
Gambar 68 Instalasi sistem pemeliharaan kualitas air pada KPIH ‘Closed hull’
6.2 Pengaruh Sirip Peredam Terhadap Efek Free Surface pada Stabilitas Kapal Pergerakan muatan liquid di dalam sebuah tangki dapat mengurangi tingkat stabilitas kapal. Hal ini disebabkan karena pada saat kapal oleng, titik berat liquid akan berpindah ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan liquid ini terjadi karena adanya permukaan bebas (free surface). Pergeseran titik berat akibat pergerakan muatan liquid di dalam palka akan mengakibatkan titik berat kapal (centre of gravity) berpindah ke
199
tempat yang lebih rendah pula. Apabila hal ini terjadi, maka lengan penegak (righting arm,
) akan berkurang (Lewis, 1988). Ditambahkan pula bahwa tangki yang terisi
lebih dari 50 % hingga 90 % memiliki peluang yang lebih besar untuk mengurangi righting arm kapal. Semakin tinggi keberadaan free surface di dalam suatu tangki, maka pengurangan ringhting arm yang terjadi akan semakin kecil. Oleh karena itu, Hind (1982) menyarankan untuk mengisi penuh tangki yang berisi muatan liquid dan menutup rapat tangki tersebut.
Sehingga pergerakan free surface tidak terjadi.
Berdasarkan hasil kajian sub bab 5.1, maka pada palka KPIH ‘Closed hull’ yang dirancang, akan dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di sepanjang sisi dalam dinding palka. Sirip peredam tersebut akan dipasang pada ketinggian 80 % volume palka, yaitu tepat di batas ketinggian maksimum muatan liquid yang akan ditempatkan di dalam palka. Berdasarkan hasil kajian pada Sub Bab 5.1, rasio antara luas sirip peredam dengan luas permukaan palka sebesar 0,29 telah cukup efektif untuk mengurangi efek free surface. Oleh karena itu, dengan rasio 0,29, maka lebar sirip peredam yang dapat dipasang di sisi dalam palka kapal adalah sebesar 0,12 m atau 12 cm. Sehingga total luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah sebesar 20,38 m2 (kondisi ‘Full FS’). Adapun luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, berkurang seluas sirip peredam yang terpasang. Total luas sirip peredam yang terpasang di semua palka dan bak filter adalah sebesar 5,95 m2. Sehingga total luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah sebesar 14,43 m2 (kondisi ‘FS-Sirdam’). Sedangkan pada kapal dengan kondisi ‘tanpa FS’ tidak memiliki free surface. Pada Tabel 34 disajikan informasi tentang luasan free surface pada masingmasing palka dan bak penampung air dalam bak filter pada ketiga kondisi kapal.
200
Tabel 34
Luas free surface pada masing-masing palka dan bak penampung air pada tiga kondisi simulasi kapal Kondisi Kondisi Kondisi Volume ‘tanpa FS’ ‘Full FS’ ‘FS-Sirdam’ Jenis muatan Luas Luas Luas Tangki Jenis Jenis Jenis (m3) FS FS FS muatan muatan muatan (m2) (m2) (m2) Palka 1 Padat 0,00 Liquid 2,32 1,65 4,004 Liquid Palka 2 Padat 0,00 2,32 1,65 4,004 Liquid Liquid Palka 3
4,238
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Palka 4
4,238
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Palka 5
4,192
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Palka 6
4,192
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Palka 7
3,810
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Palka 8
3,810
Padat
0,00
Liquid
2,32
Liquid
1,65
Tandon
2,773
Padat
0,00
Liquid
1,82
Liquid
1,23
Total
0,00
20,38
14,43
Pada Tabel 34 tersebut terlihat bahwa secara berurutan, kondisi ‘tanpa FS’, ‘FSSirdam’ dan ‘Full FS’ memiliki luas free surface yang semakin besar. Selanjutnya stabilitas kapal akan dikaji pada ketiga kondisi kapal tersebut, yaitu kondisi ‘tanpa FS’, ‘Full FS’ dan ‘FS-Sirdam’. Pada umumnya, dinding kapal yang bersiku dengan lantai dek dibuat lubang, yaitu masing-masing tiga lubang di dek kiri dan kanan kapal.
Lubang tersebut
berfungsi untuk mengeluarkan air yang terperangkap di atas lantai dek kapal. Lantai dek KPIH ‘Closed hull’ di bagian tengah atau tepatnya lantai dek yang berada tepat di atas palka, adalah terbuka. Terbukanya lantai dek kapal mengakibatkan kapal tidak dalam kondisi kedap air.
Oleh karena itu maka KPIH ‘Closed hull’
memiliki sudut maksimum pada range of stability pada sudut 31,5º. Sudut tersebut terbentuk pada saat kapal oleng hingga sheer kapal terendah tepat berada di permukaan air (Gambar 69). Posisi kemiringan kapal pada sudut sebagaimana tertera pada Gambar 69 umumnya diistilahkan sebagai Floading Angle (FA). Apabila KPIH tersebut oleng lebih dari besarnya floading angle, maka air laut akan segera masuk ke atas dek kapal. Terbukanya lantai dek kapal mengakibatkan air laut yang masuk ke lantai dek kapal
201
dapat masuk ke bagian bawah dek kapal melalui lubang di lantai dek dan kondisi ini akan memperburuk stabilitas kapal. Oleh karena itu, untuk menahan masuknya air ke bagian bawah dek kapal, maka di sepanjang lubang yang terdapat di lantai dek kapal dipasangi dinding setinggi 60 cm. Sehingga diharapkan keberadaan dinding tersebut mampu menahan air laut yang masuk ke lantai dek apabila kapal terpaksa oleng hingga sudut lebih dari 31,5º.
31,5º
32º
garis air
Gambar 69 Floading angle KPIH ‘Closed hull’
Pada Gambar 70 disajikan kurva stabilitas statik KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi simulasi muatan. Adapun nilai-nilai kajian stabilitas kapal yang terdiri dari nilai-nilai
, sudut oleng pada
maks
dan initial
, disajikan pada Tabel 35. Secara
rinci, tiga kondisi simulasi muatan KPIH disajikan pada Lampiran 7.
202
FA= 31,5º
Keterangan: FS = free surface Sirdam= sirip peredam
FA = Floading angle
Gambar 70 Kurva stabilitas statis KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi muatan liquid
, dan rolling period KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi Tabel 35 Nilai simulasi muatan Nilai parameter stabilitas Kondisi KPIH ‘Closed hull’
maks
(m)
Sudut oleng pada maks (º)
Initial pada FA (m)
(m)
Rolling period (detik)
‘Tanpa FS’
0,653
71,4
0,644
0,379
2,96
‘FS-Sirdam’
0,607
69,5
0,595
0,352
3,01
‘Full FS’
0,588
68,6
0,576
0,339
3,08
Pada Gambar 70 terlihat bahwa nilai
maks
KPIH ‘Closed hull’ pada tiga
kondisi simulasi terjadi pada sudut oleng yang berbeda, yaitu sudut 71,4º pada kondisi ‘tanpa FS’, sudut 69,5º pada kondisi ‘FS-Sirdam’ dan sudut 68,6º pada kondisi ‘Full FS’.
Sudut kemiringan kapal yang memiliki lengan penegak (righting arm,
terbesar untuk selanjutnya disimbolkan dengan sudut kapal yang lebih besar dari sudut
)
. Pada sudut kemiringan
, lengan penegak kapal (
) akan mulai
mengalami pengurangan hingga akhirnya tidak lagi terdapat lengan penegak atau
203
= 0. Pada kondisi Mengacu pada sudut memperkecil sudut mencapai sudut
= 0, kapal sudah tidak dapat kembali ke posisi tegak semula. , terlihat bahwa keberadaan free surface dapat . Pada kondisi riil, KPIH ‘Closed hull’ ini tidak akan . Hal ini disebabkan karena KPIH tersebut dibatasi oleh FA
yaitu 31,5º. Selain mengurangi sudut oleng kapal yang menghasilkan keberadaan free surface juga dapat mengurangi nilai
maks
(
. Hal ini terlihat dari nilai
pada KPIH kondisi ‘Full FS’ yang lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’. Sedangkan nilai
pada
pada KPIH kondisi ‘Full FS’ dan ‘FS-
Sirdam’ lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai Ketiga nilai
),
pada KPIH kondisi ‘tanpa FS’.
tersebut menunjukkan bahwa KPIH kondisi ‘tanpa FS’ memiliki
stabilitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan kedua kondisi KPIH lainnya. Adapun stabilitas KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’ masih lebih baik jika dibandingkan dengan stabilitas KPIH kondisi ‘Full FS’. Pengurangan nilai
ini disebabkan karena
pergerakan free surface pada saat kapal mengalami oleng. Pergerakan free surface ini mengakibatkan pergeseran titik berat (G) kapal ke arah atas. Pergeseran titik G kapal ke atas mengakibatkan
yang terjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan yang
seharusnya terjadi. Fenomena yang terjadi pada KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’ berbeda dengan yang terjadi pada KPIH kondisi ‘Full FS’. Walaupun kedua kondisi kapal tersebut samasama mengangkut muatan liquid yang memiliki free surface, akan tetapi luas free surface pada kedua kondisi kapal berbeda. Luas free surface pada KPIH kondisi ‘FSSirdam’ lebih kecil jika dibandingkan dengan luas free surface pada KPIH kondisi ‘Full FS’. Hal ini disebabkan karena free surface pada masing-masing palka pada KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’ berkurang dengan dipasangnya sirip peredam di permukaan free surface. Oleh karena itu, luasan free surface menentukan besar kecilnya pengurangan nilai
. Semakin besar luas free surface, maka akan semakin besar pula pengurangan
nilai
yang terjadi. Mengacu pada grafik stabilitas tersebut, terlihat keberadaan sirip peredam pada
palka, dengan rasio antara luas sirip peredam (Asp) dengan luas free surface (Afs) sebesar 0,30, cukup mampu menahan penurunan nilai
. Kondisi ini disebabkan
204
karena pergerakan free surface pada saat kapal oleng, tertahan oleh keberadaan sirip peredam yang di pasang di sepanjang sisi dalam dinding palka. Tertahannya gerakan free surface ini mengakibatkan pergeseran titik berat pada KPIH ‘Closed hull’ kondisi ‘FS-Sirdam’ tidak sejauh yang terjadi pada KPIH ‘Closed hull’ kondisi ‘Full FS’. Pada Tabel 35 terlihat bahwa, keberadaan free surface tidak saja menurunkan nilai
, akan tetapi juga mempengaruhi nilai initial
surface, maka nilai initial
. Semakin besar luas free
akan semakin kecil.
Selain mempengaruhi nilai
dan initial
, keberadaan free surface juga
mempengaruhi periode rolling kapal. Informasi tentang periode rolling juga dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kestabilan kapal yang berkaitan dengan keselamatan kapal. Pada kondisi fisik gelombang yang sama, apabila terdapat dua kapal dengan periode rolling yang berbeda, maka kapal dengan periode rolling lebih besar memiliki ancaman keselamatan yang lebih besar dibandingkan dengan kapal yang memiliki periode rolling lebih kecil. Berdasarkan periode rolling, sebagaimana disajikan pada Tabel 35, terlihat bahwa pada kapal yang muatannya tidak terdapat free surface (kondisi ‘tanpa FS’), memiliki periode rolling yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi kapal yang memiliki free surface (kondisi ‘Full FS’ dan ‘FS-Sirdam’). Pada kondisi kapal ‘Full FS’, terjadi penambahan periode rolling sebesar 0,12 detik (4,1 %). Lain halnya pada kapal dengan kondisi muatan ‘FS-sirdam’, penambahan periode rolling hanya sebesar 0,05 detik (1,7 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemasangan sirip peredam di sisi dalam dinding palka, dapat mengurangi peningkatan periode rolling kapal. lamanya periode rolling
Lebih
kapal yang memiliki free surface pada muatannya
dibandingkan dengan periode rolling kapal yang tidak memiliki free surface pada muatannya, diduga karena adanya sloshing. Lee et.al (2005) mendefinisikan sloshing sebagai suatu istilah yang menunjukkan fenomena saat free surface membentur dinding palka saat kapal mengalami oleng. Berdasarkan definisi tersebut, maka saat free surface membentur dinding palka atau terjadi sloshing, maka timbulah moment tumbukan yang mengakibatkan gerakan balik kapal tertahan lebih lama pada posisi kemiringannya. Setelah moment tumbukan berkurang atau bahkan hilang, maka barulah kapal tersebut melakukan gerakan oleng ke arah yang berlawanan. Sloshing inilah yang mengakibatkan periode rolling kapal yang memiliki free surface menjadi lebih lama.
205
Lain halnya pada kapal yang dilengkapi dengan palka bersirip peredam, gerakan free surface saat kapal oleng, tertahan oleh sirip peredam. Sehingga moment tumbukan pada dinding palka yang diakibatkan oleh sloshing menjadi lebih kecil. Walaupun periode rolling kapal yang dilengkapi palka dengan sirip peredam masih lebih lama dibandingkan dengan kapal yang tidak memiliki free surface, akan tetapi periode rolling-nya masih lebih cepat dibandingkan dengan kapal yang dilengkapi palka tanpa sirip peredam. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stabilitas kapal akan semakin memburuk apabila terdapat free surface di atas kapal tersebut. Hal ini ditandai dengan terjadinya penurunan nilai
, initial
, sudut oleng pada
maksimum dan peningkatan rolling period yang terjadi. Selain itu, keberadaan sirip peredam terbukti pula mampu menahan penurunan nilai pada
, initial
dan sudut oleng
maksimum serta peningkatan rolling period yang lebih besar lagi.
206
7
PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai KPIH untuk mengangkut benih ikan, sumber risikonya adalah desain palka, sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air yang digunakan, dan densitas ikan di dalam palka. Oleh karena itu, langkah mitigasi risiko yang harus dilakukan adalah: 1) Memodifikasi desain palka yang ada menjadi desain palka yang mampu meredam efek free surface, 2) Mengganti sistem sirkulasi menjadi sistem resirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka kapal, dan 3) Menentukan densitas benih ikan yang akan dimuat di dalam palka kapal. Berdasarkan hasil kajian langkah mitigasi risiko terhadap desain palka, maka desain palka yang disarankan untuk meredam efek free surface yang terjadi adalah desain palka berbentuk kotak yang dipasangkan sirip peredam di sepanjang dinding dalam palka. Mengacu pada hasil kajian terhadap keberadaan sirip peredam yang dipasangkan di dinding dalam model palka menunjukkan bahwa keberadaan sirip peredam mampu meredam pergerakan free surface liquid di dalam model palka pada saat terjadi gerakan rolling kapal ataupun setelah terjadinya gerakan rolling kapal. Terbatasnya gerakan free surface oleh sirip peredam pada saat terjadinya gerakan rolling kapal, juga mengakibatkan posisi benih ikan di dalam liquid saat terjadinya gerakan rolling tidak bergeser jauh. Kondisi ini diduga dapat meredam respon berlebih dari ikan akibat adanya pergerakkan air yang berlebihan di sekitarnya.
Bahkan
keberadaan sirip peredam turut berperan dalam peningkatan konsentrasi oksigen terlarut pada saat terjadinya gerakan rolling kapal. Dampak sirip peredam terhadap tingkah laku benih ikan dan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut telah dibuktikan dalam uji coba saran mitigasi risiko terhadap ketahanan hidup benih ikan. Saran mitigasi risiko berikutnya adalah mengganti sistem sirkulasi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka.
Pada kajian mitigasi terhadap sistem pemeliharaan kualitas air, dilakukan
pengkajian terhadap tiga sistem pemeliharaan kualitas air yang dikategorikan sebagai sistem resirkulasi. Ketiga sistem tersebut adalah sistem aerasi, sistem resirkulasi dan
207
sistem kombinasi resirkulasi-aerasi.
Sistem aerasi adalah merupakan sistem
pemeliharaan kualitas air yang sangat sederhana, yaitu dengan memasukkan unit aerator ke dalam air. Fungsi aerator adalah untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air.
Selanjutnya sistem resirkulasi adalah merupakan sistem pemeliharaan
kualitas air yang dilengkapi dengan sistem filtrasi. Sistem filtrasi ini berfungsi untuk mereduksi senyawa-senyawa kimia di dalam air yang dapat merugikan hidup ikan dan menyaring pertikel-partikel fisik yang terdapat di dalam air. Adapun sistem kombinasi resirkulasi-aerasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang lebih lengkap dibandingkan dengan kedua sistem lainnya. Ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut sering digunakan sebagai sistem untuk memeliharan kualitas air di dalam akuarium atau balai budidaya ikan. Berdasarkan hasil kajian terhadap ketiga sistem pemeliharaan kualitas air yang terdiri dari sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, menunjukkan bahwa ketiga sistem memiliki kemampuan yang hampir sama dalam mempertahankan kestabilan kualitas air. Kestabilan kualitas air yang dimaksud adalah kestabilan terhadap nilai konsentrasi oksigen terlarut, nilai pH, suhu air dan kandungan NH3 un-ionized di dalam air. Mengacu pada keempat parameter yang diukur tersebut, maka sistem kombinasi resirkulasi-aerasi merupakan sistem yang memiliki kemampuan yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan kemampuan sistem resirkulasi dan sistem aerasi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian terhadap sistem pemeliharaan kualitas air, sistem kombinasi resirkulasi-aerasi direkomendasikan sebagai sistem pemelihara kualitas air di dalam KPIH. Selanjutnya pada kajian mitigasi terhadap densitas benih ikan, disarankan untuk menentukan densitas benih ikan di dalam palka berdasarkan kebutuhan oksigen tiap individu ikan dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Hal ini disebabkan karena kebutuhan dasar bagi makhluk hidup adalah kebutuhan akan oksigen. Oleh karena itu, penentuan densitas benih ikan ini diawali dengan kajian terhadap tingkat konsumsi oksigen benih ikan. Pengukuran tingkat konsumsi oksigen benih ikan dilakukan dengan menggunakan closed respirometer. Berdasarkan hasil kajian terhadap tingkat konsumsi oksigen benih ikan, khususnya benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) berukuran antara 5 – 7 cm (TL), menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara hasil pengukuran konsumsi oksigen terhadap benih ikan yang berada sendirian di
208
dalam tabung respirometer dengan benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung respirometer. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diukur secara sendirian di dalam tabung respirometer lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diukur secara tidak sendirian di dalam tabung respirometer. Oleh karena itu, tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 (TL) adalah berkisar antara 0,816 – 1,734 mg O2/jam per ekor. Nilai 0,816 mg O2 /jam per ekor adalah merupakan nilai tengah dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu yang diukur secara tidak sendirian di dalam tabung respirometer, sedangkan nilai 1,734 mg O2/jam per ekor adalah merupakan nilai tengah dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek yang diukur secara sendiri di dalam tabung respirometer. Untuk selanjutnya, tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung respirometer dijadikan sebagai tingkat konsumsi oksigen minimum dari benih ikan. Adapun tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang sendirian di dalam tabung respirometer dijadikan sebagai tingkat konsumsi oksigen maksimum dari benih ikan. Berdasarkan hasil kajian terhadap nilai konsentrasi oksigen terlarut di dalam air yang berada di dalam sistem kombinasi resirkulasi-aerasi yang diperoleh dari hasil kajian terhadap sistem pemeliharaan kualitas air serta besarnya nilai konsumsi oksigen ikan yang diperoleh dari hasil kajian tingkat konsumsi oksigen benih ikan, maka ditentukanlah densitas benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL). Densitas benih ikan yang ditentukan terdiri dari densitas minimum yang berasal dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen maksimum dan densitas maksimum yang berasal dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen minimum. Hasil kajian mitigasi terhadap desain palka, sistem pemeliharaan kualitas air dan densitas benih ikan, untuk selanjutnya diuji coba untuk melihat ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL) dalam simulasi transportasi selama 48 jam perjalanan. Dalam uji coba telah digunakan saran-saran yang diperoleh dari hasil kajian mitigasi, yaitu menggunakan desain palka berbentuk kotak yang dilengkapi dengan sirip peredam yang di pasang di dinding dalam palka, dan dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam
209
palka. Untuk densitas benih ikan yang digunakan adalah 80% dari densitas maksimum. Penggunaan 80 % dari densitas maksimum dimaksudkan untuk memperbesar zona aman (safety zone) bagi benih ikan.
Hal ini dilakukan dengan maksud untuk
mengkondisikan apabila unit percobaan ini diterapkan pada kondisi yang sesungguhnya. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi ekstrim yang mungkin saja dialami oleh KPIH saat beroperasi. Selain itu, pada pelaksanaan di atas kapal, pensterilan air laut di dalam palka tidak dapat dilakukan hingga air laut di dalam palka steril 100 % dari mikro organisme. Berdasarkan hasil uji coba mitigasi risiko terhadap ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL), menunjukkan hasil yang sangat baik. Tingkat survival ratio benih ikan kerapu bebek mencapai 100 % untuk simulasi transportasi selama 2 × 24 jam perjalanan. Bahkan dari hasil pengamatan terhadap kondisi benih ikan pasca simulasi transportasi, menunjukkan bahwa benih-benih ikan tersebut hanya dalam waktu kurang lebih 5 menit setelah simulasi trasnportasi, telah mau memakan makanan yang diberikan. Padahal pada saat setelah simulasi transportasi dilakukan, benih-benih ikan tersebut dipindahkan ke dalam bak penampungan tanpa dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu. Pada umumnya, para transportir ikan hidup mulai dari fase benih hingga dewasa, selalu melakukan aklimatisasi terhadap ikan-ikan tersebut pasca transportasi sebelum dimasukkan ke dalam bak-bak penampungan di tempat tujuan transportasi. Selanjutnya hasil kajian dan uji coba terhadap saran mitigasi risiko di kaji ulang kembali tingkat risikonya terhadap survival ratio.
Berdasarkan hasil kajian ulang
tingkat risiko tersebut menunjukkan bahwa ketiga langkah mitigasi risiko yang disarankan dapat menurunkan tingkat risiko yang dimiliki oleh KPIH terhadap survival ratio benih ikan kerapu yang akan dibawanya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian mitigasi risiko, maka modifikasi KPIH yang dapat dilakukan adalah merubah kasko KPIH yang semula terbuka (karena terdapat lubang inlet dan outlet) menjadi tertutup semua tanpa lubang di kasko kapal. Kondisi kasko yang demikian mengakibatkan KPIH ‘Opened hull’ dimodifikasi menjadi KPIH ‘Closed hull’ . Dengan demikian, maka KPIH ‘Closed hull’ harus dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dan untuk mengurangi efek free surface, maka palka harus dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di sisi dalam dinding palka. Dengan demikian tingkat risiko KPIH ‘Closed hull’ apabila digunakan
210
untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm (TL) adalah risiko rendah dengan nilai 1. KPIH ‘Closed hull’ yang didesain berukuran kurang lebih 30 GT memiliki panjang total kapal sebesar 19,00 m, lebar maksimum sebesar 3,33 m dan tinggi kapal sebesar 1,95 m. KPIH ‘Closed hull’ tersebut digerakkan oleh mesin jenis marine engine berkekuatan kurang lebih 170 HP, dengan kecepatan maksimum yang dapat dilakukan adalah sebesar 10 knot. Adapun jarak jelajah yang dapat dilakukan adalah sejauh maksimal 480 mil. Kapal tersebut dapat berlabuh pada pelabuhan-pelabuhan yang memiliki kedalaman perairan lebih dari 2 m. Berdasarkan hasil kajian terhadap stabilitas KPIH ‘Closed hull’, keberadaan sirip peredam juga mampu mengurangi penurunan stabilitas kapal yang disebabkan karena adanya free surface pada muatan liquid yang terdapat di dalam palka kapal. Keberadaan sirip peredam pun juga mampu meredam rolling periode yang membesar akibat tumbukan free surface pada dinding palka kapal yang miring saat terjadinya rolling. Pada saat ini transportasi benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm sebagaimana telah dipaparkan dalam bab pendahuluan maupun kajian risiko, dilakukan dengan transportasi sistem tertutup (closed system). Dimana benih ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diisi dengan air laut dan oksigen dengan perbandingan 1 : 3. Selanjutnya kantong-kantong plastik berisi benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam kotak sterofoam berukuran 0,30 × 0,80 × 0,35 m (0,084 m3). Biasanya dalam satu kotak sterofoam memuat benih ikan kerapu bebek sebanyak 300 – 360 ekor. Untuk selanjutnya, kotak-kotak sterofoam berisi benih ikan kerapu tersebut ditransportasikan dari lokasi pembenihan ikan ke lokasi tujuan yaitu lokasi pembesaran benih ikan. Contoh salah satu rute transportasi yang dilalui oleh benih ikan kerapu adalah dari lokasi budidaya pembenihan ikan di Gondol, Bali menuju ke lokasi pembesaran benih ikan di Kepulauan Seribu, Jakarta. Ilustrasi rute transportasi benih ikan kerapu bebek dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta dengan transportasi sistem tertutup disajikan pada Gambar 71. Pada saat pemindahan kotak-kotak sterofoam berisi benih ikan dari moda yang satu ke moda lainnya, digunakan gerobak atau mobil troli. Tiap moda yang digunakan, memiliki kapasitas angkut tersedia yang terbatas (Tabel 36). Biasanya, dalam penyusunan kotak-kotak sterofoam pada moda transportasi adalah
211
dengan menumpuk kotak-kotak tersebut hingga maksimal 3 tingkat. Hal ini disebabkan keterbatasan kotak sterofoam dalam menahan beban maksimal di atasnya. Akan tetapi pengangkutan dengan menggunakan gerobak yang didorong oleh tenaga manusia, penumpukan hanya dilakukan maksimal 2 kotak.
Hal ini disebabkan keterbatasan
kemampuan tenaga manusia dan kestabilan posisi kotak saat berada di atas gerobak. Berdasarkan kapasitas angkut tersedia pada masing-masing moda transportasi sebagaimana disajikan pada Tabel 36, untuk pengangkutan benih ikan dalam 150 kotak sterofoam dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta adalah sekitar 9,5 jam (tidak termasuk waktu bongkar muat antar moda dan waktu menunggu keberangkatan moda yang ditumpanginya). Berdasarkan hasil kajian Slamet et al (2002) , waktu selama 9,5 jam atau bahkan lebih tersebut diperkirakan tingkat survival ratio benih ikan adalah antara 95 - 98% . Tabel 36 Kapasitas angkut tersedia pada masing-masing jenis moda transportasi No
Jenis moda
Kapasitas angkut tersedia (maksimal)
Keterangan
1
Mobil bak terbuka/mobil boks
60 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap tingkat terdiri dari 20 kotak
2
Pesawat udara
150 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap tingkat terdiri dari 50 kotak
3
Kapal laut
300 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap tingkat terdiri dari 100 kotak
4
Gerobak yang didorong oleh manusia
5
Troli yang ditarik oleh mobil (moda yang digunakan di bandara)
8 kotak Kotak disusun dua tingkat, tiap tingkat terdiri dari 8 kotak 30 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap tingkat terdiri dari 10 kotak
Lain halnya jika benih ikan nantinya akan ditransportasikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ . Transportasi benih ikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ merupakan transportasi sistem terbuka dengan prinsip menjaga kualitas air laut di dalam palka agar selalu sesuai dengan toleransi benih ikan yang terdapat di dalamnya. Untuk KPIH ‘Closed hull’ yang saat ini didesain, memiliki
212
kemampuan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor per trip. Perkiraan lamanya waktu transportasi benih ikan kerapu dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ jika dihitung dari lokasi pembenihan di Gondol, Bali melalui Pelabuhan Buleleng, Bali menuju ke Kepulauan Seribu, Jakarta adalah selama kurang lebih 48,5 jam (tidak termasuk waktu bongkar muat dari moda darat ke KPIH ‘Closed hull’ ). Ilustrasi rencana rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta disajikan pada Gambar 72. Jika pengangkutan benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor dilakukan dengan menggunakan transportasi tertutup yang saat ini telah dilakukan, maka diperkirakan ke 195.400 ekor benih ikan kerapu terbagi dalam 543 kotak sterofoam. Adapun waktu
transportasi yang dibutuhkan adalah antara 3 – 7 hari.
Sehingga
diperkirakan survival ratio benih ikan tersebut menjadi lebih kecil lagi dari 95%, yaitu sekitar 90 – 93% (Slamet et al, 2002). Waktu selama itu dengan memperhitungkan lamanya waktu tunggu keberangkatan moda yang ditumpangi dan lamanya waktu bongkar muat antar moda. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kapasitas angkut tersedia yang terbatas pada masing-masing moda transportasi. Estimasi performa dari transportasi benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dan transportasi tertutup yang ada saat ini, secara rinci disajikan dalam Tabel 37.
213
tanpa skala
Gambar 71 Ilustrasi rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan transportasi sistem tertutup, dari Gondol (Bali) ke Kepulauan Seribu (Jakarta) \
tanpa skala
Gambar 72 Ilustrasi rencana rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan KPIH ‘Closed hull’ dari Gondol (Bali) ke Kepulauan Seribu (Jakarta)
214
Tabel 37 Estimasi performa pengangkutan 195.400 ekor benih ikan dengan transportasi menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dan transportasi sistem tertutup. Parameter Transportasi sistem Transportasi sistem tertutup terbuka dengan KPIH ‘Closed hull’ Jumlah benih ikan yang diangkut
195.400 ekor benih ikan yang dimasukkan ke dalam 543 kotak sterofoam
195.400 ekor benih ikan (dalam 1 unit kapal)
Contoh rute transportasi Bali – Kepulauan Seribu, Jakarta
Bali – Kepulauan Seribu, Jakarta
Rute pengangkutan
Bandara Ngurah Rai Bandara Soekarno Hatta (Pesawat), Bandara Soekarno Hatta Muara Angke) (mobil pick up), Muara Angke Kep. Seribu (kapal)
Melintasi Laut Jawa (Bali Kepulauan Seribu, Jakarta)
Lama transportasi
3 – 7 hari (tergantung ketersediaan tempat pada moda yang ditumpanginya dan jadwal keberangkatan pesawat dan kapal, dan harus dilakukan repacking)***
± 2 hari (tanpa harus mengganti air)
Survival ratio
90 – 93 %*
Mencapai 100 %**
Biaya angkut per benih ikan
Rp. 333,- *** (tidak termasuk Rp. 128,- - Rp. 281,- *** sewa gudang tempat penyimpanan sementara saat pergantian antar moda, bea masuk-keluar bandara, bea tidak resmi dsb)
Aklimatisasi
6 – 24 jam
Kebutuhan lainnya
Membutuhkan tempat penyimpanan sementara jika terjadi antrian pengangkutan terutama saat akan menggunakan moda udara dan laut
Keterangan: * Slamet et al (2002) ** Hasil eksperimen penulis dalam skala laboratorium *** Simulasi perhitungan disajikan pada Lampiran 8
5 – 10 menit -
215
Pada Tabel 37 disajikan bahwa survival ratio benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ mencapai 100%. Nilai survival ratio tersebut adalah merupakan hasil eksperimen yang dilakukan dalam skala laboratorium. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai survival ratio pada kondisi sesungguhnya di alam. Adapun biaya angkut per benih ikan sebesar Rp. 128,- - Rp. 281,- per ekor, adalah merupakan hasil simulasi dengan memperhitungkan biaya operasional kapal termasuk upah ABK dan biaya investasi kapal dan perlengkapannya. Biaya angkut per benih ikan akan semakin besar dengan semakin besarnya biaya investasi kapal dan perlengkapannya yang ditetapkan oleh pemilik kapal. Pada Tabel 37, perkiraan biaya transportasi per ekor benih ikan kerapu bebek adalah Rp. 333,- per ekor untuk pengangkutan benih ikan dengan transportasi sistem tertutup dan antara Rp. 128,- – Rp. 281,- per ekor untuk pengangkutan benih ikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’). Terlihat bahwa biaya angkut per benih ikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ lebih murah dibandingkan dengan sistem transportasi tertutup yang saat ini diterapkan. Selain keuntungan ekonomis sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 37, penggunaan KPIH ‘Closed hull’ sebagai moda transportasi benih ikan, mampu mencapai pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia yang tidak dapat didatangi oleh pesawat udara.
216
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh adalah: 1.
Kapal Pengangkut Ikan Hidup (KPIH) ‘Opened hull’ memiliki tingkat risiko tinggi jika digunakan sebagai kapal pengangkut benih ikan. Sumber risiko berasal dari: desain palka, sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air dan densitas ikan di dalam palka.
2.
Langkah mitigasi risiko yang harus dilakukan adalah: 1) Memodifikasi palka sehingga mampu meredam efek free surface, yaitu dengan memasang sirip peredam di sepanjang dinding dalam palka.
Dari profil
kemiringan permukaan air saat model palka diolengkan dan waktu redam permukaan air, keberadaan sirip peredam mampu meredam efek free surface masing-masing sebesar 40 - 60 % dan 33,3 – 50 %. 2) Mengganti sistem sirkulasi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air, sehingga sekaligus merubah desain kapal menjadi ‘Closed hull’. Sistem kombinasi resirkulasi-aerasi mampu menjaga kestabilan nilai konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan nilai pH. 3) Densitas benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm berdasarkan kebutuhan konsumsi oksigen ikan yaitu berkisar antara 3 ekor per liter untuk densitas minimum dan 6 ekor per liter untuk densitas maksimum (untuk ratarata DO minimal sebesar 6,5 mg O2/liter). Konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek ukuran 5 – 7 cm TL adalah berkisar antara 0,816 – 1,734 mg O2/jam per ekor atau sebesar 0,231 – 0,492 mg O2/gr berat/jam. 3
Rancangan umum KPIH yang direkomendasikan berdasarkan hasil kajian risiko adalah KPIH ‘Closed hull’ yang dilengkapi dengan palka berbentuk kotak dan bersirip peredam, dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemelihara kualitas airnya
217
8.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan diantaranya adalah: 1) Perlu dilakukan uji coba dalam kondisi yang sesungguhnya di lapangan. 2) Perlu dilakukan kajian survival benih ikan pada sistem pemeliharaan kualitas air lainnya, yaitu sistem aerasi dan resirkulasi. 3) Perlu dilakukan pengujian survival benih ikan pada densitas yang lebih tinggi, yaitu densitas maksimum tanpa dikurangi 20 % sebagaimana hasil perhitungan pada sub bab 5.3, sebesar 7,9 ekor per liter. Saran ini diajukan mengingat masih cukup tersedianya konsentrasi oksigen terlarut selama simulasi transportasi dilakukan. 4) Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang survival benih ikan yang tidak diaklimatisasi saat dimasukkan ke dalam bak penampungan pasca simulasi transportasi dengan menggunakan model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi.
218
DAFTAR PUSTAKA Ant o, P., T. Almeida, C. Jacinto and C.G. Soares. 2008. Causes of Occupational Accidents in The Fishing Sector in Portugal. Safety Science, Vol. 46: 885-899. Arif, A.G., A. Supriyono dan W. Adiwinata. 2004. Teknik Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus coioides). Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol. III, No. 2, Tahun 2004. Halaman: 15-20. Berka, R. 1986. The Transport of Live Fish A Review. EIFAC Technical Paper. Organization of The United Nation. Rome: Food and Agriculture. 52 p. Bhattacharyya, R. 1978. Dynamics of Marine Vehicles. John Wiley & Sons, Inc. New York. Pages: 135-146. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam, Oxford, New York. 318 p. Boyd, C.E. 1992. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departemen of Fisheries and Allied Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn Univ., Alabama. Birmingham Publishing, 482 p. Brule, T., D.A. Aranda, M.S. Crespo, and T.C. Marrufo. 1996. A Preliminary Study on the Growth Performance of Juvenile Red Grouper Reared in a RecirculatingWater System. The Progressive Fish-Culturist, Volume 58, Issue 3: 192-202. Chandroo, K.P., L.J.H. Duncan dan R.D. Moccia. 2004. Can fish suffer?: perspectives on sentience, pain, fear and stress. Applied Animal Behaviour Science. Vol. 86(2004): 225 – 250. Dedy, H.S. dan R. Ratno. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius, Yogyakarta. Hal: 14-21. Delince, G.A., B. Campbell, G.A.L. Janssen and M.N. Kutty. 1987. Seed Production. United Nations Development Programme, FAO, Nigeria Institute for Oceanography and Marine Research Project RAF/82/009 (www.fao.org). Djohanputro, B. 2004. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Penerbit PPM. Jakarta. Hal 16. Filho, E.Z., A.P.O. Nuñer, D.A.R. Tataje and R.L. Serafini. 2009. Water pH and Prochilodus lineatus Larvae Survival. Fish Physiology Biochemical (2009), 35: 151-155. FishVet.Inc. 2007. Fish Stress and Disease Overview. www.fishvet.com. Diakses tanggal 2 Oktober 2009. Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. England: Fishing News Book. Pages: 21 – 53. Francis, R. and Floyd. 1990. Stress-Its Role in Fish Disease. CIR919. Fisheries and Aquatic Sciences Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida Froese, R. and D. Pauly. 2000. FishBase 2000: Consepts, Design and Data Sources. (www.fishbase.org)
219
Gowen, R.J. and Bradbury, N.B. 1987. The Ecological Impact of salmonid farming in Coastal Waters: A Review. Oceanogr.Mar.Biol. Ann. Rev. 25: 563-575. Grøttum, J.A. and T.Sigholt. 1998. A model for Oxygen Consumption of Atlantic Salmon (Salmo salar) Based on Measurements of individual fish in a Tunnel Respirometer. Aquacultural Engineering. Vol. 17: 241-251. Hanafi, M.M. 2006. Manajemen Risiko. Unit Penerbitan dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta. Hal: 1. Harianto, 2003. Pengujian Kinarja Prototipe Alat Pengangkutan Darat Ikan Kerapu Hidup. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. III, hal. 88 – 93. Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of Fishing Vessels. Second edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, England. Page: 131. Huet, M. 1971. Text Book of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish. London: Fishing News (Book) Ltd. Page: 436. IMO, 1995. Code on Intact Stability for All Types of Ships Covered by IMO Instruments. Resolution A.749 (18). International Maritime Organization. 1428. Inoue, L.A.K.A., G. Moraes, G.K. Iwama dan L.O.B. Afonso. 2008. Physiological stress responses in the warm-water fish matrinxa (Brycon amazonicus) subjected to a sudden cold shock. Acta Amazonica, Vol 38(3) 2008: 603-610. Kindschi, G. A., C. E. Smith and R.F. Koby, JR. 1991. Performance of Two Strains of Rainbow Trout Reared at Four Densities with Supplemental Oxygen. The Progressive Fish-Culturist, Vol. 53, Issue 4: p. 203-209. Online ISSN: 15488640. Kompas.com. 2009. Bali Ekspor Ribuan Kerapu Hidup. Terbit tanggal 5 Januari 2009: 09:23 WIB. Kristiansen, S. 2005. Maritime Transportation. Safety Management and Risk Analysis. Elsevier Butterworth-Heinemann. Oxford. p. 208 – 212. Lafi, L. dan Y. Novita. 2005. Desain dan Sistem Penyimpanan Ikan pada Palka Kapal Longline Jenis Taiwan dan Bagan Siapi-api ukuran 50-100 GT di PPSJ. Buletin PSP, Vol. XV. No. 1, Tahun 2005. Hal: 1-16. Lafi, L. dan Y. Novita. 2006. Perbandingan Muatan Palka Ikan Kapal Tuna Longline Jenis Taiwan dan Bagan Ukuran 50-100 GT yang Berbasis di PPS Jakarta. Buletin PSP, Vol. XIV. No. 1, Tahun 2006. Hal: 1-18. Langkosono. 2007. Budidaya Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kualitas Perairan. Neptunus, Vol. 14, No. 1, Juli 2007. Hal: 61-67. Lee, S.K., S. Surendran dan G. Lee. 2005. Roll Performance of Small Fishing Vessel with Live Fish Tank. Ocean Engineering 32 (2005): 1873-1885. Leung, K.M.Y., J.C.W. Chu dan R.S.S. Wu. 1999. Effects of Body Weight, Water Temperature and Ration Size (Epinephelus areolatus) and Mangrove snapper (Lutjanus argentimaculatus). Aquaculture. Vol. 170: 215-227.
220
Lewis, E.V. 1988. Principles of Naval Architecture (Second Edition), Volume I: Stabiliy and Strength. The Society of Naval Architects and Marine Engineers, Jersey City, New York. P: 93-100. Lloyd, R. and Jordan, D.H.M. 1964. Some Factors Affecting The Resistance of Rainbow Trout, Salmo gairdneri R. to Acid Water. Int. J Air Water Pollut 8: 393-403. Nomura, M. and T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques (1). Text Book Series No. 42. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Pages: 175 – 206. Novita, Y., B.H. Iskandar, B. Murdiyanto, B. Wiryawan dan Hariyanto. 2010. Keragaan Free Surface Pada Model Palka Berbentuk Kotak dan Silinder. Jurnal Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut. Vol. 1, No. 2, Edisi November 2010. Halaman: 133-140. Novita, Y. 1999. Studi Simulasi Gerakan Vertikal Kapal Purse Seine terhadap Gelombang Reguler Following Seas. [Thesis] (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Program Pasca Sarjana. Halaman: 26. Nurani, T.W. 2010. Model Pengelolaan Perikanan: Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB. Bogor. ISBN: 978979-1225-21-2. Hal: 94-96. Parra, J.E.G. and B. Baldisserotto, 2007. Effect of Water pH and Hardness on Survival and Growth of Freshwater Teleosts. Science Publishers, Enfield. Pages: 23 – 24. Pescod, M.B. and D.A. Okun. 1973. Water Supply and Wastewater Disposal in Developing Countries. Bangkok. Asian Institute of Technology. P: 51-52. Pearson, P. R., B.C. Small, R.V. Beecham,T. D. Sink, S. B. LaBarre and C. D. Minchew. 2009. Effects of Loading Density on Golden Shiner Survival during and after Hauling. North American Journal of Aquaculture 2009; 71: 24-29. Online ISSN: 1548-8454. Pickering, A.D. 1993. Endocrin-induced Pathology in Stress Salmond Fish. Elsevier Research (17): 35-50. Piniella, F., M.C. Soriguer and J. Walliser. 2008. Analysis of The Specific Risk in The Different Artisanal Fishing Methods in Andalusia, Spain. Safety Science, Vol. 46: 1184-1195. Purbayanto, A., A. Tsunoda, S. Akiyama, T. Arimoto and T.Tokai. 2001. Survival of Japanese whiting Sillago japonica and by-catch species captured by a sweeping trammel net. Fisheries Sciences. Vol. 67, No. 1, February 2001. Hal: 21-29. Purbayanto, A., M. Riyanto dan A.D.P. Fitri. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap. PT. IPB Press. Bogor. Hal: 141- 164. Purwaamidjaja, E.T., 2006. Kajian Tingkat Kelulusan Hidup Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada Sistem Pengangkutan Basah Cara Terbuka dengan Refrigerasi Mekanik. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Hal 1561.
221
Ramli, S. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Risiko dalam Perspektif K3 OHS Risk Management. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. 156 hal. Rouf, A.R.A. dan Y. Novita. 2006. Studi Tentang Bentuk Kasko Kapal Ikan di Beberapa Daerah di Indonesia. Jurnal Torani. No. 4, Vol. 16, Desember 2006. Hal: 51-62. Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2005. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Cetakan ke-2. Djambatan. Jakarta. Halaman: 37 – 39. Santoso, A.D., 2007. Perkiraan Padat Penebaran Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang optimum berdasarkan pada kebutuhan oksigen terlarut. Jurnal Riset Akuakultur. Vol. 2 No. 3 Thn 2007. Hal 345-351. Satyono, E. 2006. Ekspor Kerapu, Masih Banyak Perdu. November 2006.
Majalah Trobos, Edisi
Schreck, C.B. and P.B. Moyle. 1990. Methods for Fish Biology. American Fisheries Society. Bethesda, Maryland, USA. 684 hal. Setyadi, I., Kasprijo, A. Prijono dan K. Suwirya. 2008. Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Lumpur dengan Kepadatan Berbeda Dalam Hapa di Keramba Jaring Apung (KJA). Prosiding Seminar Riptek Kelautan dan Nasional. IKN 64–67. Slamet, B., S. Ismi dan T. Aslianti. 2002. Transportasi Benih Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Hasil Pembenihan di Bali. Ntb.litbang.deptan.go.id/ 2002/NP/transportasibenih.doc (1 September 2009) Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 hal. Sun, L., H. Chen and L. Huang. 2007. Growth, Faecal Production, Nitrogenous Excretion and Energy Budget of Juvenile Yellow Grouper (Ephinephelus awoara) Relative to Ration Level. Aquaculture. 264 (2007): 228-235. Suriansyah, M. N. Yasin dan Rahmanuddin. 2006. Tingkat Survival Rate dan Faktor Kondisi Ikan Nila Gift (Oreochromis sp) yang Dipelihara dalam Baskom dengan Padat Penebaran Berbeda. Journal of Tropical Fisheries (2006) 1(1) : 80 — 86 Suwardjo, D., I. Jaya, J. Jaluan dan S. Hadipoernomo. 2010. Kajian Tingkat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal-kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi di PPP Tegal Sari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 10 (1): 61 – 72. Taufik, I., Zahril I.A. dan Sutrisno. 2008. Pengaruh Sistem Pergantian Air yang Berbeda pada Pemeliharaan Benih Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr). Jurnal Riset Akuakultur, Vol. 3, No. 1, Tahun 2008. Hal: 60. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta. 397 hal. Wang, J., A. Pillay, Y.S. Kwon, A.D. Wall and C.G. Loughran. 2005. An Analysis of Fishing Vessel Accidents. Accident Analysis & Prevention, Vol. 27: 1019-1024. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisa Dampak Lingkungan Hasil Kerjasama PPLHUNDP-PSL IPB. Bogor 19-31 Januari 1981. 41 hal.
222
Whittington, R.J. and R. Chong. 2007. Global Trade in Ornamental Fish From an Australian Perspective: The Case for Revised Import Risk Analysis and Management Strategies. Preventive Veterinary Medicine, Vol. 81: 92-116. Yamin, M. dan N. N. Palinggi, 2007. Aktivitas Enzim Protease dan Kondisi Pencernaan di Usus Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Setelah Pemberian Pakan. Jurnal Riset Akuakultur. Vol 2 N 2 Th 2007. ISSN 19076754. Hal 281 – 288. Zimmermann, C. and A. Kunzmann. 2001. Baseline Respiration and Spontaneous Activity of Sluggish Marine Tropical Fish of The Family Scorpaenidae. Marine Ecology Progress Series. Vol. 219: 229-239. Zweigh R.D., J.D. Morton and M.M. Stewart. Aquaculture. World Bank, Washington.
1999.
Source Water Quality or
223
Lampiran 1 Analisis statistik terhadap perbedaan bentuk palka (a) Profil kemiringan permukaan air Uji Kenormalan data (α α=5 %) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kemiringan N
40
Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
Mean
7,3750
Std. Deviation
1,29471
Absolute
,160
Positive
,139
Negative
-,160
Kolmogorov-Smirnov Z
1,014
Asymp. Sig. (2-tailed)
,255
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Karena Z > 0,05 maka data normal Karena Dat Normal Maka di Lakukan Uji Anova dengan menggunakan RAL Anova: Single Factor (kiri) SUMMARY Groups Model palka kotak Model palka silinder
Count
Sum 10 79 10 79
Average
Variance 7,9 1,21111111 7,9 0,76666667
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 7,1054E15 17,8 17,8
df 1 18 19
MS 7,10543E-15 0,988888889
F 7,1853E-15
Pvalue
F crit
1 4,413873
224
Lampiran 1 Lanjutan Anova: Single Factor (kanan) SUMMARY Groups Model palka kotak Model palka silinder
Count 10 10
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,05 36,5
Total
Sum Average Variance 68 6,8 1,5111 69 6,9 2,5444
df
36,55
1 18
MS 0,05 2,023
F P-value F crit 0,0247 0,8770 4,4139
19
Kesimpulan : Karena nilai F hit < F Tab, atau nilai P-Value > 0,05 maka tidak terjadi perbedaan kemiringan air pada palkah tipe kotak dan siliner. Artinya, tipe palkah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kemiringan air pada palkah yang dicobakan (b) Riak One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Silinder N
Kotak
12
12
Mean
1.0167
.4083
Std. Deviation
.36390
.15643
Absolute
.141
.229
Positive
.141
.188
Negative
-.109
-.229
Kolmogorov-Smirnov Z
.488
.792
Asymp. Sig. (2-tailed)
.971
.556
Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
225
Lampiran 1 (Lanjutan) ANOVA Data_Riak Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
2.220
1
2.220
Within Groups
1.726
22
.078
Total
3.946
23
F 28.305
F tab 4.3009
Sig. .000
Karena nilai Fhit > Ftab atau nilai sig < 0,05 maka ada perbedaan nyata terhadap data riak pada palkah kotak dan silinder (c) Waktu Redam One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Data_Waktu_Re dam N
8
Normal Parameters
a,,b
Mean
21.8750
Std. Deviation Most Extreme Differences
11.99330
Absolute
.270
Positive
.270
Negative
-.198
Kolmogorov-Smirnov Z
.765
Asymp. Sig. (2-tailed)
.603
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
ANOVA Data_Waktu_Redam Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
946.125
1
946.125
60.750
6
10.125
1006.875
7
F
F tab
93.444
10.1279
Sig. .000
Karena nilai Fhit > Ftab atau nilai sig < 0,05 maka ada perbedaan nyata terhadap waktu redam pada palkah kotak dan silinder
226
Lampiran 2 Analisis statistik untuk pengaruh sirip peredam terhadap efek free surface (a) Profil kemiringan permukaan air Uji Kenormalan data (α α=5 %)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Ketinggian_ Riak N Normal Parameters
22 Mean
1,5091
Std. Deviation
,63012
Absolute
,178
Positive
,173
Negative
-,178
a,,b
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
,834
Asymp. Sig. (2-tailed)
,490
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Karena Z > 0,05 maka data normal
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Tanpa sirdam Dengan sirdam
Count 11 11
Sum 20,6 12,6
Average 1,872727 1,145455
Variance 0,290182 0,252727
227
ANOVA Source of Variation
Within Groups
SS 2,9090 9 5,4290 9
Total
8,3381 8
Between Groups
df
MS 1
2,909091
20
0,271455
21
F 10,71668
P-value 0,00379 9
F crit 4,35124 3
228
Lampiran 2 (Lanjutan) (b) Riak Uji Kenormalan data (α α = 5 %) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kemiringan_2 N Normal Parameters
40 Mean
4,1000
Std. Deviation
1,35495
Absolute
,242
Positive
,242
a,,b
Most Extreme Differences
Negative
-,197
Kolmogorov-Smirnov Z
1,528
Asymp. Sig. (2-tailed)
,019
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Karena Z > 0,05 maka data normal SUMMARY Groups Tanpa sirdam Dengan sirdam
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 28,8 5 33,8
Count 10 10
df
Sum
MS 1 28,8 18 0,277778 19
Average Variance 53 5,3 0,233333 29 2,9 0,322222
F P-value F crit 103,68 6,76E-09 4,413873
229
Lampiran 3 Analisis statistik untuk pengaruh perlakuan sistem kombinasi resirkulasiaerasi, sistem resirkulasi dan sistem aerasi terhadap suhu air, konsentrasi oksigen terlarut dan pH Uji Kenormalan (α= 5 %) One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Suhu DO N 24 24 a,,b Normal Parameters Mean 25.8000 6.5625 Std. Deviation .56645 .10555 Most Extreme Absolute .103 .265 Differences Positive .097 .265 Negative -.103 -.194 Kolmogorov-Smirnov Z .504 1.297 Asymp. Sig. (2-tailed) .961 .069 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
pH
NH3
24 8.0842 .07300 .150 .148 -.150 .734 .655
9 .0136 .00493 .274 .274 -.130 .821 .511
F 47.025
Sig. 0.000
10.812
0.001
62.432
0.000
Hasil Anova
pH
DO
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Suhu air Between Groups
ANOVA Sum of Squares df 0.100 0.022 0.123 0.130 0.126 0.256
Mean Square 2 0.050 21 0.001 23 2 0.065 21 0.006 23
6.317
2
3.159
Within Groups
1.063
21
0.051
Total
7.380
23
230
Lampiran 3 (lanjutan) Hasil uji lanjut dengan Tuker HSD (beda nyata jujur) adalah sebagai berikut. Multiple Comparisons Tukey HSD Depend ent Variable (I) Sistem
(J) Sistem
pH
Resirkulasi
ResirkulasiAerasi
Resirkulasi
Aerasi
DO
ResirkulasiAerasi
Resirkulasi
Aerasi
Suhu
ResirkulasiAerasi
Resirkulasi
Aerasi
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
0.03125
0.01632
0.159
Aerasi
-0.11875
*
0.01632
0.000
Resirkulasi-Aerasi
-0.03125
0.01632
0.159
Aerasi
-0.15000
*
0.01632
0.000
Resirkulasi-Aerasi
0.11875
*
0.01632
0.000
Resirkulasi
0.15000
*
0.01632
0.000
Resirkulasi
0.17500
*
0.03877
0.001
Aerasi
0.12500
*
0.03877
0.011
Resirkulasi-Aerasi
-0.17500
*
0.03877
0.001
Aerasi
-0.05000
0.03877
0.416
Resirkulasi-Aerasi
-0.12500
*
0.03877
0.011
Resirkulasi
0.05000
0.03877
0.416
Resirkulasi
-0.73750
*
0.11247
0.000
Aerasi
0.51250
*
0.11247
0.000
Resirkulasi-Aerasi
0.73750
*
.11247
0.000
Aerasi
1.25000
*
0.11247
0.000
Resirkulasi-Aerasi
-0.51250
*
0.11247
0.000
Resirkulasi
-1.25000
*
0.11247
0.000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
231
Lampiran 4 Hasil uji statistik terhadap perlakuan individu ikan pada kondisi Ii dan Ik. (A) Suhu air laut Perlakuan 1= kondisi Ik Perlakuan 2= kondisi Ii
menit ke0
Sub total 5
Sub total 10
Sub total 15
Sub total 20
Sub total 25
Sub total 30
Sub total 35
Sub total 40
Sub total 45
Sub total 50
P1
total kelompok
P2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,3 0 0 0 0 0,1 0 0,1 0,2 0,1 0 0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,3 0,2 0,1 0,2 0,5 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,3 0,2
0
0
0
0,3
0,6
0,2
0,5
0,6
0,9
0,9
232
Sub total 55
Sub total 60
Sub total 65
Sub total 70
Sub total 75
Sub total 80
Sub total 85
Sub total 90
Sub total 95
Sub total 100
Sub total 105
Sub total 110
Sub total
0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,2 0,4 0,2 0,1 0,2 0,5 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,3 0,2 0,3 0,8 0,3 0,2 0,2 0,7 0,3 0,3 0,2 0,8
0,3 0,8 0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,2 0,3 0,8 0,3 0,3 0,3 0,9 0,4 0,3 0,3 1 0,4 0,3 0,4 1,1 0,4 0,4 0,4 1,2 0,4 0,4 0,5 1,3 0,4 0,4 0,5 1,3 0,4 0,4 0,5 1,3 0,5 0,5 0,6 1,6 0,4 0,4 0,5 1,3 0,5 0,4 0,5 1,4
1,1
1,2
1,1
1,2
1,3
1,5
1,7
1,9
1,9
1,9
2,4
2
2,2
233
115
Sub total 120
Sub total Total perlakuan
0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9
0,5 0,5 0,5 1,5 0,6 0,5 0,5 1,6
9,6
20,7
db total db klp db prlk db galat1 db galat2 FK = JKT = JKK = JKP= JKG 1 = JKG 2= KTK = KTP = KTG1 = KTG 2=
2,5 30,3
149 24 1 24 100 6,1206 3,8694 2,5944 0,8214 0,306933 0,146667 0,1081 0,8214 0,012789 0,001467
Analisis Ragam SK db Kelompok perlakuan galat 1 galat 2 total
2,4
24 1 24 100 149
JK
KT
F hit
2,5944 0,8214 0,306933 0,146667 3,8694
0,1081 0,8214 0,012789 0,001467
64,22763 8,719697
F tab 5%
1%
4,259677 1,626708
7,822871 1,982556
234
Lampiran 4 (Lanjutan) (B) Konsentrasi oksigen terlarut dalam air Perlakuan 1 = kondisi Ik Perlakuan 2 = kondisi Ii menit ke0
Sub total 5
Sub total 10
Sub total 15
Sub total 20
Sub total 25
Sub total 30
Sub total 35
Sub total 40
Sub total 45
Sub total 50
P1
total kelompok
P2 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,1 0,5 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,3 0,2 0,8 0,2 0,2 0,2 0,6 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,4 0,3 1 0,3 0,4
0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,1
1,4
1,4
1,2
1,4
1,6
235
Sub total 55
Sub total 60
Sub total 65
Sub total 70
Sub total 75
Sub total 80
Sub total 85
Sub total 90
Sub total 95
Sub total 100
Sub total 105
Sub total 110
Sub total
0,3 1 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,4 0,3 1 0,3 0,4 0,3 1 0,4 0,4 0,3 1,1 0,4 0,5 0,4 1,3 0,4 0,4 0,3 1,1 0,4 0,4 0,3 1,1 0,4 0,5 0,4 1,3 0,5 0,5 0,4 1,4 0,5 0,5 0,4 1,4 0,4 0,5 0,4 1,3 0,5 0,5 0,4 1,4
0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,2 0,2 0,2 0,6 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,3 0,2 0,8 0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9
1,6
1,4
1,6
1,6
1,9
2,1
1,9
1,9
2,2
2,3
2,3
2,2
2,3
236
115
Sub total 120
Sub total Total perlakuan
0,5 0,5 0,4 1,4 0,4 0,5 0,3 1,2
0,3 0,3 0,3 0,9 0,3 0,3 0,3 0,9
2,1
24,7
17,9
42,6
db total db klp db prlk db galat1 db galat2 FK = JKT = JKK = JKP= JKG 1 = JKG 2= KTK = KTP = KTG1 = KTG 2=
149 24 1 24 100 12,0984 1,3616 0,7316 0,308267 0,148400 0,173333 0,030483 0,308267 0,006183 0,001733
Analisis Ragam SK db Kelompok perlakuan galat 1 galat 2 total
2,3
24 1 24 100 149
JK
KT
F hit
0,7316 0,308267 0,148400 0,173333 1,3616
0,030483 0,308267 0,006183 0,001733
49,85445 3,567308
F tab 5%
1%
4,259677 1,626708
7,822871 1,982556
237
Lampiran 5 Uji statistik terhadap TLI benih ikan sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling (a) DASAR kenormalan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum Sesudah N Normal Parametersa,,b Most Extreme Differences
13
13
Mean
53.2308
56.3077
Std. Deviation
6.72252
1.97419
Absolute
.350
.252
Positive
.239
.196
Negative
-.350
-.252
1.264
.910
.082
.379
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Uji T
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviatio Mean n
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
t
t-tab df
Pair 1 Sebelum - 7.60988 2.11060 - 1.5216 - 2.17 12 Sesudah 3.07692 7.67553 8 1.45 8 8 Karena nilai sig (2-tailed) > 0,05 atau thit< ttab,maka tidak ada perbedaan nyata antara jumlah ikan di dasar palkah antara sebelum dan sesudah simulasi rolling.
Sig. (2tailed) .171
238
Lampiran 5 (Lanjutan) (b) Tengah Kenormalan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum N Normal Parameters
a,,b
13
13
7.5385
2.3077
12.56062
3.19856
Absolute
.395
.235
Positive
.395
.226
Negative
-.274
-.235
1.424
.848
.035
.468
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Sesudah
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Std. Deviatio n
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
Pair 1 Sebelum 5.23077 13.76683 3.81823 -3.08844 13.5499 1.370 8 Sesudah
t-tab 2.178
Karena nilai sig (2-tailed) > 0,05 atau thit< ttab,maka tidak ada perbedaan nyata antara jumlah ikan di tengah palkah antara sebelum dan sesudah simulasi rolling.
df 12
Sig. (2tailed) .196
239
Lampiran 5 (Lanjutan) (c) Permukaan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum Sesudah N
13
13
1.3846
.5385
2.29269
.96742
Absolute
.273
.403
Positive
.266
.403
Negative
-.273
-.289
Kolmogorov-Smirnov Z
.984
1.455
Asymp. Sig. (2-tailed)
.287
.029
Normal Parameters
a,,b
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviatio Mean n Pair 1 Sebelum .84615 2.44425 - Sesudah
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
t-tab
.67791 -.63089 2.32320 1.248 2.178
df 12
Karena nilai sig (2-tailed) > 0,05 atau thit< ttab,maka tidak ada perbedaan nyata antara jumlah ikan di permukaan palkah antara sebelum dan sesudah simulasi rolling.
Sig. (2tailed) .236
240
Lampiran 5 (Lanjutan) (d) Diam One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum N Normal Parameters
a,,b
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Sesudah
13
13
31.3077
46.5385
15.21723 14.46038
Absolute
.183
.313
Positive
.130
.214
Negative
-.183
-.313
Kolmogorov-Smirnov Z
.661
1.130
Asymp. Sig. (2-tailed)
.776
.155
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
Std. Deviatio n
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
t-tab
Pair Sebelum - 21.70696 6.02043 - -2.530 2.178 1 Sesudah 15.2307 28.34816 2.11338 7
df 12
Karena nilai sig (2-tailed)< 0,05 atau thit > ttab,maka ada perbedaan nyata pada jumlah ikan yang diam sebelum dan sesudah simulasi rolling.
Sig. (2tailed) .026
241
Lampiran 5 (Lanjutan) (e) Hanya menggerakkan sirip One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum N Normal Parameters
a,,b
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Sesudah
13
13
17.6923
9.6154
10.33106 14.40219
Absolute
.166
.280
Positive
.121
.280
Negative
-.166
-.252
Kolmogorov-Smirnov Z
.600
1.011
Asymp. Sig. (2-tailed)
.864
.258
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Deviatio Mean n
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
t
t-tab
Pair Sebelum - 8.0769 16.40356 4.54953 - 17.9895 1.77 2.17 1 Sesudah 2 1.83565 0 5 8
df 12
Karena nilai sig (2-tailed)>0,05 atau thit < ttab,maka tidak ada perbedaan nyata pada jumlah ikan yang HMS sebelum dan sesudah simulasi rolling.
Sig. (2tailed) .101
242
Lampiran 5 (Lanjutan) (f) Berenang kecil One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sebelum N Normal Parametersa,,b
13
13
8.7692
2.0000
11.67015
2.54951
Absolute
.363
.245
Positive
.363
.245
Negative
-.226
-.216
1.309
.884
.065
.415
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Sesudah
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Std. Deviati Error Mean on Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
t-tab
Pair 1 Sebelum 6.7692 12.7027 3.52310 -.90694 14.4454 1.921 2.178 - Sesudah 3 2 0
df 12
Karena nilai sig (2-tailed)>0,05 atau thit < ttab,maka tidak ada perbedaan nyata pada jumlah ikan yang BK sebelum dan sesudah simulasi rolling.
Sig. (2tailed) .079
243
Lampiran 6 Uji statistik terhadap nilai DO sebelum dan sesudah simulasi gerakan rolling (a) DO Tidak ada Ikan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sesudah Sebelum N
10
10
Mean
6.4500
6.7200
Std. Deviation
.37491
.33928
Absolute
.155
.176
Positive
.125
.127
Negative
-.155
-.176
Kolmogorov-Smirnov Z
.492
.558
Asymp. Sig. (2-tailed)
.969
.914
Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Difference Deviatio Std. Error Mean n Mean Lower Upper
Pair Sebelum 1 Sesudah
.2700 0
.20028
.06333 .1267 3
t
t-tab
.41327 4.26 2.26 3 2
Sig. (2tailed)
df 9
Karena nilai sig (2-tailed)<0,05 atau thit >ttab,maka ada perbedaan nyata pada nilai DO sebelum dan sesudah simulasi rolling.
.002
244
Lampiran 6 (Lanjutan) (b) DO ada ikan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Sesudah Sebelum N
10
10
Mean
6.4500
6.7200
Std. Deviation
.37491
.33928
Absolute
.155
.176
Positive
.125
.127
Negative
-.155
-.176
Kolmogorov-Smirnov Z
.492
.558
Asymp. Sig. (2-tailed)
.969
.914
Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1 Sebelum Sesudah
Std. Deviati on
-.04000 .16733
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower
.07483 -.24777
Upper
t
t-tab
.16777 -.535 2.77 6
Sig. (2tailed)
df 4
Karena nilai sig (2-tailed)>0,05 atau thit
.621
245
Lampiran 7 Simulasi kondisi muatan KPIH ‘Closed hull’ (1) Analisis muatan: Kondisi 'Full FS' Item Name Kasko Mesin P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Tandon Filter BBM kanan BBM Kiri
Quantity
Weight (Ton)
1 1 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 80% 100% 100% 100% Total Weight=
18 1 3 3 3,384 3,384 3,385 3,385 2,724 2,724 2,001 1,893 0,944 0,944
Long. arm (m) 0,041 -4 -2,834 -2,834 -0,745 -0,745 1,344 1,344 3,331 3,331 5,267 5,26 -5,483 -5,483
Vert. arm (m) 0,7 0,5 1,155 1,155 1,119 1,119 1,117 1,117 1,135 1,135 1,155 0,799 1,056 1,056
Trans. Arm (m)
0 0 -0,834 0,834 -0,878 0,878 -0,875 0,875 -0,822 0,822 -0,571 0,571 0,623 -0,623 TCG=49,77 LCG=0,243 VCG=0,948 0,000
(2) Analisis muatan: Kondisi 'FS-Sirdam' Item Name Kasko Mesin P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Tandon Filter BBM kanan BBM Kiri
Quantity 1 1 80% 80% 100% 100% 80% 80% 80% 80% 100% 80% 100% 100% Total Weight=
Weight (Ton) 18 1 3,002 3,002 3,279 3,279 3,386 3,386 2,727 2,727 1,893 2,002 0,944 0,944
Long. arm (m) 0,041 -4 -2,834 -2,834 1,342 1,342 -0,745 -0,745 3,331 3,331 5,26 5,267 -5,483 -5,483
Vert. arm (m) 0,7 0,5 1,155 1,155 0,767 0,767 1,118 1,118 1,135 1,135 0,799 1,155 1,056 1,056
Trans. Arm (m)
0 0 -0,834 0,834 -0,837 0,837 -0,878 0,878 -0,822 0,822 0,571 -0,571 0,623 -0,623 TCG=49,57 LCG=0,238 VCG=0,901 0,000
246
Lampiran 7 (Lanjutan) (3) Analisis muatan: Kondisi 'Tanpa FS' Item Name Kasko Mesin P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Filter Tandon BBM kanan BBM Kiri
Quantity 1 1 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 80% 100% 100% 100% Total Weight=
Weight (Ton) 18 1 2,852 2,852 3,279 3,279 3,278 3,278 2,611 2,611 2,237 2,001 0,944 0,944
Long. arm (m) 0,041 -4 -2,818 -2,818 1,342 1,342 -0,741 -0,741 3,326 3,326 5,26 5,26 -5,483 -5,483
Vert. arm (m) 0,7 0,5 0,806 0,806 0,767 0,767 0,771 0,771 0,785 0,785 0,833 0,799 1,056 1,056
Trans. Arm (m)
0 0 -0,777 0,777 -0,837 0,837 -0,838 0,838 -0,779 0,779 -0,517 0,571 0,623 -0,623 TCG=49,17 LCG=0,248 VCG=0,764 0,000
247
Lampiran 8
Simulasi perhitungan ongkos angkut per benih ikan kerapu (Bali – Kepulauan Seribu, Jakarta)
(A) Transportasi tertutup (1 kotak = maksimal 360 ekor benih ikan (ukuran 5 – 7 cm TL)): Estimasi perhitungan untuk pengangkutan 195.400 ekor benih ikan kerapu Biaya Kebutuhan penempatan Jumlah Jenis Moda kotak pada moda kotak Jumlah trip transportasi Volume Luas
Keterangan
45,612 m3
12 m2
150
Mobil bak terbuka
4,704 m3
4,8 m2
60
10 4.000.000
Rp. 400.000,-/trip Maks. 60 kotak/trip
Kuli angkut
0,672 m3
0,336 m2
543
67 4.072.500
Rp. 7.500,-/kotak
25,2 m3
24 m2
300
2 8.145.000
Pesawat
Kapal
Total biaya transport untuk 195.400 ekor benih ikan (Rp): Biaya transport per benih ikan (Rp):
4 48.870.000
65.087.500 333
Rp. 90.000,-/kotak Ditumpuk maks 3 kotak dan maks 150 kotak/trip
Rp. 15.000,-/kotak Maks. 300 kotak/trip
248
Lampiran 8 (Lanjutan) (B)
Transportasi terbuka dengan menggunakan KPIH ‘Closed system’ (195.400 ekor/perjalanan)
Ongkos angkut per benih berdasarkan simulasi harga sewa kapal Simulasi
Sewa Kapal (Rp/trip)
Operasional* (Rp)
Keuntungan Pemilik kapal** (Rp) (Rp)
**
Jumlah benih (ekor)
Ongkos/benih (Rp/ekor)
1
25.000.000
23.226.363
1.773.637
886.819
886.819
195.400
128
2
30.000.000
23.226.363
6.773.637
3.386.819
3.386.819
195.400
154
3
35.000.000
23.226.363
11.773.637
5.886.819
5.886.819
195.400
179
4
40.000.000
23.226.363
16.773.637
8.386.819
8.386.819
195.400
205
5
45.000.000
23.226.363
21.773.637
10.886.819
10.886.819
195.400
230
6
50.000.000
23.226.363
26.773.637
13.386.819
13.386.819
195.400
256
7
55.000.000
23.226.363
31.773.637
15.886.819
15.886.819
195.400
281
Keterangan: *
ABK** (Rp)
terdiri dari BBM, solar, akomodasi awak dan investasi kapal mengacu pada pembagian hasil pada unit kapal purseseine (Nurani, 2010)