DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN WATER FRONT CITY PESISIR SEMARANG
BAMBANG KANTI LARAS
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT BAMBANG KANTI LARAS. Design of Waterfront City Management Policy in Semarang Coastal Zone. Under direction of MARIMIN, I WAYAN NURJAYA, and SUGENG BUDIHARSONO Semarang Waterfront City is a unique ecosystem with a great variety of potentialities as well as problems in the utilization of natural resources, particularly in the trade-off between economic growth and ecological preservation. Based on those conditions, firstly the research is mainly focused upon designing some scenarios on environmental management, which ensure a profitable synergy of all stakeholders without sacrificing the principles of environmental conservation. Secondly, it is to design an interaction model among variables in the bio-physic, economy and social subsystems, in order to increase sources of learning and sustainable use of natural resources. Using a dynamic system, the main inputs of the designed model are the feasibility of natural resources management as a product of extended cost-benefit analysis (ECBA), the suitable option of natural resources management, as an input of comparative performance index (CPI), the integrated sustainability of using Multidimensional Scaling, the suitable land-use planning through geographic information system (GIS). From those main inputs the waterfront city environmental management policy can be observed as an output of analytical hierarchy processes (AHP). The feasibility study shows that all of natural resources management options are feasible to be developed, where sustainable management, sustainable harvest and beach protected areas depict the most feasible management options. Based on the results of the integrated sustainability research using Multidimension Scaling, the management of waterfront cities has to prioritize attention to the four important factors, i.e., (1) the issues of erossion, abrassion and sedimentation; (2) community assesment to waterfront and open unimployment; (3) disaster mitigation; (4) harbour and ecoport technology. Keywords: sustainable environment, coastal and marine zone, adaptation and harmonization with water, dynamic & spatial dynamic system
RINGKASAN
BAMBANG KANTI LARAS. Desain Kebijakan Pengelolaan Water Front City Pesisir Semarang. Dibimbing oleh MARIMIN, I WAYAN NURJAYA dan SUGENG BUDIHARSONO.
Kota Semarang berada pada kawasan pesisir utara Jawa mempunyai letak sangat strategis karena terletak pada lintas perdagangan internasional dan mempunyai potensi besar untuk menjadi kota tepian air berkelas dunia. Di sisi lain, Semarang Kota Tepian Air dengan ekosistemnya yang unik mempunyai kendala dan masalah dalam: (1) pemanfaatan sumberdaya alamnya, terutama di dalam pemilihan/pengutamaan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan /konservasi
ekologi. (2) Kawasan Semarang Kota Tepian Air mempunyai
kendala rutin dan menahun berupa banjir (akibat pasang-surut air laut, kenaikan muka laut), pencemaran badan air oleh limbah industri/non industri, intrusi air laut
yang
menyiratkan
bahwa
kebijakan
Kota
Semarang
belum
mempertimbangkan kesinambungan hidup air. Sementara, kota-kota besar dunia yang beradab dan termashur kebanyakan adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air (New York, Sydney, Los Angeles, Miami, Amsterdam dan sebagainya). Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini pertama-tama memfokuskan untuk merancang beberapa skenario dalam manajemen lingkungan yang bisa menjamin suatu sinergi yang saling menguntungkan bagi stakeholder tanpa mengorbankan prinsip-prinsip konservasi lingkungan. Selain itu adalah merancang suatu model yang menunjukkan keterkaitan antar variabel di dalam sub-sistem: bio-physic, ekonomi dan sosial untuk dapat mengkaji terlebih dalam pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pembangunan wilayah “water front city” dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi tiga kriteria keberlanjutan pembangunan yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu untuk menunjang kegiatan pengelolaan wilayah Semarang Kota Tepian Air dan menjawab permasalahan dan tantangan diatas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan utama: Membuat/merancang suatu desain kebijakan
pengelolaan berdasar konsep “water front city” berkelanjutan. Tujuan utama itu dirincikan ke dalam tujuan antara: (1) menentukan kelayakan pengelolaan SDA (2) menentukan tingkat keberlanjutan dan indikator-indikator keberlanjutan (3) membangun model pengelolaan Semarang “water front city berkelanjutan (4) merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan (5) menentukan prioritas atau skenario arahan kebijakan dan strategi pengelolaan Semarang “water front city” Pengelolaan
yang diamati
adalah mencakup pengelolaan dan
peningkatan potensi sumberdaya yang ada secara lebih efektif dan efisien, adaptasi banjir, prasarana penyehatan lingkungan lainnya seperti ruang terbuka hijau, serta pemilihan skenario dan alternatif pengelolaan
sebagai kawasan
industri, perdagangan atau wisata. Lokasi penelitian di wilayah Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian pada bulan Maret 2009 sampai dengan Agustus 2009 dan dilanjutkan pada tahun 2010 untuk pelengkapan data-data yang mendukung. Dalam
merumuskan kebjiakan dan skenario
membangun model kebijakan pengelolaan
pengelolaan untuk
Semarang “water front city”,
dilakukan langkah-langkah analisis: (1) Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Alam, (2) Keterpaduan/Keberlanjutan, (3) Sistem Dinamik dan (4) Sistem Dinamik Spasial. Dengan menggunakan Analitical Hierarchie Process (AHP) diperoleh Alternatif Kebijakan Pengelolaan Semarang “water front city”, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Semarang ”water front city”. Dari kajian kelayakan pengelolaan SDA menunjukkan bahwa semua pilihan manajemen sumberdaya alam adalah layak untuk dikembangkan, dimana sustainable management, sustainable harvest dan beach protected areas adalah merupakan pilihan menejemen yang paling layak dikembangkan. Berdasar kajian keberlanjutan terpadu menggunakan Multidimension Scaling menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan wilayah Semarang “water front city” secara keseluruhan adalah cukup berkelanjutan (50,85%). Dimensi ekologi kurang berkelanjutan (44,72%), dimensi sosial ekonomi cukup berkelanjutan (51,91%), dimensi infrastruktur cukup berkelanjutan (54,41%) dan dimensi kelembagaan cukup berkelanjutan (52,38%). Berdasar hasil analisis leverage atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan adalah
(1) Erosi, abrasi dan sedimentasi (2) Akses masyarakat terhadap pantai dan pengangguran terbuka (3) Teknologi ecoport dan kondisi pelabuhan (4) Mitigasi bencana dan Kebijakan yang sudah diresmikan. Dengan menggunakan sistem dinamik dengan pendekatan sistem akan terbangun model pengelolaan Semarang “water front city”. Untuk selanjutnya hasil analisis sistem dinamik yang berupa data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spatial dinamik, berupa peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa tahun mendatang. Dari berbagai masukan utama tersebut di atas, dengan menggunakan analytical hierarchie processes (AHP) dapat dihasilkan rancangan kebijakan menejemen kota tepian air, di mana untuk mengelola Semarang “kota tepian air” secara berkelanjutan, pemerintah mempunyai peran paling penting dengan dukungan
investor.
Dalam penyediaan pendanaan
harus mendorong
pemberdayaan masyarakat dengan tujuan perluasan lapangan kerja. Berdasarkan tujuan pengelolaan
berkelanjutan, alternatif kebijakan redevelopment dan
konservasi dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling baik. Produk disertasi ini dalam bentuk: Desain Kebijakan mengenai kelayakan pengelolaan sumberdaya alam, keberlanjutan pengelolaan kota Semarang dan rancangan kebijakan manajemen pengelolaan “water front city” pesisir Semarang secara berkelanjutan.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Kebijakan Pengelolaan Water Front City Pesisir Semarang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2011 Bambang Kanti Laras NIM P062059684
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN WATER FRONT CITY PESISIR SEMARANG
BAMBANG KANTI LARAS
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof.Dr.Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. 2. Dr. Ir. Yanuar J. Purwanto
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Sofyan Bakar, MSc. 2. Dr. Ir. Kukuh Muktilaksono, MS.
Judul Disertasi : Desain Kebijakan Pengelolaan Water Front City Pesisir Semarang Nama
: Bambang Kanti Laras
NIM
: P062059684
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian: 29 Juli 2011
Tanggal Lulus: ............................
i
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2009 ini ialah Desain Kebijakan Pengelolaan Water Front City Pesisir Semarang yang berisi mengenai kelayakan pengelolaan sumberdaya alam, keberlanjutan pengelolaan kota Semarang dan rancangan kebijakan manajemen pengelolaan water front city pesisir Semarang secara berkelanjutan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc., Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. dan Bapak Dr.Ir. Sugeng Budiharsono selaku pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran dan pembimbingannya. Pada kesempatan ini saya sampaikan juga terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang yang telah membantu dalam pengumpulan data. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam penyiapan disertasi ini, khususnya pada istri anak, serta seluruh keluaga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Mei 1948 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, pasangan Rr. Marie Maimurdjinah dan R. Soetono bin Djojoloekito. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, lulus pada tahun 1976. Setelah mengalami serangkaian pengalaman bekerja di: PT. Aneka Gas Industri (1976 – 1979), PT. Atlantic Riechfield Indonesia Inc. (1980 – 1985), penulis mendirikan wira usaha mandiri PT. Patria Utama Humanindo , Petroleum Industrial Consultant and Training (1983 sampai sekarang). Pada periode ini peneliti melanjutkan studi S2 di Program Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPMI Business School Program Pasca Sarjana (2002 – 2004). Studi S3 dilanjutkan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, IPB pada tahun 2006. Penulis bekerja di PT. Patria Utama Humanindo, Jl. Raya Pasar Minggu Km. 17 No. 12A, Jakarta 12740, sebagai tenaga pengajar dan konsultan ilmu perminyakan & gas serta merangkap sebagai Direktur Utama perusahaan. Karya ilmiah yang berjudul Desain Kebijakan Pengelolaan Water Front City: Kasus Kota Semarang telah di ajukan untuk diterbitkan oleh Redaksi Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB pada Vol. 34 No.1, Januari 2011. Artikel lain yang ber judul Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Studi Kasus Kota Semarang telah diterbitkan pada Vol. 34 No.2, April 2011. ISSN 01261886, Halaman 89-106. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3.
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
viii
DAFTAR ISTILAH PENTING .............................................................
x
I
PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1 Latar Belakang.......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................
8
1.6 Kerangka Pemikiran ..............................................................
9
1.7 Kebaruan ...............................................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
13
2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut ................................
13
2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut ............
15
2.2.1 Sumber Daya Dapat Pulih ..........................................
16
2.2.2 Sumber Daya Tak Dapat Pulih ....................................
18
2.2.3 Sarana dan Struktur Pelindung Pantai ........................
18
2.3 Pengembangan dan Pengelolaan Pesisir dan Laut .................
25
2.4 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ................................
27
II
2.5 Daya Dukung Lingkungan, Eksternalitas dan Kesesuaian Lahan...................................................................
29
2.5.1 Daya Dukung Lingkungan …………………………...
29
2.5.2 Eksternalitas ………………………………………….
32
2.5.3 Kesesuaian Lahan ………………………...………….
32
2.6 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu ....................
34
2.7 Kota Tepian Air (Waterfront City) ........................................
37
2.7.1 Pengertian Waterfront dan Waterfront City.................
37
iv
2.7.2 Profil “waterfront city” secara ekologis …..……........
39
2.7.3 Penggunaan lahan “water font city” ………...............
39
2.7.4 Kota Tepian Air Di Indonesia .....................................
42
2.7.5 Kota Tepian Air Di Luar Negeri .................................
48
2.8 Response yang diperlukan terhadap konsekuensi Kenaikan permukaan air laut .................................................
54
2.9 Teknik Dasar Yang Mendukung.............................................
54
2.9.1 Analisis Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir.................
54
2.9.2 Benefit Cost Ratio Analysis...........................................
56
2.9.3 Sistim Dinamis .............................................................
57
2.9.4 Pemodelan Spasial Dinamik ........................................
58
Analisis Kebijakan ………………………………….……..
60
METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
62
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................
62
3.2. Rancangan Penelitian .............................................................
62
3.2.1. Tahapan Penelitian .......................................................
62
3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data..................
66
3.2.3. Teknik Pengambilan Contoh .......................................
68
3.3. Teknik Analisis Data ..............................................................
68
3.3.1. Menentukan Kelayakan Sumberdaya Alam ................
68
2.10 III
3.3.2. Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator …………………..……...………..
71
3.3.3. Membangun Model Pengelolaan ………….................
76
3.3.4. Analisis Spasial Dinamik menggunakan Sistem Informasi Geografi Analisis Spasial (Keruangan) ......
80
3.3.5. Merumuskan Kebijakan Dan Skenario Pengelolaan Lingkungan ……………..........................
87
3.3.6. Menentukan Prospek atau Skenario Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Semarang
IV
“water front city” ………………….…..….….…...…
92
KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI…….....……...……...…
93
4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi
v
Kawasan Kota Semarang ……………………....…….……..
93
4.2 Kondisi Biofisik……………………………….........……….
95
4.2.1 Karakteristik Tepian Pantai………….....……...…....
94
4.2.2 Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Pesisir dan Lautan………………….....……..……....……….
95
4.2.3 Ekosistem Sungai dan Estuaria………….....………...
104
4.2.4 Biota Perairan…………………………….…....……..
105
4.2.5 Ekosistem Alami……………………………..…..…..
105
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi……………………..…...………....
107
4.3.1 Indikator Sosial dan Kependudukan……...…..………
107
4.3.2 Perekonomian Wilayah……………….…….…..……
107
4.4 Tinjauan Potensi Tepian Pantai Per Kecamatan Wilayah Penelitian ….......................................…….............
112
4.4.1 Kecamatan Tugu…………..………....……….……...
112
4.4.2 Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara ..........................................................
115
4.4.3 Kecamatan Genuk ......................................................
116
4.5 Kebijakan Umum Pemerintah Kota Semarang .....................
119
4.5.1 Visi dan Misi…………………………………...…….
119
4.5.2 Kebijakan Eksisting Mengenai Pengelolaan Kota Semarang Tepian Pantai .....................................
120
4.5.3 Kebijakan Tentang RTRW Kota Semarang Tahun 2000 – 2010 ......................................................
122
4.5.4 Kebijakan Tata Ruang Wilayah Tepian Pantai…........
122
4.5.5 RTRW Pesisir Kota Semarang ....................................
123
4.5.6 Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah
V
Kota Semarang ............................................................
124
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………...…….…………..
133
5.1 Menentukan Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Tujuan 1)…...........................................................................
134
5.1.1 Kajian Kinerja Ke-ekonomian Sumberdaya .............
134
5.1.2 Pilihan Pengelolaan Sumberdaya ..............................
143
vi
5.2 Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Keberlanjutan (Tujuan 2) ......................
145
5.2.1 Analisis Keberlanjutan berdasar dimensi .................
145
5.2.2 Status Keberlanjutan Multidimensi ..........................
154
5.3 Membangun Model Pengelolaan Semarang “water fron city” secara Berkelanjutan ( Tujuan 3 ) …........
156
5.3.1 Sistem Dinamik …..................................…................
156
5.3.1.1 Analisis Kebutuhan .......................................
156
5.3.1.2 Formulasi Masalah ........................................
158
5.3.1.3 Identifikasi Sistem ........................................
158
5.3.1.4 Permodelan Sistem .......................................
162
5.3.1.5 Simulasi Model .............................................
173
5.3.1.6 Verifikasi dan Validasi Model ......................
185
5.3.2 Analisis Penggunaan Lahan Berdasar RTRW ( Bagian dari Tujuan 3 ) ….......………….......….......
191
5.3.2.1 Kelas Penggunaan Lahan Berdasar RTRW Kota Semarang tahun 2002 – 2010 ................
193
5.3.2.1 Penyederhanaan Kelas Penggunaan Lahan Untuk Simulasi Model ...................................
195
5.3.3 Penggabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik ( Bagian dari Tujuan 3 ) .............................
201
5.4 Merumuskan Kebijakan dan Skenario Pengelolaan Kawasan Pesisir Semarang Berkelanjutan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi
5.5
lingkungan (Tujuan 4).............................................................
202
5.4.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir........
202
5.4.2. Analisis Prospektif ............................................... …..
205
5.4.3. Analisis Kebijakan Pengelolaan per Kecamatan ........
207
Menentukan Prioritas atau Skenario Arahan Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan (Tujuan 5).....................................
221
5.5.1 Analisis Kebijakan berdasarkan Skenario ...................
221
vii
5.5.1.1 Simulasi Skenario ..........................................
223
5.5.1.2 Skenario Optimis ............................................
223
5.5.1.3 Skenario Moderat ...................................... ......
225
5.5.1.4 Skenario Pesimis ...................................... …..
227
VI. REKOMENDASI ...........................................................................
232
6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW ………………………………......…………
232
6.1.1 Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW..........................
232
6.1.2 Rekomendasi Kebijakan untuk Ruang Terbuka Hijau.
238
6.2. Rekomendasi Kebijakan …………………...............….…...
239
6.2.1 Rekomendasi Kebijakan untuk pengelolaan Secara berkelanjutan .........................................…........
239
6.2.1.1 Pengangguran Terbuka..................................
239
6.2.1.2 Erosi dan Abrasi......................................…...
240
6.2.1.3 Teknologi Ecoport dan Pelabuhan ................
241
6.2.1.4 Kelembagaan Mitigasi Bencana....................
242
6.2.1.5 Kebijakan Pengelolaan Per-kecamatan .........
242
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
245
7.1. Kesimpulan .............................................................................
245
7.2. Saran .......................................................................................
246
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... …..
248
LAMPIRAN…………………………………………………..….…….
253
GLOSSARY ………………………………………………..….………
312
i
DAFTAR TABEL Halaman
1 Kebijakan gabungan yang dikeluarkan WRP Kota New York …...
52
2 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ............
67
3 Pilihan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Semarang kota tepian pantai .....................................................................
70
4 Kategori status keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air berdasarkan nilai indeks .........................
74
5 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan pada AHP..................................................................................
91
6 Tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode gelombang signifikan (Ts) bulan Agustus dan Juli ..............................................
97
7 Luas ter abrasi pantai Semarang.........................................................
98
8 Kondisi fisik mangrove di Kota Semarang ........................................
106
9 Potensi mangrove di wilayah pantai Semarang .................................
106
10 Rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun 2005-2009 .....................
108
11 Pertumbuhan sektor ekonomi di Kota Semarang menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 ...................
108
12 Produksi perikanan tangkap di Kota Semarang Tahun 2002-2006 ...
110
13 Rencana Kawasan Lindung di Wilayah Semarang Kota tepian pantai ..............................................................................
128
14 Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sutainable management ...............................................
135
15 Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sustainable management ...........
136
16 Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofishery (milkfish), polyculture, dan shrimp management ...................................................................
137
17 Benefit dan Cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi: sylvofishery(milkfish)1, (polyculture)2 dan (schrimp)3 management..........................................................
138
18 Net Present Value (NPV) untuk setiap opsi manajemen dan BCR..
138
19 Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang ...............................
139
20 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas ..................................................
140
ii
21 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources diwilayah pesisir Kota Semarang pada opsi beach protected areas..
141
22 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone................................................................ .......
142
23 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone Kota Semarang tepian pantai ............................................................................
142
24 Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang……….…….
142
25 Matriks awal penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang ...............................
143
26 Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang ..............................................
143
27 Matriks awal hasil penilaian pilihan beach resources di wilayah Tepian pantai Kota Semarang ....................................................
144
28 Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang .........................................................................
144
29 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%......................................................................................................
154
30 Hasil analisis RAP-WITEPA untuk beberapa parameter statistik........
156
31 Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air ...................................................
157
32 Data validasi model ............................................................................
191
33 Kelas Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai berdasar RTRW Tahun 2000-2010 ………..…..
193
34 Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai berdasar RTRW Tahun 2000-2010 …………………………….……………..
200
35 Luas Lahan (Ha) Kecamatan Tepian Pantai Kota Semarang Antar Sumber Data ……………………………………….………. 36 Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000-2010 berdasar IKONOS (2009) ……………………..……....
201
37 Prioritas Stakeholder berdasar tingkat kepentingan pada Pengelolaan Lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan ……………………..............................................
203
38 Hirarki Faktor Pendukung pada Pengelolaan Lingkungan Wilayah Tepian Pantai Berkelanjutan menurut Stakeholder….....
204
39 Hirarki Tujuan Pengelolaan Wilayah berdasarkan Faktor Pendukung ………………………………………...……...
204
200
iii
40 Hirarki Alternatif Kebijakan Pengelolaan Wilayah berdasarkan Tujuan……………………………………….………
205
41 Beberapa Kriteria Penentuan Kebijakan sesuai dengan Jangka Waktu Pelaksanaan ……………………………...…...…..
206
42 Prospektif faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem pengelolaan kota tepian pantai ..................................................
222
43 Hasil perbandingan antar skenario yang dinyatakan dalam persen Perbedaan ................................................................................
229
44 Kajian Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai berdasar Hasil Simulasi ...................................................................................
233
45 Perbedaan Kajian Penggunaan Lahan Hasil Simulasi dengan Data Eksisting dan Telekomunikasi (Landsat/Ikonos) .....................
237
46 Hasil Simulasi RTH Kota Semarang ................................................
238
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 1.1. Faktor-faktor berpengaruh terhadap Daya Dukung Kota Semarang .....................................
5
2. Gambar 1.2. Kerangka pemikiran pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air berkelanjutan ........
11
3. Gambar 2.1. Rod surface elevation tables (RSETs), Daftar Tuas pengukur Elevasi Permukaan digunakan untuk mengukur perubahan elevasi melalui ketinggian pohon/gradien produktivitas.................................................................
19
4. Gambar 2.2. Rencana Pembangunan Off Shore Dam (OSD) di Pesisir Kota Semarang .............................................
24
5. Gambar 2.3. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan ..................
59
6. Gambar 3.1. Peta Area Penelitian di Semarang ...............................
63
7. Gambar 3.2. Lokasi Penelitian .........................................................
64
8. Gambar 3.3. Tahapan Penelitian ......................................................
65
9. Gambar 3.4. Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS ...
75
10. Gambar 3.5. Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem ....................
77
11. Gambar 3.6. Gabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik ........
80
12. Gambar 3.7. Penyusunan Peta RTRW Tepian Air Kota Semarang ..
86
13. Gambar 3.8. Diagram alir proses hierarki analitik ............................
87
14. Gambar 3.9. Hirarki Pengambilan Keputusan Desain Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Air .......................................
89
15. Gambar 4.1. Wilayah Pesisir Kota Semarang 2009...........................
94
16. Gambar 4.2. Wilayah Perairan Kota Semarang ................................
95
17. Gambar 4.3
Pemetaan Garis Pantai Kota Semarang, 2009...............
99
18. Gambar 4.4
Pajang Garis Pantai Kota Semarang ............................. 100
19. Gambar 4.5
Analisa Perubahan Pantai menggunakan Metode Color Wheel ....................................................
100
20. Gambar 4.6. Pemetaan Area Mangrove Juni 2009 di Kecamatan Genuk .......................................................
117
21. Gambar 4.7. Pemetaan Area Mangrove Menggunakan Data Satelit Resolusi Tinggi, 2009 ...............................
118
22. Gambar 5.1. Skenario Membangun Model ......................................
133
23. Gambar 5.2. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan Nilai Indeks Sustainabilitas Dimensi Ekologi .............
146
v
24. Gambar 5.3. Peran masing-masing atribut ekologi yang Dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA .....................................................
147
25. Gambar 5.4. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi sosial-ekonomi......
148
26. Gambar 5.7. Peran masing-masing atribut sosial-ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA .....................................................
149
27. Gambar 5.8. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan indeks sustainabilitas dimensi infrastruktur ...................
150
28. Gambar 5.9. Peran masing-masing atribut infrastruktur yang dinyatakan Dalam bentuk perubahan RMS RAP- WITEPA....................................................
151
29. Gambar 5.10. Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi kelembagaan .........
152
30. Gambar 5.11. Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RAP-WITEPA..............................................
153
31. Gambar 5.12. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan fungsi-fungsi ........................................
154
32. Gambar 5.13. Diagram black box (input-output) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air ..............................
159
33. Gambar 5.14. Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air ..............................
161
34. Gambar 5.15. Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dalam system pengembangan kota wilayah tepian air.............
163
35. Gambar 5.16. Causal Loop Sub Model Lingkungan .........................
164
36. Gambar 5.17. Stock flow diagram sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota tepian air ..............
165
37. Gambar 5.18. Causal Loop Sub Model Sosial ...................................
167
38. Gambar 5.19. Stock flow diagram sub model sosial dalam system pengembangan kota wilayah tepian air ......................
169
39. Gambar 5.20. Causal Loop Sub Model Ekonomi …..........................
170
40. Gambar 5.21. Stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kawasan tepian air ..............................
171
41. Gambar 5.22. Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kota Semarang .......................................
174
42. Gambar 5.23. Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Tugu .....................................
176
43. Gambar 5.24. Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan
vi
luas areal di Kecamatan Semarang Barat.....................
177
44. Gambar 5.25. Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Utara ....................
178
45. Gambar 5.26. Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Genuk ...................................
179
46. Gambar 5.27. Simulasi model lingkungan berdasarkan kualitas lingkungan di Kota Semarang......................................
180
47. Gambar 5.28. Simulasi model jumlah sampah di Kota Semarang......
181
48. Gambar 5.29. Simulasi model jumlah limbah di Kota Semarang.......
181
49. Gambar 5.30. Simulasi model pertambahan penduduk ......................
182
50. Gambar 5.31. Simulasi model penurunan jumlah nelayan, petani tambak dan ikan ................................................
183
51. Gambar 5.32. Simulasi model ekonomi berdasarkan nilai PDRB......
184
52. Gambar 5.33. Peta Administrasi Kota Semarang …………………...
192
53. Gambar 5.34. Peta Penggunaan Lahan Kota Semarang …………….
194
54. Gambar 5.35. Peta Penggunaan Lahan Kota Semarang Tahun 2000-2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan .......................................................
196
55. Gambar 5.36. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kota Semarang Tahun 2000-2010 ………………….........……………
194
56. Gambar 5.37. Peta Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000-2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan ………..........…………………….
199
57. Gambar 5.38. Diagram Hirarki AHP Kebijakan Pengelolaan Tepian Pantai Kota Semarang ……..…………………
202
58. Gambar 5.39. Diagram Hirarki AHP Kebijakan Pengelolaan Tepian Pantai Kota Semarang di Kecamatan Genuk...
208
59. Gambar 5.40. Urutan Prioritas Stakeholder di Kecamatan Genuk .…
208
60. Gambar 5.41. Urutan Prioritas Faktor Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk …….……
209
61. Gambar 5.42. Urutan Prioritas Tujuan dalam kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk …………..........................................................
210
62. Gambar 5.43. Urutan Alternatif Sasaran dalam kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan ..…...
211
63. Gambar 5.44. Diagram Hirarki AHP Kebijakan Pengelolaan Tepian Pantai Kota Semarang …………………...…………..
212
64. Gambar 5.45. Urutan Prioritas Stakeholder di Kecamatan Tugu …...
212
65. Gambar 5.46. Urutan Prioritas Faktor Pengelolaan Kota Tepian
vii
Pantai Berkelanjutan …..........………………………... 213 66. Gambar 5.47. Urutan Prioritas Tujuan dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan di Kecamatan Tugu. 213 67. Gambar 5.48. Urutan Alternatif Sasaran dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan ...........
214
68. Gambar 5.49. Diagram Hirarki AHP Kebijakan Pengelolaan Tepian Pantai Kota Semarang ……...………..……………….. 215 69. Gambar 5.50. Urutan Prioritas Stakeholder di Kecamatan Semarang Barat ……..………………..……….....…...
215
70. Gambar 5.51. Urutan Prioritas Faktor Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan Kecamatan Semarang Barat …... 216 71. Gambar 5.52. Urutan Prioritas Tujuan dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat ............................................................. 217 72. Gambar 5.53. Urutan Alternatif Sasaran dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan Kecamatan Semarang Barat ……………………...…... 217 73. Gambar 5.54. Diagram Hirarki AHP Kebijakan Pengelolaan Tepian Pantai Kota Semarang Kecamatan Semarang Utara ..... 218 74. Gambar 5.55. Urutan Prioritas Stakeholder di Kecamatan Semarang Utara ………….……...……………….…...
219
75. Gambar 5.56. Urutan Prioritas Faktor Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan Kecamatan Semarang Utara….... 219 76. Gambar 5.57. Urutan Prioritas Tujuan dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara ............................................................
220
77. Gambar 5.53. Urutan Alternatif Sasaran dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai Berkelanjutan Kecamatan Semarang Utara ……………..……....…...
221
78. Gambar 6.1. Simulasi Model Skenario Optimis……………..……..
224
79. Gambar 6.2. Simulasi Model Skenario Moderat…………..……….
225
80. Gambar 6.3. Simulasi Model Skenario Pesimis…………….……...
227
81. Gambar 6.4. Peta Rekomendasi penggunaan Ruang Semarang kota tepian pantai tahun 2030………..………….....…
235
82. Gambar 6.5. Peta Perubahan penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Hasil Simulasi (2030) terhadap RTRW Tahun 2030…………………….….……..…..
236
83. Gambar 6.6. Persentase penggunaan lahan tahun 2030……...……..
238
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
2. 3. 4.
5.
Lampiran 1
Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4
Lampiran 5
Grafik Perubahan Luas Area sawah, hutan, TKL (Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya dan Areal Tambak dan Kolam).............................
253
Grafik Perubahan Luas Area Permukiman dan Bangunan di Semarang..........................................
254
Atribut-atribut dan Nilai Skor Lima Dimensi Keberlanjutan Semarang Kota Tepian Pantai........
255
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, Kota Semarang Tahun 2004 – 2008 (Jutaan Rupiah)...................................................................
259
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Konstan 2000, Kota Semarang Tahun 2004 – 2008 (Jutaan Rupiah)...................................................................
260
6.
Lampiran 6
Perkembangan Jumlah Penduduk........................... 261 Lampiran Tabel 6.1.Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan-Kecamatan Semarang Kota Tepian Pantai………………………………. 261 Lampiran Gambar 6.2. Pertumbuhan Penduduk Tahun 2002 – 2006 di Wilayah Semarang Kota Tepian Pantai…………………………...….. 261
7.
Lampiran 7
Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove pada opsi sustainable management (USD) ............
262
8.
Lampiran 8
Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofishery (milkfish) management (USD) ............................................... 266
9.
Lampiran 9
Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove pada Opsi sylvolishery (polyculture) management (USD) ................................................ 270
10.
Lampiran 10
Cost-benelit analysis pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvoiishery(shrimp) management (USD) ................................................
274
Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi beach protected areas(USD)...................
278
11.
Lampiran 11
12.
Lampiran 12
Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi beach Protected areas Set Back Zone ............ 282
13.
Lampiran 13
Data hasil simulasi Sub Model Lingkungan ............. 286
ix
14.
Lampiran 14
Data Hasil Simulasi Sub Model Lingkungan.......... 287
15.
Lampiran 15
Data Hasil Simulasi Sub Model Sosial....................
288
16.
Lampiran 16
Data Hasil Simulasi Sub Model Ekonomi..............
289
17.
Lampiran 17
Data Validasi Model ..............................................
290
18.
Lampiran 18
Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Tugu...................................................... 293
19.
Lampiran 19
Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Semarang Barat ...................................
294
Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Semarang Utara ...................................
295
Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Genuk ..................................................
296
20. 21.
Lampiran 20 Lampiran 21
22.
Lampiran 22
Pasang Surut Kota Semarang .................................
297
23.
Lampiran 23
Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Lindung di Wilayah Pesisir Kota Semarang .........................
299
24.
Lampiran 24
Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Budidaya di Wilayah Pesisir Kota Semarang ........................ 301
25.
Lampiran 25
Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Strategis di Kawasan Pesisir Kota Semarang ........................
303
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk ............................................
304
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum ....................................................
305
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak ...................................................
305
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai .....................................................
306
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi ..............................................................
307
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut............................................
308
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Kejapung ................................................
309
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai ...................................
309
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri ...................................................................
310
Daftar Istilah (Glossary) Sistem Dinamik ..............
311
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34 Lampiran 35
x
DAFTAR ISTILAH PENTING Abrasi
Terkikisnya batuan tanah pesisir oleh gelombang/arus laut, angin dan cuaca.
Akresi
Tanah tumbuh ditempat lain hasil sedimentasi atau pengendapan oleh adanya erosi/abrasi.
Analytical
Hierarchy
Process (AHP)
Metode
yang
digunakan
dalam
proses
pengambilan suatu masalah yang disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir dan terorganisir.
Analisis Keberlanjutan
Merupakan kajian analisis tingkat keberlanjutan dari dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, dst. Dari analisis ini dihasilkan indikator-indikator keberlanjutan untuk menjamin bahwa
pengelolaan
dilakukan
secara
berkelanjutan.
Analisis Monte Carlo
Suatu metoda analisis untuk melihat tingkat kesalahan dalam analisis MDS dengan RapWITEPA. Dengan analisis Monte Carlo, kesalahan analisis MDS bisa diperkecil.
Benefit Cost Ratio
Sistem analisis yang digunakan untuk mengkaji
Analisis (BCR)
kelayakan
pengelolaan
menggunakan
sumberdaya
pendekatan
rasio
dengan atau
perbandingan antara manfaat dan biaya. Dengan menggunakan pendekatan
BCR ini (BCR>1),
maka sebuah proyek atau program dengan net present
value
(NPV)
positif
dapat
xi
direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik.
Waterbreaker
Bangunan pelindung pantai berupa tumpukan batu untuk mengurangi besarnya energi gelombang yang bisa merusak suatu daerah (pelabuhan, daerah wisata bahari, dsb.).
Consistency Ratio (CR)
Parameter yang digunakan dalam metode AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dengan konsekwen atau tidak
Derajat Keasaman (pH)
Nilai dari eksponen (konsentrasi logaritmis) ion Hidrogen di dalam suatu larutan yang dinyatakan dalah pH = - log CH , ditunjukkan dalam angka 1 – 14 dimana keadaan netral pada angka 7. Semakin rendah semakin asam.
Diagram Simpal
Suatu diagram sebab-akibat (causal loop
Kausal
diagram) yang memperlihatkan hubungan antar variabel - variabel dalam sistem.
Estuaria
Perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar.
Existence value
Mengacu pada nilai mangrove yang keberadaannya perlu dilestarikan.
Eksternalitas
Hilangnya nilai ekonomi karena penggunaan lain Contoh: Pada Sylvofisheries management (dari opsi
xii
sustainable management sumberdaya habitat mangrove sebesar, 20% dipakai untuk sylvofisheries) terjadi eksternalitas berupa hilangnya nilai ekonomi karena perubahan menjadi sylvofisheries.
Groin
Bangunan pelindung pantai untuk menahan/menangkap pasir yang terangkut. Merupakan bangunan (tipis, kecil) yang memotong tegak lurus pantai.
Hard engineering
Alternatif
teknologi
pelindung
pantai
menggunakan strategi proteksi keras berupa struktur bangunan pelindung pantai.
ICZM
Integrated Coastal Zone Management, program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbu han ekonomi dan konservasi ekologi.
Leverage Analysis
Penggambaran
sensitivitas/kepekaan
setiap
atribut terhadap
nilai keberlanjutan di dalam
analisis keberlanjutan menggunakan multidimen sional scalling (MDS).
Multidimensional
Analisis data meliputi aspek keberlanjutan dari
Scalling
dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infra struktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Selanjutnya dilakukan pula analisis multidemensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan.
xiii
Silvofishery
Salah satu opsi dalam skenario menejemen
Management
pemilihan konservasi habitat mangrove dengan asumsi bahwa 20% sumberdaya mangrove dikonversikan kedalam usaha budidaya perikanan (milkfish, campuran milkfish & udang, dan udang).
Mixed-used water front
Tepian air yang berfungsi untuk pemanfaatan terpadu. Merupakan kombinasidari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit dan atau tempat - tempat kebudayaan.
Pemodelan sistem
Permodelan yang dibentuk oleh sistem dinamik
dinamik
banyak lingkar simpalkausal (causal loop diagram) yang saling berhubungan satu sama lain. Sistem dinamik memiliki mekanisme internal untuk selalu mengalami perubahan sepanjang waktu.
Pemodelan spasial
Suatu permodelan, yang dibentuk dari inputan
dinamik
hasil analisis sistem dinamik (berupa data numerik dan grafik) yang digabungkan dengan hasil analisis spasial dinamik. Hasil analisis spasial
dinamik
adalah
peta
perubahan
penggunaan lahan pada beberapa tahun yang akan datang.
RAPFISH
Merupakan kependekan dari Rapid Assessment Technique for Fisheries. Teknik penilaian/assess ment secara cepat untuk perikanan, yang dikem bangkan oleh Fisheries Center, Universitas British Columbia.
xiv
Rap-WITEPA
Rapid Appraisal Wilayah Tepian Air, yang merupakan pendekatan yang di adop dan modifikasi dari program RAPFISH. Teknik ini yang digunakan untuk analisis keberlanjutan wilayah tepian air.
Revetment
Bangunan pelindung tepian pantai terhadap gelombang yang relatif kecil, misal pada kolam pelabuhan, reservoir/bendungan, jalan air ataupun pantai dengan gelombang kecil.
Setback zone
Merupakan salah satu pengelolaan
opsi kajian kinerja
sumberdaya
pantai
(Beach
Resources) tanpa adanya budidaya hayati (penyu, dst.).
Simulasi Model
Simulasi
dilakukan
untuk
mengetahui
dan
membanding perilaku model antar skenario. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan Powersim Studio 2005.
Sistem
Informasi
Geografik (SIG)
Suatu jasa aplikasi dengan pengertian yang berorientasi teknologi komputer, yang ber fungsi sebagai prosedur dipakai untuk mengoreksi, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi.
Soft engineering
Alternative teknologi pelindung pantai dengan pendekatan lunak. Sebagai contoh efektifitas mangrove sebagai green belt pantai.
xv
Sumberdaya pantai
Sumberdaya pantai berupa pasir, batu karang, reef, gravel. Sumberdaya pantai bisa berupa perlindungan pantai dan turisme pantai (yang secara tidak langsung pantai akan dilindungi oleh pembangunan hotel, sarana turisme, budidaya penyu, dan lain-lain).
Sustainable manage
Merupakan salah satu opsi manajemen dalam
ment habitat mangrove
skenario pemilihan konservasi habitat mangrove dimana keseluruhan lahan berupa hutan mangrove.
Validasi model
Proses validasi bertujuan untuk menilai sejauh mana model dapat menirukan kondisi yang sesungguhnya, dan keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah.
Verifikasi model
Untuk mengetahui berbagai kelemahan maupun kekurangan serta mengidentifikasi berbagai persoalan dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan. Verifikasi proses perumusan kebijak an di lakukan terhadap metoda yang digunakan terhadap pengembangan kebijakan.
Validasi struktur model
Proses validasi utama dalam berpikir sistem, bertu juan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata.
Waterfront
Daerah tepi laut, tepi danau, tepi sungai, bagian kota yang berbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat satu atau beberapa kegiatan dan
xvi
aktifitas pada area pertemuan tersebut.
Water front city
Atau urban water front mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi di area pelabuhan besar di kota metropolitan.
Waterfront jenis
Penataan waterfront kuno atau lama yang masih
konservasi
ada sampai sekarang dan menjaganya dengan penanganan kebijakan seperti apa adanya (as usual) agar tetap dinikmati masyarakat.
Waterfront
jenis
Redevelopment
Upaya menghidupkan kembali fungsi – fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat de ngan mengubah atau membangunan kembali fasilitasfasilitas yang ada.
Waterfront revitalisasi
Pembangunan waterfront lebih lanjut untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan dan global.
Working waterfront
Tepian air untuk kerja, misal tempat-tempat penagkapan ikan komersial, galangan kapal, reparasi kapal pesiar, dan fungsi-fungsi pelabuhan.
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pengembangan kota/wilayah dengan konsep kota tepian air (waterfront
city) sejak lama dikenal di seluruh dunia, sebagai bagian kota atau distrik yang dicirikan berbatasan dengan air, baik berupa sungai, laut maupun danau. Umumnya terdapat darmaga dengan kesibukan lalu lintas perdagangan yang menggunakan kapal, perahu, motor boat sebagai fasilitas transportasinya. Menurut Landry (2008),
pengembangan konsep kota tepian air
merupakan cara pemecahan masalah perkotaan yang terfokus pada masalah kultur dan budaya. Sementara tidak ada paradigma standar untuk konsep tepian air, dimana sangat tergantung dari visi/misi kota tepian air tersebut yang bersifat unik dan berbeda antara suatu kota tepian dengan kota tepian lainnya. Pemecahan
masalah
perkotaan
tersebut
dilakukan
dengan
membuat
keseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan preservasi, menjadi kawasan terpadu (mixed used). Implementasi dilakukan dengan cara mendorong revitalisasi tepian air dan pemanfaatan ketergantungan akan air sambil melindungi ikan dan margasatwa, ruang terbuka hijau & daerah permai, akses publik ke garis pantai & lahan pertanian, dan meminimalisasi perubahan sistem ekologi yang merugikan seperti erosi dan bahaya banjir. Menurut
Routledge (1999), peningkatan kualitas air merupakan
pendorong sangat penting terhadap kemajuan perekonomian. Menurut Vollmer (2009), rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan lingkungan di dunia yang sedang berkembang. Sebagai contoh Toronto merupakan wilayah tepian danau tercemar berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air, dalam waktu singkat dari tahun 1980 sampai tahun 2000 telah bisa meningkatkan tahapan pengelolaan dari semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya: lingkungan sehat, pemulihan ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas.
2
Secara fisik, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, terdapat sekitar 216 kota tepian air, di antaranya adalah: Jakarta, Pontianak, Semarang, Balikpapan, Menado, Palembang, Banjarmasin. Mengacu pada penelitian ini, dimana Kota Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian. Kota Semarang sebagai salah satu metropolitan juga merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, berada pada kawasan pesisir utara Jawa dengan garis pantai sepanjang ± 13,6 km. memanjang di bagian utara kota mulai dari wilayah Kecamatan Tugu bagian barat sampai dengan wilayah Kecamatan Genuk di bagian timur. Mempunyai letak sangat strategis karena terletak pada lalu lintas perdagangan internasional dan mempunyai potensi besar untuk menjadi “water front city” berkelas dunia (Ecolmantech, 2006). Kota Semarang mempunyai jumlah penduduk sebesar 1.434.025 jiwa (2006). Berdasarkan statistik (Kota Semarang dalam angka, 2008) peningkatan jumlah penduduk 1,02% per tahun. Penambahan jumlah penduduk akan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal/permukiman maupun untuk kegiatan usaha. Menurut Marfai MA. 2003. (dalam GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in a Waterfront City. Case study: Semarang City. Central Java), Semarang “water front city” mempunyai kendala rutin dan menahun dimana banjir dan rob merupakan fenomena yang sering terjadi. Adapun akar permasalahannya adalah besarnya konversi lahan pertanian/hutan dibagian hulu dan saluran drainase yang kurang terawat menyebabkan banjir lokal. Data dan informasi tentang distribusi spasial, besaran dan kedalaman banjir serta pengaruh banjir terhadap penggunaan lahan telah ditelaah dalam produk modeling diatas. Berbagai potensi bencana yang terdapat di Kota Semarang adalah banjir sungai, banjir rob/genangan, tanah longsor dan land subsidence sebesar 11,50- 20 cm/tahun. Genangan air hujan dan banjir kiriman dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Selain itu pencemaran badan air baik oleh limbah industri, non industri maupun intrusi air laut menyiratkan bahwa kebijakan Kota Semarang belum mempertimbangkan kesinambungan hidup air. Dalam hal ini sungai dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor tempat pembuangan limbah, sampah dan hajat. Air sungai
3
sudah lama tak layak untuk diminum. Sementara, kota-kota besar dunia yang beradab dan termashur kebanyakan adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air. Sebagai contoh, kota pesisir New York, Sydney, Los Angeles, Miami, kota kanal Venice, Amsterdam, dan sebagainya dimana air ditempatkan pada tempat yang bermartabat (Tjallingii. 1995). Bermacam-macam usaha telah dilakukan berupa pembangunan saluran banjir
kanal,
pembangunan
subsistem
drainase
dengan
perlengkapan
pemompaan, pembangunan drainase pasang surut dengan sistem polder, pembangunan waduk-waduk, tetapi tidak menyelesaikan masalah, dimana disamping telah dikeluarkan pendanaan yang sangat besar, tetapi kejadian rob dari tahun ke tahun semakin besar. Di sisi lain, pada kenyataannya
telah
berabad-abad lamanya masyarakat pesisir Kota Semarang telah dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan rob dan banjir. Maka diasumsikan bahwa alternatif terbaik untuk pengelolaan wilayah pesisir adalah dengan cara pemeliharaan harmoni dengan air (pendekatan sistem tepian pantai) dengan paradigma pengelolaan secara berkelanjutan, sesuai Undang-undang UU No. 32/2009 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air; UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Pengelolaan wilayah “water front city” dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi tiga kriteria keberlanjutan pembangunan yakni ekologi, ekonomi dan sosial (Gallagher, 2010). Kriteria ekologi antara lain: tekanan terhadap lahan mangrove rendah yang ditandai oleh berhasilnya penanaman kembali mangrove, sedimentasi rendah, intrusi air laut rendah, kualitas perairan memenuhi baku mutu lingkungan, abrasi dan erosi pantai rendah, penyusutan tanah (land subsidence) rendah, ada kegiatan konservasi, jumlah tangkapan ikan tidak berkurang, dan metoda budidaya yang ramah lingkungan. Kriteria ekonomi antara lain: kontribusi terhadap PDRB tinggi, pendapatan nelayan terhadap upah minimum regional relatif tinggi, penyerapan tenaga kerja tinggi, distribusi pendapatan merata, pasar berskala nasional, pola kemitraan ada dan berfungsi, perkembangan sarana ekonomi
meningkat. Kriteria sosial antara lain:
pengetahuan terhadap lingkungan yang memadai, tingkat pendidikan masyarakat
4
pesisir relatif sama terhadap kabupaten, frekwensi konflik rendah, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tinggi, ada alternatif usaha selain pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata, kesehatan masyarakat meningkat, ketersediaan peraturan pengelolaan, ada transparansi
dalam
pengambilan keputusan, pengembangan kelembagaan lokal atau inisiatif masyarakat (Pitcher, 1999). Sifat wilayah pesisir yang multi objective, multi stakeholder, dan berbagai konflik kepentingan mengakibatkan dilema dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa fokus pengelolaan kota tepian pantai tersebut tertuju pada kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Persoalan pemanfaatan inilah yang kemudian memicu konflik antar stakeholder. Untuk itu diperlukan suatu sistem manajemen yang efektif dan partisipatif
yang dapat menyelesaikan dan minimalisasi konflik
diantara berbagai stakeholder (Behr C et al.1998). Untuk menunjang kegiatan pembangunan wilayah tepian pantai Semarang, dan menjawab permasalahan dan tantangan di atas, dilakukan penelitian ini dengan tujuan utama: Membuat/merancang suatu desain kebijakan pengelolaan berdasar konsep ”water front city” berkelanjutan dalam bentuk arahan kebijakan dan strategi yang dapat mengilhami pembentukan model kebijakan pengelolaan bagi kota tepian pantai Semarang khususnya dan Indonesia pada umumnya.
1.2
Perumusan Masalah Permasalahan Kota Semarang tepian pantai agar bisa dikelola secara
berkelanjutan adalah sangat erat kaitannya dengan dinamika ekosistem alami (darat dan pantai) dengan daya dukung/daya tampung Kota Semarang dan pemanfaatannya oleh masyarakat, dimana pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya diatas daya dukung/ daya tampungnya akan mengakibatkan kerusakan lahan, seiring fungsinya terhadap populasi, lahan/area dan waktu. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
5
dimasukkan ke dalamnya. (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009) Daya dukung Kota Semarang dipengaruhi oleh aspek-aspek biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 1.1)
DAYA DUKUNG /TAMPUNG KOTA SEMARANG
BIOFISIK
Daratan
1. Penurunan air tanah 2. Konversi lahan 3. Ruang terbuka hijau <30%
SOSIAL
Pantai
1. Polusi Industri R.T Alami Limbah Sedimen tasi-DAS.
BANJIR SUNGAI
EKONOMI
1. 2. 3. 4. 5.
POLUSI
Abrasi Alih Fungsi Intrusi Sedimentasi Limbah
1. Pasang surut air laut 2. Landsubsid ent 3. Kenaikan muka laut
1. Industria & perdagangan, wisata terpadu 2. Kelola dan kembangkan potensi SDA
1. Persaingan lapangan.kerja. 2. Pengangguran 3. Ketimpangan Penghasilan 4. Kurang sejahtra. karena banjir
5. Konflik Sosial
ROB
KURANGNYA KETERPADUAN
MASALAH SOSIAL
Gambar 1.1 Faktor-faktor berpengaruh terhadap Daya Dukung Kota Semarang.
Aspek biofisik mencakup daratan dan pantai dimana permasalahan yang dapat diidentifikasi di daratan adalah berupa polusi (industri, rumah tangga dan limbah umumnya); terbatasnya cadangan air tanah karena penggunaan atau eksploitasi yang berlebihan; perubahan tata guna lahan dan pembabatan hutan yang semakin tak terkendali; kurangnya Ruang Terbuka Hijau ( < 30%), sistem pembuangan sampah dan drainase yang buruk. Hal tersebut menyebabkan banjir lokal dan kiriman. Berdasarkan data Perubahan Luas Area Sawah, Hutan, TKL(Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya dan Areal Tambak dan Kolam) dan Perubahan
6
Luas Area Permukiman dan Bangunan di Semarang (Semarang dalam angka, BPS, 2008) diperoleh informasi bahwa dari tahun 2003-2007 terjadi peningkatan konversi lahan area tambak dan kolam sangat tajam dari 2271, 64 Ha pada tahun 2003 menjadi 312,74 Ha pada tahun 2007. Sementara itu konversi arealareal Ruang Terbuka Hijau (RTH), seperti area sawah, area hutan dan area tegal, kebun & lahan kering lainnya dari tahun 2003-2007 cenderung mengalami perbaikan ditunjukan oleh peningkatan luasan ketiga area tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan pengembangan areal bangunan untuk permukiman dan industri pada saat ini telah berdampak terhadap penurunan luasan area tambak dan kolam di Kota Semarang. Walaupun pada saat ini luasan area terbuka hijau relatif masih baik, namun diperkirakan di masa-masa akan datang akan terkonversi akibat konversi area kolam dan tambak sudah pada tahap kritis, sedangkan peningkatan area bangunan untuk permukiman dan industri diperkirakan akan terus meningkat. Di wilayah pantai, diidentifikasi semakin tingginya ancaman terhadap ekosistem alami Kota Semarang berupa: Peningkatan pasang surut air laut dari 0.87 m pada tahun 1991 menjadi 0.97 m pada tahun 1994 (JICA 1994) atau berupa peningkatan permukaan air laut rata-rata 6 mm/tahun karena pemanasan global atau sebab lainnya (Bappedal/KMNLH 1999); Sedimentasi yang diikuti dengan land subsidence 2-25 cm/tahun (Dit.Geologi dan Tata Lingkungan, 1999). Hal-hal tersebut mengakibatkan peningkatan banjir rob dari sekitar 1,200 ha pada tahun 2003 dan diperkirakan menjadi sekitar 1,346 ha pada tahun 2008 (Data Ka.Sub-bidang Pengawasan Bappeda Kota Semarang 2003); Semakin tingginya tingkat pencemaran baik oleh limbah (industri dan domestik), abrasi, sedimentasi, intrusi air laut (penyedotan air bawah tanah secara berlebihan menyebabkan air tanah tercemar berupa peningkatan salinitas diatas ambang batas),
peningkatan penyedotan air tanah dari 23 juta m3 pada tahun 1990
menjadi 39 juta m3 pada tahun 2000 (Dit. Geologi dan Tata Lingkungan 1999). Di tinjau aspek ekonomi dan perdagangan, Kota Semarang dengan pelabuhan/dermaga Tanjung Mas, meskipun memiliki tingkat pertumbuhan industri
yang
mampu
memberikan
sumbangan
yang
signifikan
bagi
perekonomian wilayah, tetapi diidentifikasikan bahwa hal tersebut kurang
7
bersinergi dengan berbagai kepentingan stakeholder dan pengelolaan potensi lain (tourisme, mangrove, beach resources) yang belum terintegrasi secara optimal. Tingginya tingkat degradasi sumberdaya alam hayati
berdampak pada
menurunnya pendapatan masyarakat. Aspek sosial diantaranya adalah aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Pertumbuhan penduduk yang tinggi namun dengan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah justru menjadi permasalahan pembangunan yang serius mengenai persaingan lapangan kerja, pengangguran, ketimpangan pendapatan, peningkatan frekuensi konflik, menurunnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat karena banjir dan hidup didalam sistem lingkungan air yang kurang bersih dan diatas ambang batas/ kurang layak untuk dikonsumsi. Saling
keterkaitan
diantara
berbagai
masalah
tersebut
memunculkan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana merancang skenario pengelolaan lingkungan wilayah tepian air Kota Semarang yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.
Bagaimana merancang model interaksi diantara berbagai variabel dalam subsistem biofisik, SDM masyarakat, dan ekonomi di wilayah tepian air dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
1. 3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan kebijakan
pengelolaan Kota Semarang tepian pantai
berdasar konsep
berkelanjutan dalam bentuk arahan kebijakan dan strategi
kota tepian air yang dapat
mengilhami pembentukan model kebijakan pengelolaan bagi Kota Tepian Air lainnya di Indonesia. Tujuan utama itu di rincikan ke dalam tujuan antara, adalah sebagai berikut : (1)
Menentukan kelayakan pengelolaan SDA
(2)
Menentukan tingkat keberlanjutan dan faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan Semarang “water front city”
8
(3)
Membangun model pengelolaan Semarang “water front city” secara berkelanjutan
(4)
Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan kawasan Semarang “water front city” yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi
semua
stakeholder
tanpa
mengabaikan
prinsip
konservasi
lingkungan (5)
Menentukan prioritas atau skenario arahan kebijakan dan strategi Pengelolaan Semarang “water front city”.
1. 4.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan kontribusi nyata
pada pengembangan studi-studi
tentang pengelolaan, preservasi SDA, proteksi kawasan tepian pantai dan memberikan pemikiran serta pondasi ilmiah pada pengelolaan dengan konsep “water front city”. 2. Memberikan masukan kepada seluruh pemangku kepentingan akan status dimensi keberlanjutan Kota Semarang dan penyusunan strategi berdasar faktor pengungkit atau atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. 3. Memberikan arahan kebijakan pemerintah dalam merancang konsep kebijakan
pengelolaan
Semarang
“water
front
city”
secara
berkelanjutan 4. Memberikan masukan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan dan skenario pengelolaan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder.
1. 5.
Ruang Lingkup Penelitian Pengelolaan yang diamati dalam penelitian ini terutama adalah yang
terkait dengan kebijakan pengelolaan tepian pantai, mengingat adanya keterbatasan data dan waktu yang tersedia dalam melaksanakan penelitian ini. Pengelolaan yang dimaksud adalah mencakup pengelolaan dan peningkatkan potensi sumberdaya yang ada secara lebih efektif dan efisien, adaptasi banjir, prasarana penyehatan lingkungan lainnya seperti ruang terbuka hijau, serta
9
pemilihan skenario dan alternatif pengelolaan
sebagai kawasan industri,
perdagangan atau wisata.
1.6 .
Kerangka Pemikiran
Permasalahan wilayah Kota Semarang dapat dicermati dengan analisis masalah (Gambar 1.2) sebagai berikut: Semarang Kota Tepian Pantai merupakan ekosistem Tepian Air yang didukung oleh: (1) Daerah tangkapan air berupa sungai-sungai, kolam, sumber air tanah yang dikelola oleh masyarakat sebagai area pertanian, perkebunan lahan kering, tambak dan pemukiman. Maraknya konversi guna lahan di hulu dan eksploitasi air tanah (di atas daya dukung lingkungan) sekitar daerah tangkapan ini menyebabkan erosi dan intrusi air laut. Bahan-bahan yang terbawa oleh erosi akan mengendap sebagai sedimentasi,
sedangkan intrusi menyebabkan
pencemaran badan air. (2) Daerah perairan berupa pesisir pantai yang mempunyai potensi sebagai perikanan tangkap, pelabuhan , perdagangan peti kemas, wisata bahari dan transportasi laut, dimana kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan pencemaran (3) Daerah sosial ekonomi, konservasi merupakan daerah perkotaan yang mempunyai potensi sebagai kawasan industri, perdagangan, pemukiman, dan sebagainya, yang juga menimbulkan pencemaran industri dan limbah2 organik maupun non organik. Sedimentasi, intrusi dan pencemaran-pencemaran tersebut mengakibatkan pendangkalan, akresi, banjir kiriman, rob dan kondisi tidak nyaman yang menyebabkan terjadinya konflik. Masalah-masalah tersebut menunjukkan telah terjadinya degradasi ekologi, sosial dan ekonomi yang mengancam fungsi kota tepian pantai. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut (1) wilayah tepian pantai Kota Semarang tersebut harus dikelola melalui mekanisme kesesuaian lahan (kriteria kesesuaian lahan), daya dukung lahan ( daya dukung ekologi dan daya dukung ekonomi). (2) Alternatif pengelolaan (ICZM, The Coastal Zone Management Subgroup) berupa retreat, akomodasi/adaptasi dan proteksi. Dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yang kemudian dikembangkan menjadi lima dimensi: ekonomi, ekologi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi untuk menganalisis
10
keberlanjutan dengan menggunakan Multidimensional Scalling) dan berdasar kebijakan pemerintah (Rencana Tata Ruang Wilayah, Pembangunan Ekonomi, Pengembangan SDM, dll) dilakukan
pengelolaan secara terpadu, sehingga
diperoleh desain pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan yang bisa melakukan langkah-langkah perbaikan pada ekosistem tepian pantai. Dalam hal ini, keterpaduan bermakna tiga dimensi: intersectoral integration (koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor pemerintah), interdisciplinary approaches (keterlibatan berbagai disiplin ilmu) dan ecological linkages (keterkaitan berbagai macam ekosistem yang saling berhubungan serta dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia dan proses alamiah di daerah hulu-hilir maupun di laut lepas). Digunakan analisis Sistem Dinamik dan Spatsial Dinamik sehingga permasalahan yang terjadi dapat dilihat secara menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholder yang ada di dalamnya. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yang terfokus pada kebijakan pengelolaan kota tepian pantai dengan asumsi bahwa alternatif terbaik untuk pengelolaan wilayah tepian pantai adalah dengan cara pemeliharaan harmoni dengan air (pendekatan konsep kota tepian air berkelanjutan), dimana pembahasannya dibatasi pada masalah biofisik pantai, masalah ekonomi dan masalah sosial. Adapun masalah biofisik daratan ada di luar fokus penelitian. Kerangka Pemikiran Pengelolaan dapat dilihat pada Gambar 1.2
11
EKOSISTIM TEPIAN AIR
DAERAH TANGKAPAN AIR
PERTANIAN, PERIKANAN, TAMBAK, PEMUKIMAN
PERAIRAN
PERIKANAN TANGKAP, PELABUHAN, TRANSPORTASI LAUT
EROSI, ABRASI, INTRUSI
SEDIMENTASI, PENCEMARAN
PENCEMARAN INTRUSI
PENDANGKALAN, ABRASI, BANJIR / ROB, KONFLIK, PENYAKIT
INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERMUKIMAN
DAERAH EKONOMI SOSIAL BUDAYA KELEMBAGAAN (PERKOTAAN)
DIMENSI EKOLOGI
FUNGSI KOTA TEPIAN AIR TERANCAM
DIMENSI SOSIAL
KRITERIA KESESUAIAN LAHAN
DIMENSI EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN DAYA DUKUNG EKOLOGI PEMANFAATAN SESUAI DAYA DUKUNG DAN KESESUAIAN LAHAN DAYA DUKUNG EKONOMI
EKOLOGI PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
TRILOGI KEBERLANJUTAN
DAYA DUKUNG SOSIAL
SOSIAL
EKONOMI
KETERKAITAN EKOLOGI
ANTAR DISIPLIN ILMU
PARTISIPASI STAKEHOLDER
KETERPADUAN PENGELOLAAN
ANTAR SEKTOR
PENGELOLAAN KOTA TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
EKONOMI
EKOLOGI
SOSIAL
KELEMBAGAAN
TEKNOLOGI
KEBIJAKAN PEMERINTAH
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air berkelanjutan 11
12
1.7.
Kebaruan Kebaruan penelitian ini adalah Rancangan kebijakan pengelolaan kota
tepian pantai Kota Semarang dengan: 1) Paradigma harmonisasi dengan air sebagai response adaptasi terhadap banjir, 2) penggunaan model analisis sistem dinamis dan spasial dinamis terpadu untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kota tepian pantai secara berkelanjutan, yang didukung oleh analisis keberlanjutan menggunakan Multi Dimention Analysis. Model ini dapat diaplikasikan untuk memprediksi tata guna lahan dan mendukung RTRW.
13
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun
demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (shoreline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu: batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Menurut Rais et al. (2004). batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara yang lain, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri. Dalam menentukan batas ke arah darat dan kearah laut dari suatu wilayah pesisir terdapat beberapa alternatif (pilihan). Salah satu pendapat menyatakan bahwa wilayah pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang sangat luas mulai dari batas lautan (terluar) ZEE sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa suatu wilayah pesisir hanya meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang sangat sempit, yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi sampai 200 m kearah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat ratarata pasang terendah. Menurut Rais et al. (2004). batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara arbitrer dari rata-rata pasut tinggi (mean high tide) dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi propinsi. Bahwa untuk kepentingan pengelolaan, batas kearah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone)
atau pengelolaan
keseharian (day-to-day
management).
Wilayah
perencanaan biasanya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Oleh karena itu, batas wilayah pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu. Wilayah pesisir dan laut ditetapkan sesuai dengan wilayah
14
kewenangan yang disepakati bersama diantara otoritas pengelola, dimana wilayah pengaturan selalu lebih kecil dan berada didalam wilayah perencanaan. Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah yang tergantung pada isu pengelolaannya. Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (Beatley et al., 1994). Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, merupakan sistem yang kompleks, di dalamnya terjadi interaksi berbagai proses alami (hidrologi dan geomorfologi), sosial, budaya, ekonomi, administrasi
dan pemerintahan (French, 2004). Dalam perspektif ekonomi-
ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang dicirikan oleh adanya saling hubungan secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi (Turner, et al., 1998). Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Berbagai aktivitas ekonomi penting penduduk dunia seperti permukiman, industri, pertanian dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir telah memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk secara signifikan (Joseph dan Balchand.2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Aktivitas industri dan permukiman yang intensif telah mendorong wilayah pesisir dan laut berkembang menjadi wilayah dengan dinamika yang semakin besar dimasa yang akan datang. Wilayah pesisir dan laut memiliki tingkat kelimpahan sumberdaya yang tinggi namun sarat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kondisi ini cenderung menyimpan potensi konflik yang besar, yang apabila tidak dikelola dengan baik (mismanagement), akan membawa kerugian baik secara ekonomi maupun ekologi. Pengelolan wilayah laut berkaitan erat dengan kebijakan nasional masing-masing negara, dimana lautan merupakan kesatuan dari permukaan, kolom air, sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Dasar hukum yang digunakan
15
oleh negara-negara pantai dalam menentukan batas wilayah laut adalah Konvensi Hukum Laut PBB, 1982 (UNCLOS, 1982). Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya (minyak dan gas bumi, perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya) yang berada di dalam zone yang diatur pada konvensi tersebut, diantaranya adalah memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan batas terluar dari ZEE ini sejauh 200 mil dari garis pangkal pada surut rendah (low water line). Dalam rangka pelaksanaan otononmi daerah (Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah dan tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tercantum batas kewenangan daerah di wilayah laut propinsi adalah sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, dan kewenangan daerah kabupaten sejauh sepertiga dari kewenangan daerah propinsi.
2.2.
Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut Potensi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
garis besar terdiri dari
3 (tiga) kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih
(renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa pelindungan lingkungan (environmental services) pesisir. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Tim CIDA/Bappenas (1988), pada tahun 1987 nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh sebelas kegiatan pembangunan (pemanfaatan) sumberdaya pesisir dan lautan (minyak dan gas, industri, transportasi dan komunikasi, pelayaran dan pelabuhan, pertanian, perikanan tangkap, pariwisata, kehutanan, perikanan budidaya, kegiatan masyarakat pesisir, dan pertambangan) sebesar kira-kira Rp. 150 trilyun, atau hampir setara dengan total produk domestik bruto. Berbagai kegiatan pembangunan tersebut merupakan sumber mata pencaharian dan kesejahteraan bagi sekitar 13,6 juta orang, dan secara tidak langsung mendukung kegiatan ekonomi bagi sekitar 60% dari total penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan pesisir. Kemudian pada tahun 1990, kontribusi ekonomi kegiatan sektor kelautan tersebut meningkat menjadi Rp. 43,3 trilyun atau sekitar 24% dari total produk domestik bruto, dan menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 16 juta
16
jiwa (Robertson Group dan PT Agriconsult, 1992). Kenaikan kontribusi ini terutama disebabkan oleh kegiatan minyak dan gas, perikanan, dan pariwisata.
2.2.1
Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable resources) Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga
kelestariannya, diantaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998). Menurut Supriharyono, ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground). Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove berlokasi didaerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengatakan, bahwa mangrove memiliki peranan penting baik secara ekonomi maupun ekologi. Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksploitasi secara ekonomis. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udang/ikan yang masih muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi, perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, dijumpai di daerah tropik, diperairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) dan suhu diatas 20 oC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang berperan
17
penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses sedimentasi (Rais et al., 2004). Ekosistem padang lamun juga hanya dijumpai di laut dangkal, dinilai unik karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem (Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting dalam memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan. Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Supriharyono, 2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di daerah itu. Karena fluktuasi salinitas yang tinggi, organisme yang dapat hidup di estuaria terdiri dari jenis: hewan laut yang mempunyai kemampuan mentolerir perubahan kadar garam tinggi, hewan air tawar yang mempunyai kemampuan mentolerir perubahan kadar garam, dan hewan air payau yang tidak ditemukan hidup di air laut maupun air tawar (Widiati, 2000). Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada ekosistem
mangrove,
terumbu
karang,
padang
lamun
dan
estuaria
memungkinkan tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di wilayah tersebut. Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil yang diusahakan mendominasi jenis perikanan tangkap di Indonesia. Tingginya aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan
18
terjadinya overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya permasalahan sosial.
2.2.2
Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources) Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari
sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B (mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri; misalnya granit dan pasir). Indonesia mempunyai potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut yang merupakan devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir. Cadangan petroleum (minyak dan gas) Indonesia tersebar di 60 cekungan (basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor (Rais et al., 2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara. Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin.
2.2.3
Sarana dan Struktur Pelindung Pantai a)
Sarana Pelindung Pantai menggunakan strategi proteksi bersifat
lunak (beach nourishment) menggunakan mangrove.
Ekosistem mangrove
mempunyai daya lenting (resilience) yang mampu membuat lingkungan pesisir dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (diantaranya kenaikan muka air laut). Selain itu ekosistem mangrove dapat melindungi pantai dari abrasi, erosi dan intrusi air laut kedalam air tanah. Meningkatnya kebutuhan soft enginering sebagai alternatif teknologi pelindung pantai dengan pendekatan lunak, mendorong berkembangnya studi
19
mengenai efektivitas mangrove sebagai greenbelt pantai. Untuk itu optimasi teknologi yang menghasilkan pemanfaatan struktur lunak yang tepat sangat dibutuhkan sebagai upaya mengembangkan teknologi konservasi dan rehabilitasi pantai yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan. Kemampuan akar mangrove untuk meningkatkan elevasi dari permukaan tanah mangrove, yaitu dengan menjebak transport sedimen dari daratan (sediment trap), dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tingginya tingkat genangan air di daratan. Sehingga dapat mengurangi dampak banjir bagi masyarakat.
Gambar 2.1. Rod surface elevation tables (RSETs), Daftar Tuas pengukur Elevasi Permukaan digunakan untuk mengukur perubahan elevasi melalui ketinggian pohon/gradien produktivitas (Duvail and Hamerlynck, 2003; Mc. Kee et al. 2007)
20
Menurut Parnette (1993), McKee (2007) dan McLeod et al. (2006), hutan mangrove mempunyai kemampuan sebagai penahan abrasi, amukan angin taufan & tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, mampu menghadapi perubahan cuaca dan kenaikan muka laut sehingga sangat dianjurkan untuk dilestarikan. Guna pengelolaan reboisasi di Semarang perlu dilakukan kajian analisis kelayakan ke-ekonomian pengelolaannya sebagai masukan dalam penentuan kebijakan. Kajian analisis tingkat keberlanjutan adalah bertujuan untuk menjamin bahwa pengelolaan Semarang”water front city” akan terkelola secara berkelanjutan. Ada beberapa metode analisis keberlanjutan “water front city” dari disiplin ke ilmuan Arsitektur dan Civil Engineering yang menggunakan pendekatan infra struktur dan urban/hunian (Gilmour et al. 2007). Berdasar latar belakang penulis di bidang Program Studi Lingkungan (PSL), pendekatan yang digunakan dalam disertasi ini adalah pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan mengadopsi soft-ware Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-WITEPA. Kedua metoda tersebut meskipun menggunakan dimensi yang hampir serupa, tetapi atribut yang digunakan akan banyak berbeda. Sistem
perlindungan
pesisir
dari ancaman
banjir
rob,
dengan
menggunakan hutan mangrove, saat ini belum dilaksanakan di Kota Semarang. Namun berdasarkan kajian penelitian sebelumnya di tempat-tempat lain (Duvail and Hamerlynck 2003; McKee et al. 2007) bahwa masing-masing metode tersebut mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman banjir akibat kenaikan muka air laut walaupun dengan beberapa kekurangan, maka dirasakan perlu adanya suatu kajian terhadap kemungkinan dilakukannya metode sistem perlindungan tersebut bagi Kota Semarang. Selain itu juga perlu dilakukan analisis dampak dari penerapan metode perlindungan tersebut agar dapat dicapai upaya perlindungan yang berkelanjutan dan aman bagi lingkungan
b)
Sumberdaya Pantai (Beache resources), berupa pasir, batu karang,
reef, gravel. Pantai (beach) secara ekologis didefinisakan sebagai gabungan antara daerah pasang rendah, menengah , pasang tinggi, mencapai daerah pencucian. Sumberdaya pantai disini berupa perlindungan pantai dan turisme
21
pantai yang secara tidak langsung pantai akan dilindungi oleh pembangunan hotel, sarana turisme, budidaya penyu, dan lain lainnya.
c). Menggunakan strategi proteksi keras berupa struktur bangunan pelindung pantai. Menurut Burchartch dan Hughes (2001) : Struktur pelindung pantai pesisir bertujuan untuk melindungi/mencegah bahaya erosi pantai dan terjadinya banjir di pedalaman, termasuk melindungi lembah pelabuhan dan daerah pemasukan pelabuhan terhadap arus gelombang, menstabilkan saluran navigasi dan melindungi masuk dan keluarnya air. Adapun jenis-jenis struktur pelindung yang sering digunakan adalah : Sea dikes; Sea wall; Revetments; Bulkheads; Groins; Detached breakwaters; Reef breakwaters; Submerged sills; Beach drain; Beach nourishment and dune construction; Breakwaters; Floating breakwaters; Jetties; Training walls; Storm surge barriers; Pipelines; Pile structures; Scour protection c.1.
Revetment Revetment atau biasa disebut dengan “slope protection”adalah merupakan bangunan pelindung tebing pantai terhadap gelombang yang relatif kecil, misalnya pada kolam pelabuhan, reservoir/bendungan, jalan air (waterway) ataupun pantai dengan gelombang kecil. Ada dua kelompok revetment yaitu “permeable revetment” (open filter material- rip-rap, stone pitching dan concrete block revetment) dan “ impermeable revetment”(aspalt revetment dan bitument grouted stone concrete block)
c.2
Sea Wall Sea Wall (dinding laut) merupakan pelindung tebing pantai terhadap gelombang yang cukup besar. Kelemahan dari revetment maupun seawall adalah kemungkinan terjadinya penggerusan yang cukup dalam di kaki bangunan, sehingga dapat mengganggu stabilitas bangunan. Oleh karena itu pada bagian kaki bangunan ini harus dibuatkan suatu pelindung erosi yang cukup baik.
22
c.3
Bulkheads Fungsi utama adalah untuk menahan terjadinya sliding tanah, selain melindungi tanah dari kerusakan akibat gelombang.
c.4
Training Jetty Merupakan bangunan pelindung yang digunakan untuk stabilisasi muara sungai. Apabila tebing sungai relatif rendah, maka training jettty ini harus dikombinasikan dengan tanggul sungai.
c.5
Groin (Groyne) Groin adalah merupakan bangunan pelindung pantai yang direncanakan untuk menahan/menangkap angkutan pasir (longshore transport) atau untuk mengurangi angkutan pasir. Groin juga merupakan bangunan (tipis, kecil) yang memotong pantai biasanya secara tegak lurus. Groin hanya dapat dipergunakan untuk melindungi erosi pantai yang disebabkan karena “longshore transport” dan bukan karena “offshore transport”. Pembangunan groin pada suatu pantai yang tererosi akibat “onshore transport” ataupun “offshore transport” dapat berakibat mempercepat proses erosi.
c.6
Breakwater Breakwater adalah merupakan pelindung pantai yang bertujuan untuk mengurangi besarnya energi gelombang yang akan merusak daerah tertentu. Bangunan ini biasanya dibuat untuk melindungi pelabuhan atau daerah wisata bahari, disamping itu bangunan ini juga dapat digunakan untuk menstabilkan muara sungai (Jetty). Bangunan ini dapat terbuat dari tumpukan batu baik batu alam maupun batu buatan (lebih dikenal dengan nama “rubble mound” Ada 2 (dua) tipe tumpukan batu pemecah gelombang: Overtapping breakwater dan Nonovertopping breakwater.
c.7
Offshore Dam Menurut Ecolmantech (2006), konsep dasar pemasangan OSD adalah untuk menghilangkan pengaruh langsung pasang air laut terhadap daratan dan garis pantai. Air permukaan dapat mengalir secara alami ke dalam
23
danau yang terbentuk diantara OSD dan daratan, dengan jalan merendahkan permukaan air.
Bila tinggi permukaan air didalam danau mencapai permukaan kritis, air di dalam danau bisa dipompakan kedalam laut. OSD dipasang dengan jarak tertentu dari garis pantai ke arah laut. Design dan konstruksi dam tersebut berdasarkan tehnologi yang telah di patentkan baru-baru ini (e.g. No. P0000037). Pembangunan dam dimulai dari kota Kendal, di tarik ke timur dan berakhir di Jepara. Panjang dam diperkirakan 139 km, lebar 40 m, dan posisi terjauh OSD mencapai kurang lebih 15 km dari garis pantai yang ada. Pada titik terjauh tersebut laut mempunyai kedalaman kurang lebih 20 m. Daerah/areal yang berdekatan dengan OSD dan garis pantai yang ada adalah sekitar 45.000 hektar, atau lebih luas dari kota Semarang (37.000 hektar). OSD itu sendiri harus dilengkapi dengan area tanah baru (new land area) untuk linear water front city (LWFC) mendekati 15,000 hektar, termasuk area yang dibutuhkan untuk pelabuhan baru. Pada pembangunannya akan diperoleh dua buah danau retensi (retention lake) yang kemudian diubah menjadi danau air tawar (D1 dan D2) seluas lebih dari 21.000 hektar (Gambar 2.2).
23
Gambar 2.2. Rencana Pembangunan Off Shore Dam (OSD) di Pesisir Kota Semarang (sumber: Echolmantech 2006) 24
25
Mekanisme pengendalian rob dan banjir adalah sebagai berikut: puncak ketinggian OSD harus 2,00 m diatas laut; ketinggian air didalam danau retensi harus 3,00 m dibawah ketinggian permukaan laut dan, pada saat yang sama 2,00 m dibawah ketinggian estuari-estuari sungai yang ada. Danau-danau harus bisa mengakomodasikan aliran air masuk dari sungai-sungai sampai ke kenaikan maksimum 1,5 m. Diluar dari jumlah ini, bila ketinggian maksimum air telah dicapai, maka sistem pemompaan air harus diaktifkan untuk membuang kelebihan air danau ke laut bebas. Dengan mekanisme ini, sistem alternatif water management level air dengan penggunaan OSD akan secara terpusat bisa mengatasi masalah rob dan intrusi air laut di sekeliling daerah pantai Semarang. Namun menurut (Duvail and Hamerlynck 2003), laporan dari World Commision on Dams’2000 menyatakan assesmen yang didasarkan pada studi kasus di banyak tempat menunjukkan bahwa banyak dam tidak melakukan fungsi yang sesuai dengan manfaat atau jasa pelayanan yang diharapkan. Juga, dampak negatif sosial dan lingkungan dari dam sering kurang diantisipasi atau kurang diperkirakan (under-estimate) sebelumnya. Sehingga gagasan pembuatan Dam Lepas Pantai (Off Shore Dam/OSD) untuk penanggulangan banjir rob di pesisir Kota Semarang juga perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya dari segi sosial, ekonomi, maupun ekologi/lingkungan, untuk menjamin keberlanjutan dari sistem perlindungan pesisir tersebut.
2.3.
Pengembangan dan Pengelolaan Pesisir dan Laut Banyak teori pengembangan dan pengelolaan wilayah yang dapat
dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai. Teori-teori tersebut dibangun atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda. Kelompok pertama adalah teori-teori yang
memberi penekanan pada
kesejahteraan wilayah (regional prosperity). Kelompok kedua memberi penekanan pada sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem produksi (sustainable production). Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok yang peduli pada pembangunan berkelanjutan. Kelompok ketiga memberi penekanan pada institusi (kelembagaan) dan proses
26
pengambilan keputusan (decision making) di tingkat lokal sehingga kajian terfokus pada pemerintahan yang bertanggung jawab dan berkinerja baik. Ketiga kelompok teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam fokus pengembangan wilayah. Menurut Akil (2001), penerapan teori ini didasarkan
pada
perhatian
terhadap
masalah
utama
yang
dihadapi
masyarakat/wilayah dengan sasaran pada 3 aspek, yaitu perekonomian yang baik (good economy), masyarakat yang baik (good society) dan proses politik yang baik (good political process). Sejalan dengan sasaran tersebut, Haeruman (2001) mengatakan bahwa dalam perkembangannya, konsep pengembangan wilayah sejalan dengan penetapan priorits pembangunan ekonomi. Pada mulanya, pembangunan
dilakukan
untuk
tujuan
efisiensi
(efficiency
objective).
Pengalaman kemudian membawa pada berkembangnya pemikiran untuk juga memberikan prioritas bagi tujuan pemerataan (equity objective). Dengan adanya pergeseran orientasi tersebut, kebijakan pembangunan tidak dapat hanya memaksimalkan efisiensi saja, tetapi harus ada keseimbangan tawar-manawar (trade-off) antara keduanya. Aktualisasi konsep pengelolaan secara terpadu dapat diwujudkan melalui strategi pengelolaan potensi ekonomi wilayah. Dalam kaitan ini Haeruman (2001), melihat adanya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh perkembangan demokrasi dan kecenderungan global yang pada dasarnya mencakup hal-hal berikut : a. Pergeseran dari integrasi fungsi (functional integration) yang memberi tekanan pada pendekatan sektoral menuju integrasi kedaerahan (territorial integration) yang memberi tekanan pada pemberdayaan masyarakat lokal. b. Pergeseran dari pengembangan nasional (national development) menuju pengembangan lokal (local development). Pembangunan nasional di masa datang merupakan kerangka tindakan dari pembangunan masyarakat lokal yang bercirikan karakteristik wilayah. c. Pergeseran dari dikotomi desa dan kota (rural and urban dichotomy) menuju keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages). Pengembangan pengelolaan dimasa datang harus melihat keterkaitan antara desa dan
27
kota sebagai suatu mata rantai pengelolaan ekonomi wilayah yang saling mempengaruhi. d. Pergeseran dari orientasi daratan menuju ke orientasi pesisir dan kepulauan. Pengembangan pengelolaan wilayah di masa datang perlu mempertimbangkan akses dari simpul ke simpul, sumberdaya alam di laut yang bersifat dinamis, serta keterkaitan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan kewenangan masyarakat lokal.
2.4.
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,
sosial-budaya yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation’s conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Brundland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan situasi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini.
Pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut menjadi atribut dari apa yang ingin dicapai atau di maksimalkan oleh masyarakat, yang dapat mencakup kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and Tannis, 1999).
28
Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekologi, ekonomi dan sosialbudaya. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Sesuai
dengan
konsep
pembangunan
berkelanjutan
(Sustainable
Development COMHAR, 1999 Concept), terdapat 7(tujuh) tema :
Kepuasan (satisfaction) kebutuhan manusia dalam penggunaan sumberdaya secara efisien
Equiti/kekayaan, keadilan antar generasi
Menghormati integritas keragaman hayati dan ekologi
Pemerataan kekayaan (equity), keadilan antar negara dan wilayah
Pemerataan kekayaan (equity), keadilan antar generasi
Keadilan sosial
Menghormati harta peninggalan/warisan dan keaneka ragaman
Membuat keputusan terbaik
Pengelolaan sumberdaya/fasilitas infra struktur, pembangunan peralatan perlindungan pantai (Coastal Zone Protection), guna memfasilitasi kota tepian air tersebut diatas harus dilaksanakan sesuai dengan kewajiban minimum memenuhi 2 (dua) aspek dari ke tujuh aspek diatas
Membuat suatu keputusan terbaik (Good decision making) dalam pemilihan alternative konsep pengelolaan kota tepian air dimana, secara ekologis meningkatkan kualitas ekosistem, secara ekonomi dengan valuasi ke-ekonomian terbaik dan mendorong peningkatan pendapatan/peningkatan ke-ekonomian PEMDA dan masyarakat terkait, dan secara sosial budaya meningkatkan kesempatan/lowongan pekerjaan bagi masyarakat dan pendidikan.
29
Pemerataan dan keadilan sosial (Social Equity), keikut sertaan keterlibatan/peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
2.5
Daya Dukung Lingkungan, Eksternalitas dan Kesesuaian Lahan
2.5.1
Daya Dukung Lingkungan Menurut Rais et al. dalam Bohari R. (2009), permasalahan yang
berhubungan dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir seperti pencemaran, kelebihan tangkap, erosi, sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik penggunaan ruang merupakan akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap lingkungannya dimana memiliki kemampuan terbatas. Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan (Krom, 1998). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993) Menurut Odum, Daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi organisme yang kehidupannya dapat didukung oleh suatu kawasan/ekosistem Menurut Scones (1993) didalam Bohari R. 2009. Daya dukung lingkungan dibagi dalam 2 hal, yaitu: (1) daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. (2) daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Menurut Poernomo (1997) daya dukung untuk lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh variabel-variabel populasi, lahan/area dan waktu yang dapat dirumuskan sebagai: dN/dt = k.L.A ( L – N)
30
dimana N = banyaknya populasi, L = kapasitas maksimum lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan, k = koefisien pertumbuhan, t = waktu, A = area Menurut Inglis et.al, jenis daya dukung: daya dukung fisik (ukuran, jumlah, area), daya dukung produksi (kelimpahan stock), daya dukung ekologi (pengaruh kelimpahan stock terhadap ekosistem), dan daya dukung sosial. Menurut Widigdo (2004), penentu daya dukung suatu wilayah adalah: 1) kondisi biofisik wilayah, 2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan
hidupnya.
Berdasarkan
paradigma
ini,
metode
penghitungan daya dukung kawasan pesisir dilakukan dengan menganalisis: 1) Kondisi (variabel) biogeofisik ( iklim, Geologi dan tanah, Geomorfologi, Physiography, Hidrologi & Oceanografi, Flora dan Fauna) yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan JASLING. 2) Variabel Sosekbud yang menentukan demand/kebutuhan (kependudukan, standard hidup, pembangunan: target pertumbuhan ekonomi, social equity) Variabel Biofisik wilayah pesisir akan menentukan kemampuan wilayah pesisir dalam menyediakan SDA & Jasling ( ruang, SDA pulih dan tak pulih, asimilasi limbah, amenities and life support system ). Variabel Biofisik bisa dimanipulasi atau diperbaiki oleh sentuhan teknologi, manajemen, ekspor-import. Variabel Sosekbud yang menentukan demand, akan menentukan permintaan manusia terhadap SDA & Jasling ( bahan pangan, bahan sandang, ruang dan bahan pemukiman, bahan dan jasa kesehatan, bahan dan jasa pendidikan, kebutuhan sekunder, tersier, dsb. Pembangunan/pengelolaan akan berkelanjutan bila: Permintaan manusia terhadap SDA & Jasling lebih kecil dari kemampuan wilayah dalam menyediakan SDA & Jasling. Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah tersebut. Oleh karena itu daya dukung suatu wilayah dapat ditentukan atau diperkirakan secara: Kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada di
31
wilayah pesisir (Rais, 2000). Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung wilayah pesisir untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan adalah: 1. Menetapkan batas-batas vertikal, horisontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan. 2. Menghitung luasan wilayah pesisir yang di kelola 3. Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga (3) zona utama yaitu: zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan.. 4. Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Selain tahapan tersebut diatas juga dilakukan penghitungan tentang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar , pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Analisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan. Untuk kegiatan yang bernilai ekonomi, Rais (2000) membagi menjadi 3 kawasan yaitu: a)
Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya, dan sifat-sifat alami yang dimiliki seperti green belt, kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat penelitian dan pendidikan, rekreasi alam yang tidak merusak, kawasan ini paling tidak meliputi 20% dari total area.
b)
Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini meliputi tidak kurang dari 30% dari total area.
c)
Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan budidaya secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak boleh melewati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini mencakup 50% dari total area.
32
2.5.2
Eksternalitas Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah ini
mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh seseorang akan menimbulkan manfaat menghasilkan produk yang bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan. Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu proses yang menimbulkan manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut eksternalitas positif dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004). Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas (kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau perusahaan lain (Fauzi, 2004).
2.5.3
Kesesuaian Lahan Menurut Sugiarti et al..(2000). Sjafi’i et al. (2001). di dalam Rofiko
(2005), parameter kesesuaian penggunaan lahan adalah sebagai berikut: a). Kriteria kawasan pariwisata pesisir: Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan. Tingkat rawan bencana : sangat rendah sampai ringan Drainase: tidak tergenang Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran,reklamasi Tipe tanah: pasir, pasir berlempung Sempadan pantai dan sungai
33
b)
Kriteria kawasan perikanan: Kekeruhan 2-30 NTU Salinitas 27-33% Oksigen terlarut mimimal 3 ppm Suhu 27-32 oC Arus perairan 5-15 cm/detik Kecerahan > 3 meter Kadar padatan tersuspensi 5-25 ppm Derajat keasaman 6,5 – 9,0
c)
Kriteria kawasan industri Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang Kemiringan lereng: 0 – 8% Ketersediaan air tawar terletak pada air permukan dan daerah resapan Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan Drainase: tidak tergenang Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran,reklamas
d) Kriteria kawasan pelabuhan Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan Drainase: tidak tergenang Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran, reklamasi. Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang Kedalaman: > 13 meter Pasang surut: < 2 meter Gelombang laut: < 0,2 meter Arus laut: < 0,5 knot Angin: < 8,5 knot
34
2.6
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda
dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau perairan. Menurut Clark (1998), Begum (1993) dan Klaus et all (2003) ,untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang disebut dengan ICZM (Integrated Coastal Zone Management) atau IMCAM (Integrated Marine and Coastal Area Management). ICZM didisain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi ekologi (Jorge, 1997). Integrated Coastal Zone Management adalah sistm pengelolaan sumberdaya yang dilakukan pada level lokal/regional (Holder, 2003; French, 2004) dengan bantuan pemerintah pusat (Clark,1998). Berkolaborasi dengan berbagai stakeholder, mulai dari masyarakat pesisir, para pelaku dari berbagai sektor ekonomi (perikanan, pertanian, perindustrian dan pariwisata), para konservasionist dan pemerintah pusat (Jorge, 1997). Fokus dari ICZM adalah pada pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan dan penanggulangan bencana alam diwilayah pesisir dan laut. Konsep diarahkan untuk mewarnai pembangunan wilayah pesisir dan laut melalui pendidikan, pengelolaan sumberdaya dan penilaian lingkungan. Di antara instrumen utama ICZM adalah peraturan pemerintah tentang perlindungan biodiversitas dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya serta penilaian lingkungan yang dapat memprediksi dampak dari berbagai kegiatan pembangunan (Clark, 1998). Keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan sektor swasta serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisir dan laut sangat ditekankan dalam konsep ICZM. Pada tataran perencanaan, melakukan penilaian
terhadap
penanggulangan berlangsungnya pengelolaan,
berbagai
dampak
dan
pemanfaatan
rencana
kegiatan,
alternative sumberdaya
menyiapkan
kegiatan
yang
berkelanjutan.
rencana menjamin
Pada
tataran
memberikan petunjuk (guidance) pada proses pembangunan
wilayah pesisir dan laut untuk meningkatkan konservasi sumberdaya dan perlindungan biodiversitas dengan menggunakan berbagai pendekatan.
35
Diantara beberapa pendekatan dasar yang digunakan, adalah Joseph dan Balchand (2000) menekankan pentingnya zoning sebagai pendekatan utama ICZM. Dalam konteks zoning, wilayah pesisir dan laut mengenal beberapa zona sub-devisi (subdivision zone), yaitu zona preservasi (preservation zone), zona riset keilmuan (scientific research zone), zona satwa liar (wilderness zone), zona taman nasional (national park zone), zona rekreasi (recreation zone) dan zona pemanfaatan umum (general use zone). Pelaksanaan zonasi telah banyak digunakan oleh negara-negara pantai untuk mengimplementasikan ketentuan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara efektif. Prosedur ini meliputi perizinan, penguasaan lahan serta rehabilitasi dan revisi secara berkala baik secara administratif maupun ilmiah. Program konservasi wilayah pesisir dan laut yang kaya akan berbagai sumberdaya dipandang penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin cepat. Wilayah pesisir sarat akan berbagai pemanfaatan, seperti permukiman, perdagangan, rekreasi, militer dan industri. Di berbagai belahan dunia, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan dan pertumbuhan penduduk yang pesat merupakan faktor penekan utama wilayah pesisir dan laut Konversi lahan di wilayah pesisir dan laut untuk berbagai kepentingan berlangsung begitu dahsyat dan berdampak pada terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam dan pencemaran. Beberapa program ICZM yang penting diantaranya adalah meningkatkan produktifitas perikanan dan pendapatan dari sektor swasta, mempertahankan fungsi hutan mangrove, serta melindungi kehidupan dan sumberdaya lainnya dari kerusakan. ICZM menjamin keberlanjutan ekonomi berbasis sumberdaya dalam jangka panjang. Menurut Worm (1998), pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus didasarkan pada kesadaran tentang potensi sumberdaya yang unik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masa depan dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Berkaitan dengan berbagai persoalan yang dihadapi ICZM, Clark (1998) mengemukakan beberapa persoalan penting sebagai berikut :
36
a.
Degradasi sumberdaya. Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sampai saat ini dinilai telah melampaui kapasitas yang tersedia. ICZM menawarkan konsep manajemen
penggunaan
secara
berkelanjutan
(sustainable
use
management) yang menjamin ketersediaan sumberdaya terbarukan (renewable) untuk saat ini dan masa depan. b.
Pencemaran. Pencemaran industri, kegiatan minyak dan gas, erosi dan sedimentasi menyebabkan
terjadinya
penurunan
daya
dukung
dan
kualitas
sumberdaya. Pencemaran bersumber dari daratan dan terbawa ke laut melalui sungai. c.
Penurunan nilai Biodiversitas / keanekaragaman hayati. Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi adalah tekanan terhadap spesies yang memiliki nilai estetika dan ekonomis tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi spesies yang terancam punah.
d.
Bencana alam. ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pesisir dan laut dari bencana alam (misalnya banjir, siklon dan penurunan tanah) ke dalam perencanaan pembangunan.
e.
Kenaikan permukaan air laut (Giles, 2002) Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir
disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di atmosfir berpotensi menimbulkan banjir yang mengancam kehidupan masyarakat. f.
Abrasi pantai. Abrasi merupakan masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal di dekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-struktural seperti penataan kembali garis pantai dan pemeliharaan jarak aman dari garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan.
37
g.
Penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak terkendali seperti permukiman peduduk, reklamasi pesisir tanpa AMDAL yang benar berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir (misalnya terjadinya penurunan biodiversitas karena pencemaran). ICZM mengantisipasi hal semacam itu dan merekomendasikan solusinya.
h.
Pedalaman (Hinterland). ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir dan laut.
i.
Bentang darat (Landscap). Bentang darat dan pemandangan alam wilayah pesisir dan laut bersifat unik, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan pemandangan alam.
j.
Konflik pemanfaatan sumberdaya. Wilayah pesisir dan laut menyimpan potensi konflik diantara para stakeholder. ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik secara formal.
2. 7.
Kota Tepian Air (Waterfront City)
2.7.1. Pengertian Waterfront dan Waterfront City Menurut Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34, No. 2, Desember 2006, pengertian waterfront dalam Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Sedangkan, urban waterfront (kota tepian air) mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi di area pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn, 1983).Dari kedua pengertian tersebut maka definisi dari waterfront adalah suatu daerah atau area yang terletak di dekat/berbatasan dengan kawasan perairan dimana terdapat satu atau beberapa kegiatan dan aktivitas pada area pertemuan tersebut.
38
Berdasarkan tipe proyeknya, tepian air dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan atau revitalisasi (development/revitalization). Konservasi adalah penataan tepian air kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan penanganan kebijakan seperti apa adanya (as usual), hanya dilakukan penjagaan agar tetap dinikmati masyarakat. Pembangunan kembali adalah upaya menghidupkan kembali
fungsi-
fungsi tepian air lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan penanganan kebijakan dimana disamping penjagaan agar tetap dinikmati masyarakat, juga dilakukan usaha-usaha evaluasi, pembenahan, penataan dan menghidupkan
kembali
potensi fungsi-fungsi tepian air (reboisasi mangrove, penanaman terumbu karang, budidaya rumput laut, pembangunan struktur pelindung sederhana, pengolahan limbah untuk menciptakan badan air yang bersih). Pengembangan atau revitalisasi adalah usaha menciptakan tepian air yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Sebagai contoh, bila pada pesisir Semarang dilakukan penanganan kebijakan pemasangan dam lepas pantai yang membentang dari Kendal sampai Demak, seperti yang diusulkan oleh Ecolmantech (2001). Berdasarkan fungsinya, tepian air dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu tepian air pemanfaatan terpadu (mixed-used waterfront), tepian air rekreasi (recreational waterfront), tepian air tempat tinggal (residential waterfront), dan tepian air untuk kerja (working waterfront). Tepian air pemanfaatan terpadu adalah tepian air yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan atau tempat-tempat kebudayaan. Tepian air rekreasi adalah adalah semua kawasan tepian air yang menyediakan saranasarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Tepian air tempat tinggal adalah perumahan, apartemen dan resort yang dibangun di pinggir perairan.
39
Tepian air untuk kerja adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, galangan kapal, reparasi kapal pesiar, dan fungsi-fungsi pelabuhan.
4.7.2
Profil “water front city” secara ekologis Sebagai wilayah peralihan, ekosistem waterfront memiliki struktur
komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem lainnya ( wilayah waterfront merupakan wilayah daratan kecamatan pesisir sampai pasang surut terendah kearah laut). Ekosistem alami dari waterfront adalah : hutan mangrove, padanglamun, pantai ber pasir, pantai berbatu, formasi pescapare, formasi barringtonia, estuaria laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang-surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman. Menurut Salm (1984), ekosistem diklasifikasikan sebagai: a. Ekosistem waterfront yang secara permanen atau berkala tergenangi air adalah: 1) hutan mangrove (2) padang lamun (3) estuaria (4) pantai pasir (5) pantai berbatu b. Ekosistem waterfront yang tidak tergenangi air adalah: 1) Formasi Pescarpae: Ekosistem ini umumnya terdapat di belakang pantai berpasir. Formasi pescarpae didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya Impomea pescarpae (kangkung laut). 2) formasi baringtonia Burbrige dan Maragor (1985) mengusulkan suatu sistem klasifikasi lebih sederhana dan lebih fungsional terdiri dari hanya 10 tipe ekosistem, yaitu: agroekosistem, tambak, rawa air tawar, pantai, estuaria, hutan rawa pasang – surut, hutan mangrove, padang lamun (seagrass), terumbu karang, ekosistem demersal, dan ekosistem pelagik. Keterkaitan (hubungan fungsional) antara 10 ekosistem tersebut digambarkan sebagai berikut.
4.7.3 Penggunaan lahan water front city Adalah pada kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan terpadu dengan memanfaatkan kondisi pantai sebagai lokasi pengembangan. Potensi dalam hal ini adalah kawasan yang memiliki embrio pengembangan kearah pantai dan berpotensi sebagai kawasan terpadu dengan
40
pengembangan berbagai aktifitas . Dalam rencana penetapan penggunaan kawasan strategis water front city perlu dipertimbangkan: 1. Pembangunan longstorage yang aman menjadi tanggung jawab pengembangan 2. Harus membangun sistem pengaman pantai 3. Desain geometris kawasan harus aman terhadap dampak negatif (abrasi, sedimentasi, backwater) 4. Ketinggian dan design bangunan mempertimbangkan KKOP dan keselapatan penerbangan. 5. Kawasan terpisah dari bandara 6. Membangun akses tersendiri 7. Pengembangan untuk jasa, rekreasi, permukiman dan fasilitas. Tidak dimungkinkan untuk pengembangan industri. 8. Kawasan sepanjang tepi pantai untuk ruang terbuka dan konservasi 9. Pemenuhan kebutuhan utilitas (air bersih, sampah, limbah lainnya) harus mandiri 10. Pemanfaatan lahan reklamasi dapat dilaksanakan setelah terbentuk kestabilan lahan. Kriteria umum dari penataan dan pendesainan tepian air adalah (Prabudiantoro, 1997) :
Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya )
Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman atau pariwisata
Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukuman industri, atau pelabuhan
Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan
Pembangunan dilakukan ke arah vertikal-horisontal.
41
Aspek- aspek yang Menjadi Dasar Perancangan Pengembangan Konsep Waterfront Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).
a.
Faktor Geografis Merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan
menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah:
Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
Kondisi lahan:
ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta
kepemilikannya
Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.
b.
Konteks perkotaan (Urban Context) Adalah merupakan faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri
khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:
Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik.
Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.
Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi di dalamnya.
Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.
42
Perencanaan Pengembangan Waterfront di Indonesia Melihat topografi Indonesia sebagai negara kepulauan, konsep tersebut sangat cocok dikembangkan di: Menado, Makasar, Jakarta (Pantai Indah Kapuk dan Ancol), Pekanbaru dan Semarang.
Pengembangan Fungsi Kawasan Yang Dapat Diterapkan
Sebagai Kawasan Bisnis Di dalam “Waterfront Development” dapat dikembangkan sebagai
kawasan bisnis sebagai contoh di Canary Wharf salah satu bagian kawasan “London Docklands”. Di daerah tersebut terlihat di tepian air banyak gedung gedung perkantoran serta kondominum. Kawasan tersebut dapat menjadi pusat bisnis.
Sebagai Kawasan Hunian Harus diperhatikan kualitas air sesuai dengan persyaratan hunian. Dalam
pengembangan hunian di tepi air dapat di bangun produk rumah ataupun kondominium. Penerapan kawasan huian di tepi air dapat dilihat di daerah Port Grimoud - Prancis. Di sepanjang aliran sungainya banyak terbangun hunian bertingkat.
Sebagai Kawasan Komersial dan Hiburan, Plaza, dsb. dengan kualitas air sesuai dengan kebutuhan.
2.7.4. Kota Tepian Air Di Indonesia Terdapat sekitar 216 kota tepian air (KTA), diantaranya adalah Jakarta, Pontianak, Balikpapan, Semarang, Menado, Palembang, Banjarmasin, dsb. Masing-masing kota tepian air ini umumnya mempunyai kelebihan, keunikan dan daya tarik tersendiri. Kondisi ini bila dikelola dengan baik tentu akan memberikan manfaat bagi pemerintah kota setempat dan warganya. Kota atau kawasan tepian air di Indonesia pada umumnya memegang peranan dan fungsi yang sangat penting, karena selain secara historis merupakan titik awal pertumbuhan suatu kota, juga sebagai pintu gerbang aktivitas kawasan/kota baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya dari arah laut. Tetapi hampir semua kota tepian air di Indonesia yang ada saat ini menunjukkan
43
bahwa secara fisik dan fungsi kota, kurang optimal pengembangannya dan pemanfaatannya, baik dari aspek kota sebagai ruang publik maupun aset ekonomi kota. Sementara pengembangan kawasan tepian pantai yang sudah ada belum tentu berhasil menjadikan kawasan tepian pantai tersebut sebagai kawasan pemanfaatan terpadu yang terangkai menerus dan saling menunjang baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan ruang untuk masyarakat luas, sehingga pada umumnya keindahan pantai tidak dapat diakses dan dinikmati secara langsung oleh masyarakat dan cenderung terkotak-kotak dalam kepemilikan pribadi. Disamping itu aset-aset budaya dan ekonomi kawasan kurang dimanfaatkan serta kurang terintegrasi dengan sistem kota.
1.
Jakarta Kota Tepian Sungai Kota Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang
mengalirinya. Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa
Jakarta
harus
membangun kota
(sungai)
ramah
air
untuk
menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Sebagai Kota Sungai, Pemerintah Propinsi DKI harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran serta menjadikan halaman muka bangunan dan wajah kota
2.
Balikpapan Kota Tepian Pantai Seperti Kota Tepian Air lainnya di Indonesia, aset-aset budaya dan
ekonomi kawasan kurang dimanfaatkan serta kurang terintegrasi dengan sistem kota. Selain hal tersebut, terdapat isue-isue strategis sehubungan dengan pengembangan kawasan tepian pantai Pusat Kota di Balikpapan, yaitu :
Pengembangan pantai Melawai sebagai area rekreasi pantai yang merupakan kawasan khusus wisata dipusat kota
Ruang-ruang terbuka milik Pertamina akan dikembalikan kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2003
Pertamina
akan
menawarkan
aset-aset
non
(entertainment center) kepada pihak swasta/investor
operasional
44
Pemerintah Daerah sampai saat ini belum mempunyai grand scenario dan urban guideline secara khusus dalam pengembangan kawasan tepian air di pusat kota.
Visi : Menjadi Pusat Kota Baru Yang bernuansa pantai di pusat kota Balikpapan Misi :
Menciptakan Central Business District yang berorientasi pada waterfront
Menciptakan Commercial dan culture Main Street atau Strip yang manusiawi, dan ekologis
Menciptakan waterfront city yang menerus sepanjang pantai dan pengamatan akses publik terhadap tepian pantai dan akses ke pantai
Tahapan Pembangunan : Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL), Advisory, Proses pembangunan: Ada dua pelaku yang melaksanakan proses pembangunan: a)
Pemerintah Kota, dengan diterbitkannya SK walikota diharapkan Land Right Transfer/sale kepada investor dapat mulai dilakukan sambil mulai dikeluarkannya peraturan daerah. Sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah kota melakukan revitalisasi dan konservasi bagi permukiman nelayan, civic center dan pengembangan pantai Melawai melalui program upgrading, ressetlement, new development dan site & service.
b)
Swasta, seperti program Kasiba Lisiba, pembangunan prasarana sekunder dilaksanakan oleh investor di Lisiba yang dikuasainya setelah memperoleh tanah dengan melakukan pembangunan seawall, riverwall, drainage, jalan dan landscape. Ada tiga jenis sumber pembiayaan yang dapat digunakan oleh masing-masing pelaku: offshore loans, National & Local Bank, dan APBN & APBD. Untuk Pemerintah Kota dapat menggunakan ketiganya sedangkan untuk investor/swasta hanya dapat menggunakan offshore loans, dan National * Local Bank di samping modal mereka sendiri.
45
3.
Semarang Kota Tepian Pantai (Waterfront City) Merupakan kota yang dekat dengan pantai. Masyarakat lokal yang
berprofesi sebagai nelayan tradisional menambatkan kehidupannya pada laut. Dengan meningkatnya kegiatan reklamasi yang menutupi view pemandangan ke laut dengan bangunan, lambat laun pantai Semarang dengan wisata laut yang indah tidak bisa lagi bisa diperoleh masyarakat secara cuma-cuma dan akan dikuasai oleh perorangan dan swasta. Kini nelayan harus berhadapan dengan penggusuran lahan kerja mereka, dan mengubah mata pencaharian mereka dari “melaut” menjadi pekerja yang menempati sektor informal. Menurut Kepres RI. No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan pantai masuk dalam kawasan lindung dimana sepanjang pantai 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat harus dilindungi atau bebas dari kawasan budidaya (bangunan, lahan pertanian, dll) guna untuk melindungi fungsi ekosistem pantai. Semarang memiliki garis wajah yang sebagian berada di sepanjang pantainya, dengan demikian zona ini rentan terhadap pengrusakan alam. Menurut Sukawi (2007), Semarang Waterfrontcity Jurnal Ilmiah, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan tepian air adalah:
Menjaga siklus kehidupan masyarakat Kota Semarang dengan tetap menyediakan aksesibilitas publik untuk dapat menikmati keindahan alam Pantai Semarang,
Ruang-ruang publik harus tetap disediakan dalam rangka menjaga interaksi sosial antar sesama umat manusia tanpa harus memberikan beban tambahan, dengan dibuatkan ruang-ruang terbuka hijau yang memberikan pandangan aktif masyarakat ke alam laut dan memanfaatkannya untuk berbagai keperluan
Dibuatkan aturan khusus bagi masyarakat untuk penggunaan ruangruang tersebut sehingga kegiatan tradisional nelayan dan masyarakat bisa menyatu dengan kegiatan modern.
Konsep Kota Tepian Air dalam kaitannya dengan perumusan masalah di pesisir Semarang : - Menurut Kondoatie (2008), Kota Semarang hampir seabad bersahabat dengan banjir sehingga masyarakat telah mampu beradaptasi dengan
46
banjir yang telah merupakan rutinitas tahunan. Persoalan banjir di Kota Semarang disebabkan 2 (dua) hal pokok : a.
Perubahan tata-guna lahan, khususnya di daerah aliran sungai (DAS) semakin parah. Perubahan tata-guna lahan dari hutan menjadi permukiman dapat menambah debit air sungai 5-29 kali lipat, sementara pembersihan sedimentasi dan pelebaran sungai oleh Pemkot hanya menampung 2-4 kali debit air.
b.
Penurunan permukaan tanah yang tinggi. Sebagai daerah banjir, Kota Semarang memiliki pilihan :
Menjauhkan air dari masyarakat
Menjauhkan masyarakat dari banjir
Masyarakat harus hidup harmonis dengan air
Dari ketiga pilihan tersebut, alternatif pertama dan kedua membutuhkan biaya sangat tinggi, sementara pilihan ketiga merupakan hal paling masuk akal, yaitu masyarakat harus hidup harmonis dengan air, merupakan konsep kota tepian air yang menghendaki masyarakat membuat rumah panggung dengan kondisi sekelilingnya air yang bersih. Konsep kota tepian air dapat diterapkan untuk daerah yang tingkat penurunan tanahnya tinggi seperti: Tanah Mas, Tawang, Tambak Lorok Menurut Nirwono, 2009 , ada lima kriteria untuk pengelolaan kota tepian air yaitu: kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air,
penataan muka dan badan air secara
berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah lingkungan. Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak minum. Di tempat-tempat publik disediakan keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan rumah harus terus di giatkan. Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk memperbanyak serapan air kedalam tanah dan mengurangi air yang dibuang ke sungai (eko-drainasi). Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan menyiram.
47
Pemda Kota Semarang harus merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman, menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka dan bangunan dan wajah kota. Meskipun memakan waktu dan daya tahan lama, upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong warga untuk berpartisipasi pindah secara suka rela bergeser (bukan tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif. Pemda, pengembang besar, dan perancang kota bersama membangun kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni. Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem mager sari, perpaduan berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah, kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke luar kawasan. Jika tidak, warga yang tergusur akan berpindah menghuni ruang hijau kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang, tepian situ) di lain lokasi. Bantaran sungai, bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, kolong jalan layang dapat dikembangkan sebagai taman penghubung antar-ruang kota (urban park connector). Warga dapat berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat tujuan harian dengan aman, nyaman, dan bebas kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai. Pengoperasian perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway) dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi makro terpadu Kota Semarang. Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai, Pemda harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.
Pemukiman Di Atas Air Menurut Budihardjo (1997), adalah sewajarnya bahwa bangunanbangunan di Indonesia tidak lagi dibangun secara tidur atau tengkurap menutupi
48
bumi, tetapi harus diberdirikan atau dibuat susun keatas agar tersisa ruang terbuka yang cukup lega untuk bernafas, dan tidak memperparah banjir. Berkaitan dengan pemukiman bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, perlu arif dan bijaksana, dimana para penentu kebijakan jangan hanya terpukau oleh aspek reka-yasa daya, tetapi justru wajib lebih menghayati norma, tata-nilai, dan perilaku masyarakat
yang ditargetkan. Kualitas lingkungan
kehidupan yang mampu memberikan wadah dan peluang bagi penghuni guna mengaktualisasikan diri dalam segenap kegiatan sosial-ekonomi-budaya–nya, pantas masuk dalam perhitungan. Kebanyakan penduduk perkampungan menganggap rumah mereka tidak sekedar sebagai tempat hunian semata-mata, melainkan juga sebagai tempat berusaha untuk menambah penghasilan (pola mixed-used) Dengan adanya panduan penataan secara modern (berupa rumah panggung atau rumah susun), maka bisa diperoleh suatu pemukiman yang manusiawi, ramah lingkungan, dan harga yang terjangkau. Sebagai percontohan Pemukiman Atas Air adalah Pemukiman Margasari, Kelurahan Margasari, Kecamatan Balikpapan Barat, Tarakan, Kalimantan Timur. Digunakan konsep modern dimana
Tata-Ruang Pemukiman, Infrastruktur jalan dan bangunan
terbuat dari kayu. Bahan bangunan dari kayu ulin, Sanitasi baik sehingga tidak kotor/kumuh. Akses jalan langsung penetrasi dengan pemukiman. Penyediaan hydrant ditiap simpul pertemuan jalan mempercepat antisipasi terhadap kebakaran. Penataan cantik, bertipe 21 dengan harga ± Rp. 12 Juta dan berbagai alternative lainnya sesuai kebutuhan yang dibayar dengan sistem angsuran atau sewa seumur hidup. Pemukiman dilengkapi dengan fasilitas: masjid, gazebo (tempat pertemuan), Ipal sebagai penyaluran limbah, sampah ditangkap menggunakan jaring dibawah pondasi kayu.
2.7.5. Kota Tepian Air Di Luar Negeri Kota Tepian Air yang dapat dijadikan acuan/studi banding bagi Indonesia adalah :
49
1.
Kota Kuching, di Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Kawasan pusat kota Internasional Kuching dilintasi sungai Serawak, dan
merupakan kota tepian air redevelopment dengan pemanfaatan terpadu. Visi menjadi kota tepian air yang bertaraf internasional dengan misi yang memadukan keseimbangan penataan komersial (perdagangan dan jasa) dengan kawasan permukiman penduduk. Jalur pejalan kaki (pedestrian path) di tata rapi dan asri dengan taman-taman bunga. Disepanjang kawasan terdapat hotel, pertokoan, restoran dan tempat ibadah. Kesan sebagai kota modern bernuansa tradisional tercermin dari pertokoan modern (shopping mall) yang berdampingan dengan pasar tradisional. Meskipun air sungai Serawak tidak terlalu jernih, sungai yang melintasi kawasan bersih dari sampah. Kebaikan atau kesesuaian Kota Kuching tepian air dengan Kota Semarang adalah Iklim, suasana Asia dan kondisi fisiknya mirip dengan kota Semarang sehingga dalam beberapa hal dapat dijadikan sebagai pembanding
2.
Kota San Antonio, Texas, Amerika. Berhasil dikembangkan sebagai Kota Tepian Air modern yang dapat
mempertahankan konservasi bangunan bersejarah (La Villita), dan dapat menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan waterfront city di pusat kota ini terkenal dengan sebutan Riverwalk (Paseo Del Rio) dilengkapi teater alam terbuka di tepi sungai. Penataan kawasan pusat waterfront terbukti menjadi daya tarik utama wisatawan, dengan menikmati 1 jam perjalanan wisata menggunakan perahu (boat cruise) ber tarif terjangkau, dimana sepanjang perjalanan terdapat rumah makan berbagai menu mancanegara, aneka pertunjukan musik.
3.
Amsterdam, Netherlands. Suatu kota tepian pantai redevelopment yang dibangun diatas air yang
dikelilingi oleh suatu dam (Offshore Dam) yang memisahkan Amstel River dari IJ River. Selama lebih dari 50 tahun berhasil mentransformasikan suatu kota yang semula mengutamakan aktivitas ekonomi menjadi kombinasi antara fungsi perdagangan, pelayanan, jasa produksi khusus, dan berhasil
menselaraskan
50
antara keindahan dan kemanusiaan didalam efisiensi/efektif ke ekonomian, secara signifikan berhasil meningkatkan suatu masyarakat sejahtera. Dalam hal ini, konsep tepian air yang merupakan proyek kependudukan yang luas telah berhasil mengembangkan daerah kumuh, seperti pusat-pusat sejarah, zona-zona industri dan militer, tidak tersedianya jaringan kereta api dan bandara udara, dan sistem penanganan perumahan yang buruk, telah di transformasikan menjadi daerah pemukiman yang gemerlap yang berhasil membangkitkan perolehan pajak, memperluas bidang kerja, dan banyak manfaat untuk sosial & masyarakat dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Pengembangan kota tepian air membangkitkan kesempatan yang luar biasa besar untuk menyatukan pusat kota bersejarah dengan jalan/lalu lintas airnya dan berhasil memfasilitasi pergerakan pertumbuhan keluar kota. Negeri
Belanda
(Netherlands)
mempunyai
perencanaan
dan
pengembangan nasional yang kuat. Keterbatasan ruang telah membangkitkan komitmen kebijakan untuk memelihara penghijauan ruang pertanian antar kota, menejemen air dan ruang terbuka pada level lokal dan nasional Amsterdam mempunyai kebijakan pertanahan strategis untuk menunjang redevelopment tepian air. Pada tahun 1896 Kota secara demokratis memutuskan untuk menggunakan sistem sewa tanah untuk penggunaan masa depan dengan bersubsidi, dimana korporasi pertanahan kota menyewakannya ke pengembang swasta untuk perioda 49 atau 99 tahun. Penyewa membayar sewa secara bulanan (dengan penyesuaian) berdasar penggunaan lahan, lokasi, luas pengembangan, tipe penggunaan (perkantoran, retail, ruang terbuka, dsb.). Sistem pengaturan subsidi dan penghapusannya telah berhasil memotivasi swasta untuk berkembang dan berswasembada dalam sistem pendanaan masyarakat sehingga mampu berkembang secara berkelanjutan.
4.
Kota New York, Amerika Kota New York mempunyai tepian air yang paling utama di dunia. Divisi
sumberdaya pantai mempunyai hubungan kerja sama yang panjang dengan Kota, ke lima Biro, dan berbagai organisasi kemasyarakatan, bekerja bersama untuk
51
meningkatkan ases publik ke tepian air, revitalisasi ikatan bertetangga dan peningkatan lingkungan. The Federal Coastal Zone Management (CZM) Act didirikan pada tahun 1972 bertujuan untuk mendukung dan melindungi sifat-sifat khusus tepian air, dan mengeluarkan kebijakan standar dalam mereview proposal projek pengembangan sepanjang garis pantai yang telah di ajukan. Program ini sebagai tanggapan atas keinginan dari: City, state dan federal untuk dapat mengelola daerah garis pantai kota yang dalam keadaan kritis. Pada tahun 1982 New York State mengadopsi Coastal Management Program ini, yang dirancang untuk membuat seimbang kemajuan ekonomi dengan preservasi
di daerah pesisir
dengan cara mendorong revitalisasi tepian air dan pemanfaatan ketergantungan akan air sambil melindungi ikan dan margasatwa, ruang terbuka dan daerah permai, ases publik ke garis pantai dan tanah pertanian, dan meminimalisasi perubahan sistem ekologi yang merugikan seperti erosi dan bahaya banjir. Program ini juga mendorong koordinasi diantara semua tingkat pemerintahan untuk
mempromosikan
gema
perencanaan
tepian
air
dan
dalam
mempertimbangkan keputusan penggunaan lahan pada arahan tujuan program (program’s goal). The New York State Department of State (NYSDOS) menjalankan administrasinya pada tingkatan state, sedangkan The New York City Department of City Planning (DCP) menjalankan administrasinya pada tingkat kota. Disebabkan proyek yang telah diajukan terletak dalam City’s Coastal Zone, maka menjadi wewenang
dari New York City Waterfront
Revitalization Program (WRP). Didalam WRP tercantum kebijakan-kebijakan kota dalam pengembangan dan penggunaan tepian air, dengan suatu kerangka kerja (framework) untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah di ajukan didalam Coastal Zone. Terdapat 10 kebijakan gabungan yang dikeluarkan WRP Kota yang telah dianut oleh dewan kota (Oktober 1999), dimana setiap kebijakan merupakan gabungan dari sub kebijakan-kebijakan (Tabel 2.1).
52
Tabel 2.1. Kebijakan gabungan yang dikeluarkan WRP Kota New York Kebijakan 01
Mendukung dan memfasilitasi pengembangan komersial dan pengembangan hunian di daerah yang sesuai dengan pengembangan tersebut
Kebijakan 02
Mendukung ketergantungan dengan air dan penggunaan air untuk industri di New York City coastal area yang memadai untuk beroperasi secara kontinyu
Kebijakan 03
Mempromosikan penggunan lalu-lintas air untuk komersial, perahu/kapal rekreasi dan pusat transportasi air
Kebijakan 04
Melindungi dan memperbaiki mutu dan fungsi sistem ekologi di dalam area pesisir kota New York.
Kebijakan 05
Melindungi dan meningkatkan mutu air di pesisir New York
Kebijakan 06
Minimalkan hilangnya kehidupan struktur dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh banjir dan erosi
Kebijakan 07
Meminimalkan degradasi lingkungan dari limbah padat dan substansi yang berbahaya. Kebijakan 08 : Menyediakan ases publik ke sepanjang perairan kota New York
Kebijakan 08
Menyediakan ases publik ke sepanjang perairan kota New York
Kebijakan 09
Melindungi sumberdaya yang indah permai yang menyumbang kan kwalitas visual area pantai Kota New York.
Kebijakan 10
Melindungi, menjaga dan mengembangkan sumber sumber signifikan terhadap riwayat, kepurbakalaan, dan harta pusaka kebudayaan daerah pesisir pantai Kota New York
Dari uraian mengenai tipikal kota tepian air di Indonesia dan di luar negeri untuk kemudian diadakan studi banding dengan keadaan kota Semarang tepian air, dengan mengevaluasi visi dan misi Kota Semarang tepian pantai, diperoleh kesimpulan (State of the arts) sebagai berikut: Pengelolaan Kota Semarang tepian pantai :
Aspek sosial dan budaya pada Kota Semarang tepian pantai lebih menonjol dibandingkan dengan pengelolaan kota tepian air di luar negeri yang lebih berorientasi ke-ekonomian dengan kemampuan pendanaan yang besar, dan kultur budaya yang telah siap dan menunjang.
53
Keterbatasan
dana Pemda Kota Semarang.
Belum ada tanda-tanda
pelaku ekonomi, maupun pemerintah untuk mengantisipasi kondisi pengrusakan lingkungan Kota Semarang masa sekarang dan kemudian. Atas hal tersebut, maka dapat di usulkan kebijakan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai adalah sebagai berikut: 1. Visi Kota Semarang tepian pantai lebih mengarah: menjadi Kota Tepian Air yang manusiawi dan meningkatkan kesejahteran masyarakat, dengan misi: - menjaga siklus kehidupan masyarakat dengan tetap menyediakan aksesibilitas publik untuk dapat menikmati keindahan alam pantai Semarang, penyediaan ruang-ruang publik untuk interaksi sosial dan aktifitas para nelayan tradisional, mencegah kerusakan ekosistem perairan dengan pengolahan limbah cair dan kotor yang masuk kelaut. 2. Jenis waterfront: Dengan adanya keterbatasan pendanaan, maka jenis waterfront untuk Kota Semarang dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dengan rencana jangka pendek berupa konservasi (penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat), yang di lanjutkan secara bertahap pada rencana jangka panjang berupa redevelopment (upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada), dan rencana jangka panjang berupa program revitalisasi setelah keadaan memungkinkan. 3. Kota Kuching, Serawak Malaysia mempunyai iklim, kondisi fisik, kultur dan budaya sangat mirip dengan Indonesia sehingga secara parsial konsep tepian air nya bisa dipakai sebagai contoh acuan. Dalam penataan kawasan, Kota San Antonio dapat dipakai sebagai contoh acuan dalam mempertahankan/konservasi bangunan bersejarah, sarana transportasi/wisata air dan dapat menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Berhubung belum adanya kebijakan yang pasti dalam pengelolaan Kota Semarang tepian air dari Pemda Kota Semarang, maka bisa dilakukan
54
adopsi 10 kebijakan gabungan yang dikeluarkan oleh WRP Kota New York dengan penyesuaian sesuai keperluan.
2.8.
Response
yang
diperlukan
terhadap
konsekwensi
kenaikan
permukaan air laut. Berdasar sumber dari The Coastal Zone Management Subgroup yang telah mempelajari baik strategi fisik maupun institusi untuk beradaptasi terhadap konskwensi yang potensial dengan adanya kenaikan permukaan air laut, dimana respons yang dibutuhkan untuk melindungi kehidupan manusia dibagi dalam 3 (tiga) kategori alternative : (1)
Retreat, tanpa usaha melindungi daratan pesisir pantai dan meninggalkan/tidak lagi menggunakan untuk pemukiman.
(2)
Akomodasi/adaptasi: masyarakat pantai seterusnya menggunakan daratan pantai tersebut dengan segala resikonya tanpa adanya usaha pencegahan banjir dengan hidup secara harmonis dengan air. Sebagai contoh: Konsep
Kota Tepian Pantai (Waterfront
City) (3)
Proteksi, dimana melibatkan penggunaan struktur berat dan keras menggunakan bangunan-bangunan (offshore dam, water breaker, groyne dll. ), termasuk juga penyelesaian secara lunak dengan rehabilitasi mangrove.
2.9.
Teknik Dasar Yang Mendukung
2.9.1
Analisis Keberlanjutan Sumberdaya Pesisir Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), Multidimensional Scalling (MDS)
dapat menganalisis secara lengkap tentang gambaran keadaan sumberdaya pesisir dan laut. Metode ini pada dasarnya adalah metode multivariate yang dapat menangani data non-metric dan juga dikenal sebagai salah satu ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space).Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa ”plotting” titik objek (posisi) disepanjang sumbu-sumbu disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship). Kelebihan lainnya dalam metode ini dapat dirangkum data yang multidisipliner
55
yang didapat di lapangan sehingga menghasilkan banyak informasi secara kuantitatif. Dengan menggunakan Multidimensional Scaling (MDS) dalam menganalisis sumberdaya pesisir dan laut, setiap atribut dilakukan skoring. Atribut-atribut yang berkaitan pada aspek sumberdaya wilayah pesisir antara lain: ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan hukum. Atribut-atribut tersebut dinilai yaitu ”baik” dan ”buruk”. Kedua penilaian tersebut terdapat perbedaan jumlah peringkat yang tergantung pada landasan teori yang dapat digunakan terhadap jumlah peringkat. Contohnya dalam menentukan tingkat pemanfaatan lahan pesisir dengan 3 peringkat yaitu kecil, besar, sangat besar. Jika didalam menilai suatu atribut peringkatnya belum jelas maka ditentukan dengan melakukan ”scientific judgement” dengan membuat skor: rendah, sedang, tinggi, selebihnya penilaian mengacu pada ketentuan yang baku baik itu dari RAPFISH yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan dan ketentuan dari FAO. Kavanagh (2001) menyatakan penggunaan proses MDS menggunakan perangkat lunak RAPFISH. Kajian analisis tingkat keberlanjutan adalah bertujuan untuk menjamin bahwa pengelolaan Semarang”water front city” akan terkelola secara berkelanjutan. Ada beberapa metode analisis keberlanjutan “water front city” dari disiplin ke ilmuan Arsitektur dan Civil Engineering yang menggunakan pendekatan infra struktur dan urban/hunian (Gilmour et al. 2007). Berdasar latar belakang penulis di bidang Program Studi Lingkungan (PSL), pendekatan yang digunakan dalam disertasi ini adalah pengelolaan pesisir secara berkelanjutan dengan mengadopsi soft-ware Rap-Fish yang dimodifikasi menjadi Rap-WITEPA. Kedua metoda tersebut meskipun menggunakan dimensi yang hampir serupa, tetapi atribut yang digunakan akan banyak berbeda.
2.9.2
Benefit Cost Ratio Analysis Didalam kajian ini, Benefit cost ratio analysis digunakan untuk mengkaji
konservasi habitat (habitat conservation), menentukan pengelolaan sumberdaya tiga habitat penting: mangrove, coral reef dan beach yang dimiliki di wilayah pesisir laut secara lebih efisien, terutama digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan pesisir di kawasan pesisir Kota Semarang. Dengan
56
menggunakan pendekatan benefit cost ratio analysis (BCR) ini, maka sebuah proyek atau program dengan net present value (NPV) positif dapat direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek tersebut akan menghasilkan pengembalian yang lebih besar dan merupakan hasil pengelolaan sumberdaya yang baik di masa mendatang. Dalam skenario menejemen, opsi/pemilihan habitat mangrove akan dievaluasi keberlanjutannya dalam produktifitas pemanenan produk hutan mangrove dan produk budidayanya, dipilih beberapa opsi/pilihan yaitu:
Sustainable Mangrove Forest Management. Menurut Sumardjani (1993), manfaat/benefit dari opsi ini adalah: standing stock forest, fisheries, wildlife, option value, physic dan existence value. Adapun pembiayaan/cost meliputi: investment, standing stock forest, fisheries, wildlife.
Sylvofisheries Management, Dilakukan asumsi bahwa 20% sumberdaya hutan mangrove dikonversikan kedalam usaha budidaya perikanan (milkfish, campuran milkfish dan udang, dan udang). Manfaat/benefit dari opsi ini adalah: sylvofishery, standing stock forest, fisheries, wildlife, biodiversity, physic, existention. Adapun pembiayaan/cost meliputi: investment, sylvofishery, standing stock forest, fisheries, wildlife dan externality. Dalam skenario menejemen sumberdaya pantai (beach resources), habitat
pantai yang dipilih untuk pelestarian adalah :
Set Back Zone, dimana manfaat (benefits) yang diperoleh adalah meliputi hal-hal
yang
menyangkut
turisme,
hotel,
souvenir,
persewaan
kapal/perahu, konsultasi dan transportasi, shoreline protection. Adapun pembiayaan/cost
meliputi:
investment
(bungalows,
restaurant),
maintenance (bungalow, restaurant).
Beach Protected Area, dimana manfaat (benefit) meliputi: turisme, pemanenan telur penyu, bungalow, restaurant dan pencegahan abrasi. Biaya/cost meliputi: investment, maintenance.
57
2.9.3.
Sistem Dinamis Menurut Hartrisari (2007), sistem adalah gugus atau kumpulan dari
komponen-komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek fisik yang dapat disentuh (tangible) dengan indera (spare parts yang menyusun sebuah mobil) dan dapat juga bersifat(intangible) yang tidak dapat disentuh dengan indera (aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi personal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang (feeling, values dan beliefs). Sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism) Sistem dinamik memiliki mekanisme internal untuk selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Sistem dinamik digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan untuk memahami struktur siatem. Model-model sistem dinamik dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagram) yang saling berhubungan satu sama lain. Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafis dari pemahaman tentang struktur yang sistemik. Diagram ini pada dasarnya menggambarkan sistem tertutup dan sangat penting karena memberi panduan tentang bagaimana sistem ini dibangun dan bagaimana sistem ini berberperilaku. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik dan berupa variabel endogeneous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut dipertimbangkan sebagai variabel eksogeneous didalam model. Selama pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu, diagram simpal kausal juga dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980). Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram; stock and flow diagram) sangat penting untuk memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem. Diagram alir
58
tersusun dari elemen rate,
level dan auxiliary (Kirkwood, 1998) yang
diorganisasikan dalam sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stock) material atau informasi. Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan atau perubahan di dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari level. Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing feedback loop)dan simpal negatif (Bellinger, 2004). Simpal positif cenderung untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna sistem dinamis untuk merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.
2.9.4. Pemodelan Spasial Dinamik Pemodelan spasial dinamik untuk perencanaan di wilayah pesisir menggunakan jasa aplikasi Sistem Informasi Geografik (SIG), dengan pengertian yang berorientasi teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai prosedur yang dipakai untuk menyimpan dan memanipulasi data yang berreferensi geografis secara manual. Borrough (1989) mendefinisikan SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial (keruangan) dari aspek-aspek permukaan bumi. Pada prinsipnya, untuk menghasilkan suatu SIG (Sistem Informasi Geografik) diperlukan beberapa tahapan proses yaitu: (1) inventarisasi kawasan pesisir, (2) penyusunan basis data dan (3) penyusunan basis model. Dalam inventarisasi kawasan pesisir digunakan berbagai sumber data, antara lain: data citra, data potensi dan permasalahan maupun data landasan hukum dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan data primer maupun data sekunder tersebut disusun basis data, yang selanjutnya data tersebut dipakai untuk analisis-analisis SIG yang didalamnya termasuk pemodelan. Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada, yaitu model ekonomi, model
59
ekologi, dan model sosial berdasarkan pembangunan berkelanjutan. Dimensi ekonomi berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan mengubah pola produksi dan konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial berkaitan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan,
perbaikan
kesejahteraan
(pelayanan,
kesehatan,
dsb.),
pendidikan, dan lain-lain. Dimensi lingkungan berkaitan dengan upaya pengurangan dan pencegahan polusi, pengelolaan limbah, usaha mengurangi degradasi lahan (erosi, abrasi, intrusi), serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan disajikan pada Gambar 2.3.
Ekonomi Pertumbuhan Efisiensi Stabilitas
Penurunan Kemiskinan Keberlanjutan Keadilan Co-evolusi
Sosial Pemberdayaan Inklusi Konsultasi
Lingkungan Keliatan/keanekaragaman Sumber daya alam Polusi
Gambar 2.3. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan
Pemodelan yang akan dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas dalam satu kesatuan, sehingga akan ada suatu trade-off antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Pemodelan ini nantinya dapat digunakan untuk menyusun
alternatif-alternatif
skenario
pembangunan
yang
mendukung
terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan
60
ketiga dimensi tersebut dalam menyusun model juga di kaitkan dengan peubahan-peubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya pembangunan tersebut., sehingga model yang digunakan bukan model statistik tetapi merupakan model sistem dinamik yang akan digabungkan dengan model dinamis spasial. Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap perubahan lahan secara spasial. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan.
Model Spasial Dinamik Dalam Model Spasial Dinamik, hasil analisis sistem dinamik yang berupa data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spasial dinamik. Hasil analisis spasial dinamik adalah peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa tahun yang akan datang. Pada kajian analisis system spatial dynamics, diperlukan dukungan: keilmuan Landscape Ecology untuk meningkatkan hubungan pola spasial pembangunan perkotaan dengan proses ekologis dengan pendekatan secara analitis dan mengintegrasikannya secara holistis ilmu alam dan sosial (Turner, 2005; Eisner dan Gallion, 1993); pendekatan ekologis terhadap bentang alam (landscape) menggunakan sistem informasi geografis (Hendrix, 1988).
2.10
Analisis Kebijakan Quandun yang diacu dalam Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis
kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen - komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk
61
memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai. Ada 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris; (2) pendekatan evaluatif; dan (3) pendekatan normatif. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu. Pendekatan evaluatif, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan. Beberapa teknik analisis yang sering dipakai dalam kebijakan publik dan kebijakan lingkungan yang pada akhirnya menyediakan rekomendasi kebijakan yaitu analisis AHP, CBA(Cost Benefit Analysis) dan variasi dari pendekatan CBA yaitu CEA (Cost Effective Analysis), OCA (Opportunity Cost Analysis), MDS
(Multidemensional
Scalling),
Balanced
Scorecard
Analysis.
62
III. 3.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah
pada bulan Maret 2009 sampai dengan Maret 2010 dan dilanjutkan sampai tahun 2011 untuk pelengkapan data yang mendukung.
Secara geografis Kota
Semarang terletak pada 6o50’- 7o10’ LS dan 109 o35’-110o50’ BT. Adapun fokus penelitian adalah kawasan pesisir Kota Semarang dengan garis pantai sepanjang ± 13.6 km dan lebar 4 mil laut, yang mempunyai luas kurang lebih 223 Km2 meliputi 4 kecamatan, yakni: Genuk, Semarang Utara, Semarang Barat dan Tugu (Gambar 3.1). Adapun untuk pengamatan dampak pengelolaan waterfront di pesisir Semarang, cakupan penelitian diperluas ke wilayah Kecamatan sekitarnya yang masuk dalam wilayah Kota Semarang yaitu: Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Gayamsari, Pedurungan, dan selanjutnya jika diperlukan dapat diperluas ke Kecamatan sekitar yang lainnya (Gambar 3.2).
3.2
Rancangan Penelitian
3.2.1
Tahapan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan dan strategi
pengelolaan wilayah tepian air Kota Semarang yang berkelanjutan. Kebijakan dan
strategi
pengelolaan
wilayah
didasarkan
pada
kondisi
sekarang,
kecenderungan perkembangan wilayah, dan preferensi semua stakeholder. Dalam
merumuskan kebijakan dan skenario
membangun model kebijakan pengelolaan
pengelolaan untuk
Semarang “water front city”,
dilakukan langkah seperti Gambar 3.3 dibawah ini, di mana data yang diperoleh di kelompokkan dalam 4 kelompok secara paralel dilakukan analisa terhadap: (a) Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Alam, (b) Keterpaduan/Keberlanjutan, (c) Sistem Dinamik dan (d) Sistem Dinamik Spasial.
63
Gambar 3.1 Peta Area Penelitian di Semarang Tepian Pantai 63
64
Gambar 3.2. Peta Area Penelitian di Kota Semarang
64
65
Gambar 3.3. Tahapan Penelitian
65
66
Dengan menggunakan Analyitical Hierarchy Process (AHP) diperoleh Alternatif Kebijakan Pengelolaan Semarang “water front city”, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Semarang ”water front city”. Pada kelompok a, data diperoleh dari kajian pustaka, dilakukan analisis kelayakan pengelolaan SDA (mangrove, beach) dengan pendekatan Extended Cost Benefit Analysis (ECBA), Benefit Cost Ratio (BCR) untuk menghitung Net Present Value (NPV) dalam jangka proyek 20 tahun. Untuk opsi manejemen digunakan Comparative Performance Index (CPI). Output yang diperoleh berupa kelayaan pengelolaan SDA yang akan menjadi inputan bagi perumusan strategi kebijakan. Kelompok b, data berupa 92 atribut dari 5 dimensi (biofisik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum & kelembagaan) yang diperoleh dengan cara wawancara, pengisian kuesioner. Dilakukan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) untuk mengetahui tingkat keberlanjutan, faktor-faktor/faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan “water front city”, menggunakan perangkat lunak (software) Rap-WITEPA. Output berupa indeks keberlanjutan dan faktor pengungkit yang diperoleh menjadi inputan bagi penyusunan diagram hirarki AHP untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan. Kelompok c, data berupa data-data biofisik, ekonomi dan sosial yang bersifat time series. Dilakukan analisis dinamik dengan pendekatan sistem, menggunakan Powersim Studio 2005. Output yang dihasilkan berupa model sistem dinamis, suatu model abstrak dalam bentuk diagram alir dan persamaan komputer.
3.2.2
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitia ini terdiri dari dua jenis data,
pertama-tama adalah data yang diperoleh dengan cara observasi langsung di lapangan/lokasi penelitian, diskusi, wawancara langsung dengan pakar, pengisian kuisioner oleh stake holder di lokasi penelitian dan kedua adalah jenis data yang diperoleh bersumber dari penelusuran dokumen. Jenis data yang akan di kumpulkan dalam penelitian ini antara lain:
67
Tabel 3.1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No
Jenis Data
1
Faktor (MDS) Prioritas (AHP)
2
Satuan
Sumber Data
Kegunaan
Teknik Pengumpulan
Pengungkit
%
Stakeholder
Wawancara
Kebijakan
%
Stakeholder
Analisa Keberlanjutan Analisa Strategi Kebijakan
Ha
BPS /RTRW
Ha
BPS/RTRW
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa spasial dinamik
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran sumber Penelusuran sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cenderung Analisa Cendeung Analisa Cenderung Analisa Cenderung
Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber Penelusuran Sumber
Data Biofisik 3 Lahan Permukiman dan Bangunan 4 Lahan Sawah 5
Lahan Hutan
Ha
BPS/RTRW
6
Ha
BPS/RTRW
Ha
BPS/RTRW
8
Lahan Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya Lahan Tambak, Rawa dan Kolam Jumlah Sampah
Kg
SLHD
9
Jumlah Limbah
Kg
SLHD
10
Penggunaan Lahan
Ha
BPS
11
Reklamasi
Ha
RTRW
Peta tutupan lahan Photo udara (citra landsat) Data Ekonomi 13 Pendapatan sektoral
Lembar
Biotrop
Rp
BPS
14
Jumlah industri
Unit
BPS
15
Investasi
USD
BPS
Data Sosial 16 Jumlah Penduduk
Jiwa
BPS
17
Jiwa/km
BPS
7
12
Kepadatan Penduduk
2
18 19 20 21
Lapangan Kerja/Angkatan Kerja Angka Pengangguran Pertumbuhan Penduduk Jumlah Penduduk, Petani Nelayan
Jiwa
BPS
Jiwa
BPS
%
BPS
Jiwa
BPS
Wawancara
68
3.2.3
Teknik Pengambilan Contoh Teknik pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Pada teknik ini, contoh diambil berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang di dasarkan pada kebutuhan penelitian. Sebanyak 25 orang pakar berasal dari kalangan akademisi 6 (enam) orang, birokrasi 4 (empat) orang dan lembaga swadaya masyarakat 2 (dua) orang, pelaku usaha 4 (empat) orang, dan masyarakat (nelayan, pedagang ikan, perbankan) 9 (sembilan) orang, merupakan nara sumber yang memberikan pandangan dan wawasan bagi pengelolaan lingkungan wilayah pesisir Semarang.
3.3.
Teknik Analisis Data Pengelolaan wilayah tepian air Kota Semarang dirancang menggunakan
berbagai analisis seperti kinerja pengelolaan SDA, analisis keberlanjutan, pendekatan sistem, analisis spatial dinamik dan analisis hirarki proses. 3.3.1
Menentukan Kelayakan Sumberdaya Alam Sumberdaya alam tepian pantai Kota Semarang
berupa mangrove,
sumberdaya pantai (beach resourses), terumbu karang (diabaikan karena telah punah), rumput laut (diabaikan karena susah tumbuh di pesisir Semarang). Produk dari hasil kelayakan sumberdaya alam ini berupa kelayakan sumberdaya ini untuk dapat direkomendasikan sebagai investasi yang baik, opsi dan ranking pemilihan. (a) Dilakukan dengan analisis penilaian kelayakan pengelolaan sumberdaya melalui extended cost-benefit analysis (ECBA), yang digunakan untuk menentukan opsi pengelolaan sumberdaya wilayah tepian air secara lebih efisien. Extened cost-benefit analysis yang digunakan meliputi penaksiran net present value (NPV) terhadap eksternalitas dan/atau manfaat peningkatan kondisi lingkungan (environmental improvement benefits), biaya kerusakan (damage cost)dan biaya masyarakat atas langkah perlindungan lingkungan (cost of society of environmental protection measures). Persamaan yang digunakan dalam Extended cost-benefit analysis sebagai berikut: NPV =
(Bd-Cd)+(Be-Ce)-Cp
69
Dimana :
NPV
=
Net Present Value
Bd
=
manfaat langsung proyek (direct project benefits)
Cd
=
biaya langsung proyek ( direct project cost)
Be
=
eksternalitas dan/atau manfaat lingkungan (external and/or environmental benefits).
Ce
=
eksternalitas dan/atau biaya lingkungan (external and/orenvironmental cost), dan
Cp
=
biaya perlindungan/mitigasi lingkungan (environmental protection cost / mitigation cost).
Dengan menggunakan pendekatan cost-benefit analysis, sebuah proyek atau program dengan NPV positif direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek tersebut akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dan merupakan opsi pengelolaan sumberdaya terbaik di masa yang akan datang. Hal ini juga berlaku untuk BCR yang tinggi. Benefit dan cost dari opsi pengelolaan sumberdaya kota tepian air yang diusulkan dihitung sebagai berikut : T
Bi = ∑ t=0
T
Ci = ∑ t=0
Bit (1 + r )t Cit t
(1 + r )
Prosedur untuk mengevaluasi opsi pengelolaan sumberdaya wilayah tepian air di dasarkan pada nilai NPV dan BCR tertinggi, ditunjukkan oleh : NPVi = Bi - Ci Bi BCRi = Ci
Keterangan
:
Bi
=
present value dari total benefit pada alternatif i
Bit
=
total benefit pada alternatif i pada tahun t = 0, 1, 2,......., r
70
Ci
=
present value dari total cost pada alternatif i
Cit
=
total cost pada alternatif i pada tahun t = 0, 1, 2,....r
NPVi =
net present value pada alternatif i
BCRi =
benefit-cost ratio pada alternatif i
i
=
1 untuk alternatif pertama dan 2 untuk alternatif kedua
r
=
discount rate
Dari evaluasi diatas tersebut, diperoleh beberapa opsi/pilihan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dilaksanakan di wilayah Kota Semarang tepian pantai disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Pilihan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kota Semarang tepian pantai. No.
Sumberdaya/habitat
1.
Mangrove
2.
Pilihan pengelolaan * * * *
Beach
Sustainable management sylvofisheries Beach protected areas Set-back zone
(b) Teknik Perbandingan Indeks Kinerja Untuk menentukan peringkat dari beberapa opsi/pilihan pengelolaan sumberdaya wilayah Kota Semarang tepian pantai pada Tabel 3.2, digunakan teknik perbandingan indeks kinerja (comparative performance indeks, CPI). Menurut Marimin (2005) indeks gabungan kriteria dari setiap opsi dirumuskan sebagai berikut: xij Aij =
______
x 100 ; i = 1, 2, ......, n dan j = 1, 2, .... , m
x ij(min) m
Ii
= ∑ Aij Bj ;
i = 1, 2, .... , n dan j = 1, 2, ... , m
j=1
Keterangan:
Aij
=
nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
xij
=
nilai awal alternatif ke-i pada kriteria ke-j
xij(min) =
nilai awal alternatif ke-i pada kriteria minimum ke-j
71
Bj
= bobot kepentingan kriteria ke -j
Ii
=
indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i
3.3.2 Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Produk berupa tingkat keberlanjutan, indikator-indikator keberlanjutan dan faktor pengungkit atau atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Keberlanjutan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air di Kota Semarang dianalisis dengan menggunakan Metode Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-WITEPA (Rapid Appraisal Wilayah Tepian Air), yang merupakan pendekatan yang dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Techchniques for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Fauzia dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi
terhadap
setiap
dimensi
dan
multidimensi
keberlanjutan
pengembangan wilayah tepian air Kota Semarang. Adapun urutan metodologi dengan MDS ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.4. Analisis ini dilakukan secara bertahap dengan memasukkan atribut (dimensi) yang berpengaruh pada kelanjutan kegiatan.
Dengan metode MDS status
keberlanjutan kegiatan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air di Kota Semarang disusun berdasarkan indeks pada setiap dimensi secara gabungan maupun secara parsial. Dimensi yang merupakan faktor penentu disesuaikan dengan kondisi di Kota Semarang antara lain adalah: dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Nilai Rap-WITEPA
ini kemudian divisualisasikan dengan diagram
layang (kite diagram). Analisis keberlanjutan dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu
tahapan penentuan atribut fungsi-fungsi kota wilayah tepian air yang mencakup lima dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan), tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis metode
72
“multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi. Selanjutnya dilakukan pula analisis multidimensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan diatas. Analisis data dengan MDS dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, me-review atribut-atribut pada setiap dimensi keberlanjutan dan mendefinisikan atribut tersebut melalui pengamatan lapangan, serta kajian pustaka. Keseluruhan, terdapat 97 (sembilan puluh tujuh) atribut yang dianalisis, masing masing: 25 atribut dimensi ekologi, 18 atribut dimensi sosial dan budaya, 20 atribut dimensi ekonomi, 18 atribut dimensi infrastruktur dan teknologi dan 13 atribut dimensi hukum dan kelembagaan (Lampiran 3 halaman 261). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan/analisis ataupun data sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini menunjukkan nilai yang “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain. Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi keberlanjutan fungsi-fungsi kota tepian air. Sebaliknya nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan ditentukan oleh tersedia atau tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat. Sebagai contoh untuk menentukan tingkat pemanfataan limbah kota masih belum jelas kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan, oleh karena itu akan ditentukan berdasarkan ‘scientific judgement” dari pembuat skor. Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Sebagai contoh pada atribut sosialisasi pekerjaan, maka skor disusun dari yang terkecil,
yaitu dilakukan
secara individu (0) hingga yang dilakukan secara kelompok (2). Pada susunan yang demikian maka yang paling baik bernilai 2 dan yang paling buruk bernilai 0. Pada atribut yang lain misalnya frekuensi konflik antara masyarakat lokal
73
dengan masyarakat pendatang, nilai skor disusun secara sama dari nilai 0 = (frekuensi konflik tinggi), ke nilai 2 = (frekuensi konflik rendah). Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat berdasarkan persepsi responden yang disesuaikan dengan data yang ada. Untuk selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu
atau
beberapa titik
yang
mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kota wilayah tepian air yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (“good”) dan titik “buruk” (“bad”). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Tahap proses Rapfish
(Kavanagh,
ordinasi menggunakan perangkat lunak modifikasi 2001).
Perangkat
lunak
Rapfish
ini
merupakan
pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem “baik” diberi skor nilai 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan fungsi-fungsi pengembangan kota wilayah tepian air yang dilakukan pada saat ini. Teknik ordinasi (penentuanjarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dengan persamaan
________________________________________
d = √ ﴾ | x1 - x2 |2 + | y 1 - y 2 |2 + |z 1 - z 2 | 2+ ........... ) Titik tersebut kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (dij) dengan persamaan: dij =
a + bdij + e
Dalam meregresikan persamaan diatas digunakan teknik least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian Distance (Squared distance) atau disebut metodealgoritma ASCAL. Metode ini mengoptimalisasi
74
jarak kuadrat (squared distance = o ijk) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk) yang dalam tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-stress dengan persamaan:
Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), nilai stress yang diperbolehkan adalah apabila berada dibawah nilai 0,25 (menunjukkan hasil analisis yang cukup baik). Sedangkan nilai R2 diharapkan mendekati nilai1 (100%) yang berarti bahwa atribut-atribut yang terpilih saat ini dapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada. Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) (Fauzi dan Anna, 2002). Skala indeks keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air mempunyai selang 0% - 100%. Jika
sistem yang dikaji mempunyai nilai
indeks lebih dari 50% (>50%) maka fungsi-fungsi tersebut berkelanjutan (sustainable), dan sebaliknya jika kurang dari 50% (<50%) maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable).
Tabel 3.3. Kategori status keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air berdasarkan nilai indeks Nilai Indeks 0 – 25 >25 – 50 >50 – 75 >75 – 100
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi fungsi-fungsi kota wilayah tepian air, digunakan analisis “Monte
75
Carlo”. Menurut Kanvanagh (2001), Fauzi dan Anna (2002) analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini : 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis keberlanjutan, (nilai “stress”dapat diterima jika < 25%). Tahapan analisis keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air menggunakan metode MDS dengan aplikasi RAP-WITEPA.
Gambar 3.4. Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS
Komponen MDS salah satunya adalah leverage analysis, yang menggambarkan sensitivitas/kepekaan setiap atribut terhadap nilai keberlanjutan. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap RAP-WITEPA di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu–x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai pada skala sustainabilitas,
76
atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan fungsi-fungsi kota wilayah tepian air di lokasi studi.
3.3.3
Membangun Model Pengelolaan Produk berupa Model Kebijakan Sistem Dinamis dan Dinamis Spasial
berikut simulasinya, yang dibangun menggunakan analisis dinamik dengan pendekatan sistem yang kemudian digabungkan dengan analisis dinamis spasial. Pendekatan sistem merupakan pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Karena itu, didalam manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem (Marimin, 2004). Dengan demikian, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eryatno (1998), karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan (integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Penggunan pendekatan sistem (system approach), secara diagramatis disajikan pada Gambar 3.5.
Analisis Kebutuhan Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, meliputi
stakeholders yang terdiri dari pemerintah, perusahaan dan pengusaha, masyarakat, LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan perguruan tinggi. Kemudian dideskripsikan daftar kebutuhannya. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut.
Formulasi Masalah Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan
masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan dengan mengetahui permasalahan-permasalahan
77
yang ada dari masing-masing stakeholder dengan adanya pengaruh dari stakeholder yang lain.
Identifikasi Sistem Identifikasi permasalahan yang ada merupakan tahapan awal dalam
melakukan pendekatan sistem sehingga dengan mengidentifikasi masalahmasalah awal dan mendasar maka diharapkan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat. Merupakan gambaran
suatu
hubungan
antara
kebutuhan
yang
ditetapkan dengan
permasalahan yang harus dipecahkan. Identifikasi sistem digambarkan dalam bentuk diagram simpal kausal dan dilanjutkan dengan interpretasi ke dalam diagram input-output.
Gambar 3.5 Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem
78
Aplikasi Komputer. Merupakan tahap pewujudan model abstrak dalam bentuk diagram alir
dan persamaan komputer.
Pengembangan struktur dalam model dilakukan
dengan menggunakan software komputer Powersim Studio 2005.
Simulasi Model Model pengembangan kawasan kota wilayah tepian air dibangun
berdasarkan struktur model sebagaimana hubungan antar varaibel yang disajikan dalam bentuk hubungan sebab-akibat. dirumuskan
dalam
Hubungan antar variabel tersebut
bentuk persamaan matematis sesuai dengan hubungan
masing-masing variabel dan jumlah variabel yang menyusun suatu fungsi tertentu. Selanjutnya model yang dihasilkan tersebut dianalisis mengunakan sistem dinamis. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem.
Validasi dan Verifikasi Model Suatu
Validasi Model model
dikatakan
valid
jika
struktur
dasarnya
dapat
menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem nyata bekerja. Membuktikan validasi sebenarnya suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Dalam pengujian validasi suatu model, saat ini terdapat beberapa teknik. Pertama adalah teknik validasi yang mengacu pada ‘anjuran’ (Muhammadi, et. al., 2001). Uji validasi sederhana dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
79
Causal loop (influence) diagram harus berhubungan dengan permasalahan.
Persamaan harus disesuaikan dengan Causal loop (influence) diagram khususnya tanda + atau – harus konsisten diantara persamaan dengan causal loop.
Dimensi dalam model harus valid.
Model tidak menghasilkan nilai yang tidak masuk akal, seperti stok negatif.
Perilaku model harus masuk akal, artinya apabila ada sesuatu yang seharusnya terjadi, maka harus sesuai dengan apa yang diharapkan dari model tersebut.
Massa model harus balance, artinya total kuantitas yang telah masuk dan keluar dari proses sistem tetap dapat dijelaskan.
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1-10%. AME= [(Si – Ai)/Ai]...............................................................................(1) Si = Si N, dimana S = nilai simulasi Ai = Ai N, dimana A = nilai aktual dan N = interval waktu pengamatan AVE= [(Ss – Sa)/Sa]................................................................................(2) Ss = ((Si – Si)2 N), dimana Ss = deviasi nilai simulasi Sa = ((Ai – Ai) 2 N), dimana Sa = deviasi nilai aktual
Verifikasi Model Bila dari hasil validasi struktur maupun kinerja model ada yang belum
terpenuhi, maka model harus diverifikasi, sehingga semua yang dipersyaratkan terpenuhi. Selanjutnya model digunakan untuk menduga perilaku pengembangan kawasan tepian air (Water Front ) kota Semarang selama 20 tahun kedepan.
80
3.3.4
Analisis Spatial Dinamik menggunakan Sistem Informasi Geografi Analisis Spatial (Keruangan) Untuk mengetahui kondisi eksisting pemanfaatan ruang pada berbagai
jenis peruntukkan, digunakan Sistim Informasi Geografi (SIG) yang merupakan analisis spasial dengan teknik tumpang tindih (overlay). Sistim Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah sistim informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan. a.
Model Spasial Dinamik Dalam Model Spasial Dinamik, hasil analisis sistem dinamik yang berupa
data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spasial dinamik. Hasil analisis spasial dinamik adalah peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa tahun yang akan datang. Gabungan sistem dinamik dan spasial dinamik disajikan pada Gambar 3.6
Sistem Dinamik/Analisis Non Spasial
Perubahan Sosial – Ekonomi - Lingkungan
Perubahan Penggunaan Lahan
Spasial Dinamik/Analisis Spasial
Faktor Pendorong Perubahan Lokasi
Alokasi Penggunaan Lahan
Gambar 3.6. Gabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik
81
b.
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam pemodelan spasial adalah citra satelit landsat
Enhanced Thematic Mapper+7 untuk wilayah tepian air Kota Semarang. Adapun data sosial ekonomi dan geofisik wilayah diperoleh dari berbagai sumber.
c.
Analisis Kesesuaian Lahan Dalam dimensi ekologis, penempatan satu kegiatan pembangunan dengan
yang lainnya haruslah sesuai dengan ciri biologi, fisik, kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung. Analisis kesesuaian lahan yang akan dilakukan di wilayah tepian air Kota Semarang meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, hutan, budidaya dan pariwisata pantai. d.
Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan
tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta wilayah tepian air Kota Semarang dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistim Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip wilayah sehingga informasi spasialnya dapat diketahui: e.
Analisis Tataguna lahan dan Penyusunan Matriks Kesesuaian Kesesuaian lahan wilayah tepian air untuk berbagai pemanfaatan seperti
kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, hutan, budidaya dan pariwisata pantai didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Analisis didasarkan atas faktor pembatas untuk masing-masing peruntukan ditinjau dari aspek biofisik Matriks ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter data dan cara analisisnya sampai dengan hasil akhir.
82
Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi dalam 4 kelas yaitu:
Kelas S1 : Sangat sesuai (Higly Suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari pengusahaan lahan tersebut.
Kelas S2 : Sesuai (Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk pengusahaan lahan tersebut.
Kelas S3 : Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih mungkin diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan mejadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan introduksi teknologi yang tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya yang rasional.
Kelas N : Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.
Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya, atau yang paling mudah adalah menggu nakan jasa analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian lahan untuk masing-masing peruntukan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Permukiman Parameter yang digunakan meliputi 6 parameter yaitu: (i) kemi ringan lahan (ii) ketersediaan air tawar (iii) jarak dari pantai, (iv) jarak dari sarana jalan, (v) land use (vi) drainase. Berdasar hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 4 kecamatan yang mempunyai akses langsung dengan wilayah pesisir Semarang, diperoleh Peta kesesuaian lahan untuk pemukiman di lokasi penelitian, Tabel Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan dengan kategori luasan : sangat sesuai,
83
sesuai, dan tidak sesuai. Untuk kemudian dapat dilakukan analisis dan kesimpulannya (untuk selanjutnya di aplikasikan pada kesesuaian lahan yang lain). 2.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Besar Parameter yang digunakan meliputi 5 parameter yaitu: (i) kemiringan lahan (ii) jarak dari jalan (iii) ketersediaan air tanah (iv) drainase dan (v) land use.
3.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak Parameter yang digunakan meliputi 7 parameter yaitu: (i) salini- tas perairan) (ii) jenis tanah (iii) jarak dari sungai (iv) jarak dari jalan (v) jarak dari pantai (vi) land use, dan (vii) kemiringan lahan
4.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Karamba Jaring Apung. Parameter yang digunakan meliputi 9 parameter yaitu: (i) kedalaman air dari dasar jaring (ii) temperatur perairan (iii) salinitas (iv) kecepatan arus (iv) tinggi pasang surut (v) Ph perairan (vi) oksigen terlarut (vii) nitrat dan (ix) posfat.
5.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum Parameter yang digunakan meliputi 6 parameter, antara lain 5 parameter untuk wilayah perairan yaitu (i) kedalaman perairan (ii) material dasar perairan
(iii)
tinggi
gelombang
(iv)
kecepatan
arus
dan
(v)
keterlindungan, serta 1 parameter untuk wilayah daratan yaitu kemiringan lahan. 6.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai Parameter yang digunakan meliputi 5 parameter, yaitu: (i) kedalaman perairan (ii) material dasar perairan (iii) kecepatan arus (iv) jarak dari pantai (v) penutupan lahan.
7.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pengolahan Ikan.
8.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi mangrove Parameter yang digunakan meliputi 8 parameter, yaitu: (i) kemiringan lahan (ii) jarak dari pantai (iii) vegetasi pantai (iv) vegetasi laut (v) temperatur perairan (vi) salinitas (vii) tekanan penduduk (viii) aspirasi masyarakat.
84
Tahapan pembuatan model spasial dinamik adalah sebagai berikut : 1.
Peta tutupan lahan dari Citra Landsat TM 7 seamless dari tahun 2005 2009 (eksisting) dikonversi ke dalam bentuk raster,
2.
Setiap jenis penggunaan lahan dibuat peta binarinya. Artinya setiap peta hanya mengandung satu jenis penggunaan lahan, wilayah dengan nilai 0 berarti pada wilayah itu tidak ada jenis penggunaan lahan tersebut. Pada wilayah dengan nilai 1 berarti terdapat jenis penggunaan lahan tersebut.
3.
Setiap peta tersebut dikonversi ke bentuk teks dengan cara diekspor dari program ArcView lalu diberi nama dengan cov1_0.0 sampai dengan cov1_6.0. Data setiap jenis penggunaan lahan ini menjadi variabel terikat atau dependen.
4.
Peta penggunaan lahan disajikan dalam bentuk raster dengan ukuran sel grid 250 meter. Sehingga 1 sel grid mempunyai luas 250 meter kali 250 meter sama dengan 6250 meter persegi atau 6.25 hektar. Peta penggunaan lahan dalam bentuk teks yang merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) dipadankan dengan variabel bebas atau independent variable yang merupakan driving factors. Kemudian dianalisis secara statistik dengan program SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan regresi logistik. Hasil regresi logistik ini dijadikan input data ke dalam program dari software spasial dinamik.
5.
Input data selanjutnya adalah matrik konversi setiap penggunaan lahan. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah ketidakmungkinan terjadinya konversi. Pada baris pertama adalah matriks untuk Air, tampak bawah Air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis gunaan lain tidak mungkin (0).
6.
Input selanjutnya adalah nilai stabilitas yang berkisar antara 0 sampai 1. Semakin stabil, atau tidak mudah untuk terkonversi semakin mendekati nilai 1. Penetapan stabilitas untuk pemodelan adalah sebagai berikut. Air, Kawasan Terbangun dan Sawah diberi nilai 1 dengan asumsi bahwa ke tiga jenis penggunaan tanah tersebut stabil. Berikut disajikan contoh nilai stabilitas penggunaan lahan, Hutan dan perkebunan diberi nilai 0.8 dan Lainnya serta pertanian lahan kering dengan nilai 0.5. Dalam pemodelan
85
dengan spasial dinamik terdapat aturan pengambilan keputusan (decision rules) untuk menentukan konversi mana yang diperbolehkan. Indikator dalam penentuan keputusan tersebut adalah stabilitas. Selang nilai stabilitas adalah 0 sampai 1, stabilitas bernilai 0 (nol) artinya sangat dinamik (mudah dikonversi) dan nilai 1 (satu) artinya stabil yaitu tak dapat dikonversi. Regresi logistik merupakan bentuk dari regresi yang digunakan bila variabel tidak bebas (dependen) dichotomous dan variabel bebas (independen) kontinyu atau kategorial. Dichotomous mengandung arti bahwa jenis land cover tertentu dalam satu sel grid bernilai 0 atau 1. Nilai 0 berarti tidak ada sedangkan 1 berarti terdapat penggunaan lahan tersebut. Persamaan regresi yang digunakan adalah :
β : merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi p : peluang munculnya jenis land use dan driving factor x Untuk menghitung pengaruh relatif dari setiap variabel terhadap penggunaan lahan, dihitung Exp (B). Exp (B) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (lebih dari 1) atau menurun (lebih rendah dari 1) akibat dari satu peningkatan pada variabel bebas. Pada perhitungan relatif influence digunakan persamaan sebagai berikut : Pengaruh relatif = Exp(B X selang), untuk B >1 Pengaruh relatif = -1/Exp(B X selang), untuk B <1 (Verburg et al. 2003). Pengaruh relatif kemudian diurutkan sesuai dengan nilai yang tertinggi. Semakin
tinggi
nilainya
semakin
besar
pengaruhnya
terhadap
penggunaan lahan. Urutan pengaruh ini merupakan input untuk alokasi, dimasukan pula secara berurutan sesuai dengan hasil perhitungan. 7.
Setelah data siap dan lengkap sesuai program atau software yang dibuat, kemudian di run, berdasar pada skenario yang telah ditentukan. Simulasi yang dilakukan adalah 20 atau bisa juga untuk jangka waktu lainnya tahun. Bila data yang dimasukkan sesuai dengan program maka simulasi
86
akan berjalan. Hasil simulasi berupa data teks yang perlu dikonversi kedalam aplikasi GIS (Arc View atau Arc GIS) untuk dapat disajikan dalam bentuk spasial 8.
Peta yang digunakan dalam model spasial dinamik adalah: A. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 B. Citra Landsat tahun 2009 C. Peta Tutupan Lahan dari Departemen Kehutanan D. Peta Jenis Tanah dari Puslitanah, Peta Kemiringan Lahan dll E. Peta Geologi dari Direktorat Geologi F. Peta Prasarana Wilayah dari Departemen Pekerjaan Umum G. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (draft) H. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Jawa (draft) I. Penyusunan Peta Tata Ruang Wilayah tepian air Kota Semarang Hasil model spasial dinamik yang berupa pola pemanfaatan lahan pada
2030 tahun mendatang kemudian dioverlay dengan peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 dan struktur ruang dari Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWProv). Apabila RTRWP belum ada maka dapat dioverlay dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau (RTRWP).
Dari overlay tersebut akan
diperoleh Peta Rencana Tata Ruang Wilayah tepian air Kota Semarang (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Penyusunan Peta RTRW Semarang “water front city”
87
3.3.5
Merumuskan Kebijakan dan Skenario Pengelolaan Lingkungan Kebijakan Pengelolaan
lingkungan tepian air
pesisir
Semarang
berkelanjutan dirancang menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process), diolah menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11. Produk berupa rumusan kebijakan pengelolaan dan skenario pengelolaan lingkungan, terdiri dari peranan stakeholder (ditentukan berdasar expert judgement), hirarki faktor pendukung (ditentukan berdasar faktor pengungkit atau atibute sensitive hasil analisis MDS), tujuan
dan alternatif kebijakan
(ditentukan berdasar expert judgemen dan kajian pustaka) untuk kemudian bisa dibuat rekomendasi kebijakan. Merupakan upaya penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, tetapi strategik, dan dinamis menjadi bagian-bagian serta menatanya dalam suatu hierarki yang berbasiskan pada expertise judgement (stakeholder, tujuan dan alternatif), sehingga pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahannya, responden dipilih dari kalangan pemerintah, LSM, akademisi, tokoh masyarakat, pelaku usaha dan investor. Prinsip kerja Proses Hierarki Analitik adalah sebagai berikut (Marimin, 2004), seperti pada diagram alir Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Diagram alir proses hierarki analitik
88
Tahapan dalam Analisis Hirarki Proses antara lain : a).
Identifikasi Sistem Mengidentifikasi seluruh elemen/level dan sub didalamnya, untuk dapat dilakukan penilaian.
b).
Penyusunan hirarki. Persoalan yang akan diselesaikan perlu diuraikan menjadi unsur-unsurnya yang tersusun secara hierarki, seperti stakeholder, faktor, tujuan dan alternatif. Alternatif atau strategi yang tersedia dalam membuat kebutuhan terletak pada tingkat yang paling bawah di dalam sebuah diagram. Gambar 3.9 merupakan diagram hirarki yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Penyusunan kriteria. Penyusunan kriteria ini
digunakan untuk membuat keputusan yang dengan uraian sub kriteria dan bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah.
89
FOKUS
PENGELOLAN KOTA SEMARANG TEPIAN AIR BEERKELANJUTAN
VISI MISI
STAKEHOLDER
FAKTOR
TUJUAN
ALTERNATIVE
MASYARAKAT
PENGANGGURAN TERBUKA
PENINGKATAN PAD
PEMERINTAH
EROSI DAN ABRASI
PENINGKATAN DAYA SAING
KONSERVASI
LSM
PEDAGANG
KELEMBAGAAN MITIGASI BENCANA
REDUKSI PENCEMARAN DNG. PENGOLAHAN LIMBAH (SANITASI)
TEKNOLOGI ECOPORT DAN PELABUHAN
ADAPTASI BANJIR DAN PENGELOLAAN AIR BERSIH
AKADEMISI
PENGUSAHA / INVESTOR
AKSES MASYARAKAT KE WATER FRONT
KESEHATAN MASYARAKAT & LINGKUNGAN
PERLUASAN LAPANGAN KERJA
REDEVELOPMENT
Input MDS
MINIMALISASI KONFLIK
REVITALISASI
DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOTA TEPIAN AIR
Gambar 3.9. Hirarki Pengambilan Keputusan
89
90
Desain Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Air
90
91
c)
Pengisian Matriks pendapat individu. Unsur-unsur yang telah tersusun dan diagram kreteria itu dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004) mengatakan bahwa untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9 adalah terbaik dalam mengekspresikan pendapat.
Skala perbandingan Saaty
dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai perbandingan A dan B dalam tabel tersebut adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A.
Tabel 3.4. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan pada AHP Nilai 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. d)
CI:CR (memenuhi syarat <10%) Untuk mengetahui apakah dalam penentuan prioritas itu pakar yang memberikan penilaian konsisten atau tidak digunakan cara perhitungan CR (Consistency Ratio),
Bila nilai CR kurang dari 10 %, berarti
penilaian pakar itu konsisten dan sebaliknya. Apabila nilai >10%, maka perlu dilakukan revisi pendapat untuk menjadi konsisten. e)
Penyusunan Matrik Gabungan Matrik gabungan dilakukan untuk melihat hasil kecenderungan pendapat pakar, hal ini dilakukan setelah seluruh responden konsisten sehingga pendapat gabungan untuk penilaian juga konsisten. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan matriks atau menentukan
melalui penyelesaian persamaan matematik untuk tingkat
relatif
dari
seluruh
alternatif
92
yang ada. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan dan diolah. f)
Pengolahan vertikal Nilai-nilai yang diperbandingkan sangat mempengaruhi hasil pada level berikutnya sehingga pengolahan vertikal untuk memberikan porsi nilai yang ditentukan pada masing-masing kriteria level dibawahnya.
g)
Perhitungan vektor prioritas sistem Perhitungan dilakukan pada masing-masing vektor/sub yang terdapat didalam level untuk mengetahui prioritas dominan dari pakar terhadap penilaian yang ada.
h)
Pemeringkatan komponen level Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari stakeholder, faktor,
tujuan
dan
alternatif
kebijakan
yang
mempengaruhi
pengembangan kota wilayah tepian air.
3.3.6
Menentukan Prospek atau Skenario Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Semarang “water front city” Produk berupa alternatif kebijakan, kriteria penentuan kebijakan sesuai jangka waktu pelaksanaan. a.
Analisis Prospektif Dilakukan dalam rangka menganalisis prospek pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di pesisir Kota Semarang untuk masa yang akan datang dengan menggunakan faktor kunci (yang diperoleh dari hasil analisis MDS) yang berpengaruh terhadap kinerja sistem.
b.
Analisis Kebijakan berdasarkan Skenario Dari kombinasi antara faktor kunci hasil MDS, di lakukan analisis kebijakan
dengan
mengasumsikan
tiga
skenario
yang
kemungkinan terjadi, yang diberi nama: (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Moderat, dan (3) Skenario Optimis.
93
IV. 4.1.
KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI
Letak Geografis dan Batas Administrasi Kawasan Kota Semarang
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah yang secara geografis terletak pada 6 o50’- 7o10’ LS dan 109 o35’-110o50’ BT, dengan batas administrasi dan fisiografi: sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Demak; Sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal. Secara administratif, Kota Semarang dengan luas 373,70 Km2 (37.370 ha) terbagi atas 16 wilayah Kecamatan dan 177 Kelurahan. Adapun fokus penelitian adalah Kawasan pesisir Kota Semarang dengan garis pantai sepanjang ± 13.6 km dan lebar 4 mil laut, yang mempunyai luas kurang lebih 19.160,08 ha.( data satelit IKONOS perekaman 13 Juni, 2009) terdiri dari luas wilayah daratan pesisir seluas 9.111,28 ha (47,6 %) dan luas wilayah perairan seluas 10.048,8 ha. (52,4%) meliputi 4 kecamatan, yakni: Genuk, Semarang Utara, Semarang Barat dan Tugu. Adapun untuk pengamatan dampak pengelolaan waterfront di pesisir Semarang, cakupan penelitian diperluas ke wilayah Kecamatan sekitarnya (wilayah Kota Semarang). Kawasan penelitian Kota Semarang secara geografis merupakan kawasan strategis yang terletak di jalur ekonomi nasional pantai utara Jawa dan merupakan daerah lintasan utama Jakarta- Surabaya. Kawasan Kota Semarang berada di dataran rendah hingga perbukitan, sebagai bentukan akibat adanya beberapa gunung dan pegunungan. Secara topografi, kawasan bagian utara terletak pada ketinggian antara 025 m merupakan dataran rendah, sedang bagian Selatan antara 0 – 359 m. Kawasan berupa kelerengan dan dataran rendah dengan karakteristik: 1. Pesisir Utara
Kawasan ini merupakan kawasan pesisir pantai yang
ditargetkan sebagai fokus kajian wilayah studi desain kebijakan pengelolaan kota tepian air berkelanjutan, yang sementara ini merupakan kawasan pantai yang dibudidayakan sebagai kawasan tambak, Pelabuhan Tanjung Mas, serta menjadi daerah hilir/muara beberapa sungai besar.
94
2. Bagian Selatan, merupakan daerah pegunungan dan dataran tinggi yang sudah tidak aktif lagi. Daerah ini merupakan daerah yang cukup subur, banyak mata air, hulu sungai, serta tambang mineral. Bagian Timur dan Tenggara terdapat daerah rawan banjir .
Luas Wilayah Pesisir : 9.111,28 ha Sumber : Hasil pemetaan menggunakan data Satelit IKONOS-1m Perekaman 13 Juni 2009 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2010)
Gambar 4.1. Wilayah Pesisir Kota Semarang, 2009
95
Gambar 4.2. Wilayah Perairan Kota Semarang
4.2.
Kondisi Biofisik
4.2.1. Karakteristik Tepian Pantai Pesisir pantai utara Semarang memiliki karakteristik bergelombang rendah dan berpasir lumpur sehingga memiliki potensi pakan bagi burungburung air dan burung pantai. Secara geomorfologis wilayah pesisir Kota Semarang merupakan dataran pantai yang membentang sepanjang garis pantai dengan lebar bervariasi antara 2 – 5 km. Dengan ketinggian kurang dari 10 m dan kelerengan kurang dari 2%. Secara karakteristik pantainya dapat dikelompokkan menjadi 4(empat tipe), yaitu : a. Pantai dengan relief rendah tersusun oleh pasir pantai b. Pantai berelief rendah tersusun oleh endapan aluvium berupa paparan lumpur ditumbuhi hutan bakau (mangrove)
96
c. Pantai berelief rendah tersusun oleh endapan aluvium berupa paparan lumpur tanpa mangrove. d. Kawasan pantai yang telah mengalami pengaruh budaya manusia, yaitu kawasan wisata, pelabuhan/niaga dan pemukiman.
4.2.2. Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Pesisir dan Lautan Menurut Rais J (2004), Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Berdasar Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Pesisir Kota Semarang, Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2007), fenomena yang memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir Kota Semarang adalah:
Pasang Surut dan Muka Laut Pasang surut (pasut) adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir
periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Gaya penggerak pasang surut di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh penetrasi gelombang panjang pasut dari Samudra Pasifik yang melalui Selat Makasar, membawa gelombang pasut bertipe diurnal dan juga dipengaruhi gelombang pasut dari Samudra Hindia yang mempunyai kecenderungan bertipe pasut semidiurnal. Pengaruh bentuk pantai dan topografi dasar dapat memodifikasi pasang surut. Tipe pasang surut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang-surut dalam satu kali (24 jam). Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, maka perairan tersebut tergolong bertipe pasut tunggal. Selanjutnya jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari maka pasang surutnya tergolong ber tipe ganda. Selain dua tipe pasang surut tersebut terdapat tipe pasang surut campuran. Menurut Wirasatria (2006), tipe pasang surut di perairan Semarang adalah campuran condong ke ganda dengan amplitudo bervariasi antara 1 m saat pasang purnama dan 0,5 m pasang perbani. Perkembangan kedudukan muka laut di perairan Semarang yang tercatat di Stasiun Pasut Semarang mengikuti pola
97
linier dengan persamaan: Y = 4,8967 X – 9645,9 (R2 = 0,9636) dan laju kenaikan sebesar 5,43 cm/tahun. Kenaikan muka laut global mengakibatkan kenaikan muka laut di perairan Semarang sebesar 2,65 mm/tahun, laju penurunan tanah yang terjadi di Stasiun Pasut Semarang sebesar 5,165 cm/tahun. Harga periode pasang surut bervariasi dari 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang surut mempengaruhi sistem drainase melalui sungai dan saluran yang langsung berhubungan dengan laut. Secara hidraulis aliran dalam sungai dan saluran pada saat air pasang akan terjadi air balik, sehingga menghambat aliran. Jika elevasi air pasang lebih tinggi dari tanggul dan/atau lahan di sekitarnya maka akan terjadi limpas dan genangan banjir rob di lahan. Dalam penyusunan Dokumen Master Plan Drainase Kota Semarang, dipergunakan tinggi muka air laut rata-rata (Mean High Water Level = MHWL) berdasarkan data yang diperoleh dari Perum Pelabuhan III Tanjung Emas Semarang. Tabel Data Pasang Surut dapat dilihat di Lampiran 4 halaman 265.
Gelombang Hasil pengukuran gelombang di perairan Semarang dengan posisi
geografis 110o21’55,0” BT 6 o55’27,1” LS, yang dilakukan pada Juli dan Agustus dapat diperkirakan, bahwa tinggi gelombang tertinggi mencapai 1,82 meter dengan periode tertinggi 6,48 detik. Tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode gelombang signifi kan (Ts) adalah 0,31 meter dan 3,88 detik (Sumber: Laporan Akhir Departemen Kelautan dan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2007). Tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang signifikan pada bulan Juli adalah 0,24 meter dan 2,42 detik. Bulan Agustus tinggi gelombang signifikan (Hs) 0,27 meter dengan periode gelombang signifikan 2,62 detik.
Tabel 4.1 Tinggi Gelombang signifikan (Hs) dan Periode Gelombang Signifikan (Ts) Bulan Agustus dan Juli No 1 2
Bulan Juli Agustus
Hs (meter) 0,24 0,27
Ts (detik) 2,42 2,62
Sumber: Laporan Akhir Departemen Kelautan dan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2007)
98
Kondisi dan Tingkat Abrasi dan Akresi Wilayah Pesisir Kota Semarang Karena wilayah pesisir dipengaruhi sifat-sifat laut, maka wilayah pesisir
sering mengalami proses erosi/abrasi dan akresi. Berdasarkan peta topografi tahun 1999 dan Data Citra Satelit ETM-7 Tahun 2003 terlihat adanya daerah abrasi sebagaimana tercantum pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Luas Terabrasi Pantai Semarang Lokasi
Lebar Garis Pantai Luas areal Terabrasi (m) (Ha) 1. Sungai Plumbon 1400 62 2. Pesisir Kel. Randugarut 650 32 3. Kaw. Marina dan Tj. Mas 900 19,5 4. Kaw. TPI Tambak Lorok 485 9,5 5. Kaw. Tambak Terminal Terboyo 765 31,5 Jumlah 4200 154,5 Sumber : Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Pesisir Kota Semarang, Departemen Kelautan dan Perikanan, Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, 2007. No.
Daerah pantai yang terlihat mengalami akresi adalah sebelah barat marina, tepatnya sisi barat sungai Siangker, dengan luas pertambahan daratan sekitar 3,8 Ha berupa endapan pasir. Mengingat endapan tersebut masih bersifat lepas, maka masih mungkin mengalami abrasi kembali dan berpindah ke lain tempat. Sedangkan di Marina saat ini sedang dilakukan reklamasi dengan melakukan pengukuran menggunakan material dari luar daerah. Terjadinya erosi dan abrasi pada pesisir pantai Kota Semarang mengakibatkan pergeseran/perubahan garis pantai secara signifikan yang ditunjukkan oleh Gambar 4.1
Hasil pemetaan menggunakan data satelit
IKONOS-1m Perekaman 13 Juni 2009 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2010), seperti terlihat pada Gambar 4.2 Panjang Garis Pantai Kota Semarang 2009, dan Gambar 4.3 Analisa Perubahan Garis Pantai menggunakan metoda Color Wheel.
99
Gambar 4.3. Pemetaan Garis Pantai Kota Semarang, 2009
100
Gambar 4.4. Panjang Garis Pantai Kota Semarang
Gambar 4.5 Analisa Perubahan Pantai menggunakan Metode Color Wheel
101
Arus di Pantai Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai
(nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi/abrasi di pantai. Pola arus pantai ini ditentukan terutama oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang yang datang dengan garis pantai. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang (Karakteristik Perairan Laut dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Perikanan di Kota Semarang Sebagai Hasil Inventarisasi Data), karakteristik non-biofisik kelautan di sepanjang pantai Kota Semarang memperlihatkan bahwa pasang surut yang terjadi di Kota Semarang tepian pantai berpola campuran condong ke harian tunggal. Amplitudo pasang surut di perairan Semarang relatif kecil dan berkisar antara 5-22 cm. Sedangkan arah dan kecepatan arus perairan dipengaruhi oleh pola arus di Laut Jawa yang sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh musim. Pada musim barat yang berlangsung dari bulan Desember-Februari, arus bergerak lebih cepat dari arah Barat menuju ke Timur dengan kecepatan arus berkisar antara 38-50 detik. Pada musim Timur yang ( bulan Juni-Agustus), kecepatan arus lebih lambat berkisar antara 12-25 cm/detik. Kota Semarang mempunyai beberapa sungai besar yang bermuara ke wilayah garis pantai sehingga faktor sungai sangat berpengaruh terhadap pola arus yang terbentuk.
Suhu dan Salinitas Suhu dan salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam
sirkulasi untuk mempelajari asal-usul massa air. Kedua parameter ini serta tekanan menentukan densitas air laut. Perbedaan densitas akan menghasilkan perbedaan tekanan yang memicu aliran massa air dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari; posisi matahari; letak geografis; musim; kondisi awan; serta proses interaksi antara air dan udara, seperti alih panas (heat), penguapan, dan hembusan angin. Suhu sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Pada umumnya laju pertumbuhan ikan akan
meningkat dengan kenaikan temperatur sampai batas tertentu. Secara tidak
102
langsung pengaruh suhu mempengaruhi/mengurangi kelarutan oksigen dan gasgas lain dalam air.
Derajat Keasaman (pH) Merupakan kondisi asam dan basa suatu perairan yang dapat digunakan
sebagai indeks kualitas lingkungan. Air yang netral atau sedikit basa umumnya sangat ideal untuk biota laut, karena membantu konversi zat-zar organik menjadi substansi yang dapat diasimilasi seperti ammonia dan nitrat. Dari hasil pengukuran derajad keasaman (pH) dari 6(enam) lokasi pesisir Semarang diperoleh nilai rata-rata 8.64. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut yang diinginkan berkisar antara 7-8.5, sehingga pesisir Semarang dianggap kurang mendukung untuk usaha budidaya laut.
Siklus Hidrologi Analisis aliran air atau kajian hidrologi
Kota Semarangterdiri dari
hidrologi permukaan dan hidrologi bawah tanah. Hidrologi permukaan Kota Semarang terbentuk oleh alur sungai dan saluran drainase yang ada. Permasalahan dalam sungai/saluran di Kota Semarang adalah debit saluran dan sungai yang tidak sebanding dengan volume air. Banyaknya daerah terbangun mempengaruhi keadaan tersebut, terutama aliran air sehingga debit air pada sungai-sungai tersebut juga semakin besar. Adanya sungai yang mengalami penyempitan dan sedimentasi merupakan faktor penyebab terjadinya banjir ataupun genangan (rob), khususnya wilayah pesisir Semarang. Menurut Marfai MA. 2003. Dalam GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in a Waterfront City. Case study: Semarang City. Central Java. Indonesia: Semarang merupakan water front city dimana banjir sungai dan rob merupakan fenomena yang sering terjadi. Data dan informasi tentang distribusi spasial, besaran dan kedalaman banjir serta pengaruh banjir terhadap penggunaan lahan telah ditelaah dalam produk modeling diatas. Berbagai potensi bencana yang terdapat di Kota Semarang adalah banjir sungai, banjir rob, tanah longsor dan land subsidence. Banjir sungai disebabkan intensitas hujan yang tinggi dibarengi dengan sistem drainase yang kurang memadai. Banjir rob terjadi disebabkan air pasang yang melampaui daerah pantai. Sebagian daerah
103
perbukitan Kota Semarang merupakan daerah yang rawan longsor. Yang meliputi dua tipe longsor, yaitu kerawanan terhadap proses longsoran dan daerah patahan aktif. Sementara itu, land subsidence merupakan masalah bahaya alam yang semakin besar di Kota Semarang. Perkembangan land subsidence sangat bervariasi dengan rata-rata 11.5 cm/th dan bahkan lebih sampai dengan 0,2 m/th.
Banjir Banjir terutama terjadi pada musim hujan, akibat debit besar melam paui
kapasitas penampang aliran yang telah mengalami degradasi kapasitas. Hal ini diakibatkan oleh hasil erosi dari hulu DAS atau Sub DAS-nya. Disamping sedimentasi, penurunan fungsi & kapasitas sungai dan drainase perkotaan juga disebabkan adanya bangunan-bangunan ilegal di bantaran atau bahkan badan sungai atau saluran, yang mengurangi fungsi kapasitas luberan (High Water Channel) dari palung sungai (Low Water Channel) diatas debit normal, meningkatnya unit hydrograph debit banjir, dan semakin cepatnya waktu konsentrasi debit akibat menurunnya fungsi resapan daerah tangkapan air (DAS) nya pada waktu musim hujan. Sebaliknya juga, menurunnya baseflow debit andalan menyebabkan kekeringan dimusim kemarau. Hal ini mengakibatkan defisit
Neraca Air yang berefek pada menyusutnya debit andalan. Dengan
meningkatnya konsentrasi konsentrasi beban kandungan kandungan limbah termasuk sedimen akan terjadi penurunan kwalitas air.
Rob Adalah
suatu genangan yang disebabkan oleh : 1) Pasang surut
merupakan fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi. Pasang surut mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap drainase, melalui sungai dan saluran yang berhubungan dengan laut. Secara hidraulis aliran dalam sungai dan saluran pada saat air pasang akan terjadi air balik, sehingga menghambat aliran. Jika elevasi air pasang lebih tinggi dari tanggul dan atau lahan di sekitarnya maka akan terjadi limpas dan genangan banjir rob di lahan. 2) Penurunan permukaan tanah yang disebabkan pemadatan/konsolidasi di area pesisir, yang umumnya terdiri atas lapisan
allufial yang masih bersifat
compressive ditambah lagi dengan akibat pengambilan air tanah berlebihan yang
104
tidak diimbangi dengan kemampuan pengisian air tanah, serta naiknya muka air laut sebagai dampak pencairan es di North Pole dan South Pole akibat pemanasan global. Banjir, Rob dan penanggulangannya memang tidak dibahas secara khusus karena diluar fokus pembahasan “water front city” dengan paradigma baru: banjir dan rob tidak di tanggulangi dan diatasi, tetapi dengan penyesuaian dan memelihara harmoni dengan air .
4.2.3. Ekosistem Sungai dan Estuaria
Pemanfaatan Daerah Sungai dan Estuaria Kondisi lapangan menunjukkan banyaknya sampah di Muara Sungai
Banjir Kanal Barat, yang diduga oleh adanya DAS yang melintasi wilayah pemukiman padat, hal ini merupakan penyumbang limbah terbesar.
Air tanah Sistem akuifer air tanah yang dijumpai di wilayah pantai Kota Semarang
berupa air tanah bebas dan air tanah tertekan. Akuifer bebas berupa sumur-sumur dangkal dengan kedalaman air tanah berkisar 0,2 m – 4 m dari muka tanah setempat dan beberapa dijumpai sebagai airtanah dalam. Kondisi sumur-sumur dangkal di daerah dataran rendah ini sebagian berair tawar dan sebagian lagi payau karena dekat pantai maupun rawa.
Air Permukaan Air permukaan pada umumnya berupa sungai dan badan-badan air yang
menggenang seperti rawa, bendungan, dan tambak. Pada wilayah pantai Kota Semarang mengalir beberapa sungai yang tergolong besar adalah Kali Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat, Kali Semarang, Kali Beringin dan Kali Babon. Disamping itu masih banyak lagi sungai-sungai kecil yang mengalir didaerah pantai, seperti Kali Tapak, Kali Tugurejo, Kali Jumbleng, Kali Buntu, Kali Silandak, Kali Siangker, Kali Tawangsari, Kali Asin, Kali Banger, Kali Tenggang, dan Kali Sringin. Sungai-sungai tersebut hingga kini masih berfungsi ganda, baik sebagai saluran drainase maupun saluran pembuangan limbah.
105
4.2.4. Biota Perairan Biota Perairan berupa nekton atau ikan. Nekton adalah organisme makroskopik yang berenang secara aktif dalam air. Nekton yang mempunyai nilai ekonomis adalah yang digolongkan dalam ikan pelagis seperti Selar, Tembang, Kembung, Teri. Nekton yang tergolong ikan demersal adalah Petek, Manyung, Pari, Bawal serta Tigawaja.
Nekton tersebut terkait erat dengan
kondisi muara, pantai atau pesisir yang ditumbuhi mangrove, maupun perairan teluk sebagai penyedia, pelindung, tempat berpijah maupun pembesaran. Nilai Jenis nekton yang tergolong ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di perairan Kota Semarang antara lain ikan ekor kuning. Ikan-ikan tersebut cenderung bersifat residensial, menggunakan terumbu karang sebagai tempat penyedia makanan, pelindung, tempat berpijah maupun pembesaran. Strategi konservasi kawasan dan eksploitase yang terjadwal akan memberikan hasil eksploitasi yang optimal berkelanjutan. a.
Indeks Keanekaragaman Menurut Laporan Akhir Departemen Kelautan Dan Perikanan Satker
Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2007), hasil analisis indeks keanekaragaman di perairan Kota Semarang menunjukkan nilai berkisar antara 0,53 – 1,85. Sebagian besar stasiun pengambilan sampel memiliki nilai indeks keaneka ragaman berada antara < 1 yang menandakan kondisi komunitas berada pada pencemaran sedang sampai pencemaran cukup tinggi. Pada kondisi ini, ekosistem sangat rawan terhadap perubahan lingkungan, seperti penambahan bahan pencemar (polutan) ke perairan. Nilai indeks keanekaragaman rendah dijumpai di Air Laut Bagan Tancap perbatasan Kaliwungu, yaitu sebesar 0,53.
4.2.5. Ekosistem Alami Ekosistem alami bernilai tinggi adalah: hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. a. Mangrove Luas sebaran mangrove di pantai Kota Semarang sebesar 15 Ha, sedangkan potensi idealnya adalah seluas 325 Ha.(Semarang dalam angka, 2007)
106
Dengan demikian masih terdapat kekurangan lahan mangrove seluas 310 Ha yang perlu dilakukan penanaman kembali. Tabel 4.3 Kondisi fisik mangrove di Kota Semarang Parameter Panjang pantai Luas mangrove Mangrove kondisi baik Mangrove kondisi kritis Luas mangrove ideal *)
Unit 25 km 15 ha 4 ha 11 ha 325 ha
% 26,67 72,33 -
*) Data hasil perhitungan perkalian antara panjang pantai (25 km)x 130 m
Tabel 4.4 Potensi mangrove di wilayah pantai Semarang Desa/Kelurahan
Terboyowetan
Luasan Mangrove Pantai (m) Ketebalan Panjang 6 750
Tambaklorok Tambakharjo
10
1000
Mangunharjo
15
1500
6
500
Tugu
Jenis Mangrove
Rhizophora Avicenia sp Rhizopora Avicenia sp Rhizopora Avicenia sp Rhizophora
Kondisi Mangrove
Kemungkinan Penghijauan
sp.
***
Mungkin
sp.
*
Sulit Mungkin
sp
*
Mungkin
***
Mungkin
Keterangan: * = rusak/sedikit ; ** = cukup ; *** = baik ; **** = baik sekali • Mangrove membentuk 279 kelompok-kelompok kecil • Luas minimum yang berhasil dipetakan adalah 0.015 ha • Rerata luas kelompok 0.3 ha • Luas kelompok maksimum 8.58 ha Sumber: Laporan Akhir Departemen Kelautan dan Perikanan Satker Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2007)
b. Padang Lamun Sangat disayangkan bahwa sangat sedikit lamun yang tumbuh di pesisir Semarang sehingga dalam penelitian ini bisa di abaikan. c. Terumbu Karang Perlu disayangkan bahwa terumbu karang di pesisir Semarang telah rusak sama sekali sehingga pada penelitian ini dapat di abaikan. Dalam rangka peningkatan kualitas ekosistem laut dan produktifitas perikanan di perairan Kota Semarang, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Semarang Propinsi Jawa
107
Tengah memperkenalkan teknik terumbu karang buatan dan transplantasi karang kepada masyarakat khususnya para nelayan.
4.3
Kondisi Sosial Ekonomi
4.3.1
Indikator Sosial dan Kependudukan
a. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Total penduduk perkotaan Kawasan Perkotaan Semarang mencapai 1,453,549
jiwa ( Semarang Dalam Angka, 2007). Pada daerah-daerah yang
berbatasan dengan Kota Semarang dan dilewati oleh jalur
Pantura,
perkembangan yang disebabkan oleh faktor migrasi cukup signifikan jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Kota Semarang sebagai magnet perkembangan dan adanya jalan Pantura sangat mempengaruhi keputusan orang untuk datang dan berdomisili di daerah tersebut. Kota Semarang dan Pantura sebgai koridor nasional masih menjadi tujuan dari wilayah-wilayah sekitarnya. b. Distribusi dan Kepadatan Penduduk Distribusi dan kepadatan penduduk di Kawasan Kota Semarang ditinjau perkecamatan pada tahun 2007 dapat dilihat pada data di lampiran 13 halaman 312 . Kota Semarang terdiri dari 16 kecamatan dengan luas wilayah 373,70 km2 Kepadatan penduduk terbesar di Kota Semarang terdapat pada Kecamatan Semarang Selatan yaitu 14.460 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tinggi cenderung terdapat di Kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah pusat kota atau Central Bisnis Distrik (CBD), yaitu Kecamatan Semarang Timur, Semarang Tengah, Gayamsari, Candisari dan Semarang Utara dengan kepadatan mencapai lebih dari 10.000 jiwa/km2. Untuk kecamatan-kecamatan yang terletak di wilayah pinggiran Kota Semarang cenderung memiliki kepadatan yang lebih rendah, antara 700 sampai 7.000 jiwa/km2 ( Lampiran 6, halaman 267).
4.3.2. Perekonomian Wilayah a. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi di samping dapat berdampak pada peningkatan pendapatan, juga akan berpengaruh pada pendapatan daerah.
108
Perkembangan pertumbuhan ekonomi Kota Semarang per tahun dapat dilihat dalam Tabel 4.5. Tabel 4.5 Rata-rata pertumbuhan Ekonomi per tahun 2005 – 2009 No 1 2 3 4 5
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Pertahun (%) 5,14 5,71 5,98 5,59 *
Sumber: Semarang dalam angka 2008 *belum diperoleh data
b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Peningkatan laju pertumbuhan PDRB selama lima tahun mengalami peningkatan rata-rata 4,40% per tahun. Adapun pertumbuhan sektor ekonomi Kota Semarang Tahun 2004 – 2008 menurut Lapangan Usaha adalah sebagai berikut : Tabel 4.6 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kota Semarang menurut Lapangan Usaha atas dasar harga konstan 2000. No
Sektor
2004
2005
2006
2007
2008
- 1.91
-28.13
-9.66
3.37
4.25
1
Pertanian
2
Pertambangan & Penggalian
6.11
4.94
8.41
3.72
2.72
3
Industri Pengolahan
2.13
3.10
5.61
4.30
4.16
4
Listrik, Gas & Air Minum
3.99
3.88
3.38
10.87
5.97
5
Bangunan
12.90
6.89
6.86
3.27
3.91
6
Perdagangan, Hotel & Restoran
3.62
7.15
4.08
4.31
4.56
7
Pengangkutan & Komunikasi
1.68
10.37
8.87
3.79
5.75
8
Keuangan, Persewaan & Js. Perus.
-9.46
7.48
2.75
2.49
4.34
9
Jasa-jasa
12.77
2.27
6.40
3.56
4.00
3.40
4.97
5.11
4.10
4.43
PDRB Total
Sumber: PDRB Kota Semarang Tahun 2008, Bappeda dan BPS Kota Semarang
Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka PDRB atas dasar harga konstan 2000 merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan. Pada tahun 2007, PDRB Kota Semarang naik
109
menjadi 18.142.639,96 (Juta Rupiah) dari 17.118.705,28 (Juta Rupiah) tahun sebelumnya. Ini berarti daerah semakin mampu menggali potensi ekonomi yang ada, sehingga akan semakin besar PDRB dan PAD-nya sehingga mampu meningkatkan keuangan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah (Lampiran 4 halaman 265 dan Lampiran 5 halaman 266). Tabel 4.6 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan seluruh sektor pada tahun 2007 dan 2008 menunjukkan pertumbuhan positif. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum mengalami pertumbuhan paling besar. Peningkatan output sektor listrik berkaitan dengan fungsinya sebagai penyedia kebutuhan masyarakat dan perkembangannya searah dengan perkembangan penduduk dan perkembangan ekonomi di suatu wilayah. Lapangan usaha yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB tahun 2008 atas dasar harga berlaku adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
sebesar 30,83 %, dan seterusnya adalah Sektor Industri
Pengolahan sebesar 27,33%; Sektor Bangunan 14,87%; Sektor Jasa-jasa 11,78%; Sektor Angkutan dan Komunikasi 9,66%; Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,86%; Sektor Listrik, Gas dan Air bersih 1,31%; Sektor Pertanian 1,19%; Sektor Pertambangan 0,16%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang sangat besar didorong oleh adanya pusat pelayanan perekonomian yang berskala regional maupun nasional. Sementara, sektor industri pengolahan, baik industri besar maupun industri sedang yang memberikan kontribusi yang cukup
besar
terhadap
PDRB
Kota
Semarang
dapat
dijumpai
persebarannya antara lain di Kecamatan Genuk dan Ngaliyan, dan sebagian kecil terletak di Kecamatan Tugu dan Semarang Barat.
c. Potensi Pertanian dan Perkebunan Tanah sawah relatif tidak banyak terdapat di Kota Semarang. Dari luas tanah yang ada, tanah sawah hanya mencakup 6,4% dari total luas wilayah. Sumberdaya pertanian di Semarang meliputi tanaman pangan pertanian, tanaman perkebunan dan perikanan. Berdasarkan data Statistik tahun 2008, luas tanah sawah yang ada di wilayah pesisir Semarang, yaitu
110
Kecamatan Genuk, Semarang Timur, Semarang Utara, Semarang Barat dan Tugu adalah 576 ha. Tanah sawah yang ada di Kecamatan Semarang Timur dan Semarang Utara adalah 0 ha, sedangkan luas tanah kering/tegalan adalah
920.57 ha. Potensi pertanian padi terbesar di
daerah pesisir Semarang adalah Kecamatan Tugu dan Genuk.
d. Sumberdaya Perikanan Sumberdaya Perikanan Kota Semarang dipenuhi dari : (1) Sarana dan Produksi Perikanan Tangkap dan (2) Perikanan Budidaya dan Tambak
Sarana dan Produksi Perikanan Tangkap Dalam
rangka
mendukung
kegiatan
perikanan
tangkap,
menggunakan sarana penunjang berupa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI ) : Tambaklorok dan Boom lama.
Tabel 4.7 Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2002 – 2006 Tahun
P R O D U K S I (Kg) PPI Tambaklorok
PPI Boom Lama
2002
333.546
90.191
2003
199.445
64.074
2004
76.672
37.306
2005
21.092
10.036
2006
14.996
0
Produksi perikanan tangkap sebagian besar di daratkan di TPI Tambaklorok, disebabkan selain lokasi TPI Tambaklorok berdekatan dengan pasar ikan Pasar Kobong, aktivitas para tengkulak pembeli hasil tangkapan telah terbentuk dengan baik. Terlihat
banyak
mengalami
penurunan
produksi
diduga
disebabkan oleh penurunan aktivitas penangkapan akibat kenaikan BBM, penurunan sumberdaya perikanan terutama pada jalur 1 (one fishing, didominasi oleh alat tangkap tradisionil). Sehingga diwilayah ini terjadi padat kapal dan padat tangkap yang berdampak pada terjadinya over fishing
111
Potensi Perikanan Budidaya Secara umum luas lahan untuk perikanan budidaya mengalami
penurunan terutama budidaya tambak. Penurunan luas areal ini diduga diakibatkan pemanfaatan luas areal untuk non perikanan dilahan pesisir semakin meningkat untuk kawasan pemukiman, industri dan lain-lain. Menurunnya
produksi ini diduga disebabkan oleh
tidak
berproduksinya lahan tambak akibat kegagalan panen, dan berkurangnya areal pertambakan yang digunakan untuk diluar bidang perikanan. Bila dilihat dari data nilai produksi perikanan budidaya, juga terjadi penurunan yaitu sebesar Rp. 7.744.000.000,- pada tahun 2006 dan Rp. 10.252.000.000,- pada tahun 2004. Menurunnya nilai produksi ini secara umum diakibatkan oleh menurunnya jumlah produksi tambak . Sumbangan terbesar yang dihasilkan dari penjualan hasil panen budidaya tambak adalah udang, yaitu pada tahun 2006
sebesar
Rp. 5.441.000.000,- kemudian ikan
bandeng Rp. 2.079.000.000,- . Sampai saat ini budidaya bandeng dan udang masih di unggulkan dalam budidaya tambak di Kota Semarang.
e. Potensi Pariwisata Lokasi wisata di daerah pesisir Kota Semarang yang termasuk kategori lokasi rekreasi pantai adalah Komplek Pantai Marina dan Kawasan Wisata Tanjung Mas. Kedua lokasi tersebut terletak bersebelahan dan letaknya strategis karena berdekatan dengan Jalan Lingkar Utara Kota Semarang. Di Komplek Wisata Marina kondisi alamnya telah dibuat sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat bermain perahu, berenang atau sekedar menyaksikan laut terbuka. Sedangkan di Tanjung Mas yang semula didesain “lagoon buatan”, sekarang tanggulnya telah terabrasi sehingga kolamnya menyatu dengan laut terbuka. Jalan yang dibuat mengelilingi
kolam
telah
rusak
dan
mengganggu
kenyamanan
pengunjung. Potensi pengembangan pariwisata
terdiri dari wisata bahari
kerakyatan, wisata pantai modern, wisata budaya/belanja/kuliner, wisata
112
perairan darat atau kombinasi. Pada kawasan wisata bahari/pantai disyaratkan untuk menerapkan konsep ekowisata. Ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan dari wisata bahari di dasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu: 1) Ekowisata
bergantung
pada
kualitas
sumberdaya
alam,
peninggalan sejarah dan budaya. 2) Melibatkan masyarakat 3) Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya 4) Tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional 5) Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Adapun jenis kegiatan wisata bahari yang dapat/sudah dikembangkan di Kota Semarang terdiri atas: a) Wisata pantai kerakyatan di kawasan muara sungai Plumbon b) Wisata pantai modern diarahkan pada optimalisasi pantai Marina c) Kegiatan wisata perairan darat dikembangkan di kawasan folder Tawang. Adanya kendala kualitas air yang menimbulkan aroma tidak sedap dapat diatasi melalui pendekatan biologis dengan mengisi jenis ikan tertentu yang mampu mengekstraksi permasalahan kualitas air tersebut, disertai/tanpa deairasi.
4.4 Tinjauan Potensi Tepian Pantai Per Kecamatan Wilayah Penelitian Dari uraian diatas dan bersumber Katalog BPS, Kecamatan dalam angka 2008, potensi per Kecamatan wilayah penelitian bisa di sarikan sebagai berikut:
4.4.1 Kecamatan Tugu Pantai ber-relief rendah, tersusun oleh endapan aluvium dengan substrat pasir dan ada pula sebagian wilayah pantai bersubstrat lempung dan pasir.
113
Kondisi arus relatif tenang sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan mangrove. Luas areal Kecamatan Tugu adalah seluas 2.985,99 Ha (IKONOS-1m Perekaman 13 Juni 2009), dengan penggunaan areal tanah sebesar 656,92 Ha (22%) sebagai tanah sawah, dan sebesar 2.329,07 Ha (78%) berupa tanah kering terdiri dari: pekarangan untuk bangunan (20,30%), tegalan/kebun (9%), lapangan/padang rumput (0,40%), tambak (67%) dan lainnya (3,30%). Jumlah penduduk 26.976 orang dengan mata pencaharian sebagai petani (4,70%), buruh (49,65%), nelayan (1,53%), pedagang/pengusaha (7,50%), pegawai negeri/ABRI dan pensiunan (4,98%), dan jasa lainnya (31,64%). Jumlah industri: industr besar dan sedang (26), industri keci (17), dan industri rumah tangga (11). Kawasan industri berkembang pada daerah pinggiran Kota Semarang yaitu koridor Tugu-Kaliwungu. Kawasan industri ini perlu dimantapkan karena dapat berfungsi sebagai generator pertumbuhan wilayah, dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang serta ditopang dengan kebijakan yang mendukung. Kawasan industri yang ada harus dibatasi perkembangannya agar tidak masuk ke dalam CBD kota dan tidak mengkonversi lahan produktif yang ada, karena potensi pencemaran yang ditimbulkan.
a.
Potensi Sumberdaya Alam Mangrove Kawasan mangrove di Kecamatan Tugu benar-benar mengalami
degradasi tingkat tinggi dimana tepian pantainya telah kehilangan sebagian besar ekosistem
mangrovenya
karena
telah
dikonversi
menjadi
perumahan,
pertambakan, pariwisata dan usaha perubahan lainnya. Dari hasil survey KeSEMAT, 2008, ditemukan 21 spesies mangrove di Kecamatan Tugu dengan luasan vegetasi mangrove dari kriteria jarang hingga lebat, dengan kerapatan masing masing: Station I Tugurejo mempunyai kerapatan paling luas yaitu 13.300 ind/Ha, Station II di perbatasan dengan kerapatan 11.100 ind/Ha dan Station III
Karanganyar dengan kerapatan 9.700 ind/Ha. Melihat kondisi
parameter lingkungan perairan yang berada dalam batas normal dan terdapat beberapa vegetasi mangrove yang masih bagus, maka dengan didukung oleh partisipasi
masyarakat,
daerah
bagian
barat
Kecamatan
Tugu
sangat
114
memungkinkan untuk dijadikan daerah hutan lindung atau kawasan wisata alam (ecotourism) berbasis sistem Sylvofishery (wisata mangrove di pematang tambak) seperti di kawasan Mangrove Information Center (MIC) Bali.
Di sekitar muara Sungai Beringin, Kecamatan Tugu terdapat jalur pohon mangrove 3 lapis sepanjang 500 m. Pohon mangrove yang ada dari jenis Rhizophora sp. dan Avicenia sp. Tinggi pohon antara 2-3 m. dalam keadaan baik dan memungkinkan untuk penghijauan. Mangrove membentuk kelompok kecil.
Di wilayah pantai Kelurahan Mangunharjo, terdapat mangrove sepanjang 1500 m dengan ketebalan 15m dalam keadaan sedikit rusak tetapi masih memungkinkan untuk penghijauan.
Di sekitar perbatasan dengan Kabupaten Kendal terlihat ada upaya penghijauan mangrove Rhizophora sp. Dibeberapa lokasi terdapat spotspot pohon mangrove jenis Avicenia dan juga Rhizophora sp. Terlihat adanya abrasi di wilayah ini yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dulunya pohon mangrove tersebut tertanam di pematang, disebabkan terkena abrasi dan erosi area tersebut tenggelam dan tercipta spot-spot tersebut dengan kedalaman air sekitar 1 m.
Potensi Terumbu Karang Meskipun terumbu karang di pesisir Kota Semarang boleh dikatakan telah
punah, berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang dalam rangka peningkatan kualitas ekosistem laut dan produktifitas perikanan di perairan pantai Kota Semarang dengan cara pembuatan terumbu karang buatan (artificial reef) dengan teknik transplantasi karang. Survey dilakukan pada tahun 2006, dengan hasil yang merekomendasikan bahwa lokasi Perairan Karanganyar, Kecamatan Tugu dipilih sebagai kawasan penenggelaman terumbu karang buatan dan transplantasi. Sebagai tindak lanjut hasil survey penentuan lokasi, telah dibuat dan melaksanakan penenggelaman terumbu karang buatan pada tahun 2007. Sedangkan kegiatan transplantasi karang telah dilakukan pada tahun 2008.
115
Produksi perikanan
Luas areal perikanan budidaya tambak seluas 841,90 Ha (2006) bisa menghasilkan 379 ton ikan per tahun: bandeng (206 ton), udang (136,70 ton) dan lainnya, dengan total nilai Rp. 6.340.000.000,- (2006). Produksi ikan budi-daya mengalami penurunan dari tahun ketahun yang disebabkan oleh tidak berproduksinya lahan tambak akibat kegagalan panen dan berkurangnya areal pertambakan yang digunakan untuk keperluan lain. Kecamatan Tugu merupakan penghasil ikan budi-daya terbesar di Kota Semarang
Produksi pertanian
Dengan tanah sawah seluas 22% dari total area, Kecamatan Tugu dan Genuk merupakan produsen padi terbesar diseluruh Kota Semarang tepian air.
Potensi Wisata
Wisata bahari dan wisata perahu menjadi kesatuan dengan wisata kerakyatan muara sungai Plumbon, dengan memanfaatkan potensi wisata hutan mangrove
Potensi Industri
Berdasarkan RTRW Kota Semarang, Kecamatan Tugu merupakan wilayah BWK X yang diperuntukkan sebagai kawasan industri. Terdapat dua kawasan industri utama,
yaitu: Kawasan Industri Guna Mekar dan Kawasan Industri
Wijayakusuma, dengan jenis-jenis industri: furniture, garment, elektronika, pengolahan kayu, bahan kimia, bahan makanan dan minuman, dan juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan produk.
4.4.2. Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara Merupakan kawasan pantai yang telah mengalami pengaruh budaya manusia, yaitu kawasan wisata, pelabuhan/niaga dan pemukiman. Pada bagian barat, pantai berrelief rendah tersusun oleh endapan aluvium berupa paparan lumpur, mempunyai potensi untuk ditumbuhi hutan mangrove (semula ditumbuhi mangrove, tetapi sayangnya telah dibabat untuk program-program reklamasi), sedangkan dibagian timur, pantai berrelief rendah tersusun oleh endapan aluvium berupa paparan lumpur tetapi tidak ditumbuhi mangrove. Luas areal Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara adalah seluas 3.417 Ha (IKONOS-1m Perekaman 13 Juni 2009) dengan penggunaan areal tanah sebesar
116
9,23 Ha (0,27%) sebagai tanah sawah, dan sebesar 3.407,77 Ha berupa tanah kering terdiri dari: pekarangan untuk bangunan (72,93%), tegalan kebun (0,82%), tambak (2%), dan lainnya (24,25%). Jumlah penduduk 286.115 orang dengan mata pencaharian: buruh (18%), nelayan (1,28%), industri (13,78%), pedagang/pengusaha (8,95%), jasa (47,47), PNS/ABRI/pensiunan (10,52%). Jumlah dan kepadatan penduduk sangat tinggi, diatas 10.000 jiwa per km. dan ber ada di wilayah Central Bisnis Distrik (CBD)
Potensi Sumberdaya Alam b.
Mangrove Di sepanjang wilayah pantai Tambak Lorok dapat dikatakan sudah tidak terdapat pohon mangrove, karena di wilayah tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pelabuhan dan pendaratan.
c.
Potensi Perikanan Budidaya Kec. Semarang Barat dan Kec. Semarang Utara mempunyai luas areal tambak sebesar 111,50 Ha. dan Sungai 12,25 Ha.dengan hasil ikan 48,7 ton per tahun (2006)
d.
Potensi Pariwisata Wisata pantai modern diarahkan pada optimalisasi pantai Marina dan Kawasan Wisata Tanjungmas. Kegiatan wisata perairan darat dikembangkan di kawasan folder Tawang. Adanya kendala kualitas air yang menimbulkan aroma tidak sedap dapat diatasi melalui pendekatan biologis dengan mengisi jenis ikan tertentu yang mampu mengekstraksi permasalahan kualitas air tersebut, disertai/tanpa deairasi.
4.4.3. Kecamatan Genuk Pantainya merupakan kombinasi antara berelief rendah tersusun oleh endapan aluvium berupa paparan lumpur dan sebagian yang lain tersusun oleh pasir pantai. Luas areal 2.708,38 Ha (IKONOS-1m Perekaman 13 Juni 2009), dengan penggunaan areal tanah sebesar 289,40 Ha. berupa tanah sawah dan sebesar 2.418,98 Ha. berupa tanah kering yang terdiri dari pekarangan untuk bangunan dan halaman (47%), tegal/kebun (31%), tambak (15,50%), lain-lain
117
(6,50%). Jumlah penduduk 80.600 orang dengan mata pencaharian sebagai petani (5,20%), buruh (53,45%), nelayan (0,11%), pengusaha (2,72%), pedagang/pengusaha (11,91%), jasa (25,55%), dan PNS/ABRI (1,06%). Kawasan industri juga berkembang pada daerah pinggiran Kota Semarang yaitu koridor Genuk-Sayung. Sama halnya dengan kawasan industri di koridor TuguKaliwungu, kawasan industri ini perlu dimantapkan karena dapat berfungsi sebagai generator pertumbuhan wilayah, dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang serta ditopang dengan kebijakan yang mendukung. Di sisi lain, kawasan industri yang ada harus dibatasi perkembangannya agar tidak masuk ke dalam CBD kota dan tidak mengkonversi lahan produktif yang ada, karena potensi pencemaran yang ditimbulkan.
Potensi Sumberdaya Alam a.
Mangrove Sama halnya yang terjadi di Kecamatan Tugu, kawasan mangrove di Kecamatan Genuk juga mengalami degradasi dan kehilangan sebagian besar ekosistem mangrovenya karena konversi lahan. Menurut survey KeSEMAT 2008, di tepian pantai Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan lagi antara pertambakan penduduk dengan lautan lepas karena degradasi lahan yang menyebabkan abrasi.
Gambar 4.10 Pemetaan Area Mangrove Juni 2009 di Kecamatan Genuk
118
Disepanjang pantai antara Sungai Babon dan Sungai Seringin Desa Terboyo Wetan terdapat jalur tumbuhan mangrove setebal 20 m sepanjang 500 m. Mangrove tersebut terutama dari jenis Rhizophora sp. dan Avicenia sp. dengan ketinggian yang bervariasi dari yang < 1 m hingga 4 m. Kondisi jalur mangrove ini baik dan sangat mungkin untuk dilakukan penanaman mangrove untuk lebih meningkatkan kondisi nya. Selanjutnya di sebelah barat Sungai Seringin di sebelah utara Terminal Bus Terboyo terdapat spot-spot pohon mangrove dari jenis Rhizophora sp (Lihat Gambar 4.10) Sama halnya dengan Kecamatan Tugu, Kecamatan Genuk juga membutuhkan langkah-langkah penyelamatan /konservasi mangrove karena mempunyai potensi yang sangat baik untuk pertumbuhan mangrove. Dengan pemetaan area mangrove dengan resolusi tinggi, jumlah luasan mangrove bisa terpantau secara detil (Lihat Gambar 4.11)
Gambar 4.11 Pemetaan Area Mangrove Menggunakan Data Satelit Resolusi Tinggi, 2009
119
b. Potensi Perikanan Budidaya Kecamatan Genuk mempunyai areal tambak seluas 27,72 Ha.dan areal Sungai seluas 32,15 Ha. untuk perikanan budidaya c. Produksi Pertanian Dengan tanah sawah seluas 10,65 % dari total area,
maka Kec. Genuk
merupakan produsen pertanian berupa padi terbesar kedua setelah Kec Tugu. d. Potensi Industri Menurut Inkantrani B.P, 2006, pembangunan di kawasan industri Genuk sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada. Dalam arti, lingkungan yang ada sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan mahluk hidup diatasnya akibat pembangunan/kegiatan industri. Dengan kata lain daerah Genuk sudah tidak layak lagi untuk dikembangkan sebagai kawasan industri. Menurut Peta Tata Guna Lahan Bagian Wilayah Kota, Kecamatan Genuk masuk kedalam BWK IV, dengan Kawasan Industri: Terboyo Semarang, Terboyo Megah, LIK Bugangan Baru dan Wilayah Industri sepanjang jalan Kaligawe.
4.5
Kebijakan Umum Pemerintah Kota Semarang
4.5.1 Visi dan Misi Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Kota Semarang Tahun 2005 – 2010, visi dan sekaligus tujuan pembangunan jangka menengah Kota Semarang adalah “Semarang Kota Metropolitan Yang Religius Berbasis Perdagangan dan Jasa” sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya sebagai ukuran tercapainya pembangunan lima tahun mendatang, maka ditetapkan arah kebijakan umum dalam kerangka pencapaian sasaran pokok: 1.
Mewujudkan pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang religius melalui peningkatan kualitas keimanan dan ke taqwaan, pendidikan dan derajad kesehatan masyarakat dengan memperbesar akses bagi warga masyarakat kurang mampu, pengembangan olahraga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
120
2.
Memantapkan
pelaksanaan
otonomi
daerah
menuju
tata
kelola
pemerintahan yang baik melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, kemandirian keuangan daerah, pengembangan profesionalisme aparatur serta didukung oleh infrastruktur kepemerintahan yang berbasis pada teknologi. 3.
Memantapkan perwujudan tatanan kehidupan politik, sosial dan budaya yang demokratis serta memperkokoh ketertiban dan keamanan yang kondusif melalui upaya penegakan hukum dan peraturan, pengembangan budaya tertib dan disiplin serta menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
4.
Memantapkan kinerja pertumbuhan ekonomi kota secara terpadu dan sinergi diantara para pelaku ekonomi yang berbasis pada perdagangan dan jasa, mendorong kemudahan ber-investasi, penguatan dan perluasan jaringan kerjasama ekonomi lokal, regional dan internasional.
5.
Mewujudkan perlindungan sosial melalui penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, anak jalanan, gelandangan dan pengemis, yatim piatu, korban bencana, perlindungan anak dan keluarga, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan peran pemuda.
6.
Mewujudkan terselenggaranya kegiatan penataan ruang yang konsisten bagi terwujudnya struktur dan pola tata ruang yang serasi, lestari dan optimal didukung pengembangan infra struktur yang efektif dan efisien serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
4.5.2 Kebijakan Eksisting mengenai Pengelolaan Kota Semarang Tepian Pantai Kota Semarang secara fisik terdiri dari tiga kawasan makro, yaitu kawasan pantai dan laut, kawasan dataran rendah, dan kawasan atas (kawasan perbukitan). Setiap kawasan memiliki karakteristik masing-masing yang harus disesuaikan dengan konsep pengelolaannya.
121
1. Kawasan Pantai dan Laut Terletak di bagian utara Kota Semarang yang merupakan jalur pantai utara Jawa. Memiliki potensi pengembangan ekonomi yang cukup kuat , didukung oleh faktor sejarah dan aksesibilitas, namun kawasan ini memiliki kendala dan batasan pengembangan yang disebabkan oleh: banjir, rob, penurunan muka tanah, dan lain-lain. Konsep pengembangan kawasan ini adalah:
Pengembangan
Jalan
Menyisir
Pantai
(berfungsi:
Pengembangan Pantai, Jalan dan Sabuk Pantai
Reklamasi Pantai (Pengembangan Water front City Pantai)
Pengembangan kolam tampung air (retarding basin)
Pengembangan Hutan Bakau
2. Kawasan Dataran Rendah Meliputi kawasan pusat kota yang banyak berfungsi sebagai kawasan permukiman dan perdagangan. Kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena pembangunan dapat dilakukan dengan sangat optimal. Adapun konsep pengelolaan yang akan diterapkan pada kawasan ini adalah:
Efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan ruang melalui pengembangan bangunan bertingkat (High Risk Building)
Pengembangan perdagangan dan Jasa
Pengembangan permukiman perkotaan modern (Apartemen, Rumah Susun)
3. Kawasan Atas (Perbukitan) Menjadi
area
menyeimbang
pengembangan
kan
kondisi
fisik
dan
konservasi
di
Kota
yang
dapat
Semarang.
Area
dikembangkan sebagai penampung luberan perkembangan kegiatan perkotaan
kota
bawah.
Perkembangan
diatur
dengan
tetap
mempertimbangkan keseimbangan antara kawasan terbangun dan non terbangun, kepadatan bangunan, kawasan resapan air, dan konservasi. Konsep pengembangan kawasan ini adalah:
Pengembangan Permukiman Kepadatan Rendah
122
Sedang
Pengembangan fungsi ekonomi perkotaan yang mendukung fungsi ekologis, seperti: kawasan wisata hutan kota, taman buah,
taman
rekreasi
air
(danau/embung),
pertanian
hydroponik, dan lain-lain.
4.5.3 Kebijakan Tentang RTRW Kota Semarang Tahun 2000-2010. Sebagaimana diatur di dalam Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000 – 2010, telah ditetapkan kawasan yang berfungsi lindung dan kawasan yang berfungsi budidaya. Kawasan Lindung meliputi kawasan yang melindungi di bawahnya, kawasan lindung setempat, dan kawasan rawan bencana. Kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya adalah kawasan-kawasan dengan kemiringan >40% yang tersebar di wilayah bagian Selatan. Kawasan Lindung setempat adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan waduk, dan sempadan mata air. Kawasan lindung rawan bencana merupakan kawasan yang mempunyai kerentanan bencana longsor dan gerakan tanah. Kegiatan budidaya dikembangkan dalam alokasi pengembangan fungsi budidaya.
4.5.4 Kebijakan Tata Ruang Wilayah Tepian Pantai Tata Ruang Wilayah Tepian Pantai belum diatur secara khusus dan sementara masih mengikuti aturan Tata Ruang Wilayah Pesisir yang merupakan suatu ekosistem yang komplek yang dipengaruhi oleh sistem geofisik, sistem biologis, sistem sosial ekonomi, sistem perencanaan dan pengelolaan serta sistem pengawasan dan penegakan hukum. Kebijakan nasional yang memuat arahan kebijakan mempengaruhi pengembangan wilayah pesisir dan laut Kota Semarang. Beberapa dokumen yang digunakan dalam pemanfaatan ruang pesisir adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan arahan kebijakan sektoral (Sektor transportasi laut, industri dan perdagangan, pariwisata dan kesenian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi). Menurut Widodo A
2005, pendekatan yang
123
digunakan dalam penyusunan RTRWN adalah menggunakan prinsip dasar dalam penataan ruang darat, laut dan udara dan pendekatan wilayah. Dasar dalam penataan ruang terdiri dari fungsi utama kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya, aspek administrasi yang terdiri dari RTRWN, RTRWP, RTRW Kota/Kabupaten, aspek fungsi kawasan dan kegiatan yang terdiri dari kawasan perkotaan, kawasan pedesaan, dan kawasan tertentu.
4.5.5 RTRW Pesisir Kota Semarang Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kota Semarang merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang yang diatur dalam Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2003 dan mengacu pada pasal 7 UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, dimana kawasan sempadan pantai merupakan kawasan lindung yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan. 1. Kawasan garis pantai menjadi potensi pengembangan yang spesifik untuk dapat menampung kegiatan rekreasi, ekonomi perikanan dan kehidupan nelayan. 2. Kawasan ekonomi dasar dikonsentrasikan ber sama-sama dengan kawasan pelabuhan. 3. Kawasan kota bawah merupakan daerah datar yang mempunyai potensi keruangan yang efektif, tempat berkembangnya pusat-pusat kegiatan perkotaan
dan
permukiman
untuk
mengembangkan
kegiatan
perekonomian, selain sebagai kawasan perlindungan 4. Kawasan kota bawah harus didukung oleh pengembangan drainase yang baik dan perlindungan daerah genangan.
Kawasan
sempadan
pantai
mempunyai
manfaat
penting
dalam
mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Lokasi kawasan sempadan pantai Kota Semarang meliputi Kecamatan-kecamatan:
Tugu, Semarang Barat,
Semarang Utara dan Genuk, kecuali pada daerah khusus yang ditentukan sebagai daerah wilayah kerja pelabuhan. Kegiatan yang diperkenankan adalah yang dapat mendukung pelestarian tebing atau garis pantai dari abrasi dan infiltrasi air laut,
124
pembangunan prasarana, khususnya untuk perhubungan. Kepemilikan kawasan sedapat mungkin dipertahankan sebagai tanah negara. RTRW Kota Semarang ditetapkan dengan Perda No. 01 Tahun 1999 menggantikan Perda 02 Tahun 1990 tentang Rencana Induk Kota Semarang. Didalam RTRW Kota Semarang memuat tentang kependudukan, Rencana Struktur Pengembangan Bagian Wilayah Kota, Rencana Sistem Transportasi dan Rencana Pengaturan Bangunan. Proses penyusunan RTRW Kota Semarang Tahun 1995 sampai dengan 2000 dilakukan melalui beberapa tahap. Langkah I adalah melakukan evaluasi terhadap rencana tata ruang sebelumnya. Dari evaluasi ini didapatkan bahwa sebagian perkembangan Kota Semarang tidak konsisten dengan rencana tata ruang yang mengaturnya yang disebabkan oleh perkembangan kota Semarang yang kurang di antisipasi dalam proses penyusunan rencana tata ruang sebelumnya. Dari tahapan evaluasi rencana tata ruang Kota Semarang sebelumnya selain akan dihasilkan kesimpulan tentang perlunya revisi terhadap rencana tata ruang tersebut, juga akan diperoleh pemahaman terhadap perkembangan Kota Semarang baik fisik maupun non fisik serta rencana perkembangan baik global, nasional maupun regional. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka disusun RTRW Kota Semarang yang baru.
4.5.6. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota Semarang a. Rencana Tata Guna Lahan Kota Semarang Menurut Laporan Akhir Penyusunan Dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM), BAPPEDA Kota Semarang 2009, Rencana tata guna lahan Kota Semarang lebih banyak diperuntukkan sebagai kawasan permukiman, konservasi dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Persentase untuk kawasan permukiman sebesar 34,4 % sedangkan kawasan konservasi dan RTH sebesar 28,8%. Persentase kawasan permukiman leih tinggi karena jumlah penduduk yang semakin meningkat akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal sehingga perlu tersedianya lahan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan peruntukan lahan kawasan konservasi dan RTH sangat penting untuk menghindari terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor.
125
Selain itu juga untuk menjaga keseimbangan antara kawasan terbangun seperti peruntukan kawasan permukiman, industri, perdagangan jasa dan lain-lain dengan kawasan yang diperuntukkan sebagai daerah resapan air yaitu kawasan konservasidan RTH. Peruntukan tata guna lahan yang lain antara lain: jalan 12,5%, industri 8,97%, dan campuran 3,35%. Definisi Ruang Terbuka Hijau: Menurut Departemen Pekerjaan Umum, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Menurut UU Tata Ruang, kriteria kota yang nyaman ditinggali adalah masyarakat dapat mengartikulasikan seluruh aktifitas sosial, ekonomi, budayanya dengan tenang dan damai. Kota aman dan tenteram, terbebas dari gangguan dan bencana, adaptif dengan perubahan
iklim, warga bisa berke giatan dengan
produktif dan mengaktualisasi jati dirinya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30% (20% publik, 10% privat). Berdasarkan PERMEN PU No.5 tahun 2008 memberikan pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, tang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. Ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan
berdasarkan letak dan
fungsinya sebagai berikut:
Ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space)
Ruang terbuka di pinggir sungai (river flood plain)
Ruang terbuka pengaman jalanbebas hambatan (green ways)
Ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar Udara.
Sumber: UU No. 26 Tahun 2007; Permen PU No. 5 Tahun 2008.
Ruang Terbuka Hijau merupakan besaran yang diukur berdasarkan intensitas ruang terbuka hijau, yaitu proporsi antara Ruang Terbuka Hijau untuk
126
penghijau an dengan luas petak tanah suatu peruntukan. Berhubung setiap kecamatan suatu wilayah/kota mempunyai luasan Ruang Terbuka Hijau yang berbeda, maka dilaku kan perencanaan penetapan besaran luasan Tata Ruang Hijau yang berbeda pula, dimana setiap kecamatan ditentukan besar minimal RTH berdasar potensinya, dengan batasan
bahwa secara keseluruhan RTH
minimum kota tersebu adalah 30%. Sebagai contoh: 1. Pada wilayah perkotaan (kecamatan), karena luasan Ruang Terbuka se makin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun, maka besar luas an RTH di arahkan minimal 15%- 25% dari total luas wilayah kecamatan 2. Pada wilayah Ruang Pedesaan Kota, yang relatif Ruang Terbuka Hijau masih besar, besaran luasan RTH diarahkan minimal sebesar 25% - 40% dari total luas wilayah kecamatan pedesaan
b. Rencana Kawasan Lindung Kawasan lindung ditetapkan dalam pemanfaatan ruang memiliki fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta sosial-budaya di wilayah tepian pantai guna kepentingan pembangunan Kota Semarang yang berkelanjutan. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup di wilayah tepian pantai Kota Semarang. Sasaran pengelolaan kawasan lindung adalah untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap: tanah, air, iklim, tumbuhan & satwa, nilai sejarah & budaya bangsa, serta mempertahankan keaneka ragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam. Sumberdaya dan ekosistem pesisir yang rusak perlu dilindungi dan diperbaiki (rehabilitasi), sedangkan sumberdaya dan ekosistem yang masih baik perlu dilakukan perlindungan dan pengawetan (preservasi).
Kawasan
Lindung
meliputi
kawasan
yang
memberikan
perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya dan kawasan rawan bencana. Kawasan Perlindungan Setempat 1. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
127
pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 2. Pengembangan
zona
sempadan
pantai
direncanakan
berupa
pengembangan sabuk hijau mangrove maupun sabuk hijau vegetasi pantai yang dapat berupa tanaman pesisir yang kuat (pohon kelapa, cemara laut, asam jawa, asam keranji, dsb.) 3. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. c.
Persepsi Ruang Terbuka Hijau ( minimum 30%) Merupakan besaran yang diukur berdasarkan intensitas ruang terbuka
hijau, yaitu proporsi antara Ruang Terbuka Hijau untuk penghijauan dengan luas petak tanah suatu peruntukan. Berhubung setiap kecamatan suatu wilayah/kota mempunyai luasan Ruang Terbuka Hijau yang berbeda, maka dilaku kan perencanaan penetapan besaran luasan Tata Ruang Hijau yang berbeda pula, dimana setiap kecamatan ditentukan besar minimal RTH berdasar potensinya, dengan batasan bahwa secara keseluruhan RTH minimum kota tersebu adalah 30%. Sebagai contoh: 1. Pada wilayah perkotaan (kecamatan), karena luasan Ruang Terbuka se makin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun, maka besar luas an RTH di arahkan minimal 15%- 25% dari total luas wilayah kecamatan 2. Pada wilayah Ruang Pedesaan Kota, yang relatif Ruang Terbuka Hijau masih besar, besaran luasan RTH diarahkan minimal sebesar 25% - 40% dari total luas wilayah kecamatan pedesaan Dasar penetapan Ruang Terbuka Hijau
minimom 30% adalah
Permendagri nomor satu (1) tahun 2007, Undang-undang no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, dimana berdasar Pasal 29, luas RTH 30% dari luas wilayah kota terbagi 20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% RTH privat.
128
Kawasan Suaka Alam dan Budaya Kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (zona lindung) serta keragaman budaya. 1. Cagar Budaya merupakan warisan budaya dan pendukung kelestarian budaya
yang
perlu
dilakukan
keberadaannya
serta
memiliki
keanekaragaman dan fungsi edukasi.
Tabel 4.8 Rencana Kawasan Lindung di pesisir Kota Semarang No. I.
Kawasan Perlindungan Setempat
1. Kawasan
Sempadan Pantai 3.
Kawasan Sempadan Sungai
II.
Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
1. 2.
Kawasan Cagar Budaya Kawasan Pantai Berhutan Bakau
III.
Kawasan Rawan Bencana Alam
1.
Kawasan Abrasi
Rawan
2. 3.
Kawasan Rawan Akresi Kawasan Rawan Rob/ Banjir
Sumber: Tim Penyusun RTRP Kota Semarang, 2008.
Sebaran Lokasi BWP Barat: Sepanjang pantai di BWP Barat BWP Tengah: Sepanjang pantai BWP Barat BWP Timur:Sepanjang pantai di BWP Timur BWPBarat:Kanan-Kiri sungai yang melintas BWP Tengah: kanan-kiri sungai melintas BWP Timur: kanan-kiri sungai melintas BWP Tengah: Kawasan Kota Lama dan Maerokoco BWP Timur: kawasan mangrove Terboyo Kulon BWP Barat: kawasan mangrove Tugu BWP Barat: Tugurejo, Mangunharjo, Randugarut, Karanganyar, dan Mangkang Wetan (Kec. Tugu) dan Tambakharjo (Kec. Semarang Barat) BWP Timur: Trimulyo dan Terboyo Wetan (Kec. Genuk) BWP Timur: Terboyo Wetan (Kec. Genuk) BWP Barat : Kec. Semarang Barat BWP Tengah: Kec. Semarang Utara BWP Timur: Kec. Genuk
129
2. Cagar Budaya merupakan warisan budaya dan pendukung kelestarian budaya
yang
perlu
dilakukan
keberadaannya
serta
memiliki
keanekaragaman dan fungsi edukasi. 3. Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada biota (Spawning & nursery ground) bagi fauna tipe Psammo-phytophill di pantai dan laut. Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan habitat vital hutan bakau dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut disamping sebagai perlindungan pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Kawasan pantai berhutan bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kota Semarang yang direncanakan untuk dilindungi terdapat di BWP Barat dan BWP Timur ( Kawasan mangrove Tugu, Mangunharjo dan kawasan mangrove Terboyo Kulon).
Kawasan Rawan Bencana Alam Adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana dapat berupa kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tsunami, kawasan rawan banjir, kawasan rawan abrasi, kawasan rawan gerakan tanah. 1. Kawasan Rawan Abrasi merupakan kawasan yang rawan terjadi penggerusan pada dinding-dinding pantai yang tak bertanggul yang disebabkan oleh arus dan atau gelombang. Kawasan rawan abrasi terdapat
di
BWP
Barat
(Tugurejo,
Mangunharjo,
Randugarut,
Karanganyar, Mangkang Wetan dan Tambakharjo) dan BWP Timur (Trimulyo dan Terboyo Wetan) 2. Kawasan Rawan Akresi adalah kawasan yang rawan terbentuknya daratan baru (tanah timbul) yang disebabkan oleh terbawa dan terendapkannya
130
tanah hasil erosi/abrasi oleh gelombang air laut. Kawasan rawan akresi berada di Pantai Terboyo Wetan. 3. Kawasan Rawan Rob/Banjir merupakan daerah yang ditandai oleh genangan air yang muncul dari permukaan tanah akibat dorongan tekanan dari dalam karena intrusi air laut secara berlebihan, pasang atas air laut dan tidak berfungsinya resapan atau drainase. Daerah rawan rob/banjir adalah seluruh wilayah Kecamatan Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk.
Rencana Kawasan Budidaya 1. Rencana Kawasan Budidaya Laut Di Kawasan pantai Mangunharjo, Wetan, Randugarut, dan Karanganyar. Jenis yang di kembangkan adalah: rumput laut jenis Cotonni, Kerang hijau, Kerapu Lumpur, Kerang dara dan Terumbu karang buatan. 2. Rencana Kawasan Budidaya Tambak Sylvofishery-Polikultur: bandeng dan udang Kecamatan Tugu: Mangkang kulon. Mangunharjo dan Mangkang wetan Kecamatan Gayamsari: Tambakrejo Kecamatan Genuk: Terboyo Kulon. 3. Rencana Kawasan Perikanan Tangkap Berdasarkan pada kewenangan pemerintah Kabupaten (Kep. Men. Pertanian No: 392/1999; UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 27 tahun 2007), maka perlu diusahakan agar zona fishing ground (daerah penangkapan ikan) tidak tumpang tindih dengan zona spawning-ground (daerah pemijahan ikan) dan nursery ground (daerah asuhan anakan ikan), untuk menjaga agar stok ikan di laut tetap tersedia dan dapat diremajakan. Oleh sebab itu zona fishing ground tidak boleh terlalu dekat dengan zona spawning & nursery ground (mangrove). Kawasan perikanan tangkap yang berada dibawah kewenangan kota adalah sejauh 4 mil laut dari batas garis pantai. 4. Rencana Kawasan Pariwisata Pada kawasan wisata bahari/pantai disyaratkan untuk menerapkan konsep ekowisata yang didasarkan pada beberapa unsur utama: sangat bergantung
131
kualitas sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya; melibatkan masyarakat; meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilainilai peninggalan sejarah dan budaya. 5. Rencana Kawasan Sarana dan Prasarana Kegiatan Perikanan. Kegiatan perikanan tangkap di dukung dengan sarana penunjang berupa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang membutuhkan sarana prasarana perbaikan fisik bangunan PPI/TPI, saluran drainase, air bersih, tempat MCK dan sarana kebersihan. 6. Rencana Kawasan Pelabuhan. Pelabuhan berfungsi antara lain melayani kegiatan transportasi laut, angkutan barang dan manusia. Rencana pengembangan kawasan pelabuhan lebih pada upaya meng optimalkan pelabuhan yang sudah ada (Pelabuhan Tanjungmas): a.
Rehabilitasi Jetty (pemecah gelombang) yang rusak
b.
Perawatan dan perbaikan dinding revetment dan sea wall
c.
Pemeliharaan kebersihan dan kedalaman alur serta kolam pelabuhan dan fasilitas doking kapal.
d.
Pemeliharaan dan perbaikan terminal penumpang (dilengkapi dengan kantin, halaman parkir, ruang tunggu, mushola, fasilitas MCK dan poliklinik )
Rencana zonasi pemanfaatan ruang untuk pelabuhan meliputi zona pemanfaatan ruang untuk pengembangan dan peningkatan pelabuhan termasuk sarana dan prasarana pendukungnya. 7. Rencana Kawasan Permukiman Rencana kawasan permukiman di wilayah Kota Semarang Tepian Pantai meliputi: a).
Rencana kawasan permukiman yang berada di dalam sistem
perkotaan tepian pantai, dicirikan oleh kegiatan perkotaan dengan saranaprasarana penunjang kegiatan yang lengkap. Kawasan permukiman perkotaan tepian pantai dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan kecamatan-kecamatan tepian pantai.
132
b).
Rencana
kawasan
sentra
pemukiman
nelayan,
dengan
homogenitas penduduknya bergerak dalam bidang perikanan dan kelautan. Rencana kawasan sentra pemukiman nelayan ini lebih diarahkan pada pengembangan kawasan pemukiman pantai yang sudah ada di Kota Semarang Tepian Pantai. Pengembangan kawasan ini meliputi penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana yang dapat menunjang aktifitas penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. 8. Kawasan Pertanian Rencana zonasi pengembangan kawasan pertanian lahan basah antara lain ditetapkan sebagai berikut: Kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk pertanian lahan basah Kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan pertanian lahan basah secara ruang dapat memberikan manfaat: a)
Peningkatan produksi pangan dan mendayagunakan investasi yang ada
b)
Meningkatkan perkembangan sektor dan kegiatan ekonomi sekitarnya
c)
Upaya pelestarian sumberdaya alam untuk pertanian pangan
d)
Meningkatkan pendapatan masyarakat
e)
Meningkatkan pendapatan daerah
f)
Menciptakan kesempatan kerja
g)
Mendorong perkembangan masyarakat
Pertanian lahan basah di wilayah Kota Semarang Tepian Pantai lebih banyak dijumpai di Bagian Wilayah Pesisir Barat, yaitu Mangkang Kulon, Mangunharjo dan Mangkang Wetan. Secara topografi, kawasan bagian utara terletak pada ketinggian antara 0-25 m dan merupakan dataran rendah, sedang bagian Selatan memiliki ketinggian antara 0 – 359 m. Kawasan Kota Semarang berada di dataran rendah hingga perbukitan, sebagai bentukan akibat adanya beberapa gunung dan pegunungan. Topografi kawasan berupa kelerengan dan dataran rendah.
133
V. Dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN
merumuskan kebijakan dan skenario
pengelolaan untuk
selanjutnya membangun model kebijakan pengelolaan kawasan tepian air di Kota Semarang, dilakukan tahapan seperti Gambar 5.1 dibawah ini, dimana masukan utama
berupa:
(1)
Kinerja
Pengelolaan
Sumberdaya
Alam,
(2)
Keterpaduan/Keberlanjutan, (3) Sistem Dinamik dan Sistem Dinamik Spasial dengan bermacam masukan data termasuk analisis guna lahan menurut RTRW Kota Semarang tepian pantai, untuk selanjutnya dengan menggunakan Analitical Hierarchie Process (AHP) diperoleh (4) Alternatif Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Water Front City.
DATA
1.ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN SDA : NPV / BCR, CPI
KELAYAKAN PENGELOLAAN SDA
2. ANALISIS KEBERLANJUTAN : MDS, RAPFISH
Tingkat Keberlanjutan Indikator Keberlanjutan Faktor Pengungkit
MERUMUSKAN KEBIJAKAN DAN SKENARIO : Analytical Hirarchy Process
3. SISTEM DINAMIK : Analisis Stakeholder, Powersim
Sistem Dinamik & Sistem Spatial Dinamik
Analisis Guna Lahan RT RW
4 .GIS : ArcView
Model Kebijakan & Simulasi
REKOMENDASI KEBIJAKAN : Group Discussion
PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN
Gambar 5.1. Skenario Membangun Model
134
5.1
Menentukan Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Tujuan 1)
5.1.1. Kajian kinerja ke-ekonomian sumberdaya a.
Sumberdaya/Habitat Mangrove
1.
Sustainable Management Berdasarkan hasil analisis citra pada tahun 2003 dan tahun 2007,
diketahui luasan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang telah mengalami penurunan luasan sebaran mangrove dari 135,38 Ha (2003) menjadi 93,56 Ha (2007) yang tersebar di wilayah Kecamatan Tugu (Kelurahan-kelurahan Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo); Kecamatan Genuk (Kelurahan Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan) serta Kecamatan Gayamsari (Kelurahan Tambakrejo). Melalui program reboisasi pesisir Semarang potensi hutan mangrove dapat dipulihkan kembali menjadi lebih dari 135 Ha. ( seperti pada tahun 2003) dengan potensi ideal 300 ha. Hasil pengamatan dan analisa sampel (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di sepanjang pantai Kota Semarang, mulai dari pantai Marina ke arah barat, pantainya bersubstrat pasir, sedangkan mulai Marina ke arah timur substrat pantai adalah pasir berlumpur. Jenis mangrove yang diidentifikasi antara lain Avicenia alba, A. Marina, A. Ovalis, Rhizophora mucronata, Lumnizea racemosa, Excoecaria agallocha, dan Pandanus sp. Pada opsi sustainable management, benefit yang diperoleh dari pengelolaan hutan mangrove berasal dari standing stock, kemampuan mangrove dalam menyediakan habitat perikanan, kehidupan liar (wildlife), biodiversitas, physical value dan existence value. Biaya yang harus dikeluarkan berupa investment cost, biaya pemeliharaan dan eksploitasi standing stock, fishing cost serta biaya pemanfaatan kehidupan liar. Analisis biaya manfaat konservasi habitat
yang digunakan oleh
Kusumastanto et al. (1998) dari hasil kajiannya di Selat Maaka, diperoleh data bahwa estimasi nilai standing stock hutan mangrove mencapai USD 165/ha/th, didasarkan pada volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang diizinkan untuk kepentingan sustainable use selama 20 tahun masa pengelolaan (19.305 ha/th). Estimasi nilai mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat bagi berbagai jenis ikan (mencapai USD 1,522.24/ha/th),
135
didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Estimasi nilai kehidupan liar didalam ekosistem mangrove (mencapai USD 8,22/ha/th), didasarkan pada kekayaan spesies seperti burung, mamalia dan reptil yang dimiliki hutan ini. Estimasi nilai biodiversitas ekosistem mangrove (mencapai USD 15/ha/th), disetarakan dengan nilai biodiversitas hutan hujan tropis (tropical rain forest) dengan fungsi ekologi tinggi. Data tersebut juga menunjukkan, bahwa investment cost pengelolaan hutan mangrove diestimasi mencapai USD 190,39/ha/th. Menurut Sumardjani (1993), eksploitasi dan perawatan standing stock hutan mangrove di Air Sugihan, Sumatra Selatan adalah USD. 102.93/ha/th. Fishing cost sumberdaya perikanan di sekeliling hutan mangrove diestimasi mencapai USD 681,95/ha/th; sedangkan biaya pemanfaatan kehidupan liar di dalam area hutan mangrove mencapai USD 0,59/ha/th. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sustainable manajemen disajikan pada Tabel 5.1 Dengan mengadopsi data hasil penyelidikan Kusumastanto et al (1998) yang dilakukan di Selat Malaka (daerah tropis dengan kondisi tidak jauh berbeda dengan pesisir Semarang), dan Sumarjani tersebut diatas untuk diaplikasikan di Kota Semarang tepian pantai maka dengan luas total mencapai 135 ha, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Semarang pada opsi sustainable management disajikan pada Tabel 5.2 Tabel 5.1. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sutainable management Benefit-Cost Komponen Benefit Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Cost Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar
Nilai (USD/ha/th) 165,00 1.522,24 8,22 15,00 726,26 2.516,40 190.39 102,93 681,95 0,59
Asumsi konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per 5 tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun
Kusumastanto et al.(1998)
136
Tabel 5.2. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sustainable management Benefit-Cost Komponen Benefit Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Cost Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar
2.
Nilai (USD/th) Asumsi 22.275,00 konstan per tahun 205.502,24 konstan per tahun 1.109,70 konstan per tahun 2.025,00 konstan per tahun 98.045,10 konstan per tahun 339.714,00 konstan per tahun 25.702,65 konstan per 5 tahun 13.895,00 konstan per tahun 92.063,25 konstan per tahun 79,65 konstan pet tahun
Sylvofisheries Opsi ini didasarkan pada asumsi
20% luas hutan mangrove yang
terbentuk digunakan untuk sylvofisheries, sisanya digunakan untuk sutainable management. Berdasarkan kondisi ini, data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998) menunjukkan bahwa benefit dari milkfish sylvofisheriy diestimasi mencapai USD 224,03/ha/th; polyculture sylvofishery USD 447,49/ha/th, dan shrimp sylvofishery USD 1.249,84/ha/th. Externality cost mencapai USD 825,91/ha/th, diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi 20 % hutan mangrove akibat aktivitas sylvofisheries. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.3. Dengan mengadopsi data tersebut untuk diaplikasikan di pesisir Semarang, dengan luas total mencapai 135 ha dan asumsi 20% luas hutan mangrove digunakan untuk sylvofisheries, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah tepian pantai Kota Semarang pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.4.
137
Tabel 5.3. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofishery (milkfish), polyculture, dan shrimp management Benefit and Cost
Komponen
Benefit
Sylvofishery1
224,03
konstan per tahun
Sylvofishery
2
447,49
konstan per tahun
Sylvofishery
3
1.248,64
konstan per tahun
Standing stock
132,00
konstan per tahun
Perikanan
1.217,79
konstan per tahun
Hidupan liar
6,58
konstan per tahun
Biodiversitas
12,00
konstan per tahun
Physical value
581,02
konstan per tahun
Existence value
2.013,12
konstan per tahun
Investment cost1
30,45
konstan per 5 tahun
Investment cost2
36,18
konstan per 5 tahun
Investment cost 3
153,47
konstan per 5 tahun
Sylvofishery1
46,24
konstan per tahun
Sylvofishery
2
47,53
konstan per tahun
Sylvofishery
3
215,49
konstan per tahun
Standing stock
82,34
konstan per tahun
Perikanan
545,56
konstan per tahun
Hidupan liar
0,47
konstan per tahun
Eksternalitas
825,91
konstan per tahun
Cost
Nilai(USD/ha/th)
Asumsi
Kusumastanto et al.(1998)
Berdasarkan data pada Tabel 5.1; 5.2; 5.3; 5.4 dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan hutan mangrove dengan hasil disajikan pada Tabel 5.5. Perhitungan secara detail aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran-lampiran 7, 8, 9, 10 halaman-halaman 268, 272, 276, 300. Indikasi kelayakan kriteria pengelolaan ditunjukkan oleh nilai NPV positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai > 1.
138
Tabel 5.4. Benefit dan Cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi: sylvofishery(milkfish)1, (polyculture)2, dan (schrimp)3 management Benefit-Cost
Komponen
Benefit
Sylvofishery1
Cost
Nilai (USD/tahun)
Asumsi
6.048,81
konstan per tahun
Sylvofishery
2
12.082,23
konstan per tahun
Sylvofishery
3
33.713,28
konstan per tahun
Standing stock
3.564,00
konstan per tahun
Perikanan
32.880,33
konstan per tahun
Hidupan liar
177,66
konstan per tahun
Biodiversitas
324,00
konstan per tahun
Physical value
15.687,54
konstan per tahun
Existence value
54.354,24
konstan per tahun
Investment cost1
822,15
konstan per 5 tahun
Investment cost2
976,86
konstan per 5 tahun
Investment cost
3
4.143,69
konstan per 5 tahun
Sylvofishery
1
1.248 ,48
konstan per tahun
Sylvofishery
2
1.283,31
konstan per tahun
Sylvofishery3
5.818,23
konstan per tahun
Standing stock
2.223,18
konstan per tahun
Perikanan
14.730,12
konstan per tahun
Hidupan liar
12,69
konstan per tahun
Eksternalitas
22.299,57
konstan per tahun
Tabel 5.5. Net Present Value (NPV) untuk setiap opsi manajemen dan BCR, Sumber: Kusumastanto et al. (1998) No.
Opsi Manajemen
NPV (USD/ha)
BCR
1
Sustainable Management
17.391,78
5,96
2
Sylvofishery Milkfish
9.825,21
2,52
3
Sylvofishery Milkfish and Shrimp
12.259,16
2,92
4
Sylvofishery Shrimp
14.789,20
3,05
139
Dengan luas total mencapai 135 ha, Opsi manajemen hutan mangrove di wilayah Kota Semarang tepian pantai mempunyai NPV dan BCR seperti pada Tabel 5.6. (detil perhitungan disajikan pada Lampiran 7, 8, 9, 10; halaman 268, 272, 276 dan 300 ).
Tabel 5.6.
Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang
No
Opsi Pengelolaan
NPV(USD)
BCR
Hasil Analisis
1
Sustainable Management
4.736.988,00
5,94
Layak
2.
Milkfish sylvofishery
4.405.319,00
2,78
Layak
3.
Polyculture sylvofishery
4.456.069,00
2,92
Layak
4.
Shrimp sylvofishery
4.595.085,00
3,04
Layak
b.
Beach Resources
b.1.
Beach Protected Areas Pesisir Semarang sepanjang 25 km. (Rencana Tata Ruang Pesisir Kota
Semarang, 2007) yang dimiliki oleh 4(empat) Kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa yaitu Kecamatan Tugu (31,78 km2), Kecamatan Semarang Barat (21,74 km2), Kecamatan Semarang Utara (10,97 km2) dan Kecamatan Genuk (27,74 km2) serta 2(dua) diantaranya masih dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pesisir secara fisik maupun sosial ekonomi, yaitu Kecamatan Semarang Timur (7,71 km2) dan Kecamatan Gayamsari (6,18 km2). Pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas selain berpotensi menghasilkan manfaat langsung (direct benefit) dan manfaat tidak langsung (indirect benefit), juga beresiko menanggung biaya langsung (direct cost). Manfaat langsung yang diperoleh berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran yang dapat dikembangkan di area ini. Manfaat tidak langsung yang diperoleh berupa perlindungan garis pantai (shorline protection).
Biaya langsung yang harus ditanggung berupa biaya
investasi (investment cost) dan biaya perawatan (maintenance cost) untuk bungalow (hotel) dan restoran. Manfaat dan biaya langsung dari aktivitas wisata
140
dan aktivitas ekonomi langsung dihitung berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh direktorat jenderal pariwisata. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998), estimasi manfaat dan biaya pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas adalah:
Tabel 5.7.
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas
Benefit-Cost Komponen Benefit
Asumsi
Wisata pantai
15.024,00
Bungalow (hotel)
9.659.220,48 tetap per tahun
Restoran Pemanenan telur penyu
Cost
Nilai (USD/km/th)
tetap per tahun
1.614.351,20 tetap per tahun 224.640,00
tetap per tahun
Hidupan liar
5.974,71
tetap per tahun
Shoreline protection
4.000.000,00 tetap per tahun
Investment cost: Bungalow (hotel)
7.152.240,00 tetap per 10 tahun
Restoran
1.760.000,00 tetap per 10 tahun
Maintenance cost: Bungalow (hotel)
572.179,20
tetap per tahun
Restoran
140.800,00
tetap per tahun
Penyu
1,85
tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)
Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km, manfaat dan biaya pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi beach protected areas disajikan pada Tabel 5.8.
141
Tabel 5.8
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi beach protected areas
Benefit-cost
Komponen
Benefit
Wisata pantai
Nilai (USD/th) 375.600
tetap per tahun
241.480.512
tetap per tahun
Restoran
40.358.780
tetap per tahun
Pemanenan telur penyu
5.616.000
tetap per tahun
149.367
tetap per tahun
100.000.000
tetap per tahun
178.806.000
tetap per 10 tahun
Bungalow (hotel)
Hidupan liar Shoreline protection Cost
Asumsi
Investment cost: Bungalow (hotel) Restoran
44.000.000 tetap per 10 tahun
Maintenance cost: Bungalow (hotel) Restoran Penyu
b.2.
14.304.480
tetap per tahun
3.520.000
tetap per tahun
46,25 tetap per tahun
Set Back Zone Opsi set back Zone, selain berpotensi menghasilkan direct dan indirect
benefit, juga beresiko menanggung direct cost. Direct benefit yang dihasilkan berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran. Indirect benefit yang diperoleh berupa shoreline protection. Direct cost yang harus ditanggung berupa investment cost dan maintenance cost untuk bungalow (hotel) dan restoran. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone disajikan sebagai berikut:
142
Tabel 5.9 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone Benefit-cost Benefit
Cost
Komponen Nilai (USD/km/th) Asumsi Wisata pantai 18.780,00 tetap per tahun Bungalow (hotel) 12.074.025,60 tetap per tahun Restoran 2.017.939,00 tetap per tahun Shoreline protection 4.000.000,00 tetap per tahun Investment cost: Bungalow (hotel) 8.490.300,00 tetap per 10 tahun Restoran 2.220.000,00 tetap per 10 tahun Maintenance cost: Bungalow (hotel) 849.030,00 tetap per tahun Restoran 222.000,00 tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)
Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km., benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi set back zone disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10.
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone Kota Semarang tepian pantai
Benefit-cost Benefit
Komponen Wisata pantai Bungalow (hotel) Restoran Shoreline protection Investment cost: Bungalow (hotel) Restoran Maintenance cost: Bungalow (hotel) Restoran
Cost
Tabel 5.11
No. 1. 2.
Nilai (USD/th) 469.500,00 301.850.625 50.448.475 100.000.000
Asumsi tetap per tahun tetap per tahun tetap per tahun tetap per tahun
212.257.500 55.500.000
tetap per 10 tahun tetap per 10 tahun
21.225.750 5.550.000
tetap pertahun tetap per tahun
Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang
Opsi pengelolaan Beach protected areas Set back zone
NPV (USD) 2.642.855.245 2,960.139.518
BCR 8,34 6,44
Hasil analisis layak layak
143
Detil perhitungan NPV dan BCR disajikan pada Lampiran-lampiran 11 dan 12, pada halaman 284 dan 288.
5.1.2. Pilihan Pengelolaan Sumberdaya Untuk memilih dari beberapa alternatif pilihan pengelolaan sumber daya yang ada yang paling layak dikembangkan di wilayah pesisir Kota Semarang, dibuat peringkat dari beberapa alternatif pilihan yang ada dengan menggunakan teknik perbandingan indeks kinerja Comparative Performance Index (CPI). a)
Pilihan Pengelolaan Sumberdaya/Habitat Mangrove Tabel 5.5. di transformasikan menjadi Tabel 5.12 matriks awal penilaian
pilihan
pengelolaan sumberdaya habitat mangrove di wilayah pesisir Kota
Semarang. Tabel 5.12. Matriks awal penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang No
Opsi Pengelolaan
1 2. 3. 4.
Sustainable Management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery Bobot criteria
Tabel 5.13.
NPV(USD) 4.736.988,00 4.405.319,00 4.456.069,00 4.595.085,00
0,4
BCR 5,96 2,52 2,92 3,05
Hasil Analisis Layak Layak Layak Layak
0,6
Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang
No.
1 2 3 4
Pilihan pengelolaan
Sustainable management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery Bobot criteria
Kriteria NPV BCR (USD) 107,3 236,5 100,0 100,0 101,2 115,9 104,3 121,0 0,4 0,6
Nilai pilihan 184,8 100,0 110,0 114,3
Peringkat
1 4 3 2
144
Perhitungan secara detil aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran. Tabel 5.13 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan Sustainable management menempati peringkat pertama (1), disusul Shrimp sylvofishery (2), Polyculture sylfofishery (3) dan terakhir Milkfish sylvofishery (4). Hasil ini juga menunjukkan bahwa
sustainable
management
merupakan
pilihan
pengelolaan
sumberdaya/habitat mangrove yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah tepian pantai Kota Semarang. Atas hal tersebut, pembabatan hutan mangrove harus segera dihentikan dan perlu di prioritaskan untuk dilakukan penanaman kembali.
a.
Pilihan Pengelolaan Beach Resources Penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai
Kota Semarang dilakukan menggunakan matriks yang disajikan pada Tabel 5.14 yang merupakan hasil transformasi Tabel 5.11
Tabel 5.14.
Matriks awal hasil penilaian pilihan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang
No. Opsi pengelolaan NPV (USD) 1. Beach protected areas 2.642.855.245 2. Set back zone 2,960.139.518 Bobot kriteria 0,4
Tabel 5.15
No.
1 2
BCR 8.34 6.44 0,6
Hasil analisis layak layak
Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang
Pilihan pengelolaan
Beach protected areas Set back zone Bobot criteria
Kriteria NPV BCR (USD) 100,0 129,5 112,0 100,0 0,4 0,6
Nilai pilihan
Peringkat
117,7 104,8
1 2
145
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan beach protected areas menempati peringkat pertama (1), disusul oleh set back zone yang menempati peringkat ke dua (2).Atas hal tersebut, perlu dilakukan langkah nyata untuk melindungi wilayah pantai, mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini menunjukkan, bahwa berbagai proses baik yang bersifat alami maupun antropogenik
seperti
abrasi,
akresi
dan
reklamasi
pantai,
cenderung
menimbulkan dampak yang merugikan baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial.
5.2
Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Keberlanjutan (Tujuan 2) Analisis data dengan pendekatan Multi-Dimensional Scalling (MDS),
meliputi aspek keberlanjutan dari dimensi ekologi, sosial-ekonomi dan budaya, infrastruktur,
serta
kelembagaan.
Selanjutnya,
dilakukan
pula
analisis
multidimensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan.
5.2.1
Analisis Keberlanjutan berdasar dimensi
(a)
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang dipertimbangkan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari dua belas atribut : (1) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hulu, (2) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hilir, (3) Pencemaran udara Kota Semarang, (4) Tingkat pencemaran air, (5) Sedimentasi, (6) Erosi, (7) Abrasi, (8) Pengelolaan sampah, (9) Tingkat penggunaan air tanah, (10) Kesesuaian penggunaan lahan dengan RTRW, (11) Aktivitas sempadan sungai (12) Aktivitas sempadan pantai.
146
Gambar 5.2.
Analisis RAP-WITEPA yang sustainabilitas dimensi ekologi.
menunjukkan
nilai
indeks
Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi wilayah tepian pantai Kota Semarang untuk pengembangan Kota Semarang tepian pantai adalah 44,72% pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA yang bersifat multi dimensi, maka nilai indeks dimensi ekologi berada dibawah ratarata (50,85%) dan termasuk kategori “kurang berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “26 – 50”.
147
Gambar 5.3. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA
Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi: (1) Erosi, (2) Abrasi dan (3) Sedimentasi. (b)
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial- Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari dua belas atribut, antara lain: (1) Jumlah penduduk miskin (%), (2) Pengangguran terbuka (%), (3) Lama pendidikan, (4) Balita kurang gisi, (5) Akses terhadap sanitasi, (6) Angka harapan
hidup,
(7)
Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
w.f.c.
berkelanjutan, (8) Persepsi masyarakat terhadap w.f.c., (9) Kepadatan penduduk,
148
(10) Tingkat kriminalitas/konflik masyarakat, (11) PDRB per kapita, (12) Akses masyarakat terhadap pantai (beach). Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diperoleh nilai indeks keberlanjutan dimensi Sosial-ekonomi wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 51,91% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85%) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi ekonomi berada sedikit diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”. Hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-ekonomi: (1) Akses masyarakat terhadap pantai, (2) Pengangguran terbuka.
Gambar 5.4.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi
149
Gambar 5.5.
Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk
(c)
perubahan RMS RAP-WITEPA
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur terdiri sembilan atribut, antara lain: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Pembangunan polder dan saluran drainase, (4) Ketersediaan teknologi informasi, (5) Kondisi pelabuhan, (6) Soft/hard engineering, (7) Kondisi jalan dan jembatan, (8) Kecukupan energi (listrik), (9) Kondisi perumahan di pemukiman. Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi infrastruktur wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 54,41 pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan
150
akan mengalami peningkatan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi Infrastruktur berada diatas, dan masuk kedalam kategori “Cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur, seperti Gambar 5.13.
Gambar 5.8.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi infrastruktur dan teknologi
Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Kondisi pelabuhan.
151
Gambar 5.9. Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA
(d)
Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh tingkat keberlanjutan
terdiri dari enam atribut, antara lain: (1) Kebijakan pengelolaan w.f.c., (2) Sinkronisasi kebijakan PEMDA mengenai w.f.c. (3) Peran swasta dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (4) Ketersediaan pengawasan dan penegakan hukum, (5) Peran LSM dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (6) Kelembagaan Mitigasi bencana.
152
Gambar 5.10.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan
Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan wilayah Kota Semarang tepian pantai adalah sebesar 52,38% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa yang akan datang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi kelembagaan berada diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu pada kisaran nilai “50 – 75”. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan: (1) Mitigasi bencana, (2) Kebijakan yang sudah disahkan.
153
Gambar 5.11. Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RAP-WITEPA Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, sosial-ekonomi, infrastruktur, serta kelembagaan dapat digambarkan dalam diagram layang nilai indeks keberlanjutan seperti pada Gambar 5.17.
DIAGRAM LAYANG-LAYANG WFC KOTA SEMARANG No 1 2 3 4
Dimensi Ekologi Sosial Ekonomi Infrastruktur Kelembagaan
Nilai Indeks 44,72 51,91 54,41 52,38
154
Gambar 5.12. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan fungsifungsi
5.2.2. Status Keberlanjutan Multidimensi Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai saat ini (existing condition), sebesar 50,85 persen dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa baik dilihat dari sisi weak sustainability maupun strength sustainability, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Kota Semarang tepian pantai termasuk dalam kategori berkelanjutan, kerena semua dimensi berada pada kategori cukup berkelanjutan.. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 39 atribut dari empat dimensi keberlanjutan. Dari 39 atribut yang dianalisis, terdapat 10 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu di intervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai. Perbaikan terhadap atribut-atribut tersebut merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh stakeholder yang terkait dalam pengembangan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai, namun yang paling penting adalah peran pemerintah, baik Pemerintah Pusat, mupun Pemerintah Daerah Kotamadya
155
Semarang sebagai fasilitator dalam membuat program rintisan kebijakan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai dan selanjutnya menyerahkan kepada masyarakat setempat untuk melaksanakannya secara partisipatif. Untuk melihat tingkat kesalahan dalam analisis MDS dengan RAPWITEPA, dilakukan analisis Monte Carlo. Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS bisa diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring tiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 5.17.
Tabel 5.17.
Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi
dan
masing-masing
dimensi
pada
selang
kepercayaan 95%. Status Indeks
Hasil MDS
Ekologi 44,72 Sosial-Ekonomi 51,91 Infrastruktur 54,41 Kelembagaan 52,38 Multi-Dimensi 50,86 Sumber: Hasil Analisis,Tahun 2011.
Hasil Montecarlo 44,44 51,86 53,81 51,80 50,48
Perbedaan 0,28 0,05 0,60 0,58 0,38
Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai koefisien determinasi (R). Nilai ini diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi RAP-WITEPA. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanagh dan Pitcher, 2004).
156
Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 sampai 17 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0,94 sampai 0,96. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti tabel 5.18 berikut.
Tabel 5.18 . Hasil analisis RAP-WITEPA untuk beberapa parameter statistik.
Stress = Squared Correlation (RSQ) = % Analisis
5.3
Ekologi
SosialEkonomi
Infrastruktur
Kelembagaan
MultiDimensi
0,136045
0,141059
0,151586
0,161272
0,1474905
0,95366
0,950945
0,946648
0,942451
0,948426
44,72%
51,91%
54,41%
52,38%
50,85%
Membangun Model Pengelolaan Semarang “water front city”secara Berkelanjutan (Tujuan 3)
5.3.1
Sistem Dinamik
5.3.1.1. Analisis kebutuhan Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan wilayah kota tepian air pada dimensi kebijakan publik dan perencana adalah: pemerintah yang mewakili kepentingan publik, investor selaku pemberi bantuan penyediaan dana dalam mewujudkannya, masyarakat setempat dan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat, pelaku usaha yang menyebabkan berjalannya aktivitas ekonomi dalam pelaksanaanya serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual. Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholder yang ter libat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan kota wilayah tepian air pada keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan.
Analisa
kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air pada dimensi kebijakan publik disajikan pada Tabel 5.19.
157
Tabel 5.19. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air No. 1.
Pihak Berkepentingan Pemerintah
2.
Pelaku Usaha
Mentaati kebijakan dan regulasi Pelaksanaan kegiatan yang berjalan lancar dan aman sesuai dengan teknologi dan biaya yang tersedia Tidak menimbulkan perncemaran lingkungan Tidak menimbulkan konflik sosial dan ekonomi Rencana kegiatan disetujui pemerintah dan masyarakat
3.
Masyarakat setempat
Peningkatan pendapatan Keberlanjutan pelayanan publik yang lebih baik Kesinambungan daya dukung perikanan Keberlanjutan program sosial, ekonomi dan ekologi Alternatif dan peningkatan lapangan kerja Perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan untuk kehidupannya di masa mendatang Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan Kesehatan dan peningkatan kualitas hidup Penurunan frekuensi konflik
4.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Tidak ada pencemaran lingkungan Tidak melanggar hak-hak masyarakat setempat Terpenuhinya kebutuhan masyarakat Penurunan frekuensi konflik
5
Kalangan perguruan tinggi (akademisi)
Tidak ada pencemaran lingkungan. Tidak ada penurunan pendapatan ekonomi pemerintah dan masyarakat Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan
6
Investor
Pembayaran atas hak-hak Iklim investasi yang baik Adanya sumber kegiatan ekonomi baru yang dapat meningkatkan aktifitas ekonomi kawasan Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan konflik sosial
Kebutuhan Mengatasi masalah banjir, intrusi air laut dan minimisasi limbah Perluasan lapangan kerja Adanya sumber pendapatan ekonomi Peningkatan peran tepian air pada perekonomian wilayah Peningkatan investasi ekonomi Terjaganya kualitas lingkungan Kelestarian fungsi ekosistem Tidak menimbulkan konflik social Sejalan dengan tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah
158
5.3.1.2.Formulasi Masalah Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada, yaitu merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku, dan pada kondisi nyata. Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja dalam rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut diuraikan dalam Analisis Multidimentional Scaling terdiri dari : 1. Pemberdayaan masyarakat: mewakili dimensi Sosial Budaya, terdiri dari pemberdayaan
masyarakat,
kepadatan
perumahan,
dan
persepsi
masyarakat. 2. Tingkat pemanfaatan lahan: mewakili dimensi ekologi, terdiri dari: tingkat pemanfaatan lahan, kejadian kekeringan, eksploitasi sumberdaya alam, kondisi prasarana jalan, biodiversitas, pengelolaan sampah. 3. Kontribusi sektor industri dan kehutanan: mewakili dimensi ekonomi, terdiri dari: kontribusi sektor industri, perubahan jumlah sarana ekonomi ,kontribusi sektor kehutanan, dan kontribusi sektor jasa. 4. Sarana dan prasarana infrastruktur mewakili dimensi Infrastruktur danTeknologi, terdiridari: Sarana listrik, reklamasi lahan,
dukungan
sarana dan prasarana jalan. 5. Ketersediaan organisasi masyarakat mewakili dimensi Hukum dan Kelembagaan, terdiri dari: daerah, transparansi dalam kebijakan.
5.3.1.3.Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran ukuran kuantitatif dari berbagai variabel pada pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan. Langkah ini di interpretasi kan kedalam diagram input-output dan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam sistem digambarkan dalam bentuk diagram simpal kausal.
159
a. Diagram Input-Output Diagram input-output sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan disajikan pada Gambar 5.13. Input sistem terdiri dari input eksternal dan internal. Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, yaitu: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan dan (6) variabel kontrol sistem . Input Lingkungan UU No.23/1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No.32/2004 Pemerintah Daerah UU No.27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir UU No.26/2007 Penataan Ruang Kapasitas Hukum/PP
Output yang diinginkan Input tak terkontrol 1. 2. 3. 4. 5.
1.
Pergantian Musim Pasang Surut Air Laut Pemanasan Global Permukiman Penduduk Ekonomi Regional
2. 3. 4. 5. 6.
Reduksi pencemaran dengan pengolahan limbah Adaptasi banjir dan pengelolaan air bersih Meningkatnya kesehatan masyarakat dan lingkungan Perluasan lapangan kerja Minimalisasi konflik Peningkatan PAD
Model pengelolaan kota wilayah tepian air
Input terkontrol 1. Pemberdayaan masyarakat 2. Tingkat pemanfaatan lahan 3. Kontribusi sektor industri dan Kehutanan 4.Sarana dan prasarana infrastruktur 5.Ketersediaan organisasi masyarakat
Output yang tidak diinginkan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Meningkatnya pencemaran lingkungan Belum teratasinya permasalahan banjir dan kebutuhan air bersih Kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun Meningkatnya pengangguran Frekuensi konflik tinggi Menurunnya PAD
Evaluasi dan Manajemen Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air
Gambar 5.13 Diagram black box (input-output) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air
160
Pada Gambar 5.13 nampak bahwa dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol. Input lingkungan bersifat eksternal, mempengaruhi sistem, tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem. Pada sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai , input lingkungan terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah tersebut mencakup peraturan dan perundangan diantaranya adalah UU No. 32/2009 (pengelolaan lingkungan hidup), UU No. 32/2004 (pemerintah daerah), UU No. 26/27 (penataan ruang), UU No. 27/2007 (pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dan Kapasitas Hukum/PP. Input internal diperlukan agar sistem memiliki kinerja yang baik. Terdapat 2 macam input internal, yaiti input terkontrol dan tak terkontrol. Input terkontrol berperan penting untuk mengubah kinerja sistem merupakan input/masukan yang dapat dikendalikan/dikontrol pelaksanaan manajemennya dalam sistem, sedangkan input tidak terkontrol merupakan inputan yang berada diluar kemampuan kendali ( musim, pasang surut ait laut) tetapi tetap diperlukan agar sistem dapat berfungsi dengan baik. Input tak terkontrol merupakan input/masukan yang tidak dapat dikontrol. Variabel-variabel yang mencakup input terkontrol adalah merupakan hasil analisis keberlanjutan atas elemen program dalam membangun sistem, yaitu pemberdayaan masyarakat; tingkat pemanfaatan lahan; kontribusi sektor industri dan perdagangan; sarana dan prasarana infra struktur serta ketersediaan organisasi masyarakat. Variabel-variabel yang termasuk input tidak terkontrol yaitu pergantian musim pasang surut air laut, sumberdaya lahan, sumber daya alam, limbah/pencemaran dan pemanasan global. Dalam proses umpan balik terhadap input terkontrol dan tidak terkontrol diperoleh output yang dikehendaki dan tidak dikehendaki yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sistem. Output yang dikehendaki merupakan respons sistem terhadap kebutuhan adalah output dari hasil umpan balik input yang diharapkan muncul dalam sistem, sedangkan output yang tidak dikehendali merupakan output yang tidak dikehendaki terjadi,
161
merupakan hasil sampingan yang tak dapat dihindarkan selama sistem memproduksi output yang dikehendaki. Output/keluaran yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem yaitu kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, infrastruktur memadai, peningkatan pendapatan masyarakat, mampu beradaptasi dengan banjir.
Sementara itu, output atau keluaran yang tidak
dikehendaki yaitu: Meningkatnya pencemaran lingkungan, belum teratasinya permasalahan banjir dan kebutuhan air bersih, kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun, meningkatnya pengangguran, frekuensi konflik tinggi, menurunnya PAD.
b.
Diagram Simpal Kausal Untuk melihat hubungan antar variabel-variabel dalam sistem dapat
digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram). Dari diagram sebab akibat (causal loop) diketahui bahwa dalam sistem pengelolaan kota wilayah tepian air, aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata memiliki peranan/pengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.14. +
Pe ndapatan Masyarakat +
Pe ngangguran + Lapa ngan Ke rja
Ang kata n Ke rja Pe ndapatan Dae rah
+
+
+ +
Aktivita s Ekono mi
P opulasi P e nduduk
+ Ke butuhan Ru ang +
+
+
-
+
Ke te rse diaan Ruang
De gradasi Lingkungan
+ Pe rtumbu han Ekono mi
Gambar 5.14 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air
162
Berdasarkan Gambar 5.14 diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi, peningkatan aktivitas, kemudahan lapangan kerja, jumlah penduduk, akan berdampak positif terhadap ketersediaan ruang. Sementara itu pertambahan populasi penduduk akibat tingkat kelahiran dan tingkat emigrasi yang tinggi, serta peningkatan kebutuhan ruang akan sarana dan prasarana akan berdampak pada penurunan ketersediaan ruang akibat terjadinya konversi ruang terbuka untuk kegiatan pengadaan sarana dan prasarana tersebut.
5.3.1.4 Permodelan Sistem Model pengelolaan wilayah kota tepian air merupakan bagian pemodelan untuk melihat keterkaitan secara keseluruhan dari variabel-variabel terkait. Diagram stock flow diagram secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.15. Model Sistem pengelolaan Kota Semarang tepian pantai terdiri dari 3(tiga) Submodel: 1) Submodel Biofisik atau disebut juga sebagai Submodel Lingkungan, 2) Submodel Ekonomi 3) Submodel Sosial
163
FrPLhn
PgLhn
LsLhn
LPrmknBgn
LsLhn
LhnEx
Rklms
Lhn Hutan PTotLHn
FLTKo
FLS
Tglkbn Tbkklm
Lhn Swh
PLTKo
PLS
FrPLhn Lhn Hutan
LPrmknBgn
PLH
PLPB FrPPB Tglkbn
FLH
PLTK PertSmph
P ertLimb
FLTK
FrP B FrP
PencLing PencLbh
Pe ncSmph
KL FJLDP
FJSP
Jmlsmph
JmlLbhDmstk
NL FS
FL
JL
JS
JAK
FrConsPdptn
Dmpk Pggr
LGA P ert Pendptn
JRT FPggr
FrPdptn
Pert LGA
P ggr
Fr LGA Fr Pe rtanian
A Klhrn
A Kem Bangunan
Fr Angk Krj
TotP DRB
Pert Bangunan Klhrn
Kem
Pertanian Pert Pertanian
Fr Bangunan Pert&Ind Js&Perd
Pddk
Angk Krj
Kpdtn
Fr PI
KPJ
Fr Js&Pe rd Imig
LsLhn
Emig
Pert PI
Pert Js&Perd
AngKom
Pert KPJ
Pert AngKom
A EMig Fr KPJ P ert Pddk
A Imig
Klhrn
PertNPTPI
Fr AngKom
Kem
LsTbk Tbkklm NP TPI
FRTBK AK FrNPTP I
Gambar 5.15 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air
164
a. Sub Model Lingkungan Sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan yang memberikan ilustrasi yang terjadi di antara variabel-variabel di dalam komponen submodel seperti permasalahan sampah dan limbah domestik, peraturan dan perundangan lingkungan, kualitas lingkungan dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel lingkungan tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop), Gambar 5.16.
P ence ma ra n Lingkungan
+
+ Kua litas Lingkungan
Jumlah Sampa h
Jumla h Limba h
+
+
P opulas i P enduduk +
Laha n P ermukima n da n Banguna n
La ha n Saw a h + Pe ngguna an Laha n
+ + Laha n Tegal, Kebun & Tana h Kering Lainnya
+
+ Ra w a, Ta mbak & Ko la m La han Huta n
Gambar 5.16. Causal Loop Sub Model Lingkungan
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) diatas diketahui bahwa pertambahan jumlah penduduk akan berdampak terhadap peningkatan jumlah sampah dan limbah domestik sebagai dampak sampingan utama. Peningkatan tersebut pada akhirnya
berimplikasi terhadap peningkatan pencemaran
lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan sampah.
165
FrPLhn
PgLhn
LsLhn
LPrmknBgn
LsLhn
Lhn Hutan
LhnEx
Rklms
PTotLHn
FLTKo
FLS
Tglkbn Tbkklm
Lhn Swh
PLTKo
PLS
FrPLhn
Lhn Hutan
LPrmknBgn
PLH
PLPB FrPPB Tglkbn
FLH
PLTK PertSmph
PertLimb
FLTK
FrPB FrP
PencLing PencLbh
PencSmph
KL FJLDP
FJSP
Jmlsmph
JmlLbhDmstk
NL FS
JL
JS
FL
Pddk
Gambar 5.17 Stock flow diagram sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota tepian air Berdasarkan diagram alir 5.17 sub model lingkungan di dalam model sistem pengembangan kota wilayah tepian air berkelanjutan, peningkatan konversi ruang terbuka hijau menjadi areal bangunan untuk permukiman dan industri berdampak buruk terhadap peningkatan pencemaran lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan limbah dan sampah.
166
Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model lingkungan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model lingkungan. Asumsi-asumsi tersebut: Untuk jumlah limbah padat masyarakat diambil berdasarkan kajian SLHI bahwa limbah padat rata-rata per orang perhari adalah sebanyak 0,45 kg per hari, sedangkan untuk limbah cair sebanyak 2,81 liter per hari. Sehingga untuk mendapatkan jumlah pertahun dikalikan dengan 30 hari dan 12 bulan. Berdasarkan sub model lingkungan memperlihatkan bahwa pertambahan limbah berfungsi sebagai laju masukan pada level limbah merupakan perkalian antara jumlah limbah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 3 liter per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai constanta pada angka limbah dengan populasi yang merupakan pertambahan penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary. Untuk pertambahan sampah berfungsi sebagai laju masukan pada level sampah merupakan perkalian antara jumlah sampah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 0,45 kg per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai constanta pada angka sampah dengan populasi yang merupakan pertambahan penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary. Pencemaran lingkungan sebagai auxiliary merupakan nilai rata-rata antara pencemaran sampah dengan pencemaran limbah yang dibagi dengan constanta nilai lingkungan, sehingga kualitas lingkungan sebagai auxiliary merupakan pengurangan antara nilai lingkungan dengan pencemaran lingkungan.
b. Sub Model Sosial Sub model sosial dalam sistem pengembangan kota tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel sosial, seperti jumlah populasi, kelahiran, kematian, imigrasi (perpindahan penduduk ke dalam lokasi), emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), dan jumlah pengangguran dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem.
167
Berdasarkan diagram sebab akibat di atas diketahui bahwa jumlah populasi sangat dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Peningkatan jumlah kelahiran dan tingkat imigrasi akan meningkatkan jumlah populasi, sedangkan tingkat kematian dan emigrasi berdampak mengurangi jumlah populasi. Peningkatan populasi juga akan berdampak terhadap peningkatan jumlah angkatan kerja, dan pengangguran. Gambaran tentang diagram alir sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.18 di bawah ini.
Pe ngangguran +
Te na ga Ke rja + Angka tan Kerja
Kematian
+ Ke la hiran
+ Pe nduduk +
Imigras i
Emigras i +
P ertumbuhan P enduduk
+ Ke pa da ta n Pe nduduk -
Luas La ha n
Gambar 5.18 Causal Loop Sub Model Sosial
Berdasarkan Gambar 5.18 di atas, faktor penting yang menjadi fokus kajian adalah aspek kependudukan (populasi), yang mencakup jumlah penduduk, dan ketenagakerjaan. Mengenai jumlah penduduk, ada beberapa hal yang mempengaruhi jumlah penduduk di lokasi kajian berdasarkan model yang telah dibuat, yaitu: kematian, emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), kelahiran, dan imigrasi (perpindahan penduduk masuk kedalam lokasi). Kematian dan emigrasi di dalam model akan berdampak terhadap pengurangan
168
jumlah penduduk di lokasi kajian, sedangkan kelahiran dan imigrasi akan berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk. Dampak dari terjadinya pertambahan penduduk yang merupakan akumulasi positif dari pengaruh kelahiran dan imigrasi atau kematian dan emigrasi dengan luas areal kawasan yang relative sama akan berdampak terhadap terjadinya peningkatan kepadatan penduduk di wilayah Kota Semarang sebagai pusat pengembangan kota. Sedangkan ketenagakerjaan yang dikaji dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air adalah jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran. Di dalam sistem pengembangan kota kawasan tepian pantai dilakukan analisis terhadap faktor-faktor jumlah emigrasi, jumlah imigrasi, tingkat kelahiran,tingkat kematian, tingkat kepadatan penduduk, umur harapan hidup penduduk Kota Semarang, jumlah angkatan kerja, pengangguran dan kepadatan penduduk, yang digunakan untuk penyusunan model sistem keberlanjutan pengembangan kota kawasan tepian air. Model pengembangan kota kawasan tepian air khususnya sub model sosial yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model sosial. Asumsi-asumsi tersebut adalah : 1.
Laju angka kelahiran dianggap tetap dengan tidak terjadi perubahan fraksi fertilisasi.
2.
Laju emigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal emigrasi.
3.
Laju imigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal imigrasi.
169
Dmpk Pggr
JAK
JRT
FPggr
Pggr
A Klhrn
A Kem
Fr Angk Krj Klhrn
Ke m
Pddk
Angk Krj
Imig
Kpdtn
LsLhn
Emig A EMig Pert Pddk
A Imig
Klhrn
PertNPTPI
Kem
LsTbk Tbkklm NPTPI
FRTBK AK FrNPTPI
Gambar 5.19 Stock flow diagram sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air Berdasarkan sub model sosial Gambar 5.19 memperlihatkan bahwa kelahiran dan imigrasi berfungsi sebagai laju masukan pada level populasi, untuk kelahiran merupakan perkalian antara populasi dengan fraksi lahir yang terdapat sebagai constanta, dan untuk imigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal imigrasi yang terdapat sebagai constanta. Sedangkan kematian dan emigrasi berfungsi sebagai laju keluaran pada level populasi, untuk kematian merupakan perkalian antara populasi dengan umur yang merupakan harapan hidup rata-rata setiap tahun berdasarkan data umur harapan hidup di Kota Semarang membentuk suatu graph, dan untuk emigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal emigrasi yang terdapat sebagai constanta. Angkatan kerja sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian dari populasi dengan fraksi angkatan kerja sebagai constanta, yang menggambarkan persen angkatan kerja terhadap populasi penduduk yang ada. Pengangguran sebagai
170
auxiliary merupakan hasil pertambahan dari angkatan kerja dikalikan fraksi pengangguran sebagai constanta dengan selisih antara jumlah pekerja pada tahun simulasi dan diawal simulasi.
c. Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air di Kota Semarang Gambar 5.20 merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh
variabel-variabel
ekonomi,
seperti
pertumbuhan
ekonomi,
pertumbuhan sektoral, tingkat pendapatan dan jumlah penduduk terhadap keberlanjutan sistem. Berdasarkan diagram sebab akibat di bawah diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektoral, yakni: Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), Angkutan dan Komunikasi (AngKom), Jasa dan Perdagangan, bangunan,
Pe rtumbuhan Se ktor Ke uangan, Pe rs ew aan & Jasa Pe rusahaan
Pertumbuhan Sekto r Perta mbangan & Indus tri
Pertumbuhan Sekto r Perta nian
+ +
Sektor Perta mbangan & Industri
Se ktor Pe rtanian
+ +
+
+
Sekto r Banguna n
To tal PDRB + +
+
+ Sektor Angkutan & Komunikasi
Sekto r Ja sa & Perda gang an + Pertumbuhan Sekto r Banguna n
Sekto r Keuanga n, Perse w aan & Ja sa Perus aha an
+
Pertumbuhan Sektor Ja sa & Perdag ang an
Gambar 5.20 Causal Loop Sub Model Ekonomi
Pe rtumbuhan Se ktor Angkutan & Ko munika si
171
Hasil akhir dari terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Gambaran mengenai stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air ditunjukkan oleh Gambar 5.21
FrConsPdptn LGA FrPdptn
Pddk
Pert LGA Fr LGA
Pert Pendptn
Fr Pertanian
Bangunan
Pertanian TotPDRB
Pert Bangunan
Pert Pertanian
Pert&Ind
Fr Bangunan
Js&Perd
Pert PI
Pert Js&Perd
Fr PI
KPJ
Fr Js&Perd
AngKom
Pert KPJ
Pert AngKom
Fr KPJ Fr AngKom
Gambar 5.21 Stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kawasan tepian air Berdasarkan Gambar 5.21 diatas, peningkatan kegiatan aktivitas ekonomi yang mencakup sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi
(AngKom),
pertumbuhan
sektor
Jasa
dan
Perdagangan,
pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan akan berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan ekonomi daerah dan pada gilirannya akan meningkatkan tingkat pendapatan perorangan. Di dalam Model Sistem Keberlanjutan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air, Pertumbuhan Ekonomi yang merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan
172
pengembangan kota wilayah tepian air secara berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh peningkatan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi
(AngKom),
pertumbuhan
sektor
Jasa
dan
Perdagangan,
pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan sebagai sektor unggulan dalam upaya peningkatan pendapatan daerah. Berdasarkan bagan model yang telah dibuat, di dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: jumlah populasi, dan kondisi perkembangan setiap sektor, sedangkan dampak negatif yang dianggap perlu diwaspadai dalam pengembangan kota wilayah tepian air adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk di lokasi studi yang diakibatkan oleh tingginya tingkat kelahiran dan imigrasi di Kota Semarang Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model ekonomi yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model ekonomi. Asumsi tersebut adalah nilai kurs rupiah dianggap sudah mengikuti perubahan terhadap nilai mata uang lainnya, karena simulasi nilai ekonomi pada masing-masing sektor setiap tahunnya sudah termasuk nilai kurs rupiah tersebut. Berdasarkan sub model ekonomi memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi (AngKom), pertumbuhan sektor Jasa dan Perdagangan, pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan merupakan laju masukan terhadap nilai ekonomi masing-masing sektor yaitu Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, keuangan, persewaan dan jasa, angkutan dan komunikasi, jasa dan perdagangan, pertanian dan bangunan sebagai level yang dikalikan dengan masing-masing pangsa pasarnya yang membentuk graph. Sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan laju masukan pada level aktivitas ekonomi dapat diketahui dengan pertambahan antar laju pertumbuhan.
173
Sedangkan persentase laju pertumbuhan masing-masing sektor sebagai auxiliary dapat diketahui dengan pembagian terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Pertambahan pendapatan sebagai auxiliary merupakan persentase dari pembagian antara pertumbuhan ekonomi terhadap level populasi, sehingga pendapatan sebagai auxiliary merupakan pertambahan dari pendapatan ekonomi sebagai konstanta dengan persen pertambahan pendapatan.
5.3.1.5 Simulasi Model Simulasi dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan perilaku model antar skenario. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan Powersim Studio 2005. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis pola kecenderungannya dan hasilnya merupakan input untuk skenario.
Model Existing Condition a)
Simulasi Model Lingkungan. Penggunaan tata ruang di Kota Semarang dari waktu ke waktu terjadi
perubahan secara signifikan yakni untuk areal perkebunan, luas permukiman bangunan, lahan sawah, areal hutan dan tambak atau kolam (Lampiran 13 halaman 292). Luasan lahan di Kota Semarang pada tahun 2003 dan tahun 2006 berdasarkan penggunaan adalah areal tegal, kebun dan tanaman kering lainnya seluas 13.608,57 ha menjadi 14.672,45 ha; luas permukiman dan bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.428,71 ha; lahan sawah seluas 3.658,47 ha menjadi 3.798,79 ha; lahan hutan seluas 1. 515.70 ha menjadi 1.718,29 ha serta tambak, rawa dan kolam seluas 2.271,64 ha menjadi 1.655,94 ha. Luas areal tegalan kebun dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, luas areal sawah mengalami peningkatan sangat kecil, luar areal hutan relatif konstan dan areal tambak kolam cenderung mengalami penurunan.
174
Ha 25.000
20.000
15.000
LPrm knBgn Tbkk lm Lhn Swh Tglkbn Lhn Hutan
10.000
5.000
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.22 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kota Semarang
Berdasarkan Gambar 5.22 diperkirakan bahwa luas areal tegalan kebun di Kota Semarang di masa-masa akan datang mengalami peningkatan sangat pesat dibandingkan peningkatan luas areal permukiman & bangunan, sehingga pada tahun 2010 diperkirakan luas areal tegalan kebun akan memiliki luas areal paling tinggi di Kota Semarang. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas tegalan kebun seluas 13.608,57 ha menjadi 15.333,29 ha luas areal permukiman & bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.763,17 ha, luas lahan sawah 3.658,47 ha menjadi 3.883,39 ha, luas areal lahan hutan seluas 1.515,70 ha menjadi 1.849,20 ha dan luas tambak kolam dari 2.271,64 ha menjadi 1.376,22 ha. Pada tahun 2025, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 19.310,87 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 16.674,48 ha, lahan sawah menjadi 4.358,08 ha, lahan hutan menjadi 2.715,97 ha dan tambak kolam
175
menjadi 522,44 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kota Semarang dapat dilihat pada Lampiran. Wilayah kota tepian pantai terdiri dari 4 kecamatan antara lain: Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.23, kecenderungan penggunaan lahan yang dominan oleh tegalan, kebun dan tanaman kering lainnya serta permukiman dan bangunan. Lahan sawah yang paling dominan berada di Kecamatan Tugu. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 5.24. Penggunaan lahan pada tahun 2006 terjadi perubahan khususnya semakin meluasnya penggunaan untuk areal permukiman dan bangunan, sedangkan untuk lahan sawah di daerah tugu cenderung bertambah untuk bagian barat sedangkan bagian timur mengalami penurunan. Penggunaan lahan pada tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 5.25. Penggunaan lahan pada tahun 2025 hanya sedikit perubahan dari sebelumnya khususnya penurunan lahan sawah dan tegal, kebun serta tanah kering lainnya karena penggunaan areal untuk permukiman dan bangunan. Penggunaan
lahan
dari
masing-masing
Kecamatan
dengan
analisis
kecenderungan adalah sebagai berikut :
Kecamatan Tugu. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Tugu sebagian besar digunakan untuk tegalan kebun, permukiman & bangunan dan lahan sawah. Luas areal tegalan kebun cenderung menurun, sedangkan lahan sawah dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa mendatang.
176
Ha 1.500
1.000 LP rm k nBgn Tbk klm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n 500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.23 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Tugu
Berdasarkan Gambar 5.24 diperkirakan bahwa perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal tegalan kebun seluas 1.500,94 ha menjadi 1.461.73 ha, luas permukiman dan bangunan 503,07 ha menjadi 511,34 ha dan lahan sawah 417,32 ha menjadi 433,78 ha. Dan pada akhir simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 1.292,83 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 551,54 ha dan lahan sawah menjadi 519,03 ha.( Lampiran 18 , halaman 300 ) . Kecamatan Semarang Barat. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Semarang Barat sebagian besar digunakan untuk areal tegalan kebun, permukiman & bangunan, tambak kolam dan lahan sawah. Luas areal permukiman bangunan cenderung meningkat, sedangkan tegalan kebun, tambak kolam dan lahan sawah memiliki kecenderungan menurun di masa datang.
177
Ha
1.500
LPrm k nBgn
1.000
Tbkk lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Hutan
500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.24 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Barat
Berdasarkan Gambar 5.24
diperkirakan bahwa terjadi perubahan
komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Barat yaitu, luas areal permukiman dan bangunan memiliki luas paling tinggi pada tahun 2005 akibat terjadinya penurunan terhadap penggunaan lahan tegalan kebun. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.317,07 ha menjadi 1.480,81 ha, tegalan kebun seluas 1.728,99 ha menjadi 1.282,56 ha, tambak kolam 382,50 ha menjadi 308,17 ha dan lahan sawah seluas 29,41 ha menjadi 28,66 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.551,90 ha, luas tegalan kebun menjadi 1.138,11 ha, tambak kolam menjadi 282,65 ha dan lahan sawah menjadi 28,37 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Barat dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 301. .
Kecamatan Semarang Utara. Penggunaan lahan di wilayah
Kecamatan Semarang Utara sebagian besar
digunakan untuk permukiman & bangunan, tambak kolam dan tegalan kebun.
178
Luas areal permukiman bangunan dan tegalan kebun memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam mengalami penurunan.
Ha
1.000
LPrm knBgn Tbkk lm Lhn Swh Tglkbn
500
Lhn Huta n
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.25 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Utara
Berdasarkan Gambar 5.25 terlihat bahwa tidak terjadi perubahan komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Utara, walaupun luas areal tambak kolam mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 919,04 ha menjadi 960,92 ha, tambak kolam 364,71 ha menjadi 314,98 ha dan tegalan kebun seluas 103,82 ha menjadi 108,98 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.123,70 ha, tambak kolam menjadi 188,23 ha dan tegalan kebun menjadi 129,24 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Utara dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 302..
179
Kecamatan Genuk. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Genuk sebagian besar digunakan untuk areal permukiman & bangunan, tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah. Luas areal permukiman & bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah mengalami penurunan.
Ha
1.500
1.000
LP rm k nBgn Tbk k lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n
500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.26 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Genuk
Berdasarkan Gambar 5.26 diperkirakan bahwa luas areal permukiman dan bangunan di Kecamatan Genuk di masa-masa akan datang mengalami peningkatan cukup pesat dibandingkan luas areal tambak kolam yang mengalami penurunan, sehingga pada akhir tahun simulasi diperkirakan luas areal permukiman dan bangunan akan memiliki luas areal lebih tinggi dibandingkan luas areal tambak kolam. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.336,70 ha menjadi 1.422,46 ha, tambak kolam seluas 1.411,19, tegalan kebun 735,09 ha menjadi 719,12 ha dan lahan sawah seluas 86,41 ha menjadi 80,36 ha. Dan pada
180
akhir simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk areal permukiman & bangunan menjadi 1.663,37 ha, luas tambak kolam menjadi 789,12 ha, tegalan kebun 680,44 ha dan lahan sawah menjadi 66,93 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Genuk dapat dilihat pada Lampiran 21, halaman 303.
% 100
Kualitas Lingkungan
80
60
40
20
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.27 Simulasi model lingkungan berdasarkan kualitas lingkungan di Kota Semarang
Simulasi model lingkungan berdasar kualitas lingkungan yang disebab kan perubahan jumlah limbah dan sampah menghasilkan hal-hal sebagai berikut (Lampiran 14, halaman 293). Berdasarkan Gambar 5.27 terlihat bahwa kualitas lingkungan di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi 2030. Penurunan kualitas lingkungan tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah limbah dan jumlah sampah di Kota Semarang seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan di Kota Semarang. Kondisi kualitas lingkungan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 29,50% dan 28,93%. Penurunan kualitas lingkungan hingga akhir tahun simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 26,36%.
181
Berdasarkan Gambar 5.28 terlihat bahwa jumlah sampah di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun simulasi 2030. jiwa*Kg 50.000.000
Jumlah Sampah
48.000.000
46.000.000
44.000.000
42.000.000
40.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.28 Simulasi model jumlah sampah di Kota Semarang
Peningkatan jumlah sampah tersebut terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk di Kota Semarang. Jumlah sampah pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 46.838.667,96 Kg dan 47.218.467,76 Kg. Peningkatan jumlah sampah hingga akhir tahun simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 48.926.511,27 Kg.
jiwa*Lite r 1.000.000.000
Jumlah Limbah
900.000.000
800.000.000
700.000.000
600.000.000
500.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Gambar 5.29 Simulasi model jumlah limbah di Kota Semarang
182
Berdasarkan Gambar 5.29 diperkirakan bahwa jumlah limbah di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun simulasi 2030. Peningkatan jumlah limbah tersebut terjadi seiring bertambahnya jumlah kegiatan industri di Kota Semarang. Jumlah limbah pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 835.661.314,08 Liter dan 842.437.424,76 Liter.
Peningkatan jumlah limbah hingga akhir tahun
simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 872.911.090,03 Liter.
b)
Simulasi Model Sosial. Simulasi model sosial yang diamati dalam pengelolaan wilayah kota
tepian air yakni pertambahan dan pengurangan penduduk, pertambahan dan pengurangan penduduk selengkapnya disajikan dalam Gambar 5.30 berikut ini.
jiwa 2.000.000
Penduduk
1.800.000
1.600.000
1.400.000
1.200.000
1.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.30 Simulasi model pertambahan penduduk
Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi pertambahan penduduk yang cukup besar dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu dari 1.376.798 jiwa menjadi 1.387.962,02 jiwa dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah penduduk sekitar 1.438.169,06 jiwa (Lampiran 15, halaman 295)..
183
Terkait dengan pengembangan wilayah kota tepian air di Kota Semarang maka tidak akan lepas dari keberadaan nelayan dan petani tambak & ikan di wilayah pesisir Kota Semarang. Pengaruh dari kegiatan pengembangan wilayah kota tepian air di Kota Semarang terhadap jumlah nelayan dan petani tambak & ikan dapat dilihat pada Gambar 5.31
Nelayan, Petani Tambak & Ikan
yr*jiwa *Ha
2.000
1.500
1.000
500 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 1 4 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2 5 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.31 Simulasi penurunan jumlah nelayan, petani tambak dan ikan
Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah nelayan, petani tambak dan ikan yang cukup besar dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu dari 2.216,62 (2003) jiwa menjadi 1.332,09 (2008) jiwa dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah nelayan, petani tambak tinggal sekitar 488,03 jiwa.
c)
Simulasi Model Ekonomi. Simulasi model ekonomi menggambarkan perbandingan dan perubahan
nilai rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari semua sektor di Kota Semarang, seperti. Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), Angkutan dan Komunikasi (AngKom), Jasa dan Perdagangan, bangunan (Lampiran 16, halaman 296) Berdasarkan Gambar 5.32 di bawah diketahui bahwa sektor ekonomi yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah PDRB dari terbesar ke terkecil
184
adalah berturut-turut, Jasa dan Perdagangan, Pertambangan dan Industri, Bangunan, Angkom, KPJ. Listrik, Gas dan Air (LGA) dan pertanian. Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi pertambahan PDRB (Jutaan Rupiah) yang cukup besar untuk sektor Jasa dan Perdagangan dan Pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu untuk sektor Jasa dan Perdagangan dari Rp. 8.094.343,- menjadi Rp. 13.371.096,97,- dan untuk sektor Pertambangan dan Industri Rp. 5.043.142,- menjadi Rp. 8.260.306,24,dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah sekitar 121.703.466,90,- untuk sektor jasa dan perdagangan dan 72.425.906,06,- untuk sektor pertambangan dan industri. Untuk bangunan dan Angkutan dan Komunikasi juga mengalami peningkatan yaitu dari 3.007.225,- dan 1.852.179,pada tahun 2003 dan pada tahun simulasi 2030 terjadi peningkatan menjadi 22.171.604,75,- untuk bangunan dan 21.089.144,07 untuk angkutan dan komunikasi. R upia h
100 .000.000
Ba nguna n LGA P e rta nia n P e rt&Ind KP J AngKo m
50.000.000
Js &P e rd
0 01 Ja n 2003
01 Ja n 2008
01 Ja n 2013
01 Ja n 2018 01 Ja n 2023
01 Ja n 2028
Gambar 5.32 . Simulasi model ekonomi berdasarkan nilai PDRB
Untuk sektor KPJ, LGA dan Pertanian pada tahun 2003 besaran PDRB berturutturut, yaitu Rp. 608.161,-, Rp. 392.889,- dan Rp. 253.635,- dan pada tahun 2030 mengalami sedikit peningkatan, yaitu berturut-turut: Rp. 2.578.162,79,-, Rp. 1.459.192,62,- dan Rp. 1.334.423,19,-.
185
5.3.1.6 Verifikasi danValidasi Model Proses verifikasi dilakukan dengan maksud mengetahui berbagai kelemahan maupun kekurangan serta mengidentifikasi berbgai persoalan yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan. Proses uji dilakukan terhadap dua kategori, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk kebijakan. Verifikasi proses perumusan kebijakan dilakukan terhadap metoda yang dipergunakan dalam pengembangan kebijakan. Proses validasi bertujuan untuk menilai
sejauh mana model dapat
menirukan kondisi yang sesungguhnya, dan keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah, karena pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Rangkaian hasil pengamatan tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data kuantitatif atau statistik dan bersifat tak terukur yang disusun menjadi data kualitatif atau informasi aktual. Dalam pemodelan, hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer. Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan (tidak berarti harus sama) dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dengan sejauh mana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Proses melihat keserupaan seperti ini disebut validasi output atau kinerja model. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan, obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Istilah menirukan bukan berarti sama, tetapi adalah serupa. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model dari sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Metode berpikir sistem, pada dasarnya menganjur kan penstrukturan atas dasar interdisiplin yang bersifat sistemik dengan ciri menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated). Antara verifikasi dan validasi diidentifikasi terdapat perbedaan. Verifikasi model berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan model matematik, sedangkan validasi model berkaitan dengan kesesuaian antara
186
keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem nyata. Verifikasi model seharusnya mendahului validasi model. Verifikasi model untuk memeriksa apakah model konseptual sudah dapat diterjemahkan oleh model matematiknya. Validasi model pada dasarnya untuk memeriksa kesesuaian antara perilaku model matematik dengan perilaku sistem yang diwakili. Proses validasi model terdapat 2 tahap, yaitu validasi struktur model dan validasi perilaku model.
d. Validasi Struktur Model. Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur dilakukan dengan 2 bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji kestabilan struktur. (Forrester, 1968) Sargent (1999) mengemukakan 17 teknik untuk teknik validasi yang umum digunakan untuk proses verifikasi maupun validasi model. Berbagai teknik tersebut dipakai secara subjectif maupun objectif.Yang dimaksud dengan uji objectif yaitu jenis uji statistik dan prosedur matematik seperti uji hipotesa dan selang kepercayaan. Kombinasi dari berbagai teknik bisa digunakan baik untuk sebagian dari model maupun keseluruhan model.
1.
Uji Konstruksi/Kesesuaian Struktur Dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan
dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.
187
Pada model yang telah dibangun dapat dilihat dari bertambahnya jumlah penduduk akan menambah jumlah sampah dan jumlah limbah, tetapi dengan adanya pengelolaan jumlah tersebut dapat diminimalisasi. Berdasarkan contoh tersebut dengan kata lain, struktur model dinamis yang dibangun adalah valid secara teoritis.
2.
Uji Kestabilan Struktur Uji kestabilan struktur model dilakukan dengan cara memeriksa
keseimbangan dimensi peubah pada kedua sisi persamaan model (Sushil, 1993). Setiap persamaan yang ada dalam model harus menjamin keseimbangan dimensi antara variabel bebas dan variabel terikat yang membentuknya. Seperti halnya untuk pengelolaan kota wilayah tepian air, maka uji kestabilan struktur model diperiksa dengan cara menganalisis dimensi keseluruhan interaksi peubah-peubah yang menyusun model tersebut yang terdiri dari beberapa sub model. Dimensi tersebut meliputi tanda, bentuk respon dan satuan dari persamaan (equation) matematis yang digunakan. a)
Sub Model Lingkungan Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model lingkungan adalah : PgLhn FrPLhn LsLhn PtotLhn PLS PLTKo PLPB PLH PLTK FrPLhn FrPB PencLing PencSmph PencLbh KL Jmlsmph JmlLbhDmstk JS JL
= LsLhn-PtotLHn (Ha) = PgLhn/LsLhn (no unit) = LhnEx+Rklms (Ha) = 'Lhn Hutan'+'Lhn Swh'+LPrmknBgn+Tbkklm+Tglkbn (Ha) = FLS*'Lhn Swh'*FrPLhn (Ha/yr) = FLTKo*Tbkklm*FrPLhn (Ha/yr) = FrPB*LPrmknBgn*FrPLhn (Ha/yr) = FLH*'Lhn Hutan'*FrPLhn (Ha/yr) = FLTK*Tglkbn*FrPLhn (Ha/yr) = PgLhn/LsLhn (no unit) = (Pddk/FrPPB)*FrP (%/yr) = PencLbh+PencSmph/2 (%) = PencLbh+PencSmph/2 (%) = JmlLbhDmstk/PertLimb (%) = NL-PencLing (%) = JS*FJSP (jiwa*Kg) = FJLDP*JL (jiwa*Liter) = FS*Pddk (jiwa*Kg) = FL*Pddk (jiwa*Liter)
188
Untuk jumlah sampah dan jumlah limbah akan berkurang apabila semakin meningkatnya biaya pengelolaan sampah dan biaya pengelolaan limbah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk mengelola sampah maupun limbah dapat mengurangi jumlah sampah dan limbah yang tidak terkelola. Untuk pencemaran limbah akan semakin bertambah terlihat dari rumus matematik yang ada yang menunjukkan penjumlahan dari nilai masing-masing nilai sumber pencemar, dimana semakin bertambahnya sumber pencemaran akan menambah jumlah total dari pencemaran limbah yang ada. Pada kualitas lingkungan dapat terlihat apabila persen jumlah pencemaran lingkungan semakin bertambah maka kualitas lingkungan akan semakin berkurang karena total nilai lingkungan akan dikurangi dengan pencemaran lingkungan.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-
peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model lingkungan tetap konsisten.
b)
Sub Model Sosial Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model sosial adalah : Pggr JRT Klhrn Kem Imig Emig Angk Krj Kpdtn Pert Pddk PertNPTPI NPTPI FRTBK
= FPggr*Pddk (jiwa/yr) = Pddk/JAK (unit) = 'A Klhrn'*Pddk (jiwa/yr) = 'A Kem'*Pddk (jiwa/yr) = 'A Imig'*Pddk (jiwa/yr) = 'A EMig'*Pddk (jiwa/yr) = 'Fr Angk Krj'*Pddk (jiwa/yr) = Pddk/LsLhn (jiwa/Ha) = Klhrn-Kem+Imig-Emig (jiwa/yr) = AK/'Angk Krj' (/yr) = FrNPTPI*PertNPTPI*FRTBK (yr*jiwa*Ha) = Tbkklm/LsTbk (Ha)
Jumlah penduduk yang akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran dan imigrasi tetapi akan semakin berkurang apabila jumlah emigrasi dan kematian semakin tinggi. Untuk angkatan kerja dan pengangguran akan mengikuti jumlah penduduk yang sejalan dengan fraksi masing-masing, apabila fraksi tersebut meningkat maka jumlah angkatan kerja semakin bertambah terhadap populasi
189
sedangkan jumlah pengangguran akan bertambah terhadap jumlah angkatan kerja yang ada.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-peubah yang
berkaitan dengan nilai pada sub model sosial tetap konsisten.
c)
Sub Model Ekonomi Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model ekonomi adalah : Pert LGA Pert Pertanian Pert PI Pert KPJ Pert AngKom Pert Js&Perd Pert Bangunan Tot PDRB Pert Pendptn
= 'Fr LGA'*LGA (Rupiah/yr) = 'Fr Pertanian'*Pertanian (Rupiah/yr) = 'Fr PI'*'Pert&Ind' (Rupiah/yr) = 'Fr KPJ'*KPJ (Rupiah/yr) = 'Fr AngKom'*AngKom (Rupiah/yr) = 'Fr Js&Perd'*'Js&Perd' (Rupiah/yr) = Bangunan*'Fr Bangunan' (Rupiah/yr) = Bangunan+'Pert&Ind'+'Js&Perd'+LGA+Pertanian +AngKom+KPJ (Rupiah) = (TotPDRB/Pddk)*FrPdptn*FrConsPdptn (Rupiah/jiwa)
Pertambahan total PDRB sangat dipengaruhi oleh seluruh sektor. Untuk pertambahan pendapatan akan semakin meningkat apabila nilai perbandingan pertumbuhan ekonomi dengan populasi lebih besar dibandingkan pada tahun simulasi sebelumnya. Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model ekonomi tetap konsisten.
e. Validasi Kinerja/Output Model Sebelum melakukan uji konsistensi antara kinerja model dengan data, ada beberapa aspek penting diperhatikan, yaitu konsistensi unit analisis dan dimensi serta tentang data simulasi yang dihasilkan model. Unit analisis dalam sebuah sistem adalah unsur.
Keseluruhan interaksi dari unsur-unsur menyusun dan
memfungsikan sistem mencapai tujuan. Kinerja masing-masing unsur pada suatu keadaan tertentu dinyatakan dengan level. Dengan demikian uji ini sulit untuk dilakukan pada kegiatan penelitian akademik yang memiliki keterbatasan waktu dan dana, karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuktikan hasil kinerja model dengan data empirik di lapangan. Untuk itu yang dapat dilakukan adalah melakukan validasi kinerja model berdasarkan teori dari bentuk model yang dibangun disesuaikan pola model dasar.
190
Validasi kinerja/output model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME), selisih antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual. Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan kota tepian air, untuk sub model lingkungan, yang terdiri dari luasan lahan sawah memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 3,87%, hutan 9,19%, tegal, kebun dan tanaman kering lainnya 6,78%, permukiman dan bangunan 0,86% serta tambak, rawa dan kolam sebesar 1,76% dari data aktual. Pada Sub model sosial memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 1,7% untuk penduduk dari data aktual. Untuk Sub model ekonomi memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) pada konstribusi PDRB sektor menyimpang 5,58% untuk bangunan, 2,51% untuk listrik, gas dan air, 2,17% untuk pertanian, 1,69 untuk pertambangan dan industri, 2,79 untuk keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 3,21 untuk angkutan dan komunikasi serta 2,73 untuk jasa dan perdagangan dari data aktual. Batas penyimpangan < 10%, berdasarkan hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa model pengelolaan kota tepian air mampu mensimulasikan perubahanperubahan yang terjadi di Kota Semarang (Lampiran 17, halaman 291).
191
Tabel 5.21. Data validasi model Parameter Lingkungan Sawah Hutan Tegal, Kebun dan TKL Permukiman dan Bangunan Tambak, Rawa dan Kolam Sosial Penduduk Ekonomi (Sektor) Bangunan Listrik, Gas dan Air Pertanian Pertambangan dan Industri Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Angkutan dan Komunikasi Jasa dan Perdagangan
5.3.2
Validasi (%) AME 3,87 9,19 6,78 0,86 1,76 1,7 5,58 2,51 2,17 1,69 2,79 3,21 2,73
Analisis Penggunaan Lahan Berdasar RTRW (Bagian dari Tujuan 3) Berdasarkan peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota
Semarang Tahun 2002-2010, hingga saat ini terdapat 16 Kecamatan di Kota Semarang, sedangkan wilayah pesisir Kota Semarang mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk. Peta administrasi Kota Semarang dapat dilihat pada Gambar 5.33.
192
P E TA A D M IN IS T R A S I K O T A SE M A R A NG 4 20 0 0 0
42 5 00 0
43 0 00 0
4 35 0 0 0
44 0 00 0
44 5 0 0 0
N W
9 2 3 50 0 0
9 2 3 50 0 0
E S
200 0
0
200 0
400 0
M et ers
LE G E N D A
S e m a r an g U t a r a G a y am s a r i
Tugu 9 2 3 00 0 0
S e m a r an g B a r a t
S e m a r a n g T im u r
G enu k
9 2 3 00 0 0
S em aran g Ten gah S e m a r a n g S e lat a n
N g a liya n
P e du ru ng a n G a ja h M u n g k u r
9 2 2 50 0 0
9 2 2 50 0 0
C a n d is a ri
T e m b a la n g 9 2 2 00 0 0
M ije n
G unu ng Pati
9 2 2 00 0 0
B a n y um a n ik C a nd is a ri G aj ah M u n gk u r G ay a m s a r i G en u k G un u n g Pa ti M ij en N g al iy a n P e d ur u n g a n S e m ara n g B a r a t S e m ara n g S e la t a n S e m ara n g T e n g a h S e m ara n g T i m u r S e m ara n g U ta ra T e m b a la ng Tug u S UM B E R D A TA : B A P P E D A K O T A S E M A RA N G
B a n y u m an ik
9 2 1 50 0 0
9 2 1 50 0 0
4 20 0 0 0
42 5 00 0
43 0 00 0
4 35 0 0 0
44 0 00 0
44 5 0 0 0
BAM B ANG K ANT I LAR AS P R O G R A M S T U D I P E N G E L O LA A N S U M B E R D A YA A L A M D A N L IN G K U N G A N SE KO LAH PA SCA SA RJAN A I N S T IT U T P E R T A N IA N B O G O R
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.33. Peta administrasi Kota Semarang
192
193
5.3.2.1 Penggunaan Lahan Berdasar RTRW Kota Semarang tahun 2002-2010 Kota Semarang memiliki wilayah administrasi seluas ± 37.000 Ha yang dikelompokkan kedalam 47 kelas penggunaan lahan (Tabel 5.22 ). Adapun peta penggunaan lahan berdasarkan Peta RTRW Kota Semarang tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 5.34.
Tabel 5.22 : Kelas Penggunaan Lahan Wilayah Administrasi Kota Semarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Penggunaan Lahan Permukiman Konservasi Pertanian lahan basah Pertanian lahan kering Industri Hutan Bandar udara Budaya Campuran perdagangan & Jasa permukiman Depo Pertamina Gereja Instalasi pengolahan air bersih Instalasi pengolahan limbah cair Kawasan khusus militer Klinik Kolam penampungan air Lapangan perumputan Olahraga dan rekreasi Pasar Pelabuhan laut Perdagangan & Jasa Pergudangan Perkantoran Permukiman industri PLTU Tambak lorok Pusat pendaratan ikan Puskesmas Rencana jalan Rest area Rumah sakit Bangunan sekolah SD. SMP SMA PT Stasiun kereta api Stasiun KA Taman Tambak Tempat Pemakaman Khusus Tempat Pemakaman Umum Tempat Pembuangan Akhir Terminal Induk PLN Mesjid Gereja Vihara Waduk
Luas (ha) 16.161,98 4.214,75 3.606,01 2.610,29 2.692,78 1.892,21 395,20 15,91 933,30 16,42 17,07 3,60 13,17 138,85 0,41 25,51 117,53 750,22 19,14 32,93 750,22 203,14 254,16 236,59 35,32 16,21 8,38 0,97 6,88 56,57 27,85 31,95 44,11 470,13 40,92 52 168,32 738,64 6,91 159,24 4,56 19,51 1,75 23,39 17,07 0,55 82,24
194
9235000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
450 00 0 9235000
415 00 0
P E TA P E N G G U N A A N L A H A N K O TA SEM AR ANG T A H U N 20 00 -2 01 0 N W
E S
9230000
9230000
9225000
9225000
9220000
9220000
9215000
9215000
415 00 0
420 00 0
425 00 0
30 0 0
430 00 0
0
435 00 0
30 0 0
60 0 0
SUM BER DAT A : B A P P E D A K OT A S E M A R A N G
440 00 0
445 00 0
450 00 0
M e te rs B AM B A N G K A N TI L A R A S P R O GR A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B ER D A Y A A L A M D A N L IN G K U NG A N S EKO LAH P ASCAS ARJANA IN S TITU T P E R TA N IA N B O G O R
Leg end a Ban da r U dar a Bud ay a C am pu ra n P e rda gan ga n da n J as a,P erm u k im an D epo P er ta m in a Ger eja H utan In dus tri In sta las i P eng ola ha n Air B er s ih (W T P ) In sta las i P eng ola ha n Lim bah C a ir (W W T P) Kaw a s an K hus u s M ilit er Klin ik Kol am Pe na m pun ga n Air ( R etar din g Ba sin) Kon s erv a s i Lap . P enu m pu k an M as jid Ola h R ag a da n R ek re as i Pas a r Pel abu ha n Lau t Per dag an gan dan J a s a Per gud an gan Per gur ua n T ing gi Per k anto ran Per m uk im an Per m uk im an Ind ust ri Per ta nia n La ha n Ba sa h Per ta nia n La ha n Ke ring PLT U T am bak Lo ro k Pus a t P end ar atan Ik an ( PP I) Pus ke sm as R enc . J ln R es t A re a R um ah Sak i t SD SM A SM P Stas iu n KA Stas iu n Ke reta A pi Ta m an Ta m ba k Te m pa t P em a k am a n Kh us us (T P K) Te m pa t P em a k am a n U m um (T P U ) Te m pa t P em b uan ga n Ak h ir (T P A) Te rm in al In duk P LN Per gur ua n T ing gi Vih ara W a duk
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.34. Peta penggunaan lahan Kota Semarang
194
195
5.3.2.2 Penyederhanaan Kelas Penggunaan Lahan untuk simulasi model
Dalam kaitannya untuk menyederhanakan simulasi model penggunaan lahan di Kota Semarang, maka dilakukan pembagian ke-47 kelas penggunaan lahan kedalam 6 kategori kelas penggunaan lahan, yaitu: 1.
Hutan, Konservasi dan Hijauan (6.441,43 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan hutan, konservasi, reklamasi, sempadan pantai, taman, Tempat Pemakaman Khusus (TPK) dan Tempat Pemakaman Umum (TPU).
2.
Permukiman dan Bangunan (22.012,32 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan perdagangan dan jasa permukiman, depo pertamina, industri, Instalasi Pengolahan Air Bersih (WTP), Instalasi Pengolahan Limbah Cair (WWTP), klinik, pasar, perdagangan dan jasa, pergudangan, perkantoran, permukiman, permukiman industri, PLTU Tambak Lorok, puskesmas, rest area, rumah sakit, sekolah (SD, SMP, SMA dan PT), induk PLN, dan tempat ibadah (gereja, mesjid dan vihara).
3.
Sawah/pertanian lahan basah (3.606,01 Ha)
4.
Tambak, Rawa dan Kolam (846,39 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan bak penampung air (retarding basin), embung, tambak dan waduk.
5.
Tegalan Kebun dan Tanah Kering/Pertanian Lahan Kering (2.610,29 Ha)
6.
Penggunaan lain (1.584,93 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan Bandar udara, budaya, kawasan khusus militer, lapangan penumpukan, olahraga dan rekreasi, pelabuhan laut, Pusat Pendaratan Ikan (PPI), rencana jalan, sempadan industri, stasiun KA, stasiun kereta api, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan terminal. Peta penyebaran lahan Kota Semarang Tahun 2000-2010 berdasarkan enam kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 5.35.
196
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
9235000
9235000
PE T A P EN G G U NA A N L AH A N K O TA S E M A R A N G T A H U N 2 0 00 - 2 0 1 0 N W
E S
9230000
9230000
9225000
20 0 0
0
20 0 0
40 0 0
M e te rs
9225000
Le g e n da H u ta n , K on s e r v a s i, d a n H ij a u an La i n -L a in P e m u k i m a n d a n B a ng u n a n Saw ah T a m b a k , R aw a , da n K o lam T e g a la n , K eb u n , d an T a n a h K e r in g
9220000
9215000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
9210000
9210000
9220000
9215000
S UM B E R D A TA : B A P P E D A K O TA S E M A RA N G
B A M B A N G K A N TI L A R A S PR O GR AM ST U D I PEN G E LO L AA N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L IN G K U NG A N SEK O LAH PASC A S AR AN A IN S T I T U T P E R T A N IA N B O G O R
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.35. Peta Penggunaan Lahan Kota Semarang Tahun 2000 – 2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan
196
197
Kawasan Pesisir di Kota Semarang meliputi wilayah 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu (3.656,11 Ha), Kecamatan Semarang Utara (1.393,39 Ha), Kecamatan Semarang Barat (2.170 Ha) dan Kecamatan Genuk (2.752,01 Ha). Penggunaan lahan di kawasan pesisir di Kota Semarang sebagian besar didominasi untuk Lahan Permukiman dan Bangunan (6.592,36 Ha), diikuti Penggunaan Lain (1.228,69 Ha), Hutan, Konservasi dan Hijauan (991,41 Ha), Tambak, Rawa dan Kolam (778,31 Ha), Sawah (380,74 Ha) dan Tegalan Kebun & Tanah Kering (0 Ha). Peta penggunaan lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 5.36 dan Gambar 5.37.
198
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
P E T A P E N G G U N A A N L A H A N S EM A R AN G K O T A TE P IA N PA N T AI TAH UN 2 0 00 - 2 01 0
445 00 0
N W
E S
9230000
9230000
9225000
9225000
9220000
9220000
9215000
9215000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
20 0 0
0
435 00 0
20 0 0
S U M B E R D A TA : B A P P E D A K O T A S E M A RA N G
40 0 0
440 00 0
445 00 0
M e te rs BA M B A N G K A NT I L A R A S PR O G RA M S T UD I P E N G EL O LA A N SU M B ER DA YA A LA M DA N LI N G K U NG A N SE K OL A H P AS CA S AR JAN A INS T IT U T P ER T AN IA N B O G O R
LE G E N DA Ba nd a r U d a ra Bu da ya Ca m p ur an P e rd a g a ng a n ,Ja sa ,P er m u kim a n G e re ja In d u str i In sta la si P e n g ola h a n A ir B e rs ih (W T P ) In sta la si P e n g ola h a n L im b a h C a ir (W W TP ) Ka wa s an Kh u su s M ilite r Klin ik Ko la m Pe n a m p u n g a n A ir (R e ta rd in g Ba s in ) Ko ns e rva si La p . P e n u m p u ka n M a sjid O la h R a g a d a n R e kr ea s i Pa sa r Pe la b u h a n L a u t Pe rd a ga n g a n d a n J as a Pe rg u da n g a n Pe rg u ru an Tin g g i Pe rka n to ra n Pe rm u kim an Pe rm u kim an In d u st ri Pe rta n ia n L a h a n Ba sa h PL TU Ta m b a k L o ro k Pu sa t Pe n d ar a ta n Ika n (P PI ) Pu ske sm a s Re n c. J ln Ru m a h S a kit SD SM A SM P Sta siu n K A Sta siu n K e re ta A p i Ta m a n Ta m b a k Te m p a t P e m a k a m a n K h u su s (T P K) Te m p a t P e m a k a m a n U m u m (T PU ) Te rm in a l Viha ra
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.36. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kota Semarang Tahun 2000 – 2010
198
199
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.37. Peta Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan 199
200 Luas Penggunaan Lahan di kawasan pesisir Kota Semarang umumnya didominasi oleh Kawasan permukiman dan Bangunan, serta Hutan, Konservasi dan Hijauan. Kecamatan Genuk dan Kecamatan Tugu memiliki lahan permukiman paling luas dibandingkan Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat, seperti terlihat pada Tabel 5.16 berikut. Tabel 5.16. Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun berdasar RTRW 2000 - 2010 No
Penggunaan Lahan Kec. Tugu
1 2 3 4 5 6
Hutan, Konservasi, dan Hijauan Pemukiman dan Bangunan Sawah Tambak, Rawa, dan Kolam Tegalan, Kebun, dan Tanah Kering Lain-Lain Total
334,13 1896,55 283,35 640,83 0 501,25 3656,11
Luas (Ha) Kec. Kec. Semarang Semarang Utara Barat 135,08 320,57 1022,34 1343 0 0 33,05 6,62 0 0 202,92 499,81 1393,39 2170
Kec. Genuk 201,63 2330,47 97,39 97,81 0 24,71 2752,01
Sumber : RTRW BAPPEDA Kota Semarang
Untuk mendapatkan data yang akurat, dilakukan pembandingan antara Data RTRW diatas dengan Data bersumber dari BPS, dan Citra Satelit (IKONOS), atas luasan per kecamatan dan diperoleh sebagai berikut:
Tabel 5.17 Luas Lahan(Ha) Kecamatan Tepian Pantai Kota Semarang antar sumber data Kecamatan
BPS 2007
Tugu
3.095
3.656
2.986
SMG.Utara
1.097
1.393
1.169
SMG.Barat
2.174
2.170
2.248
Genuk
2.616
2.752
2.708
8.982
9.971
9.111
TOTAL
RTRW 01-10
IKONOS 2009
Keterangan IKONOS >BPS 129 Ha.(1,42%) IKONOS < RTRW 860 Ha. (9,44%)
Berhubung hasil pengamatan satelit/IKONOS dianggap paling teliti, sehingga bisa sebagai dasar perhitungen/pengamatan, maka Tabel 5.16 bisa di konversikan menjadi Tabel 5.18.
201 Tabel 5.18 Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 berdasar IKONOS (2009)
N o
Penggunaan Lahan
Luas (Ha) Kec. Tugu
Hutan, 1 Konservasi, dan Hijauan 2 Pemukiman dan Bangunan 3 Sawah 4 Tambak, Rawa, dan Kolam 5 Tegalan, Kebun, dan Tanah Kering 6 Lain-Lain Total
Total
272,89
Kec. Semarang Utara 113,33
Kec. Semarang Barat 332,10
Kec. Genuk
1.548,94
857,71
1.391,28
2.293,21
6.091,14
231,42 523,38
0 27,73
0 6,86
95,84 96,25
327,26 654,22
0
0
0
0
409,38 2.986,01
170,25 1.169
439,76 2.170
68,30 2.752,01
198,41
916,73
0
1.087,69 9.077,04
Sumber : RTRW BAPPEDA, ikonos, Kota Semarang diolah
5.3.3 Penggabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik (Bagian dari Tujuan 3) Dengan melihat data eksisting hasil simulasi sistem dinamik yang dibandingkan dengan peta eksisting.
Kemudian melihat perubahan jumlah
penduduk dan kebutuhan lainnya termasuk lahan, sehingga dapat diketahui kebutuhan lahan dimasa yang akan datang. Penggunaan lahan sendiri ditentukan dengan pendekatan arah perkembangan kota (contoh jaringan jalan, rencana RTRW dll).
202 5.4 Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan kawasan pesisir Semarang berkelanjutan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan (Tujuan 4) 5.4.1
Analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir
PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakeholder
Masyarakat 0,203
Faktor
Peningkatan PAD 0,153
Tujuan
Pemerintah 0,35
LSM 0,105
Pengangguran Terbuka 0,250
Erosi dan Abrasi 0,433
Peningk.Daya saing 0,054
Reduksi Pencemaran 0,069
Konsevasi 0,324
Alternatif
Pelaku Usaha 0,076
Kelembagaan Mitigasi Bencana 0,061
Adaptasi Banjir 0,169
Investor 0,224
Teknologi Ecoport dan Pelabuhan 0,096
Kes- Ling- Mas 0,155
Redevelopment 0,452
Akademisi 0,170
Akses Masyarakat 0,159
Perluasan Lap. Kerja 0,310
Revitalisasi 0,224
Gambar 5.38 Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang Analisis kebijakan pengelolaan kota tepian pantai kota Semarang berkelanjutan dilakukan menggunakan metode AHP. Dalam analisis ini, terdapat 5 level pengambilan keputusan, yakni fokus pengelolaan; peranan stakeholders; faktor pendukung;
tujuan
pengelolaan
dan
alternatif
kebijakan
yang
mungkin
dilaksanakan. Berdasarkan perhitungan nilai tiap tingkat AHP diperoleh hasil sebagai berikut: a.
Peranan stakeholders. Terdapat 6 Stakeholders dalam pengambilan keputusan pengelolaan
lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan. Pentingnya peranan masing-masing stakeholder dalam penentuan alternatif kebijakan disajikan berikut:
Minimalisasi Konflik 0,089
203 Tabel 5.19. Prioritas stakeholder berdasar tingkat kepentingan pada pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Stakeholders Masyarakat Pemerintah LSM Pelaku usaha Investor Akademisi
Nilai 0,203 0,350 0,105 0,076 0,224 0,170
Inconsistency Stakeholder (Rataan 0.0536)
Dari Tabel 5.19 diperkirakan, bahwa peranan pemerintah dalam penentuan alternatif kebijakan merupakan hal yang paling menentukan (0,350). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan wilayah
Kota Semarang tepian pantai secara berkelanjutan. Hasil
perhitungan ini mempengaruhi tingkat-tingkat pengembilan keputusan selanjutnya.
b.
Hirarki faktor pendukung menurut stakeholders Masing-masing stakeholder memiliki perbedaan prioritas (hirarki) dalam
penentuan faktor pendukung. Dari Gambar 5.7 terlihat, bahwa menurut stakeholder, faktor pendukung paling penting pada pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan adalah berturut-turut Erosi dan Abrasi (0,433), Pengangguran Terbuka (0,250), Akses Masyarakat (0,159), Teknologi Ecoport (0,096) dan Kelembagaan Mitigasi Bencana (0,061). Tiap-tiap stakeholders memberikan prioritas utama terhadap faktor pendukung pemberdayaan masyarakat dan tingkat pemanfaatan lahan dalam pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan terutama masyarakat dan pemerintah. Untuk faktor pendukung Erosi dan Abrasi, pemerintah dan LSM memberikan nilai tertinggi yaitu masing-masing berturut-turut 0,512 dan 0,454. Untuk faktor pendukung pengangguran terbuka, akademisi dan investor memberikan nilai tertinggi yaitu masing-masing berturut-turut 0,268 dan 0,26. Untuk faktor pendukung akses masyarakat, investor dan pelaku usaha memberikan nilai tertinggi yaitu berturut-turut 0,191 dan 0,171.
204 Tabel 5.20. Hirarki faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan menurut stakeholders No
Faktor Pendukung 1 0,227 0,438 0,061
1 2 3
2 0,255 0,512 0,052
Stakeholders 3 4 0,25 0,241 0,454 0,398 0,051 0,072
5 0,26 0,381 0,068
6 0,268 0,416 0,064
Pengangguran Terbuka Erosi dan Abrasi Kelembagaan Mitigasi Bencana 4 Teknologi Ecoport 0,112 0,07 0,092 0,117 0,1 0,087 5 Akses Masyarakat 0,162 0,11 0,154 0,171 0,191 0,165 Keterangan stakeholder 1 = Masyarakat; 2 = Pemerintah; 3 = LSM; 4 = Pelaku Usaha; 5 = Investor; 6 = Akademisi.
c.
Global Priority 0,250 0,433 0,061 0,096 0,159
Inconsistency Faktor (Rataan 0.0594)
Hirarki tujuan pengelolaan berdasarkan faktor pendukung Hirarki tujuan pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan ditentukan
berdasarkan faktor pendukung. Dari Gambar 5.7 terlihat, bahwa perluasan lapangan kerja, adaptasi banjir, kesehatan lingkungan masyarakat dan peningkatan pendapatan merupakan tujuan paling penting (masing-masing faktor memberikan nilai tertinggi 0,310; 0,169; 0,155 dan 0,153). Faktor tujuan paling penting pada pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan adalah berturut-turut perluasan lapangan kerja (0,310), adaptasi banjir (0,169), kesehatan lingkungan masyarakat (0,155), peningkatan PAD (0,153), minimalisasi konflik (0,089), reduksi pencemaran (0,069) dan peningkatan daya saing (0,054).
Tabel 5.21. No 1 2 3 4 5 6 7
Hirarki tujuan pengelolaan wilayah berdasarkan faktor pendukung Faktor Tujuan
Peningkatan PAD Peningkatan Daya Saing Reduksi Pencemaran Adaptasi Banjir Kes- Ling-Masy Perluasan Lapangan Kerja Minimalisasi konflik
1 0,162 0,041 0,081 0,162 0,162 0,306
Faktor Pendukung 2 3 4 0,155 0,157 0,143 0,051 0,055 0,052 0,067 0,065 0,064 0,171 0,167 0,177 0,155 0,166 0,144 0,319 0,304 0,304
5 0,15 0,069 0,069 0,169 0,15 0,319
0,085 0,081 0,086 0,117 0,075
Global Priority 0,153 0,054 0,069 0,169 0,155 0,310 0,089
Keterangan: faktor 1 = Pengangguran Terbuka; 2 = Erosi dan Abrasi; 3 = Kelembagaan Mitigasi Bencana; 4 = Teknologi Ecoport; 5 = Akses Masyarakat. 0.0594)
Inconsistency Faktor (Rataan
205 d.
Hirarki alternatif kebijakan berdasarkan tujuan pengelolaan Penentuan hirarki alternatif kebijakan pengelolaan wilayah tepian pantai
berkelanjutan ditentukan berdasarkan tujuan pengelolaan. Dari Tabel 6.10 diketahui bahwa alternatif kebijakan redevelopment (0,452) dan konservasi (0,324) dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan karena masing-masing
tujuan
memberikan
nilai
tertinggi.
Alternatif
kebijakan
redevelopment dan konservasi akan memberikan dampak positif paling besar terhadap pencapaian tujuan perluasan lapangan kerja (0,479) dan paling rendah adalah tujuan revitalisasi (0,421).
Tabel 5.22. No
Hirarki alternatif kebijakan pengelolaan wilayah berdasarkan tujuan
Alternatif
Tujuan
Kebijakan
Global
1
2
3
4
5
6
7
Priority
1
Konservasi
0,317
0,302
0,321
0,354
0,327
0,332
0,315
0,324
2
Redevelopment
0,458
0,421
0,438
0,463
0,453
0,479
0,452
0,452
3
Revitalisasi
0,232
0,179
0,208
0,248
0,227
0,256
0,218
0,224
Keterangan: tujuan 1 = Peningkatan PAD; 2 = Pen.Daya saing; 3 = Reduksi Pencemaran; 4 = Adaptasi banjir; 5 = Kesehatan lingkungan masyarakat; 6 = Perluasan lapangan kerja; 7 = Minimalisasi konflik.
Inconsistency Strategi (Rataan 0.044)
Alternatif kebijakan konservasi akan memberikan dampak positif paling besar terhadap pencapaian tujuan adaptasi banjir (0,354) dan paling rendah adalah tujuan peningkatan daya saing (0,321).
5.4.2 Analisis Prospektif Dengan
memperhatikan
potensi
daerah,
kondisi
masyarakat
serta
kemampuan pemerintah dan swasta sebagai mitra kerja, penyusunan alternatif untuk menentukan
alternatif
kebijakan
yang
memperhatikan jangka waktu pelaksanaan.
direkomendasikan
dinilai
perlu
206 Tabel 6.12
Beberapa kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan
No 1.
Tahapan pelaksanaan Jangka pendek
a. b. c.
2.
Jangka menengah
a. b c.
3.
Jangka panjang
a. b c d.
Kriteria Peningkatan barang-barang produk industri lokal Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan produk industri lokal Peningkatan kinerja perekonomian daerah. Pengembangan potensi daerah dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan. Kesesuaian dengan tata ruang wilayah. Peningkatan barang dan jasa produk industri lokal Masuknya investasi swasta dan swasta asing dalam pengembangan produk industri lokal Peningkatan jaringan kerja dengan daerah/negara lain Peningkatan nilai tambah wilayah dengan tetap memper hatikan keseimbangan lingkungan Pemanfaatan ruang wilayah dengan perencanaan terpadu antar sektor.
Kebijakan jangka pendek memerlukan waktu berkisar 1 – 5 tahun, jangka waktu menengah 6 – 10 tahun
sedangkan jangka panjang 11 – 20 tahun.
Implementasi alternatif jangka pendek, menengah dan panjang diupayakan agar merupakan satu kesatuan yang berkelanjutan (sustainable). Disamping itu, perlu juga memperhatikan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan disajikan pada Tabel 6.12. Berdasarkan hasil AHP (Tabel 6.11) dan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan (Tabel 6.12), maka alternatif kebijakan yang direkomendasikan sebagai berikut:
Alternatif jangka pendek. Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan
konservasi ramah lingkungan dengan tetap berbasis pada potensi dan sumberdaya daerah. Konservasi adalah penataan tepian air kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Alternatif ini menjadi sangat mendasar, karena didukung oleh fakta-fakta sebagai berikut: 1.
Sudah sejak satu dekade terahir, Kota Semarang tepian pantai telah menjadi kawasan konservasi yang secara ekonomis didukung oleh SDA yang ada,
207 Tanjungmas pelabuhan peti-kemas dan berbagai industri yang telah menjadi pendukung utama perekonomian. 2.
Kota Semarang tepian pantai memiliki potensi sumberdaya alam besar yang belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal.
3.
Kota Semarang tepian pantai memiliki jumlah penduduk yang besar yang merupakan pasar tenaga kerja yang sangat potensial.
Alternatif jangka menengah Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan
redevelopment dengan menghidupkan kembali fungsi-fungsi tepian air lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada.
1.
Alternatif jangka panjang Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan eco-industrial tourism yang berbasis pada keunggulan industri yang ramah lingkungan dan pesona keindahan alam.
2.
Reklamasi dan pengembangan, merupakan usaha menciptakan tepian air yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan.
5.4.2 Analisis Kebijakan Pengelolaan per kecamatan f.
Kecamatan Genuk a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
208 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Masyarakat 0,187
Stakehold er
Pengangguran terbuka (0,241)
Faktor
Peningkatan PAD 0,167
Tujuan
Alternatif
LSM 0,118
Pemerintah 0,338
Revitalisasi 0,056
Erosi dan abrasi (0,427)
Reduksi Pencemaran 0,067
Redevelopment 0,320
Pelaku Usaha 0,081
Kelembagaan Mitigasi Bencana
Adaptasi Banjir 0,191
Konsevasi 0,558
Investor 0,221
Teknologi ecoport (0,107)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,156
Akademisi 0,056
Akses Masyarakat (0,164)
Perluasan Lapangan Kerja 0,277
Minimalisasi Konflik 0,086
Revitalisasi 0,122
Gambar 5.39. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang di Kecamatan Genuk. b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun stakeholder yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.39 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.
Gambar 5.40 Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Genuk
Berdasarkan Gambar 5.40 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Genuk menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai dengan bobot nilai adalah 0,338., diikuti oleh Investor yang memiliki bobot nilai sebanyak 0,221
209 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat mempunyai bobot nilai 0,187 yang mempunyai peran terhadap pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan bobot nilai 0,118. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha dengan bobot nilai 0,081. Stakeholder terakhir akademisi bobot nilai 0,056. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Gambar 5.41 menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.
Gambar 5.41 Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantaiberkelanjutan di Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.41 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,427. Perhatian terhadap erosi dan abrasi mendorong perlunya penanaman kembali mangrove sehingga akan bisa meningkatkan kembali daya dukung lahan, bisa mengatasi masalah erosi dan abrasi, ketersediaan sumberdaya air tawar/intrusi air laut, dan rob. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,241. Perlu inovasi stakeholder dalam hal ini Pemerintah dan Investor untuk mempersiapkan lapangan kerja se luas-luasnya diantaranya dengan pemberdayaan masyarakat secara terpadu untuk berpartisipasi dalam reboisasi, perawatan, dan pengambilan kebijakan. Untuk Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,164. Teknologi ecoport dan pelabuhan dari dimensi
210 infrastruktur menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,107. Pengadaan energi (sarana listrik yang memadai) merupakan prioritas penting dalam pengembangan sarana dan prasarana. Kecukupan pasokan listrik tersebut sangat penting dalam menunjang kegiatan ekonomi kota Semarang. Prioritas kelima adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana, bobot nilai 0,061.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian
utama dalam pengelolaan tepian pantai Kota Semarang di Kecamatan Genuk. Gambar 5.42 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Gambar 5.42. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.42 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,277 dan 0,191. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,167. Diikuti dengan kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,156. Permasalahan banjir dan permukiman kumuh di Kecamatan Genuk perlu diupayakan penyelesaian masalahnya dengan cara pengembangan rumah panggung/anti banjir, serta sosialisasi
pengembangannya
ke
masyarakat
sekitar
serta
upaya-upaya
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah mencakup pengadaan fasilitas kegiatan. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik (0,086). Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan pengelolaan limbah (sanitasi) dengan bobot nilai 0,067. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan daya saing dengan bobot nilai 0,056.
211 e.
Pembobotan Alternatif Sasaran Pengelolaan Kota Tepian Berkelanjutan di Kecamatan Genuk.
Gambar 5.43. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan
Berdasarkan Gambar 5.43 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,02, menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan konsevasi dengan bobot nilai 0,558. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sehingga sumber daya alam yang ada di kawasan kota tepian pantai tersebut tetap terjaga kelestariannya. Pemanfaatan potensi alam diantaranya dengan mengembangkan vegetasi spesifik seperti tanaman bakau yang dapat berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami dan mengembangkan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut (Suprijanto, 2001). Prioritas selanjutnya adalah redevelopment dengan bobot nilai 0,320. Upaya ini dilakukan dengan cara peningkatan dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai. Prioritas terakhir adalah revitalisasi (0,122). Revitalisasi dapat dilakukan melalui cara pemugaran, konservasi lingkungan maupun penataan lingkungan.
g. Kecamatan Tugu a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
212 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakehold er
Faktor
Tujuan
Alternatif
Masyarakat 0,191
Pengangguran Terbuka (0,232)
Peningkatan PAD 0,159
LSM 0,103
Pemerintah 0,345
Revitalisasi 0,062
Erosi dan Abrasi (0,412)
Reduksi Pencemaran 0,075
Redevelopmen t
Pelaku Usaha 0,074
Kel.MitigasiBe ncana (0,061)
Adaptasi Banjir 0,178
Konsevasi 0,540
Investor 0,236
Teknologi Ecoport (0,117)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,163
Akademisi 0,051
Akses Masyarakat (0,178)
Perluasan Lapangan Kerja 0,267
Minimalisasi Konflik 0,096
Revitalisasi 0,163
Gambar 5.44. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.45. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Tugu
Berdasarkan Gambar 5.45 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Tugu menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai (0,338) . Posisi kedua adalah Investor (0,236). Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat ( 0,191), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bobot nilai 0,103. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha (0,081). Pelaku usaha merupakan salah satu pelaku ekonomi yang akan mempengaruhi terhadap kegiatan perekonomian di Kecamatan Tugu terutama yang terkait dengan pengembangan Kecamatan Tugu sebagai kawasan rekreasi tepian air. Keberadaan pelaku usaha tersebut sangat penting
213 terutama dalam menguatkan sektor ekonomi kepariwisataan di Kecamatan Tugu. Stakeholder terakhir akademisi mempunyai bobot nilai 0,051. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.46. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.46 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,412. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,232. Akses Masyarakat terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,178. Teknologi ecoport dan pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan (0,117). Prioritas kelima Kelembagaan Mitigasi Bencana dengan nilai 0,061.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Tugu Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian
utama dalam pengelolaan tepian pantai Kota Semarang, Gambar 5.47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Gambar 5.47. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepianpantai berkelanjutan di Kecamatan Tugu
214
Berdasarkan Gambar 5.47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,267 dan 0,178. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,159. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,163. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,096. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di kawasan tepian pantai antara masyarakat dan pemerintah, maupun konflik antar stakeholder lainnya. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,075. Prioritas terakhir revitalisasi kota tepian pantai dengan bobot nilai 0,062.
e.
Pembobotan Alternatif Berkelanjutan
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
Gambar 5.48. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.48 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5), menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan di Kecamatan Tugu sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan konsevasi (0,540). Prioritas selanjutnya adalah redevelopment (0,297). Prioritas yang terakhir adalah revitalisasi dengan bobot nilai 0,163.
h. Kecamatan Semarang Barat a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
215 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakeholder
Faktor
Tujuan
Alternatif
Masyarakat 0,180
Pemerintah 0,391
Pengangguran terbuka (0,257)
Peningkatan PAD 0,187
Revitalisasi 0,039
Redevelopment 0,614
LSM 0,097
Erosi dan Abrasi (0,422)
Reduksi Pencemaran 0,053
Pelaku Usaha
Kel. Mitigasi Bencana (0,045)
Adaptasi Banjir 0,175
Konsevasi 0,117
Investor 0,223
Teknologi Ecoport (0,110)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,149
Akademisi 0,037
Akses Masyarakat (0,166)
Perluasan Lapangan Kerja 0,323
Minimalisasi Konflik 0,075
Revitalisasi 0,268
Gambar 5.49. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang Barat b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.50. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Semarang Barat
Berdasarkan Gambar 5.50 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Semarang Barat menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam upaya pengembangan potensi kawasan semarang barat sebagai kawasan terpadu dengan bobot nilai adalah 0,391. Investor memiliki bobot nilai sebanyak 0,223 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran penting terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat mempunyai bobot nilai 0,180. Stakeholder selanjutnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
216 dengan bobot nilai 0,097. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha dengan bobot nilai 0,073. Stakeholder terakhir akademisi dengan bobot nilai 0,037. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.51. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Kecamatan Semarang Barat.
Berdasarkan Gambar 5.51 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan Abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,422. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,257. Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian air menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,166. Teknologi ecoport & pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,117. Prioritas terakhir adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana ( 0,045).
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat
Gambar 5.52. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat Berdasarkan Gambar 5.52 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan menjadi
217 prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,323 dan 0,187. Prioritas selanjutnya adalah adaptasi banjir dengan bobot nilai 0,175. Adaptasi banjir perlu dilakukan mengingat permasalahan banjir merupakan ancaman utama upaya pengembangan kawasan Semarang Barat sebagai kawasan tepian terpadu yang unggul. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,149. Upaya peningkatan kesehatan lingkungan masyarakat sangat penting dilakukan mengingat lingkungan hidup di kawasan tepian pantai cukup memprihatinkan, dimana langkanya air bersih dan sanitasi yang kurang baik yang menyebabkan lingkungan kurang sehat. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,075. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di kawasan tepian pantai antara masyarakat dan pemerintah, maupun konflik antar stakeholder lainnya. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,053. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan mengingat kawasan pesisir sangat rentan terhadap pencemaran dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Prioritas terakhir adalah revitalisasi kota tepian pantai (0,039) e.
Pembobotan Alternatif Berkelanjutan
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.53 menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.
Gambar 5.53. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Kecamatan Semarang Barat.
Berdasarkan Gambar 5.53 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,07, menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan redevelopment dengan bobot nilai 0,614. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan
218 ekonomi baru di Kecamatan Semarang Barat perlu diupayakan dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki olah kawasan ini. Disamping itu perlu dilakukan pengadaan sarana dan prasarana penunjang atau infrastruktur yang lebih memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi di Kecamatan Barat, terutama sarana listrik. Prioritas selanjutnya adalah revitalisasi dengan bobot nilai 0,268. Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan daya guna manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Barat sebagai salah satu pusat kawasan terpadu di Kota Semarang. Prioritas terakhir adalah konservasi dengan bobot nilai 0,117.
i.
Kecamatan Semarang Utara Rincian lebih lanjut khususnya di Kecamatan Semarang Utara adalah
sebagai berikut : a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakehold er
Masyarakat 0,180
Pengangguran terbuka (0,257)
Faktor
Tujuan
Alternatif
Peningkatan PAD 0,187
LSM 0,097
Pemerintah 0,391
Revitalisasi 0,039
Redevelopment 0,614
Erosi dan Abrasi (0,422)
Reduksi Pencemaran 0,053
Pelaku Usaha 0,073
Kel. Mitigasi Bencana (0,045)
Adaptasi Banjir 0,175
Konsevasi 0,117
Investor 0,223
Teknologi Ecoport (0,110)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,149
Akademisi 0,037
Akses Masyarakat (0,166)
Perluasan Lapangan Kerja 0,323
Minimalisasi Konflik 0,075
Revitalisasi 0,268
Gambar 5.54. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang, Kecamatan Semarang Utara.
219
b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun stakeholder yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.55 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.
Gambar 5.55. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Semarang Utara
Berdasarkan Gambar 5.55 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Semarang Utara menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam upaya pengembangan potensi kawasan Semarang Utara sebagai kawasan terpadu dengan bobot nilai adalah 0,326. Pemerintah mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap upaya penentuan alternatif kebijakan pengembangan Kecamatan Semarang Utara menjadi kawasan terpadu. Investor memiliki bobot nilai 0,215 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran penting terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah Masyarakat mempunyai bobot nilai 0,255 yang diikuti Stakeholder
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bobot nilai
0,100, Pelaku usaha dengan bobot nilai 0,074, dan terakhir Akademisi dengan bobot nilai 0,030. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.56. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara.
220 Berdasarkan Gambar 5.56 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan Abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,409. Menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,289 di ikuti Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,158. Teknologi ecoport dan pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,100 dan terakhir adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana dengan bobot nilai 0,044.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara
Gambar 5.57. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara Berdasarkan Gambar 5.57 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,343 dan 0,189. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,164, dilanjutkan dengan peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,123. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,078. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,061. Prioritas terakhir adalah revitalisasi kota tepian pantai dengan bobot nilai 0,042.
e.
Pembobotan Berkelanjutan
Alternatif
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
221
Gambar 5.58. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.58 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,03 menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan redevelopment dengan bobot nilai 0,577. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kecamatan Utara perlu diupayakan dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki olah kawasan ini. Perlu dilakukan pengadaan sarana dan prasarana penunjang atau infrastruktur yang lebih memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi di Kecamatan Semarang Utara, terutama sarana listrik. Prioritas selanjutnya adalah revitalisasi (0,342). Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Utara sebagai salah satu pusat kawasan terpadu. Prioritas terakhir adalah konservasi dengan bobot nilai 0,081.
5.5 Menentukan Prioritas Atau Skenario Arahan Kebijakan
dan Strategi
Pengelolaan (Tujuan 5)
5.5.1 Analisis Kebijakan berdasarkan Skenario Analisis kebijakan dilakukan melalui kajian tiga skenario yang disusun berdasarkan hasil MDS. Dari analisis MDS tersebut diketahui bahwa terdapat lima faktor kunci yang paling berpengaruh terhadap pengelolaan kota tepian pantai (water front city) berkelanjutan, yang juga merupakan kebutuhan para pelaku (stakeholder). Faktor kunci tersebut adalah: 1) Pengangguran terbuka, 2) Erosi dan Abrasi, 3) Kelembagaan Mitigasi Bencana, 4) Teknologi Ecoport dan Pelabuhan, dan 5) Akses masyarakat ke tepian pantai. Berdasar keadaan (state) faktor-faktor tersebut, dapat disusun
skenario beberapa kemungkinan yang
terjadi. Dari
222 kombinasi antara
faktor kunci tersebut, diasumsikan tiga skenario yang
kemungkinan terjadi, yang diberi nama: (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Moderat, dan (3) Skenario Optimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 6.1. Tabel 6.1.
Prospektif faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem
pengelolaan kota tepian pantai No.
Faktor
Pesimis Tinggi karena kurangnya usaha penanggulangan erosi dan abarasi .
Keadaan (State) Moderat Sedang, karena pembinaan keterampi lan maupun pendanaan terhadap masyarakat lokal sudah cukup baik dalam bidang reboisasi hutan dan pencegahan erosi dan abrasi Sedang, karena pemerintah dan swasta cukup innovative dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran.
1.
Erosi dan Abrasi
2.
Pengangguran terbuka
Cukup besar, karena pemerintah dan swasta kurang inovatif dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran .
3.
Akses masyarakat ke tepian pantai
Semakin rendah akibat kebijakan pemerintah yang kurang meng akomodasi akses masyarakat ke tepian pantai (sosial, ekonomi dan budaya)
Meningkat, karena pemerintah memberi akses yang cukup kepada masyarakat ketepian pantai dengan menumbuh kembangkan swadaya masyarak (sosial, ekonomi, budaya)
4.
Teknologi Ecoport dan Pelabuhan
5.
Kelembagaan Mitigasi Bencana
Kurang memadai, ka rena upaya perbaikan sarana infrastruktur dan kebutuhan energi ( listrik) yang ada saat ini tidak ditun jang dengan upaya alih teknologi Kurang memadai, ka rena kurangnya koor dinasi organisasi mas yarakat dan kerja sama dengan stake hol der lainnya
Cukup memadai, kare na alih teknologi upaya perbaikan sa rana infrastruktur dan kebutuhan energi (listrik) sudah dilakukan secara bertahap. Cukup baik, karena su dah dilakukan koordi nasi dan kerjasama de ngan swasta dan peme rintah
Sumber: Hasil Analisis 2010.
Optimis Rendah, karena pemerintah intens me lakukan pemberda yaan kepada masya rakat serta ikut me libatkan peran aktif sektor swasta
Kecil, karena pemerintah dan swasta sangat innovative dalam penciptaan bidang kerja secara terpadu untuk menyerap pengangguran Meningkat secara berkesinambungan karena pemerintah intens menumbuh kembangkan sektor swadaya masyarakat, wisata, perdagangan secara terpadu (mixed used) Sangat memadai, karena alih teknologi untuk perbaikan sarana infrastruktur dan listrik berjalan dengan baik Sangat baik karena koordinasi dan ker jasama dengan stake holder lainnya ber jalan dengan baik
223 Untuk mengaitkan skenario yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi asumsi tiap-tiap skenario pada kondisi setiap faktor kunci. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan.
5.5.2.1.
Simulasi Skenario
Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas, untuk mengetahui perilakunya masing-masing. Sumber data: Produk domestik Regional Bruto Kota Semarang 2009 yang diolah. Kajian dilakukan terhadap empat peubah yang dianggap menentukan arah kebijakan pengelolaan kota tepian pantai, yaitu kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati dan penggunaan tata ruang. Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan kombinasi kondisi faktor kunci.
5.5.2.2
Skenario Optimis Skenario optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor
kunci/penentu dengan kondisi: 1)
Erosi dan Abrasi rendah karena pemerintah intens melakukan pemberdayaan kepada masyarakat serta ikut melibatkan peran aktif sektor swasta dalam penanggulanagan erosi dan abrasi (penghutanan kembali, reboisasi pantai teknologi baru, dsb.)
2)
Pengangguran terbuka kecil, Kecil, karena pemerintah dan swasta sangat innovative dalam penciptaan bidang kerja secara terpadu untuk menyerap pengangguran
3)
Akses masyarakat/publik, Meningkat secara berkesinambungan karena pemerintah intens menumbuh kembangkan sektor swadaya masyarakat, wisata, perdagangan secara terpadu (mixed used).
4)
Teknologi ecoport dan pelabuhan sangat memadai karena karena alih teknologi untuk perbaikan sarana infrastruktur dan listrik berjalan dengan baik
5)
Kelembagaan Mitigasi Bencana berjalan sangat baik karena koordinasi dan kerjasama dengan stakeholder lainnya berjalan dengan baik.
224
Gambar 5.59(a) memperlihatkan bahwa pada skenario optimis, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi sedikit peningkatan menjadi 59,75% pada tahun 2030.
Rupiah/jiwa
% 100
(a)
(b)
250.000.000
200.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
60
40
20
150.000.000
100.000.000
50.000.000
0
03 04 05 06 07 08 0 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2 5 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 0 9 10 11 12 1 3 14 15 1 6 17 18 19 2 0 21 22 23 24 25 26 2 7 28 29
(c)
R upiah
Ha 25.000
(d) 3 00.000.000
20.000
Bangunan 15.000
LPrm k n Bgn
LGA 2 00.000.000
Pertanian
Tbk k lm
Pert&I nd
Lhn Swh
KPJ
Tglk bn
AngKom
Lhn Hutan
10.000
Js&Perd 1 00.000.000
5.000
0
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 1 8 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 0 7 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 2 4 25 26 27 28 29
Gambar 5.59. Simulasi model skenario optimis Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas lingkungan (skenario-skenario optimis, moderat dan pesimis) adalah dengan meningkatkan pengelolaan sampah, limbah pertanian, limbah domestik dan limbah hasil industri secara independen oleh pihak penghasil limbah. Dalam hal ini pemerintah bekerja sama dengan stakeholders yang terkait dan berkompeten dalam mengupayakan pembangunan IPAL maupun alat pengelola sampah lainnya secara independen. Gambar
5.59.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
optimis,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 rupiah/jiwa meningkat menjadi 25.518.777 rupiah/jiwa pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 260.670.728 rupiah/jiwa pada tahun 2030.
225 Berdasarkan Gambar 5.59.(c) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor-sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (Jutaan rupiah, Sumber: PDRB Kota Semarang 2009, Bappeda/ BPS Kota Semarang 2009, berdasar harga berlaku). Peningkatan pendapatan tersebut dapat dilihat dari data tahun 2004 dan hasil perkiraan simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan semula sebesar 2.832.763 (2004) menjadi 20.667.194 (2030); sektor LGA dari 404.680 (2004) menjadi 1.414.933 (2030), sektor pertanian dari 273.855 (2004) menjadi 1.270.717 (2030); sektor pertambangan & industri dari 5.623.450(2004) menjadi Rp. 64.037.970 (2030), sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030), sektor Angkom dari 2.106.028 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 359.696.679 (2030). Berdasarkan Gambar 5.59(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario optimis pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha meningkat menjadi 4.349,09 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha naik menjadi 3.231,05 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha naik menjadi 19.203,30 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha naik menjadi 16.633,67 ha serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha turun menjadi 499,71 ha.
5.5.2.3 Skenario Moderat Skenario moderat dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi; 1) Erosi dan abrasi sedang,
karena pembinaan keterampi lan
maupun pendanaan terhadap masyarakat lokal sudah cukup baik dalam bidang reboisasi hutan dan pencegahan erosi dan abrasi; 2) Pengangguran terbuka sedang, karena pemerintah
dan swasta cukup innovative dalam penciptaan bidang kerja
untuk menyerap pengangguran; 3) Akses masyarakat/publik terhadap tepian pantai meningkat,
karena pemerintah memberi akses yang cukup kepada masyarakat
ketepian pantai dengan menumbuh kembangkan swadaya masyarak
(sosial,
ekonomi, budaya); 4) Teknologi ecoport dan pelabuhan cukup memadai cukup memadai, kare na alih teknologi upaya perbaikan sa rana infrastruktur dan kebutuhan energi (listrik) sudah dilakukan secara bertahap.; dan 5) ketersediaan
226 Kelembagaan Mitigasi Bencana cukup baik karena sudah dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan swasta dan pemerintah.
R upiah/jiwa 20 0.000.000
% 100
(a)
(b) 15 0.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
60
40
10 0.000.000
50 .0 00.000 20
0
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 1 9 20 21 22 23 24 25 26 2 7 28 29
Rupiah
Ha 25.00 0
250.000.000
(d)
(c)
200.000.000
20.00 0
Bang unan 15.00 0
LPrm knBgn
LGA
150.000.000
Pertania n
Tbkk lm
Pert&Ind
Lhn Swh
KPJ
Tglkbn Lhn Hu tan
10.00 0
AngKom
100.000.000
Js&Perd
50.000.000
5.000
0
0
03 0 4 05 06 07 08 0 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 1 1 12 1 3 1 4 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 2 7 28 2 9
Gambar 5.60. Simulasi model skenario moderat
Gambar 5.60.(a) memperlihatkan bahwa pada skenario moderat, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% (2010), dan diperkirakan akan terjadi penurunan menjadi 50,67% (2030) Gambar
5.60.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
moderat,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa/tahun) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 meningkat menjadi 20.518.777 (2010), dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 199.715.431 (2030). Berdasarkan Gambar 5.60.(c) terlihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (jutaan rupiah). Peningkatan nilai tersebut dapat dilihat dari data tahun 2004 dan taksiran/simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan semula sebesar 2.832.763 (2004) menjadi 20.667.194 (2030); sektor LGA semula sebesar
404.680 (2004) menjadi 1.414.933 (2030); sektor
pertanian semula sebesar 273.855 (2004) menjadi 1.270.717 (2030); sektor pertambangan & industri dari 5.623.450 (2004) menjadi 64.037.970 (2030); sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030); sektor Angkom dari 2.106.028
227 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 250.120.496 (2030). Berdasarkan Gambar 5.60.(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario moderat pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha meningkat menjadi 4.354,98 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha naik menjadi 3.091,73 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha naik menjadi 19.255,14 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha naik menjadi 16.657,66 ha serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha turun menjadi 493,87 ha.
5.5.2.4 .Skenario Pesimis Skenario Pesimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi; 1) Erosi dan abrasi tinggi karena kurangnya usaha penanggulangan erosi dan abarasi; 2) Pengangguran terbuka cukup besar, karena pemerintah dan swasta kurang inovatif dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran;3) Akses masyarakat/publik terhadap tepian pantai semakin rendah akibat kebijakan pemerintah yang kurang meng akomodasi akses masyarakat ke tepian pantai (sosial, ekonomi dan budaya) ; 4) Teknologi ecoport dan pelabuhan kurang memadai, ka rena upaya perbaikan sarana infrastruktur dan kebutuhan energi ( listrik) yang ada saat ini tidak ditun jang dengan upaya alih teknologi; dan 5) Kelembagaan Mitigasi Bencana kurang memadai karena kurangnya koordinasi organisasi masyarakat tersebut dan kerjasama dengan stakeholder lainnya. R upia h/jiwa
% 100
(a)
60
40
(b)
100.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
50.000.000
20
0
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
R up ia h
Ha 25.000
20.000
(d)
(c)
80.000.000
60.000.000 15.000
Ba nguna n LGA
LP rmk nBg n
P e rtania n
T b kk lm
P e rt&Ind
Lhn Swh T g lkb n
KP J
40.000.000
Ang Ko m
Lhn Hutan
10.000
Js &P erd
20.000.000 5.000
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
0304 0506 07 08 09 10 11 1213 1415 1617 18 19 20 21 22 2324 2526 2728 29
Gambar 5.61. Simulasi model skenario pesimis
228 Gambar 5.61.(a) memperlihatkan bahwa pada skenario pesimis, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi penurunan menjadi 31,42% pada tahun 2030. Kondisi ini diperkirakan terjadi akibat peningkatan jumlah sampah dan limbah seiring semakin berkembangnya kegiatan pembangunan di Kota Semarang. Gambar
5.61.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
pesimis,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa/tahun) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 meningkat menjadi 20.518.777 pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 111.306.609 pada tahun 2030. Berdasarkan Gambar 5.61.(c) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (jutaan rupiah). Peningkatan nilai tersebut dapat diketahui dari data tahun 2004 dan taksiran berdasar simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan sebesar 2.832.763 menjadi 20.667.194; sektor LGA dari 404.680 menjadi 1.414.933; sektor pertanian dari sebesar 273.855 menjadi 1.270.717; sektor pertambangan & industri dari 5.623.450 (2004) menjadi 64.037.970 (2030); sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030), sektor Angkom dari 2.106.028 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 91.192.531 (2030). Berdasarkan Gambar 5.61.(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario pesimis pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha. meningkat menjadi 4.375 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha. naik menjadi 2.614,05 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha. naik menjadi 19.431,92 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha. naik menjadi 16.739,27 ha. serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha. turun menjadi 474,53 ha. Ketiga skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah yang dikaji (kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati dan penggunaan tata ruang). Secara umum perbedaan antar skenario mulai tampak pada tahun 2010.
229 Skenario moderat merupakan model dasar yang telah disusun dan disimulasikan , oleh karena itu semua skenario lain dibandingkan dengan skenario moderat. Hasil perbandingan yang dinyatakan dalam persen perbedaan, disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Hasil perbandingan antar skenario yang dinyatakan dalam persen perbedaan No
Peubah
1 Kualitas Lingkungan 2 Pertumbuhan Pendapatan 3 Nilai Rupiah Setiap Sektor 4 Penggunaan Tata Ruang Sumber: Hasil Analisis (2010)
Skenario
pesimis
secara
Perbedaan antar Skenario (%) Optimis dengan Pesimis dengan Moderat Moderat 17,92 -38 30,5 -44,3 30,5 -44,3 0,14 -0,5
umum
menurunkan
kualitas
lingkungan,
pertumbuhan pendapatan, nilai rupiah setiap sektor dan penggunaan tata ruang secara siginifikan, dibandingkan dengan moderat. Hal ini dapat terjadi karena kombinasi kondisi factor kunci pada skenario pesimis tidak mengutamakan semua factor kunci, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas lingkungan, menurunkan penerimaan pendapatan atau nilai rupiah setiap sektor dan menurunkan penggunaan tata ruang sebagai akibat terbatasnya pembangunan sarana dan prasarana kota. Peubah dimensi ekonomi yang sangat terpengaruh oleh faktor kontribusi sektor industri, tingkat pemanfaatan lahan dan sarana listrik adalah pertumbuhan pendapatan (PDRB) dan pendapatan rupiah dari setiap sektor, dimana akan terjadi penurunan masing-masing peubah lebih dari 40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila kontribusi sektor industri menurun, pemanfaatan lahan kurang memadai, dan sarana listrik tidak memadai lagi, maka peubah dimensi ekonomi wilayah akan menurun tajam. Perbedaan tersebut mulai tampak pada tahun 2013, dan terus meningkat sampai akhir simulasi. Selain itu pengabaian terhadap faktor tingkat pemanfaatan lahan dan pemberdayaan masyarakat, akan memberikan dampak buruk bagi penurunan kualitas lingkungan yang menurun sekitar 38%. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas lingkungan di Kota Semarang dalam kaitannya dalam pengembangan kota tepian pantai (water front city) di Kota Semarang selayaknya
230 harus diikuti dengan upaya pemanfaatan lahan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, untuk mencapai suatu dinamika yang harmonis antara pertumbuhan pendapatan atau pendapatan rupiah tiap sektor dan penggunaan ruang. Dengan mencermati tabel
di atas, antara
skenario pesimis dan moderat terdapat perbedaan yang substansial pada peubah kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan rupiah setiap sektor, kecuali pada peubah penggunaan tata ruang. Skenario optimis memberikan hasil yang relatif berbeda dibandingkan dengan skenario moderat. Skenario ini secara umum meningkatkan kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah setiap sektor dan penggunaan tata ruang secara siginifikan, dibandingkan dengan moderat. Peubah dimensi ekonomi yang sangat terpengaruh oleh faktor kontribusi sektor industri, tingkat pemanfaatan lahan dan sarana listrik adalah pertumbuhan pendapatan (PDRB) dan pendapatan rupiah dari setiap sektor, dimana akan terjadi peningkatan masing-masing peubah sekitar 30,5%. Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila kontribusi sektor industri ditingkatkan, pemanfaatan lahan dilakukan secara berkelanjutan dan sarana listrik sudah memadai, maka peubah dimensi ekonomi wilayah akan meningkat tajam. Perbedaan tersebut mulai tampak pada tahun 2012, dan terus meningkat sampai akhir simulasi. Selain itu peningkatan kontribusi sektor industri, pemanfaatan lahan secara berkelanjutan dan sarana listrik, akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan yang meningkat sekitar 17,92%. Dengan mencermati tabel di atas, antara skenario optimis dan moderat terdapat perbedaan yang substansial pada peubah kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan rupiah setiap sektor, kecuali pada peubah penggunaan tata ruang. Mencermati kecenderungan sistem dari berbagai skenario yang ada, tampak bahwa perubahan yang terjadi akibat perbedaan kondisi faktor pemberdayaan masyarakat, tingkat pemanfaatan lahan, kontribusi sektor industri, sarana listrik dan ketersediaan organisasi masyarakat, memberikan perubahan yang sangat besar bagi output sistem. Secara umum peubah yang dikaji untuk skenario pesimis, menunjukkan penampilan buruk dan pada dasarnya mencerminkan output yang tidak dikehendaki pada diagram input/output. Dengan kata lain skenario pesimis akan menghasilkan output yang tidak mendukung pengelolaan kota tepian pantai (water front city) berkelanjutan di Kota Semarang. Dengan demikian sangatlah logis
231 untuk menetapkan skenario yang mengutamakan faktor erosi dan abrasi, pengangguran terbuka, akses masyarakat terhadap tepian pantai, teknologi ecoport & pelabuhan dan ketersediaan Kelembagaan Mitigasi Bencana, sebagai pilihan dalam pengelolaan kota tepian pantai di Semarang. Berdasarkan uraian di atas, skenario logis yang dapat digunakan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai (water front city) di Kota Semarang adalah skenario moderat dan optimis.
232
VI. 6.1.
REKOMENDASI
Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW
6.1.1 Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW Dengan menggabungkan hasil simulasi model, Multi Dimensional Scaling dan Analytical Hierarchie Process, maka dapat direkomendasikan sebagai berikut: Meskipun secara keseluruhan /total lahan Semarang Kota Tepian Pantai masih bisa dibangun tambahan untuk hutan, konservasi dan hijauan (seluas 388 ha) dan tambahan untuk pemukiman dan bangunan (seluas 290),
jika ditinjau per
kecamatan, terlihat bahwa (1) Di kecamatan Semarang Barat dan Semarang Utara masih kurang penghijauannya sehingga direkomendasikan untuk menanam kembali hutan, konservasi dan hijauan sebesar 215 ha (Semarang Barat) dan 189 ha( Semarang Utara). (2) Terlihat terjadinya konversi lahan luar biasa diatas peruntukannya untuk keperluan permukiman dan bangunan sebesar ( 621 ha) di Semarang Barat dan (30,4 ha ) di Semarang Utara. Atas hal tersebut di rekomendasikan untuk mentata ulang mengenai kebijakan perumahan/pemukiman, misalnya dengan pengembangan perumahan secara vertikal, rumah susun, mensosialisasikan Huaming model dan sebagainya. Di kecamatan Tugu, potensi ideal (hasil simulasi) untuk hutan,konservasi dan hijauan
(328,47 Ha) hanya terpakai sebesar 271,7 Ha, sehingga
direkomendasikan untuk menambah penghijauan sebesar 57,27 Ha. Di kecamatan Genuk terlihat bahwa: (1) lahan untuk hutan, konservasi dan hijauan telah melebihi perhitungan simulasi ( melebihi sebesar 14 ha), (2) masih bisa dibangun pemukiman (sebesar 553 ha), dan (3) sebagian besar penggunaan lain-lain digunakan untuk tegalan, kebun dan tanah kering.
Berdasarkan simulasi permodelan Sistim Dinamis yang dihasilkan dan di overlay kedalam peta RTRW Kota Semarang (tahun 2002-2010), diperoleh suatu hasil simulasi Pola penggunaan lahan rekomendasi Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2010-2030 (hasil analisis GIS) yang dapat dilihat pada Gambar 6.1. Rekomendasi penggunaan lahan di Semarang Kota Tepian Pantai adalah sebagai berikut:
233 Tabel 6.1 Kajian Penggunaan Lahan Semarang Kota TepianPantai berdasar hasil simulasi No
Penggunaan Lahan
Luas (Ha) Kec. Tugu
1 2 3 4 5 6
Hutan, Konservasi, dan Hijauan Pemukiman dan Bangunan Sawah Tambak, Rawa, dan Kolam Tegalan, Kebun, dan Tanah Kering Lain-Lain Total
Sumber : Hasil Simulasi
328,47 895 348,66 477,20 425,03 511,65 2.986,01
Kec. Semarang Utara 188,52 771,62 0 56,37 0 152,16 1.169
Kec. Semarang Barat 328,41 1.234,34 0 5,16 0 602,09 2.170
Kec. Genuk 237,73 1995,78 75,98 300,02 117,29 25,21 2.752,01
234
Gambar 6.1. Peta Rekomendasi Penggunaan Ruang Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2030
234
235
Gambar 6.2. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Hasil Simulasi (2030) Terhadap RTRW Tahun 2010 235
236 Jika hasil simulasi Tabel 6.1 dibandingkan dengan data eksisting berdasar Ikonos, diperoleh perbedaan penggunaan lahan + atau –. Perbedaan ini dapat dipakai sebagai dasar untuk membuat rekomendasi. Tabel 6.2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan /Total lahan antara peng alokasian sesuai hasil simulasi
dan lahan
eksisting yang telah digunakan, masih bisa dibangun tambahan untuk hutan, konservasi dan hijauan (seluas 388 ha) dan tambahan untuk pemukiman dan bangunan (seluas 290). Meskipun demikian, jika ditinjau per kecamatan, terlihat bahwa di kecamatan Semarang Barat dan Semarang Utara masih kurang penghijauannya sehingga masih harus di tanam kembali hutan, konservasi dan hijauan sebesar 215 ha (Semarang Barat) dan 189 ha( Semarang Utara). Terlihat terjadinya konversi lahan luar biasa diatas peruntukannya untuk keperluan permukiman dan bangunan sebesar ( 621 ha) di Semarang Barat dan (30,4 ha ) di Semarang Utara. Di kecamatan Tugu, potensi ideal (dari hasil simulasi) untuk hutan,konservasi dan hijauan (328,47 Ha) hanya terpakai sebesar 271,7 Ha, sehingga direkomendasikan untuk menambah penghijauan sebesar 57,27 Ha. Di kecamatan Genuk terlihat bahwa lahan untuk hutan, konservasi dan hijauan telah melebihi perhitungan simulasi (14 ha), masih bisa dibangun pemukiman (sebesar 553 ha), sebagian besar penggunaan lain-lain digunakan untuk tegalan, kebun dan tanah kering. Secara keseluruhan/Total lahan terlihat penggunaan lahan jauh melebihi perhitungan simulasi untuk sawah ( lebih 111 ha); tambak, rawa dan kolam ( lebih 779 ha ) dan Tegalan, kebun dan tanah kering ( lebih 111 ha ). Secara keseluruhan perlu tambahan untuk penggunaan lain-lain sebesar 323 ha.
237
Tabel 6.2. Perbedaan kajian penggunaan lahan hasil simulasi dengan data eksisting dan Rekomendasi (Landsat/Ikonos) No
Penggunaan Lahan Tugu S
1 2 3 4 5 6
Hutan, Konservasi, dan hijauan Pemukiman dan Bangunan Sawah Tambak, Rawa, dan Kolam Tegalan, Kebun dan Tanah Kering Lain-lain Total
E
R
328,47 895
271,7 507,77
348,7
415
Luas per Kecamatan (ha) SMG. Brt. S E
+57,27 +387,23
0 802,0
+189 -30,4
0
32
0
0
0
0
52,66
425,0
45,20
+379,80
0
167
511,7 2.986,00
368,30 2.986,00
+143,40
681 2.248
28,28 2.248
Keterangan : S = Hasil Simulasi
S
189 771,6
5,16
Hutan, Konservasi, dan hijauan Pemukiman dan Bangunan Sawah Tambak, Rawa, dan Kolam Tegalan, Kebun dan Tanah Kering Lain-lain Total
R
+215 -621
-900,80
1 2 3 4 5 6
SMG. Utr. E
113,20 1.855
1.378,00
Penggunaan Lahan
S
328,40 1.234
477,2
No
R
Genuk E
295,6 1.602
R - 14,3
309,9 1.443
+553
89
-13
194
+6
56,37
46,61
+9,8
75,98 199,0
0
0
0
0
73,90
396
-323
+652
152,2 1.168
319,4 1.168
-167,2
462 2.708
276 2.708
+251
TOTAL Luas Kecamatan Tepian Pantai (ha) TUGU, SMG. BRT, SMG .UT, GENUK S E R 1.083 695 +388 4.897 4.607 +290 425 536 -111 838 1.617 -779 497 608 - 111 1.370 1.047 + 323 9.110 9.110
E = Eksisting berdasar tutupan lahan Ikonos
R = Rekomendasi
237
238 6.1.2 Kebijakan Pengelolaan Perkecamatan
Kecamatan Tugu Berdasarkan hasil analisis kajian AHP, prioritas desain kebijakan yang
sesuai untuk pengembangan kawasan Kecamatan Tugu adalah konservasi dengan penanaman kembali mangrove dan pemberdayaan nelayan & masyarakat untuk alih profesi dari petambak. Sektor perindustrian sudah cukup maju di kawasan tersebut dan merupakan salah satu sentra kawasan industri perikanan tambak di Kota Semarang karena ditunjang potensi mangrove yang relatif baik dibandingkan kawasan pesisir lainnya di Kota Semarang. Dalam pengelolaan tepian pantai berkelanjutan di Kota Semarang, Kecamatan Tugu berdasarkan karakteristik potensi yang dimilikinya sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan tepian air rekreasi (recreational waterfront). strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Tugu sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan konsevasi . Prioritas selanjutnya adalah redevelopment. Upaya ini dilakukan dengan cara peningkatan dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai untuk menunjang terwujudnya Kecamatan Tugu sebagai kawasan tepian rekreasi di Kota Semarang.
Kecamatan Semarang Barat Berdasarkan hasil analisis kajian AHP, prioritas desain kebijakan yang
sesuai untuk pengembangan kawasan Kecamatan Semarang Barat adalah konservasi, redevelopment dan revitalisasi. Dalam pengelolaan tepian pantai berkelanjutan di Kota Semarang, Kecamatan Semarang Barat berdasarkan karakteristik potensi yang dimilikinya seperti Pelabuhan Tanjung Mas dan Pantai Marina membuat kawasan ini sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan tepian air pemanfaatan terpadu (mixed used waterfront). Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan daya guna manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Barat sebagai salah satu pusat kawasan terpadu di Kota Semarang. Strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan redevelopment. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kecamatan Semarang Barat perlu diupayakan dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki olah
239 kawasan ini. Disamping itu perlu dilakukan pengadaan sarana dan prasarana penunjang atau infrastruktur yang lebih memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi di Kecamatan Barat, terutama sarana listrik. Prioritas selanjutnya adalah revitalisasi dengan bobot nilai 0,268. Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan daya guna manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Barat sebagai salah satu pusat kawasan terpadu di Kota Semarang.
Kecamatan Semarang Utara Prioritas desain kebijakan yang sesuai untuk pengembangan kawasan
Kecamatan Semarang Utara adalah sama seperti Kecamatan Semarang Barat, yaitu konservasi, redevelopment dan revitalisasi. Dalam pengelolaan tepian pantai berkelanjutan di Kota Semarang, Kecamatan Semarang Utara berdasarkan karakteristik potensi yang dimilikinya seperti Pelabuhan Tanjung Mas dan Pantai Marina membuat kawasan ini sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan tepian air pemanfaatan terpadu (mixed used waterfront). Kegiatan konservasi perlu dilakukan agar sumber daya alam yang ada di Kecamatan Semarang Utara tetap terjaga kelestariannya. Kegiatan konservasi ini perlu dilakukan dengan cara mengembangkan vegetasi spesifik seperti tanaman bakau yang dapat berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami dan mengembangkan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut.
Kecamatan Genuk Berdasarkan hasil analisis kajian AHP Kecamatan Genuk, desain kebijakan
yang
sesuai untuk pengembangan
kawasan
tersebut adalah konservasi.
Perkembangan sektor perindustrian di kawasan tersebut telah berdampak buruk terhadap penurunan potensi mangrove dan peningkatan kawasan kumuh sehingga berdasarkan fungsinya sangat sesuai dikembangkan sebagai tepian air tempat tinggal (residential waterfront) terutama melalui pengembangan permukiman rumah panggung/anti banjir.
240 6.1.3
Rekomendasi Kebijakan untuk Ruang Terbuka Hijau Erosi dan Abrasi Munculnya atribut yang sensitif berupa Erosi dan Abrasi berkaitan erat
dengan rekomendasi kebijakan untuk Ruang Terbuka Hijau yang mendorong perlunya reboisasi, penanaman kembali mangrove atau pembentukan buffer mangrove/green belt sepanjang pantai (soft engineering) atau pemasangan sarana pelindung pantai (hard engineering) akan bisa mengatasi erosi sepanjang sungai, abrasi sepanjang pantai, meningkatkan daya dukung lahan dan bisa mengatasi masalah ketersediaan sumberdaya air tawar/intrusi air laut, dan rob. Sementara itu kejadian kekeringan merupakan wahana alam atau kondisi iklim yang berskala global dalam kaitan dengan global warming yang penanganannya juga membutuhkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Tingkat pemanfaatan lahan, eksploitasi sumberdaya alam, spesies langka/biodiversitas, ketersediaan sumberdaya air tawar, degradasi lahan dan rehabilitasi mangrove adalah merupakan atribut-atribut yang saling mempengaruhi, sehingga perlu suatu manejemen yang efektif dan efisien dalam mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa melebihi daya dukung lahan berdasar konsep “pembangunan berkelanjutan” yang bila tidak dilakukan bisa mengakibatkan degradasi lahan. Penegakan hukum dan disiplin peraturan harus ditingkatkan, terutama bagi pengelola perindustrian, perdagangan dan masyarakat luas sehingga segala macam bentuk pencemaran lingkungan dan pengelolaan sampah bisa dilakukan secara partisipatif. Sesuai dengan misi Kota Semarang tepian pantai/air, maka agar tepian pantai tersebut bisa dinikmati oleh masyarakat, harus disediaken akses seluasluasnya untuk masyarakat dengan peningkatan kondisi prasarana jalan. Melindungi dan memperbaiki mutu dan fungsi sistem ekologi di dalam area tepian pantai kota Semarang, seperti : (1) melindungi dan memperbaiki mutu ekologi dan komponen habitat dan sumberdaya di dalam area lingkungan khusus tepian pantai, ekologi kompleks yang diakui secara signifikan dan habitat ikan pantai dan habitat margasatwa, (2) melindungi dan memperbaiki pasang air laut dan air segar, (3) melindungi tanaman yang rawan, ikan dan spesies margasatwa, komunitas ekologi yang langka. Desain dan pengembangan penggunaan daratan dan air untuk memaksimumkan integrasinya atau kesesuaiannya dengan komunitas ekologi tertentu, dan (4) merawat dan melindungi kehidupan sumberdaya kelautan
241 (New York State Coastal Zone Management Program, Attachement B, 2008. Waterfront Revitalization Program). Berdasarkan penggabungan antara data RTRW 2010 dan data simulasi (sumber BPS) yang dikhususkan pada penggunaan lahan untuk hutan, konservasi dan hijauan, dengan mengikuti peta simulasi dan rekomendasi tahun 2030 bisa di tunjukkan penggunaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tahun 2030 seperti pada Gambar 6.3 yaitu sebesar 12,10%.
Gambar 6.3. Persentase Penggunaan Lahan Tahun 2030.
Berdasarkan gambar di atas penggunaan lahan terbesar digunakan oleh permukiman dan bangunan dengan luas 52,11%, dan penggunaan terkecil adalah sawah seluas 5,55%. Sedangkan dari hasil simulasi system dinamik, jika RTH yang dimaksud adalah Hutan, maka luasan tersebut sekitar 7,27% pada tahun 2030 dari data eksisting, sehingga untuk optimalisasi perlu penambahan luasan hijauan mencapai 5%, untuk dapat optimalisasi RTH.
Tabel 6.3. Hasil Simulasi RTH Kota Semarang RTH
Eksisting Luas
Tegal, Kebun, Tanah Kering Lainnya Hutan Total
Optimis
Moderat
%
Luas
%
19.310,87
51,67
19.203,30
51,39
19.255,14
51,53
19.431,92
52
2.715,97
7,27
3.231,05
8,65
3.091,73
8,27
2.614,05
6,99
58,94
60,04
Luas
Pesimis %
59,8
Luas
%
58,99
Terlihat bahwa RTH Kota Semarang secara umum masih baik, namun RTH Kota Semarang Tepian Pantai terlihat sangat kecil (12,1 %) dan jauh dari ketentuan
242 minimal 30%, maka perlu penambahan ruang terbuka hijau. Pertambahan ruang terbuka hijau difokuskan pada greenbelt mangrove sebagai pelindung kawasan pesisir dari abrasi, serta difokuskan pada kecamatan Tugu dan Genuk sebagai prioritas
konservasi,
serta
penghijauan
pada
reklamasi
lahan
yang
direkomendasikan. Reklamasi lahan dilakukan sebagai pelindung parairan Kecamatan Genuk dan Kecamatan Tugu dari pusat kegiatan besar industry dan pelabuhan serta bangunan-bangunan komersial sebagai desain water front city khususnya di Semarang Barat dan Semarang Utara.
6.1.4 Kelembagaan Mitigasi Bencana Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Meskipun UU telah menggariskan ketentuan penanggulangan bencana yang komprehensif, sejauh ini penanggulangan masih fokus pada masalah tanggap darurat. Tindakan lanjut seperti mitigasi, kesiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi nampak belum menjadi prioritas utama dari aktivitas penanggulangan bencana. Mengingat luasnya spektrum kegiatan penanganan bencana dan jenis bencana, maka instansi ataupun lembaga yang terkait dengan penanggulangan bencana juga sangat banyak dan setiap lembaga mempunyai peran tertentu pada suatu tahapan dan jenis bencana disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Untuk penguatan kelembagaan, diperlukan grand desain dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan dan standar penanganan bencana yang cepat, tanggap, dan profesional sesuai dengan standard internasional. Sebagai contoh di beberapa negara maju (Australia dan Amerika), pusat penanggulangan bencana mereka ber markas di pangkalan udara yang dilengkapi peralatan memadai, bahkan beberapa di dukung dengan pesawat khusus gerak cepat yang berfungsi sebagai penyuplai logistik yang dilengkapi pula rumah sakit darurat. Berkaitan dngan proses mitigasi, pemerintah harus mengoptimalkan peran partisipatif dari seluruh stakeholder bencana. Salah satunya dengan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi. Oleh karena itu, peran serta partisipasi perguruan tinggi sebagai partner kerja menjadi signifikan dalam konteks ini.
243 6.2.
Rekomendasi Perekonomian
6.2.1 Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Daerah Pengelolaan sumberdaya pesisir kota tepian air, pengembangan dalam dimensi ekonomi lebih di titik beratkan pada sektor perdagangan dan jasa. Hal ini disebabkan karena sektor perdagangan dan jasa memberikan kontribusi cukup besar terhadap penerimaan PDRB Kota Semarang dan kota-kota penyangga disekitarnya. Selain itu sektor perdagangan dan jasa secara signifikan akan bisa menyerap pengangguran terbuka yang sebagian besar terdiri dari masyarakat yang tidak mempunyai keterampilan dan pendidikan yang memadai. Peran pemerintah daerah yang mempunyai hak kepemilikan pengelolaan perlu melakukan akumulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir kota tepian air untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sesuai dengan daya dukung ekonomi. Hal tersebut haruslah didukung dengan melakukan peningkatan infrastruktur ekonomi berupa sarana dan prasarana pasar
6.2.2 Pengembangan Sarana dan Prasarana Pengembangan sarana dan prasarana seperti listrik, jalan, jembatan, pelabuhan beserta rambu-rambu lalu lintas pelayaran, ketersediaan teknologi informasi dan sistem informasi terpadu sangat membantu dalam mempelancar kegiatan pembangunan ekonomi di Kota Semarang, terutama untuk menyokong sektor industri dan perdagangan. Reklamasi lahan perlu dilakukan untuk penyediaan kawasan industri dan perdagangan, serta pelabuhan. Reklamasi lahan tersebut dilakukan akibat keterbatasan lahan sebagai dampak dari kegiatan pembangunan fisik di kota Semarang yang begitu pesat. Pembangunan dam dan saluran drainase diperuntukan untuk mengatasi permasalahan rob dan banjir. Pembangunan dam dan saluran drainase merupakan kebutuhan yang sangat mendesak karena dari tahun ke tahun banjir rob bertambah tinggi dan cakupannya juga semakin luas. Daerah yang menjadi langganan banjir dan rob di kota Semarang diperkirakan mencapai sekitar 1.346 hektar, meliputi sepanjang kawasan Kecamatan Genuk, Semarang Utara dan Semarang Barat. Teknologi ecoport sebagai salah satu upaya pembangunan pelabuhan berstandar internasional untuk menunjang kegiatan perdagangan domestik,
244 nasional dan internasional. Pengadaan teknologi tersebut terutama untuk menunjang kegiatan ekspor dan impor komoditi perdagangan yang cenderung mengalami peningkatan. Perencanaan dan pembuatan sarana listrik murah, memakai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui secara bertahap.
245
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diambil kesimpulan:
1.
Hasil analisis kelayakan pengelolaan sumberdaya menunjukkan bahwa semua opsi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Kota Semarang tepian pantai dinilai layak untuk dikembangkan. Hasil penilaian terhadap opsi pengelolaan sumberdaya alam dapat disimpulkan bahwa: untuk sumberdaya mangrove, sustainable management merupakan. Untuk beach resources, beach protected areas merupakan opsi terbaik.
2.
Nilai indeks keberlanjutan wilayah Semarang”water front city” secara keseluruhan adalah sebesar 50,85% atau disebut cukup berkelanjutan. tingkat keberlanjutan dimensi ekologi adalah sebesar 44,72% yang berarti kurang berkelanjutan, dimensi sosial-ekonomi sebesar 51,90% yang berarti cukup berkelanjutan, dimensi Infrastruktur sebesar 54,41% yang berarti cukup berkelanjutan dan nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan sebesar 52,38% yang berarti cukup berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis leverage,
atribut
yang paling sensitif
memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dan merupakan faktor pengungkit terhadap keberlanjutan adalah: 1) Erosi dan Abrasi, 2) Pengangguran Terbuka, (3) Akses Masyarakat ke tepian pantai, (4) Teknologi Ecoport & Pelabuhan dan 5) Kelembagaan Mitigasi Bencana. 3.
Peta hasil simulasi model Sistem Dinamis menunjukkan Penggunaan lahan Kecamatan Semarang Utara sangat didominasi oleh luas permukiman dan bangunan yang cenderung mengalami peningkatan, sedangkan luas tambak kolam cenderung mengalami penurunan yang cukup tajam; Kecamatan Semarang Barat penggunaan lahannya sangat didominasi oleh luas permukiman bangunan yang cenderung mengalami peningkatan, sedangkan luas tegalan kebun mengalami penurunan cukup tajam; Kecamatan Tugu penggunaan lahannya sangat didominasi oleh tegalan dan kebun yang cenderung mengalami penurunan, sedangkan luas permukiman & bangunan dan sawah sedikit mengalami peningkatan; dan Kecamatan Genuk penggunaan lahannya sangat didominasi oleh luas permukiman dan
246 bangunan yang cenderung mengalami peningkatan, sedangkan luas tambak kolam di kecamatan ini mengalami penurunan sangat tajam. 4.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa untuk mengelola Semarang”water front city” secara berkelanjutan, pemerintah mempunyai peran paling penting dengan dukungan investor dalam penyediaan pendanaan harus mendorong reboisasi dan mengatasi erosi & abrasi dengan tujuan perluasan lapangan kerja. Berdasarkan tujuan pengelolaan secara berkelanjutan, alternatif kebijakan redevelopment dan konservasi dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan.
5.
Skenario Optimis atau Moderat merupakan opsi yang dipilih untuk pengelolaan Berkelanjutan.
7.2.
Saran Perlu
dilakukan pengetatan perijinan baru, pemindahan ketempat lain,
pembangunan secara vertikal (rumah susun, panggung) untuk mengatasi masalah besarnya konversi lahan menjadi lahan pemukiman dan bangunan diatas ambang batas yang diijinkan (misal di kecamatan Semarang Utara dan Barat. Ketidak berlanjutan dimensi ekologi yang ditunjukkan oleh indeks keberlanjutan di bawah 50% harus dinaikkan nilainya agar menjadi berkelanjutan dengan pengendalian pemanfaatan lahan sesuai peruntukan dan daya dukung lahan diantaranya dengan penanaman/pemulihan kembali hutan mangrove sebagai sabuk pantai pelindung rob, abrasi, sedimentasi, intrusi air laut. Sedangkan dimensi yang lain agar dipertahankan atau ditingkatkan setinggi tingginya. Harus dilakukan reboisasi hutan pelindung disepanjang DAS/hulu, penanaman kembali mangrove sebagai green belt pantai disamping untuk mengatasi masalah erosi, abasi juga untuk memenuhi syarat RTH sesuai dengan UU lingkungan hidup atau peraturan menteri terkat.
247
DAFTAR PUSTAKA Adger B, Adger T. 2001. Trade-off analysis for marine protected area management. Ecological Economics. 37 (2001): 417 – 434. Akil S. 2002. Kebijakan Kimpraswil Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan: Analisis pengelolaan pesisir berbasis masyarakat. www.Stmik-im ac.id/userfiles/Jurnal % 2 Oyessi. Pdf. Badan Pusat Statistik. 2007. Kota Semarang Dalam Angka 2007. Semarang. Beatley T, Brower A, Schwab A.K. 1994. An introduction to coastal zone management. Vol. 63. Issues 2-3. Pp:319-330.Washington DC, Island Press. Behr C, Shaffer R, Lamb G, Miller A. 1998. Building Community-Based Consensus: the Oconto experience. 56 pages. Journal of the Community Development Society. Vol. 29 Begum S. 1993. Numerical simulation of the impacts of possible global climate and sea level changes on river flow in Bangladesh: its implication in coastal zone management. In proceedings of international workshop. Vol.20: 15-95.Publisher: Kluwer Academic. Noordwijkerhout, Nederlands. Bell F, Cruz-Trinidad. 1996. Options for mangrove management in the Gulf of Guayaquil, Equador. Valuation of Tropical Coastal Resources: Theory and Application of Linear Programming 25:9-31. Breen A, Rigby D. 1994. Water Front Cities Reclaim Their Edge.10-45. Mc.Graw Hill. Inc. USA. Breen A, Rigby D. 1996. The New Water Front: A worldwide urban success story. Pp. 35-105.Thames & Hudson. Great Britain. Briguglio L. 2000. Implications of accelerated sea-level rise (ASLR) for Malta: in proceeding of SURVAS Expert Workshop on European Vulnerability and Adaptation to impacts of accelerated sea-level rise (ASLR) . University of Malta. Hamburg, Germany. p.117. Bohari R. 2009. Model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di pantai Makassar Sulawesi selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Budiharsono S, Suaedi A. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan Dan Perikanan. Biro Perencanaan Dan Kerjasama Luar Negeri. Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta. 211 hlm. Budihardjo. 1997. Ruang Terbuka Hijau sebagai utilitas kota dan ruang interaksi masyarakat. Majalah ilmiah Unikom, Vol 4. hlm 94-101. Bandung. Burchartch T, Huges S.A. 2001. Dikes and revetments design maintenance and safety assessment. Chapter 5 EM 1110-2-1100. Fundamental of Design (part VI)
248 Callaghan. 2007. The waterfront image of Cork and Limerick. UCC Critical Public Geographies Working Paper 2007.pp. 154-202. Department of Geography, University College Cork, Western Road, Cork, Ireland. Cunha A.H, Santos P, Gaspar C. 2005. Seagrass landscape-scale changes in response to disturbance created by the dynamics of barrier-islands: a case study from Ria Formosa (Southern Portugal). Estuarine, Coastal and Shelf Science 64(4):636-644. Clark J.R. 1998. Coastal zone management for the new century. Ocean& Coastal Management 37(2):91. Dharmasena GT. 1993. Sea Level Rise Impacts on Maritime Region. International Work shop on Sea Level Changes and Their Consequences For Hydrology and Water Management 1993.152 pages. Noordwijkerhout. Nederlands. Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi 2. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Duvail S. 2003. Mitigation of negative ecological and socio economic impacts of the Diama dam on the Senegal River Delta wetland (Mauritania), using a model based decision support sistem. Hydrology and Earth Sistem Sciences, 7(1) :133–146. Centre for Ecology and Hydrology. Wallingford. UK. [ECOLMANTECH] Ecology, Management, Technology and Change.2006. Offshore dam, solution to the Semarang floods, leading to the development of central Java. Proposal. Semarang. 1 – 35. Eisner S, Gallion A, Stanley S. 1986. The urban pattern. Sixth Edition. 345 pages. Van Nostrand Reinhold, New York. Fauzi A. dan Anna S. 2002. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. French PW. 2004. The changing nature of, and approach to, UK coastal managementat the start of the twenty- first century. The Geographical Journal (170) Gallager A. 2010. The coastal sustainability standard: a management systems approach to ICZM.doi: 10.1016/jocecoaman.2010.04.017. Goodman M.R. 1980. Study Notes in System Dynamics.84 pages. The MIT Press. Cambridge. Gilmour D, Blackwood D, Banks L, and Wilson L. 2007. A sustainability enhancement framework for the Dundee central waterfront development. International Conference on Whole Life urban Sustainability and its Assessment. Glasgow, 2007. Giles PT. 2002. Historical coastline adjustment at Mac Vanes Pond Inlet, Eastern Prince Edward Island. The Canadian Geographer (46). Haeruman H. 2001. Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan lembaga kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat: Sosialisasi Nasional Program Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. 16 hlm. Hotel Indonesia. Jakarta. Hartrisari S. 2007. Sistem Dinamik, Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri
249 & Lingkungan. SEAMEO BIOTROP, Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology. Bogor. www.biotrop.org Hendrix WG, Fabos JGY, Price JE. 1988. An ecological approach to landscape planning using geographic information system technology. Science DirectLandscape and Urban Planning, 15, Sixth Edition, 211-225. Hoyle BS, Pinder DA, Husain MS. 1994. Revitalising The Waterfront, International Dimensions Of Dockland Redevelopment , Vol.42. issue:1011. Pages: 957-984. Dep. Of Geography. Univ of Starthamton. UK. Holder S. 2003. An introduction to coastal zone management, 2nd edition. Journal of the American Planning Association (69) Jorge MA. 1997. Developing capacity for coastal management in the absence of the government: a case study in the Dominican Republic. Ocean & Coastal Management 36: 47-72. Joseph A, Balchaned J. 2000. The application of coastal regulation zones in coastal management – appraisal of Indian experiences ocean and coastal management. Vol 43. Pp: 515-526. Number 6. June 2000. Publisher: Elsevier. Kavanagh P. 2001. Rapid appraisal of fisheries project. Rapfish software description(for microsoft exel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kay R, Alder J. 1999. 2002. Integrated Coastal Zone Management. Chapter 17. 65:85, 393-396. London: EF & N Spoon. Kusumastanto T. 1998. Cost benefit analysis of habitat conservation in the Malacca straits. Center for coastal and marine resources studies Bogor Agricultural University. Bogor, Indonesia, August 1998. Landry C. 2008. Danshui working to be come creative city. Journal-Taiwan.25. 32: 1-5. http://taiwanjournal.nat.gov.tw/ct.asp?xItem Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.197 hlm. McKee KL, Cahoon D.R, Feller I.C. 2007. Caribbean mangroves adjust to rising sea level through biotic controls on change in soil elevation. Global ecology and biogeography, Journal compilation Blackwell publishing ltd. Vol 16. No 5: 545-556. Sept 2007. Marfai MA. 2003. GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards in a Waterfront City. Case study : Semarang City. Central Java. Indonesia. Muhammadi H, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis sistem dinamik, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, management. 50 hlm. Penerbit UMJ. Jakarta. New York State Coastal Zone Management Program, Attachement B, 2008. Waterfront Revitalization Program http://www.nyc.gov/html/dep/pdf/hendrix/hendrix_ceqr_att_b.pdf Nirwono .2009. Bahasa pohon selamatkan bumi. 206 hlm. Gramedia Pustaka Utama. Environmental factors in city planning and development in Jakarta.
250 Parnette JC. 1993. Mangroves Forest, Climate Change and Sea Level Rise: Hidrological Influences on Community Structure and Survival. In Proceedings of International Workshop. Sea Level Changes and Their Consequences for Hydrology and Water Management. Noordwijkerhout, Nederlands. Pearce D. 1999. Review of Technical Guidance on Environmental Appraisal Departement of the Environment, Transport and the Regions. A Report by EFTEC (Economics for the Environment Consultancy). Pitcher T. 1999. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome. Pitcher T, Prekshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fish. Res. 49:255-270. Canada. Prabudiantoro R. 1997. Kriteria citra Waterfront City. Thesis. Universitas Diponegoro. Tidak dipublikasikan. Rahman S. 2008. Pola Penataan Zona, Massa, Dan Ruang Terbuka Pada Perumahan Waterfront (Studi Kasus : Perumahan Pantai Indah Kapuk) Rais J. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Page: 27-28. PT. Paramita, Jakarta. Rodney V. 2006. Managing mangroves for resilience to climate change. IUCN, Gland, Switzerland. 65pp. Routledge, Taylor, Franceis. 1999. Journal of environmental planning and management. Urban waterfront regeneration in the Mersey, north west England. Vol 42. No 4. . 565-580(16) Saaty T.L. 1999. Fundamental of Decision Making: The analytical hierarchy process and Priority Theory, Vol. VI . RWS.Publication. Sargent R.G. 1999. Verification and validation of simulation models. Syracuse University, NY.USA. 124-137 Sjaifuddin. 2007. Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan. 265 hlm. Strategies For Adaptation To Sea Level Rise. 1990. Intergovernmental Panel On Climate Change Response Strategies Working Group Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama . Jakarta. Tjallingii SP. 1995. Ecopolis: Strategies for ecologically sound urban development. Backhuys Publishers, Leiden. Turner RK. 2005. Landscape ecology: What is the state of the science. Annu.Rev.Ecol.Syst. 2005. 36:319-44 Turner RK, Lorenzoni N, Beaumont IJ, Bateman LH. 1998. Coastal management for sustainable development: analysing environmental and socio-economic changes on the UK coast. The Geographical Journal (164).
251 The Coastal Zone Management Subgroup. 1990. Strategies For Adaptation To Sea Level Rise. Presented in Intergovernmental Panel On ClimateChange Response Strategies Working Group November. Toronto Waterfront http://www.toronto.ca/waterfront/ http://www.waterfronttrail.org/pdfs/rap01prorepsec1.pdf http://www.toronto.ca/legdocs/2002/ogendas/council/cc021126/pofc\016a.pdf Vollmer D. 2009. Journal: Urban waterfront rehabilitation, can it contribute to environment in the developing world?. Vol 4. No.2. doi: 10.1088/17489326/4/2/024003. Wirasatriya A. 2005. Tesis: Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai Landasan Penanggulangan ROB Di Pesisir Kota Semarang . Jurnal Pasir Laut. 1(2).pp 31- 42. ISSN 1858-1684. UNDIP. Semarang. Widodo A. 2005. Tesis: Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Semarang . UNDIP. Semarang. Widiati A. 2000. Pengembangan wilayah pesisir: sebuah kajianeksploratif. BPPT. Jakarta. Pp. 305-321. [WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common Future. United Nations World Commission on Environment and Development. Oxford University Press. Wrenn D. 1983. Urban water front development.The Urban Land Institute. Washington.D
252
LAMPIRAN
253 Lampiran 1. Grafik Perubahan Luas Area Sawah, Hutan, TKL (Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya dan Area Tambak dan Kolam)
Perubahan Luas Area Sawah di Semarang
Perubahan Luas Area Hutan di Semarang
4100
3000
4000
3912,96
3956,3
3990
3800 Sawah
3658,47
L u a s (H a )
L u a s (H a )
2328,7
2500
3900
3700
2645,48
3980
3600
2000 1515,7
1515,7
1500
Hutan
1000 500
3500 3400
0
2003
2004
2005
2006
2007
2003
2004
Tahun
25000
2500
20384,15 13608,57 13977,24
12123,75
2006
2007
13275,45 TKL
10000 5000
Perubahan Luas Area Tambak dan Kolam di Semarang 2271,64
2000 L u a s (H a )
20000 15000
2005 Tahun
Perubahan Luas Area Tegal, Kebun & Lahan Kering Lainnya di Semarang
L u a s (H a )
2741
1853,9 1841,06
1500
1691,18
312,74
500
0
Kolam/Tambak
1000
0
2003
2004
2005 Tahun
2006
2007
2003
2004
2005 Tahun
2006
2007
254 Lampiran 2. Grafik Perubahan Luas Area Permukiman dan Bangunan di Semarang
14150
Perubahan Luas Area Bangunan Untuk Permukiman & Industri di Semarang
14100 14107,9714106,97
Luas (Ha)
14050 14000
14005,38 14049,42
13950 13900
Perm/Bangunan
13876,9
13850 13800 13750 2003
2004
2005 Tahun
2006
2007
255 Lampiran 3. Atribut-atribut dan Nilai Skor Lima Dimensi Keberlanjutan Semarang Kota Tepian Pantai
R1 = Budi P R2= NIK Sutiyani ST. MT. R3= Prof. Umiyati R4= Royhard Valiant R5= M. Farchan No
1.
Dimensi dan Atribut I. Dimensi Ekologi Atribut
Scoring
4.
Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hulu Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hilir Pencemaran udara Kota Semarang Tingkat pencemaran air
(0)<10%, (1) 10-20%, (2) 20-30%, (3) > 30% (0)<10%, (1) 10-20%, (2) 20-30%, (3) > 30% (0)>36.6/59.9 µg/m3, (1)10-30 µg/m3, (2)< 10 µg/m3 (0)BOD>10 mg/l, (1), BOD 5-10 mg/l, (2)BOD <5 mg/l
5.
Sedimentasi
6.
Erosi
7.
Abrasi
8.
Pengelolaan sampah
(0)TSS>200 mg/l, (1)TSS 80-200 mg/l, (2)TSS<80 mg/l (0)≥180 ton/ha/tahun, (1)60-180 ton/ha/tahun, (2) 15-60ton/ha/tahun, (3)<15 ton/ha/tahun (0)>40 ha/tahun, (1)20-40 ha/tahun, (2)519 ha/tahun, (3)<5 ha/tahun (0)Open Dumping, (1) Controlled Landfill, (2) Sani tary Landfill,
2. 3.
Sumber data R1
R2
Skor R3 R4
IKONOS 2009
3
2
3
3
2
IKONOS 2009
1
1
1
0
1
Dinas KLH Semarang, Emisi Nox rata-rata 36.6/59.9 µg/m3 Analisis air, baku mutu: BOD <5 mg/l
1
1
2
1
1
2
1
1
2
2
Analisis air, baku mutu (TSS< 80 mg/l) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2010
1
1
1
2
2
2
1
1
2
2
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2010 Departemen Pekerjaan Umum, Kota Semarang, Subdinas
0
0
1
1
0
1
1
R5
2 2
2
256
9. 10. 11.
12.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tingkat penggunaan air tanah Kesesuaian penggunaan lahan dengan RTRW Aktivitas sempadan sungai
(3)Teknologi maju penanganan limbah dan sampah (0)>33 .000 m3/hr, (1)<33.000 m3/hr
Kebersihan dan Pertamanan PDAM Semarang
(0)<10% sesuai, (1)>10<40, (2)>40<60, RTRW, IKONOS 2009 (3)>60%sesuai (0)Sangat banyak menyalahi peraturan, RTRW, Perda mengenai (1) Banyak kejadian menyalahi peraturan, sempadan sungai sebagai kawasan (2) Sedikit menyala hi peraturan, (3) lindung Tidak ada aktifitas menyalahi peraturan Aktivitas sempadan pantai (0)Sangat banyak menyalahi peraturan, RTRW, Perda mengenai (1)Banyak kejadian menyalahi peraturan, sempadan pantai sebagai kawasan (2)Sedikit menyalahi peraturan, (3) Tidak lindung ada aktifitas menyalahi peraturan II. Sosial Ekonomi Atribut Jumlah penduduk miskin (0)>30%, (1)<30% >20%, (2)<20%>10%, BPS/IPM/DDA, dibandingkan (%) (3)<10% Jateng Pengangguran terbuka (%) (0)>30%, (1)<30% >20%, (2)<20%>10%, DDA/BPS (3)<10% Lama Pendidikan (0)≤6 tahun, (1)≤ 9 tahun, (2)≤ 12 tahun, IPM/DDA (3)>12 Balita kurang gisi (0) Besar, (1)Sedang, (2)Rendah IPM/Data kemiskinan Akses terhadap sanitasi (0)Rendah, (1) Sedang, (3)mudah IPM/Data kesehatan Angka harapan hidup (0)Rendah, (1) Sedang, (3)tinggi IPM/Data kemiskinan Partisipasi masyarakat (0)kecil, (1)Sedang, (2) besar Persepsi pakar dalam pengelolaan w.f.c. Persepsi masyarakat (0)Tidak setuju, (1)kurang setuju, (2) Setuju Persepsi pakar terhadap waterfront city Kepadatan penduduk (0)Sangat padat, (1)Cukup padat, (2)Sedang, DDA
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
2
2
1
1
2
1
1
1
2
1
2
2
1
1
2
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
1 1 1 1
1 1 1 2
2 1 1 1
1 1 1 1
2 1 1 1
1
2
2
1
1
1
1
1
2
2
257
10. 11. 12.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 2.
Tingkat kriminalitas/konflik masyarakat PDRB per kapita Akses masyarakat terhadap pantai (beach) III. Dimensi Atribut Teknologi ecoport
(3) tidak padat (0)Tinggi, (1)Sedang, (2)Rendah (0)<4jt., (1)<12jt.>4 jt., (2)>12 jt. (0)Tidak ada, (1)Rendah, (2)Sedang, (3)Tinggi Infrastruktur
(0)Tidak ada, (1)Konvensional, (2)Teknologi tinggi Reklamasi lahan (0)Tidak ada, (1)Konvensional, (2)Teknologi tinggi Pembangunan polder dan (0)Tidak ada, (1)Konvensional, saluran drainase (2)Teknologi tinggi, (3) Teknologi tinggi Ketersediaan teknologi (0)Tidak ada, (1)Konvensional, informasi (2)Teknologi tinggi Kondisi Pelabuhan (0)Kurang efektif, (1) Sedang, (2)Efektif Soft/hard engineering (0)Tidak ada, (1)Konvensional, (2)Tek. tinggi Kondisi jalan dan jembatan (0) Kurang efektif, (1) Sedang, (2)Efektif Ketercukupan energi (0)Kurang, (1) sedang, (2) Cukup, (listrik) (3)Berlebih Kondisi perumahan di (0)Kurang baik, (1)Sedang, (2)cukup baik, Kawasan Permukiman (3) sangat baik IV. Dimensi Kelembagaan Atribut Kebijakan pengelolaan (0)Belum ada, (1)Ada tetapi belum efektif, w.f.c yang sudah di sahkan (2) Ada dan efektif Sinkronisasi kebijakan (0)Tidak sinkron, (1)Sedang, (2) Cukup PEMDA mengenai w.f.c. sinkron, (3)Sangat sinkron
DDA
1
1
2
1
1
DDA Persepsi pakar
2 1
1 2
1 2
2 1
2 1
Persepsi pakar
1
2
2
1
2
Persepsi pakar
2
2
3
2
2
Persepsi pakar
1
2
2
1
1
Persepsi pakar
1
1
2
2
2
Persepsi pakar Persepsi pakar
2 1
1 1
1 2
2 2
2 1
Persepsi pakar Persepsi pakar
1 1
1 1
2 1
1 1
1 1
Persepsi pakar
1
0
0
2
1
Persepsi pakar
0
1
1
0
1
Persepsi pakar
1
2
1
1
2
258
3.
4. 5.
6.
Peran swasta dalam pengambilan kebijakan perencanaan,pengelolaan, pengawasan w.f.c. Ketersediaan pengawasan dan penegakan hukum Peran LSM dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c. Kelembagaan Mitigasi bencana
(0)Tidak berperan, (1)berperan, (2)Sangat aktif berperan
Persepsi pakar
(0)Tidak ada, (1)Ada tetapi kurang efektif, (2) Ada dan efektif (0)Tidak ada, (1) Sedanf, (2) besar, (3) besar sekali
Persepsi pakar
(0)Belum ada, (1)ada tetapi belum efektif, (2) ada dan efektif
Persepsi pakar
1
2
2
1
1
2
1
1
2
2
Persepsi pakar 1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
259 Lampiran 4.
260 Lampiran 5
261 Lampiran 6
262 Lampiran 7. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sustainable management (USD) Thn 0 Benefit : Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10% PV Benefit Cost : Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar Total Cost DR 10% PV Cost
Net Benefit NPV = BCR=
0 0.1
1
2
3
4
5
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.9091 607,882.68
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.8264 552,620.62
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.7513 502,382.38
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.6830 456,711.26
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.6209 415,192.05
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.9091
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.8264
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.7513
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.6830
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.6209
25,702.65
25,702.65
25,702.65
96,398.09
87,634.63
79,667.84
72,425.31
65,841.19
(25,702.65)
511,484.59
464,985.99
422,714.54
384,285.94
349,350.86
4,666,449.79 5.469
263
Lanjutan Lampiran 7 6
7
8
9
10
Benefit : Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10% PV Benefit
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.5645 377,447.32
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.5132 343,133.93
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.4665 311,939.93
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.4241 283,581.76
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.3855 257,801.60
Cost : Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar Total Cost DR 10% PV Cost
25,702.65 13,895.00 92,063.25 79.65 198,101.15 0.5645 111,822.93
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.5132 54,414.21
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.4665 49,467.46
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.4241 44,970.42
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.3855 40,882.20
Net Benefit
265,624.38
288,719.72
262,472.47
238,611.34
216,919.40
264
Lanjutan Lampiran 7
Benefit : Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10% PV Benefit Cost : Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar Total Cost DR 10% PV Cost Net Benefit
11
12
13
14
15
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.3505 234,365.09
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.3186 213,059.17
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.2897 193,690.16
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.2633 176,081.96
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.2394 160,074.51
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.3505 37,165.64
25,702.65 13,895.00 92,063.25 79.65 198,101.15 0.3186 63,121.13
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.2897 30,715.40
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.2633 27,923.09
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.2394 25,384.63
197,199.45
149,938.04
162,974.75
148,158.87
134,689.88
265
Lanjutan Lampiran 7
Benefit : Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10% PV Benefit Cost : Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar Total Cost DR 10% PV Cost
Net Benefit
16
17
18
19
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.2176
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.1978
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.1799
22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.1635
145,522.28
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.2176
132,292.98
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.1978
120,266.35
109,333.04
25,702.65 13,895.00 92,063.25 79.65 198,101.15 0.1799
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.1635
20 22,275.00 205,502.24 1,109.70 2,025.00 98,045.10 339,714.01 668,670.95 0.1486 PV Benefit 99,393.68
5,692,772.74
13,895.00 92,063.25 79.65 106,037.90 0.1486 PV Cost
23,076.94
35,630.23
35,630.23
17,338.04
15,761.86
1,040,974.15
122,445.34
111,313.95
84,636.11
91,995.00
83,631.82
4,666,449.79
266 Lampiran 8. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sylvofishery(milkfish) management (USD) Thn 0
1
2
3
4
5
Benefit : Milkfish sylvofish
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Exsistence value Total Benefit DR 10%
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
0
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
0.1
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
PV Benefit
102,760.53
93,418.66
84,926.06
77,205.51
70,186.82
1,248.48
1,248.48
1,248.48
1,248.48
1,248.48
Cost : Investment cost
822.15
Milkfish sylvofish Standing stock Perikanan
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost
822.15
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
40,514.04
40,514.04
40,514.04
40,514.04
40,514.04
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
DR 10% PV Cost
822.15
Net Benefit
(822.15)
36,830.95 65,929.58
NPV =
1.452.508,40
BCR =
2,52
33,482.68
30,438.80
59,935.98
54,487.26
27,671.63 49,533.87
25,156.03 45,030.79
267 Lanjutan Lampiran 8 6 Milkfish sylvofish Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Exsistence value Total Benefit DR 10% PV Benefit Cost: Investment cost Milkfish sylvofish Standing stock Perikanan
6,048.81 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 113,036.58 0.5645 63,806.20 822.15 1,248.48 2,223.18 14,730.12
Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost DR 10% PV Cost Net Benefit
12.69 22,299.57 #REF! 0.5645 #REF! #REF!
7 6,048.81 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 113,036.58 0.5132 58,005.64
8 6,048.81 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 113,036.58 0.4665 52,732.40
9 6,048.81 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 113,036.58 0.4241 47,938.54
1,248.48 2,223.18 14,730.12
1,248.48 2,223.18 14,730.12
1,248.48 2,223.18 14,730.12
12.69 22,299.57 40,514.04 0.5132 20,790.11 37,215.53
12.69 22,299.57 40,514.04 0.4665 18,900.10 33,832.30
12.69 22,299.57 40,514.04 0.4241 17,181.91 30,756.64
10 6,048.81 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 113,036.58 0.3855 43,580.49 1,248.48 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,514.04 0.3855 15,619.92 27,960.58
268 Lanjutan Lampiran 8 11
12
13
14
15
Milkfish sylvofish
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
Perikanan
Physical value
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Exsistence value
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
Total Benefit DR 10% PV Benefit
0.3505 39,618.63
Cost: Investment
0.3186 36,016.94
0.2897
0.2633
0.2394
32,742.67
29,766.06
27,060.06
822.15
Milkfish sylvofish
1,248.48
1,248.48
1,248.48
1,248.48
1,248.48
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost DR 10%
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
40,514.04 0.3505
#REF! 0.3186
40,514.04 0.2897
40,514.04 0.2633
40,514.04 0.2394
PV Cost
14,199.92
#REF!
11,735.47
10,668.61
9,698.74
Net Benefit
25,418.71
#REF!
21,007.20
19,097.45
17,361.32
269 Lanjutan
Lampiran 8 16
17
18
19
20
Benefit : Milkfish sylvofish
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
6,048.81
Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
Physical value
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Exsistence value
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
113,036.58
Perikanan
Total Benefit DR 10% PV Benefit
0.2176
0.1978
0.1799
24,600.05
22,363.68
20,330.62
Milkfish sylvofish
1,248.48
1,248.48
Standing stock
2,223.18
0.1635
0.1486
18,482.38
16,802.17
1,248.48
1,248.48
1,248.48
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
PV Benefit 962,344.13
Cost : Investment cost
Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost
822.15
40,514.04
40,514.04
0.2176
0.1978
DR 10% PV Cost Net Benefit
0.1799
40,514.04
40,514.04
0.1635
0.1486
PV Cost
8,817.04
#REF!
#REF!
6,624.37
6,022.15
#REF!
15,783.02
14,348.20
#REF!
11,858.01
10,780.01
#REF!
270 Lampiran 9. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sylvofishery(polyculture) management (USD) Thn 0
1
2
3
4
5
12,082.23
12,082.23
12,082.23
12,082.23
12,082.23
Benefit : Polyculture Sylvo Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Perikanan
Physical value Existence value Total Benefit DR 10%
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
0
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
0.1
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
PV Benefit
108,245.45
98,404.96
89,459.05
81,326.41
73,933.10
Cost : Investment cost
976.86
Polyc. Silvofish
1,283.31
1,283.31
1,283.31
1,283.31
1,283.31
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost
976.86
DR 10%
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
40,548.87
40,548.87
40,548.87
40,548.87
40,548.87
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
PV Cost
976.86
36,862.61
33,511.46
30,464.97
27,695.42
25,177.66
Net Benefit
(976.86)
71,382.85
64,893.50
58,994.09
53,630.99
48,755.44
NPV = BCR=
643,814.15 2.638
271 Lanjutan Lampiran 9 Benefit : Polyculture Sylvo Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10%
6
7
8
9
10
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.5645
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.5132
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.4665
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.4241
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.3855
61,101.74
55,547.03
50,497.30
PV Benefit Cost : Investment cost Polyc. Silvofish Standing stock Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost DR 10%
67,211.91
PV Cost
35,476.31
20,807.98
18,916.35
17,196.68
15,633.34
Net Benefit
31,735.60
40,293.76
36,630.69
33,300.62
30,273.29
976.86 1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 62,848.44 0.5645
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.5132
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.4665
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.4241
45,906.64
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.3855
272 Lanjutan Lampiran 9
Benefit : Polyculture Sylvo Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10%
11
12
13
14
15
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.3505
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.3186
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.2897
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.2633
12,082.23 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 119,070.00 119,070.00 0.2394
37,939.37
34,490.34
31,354.85
PV Benefit Cost : Investment cost Polyc. Silvofish Standing stock Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost DR 10%
41,733.31
PV Cost
14,212.13
27,130.78
11,745.56
10,677.78
9,707.08
Net Benefit
27,521.18
17,913.92
22,744.77
20,677.07
18,797.33
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.3505
976.86 1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 62,848.44 0.3186
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.2897
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.2633
28,504.41
1,283.31 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 40,548.87 0.2394
273 Lanjutan Lampiran 9 16
17
18
19
20
12,082.23
12,082.23
12,082.23
12,082.23
12,082.23
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
Physical value
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Existence value
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
Total Benefit
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
119,070.00
0.2176
0.1978
0.1799
0.1635
0.1486
Benefit : Polyculture Sylvo Standing stock Perikanan
DR 10% PV Benefit
25,913.10
23,557.36
21,415.79
19,468.90
17,699.00
PV Benefit 1,013,710.03
Cost : Investment cost
976.86
Polyc. Silvofish
1,283.31
1,283.31
1,283.31
1,283.31
1,283.31
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
Eksternalitas
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
Total Cost
40,548.87
40,548.87
62,848.44
40,548.87
40,548.87
0.2176
0.1978
0.1799
0.1635
0.1486
Perikanan Kehidupan liar
DR 10% PV Cost Net Benefit
PV Cost
8,824.62
11,303.84
15,314.62
6,630.06
6,027.33
384,293.45
17,088.49
15,534.99
10,111.94
12,838.83
11,671.67
643,814.15
274 Lampiran 10. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sylvofishery(shrimp) management (USD) Thn 0 Benefit : Shrimp sylvofish Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Total Benefit DR 10%
0 0.1
PV Benefit Cost : Investment cost Shrimp sylvofish Standing stock Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost DR 10%
1
2
3
4
5
33,713.28 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 140,701.05 0.9091
33,713.28 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 140,701.05 0.8264
33,713.28 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 140,701.05 0.7513
33,713.28 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 140,701.05 0.6830
33,713.28 3,564.00 32,880.33 177.66 324.00 15,687.54 54,354.24 140,701.05 0.6209
127,910.05
116,281.86
105,710.78
96,100.71
87,364.28
4,143.69
4,143.69
5,818.23 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 45,083.79 0.9091
5,818.23 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 45,083.79 0.8264
5,818.23 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 45,083.79 0.7513
5,818.23 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 45,083.79 0.6830
5,818.23 2,223.18 14,730.12 12.69 22,299.57 45,083.79 0.6209
PV Cost
4,143.69
40,985.26
37,259.33
33,872.12
30,792.84
27,993.49
Net Benefit
(4,143.69)
86,924.78
79,022.53
71,838.66
65,307.88
59,370.80
NPV =
805,495.35
BCR=
3.037
275 Lanjutan Lampiran 10 6
7
8
9
10
Shrimp sylvofish
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Benefit :
Perikanan
Physical value Existence value Total Benefit
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
DR 10% PV Benefit
0.5645 79,422.07
0.5132 72,201.89
0.4665 65,638.08
0.4241 59,670.98
0.3855 54,246.35
Cost : Investment cost
4,143.69
Shrimp sylvofish
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
45,083.79
45,083.79
45,083.79
45,083.79
0.5132
0.4665
0.4241
0.3855
Perikanan Kehidupan liar Eksternalitas Total Cost
#REF!
DR 10%
0.5645
PV Cost
#REF!
23,135.11
21,031.92
19,119.93
17,381.75
Net Benefit
#REF!
49,066.77
44,606.16
40,551.05
36,864.59
276 Lanjutan Lampiran 10 11
12
13
14
15
Shrimp sylvofish
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
Standing stock
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Benefit :
Perikanan
Physical value Existence value Total Benefit DR 10% PV Benefit
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
0.3505 49,314.86
0.3186 44,831.69
0.2897 40,756.08
0.2633 37,050.98
0.2394 33,682.71
Cost : Investment cost
4,143.69
Shrimp sylvofish
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
Eksternalitas
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
Total Cost
45,083.79
45,083.79
45,083.79
45,083.79
0.2897
0.2633
0.2394
Perikanan Kehidupan liar
DR 10%
0.3505
#REF! 0.3186
PV Cost
15,801.59
#REF!
13,059.17
11,871.97
10,792.70
Net Benefit
33,513.27
#REF!
27,696.91
25,179.01
22,890.01
277 Lanjutan Lampiran 10 16
17
18
19
20
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
33,713.28
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
3,564.00
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
32,880.33
Kehidupan liar
177.66
177.66
177.66
177.66
177.66
Biodiversitas
324.00
324.00
324.00
324.00
324.00
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
15,687.54
Benefit : Shrimp sylvofish Standing stock Perikanan
Physical value Existence value Total Benefit
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
54,354.24
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
140,701.05
0.2176
0.1978
0.1799
0.1635
0.1486
DR 10% PV Benefit
30,620.65
27,836.95
25,306.32
23,005.75
20,914.31
PV Benefit 1,197,867.35
Cost : Investment cost
4,143.69
Shrimp sylvofish
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
5,818.23
Standing stock
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
2,223.18
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
14,730.12
12.69
12.69
12.69
12.69
12.69
Eksternalitas
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
22,299.57
Total Cost
45,083.79
45,083.79
45,083.79
45,083.79
0.2176
0.1978
0.1635
0.1486
Perikanan Kehidupan liar
DR 10% PV Cost Net Benefit
#REF! 0.1799
PV Cost
9,811.55
#REF!
#REF!
7,371.56
6,701.42
#REF!
20,809.10
18,917.37
#REF!
15,634.19
14,212.90
#REF!
278 Lampiran 11. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi beah protected areas (USD) Thn 0
1
2
3
4
5
Benefit : Wisata
375,600
375,600
375,600
375,600
375,600
Bungalow
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
Restoran
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
149,367
149,367
149,367
149,367
149,367
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
0
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
0.1
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
Panenan telur penyu Kehidupan liar Shoreline protection Total Benefit DR 10% PV Benefit
352,709,326.36
320,644,842.15
291,495,311.04
264,995,737.31
240,905,215.74
Cost : Investment Cost: Bungalow
178,806,000
Restoran
44,000,000
Maintenance cost: Bungalow
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
Restoran
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
46
46
46
46
46
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
Penyu Total Cost
222,806,000.00
DR 10% PV Cost
222,806,000.00
16,204,114.55
14,731,013.22
13,391,830.20
12,174,391.09
11,067,628.27
Net Benefit
(222,806,000.00)
336,505,211.82
305,913,828.93
278,103,480.84
252,821,346.22
229,837,587.47
NPV =
BCR=
2,928,538,370.23
8.826
279 Lanjutan Lampiran 11 6
7
8
9
10
Benefit : Wisata
375,600
375,600
375,600
375,600
375,600
Bungalow
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
Restoran
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
149,367
149,367
149,367
149,367
149,367
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
0.5645
0.5132
0.4665
0.4241
0.3855
Panenan telur penyu Kehidupan liar Shoreline protection Total Benefit DR 10% PV Benefit
219,004,741.58
199,095,219.62
180,995,654.20
164,541,503.82
149,583,185.29
Cost : Investment Cost: Bungalow Restoran Maintenance cost: Bungalow
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
Restoran
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
46
46
46
46
46
17,824,572.00
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
0.5645
0.5132
0.4665
0.4241
0.3855
Penyu Total Cost DR 10% PV Cost
10,061,506.21
9,146,800.22
8,315,272.93
7,559,339.03
6,872,126.39
Net Benefit
208,943,235.37
189,948,419.40
172,680,381.27
156,982,164.79
142,711,058.90
280 Lanjutan Lampiran 11 11
12
13
14
15
Benefit : Wisata
375,600
375,600
375,600
375,600
375,600
Bungalow
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
Restoran
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
149,367
149,367
149,367
149,367
149,367
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
0.3505
0.3186
0.2897
0.2633
0.2394
Panenan telur penyu Kehidupan liar Shoreline protection Total Benefit DR 10% PV Benefit
135,984,713.90
123,622,467.18
112,384,061.07
102,167,328.25
92,879,389.32
Cost : Investment Cost: Bungalow
178,806,000
Restoran
44,000,000
Maintenance cost: Bungalow
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
Restoran
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
46
46
46
46
46
17,824,526.00
17,824,572.00
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,526.00
0.3505
0.3186
0.2897
0.2633
0.2394
Penyu Total Cost DR 10% PV Cost
6,247,387.62
5,679,472.61
5,163,130.27
4,693,754.79
4,267,049.81
Net Benefit
129,737,326.27
117,943,009.23
107,220,930.81
97,473,573.46
88,612,339.51
281 Lanjutan Lampiran 11 16
17
18
19
20
Benefit : Wisata
375,600
375,600
375,600
375,600
375,600
Bungalow
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
241,480,512
Restoran
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
40,358,780
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
5,616,000
149,367
149,367
149,367
149,367
149,367
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
387,980,259.00
0.2176
0.1978
0.1799
0.1635
0.1486
Panenan telur penyu Kehidupan liar Shoreline protection Total Benefit DR 10% PV Benefit
84,435,808.47
76,759,825.88
69,781,659.89
63,437,872.63
57,670,793.30
PV Benefit = 3,303,094,657.00
Cost : Investment Cost: Bungalow Restoran Maintenance cost: Bungalow
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
14,304,480
Restoran
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
3,520,000
46
46
46
46
46
17,824,526.00
17,824,526.00
17,824,572.00
17,824,526.00
17,824,526.00
0.2176
0.1978
0.1799
0.1635
0.1486
Penyu Total Cost DR 10% PV Cost Net Benefit
3,879,136.19 80,556,672.28
PV Cost =
3,205,905.95
3,205,914.22
2,914,452.43
2,649,502.21
374,235,728.21
73,233,338.44
66,575,753.94
60,523,420.20
55,021,291.09
2,928,538,370.23
282 Lampiran 12. Cost-benefit analysis pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi set back zone (USD) Thn 0
1
2
3
4
5
469,500
469,500
469,500
469,500
469,500
Bungalow
301,850,625
301,850,625
301,850,625
301,850,625
301,850,625
Restoran
50,448,475
50,448,475
50,448,475
50,448,475
50,448,475
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
100,000,000
0
452,768,600.00
452,768,600.00
452,768,600.00
452,768,600.00
452,768,600.00
0.1
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
Benefit : Wisata Pantai
Shoreline protection Total Benefit DR 10% PV Benefit
411,607,818.18
374,188,925.62
340,171,750.56
309,247,045.97
281,133,678.15
Cost : Investment cost Bungalow
212,257,500
Restoran
55,500,000
Maintenance cost Bungalow
21,225,750
Restoran Total Cost
267,757,500.00
DR 10%
21,225,750
21,225,750
21,225,750
21,225,750
5,550,000
5,550,000
5,550,000
5,550,000
5,550,000
26,775,750.00
26,775,750.00
26,775,750.00
26,775,750.00
26,775,750.00
0.9091
0.8264
0.7513
0.6830
0.6209
PV Cost
267,757,500.00
24,341,590.91
22,128,719.01
20,117,017.28
18,288,197.53
16,625,634.12
Net Benefit
(267,757,500.00)
387,266,227.27
352,060,206.61
320,054,733.28
290,958,848.44
264,508,044.04
NPV =
3,351,115,083.86
BCR=
7.605
283 Lanjutan Lampiran 12
Benefit : Wisata Pantai Bungalow Restoran Shoreline protection Total Benefit DR 10%
6
7
8
9
10
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.5645
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.5132
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.4665
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.4241
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.3855
PV Benefit Cost : Investment cost Bungalow Restoran Maintenance cost Bungalow Restoran Total Cost DR 10%
255,576,071.05
PV Cost
18,247,043.14
13,740,193.48
12,491,084.99
11,355,531.81
10,323,210.73
Net Benefit
237,329,027.90
218,601,689.29
198,728,808.44
180,662,553.13
164,238,684.66
21,225,750 5,550,000 32,325,750.00 0.5645
232,341,882.77
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.5132
211,219,893.43
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.4665
192,018,084.93
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.4241
174,561,895.39
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.3855
284 Lanjutan Lampiran 12 Benefit : Wisata Pantai Bungalow Restoran Shoreline protection Total Benefit DR 10%
11
12
13
14
15
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.3505
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.3186
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.2897
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.2633
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.2394
PV Benefit Cost : Investment cost Bungalow Restoran Maintenance cost Bungalow Restoran Total Cost DR 10%
158,692,632.18
144,266,029.25
131,150,935.68
119,228,123.35
108,389,203.04
PV Cost
11,329,978.17
12,068,381.19
7,755,981.02
7,050,891.83
6,409,901.67
Net Benefit
147,362,654.01
133,966,049.10
123,394,954.67
112,177,231.52
101,979,301.38
267,757,500.00
21,225,750 5,550,000 32,325,750.00 0.3505
21,225,750 5,550,000 32,325,750.00 0.3186
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.2897
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.2633
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.2394
285 Lanjutan Lampiran 12
Benefit : Wisata Pantai Bungalow Restoran Shoreline protection Total Benefit DR 10%
16
17
18
19
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.2176
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.1978
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.1799
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.1635
98,535,639.13
PV Cost
5,827,183.33
5,814,070.28
6,812,286.56
4,378,049.09
3,980,044.62
506,842,490.75
Net Benefit
92,708,455.80
84,280,414.36
75,620,342.23
69,653,235.01
63,321,122.74
3,351,115,083.86
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.1978
81,434,412.50
21,225,750 5,550,000 32,325,750.00 0.1799
74,031,284.10
469,500 301,850,625 50,448,475 100,000,000 452,768,600.00 0.1486 PV Benefit =
PV Benefit Cost : Investment cost Bungalow Restoran Maintenance cost Bungalow Restoran Total Cost DR 10%
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.2176
89,577,853.76
20
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.1635
67,301,167.36
3,854,674,326.41
21,225,750 5,550,000 26,775,750.00 0.1486 PV Cost =
286 Lampiran 13. Data hasil simulasi Sub Model Lingkungan (Guna Lahan) Tahun
Lahan Sawah
Lahan Hutan
Tegal, Kebun & TKL
Permukiman & Bangunan
Tambak, Rawa & Kolam
01 Jan 2003
3.658,47 Ha
1.515,70 Ha
13.608,57 Ha
13.876,90 Ha
2.271,64 Ha
01 Jan 2004
3.706,86 Ha
1.583,56 Ha
13.970,96 Ha
14.066,82 Ha
2.034,24 Ha
01 Jan 2005
3.753,68 Ha
1.651,22 Ha
14.326,12 Ha
14.250,97 Ha
1.830,68 Ha
01 Jan 2006
3.798,79 Ha
1.718,29 Ha
14.672,45 Ha
14.428,71 Ha
1.655,94 Ha
01 Jan 2007
3.842,05 Ha
1.784,39 Ha
15.008,55 Ha
14.599,56 Ha
1.505,68 Ha
01 Jan 2008
3.883,39 Ha
1.849,20 Ha
15.333,29 Ha
14.763,17 Ha
1.376,22 Ha
01 Jan 2009
3.922,76 Ha
1.912,42 Ha
15.645,75 Ha
14.919,28 Ha
1.264,43 Ha
01 Jan 2010
3.960,13 Ha
1.973,82 Ha
15.945,22 Ha
15.067,74 Ha
1.167,65 Ha
01 Jan 2011
3.995,48 Ha
2.033,17 Ha
16.231,20 Ha
15.208,51 Ha
1.083,66 Ha
01 Jan 2012
4.028,84 Ha
2.090,31 Ha
16.503,36 Ha
15.341,60 Ha
1.010,56 Ha
01 Jan 2013
4.060,23 Ha
2.145,09 Ha
16.761,55 Ha
15.467,10 Ha
946,78 Ha
01 Jan 2014
4.089,70 Ha
2.197,43 Ha
17.005,75 Ha
15.585,14 Ha
890,98 Ha
01 Jan 2015
4.117,31 Ha
2.247,26 Ha
17.236,08 Ha
15.695,93 Ha
842,04 Ha
01 Jan 2016
4.143,11 Ha
2.294,54 Ha
17.452,76 Ha
15.799,68 Ha
799,00 Ha
01 Jan 2017
4.167,17 Ha
2.339,27 Ha
17.656,12 Ha
15.896,65 Ha
761,06 Ha
01 Jan 2018
4.189,58 Ha
2.381,47 Ha
17.846,53 Ha
15.987,12 Ha
727,54 Ha
01 Jan 2019
4.210,42 Ha
2.421,17 Ha
18.024,45 Ha
16.071,39 Ha
697,85 Ha
01 Jan 2020
4.229,75 Ha
2.458,43 Ha
18.190,37 Ha
16.149,74 Ha
671,51 Ha
01 Jan 2021
4.247,67 Ha
2.493,32 Ha
18.344,83 Ha
16.222,50 Ha
648,08 Ha
01 Jan 2022
4.264,26 Ha
2.525,92 Ha
18.488,37 Ha
16.289,97 Ha
627,21 Ha
01 Jan 2023
4.279,59 Ha
2.556,32 Ha
18.621,56 Ha
16.352,45 Ha
608,59 Ha
01 Jan 2024
4.293,75 Ha
2.584,62 Ha
18.744,97 Ha
16.410,26 Ha
591,94 Ha
01 Jan 2025
4.306,81 Ha
2.610,91 Ha
18.859,16 Ha
16.463,67 Ha
577,03 Ha
01 Jan 2026
4.318,84 Ha
2.635,31 Ha
18.964,69 Ha
16.512,98 Ha
563,67 Ha
01 Jan 2027
4.329,92 Ha
2.657,91 Ha
19.062,11 Ha
16.558,46 Ha
551,67 Ha
01 Jan 2028
4.340,11 Ha
2.678,82 Ha
19.151,94 Ha
16.600,37 Ha
540,89 Ha
01 Jan 2029
4.349,47 Ha
2.698,14 Ha
19.234,70 Ha
16.638,96 Ha
531,18 Ha
01 Jan 2030
4.358,08 Ha
2.715,97 Ha
19.310,87 Ha
16.674,48 Ha
522,44 Ha
287
Lampiran 14. Data hasil simulasi Sub Model Lingkungan Tahun
Kualitas Lingkungan
Jumlah Sampah
Jumlah Limbah
01 Jan 2003
29,50 %
46.838.667,96 jiwa*Kg
835.661.314,08 jiwa*Liter
01 Jan 2004
29,39 %
46.914.382,74 jiwa*Kg
837.012.161,86 jiwa*Liter
01 Jan 2005
29,27 %
46.990.219,91 jiwa*Kg
838.365.193,28 jiwa*Liter
01 Jan 2006
29,16 %
47.066.179,67 jiwa*Kg
839.720.411,88 jiwa*Liter
01 Jan 2007
29,04 %
47.142.262,22 jiwa*Kg
841.077.821,19 jiwa*Liter
01 Jan 2008
28,93 %
47.218.467,76 jiwa*Kg
842.437.424,76 jiwa*Liter
01 Jan 2009
28,81 %
47.294.796,48 jiwa*Kg
843.799.226,13 jiwa*Liter
01 Jan 2010
28,70 %
47.371.248,59 jiwa*Kg
845.163.228,85 jiwa*Liter
01 Jan 2011
28,58 %
47.447.824,29 jiwa*Kg
846.529.436,48 jiwa*Liter
01 Jan 2012
28,47 %
47.524.523,77 jiwa*Kg
847.897.852,59 jiwa*Liter
01 Jan 2013
28,35 %
47.601.347,23 jiwa*Kg
849.268.480,75 jiwa*Liter
01 Jan 2014
28,24 %
47.678.294,88 jiwa*Kg
850.641.324,53 jiwa*Liter
01 Jan 2015
28,12 %
47.755.366,92 jiwa*Kg
852.016.387,52 jiwa*Liter
01 Jan 2016
28,00 %
47.832.563,54 jiwa*Kg
853.393.673,29 jiwa*Liter
01 Jan 2017
27,89 %
47.909.884,95 jiwa*Kg
854.773.185,45 jiwa*Liter
01 Jan 2018
27,77 %
47.987.331,35 jiwa*Kg
856.154.927,60 jiwa*Liter
01 Jan 2019
27,65 %
48.064.902,94 jiwa*Kg
857.538.903,33 jiwa*Liter
01 Jan 2020
27,54 %
48.142.599,93 jiwa*Kg
858.925.116,26 jiwa*Liter
01 Jan 2021
27,42 %
48.220.422,52 jiwa*Kg
860.313.570,01 jiwa*Liter
01 Jan 2022
27,30 %
48.298.370,90 jiwa*Kg
861.704.268,19 jiwa*Liter
01 Jan 2023
27,19 %
48.376.445,29 jiwa*Kg
863.097.214,44 jiwa*Liter
01 Jan 2024
27,07 %
48.454.645,89 jiwa*Kg
864.492.412,39 jiwa*Liter
01 Jan 2025
26,95 %
48.532.972,90 jiwa*Kg
865.889.865,68 jiwa*Liter
01 Jan 2026
26,83 %
48.611.426,52 jiwa*Kg
867.289.577,95 jiwa*Liter
01 Jan 2027
26,71 %
48.690.006,97 jiwa*Kg
868.691.552,86 jiwa*Liter
01 Jan 2028
26,59 %
48.768.714,44 jiwa*Kg
870.095.794,07 jiwa*Liter
01 Jan 2029
26,48 %
48.847.549,14 jiwa*Kg
871.502.305,23 jiwa*Liter
01 Jan 2030
26,36 %
48.926.511,27 jiwa*Kg
872.911.090,03 jiwa*Liter
288 Lampiran 15. Data hasil simulasi Sub Model Sosial Tahun
Nelayan, Petani Tambak & Ikan
01 Jan 2003
2.216,62 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2004
1.981,77 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2005
1.780,58 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2006
1.608,02 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2007
1.459,75 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2008
1.332,09 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2009
1.221,91 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2010
1.126,56 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2011
1.043,83 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2012
971,85 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2013
909,05 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2014
854,09 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2015
805,87 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2016
763,45 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2017
726,02 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2018
692,92 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2019
663,58 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2020
637,50 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2021
614,26 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2022
593,53 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2023
574,97 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2024
558,34 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2025
543,40 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2026
529,96 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2027
517,84 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2028
506,90 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2029
497,00 yr*jiwa*Ha
01 Jan 2030
488,03 yr*jiwa*Ha
289 Lampiran 16. Data hasil simulasi Sub Model Ekonomi (Rupiah) Time
Bangunan
LGA
Pertanian
Pert&Ind
KPJ
AngKom
Js&Perd
01 Jan 2003
3.007.225,00
392.889,00
253.635,00
5.043.142,00
608.161,00
1.852.179,00
8.094.343,00
01 Jan 2004
3.238.175,72
412.453,66
269.721,78
5.566.217,69
641.581,15
2.026.786,45
8.949.086,19
01 Jan 2005
3.486.863,14
432.992,57
286.828,86
6.143.546,89
676.837,83
2.217.854,39
9.894.088,20
01 Jan 2006
3.754.649,40
454.554,26
305.020,95
6.780.756,80
714.031,96
2.426.934,56
10.938.880,16
01 Jan 2007
4.043.001,29
477.189,65
324.366,88
7.484.058,24
753.270,02
2.655.725,01
12.093.999,64
01 Jan 2008
4.353.498,19
500.952,22
344.939,82
8.260.306,24
794.664,31
2.906.083,85
13.371.096,97
01 Jan 2009
4.687.840,83
525.898,09
366.817,60
9.117.066,85
838.333,34
3.180.044,36
14.783.052,70
01 Jan 2010
5.047.860,52
552.086,19
390.082,97
10.062.690,83
884.402,10
3.479.831,50
16.344.107,57
01 Jan 2011
5.435.529,23
579.578,37
414.823,95
11.106.395,12
933.002,47
3.807.879,98
18.070.006,09
01 Jan 2012
5.852.970,36
608.439,58
441.134,12
12.258.352,63
984.273,57
4.166.854,05
19.978.155,35
01 Jan 2013
6.302.470,39
638.737,98
469.113,01
13.529.791,39
1.038.362,16
4.559.669,09
22.087.800,59
01 Jan 2014
6.786.491,40
670.545,16
498.866,46
14.933.104,04
1.095.423,06
4.989.515,34
24.420.219,30
01 Jan 2015
7.307.684,55
703.936,23
530.507,02
16.481.968,56
1.155.619,62
5.459.883,79
26.998.935,82
01 Jan 2016
7.868.904,62
738.990,07
564.154,38
18.191.481,61
1.219.124,16
5.974.594,52
29.849.958,62
01 Jan 2017
8.473.225,61
775.789,49
599.935,82
20.078.305,69
1.286.118,44
6.537.827,74
33.002.042,58
01 Jan 2018
9.123.957,61
814.421,40
637.986,70
22.160.831,54
1.356.794,25
7.154.157,72
36.486.979,04
01 Jan 2019
9.824.664,94
854.977,07
678.450,95
24.459.357,39
1.431.353,89
7.828.589,97
40.339.916,42
01 Jan 2020
10.579.185,62
897.552,28
721.481,64
26.996.286,80
1.510.010,79
8.566.601,88
44.599.714,74
01 Jan 2021
11.391.652,44
942.247,60
767.241,55
29.796.347,02
1.592.990,11
9.374.187,18
49.309.337,54
01 Jan 2022
12.266.515,60
989.168,61
815.903,78
32.886.830,05
1.680.529,37
10.257.904,66
54.516.285,19
01 Jan 2023
13.208.567,03
1.038.426,15
867.652,40
36.297.858,59
1.772.879,16
11.224.931,39
60.273.074,01
01 Jan 2024
14.222.966,71
1.090.136,55
922.683,18
40.062.679,69
1.870.303,84
12.283.121,06
66.637.765,91
01 Jan 2025
15.315.270,88
1.144.421,98
981.204,28
44.217.988,78
1.973.082,27
13.441.067,71
73.674.554,00
01 Jan 2026
16.491.462,50
1.201.410,65
1.043.437,07
48.804.287,35
2.081.508,66
14.708.175,59
81.454.410,01
01 Jan 2027
17.757.984,01
1.261.237,18
1.109.616,97
53.866.277,72
2.195.893,38
16.094.735,46
90.055.800,14
01 Jan 2028
19.121.772,62
1.324.042,88
1.179.994,33
59.453.298,74
2.316.563,87
17.612.008,24
99.565.476,41
01 Jan 2029
20.590.298,31
1.389.976,12
1.254.835,37
65.619.806,69
2.443.865,54
19.272.316,39
110.079.351,67
01 Jan 2030
22.171.604,75
1.459.192,62
1.334.423,19
72.425.906,06
2.578.162,79
21.089.144,07
121.703.466,90
290 Lampiran 17. Data Validasi Model Data Validasi Sawah Tahun
Nilai Aktual
Data Validasi Hutan
Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
3658,47
3658,47
2003
1515,7
1515,7
2004
3912,96
3706,86
2004
1515,7
1583,56
2005
3956,3
3753,68
2005
2328,7
1651,22
2006
3990
3798,79
2006
2645,48
1718,29
Mean
3103,546
2983,56
Mean
1601,116
1293,754
AME
0,038660938
AME
0,091967353
Data Validasi Tegal, Kebun & TKL Tahun
Nilai Aktual
Data Validasi Permukiman & Bangunan
Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
13608,6
13608,57
2003
13876,9
13876,9
2004
13977,2
13970,96
2004
14107,97
14066,82
2005
12123,8
14326,12
2005
14106,97
14250,97
2006
13275,5
14672,45
2006
14049,42
14428,71
Mean
10597,02
11315,62
Mean
11228,252
11324,68
AME
-0,067811517
AME
-0,00858798
Data Validasi Tambak, Rawa & Kolam Tahun 2003
Nilai Aktual
Data Validasi Penduduk
Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2271,64
2271,64
2003
1376798
1376798
2004
1853,9
2034,24
2004
1388021
1379023,6
2005
1841,06
1830,68
2005
1418324
1381252,79
2006
1691,18
1655,94
2006
1432954
1383485,59
Mean
1531,556
1558,5
Mean
1123219,4
1104111,996
AME
-0,017592566
AME
0,017011284
291
Data Validasi Bangunan Tahun
Nilai Aktual
Data Validasi LGA Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
3007225
3007225
2003
392889
392889
2004
3247526
3238175,72
2004
412979
412453,66
2005
3584579
3486863,14
2005
443417
432992,57
2006
4445308
3754649,4
2006
487158
454554,26
Mean
2856927,6
2697382,652
Mean
347288,6
338577,898
AME
0,055844939
AME
0,025082027
Data Validasi Pertanian Tahun
Nilai Aktual
Data Validasi Pertambangan & Industri Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
253635
253635
2003
5043142
5043142
2004
270265
269721,78
2004
5545650
5566217,69
2005
294257
286828,86
2005
6234915
6143546,89
2006
321780
305020,95
2006
7114709
6780756,8
Mean
227987,4
223041,318
Mean
4787683,2
4706732,676
AME
0,021694541
AME
0,016908079
Data Validasi KPJ Tahun
Nilai Aktual
Data Validasi Angkutan & Komunikasi Nilai Simulasi
Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
608141
608161
2003
1852179
1852179
2004
642505
641581,15
2004
2035550
2026278,45
2005
693463
676837,73
2005
2287351
2217854,39
2006
772160
714031,96
2006
2630646
2426934,56
Mean
543253,8
528122,368
Mean
1761145,2
1704649,28
AME
0,027853339
AME
0,032079081
292
Data Validasi Jasa & Perdagangan Tahun
Nilai Aktual
Nilai Simulasi
2003
8094343
8094343
2004
8653029
8949086,19
2005
9487943
9894088,2
2006
10634487
10938880,16
Mean
7373960,4
7575279,51
AME
-0,027301355
293 Lampiran 18. Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Tugu Penggunaan Lahan Kecamatan Tugu Tahun
Permukiman & Bangunan
Tambak/Kolam
Lahan Sawah Tegal/Kebun/Lahan KeringHutan
01 Jan 2003
503,07 Ha
0,00 Ha
417,32 Ha
1.500,94 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2004
504,70 Ha
0,00 Ha
420,53 Ha
1.493,09 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2005
506,34 Ha
0,00 Ha
423,78 Ha
1.485,25 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2006
507,99 Ha
0,00 Ha
427,07 Ha
1.477,41 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2007
509,66 Ha
0,00 Ha
430,40 Ha
1.469,57 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2008
511,34 Ha
0,00 Ha
433,78 Ha
1.461,73 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2009
513,04 Ha
0,00 Ha
437,19 Ha
1.453,90 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2010
514,75 Ha
0,00 Ha
440,65 Ha
1.446,08 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2011
516,47 Ha
0,00 Ha
444,16 Ha
1.438,27 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2012
518,20 Ha
0,00 Ha
447,70 Ha
1.430,46 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2013
519,95 Ha
0,00 Ha
451,29 Ha
1.422,67 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2014
521,71 Ha
0,00 Ha
454,92 Ha
1.414,88 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2015
523,48 Ha
0,00 Ha
458,60 Ha
1.407,11 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2016
525,27 Ha
0,00 Ha
462,32 Ha
1.399,36 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2017
527,07 Ha
0,00 Ha
466,08 Ha
1.391,62 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2018
528,88 Ha
0,00 Ha
469,89 Ha
1.383,89 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2019
530,70 Ha
0,00 Ha
473,74 Ha
1.376,18 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2020
532,54 Ha
0,00 Ha
477,64 Ha
1.368,49 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2021
534,39 Ha
0,00 Ha
481,57 Ha
1.360,82 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2022
536,25 Ha
0,00 Ha
485,56 Ha
1.353,17 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2023
538,12 Ha
0,00 Ha
489,59 Ha
1.345,54 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2024
540,00 Ha
0,00 Ha
493,66 Ha
1.337,93 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2025
541,90 Ha
0,00 Ha
497,78 Ha
1.330,35 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2026
543,80 Ha
0,00 Ha
501,94 Ha
1.322,79 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2027
545,72 Ha
0,00 Ha
506,14 Ha
1.315,26 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2028
547,65 Ha
0,00 Ha
510,39 Ha
1.307,75 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2029
549,59 Ha
0,00 Ha
514,69 Ha
1.300,27 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2030
551,54 Ha
0,00 Ha
519,03 Ha
1.292,83 Ha
0,00 Ha
294
Lampiran 19. Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Semarang Barat Penggunaan Lahan Kecamatan Semarang Barat T ahun
Permukiman & Bangunan
Tambak/Kolam
Lahan Sawah T egal/Kebun/Lahan KeringHutan
01 Jan 2003
1.317,07 Ha
382,50 Ha
29,41 Ha
1.728,99 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2004
1.371,12 Ha
355,16 Ha
29,15 Ha
1.560,53 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2005
1.410,61 Ha
337,04 Ha
28,97 Ha
1.451,57 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2006
1.440,30 Ha
324,34 Ha
28,84 Ha
1.376,52 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2007
1.463,08 Ha
315,09 Ha
28,74 Ha
1.322,55 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2008
1.480,81 Ha
308,17 Ha
28,66 Ha
1.282,56 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2009
1.494,77 Ha
302,89 Ha
28,60 Ha
1.252,26 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2010
1.505,85 Ha
298,79 Ha
28,56 Ha
1.228,91 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2011
1.514,71 Ha
295,58 Ha
28,52 Ha
1.210,68 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2012
1.521,82 Ha
293,03 Ha
28,49 Ha
1.196,31 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2013
1.527,56 Ha
291,01 Ha
28,47 Ha
1.184,89 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2014
1.532,21 Ha
289,38 Ha
28,45 Ha
1.175,76 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2015
1.535,97 Ha
288,08 Ha
28,43 Ha
1.168,42 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2016
1.539,04 Ha
287,02 Ha
28,42 Ha
1.162,50 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2017
1.541,53 Ha
286,16 Ha
28,41 Ha
1.157,71 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2018
1.543,57 Ha
285,47 Ha
28,40 Ha
1.153,83 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2019
1.545,23 Ha
284,90 Ha
28,40 Ha
1.150,67 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2020
1.546,59 Ha
284,44 Ha
28,39 Ha
1.148,09 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2021
1.547,70 Ha
284,06 Ha
28,39 Ha
1.145,99 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2022
1.548,61 Ha
283,76 Ha
28,38 Ha
1.144,28 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2023
1.549,36 Ha
283,51 Ha
28,38 Ha
1.142,87 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2024
1.549,97 Ha
283,30 Ha
28,38 Ha
1.141,73 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2025
1.550,47 Ha
283,13 Ha
28,37 Ha
1.140,79 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2026
1.550,88 Ha
282,99 Ha
28,37 Ha
1.140,02 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2027
1.551,21 Ha
282,88 Ha
28,37 Ha
1.139,39 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2028
1.551,49 Ha
282,79 Ha
28,37 Ha
1.138,88 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2029
1.551,71 Ha
282,71 Ha
28,37 Ha
1.138,45 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2030
1.551,90 Ha
282,65 Ha
28,37 Ha
1.138,11 Ha
0,00 Ha
295 Lampiran 20. Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Semarang Utara Penggunaan Lahan Kecamatan Semarang Utara T ahun
Permukiman & Bangunan
T ambak/Kolam
Lahan Sawah T egal/Kebun/Lahan KeringHutan
01 Jan 2003
919,04 Ha
364,71 Ha
0,00 Ha
103,82 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2004
927,16 Ha
354,30 Ha
0,00 Ha
104,82 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2005
935,44 Ha
344,10 Ha
0,00 Ha
105,84 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2006
943,84 Ha
334,12 Ha
0,00 Ha
106,87 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2007
952,34 Ha
324,41 Ha
0,00 Ha
107,92 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2008
960,92 Ha
314,98 Ha
0,00 Ha
108,98 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2009
969,54 Ha
305,85 Ha
0,00 Ha
110,05 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2010
978,19 Ha
297,05 Ha
0,00 Ha
111,12 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2011
986,83 Ha
288,58 Ha
0,00 Ha
112,19 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2012
995,44 Ha
280,45 Ha
0,00 Ha
113,25 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2013
1.003,99 Ha
272,66 Ha
0,00 Ha
114,31 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2014
1.012,47 Ha
265,23 Ha
0,00 Ha
115,37 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2015
1.020,83 Ha
258,14 Ha
0,00 Ha
116,40 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2016
1.029,08 Ha
251,40 Ha
0,00 Ha
117,43 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2017
1.037,18 Ha
245,00 Ha
0,00 Ha
118,43 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2018
1.045,11 Ha
238,94 Ha
0,00 Ha
119,42 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2019
1.052,87 Ha
233,19 Ha
0,00 Ha
120,39 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2020
1.060,43 Ha
227,77 Ha
0,00 Ha
121,33 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2021
1.067,79 Ha
222,64 Ha
0,00 Ha
122,25 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2022
1.074,94 Ha
217,81 Ha
0,00 Ha
123,14 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2023
1.081,86 Ha
213,26 Ha
0,00 Ha
124,00 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2024
1.088,55 Ha
208,98 Ha
0,00 Ha
124,84 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2025
1.095,01 Ha
204,95 Ha
0,00 Ha
125,64 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2026
1.101,23 Ha
201,17 Ha
0,00 Ha
126,42 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2027
1.107,21 Ha
197,62 Ha
0,00 Ha
127,17 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2028
1.112,94 Ha
194,28 Ha
0,00 Ha
127,89 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2029
1.118,44 Ha
191,16 Ha
0,00 Ha
128,58 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2030
1.123,70 Ha
188,23 Ha
0,00 Ha
129,24 Ha
0,00 Ha
296 Lampiran 21. Data Hasil Simulasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Genuk Penggunaan Lahan Kecamatan Semarang Genuk T ahun
Permukiman & Bangunan
T ambak/Kolam
Lahan Sawah T egal/Kebun/Lahan KeringHutan
01 Jan 2003
1.336,70 Ha
1.411,19 Ha
86,41 Ha
735,09 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2004
1.355,63 Ha
1.359,40 Ha
85,00 Ha
731,45 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2005
1.373,58 Ha
1.312,69 Ha
83,71 Ha
728,05 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2006
1.390,64 Ha
1.270,30 Ha
82,51 Ha
724,89 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2007
1.406,91 Ha
1.231,62 Ha
81,39 Ha
721,91 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2008
1.422,46 Ha
1.196,17 Ha
80,36 Ha
719,12 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2009
1.437,34 Ha
1.163,51 Ha
79,38 Ha
716,48 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2010
1.451,63 Ha
1.133,31 Ha
78,47 Ha
713,98 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2011
1.465,37 Ha
1.105,28 Ha
77,61 Ha
711,60 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2012
1.478,61 Ha
1.079,16 Ha
76,80 Ha
709,34 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2013
1.491,39 Ha
1.054,76 Ha
76,03 Ha
707,19 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2014
1.503,74 Ha
1.031,88 Ha
75,30 Ha
705,13 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2015
1.515,70 Ha
1.010,37 Ha
74,61 Ha
703,16 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2016
1.527,30 Ha
990,10 Ha
73,95 Ha
701,27 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2017
1.538,57 Ha
970,95 Ha
73,32 Ha
699,45 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2018
1.549,52 Ha
952,81 Ha
72,71 Ha
697,70 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2019
1.560,18 Ha
935,59 Ha
72,13 Ha
696,01 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2020
1.570,58 Ha
919,22 Ha
71,57 Ha
694,38 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2021
1.580,73 Ha
903,61 Ha
71,04 Ha
692,80 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2022
1.590,65 Ha
888,71 Ha
70,52 Ha
691,27 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2023
1.600,35 Ha
874,46 Ha
70,02 Ha
689,79 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2024
1.609,85 Ha
860,80 Ha
69,54 Ha
688,35 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2025
1.619,17 Ha
847,70 Ha
69,07 Ha
686,95 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2026
1.628,31 Ha
835,11 Ha
68,62 Ha
685,58 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2027
1.637,29 Ha
822,98 Ha
68,18 Ha
684,25 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2028
1.646,12 Ha
811,30 Ha
67,75 Ha
682,95 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2029
1.654,81 Ha
800,02 Ha
67,34 Ha
681,68 Ha
0,00 Ha
01 Jan 2030
1.663,37 Ha
789,12 Ha
66,93 Ha
680,44 Ha
0,00 Ha
297 Lampiran 22. Pasang Surut Kota Semarang
298 Lanjutan Lampiran 22 Data Pasang Surut
299 Lampiran 23. Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Lindung di Wilayah Pesisir Kota Semarang
300 Lanjutan Lampiran 23.
301 Lampiran 24. Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Budidaya di Wilayah Pesisir Kota Semarang
302 Lanjutan Lampiran 24.
303 Lanjutan Lampiran 24
Lampiran 25. Langkah-langkah Pengendalian Kawasan Strategis di Kawasan Pesisir Kota Semarang.
304 Lampiran 26. Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk
305 Lampiran 27. Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Umum
Lampiran 28. Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Tambak
306 Lampiran 29. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pariwisata Pantai
307 Lampiran 30. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Konservasi
308 Lampiran 31. Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut
309 Lampiran 32. Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Kajapung
Lampiran 33. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai
310 Lampiran 33. Matriks Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri
311 Lampiran 34. DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY) SISTEM DINAMIK
Sub Model Sosial AEMig AK Akem Aklhn AImig AngkKrj Dmpk Pggr Emig FRTBK FrNPTPI
= = = = = = = = = =
FrAngkKrj FPggr Imig JAK JRT Kem Klhn Kpdtn LsLhn LsTbk NPTPI
= = = = = = = = = = =
Pddk Pert Pddk PertNPTPI
= = =
Pggr Tbkklm
= =
Angka Emigrasi Angka Angka Kematian Angka Kelahiran Angka Imigrasi Angkatan Kerja Dampak Pengangguran Emigrasi Fraksi Tambak dan Kolam Fraksi Nelayan, Petani Tambak dan Petani Ikan Fraksi Angkatan Kerja Fraksi Pengangguran Imigrasi Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Rumah Tangga Kematian Kelahiran Kepadatan Luas Lahan Luas Tambak Nelayan, Petani Tambak dan Petani Ikan Penduduk Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Populasi Nelayan, Petani Tambak dan Petani Ikan Pengangguran Tambak Kolam
Sub Model Ekonomi AngKom Bangunan FrAngKom FrBangunan FrConsPdptn FrJs&Perd FrKPJ
= = = = = = =
Fr LGA FrPdptn FrPertanian FrPI
= = = =
Js&Perd
=
Sektor Angkutan dan Komunikasi Sektor Bangunan Fraksi Sektor Angkutan dan Komunikasi Fraksi Sektor Bangunan Fraksi Constanta Pendapatan Fraksi Sektor Jasa dan Perdagangan Fraksi Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Fraksi Sektor Listrik, Gas dan Air Fraksi Pendapatan Fraksi Sektor Pertanian Fraksi Sektor Pertambangan dan Industri Sektor Jasa dan Perdagangan
312 KPJ LGA Pddk Pert Pendptn PertLGA
= = = = =
PertBangunan TotPDRB
= =
Pertanian PertPertanian PertJs&Perd
= = =
Pert&Ind PertPI
= =
PertAngKom
=
PertKPJ
=
Sub Model Lingkungan FJLDP = FJSP FL FLTKo FLH FLS FLTK FrPLhn FrPLhn FrPPB
= = = = = = = = =
FrPB FrP FS Jmlsmph JL JmlLbhDmstk JS KL LsLhn LhnEx Lhn Swh Lhn Hutan LPrmknBgn NL Pddk
= = = = = = = = = = = = = = =
Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Sektor Listrik, Gas dan Air Penduduk Pertumbuhan Pendapatan Pertumbuhan Sektor Listrik, Gas dan Air Pertumbuhan Sektor Bangunan Total Pertumbuhan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian Pertumbuhan Sektor Pertanian Pertumbuhan Sektor Jasa dan Perdagangan Sektor Pertambangan dan Industri Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Industri Pertumbuhan Sektor Angkutan dan Komunikasi Pertumbuhan Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa
Fraksi Jumlah Limbah Domestik Penduduk Fraksi Jumlah Sampah Fraksi Jumlah Limbah Setiap Penduduk Fraksi Luas Tambak dan Kolam Fraksi Luas Lahan Hutan Fraksi Lahan Sawah Fraksi Lahan Tegal dan Kebun Fraksi Penggunaan Lahan Fraksi Penggunaan Lahan Fraksi Penggunaan Permukiman dan Bangunan Fraksi Permukiman dan Bangunan Fraksi Penduduk Fraksi Jumlah Sampah setiap Penduduk Jumlah Sampah Jumlah Limbah Setiap Penduduk Jumlah Limbah Domestik Jumlah Sampah Setiap Penduduk Kualitas Lingkungan Luas Lahan Lahan Existing Luas Areal Lahan Sawah Luas Areal Lahan Hutan Luas areal Permukiman dan Bangunan Nilai Lingkungan Penduduk
313 PertSmph PencSmph PencLing PencLbh PertLimb PgLhn PLTK PLH PLS PLTKo PLPB
= = = = = = = = = = =
PtotLHn Rklms Tbkklm Tglkbn
= = = =
Pertumbuhan Jumlah Sampah Pencemaran Sampah Pencemaran Lingkungan Pencemaran Limbah Pertumbuhan Jumlah Limbah Penggunaan Lahan Pertumbuhan Luas Tegal dan Kebun Pertumbuhan Luas Lahan Hutan Pertumbuhan Luas Areal Lahan Sawah Pertumbuhan Luas Tambak dan Kolam Pertumbuhan Luas Lahan Permukiman Dan Bangunan Pertumbuhan Total Lahan Reklamasi Luas Areal Tambak dan Kolam Luas Areal Tegal dan Kebun