Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Desain dan Simulasi Turbin Air Kontra-Rotasi Untuk Aplikasi Head Sangat Rendah Abdul Muis
Priyono Sutikno, Aryadi Suwono, Firman Hartono
Mechanical Engineering Dept. ITB and UNTAD Bandung and Palu, Indonesia
[email protected]
Mechanical Engineering Dept. Bandung Institute of Technology (ITB) Bandung, Indonesia
[email protected]
Abstract—This paper aims to study and demonstrate the design and numerical simulations on the axial flow hydraulic turbine with two rotors. Both of rotors as an energy generator from the fluid that passes through and rotate in the opposite direction (counter-rotation). The front rotor blade also serves as a guide vane for the rear rotor during its operation. This turbine type is designed for very low head sites and be able to be developed as an environmentally friendly turbine and also as a compact turbine. Both of turbine rotors are designed to be operated at rotating velocity 90 rpm and flow rate 128 kg/s (liters/s). The results of numerical studies show that rotors operate with excellent efficiency, around 91% and 80% for front and rear rotor respectively. The minimum pressure that occurs in the turbine is moderate and this indicated that will be better in dealing with the cavitation inception. Designed turbine may be used as reference to the development of counter-rotation of water turbine for very low head sites applications.
yang optimal. Hal ini menjadikan apliksinya menjadi relatif mahal [3,4]. Turbin untuk head sangat rendah (very low head) dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemanfaatan potensi tenaga hidro dengan kemampuannya dalam mengatasi beberapa kendala yang dimiliki oleh desain turbin konvensional. Turbin jenis ini bertujuan untuk mengeksplotasi potesi energi aliran air dengan head sangat rendah (kurang dari 4 meter), instalasi turbinnya lebih sederhana karena tidak memerlkan pengaturan aliran sebelum dan sesudah turbin, dapat didesain sebagai compact turbin, investasi yang dibutuhkan rendah serta dampak lingkungan yang juga relative sangat rendah. Desain turbinnya relative sederhana dimana blok turbin ditempatkan pada saluran atau kanal yang sudah ada dengan posisi 30 hingga 50 derajat dari sumbu vertikal [3].
Index Terms—Counter-rotation, hydraulic turbine, axial flow, very low head sites.
I.
PENDAHULUAN
Sumber tenaga dengan memanfaatkan potensi energi yang dimiliki oleh air yang mengalir telah sejak lama digunakan. Salah satunya adalah pemanfaatannya untuk membangkitkan energi listrik. Karenanya tenaga air adalah salah satu dari sumber energi terbarukan yang menyumbangkan produksi energi listrik terbesar di dunia dengan total kapasitas 1067 GW pada tahun 2011 [1]. Di Indonesia dari data yang dipublikasikan oleh kementrian ESDM tahun 2012, potensi tenaga hidro yang tersedia 75.5 GW dengan kapasitas terpasang hanya 4.7 GW atau kurang dari 7% dari potensi yang ada [2]. Hal ini mengindakasikan rendahnya pemanfaatan potensi energi hijau yang tersedia. Beberapa kendala yang menyebabkannya diantaranya investasi yang besar, dampak lingkungan serta kendala geografi dimana potensi tersebut berada. Salah satu potensi aliran air yang belum banyak terpakai saat ini adalah potensi dengan head yang tergolong rendah. Potensi ini sangat besar dan banyak, hanya saja belum tereksploitasi dengan baik karena keterbatasan turbin konvensional yang ada saat ini. Turbin yang banyak dimanfaatkan untuk potensi head yang rendah adalah turbin Kaplan dan Bulb yang dapat beroperasi pada kisaran head 2 hingga 40 meter. Hanya saja jenis turbin ini membutuhkan kanal atau saluran yang relatif kompleks untuk mengatur aliran air sebelum dan sesudah turbin agar bisa memperoleh performa
Turbin Vertical Siphon Kaplan
Turbin Bulb
Turbin Very Low Head Gambar 1. Perbedaan konstruksi dan struktur sipil turbin Very Low Head dengan turbin Siphon Kaplan dan Bulb [4]
Berdasarkan jenis konstruksinya, turbin head sangat rendah yang dikembangkan saat ini adalah yang terdiri dari satu baris sudu pengarah dan satu baris sudu rotor. Meskipun hasil studi numerik dan eksperimen telah menunjukkan bahwa turbin ini dapat bekerja dengan performa yang sangat baik dalam aplikasinya [3,4,5,6,7], penulis berharap dapat meningkatkan aplikasi dan keunggulan turbin jenis ini dalam memanfaatkan potensi energi yang ada. Untuk alasan tersebut, maka studi dan desain turbin ini dikembangkan dengan menggunakan satu baris sudu pengarah dengan dua baris sudu rotor yang berputar secara berlawanan arah atau kontra-rotasi. Rotor depan FR (front rotor) tidak hanya berfungsi sebagai pembangkit tenaga dari fluida yang melewatinya, namun juga berfungsi sebagai sudu pengarah untuk rotor yang berada di belakangnya RR
Energi III-1
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
(rear rotor). Untuk memperoleh performa dan karakteristik turbin kontra-rotasi ini, maka studi numerik dilakukan dengan memanfaatkan CFD komersial Ansys. Simulasi dilakukan dengan Fluent dengan menggunakan analisis tiga dimensi 3D dan model viskos . Untuk keperluan studi maka sudu rotor turbin di desain untuk kondisi operasi dengan debit 128 kg/s atau 128 liter/s dengan head 0.3 meter dan putaran 90 rpm. Diameter hub dan tip adalah 0.36 meter dan 0.6 meter. Jumlah sudu pengarah 24 buah dengan sudu rotor depan dan belakang adalah 8 dan 7 buah. Jumlah sudu rotor yang berbeda untuk menghindari resonansi antara keduanya saat beroperasi. Kondisi operasi ini disesuaikan dengan kanal eksperimen yang ada di laboratorium mekanika fluida ITB dengan lebar dan tinggi kanal 0.8 meter dan 0.9 meter. II.
TURBIN AIR KONTRA-ROTASI
Konsep turbin air kontra-rotasi telah diperkenalkan oleh beberapa paper yang penulis jadikan sebagai referensi. Wei Yang dkk [8] melakukan studi numerik pada turbin aksial kontra-rotasi yang bertujuan untuk memanfaatkan potensi energi pasang surut. Mereka menggunakan metode singularitas untuk mendesain sudu rotor turbin berdasarkan segitiga kecepatan dari sisi masuk dan sisi keluar dari kedua rotor. N J Lee dkk [9] mempelajari turbin mikro tipe tubular dengan rotor kontra-rotasi dimana rotor depan dihubungkan dengan stator dari generator dan rotor belakang dengan rotor dari generator. Turbin ini didesain untuk memanfaatkan perbedaan tekanan yang terjadi di dalam saluran pipa air perkotaan sebagai pengganti dari katup penurun tekanan yang biasa digunakan. R Sonohata dkk [10] menghasilkan performa dan kondisi aliran internal dari turbine air axial mini dengan analisis aliran numerik. Salah satu keunggulan penting dari pemanfaatan turbin kontra-rotasi adalah tersedianya kesempatan untuk memanfaatkan putaran yang tinggi dengan menerapkan konsep yang diimplementasikan oleh N J Lee [9]. Dengan menghubungkan stator dan rotor generator ke masing-masing rotor turbin maka akan dapat dihasilkan kecepatan relatif yang tinggi. Dengan cara ini, maka dimensi dari generator dapat direduksi karena jumlah pole yang dibutuhkan oleh generator akan jauh berkurang jika dibandingkan dengan turbin rotor tunggal yang beroperasi pada putaran yang sama. III.
DESAIN SUDU TURBIN
Sudu turbin untuk rotor depan FR dan rotor belakang RR direncanakan dengan mengoptimasi airfoil dan cascade dari sudu. Detailnya telah penulis kemukakan pada referensi nomor 10. Pengaturan segitiga kecepatan untuk sudu rotor depan dan belakang didasarkan pada tiga asumsi berikut: 1. Rotor depan dan belakang memiliki kecepatan tangensial yang sama. 2. Kecepatan aksial fluida pada sisi masuk dan keluar kedua rotor adalah sama. 3. Kecepatan tangensial absolut pada sisi keluar rotor depan dan pada sisi masuk rotor belakang adalah nol. Dari optimasi cascade sudu yang dilakukan, diperoleh bahwasanya sudu cascade dengan perbandingan pitch dan chord (t/l) sama dengan 1 dan 0.9 akan dapat mengubah
potensi energi fluida yang melewati sudu dengan tingkat efisiensi yang tinggi [7]. Desain sudu dilakukan dengan menyusun airfoil dari hub ke tip dengan membaginya dalam 11 bagian radial station dengan jarak yang sama. Tabel 1, 2, 3 dan 4 memperlihatkan data cascade sudu untuk kombinasi sudu yang menyusun turbin kontra-rotasi. Jarak antara rotor depan dan belakang adalah 30% dari panjang chord dari sudu rotor depan pada bagian hub. TABLE 1. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR DEPAN RR DENGAN RASIO PITCH DAN CHORD (T/L) = 1
A B C D E
Radial station Diameter (m) Pitch and chord ratio, t/l Stagger angle, ( Inlet angle (
1 0.360 1 50.00 49.51
2 0.384 1 56.15 54.61
F G H
Outlet angle ( Coefficient Lift Number of blades
56.50 0.406 8
62.09 0.499 8 7 0.504 1 70.10 68.04 73.87 0.634 8
A B C D E F G H
3 0.408 1 60.00 58.55 66.43 0.597 8
4 0.432 1 63.80 61.67 68.34 0.552 8
5 0.456 1 66.50 64.20 71.92 0.723 8
6 0.480 1 68.15 66.29 72.37 0.602 8
A B C D E F G H
8 0.528 1 72.15 69.54 75.29 0.666 8
9 0.552 1 73.15 70.83 77.23 0.813 8
10 0.576 1 73.65 71.95 77.28 0.703 8
11 0.600 1 75.10 72.95 79.00 0.873 8
TABLE 2. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR BELAKANG FR DENGAN RASIO PITCH DAN CHORD (T/L) = 1
A B C D E
Radial station Diameter (m) Pitch and chord ratio, t/l Stagger angle, ( Inlet angle (
1 0.360 1 67.20 67.36
2 0.384 1 69.38 68.64
F G H
Outlet angle ( Coefficient Lift Number of blades
73.02 0.584 7
74.75 0.681 7
6 0.480 1 74.00 72.63 77.92 0.728 7
7 0.504 1 75.12 73.05 78.40 0.735 7
A B C D E F G H
Energi III-2
3 0.408 1 70.70 69.79 76.37 0.790 7
4 0.432 1 72.40 70.83 76.56 0.714 7
5 0.456 1 73.42 71.75 78.25 0.877 7
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
A B C D E F G H
8 0.528 1 76.25 74.11 79.2 0.770 7
9 0.552 1 76.65 74.78 80.46 0.926 7
10 0.576 1 76.65 75.39 80.14 0.784 7
G H
11 0.600 1 77.73 75.94 81.4 0.971 7
A B C D E F G H
0.836 7
0.761 7
0.947 7
0.793 7
8
9
10
11
0.528
0.552
0.576
0.600
0.9 76.35 74.12 80.26 0.872 7
0.9 76.85 74.78 81.58 1.046 7
0.9 76.85 75.39 81.13 0.888 7
0.9 77.93 75.95 82.48 1.098 7
0.852 7
TABLE 3. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR DEPAN DENGAN FR RASIO PITCH DAN CHORD (T/L) = 0.9
A B C D E
Radial station Diameter (m) Pitch and chord ratio, t/l Stagger angle, ( Inlet angle (
1 0.360 0.9 50.00 49.51
2 0.384 0.9 56.00 54.56
F G H
Outlet angle ( Coefficient Lift Number of blades
56.95 0.391 8
62.66 0.487 8
6 0.480 0.9 68.15
7 0.504 0.9 69.67 67.83 73.26 0.652 8
A B C D E F G H
3 0.408 0.9 60.1 58.56 67.3 0.606 8
4 0.432 0.9 63.85 61.69 69.09 0.561 8
5 0.456 0.9 66.5 64.21 72.75 0.733 8
A B C D E F G H
8 0.528 0.9 72.2 69.48 76.14 0.704 8
9 0.552 0.9 73.3 70.81 78.21 0.870 8
10 0.576 0.9 73.75 71.91 78.16 0.758 8
66.24 73.06 0.613 8
Contoh sudu rotor yang dikembangkan dapat dilihat pada gambar 2. Ada tiga model turbin kontra-rotasi yang dihasilkan dengan kombinasi desain sudu pada tabel di atas. Turbin pertama adalah kombinasi desain sudu pada tabel 1 dan tabel 2, dimana sudu tabel 1 sebagai rotor depan dan sudu tabel 2 untuk rotor belakang. Turbin kedua adalah kombinasi dari sudu tabel 1 dan tabel 4, dimana sudu tabel 1 untuk rotor depan dan sudu tabel 4 untuk rotor belakang. Turbin ketiga adalah kombinasi dari desain sudu tabel 3 dan 4, dimana sudu tabel 3 untuk rotor depan dan sudu tabel 4 untuk rotor belakang. Kombinasi sudu turbin ini diharapkan juga dapat memberikan penomena pengaruh rasio pitch dan chord (t/l) atau solidity (l/t) terhadap performa turbin kontra-rotasi. Kombinasi sudu turbin yang digunakan mengindikasikan bahwa solidity turbin meningkat dari turbin pertama hingga ke tiga. Turbin pertama adalah gabungan sudu rotor depan dan belakang turbin dengan solidity masing-masing sama dengan 1. Turbin kedua dimana solidity rotor depan adalah 1 dan solidity rotor belakang adalah 1,11. Turbin ketiga adalah kombinasi rotor turbin dimana rotor depan dan belakang memilki solidity sama dengan 1,11. Gambar 3 memperlihatkan gabungan sudu pengarah dan rotor untuk ketiga turbin yang dikembangkan.
11 0.600 0.9 75.3 72.91 79.98 0.946 8
TABLE 4. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR BELAKANG RR DENGAN RASIO PITCH DAN CHORD (T/L) = 0.9
A B C D E
Radial station Diameter (m) Pitch and chord ratio, t/l Stagger angle, ( Inlet angle (
1 0.360 0.9 66.95 67.36
2 0.384 0.9 69.22 68.64
F G H
Outlet angle ( Coefficient Lift Number of blades
73.74 0.603 7
75.59 0.712 7
6 0.480 0.9 74.05 72.63 78.84
7 0.504 0.9 75.10 73.41 79.02
A B C D E F
3 0.408 0.9 70.65 69.79 77.31
4 0.432 0.9 72.35 70.83 77.44
5 0.456 0.9 73.46 71.77 79.29
Gambar 2. Contoh pengembangan stator dan rotor
a.Turbin Pertama
Energi III-3
b.Turbin kedua
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
(l/t) sudu memiliki pengaruh yang signifikan. Peningkatan solidity dari turbin pertama ke turbin kedua yang tidak signifikan menghasilkan peningkatan tekanan minimum dan maksimum yang terjadi di dalam turbin akibat karena kecepatan aliran fluidanya yang hampir sama seperti yang terlihat dalam gambar 6. Peningkatan solidity yang signifikan pada turbin ketiga menyebabkan kecepatan aliran fluidanya juga meningkat drastis, sehingga tekanan minimum yang terjadi di dalam turbin menurun dengan drastis pula. c.Turbin ketiga Gambar 3. Pengembangan turbin dengan gabungan stator dan rotor
IV.
MODEL TURBIN DAN HASIL CFD
Untuk studi CFD, blok turbin diposisikan dengan sudut 45 derajat terhadap sumbu vertikal. Gambar 4 memperlihatkan salah satu model turbin dan hasil analisis CFD terhadap aliran fluida di dalam turbin. Potensi energi aliran air dapat dituliskan sebagai: (1) Dimana adalah berat jenis air, adalah percepatan gravitasi, adalah debit aliran air dan adalah potensi head. Energi turbin yang dihasilkan dengan simulasi CFD dapat dituliskan:
a.Turbin Pertama
b.Turbin kedua
(2) Dan efisiensi turbin
: (3)
Dimana adalah total torsi yang dihasilkan oleh turbin dan adalah kecepatan sudut dari turbin.
c.Turbin ketiga Gambar 5. Distribusi tekanan dalam ketiga turbin
Distribusi tekanan di dalam turbin disamping berhubungan erat dengan distribusi kecepatan aliran, juga berhubungan dengan beban terhadap sudu turbin dan kemampuan turbin untuk menghadapi kondisi kavitasi yang mungkin muncul karena penurunan tekanan. Peningkatan distribusi tekanan akan meningkatkan beban tekanan pada sudu dan juga meningkatkan kemampuan turbin dalam mencegah timbulnya kavitasi karena penurunan tekanan. Gambar 6a, 6b dan 6c memperlihatkan kecepatan aliran fluida dan sudu untuk ketiga turbin pada kondisi operasi yang sama dengan debit 128 liter/s dan putarana 90 rpm. Kecepatan maksimum yang dialami fluida di dalam turbin pertama dan kedua dan adalah 2,823 m/s dan pada turbin ketiga adalah 3.772 m/s.
Gambar 4. Model turbin dan analisis aliran fluida di dalam turbin
Distribusi tekanan statis dalam turbin diperlihatkan pada gambar 5, dimana turbin bekerja dengan debit 128 liter/s dan putaran 90 rpm. Tekanan minimum pada turbin pertama, kedua dan ketiga secara berurutan adalah -2593 Pa, -1971Pa dan 6363 Pa. Tekanan maksimum pada turbin pertama, kedua dan ketiga adalah 6984 Pa, 8042Pa dan 8906 Pa. Terjadi peningkatan tekanan maksimum turbin dari turbin pertama hingga ketiga. Namun tidak demikian halnya dengan tekanan minimum, dimana tekanan minimum akan turun drastis pada turbin ketiga. Pengaruh rasio pitch dan chord (t/l) atau solidity
1. Daerah hub 2. Daerah Tip Gambar 6a. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin pertama
Energi III-4
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
adalah 0,49 m, 0,59 m dan 0,71 m. Peningkatan kebutuhan head berbanding lurus dengan peningkatan solidity dan adalah hal yang telah dapat diprediksi dari awal desain. Turbin I - FR Turbin II - FR Turbin III - FR 95
Turbin I - RR Turbin II - RR Turbin III - RR
90
90
85
85
Total Efficiency (%)
Efficiency (%)
Turbin II
Turbin III
95
80
1. Daerah hub 2. Daerah Tip Gambar 6b. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin kedua
Turbin I
75 70 65 60
80 75 70 65 60
55
55
50
50
45
45 40
40
15 30 45 60 75 90 105120135
15 30 45 60 75 90 105120135
Rotation Speed (rpm)
Rotation Speed (rpm)
a.Efisiensi rotor turbin b. Efisiensi total turbin Gambar 7. Efisiensi turbin kontra-rotasi
1. Daerah hub 2. Daerah Tip Gambar 6c. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin ketiga
1.20 1.10 1.00 0.90 Turbin I - FR
Effective Head (m)
Efisiensi ketiga turbin yang didesain diperlihatkan dalam gambar 7. Gambar 7a adalah perbandingan efisiensi rotor depan dan belakang dari ketiga turbin dan gambar 7b adalah perbandingan efisiensi total dari ketiga turbin dengan variasi putaran yang mungkin terjadi. Terlihat dalam gambar 7a, bahwa ketiga rotor depan turbin dapat beroperasi dengan efisiensi yang sangat baik, di atas 90%. Efisiensi rotor depan untuk turbin pertama, kedua dan ketiga mengalami peningkatan, yang mana peningkatan tertinggi dialami oleh turbin ketiga dan disusul turbin kedua dan turbin pertama. Kondisi yang mirip diperlihatkan pada rotor belakang, meskipun jika dibandingkan dengan rotor depan, efisiensi yang diperoleh pada rotor belakang lebih rendah. Efisiensi total turbin diperlihatkan dalam gambar 7b, dimana efisiensi turbin pertama, kedua dan ketiga secara berurutan pada kondisi operasi dengan debit 128 liter/s (kg/s) dan putaran 90 rpm adalah 84.61%, 85.63% dan 88.02%. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan efisiensi seiring dengan peningkatan solidity dari desain sudu. Head efektif yang dibutuhkan oleh ketiga turbin untuk kondisi operasi yang sama diperlihatkan dalam gambar 8, dimana rotor belakang turbin membutuhkan head yang lebih tinggi dibanding dengan rotor depan. Dari gambar 8 juga terlihat bahwa head efektif yang dibutuhkan akan meningkat dari turbin pertama hingga ketiga pada kedua rotornya. Karenanya, total head ketiga turbin pun juga memilki kecendrungan yang sama, dimana kebutuhan head total dari turbin pertama, kedua dan ketiga pada kondisi operasi dengan debit 128 liter/s (kg/s) dan putaran 90 rpm secara berurutan
0.80
Turbin I - RR
0.70
Turbin I - Total Turbin II - FR
0.60
Turbin II - RR Turbin II - Total
0.50
Turbin III - FR
0.40
Turbin III - RR 0.30
Turbin III - Total
0.20 0.10 0.00 15
30
45
60
75
90
105
120
135
Rotation Speed (rpm) Gambar 8. Head efektif rotor dan total head efektif ketiga turbin
Power yang dihasilkan oleh ketiga turbin diperlihatkan dalam gambar 9. Power yang dihasilkan oleh turbin depan dan belakang dari setiap turbin mengalami peningkatan dari turbin pertama hingga ketiga. Turbin belakang menghasilkan power yang lebih besar dari turbin depan karena head efektif yang dibutuhkan juga lebih tinggi walaupun efisiensinya lebih rendah. Total power yang dihasilkan oleh ketiga turbin pada kondisi operasi yang sama 128 liter/s dan putaran 90 rpm secara berurutan dari turbin pertama, kedua dan ketiga adalah 618,34 Watt, 736,03 Watt dan 892 Watt.
Energi III-5
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
head efektif yang dibutuhkan dan power yang dihasilkan, namun juga dapat meningkatkan efisiensi total dari turbin kontra-rotasi.
1000 900 800
UCAPAN TERIMA KASIH Turbin I - FR
700
Power (W)
Turbin I - RR 600
Turbin I - Total
Penulis berterima kasih secara khusus kapada BPPS Dikti dan ITB atas bantuan finansial dan kesempatan untuk belajar dan melakukan penelitian.
Turbin II - FR 500
DAFTAR PUSTAKA
Turbin II - RR Turbin II - Total
400
Turbin III - FR Turbin III - RR
300
Turbin III - Total 200 100 0 15
30
45
60
75
90
105
Rotation Speed (rpm)
120
135
Gambar 9. Power yang dihasilkan masing-masing rotor dan total power turbin
Hasil simulasi CFD memperlihatkan bahwa ketiga turbin dapat bekerja dengan efisiensi yang baik. Hanya saja jika dibandingkan dengan turbin dengan turbin dengan rotor tunggal “[7]” dimana efisiensi yang dapat dicapai 91%, turbin kontra-rotasi memiliki efisiensi yang lebih rendah dan juga membutuhkan head yang lebih tinggi, untuk beroperasi pada debit aliran dan putaran yang sama. V.
KESIMPULAN
Studi CFD telah memperlihatkan bahwasanya turbin kontra-rotasi dapat diterapkan dalam desain turbin untuk head sangat rendah. Efisiensi total yang dihasilkan cukup tinggi dalam interval 84% hingga 88%. Jika dibandingkan dengan rotor tunggal efisiensi turbin kontra-rotasi lebih rendah namun dalam pemanfaatannya memilki keunggulan dalam peningkatan kecepatan putaran yang dapat dimanfaatkan untuk menekan dimensi generator. Peningkatan solidity sudu turbin mempunyai pengaruh bukan hanya terhadap meningkatnya
[1] International Energy Agency, “World energy outlook 2012,” 2012, www.iea.org. [2] BPPT, “Outlook energy Indonesia,” 2012, www.bppt.go.id. [3] R. Frazer, and C. Deschenes, “Development of a new turbine for very low head sites,” Waterpower XV, www.hcipub.com. [4] M. Leclerc, “The very low head turbo generator,” MJ2 Technologies, www.vlh.com. [5] Priyono S. and Ibrahim K.A., “Design, simulation and experimental of the very low head turbine with minimum pressure and free vortex criterions,” Internatonal Journal of Mechanical & Mechatronics Engineering IJMME-IJENS, Vol. 11 No. 01. 2011. [6] Abdul Muis, Priyono S., Ariyadi S. and Firman H., “Design and simulation of very low head axial hydraulic turbine with variation of swirl velocity criterion,” The 12th Asian International Conference on Fluid Machinery (AICFM12), 2013. [7] Abdul Muis, Priyono S., Ariyadi S. and Firman H, “Design optimization of axial hydraulic turbine for very low head application,” 2nd International Conference on Sustainable energy Engineering and Application, 2014, in press. [8] Wei Yang, Shuhong Liu, and Yulin Wu, “Application of CFD in the design of contra-rotating kaplan turbine,” FEDSM 2006 ASME Joint U.S. – European Fluids Engineering summer meeting, 2006. [9] N.J. Lee, J.W. Choi, Y.H. Hwang, Y.T. Kim and Y.H. Lee, “Performance analysis of a counter-rotating tubular type microturbine by experiment and CFD,” 26th IAHR Symposium on Hydraulic Machinery and Systems, 2012. [10] R. Sonohata, J. Fukutomi, and T. Shigemitsu, “Study on contrarotating small-sized axial flow hydro turbine,” Open Journal of Fluid Dynamics, 2012.
Energi III-6
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisis Efisiensi Terbaik Pada Instalasi Panel Surya Dengan Unit Motor-Pompa DC Akbar naro Parawangsa
Syukri Himran
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email: -
Abstract— The study aims to describe the best efficiency on the solar panel installation to power DC Motor Pump through varying the pump heads. The study was carried out in the Renewable energy Laboratory of Mechanical Engineering Department of the faculty of Engineering of Hasanuddin University, Makassar. The method used is a solar panel installation tool with a DC motor pump is established. The testing process starts with the recording of solar intensity received by the solar panel using piranometer, then the energy obtained is recorded. In this study, the energy obtained from the solar panel is directly utilised to power the DC motor pump. To search for the best efficiency, the pump head height is varied from 1 to 7 meters and the data were taken and analysed for the most efficient result. The study reveals that the efficiency will increase so long as the global sun radiation intensity (Ig) also increases. The study identifies that the best efficiency occurs in the use of 3 meter head, which is 1,525 %. Keywords : Radiation, global intensity, solar panels, efficiency, DC motor pump, discharge, head.
I. PENDAHULUAN Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan, serta merupakan pendukung bagi kegiatan ekonomi sosial. Penggunaan energi di Indonesia meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Sedangkan akses ke energi yang andal dan terjangkau merupakan pra-syarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, dikembangkan berbagai energi alternatif, diantaranya energi terbarukan, misalnya :biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin, dan energi samudera. Salah satu energi terbarukan yang sekarang ini banyak dikembangkan adalah energi surya. Jika dieksploitasi dengan cepat, energi ini berpotensi mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi dunia saat ini dalam waktu lebih lama. Matahari dapat digunakan langsung untuk mmproduksi listrik atau untuk memanaskan bahkan untuk mendinginkan. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi enrgi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal digunakan untuk memasak, dan mengeringkan hasil pertanian. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk kebutuhan listrik, pompa air dan televisi [1].
Dalam memanfatkan energi surya sistem fotovoltaik sangat cocok dikembangkan di kota Makassar karena memiliki intensitas radiasi matahari rata-rata 600 W/m2 dengan rata-rata waktu penyinaran 7-8 jam/hari dimusim kemarau. Oleh karena itu penelitian ini memanfatkan energi surya dengan sistem fotovoltaik untuk menggerakkan pompa dalam memenuhi kebutuhan air yang merupakan keperluan dasar manusia, baik dalam kebutuhan sehari-hari (minum, makan, masak, dan mandi) maupun kebutuhan dalam proses produksi (irigasi) [2]. Pada pelaksanaannya sistem fotovoltaik ini memiliki keterbatasan yaitu jumlah enrgi yang dihasilkan tergantung pada keadaan cuaca, namun demikian pemanfaatan energi surya sistem fotovoltaik ini memiliki beberapa keuntungan antara lain : sebagai energi terbarukan (renewable energy) berarti tidak pernah habis, bersih dan ramah lingkungan artinya tanpa limbah, polusi dan tanpa emisi yang berbahaya bagi kesehatan, dan cocok digunakan di daerah tropis, bahkan di daerah terpencil sekalipun. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjawab hambatan pada daerah tertentu yang telah tersedia peralatan pompanisasi, akan tetapi belum tersedianya tenaga penggerak pompanisasi karena ketiadaan jaringan listrik PLN. Sehingga pemanfaatan energi surya dengan sistem fotovoltaik yang mudah dipindahkan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu energi alternatif. II. LANDASAN TEORI A.
Sinar Matahari Sumber Energi Tak Terbatas
Energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi panas surya (matahari) melalu peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik pemanfaatan energi surya mulai muncul pada tahun 1839, ditemukan oleh A.C. Becquerel. Ia menggunakan kristal silikon untuk mengkonversi radiasi matahari, namun sampai tahun 1955 metode itu belum banyak dikembangkan. Upaya pengembangan kembali cara memanfaatkan energi surya baru muncul lagi pada 1958. Sel silikon yang digunakan untuk mengubah energi surya menjadi sumber daya mulai diperhitungkan sebagai metode baru, karena dapat digunakan sebagai sumber daya bagi satelit angkasa luar [3]. Energi surya ini merupakan potendi energi terbesar dan yang tak terbatas dan terjamin keberadaannya dimuka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya energi matahari bisa
Energi III-7
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dijumpai diseluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulan polusi ke atmosfer. Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga angin, bio-fuel, tenaga air, sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis yakni termal dan fotovoltaik. Pada sisitem termal radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan pada sistem fotovoltaik, radiasi matahari yang mengenai permukaan semi konduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan loncatan listrik. Berdasarkan hasil penelitian Dr. mulyo Widodo, Dosen Teknik Mesin ITB, dalam kondisi peak atau posisi matahari tegak lurus, sianr matahari yang jatuh dipermukaan panel surya di Indonesia seluas 1 meter persegi setara dengan daya 1000 watt atau 900 watt. Dengan bahan panel surya yang monokristal dan polikristal, sistem fotovoltaik bisa mengkonversi daya 900-1000 watt menjadi energi listrik sebesar 17 %. Jadi, dalam kondisi pancaran sinar yang peak (cerah dan posisi matahari tegak lurus dengan permukaan panel penerima), satu panel surya seluas 1 meter persegi akan menghasilkan daya sebesar 170 watt [4]. B.
Prinsip Kerja Sel Surya
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh suatu sel surya disebabkan oleh efek fotovoltaik, yaitu suatu efek yang dapat mengubah secara langsung cahaya matahari menjadi suatu energi listrik pada semikonduktor. Suatu sel surya terdiri atas 2 lempeng semi konduktor yang sangat tipis (2÷5 µm) dan digabung menjadi satu dan terdiri atas semikonduktor tipe-n dan semikonduktor tipe-p. lempeng semikonduktor tipe-p berada di atas semikonduktor tipe-n. semikonduktor tipe-n terbuat dari silikon yang didoping dengan fosfor sehingga memiliki elektron (muatan negatif) yang banyak sekali, sedang semikonduktor tipe-p terbuat dari silikon yang didoping dengan boron dan memiliki lubang (muatan positif) yang banyak sekali. Bila sel surya dikenai sinar matahari maka semikonduktor tipe-n menjadi elektrode bermuatan negatif sedang semikonduktor tipe-p menjadi elektrode bermuatan positif, sehingga terjadi perbedaan potensial antara kedua elektrode. Bila kedua elektrode dihubungkan dengan kawat, maka terjadi arus listrik dari elektode positif ke elektrode negatif. C. 1.
Motor Arus Searah (DC) dan Pompa Centrifugal
Motor arus searah (DC) Motor arus searah (motor DC) adalah mesin yang mengubah energi listrik arus searah menjadi energi mekanis yang berupa putaran. Berdasarkan fisiknya motor arus searah secara umum terdiri atas bagian yang diam (stator) dan bagian yang berputar (rotor). Motor arus searah bekerja berdasarkan prinsip interaksi antara dua fluks magnetik. Dimana kumparan medan akan menghasilkan fluks magnet yang arahnya dari kutub utara menuju kutub selatan dan kumparan jangkar akan menghasilkan fluks magnet yang melingkar. Interaksi antara kedua fluks magnet ini menimbulkan suatu gaya sehingga akan menimbulkan momen puntir atau torsi [5].
2.
Pompa sentrifugal Secara umum pengertian pompa adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan zat cair dari tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi dengan cara menaikkan tekanan cairan tersebut. Kenaikan tekanan cairan digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan pengaliran berupa perbedaan tekanan, ketinggian atau hambatan gesek [6]. Sedangkan pompa sentrifugal yaitu suatu jenis pompa dimana headnya dibentuk oleh gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh sudu-sudu yang berputar. Gaya sentrifugal ini adalah sebuah gaya yang mengakibatkan benda atau partikel terlempar keluar dalam lintasan melengkung. Pompa sentrifugal merupakan suatu pompa yang memiliki elemen utama sebuah motor dengan sudu-sudu impeller berputar dengan kecepatan tinggi. Fluida masuk dipercepat oleh impeller yang menaikkan kecepatan fluida maupun tekanan dan melemparkan keluar volute [7]. D.
Radiasi Matahari
Radiasi matahari pada bidang miring sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari permukaan disekitarnya dan sesuai dengan kondisi yang ada, maka radiasi total pada permukaan miring merupakan komponen dari radiasi langsung, radiasi sebaran, dan radiasi pantulan. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap radiasi pada bidang miring antara lain : 1. Sudut jam (hour angle) Ukuran sudut terhadap besaran waktu, yaitu 15 0/Jam berdasarkan atas waktu nominal dalam sehari (24jam) dibutuhkan oleh matahari sekali bergerak mengitari bumi dengan sudut 3600. Persamaan untuk menghitung sudut jam yaitu [8] : (0) = (12-t) x 15 (1) 2.
Sudut deklinasi matahari Merupakan sudut kemiringan bumi terhadap matahari akibat rotasi bumi pada arah sumbu axis bumi-matahari, 23,450 23,450. Menurut Copper (1969), sudut deklinasi matahari dinyatakan dengan persamaan yaitu [8] : δ(0) = 23,45 sin (2) 3.
Sudut latitude Sudut latitude dari suatu tempat di bumi adalah sudut yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan pusat bumi dengan lokasi dan proyeksi garis tersebut pada equator. Untuk menghitungnya digunakan hokum cosines segitiga bola yaitu [8] : Sin α = sin θ sin δ + cos θ cos δ cos ω (3) 4.
Sudut azimuth (Y) Sudut azimuth merupakan sudut bidang horizontal yang dibentuk oleh proyeksi sinar matahari pada bidang datar dan garis antara-selatan. Sudut tersebut bernilai positif bila diukur dari selatan ke barat, dengan rumus : Sin ζ = 5.
Energi III-8
Sudut tiba (incidence angel)
(4)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Sudut tiba pada suatu bidang adalah sudut yang dibentuk oleh sinar matahari dan garis normal pada permukaan bidang. Untuk posisi horizontal β = 00, dapat ditulis dengan rumus : Cos θ = cos δ cos ϕ cos ω + sin δ sin ϕ (5) E.
Daya dan Efisiensi Sel Surya
1.
Daya sel surya Sebelum mengetahui daya sel surya yang dihasilkan kita harus mengetahui energi yang diterima yaitu perkalian intensitas radiasi yang diterima dengan luasan, dengan persamaan [9] : Pin = IG x A (6) Untuk IG adalah intensitas radiasi global matahari (W/m2) dan A adalah luas permukaan (m2) Sedangkan untuk besarnya daya sel surya yaitu perkalian tegangan dan arus yang dihasilkan oleh sel fotovoltaik dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [9] : P=VxI (7) Untuk P adalah daya (watt), V adalah beda potensial (volt) dan A adalah arus (Ampere). 2. Efisiensi sel surya Efisiensi yang terjadi pada sel surya merupakan perbandingan daya yang dapat dibandingkan oleh sel surya dengan energi input yang diperoleh dari sinar matahari. Efisiensi yang digunakan adalah efisiensi pada pengambilan data, rumus yang digunakan yaitu [9] : η= (8)
F.
Daya dan Efisiensi Pompa
1.
Daya Pompa Daya pompa terbagi atas daya input dan daya output. Daya input pompa dapat didefinisikan sebagai hasil kali antara tegangan dan arus ke motor pompa, maka persamaannya sebagai berikut [7] : Pin M = V x I (9) Untuk Pin M adalah daya input pompa (watt), V adalah tegangan (volt), dan I adalah arus (ampere).sedangkan daya output pompa yaitu energi yang secara efektif diterima air dari pompa persatuan waktu. Daya output pompa biasa juga disebut sebagai daya hidrolik fluida. Persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut [7] : Pf = (10) Untuk Pf adalah daya output pompa (watt), adalah massa jenis air (kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s2), dan H adalah head (m).
III. METODE PENELITIAN A.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Energi Terbarukan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. B.
Peralatan dan Bahan yang Digunakan
Peralatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : - Pyranometer, untuk mengukur intensitas radiasi global dari sinar matahari. Tipe alat yang digunakan adalah LI-18, dengan nilai skala terkecil (NST) 1 W/m2 - Multimeter, alat yang digunakan untuk mengukur tegangan dan arus. - Gelas ukur, alat yang digunakan untuk mengukur debit air yang dihasilkan. - Termometer, alat yang digunakan untuk mengukur temperatur air penampungan (reservoir). - Stopwatch, alat yang digunakan untuk mengukur waktu. C.
Alat Uji
1. Panel surya Merek/buatan : sharp, dengan spesifikasi sebagai berikut : Maximum power : 80 watt Open-circuit voltage : 21,6 volt Short-circuit current :5,15 ampere Voltage at point of max. power :17,3volt Current at point of max, power :4,63 A 2. Alat uji Merek/buatan pompa : nasional 125 watt Merek/buatan motor : wiper kijang super Pompa air DC rakitan dengan spesifikasi sebagai berikut : - Daya motor : 12-24 volt, 50 Hz, 10 P - Daya listrik : 0,5-5 ampere D.
Efisiensi pompa Dari definisi efisiensi pompa adalah perbandingan antara daya output pompa dengan daya input pompa, maka persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut [7]: ηp = (11) dan efisiensi sistem dapat diruliskan persamaannya sebagai berikut : ηsistem = (12)
Instalasi Pengujian
2.
Energi III-9
Gambar 1. Rangkaian Panel Surya
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
1.
+ PANEL SURYA 1
-
+ PANEL SURYA 2
2. 3.
S1
-
+ PANEL SURYA 3
4. 5.
S3
A +
-
-
+ V
-
+ S2
M -
6. Gambar 2. Rangkaian Kelistrikan Instalasi
E.
7.
Instalasi Pompa
Gambar 3. Rangkaian Instalasi Pompa
F.
Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : - Memasang instalasi panel surya dan motor pompa di bawah sinar matahari. - Mengecek sistem instalasi panel surya dan motor-pompa secara keseluruhan. - Alat ukur yang digunakan dalam pengujian sebaiknya dikalibrasi terlebih dahulu. - Mengisi tangki dengan air setinggi saluran keluar pompa air. - Mengukur besarnya intensitas radiasi global matahari setiap jam dengan menggunakan pyranometer. - Mengukur besarnya tegangan dan kuat arus yang dibangkitkan sel surya dengan menggunakan multimeter. - Mengukur temperatur air dalam tangki dengan menggunakan termometer. - Menjalankan motor-pompa selama 10 detik, setelah 10 detik motor-pompa dimatikan. - Mencatat besarnya debit air yang keluar dari reservoir atas dengan ketinggian head 1 meter menggunakan gelas ukur. - Ulangi prosedur 2 sampai 9 setiap jam, mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 Wita. - Ulangi prosedur 1 sampai 10 pada hari berikutnya dengan variasi ketinggian head berikutnya.
Daya input sel surya berdasarkan persamaan (6), untuk Ig = 1060 W/m2, A=1,98489 m2 adalah Pin = 2103,983 watt. Daya output sel surya berdasarkan persamaan (7), untuk V = 18,94 volt, I = 14,85 ampere, yaitu Pout = 281,259 watt. Efisiensi sel surya berdasarkan persamaan (8), yaitu 13,367 %. Daya input pompa berdasarkan persamaan (9), untuk V = 18,94 volt, I = 14,85 ampere, yaitu Pin P = 281,259 watt. Daya output pompa atau daya hidrolik fluida berdasarkan persamaan (10), untuk kg/, g = 9,8a m/s2, Q = 0,420 L/s, dan Htot = 2,784 m, diperoleh Pf = 11,417 watt. Efisiensi pompa berdasarkan persamaan (11), untuk Pf = 11,417 watt, Pin P = 281,259 watt, diperoleh ηp = 4,059 %. Efisiensi sistem berdasarkan persamaan (12), untuk P f = 11,417 watt, Pin SS = 2103,983 watt, diperoleh ηsistem = 0,542 %.
B. Pembahasan 1.Pengaruh waktu matahari terhadap daya sel surya. Pengaruh waktu matahari terhadap daya sel surya dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa daya yang masuk ke sel surya (Pin ss) dari pukul 08.00 pagi akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai daya maksimum pada pukul 12.00 siang hari. Setelah itu daya yang masuk ke sel surya akan mengalami penurunan hingga pukul 16.00. Untuk head 1 meter pada pukul 08.00 dengan intensitas matahari (Ig) 589 W/m2 energi yang diserap sel surya (Pin ss)adalah sebesar 1169,100 Watt dan. Pada pukul 12.00 mengalami kenaikan dengan intensitas matahari (Ig) 1060 W/m2 energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar 2103,983 Watt. Selanjutnya akan turun kembali pada pukul 14.00 dengan intensitas matahari (Ig) 854 W/m2 diperoleh energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar 1695,096 Watt. Selain dari pada itu, untuk head 2 m sampai head 7 menergi yang diserap sel surya (Pin ss) identik dengan head 1 m, yaitu Mula-mula pada pukul 08.00 (Pin ss) rendah hingga terus meningkat sampai pada pukul 12.00, kemudian mangalami penurunan sampai pada pukul 16.00. Daya maksimum energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar 2103,983 Watt pada pukul 12.00 dengan head 1 meter. Dan daya minimum energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar 972,596 Watt pada kukul 16.00 dengan head 4 meter.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Daya dan Efisiensi Data yang di ambil pada jam 12.00 dengan head 1 meter.
Energi III-10
Gambar 4. Grafik Perbandingan Antara Daya yang Masuk ke Sel surya (Pin ss) Karena Radiasi Matahari Terhadap Waktu (t)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa daya maksimum energi yang diserap sel surya (Pin ss) di peroleh di siang hari pada pukul 12.00.Hal ini disebabkan oleh sudut tiba (θ) matahari yang jatuh .Bila sudut tiba matahari besar, maka intensitas radiasi global matahari yang dihasilkan akan kecil, hal ini terjadi pada waktu pagi dan sore hari. Begitupun sebaliknya, semakin kecil sudut tiba matahari yang terbentuk maka intensitas radiasi global matahari yang jatuh pada permukaan sel surya dapat lebih banyak diserap dan dikonversikan menjadi energi listrik dikarenakan sinar matahari yang jatuh akan semakin tegak lurus terhadap permukaan sel surya, hal ini terjadi pada siang hari. Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa waktu matahari mempengarui sudut tiba (θ) matahari yang jatuh ke bumi. Semakin kecil sudutnya maka energi yang diserap sel surya (Pin ss) akan semakin besar. Oleh karena itu, dengan bertambahnya energi yang diserap menyebabkan daya sel surya yang dihasilkan terutama pada siang hari akan lebih besar pada kondisi cuaca cerah. Adapun daya yang masuk ke sel surya rata-rata untuk setiap head dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Dari data untuk head 1 meter ini sudah terlihat bahwa efisiensi pompa akan terus meningkat hingga mencapai efisiensi maksimum pada pukuk 12.00 selanjutnya akan menurun hingga pukuk 16.00. Selain dari pada itu, untuk head 2 m sampai head 7 mefisiensi pompa(ηp) dengan head 1 m. Mulamula pada pukul 08.00 efisiensi pompa(ηp)rendah hingga terus meningkat sampai pada pukul 12.00, kemudian mangalami penurunan sampai pada pukul 16.00. Dari grafik terlihat Efisiensi pompa(ηp) maksimum diperoleh pada kukul 12.00 dengan head 3 meter yaitu sebesar 14,541 %. Dan Efisiensi pompa(ηp) minimum diperoleh pada kukul 16.00 dengan head 6 meter yaitu sebesar 2,165 %.
Tabel 1. Daya yang masuk ke sel surya ( No.
Head
ƩPin ss (watt)
1
1 meter
15160,59
2
2 meter
13884,31
3
3 meter
12806,51
4
4 meter
13278,91
5
5 meter
12814,45
6
6 meter
13320,60
7
7 meter
15718,34
2 Gambar 5. GrafikPerbandingan Antara efisiensi pompa (ηp) terhadap waktu (t)
Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa daya yang masuk ke sel surya rata-rata berbeda-beda setiap headnya. Daya yang masuk ke sel surya rata-rata (ƩPin ss) yang maksimum diperoleh pada head 1 meter, dan daya yang masuk ke sel surya rata-rata (ƩPin ss) yang minimum diperoleh pada head 3 meter. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa perbedaan ini disebabkan oleh sudut tiba (θ) dan juga disbeabkan oleh kondisi cuaca pada saat melakukan penelitian.
Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa Efisiensi pompa(ηp) maksimum di peroleh di siang hari pada pukul 12.00. Hal ini disebabkan oleh daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss). Bila daya yang dihasilkan sel surya untuk menggerakkan pompa besar, maka Efisiensi pompa(ηp)yang dihasilkan akan besar pula. Begitupun sebaliknya, semakin kecil daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) untuk menggerakkan pompa maka Efisiensi pompa(ηp) yang dihasilkan akan kecil pula. Dimana secara umum daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) dipegaruhi oleh intensitas radiasi global matahari tiap jamnya. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 2 di bawah ini. Pada tabel tersebut terlihat bahwa daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) dan daya output atau daya hidrolik pompa (Pf) yang maksimum diperoleh pasa head 3 meter. Tabel 2. Daya Yang Dihasilkan Sel Surya (
2. Efisiensi pompa terhadap waktu Efisiensi pompa terhadap waktu matahari dapat dilihat pada gambar 5. Pada gambar tersebut terlihat bahwa efisiensi pompa(ηp) dari pukul 08.00 pagi akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai daya maksimum pada pukul 12.00 siang hari. Setelah itu efisiensi pompa akan mengalami penurunan hingga pukul 16.00 pada kondisi cuaca yang stabil dan cerah . Untuk head 1 meter pada pukul 08.00 dengan intensitas matahari (Ig) 589 W/m2 efisiensi pompa(ηp) adalah sebesar 3,364 %. Dan pada pukul 12.00 mengalami kenaikan dengan intensitas matahari (Ig) 1060 W/m2 efisiensi pompa (ηp) adalah sebesar 4,061 %. Selanjutnya akan turun kembali sampai pada pukul 16.00 dengan intensitas matahari (Ig) 697 W/m2 diperoleh efisiensi pompa(ηp)adalah sebesar 3,327 %.
Energi III-11
dan Daya Hidrolik
No.
Head
ƩPout ss (watt)
ƩPf (watt)
1
1 meter
2097,762
78,68
2
2 meter
1785,762
189,672
3
3 meter
1724,997
195,252
4
4 meter
1777,943
155,976
5
5 meter
1639,976
139,918
6
6 meter
1716,742
85,51
7
7 meter
1972,380
56,598
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dengan demikian dari gambar 5 dan tabel 2 dapat dismpulkan bahwa waktu matahari mempengaruhi Efisiensi pompa(ηp). Efisiensi pompa pada siang hari besar dari pada di pagi dan sore hari, karena daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) pada siang hari jauh lebih besar dibandingkan daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) pada pagi dan sore hari. Selain itu, semakin besar kecepatan aliran dan head total yang dihasilkan oleh aliran fluida (air), debit aliran yang dihasilkan pompa pun ikut meningkat sehingga daya hidrolik pompa (Pf) untuk menggerakkan atau mengangkat fluida akan semakin besar, begitupun sebaliknya apabila kecepatan aliran dan head total menurun maka debitnyapin akan menurun sehingga daya hidrolik pompa (Pf) akan menurun. Oleh karena itu, efisiensi pompa yang dihasilkan akan semakin besar pula dan akan menurun kembali setelah puncak siang hari. 3.Efisiensi sistem dan efisiensi terbaik Berdasarkan Gambar 6. Grafik perbandingan ηsistem vs Head dan Tabel 3 ,terlihat bahwa rata-rata efisiensi maksimum terjadi antara pukul 12:00–13:00. Hal ini dikarenakan perbandingan antara daya hidrolik pompa (Pf) dengan Pin ss yang semakin besar tiap jamnya dan akan menurun lagi setelah siang hari. Namun, dalam penelitian ini efisiensi rata-rata sistem terbaik terjadi pada saat head 3 meter seperti yang terlihat pada gambar 6. Efisiensi vs head dibawah ini, yakni 1,525 %. Dan efisiensi rata-rata sistem yang minimum diperoleh pada head 7 meter yaitu 0,360 %. Dengan demikian efisiensi rata-rata sistem terbaik yang diperoleh pada penelitan ini masih sangat rendah.
Berdasarkan Tabel 3 terlihat perbedaan yaitu efisiensi rata-rata sel surya (rata-rata ss) dan efisiensi rata-rata pompa (rata-rata poompa) yang lebih tinggi di bandingkan dengan efisiensi rata-rata sistem (rata-rata sistem), hal ini dapat dilihat pada tabel 3 . Pada tabel tersebut terlihat bahwa efisiensi rata-rata sel surya terbaik pada head 3 meter yaitu 13,470 % dan efisiensi rata-rata pompa terbaik pada head 3 meter yaitu 11,319 %. Data yang diperoleh dari hasil perhitungan ini masih berada dalam kategori baik, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mulyo Widodo dosen ITB bahwa sistem photovoltaik bisa mengkonversi daya sebesar 900-1000 Watt itu menjadi energi listrik sebesar 17 %, dalam arti bahwa efisiensi sel surya pada saat ini masih belum tinggi karena kurang dari 20 % daya yang dapat dikonversikan menjadi energi. Dengan menjadikan rujukan dari penelitian Mulyo Widodo maka dapat dismpulkan bahwa penelitian ini sudah cukup baik karena rata-rata ss yang dieroleh sebesar 13,470 % dari 17 % yang mampu dikonversikan menjadi energi pada saat kondisi matahari cerah. Oleh karena energi matahari yang mampu dikonversikan menjadi energi listrik masih rendah, dan energi inilah yang digunakan untuk menggerakkan pompa sehingga diperolehlah rata-rata sistem yang rendah pula pada penelitian yang dilakukan ini. 4.Karakteristik arus ( I ) serta teganagn ( V ) sel surya dan head pompa Arus keluaran ( I ) serta tegangan ( V ) yang dihasilkan ketika sel surya memperoleh penyinaran merupakan karakteristik sel surya. Karakteristik ini disajikan dalam bentuk kurva hubungan I dan V. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik sel surya dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari sebagaimana pada gambar 7 di bawah ini.
1000 W/m2 800 W/m 2 600 W/m 2 400 W/m 2 200 W/m 2
Gambar 6. Grafik Perbandingan Antara Efisiensi Terhadap Head pompa
Tabel 3. Efisiensi sel surya (ss), efisiensi pompa (p), dan efisiensi sistem Sistem (sistem)
No.
Head
ηRata-rata ss
ηRata-rata
ηRata-rata
pompa
sistem
1
1 meter
13,837
3,751
0,519
2
2 meter
12,862
10,621
1,366
3
3 meter
13,470
11,319
1,525
4
4 meter
13,389
8,773
1,175
5
5 meter
12,798
8,532
1,092
6
6 meter
12,888
4,981
0,642
7
7 meter
12,548
2,870
0,360
Gambar 7. GragikPerbandingan Intensitas Matahari Terhadap Karakteristik Arus – Tegangan Sel Surya untuk Menggerakkan Pompa
Energi III-12
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada gambar 7 terlihat bahwa tengangan (VOC) yang dihasilkan dengan variasi Intensitas global (Ig) antara 200 W/m2 sampai 1000 W/m2 hampir sama besarnya yaitu antara 18 sampai 19 Volt. Akan tetapi Arus (ISC) untuk setiap Intensitas global (Ig) berbeda-beda nilainya. Dimana ISC maksimum diperoleh pada Ig 1000 W/m2 yaitu 16,0 Ampere dan ISC minimum pada Ig 200 W/m2 yaitu 3,20 Ampere. Selain itu dari gambar tersebut terlibat bahwa pengaruh intensitas global cahaya matahari dengan intensitas global (Ig) 200 W/m2 pompa tidak dapat dioperasionalkan karena intensitas yang ada tidak mampu memenuhi daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pompa. Untuk (Ig) 400 W/m2 sampai intensitas global (Ig) 1000 W/m2 pada head 1, 2 meter dan 3 meter pompa dapat dioperasionalkan sedangkan pada head 4 meter sampai 7 meter pompa tidak dapat dioperasionalkan, karena intensitas pad head ini antara (Ig) 600 W/m2 sampai intensitas global (Ig) 1000 W/m2 Pada head 1 meter kinerja operasional arus-tegangan dari sel surya pada (Ig) 400 W/m2 sebesar 3,70 ampere dan 16,20 volt dan pada intensitas 1000 W/m2 sebesar 4 ampere dan 18,1 volt. Untuk head 4 meter kinerja operasional arus-tegangan dari sel surya pada (Ig) 600 W/m2 sebesar 7,53 ampere dan 15,30 volt, sedangkan pada (Ig) 1000 W/m2 sebesar 7,8 ampere dan 17,2 volt. Pada head 4 meter ini dengan intensitas 200 W/m2 dan 400 W/m2 pompa tidak dapat diopersionalkan karena daya sel surya yang dihasilkan tidak mencukupi untuk menjalankan pompa. Pompa hanya dapat dioperasionalkan pada (Ig) 600 W/m2 sampai 1000 W/m2. Untuk head 7 meter kinerja operasional arus-tegangan dari sel surya pada (Ig) 800 W/m2 sebesar 11,80 ampere dan 13,00 volt, sedangkan pada (Ig) 1000 W/m2 sebesar 12,2 ampere dan 15,7 volt. Pada head 7 meter ini pompa hanya dapat dioperasionalkan pada (Ig) 800 W/m2 sampai (Ig) 1000 W/m2. Akan tetapi pada (Ig) 200 W/m2 sampai (Ig) 600 W/m2 pompa tidak dapat dioperasionalkan. Hal ini terjadi karena daya dari sel surya yang masuk untuk menggerakkan pompa tidak mencukupi untuk menggerakkan pompa. Dalam arti beban pompa jauh lebih besar dari pada daya yang masuk untuk menggerakkan pompa.
selsurya, Pin ssdan Pout ss yang dihasilkan akan kecil. Begitupun sebaliknya, apabila sudut tiba (θ) yang jatuh dibumi kecil,maka intensitas radiasi global matahari (Ig) akan besar sehingga daya sel surya, Pin ss dan Pout ssyang dihasilkan akan ikut besar pula. Pada head 1 meter diperoleh (Ig) sebesar 1060 W/m2 dengan sudut tiba (θ) sebesar 11,697, maka dihasilkan Pin ssdan Pout sssebesar 2103,983 Watt dan 281,259 Watt. Dan untuk (Ig) sebesar 589 W/m2 dengan suduttiba (θ) sebesar 58,583, maka dihasilkan Pin ssdan Pout sssebesar 1169,100 Watt dan 155,952 Watt. 2. Intensitas radiasi global matahari (Ig) yang kecil, terjadi pada saat pagi hari dan sore hari, akan menghasilkan debit aliran yang kecil pula. Namun, apabila intensitas radiasi global matahari (Ig) yang besar, terjadi pada saat puncak siang hari, akan menghasilkan debit aliran yang besar pula. Pada head 1 meter dengan (Ig) sebesar 589 W/m2 diperoleh debit (Q) sebesar 0,290 L/detik. Dan untuk (Ig) sebesar 1060 W/m2 diperoleh debit (Q) sebesar 0,420 L/detik. 3. Efisiensisistem, ηsistem akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya intesitas radiasi global matahari (Ig) dan akan ikut menurun apabila intensitas radiasi global matahari (Ig) turun pula. Namun, pada penelitian ini efisiensi rata-rata sistem terbaik terjadi pada saat head 3 meter, yakni 1,525 %.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] [4]
[5] Zuhal, 1988. Dasar Teknik Listrik dan elektronika Daya. Gramedia, [6]
V. KESIMPULAN
[7]
Berdasarkan hasil pengujian serta analisa yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni : 1. Intensitas radiasi global matahari (Ig) akankecil apabila sudut tiba (θ) yang jatuh di bumi besar sehingga daya
Kamase, 2008. BerbagaiAplikasiEnergimatahari. Kliping Cyber Media, Jakarta. Nurjannah, Syukri Himran, 2011. Analisis pengaru hIntensitas Cahaya Matahari Terhadap Kinerja Pompa dengan Sistem Photovoltaic.Tesis. Unhas, Makassar. Alpen Steel, 2011. Pemanfaatan Radiasi Matahari Untuk Energi. Kumpulan Artikel. Renewable Energi, Bandung. Pikiran Rakyat, 2005. Sinar Matahari Sumber Energi Tak Terbatas. Kumpulan artikel. Tabloid blogger, Jakarta.
Jakarta John B. Manga, 1990. Dasar-DasarPompadanPerencanaan, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar. Sularso, haruotahara, 2000, Pompa dan Kompresor.Cetakan ketujuh, PT. Pertja, Jakarta.
[8] SyukriHimran, 2005. Energi Surya. CV. Bintang Lamumpatue, [9]
Makassar Sertu Alim Senina Sinamo, 2010. Mengenal Solar Sel Sebagai Energi Alternatif. Kumpulan Artikel, Puslitbang Iptekhan Balitbang Dephan, Jakarta.
Energi III-13
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Uji Eksperimental Kinerja Termoelektrik pada Pendingin Dispenser Air Minum Amrullah
Wahyu H. Piarah dan Syukri Himran
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract—This study aims to find out of the cooling performance of thermoelectric coolers with single, double series, and double parallel circuit. The experiment was conducted in the Cooling and Heating laboratory of Mechanical Engineering Department, Hasanuddin University, Makassar. The data taken were hot side temperature, cold side temperature, water temperature, and ambient temperature. Data analysis was carried out on water temperature, temperature difference, absorbed heat, and COP with some variations of thermoelectric circuit and DC electric voltage in 360-minute period. The result reveal that the best module was the double thermoelectric arranged with a series circuit in the voltage of 10 V. This could be seen after 360 minutes with cold water temperature of 12oC, temperature difference of 28oC, absorbed heat of 19.52810 and COP of 1.25268. Keywords: thermoelectric cooler , water temperature, DC electric voltage.
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi nasional semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga diperlukan adanya upaya untuk menjamin ketersediaan energi secara berkesinambungan dalam jumlah dan mutu yang cukup dengan tingkat harga yang wajar. Dengan semakin berkurangnya energi yang berasal dari fosil, manusia berusaha untuk menemukan sumber energi alternatif baru. Salah satu solusi yang bisa digunakan untuk membangkitkan energi dan ramah lingkungan adalah dengan menggunakan termoelektrik. Pemilihan spesifikasi modul termoelektrik didasarkan pada beban kalor, beda suhu dan parameter listrik yang digunakan. Untuk pendingin termoelektrik memiliki beberapa kelebihan diantaranya tidak berisik, mudah perawatan,ramah lingkungan dan tidak memerlukan banyak komponen tambahan. Selain itu manfaat lain dari termoelektrik sebagai mesin pendingin adalah dapat mengurangi polusi udara dan Ozone Depleting Substances (ODSs) karena tidak lagi menggunakan Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) dan Chlorofluorocarbons (CFC) yang dikenal sebagai Ozone Depleting Substances (ODSs) [1]. Termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh ilmuwan Jerman, Thomas Johann Seebeck. Ia menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian. Di antara kedua logam tersebut lalu diletakkan jarum kompas. Ketika sisi logam tersebut dipanaskan, jarum kompas ternyata bergerak. Belakangan diketahui, hal ini terjadi karena aliran listrik yang terjadi pada logam menimbulkan medan magnet. Medan magnet inilah yang menggerakkan jarum kompas.
Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan efek Seebeck [2]. Penemuan Seebeck ini memberikan inspirasi pada Jean Charles Athanase Peltier untuk melihat kebalikan dari fenomena tersebut. Dia mengalirkan listrik pada dua buah logam yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus listrik dialirkan, terjadi penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas ini saling berbalik begitu arah arus dibalik. Penemuan yang terjadi pada tahun 1934 ini kemudian dikenal dengan efek Peltier[3]. Efek Seebeck dan Peltier inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan teknologi termoelektrik. Modus sederhana pendingin adalah dengan menggunakan satu perangkat termoelektrik. Namun, karena batas-batas kinerja bahan termoelektrik, satu tingkat termoelektrik pada mesin pendingin hanya dapat dioperasikan dengan range suhu yang kecil. Jika rasio suhu antara heatsink dan ruang pendingin besar, maka mesin pendingin dengan satu tingkat termoelektrik akan kehilangan efektivitasnya. Dengan demikian, penerapan termoelektrik dengan dua tingkat atau lebih yang dikombinasikan pada mesin pendingin merupakan metode penting untuk meningkatkan kinerja termoelektrik[4]. II. LANDASAN TEORI Termoelektrik merupakan alat yang bekerja dengan mengkonversi energi panas menjadi listrik secara langsung (generator termoelektrik),atau sebaliknya, dari listrik menghasilkan dingin (pendingin termoelektrik).Modul termoelektrik terdiri dari susunan material semikonduktor (biasanya Bismuth Telluride) yang menggunakan tiga prinsip termodinamika yang dikenal sebagai efek Seebeck, Peltier dan Thomson. Konstruksinya terdiri dari pasangan material semikonduktor tipe-P dan tipe-N yang membentuk termokopel dengan bentuk seperti sandwich antara dua wafer keramik tipis[5]. Thermoelectric cooler (TEC) yang merupakan suatu rangkaian semikonduktor dengan memanfaatkan efek Peltier telah digunakan sebagai perangkat pendingin mini pada beberapa penerapan sistem pendingin. Dimana pendinginan sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakat modern yang telah terbukti meningkatkan kualitas dari segi rasa dan kebersihan makanan serta minuman[6].
Energi III-14
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Umumnya modul termoelektrik ini berukuran 40mmx40mm atau lebih kecil dan memiliki tebal kurang lebih 4 mm. Umur dari sebuah modul termoelektrik yang sesuai dengan standar industri adalah sekitar 100.000-200.000 jam dan lebih dari 20 tahun jika digunakan sebagai pendingin dan dengan jumlah serta tegangan yang sesuai karateristik dari setiap modulnya[7]. Pengujian mengunakan modul termoelektrik pendingin yang merupakan pengaplikasian dari efek Peltier untuk memindahkan kalor. Termoelektrik pendingin yang digunakan terdiri dari sejumlah pasangan semikonduktor tipe P dan tipe N yang dihubungkan secara seri termal dan paralel listrik. Kalor yang dipompakan secara langsung dapat diubah dengan mengubah kutub yang dialairi arus DC. Material semikonduktor pada termoelektrik tersusun dari tipe N yang terbuat dari campuran bismuth-telluride-selenium (BiTeSe) dan tipe P yang terbuat dari campuran bismuth-tellurideantimony (BiTeSb). Penggunaan bismuth telluride pada termoelektrik pendingin didasarkan pada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa bismuth telluride merupakan material yang memiliki performance terbaik meskipun memiliki keterbatasan pada temperatur sisi panasnya[8]. Pada penelitian ini ingin diketahui kinerja dari pendinginan dengan menggunakan termoelektrik pendingin yang dirangkai tunggal, ganda seri, dan ganda paralel. Dalam menganalisa kinerja modul termoelektrik dapat diamati pada gambar 1, perpindahan panas yang terjadi dari beban kalor menuju sisi dingin modul termoelektrik dapat diketahui dari jumlah kalor yang dipompa oleh efek Peltier, panas yang berpindah dari sisi panas ke sisi dingin karena konduktivitas termal material termoelektrik, dan sebagian dari total efek Joule heating yang ditimbulkan oleh arus listrik terhadap tahanan termal[9].
(2) Efek Joule heating yang ditimbulkan oleh arus listrik Efek Joule heating (qj)merupakan rugi kalor yang terjadi akibat arus listrik yang dapat diketahui dari besarnya nilai kuadrat arus listrik (I) dan tahanan elektrik (R) serta diasumsi terbagi ke arah sisi dingin dan sisi panas. (3)
Kalor yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik (4) Kalor yang dilepas pada sisi panas modul termoelektrik (5) Seperti telah diuraikan diatas, untuk mengetahui nilai kalor yang diserap (qc) dan kalor yang dilepas (qh) pada termoelektrik dapat dituliskan pada persamaan (4) dan (5), dimana suku pertama adalah energi listrik yang diberikan, suku kedua adalah energi panas yang diteruskan secara konduksi, dan suku ketiga merupakan rugi-rugi panas akibat arus listrik. Berdasarkan tipe modul termoelektrik yang digunakan,TEC1-12706, jumlah sambungan elemen (N) adalah 127 sehingga jumlah elemen modul termoelektrik adalah dua kali jumlah sambungan elemen (2N). Nilai koefisien Seebeck elemen (αm), konduktivitas termal elemen (Km), dan tahanan termal elemen () biasanya dapat diketahui dari data vendor atau dari bentuk persamaan sesuai material termoelektrik, dalam hal ini material yang digunakan adalah Bismuth Telluride. Koefisien Seebeck Nilai koefisien Seebeck (α) ditentukan oleh nilai koefisien Seebeck elemen (αm) dan banyaknya jumlah elemen pada modul termoelektrik. (6) Koefisien Seebeck elemen
Gambar 1. Perpindahan kalor pada termoelektrik
(7)
Kalor yang dipompa oleh efek Peltier Kalor yang dipompa oleh efek Peltier (qp) adalah energi listrik yang diberikan dan dapat diketahui dengan menentukan nilai koefisien Seebeck (α), Temperatur sisi dingin (Tc), serta arus listrik yang diberikan pada termoelektrik (I).
0 = 2.2224 x 10-5 ; 1 = 9.306 x 10-7; 2 = -9.905 x 10-10 Konduktivitas termal Besarnya konduktivitas termal (K) ditentukan oleh konduktivitas termal elemen (Km), faktor geometri (G), dan banyaknya jumlah elemen pada modul termoelektrik.
(1) Kalor yang berpindah karena konduktivitas termal Besarnya kalor yang berpindah karena konduktivitas termal (qk) dipengaruhi oleh besarnya konduktivitas termal (K) dan nilai beda temperatur (ΔT).
(8) Konduktivitas termal elemen (9) K0 = 6.2605 x 10-2 ; K1 = -2.777 x 10-4 ; K2
Energi III-15
= 4.131 x 10-7
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tahanan elektrik Besarnya tahanan elektrik (R) ditentukan oleh tahanan elektrik elemen (),faktor geometri (G), dan banyaknya jumlah elemen pada modul termoelektrik. (10)
(17) Kalor rata-rata yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik hingga 360 menit Kalor rata-rata dapat diketahui dengan menentukan total kalor yang diserap pada sisi dingin (qc) terhadap banyaknya penyerapan kalor yang terjadi (n).
Tahanan elektrik elemen (18) (11) 0 = 5.112 x 10-5 ; 1 = 1.634 x 10-6 ; 2 = 6.279 x 10-9 Dengan mensubtitusi persamaan (6), (8),(10) ke persamaan (4) dapat diperoleh nilai kalor yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik :
Kalor yang diserap dari air Kalor yang diserap dari air dapat diketahui dengan menentukan nilai massa air (m), kalor spesifik air (Cp), dan selisih temperatur air (ΔTair) terhadap besarnya selisih waktu (Δt).
(19)
(12) Dengan mensubtitusi persamaan (6), (8),(10) ke persamaan (5) dapat diperoleh nilai kalor yang dilepas pada sisi panas modul termoelektrik : (13) Daya listrik yang diberikan pada modul termoelektrik Besarnya daya listrik yang diberikan pada modul termoelektrik dipengaruhi dari besarnya arus listrik (I) dan besarnya tahanan elektrik (R). (14) Kesetimbangan energi Sesuai dengan prinsip kerja termoelektrik berdasarkan efek peltier, kalor diserap dari sisi dingin sebesar qc dan kalor dilepas ke lingkungan sebesar qh. Selisih antara dua kalor tersebut adalah besarnya daya listrik yang dibutuhkan atau Pin=qh-qc [10] sehingga kesetimbangan energi pada termoelektrik dapat dituliskan pada persamaan berikut : (15) Figure of merit Figure of merit (Z) merupakan nilai standar untuk menentukan efisiensi material dari termoelektrik. Jika nilai Z meningkat berarti kemampuan material termoelektrik juga meningkat. Nilai figure of merit bervariasi tergantung kebutuhan material termoelektrik terhadap temperatur [8].
Kalor rata-rata yang diserap dari air hingga 360 menit Kalor rata-rata dapat diketahui dengan menentukan total kalor yang diserap dari air (qw) terhadap banyaknya penyerapan kalor yang terjadi (n). (13) (20) III. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Pengujian prestasi termoelektrik dilakukan dengan variasi pemberian tegangan listrik DC yaitu 8 V, 10 V, 12 V serta variasi rangkaian yaitu dengan menggunakan modul tunggal, modul ganda seri, dan modul ganda paralel dengan lama pengujian 360 menit seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dan gambar 2. Pengambilan data dilakukan dengan mengukur temperatur sisi dingin, temperatur sisi panas, temperatur air, dan temperatur ambient menggunakan termokopel dan temperature controller. Penentuan nilai faktor geometri elemen (G) dengan menggunakan AZTEC software; version 3.1[11]. Pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai kalor yang diserap, kalor yang dilepas, daya listrik yang digunakan, figure of merit, dan COP. Instalasi pengujian termoelektrik tunggal
(16) Coefficient of Performance (COP) COP merupakan ukuran efisiensi dari suatu termoelektrik pendingin yang dapat diketahui dari perbandingan besarnya kalor yang diserap pada sisi dingin (qc) terhadap besarnya daya listrik yang masuk(Pin) [5].
Energi III-16
Gambar 2. Instalasi pengujian termoelektrik tunggal Instalasi pengujian termoelektrik ganda
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dibandingkan pemberian tegangan 12 V. Penambahan tegangan pada termoelektrik ganda yang dirangkai seri dapat mempercepat penurunan temperatur pada air. Pada rangkaian ganda paralel dengan tegangan 12 V dapat dilihat bahwa sangat sedikit kalor yang diserap dari air. Hal ini disebabkan karena sisi panas mencapai temperatur 56oC dan kalor tidak dapat dilepas dengan baik ke udara sehingga sisi dingin termoelektrik hanya dapat mencapai temperatur 29oC dan air hanya dapat mencapai temperatur 28oC.
Gambar 3. Instalasi pengujian termoelektrik ganda
IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengambilan data dan hasil perhitungan pada penelitian maka dapat dilihat kinerja termoelektrik yaitu : Temperatur sisi panas modul termoelektrik Pada kondisi awal sebelum pemberian tegangan, temperatur sisi panas berada pada temperatur ruangan dan setelah pemberian tegangan, temperatur sisi panas akan meningkat hingga mencapai temperatur tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pada termoelektrik, temperatur sisi panas akan semakin meningkat dengan adanya penambahan tegangan. Temperatur sisi dingin modul termoelektrik Pada mulanya temperatur sisi dingin berada pada temperatur ruangan kemudian akan menurun hinga mencapai temperatur tertentu.Temperatur sisi dingin akan terus menurun hingga mendekati kondisi konstan. Pada termoelektrik tunggal, pemberian tegangan 8 V dan 10 V dapat mencapai temperatur yang lebih rendah dari pemberian tegangan 12 V. Pada termoelektrik ganda yang dirangkai seri, tegangan 10 V dapat mencapai temperatur sisi dingin yang paling rendah diantara ketiga variasi tegangan.Pada termoelektrik ganda yang dirangkai paralel, tegangan 8 V dapat mencapai temperatur sisi dingin paling rendah diantara ketiga variasi tegangan. Beda temperatur modul termoelektrik Pada kondisi awal, nilai beda temperatur adalah nol karena temperatur sisi panas dan sisi dingin berada pada temperatur yang sama. Pada termoelektrik tunggal, semakin besar tegangan yang diberikan, nilai beda temperatur akan semakin besar. Begitu pun pada termoelektrik ganda yang dirangkai seri, semakin besar tegangan yang diberikan maka nilai beda temperatur akan semakin meningkat. Akan tetapi untuk termoelektrik ganda paralel, pada tegangan 12 V nilai selsih temperatur paling rendah karena nilai Th dan Tc yang cenderung konstan dan tidak mengalami peningkatan sejak awal pendinginan. Temperatur air yang didinginkan Pada awal pendinginan, temperatur air sekitar 29oC kemudian akan terus menurun hingga temperatur tertentu. Pada termoelektrik tunggal, pemberian tegangan 8 V dan 10 V dapat mencapai temperatur air yang lebih rendah
Kalor yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik Perhitungan kalor yang diserap berhubungan dengan besarnya arus listrik yang ditimbulkan dari tegangan DC yang diberikan. Besarnya arus listrik dipengaruhi dari hambatan atau modul termoelektrik. Semakin besar tegangan listrik maka arus yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin besar hambatan listrik maka arus yang ditiimbulkan akan semakin kecil. Penentuan besarnya hambatan listrik tergantung dari jumlah elemen penyusun modul termoelektrik [4]. Untuk termoelektrik ganda, jumlah elemen modul adalah dua kali dari jumlah elemen modul tunggal. Akan tetapi besarnya hambatan juga dipengaruhi dari jenis rangkaian. Untuk termoelektrik ganda seri, besarnya hambatan dan variable yang dipengaruhi arus listrik adalah dua kali dari termoelektrik tunggal. Sedangkan untuk termoelektrik ganda paralel, beasarnya hambatan dan variable yang berhubungan dengan arus listrik adalah setengah dari termoelektrik tunggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan perhitungan kesetimbangan energi yang dapat dilihat pada lampiran tabel hasil perhitungan, dimana besarnya kalor yang dilepas (qh) adalah jumlah dari daya listrik yang dibutuhkan (Pin) dan besarnya kalor yang diserap pada sisi dingin(qc) [10]. Dari gambar 3 dapat dilihat peningkatan nilai kalor yang diserap dipengaruhi dari peningkatan tegangan listrik untuk tiap rangkaian. Untuk tegangan 8V,nilai qc paling tinggi ditunjukkan oleh rangkaian ganda paralel yaitu sebesar 17.44189 W. Untuk tegangan 10V, nilai qc paling tinggi ditunjukkan oleh rangkaian tunggal yaitu sebesar 20.61895 W. Untuk tegangan 12 V, nilai qc paling tinggi ditunjukan oleh rangkaian tunggal yaitu sebesar 24.71738 W. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai kalor yang diserap sebanding dengan peningkatan tegangan yang diberikan tetapi tergantung dari variasi rangkaian termoelektrik.
Gambar 4. Grafik tegangan listrik terhadap kalor yang diserap sisi dingin pada 360 menit
Daya listrik yang diberikan pada modul termoelektrik Gambar 4 adalah grafik hubungan antara tegangan listrik terhadap daya listrik yang diberikan dengan variasi rangkaian pada 360 menit. Dari grafik dapat diketahui bahwa semakin
Energi III-17
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
besar tegangan yang diberikan pada setiap rangkaian maka daya listrik yang digunakan juga semakin besar. Jika dibandingkan dari ketiga variasi rangkaian termoelektrik, rangkaian ganda seri menunjukkan nilai daya listrik yang paling rendah. Hal ini menunjukkan termoelektrik ganda seri merupakan rangkaian yang mengkonsumsi daya listrik paling sedikit diantara ketiga variasi rangkaian.
menunjukkan nilai COP yang paling tinggi dibandingkan variasi rangkaian yang lain. Dari ketiga variasi rangkaian termoelektrik, dapat diketahui kinerja modul terbaik adalah termoelektrik ganda yang dirangkai secara seri pada tegangan 10 V karena dapat mencapai temperatur air yang paling rendah, konsumsi daya listrik yang paling rendah, dan kecepatan pendinginan yang paling baik. V. KESIMPULAN
Gambar 5. Grafik tegangan listrik terhadap daya listrik yang diberikan dengan variasi rangkaian pada 360 menit
Coefisien of Performance (COP) Nilai COP merupakan ukuran efisiensi dari suatu termoelektrik pendingin yang dapat diketahui dari perbandingan besarnya kalor yang diserap pada sisi dingin (qc) terhadap besarnya daya listrik yang masuk (Pin). Untuk saat ini termoelektrik pendingin memiliki nilai COP yang masih rendah sehingga belum bisa bersaing dengan sistem pendingin kompresi uap [10].
Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik tunggal, dapat diketahui kinerja terbaik dihasilkan dengan pemberian tegangan sebesar 8 V. 2. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik ganda yang dirangkai secara seri, kinerja terbaik dihasilkan dengan pemberian tegangan sebesar 10 V. 3. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik ganda yang dirangkai secara paralel, kinerja terbaik dihasilkan dengan pemberian tegangan sebesar 8 V. 4. Dari ketiga variasi rangkaian, kinerja modul terbaik adalah termoelektrik ganda yang dirangkai secara seri pada tegangan 10 V.
DAFTAR PUSTAKA [1]
California Institute of Technology.2013.Brief History of Thermoelectrics.(Online). (http://thermoelectrics.caltech.edu/thermoelectrics/history.html). [2] Chakib Alaoui. 2011. Peltier Thermoelectric Modules Modeling and Evaluation. International Journal of Engineering (IJE), Volume (5) : Issue (1).
[3] Jincan Chen, Yinghui Zhou, Hongjie Wang, Jin T. Wang. 2002. Comparison of the optimal performance of single- and two-stage thermoelectric refrigeration systems
[4] Riffat, S.B; Ma X. 2003. Thermoelectrics: a review of present and potential applications. Applied Thermal Engineering 23 913– 935.Pergamon-Elsevier Science Ltd.
[5] Hendi Riyanto, Sigit Y. Martowibowo.2010. Modeling and Prototyping Gambar 6. Grafik hubungan tegangan yang diberikan terhadap COP pada 360 menit
Gambar 5 adalah grafik hubungan antara COP terhadap tegangan yang diberikan dengan variasi rangkaian pada waktu 360 menit. Besarnya COP dipengaruhi dari besarnya nilai kalor yang diserap pada sisi dingin dan besarnya daya listrik yang digunakan. Untuk tegangan 8V, nilai COP paling tinggi ditunjukkan pada rangkaian ganda seri yaiu sebesar 1.55046. Untuk tegangan 10V, nilai COP paling tinggi ditunjukkan pada rangkaian ganda seri yaitu sebesar 1.25268. Untuk tegangan 12V, nilai COP tertinggi ditunjukkan pada rangkaian ganda seri yaitu sebesar 1.09192. Hal ini menunjukkan bahwa untuk variasi tegangan yang diberikan, rangkaian ganda seri
a Mini Portable Thermoelectric Beverage Cooling Device. ICCHT2010 - 5th International Conference on Cooling and Heating Technologies [6] Zuryati Djafar.2008. Pengantar Termoelektrik. Karya Tulis Ilmiah Program Doktor Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia. [7] Christopher M. Jaworski. 2007.Opportunites for Thermoelectric Energy Conversion in Hybrid Vehicles. The Ohio State University. Department of Mechanical Engineering. [8] Rehab Noor Mohammed Al-Kaby. Study Of Thermal Performance of Thermoelectric Cooling System. Mechanical department, Babylon University-College of Engineering.
[9] Yunus A. Çengel and M. A. Boles. 2006. Thermodynamics: An Engineering Approach, 5th ed, McGraw-Hill [10] Laird Technologies. 2010.Thermoelectric Handbook. (http://www.lairdtech.com, diakses pada 1 Agustus 2012). [11] Tellurex. 2010. Introduction to Thermoelectric. 1462 International Drive.Traverse Citi,MI. (http://www.tellurex.com).
Energi III-18
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Penambahan Poly Ether Amine Pada Bensin Terhadap Nilai Kalor, Konsumsi Bahan Bakar, Laju Kecepatan Kendaraan, Dan Emisi Gas Buang Sepeda Motor 4-Langkah Barlin
Yureski Belly Saputra
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan, Indonesia E-mail:
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak — PEA (Poly Ether Amine) merupakan zat aditif yang sedang banyak dikembangkan karena dapat meningkatkan kualitas bahan bakar. Penelitian dilakukan dengan menambahkan PEA 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 25 ml per liter premium. Pengujian dilakukan pada sepeda motor Jupiter MX 135 cc dengan variabel penelitian adalah kecepatan dan putaran mesin. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa penambahan 15 ml PEA menghasilkan nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan dan emisi gas buang yang lebih baik. Nilai Kalor yang didapatkan yakni sebesar 10415,405 cal/g, meningkat 479,4106 cal/g daripada premium murni. Pada konsumsi bahan bakar menghasilkan penurunan konsumsi bahan bakar yang paling besar dimana terjadi penghematan 8 km/l pada setiap variasi kecepatan, daripada saat penggunaan premium murni. Untuk hasil pengujian laju kecepatan kendaraan menghasilkan laju kecepatan rata-rata 10,30 detik, lebih cepat 1,23 detik dibandingkan saat penggunaan premium murni. Pada kadar CO dan HC menghasilkan penurunan yang relatif stabil dibandingkan pada penggunaan premium murni dimana terjadi penurunan sebesar 0,025 % CO dan 1254 ppm HC pada putaran mesin 1500 rpm, penurunan sebesar 0,728 % CO dan 662 ppm HC pada putaran mesin 3000 rpm, serta penurunan sebesar 1,217 % CO dan 302 ppm HC pada putaran mesin 4500 rpm. Kata kunci — premium, zat aditif, emisi gas buang, poly ether amine.
masalah pencemaran udara sehingga dikhawatirkan akan membahayakan dan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup. Permasalahan emisi gas buang ini tidak bisa dianggap enteng, karena dapat mengganggu keberlangsungan hidup. Perlu dicarikan solusi untuk menekan laju emisi yang dilepaskan kendaraan bermotor ke lingkungan. Salah satu cara yang sedang gencar dilakukan adalah dengan menambahkan zat aditif pada bahan bakar, yang diketahui dapat meningkatkan kualitas bahan bakar terutama nilai oktan. Karena nilai oktan dari bahan bakar merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kesempurnaan pembakaran di dalam mesin. Konsumen sangat membutuhkan kendaraan bermotor dengan kinerja mesin yang optimal dan irit bahan bakar, sehingga penambahan zat aditif ini dianggap tepat karena selain mampu mengurangi emisi gas buang juga mampu meningkatkan kinerja mesin. Oleh karena itu pada penelitian kali ini akan digunakan zat aditif PEA yang akan dicampurkan kedalam bensin dengan beberapa perbandingan campuran, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan, dan emisi gas buang. II. TUJUAN PENELITIAN
I. LATAR BELAKANG Perilaku masyarakat Indonesia yang konsumtif telah mendorong banyak produsen otomotif untuk menawarkan berbagai produk kendaraan dengan berbagai keunggulan, sehingga volume kendaraan pun semakin meningkat sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan ekonomi. Kemajuan teknologi dan kemajuan di bidang ekonomi ini membawa pada konsekuensi peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan kesempatan kepemilikan kendaraan semakin meluas. Di samping sisi positif peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor yang berjalan begitu cepat, ternyata muncul sisi negatif yang tidak dapat dielakkan. Sisi negatif tersebut antara lain berupa kemacetan lalu lintas sampai
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat aditif PEA dalam bensin terhadap nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan dan emisi gas buang pada motor bensin. III. BATASAN PENELITIAN Adapun batasan masalah pada penelitian ini, diantaranya :
1. Zat aditif yang digunakan adalah PEA (Poly Ether 2. 3.
Energi III-19
Amine) Dalam penelitian ini digunakan variasi konsentrasi campuran 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml zat aditif kedalam 1 liter bensin. Melakukan pengujian nilai kalor untuk masing-masing konsentrasi campuran zat aditif PEA dengan bensin.
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
4. Melakukan pengujian konsumsi bahan bakar dan laju 5.
kecepatan kendaraan. Melakukan pengujian emisi gas buang yang meliputi: kadar CO, dan HC IV. DASAR TEORI
Motor bensin dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu motor bensin 2 langkah dan motor bensin 4 langkah. Pada motor bensin 2 langkah, siklus terjadi dalam dua gerakan torak atau dalam satu putaran poros engkol. Sedangkan motor bensin 4langkah, pada satu siklus terjadi dalam 4-langkah. Langkah-langkah yang terjadi pada motor bensin 4 langkah adalah: 1. Langkah Hisap 2. Langkah Kompresi 3. Langkah Usaha 4. Langkah Buang Pada motor bensin 4 langkah, poros engkol berputar sebanyak dua putaran penuh dalam satu siklus dan telah menghasilkan satu tenaga. Cara kerja motor bensin 4 langkah ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1 Cara kerja motor bensin 4 langkah
Pada motor bensin 2 (dua) langkah, setiap siklus terdiri dari 2 (dua) langkah piston atau 1 (satu) kali putaran poros engkol. Langkah-langkah tersebut adalah: 1. Langkah Naik. 2. Langkah Turun
Gambar 2 Prinsip kerja motor 2 (dua) langkah
A. Zat Aditif Zat Aditif merupakan bahan yang ditambahkan pada bahan bakar kendaraan bermotor, baik mesin bensin maupun mesin diesel. Zat Aditif digunakan untuk memberikan peningkatan sifat dasar tertentu yang telah dimilikinya. Kebutuhan Zat aditif pada masa sekarang telah meningkat dengan pesat dikarenakan perubahan komposisi bensin yang timbul oleh karena tiga alasan utama yaitu: Perubahan Harga Minyak, Persyaratan Gas buang Kendaraan, Persyaratan Konsumsi Bahan Bakar.
B. Manfaat Zat Aditif Adapun manfaat dari Zat Aditif untuk meningkatkan performansi mesin mulai dari durabilitas, akselerasi sampai power mesin. Kegunaan lain dari Zat Aditif adalah sebagai berikut: 1. Membersihkan Karburator/injektor pada saluran bahan bakar 2. Mengurangi karbon/endapan senyawa organik pada ruang bakar 3. Menambah tenaga mesin 4. Mencegah Korosi C. Poly Ether Amine (PEA) Penemuan PEA berawal pada tahun 1967, Charles Pedersen yang bekerja sebagai kimiawan di Dupont menemukan metode sederhana untuk mensintesis polyether ketika dia sedang sedang membuat agen pengkompleks untuk kation divalen. Pedersen mendapat nobel dibidang kimia pada tahun 1987 atas penemuan lintasan sintesis dari sifat-sifat mengikat polyether. Struktur utama dari zat aditif ini tersusun atas gugusan fungsional amina yang berikatan dengan atom karbon. PEA Merupakan dispersan polimer yang diperuntukan sebagai formula antikerak PFI, disebut juga sebagai deterjen karburator. PEA tersusun atas gugus fungsional polyether yang mengikat amine terprotonasi dan membentuk kompleks yang sangat stabil pada fase gas maupun larutan. Memiliki kandungan air sekitar 0,1%, zat aditif ini juga sangat sering digunakan sebagai pelapis permukaan logam untuk menambah tingkat kekerasan dari logam. Rantai primer dari amine yang mampu berikatan dengan logam inilah yang membuat PEA bisa digunakan sebagai pembersih ruang pembakaran. PEA tidak mengandung deposit di ruang bakar, mengurangi emisi gas buang, dan tidak menimbulkan racun dioksin. Menurut Wahyu Eko Saputra (2013) yang mengutip penelitian yang dilakukan oleh Kirana (2005) terhadap campuran bensin zat aditif (1:10) PEA (Polyether Amine) dalam bentuk tablet pada pengujian TD 114 diketahui penurunan konsumsi bahan bakar spesifik sebesar 23,93 % dibandingkan dengan bahan bakar bensin tanpa zat aditif tersebut D. Bahan Bakar Bensin Premium berasal dari bensin yang merupakan salah satu fraksi dari penyulingan minyak bumi yang diberi zat tambahan atau aditif, Premuim mempunyai rumus empiris Ethyl Benzena (C8H18). Premium adalah Bahan bakar jenis disilat berwarna kuning akibat adanya zat pewarna tambahan. Penggunaan premium pada umumnya digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti mobil, sepeda motor, dan lain lain. Bahan bakar ini juga sering disebut motor gasoline atau petrol dengan angka oktan adalah 88, dan mempunyai titik didih 300˚C-2000˚C. E. Konsumsi Bahan Bakar Karakteristik prestasi atau unjuk kerja suatu motor bakar torak dinyatakan dalam beberapa parameter diantaranya adalah konsumsi bahan bakar, konsumsi bahan bakar spesifik,
Energi III-20
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
perbandingan bahan bakar–udara, laju kecepatan kendaraan, dan daya keluaran. Berikut ditampilkan rumus-rumus dari beberapa parameter yang digunakan dalam menentukan unjuk kerja motor bakar torak: 1. Konsumsi Bahan Bakar / Fuel Consumption (FC)
3.
Dengan mengambil data dari hasil pengujian yang dilakukan di Lab. Grha Pertamina Universitas Sriwijaya. Diskusi Berupa tanya jawab dengan dosen pembimbing yang ditunjuk oleh Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
(2.1)
VI. PEMBAHASAN
2.
Laju Aliran Massa Bahan Bakar (2.2)
dimana : BFC ρf
= laju aliran bahan bakar (kg/jam) = konsumsi bahan bakar ( l/jam ) = massa jenis bahan bakar (kg/m3)
F. Nilai Kalor Bahan Bakar Nilai kalor adalah jumlah energi yang dilepaskan pada proses pembakaran persatuan volume atau massa. Nilai kalor bahan bakar menentukan jumlah konsumsi bahan bakar tiap satuan waktu, nilai kalor ditentukan berdasarkan hasil pengukuran dengan kalorimeter dilakukan dengan membakar bahan bakar dan udara pada temperatur normal, sementara itu dilakukan pengukuran jumlah kalor yang terjadi sampai temperatur dari gas hasil pembakaran turun kembali ke temperatur normal. Nilai kalor akan mempengaruhi proses pembakaran, semakin tinggi nilai kalor, maka energi yang mampu dikonversikan menjadi daya oleh mesin semakin tinggi G. Emisi Gas Buang Emisi gas buang atau umum disebut polutan yang berasal dari kendaraan bermotor dibedakan menjadi polutan primer dan sekunder. Polutan primer seperti karbon monoksida (CO), sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan hidrokarbon (HC) langsung dibuang ke udara babas dan mempertahankan bentuknya seperti pada saat pembuangan. Polutan sekunder seperti ozon (O2) adalah polutan yang terbentuk di atmosfer melalui proses fotokimia, hidrolisis atau oksidasi. Komposisi gas tersebut juga tergantung pada jenis bahan bakar kendaraan (jenis mesin), dan alat pengendali emisi bahan bakar itu sendiri. V. METODE PENELITIAN Metode penulisan yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: 1. Metode studi literatur Menggunakan referensi dari berbagai sumber yang digunakan sebagai acuan dalam mengolah dan menganalisa data. 2. Metode studi lapangan
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan, dan emisi gas buang. Penelitian nilai kalor bertujuan untuk mengukur nilai nilai kalor bahan bakar dari setiap sampel, alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin PARR Bomb Calorimeter 6400 yang terdapat di Lab. Grha Pertamina Universitas Sriwijaya. Kemudian untuk penelitian konsumsi bahan bakar dan laju kecepatan kendaraan menggunakan sepeda motor bensin 4 langkah dengan memodifikasi tangki bahan bakar yang sudah dirancang sebelumnya, penelitian ini dilakukan di jalan belakang Stadion Univesitas Sriwijaya, yang bertujuan untuk mengetahui sampel yang mana yang paling hemat dan paling cepat laju kecepatannya ketika digunakan pada kendaraan bermotor. Dan yang terakhir adalah penelitian emisi gas buang menggunakan mesin STARGAS 898 Global Diagnostic System Certification OIML CLASS O yang terdapat di Lab. Graha Pertamina Universitas Sriwijaya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan sampel yang mana yang menghasilkan emisi gas buang yang paling baik. Hasil dari keempat penelitian tersebut adalah sebagai berikut: A. Hasil Pengujian Nilai Kalor
Penambahan PEA vs Nilai Kalor Nilai Kalor ( Cal/g )
dimana : BFC = konsumsi bahan bakar (l/jam) Vf = konsumsi bahan bakar volumetrik( ml ) t = waktu konsumsi bahan bakar ( detik)
10400 10200 10000 9800 9600 0
5
10
15
20
25
Penambahan PEA ( ml ) Gambar 3. Grafik Nilai Kalor
Nilai kalor yang tertinggi terjadi pada penambahan 15 ml PEA yakni sebesar 10415,405 cal/g atau mengalami kenaikan sebesar 480,5416 cal/g, namun nilai kalor akan turun kembali pada penambahan konsentrasi PEA yang lebih banyak (20 ml dan 25 ml) hal ini dipengaruhi oleh viskositas bahan bakar. Penambahan PEA yang semakin banyak tidak berarti kualitas bahan bakar akan semakin baik, dengan penambahan PEA yang semakin banyak akan memunculkan sifat dari kedua propertis, salah satunya adalah titik nyala dari PEA yang tinggi sehingga campuran dari keduanya lebih sulit terbakar, hal inilah yang menyebabkan penurunan nilai kalor. Selain itu penambahan PEA diatas 15 ml kedalam 1 liter premium akan membuat viskositas bahan bakar akan semakin tinggi yang disebabkan karena densitas dari PEA yang lebih tinggi
Energi III-21
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
sehingga cenderung lebih kental daripada premium yang dapat memperburuk proses pembakaran.
sebesar 0,1449 kg/jam daripada saat menggunakan premium murni.
B. Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar
Laju aliran bahan bakar dipengaruhi oleh nilai kalor, semakin tinggi nilai kalor, maka laju aliran bahan bakar semakin lambat, karena dengan nilai kalor yang tinggi massa yang dibutuhkan mesin untuk melakukan kerja semakin kecil.
Kecepatan vs Konsumsi Bahan Bakar 70
Premium+0ml PEA
D. Hasil Pengujian Laju Kecepatan Kendaraan
Konsumsi Bahan Bakar (km/l)
Premium+5ml PEA Premium+10ml PEA Premium+15ml PEA
14
Waktu Tempuh (detik)
60
12 10
50
40 20 40 Kecepatan (km/jam)
60
6 0
5
10
15
20
25
Gambar 6. Grafik Laju Kecepatan Kendaraan
Gambar 4. Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar, semakin tinggi nilai kalor bahan bakar maka konsumsi bahan bakar akan semakin menurun, karena dengan nilai kalor yang tinggi massa bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan daya yang sama akan lebih sedikit. C. Hasil Pengujian Laju Aliran Bahan Bakar
Laju Aliran Bahan Bakar (kg/jam)
8
Penambahan PEA (ml)
Dari hasil pengujian dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumsi bahan bakar paling hemat terjadi pada saat penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter bensin, karena lebih hemat 8 km/l pada kecepatan 20 km/jam dan 40 km/jam, dan kecepatan 60 km/jam daripada saat menggunakan premium murni.
1
Penambahan PEA vs Waktu Tempuh
Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa laju kecepatan kendaraan yang paling cepat adalah pada saat menggunakan premium yang ditambahkan 15 ml PEA dimana terjadi peningkatan sebesar 1,23 detik dari premium murni. Nilai kalor mempengaruhi tenaga mesin, semakin tinggi nilai kalor maka laju kecepatan kendaraan akan semakin cepat, hal ini disebabkan oleh daya yang dihasilkan untuk massa bahan bakar yang sama akan lebih besar dibandingkan dengan sampel campuran yang lain. Namun penambahan PEA yang semakin banyak tidak berarti tenaga mesin lebih besar, hal ini terlihat dari hasil pengujian bahwa laju kecepatan kendaraan semakin lambat setelah penambahan diatas 15 ml PEA hal ini disebabkan karena nilai kalor bahan bakar yang semakin menurun dan viskositas bahan bakar yang ikut memperburuk proses pembakaran.
Kecepatan vs Laju Aliran Bahan Bakar
E. Hasil Pengujian Emisi Gas CO
0,9
Premium+0ml PEA Premium+5ml PEA Premium+10ml PEA Premium+15ml PEA Premium+20ml PEA
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 20 40 60 Kecepatan (km/jam)
Gambar 5. Grafik Laju Aliran Bahan Bakar
Dari hasil pengujian dapat diambil kesimpulan bahwa laju aliran bahan bakar paling lambat terjadi pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter bensin karena pada kecepatan 20 km/jam terjadi penurunan sebesar 0,0319 kg/jam, pada kecepatan 40 km/jam terjadi penurunan sebesar 0,0684 kg/jam, sedangkan pada kecepatan 60 km/jam terjadi penurunan
Gambar 7. Grafik Emisi Gas CO
Dapat disimpulkan bahwa penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter bensin memiliki kadar emisi CO yang paling baik dari
Energi III-22
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
sampel lain karena terjadi penurunan yang relatif stabil pada setiap putaran mesin. Dari hasil pengujian emisi gas CO dapat dilihat bahwa PEA mampu menigkatkan kualitas bahan bakar, karena penambahan PEA menghasilkan pembakaran yang lebih baik sehingga menghasilkan emisi gas CO yang lebih rendah dan berada dibawah batas minimum dari standar emisi gas buang CO yang telah ditetapkan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun 2006.
3.
4.
F. Hasil Pengujian Emisi Gas HC PEA mampu meningkatakan kualitas bahan bakar sehingga pembakaran menjadi lebih baik, hal ini dapat dilihat dari menurunnya kadar emisi HC karena pembakaran yang baik akan mengurangi jumlah bahan bakar yang tidak ikut terbakar pada proses pembakaran.
terlalu lamban jika ditinjau dari segi efisiensi berkendara. Waktu tempuh yang paling cepat untuk mencapai laju kecepatan 80 km/jam diperoleh pada penambahan 15 ml PEA yaitu dengan rata-rata waktu tempuh sebesar 10,30 detik, lebih cepat 1,23 detik dibandingkan pada penggunaan premium murni. Kadar emisi gas buang CO dan HC yang paling baik dari sampel lain dan penurunannya relatif stabil adalah pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium, yaitu 0,249% kadar CO, dan 482 ppm kadar HC pada putaran mesin 1500 rpm, 1,427 % kadar CO, dan 95 ppm kadar HC pada putaran mesin 3000 rpm, serta 3,689 % kadar CO dan 109 ppm kadar HC pada putaran mesin 4500 rpm. VIII. SARAN
Dari hasil pengamatan selama pengujian penulis menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Apabila ingin menghemat konsumsi bahan bakar, maka melajulah dengan kecepatan konstan. 2. Penulis merekomendasikan penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium karena memiliki konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan dan emisi gas buang yang paling baik dibandingkan dengan sampel penambahan PEA yang lainnya pada pengujian yang dilakukan penulis. 3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap dampak positif dan dampak negatif dari penambahan PEA terhadap mesin kendaraan. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 8. Grafik Emisi Gas HC
Dapat disimpulkan bahwa penambahan 15 ml PEA memiliki kadar emisi HC yang paling baik dari sampel lain karena menunjukan penurunan yang relatif stabil daripada premium murni dan berada dibawah batas minimum dari standar emisi gas buang HC yang telah ditetapkan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun 2006. VII. KESIMPULAN Berdasarkan data-data yang diperoleh dari pengujian penambahan PEA kedalam bahan bakar premium dan juga telah dilakukan perhitungan dan analisa data didapatlah kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai kalor yang tertinggi diperoleh pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium yaitu 10415,405 cal/g. 2. Konsumsi bahan bakar yang paling hemat dan laju aliran bahan bakar yang paling lambat adalah pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium pada kecepatan 20 km/jam. Namun dari ketiga macam variasi kecepatan, yang terbaik adalah pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium pada kecepatan 40 km/jam karena kecepatan 20 km/jam
[1] Arends, BPM dan Berenschot, H. 1980. Motor bensin, Erlangga, Jakarta. [2] Arismunandar, Wiranto. 2008. PenggerakMula Motor Bakar Torak : Penerbit ITB Bandung. [3] Brady, James E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur, Jilid satu, Jogjakarta: Binarupa Aksara [4] Burton, Bruce dkk. 2010. Epoxy Formulations Using Jeffamine Polyetheramines, Texas. [5] Krisnanda, RB dan K, HDS. 2012.Pengaruh Penambahan Aditif pada Premium dengan Variasi Konsentrasi terhadap Unjuk Kerja Engine Putaran Variabel Karisma 125 CC, Jurnal Teknik Pomits, Vol,1, No,1, Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. [6] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun 2006 [7] Pulkrabek, Willard W. Engineering Fundamentals of The Internal Combustion Engine, Prentice Hall, New Jersey. [8] Raharjo, Winarno Dwi dan Karnowo. 2008. Mesin Konversi Energi. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. [9] Saputra, WE, Burhanuddin, H dan ES, MDS.2013. Pengaruh penambahan zat aditif alami pada motor bensin terhadap prestasi motor 4 langkah, Jurnal FEMA, Vol,1,No.1,Lampung:Universitas Lampung. [10] Siadari, 2007. Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan Tahun 2007 Program Langit Biru. Kementrian Lingkungan Hidup. [11] Supraptono. 2004. Bahan Bakar dan Pelumas. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. [12] www.chemeng.ui.ac.id/`wulan/materi/port
Energi III-23
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[13] www.Mencari Pengganti TEL untuk Meningkatkan Oktan _ chemist is friendly.htm [14] www.suarapembaharuan.com
Angka
[15] www.wikipedia.org [16] www.yamaha-motor.co.id
Energi III-24
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Model Teoritik Konduktivitas Termal Fluida Nano Berdasarkan Konsep Nanoconvection Diah Hidayanti, Nathanael P. Tandian, Aryadi Suwono
Efrizon Umar Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN Bandung, Indonesia
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB Bandung, Indonesia
[email protected]
Abstract—Meningkatnya tantangan di bidang teknologi, khususnya teknologi perpindahan panas, telah mendorong inovasi tentang penggunaan fluida nano (nanofluid) sebagai fluida perpindahan panas (pendingin) alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konduktivitas termal fluida nano lebih tinggi daripada konduktivitas termal fluida pendingin konvensional (air, minyak, etilen glikol, dll.) Untuk kemudahan dalam aplikasi fluida nano di lapangan, diperlukan suatu model teoritik yang dapat memprediksi nilai konduktivitas termal fluida nano. Dalam makalah ini, akan dikembangkan suatu model teoritik konduktivitas termal fluida nano untuk studi kasus fluida nano zirkonia (ZrO2)-air. Model teoritik konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air diperlukan karena data eksperimental konduktivitas termal fluida nano tersebut sangat jarang dijumpai di literatur. Model teoritik dikembangkan dengan menggabungkan model statik yang memperhitungkan pengaruh nanolayer dan model dinamik yang memperhitungkan pengaruh konveksi nano (nanoconvection). Konveksi nano merupakan mekanisme baru yang diusulkan untuk dapat menjelaskan fenomena perpindahan panas pada fluida nano. Koefisien perpindahan panas yang digunakan dalam model diturunkan dari korelasi perpindahan panas konveksi paksa. Model teoritik yang baru menunjukkan kesesuaian yang baik dengan data eksperimental fluida nano ZrO2-air yang tersedia di literatur pada rentang konsentrasi partikel nano 02,5% volume. Selain itu, model baru tersebut juga memberikan hasil prediksi yang lebih baik dibandingkan dengan model-model teoritik lainnya. Untuk meningkatkan akurasi model baru ini, diperlukan data eksperimental yang lebih banyak lagi. Keywords: Model teoritik, konduktivitas termal, fluida nano, konveksi nano
I. PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir ini, ide tentang fluida nano (nanofluid) sebagai suatu bentuk inovasi jenis fluida perpindahan panas (coolant) mulai banyak diteliti. Fluida nano adalah suspensi partikel padatan berukuran 1-100 nm (nanoparticle) dalam fluida perpindahan panas konvensional (misalnya air, minyak, atau etilen glikol) sebagai fluida dasar (base fluid)-nya. Beberapa contoh partikel nano yang telah menjadi subyek penelitian hingga saat ini, baik berupa logam maupun oksida logam, yaitu Al2O3, Cu, CuO, TiO2, dan CNT. Keberadaan partikel nano dapat meningkatkan konduktivitas termal fluida nano sehingga turut meningkatkan kinerja perpindahan panasnya. Terkait dengan jenis partikel nano, fluida nano yang mengandung partikel nano zirkonia (ZrO2) masih sangat jarang diteliti. Fluida nano jenis ini berpotensi
untuk diaplikasikan pada teknologi reaktor nuklir karena unsur zirkonia memiliki tampang lintang serapan neutron yang rendah. Keterbatasan data eksperimental fluida nano ZrO2–air mendorong dikembangkannya suatu model teoritik yang dapat memprediksi nilai konduktivitas termal fluida nano tersebut. Sejumlah penelitian telah membuktikan adanya peningkatan sifat-sifat dan perilaku termofisik fluida nano terkait dengan dengan proses perpindahan panas [1,2]. Meski telah dibuktikan secara eksperimental, peningkatan sifat-sifat termofisik fluida nano belum dapat dijelaskan secara teoritik. Teori makroskopik klasik, seperti teori Maxwell [2] memberikan hasil yang bersifat underpredictive terhadap hasil pengukuran konduktivitas termal fluida nano. Oleh karena itu, para peneliti terus mencoba mengembangkan suatu model teoritik yang dapat memprediksi konduktivitas termal fluida nano. Model-model teoritik tersebut dibangun berdasarkan berbagai macam ide tentang mekanisme perpindahan panas yang terjadi pada suatu sistem fluida nano dengan menggunakan banyak asumsi dalam perumusannya. Lapisan molekul cairan (liquid) pada batas antarmuka(interface) partikel padat-cairan merpakan salah satu mekanisme yang diduga turut berkontribusi pada tingginya konduktivitas termal fluida nano [3,4,5]. Lapisan cairan tersebut dikenal sebagai nanolayer. Karena susunan molekul pada nanolayer lebih teratur dibandingkan dengan susunan molekul pada bulk liquid, konduktivitas termal nanolayer menjadi lebih tinggi daripada konduktivitas termal fluida dasarnya, namun masih lebih rendah daripada konduktivitas termal partikel nano. Namun demikian, ketidaktersediaan metode atau korelasi untuk menentukan nilai ketebalan dan konduktivitas termal nanolayer secara pasti menjadi suatu kendala tersendiri dalam memperhitungkan pengaruh nanolayer terhadap konduktivitas termal fluida nano. Akibatnya, model yang dikembangkan berdasarkan mekanisme nanolayer bersifat semi empiris karena nilai ketebalan dan konduktivitas termal nanolayer ditentukan sedemikian rupa hingga model tersebut memberikan hasil yang sesuai dengan data pengukuran konduktivitas termal fluida nano. Selain nanolayer, para peneliti juga banyak mengembangkan model dinamik dalam perumusan konduktivitas termal fluida nano. Model dinamik adalah model yang memperhitungkan pengaruh dinamika partikel atau molekul dalam fluida nano terhadap mekanisme perpindahan panas di dalam sistem fluida nano tersebut.
Energi III-25
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Lahirnya model dinamik disebabkan karena teori klasik pada umumnya, seperti teori Maxwell, merupakan model statik yang mengasumsikan bahwa partikel dalam suatu suspensi berada dalam kondisi diam (statis). Mekanisme dinamika partikel yang dipertimbangkan pada awalnya adalah mekanisme tumbukan antara partikel nano dengan partikel nano yang lain atau dengan molekul-molekul fluida dasar, sebagai akibat dari gerak translasi Brownian partikel nano. Menurut mekanisme tersebut, energi akan dipindahkan dari partikel berenergi tinggi ke partikel berenergi lebih rendah ketika kedua partikel tersebut bertumbukan satu sama lain. Namun, perhitungan menunjukkan bahwa kontribusi mekanisme ini terhadap konduktivitas termal fluida nano tidak signifikan sehingga bisa diabaikan [6-9]. Selanjutnya, model dinamik yang lain pun diusulkan, yaitu yang berbasis pada mekanisme konveksi berskala nano akibat dari gerak Brownian. Konveksi nano (nanoconvection) sebagai salah satu mekanisme perpindahan panas yang terjadi dalam fluida nano diusulkan pertama kali oleh Jang dan Choi [10]. Berdasarkan korelasi perpindahan panas untuk aliran seragam yang melewati sebuah bola, koefisien perpindahan panas yang digunakan pada model Jang-Choi [6,10] diasumsikan sebanding dengan Re2Pr2. Hal ini dikarenakan karakteristik aliran pada sistem fluida nano dianggap lebih cenderung bersifat acak dan berfluktuasi secara cepat, dan bukan merupakan jenis aliran yang seragam. Dengan menggunakan dasar korelasi yang sama pada model Jang-Choi, Patel dkk. [11] menggunakan koefisien perpindahan panas yang nilainya sebanding dengan bilangan Peclet (RePr). Alasannya karena kecepatan gerak Brownian partikel nano sangat rendah sehingga nilai Pe2 dapat diabaikan jika dibandingkan dengan nilai Pe. Bentuk formulasi konveksi nano yang lain juga diberikan oleh Prasher dkk. [12], yaitu dengan didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi perpindahan panas dalam fluida nano melibatkan aliran-aliran konveksi dari banyak partikel berbentuk bola (multispheres) yang saling berinteraksi satu sama lain. Situasi semacam ini mirip dengan situasi perpindahan panas pada fluidized bed. Oleh karena itu, koefisien perpindahan panas yang sesuai untuk konveksi nano adalah yang diturunkan dari korelasi perpindahan panas partikel-ke-fluida pada fluidized bed, dan bukan dari korelasi untuk aliran Stokes yang melewati sebuah bola tunggal (single sphere). Dalam makalah ini, akan dikembangkan suatu model teoritik konduktivitas termal fluida nano dalam rangka memprediksi nilai konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air. Model teoritik tesebut menggabungkan model statik dan model dinamik dengan memperhitungkan pengaruh nanolayer. Model dinamik yang dikembangkan berdasarkan pada mekanisme nanoconvection yang perumusannya menggunakan bentuk formulasi yang berbeda dengan formulasi yang pernah diusulkan sebelumnya. II. MODEL-MODEL TEORITIK KONDUKTIVITAS TERMAL FLUIDA NANO A. Model Maxwell Model Maxwell sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 1 sebenarnya hanya berlaku untuk suspensi dengan fraksi volume yang rendah dan partikel padat yang berbentuk bola dengan ukuran dalam orde mm atau μm.
k eff
k p 2k f 2 (k p k f ) k p 2k f ( k p k f )
kf
dimana kf adalah konduktivitas termal fluida dasar, kp adalah konduktivitas termal partikel nano, dan ϕ adalah fraksi volume partikel nano. Model Maxwell mengasumsikan bahwa partikel dalam kondisi stasioner dan fenomena perpindahan panas berlangsung seara konduksi. B. Model Xie dkk. Model yang disulkan oleh Xie dkk. [13] mempertimbangkan pengaruh nanolayer terhadap konduktivitas termal fluida nano sebagaimana dirumuskan pada Persamaan 2
k eff k f 3 2T2 3T kf 1 T
dengan lf 1 3
dan T
fl
pl 3 1 2 fl pl fl
1
4 3 3 rp n 1 3
dimana lf
kl kf
1
3
2 fl pl
, pl
k p kl k p 2k l
, dan
kf kl . k f 2k l
C. Model Leong dkk. Model lain yang memasukkan pengaruh nanolayer adalah model Leong dkk. [4] (lihat Persamaan 3)
keff
klr kp klr 213 3 1 13 kp 2klr 3 klr kf kf 13 kp 2klr kp klr 13 3 1
dimana β = 1+γ dan β1 = 1+γ/2. Jika tidak terdapat nanolayer, Persamaan 3 berbentuk seperti model Maxwell (Persamaan 1). D. Model Jang-Choi Model Jang-Choi [6,11] didasarkan pada konsep konveksi nano sebagai mekanisme perpindahan panas pada fluida nano. Konduktivitas termal fluida nano yang dimodelkan oleh Jang dan Choi [6] didefinisikan sebagai berikut
k eff k f 1 k p C1
df k f Re 2p Pr dp
dimana β = 0,01 adalah konstanta yang terkait dengan resistansi Kapitza per satuan luas, C1 = 18 x 106, dp adalah diameter partikel nano, dan df adalah diameter molekul fluida
Energi III-26
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
dasar. Bilangan Reynolds Rep dan kecepatan random partikel
nano C RM ditentukan degan Persamaan 5 dan 6.
Re p CRM
CRM
dp
f
Do lf
υf adalah viskositas kinematik fluida dasar, lf adalah jarak bebas rerata (mean free path) molekul fluida dasar, dan Do koefisien difusi didefinisikan sebagai
1
dimana kB adalah konstanta Boltzman, D o k BT 3 f d p T adalah temperatur fluida nano, dan μf adalah viskositas dinamik fluida dasar. Mean free path dan diameter molekul air sebagai fluida dasar yang digunakan dalam perhitungan model adalah masing-masing 0,738 nm dan 0,384 nm.
k pe
2 (1 ) 1 1 2 3
(1 ) 1 1 2 3
kp
dimana γ = klr/kp adalah perbandingan antara konduktivitas termal nanolayer (klr) dengan konduktivitas termal partikel nano (kp). Dua parameter penting nanolayer, yaitu ketebalan dan konduktivitas termal, ditentukan masing-masing 1 mm and 2kf. Berdasarkan sejumah penelitian, tebal nanolayer berkisar pada rentang jarak atomik yang kecil, yaitu 1-2 nm [12,13]. Konduktivitas termal partikel ZrO2 dan air, masing-masing sekitar 2 W/mK dan 0,613 W/mK. Dalam makalah ini, nilai konduktivitas termal nanolayer diasumsikan sebesar 2kf. B. Model Dinamik Mekanisme perpindahan panas yang diusulkan pada model dinamik dalam makalah ini adalah konveksi nano sebagi efek dari gerak Brownian partikel nano. Konveksi dianggap terjadi di sekitar partikel nano yang bergerak dengan gerak Brownian. Konveksi tersebut akan meningkatkan efektivitas transfer energi antara partikel nano dan molekul fluida dasar. Fluks "
E. Model Corcione Corcione [14] mengusulkan suatu korelasi (Persamaan 7) untuk memprediksi konduktivitas termal efektif fluida nano berdasarkan sejumlah data eksperimen yang tersedia di literatur. Korelasi ini berlaku untuk diameter partikel nano 10– 150 nm, fraksi volume 0,002–0,09, dan temperatur 294–324 K. Data eksperimen fluida nano yang digunakan terdiri dari partikel nano Al2O3, TiO2, Cu, dan CuO yang tersuspensi dalam air atau etilen glikol.
T k eff 1 4.4 Re 0.4 Pr 0.66 kf Tfr
10
kp kf
1
.
A. Model Statik Model statik yang dikembangkan dalam makalah ini direpresentasikan dengan model Maxwell yang dimodifikasi oleh Yu dan Choi [3] untuk memasukkan pengaruh nanolayer sebagaimana diberikan pada Persamaan 8
k eff
1
k pe 2 k f 2 k pe k f 1 k pe 2 k f
pe
kf
q " h Tp Tf
dimana h adalah koefisien perpindahan panas, Tp adalah temperatur partikel nano, dan Tf adalah temperatur molekul fluida dasar. Persamaan 10 dapat dinyatakan dalam bentuk lain berikut ini
0.66
III. PEMODELAN TEORITIK KONDUKTIVITAS TERMAL FLUIDA NANO
k
0.03
Tfr adalah titik beku fluida dasar dan bilangan Reynolds didefinisikan sebagai Re 2 f k BT f2 d p
panas q yang ditimbulkan akibat dari konveksi skala nano tersebut diformulasikan sebagai berikut
3
3
k f
dimana kpe adalah konduktivitas termal ekivalen partikel nano dan β = a/rp adalah perbandingan ketebalan nanolayer a terhadap jari-jari partikel nano rp. Nilai kpe ditentukan dengan Persamaan 9
q " h
dT l dx
dimana l adalah panjang karakteristik konveksi nano. Dari persamaan 11, kontribusi proses konveksi nano terhadap konduktivitas termal fluida nano dapat diturunkan sebagai berikut
k nc hl
Panjang karakteristik konveksi nano didefinisikan sebagai ketebalan lapisan batas termal yang nilainya juga proporsional dengan ketebalan lapisan batas hidrodinamik δH. Mengacu pada asumsi Jang dan Choi [6], tebal lapisan batas hidrodinamik pada partikel nano yang bergerak akan proporsional dengan ketebalan nanolayer. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa molekul-molekul fluida dasar pada struktur nanolayer melekat pada permukaan partikel nano dan mempunyai kecepatan yang jauh lebih rendah daripada molekul-molekul fluida dasar pada bulk liquid. Jadi, tebal lapisan batas termal dapat didefinisikan sebagai berikut
Energi III-27
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
l
H a Pr Pr
Jika model teoritik konveksi nano yang sudah ada menggunakan korelasi perpindahan panas konveksi untuk aliran seragam pada sebuah bola dalam rezim Stokes atau korelasi perpindahan panas partikel-ke-cairan pada fluidized bed, bilangan Nusselt partikel nano yang digunakan dalam model yang dirumuskan pada makalah ini menggunakan korelasi perpindahan panas konveksi paksa berikut ini
hd p
Nu
kf
Re p Prf m
n
dimana Prf adalah bilangan Prandtl fluida dasar dan bilangan Reynolds partikel nano didefinisikan dengan
Re p
vdp f
dengan v adalah kecepatan rerata partikel nano. Berdasarkan Persamaan 14, koefisien perpindahan panas konveksi h diperoleh sebagai berikut
h
kf m n Re p Prf dp
Dengan demikian, formula konduktivitas termal sebagai efek dari konveksi nano dapat dinyatakan dengan
k nc C k f
a m n' Re p Pr f dp
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan model teoritik terhadap data eksperimental fluida nano ZrO2-air [15] memberikan nilai konstanta C, m, and n’ , masing-masing sekitar 25, 0.04, dan 1. Model baru menunjukkan kesesuaian yang baik dengan data eksperimen hingga rentang konsentrasi 2,5 % volume (lihat Gambar 1). Pada konsentrasi partikel yang lebih tinggi (> 2,5 % volume), data eksperimen menunjukkan ketidaklinieran dengan data eksperimen. Ketidaklinieran tersebut bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor karakteristik fluida nano ZrO2-air terkait dengan sifat-sifat termofisiknya dan faktor aglomerasi yang tidak teramati selama penelitian berlangsung. Gambar 1 menunjukkan bahwa model Maxwell dan model-model teoritik lain, kecuali model Corcione, memberikan nilai konduktivitas termal yang lebih rendah daripada data eksperimen. Model Corcione memberikan prediksi yang jauh melampaui data eksperimen karena model tersebut dikembangkan berdasarkan sejumlah data eksperimen di literatur yang tidak mencakup data eksperimen fluida nano ZrO2-air. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa konduktivitas termal fluida nano meningkat ketika konsentrasi partikel nano meningkat, kecuali pada model Jang-Choi. Karakteristik hubungan antara konduktivitas termal fluida nano dan konsentrasi patikel yang dihasilkan dari model Jang-Choi berlawanan dengan hasil penelitian secara umum. Model ini juga memberikan nilai konduktivitas termal fluida nano ZrO2air yang jauh lebih rendah daripada data eksperimen Rea dkk. [15]. Model Jang-Choi mengandung konstanta empiris yang nilainya ditentukan berdasarkan sejumlah data eksperimen yang meliputi fluida nano Al2O3+air, Al2O3+EG, CuO+air, CuO+EG, dan Cu+EG. Tidak ada satupun data eksperimen fluida nano ZrO2-air yang terlibat dalam penentuan nilai konstanta empiris pada model Jang-Choi. Selain itu, pada model Jang-Choi terdapat konsep ‘kecepatan gerak acak (random motion velocity)’ yang masih memerlukan validasi untuk kebenarannya.
dimana C, m, dan n’ adalah konstanta-konstanta empiris. Akhirnya, konduktivitas termal efektif fluida nano dapat dirumuskan dengan menjumlahkan Persamaan 8 dan 17.
k
eff
k static k nc
Model teoritik yang telah dikembangkan ini divalidasi dengan data pengukuran konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air yang tersedia di literatur [15] berikut ini
k
eff
,T kf T 1 2.4505 29.867 2
Gambar 1. Komparasi data eksperimen konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air dengan model baru dan model-model teoritik yang sudah ada
Persamaan 19 berlaku pada rentang temperatur 20°C < T < 80°C dengan konsentrasi volume hingga 3%. Ukuran partikel zirkonia yang digunakan adalah sekitar 50 nm.
Penelitian ini membuktikan bahwa konveksi nano memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konduktivitas termal fluida nano. Meski demikian, fenomena konveksi nano masih memerlukan investigasi lebih lanjut dan validasi secara eksperimental untuk menghilangkan kontroversi
Energi III-28
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
atas kebenaran konsep tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan lebih banyak lagi data eksperimen konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air dalam rangka meningkatkan akurasi model yang dikembangkan. Selain itu, model baru juga memerlukan pengembangan lebih lanjut untuk dapat mengakomodir ketidaklinieran karakteristik hubungan antara konduktivitas termal fluida nano dengan fraksi volume partikel. V. KESIMPULAN Model teoritik untuk memprediksi konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air telah dikembangkan dengan menggabungkan model statik yang memperhitungkan pengaruh nanolayer dan model dinamik yang memperhitungkan pengaruh konveksi nano sebagai mekanisme perpindahan panas penting yang terjadi dalam suatu sistem fluida nano. Keterbatasan data eksperimen konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air yang tersedia mengurangi validitas model yang dikembangkan. Model baru masih memerlukan pengembangan lebih lanjut agar dapat memberikan prediksi nilai konduktivitas termal yang sesuai dengan data eksperimen fluida nano ZrO2air pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi (> 2,5 % volume).
[12] R. Prasher, P. Bhattacharya dan P.E. Phelan, “Brownian-motionbased convective-conductive model for the effective thermal conductivity of nanofluids,” Journal of Heat Transfer, vol. 128, pp. 588-595, 2006. [13] H. Xie, M. Fujii dan X. Zhang, “Effect of interfacial nanolayer on the effective thermal conductivity of nanoparticle-fluid mixture,” International Journal of Heat and Mass Transfer, vol. 48, pp. 2926–32, 2005. [14] M. Corcione, “Empirical correlating equations for predicting the effective thermal conductivity and dynamic viscosity of nanofluids,” Energy Conversion and Management, vol. 52, pp. 789-793, 2011. [15] U. Rea, T. McKrell, L. Hu dan J. Buongiorno, “Laminar convective heat transfer and viscous pressure loss of aluminawater and zirconia-water nanofluids,” International Journal of Heat and Mass Transfer, vol. 52, pp. 2042-48, 2009.
DAFTAR PUSTAKA [1] M. Chandrasekar, S. Suresh, dan T. Senthilkumar, “Mechanisms proposed through experimental investigations on thermophysical properties and forced convective heat transfer characteristics of various nanofluids – A review,“ Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 16, pp. 3917-38, 2012. [2] S. Kakac dan A. Pramuanjaroenkij, “Review of convective heat transfer enhancement with nanofluids,” International Journal of Heat and Mass Transfer vol. 52, pp. 3187-96, 2009. [3] W. Yu dan S.U.S. Choi, “The role of interfacial layers in the enhanced thermal conductivity of nanofluids: A renovated maxwell model,” J. Nanoparticle Research, vol. 5, pp. 167-171, 2003. [4] K.C. Leong, C. Yang dan S.M.S. Murshed, “A model for the thermal conductivity of nanofluids – the effect of interfacial layer,” J. Nanoparticle Research, vol. 8, pp. 245-254, 2006. [5] Q. Xue dan W.M. Xu, “A model of thermal conductivity of nanofluids with interfacial shells,” Materials Chemistry and Physics, vol. 90, pp. 298–301, 2005. [6] S.P. Jang dan S.U.S. Choi, “Effects of various parameter on nanofluid thermal conductivity,” Journal of Heat Transfer, vol. 129, pp. 617-623, 2007. [7] J.J. Wang, R.T. Zheng, J.W. Gao dan G. Chen, “Heat conduction mechanisms in nanofluids and suspensions,” Nano Today, vol. 7, pp. 124-136, 2012. [8] L. Wang dan J. Fan, “Toward nanofluids of ultra-high thermal conductivity,” Nanoscale Research Letters, vol. 6, pp. 153, 2011. [9] D. Hidayanti, N.P. Tandian, A. Suwono dan E. Umar, “Investigation on modelling of thermal conductivity of zirconia-water based nanofluids,” Proc. of the 3rd Int. Energy Conf. of Applied Science for Technology Application ASTECHNOVA 2014, Yogyakarta, Indonesia, 13-14 Agustus 2014. [10] S.P. Jang dan S.U.S. Choi, “Role of Brownian motion in the enhanced thermal conductivity of nanofluids,” Applied Physics Letters, vol. 84, pp. 4316-18, 2004. [11] H.E. Patel, T. Sundararajan, T. Pradeep, A. Dasgupta, N. Dasgupta dan S.K. Das, “A micro-convection model for thermal conductivity of nanofluids, Pramana-Journal of Physics, vol. 65, pp. 863-869, 2005.
Energi III-29
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
Efisiensi Alat Pengering Gabah Dengan Menggunakan Kolektor Sekunder Doddy Suanggana Teknik Mesin Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, Indonesia
[email protected] Abstract—Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi termal alat pengering gabah dengan penambahan kolektor sekuder sesudah alat pengering. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi Terbarukan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar. Metode yang digunakan adalah dengan membuat sebuah kolektor sekunder sesudah alat pengering dengan seng plat 0.2 mm sebagai penyerap dengan menggunakan tenaga matahari untuk memanaskan udara sebagai media pengering. Alat ini, diharapkan dapat mengeringkan gabah lebih cepat dan tingkat kekeringan (kandungan air) yang merata jika dibandingkan dengan alat tanpa menggunakan kolektor sekunder. Pada penelitian ini dilakukan 3 variasi ketebalan gabah yaitu 7 cm, 5 cm, dan 3 cm dengan berat masing-masing 7 kg, 4.5 kg dan 2.5 kg. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mendapatkan efisiensi dari alat pengering. Hasil penelitian menunjukan bahwa waktu yang diperlukan untuk menurunkan kadar air gabah panen dari 24,75% menjadi kadar air gabah kering giling 13.43% – 13,82% adalah 3 jam – 5.5 jam dengan efisiensi 9.88% - 44.96% untuk alat yang menggunakan kolektor sekunder dan 4 jam – 6.5 jam dengan efisiensi 8.65% 33.72% pada alat tanpa menggunakan kolektor sekunder. Kata kunci—Gabah, efisiensi, sekunder, pengeringan.
kadar
air,
kolektor
I. PENDAHULUAN Pengolahan hasil pertanian padi (gabah) menggunakan teknologi lama (teknologi turun temurun). Proses pengolahan gabah menjadi beras diawali dari penjemuran dengan menggunakan cahaya matahari. Proses ini membutuhkan waktu tiga hari supaya dapat diolah menjadi beras. Pada proses pengeringan gabah para petani sering mengalami kesulitan karena cuaca tidak panas (musim hujan) dan dapat memperlama proses produksi beras. Dalam hal ini proses pengeringan gabah merupakan salah satu faktor penentu kualitas beras. Hal ini dikarenakan gabah pada awalnya dalam keadaan basah dan harus dikeringkan terlebih dahulu agar kadar airnya sesuai dengan standar yang disesuaikan yakni (1) gabah kering panen (GKP), gabah yang mengandung kadar air lebih besar dari 18% tetapi lebih kecil atau sama dengan 25% (18%
dengan 10% (7%
Energi III-30
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
Pada penilitian ini dilakukan variasi ketebalan gabah yaitu : 7 cm, 5 cm, dan 3 cm dengan masing-masing berat 7 kg, 4.5 kg, dan 2.5 kg. Dari hasil penilitian didapatkan waktu pengeringan untuk menurunkan kadar air gabah dari 24.6% menjadi 13.5 – 13.8% dibutuhkan waktu 4 – 6.5 jam dengan efisiensi rata-rata 12.07 – 22.16% untuk alat yang menggunakan cerobong dan 3.5 – 6 jam dengan efisiensi rata-rata 11.18 – 21.49% untuk alat yang menggunakan kipas [6]. II. LANDASAN TEORI A. Pengeringan Gabah Pengeringan gabah adalah suatu perlakuan yang bertujuan menurunkan kadar air panen 22-26 % menjadi gabah kering giling kadar air 12 - 14 % sehingga gabah dapat disimpan lama, kemungkinan berkembang biaknya serangga dan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri, daya kecambah dapat dipertahankan, mutu gabah dapat dijaga tetap baik (tidak berkecambah dan tidak berjamur), memudahkan proses penggilingan dan untuk meningkatkan randemen serta menghasilkan beras gilingan yang baik. Selain itu pengeringan juga dimaksudkan untuk menghindari aksi-aksi enzim yang terdapat pada kulit atau biji-bijian gabah. Aksi enzim ini dapat menyebabkan pembusukan dan penghancuran yang menyebabkan penurunan kualitas hasil panen [5]. Gabah memiliki 2 (dua) komposisi utama yaitu air dan gabah itu sendiri. Banyaknya air yang dikandung dalam gabah disebut kadar air dan dinyatakan dengan persen (%). Pengeringan dilakukan karena kadar air gabah panen umumnya masih tinggi yaitu 22% - 26% tergantung cuaca pada saat panen. Pengeringan harus sesegera mungkin dimulai sejak saat dipanen. Apabila pengeringan tidak dapat dilangsungkan, maka usahakan agar gabah yang masih basah tidak ditumpuk tetapi ditebarkan untuk menghidarkan dari kemungkinan terjadinya proses fermentasi. Pengeringan akan semakin cepat apabila ada pemanasan, perluasan permukaan gabah padi dan aliran udara. Adapun tujuan pengeringan disamping untuk mengurangi biaya transportasi juga untuk menurunkan kadar air dari 22 – 26% menjadi 14%, agar dapat disimpan lebih lama serta menghasilkan beras yang berkualitas baik [2]. Proses pengeringan gabah sebaiknya dilakukan secara merata, perlahan-lahan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang kurang merata, akan menyebabkan timbulnya retak-retak pada gabah dan sebaliknya gabah yang terlalu kering akan mudah pecah tatkala digiling. Sedangkan dalam kondisi yang masih terlalu basah disamping sulit untuk digiling juga kurang baik ditinjau dan segi penyimpanannya karena akan gampang terserang hama gudang, cendawan dan jamur. Alat pengering gabah merupakan suatu alat yang terdiri dari beberapa komponen yang dapat mengeringkan gabah hasil panen tanpa menjemur secara langsung di bawah sinar matahari. Alat pengering tersebut mempunyai beberapa keuntungan diantaranya terjamin kebersihan dan kualitas bahan yang dikeringkan. B. Metode Pengeringan 1. Pengeringan alami Pengeringan alami dengan menjemur atau menganginanginkan, yang dilakukan antara lain dengan :
a. b. c. d. e.
Pengeringan di atas lantai (lamporan) Pengeringan di atas rak Pengeringan dengan ikatan-ikatan ditumpuk Pengeringan dengan ikatan-ikatan yang diberdirikan Pengeringan dengan memakai tonggak. Penjemuran gabah pada lantai jemur (lamporan) adalah cara pengeringan gabah secara alami yang praktis, murah, sederhana dan umum digunakan oleh para petani. Energi untuk penguapan diperoleh dari angin dan sinar matahari. Lamporan harus bersih agar gabah padi yang dikeringkan tidak kotor. Lamporan haruslah memenuhi berbagai syarat antara lain tidak menimbulkan panas yang terlalu tinggi, mudah dibersihkan dan dikeringkan, tidak basah sewaktu digunakan, dan tidak berlubang-lubang. Lamporan pada umumnya dibuat dari semen, permukaannya agak miring dan bergelombang dengan maksud agar air tidak menggenang, mudah dikeringkan dan permukaannya menjadi lebih luas. Cara penjemuran gabah dihamparkan di lamporan setipis mungkin, namun untuk efisiensi dan mengurangi pengaruh lantai semen yang terlalu panas maka tebal lapisan dianjurkan sekitar 5 - 7 cm. Padi harus sering dibolak-balik secara merata minimal 2 jam sekali. Pengeringan padi dapat dilakukan selama ± 1 - 3 hari tergantung dari cuaca (mendung atau terik matahari). Penjemuran sebaiknya dilakukan di tempat yang bebas menerima sinar matahari, bebas banjir dan bebas dari gangguan unggas dan binatang pengganggu lainnya, penjemuran sebaiknya dilakukan dari pukul 07.00 - 16.00 atau tergantung pada intensitas panas sinar matahari. Apabila penjemuran selesai dan gabah tidak akan segera dikemas serta disimpan dalam gudang, sebaiknya tumpukan gabah ditutup dengan plastik atau zeng agar terhindar dari embun maupun hujan. Pengeringan secara alami mempunyai kelemahan antara lain : a. Memerlukan banyak tenaga kerja untuk menebarkan, membalik dan mengumpulkan kembali. b. Sangat bergantung pada cuaca, sehingga padi tidak dapat dikeringkan apabila cuaca buruk, terlebih apabila hujan datang pada saat sedang menjemur. c. Memerlukan lahan yang luas untuk jumlah gabah padi yang banyak dan lahan yang dijadikan lamporan semen tidak dapat lagi dipergunakan untuk beberapa keperluan lain. d. Sulit mengatur suhu dan laju pengeringan, sehingga banyak butir retak apabila terlalu panas seperti pengeringan di atas semen atau alas logam. 2. Pengeringan buatan Pengeringan buatan mempunyai kelebihan dibanding pengeringan alami yaitu waktu penjemuran yang lebih singkat dan gabah yang dijemur lebih bersih dan terlindung dari debu, hujan dan lain-lain. Pengering buatan bermacammacam, ada yang menggunakan listrik, matahari, bahan bakar sekam dan lain-lain. Pengeringan buatan dapat menggunakan udara dipanaskan. Udara yang dipanaskan tersebut dialirkan ke bahan yang akan dikeringkan dengan menggunakan alat penghembus fan [8] Pengeringan dengan menggunakan alat mekanis (pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas memberikan beberapa keuntungan diantaranya tidak tergantung
Energi III-31
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Pengeringan mekanis ini memerlukan energi untuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat, memanaskan bahan, menguapkan air bahan serta menggerakkan udara [4]. Alat pengering buatan pada umumnya terdiri dari tenaga penggerak dan kipas, unit pemanas (heater) serta alat-alat kontrol. Sebagai sumber tenaga untuk mengalirkan udara penggerak dapat digunakan motor bakar atau motor listrik.
pengeringan dibagi dengan energi termal yang tersedia untuk pengeringan [4] : (%) IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan TABEL 1. Waktu Yang Diperlukan Untuk Mengeringkan Gabah Tebal Gabah
III. METODE PENELITIAN
(cm)
A. Tempat Penelitian 1. Bengkel Isjar, Manuruki, Makassar sebagai tempat pembuatan alat pengering gabah. 2. Laboratorium Energi Terbarukan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasauddin, Makassar sebagai tempat pengambilan keseluruhan data berupa kadar air gabah, temperatur untuk setiap titik-titik pengukuran, tekanan udara, intensitas matahari, massa gabah. B. Rumus Yang Digunakan 1. Penurunan kadar air gabah Kandungan air suatu bahan dapat dinyatakan dalam wet basis (basis basah) atau dry basis (basis kering). Kandungan kelembaban dalam wet basis menyatakan perbandingan massa air dalam bahan dengan massa total bahan. Persentase kadar air dari sampel bahan berdasarkan basis basah sesuai dengan persamaan [8]: wd (1) M 100% w 2. Massa udara kering Pengujian dilakukan untuk mengetahui berpa banyak massa udara kering yang digunakan dalam proses pengeringan [8]: ma = ṁa x t x 3.600 (kg) (2) 3. Massa air yang diuapkan Selama proses pengeringan, temperatur bola kering berkurang sedangkan kelembaban absolut dan kelembaban relatif bertambah, temperatur bola basah dan entalpi tetap, dari diagram psikrometrik juga bisa didapatkan jumlah massa air yang diuapkan dan dapat dihitung dengan persamaan berikut [8]: mw = ma × (2 - 1) (kg) (3)
4. Efisiensi alat pengering Efisiensi sistem pengeringan matahari dapat dievaluasi berdasarkan kinerja termal atau tingkat pengeringan produk. Efisiensi termal dari pengering tenaga surya dapat didefinisikan sebagai energi termal digunakan untuk
(4)
Waktu pengeringan (jam) Tanpa kolektor
Dengan kolektor
sekunder
sekunder
3
4.0
3
5
5.5
4.5
7
6.5
5.5
Dari tabel 1 terlihat bahwa waktu pengeringan (t) berbanding lurus dengan ketebahan gabah, dimana semakin tebal gabah yang akan dikeringkan maka semakin lama pula waktu yang digunakan untuk mengeringkan gabah sampai kadar air gabah kering giling 12 – 14 %. Hal ini disebabkan karena gabah yang tebal mengandung lebih banyak uap air dibandingkan dengan gabah yang ketebalannya lebih kecil sehingga dibutuhkan waktu lebih banyak untuk mengeringkan gabah yang mempunyai ketebalan yang lebih besar. TABEL 2. Kadar Air Gabah Sebelum Dan Sesudah Pengeringan Tanpa kolektor sekunder Tebal Gabah (cm)
3 5 7
Dengan kolektor sekunder
Kadar air awal, Mi (%)
Kadar air akhir, Mf (%)
Kadar air awal, Mi (%)
Kadar air akhir, Mf (%)
24.60 24.60 24.60
13.70 13.80 13.70
24.75 24.75 24.75
13.43 13.69 13.82
B. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan Dari gambar 1 hubungan antara prosentase kadar air (M) dengan waktu pengeringan (t) dimana semakin besar waktu yang digunakan dalam pengeringan maka prosentase kadar air dari gabah semakin kecil baik untuk ketebalan 7 cm, 5 cm maupun 3 cm. Hal ini disebabkan karena adanya penguapan yang terjadi pada gabah. Pada saat t = 0 (jam 08.30), gabah belum mengalami proses pengeringan, dimana kadar air gabah masih tinggi (24.75%). Pengeringan gabah bertujuan untuk menurunkan kadar air gabah dari 24.75 % menjadi 12-14% (Standar Bulog). Dari grafik terlihat bahwa semakin lama waktu yang digunakan maka proses pengeringan akan semakin lama pula, dimana semakin lama proses pengeringan maka prosentase kadar air dari gabah akan semakin kecil karena semakin banyak uap air yang menguap dari gabah akibat adanya aliran udara panas yang melewati gabah
Energi III-32
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
oleh aliran udara yang melalui gabah. Pada awal pengeringan terlihat grafik agak landai pada kondisi ini air yang diuapkan dari gabah baru sedikit kemudian akan meningkat setelah 2 sampai 5 jam seiring dengan bertambahnya waktu dan temperatur udara pengering sampai mencapai kadar air gabah kering giling (12% - 14%). Pada proses pengeringan gabah tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk waktu pengeringan 4 jam pada tebal gabah 3 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.3544 kg sedangkan proses pengeringan gabah 5.5 jam untuk tebal 5 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.6985 kg dan proses pengeringan gabah 6.5 jam untuk tebal 7 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.8905 kg.
Gambar 1. hubungan antara kadar air gabah dengan waktu pengeringan
Pada gambar 2. Hubungan antara massa udara pengering dengan waktu pengeringan. Pada grafik terlihat bahwa semakin lama waktu yang digunakan untuk menurunkan prosentase kadar air dari gabah maka massa udara yang digunakan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk menurunkan persentase kadar air gabah dari 24.75 % menjadi 12-14% (Standar Bulog), maka akan semakin banyak air yang diuapkan dari gabah sehingga semakin banyak pula massa udara yang digunakan untuk menguapkan air tersebut. Pada proses pengeringan gabah tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk waktu pengeringan 4 jam pada tebal gabah 3 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 130.4046 kg sedangkan proses pengeringan gabah 5.5 jam untuk tebal 5 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 168.82 kg dan proses pengeringan gabah 6.5 jam untuk tebal 7 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 202.286 kg.
Gambar 2. hubungan antara massa udara pengering dengan waktu pengeringan
Hal yang sama juga didapatkan pada proses pengeringan dengan menggunakan kolektor sekunder di mana untuk pengeringan 3 jam tebal gabah 3 cm dibutuhkan massa udara sebesar 100.347 kg sedangkan proses pengeringan gabah 4.5 jam untuk tebal 5 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 159.586 kg dan proses pengeringan gabah 5.5 jam untuk tebal 7 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 196.2322 kg, jadi terjadi peningkatan massa udara pengering Dari gambar 3. hubungan antara massa air yang diuapkan terhadap waktu pengeringan. Terlihat bahwa semakin besar waktu yang digunakan untuk menurunkan persentase kadar air dari gabah maka massa air yang diuapkan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk menurunkan persentase kadar air gabah dari 24.75 % menjadi 12-14% (Standar Bulog), maka semakin banyak pula massa air yang menguap dari gabah dalam proses pengeringan karena adanya energi atau panas yang dibawah
Gambar 3. hubungan antara massa air yang diuapkan dengan waktu pengeringan
Hal yang sama juga didapatkan pada proses pengeringan yang menggunakan kolektor sekunder dimana untuk pengeringan 3 jam pada tebal gabah 3 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.38025 kg sedangkan proses pengeringan gabah 4.5 jam untuk tebal 5 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.76009 kg dan proses pengeringan gabah 5.5 jam untuk tebal 7 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.9552 kg, jadi terjadi peningkatan massa air yang diuapkan seiring dengan bertambahnya ketebalan gabah yang dikeringkan. Dari gambar 4. Hubungan antara efisiensi termal alat pengering terhadap waktu pengeringan. Terlihat bahwa efisiensi alat pengering akan naik seiring dengan bertambahnya waktu pengeringan hal ini disebabkan karena semakin tingginya temperatur udara yang masuk ke ruang pengering akibat bertambahnya intensitas cahaya matahari yang diterima oleh kolektor sehingga akan meningkatkan laju aliran massa udara yang masuk ke ruang pengering karena semakin besarnya perbedaan densitas udara luar dengan udara dalam ruang pengering. Pada kondisi ini energi panas yang dibawa oleh udara akan semakin besar pula sehingga akan semakin banyak air yang diuapkan dari gabah sampai dicapai efisiensi tertinggi kemudian akan turun kembali seiring dengan bertambahnya waktu pengeringan sampai dicapai kadar air gabah kering giling yaitu 12% – 14%. Pada kondisi ini energi panas yang dibawa oleh udara tidak lagi dimanfaatkan secara maksimal untuk menguapkan air dari gabah karena kandungan kadar air gabah semakin kecil sehingga efisiensi akan turun. Efisiensi terbaik pada pengujian tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk tebal gabah 7 cm dicapai setelah pengeringan berlangsung selama 4 jam dengan efisiensi 33.72% dan untuk tebal gabah 5 cm setelah 3.5 jam dengan efisiensi 22.06% sedangkan tebal 3 cm setelah 3 jam dengan efisiensi 17.42%, demikian juga pada pengujian yang menggunakan kolektor sekunder untuk tebal gabah 7 cm dicapai setelah pengeringan berlangsung selama 3.5 jam dengan efisiensi 44.96% dan untuk
Energi III-33
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
tebal gabah 5 cm setelah 3.5 jam dengan efisiensi 32.36% sedangkan tebal 3 cm setelah 2.5 jam dengan efisiensi 23.57%. Hal ini disebabkan karena pada jam ini energi atau panas yang dibawah oleh udara pengering dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menguapkan air dari gabah dan pada jam ini alat pengering gabah bekerja secara optimum. Untuk alat pengering yang menggunakan kolektor sekunder memberikan efisiensi yang lebih baik dari pada yang tanpa menggunakan kolektor sekunder karena laju aliran udara panas yang dipakai dalam proses pengeringan lebih cepat.
Gambar 4. hubungan antara efisiensi termal alat pengering dengan waktu pengeringan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Alat pengering gabah dengan menggunakan kolektor sekunder ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut : bahan yang digunakan adalah pelat seng tebal 0,2 mm, ukuran alat pengering 3100 × 500 x 1936 mm, ukuran plat absorber 500 × 1000 x 0.2 mm, ukuran rak pengering 500 × 500 × 80 mm, tebal kaca penutup 20 mm, ukuran saluran udara masuk masing-masing kolektor 20 x 500 mm, diameter cerobong 87 mm dengan tinggi 500 mm. 2. Persentase kadar air gabah yang dikeringkan berbanding terbalik dengan waktu pengering baik untuk alat pengering yang menggunakan kolektor sekunder maupun yang tanpa menggunakan kolektor sekunder. Kadar air sebelum dikeringkan sebesar 24.75% dan sesudah dikeringkan berkisar antara 13.4% sampai dengan 13.8%. Waktu yang diperlukan untuk mencapai persentase kadar air gabah kering giling berbanding lurus dengan ketebalan gabah baik yang tanpa menggunakan kolektor sekunder yaitu selama 6.5 jam untuk tebal gabah 7 cm, 5.5 jam untuk tebal gabah 5 cm dan 4.0 jam untuk tebal gabah 3 cm sedangkan pada alat yang menggunakan kolektor sekunder yaitu selama 5.5 jam untuk tebal gabah 7 cm, 4.5 jam untuk tebal gabah 5 cm dan 3 jam untuk tebal gabah 3 cm. Jadi pengeringan gabah lebih cepat pada alat yang menggunakan kolektor sekunder. Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa waktu yang diperlukan oleh alat pengering yang mennggunakan kolektor sekunder untuk mengeringkan gabah dari kadar air panen 24.75% sampai kadar air gabah kering giling 13.4% -13.8 % dibutuhkan waktu 3 – 5.5 jam jauh lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan secara alami yang bisa mencapai 2 – 3 hari. 3. Massa udara pengering yang dibutuhkan selama proses pengeringan pada alat yang menggunakan kolektor sekunder lebih sedikit jika dibandingkan dengan alat pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder. Pada
alat pengering yang menggunakan kolektor sekunder untuk ketebalan 7 cm membutuhkan massa udara pengering sebesar 196.2322 kg, 159.586 kg untuk ketebalan 5 cm, dan 100.347 kg untuk ketebalan 3 cm. Sedangkan pada alat pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk ketebalan 7 cm membutuhkan 202.286 kg, 168.82 kg untuk ketebalan 5 cm, dan 130.4046 kg untuk ketebalan 3 cm. Hal ini disebabkan karena laju aliran massa udara pengering untuk alat pengering yang menggunakan kolektor sekunder lebih cepat dari alat pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder. 4. Efisiensi termal alat pengering gabah akan meningkat seiring dengan bertambahnya tebal gabah dimana efisiensi maksimum diperoleh pada ketebalan gabah 7 cm yaitu sebesar 44.96% dengan alat yang menggunakan kolektor sekunder. Sedangkan efisiensi alat pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder yaitu sebesar 33.72%. Oleh karena itu alat yang menggunakan kolektor sekunder lebih baik daripada alat tanpa menggunakan kolektor sekunder. Ini hanya berlaku untuk kondisi pada alat pengering dengan spesifikasi seperti di atas dan memiliki kapasitas 8 kg. B. Saran 1. Untuk aplikasi dapat digunakan alat yang menggunakan kolektor sekunder dengan membuat kapasitas gabah yang lebih besar. 2. Untuk pembuatan dan analisis alat berikutnya sebaiknya dilakukan penambahan rak pengering dan penambahan tinggi cerobong. UCAPAN TERIMA KASIH Kepada bengkel Isjar dalam membantu pembuatan alat pengering gabah, teman-teman mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Paulus yang membantu dalam proses pengambilan data penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] Duffie, A. John, Beckman, A. William. 1980. “Solar Engineering Of Thermal Processes”. Wiley and Sons, New York, USA. [2] Dirk E. Maier, Fred W. Bakker-Arkema. 2002. “Grain Drying Systems”. St. Charles, Illinois, U.S.A [3] Holman J.P. 1988. “Perpindahan Kalor”, 6th Ed, Erlangga, Jakarta. [4] M. Mohanraj, P. Chandrasekar. 2009. “Performance of a Forced Convection Solar Drier Integated With Gravel as Heat Storage Material For Chili Drying”, Journal of Engineering and Technologi, Karunya University, Kucing Serawak. [5] Noble & Andrizal. “Kajian Praktis Penggilingan Padi”. 2003. Deptan. Jakarta. [6] Selyus R. 2012. “Analisa Efisiensi Pengering Gabah Dengan Tenaga Surya”. Makassar : Program Pascasarjana – Unhas. [7] Syukri Himran, 2005. “Energi Surya”. CV.Bintang Lamumpatue, Makassar. [8] Syukri Himran, 2011. “Kajian Pada Alat Pengering Gabah Dengan Tungku Sekam Sebagai Pemanas Udara Pengering”. Mekanika, Jurnal Teknik Mesin dan Industri, Makassar. [9] Peraturan Menteri Pertanian Selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan No. 27/Permentan/PP.200/4/2012.
Energi III-34
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Efektivitas Pembakaran Biopelet Kelapa Sebagai Energi Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah Ramah Lingkungan Subtitle as needed (paper subtitle)
Hasanuddin
Idham Halid Lahay
Universitas Negeri Gorontalo Jurusan Teknik Industri – Fakultas Teknik Gorontalo, Indonesia
[email protected]
Universitas Negeri Gorontalo Jurusan Teknik Industri – Fakultas Teknik Gorontalo, Indonesia
[email protected]
Abstract- The coconut pulp and oil-containing biomass can be converted into an alternative energy fuel that has been having trouble from the production process. The purpose of this study is (1) Make a mixture formulations biopelet of coconut pulp and coconut charcoal and knowing biopelet good combustion efficiency. (2) Determine the amount of the composition of the best biopelet derived from coconut pulp mixed formulations and charcoal. This study, conducted in the laboratory industry techniques. The method used in this study, using the method of WBT and completely randomized design (CRD) to determine efeketifitas biopelet burning and the best formulation. The data obtained were analyzed in charts and tables, then interpreted comprehensively. The results showed that formulation B (1: 2) has a greater caloric value is 6207.50 kcal / kg and the effectiveness of combustion is 83.37%, and a further 1: 3 efficiency of 77.81% and a calorific value of 4704.50 kcal / kg, and 1: 1 efficiency 70.03% and a calorific value of 4308 kcal / kg, whereas the untreated biopelet have efiensi of 72.40% and a calorific value of 4630 kcal / kg. The difference is due to differences in the efficiency of combustion heating value (kcal / kg) contained in the biopelet, higher heating value contained the higher combustion efficiency biopeletnya.Biopelet, coconut pulp, alternative energy, calorific value, burning effectiveness.
menjadi energi. Penggunaan biomassa sudah banyak dilakukan penelitian seperti briket bungkil jarak pagar, briket sekam padi, briket kelapa sawit dan sebagainya, tetapi briket tersebut memilikii kelemahan atau permasalahan bahan diantaranya bahan yang dibuat briket agak sulit contohnya bungkil jarak pagar yang masih terbatas dan memiliki musim. Padahal untuk memenuhi energi alternatif tersebut harus memiliki bahan yang mudah
didapatkan,
berlimpah,
murah
dan
aman
penggunaannya. Pemilihan jenis limbah biomassa sebagai sumber energi alternatif karena ketersediaan bahan yang berlimpah, murah, serta renewble. Seperti halnya hasil perkebunan kelapa, Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang sering ditemukan di daerah subtropis dan tropis salah satu contoh di daerah Gorontalo yang merupakan daerah penghasil kelapa. Menurut
I. PENDAHULUAN
data Badan Investasi Daerah (BID) provinsi Gorontalo tahun
Kebutuhan energi makin meningkat seiring dengan
2011, bahwa jumlah produksi buah kelapa 125,5 juta butir, dan
perkembangan zaman dan pertumbuhan jumlah penduduk,
pemanfaatannya
energi diperlukan untuk kegiatan industri, jasa, perhubungan
pembuatan minyak kelapa, kopra, padahal kelapa memiliki
dan rumah tangga. namun berkurangnya cadangan minyak,
potensi pemanfaatan yang sangat luas, mulai dari kulit, sabut,
penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan
daun, air hingga buah kelapa. Berbagai pemanfaatan
kualitas lingkungan menurun akibat penggunaan bahan bakar
pengolahan kelapa seperti pembuatan santan, minyak kelapa,
fosil yang berlebihan. Seperti halnya yang terjadi saat ini,
yang menyisahkan ampasnya dan apabila dibiarkan begitu saja,
dimana bahan bakar minyak (BBM) makin langka dan
akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan
harganya makin mahal dan secara sosial ekonomi akan berdampak pada masyarakat sebagai pengguna.
belum
maksimal
hanya
sebatas
pada
Ampas kelapa merupakan biomassa yang berasal dari zat organik hasil perasan santan yang masih mengandung
Pemerintah mengharapkan adanya energi alternatif lain
lemak yang dapat dikonversi menjadi energi. Oleh karena itu,
yang dapat dimanfaatkan, seperti biomassa yang dikonversi
Energi III- 35
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
dalam penelitian ini, yang dilakukan adalah pemanfaatan
keras sekali, tebalnya 3 – 6 mm, bagian dalam melekat pada
ampas kelapa secara optimal dengan memfokuskan pada
kulit luar dari biji atau endosperm) ;
“Membuat biopelet dari formulasi campuran ampas kelapa dan
endosperm yang tebalnya 8 – 10 mm (Setyamidjaja, 2008).
putik lembaga atau
arang kelapa dengan mengetahui efisiensi pembakaran
Buah kelapa terdiri dari 33 persen sabut kelapa, 15 persen
biopelet” pembuatan biopelet ampas kelapa sebagai energi
tempurung, 30 persen daging buah dan 22 persen air buah
alternatif bahan bakar pengganti minyak tanah yang ramah
kelapa, 34 persen minyak, 3 persen protein, 1.5 persen zat gula
lingkungan”.
dan 1 persen zat abu. Sedangkan air kelapa mengandung 2 persen gula, 4 persen zat kering dan zat abu (Setyamidjaja, 2008).
II. Tinjauan Pustaka
Buah kelapa tua yang berumur 11 bulan diperlukan untuk
a) Minyak Tanah Indonesia merupakan negara penghasil minyak bumi,
membuat kopra dan kelapa parut kering, dan ampas kelapa
yang selama ini dieksplorasi, tetapi karena merupakan minyak
hasil dari perasan kelapa dibuang ke lingkungan
bumi yang nonrewnable. Sehingga cadangan minyak bumi tersebut makin mahal. Naiknya harga minyak bumi dipasaran membuat pemikiran untuk mencari alternatif bahan bakar
c) Manfaat Ampas Kelapa Usaha budidaya tanamam kelapa melauli perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang
minyak yang rewnable. Salah satu hasil minyak bumi dari fosil adalah minyak tanah, merupakan produk minyak bumi yang berintikan hidrokarbon (tersusun atas atom hydrogen dan karbon) serta
berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa ampas kelapa (Miskyah, et al. 2006). Ampas industri pengolahan kelapa memiliki nilai gizi dan
sejumlah zat lain. Seperti nitrogen, oksigen dan sulfur serta
kandungan
sejumlah kecil unsur logam. Minyak tanah (light kerosene)
Selama ini ampas kelapa hanya dibuang atau dijadikan pakan
memiliki rentang rantai karbon dari C10-C5 dan memiliki titik
ternak tanpa mengalami perlakuan , dengan harga pasar yang
didih 150-300oC (Hardjono, 2001).
sangat rendah. Besarnya manfaat ampas kelapa dapat lebih
Penggunaan utama pada minyak tanah yaitu bahan
serat tinggi yang sangat baik bagi kesehatan.
dikembangkan atau diolah seperti
menjadi tepung kelapa
bakar kompor dalam rumah tangga. Ketergantungan minyak
yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
tanah selama ini, sangat terasa saat peralihan (konversi) ke gas
dalam industri makanan. Tepung kelapa dapat digunakan
yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam penelitian ini,
dalam produk-produk roti dan kue (bakev) serta permen
dilakukan pembuatan biopelet sebagai bahan bakar pengganti
(confectionery) sebagai pengisi,
minyak tanah dengan melihat kondisi sumberdaya alam yang
kacang, biskuit, pai, tekstur pada kue, dan lain- lain (Syah
ada di daerah. Dengan sumberdaya alam yang berlimpah dan
et.al., 2004).
misalnya dalam
permen
murah serta muda juga yang ramah lingkungan untuk
Ampas kelapa masih mempunyai nilai lemak dan protein,
dimanfaatkan. Selain pemanfaatan kembali zat organik
yang tinggi seperti pada Tabel 1. di bawah ini yaitu ampas
(biomassa) seperti ampas kelapa sebagai energi alternatif, juga
kelapa yang dihasilkan perasan santa rumah tangga. Tabel 1. Komposisi perasan santan kelapa.
dapat mereduksi dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Ampas b) Buah Kelapa
Lemak
Protein
I
63,70
6,71
II
39,55
4,04
III
30,10
3,03
IV
28,24
2,94
yang diperas
Buah kelapa terdiri dari beberapa bagian yaitu, epicarp (adalah kulit bagian luar yang permukaannya licin, agak keras dan tebalnya kurang 1/7 mm) ; mecocarp, (kulit bagian tengah yang disebut sabut, bagian ini terdiri dari serat-serat yang keras tebalnya 3 – 5 cm); endocarp, (adalah bagian tempurung yang
Energi III- 36
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
(Suhardiyono, 1995, dalam Kailaku, S.I, et al. 2009)
dalam waktu lebih lama dan mencapai
Perasan buah kelapa yang menyisahkan ampas kelapa tetapi masih
mengandung
minyak
atau
dimungkinkan untuk dikonversi berbagai
proses
biomassa,
lemak
suhu yang lebih tinggi).
atau protein,
3. mengurangi jumlah abu pada bahan
menjadi energi dengan
untuk
menghasilkan
energi
dilakukan metode seperti densifikasi. Bahan ampas kelapa dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan utama untuk dijadikan energi pengganti bahan bakar
bakar. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran
minyak dalam bentuk biopelet.
tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah ketika mencapai panjang yang
d) Biopelet Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat
diperbaharui
namun
biomassa
mempunyai
kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar, karena sifat fisiknya yang buruk, seperti kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi (Saptoadi 2006).
diinginkan (Ramsay 1982 dalam Zamiraza, F. 2009). lebih lanjut dikatakan bahwa proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat
gesekan alat
yang
memudahkan proses
pengikatan bahan dan penurunan kadar air bahan hingga mencapai 5–10%. Panas juga menyebabkan suhu pellet ketika keluar mencapai 60–65°C sehingga dibutuhkan pendinginan. Biopelet
memiliki karakteristik yang berbeda-beda
Menurut Yamada et.al. (2005), penggunaan bahan
tergantung pada bahan pembuatannya, kebanyakan pembuatan
bakar biomassa secara langsung dan tanpa pengolahan
biopelet untuk bahan bakar menggunakan zat organik atau
akan menyebabkan timbulnya penyakit pernafasan yang
biomassa seperti bungkil jarak, sekam, dan serbuk kayu.
disebabkan oleh karbon monooksida, sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Untuk memperbaiki karakteristik biomassa dilakukan cara densifikasi dalam bentuk briket atau biopelet. Densifikasi
adalah
III. METODE PENELITIAN a) Prosedur Kerja Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut yaitu:
adalah
suatu
metode
1. Pembuatan arang ampas kelapa
pengembangan fungsi suatu sumberdaya. Densifikasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan juga dapat mengurang biaya transportasi dan penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas rentang densitas kayu yaitu antara 800–1.100 kg/m3 dan
Pembuatan arang ampas kelapa dilakukan dengan cara ampas kelapa disangrai sampai ampas kelapa tersebut berwarna hitam (membentuk arang), Tahapan pembuatan biopellet sebagai berikut a. Penghancuran ukuran
densitas kamba (untuk pengemasan dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600–800 kg/m (Leach dan Gowen 1987 diacu dalam Liliana, W, 2010). Menurut
Saptoadi
(2006),
proses
bertujuan untuk mendapatkan ukuran partikel bahan
1. Meningkatkan kerapatan energi bahan, kapasitas
dihaluskan, baik ampas kelapa yang belum diarangkan maupun yang sudah diarangkan,
pemampatan
biomassa menjadi briket atau pelet dilakukan untuk :
2. meningkatkan
Ampas kelapa yang sudah diperas dicacah atau
panas
(kemampuan untuk menghasilkan panas
Energi III- 37
baku
yang
seragam
sehingga
bisa
dipelletkan dengan baik. Partikel yang kurang bagus dapat mengakibatkan biopellet tidak
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
terbentuk sempurna, setelah dihancurkan bahan
pembakaran. Dalam mengukur efisiensi pembakaran
tersebut
dihitung berdasarkan persamaan Belonio (2005)
diayak
dan
kemudian
dilakukan
penyaringan untuk mendapatkan partikel yang
diacu dalam Liliana, W. (2010) yaitu :
kecil dan seragam.
Q
£g =
b. Formulasi biopellet Dalam
tahapan
penambahan
ini
arang
dilakukan ampas
formulasi
kelapa
x 100% t x FCR x HVF
dengan
prosentase 25%, 50%, dan 75%. Bahan perekat
Keterangan:
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
£g
= efisiensi pembakaran (%)
tapioka
Q
= jumlah kalor yang dibutuhkan (kkal)
penambahan 2,5% (b/b) dari berat bahan. Sebagai
t
= waktu pemasakan (jam)
pembanding adalah biopelet 100% ampas kelapa
FCR
=
tergelatinasi
dengan
persentase
tanpa pengarangan.
bahan
bakar
yang
dibutuhkan
(kg/jam)
c. Pencetakan biopellet
HVF
Pencetakan biopellet dilakukan di laboratorium Teknik Industri UNG dengan menggunakan mesin pellet (pellet mill),
= nilai kalori bahan bakar (kkal/kg) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Efisiensi Pembakaran Biopelet Berbahan Ampas Kelapa Hasil pengujian yang dilakukan dari berbagai komposisi
d. Pengeringan
biopelet dapat dilihat pada Tabel 2. Dibawah ini:
Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan uap panas biopelet pada saat keluar dari mesin pellet. Pengeringan
dilakukan
menggunakan
Tabel 2. Data hasil pengujian biopelet dengan berbagai formulasi untuk efisiensi pembakaran
sinar
matahari. Setelah benar-benar kering biopellet
N kom posi o si
ampas kelapa bisa dijadikan sebagai bahan bakar 1
untuk memasak (pengganti minyak tanah). 2. Efisiensi pembakaran biopelet Karakteristik fisik biopelet akhir yang diukur adalah
t (jam ) 0.17
1:1
karbon
terikat.
Analisis
1077.0
FCR (kg/jam)
Efisiensi pembakar an(%)
2.10
70.03
2.01
83.37
4704.50
2.30
77.81
4630
3.35
72.40
0
2
1:2
0.17
3
1:3
0.17
4
1:0
nilai kalori, kadar abu, kadar air, kadar zat terbang, kadar
HVF (kkal/kg ) 4308
Q (kkal)
0.17
karateristik
1724. 31 1306. 81 1852. 00
6207.50
pembakaran biopelet dilakukan dengan metode Water Boiling test (WBT) dengan mendidihkan 3 liter air. WBT merupakan simulasi kasar dari proses
Efisiensi komposisi
pembakaran
dimaksudkan
biopelet
untuk
dengan
mengetahui
berbagai keefektifan
pembakaran dengan melihat parameter-parameter uji yang
pemasakan yang dapat membantu kita untuk
tergandung dalam biopelet tersebut. Pada pengujian ini, waktu
mengetahui seberapa baik energi panas dapat
yang digunakan dalam pegujian efektifitas pembakaran
ditransfer pada alat masak masak (Liliana, W. 2010).
berbagai komposisi adalah 0.17 jam atau + 10 menit.
Parameter yang diukur adalah waktu pendidihan air,
Sedangkan pengujian ini, menggunakan air sebanyak 3000 mL
laju
atau 3 Liter, maksud penggunaan air adalah untuk mengukur
komsumsi
bahan
bakar,
dan
efisiensi
Energi III- 38
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
waktu
dan
kebutuhan
kalor
yang
digunakan
dalam
efisien pembakarannya disebabkan dengan nilai kalornya lebih
mendidihkan air tersebut. Dari Tabel 2. Terlihat bahwa
besar dibandingkan dengan nilai kalor komposisi yang lain.
efektifitas pembakaran biopelet untuk berbagai komposisi
Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin besar
menunjukkan 1:2 yang memiliki efisiensi sebesar 83.37%, dan
nilai kalor (kkal/Kg) suatu biopelet akan mempengaruhi
selanjutnya 1:3 dengan efisiensi 77.81%, serta komposisi 1:1
kebutuhan jumlah kalor pada efisiensi pembakaran biopelet
dengan efisiensi 70.03%, sedangkan biopelet tanpa mengalami
tersebut.
perbandingan atau perlakuan campuran memiliki efiensi pembakaran sebesar 72.40%.
Efisiensi pembakaran biopelet sangat diharapkan untuk menghasilkan biopelet yang terbaik, dalam kebutuhan proses
Perbedaan efisiensi pembakaran dari berbagai komposisi
pemasakan. Kebutuhan bahan bakar (kg/jam)
sangat
terlihat dengan adanya perbedaan nilai kalor (kkal/kg) yang
ditentukan untuk digunakan dalam proses pemasakan. Hasil
terkandung dalam biopelet tersebut, makin tinggi nilai kalor
penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan bahan bakar yang
yang terkandung maka makin tinggi efisiensi pembakaran
paling banyak adalah perameter kontrol sebesar 3.35 kg/jam,
biopeletnya. Sedangkan biopelet yang tidak mengalami
untuk 1:3 sebesar 2.30 kg/jam, 1:1 yaitu 2.10 serta 1:2 sebesar
perlakuan campuran memiliki efiensi pembakaran yang lebih
2.01, melihat data yang ada menunjukkan bahwa efisiensi
besar
mengalami
pembakaran yang terbaik dari sisi kebutuhan bahan bakar
perlakuan campuran yaitu 1:1, ini terlihat bahwa nilai kalor
adalah perbandingan 1:2, dimana pada perbandingan tersebut
dari campuran 1:1 memiliki nilai kalor yang rendah daripada
menghasilkan
biopelet yang tidak mengalami campuran (kontrol). Dengan
dibandingkan dengan komposisi lain. Hal ini keefektifan
demikian bahwa pada penelitian biopelet ampas kelapa dengan
dalam menggunakan bahan bakar perlu diperhatikan. Efisiensi
efisiensi pembakaran dengan kandungan nilai kalor, sangat
pembakaran pada biopelet yang dibutuhkan adalah kecepatan
berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran. Makin tinggi nilai
pembakaran, waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan
kalor biopelet ampas kelapa maka makin efisien pembakaran
kebutuhan penggunaan bahan bakar yang sedikit.
dibandingkan
dengan
biopelet
yang
juga makin tinggi.
Hasil
efisiensi
penelitian
pembakaran
menunjukkan
yang
lebih
bahwa
baik
efisiensi
Jumlah kebutuhan kalor (kkal) pada penelitian ini,
pembakaran pada biopelet ampas kelapa dilihat pada Tabel 2.
menunjukkan perbedaan dengan berbagai komposisi atau
Menunjukkan bahwa komposisi 1:2 merupakan parameter
perlakuan, untuk 1:2 dengan kebutuhan jumlah kalor (kkal)
yang lebih efisien dalam proses pembakaran. Efisiensi
yang terbanyak yaitu 1724.31 kkal, dan 1:3 jumlah kalor yang
pembakaran dapat dipengaruhi oleh besarnya nilai kalor dan
dibutuhkan yaitu 1306.81 kkal, dan untuk 1:1 kalor yang
bahan bakar yang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapat
dibutuhkan 1077.00, sedangkan biopelet tanpa perlakuan
Djatmiko at.al (1981), mengatakan bahwa arang yang baik
memiliki kebutuhan jumlah kalor sebesar 1852.00. Adanya
bilamana memiliki nilai kalor yang tinggi.
perbedaan kebutuhan jumlah kalor (kkal) tersebut tidak dipengaruhi oleh komposisi biopelet, dimana biopelet tanpa adanya campuran perlakuan atau kontrol menghasilkan efisiensi pembakaran lebih baik dan jumlah kebutuhan kalor (kkal)
dibandingkan
mengalami
perlakuan
dengan 1:1,
komposisi dan
1:3.
biopelet Hasil
yang
penelitian
menunjukkan bahwa nilai kalor yang terkandung pada biopelet tidak terlalu jauh berbeda yang mengalami perlakuan perbandingan ampas kelapa murni dan ampas kelapa yang sudah diarangkan. Tetapi hanya perbandingan 1:2 yang lebih
V. KESIMPULAN Efisiensi
pembakaran
dengan
berbagai
komposisi
dimaksudkan untuk mengetahui keefektifan biopelet sebagai bahan bakar alternatif, Dari berbagai komposisi tersebut, dapat disimpulkan yaitu persentase efesiensi pembakaran yang terbaik adalah perlakuan B (1:2), 83.37% dengan nilai kalori 6207.50 kkal/kg, dan selanjutnya 1:3 efisiensi 77.81% dan nilai kalori 4704.50 kkal/kg, serta 1:1 efisiensi 70.03% dan nilai kalori 4308 kkal/kg, sedangkan biopelet tanpa perlakuan memiliki efiensi sebesar 72.40% dan nilai kalor
Energi III- 39
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
4630 kkal/kg.
Perbedaan efisiensi pembakaran dengan
adanya perbedaan nilai kalor
(kkal/kg) yang terkandung
dalam biopelet tersebut, makin tinggi nilai kalor yang terkandung
maka
makin
tinggi
efisiensi
pembakaran
biopeletnya.
DAFTAR PUSTAKA [1] [BID] Badan Investasi Daerah. 2011. Produksi Kelapa di Propinsi Gorontalo. http:/www.bidpropinsigorontalo.com. diakses 23 januari 2012 [2] Belonio AT 2005. Rice Husk Gas Stove Handbook. Iloilo City: Central Philippine University [3] Djatmiko, B.S., Ketaren, dan Setyahartini. 1981. Arang Pengolahan dan Kegunaannya.Jurusan Teknologi Pertanian IPB. Bogor [4] Hardjono, 2001. Teknologi Minyak Bumi, Gajah Mada University press. Jogjakarta. [5] Kailaku, SI., Mulyawanti, I., Dewandari, K.T., Syah, A.N.A. (2009). Potensi Tepung Kelapa dan Ampas Industrl Pengolahan Kelapa. Prosiding Seminar Nasionl Teknologi Inovatif untuk pengembangan Industri Bebasis pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor [6] Liliana, W. 2010. Peningkatan Kualitas Biopelet Bungkil Jarak Pagar Sebagai Bahan Bakar Melalui Teknik karbonisasi. [Tesis] Fakultas Teknologi Pertanian IPB. [7] Miskiyah., Mulyawati, I., Haliza, W. 2006. Pemanfaatan Ampas Kelapa Limbah Pengolahan Minyak Kelapa Murni Menjadi Pakan. Jurnal Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
[8] Saptoadi H. 2006. The Best Biobriquette Dimension and its Particle Size. The 2nd Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE 2006)”21-23 November 2006. Bangkok, Thailand. [9] Setyamidjaja, D. 2008. Bertanam Kelapa. Penerbit Kanisius, Yogyakarta [10] Syah, A. N. A, R. Thahir, Risfaheri, Yulianingsih, D. Sumangat, K. T. Dewmdari. 2004. Penelitian Pengembangan Pengolahan Minyak Kelapa Murni Terpadu. Laporan Akhir Tahun Penelitian. Balai Besar Pascapanen Pertanian. Bogor. [11] Yamada K, M. Kanada, Q. Wang, K. Sakamoto, I. Uchiyama, T. Mizoguchi dan Y. Zhou. 2005. Utility of Coal-Biomass Briquette for Remediation of Indoor Air Pollution Caused by Coal Burning in Rural Area, in China. Proceedings: Indoor Air 2005-3671. [12] Zamirza, F. 2011. Pembuatan Biopelet dari Bungkil Jarak Pagar (Jathropa curcas L.) Dengan Penambahan Sludge dan Perekat Tapioka,[Skripsi] Fakultas Pertanian Teknologi Pertanian IPB. Bogor
.
Energi III- 40
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Studi Analisis Hasil Pembakaran dan Prestasi Kerja Ketel Uap Berbahan Bakar Batubara Lignite Pada PLTU Merauke - Papua Herman Dumatubun
Yusuf Siahaya
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Amamapare Timika, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email: -
Abstract—An analysis study results of combustion and work performance a steam boiler fuel cell coal lignite on coalfired power plant Merauke - Papua. ( supervised by Yusuf Siahaya). This research was meant to find out the amount of the need for air burning coal lignite in the stokers and efficiency of a steam boiler and work performance of a steam boiler on coal-fired power plant Merauke - Papua.The research on doing in PT. PLN (Persero) branch of Merauke. This type of research is to simply processing data obtained from PT. PLN Center Jakarta. Data on the composition of the data acquired is fuel, boiler specification, energy balance and other supporting data. This experiment in start by analyzing the process of combustion coal in the stokers to acknowledge the number needs air combustion that in supply right inside the stoker to burn coal and then in continue by analyzing work performance work of any components to a steam boiler. The research results showed that the amount of air needed to burn 1 kg of coal is 4,676 kgair / kgcoal or 78482,47 kgair to burn fuel 16.784 kg/h with a breakdown of the number of primary air 64599,34 kg/h (82,32%) and the number of secondary of secondary air 13883,13 kg/h (17.68%). As for work performance a steam boiler on coal-fired power plant Merauke - Papua, total input heat in earn of 99,93 x 106 Btu / h. where furnace and superheater absorb heat that larger. Furnace heat absorbing of 43,634 x 106 Btu/h (50%) or 12,77 MW, superheter absorb heat by 26,056 x 106 Btu/h (29,85 %) or 7,66 MW, while the economizer and airheater each absorb heat of 8,290 x 106 Btu/h (9.49%) or 2.42 MW and 9,288 x 106 Btu/h (10.64%) or 2,71 MW. Keywords: Coal, Stokers, primary and secondary Air, Furnace, Superheater, Economiser and Airheater.
I. PENDAHULUAN Pertumbuhan beban pada sistem kelistrikan wilayah Papua khususnya system kelistrikan Merauke mengalami peningkatan yang besar, sehingga kebutuhan daya telah melampaui kemampuan pembangkitan yang ada Daya mampu pembangkit milik PLN di Merauke hanya sebesar 10.8 MW, yang didapat dan Sistem Kelistrikan Merauke ditambah pasokan dari PLTD sewa. Sedangkan
beban puncak telah mencapai 10.2 MW dan beban rata – rata 5.6 MW, sehingga apabila PLTD sewa mengalami gangguan atau pemeliharaan akan menyebabkan pemadaman. Daftar tunggu pelanggan baru di Merauke sampai saat ini adalah sebesar 7,5 MW . Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut, telah direncanakan penambahan infrastruktur ketenagalistrikan yakni sebuah pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) dengan daya 2 x 7 MW sebagaimana dimuat dalam Perpres No. 71 tahun 2006 (lampiran tentang penugasan kepada PT. PLN untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara), yang kini sedang dalam tahap pembangunan.[1] Untuk mengoptimalkan pemakaian bahan bakar dan panas, maka proses pembakaran bahan bakar pada boiler harus semaksimal mungkin agar dapat di ketahui jumlah bahan bakar, jumlah panas yang di gunakan dan jumlah panas yang hilang selama proses berlangsung serta daerah mana yang mengalami kehilangan panas yang besar sehingga dapat di atasi agar alokasi dana terhadap pemakaian bahan bakar dapat di kurangi.
II. LANDASAN TEORI A.
Letak Lokasi Pembangkit. Pada gambar 1 menunjukan bahwa lokasi PLTU Merauke berada di Desa Gudang Arang, kecamatan Merauke, Kabupaten Merauke, Propinsi Papua. Jarak lurus antara lokasi ini dan bandara Mopah, Merauke ± 8 km ke arah utara. Jarak lokasi Gudang Arang ke ibu kota Propinsi Papua, Jayapura di ukur dengan garis lurus berjarak ± 800 km. Gudang Arang telah di tentukan dan di pilih menjadi tempat pembangkit PLTU karena berada di tepi sungai Maro sehingga untuk kebutuhan air pendingin dapat mengambil air dari sungai tersebut. Karena air pendingin menggunakan air sungai di mana sungai Maro memiliki debit air yang cukup besar maka system pendingin bisa di usahakan menggunakan system once – thru yang lebih hemat. Akses jalan masuk ke lokasi dapat di lalui menggunakan kapal melewati sungai Maro yang memiliki lebar lebih dari 300 m. untuk pengangkutan peralatan PLTU dan bahan bakar batubara dengan menggunakan kapal dan membongkar muatannya pada jetty di
Energi III-41
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
pelabuhan atau dengan membuat temporary jetty. Sedangkan untuk jalan darat, tersedia jalan darat selebar 8 m ke lokasi PLTU yang sering di gunakan untuk transportasi pengangkutan batuan dalam kondisi bagus. Berikut ini adalah gambar lokasi PLTU Merauke [1] :
andal dan dapat bertukar satu sama lain dengan cepat, maksimum pada pemeliharaan dalam keadaan berbeban dalam hal darurat, potensi ledakan, api, kebocoran material berbahaya dan panas dapat dikurangi menjadi minimum serta ke s e d e r h a n a a n p o l a k er j a d a n s i s t e m i n t e r l o k u n t u k memperkecil kesalahan. Nilai ekonomis. Dengan karakteristik sebagaimana diuraikan pada Sub ayat 1 s/d 4 diatas maka boiler Stoker adalah tipe yang secara ekonomis paling murah menghasilkan tenaga listrik.[1] Berikut ini adalah diagram alir ketel uap PLTU Merauke – Papua :
Gambar 1. Peta Lokasi PLTU Merauke
B. Karakteristik Boiler Stokers. Boiler tipe stoker telah terpilih untuk digunakan di PLTU Merauke sebagai hasil studi yang mempertimbangkan kriteria sebagai berikut : Perlindungan lingkungan Fleksibilitas pembakaran Operasi beban dasar Keandalan dan keselamatan Biaya. Masing – masing kriteria diterangkan sebagai berikut : Pertimbangan Perlindungan Lingkungan. Operasi boiler stoker akan mematuhi kedua – duanya baik batas emisi maupun standar mutu udara lingkungan oleh Pemerintah Indonesia dengan jenis batubara yang dipakai. Emisi NOx retatif mudah dicapai untuk dibandingkan dengan standar lingkungan karena sistem stoker membutuhkan suhu diruang bakar lebih rendah dibandingkan dengan boiler. Emisi SO x j ug a r end ah kar ena me makai b atub ar a d engan kandungan sulfurnya rendah. Karakteristik Pola Operasi Boiler stoker harus mampu untuk beroperasi memikul beban dasar dengan karakteristik : stabil dan secara terusmenerus beroperasi walaupun jenis batubara diubah kepada yang berbeda kuatitas, dapat terus-menerus beroperasi tanpa unit berhenti operasi (shutdown) terutama ketika ada peralatan yang trip atau pasokan batubara tiba-tiba trip dan mampu menghasilkan uap sebesar kira – kira 70% dengan hanya satu draft fan yang beroperasi. Ketersediaan dan Keamanan Maksimum Boiler stoker mempunyai kemampuan, keamanan dan keluaran maksimum dengan karakteristik sebagai berikut : Sistem sederhana dan mudah dioperasikan, duplikasi peralatan penting atau membagi peralatan bergerak yang penting ke dalam dua system, sistem yang
Gambar 2. Diagram Alir PLTU Merauke – Papua.
Pada gambar 2 di atas di jelaskan bahwa ketel uap PLTU Merauke – Papua menggunakan ketel uap type stoker jenis traveling grade, di mana mula – mula batubara dari coal house melalui belt conveyor, coal bunker dan corong, kemudian batubara di umpankan ke ujung grade baja yg bergerak, ketika grade bergerak di sepanjang tungku, batubara akan akan terbakar sebelum jatuh pada ujung conveyor sebagai abu. Ukuran batubara harus seragam sebab bongkahan yang besar tidak akan terbakar sempurna pada waktu mencapai ujung grade. Pada saat yang bersamaan, udara dari Force Draft Fan (FDF) yang sebelumnya mendapatkan pemanasan awal dari Airheater akan di tiup masuk ke dalam dapur shg memaksimalkan tenaga dorong pada saluran masuk bahan bakar bersamaan juga dengan terjadinya proses pembakaran pada stoker. FDF sangat di butuhkan untuk mensuplai udara primer dan sekunder untuk membakar batubara. Air dari daerator akan di pompa masuk ketel ( drum ) melalui Economiser dengan tujuan agar mendapat pemanasan awal. Pada proses pembakaran di dalam dapur, air dari drum akan di alirkan dalam pipa – pipa air sepanjang ketel uap untuk pemanasan / perebusan dan akan kembali lagi ke drum dalam bentuk uap jenuh. Uap pada drum berada di atas dan air di bagian bawah, setelah itu uap tersebut di alirkan lagi ke Superheater untuk pemanasan lanjut guna mendapatkan uap kering. Uap yang di hasilkan akan di alirkan ke turbin uap untuk keperluan pembangkit daya listrik. Setelah di turbin, uap akan di ekstrasi dengan tujuan agar air pengisi ketel uap mendapat pemanasan awal, meskipun pada Economiser juga terjadi pemanasan awal. Ini semua bertujuan agar proses pembentukan uap di ketel lebih efisien. Gas sisa hasil pembakaran akan keluar melalui saluran buang, namun
Energi III-42
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
sebelumnya akan melewati dust collector agar debu – debu yang ikut terbawa bersama gas buang dapat di saring sehingga dapat mengurangi polusi udara sebelum keluar ke atmosfir.[1] C. Sistem Pembakaran Batubara Lignit. Untuk mencapai efisiensi pembakaran yang bisa diterima, bahan bakar stoker harus dihancurkan ke ukuran kecil di sekitar 20 mm sampai 40 mm, tergantung pada kandungan zat yang mudah menguap dan mudah terbakar atau volatile matter disingkat VM pada batubara. Jika VM lebih tinggi, ukuran bahan bakar lebih besar bisa diterima. Namun, ukuran kecil 6 mm, perlu dibatasi maksimum 50 persen. Alat penghancur batubara akan ditempatkan pada menara perpindahan ( transfer tower) setelah corong penuangan (underground reclaiming hopper). Penghancur adalah dari jenis cincin. Batubara yang telah dihancurkan akan dibawa dengan belt conveyor dan disimpan pada dua ( 2 ) tangki baja yang memuat batubara untuk masing – masing boiler. Tangki ini biasa disebut bunker atau silo boiler, volumenya sekitar 46 m3 untuk masing – masing bunker. Satu saluran akan disediakan untuk masing – masing bunker dengan suatu sudut jatuh kira – kira 70° diatas wahana yang horisontal. Kapasitas penyimpanan batubara masing – masing unit boiler adalah untuk 12 jam operasi pada beban penuh. Suatu katup buka tutup yang dioperasikan secara manual disediakan untuk saluran bunker masing – masing untuk mengisolasi bunker dengan combustor. Batubara akan mengalir dari masing – masing bunker batubara ke pemasok gravimetric yang dilengkapi dengan alat kendali yang akan mengatur aliran batubara ke ruang pembakaran (combustor). Penyesuaian jumlah aliran akan dikendalikan baik dari kendali unit maupun oleh kendali manual. Minimum ada dua ( 2 ) titik pemasukan batubara ke combustor. Jika berat jenis batubara rendah, maka titik pemasukan perlu lebih banyak untuk mengimbangi volume fisik yang lebih besar.[1] Di dalam stoker, udara primer dimasukkan ke dalam bagian yang lebih rendah pada combustor, dimana material bed diapungkan dan ditahan dalam bentuk cairan. Udara sekunder dimasukkan pada tingkat yang lebih tinggi pada tungku perapian untuk memastikan terjadinya pembakaran sempurna. Gas asap pembakaran yang dihasilkan diruang bakar mengalir naik dengan membawa padatan yang akan diambil oleh Particle removal. Tiap boiler akan diperlengkapi dengan brander minyak untuk pemanasan ruang bakar saat boiler mulai dinyalakan, dapat juga dipakai untuk operasi pada beban rendah. Ignitor atau pemantik brander disediakan untuk semua brander dan kapasitasnya tidak kurang dan 10% kapasitas brander. [2] D. Kebutuhan Udara Pembakaran. Untuk mengetahui kebutuhan udara pembakaran pada stoker maka di pakai beberapa persamaan di bawah ini. Langkah pertama adalah mencari perbandingan udara dan bahan bakar stokiometris dengan persamaan berikut [3] :
(1) Kemudian mencari perbandingan udara dan bahan bakar aktual dengan persamaan berikut : (2) Lalu mencari persamaan berikut :
faktor
kelebihan
udara
dengan
(3) Setelah itu kita mencari massa molar bahan bakar dengan persamaan berikut [4] : (4) Dimana yi adalah komposisi kimia dari bahan bakar dan Mi adalah massa molar dari unsur kimia. Kemudian mencari berat gas hasil pembakaran dengan persamaan berikut : (5) Lalu dilanjutkan dengan mencari jumlah kebutuhan udara sekunder dengan persamaan berikut : (Wa)sekunder = Wa x Tb (6) Dimana Tb adalah jumlah bahan bakar yang di bakar per jam, (16.784 kg/jam). Dan selanjutnya kita mencari berat gas asap spesifik dengan persamaan berikut [5] : (wg)sp = 1,25(N2)v + 1,43(O2)v + 1,96(CO2)v + 1,25(CO)v + 0,80(H2O)v (7) Setelah itu kita mencari berat gas asap total dengan persamaan berikut : (8) Dan kemudian mencari berat nitrogen dalam dalam gas asap dengan persamaan berikut : (9) Dimana (N2)W adalah kandungan N2 dalam bahan bakar. Lalu selanjutnya mencari jumlah kebutuhan udara primer dengan persamaan berikut : (10) Dan kita peroleh total kebutuhan udara primer dengan persamaan berikut : (Wa)primer total =( Wa )primer x Tb (11)
E. Prestasi Kerja Ketel Uap. Perhitungan kinerja dan penyerapan panas dari setiap komponen – komponen mulai dari Superheater, Economizerdan Airheater adalah sebagai berikut [7]. Langkah pertama untuk menghitung besarnya perpindahan panas pada permukaan dengan persamaan di bawah ini : (12) Kemudian menghitung laju perpindahan panas konveksi dan radiasi inter tube dengan persamaan di bawah ini : (13)
Energi III-43
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dimana qci adalah laju perpindahan panas konveksi dan qr adalah laju perpindahan panas radiasi. Lalu menghitung gas yang meninggalkan komponen ketel uap dengan persamaan berikut ini :
(23)
Dimana ΔPSD adalah resistansi fan dan ΔPSR adalah resistansi cerobong.
(14) Di mana adalah temperatur gas meninggalkan komponen ketel uap, (F), adalah temperatur gas masuk komponen ketel uap, (F), adalah laju aliran massa gas, (lb/h) dan adalah panas spesifik gas rata – rata , (btu/lb.F). Setelah itu dilanjutkan dengan menghitung fluks massa udara dengan persamaan berikut ini: (15) Dimana ma adalah laju aliran massa udara dan Aa adalah luas penampang pipa. Lalu kemudian menghitung bilangan Reynolds dengan persamaan berikut ini: (16) Dimana De adalah diameter pipa,(ft) dan μ adalah viskositas absolute uap. Selanjutnya menghitung hambatan udara dari windbox inlet ke air heater outlet dengan persamaan berikut ini : (17) Di mana fL adalah panjang pipa, (ft), N adalah factor kerugian dan B adalah tekanan barometris. Dan kemudian menghitung jumlah kerugian udara dari air heater inlet ke forced draft fan transition outlet dengan persamaan berikut ini: (18)
III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT. PLN (Persero) Cabang Merauke, Kabupaten Merauke Propinsi Papua yang di mulai dari bulan Februari – Maret 2012 dengan mencatat data – data teknis ( Data perancangan ) PLTU Merauke - Papua serta data – data lain untuk keperluan penelitian. Dan keseluruhan data menyangkut komposisi bahan bakar, data kesetimbangan energy seperti temperature, tekanan, enthalpy dan laju aliran massa yang masuk dan keluar setiap komponen pada ketel uap serta data spesifikasi dan dimensi dari ketel uap serta komponen – komponen di dalamnya yang di tampilkan pada penelitian ini bersumber dari PT. PLN ( Persero ) Kantor Pusat Direktorat Perencanaan dan Teknologi Jakarta. B. Metode Penelitian. Penelitian yang dilakukan hanya dengan mengolah data yang di peroleh, di mulai dengan Menganalisa proses pembakaran bahan bakar di ruang bakar untuk mengetahui jumlah kebutuhan udara pembakaran pada stokers, menganalisa prestasi kerja masing – masing komponen boiler dan proses perpindahan panas dengan menggunakan metode BTU dan menganalisa kesetimbangan energy serta menganalisa potensi terjadinya slagging dan fouling pada ketel uap.
Lalu menghitung rata – rata tekanan statis pada forced draft (FD) fan outlet transition dengan persamaan berikut ini:
IV. ANALISI HASIL PEMBAHASAN A. Data Statistik Data pada tabel 1 dibawah ini digunakan untuk menghitung total berat udara yang di butuhkan per kilogram bahan bakar.
(19) Selanjutnya menghitung jumlah kerugian udara dari air heater inlet ke forced draft fan transition outlet dengan persamaan berikut ini: (20) Kemudian dilanjutkan dengan menghitung rata – rata tekanan statis pada forced draft (FD) fan outlet transition dengan persamaan berikut ini :
Chemical CO2 H2O O2 N2 Total :
Tabel 1. Hasil pembakaran batubara lignit Mol / 100 Molar mass Massa lb (mol/lb) (kg/kg bb) 197,97 44 8710,68 61,69 18 1110,42 144,44 32 4622,08 679,80 28 19034,4 1083,9 33477,58
(21) Setelah itu menghitung efek cerobong untuk furnace dengan persamaan berikut ini : (22)
Data pada tabel 2 dibawah ini di gunakan untuk menghitung berat gas asap spesifik serta kebutuhan udara pembakaran bahan bakar.
Dimana Z adalah garis tengah dari furnace exit, ( ft ) dan SE adalah efek cerobong. Sehingga kita peroleh nilai rata – rata tekanan statis pada induced draft fan outlet dengan persamaan berikut ini :
Tabel 2. Hasil presentasi pembakaran. Chemical Percent (%) CO2 25,77 H2O 4,48
Energi III-44
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
N2 O2 CO
Air heater : Temperatur udara masuk AH Tekanan Barometric Temperatur gas keluar AH
41,13 28,60 0,505
Sedangkan data pada tabel 3 dan 4 digunakan untuk menghitung prestasi kerja masing – masing komponen pada ketel uap. Tabel 3. Hasil presentasi pembakaran. Desain Fisik – Ruang Bakar Konstruksi : 2 in. diameter luar pipa (OD) Lebar : 12 ft Volume : 5810 ft3 Tinggi : 14 ft Permukaan : 1800 ft. luas permukaan area Desain Fisik – Komponent. Parameter Units SH Eco AH Diamater pipa luar (OD) in. 2 1,5 1,75 Jarak antar baris in. 3 3 4 Jarak antar pipa dalam baris in. 6 3 3 Jumlah baris pipa 12 12 35 Banyaknya pipa per baris 24 68 50 Panjang pipa ft 18 10 19 Permukaan yang dipanaskan ft2 2713 3203 15,226 2 Area aliran bebas ft Gas 98 52 43 udara Air 90
86 F 30 in. Hg 502 F
Sehingga dengan menggunakan persamaan (1) sampai (11) serta data dari tabel 1 dan 2, maka dapat diperoleh jumlah kebutuhan udara pembakaran untuk membakar 16.784 kgbahan bakar/jam di dalam stoker seperti di perlihatkan pada tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Jumlah kebutuhan udara pembakaran. Udara Kebutuhan Udara Pembakaran (kg udara / jam ) Primer 64599,34 Sekunder 13883,13 Total : 78482,47
B. Kebutuhan Udara Pembakaran. Adapun bahan bakar yang di gunakan adalah batubara lignite (C100H85O28 N1,7) [3], maka reaksi pembakarannya adalah :
Maka dari reaksi pembakaran diatas diperoleh massa bahan bakar ( F ) sebesar 1758 kg dan massa udara ( A ) sebesar 3576,8 kg. Tabel 4. Kondisi Pengoperasian.
Presentasi Udara (%) 82,32 17,68 100
C. Prestasi Kerja Ketel Uap. Dengan menggunakan persamaan (12) sampai (23) serta data dari tabel 3 dan 4, maka dapat di peroleh prestasi kerja setiap komponen pada ketel seperti di tunjukan pada tabel 6 berikut ini : Tabel 6. Total penyerapan panas komponen ketel uap. Komponen
Panas yang diserap
Ruang bakar Super Heater Economiser Air Heater Total :
43,634 x 106 Btu/h 26,056 x 106 Btu/h 8,290 x 106 Btu/h 9,288 x 106 Btu/h 86,559 x 106 Btu/h
Kondisi Pengoperasian Bahan Bakar : Batubara Lignite – Indonesia Analisis Pembakaran. Ultimasi, % by wt Proximasi, % by wt C = 54,03 Moisture = 18,40 H2 = 3,83 Volatiles = 22,57 S = 0,33 Fixed carbon = 54,03 O2 = 17,06 Ash = 5 N2 = 1,35 100 H2O = 18,40 Ash = 5 100 Nilai Kalor Atas 15.080 Btu/lb Kelebihan Udara 36 % by wt Karbon yang tidak terbakar 0,42 % by wt Kerugian yg tak di ketahui 1,5 % by wt Kerugian akibat Radiasi 0,40 % by wt Temperatur gas 1850 F Keluar Superheater : Aliran uap 81.570 lb / h Temperatur uap 842 F Tekanan uap 580 psig Enthalpy uap 1432,09 Btu / lb Masuk Economizer : Aliran air 81.570 lb / h Temperature air 396 F Tekanan air 638 psig Entalphy air 370,65 Btu / lb
Daya yang dihasilkan 12,77 MW 7,66 MW 2,42 MW 2,71 MW 25,56 MW
Presentasi 50 % 29,85 % 9,49 % 10,64 % 100 %
Gambar 3. Grafik penyerapan panas pada ketel uap.
Energi III-45
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada gambar 3 diatas menunjukan penyerapan panas pada komponen ketel uap dan temperatur profilnya, dimana furnace dan superheater menyerap panas yang lebih banyak. Furnace memanfaatkan panas yang tersedia untuk menghasilkan uap jenuh, Superheater menaikan temperatur uap untuk kondisi outlet yang diinginkan, Economizer akan mengendalikan temperatur gas, sedangkan Airheater menyediakan udara panas untuk pembakaran dan bersama – sama dengan economizer meminimalkan temperatur gas buang yang ke cerobong, mengurangi hilangnya kalor sensibel dan meningkatkan efisiensi ketel uap.
99,93 x 106 Btu / h, telah berhasil di serap oleh masing – masing komponen pada ketel uap untuk menghasilkan daya. Dimana furnace dan superheater menyerap panas yang lebih besar. Furnace menyerap panas sebesar 43,634 x 106 Btu/h ( 50 % ) atau sebesar 12,77 MW, superheter menyerap panas sebesar 26,056 x 106 Btu/h (29,85 %) atau sebesar 7,66 MW, sedangkan economizer dan airheater masing – masing menyerap panas sebesar 8,290 x 106 Btu/h (9,49 %) atau sebesar 2,42 MW dan 9,288 x 106 Btu/h (10,64 %) atau sebesar 2,71 MW. DAFTAR PUSTAKA
V. KESIMPULAN Dari hasil analisis hasil pembakaran dan prestasi kerja ketel uap berbahan bakar batubara lignite pada PLTU Merauke – Papua, maka dapat di ambil beberapa kesimpulan di antaranya adalah : 1. Pada analisis hasil pembakaran batubara lignite di ketahui bahwa jumlah rata – rata udara yang di butuhkan untuk membakar 1 kg bahan bakar pada stokers adalah sebesar 4,676 kgudara / kgbahan bakar, atau sebesar 78482,47 kgudara untuk membakar 16.784 kgbahan bakar / jam dengan rincian jumlah udara primer sebesar 64599,34 kg/jam ( 82,32 % ) dan jumlah udara sekunder sekunder sebesar 13883,13 kg/jam ( 17,68 % ). 2. Pada prestasi kerja ketel uap pada PLTU Merauke – Papua, di mana dari total input panas yang di hasilkan sebesar
[1] PT. Arkonin Engineering Manggala Pratama, (2010). Pekerjaan jasa konsultasi Paket S-1 Studi Kelayakan PLTU Merauke – Papua. PT. PLN Pusat Jakarta [2] www.energyefficiencyasia.org. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia [3] Taufiq, (2008). Proses dan Reaksi Pembakaran. FT UI. [4] Suresh Bhakta Shrestha, (2003). Heat and Power Engineering [5] Djokosetyardjo, Ketel Uap. (1999). Penerbit Pradnya Paramita Jakarta. [6] Syamsir A. Muin, (1988). Pesawat – Pesawat Konversi Energi I. CV. Rajawali Jakarta. [7] John B. Kitto and Steven C. Stultz, (2005). Steam. The Babcock and Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41.
Energi III-46
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kajian Thermal Unjuk Kerja Alat Penukar Panas Pengaruh Variasi Geometri Sirif Dengan Aliran Fluida Alamiah I Gusti Ketut Sukadana
I Gusti Ngurah PutuTenaya
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Name of organization - acronyms acceptable Universitas Udayana, Bali
[email protected].
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Name of organization - acronyms acceptable Universitas Udayana, Bali
[email protected].
Abstract— Wire and Tube heat exchanger consists of tube and wire stacked on sides at normal direction. The ability of heat exchanger to dissipate heat is shown by the overall surface efficiency from array of tube and fins that called as heat exchanger efficiency. Fin is the expansion of surface of heat transfer area. The heat exchanger efficiency depends on diameter, space and material of tube, geometry and material of fin, fluid of used and mass flow rate. This research has been examined experimentally the geometri of fins with variable space of fins, form of fins and mass flow rate influence to the natural convection of heat exchanger efficiency. Six designs of heat exchangers with different space of fins are 0.01 m, 0.02 m, and 0.04 m, different form of fins is cylindris and rectangular and research at thre different mass flow rate are 0.015 kg/s, 0.018 kg/s and 0.021 kg/s. The results of experiment more space of fins and more high mass flow rate the higher heat exchanger efficiency. Stacked many fins at surface can not be lift the thermal efficiency. Key word— Heat exchanger, efficiency, geometri of fins, Mass flow rate.
I. PENDAHULUAN Suatu peralatan yang digunakan untuk menukarkan energi (panas) antara aliran fluida yang berbeda temperatur yang dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung (Pitts and Sissom, 1987). Salah satu aplikasi dari prinsip pertukaran panas adalah pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat (wire and tube heat exchanger). Penukar panas ini termasuk jenis penukar panas permukaan yang diperluas (extended surface) dimana kawat yang berfungsi sebagai sirif dipasang lekat pada pembuluh yang mengalirkan fluida (Srinivasan and Shah, 1997). Secara mekanis kawat juga berfungsi memperkuat konfigurasi pembuluh yang dibuat berlekuk-lekuk (coil). Penukar panas digunakan secara luas baik sebagai kondensor pada sistem refrigerasi udara yang kecil maupun yang lainnya dimana fluida yang mengalir dalam pembuluh tanpa terjadi perubahan phase (Tanda and Tagliafico, 1997). Salah satu karakteristik unjuk kerja dari penukar panas adalah efisiensi penukar panas. Efisiensi penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah efisiensi permukaan menyeluruh (overall surface effisiensi) dari susunan pipa-pipa dan sirif-sirif (array of fins). Efisiensi sirif didefinisikan sebagai
perbandingan antara laju perpindahan panas oleh sirif dengan laju perpindahan panas maksimum yang terjadi. Laju perpindahan panas oleh sirif akan mencapai maksimum apabila temperatur permukaan sirif sama dengan temperatur dasar sirif, tetapi karena adanya tahanan termal konduksi di dalam sirif menyebabkan terjadinya gradien temperatur, sehingga temperatur ujung sirif lebih kecil dari temperatur dasar sirif. Hal ini menyebabkan pengurangan laju perpindahan panas yang terjadi sehingga efisiensi sirif menurun dan efisiensi penukar panas juga menurun (Cengel, 1998). Untuk mengetahui pengaruh sirif terhadap efisiensi penukar panas konveksi alamiah dilakukan dengan menvariasikan geometri sirif. Dalam menvariasikan geometri sirif tentu harus diperhatikan agar koefisien perpindahan panas konveksi tidak sampai terganggu. Oleh karena itu penting kiranya studi ini dilaksanakan guna mengetahui efisiensi alat penukar panas. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya laju perpindahan panas yang terjadi adalah luasan permukaan perpindahan panasnya. Maka dalam penelitian ini akan dibuat penukar panas jenis pembuluh dan kawat dengan memvariasikan geometri sirif tersebut dan mengetahui pengaruh variasi geometri dan laju aliran massa terhadap efisiensi alat penukar kalor. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh geometri sirif dan laju aliran massa terhadap efisiensi alat penukar panas aliran alamiah. Penelitian ini bermanfaat Sebagai masukan dalam perancangan penukar panas konveksi alamiah, Menambah wacana keilmuan bidang perpindahan panas pada umumnya, dan penukar panas khususnya. II. TINJAUAN PUSTAKA Alat penukar panas (heat exchanger) merupakan alat yang berfungsi untuk memindahkan energi panas dari suatu aliran fluida ke aliran fluida yang lain. Jenis dari alat penukar panas ini adalah jenis pembuluh dan kawat (tube and wire). Alat penukar panas ini terdiri dari pembuluh horizontal sebagai tempat mengalirnya fluida panas yang dibuat berlekuk-lekuk yang disusun secara vertikal, dengan kawat yang dilekatkan pada sisi depan tegak lurus terhadap pembuluh. Penelitian yang pertama kali menyangkut penukar panas jenis pembuluh dan kawat dilakukan oleh Witzel dan Fontaine tentang karakteristik perpindahan panas pada kondensor jenis pembuluh dan kawat
Energi III-47
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dan tentang desain kondensor pembuluh dan kawat yang menghasilkan persamaan Nusselt empiris sebagai fungsi
bilangan Grashof yaitu Nu = 0,47. Gr . Selanjutnya Cyphers et.al melakukan penelitian tentang karakter perpindahan panas pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat. Witzel et.al tentang evaluasi film konveksi pada penukar panas pembuluh dan kawat. Tanda dan Tagliafico tentang perpindahan panas konveksi bebas pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat dengan menggunakan air sebagai fluida kerja dalam pembuluh. Studi eksperimen tersebut bertujuan mempresentasikan korelasi perpindahan panas konveksi bebas dari permukaan luar penukar panas ke udara sekitar Dari tinjauan pustaka diatas, secara umum mencari korelasi perpindahan panas dalam bentuk persamaan Nusselt empiris dengan tujuan untuk dapat mengevaluasi nilai koefisien perpindahan panasnya. Karena ada sesuatu yang berbeda dari para peneliti menyangkut tinjauan terhadap penukar panas dan fluida kerja yang digunakan maka penelitian ini dilakukan yaitu kajian thermal unjuk kerja alat penukar panas konveksi alamiah dengan variasi geometri sirif. Sirif atau kawat dipasang pada salah satu sisi dari pembuluh yang mana tinggi dari sirif mengikuti tinggi dari penukar panas. Sedangkan kondisi operasi dari penukar panas ditunjukkan oleh variasi bilangan Rayleigh sebagai fungsi dari beda temperatur permukaan dengan udara luar (Ts T ). 0.2215
Minyak panas mengalir dari bak termostatik dan bersirkulasi secara tunak di dalam pembuluh penukar panas. Dari kesetimbangan energi secara keseluruhan untuk penukar panas, maka dapat dihitung panas yang dilepaskan oleh fluida panas yaitu :
qmax m .Cp, f (T f ,in T f , out )
(1)
Di dalam pembuluh terjadi sirkulasi fluida panas sehingga terjadi perpindahan panas antara fluida dan lingkungan luar. Panas dipindahkan dari dinding pembuluh ke lingkungan secara konveksi bebas, yang dinyatakan sebagai berikut :
q h Atot (Ts T )
(2)
Gambar 1. Permukaan pembuluh yang bersirif.
Dari persamaan (2) jelas bahwa untuk meningkatkan laju perpindahan panas maka dapat dilakukan dengan (Incropera, 1996) : 1. Memperbesar koefisien konveksi (h), Koefisien perpindahan panas konveksi tergantung pada beberapa parameter yaitu : a. Geometri sistem, b. Kecepatan aliran, c. Tipe aliran (turbulen atau laminar), d. Propertis aliran fluida, e. Perbedaan temperatur 2. Memperbesar perbedaan temperatur (Ts T ) , Bila Ts 3.
tetap maka harga T harus diturunkan atau sebaliknya. Menambah luas permukaan perpindahan panas (A), Penambahan luas permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan sirif untuk mengimbangi koefisien perpindahan panas konveksi yang kecil (Bejan, 1993).
Dari ketiga pilihan diatas maka pada penelitian ini yang dilakukan adalah memperluas permukaan perpindahan panas yaitu dengan menambah sirif. Ada berbagai konfigurasi sirif yang dikenal saat ini yaitu : rectanguler, segitiga, cincin dan kerucut.
Gambar 2. Konfigurasi sirif
Sirif yang digunakan pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah kawat-kawat yang mempunyai penampang seperti gambar 2 diatas dengan permukaan yang konstan. Pemilihan bentuk ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan ruang yang tersedia pada tahap aplikasinya, dimana penukar jenis pembuluh dan kawat secara umum digunakan sebagai kondensor pada sistem refrigerasi kecil (refrigerator domestic) yang dipasang pada bagian belakang kabinet refrigerator dengan posisi vertikal. Efisiensi Sirif
w
Sirif atau extended surface dalam penukar panas digunakan untuk meningkatkan luas permukaan dan konsekuensinya akan menambah laju perpindahan panas (Srinivasan and Shah, 1997). Laju perpindahan panas oleh sirif akan maksimum apabila seluruh permukaan sirif berada pada temperatur dasar (base temperature), tetapi karena adanya tahanan termal konduksi di dalam sirif menyebabkan terjadinya gradien temperatur sepanjang sirif sehingga temperatur ujung sirif lebih kecil dari temperatur dasar sirif. Hal inilah yang menyebabkan pengurangan laju perpindahan panas yang terjadi (Cengel, 1998). Efisiensi sirif dalam memindahkan panas didefinisikan sebagai perbandingan antara laju perpindahan panas oleh sirif dengan laju perpindahan panas maksimum yang terjadi jika seluruh permukaan sirif berada pada temperatur dasar (cengel,1998). Secara umum efisiensi sirif dirumuskan sebagai berikut :
Energi III-48
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
w
qw hw . Aw Tw T q w qt hw . Aw Tw T ht . At Tt T
Efisiensi Penukar Panas
(3)
O
Karakteristik dari penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah penggunaan susunan sirif untuk meningkatkan laju perpindahan panas karena salah satu sisi fluida mempunyai koefisien perpindahan panas yang kecil. Untuk melihat kemampuan dari penukar panas maka yang dianalisa adalah pengaruh geometri sirif terhadap performansi penukar panas. Efisiensi penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah efisiensi permukaan menyeluruh dari pembuluh dan sirif. Menurut (Kreith, 1985). untuk memperoleh efisiensi total dari permukaan yang bersirif (overall surface efficiency) yaitu menggabungkan bagian permukaan yang tidak bersirif (unfinned area) dengan luas permukaan sirif yang berefisiensi w . Secara umum dirumuskan sebagai berikut :
o
qtot h A (T T ) ht At (Tt T ) w w w q max M . Cp, f . (T f ,in T f ,out )
(4)
Perpindahan Panas Konveksi Bebas Perpindahan panas konveksi adalah proses perpindahan panas yang diakibatkan adanya perbedaan temperatur antara permukaan suatu material dengan fluida yang bergerak. Perpindahan panas yang terjadi bisa dari permukaan material ke fluida yang bergerak atau dari fluida yang bergerak ke permukaan material. Perpindahan panas secara konveksi ada 2 yaitu : Konveksi Paksa (Forced Convection), Konveksi Alamiah (Natural Convection) atau Konveksi Bebas (Free Convection). Konveksi Paksa (Forced Convection) yaitu proses perpindahan panas yang terjadi dimana pergerakan fluida diakibatkan oleh gaya luar seperti blower, fan, kompressor dan lain-lain. Sedangkan Konveksi Alamiah adalah proses perpindahan panas dimana pergerakan fluida terjadi akibat gaya apung (buoyancy force). Gerakan fluida (gas maupun zat cair) dalam konveksi bebas terjadi karena gaya apung yang dialaminya apabila densitas fluida di dekat permukaan perpindahan panas berkurang sebagai akibat proses pemanasan. Gaya apung yang menyebabkan arus konveksi bebas disebut gaya badan (body forced). Dalam suatu perencanaan atau unjuk kerja suatu sistem biasanya konveksi bebas lebih sering dipakai dari pada konveksi paksa dimana tujuannya adalah meminimal biaya operasi. Sebagai contoh penerapan konveksi bebas adalah pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat. Pada penukar panas tersebut ditambahkan sirif yaitu untuk memperluas permukaan perpindahan panas konveksi bebas. Lapisan batas termal yang terjadi terbentuk dari bagian bawah baik pembuluh maupun sirif yang kemudian berkembang terus sampai atas. Fenomena ini dapat dilihat pada gambar di bawah :
Gambar 3. Fenomena terjadinya lapisan batas
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan secara eksperimental menggunakan enam buah rancangan penukar panas dengan jarak sirif yang berbeda dan diameter sirif yang tetap dengan Thermia b-22 sebagai fluida kerja di dalam pembuluh. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penukar panas. Pada umumnya alat penukar panas jenis pembuluh dan kawat digunakan bila koefisien perpindahan panas konveksi yang berhubungan dengan salah satu fluida adalah jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan fluida kedua. Kawat yang berfungsi sebagai sirif adalah perluasan dari permukaan luar pembuluh yang dipasang pada sisi luar pembuluh. Kawat-kawat akan membuat permukaan menjadi luas sehingga menambah laju perpindahan panas dari dinding ke lingkungan luar (Ananthanarayanan, 1982).
Gambar 4 Skema peralatan eksperimen.
Untuk mengukur temperatur pada sejumlah titik, digunakan thermocouple type K (Copper Constanta) yang dihubungkan dengan digital multimeter tipe DT-838. Besarnya perubahan temperatur fluida panas setelah melewati penukar panas di ukur dengan menempatkan thermocouple di dalam fluida pada input dan output penukar panas. Dalam aplikasinya posisi pemasangan dari alat penukar panas ini adalah vertikal, seperti terlihat pada gambar 1. Pemasangan kawat-kawat pada permukaan pembuluh dilakukan dengan proses pemanasan tekan tanpa bahan tambahan sehingga tidak ada tahanan termal dari material lain. Pemeliharaan penukar panas jenis pembuluh dan kawat relatif mudah karena konfigurasinya yang sederhana. Untuk menjaga kapasitas optimal sirif harus dijaga bersih terutama space antara sirif tidak boleh kotor (Ananthanarayanan,1982).
Energi III-49
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 5. Penukar panas jenis pembuluh dan kawat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Pengaruh Jarak Sirif terhadap Efisiensi Penukar Panas Bahwa semakin besar jarak sirif berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas semakin besar. Atau semakin kecil jarak sirif berpengaruh terhadap efisiensi thermis semakin kecil, Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil jarak sirif akan mengakibatkan terjadinya interaksi lapisan batas thermal antara sirif satu dengan lainnya yang berdekatan semakin besar, sehingga akan memperbesar tahanan thermal perpindahan panas. Membesarnya tahanan thermal (Rkonv) akan mengakibatkan menurunnya harga koefisien perpindahan panas konveksi (hkonv) sehingga secara keseluruhan akan menurunkan efisiensi penukar panas itu sendiri. Hal lain yang menyebabkan menurunnya efisiensi penukar panas adalah tidak terjadinya kondisi idealisasi pada sirif yaitu kondisi dimana seluruh permukaan sirif tidak berada pada temperatur dasar sehingga laju energi maksimum tidak terjadi. Karena setiap sirif memiliki tahanan thermal konduksi sehingga gradien temperatur akan terjadi sepanjang batang sirif. Oleh karena itu apabila sirif tersebut semakin banyak atau semakin rapat maka tahanan termal konduksi semakin besar sehingga akan menurunkan efisiensi sirif yang berarti juga menurunkan efisiensi penukar panas. Sirif digunakan untuk menambah perpindahan panas dari permukaan dengan cara menambah luas permukaan efektif tetapi sirif itu sendiri memberikan tahanan pada perpindahan panas konveksi bebas, dengan alasan tersebut tidak ada jaminan bahwa laju perpindahan panas konveksi bebas akan diperbesar melalui penggunaan sirif dan berarti pula tidak ada jaminan bahwa penggunaan sirif memperbesar efisiensi (Incropera, 1990).
Gambar 6. Pengaruh jarak sirif terhadap efisiensi penukar panas.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Cengel, 1997 yaitu penambahan terlalu banyak sirif pada permukaan (surface) secara aktual menurunkan perpindahan panas menyeluruh (overall) ketika koefisien perpindahan panas (h) menurun mengimbangi suatu keuntungan yang diperoleh dari peningkatan dalam luas permukaan. Analisa Pengaruh Laju Aliran Massa terhadap Efisiensi Penukar Panas Pada jarak sirif yang sama, semakin besar laju aliran massa maka berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa laju aliran massa sangat berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas dikarenakan semakin besar laju aliran massa semakin besar induksi panas yang diberikan ke sistem, artinya bahwa jumlah satuan massa fluida panas yang melewati luas penampang tertentu persatuan waktu semakin banyak. Sehingga rata-rata temperatur permukaan semakin besar dan beda temperatur antara permukaan dengan lingkungan semakin besar. Perbedaan temperatur yang besar akan meningkatkan harga bilangan Rayleigh sehingga harga koefisien konveksi juga besar. Dengan demikian efisiensi penukar panas secara keseluruhan akan meningkat. Peningkatan laju aliran masa pada dasarnya akan memperbesar induksi energi panas yang masuk, sehingga menyebabkan harga bilangan Rayleigh membesar dan Nuselt juga meningkat (Incropera, 1983).
Gambar 7. Pengaruh laju aliran massa terhadap efisiensi penukar panas.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan bahwa semakin tinggi laju aliran massa maka semakin tinggi pula laju perpindahan panasnya (Cengel, 1997). Analisa Pengaruh Bentuk Sirif terhadap Efisiensi Thermis Secara rata–rata pada laju aliran massa yang sama bahwa alat penukar panas tanpa sirif mempunyai efisiensi yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh kondensor dengan sirif rektanguler dan yang terakhir adalah kondensor dengan sirif silindris. Fenomena ini dapat dijelaskan berdasarkan analisis lapisan batas thermal konveksi bebas ( free convection) yang berkembang di sepanjang permukaan sirif. Menurut Watson dkk. (1996), jarak sirif optimal terjadi bila lapisan batas laminar berkembang sepanjang permukaan sirif (p) menjadi cukup tebal menyentuh trailing edge dari tiap sirif. Dari gambar dibawah terlihat, jarak sirif optimal terjadi bila lapisan batas termal yang berkembang dari masing–masing sirif bergabung menjadi satu tepat pada ujung atas (trailing edge) dari sirif–sirif tersebut. Pada kondensor dengan sirif silindris dan kondensor dengan sirif rektanguler mempunyai
Energi III-50
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
jarak antar sirif 13 mm, namun pada kondensor sirif silindris kebutuhan untuk menjamin lapisan batasnya bergabung tepat pada triling edge dari sirip adalah 2δt = 10,31 mm, sedangkan pada kondensor sirip rektanguler adalah 2δt = 9,5 mm.
w
dw
t Dt
Gambar 10. Profil sirif yang menempel pada pembuluh.
Lain halnya pada kondensor tanpa sirif tahanan termal hanya pada pembuluh dan koefisien konveksinya tidak terganggu sehingga laju perpindahan panasnya lebih besar dan efisiensi perpindahan panasnya pun paling besar diantara kedua jenis kondensor tersebut, karena pada kondensor dengan sirif silindris maupun sirif rektanguler dengan penambahan sirif akan mengganggu koefisien perpindahan panas konveksi bebas, sehingga tidak dapat menaikan laju perpindahan panas, hal ini berarti efisiensinya menurun (Incropera, 1990). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Cengel, 1998 yaitu laju perpindahan panas oleh sirif akan mencapai maksimum apabila seluruh permukaan sirif berada pada temperatur dasar pembuluh.
Gambar 8. Pengaruh bentuk sirif terhadap efisiensi thermis.
Selain itu dapat dianalisa bahwa salah satu yang menentukan perpindahan kalor pada sambungan adalah konduksi melalui gas yang terkurung pada ruang–ruang lowong memberikan tahanan utama terhadap aliran kalor, karena konduktivitas panas gas sangat kecil dibanding dengan zat padat (Holman, 1995). Pada gambar dibawah kondensor dengan sirif silindris, dimana sirif yang menempel pada pembuluh hanya sedikit sehingga terdapat daerah lowong (blocked area), dimana daerah tersebut terdapat udara terperangkap sehingga mempunyai koefisien konveksi yang kecil dan perpindahan panas hanya terjadi pada bagian sirif yang tidak menempel pada pembuluh, akibatnya laju perpindahan panasnya rendah dan efisiensi perpindahan panasnya pun rendah. w pw 2dt dt
dt
Ts
p
T8 dw
Gambar 9. Sepasi optimal dari jarak antar sirif.
Sedangkan pada kondensor dengan sirif rektanguler terjadi perpindahan panas yang lebih baik , karena sirif yang menempel pada pembuluh lebih merata sehingga daerah lowong (blocked area) lebih kecil dibanding tipe silindris yang menghambat perpindahan panas sehingga efisiensi perpindahan panasnya lebih baik dibandingkan tipe silindris.
V. KESIMPULAN Semakin besar jarak antar sirif dan semakin besar laju aliran massa berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas yang semakin besar. Kondensor dengan bentuk sirif rektanguler memiliki efisiensi penukar panas yang lebih tinggi dibandingkan kondensor dengan bentuk sirif silindris. Pemasangan sirif pada permukaan kondensor tersebut tidak menjamin meningkatkan efisiensi dari kondensor, karena penambahan luas permukaan kondensor tesebut mengganggu koefisien perpindahan panas pada sistem konveksi bebas. DAFTAR PUSTAKA [1] Ananthanarayanan, P.A., (1982), Basic Refrigerant and Air Conditioning, McGraw- Hill Publishing Company Limited, New Delhi. [2] Bejan, A., (1993), Heat Transfer, John Wiley & Sons, Inc, New York. [3] Cengel, Y.A., (1998), Heat Transfer a Practical Approach, McGraw-Hill, New York [4] Holman, J.P., (1993), Heat Transfer, 8th Edition, McGraw-Hill, New York [5] Incropera, F.P., (1996), Fundamentals of Heat and Mass Transfer, 4rd Edition, John Wiley & Sons, New York [6] Kundu, B. and Das, P.K., (1999), Performance Analysis and Optimization of Eccentric Annular Disk Fins, Journal of Heat Transfer, Vol. 121, pp 419-429. [7] Marsters, G.F., (1971), Array of Heated Horizontal Cylinders in Natural Convection, Journal of Heat Transfer, vol. 15, pp 921933. [8] Srinivasan, V. and Shah, R.K., (1997), Fin Efficiency of Extended Surface in Two Phase-flow, Journal of Heat and Fluid Flow, vol. 18, pp 419-429. [9] Tanda, G.,and Tagliafico, L., (1993), Free Convection Heat Transfer From Wire and Tube Heat Exchangers, Journal of Heat Transfer, vol. 199, pp 370-372. [10] Witzell, O.W. and Fontaine, W.E., (1957), Design of Wire and Tube Condenser, Journal of Refrigerating Engineering, vol. 65, pp 41-44.
Energi III-51
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kinerja Sistem Refrigerasi dengan Variasi Panjang Pipa Kapiler Menggunakan Refrigeran Hydrocarbon (HC) 22 Khairil Anwar, Reyhan Kyai Demak, Mohammad Mufail Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia
[email protected],
[email protected]
Abstrak—Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh panjang pipa kapiler terhadap kinerja mesin pendingin yang menggunakan refrigeran Hydrocarbon (HC) 22. Penelitian dilakukan dengan variasi panjang pipa kapiler berturut – turut 0.6 m, 0.9 m, 1.2 m, 1.5 m, 1.8 m, dan 2.1 m, kemudian dibandingkan dengan pengujian lainnya yang menggunakan refrigeran R22. Hasil yang diperoleh nilai efek refrigerasi refrigeran HC 22 lebih tinggi daripada R22 untuk keseluruhan panjang pipa kapiler. Selanjutnya, kerja kompresor refrigeran MC 22 lebih tinggi 45.37% daripada refrigeran R22 dan COP R22 lebih tinggi 9,16% daripada HC 22. Penurunan tekanan pada pipa kapiler cenderung menurun untuk kedua jenis refrigeran yang di uji dengan masing-masing nilai terbesar 14.6 bar untuk refrigeran R22 dan 12.04 bar untuk refrigeran HC 22. Seluruh nilai tersebut terjadi pada pipa kapiler terpendek 0.6 m. Temperatur evaporasi pun ikut menurun seiring bertambahnya panjang pipa kapiler, temperatur ini terlihat dari temperatur refrigeran yang masuk evaporator berturut - turut sebesar 8.1C, 7.0C, 5.3C, -0.8C, -2.4C, -5.4C untuk refrigeran HC 22 dan 6.6C, 3.7C, 2.4C, -1.4C, -4.8C, -7.5C untuk refrigeran R22. Melihat dampak lingkungan yang dapat ditimbulkannya, penggunaan refrigeran R22 perlu ditinjau kembali dan dapat digantikan dengan HC 22 yang lebih ramah lingkungan. Kata Kunci— Refrigerasi, Pipa Kapiler, Penurunan Tekanan, COP, Hydrocarbon Refrigerant
I. PENDAHULUAN Pipa kapiler merupakan salah satu komponen penting dalam sistem refrigerasi yang berfungsi untuk menurunkan tekanan dari kondenser ke evaporator, digunakan dalam mesin refrigerasi dengan kapasitas pendingin yang rendah. Pipa kapiler memiliki diameter yang sangat kecil, berkisar antara 0.5 mm sampai 2 mm, mempuyai bentuk yang sederhana, tidak ada bagian yang bergerak dan tidak mahal. Selain itu, memungkinkan tekanan dalam sistem merata selama sistem tidak bekerja sehingga motor penggerak kompressor mempunyai momen gaya awal yang kecil. Performa kerja mesin refrigerasi yang maksimal, dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya terkait dengan pemilihan dimensi dan geometri pipa kapiler yang digunakan. Hasil studi menunjukkan bahwa COP dari pipa kapiler dengan
geometri lurus lebih tinggi daripada yang dibuat helical [1]. Selain itu, penggunaan pipa kapiler dengan diameter 0.031 inchi memiliki kapasitas refrigerasi yang lebih maksimal [2]. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, untuk meningkatkan performa dari mesin pendingin dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan pada pipa kapiler yaitu menurunkan temperatur pipa kapiler dengan mengubah posisi penempatannya [3]. Hasilnya, terjadi pergeseran nilai entalpi yang lebih kecil sehingga nantinya mendorong kenaikan efek refrigerasi. Salah satu indikator prestasi kerja yang ditunjukkan dari pipa kapiler adalah kemampuan untuk menurunkan tekanan refrigeran yang mengalir dari kondensor ke evaporator. Dimana penurunan tekanan ini, harus disesuaikan dengan karakteristik kompresor serta refrigeran yang digunakan. Saat ini penggunaan refigeran masih didominasi oleh refrigeran yang berbasiskan Chloroflourocarbon (CFC) dan Hydrokloroflourocarbon (HCFC) yang memiliki sifat stabil, tidak mudah terbakar, tidak beracun dan kompatibel terhadap sebagian besar bahan komponen pada peralatan pendingin konvensional. Akan tetapi, akhir-akhir ini diketahui bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan yaitu penipisan lapisan ozon dan kenaikan suhu permukaan bumi yang salah satu penyebabnya dikarenakan oleh penggunaan kedua jenis refrigeran ini. Oleh karena itu, pada saat ini dikembangkan jenis refrigeran dari bahan Hydrocarbon (HC) yang lebih ramah lingkungan dan hemat energi. Diketahui, bahwa refrigeran jenis ini dapat menghemat 25% energi pada kompresor jika dibandingkan dengan menggunakan refrigeran konvensional [4]. Namun, refrigeran jenis Hydrocarbon ini memiliki kelemahan yaitu memiliki sifat dapat terbakar apabila terpenuhinya seluruh unsur dalam segitiga api. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja mesin refrigerasi dengan variasi panjang pipa kapiler dan kemampuan pipa kapiler dalam menurunkan tekanan refrigeran jenis Hydrocarbon yang lebih ramah lingkungan. Sehingga diharapkan akan diperoleh kondisi optimal dari penggunaan pipa kapiler yang sesuai pada mesin pendingin yang diuji dengan menggunakan refrigeran yang lebih ramah lingkungan.
Energi III-52
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
II. TINJAUAN PUSTAKA Pipa kapiler merupakan alat ekspansi yang umumya digunakan dalam mesin pendingin ukuran kecil seperti pada air conditioning, refrigerator dan cold storage, dengan kelebihan berupa konstruksi yang lebih sederhana, murah, dan handal. Saat mendisain pipa kapiler, dimensinya harus disesuaikan dengan alat penukar kalor (kondenser dan evaporator) dan kompresor yang digunakan, sehingga sesuai dengan kondisi disain yang diinginkan. Pipa kapiler adalah pipa berdiameter kecil menghubungkan kondenser dengan evaporator pada sebuah sistem refrigerasi berfungsi sebagai alat ekspansi. Cairan refrigeran dari kondenser mengalir melalui pipa kapiler diturunkan tekanannya hingga tekanan evaporasi yang diinginkan. Proses penurunan tekanan refrigeran ini terjadi akibat terjadinya gesekan dan percepatan dengan permukaan pipa kapiler. Biasanya, pipa kapiler disusun dengan geometri lurus ataupun dengan bentuk helical. Helical adalah bentuk geometri yang menyerupai ulir sekrup. Keuntungan dari bentuk ini yaitu dapat menghemat penggunaan tempat. Perkembangan pipa kapiler dari waktu ke waktu semakin bertambah. Banyak penelitian yang dikembangkan dengan fokus kepada performa dari pipa kapiler. Karakteristik aliran refrigeran di dalam pipa kapiler dijadikan topik utama dalam penelitian tersebut. Untuk penentuan panjang yang diperlukan dari pipa kapiler pada umumnya tergantung pada ukuran sistem. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk sistem refrigerasi kecil, interval dari 400 sampai 2500 mm. Jika pipa sepanjang ini berbentuk lurus dalam aplikasinya (pada instalasi), maka akan banyak tempat yang diperlukan. Sehingga pipa kapiler itu dibentuk dalam berbagai konfigurasi, agar mengurangi tempat yang diperlukan. Valladares menginformasikan tentang pengaruh penambahan panjang pipa kapiler terhadap laju aliran massa refrigeran. Dari hasil penelitian tersebut menunjukan terjadi penurunan laju aliran massa refrigeran seiring dengan pertambahan panjang pipa kapiler yang digunakan [5]. Konfigurasi dari geometri pipa kapiler juga menjadi perhatian dalam pengembangan performa pipa kapiler akhirakhir ini. Konfigurasi pipa kapiler yang dibentuk secara lurus ataupun helical dapat memberikan pengaruh pada parameterparameter dalam analisa performa mesin pendingin secara umum seperti laju aliran massa refrigeran, penurunan tekanan, efek refrigerasi, COP dan kerja kompresi. Akintunde menjelaskan bahwa terjadi peningkatan nilai COP untuk pipa kapiler dengan geometri helical seiring kenaikan nilai diameter coil dibandingkan dengan pipa kapiler dengan geometri serpentin yang memiliki ukuran coil yang sama [6]. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, perubahan laju aliran massa pada pipa kapiler juga dipengaruhi dari diameter dari pipa kapiler. Raharjo [4] memberikan hasil penelitian bahwa peningkatan diameter dari pipa kapiler mengakibatkan laju aliran massanya juga meningkat. Selain itu, dari penelitian yang sama juga dijelaskan bahwa konsumsi energi listrik kompresor untuk pipa kapiler yang memiliki geometri helical lebih besar daripada pipa kapiler dengan bentuk lurus. Hasil-hasil dari penelitian di atas memberikan gambaran bahwa perlakuan terhadap pipa kapiler dapat mengakibatkan pengaruh yang dapat memperbaiki performansi dari mesin pendingin. Dimana dengan terjadinya peningkatan laju aliran
massa, maka terjadi pula peningkatan kapasitas refrigerasi. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa laju aliran massa refrigeran yang mengalir pada pipa kapiler haruslah disesuaikan dengan kondisi yang seimbang di kompresor untuk menjaga kekosongan pada pada pipa-pipa evaporator. Secara umum, untuk besarnya penurunan tekanan pada pipa dipengaruhi oleh panjang dan diameter dalam pipa, kecepatan aliran fluida, dan faktor gesekan yang terjadi sepanjang pipa. Meskipun demikian, kenyataannya aliran fluida dalam pipa kapiler sangat kompleks. Dimana di dalam pipa kapiler terjadi aliran dua fase dengan laju aliran massa tertentu yang sangat mempengaruhi mesin pendingin secara keseluruhan. Aliran dua fasa merupakan aliran fluida yang terdiri dari fasa cair dan fasa gas. Aliran dua fasa biasanya terjadi pada proses pendidihan atau kondensasi. Basri menjelaskan bahwa karakteristik hidraulik aliran dua fasa pada pipa kapiler yaitu koefisien gesek sangat dipengaruhi oleh bilangan reynold rata-rata yang terjadi. Dimana hasil eksperimen menunjukkan jika terjadi peningkatan bilangan reynold maka nilai koefisien gesek akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu refrigeran yang masuk ke pipa kapiler sebagai akibat dari kenaikan kecepatan aliran refrigeran itu sendiri [7]. Penentuan dimensi pipa kapiler yang digunakan selain dapat ditentukan dengan menggunakan metode analisis melalui persamaan [4], metode numerik juga dapat dijadikan salah satu pilihan, walaupun dalam pemodelannya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah yang dilakukan Zhang dan Ding [8], yang memberikan korelasi untuk penetuan panjang pipa kapiler yang digunakan dengan hasil yang cukup akurat. Walaupun demikian korelasi ini masih cukup rumit untuk diaplikasikan untuk semua jenis refrigeran karena adanya perbedaan sifat refrigeran itu sendiri. Kompresor dan Pipa Kapiler, pada keadaan stedi harus sampai pada tekanan isap dan buang tertentu, yang menyebabkan laju aliran massa yang sama melalui kompresor dan Pipa Kapiler. Keadaan ini disebut titik kesetimbangan. Tekanan kondensor dan evaporator adalah tekanan jenuh pada temperatur kondensor dan evaporator tersebut. Laju aliran massa melalui kompresor berkurang jika rasio tekanan meningkat karena efisiensi volumetrik dari kompresor berkurang dengan peningkatan rasio tekanan. Rasio tekanan meningkat ketika tekanan evaporator berkurang atau tekanan kondensor meningkat. Karenanya, laju aliran massa melalui kompresor berkurang dengan peningkatan pada tekanan kondensor dan atau dengan penurunan tekanan evaporator [3]. Beda tekanan melewati pipa kapiler itu adalah gaya penggerak bagi refrigeran untuk mengalir sepanjang sistem, karenanya laju aliran massa melalui pipa kapiler meningkat seiring peningkatan beda tekanan yang melintasinya. Dengan demikian laju aliran massa melalui pipa kapiler meningkat seiring peningkatan tekanan kondensor dan atau pengurangan tekanan evaporator. Karenanya, untuk suatu nilai tekanan kondensor tertentu, ada suatu nilai yang terbatas dari tekanan evaporator di mana laju aliran massa melalui kompresor dan evaporator adalah sama. Tekanan ini adalah titik kesetimbangan di mana sistem akan didapat dalam keadaan stedi. Sehingga, untuk suatu temperatur kondensor, terdapat nilai tertentu dari temperatur evaporator di mana titik kesetimbangan akan terjadi [3].
Energi III-53
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Labolatorium Teknik Pendingin Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Tadulako. Penelitian ini berlangsung dari bulan Desember 2013 hingga April 2014. B. Alat Dan Bahan Yang Digunakan Alat pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah prototipe mesin pendingin refrigerasi sederhana seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
C. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian diawali dengan perakitan mesin uji dengan variasi panjang pipa kapiler, dan memastikan bahwa seluruh sambungan pipa telah tersambung dengan kuat, melalui tes kebocoran dengan menggunakan leak detector. Kemudian melakukan vacum system, dan selanjutnya pengisian refrigeran sesuai dengan jumlah yang dipersyaratkan. Pengambilan data dilakukan dengan terlebih dahulu mencatat kondisi awal sistem sebelum dijalankan. Waktu pengambilan data dilakukan tiap 3 menit untuk setiap variasi panjang pipa kapiler dengan refrigeran R22 dan MC 22. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Efek Refrigerasi Efek refrigerasi merupakan proses penyerapan kalor lingkungan oleh refrigeran melalui permukaan pipa evaporator. Pada mesin pendingin, tinggi rendahnya efek refrigerasi dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah geometri evaporator [9]. Semakin tinggi penyerapan suhunya maka semakin tinggi juga efek refrigerasi yang dihasilkan [10].
Gambar. 1 Mesin uji dengan variasi panjang pipa kapiler
Komponen mesin refrigerasi dengan kapasistas kompresor yang digunakan adalah 1 HP, tipe rotary yang didisain untuk jenis refrigerant R22. Kondensor dan evaporator yang digunakan tipe shell and coil air cooled . Untuk peralatan ekspansi, dalam hal ini adalah pipa kapiler dengan diameter 0.054 inchi. Adapun panjang pipa kapiler yang diujikan mulai dari 0.6 m, 0.9 m, 1.2 m, 1.5 m, 1.8 m dan 2.1 m. Instrumen penelitian berupa alat ukur, dengan menempatkan termokopel dan pressure gauge pada discharge line, sunction line dan liquid line. Untuk memudahkan variasi kapiler pada alat uji digunakan shut off valve, bertujuan agar dalam proses pengujian tidak bongkar pasang. Bongkar pasang pada sistem mengakibatkan kehilangan banyak refrigeran. Selain itu keuntungannya dalam menggunakan shut off valve adalah selama pengujian variasi pipa kapiler dengan kandungan refrigeran dalam sistem memiliki komposisi yang sama. Sedangkan untuk bahan penelitian digunakan 2 macam refrigeran yaitu R22 dan Hydrocarbon (HC) 22. Untuk refrigerant jenis HC 22, digunakan refrigeran produksi pertamina yaitu MUSIcool (MC) 22.
Gambar. 2 Refrigeran jenis Hydrocarbon (MUSIcool / MC 22)
Gambar 3. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Efek Refrigerasi
Grafik di atas menunjukkan bahwa seiring dengan pertambahan panjang pipa kapiler besar nilai efek refrigerasi yang terjadi semakin besar pula. Hal itu terlihat untuk kedua jenis refrigeran yang digunakan, baik untuk R22 ataupun MC 22. Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh dari tekanan dan temperatur pada refrigeran yang masuk dan keluar dari evaporator. Seiring dengan pertambahan panjang pipa kapiler, suhu refrigeran yang masuk ke evaporator semakin menurun sehingga mendorong nilai entalpinya pun ikut menurun. Penurunan nilai entalpi ini menghasilkan nilai selisih entalpi antara masuk dan keluar evaporator semakin besar sehingga menaikkan nilai efek refrigerasi. Pada grafik di atas juga terlihat bahwa refrigeran MC 22 memiliki nilai efek refrigerasi persatuan massa yang lebih tinggi daripada refrigeran R22. Oleh karena itu untuk mendapatkan kapasitas refrigeran yang sama diantara keduanya, refrigeran MC 22 hanya memerlukan jumlah refrigeran yang lebih sedikit untuk bersirkulasi di dalam sistem dibandingkan dengan refrigeran R22. Untuk pengujian ini, jumlah refrigeran R22 yang digunakan sebesar 530 gram. Nilai ini merupakan jumlah refrigeran yang telah telah ditetapakan oleh pabrikan pembuat alat. Sedangkan untuk refrigeran MC 22, jumlah refrigeran yang digunakan menurut rekomendasi pabrik pembuat hanya berkisar ±30% dari jumlah refrigeran konvensional yang digunakan sebelumnya. Namun
Energi III-54
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
berdasarkan hasil pengujian, jumlah ini masih kurang. Hal ini didasari oleh kondisi mesin yang masih under charge pada saat beroperasi. Oleh karena itu, dilakukan penambahan jumlah refrigeran hingga mencapai 240 gram. Dan setelah diamati, nilai ini telah sesuai karena pada saat beroperasi tidak terjadi lagi kondisi undercharge pada mesin. Adapun hal yang menyebabkan nilai efek refrigerasi MC 22 untuk tiap satuan massanya lebih tinggi daripada R22 adalah nilai panas jenis MC 22 yang lebih tinggi daripada R22, sehingga memungkinkan penyerapan kalor yang lebih efektif. B. Kerja Kompresor Kerja kompresor merupakan kerja yang setara dengan perubahan entalphi selama proses kompresi. Pada proses kompresi di kompresor, uap refrigeran dari sisi keluar evaporator senantiasa dalam fase gas (uap). Di dalam kompresor, uap refrigeran ditekan (dikompresi) sehingga tekanan dan temperatur naik.
Gambar 4. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Kerja Kompresor Kerja kompresor merupakan kerja yang kerja yang setara
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa untuk keseluruhan pengujian terjadi peningkatan kerja kompresi untuk setiap penambahan panjang pipa kapiler. Hal ini berlaku untuk kedua jenis refrigeran yang diujikan. Walaupun, pada pengujian pipa kapiler 0,6 m – 1,2 m untuk refrigeran R22 terjadi penurunan kerja kompresor namun hal ini tidak terlalu signifikan. Kenaikkan nilai kerja kompresor untuk keseluruhan variasi pengujian disebabkan oleh kondisi refrigeran masuk ke kompresor terdorong jauh ke dalam daerah panas lanjut seiring pertambahan panjang pipa kapiler. Refrigeran yang terlalu terdorong masuk ke dalam daerah panas lanjut memiliki nilai rapat massa yang lebih rendah daripada refrigeran yang berada pada keadaan saturasi, sehingga volume refrigeran yang memasuki kompresor semakin besar [10]. Hal inilah yang mengakibatkan kerja kompresi menjadi lebih besar. Hal lain yang dapat dilihat dari grafik di atas yakni kerja kompresor persatuan massa yang dimiliki refrigeran MC 22 lebih tinggi 45,73% jika dibandingkan dengan refrigeran R22. Kerja kompresor yang semakin tinggi mengakibatkan nilai koefisien prestasi (COP) yang kecil. C. Coefficient of Performance (COP) Koefisien prestasi adalah perbandingan antara kalor yang diperlukan untuk mempertahankan temperatur ruangan yang diinginkan dengan kerja yang dilakukan oleh kompresor.
Gambar 5. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan COP
Pada grafik hubungan panjang pipa kapiler terhadap koefisien prestasi mesin pendingin menunjukkan adanya kecenderungan semakin panjang pipa kapiler yang digunakan maka nilai koefisien prestasi mesin pendingin yang terjadi semakin menurun. Hal ini menunjukan hubungan yang berbanding terbalik antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai COP untuk penggunaan refrigeran R22 sebesar 8,72 pada saat menggunakan pipa kapiler yang terpendek. Nilai tersebut berangsur-ansur naik hingga mencapai 9,94 untuk panjang pipa kapiler 1,2 m, kemudian turun hingga mencapai nilai terendah 6,97 pada penggunaan pipa kapiler terpanjang 2,1 m. Hal yang serupa terjadi pada penggunaan refrigeran MC22 untuk massa refrigeran 240 gram. Pada awal-awal penggunaan pipa kapiler terpendek, nilai COP sebesar 9,81. Nilai ini merupakan nilai yang tertinggi yang dicapai mesin pendingin dengan menggunakan refrigeran MC 22. Kemudian nilai COP tersebut menurun hingga 8,03 untuk pipa kapiler dengan panjang 1,2 m dan seterusnya menurun sampai 6,79 untuk pipa kapiler yang terpanjang. Penyebab terjadinya penurunan nilai COP mesin pendingin yakni kenaikan kerja kompresor yang terjadi. Seperti dijelaskan pada grafik sebelumnya, kerja kompresor semakin tinggi akibat pertambahan panjang pipa kapiler karena terjadinya kondisi dimana jumlah refrigeran yang berkurang. Selanjutnya, seperti terlihat pada grafik nilai COP refrigeran R22 relatif lebih tinggi daripada refrigeran MC22. Hal ini terjadi pula pada hasil pengujian sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai COP R22 lebih tinggi 81,56 % daripada refrigeran Hydrocarbon 22 [11]. Selain itu, pada pengujian lainnya memberikan hasil bahwa COP ideal dan aktual HCR-22 lebih kecil dari R-22 untuk setiap variasi laju pendinginan di kondensor [12]. Sementara, pada pengujian dengan variasi penjang pipa kapiler ini nilai COP refrigeran R22 lebih tinggi 9,16% jika dibandingkan dengan refrigeran MC22 dengan jumlah massa 240 gram. Hal ini menunjukkan refrigeran R-22 lebih bagus daripada MC22 karena semakin tinggi harga COP-nya maka semakin bagus performansi dari mesin pendingin. D. Penurunan Tekanan dan temperature Evaporasi Kemampuan pipa kapiler dalam menurunkan tekanan refrigeran merupakan sebuah keharusan agar terpenuhinya sebuah keseimbangan laju aliran massa yang mengalir pada sistem. Tekanan refrigeran yang masuk pada pipa kapiler berada pada kondisi yang tinggi karena telah melewati proses pelepasan kalor ke lingkungan di kondensor secara isobarik. Biasanya, refrigeran memasuki pipa kapiler dengan fasa cairan tertekan atau subcool.
Energi III-55
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 5. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Tekanan Pada Masuk dan Keluar Pipa Kapiler
teoritis menjelaskan, penurunan tekanan akan bertambah jika panjang pipa ikut bertambah pula. Perbedaan kedua kondisi ini dapat terjadi disebabkan oleh penurunan nilai densitas refrigeran. Peristiwa ini terjadi karena temperatur refrigeran yang semakin rendah dan peningkatan kualitas uap yang dikandung refrigeran. Penambahan panjang pipa kapiler dapat menurunkan temperatur refrigeran pada proses evaporasi. Proses evaporasi merupakan proses perubahan fasa dari cair menjadi uap. Refrigeran mengambil panas dari luar untuk menguapkan semua refrigeran cair yang ada di dalam evaporator. Secara ideal, proses ini berlangsung dalam keadaan tekanan dan temperatur konstan. Namun secara aktual, hal ini tidaklah terpenuhi karena kenyataannya terjadi penurunan tekanan akibat gesekan antara antara aliran refrigeran dengan permukaan pipa evaporator.
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa tekanan refrigeran memasuki pipa kapiler dan keluar pipa kapiler menurun seiring panjang pipa kapiler bertambah. Hal tersebut terjadi untuk keseluruhan variasi pengujian. Akibatnya, nilai beda tekanan yang terjadi pun ikut menurun. Keseluruhan nilai beda tekanan yang terjadi pada pengujian dengan variasi panjang pipa kapiler dapat dilihat pada grafik sebagai berikut.
Gambar 7. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Temperatur Masuk Evaporator
Gambar 6. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Penurunan Tekanan
Pada hasil pengujian yang terlihat pada grafik, terlihat bahwa panjang pipa kapiler sangat mempengaruhi beda tekanan yang terjadi pada setiap pengujian. Dari enam variasi panjang pipa kapiler yang di uji untuk dua jenis refrigeran berbeda, menghasilkan kecenderungan penurunan beda tekanan pipa kapiler bila terjadi penambahan panjang. Dalam grafik terlihat bahwa pada refrigeran R22 besar penurunan tekanan terbesar terjadi pada panjang pipa kapiler 0.6 m dengan nilai 14.6 bar, sedangkan penurunan tekanan terkecilnya sebesar 13,51 bar yang terjadi pada panjang pipa kapiler terpanjang 2,1 m. Selanjutnya, untuk refrigeran MC22 dengan jumlah massa 240 gram terlihat memiliki kecenderungan yang sama dengan dengan pengujian sebelumnya yang menggunakan refrigeran R22. Pada pengujian ini, refrigeran MC 22 memiliki penurunan tekanan terbesar adalah 12,04 bar pada pipa kapiler 0,6 m dan terendah sebesar 11.46 bar pada pipa kapiler terpanjang. Keadaan ini, jika dibandingkan dengan kondisi teoritis aliran dalam pipa sangatlah berbeda. Dimana, pertambahan panjang pipa sangat berpengaruh dalam menurunkan tekanan refrigeran. Keadaan
Temperatur refrigeran yang masuk ke evaporator semakin menurun akibat pertambahan panjang pipa kapiler. Hal tersebut terlihat pada grafik di atas. Untuk refrigeran R22, temperatur masuknya berkisar 6,6 C untuk panjang pipa kapiler yang terpendek dan selanjutnya turun hingga -7,5C untuk penggunaan pipa kapiler 2.1 m. Untuk refrigeran MC22 dengan jumlah massa 240 gram, untuk pipa kapiler dengan panjang pipa kapiler 0.6 m suhu masuk evaporator yang terjadi sebesar 8,1 C kemudian berangsur-angsur turun hingga -5,4 C pada pipa kapiler yang panjangnya 2.1 m. Kejadian pada dua pengujian refrigeran di atas, memiliki kecenderungan yang sama yaitu penurunan temperatur untuk setiap penambahan panjang pipa kapiler. Kondisi ini terjadi akibat dari tahanan gesek yang terjadi pada pipa kapiler semakin besar. Tahanan gesek ini merupakan daya hambat yang terjadi antara aliran refrigeran dengan permukaan pipa kapiler sebagai akibat dari kecilnya penampang dari pipa kapiler itu sendiri. Kenaikan tahanan gesek ini juga pada akhirnya akan mempengaruhi mempengaruhi jumlah aliran refrigeran. Secara keseluruhan, temperatur masuk evaporator antara kedua jenis refrigeran yang diujikan tidaklah jauh berbeda. Walau terlihat dari grafik, temperatur yang terjadi pada refrigeran R22 lebih rendah dibanding MC22. Namun melihat dampak lingkungan yang dapat ditimbulkannya, penggunaan refrigeran R22 perlu ditinjau kembali dan dapat digantikan dengan MC22 yang lebih ramah lingkungan.
Energi III-56
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertambahan panjang pipa kapiler mengakibatkan penurunan nilai pressure drop yang terjadi untuk penggunaan kedua jenis refrigeran. Pertambahan panjang pipa kapiler mengakibatkan penurunan temperatur evaporasi yang terjadi. Hal ini terlihat dari penurunan temperatur masuk evaporator yang semakin rendah dengan nilai berturut-turut 8.1C, 7.0C, 5.3C, -0.8C, -2.4C, -5.4C untuk refrigeran MC 22 dan 6.6C, 3.7C, 2.4C, -1.4C, -4.8C, -7.5C untuk refrigeran R22. Pipa kapiler yang terlalu panjang mengakibatkan penurunan performasi mesin pendingin untuk penggunaan kedua jenis refrigeran. Hasil pengujian memperlihatkan efek refrigerasi cenderung naik, namun kerja kompresor semakin besar sehingga koefisien prestasinya semakin menurun. REFERENSI [1] S.S. Punia., J. Singh, “Experimental Investigation On The Performance Of Coiled Adiabatic Capillary Tube With LPG As Refrigerant”, International Journal of Mechanical and Production Engineering Research and Development (IJMPERD), Vol. 2 Issue 4 December 2012, pp: 73-82. [2] H.Z. Satria, “Studi Ekperimental Perbandingan Menggunakan Refrigeran R-12 Dan Refrigeran Hidrokarbon (MC-12) Pada Industrial And Commercial Refrigeration Training Unit Dengan Inside Diameter Pipa Kapiler Berbeda ”, DTM FTI ITS, 2011.
[3] K. Anwar., “Efek Temperatur Pipa Kapiler Terhadap Kinerja Mesin Pendingin”, Jurnal Mekanikal, Vol. 1 No. 1 Januari 2010 : 30 - 39. [4] S. Raharjo, “Efektifitas Penggunaan Musicool Pada Mestn Ac (Studi Kasus: Ac Merk Tosiba Dan Panasonik Di Universitas Negeri Semarang)”, Jurnal Traksi. Vol. 11 . No. 1. Juni 2011. [5] O.G.Valladares, “Numerical Simulation And Experimental Validation Of Coiled Adiabatic Capillary Tubes”, Applied Thermal Engineering : 27 (2007), 1062–1071. [6] M.A. Akintunde, “Effect Of Coilled Capillary Tube Pitch On Vapour Compression Refrigeration System Performance ”, AU.JT. 11 (1): 14- 22 (Jul.2007). [7] Basri, “Karakteristik Hidrolik Aliran Dua Fasa”, JIMT, Vol. 6, No. 2, November 2009 : 71 – 79. [8] C. Zhang, G. Ding, “Approximate analytic solutions of adiabatic capillary Tube”, International Journal of Refrigeration : 27, 17– 24, 2004. [9] K. Marsan, K. Anwar, A.Surianto, “Pengaruh Geometri Evaporator Terhadap Tekanan dan Temperatur pada siklus Refrigerasi Uap Standar ”, Proceeding SNTTM XI UGM Yogyakarta, 16-17 Oktober 2012. [10] W.F. Stoecker, dan J.W. Jerold, “Refrigerasi dan Pengkondisian Udara” edisi ke-2. Alih bahasa Ir. Supratman Hara, Erlangga, Jakarta, 1996. [11] K.O. Arijanto., “Pengujian Refrigeran Hycool HCR-22 Pada Ac Splite Sebagai Pengganti Freon R22 ”, Jurnal Rotasi, Vol. 9 No. 2 April 2007 : 42 - 46. [12] H. Prasetya., “Pengujian Unjuk Kerja Ac Domestik Dengan Refrigeran R-22 Dan HCR-22 Pada Variasi Beban Pendinginan Evaporator Dan Laju Pendinginan Kondensor”, DTM FT UNS, 2009.
Energi III-57
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kinerja Yang Dihasilkan Oleh Kincir Air Arus Bawah Dengan Sudu Berbentuk Mangkok Luther Sule Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract—Tenaga air adalah tenaga yang diperoleh dari air yang mengalir. Energi yang dimiliki air dapat dimanfaatkan dan digunakan dalam bentuk energi mekanis maupun energi listrik. Pemanfaatan energi air banyak dilakukan menggunakan kincir air (roda air) atau turbin air yang memanfaatkan adanya suatu air terjun atau aliran sungai. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kincir air dengan sudu berbentuk mangkok dengan bahan besi dan acrilik, diameter kincir (Dk) 30 cm, dan diameter sudu (Ds) 9 cm. Dengan variasi jumlah sudu yaitu 4, 6, dan 8 sudu. Memberikan debit dan pembebanan tertentu sehingga diperoleh daya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa efisiensi tertinggi (η) dari kincir berbagai sudu terdapat pada kincir air dengan jumlah sudu 6, yaitu 57,8491% pada debit 0,01089 m3/s. Jadi dapat disimpulkan bahwa kincir air sudu dengan bentuk mangkok layak dijadikan sebagai alternatif bentuk sudu yang digunakan dalam pembuatan pembangkit listrik skala kecil Kata Kunci— arus bawah , efisiensi, energi, kincir air, sudu
I. LATAR BELAKANG Dengan perkembangangan zaman sekarang ini, kebutuhan akan energi semakin meningkat, terutama bagi negara atau daerah yang sedang berkembang. Oleh karenanya, pemanfaatan energi secara tepat guna dapat menutupi kebutuhan energi yang terus meningkat. Di Indonesia, suplai energi masih mengandalkan pembangkit berbahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang tersedia dalam jumlah terbatas dan suatu saat akan habis, sementara permintaan akan energi listrik terus bertambah. Oleh karenanya pemanfaatan energi sekarang ini sudah diarahkan pada penggunaan energi terbarukan yang ada di alam. Misalnya energi air, energi angin, energi matahari dan sebagainya. Hal ini dikarenakan energi terbarukan jenis di atas mudah didapat dan dapat didaur ulang bila dibandingkan dengan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Untuk mendapatkan sumber energi fosil harus dilakukan proses yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu sumber energi fosil sekarang ini jumlahnya sudah berkurang dan tidak dapat diperbaharui. Sumber-sumber energi terbarukan seperti energi matahari, panas bumi, energi air, energi angin dan sebagainya memenuhi kriteria sehingga dalam pemanfaatannya terbukti dapat mengurangi penggunaan energi fosil yang kian terbatas jumlahnya.
Salah satu sumber energi terbarukan yang sangat berpotensi dalam penggunaannya adalah energi air. Mengingat negara kita merupakan negara-negara beriklim tropis dan mempunyai curah hujan yang tinggi ditambah dengan faktor pendukung seperti keadaan topografi yang bergunung-gunung dengan aliran sungai yang deras sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai pembangkit tenaga listrik. Tenaga air adalah tenaga yang diperoleh dari air yang mengalir. Energi yang dimiliki air dapat dimanfaatkan dan digunakan dalam bentuk energi mekanis maupun energi listrik. Pemanfaatan energi air banyak dilakukan dengan menggunakan kincir air (roda air) atau turbin air yang memanfaatkan adanya suatu air terjun atau aliran sungai. Bentuk profil mangkok merupakan salah satu bentuk profil yang memiliki nilai koefisien drag yang tinggi setelah plat datar, yaitu dengan nilai 1,42. Semakin besar nilai koefisien drag yang dimiliki oleh sebuah profil, maka semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan tenaga air yang menghantamnya II. METODOLOGI DAN PERALATAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - April 2012,bertempat di aboratorium Mesin-mesin Fluida, Universitas Hasanuddin Makassar. Instalasi Alat Pengujian
Energi III-58
Gambar 1. Tampakan instalasi alat uji.
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
sehingga terjadi momen puntir pada poros yang biasa dikenal dengan Torsi, sehingga torsi dapat disimpulan sebagai : T = F * rk = m * g * rk , Dimana : T = besarnya torsi yang terjadi (N.m) m = massa pembebanan (kg) g = gravitasi = 9,81 m/s2 rk = jari-jari roda pembebanan Hubungan antara torsi dan pembebanan cenderung berbanding lurus, artinya semakin besar pembebanan, maka torsi yang terjadi juga semakin besar dan begitu pula sebaliknya. Hal ini diperlihatkan contoh tabel dari hasil perhitungan kinicr air sudu 8 dan pada debit Q3 dibawah ini : Tabel.1 Putaran dan torsi yang terjadi pada kincir air sudu 8 dengan debit
Gambar 2. Kincir air sudu 4
Q3
Gambar 3. Kincir air sudu 8
Gambar 4. Foto Instalasi Pengujian III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan selesainya melakukan pengujian dan pengolahan data pada kincir air dengan model sudu berbentuk mangkok, maka diperoleh data-data antara lain, debit air, daya ideal air, torsi, daya kincir, dan efisiensi atau kinerja dari kincir. Daya ideal air yang diperoleh berbeda-beda, hal ini disebabkan berbedabedanya debit air. Dimulai dari debit air 0,01089 m3/s (Q1), 0,01156 m3/s (Q2), hingga 0,01228 m3/s (Q3). Semakin besar debit air, maka daya ideal air juga semakin besar. Hal ini sesuai dengan rumus : Pair = ½ * ρ * Q * V = ½ * ρ * A * V3 Dimana : Pair = daya yang dimiliki oleh air (watt) ρ = massa jenis air (kg/m3) A2 = luas penampang sudu yang dihantam oleh air (m2) Ketika kincir berputar, dan apabila digantungkan beban, maka akan terjadi pengereman berupa gesekan antara roda pembebanan dengan tali pembebanan
Setiap pembebanan yang diberikan kepada kincir air akan mengurangi putaran poros kincir. Hal ini terjadi disebabkan adanya pengereman pada poros yang mengakibatkan putaran poros berkurang sedikit demi sedikit hingga tidak terjadi putaran lagi. Kincir air akan menghasilkan daya karena kincir tersebut dapat megimbangi torsi yang diberikan. Bila torsi yang di berikan sama dengan nol, maka kincir air tidak akan menghasilkan daya karena kincir akan berputar sangat cepat sebagai akibat tidak adanya pembebanan yang diberikan (tidak terjadi pengeraman). Sebaliknya, jika diberikan torsi maksimal maka kincir akan berhenti berputar sehingga tidak akan menghasilkan daya. Diantara kedua nilai tersebut terdapat nilai maksimum dimana terjadi daya maksimum dari sebuah kincir air. Sehingga apabila dibuat dalam bentuk sebuah grafik maka akan membentuk sebuah garis setengah parabola (kecenderungan). Berikut adalah grafik 1, grafik 2 dan grafik 3 yang memperlihatkan perbandingan antara daya kincir (P kincir) terhadap putaran (n) dari kincir air berbagai jumlah sudu dan berbagai debit.
Energi III-59
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui, untuk sudu 4 daya maksimum untuk tiap pertambahan debit jika digambarkan dalam sebuah grafik maka akan menunjukkan sebuah garis setengah parabola dimana terdapat titik maksimum dan titik minimum. Untuk sudu 6, daya maksimum berbanding terbalik terhadap pertambahan debit. Dan untuk sudu 8, daya maksimum berbanding terbalik terhadap pertambahan debit. Dari tabel 7 di atas juga dapat diketahui, untuk jumlah sudu 4, daya maksimum terjadi pada Q2, untuk jumlah sudu 6, daya maksimum terjadi pada Q1, dan untuk jumlah sudu 8, daya maksimum terjadi pada Q1. Berikut adalah grafik 4 yang memperlihatkan perbandingan antara daya kincir maksimum (Pkincir) terhadap putaran (n) pada berbagai jumlah sudu kincir air
Tabel.2 Daya maksimum pada berbagai jumlah sudu dan berbagai debit.
Energi III-60
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa fisiensi maksimum (η) berbanding lurus terhadap daya kincir air maksimum Pkincir). Dari tabel 8 diatas, dapat disimpulkan bahwa efisiensi tertinggi dimiliki oleh kincir air dengan jumlah sudu 6, yaitu 57,8491 %. Berikut adalah grafik 8 yang memperlihatkan hubungan antara efisiensi maksimum kincir air (η) terhadap putaran (n) pada berbagai jumlah sudu.
Hubungan antara daya maskimum dan fisiensi maksimum adalah daya maksimu terjadi dibawah efisiensi maksimum. Berikut adalah grafik hubungan antara efisiensi maksimum kincir air (η) dan daya maksimum kincir air (Pkincir) terhadap putaran (n) untuk kincir air dengan jumlah sudu 6 (kincir air yang memiliki efisiensi tertinggi dibandingkan kicir air dengan jumlah sudu lainnya).
Tabel.3 Efisiensi maksimum pada berbagai jumlah sudu.
IV. Dari hasil seluruh pengamatan dapat diketahui bahwa kincir air dengan jumlah sudu lebih bagus dari pada kincir air dengan jumlah sudu 4 ataupun 8. Hal ini disebabkan oleh beberapa alas an, antara lain untuk jumlah sudu 8 tidak menghasilkan efisiensi yang baik dikarenakan daya potensial air tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh tiap sudu, dimana ketika sudu mulai memasuki air atau mendapat gaya dorong dari air, sebelum sudu dapat memaksimalkan daya potensial dari air, sudu berikutnya telah memasuki air yang kemudian
Energi III-61
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
menghalagi jalannya air menumbuk sudu pertama. Untuk jumlah sudu 4, daya potensial air dapat dimaksimalkan, tetapi sudu juga mendapatkan gaya tekanan balik yang maksimal sebagai akibat dari bentuk profil mangkok sehingga tidak dapat menghasilkan efisiensi yang tinggi. Sedangakan untuk jumlah sudu 6 dapat menghasilkan efisiensi yang lebih baik baik dari pada jumlah sudu yang lain, karena daya ptensial air yang dimanfaatkan dapat dimaksimalkan sehingga tidak menghasilkan tekanan balik yang begitu besar sebagai aikibat dari jumlah sudu itu sendiri. Dimana ketika sudu pertama memasuki air, daya potensial air yang diterima belum maksimal karena sudu kedua telah memasuki air, tetapi daya potensial air yang tidak dapat imanfaatkan dari sudu pertama dapat digantikan oleh sudu kedua, dan begitu seterusnya. V. KESIMPULAN 1.
2.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa efisiensi tertinggi (η) dari kincir berbagai sudu terdapat pada kincir air dengan jumlah sudu 6, yaitu 57,8491% pada debit 0,01089 m3/s. Dari hasil penelitian diketahui bahwa efisiensi maksimum (η) berbanding lurus dengan daya kincir maksimum (Pkincir) atau daya maksimum (Pkincir) terjadi dibawah efisiensi maksimum (η). Dan adapun
Penyimpangan nilai-nilai hasil pengujian terhadap garis ideal pada grafik adalah dikarenakan adanya tekanan balik dari arus yang mengalir dan menghantam sudu mangkok (terjadi aliran turbulensi). . REFERENSI [1] Anonim. http://24volt.eu/poncelet.php. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012 [2] Anonim. http://www.top-alternative-energy-sources.com/waterwheel-design.html. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012 [3] Anonim. http://wikipedia.com/fisika. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012 [4] Himran, Syukri. 2006. Dasar-dasar merencana Turbin Air. CV Bintang Lamumpatue, Makassar [5] Patty, O.F. 1995. Tenaga Air. Erlangga, Jakarta [6] Prayatmo, Wibowo. 2007. Turbin Air. Graha Ilmu, Yogyakarta [7] Suharsono. 2004. Kincir Air Pembangkit Listrik. PT Penebar Swadaya, Jakarta [8] White, Frank M, Hariandja, Manahan. 1986. Mekanika Fluida (Terjemahan). Edisi I, Erlangga, Jakarta [9] Yusri, Aidil Z, Asmed. 2004. Analisa Daya dan Putaran Kincir Air Tradisional Sebagai Alternatif Sumber Daya Penggerak. Jurnal Teknik Mesin, Politeknik Negeri Padang, Vol 1, No 2. Padang
Energi III-62
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Modifikasi Permukaan Bawah Panci Terhadap Peningkatan Efisiensi Panci Nurfuadah
Wahyu H. Piarah
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract—Salah satu cara untuk meminimalkan konsumsi energi adalah memodifikasi peralatan yang telah ada Penelitian ini bertujuan untuk menentukan besarnya energi pancaran radiasi nyala yang berasal dari api kompor gas, energi kalor radiasi termal, konveksi dan efisiensi yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang dilakukan pada panci yang kedalaman permukaan bawahnya (a) = 0 cm yang disebut panci rata ; (a) = 1 cm yang disebut panci modifikasi I dan (a) = 1 !4 cm yang disebut panci modifikasi II. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur suhu di permukaan bawah panci, api kompor gas, air yang dipanaskan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi pancaran nyala api untuk panci rata, modifikasi I dan modifikasi II sebesar 144 -180 W ke permukaan bawah panci. Energi kalor panci radiasi termal dan konveksi untuk panci rata pada katup 1, katup 2, katup 3 sebesar 97,7 - 120,8 W; untuk panci modifikasi I sebesar 97,3 - 134,8 W; untuk panci modifikasi II sebesar 114,7 - 126,7 W dengan laju bahan bakar 0,0028 kg/menit (katup 1), 0,0041 kg/menit (katup 2) dan 0,0046 kg/menit (katup 3). Peningkatan efisiensi terjadi pada panci modifikasi I dari 71,80 % menjadi 82,71% untuk katup 3 .Hal ini dipengaruhi oleh kedalaman permukaan bawah panci modifikasi I lebih efisien dan optimal untuk dapat menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat. Kata kunci : Panci, Radiasi Termal, Konveksi, Laju Bahan Bakar
I. PENDAHULUAN Pada era Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, merambah segala aspek kehidupan manusia. Aplikasi ilmu pengetahuan termasuk rekayasa engineering, sangat dibutuhkan dalam transformasi pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya energi di alam. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menemukan alternatif baru, dalam menciptakan alat-alat yang lebih efesien terhadap penggunaan energi. Efisiensi energi telah banyak dikembangkan saat ini dengan berbagai metode dan aplikasi. Dalam aplikasi, tentunya dilakukan di segala jenis kegiatan hidup manusia antara lain dalam dunia industri, perkebunan & pertanian . Efisiensi energi yang dilakukan salah satunya adalah dengan memodifikasi peralatan yang hemat energi. Peralatan yang hemat energi merupakan suatu inovasi yang patut di apresiasi dalam masyarakat. Dalam aplikasinya, peralatan tersebut dapat meminimalkan pemakaian bahan bakar. Salah satunya adalah meminimalkan konsumsi energi dengan memodifikasi panci.
Panci merupakan salah satu peralatan dapur yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer setiap manusia, yaitu memasak makanan yang akan dikonsumsi. Adapun material panci, umumnya adalah aluminium, tembaga, stainless steel, carbon steel, dan cast iron. Pada pemilihan panci perpindahan panas yang baik, mempunyai estetika yang indah, tahan terhadap goresan, tidak berpengaruh terhadap masakan yang di masak (inert), serta harga yang terjangkau. Penelitian pemanfaatan panci telah dilakukan melalui modifikasi permukaan bawah panci. Salah satu diantaranya, studi tentang dua macam panci (cooking vessel), yang pertama adalah adalah cooking vessel konvensional dan yang kedua merupakan cooking vessel yang telah dimodifikasi dengan menambahkan sirip pada bagian selimutnya. Pada pengujian tersebut digunakan double exposure solar cooker sebagai sumber panas bagi cooking vessel dengan memfokuskan arah pantulan sinar matahari tepat di bagian bawah panci (Harmim, 2007). Penambahan sirip pada alat penukar kalor untuk meningkatkan luasan perpindahan panas antara permukaan utama dengan fluida di sekitarnya dapat diaplikasikan pada permukaan bawah panci untuk kebutuhan yang sama. Material sirip harus memiliki konduktivitas termal yang tinggi untuk meminimalkan perbedaan suhu antara permukaan utama (prime surface) dengan permukaan yang diperluas (extended surface). Ada berbagai tipe sirip pada alat penukar kalor yang telah digunakan diantaranya mulai dari bentuk yang relatif sederhana seperti sirip segiempat (rectangular), silindris, annular, tirus (tapered) atau pin sampai dengan kombinasi dari berbagai geometri yang berbeda dengan jarak yang teratur dalam susunan selang-seling (staggered) ataupun segaris (inline)(Krauss, 2006). Peningkatan efisiensi juga tidak terlepas dari pengaruh kompor atau tungku yang digunakan. Melihat kenyataan tersebut, banyak peneliti melakukan riset untuk memperoleh efisiensi yang lebih baik. Dalam penelitian dianalisa perfomance tungku biomassa dengan dan tanpa sirip sehingga efisiensi terbesar diperoleh dengan panci yang bersirip dan diameter briket 1,5' yaitu sebesar 27,43% dengan waktu pemanasan yang cepat sekitar 20 menit (Syamsuri ,2013). Dalam penelitian menyangkut kompor gas dilakukan variasi volume air untuk memperlihatkan besarnya efisiensi kompor yang dihasilkan. Dalam hal ini, diperoleh adanya peningkatan efisiensi kompor setelah volume air yang dimasak di variasikan, yakni volume air 200 ml memiliki efisiensi
Energi III-63
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
sebesar 11,96%, volume air 400 ml memiliki efisiensi sebesar 26,59% , volume air 600 ml memiliki efisiensi sebesar 34,47 %, volume air 800 ml memiliki efisiensi sebesar 41,56%, dan volume air 1000 ml memiliki efisiensi sebesar 41,19% (Ernandi , 2010). Konsumsi bahan bakar LPG dipengaruhi oleh jenis burner. Efisiensi pembakaran LPG oleh berbagai jenis burner kompor gas akan dinyatakan dengan besarnya temperatur yang dihasilkan oleh burner serta konsumsi LPG yang diperlukan oleh burner dalam penggunaanya.Pada penelitian ini burner pertama menghasilkan efisiensi burner sebesar 0,41% dengan laju pemanasan yang paling cepat dan burner ketiga menghasilkan efisiensi burner sebesar 0,35% dengan laju pemanasan yang paling lambat ( Dinaryanto , 2010). Dengan adanya variasi sirip dengan ( model L dan U) pada cooking vessel aluminium 3004 dapat diperoleh efisiensi termal dan tingkat konsumsi bahan bakar LPG. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa profil sirip U menghasilkan efisiensi termal sebesar 22,67 % dan menghemat konsumsi bahan bakar LPG hingga mencapai 0,057 L ( Andika , 2011). Berdasarkan penelitian tersebut salah satu hal yang dapat mempengaruhi efisiensi panci adalah dengan adanya modifikasi di permukaan bawahnya. Penelitian ini bertujuan untuk dapat menentukan besarnya energi pancaran radiasi nyala yang berasal dari api kompor gas, energi kalor radiasi termal, konveksi dan efisiensi yang dihasilkan.
Dimana: Q = Energi panas konduksi (kW) A = Luas permukaan hantaran (m2) k = konduktivitas termal bahan (kW/m.K) L = panjang perjalanan kalor (m) T = Suhu yang lebih rendah (°C) T2= Suhu yang lebih tinggi (°C) q = flux panas (kW/m2) B. Perpindahan Konveksi Perpindahan panas konveksi adalah proses perpindahan kalor dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah dimana energi kalor dibawa oleh molekul yang bergerak dan terjadi pada fluida yang berada di sekitar benda padat. Perpindahan panas konveksi adalah proses transport energi dengan cara gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi dan gerakan mencampur (diffusion). Energi sebenarnya disimpan dalam partikel-partikel fluida dan diangkut sebagai akibat gerakan massa tersebut. Mekanisme ini dalam operasinya tidak tergantung hanya pada suhu dan tidak secara tepat memenuhi defenisi perpindahan panas. Tetapi, hasil bersihnya adalah angkutan energi karena terjadinya dalam gradien suhu, maka juga digolongkan sebagai suatu cara perpindahan panas konveksi,atau dapat ditulis dalam bentuk persamaan[1,3,4,6,7,91 :
II. LANDASAN TEORI Panas adalah suatu bentuk energi yang dipindahkan melalui batas sistem yang ada pada suhu yang lebih tinggi ke ^ sistem lain atau lingkungan yang mempunyai suhu yang lebih ^ rendah1101. Suatu benda tidak dapat memiliki panas, akan tetapi panas dapat dikenali pada saat melalui batas sistem. Sedangkan p perpin-dahan panas adalah berlangsungnya perpindahan energi t karena adanya perbedaan suhu antara dua sistem yang bersinggungan, dimana arah perpindahannya dari daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam suatu medium baik padat, cair maupun gas. Pada prinsipnya perpindahan panas dapat dibagi dalam tiga cara , yakni: A. Perpindahan panas konduksi I Perpindahan panas konduksi adalah proses perpindahan kalor dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah dimana energi kalor dioper oleh molekul yang saling bersentuhan dan terjadi pada benda padat [13]. Untuk kondisi steady secara umum dirumuskan[3,6,713I:
Dimana: Q = Energi panas konveksi (kW) A = Luas permukaan hantaran (m2) h = koofisien perpindahan panas konveksi (kW/m2K) T1 = Suhu yang lebih rendah (°C) T2 = Suhu yang lebih tinggi (oC) Bila aliran massa fluida melintasi suatu permukaan dengan suhu yang tidak seragam, maka laju perpindahan kalornya dapat ditulis dalam bentuk: (5) Dimana: m = laju aliran massa (kg/s) Cp = Panas spesifik (kj/kg.K) Tin = Suhu masuk (oC) Tout = Suhu keluar (oC) Perpindahan panas dengan cara konveksi dapat di klarifika sikan dalam dua cara yaitu konveksi paksa (force convection) dan konveksi bebas atau konveksi alamiah (free convection)[6ll]
Dengan variabel terpisah, maka persamaan (1) dapat disusun kembali dengan mengintegrasikan terhadap luas.
Apabila memasukkan syarat batas: x = 0 pada T = T1 dan x = L pada T =T2 ,maka persamaan (2) dapat diubah dalam bentuk:
C. Perpindahan panas radiasi Perpindahan panas radiasi adalah proses dimana panas mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah bila benda-benda itu terpisah dalam ruang bahkan terdapat ruang hampa diantara benda-benda tersebut. 1. Radiasi Termal Energi radiasi dapat didefenisikan sebagai peristiwa dimana terangkutnya gelombang-gelombang elektromagnetik atau photon-photon berdasarkan gradien suhunya tanpa suatu medium antara.Energi yang berkaitan dengan pergerakan photon-photon tersebut dapat digambarkan dalam persamaan.
Energi III-64
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dimana: v = frekuensi radiasi h = suatu konstante plackdiasi 2. Radiasi benda hitam dan benda kelabu Radiasi benda hitam sering juga disebut sebagai radiasi ideal karena pada suhu berapapun dapat memancarkan atau menyerap radiasi maksimum dengan panjang gelombang mana pun [6] . Radiator ideal secara teoritis : Eb = aA(T 4 ) dengan menentukan batas-batas pancaran radiasi sesuai dengan hukum termodinamika. Secara umum persamaan perpindahan panas radiasi benda kelabu dapat ditulis dalam bentuk [1,3,4,6,9,10] Dimana: Q r = Energi panas radiasi (kW) σ = konstante stefan boltzman = 5,669 x 10-8 [W/m2 K] s = Emisivitas pancaran nyala F1.2 = Faktor Bentuk (View factor) radiasi (1) ke radiasi (2) Ap = luas pancaran nyala (m2) Tapi = Suhu pancaran nyala api (oC) Tbenda= Suhu benda (oC) 3. Pancaran radiasi nyala api dihitung berdasarkan persamaan: Dimana: Q pancaran nyala api = Energi termal oleh radiasi bahan bakar(kW) A p = Luas pancaran radiasi (m2) σ = konstanta proporsionalitas (Konstanta StefanBoltzmann) = 5,669 x 10 8 W / m2 . K4 Tapi = Suhu pancaran nyala api (oC) III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat, Alat, dan Bahan Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Mesin Pendingin dan Pemanas, Jurusan Teknik Mesin , Universitas Hasanuddin. Penelitian secara eksperimental dilakukan dengan mengukur suhu di permukaan bawah panci untuk memperoleh beberapa parameter seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Benda Uji
(oC), T6 = Suhu sekitar api (0C), T7 = Suhu api (0C) , dan T8 = Suhu air (oC). Dalam hal ini, pada permukaan panci yang rata memiliki kedalaman (a) = 0 cm disebut sebagai panci rata dan panci yang permukaan bawahnya divariasikan masing-masing akan memiliki kedalaman (a) = 1 cm dan 1 !/ cm disebut sebagai panci modifikasi I dan modifikasi II. Adapun beberapa bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. 3 buah panci, yakni 1 buah panci yang permukaan bawahnya rata, dan 2 buah panci yang telah dimodifi kasi permukaan bawahnya dengan kedalaman masing -masing, yaitu 1 cm dan 1,5 cm 2. Air Air adalah media yang digunakan untuk dipanaskan dengan kapasitas volume 2 liter dan 3 liter 3. Kompor Gas Kompor Gas yang digunakan adalah Kompor Gas umum sama seperti yang dijual dipasaran. 4. Tabung Elpiji 3 kg 5. Termokopel Alat ini untuk mengukur suhu air dan permukaan bawah panci berdasarkan waktu yang ditentukan. 6. Alat pembaca suhu B. Prosedur Pengambilan data Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini meliputi : 1. Mengkalibrasi alat ukur suhu 2. Mempersiapkan 3 macam panci yaitu 1 buah panci yang permukaannya rata, dan 2 buah panci yang permukaan bawahnya divariasikan dengan kedalaman masing-masing: 1 cm dan 1,5 cm . 3. Menempatkan termokopel pada permukaan bawah panci, masing-masing pada tengah panci, dan sekitar nya sebanyak 4 titik.Kemudian masing-masing satu termokoppel di bagian mata kompornya ,di sekitar api dan di dalam air yang dipanaskan. 4. Menempatkan panci yang berisi air masing-masing sebanyak 2 liter dan 3 liter di atas kompor gas secara bergantian. 5. Dalam proses penyalaan api kompor masing-masing divariasikan menjadi pembukaan katup 1, katup 2 dan katup 3. 6. Setelah menyalakan kompor gas, dimulailah pengambilan data dengan masing-masing waktu yang telah ditentukan, diawali dari 1 menit sampai mencapai suhu konstan( steady). 7. Setelah pengambilan data selesai, maka akan dilaku kan pengolahan data sampai pada perhitungan efisiensi panci dan efisiensi kompor. 8. Penelitian untuk setiap panci dilakukan secara bergantian mulai dari langkah 2 sampai dengan langkah 5. C. Teknik Analisis Data Pada penelitian dilakukan pengukuran suhu pada permukaan bawah panci, suhu api dan suhu air yang dipanaskan pada setiap panci seperti yang ditunjukkan pada gambar sebagai berikut:
Dimana : T1 = Suhu tengah panci (oC), T2 = Suhu sekitar tengah panci 1 (oC) , T3 = Suhu sekitar tengah panci 2 (oC), T4 = Suhu sekitar tengah panci 3 (oC), T5 =Suhu pinggir panci
Energi III-65
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi T = Suhu yang lebih rendah (oC) T2 = Suhu yang lebih tinggi (oC) IV. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dengan modifikasi panci yang dilakukan akan dapat meningkatkan efisiensi panci. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 2 . Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah panci dan suhu air dengan waktu pendidihan pada panci rata
Gambar 3 . Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah panci dan suhu air dengan waktu pendididhan pada panci modifikasi I
Gambar 4. Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah panci dan suhu air dengan waktu pendididhan pada panci modifikasi II
Pengambilan data mulai dilakukan pada saat proses pemanasan berlangsung hingga air mendidih sehingga akan diperoleh data suhu air, suhu permukaan bawah panci dan suhu api. Selain pen gukuran suhu juga dilakukan penimbangan berat bahan bakar s ebelum dan setelah proses pemanasan air, dan penimbangan air sebelum dan setelah proses pendidihan. Beberapa perhitungan yang akan digunakan ,yakni:
Dimana: Qr=Energ panas radiasi (W) σ = konstanta proporsionalitas (Konstanta Stefan-Boltzmann) = 5,669 x 10 8 W / m2 . K4 Ԑ= Emisivitas pancaran nyala = 1 F1-2 = Faktor Bentuk (View factor) radiasi (1) ke radiasi (2) Ap = luas pancaran nyala (m2) Tapi = Suhu pancaran nyala api ( °K ) T pbp = Suhu permukaan bawah panci yang mengalami radiasi ( °K ) Energi kalor konveksi Dimana: Q = Energi panas konveksi (W) A = Luas permukaan hantaran (m2) h = koofisien perpindahan panas konveksi (W/m2K)
Gambar 5 .(a ) Grafik hubungan antara efisiensi dengan panci rata, modif I dan modif II Katup 1, katup 2 dan katup 3 (b) Grafik hubungan antara efisiensi dengan katup 1, katup 2 dan katup 3 Pada gambar 5.a. terlihat bahwa efisiensi panci yang dihasilkan oleh panci modifikasi I lebih besar dibandingkan panci rata dan modifikasi II, yakni sebesar 82,71% dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 13.755,25 W . Sedangkan efisiensi pada panci modifikasi II sebesar 76,38% dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 16.096,31 W dan pada panci rata sebesar 71,64 % dengan kalor yang diserap air sebesar 13.047,78 W. Hal ini dipengaruhi karena kedalaman variasi permukaan bawah pada modifikasi I lebih efisien dan optimal untuk dapat menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat sedangkan panci modifikasi II memiliki variasi kedalaman yang lebih besar modifikasi I sehingga penyerapan panasnya kurang efisien. Pada gambar 5.b terlihat bahwa efisiensi yang dihasilkan oleh pembukaan katup 3 lebih besar dibandingkan katup 1 dan katup 2, yakni sebesar 82,71 % dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 13.755,25 W. Sedangkan efisiensi pada katup 1 sebesar 73,10 % dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 9.151,3 W dan katup 2 sebesar 74,67 % dengan kalor yang diserap air sebesar 14.147,39 W . Selain modifikasi panci dan pembukaan katup, penambahan volume juga mempengaruhi peningkatan efisiensi panci. Efisiensi yang dihasilkan oleh volume 2 liter sebesar 82,71% % dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 13.755,25 W. Setelah dilakukan penambahan volume menjadi 3 liter, efisiensi yang dihasilkan sebesar 81,35 % dengan jumlah kalor yang diserap air bertambah menjadi 14.100,42W. B. Pembahasan Penelitian ini memperlihatkan bahwa energi pancaran nyala api kompor berdasarkan suhu api yang dihasilkan dari gas LPG. Pada setiap katup memiliki energi pancaran nyala api yang berbeda-beda tergantung pada bukaan katup yang diberikan. Pada katup 1 memiliki energi pancaran nyala api kompor sebesar 154,56 W dengan jumlah energi kalor radiasi termal dan konveksi yang dihasilkan sebesar 116,14 W dan, pada katup 2 memiliki energi pancaran nyala api kompor sebesar 155,84 W dengan jumlah energi kalor radiasi dan konveksi yang dihasilkan sebesar 119,95 W , pada katup 3 memiliki energi pancaran nyala api kompor sebesar 130,25 W
Energi III-66
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
dengan jumlah energi kalor radiasi termal dan konveksi yang dihasilkan sebesar 106,33 W . Energi Pancaran nyala api yang bersumber dari suhu api mengalami proses perpindahan panas dimana sumber panas (api kompor) ke permukaan bawah panci memperlihatkan bahwa T1 (suhu tengah panci) dan T3 ( suhu sekitar tengah panci) terpapar langsung nyala api kompor yang berada pada lingkaran mata api dengan diameter = 5 cm dan T3 pada diameter = 13 cm. Setelah itu, panas bergerak merambat secara horisontal menuju T2 ,T4 dan T5. Untuk kondisi seperti ini, semua panci baik rata, modifikasi I dan modifikasi II adalah sama proses perpindahan panasnya, yakni T1, T3 secara radiasi selanjutnya T2,T4 dan T5 secara konveksi. Pada panas merata di semua titik permukaan bawah panci maka panas akan berpindah lagi secara vertikal, masuk ke dalam air sehingga pada waktu tertentu air akan mengalami proses pendidihan. Untuk memanaskan air dibutuhkan waktu pendidihan. Dalam penelitian yang dilakukan pada ketiga macam panci, yakni panci rata, modifikasi I dan modifikasi II memperlihatkan bahwa dari ketiga macam panci tersebut memiliki waktu pendidihan yang berbeda-beda dengan laju bahan bakar sebesar 0,0028 kg/menit(katup 1), 0,0041 kg/menit (katup 2) dan 0,0046 kg/menit (katup 3) . Adapun nilai laju bahan bakar dapat diperoleh dengan menimbang berat bahan bakar terlebih dahulu sebelum digunakan, selanjutnya setelah proses pendidihan dilakukan penimbangan bahan bakar lagi. Selisih dari sebelum dan setelah pemakaian bahan bakar itulah yang merupakan laju bahan bakar. Berdasarkan variasi pembukaan katup , di antara ketiga macam panci yang mampu mendidihkan air lebih cepat adalah panci modifikasi II pada pembukaan katup 3. Panci ini memiliki laju bahan bakar sebesar 0,0046 kg/menit dengan waktu pendidihan selama 24 menit. Sedangkan panci yang waktu pendidihannya agak lambat adalah panci rata pada pembukaan katup 1 karena laju bahan bakarnya sebesar 0,0028 kg/menit dengan waktu pendidihan selama 63 menit. Hal ini dipengaruhi karena semakin besar pembukaan katup, makin besar pula laju bahan bakarnya, sehingga waktu pendidihan air akan lebih cepat. V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut : 1. Besarnya energi pancaran nyala api ditentukan oleh besarnya suhu api kompor yang dipengaruhi oleh variasi pembukaan katup yang terpancar pada permukaan bawah panci. Energi pancaran nyala api terpancar untuk panci rata, modifikasi I dan modifikasi II kisaran 144-180 W ke permukaan bawah panci. 2. Energi kalor radiasi termal dan konveksi yang dihasilkan pada panci rata dan yang dimodifikasi bergantung
3.
4.
pada besarnya suhu api dan luas permukaan bawah panci. Energi kalor radiasi termal dan konveksi untuk panci rata pada katup 1, katup 2 dan katup 3 kisaran 97,7 - 120,8 W ,untuk panci modifikasi I kisaran 97,3 - 134,8 W dan untuk panci modifikasi II kisaran 114,7 - 126,7 W. Peningkatan efisiensi terjadi pada panci modifikasi I dari 71,8 % menjadi 82,71% untuk pembukaan katup 3 . Hal ini dipengaruhi karena kedalaman permukaan bawah pada panci modifikasi I lebih efisien dan optimal untuk dapat menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat sedangkan panci modifikasi II memiliki kedalaman permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan panci modifikasi I sehingga pen yerapan panasnya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat merata kesemua permukaan bawah panci . Dari ketiga macam panci yang dibuat, panci yang mem iliki banyak kelebihan dan keuntungan adalah panci modifikasi I dengan bukaan katup 2. Karena panci ini mampu menghemat pemakaian bahan bakar sebesar 0,02 kg dan mampu menyerap panas yang optimal dan efisien dibandingkan dengan panci rata dan panci modifikasi II. DAFTAR PUSTAKA
[1] Andika Fikri. (2011). Analisa Variasi Sirip Dengan (Model L dan U) Pada Cooking Vessel Aluminium 3004 Terhadap Efisiensi Termal Dan Tingkat Konsumsi Bahan Bakar LPG. [2] Bejan. (1993). Heat Transfer. John Willy & Sons Inc Singapore New York. Toronto. [3] Cengel Y. A., Ghajar A. J., (2007). Heat Transfer and Mass Transfer. Fundamentals And Applications. 4th Ed. McGraw Hill. Singapore. [4] Dinaryanto, Okto. (2010). Pengaruh Jenis Burner Terhadap Konsumsi Bahan Bakar LPG. Volume 2. Nomor 1. [5] Ernandi, Ridho (2010). Peningkatan Efisiensi Kompor Setelah Volume Air Yang Dimasak Di Variasikan. Jakarta [6] Harmim, A.,M.Boukar, M. Amar . (2007). Experimental Stu dy of a Double Exposure Solar Cooker With Finned Cookin g Vessel.Solar Energy 82: 287-289. [7] Holman, J.P. (1997). Perpindahan Kalor. Terjemahan E. Jasjfi,MSc. Edisi 6. Erlangga. Jakarta. [8] Incropera,F.,Dewitt D.P.,Bergman,R.,T.L., and Lavine,A.S. (2007). Fundamental of Heat and Mass Transfer. 6th edition. College of Engineering. University of Notre Dame. [9] Krauss. (2006). Prinsip-Prinsip Perpindahan Panas. Edisi ketiga. Arko Prajono MSc. Penerbit Erlangga. [10] Syamsuri. (2013). Analisa Performance Tungku Biomassa Portable Dengan dan Tanpa Sirip Bahan Bakar Dari Kulit. Penelitian Dosen Muda. Surabaya
Energi III-67
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Reduksi Tahanan Aliran Fluida Melalui Silinder Persegi Yang Dipasang Tandem Dengan Silinder Segitiga Nasaruddin Salam Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract— Reduksi tahanan aliran fluida melalui silinder persegi yang dipasang tandem dengan silinder segitiga, dianalisis secara eksperimental pada 9 (Sembilan) tingkat bilangan Reynolds yang dihitung berdasarkan diameter silinder persegi dari ReD = 43.179 sampai dengan 124.637. Perbandingan diameter silinder segitiga dengan diameter silinder persegi (d/D) divariasikan 3 (tiga) tingkat yaitu, d/D = 0,1; 0,5 dan 1,0, sedangkan perbandingan jarak antara kedua silinder dengan diameter silinder persegi (L/D) divariasikan 17 (tujuh belas) tingkat dari L/D = 0,0 sampai dengan 8,0. Hasil eksperimental menunjukkan pola nilai koefisien tahanan (CD), menurun dengan peningkatan L/D dan d/D, diperoleh nilai CD terendah pada L/D = 1,0 dan d/D= 0,5 untuk semua tingkat bilangan Reynols, hal ini disebabkan karena vorteks aliran teredam diantara silinder segitiga dengan silinder persegi. Bila nilai L/D lebih besar atau lebih kecil dari 1,0 dan nilai d/D lebih besar atau lebih kecil dari 0,5, maka nilai CD bertambah besar, hal ini disebabkan karena vorteks aliran mendorong aliran ke atas, yang menyebabkan terjadi pemisahan aliran lebih awal di sisi hulu silinder persegi. Penempatan silinder segitiga yang dipasang tandem dengan silinder persegi, mengakibatkan reduksi tahanan silinder persegi sebesar 49 %. Kata kunci— perbandingan d/D, perban- dingan L/D, koefisien tahanan, bilangan Reynolds.
I. PENDAHULUAN Aliran melintasi silinder segitiga dan silinder persegi adalah salah satu bentuk yang sering digunakan pada rekayasa struktur dan transportasi. Penempatan silinder segitiga di depan silinder persegi atau silinder utama dengan posisi tandem, adalah salahsatu cara untuk menurungkan hambatan atau tahanan aliran. Penempatan silinder di depan silinder utama sebagai tandem, telah banyak diteliti, yaitu dilakukan oleh Lee, dkk [1], Igarashi [2], serta Tsutsui dan Igarashi [3], dimana kedua peneliti tersebut menggunakan silinder kecil sebagai silinder pengganggu. Hubungan tandem silinder sirkular dengan silinder persegi dalam saluran wind tunel setinggi H diteliti oleh Daloglu [4], dimana secara bergantian diletakkan pada sisi upstream dan jarak antara kedua silinder divariasikan dengan perbandingan S/d dari 0 sampai dengan 10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, karakteristik penurunan tekanan dipengaruhi oleh perbandingan diameter kedua silinder dan perbandingan jarak silinder dengan diameter silinder sirkular (S/d). Hal menarik dari penelitian ini adalah pada S/d = 1,0
sampai dengan 1,5, diperoleh nilai penurunan tekanan terkecil untuk semua perlakuan perubahan diameter, posisi dan bilangan Reynolds. Lankadasu dan Vengadesan [5], meneliti pengaruh interferensi dua silinder persegi yang dipasang tandem. Perlakuan yang diberikan adalah dengan merubah perbandingan jarak kedua silinder (L) dengan lebar silinder (d), atau merubah besarnya L/d dari 2 sampai dengan 7 dan parameter geser tak-berdimensi (K) dari 0,0 sampai dengan 4,0, pada bilangan Reynolds (Re) yang tetap sebesar 100. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parameter K dan L/d sangat berpengaruh terhadap besarnya bilangan Strouhal (St). Begitu pula nilai koefisien tahanannya terhadap L/d pada semua variasi nilai K, baik pada silinder bagian depan maupun pada silinder bagian belakang. Sedangkan kontur vorteks yang terbentuk terhadap perbandingan L/d pada parameter geser K = 0,0 dan K = 0,1 memperlihatkan pengaruh yang cukup besar, baik karena perubahan besarnya L/d maupun besarnya nilai K. Karakteristik aliran fluida melalui silinder segitiga dan silinder persegi diteliti oleh Salam, dkk. [6], dimana analisis menggunakan computational fluid dynamics (CFD) dengan program FLUENT 6.3.26 dan kemudian divalidasi dengan foto visualisasi aliran. Penelitian berlangsung dalam daerah aliran laminar yaitu pada bilangan Reynolds ReD = 8,52x104 dengan kecepatan aliran udara luar dalam seksi uji U = 8 m/s. Pada penelitian ini, perbandingan jarak kedua silinder dengan diameter silinder persegi (L/D) divariasikan, yaitu: 0,0; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0 dan 5,0, sedangkan perbandingan diameter silinder segitiga dengan diameter silinder persegi (d/D) konstan sebesar 0,5. Hasil penelitian ini adalah penempatan silinder segitiga di depan silinder persegi, mengakibatkan penurunan hambatan pada silinder persegi dengan penurunan hambatan terbesar atau koefisien tahanan terkecil terjadi pada L/D = 1,0. Distribusi tekanan aliran fluida melalui silinder segitiga dan persegi diteliti oleh Salam, dkk. [7], dimana dilakukan analisis eksperimental dan simulasi numerik CFD aliran fluida melalui tandem antara silinder segitiga dan silinder persegi pada d/D = 0,5 dan kecepatan aliran masuk wind tunnel atau aliran luar U = (7,6216; 10,0824; 14,7591; 18,6689 dan 23,1801) m/s atau pada bilangan Reynolds ReD = 48.708;64.435; 94.480; 119.509 dan 152.449 dengan variasi L/D = 0,5; 1,0; dan 1,5. Hasil penelitian ini adalah semakin besar jarak antara kedua silinder maka semakin besar pula koefisien tekanan, namun pada jarak L/D = 1,0 diperoleh nilai koefisien tekanan terkecil.
Energi III-68
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Hasil lainnya adalah pola distribusi tekanan atau koefisien tekanan mendekati sama untuk setiap perubahan kecepatan aliran atau bilangan Reynolds dan perbandingan L/D, namun demikian nilai koefisien tekanan akan berubah bila bilangan Reynolds dan perbandingan L/D berubah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka untuk mereduksi perubahan tahanan dan koefisien tahanan suatu benda atau silinder sirkular atau silinder pesegi, adalah dengan mentandemkannya atau menempatkan silinder pengganggu di depan silinder tersebut dengan silinder sirkular, silinder persegi atau silinder segitiga, dan merubah jarak serta diameternya (interaksi antara kedua silinder). Pertanyaan selanjutnya, apakah nilai koefisien tahanan silinder persegi bila ditandemkan atau diganggu dengan silinder segitiga, mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebagaimana hasil penelitian sebelumnya terhadap silinder sirkular bila ditandemkan dengan silinder lain-nya. Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas, maka dilakukan analisis reduksi tahanan atau koefisien tahanan aliran, melalui tandem antara silinder segitiga dan persegi .
(b) Gambar 1. Benda Uji tandem antara silinder segitiga dan persegi, (a) Jarak antara kedua silinder (L), (b) Dimensi silinder segitiga (d) dan silinder persegi (D), [dimensi D konstan 10 cm, sedangkan d = (1; 5 dan 10) cm].
Instalasi Sub-Sonic Wind Tunnel buatan Plint & Partners LTD. Engineers England yang digunakan, dan alat ukur gaya tahanan aktual benda uji dengan prinsip keseimbangan gaya, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2 berikut ini.
II. METODE PENELITIAN Tahapan eksperimen dilaksanakan dengan mengunakan Sub-Sonic Wind Tunnel buatan Plint & Partners LTD. Engineers England. Ukuran atau volume seksi uji-nya (500x310x310) mm terbuat dari acrylic warna bening dengan ketebalan 10 mm, sehingga memudahkan melihat posisi benda uji. Selanjutnya benda uji adalah tandem antara silinder segitiga dengan silinder persegi, seperti pada gambar 1 di bawah ini. Silinder persegi ukuran panjang, lebar dan tingginya sama, dan dianggap sebagai diameter silinder persegi (D), yaitu 100 mm. Silinder segitiga ukuran panjang sisi-nya sama, dan dianggap sebagai diameter silinder segitiga (d), yaitu 10 mm; 50 mm dan 100 mm atau d/D = 0,1; 0,5 dan 1,0. Material yang digunakan dalam pembuatan benda uji adalah acrylic dengan ketebalan 2 mm. Jangkauan kecepatan aliran udara masuk wind tunnel (U) sebanyak 9 (sembilan) tingkat dari U = (7,07; 8,16; 10,72; 12,57; 14,67; 16,52; 18,56; 20,41 dan 23,05) m/s. Perbandingan jarak kedua silinder (L) dengan diameter silinder persegi (D) atau L/D sebanyak 17 (tujuh belas) tingkat dari L/D = 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0; 4,5; 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,7; dan 8,0. Kecepatan aliran udara yang masuk ke seksi uji (U) diukur dengan menggunakan manometer tegak dan terbuka, dengan cairan manometer minyak berwarnah merah yang sepesifik gravitasinya 0,835.
(a)
(b) Gambar 2. Instalasi wind Tunnel, (a) secara keseluruhan, (b) Alat ukur gaya tahanan benda uji, buatan Plint & Partners LTD. Engineers England.
Menurut Munson [8], koefisien tahanan (CD) ditentukan dengan menggunakan persamaan, berikut ini: CD = Dimana, F = gaya tahanan aktual (N), 2
penampang melintang benda uji (m ) dan 3
A = luas = massa jenis
aliran udara masuk wind tunnel (m /s). Penelitian berlangsung dalam daerah aliran laminar, yaitu pada bilangan Reynolds yang dihitung berdasarkan diameter silinder persegi (ReD). Kecepatan aliran dipertahankan dalam kondisi konstan
(a)
Energi III-69
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
(b)
9 (Sembilan) tingkat dan menghasilkan aliran laminar dengan bilangan Reynolds, yaitu ReD = 43.179; 49.860; 65.467; 76.761; 89.585; 100.882; 113.340; 124.637 dan 140.759. III. HASIL DAN DISKUSI Hasil eksperimen aliran udara melalui silinder persegi yang terpasang tandem dengan silinder segitiga terhadap koefisien tahanan aliran terhadap L/D pada sembilan tingkat ReD untuk d/D = 0,1; 0,5 dan 1,0. Sebagai contoh ditunjukkan hasil analisis data gaya tahanan pada d/D = 0,5 dan 5 (lima) tingkat bilangan Reynolds, sebagaimana pada table 1 berikut ini: Tabel 1. Koefisien tahanan aliran (CD) tandem silinder persegi, pada d/D = 0,5. No.
L/D
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00
43180 1.5372 1.2577 1.2577 1.5372 1.5372 1.5372 1.5372 1.5372 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769 1.6769
(c)
KOEFISIEN TAHANAN (CD) BILANGAN REYNOLD (ReD) 65467 89585 113340 140759 1.3982 1.4610 1.3387 1.3282 1.0943 1.1363 1.1358 1.0915 1.0943 1.0714 1.0141 1.0389 1.2766 1.2662 1.1764 1.2361 1.3374 1.3960 1.2778 1.3282 1.4590 1.4610 1.3792 1.3677 1.4590 1.4934 1.3792 1.3808 1.4590 1.4934 1.3792 1.3940 1.5198 1.4934 1.3995 1.3808 1.5198 1.5259 1.4198 1.4203 1.5198 1.5259 1.4401 1.4334 1.5198 1.5584 1.4604 1.4466 1.5198 1.5584 1.4198 1.3282 1.5806 1.5908 1.5009 1.4992 1.5806 1.5908 1.5009 1.4992 1.5198 1.5584 1.4806 1.4992 1.5806 1.6233 1.5415 1.5255
Gambar 3. Hubungan antara L/D dengan koefisien tahanan (CD) tandem silinder segitiga dengan silinder persegi pada sembilan tingkat ReD yang konstan, untuk (a) d/D = 0,1; (b) d/D = 0,5 dan (c) d/D = 1,0.
Sedangkan gambar karekteristik koefisien tahanan ditunjukkan secara lengkap, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3 dan gambar 4 berikut ini:
(a)
Hasil eksperimen menunjukkan pola perubahan sama untuk setiap tingkat bilangan Reynolds dan d/D. Gambar 3, menunjukkan koefisien tahanan akan menurun bila L/D diperbesar, namun hal ini hanya sampai pada L/D = 1,0 karena sesudah itu bila L/D diperbesar maka koefisien tahanan-nya juga akan bertambah besar. Nilai CD terkecil yaitu 1,0681 terjadi pada L/D = 1,0 dan ReD = 140.759, sedangkan nilai CD terbesar yaitu 1,5372 terjadi pada L/D = 5,0 dan ReD = 43.179. Hasil ini nilainya jauh lebih kecil dibandingkan nilai silinder persegi tunggal, yaitu nilai CD-nya = 2,10 pada Re = 105 [8], sedangkan bila dibandingkan dengan nilai CD terkecil yang diperoleh, yaitu sebesar CD = 1,0681 maka reduksi tahanan sebesar 49 %. Perbandingan kedua data ini, menunjukkan pengaruh penempatan silinder segitiga di depan silinder persegi, dan jarak penempatan kedua silinder tersebut terhadap diameter silinder persegi (L/D) terhadap CD. Perubahan ini tentunya berpengaruh terhadap profil aliran fluida yang melewati benda uji, yaitu bila koefisien tahanan kecil maka tebal lapisan batas semakin tipis, pemisahan aliran semakin ke hilir dan vorteks aliran setelah melewati benda uji semakin tenang. Nilai CD terkecil pada semua tingkatan d/D, adalah pada L/D = 1,0, ini menunjukkan bahwa pengaruh tumbukan aliran, terbesar bila perbandingan d/D kecil dan hal ini menimbulkan golakan yang besar, sehingga terjadi pemisahan aliran lebih awal dan lapisan batas lebih besar. Saat L/D diperbesar maka secara perlahan golakan aliran teredam diantara kedua silinder, dan efek redaman terbesar pada L/D=1,0. Kemudian golakan aliran membesar bila L/D lebih besar dari 1,0, hal ini disebabkan karena vorteks yang terjadi bergerak ke depan dan mendorong aliran ke atas lebih awal, sehingga tebal lapisan batas semakin besar. Kondisi ini sangat drastis terjadi sampai pada L/D = 2,0, selanjutnya perubahan cenderung stabil walaupun masih mengalami kenaikan. Hal ini memperjelas mengapa nilai optimum interaksi silinder segitiga dan persegi, berada pada kondisi L/D = 1,0 dan d/D = 0,5. Selanjutnya dari gambar 4 di bawah menunjukkan, bahwa semakin besar bilangan Reynolds maka koefisien tahanan cendrung semakin kecil, dan pada bilangan Reynods yang tinggi koefisien tahanan cendrung konstan, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan White [9], untuk aliran fluida melalui silinder persegi. Bentuk kurva untuk setiap tingkat
Energi III-70
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
L/D polanya cendrung sama, dan kurva garis paling bawah atau nilai CD terkecil adalah pada L/D = 1,0. Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa, perubahan d/D tidak mempengaruhi pola karakteristik CD terhadap ReD, yaitu bila ReD diperbesar, maka nilai CD semakin kecil. Bila dibandingkan pada ReD yang sama, nilai CD untuk d/D = 1,0 lebih besar dibanding- kan dengan d/D = 0,5, begitupula selanjutnya terhadap d/D = 0,1. Namun demikian nilai CD pada d/D = 0,5 lebih kecil dari d/D = 0,1, sehingga nilai CD terkecil pada ReD yang sama adalah pada d/D = 0,5.
(a)
IV. KESIMPULAN Kajian eksperimental reduksi tahanan aliran fluida (udara) melalui tandem antara silinder segitiga dan silinder persegi, pada L/D = (0,0 - 8.0) dan kecepatan aliran masuk wind tunnel atau aliran luar benda uji U = (7,07 - 23,05) m/s atau aliran laminar pada bilangan Reynolds ReD = (43.179 140.759), dengan variasi d/D = 0,1; 0,5; dan 1,0, disimpulkan : a. Semakin besar perbandingan jarak kedua silinder dengan diameter silinder persegi (L/D), maka semakin besar pula koefisien tahanan, namun pada L/D = 1,0 dan d/D = 0,5 diperoleh nilai koefisien tahanan terkecil. b. Semakin besar nilai bilangan Reynolds (ReD), maka nilai koefisien tahanan semakin kecil pada setiap variasi L/D, namun demikian pada ReD yang sama, nilai koefisien tahanan terkecil pada L/D = 1,0 dan d/D = 0,5. c. Pola reduksi tahanan atau koefisien tahanan, mendekati sama untuk setiap perubahan kecepatan aliran atau bilangan Reynolds dan perbandingan L/D serta d/D, namun demikian nilai koefisien tahanan akan berubah bila bilangan Reynolds dan perbandingan L/D dan d/D berubah. d. Penempatan silinder segitiga yang dipasang tandem dengan silinder persegi, mengakibatkan reduksi tahanan silinder persegi sebesar 49 %. DAFTAR PUSTAKA .
(b)
(c) Gambar 4. Hubungan antara ReD dengan koefisien tahanan (CD) tandem silinder segitiga dan persegi, pada tujuh belas tingkat L/D, untuk (a) d/D = 0,1; (b) d/D = 0,5 dan (c) d/D = 1,0.
[1] Lee, S., S. Lee, & C. Park, ”Reducing the Drag on a Circular Cylinder by Upstream Installation of a Small Control Rod”, Fluid Dynamics Reseach, Vol.: 34, 2004, pp: 233-250. [2] Igarashi, T., “Drag Reduction of Square Prism by Flow Control a Using Small Rod”, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, Vol.: 69-71, 1997, pp: 141-153. [3] Tsutsui, T. & T. Igarashi, “Drag Reduction of a Circular Cylinder in an Air-Stream”. Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodyna- mics, Vol.: 90, 2002, pp: 527-541. [4] Daloglu, A., “Pressure Drop in a Channel with Cylinder in Tandem Arrangement”, International Comunication in Heat and Mass Tranfer, Vol.: 35, 2008, pp: 76-83 [5] Lankadasu A. & Vengadesan S., “Interference Effect of Two Equal-Sized Square Cylinders in Tandem Arrangement: with Planar Shear Flow”, International Journal For Numerical Methodes in Fluids. 2007, DOI: 10.1002/fld.1670. [6] Salam Nasaruddin, I.N.G. Wardana, Slamet Wahyudi & Denny Widhiyanuri yawan, “Fluid Flow Through Triangular and Square Cylinders“, Australian Journal of Basic And Applied Sciences,8(2) February 2014, pp: 193-200 ISSN 1991-8178. [7] Salam Nasaruddin, I.N.G. Wardana, Slamet Wahyudi & Denny Widhiyanuriyawan, “Pressure Distribu- tion of Fluid Flow Through Triangular and Square Cylinders”, Australian Journal of Basic And Applied Sciences, 8(3) March 2014, pp: 263-267 ISSN 1991-8178 [8] Munson, Bruce R., Young Donald F., dan Okiishi Theodore H., “Fundamental of Fluid Mechanics“, Fourth Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York, 2002. [9] White Frank M., “Fluid Mechanics”, McGraw-Hill Book Company, New York, 1994.
Energi III-71
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Perbaikan Karakteristik Pembakaran Briket Arang Ampas Tebu sebagai Bahan Bakar Alternatif
Nasrul Ilminnafik
Digdo Listyadi Setyawan / Hary Sutjahjono
Dept. Mechanical Engineering University of Jember Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
[email protected]
Dept. Mechanical Engineering University of Jember Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
Abstract— Isu krisis energi mendorong dilakukannya penelitian untuk mendapatkan karakteristik biomasa sebagai energi alternative. Pada penelitian ini telah dilakukan perbaikan karakteristik pembakaran briket ampas tebu sebagai bahan bakar alternative pengganti bahan bakar berbasis fosil. Penelitian dilakukan untuk mengetahui karakteristik pembakaran briket ampas tebu, dengan dua tahap penelitian. Tahap pertama dengan variasi temperatur pirolisis (210ºC, 300ºC, dan 390ºC) dan tahap kedua pirolisis dilakukan pada temperatur 390ºC dengan variasi dimensi partikel (30 mesh, 50 mesh, dan 70 mesh). Bahan perekat yang digunakan adalah tepung tapioka 40% dan tekanan briket 150 kg/cm2. Karakteristik pembakaran yang diamati adalah nilai kalor, ignition time, dan burning time. Nilai kalor diperoleh dari pengujian dengan bom kalorimeter. Ignition time dan burning time diperoleh dengan menguji briket 10 mm di atas heater dengan temperatur 200 ºC dan masing-masing briket diuji tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pembakaran briket arang ampas tebu meningkat dengan temperatur pirolisis yang tinggi. Semakin tinggi temperatur pirolisis pada variasi temperatur yang dilakukan pada penelitian ini, nilai kalor briket semakin tinggi, sedangkan ignition time makin sulit tapi burning time semakin lambat. Hal ini disebabkan pada temperatur pirolisis tinggi, kandungan karbon lebih banyak dari pada volatile matter yang terkandung di dalam bahan. Pada ukuran partikel kecil, briket arang ampas tebu sulit terbakar tapi waktu pembakaran lebih lama, karena porositas briket lebih kecil. Hal ini menyebabkan konduktivitas termal briket rendah sehingga menghambat rambatan api pada briket. Index Terms— temperatur pirolisis, dimensi partikel arang, briket ampas tebu, karakteristik pembakaran
I. PENDAHULUAN Krisis energi sudah menjadi isu global untuk disikapi dengan upaya penemuan energi alternative pengganti minyak untuk berbagai kebutuhan energi. Kebutuhan energi khususnya di dunia industri menjadi kebutuhan yang utama untuk operasional produksi. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi limbah pertanian yang besar untuk dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk energi. Salah satu yang cukup potensial adalah limbah ampas tebu (bagasse) dari limbah pabrik gula yang bisa dijadikan sebagai briket. Ampas tebu adalah limbah padat hasil ekstraksi penggilingan batang tebu. Pada sebuah pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35%40% dari berat tebu yang digiling. Potensi ampas tebu di
Indonesia cukup besar [1]. Menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395.399,44 ha. Jika setiap ha tanaman tebu mampu menghasilkan sekitar 100 ton ampas tebu, maka potensi ampas tebu nasional yang dapat tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton per tahun.– (http://www.menlh.go.id). Ampas tebu memiliki karakteristik pembakaran yang masih rendah, misalnya nilai kalornya tidak lebih dari 4000 kal/gram [2]. Ampas tebu selama ini banyak digunakan secara langsung dalam pembakaran boiler di industry, misalnya di pabrik gula. Karakteristik pembakaran dari ampas tebu bisa ditingkatkan dengan proses pirolisis yaitu pemanasan tanpa udara sehingga dihasilkan arang [2]. Arang aktif merupakan bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon [3]. Hartanto dan Fathul melakukan pirolisis sekam padi dengan variasi suhu 2100C, 2500C, 3000C, 3500C, dan 3900C dengan waktu operasi 30, 60, dan 90 menit dengan hasil yang diperoleh, nilai kalor optimal diperoleh pada variabel suhu 3900C selama 90 menit sebesar 5.609 cal/gram [4]. Upaya lain untuk meningkatkan karakteristik pembakaran adalah dengan variasi ukuran partikel arang. Penelitian dengan pirolisis kulit kakao dengan ukuran partikel 30 mesh, 50 mesh, dan 70 mesh. Nilai kalor tertinggi diperoleh pada ukuran mesh tertinggi [5]. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh temperatur pirolisis dan ukuran arang ampas tebu terhadap karakteristik pembakaran briket. Kendala pembakaran bahan bakar briket adalah masih tinggi ignition time dan masih singkatnya burning time [6 dan 7], sehingga pada penelitian ini juga telah dihitung karakteristik keduanya pada briket ampas tebu. II. METODOLOGI Penelitian dilakukan dengan bahan ampas tebu yang diambil di sebuah Pabrik Gula di Kawasan Jember dalam dua tahap. Pada tahap pertama, ampas tebu diarangkan dengan proses pirolisis selama 90 menit dengan variasi temperatur 210 ºC, 300 ºC, dan 390 ºC. Arang yang dihasilkan ditambahkan perekat tapioka 40% dan air kemudian dicetak menjadi briket dengan tekanan 150 kg/cm2 pada cetakan silinder berdiameter 1,9 cm. Penelitian tahap kedua, ampas tebu diarangkan dengan
Energi III-72
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
proses pirolisis pada temperatur 390º C. Arang yang dihasilkan dihaluskan dan diayak dengan ukuran 30 mesh, 50 mesh, dan 70 mesh, serta ditambah perekat serta dicetak seperti proses pembuatan briket pada penelitian tahap pertama. Karakteristik pembakaran yang dianalisa adalah nilai kalor, ignition time, dan burning time. Waktu penyalaan (ignition time) adalah waktu yang dibutuhkan briket hingga muncul titik nyala api. Waktu pembakaran (burning time) adalah waktu yang dibutuhkan untuk membakar briket mulai nyala api pertama sampai terbakar habis. Ignition time dan burning time dari briket diuji dengan meletakkan briket 10 mm di atas pemanas pada temperatur 200 ºC dan dialiri udara dengan kecepatan 0,6 m/detik. Nilai kalor briket diukur dengan menggunakan bom kalorimeter.
Pengaruh variasi temperatur pirolisis ampas tebu terhadap waktu pembakaran briket ditunjukkan pada Gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada variasi temperatur pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini, waktu pembakaran meningkat dengan peningkatan temperatur pirolisis. Pada pembakaran ampas tebu tanpa pirolisis (temperatur pirolisis 0ºC) waktu pembakaran adalah sekitar 19 menit. Waktu pembakaran ini meningkat seiring peningkatan temperatur pirolisis, hingga pada temperatur pirolisis tertinggi, yaitu 390 ºC, waktu pembakaran hampir mencapai 30 menit. Hal ini disebabkan, pada briket tanpa pirolisis bentuk briket lebih besar, pori-pori briket lebih besar sehingga pengeringan lebih optimal yang menyebabkan kandungan airnya lebih kecil sehingga waktu pembakaran juga lebih cepat.
III. HASIL DAN DISKUSI Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur pirolisis ampas tebu dan dimensi ukuran arang ampas tebu terhadap karakteristik pembakaran yang meliputi waktu penyalaan, waktu pembakaran, dan nilai kalor. Pengaruh variasi temperatur pirolisis ampas tebu terhadap waktu penyalaan briket ditunjukkan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada variasi temperatur pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini, waktu penyalaan meningkat dengan peningkatan temperatur pirolisis. Pada penyalaan ampas tebu tanpa pirolisis (temperatur pirolisis 0ºC), waktu penyalaan adalah cukup singkat yaitu 5,4 detik. Kemudian pada temperatur pirolisis 210 ºC, waktu penyalaan 18,8 detik dan seterusnya naik hingga pada briket dengan temperatur pirolisis 390 ºC, waktu penyalaan adalah 35 detik.
Gambar 2. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Burning Time Briket Ampas Tebu
Selain itu, briket dengan proses pirolisis memiliki kadar volatile matter yang lebih rendah dibandingkan dengan briket tanpa proses pirolisis. Briket tanpa proses pirolisis memiliki kadar volatile matter yang lebih tinggi yang dibuktikan briket lebih cepat terbakar habis dan adanya asap saat pengujan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Hendra dan Pari (2000) bahwa kandungan volatile matter yang tinggi menyebabkan asap yang lebih banyak pada saat briket arang dibakar karena adanya reaksi antara karbon monoksida (CO) dengan turunan alkohol yang ada pada arang. Syamsiro dan Saptoadi (2007) juga menyatakan hal yang sama bahwa laju pembakaran biobriket semakin tinggi dengan semakin tingginya kandungan volatile matter.
Gambar 1. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Ignition Time Briket Ampas Tebu
Proses pirolisis meningkatkan waktu penyalaan briket, sehingga untuk menyalakan briket dibutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut Jamilatun (2008), mudahnya penyalaan briket disebabkan oleh rendahnya kandungan air pada briket dan lamanya penyalaan awal disebabkan bentuk briket yang lebih padat, rapat, dan berat jenisnya yang lebih besar, serta kandungan air yang masih cukup besar.
Pengaruh temperatur pirolisis terhadap nilai kalor ditunjukkan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat pada variasi temperatur yang dilakukan, peningkatan temperatur pirolisis mampu meningkatkan nilai kalor dari ampas tebu. Pada briket tanpa pirolisis (temperatur pirolisis 0ºC) mempunyai nilai kalor sekitar 3500 kal/gram. Pirolisis ampas tebu mampu meningkatkan nilai kalornya hingga hampir mencapai 6000 kal/gram. Nilai kalor yang dihasilkan briket pada penelitian ini sudah mendekati nilai kalor standar internasional (Hendra dan Winarni, 2003).
Energi III-73
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
singkat yaitu sekitar 16 menit. Penuruan ukuran partikel arang pada briket meningkatkan waktu pembakaran, hingga pada ukuran briket terkecil yaitu 70 mesh, waktu pembakaran adalah sekitar 20 menit.
Gambar 3. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Nilai Kalor Briket Ampas Tebu
Pengaruh dimensi partikel terhadap waktu penyalaan ditunjukkan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat, bahwa pada briket dengan dimensi partikel yang besar (30 mesh) mempunyai waktu penyalaan paling kecil. Penurunan dimensi partikel menyebabkan waktu penyalaan meningkat, hinggap pada dimensi 70 mesh, waktu penyalaan briket adalah di atas 40 detik.
Gambar 5. Pengaruh Ukuran Partikel Arang terhadap Waktu Pembakaran Briket Ampas Tebu
Pada briket dengan ukuran partikel arang yang kecil, maka kerapatan briket juga meningkat sehingga air yang terjebak di dalam briket sulit keluar. Hal ini menyebabkan briket dengan ukuran partikel kecil lebih sulit terbakar, sehingga waktu yang diperlukan untuk membakar habis briket (waktu pembakaran) juga relative lebih lama. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jamilatun (2008), dimana cepatnya penyalaan briket disebabkan rendahnya kandungan air dalam briket tersebut dan lamanya penyalaan awal pada briket karena bentuknya yang kompak, rapat, dan berat jenisnya besar, sehingga kandungan airnya masih besar. [6]. Sulitnya penyalaan awal briket karena kandungan air yang masih cukup besar menyebabkan briket membutuhkan waktu lebih lama untuk terbakar sampai habis. Syahrul (2002) juga menyatakan bahwa kerapatan briket berpengaruh besar terhadap penyalaan bunga api briket, dimana briket yang padat sulit terbakar [10]. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 4. Pengaruh Ukuran Partikel Arang terhadap Waktu Penyalaan Briket Ampas Tebu
Pada briket dengan ukuran partikel arang yang kecil, maka kerapatan briket juga meningkat sehingga ketika proses pengeringan, air yang terjebak di dalam briket sulit keluar. Hal ini menyebabkan briket dengan ukuran partikel kecil lebih sulit terbakar, sehingga waktu penyalaan lebih lama [9]. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamilatun (2007), dimana cepatnya penyalaan briket disebabkan rendahnya kandungan air dalam briket tersebut dan lamanya penyalaan awal pada briket karena bentuknya yang kompak, rapat, dan berat jenisnya besar, sehingga kandungan airnya masih besar. [6]. Pengaruh dimensi partikel terhadap waktu pembakaran ditunjukkan pada Gambar 5. Pada gambar tersebut terlihat pada ukuran partikel besar (30 mesh) waktu pembakaran adalah
Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa variasi temperatur pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini hingga temperatur 390ºC, mampu meningkatkan nilai kalor briket arang ampas tebu. Sedangkan proses pirolisis menyebabkan dimensi arang lebih seragam sehingga briket yang terbentuk lebih rapat dan kompak. Hal ini menyebabkan kandungan air sulit keluar sehingga waktu penyalaan lama tapi waktu pembakaran juga lebih lama. Briket dengan ukuran partikel arang yang kecil, menyebabkan briket lebih rapat sehingga air yang terjebak di dalam briket sulit menguap saat pengeringan menyebabkan briket lebih sulit terbakar dan waktu penyalaan lebih lama. Peningkatan ukuran partikel bisa memperbaiki waktu penyalaan tapi menurunkan waktu pembakaran. Pada penelitian berikutnya perlu divariasikan alternative bahan pengikat lain selain tapioka. Perhitungan ekonomi tentang penggunaan briket sebagai bahan bakar alternative juga perlu dilakukan.
Energi III-74
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dukungan dana penelitian pada Program Penelitian Hibah 2014.
DAFTAR PUSTAKA [1] Winaya, N.I. 2010. “Co-Firing Sistem Fluized Bed Berbahan Bakar Batubara dan Ampas Tebu”. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Udayana Bali. Vol.4.No.2. hal. 180-188 [2] N. Ilminnafik, D. L. Setyawan, H. Sutjahjono. M. Darsin, “Karakteristik Termal Briket Ampas Tebu dan Serbuk Gergajian Kayu,” Prosiding Seminar Nasional – XII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri, ITENAS Bandung, 2013, hal. 38-43 [3] Sudrajat,R. 2003. Petunjuk Teknik Pembuatan Arang Aktif. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
[4] Hartanto F. P. dan Alim Fathul. 2014. “Optimasi Kondisi Operasi Pirolisis Sekam Padi Untuk Menghasilkan Bahan Bakar Briket Bioarang Sebagai Bahan Bakar Alternatif.” Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang. [5] M.Natsir Usman. 2007. Mutu Briket Arang Kulit Buah Kakao dengan Menggunakan Kanji sebagai Perekat. Jurnal Perennial Makassar. Balai Besar Industri Hasil Perkebunan, Hal: 55-58. [6] S. Jamilatun, “Sifat-sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa Briket Batubara, dan Arang Kayu,” Jurnal Rekayasa Proses, vol. II, no. 2, 2008, hal. 37-40. [7] J. Chaney, “Combustion Characteristic of Biomass Briquettes,” Thesis, The University of Nottingham, 2010. [8] H. Saptoadi, “The Best Biobriquette Dimension and its Particle Size”, Asian J. Energy Environ., Vol. 9, Issue 3 and 4, (2008), hal. 161-175. [9] R.M. Davies, D. S. Abolude, “Ignition and Burning Rate of Water Hyacinth Briquettes” Journal of Scientific Research & Reports: 2 (1) hal. 111-120, 2013. [10] M. Syahrul, “Pengaruh Bentuk, Kerapatan, dan Kadar Lempung terhadap Produksi Kalor Briket Sekam Padi, Marina Chimica Acta, April 2002, hal. 7-9.
Energi III-75
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Penggunaan Batubara Lignit Mallawa Dan Pencampuran Dengan Cangkang Biji Jambu Mete Di PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar Novarini
Yusuf Siahaya dan Johanes Leonard
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar-Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar-Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract—Use the right fuel in the boiler influence on heat and steam generated. This study aims to analyze the use of lignite coal with sulfur content above 1,8% and when lignite coal mixed with 40% of cashew nut shells to the effect of slagging and fouling on fire tube boiler at PT. Indofood CBP, Tbk Makassar Branch. The research was conducted on fire tube boiler engineering department at the utility PT. Indofood CBP, Tbk Makassar Branch. The data is taken from results of proximate analysis,ash content, the value of the fuel, temperature, pressure, flowrate of feed water and steam are generated, pipe line fire exit temperature, excess air, the amount of unburned carbon and extensive combustion chamber. Data analysis was done on the calculation of the index slagging and fouling as well as energy balance combustion process. The result showed that by using lignite coal fuel slagging index score is 1,42% and 0,34% Na2O fouling index but when using a fuel mixture of 60% lignite coal and 40% cashew nut shells slagging index value 0,86% and 0,05% Na2O fouling index. Caloric value generated steam, flue gas calorific value and heat is lost to the condition before cleaning boiler using fuel mixture of 60% lignite coal and 40% cashew nut shells is almost the same as when using lignite coal fuel in after cleaning condition boiler.Concluded that the fuel mix of 60% lignite coal and 40% cashew nut shells. It is appropriate to reduce the potential for formation of slagging and fouling as well as reducing the value of the energy lost. Keywords : lignite coal and cashew nut shells, fire tube boiler, slagging and fouling
I. PENDAHULUAN Dalam industri, utilitas merupakan bagian vital dari suatu proses produksi. Air, listrik dan steam merupakan bagian utama dari utilitas suatu industri harus terjamin ketersediaannya dan dipastikan terpakai secara efektif dan efisien. PT. Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk Cabang Makassar yang berdiri sejak bulan Maret tahun 1991 merupakan salah satu dari enambelas cabang yang ada di Malaysia dan Indonesia yang memproduksi produk pangan mie instant dengan merk dagang Indomie, Sarimi, Supermie, Sakura, Vitami dan Intermie merupakan salah satu industri yang menjamin ketersediaan dan memastikan terpakainya steam secara efektif dan efisien untuk keberlangsungan proses produksinya [1].
Steam di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang Makassar dihasilkan dari 3 unit ketel pipa api batubara berkapasitas 10,5 ton/jam. Batubara yang digunakan adalah jenis batubara Lignite yang berasal dari Kabupaten Bone Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan, dengan pemakaian lebih kurang 9.600 ton pertahun. Steam yang dihasilkan dari ketiga boiler ini dipakai pada sembilan line produksi untuk proses pengukusan mie instant pada steam box dan penggorengan mie instant pada fryer serta dipakai sebagai pemanas untuk mengubah fase salah satu bahan baku yaitu minyak goreng yang kondisinya mengental akibat pengaruh temperatur saat transportasi dan saat penyimpanan di tank yard [2]. Salah satu permasalahan dalam pemakaian batubara lignite ini adalah tingginya kadar Sulfur yang melebihi standar yang dipersyaratkan dari tipe boiler yang digunakan di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang Makassar yaitu maksimum 1,8% [3]. Tingginya kadar Sulfur ini dapat menimbulkan slagging pada ruang bakar dan fouling pada pipa api ketel uap yang dapat menghambat proses perpindahan panas [4]. Dengan demikian untuk mengurangi dampak ini, PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cab Makassar mencoba melakukan blending/pencampuran batubara lignite dengan cangkang jambu mete, karena pada dasarnya cangkang biji jambu mete merupakan salah satu potensi energi yang dapat diperbaharui dan ketersediaannya di Propinsi Sulawesi Selatan cukup besar. Proses pencampuran ini mengambil persentase 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete dengan tujuan untuk memperoleh nilai kandungan sulfur pada bahan bakar mencapai nilai maksimum dari yang dipersyaratkan oleh spesifikasi bahan bakar yang diperbolehkan untuk dipakai pada ketel di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cab Makassar. Pada penelitian ini ingin dianalisa proses penggunaan batubara lignit serta bila 60% batubara lignit dicampur dengan 40% cangkang biji jambu mete terhadap efek slagging dan fouling pada ketel uap pipa api PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar serta menghitung kesetimbangan energinya. II. LANDASAN TEORI Batubara telah memainkan peran yang sangat penting selama berabad-abad tidak hanya membangkitkan listrik,
Energi III-76
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
namun juga merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan steam pada kegiatan-kegiatan industri. Pasar global batubara sangat besar dan beragam dengan berbagai produsen dan konsumen disetiap benua. Pasokan batubara tidak berasal dari satu daerah tertentu, yang dapat membuat konsumen bergantung pada keamanan pasokan dan stabilitas satu daerah saja. Batubara tersebar diseluruh dunia dan diperdagangkan secara Internasional. Banyak negara yang mengandalkan pasokan batubara domestik untuk kebutuhan energi mereka seperti Cina, India, Australia dan Afrika Selatan. Negara lain mengimpor batubara dari berbagai negara. Oleh karena itu batubara memiliki peran yang penting dalam memelihara keselamatan kombinasi energi dunia. Peran tersebut adalah : - Cadangan batubara sangat banyak dan akan tersedia untuk masa depan yang sudah dapat diperkirakan tanpa menimbulkan masalah geopolitik dan keamanan - Batubara tersedia dari berbagai sumber yang banyak pada pasar dunia yang terpasok dengan baik - Batubara dapat dengan mudah disimpan di pembangkit dan persediaannya dapat digunakan dalam keadaan darurat - Pembangkit menggunakan batubara tidak tergantung pada cuaca dan dapat digunakan sebagai pendukung pembangkit listrik tenaga angin dan air - Batubara tidak memerlukan jaringan pipa dengan tekanan tinggi atau jalur pasokan khusus - Jalur pasokan batubara tidak perlu penjagaan yang membutuhkan biaya yang tinggi [4]. Penanganan batubara di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur, Tbk Cab. Makassar dapat terlihat pada gambar 1, diawali dengan penerimaan batubara dari beberapa penyuplai rekanan yang memiliki tambang di Kecamatan Malawa Kabupaten Bone Sulawesi Selatan menggunakan transportasi darat, sedangkan cangkang biji jambu mete diterima dari Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Batubara dan cangkang jambu mete yang telah disuplai selanjutnya disimpan di gudang batubara yang terletak bersebelahan dengan ke tiga boiler tipe fire tube berkapasitas 10 ton perjam menggunakan proses pembakaran tipe chain grate. Batubara ini selanjutnya diubah ukurannya agar sesuai dengan standar kebutuhan boiler yaitu 2,5 - 5 cm menggunakan crusher. Setelah ukurannya sesuai standar, batubara diumpankan ke feed hopper pembagi melalui single bucket elevator untuk dibagi ke hopper boiler 1, 2 dan 3. Klasifikasi batubara yang digunakan PT.Indoofood Cabang Makassar adalah batubara produksi rakyat dari Kecamatan Malawa Kabupaten Bone Propensi Sulawesi Selatan, yang dibawah ke Makassar dengan truk, jaraknya kurang lebih 100 km dari Makassar. Batubara ini termasuk dalam klasifikasi batubara lignit karena kandungan Fixed Karbon yang rendah sekitar 37.1 % wt, dan Nilai Kalor Atas (Gross Calorific Value) adalah 6.239 kcal/kg. Hasil pengujian Laboratorium Sucofindo Cabang Makassar tanggal 4 Januari 2013, berdasarkan uji Proksimasi didapatkan : Parameter Unit Test Results . Total Moiusture % wt 12.5 . Ash Content % wt 10.9 . Volatile Matter % wt 42.8 . Fixed Carbon % wt 37.1 . Total Sulfur % wt 3.10
. Gross Calorific Value
kcal/kg
6.239
Gambar 1. Sistem penanganan batubara di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur, Tbk Cab. Makassar
Konversi analisa proksimate ke ultimate batubara dihitung berdasarkan acuan dari http:/www. myvistasource. com/files /tech papers/prox2utl.php [5]. Pada batubara lignite nilai yang tinggi adalah logam-logam alkali yaitu Calsium, Magnesium dan Natrium/Sodium yang terkandung di dalam ash content. Selama pembakaran, ash content terkena temperatur tinggi hingga 1649oC sehingga logam - logam alkali terdekomposisi dari senyawa ash content serta mengalami proses pendinginan. Pada zona pembakaran dengan temperatur tinggi terjadi oksidasi dan reduksi yang kuat sehingga mineral-mineral yang terkadung di dalam ash bereaksi satu sama lain serta bereaksi dengan kandungan organik dan anorganik batubara serta dengan gas-gas hasil pembakaran seperti SO2. Senyawa-senyawa yang terbentuk oleh interaksi material-material inilah yang menyebabkan permasalahan deposition/endapan. Endapan yang terbentuk pada ruang bakar (slagging) akan menyebabkan energi radiasi dari ruang bakar menuju pipa air berkurang dan endapan yang terbentuk dalam pipa api (fouling) mengakibatkan temperatur keluar pipa api masih cukup tinggi akibat endapan yang menempel di pipa api yang menghambat transfer temperatur dari pipa api ke pipa air. Fenomena berkurangnya energi radiasi ke pipa air dan terhambatnya transfer panas dari pipa api ke pipa air menurunkan kualitas uap yang dihasilkan [6]. Klasifikasi batubara dibedakan terutama pada kandungan carbon dan nilai kalor dari batubara. Klasifikasi ini yaitu Antrasit, Bituminous, Subbituminous dan Lignit. Perbedaan carbon dan nilai kalor dari klasifikasi batubara ini menyebabkan fusibility ash temperature berbeda. Makin tinggi kandungan karbon dan nilai kalor dari klasifikasi batubara makin tinggi pula fusibility ash temperature batubara tersebut. Yang tertinggi adalah batubara antrasit, kemudian bituminous, subbituminous dan yang paling memiliki fusibility ash temperature rendah adalah batubara lignit. Selama proses pembakaran, partikel ash dihadapkan dengan ketinggian temperatur sekitar 3000 °F (1649 °C). Di zona burner, temperatur bervariasi dari highly oxidizing sampai highly reducing. Ada empat temperatur deformasi yang terdapat pada ash batubara : 1. Initial deformasion temperature ( IT or ID) Dimana bentuk dari ash pada permukaan dinding menyerupai bentu piramit. Untuk batubara lignit: IT =
Energi III-77
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
1.975 °F (Reducing) dan 2.070 °F (Oxidizing). Temperatur deformasi awal. 2. Softening temperature (ST) Dimana bentuk ash dari piramit menjadi spherical shape. Dimana tinggi spherical (H) sama dengan width (W), jadi H = W. Batubara lignit : ST=2.130 °F (Reducing) dan 2.190 °F (Oxidizing). Ini adalah temperature pelunakan 3. Hemispherical temperature (HT): lignit : HT = 2.150 °F (Reducing) dan 2.210 °F (Oxidizing). Ini adalah temperature pelunakan 4. Fluid temperature (FT) : Temperatur ini menyebabkan ash yang berbentuk hemispherical mencair dan membentuk lapisan yang hampir rata, dengan ketinggian maksimum 1.59 mm. Batubara lignit. FT = 2.240 °F (Reducing) dan 2.290 °F (Oxidizing). Gambar.2 menunjukkan perubahan bentuk dari ash akibat dari temperature pembakaran dalam ketel.
Gambar 2. Bentuk spesifik ash dan perubahan bentuk akibat dari temperatur pembakaran'61
Biji jambu mete terdiri dari 70 % kulit biji dan 30% daging biji, dalam kulit biji (shell) mengandung minyak sekitar 50% yang terdiri dari 80,9% asam anakardat, dan 13,78% fenol yang biasa disebut kardol, 1,59% kardanol dan 2,64% 2 metil kardol. Dalam istilah perdagangan. Mimyak kulit biji mete dikenal sebagai minyak laka atau Cashew nut shell liquid (CNSL). Asam anakardat merupakan asam salisilat yang telah mengalami subtitusi memiliki sifat termolabil, dan akan terdekomposisi menjadi kardanol dan CO2 akibat pengaruh pemanasan. Sifat-sifat asam anakardat antara lain : - memiliki rumus molekul C18H23O3 , - nilai kalor 5856,13 kal/g, - memiliki kandungan Carbon 21,45% - memiliki kadar air 4,11% - pH 4,3 - kadar abu 1,05% - bilangan Iod 206 Struktur kimia komponen-komponen utama penyusun CNSL adalah : 1. Asam anakardat (suatu asam salisilat yang telah mengalami subtitusi) 2. Kardanol ( fenol yang telah mengalami subtitusi pada posisi meta) 3. Kardol (Resolsinol yang telah mengalami subtitusi) [7]. Hasil analisa proksimat, ultimate dan komposisi abu cangkang bji jambu mete didapatkan dari http:/www.anupinindustries.net/cashew-net-shell-cake.html[8]. Kesetimbangan energi ketel uap pipa api digambarkan pada gambar 3 :
Gambar 3. Kesetimbangan energi ketel uap'91
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di bagian utilitas Departemen Teknik PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental dengan variasi bahan bakar dan kondisi ketel uap pipa api. Studi eksperimental ini dilakukan dengan variasi penggunaan bahan bakar dan kondisi ketel uap pipa api yaitu pencampuran 60% batubara lignit dengan 40% cangkang biji jambu mete pada kondisi ketel uap pipa api sebelum dibersihkan, batubara lignit pada kondisi ketel uap pipa api sebelum dibersihkan dan batubara lignit pada kondisi ketel uap pipa api setelah dibersihkan. Pada ketiga kondisi ini diambil data analisa proximate, nilai bakar bahan bakar, temperatur, tekanan, laju alir air umpan dan uap yang dihasilkan, temperatur keluar pipa api, udara berlebih, jumlah karbon yang tidak terbakar serta luas ruang bakar. Tahap selanjutnya adalah melakukan perhitungan prestasi kerja menggunakan metode BTU, menghitung kesetimbangan energi dan menghitung indeks salgging dan fouling. Persamaan yang digunakan pada penelitian ini adalah : Kalor dari reaksi pembakaran Kalor yang keluar ke cerobong
Kalor yang dimanfaatkan Kalor uap yang dibangkitkan
Kalor air umpan ketel uap Kalor yang hilang Efisiensi ketel uap
Indeks slagging
Rs < 0,6 = rendah 0,6 < Rs<2,0 = sedang 2,0 < Rs<2,6 = tinggi
Energi III-78
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
2,6 < Rs = sangat tinggi Indeks fouling Bila CaO + MgO + Fe2O3 > 20% berdasarkan berat ash Na2O < 3 = rendah – sedang 3,0 < Na2O<6 = tinggi Na2O > 6 = tinggi sekali Bila CaO + MgO + Fe2O3 < 20% berdasarkan berat ash Na2O < 1,2 = rendah - sedang 1,2 < Na2O <3 = tinggi Na2O > 3 = tinggi (9) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari tahapan pengambilan data dan hasil perhitungan penggunaan batubara lignit Mallawa dan pencampuran dengan cangkang biji jambu mete ini diperoleh hasil perhitungan yang ditampilkan pada tabel 1.
Penelitian ini menunjukkan bahwa slagging dan fouling menaikkan nilai kalor gas buang dan kalor yang hilang karena slagging dan fouling ini menghambat proses perpindahan panas radiasi dari ruang bakar ke sisi air dan perpindahan gas panas dari pipa api ke sisi air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan tentang unjuk kerja ketel uap terhadap penurunan daya di PT. Indonesia Power UBP Perak [10]. Hubungan kondisi ketel uap dan temperatur gas keluar ruang bakar serta temperatur pembakaran ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Hubungan kondisi ketel uap terhadap temperatur pembakaran dan temperatur gas keluar ruang bakar
Dari gambar 4 terlihat bahwa pada kondisi slagging sebelum dibersihkan, temperatur pembakaran di ruang bakar bila mengunakan campuran 60% batubara lignit dan 40% lebih tinggi dibanding dengan temperatur pembakaran bila hanya menggunakan bahan bakar batubara lignit ( temperatur pembakaran bila menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete 1.543°C dan temperatur pembakaran bila menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan adalah 1.427°C dan bila menggunakan batubara lignit setelah dibersihkan adalah 1.360°C ). Hal ini
terjadi karena cangkang biji jambu mete memiliki komposisi nilai volatiles matter/zat terbang lebih tinggi dan kandungan abu lebih rendah dibanding batubara lignit [7]. Volatile matter membantu perambatan api menuju batubara, dimana campuran volatile matter dan udara pembakaran menambah keturbulenan gas dan akan turun menuju batubara yang akan dibakar serta menambah efek pembakaran di atas chain grate sehingga menaikkan atau menambah temperatur pembakaran [11]. Tingginya nilai kadar abu menghambat udara pembakaran untuk mencapai/membakar carbon sehingga tidak semua carbon bisa diubah menjadi CO2, hal ini menurunkan nilai kalor pembakaran sehingga menurunkan nilai temperatur pembakaran. Temperatur gas keluar ruang bakar bila mengunakan campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan lebih rendah dibanding dengan temperatur pembakaran bila hanya menggunakan bahan bakar batubara lignit sebelum dibersihkan (temperatur gas keluar ruang bakar bila menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan 838°C dan temperatur pembakaran bila menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan adalah 875°C dan bila menggunakan batubara lignit setelah dibersihkan adalah 846°C ). Hal ini terjadi karena indeks slagging pada ketel uap bila menggunakan bahan bakar batubara lebih tinggi sehingga transfer panas radiasi dari ruang bakar tidak begitu banyak yang tertransfer ke sisi air. Dari kondisi yang telah dijelaskan, terlihat bahwa dengan memakai bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete telah mendekati dengan kondisi standar yang diberikan dari pihak pembuat ketel uap (ALSTOM), dimana temperatur pembakaran yang dipersyaratkan oleh ALSTOM adalah 1600°C sedangkan temperatur pembakaran campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete adalah1543°C sementara untuk temperatur keluar ruang bakar yang dipersyaratkan oleh ALSTOM adalah 800°C [3], sedangkan temperatur pembakaran campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete adalah 838°C. Hubungan kondisi ketel uap dan temperatur gas keluar ruang bakar serta temperatur pembakaran ditunjukkan pada gambar 5 . Gambar 5 memperlihatkan bahwa temperatur gas keluar pipa api bila mengunakan campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum ketel uap dibersihkan lebih rendah dibanding dengan temperatur gas keluar pipa api bila hanya menggunakan bahan bakar batubara lignit (temperatur gas keluar pipa api bila menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan 208°C dan temperatur pembakaran bila menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan adalah 270°C dan bila menggunakan batubara lignit setelah dibersihkan adalah 171°C ). Kondisi ini terjadi karena indeks fouling pada ketel uap bila menggunakan bahan bakar batubara lebih tinggi maka transfer panas dari gas didalam pipa api ke sisi air terhambat karena adanya fouling.
Energi III-79
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Hubungan kondisi ketel uap dan laju alir massa uap serta efisiensi ketel uap ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Hubungan kondisi ketel uap terhadap laju alir massa uap dan efisiensi ketel uap Gambar 5. Hubungan kondisi ketel uap terhadap temperatur gas keluar pipa api
Hubungan kondisi ketel uap dengan kalor uap yang dibangkitkan, kalor gas buang serta kalor yang hilang ditunjukkan pada gambar 6.
Gambar 6. Hubungan kondisi ketel uap terhadap Quap yang dibangkitkan, Q gas buang dan Qyang hilang
Dari gambar 6 terlihat bahwa nilai kalor steam yang dibangkitkan untuk kondisi ketel uap menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan (15,033 x 106 kJ/h) lebih kecil dibanding nilai kalor steam yang dibangkitkan untuk kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan (15,870 x 106 kJ/h) serta dibandingkan dengan nilai kalor steam yang dibangkitkan dengan kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar batubara lignit setelah dibersihkan (15,938 x 106 kJ/h), ini menunjukkan bahwa slagging dan fouling menghambat perpindahan kalor dari ruang bakar ke sisi air dan perpindahan kalor gas dari pipa api ke sisi air untuk menghasilkan steam. Nilai kalor gas buang untuk kondisi ketel uap menggunakan 100% batubara lignit sebelum dibersihkan (0,167 x 106 kJ/h) lebih besar dibanding nilai kalor gas buang untuk kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan (0,128 x 106 kJ/h), namun nilai kalor gas buang dengan kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar 100% batubara lignit setelah dibersihkan sangat rendah (0,096 x 106 kJ/h), ini menunjukkan bahwa fouling menghambat perpindahan kalor dari gas pada pipa api ke sisi air. Nilai kalor gas buang untuk kondisi ketel uap menggunakan 100% batubara lignit sebelum dibersihkan nilainya lebih tinggi karena nilai temperatur gas keluar pipa api masih sangat tinggi (270°C) yang disebabkan karena gas didalam pipa api terhambat transfer panasnya ke sisi air, sehingga temperatur keluar pipa api masih tinggi nilainya dan kalor gas buang pun juga besar nilainya.
Gambar 7 menunjukkan bahwa ketel uap menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum menghasilkan laju massa steam yang lebih besar dibandingkan bila ketel uap menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan (bila menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete 5.750 kg/h dan laju massa steam bila menggunakan bahan bakar batubara 5.449 kg/h), ini terjadi karena transfer kalor menggunakan campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete bisa tertransfer dengan baik dibandingkan dengan bila ketel uap menggunakan batubara lignit karena hambatan slangging dan fouling yang lebih tinggi. Kecenderungan ini juga terbuktikan dengan tingginya nilai efisiensi ketel bila menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan dibandingkan dengan efisiensi ketel bila menggunakan bahan bakar batubara lignit sebelum dibersihkan. Terlihat bahwa kondisi ketel uap setelah dibersihkan efisiensinya mendekati efisiensi yang dipersyaratkan dari ALSTOM yaitu untuk bahan bakar bernilai 6.692 kcal/kg untuk ukuran batubara peas adalah 97%, sehingga bila dikonversi ke nilai kalor batubara yang dipakai oleh ketel uap PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar bernilai 6.200 kcal seharusnya efisiensi yang diperoleh adalah 89,86% [3]. V. KESIMPULAN Dari perhitungan dan pembahasan maka disimpulkan : 1. Penggunaan campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete bisa menurunkan indeks slagging dan fouling pada ketel uap pipa api. 2. Penggunaan campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete lebih baik dibanding menggunakan batubara lignit tanpa dicampur dengan cangkang biji jambu mete bila ditinjau dari sisi penghematan energi. DAFTAR PUSTAKA [1] Lesmana, Ridwan. 1993. Proses Pembuatan Mie Instant. HO Manufacturing PT. Indoofood Sukses Makmur, Jakarta. [2] Gondosari, Irwan. and Rumawan, Yoseph. 2009. Training Coal Boiler, HO Manufacturing PT. Indoofood Sukses Makmur, Jakarta. [3] Nierop V.G. 2002. Thompson Afripac Coal Fired Boiler Operating & Maintenance Manual. Alstom John Thompson (Pty)nLimited, South Africa.
Energi III-80
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[4] Belkin H.E; Tewalt S.J. 2010. Geochemistry of Selected Coal Samples from Sumatera, Kalimantan,Sulawesi and Papua, Indonesia, Science for a charging word, Balcanica. [5] Fuel Analysis Conversion. Available from : (http:/www.myvistasource.com/files/tech papers/prox2utl.php). [6] Kitto J.B; C, Stevan; Stultz. 2005. Steam. The Babcock and Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41. [7] Risfahri. 2004.Pemisahan Kardanol Dari Minyak Kulit Biji Mete Dengan Metode Destilasi Vakum. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor
[8] Anup industries manufacturers of CNS Liquid. (2010). Cashew Nut Shell Cake. (http:/www.anupinindustries.net/cashew-netshell-cake.html). [9] JU R.S; Ahamed; Masjuki H.H. 2010.Energy, exergy and economic analysis of industrial boilers. Department of Mechanical Engineering, University of Malaya. Kuala Lumpur Malaysia. [10] Asmudi. 2010. Analisa Unjuk Kerja Boiler Terhadap Penurunan Daya Pada PLTU PT. Indonesia Power UBP Perak. Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Surabaya, Surabaya. [11] Wiley, John. and Sons, 1993. Encyclopedia of Chemical Technology. A Wileyilnterscience Publication, New York. Edisi 6.
Energi III-81
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Perbandingan Jari-Jari Pipa dan Kelengkungan Bend terhadap Distribusi Kecepatan Aliran Syahrizal
Syamsul Arifin P. Dan Duma Hasan
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email : -
Abstract—The aims of the research are toacknowledge the influence of pipes’ radius ratio and the inlet bend area on the velocity of flow rate, the influence of pipes’ radius ratio and the inlet bend area on the velocity of flow rate, the influence of pipes’ radius ratio and the inlet bend area on the velocity of flow rate. The research was conducted in Fluid Laboratory of Mechanical Departement of Enginering of Hasanuddin University. The research method was an experiment. The data obtained from testing section 9 times by nothing the pressure rate of water fluid on board manometer. The results of the measurement was then calculated with the existing formula to indicate the velocity of flow and the speed of the water fluid flow and Raynold number, then the data was tabulated and presented in graph to observe the analyzed results. The results of the research indicated that the use of the pipes’ radius comparison variation use and the pipes’ bend cause a change on Reynold number and the water speed. The higher the comparison of the pipes’ radius and the bend, the smaller the value of Reynold number and water speed. The smallest Reynold number and water speed and water speed on the comparison of the pipes’ radius and bend (R/Rb=1/5) is 756728 and 0.91852 m/s (inlet bend), 54025 and 0,87475 m/s (bend corner area), 49695 and 0.80465 m/s, weanwhile the highest Reynold number value and water speed was observed in the pipes’ radius comparison and the bend (R/Rb=1/3) i.e. 79287 and 1.28378 m/s, 78337 and 1.2684 m/s (bend corner). Keywords : elbow 90o, speed, Reynold number, comparison
I. PENDAHULUAN
Pada saat ini teknologi semakin maju khususnya pada pengembangan bentuk bodi, para ahli dan ilmuwan selalu berusaha untuk mencari penemuan-penemuan baru pada bentuk bodi yang lebih aerodinamis untuk mengurangi separasi dan drag, misal pada industri-industri Otomotif, Aeroplane dan perkapalan. Demikian juga pada industri yang banyak menggunakan instalasi perpipaan yang berfungsi untuk mengalirkan fluida ke tempat tujuan. Pada instalasi ini, banyak dipakai sambungan yang berfungsi untuk membelokan aliran. Zat cair merupakan salah satu bentuk fluida yang berubah bentuk secara kontinyu (terus menerus) bila mendapatkan gaya geser. Tekanan pada fluida dapat berupa tekanan hidrostatis, tekanan dinamis, dan tekanan statis. Zat cair yang bergerak dapat menimbulkan gaya, seperti halnya zat cair yang mengalir pada belokan pipa juga dapat menimbulkan gaya tumbukan pada belokan tersebut. Belokan pipa dibuat dengan ukuran yang lebih tebal dibandingkan dengan ukuran pipa pada lintasan lurus. Hal ini bertujuan
untuk mengimbangi gaya tekan dari fluida. Gaya yang terjadi dapat dijelaskan dan dianalisa dengan prinsip persamaan momentum. Oleh karena aliran berubah dalam nilai maupun arahnya, maka momentum partikel zat cair juga akan berubah. Perubahan arah aliran dalam pipa dapat menyebabkan terjadinya gaya yang bekerja pada belokan pipa, yaitu gaya tekan pada belokan ini berupa tekanan hidrostatis dan tekanan dinamis. Penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan teori yang sudah ada tentang gaya tekan air pada pipa melengkung dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Pengembangan teori yang diperoleh digunakan untuk menentukan gaya tekan air pada pipa melengkung dengan batasan bahwa untuk menentukan gaya tekan air pada pipa dengan diameter pipa tetap digunakan sudut belokan. Sistem pemipaan untuk distribusi fluida sangat lazim ditemukan adanya belokan (elbow 90). Pemasangan elbow 90 tersebut menyebabkan munculnya rugi-rugi tekanan (head loss) dan ini umumnya sering disebut sebagai minor losses[1]. Adanya kerugian tekanan akibat pemasangan elbow 90 menjadikan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji atau diteliti. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat merumuskan suatu teknik atau cara untuk mengamati fenomena distribusi kecepatan aliran fluida pada suatu tempat. Salah satu hal yang dicurigai berpengaruh terhadap rugi-rugi kecepatan aliran pada elbow 90 adalah perbandingan nilai antara jari-jari kelengkungan (R) terhadap diameter pipa[2]. Untuk pemakaian variasi sudut belokan bahwa pemakaian sudut belokan yang semakin besar menyebabkan hubungan kecepatan air berbanding terbalik dengan head losses. Semakin kecil kecepatan yang dihasilkan, nilai head losses semakin besar[3]. Aliran turbulen mempunyai koefisien gesek yang lebih tinggi dibandingkan dengan aliran laminar, tingginya koefisien gesek berpengaruh secara langsung pada besarnya penurunan tekanan dan besarnya energi yang diperlukan untuk mengalirkan fluida[4].
II. LANDASAN TEORI Fluida merupakan suatu bahan/zat yang dalam keadaan setimbang tak dapat menahan gaya atau tegangan geser (shear
Energi III-82
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
force). Dapat pula didefinisikan sebagai zat yang dapat mengalir bila ada perbedaan tekanan dan atau tinggi. Suatu sifat dasat fluida nyata yaitu tahanan terhadap aliran yang diukur sebagai tegangan geser yang terjadi pada bidang geser yang dikenai tegangan tersebut adalah viskositas atau kekentalan/kerapatan zat fluida tersebut[5]. Berdasarkan aliran maka fluida dapat diklasifikasikan atas fluida sempurna (ideal), fluida nyata (real), compressible dan incompressible. Suatu fluida sempurna tidak memiliki sifat kekentalan dan tidak dapat dimampatkan. Konsep fluida sempurna memungkinkan untuk memecahkan perumusan matematik yang lebih sederhana. Sedangkan berdasarkan wujudnya, fluida dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : Fluida gas yang merupakan fluida dengan partikel yang renggang dimana gaya tarik antara molekul sejenis relatif lemah dan sangat ringan sehingga dapat melayang dengan bebas serta volumenya tidak menentu. Sedangkan fluida cair merupakan fluida dengan partikel yang rapat dimana gaya tarik antara molekul sejenisnya sangat kuat dan mempunyai permukaan bebas serta cenderung untuk mempertahankan volumenya. Untuk fluida gas sifat aliran dianggap laminer, sedangkan untuk fluida cair dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Aliran laminer, merupakan aliran dimana fluida dianggap mengalir pada lapisan masing-masing dengan kecepatan konstan. Suatu aliran yang tetap dan tidak ada pencampuran partikel-partikel antara lapisan. Terjadi karena kecepatan aliran rendah, fluida cukup kental, aliran pada lorong sempit dan Re < 2300. 2. Aliran turbulen, merupakan aliran dengan kecepatan tinggi, fluida encer, aliran lorong besar, Re > 4000, aliran bercampur dari lapisan ke lapisan, bahkan seperti bergulung-gulung. Penentuan aliran fluida cair laminer atau turbulen ditentukan oleh Reynold Number (bilangan Reynolds) dengan menentukan kecepatan aliran (V), diameter pipa serta viskositas kinematis (v).
Hukum kedua Newton yang menyatakan perubahan momentum suatu benda itu (ρ), (Q), dan (ΔV) sebanding dengan gaya (F) yang bekerja pada benda tersebut. Dengan kata lain momentum aliran fluida terjadi karena adanya perubahan kecepatan aliran. F = . Q. (ΔV) Persamaan Bernoulli (4) Aliran fluida dalam Belokan Pipa Aliran fluida di sekitar belokan akan terjadi kenaikan tekanan sepanjang jari-jari bagian luar dan terjadi penurunan tekanan sepanjang jari-jari bagian dalam. Setelah keluar dari belokan pipa daerah dinding dimana terjadi kenaikan kecepatan akibat belokan akan turun sedangkan daerah dinding yang mempunyai kecepatan rendah sebaliknya kecepatan akan naik kembali. Kondisi ini akan terus berlanjut hingga distribusi kecepatan dan tekanan akan normal kembali. Kondisi yang tidak seimbang pada daerah belokan akan menghasilkan dua aliran[7], seperti yang terlihat pada gambar 1 di bawah ini :
Gambar 1. Bentuk aliran dalam daerah belokan
(1) Jenis aliran berdasarkan bilangan Reynolds untuk aliran internal : 1. Re < 2300, aliran adalah laminer 2. Re > 4000, aliran adalah turbulen 3. 2300 < Re < 4000, aliran adalah transisi. Persamaan Kontinuitas Persamaan kontinuitas diperoleh dari hukum kekekalan massa yang menyatakan bahwa untuk aliran yang stasioner massa fluida yang melalui semua bagian dalam arus fluida tiap satuan waktu adalah sama[6]. Untuk aliran yang tidak termampatkan ( = konstan), maka laju aliran (Q) pada luas suatu penampang (A1) adalah sama dengan aliran yang melalui penampang lainnya (A2) dengan kecepatan aliran yang sama (V). Q = A1.V1 = A2.V2 Persamaan Momentum
(2)
(3)
Kombinasi kedua aliran dengan kecepatan aksial akan membentuk sepasang aliran berputar (bentuk spiral) yang berulang pada jarak tertentu. Hal ini tidak hanya mengakibatkan kerugian energi pada belokan tersebut, akan tetapi kondisi gangguan aliran berputar ini bertahan pada jarak tertentu hingga tersebar kembali akibat gesekan kekentalan dari fluida. Kerugian pada belokan umumnya tergantung pada perbandingan jari-jari kelengkungan terhadap diameter pipa. Kerugian head paling besar terjadi pada belokan tajam, hal ini dapat dikurangi dengan memperpanjang jari-jari kelengkungan. Dengan penambahan jari-jari kelengkungan akan mengakibatkan lemahnya daerah pemisahan. Pengukuran Fluida Dalam pengukuran fluida termasuk penentuan tekanan, debit, gelombang kejut, gradien kerapatan turbulensi dan viskositas[8]. Terdapat banyak cara melaksanakan pengukuran-pengukuran ini, misalnya : langsung, tak langsung, gravimetrik, volumetrik, elektronik, elektromagnetik dan optik. Pengukuran debit secara langsung terdiri atas penentuan volume atau berat fluida yang melalui
Energi III-83
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
suatu penampang dalam suatu selang waktu tertentu. Metode tak langsung bagi pengukuran debit memerlukan penentuan tinggi-tekan, perbedaan tekanan, atau kecepatan di beberapa titik pada suatu penampang dan dengan besaran-besaran ini, penghitungan debit. Metode-metode yang paling teliti adalah penentuan gravimetrik atau penentuan volumetrik, dengan berat atau volume diukur, atau penentuan dengan mempergunakan tangki yang telah dikalibrasi untuk selang waktu yang diukur. Pengukuran Tekanan Pengukuran tekanan diperlukan dalam banyak alat yang digunakan untuk menentukan kecepatan arus fluida atau laju alirannya, karena hubungan antara kecepatan dan tekanan yang diberikan oleh persamaan energi. Tekanan statik suatu fluida yang bergerak adalah tekanannya bila kecepatan tidak terganggu oleh pengukuran. Gambar 2(a) menunjukkan satu cara mengukur tekanan statik, yaitu dengan lubang pizometer. Bila aliran sejajar, sebagaimana ditunjukkan, maka variasi tekanan yang normal (tegak-lurus) terhadap garis-garis aliran adalah hidrostatik. Oleh karena itu dengan mengukur tekanan pada dinding maka di setiap titik lain pada penampang yang bersangkutan dapat ditentukan. Lubang pizometer seyogyanya kecil, dengan panjang lubang sekurang-kurangnya dua kali garis tengahnya, dan hendaknya tegak lurus terhadap permukaan, tanpa beram ditepi-tepinya karena akan menyebabkan terbentuknya pusaran-pusaran kecil yang membuat hasil pengukuran menyimpang. Dapat diperkenankan membulatkan lubang tersebut sedikit. Karena ketidaklurusan atau kekasaran sedikit saja pada lubang dapat menyebabkan kesalahan pengukuran, maka seyogyanya digunakan beberapa lubang pizometer yang dihubungkan menjadi satu sebagai cincing pizometer. Bila permukaan di dekat lubang tersebut kasar, maka pembacaannya tidak dapat diandalkan. Untuk ketidakteraturan sedikit, masih mungkin untuk menghaluskan permukaan di seputar lubang.
Gambar 2. Alat ukur tekanan statik : (a) tabung pizometer, (b) tabung statik
Untuk permukaan yang kasar, dapat digunakan tabung statik gambar 2(b). Alat ini terdiri dari sebuah tabung yang diarahkan ke hulu dengan ujungnya tertutup. Alat tersebut mempunyai lubang-lubang radial dalam bagian yang berbentuk silinder di sebelah hilir hidung. Aliran diprasumsikan bergerak melewati lubang-lubang tersebut seolah-olah tanpa terganggu. Namun terdapat gangguan yang disebabkan baik oleh hidung maupun oleh kaki kanan yang tegak-lurus terhadap aliran. Tabung statik seyogyanya dikalibrasi, karena dapat menunjukkan pembacaan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika alat tersebut tidak menunjukkan tekanan statik yang benar, kemelesetannya (∆h) biasanya
sebanding dengan kuadrat kecepatan aliran (v2) melewati tabung, yakni : (5) Di sini C ditentukan dengan menghela tabung di dalam fluida diam yang tekanan dan kecepatannya atau dengan memasangnya di dalam pipa licin yang mempunyai cincing pizometer. Tabung demikan relatif tidak peka terhadap bilangan Reynolds dan terhadap bilangan Mach di bawah satu. Pengukuran Kecepatan dan Volume Penentuan kecepatan di sejumlah titik pada suatu penampang memungkinkan penentuan besarnya debit, maka pengukuran kecepatan merupakan suatu fase yang penting dalam pengukuran aliran. Kecepatan dapat diperoleh dengan mengukur waktu yang diperlukan suatu partikel yang dapat dikenali untuk bergerak sepanjang suatu jarak yang diketahui. Hal ini dilaksanakan bilamana saja mudah atau perlu. Teknik ini telah dikembangkan guna mempelajari aliran di dalam daerah yang begitu kecilnya sehingga aliran normalnya akan sangat terganggu dan berangkali lenyap seandainya disisipkan instrumen untuk mengukur kecepatan. Harus disediakan daerah pengamatan yang tembus pandang dan dengan sarana lampu yang terang serta mikroskop yang kuat maka ketakmurnian yang sangat kecil-kecil di dalam fluida dapat diambil gambarnya dengan kamera gambar hidup berkecepatan tinggi. Namun biasanya alat yang dipergunakan tidak mengukur kecepatan secara langsung tetapi menghasilkan suatu besaran yang dapat diukur dan yang dapat dihubungkan dengan kecepatan. Tabung Pitot beroperasi berdasarkan asas demikian dan merupakan salah satu metode pengukuran kecepatan yang paling tepat. Dalam gambar 3 sebuah tabung kaca atau jarum suntik dengan belokan siku-siku dipergunakan untuk kecepatan v di dalam suatu saluran terbuka. Lubang tabung diarahkan ke hulu sehingga fluida mengalir ke dalam lubang tersebut sampai tekanan di dalam tabung meningkat secukupnya untuk menahan dampak kecepatan terhadapnya. Tepat di depan lubang tersebut fluida tidak bergerak. Garis aliran yang melalui 1 melintas ke titik 2, yang disebut titik stagnasi, tempat fluida tidak bergerak, dan disana bercabang serta melintas di sekitar tabung. Tekanan di 2 diketahui dari kolom aliran di dalam tabung. Tabung pitot mengukur tekanan stagnasi yang juga disebut tekanan total. Tekanan total terdiri dari dua bagian, yaitu tekanan statik h0 dan tekanan dinamik ∆h, yang dinyatakan dalam panjang kolom fluida yang mengalir (gbr.3). Dengan menggabungkan pengukuran tekanan statik dan pengkuran tekanan total, yaitu dengan mengukur masingmasing tekanan dan menghubungkannya dengan kedua ujung sebuah manometer diferensial, maka diperoleh tinggi tekanan dinamik. Suatu susunan ditunjukkan dalam gbr 4.a. Tabung pitot juga tidak peka kesebarisan aliran dan terjadi kesalahan sebesar hanya beberapa persen jika tabung Mempunyai ketidaksebarisan menyimpang kurang 15o .
Energi III-84
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar.1 Instalasi Penelitian (Tampal Depan) Gambar 3. Tabung Pitot sederhana 3
2
5
Tabung statik dan tabung pitot dapat digabungkan menjadi satu instrumen, yang disebut tabung pitot-statik (gambar 4.b). 4 P
6
1
Keterangan : 1 Tabung Penampungan 2 Katup 3 Flowmeter 4 Sambungan/socket 5 Tabung Pitot 6 Pompa
Gambar. 2 Instalasi Penelitian (Tampak Atas) Gambar 4. Pengukuran kecepatan : (a) Tabung pitot dan tabung pizometer, (b) tabung pitot-statik
Pitot pada daerah bend
Pitot pada daerah inlet Arah Aliran
R
III. METODOLOGI PENELITIAN
Pitot pada daerah outlet r
Metode penelitan yang digunakan adalah metode eksperimental. Pengujian dilakukan dengan variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R = 1/3, 1/3½, ¼, 1/4½, 1/5) seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Pengambilan data dilakukan dengan mengalirkan fluida masuk melalui pipa hingga melewati flowmeter yang kemudian dicatat berapa laju aliran yang masuk, setelah itu aliran melewati daerah inlet sebelum masuk pada pipa seksi uji bend 90 dan kemudian mencatat head (ketinggian air pada papan manometer) yang mengalir melewati selang-tabung pitot daerah inlet. Hal yang sama juga dilakukan pada daerah bend dan daerah outlet dengan tetap mencatat head (ketinggian air pada papan manometer) yang melewati selangtabung pitot. Head (ketinggian air pada manometer papan) pada daerah aliran pipa bend 90 (inlet, bend dan outlet) dicatat sampai 9 (sembilan) kali dengan perubahan posisi tabung pitot (0 – 48) mm. Sedangkan tekanan statis pada daerah outlet (setelah seksi uji) dilakukan hanya sekali atau pada permukaan pipa saja dengan memasang taping. Instalasi Penelitian Instalasi penelitian ditampilkan pada gambar 1, 2 dan 3
Pitot di luar daerah outlet
Gambar. 3 Bagian Seksi Uji
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengujian dan pengukuran variasi laju aliran (Q1, Q2, Q3) yang diukur dengan menggunakan flowmeter dan kecepatan fluida pada pipa pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3, 1/3½, 4, 4½, 5), maka dapat dilihat gambaran hasil pengujian masing-masing variabel yaitu : Hubungan antara Variasi Perbandingan Jari-Jari Pipa dan Kelengkungan Bend (r/R) terhadap Kecepatan (Vmaks) Berikut grafik hasil pengujian perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks). Pengambilan data dilakukan pada 3 (tiga) daerah pengambilan, yaitu daerah inlet bend, sudut bend, dan outlet bend.
Energi III-85
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
(1/5) yaitu 1.22912 m/s. Hal yang serupa juga terjadi pada daerah outlet bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu 1.23708 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.20494 m/s.
Gambar 1 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju aliran Q1=0,00139 m3/s.
Pada gambar 1 di atas, menunjukkan bahwa pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) dengan laju aliran Q1=0,00139 m3/s, pada daerah inlet bend kecepatan aliran yang paling tinggi adalah 1.22912 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling rendah ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/5) dengan nilai 1.18855 m/s. Demikian juga pada daerah sudut bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) yaitu 1.22912 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.19677 m/s. Hal yang serupa juga terjadi pada daerah outlet bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu 1.20494 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.16352 m/s.
Gambar 2 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju aliran Q2=0,00145 m3/s.
Pada gambar 2 di atas, menunjukkan bahwa pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) dengan laju Q2=0,00145 m2/s, pada daerah inlet bend kecepatan aliran yang paling tinggi adalah 1.26064 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang memiliki nilai paling kecil ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/5) dengan nilai 1.22912 m/s. Demikian juga pada daerah sudut bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) yaitu 1.24498 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan
Gambar 3 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju aliran Q3=0,00149 m3/s.
Pada gambar 3 di atas, menunjukkan bahwa pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) dengan laju aliran sama, pada daerah inlet bend kecepatan aliran yang paling tinggi adalah 1.28378 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang memiliki nilai paling kecil ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/5) dengan nilai 1.25284 m/s. Demikian juga pada daerah sudut bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) yaitu 1.2684 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.21305 m/s. Hal yang serupa juga terjadi pada daerah outlet bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu 1.24498 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.18855 m/s. Hal ini menunjukkan bahwa pada variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) pada daerah inlet bend dengan laju aliran yang sama kecepatan aliran yang terjadi lebih besar dari pada aliran di daerah sudut bend dan outlet bend sebab pada daerah inlet bend hambatan yang disebabkan oleh gesekan pipa dan belokan masih kecil sehingga kecepatannya masih tinggi sedangkan pada daerah sudut bend dan outlet bend hambatan yang terjadi akibat gesekan pipa atau belokan pipa sudah semakin besar sehingga kecepatannya juga semakin kecil. Sedangkan pada variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) dengan variasi laju aliran maka semakin besar laju aliran maka semakin besar pula kecepatan aliran[9]. Hal ini disebabkan karena kecepatan aliran bebanding lurus dengan laju aliran. Hubungan antara Perbandingan Kelengkungan bend dan Diameter Pipa (R/D) terhadap Kecepatan Aliran (V)
Energi III-86
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
laju aliran maka semakin kecil kecepatan aliran. Sedangkan untuk laju aliran yang sama maka perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran, semakin besar perbandingannya maka kecepatan (V) aliran semakin kecil. Pola aliran pada semua variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3,1/3½,,1/4,1/4½,1/5) menunjukkan pola aliran yang cenderung sama, dimana kecepatan maksimum semuanya terjadi di atas atau setelah sumbu pipa.
DAFTAR PUSTAKA
Pada gambar 4 di atas, menunjukkan bahwa kecepatan aliran maksimum (Vmaks) terjadi pada posisi aliran di atas sumbu pipa dan kecepatan aliran minimum terjadi pada dinding dasar pipa. Hal ini terjadi pada semua variasi perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (R/Rb) baik pada aliran daerah inlet bend, sudut bend maupun outlet bend.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa, kecepatan aliran maksimum terjadi di atas sumbu pipa disebabkan karena daerah-daerah aliran fluida baik aliran yang mendekati dinding pipa dengan kelengkungan bend dengan radius yang kecil maupun kelengkungan bend dengan radius yang besar mengalami gesekan atau hambatan. Dan pada daerah kelengkungan bend dengan radius kecil terjadi pemisahan aliran (separasi), sehingga aliran pada daerah-daerah tersebut mengalami perlambatan sedangkan pada daerah tengah atau di atas sumbu pipa mengalami percepatan aliran. V. KESIMPULAN Dari hasil analisis penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) dengan laju aliran Q1 = 0,00139 m3/s, Q2 = 0,00145 m3/s dan Q3 = 0,00149 m3/s, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran pada daerah inlet bend, sudut bend dan outlet bend. Semakin besar
[1] Le Duc, (2007), Fachgebiet Hydromechanik, TU Munchen. [2] Munson Young, Okiishi, (2005), Mekanika Fluida, Erlangga, Jakarta [3] Zainuddin, I Made Adi Sayoga, I Made Nuarsa (2012), Analia Pengaruh variasi SudutSambungan Belokan Terhadap Heda Loses Aliran Pipa [4] Setyo Indartono, Y., (2006). Meredam Turbulensi Membuat Air Mengalir (jauh) lebih cepat, Artikel Iptek, (Http://www.google.co.id) [5] Raswari (1987), Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan, Universitas Indonesia, Jakarta, 1987 [6] White Frank M (1994). Fluid Mechanics Third Edition, Mc Graw-Hill Book Company, New York. [7] Daugherty L. Robent, Franzini B. Josep and Finneurore, John.E, (1965), Fluid Mechanics With Engineering Applications, Eighth Edition, Mc Grow-Hill Book Company, New York [8] Streeter, V.L., and Wylie, E. Benjamin (1987), Mekanika Fluida, Erlangga Jakarta,1993 [9] Wendy Priana Negara (2002), Perbandingan Analisis Pressure Drop pada Pipa Lengkung standar ANSI B36.10 dengan COSMOSflo Work 2007, Jurnal (negara
[email protected])
Energi III-87
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
Efektivitas Fresh Water Cooler Pada Mesin Diesel Generator Di Engine Hall PIP Makassar Paulus Pongkessu
Wahyu H. Piarah
Teknik Mesin Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar, Indonesia
[email protected]
Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
[email protected]
Abstract—Penelitian ini bertujan mengetahui pengaruh perubahan temperatur air pendingin cooler terhadap air pendingin mesin, laju perpindahan panas yang terjadi pada cooler dan menentukan Efektivitas penukar kalor akibat perubahan temperatur air pendingin cooler. Penelitian ini dilaksanakan di Engine Hall Poloteknik Ilmu Palayaran Makassar. Metode penelitian ini dilakukan dalam bentuk ekperimen dengan beberapa variabel penelitian yaitu terdiri atas variabel bebas dimana besarnya ditentukan sebelum penelitia, dan variabel terikat dimana besarnya tidak dapat ditentukan sebelum penelitian, tetapi besarnya tergantung dari hasil variabel bebas. Hasil penelitian menunjukan bahwa temperatur air pendingin masuk antara 150C sampai 340C dan keluar antara 160C sampai 370C dapat menurunkan temperatur air pendingin mesin masuk cooler antara 230C sampai 430C menjadi antara 210C sampai 410C dengan laju penyerapan kalor rata-rata antara 8,41 kW sampai 15,38 kW dan penyerapan kalor rata-rata antara 9,257 kW sampai 11,53 kW dengan Efektivitas Fresh Water Cooler rata-rata antara 25 % sampai 28 %.
efisien. Pertukaran panas dapat terjadi karena adanya kontak, baik antara fluida terdapat dinding yang memisahkannya maupun keduanya bercampur langsung (directcontact). Salah satu alat penukar panas yang dipergunakan pada sistem pendinginan Fresh Water Cooler. Fresh Water Cooleradalah penukar panas yang menggunkan cangkang dan buluh (shell and tube heat exchanger), [5]. Alat penukar panas ini terdiri atas suatu bundel pipa yang dihubungkan secara paralel dan ditempatkan dalam sebuah pipa mantel (cangkang). Fluida yang dingin mengalir di dalam bundel pipa, sedangkan fluida yang panas mengalir diluar pipa pada arah yang sama, berlawanan atau bersilangan. Kedua ujung pipa tersebut dilas pada penunjang pipa yang menempel pada mantel. Untuk meningkatkan effisiensi pertukaran panas, biasanya pada alat penukar panas cangkang dan buluh dipasang sekat (buffle). Ini bertujuan untuk membuat turbulensi aliran fluida dan memperlambat aliran fluida sehingga penyerahan panas lebih maksimal, namun pemasangan sekat akan memperbesar rugi tekanan (pressure drop) operasi dan menambah beban kerja pompa, sehingga laju alir fluida yang dipertukarkan panasnya harus diatur [2]. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui koefisien perpindahan panas yang terjadi pada cooler.
Kata kunci—Perubahan temperatur, penyerapan kalor,
II. LANDASAN TEORI
efektivitas I. PENDAHULUAN Proses pembakaran dalam selinder akan meningkatkan panas dan temperatur mesin. Bila pendinginan tidak normal dapat mengakibatkan viskositas minyak pelumas menurun atau berkurang, sehingga torak maupun selinder dapat mengalami kerusakan akibat suhu yang tinggi dari pembakaran. Dalam pengoperasian mesin kapal sering terjadi gangguan pada sistem pendinginannya. Untuk itu semua awak kapal bagian mesin dituntut agar tanggap dalam melakukan perawatan dan menjaga kelancaran pengoperasiansistem, sehingga gangguan terhadap sistem pendinginan dapat diminimal. Untuk menjaga agar sistem pendinginan tetap dalam keadaan normal maka dapat digunakan alat penukar kalor atau Heat Exchanger (HE) yang berfungsi untuk memindahkan panas dari sistem ke sistem lain tanpa perpindahan massa dan bisa berfungsi sebagai pemanas maupun sebagai pendingin [1]. Penukar kalor dirancang sedemikian rupa agar perpindahan panas antar fluida dapat berlangsung secara
A. Gambaran Umum Cooler Cooler berfungsi untuk mendinginkan air pendingin mesin motor diesel dengan menggunakan media pendingin yang disuplai dari cooling tower. Proses pendinginan pada heat changer ini berlangsung secara tertutup . Cooler pada instalasi ini terdiri atas satu buah dan berdasarkan konstruksinya Coolerr ini termasuk shell dan tube, dimana dalam operasinya fluida pendingin mengalir di dalam tube dan fluida yang akan didinginkan mengalir di luar tube dengan aliran fluida berlawanan (counter flow). B. Penukar Kalor Tipe Shell And Tube Aliran fluida panas maupun fluida dingin dalam alat penukar kalor ini ssaling melintasi satu sama lain, tidak hanya satu kali saja, tetapi dapat beberapa kali. Pada penukar kalor terdapat dua jenis lintasan aliran fluida yaitu: 1. Shell pass yaitu lintasan yang dilakukan oleh fluida sejak masuk inlet nozzle, melewati bagian dalam shell dan mengelilingi tube, keluar dari outlet nozzle. Apabila lintasan itu dilakukan satu kali maka disebut 1 pass shell.
Energi III-88
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
2.
3.
Tube pass yaitu jika fluida masuk ke penukar kalor melalui salah satu ujung (front head) lalu mengalir ke dalam tube dan langsung keluar melalui ujung yang lain (rear head), maka disebut dengan 1 pass tube. Penukar kalor yang digunakan adalah tipe 1-2 pass. Fluida yang mengalir di dalam shell dengan satu lintasan (1 pass) sedangkan fluida mengalir di dalam tube dengan dua lintasan (2 pass). III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di an (PIP) Makassar, dengan terlebih dahulu, mempersiapkan alat penelitian berikut bahan yang akan digunakan. B. Rumus Yang Digunakan 1. Penukar Kalor Aliran Sejajar h
c
mh C h Th1 Th 2 mh C h Th1 Tc1
mc C c Tc 2 Tc1 mc C c Th1 Tc1
(1)
(2)
2. Penukar Kalor Aliran Berlwanan arah
h
mh C h Th1 Th 2 mh C h Th1 Tc 2
(3)
c
mc Cc Tc1 Tc 2 mc Cc Th1 Tc1
(4)
T( fluidaminimum) Beda suhu maksimumdi dalam penukar kalor
(5)
IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan Pada penelitian ini terlihat bahwa Untuk menghitung perpindahan panas pada cooler, maka perlu menghitung terlebih dahulu koefisien perpindahan panasnya. Koefisien perpindahan panas yang dimaksud adalah perpindahan panas konveksi paksa untuk sisi air pendingin cooler di dalam tube, koefisien perpindahan panas konveksi paksa air pendingin mesin melalui permukaan luar tube dan koefisien perpindahan panas konveksi udara luar shell Pada alat penukar kalor, panas yang dilepas oleh air pendingin mesin sebagian diserap oleh air pendingin cooler dan sebagian lagi berpindah ke udara sekeliling. Proses perpindahan panas dari air pendingin mesin ke permukan dinding luar tube terjadi secara konveksi, selanjutnya panas berpindah dari dinding luar tube ke dinding dalam tube secara konduksi, selanjutnya terjadi perpindahan panas konveksi dari
permukaan dinding dalam tube ke air pendingin cooler [3]. Bagian permukaan luar dinding shell dari fresh water cooler (heat exchanger) berhubungan langsung dengan udara luar. Pada permukaan luar dinding shell dari fresh water cooler (heat exchanger) ini, panas berpindah ke udara sekeliling secara konveksi, (Rames K. dan Dusan P. 2003). Laju perpindahan panas dipengaruhi oleh perbedaan temperatur, luas penampang, luas permukaan perpindahan panas, konduktifitas termal material, serta jarak dan ketebalan titik perpindahan panas. Panas dari air pendingin mesin tidak semuanya diserap oleh air pendingin cooler yang mengalir di dalam tube, namun sebagian dari panas tersebut diserap oleh udara sekeliling yang memiliki temperatur yang lebih rendah dari temperatur air pendingin mesin melalui dinding shell yang dianggap sebagai kehilangan [4]. Untuk koefisien perpindahan panas total antara air pendingin mesin dan air pendingin cooler (Qapc) secara teoritis harus sama dengan nilai kalor yang diserap oleh air pendingin cooler (Qapm). Dari hasil perhitungan didapatkan nilai Qapc = 8,41kW sedangkan nilai Qapm = 9,38kW. Dari jumlah tersebut terdapat selisih sebesar 0,87kW antara Qapm dan Qapc atau hasil yang tidak sama persis dengan teori, (Sugiyanto. 2006). Hal ini disebabkan oleh pengambilan asumsi pada sifat-sifat fisis fluida untuk mempermudah perhitungan seperti Cp fluida yang dianggap konstan yang diambil berdasarkan temperatur borongan dan kekurangan telitian dalam pengambilan nilai tersebut, (Zainuddin. 2005). Dari perhitungan kesetimbangan energi yaitu dari air pendingin mesin ke air pendingin cooler, secara teoritis mengharuskan panas yang dilepas oleh air pendingin mesin (Qapm) harus sama dengan panas yang diserap oleh air pendingin cooler (Qapc) ditambah dengan panas yang hilang ke udara sekeliling melalui dinding shell(Qloss). hasil perhitungan tidak sesuai dengan teori karena nilai Qloss yang lebih besar dari seharusnya. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor pengotoran yang melekat pada dinding dalam tubesehingga tahanan termalnya semakin besar yang mengakibatkan terhambatnya penyerapan panas dan perpindahan panas secara radiasi yang diabaikan karena melibatkan suhu yang mendekati suhu atmosfer,( Handayani, dkk., 2012). Sedangkan untuk efektifitas, dari hasil perhitungan didapatkan efektifitas heat exchanger sebesar 0,25 (25 %) dan efektifitas pendingin cooler sebesar 0,12 (12 %). Nilai efektifitas heat exchanger dipengaruhi oleh temperatur borongan rata-rata air pendingin mesin (Tb apm). Makin besar nilai temperatur borongan maka semakin besar pula nilai efektifitas heat exchanger. Nilai efektifitas heat exchanger terbesar 0,45 (45 %) didapat pada pencampuran air dengan es dengan putaran mesin 900 rpm sedangkan untuk nilai efektifitas heat exchanger terkecil 25 % didapatkan pada putaran mesin 900 rpm dengan temperatur air pendingin cooler (Tapc in) 15 0C.
Energi III-89
Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics
V. KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dalam penelitian pengaruh perubahan temperatur terhadap fresh water cooler pada mesin Diesel generator dapat disimpulkan bahwa Koefisien penyerapan air pendingin mesin yang berpindah ke air pendingin cooler melintasi dinding pipa (Qapc) rata-rata 8,41 kWatt sedangkan kalor yang diserapoleh air pendingin cooler (Qapm) rata-rata9,257 kWatt. 2. Efektifitas (ε) fresh watercooler pada temperatur air pendingin mesin antara 21 0C sampai 41 0C dan pendingin cooler antara 16 0C sampai 27 0C yang keluar cooler adalah 19,4 % sampai 45 %. B. Saran 1. Dalam penelitian efektifitas sebaiknya difariasikan laju aliran air pendingin mesin 2. Untuk mengatur temperatur air pendingin cooler sebaiknya ditambahkan alat pendingin berupa fan pada cooling tower. UCAPAN TERIMA KASIH Kepada teman-teman di workshop PIP yang telah membantu dalam proses penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] Adrian Bejan, 1993,” Heat Transfer”, By John Weley &, Sons Inc. [2] Adrian Bejan, 1984,” Convective Heat Transfer”, By John Weley &, Sons Inc. [3] Crawford, M.E danKays, W.M, 1993. “Convective Heat and Mass Transfer, Third Edition”, Mc. Graw Hill Internasional Edition. [4] Frank Kreith,1986“ Prinsip-prinsip Perpindahan Panas”. [5] Holman, J.P., 1991, “Perpindahan Kalor”, Penerbit Erlangga. [6] MALEEV,1986 ”Operasidan Pemeliharaan Mesin Diesel”, Penerbit Erlangga, Jakarta. [7] Raldi Artono Koestoer, Dr. Ir., 2002 “ Perpindahan Kalor “ Penerbit Salemba Teknik. [8] Rames K. Shad dan Dusan P. Sekulic, 2003, Fundamentals of Heat Excahanger Design, John Willey & sons.
Energi III-90
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kajian Potensi Angin Di Kota Sorong Papua Barat Untuk Dimanfaatkan Sebagai Sumber Energi Surianto Buyung
Syukri Himran dan Rustam Tarakka
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email :-
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email : -
Abstract— This study aimed to investigate to what extent the wind energy potentials could be utilized as the source of energy to operate a pump. The study was conducted in the city of Sorong, West Papua Province. The data about the wind speed were collected from the Meteorology and Geophysics Agency for a year in 2012. Using Weibull parameters, the data were analyzed in order to determine the quantity of the wind energy was needed to operate a pump. The result of the study indicated that in 2012 the average wind velocity was 3.699 knot. The energy that could be generated from the data processing using the numerical method of the trapezium rule was 77.44 kWh/m2 . Therefore, the generated energy could be used to operate a pump which could produce the rate of the water flow of 38,416 liters per day. Keywords: wind energy, wind velocity, Weibull distribution.
I. PENDAHULUAN Pemanfaatan energi angin sebenarnya bukan barang baru bagi umat manusia. Sejak 2000 tahun lalu, teknologi pemanfaatan sumber daya angin dan air sudah dikenal manusia dalam bentuk kincir angin (wind mills). Selain ramah lingkungan, sumber energi angin juga selalu tersedia setiap waktu dan memiliki masa depan bisnis yang menguntungkan. manusia membuat turbin angin untuk membangkitkan energi listrik yang bersih, baik untuk penerangan, sumber panas atau tenaga pembangkit untuk alat -alat rumah tangga. Menurut data dari American Wind Energy Association (AWEA), hingga saat ini telah ada sekitar 20.000 turbin angin di seluruh dunia yang dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Kebanyakan turbin angin itu dioperasikan di lahan khusus yang disebut “ladang angin” (wind farm). (Hofman, harm. 1987) Wilayah Indonesia yang berada di sekitar daerah ekuator merupakan daerah pertemuan sirkulasi Hadley, Walker, dan lokal. Kondisi ini ditengarai memiliki potensi angin yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif pembangkit listrik yang selama ini lebih banyak menggunakan bahan bakar minyak bumi.Wilayah Papua Barat terletak di kawasan Indonesia Timur yang terdiri dari banyak pulau kecil dan bergunung-gunung yang sebagian besar berpenduduk. Kota sorong merupakan salah satu kota yang berada di provinsi Papua Barat yang daerahnya banyak terdapat gunung dan bukit, sehingga dapat menimbulkan potensi angin yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif energi listrik. Seiring perkembangan zaman, kebutuhan listrik di kota
Sorong semakin meningkat, untuk memenuhi kebutuhan listrik dibangun pembangkit listrik tenaga diesel yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan berpotensi menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Terkait dengan kebutuhan energi listrik nasional yang tidak sebanding dengan ketersediaan energi yang ada dan pemenuhan kebutuhan listrik di wilayah Papua Barat termasuk kota Sorong yang terkendala oleh transportasi dan keadaan cuaca, upaya diversifikasi pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif ramah lingkungan menjadi suatu hal yang mendesak. Mengingat sumber energi fosil, khususnya minyak bumi yang tergolong sumber energi yang tidak dapat terbarukan (non renewable resources), dan tentunya ketersediaannya akan terus berkurang, maka perlu dimanfaatkannya sumber energi alternatif yang ketersediaannya di alam selalu terjamin dan ramah lingkungan. Untuk itu perlu untuk diadakan kajian lebih mendalam untuk menentukan daerah-daerah yang memiliki potensi sumber energi angin di wilayah Indonesia khususnya bagian Timur yang mengalami kesulitan dalam sistem jaringan listrik. Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “ Kajian Potensi Angin di Kota Sorong Papua Barat Untuk Dimanfaatkan Sebagai sumber Energi II. LANDASAN TEORI Angin adalah udara yang bergerak karena adanya perbedaan tekanan di permukaan bumi ini. Angin akan bergerak dari suatu daerah yang memiliki tekanan tinggi ke daerah yang memiliki tekanan yang lebih rendah. Angin yang bertiup di permukaan bumi ini terjadi akibat adanya perbedaan penerimaan radiasi surya, sehingga mengakibatkan perbedaan suhu udara.Adanya perbedaaan suhu tersebut meyebabkan perbedaan tekanan, akhirnya menimbulkan gerakan udara. Perubahan panas antara siang dan malam merupakan gaya gerak utama sistem angin harian, karena beda panas yang kuat antara udara di atas darat dan laut atau antara udara diatas tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah (lembah) (Najib, N.M. dkk., 2011). Proses pemanfaatan energi angin dilakukan melalui dua tahapan konversi energi, pertama aliran angin akan menggerakkan rotor (baling-baling) yang menyebabkan rotor
Energi III-91
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
berputar selaras dengan angin yang bertiup, kemudian putaran dari rotor dihubungkan dengan generator, dari generator inilah dihasilkan arus listrik. Jadi proses tahapan konversi energi bermula dari energi kinetik angin menjadi energi gerak rotor kemudian menjadi energi listrik. Besarnya energi listrik yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah sebagai berikut : (Habibie, N. M; dkk, 2011) 1. Rotor (kincir) Rotor turbin sangat bervariasi jenisnya, diameter rotor akan berbanding lurus dengan daya listrik. Semakin besar diameter semakin besar pula listrik yang dihasilkan, dilihat dari jumlah sudut rotor (baling-baling), sudut dengan jumlah sedikit berkisar antara 3- 6 buah lebih banyak digunakan. 2. Kecepatan angin Kecepatan angin akan mempengaruhi kecepatan putaran rotor yang akan menggerakkan generator. 3. Jenis generator Generator terbagi dalam beberapa karakteristik yang berbeda, generator yang cocok untuk sistem konversi energi angin (SKEA) adalah generator yang dapat menghasilkan arus listrik pada putaran rendah. Pada dasarnya angin terjadi karena ada perbedaan suhu antara udara panas dan udara dingin. Di daerah katulistiwa, udaranya menjadi panas, mengembang dan menjadi ringan, naik ke atas dan bergerak ke daerah yang lebih dingin. Sebaliknya daerah kutub yang dingin, udaranya menjadi dingin dan turun ke bawah. Menurut Hubbert memperkirakan bahwa konveksi arus yang ditimbulkan oleh lautan dan atmosfer bergabung membentuk suatu energi yang besarnya 3,7. Watt. Menurut Willet, yang juga dikutip oleh Putman, energi angin dapat memberikan daya sebesar 2,1. Watt. Bila 1% dari perkiraan daya menurut Willet dimanfaatkan, suatu daya sebesar 2,1. Watt akan diperoleh. Angka ini merupakan 3% dari kebutuhan energi dunia tahun 1972 (Nursuhud, 2008). Output daya dari rotor kincir bertambah dengan pangkat tiga kecepatan. Hal ini berarti bahwa penempatan kincir harus berada di tempat yang memiliki kecepatan angin yang tertinggi dalam daerah itu. Untuk menganalisis keadaan angin, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : a. Bagaimanakah pola angin perhari, perbulan ataupun pertahun b. Berapa lamakah kecepatan angin rendah dan kecepatan angin tertinggi c. Berapakah energi yang dapat dihasilkan perbulan, pertahun. Pada pengukuran kecepatan angin perlu diperhatikan : Posisi sebenarnya anemometer Jarak dan ketinggian dari bangunan yang terdekat Tipe dan kualitas anemometer Metode pembacaan dan pencatatan data Sistem satuan yang digunakan, apakah m/s, knots, mil/hr dan sebagainya. Biasanya kecepatan angin maksimum tidak diperoleh dari pengukuran rata-rata per jam, dan dicatat secara terpisah.Umumnya keadaan angin tahunan senantiasa berulang. Dari beberapa peneliti seperti Corotis, Justus dan Ramsdell dkk, menyatakan bahwa rata-rata kecepatan angin tahunan yang diperoleh dari data 12 bulan memiliki 90%
tingkat kepercayaan. Selanjutnya akan dijelaskan pengolahan data kecepatan angin yang meliputi : Distribusi Waktu Kecepatan angin rata-rata per bulan berdasarkan atas fluktuasi kecepatan angin pada setiap waktu dari suatu hari dan hasil rata-rata kecepatan pada setiap waktu yang berasal dari data pengamatan kecepatan angin dan data didtribusi waktu. Distribusi Frekuensi Bila jumlah jam pada setiap interval digambarkan terhadap kecepatan angin, maka diperoleh distribusi frekuensi yang disebut juga histogram. Kecepatan rata-rata dari suatu frekuensi tertentu dapat dihitung dengan relasi sebagai berikut (Himran, 2005) : (1) Dimana: ti = jumlah jam kecepatan angin dengan interval I, Vi = pertengahan interval kecepatan angin ke-I, = kecepatan angin rata-rata . Distribusi Durasi Dan Distribusi Kumulatif Sebagai hasil ialah kurva durasi, dan diperoleh dengan menjumlah jam dari setiap interval kecepatan ke jumlah jam dari interval yang lebih tinggi. Jadi sebaiknya dimulai dengan interval tertinggi, dengan jumlah jam = 0 dan selanjutnya ditambah dengan jumlah jam dari interval lebih rendah berikutnya dan seterusnya. Kurva durasi kecepatan umumnya digambarkan dengan kecepatan pada sumbu tegak, sedang jumlah jam pada sumbu mendatar. Penentuan Luas Bidang Rotor Penentuan luas bidang rotor didasarkan atas keadaan angin dan energi yang dibutuhkan.Persoalan utama adalah pemilihan tiga macam kecepatan perencanaan dan instalasi kincir-pompa ataupun instalasi kincir-generator. Adapun ketiga macam kecepatan, tersebut adalah : Vcut-in (Vc.i) = kecepatan angin dimana instalasi mulai menghasilkan listrik ataupun air. Vc.i = 0,7 ×
(2)
Vrate (Vr) = kecepatan angin di mana instalasi menghasilkan listrik ataupun air maksimum. Vr = (1,5 – 2,0) ×
(3)
Vcut-out(Vc.o) = kecepatan angin diatas mana instalasi harus distop untuk mencegah kerusakan. Vc.o = 3,0 ×
(4)
Luas bidang kurva durasi daya (A) dan yang dibatasi oleh ketiga kecepatan perencanaan adalah energi yang dapat diekstraksi selama satu periode (setahun/sebulan) per m2 luas bidang rotor, maka:
Energi III-92
(5)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Distribusi Weibull Karena kecepatan angin berfluktuasi setiap saat, maka pengambilan harga kecepatan rata-rata tidak cukup teliti untuk menentukan daya yang dikandung oleh angin pada suatu tempat. Sesuai pengalaman dan berdasarkan (El-Wakil 1985), Lysen (1982), analisis statistik yang paling cocok dengan data eksperimental untuk menentukan distribusi frekuensi dan distribusi durasi adalah distribusi Weibull. Fungsi distribusi dan distribusi Weibull dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut (J. Waewsak, dkk. 2011): F(V) = 1 – exp(–(V/C)k
(7)
Dimana Г adalah fungsi gamma. Penentuan Parameter Weibull Menurut Lysen (1982) terdapat tiga metode untuk menentukan parameter Weibull (k dan c) , salah satu diantaranya adalah dengan metode momen. Metode momen adalah metode yang menentukan nilai k dan c secara matematik dan statistik. Nilai k ditentukan berdasarkan relasi standar deviasi σ dan Vaktual dari data aktual. Dengan penurunan secara matematis, Lysen, memberikan relasi yakni :
(8) Nilai standar deviasi σ dapat dihitung melalui rumusan pada statistik (sudjana,1996): σ2=
(9)
Dimana n = jumlah observasi Nilai c diperoleh dan di mana . Oleh karena metode ini berdasar pada data aktual dan analisis matematika dan statistika maka metode ini akan memberikan nilai yang lebih teliti terhadap parameter Weibull k dan c, dibandingkan dengan metode grafis dan metode regresi. Kurva Durasi Kecepatan Dan Duarasi Daya Weibull Fungsi Weibull untuk kurva durasi kecepatan adalah: t=
= exp.
1/k
(11)
Relasi pendekatan awal output kincir untuk pemompaan air dari (dari "angin ke air") pada suatu tempat dengan kecepatan angin rata-rata adalah : (Himran, S., 2005) Phid = 0.1 A
3
(12)
Bila persamaan (11) disubtitusi pada persamaan (12), maka diperoleh:
(6)
di mana: F(V) = distribusi kumulatif. Faktor k dan c adalah parameter Weibull yang memberikan kesesuaian pendekatan yang terbaik terhadap data kecepatan angin aktual di lapangan.Parameter k adalah eksponen tak berdimensi yang menyatakan bentuk distribusi. Hubungan eksak antara parameter c dan kecepatan angin rata adalah (J. Waewsak, dkk. 2011): = c Г(1+1/k)
V=c
(13) Bila V, P/A digambar pada sumbu tegak dan fraksi waktu t pada sumbu mendatar maka diperoleh kurva durasi kecepatan dan durasi daya. Dengan ketiga kecepatan pembatas: Vc.i, Vr, Vc.o, diketahui, maka fraksi waktu tc.i, tr,tc.o akan diperoleh. Luas bidang durasi daya yang dibatasi oleh ketiga waktu tersebut (bagian yang diarsir) adalah jumlah energi yang disediakan oleh kincir angin selama periode tT, dan kincir akan memberi penghasilan selama periode: tc.i, - tc.o. Analisis Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Sumber Energi Daya Pompa Yang Tersedia Pendekatan diatas dapat digunakan untuk memperkirakan output kincir tiap tahun atau tiap bulan, sesuai dengan harga rata-rata kecepatan angin tiap tahun atau tiap bulan. Output dapat diketahui sesuai dengan diameter rotor dan tinggi kenaikan pemompaan. Daya neto untuk memindahkan air, tinggi kenaikan H (m) adalah : (Himran, 2005) (14) Dimana: ρ = 1000 kg⁄m3 , g = 9,8 m/s2 Harga tersebut di atas adalah perkiraan awal dalam perencanaan kincir. Bilamana lebih banyak data yang tersedia tentang kincir dan data kecepatan angin maka sebaiknya perhitungan dilaksanakan sebagaimana prosedur. III. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah Dengan melakukan pencatatan data-data teknis (data angin) berupa data kecepatan angin per jam, dimana data ini diambil dengan menggunakan alat display anemometer yang berlokasi di bandara Deo Sorong dengan koordinat stasiun 00º 56́ lintang selatan dan 131º 07́ bujur timur. Pengambilan data ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013. Tempat pelaksanaan pengambilan data adalah pada Badan Meteorologi dan Geofisika kota dengan ketinggian alat anemometer 10 m diatas permukaan tanah. Dimana data yang diambil adalah data kecepatan angin tahun 2012 selama setahun.
(10)
t adalah fraksi waktu untuk kecepatan melebihi V, (T >V) durasi kecepatan angin melebihi V, tT = waktu obsevasi total, sehingga didapat nilai (Himran, 2005):
Energi III-93
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Tabel 1 memperlihatkan kecepatan angin rata-rata per bulan selama tahun 2012, dimana kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan September sebesar 4,135 knot dan kecepatan angin terendah terjadi pada bulan November sebesar 3,085 knot, dan kecepatan angin rata-rata dalam setahun adalah 3,699 knot. Tabel 1. Kecepatan angin rata-rata per bulan tahun 2012
.
Bulan Gambar 1. Display alat anemometer, menunjukkan arah dan kecepatan angin satuan knot (Sumber :BMKG kota Sorong)
Januari
Kecepatan rata-rata knot 3,652
Februari
3,388
Maret
3,497
April
3,558
Mei
3,603
Juni
4,039
Juli
4,086
Agustus
4,079
September
4,135
Oktober
4,051
November
3,085
Desember
3,204
Gambar 1. Menara Stasiun Meteorologi klas II Sorong, lokasi bandara DEO Sorong (Sumber : BMKG kota Sorong)
IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN Analisis energi angin pada penelitian di dasarkan atas pengambilan data kecepatan angin selama satu tahun yaitu tahun 2012 yang di keluarkan oleh Stasiun Meteorologi Maritim Sorong, stasiun tersebut terletak pada koordinat : 00⁰ 56’ LS dan 131⁰ 07’ BT,dengan ketinggian anemometer 10 m diatas permukaan tanah, (sesuai dengan standart WMO. Gambar 2 memperlihatkan kurva diurnal kecepatan angin dengan variasi kecepatan angin rata-rata dalam sehari selama setahun, dimana terlihat bahwa kecepatan angin terbesar terjadi pada pukul 05.00 yaitu 6,6721 knot dan kecepatan angin terkecil pada pukul 20.00 yaitu 1,8443 knot.
3,699
Tabel 2 memperlihatkan data distribusi kumulatif Weibull dan distribusi kumulatif observasi, dimana data distribusi kumulatif Weibull diperoleh dari perhitungan frekuensi Weibull, pada kecepatan angin 0 (knot) distribusi kumulatif observasi sebesar 4,7017 % dan distribusi kumulatif Weibull sebesar 0 %, untuk kecepatan angin 20 (knot) distribusi observasi sebesar 100 % dan distribusi kumulatif Weibull sebesar 99,954 %. Tabel 2. Distribusi kumulatif tahun 2012 Kecepatan angin (V)
Kurva Diurnal Kecepatan Angin Tahun 2012 8
7
6.5546 6
6.6721
Kecepatan Angin Rata-Rata (Knot)
Distribusi kumulatif observasi (%)
6.4262
Distribusi kumulatif weibull (%)
0
0
4,701730419
0
1
0,514
22,39298725
14,99454659
2
1,028
44,33060109
33,15494574
3
1,542
56,62568306
49,59660242
4
2,056
66,65528233
63,16386302
5
2,57
76,09289617
73,75711632
6
3,084
84,03916211
81,70744892
7
3,598
89,49225865
87,49187051
8
4,112
93,64754098
91,59353764
6.1913 5.8251
5.6995 5
m/s
knot
5.3251 5.0792
4
4.3743
4.2377
3
3.2131
3.2104 2.6448 2.6803
2
2.2104 2.1339 2.1831 2.0656
2.3798 1.9863 1.9508 2.0273 1.8798 1.8443
1
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Pukul
Gambar 2. Kurva diurnal kecepatan angin dengan variasi kecepatan angin rata-rata dalam sehari selama tahun
Energi III-94
9
4,626
96,26593807
94,43839556
10
5,14
97,97358834
96,37349481
11
5,654
99,02094718
97,66696697
12
6,168
99,43078324
98,51792057
13
6,682
99,70400729
99,06962038
14
7,196
99,85200364
99,42248289
15
7,71
99,87477231
99,64532603
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
16
8,224
99,95446266
99,78438966
17
8,738
99,98861566
99,87019884
18
9,252
99,98861566
99,92258417
19
9,766
99,98861566
99,9542406
20
10,28
100
99,97318529
Gambar 3 memperlihatkan grafik hubungan antara frekuensi jumlah (jam) dengan kecepatan angin (knot), dimana pada frekuensi Weibull kecepatan angin 0 adalah 0 sedangkan pada frekuensi observasi kecepatan angin 0 adalah 413, sehingga terdapat beberapa perbedaan yang cukup besar, dan pada kecepatan angin 20 (knot) terlihat frekuensi weibull dan frekuensi observasi hampir sama.
Gambar 3. Frekuensi kecepatan angin observasi dan Weibull tahun 2012
Gambar 4. memperlihatkan grafik hubungan antara kecepatan (knot), periode durasi total (jam) dan daya/luas (W⁄m2 ) , dimana terlihat bahwa daerah yang diarsir adalah energy angin yang dapat diekstraksi yang dibatasi oleh fraksi waktu pada sumbu mendatar dan daya yang dihasilkan pada sumbu tegak. Fraksi waktu dan daya yang dimaksud berhubungan dengan kecepatan pembatasan. Kecepatan angin pembatas = 2,5893 knot ; = 7,398 knot ; = 11,097 knot dan fraksi waktu = 0,568 (4989,31) jam ; = 0,107 (939,89)jam ; = 0,022 (193,25) jam.
Kurva Daya (W/m²) Kurva Kecepatan (m/s)
(P/A)r = 5.5 W/m²
Vc.o = 5.7 Vr = 3.8 Vc.i = 1.33 tc.o = 2.2
tr = 10.7
tc.i = 56.8
Gambar 4. Kurva durasi kecepatan dan durasi daya
Analisis Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Sumber Energi
Jika diketahui daya P = 202,781 Wh/hari (daya yang tersedia) digunakan motor listrik untuk memompa air selama 8 jam/hari dengan efisiensi motor dan pompa (ƞ) sebesar 0,7. Maka jumlah air yang dapat dihasilkan dengan daya yang tersedia selama 2 jam/hari adalah sebanyak 5214 L⁄hari. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kecepatan angin memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap energi yang dihasilkan, dimana kecepatan angin rata-rata yang diperoleh selama tahun 2012 adalah sebesar 3,699 knot. Dimana kecepatan angin sifatnya tidak ajek, disebabkan oleh perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi (Soeripno,dkk., 2009). Dari kurva durasi kecepatan dan daya per satuan luas dapat di hitung energi listrik yang dapat dihasilkan, adalah sebesar 10,505 kWh/m2. Dari penelitian sebelumnya diperoleh daya sebesar 3,5 kWh/m2/hari dengan kecepatan sebesar 4,5 knot yang terjadi didaerah Nigeria (Adaramola dkk., 2011) Kurva durasi kecepatan dan durasi daya dan energi yang disediakan oleh kincir dalam satu periode yang dibatasi oleh (tc.i,Vc.i); (tr,Vr); (tc.o,Vc.o). berdasarkan hubungan kecepatan, fraksi waktu dan daya per satuan luas (Hangeveld,1978) Dari perencanaan rotor dapat diketahui energi listrik yang dapat dihasilkan adalah sebesar 202,781 Wh/hari dengan diameter rotor sebesar 3 m. Perhitungan untuk menghasilkan energi dilakukan dengan menggunakan parameter Weibull sebagai pendekatan dengan menggunakan metode momen (Himran,2005). Parameterparameter Weibull yang diperlukan sebelum menghitung luas momen adalah parameter k dan c yang diperoleh dari pengolahan data kecepatan angin selama setahun. Dimana pengolahan data sebelum menghitung parameter weibull adalah pengolahan data distribusi waktu, distribusi frekuensi, distribusi kecepatan dan distribusi kumulatif. Dari hasil pengolahan data diperoleh nilah c sebesar 4,004 knot dan k = 1,31 untuk kecepatan angin 1,9 m/s, dimana faktor c dan k sangat di pengaruhi oleh kecepatan angin yang diperoleh. Dari hasil penelitian sebelum nya untuk nilai c = 9,727 knot dan k = 2,94 diperoleh kecepatan rata-rata sebesar 5,44 m/s (Cunha dkk., 2011) Kurva yang dibentuk oleh kecepatan pada sumbu tegak dan jumlah jam dari suatu periode pada sumbu mendatar dinamakan kurva durasi kecepatan. Durasi kecepatan ini bila ditransformasi menjadi durasi daya, durasi daya akan menyatakan jumlah waktu dalam suatu periode di mana daya lebih besar dari daya tertentu (Himran, 2005). Dengan mengambil nilai c = 4,004 knot dan k = 1,31, maka diperoleh kurva durasi kecepatan dan daya per satuan luas untuk wilayah Sorong seperti pada gambar 4, yang dibatasi oleh kecepatan angin pembatas = 2,5893 knot ; = 7,398 knot ; = 11,097 knot dan fraksi waktu = 0,568 (4989,31) jam; = 0,107 (939,89)jam ; = 0,022 (193,25) jam. Penentuan diameter rotor sangat dipengaruhi oleh energy yang dibutuhkan dalam satu periode dibagi dengan energi yang tersedia persatuan luas rotor, dalam satu periode. Berdasarkan hasil pengukuran didapat kecepatan angin ratarata sebesar 1,9 m/s dengan daya maksimum sebesar 547 kWh/m2/tahun digunakan kincir dengan jari-jari sebesar 1,5m, dimana diameter rotor sangat mempengaruhi energi yang dihasilkan. Dari penelitian sebelum nya diperoleh daya
Energi III-95
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi sebesar 1000 kWh/m2/tahun dengan jari-jari rotor sebesar 3,54m yang berlokasi di Nusa Penida (budiastra,dkk., 2009). Jika dari perhitungan potensi angin diperoleh daya (P) sebesar 202,781 Wh/hari (daya yang tersedia) digunakan motor listrik untuk memompa air selama 2 jam/hari dengan efisiensi motor dan pompa (ƞ) sebesar 0,7, maka diperoleh daya pompa sebesar 101,3905 Watt. dengan daya tersebut dapat dihasilkan air sebanyak 5214 L⁄hari. V. KESIMPULAN
untuk dipilih, karena persebaran anginnnya akan sangat sulit untuk diprediksikan. Tempat yang baik dilihat dari topografinya adalah tempat yang berupa dataran yang cukup luas seperti daerah pantai, lautan atau padang rumput dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebgai berikut : 1. kecepatan rata-rata angin tahun 2012 di kota Sorong adalah 3,699 knot dengan kecepatan angin per jam yang paling besar terjadi pada pukul 05.00 WIT (6,6721 knot), kecepatan angin terkecil terjadi pada pukul 20.00 WIT (1,8443 knot). Energi listrik yang dapat dibangkitkan selama tahun 2012 yang berlokasi di kota Sorong adalah sebasar 202,781 Wh/hari dengan diameter rotor yang direncanakan adalah 3 m. 2. Dari pemanfaatan daya listrik untuk menggerakkan pompa air dapat melayani kebutuhan air sebanyak 17 kepala keluaga dengan 1 kepala keluarga terdiri dari 5 orang (kebutuhan air per orang sebesar 60 liter). Dari energi yang dihasilkan tersebut sangat kecil untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik dalam pemenuhan kebutuhan listrik di kota Sorong. 3. Untuk menentukan lokasi pendirian kincir angin adalah topografi dari lahan tersebut. Topografi lahan yang bergelombang seperti perbukitan dan lembah kurang baik
Adaramola M. S.& Oyewola O. M. (2011). Wind Speed Distribution And Characteristics In Nigeria. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences :(82-86).
[2] Archer L. C. & Jacobson Z. M. (2005). Evaluation Of Global Wind Power. Journal Of Geophysical Research, vol. 110 :(1-20) [3]
[4]
[5]
[6]
[7] [8]
Energi III-96
Budiastra I. N., dkk. (2009). Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Energi Alternatif Pembangkit Listrik Di Nusa Penida Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2 :( 263 – 267). Cunha B. A. C. Erick., dkk. (2011). Evaluation of the Wind Energy Potential of a Mountainous Region in the Ceará State, Brazil. International Transaction Journal of Engineering, Management, & Applied Sciences & Technologies Volume 3 No.1. eISSN: 1906-9642. Habibie N. M., Sasmito A. & Kurniawan R. (2011). Kajian Potensi Energi Angin di Wilayah Sulawesi dan Maluku. Jurnal Metrologi dan Geofisika Volume 12 Nomor 2 :(181-187). Himran, Syukri. (1995). Analisis Pemanfaatan Energi Angin, Hi-Tech. Majalah Ilmiah Teknologi, Universitas Hasanuddin, Edisi 01/Tahun I Ujung pandang :(47-53). Himran, Syukri. (2005). Energi Angin. Makassar. CV. Bintang Lamumpatue. Hunt Gary L. (2009). Wind Resources, Technologies, And Energy Production. Journal Maine Offshore Wind Energy :(1-30).
.
Prosiding Seminar Nassional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Kajian Diameter Pipa Hisap Sistem Pompa Paralel Made Suarda
Anak Agung Adhi Suryawan
Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali, Indonesia
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali, Indonesia
[email protected]
Abstrak—Unjuk kerja pompa sangat dipengaruhi oleh sistem perpipaannya, karena perpipaan merupakan salah satu bagian utama sistem pomp disamping pompa dan panel kontrol pompa. Jika sistem perpipaannya kurang tepat, akan dapat menyebabkan unjuk kerja pompa tidak sesuai dengan performansi spesifikasi teknisnya. Terutama pada sistem pompa tersusun paralel seringkali titik kerja pompa menyimpang jauh dari best efficiency point-nya. Kehilangan energi atau head lossess pada sistem perpipaan pompa merupakan fungsi kuadrat dari kecepatan fluida yang mengalir. Sesuai dengan persamaan Bernaulli kecepatan aliran dipengaruhi oleh luas penampang pipa, dan luas penampang pipa merupakan fungsi dari kuadrat diameter pipa. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan diameter optimal pipa hisap pompa tersusun paralel yang dapat memberikan unjuk kerja pompa pada efisiensi terbaiknya. Pada penelitian ini dibuat sebuah model pompa paralel yang terdiri dari tiga unit pompa yang diuji pada variasi diameter pipa hisap mulai ½, ¾” dan 1 inchi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter pipa hisap dengan kecepatan aliran 0,6 sampai dengan 1 meter/detik merupakan diameter yang optimal. Daria acuan kecepatan tersebut maka diameter pipa hisap dapat ditentukan dengan suatu formula yang merupakan fungsi dari akar kuadrat debit masing-masing unit pompa pada sistem paralel tersebut. Kata Kunci— pompa paralel, pipa header, diameter pipa hisap, unjuk kerja pompa
PENDAHULUAN Sistem pompa terdiri dari unit pompa, sistem perpipaan dan panel kontrol yang merupakan satu kesatuan dalam sistem. Oleh karena itu unjuk kerja pompa merupakan titik kerja pertemuan antara kurve performansi pompa dan kurve instalasi sistem perpipaannya. Sehingga desain sistem perpipaan mempunyai efek sangat penting dalam operasi pompa sentrifugal. Sistem pompa tersebut akan beroperasi dengan performansi yang optimal jika ketiga komponen sistem pompa tersebut direncanakan dengan baik dan benar. Namun dalam aplikasinya, sering kali sistem perpipaan pompa tidak direncanakan dengan baik sehingga sistem pompa tersebut tidak beroperasi pada titik kerja terbaiknya (best efficiency point). Pada umumnya, dalam aplikasinya seperti untuk industri, hotel, dan yang lainnya, dua atau lebih unit pompa dioperasikan secara paralel untuk mendapatkan debit aliran fluida yang lebih besar. Namun dalam kenyataannya sering kali terjadi permasalahan dimana sejumlah pompa yang dioperasikan paralel unjuk kerjanya jauh menyimpang dari yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sebuah bangunan, terdapat sistem pompa yang terdiri dari tiga unit pompa yang dioperasikan secara paralel yang digunakan untuk mendistribusikan air dari reservoir menuju area pelayanannya. Kapasitas dari masingmasing pompa yang telah terpasang adalah sebesar 15 liter per detik sehingga secara teoritis kapasitas dari tiga buah pompa paralel tersebut adalah 45 liter per detik, namun dari data di lapangan kapasitas air yang dihasilkan hanya 18 liter per detik. Jadi terjadi penyimpangan unjuk kerja yang sangat besar. Jika hal tersebut terjadi, sering kali yang dipermasalahkan adalah unit pompanya, dan sistem perpipaannya kurang diperhatikan. Dalam sistem perpipan pompa paralel diameter pipa header, pipa hisap dan pipa tekan sangat mempengaruhi karakteristik aliran, karena diameter pipa akan mempengaruhi kecepatan aliran fluida di dalam pipa. Dimensi pipa yang kurang tepat dapat menyebabkan head loss yang besar. Mengingat pada pipa header terjadi pertemuan aliran sejumlah pompa yang tersusun paralel, maka kecepatan aliran yang tinggi akan dapat menimbulkan arus pusar dan shock losses yang akhirnya menghalangi laju aliran fluida di dalam pompa. Oleh sebab itu desain dan dimensi pipa hisap harus direncanakan dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan acuan dalam menentukan diameter pipa hisap untuk pompa paralel yang dapat memberikan unjuk kerja pompa yang baik dan tidak menimbulkan penyimpangan yang besar. KAJIAN PUSTAKA Sistem Perpipaan Pada Pompa Sistem perpipaan merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem pompa [1], seperti pada Gambar 1. Perpipaan pada sistem pompa mempengaruhi unjuk kerja dan life time pompa karena baik sistem pipa hisap dan tekan terhubung langsung pada pompa tersebut.
Gambar 1. Sistem pompa
Kebanyakan permasalahan pada pompa adalah disebabkan karena ketidak sesuaian pada pipa hisapnya [2]. Oleh sebab itu desain sistem pipa hisap jauh lebih penting dari pipa tekan, karena pemilihan pipa tekan utamanya lebih pada masalah
Energi III-97
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
ekonomi atau biaya [3]. Pompa haarus diletakkan sedekat mungkin dari tangki atau pipa headernya. Namun, pompa harus cukup jauh sehingga pipa hisap dapat mensuplai fluida dengan baik ke pompa, yaitu paling sedikit sepuluh kali diameter pipanya (10D). Pipa hisap harus pendek dan selurus mungkin [4]. Kecepatan aliran pada pipa hisap harus diantara 1,5 sampai dengan 2,5 meter/detik. Kecepatan yang lebih tinggi akan meningkatkan kerugian energi dan dapat menimbulkan gangguan udara atau separasi uap. Hal ini diperparah jika belokan atau tee diletakkan langsung di mulut hisap pompa. Idealnya pipa lurus dengan panjang lima kali diameternya (5D) harus dipasang sebelum aksesories pipa seperti katup atau belokan [2]. Pipa hisap harus dipasang benar-benar datar, atau miring ke atas dari bak atau header ke pompa. Hindarkan adanya titik tertinggi dimana udara terperangkap yang dapat menimbulkan pompa kehilangan dayanya. Lebih tepat memasang pengecilan (reducer) eksentrik dari pada konsentrik pada pipa hisap pompa, dimana bagian datarnya menghadap ke atas. Tidak ada belokan (elbow) pada inlet hisap [5]. Tidak pernah diterima meletakkan belokkan pada mulut hisap pompa, karena akan mengakibatkan aliran yang tidak seragam masuk ke impeller pompa. Hal ini akan menyebabkan aliran turbulen dan udara masuk impeller yang mengakibatkan impeller rusak dan menimbulkan getaran. Ukuran minimum pipa hisap dapat ditentukan dengan membandingkan TDSL (total dynamic suction lift) dari pompa (dari kurve performansi pompa) dengan TDSL yang dihitung pada sistem hisap pompa [6]. Terdapat tiga kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran pipa hisap pompa. Pertama, kecepatan aliran fluida pada pipa hisap pompa harus lebih rendah dari 7 ft/detik. Kedua, ukuran pipa hisap harus minimal satu atau dua tingkat ukuran lebih besar dari ukuran mulut hisap pompa. Ketiga, dalam prakteknya, ukuran pipa hisap pompa harus cukup besar untuk meminimalkan kehilangan energi gesekan. Menurut Dornaus dan Heald [7] dalam pipa header hisap, kecepatan aliran fluida antara 0,6 ~ 0,9 meter/detik, dan cabang keluarannya lebih baik membentuk sudut 30 sampai 45 terhadap pipa utama header dari pada sudut 90, serta kecepatan alirannya maksimum pada pipa hisap adalah 1,5 meter/detik. Setiap percabangan pada pipa header harus diperkecil sampai ukuran tertentu sehingga kecepatannya konstan.
Kapasitas Pompa Kapasitas pompa dapat diukur dengan mengukur volume fluida yang dialirkan oleh pompa dalam satu satuan waktu [9].
Kontinyuitas Aliran dari kebanyakan fluida dapat dijelaskan secara matematis dengan menggunakan persamaan kontinyuitas dan momentum. Sesuai dengan persamaan kontinuitas, jumlah fluida yang mengalir masuk ke dalam volume tertentu akan keluar dengan jumlah yang sama atau konstan, dan debit aliran pada suatu bidang merupakan hasil kali dari kecepatan fluida dengan luas penampang bidang tersebut [8].
Minor Losses Minor losses terjadi pada titik dimana terjadi perubahan momentum [11], terutama terjadi pada belokan, pengecilan, percabangan, katup, dan aksesories perpipaan lainnya. Minor losses dapat dinyatakan secara umum dengan persamaan, yaitu:
Q =V.A
Qp
(2)
Dimana Qp adalah kapasitas pompa (m3/det), V adalah volume fluida (m3), t adalah waktu (detik). Head Pompa Head adalah energi spesifik yang dapat dinyatakan dalam tinggi kolom fluida atau tekanan. Berdasarkan persamaan energi per satuan berat fluida maka head pompa dapat ditulis: H p ( zd z s ) (
pd ps v2 v2 ) ( d s ) H L (3) 2g
Dimana Hp adalah head pompa (m), zs adalah head statis elevasi isap/suction pompa (m), zd adalah head statis elevasi buang/discharge pompa (m), ps adalah head statis tekanan isap/suction pompa (N/m2), pd adalah head statis tekanan buang/discharge pompa (N/m2), vs adalah head dinamis kecepatan fluida pada ujung isap/suction pompa (m/det), vd adalah head dinamis kecepatan fluida pada ujung buang/discharge pompa (m/det), HL adalah head losses total instalasi perpipaan sistem pompa (m). Head Losses Kerugian energi atau head yang terjadi pada instalasi pompa terdiri atas head kerugian gesek di dalam pipa dan head kerugian di dalam asesories perpipaan seperti belokanbelokan, reducer/diffuser, katup-katup dan sebagainya [10]. Major Losses Mayor losses adalah kerugian gesekan antara fluida dan permukaan dalam pipa dapat dipakai persamaan berikut, yaitu:
H LMi f
L v2 D 2g
(4)
Dimana HLMa adalah head kerugian gesek dalam pipa (m), ƒ adalah koefisien kerugian gesek, g adalah percepatan gravitasi (m/dt2), v adalah kecepatan aliran fluida (m/dt), L adalah panjang pipa (m), D adalah diameter dalam pipa (m).
H LMi K
(1)
Dimana Q adalah debit fluida (m3/dt), V adalah kecepatan fluida (m/dt), A adalah luas penampang bidang (m2).
V t
v2 2g
(5)
Dimana HLMi adalah head kerugian gesek dalam pipa (m), K adalah koefisien kerugian aksesories pipa (m) .
Energi III-98
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Daya Daya output pompa (Water Horse Power) adalah daya efektif yang merupakan fungsi dari kapasitas dan head pompa, yang dihitung berdasarkan persamaan: =
(6)
Dimana WHP adalah daya air pompa (Watt), adalah berat jenis air (N/m3). Daya poros adalah daya yang masuk pada poros pompa yang diberikan oleh mesin penggerak mula (prime-mover). =
=
METODE PENELITIAN Sebuah model tiga unit pompa sentrifugal (UPS 15-50 130), yang mempunyai mulut hisap dan tekan pompa berdiameter ¾ inchi, disusun parallel dibuat yang dilengkapi dengan sistem perpipaan termasuk pipa header dan panel, seperti skema pada Gambar 4 dan 5. Pipa header menggunakan percabangan Tee-45 (Tee-Y) dengan diameter pipa header 2 inchi, seperti pada Gambar 6, kemudian pipa hisap dan tekan pompa divariasikan dengan diameter ½, ¾, dan 1 inchi.
(7)
Dimana op = Efisiensi total pompa (%). Pompa membutuhkan daya listrik untuk menggerakkan motor listrik pompa. Daya motor listrik satu fasa: = . .
.
(8)
Dimana Pmot adalah daya motor listrik (Watt), V adalah tegangan listrik (Volt), I adalah arus listrik (Amphere), cos adalah sudut faktor daya, mot adalah efisiensi motor (%). Sistem Pompa Paralel Dua atau lebih pompa disusun paralel bertujuan untuk mendapatkan kapasitas pompa yang lebih besar, dan untuk mengatasi perubahan/fluktuasi kebutuhan debit aliran.
R1
R1 Gambar 2. Tiga unit pompa paralel
Pipa Header
K1
Gambar 4. Skema sistem tiga unit pompa tersusun paralel
K1
Dari tiga unit pompa yang sama dioperasikan secara paralel diharapkan dapat memberikan debit aliran tiga kali debit masing-masing pompanya. Namun kenyataannya terjadi pergeseran titik kerja pompa karena pengaruh sistem instalasi perpipaan pompa (R), seperti pada Gambar 3. Titikkerja
R
Gambar 5. Rangkaian pompa paralel
Gambar 3. Titik kerja pompa paralel
Adapun prosedur pengujian adalah ketiga unit pompa dioperasikan secara paralel, kemudian diukur dan dicatat datadata seperti waktu yang diperlukan untuk mengalirkan volume
Energi III-99
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
air 10 liter, tegangan dan arus listrik yang bekerja pada pompa. Selanjutnya data tersebut diolah guna mendapatkan parameter pompa seperti debit pompa (Qp) dari Pers. (1), head pompa (Hp) dari Pers. (3) dan kerugian energi dari Pers. (4) dan (5), daya listrik (Pmot), daya air (WHP) dan efisiensi overall pompa (oa) dari Pers. (8), (6) dan (7).
D=1/2"
Dh op = (Dh op_P1 - Dh op_P123)
D=3/4"
D=1"
D=1/2"
D=3/4"
D=1"
0.94
9.59
10.36
10.34
3.74
8.65
8.91
1.497
14.65
15.37
15.75
6.72
13.48
11.36
2.052
17.84
20.21
19.19
8.78
15.42
15.72
2.598
20.50
22.88
22.14
8.55
17.06
16.90
6.95
13.65
13.22
Tabel 2. Kecepatan air pada pipa hisap
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengolahan data hasil pengujian yang telah dilakukan maka dapat dipresentasikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 6 dan Gambar 7. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin besar diameter pipa hisap semakin besar debit aliran yang dihasilkan pompa. Hal ini disebabkan karena semakin besar diameter pipa, sesuai dengan persamaan kontinyuitas, maka semakin kecil kecepatan aliran yang terjadi. Ini berarti head losses yang terjadi akan semakin kecil. 0.850 0.800 0.750 0.700
Qp (Ltr/dt)
hop (%)
Zd (m)
0.650
v s (m/det)
Zd (m)
D=1/2"
D=3/4"
D=1"
0.94
1.904
0.94
0.52
1.497
1.728
0.84
0.47
2.052
1.510
0.74
0.42
2.598
1.327
0.66
0.37
Dengan memperhatikan penyimpangan efisiensi pada Tabel 1 dan kecepatan aliran pada Tabel 2, maka diameter pipa hisap yang paling optimal adalah diameter pipa hisap ¾ inchi dimana kecepatan alirannya sekitar 0,6 sampai dengan 0,9 meter/detik. Hasil ini sejalan dengan yang disarankan oleh Dornaus dan Heald. Sehingga diameter pipa hisap dapat ditentukan dengan formula:
0.600
= (0,87~1)
0.550 0.500
…………………...
Dimana DH diameter pipa hisap (m), Dp debit paralel (m3/det).
0.450 0.400 0.94
1.497
2.052 D=3/4"
pompa
2.598
KESIMPULAN
Zd (meter) D=1/2"
total
(9)
D=1"
Dari hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa diameter pipa hisap yang optimal adalah pada kecepatan aliran 0,6 sampai dengan 0,9 meter/detik, dan dapat ditentukan dengan suatu formula, yaitu 0,87 sampai dengan 1 dikalikan akar kuadrat debit aliran total sistem pompa paralelnya.
Gambar 6. Debit pompa pada variasi diameter pipa hisap 24.00 22.00 20.00
p (%)
18.00
UCAPAN TERIMA KASIH
16.00 14.00
Paper ini diseminarkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Udayana yang ke-52.
12.00 10.00
REFERENSI
8.00 0.94
1.497
2.052
2.598
[1]
Z (meter) D=1/2"
D=3/4"
D=1"
[2]
Gambar 7. Efisiensi pompa pada variasi diameter pipa hisap
Karena head loss yang terjadi semakin kecil maka daya penggerak pompa yang dibutuhkan juga akan semakin kecil, sehingga semakin besar diameter pipa hisap efisiensi pompa semakin besar. Namun perlu dipertimbangkan bahwa jika diameter pipa hisap semakin besar maka biaya yang dibutuhkan juga semakin besar. Untuk itu perlu dipilih diameter pipa header dimana efisiensinya tinggi namun tidak mengakibatkan penyimpangan efisiensi yang besar antara efisiensi pompa tunggalnya dan efisiensi pompa paralelnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyimpangan efisiensi antara pompa tunggal dan paralel
[3] [4]
[5]
[6]
Bacus L., and Custodio A., Know and Understand Centrifugal Pumps,Elsivier Ltd., UK, 2003. Evans F., Rules To Follow To Avoid Pump Problems, 2014. Tersedia pada: http://www.kelairpumps.com.au/images/stories/PDF/PumpClin ic/PumpClinic33.pdf Kelair Pump, Suction System Design. Kelair Pump, 21 April 2009. Randall, W.W., Practical Consideration in Pump Suction Arrangements, 2008. Tersedia pada: http://www.PDHcenter.com Nelson, W.E., and Dufour, J.W., How to Avoid Building Problems Into Pumping Systems, Proceeding of The Eleventh International Pump Users Symposium, pp. 125-136. Gulik, T.V.D., Centrifugal Pump Selection and Installation, Irrigation Fact Sheet, September 2008.
Energi III-100
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
[7]
[8] [9]
Dornaus, W.L., and Heald, C.C., Intakes, Suction Piping, and Strainers, in:Karassik, at.all, Pump Handbook (3rd edition), McGraw-Hill, New York, 2001, pp. 10.1-10.55 Streeter, V. L., Wylie, E. B., Fluids Mechanics, McGraw-Hill, New York, 1981. Sularso dan Tahara, H., Pompa Dan Kompresor, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
[10] Costa, N.P., Maia, R., Proenca, M.F., and Pinho, F.T., Edge Effect on the Flow Characteristics in a 90 degree Tee Junction, Journal of Fluid Engineering, Transactions of ASME, Vol. 128, Nopember 2006, pp. 1204-1217. [11] Vasava, P.R., Fluid Flow in T-Junction of Pipes, Thesis: Lappeenrata University of Techology, 2007.
Energi III-101
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Variasi Temperatur Tuang Terhadap Kekuatan Bending Pada Pengecoran Limbah Aluminium Bahtiar Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia
[email protected]
Muhammad Iqbal Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia
[email protected]
Abstrak : Penelitian terhadap pengecoran limbah aluminium (aluminium sekrap) dilakukan dengan memvariasikan temperatur tuang untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kekuatan bending. Aluminium sekrap yang digunakan adalah velg kendaraan bermotor roda empat, roda dua dan limbah profil aluminium. Variasi temperatur tuang yang digunakan adalah 700C, 750C dan 800C. Produk pengecoran yang dihasilkan dibagi menjadi beberapa bagian dan dibentuk menjadi spesimen pengujian bending yang sesuai dengan standar ASTM E 290-09. Hasil pengujian bending pada spesimen temperatur tuang 700C yaitu 168,2 MPa. Peningkatan temperatur tuang menjadi 750C dan 800C menurunkan nilai kekuatan bending sebesar 8 % dan 10,8 % dibandingkan dengan temperatur tuang 700C. Pengamatan struktur mikro menunjukkan bahwa peningkatan temperatur tuang menyebabkan struktur butir yang dihasilkan semakin besar dan hal ini mempengaruhi menurunnya nilai kekuatan bending.
yang tidak diharapkan misalnya material yang bertindak sebagai impuritis. Hasil pengecoran harus diuji kembali mengetahui perubahan sifat fisis maupun mekanis yang terjadi. Pengujian yang dilakukan dapat berupa pengujian tarik, impak, kekerasan, bending dan pengamatan struktur mikro. Hasil pengujian ini dijadikan acuan untuk menentukan aplikasi yang dapat dibuat dari hasil pengecoran tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pengecoran gravitasi sebagai metode daur ulang dan memanfaatkan aluminium sekrap velg kendaraan bermotor roda empat, roda dua dan limbah profil aluminium. Variabel yang digunakan adalah temperatur tuang 700C, 750C dan 800C. Produk pengecoran yang dihasilkan dibagi menjadi beberapa bagian dan dibentuk menjadi spesimen pengujian bending yang sesuai dengan standar ASTM E 290-09.
I. PENDAHULUAN Pemanfaatan material aluminium untuk keperluan sehari-hari semakin meningkat baik dari segi otomotif hingga peralatan rumah tangga. Efek negatif yang ditimbulkan adalah meningkatnya limbah aluminium yang harus ditangani dengan tepat agar tidak mencemari lingkungan. Aluminium merupakan material nonferro yang dapat didaur ulang agar dapat digunakan kembali. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendaur ulang aluminium sekrap adalah metode pengecoran. Metode pengecoran merupakan proses manufaktur yang dilakukan dengan cara mencairkan limbah aluminium kemudian menuangkannya ke dalam cetakan yang telah dibentuk sesuai bentuk yang diinginkan hingga membeku. Proses daur ulang limbah aluminium menyebabkan perubahan sifat fisis dan sifat mekanis dari aluminium. Perubahan ini diakibatkan oleh faktor metode yang digunakan maupun faktor luar. Perubahan yang terjadi akibat faktor metode yang digunakan misalnya peleburan ulang, temperatur, waktu tahan aluminium cair, komposisi kimia, bentuk dan material cetakan yang digunakan. Faktor luar yang mempengaruhi adalah penambahan material lain
Ainun Najib Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako Palu, Indonesia @yahoo.com
II. TINJAUAN PUSTAKA Peleburan ulang (Remelting) Penelitian tentang pengaruh peleburan ulang aluminium telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai jenis aluminium. Purwanto dan Mulyonorejo (2010) melakukan penelitian terhadap aluminium dengan melakukan proses pengecoran ulang sebanyak tiga kali dan menyimpulkan bahwa peleburan ulang menurunkan kekuatan tarik, regangan dan nilai kekerasan produk cor. Purnomo (2004) meneliti aluminium 320 yang dilebur ulang sebanyak tiga kali menyimpulkan bahwa peleburan ulang menurunkan kekuaatan tarik dan impak produk cor. Temperatur Tuang Temperatur tuang merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis produk cor yang dihasilkan. Peningkatan temperatur tuang pada pengecoran Al-17%Mg akan meningkatkan kandungan komposisi kimia Al dan menurunkan kandungan Mg (Siswanto, 2010).
Energi III-102
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi Temperatur tuang yang rendah mengakibatkan waktu pembekuan menjadi pendek sehingga dapat menimbulkan cacat mikroporositas. Temperatur tuang yang tinggi menyebabkan peningkatan jumlah pororsitas gas hidrogen dalam produk cor.
empat, kendaraan bermotor roda dua dan aluminium profil seperti pada gambar 3.
Pembekuan Logam Pembekuan coran seperti ditunjukkan pada gambar 1, dimulai dari bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan yaitu ketika panas dari logam cair diambil oleh cetakan sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan mendingin sampai titik beku (chill or small equiaxed), di mana kemudian inti-inti kristal tumbuh. Bagian dalam dari coran mendingin lebih lambat daripada bagian luar, sehingga kristal-kristal tumbuh dari inti asal mengarah ke bagian dalam coran dan butir-butir kristal tersebut berbentuk panjang-panjang seperti kolom, yang disebut struktur kolom (Columnar). Bagian tengah produk cor adalah bagian yang paling lambat membeku, sehingga terbentuk struktur butir acak (equiaxed),(Surdia, 2000). Gambar 3. Limbah Aluminium a) Velg kendaraan bermotor roda empat b) Velg kendaraan bermotor roda dua c) aluminium profil
Peleburan material dilakukan dengan menggunakan tungku peleburan fleksibel (bahtiar,2013). Temperatur tuang logam cair divariasikan 700C, 750C dan 800C. temperatur cetakan yang digunakan adalah 250C seperti pada gambar 4.
Gambar 1. Struktur butir pembekuan logam (bower dan Flemings (1967)
Kekuatan Bending Pengujian bending dilakukan untuk mengetahui kekuatan material tehadap pembebanan serta mampu bentuk material tersebut. Standar pengujian bending yang digunakan adalah ASTM E 290-90 dengan bentuk dan ukuran spesimen seperti gambar 2.
a)
Gambar 2. Spesimen pengujian bending (ASTM E 290-90.)
III. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Peralatan Bahan penelitian yang digunakan adalah limbah aluminium yang terdiri dari velg kendaraan bermotor roda
Energi III-103
b) Gambar 4. a) Tungku peleburan Fleksibel b) Cetakan logam
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi Produk hasil pengecoran dipotong dengan ukuran panjang 126 mm, lebar 15 mm dan tebal 10 mm menggunakan mesin gergaji, setelah proses selesai benda yang sudah dibentuk tersebut diratakan dengan mesin frais. Pembentukan spesimen pengujian bending disesuaikan dengan standar ASTM E 290-09. Gambar 5.
a)
Perbandingan antara baris pertama hingga baris ketujuh ketiga variasi temperatur penuangan menunjukan tren parabolik, terlihat pada Gambar 6. dimana mengalami peningkatan kekuatan bending di awali di daerah baris pertama (Bagian atas), kemudian akan menurun kekuatan bendingnya di daerah tengah, dan kembali mengalami peningkatan nilai kekuatan bending maksimum berada di daerah baris ketujuh (bagian bawah). Nilai kekuatan bending pada segmen baris pertama untuk setiap temperatur dipengaruhi oleh kondisi pembekuan yang dipengaruhi oleh tiga sisi cetakan yaitu sisi atas dan sisi samping kiri dan kanan. Kondisi ini akan mempengaruhi struktur butir yang terbentuk menjadi lebih halus. Penurunan nilai kekuatan bending dari segmen baris kedua hingga keempat dipengaruhi oleh pembekuan yang semakin lambat dibanding segmen baris pertama. Hal ini menyebabkan struktur butir akan semakin membesar. Peningkatan nilai kekuatan bending pada segmen baris kelima hingga ketujuh disebabkan oleh tekanan gaya grafitasi dari logam cair yang mengarah kebawah sehingga struktur butir menjadi lebih padat. Kekuatan Bending Rata-rata
b) Gambar 4. a) Produk hasil Pengecoran b) Ilustrasi pembagian segmen pada produk cor untuk pembuatan spesimen pengujian bending. Pembagian segmen pada produk cor dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan bending setiap segmen mulai dari atas (saluran 4) hingga (saluran 3). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kekuatan Bending Setiap Segmen Baris
Gambar 6. Grafik nilai kekuatan bending setiap segmen baris spesimen
Energi III-104
Gambar 7. Grafik nilai kekuatan bending setiap temperatur
Gambar 7. menunjukkan bahwa temperatur 700°C memiliki kekuatan bending paling tinggi disusul pada temperatur 750°C dan pada temperatur 800°C memiliki kekuatan bending yang paling rendah. Hal ini disebabkan pada temperatur 700°C berdekatan dengan titik bekunya aluminium yaitu di bawah temperatur 660C, sehingga memiliki laju pembekuan yang paling cepat sedangkan semakin meningkatnya temperatur penuangan maka nilai kekuatan bendingnya akan mengalami penurunan, disebabkan temperatur 800C memiliki laju pembekuan yang paling lambat. Peningkatan temperatur tuang akan memberikan rentang waktu pembekuan semakin besar sehingga butir akan memiliki waktu yang cukup untuk berkembang semakin besar. Struktur butir yang besar akan menurunkan nilai kekuatan bending. Nurhadi (2010), mengatakan Seiring dengan meningkatnya temperatur penuangan menyebabkan porositas semakin meningkat, di mana pada temperatur 700C menghasilkan porositas yang paling rendah disetiap kelompok paduan. Hakim (2011), mengatakan variasi
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi temperatur penuangan akan mempengaruhi pembekuan coran aluminium, cacat porositas akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur penuangan. Nilai ketangguhan dan kekerasan akan mengalami penurunan, karena banyaknya gas hidrogen yang terjebak di dalam coran aluminium. Struktur Mikro Produk Cor Seiring meningkatnya temperatur penuangan menyebabkan struktur butir yang dihasilkan semakin besar dan jarak antara batas butir semakin renggang, maka mempengaruhi kekuatan bending yang terjadi semakin rendah. Terlihat bahwa temperatur 700oC terbentuk struktur butir yang memanjang, halus dan ikatan batas antara butirannya juga terlihat rapat. Untuk temperatur 750 oC, struktur butir yang acak berbentuk memanjang dan bulat serta ikatan batas butir yang agak renggang. Sedangkan untuk temperatur 800oC terlihat struktur butir yang besar, bentuknya yang bulat serta ikatan batas butir yang lebih renggang. a
b
c
mempunyai waktu yan cukup untuk tumbuh semakin besar seperti yang terlihat pada gambar 7. DAFTAR PUSTAKA [1] Bowers, T.F., Flemings, M.C. Formation of the chill zone in ingot solidification, Trans. Metallurgical Society AIME 239. 1967. [2] Purwanto dan Mulyonorejo, Pengaruh Pengecoran Ulang Terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasan Pada Aluminium Cor Dengan Cetakan Pasir, Proceeding Seminar Nasional Unimus, Semarang. 2010. [3] Purnomo, Pengaruh Pengecoran Ulang terhadap Sifat Mekanis pada Paduan Aluminium, Jurnal Teknik Mesin Universitas Gunadarma, Jakarta. 2004 [4] Siswanto, R., Pengaruh Temperatur dan Waktu Peleburan Pengecoran Tuang Terhadap Struktur Mikro Paduan Al21%mg, Media Sains Volume 3, 2011). [5] Bahtiar dan Iqbal, M., Rancang Bangun Tungku Peleburan Fleksibel pada pengecoran Aluminium Sekrap untuk Industri Kecil, Proeeding Seminar Nasional Teknologi Industri I, Akademi Teknik Industri Makassar. 2013. [6] Nurhadi, Studi Karakteristik Material Piston Dan Pengembangan Prototipe Piston Berbasis Limbah Piston Bekas, Tesis, Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang. 2010. [7] Hakim H.A., “Pengaruh Temperatur Penuangan Terhadap Sifat Ketangguhan Impak (Impact Toughness) Dan Kekerasan (Hardness) Aluminium Sekrap Yang Ditambah Silikon 5%”, Skripsi, Departemen Teknik Mesin, USU Medan. 2011.
.
Gambar 8. Struktur mikro ketiga variasi temperatur tuang (a) Temperatur 700⁰C pembesaran 50x, (b) temperatur 750⁰C pembesaran 50x dan (c) temperatur 800⁰C pembesaran 50x
Gambar 8. Menunjukkan perbedaan ukuran butir yang diakibatkan oleh variasi temperatur tuang. V. KESIMPULAN
1. Semakin tinggi temperatur penuangannya menyebabkan kekuatan bendingnya akan semakin rendah. Terlihat bahwa temperatur 700˚C memiliki nilai kekuatan bending paling tinggi sebesar 168,20 MPa, diikuti temperatur 750˚C dengan nilai kekuatan bendingnya sebesar 154,74 MPa atau mengalami penurunan sebesar 8 %, sedangkan temperatur 800˚C memiliki nilai kekuatan bending terendah yaitu 150,02 MPa atau mengalami penurunan dari temperatur 700˚C sebesar 10,8 %. 2. Struktur mikro butir yang terbentuk pada hasil pengecoran semakin besar seiring dengan meningkatnya temperatur tuang. Hal ini disebabkan temperatur tuang yang tinggi akan memperlebar rentang waktu pembekuan sehingga butir
Energi III-105
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Studi Pemanfaatan Cangkang Dan Serabut Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Ketel Uap Di PT. Kencana Group Peter Sahupala
Yusuf Siahaya
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Musamus Merauke, Indonesia
[email protected]
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia Email: -
Abstract— The purpose of this study is to determine the energy balance and the performance of boilers using oil palm shell and fiber as fuel. The research was conducted at PT. Kencana Group, which is located in Paser district, Tanah Grogot — East Kalimantan. The research used data of fuel analysis, fuel combustion, and boiler specification data. The preliminary analysis was conducted by calculating the need of air combustion. The data were then analysed by using the BTU method. The next step was the analysis of the energy balance and boiler performance. The results reveal that combustion process with a stoker requires two sources of air intake: primary air that is used at the beginning of the process (the amount: 43594.91 kg/h or 69.95%) and secondary air that helps in achieving perfect combustion (the amount: 18727.24 or 30.05%). The input power is 99.953 x 106 Btu/h (29.29 MW), and the output power is 83.038 x 106 Btu/h (24.33 MW). There is heat loss of 16.293% (4.96 MW). The amount of heat absorption is 3.5099 X 107 Btu/h (42%) or 17.951 MW in the evaporator, 1.296 x 10 7 Btu/h (16%) or 3.798 MW in the super heater, 8.824 x 106 Btu/h (11%) or 2.59 MW in the economizer, and 2.615 X 107 Btu/h (31%) or 7.67 MW in the air heater, which results in boiler efficiency of 83.077%. Keywords: oil palm shell and fiber, boilers, BTU method
I. PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis Gueneensis Jacq) merupakan salah satu komiditi terbesar di beberapa daerah indonesia, terutama di pulau Kalimantan. Dengan adanya perkebunan kelapa sawit ini, mengharuskan dibangunnya pabrik-pabrik kelapa sawit di daerah yang berdekatan dengan perkebunan. Dengan adanya pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut akan menyebabkan limbah yang dihasilkan dari proses produksi yang dijalankan, baik itu limbah cair maupun limbah padat. Pada dasarnya semua limbah pada pabrik kelapa sawit (PKS) dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam PKS tersebut yaitu sebagai bahan bakar ketel uap untuk memasok kebutuhan uap panas guna pembangkit listrik disamping itu juga untuk proses perebusan kelapa sawit. Salah
satu potensi energi yang dapat diperbaharui adalah energi biomassa limbah kelapa sawit, selain penghasil minyak nabati, limbah kelapa sawit padat dapat dipergunakan sebagai energi alternatif pengganti batubara dan minyak bumi yang biasanya digunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ketel Uap merupakan peralatan utama pada industri pengolahan minyak sawit dan turunannya. Pabrik-pabrik kelapa sawit memakai uap dari ketel uap untuk merebus tandan buah segar (TBS) yang baru saja dipanen. Tujuan dari perebusan ini adalah memudahkan pemipilan brondolan dari tandannya, menghentikan perkembangan asam lemak bebas (free fatty acid), dan akan menyebabkan TBS melunak sehingga proses ekstraksi minyak menjadi lebih mudah. Ketel uap merupakan salah satu penentu kualitas minyak kelapa sawit [1]. Ia hampir menjadi sentra dalam berbagai tingkatan proses ekstraksi buah kelapa sawit (tandan buah segar) menjadi CPO dan produk turunannya. Adapun komposisi bahan bakar cangkang dan serabut yang digunakan adalah cangkang 30% dan serabut 70% dari total bahan bakar yang digunakan sebesar 8475,5 kg/jam. Dengan penggunaan cangkang 30% harus diperhatikan agar tidak berlebihan karena nilai kalor cangkang yang relatif tinggi dapat mengakibatkan kelebihan tekanan pada ketel [2]. Terdapat dua ketel uap di pabrik kelapa sawit milik PT. Kencana Group yang berlokasi di Kabupaten Paser, Tanah Grogot, Balikpapan – Kalimantan Timur. Penggunaan kadar bahan bakar disesuaikan dengan tekanan uap yang dibutuhkan. Adapun tujuan yang dicapai pada penelitian ini yaitu mengetahui keseimbangan energi dan prestasi kerja dari ketel uap. II. LANDASAN TEORI A. Konstruksi Ketel Uap Konstruksi ketel uap yang digunakan pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Kencana Group adalah jenis ketel uap pipapipa air dengan bahan bakar utama yaitu cangkang dan serabut kelapa sawit. Proses pembentukan uap pada instalasi ketel uap yaitu mula-mula air yang telah mengalami perlakuan di water treatment plant dan memenuhi syarat untuk digunakan pada ketel uap dipompa masuk ke deaerator, untuk memisahkan oksigen dan gas-gas larutan lainnya untuk mengurangi efek
Energi III-106
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
korosif dari gas-gas larutan tersebut. Dari deaerator dengan pompa air umpan (feed ketel uap pump), air dipompa ke drum bagian atas kemudian dialirkan ke down corner tube dan selanjutnya ke pipa-pipa penguap (Evaporator). Air yang berubah dari fase cair menjadi menjadi uap setelah dipanaskan dialirkan kembali ke drum bagian atas [1]. Siklus ini berlangsung secara alami (Natural Circulation). Uap dari drum bagian atas ini selanjutnya dialirkan ke pipa-pipa superheater untuk dipanaskan lanjut menjadi uap panas (uap kering). Uap kering inilah yang kemudian digunakan untuk menggerakkan Turbine dan sebagian uap lagi dialirkan untuk proses perebusan kelapa sawit. Uap yang telah digunakan, tekanan dan temperaturnya menjadi rendah dan terkondensasi menjadi air selanjutnya dimanfaatkan kembali dengan mengalirkan kembali ke tangki air.
dihindari, dengan meningkatkan efisiensi energi. Kehilangan berikut dapat dihindari atau dikurangi antara lain meliputi kehilangan gas cerobong, udara berlebih (diturunkan hingga ke nilai minimum yang tergantung dari teknologi burner, operasi (kontrol), dan pemeliharaan, suhu gas cerobong (diturunkan dengan mengoptimalkan perawatan (pembersihan), beban; burner yang lebih baik dan teknologi ketel uap, kehilangan karena bahan bakar yang tidak terbakar dalam cerobong dan abu (mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan; teknologi burner yang lebih baik), kehilangan dari blowdown (pengolahan air umpan segar, daur ulang kondensat), kehilangan kondensat (manfaatkan sebanyak mungkin kondensat), kehilangan konveksi dan radiasi (dikurangi dengan isolasi ketel uap yang lebih baik). Adapun diagram ketel uap yang terdapat pada PT.Kencana Group adalah seperti gambar dibawah ini
B. Evaluasi Kinerja Ketel Uap Parameter kinerja ketel uap, seperti efisiensi dan rasio penguapan, berkurang terhadap waktu disebabkan buruknya pembakaran, kotornya permukaan penukar panas dan buruknya operasi dan pemeliharaan. Bahkan untuk ketel uap yang baru sekalipun, alasan seperti buruknya kualitas bahan bakar dan kualitas air dapat mengakibatkan buruknya kinerja ketel uap. Neraca panas dapat membantu dalam mengidentifikasi kehilangan panas yang dapat atau tidak dapat dihindari. Uji efisiensi ketel uap dapat membantu dalam menemukan penyimpangan efisiensi ketel uap dari efisiensi terbaik dan target area permasalahan untuk tindakan perbaikan. Proses pembakaran dalam ketel uap dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir energi. Diagram ini menggambarkan secara grafis tentang bagaimana energi masuk dari bahan bakar diubah menjadi aliran energi dengan berbagai kegunaan dan menjadi aliran kehilangan panas dan energi. Arah panah tebal menunjukan jumlah energi yang dikandung dalam aliran masing-masing. Neraca panas merupakan keseimbangan energi total yang masuk ketel uap terhadap yang meninggalkan ketel uap dalam bentuk yang berbeda [3]. Gambar 1 berikut memberikan gambaran berbagai kehilangan yang terjadi untuk pembangkitan uap. Kehilangan panas karena gas buang kering 100% Bahan Bakar
Kehilangan panas dalam gas buang BOILER
Kehilangan panas karena kandungan air dalam bahan bakar Kehilangan panas karena kandungan air dalam udara Kehilangan panas karena pembakaran tidak sempurna Kehilangan panas karena rediasi dan kehilangan yang tidak terhitung
Kandungan panas dalam uap
Gambar 1. Kehilangan panas yang terjadi di boiler
Kehilangan energi dapat dibagi kedalam kehilangan yang tidak dapat dihindarkan. Tujuan dari Produksi Bersih dan/atau pengkajian energi harus mengurangi kehilangan yang dapat
Gambar 2. Diagram siklus boiler PT. Kencana Group
Dari Gambar 2 diagram proses ketel uap dapat diterangkan sebagai berikut dari fiber conveyor bahan bakar masuk ke rotary feeder yang berfungsi sebagai pemutar bahan bakar, dari alat ini bahan bakar di lempar ke dapur ketel dengan menggunakan spreader agar bahan bakar masuk merata pada dapur ketel. Fan digunakan dalam peningkatan efisiensi pembangkit karena fan dapat memaksimalkan tenaga dorong pada saluran inlet bahan bakar, menghemat bahan bakar dan membantu pembakaran agar prosesnya sempurna. Karena tanpa adanya fan, akan sulit didapatkan efisiensi thermal dalam ketel. Selain itu, setelah proses pencampuran bahan bakar dalam hal ini serat dan cangkang kelapa sawit yang telah dihancurkan dan udara yang dilakukan oleh fan dan dibantu oleh Dumper tetap yaitu pengatur pengaduk udara, akan dapat menimbulkan turbulensi yaitu gerakan yang dapat menyempurnakan pencampuran serbuk bahan bakar (cangkang dan serabut kelapa sawit yang telah halus) dan udara. Kebutuhan turbulensi untuk melakukan pencampuran bahan bakar secara sempurna atau memenuhi kebutuhan akan oksigen untuk pembakaran sempurna tidak hanya di dapat dari udara primer saja, melainkan juga di dapat dari udara sekunder. Udara primer saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan turbulensi untuk melakukan pencampuran bahan bakar secara sempurna atau memenuhi kebutuhan akan oksigen untuk pembakaran sempurna. Untuk itulah diperlukan pasokan dari udara sekunder yang dihasilkan oleh FD Fan.
Energi III-107
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Disamping itu juga terdapat rotari fuel feeder dan fuel feeder fan (FF Fan), dimana bahan bakar yang telah halus akan dimasukkan kedalam dapur bersamaan dengan itu juga udara akan dimasukkan melalui FF Fan, hal ini bertujuan agar laju pembakaran bahan bakar dan udara lebih tinggi. Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang digunakan untuk memanaskan udara luar yang diserap untuk meminimalisasi udara yang lembab yang akan masuk ke dalam tungku pembakaran. Udara yang keluar dari Air heater sebagian langsung disemprotkan kedalam ketel uap sebagian lagi menuju Chain-grate atau traveling-grate stoker. Bahan bakar diumpankan ke ujung grate baja yang bergerak. Ketika grate bergerak sepanjang tungku, bahan bakar terbakar sebelum jatuh pada ujung sebagai abu. Diperlukan tingkat keterampilan tertentu, terutama bila menyetel grate, damper udara dan baffles, untuk menjamin pembakaran yang bersih serta menghasilkan seminimal mungkin jumlah karbon yang tidak terbakar dalam abu. Hopper mengumpan bahan bakar memanjang di sepanjang seluruh ujung umpan bahan bakar pada tungku. Sebuah grate bahan bakar dalam hal ini yaitu cangkang dan serabut kelapa sawit digunakan untuk mengendalikan kecepatan bahan bakar yang diumpankan ke tungku dengan mengendalikan ketebalan bed bahan bakar. Ukuran bahan bakar harus seragam sebab bongkahan yang besar tidak akan terbakar sempurna pada waktu mencapai ujung grate. Furnace atau dapur merupakan tempat pembakaran bahan bakar. Beberapa bagian dari furnace diantaranya: refractory, ruang perapian, burner, exhaust for flue gas, charge and discharge door. Uap Drum merupakan tempat penampungan air panas dan pembangkitan uap. Uap masih bersifat jenuh (saturated uap). Tangki atau drum sering disebut juga badan ketel uap yaitu tempat beroperasinya ketel uap di dalamnya terdapat instrument – instrument yang menjalankan proses pemindah panas seperti lorong api dan pipa api, dalam badan ketel inilah sejumlah air ditampung untuk dipanaskan. Super heater merupakan tempat pengeringan uap dan siap dikirim melalui main uap pipe dan siap untuk menggerakkan turbin uap atau menjalankan proses industri. Untuk industri kelapa sawit, uap dari superheater akan di lanjutkan sebagian menuju turbin dan sebagian lagi akan dialirkan untuk proses perebusan kelapa sawit. Daerator berfungsi untuk menyerap atau menghilangkan gas-gas yang terkandung pada air pengisi ketel,terutama gas O2, karena gas ini akan menimbulkan korosi, gas-gas lain berbahaya adalah carbon dioxida (CO2), setelah itu dialirkan ke economiser melalui pompa. Economiser berfungsi untuk meningkatkan temperatur air sebelum masuk ke ketel uap untuk selanjutnya dialirkan ke uap drum. Sumber panas yang diperlukan oleh alat ini berasal dari gas buang dalam ketel uap. Gas sisa pembakaran dalam dapur ketel uap akan dikeluarkan tetapi sebelumnya debu yang terkandung dalam gas asap tersebut di keluarkan melalui penangkap debu (dust collector). Sesudah itu menuju ID Fan dan menuju cerobong untuk dikeluarkan ke atmosfer.
C. Pembakaran Bahan Bakar Padat Pembakaran ialah reaksi kimia (persenyawaan) antara unsur-unsur bahan bakar dengan oksigen disertai dengan pelepasan panas pada temperatur yang tinggi [4]. Pembakaran sempurna terjadi bila semua unsur-unsur terbakar dan semua panas dilepaskan. Ada dua hal mengapa pembakaran harus berlangsung secara sempurna antara lain bahan bakar sangat mahal sehingga pembakaran yang tidak efisien berarti terjadi pemborosan, pembakaran yang tidak sempurna akan menimbulkan polusi udara. Pembakaran bahan bakar padat yang sebagian besar terdiri dari Carbon, Hidrogen, adan Oksigen, proses pembakaran berlangsung dengan membentuk gas-gas dimana berlangsung destilasi kering dan gas-gas tersebut akan terurai lebih lanjut menjadi CO (Carbon Monoxida) dan Hidrogen dan akan terbakar, dan kemudian akan terbakar menjadi CO 2 (Carbon Dioxida) bila jumlah Oksigen yang tersedia cukup besar [5]. Pembakaran sempurna Carbon ke dalam Carbon dioxida adalah sebagai berikut persamaan pembakaran C + O2 → CO2, dalam satuan massa : 12 + (2 x 16) → 44, dibagi dengan 12, didapat , . membakar sempurna c kg Carbon diperlukan
Jadi
untuk
c kg O2 dan
dihasilkan . Pembakaran Hidrogen menjadi uap air adalah sebagai berikut persamaan pembakaran : 2 H2 + O2 → 2 H2O, dalam satuan massa : (2 x 2) + 32 → (2 x 18), 4 + 32 → 36, dibagi dengan 4, didapat : 1 + 8 → 9, atau dapat di tulis sebagai berikut 1 kg H2 + 8 kg O2 → 9 kg H2O. Jadi untuk membakar h kg H2 menjadi uap air, diperlukan 8 h kg O2. Pembakaran Belerang menjadi Sulfur Dioxida adalah sebagai berikut persamaan pembakaran : S + O2 → SO2, dalam satuan massa : 32 + 32 → 62, dibagi dengan 32, didapat : 1 + 1 → 2, atau dapat di tulis sebagai berikut s kg S + 1 kg O2 → 2 kg SO2. Jadi untuk membakar sempurna s kg S diperlukan s kg O2 dan dihasilkan 2 s kg SO2. D. Keperluan Udara Teoritis Apabila diambil 1 kg bahan bakar yang terdiri dari c kg Carbon, h kg Hidrogen, s kg Belerang dan o kg Oksigen (sisanya bahan –bahan yang tidak terbakar). Keperluan Oksigen untuk pembakaran sempurna unsur-unsur diatas adalah, Oksigen yang diperlukan untuk membakar c kg Carbon c, Oksigen yang diperlukan untuk membakar h kg Hidrogen 8 h, Oksigen yang diperlukan untuk membakar S kg Belerang s kg, jadi total oksigen yang diperlukan adalah . Bahan bakar itu sendiri mengandung o kg Oksigen, yang dianggap dapat digunakan untuk pembakaran. Oleh karena itu keperluan udara teoritis untuk pembakaran sempurna 1 kg bahan bakar akan menjadi . Oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran diperoleh dari udara atmosfer yang diketahui mengandung 23% massa Oksigen dan sisanya 77% dianggap
Energi III-108
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
sebagai Nitrogen karena mengabaikan kwantitas gas-gas lain yang ada dalam udara. Udara teoritis yang diperlukan tiap kg bahan bakar dapat ditentukan dengan
temperatur dan sifat permukaan. Radiator yang sempurna atau hitam menyerap semua radiasi thermal hingga mencapai permukaan.Dan memancarkan energi radiasi pada batas maksimum, berdasarkan hukum StefanBoltzmann : (2)
Dengan persamaan pembakaran secara teoritis, ternyata bahwa hasil pembakaran sempurna terutama terdiri dari gas Carbon Dioxida, Sulfur Dioxida dan uap air [6]. E. Konsep Perpindahan Panas Perpindahan panas berkaitan dengan transmisi energi thermal dan sangat penting dalam proses konversi energi. Dasar dari metode perpindahan panas antara lain konduksi,konveksi dan radiasi. Temperatur konduksi adalah sifat yang menunjukkan energi kinetik yang dimiliki oleh molekul-molekul zat, semakin tinggi temperatur, semakin besar energi kinetik dan pergerakan molekul-molekul. Gradien temperatur yang terdapat dalam suatu bahan homogen akan menyebabkan terjadinya perpindahan energi di dalam medium tersebut yang lajunya dapat dihitung dengan menggunakan hukum Fourier. (1)
Dimana ialah gradien temperatur dalam arah normal (tegak lurus ) terhadap bidang A. Konduktifitas thermal ( k ) ialah suatu konstanta. Tanda minus (-) dalam hukum Fourier diperlukan untuk memenuhi persyaratan hukum II thermodinamika, perpindahan energi thermal karena adanya gradien thermal hanya bisa berlangsung dari daerah yang lebih panas ke yang lebih dingin. Perpindahan panas konveksi dalam fluida terjadi oleh molekul-molekul konduksi dan gerakan fluida secara makroskopik. Konveksi terjadi berdekan dengan permukaan yang panas sebagai akibat fluida bergerak melalui permukaan [7]. Jika temperatur dibagian hulu fluida ialah T f dan temperatur permukaan benda T s maka perpindahan kalor persatuan waktu adalah Radiasi merupakan perpindahan energi yang berlangsung melalui perambatan gelombang elektromagnetik, yang dapat berlangsung baik dalam medium maupun dalam ruang vakum/hampa. Perpindahan kalor denga cara radiasi berbeda dengan perpindahan kalor konduksi dan konveksi dalam dua aspek penting yaitu radiasi tidak memerlukan medium atau zat antara dan perpindahan energi sebanding dengan pangkat empat atau pangkat lima temperatur berbeda Permukaan dalam ketel uap biasanya buram yang tidak mengizinkan transmisi dari setiap radiasi (τ = 0). Gas-gas seperti carbon dioksida, uap air, carbon monoksida yang lebih rendah temperaturnya mempengaruhi perpindahan panas radiasi. Gas-gas ini lazim dicerobong asap gas ketel uap, mempengaruhi perpindahan panas ke permukaan dan distribusi energi yang diserap dalam ketel uap. Semua benda terus menerus memancarkan energi radiasi dalam jumlah tertentu oleh
Dimana σ adalah Konstanta Stefan-Boltsmann dengan nilai 0.1713 x 10 -8 BTU/h ft 2 R4, T s adalah Temperatur absolut permukaan dan A adalah Luas permukaan. Keseimbangan energi pada kontrol volume mencerminkan hukum I thermodinamika yaitu : Energi masuk – Energi keluar = Energi tersimpan Aliran laminar yang mengalir di dalam tabung, baik untuk pemanasan tau pendinginan dari fluida viskos dalam tabung horizontal atau vertikal dengan temperatur konstan (Re<2300), koefisien perpindahan panas atau konduktifitas film ditentukan dengan persamaan : (3) Atau dapat di tulis sebagai berikut (4)
Dimana G adalah ρν dan didefenisikan sebagai fluks massa atau aliran massa per satuan luas, D = diameter tabung, panjang karakteristik yang digunakan dalam evaluasi bilangan Reynolds. Rasio viskositas
adalah faktor koreksi yang
tergantung pada temperatur sifat fluida. Aliran turbulen merupakan gerakan lokal tetapi kacau, aliran fluida bergerak secara aksial dan radial seperti ditunjukkan pada gambar berikut untuk aplikasi ketel uap yang melibatkan aliran turbulen didalam tabung dinyatakan dengan persamaan : (5) Semua sifat dievaluasi pada temperatur film (T f) yang didefenisikan sebagai temperatur rata-rata antara temperatur dinding (Tw) dan temperatur fluida (T b) dinyatakan dalam temperatur absolut (R, K). (6) Sehingga diperoleh (7)
Dan dapat dinyatakan dalam bentuk (8) Sedangkan untuk aliran turbulen persamaan
Energi III-109
menyilang menggunakan (9)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan
(15)
(10) F. Metode BTU Temperatur film rata-rata pada sisi gas Perhitungan kinerja biasanya digunakan untuk menetapkan satu dari tiga parameter antara lain temperatur, perpindahan panas dan kebersihan permukaan perpindahan panas. Seperti dalam kebanyakan masalah analisis thermal, evaluasi kinerja ketel uap merupakan proses iteratif. Abu dari hasil pembakaran dalam ketel uap merupakan yang paling mungkin merupakan dampak yang dapat mempengaruhi kinerja ketel uap. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian/pengambilan data dilaksanakan pada pada bulan Februari 2012 dan tempat penelitian pada PLTU PT. Kencana Group berlokasi di Kabupaten Paser, Tanah Grogot, Balikpapan – Kalimantan Timur.
(16)
Laju aliran massa uap (17) Dimana As adalah Luas daerah aliran uap, ditentukan dengan persamaan As = NRW x ¼ π (OD), dan ms adalah laju aliran massa uap. Menghitung fluks massa udara dengan persamaan berikut ini (18) Menghitung bilangan Reynolds dengan persamaan berikut ini: (19)
B. Rumus Yang Digunakan Perhitungan kinerja setiap komponen-komponen ketel uap adalah sebagai berikut : Energi radiasi meninggalkan ruang bakar
Menghitung hambatan udara dari windbox inlet ke air heater outlet dengan persamaan berikut ini : (20)
(11) Dimana Fe adalah effectivitness faktor, T1 adalah Temperatur gas meninggalkan dari dapur dan T 2 adalahTemperatur saturasi. Menghitung besarnya perpindahan panas pada permukaan dengan persamaan di bawah ini : (12)
Di mana N dapat ditentukan dengan Nbend ditambah dengan Nexpansion. Menghitung jumlah kerugian udara dari air heater inlet ke forced draft fan transition outlet dengan persamaan berikut ini : (21)
Di mana q adalah laju perpindahan panas, ( btu / h ), adalah laju aliran massa uap, ( lb / h ) dan adalah Perbedaan enthalpy uap, ( btu / h ). Menghitung laju perpindahan panas konveksi dan radiasi inter tube dengan persamaan di bawah ini :
Di mana N dapat ditentukan dengan Nbend ditambah dengan Nexpansion. kerugian gas dari furnace ke stack ( cerobong )
(13)
(22)
Menghitung gas yang meninggalkan superheater dengan persamaan berikut ini :
Dimana Z adalah Garis tengah dari furnace exit ( ft ), dan SE adalah Efek cerobong. .
(14) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Di mana adalah Temperatur gas meninggalkan superheater, ( F ), Temperatur gas masuk super heater, ( F ), adalah laju aliran massa gas, ( lb / h ) dan adalah Panas spesifik gas rata – rata, ( btu / lb.F ). Superheater Log Mean Temperature Difference (LMTD)
A. Hasil Perhitungan 1. Kebutuhan Udara Pembakaran Pembakaran merupakan reaksi kimia (persenyawaan) antara unsur-unsur bahan bakar dengan oksigen disertai dengan pelepasan panas dengan temperatur tinggi (Surbakty, B.M, 1985). Bahan bakar yang digunakan adalah campuran cangkang 30% dan serabut 70% dan mempunyai reaksi kimia pembakaran adalah
Energi III-110
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
C6H10O5 + 6 O2 + N2 → 6 CO2 + N2 + 5 H2O Dari reaksi pembakaran di atas di peroleh massa udara sebesar 220,02 kg dan massa bahan bakar sebesar 162,14 kg, dan dari data diperoleh excess air 32,94% sehingga faktor kelebihan udara (λ) 132,94%. Sistim pembakaran di ketel uap dengan menggunakan travelling grate stoker (The Babcock & Wilcox C0, 2005). Berat gas hasil pembakaran (Wg) 2,762 kg udara/kg bahan bakar, Untuk pembakaran bahan bakar 8475,4 kg/jam maka jumlah udara yang dibutuhkan untuk proses pembakaran susulan atau sekunder (Wa-sekunder) sebesar 23409,05 kg udara/jam. Sedangkan untuk pembakaran 8475,4 kg bahan bakar/jam diperoleh berat udara adalah : (Wa)akt (Primer) adalah 4,5913 di kali dengan 8475,4 sama dengan 38913,10 kg udara/jam. Apabila diasumsikan
bahwa udara jumlah udara sekunder akan dialirkan sebanyak 20% ke bagian bawah kisi-kisi stoker guna membantu proses pembakaran dengan udara primer maka diperoleh (Wa)akt (primer) sebesar 43594,91 kg udara/jam, sehingga sisa udara sekunder yang masuk untuk proses pembakaran lanjutan sebesar (Wa)(sekunder) sebesar 18727,24 kg udara/jam.
Tabel 2. Operating Conditions % by Ultimate weigth C 44,6
Tabel 1. Physical Arrangement Furnace Construction : 1.4 In Outsides diameter ( OD ) tubes 16,5 ft Width 10 ft Depth Volume to super heater entrance 3 5810 ft plane Survace flat projected area, not 2360,08 ft2 including super heater exit plane Physical arrangement components Parameter
Unit
Super Heater (counter flow)
Tube OD Backspacing (centerline) Sidespacing (centerline) Rows deep (Nrd) Rows wide (Nrw) Tube length Heating surface Free flow area Gas Air
in
1,5
1,4
1,5
in
3
3,3071
3,3071
in
3
3,3071
3,3071
10
10
10
40
60
60
12
12
13
1884
4019,2
6123
84
16
14,523 91
ft ft
2
Economizer
% by weigth
Moisture
10
H2
5,32
Volatiles
36,64
S
0,28
Fixed Carbon
38,95
O2
32,52
Ash
14,41
N2
4
Total
100
H2O
10,8
Ash
2,48 HHV as fired
9660,6564
Btu/lb
Excess air
32,94
% by wt
Unburned carbon loss
0,4
% by wt
Unaccounted loss (tabel BTU, line 5)
1,5
% by wt
ABMA radiation loss
0,4
% by wt
Furnace Exit Gas Temperature
1742
F
Super Heater outlet Uap flow
6,61 x 104
Lb/h
Uap temperatur
932
F
Uap pressure
298,6922
psig
Uap enthalpy
1490,474
Btu/lb
66150
Lb/h
2. Analisa Penyerapan Panas Metode BTU [8] merupakan parameter untuk industri ketel uap di Amerika Serikat dengan menggunakan unit massa dari mol supaya dapat mengetahui kuantitas udara dan gas buang. Hal ini terutama berlaku untuk perhitungan perpindahan panas, dimana kuantitas fluida kerja (biasanya uap dan air) dinyatakan secara massa dan enthalpi dari fluida panas dan dingin dinyatakan secara Btu/lb. Tabel 1 merupakan data fisik ukuran ketel uap meliputi ukuran ruang bakar serta ukuran pipa-pipa penghantar panas serta luas permukaan hantar panas pada masing-masing komponen ketel uap.
Proximate
Economizer inlet Water flow Water temperatur
257
F
Water pressure
403,943
psig
Water enthalpy
235,177
Btu/lb
Air Heater Air temperatur entering
82,4
F
Barometric pressure
30
in.Hg
Gas temperature leaving
356
F
Tabel 2 merupakan data kondisi operasi ketel uap yang meliputi data ultimasi bahan bakar dan data proximasi serta data kondisi uap pada super heater, air pada economizer dan udara pada air heater. Tabel 3.
Air Heater
ft2
Energi III-111
Perhitungan Proses Pembakaran Bahan Bakar Cangkang Dan Serabut Kelapa sawit Dengan Metode BTU
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Input Conditions Excess air, % by wt Entering air temperature, F Reference temperatur, F Air temp leaving air heater,F Flue gas temp leaving, F Residue leaving boiler/eco/entering AH, % Total Output, 1.000.000 Btu/h
32,94 82,4 82,4
Fuel – Fiber and shell Ultimate Analysis Constituant % weigth Carbon 44,6
248
Sulfur
0,28
390
Hidrogen
5,32
85
Water
10,8
83,038
Nitrogen Oksigen Ash Total COMBUSTION GAS CALCULATED Theoretical air (corrected), lb/10,000 7,158 Btu Residue from fuel, lb/10,000 Btu 0,028
Parameter
4 32,52 2,48 100,00
Satuan
Hasil Perhitungan
Laju Energi Pembakaran (Input)
Btu/h
99,953 x 106
Kalor yang di absorbs (Output)
Btu/h
83,038 x 106
Laju Aliran Uap (ms)
lb/h
66150
Laju Aliran Gas (mg)
lb/h
100514,235
Laju Aliran Udara (mu) Temperatur Gas Pembakaran Keluar Ruang Bakar
lb/h
96352
F
3200
Efisiensi Ketel (η)
%
83,077
Btu/h
3,5099 x 107
Btu/h
2,520 x 105
Btu/h
1,296 x 107
Btu/h
8,8242 x 106
Btu/h
2,6154 x 107
Beban Generator
MW
3
Komsumsi Bahan Bakar
Lb/h
18685,05857
Energi yang diserap Evaporator (Qeva) Energi Radiasi Ruang Bakar (qrad) Perpindahan Panas Total Superheater (qSH) Perpindahan Panas Total Ekonomiser (qEco) Perpindahan Panas Total Airheater (qAH)
Total residue, lb/10,000 Btu 0,028 Dry air, lb/10,000 Btu 9,516 H2O from air, lb/10,000 Btu 0,095 H2O from fuel, lb/10,000 Btu 0,604 Wet gas from fuel, lb/10,000 Btu 1,007 Total wet gas, lb/10,000 Btu 10,618 Water in wet gas, lb/10,000 Btu 0,699 Dry gas, lb/10,000 Btu 9,919 H2O in gas, % by weight 6,586 Residue, % by weight (zero if < 0.15 0,288 lbm/10KB) EFFICIENCY CALCULATIONS, % Input from fuel Losses Dry gas, % 7,323 Enthalpy of steam at 1 psi 1237,051 Enthalpy of water at T 50,4 Moisture in air, % 0,132 Unburned carbon, % 0,4 Radiation and convection, % 0,4 Unaccounted for and manufacturers 1,5 margin, % Summation of losses, % 16,923 Efficiency, % 83,077 KEY PERFORMANCE PARAMETERS Input from fuel, 1,000,000 Btu/h 99,95 Fuel rate, 1000 lb/hr 10,35 Wet gas weight, 1000 lb/hr 106,13 Air to burners (wet), lb/10,000 Btu 9,61 Air to burners (wet), 1000 lb/h 96,07 Heat available, 1,000,000 Btu/h 99,12 Heat available/lb wet gas, Btu/lb 933,98 Adiabatic flame temperature, F 3200
Apabila boiler bekerja pada kondisi operasional 100% maka selisih dengan efisiensi yang diperoleh 83,079% di peroleh kehilangan energi sebesar 16,923% sesuai dengan hasil perhitungan metode BTU tabel 3 no. 47 (summation of losses) sebesar 16,923 % atau 16,924 x 106 Btu/h (4,96 MW). Tabel 5. Prestasi Kerja Ketel Uap q (Btu/h) Furnace
Temperatur hasil pembakaran untuk kerja boiler Adiabatic Flame Temperature adalah sebesar 3200oF dengan temperatur udara masuk ke ruang bakar setelah melalui Airheater sebesar 739,4 o F. Effisiensi yang diperoleh dari perbandingan antara output dan input adalah 83,079 %. Apabila di lihat pada tabel 6. Perhitungan dengan metode BTU no. 53 di peroleh 83,077%, berarti terdapat kesesuaian antara panas yang di hasilkan dengan panas yang di absorbs atau terpakai Tabel 4. Total Laju Perpindahan Panas dan Keseimbangan Energi
35,099 x 106
T1 (F)
0,83079
T1’ (F)
T2’
1307
572
932
1146
230
266,9
685
82,4
685
Ts (F)
3200
Super 12,961 x 106 1742 Heater Economiz 8,824 x 106 1223 er Air 6 26,154 x 10 1146 Heater 6 Total 83,038 x 10 QFurnace = qoutput – (qSH+qECO+qAH) qinput 99,953 x 106 qOutput 83,038 x 106 Efisiensi
T2 (F)
83,079
1212
qfurnace = 83,038 x 106
VS
Tabel BTU, no. 53
83,077
B. Pembahasan Berdasarkan hasil perhitungan ketel uap dengan kapasitas 30 ton/jam, untuk membangkitkan daya sebesar 3 MW dibutuhkan laju aliran bahan bakar sebesar 8475,4 kg/jam dengan kebutuhan udara pembakaran adalah sebesar 62322,15 kg udara/jam dimana untuk udara primer 43594,91 kg udara/jam dan udara sekunder 18727,24 kg udara/jam. Dapat dilihat dari tabel 6 bahwa dengan menggunnakan bahan bakar cangkang dan serabut kelapa sawit diperoleh laju energi pembakaran adalah sebesar 95,588 x 106 Btu/h atau setara dengan 28,1 MW dan sedangkan laju energi pembakaran
Energi III-112
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi (input) adalah 99,953 x 106 Btu/h atau setara dengan 29,293 MW. Selisih antara laju pembakaran yang dihasilkan dengan laju pembakaran yang terpakai adalah sebesar 4,365 x 10 6 Btu/h atau setara dengan 1,279 MW. Sedangkan kalor yang diabsorbs sebesar 83,038 x 106 Btu/h atau setara dengan 24,33 MW, hasil ini sama dengan total jumlah energi panas yang diabsorbs pada furnace, super heater, economizer dan air heater sebesar 24,33 MW. Dari hasil perhitungan analisis perpindahan panas pada tiap-tiap komponen ketel uap diperoleh bahwa pada furnace, energi yang dihasilkan adalah sebesar 71%, super heater sebesar 11%, economizer sebesar 10% dan air heater sebesar 8%. Dapat di lihat pada gambar 3, grafik distribusi temperatur dalam ketel uap. Kesetimbangan energi proses hasil pembakaran pada Ketel uap adalah Energi masuk sama dengan Energi berguna ditambah dengan kehilangan energi atau dapat di tulis 29,29 MW = 24,33 MW + 4,96 MW.
16%
Gambar 3. Grafik total perpindahan panas dalam ketel uap
V. KESIMPULAN Kesetimbangan energi proses hasil pembakaran pada Ketel uap adalah 29,29 MW adalah 24,33 MW ditambah 4,96 MW, laju energi pembakaran sebesar 9,9953 x 107 Btu/h dan kalor yang diabsorbs 8,3038 x 107 Btu/h, maka di peroleh efisiensi 83,079 %, hasil ini sesuai dengan perhitungan metode BTU no. 53 yaitu efisiensi 83,077 %, dari hasil perhitungan analisis perpindahan panas pada tiap-tiap komponen ketel uap diperoleh bahwa pada furnace , energi yang dihasilkan adalah sebesar 71%, super heater sebesar 11%, economizer sebesar 10% dan air heater sebesar 8% . DAFTAR PUSTAKA [1] (http://strategika.wordpress.com/2008/12/05/perkebunan-sawitindonesia.html) [2] Data Boiler, PT. Kencana Group – Kalimantan Timur [3] Djokosetyardjo, Ketel Uap. (1999). Penerbit Pradnya Paramita Jakarta. [4] El – Wakil, M. M, E. Jasjfi, (1992). Instalasi Pembangkit Daya (terjemahan). Erlangga, Jakarta. [5] Surbakty, B.M, (1985). Pesawat Tenaga Uap I (Ketel Uap). Mutiarasolo, Surakarta [6] Culp, J., Archie W. Jasjfi, (1989). Prinsip – Prinsip Konversi Energi (terjemahan). Erlangga, Jakarta. [7] A Muin, Syamsir, (1986). Pesawat – Pesawat Konversi Energi I (Ketel Uap). Rajawali Press, Jakarta. [8] Donald R. Pitts and Leigton E. Sissom (terjemahan oleh E. Jasjfi), (1987). Perpindahan Panas. [9] John B. Kitto and Steven C. Stultz, (2005). Steam. The Babcock and Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41.
Energi III-113
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Studi Peluang Investasi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin Di Sulawesi Selatan Ane Prasetyowati R
Noor Suryaningsih
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jakarta Indonesia ane_prast@yahoo. com
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jakarta Indonesia
[email protected]
Abstract— Pemenuhan kebutuhan akan energi listrik di Indonesia saat ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan minyak bumi, tenaga air, dan batubara. Semakin terbatasnya persediaan bahan bakar fosil menyebabkan ketergantungan terhadap energi fosil harus diturunkan. Sementara kebutuhan energi listrik meningkat seiring peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat. Sulawesi Selatan memiliki Total konsumsi energi listrik pada tahun 2012 sebesar 4.041,35 GWh dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 5,4206,42, dari data tersebut terjadi kenaikan permintaan kebutuhan energi listrik sebesar 5,4%. Adanya peluang diversifikasi kearah pembangkit tenaga bayu yang disebabkan karena kebutuhan listrik di Propinsi Sulawesi Selatan saat ini masih dipenuhi dari PLN dengan pembangkit air,uap,gas dan batu bara dengan daya terpasang pada tahun 2012 sebesar 605 GWh, daya konsumsi energi listrik pada tahun 2012 per sektor pemakai masing-masing: Rumah Tangga 898 GWh; Komersial 297 GWh; Industri 886 mampu 510 MW, beban puncak 446 MW, reserve margin hanya 14%. Kebutuhan listrik dari PLTB di Sulawesi Selatan adalah sebesar 880 Kw. Dengan kebutuhan sebesar itu maka komposisi investasi terkecil yang memungkinkan untuk pembangunan dan pengelolaan PLTB di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisa dan simulasi Investasi pembangunan PLTAngin di Propinsi Sulawesi Selatan menguntungkan karena ada keuntungan pada akhir umur ekonomis, untuk PLTAngin kapasitas 4 x 10 KW menghasilkan keuntungan 115% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 7,7% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun, untuk PLTAngin kapasitas 1 x 500 kW menghasilkan keuntungan 168% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 11,2% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun dan pembangunan PLTAngin dengan kapasitas 1 x 1 MW menghasilkan keuntungan sebesar 273% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 18,2% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun. Keyword: Diversifikasi, pembangkit tenaga angin
I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan konsumsi listrik di Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1. Dalam 9 tahun terakhir konsumsi listrik meningkat dengan laju pertumbuhan positif untuk tiap kelompok pelanggan. Konsumsi listrik yang digunakan oleh
kelompok pelanggan rumah tangga, industri, dan bisnis selalu bertambah sangat pesat tiap tahunnya. Tabel 1. Konsumsi Listrik Di Indonesia Per Kelompok Pelanggan (GWh)
Sumber : Statistik PLN, Statistik DJK dan Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia,Pusdatin KESDM, 2013
Pemenuhan kebutuhan akan energi listrik di Indonesia saat ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan minyak bumi, tenaga air, dan batubara. Semakin terbatasnya persediaan bahan bakar fosil menyebabkan ketergantungan terhadap energi fosil harus diturunkan. Sementara kebutuhan energi meningkat seiring peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat. Hal ini mendorong upaya diversifikasi dan konservasi energi secara menyeluruh dengan beralih ke sumber energi hijau yang bersih dan ramah lingkungan, yaitu energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang sedang dikembangkan dan dimanfaatkan adalah energi angin. Supaya layak secara komersil, kecepatan angin yang diperlukan untuk pembangkit listrik tenaga angin berada dalam kisaran 5-6 m/ detik pada ketinggian pusat 10 m. oleh karena itu dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga angin aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan adalah lokasi, teknologi, dan ekonomi. B. Tujuan Kegiatan studi peluang investasi PLTAngin bertujuan agar mengetahui data detail mengenai investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin khususnya di daerah Sulawesi Selatan. II.STUDI PUSTAKA A. Energi Angin
Energi III-114
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara atau perbedaan suhu udara pada suatu daerah atau wilayah. Hal ini berkaitan dengan besarnya energi panas matahari yang di terima oleh permukaan bumi. Pada suatu wilayah, daerah yang menerima energi panas matahari lebih besar akan mempunyai suhu udara yang lebih panas dan tekanan udara yang cenderung lebih rendah. Sehingga akan terjadi perbedaan suhu dan tekanan udara antara daerah yang menerima energi panas lebih besar dengan daerah lain yang lebih sedikit menerima energi panas, akibatnya akan terjadi aliran udara pada wilayah tersebut. Tabel 2. Kecepatan Angin
Dimana : d = density (kerapatan) udara [dudara = 1,225 kg/m3] A = luas area putar baling-baling kincir angin = πD2 [m2] 4 D = diameter swept area [m] v = kecepatan angin [m/detik] sehingga energi kinetik yang bisa didapati dari angin adalah
: Daya yang didapat dari turbin angin pada suatu unit waktu adalah energi kinetik (EK) dan jarak yang ditempuh oleh angin pada waktu tersebut atau kecepatannya, sehingga daya yang dihasilkan oleh angin adalah :
Angin kelas 3 adalah batas minimum dan angin kelas 8 adalah batas maksimum energi angin yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Peluang Investasi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin Halaman 5 Hasil penelitian LAPAN ada beberapa daerah yang mempunyai kecepatan angin rata–rata >5m/d yang berpotensi untuk pembangkit listrik tenaga angin. Berikut ini pengelompokannya: Tabel 3. Potensi Angin untuk PLTAngin
Secara umum tempat yang cocok untuk pemasangan turbin angin antara lain adalah: 1. Celah antara gunung, tempat dijadikan nozzle yang mempercepat aliran angin 2. Dataran terbuka. Karena tidak ada penghalang yang dapat memperlambat angin. Daratan yang luas mempunyai potensi energi angin yang besar. 3. Pesisir pantai. Perbedaan suhu darat dan laut menyebabkan angin bertiup terus menerus. B. Prinsip Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Angin Pembangkit Listrik Tenaga ingin mengkonversikan energi angin menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin. Cara kerjanya cukup sederhana, energi angin yang memutar turbin angin, diteruskan untuk memutar rotor pada generator di bagian belakang turbin angin, sehingga akan menghasilkan energi listrik. Energi Listrik ini biasanya akan disimpan ke dalam baterai sebelum dapat dimanfaatkan. Energi kinetik dari angin ditangkap melalui turbin angin (kincir angin) yang diubah menjadi energi mekanis dan selanjutnya dikonversikan menjadi energi listrik melalui generator listrik. Besarnya energi kinetik angin adalah :
Gambar 1. Sketsa Turbin Angin sumber : http://www.kincirangin.info/plta-gbr.php Dalam hal ini turbin angin berfungsi untuk menangkap energi angin. Rancangan turbin angin meliputi perhitungan tinggi menara dari permukaan tanah, jumlah blade/kincir angin, dan diameter blade. Parameter tersebut sangat menentukan berapa besarnya energi listrik yang akan dihasilkan, sesuai dengan persamaan di atas. C. Jenis-jenis Turbin Angin Jenis turbin angin ada 2, yaitu turbin angin sumbu horizontal dan turbin angin sumbu vertikal. Turbin Angin Sumbu Horizontal Turbin angin sumbu horizontal (TASH) memiliki poros rotor utama dan generator listrik di puncak menara. Turbin berukuran kecil diarahkan oleh sebuah baling-baling angin (baling-baling cuaca) yang sederhana, sedangkan turbin berukuran besar pada umumnya menggunakan sebuah sensor
Energi III-115
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
angin yang digandengkan ke sebuah servo motor. Sebagian besar memiliki sebuah gearbox yang mengubah perputaran kincir yang pelan menjadi lebih cepat berputar. Karena sebuah menara menghasilkan turbulensi di belakangnya, turbin biasanya diarahkan melawan arah anginnya menara. Bilahbilah turbin dibuat kaku agar mereka tidak terdorong menuju menara oleh angin berkecepatan tinggi. Sebagai tambahan, bilah-bilah itu diletakkan di depan menara pada jarak tertentu dan sedikit dimiringkan. Karena turbulensi menyebabkan kerusakan struktur menara, dan realibilitas begitu penting, sebagian besar TASH merupakan mesin upwind (melawan arah angin). Meski memiliki permasalahan turbulensi, mesin downwind (menurut jurusan angin) dibuat karena tidak memerlukan mekanisme tambahan agar mereka tetap sejalan dengan angin, dan karena di saat angin berhembus sangat kencang, bilah-bilahnya bisa ditekuk sehingga mengurangi wilayah tiupan mereka dan dengan demikian juga mengurangi resintensi angin dari bilah-bilah itu. Kelebihan TASH Dasar menara yang tinggi membolehkan akses ke angin yang lebih kuat di tempat-tempat yang memiliki geseran angin (perbedaan antara laju dan arah angin antara dua titik yang jaraknya relatif dekat di dalam atmosfer bumi. Di sejumlah lokasi geseran angin, setiap sepuluh meter ke atas, kecepatan angin meningkat sebesar 20%. Kelemahan TASH 1. Menara yang tinggi serta bilah yang panjangnya bisa mencapai 90 meter sulit diangkut. Diperkirakan besar biaya transportasi bisa mencapai 20% dari seluruh biaya peralatan turbin angin. 2. TASH yang tinggi sulit dipasang, membutuhkan derek yang yang sangat tinggi dan mahal serta para operator yang tampil. 3. Konstruksi menara yang besar dibutuhkan untuk menyangga bilah-bilah yang berat, gearbox, dan generator. 4. TASH yang tinggi bisa memengaruhi radar airport. 5. Ukurannya yang tinggi merintangi jangkauan pandangan dan mengganggu penampilan lansekap. 6. Berbagai varian downwind menderita kerusakan struktur yang disebabkan oleh turbulensi. 7. TASH membutuhkan mekanisme kontrol yaw tambahan untuk membelokkan kincir ke arah angin. Turbin Angin Sumbu Vertikal Turbin angin sumbu vertikal/tegak (atau TASV) memiliki poros/sumbu rotor utama yang disusun tegak lurus. Kelebihan utama susunan ini adalah turbin tidak harus diarahkan ke angin agar menjadi efektif. Kelebihan ini sangat berguna di tempat-tempat yang arah anginnya sangat bervariasi. VAWT mampu mendayagunakan angin dari berbagai arah. Dengan sumbu yang vertikal, generator serta gearbox bisa ditempatkan di dekat tanah, jadi menara tidak perlu menyokongnya dan lebih mudah diakses untuk keperluan perawatan. Tapi ini menyebabkan sejumlah desain menghasilkan tenaga putaran yang berdenyut. Drag (gaya yang menahan pergerakan sebuah benda padat melalui fluida (zat cair atau gas) bisa saja tercipta saat kincir berputar. Karena sulit dipasang di atas menara, turbin sumbu tegak sering dipasang lebih dekat ke dasar tempat ia diletakkan, seperti tanah atau puncak atap sebuah
bangunan. Kecepatan angin lebih pelan pada ketinggian yang rendah, sehingga yang tersedia adalah energi angin yang sedikit. Aliran udara di dekat tanah dan obyek yang lain mampu menciptakan aliran yang bergolak, yang bisa menyebabkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan getaran, diantaranya kebisingan dan bearing wear yang akan meningkatkan biaya pemeliharaan atau mempersingkat umur turbin angin. Jika tinggi puncak atap yang dipasangi menara turbin kira-kira 50% dari tinggi bangunan, ini merupakan titik optimal bagi energi angin yang maksimal dan turbulensi angin yang minimal. Kelebihan TASV 1. Tidak membutuhkan struktur menara yang besar. Karena bilah-bilah rotornya vertikal, tidak dibutuhkan mekanisme yaw 2. Sebuah TASV bisa diletakkan lebih dekat ke tanah, membuat pemeliharaan bagian-bagiannya yang bergerak jadi lebih mudah. 3. TASV memiliki sudut airfoil (bentuk bilah sebuah baling-baling yang terlihat secara melintang) yang lebih tinggi, memberikan keaerodinamisan yang tinggi sembari mengurangi drag pada tekanan yang rendah dan tinggi. 4. Desain TASV berbilah lurus dengan potongan melintang berbentuk kotak atau empat persegi panjang memiliki wilayah tiupan yang lebih besar untuk diameter tertentu daripada wilayah tiupan berbentuk lingkarannya TASH. 5. TASV memiliki kecepatan awal angin yang lebih rendah daripada TASH. Biasanya TASV mulai menghasilkan listrik pada 10km/jam (6 m.p.h.) 6. TASV biasanya memiliki tip speed ratio (perbandingan antara kecepatan putaran dari ujung sebuah bilah dengan laju sebenarnya angin) yang lebih rendah sehingga lebih kecil kemungkinannya rusak di saat angin berhembus sangat kencang. 7. TASV bisa didirikan pada lokasi-lokasi dimana struktur yang lebih tinggi dilarang dibangun. 8. TASV yang ditempatkan di dekat tanah bisa mengambil keuntungan dari berbagai lokasi yang menyalurkan angin serta meningkatkan laju angin
(seperti gunung atau bukit yang puncaknya datar dan puncak bukit). 9. TASV tidak harus diubah posisinya jika arah angin berubah. 10. Kincir pada TASV mudah dilihat dan dihindari burung. Kekurangan TASV 1. Kebanyakan TASV memproduksi energi hanya 50% dari efisiensi TASH karena drag tambahan yang dimilikinya saat kincir berputar. 2. TASV tidak mengambil keuntungan dari angin yang melaju lebih kencang di elevasi yang lebih tinggi. 3. Kebanyakan TASV mempunyai torsi awal yang rendah, dan membutuhkan energi untuk mulai berputar. 4. Sebuah TASV yang menggunakan kabel untuk menyanggahnya memberi tekanan pada bantalan dasar karena semua berat rotor dibebankan pada
Energi III-116
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
bantalan. Kabel yang dikaitkan ke puncak bantalan meningkatkan daya dorong ke bawah saat angin bertiup. Spesifikasi Turbin Angin Spesifikasi untuk Rangka dari Turbin Angin dapat terlihat seperti tabel 4 seperti dibawah ini :
bunga. Jika NPV > 0 maka usaha tersebut menguntungkan dan layak dijalankan, jika NPV = 0 maka usaha tersebut layak tetapi tidak menguntungkan dan tidak merugikan. Jika NPV < 0, maka usaha tersebut tidak layak dijalankan.
Tabel 4. Spesifikasi Turbin Angin
Dimana : Arus kas masuk dan arus kas keluar K : Biaya modal proyek Return on Investment (ROI) ROI (return on investment) – dalam bahasa Indonesia disebut laba atas investasi – adalah rasio uang yang diperoleh atau hilang pada suatu investasi, relatif terhadap jumlah uang yang diinvestasikan. Jumlah uang yang diperoleh atau hilang tersebut dapat disebut bunga atau laba/rugi. Investasi uang dapat dirujuk sebagai aset, modal, pokok, basis biaya investasi. ROI biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase dan bukan dalam nilai desimal. ROI tidak memberikan indikasi berapa lamanya suatu investasi. Namun demikian, ROI sering dinyatakan dalam satuan tahunan atau disetahunkan dan sering juga dinyatakan untuk suatu tahun kalendar atau fiskal. CF
Tabel 5. Spesifikasi untuk pembangkitan (photovoltaic array)
Tabel 6. Spesifikasi untuk Baterei dan Inverter
D. Aspek Ekonomi Aspek eknonomi yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga angin adalah biaya pembangunan, biaya operasional dan pemeliharaan, serta penilaian investasi. 1. Biaya Pembangunan Biaya pembangunan terdiri dari: Pembebasan lahan Biaya persiapan (survey, AMDAL, FS, dan izin) Pekerjaan bangunan sipil Komponen teknologi 2. Biaya Operasional terdiri dari: Tenaga kerja Perawatan mesin 3. Penilaian Investasi Penilaian invetasi dilakukan melalui: Net Present Value (NPV) Metode nilai sekarang bersih (net present value – NPV) menggunakan pertimbangan bahwa nilai uang sekarang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai uang pada waktu mendatang, karena adanya faktor
Break Even Point (BEP) Break even point digunakan untuk mengetahui batasan titik impas dari suatu usaha. Artinya, BEPmerupakan titik dimana posisi usaha berada dalam keadaan tidak untung dan tidak rugi. Adapunperhitungan BEP tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu BEP harga dan BEPproduksi.
E. Studi Terdahulu Studi terdahulu dilakukan untuk mengetahui potensi energi Listrik alternatif di pedesaan sebagai upaya dalam mendukung percepatan diversifikasi energi di provinsi NAD. Dengan mengambil densitas udara 1,255 kg/m3, kecepatan angin rata-rata 8,27 m/s dan efisiensi konversi 36 %, maka diperoleh Daya/satuan luas = 0,17 kW/m2, dengan definisi luas penampang A = π/4 D2, dimana D adalah diameter rotor, maka untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sebesar 15,5 kW, dibutuhkan turbin angin dengan diameter rotor = 14,12 m. Berdasarkan hasil analisis literatur diperoleh spesifikasi PLTB yang sesuai adalah : Daya 20 kW Putaran 90 rpm Diameter Sudu 14 m Battery DC input 360V
Energi III-117
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi Inverter 220/380V 50/60Hz Tinggi tower 22 m Berat 5207 kg Biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu disusun berdasarkan data harga turbin dan peralatan pendukung yang ada dipasaran. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu diperkirakan akan memerlukan biaya sebesar Rp 1.128.589.175,00 hal ini berarti setiap kilo watt daya terbangkit diperlukan sekitar Rp. 56.429.450,- rupiah. Estimasi pembiayaan proyek dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Estimasi biaya untuk tenaga angin sebesar 20 kW Gambar 2. Peta Sistem Kelistrikan Propinsi Sulsel Sumber : Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 20112020
Berdasarkan realisasi penjualan listrik lima tahun terakhir termasuk banyaknya daftar tunggu calon pelanggan potensial, dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi regional serta penambahan jumlah penduduk, proyeksi kebutuhan listrik Provinsi Sulawesi Selatan 2010 – 2020 diberikan pada Tabel 9. Tabel 9. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik Di Provinsi Sulawesi Selatan
Analisis kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dapat diketahui lewat perhitungan return of investment (ROI), break even point (BEP), serta benefit cost ratio (BC ratio). Analisis ekonomi dilakukan dengan masa konsesi atau operasional selama 50 tahun. Parameter lainnya yang terkait dengan bunga dan eskalasi kenaikan operasional, perawatan, perbaikan kerusakan dan bunga yang berlaku adalah seperti pada Tabel 7 dan hasil analisis dapat terlihat dalam Tabel 8 Tabel 8. Hasil analisis output yang dihasilkan pada studi PLTAngin di NAD
III.PARAMETER KECEPATAN ANGIN UNTUK PL T ANGIN DI SULSEL Sistem kelistrikan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) saat ini dipasok oleh pembangkit-pembangkit yang terhubung ke sistem interkoneksi 150 kV dan 70 kV Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar). Jumlah gardu induk eksisting di Sulsel adalah 28 buah dengan kapasitas total 1.568 MVA termasuk trafo interbus IBT 150/70kV. Daya mampu pembangkit yang ada adalah 617 MW, sedangkan beban puncak yang harus dilayani sebesar 601 MW. Dengan demikian sistem kelistrikan Sulselbar beroperasi tanpa cadangan. Kondisi tersebut membuat sistem Sulselbar kadangkadaang mengalami defisit daya pembangkit, sehingga terjadi pemadaman bergilir terutama pada saat beban puncak selama musim kering. Kekurangan pembangit juga menyebabkan penyambungan pelanggan baru belum dapat dilayani secara penuh. Peta sistem kelistrikan Propinsi Sulsel dipelihatkan pada gambar 2.
Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai banyak sumber energi, terutama berupa tenaga air yang dapat dikembangkan menjadi PLTA. Potensi tenaga air mencapai 1.836 MW untuk dibangun PLTA dan 160 MW untuk menjadi PLTM. Selain itu terdapat potensi gas alam di Kabupaten Wajo dengan cadangan terukur sebesar 470 BSCF. Di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan terdapat potensi batubara, namun jumlah cadangan terukur hanya 37,3 juta ton. Titik-titik Survey Daerah yang disurvey meliputi daerah Kabupaten Jeneponto dan kabupaten Bulukumba Pantai Bira, adapun kedua kabupaten ini memiliki potensi untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin dengan karakteristik dan kemampuan wilayah dengan memperhatikan rata-rata kecepatan angin yang berbeda. Dari hasil survey sementara menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jauh disetiap bulannya untuk kecepatan angin di kedua kabupaten tersebut. Disebutkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah kedua kabupaten tersebut rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga angin, berikut penjelasan dari keduakabupaten yang disurvey dengan melihat kebutuhan untuk investasi pembangkit listrik tenaga angin. Kabupaten Jeneponto
Energi III-118
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kabupaten Jeneponto dikaruniai wilayah yang lengkap, yakni memiliki daratan dengan bentangan yang sangat bervariasi (daerah datar, bergelombang, hingga bergunung). Selain itu wilayah Kabupaten Jeneponto memiliki laut dan pesisir di bagian selatan, dengan garis pantainya yang cukup panjang (114 km) dan laut yang sangat kaya akan sumberdaya alam hayati dan non-hayati. Dengan topografinya yang begitu beragam, maka disamping potensi ekonominya yang besar juga ada ancaman kerusakan potensi sumberdaya tersebut jika tidak dilakukan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara hati-hati. Dari sudut pandang perencanaan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan, maka penataan ruang wilayah perlu dilakukan untuk mempertegas batas-batas aktivitas ekonomi dan batas-batas wilayah/kawasan yang berfungsi lindung (ekologis). Data Kecepatan angin di kecamatan binamu Jeneponto dalam 1 (satu) tahun pada setiap bulannya memiliki rata-rata kecepatan angin berubah atau dapat dikatakan memiliki variasi yang perbedaannya sangat signifikan seperti terlihat pada tabel berikut : Tabel 10. Kecepatan Angin Di Kabupaten Jeneponto (m/s)
ditargetkan. Selain dari hal di atas karena kondisi wilayah sekitar Pantai Bira memiliki perencanaan menjadi daerah wisata bahari, maka belum terencana dengan baik tata ruang untuk pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan termasuk tenaga angin, cakupan area transmisi PLN dengan lokasi di sekitar pantai bira juga sangat jauh, jadi dimungkinkan akan terjadi biaya yang cukup mahal untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di daerah Pantai Bira. Tabel 11. Kecepatan Angin Di Kabupaten Bulukumba (m/s)
Keterangan : 1) Sumber data Stasiun Klimatologi Maros Sulawesi Selatan. 2) Ketinggian tempat pengukuran 500 mdpl. 3) Ketinggian alat ukur 10 m dari permukaan tanah.
Pada Tabel 11. tercatat di Kabupaten Bulukumba kecepatan angin rata-rata tertinggi adalah 5 m/s dan kecepatan angin terendah 2 m/s.
Dari tabel 10. terlihat kecepatan angin rata-rata tertinggi di Kabupaten Jeneponto adalah 8 m/s dan kecepatan angin terendah 1 m/s.
Gambar 4. Lokasi Survey Di Pantai Bira Kabupaten Bulukumba
Dari area yang disurvey ternyata terdapat rencana dalam RTRW Sulawesi Selatan yang menyebutkan daerah Bangkala Jeneponto sebagai lokasi pengembangan Pembangkit Tenaga Angin, namun belum adanya data dari dinas terkait.
Gambar 3. Lokasi Survey Di Kabupaten Jeneponto
Dari area yang berpotensi dibangun pembangkit listrik tenaga angin di sekitar daerah bangkala barat menuju daerah area pembangkit dan transmisi PLN di Kabupaten Binamu memiliki jarak sekitar 25 km. Kabupaten Bulukumba Pada Kabupaten Bulukumba daerah survey yang dilihat memiliki peluang investasi pembangkit tenaga angin terletak di sekitar Pantai Bira. Pantai Bira berada di Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Hasil sementara dari data survey menunjukkan di daerah sekitar Pantai Bira kecepatan angin rata-rata kurang baik untuk dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin mengingat selain daerahnya meliputi pantai terjal juga bila dihitung untuk nilai investasi kurang baik dari segi ekonomi, kecepatan angin yang dihasilkan pembangkit tidak dapat menghasilkan listrik yang
IV.ANALISSIS INVESTASI PLT ANGIN DI SULSEL A. Analisis secara Ekonomi Data Pembangkit Listrik Tenaga Angin Dalam melakukan perhitungan keuangan perlu ditetapkan asumsi-asumsi sebagai dasar perhitungan yang dapat diperoleh dari hasil survei lapangan maupun hal-hal yang berlaku di masyarakat. Data untuk analisis ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Angin didasarkan atas hasil survei lapangan. Sulawesi Selatan terdapat peluang investasi sebesar 880 kw. Dalam studi, kapasitas Pembangkit dibagi menjadi 6 macam, yaitu 50 KW, 20 KW, 250 KW,
Energi III-119
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
1.
500 KW, dan 1 MW. Berikut adalah data masingmasing kapasitas pembangkit: Biaya Investasi untuk kapasitas 50 KW Pada tabel 12. Terdapat biaya investasi untuk pembangkit tenaga Angin di Sulsel Tabel 12. Biaya Investasi untuk 50 KW 3.
Tabel 13. Biaya Operasional Tahunan untuk 50 KW
Tabel 19. Biaya Operasional Tahunan untuk 500 KW
Tabel 20. Hasil Analisa untuk 500 KW
Tabel 14. Hasil Analisa untuk 50 KW
4. 2.
Biaya Investasi untuk Kapasitas 500 kw. Tabel 18. Biaya Investasi untuk 500 KW
Biaya Investasi untuk Kapasitas 1 MW. Tabel 21. Biaya Investasi untuk 1 MW
Biaya Investasi untuk kapasitas 20 KW Tabel 15. Biaya Investasi untuk 10 KW
Tabel 22. Biaya Operasional Tahunan untuk 1 MW
Tabel 16. Biaya Operasional Tahunan untuk 10 KW
Tabel 23. Hasil Analisis untuk 1 MW
Tabel 17. Hasil Analisa untuk 10 KW
V.
Anal
Energi III-120
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
B. Analisis Investasi Analisis investasi dilakukan pada kapasitas yang memungkinkan untuk pembangunan dan pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Daerah Istimewa Yogyakarta, NTT dan Sulawesi Selatan. Dalam analisis investasi ini digunakan metode Cost Benefit Analysis. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan adalah : 1. Biaya penjualan listrik didasarkan atas harga beli listrik oleh PLN. 2. PLTB beroperasi selama 24 jam dengan kapasitas produksi sebesar 50% dari kapasitas terpasang, hal ini dikarenakan kecepatan angin yang tidak konstan, sehingga produksi diperhitungkan dengan produksi 12 jam. 3. PLTB murni beroperasi dengan menggunakan tenaga angin, sehingga backup genset tidak dimasukkan ke dalam perhitungan. 4. Kapasitas yang digunakan dalam simulasi adalah 10 Kw, 20Kw dan 50Kw. Kapasitas diatas 50 Kw tidak digunakan karena memerlukan biaya konstruksi yang lebih mahal. 5. Operational Lifetime adalah 15 Tahun. C. Investasi PLTB Di Sulawesi Selatan Kebutuhan listrik dari PLTB di Sulawesi Selatan adalah sebesar 880 Kw. Dengan kebutuhan sebesar itu maka komposisi investasi terkecil yang memungkinkan untuk pembangunan dan pengelolaan PLTB di Sulawesi Selatan, seperti terlihat pada tabel 24. adalah Tabel 24. Simulasi 4 x 10 Kw untuk Pembiayaan Sendiri
Hasil analisis : B/C Ratio adalah 3,65 pada koneksi tegangan rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya operasional. Keuntungan operasional per tahun adalah 265% x Rp.57.800.000 =Rp. 153.280.960. Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-7. Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat adalah sebesar Rp. 1.238.614.400 atau 117%. Tabel 25. Simulasi 1 x 250 Kw untuk Pembiayaan Sendiri
Hasil analisis : B/C Ratio adalah 7,00 pada koneksi tegangan rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya operasional. Keuntungan operasional per tahun adalah 600% x Rp.188.400.000 =Rp.1.130.856.000. Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-7. Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat adalah sebesar Rp. 9.074.440.000 atau 115%. Tabel 26. Simulasi 1 x 500 Kw untuk Pembiayaan Sendiri dengan benefit cost ratio
Hasil analisis : B/C Ratio adalah 10,30 pada koneksi tegangan rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya operasional. Keuntungan operasional per tahun adalah 930% x Rp.256.200.000 =Rp.2.382.312.000. Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-6. Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat adalah sebesar Rp. 22.388.480.000 atau 168%. Tabel 27. Simulasi 1 x 1 MW untuk Pembiayaan Sendiri dengan benefit cost ratio
Energi III-121
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
2.
3.
Hasil analisis : B/C Ratio adalah 16,29 pada koneksi tegangan rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya operasional. Keuntungan operasional per tahun adalah 1529% x Rp.324.000.000 = Rp. 4.953.024.000. Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-4. Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat adalah sebesar Rp. 54.371.360.000 atau 273%. V. KESIMPULAN 1.
Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 4 x 10 KW yaitu : Investasi ini menguntungkan karena ada keuntungan pada akhir umur ekonomis. Keuntungan 115% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 7,7% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun.
Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 1 x 500 KW yaitu : Investasi ini menguntungkan karena ada keuntungan pada akhir umur ekonomis. Keuntungan 168% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 11,2% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 1 x 1 MW yaitu : Investasi ini menguntungkan karena ada keuntungan pada akhir umur ekonomis. Keuntungan 273% pada akhir tahun ke 15, atau sebesar 18,2% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun. REFERENCES
[1] http://www.kincirangin.info/plta-gbr.php. [2] PT. PLN (Persero). 2011. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020. [3] PT. Cipta Multi Kreasi. 2008. Studi Potensi Energi Listrik Alternatif Di Pedesaan Sebagai Upaya Dalam Mendukung Percepatan Diversifikasi Energi Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias. [4] Sekretariat Perusahaan PT. PLN (Persero). 2012. Statistik PLN 2011. [5] RTRW/RUTR BAPEDA Sulawesi Selatan. [6] LAPAN [7] ASPEK EKONOMI dari RTRW Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba
Energi III-122
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Fast Respon Three Phase Induction Motor Using Indirect Field Oriented Control Based On Fuzzy_PI Rizana Fauzi
Dedid Cahya Happiyanto
Departemen Pascasarjana Teknik Elektronika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Surabaya, Indonesia n
[email protected] [email protected]
Departemen Pascasarjana Teknik Elektronika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Surabaya, Indonesia
[email protected]
Abstract— Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan metode IFOC dengan controller logika fuzzy P_I pada aplikasi kendali kecepatan motor Induksi 3 phase. dalam memperbaiki kecepatan respon pada motor induksi dalam hal penyesuaian terhadap referensi kecepatan yang diberikan. Kendali logika fuzzy P_I yang digunakan merupakan sistem kendali modern yang mudah karena tidak perlu mencari model matematis dari sistem, tetapi tetap efektif karena memiliki respon sistem yang tidak stabil. Dalam penelitian ini dibuat alat pengatur kecepatan motor induksi dengan metode IFOC berbasis kendali logika fuzzy P_I. Metode ini diaplikasikan pada kendaraan hybrid, dimana diperlukan respon cepat dari motor induksi untuk mengikuti kecepatan putar engine, sehingga diperoleh hasil yang optimal ketika kendaraan sedang berakselarasi (pergantian motor engine ke motor induksi). Pengujian sistem dilakukan dengan variasi setting point kecepatan referensi terhadap sistem kendali, pada hasil simulasi penelitian didapatkan bahwa metode IFOC belum sempurna dalam hal pengaturan kecepatan motor induksi, diperlukan kendali fuzzy P_I yang dapat memperbaiki respon output, sehingga motor induksi memiliki performa yang baik, kecil osilasi saat mulai bekerja hingga ke kecepatan referensi. Kata kunci : fuzzy_PI, IFOC, motor induksi
I. LATAR BELAKANG Penelitian mengenai pengaturan kecepatan pada motor induksi 3 fasa semakin lama semakin berkembang, dikarenakan penggunaan pada industri dan khususnya pada kendaraan hybrid semakin banyak dikembangkan.Namun ada beberapa kelemahan motor induksi yang salah satunya adalah karakteristik parameter yang tidak linier, terutama resistansi rotor yang memiliki nilai yang bervariasi untuk kondisi operasi yang berbeda, sehingga tidak dapat mempertahankan kecepatannya secara konstan bila terjadi perubahan beban. Oleh karena itu untuk mendapatkan kecepatan yang konstan dan performa sistem yang lebih baik terhadap perubahan beban dibutuhkan sebuah pengontrol.
Gambar 1. Karakteristik motor induksi Sumber : (parekh, 2033)
Gambar di atas merupakan ilustrasi pada motor induksi pada saat kecepatan rotor mulai nol hingga kecepatan maksimalnya, untuk bergerak dengan kecepatan rendah, arus yang dibutuhkan sangat tinggi hingga mencapai tujuh kali arus kerjanya, sedangkan saat kecepatannya mulai tinggi, arus yang dibutuhkan berkurang hingga arus kerja normalnya. Seperti yang kita ketahui persamaan untuk permodelan motor induksi, adalah sebagai berikut :
Jika dipergunakan pengamatan konvensional, diperkirakan fluks stator dihitung berdasarkan persamaan motormenggunakan integrator murni sebagai berikut:
Diperkirakan fluks rotor dihitung dari perkiraan statorfluks sebagai berikut:
Energi III-123
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada gambar di atas, (13) arus 3 phase memiliki perbedaan phase 60 derajat antar phasenya. Dengan perbedaan ini, maka penambahan kapasitor tidak diperlukan. (14)
Perkiraan Sudut untuk fluks rotors diperoleh sebagai berikut. (15) Sehingga untuk mendapatkan kecepatan yang konstan dan peformansi motor yang lebih baik pada kecepatan rendah, dibutuhkan suatu metode pengontrolan yangmampu mengatasi setiap perubahan parameter pada motor induksi
Gambar 4.Bagian utama motor induksi 3 fasa
B. Konstruksi II. PERMASALAH Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana memodelkan secara matematis setiap perubahan resistansi rotor motor induksi 3 phase pada tiap perubahan waktu. 2. Bagaimana merancang kontroler yang mampu memperbaiki performa peningkatan kecepatan motor induksi, sehingga memiliki respon yang cepat saat ada perubahan parameter. III. TUJUAN
Konstruksi motor induksi secara detail terdiri atas dua bagian, yaitu : bagian stator dan bagian rotor. Stator adalah bagian motor yang diam, terdiri dari : badan motor, inti stator, belitan stator, bearing dan terminal box. Bagian rotor adalah bagian motor yang berputar, terdiri atas rotor sangkar dan poros rotor. Konstruksi motor induksi tidak memiliki komutator dan sikat arang. Ada dua jenis rotor pada motor induksi, yaitu jenis rotor sangkar tupai (sequirrel-cage rotor) dan rotor belitan (wound-rotor). Kedua rotor ini mempunyai konstruksi stator dan prinsip kerja yang sama. C. Aliran daya aktif motor induksi
Pada tesis ini akan didesain dan diimplementasikan suatu kontroler untuk pengaturan kecepatan dengan high respon pada motor induksi 3 fasa menggunakan teknik IFOC (Indirect Field Oriented Control), IFOC digunakan sebab sistem pengontrolan kecepatan yang akan diterapkan tidak menggunakan observer (pemodelan), tetapi dengan membaca perubahan yang terjadi pada sensor kecepatan. Dengan adanya metode dalam pengaturan kecepatan ini diharapkan mampu memperbaiki performa kecepatan motor induksi agar memiliki respon yang cepat dalam setiap perubahan parameter IV. DASAR TEORI A. Motor Induksi 3 Phase Motor Induksi 3 phase bekerja dengan memanfaatkan perbedaan fasa sumber untuk menimbulkan gaya putar pada rotornya. Jika pada motor Induksi 1 phase untuk menghasilkan beda phase diperlukan penambahan komponen kapasitor, pada motor 3 phase perbedaan phase sudah didapat langsung dari sumber seperti terlihat pada gambar arus 3 phase berikut ini:
Gambar 5. Aliran daya pada motor induksi
Kita dapat mengidentifikasi dan menghitung tiga hal penting dari motor induksi tiga fasa berdasarkan diagram aliran daya pada gambar yaitu efisiensi, daya dan torsi dari motor induksi. Efisiensi Dari definisinya, efisiensi merupakan rasio dari daya output dengan daya input, dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : Rugi-rugi pada rotor Seperti pada gambar, rugi-rugi pada rotor berhubungan dengan daya input rotor , dan digambarkan melalui persamaan berikut : Daya mekanik Daya mekanik yang dihasilkan oleh motor sama dengan daya yang dikirim pada rotor dikurangi rugi-rugi pada rotornya. Torsi motor Torsi, dihasilkan oleh motor pada semua atau berapapun kecepatan motornya dengan persamaan :
Gambar 3. Grafik arus 3 fasa
Energi III-124
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Besarnya arus direct-axis stator referensi dari input fluks referensi yaitu,
D. Field Oriented Control (FOC) Field Oriented Control (FOC) adalah suatu metode pengaturan medan pada motor AC, di mana dari sistem coupled diubah menjadi sistem decoupled. Dengan sistem ini arus penguatan dan arus beban motor dapat dikontrol secara terpisah, dengan demikian torsi dan fluksi juga dapat diatur secara terpisah, seperti halnya motor DC. Pada Pengaturan ini, kecepatan dari motor dimonitor oleh suatu sensor, bisa juga menggunakan tachometer. Kecepatan motor diumpan balikkan kemudian dibandingkan dengan kecepatan referensi oleh suatu komparator. Bila ada error, kemudian error tersebut menjadi input dari kontroller. Selanjutnya kontroller memberikan sinyal kepada sistem FOC, yang akan diteruskan ke rangkaian penyalaan dari inverter untuk mengubah tegangan dan arus motor, sehingga diperoleh suatu torsi yang diinginkan. Perubahan torsi ini akan mengubah kecepatan motor sehingga bisa mendekati kecepatan referensi.
adalah tergantung
Sudut flux rotor θe untuk transformasi koordinat diperoleh dari perhitungan antara kecepatan putaran rotor ωm dan kecepatan slip ωsl, dengan persamaan,
kecepatan slip diperoleh dari perhitungan arus stator referensi dengan parameter motor,
Arus referensi dan dikonversi ke dalam arus sefasa referensi , , yang akan menjadi input regulator arus. Kemudian regulator arus akan memproses arus fasa referensi menjadi sinyal pemicuan yang akan mengontrol inverter. E. Fuzzy_PI
Gambar 6. diagram blok pengaturan kecepatan motor induksi dengan FOC Sumber : Bagher Mohammad, Babaei Ebrahim, Tabriz University, 51665-317, Iran
Dilihat dari skema atau diagram blok sistem pengaturan kecepatan motor induksi dengan FOC (Field Oriented Control), inverter beroperasi sebagai sumber arus tiga fasa yang kemudian akan menjadi sumber yang akan menggerakkan motor induksi tiga fasa. Fluks rotor dan torsi dapat dikontrol secara terpisah oleh arus stator direct-axis (ids) dan arus quadratur-axis (iqs) secara berurutan. Besar arus quadratur-axis referensi (i*qs) dapat dihitung dengan torsi referensi Te* menggunakan persamaan berikut,
Sistem kendali logika adaptive fuzzy akan mengubah dan menyesuaikan parameter kendali secara otomatis sesuai dengan kelakuan sistem yang dikehendaki (Wang XinLi,1997). Sistem adaptive fuzzy dapat dipandang sebagai sistem logika fuzzy yang memiliki kemampuan membangkitkan aturan-aturan (rule) secara otomatis melalui pembelajaran. Sistem kesimpulan fuzzy yang memanfaatkan aturan fuzzy if-then dapat memodelkan aspek pengetahuan manusia yang kwalitatif dan memberi reasoning processes tanpa memanfaatkan analisa kwantitatif yang tepat. Ada beberapa aspek dasar dalam pendekatan ini yang membutuhkan pemahaman lebih baik, secara rinci: 1. Tidak ada metoda baku untuk men-transform pengetahuan atau pengalaman manusia ke dalam aturan dasar (rule base) dan database tentang fuzzy inference system. 2. Ada suatu kebutuhan bagi metoda efektif untuk mengatur (tuning) fungsi keanggotaan (membership function/MF) untuk memperkecil ukuran kesalahan keluaran atau memaksimalkan indeks pencapaian. Adaptive Fuzzy dapat bertindak sebagai suatu dasar untuk membangun satu kumpulan aturan fuzzy if-then dengan fungsi keanggotaan yang tepat, yang berfungsi untuk menghasilkan pasangan input-output yang tepat.
dengan Lr adalah induktansi rotor, Lm adalah induktansi mutual, dan λr adalah fluks linkage rotor estimasi, yang diperoleh dari persamaan berikut,
V. DESAIN SISTEM
Fuzzy _ PI
(20)
(21) Dengan
adalah konstanta waktu rotor. Gambar 18. Blok Desain Sistem
Energi III-125
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada bagan di atas, dapat kita lihat bahwa arus stator direct-axis yang digunakan untuk penguatan flux dibuat konstan yang kemudian dijadikan parameter untuk IFOC dan pembanding konstan pada slip. Kecepatan putar rotor aktual secara kontinu dibaca oleh sensor kecepatan yang kemudian dibandingkan dengan kecepatan rotor referensi. Nilai selisih antara kecepatan rotor aktual dan referensi kemudian dijadikan sebagai nilai error yang akan diolah oleh adaptive fuzzy backstepping yang keluarannya berupa nilai arus quadraturaxis . Arus stator direct-axis dan nilai arus quadratur-axis dengan metode IFOC ditransformasi menjadi arus sefasastasioner referensi yang diolah oleh PWM inverter menjadi arus 3 phase untuk menggerakkan motor induksi 3 phase.
Gambar 21. Pendekatan motor induksi 3 phase dengan IFOC
Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm
Gambar 22. Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,5s. Gambar 19. parameter motor induksi
Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm
Gambar 23. Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,7s. Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm
Gambar 20. Blok proses IFOC
Gambar 24. Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm
Energi III-126
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 1s. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 2,7s. Speed control dengan Fuzzy_PI
Gambar 25. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 1,3s. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm
Gambar 29. Speed control dengan Fuzzy_PI
Pada gambar 29, menunjukkan penggunaan speed controller dengan kendali fuzzy, yang dikombinasikan dengan kendali Proporsional-Integral (PI). Speed controller ini berfungsi untuk mengatur nilai flux dan torsi yang ideal yang kemudian akan dijadikan parameter input pada IFOC yang digunakan untuk mengatur kecepatan motor sesuai dengan perubahan nilai kecepatan referensi. Dengan penggunaan speed controller, respon output akan semakin baik dengan nilai osilasi yang semakin berkurang.
Gambar 26. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 1,7s. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm
Gambar 30. Speed control dengan Fuzzy_PI bagan kendali
Gambar 27. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 2,2s. Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm
Pada gambar 30, menunjukkan bagian dalam dari speed controller. Penggunaan kendali fuzzy, yang dikombinasikan dengan kendali Proporsional-Integral (PI) dapat mengubah respon output menjadi jauh lebih baik, dibandingkan jika tidak menggunakan kontroller pada IFOC (lihat gambar 22-28). Nilai kendali proporsional diatur pada nilai 10 dan nilai kendali Integral diatur pada nilai 5. Untuk memperoleh nilai ini dilakukan pengambilan data berkali-kali sehingga diperoleh kombinasi yang ideal untuk memperbaiki nilai transient dan osilasi saat sistem mulai bekerja. Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm
Gambar 28. Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm
Energi III-127
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Gambar 34. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Osilasai dengan nilai sangat kecil terjadi saat kecepatan motor telah mendekati referensi. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm
Gambar 31. Kecepatan rotor dengan referensi = 150)
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Nilai osilasi pada sistem saat bekerja sangat kecil Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm
Gambar 35. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm
Gambar 32. Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm)
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Osilasi pada sistem tidak terjadi saat start. Gambar 36. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm
Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Terjadi osilasi dengan nilai yang sangat kecil sesaat setelah kecepat motor memenuhi target referensi Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm
Gambar 33. Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm)
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Osilasi saat sistem mulai bekerja terjadi dengan nilai yang sangat kecil setelah start. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm
Gambar 37. Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm
Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start, waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan waktu sekitar 0,005s. Nilai osilasi sangat kecil, terjadi setelah kecepatan motor mendekati referensi Simulasi dengan beban
Energi III-128
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dengan beban torsi 25 kg untuk kecepatan motor 250 rpm
Gambar 42. Hasil simulasi dengan beban torsi 20 kg Gambar 38. Simulasi dengan menambahkan beban
Dengan beban torsi 5 kg untuk kecepatan motor 250 rpm
Gambar 39. Hasil simulasi dengan beban torsi 5 kg
Dengan beban torsi 10 kg untuk kecepatan motor 250 rpm
Gambar 39. Hasil simulasi dengan beban torsi 10 kg
Dengan beban torsi 15 kg untuk kecepatan motor 250 rpm
Analisa Hasil Simulasi pada grafik hasil simulasi dapat dilihat bahwa : 1. Penggunaan IFOC dapat digunakan sebagai pendekatan dalam hal pengaturan kecepatan motor induksi. Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan oleh iFOC hanya berfungsi untuk mengubah parameter nonlinier (parameter motor ac) ke parameter linier (menyerupai motor dc), sehingga jika parameter motor induksi yang tadinya non linier dapat diubah menjadi parameter linier, maka kecepatan motor induksi itu sendiri ikan lebih mudah untuk dikendalikan sesuai dengan referensi yang diinginkan. Pada simulasi dapat dilihat bahwa saat starting motor hingga mendekati referensi membutuhkan waktu yang cukup lama (0-2,7s) yang mengakibatkan terjadinya osilasi saat akan mencapai nilai referensi. Saat kecepatan rerefensi 150 dan 200 rpm, kecepatan aktual sedikit melebihi nilai referensi dengan overshot yang cukup banyak. 2. Penggunaan Fuzzy_PI dapat membantu respon output menjadi lebih baik dengan waktu respon yang sangat singkat (<0,1s) untuk mencapai nilai referensi. Osilasi saat start tidak terjadi sehingga saat akan mencapai referensi tidak terjadi osilasi yang tinggi, berbeda jika hanya menggunakan metode IFOC saja. Respon sistem semakin baik, dibuktikan dengan peningkatan kecepatan respon aktual mencapai niai referensi. Nilai overshot tidak terjadi dengan nilai steady state error yang sangat kecil. 3. Pada simulasi berbeban dengan kecepatan motor 250 rpm dan penambahan beban torsi dari 5-25 kg, dapat dilihat bahwa sistem cukup stabil dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan saat kecepatan motor mulai mengejar kecepatan referensi.
Gambar 40. Hasil simulasi dengan beban torsi 10 kg
Dengan beban torsi 20 kg untuk kecepatan motor 250 rpm
Gambar 41. Hasil simulasi dengan beban torsi 20 kg
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dalam kendali kecepatan motor induksi penggunaan IFOC saja belum mampu manghasilkan performa yang baik, sehingga diperlukan adanya controller yang dapat memberikan tanggapan respon input yang baik, sehingga menghasilkan keluaran yang baik dengan nilai osilasi yang sangat kecil dan respon yang cepat. 2. Penggunaan kendali fuzzy_PI sangat baik digunakan dikarenakan dengan adanya kendali PI, nilai eror
Energi III-129
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
dapat diminimalisir dan fuzzy memperbaiki respon input sehingga pencapaian referensi dapat dilakukan dengan cepat dan dengan tingkat eror yang relatif lebih kecil. Saran 1. Penerapan fuzzy_PI dapat dikembangkan menjadi adaptive fuzzy, sehingga sistem dapat mengatur tingkat perbaikan pada eror secara mandiri (adaptive). 2. Pada aplikasi pembebanan dapat ditambahkan fungsi perubahan beban sehingga jelas dilihat apa yang terjadi pada kecepatan motor saat bebannya tiba-tiba berubah. DAFTAR PUSTAKA [1] C. C. Channand K. T. Chau, Member, IEEE, An Overview of Power Electronics in Electric Vehicles, IEEE Transactions on Industrial Electronics, vol. 44, no. 1, February 1997 [2] Nobuyoshi Mutoh, Satoru Kaneko, Taizou Miyazaki, Ryosou Masaki, and Sanshiro Obara, A Torque Controller Suitable for Electric Vehicles, IEEE Transactions On Industrial Electronics, vol. 44, no. 1, February 1997 [3] Mariam Khan, and Narayan C. Kar, Performance Analysis of Fuzzy Based Indirect Field Oriented Control of Induction Motor Drives for Hybrid Electric Vehicles, IEEE
[4] Martin T. Hagan and Mohamad B.Menhaj, Training Feedforward with the Marquardt Algorithm, IEEE Transaction on Neural Network, Vol. 5 No. 6 November 1994 [5] Manolis I. A. Lourakis, A Brief Description of the Levenberg-Marquardt Algorithm Implemened by levmar, Institute of Computer Science Foundation for Research and Technology - Hellas (FORTH) Vassilika Vouton, P.O. Box 1385, GR 711 10 Heraklion, Crete, GREECE, February 11, 2005 [6] Jae-Sung Yu, Sang-Hoon Kim, Fuzzy logic based Vector Control scheme for permanent magnet Synchronous motors in elevator drive applicantion, IEEE Trans on Industrial Electronics, Vol. 54 No. 4, Aug 2007 [7] Mohamed Rachid Chekkouri, Jordi Catal, Fuzzy Adaptive Control of an Induction Motor Drive, ISSN 0005–1144 ATKAAF 44(3–4), 113–122 (2003) [8] M. Vasudevan, R. Arumugam, S.Paramasivam, High Performance Adaptive Intelligent Direct Torque Control Schemes for Induction Motor Drives, Serbian Journal Of Electrical Engineering, Vol. 2, No. 1, May 2005, 93 – 116 [9] Mamdani,E.H, Application Of Fuzzy Algoritms For Control Of Simple Dynamic Plant, Proc.Of IEEE, 12,1974, h.1585 – 1588 [10] CC Lee, Fuzzy Logic In Control System : Fuzzy Logic Controller Part I, IEEE Trans. On Systems, Man, And Cybernetics,Vol 20 No 2, March – April 1990 W,Li, A Method for Design of a Hybrid Neuro-Fuzzy Control Systems Based On Behavior Modeling, IEEE Trans. Fuzzy Systems, Vol 5,No1, February 1997, p. 128
Energi III-130
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Co-gasifikasi fluidized bed berbahan bakar sampah dan batubara I Nyoman Suprapta Winaya1), I Waya Edy Mudita, I Gusti Ngurah Putu Tenaya 1)
Rukmi Sari Hartati2) 2)
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Udayana
[email protected]
Abstrak—
Proses co-gasifikasi fluidisasi adalah proses pengkonversian dua bahan bakar padat atau lebih menjadi gas mudah terbakar secara thermokimiawi dengan jumlah oksigen yang terbatas pada unggun terfluidakan (fluidized bed). Pada penelitian ini bahan bakar campuran yang digunakan adalah sampah kota yang merupakan produk buangan masyarakat setiap hari. Dalam penelitan ini dianalisis komposisi hasil gas gasifikasi dengan variasi 3 komposisi bahan bakar sampah dan batubara dalam persen massa. Reaktor gasifikasi fluidized bed yang digunakan berdiameter 96 cm dengan tinggi 162 cm dan tebal 3 mm menggunakan bahan plat stainless steel SC 304. Temperatur dan kondisi operasi disesuaikan untuk proses gasifikasi pada laju alir udara yang konstan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kandungan gas CO seiring dengan prosentase peningkatan bahan bakar sampah yang dimasukkan. Kata kunci: Sampah, batubara, gasifikasi, fluidized bed
I. PENDAHULUAN Gasifikasi merupakan suatu proses thermokimia yang mengubah bahan bakar menjadi gas produser (mampu bakar) dengan memakai jumlah udara yang terbatas. Gas produser yang dihasilkan seperti (CO) karbon monoksida, (H2) hydrogen, (CH4) metana yang mampu dimanfaatkan untuk pembangkit energy termal. Pengkonversian dua jenis bahan bakar padat (co-gasifikasi) pada sebuah unggun terfluidakan (fluidized bed) dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas (nilai kalor) dari biomassa sampah kota yang akan digunakan dan mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Kandungan zat mudah terbakar (volatile matter) yang tinggi pada bahan bakar sampah mempunyai keuntungan yaitu sifatnya yang mudah terbakar, tetapi berpotensi menghasilkan gas NOx akibat pembakaran berlangsung cepat. Disisi lain penggunaan batubara sebagai bahan bakar padat sudah banyak diaplikasikan karena mempunyai nilai kalor tinggi dan kandungan sulfur, nitrogen serta abu dalam jumlah besar menghasilkan gas asap yang mengandung polutan tinggi [1]. Co-gasifikasi limbah sampah dan batubara diharapkan mampu meningkatkan kualitas bahan bakar terutama limbah sampah kota sehingga mencegah terjadinya perbedaan temperatur disembarang titik. Komposisi bahan bakar batubara dan sampah pada co-gasification fluidized bed yang optimal sangat diperlukan sebagai parameter untuk
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Udayana
[email protected]
mengembangkan sistem gasifikasi khususnya untuk bahan bakar sampah, sehingga bisa menjadi teknologi terapan. Penelitian ini mengacu pada pengaruh komposisi (persen massa) campuran bahan bakar sampah kota dan batubara pada sistem co-gasification fluidized bed terhadap distribusi temperatur dan gas produser yang dihasilkan. II. DASAR TEORI A. Proses Gasifikasi Gasifikasi adalah proses yang merubah biomassa menjadi gas yang dapat dibakar secara umum, dimana udara yang diperlukan lebih rendah dari udara yang digunakan untuk proses pembakaran [2]. Proses gasifikasi melibatkan empat tahapan proses berupa drying, pyrolisis, oksidasi parsial dan reduksi. Pengeringan (drying) pada kandungan air dalam wujud cair berubah menjadi uap air yang berwujud gas akibat proses pemanasan.
H2O(cair)→H2O(gas) Pirolisis/devolatisasi adalah terjadi pada suhu 150o sampai dengan 800oC (Surjosatyo dan Vidian, 2004). Untuk gasifikasi biomassa, pirolisis dapat di reprentasikan sebagai: Bahan bakar panasChar + Volatil
Oksidasi/pembakaran adalah pembakaran arang merupakan reaksi terpenting yang terjadi di gaterjadi pada suhu 800oC sampai dengan 1400oC (Surjosatyo dan Vidian, 2004). Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran adalah: C + 1/2 O2 → CO +110.7 KJ/mol C + O2 → CO2 + 393.77 KJ/mol H2 + 1/2 O2 → H2O + 742 KJ/mol CO + 1/2 O2 → CO2 + 283 KJ/mol
Reduksi/gasifikasi adalah terjadi pada suhu 600oC sampai dengan 900oC [4]. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas terbakar, seperti H2, CO dan CH4.
B. Jenis Gasifikasi
Energi I-131
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Saat ini terdapat 3 (tiga) jenis utama reaktor gasifikasi yaitu reaktor unggun tetap (fixed bed), reaktor unggun terfluidakan (fluidized bed) dan reaktor entrained flow. Ketiga jenis reaktor tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing yang akan diuraikan pada sub bab berikutnya. Updraft Gasifier Pada gasifier jenis ini, udara masuk melalui bawah gasifier melalui grate. Aliran udara ini berlawanan arah (counter current) dengan aliran bahan bakar yang masuk dari bagian atas gasifier. Gas produser yang dihasilkan keluar melalui bagian atas gasifier sedangkan abu diambil pada bagian bawah gasifier. Reaksi pembakaran pada gasifier ini terjadi di dekat grate kemudian diikuti reaksi kemudian diikuti reaksi reduksi (proses gasifikasi). Kekurangan updraft gasifier adalah tingginya jumlah uap tar yang terkandung didalam gas keluaran dan kemampuan gas produser membawa muatan rendah. Sedangkan keuntungan pemakaian updraft gasifier adalah mekanismenya sederhana, arang (charcoal) habis terbakar, suhu keluaran rendah dan efisiensi tinggi.
Gambar 2. Downdraft Gasifier [5]
Crossdraft Gasifier Crossdraft gasifier merupakan jenis gasifier yang khusus dirancang untuk arang (charcoal). Gasifier jenis ini hanya ditujukan untuk arang kualitas tinggi, temperatur gas keluaran gasifier tinggi, CO2 yang tereduksi rendah dan kecepatan gas tinggi. Hal ini disebabkan oleh design crossdraft gasifier penyimpanan abu, zona pembakaran dan reduksiannya terpisah. Desain seperti ini menyebabkan jenis bahan bakar yang dapat digunakan terbatas hanya berkadar abu rendah. Gasifier jenis ini beroperasi baik pada aliran udara dan bahan bakar yang kering dan cocok dioperasikan pada skala kecil.
Gambar 1. Updraft Gasifier
Downdraft Gasifier Pada downdraft gasifier, udara dimasukkan ke dalam aliran bahan bakar padat (packed bed) pada atau di atas zona oksidasi. Aliran udara ini searah (cocurrent) dengan aliran bahan bakar yang masuk ke dalam gasifier. Bahan bakar dimasukkan pada bagian atas gasifier Kekurangan yang dimiliki gasifier jenis ini adalah rendahnya efisiensi keseluruhan akibat rendahnya pertukaran panas dalam sistem dan kesulitan dalam menangani kelembaban dan kadar abu yang tinggi. Sedangkan kelebihan nya kemungkinan menghasilkan gas bebas tar sehingga masalah lingkungan yang ditimbulkan lebih kecil, perolehan tar dan minyak yang dihasilkan lebih sedikit sehingga sangat sesuai untuk mesin pembakaran dalam, ketel dan turbin.
Gambar 3. Crossdraft Gasifier[5]
C. Parameter Gasifikasi Fluidized bed Menurut [3] parameter penting yang harus diperhatikan dalam proses gasifikasi, yaitu : Temperatur Gasifikasi Temperatur tinggi pada proses memberikan keuntungan untuk menguapkan kadungan air dalam batubara dan sampah agar menghasilkan gas yang bersih. Fuel Consumtion Rate (FCR) FCR adalah laju konsumsi bahan bakar, laju bahan bakar biomassa yang dibutuhkan pada proses gasifikasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus: FCR =
Energi I-132
(kg/dt)
Menghitung air fuel rate (AFR)
(1)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
AFR mengacu pada kapasitas aliran udara yang dibutuhkan untuk proses gasifikasi. . . AFR = (2) Dimana: = Massa jenis udara (1,25 kg/m3) ε = Rasio ekuivalensi (0,3-0,4) SA = Udara stoikiometri dari bahan bakar III. METODE PENELITIAN Gambar 5. Bahan bakar sampah dan batubara
A. Deskripsi Alat Sebuah reaktor dengan diameter 96 cm dan tinggi 162 cm terbuat dari baja stainless steel SC304. Plat distributor berada di bagian bawah dengan motor penggerak mekanis. Fuel feeder type screw untuk memasukkan bahan bakar kedalam reaktor. Media hamparan pasir silica dengan aliran udara fluidisasi konstan menggunakan blower. Komposisi campuran batubara dan sampah kota berdasarkan persentase massa dengan berat bahan bakar 20 kg. Penelitian ini melibatkan 3 porsentase perbandingan komposisi massa sampah kotabatubara; 50-50 (I), 60-40(II), 70-30(III). Skema reaktor fluidized bed gasification dapat dilihat seperti gambar berikut:
C. Tahapan Pengujian Pemanasan reaktor pada temperatur operasi (600oC) dengan sistem pemanasan eksternal menggunakan burner oil. Temperatur dari setiap ketinggian pada dinding reaktor (T1, T2, T3, T4) diamati melalui termokopel yang dihubungkan dengan sebuah data logger untuk proses data secara digital. Setelah mencapai temperatur operasi maka burner dimatikan dan bahan bakar dimasukkan melalui fuel feeder. Laju udara fluidisasi konstan dialirkan dari sebuah unit blower dan mulai dilakukan pencatatan data serta pengambilan sampel gas. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan dari gas proses gasifikasi dianalisa Gas Chromatography. Sedangkan, hasil pengamatan berupa pencatatan waktu penyalaan, waktu operasi, waktu mulai nyala dapat dilihat seperti Tabel 1 di bawah ini: Tabel1. Data hasil pengujian komposisi limbah sampah-batubara
Blower Fuel feeder Gear rasio Dinamo motor Burner Material hamparan
Waktu Mulai Nyala (detik)
Waktu Operasi (detik)
Massa Penelitian (kg)
50- 50
900
2400
20
60-40
780
1800
20
70-30
600
1200
20
Dari Tabel 1 terlihat bahwa dengan bertambahnya komposisi biomassa yang mempunyai zat volatile (mudah terbakar) yang tinggi menyebabkan bahan bakar lebih reaktif sehingga waktu penyalaan menjadi semakin singkat. Tetapi waktu operasi juga mengalami penurunan yang berarti bahan bakar semakin cepat habis terbakar dengan meningkatnya konsentrasi biomassa didalam bahan bakar.
Gambar 4. Skema Reaktor Gasifikasi Fluidized Bed
Ket: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Limbah sampahbatubara (% massa)
7. Plat distributor 8. Cyclone 9. Safety valve 10. Water tank 11. Gate valve
B. Bahan Penelitian Sampel sampah kota diambil secara acak pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. Batubara jenis bituminous dibentuk dengan ukuran seragam untuk memudahkan proses pencampuran.
Energi I-133
700
60.000
600
50.000
FCR (kg/jam)
Temperatur (0C)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
500 400 300
T1
200
T2
100
T3
0
T4
51.515
40.000 31.037
30.000 22.388
20.000 0.000 I
Waktu (menit)
Gambar 6.
FCRa
10.000 II
III
komposisi campuran
Grafik distribusi temperatur untuk komposisi 50% sampah50% batubara;
Gambar 9. Grafik Hubungan Pengaruh Variasi Komposisi Terhadap Laju Komsumsi Bahan Bakar (FCRa)
Kandungan Dalam % volume
Dari Gambar 6 dapat dilihat temperature untuk T1 adalah 600 °C, T2 500 °C, T3 470°C dan T4 350 °C. Dimana untuk temperatur T1 berada paling bawah sehingga dekat dengan area hamparan yang merupakan zona pembakaran sehingga memiliki temperatur paling tinggi. 40 35 30 25 20 CO2
15
CO
10 5 0 I
II
III
komposisi campuran
Gambar 8.
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa untuk campuran batubara dan sampah FCRa akan meningkat. Pada komposisi campuran I FCRa sebesar 22,388 kg/jam, pada komposisi campuran II FCRa meningkat menjadi 31,037 kg/jam, pada komposisi campuran III FCRa-nya meningkat menjadi 51,515 kg/jam. FCRa tertinggi dihasilkan pada komposisi campuran III. Bila diartikan semakin besar FCR nya maka semakin banyak bahan bakar yang dikonsumsi dalam waktu yang sama. Dari perhitungan efisiensi (ɳ) bahan bakar, maka dapat dianalisis perbandingan variasi komposisi bahan bakar terhadap efisiensi bahan bakar yang ditunjukkan pada Gambar 10.
Grafik hubungan komposisi campuran terhadap gas CO dan CO2 pada gasifikasi fluidized bed.
Dengan meningkatnya komposisi biomassa pada campuran bahan bakar maka gas mampu bakar (CO) meningkat. Persentase tertinggi yaitu 17,15 % pada campuran III. Sedangkan pada kadar CO2 campuran I dan II terjadi sedikit peningkatan namun pada campuran III terjadi penurunan. Ini disebabkan bahwa pada proses gasifikasi gas CO2 pada suhu yang tinggi akan bereaksi dengan karbon (C) dan menghasilka gas CO, sehingga dapat dilihat bahwa kandungan CO2 dari komposisi campuran I ke komposisi campuran III menurun. Pada saat penelitian dengan variasi komposisi yang beda didapat waktu operasi yang berbeda – beda sehingga berpengaruh terhadap laju konsumsi bahan bakar (FCR). Gambar 9 di bawah ini menunjukkan hubungan antara komposisi campuran terhadap laju konsumsi bahan bakar aktual (FCRa).
86 84 82 80 78 76 74 72 70
77.5 75
variasi I Gambar 10
85
efisiensi
variasi II
variasi III
Grafik perbandingan variasi komposisi bahan bakar terhadap efisiensi (ɳ) bahan bakar
Berdasarkan grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi III dengan persentase komposisi sampah yang lebih banyak menghasilkan efisiensi bahan bakar yang lebih baik, hal ini dipengaruhi oleh kandungan volatile yang tinggi pada bahan bakar sampah, sehingga menghasilkan berat arang yang lebih sedikit dibandingkan variasi I dan II.
Energi I-134
V. KESIMPULAN
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi
Dari penelitian yang telah dilakukan pada co-gasification fluidized bed dengan perbandingan komposisi bahan bakar maka dapat disimpulkan : Waktu penyalaan menjadi lebih singkat dengan peningkatan persentase limbah sampah dalam campuran bahan bakar. Waktu operasi juga mengalami penurunan yang berarti bahan bakar lebih cepat habis terbakar dengan penambahan jumlah bahan bakar biomassa. Peningkatan gas CO dihasilkan seiring dengan peningkatan persentase limbah sampah yang dimasukkan dimana persentase tertinggi yaitu sebesar 17,15% didapat pada campuran III. Dengan persentase sampah yang lebih banyak dibanding dengan batubara pada penelitian, maka performansi gasifier yang berupa Fuel Consumption Rate (FCR) dan efisiensi bahan bakar gasifikasi akan semakin baik. Variasi komposisi persentase sampah lebih banyak dibanding dengan batubara juga memiliki pengaruh terhadap waktu operasi, waktu mulai nyala, dan waktu penyalaan. Waktu operasi dari komposisi campuran I,II dan III menjadi lebih cepat. Begitu juga waktu mulai nyala menjadi lebih cepat.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya para peneliti ucapakan kepada Pejabat Pembuat Komitmen Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek Kementerian Riset dan Teknologi, atas dana hibah yang diberikan untuk melaksanakan penelitian sesuai No. Kontrak: 47/SEK/INSINAS/PPK/I/2014.
DAFTAR PUSTAKA [1] Mirmanto. 2008. Nilai Kalor Sampah Hasil Produksi Masyarakat Kota Mataram. Mataram: Universitas Mataram [2] Grabowski P. 2004. Biomass Thermochemical Conversion OBP Efforts. Office of the Biomass Program. Washington D.C: US Department of Energy. Energy Efficiency and Renewable Energy. [3] Belino, A.T., (2005), Rice Huck Stove, Department of Agricultural Engineering and Environmental Management, Central Philippine University: Iolio City [4] Suryosatyo A. dan Vidian F. 2004 Studi Co-Gasifikasi Tandan Kosong dan Tempurung kelapa sawit menggunakan Gasifier Aliran ke bawah. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, C-1-1 s/d C-1-6, ISSN: 1411-4216. Semarang. [5] Robert manuriung, MS Roa (1981) “Gasifier Unggun Tetap Aliran Kebawah” Lontar.Ui.ac.id/fire?=digital/125517-r020850Pengembangan % 20 dan % 20 Studi-literatur.pdf.
Energi I-135
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Datar Dengan Penempatan Sirip Berbentuk Segitiga Yang Dipasang Secara Aligned Nengah Suarnadwipa, Rangga Iswara Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Udayana Badung, Indonesia.
[email protected]
Ketut Astawa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Udayana Badung, Indonesia.
[email protected]
Abstract— Kolektor surya adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mengumpulkan radiasi matahari dan mengubahnya menjadi energi kalor yang berguna. Kolektor surya pada umumnya, menggunakan laju aliran massa udara yang secara paralel melewati pelat penyerap. Udara yang masuk inlet akan melewati pelat penyerap dan langsung keluar melalui outlet. Dengan melakukan modifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dari kolektor surya ini yaitu dengan menambahkan sirip berbentuk segitiga yang disusun secara aligned yang ditempatkan pada bagian atas pelat penyerap, sehingga akan terjadi aliran udara secara torbulen di dalam kolektor. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan variabel bebasnya adalah intensitas radiasi matahari dan variabel terikatnya adalah energi berguna dan efisiensi kolektor surya pelat datar. Data diukur dengan mengunakan analisa matematis. Dengan penambahan sirip segitiga ini juga dapat memperluas daerah penyerapan panas pada pelat penyerap kolektor surya yang secara langsung memperluas permukaan perpindahan panas dari pelat penyerap ke fluida kerja yang nantinya diharapkan mampu menghasilkan temperatur keluar kolektor yang lebih tinggi dan lebih efisien. Dari hasil pembahasan penempatan sirip berbentuk segitiga pada kolektor surya pelat datar yang dipasang secara aligned menghasilkan energi berguna dan efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan kolektor surya tanpa sirip. Dilihat dari rata-rata hariannya energi berguna untuk kolektor bersirip aligned adalah 153.01 Watt dan untuk kolektor tanpa sirip 148.83 Watt, sedangkan untuk efesiensinya pada kolektor surya bersirip aligned adalah 37.94% dan untuk kolektor tanpa sirip 36.17 %.
Kata kunci : kolektor surya pelat data , sirip segitiga aligne , performansi kolektor
I. PENDAHULUAN Energi matahari merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat mudah diperoleh di Indonesia bahkan dianggap gratis, karena Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah khatulistiwa. Pemanfaatan energi surya sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik untuk pengeringan pakaian, kayu, dan hasil pertanian. Namun pemanfaatan dari energi matahari ini tidak dilakukan secara optimal. Sebagai contoh adalah pengeringan gabah yang mana
hanya diletakkan pada sebuah areal yang luas dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengeringkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian agar energi matahari yang ada ini dapat dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Kolektor surya adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mengumpulkan radiasi matahari dan mengubahnya menjadi energi kalor yang berguna. Kolektor surya pada umumnya, menggunakan laju aliran massa udara yang secara paralel melewati pelat penyerap. Udara yang masuk inlet akan melewati pelat penyerap dan langsung keluar melalui outlet. Ada beberapa tipe kolektor surya, salah satu diantaranya yang sudah banyak dikenal adalah kolektor surya pelat datar. Jenis kolektor ini menggunakan pelat berupa lembaran, dimana untuk mendapatkan hasil yang optimal permukaan kolektor dicat dengan warna hitam doff yang berfungsi untuk menyerap radiasi matahari yang datang dan mentransfer kalor yang diterima tersebut ke fluida kerja. Untuk menjaga agar tidak terjadi kerugian panas kelingkungan, maka digunakan penutup transparan sehingga terjadi efek rumah kaca sedangkan pada bagian bawah dan samping pelat kolektor diberikan isolasi. Namun kolektor surya dengan menggunakan pelat datar ini belum sempurna sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk mengoptimalkannya. Berdasarkan hal tersebut banyak peneliti telah memodifikasi dan mengembangkan kolektor surya, seperti yang sudah dilakukan oleh Dhanu Wijaya (2009) yang meneliti kolektor surya pelat datar bersirip dengan aliran diatas pelat penyerap, Adi Sucipta (2009) yang meneliti kolektor surya pelat datar bersirip dengan aliran dibawah pelat penyerap. Berbekal dari Journal of Food Engineering (A. Abene 2004) dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, maka pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dari kolektor surya ini yaitu dengan menambahkan sirip berbentuk segitiga yang disusun secara aligned yang mengarah keatas pada bagian atas pelat penyerap, sehingga akan terjadi aliran udara secara turbulen di dalam kolektor. Dengan penambahan sirip segitiga ini juga dapat memperluas daerah penyerapan panas pada pelat penyerap kolektor surya yang secara langsung memperluas permukaan perpindahan panas (heat transfer) dari pelat penyerap ke fluida kerja yang nantinya diharapkan mampu
Energi III-136
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
mengahsilkan termperatur keluar kolektor yang lebih tinggi dan lebih efisien II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Energi Energi dalam pengetahuan teknologi dan fisika dapat diartikan sebagai kemampuan melakukan kerja. Energi di dalam alam adalah suatu besaran yang kekal (hukum termodinamika I). Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikonversikan/berubah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi yang lain. Perubahan bentuk energi ini disebut konversi. Sedangkan perpindahan energi disebabkan adanya perbedaan temperatur yang disebut kalor. Energi juga dapat dipindahkan dari suatu sistem ke sistem yang lain melalui gaya yang mengakibatkan pergeseran posisi benda. Transfer energi ini adalah kemampuan suatu sistem untuk menghasilkan suatu kerja yang pengaruh/berguna bagi kebutuhan manusia secara positif. Perpindahan panas atau heat transfer adalah ilmu yang meramalkan perpindahan energi yang terjdi karena adanya perbedaan temperatur, dimana energi yang berpindah tersebut dinamakan kalor atau panas (heat). Panas akan berpindah dari medium yang bertemperatur lebih tinggi ke medium yang temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur diantara kedua medium tersebut. Mekanisme perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu perindahan panas terjadi secara konduksi, konveksi dan radiasi. B. Radiasi Matahari Bila energi radiasi menimpa permukaan suatu media, maka sebagian energi radiasi tersebut akan di pantulkan (reflections), sebagian akan diserap (absorptions), dan sebagian lagi akan diteruskan (transmitions). Radiasi
Gambar 2. Kolektor Surya Pelat Datar
1.
2.
3.
Penutup transparan Penutup transparan di harapkan memiliki sifat transmisivitas yang tinggi dan sifat absorsivitas serta refleksivitas serendah mungkin. Pelat penyerap Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan dengan tingkat absorsivitas yang tinggi guna menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan tingkat emisivitas yang serendah mungkin agar kerugian panas karena radiasi balik sekecil mungkin disamping itu pelat penyerap diharapkan memiliki konduktivitas thermal (K) yang tinggi. Isolasi Merupakan material dengan sifat konduktivitas termal (K) rendah, dipergunakan untuk menghindari terjadinya kehilangan panas kelingkungan.
D. Radiasi yang Diserap Kolektor Surya Proses penyerapan radiasi matahari oleh kolektor akan diperlihatkan pada Gambar 3. Radiasi matahari
Refleksi
τ
Penutup transparan (kaca)
Refleksivitas
(ρ) (1-α)τ
Absorsivitas
(α) Pelat Penyerap
Transmisivitas
(1-α) τ ρd
(Sumber : Bejan 1993, halaman 507) Gambar 1 Radiasi Matahari
Fraksi yang dipantulkan dinamakan refleksivitas (ρ), fraksi yang diserap dinamakan absorsivitas (α), dan fraksi yang diteruskan dinamakan transmisivitas (τ). Pada media bening seperti kaca atau media transparan lainnya, maka : ρ+α+τ=1 transmisivitas dianggap nol, sehingga: ρ+α =1 C. Kolektor Pelat Datar Bagian-Bagian Penting Kolektor Surya Pelat Datar
ατ Gambar 3 Penyerapan radiasi matahari kolektor surya
Dari energi yang menimpa masuk kolektor, maka (τ α) adalah energi yang diserap oleh pelat penyerap, dan sebesar (1-α) τ dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai penutup tersebut merupakan radiasi hambur, sehingga energi yang sebesar (1-α) τ ρd kemudian dipantulkan kembali oleh penutup menuju pelat penyerap. Proses pemantulan tersebut akan berulang terus. E. Efisiensi Kolektor Pemanas Udara Tenaga Matahari
Energi III-137
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengukuran performansi kolektor adalah efisiensi pengumpulannya (collection efficiency), yang didefinisikan sebagai rasio penambahan energi berguna (Qu) selama periode waktu tertentu terhadap energi matahari yang menimpanya selama periode waktu yang sama. Untuk efisiensi aktual, , dapat dihitung dengan persamaan:
a
Qu, a Ac.It
Untuk perhitungan efisiensi aktual didasarkan pada energi berguna aktualnya, dapat dihitung dengan pendekatan persamaan:
Dimana : = energi berguna kolektor sebenarnya tiap satuan luas (W/m2)
m
= laju aliran massa fluida (Kg/s) = panas jenis fluida (J/Kg.K), nilai dari properties berdasarkan temperatur ( T film
It
III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Kolektor surya pelat datar dengan pelat penyerap berbentuk sirip segitiga ini hampir sama kontruksinya dengan kolektor surya pelat datar, yaitu terdiri dari cover transparan, pelat penyerap, isolasi. Hanya saja pada kolektor surya ini ditambahkan sirip pada bagian bawah penyerap. Pada kolektor ini juga terdapat dua saluran udara yaitu saluran untuk udara mengalir (fluida kerja) dan saluran untuk udara yang dikondisikan diam seperti Gambar 3.5 Kondisi udara mengalir berada di bawah pelat penyerap,sedangkan untuk kondisi udara diam berada di atas udara mengalir, yaitu di antara pelat penyerap dengan permukaan pelat atas. Setelah ditentukan dimensi dari kedua kolektor, maka selanjutnya dibuat sebuah rancangan kolektor, yaitu kolektor dengan peletakan sirip yang berada dibawah pelat penyerap. Pada penelitian ini menggunakan pelat penyerap bersirip,beberbentuk segitiga sama kaki dengan lebar W= 0.1 m, dan tinggi sirip t= 0.1 m. Pelat dan sirip ini terbuat dari bahan yang sama sehingga memiliki sifat fisik yang sama.
didapat fluida
To Ti ) 2
= Intensitas radiasi matahari yang menimpakolektor (W/m2) = temperatur fluida masuk (K). = temperatur fluida keluar (K).
Gambar 4 Konstruksi Kolektor Surya
F. Sirip (Fin) Istilah permukaan yang diperluas secara umum digunakan pada benda padat yang mengalami transfer energi melalui konduksi sesuai kondisi batasnya dan transfer energi yang sama akan dilakukan kelingkungannya melalui konveksi dan/atau radiasi. Untuk meningkatkan laju perpindahan dapat dilakukan dengan menambah luas penampang permukaan, dimana konveksi terjadi. Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan sirip yang meluas dari permukaan media padat ke dalam fluida yang berada di sekelilingnya, salah satunya adalah sirip berbentuk segitiga, seperti pda Gambar 2.5.
Gambar 3. Sirip berbentuk segitiga (Sumber : A. Abene 2003)
B. Prosedur Pengujian Prosedur yang dilakukan selama pengujian adalah : 1. Pengujian dilakukan pada Pk 9.00 – Pk 18.00 2. Selang waktu pengambilan data dilakukan setiap 10 menit sekali 3. Blower dijalankan untuk mengalirkan udara sebagai fluida kerja kedalam kolektor 4. Atur katup untuk memperoleh laju aliran massa yang sama, dengan cara mengukur tekanan udara masing-masing kolektor.dimana besarnya tekanan akan ditunjukan oleh kenaikan fluida pada manometer 5. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap parameter-parameter terukur, seperti temperatur
Gambar 5 Rancangan Pengujian
Gambar 5 menunjukan skematik dari alat uji ini, dimana fluida masuk melalui blower menuju pipa bercabang
Energi III-138
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
yang menghubungkan kolektor pelat datar tanpa sirip dan kolektor pelat datar dengan sirip, dimana sebelum masuk ke kolektor, laju aliran massa fluida ditentukan menggunakan manometer sebesar 0,012 kg/s, kemudian fluida akan masuk ke dalam kolektor. Pada kolektor pelat datar tanpa sirip yang, ketika radiasi matahari menimpa permukaan kolektor yang kemudian ditransmisikan melalui penutup transparan dan kemudian akan diubah menjadi energi panas oleh pelat penyerap. Selanjutnya akan terjadi perpindahan panas dari pelat penyerap menuju fluida yang mengalir di dalam kolektor dan pada akhirnya temperatur fluida keluar menjadi meningkat. Begitu juga pada kolektor pelat datar dengan sirip. Bedanya, pada kolektor dengan sirip ini, fluida yang masuk akan dipecah oleh susunan sirip-sirip segitiga sehingga aliran yang terjadi di dalam kolektor adalah aliran turbulen. Sehingga fluida keluar akan menghasilkan temperatur yang lebih tinggi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 7 Grafik Efisiensi kolektor surya
Dari hasil pengujian diperoleh data-data yang digunakan untuk menentukan besarnya energi berguna dan efisiensi kolektor. Untuk perhitungan besarnya energi berguna baik pada kolektor tanpa sirip dan kolektor dengan sirip, dihitung menggunakan persamaan 4 sedangkan besarnya efisiensi kolektor dihitung menggunakan persamaan 3. Hasil perhitungan menunjukan besarnya energi berguna yaitu pada kolektor surya dengan sirip adalah sebesar 229,7 W sedangkan energy berguna dari kolektor tanpa sirip besarnya 108,8 W. Efisiensi untuk kolektor surya dengan sirip sebesar 40,6 % sedangkan efisiensi untuk kolektor tanpa sirip sebesar 19,23 % Hasil dari performansi kolektor yang diperoleh dapat dilihat seperti pada grafik di bawah.
Gambar 7 diatas dapat dilihat bahwa efisiensi rata-rata pada kolektor surya pelat datar bersirip memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolektor tanpa sirip Hal ini dikarenakan kolektor surya pelat datar bersirip berbentuk segitiga mampu menyerap panas yang lebih banyak ketika intensitas matahari tinggi. V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa secara kuantatif dengan penambahan pelat berbentuk segitiga yang disusun secara aligned energi bergunanya yang lebih tinggi yaitu sebesar 153.01 watt daripada kolektor surya pelat datar tanpa sirip sebesar 148.83 watt, secara kualitatif penambahan sirip berbentuk segitiga dapat memperluas penyerapan perpindahan panas ke fluida kerja sehingga untuk efesiensinya pada kolektor surya bersirip aligned adalah 37.94% lebih tinggi dibandingkan dengan kolektor tanpa sirip sebesar 36.17% . REFERENCES [1]
[2]
[3]
[4]
Gambar 6 Grafik perolehan Energi berguna
Pada gambar 6 dapat dilihat bahwa energi berguna (Qu) rata-rata kolektor surya pelat datar bersirip lebih tinggi di bandingkan dengan energi berguna pada kolektor tanpa sirip itu di karenakan luas bidang penyerapan panasnya lebih luas.
[5]
A. Abene *, V. Dubois, M. Le Ray, A. Ouagued, 2003, Study of a solar air flat plate collector: use of obstacles and application for the drying of grape AgusWijayaPutra, I Made (2013), Analisa Performansi Kolektor Surya Turbular Dengan Variasi Posisi Pipa Penyerap yang Disusun Secara Seri dengan Menggunakan Pasir sebagai Media Penyimpan Panas, Teknik Mesin Udayana, Bali Anthalano, Ali, (2008), Studi Eksperimen Unjuk Kerja Kolektor Surya Dengan Penambahan Plat Square honeycomb. DhanuWijaya, I Made., (2009), Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di Atas dan di Bawah Pelat Penyerap, Teknik Mesin Udayana, Bali Duffie, J. A., and Backman, W. A., (1991), Solar Engginering of Thermal Processes, 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc, New York
Energi III-139
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[6] Incropera and Dewit, (1996), Fundamentals of Heat and Mass transfer, Jhon Wiley & Sons, Inc, New York [7] Ismantoalpha, 2009, Macam-macam Kolektor Surya, Available from: http://ismantoalpha.blogspot.com/2009/12/macammacam-kolektor-surya.html, Accesed: 1 Desember 2013 [8] Jansen, Ted J. alih bahasa oleh Prof. Wiranto Arismunandar, (1995), Teknologi Rekayasa Surya, PT. Pradnya Paramita, Jakarta [9] Strukmann, Fabio, (2008), Analysis of a Flat-plate Solar Collector, Dept. Of Energy ciences, Faculty of
Engineering, Lund University, Box 118, 22100 Lund, Sweden [10] Suardamana, I Made (2009), Analisa Performa Kolektor Surya Pelat Datar dengan Variasi Panjang Sirip Sebagai Pelat Penyerap, Teknik Mesin Udayana, Bali [11] WawanDarmawan,IPutu,(2006),VisualisasiAliranFluida Melintasi Airfoil padaVariasiSudutSerangdanBilangan Reynolds, Skripsi Program StudiTeknik Mesin Udayana, Bali
Energi III-140
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Variasi Konfigurasi Jarak dan Jumlah Sekat Heat exchanger Terhadap Kinerja Pada Mesin Pendingin Tipe Cascade Reyhan Kiay Demak , Muhammad Hasan Basri , Muhammad Taqwa Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako, Palu, Indonesia
[email protected] Abstrak, Mesin pendingin tipe cascade adalah mesin pendingin siklus kompresi uap tunggal yang disusun secara seri menggunakan sebuah heat exchanger yang berfungsi sebagai evaporator pada sisi high stage dan kondensor pada sisi low stage, sebuah studi termodinamika menyatakan bahwa COP maksimum akan diperoleh pada alat penukar kalor dengan beda temperatur seminimal mungkin [1], oleh karena itu pada penilitian ini akan dilakukan eksperimen dengan memvariasikan jarak dan jumlah sekat pada heat exchanger tipe shell and tube untuk mengetahui pengaruh variasi tersebut terhadap kinerja mesin refrigerasi tipe cascade dengan pasangan refrigeran R134A dan R410A. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Teknik Pendingin Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Tadulako. Metode eksperimen yang dilakukan adalah dengan membandingkan 3 variasi jarak dan sekat (HE1: Jumlah sekat 7, jarak 4.5 cm; HE2: jumlah sekat 9, jarak 3.6 cm; HE3: jumlah sekat 12, jarak 3 cm) pada heat exchanger dengan jumlah tube dan luas permukaan tube yang sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari ketiga variasi tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada COP dari mesin refrigerasi system cascade baik pada sisi high stage maupun low stage, akan tetapi variasi heat exchanger berpengaruh terhadap temperatur keluar kondensor dan temperatur evaporasi yang dapat dicapai pada sisi low stage dimana rata-rata temperatur keluar kondensor untuk ketiga HE adalah 7.6 oC (HE1), 3.6 oC (HE2) dan 2.4 oC (HE3), sedangkan temperatur evaporasi rata-rata yang dapat dicapai -45.9 oC (HE1), -50.3 oC (HE2) dan -51.4 oC (HE3).
Kata kunci : Mesin Pendingin, Cascade, Heat exchanger, Jarak Sekat, Jumlah Sekat, COP. I. PENDAHULUAN Mesin refrigerasi khususnya siklus kompresi uap merupakan perangkat refrigerasi yang paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun kebutuhan industri, mesin refrigerasi dengan temperatur evaporasi yang rendah umumnya dimanfaatkan untuk proses pengawetan makanan dan penyimpanan obat-obatan. Contohnya pada temperatur storage -40 oC dapat digunakan untuk menyimpan ikan cod dalam jangka waktu panjang dan pada temperatur -30 oC cukup untuk digunakan menyimpan ikan cod dibawah 12 bulan [2]. Untuk mencapai temperatur evaporasi yang rendah dengan menggunakan siklus tunggal dibutuhkan rasio kompresi yang cukup tinggi, kondisi ini akan menurunkan efisiensi kerja dari kompresor, oleh karena itu untuk mencapai perbedaan tekanan yang cukup
besar antara sisi kondensor dan sistem refrigerasi kompresi uap dapat disusun 2 tingkat atau lebih atau biasa dsiebut dengan cascade refrigeration system / multi-stage refrigeration system. Untuk kapasitas pendingin yang sama, sistem cascade menghasilkan temperatur evaporasi, temperatur discharge kompresor dan rasio kompresi yang lebih rendah, dan efisiensi volumetrik kompresor yang lebih tinggi [3] Perbandingan kinerja dan biaya pada sistem cascade R744 dibandingkan dengan sistem tunggal dengan refrigeran R22 dan R404A menunjukkan bahwa sistem cascade R744 dapat menurunkan konsumsi listrik 13% – 24% dibandingkan R22 dan R404A sistem Tunggal, rasio kompresi yang lebih rendah dapat memperpanjang umur kompresor, menurunkan jumlah refrigeran yang digunakan dalam sistem, dan menurunkan biaya instalasi dan perawatan [4] Pada cascade refrigeration system variasi temperatur pada sisi kondensor dan evaporator pada cascade heat exchanger akan mempengaruhi COP dari sistem, dimana peningkatan temperatur kondensor dan perbedaan temperatur cascade kondensor akan menurunkan COP dan peningkatan temperatur pada cascade evaporator dapat meningkatkan kinerja sistem [1] Jarak sekat pada shell and tube heat exchanger akan mempengaruhi koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U) dan pressure drop, peningkatan jarak sekat akan menurunkan pressure drop dan juga menurunkan koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U), dan sebaliknya penurunan jarak sekat akan menaikan pressure drop dan koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U) [5] Pada penelitian ini akan dilakukan eksperimen dengan memvariasikan konfigurasi (jarak dan jumlah sekat) pada cascade heat exchanger tipe shell and tube untuk mengetahui pengaruh variasi tersebut terhadap kinerja mesin refrigerasi tipe cascade dengan pasangan refrigeran R134A dan R410A. II. MULTI –STAGE REFRIGERATION SYSTEM/CASCADE REFRIGERATION SYSTEM Mesin refrigerasi sistem cascade adalah gabungan dari dua atau lebih sistem refrigerasi tunggal siklus kompresi uap. Sebuah sistem cascade dua tingkat beroperasi dengan dua unit kompresi uap terpisah dengan refrigeran yang
Energi III-141
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi berbeda dan saling berhubungan di mana evaporator dari satu sistem yang digunakan untuk melayani kondensor pada sistem temperatur yang lebih rendah (evaporator dari unit pertama mendinginkan kondensor dari unit kedua). Dalam prakteknya, susunan alternatif memanfaatkan kondensor yang sama dengan rangkaian booster untuk menghasilkan dua temperatur evaporator terpisah [6] Prinsip kerja mesin refrigerasi sistem cascade secara umum sama dengan sistem tunggal siklus kompresi uap, dimana dalam satu sistem terdapat empat perangkat utama yaitu kompresor, kondensor, katup ekspansi dan ecaporator. Kompresor bertugas untuk mengkompresi refrigeran dalam fase uap jenuh/ uap lanjut menjadi uap refrigerap superheated bertekanan tinggi, selanjutnya uap refrigeran akan dikondensasikan pada kondensor sehingga berubah fasa menjadi cair jenuh pada kondisi tekanan konstan, cairan refrigeran selanjutnya akan diekspansikan secara isentalpik pada katup ekspansi sehingga tekanan dan temperaturnya turun dan refrigeran masuk kedalam kondisi dua fasa, selanjutnya refrigeran akan menyerap beban kalor pada evaporator sehingga berubah fasa menjadi uap jenuh/ uap lanjut dalam kondisi tekanan konstan dan selanjutnya sistem berulang kembali.
Gambar 2. Diagram Temperatur-Entropi dan diagram Tekanan-Entalpi pada sistem cascade R134A-R410A. [7]
Gambar 1. Skema sederhana mesin refrigerasi sistem cascade.
Pada mesin refrigerasi sistem cascade dengan dua tingkat seperti yang terlihat dalam gambar 1, pada sisi high stage beban pendingin pada sisi evaporator high stage dimanfaatkan untuk membuang kalor pada kondensor sisi low stage. Kedua komponen (evaporator high stage dan kondensor low stage) terangkai dalam satu perangkat heat exchanger yang dinamakan cascade heat exchanger.
Pada Gambar 2 ditampilkan diagram temperatur-entropi dan diagram tekanan-entalpi pada sistem cascade R134AR410A berdasarkan data eksperimen, tidak seperti sistem cascade lainnya, pasangan refrigeran pada sistem ini mempunyai kurva saturasi yang mirip. Pada diagram temperatur-entropi diagram R134A terletak diatas R410A, dan bentuknya cukup serupa pada setiap variasi kondisi. Pada diagram tekanan-entalpi bentuknya tidak biasa disebabkan R410A mempunyai tekanan saturasi yang yang lebih tinggi daripada R134A, dan tekanan evaporasi dari R134A dapat lebih rendah daripada R410A. [7] III. ANALISIS TERMODINAMIKA Analisa kinerja mesin refrigerasi sistem cascade pada penelitian ini dilakukan secara termodinamika dengan mengambil beberapa asumsi dalam sistem, data hasil pengukuran berupa tekanan dan temperatur pada setiap titik pengamatan selanjutnya digunakan untuk mencari nilai entalpi pada setiap titik operasi pada sistem. Selanjutnya data-data tersebut digunakan untuk menghitung kinerja sistem yaitu: a. Kerja kompresor W Comp_LS =ṁ LS h2 -h1 (1) W Comp_HS =ṁ HS h6 -h5 (2) W total =W Comp_LS +W Comp_HS (3)
Energi III-142
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
b. c. d.
e.
Laju perpindahan kalor pada kondensor QCond_ HS =ṁ HS h6 - h7 (4) Laju perpindahan kalor pada evaporator QEvap_ LS = ṁ LS h1 - h4 (5) Laju perpindahan kalor pada cascade heat exchanger Dengan mengambil asumsi bahwa tidak ada kalor yang masuk dan keluar dari cascade heat exchanger, dan efisiensi heat exchanger 100% maka persamaan laju perpindahan kalor pada heat exchanger dapat ditulis sebagai berikut: QCas_Kond_ LS = QCas_Evap_ HS (6) atau ṁ LS h2 - h3 = ṁ HS h5 -h8 (7)
dan 322,164 cm2 secara berurutan. perbedaan untuk setiap variasi heta exchanger hanya terletak pada jarak dan jumlah sekat, detail dari konfigurasi heat exchanger dapat dilihat pada tabel 1. Dan detail desain heat exchanger dapat dilihat pada gambar 4. Tabel 1. Variasi Konfigurasi Cascade Heat exchanger Heat exchanger
Jumlah sekat
Jarak sekat (cm)
HE 1 HE 2 HE 3
7 9 11
4,5 3,6 3
COP (coefficient of performance) COP = COP =
Q Evap_ HS W HS Q Evap_ LS W LS Q Evap_ LS
= =
W total ṁ LS h1 -h4
ṁ LS h2 -h1 +ṁ HS h6 -h5
(8) (9) (10)
Gambar 4. Detail Cascade Heat exchanger dengan 7 Sekat.
(11)
Penelitian dilakukan dengan cara melakukan eksperimen dengan menggunakan ketiga variasi heat exchanger, data berupa temperatur dan tekanan yang terukur pada termokopel dan pressure gauge direkam setiap interval 2 menit selama 40 menit pengujian, data pengujian selanjutnya diolah dan dianalisis secara termodinamik.
IV. METODE EKSPERIMEN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pendingin Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako, Alat pengujian dalam eksperimen ini dirancang dan dibangun khusus untuk melakukan berbagai pengujian pada sistem cascade seperti yang terlihat pada gambar 3. Pasangan refrigeran yang digunakan pada eksperimen ini adalah R134A pada high stage dan R410A pada low stage.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Heat exchanger Pada penelitian ini kinerja heat exchanger diamati pada perubahan temperatur masuk dan keluar sisi kondesnor dan sisi evaporator pada cascade heat exchanger seperti pada Gambar 5. Dengan mengasumsikan bahwa laju aliran refrigeran pada sisi high stage dan low stage konstan untuk setiap variasi heat exchanger (jumlah dan jarak sekat), maka selisih dari temperatur masuk dan keluar sisi kondensor dan evaporator dapat dijadikan rujukan seberapa besar laju perpindahan kalor yang terjadi pada sisi kondensor dan evaporator pada cascade heat exchanger.
T in Cond
T out Cond
Gambar 3. Rangkaian Alat Pengujian sistem cascade R134A-R410A
Pada penelitian ini dilakukan variasi pada konfigurasi (jarak dan jumlah sekat) cascade heat exchanger, tipe heat exchanger yang digunakan adalah shell and tube heat exchanger, one way pass dengan 3 buah tube dan sebuah shell, diameter, panjang dan luas permukaan tube sama untuk setiap variasi heat exchanger yaitu 0,475 cm, 36 cm
T out evap T in evap
Energi III-143
Gambar 5. Profil Temperatur pada cascade heat exchanger
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi kondensor dapat terlihat cenderung konstan sejak menit ke 10, dimana temperatur keluar kondensor rata-rata untuk HE1, HE2 dan HE3 adalah 7.6 oC, 3.6 oC dan 2.4 oC secara berurutan, dari data tersebut terlihat adanya hubungan antara variasi konfigurasi heat exchanger (jumlah dan jarak sekat) terhadap temperatur keluar kondensor pada sisi low stage, semakin banyak jumlah sekat dan semakin kecil jarak sekat akan mendapatkan temperatur keluar kondensor yang semakin rendah. 90
16 14 12 10 8 6 4 2 0
80 Temperatur (oC)
delta T evap HS ( °C)
Pada Gambar 6 dapat diamati selisih temperatur masuk dan keluar pada sisi evaporator, dari grafik tersebut dapat diamati bahwa selisih temperatur terbesar terjadi pada HE 3, diikuti dengan HE 2 dan HE 1 dengan selisih temperatur terendah, dengan rata-rata selisih temperatur 13.6 oC, 8.9 oC dan 6 oC secara berurutan. Dari data tersebut dapat diamati bahwa laju perpindahan kalor (Efek refrigerasi) pada evaporator meningkat seiring dengan berkurangnya jarak sekat dan bertambahnya jumlah sekat.
0
10
20
30
40
60 50 40 30 20
waktu (menit) HE 1 (4,5 cm) HE 3 ( 3 cm)
70
10 0
HE 2 (3,6 cm)
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 Waktu (menit)
Gambar 6. Grafik Selisih Temperatur pada sisi Evaporator pada cascade heat exchanger terhadap waktu
To Cond HE1
Ti Cond HE2
To Cond HE2
Ti Cond HE3 To Cond HE3 Gambar 8. Grafik hubungan temperatur keluar dan masuk kondensor pada ketiga variasi HE.
70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
HE 1 (4,5 cm)
20 waktu (menit) HE 2 (3,6 cm)
30
40 HE 3 ( 3 cm)
Gambar 7. Grafik Selisih Temperatur pada sisi Kondensor pada cascade heat exchanger terhadap waktu
Pada Gambar 7 terlihat grafik hubungan selisih temperatur pada sisi kondensor terhadap waktu, pada grafik ini dapat diamati bahwa selisih temperatur pada HE 2 dan HE 3 cukup berdekatan, dimana rata-rata selisih temperatur pada HE 2 dan HE3 adalah 57.2 oC dan 55.3 oC, selisih temperatur terbesar justru didapat pada HE 1 dengan selisih rata-rata 63.8 oC. pada kondensor terlihat bahwa laju perpindahan panas pada kondensor terbesar justru terjadi pada HE dengan jarak sekat terbesar. Pada Gambar 8 dapat diamati temperatur masuk dan keluar kondensor pada sisi low stage, dari grafik tersebut terlihat adanya peningkatan temperatur masuk kondensor terhadap waktu, temperatur tertinggi terjadi pada HE1 dengan temperatur maksimal pada menit ke 40 adalah 78.7oC disusul oleh HE2 dan HE3 dengan temperatur 65.1oC dan 63.7 oC, sedangkan untuk temperatur keluar
Kinerja Mesin refrigerasi sistem cascade Pengaruh variasi Heat exchanger terhadap Temperatur evaporasi pada sisi evaporator low stage terlihat pada Gambar 9, Temperatur evaporasi pada HE2 dan 3 cukup berdekatan, dimana rata-rata temperatur evaporasi pada HE2 dan HE 3 adalah -50.3 dan -51.4oC secara berurutan, sedangkan pada HE 1 temperatur evaporasi yang dapat dicapai rata-rata sekitar -45.9 oC, dari data ini dapat terlihat adanya pegaruh variasi HE terhadap temperatur evaporasi, kondisi ini dapat terjadi karena adanya pengaruh temperatur keluar kondensor terhadap variasi HE, dimana rata-rata temperatur keluar kondensor untuk HE1, HE2 dan HE3 adalah 7.6oC, 3,6oC dan 2.4oC. seperti yang tergambarkan pada gambar 8. 0 -10 T emperatur Evaporasi (oC)
80 delta T cond LS (°C)
Ti Cond HE1
Energi III-144
waktu (menit) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40
-20 -30 -40 -50 -60 HE1 (4,5cm)
HE2(3,6cm)
HE3 (3cm)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi Gambar 9. Grafik temperatur evaporasi pada sisi Low stage 100 160
90
155
80 70
W LS (kj/kg)
qe HS (kj/kg)
150 145 140 135
60 50 40 30
130
20
125
10
120 0
10 20 waktu (menit) HE 1 (4,5 cm) HE 2 (3,6 cm)
30
0
40
20
30
40
waktu (menit) HE 1 (4,5 cm)
HE 3 (3 cm)
HE 2 (3,6 cm)
HE 3 (3 cm)
Gambar 13. Grafik Kerja Kompresor sisi Low stage terhadap waktu
Gambar 10. Grafik Efek refrigerasi pada sisi high stage terhadap waktu
Pada Gambar 12 dan Gambar 13 dapat dilihat bahwa kerja kompresor pada HE3 lebih rendah daripada HE 2 dan HE1 baik pada sisi low stage maupun sisi highs stage, sedangkan pada penggunan HE 2 kerja kompresor pada sisi low stage lebih rendah daripada HE1 dan pada sisi high stage kerja kompresor pada HE1 dan HE2 cukup berdekatan. Dari gambaran diatas dapat terlihat bahwa kerja kompresor pada heat exchanger dengan jarak sekat paling kecil lebih kecil dibandingkan dengan kedua heat exchanger lain dengan jarak sekat yang lebih besar.
230 qe LS (kj/kg)
10
220 210 200 190 180 0
10
HE 1(4,5 cm)
20 waktu (menit)
30
HE 2 (3,6 cm)
40
4.0
HE 3 (3 cm)
3.5
Gambar 11. Grafik Efek refrigerasi pada sisi low stage terhadap waktu
Pengaruh variasi HE terhadap efek refrigerasi pada sisi Low satge dan high stage dapat diamati pada Gambar 10 dan Gambar 11. Pada sisi low high stage efek refrigerasi terbesar diperoleh pada HE3 selanjutnya diikuti oleh 2 dan HE1, hal yang berbeda justru terjadi pada sisi low stage dimana efek refrigerasi terbesar justru didapat pada HE1, diikuti HE 2 dan HE3.
COP HS
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0
110
10
HE 1 (4,5 cm)
100
20 waktu (menit) HE 2 (3,6 cm)
30
40 HE 3 (3 cm)
Gambar 14. Grafik COP sisi high stage terhadap waktu
90 W HS (kj/kg)
80
12
70 60
10
50
8 COP LS
40 30 20 0
10 HE 3 (4,5 cm)
20
waktu (menit) HE 2 (3,6 cm)
30
40
6 4 2
HE 3 (3 cm)
0
Gambar 12. Grafik Kerja Kompresor sisi High stage terhadap waktu
0
10
20 waktu (menit)
HE 1 (4,5 cm)
HE 2 (3,6 cm)
30
40 HE 3 (3 cm)
Gambar 15. Grafik COP sisi low stage terhadap waktu
Energi III-145
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi Koefisien prestasi (COP) baik pada sisi high stage maupun low stage untuk setiap variasi Heat exchanger mempunyai nilai yang saling mendekati, hal itu terlihat pada Gambar 14 dan Gambar 15 dimana nilai COP pada ketiga variasi Heat exchanger mempunya perbedaan yang sangat kecil sehingga garis pada grafik tampak berhimpitan. Pada sisi low stage walaupun kerja kompresor pada HE3 lebih rendah dibandingkan dengan kedua heat exchanger lainnya akan tetepi efek refrigerasi yang dihasilkan HE3 juga lebih kecil diandingkan kedua heat exchanger tersebut, sehingga nilai COP dari HE3 mendekati nilai COP dari HE2 dan HE1 dan Pada sisi high stage terlihat adanya perbedaan kecil yang tidak signifikan dari nilai COP untuk ketiga heat exchanger, sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi ketiga konfigurasi heat exchanger diatas tidak menghasilkan perbedaan nilai COP yang signifikan. VI. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: Variasi konfigurasi (jumlah dan jarak sekat) pada heat exchanger tipe shell and tube untuk perangkat cascade heat exchanger tidak menghasilkan perbedaan/ peningkatan kinerja (COP) yang signifikan. Nilai COP untuk ketiga variasi heat exchanger cenderung saling berdekatan. Variai heat exchanger berpengaruh terhadap temperatur keluar kondensor pada sisi low stage, dimana semakin banyak jumlah sekat dan semakin dekat jarak sekat akan menghasilkan temperatur keluar kondensor yang semakin rendah, kondisi ini berpengaruh terhadap temperatur evaporasi yang dapat dicapai oleh mesin refrigerasi sistem cascade, hasil pengamatan menunjukan temperatur keluar kondensor dan temperatur evaporasi yang dapat dicapai pada sisi low stage dimana rata-rata temperatur keluar kondensor untuk ketiga HE adalah 7.6 oC (HE1), 3.6 oC (HE2) dan 2.4 oC (HE3), sedangkan temperatur evaporasi rata-rata yang dapat dicapai -45.9 oC (HE1), -50.3 oC (HE2) dan -51.4 oC (HE3). Laju perpidahan kalor pada cascade heat exchanger di sisi evaporator menunjukan adanya pengaruh terhadap jarak dan jumlah sekat dimana laju perpindahan kalor pada HE3
lebih besar diabndingkan dengan HE 2 dan HE1, akan tetapi pada sisi kondensor terjadi hal yang sebaliknya dimana selisih temperatur masuk dan keluar kondensor yang mewakili laju perpidahan kalor pada kondensor yang mempunyai nilai terbesar justru terjadi pada HE1 diikuti dengan HE2 dan HE3, oleh karena itu dibutuhkan studi yang lebih mendalam lagi untuk mengetahui pengaruh variasi dan jarak sekat terhadap kinerja cascade heat exchanger. DAFTAR PUSTAKA [1] H.M. Getu, P.K. Bansal, “Thermodynamic analysis of an R744–R717 cascade refrigeration system”, international journal of refrigeration 31 pp. 45–54. 2008 [2] Bugaard, Maria Garver. “Effect of frozen storage temperatur on quality-related changes in fish muscle, Changes in physical, chemical and biochemical quality indicators during short- and long-term storage”. PhD Thesis, Januari 2010, National Food Institute, Technical University of Denmark. 2010. [3] Hosoz, and Murat. “Performance Comparison of SingleStage and Cascade Refrigeration Systems Using R134a as the Working Fluid", Turkish J.Eng.Env.Sci.29, 285-296. 2005. [4] Alessandro da Silva, Enio Pedone Bandarra Filho and Arthur Heleno Pontes Antunes, “Comparison of a R744 cascade refrigeration system with R404A and R22 conventional systems for supermarkets” Applied Thermal Engineering 41 pp.30-35. 2012 [5] Ali Falavand Jozaei, Alireza Baheri, Mariam K. Hafshejani and Armin Arad, “Optimization of Baffle Spacingon Heat Transfer, Pressure Drop and Estimated Price in a Shell-andTube Heat exchanger”, World Applied Sciences Journal 18 (12): 1727-1736, 2012 [6] Dincer,Ibrahim., Kanoglu, Mehmet. “Refrigeration System and Application”, 2nd edition, John Wiley and Sons ltd. 2010 [7] Hansaem Park, Dong Ho Kim and Min Soo Kim, “Thermodynamic analysis of optimal intermediate temperaturs in R134aeR410A cascade refrigeration systems and its experimental verification” Applied Thermal Engineering 54 pp.319-327. 2013. .
Energi III-146
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengujian Prestasi Motor Bensin Berbahan Bakar Campuran Premium Dan Etanol Dari Nira Aren
Ahmad Thamrin
Yusuf Siahaya, dan Effendy Arif
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Fajar Makassar, Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar Indonesia Yusufsiahaya @yahoo.com
Abstract— Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol (96,7%) dari nira aren, mengetahui perbedaan prestasi motor bensin dengan menggunakan bahan bakar Premium dan Biopremium (E-10 dan E-15) dari nira aren, mengetahui pengaruh penggunaan Premium dan Biopremium (E-10 dan E-15) terhadap emisi gas buang yang dihasilkan (CO, CO2, O2 dan HC), mengetahui pengaruh penggunaan Biopremium E-10 terhadap komponen - komponen bagian dalam mesin (Silinder head, Katup dan Piston), dan mengetahui besar selisih volume pelumas dengan menggunakan bahan bakar Biopremium (E-10) dari aren dengan ubi kayu sebelum dan setelah pengoperasian mesin selama 200 jam. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Farmasi Universitas Hasanuddin, Laboratorium PT. Pertamina (Persero)Terminal BBM dan LPG Makassar Laboratorium Motor Bakar Universitas Kristen Indonesia Paulus dan Laboratorium instrument SMAK Makassar . Metode pengujian yang digunakan adalah pengujian eksperimen. Pengambilan data dilakukan dengan mengambil sejumlah data pengujian langsung pada alat uji. Data dianalisis secara teorits berdasarkan data pengujian eksperimen dengan membandingkan prestasi mesin berbahan bakar premium, biopremium (E-10 dan E-15). Hasil penelitian diperoleh Pembuatan bioetanol dilakukan dengan menggunakan destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi dan Kadar alkohol dihasilkan sebesar 96 ,7%, energi hasil pembakaran Biopremium E-10 dan E-15 lebih rendah daripada Premium. E-10 masih layak untuk digunakan dalam pengoperasian walaupun prestasi mesin kerja yang dihasilkan masih kecil dan besar selisih volume pelumas sebesar 10 ml. Kata-kata kunci-About prestasi mesin, biopremium, etanol, emisi gas buang
Hal ini mengakibatkan pemakaian bahan bakar minyak bumi terus meningkat. Keaadan ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena dengan peningkatan pemakaian bahan bakar minyak bumi maka cadangan minyak bumi akan semakin berkurang sedangkan kebutuhan akan minyak bumi terus bertambah. Cadangan minyak di bumi Indonesia saat ini adalah 4,8 miliar barel dan setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barel (Intisari, April 2006). Diprediksikan pada 2010, jumlah impor BBM akan meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam negeri. Fakta itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM terbesar di Asia terdapat pada [14] . Untuk menekan pertumbuhan konsumsi BBM domestik, salah satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan memperhatikan dan menerapkan regulasi tentang penghematan energi nasional dan pengembangan energi alternatif. Di Indonesia, sumber utama energi masih bertumpu kepada jenis bahan bakar minyak, padahal banyak sumber energi alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan bahkan bisa mampu menggantikan sebagian peran energi fosil tersebut dengan memanfaatkan bahan bakar nabati diungkap oleh [10]. Hal tersebut sesuai program pemerintah tentang BBM dan instruksi presiden (INPRES) no. 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar serta peraturan presiden (PERPRES) no. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif.
I. PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya pemakaian motor bensin dari tahun ke tahun maka menurut data statistik polisi Indonesia, tahun 2003 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah 26.706.705 kendaraan, tahun 2004 berjumlah 30.769.093 kendaraan dan 2006 berjumlah 38.156.278 kendaraan terdapat dalam [5].
Energi III-147
Gambar 1. Target Pembauran Energi
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
Indonesia juga telah mengeluarkan regulasi tata-niaga produksi dan pemanfaatan bioetanol (biofuel) melalui KepMen no. 32 tertanggal 26 September tahun 2008 yang memungkinkan dunia usaha mengembangkan produksi bioetanol (biofuel) untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Disamping itu, Kementererian ESDM dan TIMNAS BIOETANOL terus menggalakkan inovasi pengembangan produksi bioetanol di Indonesia dikutip dari [11]. Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang serbaguna dan telah lama dimanfaatkan secara tradisional. Tanaman aren memiliki daya adaptasi luas pada berbagai agroklimat dari dataran rendah hingga 1.400 m dpl. Tak heran jika tanaman ini tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 2002, luas areal tanaman aren di Indonesia adalah 47.730 hektar yang tersebar di berbagai provinsi. Tanaman aren banyak terdapat di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Hampir semua bagian tanaman aren ini berguna, baik untuk pangan, bahan baku industri maupun energi terbarukan yang dikutip dari [6]. Dewasa ini pamor aren semakin meningkat bersamaan dengan pemanfaatan niranya untuk bahan bioetanol. Nira dapat diolah melalui proses fermentasi menjadi bioetanol. Dari satu pohon dihasilkan 15 liter nira per hari. Apabila dalam satu tahun aren disadap selama 200 hari, maka nira yang dihasilkan 3.000 liter per pohon, jadi setiap pohon dapat menghasilkan 200 liter bioetanol per tahun. Jika 10% saja dari luas areal yang ada dengan 100 pohon dalam satu hektar dijadikan bahan bioetanol, maka per tahun akan dihasilkan 1.431.900.000 Iiter bioetanol atau 1,43 juta KL bioetanol per tahun atau 7,15 juta KL dalam lima tahun yang dikutip dari [6]. Dalam roadmap biofuel, Indonesia pada tahun 2015 memerlukan bioetanol sebesar 2,78 juta KL. lni berarti kontribusi dari aren saja terhadap pemanfaatan bioetanol menjadi Gasohol E-10 adalah 257 %. Gasohol E-10 adalah campuran dari 10% bioetanol dan 90% premium yang dikutip dari [11]
Pengolahan bahan berpati (starchy biomass) atau berselulosa (cellulosic biomass) dapat menggunakan cara enzimatis (tahap liquefaction), tetapi untuk nira langsung digunakan cara fermentasi. Diagram alir fermentasi nira menjadi etanol 99,5% disajikan pada Gambar berikut ini yang dikutip dari [6].
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan bioetanol dari nira aren
C.
Bioetanol Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan seharihari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) yang dikutip dari [1]. Tabel 3. Karakteristik fisik dan kimia bahan bakar dan aditifnya terdapat pada [8].
II. LANDASAN TEORI A.
Aren (Arenga Pinnata) Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang serbaguna dan telah lama dimanfaatkan secara tradisional. Tanaman aren memiliki daya adaptasi luas pada berbagai agroklimat dari dataran rendah hingga 1.400 m dpl. Tak heran jika tanaman ini tersebar di seluruh Indonesia yang dikutip dari [6]. Pada tahun 2002, luas areal tanaman aren di Indonesia adalah 47.730 hektar yang tersebar di berbagai provinsi. Tanaman aren banyak terdapat di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Hampir semua bagian tanaman aren ini berguna, baik untuk pangan, bahan baku industri maupun energi terbarukan yang dikutip dari [6]. B.
Proses pembuatan Bioetanol dari nira aren Proses pembuatan pengolahan nira aren menjadi etanol sama dengan pengelohan pati atau selulosa menjadi etanol.
D.
Bahan Bakar Bensin Hampir semua jenis bahan bakar saat ini diturunkan dari minyak bumi. Secara prinsip komponen minyak adalah hidrokarbon. Antara lain jenis parafins/alkana dengan rumus kimia CnH2n+ 2, napthenes/cyclanes dengan rumus kimia CnH2n, hidrokarboaromatic CnH2n-6, dan olefins CnH2n, yang dikutip dari [2].
Energi III-148
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
1.
Laboratorium Kimia Analisis Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar sebagai tempat pembuatan bioetanol melalui fermentasi dan destilasi serta untuk mengetahui kadar alkoholnya. Laboratorium PERTAMINA (PERSERO) Terminal BBM dan LPG Makassar sebagai tempat pencampuran bahan bakar Premium dengan bietanol dan pengujian spesifikasi bahan bakar. Laboratorium Instrumen SMAK Makassar sebagai tempat pengujian kandungan LHV Bioetanol dari nira aren. Laboratorium Motor Bakar Jurusan Teknik Mesin UKIP Makassar Sebagai tempat pengujian prestasi motor bensin dengan bahan bakar premium dan campuran premium + bioetanol serta uji emisi gas buang. Kompleks wesabbe blok C/11 sebagai tempat pengujian pengaruh komponen bagian dalam mesin (silinder head, torak dan katup) dengan menggunakan bahan bakar Premium dan Biopremium (E-10) serta mengamati dan menimbang besar selisih volume minyak peluma dengan menggunakan bahan bakar Biopremium (E-10) sebelum dan setelah pengeoperasian mesin selama 200 jam.
2.
3.
4.
5.
B. Rumus yang digunakan E.
Campuran Bensin dan Bioetanol Biopremium merupakan campuran bioetanol dengan premium dengan kadar campuran tertentu. Biopremium E-10, misalnya, mengandung etanol 10 % dan premium 90%. Kualitas etanol yang digunakan tergolong fuel grade etanol yang kadar etanolnya 99%.
1.
Terdapat beberapa cara penggunaan etanol untuk campuran gasoline (Website Pertamina: Biogasoline) sebagai berikut : a. Hydrous etanol (96% volume), yaitu etanol yang masih mengandung air sebesar 4%. b. Anhydrous etanol (dehydrated etanol), yaitu etanol bebas air dan paling tidak memiliki kemurnian 99%. c. Etanol juga digunakan sebagai bahan baku ETBE (ethyltertiary-butyl-ether), aditif gasoline konvension. F.
Motor Bensin Motor bensin merupakan salah satu penggerak mula yang berperan penting sebagai tenaga penggerak. Pada motor bensin untuk mendapatkan energi thermal diperlukan proses pembakaran dengan menggunakan campuran bahan bakar dan udara di dalam mesin, sehingga motor bensin disebut juga sebagai motor pembakar dalam (internal combustion engine). Di dalam proses pembakaran ini gas hasil pembakaran yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja. Motor ini merupakan pengembangan dari motor Otto, yang pertama kali ditemukan oleh Nikolaus August Otto yang lahir pada tahun 1832 di kota Holzhausen, Jerman. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian
Daya Pengereman (BHP) Daya pengereman (Brake Horsepower) adalah daya yang dihasilkan mesin yang ditransmisikan melalui poros mesin yang bergerak. Daya pengereman yang diukur adalah putaran mesin dengan tachometer dan torsi dengan torsimeter. Salah satu cara untuk mengukur Brake horsepower adalah dengan meletakkan suatu alat ukur pada poros mesin. Dinamometer mengukur torsi (T), yang dihasilkan oleh mesin pada putaran tertentu. Dinamometer yang digunakan adalah dinamometer rem air ( water brake dynamometer). Prinsip kerja dari water brake dynamometer ini adalah poros rotor dihubungkan dengan poros dari motor, rotor dikopel dengan stator secara hidraulis dengan memanfaatkan air. Brake horse power dapat dihitung dengan rumus yang terdapat pada [4] jika Torsi (T) (Nm), Putaran (n) (rpm) dikalikan dengan Faktor konversi dari Watt ke kW (10-3 ) dan dibagi Faktor konversi dari ment ke detik (60) sebagai berikut : BHP BHP
2.
2π n T 60
(Watt)……………..(3-1a)
2 nT 10 3 60
(kW) …………..(3-1b)
Konsumsi bahan bakar (FC) Konsumsi bahan bakar (fuel consumption) adalah banyaknya bahan bakar yang dikonsumsi atau digunakan oleh mesin dalam satuan waktu. Fuel consumption dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang terdapat pada [2] jika Volume bahan bakar (Vbb) (ml), Specific Gravity bahan bakar (SG) (kg/m3) :
Energi III-149
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
3 FC = Vbb SG 3600 10 kg .……........(3-2) W h
3.
Konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) Konsumsi bahan bakar spesifik dinyatakan sebagai jumlah bahan bakar yang dibutuhkan mesin dalam waktu tertentu untuk menghasilkan 1 kilowatt daya efektif. SFC adalah ukuran nilai ekonomis suatu mesin dalam penggunaan bahan bakar yang rumusnya terdapat pada [2] jika Konsumsi bahan bakar (FC) (kg/h) dibagi dengan daya efektif (BHP) (kW) maka Persamaannya adalah : SFC =
4.
Laju aliran massa udara adalah perbadingan massa udara yang masuk ke dalam ruang bakar terhadap waktu. a. Laju aliran massa udara aktual (Mact) adalah jumlah udara yang terisap oleh mesin selama langkah pemasukan untuk bercampur dengan bahan bakar. Hasilnya diambil dari pembacaan grafik viscometer (Lampiran 1). b. Laju aliran massa udara teoritis (Mai) adalah jumlah udara teoritis yang dibutuhkan oleh mesin pada langkah isap yang mana rumusnya terdapat pada [2]. Persamaannya adalah volulem silinder dikalikan putaran (n) dikalikan faktor konversi dari menit ke jam (60) dikalikan faktor konversi dm3 ke m3 (10-3) dikalikan massa jenis udara (ρud) dan kemudian dibagi dua putaran/siklus; ( untuk motor 4 - langkah) (nR ) :
FC kg ……….………...........(3-3) BHP kWh
Tekanan efektif rata-rata (MEP) Tekanan efektif rata-rata menyatakan tekanan ratarata yang bekerja untuk menggerakkan torak dalam menghasilkan daya efektif per satuan luas yang mana rumusnya terdapat pada [2] dimana 2 putaran/siklus (untuk motor 4 – langkah) (nR) dikalikan daya efektif (BHP) (kW) dan dibagi dengan Volume silinder (Vs) (dm3) Persamaannya adalah : MEP
M ai 7.
60.10 3 nR BHP (kPa)................... (3-4) n Vs
Untuk mendapatkan volume silinder berikut rumus perhitungan dimana diameter silinder (d) dikali langkah piston (s) dan jumlah silinder (z) .d 2 s z Vs 4.10 6 5.
ud = a.
1 kg …………………........(3-5a) v m3
Tekanan Uap Jenuh (f’) dimana temperatur bola basah (Twb) dan temperatur bola kering (Tdb) 218 , 7 7 , 9.Twb 273, 2 Tdb
f ' 10
b.
(mmHg).....................(3-5b)
Perbandingan udara bahan bakar actual (AFRact) Perbandingan udara bahan bakar dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah kompisisi udara yang terisap sesungguhnya dengan jumlah bahan bakar yang terpakai, yang dapat berpengaruh terhadap laju pembakaran serta banyaknya energi yang dihasilkan yang mana rumusnya terdapat pada [2]. Persamaannya adalah : M AFRact act ...............................................(3-7) FC
Dimana : Mact = Konsumsi udara actual, (kg/h) FC = Konsumsi bahan bakar, (kg/h) 8.
Massa Jenis Udara (ud)
Faktor kelebihan udara (λ) Faktor kelebihan udara menunjukkan besarnya faktor pencampuran udara bahan bakar yang merupakan perbandingan antara udara bahan bakar aktual dengan perbandingan udara bahan bakar stoikiometri yang mana rumusnya terdapat pada [2]. Persamaannya adalah Perbandingan udara bahan bakar aktual (AFRact) dibagi dengan Perbandingan udara bahan bakar stoikiometri (AFRstoi) :
Tekanan Parsial Uap Air (f) dimana tekanan atmosfir (Patm).
Patm (mmHg)................(3-5c) f f ' 0,5Tdb Twb 760
c.
Rasio Kelembaban (x) f x 0.622 Patm f
kg .udara .lembab ............(3-5d) kg .udara . ker ing
d.
6.
Vs 10 3 n 60 ud (kg/h)...............(3-6) nR
Volume spesifik Udara Lembab (v) m 3 ....(3-5e) Tdb 760 v ( 0 ,773 1, 224 . x ) 1 273 , 2 Patm kg Laju Aliran Massa Udara (Ma)
Energi III-150
AFRact …………............................(3-8) AFRstoi
Rumus kimia dari bahan bakar premium/gasoline menurut literatur yang ada yaitu C8H15 maka reaksi pembakarannya adalah Menurut J.B. Heywood, (1988) : b C a H b a O 2 3 ,773 N 2 aCO 4
Berdasarkan diperoleh:
rumus
kimia
2
b b H 2 O 3 ,773 a N 2 2 4
pada
premium,
maka
15 15 15 C8 H15 8 O2 3,773 N 2 8CO2 H 2 O 3,773 8 N 2 4 2 4 y 1 32 3,773 28,16 b 4 AFRth dim ana : y 12,011 1,008y a
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
AFR
th
AFR
th
AFR
th
34 , 56 ( 4 y ) 12 , 011 1 , 008 y 34 , 56 ( 4 1 , 875 ) 12 , 011 1 , 008 . 1 , 875 14 , 60
IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Hasil Perhitungan dan Pengujian
Untuk etanol menurut literatur yang ada yaitu C2H6O dengan komposisi berat karbon 52,2%, komposisi berat hidrogen 13,1% dan komposisi oksigen 34,7 %, maka perbandingan udara dan bahan bakar teoritis yang dikutip dari [13] adalah : Menurut [7] rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : 1 8 AFR th C 8 H O kg 0 ,23 3
Hasil penelitian yang diuji pada Laboratorium Kimia Farmasi Universitas Hasanuddin berupa pembuatan bioetanol dari nira aren dapat dilihat pada bab III pada halaman 32 dengan hasil kandungan alkohol sebesar 96,7% (Lampiran 2), hasil penelitian yang diuji pada Laboratorium Instrumen Smak Makassar berupa kandungan LHV sebesar 9765,74 cal/g atau 40859,86 kJ/kg (Lampiran 3) dan hasil penelitian yang diuji pada Laboratorium PERTAMINA (PERSERO) Terminal BBM dan LPG Makassar berupa spesifikasi bahan bakar Premium dan Biopremium (E-10 dan E-15). (Lampiran 4, 5 dan 6) B. Analisa Hasil Perhitungan dan Pengujian
Berdasarkan berat komposisi etanol diatas, maka diperoleh : 1 8 0,522 8 0,131 0,347 0,23 3 AFRth 9,09 AFRth
Mencari AFRstoi untuk campuran : 1. Nilai AFRstoi untuk 90 % premium + 10 % Etanol (E10) : AFRstoi = (0,90 x 14,60)+(0,10 x 9,09) AFRstoi = 14,05 2. Nilai AFRstoi untuk 85 % premium + 15 % Etanol (E15) : AFRstoi = (0,85 x 14,60)+(0,15 x 9,09) AFRstoi = 13,77 9.
Efisiensi Volumetris (ηvol) Efisiensi volumetris adalah perbandingan antara jumlah udara yang terisap dengan jumlah yang diharapkan dapat mengisi silinder pada proses pengisapan yang mana rumus tersebut terdapat [9] berikut Persamaannya yaitu konsumsi udara aktual (Mact) dibagi konsumsi udara teoritis (Mai) adalah :
vol
M act 100% (%)................................(3-9) M ai
BHP 100% (%)…………...…..........(3-10a) Qtot
Dimana untuk mendapatkan kalor sebenarnya bahan bakar (Qtot), Konsumsi bahan bakar (FC) dikali Low heating value bahan bakar (LHV) kemudian dibagi Faktor konversi dari jam ke detik (3600) : Qtot
= FC LHVbb (kW)......................(3-10b) 3600
Tabel 11. Analisa biaya dalam menghasilkan satu liter bioetanol (skala lab.)
No. Bahan
Persatuan
1
Nira Aren
15 liter
2
Ragi
33 gr
Harga Satuan
Jumlah
Rp 1.500/liter
Rp 22.500
Rp 2.500/11gr
Rp 7.500
Total
Rp 30.000/liter
Catatan : Harga diluar modal dan ongkos kerja
10. Efisiensi thermis (ηth) Efisiensi thermis (ηth) adalah daya pengereman (BHP) dibagi kalor sebenarnya bahan bakar (Qtot) dikali seratus persen. th
1. Pembahasan pembuatan bioetanol Pembuatan bioetanol dilakukan dengan menggunakan destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi dikarenakan menggunakan peralatan yang canggih dan biaya besar. Kadar alkohol dari bioetanol yang dihasilkan sebesar 96,7% (Lampiran 2). Sedangkan untuk kandungan LHV dari bioetanol yang dihasilkan sebesar 9765,74 cal/g atau 40859,86 kJ/kg (Lampiran 3) sedangkan kandungan LHV yang dihasilkan untuk bioetanol dari ubi kayu sebesar 29700 kJ/kg yang mana nilai LHV tersebut dikutip dari [3] . Dalam 15 liter aren dapat menghasilkan 1 liter bioetanol dimana berikui ini adalah Tabel analisa biaya pembuatan satu liter bioetanol dari 15 liter aren :
2. Prestasi motor bensin Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 1318) yaitu hubungan antara Torsi (T), Daya efektif (Ne) dengan putaran. Dimana menunjukkan adanya kenaikan nilai torsi setiap kenaikan putaran untuk setiap konsentrasi bahan bakar. Nilai torsi untuk premium, rata-rata lebih tinggi dari biopremium (E-10 dan E-15). Untuk bahan bakar premium nilai torsi maksimum sebesar 6 Nm pada putaran 2800 rpm sedangkan biopremium (E-10) sebesar 6 Nm / 2800 rpm dan biopremium (E-15) sebesar 5 Nm/2800 rpm. Begitupula yang terjadi pada daya efektif maksimum untuk ketiga jenis bahan bakar (premium, E-10 dan E-15), daya efektif terjadi pada putaran 3200 rpm dimana premium menghasilkan daya
Energi III-151
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
efektif sebesar 1,842 Nm sedangkan biopremium (E-10) sebesar 1,601 Nm/3400 rpm dan biopremium (E-15) sebesar 1,352 Nm/3400 rpm. Hal ini disebabkan karena nilai kalor (LHV) yang dimiliki Biopremium (E-10 dan E-15) lebih rendah dari nilai kalor (LHV) yang dimiliki Premium. Selain itu juga kandungan yang terdapat pada biopremium (E-10 dan E-15) sebesar 4-5 % dapat menyebabkan kinerja mesin menurun. Kandungan air yang diijinkan untuk pencampuran minimal 2%, karena makin besar kandungan air yang terdapat bahan bakar maka semakin besar pula pembakaran tidak sempurna sehingga hal tersebut dapat menurunkan kinerja dari mesin,sesuai referensi dari [16)].
Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu hubungan AFR dengan putaran menunjukkan bahwa nilai AFR cenderung naik seiring dengan naiknya putaran untuk setiap konsentrasi bahan bakar. Nilai AFRact pada putaran 1600 rpm, untuk premium sebesar 14,27 , sedangkan Nilai AFRact untuk biopremium (E-10) sebesar 13,649 dan nilai AFRact untuk biopremium (E-15) sebesar 11,940. Jadi tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi campuran bahan dengan etanol maka semakin rendah perbandingan udara dengan bahan bakar. Hal ini mengindikasikan pembakaran yang terjadi kurang sempurna, karena kurangnya suply udara yang masuk kedalam ruang bakar.Hal ini dikarenakan kandungan 3,3% air dalam etanol, sesuai referensi dari [16]. Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu hubungan antara efisiensi volumetrik dengan putaran menunjukkan bahwa efisiensi volumetrik pada putaran 1600 rpm untuk setiap konsentrasi bahan bakar. Untuk Premium sebesar 38,652 %, biopremium (E-10) sebesar 33,152 % dan biopremium (E-15) sebesar 27,626 %. Jadi hal tersebut menujukkan bahwa efisiensi volumetrik yang dihasilkan oleh biopremium/campuran, rata-rata lebih rendah dari premium murni, sesuai referensi dari [16].
Grafik 2. Hubungan antara BHP dengan Putaran
Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu hubungan putaran dengan SFC menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) seiring dengan meningkatnya putaran 1600 hingga 1800 rpm untuk setiap konsentrasi bahan bakar. Untuk konsumsi bahan bakar spesifik yang terbesar terjadi pada putaran 3400 rpm, dimana untuk biopremium (E-15) sebesar 0,282 kg/kW.hr sedangkan pada putaran yang sama biopremium (E-10) sebesar 0,246 kg/kW.hr dan premium sebesar 0,279 kg/kW.hr. Hal ini menunjukkan SFC cenderung terus meningkat setelah mencapai torsi maksimum (2500 rpm) ini disebabkan bertambah besar laju aliran massa bahan bakar, sedangkan jumlah bahan bakar yang terbakar masih sedikit, jika dibandingkan dengan premium. Besarnya kandungan air yang terdapat pada etanol sebesar 3,3% yang digunakan untuk pencampuran dengan premium dapat mempengaruhi waktu pembakaran bahan bakar, sesuai referensi dari [16].
Grafik 5. Hubungan antara Effesiensi Thermal dengan Putaran
Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu hubungan antara efisiensi thermal dengan putaran menunjukkan bahwa efisiensi thermal dari bahan bakar premium lebih tinggi dari biopremium (E-10 dan E-15), dimana efisiensi thermal tertinggi sebesar 38,08 % terjadi pada premium pada putaran 2800 rpm. Sedangkan pada putaran yang sama efisiensi thermal untuk biopremium (E-10) sebesar 36,503,3% dan biopremium (E-15) sebesar 33,3 %. Setelah itu efisiensi thermal cenderung turun dengan bertambahnya putaran mesin. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kalor yang dikandung oleh biopremium (E-10 dan E-15) lebih rendah dari nilai kalor premium sehingga daya input dari bahan bakar biopremium lebih kecil dibandingkan dengan premium, sesuai referensi dari [16].
Grafik 3. Hubungan antara SFC dengan Putaran
Energi III-152
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
2. Emisi gas buang
ambang batas yang ditetapkan kecuali untuk putaran 1600 pada semua jenis konsentrasi bahan bakar.
a. Oksigen (O2) Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20 dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28), menunjukkan bahwa kadar emisi O2 pada putaran (1600 rpm) untuk bahan bakar premium (E-0) sebesar 0,65 % dengan koefisien kelebihan udara () = 0.977 %, biopremium (E-10) sebesar 0,60 % dengan koefisien kelebihan udara () = 0,971 % dan biopremium (E-15) sebesar 0,57 % dengan koefisien kelebihan udara () = 0,867 %. Standar yang ditentukan pada [15] sebesar 0,5 - 2 %, sedangkan hasil pengujian kurang dari batas yang ditentukan maka dari ketiga konsentrasi bahan bakar yang diuji masih dalam keadaan normal. Perbandingan oksigen antara ketiga konsentrasi bahan bakar tersebut yang paling sempurna proses pembakarannya adalah biopremium (E-15) sebesar 0,57 %, kondisi ini menunjukkan dekat pada kondisi ideal. Semakin kecil nilai kadar oksigen semakin sempurna proses pembakarannya. Hal ini juga membuktikan bahwa kadar oksigen kurang mengindikasikan pembakaran terjadi pada campuran kaya.
Grafik 11. Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs λ (E- 10) (Swisscontact)
c. Karbon Dioksida (CO2) Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20 dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28), menunjukkan bahwa hubungan karbon dioksida dan koefisien kelebihan udara () memperlihatkan kurva yang cenderung naik dan berada didaerah pembakaran kaya. Semakin tinggi kadar karbon dioksida mengindikasikan pembakaran lebih baik. Hasil karbon dioksida (CO2) yang tertinggi diperoleh pada bahan bakar premium (E-0) sebesar 18,25 % pada putaran 2800 rpm. Sedangkan yang terendah terdapat pada biopremium (E-15) sebesar 10,56 % pada putaran 3400 rpm. Pembentukan Karbon dioksida (CO2) menandakan sebagai hasil pembakaran yang sempurna sehingga campuran bahan bakar dan udara yang sempurna akan menghasilkan senyawa CO2 yang besar pula.
Grafik 10. . Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs λ (E- 0) (Swisscontact)
b. Karbon Monoksida (CO) Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20 dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28), menunjukkan bahwa hubungan antara karbon monoksida (CO) dan koefisien kelebihan udara () memperlihatkan kurva yang cenderung menurun. Kadar CO yang dihasilkan cenderung menurun seiring dengan kenaikan nilai koefisien kelebihan udara () terdapat pada [7]. Hasil CO yang tertinggi diperoleh pada premium sebesar 5.95 % pada putaran 1600 rpm. Sedangkan yang terendah terdapat pada bahan bakar biopremium (E-15) sebesar 1,40 % pada putaran 3400 rpm. Emisi gas buang CO terbentuk akibat kurangnya oksigen sehingga proses pembakaran berlangsung tidak sempurna karena banyak atom C (karbon) yang tidak mendapatkan cukup oksigen. Menurut aturan pemerintah untuk motor 4 langkah tahun pembuatan dibawah 2010, kadar CO ≤ 5,5 % sesuai dengan [15]. Sementara data hasil emisi gas buang yang diperoleh untuk setiap putaran pada konsentrasi bahan bakar (premium, E-10 dan E-15), kadar CO yang dihasilkan semua memenuhi
Grafik 12. Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs λ (E- 15) (Swisscontact)
V. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembuatan bioetanol dilakukan dengan menggunakan destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi. Kadar alkohol
Energi III-153
Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi
2.
3.
4.
5.
bioetanol dari aren yang dihasilkan sebesar 96 ,7% dan air sebesar 3,3%. Prestasi motor bensin berbahan bakar campuran bioetanol (E-10 dan E-15) lebih kecil dibanding prestasi motor bensin berbahan bakar premium. Untuk perbandingan biopremium (E-10) dengan premium diperoleh penurunan kinerja mesin dengan perbedaan daya efektif maksimum dan torsi maksimum yaitu 29,3% dan 10% sedangkan untuk biopremium (E-15) sebesar 43,9% dan 15%. Hal tersebut disebabkan kandungan nilai kalor biopremium (E10 dan E-15) yaitu 42910 kJ/kg dan 42899 kJ/kg lebih kecil dibanding nilai kalor premium yaitu 43051 kJ/kg. Hasil emisi gas buang bahan bakar Biopremium E-10 dan E-15 lebih kecil daripada premium. Dimana kadar E-10 adalah CO2: 12,56% (idle), CO: 5,8% (idle), O2: 0,57% dan HC: 190 ppm dan E-15 CO2: 12,53% (idle), CO: 5,7% (idle), O2: 1% dan HC: 188 ppm. Jadi biopremium (E-10 dan E-15) cukup ramah terhadap lingkungan. Komponen-komponen utama mesin yaitu slinder head, torak dan katup yang menggunakan bahan bakar Biopremium (E-10) pada pengujian ketahanan mesin selama 200 jam operasi, hanya mendapatkan dampak kerusakan yang sangat kecil. Oleh sebab itu, dari pengujian tersebut, dapat dikatakan bahwa biopremium (E-10) masih layak untuk digunakan dalam pengoperasian walaupun prestasi kerja mesin yang dihasilkan masih kecil, dibandingkan dengan prestasi kerja mesin yang menggunakan bahan bakar premium. Besar perbandingan selisih volume pelumas dengan penggunaan bahan bakar Biopremium (E-10) dari aren setelah uji ketahanan mesin dengan selisih volume
pelumas dari Biopremium (E-10) dari ubi kayu adalah 10 ml. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3]
[4] [5] [6] [7] [8]
[9]
[10] [11] [12] [13]
[14] [15] [16]
Amiruddin. A, Surasa. Tj, Harlim. Tj, Genisa. A, Amiruddin. K, Pudjiatmaka. Hadyana, 1993. Kamus Kimia, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Jakarta. Domkundwar, V.M, 2001. Course of Internal Combusion Engine, Dhanpat Raid & Company, New Delhi. Edward Yustinus K, M. 2009. “Penelitian Pengaruh Penggunaan Campuran Bahan Bakar Ethanol dengan Premium Terhadap Prestasi Motor Bensin”. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar. Heywood John B.1989. “Internal Combustion Engine Fundamentals.” MC. Graw Hill Book co Singapore Intisari,april 2006 Jurnal Warta/vol.32.no.1/2009.“Penelitian dan Pengembangan Pertanian” Khovach. M, 1979. Motor Vehicle Engines MIR Publishers. Moscow Nur, Arifin, dan S, Budi, Widodo, 2006. Karakteristik Performa Mesin Berbahan-Bakar Bensin-Etanol. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik. Bandung. Pulkrabek W. Willard, 1996. Engineering Fundamentals of the Internal Combustion Engine. University of Wisconsin, Platteville, New Jersy, USA. [10]Rahayuningsih. 2005.”Alternatif dan Kemauan Politik Pemerintah” www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/1005/13/cakrawala/utama02.htm www.esdm.go.id/KepMen.no.32.tanggal 28 septemper 2008. www.Sinartani.com/edisi10 -16 september 2010. Nur, Arifin, dan S, Budi, Widodo, 2006. Karakteristik Performa Mesin Berbahan-Bakar Bensin-Etanol. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik. Bandung. Suara merdeka, 23 oktober 2007 Swisscontact. 2001. Analisa Motor Bensin Berdasarkan Hasil Uji Emisi Gas Buang, Swisscontact Jakarta. Zuhdi Aguk , dkk, 2005, ”Ketahanan Motor Diesel dengan menggunakan Jelantah Methyl Ester sebagai bahan bakar suplemen” Jurnal Ilmiah ITS Surabaya.
Energi III-154
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Limbah Batang Jagung Sebagai Sumber Energi Alternatif Muhammad Syahrir
Effendy Arif
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia Makassar, Indonesia m.Syahrir
[email protected]
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia effar
[email protected]
Abstract— The aim of the recearch was to manage corn stalks waste into briquettes charcoal corn stalks. The methode of researsh was a laboratory tes to determine is chemical composition, thermal properties, the physical properties, the efficiency of combustion, gas emissions of burning results and production cost / briquette . This laboratory test pruduced briquette from powdered charcoal waste the corn stalks sized 20-40 mesh, 40-60 mesh and 6080 mesh molded with 2.2 MPa pressure and produced a form of honey comb. The results of chemical composition test with proximity analysis : moisture 13.08%, 13.36% and 10.42%, volatile matters 26.86%, 23.52% and 20.97%, 32.86% ash, 33, 26% and 35.78; fixed carbon 27.88%, 29.86% and 32.83% and hight heating value was 3788 kcal / kg, 3838kcal/kg and 3596 kcal / kg. Physical property test in the form of briquettepressure strength were 4.80 kg/cm2, 3.80 kg/cm2 and 2.67 kg/cm2 and the density was 0.435 gr/cm3, 0441 gr/cm3 and 0.508 gr/cm3. The efficiency of combustion produces 12.57%, 19.56% and 12.41% . Whereas the emission test resul to produces carbon monoxide (CO) 1.11 % vol , carbon dioxide (CO2) 5.4% vol and hidrokarboan (HC) 360 ppmH. and the production cost as much as Rp.3770/kg. Key words: Charcoal briquettes of corn stalk, chemical composition, thermal properties, physical properties, thermal efficiency, gas emision of burning output and production cost . I. PENDAHULUAN Sumber energi tak terbarukan khususnya fosil (minyak dan gas) mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dengan semakin bertambahnya populasi penduduk menyebabkan kebutuhan akan bahan bakar pun meningkat dan terfokus pada penggunaan energi tak terbarukan (minyak dan gas) yang jumlahnya terbatas dan harganya semakin meningkat, maka dibutuhkan sumber energi alternatif yang lain. Salah satunya adalah sumber energi terbarukan seperti biomassa yang jumlahnya cukup memadai. Bahan bakar biomassa berasal dari aktivitas pertanian dan perkebunan [1], sepert batang jagung. Data BRS pada bulan Juli tahun 2010 didapatkan produksi jagung pipilan kering perkebunan rakyat Sulawesi selatan sebanyak 1,34 juta ton [2], Jika diperkirakan 50% dari tanaman jagung merupakan batang jagung maka ada sekitar
1,34 juta ton limbah batang jagung. Potensi ini cukup besar untuk dijadikan bahan bakar biomassa sebagai salah satu bahan bakar alternatif. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat briket arang batang jagung berbentuk sarang tawon dengan ukuran butir bervariasi, selanjutnya melakukan analisis proksimasi, pengujian nilai kalor, pengujian sifat fisik,pengujian pembakaran , pengujian emisi dan menghitung ongkos produksi. II. LANDASAN TEORI A. Tanaman jagung Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak, diambil minyaknya, dibuat tepung jagung ( maizena), bahan baku industri. Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Jagung tidak memiliki kemampuan menghasilkan anakan [3]. B. Energi terbarukan Sumber daya energi terbarukan adalah sumber-sumber energi yang hasilnya akan konstan dalam rentang waktu jutaan tahun. Sumber-sumber energi yang termasuk terbarukan adalah sinar matahari, aliran air sungai, angin, gelombang laut, arus pasang surut, panas bumi dan bio massa. Energi terbarukan mempunyai keunggulan yang menarik seperti berikut: Sumber energi terbarukan merupakan sumber daya indigenous (asli Indonesia) yang tersedia dalam jumlah banyak Pemakaian energi terbarukan akan menghemat pengeluaran impor bahan bakar fosil dan menciptakan lapangan kerja jika teknologi- teknologi konveksinya dikembangkan dengan memamfaatkan sumber daya yang ada di dalam negeri. Beberapa energi terbarukan telah mencapai tahap yang
Energi III-155
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
kompetitif, baik secara finansial maupun secara ekonomi untuk aplikasi tertentu, seperti di lokasi-lokasi terpencil yang biayatransmisi listrik ataupun transportasi bahan bakar ke lokasi tersebut mahal. Teknologi-teknologi energi terbarukan termasuk fleksibel dan modular, sehingga dapat dipasang dan beroperasi relatif lebih cepat dan mengurangi biaya transmisi ke lokasi-lokasi yang tersebar. C. Briket Briket adalah bahan bakar padat dengan bentuk dan ukuran tertentu, yang tersusun dari partikel arang halus yang telah mengalami proses pemampatan dengan daya tekan tertentu, agar bahan bakar tersebut lebih mudah ditangani dalam pemanfaatannya. Beberapa faktor yang dijadikan standar briket arang[4], antara lain; Kadar air (moisture), Kadar abu (Ash), Volatile matters ( Zat-zat yang mudah menguap), Fixed Carbon (Karbon tetap) dan Nilai kalor (Heating value/calorific value). Beberapa negara memberikan standar mutu briket arang seperti pada tabel 1 [5]. Manfaat dan keuntungan briket arang: Lebih irit dan hemat. Panas dari nyala briket cukup tinggi. Nyala briket lebih bersih (tidak berjelaga) Daya tahan nyala briket cukup lama, tidak berbau dan berasap. Rasa, bau dan aroma dari masakan yang dimasak tetap asli. Aman dan tidak meledak. D. Bahan pengikat lempung/ tanah liat. Lempung atau tanah liat merupakan tanah dengan butiran yang sangat halus, bersifat plastis (mudah dibentuk) dan mempunyai daya lekat, daya leburnya rendah, sebagai stabilisator panas dan memberi kekuatan fisik. Lempung mempunyai sifat yang sangat spesifik, antara lain mempunyai sifat muai susut yang sangat besar dalam keadaan aslinya, tetapi setelah diolah, maka sifat muai susut yang besar ini dapat dihilangkan sehingga dapat digunakan sebagai bahan olahan [6]. Tabel 1 Standar mutu briket arang Sifat-sifat
Komersial
Standar mutu Impor Jepang
USA
6–8
Inggris 4 ) 3–4
3–6
8 – 10
18
15 – 30
16
19
60 – 80
75
58
-
1–2
0,84
1
6000 – 7000
60 6000 – 7000
12,7
62
7300
6500
1)
2)
3)
7,75
6–8
5,51
3–6 15 – 30 60 – 80
0,4407
-
13,14 78,35
6814,11
F. Karbonasi. Proses pengarangan (karbonasi) bertujuan untuk mengurangi zat terbang (volatile matters) agar pada saat digunakan, pembakaran briket lebih nyaman karena tidak mengeluarkan asap, bau, atau merubah aroma makanan. Namun zat terbang ini tidak sepenuhnya dikurangi, karena briket juga memerlukan zat terbang agar mudah dinyalakan, panas dan nyalanya stabil [6]. III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan tempat penelitian Waktu penelitian ;Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai April 2012 Tempat penelitian ; Laboratorium pendingin dan pemanas UNHAS B. Pembuatan briket arang batang jagung Batang jagung diambil dari Bajeng Kabupaten Gowa, dipotong-potong , dikeringkan dibawah sinar matahari, diarangkan ,ditumbuk kemudian diayak untuk mendapatkan bubuk arang. Bubuk arang yang diperoleh dicampur dengan tanah liat 10 %, tepung kanji 10% dan air 920 gram kemudian dicetak dengan tekanan 2,2 MPa. C. Analisis proksimasi Standar pengujian digunakan standar ASTM untuk sampel batubara, dengan alasan bahwa briket arang batang jagung adalah bahan bakar padat, sama seperti batubara [1]. Pengukuran moisture (kadar air Pengukuran kandungan moisture dilakukan dengan memanaskan sampel dalam muffle furnace pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan selama 10 menit selanjutnya ditimbang massanya. Perhitungan kadar air : Moisture = [
3)
]x 100%
(1)
6
Moisture, % Ash, % Volatile matters,% Fixed carbon, Kerapatan, g/cm3 Kekuatan tekan, kg/cm2 Nilai kalor, kkal/kg
Tepung singkong ( tepung tapioka ) atau aci adalah tepung yang diperoleh dari umbi akar singkong. Tapioka memiliki sifat-sifat fisik yang serupa dengan tepung sagu, sehingga penggunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan dan bahan perekat [7].
Dimana A,B dan D adalah massa sampel dengan cawan, massa cawan dan massa cawan dengan residu Pengukuran Volatile matters (VM) Pengukuran Volatile matters dilkukan dengan memanaskan sampel dalam furnace pada suhu 815 oC selama 7 menit, selanjutnya didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang kembali Perhitungan Volatile matters : VM (%) = .
E. Bahan perekat tepung tapioka
Energi III-156
x 100 % -F(%)
(2)
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Dimana A,B,D dan D adalah massa sampel dan cawan (gr), massa cawan (gr), massa cawan dan residu (gr) dan F moisture dalam analisis sampel (%) Pengukuran Abu (Ash) Pengukuran Ash dilakukan dengan memanaskan sampel dalam muffle furnace dimulai dari suhu rendah, kemudian dinaikkan sampai 250oC, dari 250oC - 500 oC selama 30 menit, dari 500 oC sampai 815 oC selama 60 menit, selanjutnya dinginkan selama 10 menit kemudian masukkan ke dalam desikator lalu timbang massanya. Perhitungan kadar abu (Ash) dengan massa residu F dan massa sampel C : (Ash) % =
(3)
Pengukuran Fixed carbon (FC) Fixed carbon dihitung dari 100 % dikurangi dengan kadar air lembab (moisture) dikurangi kadar abu, dikurangi kadar zat terbang (volatile matters) Perhitungan Fixed carbon : FC (%) = 100 %– (moisture + kadar abu + volatile matters )% .(4) D. Sifat termal ( Nilai kalor ) Pengukuran nilai kalor menggunakan bomb kalorimeter PARR 1261. Perhitungan nilai kalor atas : HHV (cal/g)= Dimana ∆t, EEV, e2, e2 dan es masing-masing adalah kenaikan suhu pembakaraan di dalam Bom Kalorimeter, energi ekivalen saat terjadi pembakaran C, koreksi panas karena pembentukan asam, koreksi panas pembakaran dari kawat pembakar (kal), koreksi sulfur yang ada dalam bahan bakar (kal/gram) dan m adalah massa sampel (gram). E. Sifat fisis. Sifat fisis yang akan diuji adalah: Pengujian kekuatan tekan Pengujian kekuatan tekan briket dilakukan untuk melihat seberapa besar ketahanan briket terhadap penetrasi pada permukaannya. Perhitungan Kerapatan. Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kerapatan partikel terhadap kekerasan briket. Pengujian ini dilakukan dengan mendeterminasi beberapa rapat massa briket melalui perbandingan antara massa briket dengan besarnya dimensi volumetrik briket. Perhitungan massa jenis:
ρ=
( kg/m3)
(6)
Dimana ρ, m dan v adalah massa jenis ( kg/m3), massa benda (kg), dan volume benda (m3). F. Uji Pembakaran Pengujian pembakaran briket dilakukan pada kompor briket untuk mengetahui efisiensi termal keseluruhan. Metode yang digunakan adalah metode pengujian pendidihan air yaitu dengan memanaskan sejumlah air sampai mendidih pada kompor dengan menggunakan bahan bakar briket. Efisiensinya dapat dihitung dengan menggunakan
th =
(7)
Dimana th , ma, Cp, mb dan LHV masing-masing adalah efisiensi termal pembakaran briket pada kompor briket (%), massa air( kg ), Kalor spesifik air 4,176 ( kJ/kg C), perbedaan temperatur awal dan akhir ( C ) massa briket yang habis digunakan untuk pembakaran (kg) dan nilai kalor bawah briket ( kkal/kg). G. Emisi Gas Hasil Pembakaran Emisi gas adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar berupa gas CO atau biasa juga disebut karbon monoksida yang beracun, CO2 atau disebut juga karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca, dan berupa senyawa Hidrat arang (HC) sebagai akibat ketidak sempurnaan pembakaran [8]. CO (karbon monoksida) Emisi karbon monoksida berasal dari sumber alami seperti: kebakaran hutan, vegetasi dan kehidupan dilaut. Sumber CO lainnya berasal dari antropogenik yaitu hasil pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil yang memberikan sumbangan 78,5% dari emisi total. Pencemaran dari sumber antropogenik 55,3% berasal dari pembakaran bensin pada otomotif, merupakan bagian dari polutan yang tidak bisa terbakar, tidak berbau dan tidak berwarna. Gas CO dapat bereaksi dengan haemoglobin membentuk karbonhaemoglobin ( CO-Hb ) yang selanjutnya menurunkan kemampuan darah dalam membawa oksigen. Seperseribu bagian CO dalam darah akan menyebabkan 50 % haemoglobin dalam darah terikat CO [9]. CO2 ( Karbon Dioksida ) Briket yang komponen penyusunnya berupa karbon (C), jika dibakar akan bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan karbon dioksida (CO2). Tubuh manusia juga penghasil CO2 yang merupakan hasil pembakaran dari makanan yang dimakan, selain menghasilkan air, oleh tumbuhan CO2 akan ditangkap sebagai bahan baku fotosintesa sebagai penghasil karbohidrat dan O2. Dampak dari kenaikan kadar CO2 di udara akan menyebabkan peningkatan suhu dipermukaan bumi. Rumah kaca merupakan rancang bangun yang dibuat untuk pembibitan tanaman yang sering kita jumpai pada lahan pertanian dan perkebunan modern Sinar matahari dapat menembus kaca, akan tetapi sinar infra merah yang dipantulkan tidak dapat menembusnya dan terperangkap didalamnya sehingga suhu dalam rumah kaca meningkat. Kondisi itu pula yang terjadi dengan bumi kita, CO2 diudara dapat dilewati sinar infra merah dan sinar tampak
Energi III-157
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
tetapi menahan sinar infra merah yang dipantulkan bumi. Semakin tinggi CO2 di udara semakin panas suhu dipermukaan bumi. Jika ini terjadi terus menerus maka es di kutub akan mencair dan menaikkan permukaan air yang akhirnya akan meneggelamkan pulau-pulau [10] Hidrocarbon (HC). Sama halnya dengan karbon monoksida, gas hidrokarbon terbentuk pada pembakaran yang sangat tidak sempurna. Asap terutama terdiri dari partikel partikel karbon yang tidak terbakar. Sedangkan gas-gas hidrokarbon adalah senyawa-senyawa karbon dan hidrogen hasil pemecahan bahan organik yang belum mengalami oksida oksigen lebih lanjut. Seperti karbon monoksida, pembentukan asap dan gas-gas hidrogen menyebabkan rendahnya efisiensi pembakaran bahkan jauh lebih rendah dari yang diakibatkan oleh karbon monoksida [5]. Menurut Kepmen LH No. 05 tahun 2006 [11], bahwa ambang batas untuk gas HC ( Hidro karbon ) dan CO ( karbon monoksida ), dapat dilihat pada tabel 2. berikut : Tabel 2. Ambang batas emisi HC dan CO A. Kendaraan bermotor kategori L (roda dua) Kategri Parameter HC (ppm) CO(% vol)
Ambang atas emisi
Sepeda motor langkah
12000
Gambar 1. Hasil percetakan briket
4,5
2
Sepeda otor 4 langkah
Dari hasil percetakan briket pada Gambar 1 terlihat bahwa semakin besar mesh semakin besar massa briket ini disebabkan karena ruang kosong diantara butiran bubuk arang lebih sempit sehingga bentuknya lebih massif. 2400
1,5
B. Kendaraan bermotor kategori M,N dan O (roda empat) Kategori
Tahun pembuatan
Ambang batas emisi
HC(ppm)
CO (%)
1200
4,5
200
1,5
Pengukuran emisi gas hasil pembakaran menggunaka alat “ Emission Analyzer” AVL DIGAS 4000 LIGHT.
I.
melancarkan sirkulasi udara sehingga pada saat pembakaran terjadi pembakaran sempurna. Hasil yang diperoleh seperti pada Gambar 1 dibawah. Briket dicetak dalam ukuran 20-40 mesh, 40-60 mesh dan 60-80 mesh. Adapun spesifikasi dari ketiga jenis briket arang limbah batang jagung adalah sebagai berikut:diameter briket, lubang besar dan kecil adalah sama, masing-masing 6,47 cm; 1,32 cm dan 0,79 cm. Sedangkan tinggi dan massanya masing-masing :4,9 cm dan 63 gram; 4,3 cm dan 56 gram dan 5,0 cm dan 75 gram.
Perhitungsn biaya / ongkos produksi briket
Bahan baku limbah batang jagung tidak diperhitungkan karena dianggap sebagai limbah, tepung tapioka dihitung berdasarkan harga pasar yaitu sebesar Rp. 7.000,-/kg, upah tenaga kerja sebesar Rp. 50,-/buah dan investasi peralatan sebesar Rp. 2.500.000,IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil percetakan briket Briket dicetak dalam bentuk sarang tawon dan diberi tekanan 2,2 Mpa. Penekanan bertujuan untuk meratakan bahan perekat keseluruh permukaan briket sehingga bentuknya menjadi kokoh, sedangkan pemberian lubang bertujuan untuk
B. Uji analisis proksimasi, dilakukan di Laboratorium Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) Makassar, hasilnya sebagai berikut; Untuk 20-40 mesh; Moisture, M = 13,08 % berat Volatile Matters, VM = 26,18 % berat Ash, A = 32,86 % berat Fixed Carbon FC = 27,88 % berat Untuk 40-60 mesh Moisture, M = 13,36 % berat Volatile Matters, VM = 23,52 % berat Ash, A = 33,26 % berat Fixed Carbon, FC = 29,88 % berat Untuk 60-80 mesh Moisture, M = 10,42 % berat Volatile Matters, VM = 20,97 % berat Ash, A = 35,78 % berat Fixed Carbon, FC = 32,83 % berat Dari hasil analisis proksimasi briket tersebut di atas diperoleh beberapa hal sebagai berikut: Moisture (kadar air), Kandungan moisture berhubungan dengan penyalaan awal bahan bakar, makin tinggi moisture makin sulit penyalaan bahan bakar tersebut karena diperlukan energi untuk menguapkan moisture dari bahan bakar.
Energi III-158
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Kandungan moisture dalam briket adalah 13,08% , 13,36% dan 10,42% berat,. Harga ini memperlihatkan bahwa kandungan moisture dalam briket tersebut lebih besar dari standar briket komersial, briket impor, briket Jepang, briket USA dan briket Inggris . Ash ( kadar abu ), Ash di dalam bahan bakar padat merupakan residu hasil pembakaran yang tak dapat terbakar lagi. Kandungan ash dalam briket adalah 32,86%, 33,26% dan 35,78% berat. Kandungan ash ini tidak masuk dalam standar briket Inggris, USA, standar briket komersial, standar briket impor dan standar briket Jepang.
Volatile matters, Volatile matters dalam bahan bakar berfungsi untuk stabilisasi nyala dan percepatan pembakaran arang. Kandungan volatile matters dalam briket adalah 26,18 %, 23,53% dan 20,97% berat. Kandungan volatile matters ini masuk dalam standar briket impor, dan briket Jepang, kecuali standar briket komersial, briket Inggris dan standar briket USA.
Fixed carbon, Kandungan fixed carbon di dalam briket adalah 27,88 %, 29,86% dan 32,83% berat, harga ini menunjukkan bahwa briket ini tidak masuk dalam standar briket komersial, standar briket impor, briket Inggris, briket USA, dan standar briket Inggris
C. Nilai Kalor (HHV), Pengujian dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNHAS,hasilnya sebagai berikut; Ukuran butir 20-40 mesh ; HHV =3788kkal/ kg Ukuran butir 40-60 mesh ; HHV = 3838kkal/ kg Ukuran butir 60-80 mesh ; HHV = 3596kkal/ kg Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut ;
Dari hasil pengujian nilai kalor pada Gambar 2, terlihat bahwa ukuran nilai kalor tertinggi ke terendah masing-masing untuk ukuran butir 40-60 mesh,20-40 mesh dan 60-80 mesh . Ini disebabkan karena faktor kadar airnya (makin tinggi kadar air makin sulit penyalaan bahan bakar tersebut sehingga dibutuhkan energi untuk menguapkan kadar airnya). D. Uji sifat fisik, dilakukan di Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) Makassar, hasilnya adalah sebagai berikut;
Uji kuat tekan Ukuran butir 20-40 mesh ; Pmaks = 4,80 kg/cm2 Ukuran butir 40-60 mesh ; Pmaks = 3,80 kg/cm2 Ukuran butir 60-80 mesh ; Pmaks = 2,67 kg/cm2 Dari hasil pengujian diatas dapat dilihat bahwa semakin kecil ukuran mesh kemampuan untuk menahan tekanan semakin besar, hal ini disebabkan karena semakin besar ukuran butir semakin besar ruang diantara partikel sehingga semakin banyak ruang yang dityempati zat pengikat dan zat perekat.
Perhitungan kerapatan. Perhitungan kerapatan menggunakan rumus (6) dan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut; Ukuran butir 20-40 mesh ; = 0,435 gr/cm3 Ukuran butir 40-60 mesh ; = 0,441 gr/cm3 Ukuran butir 60-80 mesh ; = 0,508 gr/cm3 Dari data hasil perhitungan diatas terlihat bahwa semakin besar ukuran mesh semakin besar nilai kerapatan, hal ini disebabkan karena ukuran mesh yang besar (butiran halus) menghasilkan briket yang lebih massif sehingga massanya lebih besar. E. Uji pembakaran. Hasil uji pembakaran dapat dilihat pada Gambar 3, 4 dan 5 berikut; Untuk 20-40 mesh
Gambar 3. Grafik waktu pembakaran versus temperatur bara briket dan temperatur air
Gambar 2. Grafik ukuran mesh versusNilai kalor
Energi III-159
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pada Gambar 3, 4 dan 5 terlihat bahwa grafik temperatur briket (bagian atas) khususnya pada Gambar 4 dan 5 bentuknya tidak teratur, itu disebabkan karena sulit mengontrol sensor termokopel (selalu bergeser). Garis yang tiba-tiba turun menandakan bahwa sensor termokopel bergeser menjauhi pusat briket (lubang tengah) sedangkan yang tiba-tiba naik menandakan bahwa sensor termokopel digeser ke pusat briket. Untuk 40-60 mesh
Massa air ( kg )
Massa briket (kg)
Efisiensi termal (%)
20-40 mesh
1,5
0,245
12,57
40-60 mesh
1,5
0,220
19,56
2
60-80 mesh
1,5
0,275
12,41
3
No
1
Kode sampel
F. Uji emisi, diliakukan di Departemen Perhubungan Kota Makassar.
Gambar 4. Grafik waktu pembakaran versus temperatur bara briket dan temperatur air
Untuk 60-80 mesh.
Dari hasil pengujian emisi ( Gambar 6,7 dan 8) dapat dilihat bahwa semakin tinggi ukuran mesh semakin tinggi nilai emisi gas CO. Nilai tertinggi untuk CO terjadi pada 20-40 mesh sebesar 1,11% volume yang terjadi pada menit ke-27, nilai tertinggi CO2 sebesar 5,4 % volume yang terjadi pada menit ke-18 sedangkan HC mencapai nilai tertinggi sebesar 360 ppm yang terjadi pada menit ke-6. Menurut Kepmen LH No.05 tahun 2006, hasil pengujian emisi diatas masih dibawah ambang batas CO yang diperkenangkan untuk sepeda motor 2 langkah ( 4,5) dan motor 4 langkah (5,5). Sedangkan untuk gas HC yang diperbolehkan adalah 12.000 ppm untuk sepeda motor 2 langkah dan 2400 ppm untuk sepeda motor 4 langkah. Jadi, jika dibandingkan dengan standar emisi yang dikeluarkan oleh Mentri lingkungan hidup No. 05 tahun 2006 tentang ambang batas emisi motor bakar kategori L dan M,N,O, maka briket arang limbah batang jagung aman digunakan untuk rumah tangga. Pada Gambar 6,7 dan 8 terlihat bahwa grafik CO2 berada diatas grafik CO itu berarti bahwa emisi CO2 lebih besar dari emisi CO. Selain dari pada itu terlihat bahwa pada awal pembakaran, baik grafik CO2 , CO, maupun HC mempunyai nilai yang tinggi kemudian semakin lama semakin menurun. Hal itu disebabkan karena pembakaran belum stabil ( belum sempurna ) akibat penyalaan awal dengan bahan minyak tanah.
Gambar 5. Grafik waktu pembakaran versus temperatur bara briket dan temperatur air
Sisa hasil pembakaran; 20-40 mesh sebanyak 5 gr, 40-60 mesh sebanyak 20 gr dan 60-80 mesh sebanyak 5 gr. Hasil perhitungan efisiensi termal dapat dilihat pada tabel 4 dengan menggunakan rumus (7). Pada tabel 4 diatas terlihat bahwa ukuran 40-69 mesh mempunyai efisiensi terbesar, ini disebabkan karena nilai kalornya tertinggi dari ketiga sampel briket. Tabel 4. Hasil perhitungan efisiensi termal.
Gambar 6. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas hasil pembakaran CO, CO2 dan HC ) untuk 20-40 mesh.
Energi III-160
(
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian tentang briket arang batang jagung maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil pencetakan briket arang batang jagung mempunyai diameter briket ( db ), diameter lubang besar ( dlb ), diameter lubang kecil ( dlk ), tinggi ( t ) dan massa masing – masing : 64,7 mm; 13,2 mm; 7,86 mm; 49 mm dan 64 gram. 2. Uji proksimasi menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh belum memenuhi standar mutu briket (moisture 7,75% ash 18%; volatile matters 19%; fixed carbon 58%). 3. Hasil pengujian nilai kalor lebih rendah dari nilai standar minimum (3838 kkal/kg 6000 kkal/kg) 4. Hasil pengujian kuat tekan lebih kecil dari standar mutu briket (4,80 kg/cm212,7 kg/cm2 ). Nilai kerapatan lebih besar dari standar mutu komersial (0,4410 gram/cm3 0,4407 gram/cm3). 5. Hasil perhitungan efisiensi pembakaran menunjukkan bahwa briket dengan ukuran 40-60 mesh mempunyai efisiensi tertinggi (19,56%), disusul 20-40 mesh (12,57%) dan yang paling rendah ukuran 60-80 mesh (12,41%). 6. Hasil pengujian emisi gas hasil pembakaran lebih rendah dari standar ambang batas emisi untuk kendaraan bermotor yang diperbolehkan (CO 1,5 , HC 2400). 7. Dari hasil perhitungan biaya diperoleh Rp. 3770,-/kg atau Rp. 241,3,- /buah.
Gambar 7. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas hasil pembakaran ( CO, CO2 dan HC ) untuk 40-60-mesh
Gambar 8. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas hasil pembakaran CO, CO2 dan HC ) untuk 60-80 mesh.
(
H.
Perhitungan biaya / ongkos produksi briket/buah. Setiap kali melakukan percetakan menghasilkan 7 buah briket dan membutuhkan waktu 5 menit, sehingga dalam satu jam menghasilkan briket sebanyak 84 buah. Jika jam kerja dalam 1 hari adalah 8 jam, maka akan dihasilkan briket sebanyak 8 x 84 = 672 buah. Massa rata-rata briket yang dihasilkan adalah 64 gram, sehingga dalam 1 hari menghasilkan 64 x 672 = 43.008 gram atau sekitar 43 kilogram briket. Biaya pembuatan briket. Upah tenaga pengumpul bahan baku 23 karung @ Rp. 2500,- = Rp. 57.500,Upah tenaga proses karbonasi 1 orang = Rp. 50.000,Upah tenaga pencetak briket 672 buah @ Rp. 50,- = Rp. 33.600,Harga tepung tapioka 3kgxRp. 7.000 = Rp.21.000 Biaya hasil produksi(1+2+3+4) diperoleh Rp.162.100 Jika perbriket 64 gram, maka @ Rp. 241,3, atau Rp.3770/kg.
B. Saran Untuk mendapatkan briket arang batang jagung dengan hasil yang lebih baik maka diperlukan penelitian lanjutan dengan variasi campuran dari bahan perekat dan tanah liat atau yang dapat memperbaiki sifat-sifat briket
DAFTAR PUSTAKA [1] Effendy Arif dan Daud .Patabang, 2010, Pengolahan Limbah Kulit Kemiri Sebagai Sumber Bahan Bakar Alternatif, Fakultas Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar [2] BRS, 2011. Padi dan Jagung. Artikel, Makassar. Indonesia [3] R. Neni Iriany,M. Yasin,H.G.,A, Takdir, 2007. Asal, sejarah dan taksonomi tanaman jagung, Balai peneliatian tanaman serealia,Maros. [4] Enik. S. W, Sarwono, Ridho. H, 2010. Studi eksperimental briket organik dengan bahan baku dari PPLH Seloliman, Jurusan Teknik Fisika FTI ITS Surabaya. [5] Mursalim, Waris Abdul, 2004, Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai briket arang, Laporan penerapan Ipteks Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Hasanuddin. [6] Rezki A, 2012. Pengaruh dimensi partikel arang kulit kakao terhadap mutu briket sebagai energi alternatif. Universitas Hasanuddin, Makassar [7] http://id.wikipedia.org, 2009 .
Energi III-161
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[8] Nukman, 2009, M8-021 Emisi PembakaranBiomassa Batang Kayu. Universitas Diponegoro, Semarang. [9] Suparni Setyowati Rahayu, 2009. Unsur-unsur pencemar udara, http://www, Chem – is – TRY,Org, situs kimia indonesia.
[10] PUSTEKKOM © 2005, http://Soerya, surabaya .go.id/AUP/eDU.KONTEN ...net/... Polusi/all.htm. [11] Piter Sulitonga, 2011, come and Share, www: Piterbizz, blog spot. Com
Energi III-162
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
Pengaruh Putaran dan Perbandingan Kompressi Terhadap Kinerja VCRPE Dengan Menggunakan Campuran Bahan Bakar Premium-Pertamax (Premix) Dian Mahdiansah
Effendy Arif
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar , Indonesia
[email protected]
Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar , Indonesia Email: -
Abstract— The Effect Of Rotation and Compression Ratio On The Performance Of Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE) By Using Premium-Pertamax (Premix) Fuel Mixture (supervised by Effendy Arif and Wahyu H. Piarah). The research aimed at finding out: 1). the impact of composition of the premium and pertamax (premix) fuel mixture; 2). the effect of variation of gas trotlle; 3). the impact of the engine compression ratio on the engine performance of Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE). This was an experimental research carried out in the Combustion Motor Laboratory Hasanuddin University by using the engine Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE). Whereas the Low Heating Value (LHV) was obtained from the Laboratory testing of PT. Pertamina (Ltd) UPMS VII Makassar. The research result indicates that on the composition of pertamax 75% + premium fuel 25% the power produced is 4.457 kW; on the rotation 1900 rpm with the specific fuel consumption of 0.347 kg/kWh, and (ƞ VOL) maximum 63.08%; (ƞ th) 24.36%. The engine performance (VCRPE) on gas (trotlle) 100% the power produced is 4.517 kW. The specific fuel consumption of 0.334 kg/kWh, and (ƞ VOL) maximum 63.03%; (ƞ th) 24.75%. The engine performance (VCRPE) to variations Compression Ratio (Rk) 10 of 4.517 kW. The specific fuel consumption of 0.334 kg/kWh, and (ƞ VOL) a maximum of 63.03%;(ƞ th) 24.75%. The conclusion of this study that on the composition of premium fuel 25% + pertamax fuel 75% first to have greater power, specific fuel consumption (SFC) is lower is because of better combustion quality is influenced by the quality of fuel that the better the shown on the nature of theease of evaporation and increase the octane number of the mixing concentration (Pertamax +Premium), the value of the maximum thermal efficiency is achieved if the ratio is less fuel and, volumetric efficiency of the engine (VCRPE) ranged from 80-90%. I. PENDAHULUAN Saat ini konsumsi bahan bakar bensin dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data statistik di Indonesia pada tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia sekitar 26.706.705 kendaraan, tahun 2011 berjumlah 30.769.093
kendaraan dan 2012 berjumlah 38.156.278 kendaraan. Hal ini mengakibatkan komsumsi pemakaian bahan bakar minyak bumi meningkat. Hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan, karena dengan peningkatan pemakaian bahan bakar minyak bumi maka cadangan minyak bumi akan semakin berkurang sedangkan kebutuhan akan minyak bumi terus bertambah. Cadangan minyak di bumi Indonesia saat ini adalah 4,8 miliar barel dan setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barel (http://en.Wikipedia.org/wiki/biofuel, Maret 2012). Diprediksikan pada 2013, jumlah impor BBM akan meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam negeri. Fakta itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM terbesar di Asia. Sehingga, dengan kondisi keterbatasan BBM serta kebijakan pemerintah yang mengupayakan penyelematan anggaran dengan cara reduksi subsidi BBM tentu ini dirasa perlu untuk dilakukan suatu analisis dengan tujuan agar pemakaian bahan bakar minyak di masyarakat dapat dipenuhi sesuai kebutuhan serta aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu, peneliti dalam tesis ini mencoba membahas tentang Pengaruh Pemakaian Komposisi Campuran Bahan Bakar Premium-Pertamax (Premix) Terhadap Kinerja Mesin Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE) II. LANDASAN TEORI A. Premium Premium (Bensin) diperoleh dari minyak mentah yang dipompa dari perut bumi dan biasa disebut crude oil, dengan proses destilasi atau penyulingan minyak mentah, bensin diperoleh pada temperatur 150OC, cairan ini mengandung hidrokarbon. Atom-atom karbon dalam minyak mentah saling berhubungan membentuk rantai dengan panjang yang berbeda-beda. Angka oktan menunjukkan kecenderungan bensin untuk memberikan ketukan di dalam mesin (Angka oktan bensin 85-95). Densitas menunjukkan perbandingan massa minyak persatuan volume pada temperatur tertentu ( bensin : 715780 Kg/m3) nilai kalorpembakaran menunjukkan energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Nilai kalor H, C dan O dinyatakan dalam prasentase setiap unsur
Energi III-163
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
yang terkandung dalam satu kilogram bahan bakar (nilai kalor bensin : 42000-44000 Kj/Kg). Titik bakar (fire point) adalah temperatur terendah dimana uap minyak akan menyala dan terbakar secara terus menerus kalau dikenai nyala uji (test flame) pada kondisi tertentu. B. Pertamax Pertamax adalah motor gasoline tanpa timbal dengan kandungan aditif lengkap generasi mutakhir yang dapat membersihkan Intake Valve Port Fuel Injector dan ruang bakar dari karbon deposit. Pertamax mempunyai RON 92 (Research Octane Number) yang dianjurkan juga untuk kendaraan berbahan bakar bensin dengan perbandingan kompresi tinggi. Diketahui bahwa karena kadar oktan yang terkandung dalam pertamax lebih tinggi dibandingkan premium, mengakibatkan produk bensin super ini diyakini dapat memberikan prestasi mesin yang lebih bagus dan perawatan mesin lebih baik dibanding menggunakan premium. Pertamax memiliki nilai oktan 92 dengan stabilitas oksidasi yang tinggi dan kandungan olefin, aromatic dan benzene-nya pada level yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna pada mesin. Dilengkapi dengan aditif generasi 5 dengan sifat detergency yang memastikan injector bahan bakar, karburator, inlet valve dan ruang bakar tetap bersih untuk menjaga kinerja mesin tetap optimal. Pertamax sudah tidak menggunakan campuran timbal dan metal lainnya yang sering digunakan pada bahan bakar lain untuk meningkatkan nilai oktan sehingga Pertamax merupakan bahan bakar yang sangat bersahabat dengan lingkungan sekitar. C. Karakteristik Nilai Kalor Bahan Bakar Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar di bakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (calorific value). Berdasarkan ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor bawah dan nilai kalor atas. Nilai kalor atas (High Heating Value, HHV), merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan calorimeter bomb dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Nilai kalor bawah (Low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan air. Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15% yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang di hasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya. Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada di dalam bahan bakar (moisture).
Daya efektif atau Brake Horse Power merupakan daya berguna yang berhasil diperoleh sebagai daya poros penggerak beban. Daya ini dibangkitkan oleh suatu daya mula tersebut daya indikator yang merupakan daya gas pembakaran yang disebut daya indikator yang merupakan daya gas pembakaran yang menggerakkan torak, sebagian daya indikator dibutuhkan untuk mengatasi gesekan-gesekan mekanik. [2]
2.
Konsumsi Bahan Bakar, FC (kg/h)
Dengan : Vgu ρf t 10-3
= Volume gelas ukur = Massa jenis bahan bakar = Waktu untuk menghabiskan bb = Faktor konversi dari cc ke liter
3.
Konsumsi Bahan Bakar Spesifik, SFC (kg/kWh)
4.
Efesiensi Termis Efektif, Ƞ t (%)
Tekanan Efektif Rata-rata, MEP (kN/m2) Menurut [1] [4]tekanan efektif rata-rata untuk mesin berada pada 700 sampai 900 kPa. 5.
Dengan VL 60 Ka Pe n
= Volume langkah torak = Faktor konversi dari menit ke detik = Konstanta untuk motor 4 langkah = Daya efektif (kW) = putaran poros (Rpm)
6.
Konsumsi Udara Teoritik, Mt (kg/h)
7.
Konsumsi Udara Aktual, Ma (kg/h)
8.
Efesiensi Volumetrik, Ƞv (%)
9.
Rasio Udara-Bahan bakar, AFR
D. Parameter Kinerja mesin 1. Daya Efektif, Pe (kW)
Energi III-164
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Motor Bakar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin dengan menggunakan mesin Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE). Prosedur Pengujian dan Pengambilan a. Pengujian spsifikasi komposisi bahan bakar premium dan premix (25% + 75%; 50% + 50%; 75% + 25%). b. Pengujian prestasi mesin Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE) pada rasio kompressi 8 sampai 10 dan pada putaran poros 1500 rpm sampai 2200 rpm serta pembukaan katup gas 50 %, 75 %; dan 100 %. c. Perbandingan SFC hasil penelitian ini bahan bakar premium dengan hasil penelitian bahan bakar premix (campuran premium dan pertamax). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hubungan Daya Efektif terhadap Putaran Dari gambar menunjukkan Hubungan Daya Efektif terhadap Putaran dimana adanya kenaikan daya efektif seiring dengan meningkatnya putaran untuk setiap konsentrasi. Untuk konsentrasi pertamax 100% menunjukan bahwa daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm 4,517 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 3,173 kW. Sedangkan untuk konsentrasi campuran pertamax 75% + premium 25% menunjukan bahwa daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm 4,457 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 3,142 kW. Pada konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50% daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm adalah 4,337 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 3,032 kW. Pada konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm adalah 4,218 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 2,953 kW. Sedangkan pada konsentrasi premium 100% menunjukan bahwa daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm 4,218 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 2,859 kW.
B. Hubungan Pemakaian BB terhadap Putaran Dari gambar menunjukkan Hubungan Pemakaian Bahan Bakar terhadap Putaran dimana adanya kenaikan konsumsi bahan bakar seiring naiknya putaran, dimana konsumsi bahan bakar terbesar terjadi pada konsentrasi bahan bakar premium 100% adalah 3,686 kg/h dicapai pada putaran 2200 rpm, dan konsumsi bahan bakar minimumnya dicapai pada putaran 1500 rpm sebesar 1,502 kg/h. Sedangkan untuk konsentrasi bahan bakar pertamax 100%, terlihat bahwa, konsumsi bahan bakar terendah dibandingkan dengan bahan bakar premium dan campuran bahan bakar sebesar 1,377 kg/h dicapai pada putaran 1500 rpm. Sedangkan konsumsi bahan bakar maksimum diperoleh pada putaran 2200 rpm sebesar 1,634 kg/h. Untuk konsentrasi campuran pertamax 75% + premium 25% menunjukan konsumsi bahan bakar adalah 1,407 kg/h dicapai pada putaran 1500 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50% konsumsi bahan bakar terbesar dicapai pada putaran 2200 rpm adalah 1,688 kg/h dan konsumsi bahan bakar minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 1,433 kg/h. Pada konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% menunjukan konsumsi bahan bakar terbesar adalah 3,778 kg/h dicapai pada putaran 2200 rpm, sedangkan konsumsi bahan bakar minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 1,447 kg/h.
C. Hubungan Komsumsi BB Spesifik
terhadap
Putaran Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Pemakaian Bahan Bakar Spesifik terhadap Putaran menunjukkan adanya penurunan komsumsi bahan bakar spesifik seiring dengan meningkatnya putaran poros untuk setiap konsentrasi. Untuk konsentrasi pertamax 100% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik sebesar 0,334 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm. Sedangkan pada konsentrasi campuran pertamax 75% + premium 25% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik sebesar 0,347 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik sebesar 0,361 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm. Selanjutnya untuk konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik sebesar 0,383 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm. Sedangkan untuk konsentrasi premium
Energi III-165
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
100% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik sebesar 0,394 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm.
E. Hub. Efisiensi Volumetris
terhdp Putaran
Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Efisiensi Volumetris terhadap Putaran dimana menunjukkan bahwa besarnya perubahan nilai
turun
secara teratur seiring dengan perubahan SFC dan pada putaran poros mesin. Untuk konsentrasi pertamax 100% menunjukan bahwa efisiensi volumetris maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 72,52%, efisiensi volumetris minimumnya sebesar 47,40% dicapai pada
D. Hubungan
Efisiensi
Termis
Efektif
terhadap
Putaran Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Efisiensi Termis Efektif terhadap Putaran dimana adanya kenaikan seiring dengan meningkatnya putaran untuk setiap konsentrasi. Efisiensi Termis Efektif ini pun dipengaruhi oleh naiknya rasio kompressi, namun kenaikan ini tidak mencapai rasio kompressi maksimum. Untuk konsentrasi pertamax 100% menunjukan bahwa efisiensi termis efektif sebesar 24,75% dicapai pada putaran 1900 rpm. Sedangkan untuk konsentrasi campuran pertamax 75% + premium 25% sebesar 24,36% dicapai pada putaran poros mesin 1900 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50% sebesar 23,36% dicapai pada
putaran 2200 rpm. Sedangkan untuk konsentrasi campuran pertamax 75% + premium 25% menunjukan bahwa efisiensi volumetris maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 71,47%, efisiensi volumetris minimumnya sebesar 46,65% dicapai pada putaran 2200 rpm. Untuk konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50% menunjukan bahwa efisiensi volumetris maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 71,09%, efisiensi volumetris minimumnya sebesar 46,38% dicapai pada putaran 2200 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% efisiensi volumetris maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 69,96%, efisiensi volumetris minimumnya sebesar 44,75% dicapai pada putaran 2200 rpm. Sedangkan Pada premium 100% efisiensi volumetris maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 69,58%, efisiensi volumetris minimumnya sebesar 44,20% dicapai pada putaran 2200 rpm
putaran poros mesin 1900 rpm. Selanjutnya pada konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% sebesar 22,04% dicapai pada putaran poros mesin 1900 rpm, dan akan turun pada saat putaran 2200 rpm sebesar 18,36%. Sedangkan untuk konsentrasi premium 100% diperoleh itu sebesar 21,38% pada putaran 1900 rpm, selanjutnya akan turun pada putaran 2200 sebesar 17,44%.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Aris Munandar W. 1994. ”Penggerak Mula Motor Bakar Torak”. Institute Teknologi Bandung (ITB), Bandung. [2] Baharuddin Mire. 2002. ”Optimasi Konsumsi Bahan - bakar Spesifik Pada Motor Bensin Type VCRPE , Jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin, Makassar. [3] ] http://en.Wikipedia.org/wiki/biofuel, diakses tgl 21 Maret 2012. [4] Roel, A.A. 4 November 2006. Analisa Emisi Gas Buang. (http://cepot.wordpress.com/, diakses 13 November 2010)Spesifikasi BBM. ”Pengendalian Mutu Bahan bakar Minyak”, Pertamina.
Energi III-166
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi
[5] Yusuf Yauri, 2008. ”Analisis Emisi Gas Buang Pada Mesin Enduro XL”, Jurusan Teknik Mesin Universitas Muslim Indonesia, Makassar
[6] Plint, Installation and Operating Instruction. England plint Engineers & Partners Ltd. Wokingham [7] Annual Book of Test bed and Instrumentation for Small Engines edisi tahun 2003.
Energi III-167