“Dean, kau menghilang cukup lama, dan kau tak mungkin bergabung dengan mereka dengan mudah, mereka melukaimu? Mengancammu?”, aku membuka mataku. Menatap Justin yang menatapku dengan penuh perhatian. Aku bangkit untuk duduk, lalu menatap William yang mengintip melalui jendela di pintu depan, dan Bryant mengintip di jendela pintu belakang. tapi aku tau, konsentrasi mereka tidak pada hal yang sedang mereka lakukan, tapi pada pembicaraanku dengan Justin. “aku ingin kau setuju untuk menjadi anggota Atrocity, otomatis kau akan masuk ke gedung Fearless, tapi kau harus berhasil melumpuhkan Atrocity saat itu juga sebelum mereka memberikan tubuhmu virus, aku ingin kau memimpin mereka, mereka semua yang akan aku tunjuk untuk masuk ke dalam Atrocity, Cody tidak mengerti maksudku, dan hanya kalian yang bisa melakukan itu, aku akan mengontrol agar pasukan Atrocity tidak kembali ke gedung pusat, karena saat ini gedung pusat memiliki sedikit pasukan, kalian bisa menyerang”, “mereka memberimu virus, Dean? Virus seperti apa?”, aku menatapnya. “mereka tidak melakukan apapun padaku. aku pemimpin. Itu virus yang mengerikan dan membuatmu bergantung dengan serum penyembuhnya, tanpa itu, kau akan mati dan Virus menggerogoti tubuhmu perlahan”, Justin menatapku sesaat. Aku tersenyum untuk meyakinkannya. “Justin, mereka mendekat”, ujar William. “pergilah. Aku aman. Jangan khawatirkan aku, jika bisa, bicaralah dengan Cody dan jelaskan rencana ini”,
bola matanya menatapku, seakan-akan mencari sesuatu yang
tersembunyi. Aku tidak tahu apa dia sadar jika aku berbohong tentang virus itu atau tidak. tapi aku lebih suka, mereka tidak tahu.
“jaga dirimu”, “selalu”, William menarik lengan Justin. aku hanya menatapnya. mungkin aku memang akan canggung dengan William dan Bryant, karena ya mereka membenciku, suka membully-ku, jadi aku tak mungkin akrab dengan mereka, terlebih lagi mereka tidak pernah menunjukan sikap dan pandangan akrab padaku. Aku menatap pintu belakang yang tertutup. Aku tidak tahu kemana mereka akan pergi, tapi seluruh kota ini sudah di penuhi Atrocity. Aku memerintahkan mereka untuk tetap menjaga kota ini dan mencari seluruh orang yang ada. Aku ingin membuat pasukan di belakang Atrocity, walau aku di beri jabatan tinggi, aku tidak akan pernah suka hal itu, karena pihak yang salah, tidak harus di beri dukungan. Suara peluru terdengar meluncur berkali-kali dengan mudah. Teriakan-teriakan orangorang itu menarik perhatianku. Aku bangkit untuk berdiri. Saat aku ingin mendekati pintu, pintu terbuka, Liam menatapku dengan terengah-engah. mungkin dia baru saja berlari maraton.. “Dean! Fearless mulai menyerang!”, aku menatap Liam. Senjata yang ada di bagian kanan pinggulku, aku ambil dan membuka pintu lebih lebar untuk keluar. aku mengarahkan senjata ke arah Fearless yang berhamburan menyerang. Mataku menatap Cody. Dengan cepat, peluru dari pistolku meluncur ke arahnya dan mengenai ujung hidungnya. Hanya lecet. Dan itu sengaja. “minta Atrocity tetap diam”, ujarku. Liam mengangguk. aku menatap setiap Fearless yang menyerang dengan meluncurkan peluru dari psitol mereka masing-masing. Aku menembak tepat mengenai betis kaki mereka, ada beberapa yang di bagian lengan. Tembakanku tidak mematikan tapi cukup menyakitkan.
Cody menatapku. Mereka berpaling dan mengarahkan senjata ke arahku. Aku menyunggingkan sebuah senyuman, senyuman yang tak akan bisa ia baca. “aku hanya minta diam. Jika kalian tidak menyerang, kami tidak akan menyerang. Dan perang ini, kau yang memulai”, Cody menggosok darah yang menetes dari hidungnya. Aku melirik Justin yang berlari di bagian belakang, ia keluar dari balik dinding sebuah rumah, ia bergabung dengan kumpulan Fearless yang berantakan dan sibuk meringis karena luka mereka. Jika aku tidak melukai mereka, Liam akan curiga dan Jack akan mempertanyakan kesetiaanku. Lututku terasa lemas. Tubuhku terjatuh begitu lututku gemetar. Liam menyentuh kedua lenganku. Semua menatapku, oh tuhan, memalukan. Aku baru saja menembak para Fearless dan melukai ujung hidung Cody, dan suasana sudah membaik. Tapi aku harus lumpuh di depan orang-orang ini. “AMBIL KOTAKNYA!”, Liam berteriak keras. ada nada panik di suaranya. Ia harusnya tidak panik. Seharusnya ia terbiasa menghadapi semua ini. aku menunduk, telapak tanganku bergetar dan memerah, senjata itu terhempas dengan mudah di atas rumput halaman rumah ini. “Dean, aku akan menggendongmu, kau harus istirahat”, “3 hari? Hmm?”, aku menatapnya. aku menghitung waktu berapa lama aku bisa bertahan. Dan ini sudah tiga hari sejak saat pertama kali aku mendapatkan serum itu. kami menghabiskan 2 hari untuk persiapan dan perjalanan. Lalu beberapa jam untuk mengumpulkan, dan ini sudah 3 hari. Ya, ini 3 hari. “Dean, aku tidak bisa memberitahumu apapun. Jack melarangku, karena waktu sesungguhnya tidak akan kau ketahui”, aku mengernyit. Waktu sesungguhnya? Ia menarik
tanganku dan melingkarkannya di belakang tulang lehernya. “Apa kakimu tidak bisa bergerak?”, “aku mati rasa, bodoh! Apa aku orang pertama yang jadi percobaan? Apa ini pertama kalinya kau menghadapi korban Jack?”, aku bersuara dengan kesal. Aku lumpuh. Tulangku yang keras terasa seperti Jelly. Beberapa Atrocity menutupi keberadaanku dan Liam, agar para Fearless tak bisa mengintip keadaanku yang sangat buruk. benar-benar memalukan, jika aku seperti ini di saat perang, aku yakin detik itu juga hari kiamat ku. Seorang Atrocity membuka kotak. Mengeluarkan sebuah suntikan dengan cairan berwarna biru muda, seperti yang aku lihat saat orang berpakaian putih itu menyuntikan cairan yang sama pada tubuhku. Liam meraihnya, lalu menancapkan di lenganku tanpa rasa bersalah atau kasihan. Dia bodoh! Itu menyakitkan. Aku bahkan hampir ingin berteriak karena dia menancapkan jarum itu seakan tengah menyuntikan pada mayat hidup. “bawa dia ke dalam, aku yang akan memegang kontrol sampai dia baik-baik saja”, aku menatapnya. “jangan rusak rencanaku, atau kau akan bernasib sama seperti mereka”, Liam hanya menatapku. Ia memiringkan kepalanya, hingga 2 orang Atrocity meraih kedua lenganku dan membawaku ke dalam rumah ini lagi. Tubuhku dengan lembut menyentuh sofa. Mereka berdiri di sekelilingku. Menunggu sampai aku merasa lebih baik. aku menatap kedua telapak tanganku dan menggerakan jarijariku. Setidaknya, aku bisa merasakan tubuhku lagi dan tulangku tidak seperti Jelly. Aku mencoba mengangkat kakiku, tapi hanya bisa sedikit, dan tulangku terasa kembali nyeri. Kali ini efek cairan serum itu sedikit melambat.
Aku mencoba menggerakan kedua tanganku. Mengangkatnya ke atas dan ke samping. Berhasil. Lalu kepalaku aku gerakan menghadap ke kanan dan ke kiri, berhasil. Dan kakiku aku gerakan seperti menendang angin, berhasil. Cairan biru muda itu sudah berefek walau memerlukan waktu sekitar 6 menit untuk menunggu hasilnya. Aku bangkit dari dudukku. Aku merenggangkan otot-otot tubuhku, seperti aku baru saja mengalami tidur panjang dan perlu melakukan perenggangan. Aku mulai melangkah mendekati pintu utama dan membukanya, mereka yang mengawasiku hanya mengikutiku dari belakang. aku harus menunjukan pada Fearless atau siapapun bahwa aku baik-baik saja. “LIAM!”, aku berteriak. Liam berhenti saat ia tengah memukul Cody. Aku tidak tau apa yang terjadi, selama 6 menit aku di dalam rumah itu. aku berjalan mendekati mereka, aku terlihat baik-baik saja dan sangat sehat. Aku memang harus menunjukan hal itu. “Apa yang terjadi?”, “dia memukulku karena ingin menemuimu”, ujar Cody. Aku menatap Liam. “Jack memberi perintah. Aku yang berwenang disini dan kau kembali ke gedung pusat, jadi aku ingin memukul dia, karena dia melawan”, ujar Liam. Aku mengangkat senjata, mengarahkan pistol kebagian kanan telinganya. “Dengarkan aku, Liam, kenapa Jack ingin aku kembali?”, “kau bisa menurunkan senjatamu, Dean”, “jawab aku!”, “ini tentang virus, Jack—“, “berhenti”, aku berucap. Aku menurunkan senjataku, “tunggu aku di mobil. Aku yang menyelesaikan ini”,
“Dean”, “LAKUKAN!”, aku berteriak. Liam mengangguk dan melangkah menjauh. Aku kembali menatap Cody yang mendengarkan pembicaraanku dengan Liam. Cody melirik sekeliling, lalu melangkah lebih dekat ke arahku. “kami ingin bergabung”, “dia sudah memberitahu?”, Cody mengangguk. aku melirik Justin, William dan Bryant di barisan Fearless. Lalu kembali memandang Cody. Justin mendekat dengan pelan, mencoba tidak menarik perhatian para Atrocity yang ada di sekeliling kami, mereka ada di sekeliling kami tapi tidak bisa mendengar pembicaraan kami. “kau baik-baik saja? Aku tidak bisa melihatmu tadi, mereka menutupi, tapi ada yang bilang kau pingsan tadi”, ujar Justin. “kau bisa lihat sendiri, aku baik-baik saja. Ada urusan penting, dan kalian cukup tunggu disini. Aku yang akan mengurusnya”, aku membalikan tubuhku lalu memandang seorang anggota Atrocity, “hitung berapa orang yang ingin bergabung, mengerti?”, ujarku padanya. Laki-laki bermata abu itu mengangguk. aku menatap Cody dan Justin lalu melangkah ke tempat Liam menungguku, di mobil. Aku membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Liam terlihat terkejut. Mungkin dia baru saja menghubungi Jack. “apa kata Jack?”, “dia ingin kau kembali. Kau harus menjalani pemeriksaan”, “ada apa?”, aku menatapnya.
“Dean, Jack baru saja marah karena kita tidak bekerja dengan cepat. dia akan menuju kesini untuk melihat pekerjaanmu, jadi cepatlah bunuh mereka dan bawa mereka yang berguna”, “aku tidak takut dengan Jack”, aku berucap. Terdengar menantang. Liam mendesah. “Dean, kau dalam pengaruh Virus yang ada di tubuhmu. Dalam hitungan detik nyawamu bisa hilang di tangan Jack, jangan merasa nyawamu berharga, kau tidak berarti baginya”, aku terdiam. tidak berarti? Lalu kenapa dia memohon padaku untuk bergabung, memaksa diriku, Memberikan aku sebuah jabatan penting dalam perang. “aku tidak peduli. Kalian membunuh kedua orang tuaku, aku tidak punya siapapun, bahkan jika aku mati, itu sama saja bagiku”, Liam menatapku. Mataku melirik tangannya yang bergerak, dengan gerakan cepat aku meraih pistolku dan menembak dahinya. Aku tau, dia ingin membunuhku. Gerakannya mencurigakan. Aku keluar dari mobil. Menembak setiap Atrocity yang ada di depanku. Cody, Justin, William, Bryant dan Ana juga melakukan hal yang sama. mereka ikut menyerang. Para Fearless langsung menyerang Atrocity , jika aku tidak penting, harusnya Jack sadar aku sebuah ancaman. Aku ancaman. Aku kuat. Aku cerdas. Aku pintar. Seperti yang dia katakan, aku juga cerdik. “kau baik-baik saja?”, Justin menyentuh lenganku. Menahan tubuhku yang terus berjalan dan menembak para Atrocity dengan tatapan tajam. Tangan Justin terlepas di lenganku dan ia mengusap wajahku. Aku bisa melihat warna merah di jempolnya. Mungkin itu darah Liam yang menempel di wajahku. “aku baik, just”,
“kita harus beristirahat, matahari akan terbenam”, aku menatap sekeliling. Tubuh yang berbalut baju hitam dengan warna merah di beberapa area baju kebanyakan sudah mati. Mereka tak bernafas dan tergeletak begitu saja di tanah. aku menatap Justin, lalu mengangguk. laki-laki itu meraih bahuku lalu membawanya ke sebuah rumah. “kau bisa bercerita padaku, beberapa menit yang aku lewatkan”, Justin menutup pintu. aku melipat bibirnya dan menggeleng. Tubuh mungilku, tibatiba saja terbungkus lengan kekar Justin. aku tak pernah merasa hangat dan senyaman ini. apalagi Justin memperlakukanku dengan baik di tengah suasana yang kacau ini, terakhir kali, aku merasakan pelukan ini sebelum perang di kotaku. Saat pagi aku memeluk ayah, Ibu dan kakakku. aku membalas dengan lembut pelukan Justin, lalu menekan semakin keras tubuh mereka agar menempel. “aku sekarat”, aku berbisik. Suaraku seakan tercekat. Justin mencium puncak kepala ku, lalu mengusap punggungku. Mungkin ini caranya menenangkanku, dengan sebuah kontak fisik yang tak pernah aku bayangkan. “ada apa? beritahu aku, agar aku bisa membantu”, “virus itu ada di tubuhku”, justin terdiam. ia melepaskan pelukannya dan memandangku. Matanya karamelnya menatap lekat bola mataku yang berwarna biru. Memastikan jika ucapanku bukan sebuah kebohongan. “kau pasti punya serum penawarnya”, “Jack
tidak
membiarkan
aku
memiliknya.
Liam
memiliki
itu
dan
menyembunyikannya dariku”, Justin melangkah menjauh. Ia membuka pintu lalu memandang kacaunya suasana diluar. Apa dia akan pergi setelah tau aku sekarat? setelah tau tubuhku di grogoti oleh Virus dan hanya bertahan dalam beberapa hari?
“PERIKSA APAPUN YANG MEREKA BAWA! AKU INGIN KALIAN MENEMUKAN SESUATU, SEBUAH SERUM! SEBUAH OBAT!”, Justin berteriak. Semua memandangnya dengan kening mengkerut, lalu mengangguk. justin kembali masuk dan menutup pintu. ia kembali berdiri di hadapanku dan memeluk tubuhku. “percaya padaku”,