BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANARKISME SAAT UNJUK RASA/DEMONSTRASI
A.
Unjuk Rasa Sebagai Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakekatnya melekat pada individu atau
kelompok manusia secara kodrati dari sejak dalam kandungan. Dilihat dari kodrat manusia itu sendiri maka HAM sudah ada sejak manusia ada. 25 HAM adalah hak asasi manusia yang diperoleh dan dibawanya bersama dengan kelahiran serta kehadirannya dalam kehidupan masyarakat, tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin karena sifatnya yang asasi dan universal. 26 Sesuai dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, terdapat 2 (dua) klasifikasi terhadap hak-hak dasar yaitu: 27 1. Hak-hak dalam jenis Non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara walaupun dalam keadaan darurat yang terdiri dari: a. hak atas hidup (right to life); b. hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); c. hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery); d. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian/ utang;
25
Naskah Akademis Penelitian Hak Asasi Manusia. 2003. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 89 26 Drs. Syahrial Syarbaini, M.A. Sosiologi dan Politik, cetakan ke-2. 2004. Bogor : Ghalia Indonesia. hal. 12 27 Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik. 2001. Jakarta: Elsam., , hal. xii
Universitas Sumatera Utara
e. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; f. hak sebagai subjek hukum; g. hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. 2. Hak-hak dalam jenis derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara, yang terdiri dari: a. hak atas kebebasan berkumpul secara damai; b. hak atas kebebasan berserikat; c. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi. Dalam Kovenan ini, mengenai kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa: 28 ”Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa paksaan dan untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi dan ide-ide melalui media apapun dan tanpa melihat batasan”. Di Inggris, masalah Hak Asasi Manusia pertama sekali timbul mengenai bahan makanan gandum. Akibatnya, lahirlah Magna Charta, disusul Bill of Rights, Declaration Des Droit De L’home et du Citoyen, Declaration of Independent dan Declaration Universal of Human Right29. Ditingkat lokal di Sumatera Utara antara tahun 1904-1908, Sebayak Kuta Buluh menentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda dengan penetapan rodi (kerja paksa) dan pengenaan belasting yang memberatkan rakyat. Sebayak Kuta Buluh ditangkap karena menolak 28
Ibid. hal. 254 Darwan prinst, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal.2 29
Universitas Sumatera Utara
penjajahan dengan mengorganisir rakyat untuk berdemonstrasi ke pusat kekuasaan Belanda di Saribu Dolok, menentang penerapan rodi dan belasting. Inilah peristiwa demonstrasi pertama yang ditemukan dalam sejarah Indonesia (peoples power). 30 Demonstrasi atau unjuk rasa termasuk dalam Hak Asasi manusia yang harus dilindungi. Hal ini dapat di lihat di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, dijabarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, seperti: 31 1. Persamaan kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)). 2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2)). 3. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28). 4. Hak mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan (Pasal 28). 5. Kebebasan memluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)). 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 31 ayat (1)). Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan dan diproklamirkan oleh resolusi majelis umum 217 A (111) tanggal 10 Desember 1948, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapatpendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas. 32 30
Ibid Ibid hal. 8 32 Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, 1994, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Hal. xxxii 31
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan pengertian dari demonstrasi seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum, bahwa Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengarahan massa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai di mata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela ataupun negatif. Demonstrasi adalah satu diantara sekian banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan yang negatif. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu telah disampaikan.
B. Asas dan Tujuan Demonstrasi
Universitas Sumatera Utara
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan : 1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban berarti bahwa didalam melaksanakan demonstrasi ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Masingmasing pihak haruslah menghormati hak-hak orang lain dalam berdemonstrasi serta mengerti akan kewajibannya . Mengenai hak dan kewajiban, diatur didalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, yang isinya sebagai berikut: Pasal 5: Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a. mengeluarkan pikiran secara bebas; b. memperoleh perlindungan hukum. Pasal 6; Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Pasal 7:
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas; c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan. Pasal 8: Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai. 2. Asas musyawarah dan mufakat; Asas ini telah hidup didalam kebiasaan masyarakat Indonesia yang terlihat dari penyelesaian setiap masalah dengan menggunakan musyawarah. Dalam berunjuk rasa, asas musyawarah ini sangat penting karena merupakan alat yang digunakan oleh kedua belah pihak (demonstran dan pihak yang menjadi sasaran demonstrasi) untuk melakukan komunikasi agar keinginan para pengunjuk rasa didengar (diakomodir) tanpa merugikan kepentingan pihak lain. Pada saat demonstrasi hal ini biasa terjadi dengan cara pemanggilan utusan para demonstran atau sebaliknya pihak yang menjadi sasaran demonstrasi menemui para pengunjuk rasa untuk secara damai mendengar aspirasi demonstran. 3. Asas kepastian hukum dan keadilan; Bahwa tujuan yang ingin dicapai para demonstran pada umumnya sehingga melakukan demonstrasi adalah agar para pemegang kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
mengubah suatu keputusan yang telah dibuatnya atau mempengaruhi putusan yang akan dibuat ataupun untuk mendapatkan keadilan yang selama ini tidak terpenuhi oleh. Untuk itu, demonstrasi juga diatur melalui suatu peraturan (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998) untuk melegalkan suatu aksi unjuk rasa yang sesuai dengan aturan yang berlaku. 4. Asas proporsionalitas; Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional. 5. Asas manfaat. Bahwa demonstrasi dilakukan oleh para pengunjuk rasa tidak mungkin tanpa suatu tujuan yang jelas. Mereka melakukan demonstrasi agar keinginan mereka dipenuhi atau setidaknya didengar. Manfaat demonstrasi juga tidak hanya bagi demonstran, namun juga bagi sasaran demonstrasi yaitu sebagai masukan bagi pemegang kekuasaan ataupun sebagai social control/ public control terhadap setiap kebijakan pemegang kekuasaan. Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk :
Universitas Sumatera Utara
1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; 3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; 4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif. Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanantekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
C. Faktor-Faktor Penyebab Anarkisme Saat Demonstrasi Anarkisme sebagai suatu paham atau pendirian filosofis maupun politik yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfaat yang terbaik bagi semua jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan pemikiran anarkis yang demikian itu pada dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa intervensi kekuasaan juga tidaklah sesuatu keyakinan yang sangat salah. Mereka umumnya menolak segala prinsip otoritas politik, pada saat yang sama sangat percaya bahwa keteraturan sosial niscaya terwujud justru jikalau tanpa otoritas politik. Secara sepintas dapat dilihat, bahwa musuh gerakan anarki adalah segala bentuk otoritas, maupun segala bentuk simbol otoritas, dan bentuk otoritas yang bagi kaum anarkis sangat jelas adalah otoritas yang dimiliki oleh negara moderen. Namun, anarkisme sebagai suatu paham yang tidak menginginkan otoritas pemerintah dalam segala hal, mengalami pergeseran yang sangat jauh didalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat pada demonstrasi / unjuk rasa yang sering terjadi, dimana para demonstran yang mempunyai tujuan agar aspirasinya di dengar oleh penguasa. Namun apabila keinginan para demonstran tersebut tidak didengarkan oleh penguasa/ pemerintah, ”kaum anarkis” yang berada didalam kelompok demonstran tersebut akan berpikir bahwa pemerintah tidak ada fungsinya, yang kemudian akan menggunakan cara-cara kekerasan misalnya pengerusakan atau penganiayaan sebagai ancaman kepada pemerintah agar aspirasi atau keinginan mereka didengar.
Pergeseran pendapat mengenai anarkisme meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah tak hanya tak penting tetapi amatlah berbahaya, dan kemudian kata anarki, hanya karena berarti absennya pemerintah, akan menjadi sarana bagi
Universitas Sumatera Utara
banyak orang: keteraturan yang alami, persatuan atas dasar kebutuhan dan kepentingan semua manusia, kebebasan penuh di dalam solidaritas yang penuh. 33
Beberapa faktor yang menyebabkan suatu demonstrasi menjadi anarki antara lain: 1. Keinginan pengunjuk rasa atau demonstran yang tidak terpenuhi Hal ini sering sekali terjadi pada saat terjadi unjuk rasa. Para demonstran yang pada umumnya mempunyai satu tujuan, menginginkan agar tujuan tersebut dipenuhi atau setidak-tidaknya didengar oleh pemegang kekuasaan dengan mengirimkan beberapa utusan dari demonstran untuk melakukan dialog dengan pemegang kekuasaan dan menemukan jalan keluar. Namun apabila para pengunjuk rasa tersebut tidak diberikan kesempatan untuk bertemu dan berdialog dengan pemegang kekuasaan tersebut, maka hal inilah yang dapat berujung pada tindakan anarki. Permasalahan yang cendrungan membuat demonstrasi damai menjadi anarki, seperti diberitakan di beberapa media bahwa sering terjadi tindakan anarki oleh demonstran. Namun, jarang media yang mencoba mengungkapkan apa yang menjadi penyebab sehingga terjadi seperti itu yaitu kebanyakan pemerintah tidak berani membuka dialog dan setidaknya mendengarkan aspirasi yang ingin disampaikan oleh para demonstran. 34 Pada kasus demonstrasi yang berakhir anarki di Gedung DPRD Sumatera Utara, para pengunjuk rasa ingin agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 33
http://pustaka.otonomis.org/2006, terakhir diakses tanggal 14 Februari 2009 http://segalaartikel.blogspot.com/2008/06/adad.html, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010 34
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara mengadakan rapat paripurna persetujuan terhadap Pembentukan Propinsi Sumatera Utara karena telah keluarnya Surat Presiden Nomor: R.01/Pres/01/2007 tanggal 2 Januari 2007 dan Surat Presiden Nomor: R.04/Pres/02/2008 tanggal 1 Februari
2008, Presiden menyampaikan kepada
DPR RI dan menugaskan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM bersama DPR RI membahas RUU usul DPR RI tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru dimana sampai saat ini masih menyisakan lima RUU, yang salah satunya adalah RUU tentang Pembentukan Propinsi Tapanuli. 35 Panitia Pembentukan Propinsi Tapanuli yang dipimpin oleh GM Chandra Panggabean yakin bahwa Proses Pembentukan Propinsi Tapanuli telah memenuhi persyaratan fisik pembentukan propinsi yaitu meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten. 36 Namun, dalam perjalanannya, sebanyak tiga kabupaten, yaitu Nias, Sibolga, dan Tapanuli Tengah menarik dukungannya dari pembentukan Protap. 37 Hal inilah yang dijadikan penyebab oleh DPRDSU belum mengadakan sidang paripurna. Tujuan
35
www.dpr.go.id, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010 lih. Pasal 5 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 37 Dalam perkembangannya, DPRD Tapteng memutuskan mencabut dukungan mereka terhadap pembentukan Protap. Keputusan itu tertuang SK DPRD Tapteng Nomor 170/1315/2008 tentang penyampaian keputusan DPRD Tapanuli Tengah Nomor 32/KPTS/Tahun 2008, serta Surat Keputusan DPRD Tapteng Nomor 170/1315/2008 tentang penyampaian keputusan DPRD Tapanuli Tengah Nomor 32/KPTS/Tahun 2008 ke DPRD Sumut. Pencabutan dukungan juga dilakukan Kota Sibolga. Sementara pro-kontra untuk bergabung dengan Protap juga terjadi di Kabupaten Dairi dan Nias serta Nias Selatan. Akibatnya ketiga kabupaten itu belum menentukan sikap mereka apakah akan bergabung ke Protap atau tidak. Soal penarikan dukungan Kota Sibolga, beberapa pemberitaan media massa menyebutkan karena Chandra Panggabean dianggap ingkar janji yaitu dengan “memindahkan” Sibolga yang semua ditetapkan sebagai ibu kota, ke kota Siborong-borong di Tapanuli Utara. Tim Teknis dari Departemen Dalam Negeri RI memang pernah mengobservasi bahwa untuk kantor sementara Gubernur Propinsi Tapanuli telah disediakan oleh Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Siborong-borong. Dan, untuk pertapakan permanen calon perkantoran Propinsi Tapanuli sudah disiapkan lahan di atas tanah seluas 160 HA. Dikutip dari Analisis Perang Protap di Sinar Indonesia dan Waspada KIPPAS & LSPP, Maret 2009 36
Universitas Sumatera Utara
dari para pengunjuk rasa tersebut adalah agar Propinsi Tapanuli segera terwujud agar masyarakat di daerah yang akan menjadi bagian dari Propinsi Tapanuli menjadi sejahtera, terutama di daerah Tapanuli Utara yang pernah menjadi salah satu daerah termiskin di Indonesia. Ketua DPRDSU menolak keinginan para demonstran agar diadakan rapat paripurna pada saat itu juga karena pada hari tersebut telah ada 3 jadwal sidang dan Paripurna mengenai Pembentukan Propinsi Tapanuli tidak ada didalam jadwal sidang pada tanggal 3 Februari 2009 tersebut. Keinginan pengunjuk rasa tersebut tidak terpenuhi, namun apabila seandainya tidak ada hasutan terhadap para demonstran tersebut, demonstrasi tersebut tidak akan berakhir anarki.
2. Faktor rendahnya kemampuan pengendalian massa oleh aparat keamanan Dari sudut yang lain, dapat kita amati bahwa adakalanya anarki tercipta secara kebetulan (by chance) atau kecelakaan (by accident). Singkatnya, terdapat begitu banyak kemungkinan yang bisa melahirkan anarki. Namun yang ingin disorot di sini adalah peran polisi yang bisa meredam anarki secara lebih meluas atau malah meng-incite atau membakar anarki yang lebih parah. Menyadari proses terjadinya anarki yang amat cepat, maka sebenarnya terdapat fase (yang juga amat singkat) dimana polisi masih bisa melakukan tindakan awal dalam rangka pencegahannya. Lepas dari fase tadi, kemungkinan besar dinamika massa telah berkembang menjadi sesuatu yang harus ditangani secara keras. Pemanfaatan optimal atas fase yang amat singkat tadi tergantung pada cukup-tidaknya data awal (base data) yang dimiliki polisi setempat berkaitan dengan karakteristik situasi tertentu. Petugas polisi juga berasal dari warga masyarakat, mereka juga memiliki emosi tertentu, sehingga dapat marah, juga dapat trauma. Setiap menghadapi
Universitas Sumatera Utara
massa, polisi laksana menghadapi musuh, sehingga sangat mudah terjadi bentrokan yang membawa korban. Dalam banyak kasus, penanganan demonstrasi justru membangkitkan banyak kritik. Jajaran kepolisian kerap dituding sebagai biang pemicu kerusuhan, bukan pencipta ketertiban. 38 3. Faktor kurangnya koordinasi antara para pelaku unjuk rasa dengan aparat keamanan.
Faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya kerusuhan sebagai kurangnya koordinasi antara para pengunjuk rasa dengan aparat keamanan dalam hal ini Kepolisian, tidak adanya pemberitahuan secara lebih terperinci kepada pihak Kepolisan tentang kegiatan kegiatan unjuk rasa. Hal ini merupakan faktor teknis, yaitu koordinator lapangan demonstrasi sudah harus memberi tahu pihak Kepolisian 3 x 24 jam sebelum dilaksanakan, seperti diatur dalam Pasal 9 dan 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat dimuka umum
Hal ini dapat menjadi penyebab kerusuhan karena di dalam tata cara menyampaikan pendapat dimuka umum harus diberitahukan perkiraan jumlah massa yang akan ikut dalam kegiatan unjuk rasa tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Karena bisa saja ada sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab masuk kedalam barisan, kemudian berusaha memprovokasi para pengunjuk rasa. 4. Faktor pengamananan yang kurang
38
www.Media Indonesia.com, Kerusuhan, terakhir tanggal 2 Juli 2008
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, penyampaian pendapat di muka wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Surat pemberitahuan tersebut memuat: a. maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab; f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau h. jumlah peserta. Pada huruf h diatas, tercantum syarat berapa jumlah pengunjuk rasa yang akan melakukan aksi demonstrasi. Hal ini bertujuan agar pihak keamanan (dalam hal ini Kepolisian) dapat mempersiapkan berapa jumlah personil yang akan diturunkan untuk mengamankan jalannya demonstrasi. Suatu alasan yang sering muncul apabila pihak Kepolisian tidak mampu mengendalikan massa adalah dilihat sisi kuantitas, jumlah personel kepolisian sangat tidak memadai. Di Indonesia, rasio jumlah polisi dan penduduk sekitar 1:900. Ini masih jauh dari segi kecukupan seperti yang dianjurkan Perserikatan
Universitas Sumatera Utara
Bangsa-Bangsa (PBB), yakni 1:400. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga pun, Indonesia masih jauh dari ideal. Malaysia sebagai contoh, di antara 312 penduduk terdapat satu orang polisi. Di Singapura, rasionya seorang polisi untuk 250 penduduk. Namun, pemenuhan rasio itu bukanlah hal mutlak. Negara yang masyarakatnya memiliki kesadaran hukum dan disiplin tinggi tidak harus memenuhi rasio seperti yang dianjurkan PBB. Di Jepang, misalnya, perbandingan jumlah polisi dan penduduk hanya 1:520. 39 Data tersebut diatas hanyalah perbandingan antara jumlah anggota Kepolisian dengan masyarakat pada saat netral atau dengan kata lain bukan perbandingan pada saat adanya demonstrasi. Pada saat demonstrasi, jumlah anggota Kepolisian yang harus diturunkan untuk menjaga demonstrasi seharusnya lebih besar, karena kecenderungan terjadinya tindakan anarki pada saat demonstrasi juga lebih besar. Hal inilah yang dinilai sebagai penyebab utama terjadinya tindakan anarki di Gedung DPRD Sumatera Utara pada tanggal 3 Februari 2009 yang menimbulkan kerusakan serta korban jiwa. Jumlah aparat keamanan pada saat itu tidak sebanding dengan massa yang datang (diperkirakan lebih dari 2000 orang) sehingga para anarkis dengan leluasa merusak fasilitas DPRDSU bahkan dengan leluasa mengejar dan memukul Ketua DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat. 5. Cara pikir para demonstran yang menyimpang
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Para pelaku unjuk rasa (demonstran), melakukan tindakan anarki karena mereka salah mengartikan suatu kebebasan berpendapat karena mereka berpikir bahwa perilaku anarki merupakan suatu jalan keluar dari sebuah kebuntuan komunikasi. Walaupun pada awalnya mereka meyakini bahwa demonstrasi adalah sebuah sarana untuk memperjuangkan sebuah kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, sosial atau kepentingan lainnya, namun mereka beranggapan bahwa perilaku anarki yang berupa kekerasan dan pemaksaan kehendak adalah jalan terakhir yang ditempuh bila dialog tidak lagi mampu mewadahi perbedaan. 6. Faktor psikologis Mengikuti hasil kerja LeBon (1896) mengenai perilaku kerumunan (crowd behavior), para ahli psikologi sosial telah mengeksplorasi pendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok anonim besar menyebabkan individu-individu didalamnya berperilaku lebih agresif dan lebih anti-sosial dibandingkan ketika ia seorang diri (Goldstein, 1994a).40 Neil Smelser mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif , diantaranya: 41 (1) Structural conduciveness: beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dst (2) Structural Strain: yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada. (3) Generalized beliefs : share interpretation of event 40
Barbara Krahe. Perilaku Agresif. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.221 41 http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-danpenanganannya, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
(4) Precipitating factors: ada kejadian pemicu (triggering incidence). Misalnya ada pencurian, ada kecelakaan, ada kebakaran. (5) Mobilization for actions: adanya mobilisasi massa. Misalmya : aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dst (6) Failure of Social Control – akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada enam faktor yang menjadi prasyarat terjadinya perilaku massa yakni: 42 (1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; (5) kontrol aparat yang lemah, dan (6) faktor keyakinan publik, yang jarang tergoyah.
Keenam faktor ini menjadi faktor-faktor yang juga turut membentuk sifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif pada diri seseorang (G.Le Bon). Berbeda dengan kelompok demonstran. Kelompok ini cukup tergoda dengan pemicu yang potensial, tetapi aksi massanya masih bisa dikontrol. Walau dalam beberapa kasus terjadi tindakan destruktif, tetapi daya respons mereka 42
http://kutikata.blogspot.com/2008/12/psikologi-massa.html, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
terhadap potensi pemicu potensial sedikit berbeda dari perusuh. Artinya, potensi picu itu bisa bertahan secara temporer, tetapi juga bisa permanen. Karena itu mengapa konflik sosial selalu langgeng, dan bahkan sekali waktu bisa muncul lagi. 43
Ada empat teori yang seringkali digunakan untuk menjelaskan kejadian perilaku massa, yaitu: 44 (1) Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) menyatakan bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa. mereka melakukan tindakan meniru/ imitasi. (2) Emergence Norm Theory: menyatakan bahwa perilaku didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial mereka yang akan ditonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan keyakinannya, dan berseberangan dengan nilai / norma aparat yang bertugas, maka konflik horizontal akan terjadi. (3) Convergency Theory: menyatakan bahwa kerumunan massa akan terjadi pada suatu kejadian dimana ketika mereka berbagi (convergence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian. Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan terpanggil untuk berpartisipasi (4) Deindividuation Theory, menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa. 43
Ibid. http://suryanto.blog.unair.ac.id/2008/12/03/memahami-psikologi-massa-danpenanganannya, terakhir diakses tanggal 25 Februaru 2010 44
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/ anggapan/ perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan). Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi. Hal ini juga merupakan salah satu pemicu terjadinya tindakan anarki pada saat demonstrasi para pendukung Propinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumatera Utara. Para demonstran, karena adanya collective belief (perasaan yang sama/ keinginan) untuk mendukung Propinsi Tapanuli, dengan mudahnya dihasut oleh sekelompok
orang
yang
mengeluarkan
kata-kata
”Tangkap”,
”Bunuh”,
”Tangkap”, tanpa berpikir panjang mengejar dan memukul Ketua DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat. Hal ini sesuai dengan teori Social Contagion Theory (Teori Penularan sosial) yang dilihat berdasarkan penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu karena adanya unsur turut serta didalam melakukan tindak pidana dimana para pengunjuk rasa tersebut berusaha mengejar H. Abdul Aziz Angkat. Deindividuation Theory, yang menyatakan bahwa ketika orang dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa juga terlihat dalam kejadian tersebut, yakni pelaku unjuk rasa tersebut berasal dari beragam profesi yang sebenarnya dihormati oleh masyarakat, namun karena suatu
Universitas Sumatera Utara
keadaan mereka lupa akan jati diri mereka masing-masing dan masuk ke dalam tindakan anarki. 7. Adanya Provokasi Berkaitan
dengan
ketidaksadaran
dari
banyak
kalangan
perihal
beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi. Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga dan berjalan mengendapendap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama. Mengenai
bayangan
itu,
diduga
kuat
tidaklah
demikian
dalam
kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil. 8. Adanya Kelompok Terorganisir
Universitas Sumatera Utara
Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas, dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup. Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orangorang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya. Maka singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu. 9. Ketidakpercayaan pada hukum Sering dikatakan, tindakan anarki itu identik dengan ketidakpercayaan pada kekuasaan atau kebijakan pemerintah, kekuatan polisi, ketegasan jaksa serta keadilan hakim. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada para aparat
Universitas Sumatera Utara
penegak hukum dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya misalnya dengan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya. Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja dalam penegakan hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”. Ada yang mengatakan “Polisi (penegak hukum) bekerja lambat”; namun ada juga yang mengatakan: “tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?” Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi? Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?. Semua pernyataan tersebut merupakan keluhan dari masyarakat terhadap keadilan yang belum dirasakan yang dapat berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat
Universitas Sumatera Utara
polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.
Universitas Sumatera Utara