Daftar Isi
i
ii
Demokrasi & Politik Desentralisasi
Daftar Isi
iii
DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh
: Dede Mariana Caroline Paskarina
Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta © 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Candi Gebang Permai Blok R/6 Yogyakarta 55511 Telp. : 0274-882262; 0274-4462135 Fax. : 0274-4462136 E-mail :
[email protected]
Maiana, Dede & Paskarina, Caroline DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI/Dede Mariana & Caroline Paskarina - Edisi Pertama Yogyakarta; Penerbit Graha Ilmu, 2008 xxiv + 348 hlm, 1 Jil. : 23 cm. ISBN: 978-979-756-299-1
1. Politik
iv
I. Judul
Demokrasi & Politik Desentralisasi
KATA PENGANTAR
D
emokrasi dan desentralisasi merupakan dua isu yang banyak dibicarakan dewasa ini. Keduanya saling terkait karena tanpa demokrasi, tidak akan ada desentralisasi. Sebaliknya, desentralisasi hanya akan menjadi sesuatu yang semu dan elitis tanpa diimbangi oleh praktik demokrasi di seluruh aspek kehidupan. Pemahaman tentang kedua konsep ini dapat membantu memahami dinamika praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi disusunnya buku ini. Buku ini memuat kumpulan artikel dan makalah yang berisi gagasan dan pemikiran kedua penulis dalam memandang fenomena demokrasi dan politik desentralisasi dewasa ini. Terima kasih penulis sampaikan pada rekan-rekan peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran atas sumbang saran dan kritik yang memperkaya penulisan buku ini. Terima kasih penulis ucapkan secara khusus untuk Prof. Judistira K. Garna, Ph.D yang tidak pernah lelah menjadi teman diskusi dan banyak
Daftar Isi
v
meminjamkan buku-buku yang membuka wawasan berpikir penulis. Untuk Eka Zulandari dan Ari Ganjar, terima kasih telah membantu selama proses penyuntingan buku ini, termasuk menyiapkan konsumsi penambah semangat kerja. Juga pada keluarga yang telah bersabar dan mencoba memaklumi penulis karena waktu dan perhatian yang terbagi selama penulisan buku ini. Kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai umpan balik untuk menyempurnakan materi buku ini. Bandung, Agustus 2007 Penulis
vi
Demokrasi & Politik Desentralisasi
Prolog
MENERJEMAHKAN DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI
D
emokrasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saat ini tengah populer dalam wacana publik, khususnya di Indonesia. Pascareformasi, harapan publik tertumpu pada demokrasi sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi yang berlangsung di hampir seluruh belahan dunia membawa perubahan dalam berbagai aspek ketatanegaraan, baik sistem maupun aktor, termasuk dalam pola hubungan pusat dan daerah. Demokratisasi membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis. Implikasinya, terjadi pergeseran lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang dimilikinya. Selama lebih dari 3 dekade, kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmati oleh masyarakat daerah yang bersangkutan. Kesenjangan sangat nyata terlihat di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, namun miskin penduduknya. Desentralisasi memberikan harapan baru pada masyarakat di daerah-daerah tersebut seProlog: Menerjemahkan Demokrasi dan Desentralisasi
vii
kaligus meningkatkan posisi tawar mereka manakala berhadapan dengan pemerintah pusat. Pada tataran aktor, desentralisasi membawa perubahan dengan lahirnya para pelaku baru dalam arena pertarungan kekuasaan. Implikasinya, terjadi perubahan dalam konfigurasi kekuasaan, yang semula didominasi para birokrat dan militer. Kelompok pengusaha yang awalnya berada di belakang layar mulai berani tampil dan turut bertarung memperebutkan jabatanjabatan politik di daerah. Perjalanan otonomi daerah belakangan ini bahkan memunculkan pula figur tokoh-tokoh lokal, seperti jawara, kyai, kaum bangsawan setempat, dll sebagai pemain baru yang turut mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah. Demokratisasi dan desentralisasi membawa perubahan signifikan dalam relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah, maupun antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Peluang partisipasi masyarakat menjadi lebih besar, termasuk dalam mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah. Peluang ini menjadi lebih besar setelah diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada), sehingga masyarakat memiliki akses lebih besar untuk menentukan para pemimpinnya. Pada praktiknya, sistem pemilihan kepala daerah langsung ini memang tidak secara otomatis membawa perubahan yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan daerah. Peluang money politics, manipulasi, politisasi adat dan ikatan primordial, serta mobilisasi massa tetap berlangsung. Para elit tetap berperan dominan dalam pilkada, minimal dalam menentukan pasangan calon yang akan berlaga dalam pilkada. Masyarakat hanya berperan dalam memberikan suara bagi para calon yang telah ditentukan para elit. Meskipun demikian, perlawanan masyarakat terhadap dominasi elit tetap ada. Tingginya persentase golput di sejumlah daerah mengindikasikan sikap apatisme masyarakat. Tuntutan akan calon viii
Demokrasi & Politik Desentralisasi
independen, yang kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi, juga mengindikasikan perlawanan masyarakat terhadap dominasi elit. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak berhenti sampai pilkada. Justru keduanya baru bermakna ketika para pemimpin terpilih tersebut mulai bekerja, merancang kebijakan dan program untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya. Inilah saat untuk menilai keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan sistem dan aktor sebagai implikasi dari demokratisasi dan desentralisasi baru akan bermakna manakala diikuti dengan kebijakan dan program yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, otonomi tidak berhenti pada pemerintah daerah, tapi sampai pada masyarakat di daerah. Demokratisasi sesungguhnya bermakna sebagai upaya daerah dalam menerjemahkan otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan kebebasan dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Daerah-daerah seperti Solo, Sragen, Blitar, Jembrana, Solok, Banjar, dan lain-lain telah membuktikan bahwa desentralisasi sungguhsungguh dapat menjadi alat untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Daerah-daerah tersebut mampu menerjemahkan desentralisasi tidak hanya dalam bentuk transfer kewenangan antarlevel pemerintah, tapi juga dari pemerintah pada unsur non pemerintah. Melalui beragam model kemitraan, partisipasi publik dalam pengelolaan pelayanan publik meningkat. Melalui efisiensi anggaran, kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan sekaligus memberikan insentif untuk memotivasi kinerja aparat birokrasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan daerah-daerah tersebut dalam menerjemahkan desentralisasi ditentukan pula oleh kepemimpinan kepala daerahnya. Dalam jangka pendek, hal ini Prolog: Menerjemahkan Demokrasi dan Desentralisasi
ix
memang diperlukan untuk mengawali suatu perubahan, namun untuk menjamin kontinuitas perubahan ini, pembaharuan sistemik mutlak diperlukan agar desentralisasi tidak kembali diterjemahkan untuk kepentingan elit semata. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis dan dipublikasikan melalui media cetak maupun kegiatan-kegiatan seminar. Konsekuensinya, nuansa kasuistik memang sangat terasa dari setiap bagian yang tersaji. Namun, isu-isu yang disampaikan tetap relevan untuk menggambarkan wacana yang berkembang seputar demokratisasi dan desentralisasi. Isu-isu tentang politik budaya, politik ruang dalam penataan wilayah, pengelolaan sumber daya lokal, relasi pusat dan daerah, serta pengelolaan keuangan daerah menjadi isu baru yang berkembang dalam semangat demokratisasi dan desentralisasi dewasa ini. Wacana praktik demokrasi di level nasional dan lokal mengawali pembahasan tentang perjalanan transisi demokrasi di Indonesia. Pada periode 2004 hingga 2006 yang menjadi konteks penulisan artikel-artikel pada buku ini, terdapat dua isu yang penting untuk menggambarkan proses demokratisasi tersebut, yakni penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah. Pemilu 2004 membawa harapan baru seiring dengan pemberlakuan sistem pemilihan yang memungkinkan masyarakat memilih secara langsung para anggota legislatif dan kepala eksekutif (presiden dan wakil presiden). Pembaharuan ini diharapkan dapat memulihkan esensi pemilu sebagai kontrak sosial yang mengikat pemimpin politik dengan konstituennya. Demikian pula di level lokal, akhirnya tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) dipenuhi melalui UU No. 32 Tahun 2004, sehingga masyarakat di daerah pun berperan semakin menentukan dalam memilih para kepala daerah dan wakilnya. Semangat reformasi dan demokratisasi secara prosedural terwadahi melalui perubahan sistem pemilu dan pilkada ini, meskipun pada x
Demokrasi & Politik Desentralisasi