Pidato Kebudayaan
Puisi Esai untuk Indonesia
Leon Agusta
Politik Demokrasi tanpa Budaya Demokrasi
JurnalSajak
JurnalSajak
Pidato Kebudayaan
LEON AGUSTA
Politik Demokrasi tanpa Budaya Demokrasi
21 Februari 2013
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
1
2
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
LEON AGUSTA, Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 5 Agustus 1938. Penulis puisi, cerpen, novel, dan esai kebudayaan ini telah melahirkan sejumlah karya sastra juga, juga buku puisi untuk anakanak. Buku puisinya antara lain: Monumen Safari (1966), Catatan Putih (1975), Hukla (1979), dan Gendang Pengembara (2012). Novelnya adalah Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978), sementara kumpulan cerpennya adalah Hedona dan Masochi (1984). Ia juga menulis buku puisi untuk anak-anak, Berkemah dengan Putri Bangau (1981), Di tahun 1976 dia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Penyair yang pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini, kini tinggal di Jakarta. Kumpulan puisi terbarunya, Para Pengembara (2012), dipentaskan di TIM, Jakarta, dan didiskusikan di beberapa universitas.
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
3
4
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI LEON AGUSTA Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat Dari itu jangan mengerdip,tatap dan penamu asah Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah
Chairil Anwar, “Catetan Tahun1946”
Pendahuluan Menoleh sedikit ke belakang. Tidak terlalu jauh, 1908, 1928, 1945, sampai penyerahan kedaulatan, 1949. Satu rentangan sejarah yang tak akan pernah dilupakan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu proses transformasi budaya yang cukup panjang, intens, didorong oleh kaum terpelajar yang memiliki cita-cita kemajuan melalui pendidikan. Masa pematangan embrio kesadaran untuk bersatu POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
5
sebagai sebuah bangsa dengan bahasa dan tanah air yang bernama Indonesia, yang pada akhirnya menjelmakan wujudnya berupa hamparan harapan dan impian: Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ini baru terasa penuh dan jadi sempurna setelah melalui masa revolusi penuh pengorbanan selama kurang lebih 4 tahun, dituntaskan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, 29 Desember 1949. Dalam konferensi itu, di akhir pidatonya Bung Hatta mengungkapkan cita-cita kemerdekaan yang sudah lama diperjuangkan, untuk mewujudkan “Bangsa Indonesia yang bersatu, sejahtera kehidupannya, demokratis penyelanggaraan negaranya, dan negara ini bukan saja negara hukum, tetapi juga negara kultural”. Dalam upaya menyelenggarakan kemerdekaan itu, ternyata kemudian berbagai masalah pelik bermunculan. Kemerdekaan tidak dengan sendirinya menyediakan jaminan kerukunan, kesejahteraan maupun kemudahan dalam kehidupan. Segalanya harus diupayakan, diselenggarakan sendiri-sendiri dan bersama-sama sebagai sebuah masyarakat bangsa yang baru lahir. Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan negara modern yang dipilih dan hendak diterapkan oleh para pemimpin masa itu, adalah sesuatu yang berada di luar pengalaman kerja mereka. Para pemimpin kita adalah para pejuang. Banyak mengembangkan pikiran, gagasan dan harapan serta
6
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
impian tentang sebuah bangsa merdeka yang bernama Indonesia selama mereka bermukim dalam penjara. Mereka menjadi manusia yang matang dalam pemikiran dan gagasan tetapi tanpa pengalaman kerja birokrasi atau tata kelola pemerintahan. Bagaimanapun ini merupakan masalah yang tidak kecil. Di depan, perjalanan panjang harus ditempuh, sebuah maraton sejarah yang tak kenal batas. Kemerdekaan yang berada dalam genggaman adalah beban dan terasa selalu bergetar. Perjalanan ini sangatlah berat dan tujuan sungguh jauh untuk dicapai.
Tantangan Demokrasi Bangsa Indonesia yang demokratis penyelenggaraan negaranya, seperti yang dimaksudkan Hatta, masih merupakan harapan dan impian untuk diwujudkan. Demokrasi dalam penyelenggaraan hidup bernegara, bagi masyarakat bangsa, bahkan hingga masa kita ini, masih merupakan pengertian yang serba kabur, simpang-siur, serba dangkal, terpenggal-penggal dan terbuka bagi pro dan kontra. Di Indonesia, ternyata, demokrasi modern dikenal sebagai pemikiran yang elitis karena hanya dipahami kaum terpelajar, meskipun ada unsur persamaan yang kuat dengan nilainilai yang ada dalam beberapa budaya suku-suku di seluruh tanah air. Demikianlah demokrasi hendak diandalkan sebagai penyelaras antara perbedaan yang ada. Tapi bagaimana mewujudkannya? Demokrasi, pada saat itu dan sampai seka-
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
7
rang, menjadi sebuah kata sarat pertanyaan. Kian jelas, jawabannya ada pada kehadiran dan peran negara dalam mengggunakan kekuasaan yang pengaruhnya sangat luas dan menentukan dalam mendorong proses demokratisasi. Tetapi sayang, pada saat itu dan mungkin juga sekarang, lidah kita masih terasa gagap untuk mengeja hubungan kemerdekaan dan demokrasi. Masyarakat kita lebih nyaman dengan budaya tradisi yang melindungi mereka dalam satu tatanan nilai-nilai yang dipahaminya. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, sekali lagi, demokrasi adalah sesuatu yang baru dan terasa asing. Begitu juga dengan pemahaman kemerdekaan dalam sebuah negara republik. Bagaimana menjadi warga negara merupakan pelajaran yang baru mulai dipelajari. Kesadaran tentang bagaimana menjadi bagian dari permasalahan bangsa, pun demikian. Kita berhadapan dengan kenyataan yang tanpa diduga sebelumnya, yaitu bahwa kemerdekaan selalu menghadirkan kecemasan dan ketakutan dalam keberagaman tak terbatas. Dalam demokrasi, dengan demikian, selalu pula melekat perbedaan sebagaimana tercermin dalam ranah partaipartai politik atau organisasi-organsasi kemasyarakatan. Berdemokrasi bukan sesuatu yang gampang. Dalam tingkat kematangan masyarakat kita, sepertinya, dalam kemerdekaan —barangkali juga dalam kebebasan— selalu terbuka pintu bagi munculnya anasir permusuhan maupun pertentangan, bahkan tindakan kekerasan. Ini berakar pada sifat manusia yang tebang pilih atau pilih kasih, yaitu diskriminasi.
8
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Pengalaman selama era reformasi telah mengajarkan kepada kita bahwa situasi dan permasalahan selalu saja menjadi lebih rumit dan pelik kalau kita memasuki ranah diskriminasi di mana ada banyak kasus faktual sebagai contoh persoalan. Di banyak daerah di mana konflik kepentingan terjadi antara berbagai pihak, akar dan latar belakang masalahnya sering tidak sederhana, tetapi jelas mulai dari kecenderungan untuk bersikap diskriminatif. Bila yang terjadi berupa keterlanggaran batas-batas toleransi budaya atau agama masyarakat setempat dan hal-hal yang berkaitan dengan sumber-sumber kehidupan masyarakat, maka upaya memecahkan masalah dengan penggunaan kekuasaan berdasarkan hukum yang resmi, sama sekali tak bisa diandalkan. Akar nilai-nilai yang tertanam dalam suatu masyarakat tradisi, misalnya, berbeda dengan dalamnya akar pohon kelapa sawit atau dalamnya lobang galian pertambangan batubara yang gampang mengukurnya. Dan, manakala diskriminasi terjadi, penyelesaian secara hukum tidak lagi dipercaya sebagai tumpuan harapan untuk mendapatkan keadilan, maka main hakim sendiri atau pengadilan jalanan menjadi pilihan masyarakat. Bahaya dan ketakutan mencekam. Kekuasaan dalam bentuk pemerintahan totaliter menjadi jawaban terhadap rasa ketakutan itu, seperti diungkapan pemikir masa pertengahan abad ke-20, Erich Fromm, dalam bukunya Escape from Freedom (1941). Menurut Erich
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
9
Fromm, bila manusia tak bisa hidup dalam bahaya dan tuntutan untuk bertanganjawab, yang justru merupakan inti dari kemerdekaan dan demokrasi, mereka pasti akan berpaling kepada sistem otoriter sebagai bentuk perlindungan. Pada mulanya, di antara suku-suku yang beragam di nusantara, juga agama yang saling berbeda, ada kegairahan untuk menikmati kebersamaan dan kemerdekaan dalam republik proklamasi kita ini. Ada keinginan untuk bersatu. Juga, sebab jauh sebelum masa kemerdekaan proses adaptasi antara budaya etnis yang berlainan sudah terjadi secara alami dan masyarakat tradisi merasa nyaman dalam lingkungan budaya yang beragam sedemikian. Di kawasan pantai-pantai nusantara kita, di mana para nelayan dan pedagang antarpulau saling membaur, adaptasi itu terus berlangsung, nyaris tanpa gesekan yang berarti karena adanya perasaan saling membutuhkan. Tetapi kemudian dinamika kehidupan dalam masyarakat baru merdeka ini menghadirkan berbagai peristiwa seperti pergolakan daerah. Kesepakatan Sumpah Pemuda 1928 untuk tetap bersatu pun terusik. Pergolakan daerah itu dipicu misalnya oleh masalah diskriminasi politik, diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan berusaha, maupun diskriminasi dalam perlindungan hak-hak beragama, serta hal-hal lain di mana diskriminasi merajalela. Begitulah hasrat untuk bersatu pun tergoncang tak pernah henti. Berganti dengan kecemasan dan kebimbangan
10
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
menghadapi kenyataan. Hak untuk berbeda sering diingkari, bahkan dengah kekerasan. Perbedaan bukan lagi sesuatu yang bisa diselesaikan dengan membangun saling pengertian secara dialogis, untuk saling menghormati. Konflik pun muncul. Pemimpin untuk mengatasinya tak pernah muncul. Dalam menghadapi berbagai konflik antara masyarakat dengan para tukang pukul yang dibayar oleh entah siapasiapa, pendekatan keamanan lebih sering dilakukan. Jarang sekali aparat keamanan berpihak kepada rakyat kecil. Yang biasa dilakukan oleh aparat keamanan adalah mencari atau menciptakan apa yang lazim dinamakan provokator alias kambing hitam. Diskriminasi dengan resep kriminalisasi muncul. Hasilnya, justru merebaknya luka-luka dalam hati para korban penganiayaan. Pendekatan keamanan, dengan alasan apa pun, tetap saja mengesankan diabaikannya pertimbangan kemanusiaan dan peradaban; dialog kultural hampir selalu dikesampingkan. Sementara luka-luka yang tersimpan di lubuk hati masyarakat yang teraniaya itu, tak bisa dilipur dengan katakata yang bagaimanapun santunnya. Yang hidup justru dendam yang mengental, jadi bom waktu yang pada suatu ketika meledak tanpa siapa pun dapat meredakannya kecuali para korban itu sendiri. Dari itu, bahasa bedil, atas nama apa pun, harus diakui, adalah kekeliruan, luas ancaman bahayanya dan takkan per-
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
11
nah memecahkan masalah. Dan diskriminasi selalu menaburkan bibit-bibit bencana yang sulit diduga namun sangat berbahaya. Negara atau pemerintah sebaiknya lebih berhati-hati agar para aparat keamanan tidak dengan gampang terperosok menjadi sang penindas. Lebih bijaksana membuka jalan pada pendekatan lain yang lebih beradab, yang memuliakan kepercayaan dan memahami, juga menghormati, nilai-nilai kebudayaan yang dianut masyarakat setempat. Dengan membiarkan diskriminasi merajalela, terutama yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, teror baik fisik maupun mental, masalahnya menjadi sangat serius. Seperti yang dialami penganut agama Ahmadiyah, misalnya. Sebab, di balik kejadian seperti itu terselubung ancaman lebih besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Bahaya ini selalu begitu dekat. Masyarakat Indonesia sudah lama bergulat dengan gejala diskriminasi dan bahasa bedil. Dalam perjalanan sejarah muncul beberapa gerakan yang berupaya menyatukan masyarakat budaya. Misalnya, ketika majalah Siasat memuat Surat Kepercayaan Gelanggang 22 Oktober 1950, ketika gemuruh teriakan revolusi kemerdekaan yang melatarbelakangi kelahiranya sudah agak lama reda. Sejarah mencatat Penyerahan Kedaulatan sudah berlangsung 29 Desember 1949. Pada masa itu, tiga orang
12
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
penyair, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin, yang merasa seiring sejalan, sejiwa seperjuangan, menerbitkan kumpulan puisi mereka, Tiga Menguak Takdir, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1950). Menurut Asrul Sani dan pemikir muda dan mandiri pada masa pascarevolusi kemerdekaan, yang diperlukan bukan hanya sastra semata dan/atau polemik panjang sengit mengenai Barat-Timur, seperti yang dipolemikkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane. Yang lebih penting adalah melahirkan sebuah ingatan yang bukan sekadar ada, tetapi adalah satu angkatan yang memiliki tujuan hidup. Ada beberapa tokoh yang berperan dalam proses ini. Penamaannya sebagai Angkatan 45 oleh Rosihan Anwar. Untuk keperluan itu maka disusunlah sebuah dokumen, yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, antara lain berbunyi: Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri —Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh pernyataan hati dan pikiran kami.
Surat Kepercayaan Gelanggang menjadi penting, karena pada waktu itu, terdapat banyak pengertian tentang kebuda-
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
13
yaan. Ki Hajar Dewantoro misalnya, merumuskan Kebudayaan Indonesia sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Tetapi, menurut Asrul Sani dan kawan-kawan itu omong kosong, sebab kebudayaan bukan semacam sintesa yang dicampur dari sana-sini; kebudayaan adalah produk. Kebudayaan tidak lain dari cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir pada zamannya. Dalam abad ke-20, tantangan yang dihadapi juga tantangan abad ke-20, bukan tantangan abad Borobudur. Asrul Sani menegaskan bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap hidup berbudaya Angkatan 45. Ditandatangani oleh Chairil Anwar (draftnya) dan Rivai Apin, Asrul Sani, Usmar Ismail, Basuki Resobowo dan lain-lain. “Kami bukan organisasi yang tetap, tetapi lebih merupakan paguyuban. Tidak ada ketua tidak ada iuran,” demikianlah Asrul Sani. Surat Kepercayaan Gelanggang secara tersirat juga ditujukan kepada seluruh dunia atau bangsa mana pun. Sebuah pernyataan menjadi pemilik kebudayaan dunia sebagai warisan sejarah. Sebuah proklamasi kemerdekaan dalam kebudayaan. Sebuah tonggak yang didirikan oleh para tokoh sebuah zaman; pernyataan kebebasan penciptaan yang mereka miliki. Memang, diperlukan pemahaman kembali tentang latar belakang sejarah revolusi kemerdekaan pada masa mana Surat Kepercayaan Gelanggang ini dilahirkan. Tigabelas tahun kemudian, Manifes Kebudayaan diumumkan. Pada mulanya, Manifes Kebudayaan adalah
14
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
hasil pemikiran beberapa tokoh. Tidak kurang dari 20 orang ikut merumuskannya. Tokoh utamanya H.B. Jassin, Wiratmo Soekito dan Trisno Sumarjo. Selebihnya, para seniman muda berusia 20-an, seperti Goenawan Mohamad, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Zaini dan Nashar, serta Binsar Sitompul. Manifes Kebudayaan diumumkan dalam majalah bulanan Sastra, edisi September 1963. Penandatangannya sampai sekitar 300 orang, ketika pada bulan Maret 1964 berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia di Jakarta. Sebagian besar pesertanya ikut menandatangani, kecuali beberapa pengarang anggota Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Agar dapat dipahami lebih saksama, sebaiknya juga dilihat dengan memahami pula situasi politik di tanah air pada masa itu. Manifes Kebudayaan muncul dalam khazanah kebudayaan zamannya, di tengah gemuruhnya gerakan revolusioner Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan itu pulalah yang mengukuhkan Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup. Manifes Kebuyaaan adalah sebuah pernyataan sikap sekaligus sebagai sanggahan terhadap gerakan revolusioner yang direstui penguasa. Selengkapnya berbunyi: Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang merupakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
15
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersamasama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Para penandatangan Manifes Kebudayaan mengerti betul bahwa para pendiri republik ini merumuskan Pancasila sebagai sumber terbentuknya keselarasan dan persatuan bagi keanekaragaman. Semua pemangku kepentingan diberi hak yang sama dan bersama-sama untuk memajukan kebudayaan nasional. Penandatangan manifes ini juga sadar bahwa ada unsur masyarakat yang ingin memaksakan kepercayaan atau ideologi tertentu mengganti penafsiran Pancasila dari aslinya. Satu manipulasi yang sangat intensif dilakukan untuk merebut dan memperkuat kukuasaan. Dalam hal ini, sepertinya penandatangan Manifes Kebudayaan ingin mengajak unsur-unsur masyarakat bangsa Indonesia agar belajar bersikap “sepakat untuk tidak bersepakat”. Dan mereka juga ingin memperjuangkan hak-hak berpendapat untuk semua, seperti diajarkan oleh pemikir
16
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Prancis, Voltaire: “Mungkin saya tidak setuju dengan pendapat kalian, tetapi saya akan berjuang sampai mati untuk membela hak-hak kalian untuk menyatakan pendapat.” Peristiwa G30-S 1965 yang disusul dengan penghancuran terhadap PKI dan para pengikutnya, yang juga menjadi lembaran hitam dalam sejarah kemanusiaan, telah menggoreskan citra buruk di wajah rezim Orde Baru. Berbagai kecaman tehadap pemusnahan PKI dan pengikutnya berdatangan dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan hingga saat ini kecaman itu belum sepenuhnya reda. Celakanya, Manifes Kebudayaan pun ikut dipersalahkan atau dituduh terlibat dalam penghancuran PKI dan para pengikutnya itu. Tuduhan atau lebih tepat prasangka itu muncul karena kelompok Manifes Kebudayaan memang pernah melakukan perlawanan secara terbuka terhadap kediktatoran Soekarno dan gerakan revolusioner PKI/ Lekra, yang tidak menerima dan ingin menyingkirkan ideologi-ideologi atau pemikiran yang berbeda dengan mereka. Menurut PKI, semua masalah bangsa dan negara pada masa itu haruslah diselesaikan dengan cara-cara yang revolusioner dan oleh kekuatan revolusioner, yaitu mereka: PKI dan pengikut-pengikutnya. Dan hanya merekalah yang bisa menyelesaikan segala masalah yang dihadapi bangsa, baik masalah dalam maupun luar negeri. Bagi PKI/Lekra, penandatangan Manifes Kebudayaan, yang mereka sebut Manikebu, adalah kaum kontra revolusioler, antek-antek
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
17
Neo-Kolonialisme (Nekolim), musuh revolusi. Karena itu harus diganyang dan dihancurkan. Sikap mempersalahkan ini adalah sebuah kekeliruan yang, pada hemat saya, telah membentuk persepsi sebagian kalangan generasi muda terhadap Manifes Kebudayaan dan penandatangannya. Membenahi persepsi ini penting demi perjuangan kebudayaan itu sendiri. Kekeliruan ini bisa diluruskan, walau tidak mudah. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempelajari kembali dokumen-dokumen Manifes Kubudayaan yang banyak ditulis oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohammad dan lain-lain. Manifes Kubudayaan, yang sempat menggemparkan itu, seharusnya dipahami dalam konteks mempersoalkan sistem otoriter dalam kehidupan kebudayaan dan kebangsaan. Sayang, pemikiran dalam Manifes Kebudayaan, yang umurnya hanya delapan bulan itu (dilarang 8 Mei 1964), seakan tenggelam begitu saja dalam gelombang manipulasi dan rekayasa Orde Baru. Sementara para penandatangannya, karena mereka bukan satu organasasi, kemudian menjalani perjuangan nasibnya masing-masing. Di antara mereka, kemudian, seakan saling berbeda arah tujuan masing-masing. Dalam konteks ini, sekarang sering muncul pertanyaan: kenapa era reformasi tidak menumbuhkan budaya demokrasi sementara politik kita sudah menuju budaya demokratis? Jawabannya, untuk sebagian, sudah mulai tersingkap dengan paparan di atas.
18
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Demokrasi sering membawa dilema bagi kekuasaan dan ketidakbebasan bagi masyarakat bangsa. Demokrasi mudah diucapkan tetapi untuk memahaminya dalam berbagai konteks kondisi suatu zaman atau bagaimana pemahaman prinsip-prinsip demokrasi itu dilaksanakan, demokrasi harus berhadapan dengan pergumulan begitu banyak kepentingan, baik politik (kekuasaan) maupun ekonomi. Dalam pergumulan itu, hukum dan etika, yang membuat hukum itu menjadi bermakna, menjadi abu-abu dan kabur. Dalam permainan ini, diskriminasi sudah jadi senjata mainan. Maraknya kekerasan terhadap identitas agama, suku dan orientasi seksual merupakan pertanda betapa tidak tanggapnya negara dalam mengembangkan masyarakat yang pluralistik. Padahal menerima keberagaman adalah keniscayaan budaya demokrasi. Belum mengakarnya budaya sepakat untuk tidak sepakat, seperti kasus penolakan atas Lady Gaga dan peristiwa penolakan Irsyad Manji, menunjukkan semakin sempitnya ruang untuk mengembangkan keluasan pandangan tentang peradaban di mana perbedaan selalu meng-ada. Diskriminasi menjerumuskan kita ke dalam ruang hidup yang pengap hingga kita merasa sulit bernafas. Tetapi, pada saat yang sama, ruangan sempit itu mungkin tampak lebih aman dari pada keluasan ruang seperti yang ditawarkan oleh demokrasi. Bagaimanapun sebaiknya dipahami bahwa cara hidup yang tidak seragam adalah prasyarat
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
19
kultur demokrasi. Bukankah demokrasi yang kita perkenalkan pada masyarakat bangsa masih bersifat eksperimental? Semua pemangku kepentingan dalam bangsa ini kini ikut dalam eksperimentasi itu. Persoalan muncul bila demokrasi dilihat dan dipakai hanya sebagai alat kepentingan elit kekuasaan. Selama republik ini berdiri, kaum elit silih berganti, melakukan eksperimen demokrasi sambil menghilangkan jejak penguasa lama demi mempertahankan percobaan mereka sebagai kebenaran yang harus dipatuhi. Jadi, jenis-jenis demokrasi yang kita alami sepanjang sejarah republik ini, adalah pengingkaran terhadap demokrasi sesungguhnya. Seolah-olah kita terbius dengan eksperimentasi ini sampai keyakinan kita bahwa “semua manusia memiliki hak yang sama” mudah dimanipulasi dan dijelmakan menjadi “semua manusia memiliki hak yang sama, tetapi ada orang yang mempunyai hak istimewa”, seperti diungkapkan oleh George Orwell dalam bukunya Animal Farm. Ternyata demokrasi eksperimental seperti itu yang justru menaburkan benih-benih diskriminasi politik, hukum, ekonomi, bahkan kebudayaan. Selama ini, kaum elit kita, atau orang yang merebut dan memegang hak-hak istimewa itu, secara sistemik melakukan berbagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi atas nama kekuasaan. Pertanyaan besar sekarang adalah: Indonesia yang bagaimanakah yang akan diwariskan kepada bangsa? Apakah
20
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
penguasa masa depan akan melanjutkan warisan penguasa masa kini yang memanipulasi elemen-elemen masyarakat dengan memicu diskriminasi sebagai upaya melemahkan gerakan masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan paham demokrasi sesungguhnya? Bukankah sebaiknya kita cari jalan keluar dari kemungkinan ini, yang oleh Chairil Anwar disebut sebagai “kebuntuan ihwal”? Mungkinkah kebudayaan mempunyai beberapa jawaban yang dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas proses demokratisasi di Indonesia? Selama ini, setiap kali ada yang melontarkan budaya sebagai kunci pemecahan masalah, seperti Surat Kepercayaan Galangang dan Manifes Kebudayaan, karena berbagai kepentingan pihak kekuasaan atau elit, posisi kebudayaan dipinggirkan. Dari masa ke masa kita sudah mencoba beberapa pendekatan. Hingga saat ini kebudayaan Indonesia masih berada dalam lingkaran belenggu masalah yang hampir sama. Bila pada masa Demokrasi Terpimpin Sukarno, politik adalah panglima; maka pada era Demokrasi Pancasila Soeharto, pembangungan adalah panglima. Kemudian, dalam era Reformasi, kita hendak mendorong yang menjadi panglima adalah hukum. Jadi sekarang dapat dikatakan “hukum adalah panglima” dan demokrasi yang dibangun dapat dijuluki “Demokrasi Hukum”, dimana gerakan reformasi mendorong pembongkaran perundang-undangan yang diterapakan elit-elit masa lalu. Celakanya, pembongkaran POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
21
itu membuka pintu bagi pembajakan proses reformasi oleh orang-orang yang tak punya pemikiran yang dimensional tentang kebangsaan dan perikeadilan. Jadi, sekarang muncul kaum elit baru, yaitu kaum politikus, yang menguasai kehidupan berbangsa berdasarkan penafsiran hukum menurut kepentingan politik mereka sendiri. Dengan demikian era reformasi menjadi sebuah ruang pengalaman kebangsaan yang penuh diskriminasi. Ketika politik tidak lagi hadir sebagai pembawa kemuliaan dalam penyelenggaraan negara, maka politisi sejati pun menghilang.Yang tersisa adalah politikus atau pekerja politik yang di antaranya bermental preman. Jadi, mestinya kita sudah bisa belajar dari sejarah bahwa setiap kali penguasa menambah kata sifat di depan kata demokrasi, bangsa kita diarahkan ke dalam satu proses demokratisasi yang semu. Jadi pertanyaan sekarang, bukankah sudah waktunya kita mencoba lagi memecahkan masalah-masalah kita dengan pendekatan kebudayaan secara konkret? Dari pengalaman selama ini kita temukan, ternyata negara dan kebudayaan adalah dua kenyataan. Dalam bahasa Minang biasa disebut sairing batuka jalan: seiring tapi berjalan sendiri-sendiri. Seolah-olah tak saling memerlukan, padahal justru sebaliknya. Memang demikianlah pengalaman bangsa ini.
22
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Selama ini, mereka yang berada di jalur kekuasaan seperti enggan bertegur sapa dengan para budayawan. Sepanjang sejarah kemerdekaan hingga masa kini, Indonesia tidak pernah memiliki suatu politik kebudayaan. Penguasa memberi kesan politik kebudayaan bukan sesuatu yang mendesak. Jadi, bila sekarang kita terjerumus ke dalam kondisi kebangsaan yang sakit parah, maka sudah tiba saatnya bagi budayawan untuk menawarkan pendekatan kebudayaan yang relevan. Oleh karena itu, para budayawan umumnya tidak merasa nyaman untuk berada dalam pangkuan kekuasaan. Mereka sudah belajar dari pengalaman sejarah yang menyakitkan ketika harus berhadapaan dengan politik, penguasa, dan negara pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Yang dibutuhkan oleh budayawan adalah ruang untuk hidup dimana kebebasan berpikir dan berekspresi dapat terjaga. Dalam konteks ini, politik kebudayaan nasional diperlukan bukan hanya oleh seniman pencipta karya budaya, melainkan, lebih-lebih lagi, oleh pemerintah agar NKRI ini tidak selalu dengan mudah digoyang dengan berbagai ancaman, alasan, cara dan tujuan yang menyimpang dari kesepakatan dan cita-cita bernegara bangsa Indonesia. Sebenarnya, dalam beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan kehadiran banyak komunitas baru dalam kebudayaan kita di mana kegiatan seni dan budaya merupakan POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
23
ujung tombaknya. Kalau dicermati secara mendalam, kita sedang menyaksikan embrio dari politik kebudayaan nasional yang dibutuhkan. Salah satu fenomena budaya penting di antara komunitas baru itu adalah munculnya gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Ia lahir dan hadir dari pendaman kerinduan pada suatu tatanan peradaban yang sehat, berkemanusiaan, dan berkeadilan. Gagasan dan pikiran yang terkandung dalam gerakan ini memiliki relevansi yang keluasannya tidak terbatas. Diskriminasi ada di mana-mana. Tak seorang pun di antara kita yang tak bersentuhan dengan masalah diskriminasi masa kini. Kita semua sudah lelah dengan masalah seperti benang kusut yang tak pernah diselesaikan karena selalu ada pihak yang berkepentingan yang memperalat isuisu sensitif seperti suku, agama, ras, gender dan lain-lain. Sebenarnya, kita semua punya kepentingan bersama untuk melawan pihak yang berkepentigan memperalat isuisu tersebut. Kita tidak boleh lupa yang ditulis penyair Inggris John Donne dalam karyanya yang berjudul “Meditasi 17”, dimana ia mengunkapkan gagasan bahwa manusia saling terkait satu sama lain dan bila satu di antaranya disakiti maka yang lain ikut merasakannya. Jadi, dalam hal diskriminasi di antara agama, suku, ras dan gender, atau isuisu sensitif yang lain, siapa pun tak mungkin lolos dari akibatnya.
24
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Pengertian seperti ini, yang juga muncul pada pikiran Hatta tentang demokrasi dan budaya, tampaknya yang menjadi pemicu gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi, yang bertujuan menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis dan berbudaya, serta menghargai keberagaman dan perbedaan. Dalam pengertian Denny JA, kebudayaan lebih dari sebatas kesenian, dan gerakan kebudayaan melibatkan semua sektor kehidupan bangsa. Oleh karena itu, Denny JA, seorang sosiolog dan ahli statistik, yang juga penyair, memperkenalkan puisi esai berjudul Atas Nama Cinta (ANC) yang hadir bagaikan semacam pengantar yang unik bagi sebuah manifesto gerakan budaya Indonesia Tanpa Diskrimanasi. Cerita yang disampaikan dalam ANC mengangkat persoalan diskriminasi terkait dengan ras, agama, keadilan sosial dan homoseksualitas, semua isu-isu yang sangat sensitif dan kontroversial dalam masyarakat yang belum menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Walau berada dalam jalur yang sama dengan Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) atau Manifes Kebudayaan (1963), yaitu kebudayaan, kelahiran Indonesia Tanpa Diskriminasi tidak melalui proses perumusan secara kolektif. Dia tampil di hadapan kita ketika konseptornya, Denny JA, memperkenalkan Indonesia Tanpa Diskriminasi sebagai Kredo melalui ANC. Tak ada nama lain, tak ada tandatangan, tapi memicu banyak respons berupa karya
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
25
seniman lain. Ini menegaskan bahwa kredo Denny JA mendapat sambutan yang tidak sebatas konvensional: maksudnya tidak berupa debat atau diskusi, maupun serangan diskriminatif, melainkan dalam bentuk eksplorasi kreativitas. Begitulah, puisi esai ANC, yang mengangkat persoalan diskriminsai melalui cerita percintaan, seperti tiba-tiba, muncul sebagai pemicu bagi penciptaan dalam bidang seni yang lain seperti teater, tari, musik, seni lukis dan film. Yang tak kalah menarik dari fenomena ini adalah terpicunya polemik yang mempermasalahkan legitimasi puisi esai. Yang sesungguhnya terjadi adalah suatu proses sosialisasi budaya melalui karya budaya dan pembahasannya. Kini, bermula dari puisi esai; nanti, akan berkembang dan berlanjut dengan lahirnya karya-karya baru dari mana kita akan mendapat semacam bayangan lebih lanjut tentang keberadaan gerakan ini. Dalam hal ini, menarik untuk membahas gagasan dan karya Denny JA dalam hubungannya dengan penggerak kesenian lainnya, dengan ungkapan John Lennon yang berbunyi: “Perananku dalam masyarakat, atau seniman mana pun, atau peranan penyair, adalah untuk mencoba mengungkapkan apa yang semua kita rasakan. Bukan untuk mengajar masyarakat bagaimana merasakan. Tidak seperti pendeta, tidak seperti pemimpin, tetapi sebagai suatu bayangan dari kita semua.”
26
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Denny JA, seperti seninman dunia dan seniman Indonesia sebelumnya, mewakili suara-suara masyarakat yang tidak punya cara atau kemampuan untuk mengukapkan keinginannya. Dengan demikian, Denny JA menawarkan, seperti Asrul Sani, Chairil Anwar dan seniman lain dalam sejarah Indonesia, pengertian bahwa budaya dan budayawan mempunyai peran yang dapat mempersatukan dari pada memecahkan seperti yang dilakukan oleh kalangan politisi misalnya.
Penutup Membaca puisi Chairil Anwar yang ditulis tahun 1948, “Kerawang Bekasi” (saduran), sekarang, hati kita terasa hancur, perasaan pun galau sampai gulana. Alangkah peliknya hubungan manusia dengan sejarah, dengan nasib, harapan dan impiannya. Begitu banyak penyesalan, korban dan kesia-siaan yang disebabkan oleh anasir diskriminasi dan tidak adanya toleransi. Begitulah, hancurnya perpaduan Soekarno, Hatta dan Syahrir menjadi penegasan penting, bagaimana nafsu pemegang kekuasaan dapat menghancurkan sebuah kebanggaan. Di sinilah, warisan kata-kata seorang penyair bukan saja tak bisa dihapus, tetapi bahkan semakin dalam makna pesannya tentang pentingnya menjaga kebanggaan dan mimpi sebuah bangsa.
POLITIK DEMOKRASI TANPA BUDAYA DEMOKRASI
27
Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian. Chairil Anwar, “Kerawang Bekasi” []
28
PIDATO KEBUDAYAAN LEON AGUSTA
Pidato Kebudayaan
Puisi Esai untuk Indonesia
Leon Agusta
Politik Demokrasi tanpa Budaya Demokrasi
JurnalSajak
JurnalSajak