DEMOKRASI DAN IMPARSIALITAS SEBAGAI SOLUSI PROBLEM IDENTITAS: KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN AMARYA SEN Fajar Niky Wijayanti Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Tulisan ini membahas pemikiran Amartya Sen tentang multi-identitas. Dengan sifatnya yang multi, identitas dapat menjadi sumber kesejahteraan dan ancaman. Rasa persamaan identitas dapat memberi sumbangan berarti bagi kehidupan kelompok. Namun, rasa keterikatan yang kuat pada satu kelompok dapat mengandung di dalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dengan kelompok lain. Individu akan terjebak dalam kolektivisme. Anggapan bahwa identitas kelompok adalah satu-satunya identitas individu, membuka jalan lahirnya politik identitas. Kebenaran harus dipastikan pada satu kelompok dengan menolak eksistensi kelompok lain. Penolakan tersebut dapat terwujud dalam tindak kekerasan. Solusi atas persoalan ini adalah meningkatkan kapabilitas kebebasan bernalar. Melalui kebebasan bernalar, setiap individu terarah untuk terbuka terhadap kepelbagaian yang ada. Penalaran publik yang berlangsung dalam praktik demokrasi dan imparsialitas dapat ditempuh untuk merealisasikan kebutuhan tersebut. Kata Kunci: demokrasi, imparsialitas, multi-identitas, kekerasan, kolektivisme, penalaran publik, politik identitas.
Democracy and Impartiality as the Solution of Identity Problem: A Study of the Thought of Amartya Sen Abstract This study discusses about the thought of Amartya Sen of multi-identity. By its multi, the identity can be a source of the threat and the prosperity. The equality of identity can give significant contribution to the group’s life. However, a strong sense of interest to the particular group implies the perception of distance and the separation to other groups. The individual will be trapped to collectivism. The assumption that the group identity is the only individual identity can cause the identity politics. The truth must be ascertained in a particular group by denying the existence of other groups. Violence is the manifestation of the rejection. The solution of this problem is increasing the freedom of reasoning capabilities. Through the freedom of reasoning, any individual is opened to the existing diversity. The public reason which takes place in the practice of democracy and impartiality can be taken to realize those needs. Key words: collectivism, democracy, identity politics, impartiality, multi-identity, public reason, violence.
Pendahuluan Kekerasan bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Melalui pelbagai sumber, kita dapat melihat bagaimana sejarah mengungkap serentetan kasus kekerasan yang terjadi dalam kehidupan 1
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
manusia. Praktik politik pembunuhan manusia atas nama ‘ras’ oleh rezim Nazi pada abad 20 sempat menarik perhatian dunia. Di bawah kekuasaan Hitler, Nazi muncul sebagai solusi bagi upaya massa untuk memperoleh martabat sosial dan semangat komunitas baru. Nazisme melambangkan kecenderungan dalam kebudayaan Barat untuk mundur dari sekularisme, liberalisme, dan humanisme menuju masa lalu yang diromantisir dengan tata tertib dan stabilitas. Dengan mengutamakan stabilitas, Nazisme mulai khawatir dengan masyarakat modern, terbuka, dan sekuler karena takut akan perubahan tatanan. Kekhawatiran Nazisme akan perubahan kemudian menyebabkan pencarian penyebab pada manusia lain yang dianggap sebagai sumber pembaharuan, yaitu orang Yahudi. Orang Yahudi adalah kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi kemurnian ras Arya.1 Rasisme Nazi berujung pada suatu bentuk pembantaian terhadap kelompok Yahudi dalam skala yang besar. Pembantaian ini terkenal dengan nama genosida.2 Pembantaian atau pemusnahan sekitar enam juta orang Yahudi dilakukan sebagai upaya pembelaan untuk menyelamatkan identitas ras unggul menurut perspektif Hitler yang memimpin kelompok Nazi ketika itu. Ras lain yang dinilai mengancam kemurnian identitas ras unggul tersebut perlu disingkirkan.3 Rasisme Nazi dan pembantaian terhadap orang Yahudi adalah salah satu contoh kekerasan yang dilatarbelakangi oleh persoalan ras. Persoalan ras bukan hanya menyangkut pada pembedaan manusia yang dikelompokkan dalam kategori yang unggul dan yang tidak, melainkan juga berdasarkan pada ciri biologis, serta sifat-sifat sosial yang menandai kekhasan suatu kebudayaan.4 Seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan di Wina Austria, dengan korban seorang filsuf yang bernama Moritz Schilck. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh mahasiswa yang tugasnya ia tolak. Pada saat itu banyak orang yang melihat bahwa Schlick memang bersalah karena “cara pikir Yahudi”. Kasus Schilk dapat dilihat sebagai bagian dari serentetan kasus yang menimpa orang-orang Yahudi di Eropa sebelum mulai beroperasinya kamar gas di Auschwitz, Polandia pada tahun 1941 yang menjadi ajang pembunuhan massal jutaan orang Yahudi.5 1 Menurut teori ras Nazi, bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya adalah ras "Arya" yang unggul. Upaya dilakukan oleh Nazi untuk membedakan ras Arya dengan non-Arya, salah satunya melalui bentuk fisik. 2 Genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. 3 Hal ini didasarkan dengan melihat pada perbedaan fisik dari bangsa non-Arya, apabila terdapat suatu kecacatan fisik atau bahkan mental perlu disingkirkan. 4 Rocky Gerung (ed.). 2006. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus (Depok: Filsafat UI Press), hal 355. 5 Ibid. hal. 356. 2
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
Pelbagai kasus pembantaian maupun kekerasan mampu menggugah beberapa pihak untuk berupaya memeranginya. Hal ini terkait dengan adanya kesadaran tentang ketidakadilan terutama bagi kelompok atau komunitas yang menjadi korban. Namun masalahnya, upaya yang dilakukan nampaknya tidak berjalan lancar, melainkan justru berbalik memicu lahirnya bentuk pembantaian dan kekerasan lain dengan motif atau latar belakang yang serupa. Seperti yang terjadi pada ketiga pemuda yang ditemukan tewas terbunuh di sekitar waduk Missisipi pada tahun 1964. Ketika ditemukan, mayat mereka dipenuhi dengan memar dan peluru. Dari kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mereka dibunuh dengan cara yang amat sadis. Ketiga pemuda yang terlibat dalam kasus Missisipi tersebut adalah anggota suatu organisasi bernama The Congress of Racial Equality, yang aktif memperjuangkan kesetaraan rasial. Mereka dibunuh karena aktivitas advokasi itu ditentang oleh kelompok rasis ternama di Amerika Serikat, yaitu Ku Klux Klan. Dari beberapa kasus yang terungkap sejauh ini, dari sejarah Nazi hingga kasus Missisipi dan masih banyak kasus serupa lainnya yang apabila diupayakan untuk mencarinya, suatu pertanyaan yang mungkin saja hadir di benak banyak orang adalah mengapa kekerasan begitu mudah terjadi hingga nyawa pun tidak lagi berharga. Setiap bentuk kekerasan selalu memiliki latar belakang dan jika kita cermati lebih dalam, pelbagai kasus kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh persoalan identitas. Persoalan identitas seringkali menimbulkan pelbagai kontroversi. Tidak ada yang meragukan premis bahwa individu identik dengan dirinya sendiri, dan bahwa tidak ada individu yang sama persis dengan individu lain. Namun melalui ilusi dan imajinasi, identitas yang seharusnya identik dengan diri sendiri, mulai bergeser menjadi identitas kelompok atau kolektif. Persoalan identitas yang pada awalnya identik dengan diri sendiri akan berubah menjadi masalah yang rumit ketika identitas tersebut dishare dengan yang lain. Berbagi identitas berarti seseorang mengidentikkan dirinya dengan yang lain, yang kemudian menimbulkan identitas sosial seperti umat X (agama tertentu), ras X, etnik X, atau pun warga negara X, dan sebagainya. Seorang individu cenderung memandang dirinya sebagai anggota suatu kelompok, atau mengidentikkan dirinya dengan kelompok tertentu. Kelompok tersebut nantinya akan menjadi identitas bagi individu tersebut. Namun, karena hidup dalam kehidupan sosial yang kompleks, kita tidak hanya menjadi anggota satu kelompok, melainkan banyak kelompok, tanpa menimbulkan kontradiksi diantaranya. Misalnya, jika kita memandang seorang Barack Obama, presiden Amerika Serikat saat ini, kita melihat pelbagai identitas yang meliputi 3
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
sosoknya, diantaranya sebagai seorang berkulit hitam, sebagai orang Amerika, sebagai orang yang pernah tinggal di Indonesia, dan sebagainya. Identitas manusia pada dasarnya bersifat multi (plural, jamak), bukan tunggal. Aksi kekerasan terjadi ketika muncul rasa kepemilikan identitas yang dianggap tunggal dan mutlak. Ilusi bahwa identitas manusia merupakan sesuatu yang kodrati dan tidak dapat dipilih memunculkan rasa agresi dan terkadang kejam untuk membela apa yang seolah-olah telah terberi pada individu tersebut. Rasa kepemilikan atas sebuah identitas secara otomatis memberikan dorongan pada individu untuk menampik atau menyingkirkan apa yang bukan identitasnya. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya suatu konflik maupun pertikaian yang kerap kali berujung pada bentuk kekerasan.
Problem Identitas: Kolektivisme, Politik Identitas, dan Kekerasan Amartya Sen6 menegaskan bahwa identitas adalah sesuatu yang bersifat multi. Dengan sifatnya yang multi, identitas dapat menjadi titik tolak kedekatan dan juga keterpisahan, dalam waktu yang bersamaan. Identitas dalam suatu kondisi tertentu dapat menimbulkan rasa keterikatan antara satu orang dengan yang lain. Kondisi tersebut menempatkan identitas sebagai sumber lahirnya kesejahteraan bagi kehidupan sosial. Namun, di sisi lain, identitas dapat membuka jalan bagi lahirnya persoalan kolektivisme dan yang paling ekstrem menjadi pemicu timbulnya tindak kekerasan yang bukan hanya terjadi antar individu melainkan juga kelompok. Persoalan ini membutuhkan perhatian yang cukup serius, menyusul munculnya pertanyaan, bagaimana mungkin identitas yang dapat mempersatukan banyak orang dalam kebersamaan, di sisi lain justru dapat menimbulkan kekacauan yang berwujud kolektivisme dan kekerasan. Kolektivisme Rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif pada satu kelompok dapat mengandung di dalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain. Rasa kesetiakawanan terhadap satu kelompok kerap kali dapat menjadi pemicu permusuhan antar-kelompok, dan tidak 6 Amarya Kumar Sen, seorang yang lahir pada 3 November 1933 merupakan ekonom India yang terkenal melalui penghargaan Nobel yang diraihnya dalam bidang ekonomi atas karyanya tentang ekonomi kesejahteraan (1998) dan Bharat Ratna (1999). Di filsafat, nama Sen tidak hanya ditempatkan dalam daftar filsuf ekonomi kontemporer yang memiliki pengaruh karena pemikiran yang telah dilahirkan, melainkan juga sebagai filsuf sosial yang memiliki pemikiran cemerlang terhadap isu-isu yang menarik perhatian dunia, seperti yang berkaitan dengan peristiwa kekerasan. 4
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
jarang permusuhan tersebut terwujud dalam bentuk kekerasan. Seseorang bisa saja diberitahu bahwa ia bukan hanya warga negara Rwanda, melainkan lebih khusus lagi seorang Hutu, yaitu komunitas yang membenci Orang Tutsi. Rasa benci terhadap Orang Tutsi dapat menyebar secara cepat dalam diri Orang Hutu dengan hanya berlandaskan pada rasa kesetiakawanan terhadap sesama komunitas yang memiliki latar belakang identitas serupa sebagai Orang Hutu. Padahal, apabila dipahami lebih jauh, Orang Hutu tersebut bukan hanya semata-mata anggota dari komunitas Hutu, melainkan pula seorang Kigali, seorang Rwanda, seorang Afrika, seorang Buruh, dan melebihi kategori itu semua, Orang Hutu adalah bagian dari umat manusia.7 Pengabaian tentang pelbagai identitas dalam diri seseorang yang sebenarnya ada, tetapi cenderung ditiadakan, dilihat oleh Sen sebagai bentuk ancaman yang cukup serius bagi kehidupan manusia. Ironisnya, pengabaian tersebut mendapat dukungan dari pihak yang justru membuat klasifikasi dunia dalam bentuk peradaban-peradaban (civilizations). Para pengklasifikasi peradaban sering kali mengurung India sebagai “peradaban Hindu”, suatu deskripsi yang memandang sebelah mata keberadaan lebih dari 145 juta warga India Muslim, dan juga penganut lainnya, seperti Sikh, Jain, Kristen, Parsi, dan sebagainya.8 Menurut Sen, deskripsi ini mengabaikan interkoneksi ekstensif antar-warga India yang tidak berlangsung sama sekali melalui jalur agama, melainkan melalui keterlibatan mereka di bidang lain, seperti politik, sosial, ekonomi, perdagangan, kesenian, musik, atau pelbagai kegiatan budaya lainnya. Sebagai filsuf yang menaruh perhatiannya terhadap isu-isu sosial, Sen sangat menekankan kapabilitas bagi individu untuk memilih kehidupan yang diinginkan, yang menurut individu tersebut relevan terbaik bagi dirinya. “Capability is thus a kind of freedom: the substantive freedom to achieve alternative functioning combinations (or, less formally put, the freedom to achieve various lifestyles). The “capability approach” to judgments about the development of a society and associated questions about policy can focus on what people are able to do, their realized functionings, or on their real opportunities, the capability sets of alternatives available to them”.9 7 G. John Ikenberry, “Identity and Violence: The Illusion of Destiny by Amartya Sen”, Foreign Affairs, Vol. 85, No. 3 (May - Jun., 2006), hal. 152. 8 Balraj Puri, “Amartya Sen and identities”, Economic and Political Weekly, Vol. 41, No. 26 (Jun. 30Jul. 7, 2006), hal. 2690+2944. 9 Christopher W. Morris (ed.). 2010. Contemporary Philosophy in Focus (New York: Cambridge University Press), hal. 6. 5
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
Menurut Sen yang menjadi soal bukan apakah kita dapat memilih sembarang identitas, melainkan apakah kita memiliki pilihan atas identitas-identitas alternatif atau kombinasi dari identitas-identitas tersebut dan barangkali yang lebih penting apakah kita memiliki kebebasan substansial mengenai prioritas manakah yang harus diberikan kepada beragam identitas yang kita miliki secara serempak.10 Keperluan tentang kebebasan dalam menentukan pilihan tersebut tentunya dipertaruhkan melalui peran nalar individu yang bersangkutan, bukan ditentukan oleh pihak luar. Namun, keperluan untuk menyatakan identitas diri kerap terkendala oleh pandangan pihak lain, terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Bahkan, kita tidak sepenuhnya sadar bagaimana pihak lain mengidentifikasi diri kita, yang bisa berbeda dari pemahaman kita sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, dalam Portrait of the Anti-Semite, “Yahudi adalah seseorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi; Kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi”.11 Pelbagai julukan yang dinisbahkan terhadap kaum Yahudi diserukan oleh pihak luar melebihi kebiasaan dari Orang Yahudi yang menyatakan diri mereka sebagaimana adanya. Sekalipun mereka menampakkan identitas lain, di luar identitas dirinya sebagai seorang Yahudi, upayanya akan tertutupi oleh anggapan pihak lain. Seolah-olah pihak lain itulah yang lebih mengenal identitas Yahudi, daripada Orang Yahudi sendiri. Identitas kolektif memengaruhi identitas individu. Arus pengaruh tersebut semakin kuat, hingga mampu mengaburkan ruang kebebasan bernalar seseorang dalam memandang dirinya maupun memandang orang lain. Lenyapnya kebebasan, tidak lagi menempatkan individu sebagai yang otonom, lengkap dengan apa adanya dirinya, melainkan individu sebagai bagian dari kelompok. Kondisi inilah yang menjadi akar tumbuhnya identitas tunggal, yang menurut Sen sifat dari ketunggalan identitas tersebut sejatinya hanya ilusif. Melalui ilusi identitas tunggal, teman dan lawan ditetapkan oleh kelompok. Ilusi identitas tunggal secara efisien dapat mengubah banyak individu untuk bertindak kejam, melampaui batas nilai-nilai kemanusiaan. Akar dari munculnya ilusi identitas tunggal yang dibarengi dengan absennya kebebasan nalar menjadi penampikan yang telak terhadap multi-identitas. Hubungan sosial menempatkan identitas setiap orang secara jelas bersifat multi. Kondisi tersebut tidak lepas dari keterlibatan individu dengan pelbagai kelompok yang memiliki 10 Amartya Sen. 2006. Identity and Violence: The Illusion of Destiny, diterjemahkan oleh Arif Susanto (Serpong: Marjin Kiri), hal 52. 11 Ibid., hal. 11. 6
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
persamaan pertalian yang didasarkan pada ragam ketegori, seperti werganegara, etnis, bahasa, agama, kelas, ataupun pekerjaan, dan sebagainya. “Identities are strange things. We all have them, and we have them in multiples. Identities unite us—with people who share the same attributes, associations or ascriptions, whether national, ethnic, linguistic, religious, caste-related or professional”.12 Namun, penegasan tentang multi-identitas diimbangi dengan munculnya ilusi identitas tunggal. Pengandaian tentang identitas tunggal dapat ditemukan penerapannya dalam ide dasar klasifikasi yang menjadi latar intelektual bagi lahirnya tesis “Clash of Civilizations”. Tesis benturan antar peradaban ini telah ramai diperbincangkan dan belakangan semakin banyak diunggulkan terutama sejak terbitnya buku The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order (1996), karya Samuel Huntington. Menurut Sen, memandang orang terutama sebagai bagian dari suatu peradaban, seperti yang dilakukan oleh Huntington dengan memilah dunia, seperti “dunia Barat”, “dunia Islam”, “dunia Hindu” dan “dunia Barat”, adalah bagian dari upaya pengerdilan manusia dalam dimensi tunggal. Upaya tersebut dinilai sebagai bentuk kecacatan yang lebih dahulu muncul sebelum kita mempertanyakan apakah peradaban-peradaban yang berlainan tersebut niscaya berbenturan.13 Alih-alih membangun satu sekat yang memilah penduduk dunia ke dalam peradabanperadaban, sebagaimana dunia dalam angan-angan Huntington, varian-varian kecil dari pendekatan ini memandang bahwa penduduk suatu daerah terbagi menurut kelompokkelompok yang saling bertentangan, bukan hanya berbeda sebagaimana adanya. Pertentangan tersebut menyisakan masalah yang cukup serius bagi kehidupan manusia, mulai dari munculnya sikap kompetitif untuk menunjukkan keunggulan peradaban tempat seseorang berada, hingga munculnya sikap saling merendahkan antar peradaban satu dengan yang lain. "The illusion of singular identity...is skillfully cultivated and fomented by the commanders of persecution and carnage”.14 Pengklasifikasian melalui peradaban, atau satu kategori tunggal, misal agama, dapat mengilhami lahirnya dunia dalam bentuknya yang kejam. Ancaman ini pun berlaku sampai sekarang melalui praktik politik identitas. 12 Praful Bidwai, “Rethinking Identity”, India International Centre Quarterly, Vol. 33, No. 1 (SUMMER 2006), hal. 166-172. 13 Amartya Sen, “Violence, identity and Poverty”, Journal of Peace Research, Vol. 45, No. 1 (2008), hal. 5-15. 14 Michael S. Teitelbaum, “Identity and Violence: The Illusion of Destiny by Amartya Sen”, Population and Development Review, Vol. 32, No. 4 (Dec., 2006), hal. 783-784. 7
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
Politik Identitas Berdasarkan pada sejarahnya, politik identitas lahir sebagai reaksi dari pelbagai kelompok kolektif yang mengalami pengalaman ketidakadilan. Di tengah pelbagai kelompok yang dominan, terdapat banyak kelompok dengan identitas tertentu yang ditempatkan sebagai kelompok marjinal, terpinggirkan. Kondisi tersebut memengaruhi bagaimana kelompok lain memperlakukan mereka. Namun, upaya tersebut menemukan hambatan yang cukup serius ketika di tengah perjalanan, politik identitas justru direngkuh oleh kelompok dominan untuk mengukuhkan identitas mereka. Pengukuhan identitas yang disemangati oleh absolutisme muncul sebagai perlawanan terhadap kehidupan yang multi, plural. Absolutisme berupaya untuk mengisolasi setiap anggota kelompok dari interaksi dengan kelompok lainnya berdasarkan pada prinsip bahwa kemurnian identitas tersebut adalah sumber identitas individu.15 Masing-masing anggota dihadapkan pada suatu kondisi untuk menerima nilai-nilai dalam kelompok sebagai suatu pegangan final. Obsesi tentang finalitas menyisakan suatu keyakinan buta tentang kebenaran tunggal milik kelompok. Kebenaran harus dipastikan pada satu kelompok dengan cara menolak eksistensi kelompok lain.16 Hal ini mengilhami lahirnya kebijakan sosial yang bersandar pada kebenaran berdasarkan kelompok tertentu. Di Indonesia, muncul kebijakan sosial bernuansa Islam yang selanjutnya dikenal dengan istilah Perda Syariah. Hal ini menandakan bahwa seolah-olah orang yang hidup di Indonesia, semuanya memiliki satu identitas tunggal sebagai seorang Muslim. Kebijakan sosial bernuansa eksklusif terhadap kepemilikan identitas tunggal semacam ini, hanya akan mengakibatkan kekerasan terhadap mereka yang non-Muslim dan juga Muslim.17 Anggapan benar dan salah yang berdasarkan pada kebijakan satu kelompok hanya akan mengukuhkan keberadaan kelompok fundamentalis. Serupa dengan apa yang dikhawatirkan oleh Amartya Sen bahwa kelompok fundamentalis dapat menjadi ancaman bagi keberadaan 15 Lihat Rocky Gerung (ed.). 2006. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus (Depok: Filsafat UI Press), hal. vii. 16 Ibid., hal. viii. 17 Pernyataan tersebut mendapat dukungan kuat melalui suatu peristiwa yang menimpa kelompok Muslim, seperti Ahmadiyah yang distereotipekan sebagai kelompok sesat karena ajarannya yang dianggap menyimpang ataupun menyalahi syariah Islam. Anggapan tersebut memengaruhi bagaimana kelompok ini diperlakukan. Serupa dengan yang dialami oleh kelompok Ahmadiyah, tidak jarang kelompok non-Muslim juga menjadi korban perlakuan kelompok Islam fundamentalis yang kerap kali menghalang-halangi praktik peribadahan mereka, seperti melakukan perusakan dan pembakaran tempat peribadahan pun tidak jarang dilakukan. 8
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
kelompok lainnya. Kerapkali kelompok fundamentalis menganggap bahwa kebenaran hanya milik mereka, sedangkan kelompok lain yang tidak memiliki kesamaan pemahaman dianggap sebagai pihak yang menyimpang. Menyingkirkan keberadaan mereka adalah suatu keharusan. Upaya penyingkiran tersebut dapat mendorong tindakan yang agresif. Tuduhan menyimpang yang mulai diarahkan pada pelbagai kelompok yang memiliki tafsir berbeda seolah-olah mendapat dukungan yang kuat melalui kebijakan sosial yang justru kental dengan nuansa satu identitas kelompok. Politik identitas yang pada awalnya lahir sebagai upaya untuk menyingkirkan dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain, justru berbalik mengukuhkan kembali nuansa dominasi. Penegasan satu identitas di tengah pluralitas, berakibat sangat fatal. Konsekuensinya, tindak kekerasan dan pemaksaanlah yang mengemuka. Berdasarkan pada hal ini, dapat dijelaskan lebih sederhana bahwa politik identitas telah direngkuh untuk mencukupi kepentingan satu kelompok dalam mengukuhkan identitas mereka. Pencapaian tujuan tersebut dipermudah dengan dibentuknya kebijakan sosial yang berlandaskan pada kebenaran yang datang dari satu identitas. Kebenaran yang mengandung nilai finalitas bagi satu kelompok dipaksa untuk diterapkan pada banyak kelompok berlainan identitas. Hal ini menjadi jalan lahirnya tindak kekerasan. Kekerasan Kekerasan adalah bentuk irrasional tertinggi manusia. Namun cukup ironis memang, ketika sejarah kehidupan manusia selalu diiringi dengan munculnya pelbagai aksi kekerasan yang tidak jarang dilandaskan pada problem identitas. Upaya untuk membidik satu kelompok oleh kelompok lain terus berlanjut dengan kekuatan yang kian membesar. Di satu siang yang penuh konflik antara umat Hindu dan Islam yang terjadi pada tahun 1940an, Amartya Sen, yang ketika itu berumur 10 tahun, bermain di halaman rumahnya di Dhaka. Tidak jelas darimana datangnya, tiba-tiba Sen melihat seseorang masuk ke halaman rumahnya dengan rintih kesakitan dan darah yang mengalir. Di punggungnya menancap sebuah pisau. Laki-laki yang diketahui bernama Kader Mia tersebut adalah seorang buruh miskin yang beragama Islam. Melihat keadaan Mia yang mengkhawatirkan, ayah Sen kemudian membawa Mia ke rumah sakit. Namun, upaya tersebut tidak berhasil menyelamatkan nyawa Mia. Peristiwa yang dialami oleh Kader Mia pada tahun 1940an bertepatan dengan kerusuhan yang melibatkan dua komunitas agama, yaitu Hindu dan Muslim. Ketika kerusuhan berlangsung, kelompok Hindu dan Muslim saling melakukan aksi penyerangan tanpa pikir panjang. Aksi 9
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
tersebut harus dibayar mahal dengan hilangnya banyak nyawa baik dari kelompok Hindu maupun Muslim, termasuk di dalamnya, nama Kader Mia tercatat sebagai salah satu korbannya. Meskipun kedua kelompok yang menjadi mangsa kekejian tersebut memiliki identitas komunitas yang saling berlainan, tetapi identitas kelas mereka sama, yakni sebagai buruh miskin dengan sarana ekonomi yang terbatas. Namun, saat itu, tidak ada identitas lain kecuali identitas agama yang diperhitungkan oleh masing-masing kelompok. Absennya kapabilitias untuk melihat identitas lain ini, mampu menggerakkan masing-masing orang untuk bertindak keji. Identitas yang kerap menjadi sumber inspirasi perekat solidaritas sosial antar sesama, di lain pihak dapat menjadi pemantik kekerasan terhadap kelompok yang kebetulan berlainan identitas. Bahkan di dunia kontemporer seperti saat ini, tidak sulit bagi kita untuk menemukan fakta pendukungnya. Di Indonesia, belakangan ini juga terjadi konflik serupa dengan peristiwa yang disaksikan secara langsung oleh Sen. Konflik yang terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur, tepatnya di kota Poso, Sulawesi Tengah, melibatkan dua komunitas agama, yaitu Islam dan Kristen.18 Konflik tersebut bukan hanya terjadi satu atau dua kali, melainkan terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sejak tahun 1998. Dari beberapa sumber media, diketahui bahwa konflik tersebut ditengarai oleh persoalan individu yang kemudian melibatkan masing-masing kelompok agama yang memiliki pertalian identitas yang sama dengan individu yang bersangkutan. Peristiwa kriminal biasa yang melibatkan dua pemuda telah melahirkan dikotomi antara kelompok Islam dan kelompok Kristen. Kekerasan terjadi akibat pengandaian identitas yang bersifat tunggal. Seseorang dipaksa untuk mengakui pertalian dirinya dengan satu kelompok tertentu. Rasa identitas tersebut kerap kali membebani seseorang untuk bertindak kejam terhadap pihak yang dianggap lawan. Melalui perilaku kawanan inilah orang-orang dipaksa untuk “menemukan” identitas baru mereka yang saling bermusuhan, tanpa mempertanyakan proses tersebut melalui pengujian kritis. Benar dan salah telah ditetapkan melalui pandangan kelompok dan itulah yang harus diikuti oleh mereka yang menjadi anggotanya. Hal ini mampu mengubah banyak orang yang tadinya sama, menjadi berbeda. Identitas sedemikian banyak orang sebagai orang India, sebagai penghuni anak-benua Asia Selatan, sebagai seorang Asia, dan lebih daripada kategori itu semua, sebagai bagian dari umat manusia, berganti dengan cepat sebagai identitas sektarian komunitas Hindu dan Muslim yang saling bermusuhan. 18 Kronologi lengkap tentang kerusuhan di Poso dapat dilihat di catatan Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) dengan judul “Konteks Konflik Poso 1998-2001”. 10
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
Absennya kapabilitas untuk melihat kepelbagiaan identitas karena adanya pengandaian tentang identitas tunggal, dilihat oleh Sen sebagai peluang bagi mereka yang kerap mendalangi konfrontasi. Memandang seseorang semata berdasarkan satu di antara banyak identitas yang dimilikinya adalah sesuatu yang cukup tidak masuk akal. Namun, melihat pada fakta yang ada, Sen mengakui bahwa dari segi efektivitasnya, pemupukan delusi tentang singularitas ini terbukti mudah dimanfaatkan dan digencarkan. Masing-masing orang banyak yang terperangkap pada sesatnya pola pikir yang mengarahkan pada pengakuan identitas tunggal karena peran pihak-pihak konfrontatif yang menghasut mereka. Alih-alih membela, kalimat “musuh yang membunuh kita” kerap dijadikan senjata untuk menebar kebencian.19 Melalui cara konfrontasi tersebut, tanpa sadar seseorang terekrut untuk menjadi pihak penebar teror dan aksi kekerasan.
Demokrasi Dan Imparsialitas sebagai Solusi Problem Identitas Persoalan identitas dapat mengubah dunia menjadi tempat yang kejam bagi siapapun, bukan hanya Orang Yahudi pada rezim Nazi. Di masa kontemporer seperti sekarang pun, tidak sulit bagi kita untuk menemukan peristiwa kekerasan yang kerap dilandaskan pada persoalan serupa. Ilusi identitas tunggal dapat menggerakkan manusia untuk bertindak kejam, saling serang, dan saling lawan. Padahal apabila seseorang menggunakan nalarnya, berdasarkan kategori lainnya, seseorang yang dianggap sebagai lawan, sebaliknya ia adalah kawan yang juga memiliki persamaan identitas dengannya. Konflik antar kelompok yang kerap berujung pada kekerasan terjadi karena setiap orang tidak memiliki kapabilitas bernalar dalam menghadapi kepelbagaian yang ada. Bertolak pada hal tersebut, kebutuhan yang harus dipenuhi adalah mengarahkan setiap orang untuk terbuka terhadap kepelbagaian melalui praktik demokrasi dan imparsialitas. Demokrasi sebagai Penalaran Publik Secara sederhana, demokrasi dipahami sebagai suatu bentuk pemerintahan yang didasarkan pada mandat kedaulatan rakyat.
20
Amartya Sen, memberikan makna yang lebih substansif
19 Amartya Sen. 2006. Identity and Violence: The Illusion of Destiny, diterjemahkan oleh Arif Susanto (Serpong: Marjin Kiri), hal. 225-226. 20 Sunaryo. 2011. “Imperatif Perluasan Penalaran Publik: Memperluas Kualitas Demokrasi dan Kesejahteraan” di dalam Respons Jurnal Etika Sosial (Jakarta Selatan: Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya), hal. 236. 11
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
tentang demokrasi. Demokrasi dalam perspektif Sen dilihat sebagai penalaran publik (public reasoning), yaitu praktik demokrasi yang berlangsung melalui diskusi publik. Di dalam ruang diskusi, setiap orang tergabung dalam kegiatan bernalar, yaitu secara rasional21 berdialog untuk menimbang suatu permasalahan setelah berlangsungnya proses partisipasi setiap orang untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat.22 Demokrasi yang tidak sekadar memusatkan perhatian pada kebebasan setiap orang untuk ikut terlibat dalam suatu diskusi publik, bersuara dan mengeluarkan pendapat yang pada akhirnya berujung pada akumulasi hasil voting sebagai pencapaian akhir. Alih-alih menyeret keluar demokrasi dari kelembagaan ke ranah yang luas dan esensial, dalam pemikirannya, Sen meyakini adanya relasi kuat antara praktik demokrasi dengan proses bernalar. Penalaran tersebut bukan dibatasi dengan hanya melibatkan kalangan tertentu secara elitis atau melingkupi pandangan tertentu secara eksklusif, melainkan terbuka bagi siapa saja dengan
bermacam
perspektif
pandangan
yang
dapat
dikemukakan.
Hal
tersebut
mengisyaratkan sejak awal bahwa keputusan atau hasil penalaran publik tidak dirancang untuk memberi keistimewaan pada konsepsi tertentu yang diyakini oleh kelompok elite atau kelompok mayoritas dalam masyarakat. Publik yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kebebasan dan kesetaraan untuk berpartisipasi menentukan apa yang dipandang tepat bagi kehidupan bersama. Melalui penalaran publik, setiap orang terlibat dalam suatu dialog atau debat interaktif untuk menimbang suatu persoalan. Sen menambahkan bahwa proses penalaran bukan hanya soal kemampuan atau kapabilitas setiap orang dalam mengemukakan pendapat, melainkan juga suatu proses untuk melatih sikap hormat dan toleran seseorang terhadap pandangan, pendapat, serta kebudayaan lain. “Reasoning can be concerned with the right way of viewing and treating other people, other cultures, other claims, and with examining different grounds for respect and tolerance”.23 Tanpa adanya sikap hormat serta toleransi, sebuah kontestasi nalar hanya akan menjadi ajang pertunjukan perang argumen daripada terlihat sebagai upaya untuk menemukan pertimbangan terbaik. Sen mengakui bahwa terdapat suatu kesulitan bagi seseorang untuk mempertahankan 21 Amartya Sen meyakini bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional dan kemampuan untuk melakukan proses delibrasi publik. Amartya Sen. 2009. The Idea of Justice (Cambridge: the Belknap Press of Harvard University Press), hal. 43. 22 Nalar Publik adalah kriteria sebuah diskusi publik yang sehat. Ketika berdiskusi, misalnya, seseorang harus membatasi diri untuk tidak berargumen berdasarkan doktrin atau keyakinan sektoralnya. Nalar publik menuntut agar setiap argumen dilandaskan pada alasan-alasan yang dapat diterima oleh lawan bicara. Donny Gahral Adian. 2011. Demokrasi di dalam Teori Militansi (Depok: Penerbit Koekoesan), hal 21. 23 Amartya Sen. Op, Cit., hal. 46-47. 12
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
apa yang telah diyakininya, sedangkan di satu sisi ia dituntut untuk mencoba menerima pandangan lain. Namun, Sen meyakini bahwa kita semua mampu menalar secara baik jika kita membuka pikiran terhadap informasi yang masuk dan merefleksikan pelbagai argumen yang datang dari banyak penjuru.24 Kesetimbangan dapat dicapai tanpa harus menundukkan pandangan-pandangan yang berlainan di bawah satu kebenaran tunggal ataupun di bawah obsesi kemufakatan yang utuh sempurna. Peniadaan pandangan hanya akan menimbulkan kekacauan karena selain memberikan peluang bagi pihak yang berkepentingan semata-mata demi dirinya sendiri maupun kelompoknya untuk bertindak sewenang-wenang, tindakan tersebut hanya akan menyengsarakan pihak yang ditempatkan sebagai anggota kelompok minoritas. Dengan demikian, demokrasi yang pada awalnya sebagai tempat kebebasan setiap orang dilanggengkan, berubah menjadi sarana yang membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan penindasan. Dampak paling ekstrem dari tindakan tersebut adalah timbulnya kekerasan dari pihak yang merasa dirinya paling benar terhadap mereka yang dianggap lemah, tidak memiliki power atau kuasa dalam suatu tatanan sosial. Timbulnya suatu persoalan yang berawal dari upaya peniadaan pandangan akan mencederai praktik demokrasi yang bukan hanya dipahami sebagai penalaran publik, melainkan juga menghancurkan makna demokrasi sampai ke akar-akarnya. Demokrasi tidak dilahirkan dengan tujuan untuk memberikan kebebasan bagi sebagian orang, melainkan bagi seluruh pihak yang berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Tidak ada pula dalam praktik demokrasi seseorang dibatasi ruang geraknya untuk berpartisipasi dalam diskusi publik yang dalam diskusi tersebut, proses penalaran akan berlangsung. Bahkan apabila dimungkinkan dan diperlukan, demokrasi sebagai penalaran publik membuka lebar pintunya bagi siapapun untuk menjadi partisipan dan dengan pandangan apapun yang dapat diberikan sejauh relevan dengan persoalan yang tengah dipertimbangkan penyelesaiannya. Sifat keterbukaan seperti ini, terlihat jelas dalam pemikiran Sen tentang imparsialitas. Imparsialitas Terbuka Amartya Sen menghendaki adanya perluasan perspektif dalam praktik demokrasi, sehingga penalaran publik hendaknya dijalankan dalam suatu imparsialitas terbuka (open impartiality). Gagasan Sen ini sekaligus merupakan kritikan terhadap bentuk imparsialitas yang 24 Amartya Sen. 2009. The Idea of Justice (Cambridge: the Belknap Press of Harvard University Press), hal.43. 13
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
dikemukakan oleh filsuf sosial politik lainnya, yaitu John Rawls. Meskipun sama-sama menempatkan penalaran publik sebagai karakteristik demokrasi, Sen memiliki pandangan yang berbeda dengan Rawls. Model imparsialitas yang digagas oleh Rawls hanya membatasi pada mereka yang terlibat dalam satu kontrak sosial tertentu. Ia tidak melibatkan kelompok maupun individu lain yang berdiri di luar kontrak. Sen menamakan imparsialitas yang digagas oleh Rawls sebagai imparsialitas tertutu (closed impartiality). “With closed impartiality, the procedure of making impartial judgments invokes only the members of the focal group itself. No outsider is involved in such a contractarian procedure, or is a party to the original contract (neither directly nor through representatives)”.25
Untuk memastikan imparsialitas dalam perspektif Rawls, setiap orang yang terlibat kontrak berada di selubung “Veil of Ignorance” atau cadar ketidaktahuan yang membebaskan seseorang dari segala pengaruh kontingensi sosial yang dapat membuat mereka berada dalam posisi yang lebih beruntung daripada yang lain. Dalam posisi awal (original position), orangorang yang berada dibalik cadar ketidaktahuan berada pada posisi yang setara. Konflik kepentingan ditidurkan sehingga pemilihan prinsip tertentu secara aklamasi dimungkinkan. Suatu prinsip keadilan harus ditetapkan karena setiap orang menghendaki kehidupan yang adil. Dengan menekankan pada konsep pemikiran tentang kontrak, Rawls tidak menemukan perlunya perspektif lain untuk dilibatkan. Hal inilah yang menjadi titik tolak kritik Sen terhadap Rawls. Apabila Rawls membatasi partisipan dari mereka yang hanya terlibat kontrak, sebaliknya Sen menghendaki penalaran publik berlangsung secara terbuka terhadap distribusi pihak luar. Sen merujuk pada pemikiran Smith tentang impartial spectator26, yang tidak melakukan pemihakan secara timpang terhadap kelompok atau pandangan tertentu dalam menyikapi suatu persoalan. Dalam suatu diskusi nalar yang melibatkan banyak orang, Smith tidak meminta seseorang untuk menanggalkan seluruh sudut pandangnya, melainkan agar seseorang menggeser posisi parsialnya demi memperoleh sudut pandang yang lebih memadai. Dalam mendiskusikan atau mempertimbangkan jalan keluar suatu persoalan, satu komunitas tidak hanya dapat mengandalkan pada persepsi orang-orang tertentu yang sudah dibatasi, 25 Amartya Sen, “Open and Closed Impartiality”, The Journal of Philosophy, Vol. 99, No. 9 (2002), hal. 445-469. 26 Impartial spectator dalam pandangan Sen, bukan sebagai pihak penengah yang berperan memediasi perbedaan pandangan yang ada, melainkan lebih didorong untuk menjadi pembanding yang dapat memberikan kontribusi bagi satu kelompok dalam memahami suatu persoalan. Kedudukan impartial spectator setara dengan partisipan lainnya. 14
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
melainkan diskusi tersebut hendaknya berjalan dengan keterbukaan pada perspektif yang datang dari pihak luar. Melampaui ketertutupan, ruang penalaran publik terbuka bagi siapapun dan dengan gagasan apapun, sejauh relevan dengan permasalahan, sehingga perlu pula untuk dipertimbangkan. Tidak bersifat tertutup, artinya ada keperluan toleransi di situ. Kepedulian untuk mendengar dan mempertimbangkan pandangan lain dapat mengurangi kemungkinan tindakan tidak adil terhadap yang lain.27 Dengan tegas Sen mengungkapkan bahwa penilaian tentang ketidakadilan harus melibatkan partisipasi yang lebih dari sekedar mereka yang terlibat kontrak. Ketika ketidakadilan sedang melanda seseorang, kelompok, ataupun warga negara tertentu, warga negara lain dari belahan dunia manapun dapat pula bereaksi. Standar ketidakadilan bisa berbeda. Namun, pertanyaannya, di tengah penalaran publik yang syarat dengan pluralitas, bagaimana keseimbangan nalar dapat tercapai. Pertanyaan tersebut muncul mengingat adanya tuntutan atas suatu pilihan yang akan diambil atau diputuskan dalam proses penalaran publik. Untuk menjawab hal ini, melalui gagasannya tentang realisasi, Sen menggarisbawahi pentingnya pertimbangan konsekuensi dalam sebuah keputusan. Penalaran Publik sebagai Solusi Problem Identitas Pemikiran Sen dapat digunakan sebagai pisau untuk membedah isu-isu sosial yang berkembang saat ini, terutama kasus kekerasan yang berlatar belakang pada persoalan identitas, seperti dalam sejumlah konflik etnis, ras, maupun antar umat beragama. Kekerasan yang timbul merupakan akibat dari tindakan menstereotipekan seseorang dengan identitas tunggal yang mengakibatkan fatalisme, serta penyerahan diri terhadap kelompok tertentu yang dirasa memiliki identitas yang sama dengan dirinya. Rasa persamaan identitas yang dipupuk dengan rasa eksklusif terhadap satu kelompok, secara efektif mampu menggerakkan setiap anggotanya untuk membela kepentingan sekaligus menentang setiap pihak yang dianggap sebagai lawan mana saja yang telah ditetapkan melalui sudut pandang atau perspektif kelompok yang bersangkutan. Di sini konflik antar kelompok yang berlainan identitas mudah dikobarkan. Munculnya konflik antar kelompok berbeda identitas yang tidak jarang berujung pada aksi kekerasan hingga saat ini menuntut suatu penyelesaian yang cukup serius. Apabila Sen melihat aksi kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari absennya peran nalar maka jalan 27 Amartya Sen. 2009. The Idea of Justice (Cambridge: the Belknap Press of Harvard University Press), hal. 155. 15
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
keluar yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan persoalan serupa adalah mengupayakan kembali peran nalar yang sempat hilang. Kebebasan bernalar dapat menyelamatkan seseorang dari tindakan irrasional. Keperluan untuk menghidupkan kembali kebebasan bernalar memiliki tantangan besar di tengah arus persoalan kehidupan kolektif yang sedemikian kuat mengekang akses kebebasan tersebut. Namun, optimisme untuk menemukan jalan keluar atas persoalan di tengah tantangan yang ada, harus tetap dinyalakan. Melalui pemikiran Sen, optimisme tersebut dapat ditemukan dalam pelaksanaan demokrasi yang dilihat sebagai penalaran publik. Dalam penalaran publik, keterlibatan banyak pihak untuk mengupayakan perluasan perspektif sangat diperlukan. Suatu diskusi publik memberi peluang bebas bagi siapapun untuk bernalar secara terbuka, terbebas dari suatu tekanan. Terkait dengan persoalan identitas, setiap orang memiliki kebebasan dalam memilih identitasnya sendiri secara rasional. Menentukan identitas, bukan berarti berakhir pada proses pemilihan satu identitas tertentu. Sebaliknya seseorang tidak boleh mengabaikan identitas lain yang bisa saja melekat pada dirinya. Kekerasan yang dilatarbelakangi oleh persoalan identitas dapat dihindari apabila seseorang memperluas perspektifnya terhadap pertimbangan kemungkinan identitas lain. Bukan tidak mungkin bahwa pihak yang diserang adalah mereka yang memiliki peluang untuk menjadi bagian dari kelompok yang sama dengan dirinya dalam suatu kesempatan tertentu. Aksi kekerasan antar kelompok tidak memiliki alasan yang mendasar apabila perluasan perspektif pada masingmasing orang dimungkinkan melalui proses bernalar. Penalaran tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan ataupun bersinggungan langsung dengan persoalan yang tengah dipertimbangkan, melainkan juga menghadirkan pihak yang disebut sebagai impartial spectator. melalui mereka, kita akan mendapatkan suatu penilaian yang objektif, steril dari sikap keberpihakan. Dalam menyikapi terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan sektarian atau kelompok, titik temu penyelesaian masalah tidak akan tercapai apabila hanya melibatkan anggota dari dua pihak yang berseteru. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa masing-masing pihak akan cenderung mempertahankan perspektifnya dan menentang perspektif dari pihak yang dianggapnya sebagai lawan. Sikap saling menentang perspektif hanya akan menjadi titik perpanjangan perseteruan ataupun konflik antar kelompok yang bersangkutan. Di dalam penalaran publik, sangat penting bagi seseorang untuk melakukan transendensi nalar. Melalui upaya ini, seseorang terarah untuk terbuka dalam menerima pelbagai perspektif. Kepedulian untuk mendengar dan mempertimbangkan pelbagai pandangan dapat 16
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
mengurangi kemungkinan tindakan tidak adil terhadap pihak lain. Hal ini juga dapat diterapkan dalam menyikapi persoalan identitas. Cara pandang kita terhadap identitas orang lain hendaknya tidak menghalangi penerimaan kita terhadap pengakuan dari orang tersebut. Menstereotipekan identitas orang lain berdasarkan pada cara pandang yang disertai dengan penolakan terhadap pengakuan dari pihak yang bersangkutan, hanya akan menimbulkan rasa tidak terelakkan terhadap kekerasan. Misalnya, peristiwa kekerasan yang terjadi terhadap Orang Yahudi di rezim Nazi. Peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Nazi terhadap ribuan orang Yahudi, hanya didasarkan pada upaya menstereotipekan identitas orang Yahudi sebagai kelompok yang mengancam keberadaan ras unggul bangsa Jerman dan Eropa Utara. Kekhawatiran tentang ancaman ini dijadikan alasan untuk melakukan aksi pemusnahan yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Orang Yahudi tidak memiliki kapabilitas untuk menyatakan sendiri bagaimana identitas kelompok mereka berbeda dengan apa yang ada dalam pandangan Nazisme. Kekerasan yang dialami oleh orang Yahudi seolah-olah mengilhami lahirnya kekerasan dengan latar belakang serupa dalam sepanjang hidup manusia. Penyataan tersebut berdasarkan pada fakta bahwa kekerasan dengan motif problem identitas kerap terjadi di banyak tempat di dunia sampai masa kontemporer seperti saat ini. Dengan tingkat efektivitas yang tinggi, kekerasan mampu mengubah dunia penuh dengan ketidakdilan. Penilaian tentang ketidakadilan dapat pula ditempuh melalui penalaran publik yang melibatkan partisipasi dari banyak pihak. Melampaui kepentingan kolektif atau kelompok, dalam penalaran publik seseorang diarahkan pada pertimbangan kemanusiaan yang lebih luas. sebelum keputusan ditentukan, seseorang harus mempertimbangkan konsekuensi yang dapat ditimbulkan dari suatu keputusan. Pertimbangan tentang konsekuensi ini adalah bagian penting dari realisasi yang melibatkan tiga hal yaitu proses, agensi, dan relasi. Seseorang harus mempertimbangkan implikasi tindakan yang ia lakukan terhadap kehidupan dan dunia sebagai yang utama. Sebelum melakukan penyerangan terhadap kelompok tertentu, seseorang harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan sosial.
Kesimpulan Kolektivisme dan kekerasan terjadi karena fakta multi-identitas dikaburkan melalui ilusi identitas tunggal. Terkait keterlibatannya dalam kehidupan kolektif, seseorang kerap terjebak 17
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
untuk menerima bahwa identitas kelompok tertentu adalah satu-satunya identitas dirinya. Ketika hal ini berlangsung, seseorang mudah terprovokasi untuk menentang kelompok lain yang berlainan identitas. Di titik ini, kekerasan antar kelompok mudah dikobarkan. Kekerasan dapat dihindari apabila setiap orang terbuka terhadap kepelbagaian yang ada, bahwa dirinya bukan hanya terlibat dalam satu kelompok melainkan pelbagai kelompok. Keterbukaan terhadap kepelbagaian hanya dimungkinkan apabila setiap orang memiliki kapabilitas untuk merealisasikan kebebasan bernalarnya. Penalaran publik yang berjalan dalam praktik demokrasi dan imparsialitas adalah jalan keluar yang tepat untuk mengupayakan kapabilitas tersebut.
Catatan Kritis Munculnya suatu gagasan, kerapkali dikembalikan lagi dengan pertanyaan, apa manfaat praktis yang dapat diperoleh dari gagasan tersebut. Demokrasi yang digagas oleh Amartya Sen secara teoritis memungkinkan untuk menyelesaikan problem identitas, tetapi ketika diakuantisir, perbedaannya tidak signifikan dengan implikasi yang ditimbulkan oleh gagasan demokrasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan, demokrasi dan imparsialitas bukanlah entitas natural, melainkan barang mentalis yang tergantung pada pemahaman. Demokrasi dan imparsilitas dapat dipraktikkan apabila setiap orang mencapai pemahaman seperti yang telah dijelaskan oleh Sen. Artinya, dalam hal ini, yang menjadi keperluan adalah mengupayakan bagaimana masyarakat mendapatkan edukasi tentang demokrasi dan imparsialitas secara komprehensif. Tentunya, memberikan pemahaman baru terhadap bnayak orang bukan suatu perkara mudah.
Daftar Referensi Adian, Donny Gahral. 2011. Teori Militansi. Depok: Penerbit Koekoesan. Bidwai, Praful. “Rethinking Identity”. India International Centre Quarterly, Vol. 33, No. 1 (SUMMER 2006), hal. 166-172. Gerung, Rocky (ed.). 2006. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press. Ikenberry, G. John. “Identity and Violence: The Illusion of Destiny by Amartya Sen”. Foreign Affairs, Vol. 85, No. 3 (May - Jun., 2006), hal. 152. 18
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014
Morris, Christopher W (ed.). Contemporary Philosophy in Focus. New York: Cambridge University Press. Sen, Amartya Kumar. 2006. Identity and Vilolence: the Illusion of Destiny. Diterjemahkan oleh Arif Susanto. Serpong: Marjin Kiri. Sen, A. K. “Open and Closed Impartiality”. The Journal of Philosophy, Vol. 99, No. 9 (Sep., 2002), hal. 445-469. __________. 2009. The Idea of Justice. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press. __________. “Violence, identity and Poverty”. Journal of Peace Research Vol. 45, No. 1 (2008), hal. 5-15. Teitelbaum, Michael S. “Identity and Violence: The Illusion of Destiny by Amartya Sen”. Population and Development Review, Vol. 32, No. 4 (Dec., 2006), hal. 783-784. Kontras. “Konteks Konflik Poso 1998-2001. www.kontras.org/poso/data/teks/Kronik%20Pra%20Malino.doc diakses pada tanggal 14 April 2014, pukul 14.40 WIB.
19
Demokrasi Dan..., Fajar Niky Wijayanti, FIB UI, 2014