DELIK PENGHINAAN DAN BEBERAPA ASPEKNYA1 Studi Perbandingan antara Indonesia dan Amerika 2 Oleh: Tjipta Lesmana Abstract Press freedom in Indonesia enjoys euphoria following the downfall of Soeharto regime in May 1998. Embarking libertarian theory Indonesia press is putting heavily its function as watchdog, monitoring and supervising all aspects of life in the nation, notably government activities. But the radical change in press life was generally viewed with high discontent among people. They regard the phenomenon as "too luxurious " and cannot be afforded by people 60% of them are uneducated and poor. Various negative impacts were detected during the past 5 years of liberal press experiment. Some journalists, for example, have tendency to recklessly write their reports which defame others and bring law suit in the court. No less than 20 libel cases were trialed since 1998. Publishers and journalists were mostly lost the cases, being heavily fined or threatened to be imprisoned. Some journalists are worried that they become the target of litigation for libel, making accusation that press freedom in the country is currently in a bad shape. Is press trial indeed threatening freedom of the press? This is the research question. It is a qualitative study, using content analysis to collect the data required. About 20 libel cases, 10 in Indonesia and 10 in United States, were carefully investigated. Special attention was paid on 9 aspects of libel case, i.e. correction right (hak jawab), denial right (hak tolak), public interest, public figure, news source, right quotation, true/false report, check-andbalance, and malice or reckless disregard of the truth. Textual unit analysis is applied, especially views delivered by judges, journalists, and experts in journalism. Comparative study was applied to understand similarities and differences of opinions in both countries. Key words: press freedom, sation, and malice.
libel suit, defamatory statement,
redress/compen-
1
Laporan penelitian mandiri yang dilakukan pada 1 Oktober 2004 sampai 29 Februari 2005. Stat'Pengajar jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik, Universitas Pelita Harapan.
2
64
l^w Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. VI. No. I. Juli 2006
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Beberapa Aspeknya
I. Pendahuluan Semenjak kita memasuki era reformasi padabulan Mei 1998 terjadi banyak delik pers yang sampai ke pengadilan, bahkan berakhir dengan vonis terhadap perusahaan pers, pemimpin redaksi maupun wartawan. Koran Tempo dan majalah Tempo harus berurusan dengan seorang pengusaha bernama Tomy Winata, karena berita-berita yang dilansir oleh kedua media cetak tsb. Pada waktu yang hampir berbarengan, sedikitnya ada 6 (enam) gugatan hukum yang dilakukan Tomy terhadap kelompok Tempo. Berita-berita yang dipermasalahkan oleh Tomy, antara lain: a. "Ada Tomy di Tenabang?" (majalah Tempo, 9 Maret 2003); b. "Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka usaha Judi" (KoranTempo, 6Februan2003); c. Beredarnya selebaran mengenai kronologi "penyerbuan" sekelompok orang di kantor Tempo pada 8 Maret 2003. Selebaran itu dibuat oleh Ahmad Taufik, wartawan Tempo, kemudian dipublikasikan oleh situs detik.com pada 12 Maret 2003. d. Ucapan Goenawan Mohamad yang kemudian dilansir oleh Koran
Tempo edisi 12 Maret 2003 yang berbunyi: " Ini untuk menjaga agar Repubhk Indonesia jangan sampai jatuh ke tangan preman." Ucapan tsb.kembali dipublikasikan oleh Koran Tempo keesokan harinya, 13 Maret 2003, namun sedikit lebih lengkap, yaitu "Kedatangan para tokoh masyarakat yang tanpa direncanakan jauh-jauh hari ini menandakan concern dari banyak orang untuk menjaga supaya Republik Indonesia jangan jatuh ke tangan preman, juga jangan sampai jatuh ke tangan Tomy Winata". Sementara itu, harian Rakyat Merdeka digugat oleh negara sehubungan dengan rangkaian berita yang dipublikasikannya yang dinilai telah menghina Presiden Megawati Soekarnoputri. Keempat berita yang dipermasalahkan Jaksa/Penuntun Umum masing-masing berj udul: a. "Mulut Mega Bau Solar" {Rakyat Merdeka, 6 Januari 2003); b. "Mega Lintah Darat" (Rakyat Merdeka, 8 Januari 2003); c. "Mega Lebih Ganas dari Sumanto" (Rakyat Merdeka, 30 Januari 2003) dan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Vol VI, No. I. Juli 2006
65
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan chin Beherapa Aspeknya
d. "Mega cuma Sekelas Bupati" (Rakyat Merdeka, 4 Februari 2003) Pada waktu yang hampir bersamaan, pimpinan Rakyat Merdeka juga digugat oleh Akbar Tandjung, ketika itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), sehubungan dengan sebuah karikatur yang dimuat media tsb.edisi 8 Januari 2003. Karikatur berjudul "Akbar Dihabisi, Golkar Nangis Darah" itu memperlihatkan Akbar bertelanjang dada dengan wajah bercucuran keringat. Akbar merasa kehormatan dan nama baiknya tercemar oleh gambar itu. Tahun 2003 seolah-olah "tahun malapetaka" bagi dunia pers Indonesia, sebab sepanjang tahun itu tiada hari berlalu tanpa berita persidangan di pengadilan yang terkait dengan delik penghinaan yang dilakukan oleh pers. Disamping menghadapi gugatan pidana dan perdata masing-masing terkait dengan penghinaan atas Kepala Negara dan Ketua DPR, Rakyat Merdeka masih harus berurusan hukum dengan Rini Soewandi, ketika itu menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, karena berita yang 66
dipublikasikannya pada edisi 30 Juni 2003 dengan judul "Anak Mega Dapat Komisi Sukhoi Rp 180 Milyar?" Di bawah judul berita terdapat sebuah karikatur besar dengan caption "Sukhoi Show", mengilustrasikan suasana pesta striptease yang disuguhkan tuan rumah kepada delegasi Indonesia pimpinan Rini Soewandi. Para anggota delegasi Indonesia, di dalam karikatur itu, sebagian mengenakan kopiah. Mereka berminum-minum penuh suka-cita. Ada yang nyeletuk: "Manuver, dong!". Ada juga "Duh, landingnya mantap!" Tidak jauh dari mereka terlihat pahapaha dan betis "mulus" para penari striptease Rusia yang sedang beraksi. Berita "Anak Mega Dapat Komisi Sukhoi Rp 180 Milyar?"* bersumber dari Rachmawati Soekarnoputri, adik kandung Megawati Soekanoputri. Rachmawati mengaku memperoleh informasi dari salah seorang anggota delegasi Indonesia yang ikut dalam negosiasi pembelian Sukhoi dengan pihak Rusia. Menurut Rachmawati, mengutip sumber beritanya, "Puan Maharani dapat komisi sebesar USD 5 juta dari setiap pesawat Sukhoi yang dibeli".
Law Review, Fakultas Hukum llniversitas Pelila Harapan. Vol. VI, No I, Juli 2006
Tjipta Lesmana . Dclik Penghinaan dan Bcberapa
Pada 3 Juni 2003 O.C. Kaligis selaku penasehat hukum Marimutu Sinivasan dan kelompok Texmaco miliknya mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam gugatannya, Sinivasan dan Texmaco Group menggugat Bambang Harymurti dan P.T. Tempo Inti Media Harian, masing-masing selaku Pemimpin Redaksi Koran Tempo dan perusahaan yang menerbikan Koran Tempo, karena 9 (sembilan) berita yang dilansir harian tsb. dinilai "tendensius, insinuatif dan provokatif dengan rujuan character Assassination" (pembunuhan karakter). Masih banyak lagi delik pers yang muncul sejak tahun 2000. Amien Rais pernah mengancam membawa tabloid Demokrat ke pengadilan. Amien Rais tersinggug karena tabloid milik Taufik Kiemas, suami Megawati Soekamoputri, pada edisinya No 49 tanggal 24-30 Januari 2000 memuat sampul (cover) berupa gambar dirinya sebagai vampire politik Indonesia. Dalam laporannya, Demokrat menggambarkan Amien Rais sebagai "drakula politik Indonesia yang bertanggungjawab atas ratusan jenazah yang tergeletak". Pimpinan
Aspeknya
Demokrat dengan cepat menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka pada Amien Rais. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah melaporkan harian Kompas ke polisi sehubungan dengan berita di harian tsb. edisi 11 Juni 2002 yang berjudul "Para Ulama PKB Tidak Setuju Saifullah Yusuf Dipecat". Isi berita itu dinilai fitnah, mencemarkan nama baik Gus Dur. Tapi, laporan Gus Dur tidak berlanjut ke pengadilan. Sebelumnya, Gus Dur juga pernah mengancam akan membawa harian The New York Times ke meja hijau karena sebuah berita yang dilansir harian itu edisi 20 Oktober 2001. Berita itu sebenarnya hasil wawancara koran bergengsi di Amerika itu dengan Gus Dur. Di sana ditulis bahwa Gus Dur akan memimpin sebuah junta militer pada ahir 2001 untuk menggulingkan pemerintahan Megawati. Gus Dur menyangkal pernah mengeluarkan pernyataan seperti itum meskipun mengakui diwawancarai oleh The New York Times. Toh, ancaman Gus Dur tidak berlanjut dengan tindakan hukum yang konkret. Harian The Washington Post terpaksa berurusan dengan Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto,
Law Review, Fakullas Hukum Universitas Pe/ila Harapan, Vol VI, No I, Juli 2006
67
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Beberapa
terkait dengan berita yang dimuat dalam edisi 3 Nopember 2002. Berita berjudul "Indonesia Military Allegedly Talked of Targeting Mine" itu berikisar tentang tudingan WP bahwa TNI mungkin terlibat dalam peristiwa penembakan karyawan PT Freeport Indonesia di Timika, Irian Jaya, yang terjadi pada 31 Agustus 2002. Kasus ini berakhir dengan perdamaian, setelah pihak WP menyatakan bersedia mencabut berita tsb. serta meminta maaf pada Panglima TNI. Di tingkat pertama, sebagian besar kasus pers ketika itu berakhir dengan kekalahan di pihak pers. Dalam perkara melawan Abar Tandjung, pimpinan Rakyat Merdeka - Karim Paputungan — dihukum 5 (lima) bulan penjara dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Kompas, 10-9-2003). Dalam pekara melawan Megawati, Supratman - Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka - divonis 6 (enam) bulan penjara dengan masa percobaan 12 (duabelas) bulan oleh pengadilan yang sama (Kompas, 28-10-2003). Dalam perkara perdata yang muncul akibat berita berjudul "Ada Tomy di Tenabang?", majalah Tempo dihukum denda sebesar Rp 500 juta. 68
Aspeknya
Kecuali itu, Majelis Hakim menghukum Tempo untuk mencabut berita tsb., meminta maaf kepada Tomy Winata serta menyatakan penyesalannya (Koran Tempo, 19-32004; Media Indonesia, 19-3-2004; Merdeka, 19-3-2004). Pihak Tempo langsung menyatakan penolakannya atas putusan hukum itu dan naik banding. Dalam perkara pidana dengan berita yang sama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Bambang Harymurti 1 (satu) tahun penjara; dua terdakwa lainnya, Ahmad Taufik dan Iskandar Ali dibebaskan. Bambang selaku Pemimpin Redaksi Majalah Tempo dinyatakan terbukti bersalah "menyiarkan kabar bohong yang menerbitkan keonaran, menyerang kehormatan dan nama baik serta memfitnah pengusaha Tomy Winata". Tempo pun menyatakan banding (Kompas, 17-9-2004; Suara Pembaruan, 7-9-2004). Dalam perkara perdata sehubungan dengan berita "Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi", Koran Tempo dijatuhkan denda sebesar US$ 1 juta (!), karena menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Zoeber Djayadi, tergugat (Koran Tempo) terbukti telah
Law Review. Fakultas Hukum Universilas Pelita llarapan. Vol VI, No. I. Juli 2006
T/iplu Lesmana : Delik Penghinaan dan Bcberapa
melakukan perbuatan melawan hukum mencemarkan nama baik penggugat (Tempo News Room, edisi 26 Januari 2004). Pihak Tempo lagi-lagi menolak vonis hakim dengan argumentasi bahwa berita yang diperkarakan disiarkan untuk kepentingan umum. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP, tuduhan menghina dengan tulisan dapat diabaikan jika perbuatan tsb. dapat dibuktikan demi kepentingan umum. Dalam perkara melawan Texmaco, Koran Tempo dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik terhadap Sinivasan dan Texmaco Group, namun Majelis Hakim menolak tuntutan Texmaco lainnya, yaitu ganti rugi materiil sebesar ASS 50 juta dang ganti rugi immateriil sejumlahASS 1 juta (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 305/Pdt.G/2003/ PN.JKT.SEL tanggal 23 Desember 2003). Dalam perkara yang terkait dengan selebaran tentang kronologis "penyerbuan" orang-orang Tomy pada kantor Tempo, Tempo juga menang. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang diketuai Saparuddin menolak gugatan Tomy dengan alasan gugatannya tidak lengkap, sebab tidak mencantumkan media online
Aspeknya
detik.com dan wartawannya sebagai Tergugat (Koran Tempo, 25-2-2004). Tidak selamanya delik pers harus diselesaikan di pengadilan. Sebagian berakhir dengan perdamaian pihakpihak yang berperkara, baik melalui mediasi Dewan Pers maupun hakim. Dalam perkara Rini Soewandi lawan Rakyat Merdeka, misalnya, gugatan Rini tidak diteruskan sebab kedua belah pihak mencapai kesepakatan untuk berdamai setelah disidangkan 2 (dua) kali. Letnan Jenderal TNI Djadja Suparman, mantan Panglima Kostrad, juga lebih memilih mediasi Dewan Pers, ketika ia merasa difitnah oleh sejumlah harian yang menulis tentang dugaan keterlibatannya dalam kasus Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Hendropriyono, ketika itu menjabat Kepala Badan Intelijen Negara, mengadukan Redaktur Eksekutif harian Rakyat Merdeka ke Polda Metro Jaya sehubungan dengan berita di harian tsb. edisi 2 Februari 2003 yang berjudul "Beredar Isu dari Istana Negara dan Jalan Teuku Umar, Mega Mau Copot Panglima TNI dan Kapolri" (Kompas, 14-1-2004). Namun, laporan tsb. tampaknya tidak ditindaklanjuti oleh Hendro.
Law Review, Fakullas Hukum Llniversitas Pelila Harapan. Vol. VI', No I, Juli 2006
69
Tjipta Lesmana . Delik Penghinaan dan Beberapa
Berbagai penafsiran muncul atas fenomena maraknya gugatan hukum terhadap pers. Ada pihak yang beranggapan bahwa kebebasan pers di Indonesia kembali menghadapi ancaman karena begitu banyak wartawan yang diseret ke pengadilan. Hukum dikatakan tidak berpihak kepada pers (Sudibyo, 2004). Mereka juga mempertanyakan apa sebab wartawan dihukum penjara (Sihombing, 2004). Namun, tidak sedikit praktisi hukum yang berpendapat bahwa kebebasan pers tidaklah mutlak sifatnya. Danjika pers bersalah karena tulisannya, misalnya berakibat tercemarnya nama baik seseorang, ia pantas dihukum, termasuk sanksi pidana (Syamsuddin, 2004; Lord Nicholls, www.House of LordsReynolds v Times Newspapers.htm). II. Masalah Penelitian Dengan latarbelakang masalah seperti dipaparkan di atas, sebuah penelitian dirancang. Fokus penelitian ditujukan pada hakikat dan problematik delik pers. Konkretnya: tulisan atau berita bagaimana yang dapat melahirkan delik pers? Masalah kedua dari penelitian adalah: Bagaimana kaitan antara kebebasan pers dan delik 70
Law Review. Fakullas llukuni Uni
Aspeknya
Pers? Dapatkah dikatakan bahwa jika terdapat banyak gugatan hukum atas penerbitan pers, kebebasan pers akan terancam? III.Lingkup Permasalahan Munculnya delik pers berawal dari suatu berita atau laporan yang dipublikasikan pers (dalam arti sempit, media cetak). Tapi, apa sebab muncul delik pers, faktornya banyak, bukan semata-mata terkait dengan kebenaran berita. Faktor-faktor tsb. antara lain: (a) sumber berita, (b) hak jawab, (c) hak tolak atau hak ingkar, (d) status korban sebagai public fugure, (e) kutipan, quotation, (f) kebenaran berita/laporan, (g) kepentingan umum, (h) silang pendapat antara fakta dan opini, (i) check and balance dan (j) unsur kelalaian dan/atau kesengajaan,. Faktor-faktor tersebut di atas dapat juga disebut aspek delik penghinaan. Konkretnya, dikatakan delik penghinaan yang terkait dengan aspek kesengajaan, delik penghinaan yang terkait dengan hak tolak, delik penghinaan yang terkait dengan kepentingan umum dan seterusnya.
•xitas Pelita Harapan. Vol VI. No.l. Juli 2006
T/ipla Lesmana : Delik Penghinaan dan Bebeiapa
Aspeknya
IV. Definisi konsep a. Delik Pers Suatu tindak pidana hanya bisa dikatakan delik pers manakala memenuhi 3 (tiga) kriteria sekaligus. Ketiga kriteria itu, menurut Van Hattum seperti dikutip oleh Prof. Oemar Seno Adji (1977:297) adalah (a) dilakukan dengan barang cetakan; (b) perbuatan yang dipidanakan harus terdiri dari pernyataan pikiran atau perasaan, dan (c) dari rumusan delik, harus ternyata bahwa publikasi merupakan satu syarat untuk dapat menimbulkan kejahatan.
dengan maksud merusak kehormatan atau nama baik seseorang, (e) tuduhan itu tersiar atau diketahui banyak orang. Kejahatan "memfitnah" seperti diatur dalam Pasal 311 KUHP mengandung unsur-unsur: (a) barangsiapa, (b) melakukan kejahatan menista/menista dengan tulisan, (c) tuduhan tidak terbukti, (d) mengetahui sejak awal bahwa tuduhan tidak benar. (Jadi, terdapat unsur kesengajaan). Pelaku kejahatan memfitnah diganjar hukuman lebih berat dibandingkan pelaku kejahatan menista. Istilah "mencemarkan nama baik" tidak dijumpai dalam KUHP. Namun, analisis atas sejumlah putusan pengadilan tentang delik penghinaan menghasilkan kesimpulan bahwa perbuatan "mencemarkan nama baik" atau "mencemarkan kehormatan seseorang" tidak berbeda dengan perbuatan "menista" seperti diatur dalam Pasal 310 KUHP. Dengan demikian, perbuatan "mencemarkan nama baik" termasuk juga dalam kategori tindak kejahatan "menghina".
b. Delik penghinaan Tindak kejahatan "menghina" adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Akibatnya, yang diserang merasa malu, atau tercemar nama baiknya (Soesilo, 1990:225). KUHP membedakan perbuatan memfitnah dari menista; keduanya disebut menghina. Unsur-unsur "meninsta" menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah (a) barangsiapa, (b) menuduh seseorang, (c) melakukan perbuatan tertentu, (d)
Law Review, Fakultas Hukum Vniversitas Pe/ita Harapan, Vol. VI, No. I, .luli 2006
71
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaun dan Beberapa
Dalam hukum Angli-saxon, dipakai istilah "defamation" untuk kejahatan menghina. To defame is to harm the reputation of a person or group by unfair means such as making false statements (www.rit.edu). Lalu, apa arti "reputation" ? A person ' reputation is a commonly held opinion of one's character, atau pendapat umum mengenai karakter seseorang. Reputasi seseorang bisa baik, bisa juga buruk. Pengertian reputasi bisa disamakan dengan martabat, atau nama baik dalam hukum kita. c. Kebebasan pers Defmisi kebebasan pers mengikuti konsep yang disajikan oleh Commission on Freedom of the Press (Amerika) yang dipimpin oleh Hocking. Menurut Komisi (1947:228-232), kebebasan pers mempunyai 3 (tiga) aspek, yaitu (a) Free from, pers bebas dari segala tekanan yang datang dari mana pun dalam menjalankan fungsinya; (b) Free for, bebas untuk menyatakan pendapatnya dalam segala tahapannya; (c) Free to,
72
Aspeknya
bebas bagi semua warganegara yang mempunyai pendapat untuk disuarakan kepada publik. Artinya, pers harus mengakomodasi semua pendapat masyarakat, jika pendapat itu memang dinilai terkait dengan kepentingan umum. Namun, Komisi mengingatkan kepada jajaran pers bahwa kebebasan tidak mutlak sifatnya. Pers tidak boleh bersikap acuh, seolah memiliki hak "to bejust or unjust, partisan or non-partisan, true or false in news column or editorial column". Jika pers sengaja melakukan kesalahan dengan beritanya, masyarakat merasa dirugikan, bahkan terancam. Dalam situasi demikian, masyarakat berhak untuk menghukum pers. Komisi juga menegaskan bahwa kebebasan pers tidak bisa diberlakukan sama di semua negara dan dalam kurun waktu apa pun, sebab kebebasan pers bukanlah nilai yang tersiolir. Kebebasan pers harus tunduk pada konteks sosial tempat ia eksis.
Law Review, Fakultas Hukum Vniversilas Peiita Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
Tjipta Lesmana
Dclik Penghinaan dan Beherapa
d. Sumber berita Orang, instansi atau pihak yang memberikan informasi/data kepada wartawan untuk kemudian dipublikasikan dalam pers. e. Hak iawab Hak anggota masyarakat untuk mengoreksi, meluruskan atau membantah suatu pemberitaan yang dinilai tidak benar/ menyesatkan dan merugikan dirinya. Kode Etik Jurnalistik maupun UU Pers menyatakan pers wajib memuat hak jawab. f.
Aspeknya
g. Kutipan Mempublikasikan berita atau laporan yang diperoleh dari berita/ laporan yang sebelumnya sudah dipublikasikan oleh media lain dengan menyebutkan secarajelas nama media tsb. Kutipan bisa langsung (direct), bisajuga tidak langsung (indirect). h. Public figure Seseorang yang diketahui masyarakat memiliki jabatan publik, tokoh masyarakat, selebriti atau mereka yang memiliki prestasi besar dalam profesinya.
Hak tolak Hak wartawan untuk menolak identitas sumber berita dengan pertimbangan demi keselamatannya. Hak tolak tidak mutlak sifatnya. Jika di persidangan, hakim memerintahkan wartawan untuk membuka identitas sumber beritanya demi kepentingan yang lebih besar, maka ia harus melakukannya. Pembangkangan atas perintah pengadilan dapat berakibat sanksi pidana.
i.
Kebenaran Kesesuaian {correspondence) antara apa yang ditulis dan fakta di lapangan, atau yang ditulis memang akurat, cocok dengan fakta pendukungnya,
j.
Kepentingan umum Pasal 310 ayat (3) KUHP mengatakanjika perbuatan menista atau menista dengan tulisan dilakukan untuk kepentingan umum, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan sebagai
Law Review, Fakullas Hukum Vniversilas Pelila Harapan, Vol VI. No I, Juli 2006
Ti
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Beberapa Aspeknya .
menista. Bagaimana bisadiketahui bahwa perbuatan tsb. memang untuk kepentingan umum, menurut Soesilo, semua itu "terletak kepada pertimbangan hakim". k. Fakta dan opini Fakta adalah sesuatu yang ada di lapangan, benar terjadi dan bisa diverifikasi/dibuktikan. Sedang opini adalah pendapat atau interpretasi wartawan mengenai fakta tsb. Kode Etik Jurnalistik menekankan pentingnya wartawan untuk tidak mencampuradukkan fakta dan opini sendiri dalam menulis berita (Pasal 5). 1. Check and balance Upaya crosscheck atau verifikasi antara satu informasi dengan informasi lain, antara satu fakta dengan fakta lain, sedemikian rupa sehingga terdapat sinkronisasi, tidak bertentangan antara fakta satu dengan fakta lainnya. m. Kesengajaan Wartawan sejak semula sesungguhnya menyadari bahwa berita yang akan ditulisnya tidak didukung oleh bukti atau fakta yang 74
memadai, toh ia tetap menulis dan mempublikasikannya. Jika wartawan sejak awal juga menyadari bahwa publikasi berita yang tidak faktual itu dapat membawa kerugian — seperti pencemaran nama baik — bagi pihak ketiga, maka disebut"/// wilF' atau "actual malice " dalam bahasa hukum Anglo-Saxon. n. Kelalaian Wartawan tidak menyadari bahwa berita yang hendak ditulisnya sesungguhnya tidak faktual; juga tidak mempunyai niat jahat untuk merugikan pihak ketiga, toh ia mempublikasikannya juga tanpa terlebih dahulu melakukan upayaupaya tertentu untuk mendapatkan fakta seputar berita tsb. V. Tinjauan teoritik Perdebatan tentang (a) sejauh mana pers dapat menikmati kebebasannya, serta (b) kaitan kebebasan pers dan delik pers sebetulnya merupakan perdebatan klasik. Di Amerika, sebelum negeri ini merdeka dari Inggris pun sudah terjadi perdebatan semacam itu. Antara pro dan kontra selalu tidak pernah dicapai
Law Review, Fakullas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Beberapa
kesepakatan bulat. Orang-orang pers yang "ekstrim" berpendapat bahwa kebebasan pers tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan apa pun. Kasus penghinaan pertama yang diakui sebagai landmark case pada masa kolonial Amerika dialami oleh Weekly Journal di New York. John Peter Zenger, pemilik koran ini, ditangkap dan diajukan ke pengadilan pada 1734 dengan tuduhan bahwa serangkaian tulisan yang muncul di Weekly Journal telah menghina Gubernur Jenderal Inggris. Dal am pembelaannya, Andrew Hamilton - pengacara kenamaan ketika itu - mengecam keras tindakan penguasa yang dinilai tirani dan sewenang-wenang karena mengadili Zenger. Kepada para hakim yang mengadili perkara ini, Hamilton mengingatkan bahwa "Your upright conduct, this day, will not only entitle you to the love of and esteem of our fellow citizens; bu nevery man who prefers freedom to a life of slavery will bless and honour you, as men who have baffled the attempt of tyranny; and by an impartial and uncorrupt verdict, have laid a noble foundation for securing ourselves, our posterity and our neighbours " (Swindler, 1973:5-6).
Aspeknya
Pers Amerika pada awal abad ke20 menikmati kebebasan puncaknya. Di satu sisi fenomena ini diakui membawa dampak positif bagi pelaksanaan kontrol sosial terhadap pemerintah; namun di sisi masyarakat dan kalangan akademisi merasa cemas melihat kebebasan pers yang lepas kendali dengan segala ekses negatif yang justru merugikan masyarakat sendiri (Siebert, 1957). Untuk mengantisipasi dampak dan kebebasan pers yang terlalu liberal ini, sejumlah negara bagian mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat restriktif. Pada 1925 negara bagian parlemen Minnesota mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang baik kegiatan membuat, mempublikasikan dan mengedarkan, maupun memiliki atau memperjual-belikan koran, majalah dan publikasi lain yang sifatnya (a) "obscene, lewd and lascivious; (b) malicious, scandalous, and defamatory. Mereka yang terbukti melakukan perbuatan tsb. Dapat dihukum karena melakukan kejahatan "public nuisance" (mengganggu ketenteraman publik). Tapi, UU juga menyatakan "Truth, ifpublished with good motives and for justifiable
Law Review, Fakidlas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
75
Tjipta Lesmana
Dclik Penghinaan dun Bet t'lapa Aspeknya
ends, was accepted by this law as an admissible defense". Dua tahun kemudian, minguan Saturday Press yang terbit di kota Minneapolis diajukan ke pengadilan, karena isinya dinilai menyerang martabat pejabat pemerintah. Para pejabat dituduh lalai dalam melaksanakan kewajibannya memerangi kejahatan perjudian, mafia dan pemerasan lain. Penerbit koran tsb, Near, dinyatakan berrsalah dan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama. Putusan itu diperkuat oleh Mahkamah Agung Minnesota. Namun, oleh Mahkamah Agung federal, Near dibebaskan. Menurut Mahkamah Agung Amerika dalam putusan perkara "Near versus Minnesota"(1931), UU negara bagian Minnesota bertentangan dengan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi federal. Ketika menyampaikan pendapat mayoritasnya, Hakim Agung Hughes menandaskan bahwa "The liberty of the press, and of speech, is within the liberty safeguarded by the due process of clause of the Fourteenth Amendment from invasion by state action". Namun, Hughes mengingat orang-orang pers bahwa kebebasan pers tidak mutlak sifatnya, dan "The state may punish its 76
abuse".(Negara dapat menghukum siapa saja yang menyalahgunakan kebebasan pers.) Yang dipermasalahkan dalam perkara Saturday Press adalah ketentuan perundang-undangan Minnesota yang dinilai bertentangan dengan ketentuan konstitusi Amerika.UU itu harus dinyatakan batal demi hukum. Konsekuensinya, putusan pengadilan yang diambil berdasarkan UU tsb. juga harus dinyatakan batal demi hukum. Perkara Saturday Press sangat menarik karena terjadi wacana publik yang luas, khususnya tentang batasan kebebasan pers. Mahkamah Agung Amerika, melalui Hakim Agung Hughes, ketika itu tampaknya berusaha untuk tidak menimbulkan kesan bahwa hukum melindungi pers atau wartawan yang sembrono, antara lain, melalui tulisan-tulisan yang malicious. Mengutip pendapat Hakim Agung lain yang bernama Blackstone, Hughes seperti dikutip oleh Swindler (1973:15) mengemukakan: The liberty of the press is indeed essential to the nature of free state; but this consistes in laying no previous restraints upon publications, and not in freedom from censure for criminal matter when published.
Low Review, Fakullus Hukum l/ni ersitas Pelilu Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006
Tjipta Lesmana
Delik Penghinaan dan Beherapa
Every freeman has an undoubted right to lay what sentiments he pleases before the public; to forbid this is to destroy the freedom of the press; but if he publishes what is improper, mischievous or illegal, he must take the consequence of his own temerity (garisbawah, peneliti). Intinya, menurut Hughes, kebebasan pers tidak berarti pers bebas mempublikasikan mated yang tidak patut, yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, atau yang dilarang oleh hukum. Dalam hal demikian, wartawan harus bertanggungjawab secara hukum. Tahun 1942 muncul kasus "Chaplinsky versus New Hampshire". Mahkamah Agung Amerika dalam memutus perkara ini dengan tegas mengatakan: "libelous utterances are no essential part of any exposition of ideas. (Pernyataan yang bersifat fitnah bukanlah bagian pentmg dari pernyataan pendapat apa pun.) Kalimat ini, secara implisit, mengandung arti bahwa pernyataan yang bersifat fitnah tidak berhak mendapat perlindungan hukum.
Aspeknya
Sepuluh tahun kemudian, yaitu 1952, dalam memutus perkara "Beauharnais versus Illinois", Mahkamah Agung federal mengemukakan "that they are not constitutionally protected speech" (pernyataanyang bersifat pencemaran nama tidak dapat perlindungan konstitusi). Namun, dalam perkara "The New York Times versus Sullivan" (1964) yang amat momumental, pengadilan yang sama berpendapat bahwa "libel can claim no talismanic immunity from constitutional limitations to the contrary, libel must be measured by standards that satisfy the first Amendment". (Pencemaran nama tidak imun dari pembatasan konstitusi. Sebaliknya, pencemaran nama harus diukur berdasarkan standa Amandemen Pertama". Dalam perkara "The New York Times versus Sullivan", Mahkamah Agung Amerika dengan suara 9:0 meganulir putusan Mahkamah Agung negara bagian Alabama yang menghukum koran The New York Times dengan alasan pokok bahwa Amandemen Pertama Konstitusi tidak melindungi publikasi yang bersifat fitnah (libelous publication). Namun, Mahkamah Agung
Law Review. Fakullas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No I, Juli 2006
11
Tjipta Lesmana . Dclik Penghinaan dan Be, <erapa A spekn ya
federal menyatakan putusan Mahkamah Agung Alabama cacad hukum, sebab melanggar kebebasan pers dan pernyataan pendapat sebagaimana dilindungi dalam Amandemen Pertama dan Amandemen Keempatbelas. Dalam perkara "Associated Press versus Walker" (1967), Mahkamah Agung menganulir putusan banding Texas Court of Civil Appeals yang mengalahkan Walker, walaupun mengakui bahwa berita yang dipublikasikan Associated Press (AP). Persoalannya, Walker tidak dapat mengajukan bukti-bukti kuat bahwa berita tsb. Mengandung unsur actual malice. Tapi, Mahkamah Agung Amerika membatalkan putusan Texas Court of Civil Appeals dengan pertimbangan bahwa penggugat (Walker) tidak berhak mendapat ganti rugi, sebab tergugat sudah memenuhi standar publikasi. Di satu sisi Mahkamah Agung federal mengakui bahwa penyebarluasan informasi dan opini mengenai masalah-masalahpublik dilindungi oleh hukum; tapi di sisi lain Mahkamah mengingat pers bahwa perlindungan tsb. tidak membuat pers kebal hukum. "The publisher of newspaper has no special immunity from 78
the application of general laws. He has no special privilege to invade the rights and liberties of others " Menurut Dennis (1991:5-11), pers Amerika sesungguhnya bebas. Tapi, kebebasan itu tidak mutlak, tapi harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Pengecualian ini dapat dibenarkan, karena hak kebebasan pers adakalanya bertabrakan dengan kepentingan lain, seperti tidak melakukan pencemaran nama, penghinaan, menghormati privasi orang lain dan keamanan nasional. Dennis kemudian mensitir kej adian pada 1971. Ketika itu 2 (dua) harian terkemuka, The New York Times dan Washington Post mempubikasikan laporanlaporan pemerintah yang bersifat rahasia tentang Perang Vietnam. Kasus ini kemudian sampai ke Mahkamah Agung untuk dimintakan pendapat hukumnya. Kedua koran tsb. diperintahkan untuk sementara menghentikan pemberitaannya. Tahun 1979 majalah The Progressive diperintahkan untuk menunda selama beberapa bulan pemberitaan mengenai nuklir hydrogen. Tampaknya, di Amerika sekali pun, kebebasan pers adakalanya menghadapi kendala {constraints) dan
Law Review, Fakullas Hukuni Univi silas Pelita Harapan, Vol. VI, No I. Juli 2006
Tjipta Lesnuma : Dclik Penghinaan dan Beherapa
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dan kenyataan ini dianggap sah-sah saja. Gallup Poll pada tahun 1980-an pernah mengadakan survai pendapat tentang kebebasan pers. Jajak pendapat berskala nasional itu, antara lain, mengajukan satu pertanyaan berikut kepada para respondennya: "Some people feel that in a free society news organization should be able to say anything about a person, whether true of false, without having to face libel suits. Others believe that even in a free society news organization should be subject to libel suits if they say critical things about people that are false
Which positions
comes
closer to your opinion?" Hanya 4% dari responden yang ditanyakan menjawab bahwa pers bebas memberitakan apa saja tanpa harus dihukum. Sekitar 89% mengambil posisi yang sangat populer pada abad ke-18 yang kemudian menjadi solid pada abad ke-19 dengan munculnya kasus-kasus seperti "Commonwealth versus Clap". Pendapat itu, intinya, mengatakan: Truth is a defense, but falsehood is no defense. (Jika berita itu bisa dibuktikan kebenarannya, pers harus dibebaskan dari jeratan hukum.
Aspeknya
Jika tidak, pers harus dihukum.) Tujuh persen responden menjawab "tidak tahu" (Dikutip dari berkas perkara "Coughlin versus Westinghouse"). Pasal 10 dari European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, antara lain, menyatakan (Kirtley, 2003): The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary. Ada begitu banyak restriksi yang dapat dikenakan terrhadap kebebasan pers, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap reputasi atau hak-hak orang lain, sehingga mungkin saja muncul pendapat bahwa
Law Review, Fakultas Hukuni Universitas Pelila Harapan Vol VI. No. I, Juli 2006
79
Tjipta Lesmana . Delik Penghinaan dan Behcrapa Aspeknya
kebebasan pers di Eropa lebih buruk dibandingkan kebebasan pers di Amerika. VI. Metodologi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metoda analisis isi (content analysis). Unit analisisnya: (a) secara umum, teks putusan pengadilan dalam delik pers, baik yang terjadi di Indonesia maupun Amerika; atau jika tidak ditemukan naskah putusan pengadilan yang bersangkutan, bahan diambil dari clipping koran; (b) pendapat hakim, wartawan dan pihakpihak lain yang terkait dengan perkara tsb. Putusan pengadilan yang diteliti hanyalah putusan yang ada ketika penelitian dilakukan. Jika perkara naik banding ke tingkat II dan belum ada putusannya pada waktu penelitian ini diadakan, yang diteliti, ya, putusan pengadilan tingkat I. Pengadilan Tingkat I adalah Pengadilan Negeri di Indonesia, atau District Court di Amerika; Tingkat II Pengadilan tinggi atau Appeal Court, sedang Tingkat III adalah Mahkamah Agung atau Supreme Court. Diakui bahwa ini merupakan salah satu kelemahan penelitian, sebab jika proses peradilan masih berlangsung. 80
putusan pengadilan yang ada belumlah final; dalam arti belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Bisa saja pada tingkat banding atau kasasi, putusan pengadilan tsb.dibatalkan. Perkara pers diambil dengan menggunakan purposive sampling, yaitu perkara-perkara yang dinilai ada kaitannya dengan aspek-aspek delik pers yang hendak diteliti. Sebanyak 10 perkara pers di Indonesia dan 10 di Amerika diteliti. Kasus-kasus yang diteliti adalah: 1. Tomy Winata lawan majalah Tempo (perdata). Berita edisi 3-9 Maret 2003 berjudul "Ada Tomy di Tenabang?" samara-samar menuduh Tomy berada di balik kebakaran di Pasar Tanah Abang pada 19Februari2003.. 2. Tomy Winata lawan majalah Tempo (pidana); berita yang sama. 3. Tomy Winata lawan harian Koran Tempo (perdata); berita "Gubernur Ali Mazi Bantah Tommy Winata Buka Usaha Judi", Koran Tempo edisi 6 Februari 2003. 4. Texmaco lawan harian Koran Tempo; menyangkut 8 berita tentang Texmaco dan Sinivasan yang dimuat harian tsb. dari Januari hingga April 2003.
Law Review, Fakultas Hukuni I 'niversilas Pelila Harapan,
Vol VI. Nn I. Juli 2006
Tjipta Lesmana : Delik Penghmaan dan Beberapa Aspeknyci
5. Akbar Tandjung lawan harian Rakyat Merdeka; karikatur tentang Tandjung dalam edisi 8 Januari 2002. 6. Humanika lawan majalah Tempo; berita edisi 19-25 Nopember2001 tentang Kisman, operator Humanika yang dikaitkan dengan masalah terorisme. 7. Maulani lawan harian Sriwijayci Post; Maulani, mantan Kepala BAKIN ditulis menerima Rp 400 milyar oleh SP edisi 25 Agustus 1999 untuk "gerilya politik" dalam upaya memenangkan Habibie dalam pemilihan umum 1999. 8. Texmaco lawan harian Kompas; berita-beritanya yang dimuat sejak 30 Nopember 1999 hingga 16 April 2003 dinilai merugikan Texmaco. 9. Wiranto dkk. lawan harian Jawa Pos; harian Siwalima (Maluku) edisi 4 Agustus 2000 mengutip Jawa Pos melansir ucapan Thamrin Amal Tomagola yang menuduh Wiranto cs. berada di balik kerusuhan Maluku. 10. Somasi TNI kepada Washington Post; dalam edisi 3 Nopember 2002 Washington Post, implisit, menuduh TNI terlibat dalam penyerangan terhadap karyawan
Freeport Indonesia di Timika, Papua, pada 31 Agustus 2002. Sedang kasus pers Amerika yang ditehti: /. The New York Times versus Sullivan; bermula dari iklan pada edisi 29 Maret 1960 dengan judul "Heed Their Rising Voice" tentang gerakan persamaan hak di Amerika dan imbauan mengumpulkan dana untuk mendukung gerakan itu. Sullivan, staf Dewan Kota Alabama yang mengawasi Kepolisian merasa tercermar martabatnya dengan isi iklan tsb. 2. Coughlin versus Westinghouse; stasiun televisi KYW-TV menyiarkan cerita dan gambar seorang polisi di Philadelphia bernama Coughlin keluar dari sebuah bar yang dicurigai menjual minuman keras sambil membawa benda seperti amplop. Coughlin merasa reputasinya tercemar oleh tayangan itu, seolah ia menerima suap dari pemilik bar. 3. Milkovich versus Lorain Journal; harian News Herald milik Lorain Journal Co. di Lake County, Ohio, menulis bahwa Milkovich, pelatih
Law Review, Fakultas Hukuni Universitas Peiila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
81
Tjipta Lcsinana Delik Penghinaan dan Beberapa Aspeknya
gulat di Maple Heights High School membenkan kesaksian palsu di Pengadilan Franklyn County. 4. Richard Jewell versus Atlanta Journal; Jewell, petugas keamanan Centennial Olympic Park, Georgia, dituduh harian Atlanta Journal-Constitution edisi 30 Juli 1996 sebagai pelaku pengeboman di taman hiburan tsb. yang terjadi pada 27 Juli 1996, gara-gara ia yang pertama kali menelpon polisi dan memberitahukan kejadian tsb. 5. Curtis Publishing Co. Versus Butts; Wally Butts, Direktur atletik University of Georgia, oleh majalah Saturday Evening Post, dituduh mengaturpertandingan sepakbola antara kesebalasan University of Georgia dan University of Alabama. 6. Associated Press versus Walker; pada 30 September 1962 terjadi aksi kekerasan di kampus University of Mississippi. Walker, pensiunan perwira tinggi Angkatan Darat, oleh kantor berita AP, yang hadir dalam kerusuhan tsb. dituduh memprovokasi massa sehingga menjadi brutal.
82
7. Harte-Hanke Communications Inc. Versus Connaughton; Harian Journal News edisi 1 Nopember 1983 menuduh Daniel Connaughton, salah satu kandidat dalam pemilihan Municipal Judge of Hamilton, menggunakan caracara yang kotor untuk memenangkan pemilihan hakim. Berita itu dinilai fitnah dan mengandung unsur actual malice. 8. Masson versus New Yorker Magazine, Inc. Jeffrey Masson, Guru Besar sansekerta di Univrsitas Toronto, suatu ketika bekerja di Pusat Arsip Sigmund Freud, London. Janet Malcolm, penulis The New Yorker, memberitahukan rencananya untuk menulis hubungan Masson dengan Pusat Arsip. Masson setuju untuk diwawancarai. Wawancara per telpon itu berlangsung beberapa hari. Hasilnya dimuat di majalah tsb. edisi Desember 1983. Masson menggugat karena dari 6 kutipan yang dibuat Malcolm, hanya satu yang benar. Lainnya dinilai menyudutkan dan mencemarkan reputasinya sebagai ilmuwan. 9. Weinberger versus Maplewood Review. Richard Weinberger,
Low Review, Fakulla.s Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
Tjipta Lesmana: Dclik Penghinaan dan Beberapa Aspeknyci
pelatih football di Tartan High School, suatu hari dipecat. MIngguan Mapplewood Review yang terbit di kota Minneapolis dalam edisi Januari 1997 menulis Richard dikenal '''For his temper, inappropriate comments and foul language". Merasa difitna, Weinberger menggugat mingguan ltu. 10. Philadelphia Newspapers, Inc. Versus Hepps. Maurice Hepps adalah pemegang saham mayoritas General Programming Inc. yang memiliki chain of stores. Harian Philadelphia Inquirer sejak Mei 1975 sampai Mei 1976 menurunkan 5 tulisan yang intinya menuduh Hepps mempunyai koneksi dengan sejumlah organisasi kriminal dan memanfaatkan koneksinya itu untuk mempengaruhi pemerintah Philadelphia. Hepps menggugat koran tsb. Setelah semua data terkumpul, dilakukan kategorisasi. Data berupa putusan pengadilan dan pendapat hakim/wartawan/pihak-pihak terkait dikelompokkan menurut aspek-aspek delik pers yang sudah diidentifikasi,
yaitu hak jawab, hak tolak, sumber berita, kutipan, kepentingan umum, kebenaran, fakta dan opini,publicfigure, check and balance, kelalaian/ kesengajaan. Setelah kategorisasi data, dilakukan analisis komparatif. Dibuat sebuah matrix besar yang terdiri atas (a) kolom (columns) berisikan aspekaspek delik pers, dan (b) bans (rows) yang berisikan nama-nama perkara pers. Setelah itu diisi setiap kotakyang ada, jika memang ada relevansinya. Jika tidak ada relevansi (misalnya, kasus pers yang bersangkutan sama sekali tidak mempersolakan sumber berita atau percampuran antara fakta dan opini), maka kotak tadi dikosongkan. Analisis data difokuskan untuk menjawab pertanyaan: (a) Siapa yang memenangkan perkara, dan (b) aspek delik mana yang dipersoalkan.
VII.
Hasil Penelitian
Di Indonesia, pers lebih sukar memenangkan perkara di pengadilan Dari 10 kasus yang diteliti, 8 dimenangkan oleh Penggugat pada pengadilan tingkat I. Hanya satu kasus yang dimenangkan secara "telak" oleh pers, yaitu dalam perkara "Humanika la wan Majalah Tempo." Pada kasus
Law Review. Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vot VI, No. I. Ju/i 2006
83
Tjipta Lesmana . Delik Penghinaan dan Bebeiapa
"Tomy Winata lawan majalah Tempo", baik perdata maupun pidana, tingkat I dimenangkan olehTomy; sedang pada tingkat II Tempo memenangkan perkara perdatanya. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta sebenarnya belum sampai pada penelitian atas substansi perkara. Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri pada perkara perdata "Tomy lawan majalah Tempo", karena menurut Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta, Penggugat (Tomy) mestinya menggunakan Hak Jawa terlebih dahulu, sebelum mengajukan gugatan hukum. Dalam perkara "Texmaco lawan Kompas", Penggugat mencabut gugatan tanpa syarat dalam proses persidangan, sehingga perkara pun dianggap selesai {the case is closed). Kekalahan pers umumnya disebabkan berita atau laporan yang ditulis dinyatakan terbukti tidak faktual, bahkan bersifat mencemarkan nama baik Penggugat. Dalam perkara "Tomy lawan majalah Tempo" (pidana), terdakwa Bambang Harymurti tetap menolak membuka sumber berita (tentang proposal pembangunan pasar Tanah Abang yang dikatakan sudah dimasukkan Tomy pada Pemerintah 84
Aspeknya.
Daerah Jakarta), meskipun Hakim sudah memerintahkannya untuk mengungkap sumber tsb. Untuk memenangkan gugatan perkara penghinaan, Penghinaan harus membuktikan ada unsur kesengajaan di pihak Tergugat. Dalam perkara "Texmaco lawan Tempo", "Akbar lawan Rakyat Merdeka", dan Maulani lawan Sriwijaya Post", unsur kesengajaan untuk menjatuhkan martabat Penggugat dinyatakan terbukti. Tapi, dalam perkara "Humanika lawan majalah Tempo", unsur kesengajaan diyakini tidak terbukti, sehingga Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat dan membebaskan Tergugat. Yang unik adalah perkara "Wiranto dkk. lawan Jawa Pos". Tergugat harian "Siwalima" dibebaskan hakim, padahal perkara ini bermula dari berita di koran tsb. Pertimbangan hakim, "Tergugat III {Siwalima) dalam perbuatannya telah memuat sumber berita secara jelas dan memuat hak jawab". Sejak awal persidangan, "Siwalima" tidak bersedia hadir karena merasa tidak bersalah. Berita yang dilansimya semata-mata kutipan dari berita yang sebelumnya sudah dipublikasikan oleh "Jawa Pos" melalui
Law Review. Fakullas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
Tjiplti Lesmana . Delik Penghinaan dan Beberapa
internet. Maka, Majelis Hakim akhirnya hanya menghukum "Jawa Pos" selaku Tergugat II dan Thamrin Amagola sebagai Tergugat I. Perkara "Wiranto dkk. lawan Jawa Pos", mungkin, ada kemiripan dengan perkara "Jewell versus Atlanta Journal". Jewell tidak berhasil meyakinkan pengadilan untuk menghukum "Atlanta Journal", karena koran ini berkelit bahwa berita yang dimuatnya bersumber dari instansi resmi, yaitu FBI. FBI kemudian mengakui kekeliruannya sebab terlalu cepat menuduh Jewell sebagai "suspect" dalam pemboman di Centennial Olynpic Park, Georgia. FBI juga menyatakan permintaan maafnya kepada Jewell. "Atlanta Journal" minta supaya Jewell menggugat FBI, sebelum mengajukan gugatan ganti rugi pada pihaknya. Tapi, Jewell tidak mau menuntut FBI, karena percaya bahwa dia takkan menang. Yang tidak kalah unik, sejumlah media lain - seperti NBC, CNN, dan New York Post yang mengutip berita dari "Atlanta Journal" kemudian bersedia membayar ganti rugi pada Jewell untuk mengindari perkara di pengadilan karena gugatan Jewell.
Aspeknya
Mengenai somasi Panglima TNI atas hanan Washington Post, harian ini sejak awal besikeras bahwa berita yang dilansirnya sudah memenuhi kaidah jumalistik; bahwa pihak TNI sudah diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi, yaitu dengan dimemuatnya bantahan Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin selaku Kepala Pusat Penerangan TNI; bahwa WP tidak menuduh secara tegas keterlibatan TNI dalam penyerangan bersenjata atas karyawan T Freeport Indonesia dTimika. Toh, Panglima TNI dan TNI sebagai instansi merasa tercermar namanya dengan berita; seolah-olah serangan tsb. sejak awal memang sudah dirancang oleh TNI. Maka, pihak TNI mengancam akan membawa perkaa ini ke pengadilan, j ika pihak WP tidak meminta maaf dan mencabut beritanya. Somasi TNI tidak berlanjut ke pengadilan, tapi berhasil diselesaikan secara damai ketika WP akhirnya menyatakan kesediaannya untuk mencabut beritanya dan menyatakan penyesalannya pada TNI atas publikasi berita itu. Berbeda dengan Indonesia, delik pers di Amerika umumnya sulit dimenangkan oleh pihak Penggugat,
Law Review, Fakullas Hukum Universitas Pelit, Harapan, Vol VI. No. I. Juli 2006
85
Tjipta Lesmana : Dclik Penghinaan dan Beberapa Aspeknya
terutamajika Penggugat adalah/?«/>lie figure. Tapi 10 kasus yang diteliti, hanya 4 kasus yang dimenangkan pers, yaitu dalam perkara "NYT versus Sullivan", "Coughlin versus Westinghouse", "Richard Jewell versus Atlanta Journal", dan "Associated Press versus Walker". Dalam perkara "Milkovich versus Lorain Journal", Mahkamah Agung Amerika membatalkan putusan Mahkamah Agung Ohio yang memenangkan Lorain Journal. Menurut Mahkamah Agung federal, opini yang salah dan bersifat mencemarkan reputasi pihak ketiga tidak dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi. Oleh karena itu, pers yang mempublikasikannya dapat dihukum. Substansi perkara "Curtis Publishing Co. veus Butts" mempunyai kemiripan dengan "Somasi TNI terhadap Washington Post", yaitu pers sebelumnya sudah diberitahukan bahwa berita yang hendak dimuatnya tidak benar dan merugikan pihak ketiga. Toh, oleh pers, berita itu tetap dimuat.
untuk mengungkapnya dan Tergugat tidak bersedia, hakim dapat menjebloskannya dalam penjara. Itulah yang terjadi dalam perkara "Tomy Winata lawan majalah Tempo" (pidana) dan "Weinberger versus Mapplewood Review". Wally Wakefield, reporter harian Mapplewood Review juga diancam hukuman penjara oleh Mahkamah Agung Minnesota jika ia tetap menolak membuka identitas sumber beritanya yang menuduh Weinberger seorang pelatih football yang berkarakter buruk.
Mengenai hak tolak, baik hakim di Indonesia maupun di Amerika tampaknya sama-sama berpendapat bahwa hak itu tidak mutlak sifatnya. Jika hakim memerintahkan Tergugat
Perkara "NYT versus Sullivan" diakui sebagai perkara yang bersifat landmark. Sejak saat itu, Penggugat yang figur publik dibuat sulit untuk memenangkan gugatan libel-nya, kecuali jika ia mampu mengajukan bukti-bukti kepada hakim bahwa perbuatan Tergugat sesungguhnya dilakukan dengan sengaja untuk merusak martabatnya atau apa yang dikenal dengan istilah actual malice. Pada 3 (tiga) perkara yang diteliti, yaitu "Curtis Publishing Co. versus Butts", "Harte-Hanks Communications versus Connaughton" dan "Masson versus New Yorker Magazine", para Penggugat berhasil membuktikan unsur
86
Silas Pelila Harapan,
Law Review. Fakullas llukitm
llniv
Vol VI. No I. Juli 2006
Tjipta Lesmana : Dclik Penghinaan dun Beberapa Aspeknyu .
actual malice di pihak Tergugat, sehingga pengadilan memenangkannya.
VIII. Analisis Data/Diskusi Berdasrkan hasil temuan data, dibawah ini dilakukan analisis tentang aspek-aspek delik pers antara Indonesia dan Amerika. a. Hak jawab: Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempermasalahkan hak jawab. Menurut Majelis, Pasal 5 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers hanya mengatakan bahwa "Pers wajib melayani hak jawab". Sedang di pihak masyarakat, penggunaan itu tidak wajib. Artinya, apakah Penggugat (dalam hal ini Tomy Winata) menggunakan atau tidak menggunakan hak jawabnya, hal itu sepenuhnyadiserahkan kepada Penggugat. Namun, jika ia tidak menggunakan hak jawab, hal itu tidak berarti ia tidak boleh membawa pers ke pengadilan. Pendapat ini tidak disetujui oleh Majelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi DKI. Menurut Pengadilan Tinggi, seseorang harus
terlebih dahulu menggunakan hak jawabnya, sebelum mengajukan suatu gugatan hukum. Pada kasuskasus pers di Amerika yang dianalisis, tidak ada satu pun yang mempersoalkan hak jawab. Tapi, dalam perkara "Cannon versus Mathis" di Georgia, Mahkamah Agung negara bagian Georgia dalam putusannya pada 25 Nopember 2002 mengemukakan bahwa Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan hukum, sebab ia belum menggunakan hak jawabnya (www.phillipsnizer.com) b. Hak tolak: Baik hakim di Indonesia maupun Amerika mempunyai pandangan yang sama, yaitu wartawan harus mengungkap identitas sumber berita jika diperintahkan oleh hakim. Penolakan atas perintah ini dapat berakibat sanksi berupa hukuman penjara. c. Kepentingan umum: Pasal 310 ayat (3) KUHP menyatakan perbuatan publikasi tidak dapat dituntut jika dilakukan demi kepentingan umum. Apa batasan kepentngan umum, hanya hakim yang berkewenangan menetapkannya. Di Amerika, unsur
Law Review. Fakullas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I. Juli 2006
87
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Behcnipa Aspeknya .
kepentingan umum dan tokoh public selalu mendapat perhatian khusus hakim dalam perkara pers. Namun, yang lebih diutamakan dalam pembuktian ialah unsure actual malice. Kalau pun unsur actual malice dapat dibuktikan, perbuatan mempublikasi tulisan yang terkait dengan kepentingan umum sekali pun tetap dapat dihukum, jika tulisan tsb. telah merusak reputasi seseorang. d. Sumber berita: Kredibilitas sumber berita sangat penting bagi pers dan harus dibuktikan di dalam peradilan. Yang sering dilakukan pers kita ialah menggunakan jargon "Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya", atau "Sumber-sumber militer mengatakan" (seperti dalam kasus Djaja Suparman terkait peristiwa dengan bom Bali). Penggunaan kalimat seperti ini lemah sifatnya dan harus dibuktikan dalam persidangan. Dalam perkara "Maulani lawan Sriwijaya Post", pihak SP gagal meyakinkan hakim siapa sesungguhnya sumber berita itu. Maka, berita itu dikatakan berita bohong. Dalam perkara "Tomy Winata lawan majalah Tempo", 88
hakim pun menuduh Tempo memfabrikasi berita, sebab sumbernya tidak jelas. Dalam perkara "Harte-Hanks Communications versus Connaughton", sumber diketahui memelintir informasi yang diberikan kepada pers. Maka, hakim percaya ada unsur kesengajaan di phak pers untuk mencemarkan nama baik Penggugat, apalagi wartawan menolakmelakukan verifikasi. e. Public figure: Di Indonesia, jika Penggugat adalah pejabat atau orang "penting", pers sepertinya dalam posisi lemah untuk memenangkan perkaranya. Dan hukumannya diperberat seperti tercantum dalam KUHP. Hal ini terbalik dengan kenyataan di Amerika. Public figure di Amerika, khususnya pejabat pemerintah atau pejabat Negara, memang dipersulit untuk memenangkan gugatan hukum. Pertimbangannya, masyarakat berhak mengontrol pemerintah dengan fungsi watchdog-nya yang amat beken itu, termasuk sepakterjang setiap pejabat publik. Yang menarik, di Amerika, seseorang awam bisa tiba-tiba menjadi tokoh
Law Review, Fakultas Hukum Vniversitas Pelila Harapan, Vol VI, No.l, Juli 2006
Tjipta Lesmcma . Delik Penghinaan dan Beberapa Aspeknyci
publik seperti dalam kasus "Richard Jewell versus Atlanta Journal". Jewell yang semula hanya seorang petugas keamanan yang tidak dikenal publik, tiba-tiba wajahnya sering muncul di layar televisi pasca pengeboman di Centennial Olympic Park, dan namanya banyak disebut-sebut di media cetak. Maka, hakim pub berpendapat Jewell layak dikategorikan "public figure", f. Kutipan: Di Amerika, jika wartawan salah kutip secara sengaja, dan tulisan itu kemudian terbukti menghina seseorang, maka ia dapat dihukum. Ini terjadi dalam perkara "Masson versus New Yorker Magazine". Penulis yang mewawancarai Masson ternyata sengaja memfabrikasi sejumlah kutipan, sedemikian rupa sehingga Masson merasa dirugikan. Apakah dalam hal berita dikutip dari media lain yang kemudian menimbulkan masalah, media tsb. dapat dituntut? Hakim di Indonesia tampaknya tidak mempunyai pandangan yang seragam. Dalam kasus "Maulani lawan Sriwijaya Post", berita tentang Z.A. Maulani itu sebetulnya pernah dimuat oleh Law Review, Fakullas Hukum Vniversitas
majalah Tempo, walaupun tidak persis sama. Toh, hakim tetap menghukum SP. Tapi, dalam kasus "Wiranto dkk. lawan Jawa Pos", harian "Siwalima" dibebaskan, sebab berita yang dilansirnya semata-mata diambil dari Jawa Pos dan dalam berita itu disebutkan secara jelas sumbernya. Dalam kasus "Richard Jewell lawan Atlanta Journal", pers mengutip sumber resmi, yaitu FBI. Tapi kemudian FBI mengaku keliru terlalu cepat menuduh Jewell sebagai pelaku pengeboman. Hakim tidak mempermasalahkan pengakuan salah FBI ini. Yang dicecer oleh hakim, Jewell diyakini seorang public figure, sebab tibatiba saja ia diwawancarai oleh banyak media massa. g. Kebenaran: Baik hakim di Indonesia maupun di Amerika sama-sama berpendapat bahwa dalam delik penghinaan, yang paling penting dibuktikan adalah (a) kebenaran dari berita yang dipersoalkan, dan (b) apakah terdapat unsur ksengajaan untuk menghina seseorang atau tidak. Jika Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran beritanya, maka ia
Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
89
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Bebei •qpa Aspeknya
dalam posisi sulit; apalagi jika berita itu terbukti merusak martabat seseorang. Perbedaan antara Indonesia dan Amerika dalam hal ini terjadi pada siapa yang harus membuktikannya. Di Amerika, pembuktian lebih sering diarahkan pada Penggugat. Artinya, Penggugat yang harus membuktikan bahwa tulisan itu salah, atau tidak faktual. Sebaliklnya, di Indonesa, wartawan-lah yang lebih sering diminta untuk membuktikan kebenaran tulisan yang dibuatnya. h. Check and balance: Unsur ini adakalanya dinyatakan untuk melihat apakah unsur kesengajaan terbukti atau tidak. Dalam perkara "Maulani lawan Sriwijaya Post", Majelis Hakim percaya ada unsur kesengajaan di pihak SP, karena wartawannya tidak mau melakukan verifikasi atas informasi yang dimilikinya. Hal yang sama terjadi pada perkara "Masson versus New Yorker Magazine". Penulis yang menuliskan hasil wawancaranya dengan Masson terbukti tidak mau melakukan recheking terlebh dahulu, padahal banyak bagian wawancaranya 90
yang sama sekali bukan ucapan Masson. 1. Kesengajaan: Hakim di Amerika yakin unsur kesengajaan atau kelalaian dapat dibuktikan, yaitu dari penelitian atas proses pembuatan berita. Dalam perkara "Maulani lawan Sriwijaya Post", Majelis Hakimjuga meneliti proses pembuatan berita melalui keterangan saksi-saki kunci. Dan Majelis Hakim akhirnya yakin bahwa berita itu memang mengandung unsur kesengajaan untuk mencemarkan nama baik Penggugat. IX. Kesimpulan dan Saran Kebebasan pers di Indonesia pasca-Orde Baru mengalami perubahan yang dramatis. Pers Indonesia tiba-tiba mengalami kembali kebebasan seperti pada era 1950-an. Tiga pilar bebas terkendali - yaitu izin terbit, sensor dan bredel - berhasil dilenyapkan. Undang-Undang Pers (UU No 40 tahun 1999) pun disederhanakan dan sangat bebas sifatnya. Delik pers yang secara teoritikterdapat 5 jenis (Senoadji, 1997) hanya 2 (tua) yang dimasukkan dalam UU tsb. yaitu delik pelanggaran
Law Review, Fakultas Hukum I Ini rsttas Pelita Harapan. Vol. VI, No I, Juli 2006
Tjipta Lesmana : Delik Penghinaan dan Bebcrapa
terhadap norma agama dan norma susila. Tidak ada ketentuan tentang bagaimana sikap kita terhadap pembocoran rahasia negara, terhadap perbuatan agitasi melawan pemerintah yang sah, atau memprovokasi pemberontakan bersenjata sehingga integritas bangsa dan negara terancam, atau membuat berita bohong sehingga menguntungkan musuh negara, atau membantu secara tidak langsung gerakan terorisme. Angin kebebasan pers yang meniup secara tiba-tiba itu pun melahirkan segala macam eksesnya. Masyarakat tidak begitu senang dengan fenomena pers yang terlampau bebas dan masyarakat pun mulai melawan, jika merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Perlawanan yang dimaksud ialah dengan menggugat wartwan atau penerbitan persnya di pengadilan, sesuai asas hukum yang kita junjung bersama. Pertanyaannya: Apakah kebebasan pers akan terancam jika semakin banyak wartawan dan/atau penerbitan pers yang diseret ke pengadilan? Pertanyaan yang sangat fundamental ini, sesungguhnya, sudah diperdebatkan 200 tahun yang silam di
Aspeknya
Amerika, bahkan jauh sebelum Amerika merdeka dari belenggu kolonial Inggris. Dan pertanyaan itu pun sebetulnya sudah dijawab tuntas oleh para pemikir kenamaan dan para praktisi pers Amerika. Salah satu jawaban yang kiranya sangat menarik keluar dari mulut James Franklin yang berkata (Altschull, 1990: 108): "The purpose of the press is to promote truth. Those who publish lies are reprehensible and deserve to be punished." Setengah abad kemudian, yaitu pada 1789, saudaranya, Benjamin Franklin, menyempurnakan pendapat di atas dengan mengatakan: "If press freedom was supposed to mean the liberty for editors to slander one another maliciously, then the legislature ought to limit thaty liberty, but if ie meants the freedom to discuss the propriety of public measures, and political opinion, then let us have as muc ot it as you please." Mahkamah Agung Amerika dalam perkara "Associated Press lawan Walker" (1967) mengingatkan seluruh jajaran pers bahwa "A business is not immune from regulation because it is an agency of the press. The publisher of a newspaper has no spe-
Law Review. Fakullas Hukum llniversitas Pelila llarapan. Vol VI. No. I, Juli 2006
91
Tjipta Lesmaiui
Delik Penghinaan dan Bebei apa Aspekiiya
cial immunity from the application of general law. He has no special privilege to invade the rights and liberties of others The right to communicate information of public interest is not unconditional, (berkas perkara "Associated Press versus Walker) Orang-orang pers Amerika umumnya dapat menerima pendapat Franklin bersaudara di atas' juga pendapat Mahkamah Agung Amerika dalam perkara "Associated Press lawan Walker". Intinya, kebebasan pers harus dijunjung tinggi karena penting dalam kehidupan demokrasi, sehingga tidak boleh dirintangi oleh kekuasaan apa pun. Namun, kebebasan itu harus dipergunakan penuh tanggungjawab. Kebebasan itu tidak mutlak sifatnya. Jika pers membuat kesalahan, misalnya dengan sengaja memfitnah orang lain melalui berita ata tulisannya, mau tidak mau pers yang bersangkutan harus berurusan dengan hukum. Pers tidak dapat kebal hukum. Dan peradilan terhadap wartawan atau pers karena kesalahan berita yang ditulisnya sama sekali tidak akan mengancam kebebasan pers. Peradilan atas wartawan hendaknya mengingatkan seluruh wartawan agar lebih 92
berhati-hati dalam menjalanklan tugasnya, dan tidak menabrak ramburambu etika serta hukum yang ada.
Referensi Altschull, J. Herbert. From Milton to McLuhan. The Ideas Behind American Journalism. New York: Longman, 1990. Dennis, Everette E., John C. Merrill. Media Debates. Issues in Mass Communication. New York: Longman, 1981. Hocking, William Ernest. Freedom of the Press. A Framework of Principle. Chicago The University of Chicago Press, 1947. Kirtley, Jane E. "Criminal Defamation: An Instrument of Destruction", a Background Paper. Minneapolis: University of Minnesota, November 18,2003. Lesmana, Tjipta. "Wartawan Bukan Profes Eksklusif". Hanan Kompas, 23 Oktober 2003. Merritt, Davis Buzz. Public Journalism and Public Life. Mahwah, New Jersey:
L°w Review. Fakultas Hukum Uni •ersilas Pelita Haiapan. Vol. VI. No I. Juli 2006
Tjipla Lesmana : Delik Penghinuan dan Beherapa Aspeknya .
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 1998. Mott, George Fox, et al. New Survey of Journalism. New York: Barnes & Noble, Inc., 1958. PWI 55 Tahun. Menegakkan Profesionalisme & Etika Pers di Era Multimedia. Jakarta: Panitia
Syamsuddin, Amir. "Pers dan Pengadilan". Harian Kompas, 18 September 2004. Swindler, William F. Problems ofLaw in Journalism. Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1973.
Pusat HUT PWI 2001, 2001. Seno Adi, Oemar. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Erlangga, 1977. Siebert, Fred, et al. Four Theories of the Press. Chicago: The University of Chicago Press, 1957. Sihombing, Uli Parulin. "Pemidanaan Pers, Pelanggaran HAM". Harian Kompas, 17 September 2004.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia, 1990 Sudibyo, Agus. "Hukum Tak Berpihak kepada Pers". Harian Kompas, 21 September 2003.
Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelila flarapan. Vol. VI, No I, Juli 2006
93