BAB IV DELIK ADAT DAN POLA PENYELESAIAN DELIK ADAT DI BALI
1. Desa Pekraman sebagai Lembaga Sosial Relegius Di dalam pustaka mengenai hukum adat yang berisikan pandangan menyeluruh tentang hukum adat, penjelasan tentang masyarakat adatnya pasti dapat ditemukan. Hal ini merupakan suatu pertanda, bahwa penjabaran prihal masyarakat hukum adat diperlukan sebelum dilanjutkan dengan pembahasan tentang hukum positif dari masyarakat yang bersangkutan. Terhadap permasalahan ini, oleh Soepomo dikemukakan
bahwa, untuk mengetahui hukum, maka terutama perlu
diselidiki buat waktu apabila di daerah manapun juga, sifat dan susunan dari badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup seharihari.113 Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas suatu dogmatik, melainkan harus berdasarkan kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.114 Dengan demikian, menguraikan masyarakat hukum adat menjadi relevan. Selain hal tersebut di atas, persekutuan hukum adat bukan semata-mata terletak pada eksistensinya sebagai wadah bagi kelangsungan
hidup adat dan hukum adat saja, melainkan
kelihatan pula pada komponen-komponen atau unsur-unsur yang merupakan potensi
113 114
Soepomo 1983. Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 49 Ibid.
111
utama yang dimiliki oleh persekutuan hukum tersebut, sehingga hukum yang ada benar-benar berfungsi dengan baik. Berkenaan dengan masyarakat hukum adat, Ter Haar menulis : di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup, dimana golongan-golongan yang bertindak laku sebagai “kesatuan” terhadap dunia luar, lahir dan bathin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia itu, juga mempunyai “pengurus sendiri” dan mempunyai “harta benda” milik keduniawian dan milik gaib. Golongan-golongan yang demikianlah bersifat persekutuan hukum.115 Bushar Muhammad mengemukakan, perumusan masyarakat hukum sebagai berikut : masyarakat hukum (persekutuan hukum) adalah : 1) kesatuan manusia yang teratur; 2) menetap di suatu daerah tertentu; 3) mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamalamanya.116 Mengungkapkan keberadaan hukum adat dalam kehidupan sosial, pada dasarnya sama dengan mempersoalkan tentang diikutinya prilaku (ajeg) dalam kehidupan bersama, dan mencari jawaban untuk pertanyaan : “mengapa mereka mengikuti prilaku itu ?” Secara sederhana persoalan tersebut dapat dikaji melalui keberadaan manusia dalam kehidupan bersama.117 Bentuk kehidupan bersama itu 115
Periksa Bushar Muhammad 1981. Asas-asas Hukum Adat, Cetakan Ketiga, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 30. Bandingkan pula dengan Soebakti Poesponoto 1987. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Cetakan Kesembilan, Jakarta, Pradnya Paramita, hal.6 116 Ibid 117 Soleman B. Taneko 1987. Hukum Adat, Bandung, Eresco, hal. 74
112
adalah masyarakat, dimana warganya hidup bersama untuk jangka waktu lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat pada hakikatnya merupakan sistem sosial yang menjadi wadah pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok. Soepomo menulis, bahwa persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar menurut dasar susunannya, yaitu : 1) yang berdasar pertalian suatu keuturunan (geneologis); dan 2) yang berdasar lingkungan daerah (territorial). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, ada pula tata susunan rakyat yang berdasar pada kedua faktor tersebut, yaitu faktor geneologis dan faktor territorial.118 Persekutuan hukum yang didasarkan atas pertalian keturunan (geneologis) adalah : persekutuan hukum yang keanggotaannya didasarkan atas Persekutuan hukum semacam ini dibagi atas 3 golongan, yaitu
keturunan.
a) pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal) b) pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) c) pertalian darah menurut manurut garis bapak dan ibu (parental).119 Persekutuan hukum yang didasarkan atas lingkungan daerah, adalah : persekutuan hukum yang keanggotaannya tergantung dari tempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan atau tidak. Persekutuan hukum yang didasarkan atas lingkungan daerah ini juga terdiri atas 3 golongan, yaitu : a) persekutuan desa b) persekutuan daerah c) persekutuan dari beberapa desa.120 Pembahasan mengenai masyarakat hukum adat memberikan kesimpulan, bahwa di Indonesia terdapat keragaman dalam dasar dan susunan (bentuk) 118 119 120
Soepomo., opcit., hal 55 - 59 Soepomo., opcit , hal. 55 - 57 Soepomo., opcit., hal. 57
113
masyarakat hukum adat, yang sekaligus juga merupakan premis bahwa di Indonesia terdapat keragaman hukum adat yang diperlakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Van Vollenhoven, seperti dapat ditelaah pada banyak pustaka, telah menyusun wilayah hukum adat Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat. Ke 19 lingkungan hukum adat itu adalah : 1) Aceh, 2) Gayo-Alas dan Batak, 3) Minangkabau, Mentawai, 4) Sumatera Selatan, Enggano, 5) Daerah Melayu, 6) Bangka dan Beliton, 7) Kalimantan, 8) Minahasa, Sangir, Talaud, 9) Gorontalo, 10) Toraja, 11) Sulawesi Selatan, 12) Kepulauan Ternate; 13) Ambon, Maluku, Kepulauan barat daya, 14) Irian, 15) Timor dan kepulauan sekitarnya, 16) Bali dan Lombok, 17) Jawa Tengah dan Jawa Timur, 18) Surakarta dan Yogyakarta, dan 19) Jawa barat. Di dalam membuat klasifikasi lingkungan hukum adat itu, Van Vollenhoven terpengaruh oleh pendapat para sarjana bahasa.121 Klasifikasi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dipergunakan sebagai hipotesis kerjanya. Atas dasar inilah kemudian ditinjau secara seksama ciri-ciri khas setiap lingkungan hukum adat yang didasarkan pada asumsi bahwa suatu daerah yang tidak memiliki ciri-ciri yang sama dengan 121
Soerjono Soekanto 1981. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta : Kurniaesa, hal.54. Dasar yang dipakai oleh Van Vollenhoven adalah klasifikasi bahasa-bahasa Astronesia, bahasa-bahasa Indonesia, bahkan bahasa-bahasa yang ada di Madagaskar sampai lautan teduh. Mula-mula Van Vollenhoven mengadakan analisa terhadap ciri-ciri khusus yang ada di setiap lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap sistem-sistem hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah yang semula diidentifikasikan sebagai tempattempat, yang secara hipotesis diberikan nama lingkungan hukum adat. Sistem-sistem hukum adat yang tidak mempunyai ciri-ciri tersebut kemudian dikeluarkan serta diberi klasifikasi tersendiri yang selanjutnya merupakan suatu lingkungan hukum adat tersendiri.Metode demikian kemudian menghasilkan sebanyak 19 lingkungan hukum adatyang kemudian dianalisa kembali oleh muridmuridnya. Terhadap masing-masing lingkungan hukum adat tersebut Van Vollenhoven melakukan suatu analisa deskriptif dengan sistematika antara lain : 1) tempat menemukan hukum adat lingkungan hukum adat masing-masing; 2) ruang lingkup lingkungan hukum adat yang bersangkutan; 3) bentukbentuk masyarakat hukum adat; 4) tentang pribadi; 5) pemerintahan, peradilan dan pengaturan; 6) hukum adat masyarakat : a) hukum kekeluargaan adat; b) hukum perkawinan adat; c) hukum waris adat; d) hukum tanah adat; e) hukum utang piutang adat; f) hukum delik adat; g) sistem sanksi; h) perkembangan hukum adat. Lebih jauh lihat Soeerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko 1983. Hukum Adat Indonesia, Yakarta, Rajawali, hal 50 dan 52
114
daerah tertentu, dikeluarkan dan kemudian dijadikan lingkungan hukum adat yang lain. Itulah yang disebut “rechtskring”, yang kemudian dapat dijabarkan lagi ke dalam “rechtsgouwen”.122 Setiap lingkungan hukum adat mempunayi kerangka sistem hukum adat yang khas, yang berbeda dengan lingkungan hukum adat yang lain.123 Apa yang dilakukan oleh Van Vollenhoven, menurut Soekanto, memberikan kepada kita suatu dasar untuk menyelidiki hukum adat lebih jauh. langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan jalan meneliti lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungannya serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhi keadaan dan perkembangan hukum adat.124 Apa yang dikemukakan oleh Soekanto sangat penting untuk diperhatikan, karena seperti apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, bahwa hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidaklah terlepas dari nilai-nmilai yang berlaku dalam suatu masyarakat dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang ada pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.125 Pendekatan lain, yang mungkin juga dapat dipergunakan dalam menelaah hukum adat, adalah dengan melalui pendekatan suku bangsa. Pemikiran ini dilandaskan oleh konsep yang dikemukakan Selo Soemardjan yang mengemukakan bahwa “kalau masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia yang hidup bersama
122 123 124 125
hal. 22
Ibid. Soerjono Soekanto 1983. Penegakan Hukum, Jakarta, Binacipta, hal.54 Ibid., hal.55 Lihat pula Soerjono Soekanto 1983. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali,
115
cukup lama, sehingga menciptakan kebudayaan, maka di Indonesia saat ini ada banyak masyarakat. Tiap-tiap suku bangsa adalah masyarakat tersendiri.126 Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara, yang secara teknis disebut ethnic group atau ethnos, yang menurut Ch. Winick, merupakan “a group of people. Linked by both nationality and race. These bonds are ussualy unconsiously accepted by the members of the group, but outsiders observe the homogeneity”.127 yang menurut Th. F. Hoult, ciricirinya antara lain : a) ...totally homogeneous in race and culture b) whose members regard one another as kindred in a broad c) sense, almost always a relatively small and isolated tribe or clan; now ussualy regerded as an archaic term.128 Koentjaraningrat mengemukakan, bahwa suku bangsa merupakan kesatuankesatuan manusia atau kolektiva-kolektiva yang terikat akan kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran-kesadaran itu sering diperkuat (tetapi tidak selalu) oleh kesadaran bahasa juga.129 126 Sebagaimana dikutip Soleman B. Taneko., ibid., hal. 46. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa dalam usaha membentuk “single society” satu masyarakat Indonesia dari “plural society” yang ada sekarang, kita harus mampu membedakan 3 macam kebudayaan, yaitu : 1) super culture, yaitu kebudayaan satu buat seluruh masyarakat Indonesia, misalnya, satu bahasa Indonesia, satu filsafat dasar; 2) culture, yaitu kebudayaan yang semenjak dahulu dimiliki oleh setiap suku bangsa; dan 3) sub-culture yaitu, variasi dari kultur yang dimiliki tiap-tiap kelompok atau golongan dalam setiap suku bangsa, misalnya “dialek bahasa”. Nyatalah bahwa Selo Soemardjan menekankan pada faktor perbedaan “culture” dari tiap-tiap suku bangsa yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi tersebut di atas, kemudian diperluas dengan mengambil kriteria ciri-ciri struktur sosial dan kebudayaan sehingga menimbulkan klasifikasi bentuk-bentuk masyarakat, antara lain : 1) masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana; 2) masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya; dan 3) masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra-modern dan modern. Lebih jauh lihat Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko., ibid. hal.40 - 43 127 Soerjono Soekanto 1981., op.cit., hal.53 128 Soerjono Soekanto 1981., loc.cit 129 Soerjono Soekanto 1983., loc.cit
116
Dari paparan tentang lingkungan hukum adat maupun suku bangsa tersebut di atas, persoalannya adalah, apakah masih relevan membicarakan lingkungan hukum adat maupun suku bangsa dalam menelaah hukum adat ? Pada dasarnya relevansi untuk membicarakan kedua hal tersebut dalam studi hukum adat terletak pada kegunaan dan kenyataan yang ada. Kegunaannya adalah sebagai alat bantu di dalam menemukan hukum adat yang relatif hampir seragam. Sedangkan mengenai suku bangsa, realitas menunjukkan keberadaannya di dalam masyarakat Indonesia.130 Deskripsi suasana suku bangsa menarik untuk dikemukakan. Suasana suku bangsa merupakan perwujudan daripada kegiatan-kegiatan para warga suku bangsa yang dilandaskan atas pranata-pranata sosial yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, komunitas dan dalam hubungan-hubungan kekerabatan serta dalam berbagai upacar ritual sosial keagamaan. Dalam interaksi sosial, para pelakunya menggunakan identitas yang sesuai, yang berdasar atas sistem penggolongan sosial dan peranan yang ada dalam kebudayaan suku bangsa. Masalah yang lebih penting lagi adalah bagaimana mempelajari suku bangsa- suku bangsa tersebut secara sistematis dan analitis, lebih-lebih dalam hubungannya untuk memahami keadaan hukum masingmasing. Bahwa di dalam mengungkap keberadaan hukum adat dalam kehidupan sosial, pada dasarnya sama dengan mempersoalkan prilaku (ajeg) dalam kehidupan bersama dan mencari jawaban untuk pertanyaan, “mengapa mereka mengikuti prilaku
130
Soleman B. Taneko., op.cit., hal.50
117
itu ?”, yang secara sederhana persoalan tersebut dapat dikaji dari keberadaan manusia dalam kehidupan bersama. Berbicara tentang keberadaan hukum adat di Bali, pembicaraan tidak dapat dilepaskan dengan persekutuan hukum adat sebagai suatu lembaga ataupun lembaga adat lain sebagai wadah pasang surutnya adat dan hukum adat yang selanjutnya juga sebagai faktor penunjang kehidupan hukum adat itu sendiri. Sehubungan dengan persoalan ini T. Raka Dherana menulis : Kata adat dalam istilahnya di Bali dikenal dalam bentuk kata ‘dresta’, ‘sima’, ‘cara’ dan lain sebagainya. Semua ini dipelihara sebagai suatu hal yang sangat diperlukan adanya. Ketaatan terhadap hukum adat di Bali dapat dilihat dalam kehidupan desa, banjar, subak dan lain-lain bentuk organisasi kemasyarakatan adat. Setiap orang mentaati adat itu, dan kepada pelanggarnya diberikan sanksi adat yang membawa tegaknya hukum adat sebagai salah satu alat dalam tegaknya ketertiban hidup bermasyarakat.131 Demikian
pula
V.E.
Korn
menulis
bahwa,
“organisasi-organisasi
kemasyarakatan adat di bali, seperti desa, banjar ataupun subak mengenal aturanaturan tersendiri yang umumnya dikenal dengan nama awig-awig, sima, kertasima, agaman desa dan lain sebagainya”.132 Apa yang dikemukakan tersebut di atas memberikan suatu petunjuk bahwa kelangsungan hidup aturan-aturan adat di Bali, tidak dapat dipisahkan dengan organisasi adat sebagai faktor penunjangnya. Dewasa ini, ketentuan-ketentuan hukum adat yang lazim ditemukan dalam bentuk awig-awig desa adat, berlakunya terbatas dalam wilayah desa adat yang bersangkutan. Sampai dewasa ini, nampaknya desa
131
T. Raka Dherana 1975., Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali, Denpasar : Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, hal.3 132 T. Raka Dherana 1973., “Awig-awig Desa Adat di Bali” Prasaran dalam Seminar Pembinaan Awig-awig Desa dalam tertib Masyarakat, Denpasar, hal.3
118
adat masih memegang peranan penting dalam menunjang kelangsungan hidup dan kehidupan hukum adat di Bali. Desa adat di Bali, telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, serta peranannya dalam memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat di Bali. Secara sosiologis, desa adat dengan seluruh aspek serta unsur-unsurnya dalam kenyataan masyarakat memang benar-benar dihargai, ditaati bahkan diyakini, karena di dalamnya bisa diabstraksikan suatu kehidupan dengan nilai luhur yang bersifat relegius.133 Sebagai suatu masyarakat hukum adat, maka desa adat dapat dilihat sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki tata susunan tetap, kekuasaan maupun harta kekayaan sendiri. Dari faktor historis, lahir dan pertumbuhan desa adat di Bali dilandasi oleh kepentingan hak asasi warga desanya sebagai manusia untuk dapat melaksanakan upacara “yadnya” baik secara individual maupun kolektif.134 Desa adat merupakan : “suatu persekutuan atau persekutuan wilayah yang berdasar atas kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup yang diwarisi secara turun temurun serta diikat dengan ‘kahyangan tiga’ yaitu pura puseh, pura dalem dan pura desa. Dari
unsur
kahyangan tiga yang mengikat desa adat maka pura desa atau sering disebut pula ‘bale agung’ merupakan unsur pengikat yang paling jelas”.135 Wirta Griadhi mengemukakan bahwa desa adat, merupakan “suatu persekutuan hukum yang 133
I Gusti Ketut Sutha 1988. “Ekstensi Serta Peranan Hukum Adat di Indonesia” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di Fak. Hukum UNUD, Denpasar, hal. 17 134 I Ketut Wirta Griadhi 1981. “Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan“, dalam Kertha Patrika No. 54 Tahun XVII Maret 1981, hal. 58 135 IBP Purwita. Desa Adat dan Banjar di Bali, Denpasar : Kawisastra, hal. 9
119
keberadaannya dilandasi oleh adanya kehendak bersama dari orang-orang yang karena tuntutan kodratnya harus hidup bersama-sama dalam suatu wadah yang dapat mempermudah dalam mewujudkan kepentingannya. Dengan demikian lahirnya desa adat dapat dikatakan karena tuntutan kodrati dari manusia”.136 Selanjutnya dikemukakan pula, dengan kelahirannya itu desa adat akan menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi kemasyarakatan yang berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara maksimal, terutama sekali yang menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia (hidup dan rasa aman). Untuk itu maka desa adat dilengkapi dengan kekuasaan, terutama untuk mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat diwujudkan dalam suasana yang menjamin rasa aman dari setiap warga. Ada 2 (dua) produk legislatif berupa Peraturan Daerah yang meligitimasi keberadaan desa adat di Bali, yaitu Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986 Tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat Dalam propinsi Daerah Tingkat I Bali, yang kemudian diganti dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman. Di dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali No. 6 Tahun 1986. Pasal 1 huruf e secara jelas disebutkan bahwa desa adat merupakan desa dresta, yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
136
I Ketut Wirta Griadhi,I.K., Loc.cit.
120
(kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun 1986 Tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat Dalam propinsi Daerah Tingkat I Bali, menentukan dalam Bab III tentang Kedudukan dan Fungsi Desa Adat, dalam Pasal 5 menyebutkan “Desa adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali , merupakan kesatuan masyarakat Hukum adat yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan” Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi: a. Membantu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa/pemerintah kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. b. Melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam desa adatnya. c. Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan. d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/musyawarah untuk mufakat. e. Menjaga memelihara dan memanfäatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Dalam ayat (2) menentukan bahwa Fungsi tersebut ayat (1) dijabarkan di dalam Awig-awig desa adat. Dikaitkan dengan Peraturan Daerah diatas maka, jelas terlihat kedudukan dan fungsi lembaga otonomi (desa adat) didalam segala hal yang menunjang kelestarian dan keutuhan masyarakat diikat lebih normatif lewat suatu Peraturan Daerah. Dengan demikian lembaga desa adat tersebut didalam kehidupan sehari-hari masih sangat memegang peranan penting dan ayat (2) juga malah diharapkan agar fungsi-fungsi
121
tersebut dijabarkan lewat suatu awig-awig yang mengatur lebih terperinci tentang bagaimana kedudukan, fungsi dan peranan dan desa adat itu sendiri. Desa adat, Banjar dan Subak tetap boleh membuat dan melaksanakan awigawig atau hukum adatnya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Demikian pula dari pasal diatas terlihat kewenangan yang diberikan kepada desa adat didalam melaksanakan hukum adatnya di desa adatnya, yang berarti juga penanganan masalah-masalah/kasus-kasus adat yang timbul dalam wilayah desa adatnya. Suatu masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan suatu kebudayaan dan masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dan pola-pola interaksi sosial antara orang perorangan maupun antara kelompok sosial. Seperti yang dikatakan G.A. Theodorson &A.G.Theodorson yang dikutip Soerjono Soekanto “Maka manusia senantiasa mengadakan interaksi atau hubungan interpersonal. Proses interaksi yang terus menerus menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut-cara- atau usage, yakni “a uniform or customary way of behaving within a social group”.137 Walaupun desa adat diakui keberadaannya , namun pada dasarnya Negara sangat membatasi otonomi desa adat. Hal itu terlihat dari; (a). Negara meletakan pengakuan
itu
dalam
kerangka
paradigma
politik
developmentalisme
dan
integralistik. (b). sebagai turunan paradigma developmentalisme dan integralistik tersebut, dikeluarkan PerMendagri No. 11 Tahun 1984, tentang pembinaan dan
137
G.A.Theodorson & A.G.Theodorson, dalam Soerjono Soekanto, 1983, Sistem Hukum Adat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 67
122
pengembangan adat-istiadat di tingkat desa/kelurahan. Dalam PerMendagri ini terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat. Sehingga, adat istiadat diberi pengertian kebiasaan-kebiasaan yang hidup setelah dipertahankan di dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan Pancasila. Disamping itu dalam PerMendagri lebih digunakan istilah pembinaan dan pengembangan yang memungkinkan adanya intervensi Negara pada otonomi desa adat. PerMendagri itu dilanjutkan dengan Instruksi Mendagri No. 17/1989 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat di wilayah desa/ kalurahan; instruksi ini berisikan instruksi kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia untuk menetapkan PerMendagri No. 11 Tahun 1984. Menindaklanjuti instruksi itu, di Propinsi Bali dikeluarkan Perda No. 6 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Dati I Bali (Perda Desa Adat). Dalam Perda itu disebutkan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan dikeluarkanya Perda No. 6 Tahun 1986 tersebut maka terlihat bahwa otonomi desa adat mempunyai kedudukan, fungsi serta peranan yang jelas didalam kehidupan sehari-hari, bahwa desa adat adalah:” desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (kahyangan desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri” Peraturan Daerah No. 06 Tahun 1986 mempunyai arti yang sangat penting karena Perda ini telah memberikan landasan yuridis eksistensi Desa Adat di Bali.
123
Namun dengan berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan sosial yang demikian cepat serta dicabutnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka dipandang perlu untuk mengadakan perubahan terhadap Perda ini sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di Bali (Penjelasan Bagian I angka 1 Perda No. 3 Tahun 2001), sehingga Perda No. 06 Tahun 1986 diganti dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman. Perubahan nama dan Desa Adat menjadi Desa Pakraman dalam Perda No. 3 Tahun 2001, mengingat istilah “Pakraman” telah dipergunakan sejak adanya Desa di Bali. Berbeda halnya dalam Perda No.06 Tahun 1986 yang secara tegas memberikan penjelasan mengenai kedudukan dan fungsi dan Desa Adat atau Pakraman ini seperti yang diuraikan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Perda No. 06 Tahun 1986. Dalam Perda No. 3 Tahun 2001 hanya menguraikan tentang tugas dan wewenang dari Desa Pekraman itu sendini. Penjelasan mengenai pengertian Desa Pekraman terdapat dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan “Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Untuk tugas dan wewenang dari Desa Pakraman terdapat pada Bab III Pasal 5 yang menyebutkan Desa Pakraman mempunyai tugas sebagai berikut: a. membuat awig-awig;
124
b. mengatur krama desa; c. mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; d. bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; e. membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan “parasparos “, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah mufakat); f. mengayomi krama desa. Pasal 6 mengatakan Desa Pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut: a.menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b.turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada diwilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; c.melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Sesuai dengan uraian Pasal 1 angka 4 maka kepemimpinan atau pemerintahan Desa Pakraman yaitu dipimpin oleh Prajuru Desa Pakraman (Pasal 7 ayat (1)), dan untuk struktur dan susunan Prajuru tersebut diatur kembali dalam awig-awig Desa Pakraman ( ayat (3)). Prajuru Desa Pakraman ini intinya terdiri dari Bendesa Adat atau Kelihan Desa Adat dan Kelihan Banjar atau Kelihan Sukaduka. Desa Pakraman ini juga memiliki Majelis Desa Pakraman (MDP) (Pasal 14) yang terdiri dari: a. Majelis utama untuk Propinsi berkedudukan di ibukota propinsi; b. Majelis madya untuk Kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota; c. Majelis desa untuk Kecamatan berkedudukan di kota kecamatan. Majelis Desa Pakraman ini mempunyai tugas seperti yang diuraikan dalam Pasal 16 ayat (1): a. mengayomi adat istiadat; b. memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-masalah adat;
125
c. melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-aturan yang ditetapkan; d. membantu penyuratan awig-awig; e. melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh. Wewenangnya dipaparkan dalam ayat (2) antara lain: a. memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut maslah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pekraman; b. sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; c. membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten/kota, dan di propinsi. Dari ketentuan Peraturan Daerah tersebut dapat diketahui bahwa desa adat di Bali mempunyai karakteristik, yakni kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga (desa) dan mempunyai wilayah tertentu serta mempunyai kekayaan sendiri. Di samping itu desa adat juga dilengkapi dengan hak otonomi, yakni hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam batasan-batasan yang diberikan terhadap desa adat sebagai masyarakat hukum , melihat pergaulan dalam lingkungan masyarakat tersebut sebagai sesuatu hubungan yang bersifat kodrati serta batasan-batasan tersebut memberikan suatu gambaran mengenai masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan sosial (kemasyarakatan) yang memiliki corak relegius-magis dengan satu tatanan yang relatif tetap dengan bertumpu pada nilai-nilai tradisional, serta kelangsungannya diperkuat oleh mekanisme kontrol sosial.138
138
Lebih jauh lihat T. Raka Dherana 1975. Pokok-pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali, Denpasar : Fak. Hukum Universitas Udayana, hal. 3 dan lihat pula T Raka Dherana 1973. ”Awig awig Desa Adat di Bali” Prasaran dalam Seminar Pembinaan Awig-awig Desa dalam Tertib Masyarakat, Denpasar, hal. 3
126
Perbedaan tentang konsep desa dewasa ini telah mengakibatkan adanya perbedaan antara jumlah desa adat dengan jumlah desa dinas di Bali. Perbedaan jumlah desa adat dengan jumlah desa dinas tidaklah dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan desa adat itu sendiri, yaitu dari keseluruhan desa yang mula-mula ada di Bali, beberapa di antaranya oleh pemerintah Belanda
dirubah
menjadi desa
dinas, sedangkan sebagian lagi tetap sebagai desa adat. F.W.T. Hunger menulis bahwa pada waktu pemerintah Belanda membentuk wilayah-wilayah pemerintahan yang dinamakan ‘desa’, mereka tidak mengindahkan adanya hubungan antara ‘desa adat’ dengan ‘bale agung’. Pemerintah Belanda hanya memikirkan efisiensi kerja, sehingga
desa-desa
yang saling berdekatan kemudian digabungkan, sedangkan
desa-desa yang letaknya berjauhan dipisahkan. Sejak saat itu segala akltivitas pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan surat-surat resmi dari “gouvernemen” tidak lagi dialamatkan ke bale agung, tetapi langsung ke desa baru yang merupakan wilayah
pemerintahan
“gouvernement”.139
Suatu
kebetulan
wilayah-wilayah
gouvernemen ini banyak persamaannya dengan wilayah “perbekel” yang terdapat pada jaman kerajaan sebagai wilayah “ayahan dalem”, sehingga dalam praktek ditemukan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : a) wilayah desa ‘gouvernemen’ sama dengan desa adat; b) wilayah
kedua desa itu tidak sama. Kadang-kadang wilayah desa
‘gouvernemen’ lebih luas ataupun sebaliknya. Apabila wilayah desa ‘gouvernemen’ lebih luas, maka beberapa wilayah desa adat dimasukkan ke
139
I Wyn. Surpha 1986. Eksistensi Desa Adat di Bali Setelah Keluarnya UU No.5 Tahun 1979, Denpasar, hal. 27.
127
dalam
wilayah desa
‘gouvernemen’, sehingga bisa terjadi satu desa
‘gouvernemen’ terdiri dari beberapa desa adat. Sedangkan apabila desa ‘gouvernemen’ lebih sempit, maka desa adat tersebut dipisah-pisahkan menurut hukum adat setempat; dan c) wilayah suatu desa ‘gouvernemen’ terdiri dari bagian-bagian desa adat dan banjar adat yang tidak terikat kepada bale agung dalam wilayah desa ‘gouvernemen’. Kebijaksanaan pemerintah Belanda ini menimbulkan akibat yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan desa-desa di Bali sampai sekarang, yaitu : 1. 2. 3. 4.
ada satu desa dinas yang terdiri dari beberapa desa adat; ada satu desa adat yang mewilayahi beberapa desa dinas; wilayah desa adat sama dengan wilayah desa dinas; ada satu banjar adat menjadi satu desa adat dan tergabung dengan beberapa desa adat menjadi satu desa dinas; 5. terdapat jumlah yang berbeda antara desa adat dengan desa dinas di wilayah propinsi Bali; 6. terjadinya pemisahan antara hak dan kewajiban secara evolusi karena terjadinya perubahan nilai dan perubahan kebijaksanaan politik pemerintah yang berkuasa; dan 7. tanah-tanah, termasuk harta kekayaan desa adat tetap menjadi milik desa ataupun banjar adat, dalam artian tidak beralih kepada desa ataupun banjar dinas.140 Sebagaimana masyarakat hukum adat pada umumnya, masyarakat hukum adat di Bali memperlihatkan unsur-unsur antara lain : a) adanya sekelompok orang sebagai satu kesatuan; b) adanya tatanan organisasi yang bersifat tetap; c) adanya kekuasaan sendiri sebagai kelompok otonom; 140
Ibid
128
d) mempunyai harta kekayaan; dan e) memiliki aturan-aturan hukum yang bersumber pada nilai-nilai budayanya sendiri. 2. Karakteristik dan Otonomi Desa Adat Pemahaman terhadap keberadaan desa adat di Bali tidaklah dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap karakteristik dan otonomi desa adat, yang menunjukkan perbedaan hakiki dengan desa adat lain di Indonesia. Sebagai masyarakat hukum yang otonom, di samping mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangga sendiri, serta kewenangan membentuk peraturan hukum sendiri, desa adat juga dilengkapi dengan kewenangan penyelesaian konflik. Otonomi yang melekat pada desa adat sebagai suatu otonomi yang bersifat asli dan berbeda dengan pengertian otonomi dalam UU No. 32 Tahun 2004. Jika dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini berlaku, perbedaan antara kedua UU tersebut diatas, antara lain: 2. UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan desa berada di Daerah Kabupaten, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 hanya menyebutkan bahwa desa berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. UU No. 32 Tahun 2004 terdapat uraian yang tersendiri mengenai Kawasan Khusus yang terdapat pada Bab II Bagian kedua Pasal 9, sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak terdapat tentang kawasan Khusus tersebut. 4. UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 masih tetap menyebutkan pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan perangkat desa, hanya bedanya penempatannya dalam Pasal di masing-masing UU tersebut.
129
5. UU No. 22 Tahun 1999 badan legislatifnya disebut Badan Perwakilan Desa yang terdapat pada Pasal 104 yang menyebutkan “Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Sedangkan dalam UU No. 32 tahun 2004 badan legislatifnya yang sebelumnya dengan Badan Perwakilan Desa pada UU sebelumnya, kemudian diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa yang terdapat pada Pasal 209 yang menyebutkan “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.
Walaupun
terjadi
perubahan
nama
namun
dari
segi
wewenangnya masih tetap sama. 6. UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan fungsi Badan Perwakilan Desa adalah mengayomi adat istiadat, sedangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi ada uraian tersebut. Apalagi di dalam menetapkan peraturan desa bersama kepala desa langsung dimasukkan ke dalam uraian satu Pasal (UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 209) berbeda halnya dengan IJU sebelumnya yang dimasukkan ke dalam ayat-ayatnya yang tersendiri. Meskipun memiliki beberapa perbedaan, namun antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 ternyata mempunyai jiwa yang sama yaitu desa yang diberikan otonomi adalah Desa Dinas. Oleh karena konsep otonomi yang diberikan Pasal 18 UUD 1945 adalah Desa Adat, sementara dalam ke-2 UU tersebut menguraikan tentang BPD, sedangkan BPD hanya ada dalam Desa Dinas maka bisa
130
dikatakan otonomi tersebut diberikan kepada Desa Dinas bukan kepada Desa Adat. Sebab dalam Desa Adat tidak ada yang mengatur tentang BPD. Mengenai kelembagaan Desa, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa, yang dijadikan pedoman oleh pemerintah Kabupaten dalam membuat “Paket Peraturan Daerah” tentang desa. Ketentuan ini telah menempatkan Kepala Desa bukan saja sebagai pimpinan desa, tetapi juga sebagai fungsionaris adat. Selanjutnya dalam ayat (3) dan ayat (4) ketentuan ini mengatur lebih lanjut, sebagai berikut : (1)
Untuk mendamaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf o, kepala desa dapat di bantu oleh lembaga adat desa; (2)
Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh kepala desa bersifat
mengikat pihak-pihak yang berselisih. Istilah lembaga adat sebelumnya telah digunakan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 1989 tanggal 30 Mei 1989 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat di wilayah Desa/Kelurahan. Hal ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Paraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tanggal 14 Februari 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembagan Adat Istiadat, Kebiasaankebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah.
131
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 “Lembaga Adat” dirumuskan sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang sengaja di bentuk maupun secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. (Pasal 1 huruf o). Kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peraturan ini disebutkan bahwa lembaga adat mempunyai hak dan wewenang sebagai berikut : a. mewakili masyarakat keluar, yakni dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan dan pengaruh adat; b. mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik. c. menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan ini maka yang dinamakan “Lembaga Adat” adalah juga lembaga yang berperan untuk menyelesaikan sengketa adat sehingga lembaga ini dikesankan sebagai peradilan desa. Dalam era reformasi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1998 tersebut di atas dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1999 tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan lnstruksi Menteri Dalam Negeri mengenai pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Kemudian dengan adanya pengaturan tentang lembaga adat
132
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 dapat dianggap sebagai kelanjutan dari lembaga adat yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997. Pasal 43 dari Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 menyatakan Pemerintahan Kabupaten dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya. Kemudian Pasal 44 menyebutkan: ()1 Pengaturan lebih lanjut mengenai pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten. ()2 Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat materi antara lain: .a mekanisme pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan; .b kedudukan, tugas dan fungsi lembaga adat; .c hak, wewenang dan kewajiban lembaga adat termasuk kewenangan dalam penyelesaian perselisihan sengketa adat; .d susunan organisasi; .e hubungannya dengan organisasi pemerintah, baik pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten. Pada tanggal 30 November 2001 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 (LN. 2001 No. 142) tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Berkenaan dengan penyelesaian sengketa dan lembaga adat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 16, 39 dan 40. Pasal 16 yang menentukan : .a .b .c .d
(1) Tugas dan kewajiban kepala desa adalah : memimpin penyelenggaraan pemerintah desa. membina kehidupan masyarakat desa. membina perekonomian desa memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa.
133
.e mewakili desanya di dalam dan di luar Pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa. ()3 untuk mendamaikan perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf o Kepala Desa dapat dibantu oleh Lembaga Adat Desa; ()4 Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih. Pasal 39 menyebutkan: Pemerintah Daerah harus mengikuti dan menghormati adat istiadat. (2) Pemerintah Daerah dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembagan adat istiadat dan lembaga adat di wilayahnya. (1)
UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara jelas desa adat (dan juga desa adat di Bali), menimbulkan adanya persepsi bahwa di Bali terjadi dualisme pemerintahan desa yang masing-masing bertumpu pada landasan yang berbeda. Di satu sisi, pemerintahan desa dinas yang bertumpu pada UU No. 32 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain desa adat yang bertumpu pada landasan filosofis yang bersumber pada ajaran agama Hindu yang lebih dikenal dengan konsep “Tri Hita Karana” yang terkejawantah dalam kehidupan desa adat itu sendiri. Realitas di Bali menunjukkan bahwa adat tidak dapat dipisahkan dengan pelaksanaan
ajaran-ajaran
agama Hindu.
Kemanunggalan antara desa adat
dengan adat di Bali sesungguhnya memberikan corak tersendiri kepada desa-desa adat tersebut. Rupanya keunikan tersebut telah dihayati serta mendapat perhatian yang serius dari penyusun UUD. Di dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 angka II ditegaskan bahwa Bali sebagai daerah yang bersifat istimewa. Di dalam penjelasan tersebut ditentukan :
134
“Dalam territoir negara Indonesia terdapat kurang 250 zelfbestuurende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dengan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak, asal-usul daerah tersebut”. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 18 UUD 1945 serta penjelasannya, yang dijadikan dasar hukum pembentukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kiranya jelas bagi kita bahwa kedudukan desa adat di Bali tetap diperhatikan, dihormati dan diakui dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagai desa asli yang bersifat istimewa, dan bukan sebagai desa penyelenggara pemerintahan terendah di bawah kecamatan. 3. Pidana dan Pemidanaan dalam KUHP dan Penghukuman Menurut Hukum Adat Berkait dengan tujuan pemidanaan, J.E. Sahetapy mendekati dengan titik awal berbeda dengan yang lazimnya dilakukan oleh para sarjana lain. Sebagaimana ditandaskan J.E. Sahetapy, “terlalu sering terjadi bahwa mereka yang membicarakan permasalahan
pidana
mencampurbaurkan
permasalahan-permasalahan
yang
seyogyanya harus dipisah-pisahkan”.141 Lebih jauh dijelaskan pula : Pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu antara arti atau makna dengan tujuan pidana. bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat, tidak dapat disangkal. Dalam pidana itu perlu pula dibedakan antara sifat pidana dengan bentuk pidana. dengan demikian maka tujuan, arti, sifat dan bentuk pidana merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan , tetapi harus dapat dibeda-bedakan. Bagaimanapun juga tujuan pidanalah yang mewarnai arti, sifat 141
J.E. Sahetapy 1981. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali, hal. 188 - 189
135
dan bentuk pidana. Tujuan pidana baru mempunyai relevansi apabila diketahui dasar berpijak untuk mencapai tujuan itu.142 Sangatlah beralasan apa yang dikemukakan J.E. Sahetapy tersebut di atas, karena bagaimanapun juga, dalam usaha untuk mencapai tujuan, sebelumnya harus dipahami arti, sifat dan bentuk pidana itu sendiri. Apakah tujuan-tujuan yang digariskan dapat dicapai tanpa mengetahui arti, sifat dan bentuk pidana, adalah suatu hal yang jauh dari kenyataan. Semua ini paling tidak menyadarkan kita, bahwa apa yang ada di balik tujuan pemidanaan, baik arti, sifat dan tujuan pidana akan turut memberikan warna di samping semua permasalahan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. “Pidana” merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang khusus. Berbeda dengan “hukuman” yang merupakan istilah umum dan dapat mempunyai arti yang luas serta berubah-ubah. Istilah hukuman tidak saja dipergunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti : pendidikan, moral, agama dan lain sebagainya. Sudarto menulis bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan saleh menulis bahwa pidana adalah reaksi atas delik, berupa suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.143 Dari apa yang dikemukakan oleh kedua sarjana tersebut dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri pidana adalah : 1. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 142
Dikutip dari Muladi 1984. “Pidana dan Pemidanaan” dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, hal.2 143 Ibid., hal 3 dan 4
136
2. pidana itu sengaja ditimpakan oleh orang/badan yang mempunyai kekuasaan (yang berwenang); dan 3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Alf Ross, dalam memberikan batasan tentang pidana, menambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa pidana itu harus merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri pelaku. Hal ini sebenarnya secara implisit terkandung juga dalam batasan yang diberikan oleh para sarjana lain. Penambahan secara eksplisit ini menurut Alf Ross, dimaksudkan untuk bisa dibedakan secara jelas antara pidana dan tindakan perlakuan. Menurut Alf Ross sebagaimana dikutip oleh Muladi, mengemukakan : Punishment is that social response which : 1. Occurs where there is violation of legal rule. 2. Is imposed and carried out by authorised person on behalf of the legal order to which the violated rule belong. 3. Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant. 4. Expresses disapproval of the violator.144 Pidana merupakan konkritisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undangundang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan dilakukan melalui suatu proses yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, sebagai suatu perangkat yang bertujuan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil. Sebagaimana ditandaskan oleh J.E. Sahetapy, teori-teori permasalahan serta aspekaspek sosio-kriminologik yang bertalian dengan pidana dan pemidanaan bukan merupakan masalah yang mudah untuk dipecahkan Berbagai teori telah diciptakan
144
J.E. Sahetapy., op.cit., hal. 183
137
dan banyak pula yang sulit untuk diterapkan secara praktis. Oleh karena itu apabila pembicaraan menginjak pada masalah pemidanaan, maka secara makro-kriminologik hal ini bertalian dengan masyarakat, dan secara mikro-kriminologik dengan terpidana, lingkungan, para korban dan hal-hal lain. Dengan demikian masalah pemidanaan tidak dapat dengan pelbagai permasalahan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.145 Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang, telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Secara klasik teori pemidanaan dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) teori absolut/pembalasan; 2) teori relatif/teori tujuan; dan 3) gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Penganut teori absolut berpendirian bahwa pidana tidak;ah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti, memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur untuk dijatuhkannya pidana. Penekanan teori ini terletak pada pembalasan, yang harus setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan. Dengan demikian, teori ini lebih menekankan pada segi perbuatan (offence). Berbeda halnya dengan teori relatif, mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu tujuan pidana untuk pencegahan terjadinya kejahatan. Teori ini lebih banyak menekankan pada manfaat dijatuhkannya pidana, baik bagi pelaku sendiri maupun untuk orang lain. Sedangkan teori gabungan, merupakan penggabungan konsep pikir yang dianut oleh teori absolut maupun relatif. penganut teori ini, di satu pihak berpendirian untuk menitikberatkan pada pembalasan dan di pihak lain ada pula yang menekankan pada pertahanan tata tertib masyarakat, 145
J.E. Sahetapy., op.cit., hal. 201
138
serta ada pula yang berpendirian bahwa kedua unsur tersebut hendaknya diseimbangkan. Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan, kita jumpai pada apa yang dinamakan teori absolut. Di dalam kejahatan itu sendirilah terletak pembenaran pemidanaan, terlepas dari menfaat yang hendak dicapai. menurut penganut teori ini, pembalasan dengan eksengsaraan yang sepadan merupakan suatu tindakan yang mutlak. Salah seorang penganut teori absolut kuno adalah kant, yang pada pokoknya berpendapat bahwa, barang siapa melakukan kejahatan haruslah dipidana. Dipidananya itu didasarkan atas pembalasan karena diisyaratkan oleh perintah yang tidak bersyarat dari akal yang praktis. Sehubungan dengan aspek pembalasan ini J.E. Sahetapy menulis : Bila ditelusuri kembali sejarah aspek pembalasan, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa masalahnya setua sejarah manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki perasaan pembalasan atau kecenderungan untuk membalas. Namun dengan segera pula perlu diingatkan bahwa pembalasan tidak selamanya harus dikaitkan dengan permasalahan kejahatan. Pada umumnya manusia juga memiliki sifat membalas budi orang lain. Demikian kerapkali manusia tidak sampai hati untuk membalas perbuatan jahat orang lain, karena orang itu dianggap tidak mengetahui apa yang telah diperbuatnya, dan sebagainya.146 Akhirnya terhadap teori pembalasan ini J.E Sahetapy menyimpulkan beberapa catatan, diantaranya : teori pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa lampau; dengan demikian teori pembalasan belum memberikan tempat yang wajar kepada beberapa asas yang telah melembaga dan diakui dimana-mana, yaitu asas oportunitas, grasi, amnesti, abolisi, kedaluwarsa dan sebagainya. Teori pembalasan kuno telah diperluas dalam teori pembalasan modern, sehingga kini
146
J.E. Sahetapy., op.cit., hal. 212
139
timbul pertanyaan, apakah dapat dibenarkan untuk menamakannya teori pembalasan; secara teoritik - akademik, teori pembalasan masih mempunyai relevansi.147 Kini teori pembalasan sudah mulai ditinggalkan, dalam arti ajaran pembalasan klasik yang berpendirian, pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalaupun ada penganut teori pembalasan, mereka dapat dikatakan sebagai penganut teori pembalasan yang modern.148 Ketika teori pembalasan mulai ditinggalkan kareena dipandang kurang mempunyai dasar yang kuat dan dalam banyak hal teori pembalasan telah menyimpang dari tujuan semula, maka muncullah teori dengan aspek ‘menakutkan’ atau untuk mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat, yang lebih dikenal dengan nama teori relatif atau teori tujuan. menurut teori ini, pidana tidaklah dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk tujuan yang bermanfaat, yaitu untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman. Dikaji dari segi sejarah, aspek menakutkan ternyata sudah ada
sejak adanya aspek pembalasan. bahkan
nampaknya aspek ini sudah dipersoalkan sebelum jaman aspek pembalasan, yaitu pada masa Immanuel Kant (1724 - 1804) dan George Wilhelm Fredrich Hegel (1770 - 1831).149
147
Sudarto 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, hal. 82 - 83 J.E. Sahetapy., op.cit., hal.214 149 Anseln Von Feuerbach (1775 - 1883) seorang ahli kriminologi terkenal menentang “Historische Rechtschule’-nya Savigny. Feuerbach tergolong penganut aliran kantian yang juga seperti Kant, mengutamakan ‘Reine Vernunff’ manusia. berbeda dengan Kant yang menyusun asas hukum (pidana) dalam dunia noumenal, yaitu dunia idea. dan oleh karena itu sampai pada pemutlakan ide pembalasan. Sedangkan Feuerbach mencari teori pidana dalam dunia phenomenaal dunia gejala-gejala yang membawanyanya pada ajaran prevensi umum,menakuti orang dengan mengancam pidana dalam undang-undang, oleh karena itu ia sangat mengagungkan kodifikasi. Lebih jauh lihat Andi Zainal Abidin 1987. Asas-Asas Hukum Bagian Pertana, Bandung : Alumni, hal. 170 - 171 148
140
Von Feuerbach orang pertama yang menyusun permasalahan aspek menakutkan menjadi suatu teori yang kemudian menjadi terkenal dengan ungkapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. tetapi yang mula pertama mempersoalkan aspek menakutkan ini dari proses psikologis adalah samuel von Puffendorf, demikian dikemukakan oleh Oppenheimer.150 Menurut Pufendorf, ancaman pidana dimaksudkan untuk menakutkan dan oleh karenanya menahan seseorang berbuat dosa, dan dengan demikian akan patuh pada hukum.151 Di sini jelas bahwa konsep Pufendorf mempunyai sifat yang ‘utilitis’ (utilitarian character of the theory). Di samping itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa asal mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-mata untuk menakuti penjahat. Teori ini secara diam-diam dimaksudkan untuk mempengaruhi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Namun sejarah membuktikan bahwa teori menakutkan ini tidaklah mempengaruhi penjahat. Sebenarnya teori menakutkan ini mempunyai 2 aspek, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Berhubungan dengan aspek prevensi, J.E. Sahetapy mengemukakan, secara teoritik prevensi umum dan prevensi khusus ini dapat dibedakan, tetapi secara praktis pembedaan tersebut sangat sulit, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa demi prevensi umum atau demi pengayoman, negara, masyarakat dan penduduk, si terpidana akan dapat dikorbankan. Teori-teori yang berkenaan dengan tujuan pemidanaan tersebut di atas, baik teori absolut maupun teori relatif, masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena 150
J.E. Sahetapy., op.cit., hal.212 Lihat Packer 1968., The Limits of Criminal Sanction, California : Stanford University Press, hal. 3. 151
141
itu muncullah teori yang ketiga, yang merupakan gabungan teori absolut dengan teori relatif. Teori ini didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, yang diterapkan secara berkombinasi dengan titik berat salah satu unsur tanpa menghilangkan unsur yang lain. Pidana dan pemidanaan merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan. Sebab bagaimanapun juga tujuan pidana akan turut mewarnai arti, sifat dan bentuk pidana itu sendiri. Dalam disertasinya “Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” J.E. Sahetapy menulis bahwa, tujuan pidana adalah ‘pembebasan’. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan keliru yang telah ditempuhnya. makna membebaskan tidaklah identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus juga dibebaskan dari kenyataan sosial di mana ia terbelenggu. Lebih jauh dikemukakan pula, tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalan tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan keyakinan bertobat dengan penuh keyakinan.152 Dalam era berlakunya
KUHP (WvS) selama ini,
nampak
sistem
pemidanaannya kebanyakan masih berinduk dan berorientasi pada sistem pemidanaan menurut KUHP (WvS). Tidaklah mengherankan apabila Barda Nawawi Arief dalam 152
Lebih jauh lihat J.E. Sahetapy., op.cit. hal. 196 - 224
142
pidato penerimaan jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan , bahwa selama ini belum ada pola pemidanaan nasional pada tahap kebijakan legislatif (formulatif) dan hal ini merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan.153 Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau bahwa pengertian pola pemidanaan dengan pedoman pemidanaan adalah berbeda. Istilah “pola” menunjuk pada suatu yang dapat digunakan sebagai model atau acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan “pola pemidanaan” adalah ‘acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun perundang-undangan yang mengandung sistem sanksi pidana”. Penekanan pada istilah “membuat atau menyusun” sistem sanksi pidana di sini dimaksudkan untuk membedakan dengan ‘pedoman pemidanaan” yang lebih merupakan “pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan pemidanaan”. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa “pola pemidanaan” merupakan “pedoman pembuatan/penyusunan pidana untuk pembuat undang-undang” (pedoman legislatif/formulatif) sedangkan “pedoman Pemidanaan” lebih merupakan “pedoman penjatuhan/penerapan pidana untuk hakim (“pedoman yudikatif/aplikatif”).154Apabila pernyataan yang dilontarkan oleh Barda Nawawi Arief ini kita hubungkan dengan apa yang dikemukakan oleh J.E. Sahetapy, paling tidak akan dapat dipahami bahwa dalam masalah pemidanaanpun tidak dapat dilepaskan dengan pemahaman Sosial, budaya dan aspek struktural.
153
Barda nawawi Arief., “beberapa Aspek pengembangan Ilmu Hukum Pidana, menyongsong generasi baru Hukum Pidana Indonesia” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada fakultas Hukum universitas Diponegoro, Tanggal 25 Juni 1994, Semarang, hal 19 154 Ibid. hal 20
143
Dewasa ini permasalahan pidana dan pemidanaan merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks, sebagai akibat usaha untuk membandingkan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia serta untuk menjadikannya pidana lebih bersifat ‘operasional’ dan ‘fungsional’, yang semua ini dapat diuji dari hakikat dan tujuan pemidanaan. Dalam rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas, nampak adanya usaha untuk memfungsionalisasikan nilai-nilai hukum adat.
Dalam
hubungannya dengan permasalahan ini, tentunya menarik apa yang pernah dikemukakan oleh Ter Haar sebagai berikut : yang dianggap suatu pelanggaran (delict) adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan immateriil, orang-orang atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (gerombolan); tindakan demikian yang menimbulkan suatu reaksi ... oleh karena baik umat manusia maupun masyarakat itu adalah pusat daripada gabungan hubungan sehingga orang dapat mengatakan lingkaran hidupnya manusia atau lingkungan hidupnya masyarakat - maka keadaan yang ‘biasa’ (normal) itu adalah keadaan keseimbangan di antara lingkungan-lingkungan hidup tadi satu sama lain ... penuntutan pembayaran-pembayaran pelanggaran kosmis yang dalam masyarakat yang hidup sudah barang tentu saban-saban harus ditentukan; dari keseimbangan mana tergantung kebahagiaan manusia dan umat manusia.155 Apa yang dikemukakan oleh Ter Haar, apabila dikaitkan dengan uraian sebelumnya, maka sarana itu adalah ‘pidana’. dengan demikian hakikat dan tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerugian individu dan kerugian sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hukum adat pidana tidak dapat ditinjau terlepas dari struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia secara keseluruhan. terhadap permasalahan ini Soepomo menulis, bahwa struktur kejiwaan dan cara berpikir itu mewujudkan corak155
Ter Haar. Bzn 1978. Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat (Begiselen en Stelsel van Het Adatrecht). Terj. Kng Soebakti Poesponoto, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 226 - 227
144
corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang meliputi suasana sebagai berikut : mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya bahwa manusia sebagai warga masyarakat merupakan mahluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat. Rasa kebersamaan mana meliputi seluruh lapangan hukum adat; mempunyai corak relegio magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia; sistem hukum ini diliputi oleh pikiran yang serba konkrit, sistem hukum adat dalam hal mempergunakan hubungan-hubungan yang konkrit tadi adalah dalam hal mengatur pergaulan hidup; dan adat mempunyai sifat visual, artinya hubunganhubungan hukum adat hanya dianggap terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (ada tanda yang nampak).156 Dengan adanya pola berpikir demikian, yang sekaligus mewujudkan corakcorak pola hubungan tersebut di atas, akan selalu dipertahankannya keseimbangan masyarakat hukum adat. “Sanksi adat” merupakan pencerminan nilai-nilai sosial dan budaya yang menunjukkan konsep berpikir dengana arah dan tujuan yang hendak dicapai. dalam konsep berpikir hukum adat, reaksi atas pelanggaran tidaklah dimaksudkan untuk memberikan ‘derita fisik’. Sanksi adat lebih banyak dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan ‘kosmos’ yang diakibatkan oleh adanya pelanggaran adat. Dalam hubungannya dengan permasalahan ini Djojodiguno secara tepat mengemukakan
bahwa : “dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa
ketentuan adat itu harus disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan menggunakan paksaan. Apa yang disebut salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum adat tidaklah merupakan hukuman”.157 Lebih lanjut dikemukakan pula : ... itu 156
Soleman B. Taneko 1971. Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat , Bandung : Alumni, hal.44 empat sifat hukum adat ini pernah pula dikemukakan dalam pidato inaugurasi oleh F.D. Helemann yang berjudul “Commune Trek in Het Indonesische Rechtsleven” lihat Bushar Muhammad 1983. Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, hal 67 157 Dikutip dari Soerjono Soekanto 1983. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta : UI-PRESS, hal. 46
145
adalah upaya adat untuk mengembalikan langkah yang berada di luar garis tertib kosmis demi untuk tidak terganggunya ketertiban kosmos. Upaya adat dari lahirnya adalah nampak sebagai adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang disebut adat. Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan mempergunakan alat paksa, karena itu bukan bekerjanya suatu sanksi. itu adalah upaya untuk membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu dan bukan suatu “hukuman” bukan suatu “leed” yang diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan.158 Di dalam semua masyarakat, pasti terdapat ukuran mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Perikelakuan yang buruk yang dipandang tercela, akan mendapatkan imbalan negatif. Sehubungan dengan hal ini Soepomo mengemukakan : “segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan bathin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian mencemarkan suasana bathin yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”.159 Selanjutnya dikemukakan pula bahwa delik yang paling berat adalah pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat.160 Apa yang dikemukakan oleh Soepomo tersebut di atas nampaknya agak abstrak. tetapi walaupun demikian, telah didapat suatu petunjuk sebagai ukuran di dalam melakukan sikap tindak yang merupakan suatu pelanggaran dalam suatu masyarakat hukum adat, yaitu sikap tindak yang mencemarkan ketertiban bathin 158 159 160
Ibid. Soepomo 1983. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal.123 Ibid., hal. 122
146
masyarakat dengan alam gaib. Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, pernah mengemukakan dalam salah satu tulisannya, bahwa : bahwa menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau ‘kosmos’. Kegiatan-kegioatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga-warganya ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmos tersebut. bagi setiap orang, garis ketertiban kosmos tersebut haruslah dijalankan dengan spontan atau sertamerta ... penyelewengan atau sikap tindak (perikelakuan) yang mengganggu keseimbangan kosmos, maka para pelakunya harus mengembalikan keselarasan yang semula adat.161 Dari apa yang telah dikemukakan di atas, kiranya telah dapat diambil suatu landasan untuk menentukan sikap tindak yang dipandang sebagai suatu pelanggaran dan merupakan petunjuk mengenai reaksi masyarakat adat. namun nampaknya masih dipandang perlu untuk menyoroti, sehubungan sifat umum hukum adat sebagaimana telah dikemukakan, yaitu apa yang dikemukakan oleh Bushar Muhammad berikut ini : sebagai tambahan atau penegasan atas pengertian “relegiomagis” saya ingin mengemukakan kata majemuk “participerend kosmisch” yang mengandung suatu pengertian kompleks, yaitu orang-orang Indonesia pada umumnya berpikir serta merasa dan bertindak dengan didorong oleh keprcayaan (religi) pada tenagatenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan baik besar maupun kecil, benda --- lebih-lebih benda yang berbentuk luar biasa --- dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan (in een toestand van ovenwichht). Tiap tenaga gaib tersebut merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jansmani dan rohani --“participatie” --- dan keseimbangan itulah yang senantiasan harus ada dan dijaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritual (rites de passage).162 Konsep dasar berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Bushar Muhammad tersebut secara tepat dapat menggambarkan pola berpikir masyarakat adat di Bali. 161
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung : Alumni, hal 80 162 Bushar Muhammad., op.cit., hal.54
147
Konsep berpikir yang mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat sebagai sifat umum hukum adat, (kebersamaan, relegius magis, konkrit dan visual) sifat tersebut terdapat pula dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Masyarakat adat di Bali, selalu menghendaki adanya keseimbangan dan keharmonisan dalam segala aspek kehidupan demi kelangsungan hidup dan kehidupan serta untuk tercapainya kebahagiaan lahir dan bathin. Semua ini pada hakikatnya merupakan refleksi konsep kefilsafatan “Tri Hita Karana” yang selalu mewarnai kehidupan sebagai umat yang beragama (Hindu). Atas landasan konsep Tri Hita Karana itulah akan selalu dicitacitakan terwujudnya kehidupan yang selaras dan adanya keseimbangan yang harmonis antara hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain di tengah-tengah pergaulan masyarakat dan antara kehidupan manusia dengan alam yang ada di sekitarnya. Perwujudan konsep tersebut tertuang dalam bentuk awig-awig.163 Semua permasalahan kehidupan yang dicitacitakan tersebut pada umumnya melandasi kehidupan masyarakat hukum adat (“krama adat”). Bahwa masyarakat adat di Bali di dalam kehidupannya menghendaki selalu adanya perimbangan antara kehidupan lahir dan bathin (‘skala dan niskala’). Konsep pikir demikian, tidak dapat dilepaskan dengan konsep kefilsafatan ‘tri hita karana’ yang mendasari kelangsungan kehidupannya, dengan tetap berpegang teguh pada 163
Awig-awig yang ada di bali, lazimnya ditulis dalam huruf Bali di atas daum “rontal”. Dalam perkembangan selanjutnya awig-awig sudah ditulis dalam huruf latin, tetapi masih menggunakan bahasa Bali kuno. Bahasa bali kuno agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang, karena bahasa bali kuno masih mengandung bahasa sanskerta, pada masa kemudiannya banyak mendapat pengaruh dari bahasa “jawa kuno” dari jaman Majapahit. pengaruh itu terjadi pada masamasa pengaruh jawa majapahit sangat besar terhadap kebudayaan Bali. Lihat IGNg. Bagus., “Kebudayaan Bali” dalam Koentjaraningrat 1983. /ed./ Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, hal 280 Lebih jauh lihat pula J. Kersten (t.t.) ., Tata Bahasa Bali, (Ende, karya tidak diterbitkan), hal.13
148
ajaran-ajaran agama Hindu. Konsekuensi pemikiran ini berakibat bahwa segala perbuatan yang mengakibatkan ketidakseimbangan harus dihindarkan atau bagi pembuatnya dikenakan kewajiban untuk mengembalikan keseimbangan tersebut. Tata cara pengembalian keseimbangan tersebut, harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam awig-awig desa adat, tanpa meninggalkan falsafah keagamaan. Konsep pikir yang telah melembaga dengan kokohnya dalam kehidupan masyarakat, berakibat adanya suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderitanya ‘krama adat’. Hal demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan membebankan suatu kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual tertentu untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala. Belum terpenuhinya kewajiban-kewajiban yang dibebankan, akan berakibat adanya ketidakseimbangan ataupun akibat-akibat lain, baik terhadap jalannya pemerintahan, masyarakat dan juga terhadap diri seseorang. Untuk menggambarkan akibat tersebut, di Bali dikenal istilah-istilah, seperti : “amanesin jagat”, amanesin sang amangwrat” dan “amanesin sarira”. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya pemenuhan kewajiban adat tentunya
hakim akan terbentur pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang tidak
menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut untuk melakukan
149
upaya adat. Di Bali misalnya, yang termasuk perbuatan ini adalah pencurian bendabenda untuk keperluan upacara keagamaan, delik adat gamia-gamana dan sebagainya. Dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951, sebenarnya hakim dapat saja mejatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat. Persoalannya, adalah dalam KUHP maupun UU No. 1 Drt Tahun 1951 tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentunya mempersulit posisi seorang hakim, karena di satu sisi ada kewajiban untuk menggali hukum dan mengikuti perasaan keadilan masyarakat, namun di lain sisi, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa dalam lingkungan desa adat di Bali telah melembaga dengan kokohnya suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderitanya ‘krama adat’. Hal demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan
membebankan
suatu
kewajiban
bagi
pelanggarnya
penyelenggaraan ritual-ritual adat tertentu yang bertujuan untuk
dalam
bentuk
memulihkan
ketidakseimbangan masyarakat dari perasaan kotor (“leteh”). Untuk memperoleh suatu gambaran yang relatif lengkap, berikut akan dikemukakan upaya-upaya yang ditempuh oleh krama adat. 1. Dalam kasus pencurian benda-benda suci untuk melakukan upacara keagamaan, dalam bentuk pretima di Pura Agung Jagatnata, di desa adat Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar No. 88/P.N. Dps/K.S./1981, tanggal 8 Juni 1981 telah diputus berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat (1) angka 3
150
KUHP dan pelakunya (Jumadi) dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun, namun krama desa adat Denpasar beranggapan pidana penjara tersebut belumlah sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku telah mengakibatkan bukan saja kerugian materiil, tetapi juga kerugian immateriil. Untuk memulihkan kerugian immateriil, krama desa adat Denpasar melakukan “upacara prascita” yang dilanjukan dengan upacara mecaru Rsi Gana, dengan maksud untuk mengembalikan kesucian pretima dan juga penyucian kembali tempat kejadian. 2. Dalam
kasus
“Pependeman”
pencurian
sarana
upacara
keagamaan
dalam
bentuk
yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan
Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan putusannya No. 5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca sata” kepada pelakunya (I Nengah Serinu dan I Made Rateng).164 3. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk “pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ’79, tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara “pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa adat.
164
Dirangkum dari hasil wawancara dengan kelian Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan Tampaksiring kabupaten Gianyar, tanggal 9 Juni 2010
151
4. Dalam kasus kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Banjar Tebongkang Desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang telah
diputus
Pengadilan
Negeri
Gianyar
dalam
putusannya
No.
177/Pid.B/2006/PN.GIR, tanggal 13 November 2006, oleh karena pelaku bukan warga setempat maka warga Banjar Tebongkang melakukan sendiri upaya pemulihan dengan mengadakan upacara mecaru manca sata.165 5. Dalam kasus pencurian benda-benda sakral / benda-benda suci keagamaan di Pura Pasek Gelgel, Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gianyar dalam putusan No. 178/Pid.B/2006/PN.Gir. tanggal 13 November 2006, oleh karena pelaku bukan warga setempat maka warga pengempon Pura Pasek Gelgel melakukan sendiri upaya pemulihan dengan mengadakan upacara mecaru manca sata.166 6. Dalam kasus kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di di Pura Dadia Ngis Abang, di Pura Sengkidu, di Pura Ulakan, di Pura Desa Manggis, di Pura Gelumpang, di Pura Jeruk Manis Kabupaten Karangasem yang telah diputus
oleh
Pengadilan
Negeri
Amlapura
dcalam
putusan
No.
135/Pid.B/2006/PN.AP, tanggal 16 November 2006, yang pelakunya kebetulan bukan warga desa setempat, maka masing-masing desa telah melakukan sendiri upaya pemulihan dengan melakukan upacara adat.167 165
Dirangkum dari hasil wawancara dengan Kelian Adat Banjar Tebongkang Desa Singakerta Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, tanggal 15 Juni 2010 166 Dirangkum dari hasil wawancara dengan Kelian Pengemong Pura pasek Gelgel Banjar Sakih, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar tanggal 16 Juni 2010 167 Dirangkum dari hasil wawancara dengan Bendesa Adat Desa Pekraman Sengkidu dan Desa Pekraman Manggis, kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem, tanggal 24 dan 25 Juni 2010
152
Dengan pemaparan tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian kasuskasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat. Dari paparan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa konsep ‘penghukuman’ dalam hukum adat di Bali, berangkat dari falsafah yang berbeda dengan konsep pemidanaan dalam KUHP.
4. Pemidanaan Delik Adat dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Berbeda dengan KUHP sekarang, di dalam RKUHP dirumuskan tentang “tujuan dan pedoman pemidanaan”. Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran : 1)
Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan
(purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan; 2)
Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari
keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum Pidana) di samping sub sistem lainnya, yaitu sub sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana” “kesalahan, dan “pidana”;
153
3)
Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai
fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofi, rasionalitas, motivasi dan jastifikasi pemidanaan; 4)
Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan
suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif),dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan dan tujuan serta pedoman pemidanaan. RKUHP 2008 dalam Pasal 54 merumuskan tujuan pemidanaan sebagai berikut : (1) Pemidanaan bertujuan untuk : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana e. memaafkan terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dilihat dari perumusan tujuan pemidanaan dalam rancangan tersebut, nampak ada usaha-usaha untuk menggabungkan teori pemidanaan, baik yang bersifat pencegahan umum maupun pencegahan yang bersifat khusus (general prevention dan
154
special prevention), teori tentang perlindungan masyarakat (social defence), teori kemanfaatan (utilitarian theory).168 serta tujuan ‘penghukuman’ menurut hukum adat. Dalam rumusan tujuan pemidanaan yang dalam rancangan KUHP seperti tersebut di atas, bila dilihat dari konteks perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, tercermin dalam rumusan Pasal 54 ayat (1) huruf a. bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Aspek perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya pelaku, tercermin dalam rumusan Pasal 54 ayat (1) huruf b. yang merumuskan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. Di samping aspek perlindungan masyarakat di atas, juga dirumuskannya aspek perlindungan masyarakat demi adanya keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan serta nilai-nilai yang terganggu karena adanya tindak pidana. Untuk itu tujuan pemidanaan juga dirumuskan untuk penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan ini mengandung makna pemidanaan menurut hukum adat sebagai upaya pemulihan keseimbangan. Di samping itu, juga dirumuskan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 168
Di dalam rumusan ini sebenarnya
Bandingkan pula dengan Allen, Harry E., /et.al./ 1981. Crime and Punishment, New York : The Free Press, hal 103 lebih jauh lihat pula William F. Mc Donal. /ed./. 1976. Criminal Justice and the Victim, London, Beverly Hill : Sage Publication, hal 96
155
terkandung tujuan pembalasan, pengimbalan atau retribusi, sebab hakikat pemidanaan adalah nestapa atau penderitaan sebagai wujud pernyataan pencelaan moral dari masyarakat. Pengenaan pidana dimaksudkan untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana, merupakan penebusan dosa atas kesalahan yang dilakukan dan memulihkan keseimbangan. Dengan demikian aspek pembalasan yakni teori expiation juga mewarnai
rumusan tujuan pemidanaan dalam RKUHP. Konsep
pemikiran dari teori expiation inilah menampakkan suatu persamaan dengan konsep pemikiran dalam penjatuhan “sanksi” yang dikenal dalam hukum adat pidana. Urgensi tetap dicantumkannya pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana tambahan, dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemidanaan yang bertolak dari dan didasarkan pada KUHP (baca WvS) yang selama ini terjadi dalam praktek, kurang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat yang masih mengenal dan memberlakukan hukum adat pidana Kerugian yang diakibatkan oleh delik adat, tidak saja menyangkut kerugian materiil, tetapi juga kerugian yang bersifat immateriil. Hal ini jelas menunjukkan bahwa hukum adat pidana dilandasi oleh suatu falsafah harmoni dan ’communal morality’ Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofi, rasionalitas, motivasi dan jastifikasi pemidanaan. Untuk itu tim perumus mencantumkan secara ekplisit pedoman pemidanaan secara umum dalam ketentuan Pasal 55, 56 dan 57 RKUHP. Pedoman pemidanaan ini masih dilanjutkan dengan perumusan pedoman penerapan pidana, baik penerapan pidana
156
penjara dengan perumusan tunggal maupun penerapan pidana dengan perumusan alternatif (Pasal 58 – 60 RKUHP 2008). Jenis-jenis pidana dalam RKUHP 2008 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 67 adalah : Pasal 65 : (1) Pidana pokok terdiri dari atas a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat ringannya pidana. Pasal 67 : (1) Pidana tambahan terdiri dari a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. (3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Dalam hal penjatuhan pidana berupa pemenuhan kewajiban adat, lebih lanjut dalam Pasal 100 ditentukan :
157
(1)
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
(2)
Pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
(3)
Kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adfat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
(4)
Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
Dengan dimasukkannya pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana tambahan dalam rancangan KUHP 2008
nampak adanya upaya untuk
memfungsionalisasikan nilai-nilai hukum adat khususnya “sanksi adat” sebagai sarana penanggulangan kejahatan di Indonesia. Dari pemikiran sosiologis, pemikiran tersebut di atas sangatlah didukung, karena alam tradisional Indonesia bersifat “kosmis” yang meliputi segala-galanya sebagai suatu totalitas. Apabila hal tersebut kita kaitkan dengan tujuan pemidanaan, mau tidak mau membawa kita pada pemahaman dengan pendekatan multi dimensi yang bersifat sangat mendasar terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Dengan mendasarkan pada pandangan di atas, maka setiap tindak pidana akan dipandang sebagai gangguan
terhadap
keseimbangan,
keselarasan
serta keseimbangan
masyarakat, sehingga tujuan pemidanaan harus dirumuskan untuk memperbaiki kerusakan, baik yang bersifat individual, maupun yang bersifat sosial.
158