Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
DEKONTAMINASI BAKTERI PATOGEN PADA DAGING DAN JEROAN KAMBING DENGAN IRADIASI GAMMA (Decontamination of Some Phatogenic Bacterialss on Goat Meat and Bowel by Gamma Irradiation) HARSOJO1, LYDIA ANDINI S.1 dan NANCY ROSITA TRIMEY T.2 1
Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jl. Ps. Jumat Jakarta Selatan 2 Institut Sains dan Teknologi Nasional, Fakultas MIPA, Jakarta.
ABSTRACT Goat meat and bowel are consumed a lot by Indonesians to make roast goat meat or curry soup. Animal derived product like as the others meat is the best media for the growing of microorganims/bacteria. Some methods were also done to preserve meat. An experiment has conducted to study the effect of iradiation on pathogenic bacteria which inoculated at goat meat and bowel. Some pathogenic bacteria such as Salmonella agona, Salmonella kentucky and Staphylococcus aureus were inoculated on the goat meat and bowel, respectively. The measured parameter is the amount of colonies which still survive after irradiation at 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 and 3.0 kGy. The irradiaton was done at a multipurpose panoramic batch irradiator (PANBIT) with the dose rate of 2.657 kGy/h. Results of experiment showed Salmonella was more radioresistant compared S. aureus. The D10 value of S. agona for goat meat and bowel were 0.31 and 0.65 kGy, while D10 value of S. kentucky were 0.68 and 0.79 kGy. On the otherhand, D10 value of S. aureus were 0.58 and 0.64 kGy. Key Words: Pathogenic Bacteria, Irradiation Decontamination ABSTRAK Daging dan jeroan kambing banyak digemari orang untuk dibuat sate atau sop/gulai. Sebagaimana produk ternak lainnya, daging juga termasuk bahan makanan yang mudah rusak dan berperan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme/bakteri. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengawetkan daging agar dapat disimpan lama. Pada kesempatan ini telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh iradiasi terhadap bakteri patogen yang diinokulasikan ke dalam daging maupun jeroan kambing. Bakteri yang diinokulasikan adalah Salmonella agona, Salmonella kentucky dan Staphylococcus aureus ke dalam daging dan jerohan kambing. Parameter yang diukur adalah jumlah koloni bakteri yang masih hidup setelah diiradiasi pada dosis 0; 0,5;1,0; 1,5; 2,0; 2,5 dan 3,0 kGy di IRPASENA dengan laju dosis 2,657 kGy/j. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Salmonella lebih tahan terhadap iradiasi dibandingkan dengan S. aureus. Nilai D10 yang diperoleh untuk S. agona pada daging dan jeroan adalah 0,31 dan 0,65 kGy, untuk S. kentucky adalah 0,68 dan 0,79 kGy. Sementara itu, untuk S. aureus adalah 0,58 dan 0,64 kGy. Kata Kunci: Bakteri Patogen, Dekontaminasi Iradiasi
PENDAHULUAN Daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme sehingga dalam waktu yang singkat akan mudah menjadi rusak (SOEPARNO, 1994). Mikroorganisme yang mengadakan kontak dengan bahan tersebut dan bila kondisi lingkungannya seperti suhu dan kadar air memungkinkan, maka pertumbuhan yang
dilanjutkan dengan perkembangbiakan mikroorganisme akan terjadi. Daging yang tercemar bakteri patogen akan berbahaya bila dikonsumsi karena akan menimbulkan penyakit (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999). Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril. Beberapa saat setelah
1027
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
penyembelihan darah masih bersirkulasi. Kontaminasi berikutnya dapat terjadi pada saat persiapan daging seperti proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, pembuatan produk daging proses, preservasi, pengepakan,penyimpanan dan distribusi. Keracunan makanan yang berasal dari daging dapat terjadi karena bakteri memproduksi toksin dalam tubuh. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) yang dikutip dari ANIES (2003) dan POERNOMO (1995) lebih dari 80% keracunan makanan disebabkan oleh bakteri patogen. Keracunan makanan ini disebabkan oleh bakteri Staphylococcus, Salmonella, Clostridium botulinum, C. perfringens dan Bacillus cereus (SOEPARNO, 1994). Keracunan makanan tersebut dapat terjadi karena adanya kontaminasi silang yaitu bakteri dari salah satu sumber yang tercemar pindah ke sumber belum tercemar yang biasanya baru dimasak. Menurut POERNOMO (1995), pencemaran silang ini dapat melalui alat-alat atau karena salah meletakkan makanan atau bahan pangan yang belum tercemar menjadi tercemar. Kejadian Luar Biasa (KLB) yang disebabkan oleh bakteri patogen dapat dieliminasi atau direduksi dari daging maupun bahan makanan dengan menggunakan iradiasi dosis rendah, sehingga daging maupun bahan makanan aman untuk dikonsumsi serta dapat memperpanjang daya simpan bahan makanan tersebut (THAYER, 1983). Iradiasi merupakan tahapan yang efektif dalam program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk mengeliminasi bakteri patogen dalam bahan makanan ternak. Tujuan penelitian ini untuk mengeliminasi bakteri patogen dengan menggunakan iradiasi gamma pada daging dan jeroan kambing. MATERI DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah daging serta jeroan kambing yang dibeli di pasar tradisional di Kebayoran Lama. Bakteri yang digunakan seperti Salmonella spp., S. aureus berasal dari koleksi laboratorium mikrobiologi (PAIRCC). Bakteri yang akan digunakan dimudakan terlebih dahulu dalam media agar nutrien
1028
miring kemudian ditanam dalam nutrien cair untuk digoyang selama 24 jam pada suhu 37oC. Selanjutnya ditanam kembali ke 100 ml media nutrien cair untuk digoyang kembali selama 18 jam pada suhu 37oC. Kemudian suspensi bakteri tersebut disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Endapan yang didapat dicuci 2 x dengan air suling steril sebanyak 20 ml dan disentrifus kembali pada kecepatan dan waktu yang sama. Setelah itu endapan dibuat suspensi dengan standar kekeruhan 3 x 108 sel/ml. Sampel sebanyak 10 g dimasukkan dalam kantong plastik ditutup rapat dan kemudian diiradiasi steril. Kemudian masing-masing sampel diinokulasi dengan suspensi bakteri tersebut Selanjutnya sampel tersebut diiradiasi dengan dosis 0; 0,5; 1,0; 2,0; 2,5 dan 3,0 kGy pada laju dosis 2,657 kGy/jam. Sampel yang telah diiradiasi dilakukan pengenceran bertingkat dan selanjutnya ditanam pada media agar Nutrien kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24–48 jam. Penetuan nilai D10. Penentuan nilai D10 dilakukan seperti metode RASHID et al. (1992) dan ITO et al. (1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Kontaminasi dapat terjadi saat penyembelihan ternak hingga daging dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah disekitarnya, kulit (kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang dipergunakan selama proses mempersiapkan karkas, kotoran, udara dan pekerja. Mikroorganisme yang berasal dari para pekerja antara lain Salmonella, Bacillus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dll (SOEPARNO, 1994) Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi dan bila tertelan/masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Menurut MULDER dan BOLDER yang dikutip dari POERNOMO (1994), mikroorganisme yang mempunyai pilli seperti Salmonella mempunyai kesanggupan untuk menempel pada permukaan karkas dan sekali menempel sukar untuk diangkat, walaupun dengan menambahkan bahan kimia ke dalam air yang dipergunakan untuk mencuci karkas.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Kejadian Luar Biasa (KLB) yang disebabkan oleh Salmonella maupun Staphylococcus di Indonesia belum banyak dilaporkan dan dapat disebut fenomena gunung es karena pangan dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari (HARIYADI, 2002 dan SPARRINGA, 2003). Persentase jumlah yang dilaporkan masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan wabah yang sebenarnya terjadi (RAHAYU, 2004). Menurut JENIE (2004), letusan penyakit asal pangan yang terjadi di negara berkembang menyebabkan kematian 2,2 juta anak oleh penyakit diare. Penyebab diare adalah bakteri patogen asal pangan dan asal air. Salmonellae merupakan salah satu bakteri yang paling patogen disebarluaskan melalui makanan (POERNOMO, 1995). Pengaruh iradiasi terhadap S. agona pada daging dan jerohan kambing dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa pada dosis 0,5 kGy telah terjadi penurunan S. agona pada daging dan jerohan masing-masing sebesar 3 dan 1 desimal. Pada dosis 1,5 kGy untuk daging dan jerohan terjadi penurunan bakteri masing-masing sebesar 5 dan 2 desimal, sedang pada dosis 2,0 kGy tidak terlihat adanya pertumbuhan S. agona pada daging maupun jeroan kambing. Tabel 1. Pengaruh iradiasi terhadap S. agona pada daging dan jeroan kambing Dosis iradiasi (kGy)
Jumlah bakteri (koloni/g) Daging
Jeroan
0
1,1, x107
2,5 x 104
0,5
7,0 x 104
3,0 x 103
1,0
2,3 x 103
5,7 x 102
1,5
3,7 x 102
1,7 x 102
2,0
-
-
- = Tidak ada pertumbuhan
Tampaknya S. agona sangat peka terhadap iradiasi, hal ini terlihat pada dosis diatas 1,5 kGy tidak terlihat adanya pertumbuhan. Tingginya jumlah bakteri pada kontrol untuk daging dibandingkan dengan jerohan (1,1 x107 vs 2,5 x 104 koloni/g) disebabkan pada daging secara alami tidak mengandung bakteriostatik (SOEPARNO, 1994). Bakteriostatik ini merupakan suatu substansi atau agensia yang dapat merusak/membunuh mikroorganisme.
Disamping itu pada daging lebih banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhannya dibandingkan dengan jerohan. Pengaruh iradiasi terhadap pertumbuhan S. kentucky pada daging dan jeroan kambing dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat pada kontrol untuk daging vs jeroan kambing pertumbuhan bakteri lebih subur pada daging sebesar 5 kali dibandingkan dengan jerohan (5,1 x 106 vs 1,0 x 106 koloni/g). Pada dosis 0,5 kGy penurunan jumlah bakteri pada daging dan jeroan masing-masing sebesar 1 desimal, sedang pada dosis 2,0 kGy terjadi penurunan jumlah bakteri masing-masing sebesar 3 desimal. Pada dosis 2,5 kGy terjadi penurunan jumlah bakteri pada daging sebesar 3 desimal sedangkan pada jeroan sebesar 4 desimal. Pada dosis 3,0 kGy tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada daging maupun jeroan kambing. Tabel 2. Pengaruh iradiasi terhadap S. kentucky pada daging dan jeroan kambing Jumlah bakteri (koloni/g) Dosis iradiasi (kGy)
Daging
Jeroan
5,1 x 10
6
1,0 x 106
0,5
9,5 x 10
5
6,4 x 105
1,0
2,1 x 105
2,9 x 104
1,5
1,8 x 10
4
8,4 x 103
2,0
5,8 x 10
3
3,8 x 103
2,5
1,4 x 103
3,3 x 102
3,0
-
-
0
- = Tidak ada pertumbuhan
Pada penelitian ini juga dilakukan pengaruh iradiasi S. aureus pada daging dan jeroan kambing. Menurut POERNOMO (1995), S. aureus merupakan batasan antara bakteri indikator dan patogen yang tidak jelas. Bakteri tersebut dapat digolongkan sebagai bakteri patogen atau sebagai indikator dari penanganan makanan yang tidak higienis dan enterotoksinnya dapat dideteksi langsung di makanan. Bakteri ini dapat menyebabkan intoksikasi jika tumbuh dan berkembang biak dalam makanan. Bakteri ini menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti bisul, meningtis, mastitis pada manusia dan hewan. Jenis makanan yang paling digemari bakteri ini
1029
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
adalah daging. Sumber kontaminasi bakteri ini berasal dari orang-orang menangani pangan. Toksin yang dihasilkannya tidak akan termusnahkan walaupun makanan yang tercemar toksin tersebut disimpan didalam lemari es (POERNOMO, 1995; FARDIAZ dan BETTY, 1983). Begitu pula pemasakan kembali makanan tersebut tidak akan mengurangi kandungan toksin yang ada. Bakteri ini tidak mengubah warna, bau dan flavor yang berarti (BAHRI et al., 2004). Menurut HARIYADI (2002) toksin yang dihasilkan S. aureus umumnya tahan pemanasan dan sekali terbentuk dalam makanan akan sulit untuk dihilangkan. Tabel 3 menunjukkan pengaruh iradiasi S. aureus pada daging dan jeroan. Pada tabel tersebut terlihat hal yang sama pada tabel sebelumnya bahwa jumlah bakteri S. aureus pada daging lebih tinggi dibandingkan dengan jeroan (7,8 x 106 vs 4,4 x 105 koloni/g). Pada dosis 0,5 kGy penurunan jumlah bakteri S. aureus pada daging maupun jeroan kambing masing-masing sebesar 1 desimal, sedangkan pada dosis 2,5 kGy terjadi penurunan bakteri pada daging sebesar 3 desimal dan pada jeroan tidak didapatkan lagi pertumbuhan bakteri. Pada daging pertumbuhan bakteri tidak didapatkan pada dosis 3,0 kGy. Tabel 3. Pengaruh iradiasi terhadap S. aureus pada daging dan jeroan kambing Dosis iradiasi (kGy)
Jumlah bakteri (koloni/g) Daging
Jeroan
0
7,8 x 106
4,4 x 105
0,5
3,2 x 105
4,9 x 104
1,0
8,8 x 104
7,6 x 103
1,5
8,8 x 103
2,1 x 103
2,0
3,6 x 103
5,7 x 102
2,5
1,6 x 10
3
3,0
-
-
- = tidak ada pertumbuhan
Kematian bakteri yang terjadi sebagai akibat terjadinya perubahan kimia di dalam sel bakteri. Perubahan kimia tersebut adalah penghambatan sintesa DNA yang mengakibatkan proses pembelahan sel dan reproduksi terganggu (SUHADI, 1976). Menurut SIAGIAN (1985) kerusakan DNA yang terjadi
1030
sebagai akibat iradiasi apabila tidak dapat dilakukan perbaikan seperti semula maka bakteri tersebut akan mengalami kematian. Radioresistensi masing-masing bakteri dapat dilihat dari nilai D10. Makin tinggi nilai D10 suatu bakteri menunjukkan makin tahan bakteri tersebut terhadap iradiasi. Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan keperluan dekontaminasi daging maupun jeroan kambing yang tercemar oleh Salmonella atau bakteri lainnya seperti Staphylococcus. Nilai D10 beberapa bakteri pada daging dan jeroan kambing tertera pada Tabel 4. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa secara umum nilai D10 pada daging bervariasi antara 0,31 dan 0,58 kGy sedang pada jerohan bervariasi antara 0,64 dan 0,79 kGy. Pada daging terlihat S. agona merupakan bakteri yang paling peka terhadap iradiasi dibandingkan dengan S. kentucky dan S. aureus. S. kentucky merupakan bakteri yang paling tahan terhadap iradiasi diantara ke tiga bakteri tersebut. Pada jeroan S. aureus merupakan bakteri yang paling peka akan iradiasi dibandingkan dengan S. agona dan S. kentucky. S. kentucky merupakan bakteri yang paling tahan terhadap iradiasi pada jeroan dibandingkan dengan ke tiga macam bakteri tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat SUPARDI dan SUKAMTO (1999) yang menyatakan bahwa bermacam-macam Salmonella cenderung lebih tahan terhadap iradiasi dibandingkan dengan bakteri lainnya. Tabel 4. Nilai D10 (kGy) pada daging dan jeroan kambing Bakteri
Daging Jeroan
Daging ayam (ANDINI et al., 1994)
S. agona
0,31
0,65
0,05
S. kentucky
0,68
0,79
0,045
S. aureus
0,58
0,64
= tidak ada data
Menurut SUHADI (1976), variasi nilai D10 tersebut disebabkan adanya perbedaan kepekaan jenis bakteri yang tumbuh pada substrat dan substrat itu sendiri. Hal ini terlihat pada nilai D10 untuk Salmonella yang diperoleh pada daging maupun jerohan kambing lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam (ANDINI et al., 1994).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
KESIMPULAN Salmonella pada daging maupun jeroan kambing cenderung lebih tahan terhadap iradiasi dibandingkan dengan S. aureus. Nilai D10 untuk Salmonella pada daging maupun jeroan kambing bervariasi antara 0,31–0,79 kGy, sedangkan untuk S. aureus adalah sebesar 0,58 dan 0,64 kGy. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada sdr. Anastasia S.D., Armanu dan E. Mulyana atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. DAFTAR PUSTAKA ANDINI, L.S., HARSOJO, S.D. ANASTASIA dan M. MAHA. 1994. Efek iradiasi gamma pada Salmonella sp. yang yang diisolasi dari daging ayam segar. Risalah Seminar Aplikasi Isotop dan Radiasi 1994. hlm. 165. ANIES, 2003. Mewaspadai makanan beracun, Harian KOMPAS, 12 Juni. hlm. 35. BAHRI, S., SETIADI, B. dan INOUNU, I. 2004. Ringkasan eksekutif: Arah penelitian dan pengembangan peternakan tahun 2005-2009, Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 6–10. FARDIAZ SRIKANDI dan BETTY S.L. JENIE. 1983. Masalah keamanan pangan dalam hubungannya dengan mikrobiologi veterinari. Mikrobiologi di Indonesia. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia: hlm. 307. HARIYADI, R.D. 2002. Keracunan pangan tak hanya sebabkan diare. Harian Kompas 15 Desember: hlm. 32. ITO,
H., HARUN AL-RASHID, NARVEMON SANGTHONG, A.Y. PITAYA, R. PONGPEN and I. ISHIGAKI. 1993. Effect of gamma irradition on frozen shrimps and decontamination of pathogenic bacteria, Radiat. Phys. Chem. 42(1–3): 279.
JENIE, B.S.L. 2004. Keamanan pangan, dibawakan pada Seminar dan Diskusi Ilmiah: Mutu dan Keamanan Pangan, IPB, Bogor 11 Juni. RAHAYU, W.P. 2004. Kebijakan keamanan pangan, dibawakan pada Seminar dan Diskusi Ilmiah: Mutu dan Keamanan Pangan, IPB, Bogor 11 Juni. RASHID, H.O., H. ITO and I. ISHIGAKI. 1992. Distribution of pathogenic vibrios andother bacteria in imported frozen shrimps and their decontamination by gamma irradiation, World J. Microbiol. Biotechnol. 8: 494. SIAGIAN, E.G. 1986. Kemungkinan penanggulangan Salmonellosis dengan iradiasi, Laporan Penelitian PAIR/P.186/1986. SOEPARNO. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah mada University press, cetakan ke-2, SPARRINGA, R.A. 2003. Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia: Masalah dan saran pemecahannya, dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. SRI POERNOMO. 1994. Salmonella pada ayam di rumah potong dan lingkungannya di wilayah Jakarta dan sekitarnya, Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22–24 Maret. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 338. SRI
POERNOMO. 1995. Standar higiene dan keamanan pangan. Bahan Penataran Manajemen Usaha Jasa Boga. Institut Pertanian Bogor.
SUHADI, F. 1976. Pengaruh radiasi pengion terhadap bakteri, Majalah BATAN IX(3): 44. SUPARDI, I. dan SUKAMTO. 1999. Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan, Penerbit Alumni Bandung, cetakan ke-1. THAYER, D.W. 1983. Extending shelf-life of poultry and red meat by irradiation processing. J. Food Protection 91: 831.
1031