DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR:
FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN Budi Kartiwa1, dan Hidayat Parwitan2 Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian 2) Institut Pertanian Bogor
1)
Berdasarkan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Pengelolaan sumber daya air didefinisikan sebagai aplikasi dari cara struktural dan non-struktural untuk mengendalikan sistem sumber daya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Sumber daya air merupakan bagian dari sumber daya alam yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan sumber daya alam lainnya. Air adalah sumber daya yang terbarui, bersifat dinamis mengikuti siklus hidrologi yang secara alamiah berpindahpindah serta mengalami perubahan bentuk dan sifat. Tergantung dari waktu dan lokasinya, air dapat berupa zat padat sebagai es dan salju, dapat berupa air yang mengalir serta air permukaan. Berada dalam tanah sebagai air tanah, berada di udara sebagai air hujan, berada di laut sebagai air laut, dan bahkan berupa uap air yang didefinisikan sebagai air udara. Dewasa ini permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat dalam kaitannya dengan sumber daya air adalah kerusakan sumber-sumber air yang menyebabkan penurunan kuantitas, kualitas dan kontinuitas ketersediaan sumber daya air. Hal ini terjadi karena besarnya tekanan penduduk dengan penggunaan air telah melampaui daya dukung lingkungan sehingga terjadi degradasi daya tampung lingkungan. Permasalahan sumber daya air ini diperparah oleh adanya limbah dan percemaran sumber air yang menurunkan mutu air lingkungan. Upaya pengendalian mutu air menunjukkan bahwa limbah dan pencemaran air ini telah menjadi pengguna air yang bersaing dengan pengguna air lainnya. Permasalahan sumber daya air yang semakin kompleks ini menuntut kita untuk mengelola sumber daya air dengan baik sehingga dapat menunjang kehidupan masyarakat dengan baik. Berdasarkan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Faktor Penyebab Kerusakan Sumber-Sumber Air Kerusakan Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah (lahan) yang menerima masukan hujan, menyimpan dan mengalirkan air melalui jaringan sungai, sehingga menghasilkan luaran berupa debit sungai. Hubungan hujan-limpasan/debit sungai menyatakan kondisi hidrologi DAS, dan diharapkan bahwa DAS memiliki fungsi yang menjamin keberlanjutan hubungan hujan-limpasan yang seimbang. Apabila keberlanjutan fungsi-fungsi DAS ini terganggu karena telah terjadi perubahan bio-geo-fisik lahan DAS, maka dikatakan telah terjadi kerusakan DAS atau dikenal dengan DAS Kritis. Dalam rencana Pembangunan Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 (PP No: 7 tahun 2005) disebutkan DAS yang berada pada kondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS (tahun 1984) menjadi 39 DAS (tahun 1994) dan meningkat menjadi 62 DAS (tahun 1999) (Gambar 1 dan Tabel 1). Pada saat ini diperkirakan DAS kritis telah meningkat menjadi sekitar 282 DAS. Sedangkan Tabel 2 menyajikan skenario perkembangan DAS Kritis 5 tahunan antara tahun 2010-2025.
Gambar 1. Perkembangan Jumlah DAS Kritis, 1984–1998
162
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Tabel 1. Daftar DAS Kritis di Indonesia, 1999 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
NamaDAS
Provinsi
KruengAceh KruengPesangan Asahan LauRenun Ular Nias(Kepulauan) Kampar Indragiri Rokan Kuantan KamparKanan Batanghari MannaPadangGuci Musi WaySeputih WaySekampung Citarum Cimanuk Ciliwung Citanduy Cipunegara Ciujung KaliGarang KaliBodri KaliSerayu Bribin Pasiraman Rejoso Brantas Sampean BengawanSolo
NAD NAD SumateraUtara SumateraUtara SumateraUtara SumateraUtara Riau Riau Riau SumateraBarat SumateraBarat SumbarJambi Bengkulu BengkuluSumsel Lampung Lampung JawaBarat JawaBarat JawaBarat JawaBarat JawaBarat JawaBarat JawaTengah JawaTengah JawaTengah DIY JawaTimur JawaTimur JawaTimur JawaTimur JatengJatim
No 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
NamaDAS
Provinsi
Girindulu Saroka TukadUnda Dodokan Benain Noelmina Aisissa Kambaheru Lois Sambas TunanManggar KotaWaringin Barito JeneberangKlara Walanae Billa Saddang BaubauWanca Lasolo Poso Lamboru Palu Limboto Tondano Dumoga BatuMerah HatuTengah Baliem MeraukeBulaka Memberamo Sentani
JawaTimur JawaTimur Bali NusatenggaraBarat NusatenggaraTimur NusatenggaraTimur NusatenggaraTimur NusatenggaraTimur NusatenggaraTimur KalimantanBarat KalimantanTimur KalimantanTengah KaltengKalsel SulawesiSelatan SulawesiSelatan SulawesiSelatan SulawesiSelatan SulawesiTenggara SulawesiTenggara SulawesiTengah SulawesiTengah SulawesiTengah SulawesiUtara SulawesiUtara SulawesiUtara Maluku Maluku Papua Papua Papua Papua
Tabel 2. Skenario Perkembangan DAS Kritis 5 Tahunan, 2010-2025 Skenario Moderat
Skenario Ekstrim
Tahun 2010
Belum ada DAS dengan deforestasi >20% luas DAS
55 DAS mengalami deforestasi >20% luas DAS
62 DAS mengalami kerusakan >20%
120 DAS mengalami deforestasi tinggi
Tahun 2015
Jumlah DAS yang mengalami kerusakan menurun
123 DAS mengalami deforestasi tinggi
Tahun 2020
126 DAS mengalami deforestasi tinggi Tahun 2025 * Baik skenario moderat maupun ekstrim, sebagian besar DAS akan mengalami tekanan alih fungsi tutupan hutan menjadi penggunaan lain
163
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Tingkat kerusakan daerah aliran sungai dapat diketahui dari beberapa indikator, antara lain adalah : rasio debit sungai maksimum/minimum, koefisien limpasan (run-off), erosi dan sedimentasi, muka airtanah, dan debit mata air.
Rasio Debit Sungai Maksimum/Minimum (Rasio Qmax/Qmin) Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim hujan) dan debit minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas suatu daerah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian dapat dialirkan pada musim kemarau. Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang bersangkutan. Semakin curam hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Debit limpasan menyebabkan banjir pada musim hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai pada musim kemarau. Tabel 3 menyajikan nilai rasio Qmax/Qmin beberapa sungai di Indonesia, yaitu berkisar antara 8 – 2500 (Kementerian lingkungan hidup, 2003). Meskipun batasan nilai rasio Qmax/Qmin berbeda untuk setiap sungai, namun data tersebut memberi gambaran bahwa telah terjadi kerusakan di beberapa daerah aliran sungai di Indonesia. Tabel 3. Data rasio Qmax/Qmin pada Beberapa Sungai di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sungai
Rasio Qmax/ Qmin
S.Citarum S.Cibuni S. Ciujung S. Solo (Jateng) S. Serayu S. Lusi S. Progo S. Solo (Jatim) S. Brantas S. Asahan S. Pasaman S.Bt.Hari (Sumbar)
57 – 1667 78 22 – 179 106 1667 345 400 – 588 164 8 – 12 42 33 139
No 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sungai S. Bt. Kuantan S. Bt. Kampar S. Bt. Rokan S. A. Dikit S. Bt. Hari (Jambi) S. Musi S. Tulang Bawang S. Sekampung S. Paguyaman S. Randangan S. Cenranae S. Mapili S. L. Sampara
Rasio Qmax/ Qmin 56 68 – 101 59 25 18 – 357 9 – 47 175 – 256 667 2500 72 60 – 2000 588 13
Koefisien Limpasan (Run-off Coefficient) Koefisien limpasan adalah rasio jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, di mana nilainya tergantung pada tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan. Pada daerah aliran sungai (DAS) berhutan dengan tekstur tanah liat berpasir, nilai 164
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
koefisien limpasan berkisar antara 0,10 - 0,30. Pada lahan pertanian dengan tekstur tanah yang sama, nilai koefisien limpasan adalah 0,30 – 0,50. Berikut disajikan studi kasus nilai koefisien limpasan di DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan data debit dan curah hujan di DAS Ciliwung (Tahun 1981 s/d 2001) terlihat bahwa debit Sungai Siliwung Hulu adalah 2.363 mm/th dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.519 mm/th. Hal ini berarti bahwa koefisien limpasan tahunan di SubDAS ini telah mencapai 67 persen. Dapat diperkirakan bahwa koefisien limpasan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda. Dari data hidrograf juga dapat dilihat bahwa koefisien aliran permukaan di Ciliwung Hulu berkisar antara 60–75 persen dari total curah hujan. Nilai koefisien limpasan tersebut menggambarkan bahwa kondisi penutupan lahan oleh hutan di Sub-DAS Ciliwung Hulu telah mangalami kerusakan, sehingga memerlukan perhatian serius (Tim IPB, 2002).
Erosi dan Sedimentasi Sedimentasi merupakan dampak lanjutan dari terjadinya erosi di daerah hulu sungai, yang diakibatkan oleh limpasan. Hilangnya vegetasi (hutan) pada suatu daerah aliran sungai, selain menyebabkan limpasan juga sekaligus meningkatkan laju erosi. Erosi yang berlangsung secara terus menerus pada musim hujan dapat menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas (top-soil), yang kemudian terbawa aliran sungai dan seterusnya menyebabkan sedimentasi di sungai (pendangkalan sungai). Disamping itu, erosi juga menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Laju erosi di berbagai DAS saat ini relatif tinggi. Misalnya di Sub-DAS Ciliwung Hulu, secara kumulatif laju erosi yang terjadi adalah 19.3 ton/ha/tahun, dengan Indeks Erosi sebesar 1.29 (lebih besar dari 1) yang berarti bahwa (ditinjau dari segi erosi) DAS tersebut tergolong dalam kondisi jelek. Kehilangan lapisan tanah atas akibat erosi sebesar 1.6 mm/tahun. Nilai TSS (total suspended solid) dan TDS (total disolved solid) pada beberapa sungai di Indonesia telah melampaui 100 mg/liter. Hal ini menunjukkan adanya tingkat erosi yang tinggi di daerah hulu DAS akibat berkurangnya areal hutan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Sedimentasi juga telah menyebabkan pendangkalan beberapa waduk/danau/setu di Indonesia. Jumlah setu di kawasan Jabotabek telah mengalami penurunan, yaitu dari 218 situ pada awal tahun 1970, saat ini tinggal tersisa 50 – 100 situ. Danau sentani di Provinsi Papua sejak tahun 1999 mengalami pendangkalan rata-rata 5 meter per tahun. Danau Tondano di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1970 titik terdalamnya mencapai 50 meter, sekarang tinggal sekitar 10 meter (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Di Kabupaten Bogor, 67 persen dari jumlah setu yang ada dalam keadaan rusak, yaitu akibat adanya gulma, sedimentasi, dan alih fungsi menjadi kawasan terbangun. Luas setu berkurang 24,59 persen, dari 501 hektar tahun 1995 menjadi 446,67 hektar tahun 2002 (Dirjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, 2002). 165
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Kejadian sedimentasi juga terjadi di Segara Anakan yang awalnya memiliki badan air seluas 8150 ha dengan total voleme 45,4 juta m3, tahun 1903 menyusut menjadi 6450 ha, tahun 1939 menjadi 6060 ha, tahun 1971 menjadi 4290 ha, dan tahun 1992 tinggal 1800 ha. Pada periode Tahun 1987 - 1992 telah terjadi pengurangan areal seluas 2.490 hektar atau 166 hektar/tahun, dan dada periode Tahun 1992 – 2002 telah terjadi lagi pengurangan areal seluas 600 hektar atau 60 hektar/tahun (Agus Maryono dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Pawitan (2002) mencatat bahwa penyusutan luas laguna ini terjadi karena adanya reklamasi untuk sawah tahun 1972, walau tujuan pengelolaan berubah menjadi untuk konservasi ekosistem laguna setelah 1980. Lebih lanjut Pawitan menyebutkan bahwa karakteristik ekohidrologi laguna dicirikan oleh aliran masuk dari Citanduy dan sungai sekitarnya sebesar 19,6 juta m3/hari dengan beban sedimen mencapai delapan juta ton per tahun, dan akibat sedimentasi volume laguna berkurang sebesar satu juta m3/tahun.
Debit Mata Air Ekosistem mata air merupakan salah satu ekosistem lahan basah dan seringkali sebagai awal dari sebuah aliran sungai. Sumber air ekosistem mata air adalah aliran air tanah yang muncul ke permukaan tanah secara alami, yang disebabkan oleh terpotongnya aliran air tanah oleh bentuk topografi setempat dan keluar dari batuan. Pada umumnya mata air muncul di daerah kaki perbukitan atau bagian lereng, lembah perbukitan, dan di daerah dataran. Kondisi daerah resapan (recharge area) sangat berpengaruh terhadap debit mata air dan kualitas airnya. Tata guna lahan pada daerah resapan berpengaruh langsung terhadap bagian air hujan yang masuk ke dalam tanah sebagai aliran airtanah (sumber mata air). Pada saat ini, beberapa daerah resapan mata air (khususnya di P. Jawa) telah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan. Beberapa mata air di daerah Bogor, Purwokerto, dan Malang telah mengalami penurunan debit bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970an. Apabila tidak ada upaya pengendalian kerusakan ekosistem mata air, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan mata air di masa mendatang akan terganggu. Penurunan/ hilangnya debit mata air juga berarti kerusakan ekosistem mata air secara keseluruhan sebagai salah satu ekosistem lahan basah. Di wilayah Bogor, hingga tahun 2001 telah terjadi penurunan debit mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM setempat, yakni sebesar 4-15 persen (Prastowo, 2001).
Kerusakan Hutan (Degradasi Hutan) Indonesia saat ini memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Luas hutan alam Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya
166
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju deforestasi periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003). Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer. Berdasarkan hasil analisis data citra satelit SPOT yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Universitas Wageningen tahun 2009, diketahui bahwa laju deforestasi rata-rata selama periode 2000-2005 adalah sebesar 1.089.560,00 ha/tahun seperti diberikan pada Tabel 4. Tabel 4. Laju Deforestasi di Indonesia 2000-2005 Deforestasi(1.000ha/tahun) Tahun
Sumatera
Kaliman tan
Sulawesi
Maluku
Papua
Jawa
Balidan Nustra
Indonesia
20002001
259,5
212,0
154,0
20,0
147,2
118,3
107,2
1.018,2
20012002
202,6
129,7
150,4
41,4
160,5
142,1
99,6
926,3
20022003
339,0
480,4
385,8
132,4
140,8
343,4
84,3
1.906,1
20032004
208,7
173,3
41,5
10,6
100,8
71,7
28,1
634,7
20042005
335,7
234,7
134,6
10,5
169,1
37,3
40,6
962,5
20002005
1.345,5
1.230,1
866,3
214,9
718,4
712,8
359,8
5.447,8
Sumber : SPOT-VEGETATION, Kementerian Kehutanan RI – Universitas Wageningen, Belanda, 2009
Alih Fungsi Lahan Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan luas permukaan kedap (impervious area) sehingga memicu peningkatan aliran permukaan yang menjadi komponen terbesar penyumbang banjir. Selain itu, peningkatan
167
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
permukaan kedap akan menyebabkan penurunan infiltrasi yang akan mendorong penurunan cadangan air tanah. Akibatnya saat musim kemarau, terjadinya kelangkaan ketersediaan air tanah. Untuk melihat seberapa besar terjadinya perubahan penggunaan lahan tersebut, dapat dilihat angka-angka selama kurun waktu pembangunan lima tahun keenam (1994/1995 - 1998/1999). Dalam kurun waktu tersebut, luas lahan pertanian yang berubah ke nonpertanian adalah 61.245 ha. Perubahan penggunaan lahan ke industri adalah yang terbesar (65 persen), kemudian diikuti dengan pemukiman atau perumahan (30 persen). Perubahan besar-besaran terjadi pada tahun 1994/1995 untuk perumahan, yaitu seluas 10.645 ha dan tahun 1996/1997 untuk industri, yaitu seluas 22.597 ha. Setelah itu dengan terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan menurunnya investasi, perubahan penggunaan lahan pertanian baik untuk perumahan maupun industri menurun drastis yaitu 1.837 ha untuk perumahan dan hanya 131 ha untuk industri pada akhir Pelita VI. Dalam kurun waktu Pelita VI persentase lahan sawah yang berubah menjadi perumahan adalah 30 persen sedangkan yang berubah menjadi industri adalah 65 persen di seluruh Indonesia (Widjanarko, et al., 2007). Apabila diamati sebaran perubahan lahan sawah menjadi non sawah di seluruh Indonesia pada awal Pelita VI (1994/1995), sawah banyak berubah menjadi permukiman seluas 10.644 ha, terbesar terjadi di Sumatera Selatan dan Jawa Timur, sedangkan perubahan ke industri belum terlihat secara nyata. Pada tahun berikutnya perubahan lahan sawah menjadi permukiman menurun yaitu seluas 1.175 ha, sebagian besar terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya perubahan ke industri meningkat tajam yaitu seluas 16.054 ha. Perubahan tersebut sebagian besar terjadi di Jawa Timur yaitu 15.922 ha. Pada Tahun 1996/1997 perubahan lahan sawah untuk permukiman meluas lagi menjadi 3.538 ha dan begitu juga perubahan ke industri meluas menjadi 22.597 ha (Widjanarko, et al., 2007). Perubahan-perubahan tersebut terutama terjadi di Jawa Barat. Pada tahun berikutnya perubahan yang terjadi untuk perumahan yang terbanyak terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada akhir Pelita VI perubahan kearah permukiman mengalami kenaikan. Di Jawa, baik luas lahan sawah irigasi maupun sawah non irigasi (lahan kering dan lahan tadah hujan), secara perlahan tapi pasti terus menurun. Secara agregat turunnya luas lahan sawah mulai tampak sejak tahun 1988 dan lebih tajam lagi pada tahun 2002 dan seterusnya. Turunnya luas lahan sawah tersebut disebabkan oleh konversi ke penggunaan untuk non-pertanian, seperti pembangunan jalan, komplek industri dan perumahan. Di luar Jawa, luas sawah non irigasi (lahan sawah tadah hujan dan lahan kering) turun sangat tajam sejak tahun 1998, sedangkan luas lahan irigasi naik secara perlahan dan tampak melandai sejak tahun 2001 (Gambar 2) konversi ke perkebunan kelapa sawit adalah penyebab terbesar dari turunnya luas lahan sawah tadah hujan. Penyebab utama dari penurunan luas lahan tadah hujan adalah konversi ke perkebunan kelapa sawit. 168
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
1. 2. 3. 4.
Gambar 2. Pertumbuhan Luas Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi di Jawa 1980-2005
Perubahan iklim Perubahan iklim dapat memberikan efek yang nyata terhadap sumber daya air karena hubungan yang erat antara iklim dan daur hidrologi. Kenaikan suhu akan meningkatkan penguapan dan memicu peningkatan presipitasi. Banjir dan kekeringan akan terjadi lebih sering di beberapa wilayah dalam waktu yang berbeda-beda. Suhu yang meningkat juga akan mempengaruhi kualitas air melalui eutrofikasi, yaitu peningkatan populasi tumbuhan air (algae, eceng gondok, dan lain-lain) secara cepat. Perubahan iklim juga akan meningkatkan permintaan pasokan air untuk irigasi. Perubahan iklim global yang ditunjukkan oleh gejala pemanasan global, dengan kejadian ekstrim yang meningkat dibandingkan dengan pada kondisi masa lampau, telah menjadi isu serius yang perlu dicermati dalam perencanaan pembangunan ke depan. Kondisi demikian terjadi secara global walaupun tanda-tandanya tidak mudah dideteksi karena perubahan yang terjadi berlangsung dalam rentang waktu lama untuk suatu kawasan yang luas. Akibat faktor alam dan antropogenik (akibat perbuatan manusia), cuaca dan iklim berubah secara perlahan dari keseimbangan tertentu menuju kondisi keseimbangan baru. Watak hidrologi dari sungai-sungai yang ada di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap penyediaan air untuk kebutuhan penduduk, pertanian, perikanan, dan lingkungan. Selain perubahan besar debit sungai per tahun, pola musim dan watak hidrologi sungai juga berubah. Pada musim hujan terjadi kecenderungan kenaikan debit sungai yang dipengaruhi dari adanya 169
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
perubahan watak hujan dengan panjang musim hujan yang lebih singkat, di mana hujan dengan intensitas tinggi serta durasi pendek lebih sering terjadi, dan sebaliknya hujan semakin berkurang selama musim kemarau yang menjadi lebih panjang. Hal ini semakin diperparah dengan terjadi penurunan akumulasi total hujan tahunan secara persisten hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam lima dasawarsa terakhir sehingga potensi air tercurah berkurang. Kecenderungan penurunan kondisi sumber daya air di Pulau Jawa baik secara kuantitas maupun kualitas mengisyaratkan perlunya perhatian lebih besar diberikan untuk meningkatkan pengelolaannya. Kenyataan kekeringan yang terjadi di beberapa wilayah di Pulau Jawa saat ini menunjukkan kecenderungan daya dukung sumber daya air yang ada sudah tidak mampu lagi memenuhi pola kebutuhan air sendiri. Kondisi di daerah lain di Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan ke arah penurunan kondisi daya dukung sumber daya air yang pada akhirnya, jika tidak ditangani dengan cara yang tepat, akan menimbulkan permasalahan ketersediaan air untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Gejala perubahan iklim wilayah Indonesia ditunjukkan telah terjadi dengan dampak terhadap ketersediaan air, misalnya Pawitan (2002) menunjukkan penurunan curah hujan pulau Jawa yang nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 19681998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Hasil serupa juga diamati dengan perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896-1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun. Perubahan ini diyakini lebih karena perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan ke penggunaan lahan lainnya yang telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat secara luas dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan hutan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh produksi air DAS.
Gambar 3. Tren Penurunan Curah Hujan Tahunan Sibolga (Sumatera) dan Pontianak (Kalimantan) periode 1953-1995. Sumber : Naylor, et al., 2007 170
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Sektor sumber daya air Indonesia, khususnya untuk pulau Jawa, telah mengalami banyak perubahan dengan degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air, dan sejumlah kajian telah menyatakan status kritis yang serius. Sebagai sistem yang kompleks, perubahan yang terjadi di sektor sumber daya air dipengaruhi oleh faktor alami dan antropogenik, seperti perubahan iklim, tekanan penduduk dengan segala aktivitasnya, perubahan penggunaan lahan, eksploitasi sumber daya air, termasuk air bumi, serta pembangunan infrastruktur fisik. Apakah perubahan yang telah nyata terjadi pada sektor sumber daya air di Indonesia akibat dampak perubahan iklim dan apakah perubahan iklim telah terjadi di Indonesia? Apa penyesuaian pola tanam yang diperlukan untuk mengantisipasi perubahan iklim dan ketersediaan sumber daya air? Pertanyaan-pertanyaan demikian masih perlu dicari jawabannya dengan penelitian yang didasarkan atas data historik yang memadai. Krisis air di Indonesia terjadi akibat kesenjangan antara kebutuhan air yang dipicu oleh jumlah penduduk dan ketersediaan pasokan air dari debit andalan sungai-sungai utama kawasan. Hatmoko dan Pawitan (2009) menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan debit andalan di sebagian besar sungai di pulau Jawa, khususnya yang tercatat di bagian hilir, yang terjadi terutama pada DAS kritis super prioritas.
Sumber : Purwo Nugroho, 2009
Gambar 4. Trend Penurunan Debit Sungai Tahunan di Beberapa Sungai Utama Pulau Jawa Periode 1970-2005 171
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Pencemaran Air Permukaan dan Air Tanah Pencemaran air adalah satu dari sekian kekhawatiran utama dunia saat ini. Pemerintahan di berbagai negara telah berusaha mencari solusi untuk mengurangi masalah ini. Banyak polutan mengancam suplai air, dan di banyak tempat terutama di negara yang belum berkembang, hal ini disebabkan pembuangan limbah secara langsung ke perairan alam. Sampah, limbah, dan bahkan polutan beracun dibuang ke perairan. Meski limbah tersebut diolah terlebih dahulu, masalah tetap ada. Sisa olahan limbah berbentuk lumpur mungkin akan ditempatkan di lahan pembuangan sampah, dibakar di insinerator, atau dibuang ke laut. Sumber polutan lainnya dapat berasal dari lahan pertanian melalui penggunaan pupuk dan peptisida yang kurang bijaksana. Pencemaran dari lahan pertanian walaupun relatif rendah, sulit untuk dikendalikan karena sifat pencemarannya yang tidak terkonsentrasi pada suatu tempat (non point source polution). Residu berbagai macam pupuk kimia dan bahan organik tanaman pertanian selanjutnya dapat mengancam ekosistem perairan, bersama dengan aliran air hujan di perkotaan dan limbah kimia yang dibuang oleh industri. Kualitas sumber air dari sungai-sungai penting di Indonesia umumnya tercemar amat sangat berat oleh limbah organik yang berasal dari limbah penduduk, industrin lainnya. Sungai mempunyai fungsi yang strategis dalam menunjang pengembangan suatu daerah, yaitu seringnya mempunyai multifungsi yang sangat vital diantaranya sebagai sumber air minum, industri dan pertanian atau juga pusat listrik tenaga air serta mungkin juga sebagai sarana rekreasi air. Untuk mengevaluasi kualitas sumber air diperlukan analisis status mutu air. Status mutu air adalah kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan terhadap baku mutu air yang ditetapkan. Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam KepMen LH No. 115/2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu dengan metoda Storet dan Metode Indeks Pencemaran. Namun dalam hal-hal yang bersifat umum sering pula hanya dengan menggunakan kelas air yang mengacu pada PP No. 82 Tahun 2001. Adapun hasil kajian yang telah dilakukan pada tahun 2004, yaitu Pusat Litbang SDA sebagai salah satu nara sumber dalam penyusunan status lingkungan hidup Indonesia (SLHI) pada waktu itu, menghasilkan status mutu air untuk berbagai sungai penting di Indonesia seperti pada Gambar 5 dan Tabel 5.
Penurunan Muka Air Tanah (Water Table) Penggunaan air tanah berlebihan telah mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence), dan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Di kota Bandung, penurunan muka air tanah pada akuifer menengah (intermediate well, 172
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
40-150 meter) berkisar antara 0,12 – 8,76 meter per tahun dan pada akuifer dalam (deep well, >150 meter) berkisar antara 1,44 – 12,48 meter per tahun. Di Jakarta (di kawasan Cengakareng, Grogol, Cempaka Putih, dan Cakung) telah terjadi penurunan muka air tanah sampai 17 meter (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Di Jakarta, penurunan muka air tanah yang dalam dan luas membentuk sebuah kerucut, terjadi di empat kawasan, yaitu Daan Mogot Barat, Daan Mogot Timur – Kapuk, Cakung – Cilincing, dan Jalan Raya Bekasi – Pondok Ungu yang mencapai 40 – 50 meter di bawah permukaan laut. Dibanding tahun 1999, daerah yang mengalami kerucut penurunan muka airtanah telah bertambah luas, terutama pada akuifer tengah sesuai dengan peningkatan jumlah pengambilan air tanah. Gejala amblesan terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta dengan kisaran 10 – 100 cm. Amblesan yang lebih besar dari 80 cm terjadi di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Gambar 5. Status Mutu Air Sungai di Indonesia, Sumber: SLHI-2004, KLH Di Semarang, penurunan muka air tanah lebih dari dua meter dihitung dari kondisi awal, bahkan terjadi kerucut penurunan muka air tanah pada kedudukan 20 meter di bawah muka air laut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Di Kabupaten Nganjuk – Jawa Timur, sejak tahun 1996, pada wilayah Kecamatan Gondang, Rejoso, dan Sukomoro, pompa pada sumur dalam (deep well) harus diturunkan 1 – 3 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air tanah pada musim kemarau. Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur dangkal (shalow well) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena kedalaman sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter. Eksploitasi sumur airtanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum) telah meningkatkan penurunan muka air tanah (Liyantono, 2001). 173
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Tabel 5. Status Mutu Air Sungai di Indonesia StatusMutuAirdenganMetodaIndeks Provinsi
Sungai
Pencemaran,TerhadapBakuMutuAir KlasIIdariPP82/2001 Hulu
Hilir
NangroeAcehDarusalam
KruengTamiang
MB
CR
SumateraUtara
Deli
CR
CR
Riau
Kampar
CR
CS
SumateraBarat
BatangAgam
CR
CS
Jambi
BatangHari
CS
CS
Bengkulu
AirBengkulu
CR
CS
SumateraSelatan
Musi
CR
CR
Lampung
W.Sekampung
CR
CR
BangkaBelitung
Rangkui
CS
CR
Banten
KaliAngke
CR
CS
Banten–JawaBarat
Cisadane
CB
CS
DKIJakarta
Ciliwung
CB
CB
JawaBarat
Citarum
CB
CB
JawaTengahDIY
Progo
CR
CS
JawaTimur
Brantas
CS
CS
Bali
TukadBadung
CR
CR
NusaTenggaraBarat
KaliDendeng
MB
CR
NusaTenggaraTimur
KaliJangkok
CR
CS
KalimantanBarat
Kapuas
CR
CR
KalimantanTengah
Kahayan
CR
CS
KalimantanSelatan
Martapura
CR
CS
KalimantanTimur
Mahakam
CR
CR
SulawesiUtara
Tondano
CR
CR
Gorontalo
Bone
CR
CR
SulawesiTengah
Palu
CS
CR
SulawesiSelatan
Tallo
CS
CS
SulawesiSelatan
Jeneberang
CR
CR
SulawesiTenggara
Konaweha
CR
CR
Maluku
BatuGajah
CR
CS
Maluku
BatuMerah
CR
CS
MalukuUtara
Tabobo
CS
CS
Papua
Anafre
CR
CS
Keterangan : MB : memenuhi baku mutu air yang ditetapkan CR : tercemar ringan CS : tercemar sedang CB : tercemar berat Sumber: SLHI-2004, KLH.
174
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Inefisiensi Pemanfaatan Air Pertanian beririgasi merupakan pengguna air terbesar, dan pada umumnya lebih 80 persen dari air yang ada dicurahkan khusus untuk pertanian. Tetapi karena biasanya air disalurkan secara cuma-cuma, maka kecil sekali dorongan dan niat untuk menggunakan air secara efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian irigasi untuk lahan sawah yang dilakukan petani selama ini sangat berlebih. Hal ini selain disebabkan persepsi yang salah bahwa tanaman padi perlu selalu digenangi sepanjang pertumbuhannya, juga anggapan keliru bahwa ketersediaan air selalu melimpah dan tidak akan pernah mengalami penurunan. Hasil penelitian yang dilakukan Balitklimat di lahan sawah yang berlokasi di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa pemberian irigasi berselang (intermittent) tidak menyebabkan penurunan produktivitas yang signifikan dibandingkan dengan teknik konvensional (penggenangan). Teknik irigasi berselang dan macak-macak dapat menekan penggunaan air irigasi hingga lebih kurang 60 persen.
Tabel 6. Perbandingan Penggunaan Air Irigasi dan Hasil Padi pada Sistem Irigasi dengan Penggenangan, Intermiten dan Macak-Macak Jumlah Air Irigasi (m3/ha)
Efisiensi Irigasi
Hasil Padi (ton/ha)
Penggenangan
7634
-
6,8
Berselang
2532
67%
6,6
Macak-macak
2715
64%
5,3
Jenis Perlakuan
Sumber : Balitklimat, 2009
Penghamburan air sungguh disayangkan sebab biasanya hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas pertanian seperti yang diharapkan. Tiadanya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas. Selain teknik pemberian irigasi yang boros air, inefisiensi penggunaan air terjadi juga pada pendistribusian. Menurut Sutardi (2002), efisiensi penyaluran air dari pengambilan sampai dengan ke petak sawah pada jaringan irigasi masih rendah yaitu sekitar 35-55 persen. Hal ini terjadi karena kondisi saluran yang kurang perawatan, tanah sekitar saluran yang porous, operasi dan perawatan saluran yang tidak memadai maupun masih banyaknya “pencurian” air di saluran irigasi. Sesungguhnya efisiensi dapat ditingkatkan dengan baik dengan perbaikan cara pengoperasian dan pemeliharaan sistemnya melalui perbaikan saluran penyesuaian antara banyaknya kebutuhan irigasi dan pasokan air dari bendung, dan pengelolaan yang lebih efektif apabila air tersebut sudah sampai di lahan pertanian atau dengan menggunakan 175
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
teknik yang lebih efisien seperti irigasi berselang. Upaya peningkatan efisiensi penggunaan air pertanian juga perlu dilakukan dengan mengadop konsep produktivitas-air-tanaman, yaitu dengan menyatakan efisiensi penggunaan air dengan mengukur jumlah penggunaan air untuk menghasilkan satu kilogram produk pertanian, misalnya untuk padi sawah dengan hasil beras, penggunaan air dinyatakan dalam satuan kg air/kg beras (Pawitan, 2009). Perbaikan-perbaikan semacam itu sangat penting mengingat besarnya dampak permintaan irigasi dan rasa keadilan bagi penduduk perkotaan yang berjuang untuk kelangsungan pasok air yang memadai. Walaupun demikian konsep efisiensi irigasi yang dikemukakan masih bersifat parsial, mengingat sifat air yang lintas batas (transboundary) dapat saja terjadi kelebihan air yang terjadi dalam suatu sistem irigasi pada suatu musim dimanfaatkan di hilir suatu DAS atau berkontribusi terhadap air tanah yang dapat dipakai di tempat lain oleh sektor lain termasuk untuk jasa lingkungan. Oleh karena itu, konsep efisiensi harus dilihat secara terintegrasi dan menyeluruh dalam suatu wilayah seperti DAS untuk mengevaluasi dan menentukan apakah suatu DAS masih ada ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perbaikan jasa lingkungan.
Kerusakan Ekosistem Gambut Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57 persen dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008). Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Gambut mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah (Agus dan Subiksa, 2008).
176
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi. Walaupun demikian konsep efisiensi irigasi yang dikemukakan masih bersifat parsial, mengingat sifat air yang lintas batas (transboundary) dapat saja terjadi kelebihan air yang terjadi dalam suatu sistem irigasi pada suatu DAS atau berkontribusi terhadap air tanah yang dapat dipakai di tempat lain oleh sektor lain termasuk untuk jasa lingkungan. Oleh karena itu konsep efisiensi harus dilihat secara terintegrasi dan menyeluruh dalam suatu wilayah seperti DAS untuk mengevaluasi dan menentukan apakah suatu DAS masih ada ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pertimbangan ekonomi, keadilan sosial dan perbaikan jasa lingkungan.
Langkah-Langkah yang Diperlukan Melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kerusakan DAS serta merehabilitasi DAS yang telah mengalami kerusakan Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) telah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan RI sejak awal program penghijauan nasional, jauh sebelum sektor kehutanan menjadi departemen sendiri, dan sejak dekade terakhir ini telah dikembangkan berbagai program untuk tujuan serupa, seperti: gerhan, GNKPA, dan sebagainya. Undangundang no 41/1999 tentang kehutanan, yang kemudian direvisi, dan juga undang-undang 26/2007 tentang tata ruang, mengamanatkan bahwa minimal 30 persen luasan lahan harus tertutup oleh vegetasi hutan.
Mengupayakan Implementasi Teknik Panen Hujan dan Aliran Permukaan Secara Optimal untuk Meningkatkan Kapasitas Tampung DAS Teknik panen hujan adalah upaya menampung hujan dan aliran permukaan selama musim hujan melalui pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, sehingga selama musim kemarau tampungan air tersebut dapat digunakan sebagai sumber irigasi ataupun berfungsi untuk mempertahankan kelembaban tanah. Teknik Panen hujan dan aliran permukaan dapat berupa bendungan, dam parit (channel reservoir), embung, sumur resapan, pembuatan teras, rorak, biopori, dan lain sebagainya. 177
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Mengambil pengalaman dari negara maju, Pemerintah Jepang telah menghabiskan banyak biaya untuk pembangunan bendungan dan kolam penampungan air dalam upayanya untuk memaksimalkan penangkapan air hujan dan aliran permukaan. Menurut hasil survey saat ini tercatat lebih dari 2.650 dam (ketinggian >15 m) telah dibangun di Jepang, dengan daya tampung air mencapai 26.9 miliar meter kubik. Selain dam, embung penampung air juga banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan waduk dalam jumlah besar tersebut menempatkan Jepang sebagai negara ketiga terbesar di Benua Asia dalam hal jumlah bendungan setelah China dan India, atau peringkat pertama dalam hal rasio antara jumlah bendungan per luas wilayah. Pembangunan bendungan dalam jumlah besar tersebut tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pengendalian banjir, tempat pemeliharaan ikan, rekreasi dan lain-lain.
Perbaikan Sarana dan Prasarana Irigasi Pemerintah melalui Kementerian pekerjaan umum setiap tahunnya menganggarkan dana rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dalam jumlah besar. Target rehabilitasi jaringan irigasi untuk periode 2010-2014 adalah 1,343 juta ha, membangun baru sejumlah 500.000 ha, dan mengalokasikan biaya OP untuk 2,315 juta ha (KemenPU, 2010), ditambah dengan perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi rawa, pengendalian banjir dan pengamanan pantai.
Mengupayakan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat dalam Pengelolaan DAS dan Pemanfaatan air untuk Berbagai Keperluan Kebijakan dalam aspek kelembagaan irigasi diarahkan dalam rangka melakukan penataan dan peningkatan kapasitas kelembagaan irigasi. Upaya-upaya yang disarankan dalam rangka kebijakan tersebut meliputi : (1) Peningkatan kemampuan teknis personil kelembagaan irigasi baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Peningkatan kemampuan teknis di tingkat pusat hendaknya lebih diprioritaskan agar dapat segera berperan sebagai pembina bagi aparat di daerah (2) Pelaksanaan kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota hendaknya menyertakan persyaratan kemampuan teknis untuk menjamin kualitas dan sekaligus meningkatkan kemampuan staf di daerah (3) Penataan hubungan antar instansi di tingkat pusat dalam pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan irigasi
178
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
(4) Penataan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas-tugas pengembangan dan pngelolaan irigasi (5) Penataan hubungan antar kelembagaan irigasi dan kelembagaan sumberdaya air dalam satu wilayah sungai (6) Pembentukan Desain Unit (DU) untuk mendukung kemampuan teknis kelembagaan irigasi di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota
Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Air Melalui Pendekatan Tata Ruang Penataan ruang merupakan pendekatan yang sangat fundamental dalam pengelolaan sumber daya air, dimana proses perencanaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengendalian dilaksanakan secara terpadu (multi-stakeholders), menyeluruh (hulu-hilir, kuantitaskualitas, instream-offstream), berkelanjutan (antar generasi), dan berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem) dengan daerah pengaliran sungai (satuan wilayah hidrologis) sebagai satu kesatuan pengelolaan terpadu dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang berlaku. Peran penataan ruang dalam pengelolaan sumber daya air adalah dalam rangka : (1) menjamin ketersediaan air, baik kualitas maupun kuantitas, untuk masa kini dan masa mendatang melalui pengelolaan kawasan konservasi dan pengendalian kualitas air, (2) koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah untuk mencapai komitmen bersama (seperti landasan penyusunan program pembangunan), dan (3) mencegah terjadinya externalities (seperti dampak lingkungan negatif) yang merugikan masyarakat secara luas.
Penutup Diperlukan pendekatan keterpaduan dalam membalik kecenderungan degradasi sumber-sumber air di Indonesia. Keterpaduan tersebut tidak saja menyangkut pendekatan spasial yang mengintegrasikan lahan dan air dalam suatu sistem tata ruang tetapi juga pendekatan kelembagaan termasuk keterkaitan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat pengguna air.
Daftar Pustaka Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.
179
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Balitklimat. 2009. Perbaikan Sistem Pengelolaan Air dalam Mendukung Percepatan Pengembangan Inovasi Teknologi Pupuk Dan Bahan Organik. Laporan Penelitian. BBSDLP. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Departemen Pertanian. 2003. Buku Pintar Irigasi. Jakarta. Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil. 2002. Kaji Ulang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur/Kabupaten Bogor dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta. Executive Summary. Jakarta. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002. Jakarta. Liyantono. 2001. Potensi dan Pola Pemanfaatan Air Tanah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Fateta-IPB, Bogor. Nugroho, Sutopo P. 2009. Perubahan Trend Debit Sungai di Jawa. Identifikasi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumber Daya Air. Program Penguatan IPTEK Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Pawitan, H. 2002. Eco-Hydrological Measures for the Management of the Segara Anakan Lagoon Basin in West Java, INDONESIA. Paper presented at the International Symposium on Low-lying Coastal Areas - Hydrology and Integrated Coastal Zone Management, 9-12 September 2002, Bremmerhaven, Germany. Pawitan, H., 2002. Long Term Changes of Java Hydrologic Regimes. Paper presented at International Conference on Fresh Perspective in Hydrology. Christchurch, New Zealand. Pawitan, H., 2009. Strategi Produktivitas Air Tanaman yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim. Invited Paper presented at: Workshop “Adaptasi Perubahan Iklim dan Tantangan Sektor Pendorong Perekonomian Nasional (Revitalisasi Sektor Pertanian)”, Ruang Graha Sawala-Depkeu, Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, 07 April 2009. Prastowo. 2001. Kerusakan Ekosistem Mata Air. Makalah Workshop. Bapedal, Jakarta. Sutardi, 2002. Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah di Jawa Barat. Lokakarya Badan Perencana Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung 21 Oktober 2002.
180
DEGRADASI SUMBER-SUMBER AIR: FAKTOR PENYEBAB DAN LANGKAH-LANGKAH YANG DIPERLUKAN
Tim IPB. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung untuk Pengendalian Banjir Di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa, Lokakarya. Pemda DKI, Jakarta. Widjanarko, Bambang S, Moshedayan Pakpahan, Bambang Rahardjono, dan Putu Suweken, 2007. Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta. WWF. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian Propinve’s Forest and Peat Soil Carbon Loss Over a Quarter Century and it’s Plans for the Future. WWF Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.
181