Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1197-1201
RESENSI BUKU: HUKUM DALAM MASYARAKAT: Perkembangan dan Masalah Oleh: Drs. Ali Uraidy, MH.* Pendahuluan Perdebatan hukum normatif dan hukum empiris tidak menemukan titik temu hingga dewasa ini. Masing-masing kubu bertahan dengan argumentasi untuk mempertahankan “kebenaran” yang dianutnya. Profesor Soetandyo Wignjosoebroto adalah salah satu tokoh yang berada pada posisi hukum empiris. Buku yang berjudul “Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah” ini, semakin mengukuhkan eksistensi Profesor Soetandyo pada posisi hukum empiris di atas tersebut. Hukum empiris dipersamakan dengan Sosiologi hukum. Sosiologi hukum berfokus pada masalah otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib berketeraturan. Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara yang mendasari kontrol itulah yang disebut “hukum”. (hal. 1) Profesor Soetandyo hendak menyampaikan kepada kita semua, bahwa hukum merupakan kekuasaan yang memiliki otoritas untuk mengontrol masyarakat, sehingga akan dicapai kondisi masyarakat yang penuh dengan ketertiban dan keteraturan. Di sinilah hukum diuji, apakah hukum yang ada dalam masyarakat itu efektif ataukah tidak dalam implementasinya. Jawabannya tentu, hukum itu efektif ataukah hukum itu tidak efektif dalam masyarakat. Perdebatan untuk mendefinisikan hukumpun terjadi memakan waktu yang tidak sebentar. Ada sementara kalangan yang berpandangan bahwa yang dimaksud hukum adalah “hukum adat’. Oleh karena itu, hukum tidaklah dibuat, tetapi hukum itu tumbuh dalam masyarakat. Kemudian, Eugen Ehrlich mempertanyakan “apakah betul hukum itu adalah masyarakat (law is society). (hal. 15). Eugen Ehrlich berpandangan bahwa hukum undangundang negara itu selalu saja berkenaan dengan masalah sengketa dan gugatan yang berakhir dengan jatuhnya putusan pengadilan, sedangkan hukum adat kebiasaan yang hidup dalam alam kesadaran rakyat setempat itu lebih berkenaan dengan ihwal perdamaian dan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari.(hal. 16). Definisi tentang Hukum Berbagai pandangan ahli tentang hukum dipaparkan sebagai berikut:
*
Drs. Ali Uraidy, MH., Dosen Tetap dan Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleeh Situbondo.
1197
Resensi Buku: Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah (Ali Uraidy)
1. John Austin mengatakan bahwa “the command of the sovereign”, dan bukan lagi sebagai asas-asas moral dan keadilan yang implisit dan diklaim berlaku secara universal oleh para penganut aliran filsafat tentang hukum alam. 2. Dalam pandangan Karl Marx, hukum (dan kekuasaan politik) itu adalah sarana para kapitalis untuk dengan sikapnya yang konservatif melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi yang (sehubungan dengan klaim-klaimnya atas nilai lebih) juga sekaligus segara sarana eksploitasi. Marx juga percaya bahwa dalam masyarakat yang akan datang, dimana sosialisme telah dapat ditegakkan untuk menggantikan kapitalisme, hukum akan layu dan luruh, serta tidak akan diperdulikan lagi. 3. Henry S. Maine menyatakan secara ringkas dengan formula “movement from status to contract”. Dari perkembangan itu dapat ditengarai dengan nyata-nyata bagaimana hukum tak lagi disamakan begitu saja dengan realitas diferensia serta diskriminasi sosial yang oleh legitimasi tradisi telah dibakukan kedalam struktur-struktur sosial yang terlalu stabil. Lembaga kontrak yang ditumbuhkan diatas konsep tradisi baru telah amat memungkinkan terjadinya elastisitas dan dinamika kegiatan sosial ekonomi. 4. Dalam Konsep Emile Durkheim, hukum sebagai moral sosial, yang pada hakekatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas. 5. Dalam tipologi Max Weber, peradilan dalam hukum modern sebagaimana dapat disimak dalam pengalaman dan perkembangan di dunia Barat adalah peradilan yang harus dinilai paling rasional. Dalam definisi Weber, peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas kerja sebuah organisasi birokrasi, yang hasilnya memiliki daya berlaku universal.Tidak seperti halnya peradilan Kadi dan peradilan yang sifatnya partikuralistik-kasuistik. Dengan demikian Max Weber dapat dianggap sebagai peletak dasar bagi kemungkinan-kemungkinan kajian-kajian tentang “law in action”, dengan pendekatannya yang mikro, dan dengan metodenya adalah kualitatif. Perbandingan Civil Law Systemdengan Common Law System Civil Law System selalu merupakan sistem hukum perundang-undangan, sebagai hasil sistematisasi produk-produk kesepakatan badan legislatif yang berbentuk peraturan tertulis. Menurut tradisi Inggris yang disebut Common Law System, sistem hukum demikian, berkembang juga sebagai sistem hukum tertulis, sekalipun tidak hanya hasil dokumentasi dan sistematisasi undang-undang, melainkan juga hasil sistematisasi dari judge made law. Pada masa Plato, Plato berpendapat bahwa hukum itu sesungguhnya hanya eksis dalam ide Tuhan semata. Ide Illahi adalah kebenaran sejati, yang bermakna sebagai “kebaikan” dan “keindahan” yang final, sedangkan penampakannya di alam inderawi haruslah dipahami sebagai fenomena yang palsu, yang tampak ada tapi sejatinya tak ada.
1198
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1197-1201
Selanjutnya Aristoteles berpendapat bahwa hukum yang menampakkan diri dalam wujud keteraturan yang tertib di tengah semesta sebenarnya merupakan kebenaran juga walaupun secara konseptual harus dikatakan bukan yang sebenarnya. Gotfried Wilhelm Leibniz menyatakan bahwa hukum itu sebenarnya telah ada dalam eksistensinya yang final, lama sebelum wujudnya yang eksis di alam ini menampakkan diri.Hukum yang menghendaki terwujudnya keteraturan alam semesta yang serba berkeseimbangan dan berkeselarasan, juga menguasai kehidupan manusia dalam masyarakatnya adalah sesungguhnya sesuatu yang dikatakan sebagai a pre-established harmonious order in the mind of God. Frederich von Savigny menyatakan bahwa hukum itu tidak mungkin dibentuk secara artifisial seperti yang dilakukan di Perancis dibawah arahan Kaisar Napoleon itu. Bagaimanapun juga hukum itu pada hakikatnya sebagai organisme yang hidup. Hukum akan tetap hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya atas dasar otoritasnya sendiri yang moral dan kultural. Hukum Modern Dalam kehidupan bernegara yang tumbuh berkembangnya dengan cara penyelenggaraan hukum yang rasional, selalu seiring dengan terwujudnya suatu kompleksitas struktur kekuasaan yang berfungsi di atas dasar potensi politiknya sebagai institusi kontrol untuk menjaganya. Dalam wacana politik di negara-negara demokrasi, hukum undang-undang itu terbentuk from the people lewat kesepakatan di badan-badan legislatif untuk kemudian dilaksanakan oleh badan-badan ekskutif dengan para pelaksananya yang dipilih by the people dan didayagunakan untuk mengontrol terwujudnya kedamaiaan dan kesejahteraan for the people lewat kinerja badan-badan yudisial. Substansi hukum negara dan substansi moral hukum rakyat tidak hanya harus dikatakan tak selaras melainkan juga berselisih dan menghasilkan berbagai ruang perbedaan yang disebut the legal gaps. Ruang selisih ini bahkan tak jarang juga meenimbulkan situasi yang secara diametrikal berlawanan, yang pada akhirnya juga hanya memarakkan konflik-konflik yang serius. Menghadapi kenyataan ini hukum undang-undang seakan kehilangan legitimasinya dan kehilangan daya keefektivannya serta makna sosiologisnya. Persoalannya kini adalah, bahwa pelanggaran dan pengabaian hukum undang-undang itu tidak hanya dilakukan oleh satu dua orang saja, tetapi juga beratus ribu orang. Menghadapi legal gaps di atas, lahirlah berbagai macam kebijakan dalam mengatasi legal gaps: 1. Mendayagunakan wibawa sanksi hukum guna menggiring secara paksa para warga dari kesetiaannya sebagai participant popular order ke kesetiaan yang baru sebagai participant national legal order;
1199
Resensi Buku: Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah (Ali Uraidy)
2. Langkah kebijakan yang dilakukan dengan cara yang lebih edukatif lewat penyuluhan dan pembangkitan kesadaran baru; 3. Langkah kebijakan legal reform, suatu langkah yang dikerjakan dengan cara melakukan revisi atau pembaharuan atas bagian-bagian tertentu dalam kandungan hukum undangundang yang telah ada agar hukum negara dapat berfungsi secara lebih adaptif pada situasi riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal terjadi pelanggaran aturan hukum undang-undang, sanksi yang dijatuhkan akan dikatakan sanksi formal, karena sanksi semacam ini hanya bisa dijatuhkan oleh suatu organ negara yang diberi kewenangan khusus untuk maksud itu, yang disebut badan yudisial lewat suatu prosedur baku. Pembangunan Hukum Nasional Dewasa ini, warga masyarakat tidaklah mudah berpegangan pada suatu komitmen tunggal sebagai satu-satunya komitmen. Sesungguhnya apa yang disebut komitmen itu sangat erat bersangkutan dengan kesadaran seseorang untuk membuat pilihan mana dari sekian jumlah objek kepentingan yang ia ketahui hendak ia dahulukan. Ada dua gatra yaitu gatra kognitif (sadar untuk tahu) dan gatra afektif (sadar untuk membuat pilihan yang menyiratkan pemihakan). Di Indonesia pada waktu yang lalu penguasa kolonial mengakui dan menerima berlakunya sistem hukum Eropa dan pada waktu yang bersamaan tertib hukum adat dengan ruang yurisdiksi masing-masing yang ekslusif. Kebijakan dualisme seperti ini, ternyata tak lagi dianut oleh pemerintah Republik Indonesia.Revolusi dan transformasi kehidupan telah dilaksanakan secara menyeluruh dengan maksud untuk menghapus sistem hukum kolonial untuk kemudian membentuk unifikasi hukum nasional yang baru sebagai gantinya. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, seruan-seruan anti kolonialisme disuarakan untuk mendekonstruksi sistem hukum kolonial yang berdasarkan aturan-aturan peralihan secara formal yang dinyatakan masih berlaku. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sistem hukum nasional secara sistematis dibangun untuk didayagunakan untuk merekayasa berbagai segi kehidupan rakyat, yang secara era kolonial hampir tak pernah ditaruh dibawah kontrol aturan-aturan negara. Kebijakan pembangunanisme pada era Soeharto yang membenarkan dilancarkannya modernisasi lewat pendayagunaan hukum undang-undang as a tool of social engineering telah menjadikan kebijakan pemerintah tidak berwajah ramah pada berlakunya hukum rakyat yang tradisional, yang secara umum dipandang menghalangi terwujudnya signifikansi hukum undang-undang.
1200
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1197-1201
Penutup Mewujudkan hukum nasional bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembangunan hukum nasional. Dalam banyak hal, Indonesia masih mewarisi hukum kolonial. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat,kita masih dihadapkan pada sistem hukum adat dan hukum Islam. Oleh karena itu menjadi tugas berat bersama kita dalam mewujudkan sistem hukum nasional.
1201