1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bagi seorang anak, keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan terutama yang dikenalnya. Pada pendidikan keluarga seorang anak tumbuh dan berkembang. Sumaatmadja (1998:32) menyatakan: Sebagai lembaga sosial yang dikenal dan menjadi wadah pertama serta utama pembinaan anak menjadi makhluk sosial, keluarga mempunyai fungsi majemuk. Selain keluarga wajib menjamin kesejahteraan materi para anggotanya, juga wajib menjamin kesejahteraan rohaninya. Dalam kasuskasus tertentu, dalam menciptakan suasana yang adil, terutama jika terjadi konflik antaranggota keluarga, keluarga ini juga menjadi “lembaga peradilan”. Memperhatikan kedudukan, fungsi dan peranan yang demikian, keluarga merupakan lembaga yang sangat bermakna dalam menciptakan serta membina anak menjadi makhluk sosial. Sebagai pendidik utama bagi seorang anak, orang tua memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan anak, tetapi tidak semua orang tua dapat menjalankan fungsinya sebagai bagian dari keluarga sehingga menjadi keluarga broken home. Fungsi utama keluarga menurut resolusi PPB (Maryam, 2006:71), yaitu: Sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, menyosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah: Tidak adanya ayah atau ibu atau keduanya tidak ada, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi. Juga apabila ayah atau ibunya jarang pulang ke rumah atau berbulan-bulan meninggalkan rumah karena tugas-tugas atau hal-hal lain, dan hal ini terjadi secara berulang maka struktur keluarga itupun sebenarnya tidak utuh lagi (broken). Ali & Asrori (2009:94) menyatakan “terdapat sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
kebebasan untuk menyatakan diri”. Apabila kebutuhan pada anak tidak terpenuhi maka akan menyebabkan perilaku deliquent. Perilaku deliquent banyak ditemukan pada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh atau broken home. Yusuf (2007:28) menyatakan: Anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua bersikap keras kepada anak, atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjusment). Permasalahan sosial yang cukup populer dialami remaja yang berasal dari keluarga broken home diantaranya anak cenderung menjadi apatis, menarik diri atau sebaliknya, marah pada lingkungan, menjadi pembangkang, kasus kekerasan, tawuran pelajar, penyalahgunaan obat bahkan sampai muncul pikiran untuk bunuh diri. Berdasarkan hasil penelitian, anak yang tumbuh dalam keluarga broken home (orang tua bercerai) lebih mudah terdorong melakukan tindakan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang tumbuh di tengah keluarga yang harmonis dan lengkap (Suara Pembaruan, 21 Januari 2011). Kondisi keluarga broken home menjadi pemicu interaksi yang tidak sehat antara peserta didik dengan teman sebaya yang lain akan membuat peserta didik tidak mampu dalam mengelola tingkah laku sehingga berbuntut pada hal-hal tragis seperti kasus tawuran pelajar dan pembunuhan. Pada tahun 2012, salah satu kasus yang terjadi yaitu: Kasus pembunuhan yang dilakukan FT, peserta didik SMAN 70 terhadap peserta didik SMAN 6 saat tawuran di Bulungan, Jakarta Selatan. FT adalah anak yang kurang mendapat perhatian orangtuanya. Ketua divisi Sosialisasi KPAI, Asrorun Ni‟am Sholeh menyatakan, FT sudah lama berpisah dari orangtuanya. FT yang tinggal di Jakarta dan orangtuanya tinggal di Bali, kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua diduga memacu tindakan FT untuk berbuat kekerasan (Okezone.com, 2012) Selanjutnya hasil penelitian Permatasari (2005:88) pada peserta didik kelas XI SMAN 18 Bandung menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara iklim kehidupan dalam keluarga dengan perilaku sosial sosial di sekolah, walaupun iklim kehidupan dalam keluarga bukan merupakan satu-satunya faktor Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
yang mempengaruhi perilaku sosial peserta didik di sekolah. Kehidupan keluarga mempengaruhi perilaku sosial sebesar 14,2% dan sisanya ditentukan oleh faktor lain. Perilaku sosial adalah berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal. Penelitian Nugraha (2006:57) pada peserta didik kelas XI SMA Pasundan Bandung diperoleh hasil yang menunjukkan terdapat hubungan antara keluarga broken home dengan kendali diri peserta didik sebesar 26.63%. Kondisi keluarga broken home yang dirasakan anak turut menentukan kemampuan dalam mengendalikan diri sebesar 26.63% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Penelitian Wati (2010:73) menyatakan individu yang mengalami keluarga broken home akan terlihat dari karakteristiknya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, karakteristik individu yang mengalami keluarga broken home sebagai berikut: a) kurang bersosialisasi; b) tidak suka melawan atau sebaliknya sangat pemarah dan memberontak; c) kurang percaya diri; d) kurang mandiri; e) memiliki perasaan bersalah dan cemas yang tinggi; dan f) lebih sering sakit. Penelitian wati menunjukan keluarga broken home dapat mempengaruhi seseorang dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan yang menyebabkan kurangnya pergaulan individu. Penelitian Akbari (2007:68) menyatakan ketidakutuhan keluarga memberikan pengaruh yang negatif terhadap kesehatan kepribadian remaja sebesar 10,3%, kesehatan kepribadian remaja dipengaruhi oleh sebab-sebab lain sebesar 89,7%, misalnya keadaan fisik, intelegensi, teman sebaya dan kebudayaan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, berbagai dampak dapat timbul akibat ketidakutuhan keluarga atau broken home yang dapat mempengaruhi seorang individu dalam berbagai aspek kehidupan, baik pribadi, sosial, akademik maupun kesehatan kepribadian. Asfriyati (2003:1) menyatakan: Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masingmasing anggotanya, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orangtuanya. Perkembangan anak pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Dalam perkembangan jiwa terdapat Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
periode-periode kritik yang berarti bahwa bila periode-periode ini tidak dapat dilalui dengan harmonis maka akan timbul gejala-gejala yang menunjukkan misalnya keterlambatan, ketegangan, kesulitan penyesuaian diri kepribadian yang terganggu bahkan menjadi gagal sama sekali dalam tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya. Ketidakutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak dan remaja. Gerungan (2009:199) menyatakan: Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak-anak adalah faktor keutuhan keluarga. Peranan keutuhan keluarga terhadap perkembangan anak dapat ditafsirkan dari beberapa hasil penelitian sebagai berikut. R. Stury (Gerungan, 2009:199) melaporkan pada tahun 1938 bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu lembaga pendidikan anak-anak delikuen berasal dari keluarga-keluargayang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Meril (Gerungan, 2009:199) mendapatkan 50% dari anak delikuen (anak-anak yang menyeleweng) berasal dari keluarga broken home. Menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung tahun 1959 dan 1960 (Gerungan, 2009:199) menyatakan sekurang-kurangnya 50% dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di Tangerang berasal dari keluargakeluarga yang tidak utuh. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anakanak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity). Pada masa pencarian jati diri, remaja membutuhkan figur orang tua sebagai teladan dan contoh dalam kehidupan remaja. Hubungan antara orangtua dan remaja yang baik akan berpengaruh terhadap interaksi sosial yang baik antara remaja dengan teman sebaya dan lingkungannya. Lain halnya dengan remaja yang interaksinya tidak harmonis dengan orangtuanya. Willis (2009:65) menyatakan Interaksi antara orangtua dengan anak yang tidak harmonis akan berdampak negatif pada perilaku anak dan remaja, seperti tidak betah di rumah, gangguan emosional, bertengkar, murung, menyendiri yang berdampak negatif terhadap pergaulan sosialnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Guru BK pada tanggal 7 Mei 2013 menyatakan fenomena interaksi sosial yang dialami peserta didik broken home di SMK Negeri 7 Baleendah yaitu, salah seorang peserta didik kelas Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
X TKR III tahun ajaran 2012/2013 yang berinisial A. A merupakan anak yang kedua orangtuanya bercerai. Ayah dan ibunya kemudian menikah lagi, dan masing-masing sudah memiliki anak, membuat A memilih untuk tinggal bersama nenek. A merasa tidak betah di rumah. Di kelas A sangat pendiam. A jarang bergaul dengan yang lain. A lebih memilih duduk di pojok sendiri saat berlangsungnya pelajaran dari pada dengan teman yang lain. A bukan termasuk anak yang nakal. A tidak pernah mengganggu teman yang lain, tapi juga tidak ikut bergabung dengan teman yang lain. Saat guru sedang menjelaskan materi pelajaran, A terlihat tidak bersemangat untuk memperhatikan. Fenomena yang dipaparkan menunjukkan terdapat masalah dalam interaksi sosial peserta didik yang berasal dari keluarga broken home. Interaksi sosial penting dalam proses perkembangan sosial karena setiap individu merupakan makhluk sosial dan tidak terlepas dalam kehidupan sosial. Interaksi sosial yang baik dibutuhkan agar remaja tidak terpengaruh oleh perilaku negatif yang timbul akibat hubungan sosialnya dengan individu yang lain. Permasalah interaksi sosial peserta didik broken home perlu mendapat perhatian dari guru BK. Sebagaimana fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif, dimana fungsi BK bukan hanya sekedar pengembangan tugastugas perkembangan secara optimal melainkan pengentasan masalah termasuk masalah pribadi sosial. Layanan yang diarasakn cocok untuk menangani kasus interaksi sosial peserta didik broken home adalah layanan responsif. ABKIN (2007:209) menjelaskan “layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera”. Fokus pelayanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan konseli yang dalam penelitian adalah interaksi sosial peserta didik broken home. Adapun strategi yang dapat digunakan adalah konseling kelompok. Berdasarkan paparan, maka dalam penelitian akan dikaji lebih mendalam mengenai “Profil interaksi sosial peserta didik broken home dan implikasinya terhadap layanan bimbingan dan konseling”.
Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Interaksi sosial merupakan bagian yang penting dalam kelangsungan hidup individu, karena individu merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Menurut Thibaut dan kelley (Ali & Asrori, 2009:87) interaksi sosial adalah „peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain‟. Turner (1988: 13) mendefinisikan interaksi sosial sebagai “a situation where the behaviors of one actor are consciously reorganized by, and influence the behaviors of, another actor, and vice versa”. Backstead & Goetz (1990: 5) menyatakan “dimensi utama interaksi sosial adalah role, purpose dan topography”. Dari pengertian dapat disimpulkan interaksi sosial dalam penelitian merupakan perilaku interpersonal yang dilakukan oleh peserta didik broken home dalam menjalin hubungan dengan orang lain yang ditandai dengan role (peran), purpose (tujuan) dan topography (keterlibatan). Salah satu faktor yang mempengaruhi interaksi sosial adalah keadaan keluarga, karena interaksi sosial dimulai sejak kecil dan dari lingkungan terdekatnya seperti keluarga dan sanak saudara. Melalui interaksi sosial, peserta didik mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Lingkungan keluarga yang kondusif memfasilitasi pencapaian perkembangan sosial peserta didik secara matang. Peserta didik yang dibesarkan dalam keluarga tidak utuh atau broken home tidak menguntungkan bagi perkembangan sosialnya. Soelaeman (1994:12) menyatakan ketidakutuhan keluarga ialah: Keluarga yang karena bercerai atau meninggal salah satu pihak tidak ada, ayah atau ibu, karena kesatuannya atau unitnya pecah. Sekiranya jumlah anggota keluarga itu lengkap, akan tetapi ayah atau ibu tidak atau kurang dihayati kehadiran dan integrasinya dalam keluarga, maka keluarga tersebut dikatakan keluarga semu atau quasi broken home.
Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
Interaksi yang tidak harmonis antara orangtua dan anak menurut Yusuf (2007:125) akan menampilkan perilaku maladjusment, seperti: “(1) bersifat minder; (2) senang mendominasi orang lain; (3) bersifat egois/selfish; (4) senang mengisolasi diri/menyendiri; (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa; dan (6) kurang mempedulikan norma dalam berperilaku”. Penelitian akan dilakukan di SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung dengan pertimbangan melihat kondisi objektif sekolah yang baru berdiri pada Tahun 2005 sehingga program Bimbingan dan Konseling belum terlaksana secara utuh. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Wakasek Kesiswaan dan Guru BK di SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung menyebutkan banyak peserta didik yang berasal dari keluarga yang tidak utuh. Pernyataan Guru Bk didukung oleh data yang diperoleh dari hasil pengisian buku pribadi peserta didik sebagai berikut: Tabel 1.1 Data Ketidakutuhan Keluarga Peserta Didik Kelas X SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 Kelas X Tav I X Tav II X Tav III X Tav IV X Tkr I X Tkr II X Tkr III X Tkr IV
Jumlah Ketidakutuhan Keluarga Peserta Didik 2 12 5 8 6 7 5 8
Jumlah Peserta Didik 36 36 37 35 39 38 38 38
Persentase 5% 33 % 13 % 22 % 15 % 18 % 13 % 21 %
Program BK di SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung belum dilengkapi dengan layanan bantuan terhadap peserta didik yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, program BK secara tertulispun belum ada. Hal ini dikarenakan sekolah yang baru dibangun pada Tahun 2005 belum memiliki Guru BK yang lulusan dari BK, pelayanan bimbingan dan konseling dilayani oleh Guru Mata Pelajaran. Baru pada awal tahun 2013 memiliki 2 orang Guru BK.
Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
2. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi permasalahan dirumuskan sebagai berikut. a. Bagaimana profil interaksi sosial peserta didik broken home kelas X SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung Tahun Ajaran 2012/2013? b. Seperti apa implikasi layanan bimbingan dan konseling berdasarkan profil dari interaksi sosial peserta didik broken home kelas X SMK Negeri 7 Baleendah Bandung Tahun Ajaran 2012/2013?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan layanan dari profil interaksi sosial peserta didik broken home kelas X SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. Tujuan khusus adalah untuk mendeskripsikan tentang layanan interaksi sosial peserta didik broken home kelas X SMK Negeri 7 Baleendah Kab. Bandung Tahun Ajaran 2012/2013.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat bagi Guru BK SMK Negeri 7 Baleendah Profil mengenai interaksi sosial peserta didik broken home kelas X SMK
Negeri 7 Baleendah serta implikasinya dapat dijadikan bahan rujukan untuk diaplikasikan oleh Guru BK dalam membantu peserta didik broken home. 2.
Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya dapat mengujicobakan implikasi bantuan pada
responden dengan karakteristik yang sama. 3.
Bagi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Penelitian akan menjadi salah satu contoh dalam mendeskripsikan
tentang layanan interaksi sosial peserta didik broken home di SMK.
Wulan Saripah, 2013 Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home Dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu