ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Vol. 9 No. 3 Desember 2016 Hal. 237 - 355
[DE] KONSTRUKSI HUKUM
I
Jurnal isi.indd 1
1/6/2017 11:30:18 AM
Jurnal isi.indd 2
1/6/2017 11:30:18 AM
ISSN 1978-6506
Vol. 9 No. 3 Desember 2016 Hal. 237 - 355
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur:
1.
Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2.
Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)
Penyunting:
1.
Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
2.
Dinal Fedrian, S.IP. (Ilmu Pemerintahan)
3.
Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
4.
Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
Mitra Bestari:
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5.
Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
6.
Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)
7.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)
8.
III
Jurnal isi.indd 3
1/6/2017 11:30:18 AM
9.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
10.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum
Adat) 11.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
12. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata/Hukum Agraria) Sekretariat:
1.
Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2.
Yuni Yulianita, S.S.
3.
Noercholysh, S.H.
4.
Wirawan Negoro, A.Md.
5.
Didik Prayitno, A.Md.
6.
Eka Desmi Hayati, A.Md.
7.
Emy Nur’aini, S.H.
dan Fotografer:
1.
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Desain Grafis
Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail:
[email protected] Website: www.komisiyudisial.go.id
IV
Jurnal isi.indd 4
1/6/2017 11:30:18 AM
PENGANTAR
T
[DE] KONSTRUKSI HUKUM
erkadang suatu putusan memunculkan riak luas di dalam masyarakat, termasuk perdebatan mengenai substansi dan nilai-nilai sebuah putusan. Apa yang menjadi menarik umumnya bukan apa yang menjadi keputusan akhir – atau hasil akhir yang dihasilkan putusan, melainkan pertimbangan hakimnya (motivering), yang terkadang merumuskan pertimbangannya tidak membatasi diri hanya pada argumen yuridis belaka. Lebih dari itu, dirujuk pula prinsip-prinsip dasar seperti martabat manusia, dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis seperti dampak yang dapat diharapkan dari putusan terhadap masyarakat. Sekalipun justru pertimbanganpertimbangan demikian memunculkan banyak kritik, juga dapat ditengarai adanya penghargaan bagi kesediaan pengadilan atau hakim untuk bekerja di luar wacana yuridis belaka, atau dengan kata lain, untuk menilai wacana yuridis lebih luas daripada yang lazimnya dilakukan. Alhasil, hasilnya putusan itu dapat dianggap meyakinkan, terlepas dari fakta benar atau tidaknya kasus tersebut, atau bahkan kontroversial. Bagaimana menjelaskan hal di atas? Kondisi apa yang menyebabkan putusan tersebut diterima luas dan dianggap berhasil dan juga direspons negatif oleh masyarakat? Apa pula yang dapat kita pelajari darinya perihal rasionalitas pertimbangan hakim pada umumnya? Jurnal Yudisial edisi kali ini mencoba melihat beragam problematik tentang penafsiran dan pemaknaan dalam putusan. Hakim (hakikatnya) ketika memutus, senantiasa berada dalam ketegangan yang dinamis, yaitu hakim mendekonstruksi sekaligus melakukan konstruksi. Dinamika yang demikian itu, terlihat dalam tema-tema yang ditampilkan penulis, dengan menampilkan putusan hakim yang berbeda-beda pula. Meskipun demikian beberapa substansi artikel memiliki kesamaan satu dengan lainnya yaitu berkisar di antara “pemaknaan dan penafsiran.” Pada artikel pertama, makna hak prerogatif presiden kembali dipersoalkan, khususnya dengan perkembangan dewasa ini yang berakhir pada kesimpulan adanya pergeseran makna asal menuju makna yang lebih mengadaptasi kondisi kekinian. Artikel selanjutnya mencoba membedah kinerja Mahkamah Konstitusi di dalam memaknai UndangUndang Migas, konteks utama masih berkisar di antara keadilan dan juga kemanfaatan bagi masyarakat. Artikel berikutnya menyoroti isu yang umum, yaitu tentang poligami, namun penulisnya mencoba melakukan dekonstruksi, khususnya mengenai pasal-pasal di dalam KUHPidana yang terkait poligami. Problematik penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, masih menjadi topik yang banyak diangkat, namun kali ini penulisnya mencoba melihat substansi yang lebih menohok kepada perbedaan antara judex factie dengan judex yuris. Artikel berikutnya mencoba melihat bagaimana hakim menjatuhkan pidana bersyarat dalam tindak pidana perbankan, dan terakhir diulas mengenai kekuatan hukum sertipikat hak milik dalam sengketa tanah.
V
Jurnal isi.indd 5
1/6/2017 11:30:18 AM
Hakikatnya rasionalitas pertimbangan dan kemudian penilaian dalam (putusan) hakim (sebagaimana dijelaskan di atas) adalah hasil akhir dari proses bagaimana hakim menilai pertentangan pendapat dan mempertimbangkan putusan akhirnya. Substansi di dalam masing-masing judul beragam dan berbeda-beda yang substansinya dapat menimbulkan perdebatan yang lebih luas dalam masyarakat tentang hal tertentu. Bagaimana putusan hakim diberi pembenaran (justifikasi); faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pembenaran demikian? Apakah ada temuan-temuan yang diperoleh dalam konteks pemaknaan politis dari putusan hakim, di luar makna-makna mapan (yuridis)? Apa makna putusan demikian dalam negara hukum demokratis? Apakah putusan hakim dapat membahagiakan pencari keadilan atau membahagiakan masyarakatnya? Untuk mengetahuinya kami persilahkan membacanya secara langsung. Selamat membaca! Terima kasih.
Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
Jurnal isi.indd 6
1/6/2017 11:30:19 AM
DAFTAR ISI
Vol. 9 No. 3 Desember 2016
ISSN 1978-6505
PERKEMBANGAN PEMAKNAAN HAK PREROGATIF PRESIDEN ............................................................. 237 - 258 Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIII/2015 Mei Susanto Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG MIGAS ............................................ 259 - 279 Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Habib Shulton Asnawi Institut Agama Islam Ma’arif NU (IAIM NU), Lampung PENAFSIRAN HUKUM DEKONSTRUKSI UNTUK PELANGGARAN POLIGAMI ................................................. 281 - 301 Kajian Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 Faiq Tobroni Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 DAN 18 UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ................................................................... 303 - 315 Kajian Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Maman Budiman Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung PENJATUHAN PIDANA PENJARA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN ........................................... 317 - 338 Kajian Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 Ramiyanto Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti, Palembang KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK DALAM SENGKETA TANAH ................................................................. 339 - 355
VII
Jurnal isi.indd 7
1/6/2017 11:30:19 AM
DAFTAR ISI
Kajian Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps Fahmi Yanuar Siregar Universitas Dwijendra, Denpasar
VIII
Jurnal isi.indd 8
1/6/2017 11:30:19 AM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506..............................................................................
Vol. 9 No. 3 Desember 2016
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
UDC 354: 347.993
dalam hukum tata negara, untuk kemudian dapat direkonstruksi dan memberikan makna yang lebih esensial dari hak prerogatif.
Susanto M (Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung)
(Mei Susanto)
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden
Kata kunci: hak prerogatif, kekuasaan presiden, konstitusi.
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/ PUU-XIII/2015 Jurnal Yudisial 2016 9(3), 237 - 258
UDC 347.993 (094.5)
Dalam literatur hukum tata negara, persoalan mengenai makna hak prerogatif sebagai salah satu kekuasaan presiden, sering kali menimbulkan perbedaan dan perdebatan. Hak prerogatif merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh seorang presiden tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya. Pandangan tersebut seolah-olah menempatkan presiden memiliki kewenangan yang sangat mutlak dan tidak dapat dibatasi sesuai prinsip checks and balances dalam ajaran konstitusi yang dianut Indonesia. Putusan Nomor 22/PUU/-XIII/2015 tentang pengujian UndangUndang Kepolisian, Undang-Undang Pertahanan, dan Undang-Undang TNI mengenai persoalan pengisian jabatan Kapolri dan Panglima TNI yang mengharuskan adanya persetujuan DPR layak untuk dijadikan bahasan ulasan. Karena persetujuan DPR tersebut dianggap “mengganggu” hak prerogatif presiden. Perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif presiden dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015, dapat dilihat dalam tiga kelompok besar, yaitu: pandangan ahli, pandangan mayoritas hakim, dan pandangan satu orang hakim yang menyatakan concurring opinion (pendapat berbeda). Tulisan ini hendak mengulas pendapat para ahli tersebut, khususnya berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif sesuai dengan fokus tulisan. Beberapa pandangan berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif dalam Putusan Nomor 22/ PUU-XIII/2015 merupakan sumbangsih pemikiran
Asnawi HS (Institut Agama Islam Ma’rif NU (IAIM NU), Lampung) Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Migas Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/ PUU-X/2012 Jurnal Yudisial 2016 9(3), 259 - 279 Pembahasan dalam analisis putusan ini berangkat dari keprihatinan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Undang-Undang Migas) yang telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. Undang-Undang Migas tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri kemudian mengekspornya ke luar negeri. Kenyataan yang terjadi selama ini, Indonesia hanya menjual minyak mentah kemudian diolah di luar negeri. Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Pun penjualan dan pembelian dilaksanakan melalui perantara. Sebagai upaya mengembalikan kedaulatan Indonesia di bidang migas, para pemohon mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara telah mengambil langkah dalam memutuskan perkara tersebut dengan Putusan
IX
Jurnal isi.indd 9
1/6/2017 11:30:19 AM
Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas. Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran secara mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan UUD NRI 1945. Penelitian dalam analisis putusan ini dilakukan melalui studi kepustakaan menggunakan metode penafsiran hukum, dengan pendekatan yuridis (normatif) dan analisis kualitatif. Kesimpulannya, dalam beberapa pasal Undang-Undang Migas dinilai bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 33 UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai sebagai sebuah pilihan bijaksana serta langkah progresif di bidang hukum khususnya perlindungan terhadap hak rakyat Indonesia.
K/Pid/2013 menganggap sebaliknya. Metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 341/ Pid.B/2012/PN.BKN adalah subsumptif, sehingga menyimpulkan bahwa IR tidak dapat dipidana. Sementara metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 adalah metode dekonstruksi dalam pengertian melakukan intertekstualitas teks hukum (menemukan makna tidak terkatakan). Putusan kasasi menunjukkan bahwa pidana oleh IR atas Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada dapat menjadi penghalang perkawinan setelahnya) justru mendapatkan justifikasi dari makna yang tidak terkatakan atau di luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri yang ada; Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah dengan H.
(Habib Shulton Asnawi) Kata kunci: penafsiran hukum, undang-undang migas, kedaulatan negara.
(Faiq Tobroni) Kata kunci: poligami, pernikahan terlarang, metode penafsiran.
UDC 392.54 Tobroni F (Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
UDC 343.352 (094.5)
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami
Budiman M (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Bandung)
Kajian Putusan Nomor 937 K/Pid/2013
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Yudisial 2016 9(3), 281 - 301 Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 menunjukkan bahwa pelanggaran poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam dapat dipidana dengan dihubungkan kepada pemidanaan atas pernikahan terlarang. Analisis ini menitikberatkan pada dua hal yaitu: pertama, bagaimana perbedaan pertimbangan hukum antara dua putusan; kedua, perbedaan metode penafsiran hukum dari setiap putusan dan implikasinya untuk menghubungkan pemidanaan atas pernikahan terlarang dengan pelanggaran poligami. Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.BKN menganggap perkawinan IR dengan H (yang dianggap terlarang) adalah tidak sah, sementara Putusan Nomor 937
Kajian Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Jurnal Yudisial 2016 9(3), 303 - 315 Problematika penerapan pasal dalam Putusan Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Nomor 11/Tipikor/2013/PT.BDG, jo. Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013 menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan. Dalam ketiga putusan tersebut terdapat persoalan yang menarik untuk dikaji, terutama majelis kasasi yang mengubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan dan pengembalian kerugian negara. Analisis ini mengkaji tentang penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan
X
Jurnal isi.indd 10
1/6/2017 11:30:19 AM
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Analisis ini mengulas tentang mengapa hakim tingkat kasasi menjatuhkan putusan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan apakah penerapan Pasal 18 sudah tepat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan meneliti peraturan perundangundangan, putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa dalam pertimbangannya, judex juris pada perkara tingkat kasasi telah keliru dalam membuktikan unsur melawan hukum sebagaimana tertera pada Pasal 2 ayat (1), sebab pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi juga telah keliru dalam penerapan Pasal 18 terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara.
yaitu paling sedikit tiga tahun penjara dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana penjara bersyarat. Putusan tersebut membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang (judex facti) Nomor 437/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 telah menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum, yaitu selama enam bulan penjara dengan sistem bersyarat. Menurut Pasal 14 ayat (1) KUHP, pidana bersyarat hanya dapat dilakukan apabila majelis hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Analisis putusan ini berfokus pada pokok pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 terkait penjatuhan pidana penjara bersyarat, dilihat dari ketentuan lamanya ancaman pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan berkesimpulan bahwa penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam kasus tersebut dapat dibenarkan dengan alasan demi keadilan serta fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku dan keadaan yang melingkupinya.
(Maman Budiman) Kata kunci: judex juris, unsur melawan hukum, korupsi.
(Ramiyanto) Kata kunci: penjatuhan pidana, pidana penjara bersyarat, tindak pidana perbankan.
UDC 343.53 Ramiyanto (Fakultas Sjakhyakirti, Palembang)
Hukum,
Universitas UDC 349.423
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan
Siregar FY (Fakultas Dwijendra, Bali)
Kajian Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014
Hukum,
Universitas
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Malik dalam Sengketa Tanah
Jurnal Yudisial 2016 9(3), 317 - 338 Di Indonesia, tindak pidana perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam undang-undang tersebut diatur secara tegas mengenai ancaman sanksi berupa pidana bagi pelanggarnya. Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengatur ancaman pidana untuk tindak pidana perbankan dengan sistem minimum khusus,
Kajian Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps Jurnal Yudisial 2016 9(3), 339 - 355 Objek pembahasan dalam kajian putusan ini adalah Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps yang memutus perkara sengketa sertipikat ganda yang mengakibatkan tidak adanya kepastian atas kepemilikan sebidang tanah. Penulisan kajian putusan ini menggunakan metode penelitian eksplanatoris
XI
Jurnal isi.indd 11
1/6/2017 11:30:19 AM
dengan berdasar kepada penilaian atas objek yang pantas untuk diteliti dan memilih kajian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 25 Agustus 2014 tersebut, setelah dilakukan observasi secara berkala terhadap proses hukum sampai dijatuhkan putusan. Kajian ini menggarisbawahi bahwa salah satu tugas pokok pengadilan adalah untuk menyelesaikan sengketa terhadap perkara yang ditangani dan memberikan manfaat positif terhadap para pihak. Dalam penyelesaian sengketa, majelis hakim harus menjatuhkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan dan harus mempertimbangkan sisi kemanfaatan. Putusan yang dijatuhkan idealnya dapat memberikan manfaat yang positif, bukan malah menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat supaya putusan yang dibuat oleh majelis hakim yang terhormat dapat berwibawa dan bijaksana. Namun Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps telah berdampak buruk terhadap para pihak. Dalam menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak ternyata Pengadilan Negeri Denpasar tidak memutus pada pokok permasalahan, akan tetapi malah mengesahkan alasan-alasan terjadinya perbuatan hukum. Sehingga, putusan yang dikeluarkan tidak menyelesaikan permasalahan antara para pihak, akan tetapi mengembalikan perkara kepada keadaan sebelum diajukan ke pengadilan. (Fahmi Yanuar Siregar) Kata kunci: sertipikat hak milik, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum.
XII
Jurnal isi.indd 12
1/6/2017 11:30:19 AM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506..............................................................................
Vol. 9 No. 3 Desember 2016
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC 354: 347.993 Susanto M (Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung) The Construal Development of the Prerogative Right of the President An Analysis of Constitutional Court’s Decisions Number 22/PUU-XIII/2015 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 237 - 258 In the sphere of constitutional law, the issue of prerogative construal as one of the president’s powers, often leads to different opinions and arguments. Prerogative is a distinct power held by the president, which cannot be interfered with by other agencies. The perspective seems to indicate that the president has an absolute authority that cannot be limited by the checks and balances in the principles of constitutional law employed in Indonesian law. The Constitutional Court Decision Number 22/ PUU/-XIII/2015 concerning judicial review of the Law on Indonesian National Police, the Law on Indonesian Defense, and Law on Indonesian National Armed Forces on the issue of filling the positions of the Chief of Indonesian National Police and the Commander of the Indonesian National Armed Forces requiring the approval of Parliament became the subject of discussion in this analysis, given the House of Representative’s approval is measured an “intervention” to the prerogative of the president. The development of perspective on the construal of the prerogative of the president in the Constitutional Court Decision Number 22/PUUXIII/2015 is divided into three major groups, i.e. the perspective of the experts, the perspective of the majority of judges, and the perspective of one judge stating a concurring opinion. This analysis proposes to review the opinion of the experts, especially
those relating to the construal of the prerogative as the focus of discussion. Several perspectives on the construal of the prerogative in Constitutional Court Decision Number 22/PUU-XIII/2015 are considered as conceptual contributions to the Constitutional Law, which could then be reconstructed to provide more essential construal of the prerogative. (Mei Susanto) Keywords: prerogative, powers of the president, constitution.
UDC 347.993 (094.5) Asnawi HS (Institut Agama Islam Ma’rif NU (IAIM NU), Lampung) Constitutional Court’s Interpretation Regarding Law on Oil and Gas An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 36/PUU-X/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 259 - 279 The focus discussion of this analysis arises from the concern of Law Number 22 Year 2001 on Oil and Gas (Oil and Gas Law) which has failed the state sovereignty and the national economy. Oil and Gas Law does not permit the state to cultivate its own crude oil domestically, then export it to overseas. The fact that happened so far is that Indonesia only sells crude oil to be taken up overseas. Furthermore, Indonesia buys the oil, which in fact is its own oil, with the world oil price. Even then, the sales and purchases are effected by intermediaries. As an effort to reduce the sovereignty of Indonesia in the field of oil and gas, the petitioners filed a judicial review of Law Number 22 Year 2001 on Oil and Gas. The Constitutional Court as a state institution take in its stride is to decide the case through the Constitutional Court Decision Number
XIII
Jurnal isi.indd 13
1/6/2017 11:30:19 AM
36/PUU-X/2012 on the Dissolution of Executing Agency of Upstream Oil and Gas Industry. The Constitutional Court did an in-depth interpretation of Law Number 22 Year 2001 which is attributed to the 1945 Constitution. The research of this decision is done through library research using legal interpretation method for juridical (normative) and qualitative analysis. In conclusion, several articles of the Oil and Gas Law are considered contradictory to the Constitution, such as Article 33 the 1945 Constitution. The Constitutional Court Decision are appraised as a wise choice as well as progressive measures in the legal field, notably for the protection of the rights of the people of Indonesia. (Habib Shulton Asnawi) Keywords: legal interpretation, oil and gas law, state sovereignty.
otherwise. The legal interpretation of Decision Number 341/Pid.B/2012/PN.BKN is subsumption method, which concludes that IR is not subject to criminal. Whereas the rightful interpretation of Decision Number 937 K/Pid/2013 is the method of deconstruction, conducting intertextuality on the legal texts (finding “the unspeakable meaning”). Decision of cassation indicates that the criminal sanction of IR on Article 279 paragraph (1) of the Criminal Code (previous marriage can be a barrier for subsequent marriages), even get justification of “the unspeakable meaning” or apart from the Criminal Code (a husband should not marry again without permission of his wife; Article 9 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage). This is taken into account in the absence of the first wife’s permission (SM). (Faiq Tobroni) Keywords: polygamy, interpretation.
UDC 392.54 Tobroni F (Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Legal Interpretation of Deconstruction in Criminal Offense of Polygamy An Analysis of Court Decision Number 937 K/ Pid/2013 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 281 - 301 Decision Number 937 K/Pid/2013 shows that the criminal offense of polygamy which are not in accordance with Law Number 1 of 1974 on Marriage and Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the Dissemination of Islamic Law Compilation may be subject to criminal with relation to the offense of illicit marriage. The focus of the discussion in this analysis is tantamount to explaining how two decisions have differences in the legal considerations and different methods of legal interpretation, and its implications related to criminal prosecution for illicit marriage with polygamy offense. Decision Number 341/Pid.B/2012/PN.BKN discusses the marriage of IR to H (which is considered illicit) is unlawful, while Decision Number 937 K /Pid/2013 assumes
illicit
marriage,
legal
UDC 343.352 (094.5) Budiman M (Fakultas Pasundan, Bandung)
Hukum,
Universitas
Problematics in the Application of Article 2 and 18 of the Law on Corruption Eradication An Analysis of Court Decison Number 1283 K/Pid. Sus/2013 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 303 - 315 The problematic in the application of articles in the Decision Number 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Number 11/Tipikor/2013/PT.BDG, jo. Number 1283 K/Pid.Sus/2013 has made an opening sense of injustice. There are issues interesting to discuss the three decisions, especially those related to the panel of judges in the Court of Final Appeal who made changes to the articles, ie, from Article 3 jo. Article 18 to Article 2 jo. Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, which has implication in the period of criminal prosecution and indemnification of state. This analysis considers
XIV
Jurnal isi.indd 14
1/6/2017 11:30:19 AM
the application of Article 2 and Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, as amended by Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication. The problems are why the judge of final appeal court in making a decision to apply Article 2 of Law Number 31 of 1999, and whether the application of Article 18 is appropriate. The method used is normative legal research to review and examine the legislation, the decision of courts of first instance, the appellate and cassation. The analysis finds that at the level of cassation, judex juris in its consideration had erred in proving the elements of tort as indicated on Article 2 Paragraph (1). This is due to the inclusion of elements of torts on the aforementioned article requires proof of elements of torts in procedural and substantive law. Judex juris in the case of cassation also had erred in the application of Article 18 of primarily regarding the amount of indemnities of state losses. (Maman Budiman) Keywords: judex juris, elements of tort, corruption.
crime, the panel of judges imposes unconditional imprisonment. Judex facti of the District Court of Tanjung Karang in the decision has overturned the Decision Number 437/Pid.Sus/2013 which is a judgment of acquittal (vrijspraak). The panel of judges in Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 has dropped the sentence to six-month in prison term, which is placed under the minimum penalty of a criminal sentence. According to Article 14 paragraph (1) of the Criminal Code, conditional sentencing can only be compelling if a panel of judges dropped a maximum imprisonment of one year. The analysis focuses on the consideration of the panel of judges in making the Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 and sentencing conditional imprisonment in accordance to the criminal sanction and sentencing provisions. This analysis employs normative legal research methods and resolves that sentencing conditional imprisonment in this case is allowed for the sake of justice, as well as the facts, the balance between error level of the accused and the circumstances surrounding. (Ramiyanto)
UDC 343.53 Ramiyanto (Fakultas Sjakhyakirti, Palembang)
Hukum,
Universitas
Conditional Imprisonment Sentencing in Banking Criminal Case An Analysis of Court Decision Number 1554 K/ Pid.Sus/2014 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 317 - 338 Banking Crime in Indonesia is regulated in Law Number 10 of 1998 on the amendment to Law Number 7 of 1992 on Banking. The law expressly set the criminal sanctions for any violation. Article 49 paragraph (2) point b of Law Number 10 of 1998, has been stipulated criminal sanctions for banking crime at a special minimum system, which is imprisonment a minimum for three years and fine for at least five billion rupiahs. In Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 concerning banking
Keywords: sentencing, conditional imprisonment sentence, banking crime.
UDC 349.423 Siregar FY (Fakultas Dwijendra, Bali)
Hukum,
Universitas
The Legitimation of Freehold Title in Agrarian Dispute An Analysis of Court Decision Number 25/ Pdt.G/2014/PN.Dps (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2016 9(3), 339 - 355 The object of the discussion in this analysis is Court Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps ruling a dispute of double certificates of freehold titles resulting in lack of certainty over the ownership of a plot of land. This analysis uses explanatory research method, which is based on the assessment of the
XV
Jurnal isi.indd 15
1/6/2017 11:30:19 AM
appropriateness of objects to discuss, then defines the object of study for analysis, that is the Denpasar District Court’s Decision issued on 25 August 2014, after regular observation of the proceedings until the judge pass the decision. This analysis underlines that one of the main tasks of the courts is to resolve disputes in the case and put forward positive benefits to the parties. In the resolution of the dispute, the judge should reflect and regard a sense of justice and expediency in the decision. The decision imposed should ideally provide definite benefits rather than a negative impact on the society, in order that the decision made by the panel of honorable judges would be dignified and expedient. However, the Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps has adversely affected the parties. In resolving case filed by the parties, Denpasar District Court in fact did not make up mind the issue, but only validates the reasons for legal actions. Thus, the decision issued does not solve the problem between the parties, but in fact restore the case to the condition prior to submission to the court. (Fahmi Yanuar Siregar) Keywords: freehold title, expediency, justice, legal certainty.
XVI
Jurnal isi.indd 16
1/6/2017 11:30:19 AM
PERKEMBANGAN PEMAKNAAN HAK PREROGATIF PRESIDEN Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIII/2015
THE CONSTRUAL DEVELOPMENT OF THE PREROGATIVE RIGHT OF THE PRESIDENT An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 22/PUU-XIII/2015 Mei Susanto Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Imam Bonjol No. 21, Bandung 40132 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 20 Oktober 2016; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Dalam literatur hukum tata negara, persoalan mengenai makna hak prerogatif sebagai salah satu kekuasaan presiden, sering kali menimbulkan perbedaan dan perdebatan. Hak prerogatif merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh seorang presiden tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya. Pandangan tersebut seolah-olah menempatkan presiden memiliki kewenangan yang sangat mutlak dan tidak dapat dibatasi sesuai prinsip checks and balances dalam ajaran konstitusi yang dianut Indonesia. Putusan Nomor 22/PUU/-XIII/2015 tentang pengujian UndangUndang Kepolisian, Undang-Undang Pertahanan, dan Undang-Undang TNI mengenai persoalan pengisian jabatan Kapolri dan Panglima TNI yang mengharuskan adanya persetujuan DPR layak untuk dijadikan bahasan ulasan. Karena persetujuan DPR tersebut dianggap “mengganggu” hak prerogatif presiden. Perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif presiden dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015, dapat dilihat dalam tiga kelompok besar, yaitu: pandangan ahli, pandangan mayoritas hakim, dan pandangan satu orang hakim yang menyatakan concurring opinion (pendapat berbeda). Tulisan ini hendak mengulas pendapat para ahli tersebut, khususnya berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif sesuai dengan fokus tulisan. Beberapa pandangan berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 merupakan
sumbangsih pemikiran dalam hukum tata negara, untuk kemudian dapat direkonstruksi dan memberikan makna yang lebih esensial dari hak prerogatif. Kata kunci: hak prerogatif, kekuasaan presiden, konstitusi. ABSTRACT In the sphere of constitutional law, the issue of prerogative construal as one of the president’s powers, often leads to different opinions and arguments. Prerogative is a distinct power held by the president, which cannot be interfered with by other agencies. The perspective seems to indicate that the president has an absolute authority that cannot be limited by the checks and balances in the principles of constitutional law employed in Indonesian law. The Constitutional Court Decision Number 22/PUU/-XIII/2015 concerning judicial review of the Law on Indonesian National Police, the Law on Indonesian Defense, and Law on Indonesian National Armed Forces on the issue of filling the positions of the Chief of Indonesian National Police and the Commander of the Indonesian National Armed Forces requiring the approval of Parliament became the subject of discussion in this analysis, given the House of Representative’s approval is measured an “intervention” to the prerogative of the president. The development of perspective on the construal of the prerogative of the president in the Constitutional Court Decision Number
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 237
| 237
1/6/2017 11:30:19 AM
22/PUU-XIII/2015 is divided into three major groups, i.e. the perspective of the experts, the perspective of the majority of judges, and the perspective of one judge stating a concurring opinion. This analysis proposes to review the opinion of the experts, especially those relating to the construal of the prerogative as the focus of discussion. Several perspectives on the construal of the
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam literatur hukum tata negara, persoalan mengenai makna hak prerogatif sebagai salah satu kekuasaan presiden, sering kali menimbulkan perbedaan dan perdebatan (Huda, 2001: 9-10).
prerogative in Constitutional Court Decision Number 22/PUU-XIII/2015 are considered as conceptual contributions to the Constitutional Law, which could then be reconstructed to provide more essential construal of the prerogative. Keywords: prerogative, powers of the president, constitution.
67). Salah satu contoh hak prerogatif yang selalu dikemukakan adalah mengenai pengangkatan menteri yang dianggap sebagai hak eksklusif presiden, tanpa dapat dicampuri lembaga lainnya, apalagi dikontrol. Padahal hak tersebut telah diatur dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Kementerian Negara, sehingga apabila presiden melanggar ketentuan dalam proses pengangkatan menteri bukankah harus tetap dikontrol? Di sinilah ruang perdebatan mengenai hak prerogatif selalu menarik untuk diulas.
Bahkan Fatovic mengatakan: “scholars, the courts, and the public have been ambivalent about prerogative.” Ambivalensi tersebut menurut Fatovic terletak pada makna hak prerogatif sebagai kekuasaan presiden untuk mengambil Putusan Nomor 22/PUU/-XIII/2015 tentang tindakan luar biasa (extraordinary) tanpa ada pengujian Undang-Undang Kepolisian, Undanghukum yang secara eksplisit mengaturnya, dan hal Undang Pertahanan, dan Undang-Undang TNI tersebut terkadang bertentangan dengan prinsip mengenai persoalan pengisian jabatan Kapolri konstitusionalisme (Fatovic, 2004: 429). dan Panglima TNI yang mengharuskan adanya Hal tidak jauh berbeda dengan sikap publik persetujuan DPR layak untuk dijadikan salah satu di Indonesia yang menganggap hak prerogatif bahasan ulasan tersebut, karena persetujuan DPR sebagai kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh tersebut dianggap “mengganggu” hak prerogatif seorang presiden tanpa dapat dicampuri oleh presiden. Bahkan pemohon I, II, dan III (pemohon lembaga lainnya. Pandangan tersebut seolah- I DI, pemohon II FA, dan pemohon III HA) olah menempatkan Presiden Indonesia memiliki yang berlatar belakang dosen hukum tata negara kewenangan yang sangat mutlak dan tidak menganggap dirugikan secara konstitusional, dapat diimbangi dan dibatasi sesuai prinsip karena kesulitan menjelaskan sistem presidensial checks and balances dan ajaran konstitusi yang dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. dianut Indonesia. Hal tersebutlah yang membuat Mereka mengatakan: ambigu, karena seharusnya dalam negara hukum yang demokratis berdasarkan konstitusionalisme tidak boleh ada jabatan atau pemangku jabatan yang tidak bertanggung jawab (Manan, 2003:
238 |
Jurnal isi.indd 238
“.... mengapa untuk mengangkat Kapolri dan Panglima TNI, presiden diharuskan mendapat persetujuan DPR? Lalu, di mana letak hak prerogatif presiden?”
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
Di sinilah menariknya Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015. Selain adanya argumentasi para pemohon tersebut, beberapa ahli juga mengemukakan berbagai pendapatnya mengenai makna hak prerogatif. Juga pendapat mayoritas hakim dan pendapat satu orang hakim yang mengajukan concurring opinion (pendapat berbeda) telah memperkaya pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif. Tulisan ini hendak mengulas beberapa pandangan berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif dalam Putusan Nomor 22/PUUXIII/2015 tersebut sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam hukum tata negara untuk kemudian dapat direkonstruksi dan memberikan makna yang lebih esensial dari hak prerogatif.
Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan, yaitu: (i) memberikan perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif presiden; (ii) menemukan perkembangan makna yang lebih esensial dari hak prerogatif presiden; dan (iii) secara praktis diharapkan dapat memberikan perspektif baru dalam pemaknaan hak prerogatif presiden khususnya bagi penyelenggara negara. D.
Studi Pustaka
Studi pustaka yang akan dipergunakan dalam tulisan ini adalah mengenai paham konstitusionalisme, dan bukan mengenai hak prerogatif. Mengapa demikian? Karena teori maupun pemikiran mengenai hak prerogatif B. Rumusan Masalah justru muncul dalam putusan Mahkamah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan Konstitusi tersebut yang diungkapkan para masalah dalam tulisan ini adalah: ahli maupun hakim konstitusi. Sementara teori konstitusionalisme dipergunakan untuk 1. Bagaimana perkembangan pemikiran melihat apakah hak prerogatif ini masih relevan mengenai pemaknaan hak prerogatif dipertahankan di tengah-tengah semangat presiden dalam Putusan Nomor 22/PUUmembatasi kekuasaan. XIII/2015? Perlu dicatat dari sejarah constitutionalism, Bagaimana perkembangan makna esensial telah hadir semenjak tumbuhnya demokrasi mengenai hak prerogatif presiden dalam klasik Athena. Politeia yang menjadi bagian dari hukum ketatanegaraan Indonesia? kebudayaan Yunani, merupakan embrio awal lahirnya gagasan konstitusionalisme. Ahli-ahli C. Tujuan dan Kegunaan hukum pada periode Yunani Kuno, seperti Plato, Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri Socrates, dan Aristoteles pun mengakui telah perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hadirnya semangat konstitusionalisme dalam hak prerogatif presiden yang selama ini dianggap praktik ketatanegaraan polis Athena. Aristoteles, tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara dalam bukunya Politics, menyatakan: “A lainnya, di mana pendapat-pendapat ahli maupun constitution (or polity) may be defined as the hakim dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 organization of a polis, in respect of its offices telah memberikan lebih banyak sudut pandang generally, but especially in respect of that sehingga mampu menempatkan hak prerogatif particular office which is souverign in all issues” (Asshiddiqie, 2005: 7). Walau demikian, karena presiden secara lebih tepat. 2.
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 239
| 239
1/6/2017 11:30:19 AM
menjalankan demokrasi secara langsung, terjadi pencampuradukan antara negara dan masyarakat, antara persoalan publik dan privat, yang berarti warga negara sekaligus pula menjadi pelakupelaku kekuasaan politik yang memegang peran dalam fungsi legislatif dan pengadilan, telah mengakibatkan abu-abunya paham konstitusionalisme Yunani Kuno.
Lahirnya pembatasan kekuasaan di Inggris pada abad ke-18 tersebut, di mana kekuasaan raja sebagian dialihkan kepada parlemen menjadi simbol mulai diadopsinya paham konstitusionalisme. Hal sama terjadi dalam revolusi di Amerika (1776) saat memproklamirkan diri sebagai negara merdeka, maupun revolusi di Perancis 1789 saat mengakhiri kekuasaan monarki absolut Raja Louis XVI, yang kesemuanya Kekaburan antara negara dan masyarakat berbicara mengenai pengakhiran rezim otoriter dalam demokrasi murni, yang menghendaki menuju rezim pembatasan kekuasaan yang lebih partisipasi secara langsung inilah, yang memicu demokratis. tidak simpatinya Plato dan Aristoteles terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, suatu negara Atas dasar hal tersebut, paham yang menerapkan demokrasi murni, dengan konstitusionalisme lahir secara alamiah dalam kekuasaan tertinggi berada di tangan suara kehidupan manusia. Ia mengajarkan mengenai terbanyak, dan kekuasaan menggantikan hukum, pentingnya pembatasan kekuasaan yang telah berpotensi melahirkan para pemimpin mengarahkan negara tetap berada pada aturan penghasut rakyat, yang menyebabkan demokrasi main yang disepakati sebagaimana disebutkan tergelincir menjadi despotisme (Diamond, 1999: Hamilton: “constitutionalism is the name given 2). to the trust which men repose in the power Paham konstitusionalisme selanjutnya berkembang pada abad ke-18 sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi negara-negara bangsa (nation state) yang mendapatkan bentuknya yang sangat kuat, sentralistis, dan sangat berkuasa selama abad ke-16 dan ke17. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini mengambil bentuknya dalam doktrin ‘king-in—parliament,’ yang pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas. Karena itu Kay mengatakan:
240 |
Jurnal isi.indd 240
engrossed on parchment to keep a government order” (Kay dalam Alexander, 1998: 16).
Paham konstitusionalisme itu sendiri sampai saat ini dianggap masih menjadi satu paham yang paling efektif dalam mengelola kekuasaan negara. Seperti dikatakan pemikir politik kontemporer Almond, yang menyatakan bentuk pemerintahan terbaik yang dapat diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga “By 1776 Blackstone was able to write that membatasi kedaulatan rakyat dengan institusiwhat Parliament does ‘no authority upon institusi negara yang menghasilkan ketertiban earth can undo.’ It was partly in response dan stabilitas (Almond, 1996: 53-61). to the positing of a leviathan-state that the idea of a government of limited purpose, Dua pilar utama yang menegakkan fondasi and therefore of limited power, was reformulated and explicated” (Kay dalam konstitusionalisme adalah the rule of law dan Alexander, 1998: 18). pemisahan kekuasaan, seperti diungkapkan oleh Alder, bahwa hukum harus membatasi kekuasaan
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
pemerintahan. Alder mengatakan: “the concepts of the rule of law and the separation of powers are aspects of the wider notion of ‘constitutionalism,’ that is, the idea that governmental power should be limited by law” (Alder, 1989: 39). Pendapat senada juga diutarakan oleh Kay, yang mengatakan: “constitusionalism implements the rule of law; It brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government” (Kay dalam Alexander, 1998: 4). II.
METODE
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Istanto, mengatakan penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum (Istanto, 2007: 29). Sejalan dengan Istanto, Marzuki mengatakan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 2005: 35). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum guna mencari jawaban persoalan pemaknaan hak prerogatif presiden, melalui aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin hukum terutama yang mencuat dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum dengan pendekatan doktrinal yang condong bersifat kualitatif berdasarkan data sekunder (Supranto, 2003: 2).
menggunakan dokumen tertulis sebagai data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat hukum, meliputi produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat kritiknya. Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer berupa doktrin para ahli yang ditemukan dalam buku, jurnal, dan dalam website. Sementara itu, Cohen mengatakan dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu: statute approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach, hystorical approach, philosophical approach, dan case approach (dalam Marzuki, 2005: 93). Merujuk pada pendekatan-pendekatan tersebut, penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan filosofis (philosophical approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk melihat permasalahan hak prerogatif presiden dalam pengangkatan Kapolri maupun Panglima TNI yang ada dalam UndangUndang Kepolisian, Undang-Undang Pertahanan, dan Undang-Undang TNI serta pengaturan dalam UUD NRI 1945. Pendekatan konseptual digunakan untuk melihat konsepsi hak prerogatif presiden sejalan dengan dianutnya paham konstitusionalisme dan negara hukum. Sementara pendekatan perbandingan dipergunakan Jenis penelitian yang digunakan dalam dengan melihat sejarah serta penerapan hak penulisan ini adalah penelitian pustaka (library prerogatif baik di Inggris maupun di Amerika research). Library research berarti penelitian yang Serikat. Pendekatan filosofis digunakan untuk melihat makna esensial hak prerogatif agar Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 241
| 241
1/6/2017 11:30:19 AM
sejalan dengan filosofi kepemimpinan negara. Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, maka perkembangan pemaknaan hak prerogatif presiden dianalisis secara deskriptif kualitatif agar dapat sampai pada kesimpulan akhir yang akan menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Pemikiran Mengenai Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden dalam Putusan Nomor 22/PUUXIII/2015 Perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif presiden dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015, dapat dilihat dalam tiga kelompok besar, yaitu: pandangan ahli, pandangan mayoritas hakim, dan pandangan satu orang hakim yang menyatakan concurring opinion (pendapat berbeda). Pertama yang dibahas adalah perkembangan pemikiran yang diutarakan oleh para ahli yang didengarkan dalam persidangan. Dalam putusan tersebut, ada empat orang ahli yang memberikan keterangannya dalam persidangan. Tulisan ini hendak mengulas pendapat para ahli tersebut khususnya berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif sesuai dengan fokus tulisan. Walau tidak sampai menimbulkan perdebatan yang sengit, namun pandangan beberapa ahli layak untuk disimak yang memperkaya pemaknaan hak prerogatif.
diberikan kepada presiden secara langsung oleh konstitusi. Saldi sepakat terhadap pandangan tersebut. Saldi mencontohkan Pasal 17 UUD NRI 1945 mengenai ihwal pengangkatan atau pengisian menteri-menteri sebagai pembantu presiden sebagai hak prerogatif, bukan pada proses perubahan atau pembentukan kementerian. Poin menarik Saldi mengambil praktik di negara yang menganut sistem presidensial yaitu Amerika Serikat yang ternyata pengangkatan menteri tidak sepenuhnya menjadi prerogatif presiden, karena beberapa menteri yang berada dalam posisi strategis, selalu menunggu konfirmasi dari Senat Amerika Serikat. Saldi mencontohkan pengalaman di periode pertama pemerintahan Bush Junior yang mengajukan seorang calon menteri keturunan latin perempuan untuk menjadi Menteri Tenaga Kerja, tetapi karena ada catatan keberatan dari senat, Bush memilih mengganti nama yang diajukannya dengan nama lain yang dinilainya tidak menimbulkan keberatan dari senat. Jadi, apa yang bisa dijelaskan bahwa soal prerogatif itu memang ada pergeseran dari waktu ke waktu dan terjadi perbedaan diterapkan di dalam beberapa negara, terutama yang menganut sistem presidensial.
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, menurut Saldi keterlibatan DPR dalam proses rekrutmen pejabat publik juga muncul dalam Perubahan UUD NRI 1945 juga ada dengan level keterlibatan yang berbeda-beda. Saldi merekomendasikan untuk jabatan Kapolri dan Panglima TNI seharusnya pelibatan DPR dalam Ahli pertama yang didengarkan adalah bentuk pertimbangan bukan persetujuan, karena Saldi Isra. Dalam keterangannya, Saldi Polri dan TNI adalah institusi yang langsung di mempergunakan tulisan Bagir Manan pada bawah presiden. Harian Republika tahun 2001 yang mengatakan Melihat penjelasan Saldi tersebut, maka bahwa hak prerogatif presiden adalah hak yang Saldi beranggapan bahwa hak prerogatif itu hak
242 |
Jurnal isi.indd 242
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
yang secara konstitusional diberikan kepada presiden. Dalam konteks pengisian jabatan yang termasuk dalam ranah hak prerogatif presiden, Saldi membolehkan campur tangan DPR yang merupakan perwujudan checks and balances. Hanya saja Saldi menekankan pada perbedaan model pengisian jabatan berdasarkan jenis kelembagaan. Apabila di ranah eksekutif seharusnya hanya pertimbangan saja. Ahli kedua yang didengarkan adalah Harjono. Dalam keterangannya, Harjono tidak menggunakan hak prerogatif dalam analisisnya. Bahkan Harjono mengatakan:
“Ahli berpendapat bahwa menurut UndangUndang Dasar, penunjukan Kapolri adalah kewenangan tunggal presiden. Ahli tidak menggunakan hak prerogatif karena itu adalah hak dari presiden secara konstitusional. Belum ada penjelasan ini prerogatif, haknya presiden, haknya presiden yang bukan prerogatif apa? Sementara ini tidak ada satu penjelasan tentang itu. Apabila ketentuan undangundang akan mengatur keterlibatan DPR dalam pemilihan Kapolri, hak yang dapat diberikan oleh undang-undang maksimal adalah hak untuk memberikan pertimbangan saja dan bukan persetujuan.”
undang-undang mana pun, termasuk tidak diatur dalam Undang-Undang Kepolisian. Selanjutnya Zainal mengemukakan teori yang dibangun oleh Pious, yang menuliskan: “What does it mean by prerogative power?” Prerogative power sebenarnya itu (constitutional power). Sejarahnya lahir dari kewenangan raja sebagaimana disebutkan Dicey yang mengatakan: “Agak sulit dibedakan dengan yang namanya diskresi raja dengan yang namanya prerogatif raja.” Tetapi, walaupun berbeda bisa dikatakan bahwa itulah kewenangan raja yang kemudian di dalam sistem parlementer diserahkan kepada kepala negara, sedang dalam sistem presidensial diserahkan kepada prerogatif presiden. Lebih lanjut Zainal mengungkap sekurangkurangnya tiga pemaknaan prerogatif. Pertama, sebenarnya dia punya peluang untuk menafsirkan konstitusi, bahkan mengatur sesuatu yang di luar konstitusi, yang tidak diatur di konstitusi. Zainal memberikan contoh di Amerika ketika Presiden Nixon dalam kasus Watergate mengeluarkan tindakan yang melarang namanya diperdengarkan ke publik dalam rekaman yang beredar luas. Hal yang kemudian ditolak ramai-ramai. Kedua, menerjemahkan prerogative power itu dalam kaitan sesuatu power yang embedded. Jadi, yang melekat atau biasa disebut sebagai atributif. Apa yang ada di konstitusi, itulah kewenangan prerogatif. Ketiga, biasanya dikaitkan dengan discretionary power. Walaupun banyak yang merumuskan ini dalam kaitan dengan kewenangan sebagai kepala pemerintahan, tetapi ketiga-tiganya adalah prerogatif.
Ahli ketiga yang didengarkan adalah Zainal Arifin Mochtar. Zainal menyatakan tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan Saldi Isra yang mengutip Bagir Manan soal apa yang dimaksud prerogative power. Menurut Zainal, prerogatif dalam makna sejarah konstitusi itu berarti dia memiliki kewenangan untuk beyond costitution. Itu yang disebut sebagai constitutional power. Dia mengisi sesuatu yang tidak diatur secara detail di dalam konstitusi. Karena itu, Zainal mengatakan termasuk yang membenarkan Walaupun menganggap bahwa ketika presiden menarik calon Kapolri. pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI Menurutnya tidak ada masalah, itu adalah bagian merupakan prerogatif presiden, Zainal juga dari constitutional power karena tidak diatur di mengajukan argumentasi bahwa executive
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 243
| 243
1/6/2017 11:30:19 AM
heavy haruslah dicegah, sehingga Zainal pada kesimpulannya mengusulkan agar keterlibatan DPR dalam pengisian jabatan Kapolri dan Panglima TNI semestinya menggunakan model pertimbangan bukan persetujuan.
prerogatif sebagai residu dari kekuasaan diskresi raja atau ratu yang secara hukum tetap dibiarkan dan dijalankan sendiri oleh raja atau ratu dan para menteri. Yang disebut kekuasaan diskresi atau discretionary power adalah segala tindakan raja atau ratu atau pejabat negara lainnya yang secara Dari pendapat Zainal ini dapat diperoleh hukum dibenarkan walaupun tidak ditentukan pemaknaan hak prerogatif sebagai kekuasaan atau didasarkan pada suatu ketentuan undangyang tidak secara tegas dituliskan dalam konstitusi undang. maupun peraturan perundang-undangan, namun keberadaannya tetap diakui khususnya dalam Astawa menjelaskan, disebut sebagai residu rangka mengisi kekosongan hukum atas perkara karena kekuasaan ini tidak lain dari sisa seluruh atau kejadian ketatanegaraan yang ada di depan kekuasaan mutlak yang semula ada pada raja mata. Karena itu, hak prerogatif ini bersifat atau ratu yang kemudian makin berkurang karena melekat dan memiliki karakteristik diskresi yang beralih ke tangan rakyat atau parlemen ataupun akan sangat bergantung pada presiden dalam unsur-unsur pemerintahan lainnya, seperti mempergunakannya. menteri. Dahulu kala memang Raja-Raja Inggris terkenal dengan kekuasaannya yang demikian Ahli keempat adalah I Gede Pantja Astawa absolut. Demikian absolutnya kekuasaan raja itu yang merupakan ahli dari pemerintah. Dalam menimbulkan reaksi, terutama dari rakyat yang pemaparannya Astawa lebih fokus menyampaikan lama kelamaan reaksi rakyat ini diwakili oleh pendapat tentang hak prerogatif presiden, baik parlemen itu berhasil mengurangi absolutisme yang berkenaan dengan makna sejarah dan kekuasaan Raja Inggris dan sampai kemudian karakter prerogatif, maupun kekuasaan presiden berhasil dan sengaja menyisakan sedikit dalam UUD NRI 1945. Uraian Astawa dimulai kekuasaan yang absolut ini dibiarkan berada di dari istilah hak atau kekuasaan prerogatif secara tangan raja. Inilah sebetulnya asal mula dari apa etimologis, berasal dari bahasa Latin, praerogativa, yang kita kenali dengan residu yang kemudian maknanya adalah dipilih sebagai yang paling dikenal dengan nama prerogatif. Jadi dengan dahulu memberikan suara. Praerogativus, diminta kata lain, prerogatif sebetulnya kekuasaan sisa. sebagai yang pertama memberi suara. Praerogare, Ini yang kemudian diadopsi di berbagai negaradiminta sebelum meminta yang lain. negara dalam sistem ketatanegaraan di berbagai Menurut Astawa, sebagai pranata negara-negara modern. tata negara, prerogatif berasal dari sistem ketatanegaraan Inggris. Hingga saat ini pranata prerogatif tetap merupakan salah satu sumber hukum, khususnya sumber hukum tata negara di Kerajaan Inggris. Dalam konteks pemaknaan atau pengertian prerogatif, Astawa mengutip pendapat dari Dicey, seorang pakar hukum tata negara kenamaan Inggris yang merumuskan
244 |
Jurnal isi.indd 244
Astawa juga mengatakan bahwa kekuasaan prerogatif bersumber pada common law (hukum tidak tertulis) yang berasal dari putusan hakim karena tidak memerlukan suatu undang-undang. Oleh sebagian pakar memandang kekuasaan prerogatif sebagai undemocratic and potentially dangerous, jadi sangat berbahaya sekali. Untuk mengurangi sifat tidak demokratik dan potensi Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
bahaya tersebut, maka penggunaan kekuasaan prerogatif dibatasi dengan cara, pertama, dialihkan ke dalam undang-undang. Kedua, kemungkinan diuji melalui peradilan, yang kita kenali dengan judicial review. Atau ketiga, kalau akan dilaksanakan oleh raja atau ratu harus terlebih dahulu mendengar pendapat atau pertimbangan menteri. Suatu kekuasaan prerogatif yang sudah diatur dalam undang-undang tidak lagi disebut sebagai hak prerogatif melainkan sebagai hak yang berdasarkan undang-undang. Atas dasar argumentasi yang dibangunnya, Astawa menyimpulkan bahwa kekuasaan prerogatif mengandung beberapa karakter, yaitu: (1) sebagai residual power; (2) merupakan kekuasaan diskresi atau freies ermessen dalam bahasa Jerman, dan beleid dalam bahasa Belanda; (3) tidak ada dalam hukum tertulis; (4) penggunaannya dibatasi; dan (5) akan hilang apabila telah diatur dalam undang-undang atau UUD NRI 1945. Astawa menambahkan bahwa kekuasaan prerogatif akan hilang apabila diatur dalam undang-undang atau UUD NRI 1945. Pengertian hilang di sini bukan selalu berarti materi kekuasaan prerogatif akan sirna. Berbagai kekuasaan prerogatif tersebut dapat diatur dalam undang-undang atau UUD NRI 1945. Apabila telah diatur dalam undang-undang atau UUD NRI 1945, maka tidak lagi disebut kekuasaan prerogatif, melainkan sebagai kekuasaan menurut atau berdasarkan undang-undang (statutory power) atau kekuasaan menurut atau berdasarkan UUD NRI 1945 (constitutional power). Lebih lanjut Astawa mengatakan, kalau isinya sama atau serupa, apakah ada perbedaan antara kekuasaan berdasarkan undang-undang atau berdasarkan UUD NRI 1945? Menjawab
pertanyaan tersebut, Astawa mengatakan sekurang-kurangnya perbedaaan mencakup hal sebagai berikut: Pertama, ruang lingkup, sebagai kekuasaan residu yang bersumber pada diskresi, jenis, dan batas kekuasaan prerogatif tidak dapat diketahui secara pasti. Dengan pengaturannya dalam undang-undang atau UUD NRI 1945, jenis dan batas kekuasaan yang semula berupa kekuasaan prerogatif dapat ditentukan secara pasti. Kedua, setelah menjadi kekuasaan menurut atau berdasarkan undang-undang atau UUD NRI 1945, karakter diskresi makin dibatasi dan lebih mudah menilai penggunaannya secara hukum, misalnya judicial review. Kecuali, badan peradilan enggan atau memandang kekuasaan tersebut sebagai nonjusticiable. Atas dasar kekuasaan semacam ini, lebih menampakkan diri sebagai masalah politik (political question) daripada sebagai masalah hukum (legal question). Ketiga, tidak ada lagi pengertian sebagai suatu kekuasaan yang bersifat residu karena menjadi kekuasaan yang dilahirkan secara hukum. Ini yang disebut dengan created by law. Keempat, menjadi bagian hukum tertulis (written law). Dengan demikian, cara-cara penciptaan, penghapusan, dan cara menjalankannya akan ditentukan menurut aturan dan tata cara yang diatur atau yang lazim berlaku bagi hukum tertulis. Kelima, setelah diatur menurut atau berdasarkan undang-undang atau UUD NRI 1945, tidak ada lagi kekuasaan prerogatif. Yang ada adalah kekuasaan hukum atau kekuasaan berdasarkan undang-undang (statutory power) atau menurut berdasarkan UUD NRI 1945 (constitutional power). Astawa mengatakan bahwa sebagai hukum positif, UUD NRI 1945 merupakan sumber pertama dan utama sistem hukum, serta segala sistem kemasyarakatan berbangsa dan bernegara. UUD NRI 1945 merupakan sumber pencipta
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 245
| 245
1/6/2017 11:30:19 AM
kaidah-kaidah hukum tata negara. Seperti keberadaan badan atau lembaga negara atau jabatan-jabatan yang ada dalam negara. Demikian pula halnya dengan kekuasaan presiden yang lazim disebut dengan hak prerogatif bersumber dan diciptakan secara hukum oleh dan di dalam UUD NRI 1945. Kekuasaan presiden tersebut bukan sekedar terdapat, tetapi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh UUD NRI 1945. Kekuasaan ini ditinjau dari pengertian hukum tidak mengandung karakter residu, tidak mengandung karakter diskresi, melainkan kekuasaan yang lingkup dan jenisnya lahir dan ditentukan oleh hukum karena diatur dalam UUD NRI 1945, maka bersifat dan merupakan kekuasaan konstitusional (constitutional power). Jadi, sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD NRI 1945 sesungguhnya tidak mengenal hak atau kekuasaan prerogatif, yang ada adalah kekuasaan konstitusional yang harus tunduk pada pengertian dan paham negara berkonstitusi (constitutional state), antara lain pembatasan kekuasaan (limited government). Selain itu, terhadap kekuasaan konstitusional presiden tersebut perlu ada instrumen pengendali agar kekuasaan tersebut tetap benar secara hukum (on the track), wajar, dan pantas. Salah satu cara pengendaliannya adalah melalui pranata yang kita kenali dengan checks and balances. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan pendapat Astawa berkaitan dengan hak prerogatif cukup komprehensif karena mengulas dari sisi istilah, sejarah, karakter sampai dengan kontekstualnya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Walau demikian, pendapat Astawa lebih banyak mengulas prerogatif dari sisi ketatanegaraan Inggris yang menerapkan sistem pemerintahan parlementer, dan tidak membahas prerogatif dari aspek sistem presidensil. 246 |
Jurnal isi.indd 246
Setelah menguraikan pendapat beberapa ahli sebagai kelompok besar pertama, perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif selanjutnya akan diuraikan kelompok besar kedua yaitu pandangan mayoritas hakim konstitusi berkaitan dengan pemaknaan hak prerogatif. Penulis menyebut mayoritas hakim, karena ada satu orang hakim yang mengajukan pendapat berbeda (concurring opinion) yang akan dibahas berikutnya. Dalam pertimbangannya berkaitan dengan hak prerogatif, mayoritas hakim konstitusi mengamini pendapat bahwa secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara pada saat ini, hak tersebut dimiliki oleh kepala negara baik raja, presiden, atau kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi sehingga menjadi kewenangan konstitusional. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya terutama bagi sistem yang menganut pembagian atau pemisahan kekuasaan negara. Selanjutnya mayoritas hakim konstitusi berpendirian bahwa pada saat Perubahan UUD NRI 1945 telah terjadi penegasan dan penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Selain itu, disepakati juga tentang pembagian kekuasaan yang dirumuskan dengan prinsip checks and balances sebagai respon atas praktik executive heavy sebelum terjadi perubahan UUD NRI 1945. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
Berkaitan hak prerogatif presiden meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD NRI 1945, namun dalam pembahasan perubahan UUD NRI 1945 isu tentang hak prerogatif presiden menjadi perdebatan semua fraksi dan secara garis besar hampir semua fraksi setuju adanya hak prerogatif presiden dengan tetap dibatasi oleh mekanisme checks and balances dalam rangka untuk membatasi besarnya dominasi dan peran seorang presiden. Kontrol terhadap presiden secara kelembagaan dapat dilakukan oleh DPR.
Pendapat mayoritas hakim tersebut sebenarnya tidak terlalu banyak mengulas pemaknaan hak prerogatif. Namun ada satu pesan yang diperoleh dari mayoritas hakim tersebut adalah bahwa penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada prinsip checks and balances sehingga sangat memungkinkan keterlibatan lembaga negara lain dalam kerangka mengawasi dan mengimbangi kewenangan lembaga negara lainnya. Pendapat mayoritas hakim ini kemudian dikritik oleh Saldi dalam Kata Pengantar buku Pengisian Jabatan Publik Mayoritas hakim selanjutnya berpendapat dalam Ranah Kekuasaan Eksekutif, dengan bahwa adanya permintaan persetujuan oleh menyebut: presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan “Mahkamah Konstitusi justru mengukuhkan Kapolri dan Panglima TNI bukanlah suatu mekanisme pemberian persetujuan oleh penyimpangan dari sistem pemerintahan DPR dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI. Walaupun demikian, ada presidensial, hal tersebut justru menggambarkan hal yang patut disayangkan dari putusan telah berjalannya mekanisme checks and tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak balances sebagaimana tersirat dalam UUD NRI memberikan pertimbangan lebih jauh ihwal pilihan memberikan “persetujuan” atau 1945. Selain itu, menurut mayoritas hakim, “memberikan pertimbangan.” Seharusnya proses pemilihan pejabat publik bertujuan untuk Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan melindungi hak dan kepentingan publik yang dua pilihan tersebut dalam kaitannya dengan upaya menjamin hadirnya suatu dapat dicapai melalui suatu prosedur pemilihan prosedur pemilihan yang transparan, yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. akuntabel, dan partisipatif” (Fahmi (Ed), Adanya permintaan persetujuan tersebut adalah 2016: vi). dalam rangka menciptakan dan menghasilkan Pendapat Saldi tersebut di satu sisi tata kelola pemerintahan yang baik (good dapat dibenarkan karena pendapat mayoritas governance), sehingga dapat terpilih sosok hakim memang kurang mendalam dan kurang pejabat yang betul-betul memiliki integritas, melakukan elaborasi sebagai jalan memberikan kapabilitas, dan leadership, serta akseptabilitas terobosan dalam soal pengisian pejabat negara dalam rangka membantu presiden untuk yang melibatkan DPR, namun di sisi lain pendapat menjalankan pemerintahan. Saldi tersebut dirasa kurang objektif karena yang Atas dasar pertimbangan tersebut, bersangkutan memberikan keterangan ahli dalam mayoritas hakim berkesimpulan adanya persidangan Mahkamah Konstitusi. persetujuan DPR dalam hal pengangkatan Setelah posisi mayoritas hakim, selanjutnya Kapolri dan Panglima TNI oleh presiden tidak akan memasuki kelompok besar ketiga yaitu bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga adanya hakim konstitusi yang mengajukan permohonan pembatalan dinyatakan tidak concurring opinion berkaitan dengan pemaknaan beralasan menurut hukum atau ditolak. Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 247
| 247
1/6/2017 11:30:19 AM
hak prerogatif. Adalah Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang mengajukan pendapat berbeda (concurring opinion) dalam menanggapi persoalan hak prerogatif. Pendapat Palguna ini cukup menarik dikupas karena mengaitkan hak prerogatif dengan sistem pemerintahan presidensial dengan mengambil contoh penyelenggaraannya di Amerika Serikat. Di awal pendapatnya Palguna mengatakan:
“Terlepas dari persoalan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, substansi permohonan a quo adalah perihal hak prerogatif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial. Konkretnya, dalam konteks permohonan a quo, apakah adanya campur tangan DPR dalam rupa pemberian persetujuan terhadap pengangkatan (dan pemberhentian) calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (Panglima TNI) dan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) bertentangan hakikat hak prerogatif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD NRI 1945, sebagaimana didalilkan oleh para pemohon?”
Melalui dalil-dalilnya, para pemohon beranggapan bahwa hak prerogatif merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan, bahkan tak dapat dikurangi, dalam sistem presidensial. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apa dan bagaimana ciri sistem (pemerintahan) presidensial itu? Jawaban atas pertanyaan ini sekaligus menjadi landasan untuk menjawab pertanyaan tentang maksud pernyataan “memperkuat sistem pemerintahan presidensial” yang merupakan salah satu kesepakatan politik fraksi-fraksi di MPR tatkala hendak melakukan perubahan terhadap UUD NRI 1945 (1999).”
Untuk menganalisis persoalan yang diajukan pemohon tersebut, Palguna menggunakan Konstitusi Amerika Serikat sebagai konstitusi (tertulis) pertama yang memperkenalkan sistem presidensial sebagai alternatif terhadap sistem monarki (yang kemudian mengembangkan sistem 248 |
Jurnal isi.indd 248
pemerintahan parlementer). Palguna dengan menyitir pendapat Lijphart, mengemukakan sejumlah ciri umum yang dapat ditemukan dalam sistem presidensial, antara lain: “Pertama, lembaga perwakilan (assembly) adalah lembaga yang terpisah dari lembaga kepresidenan. Kedua, presiden dipilih oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Jadi, baik presiden maupun lembaga perwakilan sama-sama memperoleh legitimasinya langsung dari rakyat pemilih. Karena itu, presiden tidak dapat diberhentikan atau dipaksa berhenti dalam masa jabatannya oleh lembaga perwakilan (kecuali melalui impeachment karena adanya pelanggaran yang telah ditentukan). Ketiga, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Keempat, presiden memilih sendiri menteri-menteri atau anggota kabinetnya (di Amerika disebut secretaries). Kelima, presiden adalah satu-satunya pemegang kekuasaan eksekutif (berbeda dari sistem parlementer di mana perdana menteri adalah primus interpares, yang pertama di antara yang sederajat). Keenam, anggota lembaga perwakilan tidak boleh menjadi bagian dari pemerintahan atau sebaliknya. Ketujuh, presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan melainkan kepada konstitusi. Kedelapan, presiden tidak dapat membubarkan lembaga perwakilan. Kesembilan, kendatipun pada dasarnya berlaku prinsip supremasi konstitusi, dalam hal-hal tertentu, lembaga perwakilan memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan dua cabang kekuasaan lainnya. Hal ini mengacu pada praktik (di Amerika Serikat) di mana presiden yang diberi kekuasaan begitu besar oleh konstitusi namun dalam hal-hal tertentu ia hanya dapat melaksanakan kekuasaan itu setelah mendapatkan persetujuan kongres. Kesepuluh, presiden sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab langsung kepada pemilihnya. Oleh karena itu, seorang presiden di Amerika Serikat dengan mudah mengatakan kepada anggota anggota kongres, “You represent your constituency, I represent the whole people” dan tak seorangpun membantahnya. Kesebelas,
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:19 AM
berbeda dari sistem parlementer di mana parlemen merupakan titik pusat dari segala aktivitas politik, dalam sistem presidensial hal semacam itu tidak dikenal” (Lijphart, 1992: 40-47). Selanjutnya Palguna mengatakan:
“Setelah mengidentifikasi ciri-ciri umum sistem presidensial di atas, pertanyaannya kemudian adalah di mana “tempat” hak prerogatif presiden, sebab tidak secara eksplisit teridentifikasi dalam ciri-ciri dimaksud? Apakah dengan demikian berarti hak yang dinamakan hak prerogatif presiden itu sesungguhnya bukan merupakan unsur melekat dari sistem presidensial?”
Atas persoalan tersebut, menurut Palguna, secara tekstual, dalam UUD NRI 1945 maupun dalam Konstitusi Amerika Serikat, yang dirujuk sebagai perbandingan, istilah “hak prerogatif” itu tidak dikenal, dalam arti tidak disebut secara eksplisit. Hak tersebut hanya dikenal dalam doktrin dan praktik sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang mula-mula berkembang dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris. Selanjutnya Palguna menguraikan doktrin prerogatif yang ada di Inggris dengan mengutip pendapat Locke dalam Two Treatises of Civil Government:
Locke menyebut kekuasaan prerogatif (yang berada di tangan eksekutif) sebagai “kekuasaan untuk bertindak berdasarkan diskresi demi kebaikan umum, tanpa ada perumusannya dalam hukum, bahkan ada kalanya bertentangan dengan hukum” (“power to act according to discretion for the public good, without the prescription of the law and sometimes even against it”). Kekuasaan demikian diberikan kepada eksekutif, menurut Locke, karena “Where the legislative and executive power are in distinct hands .... there the good of the society requires that several things should be left to the discretion of him that has the executive power. For the legislators
not being able to foresee and provide by laws for all that may be usefull to the community, the executor of the laws, having the power in his hands, has by the common law of nature a right to make use of it for the good of the society ..... till the legislative can conveniently be assembled to provide for it.” Dengan demikian, secara doktrinal, kekuasaan prerogatif adalah kekuasaan yang diberikan kepada eksekutif sebagai bagian dari diskresi yang lahir dari tuntutan masyarakat dan demi kebaikan masyarakat sampai legislatif dapat berapat dan mengaturnya (membuat hukumnya). Palguna juga mengutip pendapat Bracton dan Fortescue berkaitan dengan sisi historis the royal prerogative yang merujuk pada dua saluran yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan kerajaan. Bracton menyebut dua saluran yaitu: jurisdictio (yurisdiksi) dan gubernaculum (cara memerintah). Sementara Fortescue menyebutnya dengan istilah dominium politicum et regale (wewenang politis dan agung). Maksud mereka adalah bahwa dalam bidang-bidang pelaksanaan pemerintahan yang menyangkut perlindungan ketertiban dalam negeri dan pertahanan kerajaan dari musuh-musuh asing, kekuasaan mahkota (raja/ratu) bersifat absolut dan tak terbatas; sementara dalam bidang-bidang yang berkenaan dengan hidup, kebebasan, dan hak milik dari warga negara yang merdeka, kekuasaan mahkota (raja/ratu) terikat pada hukum nasional. Abad ke-16, yang dinamakan royal prerogative ini bahkan meluas yang sebagian besar di antaranya melanggar hukum namun dibenarkan berdasarkan kekuasaan atau kewenangan dispensasi, misalnya mengesampingkan pelaksanaan undang-undang tertentu terhadap kasus-kasus tertentu. Perluasan secara besar-besaran hak prerogratif ini kemudian menimbulkan perlawanan dari dua kelompok, yaitu: anggota parlemen (parliamentarians) dan
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 249
| 249
1/6/2017 11:30:20 AM
ahli hukum common law (common-law lawyers) yang kelompok ketiga adalah approve legislation pada abad ke-17 dan akhirnya, sejak abad ke- (Ibid, Wilson, 1983: 302). 18, ketika Inggris mulai mengadopsi sistem Selanjutnya Palguna mengatakan: pemerintahan kabinet menteri-menteri yang sekaligus merupakan anggota parlemen (yang “Walaupun hak prerogatif presiden di Amerika Serikat dapat dalam tiga bentuk kemudian dikenal dengan sistem parlementer). tersebut, namun dalam praktik, apa Parlemen dan para menteri merebut hak-hak itu yang dinamakan kewenangan prerogatif (prerogative power) presiden di Amerika dari tangan raja (dalam Levy & Fisher, 1994: Serikat adalah tindakan sepihak presiden 593-594). yang dilakukan semata-mata atas dasar diskresi demi kepentingan publik yang Palguna mengkontekskan hal tersebut tidak ditemukan dasarnya dalam hukum maupun konstitusi namun hal itu dipandang dengan sejarah Amerika Serikat, yang merupakan perlu. Misalnya tatkala Presiden George bekas jajahan Inggris, tatkala memperkenalkan Washington mengeluarkan “proklamasi sistem pemerintahan baru (kemudian dikenal netralitas” (neutrality proclamation); atau tatkala Presiden Abraham Lincoln dengan sistem presidensial), pasca Proklamasi melakukan tindakan-tindakan yang Kemerdekaan 1776 dan setelah pemberlakuan disebutnya sebagai “higher obligation” Konstitusi Amerika Serikat hasil Constitutional demi menjaga persatuan (union); atau tatkala Presiden Theodore Roosevelt Convention 1787. Ternyata mengadopsi konsepsi membuat perjanjian-perjanjian yang hak prerogatif itu, namun dengan memberikan dinamakan executive agreements terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam materi pengertian yang berbeda, bukan lagi sebagai hak perjanjian yang memerlukan pengesahan eksklusif eksekutif (c.q. presiden). Di Amerika senat; atau tatkala Presiden Jimmy Carter Serikat, secara doktrinal, apa yang dinamakan memberikan amnesti umum (blanket amnesty) bagi mereka yang menolak wajib hak atau kewenangan prerogratif itu dibagi militer selama berlangsungnya Perang menjadi tiga kelompok, yaitu: (i) kewenangan Vietnam. Oleh karena itulah apa yang kini prerogatif yang berada di tangan presiden sendiri; dipahami sebagai kewenangan prerogatif presiden di Amerika Serikat digambarkan (ii) kewenangan prerogatif yang berada di sebagai “a situation that is dangerous tangan presiden dan senat; dan (iii) kewenangan but necessary” sebab pembatasan atau prerogatif yang berada di tangan presiden dan pengendalian terhadap tindakan itu tidak ditentukan oleh dan dalam konstitusi kongres. melainkan oleh hal-hal yang bersifat politis, yaitu kongres, birokrasi, media massa, dan Kelompok pertama adalah commander-inpendapat publik.” chief of the armed forces, commission officer of Atas dasar pertimbangan-pertimbangan the armed forces, grand reprieves and pardons for federal offences (except impeachment), teoritis yang telah diuraikan, Palguna convene congress in special sessions, receive menyimpulkan bahwa dalam praktik di Amerika ambassadors, take care that the laws be faithfully Serikat, apa yang dinamakan hak atau kewenangan executed, wield the executive power, appoint prerogatif, dalam arti yang benar-benar secara officials to lesser offices. Sedangkan yang eksklusif berada di tangan presiden, adalah hak termasuk ke dalam kelompok yang kedua adalah atau kewenangan presiden untuk melakukan make treaties, appoint ambassadors, judges, and tindakan diskresi yang didasari oleh pertimbangan high officials. Adapun yang termasuk ke dalam kepentingan dan kemanfaatan publik yang tidak 250 |
Jurnal isi.indd 250
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:20 AM
ditemukan dasarnya dalam Konstitusi Amerika terhadap UUD NRI 1945, haruslah diartikan sebagai maksud memperjelas Serikat. Sementara apa yang secara doktrinal juga sistem pemerintahan presidensial yang dinamakan hak atau kewenangan prerogatif dan dianut di Indonesia sehingga memenuhi ciri-ciri umum yang ada dalam sistem ditemukan pengaturannya dalam konstitusi tidak pemerintahan presidensial, bukan hanya mencakup hak atau kewenangan eksklusif menekankan pada gagasan memperkuat presiden melainkan juga dilaksanakan bersamahak prerogatif presiden dalam pengertian sebagai hak absolut presiden yang tak dapat sama dengan lembaga atau organ negara lainnya, dikurangi. entah itu dengan senat maupun dengan kongres, sehingga sesungguhnya lebih tepat jika disebut Pada bagian akhir setelah menguraikan sebagai kewenangan konstitusional presiden. pendapatnya, Palguna menyatakan permohonan para pemohon yang mendalilkan campur tangan Secara lebih rinci Palguna menyimpulkan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian kewenangan prerogatif presiden dalam sistem Panglima TNI dan Kapolri bertentangan dengan presidensial dari aspek doktrin, sejarah UUD NRI 1945, dengan argumentasi bahwa hal perkembangan, dan praktik pelaksanaan, yaitu: itu tidak sesuai dengan hakikat hak prerogatif - pertama, secara doktrinal, hak atau presiden dalam sistem presidensial, harus kewenangan prerogatif adalah hak atau dinyatakan ditolak. Kemudian apabila dicermati, kewenangan diskresi yang lahir dari tuntutan kepentingan dan kebaikan beberapa karakter hak prerogatif yang diuraikan publik sehingga legitimasinya pun dinilai Palguna hampir sama dengan yang diutarakan berdasarkan kepentingan dan kebaikan Astawa. Perbedaannya adalah Palguna tidak publik; mengatakan hak prerogatif sebagai kekuasaan - kedua, secara historis, hak atau yang bersifat residual sebagaimana disebutkan kewenangan prerogatif berasal dari kewenangan atau kekuasaan absolut yang Astawa. dimiliki oleh mahkota (raja/ratu) dalam Pandangan-pandangan berkaitan dengan bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris, namun seiring berjalannya pemaknaan hak prerogatif yang telah diuraikan waktu makin lama makin berkurang isi maupun ruang lingkupnya ketika Inggris baik yang disodorkan ahli maupun satu orang berubah menjadi monarki dengan sistem hakim konstitusi yang mengajukan concurring pemerintahan parlementer; opinion menjadi bukti mengenai perkembangan - ketiga, hak atau kewenangan prerogatif pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif. tersebut tidak pernah disebutkan secara Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa eksplisit dalam konstitusi sebagai ciri yang melekat dalam sistem pemerintahan Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 ini dapat presidensial meskipun dalam praktik dikatakan sebagai putusan yang mencerahkan hal itu diakui dan diterima namun dasar (enlightenment decision) dalam rangka penerimaannya adalah semata-mata kepentingan dan kemanfaatan publik dan merekonstruksi makna hak prerogatif yang tidak legitimasinya diperoleh secara politis; hanya terbatas pada makna hak yang dimiliki - keempat, bahwa oleh karena itu seorang presiden yang tidak dapat diganggu “memperkuat sistem pemerintahan gugat oleh lembaga lainnya walaupun sebenarnya presidensial,” yang merupakan salah satu kesepakatan penting fraksi-fraksi di MPR sudah diatur dalam konstitusi maupun peraturan tatkala hendak melakukan perubahan perundang-undangan.
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 251
| 251
1/6/2017 11:30:20 AM
B. Perkembangan Makna Esensial permasalahan yang ada. Bahkan mustahil Mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam pula meramalkan undang-undang yang dapat Hukum Ketatanegaraan Indonesia menyediakan solusi terhadap kepentingan publik. Untuk itulah keberadaan kekuasaan istimewa yang Pendapat yang menyebut hak prerogatif tidak disebut dengan prerogatif ini diperlukan. Lebih dapat diganggu gugat merupakan pendapat yang lanjut Locke mengatakan prerogatif tidak lain bertentangan dengan ajaran konstitusionalisme adalah kekuasaan berbuat baik bagi publik tanpa yang telah dianut banyak negara modern termasuk adanya hukum/aturan (prerogative is nothing but Indonesia. Konstitusionalisme mengajarkan the power of doing public good without a rule). pembatasan kekuasaan sebagaimana ditulis oleh Dalam konteks ini, Locke menganggap prerogatif Friedrich “constitutionalism is an institutionalized sebagai kekuasaan yang positif untuk kebaikan system of effective, regularized restraints upon publik. Oleh karenanya, prerogatif sangat governmental action” (dalam Asshiddiqie, bergantung kepada kebijaksanaan raja/pangeran 2005: 24). Sebagaimana telah disinggung, ide (wisdom and goodness, and wise of princes) mengenai pembatasan kekuasaan tersebut lahir (Locke, 1823: 178-179). secara alamiah dalam kehidupan manusia sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang sentralistis Tentunya, menyerahkan prerogatif kepada dan sewenang-wenang. kebijaksanaan pemegang kekuasaan tidaklah cukup. Sesuai tabiat kekuasaan yang diungkapkan Acton (1987), “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely.” Hal tersebut sesuai dengan kondisi negara-negara ketika itu (abad ke-16 dan 17), yang sentralistis dan terlalu berkuasa sehingga kekuasaan cenderung disalahgunakan. Sejalan dengan pendapat Acton tersebut, sebagaimana telah disebut pula oleh Astawa, hak prerogatif memiliki karakter undemocratic and potentially dangerous karena merupakan kekuasaan diskresi yang tidak diatur dalam hukum (juga Manan, 1998: 5). Karena itu, kekuasaan prerogatif ini harus dibatasi dengan dialihkan ke dalam undang-undang, kemungkinan diuji melalui peradilan (judicial Sebelum Dicey, Locke sebagaimana telah review), atau terlebih dahulu mendengar pendapat disebutkan oleh Palguna menyebut prerogatif atau pertimbangan menteri. Pembatasan hak dengan “This power to act according to discretion prerogatif inipun semakin sejalan dengan ajaran for the public good, without the prescription of konstitusionalisme yang dianut negara-negara the law and sometimes even against it” (Locke, modern. 1823: 176). Locke beralasan undang-undang yang Menurut Manan, meskipun tidak ada tidaklah mampu menampung banyaknya dapat dikenali secara enumeratif, kekuasaan Atas dasar perkembangan ajaran konstitusionalisme tersebut, maka menjadi wajar jika kekuasaan Raja Inggris yang sebelumnya tidak terbatas mulai dikurangi dan beralih kepada Parlemen Inggris. Hal yang kemudian membuat hak prerogatif yang dimiliki Raja Inggis tidak lain adalah kekuasaan sisa karena telah dialihkan kepada Parlemen Inggris, sebagaimana disebutkan Dicey, “The “prerogative” appears to be both historically and as a matter of actual fact nothing else than the residue of discretionary or arbitrary authority, which at any given time is legally left in the hands of the Crown” (Dicey, 1915: 282).
252 |
Jurnal isi.indd 252
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:20 AM
prerogatif di Inggris meliputi: (1) kekuasaan mengerahkan tentara untuk suatu peperangan; (2) kekuasaan membuat perjanjian internasional dan mengadakan hubungan internasional; (3) kekuasaan memberi pengampunan (Manan, 1998: - 7). Sementara itu di Amerika Serikat sebagaimana telah disebutkan oleh Palguna, secara doktrin kewenangan prerogatif tidak lagi menjadi kewenangan eksklusif Presiden Amerika Serikat, yang terdiri dari: (i) kewenangan prerogatif yang berada di tangan presiden sendiri; (ii) kewenangan prerogatif yang berada di tangan presiden dan senat; dan (iii) kewenangan prerogatif yang - berada di tangan presiden dan kongres. Kekuasaan-kekuasaan prerogatif yang ada di Inggris dan Amerika Serikat tersebut juga terdapat dalam ketatanegaraan Indonesia yang terdapat dalam UUD NRI 1945 Pasal 10 sampai dengan Pasal 15. Misalnya: -
-
Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Kekuasaan - ini sama dengan kekuasaan prerogatif model Amerika Serikat kelompok pertama yaitu kekuasaan prerogatif yang ada di tangan presiden sendiri. Walaupun dalam UUD NRI 1945 tidak disebutkan adanya campur tangan lembaga lainnya, namun dalam Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang TNI sebagaimana diulas dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015, presiden dalam menentukan Panglima TNI tidak dapat sendirian, namun harus ada - persetujuan DPR.
Rakyat.” Kekuasaan ini sama dengan kekuasaan prerogatif model Amerika Serikat yang kedua (karena membutuhkan persetujuan DPR sebagai salah satu kamar parlemen). Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang.” Kekuasaan ini sama dengan kekuasaan prerogatif model Amerika Serikat kelompok pertama yaitu kekuasaan prerogatif yang ada di tangan presiden sendiri walaupun dengan tetap mengacu pada persyaratan yang diatur undangundang. Pasal 13 ayat (1): “Presiden mengangkat duta dan konsul”; ayat (2): “Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”; dan ayat (3): “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Kekuasaan ini sama dengan kekuasaan prerogatif model Amerika Serikat yang kedua (karena membutuhkan persetujuan DPR sebagai salah satu kamar parlemen). Pasal 14 ayat (1): “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,” dan ayat (2): “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat.” Kekuasaan ini mirip dengan model Amerika Serikat yang kedua, namun Indonesia memiliki variasi pertimbangan yang berbeda karena melibatkan juga Mahkamah Agung selain Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 15: “Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.” Kekuasaan ini mirip dengan model Amerika Serikat yang pertama yaitu kekuasaan prerogatif yang ada di tangan presiden sendiri.
Pasal 11 ayat (1): “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,” dan ayat (2): “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang Selain Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 dalam luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan UUD NRI 1945 juga ada pasal-pasal lain yang negara, dan/atau mengharuskan perubahan masih dapat dikategorikan sebagai kekuasaan atau pembentukan undang-undang, harus prerogatif dengan menggunakan pendekatan dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 253
| 253
1/6/2017 11:30:20 AM
pengelompokan model Amerika Serikat. Misalnya Pasal 17 ayat (2) berkaitan dengan presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; Pasal 20 ayat (2) berkaitan dengan persetujuan bersama DPR dalam pembahasan undang-undang; termasuk juga tidak mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama (Pasal 20 ayat (5)); Pasal 22 ayat (1) dan (2) mengenai kewenangan presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dengan persetujuan DPR; Pasal 24B ayat (3) mengenai pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR; dan Pasal 24C ayat (3) mengenai pengusulan tiga orang hakim konstitusi. Hak atau kewenangan prerogatif presiden menurut UUD NRI 1945 tersebut selanjutnya lebih tepat disebut sebagai kewenangan konstitusional (constitutional power) sebagaimana disebut Astawa dan Manan. Bahkan lebih jauh kedua ahli ini menyebut sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal kekuasaan prerogatif, yang ada adalah kekuasaan konstitusional yang dalam berbagai hal serupa dengan kekuasaan prerogatif. Namun demikian, apakah pendapat ini masih dapat dipertahankan khususnya jika dikaitkan dengan praktik hak prerogatif di Amerika Serikat? Sebagaimana disebutkan Palguna, sistem Amerika Serikat dalam praktiknya juga mengenal hak atau kewenangan prerogatif, dalam arti yang benar-benar secara eksklusif berada di tangan presiden atas dasar pertimbangan kepentingan dan kemanfaatan publik yang tidak ditemukan dasarnya dalam Konstitusi Amerika Serikat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Zainal yang menyebut hak prerogatif sebagai beyond the constitution.
254 |
Jurnal isi.indd 254
Pious menggambarkan prerogatives power dengan perkataan “involves a decision taken by the president, based on his interpretation of his constitutional powers, by his own initiative and subject to constraints by other branches of government,” keputusan yang diambil oleh presiden berdasarkan penafsiran terhadap kekuasaan konstitusional yang dimilikinya, dengan insiatif sendiri dan subjeknya dibatasi oleh cabang kekuasaan lainnya. Pious menyebut kekuasaan prerogatif ini sebagai quasi legislatif (contohnya veto dalam pengesahan undangundang) dan quasi yudisial (pengampunan, penggantian ataupun penangguhan hukuman) (Pious, 2009: 456). Dengan melihat contoh yang telah disebutkan sebelumnya yaitu “proklamasi netralitas” (neutrality proclamation), “higher obligation” demi menjaga persatuan (union), executive agreements, amnesti umum (blanket amnesty), menggambarkan kewenangan prerogatif presiden di Amerika Serikat sebagai “a situation that is dangerous but necessary” sebab pembatasan atau pengendalian terhadap tindakan itu tidak ditentukan oleh dan dalam konstitusi melainkan oleh hal-hal yang bersifat politis, yaitu: kongres, birokrasi, media massa, dan pendapat publik. Dalam konteks keindonesiaan, hal tersebut apakah juga mungkin terjadi? Zainal sendiri telah menyinggung hal tersebut terutama ketika berbicara saat presiden menarik calon Kapolri sebagai constitutional power. Yang dimaksud di sini adalah ketika Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 tidak melantik calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang diajukannya menjadi calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman, padahal telah memperoleh persetujuan DPR, namun dijadikan tersangka oleh KPK. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:20 AM
Akibatnya publik mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo kemudian mengambil jalan tengah dengan mengajukan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjadi calon Kapolri yang kemudian disetujui DPR sementara Komjen Budi Gunawan kemudian menjadi Wakapolri.
apakah ini juga dapat dikatakan sebagai hak prerogatif juga? Mengingat status Archandra yang nyata-nyata pernah menjadi warga negara asing. Menurut Harijanti, jabatan politis yang strategis seperti menteri maupun wakil menteri seharusnya mengikuti syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,...” (Harijanti, 2016). Sejalan dengan pendapat Harijanti, Indra Perwira pun mengatakan “Presiden itu jabatan politis, jika ada jabatan politis lain, maka mutatis mutandis berlaku syarat presiden.”
Tindakan Presiden Joko Widodo tidak melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri dan justru mengajukan Komjen Badrodin Haiti dapat disebut sebagai hak prerogatif dengan ukuran kepentingan dan kemanfaatan publik atas dasar pertimbangan politis yaitu pendapat publik yang tidak menginginkan seorang Kapolri yang punya masalah hukum. Walaupun kemudian Komjen Budi Gunawan memenangkan praperadilan sehingga status tersangkanya dibatalkan, namun tetap tidak dijadikan sebagai Penggunaan ukuran “kepentingan Kapolri merupakan pilihan bijak yang juga dapat dan kemanfaatan publik,” pengangkatan disebut sebagai hak prerogatif. Archandra sebagai Wakil Menteri ESDM masih Contoh lain yang masih dapat diperdebatkan menimbulkan pro kontra yang dapat memenuhi ketika Presiden Joko Widodo membatalkan ukuran tersebut, karena justru menunjukkan pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri adanya upaya memaksakan proses perolehan ESDM dikarenakan yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan Indonesia kembali kepada paspor Amerika Serikat pada Agustus 2016. Archandra. Bahkan dapat dikatakan kejadian Apakah dapat disebut sebagai hak prerogatif? tersebut menunjukkan hak prerogatif cenderung Mengingat justru Presiden Joko Widodo hanya dipakai untuk alat legitimasi kekuasaan sebenarnya melakukan pelanggaran terhadap semata. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Jauh sebelum itu, Presiden Soekarno atas Kementerian Negara, yang mengharuskan dasar pertimbangan Dewan Konstituante yang seorang menteri adalah warga negara Indonesia. dianggap tidak juga berhasil menyelesaikan Pembatalan tersebut menunjukkan Presiden konstitusi baru untuk Indonesia, kemudian Joko Widodo mengakui kekhilafannya mengenai mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dan status kewarganegaraan Archandra. Namun mengembalikan UUD NRI 1945 sebagai pada Oktober 2016, Presiden Joko Widodo konstitusi yang dianut Indonesia. Dekrit Presiden kembali mengangkat Archandra Tahar sebagai Soekarno tersebut apabila dicermati juga dapat pembantunya, tetapi bukan sebagai Menteri menjadi contoh dipergunakannya kekuasaan ESDM melainkan sebagai Wakil Menteri ESDM, prerogatif presiden dengan mendasarkannya
Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 255
| 255
1/6/2017 11:30:20 AM
pada kepentingan negara akibat sidang Dewan Konstituante yang berlarut-larut.
Walau bagaimanapun perkataan Locke yang menyebut “peraturan perundang-undangan tidak mungkin menampung segala permasalahan yang ada dan dapat secara langsung menyediakan solusi terhadap kepentingan publik” patut menjadi acuan, sehingga Presiden Indonesia selayaknya Presiden Amerika Serikat, atas dasar kekuasaan yang diberikan kepadanya berhak melakukan tindakan terhadap kondisi ketatanegaraan yang terjadi atas dasar penafsiran terhadap kekuasaan konstitusional yang diberikan UUD NRI 1945 kepadanya, untuk kemudian ia klaim menjadi kewenangan yang harus ia ambil dengan pertimbangan kemanfaatan dan kepentingan publik.
Namun, apabila kembali melihat contoh di Amerika Serikat banyak di antaranya berbicara mengenai kondisi ketika perang, sehingga Presiden Amerika dengan dasar “a situation that is dangerous but necessary” mengeluarkan hak prerogatif dapat disamakan dengan Indonesia? Mengingat dalam konteks Indonesia, situasi bahaya telah diatur dalam Pasal 12 ataupun kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 di mana Presiden dapat mengeluarkan Perppu. Hal berbeda di Amerika Serikat yang memiliki emergency act maupun martial law namun tidak memiliki pranata Perppu sebagai jalan keluar apabila menghadapi situasi yang Ukuran kemanfaatan dan kepentingan genting. Hal ini salah satu yang membedakan publik sendiri harus dapat dinilai sehingga tidak sistem presidensial Amerika Serikat dan membiarkan hak prerogatif menjadi sekedar Indonesia. alat legitimasi kekuasaan semata yang dapat mengembalikan kekuasaan yang sewenangHak prerogatif ini merupakan tindakan wenang. Dengan demikian, hak prerogatif ini nyata dalam kehidupan bernegara, yang harus dapat saja sukses bahkan juga gagal (Pious, 2007: diambil oleh presiden atas dasar kemanfaatan dan 66, Pious, 2002: 724). Sukses dan gagalnya hak kepentingan publik yang lebih luas karena tidak prerogatif presiden tersebut, kemudian layak adanya hukum baik dalam kontitusi maupun untuk dijadikan penelitian hukum tata negara undang-undang yang secara tegas mengaturnya. Indonesia. Dengan demikian hak prerogatif mengandung sifat diskresi dalam bidang ketatanegaraan yang tentunya harus memperhatikan persoalan IV. KESIMPULAN doelmategheid selain rechtmatigheid. Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 Makna hak prerogatif terakhir inilah dapat dikatakan sebagai pemaknaan hak prerogatif yang paling esensial dan perlu dikembangkan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia terutama apabila ada kejadian konkret yang harus segera direspon oleh seorang presiden, dengan tetap membedakannya dengan prinsip negara dalam keadaan bahaya maupun kegentingan memaksa di mana presiden dapat mengeluarkan Perppu.
256 |
Jurnal isi.indd 256
menunjukkan adanya perkembangan pemikiran mengenai pemaknaan hak prerogatif Presiden Indonesia yang tidak hanya terbatas pada hak eksklusif yang dimiliki presiden tanpa dapat diganggu gugat oleh lembaga negara lainnya. Pemaknaan hak prerogatif dalam ketatanegaraan Indonesia dapat berupa: (1) hak prerogatif yang berada di tangan presiden sendiri, misalnya mengangkat menteri; (2) hak prerogatif yang
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:20 AM
DAFTAR ACUAN berada di tangan presiden dengan persetujuan DPR, misalnya pengangkatan Kapolri dan Acton, L. (1887). Letter to archbishop mandell Panglima TNI; (3) hak prerogatif dengan creighton. Diakses dari http://history.hanover. pertimbangan DPR maupun lembaga lainnya edu/courses/excerpts/165acton.html. (MA), misal dalam pengangkatan duta besar, pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Alder, J. (1989). Constitutional and administrative law. London: Macmillan Education LTD.
Hak prerogatif presiden tersebut pada intinya tidak lagi menjadi kewenangan eksklusif Almond, G.A. (1996). Political science: The history of the discipline. Oxford: Oxford University presiden karena dibagi dengan lembaga lainnya, Press. serta telah diatur dalam UUD NRI 1945 maupun peraturan perundang-undangan sehingga lebih Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan tepat disebut constitutional power ataupun konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: statutory power bukan lagi sebagai hak prerogatif. Konstitusi Pers. Karena itu pula, keterlibatan DPR berupa Diamond, L. (1999). Developing democracy toward pemberian persetujuan dalam pengangkatan consolidation. Maryland: The Johns Hopkins Panglima TNI dan Kapolri tidaklah melanggar University Press. prinsip hak prerogatif itu sendiri. Dicey, A.V. (1915). Introduction to the study of the
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut law of the constitution. Reprint. Originally juga mengenalkan perkembangan pemaknaan published: 8th ed. London: Macmillan. hak prerogatif presiden yang lebih esensial, yaitu kewenangan presiden untuk mengambil tindakan Fahmi, K. (Ed). (2016). Pengisian jabatan publik dalam ranah kekuasaan eksekutif. Jakarta: (diskresi) atas dasar konstitusi maupun peraturan RajaGrafindo Persada. perundang-undangan tidak mengaturnya secara jelas, sementara diharuskan segera diambilnya Fatovic, C. (2004). Constitutionalism and presidential tindakan demi kepentingan dan kemanfaatan prerogative: Jeffersonian and Hamiltonian perspective. American Journal of Political publik. Hak prerogatif presiden dalam makna Science, 48(3). ini juga harus dibedakan dengan kekuasaan presiden dalam keadaan bahaya maupun dalam Harijanti, S.D. (2016). Tak punya itikad baik, mengeluarkan Perppu. Archandra dinilai tak pantas jadi pejabat
negara lagi. Diakses dari http://nasional. Pemaknaan ini membuka jalan ruang kajian kompas.com/read/2016/10/15/17525181/.tak. baru dan lebih mendalam dengan tetap berpegang punya.itikad.baik.arcandra.dinilai.tak.pantas. pada prinsip konstitusionalisme (pembatasan jadi.pejabat.negara.lagi kekuasaan) agar hak prerogatif presiden tidak jadikan alat legitimasi kekuasaan semata. Huda, N. (2001). Hak prerogatif presiden dalam perspektif tata negara Indonesia. Jurnal Hukum,8(18), 1-18. Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: CV. Ganda. Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden (Mei Susanto)
Jurnal isi.indd 257
| 257
1/6/2017 11:30:20 AM
Kay, R.S. American constitutionalism. Alexander, L. (Ed). (1998). Constitutionalism: Philosophical foundations. United Kingdom: Cambridge University Press.
Supranto, J. (2003). Metode penelitian hukum dan statistik. Cet. I. Jakarta: Penerbit Rinek Cipta. Wilson, J.Q. (1983). American government institutions and politics. Second Edition. MA: D.C. Heath.
Levy, L., & Fisher, L. (1994). Encyclopedia of the American Presidency (1). New York: Macmillan Reference-Simon & Schuster Macmillan. Lijphart, A. (1992). Parliamentary versus presidential government. New York: Oxford University Press. Locke, J. (1823). Two treatises of government, from The Works of John Locke. A New Edition, Corrected. In Ten Volumes. Vol. V. London: Printed for Thomas Tegg; W. Sharpe and Son; G. Offor; G. and J. Robinson; J. Evans and Co.: Also R. Griffin and Co. Glasgow; and J. Gumming, Dublin. Prepared by Rod Hay for the McMaster University Archive of the History of Economic Thought. Diakses dari http://www. efm.bris.ac.uk/het/locke/government.pdf. Manan, B. (1998). Kekuasaan prerogatif. Makalah tidak diterbitkan. ________. (2003). Teori dan politik konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press. Marzuki, P.M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Pious, R.M. (2002). Why do president fails? Presidential Studies Quarterly, 32(4), 724-742. _________. (2007). Inherent war and executive powers and prerogative politics. Presidential Studies Quarterly, 37(1), 66-87. _________.
(2009).
Prerogative
power
and
presidential politics. Edwards, George C., & William G. Howel (Ed). The Oxford handbook of the American presidency. New York: Oxford University Press.
258 |
Jurnal isi.indd 258
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 237 - 258
1/6/2017 11:30:20 AM
PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG MIGAS Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012
CONSTITUTIONAL COURT’S INTERPRETATION REGARDING LAW ON OIL AND GAS An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 36/PUU-X/2012 Habib Shulton Asnawi Institut Agama Islam Ma’arif NU (IAIM NU) Jl. R.A. Kartini 28 Purwosari Kota Metro, Lampung 34118 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 13 Mei 2016; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Pembahasan dalam analisis putusan ini berangkat dari keprihatinan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UndangUndang Migas) yang telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. UndangUndang Migas tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri kemudian mengekspornya ke luar negeri. Kenyataan yang terjadi selama ini, Indonesia hanya menjual minyak mentah kemudian diolah di luar negeri. Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Pun penjualan dan pembelian dilaksanakan melalui perantara. Sebagai upaya mengembalikan kedaulatan Indonesia di bidang migas, para pemohon mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara telah mengambil langkah dalam memutuskan perkara tersebut dengan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas. Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran secara mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan UUD NRI 1945. Penelitian dalam analisis putusan ini dilakukan melalui studi kepustakaan menggunakan metode penafsiran hukum, dengan pendekatan yuridis (normatif) dan analisis
kualitatif. Kesimpulannya, dalam beberapa pasal Undang-Undang Migas dinilai bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 33 UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai sebagai sebuah pilihan bijaksana serta langkah progresif di bidang hukum khususnya perlindungan terhadap hak rakyat Indonesia. Kata kunci: penafsiran hukum, undang-undang migas, kedaulatan negara. ABSTRACT The focus discussion of this analysis arises from the concern of Law Number 22 Year 2001 on Oil and Gas (Oil and Gas Law) which has failed the state sovereignty and the national economy. Oil and Gas Law does not permit the state to cultivate its own crude oil domestically, then export it to overseas. The fact that happened so far is that Indonesia only sells crude oil to be taken up overseas. Furthermore, Indonesia buys the oil, which in fact is its own oil, with the world oil price. Even then, the sales and purchases are effected by intermediaries. As an effort to reduce the sovereignty of Indonesia in the field of oil and gas, the petitioners filed a judicial review of Law Number 22 Year 2001 on Oil and Gas. The Constitutional Court as a state institution take in its stride is to decide the case through the Constitutional Court Decision Number 36/PUU-X/2012 on the Dissolution of Executing Agency
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 259
| 259
1/6/2017 11:30:20 AM
of Upstream Oil and Gas Industry. The Constitutional Court did an in-depth interpretation of Law Number 22 Year 2001 which is attributed to the 1945 Constitution. The research of this decision is done through library research using legal interpretation method for juridical (normative) and qualitative analysis. In conclusion, several articles of the Oil and Gas Law are considered
contradictory to the Constitution, such as Article 33 the 1945 Constitution. The Constitutional Court Decision are appraised as a wise choice as well as progressive measures in the legal field, notably for the protection of the rights of the people of Indonesia.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
ekonomis memerlukan pengusahaan, sehingga kekayaan alam tersebut berubah menjadi sumber daya alam, dan selanjutnya dari sumber daya alam yang diusahakan menjadi salah satu modal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta sebagai pembangunan bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasional.
Minyak dan gas bumi (migas) sebagai energi fosil adalah sumber daya alam nasional suatu bangsa. Hal ini disebutkan dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1803 Tahun 1962 tentang Permanent Sovereignity Over Natural Resources, bahwa penduduk dan bangsa memiliki kedaulatan permanen atas kekayaan dan sumber daya alamnya. Selain itu, dalam konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Undang-Undang Migas) menyebutkan bahwa migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dipergunakan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat. Oleh karena itu, pengelolaannya harus sesuai dengan kepentingan pembangunan nasional penduduk dari negara yang bersangkutan. Pengelolaan migas harus merupakan refleksi dari deklarasi kedaulatan bangsa yang harus dijaga keberlangsungan dan keberlanjutannya, serta tidak boleh dieksploitasi sekedar untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang dikuasai oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, migas termasuk dalam sumber kekayaan alam yang merupakan gatra statis (natural endowment), yang untuk menjadikannya menjadi gatra dinamis
260 |
Jurnal isi.indd 260
Keywords: legal interpretation, oil and gas law, state sovereignty.
Hal ini dikuatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Prinsip dikuasai negara atau kedaulatan negara atas migas sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI 1945 kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang migas. Namun dalam kenyataannya, pengelolaan migas di Indonesia, masih belum mampu memberikan dampak positif bagi rakyat Indonesia. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengatur pengelolaan minyak dan gas bumi oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), dengan harapan mengembalikan kedaulatan negara dalam mengelola minyak dan gas buminya sendiri. Namun, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri, kemudian mengekspornya ke luar negeri. Kenyataan yang terjadi selama ini, Indonesia hanya menjual
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
minyak mentah kemudian diolah di luar negeri. Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Itu pun penjualan dan pembelian melalui perantara. Akibatnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. Sebab, Undang-Undang Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89%. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 sebagai implementasi UUD NRI 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam undangundang ini disebut sebagai komoditas pasar (Radhi, 2012: 23). Sebagaimana dinyatakan juga oleh Dr. Syaiful Bakhri bahwa, pembentukan UndangUndang Migas terdapat desakan internasional untuk melakukan reformasi dalam sektor energi, khususnya migas. “Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia.” Sebagai upaya mengembalikan kedaulatan Negara Indonesia di bidang migas, para pemohon mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas ke Mahkamah Konstitusi.
(UUD NRI 1945). Khususnya dalam tulisan ini adalah Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pengkajian secara mendalam melalui penafsiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sangat penting untuk dilakukan, melihat latar belakang sebagaimana di atas, bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi rakyat Indonesia. Sehingga Mahkamah Konstitusi perlu memandang penting untuk menafsirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas ini (khususnya dalam pengelolaannya), yang dikaitkan dengan pemaknaan terhadap Pasal 33 UUD NRI 1945. Dikarenakan banyak para pihak yang salah arti dalam memaknai konsepsi “Dikuasai oleh Negara” dan “untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka menurut Mahkamah Konstitusi keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan. Dengan pertimbangan tersebut, maka BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, inkonstitusional sehingga harus dibubarkan. Pengujian Undang-Undang Migas ini diajukan oleh 32 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam negara memiliki kewenangan di antaranya adalah Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, menafsirkan berbagai undang-undang di Indonesia PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 261
| 261
1/6/2017 11:30:20 AM
Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami`yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan IKADI.
Mahkamah Konstitusi telah mengambil langkah dalam memutuskan perkara tersebut dengan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012. Namun di sisi lain putusan tersebut juga akan menyisakan sedikit masalah jika negara secara khusus tidak segera membentuk lembaga yang secara mandiri mengelola migas yang diperuntukkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat tanpa ada intervensi dari perusahaan asing atau penguasaan pihak asing. Akan berdampak tidak baik jika tetap tidak mengembalikan penguasaan negara dengan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada BUMN. Sehingga perlu diupayakan deliberalisasi tata kelola migas melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 dan semua peraturan di bawahnya yang berpotensi melanggar Pasal 33 UUD NRI 1945.
Para pemohon menyatakan bahwa UndangUndang Migas sejak pembahasan di DPR menuai permasalahan. Terutama cara pengambilan keputusan, dan beberapa anggota DPR, ketika itu memberikan respon yang negatif atau menolak dalam setiap pembahasan. Disertai pula analisis dan pendapat beberapa pakar yang semuanya khawatir terhadap perubahan yang menyeluruh terhadap perusahaan negara Pertamina, yang cenderung belum mampu bersesuaian dengan globalisasi dan perdagangan dunia, terutama pengaruh dari liberalisme. Karenanya alasan materiil dan formil, menjadi alasan yang utama dari permohonan tersebut. Menjadi perhatian dan kajian, setelah permohonan pengujian itu ditolak. B. Rumusan Masalah Apakah kenyataan kekhawatiran para pemohon memang menjadi kenyataan, terutama dampak dari kemungkinan bisnis minyak dan gas bumi telah membuka kesempatan terjadinya privatisasi. Karena pembentukannya dilatarbelakangi oleh industrialisasi, globalisasi, krisis ekonomi serta privatisasi badan usaha milik negara, serta reformasi hukum yang didorong oleh politik hukum nasional (Halwani, 2000: 103-104). Sebanyak 32 tokoh dan 12 ormas keagamaan menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. Para pemohon menguji Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001.
262 |
Jurnal isi.indd 262
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah apa metode penafsiran yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memaknai UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Kegunaan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangsih pemikiran keilmuan yang progresif, khususnya di bidang hukum migas, kedaulatan negara, dan tentang hak asasi manusia khususnya adalah hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB). Secara praktis manfaat penulisan ini untuk mensosialisasikan tentang makna pentingnya pembelaan terhadap hak asasi
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
manusia serta kedaulatan negara di bidang migas, wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam khususnya di bidang hak EKOSOB. masyarakat. D.
Studi Putaka
1.
Konsepsi Penafsiran Hukum
Menurut Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu (Mertokusumo, 1995: 154). Sedangkan menurut Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas halhal yang dihadapi secara konkret (Asshiddiqie, 2005: 273).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penafsiran hukum/penafsiran perundangundangan. Asshiddiqie beranggapan Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Hal itu juga membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution) (Asshiddiqie, 2008: 39).
Mengenai penafsiran dalam hukum yang terjadi di negara Indonesia, sering sekali digunakan khususnya oleh para hakim-hakim yang berada di Mahkamah Konstitusi. Hal yang sangat menarik memang membicarakan mengenai penafsiran dalam dunia hukum dapat Tugas dari hakim adalah menyesuaikan dilihat dalam praktik, yang harus diakui seringkali peraturan perundang-undangan dengan dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur hal-hal nyata di masyarakat. Apabila dalam perundang-undangan, ataupun kalau sudah peraturan perundang-undangan tidak dapat diatur tetapi ketentuan perundang-undangan dijalankan menurut arti katanya, hakim harus tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. menafsirkannya. Dengan kata lain apabila Mertokusumo mengemukakan: bahwa peraturan perundang-undangannya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat tidak ada hukum atau undang-undang yang membuat keputusan yang adil dan sesuai dengan lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah hukum. Atas dasar itulah, menafsirkan peraturan untuk melindungi kepentingan manusia dengan perundang-undangan adalah kewajiban hukum mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dari hakim (Utrecht, 1959: 250). dan jenisnya, dan terus menerus berkembang Landasan yuridis yang memberikan sepanjang masa. Oleh karena itu kalau undangkewenangan kepada hakim untuk melakukan undangnya tidak jelas atau tidak lengkap harus penafsiran hukum adalah ketentuan yang dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak hukumnya melalui penafsiran hukum (interpretasi perkara yang dihadapkan kepadanya dan hakim hukum).
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 263
| 263
1/6/2017 11:30:20 AM
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Adapun dalam konteks tulisan ini, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara dalam kewenangannya berupaya menafsirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yaitu: Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44. Menurut Mahkamah Konstitusi, keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi. Dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka menurut Mahkamah Konstitusi keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional dan bertentangan dengan tujuan negara. 2. Kedaulatan Negara Indonesia dalam Konteks BP Migas Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan (Asshiddiqie, 1994: 19). Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari kata “sovereignty” (bahasa Inggris), “souverainete” (bahasa Perancis), dan “sovranus” (bahasa Italia). Istilah ini diturunkan dari kata latin “superanus” yang berarti yang
264 |
Jurnal isi.indd 264
tertinggi. Para pemikir negara dan hukum pada abad pertengahan, menggunakan makna “superanus” dengan istilah “summa potestas” atau “plenitudo potestatis” yang artinya “kedaulatan tertinggi dari suatu kesatuan politik.” Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596) (Budiardjo, 1980: 3-4). Menurut Bodin: “Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi” (Astawa & Na’a, 2012: 10). Indonesia adalah suatu negara yang berdaulat, terkandung di dalam makna kedaulatan itu ialah bahwa negara Indonesia memiliki pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kekuasaan wilayah kedaulatan yang dipertahankan dengan suatu sistem pertahanan dan keamanan negara (Santoso, 2002: 34). Dalam sistem kedaulatan negara Indonesia, kekuasaan tertinggi ada pada negara. Kedaulatan negara ini diperoleh dari kedaulatan rakyat, sebagaimana yang termaktub di dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Perubahan UUD NRI 1945 ketiga tahun 2001 yang di antaranya mengubah rumusan Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 yang bunyinya menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada organ-organ konstitusional. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
Perubahan ketentuan ini mengalihkan negara Indonesia dari sistem MPR kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat.
migas, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Undang-Undang Migas 1960) sebagaimana telah diganti dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Undang-Undang Migas 2001). Setidaknya prinsip dikuasai oleh negara terlihat Kedaulatan rakyat yang terkandung dalam pada ketentuan-ketentuan berikut ini: Pasal 1 ayat (2) setelah perubahan keempat UUD NRI 1945 mengandung makna bahwa rakyatlah 1. Migas sebagai sumber daya alam strategis yang mempunyai kedaulatan dan kedaulatan merupakan kekayaan nasional dan dikuasai rakyat tersebut diwakilkan kepada badan-badan/ oleh negara (Pasal 4 ayat (1) Undanglembaga-lembaga perwakilan rakyat. MPR Undang Migas). bukan lagi sebagai pelaksana penuh kedaulatan 2. Penguasaan oleh negara dimaksud rakyat, sebagian wewenang MPR telah dialihkan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai kepada lembaga negara lain seperti dalam hal pemegang kuasa pertambangan (Pasal 4 pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan ayat (2) Undang-Undang Migas). langsung oleh rakyat dalam pemilu, begitu juga dalam hal pemberhentian presiden harus melalui 3. Sebagai pemegang kuasa pertambangan, Mahkamah Konstitusi. pemerintah membentuk Badan Pelaksana (Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Migas) Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 untuk melakukan pengendalian dan setelah perubahan keempat menyatakan adanya pengawasan kegiatan usaha hulu di bidang lembaga-lembaga negara lain sebagai pelaksana migas (Pasal 1 angka 23 jo. Pasal 44 ayat kedaulatan menurut tugas dan fungsinya masing(2) Undang-Undang Migas), dan Badan masing (Huda, 2009: 23 dan (Mahfud MD, Pengatur untuk melakukan pengaturan 2001: 12). Sebagai wujud negara Indonesia dan pengawasan terhadap penyediaan dan yang berdaulat, maka kedaulatan dan kekuasaan pendistribusian BBM dan gas bumi, dan negara Indonesia diperlukan untuk menjalankan pengangkutan gas bumi melalui pipa di pemerintahan, dengan kedaulatan itu pemerintah bidang hilir (Pasal 1 angka 24 jo. Pasal 8 memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur ayat (4), Pasal 46, dan Pasal 47 Undangrakyat tanpa dicampuri atau dipengaruhi dari Undang Migas). bangsa asing atau pemerintah negara lain. Pemerintah Indonesia dapat dikatakan telah 4. Kepemilikan sumber daya alam tetap sukses membangun kedaulatan pemerintahan di tangan pemerintah sampai pada titik melalui pemilu-pemilu yang demokratis. penyerahan (Pasal 6 ayat (2)). Prinsip dikuasai negara atau kedaulatan Kedaulatan di bidang migas dan makna negara dalam konteks sumber daya alam kedaulatan yang sangat subtansial tampaknya ditetapkan dalam UUD NRI 1945 dijabarkan masih menjadi persoalan di Indonesia. Pasalnya, dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan dan pengaturan migas berdampak
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 265
| 265
1/6/2017 11:30:20 AM
sistemik terhadap kehidupan rakyat dan merugikan keuangan negara. Sebab, UndangUndang Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89%. Minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi telah memberi makna mengenai penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 002/ PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 mengenai pengujian Undang-Undang Migas, yang menyatakan bahwa:
266 |
Jurnal isi.indd 266
“...penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD NRI 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk
menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Hasyim Muzadi menyatakan pembubaran BP Migas itu demi mengembalikan kedaulatan negara atas sumber daya alamnya, termasuk minyak dan gas bumi. Karena itu, mantan Ketua Umum PB NU ini mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi mencabut landasan keberadaan dan kewenangan BP Migas. 3.
Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Pembubaran BP Migas
Hak asasi manusia secara terminologis diartikan sebagai hak-hak dasar atau hakhak pokok yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa (Hadjon, 1987: 39). Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Donnely, 2003: 21, dan Cranston, 1973: 70). Membicarakan tentang hak asasi manusia berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. Hak asasi manusia ada bukan karena diberikan oleh masyarakat atau kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Suseno, 2001: 121). Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hakhak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable) (Asplund, Marzuki, & Riyadi, 2008: 11). Hak asasi manusia dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia (Arianto, 2003: 53).
dalamnya terdapat sepuluh pasal tentang hak asasi manusia ditambah satu pasal (Pasal 28) dari bab sebelumnya (Bab X) tentang “Warga Negara dan Penduduk,” sehingga ada sebelas pasal tentang hak asasi manusia, mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J. Namun dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa seluruh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia mengakui kedudukan hak asasi manusia itu sangat penting (El-Muhtaj, 2007: 281).
Dalam konteks nasional, persoalan perlindungan hak asasi manusia amat penting dalam hukum, terutama erat kaitannya dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melindungi hak-hak rakyat. Masalah hak asasi manusia harus menjadi salah satu materi yang dimuat di dalam konstitusi atau UUD NRI 1945, hal ini dikarenakan negara sebagai organisasi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Khususnya dalam penelitian Perlindungan hak asasi manusia telah ini adalah penyalahgunaan wewenang atau menjadi salah satu program pemerintah sejalan kekuasaan di bidang BP Migas nasional. dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang Penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan berlangsung. Dalam konteks undang-undang di bidang migas yang berdalih atas Undangdasar yang pernah berlaku di Indonesia, Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak pencantuman secara eksplisit seputar hak asasi dan Gas Bumi telah berdampak terhadap kerugian manusia muncul atas kesadaran dan keragaman negara, khususnya penderitaan rakyat Indonesia. konsensus. Dalam kurun berlakunya undang- Kekayaan melimpah hasil minyak dan gas undang dasar di Indonesia, yakni UUD NRI bumi Indonesia yang seharusnya dikelola oleh 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan pemerintah dengan baik kemudian dikembalikan Amandemen Keempat UUD NRI 1945 tahun untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tidak 2002, pencantuman hak asasi manusia mengalami dapat terwujud dengan baik. Akibatnya rakyat pasang surut. Indonesia mengalami penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan. Hal ini jelas bertentangan dengan Dalam Amandemen Keempat UUD NRI hak asasi manusia rakyat Indonesia. 1945, penuangan pasal-pasal hak asasi manusia sebagai wujud jaminan atas perlindungannya Meskipun tidak secara langsung melanggar dituangkan dalan bab tersendiri, yaitu pada Bab hak asasi manusia rakyat Indonesia, namun XA dengan judul “Hak Asasi Manusia,” yang di ketidakberdayaan pemerintah dalam pengelolaan
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 267
| 267
1/6/2017 11:30:20 AM
migas nasional jelas mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia masyarakat Indonesia jangka panjang. Banyak bentuk ketidakberdayaan atau tidak mampu berdaulat yang secara langsung bukan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, namun bisa mempengaruhi kebijakan publik yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya pejabat yang menerima suap dari pengusaha demi kelancaran izin usaha sebuah industri yang merusak lingkungan, termasuk kesalahan dalam pengelolaan migas nasional sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ketika kedaulatan negara Indonesia di bidang BP Migas digerogoti oleh negara lain, ini telah melanggar hak asasi manusia yang seharusnya merupakan kewajiban negara bagi pemenuhannya. Pembiaran terhadap pemenuhan hak asasi manusia rakyat Indonesia, khusus kaitannya dengan BP Migas adalah sebuah bentuk pengingkaran terhadap konvensi internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, atau disebut dengan hak EKOSOB. Migas di Indonesia merupakan kategori sumber daya alam, yang mana sumber daya alam masuk dalam konvensi internasional di bidang EKOSOB tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hakhak tersebut kepada warganya. Ada 143 negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. 268 |
Jurnal isi.indd 268
Diratifikasinya hak EKOSOB, tentu melahirkan sejumlah tantangan-tantangan dan konsekuensi tersendiri dalam upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hakhak rakyat tersebut. Peran serta tanggung jawab negara adalah melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, termasuk hak-hak EKOSOB. Penyelenggara negara, baik eksekutif maupun legislatif, dituntut berperan aktif dalam melindungi dan memenuhi hak-hak EKOSOB karena mereka yang secara efektif memiliki kewenangan menentukan alokasi sumber daya nasional. Dalam konteks permasalahan BP Migas, maka kepedulian negara dalam perlindungan hak asasi manusia warga negaranya dapat dilihat dari besar tidaknya negara menyediakan instrumen hukum terhadap persoalan hak asasi manusia, minimal diukur dengan banyaknya regulasi tentang hak asasi manusia, baik berupa undang-undang maupun dalam bentuk putusanputusan pengadilan. Oleh karena itu, upaya Mahkamah Konstitusi dalam politik hukumnya sebagaimana Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pembubaran BP Migas tersebut adalah upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia rakyat Indonesia. Oleh karenanya, politik hukum yang benar-benar dalam upaya perlindungan hak asasi manusia merupakan sebuah keniscayaan. Sejalan dengan konsep negara hukum, Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Pengertian negara hukum merupakan terjemahan dari rechtsstaat dan the rule of law. Pada paham rechtsstaat dan the rule of law, terdapat sedikit perbedaan, meskipun dalam perkembangannya dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
antara keduanya, karena pada dasarnya kedua Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 konsep itu mengarahkan dirinya pada suatu ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat sasaran yang utama, yaitu pengakuan terhadap (2), Pasal 13, dan Pasal 44. hak asasi manusia (Wahjono, 1977: 30). Jenis penelitian ini merupakan penelitian Perlindungan hak asasi manusia oleh negara pustaka (library research). Sifat penelitian ini membuktikan bahwa salah satu syarat bagi suatu bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian negara hukum adalah adanya jaminan atas hak- untuk menyelesaikan masalah dengan cara hak asasi manusia. Penegasan Indonesia adalah mendeskripsikan masalah kemudian dilakukan negara hukum yang selama ini diatur dalam analisa secara mendalam (Adi, 2004: 128). Data Penjelasan UUD NRI 1945, dalam Amandemen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data UUD NRI 1945 telah diangkat ke dalam UUD sekunder dengan bahan hukum primer atau data NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia kepustakaan yang meliputi UUD NRI 1945, adalah Negara Hukum.” Kalimat tersebut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang menunjukkan bahwa negara Indonesia merdeka Migas, peraturan perundang-undangan dan akan dijalankan berdasarkan hukum, dalam hal berbagai dokumen-dokumen hukum yang sesuai ini adalah undang-undang dasar sebagai aturan dengan kasus dalam tulisan ini. hukum tertinggi. Data tersier, yaitu meliputi buku-buku Konsep negara hukum tersebut untuk hukum, buku-buku tentang migas, hasil membentuk pemerintahan negara yang bertujuan, penelitian, jurnal, makalah, dan literatur lain baik untuk melindungi hak asasi manusia yang berkaitan dengan fokus penelitian, baik secara individual dan kolektif yang tercermin tentang hukum secara umum, hak asasi manusia dalam kalimat: “…melindungi segenap bangsa dan konstitusi. Metode analisis data dalam Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia menganalisa menggunakan metode analisis dan untuk memajukan kesejateraan umum, kualitatif. Dengan menggunakan pola pikir mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut deduktif, yaitu menjelaskan Undang-Undang melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan Migas dikaitkan dengan konstitusi dan hukum kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan hak asasi manusia. sosial…” (Mahfud MD, 2012: 5). III. HASIL DAN PEMBAHASAN II.
METODE
A. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Metode pendekatan yang digunakan terhadap Undang-Undang Nomor 22 dalam penelitian ini adalah statute approach Tahun 2001 tentang Migas (pendekatan undang-undang) atau biasa disebut Penafsiran hukum merupakan sebuah dengan pendekatan yuridis normatif. Dengan proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam menelaah Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 rangka memperoleh kepastian mengenai arti dari terkait dengan pengujian Undang-Undang suatu hukum yang dibuat dalam bentuk peraturan Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas perundang-undangan. Penafsiran hukum Bumi dengan dasar permohonan yaitu pengujian Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 269
| 269
1/6/2017 11:30:20 AM
merupakan metode penemuan hukum, dalam peraturan-peraturan lainnya. Penafsiran yang hal peraturan yang sudah ada, akan tetapi tidak demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal jelas bagaimana penerapannya dalam suatu kasus yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa. konkret (Rahardjo, 1991: 93-94). Dalam menafsirkan beberapa pasal Tulisan ini membahas bahwa Undang- Undang-Undang Migas sebagaimana di atas, Undang Nomor 22 Tahun 2001 sebagai hukum Mahkamah Konstitusi menyesuaikan atau yang mengatur tentang migas di Indonesia, merujuk kepada UUD NRI 1945 sebagai dianggap telah membuka liberalisasi pengelolaan konstitusi Indonesia. Hasilnya Mahkamah migas yang sangat didominasi pihak asing. Konstitusi menyatakan bahwa Badan Pelaksana Sehingga Undang-Undang Migas oleh para Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau pemohon dilakukan judicial review ke Mahkamah BP Migas bertentangan dengan UUD NRI 1945, Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berdasarkan alias inkonstitusional. Pasal 33 UUD NRI 1945 kewenangannya telah melakukan penafsiran/ sudah jelas mengatakan bahwa: “bumi, air, dan interpretasi dan melakukan penelaahan secara kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mendalam terhadap Undang-Undang Migas dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk tersebut, di mana Mahkamah Konstitusi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” menilai bahwa beberapa pasal yang terdapat Sehingga jika menggunakan pendekatan dalam Undang-Undang Migas bertentangan penafsiran “taalkundige interpretatie” maka dengan konstitusi (UUD NRI 1945). Pasal yang akan ditemukan maksud yang sebenarnya dalam bertentangan dengan konstitusi tersebut adalah sebuah kalimat atau pernyataan dalam pasal Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 atau hukum di mana kalimat pertama tidak bisa ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat dipisahkan dengan kalimat sesudahnya (sehingga (2), Pasal 13, dan Pasal 44. membaca kalimat hukum dilarang sepenggalsepenggal/sepotong-sepotong). Dalam upaya penafsiran/interpretasi terhadap Undang-Undang Migas, Mahkamah Analogi berpikirnya adalah bahwa tujuan Konstitusi menggunakan metode pendekatan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI penafsiran “taalkundige interpretatie” atau 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam “untuk biasa disebut dengan pendekatan “arti kata atau sebesar-besar kemakmuran rakyat,” sehingga istilah.” Penafsiran yang menekankan kepada implementasinya ke dalam pengorganisasian arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). negara dan pemerintahan pun harus menuju ke Penafsiran menurut kata atau istilah taalkundige arah tercapainya tujuan tersebut. Pertimbangan interpretatie ini, yaitu kewajiban dari hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor untuk mencari arti kata atau maksud kata yang 36/PUU-X/2012 tersebut mendasarkan bahwa sebenarnya, dan hakim berusaha memadukan Pasal 33 UUD NRI 1945 menghendaki bahwa kata atau kalimat dengan kalimat kata yang penguasaan negara itu harus berdampak pada lain, sehingga ditemukan sebuah substansi sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam yang objektif. Kalaupun belum cukup, hakim hal ini, “pengertian dikuasai oleh negara” tidak harus mempelajari kata tersebut dalam susunan dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesarkata-kata kalimat atau hubungannya dengan besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan 270 |
Jurnal isi.indd 270
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
Pasal 33 UUD NRI 1945. “...dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat,” maka sebesarbesar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat. Artinya, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesarbesar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam. Menurut Mahkamah Konstitusi, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun dalam kenyataan, pengelolaan BP Migas justru menimbulkan banyak kerugian bagi keuangan negara maupun terabaikannya kesejahteraan dan hak-hak rakyat. Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Maka menurut Mahkamah Konstitusi keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan. Oleh sebab itu setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan
tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain mendasarkan terhadap UUD NRI 1945 tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa Undang-Undang Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbundling yang memisahkan kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah penguasaan. Dampak liberalisasi tata kelola migas adalah terbukanya persaingan bebas yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk pemain migas, baik perusahaan nasional maupun perusahaan asing, dalam pengelolaan migas di Indonesia. Dalam persaingan tersebut, BUMN migas diperlakukan sama dengan pelaku usaha migas swasta sehingga BUMN harus bersaing dalam setiap mengikuti tender untuk mendapatkan izin pengelolaan migas, baik di sektor hulu maupun di sektor hilir. Ironisnya, pemerintah cenderung lebih berpihak kepada perusahaan asing ketimbang BUMN dalam persaingan tersebut. Keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan asing selalu mengemuka di setiap perebutan ladang migas antara Pertamina dan perusahaan asing seperti pada Blok Cepu, Blok Madura, Blok Siak, dan Blok Mahakam. Keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan asing telah melemahkan peran BUMN dalam pengelolaan ladang migas di negeri sendiri. Hasil dari upaya Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 menghasilkan sebuah putusan. Putusan tersebut yakni Putusan Nomor 36/ PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa BP Migas harus dibubarkan dikarenakan Undang-Undang
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 271
| 271
1/6/2017 11:30:20 AM
Nomor 22 Tahun 2001 inkonstitusional. BP Migas telah merugikan keuangan negara, dikarenakan BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas membonsai Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional. Kedudukan BP Migas yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada ”cost recovery” tidak memiliki ambang batas yang jelas. Kekuasaan yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama tahun 20002008 potensi kerugian keuangan negara akibat pembebanan ”cost recovery” sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp.345,996 triliun pertahun atau Rp.1,7 miliar tiap hari. Hal ini jelas bahwa pengelolaan dan pengaturan migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan merugikan keuangan negara. Sebab, Undang-Undang Migas membuka 272 |
Jurnal isi.indd 272
liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 88%. Data SKK Migas tahun 2012 menunjukkan bahwa 88% ladang migas dikuasai perusahaan asing, 8% BUMS nasional, dan BUMN, serta 4% konsorsium yang melibatkan perusahaan asing. Dominasi perusahaan asing atas ladang migas menyebabkan negara kehilangan kontrol dalam pengelolaan migas. Pemerintah tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap volume produksi minyak yang dihasilkan, harga pokok produksi yang ditetapkan, dan cost of recovery yang diajukan. Tidak mengherankan kalau muncul anomali yang berkaitan dengan besaran cost of recovery dan lifting. Data menunjukkan bahwa besaran cost of recovery yang dianggarkan di APBN cenderung meningkat setiap tahun, tetapi lifting justru semakin menurun. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Migas yang menyatakan bahwa frasa ”atau bentuk kontrak kerja sama lain” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan frasa yang multi tafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945. Selain itu frasa “atau dikendalikan melalui kontrak kerja sama” menunjukkan adanya penggunaan sistem kontrak yang multi tafsir dalam pengendalian pengelolaan migas nasional. Keadaan yang demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:20 AM
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP Migas merupakan langkah untuk mengembalikan kedaulatan negara atas migas. Beliau mengatakan: “Perlu kami tegaskan bahwa permohonan ini tidak terkait dengan kepentingan ada atau tidak lembaga atau badan tertentu, tetapi lebih berhubungan dengan sebuah kenyataan bahwa Undang-Undang Migas ini kami rasakan merugikan rakyat, yang seharusnya Indonesia lebih sejahtera dari sekarang.”
9 ini tetap ada, maka liberalisasi migas masih tetap eksis. Percuma BP Migas dibubarkan tapi semangat liberalisasi masih ada.
Menurut Bakhri, pembubaran terhadap BP Migas yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah langkah yang tepat untuk mengembalikan kedaulatan negara di bidang migas nasional serta sebagai upaya perlindungan hak-hak rakyat Indonesia. Bakhri mengatakan bahwa, permasalahan dalam pengelolaan BP Migas dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Karena pembentukannya dilatarbelakangi oleh industrialisasi, globalisasi, Esensi keberadaan Undang-Undang Migas krisis ekonomi serta privatisasi badan usaha milik adalah untuk mengokohkan liberalisasi sektor negara, serta reformasi hukum yang didorong migas dengan melepaskan monopoli negara kepada oleh politik hukum nasional (Bakhri, 2012: 12). swasta dan ini adanya pada Pasal 9 ayat (1) yang Undang-Undang Migas sejak awal berbunyi: “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan pembentukannya menuai kontroversi, Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal dikarenakan tidak menjiwai Pancasila. Ketika 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: reformasi bergulir, salah satu agenda reformasi Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik yang dibangun juga mempengaruhi konfigurasi Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha politik ketika pembentukan Undang-Undang Swasta.” Kata “dapat” pada Pasal 9 ayat (1) inilah Migas adalah desakan internasional untuk yang menyebabkan adanya liberalisasi migas mereformasi sektor energi khususnya migas. karena ekplorasi migas itu boleh dilakukan oleh Reformasi sektor energi antara lain menyangkut BUMN dan swasta yang selama ini dikuasai oleh reformasi harga energi dan reformasi kelembagaan pemerintah melalui Pertamina. Begitu juga Pasal pengelola energi. 10 yang berbunyi: “(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Reformasi energi bukan hanya berfokus Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar 2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha memberikan peluang besar kepada korporasi Hulu.” internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Salah satu upaya desakan internasional Esensi liberalisasi migas sebenarnya ada melalui Memorandum of Economic and Finance di Pasal 9 ini, keberadaan BP Migas sebenarnya Policies (letter of Intent IMF) tertanggal 20 sebagai konsekuensi dari adanya Pasal 9 ini, Januari 2000 adalah mengenai monopoli maka walaupun BP Migas bubar tapi kalau Pasal Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 273
| 273
1/6/2017 11:30:21 AM
penyelenggaraan industri migas yang pada saat itu dituding sebagai penyebab inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu merajalela. Oleh karena itu, salah satu faktor pendorong pembentukan Undang-Undang Migas di tahun 2001 adalah untuk mengakomodir tekanan asing dan bahkan kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UndangUndang Migas. Kepentingan internasional yang menyusup dalam setiap pertimbangan politik yang diambil dalam Undang-Undang Migas menjadikan pembentukan Undang-Undang Migas meskipun dianggap melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi cacat ketika niat pembentukan Undang-Undang Migas adalah untuk mencederai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945. Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah ilusi konstitusional semata.
nasional yang terintegrasi dipecah atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir atau unbundling. d.
Dengan Undang-Undang Migas ini sistem pengelolaan cost recovery yang diserahkan BP Migas merugikan negara.
Berdasarkan empat alasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Migas ini menganut pola hubungan business to government (B to G) dengan pihak investor atau perusahaan minyak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 23 tentang definisi BP Migas yang dibentuk untuk mengendalikan kegiatan usaha hulu. Pasal 4 ayat (3) tentang pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan lalu membentuk BP Migas. Pasal 11 ayat (1) tentang kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh investor berdasarkan kontrak dengan BP Migas. Pasal 44 ayat (3) huruf b menugaskan kepada BP Migas untuk melaksanakan penandatanganan kontrak dengan pihak investor atau perusahaan minyak.
Ketentuan dalam Undang-Undang Migas tersebut di atas menentukan yang menandatangani kontrak kerja sama dengan kontraktor atau perusahaan minyak adalah pemerintah yang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa diwakili oleh BP Migas, oleh karena pemerintah terdapat empat alasan utama mengapa Undangyang berkontrak maka kedaulatan negara menjadi Undang Migas ini merugikan negara dan hilang sebab posisi pemerintah menjadi sejajar melanggar konstitusi yaitu: dengan kontraktor. Pemerintah menjadi bagian a. Undang-Undang Migas ini telah dari para pihak yang berkontrak. Pemerintah menghilangkan kedaulatan negara atas men-downgrade dirinya sendiri untuk sejajar sumber daya migas yang ada di perut bumi dengan perusahaan minyak atau investor. negara Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya pihak yang b. Undang-Undang Migas ini telah merugikan mewakili Indonesia adalah BUMN semacam negara secara finansial. Pertamina tetapi tidak tunggal. Konsepsi yang demikian ini cukup mencerminkan penguasaan c. Undang-Undang Migas ini memecah negara atas cabang-cabang produksi yang struktur perusahaan dan industri minyak menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana 274 |
Jurnal isi.indd 274
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:21 AM
termaktub di dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945. Secara garis besar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) tentang pengertian ”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD NRI 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjunya menurut Mahkamah Konstitusi, cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.” Hingga saat ini pengelolaan migas berdasarkan undang-undang a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) (Bakhri, 2012: 14). B. Langkah
Progresif
Negara
dalam
Mengembalikan Kedaulatan Migas dan Hak Asasi Manusia Putusan Nomor 36/PUU/2012 terkait dengan pengujian Undang-Undang Migas merupakan sebuah kemenangan konstitusional penting bagi penguasaan negara atas sumber daya alam. Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 yang berimplikasi pembubaran BP Migas merupakan langkah negara dalam mengembalikan kedaulatan negara atas migas. Upaya negara dalam mengembalikan kedaulatan negara di bidang migas, pemerintah membentuk Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang pada pokoknya menentukan, Pasal 1, pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru. Pasal 2, segala kontrak kerja sama yang ditandatangani antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Pasal 3, seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi.
Lima ketentuan tersebut merupakan satu kesatuan, sehingga hak untuk terpenuhi hajat hidup para pemohon yang juga merupakan hajat hidup bangsa Indonesia menjadi terhambat Selain Peraturan Presiden tersebut dikarenakan sistem kontrak tidak memenuhi unsurunsur kebijakan (beleid), tindakan pengurusan diterbitkan pula Keputusan Menteri ESDM (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), Nomor 3135K/08/MEM/2012 yang pada Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 275
| 275
1/6/2017 11:30:21 AM
pokoknya mengatur mengenai pengalihan tugas, fungsi, dan organisasi dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan membentuk Satuan Kerja Sementara kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah c.q. Kementerian ESDM, sampai diundangkannya undang-undang baru yang mengatur tentang hal tersebut.
hukum terhadap persoalan hak asasi manusia, minimal diukur dengan banyaknya regulasi tentang hak asasi manusia, baik berupa undangundang, peraturan pemerintah maupun dalam bentuk putusan-putusan pengadilan. IV. KESIMPULAN Mahkamah Konstitusi menafsirkan/ interpretasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menggunakan metode pendekatan penafsiran “taalkundige interpretatie” atau biasa disebut dengan pendekatan “arti kata atau istilah.” Kalimat atau kata “pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD NRI 1945. “… dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan
Penyalahgunaan wewenang kekuasaan di bidang migas telah berdampak terhadap kerugian negara, khususnya penderitaan rakyat Indonesia. Kekayaan melimpah hasil minyak dan gas bumi Indonesia yang seharusnya dikelola oleh pemerintah dengan baik kemudian dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tidak dapat terwujud dengan baik. Akibatnya rakyat Indonesia mengalami penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan. Hal ini jelas bertentangan dengan hak-hak rakyat Indonesia. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ketika kedaulatan negara Indonesia di bidang BP Migas digerogoti oleh tindakan pengurusan, pengaturan, atau negara lain, ini telah melanggar hak asasi manusia pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang seharusnya merupakan kewajiban negara yang terkandung di dalamnya...” bagi pemenuhannya. Hasil analisis hukum Undang-Undang Pembiaran terhadap pemenuhan hak asasi Nomor 22 Tahun 2001 tertuang dalam Putusan manusia rakyat Indonesia khususnya kaitannya Nomor 36/PUU/2012. Mahkamah Konstitusi dengan BP Migas adalah sebuah bentuk menyatakan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan pengingkaran terhadap konvensi internasional di Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau BP bidang ekonomi, social, dan budaya, atau disebut Migas yang diatur dalam Undang-Undang dengan hak EKOSOB. Migas di Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan merupakan kategori sumber daya alam, yang UUD NRI 1945 (inskonstitusional) dan tidak mana sumber daya alam masuk dalam konvensi mempunyai kekuatan hukum sehingga harus internasional di bidang EKOSOB tersebut. dibubarkan. Mahkamah Konstitusi menilai Kepedulian negara dalam perlindungan keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk hak asasi manusia warga negaranya khususnya terjadinya inefisiensi dan membuka peluang dalam konteks migas, maka dapat dilihat dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Selain besar tidaknya negara menyediakan instrumen itu, Mahkamah Konstitusi juga menilai Undang-
276 |
Jurnal isi.indd 276
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:21 AM
Undang Migas tersebut membuka liberalisasi deliberalisasi tata kelola migas melalui revisi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun pihak asing. 2001 dan semua peraturan di bawahnya yang berpotensi melanggar Pasal 33 UUD NRI 1945. Peran negara dalam mengembalikan Ada beberapa substansi yang harus direvisi pada kedaulatan migas di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 agar Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara selaras dengan Pasal 33 UUD NRI 1945, yaitu: membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 1. Mengembalikan komoditas migas dari ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 komoditas pasar menjadi komoditas yang berimplikasi pembubaran BP Migas. Selain strategis sehingga memungkinkan bagi itu, pemerintah membentuk Peraturan Presiden pemerintah untuk melakukan intervensi Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan dalam penetapan harga dan pemanfaatan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha komoditas strategis untuk sebesar-besarnya Hulu Minyak dan Gas Bumi. bagi kemakmuran rakyat. Selain itu diterbitkan pula Keputusan 2. Mengembalikan penguasaan negara Menteri ESDM Nomor 3135K/08/MEM/2012 dengan menyerahkan pengelolaan migas yang pada pokoknya mengatur mengenai dari hulu sampai hilir kepada BUMN. pengalihan tugas, fungsi, dan organisasi dalam Untuk itu, perlu memberikan prioritas pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas dalam setiap penawaran pengelolaan bumi dan membentuk Satuan Kerja Sementara blok migas yang baru kepada Pertamina. kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan blok migas lama yang sudah Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan habis masa kontraknya harus diberikan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah c.q. pengelolaannya kepada Pertamina sebagai Kementerian ESDM, sampai diundangkannya operator tunggal. Dengan pengelolaan undang-undang baru yang mengatur tentang hal secara langsung, dipastikan seluruh hasil tersebut. dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara. Hal Langkah-langkah pemerintah tersebut ini akan membawa manfaat lebih besar merupakan upaya untuk melindungi hak-hak bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang rakyat. Pembiaran terhadap pemenuhan hak asasi dimaksud di sini, baik dalam bentuk manusia rakyat Indonesia khususnya kaitannya pengelolaan langsung oleh negara (organ dengan BP Migas adalah sebuah bentuk negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. pengingkaran terhadap konvensi internasional di Pada sisi lain, jika negara menyerahkan bidang ekonomi, sosial, dan budaya. pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan V. SARAN hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi Dari kesimpulan tersebut di atas menurut rakyat juga akan berkurang. asumsi penulis maka perlu diupayakan
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 277
| 277
1/6/2017 11:30:21 AM
BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam migas. BP Migas adalah badan hukum milik negara yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis migas di sektor hulu. BP Migas oleh pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis migas, sehingga pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.
Asshiddiqie, J. (1994). Gagasan kedaulatan rakyat dalam Konstitusi dan pelaksanaannya di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve. ____________. (2005). Model-model pengujian Konstitusional di berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press. ____________. (2008). Menuju negara hukum yang demokratis. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Astawa, I.G.P., & Na’a, S. (2012). Memahami ilmu negara dan teori Negara. Bandung: Refika Aditama. Bakhri, S. (2012). Pembubaran BP Migas. Makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta pada Tanggal 28 November. Budiardjo, M. (1980). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia. Cranston, M. (1973). What are human rights? New York: Taplinger. Donnely, J. (2003). Universal human rights in theory and practice. Cornell University Press, Ithaca and London.
DAFTAR ACUAN Adi, R. (2004). Metodologi penelitian sosial dan hukum. Jakarta: Granit Press. Arianto, S. (2003). Hak asasi manusia dalam transisi politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Asplund, K.D., Marzuki, S., & Riyadi, E. (Ed.). (2008). Hukum hak asasi manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, PUSHAM UII.
El-Muhtaj, M. (2007). “HAM, DUHAM, RANHAM, Indonesia” dalam Riyadi, E., & Supriyanto (Ed.)
Mengurai
kompleksitas
hak
asasi
manusia: Kajian multi perspektif. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hadjon, P.M. (1987). Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu. Halwani, H. (2000). Globalisasi ekonomi. Jakarta: Center for Global Studies. Huda, N. (2009). Hukum tata negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
278 |
Jurnal isi.indd 278
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 259 - 279
1/6/2017 11:30:21 AM
Mahfud MD, Moh. (2001). Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. _____________. (2012). Negara hukum Indonesia: Gagasan dan realita di era reformasi. Makalah
disampaikan
dalam
Seminar
Nasional “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi,” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mertokusumo, S. (1995). Mengenal hukum: Suatu pengantar. Yogyakarta: Liberty. Radhi, F. (2012). “Merebut kembali kedaulatan MIGAS: Mencapai kedaulatan energi dengan mewujudkan tata kelola minyak dan gas bumi yang
berlandaskan
Konstitusi.”
Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Pusat Studi Energi UGM. Rahardjo, S. (1991). Ilmu hokum. Bandung: Citra Aditiya Bakti. Santoso, H.B. (2002). Kedaulatan negara: Tinjauan, kajian hukum internasional. Jakarta: Mitra Penna. Suseno, F.M. (2001). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Utrecht, (1959). Pengantar dalam hukum Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru. Wahjono, P. (1977). Ilmu negara suatu sistematika dan penjelasan 14 teori ilmu Negara. Jakarta: Melati Studi Grup.
Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Migas (Habib Shulton Asnawi)
Jurnal isi.indd 279
| 279
1/6/2017 11:30:21 AM
Jurnal isi.indd 280
1/6/2017 11:30:21 AM
PENAFSIRAN HUKUM DEKONSTRUKSI UNTUK PELANGGARAN POLIGAMI Kajian Putusan Nomor 937 K/Pid/2013
LEGAL INTERPRETATION OF DECONSTRUCTION IN CRIMINAL OFFENSE OF POLYGAMY An Analysis of Court Decision Number 937 K/Pid/2013 Faiq Tobroni Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 6 Juni 2016; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 menunjukkan bahwa pelanggaran poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam dapat dipidana dengan dihubungkan kepada pemidanaan atas pernikahan terlarang. Analisis ini menitikberatkan pada dua hal yaitu: pertama, bagaimana perbedaan pertimbangan hukum antara dua putusan; kedua, perbedaan metode penafsiran hukum dari setiap putusan dan implikasinya untuk menghubungkan pemidanaan atas pernikahan terlarang dengan pelanggaran poligami. Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.BKN menganggap perkawinan IR dengan H (yang dianggap terlarang) adalah tidak sah, sementara Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013 menganggap sebaliknya. Metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.BKN adalah subsumptif, sehingga menyimpulkan bahwa IR tidak dapat dipidana. Sementara metode penafsiran hukum dalam Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 adalah metode dekonstruksi dalam pengertian melakukan intertekstualitas teks hukum (menemukan makna tidak terkatakan). Putusan kasasi menunjukkan bahwa pidana oleh IR atas Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada dapat menjadi penghalang perkawinan
setelahnya) justru mendapatkan justifikasi dari makna yang tidak terkatakan atau di luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri yang ada; Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah dengan H. Kata kunci: poligami, pernikahan terlarang, metode penafsiran. ABSTRACT Decision Number 937 K/Pid/2013 shows that the criminal offense of polygamy which are not in accordance with Law Number 1 of 1974 on Marriage and Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the Dissemination of Islamic Law Compilation may be subject to criminal with relation to the offense of illicit marriage. The focus of the discussion in this analysis is tantamount to explaining how two decisions have differences in the legal considerations and different methods of legal interpretation, and its implications related to criminal prosecution for illicit marriage with polygamy offense. Decision Number 341/ Pid.B/2012/PN.BKN discusses the marriage of IR to H (which is considered illicit) is unlawful, while Decision Number 937 K /Pid/2013 assumes otherwise. The legal interpretation of Decision Number 341/Pid.B/2012/
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 281
| 281
1/6/2017 11:30:21 AM
PN.BKN is subsumption method, which concludes that IR is not subject to criminal. Whereas the rightful interpretation of Decision Number 937 K/Pid/2013 is the method of deconstruction, conducting intertextuality on the legal texts (finding “the unspeakable meaning”). Decision of cassation indicates that the criminal sanction of IR on Article 279 paragraph (1) of the Criminal Code (previous marriage can be a barrier for subsequent
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelanggaran poligami sebenarnya bisa dipidana dengan dihubungkan kepada perkawinan terlarang. Hukum mengatur pemidanaan bagi perkawinan terlarang melalui Pasal 279 ayat (1) KUHP. Pelanggaran poligami yang dimaksud di sini adalah pelaksanaan poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di antara ketentuan hukum yang biasanya tidak dilaksanakan oleh pelaku pelanggaran poligami adalah mengabaikan pemenuhan atas persyaratan kumulatif-alternatif dari izin poligami. Pemidanaan atas perkawinan terlarang yang sebenarnya sekaligus bisa dikatakan sebagai pelanggaran poligami dapat dilihat dalam kasus Putusan Nomor 937 K/Pid/2013. Kasus ini dialami oleh IR. Tahun 2011, IR telah melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan berinisial H. Namun, saat pernikahan tersebut, IR masih mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan SM (menikah tahun 1992). Memang IR menalak SM secara agama tahun 2010, namun belum pernah dibawa
282 |
Jurnal isi.indd 282
marriages), even get justification of “the unspeakable meaning” or apart from the Criminal Code (a husband should not marry again without permission of his wife; Article 9 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage). This is taken into account in the absence of the first wife’s permission (SM). Keywords: polygamy, interpretation.
illicit
marriage,
legal
sampai ke pengadilan agama. Secara hukum, IR masih berstatus sebagai suami yang sah dari SM. Larangan menikah bagi IR tersebut bisa ditemukan dalam petikan Pasal 9 UndangUndang Perkawinan yang berbunyi: “seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi.” Dengan demikian, pernikahan IR dengan H didakwa sebagai perkawinan terlarang yang melanggar Pasal 279 KUHP karena terhalang dengan perkawinan yang telah ada (perkawinan IR dan SM tahun 1992). Sebenarnya, IR bisa saja lepas dari dakwaan di atas dengan menggunakan dalih melaksanakan poligami. Masih dari Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan, redaksi lengkap menyatakan bahwa “seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.” Pengecualian tersebut bermakna bahwa seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari satu perempuan dengan batasan sampai empat perempuan pada waktu yang sama melalui mekanisme poligami. Akan tetapi, dengan keberadaannya yang sudah tidak bisa berkomunikasi dengan istri pertamanya, IR tidak memenuhi persyaratan apapun yang ditetapkan Undang-Undang Perkawinan dalam melaksanakan poligami; minimal meminta izin SM. Akibatnya, IR mengambil jalan pintas
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
melalui pernikahan lagi tanpa izin istri pertama (SM). Posisi yang demikian sama artinya IR melangsungkan pelanggaran poligami. Dengan demikian, sebenarnya dakwaan kepada IR tidak hanya bisa dinamakan sebagai pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) tetapi juga sebagai pelanggaran poligami (Pasal 9 UndangUndang Perkawinan).
hubungan penggunaan metode penafsiran hukum terhadap pertimbangan hukum, sehingga pada akhirnya memengaruhi perbedaan putusan. Perbedaan pertimbangan hukum telah memengaruhi perbedaan amar antara Putusan PN Bangkinang dan Putusan Kasasi MA. Perbedaan pertimbangan hukum tersebut tentunya tidak bisa dilepaskan dari perbedaan metode penafsiran hukum yang dipakai oleh majelis hakim. Pilihan atas metode penafsiran hukum merupakan elemen yang sangat penting dalam konteks membicarakan hubungan pemidanaan atas pelanggaran poligami dengan pemidanaan atas nikah terlarang. Sebenarnya tanpa dihubungkan dengan pemidanaan atas pelanggaran poligami, pemidanaan kepada IR karena melakukan pernikahan terlarang masih bisa berjalan. Tetapi, akan semakin menarik jika hakim mempertegas bahwa pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) yang dilakukan IR adalah pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan).
Dalam kasus ini, hakim hanya menamakan dakwaan kepada IR sebagai tindakan pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP). Dilihat dari perjalanan kasusnya, pemidanaan terhadap perkawinan terlarang dalam kasus IR sebenarnya tidak mudah. Sebelum masuk ke tingkat kasasi, kasus ini telah ditangani Pengadilan Negeri Bangkinang (PN Bangkinang) melalui Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn tanggal 27 Maret 2013 (Putusan PN Bangkinang). Pada tingkat pertama ini, PN Bangkinang tidak memberikan sanksi pidana bagi IR. Majelis hakim memutuskan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa IR memang telah terbukti tetapi Penegasan hubungan pernikahan terlarang bukan merupakan tindak pidana. dan pelanggaran poligami dalam kasus ini bisa bermanfaat untuk mempertegas dan Pernikahan antara IR dengan H tidak bisa mensosialisasikan kepada masyarakat umum dianggap sebagai pernikahan terlarang yang bahwa pelanggaran poligami bisa berujung hukuman pidananya sebagaimana diatur dalam pada pidana. Hal ini disebabkan karena hukum Pasal 279 ayat (1) KUHP. Akibatnya, jaksa perkawinan nasional (baik yang setingkat melakukan kasasi atas putusan PN Bangkinang undang-undang maupun kompilasi) belum tersebut. Melalui Putusan Nomor 937 K/ mengatur sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran Pid/2013 (Putusan Kasasi), Mahkamah Agung poligami. Baik Undang-Undang Perkawinan mengadili bahwa IR telah terbukti bersalah maupun KHI belum menyediakan pasal yang melakukan perkawinan terlarang dan perbuatan tegas untuk menyeret pelaku poligami yang tidak yang dimaksud merupakan tindakan pidana sesuai dengan hukum perkawinan (pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat (1) poligami) ke ranah pengadilan pidana. Pada bagian ke-1 KUHP. Sebagai hukumannya, IR masa sekarang ini, praktik pelanggaran poligami harus menjalani sepuluh bulan penjara. semakin menjadi rentan dialami kaum perempuan Semua putusan dalam kasus ini sangat lebih-lebih apabila mereka hidup dalam menarik, terutama kaitannya dalam melihat lingkungan keluarga yang menerapkan relasi
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 283
| 283
1/6/2017 11:30:21 AM
patrilineal. Kedudukan suami yang lebih superior di atas istri akan menimbulkan kesewenangwenangan praktik pelanggaran poligami. Istri yang tidak mengetahui seluk beluk mekanisme prosedur poligami bisa saja bersikap pasrah begitu saja jika suaminya melakukan pelanggaran poligami. Bahkan, bisa saja istri pertama tidak merasa ada yang salah ketika sekalipun suaminya melangsungkan poligami dengan tanpa izin dari dirinya. Upaya pemberian sanksi bagi pelanggaran poligami yang masih tidak bisa ditemukan dalam Undang-Undang Perkawinan justru mendapatkan solusi dari KUHP. Pelajaran ini bisa diambil dari Putusan Nomor 937 K/Pid/2013. Putusan tersebut bisa dijadikan pelajaran bagaimana sebenarnya pria pelaku pelanggaran poligami bisa dipidanakan. Secara eksplisit, kasus ini memang bukan sebuah tuntutan pidana bagi seorang terdakwa karena melakukan pelanggaran poligami, tetapi karena melakukan pernikahan terlarang sebagaimana diancam dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP. Pertimbangan hukum yang dibangun majelis hakim kasasi bisa dijadikan pelajaran kelanjutan untuk membangun model penafsiran hukum yang bisa digunakan untuk memidana pelanggaran poligami.
untuk menghubungkan pemidanaan atas pernikahan terlarang dengan pemidanaan atas pelanggaran poligami? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah pertama, menganalisis perbedaan pertimbangan hukum antara Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn dan Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 serta implikasinya terhadap perbedaan amar putusan. Kedua, membandingkan hubungan perbedaan pertimbangan hukum dengan perbedaan metode penafsiran hukum dalam dua putusan tersebut. Kecenderungan penafsiran hukum akan berimplikasi kepada pilihan hakim untuk memidanakan atau tidak memidanakan pelaku pernikahan terlarang yang pelaksanaannya beririsan dengan pelanggaran terhadap pelanggaran poligami.
Penelitian ini sangat berguna sebagai sebuah tawaran akademis untuk mengembangkan penafsiran hukum yang bermanfaat untuk memfasilitasi pemberian sanksi atas peristiwaperistiwa hukum yang sanksinya belum diatur secara tegas, semacam pelanggaran poligami. Keberadaan pelanggaran poligami tentu sangat meresahkan dan berpotensi merugikan pihak perempuan. Sementara, di tengah kehidupan B. Rumusan Masalah sosial yang masih cenderung mengarah kepada Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan relasi patrilineal, hegemoni kaum pria akan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: semakin rentan melakukan poligami tanpa mengindahkan pemenuhan atas persyaratan 1. Bagaimana perbedaan pertimbangan kumulatif dan alternatif bagi izin poligami. hukum Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/ PN.Bkn dan Putusan Nomor 937 K/ Penelitian ini tidak dalam posisi Pid/2013? melarang keberadaan poligami secara mutlak. 2.
284 |
Jurnal isi.indd 284
Bagaimanapun juga, poligami sebagai sistem Bagaimana perbedaan metode penafsiran hukum perkawinan masih dibutuhkan terutama hukum dari setiap putusan dan implikasinya untuk melindungi janda dan anak yatim Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
sebagaimana amanat utama turunnya ayat Al Quran mengenai kebolehan poligami. Karena sasarannya yang khusus, pelaksanaan poligami harus dilaksanakan pula dengan persyaratan yang khusus dan ketat. Untuk menjaga keserasian antara amanat Tuhan dengan kepentingan hak kemanusiaan, maka perlu dirumuskan mekanisme hukuman yang tegas bagi pelaku poligami yang justru merugikan pihak istri yang lama. Mekanisme itu bisa diperoleh melalui bentuk pelaksanaan norma pemidanaan atas nama pelaksanaan nikah terlarang sebagaimana dicontohkan dalam kasus Putusan Nomor 937 K/Pid/2013. Dengan demikian, tulisan ini juga sebagai kontribusi tawaran bagi para stakeholders yang akhir-akhir ini tengah kencang menyerukan revisi Undang-Undang Perkawinan, terutama revisi mengenai pengaturan poligami. D.
Studi Pustaka
Hukum agama, seperti fikih Islam, memperbolehkan poligami antara seorang lakilaki dengan lebih dari satu perempuan dengan jumlah maksimal empat perempuan pada waktu yang sama. Perempuan yang dipoligami haruslah mereka yang bukan masuk kategori perempuan yang haram dinikahi bagi pelaku poligami. Dalam praktik hukum perkawinan di Indonesia, pembolehan poligami dilegalisasi melalui Undang-Undang Perkawinan dan KHI. UndangUndang Perkawinan mengatur mekanisme poligami dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5. KHI juga memperbolehkan praktik poligami dengan berbagai persyaratan dalam Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59. Beberapa persyaratan dalam pasal-pasal tersebut disederhanakan menjadi dua kategori persyaratan, yakni kumulatif dan alternatif. Dari kedua kategori persyaratan tersebut, salah satu persyaratan mutlak poligami
adalah pelaku harus mendapatkan izin dari istri yang dimadu. Berdasarkan ketentuan tersebut, meskipun hukum perkawinan membuka peluang bagi laki-laki untuk melangsungkan poligami, tetapi pemenuhannya bukanlah suatu yang mudah dilaksanakan walaupun suami mempunyai kekayaan melimpah yang mampu mencukupi empat istri sekaligus. Hal ini disebabkan karena izin atau kerelaan istri merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi laki-laki sebelum melakukan poligami. Inilah yang membedakan persyaratan poligami antara hukum perkawinan (Undang-Undang Perkawinan dan KHI) terhadap fikih munakahat Islam. Fikih Islam tradisional tidak mempersyaratkan izin dari istri karena hak sepihak yang dimiliki suami (Lukito, 2013: 82). Persyaratan administrasi pelaksanaan poligami yang dibawa undang-undang mencakup pemenuhan, meminjam istilahnya Afrianty (2015: 37-38), “syarat finansial dan emosional.” Persyaratan finansial yang harus dipenuhi adalah seorang pelaku poligami akan mampu berbuat adil terhadap semua istri dan anaknya. Persyaratan emosional yang harus dipenuhi adalah pelaku poligami harus mampu mendapatkan kerelaan atau izin istri yang ada. Pemenuhan persyaratan kedua inilah yang mahal karena kerelaan istri pertama tidak bisa dibeli dengan harta benda. Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran poligami dalam tulisan ini adalah pelaksanaan poligami yang tidak memenuhi persyaratan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Secara sederhana, ketentuan yang masuk kategori alternatif mencakup persyaratan yang bersifat objektif pada diri istri (seperti kondisi cacat dan ketidakmampuan melahirkan keturunan) sebagaimana diatur Pasal 4 Undang-Undang
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 285
| 285
1/6/2017 11:30:21 AM
Perkawinan. Sementara itu, sebagian ketentuan yang masuk kategori kumulatif mencakup persyaratan yang bersifat subjektif pada diri istri (yakni izin atau kerelaan istri) sebagaimana diatur Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan. Dalam konteks pembicaraan kasus putusan kasasi ini, salah satu ketentuan yang sangat kelihatan tidak bisa dipenuhi IR adalah tidak mendapatkan izin dari istri pertama (SM). Tidak terpenuhinya persyaratan yang diamanatkan hukum, secara otomatis pasti IR harus melangsungkan pernikahan yang kedua tanpa melibatkan aparatur negara (tidak dicatat) sehingga IR melangsungkan pernikahannya yang kedua dengan menabrak ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
dua wanita “muhrim” sebagai istri (Mughniyah, 2015: 354-358).
Sebelum menghubungkan pelanggaran poligami dengan perkawinan terlarang yang bisa dipidana, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pengertian pernikahan terlarang. Buku berjudul Fikih Lima Mazhab, sebagai representasi hukum Islam membagi penyebab pernikahan terlarang hanya menjadi dua golongan yaitu karena hubungan nasab (larangan selamanya) dan karena sebab yang lain (larangan sementara).
KHI sebagai representasi kompilasi produk ijtihad dari berbagai mazhab dalam hukum Islam Indonesia memperjelas kelompok perempuan yang haram dinikahi. Pasal 39 KHI menyatakan bahwa seorang laki-laki dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita disebabkan tiga hal yaitu: pertalian nasab, kerabat semenda (ikatan perkawinan), dan pertalian sesusuan. Pasal 40 KHI juga melarang pria melakukan perkawinan dengan perempuan yang masih terikat perkawinan dengan pria lain, dalam masa idah dengan pria lain, dan tidak beragama Islam. Pasal 41 KHI juga melarang pria memadu/mempoligami istri dengan perempuan yang masih mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya. Pasal 42 KHI melarang pria melakukan poligami di atas empat. Pasal 43 KHI mengatur larangan perkawinan antara pria dengan wanita sebagai bekas istrinya yang ditalak tiga kali atau bekas istrinya yang dili’an. Pada akhirnya, ketentuan fikih Islam dan KHI tentang pernikahan terlarang telah dirangkum dalam Pasal 8 UndangUndang Perkawinan.
Hubungan nasab tersebut berlaku bagi nasab biologis maupun nasab karena sesusuan. Kelompok pertama adalah seperti ibu termasuk nenek, anak-anak perempuan termasuk cucu perempuan, saudara-saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, anakanak perempuan saudara laki-laki, dan anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di bawahnya. Kelompok kedua adalah seperti istri ayah yang haram dinikahi oleh anak ke bawah, istri anak laki-laki haram dinikahi oleh ayah ke atas, mertua wanita, anak perempuan istri yang sebagai anak tiri asalkan ibunya telah dicampuri (karena ikatan perkawinan); penyatuan
Berdasarkan kategori pernikahan terlarang dalam fikih Islam dan KHI, tampak sebenarnya bahwa tidak ada dasar untuk memasukkan pelanggaran poligami ke dalam kategori pernikahan terlarang. Peluang pemidanaannya justru mendapatkan sandarannya melalui Undang-Undang Perkawinan. Pasal 9 UndangUndang Perkawinan bisa digunakan untuk mengategorikan pelanggaran poligami sebagai pernikahan terlarang. Pasal tersebut menyatakan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan. Dalam kasus
286 |
Jurnal isi.indd 286
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
putusan kasasi, IR sebenarnya bisa melepaskan diri dari dakwaan melaksanakan pernikahan terlarang dengan dalih melaksanakan poligami. Akan tetapi, apa yang dilakukan IR dengan menikahi H tidak memenuhi ketentuan UndangUndang Perkawinan dan KHI sehingga bisa dikatakan sebagai poligami tidak sesuai peraturan (pelanggaran poligami).
memengaruhi hasil sebuah putusan bisa atau tidaknya pelanggaran poligami disamakan dengan pelaksanaan pernikahan terlarang. Dalam kajian ilmu hukum, penafsiran hukum bisa dimaknai sebagai kegiatan untuk menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya (Dirdjosisworo, 2008: 157). Ada beberapa metode penafsiran hukum. Keberadaan variasi metode tersebut berhubungan Sampai pembahasan di sini, walaupun dengan kecenderungan yang dipilih dalam terdapat pasal dalam Undang-Undang mendekati kajian ilmu hukum. Perkembangan Perkawinan (Pasal 9) yang bisa digunakan untuk kajian ilmu hukum telah menghasilkan bervariasi memasukkan pelanggaran poligami sebagai aliran dalam ilmu hukum, begitu pula bervariasi pernikahan terlarang, tetapi tidak ada satu pasal pendekatan ilmu hukum, yang sebagai akibatnya pun dalam Undang-Undang Perkawinan yang menghasilkan variasi metode penafsiran hukum. mengatur jalan pemidanaan atas pelanggaran poligami. Penulis kemudian menemukan Untuk memudahkan analisis dalam adanya titik temu yuridis antara pemidanaan kasus putusan kasasi ini, penulis hendak bagi pernikahan terlarang dan pemidanaan bagi menggunakan hanya dua model pendekatan pelanggaran poligami. Pasal 279 ayat (1) KUHP hukum. Pengklasifikasian ini meminjam hasil hanya menyatakan bahwa hukum mengancam penelitian Susanto (2010: 238) dalam upayanya pidana penjara paling lama lima tahun mengembangkan kajian ilmu hukum. Susanto kepada orang yang mengadakan perkawinan membagi model pendekatan hukum menjadi padahal mengetahui bahwa perkawinan atau dua, yakni: aliran positivisme hukum dan ilmu perkawinan-perkawinannya yang telah ada hukum non-sistematik. Positivisme hukum menjadi penghalang yang sah untuk itu. Pasal- yang dimaksud di sini adalah aliran hukum pasal selanjutnya dalam KUHP tidak merinci yang membahas konsep hukum secara eksklusif perkawinan yang bagaimanakah yang bisa (Susanto, 2010: xiii). Salah satu tokoh positivisme menjadi penghalang atas perkawinan tersebut. hukum, Austin, menyatakan bahwa ilmu hukum Untuk melaksanakan amanat KUHP tersebut, hanya membahas hukum positif saja. Gagasan maka hakim harus melakukan penafsiran hukum ini sangat dualistis dengan memisahkan antara dengan bantuan Undang-Undang Perkawinan, realitas ideal (idealisme metafisis: moral-agama) salah satunya adalah Pasal 9. dan realitas material (hukum positif-command of sovereign atau command of law-giver). Austin Dalam menghubungkan pidana bagi secara tegas membedakan antara hukum dengan pernikahan terlarang dengan pidana bagi moral agama, membedakan antara hukum postif pelanggaran poligami, pilihan hakim sangat dengan hukum yang dicita-citakan (Susanto, ditentukan dalam menggunakan metode 2010: 150). penafsiran hukum. Pilihan yang digunakan akan sangat mempengaruhi pertimbangan Positivisme hukum menghasilkan hukum yang dibangun, serta pada akhirnya metode subsumptif sebagai metode penafsiran Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 287
| 287
1/6/2017 11:30:21 AM
hukum. Dalam membangun penafsiran hukum, positivisme hukum sangat tegas untuk menghilangkan hubungan antara teks normatif dengan unsur yuridis semisal agama. Kekakuan tersebut justru mengakibatkan teks normatif menjadi teralienasi dan tertutup. Penilaian demikian disebabkan karena teks harus dibersihkan dari unsur-unsur meta-yuridis semacam unsur agama, ekonomi, politik, sosial, dan unsur lainnya. Dalam pemikiran positivisme hukum, setiap teks yang terdapat dalam pasal demi pasal dari suatu perundangan dianggap telah memiliki makna asal yang sudah jelas, sehingga tugas hakim hanya melakukan apa yang dikenal dengan teknik subsumptif.
teori chaos dari Sampford dan dekonstruksi dari Derrida (Susanto, 2010: 90-143). Sampford mengemukakan chaos theory of law sekaligus sebagai kritik terhadap teori-teori hukum yang dibangun berdasarkan konsep sistem (sistemik) atau keteraturan. Teori ini menolak ide keteraturan dan kepastian pada hukum positif yang hanya bisa dicapai dengan keteraturan sebagaimana dipegang teguh kaum positivistik. Apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Teori hukum tidak selalu bisa didasarkan kepada keteraturan hukum, karena pada dasarnya hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries). Sampford menyatakan bahwa karena masyarakat berada pada kondisi yang asimetris dan tidak teratur, maka hukum sebagai bagian integral dari masyarakat tersebut tidak bisa lepas dari kondisi yang asimetris dan tidak teratur pula (because societies are unsystematic and disordered, law, as and integral part of that society, cannotescape being unsystematic and disorderedtoo) (Sampford, 1989: 103). Masyarakat pada dasarnya tanpa sistem atau dalam kondisi asimetris, dan hukum adalah bagian dari kondisi masyarakat tersebut sehingga hukum berada dalam kondisi sesuai kondisinya masyarakat.
Subsumptif adalah semacam metode yang bertujuan untuk mencocokkan unsur-unsur yang ada dalam pasal tertentu dengan kasus konkret (Susanto, 2010: 178). Dalam pelaksanaan metode ini, hakim harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus in-konkreto. Cara berpikir yang digunakan hakim adalah deduktif; hakim harus mengabstrakkan peristiwanya bersamaan dengan itu sekaligus hakim juga harus menkonkretisir peraturannya. Penerapan subsumptif tidak sampai memaksa hakim untuk memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. Bisa dikatakan bahwa metode ini merupakan metode interpretasi yang paling sederhana, karena Dilihat dari perspektif penganut metode subsumptif ini hanya menghasilkan positivisme hukum, hingga saat ini chaos theory penafsiran hukum berdasarkan bunyi pasal dalam of law sering dipandang dengan pandangan suatu peraturan (Witgens, 2012: 195). yang keliru. Kecurigaan yang sering terjadi Sementara, ilmu hukum non-sistematik adalah bahwa chaos theory of law berkenaan merupakan pendekatan atas kajian ilmu hukum dengan ketidakteraturan hukum belaka; sesuatu yang sengaja ditawarkan untuk menutupi yang chaos (kacau) dipandang tidak mungkin kekurangan positivisme hukum. Di antara menghasilkan yang teratur. Menanggapi dua teori yang digunakan untuk membangun kesalahpahaman ini, Sudjito mempunyai pendekatan ilmu hukum non-sistematik adalah pendapatnya sendiri. Menurutnya, chaos theory 288 |
Jurnal isi.indd 288
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
of law tidak hanya menggunakan ketidakteraturan hanya untuk tujuan ketidakteraturan saja. Istilah chaos dalam chaos theory of law justru merupakan “keteraturan,” bahkan esensi keteraturan.
terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain (Hartoko & Rahmanto, 1986: 67).
Ketidakteraturan memang hadir ketika seseorang (ilmuwan, yuris) mengambil pandangan reduksionistik dan memusatkan perhatian pada perilaku yang menyimpang saja. Akan tetapi kalau sikap holistik yang digunakan dan memandang pada perilaku keseluruhan sistem secara terpadu, justru ilmuwan atau yuris tersebut akan menemukan keteraturan (Sudjito, 2006: 165). Dengan demikian, menyitir pandangan Sudjito, chaos theory of law sebenarnya juga mempunyai tujuan untuk menciptakan keteraturan ketika berbicara mengenai ketidakteraturan. Pandangan reduksionistik (positivisme hukum) menilai ketidakteraturan hanya menghasilkan ketidakteraturan pula. Sebaliknya apabila dilihat dari pandangan holistik, ketidakteraturan itu hanyalah cara lain untuk menghasilkan keteraturan ketika tidak bisa menggunakan cara keteraturan.
Dalam kajian semiotik, istilah intertekstualitas digunakan arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, hukum, ekonomi, sejarah, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks.’ Dengan demikian, dalam konteks kajian atas tulisan ini, yang membahas mengenai penghubungan pemidanaan pernikahan terlarang terhadap pemidanaan atas pelanggaran poligami, ‘teks’ di sini tidak hanya sekedar dipahami sebagai peraturan tertulis dalam perundang-undangan tetapi juga hasil ijtihad hukum dalam peraturan agama. Intertekstualitas dalam teks hukum menjelaskan saling ketergantungan satu produk hukum positif dengan produk hukum positif lain dan bahkan dengan produk hukum di luar hukum positif. Sebagai contoh yang akan dibahas nanti, saling ketergantungan operasionalisasi Pasal 279 ayat (1) KUHP dengan bantuan Pasal 9 UndangUndang Perkawinan.
Dekonstruksi sebagai metode penafsiran hukum menawarkan strategi pembacaan intertekstualitas dalam teks hukum. Secara sederhana, intertekstualitas dimaknai sebagai kegiatan menempatkan satu teks di tengah-tengah teks-teks lain. Pembauran satu teks dengan teks lainnya dilakukan dengan pertimbangan bahwa teks lain sering mendasari teks yang bersangkutan. Alam pikiran intertekstualitas memandang bahwa sebuah teks sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu, teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan sebagainya. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain tersebut. Proses
Penulis akan melihat posisi pertimbangan hukum yang dibangun masing-masing majelis hakim dari PN Bangkinang dan majelis kasasi dengan dua metode penafsiran di atas. Penulis melihat analisis untuk menjelaskan bagaimana ketidakmauan majelis hakim PN Bangkinang untuk memidana IR mempunyai relevansi dengan hasil analisis mengenai kelemahan yang dimiliki metode subsumptif dan positivisme hukum. Kemudian, adanya justifikasi untuk menegaskan hubungan titik temu yuridis antara pemidanaan bagi pernikahan terlarang dengan pemidanaan bagi pelanggaran poligami adalah mempunyai relevansi dengan penggunaan dekonstruksi sebagai metode penafsiran hukum.
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 289
| 289
1/6/2017 11:30:21 AM
II.
METODE
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang memfokuskan kajian pada norma hukum (Soekanto & Mamudji, 2011: 13). Sifat penelitian ini adalah preskriptif, memberikan penilaian mengenai sesuatu yang seharusnya dilakukan (Marzuki, 2014: 69-70). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case apporach), yaitu dengan mengkaji alasan-alasan hukum yang meliputi pertimbangan hukum dan kemampuan membangun penafsiran hukum oleh hakim dalam membuat suatu putusan atau penetapan (Marzuki, 2014: 158-166). Bahan hukum primer dalam penelitian ini merupakan Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn, Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013, dan beberapa peraturan perundangan terkait.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pertimbangan Hukum Putusan
IR menikah dengan H pada Senin tanggal 18 April 2011. Pernikahan mereka tidak dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama. Pernikahan tersebut hanyalah berlangsung di depan tokoh masyarakat setempat yang bernama TR. Terhadap pernikahan tersebut, TR sebagai pemuka masyarakat setempat mengeluarkan Surat Keterangan Nikah Nomor KK.04.11/PW.01/04/2011, tertanggal 18 April 2011. Surat keterangan ini bukanlah buku nikah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Perkawinan, tetapi hanyalah keterangan biasa yang dikeluarkan institusi lokal setempat
sebagai pertanda bahwa IR dan H telah menikah sesuai syariat agamanya masing-masing. Saat meminta dinikahkan oleh TR, salinan putusan Bahan hukum sekunder dalam penelitian kasasi tersebut menginformasikan bahwa IR juga ini berupa buku dan jurnal hukum yang relevan mengaku telah berpisah dengan istri pertamanya dengan tema penelitian. Beberapa bahan yang bernama SM (Putusan Nomor 937 K/ hukum tersebut akan dijadikan sebagai bahan Pid/2013: 8). yang berguna menjawab pokok masalah dalam Ternyata secara hukum, IR dan SM masih penelitian ini. Dalam kegiatan analisis, penulis berstatus sebagai suami istri. IR telah menikah akan menganalisis pertimbangan hukum dari dengan SM pada tanggal 12 Juli 1992 dengan Akta masing-masing majelis hakim dalam Putusan Nikah Nomor 275/75/VIII/1992 tertanggal 18 Juli Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn dan Putusan 1992. Dari hasil perkawinan tersebut, IR telah Nomor 937 K/Pid/2013. mempunyai tiga orang anak. Memang mendekati Pisau analisis yang digunakan adalah tahun 2010, IR seringkali ribut dengan SM bahkan menggunakan bahan hukum sekunder seperti IR pernah melakukan pemukulan terhadap SM. penggunaan buku dan jurnal tentang chaos theory Puncak pertikaian rumah tangga mereka adalah of law, positivisme hukum, metode penafsiran ketika akhirnya sekitar bulan Februari 2010, IR hukum dekonstruksi. Hasil analisis akan dijadikan menjatuhkan talak kepada SM. Setelah peristiwa dasar untuk membangun argumentasi yang itu, IR meninggalkan SM beserta anak-anaknya. menjawab pokok masalah dalam penelitian, yang Sesuai salinan putusan kasasi, selepas peristiwa bersamaan dengan itu, penulis juga sekaligus ucapan talak itu, IR tidak pernah mengajukan memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi gugatan cerai atas istrinya yang bernama SM ke yang terbangun. pengadilan agama kabupaten setempat. Praktis,
290 |
Jurnal isi.indd 290
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
sampai dengan pernikahannya dengan H, IR Atas putusan PN Bangkinang tersebut, tidak pernah mendapatkan surat cerai yang sah jaksa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah dari pengadilan agama (Putusan Nomor 937 K/ Agung. Tanggal 9 April 2013, melalui Akta Pid/2013: 2). Kasasi Nomor 07/Akta.Pid/2013/PN.Bkn yang dibuat oleh panitera pada PN Bangkinang, jaksa Dengan demikian, secara hukum, status mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan IR dengan SM hingga saat pernikahan antara IR pengadilan negeri tersebut. Hasilnya adalah dengan H bahkan sampai dengan proses peradilan majelis kasasi mengadili untuk mengabulkan pidana, masihlah sebagai suami istri yang sah. permohonan kasasi dari jaksa. Majelis kasasi Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal membatalkan putusan PN Bangkinang. Secara 113 KHI menyatakan bahwa perkawinan dapat lengkap, amar putusannya adalah majelis kasasi putus karena kematian, perceraian atau keputusan mengadili sendiri bahwa: pertama, menyatakan pengadilan. Selanjutnya Pasal 39 Undang-Undang terdakwa IR telah terbukti secara sah dan Perkawinan dan Pasal 115 KHI menyatakan bahwa meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang “Melakukan perkawinan sedang diketahuinya pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua halangan yang sah baginya untuk melakukan belah pihak. Oleh sebab itu, majelis kasasi perkawinan kembali”; kedua, menjatuhkan memaknai bahwa hubungan antara IR dan SM pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan masih memiliki ikatan perkawinan yang sah. pidana penjara selama sepuluh bulan (Putusan Atas dasar pernikahannya dengan H, Nomor 937 K/Pid/2013: 15). IR didakwa oleh Kejaksaan Bangkinang telah melakukan perkawinan, sedang diketahuinya bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk melakukan perkawinan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP. Sebelum masuk ke tingkat kasasi, kasus ini ditangani oleh PN Bangkinang. Tanggal 27 Maret 2013, melalui Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn, PN Bangkinang membebaskan IR dari dakwaan jaksa tersebut. Lebih lengkapnya, amar putusan PN Bangkinang menyatakan: pertama, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa IR (menikah lagi dengan H) telah terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana; kedua, melepaskan IR dari segala tuntutan hukum; dan ketiga, memulihkan hak dan nama baik terdakwa dalam kedudukan, kemampuan serta martabatnya (Putusan Nomor 937 K/Pid/2013: 3).
Deskripsi kronologis kasus di atas menunjukkan ada hal yang menarik dalam kasus ini. Sisi menarik yang perlu dibahas lebih dalam adalah latar belakang mengapa terjadi perbedaan putusan. Penulis melihat bahwa perbedaan putusan tersebut disebabkan karena perbedaan pertimbangan hukum yang dibangun oleh majelis hakim. Kemudian perbedaan pertimbangan hukum disebabkan karena adanya perbedaan metode penafsiran yang digunakan oleh majelis hakim. Perbedaan amar antara putusan PN Bangkinang dan putusan kasasi disebabkan karena perbedaan pertimbangan hukum. Perbedaan pertimbangan tersebut dilatarbelakangi perbedaan hakim dalam menganalisis keberadaan perkawinan antara IR dengan H. Perbedaan pertimbangan hukum yang dibangun oleh masing-masing majelis hakim terkonsentrasi
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 291
| 291
1/6/2017 11:30:21 AM
pada penilaian akan keabsahan dan legalitas perkawinan antara IR dengan H. Selanjutnya, masing-masing majelis hakim mengalami perbedaan keyakinan untuk menilai apakah perkawinan tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Keberadaan pernikahan antara IR dengan H yang menjadi sumber utama permasalahan dalam tulisan ini membutuhkan analisis berdasarkan konsep perkawinan siri. Perkawinan IR dan H dilangsungkan tanpa melibatkan pencatatan dari KUA. Istilah perkawinan siri dimaknai sebagai pernikahan yang pelaksanaannya sudah memenuhi rukun nikah menurut ketentuan agama sehingga telah memiliki kekuatan absah, tetapi tidak/belum dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (Anshori, 2011: 210). Siri secara bahasa berarti sembunyisembunyi. Makna kata ‘siri’ ketika disandingkan dengan kata ‘pernikahan’ berarti perkawinan yang dilangsungkan dua pasangan di luar ketentuan undang-undang dan bukan di hadapan petugas resmi. Sebagai akibatnya, perkawinan ini tidak mempunyai surat nikah dari negara. Perkawinan siri sudah dianggap sah sesuai agama dalam konteks Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa ulama dalam kitab fikih tidak menyertakan pencatatan sebagai rukun sahnya nikah. Ulama Syafi’iyyah (sebagai mazhab yang banyak dianut di Indonesia) mengategorikan rukun nikah terdiri dari: 1.
Calon pengantin laki-laki;
2.
Calon pengantin perempuan;
3.
Wali;
4.
Dua orang saksi; dan
5. Sighot akad nikah (Al-Jaziri, 2003: 16). 292 |
Jurnal isi.indd 292
Rukun nikah yang terdapat dalam Pasal 14 KHI juga tidak berbeda dengan ketentuan yang digariskan ulama di atas, yakni: adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul. Tanpa adanya catatan resmi dari negara, perkawinan tersebut telah memiliki keabsahan secara agama namun hanya tidak memenuhi kewajiban tertib administrasi (Rofiq, 2013: 93). Pencatatan tersebut dilaksanakan dalam rangka membangun langkah pemenuhan tertib hukum sebagaimana dijelaskan Pasal 5 KHI. Pihak berwenang untuk mencatat perkawinan hanyalah Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 5 KHI). Para pelaku pernikahan siri telah mendapatkan kehalalan untuk berhubungan biologis dengan istrinya (sudah absah secara agama), tetapi mereka tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum dari negara atas keberadaannya sebagai suami istri serta peristiwa yang lahir sebagai akibat hubungan tersebut. Sementara itu, pertimbangan hukum yang dibangun oleh majelis hakim PN Bangkinang adalah menjadikan pelaksanaan perkawinan yang secara siri (tidak tercatat) sebagai faktor untuk membebaskan IR. Majelis hakim menyatakan bahwa memang IR sebagai terdakwa pelaku pernikahan terlarang telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana (onslag van recht vervolging), sehingga perbuatannya tidak bisa dikategorikan sebagaimana dalam dakwaan melanggar Pasal 279 KUHP (Putusan Nomor 937 K/Pid/2013: 4). Penilaian hakim bukan sebagai tindak pidana disebabkan perbuatan IR melakukan perkawinan kembali tersebut tidaklah sah karena tidak dicatat berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan. Oleh sebab itu, dengan menyitir pendapat hakim di atas, kalau terdapat Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
permasalahan yang timbul akibat perkawinan antara IR dan H, permasalahan tersebut tidak bisa diperkarakan melalui peraturan perundangundangan karena perkawinannya tidak sesuai dengan undang-undang. Dengan demikian, meskipun terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan tersebut, hal itu tidak menyebabkan majelis hakim PN Bangkinang untuk mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana tersebut. Perkawinan kedua IR dengan H bukanlah dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, sebagaimana perkawinannya IR dengan SM (sebagai istri sebelumnya). Dengan demikian, ketentuan Pasal 279 KUHP tidak bisa diterapkan kepada IR. Sebaliknya, majelis hakim kasasi mengkritisi pertimbangan hukum majelis hakim PN Bangkinang. Majelis hakim menilai judex facti telah salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu terdakwa IR melakukan perkawinan dengan H tanggal 8 April 2011 padahal secara hukum IR masih terikat perkawinan yang sah dengan SM. Perkawinan antara IR dan H, meskipun tidak dicatat, juga telah sah secara agama karena telah memenuhi rukun perkawinan dalam hukum agama Islam (Putusan Nomor 937 K/Pid/2013: 10). Menyitir pertimbangan majelis kasasi, pertimbangan hukum dari majelis hakim PN Bangkinang mengandung adanya kekaburan dalam memosisikan keabsahan perkawinan dan legalitas perkawinan. Perkawinan antara IR dengan H memang tidak dicatat. Perkawinan tersebut tetaplah sebuah perkawinan yang sah secara agama dan hukum negara. Sesuai fakta yang terbuka selama persidangan, perkawinan yang dilakukan IR dengan H telah melibatkan adanya wali nikah dan dua orang saksi,
sehingga telah memenuhi ketentuan prosedur perkawinan sesuai dengan hukum Islam serta memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perkawinan. Kesesuaian dengan Pasal 2 ayat (1) membuktikan bahwa sangatlah tidak benar apabila hakim mengatakan bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. Dasar keabsahan perkawinan adalah Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Persyaratan yang tidak dipenuhi dalam perkawinan antara IR dengan H hanyalah menyangkut pencatatan. Dalam hal ini, memang benar pendapat majelis hakim PN Bangkinang yang menyatakan bahwa perkawinan antara H dengan IR tidak dicatat, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Permasalahan yang timbul di sini hanyalah perkawinan tersebut tidak memenuhi kewajiban tertib administrasi. Kondisi demikian bukan berarti perkawinan tersebut tidak sah. Pencatatan perkawinan hanya sebagai kewajiban administrasi, yang tidak bisa membatalkan atau tidak mengesahkan perkawinan (Zuhri, 2013: 16). Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menunjukkan hukum negara justru menggunakan prosedur dari hukum agama untuk menetapkan keabsahan perkawinan. Tidak ada ceritanya mempelai yang telah menikah secara agama tetapi belum dicatatkan, pasangan tersebut bisa dituduh melakukan perzinaan. Sama seperti pasangan yang pernikahannya telah dicatat, persetubuhan antara pasangan tersebut juga telah halal secara agama dan tidak bisa dikenakan delik perzinaan baginya. Pernikahan antara IR dengan H sebenarnya sudahlah merupakan perkawinan
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 293
| 293
1/6/2017 11:30:21 AM
yang sah secara agama maupun negara. Hanya saja pernikahan tersebut tidak dicatat dan tidak mengikuti kewajiban tertib hukum. Di sinilah titik simpul terjadinya perbedaan amar dalam putusan PN Bangkinang dan putusan kasasi. Karena mengatakan perkawinan antara IR dengan H hanya sah secara agama dan tidak sah secara hukum, maka majelis hakim PN Bangkinang menilai pernikahan itu tidak termasuk kepada perkawinan terlarang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.
positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum (Wignjosoebroto, 2002: 96). Dalam perspektif positivisme hukum, ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja. Gagasan ini sangat dualistis dengan memisahkan antara realitas ideal (idealisme metafisis: moral-agama) dan realitas material (hukum positif-command of sovereign atau command of law-giver).
Menurut majelis hakim PN Bangkinang, perbuatan terdakwa IR bukan merupakan tindak pidana melanggar Pasal 279 ayat (1) KUHP. Sebaliknya, karena mengatakan perkawinan antara IR dengan H telah sah secara agama dan hukum negara, maka majelis kasasi menilai bahwa IR melakukan perkawinan terlarang; sebuah perkawinan yang pelaksanaannya atas dasar kesadaran bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk melakukan perkawinan kembali tersebut (Pasal 279 ayat (1) KUHP). Ketentuan tersebut mengatur bahwa faktor yang menjadi penghalang adalah keadaan perkawinan sebelumnya yang masih absah.
Dengan kecenderungan positivisme hukum, majelis hakim PN Bangkinang melakukan pembedaan antara keabsahan perkawinan dalam perspektif hukum agama dan keabsahan dalam perspektif hukum negara. Perkawinan antara IR dan H meskipun telah memiliki keabsahan secara agama, tetapi perkawinan tersebut belum dianggap memiliki keabsahan secara hukum negara. Oleh sebab itu, perkawinan tersebut dianggap tidak bisa dipidana dengan KUHP. Penggunaan dualisme atau pemisahan antara unsur hukum negara dengan unsur normatif non-hukum negara (seperti aspek agama) sangat kental dan memang selalu dilakukan oleh aliran positivisme. Hakim menganggap bahwa keabsahan agama tidak bisa menjadi keabsahan hukum negara karena agama, meminjam istilahnya Wignjosoebroto (2002: 96), “bukan terbilang hukum.”
B.
Metode Penafsiran Hukum
Pertimbangan hukum majelis hakim PN Bangkinang seperti di atas tidak lepas dari kecenderungan pendekatan terhadap hukum yang dipilih, yakni memilih positivisme hukum. Pandangan ini mengarahkan bahwa hukum (dalam pengertian hukum negara) harus dibersihkan dari unsur non-hukum. Di sini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami
294 |
Jurnal isi.indd 294
Kecenderungan positivisme hukum tersebut selanjutnya mempengaruhi model penafsiran hukum yang dipilih, yakni model subsumptif. Dalam hal ini, majelis hakim PN Bangkinang hanya sekedar mencocokkan apa bunyinya undang-undang dengan realitas yang terjadi. Di sini, bunyi Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan adalah bahwa perkawinan harus tercatat. Ditinjau dari metode penafsiran subsumptif, majelis hakim PN Bangkinang Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
membangun penafsiran bahwa perkawinan antara IR dengan H –yang walaupun memenuhi unsur “halangan yang sah untuk melakukan perkawinan kembali”– tidak dianggap sah karena perkawinan tersebut tidak dicatat berdasarkan UndangUndang Perkawinan terutama Pasal 2 ayat (2) (Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn: 14 alinea ke-2). Oleh sebab itu, majelis hakim PN Bangkinang menyimpulkan bahwa meskipun terdakwa IR telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana dalam dakwa melanggar Pasal 279 KUHP, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag van recht vervolging) (Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn: 15 alinea ke4). IR terbebas dari hukuman karena pelanggaran poligami yang dilakukannya (IR) dengan H tersebut tidak melalui proses perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan (dicatatkan di KUA).
ada kesengajaan mereduksi keutuhan realitas hukum, baik yang terkait dengan pendekatannya (keutuhan akal-kalbu), ruang lingkupnya (keutuhan jasmani-rohani), objek kajiannya (keutuhan manusia-alam maupun keutuhan manusia-Tuhan). Dalam penjelasannya lebih lanjut, Sudjito menilai bahwa chaos model ini menjadikan hukum dalam keutuhannya sebagai tatanan kehidupan (order) direduksi menjadi konsep hukum yang sempit dan berkiblat untuk kepentingan yang sempit pula. Sudjito mencontohkan ketika hukum diidentikkan sebagai hukum positif saja, ataupun ketika hukum dikonsepkan sebagai aparat penegak hukum saja, dan sebagainya. Kemungkinan pereduksian hukum seperti itu hanya bisa diselesaikan manakala hukum harus diimbangi dengan kalbu dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient - EQ), serta kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient - SQ) (Sudjito, 2006: 165-166). Penjelasan Sudjito mengenai chaos kategori pertama ini sangat menarik. Chaos yang seperti ini justru menunjukkan bahwa Sudjito mengkritik keberadaan positivisme hukum itu sendiri sebagai chaos yang negatif. Kecenderungan positivisme hukum yang menolak entitas moral dan agama sebagai bagian dari hukum menunjukkan pandangan yang justru menciptakan chaos kekacauan dalam pengertian negatif. Pandangan Sudjito ini menawarkan keutuhan realitas hukum, yakni hukum positif harus bersama moral dan agama.
Sebaliknya, putusan kasasi menunjukkan majelis kasasi mempunyai pendekatan dan metode penafsiran yang berbeda. Menurut penulis, pendekatan hukum yang dipakai majelis kasasi mempunyai relevansi hubungan dengan keberadaan chaos theory of law. Sebelum menganalisis relevansi hubungan tersebut, terlebih dahulu penulis perlu memperjelas lebih lanjut mengenai keberadaan chaos theory of law. Seperti pembahasan di atas, bahwa teori tersebut dikembangkan oleh Sampford. Untuk penjelasannya lebih lanjut, Sudjito mengembangkannya menjadi dua kategori, yakni Kategori kedua adalah chaos konstruktif destruktif dan konstruktif (Sudjito, 2006: 165(the positive chaos), yaitu chaos yang berada 166). pada track (jalur) menuju ke arah keutuhan sistem Kategori pertama adalah chaos destruktif hukum yang religius transendental, yaitu sistem (the negative chaos), yaitu chaos yang menjurus hukum yang menempatkan keutuhan antara akalkepada kesesatan, kehancuran, dan kesengsaraan. kalbu, jasmani-rohani, manusia-alam, manusiaKemunculan chaos model ini dikarenakan Tuhan (Sudjito, 2006: 166). Penggunaan chaos Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 295
| 295
1/6/2017 11:30:21 AM
theory of law dimaksudkan dalam konteks kategori chaos kedua ini. Dalam hal ini, majelis kasasi tidak membedakan keabsahan perkawinan antara hukum agama dan hukum negara. Majelis kasasi tidak mempermasalahkan tidak terpenuhinya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dalam perkawinan terdakwa IR dengan H. Sebaliknya, majelis kasasi sudah cukup mengapresiasi kepada sudah terpenuhinya Pasal 2 ayat (1) dalam perkawinan IR dengan H. Majelis kasasi menyatakan bahwa perkawinan IR kepada H telah dilaksanakan dengan adanya wali nikah bersama dua orang saksi nikah dan telah memenuhi ketentuan prosedur perkawinan sesuai dengan hukum agama Islam serta memenuhi ketentuan UndangUndang Perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan kembali yang dilakukan terdakwa IR adalah sah secara agama. Kesimpulan tentang keabsahan yang dibangun hakim tersebut menunjukkan sekaligus hakim tidak mempermasalahkan mengenai keabsahan secara hukum negara. Selanjutnya, metode penafsiran yang digunakan majelis kasasi mempunyai relevansi dengan metode dekonstruksi. Menurut Susanto, dekonstruksi sebagai metode penafsiran hukum adalah strategi untuk membantu melihat makna yang tersembunyi. Salah satu tahapan yang ditempuh adalah melakukan intertekstualitas makna (menemukan makna tidak terkatakan) (Susanto, 2010: 273). Salah satu strategi penemuan makna tidak terkatakan ini adalah melakukan interpretasi suatu teks dengan bantuan teks lain. Intertekstualitas dalam teks hukum menjelaskan saling ketergantungan satu produk hukum positif dengan produk hukum positif lain maupun di luar hukum positif. Peraturan hukum positif sebagai salah satu entitas teks bukanlah sebuah fenomena 296 |
Jurnal isi.indd 296
yang berdiri sendiri dan bersifat otonom, dalam pengertian teks tersebut eksis berdasarkan relasirelasi atau kriteria-kriteria yang internal pada dirinya sendiri maupun kriteria eksternal. Tentang hal ini Susanto menjelaskan bahwa di dalam ruang teks tersebut, terdapat beraneka ragam ungkapan-ungkapan yang diambil dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain (Susanto, 2010: 202). Interelasi teks pada dasarnya merupakan konsep dari bagaimana teks dapat memamah-biak. Namun interelasi ini tidak pernah mengurangi keorisinilan, tetapi sebaliknya memacu kreativitas untuk melahirkan keorisinilan. Artinya, interelasi dalam teks hukum pada dasarnya tidak berusaha untuk melemahkan hukum itu sendiri, tetapi sebaliknya memacu agar penerapan hukum melahirkan keadaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam kasus ini, strategi intertekstualitas dalam teks hukum yang sangat jelas dibutuhkan oleh majelis kasasi adalah ketika butuh untuk mengoperasionalkan Pasal 279 ayat (1) KUHP. Ternyata faktor utama yang dipergunakan hakim untuk mengkriminalisasi IR, selain karena masih adanya perkawinan sebelumnya (antara IR dengan SM) sebagai penghalang perkawinan selanjutnya (antara IR dengan H), adalah tidak adanya izin dari SM (istri pertama IR) kepada IR untuk menikah kembali (Putusan Nomor 937 K/ Pid/2013: 11-12). Pada posisi ini, hakim tidak hanya mengambil kandungan pelanggaran dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada bisa menjadi penghalang perkawinan setelahnya), tetapi juga terinspirasi makna yang tidak terkatakan atau di luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:21 AM
yang ada). Dengan demikian, sebenarnya hakim bisa saja menegaskan bahwa pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) yang dilakukan IR sebenarnya adalah bentuk pelanggaran poligami (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin dari istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah lagi dengan H. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan: “seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.”
yang diterapkan oleh pengadilan agama adalah adanya izin tertulis dari istri lama. Jadi sama saja, melanggar Pasal 3 ayat (2) berarti sama dengan melanggar Pasal 5.
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, telah dengan jelas terbukti bahwa perkawinan terlarang antara IR dan H bisa dikatakan sebagai perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat (pelanggaran poligami). Perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan persyararan poligami sebagaimana diatur dalam UndangUndang Perkawinan sehingga masuk perkawinan Perkawinan IR dengan H masuk kategori terlarang dalam Pasal 9. Perkawinan terlarang perkawinan terlarang sebagaimana diatur dalam model seperti ini juga bisa dikategorikan sebagai Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan tersebut perkawinan terlarang sebagaimana diancam karena IR tidak bisa memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 279 KUHP. Pasal 4. Hal ini dibuktikan dengan pengungkapan Perbuatan terdakwa tersebut telah oleh jaksa di muka persidangan yang sekaligus dilakukan dengan sengaja, yaitu terdakwa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memang menghendaki untuk melakukan memidana IR, bahwa tidak ada izin dari SM perkawinan kembali, walaupun terdakwa secara sebagai istri pertama kepada IR untuk menikah pasti mengetahui perkawinannya yang ada dengan H dan sekaligus begitu juga IR tidak dengan SM dan masih berstatus absah menjadi meminta izin kepada SM untuk menikah dengan halangan baginya untuk melakukan perkawinan H. Walaupun keharusan suami mendapat izin dari tersebut. Perkawinan kembali seharusnya atas istri pertama untuk melakukan poligami diatur sepengetahuan dan seizin SM. Dengan demikian, dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, perbuatan IR melakukan perkawinan kembali yang sementara Pasal 5 tidak terkatakan dalam tersebut telah memenuhi pengertian dari sifat Pasal 9, pelanggaran yang dilakukan H tetap melawan hukum formil perbuatan tersebut, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap serta perbuatan terdakwa bertentangan dengan Pasal 9. kepatutan dalam pergaulan masyarakat. Sebenarnya ketentuan persyaratan Metode penafsiran dekonstruksi bisa poligami Pasal 5 telah secara otomatis diwakili digunakan untuk menjustifikasi hubungan ketentuan Pasal 3 ayat (2) (sebagai ketentuan antara pemidanaan atas pelanggaran poligami yang terkatakan atau tercatat dalam Pasal 9). (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan) dengan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan pemidanaan pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat mengatur tentang keharusan pelaku poligami (1) KUHP). Dengan langkah intertertekstualitas untuk mendapatkan keputusan izin berpoligami dalam hukum sebagai pelaksanaan metode dari pengadilan agama. Sementara, salah satu penafsiran dekonstruksi, operasionalisasi Pasal persyaratan untuk mendapatkan izin poligami Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 297
| 297
1/6/2017 11:30:22 AM
279 ayat (1) KUHP mendapati konkretisasi salah satu bentuk pernikahan terlarang yang bisa dipidana berupa pelanggaran poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UndangUndang Perkawinan (yang tidak terkatakan atau belum diatur KUHP). Begitu juga, langkah intertekstualitas dalam hukum berguna untuk membantu penegasan adanya sarana kriminalisasi yang legal (yang tidak terkatakan atau belum diatur Undang-Undang Perkawinan) untuk memidana pelaku pelanggaran poligami yang tidak mengikuti ketentuan Pasal 9 dengan atas nama delik perkawinan terlarang (yang sudah terkatakan atau diatur Pasal 279 ayat (1) KUHP). Pilihan atas metode penafsiran hukum merupakan elemen yang sangat penting dalam konteks membicarakan hubungan pemidanaan atas pelanggaran poligami dengan pidana nikah terlarang. Kebijakan izin poligami harus benarbenar ditaati para pelaku poligami. Pelaksanaan poligami tanpa mengupayakan perolehan izin dari istri dan penetapan izin dari pengadilan agama sudah selayaknya dianggap sebagai poligami yang tidak memenuhi syarat. Konsekuensinya, praktik poligami seperti itu tidak hanya mendapatkan pembatalan tetapi juga sudah seharusnya mendapatkan sanksi hukuman yang tegas. Karena Undang-Undang Perkawinan belum menyediakan secara tegas hukuman atas pelaku pelanggaran poligami, sudah sepatutnya pelakunya dijerat dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana berupa pernikahan terlarang. Pengenaan dakwaan demikian sudah tepat diterapkan kepada pelaku yang berniat melakukan pelanggaran poligami. Berdasarkan penelitian Nurmila & Bennet (2014: 71), praktik poligami yang sesungguhnya ilegal tersebut ditempuh karena sebenarnya pelaku tidak bisa memenuhi persyaratan mendapatkan izin dari istri pertama 298 |
Jurnal isi.indd 298
atau ketika pelaku tidak bisa membuktikan kemampuan berlaku adil bagi semua istrinya. Pengenaan dakwaan juga sudah sepantasnya dilakukan meskipun terhadap orang yang telah menalak istrinya secara agama, tetapi belum membawa talak tersebut ke pengadilan agama. Mereka yang hanya menalak secara agama, tetapi belum membawa talak tersebut ke pengadilan, hubungan mereka dengan istrinya masihlah bisa dikatakan sebagai suami istri yang sah sesuai Pasal 38-39 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 113-115 KHI. Khusus kepada pertimbangan hukum dalam putusan kasasi tersebut, dakwaan melakukan pernikahan terlarang tidak saja patut dialamatkan kepada IR karena tidak memenuhi persyaratan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5; serta Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59; tetapi juga karena tidak memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang berlaku bagi diri pelaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai abdi negara yang berprofesi PNS, IR memiliki tanggung jawab memenuhi persyaratan poligami lebih berat dibandingkan dengan warga negara pada umumnya. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pertimbangan hukum yang dipakai oleh majelis kasasi dalam memidanakan IR sebenarnya hanyalah pertimbangan pelanggaran hukum dalam kacamata IR sebagai warga negara biasa. Majelis kasasi belum menggunakan kacamata persyaratan poligami bagi PNS, karena memang majelis kasasi memfokuskan dakwaan kepada IR dalam konteks praktik pernikahan yang terlarang. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:22 AM
IV. KESIMPULAN
sesuai dengan hukum Islam serta memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
1. Pertimbangan hukum majelis hakim PN Bangkinang dalam Putusan Nomor 341/Pid.B/2012/PN.Bkn menjadikan Kesesuaian dengan Pasal 2 ayat (1) Undangpelaksanaan perkawinan yang secara Undang Perkawinan membuktikan bahwa siri (tidak tercatat) antara IR dengan H sangatlah tidak benar bahwa perkawinan sebagai faktor untuk membebaskan IR dari tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan dakwaan Pasal 279 ayat (1) KUHP. Majelis Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan hakim menganggap perkawinan tersebut tersebut telah dilaksanakan dengan sesuai tidak sah karena perkawinan tersebut Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa tidak dicatat berdasarkan Undang-Undang perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan Perkawinan terutama Pasal 2 ayat (2). Oleh menurut agama dan kepercayaannya sebab itu, majelis hakim menyimpulkan masing-masing. Dengan begitu, IR pantas bahwa meskipun terdakwa IR telah terbukti dijerat dengan Pasal 279 ayat (1) KUHP. melakukan perbuatan yang didakwakan 2. Metode penafsiran hukum majelis hakim kepadanya sebagaimana dalam dakwaan PN Bangkinang berakar pada positivisme melanggar Pasal 279 KUHP (menikah lagi hukum, sehingga hakim memisahkan sedang pada saat bersamaan pernikahan hukum negara dari unsur non-hukum yang ada menjadi penghalang), akan tetapi seperti agama. Kecenderungan tersebut perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak memengaruhi pilihan metode penafsiran, pidana (onslag van recht vervolging) karena yakni subsumptif. Dalam hal ini, majelis perkawinan kembali terdakwa IR dengan H hakim PN Bangkinang hanya sekedar tersebut bukanlah sesuai dengan Undangmencocokkan apa bunyinya undang-undang Undang Perkawinan. dengan realitas yang terjadi. Sementara, Sebaliknya, pertimbangan hukum majelis bunyi undang-undang yang dipilih kasasi dalam Putusan Nomor 937 K/ adalah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pid/2013 menyatakan bahwa perkawinan Perkawinan. Dengan metode subsumptif, tersebut tetap sah meskipun tidak dicatat. ketika perkawinan antara IR dan H tidak Perkawinan tersebut telah sah secara agama tercatat dan walaupun telah dilaksanakan karena telah memenuhi rukun perkawinan sesuai ajaran agama, maka hakim menilai dalam hukum agama Islam. Majelis kasasi perkawinan tersebut adalah tidak sah karena menilai judex facti telah salah menerapkan tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2). hukum, karena tidak mempertimbangkan Dengan demikian, IR juga tidak bisa dengan benar hal-hal yang relevan secara dipidana atas nama tindak pidana pernikahan yuridis. Sesuai fakta yang terbuka selama terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP), lebih-lebih persidangan, perkawinan yang dilakukan atas nama pelanggaran poligami (Pasal 9 UndangIR dengan H telah melibatkan adanya wali Undang Perkawinan). Sebaliknya, metode nikah dan dua orang saksi, sehingga telah penafsiran hukum pada Putusan Nomor 937 K/ memenuhi ketentuan prosedur perkawinan Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 299
| 299
1/6/2017 11:30:22 AM
DAFTAR ACUAN Pid/2013 bisa dikatakan berangkat dari chaos theory of law dalam pengertian konstruktif, yakni Afrianty, D. (2015). Women and sharia law in menggabungkan hukum dengan entitas agama. northern Indonesia: Local women’s NGOs and Walaupun tidak tercatat atau tidak memenuhi the reform of Islamic Law in Aceh. New York: Pasal 2 ayat (2), majelis kasasi tetap menilai Routledge. perkawinan antara IR dan H adalah sah karena telah dilaksanakan sesuai hukum agama sehingga Al-Jaziri, A. (2003). Al-fiqhu ‘ala mazhahib alarba’ah. Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub almemenuhi Pasal 2 ayat (1). ‘Ilmiyyah.
Metode penafsiran hukum sebagai pelajaran dari Putusan Nomor 937 K/Pid/2013 adalah metode dekonstruksi dalam pengertian melakukan intertekstualitas dalam teks hukum (mencari dan menemukan makna tidak terkatakan). Kegunaan intertekstualitas terlihat ketika hakim membangun argumentasi dakwaan kepada IR. Hakim tidak hanya mengambil kandungan pelanggaran dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP (perkawinan yang telah ada bisa menjadi penghalang perkawinan setelahnya), tetapi juga terinspirasi makna yang tidak terkatakan atau dari luar KUHP (suami tidak boleh menikah lagi tanpa adanya izin dari istri yang ada). Di sinilah, sudah sepantasnya hakim menegaskan bahwa pernikahan terlarang (Pasal 279 ayat (1) KUHP) yang dilakukan IR sebenarnya adalah bentuk pelanggaran poligami (Pasal 9 UndangUndang Perkawinan) yang dibuktikan dengan ketiadaan izin dari istri pertama (SM) bagi IR untuk menikah lagi dengan H. Langkah intertekstualitas tersebut juga sebenarnya diperlukan untuk mempertegas posisi pelanggaran poligami bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dalam konkretisasi delik pernikahan terlarang (tidak terkatakan dalam KUHP), sekaligus mengkampanyekan sarana yang legal untuk mengkriminalisasi pelanggaran poligami (tidak terkatakan dalam UndangUndang Perkawinan) atas nama delik pernikahan terlarang. 300 |
Jurnal isi.indd 300
Anshori, A.G. (2011). Hukum perkawinan Islam perspektif fikih dan hukum positif. Yogyakarta: UII Press. Dirdjosisworo, S. (2008). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hartoko, D., & Rahmanto, B. (1986). Pemandu di dunia sastra. Yogyakarta: Kanisius. Lukito, R. (2013). Legal pluralism in Indonesia: Bridging
the
unbridgable.
New
York:
Routledge. Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum. Jakarta: Prenadamedia Group. Mughniyah, M.J. (2015). Fiqih lima mazhab: Ja‘fari, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hambali (Gold Edition). Jakarta: Penerbit Lentera. Nurmila, N., & Bennet, L.R. (2014). ‘The sexual politics of poligamy in Indonesian marriages’ dalam Bennet, L.R., & Davies, S.G. (Ed). Sex and sexualitues in contemporary Indonesia: Sexual politics, health. New York: Routledge. Rofiq, A. (2013). Hukum perdata Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sampford, C. (1989). The disorder of law, a critique of legal theory. UK: Blackwell. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 281 - 301
1/6/2017 11:30:22 AM
Sudjito. (2006, Juni). Chaos theory of law: Penjelasan atas keteraturan dan ketidakteraturan dalam hukum. Mimbar Hukum.18(2), 159-292. Susanto, A.F. (2010). Ilmu hukum non sistematik; Fondasi filsafat pengembangan ilmu hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum, paradigma, metode, dan dinamika masalahnya. Jakarta: Elsam & Huma. Witgens, L.J. (2012). Legisprudence; Practical reason in legislation. England: Ashgate Publishing Limited. Zuhri, S. (2013). Sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan kumpul kebo. Semarang: Bima Sejati.
Penafsiran Hukum Dekonstruksi untuk Pelanggaran Poligami (Faiq Tobroni)
Jurnal isi.indd 301
| 301
1/6/2017 11:30:22 AM
Jurnal isi.indd 302
1/6/2017 11:30:22 AM
PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 DAN 18 UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 1283 K/PID.SUS/2013
PROBLEMATICS IN THE APPLICATION OF ARTICLE 2 AND 18 OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION An Analysis of Court Decision Number 1283 K/Pid.Sus/2013 Maman Budiman Fakultas Hukum Universitas Pasundan Jl. Lengkong Besar Nomor 68, Bandung 40261 E-mail:
[email protected] /
[email protected] Naskah diterima: 7 Agustus 2015; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Problematika penerapan pasal dalam Putusan Nomor 54/ Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Nomor 11/Tipikor/2013/ PT.BDG, jo. Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan. Dalam ketiga putusan tersebut terdapat persoalan yang menarik untuk dikaji, terutama majelis kasasi yang mengubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan dan pengembalian kerugian negara. Analisis ini mengkaji tentang penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Analisis ini mengulas tentang mengapa hakim tingkat kasasi menjatuhkan putusan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan apakah penerapan Pasal 18 sudah tepat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa dalam pertimbangannya, judex juris pada perkara tingkat kasasi telah keliru dalam membuktikan unsur melawan hukum sebagaimana tertera pada Pasal 2 ayat (1), sebab
pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi juga telah keliru dalam penerapan Pasal 18 terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara. Kata kunci: judex juris, unsur melawan hukum, korupsi. ABSTRACT The problematic in the application of articles in the Decision Number 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Number 11/Tipikor/2013/PT.BDG, jo. Number 1283 K/ Pid.Sus/2013 has made an opening sense of injustice. There are issues interesting to discuss the three decisions, especially those related to the panel of judges in the Court of Final Appeal who made changes to the articles, ie, from Article 3 jo. Article 18 to Article 2 jo. Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, which has implication in the period of criminal prosecution and indemnification of state. This analysis considers the application of Article 2 and Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, as amended by Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication. The problems are why the judge of final appeal court in making a decision to apply
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 303
| 303
1/6/2017 11:30:22 AM
Article 2 of Law Number 31 of 1999, and whether the application of Article 18 is appropriate. The method used is normative legal research to review and examine the legislation, the decision of courts of first instance, the appellate and cassation. The analysis finds that at the level of cassation, judex juris in its consideration had erred in proving the elements of tort as indicated on
Article 2 Paragraph (1). This is due to the inclusion of elements of torts on the aforementioned article requires proof of elements of torts in procedural and substantive law. Judex juris in the case of cassation also had erred in the application of Article 18 of primarily regarding the amount of indemnities of state losses.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
masyarakat menaruh kepercayaan tinggi terhadap peradilan di Indonesia, termasuk hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi. Hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi harus profesional, bersih, jujur, dan berani ketika mengadili perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut dibutuhkan karena terdakwa tindak pidana korupsi tidak jarang orang yang berpengaruh, baik itu pejabat birokrat, pejabat partai politik, pengusaha ataupun pejabat penegak hukum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, mengatur mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
Keywords: judex juris, elements of tort, corruption.
guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian peradilan adalah bebas dari segala bentuk intervensi. Hal tersebut agar kekuasaan kehakiman dapat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan Hakim yang memutus perkara tindak pidana berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 korupsi baik itu tingkat pertama, banding maupun (Sutatiek, 2013: 1). tingkat kasasi harus mencerminkan keadilan yang Kekuasaan kehakiman yang di dalamnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agar ada keputusan pengadilan mengandung norma tercipta keadilan, baik bagi negara yang diwakili individual yang dibuat berdasarkan undang- oleh jaksa penuntut umum maupun bagi terdakwa undang atau kebiasaan. Cara yang sama halnya dan keluarganya. Sebagai contoh ada putusan dengan norma umum tersebut dibuat berdasarkan yang dibuat oleh hakim, yang menerapkan pasal konstitusi. Pembuatan norma hukum individual yang berbeda terhadap terdakwa tipikor sehingga oleh organ pelaksana hukum, khususnya menimbulkan ketidakadilan khususnya bagi pengadilan, harus selalu ditentukan oleh satu terdakwa dan keluarganya. Meskipun hakim atau lebih norma umum yang ada terlebih dahulu, boleh berbeda pandangan dalam memutus suatu normalnya pengadilan terkait oleh norma umum perkara, akan tetapi tetap harus berlandaskan yang menentukan prosedur sebagaimana pula isi kepada pertimbangan-pertimbangan hukum yang dari keputusannya (Asshiddiqie & Safa’at, 2012: rasional dengan melihat fakta-fakta yang telah terungkap dalam proses persidangan terutama 116.) persidangan tingkat pertama. Dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, Putusan yang menimpa terpidana HS telah pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan harus dijaga independensinya, agar disidangkan dan diputus bersalah oleh hakim 304 |
Jurnal isi.indd 304
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi. Adapun gambaran duduk perkaranya adalah bahwa terdakwa HS dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara telah meminjamkan bendera perusahaan PT HD kepada saudara AR. AR menandatangani dokumen seakan-akan dokumen tersebut ditandatangani oleh HS selaku direktur PT HD. Dokumen-dokumen yang dibuat sedemikian rupa oleh AR di antaranya surat penawaran dari PT HD Nomor 012/HD/IX/2010 tertanggal 23 September 2010 senilai Rp.1.347.500.000,- (satu milyar tiga ratus empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Bahwa atas dasar usulan penetapan pemenang penyedia barang dan jasa dari panitia pengadaan, kemudian AS selaku pejabat pembuat komitmen menetapkan penyedia barang/jasa yaitu PT HD sebagai pemenang dan PT CMI sebagai pemenang cadangan. Selanjutnya saudara AR menandatangani sendiri surat perjanjian pengadaan barang (kontrak) dengan Nomor in.14/sppb-Emis/21/2010 tanggal 18 Oktober 2010 tentang pekerjaan pengadaan alat-alat komunikasi dan teknologi informasi, pengadaan software aplikasi EMIS, dan sarana pendukung lainnya, seakan-akan ditandatangani oleh HS selaku direktur PT HD dengan nilai kontrak Rp.1.347.500.000,- (satu milyar tiga ratus empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) yang mana pekerjaannya selama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal 18 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010. Berdasarkan proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, HS dinyatakan bersalah oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg dengan penjatuhan putusan selama satu tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama dua bulan. Pada tingkat banding dijatuhi putusan selama dua tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan, sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 11/TIPIKOR/2013/PT.BDG, sedangkan di tingkat kasasi dijatuhi putusan selama lima tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan serta diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013. Ketiga putusan itu terdapat perbedaan yang menarik untuk dikaji terutama majelis kasasi yang merubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tentunya berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan. Karena kalau dalam Pasal 3 menyebutkan adanya ancaman orang yang melakukan perbuatan korupsi dihukum minimal satu tahun, sedangkan dalam Pasal 2 menyebutkan adanya ancaman yang melakukan
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 305
| 305
1/6/2017 11:30:22 AM
perbuatan korupsi dihukum minimal empat tahun. Selain lamanya pemindanaan yang menarik lagi dalam ketiga putusan tersebut adalah mengenai pengembalian kerugian negara yang harus dilakukan oleh terdakwa HS, di mana jumlah kerugiaannya tidak sama antara putusan tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi. Dengan melihat latar belakang dan duduk perkara tersebut di atas, tulisan ini akan mengkaji mengenai penerapan Pasal 2 dan Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kajian terhadap Putusan Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013 tertanggal 30 Juli 2013.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, Putusan Nomor 11/Tipikor/2013/PT.Bdg, dan Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013. Penulisan ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, terutama hukum acara pidana serta filsafat hukum, memberikan masukan bagi para praktisi, akademisi, para penegak hukum dalam memahami disparitas penerapan Pasal 2 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. D.
B.
Studi Pustaka
Rumusan Masalah
Ciri-ciri negara hukum adalah: (a) Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan hukum dijadikan dasar bagi pemerintah dalam melakukan kajian analitis atas Putusan Nomor melaksanakan tugas dan kewajiban; (b) hak1283 K/Pid.Sus/2013, dengan rumusan masalah hak asasi manusia (warganya) dijamin oleh sebagai berikut: hukum; (c) ada pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara; (d) peradilan yang 1. Mengapa hakim tingkat kasasi dalam merdeka dan pengawasan badan-badan peradilan Perkara Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 (rechterlijke controle) oleh pihak yang berwenang menjatuhkan putusan menggunakan Pasal (Soemantri, 1984: 24.) 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Peradilan yang merdeka harus dilakukan tentang Pemberantasan Tindak Pidana oleh hakim ketika menjatuhkan putusan Korupsi? perkara pidana. Putusan yang baik yaitu adanya 2. Apakah penerapan Pasal 18 UndangUndang Tipikor dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 sudah tepat? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji disparitas atau perbedaan hakim ketika memutus perkara tindak pidana korupsi yang menggunakan Pasal 2 dan Pasal 18 Undang-Undang 306 |
Jurnal isi.indd 306
pertimbangan hukum yang mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan. Pada dasarnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum memberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hal yang didasarkan pada pengadilan. Atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang pengadilan yang bersifat pertimbangan menurut kenyataan. Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali yang menyatakan putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
perkara. Putusan hakim ini biasa disebut vonis Hakim dalam melaksanakan tugasnya yakni kesimpulan-kesimpuan terakhir mengenai harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau hukum dan akibat-akibatnya (Wantu, 2011: 108). berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu Putusan hakim harus didasarkan pada dalam Pasal 24 UUD NRI 1945, yang berbunyi: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan agar dapat dirasakan oleh semua yang terlibat yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam suatu proses persidangan. Menurut guna menegakkan hukum dan keadilan.” Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu Hal itu ditegaskan kembali dalam pengertian keputusan yang oleh hakim sebagai pejabat negara kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang meyelesaikan suatu perkara antara para pihak. bunyinya: “Kekuasaan negara yang merdeka Dalam perkara pidana putusan hakim harus untuk menyelenggarakan peradilan guna benar-benar berkeadilan yang dapat dirasakan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan oleh terdakwa dan keluarganya maupun bagi Pancasila, demi terselenggaranya Negara penuntut umum yang mewakili korban. Putusan Hukum Republik Indonesia.” Berdasarkan hal pemidanaan merupakan salah satu bentuk tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang putusan pengadilan negeri. Bentuk putusan lain diduga melanggar peraturan hukum pada proses misalnya putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) persidangan mempunyai kebebasan terutama KUHAP) dan putusan lepas dari segala tuntutan dalam menjatuhkan putusan. hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan Undang-undang memberikan syarat-syarat pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat yang berat untuk dapatnya hakim menjatuhkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 yaitu: ayat (1) KUHAP). Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga teori dan tujuan pemidanaan, yaitu: (1) Tujuan pembalasan (teori absolut), tujuan pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan; (2) Teori tujuan (teori relatif): a) untuk mencegah terjadinya kejahatan; b) untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak melakukan kejahatan; c) memperbaiki orang yang melakukan kejahatan; d) memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan (Muljatno, 2000: 56).
a. Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang. b. Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP. c.
Adanya keyakinan hakim.
d.
Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung jawab.
e. Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 307
| 307
1/6/2017 11:30:22 AM
Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas, yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, sebab ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil, dan sejahtera (Rifai, 2010: 102). Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah sematamata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, lembaga peradilan mulai dipersoalkan oleh masyarakat, oleh karena itu putusan hakim tidak lagi sematamata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat. Ungkapan yang sering didengar atas putusan 308 |
Jurnal isi.indd 308
tersebut seperti: “Kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlalu legalistik formal ataupun tidak menunjang program pemerintah.” Dalam hukum pidana ada dua jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu pertama putusan sela, dan yang kedua, putusan akhir (Rifai, 2010: 121.). Putusan sela adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim terhadap keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan dari jaksa penuntut umum yang diajukan oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya. Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim setelah memeriksa pokok perkara, yaitu berupa alat-alat bukti yang diajukan kedua belah pihak, dari pihak jaksa penuntut umum maupun pihak terdakwa. Ada beberapa putusan akhir di antaranya adalah: putusan bebas (vrijspraak), putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging), dan putusan pemidanaan. Putusan bebas (vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan tidak ditemukannya adanya buktibukti cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap korupsi. Pengayaan data yang dilakukan dengan terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala menggunakan pendekatan yuridis-dogmatis tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). yaitu dengan pendekatan konseptual, pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan Putusan pemidanaan adalah putusan yang perbandingan, dan pendekatan filosofis serta dibuat oleh hakim dalam hal terdakwa telah mengkaji pertimbangan hukum dalam ketiga terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah putusan. Beberapa pendekatan ini digunakan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud secara bersama-sama dalam rangka membahas dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap setiap permasalahan. terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Tulisan ini akan mengkaji III. HASIL DAN PEMBAHASAN putusan yang telah dibuat oleh hakim agung A. Kajian Putusan Kasasi Nomor 1283 K/ pada tingkat kasasi yang menjatuhkan putusan Pid.Sus/2013 mengenai penerapan Pasal pemidanaan kepada terdakwa HS sebagaimana 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam Perkara Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013. jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 II.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Dengan menginventarisasi, mengkaji, dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, pengertian-pengertian hokum. Metode penelitian ini digunakan dikarenakan adanya disparitas putusan pemidanaan yang dilihat dari Putusan Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, Putusan Nomor 11/Tipikor/2013/PT.Bdg, dan Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013.
Hakim agung dalam perkara tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa HS dengan menerapkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menurut penulis, majelis hakim agung tingkat kasasi tersebut telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013: 66-68).
Penelitian ini mengkaji bahan-bahan hukum secara sistematis untuk membahas permasalahan yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum dalam putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Alasan yang dipilih dikarenakan adanya disparitas atau perbedaan penerapan hukum dalam suatu perkara khususnya perkara tindak pidana
Judex juris pada intinya telah mempertimbangkan unsur “secara melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1). Pertimbangan tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata, karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 a quo yang merumuskan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 309
| 309
1/6/2017 11:30:22 AM
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam penjelasannya. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI 1945, telah menyatakan pada pokoknya bahwa: “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) frasa yang berbunyi ‘yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana’ bertentangan 310 |
Jurnal isi.indd 310
dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.” Fakta hukum yang telah terbukti mengenai unsur “perbuatan melawan hokum,” menurut penulis, judex facti telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang benar karena mengambil dari keterangan saksi-saksi, ahli, bukti surat maupun keterangan terdakwa yang terungkap di persidangan, bahwa perbuatan materiil terpidana yang teridentifikasi adalah telah meminjamkan bendera perusahaan PT HD kepada saksi AR. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, sekalipun apa yang dilakukan terpidana merupakan yang tidak bisa dibenarkan dan merupakan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh terpidana dalam kapasitasnya sebagai direktur PT HD, akan tetapi penulis tidak melihat dalam perbuatan terpidana ini adanya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai caracara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor. Dalam hal ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, menurut penulis tidak dapat dikategorikan telah melawan hukum karena melanggar Kepres bukan berarti melawan hukum seperti yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/ PUU-IV/2006, apalagi dalam Kepres tidak ada muatan ketentuan pidana sebagaimana produk legislasi. Kalau dicermati dengan cermat atas amar putusan judex juris tersebut, telah nampak bahwa judex juris tidak menerapkan dan/atau lalai tidak mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
Isi dari Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah surat putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini, mengakibatkan putusan batal demi hukum (Waluyo, 2004: 20). Juga menyatakan bahwa, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum kecuali huruf a, e, f, dan h Pasal 197 ayat (2) KUHAP, ini harus/wajib ada dalam suatu putusan. Tidak dimuatnya amar putusan yang menyatakan pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Pertimbangannya judex juris telah mempertimbangkan dan membuktikan kesalahan terpidana dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18, tetapi dalam amar putusannya judex juris yaitu: Menyatakan terdakwa HS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “BEBERAPA PERBUATAN KORUPSI YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA.” Dalam artian judex juris dalam amar putusannya tidak mencantumkan dan/atau menyatakan kesalahan diri terdakwa sebagaimana kualifikasi pasal yang telah dilanggar terpidana. Dengan tidak dicantumnya pasal yang telah dilanggar dan telah terbukti dilakukan oleh terpidana dalam suatu amar putusan, menyebabkan kegamangan bagi diri terpidana tentang kesalahan yang mana yang telah terbukti, serta pasal berapa yang diterapkan
dalam kesalahannya tersebut. Mengingat dalam perkara a quo, terpidana dihadapkan di persidangan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bandung, dengan dakwaan subsider oleh jaksa penuntut pmum sebagai berikut: 1.
Primer: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UndnagUndnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
2.
Subsider: Pasal 3 jo. Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
3. Lebih Subsider: Pasal 9 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Putusan judex facti (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Nomor 54/Pid.Sus/ TPK/2012/PN.Bdg dan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/TIPIKOR/2013/PT.Bdg), di mana masing-masing pengadilan tersebut telah dengan rinci dan jelas memuat persyaratan
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 311
| 311
1/6/2017 11:30:22 AM
pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana poin 3 197 ayat (1), khususnya Pasal 197 huruf h, yaitu: amar Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013, yang menyatakan: “Menghukum terdakwa membayar 1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,Bandung Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/ (seratus sembilan puluh enam juta sembilan PN.Bdg, memuat putusan: Menyatakan ratus lima puluh ribu rupiah), dengan ketentuan terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti jika terdakwa tidak membayar uang pengganti secara sah dan meyakinkan bersalah paling lama dalam waktu satu bulan sesudah melakukan tindak pidana “KORUPSI keputusan pengadilan memperoleh kekuatan SECARA BERSAMA” sebagaimana hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat dakwaan subsidair. disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi 2. Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/ uang pengganti tersebut, dan dalam hal terpidana TIPIKOR/2013/PT.Bdg, (vide: halaman tidak mempunyai harta benda yang mencukupi 54), memuat putusan: Menyatakan untuk membayar uang pengganti maka diganti terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti dengan pidana penjara selama dua tahun.” secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA” sebagaimana dakwaan subsidair. Dengan melihat alasan-alasan sebagaimana di atas, menurut penulis Putusan Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013, yang diputus pada tanggal 30 Juli 2013 telah melanggar persyaratan/ketentuan dalam memuat persyaratan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 huruf h, sehingga putusan tersebut batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP). B.
Kajian atas Putusan Kasasi Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Mengenai Penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Hakim tingkat kasasi telah keliru pula dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
312 |
Jurnal isi.indd 312
Penghukuman uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) kepada terdakwa adalah suatu kekeliruan judex juris, karena dalam perkara in casu, kerugian negara yang dipertimbangkan oleh judex juris adalah sebesar Rp.815.850.000,- (delapan ratus lima belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai dengan laporan hasil audit investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat Nomor LHAI-I0889/PW10/05/2011 tanggal 31 Desember 2011 (Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013: 64). Adapun di lain pihak majelis kasasi/judex juris dalam Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013 telah menjatuhkan pidana tambahan kepada AS (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.132.700.000,- (seratus tiga puluh dua juta tujuh ratus ribu rupiah), dan kepada AR (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.448.475.000,- (empat ratus empat puluh delapan juta empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
Selain penghukuman uang pengganti yang telah dijatuhkan kepada para terpidana (HS, AS, dan AR), judex juris dalam pertimbangannya, sebagaimana Putusan Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013, telah mengakui adanya uang maupun barang yang telah dititipkan terpidana HS dan AS kepada jaksa penuntut umum, dengan rincian sebagai berikut: a.
b.
c.
Dari perhitungan tersebut di atas maka total uang yang akan diterima oleh negara adalah Rp.992.375.000,- yaitu dari rincian sebagai berikut: a. Uang Pengganti Rp.132.700.000,-
dari
AS
sebesar
b. Uang Pengganti Rp.196.950.000,-
dari
HS
sebesar
dari
AR
sebesar
Titipan uang untuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp.25.000.000,- dari c. Uang Pengganti terdakwa AS kepada penuntut umum; Rp.448.475.000,Setoran uang sebesar Rp.17.500.000,- dari saudara N ke rekening atas nama Kejaksaan Tinggi Jawa Barat - Asisten Tindak Pidana Khusus Nomor Rekening 00000754-0100002-30-6 di BRI Unit Cihapit Bandung sebagaimana slip penyetoran tanggal 27 Desember 2012 dengan keterangan titipan pengembalian kerugian negara a.n. terdakwa AS;
d.
Jumlah penitipan uang dan barang sebesar Rp.214.250.000,-
e. Jumlah keseluruhan (a+b+c+d) adalah Rp.992.375.000,-
Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Ada pengembalian kerugian negara berupa tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi barang dari terdakwa AS dengan nilai total menyatakan: Rp.96.750.000,-
a. Selain pidana tambahan sebagaimana Titipan uang untuk pengembalian kerugian dimaksud dalam Kitab Undang-Undang negara sebesar Rp.75.000.000,- dari Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan. terdakwa HS kepada penuntut umum sebagaimana berita acara penitipan barang b. Pembayaran uang pengganti yang bukti tanggal 29 Juni 2012. jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari Jumlah penitipan uang dari HS ke penuntut tindak pidana korupsi. umum adalah sebesar Rp.75.000.000,- sedangkan penitipan uang dari terpidana AS kepada Berdasarkan pengertian kerugian negara penuntut umum dan penyerahan barang lAIN yang didefinisikan dalam Undang-Undang Syekh Nurjati Cirebon adalah Rp.139.250.000,- Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan (Rp.25.000.000,- ditambah Rp.17.500.000,- Negara, Pasal 1 ayat (22) dapat dikemukakan ditambah Rp.96.750.000,- ) sehingga jumlah unsur-unsur dari kerugian negara yaitu bahwa penitipan uang dan barang tersebut adalah kerugian negara merupakan berkurangnya Rp.214.250.000,keuangan negara berupa uang berharga, barang d.
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 313
| 313
1/6/2017 11:30:22 AM
milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang seharusnya (Yuntho et.al, 2014: 24-25). Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga pertimbangan judex juris tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Dikarenakan pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006. Perbuatan terpidana tidak dapat dikategorikan sebagai cara-cara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 karena dalam hal
Putusan judex juris dalam perkara ini sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti karena menyiratkan total jumlah kerugian negara yang berbeda yaitu sebesar Rp.992.375.000,- Maka apabila melihat unsur kerugian yang pasti, dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan kata lain alih-alih kerugian negara, putusan judex juris in casu justru akan menghasilkan pendapatan negara senilai Rp.177.375.000,Dengan memperhatikan pertimbangan di atas, maka apabila negara diuntungkan dengan adanya kelebihan pembayaran uang pengganti 2. tersebut sehingga menurut penulis unsur dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara sebagaimana yang telah dibuktikan dalam Pasal 2 undang-undang a quo menjadi hilang dan tidak terpenuhi. IV. KESIMPULAN Dari uraian dalam pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
314 |
Jurnal isi.indd 314
Judex juris dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2
ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi telah keliru dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara dikarenakan judex juris tidak cermat menghitung besaran kerugian negara sebesar Rp.196.950.000,(seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) yang sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti.
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 303 - 315
1/6/2017 11:30:22 AM
DAFTAR ACUAN Asshiddiqie, J., & Safa’at, A. (2012). Teori Hans Kelsen tentang hukum. Jakarta: Konpres. Muljatno. (2000). Asas-asas hukum pidana. Cet. Ketujuh. Jakarta: Rineka Cipta. Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim “Dalam perspektif hukum progresif.” Jakarta: Sinar Grafika. Soemantri, S. (1984). Perbandingan hukum tata negara. Bandung: Alumni. Sutatiek, S. (2013). Menyoal akuntabilitas moral hakim pidana dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Waluyo, B. (2004). Pidana dan pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Wantu, F. (2011). Idée des recht kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan (Implementasi dalam proses peradilan perdata). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yuntho, E. et.al. (2014). Penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam delik tindak pidana korupsi. Semarang: ICW-YLBHI Press.
Problematika Penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan (Maman Budiman)
Jurnal isi.indd 315
| 315
1/6/2017 11:30:22 AM
Jurnal isi.indd 316
1/6/2017 11:30:22 AM
PENJATUHAN PIDANA PENJARA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN Kajian Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014
CONDITIONAL IMPRISONMENT SENTENCING IN BANKING CRIMINAL CASE An Analysis of Court Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 Ramiyanto Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Jl. Sultan Muh. Mansyur Kb. Gede 32 Ilir, Palembang 30145 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 14 Mei 2016; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Di Indonesia, tindak pidana perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam undang-undang tersebut diatur secara tegas mengenai ancaman sanksi berupa pidana bagi pelanggarnya. Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengatur ancaman pidana untuk tindak pidana perbankan dengan sistem minimum khusus, yaitu paling singkat tiga tahun penjara dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana penjara bersyarat. Putusan tersebut membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang (judex facti) Nomor 437/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak). Majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 telah menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum, yaitu selama enam bulan penjara dengan sistem bersyarat. Menurut Pasal 14 ayat (1) KUHP, pidana bersyarat hanya dapat dilakukan apabila majelis hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Analisis putusan ini berfokus pada pokok pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 terkait penjatuhan pidana penjara bersyarat, dilihat dari ketentuan lamanya ancaman pidana. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif dan berkesimpulan bahwa penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam kasus tersebut dapat dibenarkan dengan alasan demi keadilan serta fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku dan keadaan yang melingkupinya. Kata kunci: penjatuhan pidana, pidana penjara bersyarat, tindak pidana perbankan. ABSTRACT Banking Crime in Indonesia is regulated in Law Number 10 of 1998 on the amendment to Law Number 7 of 1992 on Banking. The law expressly set the criminal sanctions for any violation. Article 49 paragraph (2) point b of Law Number 10 of 1998, has been stipulated criminal sanctions for banking crime at a special minimum system, which is imprisonment a minimum for three years and fine for at least five billion rupiahs. In Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 concerning banking crime, the panel of judges imposes unconditional imprisonment. Judex facti of the District Court of Tanjung Karang in the decision has overturned the Decision Number 437/Pid. Sus/2013 which is a judgment of acquittal (vrijspraak). The panel of judges in Decision Number 1554 K/Pid. Sus/2014 has dropped the sentence to six-month in prison term, which is placed under the minimum penalty of a criminal sentence. According to Article 14 paragraph (1) of the Criminal Code, conditional sentencing
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 317
| 317
1/6/2017 11:30:22 AM
can only be compelling if a panel of judges dropped a maximum imprisonment of one year. The analysis focuses on the consideration of the panel of judges in making the Decision Number 1554 K/Pid.Sus/2014 and sentencing conditional imprisonment in accordance to the criminal sanction and sentencing provisions. This analysis employs normative legal research methods and
I.
resolves that sentencing conditional imprisonment in this case is allowed for the sake of justice, as well as the facts, the balance between error level of the accused and the circumstances surrounding. Keywords: sentencing, sentence, banking crime.
conditional
imprisonment
PENDAHULUAN
yang disimpan di bank, sehingga merugikan kepentingan berbagai pihak, baik bank selaku A. Latar Belakang badan usaha maupun nasabah selaku penyimpan Perbankan merupakan lembaga keuangan dana, sistem perbankan, otoritas perbankan, yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana pemerintah, dan masyarakat (Kustini, 2012: 1). masyarakat. Perbankan sebagai lembaga keuangan Saat ini di Indonesia mengenai tindak pidana memiliki peranan strategis untuk menunjang perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor pelaksanaan pembangunan di Indonesia, dalam 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangrangka meningkatkan pemerataan pembangunan Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan Dalam undang-undang tersebut diatur secara stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf tegas mengenai ancaman sanksi berupa pidana hidup rakyat banyak. Oleh karena itu, lembaga bagi pelanggarnya. Walaupun telah diatur secara perbankan memiliki peranan penting sebagai tegas, namun di dalam praktik penjatuhan pidana penunjang dalam upaya peningkatan taraf hidup oleh majelis hakim di sidang pengadilan masih rakyat Indonesia kepada keadaan yang lebih baik. timbul permasalahan. Permasalahan itu timbul Hal ini berarti baik atau tidaknya keadaan rakyat ketika majelis hakim dalam Putusan Nomor 1554 Indonesia dalam kehidupannya juga ditentukan K/Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana penjara oleh lembaga perbankan. bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan Perkembangan dalam industri perbankan dengan terdakwa FVB dan FS. dan teknologi informasi, selain berdampak positif dapat juga menimbulkan dampak negatif berupa semakin beragamnya tindak pidana perbankan. Bank sering dijadikan sebagai sarana dan/atau sasaran untuk memperkaya diri sendiri, keluarga atau kelompok tertentu secara melawan hukum yang dapat dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan/atau pemegang saham baik dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Tindak pidana perbankan melibatkan dana masyarakat
318 |
Jurnal isi.indd 318
Terdakwa (FVB dan FS) diperiksa karena selaku pejabat/petugas di PT BRI Cabang Teluk Betung telah memberikan fasilitas kredit kendaraan bermotor fiktif sebanyak ± 10.795 debitur kepada PT NPA. Dalam hal ini, terdakwa (FVB dan FS) telah dengan sengaja: 1.
Tidak melakukan pemeriksaan dokumen yang diserahkan oleh pihak PT NPA;
2. Tidak melakukan cross check kepada debitur yang sebenarnya; Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:22 AM
3.
4.
Menandatangani Instruksi Pencairan Kredit dan FS) tidak mempunyai peranan atas pencairan dan Nota Pencairan Kredit Kendaraan kredit kendaraan bermotor yang diajukan PT Bermotor yang ternyata fiktif; serta NPA. Menurut majelis kasasi, terdakwa (FVB dan FS) mempunyai peranan atas pencarian kredit Mencairkan Kredit Kendaraan Bermotor kendaraan bermotor dimaksud karena terdakwa PT NPA terlebih dahulu baru kemudian selaku pejabat/petugas bank mempunyai tugas dilakukan penandatanganan/pembuatan untuk memeriksa kebenaran dan kelengkapan blanko Instruksi Pencairan Kredit. berkas pengajuan kredit.
Jaksa penuntut umum menuntut FVB dan FS kepada Pengadilan Negeri Tanjung Karang agar keduanya dijatuhi pidana penjara masingmasing selama tiga tahun dan enam bulan dengan perintah para terdakwa ditahan, serta pidana denda masing-masing Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), subsider tiga bulan kurungan. Tuntutan itu diajukan karena FVB dan FS terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pengadilan Negeri Tanjung Karang tidak mengabulkan tuntutan jaksa dan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) karena terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa sebagaimana dicantumkan dalam Putusan Nomor 437/Pid.Sus/2013. Jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum kasasi dengan dua alasan, yaitu: peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya dan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut undang-undang. Majelis kasasi menerima dan mengabulkan permintaan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum. Selanjutnya majelis kasasi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang (judex facti) dan mengadili sendiri. Di dalam pertimbangannya, majelis kasasi menyatakan putusan judex facti didasarkan pada pertimbangan yang salah karena menyatakan terdakwa (FVB
Sesuai dengan pertimbangannya tersebut, majelis kasasi menyatakan FVB dan FS terbukti bersalah melakukan tindak pidana “turut serta tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan baik terhadap peraturan perundang-undangan perbankan dan peraturan lain yang berkaitan dengan bank yang dilakukan secara berlanjut.” Kemudian majelis kasasi menjatuhkan sanksi kepada FVB dan FS berupa pidana penjara masing-masing enam bulan dan pidana denda masing-masing Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Dasar hukum yang digunakan oleh majelis kasasi adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Khusus untuk pidana penjara, majelis kasasi menjatuhkan pidana penjara bersyarat. Secara yuridis (de jure), pidana penjara bersyarat hanya dapat dilakukan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun (vide: Pasal 14 ayat (1) KUHP). Dengan merujuk pada ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP, ada pihak yang memandang Putusan Nomor 1554 K/Pid. Sus/2014 telah menabrak undang-undang, yaitu bertentangan dengan ancaman pidana minimal dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, karena bagi pelanggarnya minimal dihukum tiga tahun penjara. Dari keadaaan tersebut, maka penulis tertarik untuk
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 319
| 319
1/6/2017 11:30:22 AM
melakukan kajian terhadap Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang menjatuhkan pidana penjara bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan yang dilihat dari jumlah atau lamanya ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. B.
pidananya ditentukan dengan sistem minimum. Kemudian penelitian ini diharapkan juga dapat berguna secara praktis, yaitu menjadi pegangan dan pedoman bagi aparat penegak hukum pidana terutama hakim dalam menjatuhkan pidana penjara bersyarat yang ancamannya ditentukan dengan sistem minimum, khususnya dalam kasus tindak pidana perbankan.
Rumusan Masalah
D. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. 1. Bagaimana pertimbangan majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang menjatuhkan pidana penjara bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan? 2. Bagaimana penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam Putusan Nomor 1554 K/ Pid.Sus/2014 apabila dilihat dari ketentuan jumlah atau lamanya ancaman pidana? C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis pertimbangan majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang menjatuhkan pidana penjara bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan. Kemudian penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid. Sus/2014 dilihat dari ketentuan jumlah atau lamanya ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Studi Pustaka Penjatuhan Pidana
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat Sudarto bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. Berkaitan dengan masalah sanksi, Hoefnagles bahkan memberikan arti secara luas, dikatakannya bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undangundang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan tersangka sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagles melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana (Prasetyo & Barkatullah, 2012: 83).
Dengan merujuk pada pendapat Sudarto dan Hoefnagles di atas, Prasetyo berpendapat Penelitian ini diharapkan dapat digunakan bahwa masalah penetapan sanksi dalam hukum sebagai referensi yang menunjang ilmu pidana merupakan suatu rangkaian kebijakan pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum yang berada dalam satu sistem. Sebagai suatu pidana Indonesia terkait dengan pemidanaan sistem, tidaklah dapat dikatakan bahwa masingin concreto (penjatuhan pidana) yang ancaman masing tahap pemberian pidana berdiri sendiri, 320 |
Jurnal isi.indd 320
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:22 AM
akan tetapi saling terkait bahkan tidak dapat dipisahkan sama sekali (Prasetyo, 2013: 79). Menurut Arief (2012: 4), apabila pengertian “pemidanaan” diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan fungsional dalam arti luas. Sedangkan dalam arti sempit, hanya mencakup aturan/ketentuan hukum pidana materiil (substantif).
putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. Merujuk pada ketentuan Pasal 193 KUHAP di atas, maka sanksi berupa pidana baru dapat dijatuhkan oleh majelis hakim apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menurut Pasal 194 KUHAP, dalam putusan pemidanaan, pengadilan juga menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali, yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali apabila menurut undang-undang barang bukti itu hanya dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan
atau dirusak sehingga tidak dapat digunakan lagi. Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti Secara yuridis, penjatuhan pidana diserahkan segera sesudah sidang selesai. Perintah (pemidanaan) oleh majelis hakim telah ditentukan penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Di pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum dalam KUHAP, ketentuan mengenai penjatuhan tetap. pidana (pemidanaan) oleh hakim dicantumkan dalam Pasal 193 yang rumusannya: 2. Pidana Bersyarat 1. Jika pengadilan berpendapat bahwa Pidana bersyarat (veroorwaardelijke terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka veroordeling) sering juga disebut dengan beberapa istilah, yaitu pidana dengan bersyarat, pengadilan menjatuhkan pidana. pidana (hukuman) percobaan, pidana (hukuman) a. Pengadilan dalam menjatuhkan dengan perjanjian, pidana (hukuman) dengan 2. putusan, jika terdakwa tidak ditahan, janggelan. Pidana bersyarat adalah salah satu dapat memerintahkan supaya alternatif dari pemidanaan yang pertama kali terdakwa tersebut ditahan, apabila diperkenalkan di Inggris (Duff dalam Hiariej, dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan 2014: 405). Di Indonesia, pidana bersyarat untuk terdapat alasan cukup untuk itu. pertama kalinya diterapkan pada tahun 1926 yang dituangkan dalam Stb. 1926 Nomor 251 jo. 486, b. Dalam hal terdakwa ditahan, namun baru sejak 1 Januari 1927 dimasukkan pengadilan dalam menjatuhkan
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 321
| 321
1/6/2017 11:30:22 AM
ke dalam KUHP (Setiady, 2010: 112). Saat ini, Dilihat dari namanya, yaitu pidana aturan tentang pidana bersyarat dicantumkan bersyarat, ada syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 14 sampai dengan 14f KUHP. dalam putusan hakim (putusan pengadilan: pen), yang harus ditaati oleh terpidana untuk dapatnya Menurut Muladi, pidana bersyarat adalah ia dibebaskan dari pelaksanaan pidana. Syaratsuatu pidana di mana si terpidana tidak usah syarat itu dibedakan antara syarat umum dan menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana syarat khusus. Syarat umum bersifat imperatif, selama masa percobaan terpidana telah melanggar artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan syarat-syarat umum atau khusus yang telah bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan ditentukan oleh pengadilan. Pidana bersyarat syarat umum, sedangkan syarat khusus bersifat merupakan penundaan pelaksanaan pidana. fakultatif (tidak menjadi keharusan untuk Pidana bersyarat bukan merupakan pidana ditetapkan) (Chazawi, 2010: 60). pokok melainkan merupakan cara penerapan pidana sebagaimana pidana yang tidak bersyarat Dalam syarat umum, harus ditetapkan oleh (Setiady, 2010: 113). Secara filosofi, pidana hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu bersyarat merupakan bentuk alternatif dari pidana (masa percobaan) terpidana tidak boleh melakukan perampasan kemerdekaan atau sebagai salah tindak pidana (Pasal 14C ayat (1)). Sementara satu bentuk “non-custodial measures,” dan juga dalam syarat khusus, hakim boleh menentukan sebagai salah satu bentuk “strafmodus” (Arief, hal-hal (Chazawi, 2010: 60) sebagai berikut: 2011: 16). 1. Penggantian kerugian akibat yang Walaupun sering disebut pidana bersyarat, ditimbulkan oleh dilakukannya tindak tetapi sesungguhnya bukan salah satu dari pidana baik seluruhnya maupun sebagian jenis pidana karena tidak disebut dalam Pasal yang harus dibayar dalam tenggang waktu 10 KUHP. Pidana bersyarat merupakan suatu yang ditetapkan oleh hakim yang lebih sistem penjatuhan pidana tertentu (penjatuhan pendek dari masa percobaan (Pasal 14 ayat kurungan, denda) di mana ditetapkan dalam amar (1)). putusan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak 2. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara perlu dijalankan dengan pembebanan syaratlebih dari tiga bulan atau pidana kurungan syarat tertentu, maka sebaiknya digunakan atas pelanggaran Pasal 492 (mabuk di tempat istilah pidana dengan bersyarat. Pidana bersyarat umum), Pasal 504 (pengemisan), Pasal 505 merupakan suatu sistem/model penjatuhan pidana (pergelandangan), Pasal 506 (mucikari), oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan Pasal 536 (mabuk di jalan umum), hakim pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu berhubungan dengan kelakuan terpidana dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat (Pasal 14A ayat (2)). Syarat-syarat khusus itu yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana tidak diperkenankan sepanjang melanggar dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang atau mengurangi hak-hak terpidana dalam ditetapkan tidak ditaatinya atau dilanggarnya berpolitik (kenegaraan) dan menjalankan (Chazawi, 2010: 54). agamanya (Pasal 14A ayat (5)).
322 |
Jurnal isi.indd 322
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:22 AM
3.
Tindak Pidana Perbankan
b.
Tindak pidana perbankan merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu “tindak pidana” dan “perbankan.” Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti istilah “strafbaar feit,” yaitu 2. perbuatan yang dapat dipidana (Sudarto, 2013: 6364). Kemudian yang dimaksud dengan perbankan adalah segala seuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (vide: Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Jadi, tindak pidana perbankan merupakan perbuatan yang berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut tentang bank (kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya) yang dapat dipidana. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyatakan bahwa pemakaian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila ditinjau dari segi yuridis tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian tentang tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan (Kustini, 2012: 2). Dalam hal ini, BPHN memberikan pengertian yang berbeda untuk kedua tindak pidana tersebut (Kustini, 2012: 2) sebagai berikut: 1.
Tindak pidana perbankan adalah:
Tindak pidana yang dilakukan dalam menjalankan fungsi dan usahanya sebagai bank berdasarkan UndangUndang Perbankan.
Tindak pidana di bidang perbankan adalah: a. Segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sebagai sarana. b. Tindak pidana yang tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap Undang-Undang Perbankan saja, melainkan mencakup pula tindak pidana penipuan, penggelapan, pemalsuan, dan tindak pidana lain sepanjang berkaitan dengan lembaga perbankan.
Menurut Indriyanto Seno Adji dalam pengertian sempit, tindak pidana perbankan hanya terbatas kepada perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana menurut UndangUndang Perbankan. Sementara dalam pengertian luas, tindak pidana perbankan tidak terbatas hanya kepada yang diatur oleh Undang-Undang Perbankan, namun mencakup pula perbuatanperbuatan yang dirumuskan dalam perbuatan pidana yang mengganggu sektor ekonomi secara luas, yang juga meliputi kejahatan pasar modal (capital market crime), kejahatan komputer (computer crime), baik dengan itu timbul akibat kerugian pada perusahaan swasta maupun pemerintah dan BUMN, fiskal dan bea cukai (custom crime) (Kustini, 2012: 3).
a. Setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Secara yuridis, tindak pidana di bidang 10 Tahun 1998 (Undang-Undang perbankan termasuk ke dalam tindak pidana Perbankan). administratif (administrative offences) atau
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 323
| 323
1/6/2017 11:30:22 AM
tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40 masyarakat (public welfare offences) (Jaya, 2008: (Pasal 47 ayat (2)). 190). Dalam konotasi politik, tindak pidana 4. Anggota dewan komisaris, direksi, perbankan dapat disebut dengan istilah white pegawai bank yang dengan sengaja tidak collar crime karena dapat digolongkan dalam memberikan keterangan yang wajib tindak pidana ekonomi dalam arti luas atau dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam economic crime. Dalam pengertian sosial disebut Pasal 42A dan 44 (Pasal 47A). socio economic crime (Jaya, 2008: 194-195). Tindak pidana perbankan diatur dalam Bab VIII 5. Anggota dewan komisaris, direksi, atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: pegawai bank yang dengan sengaja tidak Pasal 46, 47, 47A, 48, 49, 50, dan 50A. memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Tindak pidana perbankan dalam undangPasal 30 ayat (1) dan (2) dan Pasal 34 ayat undang itu dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dan (2) (Pasal 48 ayat (1)). kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis kejahatan adalah yang 6. Anggota dewan komisaris, direksi, atau ditentukan dalam Pasal 46, 47, 47A, 48 ayat (1), 49, pegawai bank yang lalai tidak memberikan 50, dan 50A (vide: Pasal 51 ayat (1)). Kemudian keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran adalah dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 48 dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) (Pasal 48 ayat (vide: Pasal 51 ayat (2)). (2)). Memperhatikan rumusan pasal-pasal dalam 7. Anggota dewan komisaris, direksi, atau Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut di pegawai bank yang dengan sengaja (Pasal atas, maka tindak pidana perbankan dapat dirinci 49 ayat (1)): sebagai berikut: a. Membuat atau menyebabkan adanya 1. Barang siapa menghimpun dana dari pencatatan palsu dalam pembukuan masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa atau dalam laporan, maupun dalam izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia dokumen atau laporan kegiatan usaha, (Pasal 46 ayat (1)). laporan transaksi atau rekening suatu bank; 2. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank b. Menghilangkan atau tidak Indonesia dengan sengaja memaksa bank memasukkan atau menyebabkan atau pihak terafiliasi untuk memberikan tidak dilakukannya pencatatan dalam keterangan sebagaimana dimaksud dalam pembukuan atau dalam laporan, Pasal 40 (Pasal 47 ayat (1)). maupun dalam dokumen atau laporan 3.
324 |
Jurnal isi.indd 324
Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. Mengubah,
mengaburkan,
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
menyembunyikan, menghapus, 9. atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, 10. mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut. 8. Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja (Pasal 49 ayat (2)): a.
b.
Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas suratsurat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.
II.
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (Pasal 50). Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undangundang ini dan ketentuan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank (Pasal 50A). METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian terhadap hukum positif (Soekanto & Mamudji, 2011: 13). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah asas-asas atau prinsip hukum mengenai penjatuhan pidana penjara bersyarat dan dikaitkan dengan jumlah atau lamanya ancaman pidana (strafmaat) yang ditentukan dalam hukum positif. Penelitian difokuskan pada Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 karena telah menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum yang ditentukan hukum positif (undang-undang) dengan sistem bersyarat. Pendekatan yang digunakan yaitu: pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang berasal dari bahan pustaka.
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 325
| 325
1/6/2017 11:30:23 AM
Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari tiga sumber, yaitu: Pertama, bahan hukum primer yang meliputi: UUD NRI 1945, KUUHP, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan Putusan Pengadilan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014. Kedua, bahan hukum sekunder yang meliputi: literatur-literatur berupa kajian para pakar hukum, dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Ketiga, bahan hukum tersier yang berupa ensiklopedia dan kamus-kamus. Data sekunder tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan, yang kemudian diolah dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis adalah penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Setelah dianalisis selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan logika berfikir deduktif, yaitu berangkat dari pernyataan yang bersifat umum diterapkan pada kasus konkret. Dalam hal ini diuraikan hal-hal yang bersifat umum yang digunakan untuk menjawab permasalahan penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan Majelis Kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang Menjatuhkan Pidana Penjara Bersyarat dalam Kasus Tindak Pidana Perbankan Secara yuridis, putusan yang diucapkan oleh hakim di persidangan setelah proses pemeriksaan perkara pidana dinyatakan selesai 326 |
Jurnal isi.indd 326
dapat disebut dengan “putusan pengadilan.” Menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP: pen). Sesuai dengan ketentuan itu, maka putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Pasal 195 KUHAP menentukan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Jadi, setiap putusan pengadilan dalam perkara pidana harus (wajib) diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Putusan pengadilan yang tidak diucapkan di sidang terbuka untuk umum oleh hakim, maka statusnya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat dilaksanakan. Dalam konteks sistem peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi yang membawahi empat lingkungan peradilan (umum, agama, militer, dan tata usaha negara). Oleh karena itu, putusan yang diterbitkan oleh majelis kasasi yang memeriksa perkara pidana dapat juga disebut dengan “putusan pengadilan.” Putusan pengadilan dalam perkara pidana berupa pemidanaan (verordeling), bebas (vrijspraak), dan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging). Ketiga jenis putusan pengadilan itu dikategorikan sebagai putusan akhir (eend vonnis). Dalam pembahasan ini, putusan pengadilan yang diterbitkan oleh majelis kasasi berupa pemidanaan (veroordeling), yaitu suatu putusan pengadilan yang amar putusannya menjatuhkan sanksi berupa pidana kepada terdakwa.
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
Menurut Mertokusumo, suatu putusan hakim (pengadilan: pen) pada pokoknya terdiri dari empat bagian, yaitu: kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan, dan amar (Wijayanta & Firmansyah, 2011: 31). Jadi, salah satu bagian dari putusan pengadilan adalah pertimbangan hakim yang memuat alasan-alasan dan dasar bagi hakim dalam menjatuhkan amar putusan. Pertimbangan hakim terdiri atas pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden) dan pertimbangan tentang hukumnya (rechts gronden). Dengan demikian, pertimbangan majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 juga terdiri atas pertimbangan tentang duduk perkaranya dan pertimbangan tentang hukumnya.
mempertimbangkan bahwa dikabulkannya kredit kendaraan bermotor dari PT NPA kepada BRI Cabang Teluk Betung bukan atas kebijakan/peranan terdakwa I FVB selaku Pejabat Administrasi Kredit dan terdakwa II FS selaku Pejabat Supervisor Administrasi Kredit, melainkan realisasinya pencairan kredit atas peranan/kebijakan Pejabat Account Officer Pemutus (AVI) dan Pejabat Account Officer Pemrakarsa (ARW dan AB), karena terdakwa I dan II tidak mempunyai peranan yang menentukan dalam pencairan kredit tersebut. Peran terdakwa tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah kredit itu dapat dicairkan apa tidak;
Berkaitan dengan pembahasan ini, pertimbangan majelis kasasi dalam Putusan 4. Bahwa pertimbangan hukum tersebut Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 adalah sebagai adalah tidak dapat dibenarkan dengan berikut: pertimbangan sebagai berikut: 1.
Bahwa alasan-alasan permohonan kasasi pemohon kasasi/jaksa penuntut umum dapat dibenarkan karena judex facti salah menerapkan hukum dalam mengadili terdakwa;
2. Bahwa putusan judex facti/Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 437/Pid. Sus/2013/PN.TK tanggal 9 September 2013 yang menyatakan terdakwa I FVB dan terdakwa II FS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga penuntut umum dan oleh karenanya kepada terdakwa I dan II dibebaskan dari segala dakwaan adalah didasarkan pada pertimbangan hukum yang salah; 3.. Bahwa dasar pertimbangan hukum judex facti yang pada pokoknya
1.
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan putusan judex facti telah didapat fakta-fakta yang relevan sesuai bukti yang diajukan dalam persidangan sebagai berikut: a.
Bahwa tugas terdakwa I dan II selaku Pejabat Administrasi Kredit dan Supervisor Administrasi Kredit adalah memeriksa kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan kredit dari PT NPA terdiri dari data-data nasabah/calon debitur antara lain: foto calon nasabah; foto copy KTP suami/ dan isteri; Kartu Keluarga; Surat Keterangan Penghasilan; Surat Keterangan Usaha; Surat Pengakuan Hutang;
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 327
| 327
1/6/2017 11:30:23 AM
Laporan Kunjungan Nasabah; Memorandum Analisis Kredit; Instruksi pencairan kredit; Surat Jaminan Fiducia; Surat permohonhan kredit, dan lainlain.
mencairkan kredit tersebut dengan mengaktifkan rekening nasabah; 3.
b. Bahwa setelah berkas-berkas tersebut lengkap/benar setelah diperiksa kemudian diserahkan kepada Account Officer 5. Pemrakarsa, setelah diperiksa dengan melihat kemampuan bayar dan lain-lain, baru diserahkan kepada Account Officer Pemutus, selanjutnya dalam hal permohonan tersebut ada jaminan fiducia dan lainlain perlu ditandatangani oleh pimpinan Cabang baik Instruksi Pencairan Kredit. 2. Bahwa menurut fakta-fakta berkas permohonan kredit yang seharusnya diteliti kelengkapan dan kebenarannya oleh terdakwa I dan II terdapat kekurangan atau ketidakcocokan antara lain: KTP 6. dan Kartu Keluarga, serta pada saat berkas permohonan kredit turun dari Pejabat Account Officer Pemutus dan Pemrakarsa masih ada berkas yang belum ditandatangani oleh Account Officer Pemutus serta terdapat Surat Jaminan Fiducia serta Instruksi Pencairan Kredit yang belum ditandatangani Kepala Cabang BRI sebagai persyaratan pencairan kredit, akan tetapi meski ada berkas-berkas yang belum ditandatangani yang berwenang, terdakwa I dan II tetap 328 |
Jurnal isi.indd 328
Bahwa perbuatan-perbuatan terdakwa I dan II tersebut tidak dapat dibenarkan oleh peraturan perbankan yang berlaku atau tidak sesuai standar operasional hal ini sesuai dengan keterangan ahli dalam persidangan, maupun pejabat auditor dari BRI Pusat.
Bahwa atas perbuatan terdakwa I dan II tersebut dari dakwaan penuntut umum yang berbentuk alternatif tersebut perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari dakwaan alternatif ke-3 melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Karena perbuatan terdakwa I dan II tersebut dilakukan bersama-sama dengan orang lain, yaitu AVI selaku Account Officer Pemutus dan DW selaku Pimpinan Cabang BRI serta perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut; Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan; 1.
Hal-hal yang memberatkan: a.
2.
Perbuatan para terdakwa dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank khususnya BRI Teluk Betung;
Hal-hal yang meringankan: a.
Bahwa kredit fiktif tersebut
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
telah dilunasi oleh PT NPA syarat pengajuan kredit PT NPA, seperti KTP dan selaku avalis atau penjamin; Kartu Keluarga. b.
Para terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa alasan yang digunakan oleh majelis kasasi menerima kasasi jaksa penuntut umum karena
Kemudian dengan pertimbangannya tersebut, majelis kasasi menyatakan terdakwa (FVB dan FS) terbukti bersalah melakukan tindak pidana “turut serta tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan baik terhadap peraturan perundang-undangan perbankan dan peraturan lain yang terkait dengan bank yang dilakukan secara berlanjut.” Perbuatan terdakwa (FVB dan FS) melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b UndnagUndang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, masing-masing terdakwa dijatuhi sanksi berupa pidana penjara selama enam bulan dan pidana denda sebanyak Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah).
Pengadilan Negeri Tanjung Karang (judex facti) telah salah dalam menerapkan hukum. Majelis kasasi berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang didasarkan pada pertimbangan yang salah. Menurut majelis kasasi, dalam pertimbangan putusan judex facti terdapat fakta-fakta yang relevan sesuai dengan bukti yang diajukan di persidangan. Dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang relevan itu, majelis kasasi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa (FVB dan FS) tidak dapat dibenarkan oleh peraturan perbankan atau tidak Secara teoritis, penjatuhan atau pemberian sesuai dengan standar operasional prosedur. sanksi berupa pidana oleh majelis kasasi kepada terdakwa dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid. Perbuatan terdakwa (FVB dan FS) yang Sus/2014 dapat disebut dengan pemidanaan in tidak dibenarkan oleh peraturan perbankan atau concreto. Menurut Sudarto (2013: 85), syarat tidak sesuai dengan standar operasional prosedur pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan berarti dalam menjalankan kegiatan usaha pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang perbankan, terdakwa tidak menggunakan prinsip memenuhi rumusan delik (tindak pidana: pen) kehati-hatian. Pasal 2 Undang-Undang Nomor dalam undang-undang. Hal ini adalah konsekuensi 10 Tahun 1998 dengan tegas menentukan bahwa dari asas legalitas. Rumusan delik (tindak pidana) perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. berasaskan demokrasi dengan menggunakan Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di prinsip kehati-hatian. Sesuai dengan prinsip itu, dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa maka terdakwa (FVB dan FS) selaku pejabat/ yang dilarang atau apa yang diperintahkan. petugas bank (PT BRI cabang Teluk Betung) seharusnya secara hati-hati dalam menjalankan Apabila dikaitkan dengan Putusan Nomor tugasnya, yaitu memeriksa kebenaran dan 1554 K/Pid.Sus/2014, maka majelis kasasi kelengkapan berkas pengajuan kredit kendaraan menjatuhkan pidana kepada terdakwa (FVB bermotor oleh PT NPA. Ketidak hati-hatian dan FS) karena perbuatannya telah memenuhi terdakwa (FVB dan FS) ditunjukkan pada fakta rumusan tindak pidana yang ditentukan masih adanya kekurangan atau ketidakcocokan dalam undang-undang yang mengatur tentang
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 329
| 329
1/6/2017 11:30:23 AM
perbankan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) dan dihubungkan dengan ketentuan KUHP. Perbuatan terdakwa yang memenuhi rumusan tindak pidana (perbuatan yang dilarang) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Hal ini berarti majelis kasasi telah mengikuti prinsip atau asas legalitas yang dianut oleh hukum pidana positif (vide: Pasal 1 KUHP). Ketentuan yang dilanggar oleh terdakwa (FVB dan FS) adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang rumusannya: “Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya tiga tahun dan paling lama delapan tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,(seratus miliar rupiah).”
perbuatan atau tindakan yang dilarang. Artinya, tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan tersebut ditentukan dengan merumuskan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Selanjutnya, ancaman pidana yang dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, terdiri dari pidana penjara dan pidana denda. Ancaman pidana itu dirumuskan secara kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung “dan.” Konsekuensi dari rumusan tersebut adalah hakim harus menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda secara besamaan, tidak boleh terpisah.
Dalam hal ini, majelis kasasi telah menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda secara bersamaan kepada terdakwa (FVB dan FS). Apabila dilihat dari jumlah atau lamanya ancaman pidana yang ditentukan, maka Pasal 49 ayat (2) huruf b menganut sistem minimum khusus karena telah ditentukan ancaman pidana minimum bagi pelaku yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu untuk pidana penjara paling singkat tiga tahun dan pidana denda paling sedikit Tindak pidana perbankan yang diatur dalam Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor Dengan dasar hukum Pasal 49 ayat (2) 10 Tahun 1998 termasuk ke dalam kategori huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kejahatan (vide: Pasal 51 ayat (1)). Kemudian maka majelis kasasi dalam Putusan Nomor apabila memperhatikan rumusannya, maka dapat 1554 K/Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana dikategorikan sebagai tindak pidana formil. Delik penjara selama enam bulan dan denda sebanyak (tindak pidana: pen) formil adalah delik yang Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Apabila perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan dikaitkan dengan ancaman pidana penjaranya, yang dilarang (Sudarto, 2013: 96) atau delik maka majelis kasasi telah menjatuhkan di yang menitikberatkan pada tindakan (Hiariej, bawah ancaman minimum. Ancaman pidana 2014: 103). Jadi, tindak pidana perbankan yang minimumnya adalah tiga tahun penjara, dicantumkan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b sedangkan majelis kasasi menjatuhkan pidana Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk penjara selama enam bulan. Majelis kasasi ke dalam jenis kejahatan dan tindak pidana dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 formil karena rumusannya dititikberatkan pada 330 |
Jurnal isi.indd 330
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
telah menjatuhkan pidana penjara dengan sistem bersyarat. Hal itu dapat dilihat dari salah satu amar putusannya yang berbunyi “Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan, terpidana sebelum waktu percobaan selama satu tahun berakhir telah bersalah melakukan sesuatu tindak pidana.” Amar putusan tersebut merupakan syarat umum dalam pidana bersyarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14A ayat (1) KUHP. Pertanyaannya adalah “Apakah pertimbangan majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang menjatuhkan pidana penjara bersyarat kepada terdakwa (FVB dan FS)?” Apabila melihat seluruh pertimbangan majelis kasasi yang telah dipaparkan di atas, maka tidak ditemui satupun pertimbangan mengenai penjatuhan pidana penjara bersyaratnya. Walaupun demikian, apabila dilihat dari amar putusannya, maka majelis kasasi menjatuhkan pidana penjara bersyarat karena sesuai dengan Pasal 14A KUHP penjatuhan pidana penjara bersyarat dapat dilakukan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun. Dalam hal ini, majelis kasasi telah menjatuhkan pidana penjara di bawah satu tahun, yaitu selama enam bulan, sehingga majelis hakim dapat menjatuhkan pidana penjara bersyarat. Majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 telah menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman pidana minimum tiga tahun penjara, yaitu selama enam bulan penjara. Hal itu berarti pidana penjara yang dijatuhkan oleh majelis kasasi lebih ringan dibanding dengan ancamannya. Penjatuhan pidana yang lebih ringan itu didasarkan pada pertimbangan hal-hal yang meringankan, yaitu kredit fiktif yang dilakukan terdakwa (FVB dan FS) telah dilunasi
oleh PT NPA selaku avalis atau penjamin dan para terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum. Dengan pertimbangan tersebut, maka majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/ Pid.Sus/2014 menjatuhkan pidana penjara lebih ringan dari ancaman yang ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 kepada terdakwa. B. Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid. Sus/2014 Apabila Dilihat dari Ketentuan Jumlah atau Lamanya Ancaman Pidana Di sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa majelis kasasi telah menjatuhkan pidana penjara bersyarat dalam kasus tindak pidana perbankan. Pidana penjara bersyarat merupakan sistem/model pelaksanaan pidana penjara yang dijalani oleh terpidana. Dalam hal ini, terpidana tidak menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh majelis hakim di dalam penjara dengan syarat tidak melakukan suatu tindak pidana selama masa percobaan satu tahun. Apabila dalam masa percobaan terpidana melakukan suatu tindak pidana, maka terpidana harus menjalani pidana penjara melalui putusan pengadilan. Ketentuan yang digunakan majelis kasasi dalam menjatuhkan pidana penjara adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Ancaman pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dirumuskan dengan sistem minimum khusus, yaitu paling singkat tiga tahun penjara. Dengan ancaman minimum tersebut, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh majelis hakim paling sedikit tiga tahun penjara. Pertanyaannya adalah “Apakah majelis hakim
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 331
| 331
1/6/2017 11:30:23 AM
dapat menjatuhkan pidana penjara bersyarat terhadap terdakwa dalam kasus tindak pidana perbankan?” Karena seperti diketahui bahwa hakim untuk dapat melakukan pidana penjara bersyarat apabila pidana penjara yang dijatuhkan selama satu tahun (vide: Pasal 14A ayat (1) KUHP). Apabila jumlah atau lamanya ancaman pidana (straf maat) yang ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikaitkan dengan ketentuan pidana penjara bersyarat, maka pertanyaan selanjutnya adalah “Apakah majelis hakim dapat menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman pidana minimum yang telah ditentukan sehingga dapat menerapkan pidana penjara bersyarat?” Sistem minimum khusus merupakan hal baru karena tidak dikenal dalam KUHP sebagai hukum pidana induk yang berlaku di Indonesia. Menurut Arief (2014: 182), perlunya minimal (minimum) khusus dapat dirasakan dari keresahan atau kekurangpuasan warga masyarakat terhadap pidana penjara yang selama ini dijatuhkan dalam praktik, terutama pidana yang tidak jauh berbeda antara pelaku tindak pidana kelas kakap dan kelas teri. Lebih lanjut Arief (2014: 94) mengemukakan bahwa pada prinsipnya pidana minimal khusus merupakan suatu perkecualian, yaitu untuk delikdelik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merumuskan ancaman pidana minimum tidak memberikan aturan pemidanaan yang dapat digunakan oleh majelis hakim ketika menangani kasus tindak pidana perbankan. Walaupun demikian, di dalam kenyaatan praktik terjadi penjatuhan pidana (termasuk pidana penjara) di bawah ancaman pidana mimimum 332 |
Jurnal isi.indd 332
yang ditentukan, seperti dalam kasus tindak pidana perbankan yang menjadi objek bahasan ini. Mengenai kenyataan praktik tersebut pernah dibahas dalam Rakernas Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri tertentu seluruh Indonesia di Bandung tanggal 14-19 September 2003 yang ternyata juga menimbulkan perbedaan pendapat (Arief, 2014: 81-82) sebagai berikut: 1. Kelompok pertama, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana di bawah batas minimum ancaman pidana menurut undang-undang berdasarkan argumentasi adanya asas legalitas dan demi kepastian hukum; 2.
Kelompok kedua, hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah minimum ancaman pidana yang ditentukan undang-undang berdasarkan asas keadilan dan fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku berikut keadaan yang melingkupinya.
Dengan tidak adanya aturan pemidanaan atau penerapan sistem minimal (minimum), dapat menimbulkan ketidakjelasan dan bahkan dapat timbul salah pengertian tentang apa yang dimaksud pembuat (pembentuk: pen) undangundang dengan pencantuman pidana minimal dalam suatu perumusan delik (tindak pidana: pen). Apakah berarti menganut model fixed sentence: MMS (Mandatory Minimum Sentence) -pidana minimal wajib yang bersifat absolut/imperatif atau menganut unfixed sentence yang bersifat relatif/elastis/tidak pasti. Dalam undang-undang khusus selama ini tidak pernah ada ketentuan bahwa pidana minimal khusus itu merupakan suatu keharusan/perintah untuk diterapkan secara absolut. Jadi, tidak ada penegasan dianutnya model MMS (Arief, 2014: 98).
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa ada dua pendapat terkait dengan penjatuhan pidana di bawah ancaman minimum pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Apabila dipahami, maka perbedaan pendapat itu terjadi karena di dalam hukum pidana positif tidak dicantumkan atau diatur mengenai pedoman pemidanaan atas ancaman pidana minimum yang dapat digunakan oleh hakim ketika menjatuhkan pidana. Pendapat pertama menganut model fixed sentence: MMS (Mandatory Minimum Sentence), sehingga hakim tidak boleh menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum yang telah ditentukan dalam undang-undang. Kemudian pendapat kedua menganut model unfixeed senctence, sehingga hakim boleh menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum yang ditentukan dalam undang-undang.
Berkaitan dengan pemidanaan atau penerapan sistem minimum, penulis lebih condong kepada pendapat dan model kedua yaitu majelis hakim dapat menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum yang ditentukan dalam undang-undang karena hakim pada hakikatnya bukan hanya penegak hukum, namun juga penegak keadilan. Hukum yang ditegakkan oleh hakim harus mampu memberikan keadilan, sehingga keadilan diposisikan di atas hukum. UUD NRI 1945 telah dengan jelas menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (vide: Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945). Penegakan hukum dan keadilan itu didasarkan pada Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Memperhatikan kedua pendapat dan model Kekuasaan Kehakiman. pemidanaan sistem minimum di atas, maka dapatlah dipahami bahwa majelis kasasi dalam Pencantuman kekuasaan kehakiman dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 dimaksudkan menjatuhkan pidana penjara bersyarat mengikuti untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan pendapat yang kedua, yaitu hakim dapat kehakiman dalam sistem ketatanegaraan menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman Indonesia yakni untuk menyelenggarakan minimum yang ditentukan oleh undang-undang, peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun pihak manapun, guna menegakkan hukum dan 1998. Ini berarti majelis kasasi telah mendasarkan keadilan (Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, pada asas keadilan dan fakta keseimbangan antara 2013: 61). tingkat kesalahan pelaku berikut keadaan yang Ketentuan itu merupakan perwujudan melingkupinya. Kemudian dilihat dari modelnya, dari prinsip Indonesia sebagai negara hukum majelis kasasi menganut model yang kedua, yaitu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat unfixed setence yang bersifat relatif/elastis/tidak (3) UUD NRI 1945 (Majelis Permusyawaratan pasti. Dengan sifat seperti itu, maka pidana penjara Rakyat RI, 2014: 158). Di Indonesia, kekuasaan dapat dijatuhkan di bawah ancaman minimum kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah atau sesuai dengan ancaman minimumnya. Jadi Agung dan peradilan yang ada di bawahnya secara praktis dan teoritis, penjatuhan pidana dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan penjara di bawah ancaman minimum oleh majelis peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha kasasi dapat dibenarkan. negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 333
| 333
1/6/2017 11:30:23 AM
(vide: Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa lembaga/badan kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan peradilan adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstusi. Dalam konteks peradilan pidana, maka lembaga/badan kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan adalah Mahkamah Agung dan peradilan umum yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana. Apabila merujuk pada hakikat kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam konstitusi negara Indonesia (UUD NRI 1945), maka hakim dalam peradilan pidana harus menegakkan hukum dan keadilan. Artinya, hukum pidana yang ditegakkan harus memberikan keadilan. Apabila hakim perkara pidana merasakan hukum yang akan ditegakkan tidak adil, maka harus berani mengabaikan atau menyimpangi. Hal tersebut selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mahfud MD, bahwa sebenarnya jika tujuan menangani perkara itu bukan mencari menang, melainkan mencari keadilan, maka prinsip penegakan hukum akan tercakup dengan sendirinya. Sebab, orang yang mencari keadilan pertama-tama akan melakukan pengabaian atas hukum formal jika dirasa tidak adil (Mahfud MD, 2012: 103). Pengedepanan terhadap keadilan daripada hukum, maka akan mewujudkan suatu hukum yang pro rakyat dan pro keadilan sebagai salah satu pokok pikiran hukum progresif (Atmasasmita, 2012: 88-89). Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukan di atas peraturan (diistilahkan sebagai “mobilisasi hukum”) jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro rakyat dan pro keadilan merupakan ukuranukuran untuk menghindari agar progresivisme ini 334 |
Jurnal isi.indd 334
tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya (Shidarta dalam Mahfud MD et.al., 2013: 24). Radbruch mengemukakan bahwa hukum merupakan suatu unsur kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum mewujudkan salah satu nilai dalam kehidupan konkret manusia, yaitu nilai keadilan. Dari pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa hukum hanya berarti sebagai hukum kalau hukum itu merupakan suatu perwujudan keadilan atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu (Huijbers, 1982: 162). Radbruch mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar teori dan filsafat hukum diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Baginya, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Ali, 2012: 288). Radbruch menyadari bahwa di antara tiga ide unsur dasar hukum atau tiga tujuan hukum itu akan terjadi pertentangan. Dalam menghadapi hal itu, maka diajarkan untuk menggunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan (Ali, 2012: 288-289). Apabila dikaitkan pada pembahasan ini, maka yang terjadi adalah pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum (aturannya telah ditentukan secara pasti dalam undang-undang). Dengan merujuk pada ajaran prioritas, maka keadilan yang harus diutamakan. Radbruch (Huijbers, 1982: 165) mengemukakan bahwa bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan begitu besar, sehingga tata hukum Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
nampak tidak adil, maka pada saat itu tata hukum boleh ditinggalkan. Dengan cara lebih mengedepankan keadilan daripada hukum formal/hukum tertulis (perundang-undangan), maka akan tercipta suatu putusan pengadilan yang berkualitas. Menurut Sutatiek (2013: 31), putusan pengadilan yang berkualitas ada (muncul) bukan hanya karena kemahiran dalam menerapkan hukum pada suatu perkara, tetapi juga karena adanya kemampuan hakim dalam merekonstruksi keadilan yang ada di masyarakat, baik keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat umum. Hakim pidana yang profesional bukan hanya sebagai penerap, penegak, dan penemu hukum, melainkan wajib memperkirakan apa yang terjadi setelah putusan dijatuhkan, yaitu apakah masyarakat tambah tertib atau sebaliknya, bagaimana dampak putusan bagi pelaku dan korban baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang.
ditentukan dalam undang-undang yang berlaku (hukum positif). Oleh karena itu, majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum dalam kasus tindak pidana perbankan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat dibenarkan. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa hakim sebagai pelaksana lembaga/badan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ketika ancaman pidana minimum yang ditentukan dalam hukum positif dirasa tidak adil, maka hakim harus berani mengabaikan atau menyimpangi demi keadilan.
Adil atau tidaknya ketentuan ancaman pidana minimum dikaitkan dengan fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku berikut keadaan yang menyertai atau melingkupinya. Dengan konsep seperti itu berarti penjatuhan pidana (termasuk penjara) di bawah Dalam hal menerapkan hukum, hakim wajib ancaman minimum bersifat kasuistis. Artinya, mencari untuk menemukan atau menciptakan tidak semua kasus tindak pidana perbankan hukum, dan memberikan solusi hukum dalam dapat dijatuhi pidana penjara di bawah ancaman sengketa atau perkara yang ditanganinya. minimum yang ditentukan dalam UndangDengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam Undang Nomor 10 Tahun 1998. Apabila pidana proses memeriksa, mengadili dan memutus penjara dapat dijatuhkan di bawah ancaman perkara, hakim pidana wajib menerapkan minimum yang ditentukan oleh hukum positif, hukum, menemukan hukum dan sekaligus dapat maka majelis hakim dapat juga menerapkan mendekatkan (menjembatani) antara keadilan pidana penjara bersyarat walaupun ancaman hukum dengan keadilan masyarakat (dalam hal ini minimumnya lebih dari satu tahun sebagai syarat adalah pelaku, korban, dan masyarakat umum), untuk menerapkan pidana bersyarat, misalnya dan keadilan moral demi menciptakan keadilan paling singkat tiga tahun penjara. karena sesungguhnya makna “mengadili” dalam konteks hakim, berarti menciptakan sesuatu yang Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adil atau keadilan (Sutatiek, 2013: 31). penjatuhan pidana penjara bersyarat oleh majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid. Berdasarkan pada penjelasan yang diuraikan Sus/2014 dapat dibenarkan apabila dilihat dari di atas, maka majelis hakim dapat menjatuhkan jumlah atau lamanya pidana (straf maat) yang pidana di bawah ancaman minimum yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 335
| 335
1/6/2017 11:30:23 AM
Tahun 1998. Penjatuhan pidana penjara di bawah ancaman minimum (termasuk dengan sistem bersyarat) tidak menabrak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 karena di dalamnya tidak ada aturan mengenai pedoman pemidanaan yang dapat digunakan oleh majelis hakim. Dengan tidak adanya aturan itu, maka majelis hakim dapat merujuk kepada doktrin terkait penjatuhan pidana yang dirumuskan dengan sistem minimum khusus. Walaupun majelis hakim dipandang menabrak undang-undang dimaksud, namun tetap dibenarkan apabila pengaturannya dirasakan tidak adil.
Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 telah memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, yaitu korban dan pelaku (terdakwa FVB dan FS). Kerugian yang dialami oleh korban telah kembali dan pelaku telah dijatuhi sanksi berupa pidana penjara walaupun dengan sistem/model bersyarat. Putusan itu dapat dijadikan sebagai contoh atau rujukan bagi majelis hakim yang lain ketika akan menjatuhkan pidana penjara yang ditentukan dengan ancaman minimum. Kepastian hukum yang diidentikkan dengan aturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan belum tentu memberikan keadilan. Keadilan adalah tujuan yang paling tinggi daripada kepastian hukum, Majelis kasasi dalam Putusan Nomor 1554 sehingga ketika rumusan norma dalam undangK/Pid.Sus/2014 telah mendasarkan pada nilai undang dirasa tidak adil maka harus diabaikan keadilan dan fakta keseimbangan antara tingkat atau disimpangi. kesalahan pelaku berikut keadaan yang menyertai atau melingkupinya. Kesalahan terdakwa (FVB dan FS) tidak termasuk ke dalam kategori bahaya IV. KESIMPULAN atau tidak termasuk dalam kategori tindak pidana Berdasarkan pada pembahasan yang berbahaya karena hanya berkaitan dengan diuraikan di atas, maka kesimpulan dalam masalah administrasi di bidang perbankan, yaitu penelitian ini adalah sebagai berikut: pemberian kredit fiktif. 1. Pertimbangan majelis kasasi dalam Dalam hal ini, terdakwa (FVB dan FS) Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 yang telah mengabulkan kredit yang diajukan oleh PT menjatuhkan pidana penjara bersyarat NPA selaku avalis atau penjamin. Padahal syaratdalam kasus tindak pidana perbankan syaratnya tidak lengkap atau tidak memenuhi karena menjatuhkan pidana penjara selama ketentuan yang berlaku. Selain itu, terdakwa enam bulan. Hal itu sesuai dengan ketentuan juga telah bersikap sopan santun selama proses Pasal 14A KUHP, yang mana hakim dapat persidangan berlangsung dan baru melakukan menerapkan sistem bersyarat apabila tindak pidana. Kemudian yang paling penting pidana penjara yang dijatuhkan selama satu adalah kredit fiktif yang dikabulkan oleh terdakwa tahun. Majelis hakim menjatuhkan pidana (FVB dan FS) juga telah dilunasi oleh PT NPA penjara di bawah ancaman minimum yang selaku avalis atau penjamin. Dengan dilunasinya ditentukan oleh Pasal 49 ayat (2) huruf b kredit fiktif tersebut, maka kerugian yang dialami Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 oleh pihak bank (korban) menjadi hilang. karena terdakwa bersikap sopan selama proses persidangan dan belum pernah Merujuk pada alasan tersebut di atas, maka dihukum serta kredit fiktif yang terjadi amar putusan majelis kasasi dalam Putusan
336 |
Jurnal isi.indd 336
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
telah dilunasi oleh PT NPA selaku avalis atau penjamin. 2. Penjatuhan pidana penjara bersyarat dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2014 apabila dilihat dari jumlah atau lamanya acaman pidana penjara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat dibenarkan. Walaupun pidana penjara dalam undang-undang itu ditentukan dengan sistem minimum khusus, namun majelis hakim tidak dapat dikatakan telah menabrak undang-undang karena tidak ada ketentuan yang dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam penjatuhan pidana yang ditentukan dengan sistem minimum khusus. Alasan untuk menjatuhkan pidana penjara di bawah ancaman minimum yang ditentukan dalam undang-undang adalah demi keadilan dan fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku berikut keadaan yang melingkupinya. Penjatuhan pidana penjara di bawah ancaman minimum sesuai dengan model unfixed sentence yang bersifat relatif.
_________. (2014). Bunga rampai kebijakan hukum pidana (Perkembangan penyusunan konsep KUHP baru). Jakarta: Kencana. Atmasasmita, R. (2012). Teori hukum integratif (Rekonstruksi
terhadap
teori
hukum
pembangunan dan teori hukum pembangunan). Yogyakarta: Genta Publishing. Chazawi, A. (2010). Pelajaran hukum pidana bagian 1 (Stelsel pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan, & batas belakunya hukum pidana). Jakarta: Rajawali Pers. Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Huijbers, T. (1982). Filsafat hukum dalam lintasan sejarah. Yogyakarta: Kanisius. Jaya, N.S.P. (2008). Beberapa pemikiran ke arah pengembangan hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Kustini, T. (2012, Januari-April). Nota kesepahaman Bank Indonesia, Kepolisian, dan Kejaksaan sebagai bentuk koordinasi penanganan tindak pidana perbankan. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Departemen Hukum Bank Indonesia, 10(1). Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. (2013). Tanya jawab empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR.
DAFTAR ACUAN Ali, A. (2012). Menguak teori hukum (Legal theory) dan
teori
termasuk
peradilan interpretasi
(Judicialprudence) undang-undang
(Legisprudence). Jakarta: Kencana. Arief, B.N. (2011). Perkembangan sistem pemidanaan di Indonesia. Semarang: Pustaka Magister. _________. (2012). Kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan. Semarang: Penerbit Pustaka Magister.
_________.
(2014).
pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR. Mahfud MD., Moh. (2012). Membangun politik hukum,
menegakkan
Konstitusi.
Jakarta:
Rajawali Pers. Mahfud MD., Moh. et.al. (2013). Dekonstruksi
Penjatuhan Pidana Penjara Bersyarat dalam Tindak Pidana Perbankan (Ramiyanto)
Jurnal isi.indd 337
Panduan
| 337
1/6/2017 11:30:23 AM
dan gerakan pemikiran hukum progresif. Yogyakarta: Thafa Media. Prasetyo, T. (2013). Kriminalisasi dalam hukum pidana. Bandung: Nusamedia. Prasetyo, T., & Barkatullah, A.H. (2012). Politik hukum pidana (Kajian kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setiady, T. (2010). Pokok-pokok hukum panitensier Indonesia. Jakarta: Alfabeta. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum normatif (Suatu tinjauan singkat). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sudarto. (2013). Hukum pidana I. Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto. Sutatiek, S. (2013). Menyoal akuntabilitas moral hakim pidana dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Wijayanta, T., & Firmansyah, H. (2011). Perbedaan pendapat
dalam
putusan
pengadilan.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
338 |
Jurnal isi.indd 338
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 317 - 338
1/6/2017 11:30:23 AM
KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK DALAM SENGKETA TANAH Kajian Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps
THE LEGITIMATION OF FREEHOLD TITLE IN AGRARIAN DISPUTE An Analysis of Court Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps Fahmi Yanuar Siregar Universitas Dwijendra Jl. Kamboja No. 17 Denpasar, Bali 80233 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 31 Maret 2015; revisi: 23 November 2016; disetujui: 24 November 2016 ABSTRAK Objek pembahasan dalam kajian putusan ini adalah Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps yang memutus perkara sengketa sertipikat ganda yang mengakibatkan tidak adanya kepastian atas kepemilikan sebidang tanah. Penulisan kajian putusan ini menggunakan metode penelitian eksplanatoris dengan berdasar kepada penilaian atas objek yang pantas untuk diteliti dan memilih kajian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 25 Agustus 2014 tersebut, setelah dilakukan observasi secara berkala terhadap proses hukum sampai dijatuhkan putusan. Kajian ini menggarisbawahi bahwa salah satu tugas pokok pengadilan adalah untuk menyelesaikan sengketa terhadap perkara yang ditangani dan memberikan manfaat positif terhadap para pihak. Dalam penyelesaian sengketa, majelis hakim harus menjatuhkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan dan harus mempertimbangkan sisi kemanfaatan. Putusan yang dijatuhkan idealnya dapat memberikan manfaat yang positif, bukan malah menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat supaya putusan yang dibuat oleh majelis hakim yang terhormat dapat berwibawa dan bijaksana. Namun Putusan Nomor 25/ Pdt.G/2014/PN.Dps telah berdampak buruk terhadap para pihak. Dalam menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak ternyata Pengadilan Negeri Denpasar tidak memutus pada pokok permasalahan, akan tetapi
malah mengesahkan alasan-alasan terjadinya perbuatan hukum. Sehingga, putusan yang dikeluarkan tidak menyelesaikan permasalahan antara para pihak, akan tetapi mengembalikan perkara kepada keadaan sebelum diajukan ke pengadilan. Kata kunci: sertipikat hak milik, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum. ABSTRACT The object of the discussion in this analysis is Court Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps ruling a dispute of double certificates of freehold titles resulting in lack of certainty over the ownership of a plot of land. This analysis uses explanatory research method, which is based on the assessment of the appropriateness of objects to discuss, then defines the object of study for analysis, that is the Denpasar District Court’s Decision issued on 25 August 2014, after regular observation of the proceedings until the judge pass the decision. This analysis underlines that one of the main tasks of the courts is to resolve disputes in the case and put forward positive benefits to the parties. In the resolution of the dispute, the judge should reflect and regard a sense of justice and expediency in the decision. The decision imposed should ideally provide definite benefits rather than a negative impact on the society, in order that the decision made by the panel of honorable judges would be
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 339
| 339
1/6/2017 11:30:23 AM
dignified and expedient. However, the Decision Number 25/Pdt.G/2014/PN.Dps has adversely affected the parties. In resolving case filed by the parties, Denpasar District Court in fact did not make up mind the issue, but only validates the reasons for legal actions. Thus, the
I.
decision issued does not solve the problem between the parties, but in fact restore the case to the condition prior to submission to the court. Keywords: freehold title, expediency, justice, legal certainty.
PENDAHULUAN
bermartabat menjadikan lembaga peradilan mendapat legitimasi dari masyarakat dan tentunya A. Latar Belakang jelas hal ini merupakan barometer penilaian dari Pengadilan merupakan instansi negara institusi yudisial. di mana masyarakat menaruh harapan untuk Dalam menjalankan fungsinya untuk mendapatkan keadilan atas masalah hukum yang menegakkan keadilan, maka peradilan mereka alami. Banyak dari para pencari keadilan memerlukan dasar dalam menjatuhkan putusan. percaya bahwa mereka akan mendapatkan apa Dasar tersebut berupa alat bukti, yang dalam kasus yang mereka harapkan dari lembaga peradilan, perdata salah satunya berbentuk alat bukti surat. untuk harapan tersebut sudah sewajarnya seluruh Namun ada kalanya terjadi kasus di mana alat stakeholder lembaga peradilan bekerja secara bukti surat tersebut dimiliki oleh dua orang yang extraordinary. berbeda, sehingga pengadilan harus memutuskan Produk hukum lembaga peradilan ada dua permasalahan tersebut untuk menjamin kepastian yaitu penetapan dan putusan. Penetapan merupakan hukum. keputusan pengadilan yang dihasilkan atas permohonan dan putusan merupakan keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan. Berdasarkan putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang disengketakan. Peradilan sebagai ujung tombak penegakan hukum diharapkan dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hasil kerja lembaga peradilan melalui penjatuhan putusan yang bertitik tolak pada nilai-nilai keadilan, kepastian serta kemanfaatan, diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan hukum yang ada dan berorientasi pada penyelesaian perkara, sehingga dengan produk putusan yang
340 |
Jurnal isi.indd 340
Pada tahun 1984 NW dalam kedudukannya sebagai penggugat, membeli sebidang tanah yang tercatat dalam hak milik Nomor Pipil 357, kls II, persil 86, atas nama Almarhum IS, terletak di Desa Kuta, Badung, Bali, seluas 350 m², seharga Rp1.750.000,- (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Setelah proses jual beli penggugat melakukan proses pendaftaran dan pencatatan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Oleh BPN Kantor Pertanahan Kabupaten Badung diterbitkan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 2107/Kuta, yang dalam hal ini penulis sebut sebagai objek sengketa. Sebagai seorang pemilik atas sebidang tanah, penggugat melakukan penguasaan terhadap objek sengketa tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Permasalahan mulai muncul
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:23 AM
pada tahun 2007 ketika terjadinya pembaruan/ pemekaran wilayah pada kawasan objek sengketa yang mengharuskan penggugat untuk melakukan proses pergantian sertipikat atas SHM Nomor 2107/Badung.
main hakim sendiri (eigenrichting), penggugat maupun tergugat 1 dan tergugat 2 kemudian menyelesaikan melalui lembaga peradilan untuk mendapatkan keabsahan akan kepemilikan sebidang tanah yang tercatat double, di mana dalam perkara tersebut terdapat lima pihak, Sesuai dengan petunjuk dari BPN, dengan ditambah BPN Kantor Pertanahan Kota penggugat melakukan pendaftaran ke BPN Denpasar dan BPN Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Denpasar. Sehingga SHM Nomor 2107/ Badung. Badung tersebut berubah menjadi SHM Nomor 7907/Pemogan atas nama pemegang hak NW Pengadilan Negeri Denpasar sebagai (penggugat), yang telah terdaftar dan tercatat peradilan yang berwenang secara relatif mengadili di BPN Kantor Pertanahan Kota Denpasar. perkara ini telah mengeluarkan Putusan Nomor 25/ Setelah proses pendaftaran selesai, penggugat Pdt.G/2014/PN.Dps, tertanggal 25 Agustus 2014. kembali melakukan penguasaan terhadap objek Dalam putusan yang dikeluarkan majelis hakim sengketa. Dalam penguasaan tersebut penggugat menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. memberikan kepada seseorang untuk menggarap Dikarenakan fakta yuridis antara gambar situasi objek sengketa, namun ternyata pada pertengahan dengan alat bukti pengukuran yang penggugat tahun 2009 ketika penggugat datang ke objek ajukan tidak sama persis, sehingga menurut sengketa untuk mengecek tanahnya, diketahui hemat majelis hakim hal ini menganut asas bahwa sebidang tanah miliknya telah dikuasai probationis causa yang berarti surat/akta yang oleh NMJ (dalam kedudukannya sebagai tergugat merupakan satu-satunya alat bukti yang dapat dan 1) dan NNM (dalam kedudukannya sebagai sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. tergugat 2). Atas hal tersebut, maka penggugat Dalam putusannya, majelis hakim mencoba untuk berkoordinasi dengan tergugat 1 menyatakan bahwa oleh karena tergugat 1 dan dan tergugat 2 untuk membahas landasan hukum tergugat 2 dapat membuktikan dalilnya, maka adanya penguasaan objek sengketa. transaksi jual beli tanah antara tergugat 1 dengan Saat penggugat menemui tergugat 1 dan RC sebagaimana Akta Jual Beli Nomor 135 tergugat 2 untuk menyelesaikan masalah, tergugat tanggal 22 Maret 2006, yang telah dicatatkan 1 dan tergugat 2 menyatakan bahwa objek dalam SHM Nomor 9462 (hak milik tergugat sengketa merupakan hak milik tergugat 1 dan 1) dan jual beli tanah antara tergugat 2 dengan tergugat 2. Masing-masing tergugat menyatakan IMS sebagaimana dalam Akta Jual Beli Nomor mempunyai Sertipikat Hak Milik (SHM) di atas 439 tanggal 22 November 2006, yang telah objek sengketa. Menindaklanjuti permasalahan dicatatkan dalam SHM Nomor 9463 (hak milik objek sengketa ini, penggugat mendatangi pihak tergugat 2) adalah sah secara hukum. Hingga BPN Kota Denpasar. Di BPN Kota Denpasar pasca dikeluarkannya putusan tersebut, telah dijumpai adanya tiga SHM sebagai pemegang menguatkan bahwa di dalam objek sengketa hak di atas objek sengketa. Untuk dapat terdapat tiga putusan yang berhak dan sah secara menyelesaikan permasalahan atas perkara yang hukum, SHM milik penggugat yang masih sah terjadi, serta untuk menghindari adanya tindakan secara hukum karena tidak ada pembatalan Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 341
| 341
1/6/2017 11:30:23 AM
sertipikat, SHM milik tergugat 1 dan SHM milik dikeluarkan oleh pengadilan, hal ini menjadi tergugat 2 sebagaimana yang termuat dalam pencerminan penegakan hukum di masyarakat putusan. Indonesia, menjadi referensi bagi para penegak hukum di Indonesia, serta apakah aliran hukum Objek yang penulis kaji dalam kajian (mazhab) yang masih digunakan dalam proses ilmiah ini adalah produk hukum yang dihasilkan peradilan khususnya penyelesaian perkara a quo oleh pengadilan yang berupa putusan, karena sejalan dengan perkembangan ilmu hukum yang di dalam putusan tersebut penulis menemukan terus bergerak dinamis dewasa ini. permasalahan yang harus diselesaikan secara hukum, sehingga cita hukum yang diharapkan dan dicanangkan dalam negara yang mengusung D. Studi Pustaka konsep rechstaat dapat berjalan dengan optimal. Perhatian terhadap keadilan terlihat dari Dalam kajian ilmiah ini penulis akan mengkaji adanya ungkapan-ungkapan yang telah dikenal putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan sejak beberapa ratus tahun lalu, seperti fiat Negeri Denpasar pada tanggal 25 Agustus 2014 justitia pereat mundus atau hendaklah keadilan yaitu Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps, ditegakkan walaupun dunia harus binasa (let mengenai sengketa tanah. there be justice, though the world perish), dan B.
Rumusan Masalah
fiat justitia ruat coelum atau hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit runtuh (may justice be done though the heavens fall).
Berangkat dari identifikasi permasalahan dalam latar belakang tersebut, timbul dua Ungkapan-ungkapan ini memperlihatkan permasalahan yaitu: keyakinan bahwa keadilan harus dijalankan dengan tidak memperdulikan konsekuensi1. Bagaimanakah Putusan Nomor 25/ konsekuensinya. Dalam praktik peradilan dalam Pdt.G/2014/PN.Dps, apabila ditinjau dari kepala putusan terdapat kata-kata “Demi Keadilan aspek keadilan? Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kepala 2. Bagaimanakah Putusan Nomor 25/ putusan ini menunjukkan bahwa setiap putusan Pdt.G/2014/PN.Dps, apabila ditinjau dari pengadilan dijatuhkan demi keadilan bukan demi hukum. kemanfaatan hukum terhadap para pihak? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari kajian ilmiah ini dibagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari kajian ilmiah ini adalah untuk memberikan informasi hukum kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu hukum. Tujuan khusus dari kajian ilmiah ini adalah untuk melihat pertimbangan hukum dari putusan yang 342 |
Jurnal isi.indd 342
Menurut Aristoteles terdapat dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif (keadilan yang bersifat menyalurkan), artinya keadilan yang memberikan kepada setiap orang menurut jasa (according to merit). Keadilan ini bersifat proporsional, berarti persamaan dalam rasio (for proportion is equality of rations). Walaupun nyatanya orang menerima sejumlah yang tidak sama, tetapi dalam nalar ada persamaan, sebab penyaluran yaitu dilakukan berdasarkan jasa Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:23 AM
masing-masing. Keadilan ini tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian sama banyaknya, jadi bukan persamaan melainkan kesebandingan. Keadilan distributif ini terutama menguasai hubungan antara masyarakat, khususnya negara dan individu.
yang berlaku, sehingga rakyat merasa asing atau terasing dari aturan hukum tersebut. Putusan pengadilan seharusnya dapat memberikan keadilan atau setidaknya memberikan penyelesaian sengketa yang bermanfaat kepada para pihak. Hal ini karena ketika masyarakat telah berkembang dengan pola pikir yang sangat maju, bahkan telah mempertanyakan makna keadilan yang diberikan oleh perangkat hukum terhadapnya. Tentulah hal ini tidak bisa untuk dipungkiri atau dinafikan begitu saja oleh hakim. Di tengah predikatnya selaku penegak hukum yang harus menyadari bahwa di dalam penegakan hukum telah terkandung penegakan keadilan.
Keadilan kumulatif, menurut istilah Apeldoorn atau yang oleh Aristoteles dinamakan keadilan yang bersifat membetulkan (rectificatory justice), yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Keadilan ini memegang peran dalam tukar menukar, di mana dalam pertukaran barang-barang dan jasa, sebanyak mungkin harus terdapat persamaan Aktualisasi hakim dalam menjalankan antara apa yang dipertukarkan. Keadilan kumulatif fungsinya harus selalu mencerminkan diri terutama menguasai hubungan antar individu pada kenyataan hukum yang berkembang di (Rumokoy & Maramis, 2014: 29-30). masyarakat. Dengan menempatkan diri secara Keadilan menurut Rawls pada dasarnya berani tapi profesional serta humanis dari cara adalah keadilan yang mengutamakan kebebasan berpikir. Penempatan asas dan teori hukum, individual yang bertanggung jawab (Rawls dalam analitis positivistik untuk meraih tujuan berupa Akub & Baharu, 2012: 19). Penegakan hukum perwujudan keadilan yang substantif tanpa yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila meninggalkan penafsiran yang disandarkan pada hukum yang ditegakkan, begitu pula hukum yang harmonisasi logika yang bersumber pada asas mengatur cara-cara penegakan hukum adalah hukum lebih dari satu cabang kekhususan disiplin benar dan berkeadilan. Suatu aturan hukum akan ilmu dalam menjatuhkan suatu putusan. benar dan adil apabila dibuat dengan cara-cara Dengan bermodalkan hal yang demikian, yang benar dan materi muatannya sesuai dengan maka kemampuan berpikir secara mendalam kesadaran hukum dan memberi sebesar-besarnya dalam upaya untuk mencari dan menemukan manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan hakikat kebenaran terhadap sesuatu permasalahan masyarakat banyak pada umumnya. menjadi jalan keluar secara rasional dengan Suatu aturan hukum akan tidak benar dan menggunakan hukum sebagai instrumennya adil apabila dibuat hanya untuk kepentingan untuk mewujudkan keadilan. Antinomi dengan kekuasaan belaka dan mengandung kesewenang- kesadaran bahwa yang dihadapi merupakan wenangan. Tetapi perlu juga mendapat perhatian, keadaan di mana perilaku manusia baik individu bahwa suatu hukum dapat menjadi tindak benar maupun kelompok dalam masyarakat telah terikat dan tidak adil, apabila mempunyai jarak begitu dan berada dalam koridor yang sudah digariskan jauh dengan kesadaran dan kenyataan sosial oleh aturan hukum, yaitu peraturan perundang-
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 343
| 343
1/6/2017 11:30:23 AM
undangan yang berlaku. Dengan tujuan keterangan, informasi, data mengenai untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, hal-hal yang belum diketahui. Karena menerapkan hukum baik dalam bentuk peraturan bersifat mendasar, penelitian ini disebut perundang-undangan yang berlaku maupun penjelajahan (eksploration). penggalian dari nilai yang hidup di masyarakat. 2. Penelitian yang sifatnya deskriptif. Dengan menjunjung tinggi nilai objektif keadilan Penelitian deskriptif pada penelitian secara sebagai tujuan utama dengan tetap memberikan umum termasuk pula di dalamnya penelitian jaminan kepastian hukum serta manfaat bagi ilmu hukum, bertujuan menggambarkan pencari keadilan. secara tepat sifat-sifat suatu individu, Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh keadaan gejala atau kelompok tertentu hakim dengan sisi humanis yang ada padanya atau untuk menentukan penyebaran suatu adalah dengan mencoba untuk memahami gejala atau untuk menentukan ada tidaknya esensi hermeneutika hukum yang terletak pada hubungan antara suatu gejala dengan gejala pertimbangan triangle hukumnya berupa metode lain di dalam masyarakat (Amiruddin, 2010: menginterpretasikan teks hukum yang tidak 45). semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga Bahan dalam penelitian ini diperoleh dari konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang masa kini dan mendatang (Rifai, 2011: 89). mengikat yang terdiri dari UUD NRI 1945, KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 II. METODE tentang Pokok-Pokok Agraria, dan Peraturan Sebagaimana yang diketahui dalam Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang penulisan suatu karya ilmiah, salah satu Pendaftaran Tanah. Bahan hukum sekunder yaitu komponen penentu sebagai syarat metode yang bahan yang memberikan penjelasan mengenai dipergunakan untuk mencari data dari karya tulis bahan hukum primer, seperti buku-buku/literatur, tersebut dalam hal ini adalah metode penelitian rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, (Supratman & Dillah, 2012: 26). Secara umum hasil seminar, makalah, artikel maupun pendapat dalam metode penulisan ada yang disebut dengan pakar hukum yang berkaitan dengan materi metode penelitian empiris, yang apabila ditinjau penelitian. Bahan hokum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun menurut sifatnya dibedakan menjadi: penjelasan terhadap bahan hukum primer dan 1. Penelitian yang sifatnya eksplanatori. bahan hukum sekunder berupa Kamus Besar Penelitian eksplanatori adalah penelitian Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Inggris yang bertujuan untuk menguji suatu teori dan Kamus Hukum. atau hipotesis guna memperkuat atau Penelitian dilakukan dengan alat penelitian bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. berupa studi dokumen yaitu dengan menggunakan Penelitian eksplonatori bersifat mendasar data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, dan bertujuan untuk memperoleh bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier 344 |
Jurnal isi.indd 344
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:23 AM
yang berkaitan dengan substansi permasalahan atau gambar situasi (untuk pendaftaran tanah yang diteliti. sporadis) yang dijahit menjadi satu dan bentuknya ditetapkan oleh menteri (Hartanto, 2014: 103). Teknik pengumpulan bahan penelitian ini adalah mengkaji Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/ Kegiatan pendaftaran tanah yang telah PN.Dps, mengumpulkan bahan-bahan berupa dilakukan oleh pemerintah dengan sistem yang buku-buku yang berhubungan dengan penelitian sudah melembaga sebagaimana yang telah dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah dengan objek yang diteliti. selama ini, mulai dari permohonan seorang atau Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps diperoleh melaui permohonan langsung kepada pihak penggugat sebagai bahan penelitian akademisi, dan penelitian dilakukan dengan observasi pada setiap persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar. Bahan yang telah dikumpulkan kemudian dikaji menggunakan analisis konten (content analysis). Analisis konten digunakan karena penelitian dilakukan dengan mengaitkan bahan yang baik bahan sekunder maupun bahan dokumen yang telah dikumpulkan. Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan bahan yang siap pakai dan bahan akurat dari pengadilan sebagai satusatunya bahan yaitu dengan menginventarisasi dan menganalisis bahan tersebut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Putusan Pengadilan Nomor 25/ Pdt.G/2014/PN.Dps Ditinjau dari Aspek Keadilan Sertipikat merupakan hasil dari pendaftaran tanah, yaitu beberapa rangkaian kegiatan yang diakhiri dengan pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang sah menurut hukum. Bukti kepemilikan yang sah atas tanah adalah dalam bentuk sertipikat hak atas tanah. Sertipikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur (untuk pendaftaran tanah sistemik)
badan, diproses sampai dikeluarkan bukti haknya (sertipikat) dan dipelihara data pendaftarannya dalam buku tanah (Lubis & Lubis, 2010: 104). Dengan demikian, maka dapat dikatakan apabila suatu hak atas tanah telah didaftarkan maka tanah tersebut mempunyai sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Fungsi sertipikat adalah untuk membuktikan adanya hak atas tanah dan subjek yang berhak atas tanah tersebut. Pembuktiannya dapat dilihat dari data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat tersebut. Data fisik meliputi keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah yang didaftar serta keterangan mengenai bangunan dan bagian-bagian yang di atasnya, sedangkan data yuridis meliputi keterangan mengenai status hukum bidang tanah yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain, serta hak-hak lain yang membebaninya. Sertipikat tanah ini kemudian akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan atas pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya (Tehupeiory, 2012: 21). Dalam hukum perdata pembuktian sertipikat merupakan alat bukti yang kuat dan mutlak. Sertipikat bukti yang kuat yang berarti data fisik dan data yuridis yang terdapat dalam sertipikat mempunyai kekuatan pembuktian dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dapat dibuktikan
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 345
| 345
1/6/2017 11:30:23 AM
sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sifat mutlak berarti apabila sudah berjalan lima tahun tidak ada yang menggugat atau mempermasalahkan sertipikat tersebut, maka tidak dapat lagi diganggu gugat, karena sertipikat yang bersangkutan mempunyai kekuatan bukti yang mutlak. Dalam Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/ PN.Dps, tertanggal 25 Agustus 2014, telah memutus bahwa gugatan penggugat ditolak untuk seluruhnya, dikarenakan penggugat dengan buktibuktinya belum cukup untuk dapat meneguhkan bahwa objek perkara adalah sah milik penggugat, sedangkan tergugat 1 dan tergugat 2 dengan bukti-buktinya telah dapat membuktikan bahwa objek sengketa adalah sah miliknya, sehingga dalil-dalil tergugat 1 dan tergugat 2 telah dapat melumpuhkan dalil-dalil penggugat, karenanya terdapat dalil pokok gugatan penggugat harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan harus ditolak. Kemudian dalam gugatan rekonvensinya, pertimbangan hukum majelis hakim telah dipertimbangkan dalam konvensi bahwa objek sengketa merupakan sebagian dari milik tergugat 1 sesuai SHM Nomor 9462, surat ukur tanggal 26 Juli 2004 Nomor 1675/Kuta/2004, atas nama NMJ (penggugat 1 dalam rekonvensi/tergugat 1 dalam konvensi), sehingga dengan mengambil alih
pertimbangan tersebut maka terhadap dalil pokok gugatan para penggugat dalam rekonvensi dapat dikabulkan, dengan demikian terhadap petitum gugatan para penggugat dalam rekonvensi pada poin 3 dan 5 dapat dikabulkan. Oleh karena SHM Nomor 9462, surat ukur tanggal 26 Juli 2004 Nomor 1675/Kuta/2004, atas nama NMJ (penggugat 1 dalam rekonvensi/ tergugat 1 dalam konvensi) dan SHM Nomor 9463, surat ukur tanggal 26 Juli 2004 Nomor 1676/Kuta/2004, atas nama NNM (penggugat 2 dalam rekonvensi/tergugat 2 dalam konvensi) telah dinyatakan sah, maka sebagai konsekuensi hukum dari pertimbangan di atas adalah proses perolehan tanah tersebut telah sesuai dengan prosedur hukum yang benar, juga selaku pembeli yang beriktikad baik adalah selayaknya para penggugat dalam rekonvensi mendapat perlindungan hukum, sehingga dengan demikian terhadap petitum gugatan para penggugat dalam rekonvensi pada poin 2, 4, dan 6 dapat dikabulkan. Apabila ditinjau dari logika perbandingan atas perkara tersebut maka putusan menolak gugatan penggugat dan kemudian menerima gugatan rekonvensi tidak mencerminkan keadilan terhadap pokok perkara. Untuk lebih rincinya penulis akan menerangkan pembuktian para pihak dengan tabel.
Tabel 1. Perbandingan Pembuktian Para Pihak Pembuktian Penggugat No.
Pembuktian Penggugat
Keterangan
1.
Fc. Kuitansi Pelunasan Pembelian Objek Sengketa tertanggal 13 Juli 1984.
Bukti ini menerangkan bahwa objek sengketa tersebut telah dibeli oleh penggugat dengan harga Rp.1.750.000,- (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), yang ditandatangani oleh penjual sebagai ahli waris tunggal atas objek sengketa yaitu INPD, dan telah ditandatangani oleh Notaris Pengganti di Denpasar R.A. Rachana Herawati., S.H., terhadap sebagian Tanah Pipil Nomor 357, Persil 86, Klas II, seluas ± 350 m², tercatat atas nama IS, terletak di Desa Kuta/Subak Abianbase 109, Kecamatan Kuta, Daerah Tingkat II Badung, Daerah Tingkat I Bali.
346 |
Jurnal isi.indd 346
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:23 AM
2.
Fc. Akta Jual Beli Nomor 310/62/Kt/1984, tertanggal 22 Agustus 1984.
Bukti ini menerangkan bahwa penggugat telah membeli objek sengketa, sehingga perbuatan hukum berupa jual beli tersebut membuktikan bahwa dalam proses jual beli terhadap objek sengketa telah memenuhi suatu perikatan jual beli yang sah secara hukum.
3.
Fc. Sertipikat Hak Milik Nomor 2107/kuta atas nama pemegang hak NW (penggugat).
Bukti ini menerangkan bahwa objek sengketa tersebut telah menjadi hak milik penggugat yang dibeli pada tahun 1986. Hal ini merupakan bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sempurna bagaimana sifat daripada sebuah sertipikat hak milik sebagai akta otentik.
4.
Fc. Surat Keterangan Nomor Pem.3/4/GLC/53/XI/2013, (menjelaskan tentang pemekaran wilayah).
Bukti ini menerangkan bahwa objek sengketa semula masuk wilayah Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Kemudian oleh karena adanya pembaruan/pemekaran wilayah, maka objek sengketa tersebut sekarang masuk pada wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
5.
Fc. Sertipikat Hak Milik Nomor 7907/Pemogan atas nama penggugat.
Bukti ini menerangkan bahwa objek sengketa telah menjadi wilayah hukum administratif BPN Kota Denpasar, bukti ini menerangkan bahw bahwa objek sengketa merupakan sah hak milik penggugat.
6.
Fc. Peta Bidang Tanah Nomor 700/2013, tertanggal 24 Juni 2013.
Bukti ini menerangkan bahwa antara SHM nomor 7097/Pemogan atas nama penggugat terdapat adanya double/overlap dengan SHM Nomor 9462/Kuta dan SHM Nomor 9463/Kuta.
Tabel 2. Pembuktian Terguguat 1 No.
Bukti Tergugat 1
Keterangan
1.
Fc. Akta Jual Beli Nomor 135, tertanggal 22 Maret 2006.
Bukti ini menerangkan bahwa tergugat 1 telah melakukan proses hukum terhadap jual beli objek sengketa.
2.
Fc. Sertipikat Hak Milik Nomor 9462/ Kuta atas nama pemegang hak NMJ.
Bukti ini menguatkan Peta Bidang Tanah terkait adanya double/ overlap di dalam objek sengketa.
Tabel 3. Pembuktian Terguguat 2 No.
Bukti Tergugat 2
Keterangan
1.
Fc. Salinan Akta Jual Beli Nomor 439/2006, tertanggal 22 November 2008.
Bukti ini menerangkan bahwa tergugat 2 telah melakukan proses hukum terhadap jual beli objek sengketa.
2.
Fc. Sertipikat Hak Milik Nomor 9463/ Kuta atas nama pemegang hak NNW.
Bukti ini menguatkan Peta Bidang Tanah terkait adanya double/ overlap di dalam objek sengketa.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terjadi ketidakadilan dalam penerapan hukum perkara a quo di mana pihak penggugat telah membeli dan menguasai objek sengketa pada tahun 1984 jauh sebelum diterbitkannya sertipikat yang menjadi hak para tergugat. Dari fakta ini seharusnya majelis hakim dapat melihat dengan teliti mengenai fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Karena objek
sengketa yang dipermasalahkan dalam perkara ini adalah sengketa sertipikat double/overlap maka penyelesaian yang ideal yaitu siapa yang berhak dan yang mana yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu putusan perkara a quo tidak memeriksa, meneliti dan memutus sesuai dengan pokok permasalahan yang menjadi alasan
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 347
| 347
1/6/2017 11:30:24 AM
diajukannya dan diselesaikannya permasalahan a quo pada Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana tujuan hukum acara perdata yaitu untuk menghindari adanya main hakim sendiri (eigenrichting), karena dalam putusan tidak memutus mengenai keabsahan dan kepemilikan objek sengketa yang tumpang tindih, padahal hal ini yang menjadi inti pokok diajukannya perkara a quo.
mulai dari tahapan konstantir, tahap kualifikasi, dan tahap konstituir. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam kajian filsafat hukum selalu mengutamakan “the search for justice” dan selalu menegaskan bahwa selalu diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia (Fanani, 2013: 37). Selain itu sebagai negara yang berlatar belakang masyarakat yang madani, adil, dan makmur tentu yang menjadi the core value-nya adalah keadilan, dan memang tujuan hukum itu sendiri adalah mencapai keadilan. Perjalanan penegakan hukum yang dipandang hanya sekedar justice stigma yang begitu banyak menuai kritik pedas masyarakat karena justru telah menimbulkan ketidakadilan, seharusnya dapat menyadarkan kembali seluruh stakeholder bangsa ini untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi sehingga sikap ketidakpercayaan dan apatisme terhadap penegak hukum begitu terkristalisasi matang dalam benak pencari keadilan.
Dalam memecahkan perkara semestinya hakim menekankan pada kegunaan ilmu hukum secara empiris. Hal ini mengingat bahwa ilmu hukum setidak-tidaknya adalah untuk dapat menjelaskan eksistensi objeknya beserta problematik yang berkenaan dengan objeknya. Inilah kegunaan minimum ilmu yang menjadi titik pangkal bagi kegunaan manusia sesuai kepentingan dan tujuannya. Jika misalnya sudah jelas apa yang menjadi problematik dari objek ilmu tertentu yang merugikan manusia atau yang tidak menyenangkan manusia, maka pemecahannya ditentukan lagi oleh hal lain, yaitu yang sangat menentukan adalah energi yang tersedia yang dapat dipergunakan oleh manusia Secara konseptual, Rahardjo merumuskan untuk mengatasi atau memecahkan masalah yang pengertian penegak hukum sebagai suatu tidak menyenangkan manusia itu (Voll, 2013: 8). proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan Dalam pandangan penulis, majelis hukum sebagai suatu proses untuk mewujudkan hakim dalam menjatuhkan perkara a quo lebih keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. menekankan pada aliran positivisme yang Keinginan-keinginan hukum yang dimaksud cenderung pada pemenuhan atas kepastian adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undanghukum. Secara harfiah memang fungsi dari undang yang dirumuskan peraturan-peraturan hukum tidak hanya menegakkan keadilan, dan hukum itu. Peraturan-peraturan hukum yang ada fungsi lain yaitu kepastian sebagaimana yang dibuat oleh lembaga legislatif pada dasarnya digunakan. Akan tetapi jika dalam praktik ketiga bukannya tidak memihak. Oleh karena suatu fungsi hukum itu bertentangan, maka hakim undang-undang merupakan hasil perjuangan dalam membuat putusan harus membuat skala kekuasaan di dalam masyarakat, ada pendapat prioritas dengan mengutamakan keadilan di atas bahwa pihak yang berkuasa juga menentukan kepastian dan kemanfaatan. Keadilan dijadikan bagaimana isi peraturan hukum yang dibuat pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, (Sujono & Daniel, 2013: 61-62). 348 |
Jurnal isi.indd 348
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:24 AM
Penjatuhan putusan yang hanya mendasarkan peratuan hukum yang berlaku, tanpa mempertimbangkan hasil konkret yang penerapan putusan di masyarakat dapat dikatakan bahwa putusan yang dikeluarkan telah mencederai rasa keadilan di masyarakat dan tentunya akan mempengaruhi terhadap ketertiban masyarakat hukum yang diwajibkan untuk senantiasa tunduk dan patuh terhadap segala produk hukum yang berlaku.
dengan alasan bahwa tuntutan provisi tersebut telah masuk dalam materi pokok perkara. Pertimbangan yang dijatuhkan ditinjau dari asas kemanfaatan suatu putusan sangat
melenceng, di mana dengan dibiarkannya proses pembangunan dalam objek sengketa telah merugikan kepentingan para pihak dalam berperkara. Semestinya yang menjadi fokus utama dalam penjatuhan putusan adalah melihat asas kemanfaatan dari putusan tersebut. Secara tidak langsung pengadilan dalam hal ini B. Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps telah membiarkan perbuatan melawan hukum Ditinjau dari Kemanfaatan Hukum tersebut terjadi secara terus menerus. Sedangkan terhadap Para Pihak pengadilan masih memeriksa terkait dengan Untuk mendapatkan perlindungan hukum kepemilikan atas tanah yang menjadi objek atas permasalahan perkara maka sesuai dengan pembangunan. asas nemo plus yuris yang menegaskan bahwa Salah satu fungsi utama dari putusan perlindungan diberikan kepada pemegang hak hakim adalah menyelesaikan sengketa. Namun yang sebenarnya, maka dengan asas ini, selalu demikian, perlu dipahami bahwa fungsi terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada menyelesaikan sengketa tidak sekedar memutus pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai persengketaan di antara para pihak, melainkan pemilik yang sesungguhnya atas tanah tersebut juga memberi bentuk penyelesaian terbaik (Hartanto, 2014: 57). yang mampu memberikan rasa keadilan dan Berlandaskan hal tersebut penggugat kemanfaatan bagi para pihak. Suatu putusan mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri tidak hanya harus mewujudkan kepastian hukum, Denpasar dan di dalam gugatannya mengajukan tetapi juga keadilan dan kemanfaatan (Asnawi, tuntutan provisi yaitu suatu keputusan yang 2013: 73). Pembiaran terhadap pembangunan di bersifat sementara atau interim award (temporary dalam objek sengketa yang masih dalam proses disposal) yang bersisi tindakan sementara hukum tentunya telah mencederai terhadap nilaimenunggu sampai putusan akhir mengenai nilai perlindungan hukum terhadap para pencari pokok perkara dijatuhkan dengan tujuan agar keadilan. pembangunan yang dilaksanakan di dalam objek sengketa untuk ditangguhkan terlebih dahulu guna menghindari ada kerugian terhadap para pihak dan penghormatan pada proses peradilan yang sedang berlangsung. Namun dalam perkembangan putusan perkara a quo ternyata majelis hakim hakim menolak tuntutan tersebut
Fakta hukum selanjutnya yaitu pertimbangan yang telah mengesampingkan alat bukti yang diajukan dari pihak penggugat dengan alasan bahwa SHM yang merupakan probationis causa atas kepemilikan objek sengketa bertentangan dengan peta bidang yang menjadi bukti adanya overlap pada objek sengketa, dengan kata lain
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 349
| 349
1/6/2017 11:30:24 AM
bukti penggugat tidak persis sama dengan batasbatas pada SHM milik penggugat. Hal ini tentunya menjadi preseden yang buruk terhadap kontruksi hukum dewasa ini, karena berjalan waktu terhadap sebidang tanah terlebih tanah di daerah perkotaan pasti terjadi perubahan batas-batas, di mana faktanya dalam objek sengketa dahulunya merupakan kawasan persawahan sekarang telah berubah menjadi daerah perumahan. Dengan demikian maka pasti terjadi perubahan antara keadaan nyata objek sengketa dengan sertipikat yang terbit di tahun 1987. Pertimbangan yang hanya melihat pada teks-teks pada alat bukti dan tidak logika hukum terhadap peristiwa hukum yang terjadi, menjadikan suatu perkara dan suatu putusan menjadi sumir. Adanya peta bidang tanah tersebut adalah hasil dari pengukuran yang dilakukan penggugat dengan BPN Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Pada mulanya penggugat berupaya untuk membuat perubahan batas atas sebidang tanah milik penggugat. Kemudian penggugat bersama dengan petugas dari BPN Kota Denpasar melakukan pengukuran ke objek sengketa namun dalam perkembangannya di dalam objek sengketa telah dibangun sebuah bangunan, dan petugas kembali melakukan pengecekan melihat titik kordinat dari database yang ada pada seksi pengukuran BPN Kota Denpasar, ternyata di dalam objek sengketa terdapat sertipikat double. Dengan adanya peletakan titik koordinat yang sama terhadap satu bidang tanah, mengakibatkan adanya tumpang tindih hak atas tanah terhadap satu bidang tanah. Di mana peletakan titik koordinat yang tercatat dalam BPN Badung dan BPN Kota Denpasar sepanjang belum mendapat keputusan dari pengadilan masih berlaku sebagaimana tujuan dilakukannya pengukuran tersebut. Terhadap perubahan 350 |
Jurnal isi.indd 350
sertipikat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah berupa pembaruan wilayah/pemekaran, dan untuk hal-hal ini kemudian penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan tujuan terdapat penyelesaian atas permasalahan yang terjadi. Namun pertimbangan majelis hakim tidak melihat permasalahan ini secara objektif, akan tetapi secara apriori menyimpulkan bahwa bukti penggugat tidak relevan dan kemudian dikesampingkan. Dengan tidak dipertimbangkannya bukti penggugat tersebut mengakibatkan perkara semakin rancu dan seolah-olah permasalahan ini tidak didasarkan pada fakta hukum yang terjadi pada saat persidangan yang dilaksanakan. Bahkan majelis hakim dalam memutus perkara objek sengketa tanah yang diketahui telah adanya overlap/double sertipikat tidak melakukan pemeriksaan setempat. Hal ini merupakan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dengan mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 966 K/Sip/1973, tertanggal 31 Juli 1975, yang menegaskan: “Seorang juru sita atau wakilnya yang ditunjuk secara sah oleh hakim Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan setempat berwenang penuh untuk melaksanakan perintah hakim tersebut dan hasil pemeriksaan dapat menjadi keterangan bagi hakim yang bersangkutan dalam pemeriksaan setempat dalam memutus perkara yang dihadapinya.” Pertimbangan hukum selanjutnya yang menarik dari majelis hakim adalah pertimbangan hukum yang membahas terkait dengan pertimbangan hukum mengenai saksi yang diajukan oleh penggugat, di mana saksi-saksi yang diajukan oleh penggugat dikesampingkan secara sepihak dikarenakan keterangan saksi penggugat yaitu saksi INPD, saksi MMA, dan Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:24 AM
saksi IKM menerangkan bahwa tanah penggugat berbatas sebelah selatan dengan telabah kecil atau jelinjingan (bahasa Indonesia parit kecil). Sedangkan SHM yang dimiliki penggugat berbatas selatan dengan telabah, sehingga keterangan saksi-saksi tersebut tidak sesuai dengan bukti kepemilikan tanah penggugat. Pertimbangan hukum majelis hakim tersebut merupakan pertimbangan yang menarik sekali dicermati, karena tidak berdasarkan fakta hukum keterangan saksi penggugat yang mengetahui keadaan fisik objek sengketa pada saat sertipikat dibuat karena kapasitas saksi adalah saksi kunci, di mana saksi IKM merupakan pengggarap penggugat yang bertugas menjaga dan mengolah objek sengketa kemudian hasilnya untuk beberapa bagian diserahkan kepada penggugat.
dalil-dalil penggugat, karenanya terhadap dalil pokok gugatan penggugat harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan harus ditolak. Pertimbangan terhadap pembuktian majelis hakim terhadap bukti tulis penggugat adalah keliru karena bukti yang diajukan oleh penggugat yaitu SHM, peta bidang tanah terjadinya perbuatan melawan hukum para tergugat, serta bukti lain yang diterbitkan oleh lembaga negara yang sah secara hukum. Sehingga secara teori pembuktian bukti tersebut merupakan bukti otentik, yang artinya suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan ahli warisnya, dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantumnya di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka.
Berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR/1868 Saksi INPD bersaksi karena saksi merupakan BW/285 RBg tersebut, maka akta dapat penjual objek sengketa kepada penggugat, jadi digolongkan menjadi: saksi mengetahui secara jelas bagaimana keadaan 1. Acte ambtelijk, yaitu akta otentik yang fisik objek sengketa pada saat sertipikat hak milik dibuat oleh pejabat umum. Pembuat akta penggugat dibuat. Terakhir adalah saksi MMA otentik tersebut sepenuhnya merupakan merupakan penghubung antara penggugat dan kehendak dari pejabat umum. Jadi isinya saksi INPD sebelum terjadinya jual beli objek adalah keterangan dari pejabat umum sengketa. Atas dasar tersebut pertimbangan tentang hal-hal yang ia lihat dan ia lakukan. majelis hakim yang mengesampingkan saksi dari penggugat merupakan tindakan yang tidak dapat 2. Acte partji, yaitu akta otentik yang dibenarkan, karena sesungguhnya yang menjadi dibuat para pihak di hadapan pejabat saksi kunci dalam permasalahan a quo adalah umum. Pembuatan akta otentik tersebut, para saksi tersebut. sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Pertimbangan majelis hakim selanjutnya Isi akta otentik tersebut merupakan adalah pertimbangan yang berkesimpulan bahwa keterangan-keterangan yang merupakan penggugat dengan bukti-buktinya penggugat kehendak para pihak itu sendiri (Sasangka, belum cukup dapat meneguhkan bahwa objek 2005: 53). sengketa adalah sah hak milik penggugat. Sedangkan para tergugat dengan buktinya telah Dalam pertimbangan majelis hakim dapat membuktikan bahwa dapat melumpuhkam pemeriksa perkara yang telah menolak gugatan
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 351
| 351
1/6/2017 11:30:24 AM
penggugat namun tidak menyatakan bahwa sertipikat penggugat adalah tidak sah merupakan suatu putusan yang tidak menyelesaikan masalah. Artinya dalam putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar tersebut mengembalikan perkara pada keadaan semula dan cenderung membiarkan perbuatan melawan hukum secara terus menerus.
bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah ini tidaklah positif, tetapi negatif (Badan Pertanahan Nasional, 2016).
Maksud bahwa perkara dikembalikan pada keadaan semula adalah pada saat setelah putusan dibacakan oleh majelis hakim, penggugat maupun para tergugat berada dalam posisi yang membingungkan. Di satu sisi SHM Nomor 7907/Pemogan secara hukum masih berlaku sebagaimana maksud dan tujuannya diterbitkan sertipikat tersebut yaitu kepemilikan penggugat atas sebidang yang menjadi objek sengketa. Di sisi lain para tergugat secara hukum juga mempunyai sama pada objek sengketa, sehingga antara penggugat dan para tergugat secara hukum masih punya hak untuk mengolah dan menguasai objek sengketa.
Pengertian sistem pendaftaran tanah positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar dijamin kebenaran data yang didaftarkan dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkat yang diajukan untuk didaftarkan sebelum data tersebut dimasukkan dalam daftar umum dan dalam daftar buku tanahnya. Dalam sistem pendaftaran positif, negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem positif mengandung ketentuan yang merupakan perwujudan dari adagium “title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan sesuatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan “the register is everything” Apabila hal ini dibiarkan terus menerus dan (untuk memastikan adanya suatu hak dan mengingat para pihak merupakan masyarakat, pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). maka tidak menuntut kemungkinan di kemudian hari yang terjadi adalah kekerasan fisik. Karena Berdasarkan sistem positif ini maka sekali ketika langkah yang dilakukan melalui jalur didaftarkan pihak yang dapat membuktikan hukum tidak menyelesaikan masalah dan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya cenderung merugikan pihak penggugat, karena kehilangan haknya untuk menuntut kembali tidak dapat melakukan tuntutan haknya karena tanah yang bersangkutan. Apabila pendaftaran putusan yang dikeluarkan adalah putusan yang terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, bersifat positif. maka orang yang berhak tersebut hanya dapat Hal ini telah bertentangan dengan aturan hukum pertanahan, di mana dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan
352 |
Jurnal isi.indd 352
menuntut ganti kerugian (compensation) dalam bentuk uang. Untuk keperluan pembayaran kompensasi tersebut negara menyediakan apa yang disebut sebagai “assurance fund.” Ketentuan seperti tersebut di atas tidak terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:24 AM
dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, karena sistem yang dianut adalah negatif. Dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam daftar umum dan dalam sertipikat hak atas tanah. Penggunaannya adalah atas risiko dari pihak yang menggunakan sendiri (Harsono, 2002).
Hal tersebut mengandung makna bahwa dalam penguasaan terhadap tanah bagi setiap warga negara harus tetap memenuhi persyaratan administrasi yang telah dimiliki oleh negara dan ketika terjadi permasalahan atas hal tersebut maka penyelesaiannya melalui lembaga negara pula. Untuk itu dalam langkah penyelesaian sengketa melalui pengajuan gugatan sebagaimana dalam tulisan langkah ini merupakan langkah Berdasarkan hal tersebut putusan yang yang tepat dan merupakan bentuk kepercayaan dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar masyarakat kepada lembaga negara, sehingga Nomor 25/Pdt.G/2014/PN.Dps, merupakan menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga negara putusan yang tidak berdasar hukum dan tidak manapun juga untuk senantiasa mengedepankan memberikan manfaat terhadap para pihak dan masyarakat dan melaksanakan tugas pokok cenderung mengakibatkan perkara a quo menjadi sebagaimana yang diamanatkan. semakin rumit karena yang dikeluarkan adalah putusan yang bersifat positif (memeriksa pokok perkara). Hal ini tentunya bertentangan dengan IV. KESIMPULAN fungsi dari hukum, yang menekankah bahwa Dalam Putusan Nomor 25/Pdt.G/2014/ apabila dilihat dari fungsinya hukum bertujuan PN.Dps yang memutus dengan menolak gugatan untuk menyelesaikan setiap konflik atau sengketa penggugat dikarenakan penggugat dengan buktiyang terjadi di masyarakat. Berkaitan dengan buktinya tidak meneguhkan bahwa objek perkara ini, maka tujuan hukum pada dasarnya adalah adalah sah milik penggugat. Sehingga dalil untuk mencapai keadilan dalam penyelesaian pokok gugatan penggugat harus dinyatakan tidak konflik di masyarakat maupun dalam melakukan terbukti secara sah dan harus ditolak. Sedangkan pengendalian sosial (Asyhadie & Rahman, 2012: dalam pertimbangan hukum gugatan rekonvensi 123). pertimbangan hukum majelis hakim memutus Pemikiran hak menguasai dari negara yang bersumber pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria tersebut sebagai upaya untuk menghilangkan atau mengganti paradigma lama di mana negara sebagai pemilik. Pengertian dikuasai oleh negara bukan berarti memiliki, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya (Bakri, 2011: 19).
bahwa SHM Nomor 9462 milik tergugat 1 dan SHM Nomor 9463 milik tergugat 2 adalah sah milik tergugat 1 dan 2. Apabila ditinjau dari asas keadilan putusan yang menolak gugatan penggugat kemudian mengabulkan gugatan rekonvensi dapat dikategorikan putusan yang mencederai keadilan bagi penggugat, di mana ketika ditinjau dari pembuktian terhadap kepemilikan objek sengketa pihak penggugat sudah secara jelas dan tegas membuktikan bahwa objek sengketa merupakan miliknya dan kemudian diambil alih
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 353
| 353
1/6/2017 11:30:24 AM
oleh tergugat 1 dan tergugat 2 dengan melakukan penguasaan sepihak dan melakukan pengurusan sertipikat. Berdasarkan fakta hukum tersebut seyogianya majelis dapat melihat dari historis keberadaan semua SHM sebagai hak milik kemudian memutuskan objek sengketa yang terjadi.
dampak terhadap putusan yang telah dikeluarkan, apakah akan menyelesaikan permasalahan yang ditangani dan/atau malah membuat permasalahan yang ditangani tersebut menjadi semakin rancu yang punya konsekuensi hukum tersendiri. Dalam menegakkan hukum, dibutuhkan sebuah seni. Seni dalam menaklukan hati rakyat. Seni itu bisa ditemukan dalam kitab-kitab ilmu sosial. Hal tersebut mengakibatkan keadaan di Ilmu sosial sesungguhnya adalah sebuah keris mana yang berhak atas objek sengketa adalah ampuh yang bisa menyihir lawan-lawan tanpa penggugat melalui SHM Nomor 7907/Pemogan, melukai. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial tergugat 1 melalui SHM Nomor 9462/Kuta dan (law as tool of sosial engeneering) seperti yang tergugat 2 melalui SHM Nomor 9463/Kuta semua orang tahu didengungkan oleh punggawa adalah mempunyai keberlakuannya yang sah besar hukum Pound. secara hukum. Atas hal tersebut maka terhadap putusan perkara a quo dapat disimpulkan bahwa Diktum hukum perlu mempelajari ilmu majelis hakim tidak optimal dalam memeriksa, sosial jelas bukan pekerjaan sederhana. Sebab meneliti, dan memutus sesuai dengan pokok ahli hukum kebanyakan membaca pasal dan permasalahan yang menjadi alasan diajukannya menghafalnya, kini ia harus berhadap-hadapan dan diselesaikannya permasalahan a quo pada dengan buku teks dan laporan penelitian yang Pengadilan Negeri Denpasar, karena dalam banyak melelahkan. Bisa jadi, justru orang putusan tidak memutus mengenai keabsahan hukum yang sosiologis mempelajari ilmu dan kepemilikan objek sengketa yang tumpang sosial untuk menutupi kelemahannya di aspek tindih, padahal hal ini yang menjadi inti pokok pemahaman dan penghafalannya terhadap permasalahan diajukannya perkara a quo. pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka sudah (Marwan, 2013: 259). Melihat kasus dari sudut berdasar hukum bahwa putusan yang dikeluarkan pandang holistik artinya memandang suatu kasus Pengadilan Negeri Denpasar adalah tidak tersebut dari sudut pandang sosiologis, keadilan, berkeadilan dan tidak bermanfaat terhadap para kemanfaatan, dan yang tidak kalah penting dari pihak yang bersengketa. kepastian hukumnya. V.
SARAN
Dalam menjatuhkan putusan semestinya Pengadilan Negeri Denpasar dalam memeriksa perkara yang ditangani seharusnya meneliti dengan seksama. Artinya Pengadilan Negeri Denpasar dalam menangani perkara yang diajukan kepadanya harus meneliti apa yang menjadi objek dari permasalahan yang diajukan, bagaimana
354 |
Jurnal isi.indd 354
Dari keadilan seharusnya hakim dalam putusannya mencerminkan rasa keadilan dan bukan melihat subjek yang berperkara sehingga keadilan merupakan hal yang hakiki dalam suatu putusan. Di samping itu hakim juga harus mempertimbangkan dari sisi kemanfaatan apakah putusan yang dijatuhkan memberikan manfaat yang positif ataukah malah akan menimbulkan dampak negatif dari masyarakat mengingat putusan yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016: 339 - 355
1/6/2017 11:30:24 AM
filsafat hukum progresif. Yogyakarta: Thafa keadilan. Kemudian barulah mempertimbangkan Media. dari sisi kepastian hukum sehingga putusan yang dibuat oleh majelis hakim yang terhormat akan Rifai, A. (2011). Penemuan hukum oleh hakim dalam berwibawa dan bijaksana. perspektif hukum progresif. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Rumokoy, D.A., & Maramis, F. (2014). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo. Sasangka, H. (2005). Hukum pembuktian dalam DAFTAR ACUAN
perkara perdata. Bandung: Mandar Maju.
Akub, M.S., & Badaru, B. (2012). Wawasan due
Sujono, A.R., & Daniel, B. (2013). Komentar dan
process of law dalam sistem peradilan pidana.
pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
Yogyakarta: Rangkang Education.
2009 tentang narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.
Amiruddin, Z.A. (2010). Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Asnawi, M.N. (2013). Hermeneutika putusan hakim. Jakarta: UII Press. Asyhadie, H.Z., & Rahman, A. (2012). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supratman & Dillah, P. (2012). Metode penelitian hokum. Bandung: Alfabeta. Tehupeiory, A. (2012). Pentingnya pendaftaran tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses. Voll, W.D.S. (2013). Negara hukum dalam keadaan pengecualian. Jakarta: Sinar Grafika.
Badan Pertanahan Nasional. (2016). Himpunan karya tulis pendaftaran tanah. Tidak dipublikasikan. Bakri, M. (2011). Hak menguasai oleh negara (Paradigma baru untuk reforma agraria). Malang: Universitas Brawijaya Press. Fanani, A.Z. (2013). Bersilsafat dalam putusan hakim (Teori dan praktik). Bandung: Mandar Maju. Harsono, B. (2002). Menuju penyempurnaan hukum tanah nasional. Jakarta: Universitas Trisakti. Hartanto, A. (2014). Hukum pertanahan: Karakteristik jual beli tanah yang belum terdaftar hak atas tanahnya. Surabaya: Laksbang Justitia. Lubis, M.Y., & Lubis, A.R. (2010). Hukum pendaftaran tanah. Bandung: Mandar Maju. Marwan, A. (2013). Satjipto Raharjo sebuah biografi intelektual & pertarungan tafsir terhadap
Kekuatan Hukum Sertipikat Hak Milik dalam Sengketa Tanah (Fahmi Yanuar Siregar)
Jurnal isi.indd 355
| 355
1/6/2017 11:30:24 AM
Jurnal isi.indd 356
1/6/2017 11:30:24 AM
INDEKS B
banking crime XV, 327, 328
P
freehold title XVI, 350
penafsiran hukum X, 259, 273, 274, 291, 293, 294, 297, 298, 299, 300, 304, 306, 308, 309, 310, 336 penjatuhan pidana XI, 327, 328, 330, 331, 332, 335, 336, 339, 341, 342, 343, 345, 346, 347 pernikahan terlarang X, 291, 293, 294, 296, 297, 299, 302, 307, 308, 310 pidana penjara bersyarat XI, 327, 328, 329, 330, 335, 336, 341, 342, 343, 346, 347 poligami V, X, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 299, 305, 307, 308, 309, 310 polygamy XIV, 291, 292 powers of the president XIII, 238 prerogative XIII, 237, 238, 243, 249, 250, 252, 257, 258
H
S
C
conditional imprisonment sentence XV, 328 constitution XIII, 238, 240, 254, 257, 273 corruption XV, 314
E
elements of tort XV, 314 expediency XVI, 349, 350
F
hak prerogatif V, IX, 237, 238, 239, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257
I
illicit marriage XIV, 291, 292
J
judex juris XI, XV, 313, 314, 320, 321, 322, 324 justice XV, XVI, 328, 349, 350, 352, 353, 358, 367
K
sentencing XV, 328 sertipikat hak milik V, XII, 349, 357, 361 state sovereignty XIII, XIV, 259, 260
T
tindak pidana perbankan V, XI, 327, 328, 330, 333, 334, 336, 340, 341, 342, 345, 346, 348
U
undang-undang migas X, 259 unsur melawan hukum XI, 313, 320, 324
keadilan V, VI, XI, XII, 278, 279, 304, 314, 317, 318, 320, 325, 327, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 349, 350, 352, 353, 354, 356, 358, 359, 360, 363, 364, 365, 367, 377 kedaulatan negara IX, X, 259, 260, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 278, 283, 284, 285, 286 kekuasaan presiden IX, 237, 238, 244, 246, 257 kemanfaatan V, XII, 251, 254, 255, 256, 257, 317, 325, 344, 345, 349, 350, 352, 358, 359, 360, 365, 367 kepastian hukum XII, 273, 302, 317, 318, 325, 342, 344, 345, 346, 349, 350, 354, 355, 358, 360, 365 konstitusi IX, X, 237, 238, 239, 242, 243, 244, 246, 248, 250, 251, 252, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 271, 273, 277, 279, 280, 284, 314, 344 korupsi XI, 255, 284, 313, 314, 315, 316, 319, 320, 323, 325, 377
L
legal certainty XVI, 350, 367 legal interpretation XIV, 260, 291, 292
M
metode penafsiran X, 259, 272, 291, 293, 294, 297, 299, 300, 301, 305, 306, 308, 309, 310
O
oil and gas law XIV, 260
Jurnal isi.indd 357
1/6/2017 11:30:24 AM
Jurnal isi.indd 358
1/6/2017 11:30:24 AM
ISSN 1978-6506
Vol. 9 No. 3 Desember 2016 Hal. 237 - 355
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 3 Desember 2016. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
5.
Hermansyah, S.H., M.Hum.
6.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S.
7.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.
8.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.
Jurnal isi.indd 359
1/6/2017 11:30:24 AM
Jurnal isi.indd 360
1/6/2017 11:30:24 AM
BIODATA PENULIS Mei Susanto adalah dosen hukum tata negara sekaligus peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung sejak 2015. Menamatkan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2010), dan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2013). Pernah bekerja sebagai tenaga ahli anggota Komisi III DPR RI (2011-2016) dan saat ini juga aktif sebagai presidium Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia. Telah menulis buku berjudul “Hak Budget Parlemen di Indonesia” (Jakarta: Sinar Grafika, 2013); jurnal berjudul “Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Jurnal PJIH, 2016); book chapter dengan judul “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia” (2016); dan beberapa opini di media cetak. Selain itu terlibat aktif dalam berbagai penelitian misalnya mengenai perubahan Undang-Undang Pos, Raperda Kota Bandung, Raperda Provinsi Jawa Barat, dan lain-lain. Pengalaman sebagai tenaga ahli di DPR RI antara lain dalam pembahasan RKUHP, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Komisi Yudisial, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan lain-lain. Habib Shulton, menempuh S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2010), S1 Ilmu Hukum di Universitas Cokro Aminoto Yogyakarta (2010), dan S2 Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (2011). Saat ini mengajar di Institut Agama Islam Ma’arif (IAIM) NU Metro Lampung. Bidang yang diminati adalah Kajian Hak Asasi Manusia dan Keadilan Kesetaraan Gender (KKG). Aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah, di antaranya adalah “Politik Hukum PERPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Perspektif Hak Asasi Manusia” (Jurnal Mahkamah Konstitusi RI (dalam proses)); “Analisis Paradigma ‘Positivistik-Legalistik Hukum’ dalam Pemaknaan Hukum dan Pengaruhnya terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” (Jurnal Integritas, Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK RI (dalam proses)); “Pelanggaran HAM Anak yang Berkonflik dengan Hukum: Tinjauan Kritis terhadap Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” (Jurnal STINBATH, STAIN Jurai Siwo Metro Lampung); “Tinjauan Kritis terhadap Hak-Hak Perempuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Upaya Menegakkan Keadilan dan Perlindungan HAM Perspektif Filsafat Hukum Islam” (Jurnal MAHKAMAH, IAIM NU Metro Lampung); dan “Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutuskan Perkara No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Hukum Anak di Luar Nikah (Perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi manusia)” (Jurnal FIKRI, IAIM NU Metro Lampung). Faiq Tobroni, lahir di Bojonegoro pada 2 April 1988. Santri dari Pondok Pesantren At-Tanwir Talun Sumberrejo Bojonegoro dan hijrah pada tahun 2004. Lulus peringkat lima besar dari 445 santri. Menyelesaikan Sarjana Hukum Islam (SHI) tahun 2008 di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsinya mengambil topik tentang implementasi nasakh ayat wasiat dan ayat waris dalam reformasi hukum waris dan wasiat Indonesia. Selanjutnya, menyabet Magister Hukum (MH) tahun 2011 dengan prediket cum laude di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jurnal isi.indd 361
1/6/2017 11:30:24 AM
Yogyakarta. Tesis hukumnya mengambil topik politik hukum HAM dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Setelah itu, mendapat gelar pula Magister Studi Islam (MSI) dengan Konsentrasi Hukum Islam tahun 2014 di Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang. Tesis hukum Islam mengambil topik tentang hak keperdataan anak hasil zina dalam perdebatan antara sakralitas hukum ketuhanan dengan keniscayaan hak asasi manusia. Kini, penulis menjadi tenaga pengajar dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis sangat menekuni kajian sekitar Hukum Islam (khususnya hukum Perdata Islam), Hak Asasi Manusia, dan Konstitusi. Beberapa tulisannya antara lain: “Urgensi Proses Peradilan Affirmative Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan; Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/ PN.Kdl (Jurnal Yudisial Vol. 8 Nomor 3 Desember 2015); “Kebebasan Hak Ijtihad Nikah Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” (Jurnal Konstitusi Vol. 12, Nomor 3 September 2015); “Hak Anak sebagai Ahli Waris dalam Perkawinan Sirri; Kajian Putusan Nomor 329K/AG/2014” (Jurnal Yudisial, Vol. 8. No. 1 April 2015). Maman Budiman, lahir di Bandung, tanggal 3 Desember 1978. Menyelesaikan S1 di Universitas Pasundan Bandung lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan S2 di Pascasarjana Universitas Islam Bandung Program Magister Ilmu Hukum dan lulus pada tahun 2010. Sekarang penulis adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung sejak tahun 2012 sampai sekarang. Mata kuliah yang diampu oleh penulis adalah Hukum Acara Pidana, Delik-Delik Khusus, dan Kejahatan korporasi serta Kejahatan Pencucian Uang. Selain aktif sebagai tenaga pendidik, penulis juga aktif melakukan kajian dan penelitian hukum di lingkungan Universitas Pasundan serta sebagai narasumber, juga aktif menjadi advokat di kantor hukum Maman Budiman, S.H. & Rekan. Selain itu penulis juga pernah menjadi staf wakil dekan 3 Fakultas Hukum Universitas Pasundan bidang kemahasiswaan dan menjadi salah satu anggota tim Akreditasi Institusi Universitas Pasundan. Alamat e-mail penulis:
[email protected] dan
[email protected]. Ramiyanto, lahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, tanggal 2 November 1987. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (dahulu IAIN) Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan dan tamat pada tahun 2010. Setelah menamatkan pendidikan S1, penulis ikut magang di Kantor Advokat di Palembang. Kemudian tahun 2011 melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang dan tamat pada tahun 2013. Saat ini sedang mengikuti pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Penulis adalah dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang dan merangkap sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Hukum, serta dosen tidak tetap di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang. Penulis juga menulis di jurnal lainnya dan surat kabar lokal (Palembang). Fahmi Yanuar Siregar, lahir di Cirebon, tanggal 9 Januari 1983. Meraih gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, kemudian melanjutkan jenjang program studi pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulis juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar kampus di antaranya aktif dalam Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Pusat Bantuan Hukum DPC IKADIN Denpasar, LSM Terraprojustitia, Catholic Relief Service (CSR) Yogyakarta, Ikatan Mahasiswa Pelajar Cirebon, dan Paguyuban Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas
Jurnal isi.indd 362
1/6/2017 11:30:24 AM
Hukum Universitas Gadjah Mada. Setelah menyelesesaikan studi S2 pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis mulai aktif bekerja sebagai lawyer sejak tahun 2006 pada kantor hukum Nico Suherman, S.H., M.Ag. & Rekan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh penulis yaitu: Penelitian ilmiah mengenai “Efektivitas Pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan di Rutan Kebon Waru Bandung”; Observasi dan Investigasi Lapangan terhadap Kejaksaan Negeri Yogyakarta: Penegakan Hukum, Penuntutan di Kejaksaan”; dan penelitian terakhir mengenai “Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencurian Benda Pustaka (Pratima).” Pengalaman mengajar pada Fakultas Hukum Universitas Mahendradata dan saat ini merupakan managing partner pada kantor hukum Fahmi Yanuar Siregar, S.H., LL.M. & Associates. Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar, mengajar atau pengampu mata kuliah Hukum Acara, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Penulis adalah Ketua Praktik Peradilan Semu sekaligus Ketua Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar.
Jurnal isi.indd 363
1/6/2017 11:30:24 AM
Jurnal isi.indd 364
1/6/2017 11:30:24 AM
PEDOMAN PENULISAN 1.
Naskah merupakan hasil kajian/riset putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).
2.
Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4.
Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.
5.
Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
6.
Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:
Jurnal isi.indd 365
1)
Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.
2)
Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.
3)
Nama penulis.
4)
Nama lembaga/instansi.
5)
Alamat lembaga/instansi.
6)
Akun e-mail penulis.
7)
Abstrak (150 s.d. 200 kata) dan kata kunci dalam bahasa Indonesia (3 s.d. 5 kata). Isi abstrak meliputi unsur-unsur: a) latar belakang masalah, b) rumusan masalah, c) metode, d) hasil dan pembahasan, dan e) kesimpulan.
8)
Abstrak dan kata kunci dalam bahasa Inggris.
1/6/2017 11:30:24 AM
9)
Pendahuluan, memuat fenomena hukum (topik) yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Bab ini menggunakan subbab sebagai berikut: a)
Latar Belakang;
b)
Rumusan Masalah;
c)
Tujuan dan Kegunaan; dan
d)
Studi Pustaka.
10) Metode, mencakup penjelasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Penulis harus menjelaskan tentang alasan mengapa putusan tersebut yang dipilih secara objek kajian, juga tentang ada tidaknya pengayaan data yang dilakukan (termasuk dokumen lain di luar putusan tersebut dan/atau data primer di luar dokumen). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data yang mencakup sumber data (primer atau sekunder), instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data. 11) Hasil dan Pembahasan, memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan. 12) Kesimpulan, mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan. 13) Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan. 14) Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah sepuluh, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan. 7.
Jurnal isi.indd 366
Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus
1/6/2017 11:30:24 AM
ditunjukkan dalam daftar acuan. Contoh:
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), “..........”
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52).
Lebih dari dua penulis: (Sidharta, Shidarta, & Susanto, 2014).
Lebih dari tiga penulis: (Hotstede et al., 1990: 23).
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
8.
Penulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association (APA). Contoh: 1)
Buku
Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory and some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall. Sidharta, B.A., Shidarta, & Susanto, A.F. (2014). Pengembanan hukum teoretis: Refleksi atas konstelasi disiplin hukum. Bandung: Logoz. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK. 2)
Jurnal
Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, 7 (2), 103-116. 3)
Majalah/Surat Kabar
Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15. 4)
Internet
Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library. cornell.edu/resrch/intro. 9.
Jurnal isi.indd 367
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:
[email protected]; dengan tembusan ke:
[email protected];
[email protected]; dan
[email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):
1/6/2017 11:30:24 AM
1.
Ikhsan Azhar (085299618833);
2.
Arnis (08121368480); atau
3.
Yuni (085220055969).
Alamat redaksi:
Jurnal isi.indd 368
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.
1/6/2017 11:30:24 AM