PERAN FILSAFAT ISLAM DALAM KONSTRUKSI (PEMBENTUKAN) HUKUM DI INDONESIA Patawari1
Abstract: Indonesia has Idiology, namely Pancasila. As the first princip,
Ketuhanan Yang Maha Esa is source of law to the law formation in Indonesia. Yet, pancasila sometimes is ignored or underistemated in the creation of lwa formation in Indonesia. Whareas, the content of pancasila’s value is very general and complete which is capable to absorb all importances etnic, religion, culture, and all cultural in Indonesia. For law formatting in Indonesia, is hint or reference to the Islam philosophy which is to sign for three aspects, namely; value of god, humanity, and realm (nature), that is situation where the law will be implemented. The end, it more be good, that the law is formed based on the Islam philosophy which value as general it is based on the pancasila’s value to acheve the human life balance.
Key Words: Islamic Fhilosof, Law Format. Pendahuluan Diskurusus tentang manusia, paling tidak melekat dua entitas yang dimiliki, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu maka paling tidak ia berdiri sendiri yang bertanggung jawab pada sang pencipta (Allah SWT.), sedangkan sebagai makhluk sosoial maka segala sesuatu yang ada pada dirinya akan selalu terikut akan pertanggung jawaban terhadap individu lain. Manusia sebagai makhluk sosial, maka ia senantiasa berinteraksi dengan individu lain. Sebagaimana di pahami hubungan/interaksi manusia yaitu: interaksi individu dengan individu, individu dengan sosial, sosial dengan individu dan sosial dengan sosial. sebagaimana dimaksudkan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah “zoon Politicon” manusia itu makhluk sosial yang tidak lepas dari bentuan dan pertolongan dari individu lain. Islam menjustifikasi manusia sebagai makhluk yang melakukan hubungan secara sosial sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an yang artinya bahwa “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar, Sulawesi Selatan.
[email protected].
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. AlHujurat: 13). Ayat tersebut memberikan penekanan bahwa pentingnya manusia hidup untuk saling kenal mengenal, dan maksud dari pada itu adalah untuk memberikan satu sama lain yang bermanfaat, bukan dengan maksud saling merusak satu sama lainnya. Sebab, jika dimaksudkan saling merusak maka tidak mengikuti makna dari ketakwaan sebagaimana di maksdkan dalam ayat tersebut. Mencermati era globalisasi sekarang ini maka bukan hanya empat interkasi, namun interaksi antara individu dengan Negara, negera dengan Negara, bahkan sampai pada interaksi sosial (koorporasi) dengan Negara lain. Maka, nilai-nilai dalam interkasi itu adalah di masukkan nilai Islam sehingga ketakwaan dapat di capai sebagaimana di anjurkan dalam Islam. Lebih jauh lagi bahwa, hubungan interaksi dengan inividu atau kelompok lain adalah tujuannya karena ibadah semata sehingga mewujudkan manusia sebagai insan kamil (manusia sempurna) sebagai ciptaan Allah SWT. Bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara semua makluk yang pernah di ciptakan-Nya, termasuk adalah manusia lebih di atas derajatnya dari pada Jin dan Malaikat. Derajar manusia yang lebih tinggi dari pada makhluk lain tidak di maksudkan tanpa sebab atau konsekuensi logis, artinya bahwa jika manusia itu hidup dengan keimanan dan ketakwaan maka ia menjadi insan yang kamil (sempurna) dan derajanyta lebih tinggi. Namun, jika manusia tersebut melakukan tindakan kerusakan di muka bumi maka ia akan menjadi makhluk yang lebih rendah dan lebih hina dari pada binatang. Adalah konsekuensi sebagai manusia yang sudah menjadi sunnatullah untuk menerima deraja yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang tinggi pula. Dari hubungan interkasi tersebut, maka di tengah-tengahnya akan terjalin hubungan hak dan kewajiban yang masing-masing akan pertanggungjawabkan (secara hukum). Pertangggunagjawaban bukan hanya terlahir dari sebuah hubungannya kepada Tuhan yang dirinya sebagai hamba yang harus mengikuti aturannya, namun juga adalah pertanggungjawaban yang terlahir akibat adanya perbuatannya yang mereka harus memepertanggungjawabkannya, adalah kosenkuensi sebagai manusia yang atau sebagai makhluk sosial. Pada perkembangan sejarah hubungan Negara dengan masayarakat (sosial) pada awal mulanya dimana Negara tidak di benarkan ikut campur urusan ekonomi
masyarakat, namun pada perjalanan keNegaraan maka Negara harus ikut campur dalam urusan ekonomi masyarakat.
Adanya keikutsertaan Negara dalam urusan
ekonomi, maka Negara paling tidak menjadi katalisator, mediator, antara kepentingan masyarakat dengan masyarakat lain atau bahkan pada kepentinan masyarakat dengan Negara lain. Maka tugas dan tanggungjawab Negara adalah menciptakan regulasi dalam mengatur hubungan interksi segala aktifitas manusia baik secara Individu maupun secara sosial sampai pada hubungannya dengan negara lain.
Dalam hubungan
interaksi tersebut, masing-masing melekat adanya hak dan kewajiban, maka Negara (pemerintah) sebagai katalisator paling tidak diberi otoritas dalam menentukan regulasi yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat tersebut. Negara sebagai tugas regulator tentu tidak hanya mengacu pada Pancasila sebagai dasar Negara dan atau dasar ideologi namun demikian, lebih dari itu dengan Negara mencoba menggali nilai-nilai filsafat yang dikandung dari pada ideologi yang Pancasila tersebut. Bahwa pada dasanya salah satu tugas dari pada filsafat adalah mencari kebenaran, salah satu komponen kebenaran selain kebenaran, koherensi, kebenaran korespondensi, dan kebenaran paragmatis. Maka komponen kebenaran agama juga merupakan suatu komponen yang beberapa ahli membenarkan akan adanya kebenaran agama2 Pembentukan Hukum, dimana dipahami hukum sebagai bagian instrumen untuk megatur masyarakat, maka tentunya hukum juga tidak ansich mengacu terhadap pancasila, akan tetapi, juga lebih dari pada itu bagaimana hukum dibentuk atas dasar nilai filsafat Islam dan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam (hakiki). Salah satu dasar yang tepat di dalam pembentukan hukum di Indonesia adalah kebenaran Islam. Secara ilmu pengetahuan, kebenaran Islam adalah masuk dalam ketegori kebenaran yang tidak bisa di sebandingkan dengan kebenaran ilmu apapun. Konteks ke-Indonesiaan, secara kuantitas masyarakat Indonesia didominasi oleh masayarakat yang berlatar belakang Agama Islam, maka tentunya peluang untuk Sekalipun demikian istilah kebenaran agama seolah menajadi Istilah yang toleran dengan menggunakan kata “kebenaran agama”. Yang menurut penulis perlu ada ketegasan bahwa kebenaran itu adalah kebenaran Islam (wahyu), sebab ketika dikatakan sebagai kebenaran agama maka tentu banyak agama-agama dan dianggap sama, dan yang paling bisa di uji berdasarkan komponen kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatis adalah kebenaran Islam. 2
menerapkan nilai-nilai Islam di dalam proses pembentukan perundang-undnagan sangatlah di mungkinkan, adalah tergantung dari pada pemahaman ddan keyakinan akankebenaran agama yang hendak di manifestasikan di dalam setiap perundangundangan. Dari pengantar tersebut di atas, maka penulis mencoba merumuskan pertanyaan sebagai batasan di dalam pengajian ini, yaitu bagaimankah peran filsafat Islam di dalam pembentukan hukum di Indonesia ?. Pengertian Filsafat Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi. Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian menurut Aristoteles (382 - 322 SM)
mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Secara Umum, Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek. Sedangkan tugas filsafat menurut Jujun yaitu .... menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan3 Menurut Immanual Kant bahwa filsafat adalah ilmu dasar segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan: 1. Apa hak yang dapat kita pahami ( dijawab oleh metafisika) 2. Apa hak yang boleh kita kerjakan (di jawab oleh etika dan norma) 3. Sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab oleh agama) 3 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 78
4. Apakah yang dinamakan manusia ( dijawab oleh antropologi)4 Dari beberapa pandangan tersebut penulis mencoba menyimpulkan bahwa filsafat itu merupakan induk ilmu dengan menggunakan metode ilmiah yang seanantiasa mencari kebenaran yang sesungguhnya. Pada pendekatan metodologi adalah berdasarkan pada pengkajian masing-masing ilmu seperti ilmu fisika, agama, biologi, antoropologi dan lain sebagainya. Dalam proses menemukan makna kebenaran yang sesungguhnya, pengkajian kebenaran
sangat ditentukan oleh cara
pandang dan fikiran manusia5. Maka dimungkinkan, oleh karena perbedaan situasi dan cara pandang manusia yang berbeda-beda maka kebenaran tersebut akan subyektif. Maka ilmu yang diperoleh filsafat adalah tentunya akan seantiasa subyektif pula. Sebab memang, filsafat hanya pada “mencari” dengan metode, atau “kecintaan” kepada suatu kebenaran dimana filsafat tidak mempu menemukan hakikat yang sesunggunnya dari sesuatu itu. Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum,
Anthoni
D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.6 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
Amsal bakhtiar. Filsafat ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 8 Itulah sehingga penulis kerap mengatakan di berbagai forum-forum diskusi baik formal maupun non formal bahwa indikator peradaban itu tidak di tentukan oleh seberapa banyak teknologi yang diciptakan, namun peradaban ditentukan oleh paradigm masyarakat. 6 Slide Muchsin, yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum Untag (Universitas 17 Agustus) Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 2007. 4 5
filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. 7 Penulis mecoba merefleksikan beberapa pandangan tentang filsafat hukum yaitu mengkaji dan mencari kebenaran hakiki hukum terhadap hubunganya dengan nilai keTuhanan, manusia dan alam sekitarnya. Filsafat Islam Istilah “filsafat Islam” menuai banyak kontoversi (perbedaan), dikarenakan munculnya penganut filsafat Islam namun ia tidak beragama Islam, dilain sisi menggunaka “filsafat Arab” akan tetapi banyak para filusuf yang bukan orang berasal dari Negara Arab. Sedangkan Al-Ihwani menyebutkan beberapa istilah alternatif yang pernah di kemukakan pada ahli , seperti “filsafat Negara-Negara Islam” atau “filsafat di dunia Islam” 8 Bahwasanya filsafat Islam pada perkembangannya sangat menekankan pada pada masalah –masalah mendasar manusia seperti Tuhan, alam dan manusia. 9 Menurut penulis bahwa Petama, penyebutan filsafat Islam tidaklah keliru oleh karena pada dasarnya filsafat adalah “mencari” suatu kebenaran hakiki atau nilai. Bahwasanya, salah satu komponen kebenaran adalah kebenaran Islam. Maka, linearnya tentu sangat tepat menggunakan istilah filsafat Islam. Sekalipun beberapa ahli tidak berasal dari agama Islam, adalah tidak menjadi subtansi persoalan. Sebab filsafat, bukan melihat eksistensi filosofnya akan tetapi esensi (nilai) dari pada pandangannya. Memang, Nilai filsafat dapat di pengaruhi oleh sudut pandang dari pada filosofnhya. Namun tidak selalu dipengaruhi oleh latar belakang ideologi filosofnya. Karena kebenaran pada dirinya adalah tentu dimiliki dalam memberikan pandangan yang rasional dan obyektif. Kedua, filsafat Islam yang mengkaji tiga Hal yaitu; Tuhan, Alam, dan manusia. Pada kenyataan hidup dan kehidupan manusia memang demikian. Tidak ada lagi pengkajian di dalam kehidupan manusia yang terlepas dari ketiga obyek pengkajian
Ibid., Sukarno Aburaera. Filsafat Hukum, (Jatim: Bayumedia Publising, 2008), h. 86 9 Ibid h., 89 7 8
tersebut. Hubunganya dengan tiga komponen kebenaran dengan penekanan filsafat Islam adalah sangat terkait, yaitu Pertama, komponen kebenaran korespondensi, dimaksudkan bahwa kebanaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan adalah terkait dengan pengkajian terhadap alam. Kedua, korespondensi dimaksudkan bahwa kebanaran adalah suatu pernyataan didukung oleh adanya pernayataan sebelumnya. adalah sangat terkait dengan logika (manusia). Ketiga, kebenaran pragmatis dimaksudkan kebanaran itu ketika ada manfaatnya terhadap manusia. Maka kebenaran ini sangat terkai dengan Tuhan dimana Tuhan tidak
menciptakan, mengadakan, dan melahirkan sesuatu
dengan sia-sia. Sekalipun potensi manusia untuk berbuat yang sia-sia namun Tuhan senantiasa menghendaki adanya perbuatan manusia yang bermanfaat10 bagi dirinya, orang lain dan lingkungan sekitarnya. Pembentukan Hukum di Indonesia Sebagaimana diungkap di atas refleksi penulis terhadap filsafat hukum filsafat hukum adalah mengkaji tentag kebenaran hakiki dari pada hukum hubunganya dengan nilai keTuhanan, manusia dan alam sekitarnya. Maka dengan demikian di dalam pembentukan dari pada hukum sebagai instrumen kehidupan manusia, maka hukum harus senantiasa mengacu pada 3 (tiga) aspek pertama, aspek nilai keTuhanan bahwa pembentukan hukum di Indonesia aspek nilai keTuhanna tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan hukum itu sendiri dalam mengatur kehidupan manusia. 11 Kedua, bawah pembentukan perundang-undangan adalah harus dilihat
aspek
hirarkhi perundang-undangan dan hubungannya dengan masyarakat setempat. Hal ini dimaksudkan sebagai aspek alam atau sistuasi masayarakat. Artinya bawah hukum tidak selalu di diberlakukan secara general, makanya ada Undang undang yang bersifat nasional dan ada peraturan daerah (perda) yang bersifat lokal. Pada
10 Berbuat baik merupakan kodrat manusia, dan segala perbuatan manusia tersebut yang baik dan brmanfaat merupakan ibadah. 11 Itulah sehingga pancasila di katakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dimana Pancasila memuat nilai ketuhanan yaitu :Ketuhanan yang maha esa:
pembentukan hukum maka obyek yang hendak diatur harus memperhatikan wilayah keberlakuannya12 Ketiga, adalah aspek manusia (rasional) artinya bawah hukum harus didekatkan pada pendekatan rasionalitas. Dimana masyarakat secara umum menerima akan peraturan tersebut oleh karena memang sesuai dengan peraturan dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok.
13
Maka
dengan demikian pembentukan hukum hingga pada pelaksanaannya. Tidak hanya dilakukan dengan berdasar pada semata kepentingan kelompok tertentu, aka tetapi harus mengacu pada nilai keTuhanan, kemanusiaan dan siatuasi alam/lingkungan di mana hukum tersebut akan diberlakukan. Pembentukan hukum pada aspek keTuhanan kerap menajdi persoalan dasar dari pada kalangan regulator (pembuat undnag-undang) yang duduk di lembaga legislative. Sebagaimana menurut Al-Bahy 14 bahwa tidak sedikit kalangan pemikir modernis muslim yang terpengaruh oleh orang-orang barat dalam seluruh pandangan hidupnya. Tidak sedikit pemikir modernis muslim mengikuti persepsi barat menyangkut agama. Mereka mencoba mereduksi ajaran Islam menjadi agama belaka. ….sesungguhnya salah satu dari tema dati beberapa tema – tema pembahasan pemikiran Islam kontemporer. Anggapan bahwa Islam adalah agama belaka, bukan Negara, merupakan salah satu hasil pemikiran mereka. Pandangan al-Bahy tidak menjustifikasi sebagai kekeliruan para anggota legislatife di dalam pembuatan hukum itu diakibatkan kegagalan para pemikir Islam sehingga para politisi kerap membedakan antara Islam dan Negara. Namun pada prinsipnya kekuatan moral yang di dasarkan pada nilai-nilai kepercayaan para anggota legislative untuk memanivestasikan nilai Islam di dalam pembuatan perundang-undangan. Ada kalangan yang memiliki pikiran yang mencoba memisahkan antara agama dan Negara, sehingga implementasinya pada pembuatan peraturan perundang
12 Undang-undang pornografi dan poro aksi diyakini dan terbukti tidak dapat diberlakukan secara nasional. oleh karena sistuasi masyarakat, masih banyak yang tidak menghendaki adanya peraturan tersebut oleh faktor alam dan kultur. seperti daerah papua, dan sekitarnya. 13 Seperti halnya dengan putusan Hakim yang memenjara Koruptor Triliunan dengan kuruman penjara 5 Tahun, sedangkan pencuri ubi dengan di penjara 1 tahun. Tentu hal tersebut baginya tidak adil (tidak rasional). 14
Muhammad al-bahy Al-Islam fil Waqi’ al-Idiolo-ji, h. 155
undangan tidak memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Seperti halnya pandangan Syaikh Ali Abd. Raziq yang memiliki pandangan bahwa: 1. Islam hanyalah agama saja, bukan Negara 2. Kepemimpinan nabi masih dibatasi oleh masa kerasulan. Setelah masa periode kenabian tidak ada nabi lagi 3. Isla hanya meyerukan untuk membangun kesatuan yang bersifat keagamaan di antara sesame orang-orang Islam, bukan kesatuan Negara atau pemerintahan atau ikatan politis. Pandangan Syaikh Ali Abd. Raziq tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai Islam mengajarkan
tentang
kepemimpinan.
Bahwa
para
masa
kerasulan
(nabi)
sesungguhnya bukan hanya mengajarkan tentang hubungan hamba kepada Tuhan namun juga mengajarkan antara hamba dengan hamba lain sebagaimana dalam (QS. Al-Hujurat: 13) yang menekankan adanya hubungan timbal balik dengan manusia lain baik laki-laki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa. Selain dari pada itu, juga hubungan antara hamba (manusia) dengan makhluk dan lingkungan lainnya. Pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya sebagai akibat dan atau konsekuensi kehambaan yang harus mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT. Artinya bahwa menjadi keniscayaan manusia lahir untuk beribadah kepada Allah SWT. kedua, bahwa hubungan hamba dan hamba lainnya adalah sebagai manifestasi daripada habluminannas, yanga mana secara kodrati bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa dorongan dan bantuan orang lain. Hal ini dikamsudkan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah zoon poloticon manusia adalah makhluk politik atau makhluk sosial. Ketiga, hubungan antara manusia dengan makhluk dan lingkungannya dimaksudkan bahwa manusia tanpa alam (lingkungan) yang memadai maka barang tentu manusia itu akan terancam kehidupannya, sebagai contoh jika manusia mendiami suatu daerah yang tidak cukup akan sumber daya alam
untuk
mengihidupinya maka lambat laun manusia tersebut akan terncam kehidupannya. Sehingga, manusia harus melestasikan alam sekitarnya, dan manusia tidak boleh melakukan kesewenang-wenangan terhadap alam sekitarnya. Pada kontek ke-Indonesiaan sebagai Negara yang berlandaskan pada filsafat pancasila sebagai dasar ideologi, maka pemerintah dan rakyat bukan hanya
menjadikan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun, pancasila menjadikan sumber dari segala aktifitas kebernegaraan. Sebab pancasila adalah ideologi yang paling sempurna diantara semua ideologi Negara yang ada di dunia. Beberapa alasan pancasila di katakan sebagai dasar Negara yang paling sempurna dalam kontek ke-Indonesia-an, bahwa: Pertama, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, pada sila ini memaksudkan bahwa Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak agama yang memberikan kontribusi di dalam proses kemerdekaan sehingga agama di jadikan sebagai dasar bernegara Indonesia. Dari hal itu sehingga Indonesia dikatakan sebagai Negara beragama, bukan Negara agama. Bedanya! jika Negara beragama maka banyak agama yang diakui, seperti; Islam, Kristen, hindu, budha, konghuchu,. Sedangkan jika dikatakan sebagai Negara agama seperti halnya dengan Negara Arab, Brunai, Iran, mesir, hanya mengakui satu agama yang resmi di dalam Negara tersebut yakni agama Islam. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, bawah Indonesia sebagai Negara yang menghargai dan menjunjung tinggi nila-nilai budaya adat istiadat yang ada di tengahtengah masyarakat sebelum lahirnya Negara Indonesia secara de jure (hukum). Dalam hal ini adalah Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi akan adanya nilainilai kemanusiaa, nilai keadilan antara diantara individu-individu, dan nilai beradab yang seyogyanya menjadi dasar di dalam berbangsa dan bernegara. Ketiga,
persatuan Indonesia, bahwa Indonesia bukanlah Negara kerajaan,
Indonesia adalah Negara re=kembali public=publik atau masyarakat artinya kembali kemasyarakat, bukan kembali ke raja yang absolute. Inilah menjadi dasar utama sehingga Indonesia dikatakan sebagai Negara demokrasi Negara yang berdasarkan pada kehendak rakyat, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Keempat,
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan. adalah Negara yang menjunjung tinggi adanya proses musyawarah untuk mufakat, dan membenarkan adanya sistem perwakilan di dalam pemerintahan. Dalilnya bawah Negara Indonesia yang begitu banyak etnis, agama, suku, bangsa, daerah yang luas, sehingga untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan maka tentu di haruskan adanya sistem perwakilan yang duduk di pemerintahan yang diberi tugas, regulasi, burgeting dan partisipasi.
Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia artinya bahwa Negara Indonesia menghendaki adanya keadilan bukan hanya keadilan antar individu sebagaimana pada sila ke-2 pancasila, namun keadilah yang lebih luas baik antar kelompok, daerah, Provinsi, Kabupaten. Di mana pemerintahan pusat seharusnya menerapkan keadilan sosial di seluruh wilayah dari Sabang sampai Marauke. Berdasarkan pada penjelasana dari pada nilai-nilai pancasila di atas, sesungguhnya dalam proses pembuatan perundang undangan maka sebaiknya dibuat berdasarkan pada nilai-nilai agama, nilai kemanusiaa, keadilan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. maka, anggota alegislatif acuan di dalam membuat perancangan perundang undangan adalah tidak mengacu pada pemahaman demokrasi dan pemikiran bangsa barat dan atau pada Negara-negara maju semata. Sebab, sesungguhnya jiwa bangsa (volgheis) Indonesia adalah ada pada pancasila itu sendiri, yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama, budaya dan bahkan lebih kaya akan nilai-nilai di banding dengan Negara lain yang ada di dunia. Memanifestasikan nilai pancasila di dalam proses perancangan perundang undangan maka bekal para anggota legislative atau para calon anggota legislatif harus dimiliki pemahaman nilai-nilai ke-pancasila-an. Tanpa pemahaman dan bekal nilainilai pancasila, maka Negara akan
jiwanya (volgheis) dan tentu akan menjadi
ancaman desintegrasi dan ancaman akan intervensi dari Negara-negara luar yang secara politik akan menguasai negara Indonesia baik penguasaan sumber daya manusia maupun penguasaan sumber daya alam. Maka pada akhirnya antara agama dan Negara sama sekali tidak dapat dipisahkan sebagai bagian yang saling bersimbiosis mutualisme, mediumnya adalah politik. Agama tanpa Negara maka agama akan kehilangan
eksistensinya,
sebagaimana
kekuatannya di dalam mempertahankan
tugas
Negara
untuk
menggunakan
nilai –nilai agama yang dianut oleh
masyarakat. Sedangkan Negara tanpa agama maka ia akan kehilangan orientasi, dan Negara tersebut cenderung untuk pragmatis dan individualis hingga menganggap bahwa Negara yang paling baik dan benar adalah negaranya sendiri dengan mengabaikan eksistensi Negara lain. Sesungguhnya, tanpa sadar bahwa Negaranya sendiri mempunyai ketergantungan dengan Negara lain untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatannya.
Politik Islam Agama dan politik dua hal yang integral, sebagaimana di kemukakan oleh Plato bahwa Negara adalah kesatuan organis yang terjalin antara satu organ dengan organ lain dalam rangka mempertahankan hidup dan menjaga kelangsungannya. Pengelolaan
Negara
tidak
hanya
untuk
kepentingan
sesaat
akan
tetapi
mempertimbangkan aspek kelangsungan kehidupan manusia. Sedangkan di dalam Negara itu sendiri terdiri atas beberapa entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat baik berdiri sebagai individu maupun sebagai kelompok. Dalam masyarakat ada nilai-nilai yang musti harus dilindungi oleh masyarakat lain dalam politik, seperti; agama (keyakinan), adat istiadat, budaya, sehingga dalam politik seharusnya menjaga nilai –nilai tersebut guna tidak terjadinya disintegrasi bangsa. Sesungguhnya, politk itu adalah untuk kepentingan bersama atau untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, politik bukanlah untuk kepentingan pribadi atau golongan. Demikian pemahaman politik sehingga tentu mencermati hal tersebut, maka politik sangat bersinergi dengan Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamiien. Agama Islam mementingkan kepentingan sosial namun bukan ansich agama sosialisme, Islam juga mementingkan hak-hak individu manusia namuan ia bukan ansich agama individualisme. sebab menurut penulis bahwa Islam adalah agama keseimbangan sebagai manifestasi dari rahmatan lil alamien.
Logikanya bahwa,
seandainya bukan agama keseimbangan maka barang tentu tidak menjadi rahmat bagi semua alam, dan akibatnya Islam akan sedikit diterima permukaan bumi ini. Secara kebijakan dan kekuasaan, dalam pengelolaan Negara sesungguhnya nilainilai Islam dapat di manifestasikan di dalam setiap proses pembentukan perundang undangan. Dalilnya bahwa secara kuantitas (kekuatan politik) di Indonesia 80-90 % anggota legislative adalah berlatar belakang agama Islam.
Sehingga kebijakan
eksekutif akan labih dapat mewarnai adanya nilai hukum Islam di dalamnya. Hal ini hanya bisa dilaksanakan jika para anggota paham akan sesungguhnya ajaran agama; sebagai firman Allah bahwa; “apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah. Adakah hukum yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang beriman” (Al-maidah:51).
Pada ayat tersebut memang mejustifikasi bagi orang yang beriman untuk bisa menerapkan nilai-nilai agama di dalam politik. kendala yang terberat di hadapai bawah potensi sumber daya manusia yang duduk di lembaga pembuat regulasi itu yang justru tidak memahami pentinganya nilai Islam di dalam proses pemerintahan. Pada (al-maidah: 51) tersebut mengisyaratkan bahwa orang-orang yang tidak beriman seringkali menyangkal kebijakan hukum Allah. Mereka cenderung subyektif, dengan menutupi pandangan mereka dan mengikuti pandangan-pandangan yang justru jauh dari nilai-nilai Islam. Sehingga, mereka “dibutakan” dengan tidak mampu memberdakan mana yang baik dan mana yang buruk. Nilai-nilai Islam tidaklah menjadi benturan dengan nilai agama lain sebab dasarnya sangat jelas di dalam Pancasila yakni keTuhanan yang maha esa menjadi dasar utama pembentukan hukum, yang mana membenarkan nilai agama lain masuk di dalam proses pembuatan perundang undangan adalah tergantung dari pada kekuatan politik para anggota legislative. Sekalipun secara kuantitas didominasi oleh anggota legislative yang berlatar belakang Islam, bukan berarti bahwa ia tidak menerima realitas agama lain. Sebab Islam sangat menganjurkan untuk tetap belaku adil kepada siapapun termasuk agama lain. Agama lain tidaklah menjadi momok untuk di terapaknnya nilai Islam, sebab Islam tentu tidak mendiskreditkan agama lain namun tetap sejalan berdasarkan pada keparcayaan masing-masing ummatnya. Sebagai penekanan dari pada landasan politik Islam sebagaimana firman Allah yang artinya bahwa: “hendaknya kamu memutuskan perkara diantara mereka berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah; janganlah kamu mengikuti kecenderungan subyektifitas mereka; berhati-hatilah kamu dari mereka, jangan sampai mereka mempengaruhi agar kamu menyimpang dari ketentuan yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Al-maidah 49). Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekalipun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib alsyari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang
kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural15. Penutup Bahwa dalam pembentukan hukum di Indonesia adalah megacu pada nilai Islam yaitu: nilai keTuhanan, kemanusiaan dan, alam (situasi dimana hukum akan diberlakukan). Selain dari pada itu juga adalah adanya nilai keadilan sebagai manifestasi daripada keadilan yang menjadi nilai dasar dari pada Islam dalam kontek perumusan dan mebuatan perundang- undangan. Pembentukan hukum paling tidak mengacu pada nilai-nilai pancasila. Pancalia bukan hanya sumber dari segala sumber hukum namu nilai-pancasila sadalah sumber kebijaka, dan sumber aktifitas pemerintahan dan warga masyarakat.
15 Nurcholish Madjid Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/PolitikN.html diakses pada 11 Januari 2013.
DAFTAR PUSTAKA Amsal bakhtiar. 2004 filsafat ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 Sukarno Aburaera dkk 2008 filsafat hukum. Baumedia publising. Jatim Muhammad al-bahy Al-Islam fil Waqi’ al-Idiolo-ji