Jurnal Natur Indonesia 5(1): 1-8 (2002) ISSN 1410-9379
DAYA SILANG UBI JALAR BERDAGING UMBI JINGGA DENGAN Ipomoea trifida DIPLOID DAN HUBUNGAN GENETIKNYA BERDASARKAN RAPD Ninik Nihayatul Wahibah Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Riau Diterima 14-7-2002
Disetujui 07-9-2002
ABSTRACT Orange-flesh sweetpotato is one of important food crops and β-carotene sources. Despite its global importance, genetic information needed for cultivar improvement is limited because of cross-incompatibility and polyploidy. Therefore these studies were needed. Thirteen orange-flesh sweet potato clones, i.e. B063, B088, Ciceh 32, G22, Joang, Prambanan, S138, T1, T2, T3, T4, T5, and T7, as female parents, and the tuberous diploid Ipomoea trifida as male parent were used to produce tetraploids by artificial hybridization. Seven female parent clones were cross compatible to male with cross-ability range of 0.71-7.69%, four of them produced seedlings and 10 tuberous tetraploid progenies with range of yield were 0.28-570 g/tuber. Genetic similarity phenogram based on Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) analysis used 4 primers showed that progenies grouped to their female parent. However, Ipomoea trifida separate from the others. Genotypes grouping based on Dice coefficient similar to grouping by Principal Component Analysis (PCA). Keyword : cross-ability, Ipomoea trifida, orange-flesh, RAPD, sweet potato
PENDAHULUAN Ipomoea trifida dan Ipomoea tabascana merupakan spesies liar ubi jalar yang terdekat (Jarret et al, 1992). Ipomoea trifida telah dimanfaatkan sebagai sumber gen untuk menghasilkan kultivar baru ubi jalar di Jepang. Kerabat liar juga dapat digunakan untuk memperluas variabilitas genetik yang bermanfaat untuk program pe-
muliaan ubi jalar. Tanaman Ipomoea trifida diploid di Indonesia ditemukan di daerah Citatah, Jawa Barat sedangkan spesimen Ipomoea trifida tertua di Indonesia dikoleksi dari Malang, Jawa Timur (Hambali 1988). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Ipomoea trifida sangat berpotensi sebagai sumber gen dalam pemuliaan ubi jalar untuk memperbaiki karakter
2
Jurnal Natur Indonesia 5(1): 1-8 (2002)
daya hasil, kadar bahan kering, pati, ketahanan terhadap hama, dan penyakit tertentu, serta meningkatkan kadar protein (Kobayashi & Miyazaki 1976). Indonesia merupakan pusat keanekaragaman ubi jalar kedua setelah Amerika Latin. Ubi jalar berdaging umbi jingga adalah salah satu sumber β-Karoten atau provitamin A. Meskipun potensinya cukup besar, tetapi studi genetika sebagai dasar pengemTiga belas bangan kultivar masih terbatas. Salah satu penyebabnya karena ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan tanaman heksaploid (2n=6x=90) serta mempunyai sistem ketidakserasian sendiri (self-incompatibility) dan ketidakserasian silang (cross- incompatibility). Hubungan genetik antar genotipe dapat dianalisis dengan menggunakan penanda molekul Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Dibandingkan dengan penanda molekul lain, RAPD relatif lebih murah dan mudah dikerjakan (Tingey et al, 1992). Penanda RAPD telah digunakan untuk menganalisis variabilitas genetik antar klon ubi jalar di Amerika (Villordon & La Bonte 1995), di Chili (Sagredo et al, 1998), di Malaysia (Ramisah et al, 2000), dan untuk mendeteksi keterpautan penanda RAPD dengan gen resisten ubi jalar terhadap nematoda (Ukoskit et al, 1997). Sedangkan penggunaan
metode RAPD pada ubi jalar di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji daya silang beberapa klon ubi jalar berdaging umbi jingga dengan Ipomoea trifida diploid dan menganalisis hubungan genetik antara tetua dan zuriat yang dihasilkan dengan menggunakan RAPD. BAHAN DAN METODE Tiga belas klon ubi jalar berda ging umbi jingga (B063, B088, Ciceh32, G22, Joang, Prambanan, S138, T1, T2, T3, T4, T5, dan T7) digunakan sebagai tetua betina dan Ipomoea trifida diploid (It-2) berdaging umbi putih sebagai tetua jantan. Kandungan β-karoten umbi ditentukan dengan menggunakan metode HPLC. Analisis RAPD dilakukan terhadap tetua betina yang menghasilkan zuriat, Ipomoea trifida, dan zuriat tetraploid. Isolasi DNA genom total tanaman dari daun muda yang masih menguncup dengan panjang 10-20 mm menggunakan prosedur ekstraksi DNA-CTAB. Reaksi PCR mengikuti hasil optimasi Lengkong et al, (2001). Primer yang digunakan 10-mer acak Operon nomor 4, 7, 10, dan 13 Kit A (Promega) dari 10 primer yang diseleksi. Hubungan genetik antar zuriat dan tetuanya dianalisis dengan fenogram kemiripan genetik yang di-
Daya Silang Ubi Jalar Umbi Jingga
turunkan dari matriks data biner RAPD berdasarkan koefisien Dice menggunakan metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic (UPGMA). Analisis ini menggunakan program Numerical Taxonomy and Multivariate System (NTSYS) versi 1.80. Analisis Komponen Utama (AKU) dikerjakan menggunakan program Minitab versi 13.2.
3
kungan. Dari 13 klon ubi jalar heksaploid berdaging umbi jingga yang digunakan sebagai tetua betina, 7 klon (B063, Ciceh 32, G22, Joang, Prambanan, S138, dan T5) serasi disilangkan dengan Ipomoea trifida diploid (Tabel 2). Keserasian silang ini ditandai dengan terbentuknya kapsul dari persilangan yang dibuat dan secara keseluruhan diperoleh 67 buah kapsul
Tabel 1. Jumlah bunga tetua ubi jalar betina yang disilangkan per bulan. No. Klon Mei Juni Juli Agst Sept 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
B063 B088 Ciceh32 G22 Joang Prambanan S138 T1 T2 T3 T4 T5 T7 Total
1 2 15 9 47 42 29 38 39 56 129 232 35 674
2 2 49 10 149 113 96 42 40 56 228 265 23 1075
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah bunga bervariasi antara 13 (klon B063) hingga 1263 (klon T5) bunga (Tabel 1) dan mencapai puncaknya pada bulan Juli yaitu pada saat tanaman berumur 18-22 minggu setelah tanam. Setelah itu jumlah bunga menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah bunga dipengaruhi oleh faktor genetik dan ling-
8 83 75 47 365 190 462 122 20 54 480 365 36 2307
2 4 17 18 197 11 348 19 45 44 173 177 6 1061
0 0 0 2 105 20 140 8 98 11 81 204 15 684
Okt
Total
0 0 0 0 2 1 10 0 11 5 2 20 4 55
13 91 156 86 865 377 1085 229 253 226 1093 1263 119 5856
dengan daya silang berkisar antara 0.71-7.69%. Klon S138 menghasilkan kapsul terbanyak (38 kapsul) dan daya silang yang relatif lebih tinggi (3.5%). Diduga hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuh. Daya silang ini mencerminkan kemampuan terbentuknya kapsul masak dari persilangan yang dibuat dan tidak dilakukan pengamatan terhadap kapsul yang gugur.
4
Jurnal Natur Indonesia 5(1): 1-8 (2002)
Tabel 2. Daya silang klon ubi jalar yang serasi disilangkan dengan Ipomoea trifida diploid. No. 1 2 3 4 5 6 7
Tetua Betina B063 Ciceh32 G22 Joang Prambanan S138 T5 Total
Σ silangan 13 156 86 865 377 1085 1263 3845
Σ kapsul 1 2 1 12 4 38 9 67
Pada klon ubi jalar yang berbeda (Renwarin et al, 1994) dapat menghasilkan daya silang yang lebih besar yaitu 4.7-14.5% dan tingkat keguguran kapsul mencapai 28-30%. Dari seluruh kapsul diperoleh 83 biji dengan kisaran 1-3 biji per kapsul. Bunga ubi jalar yang fertil mengandung 4 ovari per ovul, dan akan memungkinkan membentuk 4 biji per kapsul. Ketidakserasian silang menyebabkan gagalnya fertilisasi, aborsi pada embrio, maupun endosperm yang tidak berkembang dengan baik sehingga mengakibatkan terhambatnya perkembangan biji dan rendahnya mutu biji yang dihasilkan. Faktorfaktor ini diduga mempengaruhi rendahnya jumlah biji per kapsul yang diperoleh. Selain itu persilangan interspesifik antara ubi jalar dan kerabat liarnya cenderung menghasilkan jumlah biji semakin sedikit apabila taraf ploidinya berbeda jauh (Kobayashi & Miyazaki 1976). Dari 7 klon yang menghasilkan biji, 4 klon diantaranya (G22, Joang, S138, T5) berkecambah dengan jumlah keseluruhan 34 kecambah.
% daya silang 7.69 1.28 1.16 1.39 1.06 3.50 0.71
Σ biji 1 2 1 13 4 47 15 83
Σbiji/ kapsul 1 1 1 1-2 1 1-3 1-2
Σ biji berkecambah 0 0 1 7 0 21 5 34
Σ zuriat hidup 0 0 0 1 0 8 1 10
Sebagian besar dari kecambah tersebut mati yang diduga dipengaruhi oleh mutu biji yang kurang baik. Hanya 10 zuriat mampu bertahan hidup yang berasal dari 3 tetua betina (S138, Joang, dan T5). Setelah 3 bulan ditanam di lapang, zuriat yang berumbi yaitu nomor 51, 36, 42, 43, 52, dan 53, sedangkan zuriat nomor 37, 46, 47, dan 50 hanya menghasilkan perakaran yang tebal (Tabel 3). Akar yang menebal diharapkan berpotensi membentuk umbi, karena pigmentasi pada akar yang menebal merupakan gejala awal inisiasi umbi (Wilson 1982) dan umbi akan terbentuk apabila diikuti oleh proses pembesaran secara lateral. Oleh karena tetap dilakukan analisis RAPD terhadap zuriat yang tidak berumbi. Daging umbi zuriat semuanya berwarna kuning tua disertai dengan bintik-bintik warna jingga berbentuk lingkaran, sedangkan tetua betinanya berdaging umbi jingga dan tetua jantan berdaging umbi putih. Kandungan β-karoten zuriat ubi jalar tetraploid juga relatif rendah dibandingkan dengan tetua betinanya (Tabel 4).
Daya Silang Ubi Jalar Umbi Jingga
5
Tabel 3. Kandungan β-karoten tetua betina, tetua jantan, zuriat ubi jalar tetraploid dan perumbian zuriat. Tetua Kode Bobot D. umbi Kandungan βKandungan βZuriat umbi zuriat karoten karoten Zuriat (g) (mm) (mg/100g BB) (mg/100g BB) Joang 0.6 51 0.1 3.5 6 S138 0.7 36 0.1 5.2-57.0 3-7 37 42 0.1 4.8 4 43 0.1 6.5-8.2 6-7 46 47 50 52 0.1 2.2-7.1 1-12 T5 11.9 53 0.1 3.5 1-3 It-2 0.0 BB: bobot basah umbi, D: diameter, -: tidak berumbi. Tabel 4. Dua komponen utama pertama dengan nilai mutlak lebih dari 0.2 pada 10 zuriat ubi jalar tetraploid, tetua betina, dan tetua jantan. No. Primer Pita keKomponen Utama I Komponen Utama II 1 OPA-04 1 -0.195 -0.242 2 3 0.087 0.239 3 OPA-07 1 -0.284 -0.024 4 2 -0.284 0.116 5 7 -0.014 0.257 6 10 0.049 0.239 7 12 0.097 0.230 8 OPA-10 1 -0.253 0.227 9 2 -0.088 0.301 10 4 0.224 0.126 11 6 0.097 0.230 12 OPA-13 2 -0.115 0.336 13 3 0.294 0.024 14 5 -0.284 0.116 15 6 0.260 0.040 16 7 0.123 0.213 17 8 -0.253 0.227 18 9 0.222 -0.155 19 11 0.256 0.097 20 12 -0.133 -0.260 21 13 0.019 0.228 Akar ciri 7.2 5.5 Proporsi keragaman (%)
Warna umbi putih cenderung bersifat dominan parsial (Renwarin 1990), sehingga warna jingga menjadi
23.9
18.4
kuning tua. Walaupun warna jingga tidak sepenuhnya tampak pada daging umbi zuriat tetraploid, akan tetapi
6
Jurnal Natur Indonesia 5(1): 1-8 (2002)
bintik jingga yang membentuk lingkaran
menunjukkan β-karoten dari
tetua betina telah terwariskan. Zuriat tetraploid ini diharapkan dapat berguna untuk menelusuri pewarisan karakter β-karoten dan menambah keragaman plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut misalnya sebagai sumber gen untuk mengembangkan kultivar baru. Berdasarkan pita RAPD dibuat fenogram kemiripan genetik yang diturunkan dari matriks kemiripan genetik menggunakan koefisien Dice antara 3 tetua betina yang menghasilkan zuriat (Joang, S138, T5), Ipomoea trifida, dan 10 zuriat ubi ja lar tetraploid (Gambar 1). Pada fenogram tersebut terlihat bahwa zuriat ubi jalar tetraploid yang berasal dari tetua yang sama cenderung mengelompok. Hubungan genetiknya berkisar 35-87%. Zuriat ubi jalar tetraploid cenderung mempunyai jarak genetik
yang lebih dekat dengan tetua betinanya daripada tetua jantan. Seluruh zuriat ubi jalar tetraploid mengelompok pada tingkat kemiripan 56%, yang menunjukkan secara genetik zuriat ubi jalar tetraploid cukup bervariasi meskipun secara morfologi sulit dibedakan. Variabilitas genetik zuriat ubi jalar tetraploid ini dipengaruhi oleh konstitusi genetik tetuanya yang terwariskan. Artinya variabilitas genetik zuriat yang dapat mencerminkan derajat heterozigositas genotipe tetuanya. Sedangkan hubungan genetik Ipomoea trifida baik dengan tetua betina maupun zuriat ubi jalar tetraploid relatif jauh yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang genetik antara Ipomoea trifida yang merupakan spesies kerabat liar ubi jalar dengan ubi jalar budidaya. Pola hubungan genetik tersebut juga tampak pada pemetaan dua dimensi hasil Analisis
Kemiripan genetik
66% 62% 56% 48%
63%
74%
Gambar 1. Fenogram kemiripan genetik antara 10 zuriat tetraploid, tetua betina dan tetua jantan berdasarkan koefisien Dice.
Daya Silang Ubi Jalar Umbi Jingga
Komponen Utama yang dibuat berdasarkan pita RAPD (Gambar 2). Klon S138 dan zuriatnya (36, 37, 42, 43, 46, 47, 50, dan 52) cenderung me-
7
peran mendekatkan hubungan genetik klon S138 dan zuriatnya. Kedekatan klon T5 dan zuriatnya (53) dipengaruhi oleh pita hasil amplifikasi meng-
Gambar 2. Pemetaan dua dimensi 10 zuriat ubi jalar tetraploid, tetua betina, dan tetua jantan berdasarkan Analisis Komponen Utama.
ngelompok, juga klon Joang dan T5 dengan masing-masing zuriatnya (51 dan 53). Sebagaimana pengelompkan berdasarkan koefisien Dice, Ipomoea trifida juga terpisah dari tetua betina maupun zuriat tetraploid. Hasil AKU menggunakan matriks korelasi menunjukkan bahwa KU I dan KU II menerangkan 23.9% dan 18.4% dari keragaman total yang berturut-turut mempunyai akar ciri 7.2 dan 5.5 (Tabel 4). Pada KU I dan KU II, berturut-turut, terpilih 10 dan 11 pita RAPD yang mempunyai nilai mutlak relatif besar (lebih dari 0.2). Diantara pita-pita tersebut, pita hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-13 pita ke-3 dan pita ke-11 yang berturut-turut mempunyai nilai mutlak 0.294 dan 0.256 pada KU I ber-
gunakan primer OPA-13 pita ke-5 dan OPA-07 pita ke-2 (keduanya mempunyai nilai mutlak –0.284 pada KU I). Sedangkan hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-13 pita ke-12 mempunyai nilai mutlak –0.260 pada KU II, hanya dijumpai pada Ipomoea trifida. KESIMPULAN Daya silang antar klon-klon ubi jalar heksaploid terhadap Ipomoea trifida diploid bervariasi. Diantara 13 klon yang digunakan sebagai tetua betina, klon S138 mempunyai daya silang terbesar. Klon ubi jalar tetua betina yang menghasilkan zuriat adalah Joang, S138, dan T5. Hubungan genetik zuriat ubi jalar tetraploid cenderung lebih dekat dengan tetua
8
Jurnal Natur Indonesia 5(1): 1-8 (2002)
betina daripada tetua jantan sedangkan Ipomoea trifida cenderung mempunyai hubungan yang jauh. Pola hubungan genetik ini tampak pada fenogram yang diturunkan berdasarkan koefisien Dice maupun pemetaan dua dimensi hasil AKU. Berdasarkan Komponen I dan II dapat diketahui pita-pita yang berperan menentukan kedekatan hubungan genetik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Alex Hartana yang telah membantu dana penelitian ini dan memberi kemudahan untuk menggunakan fasilitas Laboratorium Biologi Tumbuhan, Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA Hambali, G.G. 1988. Tuberization in diploid Ipomoea trifida from Citatah, West Java, Indonesia. Di dalam Howeler, R.H. (ed). Proc. of 8th Symp. Int. Soc. Trop. Root Crop. Thailand: AVRDC. Jarret, R.L., Gawel, N. & Whittemore, A. 1992. Phylogenetic relationships of the sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). J. Amer. Soc. Hort. Sci. 117: 633-637. Kobayashi, M. & Miyazaki, T. 1976. Sweetpotato breeding using wild related species. Proc. IV Symp. Int. Soc. Trop. Root Crop. Taiwan: AVRDC. Lengkong, E.F., Suharsono, Runtunuwu S.D. & Hartana, A. 2001. Pengoptimuman reaksi berantai polimerase DNA tanaman kelapa. Hayati. 8: 121-123. Ramisah, M.S., Saad, M.S., Yunus,
A.G. & Aini, A.S.N. 2000. Genetic relationship in sweetpotato (Ipomoea batatas L.) germplasm from Malaysia and Indonesia using RAPD markers. Di dalam Saad et al, (eds). Genetic Manipulation: Challenges and Advances. Proceedings of the 4th National Congress on Genetics. Genting Highlands. 26-28 Sept 2000. Malaysia: PGM. Renwarin, Y. 1990. Keragaman genetik F1 silangan Ipomoea batatas dan Ipomoea trifida. Tesis Program Pasca Sarjana. Bogor: IPB. Renwarin, Y., Hartana, A., Hambali, G.G. & Rumawas, F. 1994. Ubi jalar tetraploid dan prospeknya sebagai sumber genetik dalam program pemuliaan ubi jalar pentaploid. Zuriat. 5: 8-15. Sagredo, B., Hinrichsen, P., Lopez, L., Cubillos, A. & Munoz, C. 1998. Genetic variation of sweet potato (Ipomoea batatas L.) cultivated in Chile determined by RAPDs. Euphytica. 101: 193-198. Tingey, S.V., Rafalski, J.A. & Williams, J.G.K. 1992. Genetic analysis with RAPD markers. Application RAPD Technology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia Series. Minneapolis, 1 Nov 1992. Ukoskit, K., Thompson P.G., Watson JrC.E. & Lawrence, G.W. 1997. Identifying a randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) marker linked to a gene for root-knot nematode resistance in sweetpotato. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 122: 818821. Villordon, A.Q. & LaBonte, D.R. 1995. Variation in randomly amplified polymorphic DNA markers and storage root yield in Jewel sweetpotato clones. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120: 734-740. Wilson, L.A. 1982. Tuberization in sweet potato (Ipomoea batatas (L) Lam). Didalam Villareal R.L., Griggs, T.D. (eds). Sweet Potato. Proceedings of The First International Symposium. Taiwan: AVRDC.
Daya Silang Ubi Jalar Umbi Jingga
9