i
DAYA SAING USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA DI KECAMATAN BOJONGSARI KOTA DEPOK
DEA TRI JANNATUN NISAA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2013
Dea Tri Jannatun Nisaa H44080076
iii
RINGKASAN DEA TRI JANNATUN NISAA. Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan HASTUTI Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk perikanan terbesar di dunia pada beberapa komoditi ekspor perikanan seperti ikan hias, ikan tuna, udang, kepiting, serta siput (Ramadhan, 2011). Volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar berfluktuasi dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Trend volume ekspor ikan hias air tawar Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2011 adalah 36.84 persen dan trend nilai adalah 35.15 persen. Pada tahun 2011 volume ekspor ikan hias air tawar sebesar 671 105 kg dengan nilai ekspor sebesar 9 051 652 US$ (Badan Pusat Statistik, 2012). Kota Depok merupakan salah satu sentra penghasil ikan hias air tawar di Jawa Barat. Wilayah yang paling besar memproduksi Ikan Neon Tetra di Kota Depok adalah Kecamatan Bojongsari. Pada era perdagangan bebas muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya. Tantangan tersebut diantaranya ketatnya syarat mutu dari keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor. Selain itu, permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian adalah posisi tawar-menawar peternak ikan yang lemah karena peternak tidak memiliki alternatif lain untuk menjual Ikan Neon Tetra selain kepada pedagang pengumpul serta biaya produksi yang masih tinggi karena pakan ikan artemia masih diimpor dari luar negeri. Beberapa permasalahan tersebut menyebabkan pengusahaan Ikan Neon Tetra dituntut untuk terus meningkatkan daya saing agar mampu bersaing di pasar internasional. Tujuan penelitian adalah untuk (1) mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok, (2) menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari Kota Depok, dan (3) menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Analisis daya saing menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil PAM menunjukkan bahwa budidaya Ikan Neon Tetra pada ketiga skala usaha yang dikelompokkan menurut jumlah akuarium secara finansial dan ekonomi menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari keuntungan privat dan sosialnya pada ketiga skala usaha bernilai positif. Keuntungan privat pada skala usaha kecil diperoleh sebesar Rp 12 156 672.85 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar Rp 28 156 770.55 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar Rp 44 856 643.40 per tahun. Usaha budidaya Ikan Neon Tetra memiliki daya saing karena dapat dilihat dari indikator RBP yang menunjukkan keunggulan kompetitif dan indikator BSD yang menunjukkan keunggulan komparatif masing-masing benilai kurang dari satu pada setiap skala usaha. Nilai RBP pada skala usaha kecil diperoleh sebesar 0.58, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 0.42, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 0.39. Tingkat daya saing pada skala usaha kecil lebih kecil diantara skala usaha lainnya, namun peternak ikan yang termasuk dalam skala usaha ini masih mampu membiayai faktor domestik pada harga privatnya. Nilai BSD pada skala usaha kecil diperoleh
iv
sebesar 0.44, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 0.33, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 0.31. Secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan domestik komoditas Ikan Neon Tetra lebih baik diproduksi di dalam negeri dibandingkan mengimpor dari negara lain. Analisis daya saing menggunakan PAM merupakan analisis yang bersifat statis, tidak mengikuti perubahan–perubahan yang terjadi. Analisis perubahan dilakukan untuk mengetahui perubahan pada tingkat daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari apabila terjadi perubahan pada harga output maupun harga input. Skenario yang dilakukan diantaranya adalah penurunan harga output 6.15 persen, penurunan harga input 18.75 persen, kombinasi penurunan harga output 6.15 persen serta penurunan harga input 18.75 persen, dan kombinasi penurunan harga output 6.15 persen serta penurunan harga input 35 persen. Simpulan penelitian adalah (1) usaha budidaya Ikan Neon Tetra pada ketiga skala usaha secara finansial dan ekonomi menguntungkan serta memiliki daya saing, dan (2) penurunan harga output 6.15 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 18.75 persen akan menurunkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra kecuali pada skala usaha besar di skenario 3 akan meningkatkan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra, sedangkan penurunan harga input 18.75 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35 persen akan meningkatkan keunggulan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra. Berikut saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan pengembangan budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari adalah (1) guna meningkatkan posisi tawar menawar peternak Ikan Neon Tetra agar peternak tidak selalu bergantung kepada pedagang pengumpul, pemerintah disarankan mengaktifkan kembali peran kelompok pembudidaya Ikan Neon Tetra untuk membantu peternak mendapatkan informasi pasar, (2) guna meningkatkan daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra, rencana kebijakan subsidi pakan ikan oleh pemerintah pada tahun 2013 agar direalisasikan karena subsidi pemerintah menyebabkan harga pakan ikan yang tinggi akan menjadi lebih murah, sehingga biaya produksi akan menurun, dan (3) guna mengetahui potensi daya saing Ikan Neon Tetra Indonesia, diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai daya saing Ikan Neon Tetra pada tingkat nasional.
Kata Kunci: Ikan Neon Tetra, Keunggulan Kompetitif, Keunggulan Komparatif, Policy Analysis Matrix.
v
DAYA SAING USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA DI KECAMATAN BOJONGSARI KOTA DEPOK
DEA TRI JANNATUN NISAA H44080076
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul Skripsi : Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok Nama : Dea Tri Jannatun Nisaa NIM : H44080076
Disetujui Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA NIP. 19481130 197412 1 002
Hastuti, SP, MP, MSi
Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus :
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat,
hidayah
serta
kekuatan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok”. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
karakteristik
peternak
Ikan
Neon
Tetra,
menganalisis
keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha dan menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha. Semoga penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pembaca, pengambil kebijakan, dan para pelaku peternak Ikan Neon Tetra.
Bogor, Juni 2013
Penulis
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1.
Bapak Dedi Rohadi dan Ibu Titin Suprihatin serta M. Iksan Rohadi dan M. Ridho Rahman, orang tua dan kakak yang selalu memberikan materi, kekuatan, dukungan, serta limpahan doa yang tak pernah putus kepada penulis.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Ibu Hastuti, SP, MP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberi banyak ilmu serta wawasan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Bapak Adi Hadianto, SP, MSi dan Ibu Nia Kurniawati Hidayat, SP, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama dan perwakilan departemen.
4.
Sahabatku Ponda Hairul Aisa, Dini Adi Chahyanti, Rahayu Aryandini, dan Indah Silvina atas saran serta waktu yang diberikan untuk mendengarkan keluh kesah dan atas segala kebersamaan dan keceriaannya.
5.
Yanuar Andriansyah atas motivasi, dukungan, dan perhatiannya selama ini.
6.
Diani Kurniawati dan Imam Mukti Wibowo atas masukan-masukan yang diberikan untuk perbaikan skripsi.
7.
Teman-teman satu bimbingan skripsi Sausan Basmah, Ayu Fitriana, Welda Yunita, Indri Hapsary, dan Agung Prasetio Utomo, Aulia, Citra, April, Sari atas kebersamaannya.
ix
8.
Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Pemerintah Kecamatan Bojongsari, Bapak Rodi, Bapak Nana, Teh Dewi, dan peternak ikan yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.
9.
Keluarga besar ESL 45 Envirangers atas semangat kekeluargaan selama kuliah di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya. Serta kakak-kakak dan adik-adik ESL 43, 44, 46, dan 47.
Bogor, Juni 2013
Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvi I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah.........................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian...........................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
10
2.1. Sentra Penghasil Ikan Hias Air Tawar ............................................
10
2.2. Pemasaran Ikan Hias Air Tawar......................................................
10
2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Ikan Hias Air Tawar ....................
11
2.4. Penelitian Terdahulu .......................................................................
12
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................
20
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ..........................................................
20
3.1.1. Konsep Daya Saing .............................................................
20
3.1.1.1. Keunggulan Komparatif .........................................
20
3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif ..........................................
21
3.1.1.3. Kebijakan Pemerintah ............................................
22
3.1.1.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output
24
3.1.1.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input ...
29
3.1.2. Policy Analysis Matrix ........................................................
31
3.1.2.1. Analisis Keuntungan ..............................................
33
3.1.2.2. Analisis Daya Saing ...............................................
34
3.1.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ................
35
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional....................................................
39
METODE PENELITIAN.......................................................................
42
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...........................................................
42
xi
V.
VI.
VII.
4.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...............................
42
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data............................................
43
4.4. Penentuan Input Output ...................................................................
44
4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing ..
44
4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output ....................
47
4.5. Analisis Perubahan ..........................................................................
53
GAMBARAN UMUM KECAMATAN BOJONGSARI .....................
56
5.1. Keadaan Geografis Kecamatan Bojongsari.....................................
56
5.2. Keadaan Demografis Kecamatan Bojongsari .................................
56
5.3. Teknik Budidaya Ikan Hias Air Tawar ...........................................
58
KARAKTERISTIK PETERNAK IKAN NEON TETRA ..................
65
6.1. Karakteristik Umum ........................................................................
65
6.1.1. Karakteristik Jenis Kelamin ................................................
65
6.1.2. Karakteristik Usia ................................................................
66
6.1.3. Karakteristik Tingkat Pendidikan ........................................
66
6.1.4. Karakteristik Status Usaha ..................................................
68
6.1.5. Karakteristik Lama usaha Budidaya Ikan Neon Tetra ........
68
6.2. Karakteristik Usaha .........................................................................
69
6.2.1. Karakteristik Luas Lahan ....................................................
69
6.2.2. Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra .................
70
6.2.3. Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja .............................
71
KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA ............................
73
7.1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ...........................................
74
7.2. Analisis Daya Saing ........................................................................
75
7.2.1. Keunggulan Kompetitif .......................................................
75
7.2.2. Keunggulan Komparatif ......................................................
76
7.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah.........................................
77
7.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output ..............................
77
7.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input .................................
78
7.3.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output .....................
80
xii
VIII.
IX.
PENGARUH PERUBAHAN HARGA OUTPUT DAN HARGA INPUT TERHADAP DAYA SAING BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA .............................................................................
82
8.1. Skenario 1: Penurunan Harga Output 6.15 persen ..........................
82
8.2. Skenario 2: Penurunan Harga Input 18.75 persen ...........................
83
8.3. Skenario 3: Kombinasi Penurunan Harga output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 18.75 persen ..............................................
84
8.4. Skenario 4: Kombinasi Penurunan Harga output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 35 persen ...................................................
85
SIMPULAN DAN SARAN.....................................................................
87
9.1. Simpulan..........................................................................................
87
9.2. Saran .............................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
90
LAMPIRAN ............................................................................................
93
RIWAYAT HIDUP................................................................................. 115
xiii
DAFTAR TABEL Halaman
Nomor 1.
Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun 2006-2011.....................................................................................
3
Potensi Ikan Hias Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2010..............................................................................................
4
Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok Tahun 2011...................................................................................
4
Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011................................................................
5
5.
Penelitian Terdahulu.....................................................................
13
6.
Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas......................................
22
7.
Policy Analysis Matrix..................................................................
33
8.
Rincian Sampel Peternak Ikan Berdasarkan Skala Usaha............
42
9.
Matriks Analisis Data...................................................................
43
10.
Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing.....................................................................
46
11.
Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Bojongsari............................
57
12.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin...................................
57
13.
Karakteristik Jenis Kelamin Peternak Ikan Neon Tetra...............
65
14.
Karakteristik Usia Peternak Ikan Neon Tetra...............................
66
15.
Karakteristik Tingkat Pendidikan Peternak Ikan Neon Tetra.......
67
16.
Karakteristik Status Usaha Peternak Ikan Neon Tetra.................
68
17.
Karakteristik Lama Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra.................
69
18.
Karakteristik Luas Lahan Peternak Ikan Neon Tetra...................
70
19.
Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra..........................
71
20.
Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja......................................
72
21.
Policy Analysis Matrix Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada tiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011.............
73
Indikator-Indikator PAM pada Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada tiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011.....
74
Penurunan Harga Output 6.15 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra..............................................................................................
82
2. 3. 4.
22. 23.
xiv
24.
25.
26.
Penurunan Harga Input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra..............................................................................................
83
Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra..............................................................................................
85
Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 35 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra..............................................................................................
86
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1.
Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Domestik...............................
10
2.
Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Ekspor...................................
11
3.
Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekpor dan Impor.................................................................
26
4.
Restriksi Perdagangan pada Barang Impor.....................................
28
5.
Subsidi dan Pajak pada Input..........................................................
29
6.
Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable..............
30
7.
Alur Kerangka Pemikiran Operasional...........................................
40
8.
Kurva Perubahan Harga Output Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok Tahun 2005-2011................................................................
54
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Nomor 1.
Karakteristik Responden Desa Bojongsari Lama dan Desa Curug...
94
2. 3.
Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011........................................................................................ Perhitungan Harga Bayangan Ikan Neon Tetra Tahun 2011............
97 97
4.
Perhitungan Harga Bayangan Input Pakan Artemia Tahun 2011.....
98
5.
Perhitungan Harga Bayangan Input Garam Tahun 2011..................
98
6.
Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011.....................................................................
99
Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011.....................................................................
100
Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011........................................................................................
101
Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011..................................................
102
Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011..................................................
104
Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011..................................................
106
12.
Kuesioner Daya Saing Ikan Hias Neon Tetra...................................
108
13.
Dokumentasi......................................................................................
113
7.
8.
9.
10.
11.
1
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dengan
keanekaragaman hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya yang sangat berpotensi adalah sumberdaya laut yang didalamnya terdapat berbagai jenis makhluk hidup yaitu ikan-ikanan, tanaman air, dan lain-lain. Indonesia memiliki daerah perairan yang sangat luas dibandingkan daerah daratannya. Oleh karena itu, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan sektor perikanannya. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk perikanan terbesar di dunia pada beberapa komoditi ekspor perikanan seperti ikan hias, ikan tuna, udang, kepiting, serta siput. Pada tahun 2009 negara Cina menjadi negara eksportir perikanan terbesar yaitu senilai $US 6 813 577 517 di pasar internasional, sedangkan Indonesia pada tahun 2009 berada pada peringkat dua belas dengan nilai ekspor perikanan sebesar $US 1 709 538 525 (UN Comtrade (2011) dalam Ramadhan (2011)). Perkembangan volume ekspor perikanan Indonesia dari tahun 2009 sampai tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 25.21 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Tahun 2009 volume ekspor mencapai 881 413 ton, dan pada tahun 2010 volume ekspor mencapai 1 103 576 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara. Pada umumnya, sektor perikanan terbagi menjadi dua bagian, yaitu perikanan laut dan perikanan budidaya. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih (overfishing) dan kapasitas lebih
2
(over dan excess capacity) (Fauzi, 2010). Perikanan budidaya sebaiknya dikembangkan, karena potensinya masih besar dan menjanjikan banyak menyumbangkan devisa bagi negara, serta berkontribusi besar dalam ketahanan pangan yang bergizi. Berdasarkan hal tersebut, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mendorong peningkatan produksi perikanan budidaya hingga 353 persen, yaitu dari 5.37 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16.9 juta ton pada tahun 2014. Target tersebut dapat terwujud apabila pemerintah daerah dan masyarakat memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan produksi perikanan budidaya.1 Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Tujuan usaha budidaya diantaranya adalah meningkatkan jumlah pangan, mengimbangi penurunan persediaan ikan secara alami, mencukupi kebutuhan protein hewani, meningkatkan produk lain yaitu mutiara, rumput laut, dan lain-lain. Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang berpotensi menjadi komoditas ekspor. Ikan hias yang berasal dari Indonesia sangat diminati oleh pasar internasional. Berdasarkan Tabel 1 trend volume ekspor ikan hias air tawar Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2011 adalah 36.84 persen dan trend nilai adalah 35.15 persen. Volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar berfluktuasi dari tahun 2006 sampai tahun 2011, namun secara nasional permintaan ikan hias masih terbuka sehingga berpotensi bagi para pengusaha yang bergerak dalam
1
Potensi Budidaya Perikanan. www.indofisheries.org. Diakses tanggal 14 Desember 2011
3
bidang perikanan. Pada tahun 2010 volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar mencapai nilai tertingi, sedangkan pada tahun 2008 volume dan nilai ekspor ikan mencapai nilai terendah. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun 2006 - 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 2011 Trend (%) Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)
Ikan Hias Air Tawar Volume (Kg) Nilai (US$) 407 643 3 272 994 103 189 1 917 161 72 931 2 852 226 305 892 5 644 033 1 082 481 9 413 181 671 105 9 051 652 36.84 35.15
Potensi ekspor ikan hias dari Indonesia tidak diimbangi dengan produksi ikan hias yang berasal dari laut. Direktur Pengembangan Produk Non Konsumsi KKP menyatakan hampir 60 persen ikan hias nasional masih sangat bergantung pada hasil tangkapan alam sehingga pasokan ikan hias Indonesia terancam tersendat dan suatu saat akan terjadi kepunahan. Habitat alami ikan hias seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Papua semakin kritis dan sistem logistik di Indonesia tidak sebagus Singapura.2 Budidaya ikan hias pun semakin berkembang karena untuk memenuhi permintaan pasar internasional. Potensi Ikan hias di Kota Depok ditunjukkan pada Tabel 2. Kota Depok mempunyai 10 Kecamatan dengan potensi luas areal untuk budidaya ikan hias sebesar 15.49 ha, akuarium sebanyak 11 355 unit dan bak sebanyak 1 071 unit. Kecamatan Bojongsari merupakan salah satu daerah yang paling berpotensi karena luas lahan areal yang digunakan untuk budidaya ikan hias paling tinggi
2
Asosiasi Eksportir Ikan Hias Minta Perubahan Regulasi. www.tempo.com. Diakses tanggal 19 Desember 2011
4
diantara yang lain yaitu 8.40 ha, serta jumlah akuarium sebanyak 6 375 unit. Rumah tangga pemternak ikan hias di Bojongsari sebanyak 85 orang. Tabel 2. Potensi Ikan Hias Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2010 Rumah Tangga Pembudidaya (Orang) 1. Sawangan 16 2. Bojongsari 85 3. Pancoran Mas 11 4. Cipayung 25 5. Sukmajaya 27 6. Cilodong 23 7. Cimanggis 10 8. Tapos 27 9. Beji 24 10. Limo 22 Jumlah 270 Sumber : Badan Pusat Statistik Depok (2010) No.
Kecamatan
Luas Areal (Ha) 1.66 8.40 0.10 1.20 0.90 1.65 0.20 0.36 0.20 0.82 15.49
Sarana Budidaya (Unit) Akuarium Bak 800 40 6 375 265 220 50 1 250 125 540 135 460 115 250 36 540 135 480 120 440 50 11 355 1 071
Kota Depok merupakan salah satu sentra penghasil ikan hias air tawar di Jawa Barat. Jumlah volume ikan hias air tawar yang diproduksi di Depok pada tahun 2011 mencapai 87 081 817 ekor dengan nilai sebesar Rp 37 128 329 000. Wilayah yang paling besar memproduksi ikan hias air tawar di Depok adalah Kecamatan Bojongsari menghasilkan 34 435 813 ekor ikan hias dengan nilai sebesar Rp 14 973 062 975. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok Tahun 2011 Ikan Hias Air Tawar Volume (Ekor) Nilai (Rp) 1. Kecamatan Sawangan 14 951 818 6 652 303 425 2. Kecamatan Bojongsari 34 435 813 14 973 062 975 3. Kecamatan Pancoran Mas 828 964 369 966 425 4. Kecamatan Cipayung 7 287 291 2 805 280 150 5. Kecamatan Sukmajaya 4 645 180 1 697 322 825 6. Kecamatan Cilodong 4 453 591 1 760 276 775 7. Kecamatan Cimanggis 2 924 527 1 148 243 150 8. Kecamatan Tapos 4 598 799 2 040 398 875 9. Kecamatan Beji 6 210 147 2 707 808 500 10. Kecamatan Limo 6 745 687 2 973 665 900 Jumlah 87 081 817 37 128 329 000 Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok (2011) No.
Wilayah
Budidaya Ikan Neon Tetra merupakan salah satu komoditas yang diminati oleh para peternak ikan. Keunggulan dari Ikan Neon Tetra adalah harganya yang
5
relatif stabil serta permintaan pasar ekspor yang tinggi. Selain sebagai ikan hias, di Eropa, Ikan Neon Tetra ini diambil zat warnanya untuk bahan kosmetika3. Ikan Neon Tetra merupakan ikan hias yang paling banyak dikembangkan di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari menghasilkan jumlah produksi sebesar 8 014 143 ekor dengan nilai produksi sebesar Rp 2 003 535 750 pada tahun 2011. Jenis ikan hias lainnya yang dibudidayakan di Kecamatan Bojongsari antara lain Manvis, Anulatus, Platis Pedang, Siver Dollar, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 Ikan Hias Air Tawar Volume (Ekor) Nilai (Rp) 1. Neon Tetra 8 014 143 2 003 535 750 2. Manvis 4 522 586 1 582 905 100 3. Anulatus 3 636 072 1 090 821 600 4. Platis Pedang 1 317 842 263 568 400 5. Siver Dollar 1 484 816 445 444 800 6. Cupang 1 722 243 861 121 500 7. Blackghost 935 644 1 169 555 000 Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok (2011) No.
Jenis Ikan
Secara morfologi, Ikan Neon Tetra mempunyai bentuk tubuh yang unik dan memiliki warna yang menarik. Ikan hias yang diekspor umumnya mempunyai kriteria tersendiri, antara lain kesehatan dan ukuran ikan yang seragam untuk memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen. Pengetahuan dan keterampilan peternak sangat dibutuhkan, sehingga pembudidayaannya berhasil dengan baik dan kriteria tersebut tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai daya saing Ikan Neon Tetra penting untuk dilakukan.
3
Budidaya Ikan Neon Tetra, Menawan Sekaligus Menguntungkan. www.suaramedia.com. Diakses tanggal 19 Desember 2011.
6
1.2.
Perumusan Masalah Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai
potensi ekspor ke pasar internasional. Indonesia mempunyai peluang yang besar menyangkut lingkungan, ragam ikan, dan sumber daya manusia, namun potensi tersebut belum tergarap secara maksimal (Suprapto, 2005). Pada era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya isu-isu internasional, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur. Tantangan tersebut antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan usaha (Mastuti, 2011). Beberapa permasalahan tersebut menyebabkan pengusahaan ikan hias dituntut untuk terus meningkatkan daya saing agar mampu bersaing di pasar internasional. Salah satu sentra produksi Ikan Neon Tetra yang potensial di Jawa Barat yaitu Kota Depok. Daerah produksinya berada di Kecamatan Bojongsari. Selama ini produk yang dihasilkan sudah dipasarkan ke berbagai daerah di pasar lokal maupun di pasar internasional seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah. Menurut Gemawaty (2006), Ikan Neon Tetra termasuk salah satu jenis ikan hias dengan peluang pasar yang baik bahkan beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang pesat. Pada kenyataannya, produksi ikan hias dari para peternak relatif rendah, hal ini dikarenakan para peternak umumnya memiliki sarana produksi yang terbatas, selain itu sumberdaya air tawar semakin menurun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Permasalahan yang sering muncul dalam budidaya adalah Ikan Neon Tetra mudah mengalami stress ketika terjadi
7
perubahan kualitas air, dengan demikian diperlukan kualitas air yang relatif stabil selama masa pemeliharaan. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terhadap barang-barang pertanian maupun perikanan diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha budidaya ikan hias. Pemerintah Kota Depok sudah memberikan penyuluhanpenyuluhan kepada para peternak ikan hias mengenai budidaya ikan hias. Kegiatan tersebut cukup rutin dilakukan oleh pemerintah, namun belum ada kebijakan khusus dari pemerintah pusat baik input maupun output produksi bagi peternak ikan hias dalam mengembangkan budidaya ikan hias. Harga yang diterima peternak relatif rendah pada Kecamatan Bojongsari. Hal ini disebabkan oleh ketidakefektifan peran kelompok pembudidaya ikan, serta kurangnya penguasaan informasi harga dan jaringan pasar oleh peternak. Permasalahan tersebut membuat para peternak berada dalam posisi tawarmenawar yang lemah karena peternak tidak memiliki alternatif lain untuk menjual Ikan Neon Tetra selain kepada pedagang pengumpul. Jenis pakan ikan yang digunakan dalam budidaya ikan hias salah satunya adalah artemia salina yang masih di impor dari luar negeri. Hal ini menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh para peternak ikan tetap tinggi. Pemerintah mencanangkan kebijakan subsidi pakan ikan untuk mengatasi permasalahan biaya pakan ikan yang tinggi.4 Subsidi yang akan dikeluarkan adalah sebesar 6 Triliun dari sumber Anggaran Pemerintah Belanja Negara Tahun 2013 atau akan menghemat biaya input pakan ikan 18.75 persen5. Kebijakan subsidi pakan ikan
4 5
Subsidi Pakan dan Benih Ikan. www.kkp.go.id. Diakses tanggal 16 Oktober 2012. Subsidi Pakan Ikan 6 Triliun 2013: Membangun Kemandirian Pakan Ikan Nasional Berbasis Pokdakan. www.kompas.com. Diakses tanggal 16 Oktober 2012.
8
tersebut diharapkan akan menurunkan biaya produksi peternak Ikan Neon Tetra, namun hingga saat ini kebijakan tersebut belum diterapkan. Ikan Neon Tetra sangat berpotensi untuk dikembangkan karena para peternak ikan sudah berhasil dalam membudidayakan Ikan Neon Tetra di daerahnya. Penelitian tentang daya saing bertujuan untuk mengukur keunggulan ikan hias ini di pasar domestik maupun di pasar internasional. Ikan hias air tawar yang berdaya saing tinggi dapat meningkatkan pendapatan peternak maupun pemerintah daerah. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah penelitian adalah 1.
Bagaimana karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?
2.
Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?
3.
Bagaimanakah pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan
penelitian adalah 1.
Mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
2.
Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
9
3.
Menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Bagi para peneliti dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pertanian, khususnya perikanan.
2.
Bagi para peternak Ikan Neon Tetra dapat memberikan informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
3.
Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan dengan perikanan, terutama perikanan budidaya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada para peternak Ikan Neon Tetra yang
berlokasi di Kecamatan Bojongsari, yaitu di Kelurahan Bojongsari Lama dan Kelurahan Curug, Kota Depok. Kecamatan Bojongsari merupakan salah satu daerah sentra produksi Ikan Neon Tetra di Jawa Barat. Komoditas yang diteliti yaitu Ikan Neon Tetra. Analisis perubahan yang dimaksud adalah perubahan harga output dan perubahan harga input pakan ikan.
10
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Sentra Penghasil Ikan Hias Air Tawar Pengembangan budidaya ikan hias di Indonesia berada di sebagian besar
wilayah Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Produksi ikan hias nasional tahun 2010 mencapai 600 juta ekor, jumlah tersebut merupakan peningkatan dari tahun 2001 hingga 2008 karena memang produksi ikan hias berorientasi ekspor di Indonesia sedang giat dikembangkan. Sentra pengembangan ekspor ikan hias terdapat di Cibinong, atau dikenal dengan Cibinong Raiser yang merupakan terbesar di Indonesia. Selain itu, ada juga pusat pemasaran produk ikan hias lainnya yaitu di daerah Blitar dan Yogyakarta (Ramadhan, 2011). 2.2.
Pemasaran Ikan Hias Air Tawar Ikan hias dari produsen ke konsumen akan melalui banyak jalur
pemasaran. Gambar 1 menunjukkan jalur pemasaran untuk pasar domestik. Panjang pendeknya jalur pemasaran akan mempengaruhi harga ikan di konsumen. Petani
Pengumpul
Pengumpul di kota besar
Pengecer
Konsumen
Sumber: Lesmana dan Dermawan (2001)
Gambar 1. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Domestik Prosedur dalam perdagangan ikan hias adalah bebas, artinya tidak ada aturan dalam pembatasan jumlah, namun jika perdagangan ikan hias dengan skala ekspor, maka eksportir harus memiliki ijin perdagangan dari Kementrian Industri Perdagangan. Skema rantai pemasaran ikan hias untuk ekspor dapat dilihat pada Gambar 2.
11
Petani
Pengumpul
Pengumpul di kota besar
Eksportir
Pasar Ekspor
Sumber: Lesmana dan Dermawan (2001)
Gambar 2. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Ekspor Selain jalur pemasaran, tingginya resiko pemasaran akan meningkatkan biaya, sehingga harga ikan juga akan meningkat. Ikan hias yang akan dipasarkan harus melalui proses penyeleksian, pengemasan, dan pengangkutan yang baik untuk mengurangi resiko (Lesmana dan Dermawan, 2001). 2.3.
Kebijakan Pemerintah terhadap Ikan Hias Air Tawar Kementrian Kelautan dan Perikanan akan mendorong peningkatan
produksi perikanan budidaya hingga 353 persen, yaitu dari 5.37 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16.9 juta ton pada tahun 2014 dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015. Target tersebut dapat terwujud apabila Pemerintah Daerah dan masyarakat memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan produksi perikanan budidaya. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.27/MEN/2012 menjelaskan bahwa dalam rangka mendorong percepatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, diperlukan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan. Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Tujuan industrialisasi kelautan dan perikanan adalah
12
terwujudnya
percepatan
peningkatan
pendapatan
pembudidaya,
nelayan,
pengolah, pemasar, dan petambak garam. Selain kebijakan industrialisasi, dalam rangka mendorong peningkatan produksi perikanan budidaya diperlukan pengembangan usaha bidang perikanan berbasis kelompok masyarakat menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/PERMEN-KP/2013. Ruang lingkup pengembangan usaha bidang perikanan berbasis kelompok masyarakat meliputi kegiatan pembudidayaan ikan dan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan minat masyarakat berusaha, menumbuh kembangkan kelompok usaha baru, serta meningkatkan produksi dan pendapatan di bidang perikanan. Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok sudah memberikan penyuluhan mengenai budidaya ikan hias dan bantuan berupa modal yang diberikan kepada peternak ikan hias secara bergilir melalui kelompok pembudidaya ikan yang dibentuk di Kelurahan Bojongsari Lama pada tahun 2008. Bantuan berbentuk modal tersebut dirasakan belum cukup meningkatkan produktivitas budidaya ikan hias karena masih banyak kendala dalam proses pengembalian modal, dan tidak berjalan efektif lagi sampai saat ini. Peternak ikan hias dengan skala usaha yang masih kecil sangat bergantung kepada modal usaha yang akan dikeluarkan apabila ingin berkembang lebih luas lagi. 2.4.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan daya saing antara lain
dilakukan oleh Mastuti (2011), Suprapto (2005), Sadikin (2000), Malian et al.,(2004), Zakaria et al.,(2010), Rohman (2008), Kurniawan (2008), Suprihatini
13
Tabel 5. Penelitian Terdahulu No. 1.
2.
13
Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil Bayu Rahmawan (2004) 1. Menunjukkan tingkat Analisis pendapatan 1. Tingkat keuntungan diperoleh Rp 126 781 000 dengan / Analisis Kelayakan keuntungan usaha Adil usaha dan analisis nilai R/C Ratio lebih dari satu yaitu 1.15, artinya Investasi Pengembangan Fish Farm. kelayakan investasi. setiap Rp 1 yang dikeluarkan akan menghasilkan Usaha Pemasok 2. Menganalisis kelayakan penerimaan Rp 1.15. (Supplier) Ikan Hias investasi pengembangan 2. Aspek pasar, menunjukkan usaha ini memiliki peluang Adil Fish Farm di usaha ikan hias Adil Fish pasar yang baik. Aspek finansial, usaha ini layak untuk Depok. Farm. dijalankan dilihat dari NPV>0 yaitu Rp 483 160 979, 3. Menganalisis tingkat Net B/C Ratio>1 yaitu 2.7, dan IRR>tingkat suku kelayakan usaha akibat bunga yang berlaku yaitu 66 persen. terjadinya kenaikan harga 3. Kenaikan harga bahan bakar minyak lebih pakan dan harga bahan mempengaruhi usaha pemasok (supplier) ikan hias bakar minyak. Adil Fish Farm dibandingkan dengan kenaikan harga cacing (pakan) namun dengan adanya perubahan tersebut usaha masih tetap layak untuk dilanjutkan. Intan Dyah Mastuti 1. Menganalisis keunggulan Analisis daya saing 1. Usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan (2011) / Analisis komparatif dan kompetitif menggunakan Policy komparatif dan kompetitif dilihat dari nilai PCR dan Keunggulan Komparatif pengusahaan benih ikan Analysis Matrix. DRC yang kurang dari satu. Pada tahun 2008 nilai dan Kompetitif Usaha patin Deddy Fish Farm. PCR=0.548 dan nilai DRC=0.567. Pada tahun 2009 Pembenihan Ikan Patin 2. Menganalisis dampak nilai PCR=0.597 dan nilai DRC=0.572. Siam (Studi Kasus: perubahan kebijakan 2. Kenaikan UMR 7 persen, kenaikan harga input 4 Perusahaan Deddy Fish pemerintah dan faktor persen, dan menurunkan harga output 20 persen dapat Farm). lainnya terhadap menurunkan keunggulan kompetitif, dapat keunggulan komparatif dan ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah berupa kompetitif pengusahaan penghapusan PPN pakan sebesar 10 persen dan adanya benih ikan patin. kelembagaan yang berfungsi sebagai penampung benih. Penurunan keunggulan komparatif disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah yang berupa kelembagaan seperti koperasi.
14
Tabel 5. Lanjutan No. 3.
4.
14
Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil Restu Edianur Rohman 1. Menganalisis daya saing Analisis daya saing 1. Pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas (2008) / Analisis Daya dan dampak kebijakan menggunakan Policy Unggul Baru memiliki keunggulan kompetitif dan Saing Beras Pandan pemerintah terhadap Analysis Matrix. komparatif. Nilai PCR dan DRC yang bernilai kurang Wangi dan Varietas usahatani padi Pandan dari satu. Unggul Baru (Oryza Wangi dan Varietas 2. Jika terjadi penurunan output sebesar 20 persen, sativa) (Kasus Desa Unggul Baru di Desa komoditas beras Pandan Wangi masih tetap memiliki Bunikasih Kecamatan Bunikasih,Kecamatan daya saing dan layak diusahakan secara finansial Warungkondang Warungkondang, maupun ekonomi. Namun komoditas beras Varietas Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur. Unggul Baru, kehilangan keunggulan kompetitifnya Provinsi Jawa Barat. 2. Menganalisis daya saing dan secara finansial komoditas ini tidak memberikan usahatani padi Pandan keuntungan pada saat terjadi perubahan. Wangi dan Varietas Pada kondisi terjadi kenaikan harga input pupuk Unggul Baru akibat sebesar 16.67 persen dan saat terjadi penurunan harga adanya perubahan variabel output serta biaya imbangan penggunaan lahan penerimaan dan variabel sebesar 12 persen kedua komoditi masih tetap biaya di Desa Bunikasih, memiliki daya saing dan tetap layak diusahakan baik Kecamatan secara finansial dan maupun ekonomi. Warungkondang, Perubahan 16 persen pada masing-masing variabel, Kabupaten Cianjur. menunjukan bahwa pengusahaan kedua komoditi beras yang dianalisis lebih peka terhadap perubahan harga jual output, terutama jika terjadi penurunan harga. Suprapto (2005) / 1. Mengetahui penerimaan, Analisis daya saing 1. Penerimaan finansial dan ekonomi Rp 60 000 000. Keunggulan Kompetitif biaya, dan keuntungan menggunakan Policy Biaya finansial sebesar Rp 13 503 275 dan biaya dan Koparatif Ekspor usahatani ikan hias di DKI Analysis Matrix. ekonomi sebesar Rp 13 198 280. Ikan Hias DKI Jakarta Jakarta 2. Pengusahaan ikan betta memiliki keunggulan di Pasar Internasional. 2. Menganalisis keunggulan komparartif dan keunggulan kompetitif. PCR=0.18 komparatif dan keunggulan dan DRC=0.03. kompetititf ekspor ikan 3. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output
15
Tabel 5. Lanjutan No.
5.
Peneliti/Judul
Tujuan hias DKI Jakarta di pasar internasional. 3. Mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap ekspor ikan hias.
Ikin Sadikin (2000) / 1. Menganalisis keunggulan Analisis Daya Saing komparatif dan kompetitif Komoditi Jagung dan komoditas jagung di NTB Dampak Kebijakan 2. Menganalisis dampak Pemerintah Terhadap kebijakan pemerintah Agribisnis Jagung di dalam penerapan harga dan Nusa Tenggara Barat mekanisme pasar jagung Pasca Krisis Ekonomi. setelah tiga tahun masa krisis berlangsung (1997).
Metode
Hasil menyebabkan penurunan penerimaan karena harga output yang diterima lebih rendah daripada harga yang sesungguhnya. Kebijakan terhadap input menyebabkan penerimaan berkurang karena harus membayar input lebih besar daripada harga ekonominya. Kebijakan pemerintah terhadap output dan input menyebabkan keuntungan yang diterima lebih rendah daripada keuntungan sesungguhnya jika tidak ada kebijakan. Analisis daya saing 1. Pengembangan usaha jagung efisien, sebab produksi menggunakan Policy jagung pada saat krisis berlangsung mempunyai Analysis Matrix. keunggulan kompetitif dan komparatif lebih baik daripada sebelum terjadi masa krisis. 2. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam subsidi input memberikan insentif terhadap petani jagung menyebabkan biaya input lebih rendah dari harga sosial. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam harga dan mekanisme pasar output kurang memberi perlindungan terhadap pembentukan harga jagung sehingga pendapatan yang diterima petani lebih rendah daripada harga sosial. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output kurang memberikan rangsangan, nilai tambah atau keuntungan yang diperoleh petani lebih rendah dari keuntungan sosial yang seharusnya diterima petani.
15
16
Tabel 5. Lanjutan Peneliti/Judul Tujuan A. Husni Malian, Benny 1. Menganalisis struktur dan Rachman, dan Adimesra permintaan pasar ekspor Djulin (2004) / komoditas panili. Permintaan Ekspor dan 2. Menganalisis daya saing Daya Saing Panili di komoditas panili dari Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara di pasar dunia.
7.
Amar K. Zakaria, 1. Menganalisis tingkat Wahyuning K. Sejati, profitabilitas finansial dan dan Reni Kustiari (2010) ekonomi usahatani kedelai / Analisis Daya Saing berdasar agrosistem Komoditas Kedelai wilayah. Menurut Agro 2. Menganalisis daya saing Ekosistem : Kasus di dan kelayakan ekonomi Tiga Provinsi di usahatani kedelai. Indonesia. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan komoditas kedelai.
8.
Ahmad Yousuf 1. Menganalisis faktor-faktor Kurniawan (2008) / yang mempengaruhi Analisis Efisiensi produksi jagung dan Ekonomi dan Daya tingkat efisiensi teknis dan Saing Usahatani Jagung alokatif usahatani lahan
Metode Hasil Analisis permintaan 1. Nilai impor panili dan PDB Amerika Serikat menggunakan model mempengaruhi pangsa ekspor panili Indonesia. analisis permintaan pasar Elastisitas nilai impor = 1.14 dan elastisitas ekspor. Analisis daya pendapatan = 0.95. Elastisitas substitusi = -0.46 saing menggunakan menunjukan bahwa setiap kenaikan harga panili dari Policy Analysis Matrix. negara pesaing sebesar 10 persen, maka pangsa ekspor panili Indonesia ke Amerika Serikat akan meningkat sebesar 4.6 persen, cateris paribus. 2. Petani panili memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dengan nilai DRCR dan PCR lebih kecil dari satu. Analisis daya saing 1. Nilai profitabilitas di ketiga wilayah agroekosistem menggunakan Policy diperoleh nilai yang tertinggi di lokasi lahan sawah Analysis Matrix. irigasi dengan profitabilitas privat 49 persen dan profitabilitas ekonomi 41 persen. 2. Kegiatan usahatani kedelai pada lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan lahan kering/tegalan, berdasar analisis PAM menunjukkan keuntungan yang positif serta memiliki keunggulan daya saing komoditas pada tingkat kompetitifnya maupun komparatifnya. 3. Penetapan harga dasar yang memadai untuk melindungi petani serta menjamin memberikan keuntungan yang layak sehingga pendapatan meningkat. 1. Analisis fungsi 1. Produksi jagung secara nyata dipengaruhi secara produksi Stochastic positif oleh penggunaan luas lahan, benih, pupuk Frontier dan fungsi organik, pupuk P, pestisida, tenaga kerja dan dummy biaya dual frontier. olah tanah. Sedangkan pupuk N dan K tidak 2. Analisis daya saing berpengaruh nyata. Rata-rata petani jagung telah
16
No. 6.
17
Tabel 5. Lanjutan No.
9.
10.
Peneliti/Judul Tujuan Pada Lahan Kering di kering. Kabupaten Tanah Laut 2. Menganalisis daya saing Kalimantan Selatan. (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering di Kabupaten Tanah Laut dan pengaruh efisiensi terhadap daya saingnya. Rohayati Suprihatini Menyajikan posisi (2005) / Daya Saing pertumbuhan dan daya Ekspor Teh Indonesia di saing ekspor teh Indonesia Pasar Teh Dunia dibandingkan dengan negara-negara pengekspor teh lainnya di pasar dunia
Hasil efisien secara teknis, tetapi belum efisien secara alokatif dan ekonomis. Hal ini karena penggunaan input yang berlebihan sehingga kurang efisien. 2. Komoditas jagung memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dan dianggap mampu membiayai input domestiknya. Peningkatan efisiensi alokatif, dengan cara menurunkan penggunaan pupuk N menjadi sesuai rekomendasi, menyebabkan daya saing meningkat. Analisis daya saing Pertumbuhan ekspor teh Indonesia jauh di bawah menggunakan pertumbuhan ekspor teh dunia bahkan mengalami pendekatan Constant pertumbuhan negatif. Kondisi tersebut disebabkan Market Share (CMS) karena (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar yang tercermin dari angka komposisi komoditas teh Indonesia yang bertanda negatif (-0.032); (2) negaranegara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi yang tercermin dari angka distribusi yang bertanda negatif (-0.045); dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang cukup lemah yang tercermin dari angka faktor persaingan yang bertanda negatif (-0.211). Analisis daya saing 1. Pengembangan usaha produksi jagung di daerah menggunakan Policy Bengkulu memiliki keunggulan komparatif cukup Analysis Matrix. tinggi seperti terlihat dari nilai DRCR 0.5814. 2. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam subsidi input (pupuk) saat ini kurang nyata memberikan insentif terhadap petani jagung, harga input yang diterima petani lebih tinggi daripada harga
17
Ikin Sadikin (2003) / 1. Mengkaji tingkat Keunggulan Komparatif keunggulan komparatif dan Dampak Kebijakan produksi jagung di Pemerintah Pada Bengkulu. Pengembangan Produksi 2. Menganalisis dampak Jagung di Bengkulu. kebijakan pemerintah dalam pengembangan
Metode menggunakan Policy Analysis Matrix.
18
Tabel 5. Lanjutan No.
11.
Peneliti/Judul
Rohayati Suprihatini (1998) / Analisis Daya Saing Nenas Kaleng Indonesia.
Tujuan usaha tani jagung Bengkulu.
Metode
di
Menganalisa daya saing nenas kaleng Indonesia
Hasil sosial yang seharusnya, seperti tercermin dari nilai NPCI 1.1704, IT 13.766, dan NPRI 17.04 persen. 3. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam pasar output saat ini, berpengaruh negatif terhadap harga jagung, sebab harga jagung yang diterima petani lebih rendah daripada (harga sosial) yang seharusnya, seperti tercermin dari nilai NPCO 0.8587, OT 150.489, dan NRPO -14.13 persen 4. Dampak bersih dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output yang berlaku saat ini kurang memberikan rangsangan (insentif) terhadap produsen jagung di Bengkulu, sehingga nilai tambah yang diperoleh petani lebih rendah daripada yang seharusnya diterima, sebagaimana tercermin dari nilai EPC 0.8331 dan EPR -16.69. Analisis daya saing Angka PCR yang kurang dari satu yaitu 0,65 menggunakan Policy menunjukkan bahwa pengusahaan nenas kaleng di Analysis Matrix. Indonesia memiliki efisiensi secara finansial, atau memiliki keunggulan kompetitif. Nilai DRCR menunjukkan angka sebesar 0,60 menunjukkan bahwa pengusahaan nenas kaleng di indonesia memiliki keunggulan komparatif. Guna meningkatkan daya saing nenas kaleng Indonesia, perlu dilakukan deregulasi untuk mengurangi distorsi kebijakan pemerintah baik pada output dan input tradable maupun input domestik. Deregulasi dapat dimulai dari penurunan tarif impor input tradable sehingga privat input tradable mendekati harga impornya.
18
19
(2005), dan Sadikin (2003). Penelitian tersebut bertujuan mengukur daya saing komoditas yang berpotensi menghasilkan pendapatan daerah di pasar domestik maupun di pasar internasional. Analisis yang digunakan dalam mengukur daya saing adalah dengan menggunakan Policy Analysis
Matrix (PAM). Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rahmawan (2004)
dan Suprapto (2002) adalah komoditas yang diteliti yaitu ikan hias.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penelitian Mastuti (2011), Suprapto (2002), Sadikin (2000), Malian et al.,(2004), Zakaria et al.,(2010), Rohman (2008), Kurniawan (2008), Sadikin (2003), dan Suprihatini (1998) adalah analisis pengolahan data menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah pemilihan lokasi penelitian serta komoditas yang diteliti. Perbedaan dengan penelitian Suprihatini (2005) adalah metode pengolahan data untuk melihat daya saingnya menggunakan pendekatan Constant Market Share (CMS).
20
III. 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional, komoditi tersebut diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992). Konsep daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith dengan teori keunggulan absolut. Teori tersebut menjelaskan bahwa apabila suatu negara memproduksi suatu komoditi lebih efisien dan kurang efisien dalam memproduksi komoditi kedua (alternatif) dari negara lainnya, maka keuntungan dapat diperoleh dengan melakukan spesialisasi dalam meproduksi komoditi unggulan tersebut. Teori Adam Smith tersebut diperluas oleh David Ricardo yang dipopulerkan melalui bukunya Principles of Political Economy and Taxation, yaitu teori keunggulan komparatif (Hadi, 2004). 3.1.1.1. Keunggulan Komparatif Pada tahun 1817 David Ricardo dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economi and Taxation, menjelaskan mengenai Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum keunggulan komparatif (model Recardian) menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi jika dibandingkan
dengan
negara
lain,
namun
perdagangan
yang
saling
menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan
21
berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil (Salvatore, 1997). Komoditi yang diusahakan suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif jika komoditi tersebut memiliki ketidakunggulan absolut terkecil. Keunggulan absolut adalah keunggulan suatu komoditi karena dapat memproduksi lebih efisien dibanding negara-negara lain (Salvatore, 1997). Tahun 1977 Heckscher dan Ohlin kemudian menyempurnakan konsep keunggulan komparatif yang dikenal dengan teorema Heckscher-Ohlin (H-O). Teorema ini menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditi yang menyerap faktor produksi yang melimpah dan relatif murah di negara tersebut. Negara akan mengimpor komoditi yang proses produksinya menyerap sumber daya yang langka dan relatif mahal di negara tersebut. Teorema H-O memberikan penjelasan mengenai keunggulan komparatif pada suatu negara berdasarkan kepemilikan faktor produksi yang tersedia di masing-masing negara (Salvatore, 1997). 3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif merupakan ukuran daya saing suatu komoditi pada kondisi harga aktualnya (harga pasar), yaitu tingkat harga yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Warr (1994) dalam Aulinuriman (1998) menerangkan bahwa konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan konsep yang sifatnya menggantikan konsep keunggulan komparatif, tetapi merupakan konsep yang sifatnya melengkapi. Keunggulan kompetitif dapat diartikan sebagai keunggulan komparatif dengan distorsi pasar yaitu adanya sistem pemasaran dan intervensi pemerintah. Apabila keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang
22
relevan bagi suatu negara, maka keunggulan kompetitif merupakan ukuran daya saing untuk suatu perusahaan individu. Teori keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter (1990) sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif. Menurut Porter keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitas. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi. Keunggulan dapat diciptakan antara lain melalui implementasi kebijakan pemerintah (Lindert dan Kindleberger, 1995). 3.1.1.3. Kebijakan Pemerintah Intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan harga pada input dan output pada kondisi finansial dan ekonomi. Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap komoditas digambarkan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Dampak terhadap Dampak terhadap produsen konsumen Kebijakan Subsidi: Subsidi kepada produsen Subsidi kepada konsumen a. Tidak mengubah a. Pada barang impor a. Pada barang impor harga pasar domestik (S+PI; S-PI) (S+CI; S-CI) pasar b. Mengubah harga b. Pada barang ekspor domestik pasar domestik (S+PE; S-PE) b. Pada barang ekspor (S+CE; S-CE) pasar domestik Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang- Hambatan pada barang(semua mengubah harga barang impor (TPI) barang ekspor (TCE) pasar domestik) mengubah harga domestik Instrumen
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan: S : Kebijakan Subsidi T : Kebijakan Perdagangan PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor TPI : Hambatan Barang Impor
23
Berdasarkan Tabel 6, kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria yaitu tipe instrumen, penerimaan atau keuntungan yang diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Pelaksanaan dari kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas. 1.
Tipe Instrumen Dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan dalam
tipe instrumen ini. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif. Efek dan tujuan subsidi yaitu menciptakan harga domestik yang berbeda dengan harga dunia, kadang-kadang kebijakan menciptakan harga domestik yang terpisah antara konsumen dan produsen. Kebijakan perdagangan adalah suatu pembatasan terhadap barang impor atau ekspor (Monke dan Pearson, 1989). Pembatasan dapat berupa pajak perdagangan atau pun kuota perdagangan. Tujuannya yaitu untuk mengurangi jumlah perdagangan internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga domestik. Kebijakan pembatasan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kebijakan pembatasan impor dilakukan untuk melindungi produsen karena harga di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga domestik. Pada subsidi terdapat delapan tipe yaitu S+PI, S-PI, S+PE, S-PE, S+CI, SCI, S+CE, dan S-CE, sedangkan pada kebijakan perdagangan hanya ada dua tipe
24
dasar yaitu TPI dan TPE. Subsidi positif yang diterapkan kepada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan pada konsumen menjadi lebih rendah. Kondisi ini lebih baik dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi positif. Subsidi negatif akan mengakibatkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan pada konsumen menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi negatif. 2.
Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada
produsen dan konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami keuntungan dan konsumen mengalami kerugian. Akan tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti efisiensi ekonomi yang hilang akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima. 3.
Tipe Komoditas Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan harga barang impor dan
ekspor. Jika tidak ada kebijakan ini, maka harga domestik sama dengan harga dunia, dimana untuk ekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk impor digunakan harga cif (cost freight and insurance). Adanya kebijakan komoditas menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga fob dan cif. 3.1.1.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi (subsidi positif dan negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan. Kebijakan
25
subsidi produsen barang sustitusi impor (S+PI) akan menguntungkan bagi produsen lokal barang substitusi impor karena dengan adanya kebijakan subsidi bagi produsen barang substitusi impor, penerimaan produsen lokal akan meningkat. Kebijakan subsidi konsumen barang substitusi impor (S+CI) akan menguntungkan konsumen barang substitusi impor. Kebijakan subsidi positif baik pada barang ekspor maupun impor ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 hanya untuk dampak subsidi positif, sedangkan untuk subsidi negatif adalah kebalikannya. Gambar 3(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen pada barang impor di mana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini mengakibatkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3. Subsidi ini mengakibatkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (PdPw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2 (Pd-Pw) atau PdABPw. Pembiayaan ini akan menghilangkan efisiensi ekonomi karena pemerintah memilih untuk tidak mengalokasikan sumberdaya pada harga dunia (Pw). Subsidi mengakibatkan barang yang sebelumnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost jika barang tersebut dimpor adalah sebesar Q1CBQ2 sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB. Gambar 3(c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw-Pd mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua bagian yaitu transfer
26
P
P S
S B
E
Pd
F
D
Pw
C
A
A
Pd C
Pw
B D
Q1
Q2
D Q
Q3
Q2
(a) S+ PI
Q3
Q1
P S
S B
Pw Pd
Pd
Q
(b) S+ PE
P
Pw
Q4
A
C
F
B
C
A
D E D
Q2
Q1
Q3
Q4
D Q
(c) S+ CI
Q1
Q2
Q
(d) S+ CE
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekpor dan Impor Keterangan : Pw : Harga di pasar dunia Pd : Harga domestik S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor
27
dari pemerintah ke konsumen sebesar ADEB dan transfer dari produsen kepada konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian kehilangan efisiensi ekonomi terjadi baik pada produksi maupun konsumsi. Di sisi produksi turunnya output dari Q1 ke Q2 mengakibatkan terjadinya kehilangan pendapatan sebesar Pw (Q1Q2) atau Q2ACQ1. Dengan berkurangnya output, input dapat dihemat sebesar Q2BCQ1 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ACB. Dilihat pada sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah Pw (Q4-Q3) atau Q3FDQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3FEQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar FDE. Selain kebijakan subsidi pada output, pemerintah juga memberlakukan kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4(a) menunjukkan adanya hambatan tarif pada barang impor di mana terdapat tarif sebesar Pd–Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q4 ke Q3. Dengan demikian impor turun dari Q4-Q1 menjadi Q3-Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdDEPw dan kepada pemerintah sebesar EDAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar yang sama Q3ACQ4 sehingga didapatkan efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar DEF. Gambar 4(b) menunjukkan pada situasi perdagangan bebas harga yang diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri sama dengan harga
28
dunia yaitu sebesar Pw. Dengan tingkat harga sebesar Pw, output yang dihasilkan produsen adalah sebesar Q4 dan konsumsi sebesar Q1, sehingga terjadi ekses suplai di dalam negeri sebesar segitiga BHI. Terjadinya ekses suplai tersebut membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri yaitu sebesar Q4Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw, sedangkan surplus produsen sebesar PwHJ. P P
S
A S
B
Pw Pd
Pd Pw
F
D
A
E
B
Q2
Q3
E
H
G I
C D
Q1
C
F
D
Q4
(a) TPI
Q
D
J Q1
Q2
Q3
Q4
Q
(b) TCE
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 4. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor Keterangan : TPI : Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE : Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor
Adanya subsidi negatif pada produsen output (KPON negatif), mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia (Pd
29
yaitu sebesar PwHGPd, perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw, dan besarnya transfer output atau transfer pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar BDE dan FGH yang merupakan kesempatan yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah. 3.1.1.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan harga input bisa merupakan pemberian subsidi atau pajak pada sarana produksi. Gambar 5(a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah segitiga ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang dari Q2ACQ1 dengan biaya produksi dari output Q2BCQ1. P
P
S’
S S
S’ C
Pw
A
C
A B
D
B Q2
Pw
Q1
Q
(a) S- II Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 5. Subsidi dan Pajak pada Input Keterangan : S- II : Pajak untuk input impor S+ II : Subsidi untuk input impor
D Q1
Q2 (b) S+ II
Q
30
Gambar 5(b) memperlihatkan dampak subsidi input menyebabkan harga input maupun biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi meningkat dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, merupakan perbedaan antara biaya produksi setelah terjadi peningkatan output Q1ACQ2 dan peningkatan penerimaan output Q1ABQ2. P
P S C
Pc B
Pd Pp
S A
D
C A
Pd D
Pp’
Pp
B
Pc
D D
O Q3
Q2
Q1
Q
(a) S- N
Q1
Q2
Q
(b) S+ N
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 6. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable Keterangan : S- N : Pajak untuk barang non tradable S+ N : Subsidi untuk barang non tradable
Pada
input
nontradable,
intervensi
pemerintah
berupa
halangan
perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6(a) memperlihatkan sebelum diberlakukan pajak input, harga dan jumlah keseimbangan berada pada Pd dan Q1. Ketika diberlakukan pajak (Pc-Pd) menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan
31
harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen sebesar BCA. Gambar 6(b) menunjukkan adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandigan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya biaya produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. 3.1.2. Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas yaitu (1) tingkat usahatani (farm production), (2) penyampaian dari usahatani ke pengolah, (3) pengolahan, dan (4) pemasaran (Monke dan Pearson, 1989). Analisis PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada yaitu apakah ada keuntungan pada tingkat harga aktual (dengan menghitung perbedaan antara harga privat antara sebelum ada kebijakan dengan sesudah ada kebijakan). Isu kedua yaitu dampak investasi publik (dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru) terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi dihitung berdasarkan tingkat keuntungan sosial. Isu ke tiga yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson et al., 2005).
32
Tujuan utama dari analisis PAM ada tiga, yaitu pertama memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu di atas. Kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial dari sebuah usahatani. Ketiga, menghitung efek transfer sebagai dampak dari sebuah kebijakan (dengan membandingkan biaya dan pendapatan). Input yang digunakan dalam proses produksi pada analisis PAM dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan nontradable goods (faktor domestik). Barang tradable merupakan barang yang dapat diperdagangkan secara internasional dimana produsen dalam negeri cukup efisien sehingga tidak ada hambatan perdagangan (peraturan/kebijakan), oleh karena itu harga FOB memberikan rangsangan yang efektif untuk mengekspor. Barang nontradable merupakan barang yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (dapat dipenuhi oleh produksi setempat pada harga di bawah nilai CIF, sedangkan harga FOB (yang selalu lebih rendah dari harga CIF) terlalu rendah untuk merangsang ekspor. Hasil Analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson et al., 2005). Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 7). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar
33
tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi. Tabel 7. Policy Analysis Matrix Keterangan
Penerimaan
Privat A Sosial E Divergensi I Sumber : Pearson et al., 2005 Keterangan : A : Penerimaan Privat B : Biaya Input Tradable Privat C : Biaya Faktor Domestik Privat D : Keuntungan Privat E : Penerimaan Sosial F : Biaya Input Tradable Sosial
Biaya Input Tradable Faktor Domestik B C F G J K
G H I J K L
Keuntungan D H L
: Biaya Faktor Domestik Sosial : Keuntungan Sosial : Transfer Output : Transfer Input Tradable : Transfer Faktor Domestik : Transfer Bersih
Kolom pertama matriks PAM merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable). Kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non tradable) dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan (selisih antara penerimaan dengan biaya). Analisis tabel PAM dapat dilakukan sebagai berikut (Pearson et al., 2005): 3.1.2.1. Analisis Keuntungan 1.
Keuntungan Privat (KP) Keuntungan privat mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual,
menunjukkan daya saing. Jika nilai KP lebih besar dari nol (KP>0), berarti pengusaaan budidaya ikan hias memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai KP kurang dari nol (KP<0), berarti tidak mendapatkan keuntungan. KP diperoleh dengan rumus: Keuntungan Privat (D) = A – (B + C) Keterangan : A = Penerimaan privat B = Biaya input tradable privat C = Biaya faktor domestik privat
34
2.
Keuntungan Sosial (KS) Keuntungan sosial adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan
harga ekonomi/sosial yang mencerminkan
tingkat efisiensi dari suatu sistem
usahatani atau penggunaan lahan. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi
yang
tinggi
dengan
mengedepankan
aktivitas-aktivitas
yang
menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi. Jika nilai KS lebih besar dari nol (KS>0), maka budidaya ikan hias memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika KS kurang dari nol (KS<0), maka tidak memperoleh keuntungan. KS diperoleh dengan rumus: Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G) Keterangan : E = Penerimaan sosial F = Biaya input tradable sosial G = Biaya faktor domestik sosial 3.1.2.2. Analisis Daya Saing 1.
Rasio Biaya Privat (RBP) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah
dalam harga privat. Nilai RBP mencerminkan kemampuan budidaya ikan hias membiayai faktor domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai RBP diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai RBP maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. RBP dapat diperoleh dari rumus: P
ia a faktor dome tik privat Penerimaan privat ia a input
privat
35
2.
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) Biaya sumberdaya domestik (BSD) menggambarkan efisiensi ekonomi
suatu pengusahaan komoditi. Jika rasio biaya sumberdaya domestik (BSD) kurang dari satu berarti sistem komoditas efisien. Komoditas tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah, sehingga lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibanding dengan impor (untuk komoditas substitusi impor) atau memiliki peluang ekspor yang tinggi (untuk komoditas orientasi ekspor). BSD dapat diperoleh dari rumus : S
ia a aktor ome tik So ial Penerimaan So ial ia a nput
So ial
3.1.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah 1.
Kebijakan Output
a.
Transfer Output (TO) Transfer output (TO) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung
atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial. Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial. Nilai TO yang positif (TO>0) menunjukkan bahwa ada insentif masyarakat terhadap produsen, artinya harga yang dibayarkan oleh konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya, atau ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Sebaliknya jika nilai TO negatif, maka harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Transfer Output dapat diperoleh dengan rumus : Transfer Output (I) = A – E
36
Keterangan : A = Penerimaan privat B = Penerimaan sosial b. Koefisien Proteksi Output Nominal (KPON) Koefisien proteksi output nominal adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai KPON lebih dari satu (KPON>1) berarti telah terjadi penambahan penerimaan akibat adanya kebijakan yang memengaruhi harga output (efek divergensi), begitu pula sebaliknya. KPON dirumuskan sebagai berikut: P
Penerimaan Privat Penerimaan So ial
2.
Kebijakan Input
a.
Transfer Input Nilai Transfer Input (TI) menunjukkan bahwa kebijakan input yang
diharapkan pada input tradable yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara biaya input tradable privat dan biaya input tradable sosial. Jika nilai TI positif (TI>0) hal ini menunjukan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya jika TI kurang dari nol (TI<0) hal ini menunjukan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. Transfer Input dapat diperoleh dengan rumus : Transfer Input (J) = B – F Keterangan : B = Biaya input tradable privat F = Biaya input tradable sosial
37
b. Koefisien Proteksi Input Nominal (KPIN) Koefisien proteksi input nominal adalah rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Apabila nilai KPIN kurang dari satu (KPIN<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing yang tradable sehingga produsen dapat membeli dengan harga yang lebih rendah. Apabila nilai KPIN lebih dari satu (KPIN>1) maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan merasa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. KPIN dapat diperoleh dengan rumus: P c.
ia a nput ia a nput
Privat So ial
Transfer Faktor (TF) Transfer faktor (TF)
menunjukkan besarnya subsidi terhadap faktor
domestik. Jika nilai transfer faktor positif (TF>0) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada faktor domestik. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif (TF<0), berarti terdapat subsidi positif pada faktor domestik. Transfer faktor dapat diperoleh dengan rumus : Transfer Faktor (K) = C – G Keterangan : C = Biaya faktor domestik privat G = Biaya faktor domestik sosial
38
3.
Kebijakan Input-Output
a.
Koefisien Proteksi Efektif (KPE) Koefisien proteksi efektif (KPE) merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas dalam negeri. Nilai KPE menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai KPE lebih dari satu (KPE>1) artinya adalah bahwa kebijakan melindungi produsen domestik secara efektif. KPE dapat diperoleh dengan rumus : P
Penerimaan Privat Penerimaan So ial
ia a nput ia a nput
Privat So ial
b. Transfer Bersih (TB) Transfer Bersih (TB) menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani. Nilai TB lebih dari nol (TB>0) menginformasikan bahwa tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Transfer bersih dapat diperoleh dengan rumus : Transfer Bersih (L) = D – H Keterangan : D = Keuntungan privat H = Keuntungan sosial c.
Koefisien Keuntungan (KK) Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang
benar-benar
diterima
produsen
dengan
keuntungan
bersih
sosial.
KK
menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Jika KK bernilai positif (KK>0), maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh
39
produsen lebih kecil bila dibandingkan tidak ada kebijakan, dan sebaliknya apabila KK bernilai negatif (KK<0). Koefisien Keuntungan dapat diperoleh dengan rumus : euntungan Privat euntungan So ial d. Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen (RSP) RSP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer. RSP merupakan ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output. RSP yang bernilai negatif (RSP<0) artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi. RSP dapat diperoleh dengan rumus : SP 3.2.
ran fer er ih Penerimaan So ial
Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan
yang
dibuat
pemerintah
dapat
mempengaruhi
usaha
pembudidayaan ikan hias air tawar. Kebijakan tersebut dapat menimbulkan perbedaan harga input dan output yang berpengaruh pada biaya produksi dan harga jual ikan. Biaya produksi dan harga jual yang meningkat dapat menimbulkan perubahan pada penerimaan atau keuntungan perusahaan. Kota Depok merupakan salah satu sentra budidaya ikan hias air tawar di Provinsi Jawa Barat. Pengembangan usaha dan peningkatan produksi ikan hias tersebut harus didukung dengan kebijakan yang mampu memberikan insentif bagi peternak ikan sehingga diharapkan komoditas ikan hias memiliki daya saing terhadap produk sejenis serta dapat memperluas skala usahanya. Peternak ikan hias masih kesulitan dalam memperoleh input produksi. Jenis pakan ikan yang
40
1. Tingginya harga pakan karena merupakan produk impor 2. Posisi tawar-menawar peternak ikan yang rendah 3. Kendala permodalan bagi peternak ikan yang skala usahanya masih kecil
Daya Saing Usaha Pembudidayaan Ikan Hias Neon Tetra
Policy Analysis Matrix (PAM) & Analisis Perubahan
Dampak Kebijakan 1. Transfer Output 2. Transfer Input 3. Transfer Faktor 4. Transfer Bersih 5. Koefisien Proteksi 6. Koefisien Keuntungan 7. Rasio Subsidi Produsen
Keunggulan Komparatif 1. Keuntungan Ekonomi 2. Biaya Sumberdaya
Keunggulan Kompetitif 1. Keuntungan Finansial 2. Rasio Biaya Privat
Alternatif Kebijakan
Gambar 7. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
41
digunakan dalam budidaya ikan hias salah satunya adalah artemia salina yang masih di impor dari luar negeri. Hal ini menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh para peternak tetap tinggi. Peternak ikan hias yang usahanya masih dalam skala usaha kecil juga masih terkendala dalam permasalahan permodalan, sehingga belum bisa mengembangkan usahanya lebih luas lagi. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu matriks analisis kebijakan yang bertujuan untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditi, mengetahui keuntungan ekonomi dan finansial dari suatu usahatani, serta menghitung transfer effects sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Analisis keunggulan komparatif dilihat dari nilai keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik, sedangkan keunggulan kompetitif dilihat dari keuntungan privat dan rasio biaya privat. Dampak kebijakan pemerintah yang berlaku pada kondisi existing dilihat dari Transfer Output, Transfer Input, Transfer Bersih, Transfer Faktor, Koefisien Proteksi, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen. Namun analisis PAM hanya mampu menganalisis pada kondisi existing saja. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis perubahan untuk mengetahui dampak apabila terjadi perubahan keadaan atau kebijakan yang dapat memengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif usaha pembudidayaan Ikan Neon Tetra. Kerangka pemikiran operasional dapat dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 7.
42
IV. 4.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Lokasi
penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan karena wilayah tersebut merupakan salah satu pemasok ikan hias bagi eksportir di Jakarta dan Bekasi. Selain itu, Kecamatan Bojongsari merupakan sentra produksi ikan hias dengan jumlah petani, luas lahan, serta volume dan nilai produksi terbesar di Kota Depok. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli hingga September 2012. 4.2.
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan peternak yang menjalankan usaha budidaya Ikan Neon Tetra. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Badan Pusat Statistik, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Teknik sampling tersebut digunakan karena jumlah elemen dalam populasi tidak diketahui atau tidak dapat diidentifikasi. Sampel pada penelitian ini adalah 45 usaha budidaya Ikan Neon Tetra, kemudian dibagi menjadi tiga skala usaha berdasarkan jumlah akuarium yang dimiliki oleh peternak. Rincian sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rincian Sampel Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra Berdasarkan Skala Usaha No.
Skala Usaha
1. Kecil 2. Sedang 3. Besar Sumber: Data Primer, diolah (2012)
Jumlah Akuarium (Unit) 50 - 125 126 - 200 > 200
Sampel (Usaha) 15 15 15
43
Metode Pengolahan dan Analisis Data
4.3.
Metode analisis data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data, sedangkan metode kualitatif berupa penyajian data dengan cara mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif. Pengolahan data menggunakan program komputer
Microsoft
Excel.
Tabel
Input-Output
juga
digunakan
untuk
mengalokasikan biaya ke dalam komponen tradable dan faktor domestik. Metode
analisis
data
berupa
analisis
daya
saing
dan
dampak
kebijakan/divergensi pemerintah dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Tabel 9. Matriks Analisis Data No. 1.
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
2.
Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
3.
Menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
Sumber Data Dari wawancara langsung dengan peternak ikan menggunakan kuisioner. Dari wawancara langsung dengan peternak ikan menggunakan kuisioner. Dari wawancara langsung dengan peternak ikan menggunakan kuisioner.
Analisis Data Analisis Deskriptif.
Analisis Policy Analysis Matrix dengan Microsoft Office Excel. Analisis kebijakan dan Policy Analysis Matrix dengan Microsoft Office Excel.
Terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini. Keempat tahapan tersebut mengacu pada pendapat Monke dan Pearson (1989), yakni : 1.
Penentuan input output fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang dianalisis.
44
2.
Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing yang didasarkan atas Tabel Input-Output.
3.
Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan input-output.
4.
Tabulasi dan analisis berbagai indikator yang dihasilkan tabel PAM.
4.4.
Penentuan Input Output Pada budidaya Ikan Neon Tetra ini input merupakan semua input yang
digunakan dalam proses produksi sampai menghasilkan output yang siap dijual. Input-input produksi Ikan Neon Tetra meliputi pakan ikan artemia salina, garam, obat-obatan, bibit ikan, lahan, tenaga kerja, dan peralatan. Output yang dihasilkan berupa ikan hias jenis Neon Tetra. 4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing Terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan langsung (Direct Approach) dan pendekatan total (Total Approach) dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable) (Monke dan Pearson, 1989). Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input non tradable yang sumbernya dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi kedalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan
45
untuk diproduksi di dalam negeri (Monke dan Pearson, 1989). Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi, sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau pasar domestik. Pada penelitian ini, alokasi biaya ke dalam komponen biaya input tradable dan faktor domestik menggunakan pendekatan total. 1.
Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input dan penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input (Pearson et al., 2005). Pada budidaya Ikan Neon Tetra ini, input tradable yaitu pakan ikan artemia dan garam digolongkan ke dalam input biaya asing. Adapun input-input nontradable seperti induk ikan, obat-obatan, lahan, tenaga kerja, peralatan, dan biaya lainnya digolongkan ke dalam input biaya domestik. Alokasi biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 10. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing diolah menggunakan Tabel Input-Output Tahun 2005. Tabel yang digunakan adalah Tabel 1 dan Tabel 3 pada Tabel Input-Output tersebut. Tabel 1 merupakan Transaksi Total atas Harga Dasar Pembeli sedangkan Tabel 3 merupakan Transaksi Domestik atas Dasar Harga Produsen. Tabel 1 digunakan untuk mencari komponen asing, sedangkan Tabel 3 digunakan untuk mencari komponen domestik. Kolom pada tabel menunjukkan input yang digunakan dalam usahatani, sedangkan baris menunjukkan bidang usaha tani.
46
Tabel 10. Alokasi Komponen Domestik dan Asing
Biaya
Input-Output
dalam
Komponen (%)
No
Uraian
Asing
Pajak
Domestik
25.44
62.04
12.52
37.96
62.04
100.00
0
0
100.00
0
a. Artemia
7.60
38.04
54.36
61.96
38.04
b. Kutu air
100.00
0
0
100.00
0
45.64
0
54.36
100.00
0
a. Blitzh Ich
84.92
0
15.08
100.00
0
b. Velvet
84.92
0
15.08
100.00
0
Penerimaan Output Output Ikan Neon Tetra
B. 1.
Input Produksi Induk Ikan
2.
Biaya Input Pakan Ikan
c. Cacing sutera
4.
Asing
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya a. Garam
5.
Ekonomi
Domestik
A. 1.
3.
Finansial
100.00
0
0
100.00
0
b. Oksigen
90.64
0
9.36
100.00
0
c. Kantung Plastik
48.82
49.58
1.60
50.42
49.58
d. Karet Gelang
17.77
13.67
68.56
86.33
13.67
a. Blower
96.71
0
3.28
100.00
0
b. Pompa Air
96.71
0
3.28
100.00
0
8.68
0
91.32
100.00
0
d. Genset
96.71
0
3.28
100.00
0
e. Akuarium (100x50x30)
72.48
0
27.51
100.00
0
f. Akuarium (15x15x10)
72.48
0
27.51
100.00
0
g. Akuarium Artemia
72.48
0
27.51
100.00
0
Biaya Peralatan
c. Tabung Oksigen
h. Rak Akuarium
8.68
0
91.32
100.00
0
100.00
0
0
100.00
0
j. Selang Angin
17.77
13.67
68.56
86.33
13.67
k. Selang Air
17.77
13.67
68.56
86.33
13.67
i. Paralon
l. Keran Angin
48.82
49.58
1.60
50.42
49.58
100.00
0
0
100.00
0
n. Baskom
48.82
49.58
1.60
50.42
49.58
o. Serokan
48.82
49.58
1.60
50.42
49.58
6.
Tenaga Kerja
98.30
0
1.70
100.00
0
7.
Sewa Lahan
98.00
0
2.00
100.00
0
8.
Biaya Listrik
90.64
0
9.36
100.00
0
9.
Biaya Telepon
99.29
0
0.71
100.00
0
10. Pajak Bumi dan Bangunan 98.50 Sumber: Badan Pusat Statistik (2005), diolah
0
1.50
100.00
0
m. Saringan Ikan
47
Berikut adalah metode perhitungan komponen domestik-asing dengan Tabel Input-Output 2005: persen komponen domestik = persen komponen asing
2.
=
nilai komponen produk dome tik nilai komponen total nilai komponen produk a ing nilai komponen total
x 100 persen
x 100 persen
Alokasi Biaya Pemasaran Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai
atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Biaya pemasaran dihitung dari seluruh biaya pemasaran dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. Biaya pemasaran terdiri dari biaya transportasi dan penanganan. 4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output Harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan (Gittinger, 1986). Biaya oportunitas suatu barang akan menjadi harga bayangan barang tersebut, akan tetapi sulit menentukan harga oportunitas suatu barang. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan bayangan atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku di pasar, diantaranya dengan mengurangkan pajak tidak langsung atau menambahkan subsidi dari harga yang berlaku di pasar. Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga paritas ekspor (FOB) untuk barang yang exportable dan harga paritas impor (CIF)
48
untuk barang yang importable. FOB merupakan syarat penyerahan barang dimana penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai dengan pelabuhan muat penjual, sisanya ditanggung pembeli. CIF adalah syarat penyerahan barang dimana penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu komoditas. Penentuan harga bayangan barang-barang nontradable, menurut Monke dan Pearson (1989) berdasarkan langkah-langkah berikut: (1) menghitung opprtunity cost dari barang nontradable tersebut, namun cara ini sulit dilakukan, (2) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang distorsif, ada tidaknya kegagalan pasar seperti struktur pasar monopoli, monopsoni, dan lain-lain; eksternalitas negatif atau positif, dan ketidaksempurnaan kelembagaan, (3) apabila dampak divergensi tidak dapat diestimasi maka menggunakan harga barang substitusinya, dan (4) jika langkah tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang/substitusinya di negara tetangga. 1.
Harga Bayangan Output Harga bayangan output tradable yang digunakan adalah border price,
yaitu harga yang berlaku pada perbatasan negara, baik ketika barang tersebut tiba dari luar negeri (impor), maupun saat produk akan dikirim ke luar negeri (ekspor) (Pearson et. al, 2005). Pada penelitian ini, harga bayangan Ikan Neon Tetra menggunakan rata-rata harga ekspor ikan hias air tawar dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Perhitungan harga bayangan Ikan Neon Tetra dimulai dengan FOB yaitu harga ekspor di negara pengekspor ($ 17 725.24 per ton di Indonesia). Harga FOB tersebut dinilai dalam rupiah dengan mengalikannya dengan nilai tukar
49
bayangan (Rp 8 540.62 per $). Konversikan nilai FOB tersebut ke dalam rupiah per kilogram, kemudian kurangi biaya transportasi ke pedagang besar. Langkah terakhir adalah memasukkan biaya distribusi di tingkat petani, sehingga diperoleh harga bayangan ikan hias neon tetra sebesar Rp 148 884.54 per kilogram. Perhitungan lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. 2.
Harga Bayangan Input Sama halnya dengan output, harga bayangan input juga ditentukan
berdasarkan input tradable dan faktor domestik. Input tradable misalnya pakan ikan artemia salina dan garam. Faktor domestik seperti bibit ikan, lahan, tenaga kerja, peralatan dan obat-obatan. Harga FOB digunakan untuk menentukan harga bayangan input yang diekspor, sedangkan harga CIF untuk input yang diimpor. Input nontradable diestimasi dengan cara mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya produksi barang atau jasa nontradable kedalam biaya input tradable dan biaya faktor domestik (tenaga kerja, modal, dan lahan). a.
Harga Bayangan Pakan Ikan Harga bayangan pakan berupa artemia berdasarkan border price. Harga
bayangan artemia menggunakan harga impor. Perhitungan harga bayangan dimulai dengan harga FOB yaitu harga ekspor di negara pengekspor ($ 60 000.00 per ton di Cina)6. Harga CIF didapatkan dari harga FOB ditambah dengan biaya pengapalan dan asuransi ($ 6 000.00 per ton). Harga CIF tersebut dinilai dalam rupiah dengan mengalikannya dengan nilai tukar bayangan (Rp 8 540.62 per $). Konversikan nilai CIF tersebut ke dalam rupiah per kilogram, kemudian tambahkan biaya transportasi ke pedagang besar. Langkah terakhir adalah 6
Artemia Brine Shrimp Egg. www.alibaba.com/artemia_brine_shrimp_egg.html. Diakses tanggal 16 Oktober 2012
50
memasukkan biaya distribusi di tingkat petani, sehingga diperoleh harga bayangan artemia sebesar Rp 563 940.92 per kilogram. Perhitungan lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Harga bayangan untuk pakan ikan yang lain berupa kutu air dan cacing sutera didekati dengan harga finansial karena kutu air dan cacing sutera diperoleh secara domestik dan tidak terdapat border price. b. Harga Bayangan Induk Ikan Harga bayangan untuk induk Ikan Neon Tetra, ditentukan berdasarkan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna. Induk ikan diperoleh dari para peternak Ikan Neon Tetra yang terdapat di sekitar lokasi penelitian. Induk ikan diperoleh secara domestik dan tidak terdapat border price. c.
Harga Bayangan Garam Harga bayangan garam menggunakan harga impor. Perhitungan harga
bayangan garam dimulai dengan harga FOB yaitu harga ekspor di negara pengekspor ($ 80.00 per ton di Cina)7. Harga CIF didapatkan dari harga FOB ditambah dengan biaya pengapalan dan asuransi ($ 8.00 per ton). Harga CIF tersebut dinilai dalam rupiah dengan mengalikannya dengan nilai tukar bayangan (Rp 8 540.62 per $). Konversikan nilai CIF tersebut ke dalam rupiah per kilogram, kemudian tambahkan biaya transportasi ke pedagang besar. Langkah terakhir adalah memasukkan biaya distribusi di tingkat petani, sehingga diperoleh harga bayangan garam sebesar Rp 826.57 per kilogram. Perhitungan lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
7
Table Salt. www.alibaba.com/table_salt.html. Diakses tanggal 16 Oktober 2012
51
d. Harga Bayangan Peralatan dan Obat-obatan Harga pasar dari peralatan yang dipakai seperti blower, pompa air, genset, tabung oksigen, akuarium, rak akuarium, paralon, selang air, selang angin, baskom, serokan, saringan ikan, dan keran angin dihitung berdasarkan harga penyusutan peralatan selama satu tahun dengan Metode Garis Lurus (Suratiyah, 2009) dengan formulasi sebagai berikut: Pen u utan
ilai eli ilai Si a mur konomi
Obat-obatan yang dipakai dalam usaha budidaya Ikan Neon Tetra ini adalah Blitzh Ich dan Velvet. Harga bayangan peralatan dan obat-obatan menggunakan harga finansial kemudian dikurangkan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. e.
Harga Bayangan Listrik dan Telepon Listrik dan telepon merupakan input nontradable. Menurut PP No. 7 tahun
2007, listrik dibebaskan dari PPN. Harga bayangan listrik dan telepon menggunakan harga finansialnya. f.
Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan
tidak terampil. Upah tenaga kerja bayangan dalam penelitian ini sama dengan upah tenaga kerja finansial, karena seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja pertanian tidak terampil di pedesaan (Pearson et. al, 2005). g.
Harga Bayangan Lahan Tanah atau lahan merupakan faktor produksi utama dan termasuk faktor
domestik dalam usahatani atau usaha peternakan. Penentuan harga bayangan
52
lahan dapat didekati dengan beberapa cara, diantaranya adalah (1) pendapatan bersih usahatani atau usaha peternakan dengan komoditi terbaik diatasnya, (2) berdasarkan nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena adanya kegiatan atau proyek diatasnya. Gittinger (1986) mengemukakan bahwa harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan setiap musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat. Pada lokasi penelitian ini penentuan harga bayangan yang digunakan adalah yang didasarkan oleh nilai sewa lahan tersebut, karena sulit untuk mengukur nilai suatu usahatani atau usaha lainnya di suatu lahan tertentu. h. Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Rincian perhitungan nilai tukar bayangan dapat dilihat pada Lampiran 2. Harga bayangan nilai tukar menggunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire Van der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : S
S
Keterangan : SER OER SCF
: Nilai Tukar Bayangan (Rp.US$) : Nilai tukar Resmi (Rp/US$) : Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : S
(
)
m
53
Keterangan : SCF X M Tx Tm 4.5.
: Faktor konversi standar : Nilai ekspor Indonesia (Rp) : Nilai impor Indonesia (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor (Rp)
Analisis Perubahan Analisis perubahan bertujuan untuk melihat pengaruh perubahan harga
output dan harga input terhadap daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra khususnya di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Sasaran dari analisis perubahan ini adalah usaha budidaya Ikan Neon Tetra yang berskala usaha kecil, skala usaha menengah dan skala usaha besar. Instrumen dari analisis perubahan ini adalah harga output dan harga input. Skenario perubahan yang dilakukan adalah: a.
Skenario 1: Penurunan Harga Output 6.15 persen Penurunan harga output dilakukan atas dasar pertimbangan rata-rata laju
perubahan harga output privat ikan hias air tawar di Kota Depok dari tahun 2005 sampai tahun 2011. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Depok, kondisi harga output ikan hias air tawar pada awalnya meningkat namun pada tahun 2007 mengalami penurunan sampai tahun 2011. Pada tahun 2006 harga output mencapai harga tertinggi yaitu Rp 580.12 per ekor, dan pada tahun 2010 harga output mencapai harga terendah yaitu Rp 425.04 per ekor. Rata-rata laju perubahan harga output dalam tujuh tahun terakhir adalah sebesar 6.15 persen. Tren dari perubahan harga tersebut adalah menurun sehingga skenario pertama yang dilakukan adalah penurunan harga output sebesar 6.15 persen. Perubahan harga output ikan hias air tawar di Kota Depok dapat dilihat pada Gambar 8.
54
700
Harga (Rp/ekor)
600 500 400 300 200 100 0 2004
2005
2006
2007
2008 Tahun
2009
2010
2011
2012
Sumber: Badan Pusat Statistik Depok (2005 – 2011)
Gambar 8. Kurva Perubahan Harga Output Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok Tahun 2005-2011 b. Skenario 2: Penurunan Harga Input 18.75 persen Penurunan harga input dilakukan atas dasar perencanaan kebijakan subsidi pakan ikan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan biaya pakan yang tinggi8. Subsidi yang akan dikeluarkan adalah sebesar 6 Triliun dari sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 atau akan menghemat biaya input pakan ikan 18.75 persen9. Subsidi tersebut dapat menurunkan biaya input pakan ikan, sehingga skenario kedua yang dilakukan adalah penurunan harga input sebesar 18.75 persen. c.
Skenario 3: Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 18.75 persen. Skenario ketiga yang dilakukan adalah kombinasi dari penurunan harga
output sebesar 6.15 persen dan penurunan harga input sebesar 18.75 persen.
8 9
Subsidi Pakan dan Benih Ikan. www.kkp.go.id. Diakses tanggal 16 Oktober 2012. Subsidi Pakan Ikan 6 Triliun 2013: Membangun Kemandirian Pakan Ikan Nasional Berbasis Pokdakan. www.kompas.com. Diakses tanggal 16 Oktober 2012.
55
Skenario ini melihat bagaimana tingkat daya saing jika terjadi perubahan pada semua skenario di saat yang bersamaan. d. Skenario 4: Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 35 persen. Skenario keempat yang dilakukan adalah kombinasi dari penurunan harga output sebesar 6.15 persen dan penurunan harga input sebesar 35 persen. Skenario ini melihat bagaimana tingkat daya saing jika terjadi perubahan pada semua skenario di saat yang bersamaan.
56
V. 5.1.
GAMBARAN UMUM KECAMATAN BOJONGSARI
Keadaan Geografis Kecamatan Bojongsari Kecamatan Bojongsari merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan
Sawangan Kota Depok yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2008 bersamaan dengan Kecamatan Tapos, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Cinere, dan Kecamatan Cipayung. Kecamatan Bojongsari meliputi 7 kelurahan yaitu Kelurahan Pondok Petir, Kelurahan Serua, Kelurahan Curug, Kelurahan Bojongsari, Kelurahan Bojongsari Baru, Kelurahan Duren Seribu, dan Kelurahan Duren Mekar. Luas wilayah Kecamatan Bojongsari sebesar 1 872 Ha, dengan keadaan alamnya berupa dataran rendah, elevasi antara 100 sampai dengan 140 meter dpl, dengan curah hujan 200 mm per tahun, serta masih terdapat ruang terbuka hijau berupa lahan pertanian dan perikanan. Kecamatan Bojongsari sebelah Utara berbatasan dengan Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sawangan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Kecamatan Bojongsari mempunyai potensi dalam mengembangkan sektor pertanian dan perikanannya terutama pada komoditas lidah buaya, ikan konsumsi, dan ikan hias. Kelurahan Curug dan Kelurahan Bojongsari Lama menjadi lokasi penelitian karena daerah tersebut menjadi daerah terbesar penghasil ikan hias air tawar di Kota Depok. 5.2.
Keadaan Demografis Kecamatan Bojongsari Kecamatan Bojongsari secara keseluruhan memiliki 24 283 rumah tangga,
dengan 78 RW dan 311 RT. Kelurahan Curug memiliki 3 650 rumah tangga,
57
dengan 12 RW dan 44 RT. Kelurahan Bojongsari Lama memiliki 4 270 rumah tangga, dengan 13 RW dan 32 RT. Jumlah rumah tangga beserta Rukun Tetangga dan Rukun Warga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Bojongsari No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelurahan Rumah Tangga Duren Seribu 2 964 Duren Mekar 3 316 Bojongsari Lama 4 270 Bojongsari Baru 2 450 Curug 3 650 Pondok Petir 3 180 Serua 4 453 Jumlah 24 283 Sumber : Badan Pusat Statistik Depok (2011)
Rukun Tetangga 36 50 32 23 44 82 44 311
Rukun Warga 11 8 13 9 12 16 9 78
Jumlah penduduk Kecamatan Bojongsari secara keseluruhan 104 040 orang, 53 122 penduduk berjenis kelamin laki-laki, dan 50 918 penduduk berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk Kelurahan Curug sebesar 16 492 orang, penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 8 717 orang, dan 8 197 penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelurahan Jumlah Penduduk Duren Seribu 10 198 Duren Mekar 15 711 Bojongsari Lama 14 127 Bojongsari Baru 9 347 Curug 16 914 Pondok Petir 21 252 Serua 16 492 Jumlah 104 040 Sumber : Badan Pusat Statistik Depok (2011)
Laki-laki 5 223 7 999 7 272 4 795 8 717 10 626 8 490 53 122
Perempuan 4 975 7 712 6 855 4 551 8 197 10 626 8 002 50 918
Data Monografi Kelurahan Curug menunjukkan mayoritas mata pencaharian penduduk sebagai pegawai swasta sebanyak 1 381 orang (46 persen), kemudian sebagai buruh tani 563 orang (19 persen), sebagai pedagang sebanyak
58
398 orang (14 persen), sebagai petani sebanyak 318 orang (11 persen), sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 289 orang (9 persen), sebagai TNI/ABRI sebanyak 20 orang (0.7 persen), dan sebagai pemulung sebanyak 2 orang (0.3 persen). Pengusaha Ikan Neon Tetra termasuk kedalam kelompok petani. Penduduk Kelurahan Bojongsari Lama mayoritas bermata pencaharian sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 2 047 orang (38 persen), kemudian sebagai buruh sebanyak 1 511 orang (28 persen), sebagai pedagang sebanyak 965 orang (18 persen), sebagai petani sebanyak 427 orang (8 persen), sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 215 orang (4 persen), sebagai pensiunan 107 orang (3 persen), dan sebagai TNI/Polri sebanyak 16 orang (1 persen). 5.3.
Teknik Budidaya Ikan Hias Air Tawar Teknik budidaya yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan skala usaha
yang dijalankan akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dalam memproduksi ikan yang baik. Beberapa faktor teknis budidaya yang perlu diperhatikan adalah pemilihan induk, tempat pemeliharaan, teknik pemijahan, pemeliharaan, cara penanganan ikan sakit, penyortiran dan pengemasan, hingga proses pengangkutan. a.
Pemilihan Induk Induk yang dipilih harus sudah berukuran 2.5 cm dan umurnya antara 6-7
bulan. Pembelian induk hanya dilakukan satu kali, yaitu pada saat memulai usaha. Setelah usaha berjalan, peternak memisahkan sebagian ikannya, biasanya yang memiliki ukuran di atas rata-rata, untuk dibesarkan sebagai calon induk. Jika terpaksa membeli, peternak tidak pernah membeli induk yang sudah jadi. Peternak biasanya membeli ikan berukuran M (2 cm) yang kemudian dibesarkan hingga
59
siap untuk memijah. Hal ini dilakukan karena ikan yang terbaik untuk dijadikan induk adalah ikan yang dari menetas hingga dewasa berada di lingkungannya dan akan mampu memijah dengan baik pada waktunya. Induk baru membutuhkan waktu untuk belajar memijah. Biasanya induk baru bisa menghasilkan kualitas dan kuantitas telur yang optimal setelah 4 kali memijah. Telur yang baik adalah yang berwarna putih transparan. Induk hanya dapat digunakan selama 6 bulan. Setelah 6 bulan, telur yang dihasilkan berwarna putih susu. Telur ini tidak akan menetas dan akhirnya membusuk. Oleh karena itu, peternak biasanya mempersiapkan calon induk baru 6 bulan sebelumnya, sehingga pada saat induk lama afkir (tidak bisa digunakan lagi) sudah tersedia induk baru yang siap untuk memijah. b. Tempat Pemeliharaan Tempat pemeliharaan ikan hias berupa akuarium berukuran 100 cm x 50 cm x 35 cm dengan ketebalan kaca 5 mm. Akuarium tersebut diletakkan dalam rak besi bertingkat tiga dengan panjang sekitar 5 m, sehingga 1 rak mampu menampung 15 akuarium. Alas akuarium diberi styrofoam dengan ketebalam 2 cm agar tidak mudah pecah. Rak-rak tersebut disusun dalam sebuah bangunan berbentuk seperti gudang. Setiap akuarium diisi dengan air setinggi 30 cm. Air yang digunakan adalah air tanah berasal dari sumur. Tempat pemijahan neon tetra menggunakan akuarium kecil berukuran 15 cm x 15 cm x 10 cm dengan ketebalan kaca 3 mm. Air yang digunakan adalah air yang direndam dengan daun ketapang selama 2-3 hari. Daun ketapang berfungsi untuk menurunkan pH, karena neon tetra menyukai pH yang asam (5.8), khususnya untuk pemijahan.
60
c.
Pemijahan Pemijahan Ikan Neon Tetra dilakukan secara berpasangan dengan
perbandingan 1 : 1 didalam akuarium kecil. Induk yang berada dalam akuarium besar dipasang-pasangkan dan dimasukkan ke dalam akuarium kecil yang sudah diisi air setinggi 15 cm. Seluruh sisi akuarium ditutup dengan plastik hitam, karena telur neon tetra sangat sensitif terhadap intensitas cahaya yang kuat. Oleh karena itu, sebaiknya akuarium diletakkan di tempat yang teduh dan tidak banyak dilalui orang dan pemijahan dilakukan setelah pukul 15.00 WIB. Pemijahan biasanya terjadi pada malam hari. Pengecekan dilakukan pada pagi hari dengan membuka sedikit plastik hitam, biasanya akan terlihat telur-telur berserakan di dasar akuarium. Induk neon tetra diangkat, sementara telur dibiarkan di dalam akuarium hingga menetas. Setelah induk diangkat, akuarium harus ditutup kembali dengan plastik hitam dan dibiarkan selama 24 jam. Membuka dan menutup plastik sebaiknya dilakukan secara bertahap agar telur tidak terlalu lama terkena cahaya matahari. Keesokan harinya, setelah menetas, telur dapat dipindahkan dengan cara disifon dengan selang kecil dan dipindahkan ke dalam akuarium besar. Setelah itu, akuarium dikosongkan, dibersihkan, dan diangin-anginkan hingga kering untuk digunakan keesokan harinya. Pemijahan neon tetra tidak dilakukan 3 hari sekali. d. Pakan Pakan yang digunakan adalah Artemia salina dan kutu air (Daphnia sp.). Larva Artemia salina dijual dalam bentuk kalengan dan merupakan produk impor dari negara-negara subtropis, sehingga sebaliknya digunakan sesedikit mungkin untuk menekan biaya. Larva artemia harus ditetaskan terlebih dahulu sebelum
61
diberikan kepada ikan. Penetasannya dilakukan dengan memasukkan larva Artemia salina ke dalam toples yang telah diisi 2 liter air dan 50 gram garam dapur, sehingga menghasilkan larutan bersalinitas sekitar 25 ppt. Larva tersebut akan menetas setelah 24 jam dalam larutan garam yang diberi aerasi. Ikan-ikan yang baru menetas diberi pakan Artemia salina hingga berumur 10 hari, setelah itu diganti dengan kutu air. Kutu air dapat diperoleh secara cuma-cuma di kolam-kolam ikan, khususnya lele, sehingga yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mencapai lokasi tersedianya pakan. Kutu air diberikan sebagai pakan setelah ikan berumur 10 hari. Pada masa peralihan dari pakan Artemia salina ke kutu air, kutu air yang akan diberikan harus disaring terlebih dahulu, sehingga ikan hanya akan memakan kutu air yang berukuran kecil. Setelah itu, secara bertahap ikan dapat memakan kutu air tanpa disaring hingga ikan mencapai ukuran S. e.
Pemeliharaan Penggantian air dalam akuarium dilakukan setiap hari, tetapi tidak
seluruhnya. Akuarium terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan serok besar untuk mengangkat sisa-sisa makanan dan kotoran ikan. Setelah itu, air diputar hingga membentuk pusaran dan ke dalamnya dimasukkan selang kecil untuk menyedot air hingga kotorannya akan ikut tersedot. Penyedotan dilakukan hingga air yang tersisa hanya tinggal sepertiganya (± 10 cm). Air diisi kembali dengan selang hingga mencapai ketinggian 30 cm. Pada saat memasukkan air sebaliknya digunakan aliran air yang tidak terlalu kuat agar ikan tidak terkejut. Selain itu, aliran air yang terlalu kuat akan menyebabkan
62
kandungan oksigen air kurang memadai. Kondisi ini akan menyebabkan ikan kekurangan oksigen dan berkumpul di permukaan air untuk memperoleh lebih banyak oksigen. Kondisi ini dapat diatasi dengan melarutkan sedikit garam ke dalam akuarium. Garam berfungsi meningkatkan kemampuan air dalam mengikat oksigen dan sebagai penenang sehingga ikan tidak kekurangan oksigen lagi dan kembali masuk ke dalam air. Akuarium pemijahan harus dibersihkan dengan baik segera setelah digunakan agar jangan sampai ada telur rusak atau kotoran yang tersisa di dalamnya, sedangkan akuarium pemeliharaan hanya dikosongkan jika ikan sudah diangkat. Akuarium dibersihkan dengan menyedot air di dalamnya hingga habis. Seluruh sisi dinding dan dasarnya dibersihkan dengan menggunakan spons. Setelah itu, cuci sekali lagi dengan air bersih dan diangin-anginkan hingga kering sebelum digunakan kembali. Kebersihan alat-alat seperti selang, serok, dan baskom juga harus selalu dijaga agar tidak menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit. Penyimpanannya pun harus memperhatikan kemudahan memperolehnya. Selang-selang untuk penyifonan dan serok harus digantung setelah digunakan agar air yang terkandung di dalamnya segera kering. Jika serok kurang bersih dan masih basah dapat dikerumuni semut sehingga serok menjadi mudah rusak. f.
Penanganan Ikan Sakit Penyakit yang sering menyerang ikan jenis tetra adalah:
1.
White spot Penyakit ini disebabkan oleh serangan parasit Ichtyophthirius multifiliis,
sehingga sering disebut penyakit Ich. Penyakit ini dapat menyerang ikan besar
63
maupun kecil. Gejalanya terlihat dengan adanya bintik-bintik putih pada sirip dan tubuh ikan. Selain itu, ikan terlihat kurang nafsu makan, lemah, malas bergerak, sering naik ke permukaan, dan berenang dengan menggoyangkan sirip ekornya. 2.
Velvet Penyakit velvet muncul pada ikan karena serangan parasit Oodinium
limneticum. Parasit ini termasuk ke dalam kelompok Protozoa dan menyerang seluruh tubuh. Oodinium limneticum tampak seperti beludru. Penanganan kedua penyakit ini adalah mengurangi akuarium yang berisi ikan sakit dikurangi airnya hingga tinggal setengah, kemudian diberi 3 balok garam selama seminggu. Salinitas yang tinggi berfungsi untuk mematikan parasit. Selama masa pengobatan, ikan dipuasakan (tidak diberi makan) agar air tidak tercemar oleh kotorannya. Cara lain adalah memberikan obat-obatan seperti Blichicht, Velvet, dan lain-lain. g.
Penyortiran dan Pengemasan Ikan perlu disortir terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Penyortiran
biasanya mulai dilakukan setelah ikan berumur 1 bulan. Ikan yang akan dipasarkan adalah yang sudah mencapai ukuran S (1 cm). Ikan yang telah melebihi ukuran S (1 cm) dipisahkan dan akan dibesarkan menjadi calon induk baru, sedangkan yang belum mencapai ukuran tersebut akan dibesarkan lagi. Setelah penyortiran, dilakukan penghitungan ikan secara manual. Ikan yang akan dihitung diletakkan di atas sebuah baskom berisi air diletakkan selembar kain berpori-pori halus hingga kain sedikit tergenang. Penghitungan dilakukan secara manual dengan cara menyendoki dan menghitungnya satu per satu.
64
Ikan-ikan tersebut kemudian dikemas dalam kantong plastik rangkap dua berukuran 60 cm x 40 cm untuk mencegah kebocoran dan diisi dengan air hanya 1/5-1/7 volumenya dan diberi oksigen murni. Setiap kantong oksigen murni dapat digunakan untuk mengisi lima kantong ikan. Sesuai standar yang berlaku, setiap kantong plastik berisi 500 ekor ikan ukuran S atau 250 ekor ikan ukuran M. h. Pengangkutan Pengangkutan dapat dilakukan dengan menggunakan sepeda motor maupun mobil. Sebelum diangkut, kantong plastik tadi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam karung plastik yang mampu memuat 5 kantong ikan. Sebuah sepeda motor dapat menampung 20 kantong berisi 10 000 ekor ikan, sedangkan 1 mobil dapat menampung hingga 100 kantong berisi 50 000 ekor ikan.
65
VI.
KARAKTERISTIK PETERNAK IKAN NEON TETRA
Karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kelurahan Bojongsari Lama dan Kelurahan Curug didapatkan dari pengambilan data yang dilakukan pada 45 peternak. Rincian karakteristik peternak dapat dilihat pada Lampiran 1. Karakteristik peternak dibagi berdasarkan karakteristik umum dan karakteristik usaha. Karakteristik umum peternak dapat dilihat dari beberapa variabel yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status usaha, dan lama usaha budidaya. Karakteristik usaha dapat dilihat dari variabel luas lahan, proses budidaya dan pengupahan tenaga kerja. 6.1.
Karakteristik Umum
6.1.1. Karakteristik Jenis Kelamin Pada setiap skala usaha rata-rata peternak ikan berjenis kelamin laki-laki. Peternak ikan yang berjenis kelamin laki-laki pada setiap skala usaha sebanyak 14 peternak (93 persen), sedangkan peternak ikan yang berjenis kelamin perempuan pada setiap skala usaha sebanyak 1 peternak (7 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa pada umumnya peternak ikan pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar merupakan kepala rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari budidaya ikan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut akan mendorong peningkatan daya saing. Karakteristik peternak ikan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Jenis Kelamin Peternak Ikan Neon Tetra No. 1. 2.
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 14 93 1 7 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 14 93 1 7 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 14 93 1 7 15 100
66
6.1.2. Karakteristik Usia Pada setiap skala usaha rata-rata peternak ikan berusia diantara 20-40 tahun. Peternak ikan yang berusia diantara 20-40 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 11 peternak (73 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 10 peternak (67 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 12 peternak (80 persen). Peternak ikan yang berusia diantara 41-60 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 3 peternak (20 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 5 peternak (33 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 3 peternak (20 persen). Peternak ikan yang berusia lebih dari 60 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 1 peternak (7 persen), sedangkan pada skala usaha sedang dan skala usaha besar tidak ada peternak yang berusia lebih dari 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak melakukan usaha budidaya ikan pada usia yang masih produktif. Peternak ikan dengan usia yang masih produktif akan mendorong peningkatan daya saing. Karakteristik peternak ikan berdasarkan usia pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Karakteristik Usia Peternak Ikan Neon Tetra Usia (tahun)
No. 1. 2. 3.
20-40 41-60 >60
Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 11 73 3 20 1 7 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 10 67 5 33 0 0 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 12 80 3 20 0 0 15 100
6.1.3. Karakteristik Tingkat Pendidikan Pada setiap skala usaha rata-rata peternak ikan mencapai pendidikannya ditingkat Sekolah Menengah Atas. Peternak ikan yang mencapai tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas pada skala usaha kecil sebanyak 11 peternak (73 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 9 peternak (60 persen), pada skala
67
usaha besar sebanyak 11 peternak (73 persen). Hal ini dikarenakan peternak lebih memilih untuk melakukan usaha budidaya ikan setelah menamatkan sekolahnya daripada melanjutkan ke perguruan tinggi. Peternak beranggapan bahwa budidaya ikan dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian mereka. Peternak ikan yang sudah menamatkan pendidikannya sampai Sekolah Menengah Atas akan mendorong peningkatan daya saing. Peternak yang tingkat pendidikannya mencapai Sekolah Dasar pada skala usaha kecil sebanyak 1 peternak (7 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 3 peternak (20 persen), dan pada skala usaha besar tidak ada yang tingkat pendidikannya mencapai Sekolah Dasar. Peternak yang tingkat pendidikannya mencapai Sekolah Menengah Pertama pada skala usaha kecil sebanyak 3 peternak (20 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 2 peternak (13 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 3 peternak (20 persen). Peternak ikan yang tingkat pendidikannya sampai tamat Perguruan Tinggi pada skala usaha sedang dan skala usaha besar sebanyak 1 peternak (7 persen), sedangkan pada skala usaha kecil tidak ada yang mencapai tingkat pendidikannya sampai Perguruan Tinggi. Karakteristik peternak ikan berdasarkan tingkat pendidikan pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Karakteristik Tingkat Pendidikan Peternak Ikan Neon Tetra No. 1. 2. 3. 4
Tingkat Pendidikan SD SMP SMA S1
Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 1 7 3 20 11 73 0 0 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 3 20 2 13 9 60 1 7 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 0 0 3 20 11 73 1 7 15 100
68
6.1.4. Karakteristik Status Usaha Budidaya ikan hias yang dikembangkan para peternak sudah menjadi mata pencaharian yang utama, namun ada beberapa peternak yang masih menjadikan usaha budidaya ikan ini sebagai mata pencaharian sampingan. Peternak yang menjadikan usaha budidaya ikan sebagai mata pencaharian yang utama beranggapan bahwa budidaya ikan ini dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada mereka bekerja di sektor lain. Hal ini akan mendorong peningkatan daya saing. Peternak ikan yang menjadikan usaha budidaya ikan sebagai mata pencaharian yang utama pada skala usaha kecil sebanyak 14 peternak (93 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 13 peternak (87 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 12 peternak (80 persen). Peternak ikan yang masih menjadikan usaha budidaya ikan sebagai mata pencaharian sampingan pada skala usaha kecil sebanyak 1 peternak (7 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 2 peternak (13 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 3 peternak (20 persen). Karakteristik peternak ikan berdasarkan status usaha pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakteristik Status Usaha Peternak Ikan Neon Tetra No. 1. 2.
Status usaha
Utama Sampingan Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 14 93 1 7 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 13 87 2 13 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 12 80 3 20 15 100
6.1.5. Karakteristik Lama Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra Lamanya usaha budidaya Ikan Neon Tetra menjadikan usaha tersebut terus berkembang karena peternak telah banyak mempelajari teknik budidaya secara langsung. Peternak ikan yang sudah lama melakukan usaha budidaya Ikan Neon
69
Tetra akan mendorong pengingkatan daya saingnya. Peternak ikan yang lama usaha budidaya ikan kurang dari sama dengan 5 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 7 peternak (47 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 6 peternak (40 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 3 peternak (20 persen). Peternak yang lama usaha budidaya ikan 6-10 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 6 peternak (40 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 7 peternak (47 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 8 peternak (53 persen). Peternak yang lama usaha usaha budidaya ikan lebih dari 10 tahun pada skala usaha kecil sebanyak 2 peternak (13 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 2 peternak (13 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 4 peternak (27 persen). Karakteristik peternak ikan lama usaha budidaya Ikan Neon Tetra pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Karakteristik Lama Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra No. 1. 2. 3.
Lama Usaha Budidaya (Tahun) ≤5 6-10 > 10
Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
6.2.
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 7 47 6 40 3 13 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 6 40 7 47 2 13 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 3 20 8 53 4 27 15 100
Karakteristik Usaha
6.2.1. Karakteristik Luas Lahan Luas lahan yang digunakan peternak ikan pada skala usaha kecil untuk budidaya ikan hias seluruhnya menggunakan lahan yang luasnya kurang dari sama dengan 100 m2 atau sebanyak 15 peternak (100 persen), sedangkan pada skala usaha sedang sebanyak 9 peternak (60 persen), dan pada skala usaha besar tidak ada yang menggunakan lahan yang luasnya kurang dari sama dengan 100 m2. Peternak yang menggunakan lahan seluas 101 m2 – 200 m2 pada skala usaha
70
sedang sebanyak 4 peternak (27 persen), pada skala usaha besar sebanyak 8 peternak (53 persen), sedangkan pada skala usaha kecil tidak ada yang menggunakan lahan seluas 101 m2 – 200 m2. Peternak yang menggunakan lahan seluas lebih dari 200 m2 pada skala usaha sedang sebanyak 2 peternak (13 persen), pada skala usaha besar sebanyak 7 peternak (47 persen), sedangkan pada skala usaha kecil tidak ada yang menggunakan lahan lebih dari 200 m2. Peternak yang memiliki lahan luas akan mendorong peningkatan daya saing. Karakteristik peternak ikan berdasarkan luas lahan pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Karakteristik Luas Lahan Peternak Ikan Neon Tetra No. 1. 2. 3.
Luas Lahan (m2) ≤ 100 101-200 > 200
Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 15 100 0 0 0 0 15 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 9 60 4 27 2 13 15 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 0 0 8 53 7 47 15 100
6.2.2. Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra Karakteristik peternak Ikan Neon Tetra dibedakan menjadi peternak yang yang melakukan budidaya ikan dimulai dari tahap pembenihan ikan sampai pembesaran ikan dan peternak yang melakukan budidaya ikan hanya pada tahap pembesaran ikan saja. Rata-rata peternak ikan melakukan budidaya ikan dimulai dari tahap pembenihan ikan sampai pembesaran ikan pada setiap skala usaha, pada skala usaha kecil sebanyak 11 peternak (73 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 10 peternak (67 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 13 peternak (87 persen). Peternak yang melakukan budidaya ikan hanya pada tahap pembesaran saja pada skala usaha kecil sebanyak 4 peternak (27 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 5 peternak (33 persen), dan pada skala usaha besar
71
sebanyak 2 peternak (13 persen). Karakteristik peternak ikan berdasarkan proses budidaya pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra No. 1.
Proses Budidaya
Pembenihan dan Pembesaran 2. Pembesaran Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 11 73 4 15
27 100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 10 67 5 15
33 100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 13 87 2 15
13 100
6.2.3. Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja Tenaga kerja sewa dibutuhkan peternak ikan untuk membantu dalam proses pemeliharaan ikan yang meliputi pemberian pakan ikan sampai proses pengepakan. Peternak ikan yang membayar tenaga kerja sewa dengan bagi hasil pada skala usaha kecil sebanyak 2 peternak (13 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 8 peternak (53 persen) dan pada skala usaha besar sebanyak 4 peternak (27 persen). Bagi hasil yang diterapkan yaitu keuntungan yang didapatkan dari usaha budidaya ikan dibagi berdasarkan presentase yang disepakati antara pemilik usaha dan tenaga kerjanya. Peternak ikan yang membayar tenaga kerja dengan upah harian atau gaji bulanan pada skala usaha besar sebanyak 9 peternak (60 persen), sedangkan pada skala usaha kecil dan skala usaha sedang tidak ada yang membayar tenaga kerja sewa dengan upah harian atau gaji bulanan. Peternak ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja sewa pada skala usaha kecil sebanyak 13 peternak (87 persen), pada skala usaha sedang sebanyak 7 peternak (47 persen), dan pada skala usaha besar sebanyak 2 peternak (13 persen). Karakteristik peternak ikan berdasarkan cara pengupahan tenaga kerja pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 20.
72
Tabel 20. Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja No. 1. 2. 3.
Pengupahan Tenaga Kerja
Bagi hasil Upah atau gaji Tidak menggunakan tenaga kerja Total Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Skala Usaha Kecil Jumlah Persen 2 13 0 0 13 87 15
100
Skala usaha Sedang Jumlah Persen 8 53 0 0 7 47 15
100
Skala Usaha Besar Jumlah Persen 4 27 9 60 2 13 15
100
73
VII.
KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA
Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra dianalisis menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil perhitungan menggunakan PAM untuk usaha budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Policy Analysis Matrix Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada setiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 (Rp/Tahun) Biaya Uraian
Penerimaan
Input Tradable
Faktor Domestik
Keuntungan
Skala Usaha Kecil Privat
31 200 000
1 837 301.03
17 206 026.12
12 156 672.85
Sosial
46 452 120
1 141 574.29
19 942 805.27
25 367 740.44
-15 252 120
695 726.74
-2 736 779.15
-13 211 067.59
Privat
51 600 000
2 748 651.11
20 694 578.34
28 156 770.55
Sosial
76 824 660
1 716 379.88
25 081 430.22
50 026 849.90
-25 224 660
1 032 271.23
-4 386 851.88
-21 870 079.35
Privat
78 000 000
3 670 047.86
29 473 308.74
44 856 643.40
Sosial
116 130 300
2 344 650.37
35 664 734.20
78 120 915.43
Divergensi -38 130 300 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
1 325 397.49
-6 191 425.46
-33 264 272.03
Divergensi Skala Usaha Sedang
Divergensi Skala Usaha Besar
Tabel PAM yang telah disusun selanjutnya akan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang diperoleh dari ekspor komoditas Ikan Neon Tetra pada kondisi privat dan sosial, nilai keunggulan komparatif dan kompetitif, serta nilai untuk mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 21, diperoleh indikator-indikator Policy Analysis Matrix yang disajikan pada Tabel 22.
74
Tabel 22. Indikator-Indikator PAM pada Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada setiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Indikator Keuntungan Privat (KP) (Rp/Tahun) Keuntungan Sosial (KS) (Rp/Tahun) Rasio Biaya Privat (RBP) Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) Transfer Output (TO) (Rp/Tahun) Koefisien Proteksi Output Nominal (KPON) Transfer Input (TI) (Rp/Tahun)
12.
Transfer Faktor (TF) (Rp/Tahun) Koefisien Proteksi Input Nominal (KPIN) Koefisien Proteksi Efektif (KPE) Transfer Bersih (TB) (Rp/Tahun) Koefisien Keuntungan (KK)
13.
Rasio Subsidi Produsen (RSP)
9. 10. 11.
Skala Usaha Kecil 12 156 672.85
Skala Usaha Sedang 28 156 770.55
Skala Usaha Besar 44 856 643.40
25 367 740.44
50 026 849.90
78 120 915.43
0.58
0.42
0.39
0.44
0.33
0.31
-15 252 120.00
-25 224 660.00
-38 130 300.00
0.67
0.67
0.67
695 726.74
1 032 271.23
1 325 397.49
-2 736 779.15
-4 386 851.88
-6 191 425.46
1.60
1.60
1.56
0.64
0.65
0.65
-13 211 067.59
-21 870 079.35
-33 264 272.03
0.47
0.56
0.57
-0.28
-0.28
-0.28
Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut lagi dari indikator-indikator yang dihasilkan oleh Policy Analysis Matrix berdasarkan analisis keuntungan privat dan sosial, analisis daya saing, dan analisis dampak kebijakan pemerintah. 7.1.
Analisis Keuntungan Privat dan Sosial Usaha budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari menghasilkan
keuntungan yang positif, sehingga dapat dikatakan usaha budidaya tersebut menguntungkan secara privat dan sosial. Keuntungan privat pada skala usaha kecil diperoleh sebesar Rp 12 156 672.85 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar Rp 28 156 770.55 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar Rp 44 856 643.40 per tahun (Tabel 21). Usaha budidaya Ikan Neon Tetra menghasilkan penerimaan privat yang lebih besar dari biaya input
75
produksinya sehingga nilai keuntungan privat bernilai positif pada setiap skala usaha. Berdasarkan Tabel 21, keuntungan sosial pada skala usaha kecil diperoleh sebesar Rp 25 367 740.44 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar Rp 50 026 849.90 per tahun, sedangkan pada skala usaha besar diperoleh sebesar Rp 78 120 915.43 per tahun. Usaha budidaya Ikan Neon Tetra menghasilkan penerimaan sosial yang lebih besar dari biaya input produksinya sehingga nilai keuntungan sosial bernilai positif pada setiap skala usaha. 7.2.
Analisis Daya Saing Analisis daya saing budidaya Ikan Neon Tetra dapat diukur melalui
keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis keunggulan kompetitif dilihat dari Rasio Biaya Privat (RBP). Analisis keunggulan komparatif dilihat dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). 7.2.1. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari indikator nilai Rasio Biaya Privat (RBP). Nilai RBP yang dihasilkan pada setiap skala usaha kurang dari satu menunjukkan bahwa usaha budidaya Ikan Neon Tetra memiliki keunggulan kompetitif (Tabel 22). Pada skala usaha kecil nilai RBP diperoleh sebesar 0.58 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output Ikan Neon Tetra sebesar 100 persen, usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 58.60 persen. Pada skala usaha sedang nilai RBP diperoleh sebesar 0.42 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 100 persen usaha budidaya ikan neon tetra tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 42.40 persen. Pada skala usaha besar nilai RBP diperoleh sebesar 0.39
76
artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 100 persen usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 39.70 persen. Nilai RBP yang semakin kecil menunjukan usaha budidaya Ikan Neon Tetra ini semakin efisien secara privat dan semakin besar keunggulan kompetitifnya. Nilai RBP yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitifnya dan sebaliknya. Usaha budidaya Ikan Neon Tetra ini dapat dikatakan telah mampu membiayai faktor domestik pada harga privatnya. 7.2.2. Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif dapat dilihat dari indikator nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Nilai BSD yang dihasilkan pada setiap skala usaha kurang dari satu menunjukkan bahwa usaha budidaya Ikan Neon Tetra memiliki keunggulan komparatif (Tabel 22). Pada skala usaha kecil nilai BSD diperoleh sebesar 0.44 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output Ikan Neon Tetra sebesar 100 persen usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut membutuhkan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 44.00 persen. Pada skala usaha sedang nilai BSD diperoleh sebesar 0.33 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output Ikan Neon Tetra sebesar 100 persen usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut membutuhkan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 33.40 persen. Pada skala usaha besar nilai BSD diperoleh sebesar 0.31 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output Ikan Neon Tetra sebesar 100 persen usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut membutuhkan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 31.30 persen.
77
Nilai BSD pada skala usaha besar memperoleh nilai yang paling kecil. Nilai BSD yang semakin kecil menunjukan usaha budidaya Ikan Neon Tetra tersebut semakin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan dapat dikatakan efisien secara ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif. Secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan domestik komoditas Ikan Neon Tetra lebih baik diproduksi di dalam negeri dibandingkan mengimpor dari negara lain. 7.3.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah berupa subsidi atau pajak akan memberikan dampak
yang positif maupun negatif dalam kegiatan ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah yang dianalisis melalui matriks PAM yaitu kebijakan terhadap output, kebijakan terhadap input, dan kebijakan terhadap input-output. 7.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan terhadap output dilihat dari Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (KPON). Nilai TO pada skala usaha kecil diperoleh sebesar negatif Rp 15 252 120.00 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar negatif Rp 25 224 660.00 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar negatif Rp 38 130 300.00 per tahun (Tabel 22). Masing-masing skala usaha memiliki nilai TO yang negatif, hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan privat yang lebih rendah dari penerimaan sosialnya. Penerimaan privat yang lebih kecil dari penerimaan sosialnya dikarenakan harga domestik Ikan Neon Tetra lebih rendah dari harga sosialnya. Hal ini menunjukan bahwa konsumen dalam negeri membeli komoditas Ikan Neon Tetra dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya dibandingkan apabila pasar tidak terdistorsi atau tanpa adanya kebijakan pemerintah, dengan kata lain telah terjadi
78
pengalihan surplus dari produsen ke konsumen. Pada skala usaha besar, peralihan surplus produsen ke konsumen paling besar yaitu Rp 38 130 300.00 per tahun. Dampak kebijakan terhadap output juga dilihat dari nilai KPON. Ketiga skala usaha memperoleh nilai KPON sebesar 0.67 (KPON<1), artinya penerimaan domestik Ikan Neon Tetra lebih rendah 32.83 persen dari penerimaan sosialnya (Tabel 22). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya Ikan Neon Tetra belum efektif untuk memproteksi usaha budidaya Ikan Neon Tetra sehingga penerimaan yang diterima menjadi lebih rendah. Namun pada kenyataannya di lokasi penelitian tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah pusat maupun daerah terhadap usaha budidaya Ikan Neon Tetra. Rendahnya harga yang diterima peternak disebabkan oleh ketidakefektifan peran kelompok pembudidaya ikan, serta kurangnya penguasaan informasi harga dan jaringan pasar oleh peternak. Hal ini membuat para peternak berada dalam posisi tawar-menawar yang lemah karena peternak tidak memiliki alternatif lain untuk menjual Ikan Neon Tetra selain kepada pedagang pengumpul. Peternak ikan mendatangi pedagang pengumpul atau yang sering disebut supplier, dan kemudian akan disalurkan kepada eksportir ikan. 7.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari indikator Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (KPIN). Transfer input merupakan indikator untuk melihat besarnya divergensi (distorsi kebijakan) yang dikenakan pada input tradable. Nilai TI pada skala usaha kecil diperoleh sebesar Rp 695 726.74 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar Rp 1 032 271.23 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar
79
Rp 1 325 397.49 per tahun (Tabel 22). Masing-masing skala usaha memiliki nilai TI positif, hal tersebut menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah, artinya tidak terdapat kebijakan pemerintah terhadap input tradable berupa subsidi pada artemia dan garam, sehingga produsen harus membayar input lebih mahal. KPIN adalah rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Nilai KPIN pada skala usaha kecil yang diperoleh sebesar 1.60, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 1.60, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 1.56 (Tabel 22). Nilai KPIN dari ketiga skala usaha lebih dari satu (KPIN>1) yang artinya terdapat proteksi terhadap produsen
input asing tradable yaitu artemia dan garam,
sehingga peternak Ikan Neon Tetra sebagai pengguna input merasa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Peternak ikan pada skala usaha kecil membayar input lebih tinggi 60.90 persen dari harga yang sebenarnya. Peternak ikan pada skala usaha sedang membayar input lebih tinggi 60.10 persen dari harga yang sebenarnya. Peternak ikan pada skala usaha besar membayar input lebih tinggi 56.50 persen dari harga yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan adanya transfer dari konsumen input (peternak) kepada produsen input. Transfer Faktor (TF) menunjukkan dampak kebijakan pada input faktor domestik seperti lahan, peralatan dan tenaga kerja. Nilai TF pada skala usaha kecil diperoleh sebesar negatif Rp 2 736 779.15 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar negatif Rp 4 386 851.88 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar negatif Rp 6 191 425.46 per tahun (Tabel 22). Masing-masing skala usaha memiliki nilai TF negatif, hal tersebut menunjukan biaya faktor
80
domestik pada harga privat lebih kecil daripada biaya faktor domestik pada harga sosial. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah berupa subsidi terhadap faktor domestik sehingga produsen membayar input lebih rendah dari harga yang sebenarnya. 7.3.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat dari indikator Koefisien Proteksi Efektif (KPE), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (KK), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (RSP). Nilai KPE menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah terhadap input dan output bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai KPE pada skala usaha kecil diperoleh sebesar 0.64, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 0.65, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 0.65 (Tabel 22). Nilai KPE dari ketiga skala usaha kurang dari satu (KPE<1) yang artinya kebijakan pemerintah terhadap input dan output tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk berproduksi. Hal tersebut menyebabkan nilai tambah yang diperoleh peternak ikan (privat) rata-rata lebih rendah 35 persen pada setiap skala usaha daripada nilai tambah yang seharusnya diterima (sosial). Transfer Bersih (TB) menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan. Nilai Transfer Bersih (TB) pada skala usaha kecil diperoleh sebesar negatif Rp 13 211 067.59 per tahun, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar negatif Rp 21 870 079.35 per tahun, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar negatif Rp 33 264 272.03 per tahun (Tabel 22). Masing-masing skala usaha memiliki nilai TB negatif, hal tersebut menunjukan bahwa kebijakan yang ada terhadap input dan output masih belum
81
memberikan insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi, karena telah terjadi pengurangan surplus produsen. Pengurangan surplus produsen terbesar terjadi pada skala usaha besar. Koefisien Keuntungan (KK) menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Nilai KK pada skala usaha kecil diperoleh sebesar 0.47, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 0.56, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 0.57 (Tabel 22). Nilai KK dari ketiga skala usaha kurang dari satu (KK<1) yang artinya kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih rendah jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Peternak pada skala usaha kecil memperoleh 47.90 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan, sedangkan peternak pada skala usaha sedang dan besar hanya memperoleh keuntungan 56.30 persen dan 57.40 persen. Rasio Subsidi Produsen (RSP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer. Ketiga skala usaha memperoleh nilai RSP sebesar negatif 0.28 (RSP<0), artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar 28 persen dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi (Tabel 22).
82
VIII. PENGARUH PERUBAHAN HARGA OUTPUT DAN HARGA INPUT TERHADAP DAYA SAING USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA Analisis daya saing menggunakan PAM merupakan analisis yang bersifat statis, tidak mengikuti perubahan–perubahan yang terjadi. Analisis perubahan dilakukan untuk mengetahui perubahan pada tingkat daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari apabila terjadi perubahan harga output dan harga input. Skenario yang dilakukan diantaranya adalah penurunan harga output, penurunan harga input dan gabungan dari penurunan harga output serta penurunan harga input. 8.1.
Skenario 1: Penurunan Harga Output 6.15 Persen Perubahan yang dilakukan pada skenario 1 adalah penurunan harga output
6.15 persen. Pengaruh penurunan harga output pada indikator Rasio Biaya Privat (RBP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) setiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Penurunan Harga Output 6.15 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra RBP Skala Usaha
Sebelum
Sesudah
Skala Usaha Kecil 0.586 0.627 Skala Usaha Sedang 0.424 0.453 Skala Usaha Besar 0.397 0.424 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
BSD Perubahan (%) 6.997 6.840 6.801
Sebelum
Sesudah
0.440 0.334 0.313
0.470 0.356 0.327
Perubahan (%) 6.818 6.587 4.473
Penurunan harga output menyebabkan penerimaan privat maupun penerimaan sosial menurun, sedangkan biaya input produksi tetap, maka keuntungan privat dan keuntungan sosial pada setiap skala usaha menurun, sehingga keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada setiap skala usaha menurun.
83
Indikator RBP pada skala usaha kecil menjadi 0.627 atau meningkat sebesar 6.997 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.453 atau meningkat sebesar 6.840 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.424 atau meningkat sebesar 6.801 persen. Indikator BSD pada skala usaha kecil menjadi 0.470 atau meningkat sebesar 6.818 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.356 atau meningkat sebesar 6.587 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.327 atau meningkat sebesar 4.473 persen. Keunggulan komparatif pada ketiga skala usaha menurun namun masih dikatakan mempunyai keunggulan komparatif karena nilainya masih dibawah 1 (BSD<1). Hal tersebut dapat dikarenakan oleh permintaan pasar dari luar negeri berkurang. Pada bulan Juli sampai bulan September, jumlah ikan hias air tawar yang diproduksi mencapai titik terendah. Permintaan yang rendah sementara penawarannya tetap, maka terjadi excess supply, sehingga menjadikan harga output turun. 8.2.
Skenario 2: Penurunan Harga Input 18.75 Persen Perubahan yang dilakukan pada skenario 2 adalah penurunan harga input
pakan ikan 18.75 persen. Pengaruh penurunan harga input pada indikator Rasio Biaya Privat (RBP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) setiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Penurunan Harga input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra RBP Skala Usaha
Sebelum
Sesudah
Skala Usaha Kecil 0.586 0.561 Skala Usaha Sedang 0.424 0.403 Skala Usaha Besar 0.397 0.380 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
BSD Perubahan (%) -4.266 -4.953 -4.282
Sebelum
Sesudah
0.440 0.334 0.313
0.417 0.314 0.296
Perubahan (%) -5.227 -5.988 -5.431
84
Penurunan harga input pakan ikan menyebabkan biaya input produksi privat maupun biaya input produksi sosial menurun, sedangkan harga output tetap, maka penerimaan privat dan penerimaan sosial meningkat sehingga keuntungan privat dan keuntungan sosial meningkat pada setiap skala usaha. Hal tersebut mempengaruhi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada setiap skala usaha meningkat. Indikator RBP pada skala usaha kecil menjadi 0.561 atau menurun sebesar 4.266 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.403 atau menurun sebesar 4.953 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.380 atau menurun sebesar 4.282 persen. Indikator BSD pada skala usaha kecil menjadi 0.417 atau menurun sebesar 5.227 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.314 atau menurun sebesar 5.988 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.296 atau menurun sebesar 5.431 persen. Rencana kebijakan subsidi input pakan ikan pada tahun 2013 oleh pemerintah akan meningkatkan daya saing Ikan Neon Tetra. Hal tersebut dapat dilihat dari skenario 2. Subsidi input pakan ikan akan menurunkan biaya produksi peternak ikan, karena biaya pakan ikan menjadi lebih murah. 8.3.
Skenario 3: Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 Persen dan Penurunan Harga Input 18.75 Persen Perubahan yang dilakukan pada skenario 3 adalah kombinasi penurunan
harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 18.75 persen. Pengaruh kombinasi penurunan harga output dan penurunan harga input pada indikator Rasio Biaya Privat (RBP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) setiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 25.
85
Tabel 25. Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra RBP Skala Usaha
Sebelum
Sesudah
Skala Usaha Kecil 0.58 0.60 Skala Usaha Sedang 0.42 0.43 Skala Usaha Besar 0.39 0.40 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
BSD Perubahan (%) 2.39 1.65 2.27
Sebelum
Sesudah
0.44 0.33 0.31
0.44 0.33 0.30
Perubahan (%) 1.13 0.29 -1.27
Pada skenario 3, keunggulan kompetitif pada setiap skala usaha menurun sedangkan keunggulan komparatif pada skala usaha kecil dan skala usaha sedang menurun tetapi pada skala usaha besar meningkat. Indikator RBP pada skala usaha kecil menjadi 0.600 atau meningkat sebesar 2.389 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.424 atau meningkat sebesar 1.651 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.406 atau meningkat sebesar 2.267 persen. Indikator BSD pada skala usaha kecil menjadi 0.445 atau meningkat sebesar 1.136 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.335 atau meningkat sebesar 0.299 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.309 atau menurun sebesar 1.278 persen. Subsidi input pakan ikan sebesar 18.75 persen akan meningkatkan keunggulan komparatif pada skala usaha besar. 8.4.
Skenario 4: Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 Persen dan Penurunan Harga Input 35 Persen Perubahan yang dilakukan pada skenario 4 adalah kombinasi penurunan
harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35 persen. Pengaruh kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35 persen pada indikator Rasio Biaya privat (RBP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) setiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 26. Pada skenario 4, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif meningkat pada setiap skala usaha. Indikator RBP pada skala usaha kecil menjadi
86
0.586 atau menurun sebesar 1.536 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.412 atau menurun sebesar 2.830 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.397 atau menurun sebesar 1.511 persen. Indikator BSD pada skala usaha kecil menjadi 0.424 atau menurun sebesar 3.636 persen, pada skala usaha sedang menjadi 0.316 atau menurun sebesar 5.389 persen, dan pada skala usaha besar menjadi 0.300 atau menurun sebesar 4.153 persen. Tabel 26. Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 35 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra RBP Skala Usaha
Sebelum
Sesudah
Skala Usaha Kecil 0.586 0.577 Skala Usaha Sedang 0.424 0.412 Skala Usaha Besar 0.397 0.391 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
BSD Perubahan (%) -1.536 -2.830 -1.511
Sebelum
Sesudah
0.440 0.334 0.313
0.424 0.316 0.300
Perubahan (%) -3.636 -5.389 -4.153
87
IX. 9.1.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:
1.
Peternak Ikan Neon Tetra dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga skala usaha yaitu skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar. Karakteristik peternak dapat dilihat dari karakteristik umum dan karakteristik usaha. Karakteristik umum yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status usaha, dan lama usaha budidaya, sedangkan karakteristik usaha yaitu berdasarkan luas lahan, proses budidaya dan pengupahan tenaga kerja. Karakteristik umum dapat disimpulkan: a.
Peternak Ikan Neon Tetra sebagian besar berjenis kelamin laki-laki pada setiap skala usaha.
b.
Usia peternak Ikan Neon Tetra sebagian besar berkisar antara 20-40 tahun pada setiap skala usaha.
c.
Sebagian besar peternak Ikan Neon Tetra telah menempuh tingkat pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) pada setiap skala usaha.
d.
Peternak Ikan Neon Tetra sebagian besar menjadikan usaha budidaya ikan sebagai usaha yang utama pada setiap skala usaha.
e.
Lama usaha budidaya Ikan Neon Tetra pada skala usaha kecil sebagian besar kurang dari 5 tahun, sedangkan pada skala usaha sedang dan skala usaha besar selama 6-10 tahun.
88
Karakteristik usaha dapat disimpulkan: a.
Luas lahan yang digunakan dalam budidaya Ikan Neon Tetra pada skala usaha kecil dan skala usaha sedang sebagian besar kurang dari 100 m2, sedangkan pada skala usaha besar sebagian besar lebih dari 100 m2.
b.
Pada setiap skala usaha sebagian besar peternak Ikan Neon Tetra melakukan budidaya ikan mulai dari proses pembenihan sampai proses pembesaran.
c.
Sebagian besar peternak ikan pada skala usaha kecil tidak menggunakan tenaga kerja sewa, sedangkan pada skala usaha sedang sebagian besar pengupahan tenaga kerjanya menggunakan bagi hasil dan pada skala usaha besar cara pengupahan tenaga kerjanya menggunakan upah harian atau gaji bulanan.
2.
Budidaya Ikan Neon Tetra pada ketiga skala usaha yang dikelompokkan menurut jumlah akuarium secara finansial dan ekonomi menguntungkan serta memiliki daya saing. Semakin besar skala usaha maka semakin meningkat daya saingnya.
3.
Penurunan harga output 6.15 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 18.75 persen akan menurunkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra kecuali pada skala usaha besar di skenario 3 akan meningkatkan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra. Penurunan harga input 18.75 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35 persen akan
89
meningkatkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra. 9.2.
Saran Saran untuk meningkatkan pengembangan budidaya Ikan Neon Tetra di
Kecamatan Bojongsari adalah: 1.
Guna meningkatkan posisi tawar menawar peternak Ikan Neon Tetra agar peternak tidak selalu bergantung kepada pedagang pengumpul, pemerintah disarankan mengaktifkan kembali peran kelompok pembudidaya Ikan Neon Tetra untuk membantu peternak ikan mendapatkan informasi pasar.
2.
Guna meningkatkan daya saing peternak Ikan Neon Tetra, rencana kebijakan subsidi pakan ikan oleh pemerintah untuk menurunkan harga input agar direalisasikan pada tahun 2013. Subsidi yang dikeluarkan sebaiknya mencapai 35 persen agar dapat meningkatkan daya saing pada skala usaha kecil, skala usaha sedang, dan skala usaha besar.
3.
Guna mengetahui potensi daya saing Ikan Neon Tetra Indonesia, diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai daya saing Ikan Neon Tetra pada tingkat nasional.
90
DAFTAR PUSTAKA Aulinuriman, E. 1998. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Iles-iles Lahan Hutan. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006-2011. Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun 2006-2011. http://www.bps.go.id/exim-frame.php. Diakses pada tanggal 14 Desember 2011. Badan Pusat Statistik Depok. 2005-2011. Kota Depok Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Depok. Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok. 2011. Data Produksi Ikan Hias Air Tawar Tahun 2011, Depok. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Gemawaty, N. 2006. Produksi Ikan Neon Tetra Paraclreirodon Innesi Ukuran L Pada Padat Tebar 20,40 Dan 60 Ekorliter Dalam Sistem Resirkulasi. Skripsi Sarjana. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gittinger, J. P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Diterjemahkan oleh Sutomo dan Mangiri. Edisi II. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hadi, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta. Kurniawan, A. Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Tesis Pascasarjana. Program Studi Magister Sains Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lesmana, D. S. dan I. Dermawan. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya, Jakarta. Lindert, P. H. dan C. P. Kindleberger. 1995. Ekonomi Internasional. Edisi kedelapan. Erlangga, Jakarta. Malian, A. H., B. Rachman, dan A. Djulin. 2004. Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi, 22(1): 2645. Mastuti, I. D. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus: Perusahaan Deddy Fish Farm).
91
Skripsi Sarjana. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Monke, E. A., and S. R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agriculture Development. Cornell University Press, London. Pearson, S., C. Gotsch, dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Ramadhan, A. K. 2011. Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Beberapa Negara Importir Utama dan Dunia. Skripsi Sarjana. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmawan, B. 2004. Analisis Kelayakan Investasi Pengembangan Usaha Pemasok (Supplier) Ikan Hias Adil Fish Farm di Depok. Skripsi Sarjana. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan – Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rohman, R. E. 2008. Analisis Daya Saing Beras Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Oryza sativa) (Kasus Desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sadikin, I. 2002. Analisis Daya Saing Komoditi Jagung dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat Pasca Krisis Ekonomi. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 2(1): 1630. Sadikin, I. 2003. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah Pada Pengembangan Produksi Jagung di Bengkulu. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 3(1): 52–61. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Simanjuntak, S. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Tesis Pascasarjana. Program Studi Magister Sains Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprapto. 2005. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Ekspor Ikan Hias DKI Jakarta di Pasar Internasional. Buletin Penelitian No.8. Universitas Mercu Buana, Jakarta. Suprihatini, R. 1998. Analisis Daya Saing Nenas Kaleng Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 17(2): 22-37
92
Suprihatini, R. 2005. Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh Dunia. Jurnal Agro Ekonomi, 23(1): 1 – 29. Suratiyah, K. 2009. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta. Zakaria, A. K., W. K. Sejati, dan R. Kustiari. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas Kedelai Menurut Agro Ekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 28(1): 21 – 37.
93
LAMPIRAN
91
Lampiran 1. Karakteristik Peternak Ikan Neon Tetra di Desa Bojongsari Lama dan Desa Curug No
Nama
1
Nana
2
Dadang Junaedi
3
Saripah
4
Suherman
5
Endang
6
Nandang
7
Junaidi
8
Nandang
9
Deden
10
Lan Wijaya
11
Martono
12
Apid
13
Mulyadi
14
Budi
15
Andi
Alamat Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Pendidikan terakhir
Lama Usaha (Tahun)
Sifat Usaha
Skala Usaha
Proses Budidaya Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran
Laki-laki
37
SMP
8
Utama
Kecil
Laki-laki
47
SMA
15
Utama
Kecil
Perempuan
35
SMA
4
Utama
Kecil
Laki-laki
40
SD
6
Utama
Kecil
Laki-laki
41
SMA
10
Utama
Kecil
Laki-laki
30
SMA
1
Sampingan
Kecil
Laki-laki
29
SMA
5
Utama
Kecil
Laki-laki
35
SMA
10
Utama
Kecil
Laki-laki
35
SMA
5
Utama
Kecil
Laki-laki
30
SMA
10
Utama
Kecil
Laki-laki
50
SMA
15
Utama
Kecil
Pembesaran
Laki-laki
65
SMP
1
Utama
Kecil
Pembesaran
Laki-laki
35
SMA
5
Utama
Kecil
Laki-laki
32
SMA
10
Utama
Kecil
Laki-laki
40
SMP
2
Utama
Kecil
Pengupahan Tenaga Kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Bagi hasil
Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran
Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja
Pembesaran
Bagi Hasil
Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran
Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja
Pembesaran
Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran
94
92
Lampiran 1. Lanjutan No
Nama
16
Noit Saputra
17
Dewi
18
Dullah
19
Ahmad
20
Iwan
21 22
Maman Sudirman Hengki Firmansyah
23
Sus Mulyadi
24
Saipul Lana
25
H. Ateng
26
Jamuri
27
Husni
28
Sekar
29
M. Kholik
30
Romlih
Alamat Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 07 Bojongsari Lama, RT 01 RW 07 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Pendidikan terakhir
Lama Usaha (Tahun)
Sifat Usaha
Skala Usaha
Proses Budidaya Pembenihan dan pembesaran
Laki-laki
43
SMP
6
Utama
Sedang
Perempuan
32
SMA
7
Sampingan
Sedang
Pembesaran
Laki-laki
48
SMA
5
Utama
Sedang
Pembesaran
Laki-laki
30
SMA
3
Utama
Sedang
Laki-laki
32
SD
6
Utama
Sedang
Laki-laki
32
SMA
1
Utama
Sedang
Laki-laki
30
SMA
12
Utama
Sedang
Laki-laki
30
SMP
5
Utama
Sedang
Laki-laki
29
SMA
10
Utama
Sedang
Laki-laki
53
SD
10
Utama
Sedang
Laki-laki
30
SMA
10
Utama
Sedang
Laki-laki
26
SD
15
Utama
Sedang
Laki-laki
26
SMA
8
Utama
Sedang
Laki-laki
43
SMA
5
Utama
Sedang
Laki-laki
41
S1
5
Sampingan
Sedang
Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembesaran
Pengupahan Tenaga Kerja Bagi hasil Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Bagi hasil Bagi hasil Bagi hasil Bagi hasil Tidak menggunakan tenaga kerja Bagi hasil Bagi hasil Bagi hasil
95
93
Lampiran 1. Lanjutan No
Nama
31
Arif
32
Susi
33
Agus
34
Saepuloh
35
Edo
36
Martawi
37
Edi
38
Bahrudin
39
Wardana
40
Iwan
41
Mujilan
42
Sopyan
43
Ahmad Fauzi
44
H. Dawih
45
H. Wirya
Alamat Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Bojongsari Lama, RT 02 RW 06 Bojongsari Lama, RT 01 RW 12 Curug, RT 02 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 03 RW 06 Curug, RT 02 RW 06
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Pendidikan terakhir
Lama Usaha (Tahun)
Sifat Usaha
Skala Usaha
Proses Budidaya
Pengupahan Tenaga Kerja
Laki-laki
26
SMA
4
Sampingan
Besar
Pembesaran
Upah atau gaji
Perempuan
39
SMA
10
Sampingan
Besar
Pembesaran
Upah atau gaji
Laki-laki
47
SMA
12
Utama
Besar
Laki-laki
35
SMA
11
Utama
Besar
Laki-laki
40
SMA
6
Utama
Besar
Laki-laki
28
SMA
12
Utama
Besar
Laki-laki
40
SMP
10
Utama
Besar
Laki-laki
37
SMA
6
Utama
Besar
Laki-laki
39
SMA
6
Sampingan
Besar
Laki-laki
30
SMP
5
Utama
Besar
Laki-laki
47
S1
13
Utama
Besar
Laki-laki
32
SMA
8
Utama
Besar
Laki-laki
40
SMA
6
Utama
Besar
Laki-laki
55
SMP
10
Utama
Besar
Laki-laki
40
SMA
5
Utama
Besar
Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran Pembenihan dan pembesaran
Bagi hasil Upah atau gaji Tidak menggunakan tenaga kerja Tidak menggunakan tenaga kerja Bagi hasil Bagi hasil Bagi hasil Upah atau gaji Upah atau gaji Upah atau gaji Upah atau gaji Upah atau gaji Upah atau gaji
96
97
Lampiran 2. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011 Uraian
Jumlah (Rp)
Total Ekspor (Xt)
1 473 392 692 967 140.00
Total Impor (Mt)
1 267 712 621 792 520.00
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)
28 270 000 000 000.00
Penerimaan Pajak Impor (MTt)
24 680 000 000 000.00
Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) Sumber: Detik Finance, diolah (2012) t
SCFt = (
t-
8 708.85
t
t)
t- mt 1 473 392 692 967 140 1 267 712 621 792 520
= (1 473 392 692 967 140-28 270 000 000 000)
1 267 712 621 792 520-24 680 000 000 000
= 102 % SERt = =
t S
t
8 708.85 102
= 8 540. 62 Lampiran 3. Perhitungan Harga Bayangan Ikan Neon Tetra Tahun 2011 1.
FOB (US$/Ton)
2.
Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$)
3.
FOB Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Ton)
4.
Faktor konversi berat (Kg/Ton)
5.
FOB Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Kg)
151 384.54
6.
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/Kg)
7.
Harga paritas impor tingkat pedagang besar (Rp/Kg)
2 000.00 149 384.54
8.
Biaya distribusi Tingkat Petani (Rp/Kg)
9.
Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg)
Sumber: Data Primer, diolah (2012)
17 725.24 8540.62 × 151 384 539.20 0.001 ×
500.00 148 884.54
98
Lampiran 4. Perhitungan Harga Bayangan Input Pakan Artemia Tahun 2011 1.
FOB Cina (US$/Ton)
60 000.00
2.
Freight and Insurance (US$/Ton)
3.
CIF Indonesia (US$/Ton)
6 000.00 + 66 000.00
4.
Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$)
5.
CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Ton)
6.
Faktor konversi berat (Kg/Ton)
7.
CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Kg)
8.
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/Kg)
9.
Harga paritas impor tingkat pedagang besar (Rp/Kg)
10.
Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg)
60.00
11.
Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg)
563 940.92
8 540.62
×
563 680 920.00 0.001 × 563 680.92 200.00 + 563 880.92
+
Sumber: Data Primer, diolah (2012)
Lampiran 5. Perhitungan Harga Bayangan Input Garam Tahun 2011 1.
FOB Cina (US$/Ton)
2.
Freight and Insurance (US$/Ton)
3.
CIF Indonesia (US$/Ton)
4.
Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$)
5.
CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Ton)
6.
Faktor konversi berat (Kg/Ton)
7.
CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/Kg)
8.
Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/Kg)
9.
Harga paritas impor tingkat pedagang besar (Rp/Kg)
10.
Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg)
11.
Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg)
Sumber: Data Primer, diolah (2012)
80.00 8.00 + 88.00 8 540.62 × 751 574.56 0.001 × 751.57 50.00 + 801.57 25.00 + 826.57
99
Lampiran 6. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 No.
Uraian
Satuan
Jumlah
Harga (Rp)
Nilai (Rp/Tahun)
A. 1.
Penerimaan Output Ikan Neon Tetra
Kg
312
100 000.00
31 200 000.00
B. 1.
Input Produksi Induk ikan
Kg
0.41
350 000.00
144 900.00
2.
Biaya Input Pakan Ikan
3.
4.
a. Artemia
Kg
4
1 000 000.00
4 180 000.00
b. Kutu air
Liter
360
5 000.00
1 800 000.00
c. Cacing sutera
Liter
314
5 933.33
1 862 175.62
a. Blitzh Ich
Liter
7
17 800.00
129 762.00
b. Velvet
Liter
6
47 733.33
298 333.31
1 473.33
390 992.32
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya a. Garam
Kg
265
b. Oksigen
Liter
184
1 127.87
207 528.08
c. Kantung Plastik
Kg
19
22 000.00
422 400.00
d. Karet Gelang
Kg
2
60 000.00
103 800.00
a. Blower
Unit
1
27 666.67
27 666.67
b. Pompa Air
Unit
1
23 466.67
23 466.67
c. Tabung Oksigen
Unit
0
28 000.00
0
d. Genset e. Akuarium (100x50x30) f. Akuarium (15x15x10)
Unit
0
50 333.33
0
Unit
90
4 311.11
387 999.90
Unit
216
583.33
126 209.28
g. Akuarium Artemia
Unit
2
2 216.67
4 034.34
h. Rak Akuarium
Unit
7
42 500.00
297 500.00
i. Paralon
M
42
331.53
13 924.26
j. Selang Angin
M
100
78.00
7 800.00
k. Selang Air
M
13
777.78
10 111.14
l. Keran Angin
Unit
90
248.89
22 400.10
m. Baskom
Unit
4
6 500.00
26 000.00
n. Saringan Ikan
Unit
4
3 822.22
15 288.88
o. Serokan
Unit
3
1 666.67
5 000.01
6.
Tenaga Kerja
Orang
1
9 520 000.00
9 520 000.00
7.
Sewa Lahan
Tahun
1
1 640 000.00
1 640 000.00
8.
Biaya Listrik
Tahun
1
1 080 000.00
1 080 000.00
9.
Biaya Telepon
Tahun
1
405 333.33
405 333.33
10. PBB Tahun Sumber: Data Primer, diolah (2012)
1
65 666.67
65 666.67
5.
Penyusutan Peralatan
100
Lampiran 7. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 No.
Uraian
Satuan
Jumlah
Harga (Rp)
Nilai (Rp/Tahun)
A. 1.
Penerimaan Output Ikan Neon Tetra
Kg
516
100 000.00
51 600 000.00
B. 1.
Input Produksi Induk ikan
Kg
0.51
350 000.00
179 200.00
2.
Biaya Input Pakan Ikan
3.
4.
a. Artemia
Kg
6
1 013 333.00
6 079 998.00
b. Kutu air
Liter
480
5 333.33
2 559 998.40
c. Cacing sutera
Liter
516
5 933.33
3 061 598.28
a. Blitzh Ich
Liter
9
17 966.67
161 700.03
b. Velvet
Liter
8
50 000.00
400 000.00
1 460.00
554 800.00
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya a. Garam
Kg
380
b. Oksigen
Liter
432
1 233.40
532 828.80
c. Kantung Plastik
Kg
34
22 000.00
748 000.00
d. Karet Gelang
Kg
3
60 000.00
180 000.00
a. Blower
Unit
1
36 333.33
36 333.33
b. Pompa Air
Unit
1
16 066.67
16 066.67
c. Tabung Oksigen
Unit
1
46 000.00
46 000.00
d. Genset e. Akuarium (100x50x30) f. Akuarium (15x15x10)
Unit
1
48 666.67
48 666.67
Unit
171
3 933.33
672 599.43
Unit
322
545.00
175 490.00
g. Akuarium Artemia
Unit
2
2 316.67
4 216.34
h. Rak Akuarium
Unit
13
53 333.33
693 333.29
i. Paralon
M
69
338.21
23 336.49
j. Selang Angin
M
193
76.70
14 803.10
k. Selang Air
M
23
766.98
17 640.54
l. Keran Angin
Unit
171
283.33
48 449.43
m. Baskom
Unit
5
6 711.11
33 555.55
n. Saringan Ikan
Unit
4
4 333.33
17 333.32
o. Serokan
Unit
4
1 666.67
6 666.68
6.
Tenaga Kerja
Orang
1
9 000 000.00
9 000 000.00
7.
Sewa Lahan
Tahun
1
2 393 333.33
2 393 333.33
8.
Biaya Listrik
Tahun
1
1 672 000.00
1 672 000.00
9.
Biaya Telepon
Tahun
1
481 333.33
481 333.33
10. PBB Tahun Sumber: Data Primer, diolah (2012)
1
122 333.33
122 333.33
5.
Penyusutan Peralatan
101
Lampiran 8. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 No.
Uraian
Satuan
Jumlah
Harga (Rp)
Nilai (Rp/Tahun)
A. 1.
Penerimaan Output Ikan Neon Tetra
Kg
780
100 000.00
78 000 000.00
B. 1.
Input Produksi Induk ikan
Kg
0.47
350 000.00
164 500.00
2.
Biaya Input Pakan Ikan
3.
4.
a. Artemia
Kg
8
997 333.33
7 978 666.64
b. Kutu air
Liter
579
5 000.00
2 895 000.00
c. Cacing sutera
Liter
688
6 133.33
4 219 731.04
a. Blitzh Ich
Liter
13
18 000.00
234 000.00
b. Velvet
Liter
6
46 000.00
287 500.00
1 400.00
719 600.00
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya a. Garam
Kg
514
b. Oksigen
Liter
548
1 189.13
651 643.24
c. Kantung Plastik
Kg
50
22 000.00
1 100 000.00
d. Karet Gelang
Kg
3
60 000.00
180 000.00
a. Blower
Unit
3
37 000.00
111 000.00
b. Pompa Air
Unit
2
32 000.00
64 000.00
c. Tabung Oksigen
Unit
1
44 000.00
44 000.00
d. Genset e. Akuarium (100x50x30) f. Akuarium (15x15x10)
Unit
1
60 666.67
60 666.67
Unit
290
4 413.13
1 279 807.70
Unit
265
566.67
150 167.55
g. Akuarium Artemia
Unit
3
2 233.33
6 699.99
h. Rak Akuarium
Unit
21
56 833.33
1 193 499.93
i. Paralon
M
106
355.28
37 659.68
j. Selang Angin
M
247
80.44
19 868.68
k. Selang Air
M
29
804.44
23 328.76
l. Keran Angin
Unit
290
318.89
92 478.10
m. Baskom
Unit
5
7 500.00
37 500.00
n. Saringan Ikan
Unit
4
5 000.00
20 000.00
o. Serokan
Unit
4
1 666.67
6 666.68
6.
Tenaga Kerja
Orang
2
7 104 000.00
14 208 000.00
7.
Sewa Lahan
Tahun
1
2 993 333.33
2 993 333.33
8.
Biaya Listrik
Tahun
1
2 672 000.00
2 672 000.00
9.
Biaya Telepon
Tahun
1
573 333.33
573 333.33
10. PBB Tahun Sumber: Data Primer, diolah (2012)
1
153 000.00
153 000.00
5.
Penyusutan Peralatan
99
Lampiran 9. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 (Rp) No
Uraian
A. 1.
Penerimaan Output Ikan Neon Tetra
B. 1.
Input Produksi Induk Ikan
2.
Biaya Input Pakan Ikan
4.
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
19 356 480.00
3 906 240.00
31 200 000.00
17 633 224.75
28 818 895.25
46 452 120.00
144 900.00
0
0
144 900.00
144 900.00
0
144 900.00
a. Artemia
317 680.00
1 590 072.00
2 272 248.00
4 180 000.00
1 460 566.38
896 706.67
2 357 273.05
b. Kutu air
1 800 000.00
0
0
1 800 000.00
1 800 000.00
0
1 800 000.00
849 896.95
0
1 012 278.67
1 862 175.62
1 862 175.62
0
1 862 175.62
a. Blitzh Ich
110 193.89
0
19 568.11
129 762.00
116 785.80
0
116 785.80
b. Velvet
253 344.65
0
44 988.66
298 333.31
268 500.00
0
268 500.00
a. Garam
390 992.32
0
0
390 992.32
219 355.15
0
219 355.15
b. Oksigen
188 103.45
0
19 424.63
207 528.08
207 528.08
0
207 528.08
c. Kantung Plastik
206 215.68
209 425.92
6 758.40
422 400.00
212 974.08
209 425.92
422 400.00
18 445.26
14 189.46
71 165.28
103 800.00
89 610.54
14 189.46
103 800.00
a. Blower
26 756.44
0
907.47
27 663.90
24 900.00
0
24 900.00
b. Pompa Air
22 694.62
0
769.71
23 464.32
21 120.00
0
21 120.00
c. Tabung Oksigen
0
0
0
0
0
0
0
d. Genset
0
0
0
0
0
0
0
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya
d. Karet Gelang 5.
Asing
7 937 280.00
c. Cacing sutera 3.
Finansial Domestik
Biaya Peralatan
102
100
Lampiran 9. Lanjutan (Rp) No
Uraian e. Akuarium (100x50x30) f. Akuarium (15x15x10) g. Akuarium Artemia
Finansial Domestik
Asing
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
281 222.33
0
106 738.77
387 961.10
349 200.00
0
349 200.00
91 476.49
0
34 720.17
126 196.66
113 589.00
0
113 589.00
2 924.09
0
1 109.85
4 033.94
3 630.90
0
3 630.90
h. Rak Akuarium
25 823.00
0
271 677.00
297 500.00
267 750.00
0
267 750.00
i. Paralon
13 924.26
0
0
13 924.26
12 531.96
0
12 531.96
j. Selang Angin
1 386.06
1 066.26
5 347.68
7 800.00
6 060.37
959.63
7 020.00
k. Selang Air
1 796.75
1 382.19
6 932.20
10 111.14
7 856.03
1 243.97
9 100.00
l. Keran Angin
10 935.73
11 105.97
358.40
22 400.10
10 164.67
9 995.33
20 160.00
m. Saringan Ikan
26 000.00
0
0
26 000.00
23 400.00
0
23 400.00
n. Baskom
7 464.03
7 580.23
244.62
15 288.88
6 937.79
6 822.21
13 760.00
o. Serokan
2 441.00
2 479.00
80.00
5 000.01
2 268.90
2 231.10
4 500.00
6.
Tenaga Kerja
9 358 160.00
0
161 840.00
9 520 000.00
9 520 000.00
0
9 520 000.00
7.
Sewa Lahan
1 607 200.00
0
32 800.00
1 640 000.00
1 640 000.00
0
1 640 000.00
8.
Biaya Listrik
978 912.00
0
101 088.00
1 080 000.00
1 080 000.00
0
1 080 000.00
9.
Biaya Telepon
402 455.46
0
2 877.87
405 333.33
405 333.33
0
405 333.33
10.
PBB
64 681.67
0
985.00
65 666.67
65 666.67
0
65 666.67
Total Pengeluaran 17 206 026.12 Sumber: Data Primer, diolah (2012)
1 837 301.03
4 174 908.48
23 218 235.64
19 942 805.27
1 141 574.29
21 084 379.55
103
101
Lampiran 10. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 (Rp) No.
Uraian
A. 1.
Penerimaan Output Output Ikan Neon Tetra
B. 1.
Input Produksi Induk Ikan
2.
Biaya Input Pakan Ikan
3.
4.
Asing
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
13 127 040.00
32 012 640.00
6 460 320.00
51 600 000.00
29 162 640.94
47 662 019.06
76 824 660.00
179 200.00
0
0
179 200.00
179 200.00
0
179 200.00
a. Artemia
462 079.85
2 312 831.24
3 305 086.91
6 079 998.00
2 096 506.76
1 287 138.76
3 383 645.52
b. Kutu air
2 559 998.40
0
0
2 559 998.40
2 559 998.40
0
2 559 998.40
c. Cacing sutera
1 397 313.45
0
1 664 284.83
3 061 598.28
3 061 598.28
0
3 061 598.28
a. Blitzh Ich
137 315.67
0
24 384.36
161 700.03
145 530.00
0
145 530.00
b. Velvet
339 680.00
0
60 320.00
400 000.00
360 000.00
0
360 000.00
a. Garam
554 800.00
0
0
554 800.00
314 096.60
0
314 096.60
b. Oksigen
482 956.02
0
49 872.78
532 828.80
532 828.80
0
532 828.80
c. Kantung Plastik
365 173.60
370 858.40
11 968.00
748 000.00
377 141.60
370 858.40
748 000.00
31 986.00
24 606.00
123 408.00
180 000.00
155 394.00
24 606.00
180 000.00
a. Blower
35 137.96
0
1 191.73
36 329.70
32 700.00
0
32 700.00
b. Pompa Air
15 538.08
0
526.99
16 065.06
14 460.00
0
14 460.00
3 992.80
0
42 007.20
46 000.00
41 400.00
0
41 400.00
47 065.54
0
1 596.27
48 661.80
43 800.00
0
43 800.00
Biaya Obat-obatan
Biaya Input Lainnya
d. Karet Gelang 5.
Finansial Domestik
Biaya Peralatan
c. Tabung Oksigen d. Genset
104
102
Lampiran 10. Lanjutan (Rp) No.
Uraian
Finansial Domestik
Asing
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
e. Akuarium (100x50x30)
487 500.07
0
185 032.10
672 532.17
605 340.00
0
605 340.00
f. Akuarium (15x15x10)
127 195.15
0
48 277.30
175 472.45
157 941.00
0
157 941.00
3 056.00
0
1 159.91
4 215.92
3 794.70
0
3 794.70
h. Rak Akuarium
60 181.33
0
633 151.96
693 333.29
624 000.00
0
624 000.00
i. Paralon
23 336.49
0
0
23 336.49
21 002.91
0
21 002.91
j. Selang Angin
2 630.51
2 023.58
10 149.01
14 803.10
11 501.56
1 821.23
13 322.79
k. Selang Air
3 134.72
2 411.46
12 094.35
17 640.54
13 706.13
2 170.31
15 876.44
l. Keran Angin
23 653.01
24 021.23
775.19
48 449.43
19 399.10
19 075.91
38 475.00
m. Saringan Ikan
33 555.55
0
0
33 555.55
30 200.00
0
30 200.00
n. Baskom
8 462.13
8 593.86
277.33
17 333.32
7 865.52
7 734.48
15 600.00
o. Serokan
3 254.67
3 305.34
106.67
6 666.68
3 025.20
2 974.80
6 000.00
g. Akuarium Artemia
6.
Tenaga Kerja
8 847 000.00
0
153 000.00
9 000 000.00
9 000 000.00
0
9 000 000.00
7.
Sewa Lahan
2 345 466.34
0
47 866.66
2 393 333.33
2 393 333.33
0
2 393 333.33
8.
Biaya Listrik
1 515 500.80
0
156 499.20
1 672 000.00
1 672 000.00
0
1 672 000.00
9.
Biaya Telepon
477 915.86
0
3 417.47
481 333.33
481 333.33
0
481 333.33
10.
PBB
120 498.33
0
1 835.00
122 333.33
122 333.33
0
122 333.33
20 694 578.34
2 748 651.11
6 538 289.22
29 981 518.67
25 081 430.22
1 716 379.88
26 797 810.10
Total Pengeluaran Sumber: Data Primer, diolah (2012)
105
103
Lampiran 11. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011 (Rp) No
Uraian
A. 1.
Penerimaan Output Ikan Neon Tetra
B. 1.
Input Produksi Induk Ikan
2.
Biaya Input Pakan Ikan
3.
4.
Asing
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
19 843 200.00
48 391 200.00
9 765 600.00
78 000 000.00
44 083 061.88
72 047 238.12
116 130 300.00
164 500.00
0
0
164 500.00
164 500.00
0
164 500.00
a. Artemia
606 378.66
3 035 084.79
4 337 203.19
7 978 666.64
2 795 342.35
1 716 185.01
4 511 527.36
b. Kutu air
2 895 000.00
0
0
2 895 000.00
2 895 000.00
0
2 895 000.00
c. Cacing sutera
1 925 885.25
0
2 293 845.79
4 219 731.04
4 219 731.04
0
4 219 731.04
Biaya Obat-obatan
0
0
a. Blitzh Ich
198 712.80
0
35 287.20
234 000.00
210 600.00
0
210 600.00
b. Velvet
244 145.00
0
43 355.00
287 500.00
258 750.00
0
258 750.00
a. Garam
719 600.00
0
0
719 600.00
424 856.98
0
424 856.98
b. Oksigen
590 649.43
0
60 993.81
651 643.24
618 072.76
0
618 072.76
c. Kantung Plastik
537 020.00
545 380.00
17 600.00
1 100 000.00
554 620.00
545 380.00
1 100 000.00
31 986.00
24 606.00
123 408.00
180 000.00
155 394.00
24 606.00
180 000.00
Biaya Input Lainnya
d. Karet Gelang 5.
Finansial Domestik
0
Biaya Peralatan a. Blower b. Pompa Air c. Tabung Oksigen d. Genset
0
0
0
107 348.10
0
3 640.80
110 988.90
99 900.00
0
99 900.00
61 894.40
0
2 099.20
63 993.60
57 600.00
0
57 600.00
3 819.20
0
40 180.80
44 000.00
39 600.00
0
39 600.00
58 670.74
0
1 989.87
60 660.60
54 600.00
0
54 600.00
106
104
Lampiran 11. Lanjutan (Rp) No
Uraian e. Akuarium (100x50x30) f. Akuarium (15x15x10)
Finansial Domestik
Asing
Ekonomi Pajak
Total
Domestik
Asing
Total
927 604.62
0
352 075.10
1 279 679.72
1 151 827.80
0
1 151 827.80
108 841.44
0
41 311.09
150 152.53
135 150.00
0
135 150.00
4 856.15
0
27.51
4 883.66
100.00
0
100.00
103 595.79
0
1 089 904.14
1 193 499.93
1 074 150.00
0
1 074 150.00
37 659.68
0
0
37 659.68
33 893.50
0
33 893.50
j. Selang Angin
3 530.66
2 716.05
13 621.97
19 868.68
15 438.22
2 444.58
17 882.80
k. Selang Air
4 145.52
3 189.04
15 994.20
23 328.76
18 125.85
2 870.15
20 996.00
l. Keran Angin
45 147.81
45 850.64
1 479.65
92 478.10
41 964.57
41 265.43
83 230.00
m. Saringan Ikan
37 500.00
0
0
37 500.00
33 750.00
0
33 750.00
n. Baskom
9 764.00
9 916.00
320.00
20 000.00
9 075.60
8 924.40
18 000.00
o. Serokan
3 254.67
3 305.34
106.67
6 666.68
3 025.20
2 974.80
6 000.00
g. Akuarium Artemia h. Rak Akuarium i. Paralon
6.
Tenaga Kerja
13 966 464.00
0
241 536.00
14 208 000,00
14 208 000.00
0
14 208 000.00
7.
Sewa Lahan
2 933 466.34
0
59 866.66
2 993 333.33
2 993 333.33
0
2 993 333.33
8.
Biaya Listrik
2 421 900.80
0
250 099.20
2 672 000.00
2 672 000.00
0
2 672 000.00
9.
Biaya Telepon
569 262.66
0
4 070.67
573 333.33
573 333.33
0
573 333.33
10.
PBB
150 705.00
0
2 295.00
153 000.00
153 000.00
0
153 000.00
42 175 668.10
35 664 734.20
Total Pengeluaran Sumber: Data Primer, diolah (2012)
29 473 308.74
3 670 047.86
9 032 311.50
2 344 650.37
38 009 384.57
107 107
108
Lampiran 12. Kuisioner Daya Saing Budidaya Ikan Hias Neon Tetra INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper Wing 5 Level 5 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680
KUISIONER PENELITIAN Tanggal Wawancara No. Responden Nama Alamat
: : : :
Kuesioner ini digunakan untuk penelitian Daya Saing Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok oleh Dea Tri Jannatun Nisaa, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data yang objektif. Saya akan menjaga kerahasiaan pendapat Bapak/Ibu/Saudara/i. Atas kesediaanya saya ucapkan terima kasih.
*) coret yang tidak perlu A. Karakteristik Responden : L / P* 1. Jenis kelamin 2. Umur : .......... tahun 3. Pendidikan terakhir : a) SD c) SMU e) lainnya: ..................... b) SLTP d) Perguruan Tinggi 4. Pengalaman beternak ikan hias neon tetra: .......... tahun 5. Sifat usaha budidaya ikan hias: utama / sampingan* 6. Pendapatan yang diterima dari usaha budidaya ikan hias: ................ per tahun 7. Pekerjaan diluar usahatani yang dimiliki: ................ 8. Luas lahan yang diusahakan: Status Biaya Sewa Biaya Sewa Jenis Jumlah Luas Kepemilikan Aktual umumnya Pajak Pajak
9. Sumber modal: (sendiri/ pinjaman/ lainnya ................)* 10. Jumlah modal yang dikeluarkan: Rp ................
109
11. Kemana hasil produksi dijual? (pedagang pengumpul / lainnya ....................)* 12. Tenaga Kerja a. Jumlah tenaga kerja yang dimiliki: ............... orang tenaga kerja: (anggota keluarga/luar anggota b. Sumber keluarga.................)* c. Upah tenaga kerja yang diberikan per bulan: Rp ............... 13. Permasalahan yang sering dihadapi dalam usaha budidaya ikan hias neon tetra a. Terkait dengan input produksi (ketersediaan, harga cara mendapatkannya) ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... b. Terkait dengan usaha budidaya ikan (ketersediaan air, bencana alam, penyakit) ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... c. Terkait dengan pemasaran hasil (harga, kesulitan memasarkan, daya tawar) ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... d. Lainnya ......................................................................................................... 14. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah? (ya/tidak)* 15. Jika ya, dalam bentuk apa bantuan tersebut? ............................................................................................................................ A. Penerimaan dari hasil produksi dalam satu tahun No. Harga Jumlah produksi (kg) Penerimaan (TR=PxQ) 1. 2. Total penerimaan B. Gambarkan alur singkat pemasaran ikan hias neon tetra yang bapak/ibu lakukan?
Berapa biaya transportasi untuk penjualan ikan hias: Rp ..............
110
C. Biaya Investasi usaha budidaya ikan hias neon tetra No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14.
Komponen Biaya Blower Pompa air Tabung Oksigen Genset Akuarium ukuran (100x50x35) Akuarium ukuran (15x15x10 Akuarium artemia Rak akuarium Staerofoam ukuran (100x50x2) Paralon Selang angin Selang air Keran angin Ember
Satuan
Ukuran/ Waktu Harga Umur Jumlah Pembelian beli/sewa ekonomis
Nilai sekarang kalau dijual
Nilai sekarang kalau beli baru
Status
Tempat Biaya perolehan Trasportasi
Unit Unit Unit Unit Unit
Unit
Unit Unit Unit
m m M Unit Unit 110
111
15. 16. 17. 18. 19. 20.
Baskom kecil Baskom besar Kain penyaring Saringan ikan Serokan larva Gayung
Unit
Unit Unit Unit Unit
111
112
D. Biaya operasional usaha budidaya ikan hias neon tetra Jumlah Harga per Nilai total No. Uraian Satuan fisik satuan (Rp) Jenis Pakan 1. Ikan a. Artemia b.Kutu air c.Cacing sutera d. e. f. g. 2. Obat-obatan a.Blitzh ICH b.Velvet c.Metilin Blue d.Tetra Oksi e. f. g. h. 3. Garam 4. Oksigen murni Kantung 5. plastik 6. Karet gelang 7. Listrik 8. Telepon 9. Air 10. PBB
Keterangan
113
Lampiran 13. Dokumentasi
Gambar 1. Akuarium Pemeliharaan Ikan Hias Neon Tetra
Gambar 2. Akuarium Pemijahan Ikan Hias Neon Tetra
Gambar 3. Pakan Ikan Artemia
114
Gambar 4. Kolam Untuk Mencari Pakan Kutu Air
Gambar 5. Proses Penyortiran Ikan
115
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 19 April 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari Bapak Dedi Rohadi dan Ibu Titin Suprihatin. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2002 di SDN Panaragan 1 Kota Bogor. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Kota Bogor pada tahun 2005 dan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 5 Kota Bogor. Penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti kegiatan Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian serta terlibat dalam kepanitiaan seperti Staff Humas acara Pujangga 2010 oleh BEM FEM IPB dan Staff Humas acara The 2nd Greenbase oleh Himpunan Profesi REESA IPB. Selama menempuh studi, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2010-2012.