Daun Pintu Setengah Terbuka Hamdani MW Ayam jantan berkokok tiga kali, dan kau pun secara naluri menggeliat. Meregangkan otot-ototmu setelah tidur yang teramat sebentar. Bersegeralah kau bangkit, diiringi gemericit suara dipan kayu, yang tertimpa oleh gerak tubuhmu. Kau tengok sebentar anak gadismu yang tadi malam tidur di sampingmu. Di sana, di wajah bocah kecil itu, kau temukan telaga bening nan menyejukkan. Mata dengan bulu lentik itu terpejam, seolah meredam segala kerasnya gejolak kehidupan yang kau hadapi setiap hari. Menatap wajah bening itu, kau tersenyum, seolah mendapat kekuatan baru untuk menghadapi kerasnya hidup, setidaknya untuk hari ini. Kau singkapkan selimut rombeng itu, lalu kau turunkan kedua kakimu dari atas dipan, meraba-raba sandal jepit usang yang menjadi sahabat kakimu selama ini. Lalu dengan langkah setengah terseret-seret, kau membuka selot pintu kayu itu. Engsel yang sudah lama tak pernah tersentuh minyak kelapa itu menimbulkan bunyi mencicit ketika daun pintu itu kau sibakkan. Tapi suara berisik itu tak membangunkan gadis kecilmu. Ini masih pukul empat lebih lima menit, belum saatnya anak itu bangun. Memang kau beri dia kesempatan untuk menikmati mimpinya. Sebab kau sangat tahu, hanya dalam mimpilah anak itu bisa menikmati kebahagiaan. Satu jam lagi, anak itu tentu akan bangun, dan menjumpai kenyataan yang jauh dari mimpi indahnya. Kemarin, anak itu cerita kepadamu, Pak Guru sudah menagih uang sekolah agar segera dibayarkan. Kalau tidak segera dilunasi, anakmu tak bakal bisa mengikuti ujian. Dan dalam ceritanya itu, kau saksikan kedua mata anak yang manis itu berair. Kau dekati dirinya, kau usap air bening di kedua pipi mungil itu dengan ibu jarimu. Kau sebenarnya hendak menghibur buah hatimu itu, tapi bibirmu terasa kelu. Tak sekelumit suara pun keluar dari tenggorokanmu. Apa yang mau kau katakan pada anak itu untuk membuat anakmu senang? Uang, untuk saat itu belum terpegang sama sekali. Setagen yang membelit perutmu itu terasa kempes, tak ada uang di baliknya. Teringat olehmu, uang dua ratus ribu pemberian Bu Marsih, tetanggamu yang kaya itu, kemarin sore telah direnggut paksa dari balik setagenmu oleh lelaki yang kini tidur mendengkur di kamar tengah itu. Aroma tuak dan ciu meruap dari balik pintu yang setengah terbuka, membuat perutmu terasa mual-mual. Rupanya uang ratusan ribu hasil jerih payahmu mencuci baju keliling itu menguap dalam dengkur dan bau tuak itu. Padahal uang itu sedianya akan kau gunakan untuk melunasi uang sekolah anakmu. Kau melangkah menuju dapur, melintasi depan pintu kamar tengah yang setengah terbuka itu. Saat itu sempat kau lihat, Burhan, anak lelakimu itu persis tak ubahnya dengan Kubro, suamimu dulu. Wajahnya, ukuran tubuhnya dan perilakunya, semuanya adalah
fotokopi suamimu. Yah, dalam keluh kau merutuk diri sendiri, memang lelaki itu adalah anaknya, apa mau dikata? Melihat wajah Burhan, anak lelaki itu, selintas terbayang dalam kepalamu bagaimana dulu Kubro, suamimu, memperlakukan dirimu dengan sangat nista. Wajah bengap dan punggung biru lebam adalah makanan sehari-hari. Belum sembuh luka yang satu, muncul luka yang lain akibat tamparan tangannya, jika kau tak mau melepaskan setagenmu. Semuanya demi uang, yang ujung-ujungnya tuak, ciu dan perempuan. Semula kau merasa sedikit lega ketika suamimu memutuskan cerai darimu. Terkadang kau malu mengakui, bahwa sebenarnya kau merindukan hidup sendiri. Bagimu, hidup dengan lelaki yang tanpa pekerjaan dan selalu menjadi benalu, ibarat kau terjerumus ke dalam neraka ketujuh. Suamimu rupanya cukup beruntung, karena akhirnya mendapatkan istri seorang sinden yang cukup kondang. Wanita mana yang bahagia diceraikan suami, kecuali dirimu? Tapi kau punya segudang alasan untuk merasa bahagia saat berpisah dari lelaki yang telah memberimu dua anak itu. Untuk sementara, ya, untuk sementara, kau merasa tenteram sejak di sisimu tak ada lagi lelaki bernama Kubro tidur di sampingmu. Tapi rupanya dugaanmu keliru. Tiga bulan sepeninggal suamimu, kau kembali merana. Wajah lebam dan kaki tangan biru-biru dengan rasa ngilu kembali kau rasakan. Namun kali ini jauh lebih menyakitkan, karena luka-luka itu justru datang dari tangan Burhan, anak yang pernah kau kandung di dalam perutmu selama sembilan bulan. Anak yang dulu kau timang-timang dengan kasih sayang. Dan dengkur dari kamar tengah di pagi itu, kau rasakan seperti dengkur suamimu. Membuat dadamu kembali bergolak dan perutmu terasa mual-mual. Kalau saja tak ingat akan anak gadismu yang masih memendam sebuah harapan, tentu kau sudah menyerah. Tapi kau tahu, sangat tahu, dari sorot mata gadis kecil itu, masih ada asa tersimpan di sana. Dan kau merasa sangat berdosa jika kau menyia-nyiakan lentera kecil di hatinya itu meredup hanya oleh beban berat yang kau sandang. Usia boleh saja menggerus kulitmu hingga keriput, tapi kau yakin hatimu tak akan menciut. Cinta telah membuatmu menjadi kuat, dan sakit hatimu pada suamimu telah tamat bersama dengan hadirnya pelabuhan cinta yang baru buat suamimu. Diam-diam kau merasa bersyukur suamimu itu mendapat istri yang cantik dan kaya. Setidaknya, kamu bisa sedikit terbebas dari siksaan demi siksaan setiap hari. Sejak itu kau merasa dirimu sangat kecil di depan suamimu yang telah berubah menjadi lelaki kaya. Entahlah, cinta memang misteri. Burhan dan adiknya yang masih imutimut itu pun katamu merupakan buah dari cintamu pada suamimu. Namun sejak kau terpisah dari suamimu, sejak itu pula kau meragukan arti sebuah cinta. Kau boleh saja bilang tak cinta pada mantan suamimu, namun kau tak dapat menipu diri, bahwa kau sebenarnya sangat cinta pada dua buah hatimu itu. Dan cinta itu membuat dirimu merasa kuat sekalipun menyakitkan. Kau rela mengucurkan keringat demi buah cintamu itu. ***
Kini gadis kecilmu telah berdiri di depan pintu. Seragam putih yang warnanya sudah bercampur kecokelatan dan warna merah yang telah lusuh membalut tubuhnya yang kerempeng. Dia telah mengisi perutnya dengan nasi yang kau tanak tadi, dan ikan asin sebagai lauknya. Kau memang belum sempat membuatkan sayur untuk anak-anakmu sepagi itu. Ah, kalau saja kau punya kulkas seperti beberapa tetanggamu yang kaya itu, tentu kau dapat menyimpan berbagai macam sayuran yang dapat kau masak kapan pun kau suka. Sudahlah, kau harus mengenyahkan bayangan itu jauh-jauh dari kepalamu. Sebelum anak itu berangkat, kau telah berpesan, “Nanti emak akan menyusulmu. Akan emak lunasi semua uang sekolahmu, biar kamu bisa ikut ujian….” Kau melepas anak gadismu di ambang pintu. Ajaib, anak yang semula berwajah muram itu, kini melangkahkan kakinya dengan tegap, hanya karena memegang janjimu. Janji seorang emak pada anaknya. Selepas itu, kau masuk lagi ke dalam, dan sekilas kau lihat daun pintu kamar tengah masih terbuka. Dan dengkur dari laki-laki yang tak lain adalah buah cintamu dengan mantan suamimu dulu itu, masih terdengar teratur. Kau tertegun melihat botol-botol minuman bergelimpangan di bawah dipan. Tapi kau biarkan saja dia di sana, karena toh kalau kau mencoba membangunkan, bentakan dan pukulan yang akan kau terima. Beberapa kali kejadian itu kau alami. Usai mandi, kau masuk ke kamarmu sendiri. Kau buka lemari, dan di bagian pojok di bawah lipatan jarik lusuh, kau mengeluarkan lipatan kertas yang sudah kumal. Di situlah cincin kawin itu kau simpan. Ya, cincin itulah yang akan melunasi uang sekolah anak gadismu. Dan kau harus bergegas pergi dari rumah, sebelum anak lelakimu itu terbangun dan merebut cincin itu dari tanganmu. Siang harinya, kau pulang sudah bersama dengan anak gadismu yang tersenyum karena boleh mengikuti ujian sekolah. Namun di rumah, kau tidak lagi mendapati anak lelakimu di kamarnya. Bantal, selimut berjumpalitan dan bau sisa-sisa alkohol masih tercium di hidungmu. Memuakkan. Namun dengan cinta seorang ibu, kau bersihkan kamar itu dengan teliti, kau kumpulkan botol-botol minuman yang berserakan itu, lalu kau buang dijugangan di belakang rumah. Kau buka daun jendela, agar angin membersihkan segala kotoran di kamar itu. Dengan cinta, meski dalam keadaan letih, perlahan-lahan kau berhasil juga membuat kamar anak lelakimu itu bersih kembali. Sayang cintamu untuk anak lelakimu itu ibarat bertepuk sebelah tangan. Sampai suatu ketika kau dapati anak lelakimu pulang dalam keadaan setengah mabuk. Ia berjalan berangkulan dengan seorang perempuan yang sama sekali tak kau kenal. Kau bergidik melihat pakaian perempuan itu yang sampai memperlihatkan bokongnya. Perempuan itu berjalan sambil kedua tangannya melingkar erat di pinggang anakmu, berjalan tersaruk-saruk sampai hendak menubrukmu. Entah bagaimana, keduanya menghambur ke dalam kamar tengah. Daun pintu yang setengah terbuka itu, terbanting oleh hempasan tubuh mereka, sampai bergedubrak membentur dinding papan. Pemandangan itu membuatmu tersuruk di pojok ruangan, melorot dan terduduk tersimpuh dalam tangisan pilu. Kali ini, pukulan yang ditimpakan anakmu jauh lebih menyakitkan ketimbang tamparan atau tendangan suamimu saat itu. Kali ini, memar itu kau rasakan jauh di lubuk hatimu, membuat segala urat nadimu seolah berhenti bergerak. Hanya kedua matamu yang menatap kosong ke arah daun pintu yang setengah terbuka. Tahu dirimu
karut-marut seperti itu, anak gadismu tiba-tiba menghambur dan ikut menangis. Kalian, ya, kalian anak beranak saling menangis bersama. *** Dari hari ke hari wajahmu tampak semakin pucat. Anak lelakimu semakin sering pulang membawa perempuan-perempuan bergincu tebal. Dan kau, kau merasa semakin tersingkir dari rumahmu sendiri. Dan entah pikiran dari mana datangnya, ada sesuatu yang menuntun langkahmu menuju rumah pak RT. Di sana kau tumpahkan segala keluh-kesah akan anak lelakimu itu dalam tangis. Beberapa hari setelah itu, kau baru tahu bahwa Pak RT datang ke rumahmu dengan tergopoh-gopoh. Di belakangnya berdiri lima orang berseragam polisi, meminta izin kepadamu, dan merangsek masuk ke kamar tengah yang daun pintunya setengah terbuka. Dari dalam kamar, anak lelakimu berjalan masih dengan celana pendek dan kaos oblong. Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya ditekuk di belakang tubunya oleh petugas polisi itu. Di belakangnya seorang wanita dengan rambut acak-acakan, berjalan dengan tangan terborgol. Petugas polisi lainnya berjalan di belakang, dan salah satunya menenteng plastik bening berisi ratusan butiran berwarna putih. Kau tentu tak paham apa sebenarnya butiranbutiran yang disita dari anak lelakimu itu. Dalam kawalan petugas kepolisian, langkah anak lelakimu itu sempat terhenti di depanmu. Menoleh, iamenatap matamu dalam sinar kebencian. Tapi kau balas sorot matanya itu dengan tatapan cinta, dan lama kelamaan kesedihan telah membuat kedua matamu berair. Beberapa detik kemudian, anakmu diseret paksa oleh Polisi, sebelum akhirnya meninggalkan dirimu yang terpaku. Anak gadismu yang tadi bersembunyi di kamarmu, akhirnya datang menghambur, merangkul pinggangmu erat-erat. Kauraih kepala bocah itu ke dalam pelukanmu. “Mak, Mas Burhan mau dibawa ke mana?” tanya anak gadismu dengan wajah sedih. Pertanyaan itu semakin membuat hatimu hancur. Kau tentu tidak tahu, mau dibawa ke mana anak lelakimu itu. Dan pertanyaan anak gadismu terdengar kembali, “Mak, bagaimana Mas Burhan, Mak?” Guncangan dari tangan kecil di pinggangmu telah menyadarkanmu, bahwa kau tetap harus memberikan jawaban untuknya. Setelah terdiam beberapa saat dan berhasil menata diri, kau mulai berkata lirih di dekat telinganya. “Entahlah, Nduk. Masmu pergi bersama Bapak-bapak Polisi. Tentu dia akan kembali ke rumah ini. Dan kita akan bersama-sama lagi. Kelak, dia akan menjadi kakak yang baik buat kamu….” Lalu kau tarik kembali kepala bocah itu lebih erat ke dalam pelukan. Sementara pandanganmu nanar melihat ke depan. Di sana daun pintu kamar tengah itu masih setengah terbuka, namun tak terdengar lagi suara dengkur dari dalamnya…. ***
HAMDANI MW Menulis cerpen, cerita anak dan novel anak. Buku kumpulan cerpennya, Romansa (antologi tunggal, 2005), Code (antologi bersama, FKY 2005), Bandha Pusaka (antologi bersama, 2005). Menulis lima buku cerita anak di penerbit Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Novel Petualangan Trio Ranger (novel anak) terbit di tahun 2013 (Penerbit Lintang-Indiva, Solo). Novel kedua Terjebak di Gedung Tua sedang dalam proses penerbitan oleh penerbit yang sama. Kini tinggal di Solo, Jawa Tengah, dan bergiat di Bengkel Sastra Surakarta.