TRANSFORMASI LINTAS GENRE: DARl NOVEL KE FILM, DARl FILM KE NOVEL
F?
Hem S.l? Saputra* ABSTRACT P-
This article is aimed at scrutinizi,ngthe ecranisation inthe transformationwrassgenre, that is from novelsto films, and vice versa. Itwas found that the ecranisation processfrom novelsto films is a process envolving the reactualisationfrom the written language to the audio visual language. The implicationof that p a s s is that there are some efforts to shrink, add, or alter parts of the story for various goals. ,Sean from the perspecthiedd.lesociol~dliteratum,this effort could initiatethe low reedingmotivato the high watching motivation. Inthe comext of aesthetic idealism, ecranisationactually exposes M author's depressiondue to his lack of ability- articulate hi audio visual languagein representingthe written language. In contrast, films has been de-ecranised into novels. An across genre transformation process is thus made, that is from the audio visual tradition, wrapped by advanced technology, to the feadiw-writing tradition. The latter W i o n phenomenais different from the former, specificallyin its psrspectiw of the social function of literature. Unfortunately, both cannot avoid the hegemony of -i!indwMalisation. Litemureand films are no more concernedwith eastheticvalue. Rather they mingle industrialisation, in particular the entertainment indratry.
i
wordo:t d m i lintasgenre, ekranisasi, novel, film, industri hiburan
--
-
-
-
satu ke jenis karya seni
r=
. . . j
?i
- -.2
.
e.
bb
z
.+.., : -=._
.L -
3>
-
%---I
smiwacanatsr§ebut mengindibdslkan gejala umum bahwa suatu karya menrpakan rnamik yang tidak dapat dipastikan mtdx mr95ikan resapan dari karp sebelurnnya Pangtilm atau seniman sebagai rnakhlukscddnmmgimkasikan&nya keter-
fenomena 'rnoz9ik kutipan-kutipan", rnenmmot pola dan unwr yang tenlapat pada fenomenapmdphankaryaseniafas karya yang telah terpublikasi sebelumnya. Hubungantersebut bblh sebagai hubungantak langsungyang be& di luarwilayah-k si pencipta. Keterpengaruhan sernacam itu dengan m e k a n i i kedua. Meka- paralel dengan p~grilakubudaya stwmrang yang keduatersebut dengansengaja dan yang-lantaran hiiup dalamkomunitastertentu kandengan aam yang dalamjangka waktu yang hna-kmpa dbdariw,miripdengan pdaperihkubudkat di lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, ia berperihku budaya sesuai d-an konvensi di Y, mi9einya. Keraqka pemahaman senman lhgkungan tempat tinggalnya, m k i p u n kl b dapat dimafpfaatkanuntuk meniHkftwxmlma tembktt ti& diniatkanseix!brmya. industrihiburanyang belakanganrnarak. Femmena yang merniliki nuansa hampir Sebagaimana diketahui, banyak produk sama d e w pola intertekstwi tebpl m i f i k i hibwanyang diiptakan atas dasar brya tujuan yang M a addah fenomena rmktuaberedardi pasam*terutarrra lisasi (itilah yang M u mtentu tepat) atau pt~np a p t sambutan hangat dari gubahandarisatukaryakekaryalain. M m Banyak sinehm yang dkdptakan u, puki, atau aerpen.DwnManjuga ,banyakyang diciptakanatas dasar atauk m k . Kary.kary%yang tfmdkian pada umumnya menyebutkansumber Eiavya yang menjadi acuan. EWtolakdadfenomena semacanitu,h r l i n n dan film yang dinodkan. Utasan tertmebut dikaitkm dengan ual, determinasi medim, dan industri hiburan. Meskipun demikian, ng pula secara sekilas tentang gejala yang berupamamikkutipan-hiipan.
~~
atau tingkat yang M a . Beberapa istilah yang dapat disetxhhn antara lab: terinspirasi, diadaptasi, d i i u r , digubah, dimodif&
Ksterkain tersebut terutarna tampak padg urrsw intrimik yang be#upa alur dan p w t pen g m . HubunganAthgisdan 8ufuwyar-padapengg-n mpugatmw-n. Rdasi ljugarntmml~puisi Indonesia modem. Salah satu relad yng memjol tampak pada puisi Amir Hamzah dan C M lAnwar. WPuiaGpuisiyang diiptakankedw penyait~!ndonesiaitu memiliki htlbmgm y a n g ~ t ~ . dad m k i inbrbkshlantara ChairilAnwar d m penyair-penyair sesudahnya, yang secara umum memiliki hubungan yaw M t persatman. t%jak-mjakAmir H a m yang tdatif mitiki hubungan intertekstual r i l m a d a l a h anbm"Be#diriW CBmSf Hamrah) dm "Senja di Perlabuhan KBcil" (GbMl Anwar), 'Padamu Juan(Amir liamah) drjrn 'Doa" (ChairilAnwar), 'Dalam Matafnundm Rambutmu"(Amir Hamzah)dan 'Sajak " (Chairil Anwar), 'Kusangka" (Amir h) dan 'Pgnerimaann (ChairilAnwar). Femmmin-dalam&dan
M
M
~
fh.P ~a t a a d m logidarikatadaiam~Perancis,~I yang berarti kyat-. Jadi, ekranisaei diertikian sebagai perihal pamfiiman ~ ~ 8 WMpun 4 . demjkian, dalam Mas konteks semangat za kemngkiaanaSrmifxA~i jugs dalam pengettian (dalam kunteks hrlim hi tidak diperswhn pehdaan ~ t t s u Wlm b dan ~ simtmn). Bahkan, jika diperluas eakupanya, dJam
mudioWkectalamkaryaaudio~dari karya d a b bentuk c~.takan/buku,midnya, 'kedalam film atau sirmtn,n. Stmentam b,j i terjadi sebalhya, mk&yrr dad film dsciptakan menjadi novel, daZam -ah ini digunakan
8erbeda dari konsep intertekotualStas, m=3s h t i f y a n g
mad Unfas Genm: derl Novelke Flhn, aM
darS b
-
Hem S.P Saputra Tmnsfonnasi Lintas Genre: dad N o d ke Film, dddvfFihr,k8 N a d
M s dan DARYL. The Piano juga merupakan m t o h de-ekranisasiyang sukses. Dari berbagai ulasan (www.vision.net.id) ui bahwa DeadPoets M f y bukansaja dalamfilm, melainkanjuga s u b dalam Filmyang dibintangiantara laindeh Robin
asinya, Kleinbaum noveltidak kehilangng karena paparandalam bahasa tulisan. Meskipun patiugaperbedaanperistiwayang antara di film dan di novel. Dalam film
akan pecah menahan sesak
Ungu Videt. Dabam resensinya dl Jam Pas berjudul "Kisah Pilu Cinta Remaja", Wrruki rnenulis bahwa lantaran dirinya menonton filmnyaB M hdahulu, bangunani m a j i n y a ketika membaca novel Ungu Wdet--hasil dg-ekranisasi dari film denganjudul yang sama--msnjadi agak terbatasi dengan gambar-gambar hidup noveltersebut. Akibatnya, noveltembut sepefti sebuah reportase yang harnbar. Bagi Marzuki, M i r a n d a - - p e n u l i s w p a k kesu&anuntuk mernbuat detail suasana, emosi, imajinasi,dan visualisasi. Jika ekranisasi memW fungsi sosiald a b membantu mensosialisasikan karya sastra, sehingga minat b a a yang rendahdapat dikornpensasiuntuk menaikkanperingkat minatBonton, bagaimana dengan de-ekranisasi? IniM yang menjadipemlan. Jika logikanya meng~plnakan frame besar, mungkinyang akan rnembett bukv hanya merekayang hendak memenuhima penasaranakibat menyaksikanfilmnya untuk wkadar mencocokkannya atau dapat juga merela yang kesadaran budaya bacanya kuat. Yang jelas, meskipun kesuksesan nilai jual buku (novel) diperkirakan tidak sesukses filmnya, tarnpaknya tidak peduterlalu dirisaukan. Tr;adisi limn kita memang masihlebihdominandi-banding budaya tulis. Sebagairnana diinformadan deh penGagas Media (www.visii. net.id), hingga saat ini noveladaptasiatau hasil~n~ Wkti
asi Unals Gem: dari Novel ke F h , d d Nlm la Novel
yang bemibi witif kdmftlasihnde-ekrani-
(Slr8g
-@ET
-
5 % >*-%-5 5 -
~7
.,--
.=
-
Sodety lebih menjanjikan daya tarik bagi
m y a , seam umwn, banyak kalangan ncwelnyadibaHal tembut didasari obh argumentasi membaca novelnya jauh lsbih mnglebihterskatolehtokotrd i p i l k a n datm h. nwelnya terasa begiiu m k a m , ya ketika Neil memulai prosmi bunuh dM yang bemuansa sakral sekafigus tragis. 8Uancul kesan yang menyentuh sekaligus ketikapembacamencermatibagian pada bagin itu terasa ak kurangmmdalam. kegundahakkegundahanNeil gamblangl dipaparkan dalam hkan pembaca untuk i, dan merasakan
.
m
BUDAYA MdWW STRQEOt INDUSTW HIBURAN Sastra dm film m p a k a n sekgian d 4 produk miyang brsifat massal. Artinya, ia dipraduksi bukan h a m untuk kepmtinganindividual, &@pidiKKigntdkmbagi kepentinganatau kebutuhanpuWSk &m Proses pduksi keduanya m n g Sastra, dalam konteksini lebihbanyak dibbamkan novel, m p a k a n pmduk seniyang d i W sexam indiiualOMm a r a n g memangdins;eclarra~ mempribadi, tetapi sixam pmakgbia mwupakan produk sosial lantaran i n d i i u merupialcan makhluk sosial yang tidak dapat lepas dad berbedadarifilm. FUmrrrenywkanproduk
paparan tersebut twgambar betapa 'satu m w d mimampu mengghg dan mengkd imajiisi. Media ekspresi menjadi yang determinan. Meskipun demikian, berartitidak adajalan terang tragi ekranibatasi dengan penekanan pada
mperkaya dibandingkan dengan bkmka&.~ihr,juga~ mgrnbangun pencitraan untuk menggiring
m pemhgian kerja yang jtslers
I
I 1
lagi hanya berurusandengan estetika, tetapi telah menyatu dengan industrialisasi, khususnya dunia industrihiburan. Sebagai karya kreatifyang rnemiliki roh seni, sastra dan film memiliki fungsi sosial sebagai hiburan. Mengingat karakteristik budaya massa merupakan elemen dunia industri, mautidak mau pergeseranpolitik kepentingan tidak dapat dihindarkan, yakni dari idealisme edukasi ke estetika industri. Estetika industri rnemiliki ideologinya sendiri, antara lain menjaring impian-impiandan hasrat imajinasikolektif untuk diijudkan dalam kemasanyang hedonis sekaligus menjerat konsumendalam perangkap rasa ketagihan. Bagaimanapun, setiap produk budaya mass akan menjadikultur publik. Dalam bahasa Dillistone (2002:18-21), produk tersebut membentuk dunia simbol dengan mengkonstruksi representasi analogis, yakni keterwakilan suatu entitas atas entitas lain yang lebih besar, mengingat setiap simbol mempunyaisifat mengaw kepada yang ideal. Dengan berlandasb n kultur publik, produk budaya massa mautidak mau harus memiliki daya ketejualan (saleable). Haltersebut sejalan dengan prinsipdunia korporasi yang berselubung spirit kapitalis. Bagaikan siasat bertopeng kapitalis, setiap usaha akan berbalas imbalan. Strategi industrihiburan bukan rnelulu urusan ekonomi, tetapi juga persoalan sosiologis, bahkan persoalan betapa gen sosial mampu menandingi peran gen biologis. Betapa selera mampu dikondisikan. Betapa hasrat hjinatif membutuhkan ruang pelepasan yang mampu untuk mengakomodasinya. Meskipun demikian, sifat daya ketejualan seringkali hanya dikaitkan dalam konteks ekonomi. Padahal, dalam konteks berkomunikasi, ia dilihat dari penerimaan masyarakatseluas-luasnya. Kuatnya jaringan korporasi dalam dunia hdustri hiburan akan melemahkan sendi-sendi mentalitasdan moralitasproses budaya. Proses budaya tidak lagi berimplikasi dengan produk referensi sosial, tetapi lebih sebagai produk desain kapitalisme global. Dalam konteks global, sebagaimana dinyatakan Dewanto (1996: 103), kapitalisme mutakhir telah bergeser dari industri manufaktur ke industrijasa dan informasi. lajuga
sangat akomodatif terhadap daya kreatif-kritis konsumen. Sebagai produk hiburan, sastra dan film merupakan bagian yang tercakup oleh wilayah industrijasa dan informasitersebut. Kooptasiperspektif global atas budaya lokal, berakibat pada tercerabutnya budaya lokal dari akar lokalis. laakan mempertontonkannilai rasa yang begitu hambar. Betapa tidak. Dalam paparan Wardhana (1995:230) produk industri hiburan, khususnyasiaran W , telah banyak yang dimodifikasi mengingat konsumennya didominasi masyarakatWanggung", yakni masyarakat yang tercerabut dari budaya lokalitas. Fenomena semacam itu marak, karenajika tidak dilakukan modifikasi maka siaran TV hanya akan diterima di wilayah lokalnya sendiri, baik dalam arti geografis maupun kelompok sosial. Hal serupa juga merambah ke berbagaiprogram atau siaran yang ditayangkan TV, di antaranya adalah sinetron. Sinetron merupakan produk jasa dan hiburan yang sangat kapitalistis. Dengan prinsip ekonomi berupa perburuan keuntungan yang sebesar-besarnya, fenomena sinetron yang mengalami kemiripan, atau bahkan jiplakan menjadi pemandangan yang sangat biasa dan dianggap wajar-wajaar saja (Wardhana, 1997; 2002). Dengan kungkungan kapitalisme yang kokoh, sinetron tidak lagi memiliki pilihan yang independen untuk menentukan langkahnya, pilihan antara menuruti selera pasar atau mereartikulasi budaya. Bahkan, seringkali sinetron menjadi tontonan yang bukan saja mencerrninkan selera rendah, melainkanjuga menjadiajang proses pembodohan secara kultural (lihat Siregar, 2001;Siregar, ed., 2005). Dalam konteks wacana seperti itu, Tester (2003:69) mengilustrasikan bahwa budaya industri mengambil sesuatu, seperti buku, lukisan, dan musik kemudian mengubahnya menjadifilm, poster, atau rekaman, hanya untuk kepentingan mencari uang atau menghibur audiens dengan membantu mereka melupakan persoalansehari-hari. Pendapattersebut seakan meneguhkan fenomena ekranisasi dan deekranisasi sebagai bagian intergral dari industri hiburan sekaligus ketidakberdayaan untuk menghidardari hegemoniindustrialisasibudaya.
.z T
o s m s i upaya ta i Oenganmelahribudayaindusbimakamediidan fenomena mpiris,secara s "
5
:
> -1 r .
; L
minat bgca publ..slilai budaya seringkali mnjadi berposisi tidak sebut mampu me-krak seimbang. Budaya industri juga telah meng- yang rendah ke mhattontan yang tinggi. ". ' Fungsi~sastrabagipubiik~M hamxrrkankemampuanseni untuk mrnbebaskan danmemuliakanhumanitas. Seakanrnenim t 0 r a S a I s e t i d a k n y a ~ k ~ . ~ s e b i a l # c n y a , pali, hrker (2005: 47) meneguhkan bahwa secara kualitatif, khoswnya dalam kmtsks kebudayaan kini sepenuhnya saling berpautan idealism estetika, seringkati proses ekranid dengan ekonomi politikdan pduksi budayaoleh rnenacatkanpersodanbaru,phikegundahan pengarang. Berkaca dari pesatnya dinamika industri mampuan hi,kcmmenseakandihadangdehdualisc presentasikanbahasatulis, termasuk implikask me kecendenmgan, yakni idealisme estetis dan nya dengan simpliikasi interpretatif. Meskipun k a p i t a l i hedonis. Untuk menybatinya di- dernikian, fenomena proses ekranisasl terus bejahn hinggasekarang. Be&dati memproduksi makna dan membangun cara ikt, kini banyak film atau skenario yang did* hidupyang menarik bagiindra, emosi, dan pemi- ekranisasi mnjadi novel. Proses terssbut mekiran (Lull, 1998:M). Energitersebut dibutuhkan rupakan transformasi dad tradisi lihat-dmgar mengingat, sebagaimanad i s k a n Wardham dalam kemasan teknologi (kelisanan tin@& (1995:240), budaya indusbi, khmmya tayangan kedua) ke budaya baca-tulis. Fenomena kedm nl,merefleksikan impian pemirsa sekaligus ini berbeda dari femmena pertama, khususnp penegasatas penibahansoaial dan pergeseran dalam perspektiffungsi sosial sastra. Meskipm cara berpikir masyarakat. Dalam konteks itu, demikian, keduanyatidak dapat menghhhrM a mdan film bukan bamqkaltesk Lull(1998) akanmenjadisebuah hegemoni industrialisasi. S akioma bahwa media bukan saja mencsmin- lagihanyaberumandenganestetika, trcStapi twlah kan realis mehinkanjuga sekaligus mencipta- menyatu dengan industrialisasi, khususnya . ., kan realitas. Hal ternbut mengingatbahwa me- dunia industri hiburan. . .rdia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk DAFTARmJ"& >*d mengkonstruksirealitas sosial. ,
-.-,I
* - 1
r
'
mi
:
.. 2 -
<
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Twd &" ~ d r d f f
."? WMPULAN y-:Kreaoi\hhKana he&&. Proses ekranisasi karya sastra (novel, CullersJonathan. 1977. Struc~~ralist , Raudledge&WM. oerpen,puisi,atau kaiyal i r lainnya), ke dalam filmlshtronmetupakanproses reaktualidad -DevmtosN i m . 1996. SenjuMu Ketnrckryac#r. IGWWBmGq. ' L ~bahasatuliskedahbahasaaudiovisual D i l l i sW. 2002. The Pbmr ofsyPnbds. (gambar dan suara). lmplikasi dari proses itu, Kanisius. klapat saja muncul upaya untuk melakukan Eneste. PMnauk. 199I.Me/don Film. Ende: NusaI penciutan, penambahan, atau pentbahan ber- Fimegan, Ruth. 1992. O d 7icufiths and the Verbd arts. - - *-.* R W , ... un. &
DBsi Unibs Genre: darl Novel ke Film, &A fW k h h d
www.balipost.co.td~ip~tcW2005/4/24/gI .html
etaEls.asp!id =68.html
= 1029L)hbnl(di NJul2005). i www. pragram
4252t .W
-
reacd.htrn?id=
(di9kses 3oJuliM05). www.rri-online.comlmodulss.php?~=H i b u d op=*p~hib-wI&id. M 2005). w w w . ~ ~ . ~ . p h p ~ = 4 5 0 0 M 2005).