Analisis Adaptasi Light Novel “All You Need is Kill” ke dalam Film “Edge of Tomorrow” Moh. Rinov Tri Utomo – Sri Ratnaningsih Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas adaptasi light novel “All You Need is Kill” karya Sakurazaka Hiroshi ke dalam film “Edge of Tomorrow” yang disutradarai Doug Liman. Light novel yang berasal dari Jepang diadaptasi menjadi film Hollywood Amerika merupakan hal yang jarang terjadi. Pada transformasi sastra ke film terdapat teori yang dikenal sebagai ekranisasi. Pada penelitian ini kedua karya tersebut akan dibandingkan untuk melihat perubahan pada aspek cerita dan tokoh yang muncul akibat ekranisasi, kemudian akan dianalisis mengapa perubahan tersebut terjadi sehingga dapat ditemukan faktor-faktor yang mendorong perubahan akibat ekranisasi.
Analysis of “All You Need is Kill” Light Novel Adaptation into “Edge of Tomorrow” Movie Abstract This thesis explain “All You Need is Kill” light novel written by Sakurazaka Hiroshi adaptation into “Edge of Tomorrow” movie directed by Doug Liman. It’s not often a Japanese light novel being adapted into American Hollywood movie. There is a theory known as ecranisation in literature transformation into movie. This research will compare both works to see the changes caused by ecranisation in the aspect of story and characters, then the reasons why those changes happened will be analysed in order to find out the factors that made the changes caused by ecranisation. Keywords: adaptation; ecranisation; light novel
Pendahuluan Light novel adalah satu jenis novel remaja Jepang yang berbeda dengan novel remaja lainnya. Menurut Enomoto Aki (2008: 8), light novel adalah novel yang mudah dibaca1 dan ditargetkan untuk pembaca SMP sampai SMA dengan ilustrasi bergaya anime2 atau manga.3 Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa light novel adalah sejenis novel ringan yang ditujukan kepada remaja dengan menyertai ilustrasi bergaya anime atau manga. Di toko buku pun, light novel diposisikan berdekatan dengan bagian manga karena sama-sama menggunakan ilustrasi bergaya manga atau anime. Peminatnya pun kebanyakan dari 1
Light novel menggunakan bahasa yang lebih dimengerti anak muda dibandingkan dengan bahasa novel pada umumnya. Bahasa yang lebih dimengerti ini seperti penggunaan kanji yang mudah dibaca, dan pemilihan kata yang umum dipakai oleh anak muda (Enomoto, 2008: 8). 2 Anime adalah animasi khas Jepang yang bercirikan menggunakan ilustrasi gaya manga. 3 Manga adalah komik khas Jepang yang dibuat sesuai dengan gaya yang dikembangkan di Jepang.
1
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
penggemar manga dan anime, karena selain ilustrasinya yang menggunakan gaya penggambaran yang sama, light novel juga menggunakan pola yang sering muncul dalam anime atau manga. Seiring perkembangannya, light novel yang semakin populer di Jepang mendapatkan berbagai adaptasi, seperti adaptasi menjadi manga, anime, dorama4 maupun film layar lebar. Kebanyakan adaptasi tentu saja dilakukan oleh Jepang sendiri, termasuk adaptasi menjadi film layar lebar. Tetapi di antara judul-judul light novel yang mendapatkan adaptasi, terdapat satu judul yang menarik perhatian penulis, yaitu light novel berjudul All You Need is Kill karya Sakurazaka Hiroshi yang terbit pada tahun 2004. Tidak seperti kebanyakan judul light novel lainnya, light novel All You Need is Kill diadaptasi oleh Amerika dengan judul Edge of Tomorrow yang disutradarai oleh Doug Liman dan dibintangi oleh Tom Cruise dan Emily Blunt serta diproduksi oleh Warner Bros. Pictures. Film ini tayang perdana pada 28 Mei 2014, dan juga masuk ke dalam bioskop di Indonesia. Light novel yang berasal dari Jepang kemudian mendapatkan adaptasi oleh Amerika menjadi film Hollywood menjadi awal ketertarikan penulis untuk mencoba membahas judul All You Need is Kill lebih dalam. All You Need is Kill dan Edge of Tomorrow menceritakan pertempuran manusia melawan alien yang disebut gitai (ギタイ, mimic dalam versi film) di masa depan yang membuat umat manusia terancam punah. Pada sebuah pertempuran, seorang prajurit bernama Kiriya Keiji (William Cage dalam versi film) sebelum terbunuh berhasil membunuh satu gitai yang kemudian membuatnya terjebak ke dalam sebuah time loop5 (putaran waktu), yang membuatnya kembali ke sehari sebelum pertempuran tersebut setiap dia terbunuh di dalam pertempuran. Untuk dapat keluar dari time loop itu, Kiriya/William mendapatkan bantuan dari Rita Vrataski, seorang prajurit elite unit khusus Amerika yang ternyata sebelumnya juga pernah terjebak ke dalam time loop yang saat ini dialami Kiriya/William. Novel dan film adalah dua media komunikasi yang berbeda. Publik novel adalah pembaca, sementara publik film adalah penonton. Media novel adalah kertas dan tulisan, sementara media film adalah layar dan kamera. Dalam hal adaptasi atau transformasi novel ke film ini dikenal istilah ekranisasi, yang merupakan transformasi karya sastra ke film. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, ecran yang berarti “layar”. Transformasi dari sastra ke film dikenal dengan istilah ekranisasi (Eneste, 1991: 60). Sementara Sapardi Djoko Damono 4
Dorama adalah serial televisi Jepang yang biasanya ditayangkan secara rutin selama tiga bulan. Time loop adalah situasi saat suatu jenjang waktu (bisa beberapa jam, bisa beberapa hari) terus menerus berulang. 5
2
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
menggunakan istilah alih wahana untuk mengungkapkan transformasi sastra. Namun tidak seperti cakupan ekranisasi yang hanya terbatas kepada transformasi sastra ke dalam film, cakupan alih wahana lebih luas yaitu dari berbagai jenis karya seni ke karya seni yang lainnya, sehingga penulis memilih untuk menggunakan istilah ekranisasi dalam melakukan penelitian ini. Pada produk ekranisasi tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan ditemui dalam film karena interpretasi penulis novel dan sutradara tidak mungkin sama. Ekranisasi memiliki jangkauan dan pembahasan yang terbatas karena hanya mengungkap perubahan dalam bentuk penambahan, pengurangan atau penciutan, dan perubahan dengan variasi. Seperti yang sebelumnya sudah diungkapkan, penulis tertarik kepada adaptasi light novel All You Need is Kill karena meski karya aslinya ditulis oleh Jepang, kemudian diadaptasi oleh Amerika menjadi film Edge of Tomorrow. Setelah membaca light novelnya dan menonton filmnya, penulis melihat terdapat banyak perubahan yang terjadi pada adaptasi ini sehingga penulis tertarik untuk mencoba mengkaji lebih dalam mengapa perubahanperubahan tersebut terjadi dan mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini. Perubahan dari sebuah media ke media yang lain akan menimbulkan banyak pergeseran, seperti penambahan maupun pengurangan cerita yang dilakukan oleh sutradara maupun penulis skenario untuk membuat sebuah film adaptasi yang dianggap layak untuk diangkat ke layar putih. Mengapa perubahan-perubahan seperti penambahan dan pengurangan pada adaptasi light novel All You Need Kill ke dalam film Edge of Tomorrow terjadi merupakan masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun aspek-aspek yang akan diteliti pada penelitian ini akan dibatasi ke dalam cerita dan tokoh. Berdasarkan masalah penelitian di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan aspek cerita dan tokoh dalam adaptasi light novel All You Need is Kill ke film Edge of Tomorrow dan menganalisis mengapa perubahan-perubahan tersebut terjadi sehingga dapat dipahami gambaran secara umum tentang transformasi novel ke film beserta permasalahan-permasalahan yang terjadi. Tujuan lain dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan berkaitan dengan film adaptasi serta dapat memberi manfaat pada kajian sastra terutama kajian ekranisasi dan membantu mahasiswa yang sedang atau akan melakukan penelitian dengan kajian yang serupa.
Tinjauan Teoritis Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, ecran yang berarti “layar” (Eneste, 1991: 60). Akibat dari 3
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
ekranisasi adalah banyaknya terjadi perubahan-perubahan baik penciutan, penambahan maupun pergantian adegan seperti latar, alur, waktu, hingga penokohan. Novel dan film merupakan dua karya seni yang berbeda. Novel merupakan sebuah karya yang media bahasa yang wujud dalam bentuk tulisan pada kertas sehingga dibutuhkan intepretasi dan logika oleh pembacanya untuk mendapatkan penggambaran dari tulisan tersebut. Sementara film adalah karya yang medianya visual melalui layar dan kamera yang menampilkan gambar dan suara dalam pembentukan sebuah penggambaran yang ditonton oleh penonton. Ekranisasi menimbulkan banyak perubahan karena kata-kata atau bahasa dan tulisan dalam novel diubah menjadi olahan gambar dan suara yang menyebabkan terjadinya penciutan, penambahan, maupun pergantian baik dari segi latar, alur, waktu, hingga penokohan. Beberapa pembaca novel berargumen negatif bahwa film yang diadaptasi tidak sesuai dengan aslinya, bahkan terkadang alur dalam film berbeda dengan aslinya, terlebih lagi adanya tokoh yang ada di film padahal tidak ada novel maupun sebaliknya. Novel merupakan media yang bisa dinikmati selama berjam-jam hingga berhari-hari, akibat ekranisasi, novel harus diubah menjadi film yang dinikmati selama sembilan puluh sampai seratus dua puluh menit (Eneste, 1991: 61). Hal ini menyebabkan mau tidak mau terjadi penciutan, yaitu membuang hal-hal yang dianggap tidak penting dan tidak membentuk cerita. Sebagian cerita, alur, tokoh maupun suasana dapat tidak ditemui di dalam film. Intepretasi atau penafsiran terhadap novel yang akan diangkat menjadi film sudah seharusnya dilakukan oleh sutradara dan penulis skenario untuk mencari hal-hal yang seperti apa yang akan diangkat dan juga penambahan apa saja yang akan ditampilkan di dalam film adaptasi (Eneste, 1991: 64). Perubahan ini bisa terkait dengan cerita, tema, alur, tokoh, dan latar sesuai keinginan sutradara dan penulis skenario. Hal yang terpenting adalah penambahan tersebut harus relevan dengan cerita secara keseluruhan dan biasanya sutradara akan menambahkan sentuhan aspek sinematik sehingga film menjadi lebih menarik. Pada dasarnya film memiliki dua aspek pembentuk, yaitu aspek naratif dan aspek sinematik, dan dalam proses adaptasi dituntut kesesuaian aspek naratif dan aspek sinematik sehingga biasanya terjadi perubahan-perubahan dalam proses adaptasi novel ke film, dan dalam pendekatan adaptasi novel ini, Louis Giannetti (2013: 400) memilah pendekatan adaptasi novel menjadi tiga model, yaitu loose, faith, dan literal. Meskipun pembagian ini hanya untuk mempermudah penjelasan saja karena kebanyakan dalam praktiknya, adaptasi berada di antara satu sama lain model tersebut.
4
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
Loose adalah pendekatan yang dilakukan sutradara dengan mengambil intisari sebuah novel secara garis besarnya saja, seperti mengambil ide, konsep, tokoh dari novel yang diadaptasi kemudian dengan bebas dan independen mengembangkannya di dalam filmnya. Contoh pendekatan loose terdapat pada film Ran yang disutradarai Akira Kurosawa pada tahun 1985 yang didasarkan dari King Lear karya Shakespeare dan mengubahnya menjadi kisah di zaman pertengahan Jepang dengan tetap mempertahankan elemen-elemen yang terdapat di dalam King Lear (Giannetti, 2013: 401). Faithful adalah pendekatan yang berlawanan dengan loose, yaitu sutradara berusaha untuk mereka ulang novel acuannya ke dalam bentuk film, seperti seorang penerjemah menerjemahkan sebuah novel. Contoh pendekatan faithful dapat terlihat pada adaptasi novel Harry Potter karya J. K. Rowling, sutradara-sutradara film Harry Potter seperti Chris Columbus, Alfonso Cuaron, dan lain-lain melakukan adaptasi film Harry Potter dengan tetap mempertahankan isi novel Harry Potter tersebut (Giannetti, 2013: 401). Pendekatan yang terakhir, literal merupakan adaptasi yang dilakukan pada naskah drama. Naskah drama sudah terdiri dari lakon (aksi dan dialog) seperti pada sebuah film, sehingga pada pendekatan literal ini, seorang sutradara hanya mengubah latar ruang dan waktu saja. Contoh pendekatan literal seperti yang terlihat pada Long Day’s Journey Into Night yang disutradarai Sidney Lumet pada tahun 1962 yang didasarkan dari naskah drama dengan judul yang sama karya Eugene O’Neill (Giannetti, 2013: 403).
Metode Penilitian Metode yang digunakan deskriptif analisis, yaitu dengan menganalisa novel dan film. Dilakukan juga kajian kepustakaan dari berbagai sumber seperti buku, internet, serta penelitian sebelumnya tentang kajian ekranisasi. Penelitian ini akan menganalisis perubahan yang terjadi dari adaptasi light novel All You Need is Kill ke film Edge of Tomorrow pada cerita dan tokoh. Pertama penulis akan menganalisis cerita dan tokoh berdasarkan masing-masing media, novel dan film. Analisis pada film berpegang pada teori yang sama dengan analisis novel berdasarkan pendapat Joseph M. Boggs yang mengatakan bahwa sastra dan film memiliki banyak unsur yang sama, keduanya mengkomunikasikan bermacam hal dengan cara yang sama meskipun memiliki media yang berbeda, sehingga analisis film dibangun atas unsur-unsur yang dipakai dalam analisis sastra (1995: 24).
5
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
Setelah melakukan analisis pada cerita dan tokoh dari masing-masing media, penulis akan melakukan perbandingan atas cerita dan tokoh pada kedua media tersebut untuk menemukan perbedaan dan perubahan yang terjadi dari adaptasi pada cerita dan tokoh. Terakhir, berdasarkan perbandingan tersebut penulis akan menarik kesimpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Perbandingan Cerita Light Novel dan Film Berdasarkan rangkuman dan analisis cerita light novel dan film, terlihat dengan jelas sutradara Doug Liman mengambil pendekatan loose dalam melakukan adaptasi light novel All You Need is Kill ke dalam film Edge of Tomorrow. Kesamaan utama yang dapat ditemukan dalam adaptasi ini adalah inti cerita yaitu pertempuran manusia melawan alien yang disebut gitai/mimic yang pada suatu pertempuran seorang prajurit terjebak ke dalam fenomena time loop yang menyebabkan prajurit tersebut kembali ke sehari sebelum pertempuran setiap dia terbunuh. Selain itu, kesamaan lain yang dapat terlihat dengan jelas adalah tokoh utama wanita yang sama, yaitu Rita Vrataski, meskipun dari segi penokohan tokoh ini juga mengalami perubahan-perubahan. Selain hal tersebut, banyak hal mengalami perubahan. Perubahan paling pertama yang dapat terlihat adalah perubahan judul, dari All You Need is Kill menjadi Edge of Tomorrow. Berikut kutipan wawancara yang menyebutkan mengapa sutradara Doug Liman tidak menggunakan judul sumber pada film adaptasinya. Q: This is purely cosmetic, but what went into the decision to change the film’s original title of All You Need Is Kill to Edge of Tomorrow?(Ini murni, penampilan saja, tetapi apa yang mendorong keputusan mengubah judul orisinal All You Need is Kill menjadi Edge of Tomorrow?) Liman: The first thing I did when I came on board the movie was make the decision of casting Tom and Emily and then realizing that I wanted to bring a lot more humor to the story and that original title didn’t reflect that. The film’s not a comedy but it needed to have a title that felt consistent with the action-comedy tone I was going for. (Hal yang pertama kulakukan saat memutuskan untuk mengerjakan film ini adalah memutuskan untuk menjadikan Tom dan Emily sebagai pemain, kemudian menyadari aku ingin memasukin lebih banyak unsur humor ke dalam cerita dan judul orisinalnya tidak merefleksikan hal
6
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
tersebut. Ini bukan film komedi, tetapi film ini memerlukan judul yang konsisten dengan kesan komedi aksi yang ingin aku lakukan.)6
Sutradara Doug Liman ingin memberikan unsur humor ke dalam filmnya, dan menganggap judul All You Need is Kill terlalu serius dan tidak merefleksikan kesan komedi aksi yang ingin dia buat untuk film ini, sehingga judul film diubah menjadi Edge of Tomorrow agar dapat lebih merefleksikan tujuannya tersebut. Perubahan berikutnya terlihat pada hal seperti latar tempat yang mengalami perubahan dari bertempat di Jepang menjadi di Eropa, yang apabila secara lebih spesifik dijabarkan, pangkalan lini depan pada light novel terdapat di pangkalan Flowerline di Okinawa, sementara pada film terdapat di pangkalan Heathrow di London. Tempat pertempuran di light novel ada di Pulau Kotoiushi, sebuah pulau dekat Okinawa sementara pada film di pantai Perancis, terlebih lagi pada film lebih banyak tempat yang juga menjadi latar cerita, seperti Istana Whitehall di London, Bendungan Curnera di Jerman, dan Piramida Louvre di Perancis. Begitu pula dengan latar waktu, pada light novel sudah sekitar dua puluh tahun sejak gitai mulai muncul di bumi dan manusia bertempur melawan mereka, sementara pada film sejak mimic turun ke bumi dengan meteor, waktu telah berlalu selama lima tahun. Menurut penulis, perubahan latar tempat pada film dilakukan untuk menyesuaikan produksi dan juga target film ini sendiri, yaitu barat, sehingga latar pun menjadi di Eropa. Sementara perubahan latar waktu dilakukan karena pada light novel konsep ‘kidou jacket’ yang digunakan untuk membantu pertempuran melawan gitai memberikan kesan terlalu modern, sehingga agar konsep ‘exosuit jacket’ lebih memungkinkan untuk dilakukan dan masuk akal, waktunya dibuat lebih dekat. Konsep alien yang menjadi musuh manusia di bumi juga mengalami perubahan. Pada light novel dijelaskan gitai adalah nanomachine yang dikirim alien dari planet yang berjarak 40 tahun cahaya untuk mengkolonisasi bumi, sementara pada film asal-usul mimic tidak dijelaskan selain mereka mendarat di bumi dengan meteor. Menurut penulis, sutradara tidak terlalu menjelaskan tentang asal-usul mimic untuk mempersingkat durasi, dan menganggap mimic sudah cukup untuk diketahui oleh penonton sebagai alien yang menyerang bumi tanpa perlu membahas lebih dalam akan asal-usulnya, terlebih lagi sutradara memang lebih mengutamakan produksi film yang memfokuskan pada perkembangan tokoh. Kemudian pada light novel, nanomachine yang dikirim ke bumi memasuki hewan echinodermata dan berevolusi menjadi gitai sementara pada film mimic dianggap sebagai satu kesatuan organisme dengan ‘omega’ sebagai otak dan ‘alpha’ sebagai syaraf pusatnya, sisanya dapat 6
http://www.hypable.com/2014/06/06/edge-of-tomorrow-tom-cruise-doug-liman-interview/ (27 November 2014)
7
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
dianggap sebagai cakar dari mimic. Menurut penulis, hal ini dilakukan agar manusia memiliki kesempatan menang dalam pertempuran melawan mimic sehingga pertempuran dapat berakhir. Hal ini juga mendorong terjadinya perbedaan penyelesaian pada light novel dan film, yaitu pada light novel pertempuran melawan gitai masih berlanjut sementara pada film pertempuran melawan mimic berhasil berakhir dengan kemenangkan pada pihak manusia. Aturan-aturan pada konsep time loop juga mengalami perubahan. Pada film, seseorang yang terjebak dalam time loop ketika bermandikan darah mimic ‘alpha’ dan dikatakan mencuri kekuatan mimic untuk melakukan time loop, tetapi orang tersebut dapat kehilangan kekuatan tersebut apabila dilakukan transfusi darah pada dirinya, sementara pada light novel seseorang terjebak ke dalam time loop yang dilakukan oleh gitai apabila membunuh gitai yang disebut ‘server’, kemudian apabila terlalu banyak mengalami time loop dapat memodifikasi otak orang tersebut menjadi memiliki fungsi seperti antenna pada gitai ‘server’. Konsep gitai/mimic yang menyebabkan time loop juga mendapatkan perubahan, apabila pada light novel terdapat gitai yang disebut sebagai ‘server’ dan ‘backup’, dan berdasarkan pengalaman Rita Vrataski, untuk dapat membebaskan diri dari time loop harus melakukan prosedur yang menyangkut menghancurkan antenna ‘server’, membunuh seluruh ‘backup’, dan setelah membunuh ‘server’ barulah dapat terbebas dari time loop7. Sementara pada film, apabila syaraf pusat mimic yang disebut sebagai ‘alpha’ terbunuh, akan membuat otak mimic ‘omega’ yang memiliki kekuatan untuk mengembalikan waktu melakukan time loop. Terakhir, hal yang paling utama mengalami perubahan adalah pendekatan dalam menyelesaikan cerita. Pada light novel, hanya salah satu dari Kiriya atau Rita yang dapat keluar dari loop karena otak mereka berdua sama-sama termodifikasi menjadi berfungsi seperti antenna pada ‘server’ gitai, menyebabkan mereka bertarung satu sama lain untuk membebaskan diri dari loop yang akhirnya dimenangkan oleh Kiriya sementara Rita gugur dalam pertarungan tersebut. Kiriya yang akhirnya berhasil lolos dari loop menggantikan peran Rita untuk membawa umat manusia menuju kemenangan dalam pertempuran melawan gitai. Sementara pada film, William dan Rita yang sama-sama sudah siap menerima kematian untuk kemenangan umat manusia, berhasil membunuh ‘omega’ yang menyebabkan mimic hancur dengan sendirinya. Dalam usaha membunuh ‘omega’ ini, baik William maupun Rita samasama terbunuh, namun William yang bermandikan darah ‘omega’ kembali melakukan loop kembali ke awal film sebelum semua hal tersebut terjadi, namun tetap dengan keadaan
7
Sakurazaka, 2014: 167
8
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
‘omega’ terbunuh sehingga mimic hancur, memberikan kemenangan bagi umat manusia. William pun kembali menemui Rita yang masih hidup. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat dengan jelas pada light novel menggunakan penyelesaian kesedihan (sad end) 8 dan terbuka 9 sementara pada film menggunakan penyelesaian kebahagiaan (happy end) dan tertutup. Pada light novel, Rita gugur dan pertempuran manusia melawan gitai belum berakhir sehingga penyelesaian ini dapat disebut sebagai penyelesaian kesedihan dan terbuka. Sedangkan pada film, sebagai hasil akhirnya tidak ada terbunuh dan pertempuran manusia melawan mimic berakhir dengan kemenangan pada pihak manusia sehingga penyelesaian ini dapat disebut sebagai penyelesaian kebahagiaan dan tertutup. Alasan-alasan mengapa perubahan tersebut dilakukan oleh sutradara Doug Liman dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut ini. Q: How did you come across the source material? (Bagaimana anda dapat menemukan bahan sumbernya?) DL: Warner Brothers actually brought me the source material and said, "You make original movies, we want this to be original." They pushed me and encouraged me to reinvent it, make it my own, and make it not like anything else out there. I can't imagine how many filmmakers you interview can talk about a studio encouraging them to do that. …In this particular case, Warner Brothers from the beginning said, "This is a great original story, we want to encourage you to chase the originality." (Warner Brothers memberikanku bahan sumbernya dan berkata, “Kau membuat film orisinal, kita ingin ini menjadi orisinal.” Mereka mendorong dan mendukungku untuk membuat ulang ini, menjadikannya karyaku, dan membuatnya tidak sama dengan yang sudah pernah ada. Aku tidak dapat membayangkan berapa banyak pembuat film yang kau wawancara dan mengatakan studio mereka mendukung mereka melakukan hal tersebut. … Dalam kasus ini, dari awal Warner Brothers mengatakan, “Ini adalah cerita orisinal yang bagus, kita ingin mendukungmu untuk mengejar orisinalitas.”)10
Kemudian kutipan wawancara berikut ini. Q: What drew you to this project initially? (Apa yang awal mula menarikmu ke dalam proyek ini?) 8
Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua kemungkinan: kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end) (Nurgiyantoro, 1995: 146). 9 Penyelesaian cerita juga dapat digolongkan menjadi penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup merujuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang memang sudah selesai sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Di lain pihak, penyelesaian terbuka memberi kesempatan kepada pembaca untuk membayangkan sendiri bagaimana penyelesaian cerita (Nurgiyantoro, 1995: 148). 10 http://www.esquire.com/blogs/culture/doug-liman-interview (27 November 2014)
9
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
DL: [Producer] Erwin Stoff brought me the script, and I just fell in the love with the idea. Your hero gets killed 10 minutes in. Then he has to repeat the day until he gets it right — we've seen that in a comedy like Groundhog Day, but never in an action film. And I loved that, when all is said and done, it's less about whether he saves the world than whether he gets through the end of the day with Emily's character still being alive. Look, I'm never going to care about a movie where it's only about "Can you defuse the bomb? Can you stop Dr. No's laser from blowing up the moon?" [Laughs] Who gives a shit? I want to make a movie about characters. That's what I do. ([Produser] Erwin Stoff memberikanku naskah ini, dan aku jatuh cinta kepada ide ini. Jagoanmu terbunuh dalam 10 menit dimulai, dan dia harus mengulangi hari sampai melakukannya dengan benar. Kita pernah melihat hal ini dalam komedi seperti Groundhog Day, tetapi tidak pada film aksi. Dan aku menyukainya, setelah semuanya dilakukan, ini lebih ke apakah dirinya berhasil melalui hari dengan tokoh Emily masih hidup, ketimbang apakah dirinya menyelamatkan dunia. Begini, aku tidak akan pernah peduli pada film yang hanya tentang “Apakah kamu dapat menjinakkan bomnya? Apakah kamu dapat menghentikan laser Dr. No menghancurkan bulan?” [Tertawa] Siapa yang peduli? Aku ingin membuat film tentang tokoh. Itulah yang kulakukan.)11
Berdasarkan dua kutipan tersebut, dapat dilihat sutradara Doug Liman memang didorong oleh studio produksi untuk membuat ulang cerita dari bahan sumber, yaitu All You Need is Kill sehingga jadilah karya film berupa Edge of Tomorrow. Selain itu Doug Liman juga mengakui dirinya lebih senang membuat film tentang tokoh, dan berdasarkan pernyataannya mengenai film yang dia buat lebih ke apakah William berhasil melalui hari dengan Rita masih hidup ketimbang apakah William menyelamatkan dunia menunjukkan mengapa Doug Liman membuat penyelesaian yang berbeda dengan bahan sumbernya, yaitu Rita tetap hidup berlawanan dengan light novel yang membuat Rita mati dalam pertarungan. Perbandingan Tokoh Light Novel dan Film Kiriya Keiji dan William Cage Kiriya Keiji dan William Cage adalah tokoh utama dari light novel dan film. Keduanya memiliki peran yang serupa, yaitu prajurit yang terjebak ke dalam fenomena time loop, namun keduanya banyak mengalami perubahan latar. Beberapa perubahan itu seperti pada kebangsaan dan umurnya, Kiriya adalah orang Jepang berumur sekitar dua puluh tahun, sementara William adalah orang Amerika berumur sekitar lima puluh tahun. Menurut penulis perbedaan ini terjadi karena target dari media masing-masing. Seperti yang sudah disebutkan, 11
http://www.rollingstone.com/movies/news/no-tomorrow-doug-liman-on-the-blockbuster-that-almost-brokehim-20140606 (27 November 2014)
10
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
target pembaca light novel adalah young adult sehingga dengan menggunakan orang yang masih muda sebagai tokoh utama, pembaca lebih dapat memposisikan dirinya sebagai tokoh utama cerita. Sementara pada film, target penonton dapat dikatakan lebih luas, selain itu sedari awal sutradara memutuskan untuk melakukan produksi film ini, sutradara memutuskan film ini dibintangi oleh Tom Cruise, sehingga penyesuaian akan tokoh utama pun dilakukan oleh sutradara. Kemudian latar belakang militernya juga berbeda, Kiriya adalah seorang prajurit muda yang baru lulus dari sekolah militer, sehingga meski belum memiliki pengalaman bertempur, Kiriya sudah dibekali pengetahuan dan mendapatkan pelatihan untuk bertempur, sementara William adalah seorang mayor dan perwira militer Amerika yang dicopot dari posisinya dan dikirim paksa ke lini depan sebagai prajurit, membuatnya sama sekali tidak tahu menahu tentang pertempuran karena memang tidak dilatih untuk bertempur. 永劫に繰り返す戦闘も苦痛ではない。なぜなら、ぼくは、戦闘する機械だから。 オイルと電流の代わりに、血液と神経伝達物質が流れるキリング・マシーンだか ら。 Eigō ni kurikaesu sentō mo kutsū dewanai. Nazenara, boku wa, sentō suru kikai dakara. Oiru to denryū no kawari ni, ketsueki to shinkeidentatsubusshitsu ga nagareru kiringu mashīn dakara. Terus menerus bertempur pun tidak menderita. Karena aku adalah mesin tempur. Sebagai ganti minyak dan aliran listrik, aku adalah mesin pembunuh yang mengalir darah dan syaraf. (hlm.132)
Kemampuan tempur keduanya juga berbeda. Dari berlatih dengan memanfaatkan loop, Kiriya ditunjukkan tumbuh menjadi seorang prajurit dengan kemampuan tempur yang luar biasa bahkan sampai menganggap dirinya sendiri sebagai mesin untuk bertempur, sementara William meskipun dari latihan dan pertempuran yang dilaluinya setiap loop menjadi seorang prajurit yang kuat, kemampuan tempur William tidak sampai seperti Kiriya yang sudah dapat dikatakan manusia super. Dalam bertempur Kiriya menggunakan sebuah kapak raksasa seperti yang digunakan Rita, sementara William menggunakan persenjataan yang memang sudah disediakan pakaian tempurnya. Terakhir dari penggambaran sikap dan perilakunya, keduanya menunjukkan sikap dan perilaku sesuai umurnya masing-masing, Kiriya yang seringkali bingung dan kuatir sedangkan William yang seringkali memikirkan cara untuk meloloskan diri dari pertempuran demi menyelematkan nyawanya, meski beberapa kesamaan seperti menunjukkan kepedulian kepada prajurit lain dapat terlihat pada masing-masing tokoh. 11
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
Rita Vrataski Rita Vrataski dalam versi light novel dan versi film sama-sama berperan sebagai seorang pahlawan perang yang sebelumnya sempat mengalami fenomena time loop seperti yang dialami tokoh utama, Kiriya dan William. Namun karena terdapat perbedaan aturan time loop pada versi light novel dengan versi film, Rita pada versi film sudah kehilangan kekuatan tersebut. Rita versi light novel adalah seorang gadis Amerika berambut merah berumur 19 tahun, sementara Rita versi film adalah seorang wanita Inggris berambut pirang berumur sekitar tiga puluhan tahun. Sama seperti kasus pada Kiriya dan William, menurut penulis, perbedaan ini adalah perbedaan yang muncul karena target media masing-masing. Keduanya sama-sama memberikan kesan seorang prajurit yang dingin, tetapi Rita versi light novel menunjukkan bahwa dia tidak sedingin yang dikira orang-orang sekitarnya. リタにはなにか考えがあるようだった。ぼくより多くループを経験している彼女 にはわかることがあるかもしれなかった。いっぱしの古参兵になったつもりでい たけれど、彼女に比べればキリヤ・ケイジはまだまだヒヨッコだ。 Rita ni wa nani ka kangae ga aru you datta. Boku yori ooku rūpu wo keiken shiteiru kanojo ni wa wakaru koto ga aru no kamoshirenakatta. Ippashi no kosanhei ni natta tsumori de itakeredo, kanojo ni kurabereba Kiriya Keiji wa mada mada hiyokko da. Rita nampaknya memiliki pikiran sendiri. Mungkin ada hal yang dimengerti oleh dirinya yang sudah mengalami loop lebih banyak dariku. Aku berniat menganggap diriku seorang prajurit veteran, tetapi kalau dibandingkan dengannya, Kiriya Keiji masih seperti anak ayam. (hlm.243)
Seperti Kiriya dan William, kemampuan tempur Rita versi light novel dan Rita versi film juga berbeda. Dari usaha untuk meloloskan diri dari dalam loop, Rita versi light novel menjadi seorang prajurit dengan kemampuan tempur luar biasa mendekati manusia super, hal yang diakui juga oleh Kiriya yang sudah menganggap dirinya sebagai mesin bertempur, sementara Rita versi film meskipun dapat dikatakan seorang prajurit yang kuat, tetapi berkalikali dia masih dapat terbunuh oleh mimic, tidak seperti Rita versi light novel. Rita versi light novel mewarnai pakaian tempur ‘kidou jacket’-nya dengan dipenuhi warna merah dan bertempur dengan menggunakan kapak raksasa, sementara Rita versi film hanya memberi sedikit goresan garis merah pada pakaian tempur exosuit jacket-nya dan bertempur menggunakan senjata semacam pedang. Menurut penulis, penggunakan senjata pedang pada tokoh Rita versi film adalah bentuk sutradara untuk mencoba tetap mengikuti bahan sumbernya, yaitu Rita menggunakan senjata jarak dekat. Namun karena penggunaan 12
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
kapak raksasa mungkin dianggap tidak terlalu realistis dan tidak sesuai dengan tema perang yang ingin digambarkan oleh sutradara dalam filmnya, membuat senjata yang digunakan oleh Rita pada versi film berubah menjadi pedang yang lebih memungkinkan untuk digunakan daripada kapak raksasa pada versi light novelnya. Terakhir dari penggambaran sikap dan perilakunya, keduanya menunjukkan kesamaan seperti sama-sama memberikan kesan prajurit yang dingin dan tidak banyak bicara. Sifat kekanak-kanakan pada Rita versi light novel tidak ditunjukkan pada Rita versi film, begitu pula sifat keras pada Rita versi film tidak ditunjukkan pada Rita versi light novel. Bartolome Ferrell dan Sersan Kepala Farell Bartolome Ferell dan Sersan Kepala Farell sama-sama berperan sebagai komandan pasukan Kiriya/William ditempatkan. Perbedaan-perbedaan tokoh ini dapat terlihat seperti Ferrell adalah keturunan Brazil-Jepang sedangkan Farell adalah keturunan Amerika. Pada light novel Ferrell ditunjukan memiliki pengetahuan cukup dalam akan sejarah Jepang seperti ketika mengajarkan kepada Kiriya tentang ‘belajar dari membunuh’12 yang intinya semakin banyak bertarung, semakin kuat seseorang. Selain itu, mungkin penulis membuat latar belakang Ferrell sebagai keturunan Brazil-Jepang karena latar tempat pada light novel adalah Jepang sehingga pembaca lebih dapat menerima tokoh Ferrell. Sementara pada film, sutradara tidak membahas terlalu dalam latar belakang tokoh Farell dan mungkin menganggap latar belakangnya sebagai seorang prajurit asal Amerika sudah cukup untuk diterima oleh penonton. Ferrell memiliki peran cukup besar bagi Kiriya, yaitu melatihnya sehingga Kiriya sangat menaruh rasa hormat terhadapnya sementara Farell tidak terlalu memiliki banyak peran bagi William selain membawa dan menempatkannya di pasukan J, sedangkan latihan William diberikan oleh Rita. バルトロメ・フェレウは小隊の最選任軍曹だ。長いこと戦場で生き残ってきた古兵 であり、実質的に部隊をまとめている人物でもある。Barutorome Fereu wa shōtai no saisennin gunsō da. Nagai koto senjō de ikinokottekita furutsuwamono de ari, jisshitsuteki ni butai wo matometeiru jinbutsu demo aru. Bartolome Ferrell adalah sersan yang paling lama berada di peleton ini. Veteran yang berhasil lama bertahan hidup dalam pertempuran, dia adalah orang yang mempersatukan unit ini. (hlm. 32)
Tetapi mereka sama-sama seorang veteran pertempuran yang memang hidup di dalam pertempuran, seperti Ferrell yang memang disebutkan adalah seorang veteran yang sudah 12
Sakurazaka, 2014: 86-88
13
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
bertahan hidup melalui banyak pertempuran sedangkan Farell terlihat dari sudut pandangnya terhadap pertempuran dan antusiasmenya akan pertempuran itu sendiri. Shasta Raylle dan Dr. Carter Shasta Raylle dan Dr. Carter pada dasarnya memiliki peran yang berbeda, namun penulis melihat sedikit kesamaan yang diantara mereka yaitu mereka sama-sama seorang jenius yang berada di sisi Rita, meski Shasta adalah mekanik jenius sementara Carter adalah peneliti jenius yang kini menjadi mekanik. Carter yang seorang mekanik di sisi Rita, meskipun sepanjang film perannya sebagai mekanik tidak terlalu disorot, membuat penulis menganggap Carter adalah perwujudan Shasta dalam film oleh sutradara, meski pun perannya cukup berubah menjadi seorang ahli fisika partikel dan mikrobiologi yang mendalami mimic dan time loop yang kemudian dijadikan mekanik karena dianggap gila. Yonabaru Jin dan Pasukan J Yonabaru Jin dalam light novel adalah senior dan teman sepeleton Kiriya. Sebagai seorang senior, Yonabaru banyak berperan sebagai teman mengobrol Kiriya, dan pada beberapa peristiwa ditunjukkan mempedulikan juniornya tersebut. Sementara di dalam film, peran sebagai senior dan teman sepeleton William terdapat pada pasukan J, yang tidak hanya satu orang saja, melainkan enam orang. Tetapi tidak seperti Yonabaru yang memperhatikan juniornya, para anggota pasukan J tidak kooperatif kepada William. Penulis menganggap para anggota pasukan J adalah bentuk dari perwujudan Yonabaru dalam film oleh sutradara, tetapi tidak dalam satu tokoh saja melainkan dalam satu pasukan sebanyak enam orang. Arthur Hendricks Arthur Hendricks tidak muncul secara langsung di dalam film, melainkan hanya disebutkan dalam percakapan antara William dan Rita ketika mereka sedang menuju bendungan di Jerman untuk menemukan ‘omega’. William : What about Hendricks? You get to know him? (Bagaimana dengan Hendrick? Kau cukup mengenalnya?) Rita : How do you know that name? (Bagaimana kau tahu nama itu?) William : You mentioned him. (Kau menyebutnya.) Rita : That’s not possible. (Itu tidak mungkin.) William : Then how do I know his name? (Kalau begitu bagaimana aku tahu namanya?) Rita : When did I mention him? Under what circumstance? (Kapan aku menyebutnya? Dalam situasi apa?) 14
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
William : Is he why you won’t talk to me? (Apakah dia alasan kau tidak mau berbicara kepadaku?) Rita : Don’t ever mention his name again. (Jangan pernah sebut namanya lagi.) William : Why? Are you…love him? (Kenapa? Apa kau… mencintainya?) Rita : He’s dead. And I watched him die 300 times and I remember every detail. I remember everything. So I don’t need to talk about it. (Dia sudah mati. Dan aku melihatnya mati sebanyak 300 kali dan aku mengingat seluruh detailnya. Jadi aku tidak perlu membicarakannya lagi.) William : I’m sorry. (Maafkan aku.) Rita : It’s just war. (Ini pertempuran.) (01:02:08-01:02:53)
Tetapi berdasarkan percakapan tersebut, dapat dilihat adanya kesamaan dalam peranan Hendricks pada light novel maupun film. Pada light novel, Hendricks adalah atasan Rita yang perhatiannya kepadanya layaknya seorang kakak perhatian kepada adik perempuannya. Rita juga terlihat cukup menaruh rasa hormat kepada Hendricks, dan kematiannya juga cukup memberi pengaruh kepada Rita. Sementara dalam film, berdasarkan kutipan percakapan di atas, kita dapat menarik kesimpulan kalau Hendricks juga adalah sosok yang cukup memberi pengaruh kepada Rita, meskipun tidak dibahas dengan jelas apakah hubungan antara mereka berdua dalam versi filmnya. Menurut penulis, alasan mengapa tokoh Hendricks tidak dimunculkan secara langsung oleh sutradara dan hanya disebutkan dalam percakapan saja adalah untuk mempersingkat durasi film. Pada light novel, penulis memiliki kelenggangan untuk melakukan bagian cerita yang menceritakan tentang masa lalu Rita, sehingga dapat menceritakan juga tentang hubungan Rita dengan Hendricks, sementara pada film, karena durasi yang lebih terbatas, sutradara tidak dapat melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh penulis. Dapat dipastikan juga Hendricks dalam versi film, sama seperti Hendricks dalam versi light novel, terbunuh ketika Rita terjebak dalam time loop. Faktor Pendorong Perubahan Pada bagian ini akan dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang mendorong perubahan yang terjadi pada adaptasi light novel All You Need is Kill ke dalam film Edge of Tomorrow yang ditemukan pada bagian sebelumnya. Penulis akan membagi faktor pendorong perubahan menjadi empat, yaitu target pembaca atau penonton, produksi, durasi, dan keinginan penulis atau sutradara. Target Pembaca atau Penonton Sebelumnya sudah disebutkan target pembaca light novel adalah pembaca remaja SMP sampai SMA (Enomoto, 2008: 8), sementara target penonton film adalah penonton film 15
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
secara umum. Menurut penulis hal ini salah satu faktor yang mendorong perubahan yang terjadi. Perubahan yang didorong hal ini seperti perubahan umur pada tokoh-tokoh. Seperti yang ditemukan pada bagian sebelumnya, terdapat perbedaan umur yang cukup jauh antara tokoh utama light novel dengan tokoh utama film, yaitu Kiriya berumur sekitar 20 tahun sementara William berumur sekitar 50an tahun. Menurut penulis, karena light novel ditargetkan untuk pembaca remaja dan menggunakan sudut pandang orang pertama, agar para pembaca dapat lebih mudah memposisikan diri pada posisi Kiriya, maka Kiriya dibuat masih muda oleh penulis. Lain halnya dengan film yang ditargetkan untuk penonton film secara umum, karena film dapat langsung dinikmatin dengan ditonton, membuat umur William menjadi hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan oleh sutradara karena penonton tidak harus memosisikan diri pada posisi William. Produksi Light novel yang ditulis di Jepang, sedangkan film yang diproduksi Amerika, hal yang menjadi awal ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian ini menurut penulis juga salah satu faktor yang mendorong terjadinya perubahan dalam adaptasi. Perubahan yang paling didorong oleh faktor ini adalah latar tempat cerita, yaitu pada light novel cerita berlatar tempat di Jepang sementara pada film cerita berlatar di Eropa. Selain latar tempat, faktor produksi pada film juga banyak memberi pengaruh yang kemudian mendorong perubahan, seperti pemilihan pemeran mendorong berbagai perubahan pada aspek tokoh. Ketika memutuskan untuk mengerjakan adaptasi ini, sutradara Doug Liman memilih untuk menjadikan Tom Cruise dan Emily Blunt sebagai bintang utama film ini. Hal ini tentu saja mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada tokoh tersebut, begitu pula pada tokohtokoh lainnya. Durasi Ketika membaca light novel, pembaca dapat mengatur sendiri kecepatan membacanya sehingga tidak memiliki batasan durasi untuk menikmati light novel yang sedang dibaca. Lain halnya dengan film, sutradara biasanya memiliki durasi sekitar 120 menit untuk membawakan filmnya kepada penonton. Dari perbedaan durasi ini tentu saja mendorong terjadinya perubahan dalam suatu adaptasi. Perubahan yang paling didorong oleh faktor ini adalah perubahan dalam pembawaan cerita dan konsep-konsep yang terdapat dalam cerita. Misalnya hal-hal kecil dan detail yang dijelaskan pada light novel namun dianggap tidak terlalu penting oleh sutradara akan dipotong dari film. Contoh pada adaptasi ini adalah tentang alien yang dilawan umat manusia, pada 16
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
light novel dijelaskan lebih dalam mengenai asal-usul gitai yang menjadi musuh utama umat manusia, sementara pada film sama sekali tidak dijelaskan mengenai asal-usul mimic yang menjadi musuh utama umat manusia. Perubahan-perubahan konsep lain yang dilakukan oleh sutradara juga dapat dikatakan agar cerita pada film dapat diselesaikan dalam durasi 120 menit Keinginan Penulis atau Sutradara Keinginan atau tujuan dari seorang penulis light novel dan sutradara film juga menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan. Berdasarkan kutipan wawancara dengan penulis light novel All You Need is Kill, Sakurazaka Hiroshi yang memang seorang pemain game ingin mencoba menulis cerita berdasarkan sudut pandang seorang tokoh utama yang dipermainkan di dalam game. Apabila tokoh yang dimainkan dalam game terbunuh, maka tokoh tersebut dapat kembali ke poin sebelum terbunuh dan mencoba kembali, sehingga berdasarkan hal ini Sakurazaka Hiroshi ingin mencoba menuliskan posisi tokoh utama yang dipermainkan seperti itu. Berdasarkan hal ini juga, dapat ditemukan beberapa konsep seperti game di dalam light novel All You Need is Kill seperti tokoh utama yang menjadi sangat kuat setelah berulang kali melakukan time loop dan juga mendapatkan senjata baru yang lebih kuat. Sementara itu berdasarkan kutipan wawancara dengan sutradara film Edge of Tomorrow, Doug Liman didorong untuk membuat sebuah film yang orisinal dengan didasarkan ide dari light novel All You Need is Kill. Doug Liman sendiri mengutarakan ingin membuat film tentang pertempuran yang realistis dan memfokuskan cerita pada tokohtokohnya. Hal ini dapat terlihat dari penggunaan perlengkapan dan senjata pada film Edge of Tomorrow tidak semodern seperti pada light novel. Selain itu hal ini juga mendorong banyak perubahan konsep-konsep di dalam film dan yang paling utama adalah memberikan perubahan pada penyelesaian cerita itu sendiri.
Kesimpulan All You Need is Kill menjadi Edge of Tomorrow merupakan salah satu produk adaptasi novel (dalam hal ini light novel) ke dalam film yang sesuai dengan teori ekranisasi mengalami perubahan-perubahan baik dari penambahan, penciutan, maupun perubahan variasi. Dari analisis yang dilakukan pada cerita dan tokoh kedua jenis media dan analisis perbandingan keduanya, kesamaan yang paling terlihat ada pada inti cerita, yaitu pertempuran manusia melawan alien yang pada suatu pertempuran seorang prajurit terjebak ke dalam fenomena time loop yang membuat prajurit tersebut kembali ke sehari sebelum dia terbunuh. Selebihnya 17
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
terjadi perubahan dan pengurangan seperti pada judul, latar tempat, latar waktu, konsepkonsep di dalam cerita, tokoh dan penokohan hingga penyelesaian cerita. Berdasarkan kutipan-kutipan artikel wawancara dengan sutradara Doug Liman, dapat dikatakan alasan utama perubahan-perubahan tersebut dilakukan adalah studio mendorong Doug Liman untuk menggubah adaptasi ini menjadi karyanya sendiri yang orisinal dan tidak seperti film lainnya. Hal ini mendorong Doug Liman melakukan hal seperti memberikan unsur humor yang tidak terdapat dalam light novel namun dengan tetap memberikan kesan nyata di dalam film, mengutamakan tokoh sehingga mengubah penyelesaian cerita, dan lain sebagainya. Kemudian berdasarkan analisis penulis, penulis juga membagi faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan menjadi empat faktor, yaitu target pembaca atau penonton, produksi, durasi, dan keinginan dari penulis atau sutradara itu sendiri. Faktor-faktor tersebut mendorong perubahan-perubahan seperti latar belakang masing-masing tokoh, penyesuaian latar tempat dan waktu pada cerita, sekaligus perubahan konsep-konsep di dalam film termasuk penyelesaian dari cerita sendiri. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, terlihat jelas model pendekatan adaptasi yang dilakukan oleh sutradara Doug Liman adalah model pendekatan loose. Perubahanperubahan yang terjadi pada judul, latar tempat dan waktu, penyelesaian, penambahan dan pengurangan tokoh serta penokohan, merupakan wujud kebebasan dari sutradara meskipun inti dari cerita tetap dipertahankan.
Saran Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, dan masih banyak materi yang dapat diangkat dari adaptasi novel ke dalam film. Apabila selanjutnya ada yang berpikir untuk mengangkat tema adaptasi novel ke dalam film, penulis menyarankan untuk juga melakukan penelitian dari aspek seperti sinematografinya agar dapat lebih dengan jelas melihat perubahan-perubahan yang dilakukan oleh sutradara ketika melakukan adaptasi novel ke dalam film. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat memilih adaptasi yang menggunakan model pendekatan faithful agar dapat mempermudah dan memperjelas dalam mencari perubahan-perubahan yang terjadi akibat ekranisasi.
18
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014
Daftar Referensi Boggs, Joseph M. 1995. The Art of Watching Film. California : Mayfield Publishing Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta : Pusat Bahasa Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta : Nusa Indah Enomoto, Aki. 2008. Raito Noberu Bungakuron. Tōkyō : NTT Shuppan Giannetti, Louis. 2013. Understanding Movies (cet ke-13). London : Laurence King Publishing Ltd Liman, Doug. 2014. Edge of Tomorrow. Warner Bros. Pictures Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sakurazaka, Hiroshi. 2014. All You Need is Kill (cet. ke-15). Tōkyō : Kabushikigaisha Shūeisha
19
Analisis Adaptasi..., Mohamad Rinov Tri Utomo, FIB UI, 2014