MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER
Pemimpin Umum S.A. Habibie Wakil Pemimpin Umum/ Pen. Jawab Doddy Yudhista Pemimpin Redaksi Ade Armando Redaktur Ahli A. Makmur Makka Staf Redaksi Afdal M. Putra (Koordinator) Wenny Pahlemy Ickhsanto Wahyudi Intantri Kusmawarni Wahyutama Junarto Imam Prakoso Desain Grafis Anom Hamzah Distribusi Maryono Penerbit Media Watch & Consumer Center (MWCC) Alamat Redaksi Jl. Kemang Selatan No.98 Jakarta Selatan Telp.: (021)781-7211 Fax.: (021)781-7212 Email:
[email protected] Website www.habibiecenter.or.id Jurnal MWCC adalah publikasi bulanan Media Watch and Consumer Center (MWCC) di bawah naungan The Habibie Center Redaksi menerima tulisan/ artikel yang sesuai dengan visi dan misi jurnal ini.
Dari Kami Mari Kita Lawan! Festival Film Indonesia diselenggarakan lagi setelah dua belas tahun mati suri. Ikon-ikon lama berganti dengan wajah-wajah baru yang masih muda dan segar. Tema-tema cerita digarap lebih kreatif, tidak lagi mengeksploitasi seks sebagai kekuatan utama. Tentu saja kebangkitan ini bak mata air di tengah keangkuhan sebagian pemilik industri film yang menutup kuping mereka atas kritik para pengamat media, budayawan, pemuka agama, dan orang tua. Karya-karya mereka memang asal-asalan, sengaja mengguncang nilai-nilai dan norma-norma sosial secara sensasional dengan tujuan mendapatkan fulus belaka. Oleh sebab itu, kepada sebagian besar insan perfilman yang masih waras, kami tentu turut berbangga, dan mengucapkan selamat atas pencapaian Anda menggerakkan kembali dunia sinematografi kita yang didominasi Hollywood, Amerika Latin, India, Jepang, dan Korea. Kita selalu mendukung upaya Anda menjadi seniman sejati dan terus-menerus menggali dan menciptakan budaya nasional. Adapun kepada pemilik industri film yang hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri, perlu kita ingatkan bahwa seleksi alam akan bekerja sebagai mekanisme alamiah persaingan. Artinya, karya dengan kualitas terbaik sajalah yang akan mendapatkan tempat di hati penikmat budaya. Masyarakat kita yang cerdas
tentu akan menghargai produk budaya tinggi alih-alih yang rendah. Tentu saja, sambil menyaksikan seleksi alam bekerja, kita tidak boleh berdiam diri. Kami mengajak Anda memberikan pembelajaran bagi masyarakat agar melek media. Sampaikan kepada orang tua, kakak, adik, anak, keponakan, cucu, kerabat jauh ataupun rekan Anda bahwa kita tidak boleh sekedar pasrah atas karya-karya filmbaik layar lebar maupun layar gelasyang dengan seenak mereka memutarbalikkan nilai-nilai dan norma-norma sosial berdasarkan definisi segelintir orang bermodal. Bayangkan betapa mengerikan dampaknya jika setiap hari alam bawah sadar adik, anak, cucu, atau keponakan kita menerima terapi nilai dan norma sosial yang diputarbalikkan, kelak mereka tentu akan bersikap anti-sosial. Kirimkan surat protes sekrang juga kepada pemilik industri film, perlemen, atau presiden sekalipun untuk membuktikan bahwa kita bukanlah angka-angka rating yang mereka tafsirkan. Sesungguhnya kebobrokan moral tidak berlaku di birokrasi saja, tapi juga pada sebagian perancang siaran televisi yang diming-imingi komisi oleh sebagian rumah-rumah produksi atau industri perfilman kita agar karya-karya mereka bisa mengudara. Anda juga bisa mengirimkan surat protes tersebut melalui kami yang nantinya bisa kami jadikan sebagai landasan untuk beraksi. Jika bukan kita, siapa lagi?
INDEKS Kontak .......................................................................................... 3 Laput KPI di Tengah Harapan dan Tantangan, Wawancara dengan Ade Armando, Tanggapan Pengelola Televisi Soal KPI, Acara Televisi Itu, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) ...................... 4 Lensa Laksamana Melawan Lima Media, LSF Menyongsong Zaman Baru, Ini Dia Artis yang Pernah Menggugat Media, Kala Pekerja Wartahiburan Berburu Para Pesohor, Meredefinisi Peran Dewan Pers Pasca Orde Baru .............. 20 Remah .......................................................................................... 30 Kronika ......................................................................................... 32 Resensi .......................................................................................... 33 Kabar dari Kemang ......................................................................... 35
Kontak BAJURI MULAI VULGAR Saya adalah penggemar sinetron Bajaj Bajuri di Trans TV. Alasan saya menyukai sinetron ini, selain karena peran yang dimainkan oleh masing-masing artis dan aktornya sangat alami, sajian ini cukup ringan, menggelitik dan diangkat dari fenomena kehidupan masyarakat kelas menengah bawah. Saya mengacungkan jempol untuk ide kreatif sang pembuatnya. Namun belakangan, Bajaj Bajuri sudah mulai latah mengikuti kecenderungan tayangan-tayangan lain yang candanya tidak jauh dari urusan seks. Salah satu tayangannya begini, ketika Hindun (salah satu tetangga Bajuri) dari balik pintu mendengar percakapan antara Oneng yang tengah memperbaiki ritsleting celana panjang suaminya, Bajuri, sengaja diungkapkan kata-kata yang membuat Hindun yakin kalau Bajuri dan Oneng sedang berhubungan suami istri. Diceritakan pula kalau Hindun libidonya tengah memuncak sehingga dia harus menyalurkannya ke olah raga. Namun di tempat fitness pun tujuan utamanya menggoda laki-laki. (26/9) Bajuri yang awalnya terkenal sebagai pribadi yang jujur dan takut selingkuh kini diceritakan sudah mulai melirik-lirik bahkan menggoda perempuan lain. Pernah dalam salah satu tayangannya, Bajuri harus berbohong kepada Oneng berpura-pura sakit. Padahal ia ingin main badminton dengan Mila, seorang gadis yang juga tetangganya. Dari sini nilai-nilai moral yang dulu pernah ditawarkan oleh Bajuri menjadi sia-sia karena materi sudah berubah menjadi tayangan yang lebih mirip dengan sinetron ‘Nah Ini Dia’. Sungguh amat disayangkan, Bajaj Bajuri yang telah digemari pemirsa dari semua kalangan telah meracuni pemirsanya dengan hal itu. Bagaimana MWCC dan stasiun televisi menyikapi hal ini? Imas Masyithoh Kukusan, Beji Depok
MASIH ADA HANTU Saya dengar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mensahkan standar isi untuk penyiaran kita. Tetapi sejauh ini saya masih melihat tayangan yang berbau misteri. Bahkan semakin menjadi. Contohnya; Dunia Lain (Transtv), Misteri Alam Gaib (Lativi), Pemburu Hantu (Lativi), Gentayangan (TPI) dll. Menurut saya, dampak yang ditimbulkan dari tayangan mistik itu membuat anak-anak kecil takut tanpa alasan yang jelas. Yang ingin saya tanyakan, apakah KPI juga mengatur standar siaran untuk tayangan misteri? Kalau memang iya, saya harap KPI segera menindak tegas para industri penyiaran itu. Sebab bukankah KPI punya wewenang memberi sanksi. Eva Has Rini Jl. Kepu Timur Kemayoran Jakarta-Pusat Red : Tayangan supranatural memang diatur dalam Standar Program Siaran KPI pada pasal 57 dan 58. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa tayangan supranatural hanya boleh disiarkan stasiun televisi setelah pukul 22.00 sampai pukul 03.00. Tujuannya adalah untuk membatasi pengaruh tayangan supranatural terhadap anak-anak. KPI dapat menindak stasiun televisi yang melanggar ketentuan ini berdasarkan pengaduan masyarakat. Karena itu, bagi masyarakat yang memiliki keluhan terhadap isi siaran televisi, baik berkaitan dengan tayangan supranatural atau lainnya, dapat mengirimkan surat keluhan ke alamat Komisi Penyiaran Indonesia di Gedung Umawar Lt.5, Jl. Kapten Tendean Kav. 28, Jakarta 12710. Jawaban ini juga diperuntukkan bagi Ibu Imas Masyitoh. SINETRON REMAJA KURANG MENDIDIK Setahu saya, fungsi televisi harus lebih banyak mendidik masyarakat kita. Tidak hanya sekedar menghibur. Namun saya melihat, terutama sinetron remaja
masih banyak yang kurang mendidik. Gaya bergaulnya masih banyak yang mengedepankan hura-hura. Saya khawatir hal ini akan dicontoh oleh remaja kita, dengan menganggap gaya itu adalah hal yang biasa. Lihat saja cara berdandan dan cara bicara yang jauh dari sopan santun. Semua kecenderungannya ke arah itu. Saya berharap media watch lebih fokus lagi terhadap masalah yang ‘membahayakan’ ini! Terima kasih. Toni Triyanto Ciganjur Jakarta-Selatan SALUT UNTUK HELMI YAHYA! Banyak tayangan reality show dan kuis di televisi, namun yang lebih menggugah saya adalah acara reality show semacam “Uang Kaget”, “Tolong”, “Bedah Rumah”. Sebab acara itu mengajak pemirsa untuk lebih berempati terhadap rakyat kecil yang kurang mampu. Dan sangat terasa manfaatnya ketimbang acara-acara ‘ngerjain’ orang tapi yang didapat hanya malu dari orang yang ‘dikerjain’, misalnya acara menghipnotis orang. Karena itulah saya salut kepada Helmi Yahya, di tengah maraknya industri televisi yang berlombalomba menaikkan rating dengan menyajikan acara yang kurang bermutu. Namun di satu sisi ada acara yang berusaha menyadarkan pemirsa akan pentingnya menjadi dermawan. Yang saya tanyakan, bisa tidak media watch mendorong televisi untuk menyajikan acara-acara semacamnya? Ummi Astrini Villa Mutiara Cinere Red : Melalui kritik dan wacana yang kami sampaikan melalui surat, seminar, atau artikel dalam Jurnal Media Watch ini, kami sebetulnya berusaha mendorong terciptanya iklim penyiaran yang lebih baik bagi publik. Wacana itu termasuk juga pujian bagi program televisi yang kami anggap baik dan mendidik bagi masyarakat. Tentu saja gerakan ini membutuhkan dorongan dan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat lain. Semoga saja tumbuhnya kepedulian bersama berbagai elemen masyarakat terhadap isi siaran ini dapat mendorong terciptanya iklim isi siaran yang lebih baik di Indonesia.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
3
4
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
LAPORAN UTAMA
KPI di Tengah Harapan dan Tantangan KPI telah resmi berdiri lebih dari setahun. Dalam kurun waktu itu, telah dihasilkan ketentuan dalam bentuk Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Namun mengapa berbagai materi tayangan televisi seperti kekerasan, eksploitasi seksualitas, dan klenik masih ditemukan? Apa kendala yang dihadapi?
H
INGGA kini kehadiran lembaga bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nampaknya belum banyak dimanfaatkan publik. Padahal, kehadiran KPI dapat menjadi saluran bagi keluhan masyarakat mengenai materi tayangan televisi yang dianggap melewati batas. Selain itu kehadiran KPI sebenarnya juga dapat menjawab kebutuhan akan adanya lembaga yang secara resmi menjadi ‘wasit’ bagi persaingan antar stasiun televisi yang kian sengit. Mengapa fungsi-fungsi strategis itu belum dapat dirasakan secara optimal? Apakah karena kurangnya publkasi dan sosialisasi yang diberikan media tentang KPI? Benarkah ada resistensi media, khususnya stasiun televisi atas kehadiran KPI? Apa saja permasalahan yang sebenarnya dihadapi? Sebelum menjawab rentetan pertanyaan itu, ada baiknya kita memahami fungsi dan peran KPI sebagaimana yang diamanatkan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Amanat UU Penyiaran Dalam UU Penyiaran 32/2002 pasal 8, KPI mempunyai beberapa wewenang dalam melakukan regulasi atas lembaga penyiaran. Wewenang itu antara lain menetapkan Standar Program Siaran; menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran; mengawasi pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran; memberikan sanksi atas pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran; dan melakukan koordinasi dan/
Oleh: Intantri Kusmawarni dan Wahyutama atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Sementara fungsi KPI sebagaimana yang tercantum dalam UU Penyiaran tersebut adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Amanat UU Penyiaran itu kemudian dipikul oleh sembilan orang yang terpilih sebagai anggota KPI melalui seleksi uji kelayakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kriteria yang dipertimbangkan saat itu adalah visi dan misi, pemahaman terhadap UU
Penyiaran, integritas calon anggota, juga komitmen dan pengalaman para anggota di dunia penyiaran. Mengutip ucapan Effendy Choirie (Tempointeraktif, 9/12/ 2003) Ketua Sub Komisi Komunikasi, Pers dan Informasi Komisi I DPR saat itu, anggota KPI harus memiliki netralitas tinggi dan tidak berpihak pada pemilik modal, termasuk harus anti suap. Sempat pula saat itu terjadi selisih pendapat antara pemerintah dan DPR soal keanggotaan KPI. Dalam pembahasan, DPR menghendaki 9 anggota KPI diisi oleh orang-orang independen. Sementara Pemerintah, dalam hal ini Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif menghendaki anggota KPI terdiri dari masing-masing tiga orang dari unsur masyarakat bebas (independen), dunia usaha, dan pemerintah. Pembentukan KPI juga diwarnai kekhawatiran beberapa pihak akan lahirnya KPI sebagai lembaga monster
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
5
baru seperti Departemen Penerangan (Deppen) di masa Orde Baru. Menurut pihak yang tidak menyetujui keberadaan KPI, posisi KPI dianggap terlalu tinggi dengan otoritas amat luas, sehingga dikhawatirkan akan melahirkan otoritarianisme baru. Meski diwarnai beberapa percik kontroversi, namun akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tersebut akhirnya disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada 28 November 2002 Dengan demikian institusi KPI eksis secara hukum. Sembilan nama kemudian terpilih menjadi anggota KPI, yakni Victor Menayang, Sasa Djuarsa Sendjaja, Ilya R Sunarwinadi, Ade Armando (keempatnya dari Universitas Indonesia), Andrik Purwasito (Universitas Sebelas Maret Solo), dan Sinansari Ecip (Universitas Hasanuddin). Sosok praktisi diwakili Dedi Iskandar Muda (TVRI). Seedangkan LSM diwakili oleh sosok Bimo Nugroho Sekundatmo (Institut Studi Arus Informasi). Sementara unsur publik diwakili Amelia Hezkasari Day (penulis aktif isu-isu penyiaran). Nama-nama tersebut selanjutnya dilaporkan kepada pimpinan DPR dalam Sidang Paripurna, untuk kemudian diserahkan kepada Presiden untuk dilantik dan dikukuhkan sebagai anggota KPI. Tantangan Meski telah resmi berdiri, bukan
6
berarti upaya melakukan regulasi penyiaran oleh KPI dapat segera dilakukan dengan mudah. Sejumlah tantangan masih harus dihadapi. Tantangan itu terutama menjaga keseimbangan kepentingan antara publik, industri penyiaran, dan pemerintah dalam kebijakan yang akan dihasilkan. Dalam bahasa Agus Sudibyo (Kompas.co.id,15/12/03), peneliti ISAI, tantangan itu dilukiskan sebagai ‘mengimbangi pemahaman tentang teori komunikasi dengan kemampuan bermain dalam sebuah political game, dimana strategi konfrontasi dan kompromi harus dilakukan pada waktu dan konteks yang tepat’. Agus melanjutkan, bahwa selain memegang komitmen untuk menjaga hak-hak publik atas ranah penyiaran, juga yang lebih relevan adalah menempatkan kepentingan publik, industri, dan pemerintah pada satu titik imbang. Karena menurut Agus, mengabaikan kepentingan industri penyiaran jelas bukan pilihan realistis sebagaimana merupakan realitas ekonomi dan politik bahwa industri penyiaran telah establish jauh sebelum UU Penyiaran No. 32/2002 lahir. P3 dan SPS Untuk melakukan regulasi penyiaran, langkah yang kemudian diambil KPI adalah membuat Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam P3 dan SPS,
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
ditetapkan batasan apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran. P3 dan SPS ini sekaligus menjadi peraturan pelaksana atas kegiatan regulasi dalam bidang penyiaran yang dilakukan oleh KPI. SPS dan P3 bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh semua lembaga penyiaran. Selama tiga bulan terakhir (September, Oktober, November) KPI mulai melakukan uji coba penerapan P3 dan SPS dengan menyalurkan keluhan masyarakat mengenai materi acara bermasalah. Dalam masa waktu uji coba pemberlakuan SPS dan P3 tersebut, ternyata ditemukan masih banyak terdapat pelanggaran dalam hal materi siaran yang dilakukan oleh stasiun televisi. Pelanggaran-pelanggaran materi siaran yang dilakukan oleh stasiun televisi tersebut kemudian disusun dalam laporan tertulis kemudian disebarkan ke 11 stasiun televisi, berbagai LSM terkait, dan Pemerintah. Pihak stasiun televisi sebenarnya menyadari adanya pelanggaran yang mereka lakukan ini. Seperti dikutip Koran Tempo (25/11), juru bicara Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi S.K mengakui, bahwa pihaknya sadar ada program-program yang semestinya tidak ditayangkan. Ia mencontohkan penayangan wajah wanita tuna susila yang bisa mencemarkan nama baik orang tersebut jika tidak terbukti. Ia juga mencontohkan acara infotainment yang melanggar etis karena sampai masuk ke kamar pribadi artis. Namun ia menambahkan bahwa ATVSI akan segera mengevaluasi acara yang banyak dikeluhkan masyarakat tersebut. Namun, meski mengakui adanya pelanggaran materi siaran yang mereka lakukan, pihak stasiun televisi juga mengaku tidak siap menerapkan secara drastis ketentuan-ketentuan penyiaran yang terdapat dalam SPS/P3. Pihak stasiun televisi mengaku membutuhkan waktu untuk berbenah dan menyiapkan diri. Karena menurut mereka, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang humas stasiun televisi, persoalan materi siaran juga dipengaruhi oleh permintaan pasar, yang seringkali berlawanan dengan idealisme penyiaran yang ingin ditegakkan. Karena ketidaksiapan menerapkan secara drastis ketentuan dalam SPS dan P3 itu, beberapa waktu lalu kalangan
pertelevisian sempat keberatan dengan keluarnya semacam ‘surat peringatan’ dari KPI kepada stasiun televisi berkaitan dengan laporan pelanggaran materi siaran itu. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh Ishadi S.K. dalam tulisan yang dimuat oleh Koran Tempo (7/12/04). Ishadi SK menyatakan bahwa surat peringatan yang disampaikan oleh KPI itu seharusnya disampaikan terlebih dulu kepada stasiun televisi yang bersangkutan sehingga memberi kesempatan kepada stasiun televisi untuk membela diri. Secara cukup emosional, Ishadi bahkan menyebut KPI telah melanggar etis. Ishadi juga mempertanyakan perihal keabsahan aduan masyarakat yang dilaporkan oleh KPI. Menanggapi hal ini, Ade Armando (anggota KPI yang bertanggung jawab untuk persoalan SPS dan P3) menyatakan bahwa surat itu sebetulnya bukan surat peringatan. Menurut Ade, KPI hanya berupaya memberitahu bahwa berdasar masukan dari masyarakat, stasiun televisi masih menyiarkan materi siaran yang melanggar ketentuan dalam SPS dan P3. Padahal mulai bulan Desember, SPS dan P3 sudah resmi diberlakukan. Bahwa media massa menggambarkan surat itu sebagai sempritan hukuman, Ade mengatakan itu tidak benar. Menurut Ade sampai saat ini pihaknya belum sampai menghubungi stasiun televisi untuk menghentikan sebuah program siaran. Ade menjelaskan KPI hanya menyatakan adanya aduan masyarakat tentang pelanggaran siaran di sebuah program stasiun televisi. Sehingga, tambah Ade, inti dari surat yang dikirimkan KPI itu sebenarnya adalah bahwa seharusnya stasiun televisi mengetahui bahwa mulai bulan Desember mereka sudah harus menerapkan Pedoman Perilaku Penyiaran. Ade juga menambahkan bahwa proses penyelesaian pelanggaran SPS dan P3 tidak langsung pada tahap pemberian sanksi seperti yang selama ini seolah dipersepsikan. Jika ada aduan dari masyarakat, KPI akan mempelajarinya terlebih dulu untuk dinilai kelayakannya untuk diteruskan kepada stasiun televisi. Kemudian, laporan tersebut disampaikan kepada stasiun televisi dan diberikan kesempatan kepada stasiun televisi bersangkutan untuk melakukan klarifikasi. Jika terbukti memang stasiun televisi
melakukan pelanggaran, barulah KPI memberikan sanksi peringatan agar materi siaran tersebut diperbaiki atau dicabut dan tidak diulang kembali. Jika stasiun televisi tidak mengindahkan peringatan tersebut dan kembali melakukan kesalahan serupa, barulah sanksi yang lebih tegas akan dijatuhkan oleh KPI. Duduk Bersama Selain masalah ‘surat peringatan’, pihak stasiun televisi nampaknya masih memiliki ganjalan atas beberapa ketentuan dalam SPS dan P3 yang dianggap perlu untuk didiskusikan kembali. Beberapa pengelola televisi mengaku mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan batasan-batasan yang ditentukan dalam P3 dan SPS. Corporate Secretary Indosiar Andreas Ambesi misalnya, mempermasalahkan ketentuan mengenai larangan menyiarkan secara langsung pertandingan tinju dalam negeri yang dilangsungkan pada malam hari. “Kalau masalahnya hanya dilihat dari efek kesehatan, pertandingan tinju profesional di Amerika saja dimulai di atas jam 10,” bantah Andreas. Menurutnya, hal ini dirasa perlu untuk didiskusikan lagi dengan KPI. Masih adanya ganjalan pihak stasiun televisi dalam pelaksanaan SPS dan P3 juga tersirat dari sikap Humas Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Elasari. Ia mengatakan, pada dasarnya TPI akan menerima jika ada keluhan, namun
sepanjang TPI memang berada di jalur yang salah. “Sebab kadang-kadang untuk melihat adegan itu bisa berbeda-beda tanggapannya antara satu orang dengan orang lain. Jadi kita tidak bisa mendefinisikan bahwa tayangan ini salah atau tayangan ini kurang baik. Memang harus sering-sering duduk bersama,” ungkap Elasari. Hal senada juga diungkapkan TV7. Menurut Humas TV7, Julie Retno R.E, penerapan aturan dari KPI pada kenyataannya harus dilihat per kasus, sebab ada hal-hal yang mungkin perlu diajukan toleransinya. Misalnya film Xena yang banyak menampilkan kostum wanita berpakaian terbuka karena memang menyesuaikan dengan konteks cerita. “Kalau itu dinilai vulgar, lalu bagaimana? Kita kan bingung batasannya?” ujar Julie. Masih berkaitan dengan implementasi SPS/P3, ada juga pihak yang mempertanyakan hubungan dan pembagian wewenang antara KPI dengan Lembaga Sensor Film. Seperti yang diungkapkan oleh Ilham Bintang, pemilik Production House, ada kebingungan ketika KPI memberi sempritan kepada sebuah film di stasiun televisi, padahal film itu sudah diluluskan oleh LSF. Menurutnya, sesuai dengan UU No.8/1992 tentang Perfilman, LSF merupakan lembaga satusatunya dan tertinggi yang berwenang melakukan sensor terhadap film termasuk yang ditayangkan oleh televisi.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
7
LAPORAN UTAMA
RPP Disahkan Dulu Masalah lain yang dipersoalkan oleh pihak industri televisi adalah belum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah untuk memberi landasan hukum atas wewenang regulasi penyiaran yang dimiliki KPI. Pihak pengelola televisi beranggapan bahwa P3 dan SPS tidak cukup kuat untuk menjadi landasan hukum dalam mengatur materi siaran televisi. Seperti yang diutarakan Soraya Perucha, Manajer Humas Anteve, “Menurut kami itu (PP) lebih kuat menjadi landasan televisi untuk beroperasi, karena yang menjadi pegangan dan sanksi yang kuat kepada hukum itu PP,” ujar Soraya kepada MWCC. Pentingnya PP mengenai Penyiaran ini diakui oleh Ade Armando. Menurutnya, KPI kini memang tengah menunggu keluarnya PP tersebut. Karena akhir dari wewenang KPI yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran adalah soal pencabutan izin. “Kalau izin itu sendiri tidak di tangan KPI, bagaimana kita mau mencabut izin kan? Jadi memang kita menunggu PP nya,” jelas Ade. Namun Ade menambahkan, belum keluarnya PP ini tidak menjadi alasan P3/ SPS tidak bisa diberlakukan. Karena kewenangan untuk membuat regulasi seperti P3/SPS dan untuk memberikan sanksi peringatan terhadap stasiun televisi yang melanggarnya tetap dapat dilakukan. Sampai saat ini ada tujuh RPP
8
tentang penyiaran yang ditunda karena pasal di RPP Penyiaran itu dinilai bertentangan dengan UU. No32/2002 tentang Penyiaran. Terutama pada pasal yang berkaitan dengan pihak yang berwenang mengatur penyiaran. Sebagaimana diberitakan (Kompas, 15/10), ketujuh paket RPP tentang Penyiaran itu adalah RPP Penyelenggaraan Penyiaran Publik, RPP Penyelenggaraan Penyiaran Swasta, RPP Penyelenggaraan Penyiaran Komunitas, RPP Penyelenggaraan Berlangganan, RPP TVRI, RPP RRI, dan RPP Pedoman Liputan Asing. Mengenai hal ini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Bimo Nugroho Sekundatmo seperti yang dikutip Kompas (6/11) menyatakan, ada empat hal krusial dalam RPP Penyiaran yang perlu dibahas ulang, yaitu soal perizinan, perlindungan publik, industri penyiaran, serta kepemilikan silang televisi, radio, dan cetak. Pembahasan ulang itu, nantinya akan melibatkan KPI dan tim interdepartemen meliputi Kementerian Kominfo, Dephub, Dephan, dan Depkeh & HAM. Meski begitu, Bimo, dalam berita tersebut, menunjukkan keyakinannya bahwa selambatlambatnya 2005, RPP telah dapat disahkan dan diimplementasikan. Masukan dari Masyarakat Untuk menyelesaikan berbagai silang pendapat dan problem dalam implementasi regulasi penyiaran,
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
nampaknya dibutuhkan komunikasi yang intensif antara KPI dengan berbagai elemen terkait seperti industri penyiaran, pemerintah, juga LSM. Hal ini untuk menghindari munculnya kesalahpahaman mengenai regulasi penyiaran dan implementasinya. Komunikasi itu juga dibutuhkan untuk mensinergikan langkah agar tanggung jawab dalam melakukan regulasi penyiaran dapat dipikul bersama. Karena pada hakikatnya, regulasi penyiaran dilakukan untuk kepentingan bersama, yaitu publik, industri televisi, dan pemerintah. KPI sendiri, juga perlu untuk terus memperoleh masukan, juga kritik dari masyarakat. Karena dasar dari pembuatan regulasi penyiaran ini sebetulnya adalah perlindungan publik. Sehingga partisipasi masyarakat dalam menyalurkan aspirasi, keluhan, juga harapannya kepada KPI berkaitan dengan tayangan televisi sangat diharapkan. Dalam kaitan itu, salah satu kritik masyarakat kepada KPI disuarakan oleh Guntarto dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Menurut Guntarto, KPI kurang mengoptimalkan peluang-peluang kerjasama yang ada dengan elemen masyarakat. Padahal menurut Guntarto, ia yakin elemen masyarakat seperti YKAI mau bekerja sama dengan KPI tanpa konsekuensi biaya sekalipun. Selain itu Guntarto juga memberi masukan agar KPI lebih menyempurnakan dan mensosialisasikan formulir aduan kepada masyarakat agar masyarakat dapat lebih mudah berpartisipasi. Sosialisasi dan komunikasi, nampaknya merupakan salah satu agenda penting KPI saat ini. Komunikasi perlu dilakukan kepada berbagai pihak meliputi masyarakat, industri penyiaran, atau kalangan LSM. Ini diperlukan agar keberadaan KPI, regulasi yang dibuatnya, serta kewenangan yang dimilikinya dapat dipahami secara proporsional oleh semua pihak. Berbagai kalangan di luar KPI pun perlu didorong untuk berpartisipasi menyampaikan aspirasi dan masukannya. Sehingga akhirnya, kita bisa mengharapkan KPI dapat menjadi lembaga regulator penyiaran yang efektif, yang bergerak bersama dengan publik dan seluruh elemen dalam dunia penyiaran atas dasar prinsip kesalingpahaman, saling pengertian, dan tanggung jawab.
LAPORAN UTAMA
Wawancara :
Ade Armando : “Itu sebetulnya bukan surat peringatan” MWCC : Tanggapan atas reaksi yang muncul berkaitan dengan “surat peringatan” KPI kepada beberapa stasiun televisi Ade Armando : Itu sebetulnya bukan surat peringatan. Kita hanya memberitahu bahwa mereka seharusnya sudah mulai menerapkan pedoman perilaku penyiaran. Kita hanya bilang bahwa sebagai bukti para stasiun televisi belum menerapkan pedoman perilaku penyiaran itu adalah, ini ada berbagai masukan dari masyarakat (mengenai acara yang ditayangkan) yang menunjukkan bahwa mereka belum menerapkan (pedoman perilaku penyiaran) sama sekali. Bahwa media massa menggambarkan surat itu sebagai sempritan hukuman, itu tidak benar. Kita belum sampai saat ini menghubungi stasiun televisi untuk menghentikan sebuah program, katakanlah misalnya Bajaj Bajuri. Kita hanya bilang bahwa masyarakat mengatakan ada pelanggaran karena isinya ada muatan seks, dan itu ditayangkan pada pukul setengah tujuh malam. Jadi nanti kalau ada keluhan dan pengaduan lagi dari masyarakat seperti misalnya, MWCC, kita mendorong lembaga-lembaga seperti kalian untuk melakukan pemantauan, maka kita sudah punya kewajiban untuk melakukan proses-proses penegakan pedoman perilaku penyiaran tersebut. Inti dari surat kemarin itu adalah mulai bulan Desember ini, stasiun-stasiun televisi
sudah harus menerapkan pedoman perilaku penyiaran, dan seharusnya mereka tahu itu. Nah, jika mereka bertanya apa buktinya, (lampiran laporan dalam surat) ini buktinya. MWCC : Mengenai adanya komentar bahwa KPI memerlukan adanya PP terlebih dulu untuk memberlakukan sanksi Ade Armando : Itu ada benarnya. Karena ujung dari wewenang KPI yang diatur dalam undang-undang penyiaran kan memang pencabutan izin. Nah, kalau izin itu sendiri tidak di tangan KPI, bagaimana kita mau mencabut izin kan? Jadi memang menunggu PP nya. MWCC : Tindak lanjut dari “surat peringatan” dari KPI ini apa? Ade Armando : KPI kan harus sudah berjalan efektif. Jadi pelanggaran yang dikeluhkan masyarakat ke KPI akan ditindaklanjuti dengan meminta klarifikasi kepada stasiun televisi yang bersangkutan. Kita memang menunggu masukan dari masyarakat. Kami bisa saja sebetulnya melakukannya (pemantauan) sendiri, tapi alangkah idealnya kalau itu dimulai dari inisiatif masyarakat dulu. MWCC : Prosedur pengaduan dan penegakan pedoman perilaku penyiaran Ade Armando : Pengaduan dari
masyarakat akan ditindaklanjuti oleh KPI dengan menyeleksinya, artinya mana yang layak dan tidak layak. Kemudian, pengaduan yang dianggap layak akan diteruskan ke stasiun televisi yang bersangkutan untuk dimintakan klarifikasi. Stasiun televisi memiliki hak jawab atas pengaduan yang disampaikan masyarakat. Jika terbukti stasiun televisi memang melanggar, KPI akan meminta stasiun televisi tersebut untuk mengoreksi dan tidak mengulangi kesalahan. Jika setelah proses ini dilakukan beberapa kali stasiun televisi ternyata tidak mengindahkan, maka barulah KPI akan menjatuhkan sanksi yang lebih tegas. MWCC : Soal asosiasi seperti ATVSI yang dikatakan melakukan pemantauan internal terhadap isi siaran ? Ade Armando : Itu bagus, memang seharusnya begitu kan? Menunjukkan bahwa mereka punya inisiatif sendiri untuk menata anggotanya. Tapi pertanyaannya buktinya apa bahwa itu terjadi? Tidak ada yang namanya penertiban itu kan? MWCC : Mengenai prosedur pengaduan yang dikatakan masih belum mudah dan praktis? Ade Armando : Rencananya kita memang mau membuat situs agar masyarakat dapat lebih mudah mengirimkan aduan. Masalahnya belum ada dananya saja. Tapi insya Allah situs itu akan dibuat.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
9
Tanggapan Pengelola Televisi Soal KPI Penerapan Standar Program Siaran dan Pedoman Prilaku Penyiaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran (KPI) mulai efektif. Tentu saja hal ini membutuhkan proses penyesuaian dari pihak industri penyiaran untuk segera merapikan program-program yang dapat terkena sanksi.
S
IMAK komentar masing-masing dari perwakilan stasiun televisi kita kepada MWCC, antara lain dari: Teguh Juwarno (RCTI), Budi Darmawan (SCTV), Andreas Ambesa (Indosiar), Elasari (TPI), Soraya Perucha (Anteve), Raldy Doy (Lativi), Anita Wulandari (Trans TV), Julie Retno R.E (TV7), Henny Putpitasari (Metro TV), dan Meity Inaray (TVRI) : Teguh Juwarno (Humas RCTI) : “Berfikir positif terhadap KPI” Kami, pihak RCTI, menyambut baik keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sebab, pada dasarnya itu untuk memperbaiki kualitas televisi juga. Dan (dengan keberadaan KPI) berarti stasiun televisi dapat berkompetisi dalam koridor yang telah diatur dalam Program Isi Siaran dan P3. Selama ini memang tidak ada medan bertarung. Ada dua hal; pertama, jika pemberlakuan itu objektif kita percaya bahwa apa yang dilakukan KPI akan berhasil. Kedua, pemberlakuan itu hendaknya tidak drastis, misalnya harus diawali dengan teguran, dengan demikian tayangan dapat berangsur-angsur membaik. Sekarang ini memang kondisinya media itu berada pada dua kepentingan yang berbeda. Di satu sisi kepentingan untuk menyajikan tayangan yang berkualitas tapi di sisi lain juga punya kepentingan untuk menyajikan tayangan yang diminati oleh masyarakat. RCTI sendiri selalu berusaha menyajikan tayangan yang sehat. Salah satu usaha RCTI adalah menghentikan tayangan misteri dan seks sejak Bulan
Mei lalu. Alhamdulillah-nya tidak menurunkan iklan. Di RCTI ada internal kontrol yang secara teknis -misalnya ada acara bermasalah- bisa didiskusikan, direvisi, lalu dilakukan perubahanperubahan. Internal kontrol kita mengikuti aturan sensor Lembaga Sensor Film (LSF), utamanya dalam hal teknis dan konten. Sehingga LSF tidak perlu lagi menghapus terlalu banyak. Misalnya ada film luar negeri, sebelum LSF memotong maka telah kita potong. Harapan kami terhadap KPI adalah, KPI bisa bersikap secara objektif dan memahami kelangsungan hidup industri penyiaran sehingga industri TV (dengan stakeholder di dalam) menjadi sehat dan dapat mencerdaskan dan memajukan bangsa. Pada intinya kami siap diajak
10 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
bekerjasama dengan KPI. Termasuk berfikir positif bahwa apa yang dilakukan KPI itu juga dalam rangka memperbaiki kualitas tayangan TV. Budi Darmawan (Humas SCTV) : “Saya boleh setuju atau tidak setuju...” Menurut saya, terlepas dari ada tidaknya KPI dan Standar Program Siaran, pemirsa televisi telah memiliki perbedaan pandangan tentang apa yang dilihatnya. Hal ini tergantung dari belief masing-masing individu. Artinya, saya boleh setuju atau tidak setuju. Keberadaan KPI sendiri akan memberikan wacana yang baik bagi perkembangan industri pertelevisian di masa datang. Termasuk juga memberdayakan masyarakat atau pemirsa, juga memperbaiki kualitas program-program televisi di masa depan. Dan lagi, percuma saja saya katakan setuju atau tidak setuju. Toh tidak mungkin dicabut lagi. Dari pihak SCTV sendiri kalau seandainya ditegur ya akan kita terima. Tetapi kita lihat dulu yang ditegur itu. Kita analisa terlebih dahulu. Mereka kan juga tidak menonton secara lengkap, sering kali hanya parsial saja. Jadi memang nanti akan ada mekanismemekanisme tertentu sendiri. Misalnya, akan memberikan surat terlebih dahulu, lalu kemudian kita bahas, kita putar ulang apa yang dipermasalahkan. Kalau memang iya, maka kita perbaiki ulang. Kalau keliru maka kita sampaikan bahwa
protes itu tidak tepat. Teguran itu baik. Jangankan dari KPI. Sebelum ada KPI, pemirsa memang pernah ada yang protes. Maka kita bicarakan di lingkungan internal. Lalu kita komunikasikan lagi ke pemirsa. Apalagi sekarang ada lembaga yang namanya KPI. Tentu saja kita akan memberikan perhatian, karena, televisi kan salah satu institusi demokrasi. Itu yang saya tadi bilang bahwa pemirsa sangat heterogen. Ketika ada pandangan yang berlainan tentang suatu pihak tentu akan kita cek. Kita lihat, sejauhmana kita juga melanggar, itu yang kita lakukan, pastilah kita jalani hal tersebut. Sejak tahun 1990, SCTV telah memiliki quality control. Kita juga melihat adanya peraturan pemerintah No.7 Tahun 1994 mengenai Lembaga Sensor Film. Di situ ada pasal-pasal yang menyangkut mana yang boleh dan tidak boleh ditayangkan. Misalnya adegan bugil itu tidak boleh ditayangkan. Adegan ciuman yang mengundang birahi juga tidak boleh ditayangkan, adegan sadis tidak boleh ditayangkan. Tayangan kita semua mengacu ke sana, namun penulis skenario semakin kreatif, ada halhal yang memang sebagian kecil belum diatur. Dulu belum ada berita-berita di televisi mengenai berita kriminal. Internal control di SCTV tugasnya pertama, dia melakukan penelitian pengecekan terhadap kualitas broadcast. Apakah layak tayang atau tidak dari sisi teknisnya? Buram atau tidak? Gambarnya goyang-goyang tidak? Kedua, konten apa yang difokuskan (misalnya, violance, horor dan seks). Kemudian ada pertanyaan, violance seks itu seperti apa? Adegan sadis misalnya, yang menunjukkan adegan pemenggalan kepala. Atau menghajar orang bertubi-tubi sehingga menimbulkan kematian. Kedua, yang horor seperti apa? Yang berdarah-darahkah? Teman-teman di KPI adalah temanteman kita. Kita tidak ada gap komunikasi. Jadi, harapan kami untuk KPI adalah bisa bekerja sama dengan baik dan bisa membawa kedewasaan buat pemirsa dan industrinya. Sebaiknya KPI (dalam menegur) juga harus minta klarifikasi dari kita, benar tidak SCTV muternya begini. Cerita di manapun seperti tv, radio atau novel, selalu ada pertentangan kan? Atau kemungkinan ada anak yang nakal, ibu
yang jahat. Ada yang negatif-negatif tapi ada juga yang positif. Untuk menampilkan itu semua di layar kaca membutuhkan keahlian tersendiri. Tidak mungkin suatu cerita isinya baik-baik saja semua. Bahkan di film Amerika sendiri juga pasti ada yang memerankan orang yang jahat. Nah karena itu harus dikomunikasikan. Karena itu kita lihatnya jangan sebagiansebagian, kadang-kadang orang melihat yang jahat terlebih dahulu tidak melihat secara keseluruhan. Ada juga memang beberapa adegan sinetron yang kadangkadang keterlaluan, makanya tidak harus menunggu pemirsa kita segera bilang bahwa ini tidak benar. Kemudian dibetulkan oleh rumah produksi di masa akan datang. Artinya jangan dikira teman-teman televisi juga santai-santai saja melihat tayangan ini, kita di dalam juga memberi kritikan-kritikan terhadap program kita. Seperti berita kriminal ada perbedaan persepsi, bahwa itu harus diketahui publik betapa kejamnya aparat (misal: peristiwa Semanggi) namun ada yang beranggapan hal itu sadis. Andreas Ambesa (Coorporate Secretary Indosiar) Kita akan mengikuti aturan main yang telah ditetapkan KPI, memang ada beberapa masukan seperti, tayangan tinju memang tidak boleh lebih dari jam 10 malam. Itu kan perlu didiskusikan lagi. KPI kan sudah (beroperasi) beberapa
bulan sebelumnya, dan telah memberikan peringatan secara tidak resmi dalam rangka penetapan aturan baru yang akan berlaku Desember ini. Sebelum Desember ini, juga telah ada peringatanperingatan namun belum menjadi suatu hal yang harus dituruti televisi. Cuma melihat beberapa catatan KPI terlihat KPI belum mengerti secara keseluruhan tentang program-program televisi. Kenapa saya katakan begitu? Sebab ada hal-hal yang sebenarnya tidak masuk kategori perhatian itu dimasukan oleh KPI. Seperti adegan-adegan di beberapa sinetron ataupun tayangan yang sempat dikatakan KPI tidak layak, itu sebenarnya masih dalam taraf wajar kalau saya lihat adegan di kartun atau penggunaan kata-kata yang dianggap kasar seperti ‘rese lu’ atau apa. Sebenarnya dalam tayangan filmfilm asing kalau masih taraf wajar itu tidak masalah. Lalu juga misalnya protes tayangan tinju yang tidak boleh melebihi jam 10 malam itu juga masih dipertanyakan, kalau kita lihat dari efek kesehatannya bukan tinjunya. Soalnya kalau tinju profesional, seperti Amerika sendiri itu tinju mulainya di atas jam 10 malam. Tapi kita akan mengikuti peraturan ini karena pada prinsipnya Indosiar akan mendukung. Misalnya ada tayangan yang tidak mendukung seperti tidak sesuai dengan budaya dan iklim di Indonesia. Kita dukung pornografi dan kekerasan tidak ditayangkan oleh program televisi
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
11
penyiaran) segera diberlakukan, karena sekarang masih RPP. (Dengan adanya PP) landasan TV untuk beroperasi itu lebih kuat dari sekedar Pedoman Perilaku dan Standar Program Siaran. Karena yang menjadi pegangan dan sanksi yang kuat secara hukum itu adalah PP. Nah sampai sekarang PP itu kan belum jelas. Kita sih mengharapkan jangan sampai KPI mencabut izin. Sebab kita kan selalu memberikan yang terbaik untuk pemirsa. Yang terbaik itu bukan sekedar menghibur tetapi juga ada misi dari tv itu sebagai ada entertainment, ada value yang mendidik itu kan harus ada dalam setiap tayangan. Kami harapkan Cuma PP aja yang harus segera diberlakukan. Menurut kami itu yang lebih tinggi. Sekarang KPI ini mau menampung aspirasi2 dari masyarakat. Itu kita senang sekali. Sebab ini juga untuk kebaikan Anteve. Indonesia. Ataupun tayangan-tayangan yang berbau hantu atau horor. Harapan kita untuk KPI, semoga KPI tidak memilih-milih stasiun mana yang menjadi prioritas atau diberi peringatan. Dalam arti begini, KPI dalam tetap menggunakan asas praduga tak bersalah, asas yang netral, tanpa kepentingan apaapa. Jangan sampai KPI menjadi penjelmaan Deppen di zaman Orde Baru lalu. Jadi untuk hal yang baik tidak masalah jika kita harus bekerjasama dengan KPI. Indosiar paling hati-hati untuk tayangan kekerasan, seks, dan hantu. Sejak awal kita tidak menayangkan hal itu. Ketika stasiun televisi lain beramai-ramai menayangkan Inul, kita tidak. Itu sejak awal komitmen kita. Elasari (Manajer Humas TPI) Pihak TPI senang-senang saja dengan lembaga yang bernama KPI, kita bisa melaksanakan siaran dengan persaingan yang sehat karena ada ramburambu dan badan yang mengawasinya. Kebetulan aturan yang dikeluarkan itu sebenarnya juga sudah kita punya, yaitu (yang dikeluarkan) Asosiasi Televisi Swasta (ATVSI) yang isinya kurang lebih sama dengan apa yang dikeluarkan KPI. Jadi buat kami aturan-aturan itu tidak membuat kami kaget atau punya pandangan lain-lain. Tapi apa yang diatur itu sebenarnya memang sudah diatur oleh ATVSI sebelumnya. Sejauhmana akurasi dari teguran itu,
sepanjang kita berada di jalur yang salah tidak masalah kita ditegur. Tetapi kita bisa duduk bersama-sama untuk mendiskusikan hal itu. Apakah keberatan mereka itu didasari oleh fakta-fakta yang akurat atau ada semacam subyektifitas. Sebab kadang-kadang untuk melihat adegan itu bisa berbeda-beda tanggapannya antara satu orang dengan orang yang lain. Jadi kita tidak bisa langsung mendefinisikan bahwa tayangan ini salah atau tayangan ini kurang baik. Memang harus seringsering duduk bersama. Jadi setiap kali ada masukan, kita tidak bisa menjustifikasi salah atau benar tetapi kita diskusi bersama untuk melihat dari sudut pandang yang mana. Harapan TPI untuk KPI ke depan dapat menjadi mitra yang sejajar, jadi bisa berjalan bersama-sama. Soraya Perucha (Manajer Humas Anteve) Kami (Anteve) setuju saja, apalagi itu semua bagus untuk anak kita. Itu baik untuk kami, (namun) pelaksanannya mesti bertahap karena masih ada beberapa kontrak yang masih terikat kerjasama dengan kita. Sebenarnya kita sudah bertemu dengan beberapa bagian produksi, news dan PH untuk membicarakan ini. Anteve sendiri telah memiliki quality control sejak Anteve berdiri. Harapan saya adalah agar perangkat yang lebih tinggi dari SPS dan P3 yaitu PP (tentang
12 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
Raldy Doy (Humas Lativi) Pertama, saya menilai bahwa hasil pantauan dan laporan KPI itu hanya menyampaikan keluhan masyarakat. Kedua, penilaian (terhadap Lativi) secara teknis terjadi dua kali, namun saya melihat jumlah kesalahan yang dulu dan sekarang tetap sama. Komentar saya tentang kriteria penilaian Bulan Oktober dan November juga begitu (yaitu sama saja). Menurut saya, bila kita mau temukan suatu kriteria penilaian kita harus duduk sama-sama dahulu. Dengan kriteria yang harus disosialisasikan dan disepakati dulu. Sebenarnya sikap kami kita nyatakan bersama melalui wadah bernama ATVSI. Selama ada pertemuan-pertemuan itu maka kita melihat persoalan penyiaran sebagai kepentingan bersama suatu stasiun. Saya harap KPI juga bisa menjaga secara bersama-sama agar industri (penyiaran) ini tumbuh pada porsi untuk kepentingan bangsa dan negara. KPI kita harap membantu dan menjaga untuk itu. Anita Wulandari (Manajer Humas Trans TV) Memang sudah waktunya untuk hadir komisi semacam ini (KPI), kita tentunya menyambut baik. Hanya masalahnya sekarang, bagaimana proses bekerja dan sosialisasi atas keberadaan KPI
kepada media. Itu yang lebih penting. Kemarin kami juga telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan KPI. Yang paling penting adalah sosialisasi dan ada gradasi yang berkaitan dengan pasal-pasal yang tercantum dalam stan-dar siaran itu. Gradasi di sini misalnya, pada tahap tertentu diingatkan, tahap berikutnya kemudian apa. Kemudian juga masalah program-program yang dianggap melanggar aturan yang telah ditetapkan, harus dipertimbangkan juga masalahmasalah teknis dari sebuah media. Kalau Trans TV ditegur, kita akan berusaha memperbaikinya. Pertama, sebelum ditegur (pada masa transisi ini) Trans TV telah mencoba untuk menyesuaikan dengan pasal-pasal yang ada di dalam aturan itu. Misalnya ada programprogram tertentu yang kita naikkan (pemutarannya) pada malam hari. Itu telah kita coba dalam waktu 3 bulan. Sekarang ini kan 1 Desember, mereka (KPI) telah menjalankan tugasnya. Artinya kita harus cermat dan mengikuti (peraturan). Meski dalam perjalanannya ada kendala-kendala teknis seperti yang tadi saya sampaikan. Tidak mudah untuk mengubah sebuah program atau susunan jadwal secara drastis. Kita harus perlahan-perlahan, maka kita pun tidak menutup kemungkinan dalam perjalanannya itu masih terdapat pelanggaran. KPI memang telah menyampaikan,
bahwa KPI mendapatkan catatannya dari pemirsa dan LSM. Itu yang mungkin harus diperjelas kesalahannya apa? Dalam program apa? Karena kita sendiri pun punya kontrol internal. KPI dapat bekerjasama dan berkoordinasi untuk kebaikan bersama, agar keberadaan KPI dapat membantu mutu atau kontrol siaran televisi di Indonesia. Julie Retno R.E (Humas TV7) Didirikannya lembaga seperti KPI pasti punya tujuan positif. UU (penyiaran) itu berguna untuk merapikan. Pada prinsipnya TV7 mendukung saja kalau itu memang untuk tujuan positif, meskipun pada kenyataannya itu bergantung pada case by case aplikasinya. Karena ada hal-hal yang mungkin perlu diberikan toleransi. Misalnya film Xena itu kan kostumnya memang begitu. Karena film itu mencerminkan suasana pada eranya. Kalau itu dinilai vulgar bagaimana? Kita jadi bingung dengan batasannya. Tapi dengan pihak KPI sendiri kita sudah berdialog. Mereka kita undang untuk memberikan pengarahan. Menurut KPI pada prinsipnya pelaksanaannya UU itu akan dilaksanakan tidak secara kaku. Artinya akan dinilai lagi case by case, dan tentu masih ada tingkat toleransinya. Jadi tidak mementingkan ego masingmasing. Intinya kita ingin mencari titik
temu. Pasti ada jalan keluarnya. Menurut kami sendiri, selama itu masih bisa menjadi patokan, tentu tidak akan jadi masalah. Sebab pada prinsipnya dari TV7 sendiri tidak ada yang dikomplain oleh KPI. Karena program-program kita masih sopan. Tetapi tentu untuk penerapan sistem baru ini pasti ada kendalanya. Sejauh ini belum ada masalah yang aneh-aneh. Hanya saja ada satu hal, yaitu di setiap tayangan kita sebetulnya sudah ada parent guide; BO (Bimbingan Orangtua), SU (Semua Umur), atau DW (Dewasa). Kita tulis itu di sana kalau ada acara yang kita nilai riskan. Tapi pada praktiknya, zaman sekarang ini sering anak-anak dilengkapi dengan televisi, dimana mereka dapat menonton tanpa dibimbing orangtua. Maka, kita minta kerja sama dari para orang tua untuk mendampingi. Karena pada era globalisasi ini keterbukaan sulit dihindari, sehingga anak menjadi cepat dewasa dengan hanya menonton televisi. Pada dasarnya, kami siap menerima teguran dari KPI, karena itu merupakan konsekuensi. Karena toh kita tidak bisa membatalkan ini (KPI) kan? KPI tetap berjalan. Kita menginginkan yang terbaik, hanya saja perlu diperhatikan bagaimana penerapan sistemnya. Pertama, karena ini sistem baru dan kedua karena kita juga punya sistem di masing-masing stasiun televisi. Seperti di TV7 juga ada sensor internal, dimana sebelum tayangan keluar sudah ada editor yang melihat dan bisa dipotong. Tentu sudah penuh pertimbangan kalau memang ceritanya itu tetap dikeluarkan. Jangan sampai (kita memotong) adegan-adegan yang ternyata adalah key acara. Misalnya ketika ada adegan di tempat tidur, sebenarnya inti ceritanya memang di situ, karena mereka membicarakan alur jalannya cerita. Tentu tinggal kita lihat angle mana yang bisa kita potong tanpa harus mengurangi jalannya cerita. Karena di satu sisi, kita berusaha memberikan yang terbaik untuk pemirsa. Pemirsa akan marah kalau adegannya yang dipotong membuat alur ceritanya kurang jelas. Kita (TV7) ini kan berdiri untuk tujuan hiburan bagi pemirsa, dengan batasan-batasan yang diberikan salah satunya oleh KPI. Tentu tinggal kami yang memikirkan, meraciknya agar bisa memuaskan segala pihak. Dan kita
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
13
selalu melakukan double sensor. Henny Puspitasari (Humas MetroTV) Kita (stasiun-stasiun televisi) kemarin baru ketemu dipanggil oleh KPI. Kita diberikan penekanan bahwa aturanaturan atau tata terrib yang dibuat KPI akan dijalankan secara tegas mulai 1 Desember. Jadi pada saat itu kita maklum bahwa apa yang ada dalam buku putih (Pedoman Perilaku Penyiaran) itu mungkin harus kita dukung. Jadi Metro TV memandang KPI itu sebagai lembaga yang bermanfaat, khususnya melakukan kontrol media, tetapi bukan polisi. Kami melihat KPI juga akan mampu memberikan masukan-masukan yang positif. Metro TV khususnya menyadari bahwa apapun menyangkut “peringatan” atau masukan itu adalah positif. Dari beberapa catatan yang kita terima, walaupun Metro TV itu (komposisinya) 60% berita, dan 40% non berita, kita juga sudah mulai menayangkan film-film. Mungkin ini yang mesti diperhatikan Metro TV. Karena mungkin film-film ini berasal dari luar, maka kita harus mampu melakukan quality control yang ketat dalam penayangan film-film tersebut. Suau saat mungkin Metro TV akan bertanya ke KPI, tentang apa yang sebetulnya belum kita mengerti mengenai aturan dalam buku putih itu. Jenjang teguran-teguran yang dilakukan KPI, mulai dari teguran tertulis sampai penghentian acara, kami
melihatnya positif. Sebelum teguran tertulis biasanya lisan dulu. Maka kita bisa lihat apa sih yang dikeluhkan masya-rakat? Dan apakah itu valid? Apakah kita melanggar ketentuan dalam buku itu? Apakah yang dikeluhkan masyarakat memang sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam buku P3/SPS? Jadi kita lihat dulu ke sana. Sebab cara pandang pemirsa itu berbeda. Kita harus lihat kritik dan masukan tersebut. Kita harus cek secara langsung. Biasanya kita langsung cross check ke internal, dan kita harus bisa menjawab itu. Biar bagaimana pun, kita harus memberikan edukasi ke masyarakat apakah keluhan itu valid atau tidak. (Jika memang valid) kita akan menerimanya dengan lapang dada dan akan dilakukan perbaikan-perbaikan. Sebenarnya Metro TV tidak ada niat untuk melanggar atau menyalahi aturan yang sudah ada. Mungkin tanpa sadar selama 4 tahun ini kita melakukan halhal yang tidak diperbolehkan, tetapi sekarang mungkin Metro TV relatif aman. Kita juga punya suatu kesepakatan bahwa kita harus punya tenggang waktu dan jangan sampai terlalu drastis sekali (dalam penerapan aturan). Kita harap KPI juga mampu menjadi media monitoring yang efektif, dan mampu bekerja sama dengan semua pihak. Stasiun-stasiun televisi sendiri berada dibawah naungan ATVSI. Kita harap kerjasama antar lembaga ini (KPI,
14 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
ATVSI, dan televisi) bisa berjalan harmonis, saling memberi dukungan dan masukan satu sama lain. KPI juga betulbetul dapat memberikan penilaian secara obyektif dan tidak subyektif. Masukan dari masyarakat itu harus dicek juga, sehingga pada saat disampaikan ke stasiun televisi betul-betul akurat dan tepat. Meity Inaray (Humas TVRI) Keberadaan KPI, kami rasa diperlukan karena jadi ada yang mengawasi kita (stasiun televisi). Selama ini kami jalan sendiri-sendiri aja kan? Semua patokannya selalu rating saja, padahal rating itu tidak mewakili. TVRI sendiri akan siap kalau nanti mendapat teguran dari KPI. Kita bisa mengubah program kita. Ibarat pasar, televisi itu menyediakan kebutuhan masyarakat. Kalau ada suatu produk yang ternyata tidak diinginkan masyarakat, maka memang produk tersebut perlahan-lahan akan tidak diperlukan lagi oleh masyarakat. Begitu saja. Tahun 2005 ini kita akan menjadi TV publik, maka program kita jauh lebih mengarah pada keinginan publik. Kalau publik mayoritas menginginkan program yang lebih baik, maka itu jadi acuan kita. Harapan kita, KPI dapat dijadikan paket yang berkualitas untuk menjawab masalah-masalah masyarakat di Republik Indonesia ini.
Acara Televisi Itu … Di bawah ini adalah contoh-contoh mata acara yang perlu mendapat perhatian khusus pengelola stasiun televisi supaya lebih berhati-hati dalam penyajian materi siaran. No. Nama Stasiun Televisi
Nama Program dan Waktu Siaran
1 2 3 4 5 6 7 8
Sinetron Bawang Merah Bawang Putih (Selasa, 19.00) Sinetron Bidadari 3 (Minggu, 19.00) Film kartun sinchan (Minggu, 10.00) Film Indonesia “Depan Bisa Belakang Bisa” Sergap (Setiap hari, 12.30) Gelar Tinju Profesional Sabuk Emas RCTI (Selasa, 23.30) Sinetron Dara Manisku (Selasa,21.00) Sang Bintang (Jumat, 21.00)
RCTI
SCTV
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Indosiar
Anteve
20 21 22 23 24 25
Trans TV
Terlalu banyak adegan kekerasan dan berisi materi orang dewasa Sinetron ini lebih cocok untuk orang dewasa Kartun ini lebih cocok untuk dewasa Banyak adegan yang vulgar dan masuk kategori tayangan dewasa Tak jarang tampilan wajah tersangka termasuk korban di close up jelas. Siaran ini Siaran tinju domestic seharusnya di bawah pukul 22.00-03.00 Tayangan ini memiliki muatan materi untuk orang dewasa Sering menampilkan penyanyi dangdut dengan pakaian yang seksi, gerakannya pun tak kalah vulgar Nah Ini Dia (Minggu, 01.00) Tayangan ini mengumbar dan mengeksploitasi tubuh wanita berikut banyak adegan yang temanya tidak jauh dari hubungan seks Di Sini Ada Setan (Senin, 20.00) Tayangan bertema hantu ini tidak disajikan di bawah 22.00 Buser Siang (Setiap hari, 11.30) Sering menampilkan gambar korban dengan detail tanpa menyamarkannya. Derap Hukum (Senin, 21.30) Kerap menyajikan rekonstruksi yang digambarkan secara detail Maria Cinta Yang Hilang (Senin, 13.00) Sinetron ini berisi cerita untuk orang dewasa Sinetron MP2 (Jumat, 20.00) Sinetron ini hanya boleh disiarkan pukul 22.00-03.00 Patroli (Senin s/d Sabtu, 11.30) Sering tidak menyamarkan wajah dan idenstitas tersangka, gambar close up korban terluka. Gelar Tinju Profesional (Kamis, 00.00) Siaran ini harus ditayangkan sebelum pukul 22.00 Sinetron Warkop (Senin, 13.00) Sinetron ini sering menampilkan wanita berpakaian minim Cakrawala (Setiap hari, 17.00) Sering memuat gambar close up wajah dan keadaan korban secara detail Sidik Jari (Minggu, 17.00) Acara ini sering menyajikan gambar korban secara jelas dan tidak disamarkan Fakta (Senin, 21.00) Banyak adegan rekonstruksi Sinetron Ratu Malu dan Jenderal Kancil (Sabtu, 17.30) Materi siaran ini hanya khusus untuk orang dewasa DRTV (Rabu, 09.30) Sering mempromosikan produk yang ditujukan untuk orang dewasa. Seperti alat untuk memperbesar payudara. Seharusnya acara ini untuk dewasa. Dunia Lain (Selasa, Kamis, Sabtu, 21.00) Tayangan supranatural ini hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 Lacak (Senin dan Kamis, 22.00) Sering menggambarkan rekonstruksi pembunuhan secara rinci Bajaj Bajuri (Senin-Jumat, 18.30) & (Sabtu-Minggu, 19.00) Tayangan komedi ini sering melontarkan adegan dan kata-kata yang menjurus ke arah seks Brutal (Setiap hari, 13.00) Acara ini kadang menayangkan gambar korban dengan jelas dan detail Pemburu Hantu (Jumat, 21.00) Tayangan supranatural hanya boleh disiarkan pukul 22.00-03.00 Bioskop Malam (Jumat 02.00) Banyak adegan yang kurang disensor Ketok Pintu (Selasa, 09.30) Tayangan ini adalah tayangan dewasa dan tidak pantas disaksikan anak-
26 Lativi 27 28 29 TV7 anak 30 31 32 33 Metro TV
TKP (Senin-Sabtu, 11.00) Ekspedisi Alam Gaib (Kamis, 12.30) Dunia Gemerlap (Dugem) (Jumat,20.00) Layar Lebar Mania (Jumat, 21.30)
34 35 36
Panasonic Cinema (Minggu, 20.05) Babi Ngepet (Senin, 19.30) In Dangdut (Kamis, 07.00)
37 38 39 40 41
TPI
TVRI Global TV
Materi Bermasalah
SIDIK (Seputar Informasi Dunia Kriminal (Senin, 11.00) Dangdut Pro (Rabu, 21.30) Delta (Minggu, 09.30) Room Raiders (Kamis, 14.00) Klip Video di MTV Non Stop Hits, MTV Brand New, MTV VH 1 Dance dll
Sering menampilkan wajah dan korban dengan jelas Tayangan supranatural ini hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 Sajian ini sering mengedepankan wanita dengan pakaian minim dan seksi Banyak adegan yang seharusnya tidak boleh disiarkan karena terlalu vulgar Acara film untuk dewasa ini harus disiarkan pada pukul 22.00-03.00 Tayangan yang menakutkan ini harus disiarkan pada pukul 22.00-03.00 Acara musik ini sering menyajikan tarian sensual dan mengeksploitasi tubuh wanita Identitas korban sering tidak disamarkan Acara ini sering menyorot penari latar yang seksi dan berpakaian minim. Klip video harus disensor lagi, banyak adegan vulgar Acara ini adalah tayangan dewasa dan harus disiarkan pada pukul 22.0003.00 Beberapa adegan di klip video cukup vulgar dan harus lebih ketat lagi sensornya.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
15
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Pasal-pasal yang berhubungan dengan kekerasan, pornografi dan mistik antara lain : Tentang Kekerasan Pasal 31 Sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkannya tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang dimiliki beragam kelompok khalayak tersebut. Pasal 32 Pembatasan Umum 1. Program atau promo program yang mengandung muatan kekerasan secara dominan, atau mengandung adegan kekerasan eksplisit dan vulgar, hanya dapat disiarkan pada jam tayang di mana anak-anak pada umumnya diperkirakan sudah idak menonton televisi, yakni pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkannya. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan yang dianggap di luar perikemanusiaan atau sadistis. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan. Pasal 33 Kekerasan, Kecelakaan, dan Bencana dalam Program Faktual Lembaga penyiaran harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dan pertimbangan tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan, kecelakaan, dan
16 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
bencana dalam program faktual harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. adegan kekerasan tidak boleh disajikan secara eksplisit; b. gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disorot secara close up, (big close up, medium close up, extreme close up); c. gambar penggunaan senjata tajam dan senjata api tidak boleh disorot secara close up, (big close up, medium close up, extreme close up); d. gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan; e. durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi; f. dalam siaran radio, penggambaran kondisi korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disiarkan secara rinci; g. saat-saat kematian tidak boleh disiarkan; h. adegan eksekusi hukuman mati tidak boleh disiarkan Pasal 34 Rekonstruksi Kejahatan 1. Adegan rekonstruksi kejahatan tidak boleh disiarkan secara rinci. 2. Adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan tidak boleh disiarkan. 3. Siaran rekonstruksi kejahatan harus memperoleh izin dari korban kejahatan atau pihak-pihak yang dapat dipandang sebagai wakil korban. 4. Siaran rekonstruksi yang memperlihatkan modus kejahatan secara rinci dilarang. 5. Adegan rekonstruksi yang memperlihatkan cara pembuatan alat-alat kejahatan tidak boleh disiarkan. Pasal 35 Kekerasan dalam Program Anak-anak Dalam program anak-anak, kekerasan tidak boleh tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan adalah hal lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelaku dan korbannya.
Pasal 36 Bahan Peledak Lembaga penyiaran dilarang menyajikan isi siaran yang memberikan gambaran eksplisit dan rinci tentang cara pembuatan bahan peledak. Pasal 37 Kekerasan terhadap Binatang Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mendorong atau mengajarkan tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap binatang. Pasal 38 Bunuh Diri 1. Penggambaran secara eksplisit dan rinci adegan bunuh diri dilarang. 2. Lembaga penyiaran harus menghindari tayangan program yang di dalamnya terkandung pesan bahwa bunuh diri adalah sebuah jalan keluar yang dibenarkan untuk mengakhiri hidup. Pasal 39 Kekerasan dalam Olahraga 1. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan secara langsung pertandingan tinju dalam negeri yang dilangsungkan di malam hari. 2. Program isi siaran yang berisikan tayangan permainan atau pertandingan yang didominasi kekerasan (misalnya gulat profesional) hanya dapat disiarkan pukul 22.0003.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.
didasarkan atas hasrat seksual dilarang. 2. Lembaga penyiaran diizinkan menyajikan adegan ciuman dalam konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di dalamnya mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan dan sungkem. Pasal 42 Hubungan Seks 1. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan aktivitas hubungan seks, atau diasosiasikan dengan aktivitas hubungan seks atau adegan yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks, baik secara eksplisit maupun implisit. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan percakapan atau adegan yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks. 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan hubungan seks antar hewan secara vulgar atau antara manusia dan hewan. 5. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat pembenaran bagi berlangsungnya hubungan seks di luar nikah. Pasal 43 Pemerkosaan/Pemaksaan Seksual 1. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual.
Tentang Seks Pasal 40 Lembaga penyiaran dalam menyiarkan materi yang mengandung muatan seks harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 yang disebutkan dalam keputusan ini. Pasal 41 Ciuman 1. Adegan ciuman atau mencium yang eksplisist dan
2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang isinya memuat pembenaran bagi terjadinya perkosaan atau yang menggambarkan perkosaan sebagai bukan kejahatan serius. Pasal 44 Eksploitasi Seks 1. Lembaga penyiaran menyiarkan lagu dan klip video berisikan lirik bermuatan seks, baik secara eksplisit maupun implisit.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
17
2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau memberi kesan hubungan seks. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program, adegan dan atau lirik yang dapat dipandang merendahkan perempuan menjadi sekedar obyek seks. 4. Lembaga penyiaran dilarang menampilkan tayangan yang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai obyek seks, termasuk di dalamnya adalah adegan yang mnampilkan anak-anak berpakaian minim, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual. Pasal 45 Masturbasi Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan berlangsungnya masturbasi dan atau materi siaran (misalnya suara) yang mengesankan berlangsungnya masturbasi. Pasal 46 Pembicarakan (Talk) Mengenai Seks 1. Program yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks dapat disiarkan pukul 22.00.03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan kecuali program pendidikan seks untuk remaja yang bertujuan membantu remaja memahami kesehatan reproduksi yang disampaikan secara santun, berhati-hati, dan ilmiah. 2. Program yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks harus disajikan dengan cara ilmiah dan santun. 3. Pembawa acara bertanggungjawab menjaga agar acara itu tidak menjadi ajang pembicaraan mesum. 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program asiaran di mana penyiar atau pembicara tamu atau penelpon berbicara tentang pengalaman seks secara eksplisit dan rinci. Pasal 47 Perilaku Seks Menyimpang 1. Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang membahas atau bertemakan berbagai perilaku seksual
18 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
menyimpang dalam masyarakat, seperti: a. hubungan seks antara orang dewasa dan anak-anak/ remaja di bawah umur; b. hubungan seks sesama anak-anak atau remaja di bawah umur; c. hubungan seks sedarah; d. hubungan manusia dengan hewan; e. hubungan seks yang menggunakan kekerasan; f. hubungan seks berkelompok; g. hubungan seks dengan alat-alat. 2. Dalam menyajikan program berisikan materi tentang perilaku seks menyimpang tersebut, lembaga penyiaran harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang mengandung pembenaran terhadap perilaku menyimpang tersebut. b. kecuali program berita, program yang mengandung muatan cerita atau pembahasan tentang perilaku seksual menyimpang hanya dapat ditayangkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. Pasal 48 Pekerja Seks Komersial Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program ayng memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial dengan ketentuan sebagai berikut: a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan mendorong agar pelacuran dapat diterima secara luas oleh masyarkat; b. dalam program faktual, wajah, dan identitas pekerja seks komersial harus disamarkan; c. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial hanya boleh ditayangkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. Pasal 49 Homoseksual/Lesbian Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang homoseksual dan lesbian, dengan ketentuan sebagai berikut: a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman yang dapat diterima oleh masyarakat;
b. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian hanya boleh ditayangkan pukul 22.0003.00 sesuai dengan waktu stasiun siaran yang menayangkan.
menggunakan narasumber yang mengaku memiliki kekuatan/kemampuan supranatural khusus atau kemampuan menyembuhkan penyakit dengan cara supranatural, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: a.
Pasal 50 Adegan Telanjang 1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyiarkan gambar manusia telanjang atau mengesankan telanjang, baik bergerak atau diam. 2. Tampilan/gambar manusia telanjang atau berkesan telanjang yang hadir dalam konteks budaya tertentu atau dibutuhkan dalam konteks berita tertentu, harus disamarkan. 3. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan mengambil gambar close up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin. 4. Penayangan benda seni misalnya patung, pahatan atau lukisan yang menampilkan gambar telanjang dapat diizinkan selama itu ditampilkan tidak untuk mengeksploitasi daya tarik seksual ketelanjangan itu sendiri.
bila tidak ada landasan fakta dan buki empirik, lembaga penyiaran menjelaskan hal tersebut kepada khalayak; b. lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada khalayak bahwa mengenai kekuatan/ kemampuan tersebut sebenarnya ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat. Pasal 58 Tayangan Supranatural dalam Program Non-Faktual 1. Lembaga penyiaran dapat menyajikan program fiksi (seperti drama, film, sinetron, komedi, dan kartun) yang menyajikan kekuatan atau makhluk supranatural selama dunia supranatural itu disajikan sebagai fantasi. 2. Program dan Promo program sebagaimana dimaksud Ayat (1) yang bersifat mengerikan dan dapat menimbulkan rasa takut dapat disiarkan pukul 22.0-03.00 sesuai dengan waktu penyiaran yang menayangkan.
Tentang Mistik Pasal 57 Tayangan Supranatural dalam Program Faktual 1. Program faktual yang bertemakan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual, magis, mistik, kontak dengan roh, hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan. 2. Kecuali yang disajikan dalam bentuk running text, promo acara tersebut juga hanya boleh disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai waktu stasiun yang menayangkan. 3. Dalam program faktual, tidak boleh ada upaya manipulasi dengan mengandung efek gambar atau suara untuk tujun mendramatisasi isi siaran sehingga bisa menimbulkan interpretasi yang salah misalnya manipulasi audio visual tambahan seakan ada makhluk halus tertangkap kamera. 4. Dalam menyiarkan program faktual yang
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
19
L Oleh: Ickhsanto Wahyudi
S
ETELAH berhasil menengahi kasus majalah Tempo dengan PT Toba Pulp Lestari, lembaga ini didatangi mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi yang mengadukan lima penerbitan media. Dua hari setelah pemilihan presiden putaran kedua Laksmana Sukardi, Menneg BUMN masa pemerintahan presiden Megawati berangkat ke Perth Australia guna mengobati anaknya yang sakit. Kepergiannya telah ia rencanakan setelah tertunda karena kesibukannya berkampanye. Kepergian yang sebenarnya biasabiasa saja. Entah bagaimana bisa timbul rumor kalau Laksamana melarikan diri. Unjuk rasa bermunculan oleh kelompok yang mengklaim sebagai perwakilan alumni Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Trisakti. Tak ketinggalan juga Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jabotabek dan Forum Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia. Pers yang menganggapnya memiliki news value pun mengangkat rumor tentang Laksmana ini dalam berita mereka. Dalam berita yang dilansir disebutkan bahwa Laksamana melarikan diri ke luar negeri dengan membawa 125 juta dolar Amerika ke Australia. Pemberitaan itu berbuah keributan, Laksamana beranggapan kelima media itu sengaja memfitnah karena kandungannya tendensius dan tidak pernah menkonfirmasikan pemberitaan mereka kepada dirinya. Selain itu berita kelima media itu ia anggap tidak mengikuti teknik serta prosedur jurnalistik yang benar. Kelima media itu adalah Majalah Trust, Harian Rakyat Merdeka, Harian Indopos, Harian Nusa, dan Harian Reporter. Tanpa buang waktu—didampingi pengacaranya Juniver Girsang—Laks, mendatangi pengurus Dewan Pers, Ichlasul Amal, RH Siregar, Hinca Panjaitan, Leo Batubara, dan Uni Z Lubis. Seperti diberitakan Suara Karya, Laksamana meminta Dewan Pers memeriksa dan mengambil keputusan
z
E
z
N
z
Sz A
Laksamana Melawan Lima Media Dewan Pers kembali menjadi mediator perseteruan antara penerbitan pers dan masyarakat pembaca. terhadap pers yang dilaporkannya. “Jika tidak, upaya hukum akan dilakukan di pengadilan,” ancam Laksamana. Menurut Laksamana, kedatangannya bertujuan meminta keadilan kepada Dewan Pers menyangkut berita yang menuduh dirinya telah melarikan diri. “Saya sengaja membawa kasus ini ke Dewan Pers sebelum menempuh jalur hukum, karena selain untuk menghormati kemerdekaan pers juga memberi kesempatan kalangan pers mengukur profesionalisme,” kata Laksamana kepada media yang dikutip Suara Karya. Dalam pemberitaan terkait, Majalah Trust edisi 52/II/ 27 September 3 Oktober 2004, halaman 76-77 memuat tulisan Laksamana Kenapa Harus Kabur, dan sampul berjudul Heboh Laksamana Kabur. Sedangkan Harian Nusa edisi Jumat 24 September 2004 No.341/X halaman 41, Laks Diisukan Kabur Ke Luar Negeri. Harian Reporter edisi 238/I/ 28 September 2004, Laks Pantas Ditangkap. Harian Rakyat Merdeka edisi Jumat, 24 September 2004, halaman 1, Dikhawatirkan Kabur Ke Luar Negeri, Jaksa Agung Diminta Mencekal Laksamana, sedangkan Harian Indopos edisi Selasa 28
20 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
September 2004, halaman 1, Laks Batalkan Jual BNI, dan Serikat Karyawan Telkom Minta SBY Cekal Laks. Melapor ke Dewan Pers, jelas Laksmana, adalah upaya pembelajaran dan pencerahan kepada publik untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan pers melalui Dewan Pers sebagaimana diamanatkan Undang Undang tentang Pers. Menurut pasal 5 ayat 1, pengaduan harus didasarkan pada keyakinan dan pemahaman pelapor, bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menanggapi laporan ini, Ketua
LENSA
Dewan Pers Ichlasul Amal mengatakan pihaknya akan berupaya agar masalah ini bisa didudukkan antara pelapor dengan lima media yang akan digugat. “Dewan Pers diberi waktu lima hari untuk melakukan pertemuan antara media yang digugat dengan kuasa hukum Laksamana. Bisa saja ke arah pengadilan jika tidak ada titik temu,” kata Ichlasul. Mengenai kasus ini anggota Dewan Pers yang lain, Leo Batubara, mengatakan pihak Dewan Pers menyambut upaya Laksamana Sukardi. ”Seharusnya jika dirugikan pemberitaan pers, pihak yang bersangkutan segera melapor ke Dewan Pers sehingga tidak langsung ke proses peradilan. Banyak kasus yang berlanjut ke proses peradilan, yang digunakan KUHP yang risikonya wartawan dapat masuk penjara,” ujarnya. Dewan Pers Memanggil Untuk memenuhi janjinya, tak lama setelah laporan Laksamana, Senin (11/10) Dewan Pers memanggil penanggungjawab lima media terkait yaitu Irwan Setiawan (Indopos) Bambang Aji (Majalah Trust) Bambang Hariawan (Harian Nusa) Posma Siahaan (Koran Reporter) dan Margiono (Rakyat Merdeka). Dewan Pers sebagai mediator mengadakan pertemuan tripartit dengan pihak-pihak yang terkait dengan pengaduan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Mengenai ganti rugi Rp 100 miliar yang diminta Laksamana Sukardi, Pers Leo Batubara mengatakan itu bukan urusan Dewan Pers. Sedangkan kepada Majalah Forum Keadilan ia mengatakan bahwa tindakan Laksmana melapor ke Dewan Pers adalah hal menggembirakan. Dewan Pers berkesempatan menguji profesionalitas pemberitaan dengan Undang-Undang Pers. Jika ditemukan kesalahan, kata Leo, sebagai media profesional mereka harus berani minta maaf. Namun demikian, ia menambahkan bahwa keputusan Dewan Pers tidak mengikat. Pembelaan Bambang Aji Setiadi, pemimpin
redaksi Majalah Trust, kepada Forum membenarkan medianya memuat berita tentang Laks. Tapi menurutnya semua ditulis sesuai dengan kode etik jurnalistik: berimbang, dan telah mengkonfirmasi keluarga Laks. Teguh Santoso dari Rakyat Merdeka kepada Media Indonesia mengatakan bahwa mereka telah memberikan hak jawab sehari setelah Laks kembali dari Luar Negeri. Ia juga mengaku tersinggung karena dituduh tidak profesional.. “Itu mengacu pada kebenaran opini yang dikandung. Semua informasi tidak wajib dibuktikan karena kami bukan orang hukum,” tegasnya. Sementara itu Posman Siahaan dari Harian Reporter menyatakan harian itu tidak berniat jahat atas pemberitan Laksmana. “Kami tidak berniat menjelek-jelekkan Laks karena sumbernya sudah jelas,” tutur Posman.. Vonis Akhirnya Jumat, 15 November 2004, Dewan Pers memberikan penilaian dan rekomendasi bahwa Majalah Trust, Harian Nusa, Harian Reporter, dan Indopos melanggar kode etik jurnalistik.. Sedangkan Harian Rakyat Merdeka tidak bersalah. Pelanggaran itu, menurut Dewan Pers melabrak Kode Etik Jurnalitsik Wartawan Indonesia (KEWI), butir ke3, bahwa “Wartawan Indonesia menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.”
Keempatnya juga dinilai melanggar kode etik butir ke 4 karena menggunakan sumber anonim atau tidak menggunakan sumber yang layak dipercaya. Khusus Indo Pos dinilai melakukan kesalahan jurnalistik dengan memuat kesimpulan sendiri dalam subjudul, “Korupsi Rp 2 Triliun.” Sebagai sanksi, empat media diminta memberikan kesempatan kepada Laksamana untuk memulihkan nama baiknya melalui hak jawab yang diikuti rasa penyesalan serta permintaan maaf kepada Laksamana serta pembaca. Penilaian yang disampaikan dalam sidang tripartit berlangsung terbuka untuk umum dan dihadiri perwakilan lima media Juniver Gersang pengacara Laksmana menyatakan menghargai putusan Dewan Pers. Keputusan akhir tetap di tangan Laksamana hasil dari penilaian dan rekomendasi Dewan Pers. Wibawa Dewan Pers Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran dalam kasus
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
21
LENSA
PUTUSAN DEWAN PERS ITU... Majalah Trust PENILAIAN Tidak menemukan niat jahat secara sengaja mencederai nama baik Laksamana. Melanggar KEWI butir 3, karena membuat kesimpulan sendiri, mencampurkan fakta dan opini, tidak berimbang, tidak melakukan penelitian yang cukup untuk memastikan kebenaran informasi. Melanggar KEWI butir 4 karena belum maksimal menggunakan nara sumber yang pantas dan layak dipercaya serta narasumber anonim.
Harian Nusa
Harian Reporter
Harian Indo Pos
Rakyat Merdeka
PENILAIAN Tidak menemukan niat jahat secara sengaja mencederai nama baik Laksamana. Melanggar KEWI butir 3, karena membuat kesimpulan sendiri, mencampurkan fakta dan opini, tidak berimbang, tidak melakukan penelitian yang cukup untuk memastikan kebenaran informasi. Melanggar KEWI butir 4 karena belum maksimal menggunakan nara sumber yang pantas dan layak dipercaya serta narasumber anonim.
PENILAIAN Tidak menemukan niat jahat secara sengaja mencederai nama baik Laksamana. Melanggar KEWI butir 3, karena membuat kesimpulan sendiri, mencampurkan fakta dan opini, tidak berimbang, tidak melakukan penelitian yang cukup untuk memastikan kebenaran informasi. Melanggar KEWI butir 4 karena belum maksimal menggunakan narasumber yang pantas dan layak dipercaya serta narasumber anonim.
PENILAIAN Tidak menemukan niat jahat secara sengaja mencederai nama baik Laksamana. Melanggar KEWI butir 3, kerena membuat kesimpulan dalam subjudul “Korupsi Rp 2 Triliun.”
PENILAIAN Pemberitaan Rakyat Merdeka sesuai dengan prinsip jurnalistik. Sumber: Dewan Pers
sengketa ini. Pertama, Dewan Pers mampu menjalankan perannya sebagai mediator pihak yang bertikai. Ini berarti Dewan Pers adalah lembaga yang berwibawa di mata para praktisi dan masyarakat meski sebenarnya keputusannya tak mengikat. Kemudian Dewan Pers bisa menjadi institusi yang diandalkan bagi gerakan antikriminalisasi pers. Tentu saja dengan asumsi bahwa keputusan Dewan Pers dihormati praktisi media itu sendiri. Persoalannya ada praktisi pers yang seperti dikatakan oleh Leo Batubara tidak mempedulikan keputusan Dewan Pers. Untuk kasus seperti ini Dewan Pers tak bisa berbuat apa-apa. Kedua, waktu penyelesaian kasus Laksamana yang hanya 8 hari meruapakan mekanisme yang murah
dan cepat. Bandingkan saja dengan penyelesaian kasus Tempo di pengadilan yang berbulan-bulan, bahkan dalam hitungan tahun. Tentu saja dengan asumsi bahwa sanksi yang ditetapkan Dewan Pers dipenuhi keempat media itu secara proporsional. Dalam kasus ini Laksmana juga menerima keputusan itu dan tidak melanjutkannya ke pengadilan. Ketiga, andai berakhir dengan baik, peristiwa ini akan menjadi preseden yang baik dan pembelajaran bagi kasus berikutnya. Dewan Pers sendiri mendapatkan berkah dari kasus ini. Kewibawaannya mendapat tempat. Sudah seharusnya kemudian Dewan Pers mengelola berkah kewibawaan ini dengan meningkatkan kinerjanya. Mungkin bukan sekedar
22 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
lembaga mediasi, namun juga monitoring dan educating. Meski demikian, Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah menyatakan kepada MWCC bahwa Dewan Pers bukanlah segala-galanya. “Masih ada saluran lain berupa hak jawab, pengadilan dan proses boikot,” jelasnya. Ia juga menambahkan di negara lain tugas Dewan Pers hanya mediasi, cuma di sini pembinaan terhadap kalangan media bisa dianggap sebagai “bonus.” Namun demikian, bagaimanapun juga sebagai lembaga yang berisi wiseman, kewibawaan adalah modal utama, harapan masyarakat pembaca dan pers akan peranannya tentu sangat besar. Selamat untuk Dewan Pers!
LENSA
LSF Menyongsong Zaman Baru Munculnya protes terhadap kinerja LSF berkaitan dengan film Buruan Cium Gue menjadi dorongan kuat bagi Lembaga Sendor Film (LSF) untuk melakukan pembenahan. Pasalnya kali ini LSF di sorot begitu luas oleh masyarakat. Momentum yang tepat bagi LSF untuk kembali menunjukkan eksistensinya yang telah lama terbenam Oleh: Ichsanto Wahyudi
L
SF eksis atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1994 sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No 8 1992 tentang Perfilman. Atas dasar peraturan tersebut dijelaskan dengan rinci tugas dari LSF. Namun nampaknya PP tahun 1994 tersebut harus banyak mengalami perbaikan mengingat pesatnya perkembangan zaman terutama penggunaan teknologi dalam industri perfilman. Juga karena telah bergesernya iklim sosial politik di Indonesia. Sebuah perubahan rasanya menjadi sebuah keharusan. Saat ini LSF sedang memproses perubahan baik dari sudut prosedur penyensoran maupun kriteria sensor yang digunakan. Johan Tjasmadi salah seorang anggota LSF dalam wawancaranya dengan MWCC menyatakan hasil perubahan ini akan disampaikan ke pemerintahan baru untuk disahkan dan diterapkan. Bicara tentang alasan perubahan ini, Johan menyebutkan perkembangan zaman terutama dalam kaitan tekno-logi yang semakin maju dan maraknya sinema elektronik (sinetron) sebagai faktor utama. Hal-hal lain seperti nilai budaya adalah faktor minor saja. T.B. Maulana anggota LSF lain menyatakan bahwa selama ini ada 45 orang anggota LSF. Mereka dikelom-
pokkan menjadi lima orang per tim untuk melakukan tugas penyensoran. Menurut peraturan, hasil penyensoran sah jika minimal disahkan minimal tiga orang anggota yang bisa hadir. Kemudian bila terjadi perbedaan pendapat mengenai materi penyensoran akan diselesaikan pada pleno anggota. Mengenai materi yang akan disensor, Maulana menyatakan diatur oleh pihak sekretariat. Dirinya hanya di sodori jadwal penyensoran biasanya 2 kali sebulan. Materi yang diajukan untuk disensor tertutup amplop. Sehingga dia tidak tahu apa yang harus disensor sebelum duduk di meja sensor. Prosedur seperti inilah yang akan di ubah oleh LSF, mengingat banyaknya pihak yang memper-
tanyakan kinerja LSF. Johan Tjasmadi sendiri menjelaskan perkembangan zaman juga turut menentukan, seperti munculnya sinetron yang memiliki sejumlah episode memaksa sensor tak bisa dilakukan perjudul seperti film layar lebar. Kondisi ini memaksa LSF harus melakukan sensor per episode. Sehingga bisa saja seminggu ada 40 antrian episode sinetron untuk disensor. Selain itu perlu juga diantisipasi pekembangan produksi sinema di daerah. Karena, jelasnya, akan sangat memberatkan bila sinetron produksi Papua harus disensor di Jakarta. Hal ini tentu membuka peluang dibentuknya lembaga sensor film tingkat daerah. Pembentukan LSF tingkat daerah ini memerlukan payung hukum dalam bentuk Undang-Undang karena tidak bisa diakomodasi oleh sekedar perubahan prosedur dan kriteria. Johan juga menyebut, kriteria penyensoran mesti diperketat. Sebagai contoh adegan ciuman yang saat ini dikenakan peraturan maksimal tiga detik. Hal ini mesti diperjelas kriterianya. Jenis ciuman yang seperti apa ? Tiga detik ciuman panas tentu berbeda dengan tiga detik ciuman sayang, menurutnya. Hal-hal ini, termasuk juga soal kekerasan akan menjadi bahan perubahan LSF kedepan. Johan juga meminta masukan dari masyarakat. Karena ia mengaku mungkin karena harus menyensor setiap hari, hati nurani anggota LSF menjadi tumpul. Seperti apa hasilnya, tampaknya kita masih harus menunggu. Yang jelas sebuah film berjudul “Virgin” yang telah lolos sensor kembali menuai protes dari masyarakat. Bahkan Pemda Sulawesi Selatan menggalang berbagai tokoh berpengaruh untuk menonton bersama film tersebut. Dan hasilnya, mereka berencana melarang peredaran film tersebut di daerahnya. Wah !
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
23
LENSA
Ini Dia Artis yang Pernah Menggugat Media
P
ENYANYI dangdut Rhoma Irama mengadukan Pemimpin Redaksi tabloid Bintang Milenea, Fathan Rangkuti, ke Polda Metro Jaya, Kamis, 23 Mei 2003, dengan tuduhan pencemaran
M
ERASA gerah dirinya diisyukan sedang selingkuh dengan berselingkuh dengan penyanyi dangdut dan pemain figuran sinetron bernama Iis Faradina, artis sinetron Tengku Firmansyah bersama dengan Istrinya Cindy Fatikasari mengadukan Tabloid Nyata dan koran Rakyat Merdeka ke Polda Metro jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik (8 Juni 2004).
nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan. Gugatan itu berawal saat tabloid hiburan itu pada edisi 187 tahun IV/ Mei 2003 memasang judul Rhoma Irama Kepergok Sekamar dengan Wanita Muda. Dalam berita itu diceritakan bahwa Raja Dangdut itu kepergok sekamar dengan Angel Lelga, artis sinetron, model lepas dan penyanyi. Angel juga adalah pemain sinetron seri Ibnu Sabil yang sedang dipro-duksi dan dibintangi oleh Rhoma. Menurutnya ada dua alasan menggugat tabloid itu, pertama kata “kepergok” merupakan fitnah, karena tabloid tersebut tidak memergoki apapun dan siapapun. Kedua, menyangkut soal kata “sekamar.” Kata itu menurutnya menjurus ke tempat tidur yang membentuk opini bahwa Rhoma berzina.
Kasus ini bermula saat kedua media itu memuat wawancara artis pendatang baru, Iis Faradina yang mengakui memiliki hubungan asmara dengan Tengku Firmasyah dan telah terterjalin selama lima bulan. Iis mengaku kerap menonton film di Planet Hollywood. Menurut Firman, dirinya pernah dimintai konfirmasi tapi oleh media lain. Artinya kedua media itu tidak pernah meminta konfirmasi kepadanya. Akibat pemberitaan itu Firman mengaku nama baik tercermar dan difitnah.
S
ARAH Azhari artis sinetron dan penyanyi mengadukan koran Halo Sayang dan Lampu Merah ke Polda Metro Jaya. Gugatan ini bermula pada 31 Maret 2003 Lampu Merah memuat gambar-gambar VCD porno saat dia kasting di studio Budi
24 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
Han dan Halo Sayang dalam headline-nya memuat kata-kata yang tidak senonoh “ “Wah joroknya, usai buang air kecil Sarah menyeka organ intimnya dengan baju casting.” Akibat pemberitaan itu, adik kandung artis Ayu Azhari menggugat kedua media itu tuduhan pencemaran nama baik.
P
EGGY Melati Sukma artis sinetron dan presenter berbagai acara TV mensomasi Tabloid X File sehubungan dengan pemberitaan yang berjudul “Bongkar Pasang Jilbab di Kalangan Artis” di muat pada edisi 146 15-21 November 2002. Di tabloid itu Peggy diceritakan gemar bongkar pasang jilbab, sehingga ia ibaratnya ‘malam kedelei pagi sudah jadi tempe.’Akibat pemberitaan itu Peggy merasa nama baiknya tercemarkan karena pemberitaan menurut Peggy telah menggiring opini publik bahwa dirinya telah melecehkan peraturan agama dan terkesan tidak kosekuen dalam memakai jilbab, padahal dirinya belum memutuskan memakai jilbab. (Afdal Makkuraga)
LENSA
Kala Pekerja Wartahiburan Berburu Para Pesohor Kemarahan Parto akhirnya tak terbendung. Ia mengambil sebatang senjata api EZ 83 kaliber 9 mm dari kantongnya. Diacungkan pistolnya ke atas. “Dor!” Letusan itu membuat para pekerja wartahiburan yang mengerumuninya terdiam. Terkejut, tapi juga ngeri. Oleh: Junarto Imam Prakoso dan Afdal Makkuraga Putra
P
ERISTIWA itu menjadi pembicaraan publik dan memunculkan kritik terhadap tindak-tanduk para pekerja wartahiburan (infotainment) selain aksi Parto sendiri yang berkesan emosional. Tindakan Parto boleh jadi berlebihan karena intimidatif dan bisa membahayakan orang di sekitarnya. Namun di sisi lain perilaku para pekerja wartahiburan yang mendesakdesak meskipun sudah dinafik baikbaik secara nyata juga melanggar etika jurnalistik. Wartawan profesional harusnya menghargai narasumber yang tak mau bersuara karena menjawab pertanyaan mereka sesungguhnya hak, bukan kewajiban. Ketika kedatangan Parto bersama istri keduanya-Dina Risti-ke Planet Hollywood Jakarta menarik sejumlah pekerja wartahiburan melontarkan beberapa pertanyaan, Parto sebenarnya tak berniat menanggapi karena saat itu ia merasa berposisi sebagai tamu (Kompas, 24/8). Para pekerja wartahiburan kemudian mengalihakan perhatian mereka kepada Dina Risti. Parto keberatan juga, dan meminta agar mereka tidak mendesak-desak istrinya karena bukan pesohor. Tapi Dina terus dikejar, didesak, sehingga ia gugup, panik, tertekan, dan menangis. Para pekerja wartahiburan itu, menurut Parto, terus mengejar pendapat dina tentang poligami. Pada akhirnya, berlakulah tembakan ke udara itu. Persoalannya adalah apakah para pekerja wartahiburan adalah wartawan
sehingga mereka harus berlaku sebagai wartawan profesional? Pada kenyataannya, secara esensi praktik pekerja wartahiburan adalah wartawan. Mereka memburu peristiwa, mencatat atau merekam, dan melaporkannya kepada khalayak apakah melalui format cetakan ataupun gambar-suara. Lagipula, profesi wartawan memang tidak butuh izin praktik sebagaimana dokter atau pengacara. Hanya saja, para pekerja wartahiburan tidak bekerja di media massa, tetapi di rumah-rumah produksi. Mereka tak tergabung dalam pertubuhanpertubuhan pers nasional seperti : Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), atau Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Berbeda dengan media massa yang berpacu mempertunjukkan fakta yang paling aktual, landasan kerja rumah produksi mengikuti kultur
pertelevisian swasta yang berlomba mempertontonkan acara hiburan yang paling popular. Yang popular adalah gosip, desas-desus tentang kehidupan pribadi para pesohor karena mempunyai unsur manusiawi (human interest) yang tinggi. Acuan popularitas yang menjadi andalan pemilik rumah produksi adalah rating. Belum lagi para pekerja wartahiburan ini ditekan pemilik modal menjala informasi yang cenderung mencari-cari sensasi guna memenangi persaingan bisnis. Ironisnya, tayangan wartahiburan merupakan pilihan utama stasiun televisi guna menekan ongkos produksi siaran. Bahkan termasuk Metro TV yang menempatkan diri sebagai televisi berita (Agus Sopian, 2004). Sebab, satu slot tayangan wartahiburan jauh lebih murah ketimbang menghasilkan film sendiri ataupun mengimpor acara
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
25
LENSA
dari luar-selain lebih gampang mendatangkan iklan Perusahaan media massa yang terkelola dengan baik biasanya membekali para wartawan baru mereka dengan kemampuan teknis dan landasan etis sebelum melemparkan mereka ke lapangan. Ini yang tak pernah dialami para pekerja wartahiburan. Itulah sebab, para pekerja wartahiburan miskin nilai-nilai etis jurnalistik.. Artis senior Titik Puspa pernah mengeluhkan sepak terjang para pekerja wartahiburan itu. “Terus terang, belakangan ini sejak media wartahiburan menjamur, lagak wartawan grusa-grusu tidak karuan. Bahkan ada kalanya memasakan diri, padahal saat itu artis sebagai narasumber sedang dikejar waktu,” katanya kepada Pikiran Rakyat (29/8). Para pekerja wartahiburan yang tak terinternalisasikan nilai-nilai profesional jurnalisitik itu juga tidak bisa membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Seringkali mereka mendesak-desak artis untuk mengungkapkan masalah pribadinya seumpama perceraian, perselingkuhan, persengketaan keluarga, perkawinan dan sebagainya atas nama “masyarakat berhak tahu.” Bahkan tak jarang para pekerja wartahiburan menekan artis yang menolak berkomentar dengan argumen bahwa sang artis bisa terkena delik “menghalang-halangi kebebasan pers.” Yang terakhir ini pernah dituturkan Desy Ratnasari kepada anggota parlemen sambil berlinang air mata lantaran begitu marah dan tertekan.
Tentu saja tafsiran atas “masyarakat berhak tahu” atau delik “menghalanghalangi kebebasan pers” tidak seperti itu. Tafsiran itu hanya berlaku bagi fakta yang berkaitan dengan kepentingan publik secara luas, bukan wilayah pribadi. Adapun apakah wilayah pribadi boleh diungkapkan atau tidak, bergantung kepada izin pemilik wilayah pribadi itu sendiri. Misalnya pada kasus yang dituturkan Ilham Bintang. Pemilik rumah produksi yang menghasilkan beberapa tayangan wartahiburan ini mengutarakan bahwa justru ada artis yang minta wilayah pribadinya diliput. “Kemarin Willy Dozan menelepon. ‘Pak Ilham tolong saya diliput. Saya ingin rujuk lagi dengan istri saya. “Ini kan privasi sekali,” ujarnya kepada MWCC. Ia juga menambahkan contoh bahwa ada artis yang minta diliput karena istrinya baru melahirkan. “Wartahiburanlah yang mengangkat derajat artis setara dengan para petinggi negara,” tutur Ilham seraya menunjukkan fakta bahwa artis yang baru positif hamil saja sudah diliput. “Bahwa kemudian ada artis bermasalah diliput adalah konsekuensi logis wartahiburan sebagai informasi seputar para pesohor,” tambahnya. P r e m i s ‘wartahiburan mengangkat derajat artis’ ini biasanya dipakai para pekerja bidang ini sebagai tuntutan “balas jasa” agar para seniman menanggapi profesi
26 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
mereka dengan santun. Padahal yang terjadi adalah media massa modern mempercepat popularitas artis, bukan melulu men-ciptakan popularitas itu. Adakalanya demikian, tapi itu tidak mutlak. Pada Era Pencerahan di Eropa, sebagai contoh, popularitas seniman tercipta oleh ruang-ruang publik semacam kafe-kafe ataupun panggung-panggung sandiwara. Dengan kata lain justru berkebalikan dengan premis itu: disebabkan oleh keberadaan para artislah, maka pekerja wartahiburan itu mengemuka. Namun apa boleh buat. Pada masa kini kehadiran wartahiburan dan para pekerjanya adalah realita. Yang perlu adalah menyadarkan rumahrumah produksi agar menerapkan standar etis jurnalitik profesional sebagaimana layaknya media massa. Mekanisme pelurusan etis hendaknya juga diciptakan demi kenyamanan pribadi para pesohor maupun nama baik profesi pekerja wartahiburan itu sendiri. Oleh sebab itu, mereka juga membutuhkan organisasi profesi sebagaimana profesi lain. Ilham berharap, pada masa mendatang pertubuhan pekerja wartahiburan yang bakal dibentuk mampu memberikan pembelajaran etika jurnalistik kepada para anggotanya.
LENSA
Meredefinisi Peran Dewan Pers Pasca Orde Baru Arus demokratisasi yang melanda berbagai belahan dunia dengan deras, menguatkan pula arus proses demokratisasi terhadap pers. Wajar saja, mengingat pers merupakan inti dari sistem demokrasi. Pembangunan demokrasi lazimnya memang disertai dengan penguatan terhadap peran pers. Oleh: Afdal Makkuraga Putra
P
ENGUATAN peran pers itu, kerap ditafsirkan banyak pihak ditandai dengan diberikannya akses seluas-luasnya terhadap pers untuk mengumpulkan dan menyampaikan informasi. Pers seolah dinilai perlu memiliki akses tanpa batas terhadap informasi agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Pemikiran ini sendiri sebenarnya merupakan wujud dari pemikiran libertarian. Gagasan libertarian menganggap bahwa manusia adalah binatang rasional yang masing-masing memiliki tujuan-tujuannya sendiri. Berbeda dengan binatang pada umumnya, manusia diberi keistimewaan dengan kemampuan berpikirnya yang membuatnya mampu menentukan sendiri tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Gagasan libertarian sangat menekankan perlunya penghargaan terhadap manusia sebagai individu rasional dan berkepentingan. Karena itu, libertarian berpandangan bahwa tercapainya tujuan dan kepentingan individu orang per orang merupakan tujuan utama. Negara bertugas mencapai kepentingan-kepentingan individu ini. Kemakmuran dan kesejahteraan negara diukur dari sejauh mana negara mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi individu-individu warga masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan informasi, kalangan libertarian menganggap bahwa informasi merupakan hak warga masyarakat yang asasi. Anggota masyarakat membutuhkan informasi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya,
terutama dalam konteks berpartisipasi dalam pemerintahan sebagai warga negara. Untuk itu, setiap warga masyarakat harus diberikan akses seluasluasnya untuk memperoleh informasi. Pers, harus diberikan akses seluasluasnya pula untuk menyebarkan informasi. Pembatasan terhadap akses informasi, dipandang kalangan libertarian sebagai pengebirian hak asasi warga masyarakat sekaligus hambatan tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan publik. Namun, kebebasan pers tanpa batas versi libertarian itu, belakangan mendapat penentangan. Kalangan yang menentang terutama berpendapat bahwa pemberian akses informasi tanpa batas kepada pers menimbulkan ancaman terbentuknya otoritarian baru. Sikap otoriter yang tidak dilakukan oleh negara, seperti yang
selama ini dikhawatirkan kalangan libertarian, tetapi justru dilakukan oleh pers sendiri. Menurut kelompok ini, publik tidak sepenuhnya dapat mengambil manfaat dari kebebasan pers. Karena akses terhadap media tidak selamanya dapat dijangkau publik. Karena itu, perlu kiranya memberi konsep tambahan “tanggung jawab sosial” bagi aktivitas pers. Artinya pers, meskipun tetap diberi kebebasan, namun mesti diperlengkapi sistem yang menuntutnya untuk dapat mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada publik. Dalam kerangka berpikir ini, keberadaan Dewan Pers diletakkan. Sesuai dengan prinsip tanggung jawab sosial pers, maka Dewan Pers memiliki tanggung jawab utama berdiri sebagai wakil publik. Dewan Pers diharapkan berperan menjaga kepentingan publik dalam pemberitaan
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
27
LENSA
yang dibuat oleh pers. Dewan Pers juga menjadi saluran bagi publik yang tidak memiliki akses atas media untuk tetap dapat menyuarakan kepentingannya. Sebagai lembaga yang mewakili publik, Dewan Pers berdiri di belakang kepentingan publik untuk mengontrol jalannya kebebasan pers. Dewan Pers menyusun standar etika dan perilaku jurnalistik, dan melakukan pengontrolan terhadap dilaksanakannya standar tersebut oleh insan pers. Dewan Pers dengan segera memperingatkan dan menegur insan pers yang melanggar, sehingga ia kembali berjalan pada koridornya. Namun, dalam melakukan fungsi pengontrolan terhadap pers, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk memberi sanksi hukum. Sehingga hal ini memungkinkan Dewan Pers terhindar dari jebakan intervensi kekuasaan yang dapat merusak kebebasan pers. Dewan Pers hanya bekerja pada wilayah penegakan moral dan etika jurnalistik. Ini juga sekaligus berfungsi membangun budaya penghargaan dan kepatuhan pada nilai-nilai moral dan etika bagi insan pers Indonesia. Sekilas Dewan Pers Pasca Orde Baru Sebelum memasuki era reformasi di tahun 1998, pers Indonesia sebenarnya telah memiliki lembaga Dewan Pers. Namun lembaga ini tidak berfungsi optimal mengawal kebebasan pers. Bahkan lembaga ini hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengendalikan pers. Setelah jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, lembaga Dewan Pers baru dibentuk untuk mengakomodasi tuntutan perubahan yang bergulir deras. Tuntutan itu terutama adalah untuk menghadirkan institusi Dewan Pers yang independen. Serangkaian pertemuan diadakan oleh berbagai organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan yang difasiltasi oleh Badan Pekerja Dewan Pers, lembaga yang dibentuk atas prakarsa Dewan Pers lama. Serangkaian pertemuan ini lalu menghasilkan usulan nama-nama anggota Dewan Pers baru yang akan diajukan kepada Presiden. Kesembilan nama terpilih yang diajukan ini kemudian diterima oleh Presiden dan ditetapkan sebagai
anggota Dewan Pers yang baru. Terpilih sebagai Ketua Dewan Pers era reformasi untuk pertama kalinya ini, Atmakusumah Astraatmadja. Dewan Pers di era reformasi ini selama masa kepengurusannya telah menerima dan menyelesaikan sejumlah kasus pers. Tercatat pada periode April 2000-Januari 2004, kurang lebih ada 449 surat pengaduan yang tersebar dari 27 propinsi dengan melibatkan sedikitnya 209 perusahaan pers, baik dalam maupun luar negeri. Dewan Pers menerima dan menfasilitasi pengaduan-pengaduan itu baik secara langsung maupun melalui surat. Tantangan Realitas Setelah perjalanannya selama 4 tahun, Dewan Pers dirasakan masih belum sepenuhnya berfungsi optimal. Setidaknya hal ini terindikasi dari banyaknya sengketa pers yang ternyata tidak diselesaikan melalui Dewan Pers. Kita bisa menyebut beberapa kasus seperti penghinaan karikatur Akbar Tanjung, kasus penghinaan terhadap Megawati, juga sengketa antara Tempo dengan Tomy Winata. Kasus-kasus ini ditempuh melalui jalur hukum dengan menggunakan jerat KUHP. Padahal, penggunaan jerat KUHP yang menghasilkan hukuman pidana pada kasus pers dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif pada kebebasan pers. Rasa ketakutan dan kekhawatiran dibungkamnya kembali pers melalui pasal-pasal pidana KUHP seperti pada masa Orde Baru kembali muncul. Pertanyaannya kemudian mengapa peran Dewan Pers terlihat kurang menonjol dalam kasus-kasus ini? Mengapa pihak-pihak tersebut cenderung menempuh jalur pengadilan dibanding penyelesaian melalui Dewan Pers? Bukankah Dewan Pers dibentuk dan disiapkan untuk
28 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
menjadi lembaga yang menyelesaikan berbagai kasus sengketa pers dengan publik? Salah satu penyebabnya mungkin adalah kurangnya kesadaran pihak-pihak di luar pers untuk berkomitmen menggunakan mekanisme yang diatur oleh UU Pers dalam menyelesaikan sengketa dengan pers. Publik masih lebih mempercayai jalur pengadilan dapat lebih memberi jaminan keadilan bagi kasus yang mereka alami. Penyelesaian melalui mekanisme yang disediakan oleh UU pers seperti melalui Dewan Pers dianggap tidak akan cukup memuaskan. Syukurnya di tengah kurangnya kepercayaan publik tersebut, ada beberapa pihak yang bersedia menempuh penyelesaian kasusnya melalui jalur Dewan Pers. Yang terbaru misalnya kasus pencemaran nama baik terhadap Laksamana Sukardi. Dan hasilnya memang berpihak pada Laksamana, bahwa kelima media cetak yang menurunkan pemberitaan berkesan negatif terhadap dirinya harus meminta maaf dan membuat klarifikasi. Namun secara umum, dapatlah kita katakan bahwa langkah penyelesaian yang tempuh oleh Laksamana Sukardi ini belum cukup populer. Ketidakpopuleran Dewan Pers ini, jika kita dapat menyebutnya
LENSA
demikian, tentu tidak semata disebabkan kurangnya kesadaran publik. Kita juga perlu melihat sebabsebab lain yang ada pada lembaga Dewan Pers sendiri. Persoalanpersoalan ini, tentu saja juga bukan kesalahan pengurusnya semata, tapi juga memerlukan peran dan tanggung jawab berbagai pihak terkait. Beberapa persoalan Dewan Pers yang bisa diidentifikasi sebagai penyebab kurang optimalnya keberadaan lembaga ini antara lain: - Kinerja Dewan Pers yang kurang berjalan optimal. Beberapa kinerja Dewan Pers yang dianggap tidak berjalan optimal itu antara lain tidak berjalannya monitoring terhadap media dan hanya pasif menunggu pengaduan, kurangnya sosialisasi dan publikasi terhadap rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, juga peran dalam mensosialisasikan kode etik jurnalistik kepada kalangan pers. Dari berbagai fungsi yang kurang berjalan optimal itu, kurangnya sosialisasi dan publikasi rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pers kepada publik merupakan persoalan yang patut mendapat perhatian lebih. Karena kuat dan lemahnya publikasi rekomendasi Dewan Pers itu menentukan kekuatan pengaruh imbauan moralnya terhadap suatu kasus. - Minimnya Anggaran Kurang optimalnya fungsi dan kinerja Dewan Pers tidak lepas dari persoalan minimnya anggaran yang dimilikinya. Anggaran Dewan Pers diakui tidak cukup untuk menggaji secara profesional staf yang bertugas menjalankan tugas keseharian seperti monitoring media. Bahkan anggaran Dewan Pers tidak mencukupi untuk menggaji secara profesional anggotaanggotanya. Ini diakui menyebabkan sulit munculnya komitmen dari anggota-anggotanya untuk bekerja secara penuh waktu. Sehingga masing-masing memiliki aktivitas kesibukan di luar. Minimnya anggaran yang dimiliki oleh Dewan Pers tersebut, disebabkan sumber pendanaan yang dimilikinya pun tidak jelas. Dalam UU Pers, hanya disebutkan ketentuan
bahwa sumber pendanaan Dewan Pers berasal dari sumbangansumbangan organisasi wartawan, pers, dan bantuan negara yang tidak berssifat mengikat. Sehingga ketentuan ini sebenarnya tidak mengatur secara jelas siapa yang wajib membiayai Dewan Pers. Akibatnya Dewan Pers harus mencari sumber-sumber pendanaannya sendiri. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan Dewan Pers pada posisi yang sulit, bekerja menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak etik sekaligus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. - Mekanisme Seleksi Pengurus Penyebab lain dari kurang populernya Dewan Pers di mata publik, termasuk kalangan pers sendiri adalah mekanisme seleksi pengurus yang dianggap kurang berjalan secara transparan dan terbuka bagi publik. Diharapkan dengan proses seleksi yang terbuka dan aspiratif, anggota yang duduk di Dewan Pers dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga rekomendasi yang dikeluarkannya pun dihormati, ditaati, dan memiliki pengaruh di mata publik. - Kewenangan dalam Memberi Sanksi Lemahnya sanksi yang dapat diberikan Dewan Pers juga disebut sebagai salah satu penyebab tidak populernya Dewan Pers. Tanpa kewenangan untuk memberi sanksi hukum, dianggap sulit bagi Dewan Pers untuk memiliki pengaruh. Karena itu, sempat muncul isu amandemen terhadap UU Pers yang salah satunya hendak memberi kewenangan lebih besar bagi Dewan Pers. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak kalangan jurnalis, termasuk anggota Dewan Pers sendiri. Mereka berpendapat bahwa jika Dewan Pers diberi kewenangan untuk memberi sanksi hukum, maka ia akan digunakan oleh berbagai kepentingan politik untuk menekan pers. Karena itu, Dewan Pers dianggap tidak memerlukan kewenangan tersebut. Wilayah kerja Dewan Pers adalah pada etik jurnalistik, sehingga sanksi yang dapat diberikannya pun cukup dengan sanksi moral. Jika sistem telah berjalan dengan baik, rekomendasi
moral ini sudah cukup berpengaruh bagi opini publik. Beberapa Rekomendasi Akhirnya, menyikapi beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dewan Pers tersebut, penelitian ini mengajukan beberapa rekomendasi berikut: 1. Anggaran Kami merekomendasikan anggaran Dewan Pers diberikan oleh parlemen dari APBN. Dewan Pers harus dilepaskan dari beban mencari pendanaannya sendiri, karena hal ini akan menghambat kerja dan produktivitas Dewan Pers. Anggaran dari APBN, menandakan bahwa kedudukan Dewan Pers adalah lembaga negara independen. 2. Kinerja Dewan Pers Mengoptimalkan sosialisasi dan publikasi atas rekomendasi Dewan Pers kepada publik. Sosialisasi dan publikasi ini dapat dilakukan dengan membina kerja sama dengan pers. Jika diperlukan, mungkin penekanan kewajiban kepada pers untuk memberi publikasi atas putusan Dewan Pers dapat dilakukan. Dewan Pers juga perlu menyampaikan laporan rutin untuk menjelaskan aktivitas dan kasus-kasus yang ditanganinya kepada publik. Selain itu, Dewan Pers juga perlu memperluas akses bagi masyarakat yang hendak menyampaikan keluhan atau kritik terhadap media. Dewan Pers perlu memberi sosialisasi keberadaan Dewan Pers kepada publik, agar publik memiliki kesadaran untuk menyalurkan aspirasinya atas pers kepada Dewan Pers, sekaligus memperluas layanan penerimaan pengaduan publik. 3. Mekanisme Seleksi Kepengurusan Dewan Pers Seleksi terhadap kepengurusan Dewan Pers perlu dibuat lebih transparan dan terbuka bagi publik, dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada berbagai elemen masyarakat, pers, dan pengelola media. Hal ini diperlukan agar terbentuk kepengurusan Dewan Pers yang berwibawa dan diterima secara luas oleh publik.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
29
R
z
E
z
M
z
A
z
H
Ramadhan dan Televisi
P
ERUBAHAN tayangan di layar kaca pada bulan Ramadhan nampak begitu dramatis. Perubahan yang berlangsung rutin setiap tahun, dimana setiap stasiun televisi berbondong-bondong mempersiapkan acara dengan nuansa religius kental. Atas dasar kesadaran atau permintaan pasar? Dalam sebuah artikelnya Veven S Wardhana mengatakan bahwa Ramadhan telah merubah TV menjadi mushola. Pada bulan Ramadhan logika menjual kekerasan, horor dan seks tidak lagi dipakai. Acara TV menjadi penuh dengan muatan religius. Karena itu Veven menyimpulkan bahwa TV Indonesia adalah TV ‘dalam rangka’. Ya, dalam rangka Natal atau Tahun Baru misalnya. Kebetulan Ramadhan adalah salah satu ‘dalam rangka’ yang terpanjang. Tak terkecuali mengalami penyesuaian adalah produk, tema hingga penampilan pengisi acara pada setiap bulan Ramadhan. Tak salah kiranya pengamatan Veven, realitasnya masyarakat penonton memang menyaksikan polah artis kesayangannya pada bulan ini berbusana rapat menadahkan tangan memohon ampunan sambil bercucuran air mata. Sungguh mereka tampak sangat shalih. Jauh dari lakon glamor dan seksi yang biasanya ditampilkan. Realitas ini menunjukkan bahwa Ramadhan telah menjadi bagian dari industri. Namun fakta ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa pihak media memegang peranan penting dalam menentukan apa yang ditonton. Apapun yang diproduksi oleh pihak televisi segera menjadi konsumsi penonton. Persoalannya adalah apakah media telah secara kreatif berusaha menghasilkan acara bermutu dan memiliki nilai men-
didik bagi penontonnya ? Pada awal perkembangan ilmu ekonomi di abad indutri ada istilah supply create its own demand (penawaran menciptakan permintaannya sendiri). Kini istilah itu seperti menemukan relevansinya kembali karena permintaan semu terus terjadi seiring lahirnya produkproduk baru melalui bujukan iklan. Untuk konteks televisi, program acara sebenarnya bisa lebih dominan ditentukan oleh produsen sendiri ketimbang pemirsa. Sehingga persoalannya kemudian terletak pada man behind the gun. Apakah produsen tersebut mempunyai standar moral etik yang cukup kuat atau melulu dikendalikan pertimbangan bisnis semata.
Akhir kata, seperti petuah ulama di layar televisi yang mengajak penonton untuk menerapkan ketakwaan di bulan Ramadhan pada pada bulan berikutnya, kita juga mengharapkan agar stasiun televisi juga tidak cepat lupa dengan ‘taubatnya’ di bulan suci itu. Semoga! (Ickhsan Wahyudi)
Display Iklan Telanjang Di sebuah mal di wilayah Jakarta Utara, terpajang sebuah display iklan yang menampilkan keseluruhan tubuh wanita dalam keadaan telanjang. Hanya bagian paling vitalnya saja yang tidak terlihat karena pose diambil dari samping. Tidak hanya satu, ternyata gambar
“artistik tubuh wanita” juga menghiasi display-display iklan lainnya di mal tersebut. Hanya pose-posenya saja yang berbeda. Ada yang lebih mempertunjukkan bagian belakang tubuh wanita meliputi punggung dan (maaf) pantat, juga ada yang mempertunjukkan ‘keintiman’ dengan pasangan lawan jenisnya. Ternyata, ‘pemandangan artistik’ seperti ini juga tidak sulit ditemukan jika kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan lain di ibukota. Display iklan ini biasanya menghiasi produkproduk seperti parfum, kosmetik, produk jeans, juga pakaian dalam (tentu saja). Barangkali ‘foto-foto artistik’ itu bisa sampai ke penglihatan kita karena sang pembuat iklan dan pemasangnya beranggapan foto itu dibuat untuk kepentingan artistik dalam rangka memperkuat pesan iklan. Apalagi
REMAH
produk yang diiklankan umumnya memang membutuhkan pencitraan yang kuat dan abstrak (sehingga membutuhkan daya artistik tinggi untuk menciptakannya). Atau mungkin juga foto itu diproduksi oleh negara-negara Barat dengan budaya permisifisme yang memang tinggi. Apapun, yang jelas gambar itu telah sampai ke mata kita, masyarakat Indonesia. Masyarakat, yang asumsinya, masih memiliki budaya ketimuran yang menghargai normanorma etika kesantunan dalam berbusana. Nilai-nilai yang memberi penghargaan kepada wanita dengan melarang eksploitasi atas keindahan tubuhnya. Nilai yang juga memberi perlindungan terhadap anak-anak dan remaja dari fantasi-fantasi seksual secara liar. Karena itu, rasanya sudah sepantasnya jika kita mendorong upaya penertiban terhadap display-display iklan semacam ini. Secara hukum, KUHP pun sebenarnya mengatur persoalan ini dalam delik kesusilaan. Antara lain dalam pasal 282 yang menyebutkan ²Barangsiapa menyiarkan, memper-
tontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan……. dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan…². Secara jelas disebut
dalam pasal ini larangan untuk mempublikasikan, termasuk memajang display iklan, materi atau gambar yang melanggar nilai kesopanan. Kita tentu sepakat ketelanjangan hal yang bertentangan dengan nilai kesopanan bukan? (Wahyutama)
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
31
K
z
R
z
O
z
N
z
I
z
K
z
A
Aksi Massa Pendukung Megawati ke Metro TV Informasi perhitungan pemilihan presiden (pilpres) yang disuguhkan Metro TV diprotes massa pendukung Megawati. Tanggal 22 September lalu ratusan massa itu menggelar aksi unjuk rasa di kantor Metro TV, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka menuntut Metro TV agar mempublikasikan hasil pilpres tahap kedua dengan objektif. Selain itu mereka juga meminta tayangan Quick Count ditinjau kembali, sebab menurut mereka hasil Quick Count masih prematur. Berita yang dikutip Tempointeraktif.com menyebutkan, para pengunjuk rasa itu membawa spanduk yang isinya mengecam acara tersebut. Seperti kalimat ; “Apa Maumu Metro TV? Menayangkan Quick Count Yang Hasilnya Prematur”. Dan pada akhirnya perwakilan dari pendemo diterima baik oleh Metro TV.
Pemred Tempo akan Banding Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap Pemimpin Redaksi Majalah (Pemred) Tempo, Bambang Harymurti dan dua wartawan Tempo, yakni Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali menyisakan ketidakpuasan. Hal ini terlihat ketika Bambang dan Taufik mendaftarkan akta pernyataan banding ke PN Jakpus. Sementara Teuku Iskandar Ali tidak mendaftarkan banding karena menurut rencana akan langsung kasasi. Seperti yang di muat oleh Harian Media Indonesia (23/9) lalu, Bambang dan Taufik tiba di PN Jakpus sekitar pukul 12.00 WIB didampingi kuasa hukumnya Joko Prabowo Saibana dan Darwin Aritonang. Mereka diterima sekretaris panitera PN Jakpus, Biduman Sijabat. Bambang mengatakan upaya banding tersebut dilakukan karena ada unsur-unsur intervensi nonhukum. Dan Ia optimis akan menang di tingkat banding. Sedangkan Taufik menganggap putusan majelis hakim itu kurang adil. Menurut Taufik, kalau Ia diputus bebas seharusnya tidak ada pertimbangan hukum melakukan tindak pidana. Sebab apa yang dilaku-
kannya adalah perbuatan jurnalis. Kasus ini berawal dari tulisan di Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 dengan judul ‘Ada Tomy di Tenabang?’. Atas dasar itu majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap Bambang selama satu tahun penjara. Hakim Suripto mengatakan, “Sudah sewajarnya terdakwa bertanggungjawab atas pemberitaan tersebut,” ujarnya. Sedangkan dua wartawan Tempo, Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali dibebaskan dari hukuman, tetapi pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada atasannya.
Aksi KNPI ke Radar Sulteng Protes terhadap media massa terjadi kembali. Sekitar 100 orang dari DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Donggala bersama Aliansi Masyarakat Donggala (AMD) mendatangi kantor Harian Umum Radar Sulteng (26/10). Mereka memprotes pemberitaan soal dugaan korupsi DPRD Donggala. Dalam berita disebutkan KNPI menghalanghalangi pemeriksaan korupsi terhadap sejumlah anggota DPRD Donggala. Wakil Ketua KNPI Donggala, Surai Kumar dalam pernyataan sikapnya menyebutkan, pemberitaan Radar Sulteng mengenai kasus dugaan korupsi dana APBD di DPRD Donggala telah membuka opini di masyarakat Sulawesi Tengah khususnya kalangan pemuda bahwa KNPI buruk keberadaannya. Sementara itu Pemimpin Redaksi Radar Sulawesi Tengah, H Kamil Badrun AR mengatakan, pihaknya tidak pernah memiliki niat untuk menghakimi
kelompok tertentu dalam menyajikan beritanya. Ia pun menegaskan, Radar Sulteng tetap berpijak pada etika jurnalistik dan UU Pers. Keterangan yang diperoleh dari radarsulteng.com, aksi unjukrasa itu berakhir dengan damai. Pihak KNPI sendiri sepakat dengan Kamil bahwa proses hukum tersebut tetap berjalan apa adanya. Massa KNPI pun meninggalkan halaman kantor Radar Sulteng dengan menggunakan truk.
Wartawan TV7 Dipukul Oknum Dokter Sidang kasus penganiayaan wartawan TV7, Fredy Bangun yang dilakukan oleh seorang dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Daddy S.Carol masih terus berlanjut. Meski demikian, Ketua Etika dan Hukum Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dr. Rizal Chaidir mengatakan 16 Oktober lalu pihak TV7 dan pihaknya telah saling berdamai dan memaafkan. Menurut Koran Tempo (27/10), Fredy sendiri membenarkan telah melakukan pertemuan dengan TV7, namun ia tetap menganggap pertemuan itu hanya silaturahmi, tidak untuk menghentikan proses hukum. Peristiwa itu terjadi pada 19 Juli lalu, berawal ketika Fredy bersama sejumlah wartawan elektronik dan cetak akan mengambil gambar seorang korban penembakan salah sasaran oleh polisi yang dirawat di rumah sakit itu. Selesai meliput, rombongan pers ini dihadang dr. Deddy. Ketika dicegat, Fredy mengarahkan kameranya pada Deddy. Tanpa diduga, Deddy menepis kamera Fredy hingga terjatuh dan memancing keributan. Saat Fredy hendak mengambil kameranya, Deddy justru memukulnya. Kejadian ini diprotes berbagai organisasi kewartawanan, diantaranya sejumlah wartawan yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Bandung yang sempat menggelar unjuk rasa di RS Hasan Sadikin Bandung 21 Juli lalu.
Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik Ibnu Hamad, pakar komunikasi, pernah menyampaikan bahwa sejatinya media massa adalah instrumen yang penting dalam pengembangan demokrasi.
M
ENGUTIP Brian McNair, Ibnu menyampaikan bahwa media massa harus menginformasikan (inform) -dalam pengertian surveilence (pengawasan) - apa yang terjadi di sekitar masyarakat. Media massa harus mendidik (educate) mengenai makna dan manfaat fakta-fakta (facts) dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta. Media massa harus menyediakan satu platform untuk publik mengenai wacana politik, memfasilitasi pembentukan opini publik, dan menyiapkan opini balikan dari mana pun datangnya. Juga memberikan publisitas tentang pemerintah dan instusi lainnya. Di sini media massa berperan sebagai “watchdog.” Terakhir fungsi media massa adalah melayani sebagai saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai pelbagai titik pandang politik. Dalam Undang-undang Pers.No 40 tahun 1999, fungsi-fungsi idealis ini sudah juga tercantumkan. Sebut saja pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan fungsi media massa sebagai penyedia informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Kemudian Pasal 6 ayat a sampai e yang sangat idealis, yang salah satunya menegakkan keadilan dan kebenaran. Namun persoalannya kemudian fungsi tersebut hanya bisa berlangsung sempurna dalam sistem demokrasi
Oleh: Ickhsan Wahyudi yang sempurna juga. Kenyataannya demokrasi tidak pernah berlangsung dalam pasar yang sempurna. Terlalu banyak kepentingan imoral bermain dalam demokrasi semisal politik uang, terutama dalam pelaksanaan pemilu. Dalam kehidupan politik, media massa mampu menciptakan opini publik. Pemberitaan tentang politik (aktor, partai politik dan peristiwa politik) senantiasa mengundang perhatian, tanggapan, dan bahkan tindakan politik. Hal ini disebabkan oleh strategis dan besarnya kemampuan media dalam mengkonstruksikan realitas politik. Maka tak heran setiap peristiwa politik selalu ada dalam pemberitaan media. Lalu mengapa dan bagaimana media mampu mengkonstruksikan realitas politik yang terjadi? Kemudian seperti apakah proses kerja media membangun pesan sehingga menimbulkan opini publik? Jawaban-jawaban tersebut tampaknya ada dalam buku karya Ibnu Hamad yang diterbitkan Granit. Dalam buku ini dipaparkan pendekatan yang disebut penulisnya sebagai “konstruksi realitas politik” dengan metode analisis wacana kritis (Critical Discourse Analitis). Sebuah metode yang diklaim penulisnya mampu menangkap apa yang tersirat dalam teks - tentunya dalam kaitan ini teks pemberitaan media. Ibnu dengan jelas memaparkan apa itu analisis wacana kritis dalam bab-bab awal bukunya ini. Pada bab berikutnya dengan metode tersebut, buku ini mencoba mengungkapkan realitas di balik pemberitaan kampanye pemilu 1999
pada sejumlah surat kabar nasional. Kemudian ia membahas proses media memilih fakta dan unsur bahasa serta penempatannya ketika membuat sebuah berita politik. Pilihan “sudut tembak” banyak bergantung kepada kebijakan redaksi media masingmasing. Dengan teori ini pula pada gilirannya kita juga bisa melihat “kandungan” (content) media termasuk pencitraan terhadap obyek berita (aktor, partai, peristiwa politik) dan orientasi pemberitaan yang di milikinya: ideologis, politis atau ekonomis. Penulis tampaknya berhasil menunjukkan bahwa di balik beritaberita politik yang dianalisis terdapat “muatan” yang berbeda antara satu koran dan koran lain sesuai dengan orientasi masing-masing. Dari wacana tentang partai politik yang dimuatnya - dengan strategi CDA- tertangkap konstruksi makna yang dibangun, pencitraan yang diberikan, pemihakan yang dilakukan, serta kepentingan yang diperjuangkan setiap koran. Walhasil, temuan riset dalam buku ini cenderung memperkuat tesis bahwa media massa dalam komunikasi politik cenderung menjadi agen politik ketimbang saluran politik. Mengapa demikian? Sebab, sesungguhnya media massa adalah lembaga ekonomi yang sangat kapitalistis dan dikuasai segelintir orang berduit. Menurut Ibu Hamad sendiri aspek-aspek idealisme media massa kita dalam UU No. 40/99 pada
RESENSI
pasal 6 - seperti memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, mengutamakan supremasi hukum, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran -barulah sebatas wacana, sedangkan dalam praktiknya UU ini cenderung melindungi kepengusahaan media. Kini bahkan dianggap media kurang memberikan sumbangan bagi proses democratic politik. Apa boleh dikata, kelompok yang mengidealisasikan media sebagai agen perubahan harus gigit jari. Rupanya kini bandul sedang bergoyang ke arah kapitalis media yang sedang memainkan hitam putihnya media. Bahkan dengan konotasi yang agak negatif Adorno (1991) menyatakan bahwa media telah bergerak menjadi agen culture industri (industri budaya). Dalam soal lip utan politik, sebagai contoh, kepentingan ekonomi media masih pula ditingkahi dengan sentimen politik. Ini lantaran media
massa Indonesia memiliki hubungan kesejarahan dengan partai-partai politik. Jangan pernah kita mengatakan bahwa keberpihakan terhadap sebuah partai politik yang berkembang pada tahun 1955-1959 dan 1966-1972 itu telah hilang sama sekali dari media massa Indonesia. Beberapa masih memperlihatkan sikap partisannya. Keberpihakan itu tidak diformalkan sebagai corong partai, melainkan disembunyikan secara sistematis dalam kemasan berita-berita politiknya, yang kalau kita tidak kritis membacanya bisa-bisa terkecoh seakan-akan berita itu obyektif, netral. Jadi dengan membaca buku Ibnu dengan analisa wacana kritisnya, pembaca di sarankan untuk tetap kritis dalam membaca berita di media massa. Fokus kajian buku ini tentang interaksi politik dan media, tetapi karena di sini dibicarakan dua hal sekaligus - yakni teori pengemasan
34 MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
pesan dan metode membongkar isi pesan - buku ini juga berguna bagi teoritikus, kritikus, pemerhati media, serta para praktisi yang banyak berhubungan dengan media, seperti petugas humas, praktisi periklanan, pemasaran, presenter, juru penerang, juru kampanye. Dengan demikian, setiap keluaran produk komunikasi seyogyanya dapat diperhitungkan dengah cermat agar memberikan perolehan secara signifikan, bukan sebaliknya: menjadi bumerang.
Judul buku : Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa - Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik Penulis : Ibnu Hamad Tebal buku : 243 + xix halaman, 17,6 x 25 cm. Penerbit : Granit ISBN : 979-461-495-5
KABAR DARI KEMANG
Presentasi Penelitian tentang Dewan Pers “Meredefinisi Peran Dewan Pers Pasca Orde Baru, Evaluasi terhadap Fungsi dan Kinerja Dewan Pers 1999-2003”, demikian judul penelitian yang telah dipresentasikan oleh Media Watch And Consumer Center (MWCC) The Habibie Center pada 11 November 2004 lalu. Acara tersebut juga menghadirkan Mantan Ketua Dewan Pers periode 2000-2003, Atmakusumah sebagai pembanding. Dalam laporan MWCC disebutkan, pada intinya Dewan Pers belum menjalankan fungsi monitoring terhadap media massa. Hanya pasif menunggu pengaduan, kurang mensosialisasikan rekomendasi yang dikeluarkan. Sementara Atmakusumah sendiri mengatakan, bahwa Dewan Pers itu bukan segala-galanya, melainkan hanya salah satu sarana penyelesaian sengketa publik dengan media massa. Ia juga menyayangkan bahwa masih banyak pihak yang membawa kasus sengketa dengan pers ke pengadilan.
Short Lecture : “Watching The Watchdog” Media Development Center The Habibie Center pada tanggal 4 November 2004 mengadakan short lecture bertajuk “Watching The Watchdog” yang dipresentasikan oleh Kalinga Seneviratne, BSc. M.A, peneliti media dari Macquaery University Sydney. Kuliah singkat ini menjelaskan fenomena keberadaan perusahaan media internasional yang kini menghegemoni dunia seperti CNN, CNBC, Viacom, Walt Disney dan sebagainya, serta konsekuensi-konsekuensi yang muncul. Dalam durasi kurang lebih 150 menit, dipaparkan seluk beluk media internasional mulai dari tumbuh dan berkembangnya, kepentingan bisnis yang ada dibelakangnya akibat cross ownership pemilik media dengan industri bisnis lain, serta contoh-contoh bentuk bias kepentingan media itu dalam liputan pemberitaan. Selain ceramah, ditampilkan juga cuplikan beberapa klip video dari contoh liputan pemberitaan salah satu media internasional mengenai perang Irak.
Menjadi Panitia HUT The Habibie Center The Habibie Center menyelenggarakan Hari Ulang Tahunnya yang ke lima pada 30 November 2004 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Dalam perayaan itu, THC menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu seminar seminar bertajuk; “Agenda Tata Kelola Pembangunan 2004-2009” dan penganugerahan “Habibie Award”. Acara penganugerahan “Habibie Award” dilakukan pada malam hari yang diadakan bersama dengan Gala Dinner. Dalam acara itu selain pemberian “Habibie Award” kepada beberapa tokoh masyarakat yang dinilai telah berjasa melakukan terobosan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga diserahkan beasiswa kepada 10 mahasiswa S3 dari berbagai bidang ilmu, serta pemberian hadiah kepada juara mengarang essei pendidikan untuk tingkat
Sekolah Menengah Umum (SMU) yang diadakan oleh The Habibie Center sebelumnya. Dalam acara tersebut MWCC turut berpartisipasi dalam kepanitiaan, termasuk juri dalam penilaian penulisan essei.
MEDIA WATCH & CONSUMER CENTER • Edisi 34/2004
35