Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup:
Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah
POLICY BRIEF
Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup: Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah ?
Otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 1999, yang sering disebut sebagai ‘the bigbang decentralization’, telah menjadi babak baru dalam proses pembangunan di Indonesia. Pemerintah daerah diharapkan dapat melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan serta mandiri dari sisi perencanaan, pelaksanaan, hingga aspek pendanaan. Namun, dinamika sosial politik daerah justru menghasilkan proses pembangunan yang tidak sesuai dengan ekspektasi awal, dimana pembangunan di daerah cenderung berorientasi jangka pendek serta dinilai belum berwawasan lingkungan. Masih banyak dijumpai praktek pembangunan yang bersifat sangat eksploitatif terutama terhadap sumber daya alam, yang mengakibatkan terjadinya depresiasi nilai lingkungan, yang sesungguhnya dapat merusak pencapaian ekonomi itu sendiri. Misalnya, biaya kesehatan dari polusi udara yang diperkirakan sekitar USD 5.5 miliar per tahun atau sekitar 1.3 persen dari PNB (Bank Dunia, 2009). Demi mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, perlu ada kebijakan di bidang fiskal yang dapat mendorong paradigma pembangunan yang memperhatikan isu kelestarian lingkungan ini dengan konsisten. Dalam konteks desentralisasi fiskal, instrumen transfer ke daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah komponen yang strategis. Di dalam instrumen DAK terdapat DAK bidang Lingkungan Hidup (DAK LH), yang merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam rangka membantu kegiatan pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup.
-1-
Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain sebagai upaya membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, dana perimbangan juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah (Usman, 2008). Dari ketiga instrumen di dalam dana perimbangan, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah instrumen yang dinilai cocok untuk menjadi motor upaya mendorong pembangunan berkelanjutan. Apalagi di instrumen DAK terdapat DAK bidang Lingkungan Hidup (DAK LH) yang merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam rangka membantu kegiatan pemerintah daerah di bidang lingkungan hidup yang merupakan salah satu urusan daerah. Pemerintah pusat dan DPR RI dalam hal ini memegang peranan penting untuk mewujudkan dorongan kepada pemerintah daerah melalui instrumen fiskal agar pembangunan ke depan berorientasi kepada pembangunan yang berkelanjutan. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
-2-
Tabel 1 dibawah ini menggambarkan jenis kegiatan yang didanai oleh DAK LH. Tabel 1: Kegiatan DAK LH 2014 1. Sarana Prasarana Pengendalian Pencemaran Lingkungan Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) UKM IPAL Komunal Unit pengolah sampah 3 R 2. Sarana Prasarana Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Taman Hijau dan Taman Kehati Mangrove dan vegetasi pantai/sungai Terumbu karang buatan (artificial reef) Biogas Pengumpul gas landfill di TPA 3.Sarana Prasarana Perlindungan Fungsi Lingkungan Sumur resapan dan Lubang resapan biopori Pengolah gulma dan pembuatan media tanam (bitumen) Pencegah longsor/turap Embung (kolam tampungan air) Penangkap endapan (sedimen trap) Penanaman pohon di area kritis
Pengalaman dan Kendala Pelaksanaan DAK LH Pada tahun 2005 DAK LH diluncurkan untuk pertama kalinya oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan anggaran Rp 112.5 milyar. Pada waktu itu diharapankan dananya akan memberikan insentif ke daerah untuk mendukung pembangunan keberlanjutan. Dananya disalurkan kepada 330 kota/kabupaten dan 30 Provinsi untuk mendukung kegiatan seperti peningkatan kualitas air permukaan termasuk menjaga kelestarian sumber-sumber air. Dana yang diterima masing-masing daerah bervarisasi antara Rp. 300 juta dan Rp. 1.7 milyar (Rukmantara, 2005). Sejak 2006 tujuan dari DAK-LH dipertajam, seiring dengan diterapkan Standard Pelayanan Minimal (SPM) dan dikembangkan kerangka hukum untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2013 tujuan dari DAK LH meliputi: 1) Mendorong pelaksanaan -3-
Standar Pelayanan Minimal1 bidang lingkungan hidup daerah; 2) Mendorong penguatan kapasitas kelembagaan/institusi pengelola lingkungan hidup di daerah, dengan prioritas meningkatkan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang difokuskan pada kegiatan pencegahan pencemaran lingkungan, 3) Menunjang percepatan penanganan masalah lingkungan hidup di daerah, dab; 4) Mendukung kegiatan yang terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Selama ini, penilaian tentang sejauh mana dana mencapai sasaran atau tidak difokuskan pada input, yaitu apakah dana telah habis digunakan atau tidak? Misalnya, ‘Laporan DAK LH 2012-2013’ terfokus pada jumlah dana yang terserap.2 Tidak ada pembahasan tentang dampak kegiatan DAK LH. Fokus pada input tampaknya menjadi masalah umum bagi dana DAK (Bappenas, 2011). Sebagaimana di gambarkan pada Tabel 2 di bawah ini, alokasi DAK LH ada kenaikan besar sejak 2006. Namun demikian jumlahnya masih kecil kalau dibandingkan dengan DAK secara umum dan sektor lain yang terima DAK. Pada anggaran 2006 DAK LH merupakan hanya 1% dari keseluruhan anggaran DAK yaitu, Rp 10 trilliun (Rukmantara, 2005). Pada tahun 2012 DAK LH naik menjadi Rp 479 milyar tapi ini merupakan hanya 1.8% dari anggaran DAK secara keseluruhannya, yaitu, Rp 26 trilyun (Kementerian Keuangan, 2012). Pada tahun 2012 sektor pendidikan adalah sektor penerima dana DAK terbesar, yaitu lebih dari Rp 10 trilyun atau 38.4 persen dari keseluruhan anggaran DAK (Kementerian Keuangan, 2012).
1
Ada 6 jenis pelayanan minimal yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kab/Kota yang meliputi, perlindungan sumber air, pencegahan pencemaran air, pemulihan pencemaran air pada sumber air, pencegahan pencemaran udara, pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan akibat sampah, serta pelayanan tindak lanjut laporan masyarakat akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. (http://www.menlh.go.id/klh-sosialisasikan-standar-pelayanan-minimal-bidang-lingkunganhidup) 2
Lihat, Edy Purwanto M. Bakri , 2013.
-4-
Tabel 2: Alokasi DAK LH 2006-2014 (Dalam Milyar Rupiah) TAHU N
JUMLAH
2006
333
112.875.000.000
-
2007
434
351.610.000.000
211,50
2008
434
351.610.000.000
0
2009
413
351.610.000.000
0
2010
420
351.610.000.000
0
2011
418
400.000.000.000
14
2012
442
479.730.000.000
20
2013
432
530.548.000.000
9,85
2014
NA
+ 548.000.000.000
+9,7
KAB/KOTA PENERIMA
JUMLAH ALOKASI (RUPIAH)
KENAIKAN (%)
(Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2013)
Jumlah dana DAK LH walaupun meningkat sejak 2006 tapi jika kita memeriksa alokasi dana, daerah yang memiliki komitmen untuk perlindungan lingkungan maupun daerah yang buruk dalam pengelolaan lingkungan sama-sama menerima dana yang besarnya juga tidak berbeda signifikan. Dengan demikian, tidak ada insentif dalam DAK LH untuk daerah-daerah yang mempunyai komitmen untuk melanjutkan program mereka. Sebaliknya tidak ada hukuman dalam DAK LH yang menghukum daerah-daerah dimana belum ada kemajuan dalam melindungi lingkungan hidup. Analisa ini diperkuat dengan jumlah dana yang dialokasikan per daerah. Dari Tabel 2 diatas, masingmasing daerah di tahun 2013 menerima sekitar Rp. 1.5 miliar. Tapi ada daerah tertentu dimana kebutuhan pasti jauh lebih besar, misalnya daerah pesisir dimana ancaman perubahan iklim sudah -5-
terlihat. Atau, daerah yang sudah berusaha untuk melestarikan lingkungan tetapi tidak diberikan insentif. Bisa dikatakan ada kesenjangan antara jumlah uang yang dialokasikan dan kebutuhan daerah (Dendi, Wibowo and Zulhanif, 2010). Juga perlu diingat tidak semua daerah mesti memperoleh DAK karena jumlah dana yang terbatas, dan di samping itu ada beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang sehat. Dengan upaya meratakan dana ke hampir semua daerah, penekanannya lebih pada fungsi ekualisasi fiskal daripada fungsi kekhususan (Bappenas, 2011. Lihat juga Dendi et al, 2010). Oleh karena itu, DAK LH lebih dianggap sebagai kegiatan rutin dan tidak lagi kegiatan untuk isu-isu spesifik (Bappenas, 2011). Masalah lain dalam alokasi DAK LH ini adalah bahwa masih banyak daerah yang setiap tahunnya tidak memanfaatkan DAK yang disalurkan pemerintah pusat, salah satu penyebab adalah kurangnya koordinasi dengan pejabat sebelumnya dan tidak mengetahui adanya penyaluran DAK oleh pemerintah pusat juga kurangnya pemahaman dalam menerapkan kebijakan pengelolaan DAK.3 Dari sudut pandang beberapa pemerintah daerah, masih belum ada ketertarikan untuk mengoptimalkan dana ini, baik karena nominal dananya yang menurut mereka tidak signifikan atau kurangnya pengetahuan mereka sendiri mengenai urgensi dana ini.
3
Contoh daerah yang tidak tersalurkan dana DAK LH di tahun 2012 lalu ada 17 daerah yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Panajam Paser Utara, Kabupaten Tana Tidung, dan Kabupaten Bogor yang hanya sampai pada Tahap I saja. Sementara beberapa daerah lainnya yang hanya mencapai tahap II antara lain, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Blitar, Kabupaten Samosir, Kabupaten Bukit Tinggi, dan Kabupaten Nunukan. Padahal di tahun sebelumnya daerah-daerah tersebut ada yang mencapai Tahap III.
-6-
Rekomendasi Kebijakan 1.
2.
3.
4.
5.
Untuk jangka pendek dan menengah, perlu dievaluasi kembali mengenai tujuan dari alokasi dana DAK LH ini sesuai dengan esensi dan kebutuhan terkait fungsi lingkungan hidup itu sendiri. Aspek kekhususan dari alokasi dana DAK ini juga patut menjadi perhatian, demi mempertajam prioritas dan meningkatkan efektivitas dari dana DAK ini. Selain itu evaluasi juga bisa dilakukan dengan menganalisis perbedaan kinerja antara pemerintah daerah yang menerima dan tidak menerima DAK LH / secara proporsi dana yang diterima. Perlu disusun kriteria alokasi teknis yang fokus dan spesifik untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Kriteria yang mengakomodasi pemberian insentif dan juga disinsentif fiskal bagi daerah dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini dapat diakomodasi dalam Undang-Undang APBN yang dibuat DPR bersama pemerintah tiap tahunnya. Pendekatan evaluasi input terhadap hasil pencapaian DAK LH perlu segara diganti dengan pendekatan evaluasi output dengan indikator yang relevan seperti SPM. Dengan demikian tujuan prioritas nasional akan tercapai dan dalam saat yang sama daerah dapat merasakan manfaat alokasi DAK LH. Berkaitan dengan nomor 3 diatas, agar output dari DAK LH dapat dievaluasi dan DAK-LH anggaran DAK LH perlu dirubah dari hanya satu tahun dan dijakakan multi-tahunan. Hal ini akan tidak hanya memberikan peluang untuk evaluasi dampak dari DAK LH tapi juga akan mendorong daerah agar lebih innovatif dan kreatif dalam rancang kegiatannya. Dalam rangka meningkatkan optimalisasi pemanfaatan DAK LH perlu mempertimbangan kebutuhan anggaran untuk non-fisik. Untuk itu, perlu ditinjau kembali PP 55/2005 Tentang Dana Perimbangan. -7-
6.
7.
Untuk jangka waktu yang lebih panjang, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai wacana sistem earmarking anggaran di APBN untuk mendukung fungsi inti dari pembangunan yang berkelanjutan/sesuai dengan strategi pembangunan nasional pro-lingkungan. Dalam aspek kelembagaan, harus ada sebuah unit kerja dalam kementerian yang mampu memonitor dampak DAK di daerah sekaligus menyerap masukan-masukan dari masyarakat sipil dan masyarakat umum, sehingga DAK tersebut bisa terus diperbarui baik mekanisme maupun substansinya.
-8-
2014 Perkumpulan Prakarsa Rawa Bambu 1 Blok A No 8E Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Telp. +62217811798 Email:
[email protected] -9-