Tinjauan Pustaka
ANALISIS KEBIJAKAN MANAJEMEN ROP
DAN PENINGKATAN MUTU LAYANAN PERINATAL Johanes Edy Siswantol, Sudarto Ronoatmojo', Ag. Soemantri3 lRSAB Harapan Kita, Jakarta, 2Departement Epidemiologi,
FKM-UI, 3pK Ut{Otp/RS Kariadi Semarang
ABSTRACT Retinopathy of prematuriQ \OP) is the main cause of visual impairment in premature infants. Increasing sur"vival of premature infants will increase population of infonts at high risk of ROP. In this era, improvement of neonatal care is not balanced with ophthalmolog,, services ihot ,r, occuring in all areas in Indonesia. Policy analysis in ROP mqnagement is very necessary and can be developed through a process of improvi"ng the quality of nZonatal services.
Keywords: ROP management
-
Neonatal Care.
LATAR BELAKANG
Bayi prematur dengan berat yang minimal
Salah satu target MDGs
(Millenium
Development Goals) 2015 adalah menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. AKB yang diharapkan adalah 23%o kelahiran hidup (KH).
AKB Indonesia adalah
35o/oo
I{LI,
sedangkan
angka kematian neonatal 20%o KH (SDKI 2000-2003 dan SUSENAS 1988-2000). Dalam
kurun waktu 10 tahun terjadi
penurunan
walaupun lambat menjadi 32%o dan l9%o (SDKI 1987 -2012).1 Peningkatan kesejahteraan sebenarnya bukan hanya ditekankan pada angka mortalitas dan morbiditas, namun adahal lain yang penting dan harus diperhatikan yakni kualitas hidup yang baik dalam keberhasilan
sekalipun dapat bertahan hidup. Contoh konkrit pelayanan neonatologi level III B RSAB Harapan Kita Jakarta pada tahun 2009 ini, pasien bayt prematur dengan umur kehamilan 26 minggu dan berat badan lahir (BBL) 529 gram telah berhasil diselamatkan.2 Bayi berisiko tinggi menderita retinopati
di tingkat
prematuritas ata:u gangguan pembentukan pembuluh darah retina. Semakin besar kemungkinan hidup risiko terjadinya ROP semakin besar jrga. Hal ini dapat berakibat kebutaan pada bayi. Kelalaian dalam pemantauan perkembangan terjadinya ROP
dapat mengakibatkan terjadinya
issue
medikolegal oleh dokter dalam perawatan bayi prematur (neonatologi).
pelayanan kesehatan.
Prematuritas berperan penting dalam hal mempengaruhi angka mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Di Indonesia angka kematian bayi prematur adalah 32,40 dari seluruh angka kematian neonatus yang merupakan 55,9Yo darr
kematian bayi (SKDI 2007).r Pada era ini terjadi kecenderungan penurunan angka tersebut sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi dalam bidang diagnosis intervensi antenatal. Johanes Edy Siswamto
dan
ANGKA KEJADIAN Di negara maju angka kejadian ROP meningkat seiring dengan peningkatan keberhasilan hidup pada bayi prematur. Pada studi kebutaan pada anak sekolah di pulau Jawa prevalens ROP diidentifikasi sebesar l,lo . Hal ini sesuai dengan studi sejenis lain di India (0.5%) dan China (I.9%), namun data tersebut sangat kontras sekali dengan angka kejadian di negaranegarayang sudah maju seperti Inggris (18%) and USA (8-19%). Rendahnya prevalensi
RSAB Harapan Kita
tersebut disebabkan oleh masih tingginya
Email :
[email protected]
kematian bayi prematur di area rural yang tidak
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
13
ANALISIS KEBIJAKAN MANAJEMEN ROP tersentuh dengan perawatan perinatal yang baik. Gambaran global epidemi kasus ROP tentunya akan merambat pula di negara-Legara dengan penghasilan menengah yang perawatan
perinatalnya berkembang semakin baik dari waktu ke waktu. Faktor risiko terjadi padaberat lahir bayi <1.500 gram dan atau umur kehamilan <32 minggu.
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA Diagnosis dilakukanpada saat bayi berumur 46 minggu pasca natal sesuai dengan tahapan
perkemb angan terjadinya ROP dengan menggunakan oftalmoskop indirek atau dengan
peralatan canggih seperti Retcam
II.
Bayi
adalah
dipantau tiap 1 atau 2 minggu sampai perkemb angan retinanya aman. Bila ROP terjadi, penanganan aktif dapat dilakukan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi karena
dengan terapi pembeku an bagranpinggir retina
Hal lain yang harus diperhatikan
oksigen yang berlebihan dapat merangsang pertumbuhan pembuluh darah yang abnormal. Indikasi pemberian oksigen harus dalam batas yafig aman dan dalam pengawasan pihak medis.5'6'7 Di Indonesia, data RSCM2004-2005 menunjukkan terdapatnya 26 0Z kasus ROP, 2007 (28%), 2008 (15%) pada bayi prematur y ang di lakukan pemeriksaan mata. D ata RS CM 2005-10 dari sumber yang lain berkisar 1l,9oA. Data RSAB Harapan Kita 2008 (32%), 2009 (31%), 2010 (29%) dan untuk tahun 20Ll (30%).
PERJALANAN PENYAKIT Perkembangan aktif bola mata dimulai sejak janin memasuki usia 4 minggu hingga minggu ke-40. Pada akhir masa kehamilan, mencapai ukuran setengah mata orang dewasa dan terus berkembang sampai umur 2 tahun. Pada kelahiran prematur perkembangan pembuluh darah retina terganggu dan akan terbentuk kernbali pada saat keadaan umum bayi membaik dan umuflmya akan berkembang
dengan fotokoagulaBi laser atat cryoterapi. Terapi ini dapat mengurangi resiko terjadinya pelepasan retina dan gangguan penglihatan. Jika hal ini terjadi akan dilakukan pembedahan untuk mengembalikan retina ke tempatnya. Dengan cara tni, angka kebutaan turun sampai 25 persen, walaupun tetap terjadi penurunan fungsi penglihatan. Tidak semua bayi prematur lahir dengan ROP. Sebagian besar ROP muncul pada stadium awal dan membaik spontan tanpa komplikasi. Hanya I drantara 10 bayi yang berkembang menjadi retinopati yang berat, tentunya hal ini memerlukan penan ganan yang cepat. Kelainan umunmya terjadi pada kedua mata dengan gradasi stadium yang bisa berbeda pada ke 2 mata. Kasus yang mengalami perbaikan spontan masih berpotensi terj adinya komplikasi dikemudian hari. Komplikasi tersebut berupa mata juling, mata malas, rabun jauh,
penyempitan lapang pandang
sampai terlepasny a rctina, y angbisa terj adi pada s aat 1 0
tahun kemudian. Pada bayi dengan kondisi demikian, pemeriksaan mata harus dilakukan
secara sempurna.
setiap 1 tahun seumur hiduPnYa.
Namun disi lain pembuluh darah bertumbuh secara abnormal yaitu ke dalam cairanjernih yang mengisi mata bagian belakang. Pembuluh
PENCEGAHAN
darah tidak memiliki j aringan penyokong sehingga sangat rapuh serta sering mengalami perdarahan ke dalam mata. Hal ini akan diikuti oleh pembentukan jaringan parut yang menarik retina dari lapisan bagian dalamnya ke arah pusat bola mata sehingga retina terlepas. Dapat
terjadi gangguan penglihatan
Angka kejadian retinopati
prematuritas
meningkat seiring dengan risiko rendahnya berat BBL (bayi baru lahir) dan pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada bayi-bayi tersebut. Oksigen yang berlebihan bisa merangsang pertumbuhan pembuluh datah
14
paling efektif
adalah
sampai terjadi
kebutaan total.
yafig abnormal.
Pencegahan yang
mencegah terjadinya kelahiran prematur. Jika bayi lahir prematur dan menderita gangguan pernapas an, maka dilakukan pemantauan ketat terhadap pemakaian oksigen untuk mencegah terlalu tingginya kadar oksigen dalam darah.
Analisis Kebij akan Peningkatan Pelayanan Perinatologi di Indonesia Banyak aspek perawatan bayi prematur yang masih kontroversial. Setiap institusi mengembangkan filosofi, gaya dan teknik masingmasing cara merawat bayi ini sesuai dengan kemajuan SDM dan fasilitas, khususnya untuk
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDIGINUS ' vol. 4 No. 4 oktober 2013
-
Januan 2014
berat badan bayi yang sangat rendah. Dalam bidang perinatologi telah dikenal sistem level perawatan mulai dari tingkat level I, level 2 darr
level
III
(UPIN
: unit
balik untuk perbaikan mutu
perawatan intensif
neonatus). Level perawatan tersebut ditunjang dengan sistem regionalisasi yaitu pusat perinatologi untuk rujukan ditentukan berdasarkan area terdekat yang mempunyai fas i litas p elay anan ke gawat- daruratan neonatu s yang sudah lengkap.
Sasaran lainnya adalahtenaga kesehatan di Rumah sakit Daerah terutama peningkatan kerjasama antara dokter obsgin dan dokter anak dalam PONEK (Penanganan Obstetri Neonatal Emer- gensi Komprehensifl. Yang harus dipantau adalah monitoring hasil pelatihan dan penerapannya di lapangan atas kesepakatan program yang sudah ditetapkan bersama dengan On the job training (OJT) terhadap semua tenaga terlatih yang sudah dibina.
Khusus dalam hal ROP, peningkatan standar pelayanan neonatus dan angka keberhasilan
hidupnya belum diimbangi
pelay anarr
ophtalmologi (mata) yang canggih. Hanya beberapa pusat saja yang mempunyai dokter
mata khusus pediatri
(paediatric
ophtalmologist) atau dokter mata subspesialis
retina dan alat deteksi canggih ROP
a
J.
seperti
halnya Retcam. Pada awal tahun 2009 melalui
Mangunkusumo/FKUl Jakarta, berkolaborasi dengan Departemen Keseh atan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, Indonesian Ophthalmologist Association and IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dibuatlah suatu pedoman untuk tatalaksana penanganan ROp secara nasional. Beberapa pusat perinatologi dan opthalmologi mengirimkan wakil dokter anak dan dokter mata untuk berdiskusi serta
4.
dengan
datang.
2.
yang lebih memadai. Rujukan yang disarankan adalah rujukan ibu hamil, bukan rujukan BBL. Hal tersebut merupakan usaha yang paling efektif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
dan gagasan
yang harus dapat dihindari
Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terutama dokter anak dan dokter mata yang memegang peranan penting dalam proses identifikasi bayi yang membutuhkan skrining dan terapi untuk ROP. Kemudian melakukan pelatihan yang bertujuan untuk menyeragamkan model pelayanan yang sama untuk setiap daerah dalam membangun mekanisme umpan
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Memanfaatkan secara lebih optimal jaringan rujukan pelayanan kesehatan yang telah terbentuk, mulai dari tingkat bidan desa sampai rumah sakit rujukan nasional. Pencegahan peningkatan kejadian ROP dapat dimulai dari lini terdepan. Kebijakan KEMENKES dengan menempatkan bidan desa sebagai tenaga kesehatan yang akan melakukan kontak pertama kali dengan BBL dapat dimanfaatkan untuk melakukan skrining terhadap bayi risiko tinggi (risti). Bidan dengan pemeriksaan antenatall (pra kehamilan) harus mengirimkan setiap ibu risti ke tempat rujukan dengan fasilitas
Langkah Tindakan Kebijakan Manajemen ROP Melalui Proses Peningkatan Mutu Layanan Neonatal
melakukan deteksi dini dan terapi untuk mencegah kebutaan di masa yang akan
pelayanan
kesehatan binaan
memberikan data dan masukan mengenai ROp.
mengenai proses mutu pelayanan bayi prematur di masa depan, ROP diusulkan sebagai salah satu indikator pelayanan kesehatan neonatal. WHO's Vision 2020 merencanakan ROP sebagai suafu penyakit
Menciptakan dan membangun network / jaringan pada pelayanan neonatal melalui
rumah sakit atau fasilitas
inisiasi pertemuan yang dilakukan oleh Departemen Oftalmologi, RSUPN Cipto
1. Mengkomunikasikan visi
\ayanan.
Pelatihan tersebut dapat berupa TOT (Training of the trainers) terutama untuk tenaga kesehatan di tingkat fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan.
5.
Peningkatan fasilitas pelayanan neonatal dalam bidang medis dan diagnostik mulai
dari rumah sakit umum daerah sampai tingkat rumah sakit rujukan. Dalam manajemen ROP, kewaspadaan untuk skrining dan terapi ROP harus ditingkatkan drantaru dokter anak dan dokter mata. Kriteria lokal untuk setiap populasi regional
dan unit neonatal diperlukan dalam menentukan pedoman skrining. Hal tersebut harus disesuaikan dengan fasilitas y ang ters e dia. Keberada an alat-alat c anggih
untuk deteksi dan skrining
ROP
(oftalmoskop indirek dan Retcam) harus dipertimbangkan oleh pengambil kebij akan agar dapat ditentukan besarnya problem
15
ANALISIS KEBIJAKAN MANAJEMEN ROP BBL dengan tingkat kesulitan khusus harus
dan masalah yang harus dipecahkan serta
pengambilan solusinya. Kemam-puan
ditingkatkan dengan pelatihan yang
dokter mata untuk memeriksa kondisi mata karena kebutuhan dokter mata sub spesialis
berkesinambungan
retina tidak dapat terpenuhi di seluruh daerah di tanah air tercinta ini. Belum lagi bila si bayi muncul dengan disertai komplikasi yang berat dan lanjut, pada kondisi ini dibutuhkan kerja keras dan
n data y alg didapat untuk perubahan dan pengembangan kemajuan, program mengko ordinasika
8.
6.
Dorongan terhadap munculnya desa SIAGA yang didukung oleh keterlibatan berbagai komponen serta elemen masyarakat
Peningkatan fasilitas penunj ang pelayanan neonatal
Dalam negara kepulauan yang begitu sangat sulit untuk menggapai program
sangatlah diperlukan terutama yang berkaitan dengan bidang kesehatan.
pelayanan neonatal yang baik dan terarah,
mengevakuasi kasus yang harus dirujuk memerlukan dukungan alat dan teknologi serta braya tinggi. It{eonatal transport
Memberikan penghargaan kepada perilaku yang mendukung mutu layanan kesehatan sangat diperlukan. Saat pendekatan kepada masyarakat gunakanlah peralatan budaya untuk mendukung keberhasilan program,
dengan kelengkapan fasilitasnya harus menanggulangi
dan
kegawatdaruratan kasus risiko tinggi. Alternatif yang praktis dan mudah seperti metode KMC (Kangaroo Mother Care) dalam mendukung keberhasilan program neonatal transport harus disebarluaskan melalui pelatihan yang berkesinambungan terutama pada pelaku-pelaku aktif di bidang pelay anan kesehatan neonatal. 7.
Membangun jalinan yang lebih
erat
diantara unsur pelayanan bayi risiko tinggi
(dokter obstetri dan dokter anak) dengan didukung oleh organisasi seminat (Peer Group) seperti IDAI dan POGI. Hal
tersebut terutama dilakukan
dalam menggalang unsur - unsur terkait dengan memanfaatkan pertemuan Audit Maternal Perinatal untuk membangun perubahan pelayanan perinatalyang lebih baik. Selain itu pertemuan dengan kelompok seminat seperti Perinasia yang melibatkan berbagai sektor diharapkan memberikan masukan dan dapat memeriksa kondisi mata
komunikasikan dengan
bahasa
masyarakat itu sendiri.
Dalam hal penanganan kasus kesehatan individu, orangtua harus diinformasikan
mengenai keadaan pasien
yang
sesungguhnya. Mereka hendaknya ikut dilibatkan dalam tanggung jawab keberhasilan pelay anan kesehatan.
9.
Organisasi dan manaj emen pelayanan
lintas
sektoral
ermas al ahan ters ebut.
diupayakan untuk
dan
Meningkatkan partisipasi masyarakat merupakan komponen penting Pada perubahan mutu layanan kesehatan.
dukungan dana yangbesar untuk mengatasi p
Partisipasi masyarakat
Kebijakan program tidak akan pernah lepas dan bebas dari politik serta nilai-nilai sosial. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah
menggunakan perilaku pimpinan untuk mempengaruhi proses perubahan mutu kesehatan kemudian memastikan dukungan individu-individu kunci dan kelompokkelompok yang memiliki kendali.
Dengan langkah langkah kebijakan tersebut diharapkan kasus seperti ROP dapat dihindari dari komplikasi berat yang akan membawa dampak terhadap perkemb angan individu, dampak psikologis bagi keluarga dan mutu dari generasi anak bangsa di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
SDKI (Survey Data Kesehatan Indonesia) 2012
2.
Data ROP RSAB Harapan Kita 2008-11
3.
R. S. Sitorus, M. S. Abidin, B. Lorenz, J.Prlhartono. Prevalence of ROP in Indonesia: results from School for the Blind studies in Java Island. Acta Medica Lituanica .2006. Volume 13 No. 3.P.204206.
16
U
NIVERSITAS PELITA HARAPAN
MEDIGINUS ' vol. 4 No. 4 oktober 2013
- Januari 2014
4.
R S Sitorus, M Sulaiman Abidin, Joedo Prihartono. Causes and temporal trends of childhood blindness in Indonesia: study at schools for the blind inJava. Br J Ophthalmol 2007;91:1109-1 I 13. doi: 10.1 136/bj o.2006.110445
5.
Graham E. Quinn, Clare Gilbert, Brian A. Darlow and Andrea Zin. Retinopathy of prematurity: an epidemic in the making. Chinese Medical Journal 2010;123(20):2929-Zg3i
6.
Gilbert C, Fielder A, Gordillo L, Quinn G, Semiglia R, Visintin P, et al. Characteristics of infants
with severe retinopathy of prematurity in countries with low, moderate, and high levels of development: implications for screening programs. Pediatrics 2005; 115: e518-e525.
7.
Gilbert C, Rahi J, Eckstein M, O'Sullivan J, Foster A. Retinopathy ofprematurity in middle-income countries. Lancet 1997;350 12-14
8.
Data ROP RS. Citomangunkususumo 2005-10
9.
Rita S Sitorus MD, PhD. Graham Quinn MD, MSCE, Brian Darlow, MD, Monte Mills, MD. Report
First Retinopathy of Prematurity Worksirop foi Indonesia. Organized by Department of Ophthalmology, Cipto Mangunkusumo (CM) Hospital, Faculty of Vt.di.ir. Giversity of Indonesia. Jakarta,Indonesia. In collaboration with Department of Child Health CM Hospital, Indonesia Ophthalmologist Association and Indonesian Pediatric Society Jakarta, Indonesia.
January 7 -9,2009
10. Ingele Casteels & Catherine Cassiman & Joachim Van Calster & Karel Allegaert. Educational paper of ROP. Eur J Pediatr (2012) 171887-893 DOI 10.1007/s00431-011 -t6IO-7. 11.
Mary Elizabeth Hartnett, M.D. and John S. Penn, Ph.D. Mechanisms and Management of Retinopathy 1f Prematurity. N Engl J Med. 2Ol2 December 27;367(26): ZS1S-ZSZ1. doi : 1 0. 1 05 6A{EJMral208I29 .
12. AFoster A and S Resnikoff S. The impact ofVisi on2020 on global blindness. Eye (2005) 1135 &2005 Nature Publishing Group All rights reserved OSSO-ZZZXIO|
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
lg,Il33-
17