STERILISASI UHT
DAN PENGEMASAN ASEPTIK Purwiyatno Hariyadi 1
'Kepala Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, dan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
MENJAMIN KEAMANAN DAN MELINDUNGI GIZI MINUMAN Kerusakan bahan pangan bisa dikelompokkan menjadi (i) kerusakan kimia, (ii) kerusakan fisik; dan yang paling utama adalah (iii) kerusakan biologi. Kerusakan mikrobiologi yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh pertumbuhan dan aktivitas mikroba; khususnya kapang, khamir, dan bakteri. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba yang tidak terkontrol akan menyebabkan kerusakan dan kebusukan bahan pangan. Pertumbuhan
Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keawetan Produk Pangan
55
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
dan aktivitas mikroba pada bahan pangan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu (i) faktor intinsik bahan pangan; meliputi ketersediaan zat gizi, ketersediaan air (aktivitas air; aw), nilai pH (keasaman), dan keberadaan senyawa antimikroba, kondisi sanitasi produk, dan (ii) faktor lingkungan, baik lingkungan di dalam maupun di luar kemasan pangan, meliputi suhu, oksigen, kelembaban, dan kebersihan (Gambar 1). Proses pengawetan pada dasarnya dilakukan dengan memperhatikan dan manipulasi faktor-faktor tersebut; untuk menghambat pertumbuhan atau menginaktivasi mikroba; sehingga diperoleh produk pangan dengan tingkat keamanan dan keawetan yang diinginkan. Dasar Pengolahan Pangan dengan Panas Pengolahan dengan panas - sering disebut sebagai proses panas (thermal process)- merupakan teknik pengolahan dan pengawetan pangan yang paling banyak diaplikasikan; baik di industri maupun di
Gambar 2. Kurva Kematian Mikroba karena Pemanasan
56
Sterilisasi
UHT
dan
Pengemasan Aseptik
rumah tangga. Tujuan utama proses panas adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dan/atau penyebab kerusakan bahan pangan; sehingga produk menjadi lebih awet dan aman. Apabila sejumlah mikroba dipanaskan pada suhu (T) konstan tertentu, sebagian mikroba akan mengalami kematian. Semakin lama pamanasan; semakin banyak mikroba yang mengalami kematian; sehingga jumlah mikroba yang bertahan hidup akan menurun secara logaritmis (Gambar 2). Setiap mikroba mempunyai sifat ketahanan panas pada suhu tertentu yang berbeda-beda. Hal ini dinyatakan dengan nilai D, yaitu waktu pemanasan pada suhu tertentu yang menyebabkan pengurangan jumlah mikroba sebesar 1 desimal, atau 1 siklus log. Jadi, nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu konstan tententu yang akan menyebabkan pengurangan populasi mikroba dari 10000 menjadi 1000; yang berarti memusnahkan 90% populasi; atau menurunkan jumlah bakteri sebanyak 1 siklus logaritma. Sebagai acuan, nilai D pada sterilisasi 250°F (121,11°C) dinyatakan sebagai nilai D0 (dibaca D-nol). Beberapa contoh nilai D0 bakteri dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai D digunakan sebagai basis perhitungan waktu proses di industri pangalengan pangan. Tabel 1.
Nilai D untuk Beberapa Jenis Bakteri Penyebab Kerusakan Makanan Kaleng*
Jenis bakteri
Jenis
kerusakan
A. Untuk produk pangan berasam rendah (pH >4.5) Termofilik: Bacillus stearothermofilus (FA 1518) 'flat sour' Clostridium thermosacharolyticum 'hard swell' Clostridium nigrificans 'sulfide spoilage' M e s o f i l i k : Clostridium botulinum, Tipe A + B 'putrid swell' Clostridium sporogenes B. Untuk produk asam (pH 4.0-5.0), penyebab kebusukan termofilik Bacillus coagulans (fac mesofilik)
Nilai D 0
4.0-5.0 menit 3.0-4.0 menit 2.0-3.0 menit 6-12 detik 6-90 detik 1-4 detik
*Stumbo, (1965)
57
Sterilisasi UHT dan Pengentasan Aseptik
Gambar 3. Pengaruh Perubahan Suhu Pemanasan terhadap Nilai D
Pengaruh Perubahan Suhu; Nilai Z Nilai D suatu mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu pemanasan, dimana semakin tinggi suhu pemanasan, maka nilai D akan semakin kecil. Secara empiris; hubungan nilai D akan menurun secara logaritmik dengan meningkatnya suhu pemanasan. Konstanta yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap perubahan nilai D dinyatakan dengan nilai Z (Gambar 3); yaitu perbedaan suhu pemanasan yang menyebabkan teijadinya perubahan nilai D sebesar 1 desimal (1 siklus log). Sebagai contoh, nilai Z bakteri Clostridium botulinum adalah 10°C, artinya dengan menaikkan suhu sebesar 10°C maka nilai D bakteri itu akan berkurang sebesar 90%-nya atau 1 siklus logaritma. Arti nilai D dan Z untuk proses panas dapat dilihat pada Gambar 4 . Bakteri A dan bakteri B sama-sama memiliki nilai DA,100 = DB,100 = 3 menit. Namun nilai ZA = 10°C
r
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
Gambar 4. Kurva Perubahan Nilai D sebagai Fungsi Suhu untuk Dua Bakteri (A dan B) dengan Nilai Z yang Berbeda
daripada bakteri B (DA,90 > D B , 9 0 ) ; dan pada suhu 110°C; kejadiannya menjadi terbalik; dimana bakteri B menjadi lebih tahan panas dari pada bakteri A(DB,110>DA,110). Fakta ini menunjukkan bahwa nilai D dan nilai Z merupakan 2 parameter kinetika inaktivasi mikroba yang penting dan keduanya harus diperhatikan dalam desain proses termal. Perhitungan Kecukupan Panas: Sterilisasi Komersial Proses panas secara komersial didisain untuk menginaktivasikan mikroba target -yaitu mirkoba penyebab penyakit (patogen) dan/atau menyebabkan kebusukan- sehingga risiko terhadap kebusukan dan kesehatan publik menjadi sangat rendah. Kecukupan panas -atau nilai proses panas (NPP)- dinyatakan sebagai pengurangan desimal populasi mikroba yang terjadi selama proses. Tergantung pada tingkat pemanasan yang dilakukan; NPP bisa berupa nilai sterilisasi (sterilization value; SV) atau pun nilai pasteurisasi (pasteurization value=PV). Dengan demikian; jika nilai jumlah awal mikroba adalah 107 dan jumlah 59
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
akhir mikroba menjadi 10; maka NPP=6; yang berarti telah terjadi pengurangan sebanyak 6 desimal populasi mikroba. Karena untuk melakukan pengurangan sebanyak 1 desimal (1 siklus log) diperlukan waktu sebesar 1 D (untuk suhu pemanasan konstan tertentu), maka lama proses yang diperlukan menghasilkan NPP=6 adalah 6D; dan karena itu proses demikian sering disebut sebagai proses 6D. Khusus untuk proses sterilisasi; waktu pemanasan pada suhu T tertentu yang diperlukan untuk mencapai nilai sterilisasi (S V) tertentu disebut sebagai nilai F (sering dinotasikan sebagai FT yang berarti waktu proses sterilisasi pada suhu T). Secara khusus; waktu proses pemanasan pada suhu 121.1°C atau 250°F yang diperlukan untuk mencapai nilai sterilisasi tertentu disebut sebagai nilai F0(dibaca F-nol). Nilai sterilitas ini perlu ditentukan sebelum proses sebagai target yang perlu dicapai. Seperti diilustrasikan pada Gambar 2; jika pemanasan pada suhu konstan tertentu dilakukan selama ID; maka akan mengurangi populasi mikroba sebesar 90% (tersisa 10%). Jika pemanasan dilakukan selama 2D; maka populasi mikroba akan berkurang sebesar 99% (tersisia 1%). Jadi, proses inaktivasi mikroba ini tidak akan mencapai N=0; tetapi hanyalah akan mendekati nol. Untuk itu; perlu disepakai suatu standar tentang apa yang disebut kondisi steril. Pada prakteknya, disepakai adalnya istilah steril komersial. Menurut standar Codex (WHO/FAO), steril komersial adalah kondisi bahan pangan dimana pada suhu penyimpanan normal tanpa refrigerasi tidak ada mikroba yang mampu tumbuh (CAC/RCP 401993 ). Oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS (US-FDA) dipersyaratkan bahwa proses pengolahan pangan dengan panas; khususnya untuk pangan berasam rendah, dikatakan mencapai kondisi steril komersial jika dia mencapai standar kinerja (performance standard) tertentu; yaitu berupa proses panas dengan Nilai Proses Panas (NPP)=12, dengan pemahaman bahwa produk pangan yang diproses mempunyai jumlah awal spora C. Botulinum £ 1000 spora per 60
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
kemasan. Konsep proses dengan NPP= 12 sering pula disebut sebagai proses dengan konsep 12 D. Apabila produk pangan mengandung 103 cfu/ml mikroba awal, maka setelah melewati proses 12D tersebut, maka peluang mikroba yang tersisa adalah 10-9 cfu/ml. Optimasi: Meminimalkan Pengaruh Panas pada Mutu dan Gizi Pangan Berdasarkan pada parameter kinetika perubahan selama proses panas; maka reaksi perubahan ini dapat dibagi menjadi 2 golongan (Reuter, 1993), yaitu (i) golongan I; adalah kelompok reaksi yang mempunyai nilai z rendah dan (ii) golongan II; yaitu reaksi yang mempunyai nilai z tinggi. Lund (1987) juga menyatakan bahwa umumnya laju kerusakan mutu produk pangan nilai z tinggi; sedangkan laju inaktivasi mikroba (baik sel vegetatif maupun spora) mempunyai nilai z yang lebih rendah (Tabel 2). Untuk reaksi golongan I; yaitu golongan reaksi dengan nilai nilai z rendah (8-22°F); kenaikan suhu akan menyebabkan penurunan nilai D yang lebih tajam (Gambar 5). Untuk reaksi golongan II; seperti kerusakan vitamin, kerusakan citarasa, dan perubahan kimia lainnya) yang mempunyai nilai z besar (44-80°F), kenaikan suhu akan menyebabkan perubahan nilai D yang lebih lambat; yang diilustrasikan dengan kemiringan yang lebih landai (Gambar 5). Tabel 2.
Penggolongan reaksi berdasarkan pada nilai Energi Aktivitasi (Ea) atau nilai Z Nilai Z(F0)*)
Komponen Spora Sel Vegetatif Vitamin Citarasa, tekstur,flavor *) Lund, 1987,
**)
12-22 8-12 44-55 45-80
Golongan **) 1 Golongan reaksi dengan nilai z rendah II Golongan reaksi dengan nilai z tinggi.
Berdasarakan kriteriapenggolongan oleh Reuter (1993)
61
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
Gambar 5. Plot Hubungan Antara Log D dan T untuk R e a k s i Golongan I dan Reaksi Golongan II
Gambar 5 memperlihatkan bahwa pemanasan pada suhu yang berbeda akan memberikan pengaruh pada reaksi golongan I dan golongan II secara berbeda pula. Jika pemanasan dilakukan pada suhu T3>T2, maka reaksi golongan I akan mempunyai D yang lebih kecil sehingga untuk mencapai tingkat reaksi tertentu (misalnya 12D) akan memerlukan waktu yang lebih pendek dari pada reaksi golongan II. Dengan kata lain; suhu yang lebih tinggi akan efektif mempercepat reaksi peruraian golongan I, tetapi secara relatif lebih melindungi untuk reaksi golongan II. Jadi, semakin tinggi suhu proses pemanasan maka akan semakin efektif untuk menginaktivasikan mikroba; tetapi memberikan efek perlindungan yang lebih terhadap degradasi mutu dan zat gizi. Sebaliknya, jika proses pemanasan dilakukan pada suhu yang lebih rendah maka degradasi mutu akan terjadi lebih cepat daripada reaksi inaktivasi mikroba.
62
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
HTST/UHT : Mengawetkan sekaligus Mempertahankan Gizi Dengan menggunakan informasi nilai D dan Z untuk berbagai zat gizi susu; maka pengaruh suhu pemanasan pada reaksi kerusakan gizi pada susu dapat diilustrasikan pada Gambar 6. Garis B adalah garis kombinasi suhu (T) dan waktu (t) yang akan mereduksi sebanyak 9 desimal (9D) populasi spora termofilik. Proses pengalengan pangan yang konvensional biasanya dilakukan pada pada suhu 110-121 °C. Jika proses pemanasan dilakukan pada titik X (lihat daerah berwarna merah; di bagian atas diagram), maka akan mereduksi spora termofilik sebanyak 9 desimal, namun akan pula menyebabkan kerusakan tiamin, lisin, protease dan perubahan wama (garis A adalah garis kombinasi Tt yang akan mulai menyebabkan perubahan warna).
Gambar 6.
Plot Hubungan antara Suhu dan Waktu Pemanasan dengan Target Reduksi 9 Desimal (9D) untuk Spora dan Berbagai Perubahan atau Kerusakan Komponen Gizi Susu (Modifikasi dari Bylund, G, 1995)
63
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
Jika suhu proses dinaikkan (dan waktu proses diturunkan) sehingga mencapai titik Y, maka target mereduksi 9 desimal spora termofilik tetap tercapai, namun bisa mencegah terjadinya perubahan warna dan sekaligus mencegah terjadinya 90% kerusakan protease. Jika suhu proses terus dinaikkan (dan waktu proses diturunkan) pada titik Z (di daerah berwarna biru), maka proses itu tetap mencapai target mereduksi 9 desimal spora termofilik, dan sekaligus mencegah kerusakan tiamin, lisin, protease dan pembahan warna. Inilah yang menjadi dasar optimasi proses panas. Sterilisasi pada kombinasi suhu tinggi dan waktu singkat akan mampu memberikan tingkat inaktivasi mikroba sesuai dengan target yang diinginkan; tetapi sekaligus melindungi zat gizi; sehingga hanya menyebabkan kerusakan mutu dan gizi yang minimum. Prinsip inilah yang kemudian melahirkan teknik-teknik UHT (Ultra High Temperature) atau HTST (High Temperature Short Time).
Kombinasi dengan Teknik Pengolahan Aseptik Praktek proses panas di industri dapat dilakukan dengan dua metoda, yaitu pemanasan dilakukan (i) setelah produk dikemas atau (ii) sebelum produk dikemas dalam wadah. Proses pengalengan pangan pada umumnya merupakan proses panas produk pangan dalam kemasaan, dimana produk dalam kaleng akan disterilisasikan dengan menggunakan ketel uap (retort). Proses pemanasan demikain berlangsung pada suhu 110-121 °C dalam waktu yang sangat lama. Tergantung pada jenis produk pangan dan ukuran kemasannya, proses pemanasan dengan retort bisa berlangsung dari 40-120 menit; atau bahkan lebih. Sebaliknya; proses panas HTST paling rendah dilakukan pada suhu 135-150°C selama sekitar 2-15 detik. Proses pamanasan pada suhu tinggi dalam waktu yang singkat ini bisa dilakukan dengan berkembangnya proses pengolahan aseptis (Gambar 7). Pada prakteknya proses aseptis ini banyak diaplikasikan untuk proses 64
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
pengolahan dan pengawetan produk pangan cair (seperti sari buah, telur cair, santan, susu), produk pangan cair yang mengadung partikulat (bubur kacang hijau dan sup), dan produk pangan semi padat. Pada dasarnya; proses pengolahan aseptis terdiri dari tiga (3) komponen utama yaitu (i) proses sterilisasi produk, (ii) proses sterilisasi bahan kemasan, dan (iii) proses sterilisasi zona aseptis; yaitu zona dimana proses pengisian dan penutupan secara aseptis dilakukan. Sterilisasi produk biasanya dilakukan dengan menggunakan alat penukar panas atau bahkan dengan pemanasan langsung; sehingga pemanasan bisa dilakukan pada suhu yang sangat tinggi dan waktu yang sangat singkat. Pemanasan demikian inilah yang sering disebut sebagai pemanasan ultra-high temperature atau beberapa literatur juga menyebutkan sebagai ultra-heat treatment yang dua-duanya sering disingkat sebagai UHT. Umumnya, UHT adalah proses pemanasan pada suhu tinggi (>135°C-150°C) tetapi pada waktu hanya
Gambar 7. Proses Pengolahan Aseptis
65
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
Kemasan Karton Tetra Pak Polietilen - melindungi dari kelembaban luar Kertas - memberi stabilitas dan kekuatan Polietilen - sebagai lapisan perekat Aluminium foil - melindungi dari oksigen, rasa, aroma dan cahaya A d h e s i v e Polymer - sebagai iapisan perekat Polietilen - sebagai sealing
sekitar 2-15 detik. Pemanasan demikian, mampu membunuh spora bakteri tahan panas sehingga tercapai kondisi sterilitas produk yang diinginkan dan sekaligus mampu meminimisasi tingkat kerusakan mutu (tektur, warna, citarasa dan flavor) dan zat gizi. Produk pangan yang populer diproduksi dengan teknik UHT antara lain adalah susu, sari buah, teh, sup, dan produk pangan cair lainnya.
Kelebihan Proses HTST/UHT Secara umum, proses HTST atau UHT mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan proses pemanasan biasa; terutama dalam hal memberikan (i) retensi vitamin yang lebih tinggi, (ii) kerusakan protein lebih rendah, (iii) pencoklatan lebih kecil, (iv) kerusakan ingriden lebih kecil (Tabel 3; Gambar 8). 66
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik Tabel 3.
Tingkat Kerusakan yang Terjadi pada Susu Steril dari Proses Sterilisasi UHT dan Sterilisasi Biasa dalam Botol *)
Zat Gizi
Tiamin Vitamin C Vitamin B12 Asam Folat Pyridoksin Denaturasi protein whey Vitamin D Biotin
Tingkat kerusakan setelah proses Sterilisasi UHT Sterilisasi biasa (dalam botol) 10 25 10 10 10 12-40 0 0
35 90 90 50 50 87 0 0
Fellows, P.J., 1988
Gambar 8. Perbandingan Kerusakan Berbagai Vitamin pada Susu Steril dengan Proses UHT dan Retort (Sharma, 2004)
Daftar Pustaka 1. 2.
B y l u n d , G. 1995. D a i r y P r o c e s s i n g H a n d b o o k . Tetra Pak P r o c e s s i n g Systems AB, Lund, Sweden Dairy processing handbook, 1995. Tetra Pak Processing Systems A B , S-221 86 Lund, S w e d e n
67
Sterilisasi UHT dan Pengemasan Aseptik
3.
Fellow, P.J. 1988. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis Horword, New York. 4. Hariyadi, P. 2006. Teknologi Aseptik. FOODREVIEW Indonesia, Vol 1/1. Hal 34-37. 5. Hariyadi, P. 2008. Canning Industry in Indonesia: need for safety assurance regulation and quality optimisation. Journal of Food Manufacturing Efficiency Vol 2(1), 2008. Pp 45-48 6. Hariyadi, P. 2009. Faktor Kritis pada Proses Aseptis. FOODREVIEW Indonesia, Vol IV/No 2. Hal 50-53. 7. Lund, D.B. 1987. The System and Its Elements. Di dalam "Principles of Aseptic Processing and Packaging" P.E. Nelson, J.V. Chambers, J.H. Rodriguez, Eds. The Food Processors Institute. Washington D.C. 8 Reuter, H. 1993. Fundamental of UHT and HTST Sterilization of foodstuffs. Di dalam "Aseptic Processing of Foods", H. Reuter, Ed. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster, Basel. 9. Sharma, R. 2004. UHT Milk and Aseptic Packaging. www.OzScientific.com. 10. Stumbo, R. 1965. Thermobacteriology.
68
Retno Asti Werdhani Saptawati Bardosono Rachmat Soegih Made Astawan Purwiyatno Hariyadi
susu
BERBAGAI SUMBER NUTRISI PERTUMBUHANANAK PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN IKATAN DOKTER INDONESIA
SUSU: Berbagai Sumber Nutrisi Pertumbuhan Anak” Oleh : Dr. Retno Asti Werdhani DR. Dr. Saptawati Bardosono, MSc Dr. Rachmat Soegih, SpGK, SpGM(K) Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Purwiyatno Hariyadi Editor : Dr. Meilania Saraswati Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Memperindah tata letak/rencana sampul: Mohamad Yusuf Gambar sampul: Tim Tetra Pak Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia Bekerjasama dengan PT. Tetra Pak Cetakan pertama : Maret 2010 Cetakan kedua : Desember 2010 Dilarang keras menterjemahkan, memfoto-copy, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 978-979-1209-14-4 Dicetak oleh: Yayasan Penerbitan IDI Isi di luar tanggungjawab percetakan