DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG
OLEH : DADAN SUHENDAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR. Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang mer esap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off). Pada kondisi yang kritis hal tersebut akan meyebabkan kekeringan (kekurangan air) pada musim kemarau dan menimbulkan banjir pada waktu musim hujan. Utuk mengurangi resiko tersebut perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, kolam resapan/danau buatan komunal pada kawasan perumahan.
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG
DADAN SUHENDAR
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu–ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang Dadan Suhendar P053020131 Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr . Ketua
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc . Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M,Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjut kan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang. Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ket ersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapa k Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun 2002 – 2005 dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Dadan Suhendar
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xiv
PENDAHULUAN …………………………………………………………………… Latar Belakang ………………………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………………………
1 1 8
TINJAUAN PUSTAKA ............................ ........................................................ Tata Guna Lahan .................................................................................... Teori Lokasi ..................................................................................... Teori Land Rent .............................................................................. Sumberdaya Air ……………………………………………………..........…. Daur Hidrologi ................................................................................ Presipitasi ....................................................................................... Evapotranspirasi ............................................................................. Infiltrasi .......................................................................................... Limpasan Permukaan ................................................................... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ......................
9 9 9 15 24 24 26 28 29 31 32
METODA PENELITIAN .................................................................................. Perubahan Penggunaan Lahan ................................................................ Analisis Hidrogeologi ................................................................................ Hidrologi .................................................................................................... Analisis Penentuan Harga Air ..................................................................
35 37 39 46 50
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................... Kondisi Fisik Kota Tangerang ................................................................. Kondisi Sosial ......................................................................................... Kondisi Ekonomi ..................................................................................... Kondisi Sarana dan Prasarana ...............................................................
52 52 59 65 69
PEMBAHASAN DAN HASIL .......................................................................... Perubahan Penggunaan Lahan .................................................................. Pola Perubahan Sumberdaya Air ................................................................. Neraca Air Wilayah Kota Tangerang........................................................ Kondisi Hidrogeologi ............................................................................... Kondisi DAS Cisadane ............................................................................ Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ............... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent ................ Kondisi Ekonomi Air …………………....…………………………………..
75 75 89 89 96 98 104 103 106
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... Kesimpulan .................................................................................................... Saran .............................................................................................................
123 123 125
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
126
LAMPIRAN ...................................................................................................
131
DAFTAR TABEL Tabel Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20
Nilai Koefisien Air Larian 25 Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan 33 Kelulusan .......................................................................................... 34 Nilai Tahanan Jenis Batuan .................... 49 ......................................... 51 Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota 52 Tangerang…………… Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 55 ………….…… Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun 2003 56 ................................. 57 PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998 – 64 2002 65 ................................................................................................. 78 PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998 – 79 2002 80 .................................................. ............................................... 82 Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 ................ 84 Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka 96 ...... Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun 2000 99 ............ 100 Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 109 ................ Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 .................. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda 1994-2003 .................. Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...................... Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar Baru Tangerang .............................................. Analisa Neraca Air DAS Cisadane ................................................... Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 ................................................. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang ..........................
DAFTAR GAMBAR Gambar Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37.
Siklus Hidrologi …………………………………………………………… Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik …… Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen ................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Burges ........................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt ............................................ Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda .... Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris ................................ Pembentukan Kota Inti Secara Berganda ......................................... Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air .............. ........................................... Diagram Alir Metode Penelitian ........................................................ Citra Satelit ........................................................................................ Foto Udara ........................................................................................ Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik .................................... Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan ............................................................................. Skema Alat Ukur Geolistrik ............................................................ Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan ........................................... Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang ...................................... Peta Lokasi Banjir .............................................................................. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang ................................................ Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang ......................................
5 6 9 10 11 11 13 14 16 27 28 29 29 31 34 35 35 43 44 46 47 48 49 50 51 53 53 62 63 66 66 69 72 75 76 76 79
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Peta Geologi Kota Tangerang ........................................................... Prosentase Jumlah Penduduk Tahun 2003 ...................................... Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003 ................. Grafik Kepadatan Penduduk Tahun 2003 ......................................... Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 ........... Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin ........... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 1959 ...................... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 2000 ...................... Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan ........................................... Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya ........................................................................... Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa ............................... Peta Sebaran Industri ....................................................................... Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ............................................................. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian ...................... Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off …………………………………. Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 – 2004 …… Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 …… Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 .............. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ..........
80 82 83 84 85 86 87 87 89 90 97 97 101 101 102 107 108 108 114
Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane ......................... Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik ................................ Perubahan Muka air Tanah Dangkal .............................................. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane …………………………………….. Grafik Surpl us dan Defisit Air DAS Cisadane ………………………. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun 19942000 Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM ................................. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk .......................................... Grafik Perkembangan Kebutuhan Air ................................................ Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB …………...
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Peta DAS Cisadane. ….………………………………….………… Peta Geologi DAS Cisadane. .….………………………………… Peta Jenis Tanah DAS Cisadane. .….………………………… Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane. .…...........................… Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane. .........................… Data Debit Bulanan Sungai Cisadane .............................................. Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane................................... Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik .............................. Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004 Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel ............................... Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 ………………… Data Pengambilan Air Permukaan Tahun 2004 ………………….. Data Permohonan Sumur Berdasarkan Ijin ...................................
131 132 133 134 135 136 143 144 149 150 152 153 154
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat. Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan. Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan mengakibatkan
adanya
pergeseran
kegiatan
ke
wilayah
penyangga
termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan kegiatan-kegiatan
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
perubahan
penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi Kota Tangerang. Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan ekonomi yang mem beri dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat.
Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah penduduk
dan
perkembangan
kegiatan
ekonomi.
Laju
pertumbuhan
penduduk dari tahun 1991 - 2003 mencapai 5,75% dan pertumbuhan ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjad i cenderung mengikuti teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi perdagangan atau jasa Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana
halnya
dengan
sumberdaya
air.
Pertambahan
laju
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.
Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada wilayah seluas 18.378 Ha membutuhkan air bersih sebesar 69.261.168 m3 (standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari). Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air.
Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila diinginkan
pertumbuhan
ekonomi
yang
memberi
dampak
terhadap
pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang berdekatan dengan kawasan perkotaan Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan
yang
sangat
pesat
khususnya
sektor
industri
dan
perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya. Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak, pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak terkendalikan. Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali tersebut,
akan
menyebabkan
terjadinya
ketidakseimbangan
daur
geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table) diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya yang berasal dari peresapan air hujan.
Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air. Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P) turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap (Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi dikenal adanya hukum “water balance” yang menerangkan siklus diatas, yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1).
P = RO + ET + F …………………………………………. dimana : P : RO : ET : F :
(1)
Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) Air Limpasan Permukaan (Run-Off) Evapotranspirasi (Evapotranspiration) Infiltrasi (Infiltration)
Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau) dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak dampak telah terjadi akibat pemakaian air bawah permukaan yang tidak
sesuai
dengan
kemampuan
akuifer
seperti
penurunan
tanah
(land
subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga
Presipitatio n EVPT RO
INF
(A)
PRECIPITATION
EVPT RO INF
(B) Sumber : Seyhan diterjemahkan olehSubagyo, 1990 Keterangan : (A) : Tampak Atas (B) : Tampak Samping
Gambar 1. Siklus Hidrologi
intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik.
Pertumbuhan
penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang menyebabkan
meningkatnya
kebutuhan
air
tanah,
sehingga
terjadi
eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2).
Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004 Atas : Kondisi Normal Bawah : Over pumping
Gambar 2. Efek Negatif Pengaturan SumberDaya Air Tanah Yang Tidak Baik
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan lahan dan ketersediaan sumberdaya air 2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola dan determinan perubahan tersebut. 3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air 4. Menganalisis
kaitan
antara
perubahan
penggunaan
lahan
dan
ketersediaan sumberdaya air. 5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari
perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan kaitan antar keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam
hal
ini
Pemerintah
Kota
Tangerang
didalam
pengendalian
penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air (water balance) dapat dipertahankan. Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah, agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah, sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air tanah yang masuk kedalam akifer (infiltrasi).
TINJAUAN PUSTAKA
Tata Guna Lahan
Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (So epardi, 1977). Lahan merupakan komoditi
ekonomi
yang
nilainya
terus
meningkat
karena
sifat
keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai -nilai ini, dimiliki oleh sumberdaya
lahan
apabila
ia
mempunyai
manfaat/potensi
untuk
menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan penguasaannya (Cahyono, 1982).
Teori Lokasi
Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran ( Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai. Land rent
Keterangan : Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah Xm : Tegalan Xn : Kebun K : Zona Permukman L : Zona Persawahan M : Zona Tegalan A,B,C,D : Nilai Land rent A’,B’,C’D’ jarak dari Pusat Kota
A A B
Xi
C
Xj
D Xm
Xn
Pusat Kota
A’ OK
B’
C’
D’
Jarak dari Pusat Kota
L M
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen
Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Bur ges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola
tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama, semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh, tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas. Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4. Komuter Perumahan menengah & atas Perumahan kelas rendah Transisi Industri CBD
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges
Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap
tempat
permukiman.
Pendekatan
sektor
menggambarkan
jaringan
transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5). Keterangan Gambar : 1.
Daerah Pusat Kegiatan (CBD)
2.
Zona Industri
3.
Zona Permukiman Kelas Rendah
4.
Zona Permukiman Kelas Menengah
5.
Zona Permukiman Kelas Tinggi
S umber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt
Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota. adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari beberapa pusat inti perkembangan dan bukan hanya sat u seperti halnya
menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan, perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini. Keterangan : (1) Pusat kota (2) Kawasan niaga (3) Kawasan rendah
tempat
tinggal
berkualitas
(4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah (5) Kawasan tinggi
tempat
tinggal
berkualitas
(6) Pusat industri berat (7) Pusat niaga/perbelanjaan dipinggiran
(Sumber: Daldjoeni, 1992)
lain
(8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri
Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda
Bila dilihat dari segi perkembangan kota, sebenamya ada tiga faktor utama yang sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu manusia, kegiatan manusia dan pola pergerakan antar pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat kegiatan manusia lainya. Menurut Sujarto (1989) ketiga faktor tersebut akan termanifestasikan pada perubahan akan tuntutan kebutuhan lahan. Faktor manusia yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut menyangkut perkembangan tenaga kerja, status sosial serta perkembangan kemampuan dan teknologi. Faktor kegiatan manusia meliputi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas, faktor pola pergerakan adalah akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan memacu pola hubungan antara pusat- pusat kegiatan tersebut.
Teori Alfred Weber Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input. Teori Land Rent Land Rent Lokasi dan sektor Ekonomi
Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7. Land Rent (R)
O
A P*
B P1
C D Lokasi Pusat
Jarak dari Lokasi Pusat(d)
E Land use
Land use B
Land use C
Land use D
Natural Land Cover
Sumber : Saefulhakim Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi.
Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan
sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi. Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut :
Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001 Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris
Keterangan : 1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian
Land Rent dan Pasar Lahan
Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap. Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente (rent). Menurut Barlow (1978),
nilai rente sumber daya lahan dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent ), sewa lahan (land rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966). Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal. Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut: rij =
pij Qij − cij X ij
(2)
Aij ∆tij
atau rij = p ij q ij − c ij xij (3)
di mana : Qij q ij = A ∆t ij ij
dan
X ij xij = A ∆t ij ij
Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut: rij
: nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan be rlokasi di i dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ha-1.tahun -1
p ij
: harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1
Qij
: total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton
cij
: harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1
Xij
: total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam kg
Aij
: luas areal bidang lahan di lo kasi i yang dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha
∆tij
: periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun
q ij
: rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha -1.tahun -1
xij
: rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan kg.ha-1.tahun -1 Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2)
pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh jarak dij, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak, rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut: rij = ( p j − t j ⋅ d ij ) ⋅ q ij − (c j + τ j ⋅ d ij ) ⋅ xij
(4)
di mana: pj
: harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1
cj
: harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1
d ij
: jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km
tj
: biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1.km-1
τj
: biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.kg-1.km-1 rij = ( p j − t j ⋅ d ij ) ⋅ q ij − (c j + τ j ⋅ d ij ) ⋅ xij
Karena p j ≥ 0 , t j ≥ 0 , c j ≥ 0 , τ j ≥ 0 , d ij ≥ 0 , q ij ≥ 0 , dan xij ≥ 0 , maka: ∂rij ∂p j
= q ij ≥ 0
Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar). ∂rij ∂t j
= − d ij ⋅ q ij ≤ 0
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk). ∂rij ∂c j
= − x ij ≤ 0
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi. ∂rij ∂τ j
= −d ij ⋅ x ij ≤ 0
Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input. ∂rij ∂ d ij
= − (t j q ij + τ j xij ) ≤ 0
Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar. ∂rij ∂ q ij
= p j − t j ⋅ d ij ≥ 0
Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output. ∂ rij ∂ xij
= − (c j + τ j ⋅ d ij ) ≤ 0
Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat).
Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan Kota timbul dan berkembang melalui suatu proses yang oleh Hoteling disebut
proses
aglomerasi.
Mengumpulnya
usaha-usaha
sejenis
menimbulkan
penghematan-penghematan
intern
dan
ekstern
yang
disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang luas. Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai inovasi, input-input vital bahkan m erupakan tempat perubahan. Kota merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal dari luar. Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi
“ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan
kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal harganya. Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahanlahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara berganda tersebut bisa terjadi untuk ukuran kota yang besar seperti
JABOTABEK,
hingga
kota-kota
kecil
dengan
kawasan
penyangga
disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9 berikut ;
Land Rent
Lokasi Pusat Jarak dari pusat Keterangan : 1. Kawasan Komersial/Finansial 2. Kawasan Industri 3. Kawasan Perumahan 4. Kawasan Pertanian
1 2
Jarak dari pusat
3
4 Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda
Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian , industri rumah tangga dan sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses
back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial lain. Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas, kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru pula. Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya..
Sumberdaya Air Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang disebut daur hidrologi. Daur Hidrologi Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membentuk awan. Dalam
kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan. Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting). Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung. Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat yang biasa terjadi pada musim panas. Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air, tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa presipitasikembali ke laut melalui saluran -saluran di atas atau di bawah tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi. Oleh karenanya air yang diuapkan dari permukaan tanah hanyalah
merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1.
Presipitasi Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak, 1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku (salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir.
Selain
curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan.
Tipe Presipitasi Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan, yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977). Klasifikasi genetic Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain -lain) dan sarana untuk menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung sebagai akibat udara yang mendinginkan. Presipitasi berdasarkan klasifikasi
ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan konvektif.
Klasifikasi bentuk Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan horizontal. Presipitasi vertikal terdiri dari : 1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap air di atmosfir 2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil 3. Salju : Kristal -kristal kecil air yang membeku yang secara langsung dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari 0ºC. 4. Hujan batu es : gumpal an es yang kecil, kebulat bulatan yang dipresipitasikan selama huja badai 5. Sleet : Campuran hujan dan salju.Hujan ini disebut juga glaze (salju basah).
Presipitasi Horizontal terdiri dari : 1. Es : Salju yang sanga dipadatkan 2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air halus di dekat permukaan tanah. 3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah dan vegetasi.
4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini menguap pada pagi hari. 5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas tanah.
Evapotranspirasi Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979).
Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari, terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995). Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi matahari terhadap vegetasi. Pengaruh suhu terhadap evapotranspirasi dapat
dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu radiasi
matahari.
evaporanspirasi
Namun
adalah
suhu
suhu
yang
besar
permukaan
pengaruhnya
daun
bukan
terhadap
suhu
udara
disekitarnya. Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata terbuka
dipengaruhi
oleh
suhu
udara
sekitarnya,
oleh
karena
itu
evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari. Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam Asdak, 1995).
Infiltrasi Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi.
Proses terjadinya infiltrasi
Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 1995) : 1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori -pori permukaan tanah. 2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. 3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut di atas saling terkait. Faktor-faktor penentu infiltrasi Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat. Tanah dengan pori- pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah, dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu
menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh : 1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah. 2. Sifat permukaan tanah 3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah.
Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang merupakan
permukaan
bumi
mempunyai
rongga-rongga
yang
memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam Asdak, 1995) adalah sebagai berikut : ÄS = f + c – d – Ea + Äw ……………………………………………………
(5)
Dimana : ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah f
= laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah
c
= laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh
d
= laju drainase kedalam mintakat penjenuhan
Ea
= laju evapotranspirasi aktual
Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah terutama karena gradien suhu
Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga kontribusikontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai (Seyhan, 1977). Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah: -
Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi
-
Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).
Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah : -
Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan, frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari, suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll.
-
Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan sungai dan kerapatan drainase).
-
Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan urbanisasi.
Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap sumberdaya air, dimana air hujan yang
jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%. Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Nilai koefisian air larian di sajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 . Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980) Tata Guna lahan
Koefisien Run -Off (C)
Perkantoran Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota
0,70 – 0,95 0,50 – 0,70
Perumahan Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota
0,30 – 0,40 – 0,60 – 0,25 –
Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri
050 – 0,80 0,60 – 0,90
Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang
0,10 – 0,20 – 0,20 – 0,10 –
0,50 0,60 0,75 0,40
0,25 0,35 0,40 0,30
Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata
0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85
Trotoar Daerah Beratap
0,75 – 0,85 0,75 – 0,95
Tata Guna Lahan
Koefisien Run -Off (C)
Tanah lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7% Tanah Pertanian,0–30% Tanah Kosong Rata Kasar Ladang garapan Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi Tanah Tidak Produktif, >30% Rata, kedap air Kasar
0,05 – 0,10 – 0,15 – 0,13 – 0,18 – 0,25 –
0,10 0,15 0,20 0,17 0,22 0,35
0,30 – 0,60 020 – 0,50 0,30 – 0,60 020 – 0,50 020 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25
0,70 – 0,90 0,50 – 0,70
Sumber : Asdak, 2004
METODA PENELITIAN
Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan luas wilayah sebesar 183.78 Km². Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6°6’ Lintang Utara sampai dengan 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’ Bujur Timur sampai dengan 106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah : Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan Kabupaten Tangerang. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Sebelah timur dengan DKI Jakarta. Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang, Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah, Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda. Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.
Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air.
Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian Perubahan penggunaan Lahan Pembuatan Peta Guna Lahan Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian. Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : 5.000 maupun citra satelit skala 1 : 25.000. Tahap Interpretasi dan uji lapang Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun citra satelit.
Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sumber : Ikonos, 2001 Gambar 12. Citra Satelit (Bagian Wilayah Kota Tangerang)
Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003 Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang) Korelasi antar variabel Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi 6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan variabel-variabel
yang
diperkirakan
mempengaruhi
pola
perubahan
penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah variabelvariabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk,
Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian), Luas areal terbangun,Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota)
Analisis Hidrogeologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi dalam 2 jenis, yaitu : Penelitian Langsung dan tidak langsung Penelitian Tidak Langsung (Prospecting) Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus listrik
ke
dalam
bumi
dan
kemudian
mengamati
pengaruh
yang
ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik (ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya (volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm). Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang menghantarkan listrik. Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut :
ñ
=R
A L
……………………………………………………… (6)
ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter) R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter) A = Luas penampang material (m²)
dimana : R =
V I
…………………………………………………………. (7)
sehingga :
ñ
V
=
A L
I
…………………………………………………… (8)
V = Beda Potensial (Volt) I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere)
ÄV
I
L Gambar 14 Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik
Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut :
ó
ó
1 =
ñ =
J E
……………………………………………………..(9)
……………………………………………………..(10)
J = Rapat Arus
ó
= Hantaran Jenis E = Medan Listrik
J
I
=
A
V E =
L
……………………………………………………..(11)
……………………………………………………..(12)
Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut : 1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas (kadar garam). 2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. 3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan komposisinya. 4. Temperatur. 5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air yang dicirikan dengan adanya pori- pori yang saling berhubungan.
Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan
Batuan
Lempung Lanau Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat
Butir (mm)
Porositas (%)
0,01 0,01 – 0,04 0,05 – 0,10 0,10 – 0,20 0,25 – 0,45 0,50 – 0,95 1,00 – 5,00
45 – 55 40 – 50
30 – 40 30 - 40
Angka Kelulusan Air (Permeability) (m³/hari) 0,01 0,05 – 0,80 1,20 – 40,00 5,00 – 20,00 30,00 – 100,00 125,00 – 450,00 500,00 – 1.200,00
Sumber : Soewali dkk, 1981 Parameter tahanan jenis (ñ ) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar 15) Tahanan Jenis 500 Air Tawar dalam
100 Batas Air
10
Air Asin (Air
1,0
0
Gambar 15.
10
1.00
10.00 Kadar Garam
Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981 Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam Air yang dikandung Batuan)
Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan Jenis Tanah dan Batuan
Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil
Tahanan Jenis (Ù m) Basah
Kering
10 5 50
50 100 1.000
Batugamping, batupasir Konglomerat Batuan beku
20 – 100 1.000
500 1.000 Sumber : Utomo dkk, 1981 Arus (I)
Beda Potensial (V)
Alat
Permukaan Tanah
Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik)
Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan
Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis). Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas atasnya sebagai permukaan air tanah. Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya. Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika
dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang Batugamping mempunyai kem ungkinan besar untuk dapat mengandung air tanah bebas. Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit oleh dua lapisan batuan yang kedap air ( impermeable). Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur geologi, arah kemiringan lapisan, lipat an dan patahan (sesar) akan mencerminkan keberadaan air tanah artesis. Metoda penelitian terhadap akifer secara langsung dengan pemboran inti. Pemboran inti (Core drilling) efektif digunakan untuk mengetahui susunan lapisan dari atas ke bawah secara utuh. Dengan menggunakan mata bor intan (diamond bit) lapisan yang berada dibawah permukaan tanah akan diambil dengan batang bor kemudian lapisan berbentuk silinder yang berda di batang bor disimpan dalam sebuah kotak dan disusun berdasarkan kedalaman, berbeda dengan pengukuran geolistrik jenis lapisan ditentukan berdasarkan interpretasi nilai tahanan jenis, dalam pemboran inti jenis lapisan (batuan) bisa ditentukan secara langsung berdasarkan sifat-sifat fisik batuan untuk batuan sedimen perbedaan lapisan diketahui berdasarkan ukuran butir.
Hidrologi Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada neraca air, dimana makin bertambahnya kawasan terbangun akan bepengaruh
terhadap berkurangnya air hujan yang meresap kedalam tanah, dengan demiian aliran air permukaan akan meningkat, karena curah hujan dan evapotranspirasi dianggap tetap tidak terpengaruh oleh perubahan penggunaan lahan. Variabel yang dianalisis dalam pnghitungan neraca air meliputi Curah Hujan (Presipitasi), Laju Penguapa (Evapotranspirasi), Air yang meresp ke dalam tanah (Infilrasi) dan Limpasan air permukaan (Run Off).
Presiptasi Presipitasi biasaya dinyatakan sebagai kedalaman cairan yang berakumulasi di atas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat kehilangan
.
Pengukuran
presipitasi
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat pengukur presipitasi yang didasarkan atas suatu kombinasi dua pendekatan (seyhan), yatu : 1. Penakar hujan bukan pencatat Penakar hujan bukan pencatat
diletakan di tanah, terdiri dari :
penakar hujan baku (standard), penakar hujan penympan 9atau penjumlah), penakar hujan searas tanah, Penakar hujan acuan internasional (International Reference Precipitation Gauge), RADAR (Radio Detecting and Ranging) 2. Penakar hujan Otomatik (pencatat) Semua penakar hujan otomatik akan mencatat data (dalam hal ini jumlah hujan) secara kontinu (interval 1 menit, 5 menit, 10 menit dll) maupun secara berkala pada beberapa macam grafik, pita berlubang, pita magnetic, film, sinyal-sinyal listrik dll.
Pemantauan presipitasi dapat dilakukan dengan 3 cara : a. Pemantauan
hujan
di
tanah,
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat penakar : -
Penakar hujan otomatik tipe pelampung
-
Penakar hujan otomatik tipe penimbangan
-
Penakar hujan otomatik tipe ember tupah
-
Penginderaan jauh.
b. Pemantauan presipitasi dari udara (penginderaan jauh), terdiri dari -
Kamera
-
Penyaring Gambar (Sanners)
-
Radar
-
Radiometer gelombang mikro
c. Pemantauan presipitasi dari ruang angkasa (penginderaan jauh)
Evapotranspirasi Penaksiran
evapotranspirasi
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
metoda, metoda yang digunakan untuk menghitung evapotranspirasi dalam penelitian ini adalah berdasarkan rumus Turc dan Langbein. Pada tahun 1952 hidrolog Perancis Turc mengembangkan metoda untuk menghitung evapotranspirasi aktual tahunan rata-rata dengan menggnakan data yang didapatkan pada 254 daerah aliran sungai di seluruh dunia. Rumus tersebut adalah :
E =
P
[
0,9 +
P² [L(T)]²
]
½ ........................................ ......
(13)
L(T) = 300 + 25(T) + 0,05 (T)³ ..............................................
(14)
Dimana : E
:
Evapotranspirasi actual rata-rata tahunan (mm/tahun)
P
:
Presipitasi rata-rata tahunan (mm/tahun)
L (T) :
Fungsi Temperatur
T
Temperatur rata-rata tahunan (°C)
:
Pada tahun 1949 Langbein (AS) mengembangkan hal yang sama dengan Turc untuk menaksir evapotransprasi berdasarkan besarnya curah hujan dan temperatur udara suatu wilayah.
Limpasan Permukaan (Surface Run-Off) Setelah
mengetahui
besar
evapotranspirasi
maka
air
limpasan
permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) bisa dihitung dengan cara curah hujan dikurangi oleh evapotranspirasi maka sisanya adalah air yang mengalir ke permukaan bumi, air yang jatuh kepermukaan tanah sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air tanah dan sebagian mengalir dipermukaan dan asuk ke dalam sungai. Untuk menghitung besarnya surface run off didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus : RO = (P – ET) x C x A
..............................................
dimana : RO = Surface Run Off (m 3/tahun) P = Curah hujan (m/tahun)
(15)
ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off A = Luas lahan (m 2)
Infiltrasi Sama halnya dengan perhitungan run off, Untuk menghitung besarnya infiltrasipun didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus : F = (P – ET) x (1 – C) x A
..........................................................
(16)
dimana : F = Infiltrasi (m 3/tahun) P = Curah hujan (m/tahun) ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off A = Luas lahan (m2)
Analisis Penentuan Harga Air Analisis penentuan harga air ditujukan untuk mendapatkan biaya pengel olaan sumberdaya air meliputi biaya pemeliharaan, biaya konservasi serta biaya jasa pengelolaan air. Selain itu pembiayaan dimaksudkan untuk menciptakan insentif ekonomi penggunaan sumberdaya air yang lebih efisien sebagai upaya menghindari kelangkaan sumberdaya air.
Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah dilakukan oleh Kimpraswil. Tata cara penghitungan pada prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam perhitungan itu adalah: a. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P) b. Biaya Depresiasi c. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam d. Biaya tidak langsung atau overhead. Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil adalah berikut: 1 .M + S + L P n = α .Vs α .Vs dimana:
……………………………….
(17)
P
=
Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku
Vs =
Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/ tahun)
n
Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam
=
tahun) M =
Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)
S
=
Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap tahun (Rp/tahun).
L
=
Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)
á
=
Faktor Pengali.
Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para penggunanya yakni, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi: 1 .M + S + L P n = α .Vs α .Vs
……………………………………
(18)
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik KotaTangerang
Wilayah Kota Tangerang dilintasi oleh oleh Sungai Cisadane yang membagi Kota Tangerang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu bagian timur dan bagian barat sungai. Wilayah bagian timur meliputi Kecamatan Tangerang, Kecamatan
Neglasari,
Kecamatan
Batuceper,
Kecamatan
Benda,
Kecamatan Pinang, Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Karang Tengah dan Kecamatan Larangan, sedangkan di bagian barat meliputi Kecamatan Karawaci, Kecamatan Jatiuwung, Kecamatan Cibodas dan Kecamatan Periuk (Gambar 18 ). Topografi Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian 10 – 30 m dpl (diatas permukaan laut), sedangkan bagian utaranya (meliputi sebagian besar Kecamatan Benda) ketinggiannya berkisar antara 6 – 10 m dpl. Selain itu di Kota tangerang pun terdapat daerah-daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 30 m dpl yaitu pada bagian selatan Kecamatan Ciledug dan Kecamatan larangan. Dilihat dari kemiringan tanahnya, sebagian besar Kota Tangerang mempunyai tingkat kemiringan tanah 0 – 3 % dan sebagian kecil (bagian selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3 – 8 %. Adanya daerah yang cukup landai merupakan potensi yang cukup besar bagi pembangunan dan pengembangan kota. Selain itu kondisi yang cukup landai dan dibeberapa
lokasi terdapat cekungan-cekiungan kecil yang potensial menimbulkan masalah khususnya dalam masalah tata air, hal ini terbukti dengan adanya daerah rawan genangan dimana tercatat 49 titik banjir (Gambar 19).
Hidrologi Seperti telah diuraikan diatas bahwa Kota Tangerang dilintasi oleh Sungai cisadane yang membelah kota menjadi 2 (dua) bagian.
Selain Sungai
Cisadane di Kota Tangerang pun terdapat pula sungai-sungai lain seperti Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kecamatan Jatiuwung dan Kecamatan Periuk dengan Kecamatan Pasar Kemis di Kabupaten Tangerang Kali Ledug yang merupakan anak Sungai cirarab, Kali Sabi dan Kali Cimone, sungai -sungai tersebut berada di sebelah barat Sungai Cisadane, sedangkan dibagian timur Sungai Cisadane terdapat pula kali Angke, Kali Pembuangan Cipondoh, Kali Wetan (Anak Kali Angke), Kali Cantiga (Anak Kali Angke) Kali pondok Bahar (Anak Kali Cantiga). Selai Sungai/Kali di Kota Tangerang terdapat pula saluran saluran air yang meliputi ; Saluran Mookervart, Saluran Induk Irigasi Tanah Tinggi, Saluran Induk Cisadane Barat, Saluran Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk cisadane Utara. Keberadaan Sungai Cisadane yang melintas di tengah kota ini dirasakan sekali fungsi dan peranannya baik bagi Kota Tangerang maupun bagi
kota-kota
sekitarnya.
Fungsi
dan
peranan
Sungai
Cisadane
dimaksudkan diatas meliputi pemenuhan kebutuhan air bagi kegiatan perkotaan, kegiatan pertanian dan industri.
Hidrogeologi Berdasarkan penelitian hidrogeologi yang dilakukan oleh Departemen PU yang bekerjasama dengan IWACO dan WASECO tahun 1990 hidrogeologi wilayah Kota Tangerang didominasi oleh akifer produktif dengan penyebaran luas yang terdapat debagian barat Kota tangerang yang meliputi Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Cibodas dan Karawaci serta sebagian wilayah timur di Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan sebagian kecil Kecamatan Cipondoh. Akifer produktif sedang dengan penyebaran luas menempati bagian utara dari Kota Tangerang yang meliputi Kecamatan Neglasari, Benda dan sebagian kecamatan Batuceper. Akifer produktifitas kecil dengan penyebaran lokal (setempat) terdapat di Kecamatan Cipondoh, Pinang dan sebagian Batuceper (Gambar 20). Hasil penyelidikan hidrogeologi yang dilakukan oleh Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruchijat, S dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Lingkunan dalam sistem cekungan air tanah wilayah Kota Tangerang terdapat dua sistem cekungan air tanah, pada wilayah bagian barat Kota Tangerang (sebelah barat Sungai Cisadane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Tangerang-Serang, sedangkan di wilayah timur Kota tangerang (sebelah timur Sungai Cis adane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Jakarta. Cekungan air tanah Tangerang – Serang mempunyai jumlah aliran air tanah bebas sebesar 1.075 juta m 3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 18 juta m3 /tahun. Cekungan air tanah Jakarta dengan jumlah aliran air tanah
bebas sebesar 803 juta m3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 40 juta m 3 /tahun (Gambar 21).
Keterangan : Akifer Produktif Sed ang Akifer Produktif Akifer Produktif Kecil
Sumber : Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, IWACO-WASECO, 1990
Gambar 20. Pe ta Hidrogeologi Kota Tangerang
Keterangan :
Q1 Aliran Air tanah bebas
Q2 Aliran air tanah tertekan
Sumber : Peta cekungan Air Tanah Lembar Banten, 2003
Gambar 21. Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang
Iklim Suhu udara di Kota Tangerang berkisar antara 21 – 33,7 °C, curah hujan untuk sebagian besar Kota tangerang berkisar antara 1.500 – 2.000 mm per tahun dan sebagian kecil curah hujannya < 1.500 mm per tahun yaitu di Kecamatan Benda di bagian utara. Jumlah hari hujan maksimal 150 hari hujan dan jumlah hari hujan minimum 90 hari.
Geologi dan Jenis Tanah Kondisi geologi Kota Tangerang terbentuk oleh Tuf Banten yang merupakan batuan vulkanik dan Aluvial. Tuf Banten (QTvb) mendominasi geologi Kota Tangerang yang didominas i oleh Tuf, Tuf Batuapung dan Batupasir Tufaan sedang endapan Aluvial (Qa) yang terdiri dari Lempung, Lanau, Pasir, Kerikil, Kerakal dan Bongkah berada di sepanjang Sungai Cisadane, Kali
Angke, Kali sabi, kali Cirarab, Situ Cipondoh dan di
bagian utara Kota
Tangerang, Kipas Aluvial (Qav) yang terdiri dari Tuf halus berlapis,Tuf Pasiran yang berselingan dengan Tuf konglomeratan mengisi wilayah bagian utara Kota Tangerang sekitar Bandara Soekarno-Hatta (Kecamatan Benda). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 22. Dilihat
dari
jenis
tanahnya
sebagian
besar
Kota
Tangerang
mempunyai jenis tanah Asosiasi Latosol merah/Latosol merah kecoklatan, sedangkan di sekitar Sungai cisadane mempunyai jenis tanah Aluvial kelabu. Selain kedua jenis tanah tersebut pada bagian sebelah timur bandara mempunyai jenis tanah Asosiasi Glei Humus rendah dan Aluvial kelabu
Keterangan : Qa
Aluvium
Qav
Kipas Aluvium
QTvb
Tuff Banten
QTpss
Formasi Serpong
QTpg
Formasi Genteng
Sumber : Peta geologi lembar Jakarta (Direktorat Geologi Tata Lingkungan)
Gambar 22 : Kondisi Geologi Kota Tangerang
Kondisi Soial Kependudukan Jumlah dan Sebaran Penduduk Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Tangerang berjumlah 1.336.213 jiwa dan pada tahun 2003 berjumlah 1.493.698 jiwa. Selama periode tersebut jumlah penduduk Kota Tangerang bertambah 157.485 jiwa. Selam periode tersebut Kota Tangerang memeiliki laju pertumbuhan sebesar 5,73 %. Untuk lebih jelasnya mengenai laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 4, Gambar 23 dan Gambar 24.
Tabel 4 : Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang No
Kecamatan
1 2
Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penduduk (Jiwa) LPP (%) 2001 2002 2003 95.004 99.010 106.943 6,10 119.515 126.039 136.137 6,73 84.642 133.592 105.682 93.841 147.886 119.789 119.703 102.237 82.335
88.208 133.921 111.451 96.542 155.959 126.328 126.237 107.818 85.775
95.275 134.207 120.380 101.194 168.454 136.449 136.351 116.456 92.647
6,10 0,23 6,73 3,84 6,73 6,73 6,73 6,73 6,08
12 13
Batuceper 72.410 75.308 81.342 5,99 Benda 59.576 62.828 67.862 6,73 Jumlah 1.336.213 1.395.424 1.493.698 5,73 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004)
Benda Ciledug Batuceper 5% 7% 5% Larangan Neglasari 9% 6% Karang Tengah 6%
Periuk 8%
Cipondoh 9%
Jatiuwung 9%
Cibodas 9%
Pinang 8%
Tangerang 7% Karawaci 12%
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda) Gambar 23 : Prosentase Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
LPP (%)
8 7 6 5 4 3 2
Keterangan : LPP = Laju pertumbuhan Penduduk
B
e
n
d
p
a
e
r
ri a
tu
ce
k
sa
u N
e
g
la
ri e P
w tiu
Kecamatan
B
g un
a
s
ci o ib C
a
Ja
ra
w
d
a
n
g
ra e
g K
T
a
n
P
in
a
d n o
ip C
n
o
a
n
g
e T
g n
K
a
ra
n
a
g
g
u
n
d
ra
ile
a
C
L
h
h
0
g
1
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda) Gambar 24 : Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003
Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kecamatan Tangerang pada tahun 2003 sebesar 7 % dari jumlah penduduk keseluruhan Kota Tangerang. Laju perkembangan penduduk selama tiga tahun tidak terlalu pesat, yaitu dengan LPP 3,38 %. Angka ini merupakan angka LPP yang per tengahan dari LPP kecamatan yang ada.
Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 91 jiwa/ha. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Larangan dengan kepadatan 145 jiwa/ha sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Pinang dengan kepadatan 56 jiwa/ha. Untuk lebih jelasnya mengenai kepadatan penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 25..
Tabel 5 : Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang
Penduduk (Jiwa) 106.943 136.137 95.275 134.207 120.380 101.194
Luas (Ha) 877 940 1.047 1.791 2.159 1.579
Kepadatan (Jiwa/ha) 122 145 91 75 56 64
7 8 9 10 11 12 13
Karawaci 168.454 1.348 Cibodas 136.449 961 Jatiuwung 136.351 1.441 Periuk 116.456 954 Neglasari 92.647 1.608 Batuceper 81.342 1.158 Benda 67.862 2.561 Jumlah 1.493.698 18.378 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003, Bapeda, 2004
125 142 95 122 58 70 26 81
160 Kepadatan (Jiwa/Ha)
140 120 100 80 60
122
40
145
125 91
75
142
122 95
56
64
58
70
20
26 Pe riu k Ne gl as ar Ba i tu ce pe r Be nd a
Pi na ng Ta ng er an g Ka ra wa ci Ci bo da s Ja tiu wu ng
Ci led ug La r a Ka ng ra an ng Te ng a Ci h po nd oh
0
Kecamatan
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda, 2004)
Gambar 25 : Grafik Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003
Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk Kecamatan Tangerang adalah 64 jiwa/ha. Kepadatan tersebut di bawah ratarata kepadatan Kota Tangerang.
Struktur Penduduk
Struktur penduduk Kota Tangerang terdiri dari stuktur penduduk menurut penduduk menurut umur, jenis kelamin, dan agama.
Struktur Penduduk Menurut Umur Berdasarkan data tahun 2003 Kota Tangerang, jumlah penduduk menurut kelompok umur yang tertinggi jumlahnya adalah kelompok umur 25 - 29 tahun sebesar 189.880 jiwa atau 0,13 % dari total jumlah penduduk sedangkan kelompok umur terendah jumlahnya adalah kelompok umur 70 74 sebesar 14.130 jiwa atau 0,01 % dari total jumlah penduduk. Untuk lebih jelasnya penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 24. Jika dilihat penduduk menurut usia produktif dan non produktif Kota Tangerang, Penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) di Kota Tangerang berjumlah 1.056.456 jiwa terdiri dari perempuan 539.940 jiwa dan laki-laki 516.515 jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif Kota Tangerang berjumlah 437.243 jiwa terdiri dari perempuan 205.495 jiwa dan laki-laki 231.748 jiwa.
Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Umur Kota Tangerang Tahun 2003
No
Kelompok Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54
Umur (Jiwa) Laki-Laki Perempuan 68.559 73.286 63.672 74.826 57.370 69.021 57.235 74.341 83.158 97.774 94.055 95.825 88.207 75.649 61.315 54.206 52.253 42.725 38.093 27.468 27.491 18.455
Jumlah (Jiwa) 141.845 138.498 126.391 131.576 180.932 189.880 163.856 115.521 94.978 65.561 45.946
12 13 14 15 16
55 -5 9 16.158 11.894 28.052 60 - 64 13.433 10.506 23.939 65 - 69 8.545 7.675 16.220 70 - 74 7.455 6.675 14.130 75+ 8.440 7.941 16.381 Jumlah 745.435 748.263 1.493.698 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka 2003 (Bapeda, 2004)
75+ 70 - 74 65 - 69 60 - 64
Kelompok Umur
55 -59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5-9 0-4
0
50.000
100.000
150.000
200.000
Jumlah Penduduk
Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 26 : Grafik Penduduk Kota Tangerang Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003
Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin Pada tahun 2003, jumlah penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki 745.435 jiwa atau 49,50 % dari total penduduk sedangkan perempuan 748.263 jiwa atau 50,09 % dari total penduduk Kota Tangerang. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 27.
JUMLAH PENDUDUK
748.500 748.000 747.500 747.000 746.500
748.263
746.000 745.500 745.000
745.435
744.500 744.000 LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JENIS KELAMIN
Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 27 : Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin
Kondisi Ekonomi Dalam melihat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan daerah maka salah satu indikator adalah PDRB. PDRB merupakan salah satu indikator makro untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu untuk melihat perkembangan ekonomi Kota Tangerangakan melihat perkembangan PDRB Kota Tangerang. PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 1999 sebesar 13.524.637 juta rupiah dan pada tahun 2003 sebesar 21.078.365 juta rupiah atau meningkat sekitar 0,56 %. Sumber pendapatan terbesar terdapat pada sektor industri sebesar 12.576.533 juta rupiah dan sumber pendapatan terkecil terdapat pada sektor perikanan. Dilihat dari PDRB bahwa yang mempunyai sumber pendapatan terbesar adalah dari sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran sedangkan sumber pendapatan terkecil adalah sektor pertanian. Untuk lebih
jelasnya mengenai PDRB atas harga harga konstan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Sumber pendapatan Kota Tangerang berasal dari : 1. Sektor Primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan mendayagunakan sumber-sumber. 2. Sektor sekunder, yaitu sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan baku baik yang berasal dari sektor primer maupun dari jasa-jasa. Kelompok sektor ini adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air minum, dan sektor konstruksi. 3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jas a. Kelompok sektor ini adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, barik dan lembaga keuangan lainnya, dan lainnya. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang selama periode 19992002 yang digambarkan oleh PDRB atas harga berlaku pada tahun 1999 – 2002 mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 9,53 %. Untuk PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 1999 – 2002 mengalami penurunan pada tahun -0,31 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
No 1
2
Tabel 7 : Produk Domesti Regional Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Juta Rupiah) Tahun 1998-2002 Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003) Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan 21.183 21.087 20.428 20.172 20.820 Perikanan a. Tanaman bahan makanan 18.182 17.982 17.814 17.635 18.140 b. Tanaman perkebunan 445 450 97 15 16 c. Peternakan dan hasil-hasilnya 2.182 2.267 2.407 2.497 2.638 d. Kehutanan e. Perikanan 374 388 110 25 26 Pertambangan dan Penggalian -
3
4
5 6
7
8
9
a. Minyak dan gas bumi (migas) b. Pertambangan tanpa migas c. Penggalian Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan besar dan eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan 1. Rel 2. Angkutan jalan raya 3. Angkuatan laut 4. Angkutan sungai dan penyeberangan 5. Angkutan udara 6. Jasa penunjang angkuatan b. Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Lainnya c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta 1. Sosial kemasyarakatan 2. Hiburan dan rekreasi 3. Perorangan dan rumah tangga Jumlah
Tabel 8 : No 1
2
3.057.471 3.057.471 92.316 84.167 8.149 104.190 1.401.153 1.313.280 11.414 76.459 692.605 652.009 1.889 142.143 -
3.124.788 3.124.788 98.223 89.394 8.829 102.939 1.465.377 1.373.561 12.123 79.693 697.156 652.874 1.945 153.984 -
3.289.052 3.289.052 104.917 95.741 9.176 103.618 1.540.618 1.443.887 13.117 83.614 732.082 684.966 2.020 161.441 -
3.378.424 3.378.424 112.071 102.058 10.013 104.354 1.625.467 1.523.463 13.962 88.042 775.195 726.055 1.724 167.635 -
3.542.509 3.542.509 120.187 109.212 10.975 109.874 1.730.071 1.619.654 14.934 95.483 807.276 752.028 1.838 176.867 -
-
-
-
-
-
362.780 145.197 40.596
336.549 151.615 44.282
361.054 160.451 47.116
389.579 167.117 49.140
424.326 176.382 55.248
148.807
150.627
93.889
55.601
72.969
27.219 6.193 79.799 35.596 162.452 55.564 106.888 43.907 1.339 61.642 5.680.177
24.257 6.676 81.634 38.060 168.233 56.322 111.911 46.322 1.358 64.231 5.828.430
41.337 7.143 87.431 40.652 174.989 57.060 117.929 48.925 1.407 67.597 6.059.593
89.826 7.681 94.114 43.632 181.321 57.865 123.456 50.584 1.482 71.410 6.252.605
82.187 8.054 101.378 45.724 190.488 61.732 128.756 53.739 1.565 76.587 6.594.194
Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (prosentase) Tahun 1998 -2002
Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan dan hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian a. Minyak dan gas bumi (migas) b. Pertambangan tanpa migas c. Penggalian
1998
1999
2000
2001
2002
-26,61
-0,45
-3,13
-1,25
3,21
21,51 -79,45 -80,72 -10,98 -
-1,10 1,12 3,90 3,74 -
-0,93 -78,44 6,18 -71,65 -
-1,00 -84,54 3,74 -77,27 -
2,86 6,67 5,65 4,00 -
3
4
5 6
7
8
Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan besar dan eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan 1. Rel 2. Angkutan jalan raya 3. Angkuatan laut 4. Angkutan sungai dan penyeberangan 5. Angkutan udara 6. Jasa penunjang angkuatan b. Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
3,37 1,01 -13,86 -13,96 -12,84 -48,70 4,59 6,21 4,23 0,77 0,13 2,96 8,33 8,33 -
a. Bank
-
b. Lembaga Keuangan Lainnya c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta 1. Sosial kemasyarakatan 2. Hiburan dan rekreasi 3. Perorangan dan rumah tangga Jumlah Sumber : PDRB Kota Tangerang, 2002
3,37 2,20 6,40 6,21 8,34 -1,20 4,59 6,21 4,23 0,77 0,13 2,96 8,33 8,33 -
5,26 5,26 6,82 7,10 3,93 0,66 5,13 5,12 8,20 4,92 5,01 4,92 3,86 4,84 -
2,72 2,72 6,82 6,60 9,12 0,71 5,51 5,51 6,44 5,30 5,89 6,00 -14,65 3,84 -
-
-
Harga Berlaku
1999
PDRB 11.617.592
Kenaikan (%) 5,89
2000 2001 2002
12.354.524 13.582.198 14.877.236
6,34 9,94 9,53
-
-32,42 4,42 11,00
-7,23 4,42 11,00
7,28 5,83 6,40
7,90 4,15 4,30
8,92 5,54 12,43
1,22
1,22
-37,67
-40,78
31,24
-68,39
-10,88
117,30
-8,50
7,80 2,30 -9,09 8,03 14,19 5,09 0,26 -29,60 10,04 -7,55
7,80 2,30 6,92 3,56 1,36 4,70 5,50 1,42 4,20 2,61
7,53 7,64 7,33 3,62 1,41 4,69 3,39 5,33 5,64 3,19
4,86 7,72 4,79 5,06 6,68 4,29 6,24 5,60 7,25 5,46
270,41 7,00 7,10 6,81 4,02 1,31 5,38 5,62 3,61 5,24 3,97
Tabel 9 : Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 Tahun
4,86 4,86 7,24 7,01 9,61 5,29 6,44 6,31 6,96 8,45 4,14 3,58 6,61 5,51 -
Harga Konstan 1993 Kenaikan PDRB (%) 4.598.812 0,05
4.619.487 0,45 4.668.621 1,06 4.654.221 -0,31 Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003)
Kondisi Sarana dan Prasarana
Gambaran mengenai prasarana perkotaan yang di Kota Tangerang secara garis besar akan membahas mengenai pengelolaan dan penyediaan air bersih, pengelolaan air limbah/sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah, dan jaringan drainase.
Pengelolaan dan Penyediaan Air Bersih Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa dari keseluruhan penduduk di wilayah Kotamadya Tangerang pada tahun 2003 yang menggunakan sumur pompa 55 %, sumur pantek dan air hujan 23 %, dan sumur perpipaan PDAM sebesar 22 %. Sumber PDAM terdiri dari •
Kapasitas produksi 155 lt/detik PDAM Kota, 740 l/dt PDAM Kabupaten dan 50 l/dt PDAM Swasta.
•
Jumlah sambungan 8.516 unit (kota), 35.657 unit (kabupaten)
•
Kebocoran 21,33 % (kota), 43,8 % (kabupaten)
A. Sistem Perpipaan Wilayah pelayanan air bersih perpipaan di Kota Tangerang dilayani oleh 3 (tiga) Institusi, yaitu : a) PDAM Kabupaten Tangerang
Dengan wilayah pelayanan Kecamatan Tangerang dan kecamatan Jatiuwung. Sistem ini terbagi atas 3 cabang yaitu:
•
Cabang Babakan, menggunakan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Babakan dengan kapasitas 80 liter/detik dan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 l/detik. Dengan daerah pelayanan meliputi wilayah pusat kota.
•
Cabang perumnas I, menggunakan IPA Perumnas kapasitas 40 dan 20 liter/detik, serta IPA Cikokol dengan kapasitas 500 dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi wilayah Perumnas I.
•
Cabang Perumnas II, menggunakan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi Pusat Kota, yaitu Tangerang, Bandara Soekano – Hatta, sebagian wilayah Serpong dan wilayah Perumnas.
Total kapasitas terpasang sekitar 740 liter/detik. Sumber air baku adalah Sungai Cisadane dengan kapasitas produksi sekitar 647 liter/detik yang didistribusikan dengan sistem pemompaan. Total kapasitas terdistribusi 633 liter/detik dan yang terjual sekitar 356 liter/detik dengan penduduk terlayani sekitar 229.000 jiwa atau sekitar 16% penduduk Kota Tangerang. Pendistribusian 3 (tiga) cabang sistem penyediaan air bersih tersebut dilakukan secara terpadu, yaitu pipa distribusi antar masing-masing cabang pelayanan saling berhubungan, sehingga air yang dihasilkan IPA Cikokol akan interkoneksi dengan air yang dihasilkan dari IPA Babakan dan IPA Perumnas I. b) PDAM Kota Tangerang
Wilayah pelayanan air bersih PDAM Kota Tangerang yaitu Kecamatan Batuceper dan Benda, dengan kapasitas terpasang saat ini sekitar
150 l/detik yang telah selesai pembangunannya baru terpakai ± 25 liter/detik, sedangkan sisanya masih dalam tahap konstruksi. c) Jaringan Yang Dikelola Oleh Swasta
Pihak swasta membangun IPA kapasitas 100 liter/detik, dengan memakai Sungai Cisadane sebagai sumber air baku. Direncanakan PDAM Kota Tangerang akan bekerja sama dengan pihak swasta untuk melayani air bersih di Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar jalan Moh. Toha di Kecamatan Karawaci dengan memanfaatkan pipa distribusi milik PDAM. Dalam rangka meningkatkan pelayanan, PDAM Kota Tangerang merencanakan akan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta yaitu memanfaatkan sisa kapasitas dari IPA yang dimiliki swasta sebesar 30 liter/detik dari total kapasitas yang dimiliki sebesari 100 l/idetik. Pihak swasta belum memiliki jaringan pipa distribusi, sehingga selama ini penjualan air dilakukan dengan menggunakan mobil tangki. PDAM Kotamadya Tangerang direncanakan akan memasang jaringan pipa distribusi untuk menyalurkan air bersih dari IPA swasta yang melayani Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar jalan M. Toha Kecamatan Tangerang. B. Air Bersih Non Perpipaan Untuk daerah yang belum terlayani oleh air bersih sistem perpipaan maka dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan memanfaatkan air tanah melalui sumur gali atau sumur dangkal. System pelayanan air bersih non perpipaan ini biasanya ada dalam lingkungan permukiman perkampungan penduduk. Cara yang digunakan
adalah
melalui
pengeboran
sumur
dangkal,
atau
memanfaatkan
keberadaan sungai. Pengelolaan Drainase A. Kondisi Eksisting Saluran Drasinase Kota Tangerang berada pada ketinggian 0 – 30 m diatas permukaan laut, kemiringan lahan antara 0% - 3% dan curah hujan antara 1500 – 2000 mm/tahun. Kawasan drainase Kotamadya Tangerang mencakup ± 7.300 Ha atau ± 88% dari luas wilayah terbangun. Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi 4 buah sungai yang melintasi wilayah kota, berikut sebagai badan air penerima dari sistem drainase kota yaitu : 1. Sungai Cisadane, 2. Sungai Angke, 3. Sungai Cirarab, 4. Sungai Sabi,
Keempat sungai diatas mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas dengan muara ke sebelah utara dan berakhir di laut Jawa. Selain sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut diatas adalah Situ Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 126 Ha. Sistem jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi 2, yaitu : • Sistem drainase makro/drainse alam, yaitu sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima.
• Sistem drainase Mikro meliputi saluran primer, sekunder dan tersier dengan total pajang saluran ± 192.763 m. Melihat kondisi eksisting yang ada yaitu : topografi yang relatif datar berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir, curah hujan pertahunnya yang cukup tinggi serta kondisi saluran drainase (primer, sekunder dan tersier) ada yang kondisinya buruk terutama saluran sekunder yang mencapai 52% dari panjang saluran sekunder yang ada maka dapat disimpulkan bahwa KotaTangerang mempunyai potensi genangan.
B. Daerah Rawan Genangan Akibat dari kondisi eksisting saluran drainase yang ada, maka genangan menjadi masalah utama di Kota Tangerang dengan luas genangan sekitar 180,5 Ha tersebar di 49 lokasi pada kawasan permukiman dan jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu maslah mengingat genangan menimbulkan rusaknya alam danmengganggu kualitas lingkungan permukiman. Beberapa wilayah tergenang sampai 72 – 120 jam dengan tinggi mencapai 1,5 m dan wilayah lainberkisar antara 3 – 48 jam dengan tinggi genangan 0,3 – 1 m.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan
Perubaha n penggunaan lahan yang terjadi dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Pada umumnya terjadi dari areal perkebunan dan pertanian menjadi areal perumahan/permukiman, industri dan perdagangan serta jasa. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 2003 per ubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 245% atau arata-rata 5,57% pertahun (Gambar 28, Gambar 29 dan Tabel 10) Luas lahan terbangun pada tahun 1959 baru mencapai 37,18 ha atau 20% dari luas wilayah, sedangkan luas lahan belum terbangun (ruang terbuka hijau) mencapai 148,7 ha atau 80% dari luas wilayah. Dimana pada tahun 1959 pengunaan lahan di Kota Tangerang didominasi oleh perkebunan karet, kebun sayuran dan umbi-umbian dan pertanian lahan basah (sawah) Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28. Pada tahun 2003 luas lahan terbangun mencapai 128,26 ha atau 69% dariluas wilayah dan lruang terbuka hijau seluas 57,62 ha atau 31% dari luas wilayah. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau rata-rata 2,36% pertahun. Perubahan penggunaan yang tinggi terjadi antara akhir tahun 70-an sampai dengan tahun 1997, sedang dari tahun 1997 saat terjadi krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi sampai 2004 berjalan lambat. Pada tahun 1999 pola penggunaan lahan sudah berubah dimana perumahan/permukiman, industri dan ruang terbuka hijau mempunyai dominasi yang hampir sama yang mengisi fisik ruang wilayah Kota
Tangerang (Gambar 29). Luas lahan terbangun pada tahun 1994 mencapai 103,77 ha atau 55,83% dari luas wilayah dan Ruang terbuka hijau seluas 82,11 ha atau 44,17% dari luas wilayah. Tabel 10.
Perbandingan luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang
PENGGUNAAN LAHAN
TAHUN 1959 (A)
TAHUN 1994 (B)
TAHUN 2003 (C)
Areal terbangun
37,18 ha (20%)
103,77 ha (55,83%)
128,26 (69%)
Ruang Terbuka hijau
14,7 ha (80%)
82,11 (44,17%)
57,62 ha (31%)
Sumber : (A) Peta dasar AMS Tahun 1959 (B) RTRW Kota Tangerang Tahun 1994 (C) Tangerang Dalam Angka Tahun 2004
Perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri sebagian besar terjadi di Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Karawaci dan Batuceper, sedang di Kecamatan Benda kecil (Gambar 30 dan Tabel 10). Pada tahun 1959 tidak ada lahan industri, luas lahan terbangun untuk industri pada tahun 1994 seluas 916,25 Ha, sedangkan tahun 2003 mencapai 2.172 Ha atau 11,9% dari luas wilayah. Perubahan lahan dari pertanian dan permukiman menjadi lahan perdagangan dan jasa terjadi di pusat kota dan koridor jalan arteri dan kolektor primer. Luas lahan terbangun untuk perdagangan dan jasa sampai saat ini mencapai 367 Ha atau 2,01% dari luas wilayah kota (Gambar 30 dan Tabel 11). Perubahan lahan dari pertanian ke perumahan/permukiman terjadi di seluruh wilayah kota terutama di wilayah timur (kecamatan Ciledug, Karang Tengah, Larangan) yang berbatasan degan Jakarta. Luas lahan terbangun
untuk perumahan dan fasilitasnya mencapai 8.465 Ha atau 46,4% dari luas wilayah (Tabel 11).
Tabel 11 : Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999 JENIS GUNA LAHAN NO A 1 B I 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 II 2.1 2.2 2.3
Kawasan Lindung Situ Cipondoh Kawasan Budidaya Lahan Terbangun Perumahan, Fasos dan Fasum Industri Bandara Soekarno - Hatta Perdagangan dan Jas a Militer Jalan Lahan Non Terbangun Pertanian dan Ruang Terbuka Golf Lapangan Kuburan Jumlah
JENIS GUNA LAHAN NO A 1 B I 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 II 2.1 2.2 2.3
CILEDUG1) Luas(Ha) %
KECAMATAN CIPONDOH2) Luas(Ha) %
TANGERANG3) Luas(Ha) %
0
0,00
126
3,28
0
0,00
2.000 0 0 75 0 12
74,43 0,00 0,00 2,79 0,00 0,45
1.772 106 0 64 0 17
46,19 2,76 0,00 1,67 0,00 0,44
2.003 436 0 155 0 49
61,59 13,41 0,00 4,77 0,00 1,51
600 0 0 2.687
22,33 0,00 0,00 100,00
1.841 36 0 3.836
47,99 0,94 0,00 100,00
462 111 36 3.252
14,21 3,41 1,11 100,00
JATIUWUNG4) Luas (Ha) %
Kawasan Lindung Situ Cipondoh 0 0,00 Kawasan Budidaya Lahan Terbangun Perumahan, Fasos dan 1.199 33,0 Industri 1.299 35,8 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 Perdagangan dan Jasa 55 1,52 Militer 50 1,38 Jalan 10 0,28 Lahan Non Terbangun Pertanian dan Ruang 1.013 27,9 Lapangan Golf 0 0,00 Kuburan 0 0,00 Jumlah 3.626 100, Sumber : RTRW Kota Tangerang,(Bapeda, 2000) Keterangan : 1) Meliputi Kecamatan Karang Tengah dan Larangan 2) Meliputi Kecamatan Pinang 3) Meliputi Kecamatan Karawaci 4) Meliputi Kecamatan Cibodas dan Periuk 5) Meliputi Kecamatan Neglasari
KECAMATAN BATUCEPER5) Luas %
KOTA BENDA Luas %
Jml
%
0
0,00
0
0,00
126
0,69
850 300 0 18 0 12
45,1 15,9 0,00 0,96 0,00 0,64
655 31 1.969 0 0 0
22,1 1,05 66,4 0,00 0,00 0,00
8.479 2.172 1.969 367 50 100
46,4 11,9 10,7 2,01 0,27 0,55
649 0 55 1.884
34,4 0,00 2,92 100,
309 0 0 2.964
10,4 0,00 0,00 100,
4.874 147 91 18.24
26,7 0,81 0,50 100,
45% 12%
11% 1% 1%
0%
1%
0%
2%
27% Perumahan, Fasos dan Famum Bandara Soekarno - Hatta Militer Pertanian dan Ruang Terbuka Lapangan Golf
Industri Perdagangan dan Jasa Jalan Situ Cipondoh Kuburan
Sumber : Tabel 11 Gambar 30. Proporsi Jenis Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999
18.249 Luas Pemanfaatan Lahan (Ha)
20000 15000
10000 5000
126
0 Kawasan Lindung
Gambar 31.
Kawasan Budidaya
Sumber : Tabel 11 Perbandingan Kawasan Lindung dengan Kawasan Budidaya Tahun 1999
Perumahan Guna
lahan
untuk
kegiatan
perumahan
dan
permukiman
termasuk
penggunaan yang paling dominan dalam pemanfaatan lahan terbangun kegiatannya dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu : Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang tidak tertata dalam skala ruang yang relatif kecil atau yang lazim disebut perkampungan. Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang dibangun secara massal oleh perusahaan atau lembaga pengembang dalam skala ruang yang relatif besar dengan berbagai kelengkapan fasilitas sosial yang umumnya disebut kompleks perumahan.
Masing-masing kegiatan perumahan mempunyai pola sebaran berbeda. Untuk perkampungan yang berada di sekitar pusat kota pada umumnya menunjukkan pola sebaran menerus merapat, sedangkan di lokasi-lokasi lainnya yang relatif jauh dari pusat kota pada umumnya mempunyai pola cluster,
sedangkan
kompleks
perumahan
pada
umumnya
pola
pengembangannya tidak menerus dan menyesuaikan terhadap luas dan bentuk lahan yang berhasil dibebaskan.
Perdagangan dan Jasa Kegitan perdagangan dan jasa dari segi pemanfaatan lahan tersebar di berbagai bagian wilayah kecamatan, tetapi pemanfaatan yang dominan untuk keg iatan ini berada di pusat kota dan sebagian tumbuh pada koridor jalan utama. Dilihat dari segi pengelompokkannya pada suatu lokasi maka dapat dikenali adanya pengelompokkan kegiatan sebagai berikut : Kegiatan perdagangan dan jasa yang teraglomerasi dan relatif luas, berada di pusat kota dan dominan memanfaatkan lahan di lokasi tersebut sehingga membentuk kawasan fungsional perdagangan dan jasa. Kegiatan ini berada pada lokasi : Sepanjang koridor Jalan Ki Asnawi – Pasar Anyar dan sekitarnya – dan Ki Samaun Koridor Jalan Gatot Subroto – Jalan Merdeka dan Terminal Cimone
1. Kegiatan perdagangan dan jasa yang memanfaatkan lokasi strategis, meliputi : • Kegiatan pasar baik tradisional maupun modern/shopping centre • Kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada simpul pergerakan yang menghubungkan beberapa kawasan perumahan, seperti pasar Bengkok dan sebagainya. • Kegiatan yang mengelompok di sekitar Terminal Pasar Baru dan berbagai kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada penggal Jalan M. Toha – Jalan Merdeka 2. Kegiatan perdagagan dan jasa yang tumbuh sepanjang koridor jalan, seperti : • Koridor Jalan MH. Thamrin – Serpong Raya • Koridor Jalan Raya Ciledug – Kebayoran Lama DKI Jakarta, yang membentuk koridor komersial terpanjang di Tangerang, sejak dari awal Jalan Hos Cokroaminoto hingga Cipulir/over pas Kebayoran Lama Jakarta. Termasuk pada koridor ini banyak dipenuhi kegiatan perdagangan dan jasa oleh pelaku sektor informal sebagai pedagang kaki lima. 3. Kegiatan perdagangan dan jasa pada skala kegiatan yang lebih kecil, tumbuh di pusat-pusat blok perumahan seperti ruko pertokoan eceran dan warung-warung. Kegiatan ini hampir tersebar merata di setiap kelurahan/perkampungan maupun komplek perumahan. Untuk lebih jelasnya , sebaran kegiatan perdagangan dan jasa yang ada di Kota Tangerang dapat dilihat pada Gambar 32.
Fasilitas pelayanan umum berupa pasar tradisional masih tetap menjadi tumpuan kegiatan yang relatif besar perkembangannya dan semakin menarik bagi para investor lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya bentuk pengelolaan yang dikelola oleh Dinas Pasar dan yang dikelola swasta. a. Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar di Kota Tangerang diantaranya : 1. Pasar Anyar 2. Pasar Cikokol 3. Pasar Ciledug 4. Pasar Malabar 5. Pasar Bandeng (Perumnas I) 6. Pasar Gerendeng 7. Pasar Jatiuwung (Cibodas) 8. Pasar Ramadhani (Pasar Baru) b. Pasar – pasar lain disamping kedelapan pasar tersebut, yang pengelolaannya bukan oleh Dinas Pasar namun milik perseorangan atau perumahan. Pasarpasar tersebut mengelola baik administrasi pasar maupun masalah kebersihan dilaksanakan sendiri tanpa melalui koordinasi dengan Dinas Pasar.
Kegiatan Industri Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang sebagian besar sebarannya terdapat di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper, Kecamatan Tangerang dan sebagain kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan industri ini mayoritas berlokasi di pada koridor Jalan Daan Mogot-Batuceper sedangkan sebagian lagi pada koridor Sungai Cisadane-Jalan Imam BonjolJalan M.H Thamrin. Kegiatan Industri di Kota Tangerang dapat dikatagorikan sebagai :
1.
Zona Industri Yaitu suatu kawasan yang diperuntukkan dominasinya untuk kegiatan industri dan dikembangkan berdasarkan perizinan secara individual sesuai dengan tingkat kebutuhan. Zona ini yang paling dominan, seperti pada koridor Jalan Daan Mogot, sebagian di Kecamatan Tangerang dan Kecamatan Jatiuwung.
2. Kegiatan Industri Rumah Tangga (Home Industri) Kegiatan ini sesuai dengan kegiatan sebagai industri rumah tangga, hanya memanfaatkan ruang di kawasan lainnya seperti perumahan, perdagangan dan jasa, ruang terbuka bantaran sungai, lahan pertanian dan sebagainya. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan tanpa izin lokasi, namun selama belum menimbulkan gangguan masih dibiarkan tumbuh dan berkembang. Khususnya bagi kegiatan informal industri ini yang berada di bantaran Sungai Cisadane perlu pengarahan dan pengawasan ruang yang lebih ketat. Sedangkan untuk kegiatan home industri yang cenderung teraglomerasi seperti industri pakaian jadi seperti di Cipadu – Ciledug perlu diarahkan dan ditata pengembangannya agar dapat menimbulkan daya tarik investor dan tidak menimbulkan konflik terhadap kegiatan lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran lokasi industri, dapat dilihat pada Gambar 33.
Pesatnya
perkem bangan
Kota
Tangerang
tidak
terlepas
dari
perkembangan Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional, terjadinya perubahan kebijakan dalam pengisian fisik ruang di Jakarta berpengaruh langsung terhadap wilayah hinterlandnya, termasuk Kota Tangerang. Ketidakmampuan
Kota
Jakarta
untuk
menampung
segala
aktifitas
perekonomian dan hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta menyebabkan Kota Tangerang sebagai salah satu wilayah penyangga yang menjadi alternative untuk menampung limpahan kegiatan perekonomian maupun hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta. Pertambahan dan jumlah penduduk bagi Kota Tangerang bersifat dilematis khususnya terhadap kebutuhan dan ketersediaan lahan. Pertama kebutuhan terhadap lahan merupakan hal yang tidak bisa ditawar sehingga lahan merupakan komoditi politik. Semakin besar pertumbuhan maupun jumlah penduduk semakin besar pula kebutuhan dan ketergantungan terhadap lahan. Hal ini bisa dimaklumi kebutuhan terhadap lahan tidak bisa digantikan oleh komoditi lain. Di lain pihak pertumbuhan dan jumlah penduduk yang besar pertumbuhan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang tingi, berarti kebutuhan akan lahan termasuk lahan pertanian untuk permukiman, industri, sarana prasarana serta perdagangan da jasa semakin besar. Oleh karena persediaan lahan (supply) dalam suatu wilayah adalah tetap konflik persaingan penggunaan lahan akan semaikn besar, sehingga tekanan terhadap konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau lainnya sebagai lahan resapan air akan semakin besar pula. Secara
teoritis
pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
cenderung
menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan pesat, hal ini
merupakan sumber pergeseran alokasi lahan . Kondisi ini wajar karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari yang dihasilkan pada lahan pertanian. Secara teoritis
kalau nilai produksi sector pertanian relatif tinggi
terhadap PDRB keseluruhan konversi lahan pertanian masih akan lambat. Suatu wilayah yang mempunyai akses kuat baik jaringan transportasi yang memungkinkan mobilitas barang dan jasa tinggi maupun system pasar penuh distorsi, cenderung akan lebih memihak kepada investor komersial dan memilih swasembada pangan dinamis yang sifatnya relative. Artinya wilayah tersebut lebih mementingkan kemampuan daya beli terhadap komoditi pertanian dan tidak mesti harus memproduksi komoditi pertanian sendiri. Dari perkembangan PDRB dari Tahun 1999 sampai dengan 2003 terlihat PDRB terus meningkat, namun meningkatnya PDRB tidak dibarengi kenaikan pada sector pertanian, sumbangan sector pertanian terhadap PDRB cenderung tetap bahkan ada yang mengalami penurunan, sehingga secara keseluruhan sumbangan sector pertanian terhadap PDRB secara proporsional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (Gambar 34). Pada tahun 1999 Sektor Pertanian menyumbang 21.087.000.000 rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, tahun 2000 menyumbang 20.428.000.000 rupiah, tahun 2001 sebesar 20.190.000.000 rupiah, kemudian pada tahun 2002 sebesar 20.820.000.000 rupiah dan tahun 2003 menyumbang 21.550.000.000 rupiah.
PDRB (Jutaan rupiah)
8000000 7000000 6000000 5000000 4000000
Total PDRB Sektor Pertanian
3000000 2000000 1000000 0
0,36%
0,34
0,32
0,31
0,30
1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 3 4. Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian terhadap Total PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan tahun 1993
Sektor industri merupakan penyumbang terbesar pada PDRB Kota Tangerang lebih dari 50% setiap tahunnya PDRB Kota Tangerang diperoleh dari sektor industri, dari tahun 1999 – 2003 sumbangan sektor industri terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1999 sektor industri menyumbang 3.124.788.000.000 rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, kemudian tahun 2000
menyumbang
3.289.052.000.000
rupiah,
tahun
2001
sebesar
3.378.424.000.000 rupiah, tahun 2002 sebesar 3.542.509.000.000 rupiah dan tahun 2003 menyumbang 3.681.649.000.000 rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang. Hal ini menunjukan bahwa land rent untuk idustri lebih tinggi dari pertanian, sehingga terjadi perubahan lahan pertanian menjadi industri (Gambar 30). Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 25% setiap tahunnya, ini meruakan sumbangan yang cukup besar bagi perkembangan ekonomi di Kota Tangerang dan setiap yahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang 1.465.377.000.000 rupiah tahun 2000 menyumbang 1.540.613.000.000
rupiah, kemudian tahun 2001 sebesar 1.625.467.000.000 rupiah tahun 2002 menyumbang 1.730.071.000.000 rupiah dan pada tahun 2003 sebesar 1.823.775.000.000 rupiah (Gambar 35).
(Dalam Jutaan Rupiah) 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 53,7%
54,3
54,0
52,1
53,5
Total PDRB Sektor Industri
3000000 2000000 1000000 0 1999
2000
2001 2002 Tahun
2003
Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar
35.
Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993
PDRB
Kota
8000000 7000000 6000000 5000000
Total PDRB
4000000 3000000
Sektor
2000000
Perdagangan
1000000 0 1999
2001
2003
Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 36. Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar H arga Konstan Tahun 1993
Sumbangan sektor lainnya diluar sektor peranian, industri dan perdagangan juga menunjukan peningkatan setiap tahunnya, sehngga secara keseluruhan penerimaan PDRB terus meningkat. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan lahan untuk sector lain seperti industri, perdagangan, jasa dan sector lainnya mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sector pertanian. Dengan demikian koversi lahan dari pertanian atau Ruang terbuka hijau menjadi kegiatan lain yang mempunyai nilai ekonomis semakin cepat. Wilayah-wilayah yang mempunyai akses lebih baik cenderung membuat aglomerasi termasuk juga bidang demografis. Pertumbuhan dan jumlah penduduk suatu wilayah belum tentu langsung diterjemahkan dengan kepadatan penduduk . Dua factor pertama tersebut langsung mengakibatkan kepadatan penduduk hanya pada kawasan tertentu yang puna akses baik. Kondisi ini akan berpengaruh pada kemungkinan alih fungsi lahan pertanian lewat permintaan efektif terhadap lahan yang bersangkutan. Sehingga pertumbuhan dan jumlah penduduk pun bisa bersifat mendua. Disatu pihak penduduk merupakan factor produksi untuk sector pertanian karena kebutuhan akan pangan yang meningkat tetapi penduduk juga merupakan factor yang meningkatkan permintaan efektif
terhadap komoditas non
pertanian seperti perumahan sarana dan prasarana umum, lokasi industri serta perdagangan dan jasa. Proses konversi lahan pertanian ke non pertanian hakekatnya merupakan antara Richardian rent dan locational rent sehingga factor lokasi sangat menentukan. Sehinga lokasi relative suatu kawasan terhadap akses kawasan sangat menentukan. Akses kawasan tersebut meliputi jarak terhadap pusat -pusat pertumbuhan maupun jaringan transportasi. Jarak
suatu kawasan diterjemahkan oleh jarak suatu kawasan terhadap Kota Jakarta sebagai pusat primer dan pusat Kota Tangerang sebagai pusat sekunder. Sedang akses jaringan transportasi dicoba didekati dengan frekuensi keramaian lalu lintas yang tercermin dari ada tidaknya transportasi kendaraan umum. Sehingga semakin dekat dengan pus at pertumbuhan dan semakin ramai transportasi kendaraan umum akan mendorong proses konversi lahan pertanian.
Pola Perubahan Sumberdaya Air Perubahan Neraca Air Wilayah Kota Tangerang Kuantifikasi potensi sumberdaya air di daerah penelitian memberikan gambaran mengenai jumlah limpasan permukaan, yang diperoleh dari interaksi antara hujan yang jatuh di wilayah Kota Tangerang, serta jenis liputan
lahan
dan
besarnya
penguapan.
Penguapan
potensial
(evapotranspirasi) di daerah penelitian ini dihitung dengan car a Turc (1952) dan Langbein (1949). Data klimatologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika stasion Tangerang yang wilayah kerjanya mencakup seluruh Kota Tangerang (Tabel 12 dan 13, Gambar 37 dan 38). Tabel 12 : Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam mm) TAHUN 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rata2
JAN
FEB
416 549 267 521 210 326 359 233 594 121
288 292 599 122 294 259 324 175 504 478
359,6
333,5
MAR 253 233 129 80 247 91 109 259 171 148
172
APR
MEI
JUN
JUL
246 123 198 127 113 42 170 209 147 33
7 70 80 3 216 166 201 93 27 101
39 135 71 70 138 56 47 146 46 21
0 116 40 15 87 126 15 114 104 0
140,8
96,4
76,9
61,7
AUG
SEP
0 29 110 0 110 18 59 15 16 23
1 207 46 0 90 22 18 133 0 62
3 90 182 0 217 224 70 195 0 88
152 259 171 100 82 141 195 213 145 68
27 474 150 119 54 226 53 231 105 399
1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542
57,9
106,9
152,6
183,8
1.780,1
38
OKT
NOP
DES
TOTAL
Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang
700
600
Curah Hujan (mm/Bln)
500 Th. 1994 Th. 1995 Th. 1996 400
Th. 1997 Th. 1998 Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001 Th. 2002
300
Th. 2003 200
100
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sumber : Tabel 12 Gambar 37. Grafik Curah Hujan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003
Tabel 13 : Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam °C) TAHUN
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AUG
SEP
OKT
NOP
DES
Temp Rata2 Tahunan
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
26,0 26,6 26,2 26,0 27,8 26,1 26,4 26,7 26,7 27,8
26,7 26,6 26,3 26,2 27,4 26,2 26,3 26,4 26,4 26,7
26,1 26,3 26,7 27,1 27,4 27,2 27,2 26,9 27,4 27,0
27,0 27,0 27,2 26,9 27,7 27,7 27,5 27,4 27,5 27,9
26,9 27,6 27,4 27,3 28,3 27,1 27,6 27,7 27,9 28,0
26,9 27,2 27,1 27,3 27,1 25,9 26,7 26,7 27,6 27,5
26,3 26,7 27,2 26,5 27,0 26,3 27,0 26,6 27,1 27,2
26,4 26,7 26,9 26,6 27,0 26,4 27,0 27,2 27,0 27,5
26,8 27,0 27,4 27,1 27,7 27,4 27,9 27,4 27,9 278
27,8 27,6 26,9 28,0 27,2 27,2 28,0 27,1 28,8 27,9
28,1 26,8 26,9 27,2 27,4 28,8 27,2 27,2 28,4 27,8
27,4 26,8 26,0 27,7 27,4 26,7 27,6 27,3 27,8 27,9
26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6
Temp Rata2 Bulanan
26,6
26,5
26,9
27,4
27,6
27,0
26,8
26,9
27,4
27,7
27,7
27,6
27,1
Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang
Dari data klimatologi stasiun Tangerang diperoleh data Presipitasi rata-rata tahunan dan Suhu udara rata-rata, maka berdasarkan rumus diatas diperoleh besarnya Evapotranspirasi (Table 14).
29,5
29,0
28,5
28,0 Th. 1994 Th. 1995 Th. 1996
Suhu Udara
27,5
Th. 1997 Th. 1998 Th. 1999
27,0
26,5
Th. 2000 Th. 2001 Th.2002
26,0
Th. 2003 25,5
25,0
24,5
24,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sumber : Tabel 13 Gambar 38. Grafik Suhu Udara Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003
Tabel 14. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Periode 1994 – 2004 Rata-rata Tahunan
Temp. Udara (°C)
Presipitasi (mm/thn)
Evapotranspirasi (mm/thn)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1959
26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6 27,5 27,1
1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542 1.409 1.773
1.164 1.525 1.399 985 1.408 1.326 1.296 1450 1.169 1.274 1.194 1.353
Sumber : Dihitung dengan Menggunakan Rumus 13
Dengan demikian maka bisa diketahui besarnya jumlah air yang secara potensial menguap kembali sebesar (1.369/1780) x 100% = 76,9%. Selanjutnya
dengan
mengetahui
curah
hujan
dan
perhitungan
evapotranspirasi, aliran air limpasan permukaan dapat dihitung dengan menggunakan table koefisien run -off (C) dari U.S Forest Service. Dimana berdasarkan karakteristik wilayah ditetapkan bahwa koefisien run off untuk
kawasan terbangun sebesar 0,7 artinya dari air hujan yang jatuh ketanah 70% berpotensi menjadi run off, sedangkan untuk Ruang terbuka hijau 0,2. Perhitungan run off didasarkan pada dua criteria yaitu kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau, dimana run-off (RO) = (P – ET) x C x luas wilayah. Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% Run off pada tahun 2004 adalah 21.780.489 m3 (54,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 run off sebesar 23.868.348 m3 (48%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 18,59 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 run off sebesar 18.736.704 m3 (24%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah. Infiltrasi dihitung dengan menggunakan rumus F = (P – ET) x (1 – C) x luas wilayah, infiltrasi dihitung untk kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau keduanya dijumlahkan menjadi total infiltrasi. Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% infiltrasi pada tahun 2004 adalah 18.183.711 m3 (45,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 infiltrasi sebesar 25.947.492 m3 (52%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 37,18 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 infiltrasi sebesar 59.332.896 m3 (76%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah. Dari hasil perhitungan neraca air (Table 15 dan Gambar 41) yang dilakukan pada tahun 1959, 1994 dan 2003 terlihat adanya kenaikan dalam run-off dari
tahun ketahun, sedangkan infiltrasi terus menurun hal ini disebabkan terus meningkatnya kawasan terbangun. Pada tahun 1959 sampai tahun 1994 infiltrasi lebih bear dari run off, sedangkan pada tahun 2003 infiltrasi lebih kecil dari run-off. P = Presipitasi ET = Evapotranspirasi F = Infiltrasi RO = Run-Off C = Koefisien Run Off
P
P
P
E T
E T R O C= 0,2
Ruang Terbuka Hijau
P r
Kawasan Terbangun F C = 0,7
F
R O
P r F
R O
Gambar 39. Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian (Saefulhakim,2005) Tabel 15. Hasil Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004
Guna Lahan
Luas Lahan (Km2)
Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total
128,26 57,62 185,88
Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total
103,77 82,11 185,88
Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total
37,18 148,70 185,88
P (mm)
1.409
1.432
1.773
ET (mm)
F (m3)
RO (m3)
Perbandingan F vs RO (%)
1.194
8.272.589 9.911.122 18.183.711
19.302.709 2.477.780 21.780.489
45,5 : 54,5
1.164
8.343.108 17.604.384 25.947.492
19.467.252 4.401.096 23.868.348
52 : 48
1.354
9.368.352 49.964.544 59.332.896
6.245.568 12.491.136 18.736.704
76 : 24
Sumber : Tabel 14 dan Gambar 41 Simbol : Keterangan simbol sama dengan Gambar 41
(m3/Th) 60000000 50000000 40000000 Infiltrasi Run Off
30000000 20000000 10000000 0 Th. 1959 Th. 1994 Th. 2003
Sumber : Tabel 15 Gambar 40. Perbandingan Infiltrasi dan Run Off
Debit Sungai Cisadane Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane di Stasiun pengamat Pasar Baru Tangerang menunjukan bahwa debit bulanan berfl uktuasi mulai dari 41,6 m 3/det pada bulan Agustus hingga 103,1 m 3/det pada bulan Februari, Pada stasiun pengamatan Serpong fluktuasi debit ratarata bulanan Sungai Cisadane dari tahun 1960 – 2000 menunjukan bahwa debit bulanan berfluktuasi mulai dari 10,15 m 3/det pada bulan Agustus hingga 366,1 m3/det pada bulan Februari. Pada musim penghujan fluktuasi debit relatif tinggi seiring dengan tingginya curah hujan, namun pada musimkemarau fluktuasi debit tidak sejalan dengan fluktuasi curah hujan. Pada musim kem arau, meskipun curah hujan rendah (< 100 mm/bln), namun fluktuasi debit pada bulan-bulan tertentu masih relatif tingi (42 – 75 m3/det). Hal ini disebabkan bahwa debit Sungai Cisadane tidak hanya tergantung
pada curah hujan di Kota Tangerang dan sekitarnya, namun juga juga tergantung pada kondisi curah hujan di bagian hulu, di wilayah Bogor dan sebagian Kabupaten Tangerang di bagian hulu. Fluktuasi debit dapat dilihat pada Tabel 16, Gambar 43 dan Lampiran 6. Tabel 16.
Fluktuasi debit Sungai Cisadane yang Te rukur di Stasiun Pengamatan Pasar BaruTahun 1999 – 2004
Parameter
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Q-max
386,2
348,0
208,7
371,5
298,5
308,3
318,1
208,7
239,9
378,1
385,5
232,2
Q-rata2
81,1
87,5
56,8
70,1
80,2
65,1
52,8
41,6
51,2
75,3
81,0
59,0
Q-min
17,1
14,9
6,6
14,3
21,0
16,2
12,6
6,0
4,9
6,2
20,1
9,5
Sumber : Dokumen Amdal PDAM Kabupaten, 2005
Berdasarkan Tabel 16 memperlihatkan fluktuasi bulanan debit maksimum, debit minimum dan debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang, sedangkan Gambar 43 memperlihatkan secara visual fluktuasi debit rata-rata dan debit minimum bulanan dari tahun 1999 – 2004 450,0
400,0
350,0
Debit (m3/det)
300,0
250,0
Q-max Q-rata2 Q-min
200,0
150,0
100,0
50,0
0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sumber : Tabel 16 Gambar 41. Grafik Flukuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 - 2004
Data debit rata-rata bulanan yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang memperlihatkan pada periode Oktober – Februari dan Periode Maret – Mei, debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane berkisar antara 75,3 – 87,5 m 3/det berada di atas rata-rata tahunan sebesar 66,8 m 3/det. Sedangkan selama periode Mei – September, Desember dan Maret, debit rata-rata bulanan berada di bawah rata-rata tahunan, yaitu berkisar antara 41,6 - 65,1 m3/det. Debit Sungai Cisadane yang diamati antara tahun 1950 – 2000 terlihat perbedaan debit maksimum dan minimum dari tahun 1950 – 1990 tidak terlalu besar dan cenderung stabil. Tahun 1990 – 2000 perbedaan debit maksimum dan minimum menunjukan angka yang lebih besar dari tahuntahun sebelumnya dan perbedaan keragaman debit sungai ini cenderung semakin besar (Gambar 44).
Grafik Debit Bulanan Tahun 1950 - 2000 400
350
300
Debit (m3/det)
250
200
150
100
50
0
Sumber : Lampiran 6 Gambar 42 . Fluktuasi Debit Bulanan Sungai Cisadane Tahun 1959 - 2000
600
500
400
300
200
100
0
Bulan
Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil dari tahun 1950 – 1995, namun dari tahun 1995 – 2000 terjadi lonjakan nilai keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya (Gambar 45 dan Lampiran 7).
Grafik Varian Debit Sungai Tahun 1950 - 2000 14000
12000
10000
Varian
8000 Series1 6000
4000
2000
0 1940
1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010
Tahun
Sumber : Lampiran 6 Gambar 43 . Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000
Koefisein Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil dari tahun 1950 sampai pertengahan dekade 90, namun pertengahan dekade 90 terjadi lonjakan nilai koefisien keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelum dan sesudahnya, pada akhir dekade 90 koefisien keragaman kembali normal sama seperti sebelum pertengahan dekade 90 (Gambar 46 dan Lampiran 7).
Koefisien Keragaman Debit sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000 0.9
0.8
0.7
Covarian
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 1940
1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010
Tahun
Sumber : Lampiran 6 Gambar 44 . Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000
180.00
160.00
DEBIT RATA-RATA TAHUNAN (m3/det)
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00 TAHUN TAHUN
Sumber : Lampiran 6 Gambar 45. Grafik Rata-rata Tahunan Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000
Debit Sungai Cisadane rata-rata tahunan dari tahun 1950 – 2000 menunjukan debit rata-rata tahunan yang fluktuatif, secara umum fluktuasi debit tahunan menunjukan keseragaman, namun terdapat debit rata-rata yang sangat tinggi di atas 100 m3/det pada 5 titik tahun, yaitu pada tahun 1958, 1972, 1981, 1996 dan tahun 2000. Perbedaan fluktuasi debit Sungai Cisadane, Keragaman dan koefisien keragaman yang menunjukan kenaikan yang signi fikan pada dekade 90 an diduga akibat perubahan pengunaan lahan yang menunjukan perkembangan yang sangat besar yang terjadi pada dekade 90, dimana booming perumahan dan industri mencapai klimaks pada dekade ini. Perubahan penggunaan lahan tersebut berakibat pada meningkatnya debit sungai pada musim hujan dan menurunnya debit sungai pada musim kemarau akibat dari semakin kecilnya pasokan air tanah terhadap sungai pada musim kemarau dan besarnya pasokan run off pada musim hujan.
Kondisi Hidrogeologi Data hasil penafsiran geolistrik yang dilakukan Tahun 2004 (Gambar 48 dan Lampiran 8) menunjukan bahwa muka air tanah dangkal di Kota Tangerang bervariasi antara 8 – 20 m dibawah permukaan tanah atau rata rata tinggi muka air tanah dangkal 14 meter dengan ketebalan akifer rata-rata 16 m.
Sumber : Identifikasi dan Pemetaan Konservasi Air Tanah Kota Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 Gambar 46. Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Data Geolistrik
Sedangkan berdasarkan data sumur bor (Dinas Lingjungan Hidup) kedalaman muka air tanah dangkal antara 2 – 12 m atau atau rata-rata 7 m. Pada tahun enam puluhan kedalaman muka air tanah dangkal daerah Jakarta rata-rata 5 m dibawah permukaan tanah (Muif, 1991), dengan melihat adanya kesamaan pada beberapa parameter antara lain litologi, dimana Jakarta dan Tangerang didominasi oleh endapan alluvial, dilihat dari hidrogeologi dimana Cekungan Air Tanah sebagian wilayah Tangerang termasuk dalam Cekungan air tanah Jakarta, kemudian dari hidrologi Wilayah Tangerang dan sebagian wilayah Jakarta termasuk dalam DAS Cisadane, kemudian dalam hal morfologi/topografi Jakarta dan Tangerang mempunyai kesamaan yaitu merupakan dataran dengan elevasi yang hampir sama dan dari data klimatologi hampir ada kesamaan antara Jakarta dan Tangerang, maka dapat di simpulkan bahwa muka air tanah di wilayah Tangerang pada tahun enam puluhan berada pada kedalaman rata-rata 5 m di bawah permukaan tanah. Sehingga bisa diketahui bila mengacu pada
hasil penafsiran geolistrik telah terjadi penurunan muka air tanah dangkal setinggi 9 m dalam kurun waktu empat puluh tahunan. Sedangkan bila mengacu pada data sumur bor penurunan muka air tanah dangkal hanya 2 meter selama 45 tahun. Dengan demikian penurunan muka air tanah dangkal yang terjadi rata-rata 4,4 cm/tahun. Bila dikonversikan dengan perubahan penggunaan lahan terjadi penurunan muka air tanah dangkal sebesar 0,816 cm setiap 1% perubahan guna lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Perubahan penurunan air tanah dangkal dapat dilihat pada Gambar 49.
7 6 5 4 3
Data Sumur
2 1 0 Tahun 1959
Tahun 2004
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Gambar 47. Perubahan Tinggi Muka Air Tanah Dangkal
Tinggi muka air pada akifer dalam berada pada kedalaman 40 sampai 100 m atau rata-rata 70 m dibawah permukaan tanah (Lampiran 8). Jenis air tanah dalam dari hasil interpretasi geolistrik merupakan air asin, hal ini menunjukan bahwa kondisi air tanah dalam telah terintrusi oleh air laut, hal ini terjadi
dimana pengambilan air tanah dalam yang sebagian besar digunakan untuk keperluan industri lebih besar dari infiltrasi yang masuk kedalam cekungan air tanah Tangerang, sehingga kekosongan akibar terjadinya eksploitasi air tanah secara besar-besaran terisi oleh air laut yang mendesak ke daratan. Perbedaan kedalaman muka air tanah dalam yang signifikan terdapat pada kawasan industri, dimana pada kawasan industri mempunyai kedalaman yang lebih besar dari wilayah sekitarnya, Hal ini terjadi akibat dari pengambilan air tanah dalam yang intensif yang dilakukan oleh perusahaan untuk kegiatan industri.
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terletak pada 1060 28’50” - 1060 56’20” BT dan 60 0’59” - 60 47’02” LS, yang meliputi 202 desa dalam 18 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, 33 kelurahan dalam 3 kecamatan di wilayah Kota Bogor, 80 desa dalam 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang dan 43 kelurahan dalam 10 kecamatan di wilayah Kota Tangerang. Berdasarkan penafsiran Citra Landsat tahun 2001 dan peta topografi skala 1 : 50.000 las DAS Cisadane seluas 156.043 Ha. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada peta wilayah pada Lampiran 1.
Topografi Topografi di wilayah DAS Cisadane bervariasi dari bergelombang berbukit dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 meter sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut. Klas kelerengan di DAS Cisadane
beragam dari yang datar sampai yang sangat curam. Kelas kelerengan datar menempati wilayah seluas 114.153 ha (73,15%), Kelas kelerengan curam seluas 16.320,5 ha (10,46%) dan Kelas kelerengan sangat curam seluas 25.569,5 ha (16,44%). Morfologi DAS Cisadane bisa dilihat pada peta geomorfologi pada Lampiran 2. Tanah dan Geologi Tanah-tanah di wilayah DAS Cisadane terdiri dari berbagai jenis seperti Aluvial, Regosol, Andosol, Rensina, Grumosol Mediteran dan Latosol yang mempunyai erodibilitas dan kedalaman yang berbeda. Erodibilitas tanah ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan-bahan organik tanah Penyebaran tanah di DAS Cisadane dalah sebagai berikut : Tanah aluvial, mempunyai tekstur seperti liat (clay), berdebu (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat berdebu (silty clay loam), tanah ini penyebarannya seluas 23.290,5 ha. Tanah
Regosol ,
brtekstur
gumpal
dengan
permeabilitas
sedang,
erodibilitasnya tergolong agak tinggi dan mempunyai kedalaman tanah yang dangkal. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas 9.404 Ha. Tanah Andosol, berteksturlempung (loam) dan mempunyai struktur antara sedang, kasar sampai gumpal serta permeabilitas yang dominan sedang dengan kandungan bahan organik antara 2,63 – 6%. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas 25.329 Ha. Tanah Latosol, bertekstur liat (clay) dengan kandungan bahan organik antara 1,24 – 6,93% struktur gumpal, permeabilitas sedang sampai lambat
dan kedalaman solum 90 cm. Penyebaran tanah latosol ini meliputi areal seluas 91.462,8 ha. Tanah Podsolik, merupakan tanah merah yang mempunyai spektrum yang sangat luas. Dalam keadaan alam kesuburan tanah hanya terbatas pada lapisan berbahan organik di atas, dan bila digunakan kurang maksimal, kesuburannya cepat menurun. Pembakaran akan mempercepat merosotnya kesuburan kimia dengan merusak struktur tanah, untuk merehabilitasi kembali sangat sukar. Tanah ini dikenal kemiskinannya akan Ca, N, P dan K serta unsur makro, MO dan S karena jeleknya sifat kimia dan fisik tanah. Tanah podsolik ini merupakan tanah marginal untuk pertanian berumur panjang. Umumnya tanah podsolik lebih sesuai untuk tanaman tahunan misalnya tanaman perkebunan dan kehutanan. Daerah penyebarannya meliputi areal seluas 6.556,7 ha. Untuk lebih jelasnya penyebaran jenis tanah di DAS Cisadane bisa dilihat pada Lampiran 3.
Ikilm Wilayah DAS Cisadane mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dan mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan berlangsung antara bulan Nopember hngga bulan april sedangkan musim kemarau antara bulan Juni hingga Oktober. Curah hujan adalah salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh besar terhadap proses erosi. Semakin tinggi intensitas hujan dan semaki lama jatuh maka erosi yang terjadi akan semakin besar apabila faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses terjadinya erosi tidak berbeda. Curah hujan rata-
rata pertahun selama lima tahun di DAS Cisadane brkisar antara 1.731 mm sampai dengan 5.098 mm.
Vegetasi Penutup Lahan Keadaan vegetasi di DAS Cisadane dapat dibedakan menjadi vegetasi yang terdapat didalam kawasan hutan dan yang berada di luar kawasan hutan. Vegetasi penutup lahan disini diartikan sebagai prosentase penutupan lahan oleh tanaman, baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Penutupan lahan di DAS Cisadane didominasi oleh jenis tanaman perkebunan berupa tanaman perkebunan, jenis tanaman palawija, sayuran dan tanaman semusim
lainnya
meliputi
sawah
seluas
54.960,5
ha
dengan tipe
penggunaan sebagai tegalan/ladang, kebun campuran dan tanah pertanian terpadu seluas 9.193,2 ha, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas 24.898,4 ha, semak belukar seluas 11.261,5 ha, vegetasi berupa hutan menurut fungsinya seluas 15. 736,1 ha dan tambak seluas 3.016 ha serta pengguaan lahan untuk permukiman seluas 36.977,3 ha. Peta penggunaan lahan DAS Cisadane disajikan dalam Lampiran 4.
Hidrologi Debit maksimum di wilayah DAS Cisadane sebesar 415,66 m³/detik pada tinggi muka air 3,19 m dan debit minimum sebesar 78,19 m³/detik pada tinggi muka air 0,96 m. Keadaan aliran tersebut menunjukan nilai koefisien regin sungai (KRS) sebesar 5,13 yang memberikan indikasi bahwa kontinuitas aliran di DAS Cisadane tidak normal. Peta Daerah Tangkapan air disajikan dalam Lampiran 5 .
Neraca Air DAS Cisadane Dalam perhitungan neraca air DAS digunakan asumsi bahwa rata-rata kedalaman efektif tanah adalah 100 cm. Dalam perhitungan neraca air DAS, dimana DAS Cisadane mencakup wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang, digunakan data curah hujan bulanan dari tiga stasiun pencatat hujan yang masing-masing mewakili wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang. Bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Bogor sekitar 0,51, bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Serpong sekitar 0,31, dan bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Tangerang sekitar 0,18 dari seluruh wilayah DAS. Melalui pembobotan yang didasarkan pada luas cakupan representasi masing-masing stasiun hujan, maka kemudian ditentukan nilai curah hujan wilayah terboboti yang mewakili DAS Cisadane. Nilai-nilai curah hujan pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa curah hujan wilayah DAS Cisadane (Chwil berkisar antara 75 mm/bln pada bulan Agustus hingga 299 mm/bln pada bulan Maret. Sedangkan evaporasi potensial (ETP) diduga berkisar antara 110 mm/bln pada bulan februari hingga153 mm/bln pada bulan September. Kondisi
CHwil
dan
ETP
yang
berfluktuasi
tidak
seirama
mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil
lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya antara 1-33 mm/bulan (Gambar 47), dan dip erkirakan debit sungai Cisadane akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan selama periode surplus. Tabel 17. Analisa Neraca Air DAS Cisadane Satu an
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Tahu nan
CH Bogor
mm
282
329
370
331
259
204
134
88
230
289
358
396
3270
CH Serpong
mm
254
254
220
210
185
86
60
91
97
137
211
207
2012
CH Tangerang
mm
293
243
233
100
79
31
19
13
22
79
109
111
1332
CH-Wilayah
275
290
299
252
203
136
90
75
151
204
268
286
2529
ETO
mm mm/ hari
4,1
3,9
4,1
4,3
4,3
4,3
4,7
4,8
5,1
4,7
4,2
3,9
4,4
Jumlah Hari
hari
31
28,3
31
30
31
30
31
31
30
31
30
31
ETP
mm
127
110
127
129
133
129
146
149
153
146
126
121
1596
CH- ETP
mm
148
180
172
123
70
7
-55
-73
-2
58
142
165
935
APWL
mm
0
0
0
0
0
0
-55
-129
-131
0
0
0
KAT
mm
150
150
150
150
150
150
103
63
62
120
150
150
DKAT
mm
0
0
0
0
0
0
-47
-40
-1
58
30
0
ETA
mm
127
110
127
129
133
129
137
116
152
146
126
121
1553
Defisit
mm
0
0
0
0
0
0
9
33
1
0
0
0
43
112
16 5
977
Parameter
Surplus
mm
148
180
172
123
70
7
0
0
0
0
Sumber : Dokumen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang, 2005
Kondisi
CHwil
dan
ETP
yang
berfluktuasi
tidak
seirama
mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil
lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Ya ng besarnya antara 1-33 mm/bulan (Gambar 50), dan diperkirakan debit sungai Cisadane akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan selama periode surplus 160
140
Tinggi Kolom Air Tanah (mm/Bln)
120
100
80
60
40
20
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sumber : Tabel 17
Gambar 48. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane 200
Tinggi Kolom Air (mm/Bln)
150
100
50
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-50 Bulan
Sumber : Tabel 17
Gambar 49. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane
Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air Seperti dibahas dalam perhitungan neraca air Kota Tangerang yang dihitung pada tiga titik tahun yang berbeda, dimana pada tahun 1959 dengan luas wilayah terbangun baru 20%, volume infiltrasi jauh lebih besar dari run off dimana infiltrasi sebesar 76% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sedangkan run off hanya 24%, kemudian pada tahun 1994 dimana luas lahan terbangun sebesar 55,83% infiltrasi sebesar 52% sedangkan run off sebesar 48%, pada tahun 2003 dimana luas lahan terbangun mencapai 69%, infiltrasi yang terjadi sebesar 45,5% dan run off sebesar 54,5%. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah tergantung dari jenis penggunaan lahan yang ada, makin banyak lahan terbangun yang merupakan perubahan dari pertanian/ruang terbuka hijau menjadi penggunaan lahan lain seperti perumahan, industri maupun perdagangan dan jasa, makin kecil air hujan yang meresap kedalam tanah dan menjadi cadangan air tanah. Disisi lain kebutuhan terhadap air tanah dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pengguna air tanah terbesar adalah untuk rumah tangga yang memanfaatkan air tanah dangkal dan industri yang memanfaatkan air tanah dalam. Total volume pengambilan air tanah dalam pada tahun 2004 adalah 13.977.201 m3. Untuk lebih jelasnya kebutuhan terhadap air tanah dalam oleh berbagai kelompok pengguna air tanah dapat dilihat pada Lampiran 9 dan untuk menghitung penggunaan air tanah dangkal
oleh
masyarakat/rumah
tangga
dengan
menghitung
jumlah
penduduk dikalikan standar kebutuan air bersih dikurangi distribusi air PDAM untuk rumah tangga. Hasil perhitungan pengambilan air tanah oleh kelompok
rumah tangga dibahas dalam sub bab ekonomi air dan tabel perhitungan total kebutuhan terhadap air bersih berdasarkan jumlah penduduk dan total suply air PDAM untuk rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 10. Dengan menurunnya cadangan air tanah maka air permukaan semakin meningkat, sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan tentang neraca air bahwa jumlah air secara keseluruhan adalah tetapp, jadi bila terjadi pengurangan pada salah satu variabel maka akan terjadi peningkatan pada variabel yang lain. Peningkatan jumlah/debit air permukaan yang tidak terkendali dapat menimbulkan bahaya banjir. Perubahan ketersediaan sumberdaya air yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan ditampilkan dala Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18 . Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004
Kondisi Lahan
Luas Lahan (Km2)
(%)
Infiltrasi (F) (m3)
Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total
128,26 57,62 185,88
69 31 100
8.272.589 9.911.122 18.183.711
Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total
103,77 82,11 185,88
55,83 44,17 100
8.343.108 17.604.384 25.947.492
Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total
37,18 148,70 185,88
20 80 100
9.368.352 49.964.544 59.332.896
Run-Off (RO) (m3)
(%)
(%)
45,5
19.302.709 2.477.780 21.780.489
54,5
52
19.467.252 4.401.096 23.868.348
48
76
6.245.568 12.491.136 18.736.704
24
Sumber : Tabel 15
Seperti pada pembahasan sebelumnya perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun memerikan dampak
terhadap menurunya infiltrasi sebagai pasokan terhadap keberadaan air tanah, dengan demikian muka air tanah pun akan menurun. Penurunan muka air tanah bisa dilihat dengan membandingkan pada waktu yang berbeda, dalam penelitian ini dibandingkan penurunan muka air tanah dan kondisi lahan pada tahun 1959 dengan tahun 2004 seperti pada Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 TAHUN
RTH (%)
1959 2004
80 31
MUKA AIR TANAH (m) GEOLISTRIK SUMUR
14
5 7
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang
Berdasarkan data yang curah hujan dan suhu udara rata-rata tahunan Kota Tangerang yang diperileh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Tangerang diperoleh grafik curah hujan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum cenderung konstan (Gambar 52), sedangkan suhu udara rata-rata tahunan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum terlihat menunjukan kenaikan (Gambar 53 ), Kenaikan suhu udara diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi kegiatan industri dan prasarana jalan yang semakin besar untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan bermotor, kedua kegiatan tersebut bisa mengakibatkan polusi udara yang mengikis lapisan ozon yang merupakan filter bagi bumi dari panasnya sinar matahari, dengan demikian sinar matahari lebih besar ang menembus lapisan ozon yang mengakibatkan suhu udara mengalami peningkatan.
3000
CURAH HUJAN RATA-RATA TAHUNAN (mm)
2500
2000
1500
Series1
1000
500
0 1
2
3
4
5
6
7
8
TAHUN KE (1994 - 2000)
Sumber : Tabel 12 Gambar 50. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Kota Tangerang 1994 - 2000
27.5
27.4
SUHU UDARA RATA-RATA TAHUNAN (C)
27.3
27.2
27.1
27.0
Series1
26.9
26.8
26.7
26.6
26.5 1
2
3
4
5
6
7
TAHUN KE (1994 - 2000)
Sumber : Tabel 13 Gambar 51 . Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2000
Debit Sungai Cisadane dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum cenderung meningkat (Gambar 54), meskipun curah hujan yang turun dalam kurun waktu tersebut cenderung tetap. Peningkatan debit Sungai Cisadane diduga sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka menjadi areal terbangun. Dengan terus terjadinya perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun menyebabkan curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan diteruskan kedalam tanah menjadi aliran air tanah semakin berkurang, sebaliknya aliran permukaan terus meningkat yang merupakan pasokan bagi Sungai Cisadane sehingga debit sungai mengalami peningkatan.
180.00
160.00
140.00
Debit (m3/det)
120.00
100.00 Series1 80.00
60.00
40.00
20.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
Tahun
Sumber : Lampiran 6 Gambar 52 . Grafik Debit Sungai Cisadane Rata-rata Tahunan Tahun 1994 - 2000
Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent Perubahan land rent selain dipengaruhi oleh lokasi yang strategis antara lain jarak dari pusat kota atau pusat pelayanan dan aksesibilitas yang tinggi, juga land rent dapat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan. Land rent bisa berubah dengan berubahnya fungsi lahan atau aktifitas perekonomian. Dalam survey yang dilakukan terhadap beberapa lokasi serta penggunaan lahan yang berbeda menunjukan perbedaan land rent pada penggunaan lahan yang sama dengan jarak yang berbeda dengan pusat kegatan (pusat kota) juga terdapat perbedaan nilai land rent pada lokasi yang sama namun penggunaan lahan berbeda. Berikut akan disampaikan beberapa nilai land rent berdasakan lokasi dan penggunaan lahan. Pada lokasi yang paling jauh dari pusat kota di dekat pantai Kramat Kecamatan Sepatan banyak terdapat kegiatan tambak sebagian petani tambak mempunyai lahan sendiri sebagian lagi mengusahakan dengan cara sewa. Harga sewa lahan untuk tambak di daerah tersebut pada umumnya sebesar Rp. 2.500.000,- /hektar/tahun, sedangkan untuk harga sewa rumah tinggal permanen antara Rp. 1.000.000,- sampai dengan 1.500.000,- untuk bangunan permanen dengan luas bangunan 45 m2 diatas tanah 90 m2. Untuk lokasi yang tidak jauh dari pusat kota yang terletak di Kecamatan Cibodas terdapat beberapa tanah kosong yang disewakan sebagai penampung bahan material seperti pasir, batu dll. Harga sewa lahan kosong yang berlaku di lokasi tersebut sebesarRp. 5.000.000,- pertahun untuk setiap luas tanah 1.000.000 m2. Sedangkan harga sewa rumah tinggal pada perumahan yang berdekatan dengan lokasi tersebut berkisar antara Rp. 8.000.000,- sampai dengai Rp. 10.000.000,- untuk rumah tinggal dengan
luas bangunan 54 m2 diatas tanah 120 m2. Sedangkan harga sewa untuk ruko yang terletak dipinggir jalan pada lokasi yang sama harga sewa ruko rata-rata Rp. 15.000.000,- untuk ruko dua lantai ukuran 4 x 15 m2 dengan luas tanah 60 m2. Pada daerah industri yang terdapat banyak sewaan rumah/kamar yang diperuntukan bagi pekerja industri harga sewa perkamar rata-rata Rp. 200.000,- perbulan atau Rp. 2.400.000,- pertahun untuk kamar ukuran 3 x 4 m2 dengan halaman/eras berukuran 1 x 3 m2. Pada lokasi yang terletak di pusat kota tidak terdapat lahan kosong yang disewakan sebagai tempat usaha. Tempat usaha yang disewakan masih terdapat dalam bangunan pasar modern (mall) pada umumnya toko yang berada di lingkungan mall sudah dibeli oleh pemilik toko, namun masih terdapat toko dalam mall di pusat kota yang disewakan oleh pembeli ruko tersebut harga sewa toko di dalam mall rata-rata sebesar Rp. 1.000.000,perbulan atau Rp. 12.000.000,- pertahun untuk toko berukuran 3x4 m2. Disini terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap perubahan nilai land rent, Land rent berubah seiring dengan berubahnya fungsi lahan. Dari uraian diatas berdasarkan survey dilapangan semakin jelas bahwa nilai land rent dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lokasi (jarak dari pusat kota/pusat kegiatan, aksesibilitas dan fasilitas penunjang) serta faktor fungsi kegiatan (penggunaan lahan).
Kondisi Ekonomi Air Perilaku Supply - Demand Air Kota Tangerang, dengan pertumbuhan penduduknya yang pesat, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,51 %. Jumlah penduduk Kota Tangerang pada akhir tahun 2003 adalah berjumlah 1.466.577 juta jiwa denga jumlah rumah tangga sebanyak 368.858 yang tersebar pada 4.292 Rukun Tetangga (RT), 901 Rukun Warga (RW), 103 kelurahan dan 13 kecamatan. Besarnya
pertambahan
jumlah
penduduk
telah
meningkatkan
permintaan terhadap air bersih terutama untuk keperluan air minum dan sanitasi di wilayah Kota Tangerang. Menurut WHO kebutuhan air standar perorangan untuk kota Metropolitan itu adalah 125 liter/ orang/ hari, jika mengikuti standar kesehatan WHO ini untuk memenuhi kebutuhan air penduduk
Kota
Tangerang,
dengan
jumlah
penduduk
tahun
2004
diperkirakan sebesar 1,518.053 jiwa, maka kebutuhan air penduduk Kota Tangerang pada tahun sekarang adalah 189.757 m 3/ hari atau setara dengan 69.261.305. m 3 /tahun. Sementara itu, kapasitas produksi PDAM Kota Tangerang pada tahun 2004 adalah sebesar 1.560 liter/detik yang setara dengan 134.784 m3/ hari atau setara dengan 49.196.160 m3/ tahun, dari lima instalasi penjernihan air yang dimiliki oleh PDAM Kota Tangerang dua instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 350 l/det, PDAM Kabupaten Tangerang tiga instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 1.200 l/det dengan wilayah pelayanan mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang dan perusahaan swasta satu instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 10 l/det. Air dari PDAM yang
terdistribusi kepada konsumen pada tahun 2004 sebesar 20.974.992 m3 untuk berbagai golongan konsumen, untuk konsumsi rumah tangga sebesar 16.232.586 m3. Sehingga dari data ini hanya sebagian kecil kebutuhan air penduduk yang terlayani oleh PDAM Kota Tangerang. Yakni hanya sekitar 23,44 % dari kebutuhan standart penduduk Kota Tangerang. Besarnya kebutuhan air penduduk Kota Tangerang ini telah menyebabkan penduduk di wilayah ini menggunakan sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan air mereka melalui pemompaan air tanah, sumur, dan lain sebagainya. Penduduk yang menggunakan air alternatif yang tidak menggunakan air PDAM sebesar 76,56% dari kebutuhan penduduk atau sebanyak 53.028.582 m3. Diasumsikan sumber air alternatif lain adalah air tanah dangkal berdasarkan perhitungan neraca air air yang meresap kedalam tanah menjadi cadangan air tanah pada tahun 2004 sebesar 18.183.711 m3. Disini terlihat bahwa suply air tanah (infiltrasi) lebih kecil dari demand, pada kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah. Seiring dengan trend perkembangan jumlah penduduk di wilayah Kota Tangerang, maka kebutuhan terhadap air minum dan sanitasi akan terus meningkat hal ini terlihat dari grafik kebutuhan air yang cenderung meningkat (Gambar 57). Hal ini disebabkan karena Kota Tangerang tetap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kesempatan kerja serta ekspektasi yang besar bagi imigran dari daerah lain untuk mencari kerja dan menetap di Kota Tangerang atau yang mencari kerja di jakarta dan tinggal di Tangerang sebagai komuter. Disamping itu, meningkatnya permintaan air bersih PDAM oleh penduduk Kota Tangerang juga lebih banyak disebabkan oleh
tidak bisa
dimanfaatkannya air sungai yang ada karena tercemar oleh sampah, plastik, limbah rumah tangga dan industri, tingginya sedimentasi air sungai karena erosi yang menyebabkan tingkat kekeruhan air sungai lebih tinggi. Sehingga air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan lagi sebagai air untuk keperluan mencuci, memasak, apalagi untuk keperluan air minum.
IPA MEKARSARI 350 l/det IPA BABAKAN 80 l/det
IPA CIKOKOL 1.100 l/det IPA PERUMNAS 120 l/det Sumber : PDAM Kabupaten Tangerang, 2005 Gambar 5 3. Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM
1550000 1500000 1450000 1400000 1350000 1300000 1250000 1200000 1150000 1100000
1.518.053 1.466.57 7 1.416.84 2 1.354.22 6 1.311.74 6
Jumlah Penduduk
1.267.54 7
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber Kota Tangerang dalam Angka, 2005 (Bapeda) Gambar 54. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang
Kebutuhan Air Bersih (m3) 69.261.365
70000000 68000000 66000000 64000000 62000000 60000000 58000000 56000000 54000000 52000000
66912576
64.643.416 61.786.561 59.831.832 57.831.832
1999
2001
2003 Tahun
Sumber Perhitungan dari Gambar 53 dengan standar WHO Gambar 55. Grafik Jumah Perkembangan Kebutuhan Air (Asumsi Kebutuhan Air Standar WHO 125 liter/hari/orang)
Jika dilihat dari potensi sumberdaya air yang dimiliki oleh wilayah Kota Tangerang wilayah ini memiliki lebih kurang 4 buah aliran sungai. Oleh karena itu, secara fisik geografis dan hidrologis, wilayah Kota Tangerang memiliki potensi sumberdaya air yang sangat berlimpah, tetapi karena tidak dipelihara dan diatur dengan baik, u j stru banyaknya sungai menimbulkan bahaya banjir, dikala musim hujan.
Dari jumlah sungai yang ada di Kota
Tangerang, hanya Kali Cisadane dan sebagian kecil Kali Angke digunakan untuk air minum, sedangkan yang lainnya tidak dipergunakan untuk keperluan rumah tangga bagi penduduk. Itulah sebabnya, sumber air baku untuk air minum Kota Tangerang sebagian besar berasal dari Kali Cisadane yang pemakaian air baku untuk keperluan air bersih mencapai 48.89 juta m3 / tahun, hal ini kira-kira 99,36% dari penggunaan air baku PDAM yang ada di Kota Tangerang. Tabel. 20 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang
NO
SUNGAI
PANJANG LUAS (Km)
(Ha)
PERUNTUKAN
1.
Cisadane
46.200
1.155.000 Air Baku Minum
2.
Cirarab
28.750
172.500
Usaha Perkotaan
3.
Mookevart
7.300
233.600
Usaha Perkotaan
4.
Kali Angke
12.810
538.020
Air Baku Minum
5.
Kali Sabi
27.300
351.900
Usaha Perkotaan
Sumber : Dinas PU Kota Tangerang, 2005
Hal ini belum termasuk potensi air tanah; dimana wilayah Kota Tangerang juga merupakan daerah Cekungan air tanah (CAT) dengan luas sebarannya lebih kurang 183,78 Km 2 dengan volume air dalam akifernya lebih kurang 327,13 juta m3/ tahun, dengan curah hujan rata-rata yang jatuh
pada cekungan ini sebesar 1.780 mm/ tahun. Wilayah penelitian terbagi dalam 2 CAT, dimana sebelah Timur Sungai Cisadane yang meliputi Kec. Ciledug, Kec. Larangan, Kec. Karang Tengah, Kec. Pinang, Kec. Cipondoh, Kec. Tangerang, Kec. Batuceper, Kec. Neglasari dan Kec. Benda termasuk dalam CAT Jakarta dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau laju precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 803 juta m3/ tahun, dan jumlah aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 40 juta m3/ tahun, sedangkan wilayah sebelah Barat Sungai Cisadane yang terdiri dari Kec. Karawaci, Kec. Jatiuwung, Kec. Cibodas dan Kec. Periuk termasuk dalam CAT SerangTangerang dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau laju precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 1.075 juta m3/ tahun, dan jumlah aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 18 juta m3/ tahun (DGTL, ESDM, 2001). Dalam Cekungan air tanah Tangerang – Serang wilayah Kota Tangerang menempati luas wilayah sekitar 6,7% dari total luas Cekungan air tanah Tangerang – Serang, dengan demikian diperkirakan jumlah aliran air tanah yang mengalir diwilayah Kota Tangerang sekitar 6,7 % dari jumlah aliran air tanah pada Cekungan air tanah Tangerang - Serang, yaitu aliran air tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 72,025 juta m³ per tahun, sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 1,206 juta m³. Dalam Cekungan air tanah Jakarta wilayah Kota Tangerang menempati luas wilayah sekitar 15% dari total luas Cekungan air tanah Jakarta, dengan demikian diperkirakan jumlah aliran air tanah yang mengalir diwilayah Kota Tangerang sekitar 15 % dari jumlah al iran air tanah pada Cekungan air tanah Jakarta, yaitu aliran air tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 120,45 m³ per tahun, sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 6
juta m³/tahun. Dengan demikian total jumlah aliran air tanah dangkal di wilayah Kota Tangerang sebesar 192.475.000 m³/tahun dan aliran air tanah dalam sebesar 7.206.000 m³/tahun. Dalam pada itu, pengambilan air tanah dalam yang tercatat pada Dinas Pendapatan Propinsi Banten di wilayah Kota Tangerang pada tahun 2004
sebesar 13.977.201 m 3, bila dibandingkan
angka pengambilan air tanah dalam yang tercatat oleh Dinas Pendapatan Propinsi Banten dengan jumlah aliran air tanah dalam hasil penelitian DGTL, maka jumlah pengambilan air tanah lebih besar daripada jumlah aliran air tanah dalam, pada kondisi demikian bisa terjadi intrusi air laut pada akifer dalam, hal ini dapat dibuktikan dari hasil interpretasi geolistrik diperkirakan air tanah dalam telah mengalami intrusi air laut yang menandakan bahwa telah terjadi penurunan muka air tanah dalam yang diakibatkan pengambilan air tanah dalam lebih besar dari jumlah aliran air tanah.
Sistem Supply Air Bersih di Wilayah Kota Tangerang. Penyediaan air bersih di wilayah Kota Tangerang, masih dilayani oleh PDAM Kota Tangerang dan PDAM Kabupaten Tangerang, sedangkan wilayah yang belum dilewati oleh jaringan pipa PDAM menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Secara umum sistem pendistribuasian air bersih, di bagi dalam 2 wilayah distribusi air yakni: 1.
Wilayah Kecamatan Tangerang, Karawaci, Cibodas, Jatiuwung dan Periuk dilayani oleh PDAM Kabupaten Tangerang. Instalasi produksi PDAM Kabupaten Tangerang mempunyai kapasitas produksi 1.200 l/det. Sumber air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.
2.
Wilayah Kecamatan Neglasari, Batuceper dan Benda dilayani oleh PDAM Kota Tangerang, dengan kapasitas produksi 350 l/ detik sumber air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.
3.
Wilayah Ciledug, dilayani oleh Perusahaan Swasta yang bekerjasama dengan PDAM Kota Tangerang, namun baru sebagian kecil dari wilayah tersebut yang terlayani, dengan kapasitas produksi 10 l/ detik sumber air bakunya berasal dari Kali Angke
Berikutnya, sumber-sumber penyediaan air minum dan air baku di wilayah Kota Tangerang sebenarnya sudah sangat memadai karena dengan adanya Sungai Cisadane yang mempunyai debit yang sangat besar untuk memen uhi kebutuhan air wilayah Kota Tangerang. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengelola sumberdaya air yang banyak ini menjadi satu system pengelolaan terpadu baik antar sektoral, maupun antar wilayah dan atas dasar apa pengelolaan terpadu itu bisa dilaksanakan. Oleh karena itu, penentuan harga air itu sendiri merupakan langkah awal dalam menuju pengelolaan sumberdaya air yang terpadu. Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB) selama ini yang dilakukan baru menentukan nilai manfaat dan nilai perolehan air, sedangkan sebagai sumberdaya yang mulai mendekati kelangkaannya terutama untuk air bersih, sumberdaya air telah menjadi sumberdaya ekonomi, maka nilai air itu tidak lagi hanya nilai
kegunaanya tetapi nilai dalam pertukarannya (exchange), maka harga air disini menjadi patokan di dalam pemanfatan dan pertukaran air tersebut. Pertukaran yang dimaksud adalah pertukaran (trade off) antara pengguna air yang memberikan nilai guna (utility ) air yang tinggi dengan pengguna yang memiliki utility yang lebih rendah. Si pemilik air (sumberdaya air) yang menggunakan air dengan utility yang lebih rendah dapat mempertukarkan penggunaan airnya dengan pengguna yang utilitynya terhadap air tinggi seperti antara petani yang menggunakan air untuk irigasi dengan industri dan rumah tangga yang menggunakan untuk input dan kebutuhan minum dan sanitasi. Artinya mekanisme pengaturan supply air harus mengacu kepada mekanisme ekonomi sumberdaya air yang ada; dimana jika sumberdaya air menjadi langka, maka akan berlaku prinsip-prinsip ekonomi pertukaran didalamnya. Sementara itu, dalam konteks otonomi daerah, pentingnya pemanfaatan sumberdaya air sebagai pendorong aktifitas perekonomian wilayah semakin terasa, karena jika dilihat pada trend PDRB di wilayah Kota Tangerang, sumbangan sektor air terhadap peningkatan PDRB semakin nyata, dan nilai sektor air semakin besar (Gambar 56).
Juta Rupiah
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1999
2000
2001
2002
2003
Gambar 56. Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka (Bapeda, 2004)
Penentuan Harga Air
Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB)
usaha untuk memberikan nilai kepada penggunaan
sumberdaya air oleh para penggunanya (value in use) telah lama dilakukan di Indonesia, tetapi usaha untuk memberikan nilai air dalam pertukarannya (value in exchange); yakni harga air,
merupakan suatu hal yang baru,
karena air selama ini dianggap sebagai public good, sehingga konsumsi terhadap air tidak dikenakan biaya, dan pemerintah berkewajiban di dalam penyediaan air ini bagi penduduk. Pada awalnya ekonom menganggap bahwa air adalah barang konsumsi
yang
tidak
ada
nilainya
di
dalam
pertukaran
karena
ketersediaannya yang berlimpah, dan pengadaan terhadap air ini tidak membutuhkan tenaga kerja (labor) yang banyak, sehingga nilainya di dalam pertukaran rendah karena relative rendahnya bia yanya (extraction cost). Ketersediaan
sumberdaya
air
sudah
mulai
memperlihatkan
gejala
kelangkaan, terutama karena pengaruh musim, sehingga air telah menjadi barang ekonomi, dan perlu diatur sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi utama yang perlu diterapkan adalah system harga dan pertukaran dari sumberdaya air itu sendiri, karena dipercaya bahwa harga merupakan suatu metoda untuk mengalokasikan sumberdaya air, agar penggunaan sumberdaya air menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya dapat mengkonservasi sumberdaya air itu sendiri. Jika pasar gagal dalam mengalokasikan sumberdaya air itu (market failure) maka akan terjadi eksternalitas, sumberdaya air akan mengalami degradasi, oleh karena itu, diperlukan campur tangan pemerintah agar tetap menjaga pasar berjalan dengan baik melalui pengaturan dan penyediaan kesempatan yang sama bagi setiap pihak yang berkepentingan dengan memperoleh kesempatan dan akses yang sama terhadap sumberdaya air. Pada dasarnya, telah banyak dilakukan upaya untuk menghitung nilai manfaat dan pajak air, tetapi sedikit sekali yang mencoba untuk menghitung harga air, karena sebelumnya air dianggap sebagai public goods, maka sejak arus globalisasi perekonomian melanda perekonomian Indonesia pemikiran kearah penentuan harga air yang tepat semakin berkembang, dengan dasar pemikiran bahwa air sekarang telah menjadi economic goods . Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah dilakukan oleh Kimpraswil (Anwar dkk, 200) . Tata cara penghitungan pada
prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam perhitungan itu adalah: e. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P) f. Biaya Depresiasi g. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam h. Biaya tidak langsung atau overhead. Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil (Kimpraswil, 1998:37) Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil adalah didasarkan kepada bagian yakni: 1. Sisi penyediaan Maka nilai dasar manfaat air mengambil bentuk formula sebagai berikut (Anwar dkk): 1 .M + S + L P n = α .Vs α .Vs
dimana: P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku Vs
=
Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/
tahun) n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam tahun) M
= Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)
S
= Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap tahun (Rp/tahun).
L
= Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)
á
= Faktor Pengali. Model perhitungan nilai manfaat air ini dipakai dalam menetapkan harga air oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) untuk Sungai Citarum, maka komponen biaya yang digunakan adalah biaya investasi (M), biaya operasional (S), dan biaya pelestarian lingkungan (L). maka dengan rincian biaya yang diperlukan oleh pihak PJT II dapat dihitung nilai manfaat airnya tahun 2003/2004 sesuai dengan konsep NIMA, adalah sebagai berikut:
1. Umur bangunan Pengairan, n, adalah dihipotesiskan 50 tahun 2. Biaya investasi (M) adalah Rp. 31 milyar 3. Biaya Pemeliharaan (L) adalah Rp. 8 milyar 4. Biaya Oprasional adalah (S) Rp. 5 milyar 5. jumlah persediaan air baku untuk PDAM dan Industri dari Divisi I PJT II adalah sebesar 700 juta m 3 / tahun 6. Dengan factor pengali á sebesar 10 % yang berarti discount rate dari kehilangan air, maka jumlah persediaan air baku menjadi 70 juta m3 / tahun Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para penggunanya yakni PAM Jaya, Industri dan PDAM Daerah, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi: 1 .M + S + L P = n α .Vs α .Vs
1 × 31000 + 8000 + 5000 50 = 0.10 × 700
P = Rp 186, 57 / m 3
Nilai penyediaan air baku untuk PDAM dan industri oleh PJT II (tahun 2003/2004) itu diperoleh sebesar Rp. 186,57 / m3 air baku. Nilai penyediaan air baku ini sangat tergantung kepada ketersediaan aliran mantap dari air sungai Citarum, jika aliran mantap atau dalam hal ini debit sungai citarum meningkat, maka nilai air baku dengan sendirinya akan mengalami
penurunan pula, demikian pula jika penggunaan air untuk pertanian dimasukan yakni sebesar 6,5 juta m 3/ tahun , maka nilai air baku yang ditetapkan itu akan menjadi semakin berkurang yakni Rp. 184,85 / m 3 . Perhitungan tariff air seperti itu seharusnya bias diterapkan untuk pem akai air di Sungai Cisadane, mangingat kewenangan pengelolaan sungai Citarum dan Cisadane sama. Namun dalam penetapan tarif air baku untuk keperluan air minum kepada PDAM Kota Tangerang dan PDAM Daerah, serta air baku kepada industri, selama ini hanya ber dasarkan kepada penetapan tarif oleh Keputusan Menteri Kimpraswil sebagai berikut: 1.
Penetapan Tarif air baku PJT II untuk PDAM Daerah Kabupaten/ Kota -
SK Menteri PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni 1996 adalah sebesar RP. 23 / m 3
-
SK Menteri Kimpraswil No: 283/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus 2003 adalah sebesar RP. 45 / m 3
-
SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 201/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19 Maret 2004 adalah sebesar RP. 45 / m 3
2.
Penetapan tariff air baku PJT II untuk Industri -
SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni 1996 adalah sebesar RP. 23 / m 3
-
SK Menteri Kimpraswil No: 284/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus 2003 adalah sebesar RP. 50 / m 3
-
SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 202/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19 Maret 2004 adalah sebesar RP. 50 / m 3
Berdasarkan penetapan tarif air baku yang ada oleh keputusan Menteri Kimpraswil diatas, dimana tariff untuk industri itu hanya sebesar Rp. 50 / m3 , maka terlihat bahwa penetapan tariff air baku ini jauh lebih rendah dari perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh Kimpraswil sendiri, dimana berdasarkan perhitungan NIMA, maka tariff air baku untuk industri itu adalah Rp. 186, 57 / m3. Jadi tariff air baku untuk industri baru hanya seperti tiganya dari biaya penyediaan air sesungguhnya, sedangkan tariff air baku PDAM Kota Tangerang yang ditetapkan oleh pihak PJT II sebesar Rp. 45 /m 3 tahun 2004 ini sedangkan berdasarkan perhitungan nilai manfaat air oleh PDAM itu adalah sebesar Rp. 186, 57 /m 3, baru mencapai seperempatnya dari nilai air baku yang seharusnya dibayar. Keadaan ini mencerminkan bahwa nilai air itu sangat rendah, sedangkan volume pemakainnya sangat tinggi. Keduanya; pemakaian air oleh PDAM Kota Tangerang dan Industri sifatnya high volume, tetapi low value. Jika ditelaah lebih jauh, penetapan tariff air baku antara PDAM Kota Tangerang dengan Industri, terlihat bahwa tariff air baku untuk PDAM Kota Tangerang lebih rendah dari pada tariff air untuk industri. Hal ini sesuai dengan kerangka teoritis yang ada, dimana nilai air untuk Industri lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai manfaat air oleh PDAM Kota Tangerang yang pada dasarnya air baku PDAM Kota Tangerang ini sebagian besarnya adalah untuk keperluan air minum penduduk. Fakta ini membuktikan bahwa pembangunan sumberdaya air selama ini lebih berpihak kepada ebutuhan masyarakat dari pada pembangunan perkotaan dalam hal ini adalah pembangunan industri meskipun tidak terlalu signifikan.
Konsep NIMA ini belum bisa mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya air dan besarnya biaya yang dikeluarkan unt uk berinvestasi dalam penyediaan air baku ini, karena NIMA baru memperlihatkan bagaimana pengaruh fluktuasi debit dan aliran mantap dari sungai sebagai sumber air baku terhadap nilai penyediaan air itu sendiri. Dalam konsep NIMA, jika volume pemakaian semakin besar, dengan asumsi nilai investasi dan nilai perlindungan tetap, nilai manfaat air akan menjadi turun atau harga persatuan meter kubiknya semakin kecil, sehingga jika ini terus dipakai akan menyebabkan terjadinya penurunan dan pengikisan sumberdaya air. Air akan menjadi langka dan debitnya akan menurun, tetapi investasi terhadapnya akan menjadi lebih besar, karena untuk mempertahankan harga persatuan meter kubik air sesuai dengan konsep NIMA, akan diperlukan biaya Investasi dan biaya pemeliharaan yang tinggi. Ini adalah pemborosan keuangan Negara, maka konsep NIMA ini harus di tinggalkan, karena tidak sesuai dengan prinsip konservasi sumberdaya air itu sendiri. Konsep NIMA masih berpijak pada paradigma bahwa air adalah public goods , ini harus dirubah, bahwa air adalah economic goods, dimana semakin besar volume air dikonsumsi, maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan untuk itu.
Peningkatan Nilai Ekonomi Air Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa permintaan akan kebutuhan air terhadap PDAM semakin meningkat, disisi lain harga air ang disuplay dari PDAM terus meningkat, hal ini menunjukan bahwa air mempunyai nilai ekonomi yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Sebelum tahun 50-an semua orang bisa memanfaatkan air secara bebas (gratis) tanpa harus mengeluarkan uang. Namun kini hal itu tidak bisa dilakukan lagi semakin banyak kalangan masyarakat yang memenuhi kebutuhan air harus dengan membayar. Air tanah yang dipergunakan oleh kalangan usaha dipatok dengan harga sesuai dengan aturan yang berlaku untuk pengambilan setiap meter kubiknya, demikian pula untuk pengambilan air permukaan oleh kalangan usahawan harus membayar dengan tarif yang bervariasi tergantung dari klasifikasinya. Kebutuhan air bersih untuk rumah tanggapun demikian pula, semakin banyak orang memenuhi kebutuhan air untuk sehari hari (minum, mandi, cuci) dengan harus membayar, produksi air PDAM terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukan bahwa nilai ekonomi air semakin meningkat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Karakteristik Kota Tangerang yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berdampak pada perubahan ketersediaan sumberdaya air adalah pertambahan penduduk yang menyebabkan permintaan terhadap lahan untuk pemukiman meningkat, disamping itu perkembangan kegiatan ekonomi yang tumbuh dengan pesat juga berimplikasi pada tekanan terhadap permintaan lahan semakin tinggi antara lain untuk kegiatan industri, perdagangan dan jasa, fasilitas sosial yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan dan lain-lain serta fasilitas pemerintahan, Pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi tersebut berdampak kepada meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya air baik air tanah maupun air permukaan. 2. Pola perubahan penggunaan lahan secara umum terjadi dari lahan pertanian menjadi non pertanian (industri, Perumahan/permukiman, perdagangan dan jasa serta fasilitas sosial). Perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau (pertanian, tegalan) menjadi kawasan terbangun (built up area) dari tahun 1959 – 2004 sebesar 245% atau ratarata 5,57% per tahun. 3. Ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah dari tahun ketahun terus mengalami perubahan pada tahun 1959 air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan meresap kedalam tanah (infiltrasi) jauh lebih besar
dari air limpasan permukaan (run off), yaitu 76% meresap ke dalam tanah dan 24% mengalir di permukaan, pada tahun 1994 air yang meresap ke dalam tanah 52% dan 48% mengalir di permukaan, sedangkan pada tahun 2004 air yang meresap ke dalam tanah 45,5% dan 54,5% mengalir di permukaan. Sementara jumlah pemakaian air tanah lebih besar daripada cadangan air tanah. Pada kondisi seperti ini telah terjadi penurunan muka air tanah dangkal, demikian pula dengan kondisi air tanah dalam pengambila lebih besar dari pada aliran air tanah dalam (demand air tanah dalam lebih besar daripada supply) sehingga terjadi penurunan muka air tanah dalam. 4. Perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun mengakibatkan terjadinya perubahan nilai koefisien run off, dimana pada ruang terbuka hijau nilai koefisien run off sebesar 0,2 sedangkan setelah menjadi kawasan terbangun nilai koefisien run off menjadi 0,7 artinya pada ruang terbuka hijau air hujan hujan jatuh ke permukaan tanah 20% menjadi run off dan 80% meresap ke dalam tanah, sedangkan pada kawasan terbangun 70% air hujan hujan jatuh ke permukaan tanah menjadi run off dan 30% meresap ke dalam tanah. Dengan demikian semakin luas lahan terbangun, air hujan yang meresap ke dalam tanah yang menjadi cadangan air tanah semakin menurun, sedangkan air limpasan permukaan R(run off) semakin besar, pada kondisi curah hujan yang tinggi bisa menimbulkan banjir. Saran Untuk menjaga keseimbangan supply dan demand sumberdaya air khususnya air tanah perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Membuat dan melaksanakan aturan tentang Koefisien Dasar Bangunan yang ketat untuk memperbesar air yang meresap kedalam tanah. 2. Pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, dan kolam resapan komunal
pada
kawasan
perumahan
dan
perdagangan.
Untuk
melaksanakan hal tersebut perlu di payungi dengan adanya peraturan daerah. 3. Merubah pola pembangunan dengan orientasi bangunan vertikal dengan membangun
rumah
susun,
apartemen,
kondominium
dll,
untuk
menghemat penggunaan lahan. 4. Mengembangkan PDAM untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga Kota Tangerang untuk meminimalkan pengambilan air tanah.
DAFTAR PUSTAKA Adisa smita R. 1983. Teori-Toeri Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang. Anwar A. 1990. Pengantar Metodologi Penelitian Ekonomi. Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ekonomi dan Sosial, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB. Anwar A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan sawah Menjadi Lahan Non-Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 10, Triwulan IV. Bandung. Anwar A. 1994. Tinjauan Beberapa Aspek Ekonomi Dari Konservasi Tanah/Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB. Anwar A. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB. Anwar A, Fauzi A, Ansofino, Suciati LP ; Final Report “ Model pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB. Alonso W. 1970. Locations and Land Use: Toward a General Theory of Land Rent. Harvard University Press, Cambridge. Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air [skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asdak, C, 2004 ; Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Cetakan ketiga. Badan Meteorologi dan Geofisika, 1994-2003. Data Curah Hujan dan Temperatur udara Rata-rata Bulanan. Badan Meteorologi dan Geofisika, Tangerang
Bappeda Kota Tangerang, 2000 ; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Bapeda Kota Tangerang, 2003: Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 Bapeda Kota Tangerang, 2003 : Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2003 Barret, E.C. and Curtis, L.F., 1983 ; Introduction to Envirromental Remote Sensing, Chapmn and Hall, London Barlowe R. 1978. Land Resources Economic. The Economics of Real Es tate. 3nd ed. Prentice -Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Michigan State University. Bowen, R, 1986; Ground Water, Elsevier Applied Science Publishers Burges EW. 1925. The Growth of The City : In The City. R.E.Park. University of Chicago Press. Cahyono TB. 1982. Ekonomi Pertanahan. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Direktorat Sumberdaya Air, IWACO, WASECO, 1990 ; Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, West Java Provincial Water resources. Daldjoeni, N, 1992 ; Geografi Baru, Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek, Alumni Departemen Kehutanan, 2003 ; Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 ; Identifikasi dan Pemetaan Wlayah Konservasi Air Tanah Kota Tangerang Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2005 ; Dokuen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Banten ; Peta Hasil Sweeping Inventarisasi SIPA ABT Dinas Pertanahan Kota Tangerang, , 2003; Foto Udara Kota Tangerang Tahun 2002. Fauzi, A, 2004; Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan, Gramedia. Jayadinata, J.T, ; Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan , Perkotaan & Wilayah, Edisi Ketiga, Penerbit ITB Bandung. Lillessand, T.M and Kiefer, R.W, 1979 ; Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley & Sons, New York. Linsley, R.K and Franzizi, J.B, 1979 ; Water Resources Engineering Third Edition, Mc Graw Hill Book Company.
Linsley,R.K, Kohler,M.A, Paulhus, J.H, 1988; Hydrology for Engineers, Mc Graw Hill Book Company. Linsley, R.K and Franzizi, J.B diterjemahkan Sasongko, D, 1991 : Teknik Sumber Daya Air Edisi Ketiga Jilid 1, Penerbit Erlangga Muif, M, 1991 : Pengaruh Eksploitasi Air Tanah Terhadap Sistem Keseimbangan Tata Air di Wilayah Jakarta (Tesis), Program Pasca Sarjana, IPB Pratondo, BJ, 2001 : Evaluasi Subedaya Lahan Dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja dan SIG di Kabupaten Blitar (tesis), Program Pasca Sarjana, IPB Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Pedesaan. Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor, Tanggal 10-11 Mei 2001. Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2002. Analisis Kecendrungan dan dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah Jabotabek; Suatu Upaya Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan. Fakultas Pertanian IPB Saefulhakim S, Kitamura T dan Kobayashi S.1992. Factors Affecting Rural Occupations and I.and Use: A Multivariate Approach Using Correspondence Analysis. Indonesian Journal of Tropical Agriculture, Vol. 4, No. 1, pp. 1-10. Saefulhakim S. 1994. A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use Management. Ph.D. Dissertation of Regional Planning Laboratory, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Kyoto. Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1994. Rural Land Use Management for Economic Development. Paper presented at the Seminar on Agricultural Land Use Management, Organized by Asian Productivity Organisation (APO), Tokyo 8th-18th November 1994. Saefulhakim S. 1996. A Study on Effectiveness of Land Use Conversion Control Policy Institutions, Case Study of Bali, Java, and South Sumatra. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor. (In Indonesian). Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1996. Irrigated Paddy Land Conversion Control Policy. Proceedings of National Forum on Soil and Agroclimatic Research Communication. Center tor Soil and Agroclimatic Researches, Bogor. (in Indonesian). Saefulhakim S. 1997a. Conceptual Framework for Spatial Planning and Rural Area Development. Journal of Regional and Urban Planning, Vol.8, No.l, January 1997. Center for Regional and Urban Development, Bandung Institute of Technology (ITB), Bandung. Saefulhakim S. l997b. Socio -economic Aspects of an Optimal Land Use Model for the Upper Cimanuk Basin. Inception Report, Cooperative Research Work of Research Institute of Bogor Agric. Univ. (IPB) and the World Bank (In Indonesian).
Saefulhakim S, Dyah RP dan Nasoetion LI. 1997. Land Ownership/Holding, Land Consolidation, and Land Use Arrangement Policy Model for Sustainable Agribusiness Development. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agric. Univ. (IPB), Bogor. (In Indonesian) Saefulhakim S.1998. Spatial Arrangement for Rural Areas, Agriculture Development, and Irrigation Infrastructure. Paper presented in the National Expert Forum for Designing the Government Regulation on Rural Spatial Arrangement. Jakarta, January 21-22, 1998. The National Coordinating Agency for Spatial Arrangement (BKTRN). (In Indonesian) Saefulkaim S dan Otsubo. 1999. Land Use Global Environmental Concervation (LU/GEC) – Final Report Of The LU/GEC Firs t Phase (1995 –1997). Center for Global Environmental Research. National Institute for Environmental Studies. Sahidin D. 1995. Kajian Alih Fungsi Lahan Akibat Perkembangan Industri di Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Jurusan Teknik Planologi. ITB. Bandung. Sarief, E.S, 1986 : Konservasi Tanah dan Air, Pustaka Buana, Soepardi G. 1977. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor. Soewali a.s. dan Soenarto, B, 1988 ; Pendugaan geolistrik untuk Penyelidikan Air Tanah, Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Bandung Somaji PR. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Petani di Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana PWD, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subagyo, S. 1990 ; Dasar-dasar Hidrologi, Gajah Mada University Press. Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruhciat, S ; Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Banten, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan 2003. Telford, ; Applied Geophisycs, Mc Graw Hill Book Company. Thomas, R.L, 1997 ; Modern Econometrics an introduction, Addison-Wesley. Turkandi, T, Sidarto, Agustiyanto, D.A dan Purbohadiwidjoyo, M.M, 1992 ; Peta Geologi Lembar Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Thunen, Johann HV (1826), Der Isolierte Staat in Bezieburg Ouf Lendwirtsc Haft und Nationalokonomie, Hunburg friedrich (English Traslation by Peter Hill ed. Van Thunne’s Isolated State, Oxford Pegamon Press 1966. Utomo. E.P., Arsadi. E.M dan Harjono. H.1981 : Dasar-dasar penafsiran Tahanan Jenis, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasinal – LIPI, Bandung.
Welber A. 1909. Theory of Location of Industries. Chicago. University of chicago Press. Yunus, H.S, 2001 ; Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Zahnd, M, 1999; diterjemahkan oleh Frick, H, Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius.