DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK DI HULU DAS JENEBERANG
AFFECT OF LAND USE CHANGES OF PEAK DISCHARGE IN THE UPPER JENEBERANG WATERSHED
Kati Syamsudin Kadang Tola, Kaimuddin, Sumbangan Baja Program Studi Sistem-sistem Pertanian Pascasarjana Unhas Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar
Alamat Korespondensi : Kati Syamsudin Kadang Tola Program Studi Sistem-sistem Pertanian Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90425 HP ; 081344033007 E-mail :
[email protected]
Abstrak Perubahan penggunaan lahan pada DAS akan mempengaruhi debit puncak, hal ini menjadi indikator semakin baik atau buruknya penggunaan lahan pada wilayah DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kevalidan model HEC-HMS dan memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan skenario perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang. Penelitian ini menggunakan sejumlah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan kondisi lahan dan pengambilan sampel tanah, yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait berupa peta dasar yaitu peta rupa bumi dan peta tematik berupa peta tanah, peta wilayah administrasi, peta penggunaan lahan tahun 2004-2010, curah hujan dan debit air tahun 2004 dan 2010 untuk kalibrasi dan validasi model HEC-HMS. Analisis data meliputi analisis perubahan penggunaan lahan, identifikasi karakteristik DAS dan analisis prakiraan debit puncak. Hasil penelitian diperoleh penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang, hasil kalibrasi dan validasi model diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe untuk nilai debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010 sebesar 0,721. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 didominasi oleh ladang bercampur semak yang meningkat sebesar 14,52% dan terjadi penurunan luasan hutan sekitar 13,22%. Prediksi debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan diperoleh rataan debit puncak tahun 2004 sebesar 91,15 m 3/det, sedangkan rataan debit puncak tahun 2010 sebesar 121,97 m3/det dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%. Skenario perubahan penggunaan lahan pada kawasan dengan kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan lindung diperoleh penambahan luasan hutan sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang dan rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai debit puncak pada penggunaan lahan tahun 2010. Kata Kunci : penggunaan lahan, debit puncak, HEC-HMS, DAS Jeneberang
Abstract Changes in land use in watershed will affect peak discharge, it is becoming an indicator of better or worse use of land in watershed area. This study aims to determine the degree of validity of the model HEC – HMS, to predict peak flows based on changes in land use and land use change scenarios in the upper Jeneberang watershed. This study uses a number of primary data and secondary data. Primary data were obtained from observations of the condition of the land and soil sampling, which is then analyzed in the laboratory. Secondary data were obtained from literature and related agencies such as base map and such a thematic map is a land map, administrative area maps, land use maps in 2004-2010, rainfall and water discharge in 2004 and 2010 for calibration and validation of the model HEC - HMS. Data analysis includes analysis of changes in land use, identification of watershed characteristics and analysis of peak discharge forecasts. Research results obtained by use of the HEC-HMS models were valid enough to predict peak discharge in the upper Jeneberang watershed, in which the results of the calibration and validation of the model obtained from coefficient value of Nash - Sutcliffe for the peak discharge in 2004 was 0.538 and 0.721 in 2010, respectively. Changes in land use in 2004-2010 was dominated by an increasing mixed shrub fields by 14.52% and a declining in the forest area of approximately 13.22%. Predicted peak flows based on changes in land use was obtained averaging the peak discharge in 2004 was 91.15 m3/sec, while the average peak discharge in 2010 amounted to 121.97 m3/sec where there is an increase of 33.8 %. Scenarios of land use change in the region with a slope of over 45% as obtained by the addition of a protected forest area forest area was 28.8% of the total area in the upper Jeneberang watershed and the average peak discharge of 119.65 m3/sec. Value of peak discharge was lower when compared with the average value of peak discharge at the land use in 2010. Keywords : land use, peak discharge, HEC-HMS, Jeneberang watershed
PENDAHULUAN Kebutuhan lahan oleh manusia semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Perubahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman dan berbagai peruntukan lainnya telah menimbulkan banyak dampak negatif terhadap sumberdaya lahan dan air yang terjadi pada wilayah daerah aliran sungai (DAS). Alih guna lahan pada wilayah DAS akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS seperti meningkatnya debit puncak, koefisien aliran permukaan, volume aliran permukaan (Hartanto, 2009; Lipu, (2010); Emilda, 2010), erosi meningkat pada daerah dengan kemiringan lereng lebih dari 45% (Arsyad, 2010). Selain itu, terjadi degradasi lahan dan badan-badan air, serta munculnya kejadian banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Meningkatnya debit puncak yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air akibat perubahan penggunaan lahan yang tidak terencana dengan baik serta tidak berwawasan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada salah satu DAS yang ada di Sulawesi Selatan yaitu DAS Jeneberang. Persentase perubahan penggunaan lahan di DAS Jeneberang periode tahun 1995-2010 meliputi hutan dari 36% berkurang menjadi 26%, sawah dari 15% berkurang menjadi 8%, pemukiman dari 0,3% meningkat menjadi 3%, ladang bercampur semak dari 29% meningkat menjadi 33%, semak belukar dari 17% meningkat menjadi 22%, sisanya merupakan rawa dan tubuh air dari 3% meningkat menjadi 8% (Supratman dkk., 2004; Karim dkk., 2011). Debit sungai Jeneberang mempunyai fluktuasi debit aliran sungai yang sangat berbeda nyata sepanjang tahun antara musim penghujan dan musim kemarau. Ibbitt et al. (2002) melaporkan debit sungai Jeneberang yang tercatat di stasiun Pattalikang periode tahun 1974-1999 mempunyai debit maksimum mencapai 701 m3/dt, rataan debit maksimum 352,2 m3/dt dan rataan debit minimum 0,3 m3/detik. Sedangkan debit sungai Jeneberang yang tercatat di stasiun Parangloe periode tahun 1987-1999 mempunyai debit maksimum mencapai 130,8 m3/dt, rataan debit maksimum 89,7 m3/dt dan rataan debit minimum 0,04 m3/detik. Berdasarkan kondisi tersebut diperoleh ratio antara debit maksimum dengan debit minimum mempunyai nilai yang tinggi. Arsyad (2010), menyatakan semakin besar ratio debit maksimum terhadap debit minimum maka semakin buruk keadaan vegetasi dan penggunaan lahan pada DAS tersebut. Wilayah hulu DAS merupakan kawasan penyangga ekosistem bagi wilayah tengah maupun wilayah hilir DAS. Selain itu, ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Berbagai metode dilakukan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan pada
DAS. Penggunaan model hidrologi merupakan sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Ketersediaan model hidrologi sangat diperlukan untuk membantu dalam mempelajari proses perubahan yang terjadi pada DAS. HEC-HMS
(Hydrologic
Engineering
Center-Hidrologic
Modelling
System)
merupakan model simulasi sederhana yang berbasis pada proses hidrologi. Model HEC-HMS dalam penggunaannya terdapat fasilitas kalibrasi, simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu, dan dalam program GIS terdapat ekstensi HEC-GeoHMS (USACE, 2010). Mengintegrasikan GIS dan HEC-HMS diharapkan dapat menjawab permasalahan hidrologi DAS yaitu dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak pada wilayah hulu DAS Jeneberang. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui tingkat kevalidan model HEC-HMS; dan (2) memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan skenario perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Desain Penelitian Berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1:50.000, wilayah penelitian terletak antara 5o11’03” – 5o20’27” LS dan 119o44’45” – 119o56’35” BT, memiliki luasan 23.912,5 ha dan terletak pada ketinggian 250-2.775 m dpl. Hulu DAS Jeneberang terletak di wilayah Kabupaten Gowa. Waktu penelitian dilaksanakan selama 12 bulan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis menggunakan pendekatan pemetaan, observasi lapangan dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode penelitian yang digunakan merupakan analisis dari data primer, data sekunder serta hasil observasi lapangan. Analisis setiap metode tersebut dibantu dengan teknik pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan model hidrologi HEC-HMS. Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan sejumlah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan meliputi pengamatan kondisi lahan dan pengambilan sampel tanah yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. Penentuan lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan dengan melakukan overlay peta lereng dan peta jenis tanah. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait meliputi (1) Peta dasar berupa peta rupa bumi dengan skala 1 : 50.000; (2) Peta tematik berupa peta tanah, peta
wilayah administrasi kabupaten Gowa, peta penggunaan lahan tahun 2004-2010; (3) Data curah hujan harian dan data debit air tahun 2004 dan tahun 2010 dibutuhkan untuk kalibrasi dan validasi model. Data curah hujan diperoleh dari 4 lokasi yaitu Malino-1, Malino-2, Paladingan dan Tanralili bersumber dari stasiun Meteorologi dan Klimatologi Maros dan Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya Air Balai Besar Wilayah PompenganJeneberang, Sulawesi Selatan. Data debit air diperoleh dari stasiun Jonggoa bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya Air Balai Besar Wilayah PompenganJeneberang, Sulawesi Selatan. Analisis penggunaan lahan Analisis penggunaan lahan dilakukan pada periode tahun 2004-2010. Analisis dilakukan dengan melakukan overlay antara kedua penggunaan lahan tersebut. Tujuan analisis ini adalah mengetahui perubahan masing-masing penggunaan lahan. Identifikasi karakteristik DAS Identifikasi karakteristik DAS bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik, keadaan curah hujan dan debit aliran hulu DAS Jeneberang. Kegiatan ini termasuk identifikasi jaringan sungai dan pembagian sub DAS. Pembagian Sub DAS berdasarkan peta Rupa Bumi terbagi ke dalam 3 sub DAS, yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo. Analisis debit puncak menggunakan HEC-HMS Analisis debit puncak pada penelitian ini menggunakan program HEC-HMS versi 3.5 (Hydrologic Engineering Centre-Hydrologic Modelling System). Program ini terdiri dari tiga komponen model yaitu model basin, model meteorologi dan kontrol spesifikasi. Basin model merepresentasikan kondisi hulu DAS Jeneberang dengan bantuan peta background yang diimport dari GIS (Geografic Information System). Lokasi penelitian menggunakan dua elemen hidrologi yaitu sub basin dan 1 junction dimana masing-masing elemen mewakili bagian dari total respon suatu DAS terhadap presipitasi. Pada penelitian ini perhitungan dilakukan menggunakan metode SCS curve number. Nilai BK berkisar mulai dari 0 hingga 100. Untuk permukaan yang sulit tembus air (impervious) dan termasuk permukaan air BK = 100, sedangkan untuk permukaan alami (natural surface) BK < 100, tergantung pada jenis dan kerapatan (density) penggunaan lahan (Chow et.al.,1988 dalam Baja, 2012). Dalam penelitian ini, nilai-nilai BK dinilai berdasarkan overlay antara peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah. Berdasarkan pertimbangan lokasi hulu DAS Jeneberang sebagian besar berada pada kemiringan lebih dari 5%, maka perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK (Huang et.al., (2006) dalam Ebrahimian et.al., 2012). Untuk memasukkan faktor lereng
dilakukan overlay antara peta kelas lereng dan peta BK-SCS. Penerapan kondisi kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II yaitu situasi dimana hubungan tanah dan air dalam kondisi rata-rata dan perlakuan atau pengelolaan lahan pada kondisi yang jelek (buruk). Penentuan pengelolaan lahan berada pada kondisi yang buruk berdasarkan pengamatan di lapangan dan laporan Dirjen RPLS Kementerian Kehutanan (2009) dalam Karim dkk., (2011) terdapat sebanyak 20% lahan kritis dan sangat kritis di DAS Jeneberang dan areal yang potensial sangat kritis berada pada hulu DAS Jeneberang. Lahan kritis di hulu DAS Jeneberang adalah sebesar 57,1% (Arsyad, 2010). Untuk DAS yang terdiri dari beberapa tipe tanah dan penggunaan lahan maka nilai BK adalah BKcomposite yang dihitung dengan persamaan berikut: (1) Dimana
adalah nilai BK komposit, adalah indek untuk sub DAS yang
mempunyai penggunaan lahan yang sama dan
adalah luas daerah sub DAS. Selain itu,
perhitungan time lag juga digunakan sebagai input dalam model HEC-HMS. Time lag menggunakan persamaan berikut: (2) Dimana permukaan), 1000/BK – 10,
adalah time lag (waktu dari puncak hujan sampai puncak aliran
adalah panjang sungai utama (feet),
adalah retensi maksimum (inchi) =
adalah kemiringan daerah aliran sungai (%), dan
adalah bilangan kurva.
Model meteorologi berfungsi merekam dan mengolah data curah hujan. Masukan data curah hujan yang diinput pada model meteorologi didasarkan pada data curah hujan harian. Metode yang digunakan dalam model meteorologi adalah metode gage weight. Control specifications digunakan untuk run bersama dengan basin model dan meteorologic model. Tanggal dan waktu permulaan dan akhir dari run di set dalam control specification ini. Untuk melihat hasil dari perhitungan dapat dilihat baik berupa tabel maupun grafik. Kalibrasi dan validasi model Tujuan dilakukan kalibrasi dan validasi adalah menentukan apakah model dapat digunakan dalam menentukan debit prediksi. Model dianggap valid bila hidrograf hasil model dan hasil pengamatan mempunyai kemiripan. Penilaian kevalidan model menggunakan koefisien efisiensi Nash-Sutcliffe. Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutcttife menunjukkan tingkat validasi model, dimana nilai E≤0,5 adalah tingkat validasi rendah, 0,5<E<0,7 adalah tingkat validasi tinggi dan E≥0,7 adalah tingkat validasi sangat tinggi (Garcia et al., 2008).
HASIL PENELITIAN Kondisi hulu DAS Jeneberang Kondisi hulu DAS Jeneberang meliputi kondisi fisik dan iklim berupa kemiringan lereng, tekstur tanah, keadaan curah hujan dan debit aliran. Keadaan topografi pada daerah ini bervariasi mulai dari agak datar hingga sangat curam. Kelas kemiringan lereng 3-8% agak datar sebesar 3,5%, kelas kemiringan lereng 8-15% landai sebesar 9,2%, kelas kemiringan lereng 15-25% agak curam sebesar 16,2%, kelas kemiringan lereng 25-45% curam sebesar 54,5% dan kelas kemiringan lereng >45% sangat curam sebesar 16,6%. Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dalam persen (%) antara fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Sebagian besar kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang mempunyai kelas tekstur tanah halus yaitu sebesar 63,3%, terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu. sedangkan kelas tekstur tanah sedang merupakan tekstur tanah dengan sebaran terkecil yaitu 3,7%. Tekstur tanah liat mempunyai sebaran luas terbesar yaitu 49% dan tersebar di sub DAS Bengo (11%), sub DAS Malino (45%) dan sub DAS Jeneberang (43,9%). Hasil analisis curah hujan dan debit aliran tahun 2004 dan tahun 2010 diperoleh ratarata curah hujan di lokasi penelitian terjadi peningkatan dari tahun 2004 yaitu sebesar 270 mm/thn menjadi 408 mm/thn pada tahun 2010. Demikian juga dengan rata-rata debit aliran pada outlet terjadi peningkatan aliran dari tahun 2004 sebesar 172,6 m3/dt menjadi 922,3 m3/dt pada tahun 2010. Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang Hasil analisis perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang tahun 20042010 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan penggunaan lahan di lokasi penelitian terjadi peningkatan dan penurunan luasan akibat dari perubahan lahan yang terjadi di daerah ini. Penggunaan lahan didominasi oleh ladang bercampur semak, dimana pada tahun 2004 sebesar 48,8% dan meningkat menjadi 55,9% pada tahun 2010. Bilangan kurva (BK) aliran permukaan Bilangan kurva merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan, kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai bilangan kurva pada penelitian ini diperoleh berdasarkan data Hyrological Soil Group (HSG), penggunaan dan pengolahan lahan. Kelompok hidrologi tanah diperoleh dari hasil analisis tanah yaitu tekstur tanah yang diuraikan sebagai berikut: (1) tanah yang mempunyai tekstur sedang (lempung dan lempung berdebu) hingga agak halus (lempung liat berdebu) dimasukkan kedalam kelompok hidrologi tanah C; dan (2) tanah yang mempunyai tekstur halus (liat berdebu dan liat) dimasukkan kedalam kelompok hidrologi tanah D.
Kondisi kandungan air tanah sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan pada lima hari sebelumnya dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh. Berdasarkan data curah hujan lima hari sebelumnya diperoleh besaran curah hujan yaitu 47 mm. Hal ini menunjukkan saat dilakukan kalibrasi model, kondisi kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II yaitu kondisi rata-rata dan perlakuan budidaya dan lahan disetarakan berada pada kondisi terendah (buruk). Besarnya nilai bilangan kurva aliran permukaan setiap penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan hasil perhitungan rata-rata nilai bilangan kurva aliran permukaan tahun 2004-2010 dengan memasukkan faktor lereng pada setiap sub DAS adalah sebagai berikut: (1) sub DAS Bengo dari 87,6 meningkat menjadi 87,7; (2) sub DAS Jeneberang dari 85,8 meningkat menjadi 86,6; dan (3) sub DAS Malino dari 88,3meningkat menjadi 88,4. BK aliran permukaan untuk tiap-tiap sub DAS di hulu DAS Jeneberang selama tahun 2004-2010 terjadi peningkatan BK aliran permukaan pada sub DAS Bengo, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Malino, walaupun tidak begitu besar. Sub DAS Malino mempunyai nilai BK tertinggi yaitu 88,4 hal ini menunjukkan bahwa sub DAS Malino menghasilkan aliran permukaan tertinggi. Time lag Morfomometri DAS pada penelitian ini digunakan untuk perhitungan waktu tenggang. Time lag adalah waktu tenggang antara terjadinya hujan lebih sampai terjadinya aliran puncak. Morfometri DAS dan time lag dari masing-masing sub DAS di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Nilai time lag di lokasi penelitian diperoleh nilai tertinggi pada sub DAS Bengo yaitu 1,50 – 1,51 jam, yang berarti sub DAS Bengo memiliki waktu puncak aliran permukaan paling lama dibanding sub DAS Malino dan Jeneberang. Time lag terendah terdapat pada sub DAS Malino yaitu 0,38 jam. Waktu tenggang yang berbeda-beda menyebabkan aliran permukaan di outlet Jonggoa tidak terkonsentrasi pada waktu yang sama. Hal ini menyebabkan debit puncak menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS yang time lag-nya lebih cepat dan seragam. Perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan Perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan menggunakan model HEC-HMS dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai masukan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010 untuk kejadian hujan yang sama yaitu kejadian hujan bulan Januari s/d Oktober tahun 2004 dan tahun 2010. Hasil prediksi debit puncak
menggunakan model HEC-HMS untuk penggunaan lahan tahun 2004-2010 dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 diperoleh rataan debit puncak aliran permukaan tahun 2004 sebesar 91,15 m3/det, sedangkan rataan debit puncak aliran permukaan tahun 2010 sebesar 121,97 m3/det lebih tinggi dibandingkan debit tahun 2004, dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan skenario perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang. Hasil kalibrasi model debit puncak tahun 2004 diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe tahun 2004 sebesar 0,538 untuk penggunaan lahan tahun 2004 dengan input curah hujan dan debit tahun 2004. Hasil validasi model debit puncak tahun 2010 diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe tahun 2010 sebesar 0,721 untuk penggunaan lahan tahun 2010 dengan input curah hujan dan debit tahun 2010. Sebuah model yang bagus akan menghasilkan nilai koefisien Nash mendekati 1. Berdasarkan hasil kalibrasi dan validasi antara prediksi debit model dan debit pengukuran yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup baik dan dapat digunakan untuk proses simulasi memprediksi aliran permukaan akibat perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang. Secara keseluruhan di hulu DAS Jeneberang terjadi perubahan penggunaan lahan periode tahun 2004-2010. Peningkatan luasan lahan terjadi pada ladang bercampur semak sebesar 14,52%. Luasan hutan berkurang sebesar 13,22% yang beralih fungsi menjadi ladang bercampur semak sebesar 15%, sebesar ≤ 5% beralih menjadi semak belukar, padang rumput alang-alang dan lahan sawah Meningkatnya penggunaan lahan berupa ladang bercampur semak di daerah ini karena tanahnya cukup subur. Kondisi ini sangat cocok untuk usahatani masyarakat di hulu DAS Jeneberang. Hal ini dapat dilihat dari luasannya yang lebih dari 50%. Namun demikian, karena merupakan tanah muda dengan kandungan bahan organik rendah, tanah ini cepat mengalami penurunan kesuburan tanah, ditambah lagi dengan masih rendahnya penerapan konservasi dalam usahatani mendorong masyarakat untuk membuka areal hutan baru sebagai ladang-ladang baru. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraeni dkk, (2012) di hulu DAS Jeneberang diperoleh partisipasi petani hortukultura sayuran dalam penerapan konservasi di lahan usahataninya berada pada kategori rendah yaitu sebesar 27,47%. Hal ini disebabkan karena
pemahaman dan ketrampilan petani terhadap konservasi dan manfaat usahatani dalam jangka panjang yang masih rendah. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di hulu DAS Jeneberang dapat mempengaruhi hidrologi DAS, terutama dengan berkurangnya luasan hutan. Fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan menjaga kontinuitas aliran dapat terganggu. Akibatnya terjadi erosi dan pendangkalan di badan-badan sungai. Selain itu, fungsi hutan sebagai penampung air saat musim musim hujan dan mengalirkannya saat musim kemarau juga menjadi berkurang. Berdasarkan prakiraan debit puncak akibat dari perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 menggunakan model HEC-HMS, kenaikan debit puncak pada tahun 2010 diduga akibat dari adanya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di hulu DAS Jeneberang, namun demikian bila dilihat dari kenaikan nilai bilangan kurva antara tahun 2004-2010 yang sangat kecil, maka faktor perubahan penggunaan lahan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan kenaikan debit puncak. Faktor curah hujan dan kemiringan lereng juga berperan dalam peningkatan debit puncak. Semakin besar curah hujan semakin besar debit puncak yang akan terjadi. Semakin curam lereng memperbesar kecepatan aliran permukaan dan memperbesar jumlah aliran permukaan. Skenario perubahan penggunaan lahan sebagai kawasan hutan lindung disusun berdasarkan penggunaan lahan tahun 2010 mengacu kepada kriteria kawasan hutan lindung yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Salah satu kriteria yang digunakan yaitu kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih termasuk dalam kawasan hutan lindung. Hasil analisis kemiringan lahan di hulu DAS Jeneberang diperoleh kawasan hutan lindung pada kemiringan diatas 45% adalah seluas 3.975,91 ha atau 16,6% dari luas hulu DAS Jeneberang. Penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah dengan kemiringan tersebut tersisa 23,2% yang masih berupa penggunaan lahan berupa hutan, sedangkan sisanya telah beralihfungsi menjadi ladang bercampur semak sebesar 52,5%, padang rumput alang-alang sebesar 1,0%, sawah sebesar 4,0% dan semak belukar sebesar 19,0% dari luas wilayah dengan kemiringan diatas 45%. Berdasarkan penggunaan lahan tahun 2010 terlihat luas kawasan hutan pada tahun 2010 yaitu sebesar 16,0%. Luas kawasan hutan yang hanya 16,0% di hulu DAS Jeneberang ini sangat jauh dari syarat minimal luas kawasan hutan dalam suatu DAS. Berdasarkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 17 ayat 5, dijelaskan bahwa wilayah ditetapkan sebagai kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran
sungai, artinya minimal terdapat 7.173,7 Ha penutupan lahan berupa kawasan hutan di hulu DAS Jeneberang. Berdasarkan hasil skenario perubahan penggunaan lahan dengan mengembalikan fungsi kawasan yang berlereng di atas 45% sebagai kawasan hutan lindung maka terjadi penambahan luasan hutan sebesar 6.888,7 ha atau sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang. Kondisi ini dapat menurunkan nilai bilangan kurva aliran permukaan pada setiap sub DAS di lokasi penelitian. Nilai bilangan kurva diperoleh pada sub DAS Bengo dari 87,7 menjadi 86,5; pada sub DAS Jeneberang dari 86,6 menjadi 82,7; dan sub DAS Malino dari 88,4 menjadi 85,5. Simulasi model menggunakan HEC-HMS berdasarkan perubahan nilai bilangan kurva diperoleh nilai debit puncak dengan menggunakan masukan nilai hasil skenario perubahan penggunaan lahan diperoleh rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak skenario lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata debit puncak pada penggunaan lahan 2010 yaitu sebesar 121,97 m3/dt. Vegetasi hutan mampu menjaga kontinuitas aliran melalui pengaturan tata air, menampungnya pada saat musim hujan dan mengalirkannya pada saat musim kemarau. Menurut Asdak (2010) vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah, dengan demikian dapat menurunkan laju air larian dan mengurangi debit puncak aliran permukaan. Lokasi penelitian yang mempunyai kondisi lereng curam sampai sangat curam sebesar 71% diduga menjadi penyebab kenaikan debit puncak aliran permukaan DAS. Selain itu, faktor curah hujan turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan debit puncak aliran permukaan. Tutupan lahan yang sebagian besar merupakan penggunaan lahan berupa kebun dan ladang campur semak dengan kerapatan vegetasi yang rendah dapat menjadi penyebab kenaikan debit puncak. Hulu DAS Jeneberang mempunyai tekstur tanah halus tertinggi yaitu sebesar 63,3% terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh tumbukan butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat yang tersuspensi tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang tinggi (Arsyad, 2010). Upaya memperbaiki tutupan lahan dengan memperbesar presentase luas lahan hutan, melakukan konservasi lahan dapat meningkatkan daerah resapan air pada daerah perbukitan. Hutan lindung mempunyai fungsi perlindungan penyangga terhadap aliran air ke daerah hilir. Fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada setiap kejadian hujan. Alternatif lain
mengatasi perubahan penggunaan lahan pada kawasan ini yang telah menjadi lahan usahatani dapat dilakukan dengan menerapkan sistem agroforestry. Menurut Noordwijk et al., (2004) dalam Emilda (2010) fungsi perlindungan pada daerah hulu dengan memperbaiki tutupan lahan dapat mempertahankan lapisan serasah di permukaan tanah, mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi dan menyerap air untuk evapotranspirasi. Upaya menggantikan vegetasi hutan alami dengan penanaman pohon-pohon yang bernilai ekonomi atau mempunyai fungsi lainnya melalui penerapan sistem agroforestri maka fungsi hutan sebagai kawasan lindung akan tetap berkelanjutan.
KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang. Hasil kalibrasi dan validasi model diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe untuk nilai debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010 sebesar 0,721. Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 didominasi oleh ladang campur semak yang meningkat sebesar 14,52%. Kondisi ini diduga adanya pembukaan lahan-lahan bukaan baru akibat dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Penurunan luasan hutan sekitar 13,22%, hal ini terjadi karena penutupan lahan berupa hutan telah beralih fungsi menjadi ladang campur semak, semak belukar, padang rumput alang-alang dan lahan sawah. Prediksi debit puncak berdasarkan perubahan penggunaan lahan diperoleh rataan debit puncak tahun 2004 sebesar 91,15 m3/det, sedangkan rataan debit puncak tahun 2010 sebesar 121,97 m3/det dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%. Skenario perubahan penggunaan lahan pada kawasan dengan kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan lindung diperoleh penambahan luasan hutan sebesar 6.888,7 ha atau sekitar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang dan rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai debit puncak pada penggunaan lahan tahun 2010. Pengelolaan DAS melalui pendekatan pemodelan hidrologi perlu dilakukan karena DAS merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, disarankan kepada peneliti selanjutnya dalam upaya memprediksi fenomena yang terjadi di alam diperlukan suatu input data yang lebih terperinci dan detail. Sehingga hasil pemodelan nantinya dapat menjadi dasar bagi pengelolaan daerah aliran sungai yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. (2010). Konservasi Tanah dan Air. Bogor. Penerbit IPB Press. Arsyad, U. (2010). Analisis Erosi pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu. Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Baja, S. (2012). Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Pendekatan Spasial & Aplikasinya. Penerbit Andi Yogyakarta. Ebrahimian, M. dkk. (2012). Runoff Estimation in Steep Slope Watershed with Standard and Slope-Adjusted Curve Number Methods. Original Research. Pol. J. Environ. Stud. Vol 21. No 5. 1191-1201 Emilda, A. (2010). Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respon Hidrologi DAS Cisadane Hulu. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. García, A. dkk. (2008). Surface Water Resources Assessment in Scarcely Gauged Basins in the North of Spain. Journal Hydrology No 3-4, 356: 312-326. Hartanto, N. (2009). Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ibbitt, R., Takara, K., Mohd. Desa, M.N., and Pawitan, H. (2002). Catalogue of Rivers for South East Asia and the Pacific - Volume IV. The UNESCO-IHP Regional Steering Committee for Southeast Asia and the Pacific. (Online). http://flood.dpri.kyotou.ac.jp/ihp_rsc/riverCatalogue/Vol_04/02_Indonesia-10.pdf. diakses 12 Juli 2013. Karim, A.M. dkk. (2011). SLHE Status Lingkungan Hidup Ekoregion Sulawesi. Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementerian Lingkungan Hidup. Lipu,S. (2010). Analisis Pengaruh Konversi Hutan terhadap Larian Permukaan dan Debit Sungai Bulili, Kabupaten Sigi. Media Litbang Sulteng III No. (1): 44-50, Mei 2010. ISSN : 1979 -5971. Supratman dan C.Yudilastiantoro. (2004). Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Jeneberang. (Online) www.puslitsosekhut.web.id. Diakses 12 Juli 2013 Schiariti, P. (2008). Basic Hidrology Runoff Curve Numbers. Mercer County Soil Conservation Distric. (Online). http://njscdea.ncdea.org/CurveNumbers.pdf. diakses tanggal 12 Juni 2012.
LAMPIRAN Daftar Tabel Tabel 1. Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang 2004 (Ha) 4.421,5 11.667,2 106,4 173,8 4.568,7 2.422,1 500,8 52,1 23.912,5
Penggunaan lahan Hutan Ladang campur semak Padang rumput alang-alang Perkebunan Sawah Semak belukar Tanah terbuka Tubuh air Jumlah
Persen (%) 18,5 48,8 0,4 0,7 19,1 10,1 2,1 0,2 100,0
2010 (Ha) 3.836,9 13.361,6 106,4 173,8 4.489,3 1.892,4 52,1 23.912,5
Persen (%) 16,0 55,9 0,4 0,7 18,8 7,9 0,2 100,0
Perubahan (%) -13,22 14,52 0,00 0,00 -1,74 -21,87 -100,00 0,00
Tabel 2. Nilai Bilangan Kurva pada berbagai jenis penggunaan lahan Kelompok hidrologi tanah*) C D 77 83 88 91 86 89 82 86 82 85 77 83 91 94 100 100
Penggunaan lahan Hutan Ladang campur semak Padang rumput alang-alang Perkebunan Sawah Semak belukar Tanah terbuka Tubuh air
*) Sumber: SCS, 1975 dalam Schiariti (2008) dan Baja (2012)
Tabel 3. Morfometri hulu DAS Jeneberang Nama sub DAS Bengo Jeneberang Malino
Luas (km2) 22,1 129,4 87,6
Panjang sungai utama (km)
Panjang aliran (ft)
4,30 25,21 21,49
16.893,7 16.837,2 13.374,7
Y (%) 2 31 25
Retensi maksimum (S) (Inchi) 2004 2010 1,4 1,4 1,7 1,6 1,3 1,3
Time Lag (jam) 2004 1,51 0,45 0,38
2010 1,50 0,44 0,38
Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi penelitian
250
Debit puncak (m3/dt)
200
150
100
50
0 jan 2004 193.
feb 225.
mar april mei 152. 122. 152.
juni 55.5
juli 7.4
agst 0
sept 0
okt 2
2010 212.
121.
73.5
163
106.
162.
73.7
64.9
160.
81.9
Gambar 2. Debit puncak tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang