DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS BERDASARKAN PROYEKSI MODEL IKLIM REGIONAL
EKO SURYANTO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perubahan Iklim terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas berdasarkan Proyeksi Model Iklim Regional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Eko Suryanto NIM G24090054
ABSTRAK EKO SURYANTO. Dampak Perubahan Iklim terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas berdasarkan Proyeksi Model Iklim Regional. Dibawah bimbingan AKHMAD FAQIH. Hutan Indonesia yang berada di Kalimantan sering mengalami kebakaran karena memiliki potensi terbakar yang tinggi. Oleh karena itu, Indonesia mengalami kerugian di bidang biodiversitas, finansial, kesehatan, dan produksi oksigen. Akumulasi partikel CO2 di atmosfer terus meningkat, sehingga memicu pemanasan suhu global dan regional yang dapat berdampak pada peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini menemukan bahwa parameter meteorologi yang dapat meningkatkan peluang kebakaran hutan dan lahan ialah suhu udara maksimum dengan koefisien determinasi 94%. Pemodelan skenario perubahan iklim dengan model iklim regional (RegCM) digunakan untuk memproyeksikan perubahan suhu udara maksimum di Kapuas. Proyeksi iklim jangka pendek menggunakan skenario model menunjukkan adanya peningkatan fluktuasi dan keragaman suhu udara maksimum. Rata-rata suhu udara maksimum pada tahun 2010–2029 meningkat 0.12–0.59ᵒC per empat tahun sejak tahun 2006–2009. Peningkatan ini memicu peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan sebesar 0.5 hingga 1.5 kali potensi kebakaran tahun 2001–2012. Kata kunci: kebakaran hutan dan lahan, perubahan iklim, RCP4.5, RegCM
ABSTRACT EKO SURYANTO. Climate Change Impact for Forest and Land Fire Potential in Kapuas Region based Regional Climate Model Projection. Supervised by AKHMAD FAQIH. Indonesia's forests located in Kalimantan are often burned due to high fire potential. Therefore, Indonesia often suffered from loss of biodiversity, financial, health, and production of oxygen. Accumulation of CO2 particles in the atmosphere is continuously increasing, leading to the warming of global and regional temperatures that could impact on the increase of forest and land fire potential. This study found that the meteorological parameter that could increase the probability of forest fires is the maximum air temperature with coefficient determination of 94%. Modeling of climate change scenarios using Regional Climate Model (RegCM) was conducted in this study to project the future change of maximum temperature in Kapuas. Short-term climate projections using RCP4.5 scenario shows the increase in the fluctuation and variability of maximum temperature. The average maximum temperature in 2010–2029 increased from 0.12 to 0.59ᵒC per four years from 2006-2009. This increase led to the increase of forest and land fires potential in the future. The number of active fires in Kapuas are expected to increase in the future from 0.5 to1.5 times of the active fire in 2001-2012 periods. Key words: climate change, forest and land fire, RCP4.5, RegCM
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS BERDASARKAN PROYEKSI MODEL IKLIM REGIONAL
EKO SURYANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Dampak Perubahan Iklim terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas berdasarkan Proyeksi Model Iklim Regional : Eko Suryanto Nama : G24090054 NIM
Disetujui oleh
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Rini Hiclayati, MS Ketua Departemen ,
Tanggal Lulus:
2 5 SEP 2013
Judul Skripsi : Dampak Perubahan Iklim terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas berdasarkan Proyeksi Model Iklim Regional Nama : Eko Suryanto NIM : G24090054
Disetujui oleh
Dr Akhmad Faqih Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Rini Hidayati, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah model iklim regional untuk kebakaran hutan dan lahan, dengan judul Dampak Perubahan Iklim terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas berdasarkan Proyeksi Model Iklim Regional. Selesainya skripsi dan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1 Bapak Akhmad Faqih, S.Si, Ph.D selaku pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar 2 Pihak Kementerian Agama yang terkait dalam Program Beasiswa Santri Berprestasi atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program beasiswa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor 3 Bapak dan ibu di rumah atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya 4 Bapak Ardi CCROM beserta staf atas kerja sama, dan dukungannya 5 Teman-teman di departemen Geofisika dan Meteorologi angkatan 46 (Wengky, Risa, Tommy, Ronald, Zia, Rini, Hifdy, Ima, Lidel, Ijal, Noya, Edo, Ika Pur, Dimas, Gaseh, Ocha, Eka Fay, Alin, Dungka, Jame, Sunte, Silvi, Sholah, Enda, Pahmi, Winda, Nowa, Dissa, Umar, Icha, Eka Al, Zae, Kresna, Hanifah, Dodik, Ipin, Iif, Dwi, Depe, Normi, Bambang, Halimah, Abu, Didi, Wayan, Dieni, May, Nita, Muha, Hijjaz, Ervan, Rikson, Ika Far, dan Risna) terimakasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan 6 Teman-teman dan keluarga besar CSS MoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) IPB atas semangat dan dukungannya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Eko Suryanto
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sistem Pengamatan Kebakaran Hutan
2
Peringatan Dini Kebakaran Hutan
3
Representative Concentration Pathways (RCP)
4
METODE
6
Tempat dan Waktu Penelitian
6
Data
6
Peralatan
6
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Umum Wilayah Kajian
8
Waktu Kejadian Aktivitas Api
11
Analisis Meteorologi Wilayah
12
Keluaran Model Iklim Regional
14
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR GAMBAR 1 Perbedaan nilai radiative fircing (a) dan emisi CO2 (b) yang digunakan sebagai acuan skenario RCP (Moss et al. 2010) ............................................. 5 2 Perbandingan persentase luas tutupan lahan Kabupaten Kapuas dari tahun 2005 hingga 2011 ................................................................................... 8 3 Sebaran spasial titik api aktif Kabupaten Kapuas ............................................ 9 4 Perbandingan jumlah api aktif pada beberapa tutupan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2005 hingga 2011 .................................................................... 10 5 Jumlah api aktif wilayah Kapuas dan indeks NINO4 dari tahun 2001 hingga 2012 .................................................................................................... 11 6 Persentase luas sebagai pembobotan dalam penentuan parameter meteorologi wilayah ....................................................................................... 12 7 Perbandingan kerapatan data suhu udara maksimum observasi dan model terkoreksi ............................................................................................. 14 8 Perbandingan kerapatan data suhu maksimum tahun 2006–2009 dengan proyeksi (2010–2024)..................................................................................... 15 9 Perbandingan suhu udara maksimum spasial tahun 2006 hingga 2029 ......... 16 10 Rata-rata jumlah api aktif observasi dan proyeksi ......................................... 16
DAFTAR TABEL 1 Analisis statistik dalam penentuan pendugaan terbaik …………………….. 13
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Peta wilayah running model RegCM4 ........................................................... 20 Parameterisasi model RegCM4 ...................................................................... 21 Jumlah api aktif wilayah Kapuas tahun 2001 – 2012 ..................................... 21 Indeks NINO4 tahun 2001 – 2012 ................................................................. 22
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab berkurangnya kualitas ekosistem alam, seperti kerusakan lahan hutan dan vegetasi (Liew et al. 1998), perubahan komposisi ekosistem hutan (Chuvieco et al. 2009), fisiologi tanaman (Choong 1997), serta gangguan kesehatan masyarakat sekitar lokasi kebakaran (Ferguson et al.1998). Salah satu kejadian kebakaran yang cukup besar ialah pada tahun 1997/1998 yang menghabiskan hutan Kalimantan seluas 8.1 juta hektar atau sekitar 69% dari total lahan terbakar di Indonesia (BAPPENAS dan ADB 1999). Total kerugian Indonesia yang diestimasi dari dampak asap dan kebakaran ialah sebesar US$ 4 milyar (Ruitenbeek 2002). Kebakaran ini dinilai sebagai kebakaran terbesar yang dialami oleh Kalimantan dengan wilayah penyebaran polutan hingga negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand bagian selatan. Sistem peringatan dini sebagai upaya dalam mengurangi tingkat kerugian kebakaran hutan yang telah dikembangkan menerapkan keterkaitan kebakaran hutan dengan parameter meteorologi dan klimatologi. Beberapa parameter yang pernah digunakan ialah curah hujan (Conrad 2009), suhu udara (Giorgi 2006), indeks NINO4 (Conrad 2009), dan beberapa parameter cuaca seperti pada sistem Fire Weather Index (Stocks et al. 1989). Semua parameter tersebut memiliki hubungan dengan komponen panas atmosfer yang merupakan komponen utama kebakaran dari segi meteorologi (Byram 1959). Penggunaan model iklim regional sering digunakan dalam mempelajari dan memahami beberapa proses yang terjadi di atmosfer. Beberapa proses fisik atmosfer dapat digambarkan oleh model tersebut, baik dalam proyeksi perubahan iklim ke depan maupun ke belakang, seperti suhu udara dan curah hujan (Ozturk et al. 2012). Parameter meteorologi hasil proyeksi yang memiliki komponen panas juga dapat digunakan dalam pendugaan potensi kebakaran hutan dan lahan. Beberapa penelitian terkait hal tersebut telah dilakukan oleh Giorgi (2006) dan Diffenbaugh et al. (2008, 2012) dengan menggunakan parameter meteorologi utama (suhu udara dan curah hujan) dan analisis matriks statistik. Penelitian ini memanfaatkan hasil simulasi model iklim regional dalam mengidentifikasi parameter meteorologi yang menggambarkan komponen panas untuk menduga potensi kebakaran hutan dan lahan wilayah Kapuas sebagai efek dari perubahan iklim. Analisis regresi akan lebih ditekankan dalam analisis hubungan parameter iklim dengan potensi kebakaran dan pendugaannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memberikan landasan ilmiah dalam penyusunan kebijakan mitigasi, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, agar tingkat kerugian kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan.
2 Tujuan Penelitian 1
2 3
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini ialah untuk Mengidentifikasi dan memilih parameter cuaca yang memiliki unsur panas (suhu dan kelembaban udara) yang berpengaruh paling kuat terhadap jumlah api aktif pada hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas. Menguji kemampuan model iklim regional dalam mensimulasi parameter iklim terpilih terhadap data observasi stasiun meteorologi. Memproyeksikan jumlah api aktif pada hutan dan lahan Kabupaten Kapuas sebagai fungsi dari parameter iklim terpilih.
TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pengamatan Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan bencana yang sering menjadi masalah di wilayah tropis pada saat kondisi kering. Syarat terjadinya kebakaran hutan ialah adanya bahan bakar (fuel), oksigen, dan panas (Byram 1959). Bahan bakar yang dimaksud ialah bagian tumbuhan kering yang mudah terbakar. Bahan bakar hutan terbagi menjadi bahan bakar halus dengan diameter maksimal 2 cm yang didominasi serasah, semak belukar, dan alang-alang, serta bahan bakar kasar dengan diameter lebih dari 2 cm seperti vegetasi pada areal penyiapan lahan. Oksigen bertindak sebagai pemberi asupan kimiawi terhadap keberlangsungan api. Byram (1959) menyatakan bahwa reaksi kimiawi pembakaran merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesis. Panas atau kondisi atmosfer sebagai penyebab utama terjadinya pembakaran. Panas ini bisa diakibatkan oleh kesengajaan manusia maupun karena fluks bahang yang tinggi yang mengenai bahan organik kering. Pengamatan titik panas secara langsung atau melalui stasiun pengamatan sangat sulit dilakukan karena tiga komponen di atas sangat beragam berdasarkan waktu dan tempat. Penginderaan jauh menjadi salah satu teknik pengamatan yang dapat menjawab permasalahan tersebut dari segi keseimbangan energi atau meteorologi. Beberapa algoritma yang telah digunakan dalam pendugaan hotspot melalui satelit AVHRR (Flasse et al.1996) dan satelit MODIS (Justice et al. 2002) yang kemudian diperbaharui algoritmanya oleh Giglio et al. (2003). Pengamatan satelit MODIS lebih diminati dari sisi meteorologi karena resolusi temporal pengamatan MODIS yang mencapai harian. Algoritma api aktif yang dikembangkan oleh Giglio et al. (2003) telah dibakukan dan dibuat suatu sistem oleh NASA dengan nama Fire Information Risk Management System (FIRMS). FIRMS memberikan data kontinu dari November 2000 hingga saat ini dengan cakupan seluruh bumi dan platform yang dapat disesuaikan dengan keinginan pengguna. FIRMS mendeteksi terjadinya titik api berdasarkan suhu kecerahan pada panjang gelombang 4 µm dan 11 µm. Panjang gelombang 4 µm merupakan panjang gelombang yang paling responsive terhadap kejadian kebakaran lahan, sedangkan panjang gelombang 11 µm merupakan panjang gelombang yang umum digunakan dalam pendugaan suhu permukaan (MacCallum et al. 2003). Algorima
3 yang digunakan FIRMS juga dilengkapi dengan penghapusan daerah gurun pasir dan daerah pesisir, karena sering terdeteksi alarm palsu pada kedua daerah ini sebagai akibat dari sifat permukaan yang berkapasitas panas rendah. Selain itu, data titik api aktif dilengkapi dengan nilai kepercayaan yang berkisar dari 0% hingga 100%. Penentuan nilai ini berdasarkan fungsi ambang batas statistik, bukan berdasarkan kondisi aktual lahan, sehingga perlu adanya filterisasi terhadap data FIRMS unuk mendapatkan titik api aktif di daerah tutupan lahan tertentu.
Peringatan Dini Kebakaran Hutan Usaha meminimalkan kerugian kebakaran sangat diperlukan melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang pernah dikembangkan di Indonesia khususnya Kalimantan ialah berdasarkan pengamatan meteorologi dan klimatologi. Peringatan dini kebakaran hutan melalui pengamatan meteorologi berupa Fire Weather Index (FWI), sedangkan berdasarkan segi klimatologis melalui anomali curah hujan, indeks ENSO, dan RegCM. Kejadian kebakaran hutan di Kalimantan memiliki hubungan negatif dengan anomali curah hujan, yaitu ketika anomali hujan berada pada kisaran negatif, maka jumlah kebakaran hutan mengalami peningkatan, berdasarkan penelitian bersama antara IRI (International Research Institute) dan CCROM (Conrad 2009). Selain itu, penelitian ini juga mengkaji efek panas yang ditimbulkan oleh SOI (Southern Oscilation Index) terhadap aktivitas api di Kalimantan. Model pendugaan ini menggunakan indeks NINO4 dari suhu permukaan laut dari bulan April hingga September untuk memperkirakan aktivitas api 1 hingga 2 bulan ke depan. Kedua alat ini dapat diakses di salah satu halaman resmi IRI yaitu www.iridl.ldeo.columbia.edu/. Kerja sama kedua IRI dilakukan bersama dengan IPB, Badan Pengelola dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLHD), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dalam menerapkan Fire Danger Rating Systems (FDRS) di Kalimantan Tengah. FDRS atau dikenal dengan Fire Weather Index (Stocks et al. 1989) merupakan sistem peringatan dini bahaya kebakaran yang dikembangkan di Kanada. Data masukan pada sistem ini berupa data pengamatan meteorologi yang terdiri dari suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan curah hujan. Data tersebut diolah sehingga menghasilkan Fuel Moisture Codes (FMC), Fire Behavior Index (FHI), dan Fire Weather Index (FWI). Kelemahan sistem ini ialah kurang merespon aktivitas api yang besar pada bulan Agustus hingga Oktober 2006, karena penyesuaian jenis bahan bakar atau vegetasi belum dikembangkan di Indonesia (Brady et al. 2008). Ketidaksesuaian sistem sering menjadi kendala dalam proses pendugaan. Sistem yang dikembangkan dengan baik di daerah lintang menengah belum tentu baik juga ketika diterapkan di daerah tropis. Oleh karena itu, pendugaan kebakaran hutan perlu melibatkan parameter meteorologi tropis agar dapat dengan baik menggambarkan tingkat kebakaran hutan dan lahan tropis. Salah satu alat yang dapat digunakan ialah analisis regresi yang dipadukan dengan model iklim regional.
4 Regional Climate Model (RegCM) RegCM merupakan model iklim regional yang memiliki kemampuan downscaling dari model iklim global yang memiliki resolusi spasial mencapai ratusan kilometer menjadi data iklim regional dengan resolusi mencapai beberapa puluh kilometer saja. Program ini dapat dijalankan oleh komputer dengan sistem operasi Linux dan bersifat open source yang dapat diunduh secara bebas di website resmi ICTP Abdus Salam (www.ictp.it). Data reanalisis model iklim global akan diinterpolasi dengan fungsi boundaryparam yang berisi persamaan-persamaan lateral boundary condition. Hasil interpolasi berupa komponen angin, suhu (Ozturk et al. 2012), uap air, dan tekanan permukaan (Giorgi et al. 2011). Selain itu terdapat fungsi physicparam yang mengatur proses-proses fisik, seperti skema lateral boundary condition, lapisan perbatas, skema konvektif (Ozturk et al. 2012 dan Mufida 2012), skema kelembaban, skema fluks, dan skema gaya gradien tekanan. Parameter partikulat dan kimia atmosfer diatur pada bagian chemparam, seperti aerosol, debu (Solmon et al. 2012), SO2, SO4, dan beberapa parameter kimia atmosfer yang lain. Pemodelan iklim menggunakan skenario perubahan iklim yang digunakan oleh IPCC. Salah satu skenario perubahan iklim yang telah dikembangkan ialah mengikuti skenario emisi Special Report on Emissions Scenario (SRES). Skenario ini menempatkan subskenario sosial ekonomi sebagai pemengaruh utama dalam subskenario emisi, radiative forcing, dan model iklim. Skenario SRES mengembangkan dan mengaplikasikan hubungan kausal faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi emisi gas rumah kaca dan proses atmosfer serta dampak iklim (Moss et al. 2010).
Representative Concentration Pathways (RCP) Skenario RCP merupakan bagian dari proyek interkomparasi model gabungan (Coupled Model Intercomparison Project, CMIP) tahap kelima yang akan menghasilkan dataset multimodel untuk memajukan pengetahuan tentang variabilitas iklim dan perubahan iklim. Penggunaan skenario RCP mendasari penyusunan laporan penilaian kelima Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) (Taylor et al. 2013). Pemanfaatan skenario RCP mengintegrasikan pemodelan penilaian terpadu sosial ekonomi, pemodelan iklim, pemodelan dampak, dan analisis dampak (Moss et al. 2010). Skenario ini menempatkan subskenario radiative forcing sebagai pemengaruh utama dalam sub-skenario berikutnya. Konsep radiative forcing yang dimaksud ialah perubahan radiasi netto yang masuk dan keluar di tropopaus setelah suhu stratosfer mengalami penyesuaian dengan keseimbangan radiasi (Ramaswamy et al. 2001). RCP membagi waktu kajian menjadi dua bagian, yaitu jangka waku panjang dan jangka waku pendek. Skala waktu jangka panjang memproyeksikan perubahan iklim hingga tahun 2100, sedangkan proyeksi jangka pendek hanya 30 tahun pertama, yaitu dari tahun 2006 hingga 2035. Peneliti dan komunitas pengguna menggunakan jangka waktu pendek untuk menghasilkan proyeksi perubahan iklim dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Jangka pendek RCP direpresentasikan oleh RCP4.5 dengan asumsi radiasi gelombang panjang dari
5 permukaan bumi stabil pada tingkat 4.5 W/m2 setelah tahun 2100 atau konsentrasi CO2 sabil pada level 650 ppm ekuivalen.
Gambar 1 Perbedaan nilai radiative fircing (a) dan emisi CO2 (b) yang digunakan sebagai acuan skenario RCP (Moss et al. 2010) Perbedaan antara RCP4.5 dengan skenario RCP lainnya, yaitu RCP2.6 (penyedia model Integrated Model of Assess the Global Environment, IMAGE), RCP6.0 (International Institute for Applied Systems Analysis, AIM), dan RCP8.5 (Model for Energy Supply Strategy and their General Environmental, MESSAGE), terlihat pada grafik di atas. Proyeksi iklim jangka pendek (sampai tahun 2035) dapat menggunakan RCP4.5, karena keempat skenario memiliki kesamaan pola, berupa kenaikan secara linier hingga radiative forcing kurang lebih 3.3 W/m2, sehingga ketiga skenario ini akan memberikan hasil yang saling mendekati atau tidak memiliki perbedaan yang cukup besar pada rentang tahun tersebut. Skenario RCP8.5 memiliki pola kuadratik dengan radiative forcing pada tahun 2035 sekitar 4.2 W/m2. Ini merupakan skenario paling ekstrim pada RCP yang mensimulasikan dampak paling hebat dari perubahan iklim. Skenario RCP berdasarkan emisi CO2 dari industri dan energi merupakan pengembangan dari selang emisi (minimal emisi hingga maksimal) skenario SRES pada persentil ke10 dan ke-90. RCP2.6 disesuaikan dengan skenario acuan, RCP6.0 disesuaikan dengan skenario mitigasi, sedangkan RCP4.5 berada di antara skenario acuan dan mitigasi. Beberapa studi model iklim regional dengan skenario RCP menyebutkan bahwa efek perubahan iklim mendorong perubahan suhu udara dan curah hujan pada selang waktu tertentu. Suhu udara memiliki kecenderungan meningkat hingga tahun 2100 pada skenario RCP4.5 dan RCP8.5. Wilayah tropis seperti Indonesia mengalami peningkatan suhu yang cukup besar pada awal abad ke-21, kemudian mengalami peningkatan suhu yang sama besar dengan lintang menengah dan tinggi pada akhir abad tersebut (Diffenbaugh et al. 2012). Komponen curah hujan lebih dinamis dalam menyikapi perubahan iklim dengan kejadian yang merata di seluruh belahan bumi, terdapat wilayah yang mengalami peningkatan dan penurunan curah hujan. Peningkatan potensi kebakaran juga ikut meningkat seiring dengan peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan, termasuk Indonesia yang mengalami peningkatan potensi hingga akhir abad ini
6 (Diffenbaugh et al. 2012). Hal ini menjadikan penilaian dampak dan kerentanan perubahan iklim menjadi sorotan yang penting dikaji lebih lanjut (Fussel et al. 2006).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 bertempat di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pasific (CCROM – SEAP) IPB.
Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1 Data iklim observasi stasiun Palangka Raya, Muara Teweh, dan Banjarmasin berupa data suhu udara pada tahun 1995–2009. Datatersebut merupakan data pertukaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di bawah Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization, WMO) pada program World Weather Watch. 2 Data titik active fire hasil sistem manajemen informasi mengenai tingkat kebakaran (FIRMS) dengan memanfaatkan satelit MODIS yang telah menggunakan algoritma deteksi api aktif hasil pengembangan Giglio et al. (2003). Data ini diakses dari http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-timedata/firms. 3 Data SOI (Southern Oscullation Index) dari tahun 2001 hingga 2012 yang dapat diakses melalui http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.Indices /.nino/.EXTENDED/. 4 Data tutupan lahan wilayah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah tahun 2005 hingga 2011 yang didapatkan dari CCROM SEAP IPB. 5 Data output model dari Canadian Earth System Model (CanESM2) yang diproduksi oleh Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma).
Peralatan Peralatan yang digunakan dalam mengolah data dan penyajian hasil ialah perangkat komputer dengan sistem operasi Fedora dan Windows, perangkat lunak RegCM versi 4.4-rc8, Ferret versi 8.5, Arc GIS versi 10.0, Minitab 15, dan Microsoft Office 2007.
7 Prosedur Analisis Data Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 1 Melakukan simulasi model iklim regional RegCM4 dengan menggunakan data Initial and Boundary Condition (ICBC) dari luaran model Canadian Earth System Model (CanESM2) (Chylek et al. 2011) yang diproduksi oleh Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma). Data SST (Sea Surface Temperature) yang digunakan juga didapatkan dari model CanESM2. Skema yang digunakan ialah skema konvektif MIT-Emmanuel (Emmanuel and Zivkovic 1999) dan skema transfer fluks lautan (Zeng et al. 1998). Domain yang dipilih ialah wilayah Kapuas, Kalimantan Tengah, dengan cakupan domain dari 4.874ᵒLS – 0.879ᵒLU dan 110.76ᵒBT – 117.239ᵒBT serta resolusi spasial sebesar 20 kilometer. Waktu simulasi dari 1 Februari 2006 hingga 31 Desember 2029. Parameterisasi model tercantum pada Lampiran 2. 2 Mengelompokkan jenis tutupan lahan dengan ketentuan: air; belukar dan belukar rawa sebagai kelompok belukar; hutan lahan kering primer dan sekunder, hutan rawa sekunder, serta hutan tanaman sebagai kelompok hutan; pemukiman, pertambangan, dan kawasan transmigrasi sebagai lahan terbangun; pertanian lahan kering campur; dan perkebunan. 3 Menambahkan keterangan kelompok tutupan lahan pada data titik api aktif 4 Memilih bulan yang dijadikan amatan dengan melihat pola jumlah api aktif dengan pola indeks ENSO 5 Membuat poligon Theissen stasiun cuaca di sekitar Kapuas dan menghitung luas masing-masing bagian poligon yang memotong wilayah Kapuas untuk menghitung parameter cuaca wilayah Kapuas dengan rata-rata terbobot
Dimana
= Parameter cuaca wilayah = Luas wilayah (km2) = Parameter cuaca stasiun ke-i = Luas polygon stasiun ke-i yang berpotongan dengan wilayah (km2) i = Nomor urut stasiun (1, 2, 3, …, n) 6 Analisis regresi parameter cuaca wilayah Kapuas rata-rata tahunan periode aktivitas api dengan jumlah api aktif tahun 2006 hingga 2009 7 Menghitung nilai keterwakiln keragaman api aktif oleh parameter cuca dengan menggunakan koefisien determinasi (Walpole 1993) R2 = ( Dimana R2
)2 =
= Koefisien determinasi = Koefisien korelasi (korelasi Pearson) = Nilai variabel bebas ke-i = Nilai variabel terikat ke-i i = Nomor urut data (1, 2, 3, …, n) 8 Mengekstrak data suhu udara maksimum dari hasil keluaran model RegCM untuk menentukan suhu udara maksimum harian wilayah Kapuas, kemudian
8 dirata-ratakan dalam satu bulan, kemudian dirata-ratakan kembali dalam satu tahun pada periode aktivitas titik api 9 Menentukan faktor koreksi Dimana
= Faktor koreksi rata-rata = Rata-rata suhu model = Rata-rata suhu observasi 10 Menghitung suhu udara maksimal terkoreksi Dimana
= Nilai suhu terkoreksi = Rata-rata suhu model = Faktor koreksi rata-rata 11 Menduga jumlah api aktif dengan menggunakan persamaan regresi yang dihasilkan dan telah diuji nilai koefisien determinasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Kajian Kapuas merupakan daerah di Kalimantan Tengah yang melintang dari 3.5o LS hingga 0.5o LS. Posisinya yang berdekatan dengan ekuator membuat kondisi iklim wilayah Kapuas memiliki curah hujan yang cukup tinggi karena berada di lintasan Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ). Berdekatan dengan garis ekuator juga menyebabkan Kapuas menerima intensitas radiasi yang tinggi pula. Hal ini berimplikasi pada kondisi suhu udara rata-rata tahunan Kapuas sebesar 27.4oC, karena wilayah di sekitar ekuator mengalami akumulasi radiasi terbesar dibandingkan dengan posisi di lintang lain.
Gambar 2 Perbandingan persentase luas tutupan lahan Kabupaten Kapuas dari tahun 2005 hingga 2011
9 Permukaan wilayah Kapuas memiliki luas total 16856 km2 yang ditutupi oleh berbagai jenis tutupan lahan. Secara umum, wilayah Kapuas didominasi oleh hutan seluas 55%, kemudian belukar (27%) dan lahan pertanian (12%), sisanya berupa badan air (2%), dan lahan terbangun (4%). Histogram pada Gambar 2 menunjukkan adanya perubahan persentase tutupan lahan dari tahun 2005 hingga 2011. Luas hutan mengalami penurunan sebesar 6% dari tahun 2005 tahun 2011, sedangkan tutupan lahan lainnya mengalami peningkatan. Lahan pertanian mengalami peningkatan yang paling besar diantara yang lain yaitu 3.5%, sedangkan belukar meningkat 1%, serta badan air dan lahan terbangun kurang dari 1%. Berdasarkan perubahan ini, terdapat aktivitas pengalihgunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian, lahan terbangun, dan badan air. Tidak semua hutan yang dibakar dialihfungsikan menjadi lahan pertanian atau lahan terbangun, selalu ada sisa beberapa meter persegi hutan yang ikut terbakar namun tidak dimanfaatkan. Luas area ini biasanya dibiarkan saja yang kemudian ditumbuhi tanaman semak belukar, sehingga terlihat adanya perubahan biomassa tegakan menjadi rundukan pada proses konversi tersebut. Deforestasi hutan melalui proses pembakaran dapat terjadi melalui aktivitas manusia secara sengaja maupun aktivitas api alami. Pengamatan ini sulit dilakukan karena dinamika masyarakat dan hutan yang cukup luas. Pengamatan yang dapat dilakukan ialah pada potensi kebakaran hutan dengan menggunakan satelit. Indikator yang digunakan ialah suhu kecerahan yang telah melewati nilai ambang batas api aktif (Giglio et al. 2003), tidak mempertimbangkan kondisi tutupan lahan. Semakin banyak sebaran titik api aktif, semakin besar pula potensi terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang dimaksud tidak hanya merepresentasikan potensi kebakaran akibat proses alami, namun juga meliputi peningkatan luas potensi kebakaran hutan dan lahan.
Gambar 3 Sebaran spasial titik api aktif Kabupaten Kapuas Titik api aktif wilayah Kapuas tahun 2001 hingga 2012 pada Gambar 3 menyebar dan berkoloni pada titik tertentu. Kecamatan Mantangai, Basarang, Kapuas Hilir, dan Kapuas Barat memiliki tingkat potensi kebakaran hutan dan lahan tertinggi yang ditandai dengan banyaknya jumlah api aktif. Keempat kecamatan tersebut berada pada kawasan lahan gambut Kalimantan (KLH 2003). Keberadaan api aktif tersebut menunjukkan bahwa kondisi hidrologis pada keempat kecamatan di atas sudah terganggu. Gangguan tersebut bisa disebabkan
10 oleh aktivitas pembangunan yang menghambat beberapa proses hidrologis. Beberapa kecamatan lain di Kapuas juga memiliki potensi kebakaran yang lebih kecil.
Gambar 4 Perbandingan jumlah api aktif pada beberapa tutupan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2005 hingga 2011 Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah api aktif tahun 2006 dan 2009 terbanyak dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh unsur panas dari indeks NINO4 yang memiliki hubungan positif terhadap jumlah api aktif (Conrad 2009). Indeks NINO4 tahun 2006 berkisar dari 0.5 hingga 1.15 sejak bulan Agustus hingga empat bulan berikutnya, sedangkan indeks NINO4 tahun 2009 sebesar 0.5 hingga 1.29 yang terjadi sejak bulan Juli hingga lima bulan berikutnya. Hal yang sangat berbeda terjadi pada tahun 2008 dan 2010 yang memiliki jumlah api aktif terkecil sepanjang tahun pengamatan. Hal ini juga dipengaruhi oleh indeks NINO4 yang memiliki kisaran nilai negatif sejak bulan Juli hingga Desember pada kedua tahun tersebut. Efek dingin La Nina dari wilayah NINO4 terjadi pada bulan Agustus hingga Desember 2010 memberikan pengaruh pada penurunan jumlah api aktif secara intensif, karena fenomena La Nina identik dengan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia. Belukar memiliki potensi kebakaran tertinggi hampir di setiap tahun. Selain disebabkan oleh aktivitas hangat NINO4, keberadaan tiga komponen utama kebakaran, yaitu oksigen, biomassa, dan panas, tercukupi dengan baik pada lahan belukar. Komponen panas belukar sukar hilang atau mengalami penurunan, karena sirkulasi udara pada belukar kurang baik sehingga mengalami akumulasi panas yang tinggi dan mudah mengalami kebakaran (Lubis dan Suryadiputra 2003). Potensi kebakaran yang cukup tinggi juga ditemui pada lahan hutan Kapuas. Sebagian besar hutan Kapuas merupakan hutan berlahan gambut (KLH 2003) yang mudah mengalami kebakaran, salah satunya akibat pembangunan di sekitar lahan gambut yang dapat menyebabkan penurunan kadar air tanah dan kekeringan biomassa di bawah tanah (Lubis dan Suryadiputra 2003) yang memicu proses pembakaran biomassa. Lahan pertanian juga berpotensi mengalami kebakaran karena jenis lahan pertanian yang terdapat di Kapuas juga berupa lahan pertanian gambut yang mudah mengalami kenaikan suhu bahkan terbakar. Api aktif yang terdeteksi pada lahan pertanian dan badan air disebabkan oleh sifat permukaan dan prosedur pengamatan satelit yang hanya merekam dari segi radiasi
11 permukaan saja. Dua jenis tutupan lahan yang memiliki biomassa dan potensi akumulasi panas terbesar ialah hutan dan belukar. Dua tutupan lahan ini yang paling sering mengalami kebakaran, sehingga perlu diduga potensinya di masa yang akan datang sebagai dasar penyusunan kegiatan mitigasi dalam konteks perubahan iklim.
Waktu Kejadian Aktivitas Api Wilayah Kalimantan khususnya Kapuas memiliki tingkat keterpengaruhan dengan kejadian El Nino terhadap curah hujan musiman, khususnya saat musim hujan dan musim kering, pada tingkat sedang (Sitompul 2013). Hal ini berakibat pada defisit curah hujan di Kapuas yang dapat memicu meningkatnya aktivitas api pada saat tersebut (Conrad 2009). Empat macam indeks NINO dibandingkan dengan jumlah api aktif bulanan (pada lahan hutan dan belukar) untuk mengetahui kesamaan pola keduanya. Indeks NINO4 memiliki pola paling mendekati pola kemunculan api aktif di Kabupaten Kapuas.
Gambar 5 Jumlah api aktif wilayah Kapuas dan indeks NINO4 dari tahun 2001 hingga 2012 Gambar 5 menunjukkan peningkatan indeks NINO4 diikuti oleh kemunculan api aktif pada tahun 2002, 2003, 2004, 2006, 2009, dan 2012. Pola kejadian yang sama ini dapat mengindikasikan adanya pengaruh kejadian El Nino terhadap aktivitas api Kapuas. Aktivitas api tidak secara kontinu terjadi sepanjang tahun, namun hanya pada bulan-bulan tertentu saja, sehingga perlu dipisahkan bulan yang sering mengalami aktivitas api maupun yang tidak. Pemisahan bulan ini didasarkan pada keberadaan api aktif saat indeks NINO4 yang lebih besar atau sama dengan 0.5. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil bulan-bulan kemunculan api aktif secara umum dengan harapan efek hangat El Nino termasuk di dalamnya. Kemunculan api aktif terjadi pada dua bulan, yaitu Juli (2002, 2006, dan 2009) dan Agustus (2001, 2003, 2004, dan 2012). Aktivitas api aktif berakhir pada bulan September (2001), Oktober (2002 dan 2012), November (2003, dan 2009), dan Desember (2004 dan 2006). Bulan Desember tidak dimasukkan ke dalam waktu kejadian aktivitas api karena jumlah api aktif bulan Desember 2004 dan 2006 kurang dari 5% jumlah api aktif tahunan. Waktu kemunculan dan berhentinya aktivitas api tersebut mengarahkan pada selang waktu keberadaan potensi kebakaran hutan dan lahan, yaitu dari bulan Juli hingga November.
12 Keberadaan api aktif yang masih tersisa pada tahun 2008 dan 2010 menunjukkan bahwa terdapat komponen panas selain El Nino yang mempengaruhi aktivitas api. Komponen panas yang memungkinkan ialah radiasi matahari dan suhu udara, baik rata-rata maupun maksimum. Radiasi matahari kurang bervariasi secara spasial karena berasal dari sumber yang sama, sedangkan suhu udara memiliki variasi secara spasial tergantung pada interaksi atau respon permukaan terhadap energi matahari yang masuk.
Analisis Meteorologi Wilayah Data stasiun observasi meteorologi hasil pertukaran data antara BMKG dan WMO di kabupaten Kapuas hanya berjumlah satu stasiun, yaitu stasiun Palangka Raya. Berdasarkan posisi stasiun tersebut dengan ukuran dan bentuk kabupaten Kapuas, diperlukan informasi stasiun lain di luar Kabupaten Kapuas untuk menghitung parameter meteorologi pada wilayah Kapuas. Stasiun yang berdekatan ialah stasiun Banjarmasin dan Stasiun Muara Teweh.
Gambar 6 Persentase luas sebagai pembobotan dalam penentuan parameter meteorologi wilayah Berdasarkan persebaran stasiun pada Gambar 6, parameter meteorologi wilayah Kapuas dapat digambarkan oleh parameter meteorologi yang diukur pada stasiun Palangka Raya, Muara Teweh, dan Banjarmasin. Analisis poligon Theissen digunakan untuk mengetahui faktor pembobot dari ketiga stasiun tersebut. Faktor ini diperoleh dari persentase luas poligon stasiun meteorologi yang memotong wilayah Kapuas dengan luas keseluruhan Kapuas. Stasiun Palangka Raya, Muara Teweh, dan Banjarmasin masing-masing memiliki faktor pembobot sebesar 60%, 9%, dan 31%. Faktor pembobot ini juga menentukan keterpengaruhan data masing-masing stasiun terhadap parameter meteorologi wilayah Kapuas.
13 Tabel 1 Analisis statistik dalam penentuan model pendugaan terbaik Parameter Statistik F Hitung P-value R2
T minimum 3.2034 0.2154 0.62
Parameter Meteorologi T maksimum T rata-rata 31.4637 5.6249 0.0303 0.1411 0.94 0.74
RH (%) 31.2173 0.0306 0.94
Hubungan suhu udara minimum dan jumlah api aktif ialah berbanding terbalik, karena adanya perbedaan waktu kejadian, yaitu suhu udara minimum yang sering terjadi saat malam hari atau hujan di siang hari dengan komponen panas yang rendah, sedangkan aktivitas api yang terdeteksi muncul saat siang hari terik dengan komponen panas yang tinggi. Hal ini dipertegas oleh analisis statistik uji F yang menunjukkan bahwa F Hitung suhu udara minimum lebih kecil dari F Tabel yang sebesar 18.5128. Uji F tersebut menunjukkan bahwa suhu udara minimum tidak berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas api. Nilai P-value yang didapatkan sebesar 21.5% atau lebih besar dari batas kesalahan maksimal yang digunakan yaitu 5%. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa suhu udara minimum tidak dapat digunakan dalam pendugaan aktivitas api pada lahan hutan dan belukar. Kenaikan suhu udara rata-rata memberikan efek positif pada peningkatan komponen panas udara. Komponen panas menjadi komponen pemicu dalam peningkatan potensi kebakaran. Uji F suhu udara rata-rata menunjukkan hasil yang sama dengan uji F sebelumnya, yaitu suhu udara rata-rata tidak memiliki pengaruh secara nyata terhadap peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan. P-value yang dihasilkan sebesar 14.1% yang memberikan informasi bahwa kesalahan pendugaan aktivitas api akan meningkat sekitar 3 kali lipat jika menggunakan suhu udara rata-rata sebagai prediktornya. Salah satu penyebab hubungan rendah antara suhu udara rata-rata dan rata-rata jumlah api aktif ialah adanya perbedaan selang waktu pengamatan. Suhu udara rata-rata yang merepresentasikan suhu udara selama 24 jam, sedangkan kejadian api aktif yang terjadi atau terdeteksi saat tertentu saja. Kelembaban relatif memiliki hubungan terbalik dengan aktivitas api, karena parameter tersebut menggambarkan kondisi udara yang mengandung banyak uap air. Uap air memiliki kemampuan menyerap komponen panas atmosfer, sehingga komponen panas tidak terdeteksi pada vegetasi atau bahan yang mudah terbakar oleh satelit. Uji F dan P-value menunjukkan bahwa kelembaban relatif memiliki pengaruh nyata terhadap aktivitas api secara signifikan. Hal ini diperkuat dengan koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 94% yang menggambarkan bahwa 94% keragaman aktivitas api telah mampu dijelaskan oleh keragaman kelembaban relatif udara. Analisis regresi terakhir ialah antara suhu udara maksimum dengan rata-rata jumlah api aktif. Suhu udara maksimum memiliki hubungan meteorologis yang lebih dekat dengan api aktif dibandingkan dengan parameter meteorologi lain. Suhu udara maksimum terjadi saat siang hari dan api aktif sering terjadi saat siang hari pula. Hal ini didukung oleh analisis regresi yang menunjukkan bahwa keragaman suhu udara maksimum lebih bisa merepresentasikan keragaman api aktif dibandingkan dengan parameter lain. Uji F menunjukkan bahwa suhu udara
14 maksimum memiliki pengaruh nyata terhadap aktivitas api pada lahan hutan dan belukar dengan taraf signifikan terbesar dibandingkan parameter meteorologi lainnya, yang ditandai dengan nilai P-value terkecil. Selain itu, koefisien determinasi yang dihasilkan merupakan koefisien determinasi terbesar dibanding parameter meteorologi lainnya. Ketiga hal tersebut membuat suhu udara maksimum digunakan dalam pendugaan aktivitas api pada penelitian ini.
Keluaran Model Iklim Regional Model iklim regional menghasilkan suhu udara maksimum yang berbeda dengan suhu udara maksimum observasi. Perbedaan tersebut berkisar dari 4.7°C hingga 6.1°C. Hal ini berakibat pada perbedaan nilai rata-ratanya, yaitu 32.9°C untuk data observasi dan 38.5°C untuk data model. Perbedaan rata-rata ini dijadikan sebagai faktor koreksi agar rata-rata suhu udara maksimum model sama dengan rata-rata observasinya. Koreksi ini hanya menghilangkan faktor galat ratarata statistik saja, tanpa mengoreksi faktor variabilitas data.
Gambar 7 Perbandingan kerapatan data suhu udara maksimum observasi dan model terkoreksi Data suhu udara maksimum observasi dan model terkoreksi memiliki bentuk sebaran nilai yang sama, yaitu sebaran normal. Pola data observasi cukup bisa diikuti oleh data model terkoreksi. Kerapatan data observasi lebih menyebar di sekitar nilai tengah atau nilai rata-ratanya dengan standar deviasi 0.703, sedangkan kerapatan data model terkoreksi terkonsentrasi pada nilai tengah dengan standar deviasi 0.507. Pemusatan nilai ini menunjukkan bahwa model sering menduga suhu maksimum pada nilai rata-ratanya, yaitu 32.9ᵒC. Keragaman data model terkoreksi masih lebih kecil dibandingkan dengan observasi. Keragaman tersebut menyebabkan adanya penyimpangan nilai suhu model dari nilai observasi. Terdapat kenaikan suhu udara maksimum rata-rata pada skala waktu proyeksi (2010–2029) dibandingkan dengan observasi (2006–2009). Kenaikan tersebut terjadi bertahap dengan kisaran 0.12–0.59ᵒC per 4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa model RCP4.5 merespon adanya kenaikan suhu udara
15 maksimum dari suhu udara maksimum model referensinya (Diffenbaugh et al. 2012). Kerapatan nilai suhu maksimum tahun 2006–2009 menyebar secara normal dengan standar deviasi 0.703, namun model memproyeksikan suhu maksimum dengan kerapatan nilai yang memusat pada nilai tengah sebagai respon dari perubahan iklim (Gambar 8). Pemusatan kerapatan ini menunjukkan bahwa adanya penurunan keragaman hingga setengah kali keragaman suhu maksimum observasi. Penurunan keragaman terbesar ialah pada selang waktu 2022–2029, yang berakibat pada peningkatan suhu yang semakin gigih dengan peluang penurunan suhu yang sangat kecil. Penghangatan ini dinilai lebih cepat dibandingkan dengan penghangatan yang terjadi di lintang tinggi di awal abad ke21 (Diffenbaugh et al. 2012). Dominasi kenaikan suhu pada RCP4.5 disebabkan oleh skenario RCP4.5 yang mensimulasikan kenaikan radiative forcing sekitar 1.3 W/m2 atau ekuivalen dengan peningkatan sekitar 1.5 Gt CO2 di atmosfer (Moss et al. 2010). Peningkatan radiative forcing ini menggambarkan adanya peningkatan permukaan dalam mengeluarkan radiasi gelombang panjang yang disebabkan oleh peningkatan suhu.
Gambar 8 Perbandingan kerapatan data suhu maksimum tahun 2006–2009 dengan proyeksi (2010–2029) Pola spasial kenaikan suhu udara maksimum terlihat pada Gambar 9. Secara umum suhu udara maksimum rata-rata di Kapuas pada empat selang waktu berada pada kisaran 22ᵒC hingga 38ᵒC dengan suhu tertinggi berada di Kecamatan Kapuas Tengah, Timpah, Mantangai, Banamatingang, dan Kahayan Tengah pada tahun 2006–2013. Empat tahun berikutnya, Kecamatan Timpah mengalami kenaikan suhu udara maksimum lebih dahulu dibandingkan dengan kecamatan lain. Pola deret waktu suhu udara maksimum tahun 2014 hingga 2029 menunjukkan adanya udara dengan suhu maksimum 36–38ᵒC yang masuk ke Kabupaten Kapuas dari arah timur. Kecamatan Timpah yang mengalami peningkatan suhu tersebut pada tahun 2014–2017, disusul oleh Kecamatan Kapuas Tengah (2018–2021) serta Kecamatan Banamatingang, Kahayan Tengah, dan Mantangai (2022–2029).
16
Gambar 9 Perbandingan suhu udara maksimum spasial tahun 2006 hingga 2029
Gambar 10 Rata-rata jumlah api aktif observasi dan proyeksi Pendugaan jumlah api aktif dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi antara suhu udara maksimum dengan rata-rata jumlah api aktif yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Gambar 10 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah api aktif observasi berkisar dibawah 600 titik, menurut hasil observasi satelit. Hasil proyeksi perubahan iklim menggambarkan adanya peningkatan
17 jumlah api aktif pada tahun periode 4-tahunan dari tahun 2010 hingga 2029. Fluktuasi rata-rata jumlah api aktif meningkat menjadi 300 hingga 900 titik di wilayah hutan dan belukar kabupaten Kapuas. Hal ini sebanding dengan adanya peningkatan suhu udara maksimum pada tahun yang sama, karena suhu udara memiliki keterpengaruhan yang cukup besar pada pendugaan aktivitas api (Giorgi 2006). Jumlah api aktif mencapai puncak kenaikan pada tahun 2011, 2014, 2018, 2021, dan 2029. Tahun-tahun tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih berupa peningkatan aktivitas mitigasi dengan mengurangi intensitas pembakaran hutan, melalui aksi nyata maupun kebijakan pemerintah.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Variabel iklim yang paling berpengaruh terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Kapuas ialah suhu udara maksimum dengan koefisien determinasi sebesar 94% pada periode bulan JASON yang merupakan bulan-bulan yang berpotensi mengalami kebakaran. Model iklim regional dengan skenario RCP secara dominan mengestimasi suhu udara maksimum di atas nilai observasinya dengan keragaman yang lebih besar. Suhu udara maksimum keluaran model hanya mampu mengikuti pola-pola tertentu observasi. Langkah pengoreksian dilakukan terhadap nilai rata-rata dengan hasil yang menunjukkan bahwa model menduga suhu udara maksimum dengan tingkat keragaman lebih rendah dari pada observasi. Peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2010–2029 ditandai dengan peningkatan fluktuasi menjadi 300 hingga 600 titik api aktif. Pergeseran selang ini menggambarkan efek perubahan iklim yang berdampak pada peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan menjadi 0.5 hingga 1.5 kali potensinya di tahun 2001–2012. Hal tersebut menjadikan dasar ilmiah pentingnya aktivitas mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan bagi pemerintah pusat maupun daerah. Kebijakan yang mungkin untuk dilakukan ialah menekan laju deforestasi maupun pembukaan lahan pada bulan Juli hingga November.
Saran Peningkatan jumlah titik pengamatan meteorologi merupakan kegiatan yang sangat mendukung dalam penyusunan persamaan pendugaan, karena sifat suhu udara yang berfluktuasi juga secara spasial. Uji beberapa skenario keluaran model iklim diperlukan untuk mengurangi faktor ketidakpastian. Selain itu, disarankan pula memperpanjang tahun pengamatan api aktif atau titik potensi kebakaran.
18
DAFTAR PUSTAKA [BAPPENAS; ADB] National Development Planning Agency; Asia Development Bank. 1999. Causes, Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires and Drought: Planning for Fire Prevention and Drought Management Project. Jakarta (ID). Brady M, Kwan J, Naydenov E. 2008. Report on the International Workshop on Advances in Operational Weather Systems for Fire Danger Rating. Canada (US): Northern Forestry Centre. Byram GM. 1959. Forest Fire - Control Use: Combustion ofForest Fuels. New York (US): McGraw Hill Book Company. Choong TS. 1997. Scorched earth. Asiaweek. 10 October 1997. Chuvieco E, Aguado I, Yebra M, Nieto H, Salas J, Martin MP, Vilar L, Martinez J, Martin S, Ibarra P et al. 2009. Development of a framework for fire risk Assessment using remote sensing and geographic information system technologies. Ecol. Model. (in press). Doi: 10.1016/j.ecolmodel.2008.11.017. Chylek P, Li J, Dubey MK, Wang M, Lesins G. 2011. Observed and model simulated 20th century Arctic temperature variability: Canadian Earth System Model CanESM2. Atmos. Chem. Phys. Discuss.11: 22893–22907. Conrad E. 2009. Early warning and response to peatland fires in Central Kalimantan. Columbia (US): International Research Institute. Diffenbaugh NS, Giorgi F, Pal JS. 2008. Climate change hotspots in the United States. Geophysics Research Letters 35. Doi: 10.1029/2008GL035075. Diffenbaugh NS, Giorgi F. 2012.Climate change hotspots in the CMIP5 global climate model ensemble. Climatic Change 114: 813–822. Emmanuel KA, Zivkovic RM. 1999. Development and evaluation of a convective scheme for use in climate models. Jurnal of Atmospheric Science, American Meteorological Society 56: 1766–1782. Ferguson SA, Sandberg DV, Ottmar R. 1998.Modelling the effect of landuse change on global biomass emissions. Forestry Sciences Laboratory. Seattle (US): 1 – 29. Flasse SP, Ceccato P. 1996. A contextual algorithm for AVHRR fire detection. International Journal of Remote Sensing 17: 419–424. Fussel HM, Klein RJT. 2006. Climate change vulnerability assessment: An evolution of conceptual thinking. Climate Change 75 (3): 301 – 329. Giglio L, Descloitres J, Justice CO, Kaufman YJ. 2003. An enhanced contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environment 87: 273282. Giorgi F. 2006. Climate change hotspots. Geophysical Research Letters 33 (8): L08707. DOI: 08710.01029/02006GL025734. Giorgi F, Elguindi N, Cozzini S, Giuliani G. 2011. Regional climatic model RegCM User’s Guide Versi 4.2. Italy (IT): The Abdus Salam, International Centre for Theoretical Physics. Justice CO, Giglio L, Korontzi S, Owen J, Morisette JT, Roy D, Descloitres J, Alleaume S, Petitcolin F, Kaufman Y. 2002. The MODIS fire product. Remote Sensing of Environment 83: 244-262.
19 [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Profil wilayah kebakaran hutan dan lahan tahun 2002 17 kabupaten rawan dan prioritas di Kalimantan dan Sumatera. Asdep Urusan Ekosistem Daratan Deputi Bidang Kelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Liew SC, Lim OK, Kwoh LK, Lim H. 1998. A study of the 1997 forest fire in south east Asia using SPOT quiclook mosaics. Geosicience and Remote Sensing Symposium Proceedings. IEEE International 2: 879 – 881. Lubis IR, Suryadiputra INN. 2003. Upaya Pengelolaan Terpadu Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Wilayah Berbak – Sembilang. Prosiding Semiloka: 105 – 119. Bogor (ID): Center for Interbational Forestry Research. MacCallum S, Merchant C, Maturi E, Harris A, Nalli N. 2003. Sea Surface Temperature Daytime Determination Using 3.9 and 11 Micron Radiance Observations – Part 2: Atmospheric Scattering. Midlothian (UK): The University of Edinburgh. Moss RH, Edmonds JA, Hibbard KA, Manning MR, Rose SK, van Vuuren DP, Carter TR, Emori S, Kainuma M, Kram T et al. 2010. The next generation of scenarios for climate change research and assessment. Nature 463: 747-756. Mufida SF. 2012. Evaluasi skema konveksi yang terdapat dalam model iklim regional RegCM4 dalam mensimulasi keragaman curah hujan musiman dan intramusiman di Indonesia. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ozturk T, Altinsoy H, Turkes M, Kurnaz ML. 2012. Simulation of temperature and precipitation dlimatology for the Central Asia CORDEX domain using RegCM 4.0. Climate Research 52: 63 – 76. Ramaswamy V, Boucher O, Haigh J, Hauglustaine D, Haywood J, Myhre G, Nakajima T, Shi GY, Solomon S, Betts R et al. 2001. Radiative forcing of climate change. In: Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton JT et al. (eds.)]. New York (US): Cambridge University Press: 349 – 416. Ruitenbeek HJ. 2002. The rainforest supply price: A tool for evaluating rainforest conservation expenditures. Ecological Economics 6: 57 – 58. Sitompul Z, Nurjani E. 2013. Pengaruh El Nino Southern Oscilation (ENSO) terhadap curah hujan musiman dan tahunan di Indonesia. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada: 11–18 . Solmon F, Elguindi N, Mallet M. 2012. Radiative and climate effect of dust over West Africa as simulated by a regional climate model. Climate Research 52: 97 – 113. Stocks BJ, Lawson BD, Alexander ME, Wagner CEV, McAlpine RS, Lynham TJ, Dube DE. 1989. The Canadian Forest Fire Danger Rating System: An Overview. For. Chron 65: 450 – 457. Taylor KE, Souffer RJ, Meehl GA. 2013. A summary of the CMIP5 experimental design [internet]. [diunduh 2013 Juni 22]. Tersedia pada: http://cmippcmdi.llnl.gov/cmip5/experimental_design.html. Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Zeng X, Zhao M, Dickinson RE. 1998. Intercomparison of bulk aerodynamic algorithms for the computation of sea surface fluxes using Toga Coare and Tao Data. Journal of Climate 11: 2628–2644.
20 Lampiran 1
Peta wilayah running model RegCM4
21 Lampiran 2
Parameterisasi model RegCM4 Nilai yang digunakan
Parameter
Deskripsi
iy jx kz iproj ds ptop Clat Clon Ssttyp Dattyp gdate1 gdate2 Calendar Scenario Aertyp
Jumlah grid lintang Jumlah grid bujur Jumlah level ketinggian Proyeksi peta Resolusi grid (km) Tekanan level tertinggi (cbar) Koordinat lintang pusat (o) Koordinat bujur pusat (o) Tipe suhu permukaan laut Tipe dataset analisis global Tanggal mulai simulasi Tanggal akhir simulasi Tipe kalender Skenario perubahan iklim IPCC Tipe aerosol
Jumlah api aktif wilayah Kapuas tahun 2001 – 2012
Lampiran 3
Jumlah Active Fire Wilayah Kapuas - Hutan dan Belukar
Bulan 2001
2002
2003
2004
2006
2007
Jan
0
3
1
1
4
5
Feb
0
1
1
1
1
Mar Apr
0
0
2
1
1
2
0
6
2
2
May
0
8
1
1
1
Jun
0
3
61
6
3
Jul
36 40 18 NORMER 20.0 5.0 -2.0 114.0 CA_RF dan CA_45 CA_RF dan CA_45 1988123100 2031010100 noleap RF dan RCP4.5 AER00D0
2005
2
2008
2009
2010
2011
2012
1
1
2
3
2
1
1
1
5
5
3
1
1
1
1
1
12
3
1 2 2
9
167
59
2
31
26
1
38
1
41
3
Aug
390
1236
121
157
120
293
6
1
382
1
165
25
Sep
161
757
180
243
413
1142
203
69
1721
1
130
376
Oct
29
455
51
670
163
717
163
85
121
21
73
165
Nov
5
44
12
25
8
208
4
1
40
1
4
4
Dec
1
2
595
2682
390
164
2309
30
429
582
Jumlah
1 486
1111
16 742
2410
22 Lampiran 4 Bulan
Indeks NINO4 tahun 2001 – 2012
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jan
-0.60
0.49
0.99
0.67
1.02
-0.42
0.75
-1.30
-0.68
1.30
-1.50
-0.94
Feb
-0.83
0.39
0.84
0.38
0.66
-0.65
0.55
-1.57
-0.70
0.92
-1.37
-0.85
Mar
-0.60
0.25
0.70
0.23
0.57
-0.38
0.35
-1.35
-0.46
0.79
-0.99
-0.67
Apr
-0.29
0.54
0.47
0.32
0.43
-0.17
0.29
-1.05
-0.25
0.68
-0.75
-0.34
May
-0.05
0.59
0.21
0.38
0.37
0.10
0.14
-0.81
0.14
0.24
-0.57
-0.26
Jun
0.06
0.73
0.42
0.57
0.44
0.34
0.20
-0.61
0.46
-0.08
-0.37
-0.06
Jul
0.40
0.78
0.45
0.80
0.32
0.45
0.21
-0.38
0.53
-0.46
-0.31
0.15
Aug
0.45
0.91
0.64
0.95
0.44
0.79
0.24
-0.08
0.86
-0.75
-0.30
0.64
Sep
0.60
0.99
0.67
1.20
0.46
0.99
-0.20
-0.03
0.96
-0.92
-0.33
0.72
Oct
0.40
0.99
0.66
1.01
0.32
1.00
-0.55
-0.20
1.18
-1.18
-0.48
0.65
Nov
0.39
1.19
0.80
1.12
0.20
1.13
-0.83
-0.44
1.36
-1.26
-0.59
0.55
Dec
0.28
1.11
0.68
1.12
-0.04
1.15
-0.89
-0.56
1.29
-1.38
-0.83
0.33
NINO4
23
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 19 Oktober 1991. Penulis merupakan putra pertama dari ayah Rustam dan ibu Rumiyati. Jenjang pendidikan mengenah atas penulis selesaikan di Madrasah Aliyah Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta Jawa Tengah pada tahun 2009. Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama Republik Indonesia menyambungkan pendidikan penulis ke perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor. Keilmuan meteorologi adalah ilmu utama yang ingin diperdalam oleh penulis di perguruan tinggi negeri tersebut. Penulis aktif di beberapa kegiatan keorganisasian kampus, baik internal maupun eksternal. Aktivis Departemen Sosial dan Lingkungan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FMIPA IPB ditekuni penulis pada tahun 2010/2011, dengan amanah pada program Donor Darah dan Bakti Sosial IPB 2011. Staf Departemen Pengelolaan Sumber Daya Manusia (PSDM) CSS MoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) IPB diduduki penulis pada tahun yang sama, serta ketua Departemen Minat dan Bakat di organisasi yang sama pada tahun berikutnya. Selain itu, staf Departemen PSDM KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) juga pernah diamanahkan pada penulis pada tahun 2010/2011. Dunia pendidikan juga merupakan salah satu kegiatan yang mewarnai aktivitas penulis. Pengajar privat mata pelajaran Fisika SMA pernah penulis tekuni pada tahun 2011–2013. Selain itu, penulis juga mengajar di beberapa lembaga bimbingan belajar di sekitar Bogor dari tahun 2011 hingga sekarang. Bidang keilmuan meteorologi juga menjadi ladang dalam menerapkan ilmu penulis, yaitu sebagai asisten dosen pada praktikum Meteorologi Satelit tahun 2013. Beberapa penelitian yang pernah penulis lakukan ialah perubahan potensial produktivitas padi di Jawa Barat akibat kenaikan suhu udara dengan menggunakan data satelit Landsat dan TRMM. Data satelit Landsat juga pernah digunakan penulis dalam menyusun peta kerentanan kekeringan daerah Indramayu dengan konsep indeks vegetasi. Presentasi oral pernah penulis lakukan pada acara Seminar Sains Atmosfer yang diadakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tahun 2013 dengan materi Model Evapotranspirasi Tanaman dengan Pengamatan Satelit berdasarkan Fluks Bahang Laten. Selain itu, penggunaan data satelit MODIS untuk menduga aktivitas api di wilayah Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan juga pernah dilakukan penulis sebagai dasar penelitian tugas skripsi. Pemodelan iklim regional dengan menggunakan RegCM dalam menduga dampak perubahan iklim terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan di Kapuas Kalimantan Tengah dijadikan sebagai topik tugas akhir program sarjana ini.