DAMPAK PERANG UHUD TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI JAZIRAH ARAB TAHUN 625 M – 630 M
SKRIPSI
Oleh: Fitria Kusumawati NIM: K 4405019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
DAMPAK PERANG UHUD TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI JAZIRAH ARAB TAHUN 625 M – 630 M
Oleh : Fitria Kusumawati NIM: K 4405019
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Saiful Bachri, M.Pd NIP. 19520603 198503 1 001
Drs. A. Arif Musadad, M.Pd NIP. 19670507 199203 1 002
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari : Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Djono, M.Pd
.....................
Sekretaris
: Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum
Anggota I
: Dra. Saiful Bachri, M.Pd
Anggota II
: Drs. A. Arif Musadad, M.Pd
Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
iv
....…………… ..................... ........................
ABSTRAK
Fitiria Kusumawati. K4405019. DAMPAK PERANG UHUD TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI JAZIRAH ARAB TAHUN 625 M-630 M. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Latar belakang terjadinya perang Uhud, (2) Dampak perang Uhud terhadap perkembangan ajaran agama Islam di Jazirah Arab, (3) Pengaruh perang Uhud dalam perkembangan bidang militer tentara Muslim, (4) Sikap Quraisy Makkah terhadap Islam Madinah seusai perang Uhud. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer yang berupa Al Qur’an dan sumber data sekunder yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu sejarah Islam. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Perang Uhud diawali oleh adanya keinginan kaum Quraisy untuk melakukan balas dendam terhadap Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin di Madinah atas kekalahan yang dialami oleh kaum Quraisy pada saat perang Badar, (2) Kekalahan yang dialami kaum Muslimin dalam perang Uhud telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kaum Muslimin bahwa setiap perintah dan perkataan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kebenaran yang harus dipatuhi, (3) Perang Uhud telah membawa pengaruh yang besar dalam bidang kemiliteran tentara Muslimin. Setelah mengalami kekalahan dalam perang Uhud, strategi-strategi perang yang baru mulai diterapkan dalam menghadapi kaum Quraisy. Salah satu strategi perang yang sangat terbukti mampu mengalahkan musuh adalah strategi perang parit yang merupakan inisiatif dari salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Salman Al-Farisi, (4) Perkembangan Islam yang semakin meningkat setelah perang Uhud membuat kaum Quraisy yang dahulunya menentang Islam, berbalik arah menyatakan untuk memeluk Islam. Akan tetapi, masih ada golongan orangorang musyrikin yang sampai sekarang golongan ini menentang Islam. Mereka berusaha untuk menghancurkan orang-orang Islam dengan berbagai cara. Kaum Quraisy sampai sekarang masih tinggal di wilayah Jazirah Arab dan mereka ditakdirkan untuk menjadi golongan yang menentang Islam.
v
ABSTRACT
Fitria Kusumawati. K4405019. THE EFFECT OF UHUD WAR ON THE ISLAM DEVELOPMENT IN ARAB PENINSULA DURING 625–630 AC. Thesis, Surakarta: Faculty of Education and Teacher Training. Sebelas Maret University, October 2009. The aim of this research is describing: (1) the background of the historic of Uhud war, (2) the effect of Uhud war on the Islam doctrine development in Arab Peninsula, (3) the effect of Uhud war on the Moslem soldiers’ military development, (4) Quraysh Mecca’s attitude on Medina Moslem after Uhud war. The research uses historical method. The data resource used in the research is primary data resource, such as Al-Quran, and secondary data resource, such as books related to the research theme, Islam history. The technique of collecting data uses literature study. The technique of data analysis uses historical analysis technique, analysis that majoring incisive style in processing of a historic data. The research procedure through four steps activities: heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Based on the result of research, it can be concluded that: (1) Uhud war was initiated with the Quraysh willingness to take a revenge on the Prophet Muhammad SAW as well as the Moslem in Medina for their defeat in Badar war, (2) The defeat the Moslem encountered in Uhud war had given a valuable lesson for the Moslem that every instruction and statement from the Prophet Muhammad SAW is the truth that should be complied with, (3) The Uhud war had brought about big effect on the military sector of Moslem soldiers. Having defeated in Uhud war, the new fighting strategies began to apply in facing the Quraysh. One of fighting strategies proven can defeat the enemy is the ditch strategy constituting the new initiative from one of Prophet Muhammad SAW’s best friends that is Salman Al-Farisi, (4) The Islam development proceeding progressively after Uhud war made the Quraysh previously resisted Islam, embraced Islam. However, there are some groups of unbelievers who still against Islam until now. They try to beat Muslims in any way. Quraysh clan still live in Arab Peninsula until now and they are fated to be a group who against Islam.
vi
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S Al Insyirah: 6)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (Q. S Ar-Ra’d: 11)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Ibu dan Bapak tercinta 2. Adikku tersayang 3. Mas Luntoro 4. Teman-teman Pendidikan Sejarah 2005 5. Almamater
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Saiful Bachri, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. A. Arif Musadad, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta,
Oktober 2009
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .....................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................
iv
ABSTRAK.... ….. .....................................................................................
v
ABSTRACT..................................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ..............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................
viii
KATA PENGANTAR..............................................................................
ix
DAFTAR ISI.............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. ..
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................
10
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
10
D. Manfaat Penelitian ............................................................
10
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka ..................................................................
12
1. Konflik ........................................................................
12
a. Pengertian Konflik……………………………………
12
b. Ciri-ciri Konflik …………………………………… .
14
c. Jenis-jenis Konflik...………………………………….
15
d. Penyebab Terjadinya Konflik…………………...........
16
e. Akibat Konflik..........………………………………….
17
f. Cara Penyelesaian Konflik…………………………...
18
2. Agama Islam.....................................................................
20
a. Pengertian Agama Islam………………………… . …
20
b. Dasar Pokok Agama Islam……………………………
23
c. Sumber Ajaran Agama Islam…………………………
23
x
d. Fungsi Agama Islam......................…………………..
26
3. Strategi Militer.................................................................
27
a. Pengertian Strategi.....................................................
27
b. Konsep Militer..........................................................
30
c. Konsep Strategi Militer...............................................
31
B. Kerangka Berfikir ..............................................................
34
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................
36
B. Metode Penelitian ..............................................................
37
C. Sumber Data .........................................................................
38
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................
40
E. Teknik Analisis Data .........................................................
41
F. Prosedur Penelitian ............................................................
43
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar Belakang Terjadinya Perang Uhud ............................
47
1. Madinah Sebelum Terjadinya Perang Uhud ..................
47
2. Pecahnya Perang Uhud .................................................
65
a. Persiapan Perang Uhud...............................................
65
b. Jalannya Perang Uhud................................................
68
c. Akhir Perang Uhud.....................................................
77
B. Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Ajaran Islam di Jazirah Arab.........................................................................
80
C. Pengaruh Perang Uhud Dalam Perkembangan Bidang Militer Tentara Muslim........................................................................
83
D. Sikap Quraisy Makkah Terhadap Islam Madinah Seusai Perang Uhud............................................................................
86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.........................................................................
88
B. Implikasi.............................................................................
90
1. Teoritis ...........................................................................
90
2. Praktis ............................................................................
91
xi
3. Metodologis........................................................................
91
C. Saran ..................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
93
LAMPIRAN ....... .....................................................................................
96
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Arab pada waktu lahirnya Islam......................................
97
Lampiran 2. Peta kota Madinah Al-Munawwarah. .....................................
98
Lampiran 3. Ghazwah Uhud . ....................................................................
99
Lampiran 4. Daftar nama tentara Muslim yang gugur dalam perang Uhud .
100
Lampiran 5. Peristiwa Penting Dalam Kehidupan Nabi Rasul Saw.............
103
Lampiran 6. Surat permohonan ijin menyusun skripsi. ...............................
107
Lampiran 7. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan skripsi...
108
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam lahir di Makkah, karena di Makkah itulah pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah SWT. Akan tetapi, agama Islam mengalami perkembangan yang pesat di Madinah (A. Syalabi, 1983: 116). Makkah adalah lembah yang sangat tandus. Kondisi geografis negeri ini berpengaruh besar dalam membentuk sikap dan watak masyarakatnya. Pada umumnya penduduk Makkah bertemperamen buruk dan tidak mampu berpikir secara mendalam. Sementara itu, Madinah merupakan wilayah pertanian yang subur yang menghasilkan produk pertanian yang melimpah. Suhu tropisnya tidak sepanas di Makkah. Masyarakat Madinah berhati lembut, penuh pertimbangan dan cerdas dalam berpikir sehingga seruan Islam lebih mudah diterima pada latar belakang masyarakat seperti Madinah daripada masyarakat yang berlatar belakang seperti Makkah. Selain itu, Islam memperoleh landasan yang lebih cocok di Madinah daripada di Makkah pada masa penyebarannya yang pertama. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempercepat dilakukannya hijrah oleh Nabi Muhammad SAW. Hijrah, yang mengakhiri periode Makkah dan merupakan awal periode Madinah, merupakan suatu hal penting dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Tahun-tahun penghinaan, penganiayaan, dan kegagalan telah berakhir, dan tahun-tahun keberhasilan telah dimulai. Nabi Muhammad SAW telah dihina dan dilecehkan oleh kaummnya di Makkah, sedangkan di Madinah Nabi Muhammad SAW diterima sebagai seorang pemimpin yang sangat dihormati. Kelas pendeta dan aristokrasi Quraisy merupakan salah satu penghalang bagi kemajuan Islam di Makkah. Mereka menganggap bahwa keberhasilan Islam merupakan malapetaka dan kehancuran bagi mereka. Oleh karena itu, mereka menentang Islam dengan sangat gigih sejak masa lahirnya. Di Madinah tidak terdapat kelompok pendeta seperti di Makkah, tidak pula terdapat suatu suku aristokrasi agama seperti Quraisy. Oleh karena itu, menyampaikan Islam di
1
2
Madinah lebih mudah dan lebih berhasil dibandingkan di Makkah. Di Madinah, kekuasaan serta kedudukan Nabi Muhammad SAW semakin besar dan Islam memperoleh landasan yang kuat dari hari ke hari. Nabi Muhammad SAW dengan bebas dapat menyampaikan dakwahnya diantara masyarakat yang sesat, dan pada akhirnya mereka mengikuti ajaran beliau. Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah disambut baik oleh segenap kalangan masyarakat Madinah (Yatsrib) yang kemudian mengubah nama kota ini menjadi “Madinatun Nabi”, artinya kota Nabi (K. Ali dan Andang Affandi, 1995: 46). Hal pertama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Madinah ialah membangun sebuah masjid. Dalam membangun masjid tersebut, Nabi Muhammad SAW bekerja sebagaimana para pekerja lainnya. Masjid yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai wadah kesatuan sosial muslim. Di masjid inilah Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut dan sahabatnya melakukan shalat berjamaah, beribadah dan mengajarkan ajaranajaran Islam kepada para sahabatnya serta menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi. Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW mempunyai peranan penting dan besar artinya untuk mempersatukan kaum Muslimin dan mempertahankan jiwa mereka dalam satu kesatuan. Setelah memantapkan diri di Madinah, Nabi Muhammad SAW membawa keluarganya ke sana. Pada waktu kedatangan Nabi Muhammad SAW, Madinah didiami oleh beberapa kelompok masyarakat yang berbeda. Para pengikut setia Nabi Muhammad SAW yang telah meninggalkan kampung halaman mereka dan telah mengikuti Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dikenal dengan gelar Muhajirin atau para “Pengungsi”. Pengabdian para Muhajirin terhadap Nabi Muhammad SAW sangat besar. Mereka bersedia berhijrah dan memutuskan ikatan persahabatan serta kekeluargaan dengan kaum Quraisy. Selain itu, para Muhajirin berani untuk menghadapi segala penderitaan dan cobaan dalam usaha menegakkan Islam. Orang Madinah yang baru masuk Islam yang telah membantu Nabi Muhammad SAW baik dalam suka maupun duka menerima gelar Anshar atau para “Penolong”. Dengan tangan terbuka mereka menerima Nabi Muhammad
3
SAW di tengah-tengah mereka dan sesuai dengan perjanjian di Aqabah, mereka akan tetap berada di samping beliau baik dalam suka maupu duka. Kaum Anshar terlibat aktif dalam semua peperangan, dan pada beberapa kesempatan mereka memberi dana keuangan bagi tujuan Islam. Mereka menyediakan rumah dan makanan bagi para pengungsi atau para Muhajirin. Persaudaraan diantara kaum Anshar dan Muhajirin begitu akrab sehingga mereka dapat saling mewariskan harta kekayaan bila mereka meninggal. Pada permulaan kedatangan Nabi Muhammad SAW, para penyembah berhala Madinah tidak berani untuk menjalankan aktivitas sesat mereka. Hal ini tampak jelas bahwa seluruh kelompok masyarakat, baik yang beriman maupun yang tidak beriman, siap untuk melindungi Nabi Muhammad SAW. Perkembangan Islam yang semakin pesat di Madinah telah mengakibatkan para penyembah berhala iri terhadap kedudukan Nabi Muhammad SAW. Abdullah ibnu Ubay merupakan seorang tokoh Yahudi Madinah yang menaruh benci dan iri hati atas supremasi politik Nabi Muhammad SAW. Abdullah ibnu Ubay terkenal licik dan mempunyai sejumlah pengikut yang terdiri dari orang-orang munafik yang berusaha menentang Nabi Muhammad SAW secara sembunyi-sembunyi. Abdullah ibnu Ubay ingin sekali memperoleh kekuasaan kedaulatan di Madinah. Segalanya sudah dipersiapkan untuk memperoleh kendali kekuasaan, tetapi kedatangan Nabi Muhammad SAW merupakan rintangan bagi semua rencananya. Selain para penyembah berhala, ada juga kelompok yang tidak senang pada peranan Nabi Muhammad SAW yang meluas. Akan tetapi, antusiasme yang besar dari masyarakat Madinah terhadap ajaran Islam memaksa kelompok ini mengakui Islam secara nominal. Kelompok ini menentang Nabi Muhammad SAW secara rahasia. Oleh karena itu, mereka disebut kaum munafikun. Kelompok masyarakat ini lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan. Penganut agama Yahudi di Madinah mempunyai pendirian dan sikap yang berbeda-beda. Mereka bersama dengan masyarakat Madinah lainnya turut menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Pada mulanya, Nabi Muhammad SAW mengakui otoritas ketuhanan agama mereka, bahkan telah menyandarkan tuntutannya pada bukti dari kitab suci mereka. Kaum Yahudi
4
menganggap bahwa mereka akan mampu membawa Nabi Muhammad SAW berada di pihaknya. Akan tetapi, ketika mereka menyadari bahwa harapan mereka tidak terpenuhi, sedikit demi sedikt mereka menarik dukunganya dan menjadi musuh utama Islam. Setelah datang di Madinah, Nabi Muhammad SAW mencurahkan perhatiannya pada organisasi kenegaraan. Dalam perkembangannya, Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa yang mutlak di Madinah. Selama enam bulan pertama di Madinah, beliau dibiarkan tidak diganggu. Akan tetapi, kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang terus bertambah menimbulkan kecemburuan
dan
permusuhan
kaum
Quraisy
yang
cenderung
ingin
membinasakan Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya. Kemarahan kaum Quraisy menimpa pula orang Madinah yang memberi perlindungan kepada Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya di kota Madinah. Kaum Quraisy menyatakan umat Islam sebagai pemberontak dan mereka menginginkan untuk menghukum Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. Meskipun orang Madinah menerima misi Nabi Muhammad SAW, tapi keragu-raguan dan kecemburuan telah menguasai hati banyak orang. Mereka tidak menerima dengan ikhlas kekuasaan Nabi Muhammad SAW di Madinah dan mereka berusaha untuk mengusir Nabi Muhammad SAW dari negeri mereka. Orang Musyrik Madinah yang sebelumnya memihak Nabi Muhammad SAW, sekarang mereka bersekutu dengan Quraisy di bawah pimpinan Abdullah ibnu Ubay yang sejak awal berharap menjadi penguasa negeri Madinah tetapi terhalang oleh kedatangan Nabi Muhammad SAW. Kerjasama orang Musyrik Madinah yang munafik itu mulai menambah kekuatan musuh. Kaum Yahudi secara rahasia mulai berkomplot dengan kaum Quraisy untuk mengurangi kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang terus menanjak. Di samping itu, kaum Quraisy sering melakukan penjarahan di luar kota Madinah. Nabi Muhammad SAW mengirim suatu kelompok yang terdiri atas sembilan orang anggota di bawah pimpinan Abdullah ibnu Jashy untuk mengintai gerak-gerik musuh. Kelompok itu dengan tiba-tiba menyerang kafilah Quraisy di Nakhlah, dekat Makkah, dan dalam pertempuran kecil itu mereka membunuh
5
Amar bin Hazrami, seorang pemimpin Quraisy. Peristiwa Nakhlah itu menyebabkan permusuhan semakin berkobar di antara kedua belah pihak. Pada waktu itu, desas-desus menyebar luas bahwa Abu Sufyan diserang umat Islam ketika ia kembali dari Syria. Karena itu, kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal mengirim satu pasukan besar untuk menyerang Madinah. Ketika Nabi Muhammad SAW diberitahu tentang hal ini, beliau memanggil suatu dewan perang dan kemudian memutuskan untuk menyerang kafilah Abu Sufyan dalam perjalanan pulang dari Syria. Karena itu, pertempuran antara kaum Quraisy dan pengikut Nabi Muhammad SAW tidak bisa dihindarkan lagi. Peristiwa ini merupakan penyebab terjadinya suatu peperangan yang sangat besar antara pihak Nabi Muhammad SAW dengan kaum Quraisy, yang terkenal dengan perang Badar yang terjadi pada hari Jumat pagi, tanggal 17 Ramadhan 2 Hijriah atau tanggal 13 Maret 624 Masehi (K. Ali dan Andang Affandi, 1995: 52). Perang Badar pada dasarnya merupakan konflik antara kekuatan cahaya dan kegelapan, antara kebenaran dan kepalsuan, cahaya atas kegelapan. Kemenangan pasukan Islam pada peperangan Badar atas kekuatan yang jumlahnya jauh lebih besar memberi harapan baru bagi umat Islam dan mendorong mereka untuk keberhasilan di masa depan. Dalam perang Badar ini, kekuatan Quraisy dihancurkan dan harga diri mereka dihinakan. Sementara itu, pengaruh Nabi Muhammad SAW dan kekuatan Islam semakin besar dan bahkan sampai ke luar Madinah. Perang Badar juga memberikan pengaruh yang besar terhadap orang Yahudi, begitu pula terhadap suku bangsa Badui yang berdekatan yang menyadari bahwa telah muncul di Arabia satu kekuatan yang tidak terkalahkan. Sebelumnya orang Yahudi sangat meremehkan umat Islam. Akan tetapi, sekarang mereka mulai merasakan kekuatan umat Islam. Untuk sementara waktu, orang tidak berani berlaku sombong terhadap Nabi Muhammad SAW. Perang Badar membantu umat Islam mengkonsolidasi kekuatan Islam di Madinah, dan memungkinkan mereka mampu menghadapi orang jahat dari kota itu dengan berani. Setelah kemenangan Badar, Islam memperoleh kedudukan yang kuat di Madinah. Kebangkitan Madinah merupakan satu hal yang tidak menggembirakan
6
kaum Quraisy yang menganggapnya sebagai suatu ancaman besar bagi kepentingan politik dan perdagangan mereka. Di samping itu, munculnya Bani Hasyim di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyenangkan bagi Bani Umayah. Oleh karena itu, konflik antara kedua cabang suku Quraisy yaitu Bani Hasyim dan Bani Umayah tidak bisa dielakkan lagi sehingga memunculkan serentetan peperangan-peperangan yang lainnya. Kekalahan yang diderita oleh kaum Quraisy di peperangan Badar merupakan suatu pukulan yang hebat bagi mereka. Kaum Quraisy senantiasa teringat atas kehancuran mereka dan derita kekalahan pada perang Badar yang sangat memalukan mereka. Pemuka-pemuka mereka seperti Abu Jahal, Utbah, mati terbunuh dalam perang tersebut. Kekalahan mereka dalam perang Badar telah memunculkan rasa dendam yang besar terhadap kaum Muslimin. Dalam waktu yang singkat mereka berhasil menyusun kekuatan di Makkah. Abu Sufyan bersumpah bahwa ia tidak akan menyentuh perempuan sebelum kekalahan mereka terbalas. Selanjutnya pasukan kaum Quraisy menyiagakan diri dengan perlengkapan perang bahkan mereka mengundang suku-suku Badui bersekutu melawan musuh mereka yakni pasukan Muslim Madinah. Selain itu, kaum Quraisy bertekad untuk tidak membelanjakan semua harta kekayaan kafilah perniagaan agar nantinya dapat digunakan untuk membelanjai atau membiayai peperangan yang akan dilancarkan terhadap kaum Muslimin. Kaum Quraisy sangat khawatir kalau kekalahannya pada perang Badar akan terulang lagi. Untuk melancarkan perang berikutnya mereka mengadakan persediaan yang besar. Dikumpulkanlah oleh Abu Sufyan 3000 pemanggul senjata terdiri dari orang-orang Quraisy, Arab Tihamah, Kinanah, Bani al Harits, Bani al Haun dan Bani al Mushtaliq. Keluarga (istri-istri) dari orang-orang besar Quraisy pun dibawa Abu Sufyan ke medan perang supaya mereka dapat menghalangi lakilaki yang melarikan diri dari medan perang. Membawa kaum wanita dengan maksud demikian, telah menjadi adat kebiasaan bagi bangsa Arab. Setelah Nabi Muhammad SAW mengetahui kesiapan balatentara Quraisy,
maka
bermusyawarahlah
beliau
dengan
para
sahabat
untuk
membicarakan tindakan apa yang harus diambil. Pemuda-pemuda Islam dan
7
orang-orang yang dulu tidak ikut serta dalam perang Badar, mengusulkan kepada Nabi Muhammad SAW agar kaum Muslimin ke luar kota Madinah untuk menghadapi musuh di luar kota. Ada pula beberapa orang sahabat mengusulkan agar kaum Muslimin jangan ke luar kota Madinah, tetapi bertahan saja dalam kota Madinah, dan mengadakan perlawanan dan pembelaan dari rumah-rumah dan lorong-lorong kota. Rasulullah sendiri cenderung kepada pendapat yang kedua, tetapi pendapat yang pertama banyak mendapat dukungan dari kaum Muslimin. Oleh karena itu keluarlah Rasulullah bersama 1000 orang pemanggul senjata yang terdiri dari kaum Muslimin untuk menghadapi musuh yang menyerang. Baru saja beliau berangkat timbullah keretakan dalam barisan kaum Muslimin. Seorang munafik bernama Abdullah ibnu Ubay mengundurkan diri dan kembali ke Madinah membawa sekelompok kaum munafik yang terdiri ± 300 tentara. Alasan Abdullah ibnu Ubay atas pengkhianatan yang dilakukannya ialah karena Nabi Muhammad SAW tidak menerima usulnya, melainkan hanya menerima usul pemuda-pemuda yang mengusulkan agar musuh dihadapi di luar kota. Laskar tentara yang masih setia kepada Nabi Muhammad SAW terus berangkat bersama beliau. Akhirnya Nabi Muhammad SAW beserta laskar Muslimin sampai ke Bukit Uhud. Setelah itu Nabi mulai mengatur posisi atau penempatan laskar-laskar tersebut. Ada 50 orang laskar pemanah di bawah pimpinan Abdullah ibnu Jabir diletakkan oleh Nabi pada suatu tempat untuk menutup jalan laskar berkuda Quraisy karena menurut taktik perang, laskar kaum Quraisy dapat memutar jalannya masuk dari tempat itu untuk memukul kaum muslimin dari belakang (A. Syalabi, 1983: 175). Dalam pertempuran tahap pertama, pasukan Muslimin memperoleh kemenangan demi kemenangan. Ketika pertempuran hampir selesai, para pemanah Muslimin meninggalkan pos mereka, meskipun sebelumnya mereka mendapat peringatan keras dari komandan mereka. Mereka berbuat demikian untuk mengambil bagian dalam penjarahan harta rampasan perang, karena mereka menganggap perang telah usai. Akibatnya, barisan pasukan Muslimin menjadi tidak teratur lagi. Khalid bin Walid sebagai pemimpin tentara Quraisy yang
8
menyaksikan peristiwa itu segera menyerbu pasukan Muslimin dari garis belakang. Serangan tersebut membuat pasukan Muslimin mulai bercerai-berai dan melarikan diri dari medan tempur. Nabi Muhammad SAW berusaha membawa mereka kembali, tetapi gagal. Pada saat itu seorang pemuka kafir yang bernama Ibnu Kamia, sempat melemparkan batu ke arah Nabi Muhammad SAW yang mengakibatkan salah satu gigi depan Nabi Muhammad SAW patah. Beliau jatuh ke tanah dan desas-desus mulai menyebar bahwa Nabi Muhammad SAW telah terbunuh. Padahal sebenarnya Nabi Muhammad SAW hanya pingsan. Setelah beberapa menit kemudian, beliau siuman kembali dan dipapah menuju Bukit Uhud dimana
sebagian besar anggota pasukan Muslim menunggunya.
Pasukannya sangat gembira karena mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW masih hidup (K. Ali dan Andang Affandi, 1995: 60). Akibat perang Uhud ini, 70 tentara Muslim gugur dalam pertempuran itu dan dari pihak musuh terdapat 23 orang yang terbunuh. Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan menyobek perut Hamzah bin Abdul Muthalib kemudian mengeluarkan hatinya dan mengunyahnya untuk memuaskan rasa balas dendamnya atas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Hamzah dalam perang Badar. Kecakapan dan taktik militer Khalid bin Walid, hembusan angin yang kencang, pasukan Muslim yang kurang disiplin, dan kelalaian para serdadu Muslim terhadap tugas, merupakan faktor utama kekalahan kaum Muslim dalam perang Uhud. Khalid bin Walid, seorang pemimpin Quraisy, menyerbu pasukan Islam pada saat yang tepat, yaitu saat mereka meninggalkan tempat strategis yang paling penting bagi perang. Selain itu, pasukan Muslim tidak bisa membedakan antara kawan dan lawan karena hembusan angin yang kencang. Peperangan Uhud ini adalah suatu peperangan yang amat besar akibatnya. Kaum Quraisy tahu betul bahwa kemenangan mereka sangat gemilang. Oleh karena itu, mereka hendak melanjutkan kemenangan itu sehingga dapat menumpas kaum Muslimin sampai tidak tersisa. Suku-suku bangsa Arab yang lain memandang bahwa nilai dan gengsi kaum Muslimin telah merosot akibat kekalahan pada peperangan Uhud itu. Orang-orang Yahudi dengan terang-terang
9
mengejek dan mencemoohkan kaum Muslimin. Kondisi demikian tidak menyebabkan kaum Muslimin menjadi lemah dan terus berusaha dengan sekuatnya untuk menghilangkan kesan-kesan kekalahan yang telah dialami oleh kaum Muslimin dalam perang Uhud. Kaum Muslimin ingin memperlihatkan kepada kaum Quraisy bahwa mereka masih unggul dan kuat. Meskipun umat Islam dikalahkan dalam perang Uhud, namun mereka dapat memperoleh kembali kedudukan semula, bahkan memperbaikinya pada bulan-bulan berikutnya. Kaum Quraisy tidak dapat membanggakan diri dengan kekuatan umat Islam Madinah yang terus bertambah. Mereka mengetahui bahwa kekuatan umat Islam yang terus bertambah merupakan ancaman bagi kedudukan sosial, agama, dan juga kemajuan perdagangan mereka. Setelah perang Uhud berakhir, golongan Yahudi yakni Bani Nadzir diusir dari Madinah oleh kaum Muslim Madinah karena pengkhianatan dan kejahatan mereka, dan sejak itu mereka menghasut orang Quraisy dan Badui untuk melawan orang Islam. Perang Uhud telah memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Islam khususnya dan masyarakat di Jazirah Arab pada umumnya bahwa perintah seorang Rasulullah harus ditaati karena apa yang disabdakan oleh Rasulullah merupakan suatu petunjuk kebenaran. Selain itu, perang Uhud juga telah membawa suatu perubahan-perubahan yang lain, misalnya perubahan dalam strategi militer. Kekalahan pasukan Muslimin dalam perang Uhud tidak menjadikan pasukan Muslimin lemah tetapi memberikan suatu motivasi untuk menyusun strategi-strategi baru dalam bidang kemiliteran untuk memerangi musuh-musuh Islam. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul “Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Islam di Jazirah Arab Tahun 625 M – 630 M”. Kurun waktu yang diambil berkisar antara tahun 625 sampai 630 M. Pembatasan ini berdasarkan pada terjadinya perang Uhud yakni tahun 625 M. Tahun 630 M merupakan tahun kemenangan dan perkembangan agama Islam, yang ditandai dengan adanya peristiwa Fathu Makkah.
10
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimanakah latar belakang terjadinya perang Uhud? 2. Bagaimanakah dampak perang Uhud terhadap perkembangan ajaran agama Islam di Jazirah Arab? 3. Bagaimanakah pengaruh perang Uhud dalam perkembangan bidang militer tentara Muslim? 4. Bagaimanakah sikap Quraisy Makkah terhadap Islam Madinah seusai perang Uhud?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perang Uhud. 2. Untuk mengetahui perkembangan ajaran agama Islam di Jazirah Arab setelah perang Uhud. 3. Untuk mengetahui pengaruh perang Uhud dalam perkembangan bidang militer tentara Muslim. 4. Untuk mengetahui sikap Quraisy Makkah terhadap Islam Madinah seusai perang Uhud.
D. Manfaat Penelitian Dalam mengadakan penelitian penulis berharap dapat memberikan suatu kemanfaatan bagi dunia pendidikan. Adapun manfaat dari penelitian ini penulis golongkan menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat dalam rangka pengembangan ilmu sejarah yang berkaitan dengan Jazirah Arab terutama sejarah Islam.
11
b. Sebagai salah satu sumber bagi penelitian-penelitian selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan kemanfaatan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis a. Memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Dapat menambah khasanah pustaka baik program Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan maupun Universitas Sebelas Maret khususnya mengenai dampak perang Uhud terhadap perkembangan Islam di Jazirah Arab.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka 1. Konflik a. Pengertian Konflik Kata konflik berasal dari kata Latin confligere yang berarti “saling memukul”. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang terdiri dari dua orang atau kelompok yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghacurkanya atau membuatnya tidak berdaya. Jenis bentrokan yang paling sering terjadi di dalam kehidupan manusia ialah perang dengan menggunakan senjata yang ditandai dengan dua atau lebih dari suku bangsa yang saling bertempur dengan maksud mengahancurkan pihak lawan (D. Hendropuspito OC, 1989: 247). Menurut Kartini Kartono (1988: 173), definisi konflik berasal dari kata confligere, conflictum, yang artinya semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksiinteraksi yang antagonistis atau bertentangan. Sedangkan menurut Clinton F. Fink yang dikutip oleh Kartini Kartono (1988: 173), definisi konflik adalah: 1) Relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuantujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif yang tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur nilai yang berbeda. 2) Interaksi yang antagonis, mencakup: tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan yang halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan latent, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya perang dan lain-lain. Menurut Maswadi Rauf (2001: 2), konflik adalah gejala sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu tertentu. Konflik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
12
13
bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social relations). Konflik juga dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok. Konflik seperti ini dapat dinamakan konflik lisan atau konflik non-fisik. Apabila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, maka dapat berubah menjadi konflik fisik, yaitu suatu konflik yang
melibatkan benda-benda fisik dalam menyelesaikan perbedaan
pendapat diantara dua orang atau kelompok. Menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary of the English Language yang dikutip oleh Dean G. Pruitt dan Jeffery Z. Rubin (2004: 9), istilah “conflict” berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu suatu bentuk konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Konflik merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan, artinya sulit untuk menemukan suatu titik temu dalam menyelaraskan aspirasi pihak yang sedang berkonflik. Berdasarkan beberapa definisi tentang konflik, Margaret M. Poloma (2003: 107) menyatakan bahwa: Konflik merupakan bentuk interaksi bahwa tempat, waktu serta intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan sebagaimana dengan isi segitiga yang berubah. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Konflik atau pertentangan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan proses integrasi. Hal ini disebabkan karena proses integrasi dapat mengarah kepada terbentuknya suatu proses disorganisasi dan disintegrasi di dalam masyarakat tertentu. Semakin tinggi konflik atau pertentangan intra kelompok (intra-group conflict), maka akan semakin kecil derajat atau tingkat integrasi kelompok. Dalam kehidupan bermasyarakat, solidaritas yang terjadi di dalam kelompok (in-group solidarity) dan pertentangan dengan kelompok luar
14
(out group conflict) juga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Semakin besar permusuhan terhadap kelompok luar, maka semakin besar pula adanya proses integrasi di dalam suatu solidaritas kelompok untuk membentuk kekuatan dalam mengahadapi pihak lawan atau musuh (phil. Astrid S. Susanto, 1999: 103). Konflik atau pertentangan yang terdapat di dalam masyarakat mengenal beberapa fase, yaitu fase disorganisasi dan fase disintegrasi. Suatu kelompok sosial yang selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial, maka pertentangan akan berkisar pada penyesuaian diri atau penolakan dari faktor-faktor sosial tersebut. Sebagian besar konflik muncul dalam posisi yang saling bertentangan dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh kelompok yang berkonflik. Masingmasing kelompok yang terlibat dalam konflik mempunyai tujuan tertentu, misalnya
mempertahankankan
atau
memperluas
wilayah
maupun
demi
kepentingan keamanan. Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik merupakan suatu bentuk pertentangan, pertikaian dan perbedaan pendapat antara dua orang atau kelompok yang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan sehingga mengakibatkan pihak yang satu berusaha untuk menyingkirkan pihak yang lain dengan berbagai cara. Konflik yang terjadi di dalam perang Uhud pada dasarnya merupakan konflik antara Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dengan kaum Musyrikin Makkah atau kaum Quraisy. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh kekalahan yang dialami oleh kaum Quraisy dalam peristiwa perang Badar. Kaum Quraisy menderita kerugian yang besar atas kekalahan mereka dalam perang Badar sehingga memicu keinginan untuk melakukan balas dendam terhadap kaum Muslimin.
b. Ciri-ciri Konflik Menurut Ted Robert Gurr yang dikutip oleh Maswadi Rauf (2001: 7) menyebutkan paling tidak ada empat ciri konflik, yaitu:
15
1) Ada dua atau lebih pihak yang terlibat, yakni melibatkan orang atau pihak lain yang berjumlah minimal satu sehingga ada pihak lain yang menjadi saingan. 2) Adanya keterlibatan dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi, yakni bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik secara terangterangan menunjukkan sikap yang berlawanan dengan yang lain sehingga menimbulkan reaksi pertentangan dan permusuhan dari pihak lain. 3) Adanya penggunaan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan mengahalangi lawannya. Pada ciri ini didasarkan atas pandangan bahwa konflik selalu bersifat konflik fisik. 4) Konflik merupakan sebuah tingkah laku yang nyata dan dapat diamati. Konflik haruslah berwujud tindakan (behavior) yang berbentuk tindakan-tindakan konkret. Oleh karena itu, pertentangan antara dua orang yang hanya ada dalam pikiran masing-masing tidak dapat disebut konflik.
c. Jenis-jenis Konflik Menurut Maswadi Rauf (2001: 6), dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik maka konflik dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Konflik individual, yakni konflik yang terjadi antara dua orang yang tidak melibatkan kelompok masing-masing. Faktor penyebab konflik ini adalah masalah pribadi sehingga yang terlibat dalam konflik hanyalah orang-orang yang bersangkutan saja. 2) Konflik kelompok, yakni konflik yang terjadi antara dua kelompok atau lebih. Konflik pribadi dapat dengan mudah berubah menjadi konflik kelompok karena adanya kecenderungan yang besar dari individu-individu yang berkonflik untuk melibatkan kelompoknya masing-masing.
16
Menurut Coser yang dikutip oleh Margaret M. Poloma (2003: 107), konflik dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1) Konflik realistis, adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terdapat di dalam hubungan masyarakat dan kekecewaan tersebut ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. 2) Konflik yang tidak realistis, adalah konflik yang bukan berasal dari persaingan antara kedua belah pihak tetapi dari kebutuhan untuk meredakan masalah, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik yang terjadi di dalam perang Uhud dapat digolongkan ke dalam jenis konflik kelompok yaitu konflik yang terjadi antara kaum Quraisy dengan kaum Muslimin. Selain itu, konflik yang terjadi antara kaum Quraisy dan kaum Muslimin juga dapat digolongkan ke dalam konflik realistis yaitu konflik tersebut bersumber dari kekecewaan yang dialami oleh kaum Quraisy akibat kekalahan kaum Quraisy dalam perang Badar.
d. Penyebab Terjadinya Konflik Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah hal-hal yang terjadi pada tingkat individual (Maurice Duverger, 2003: 175-176). Duverger juga menyinggung rasa frustasi sebagai penyebab terjadinya konflik. Orang frustasi lebih mudah terlibat dalam konflik dengan pihak lain yang dianggap sebagai penyebab frustasi tersebut. Konflik juga bisa disebabkan karena adanya persaingan atau kompetisi yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Akan tetapi, tidak sepenuhnya konflik muncul karena adanya persaingan diantara kelompok. Konflik bisa disebabkan karena adanya perbedaan pendirian antara kelompok termasuk tujuan yang hendak dicapai. Kecenderungan manusia untuk menguasai orang lain juga merupakan penyebab terjadinya konflik. Hal ini berarti kecenderungan manusia untuk berkuasa menjadi salah satu penyebab konflik. Manusia selalu menginginkan orang lain menganut apa yang dianutnya karena ia berpendapat bahwa apa yang
17
dianutnya adalah yang terbaik bagi semua orang, di samping alasan untuk mendominasi. Oleh karena itu, kecenderungan manusia untuk menarik orang lain agar menganut ideologi atau agama yang dianutnya merupakan salah satu sumber konflik terpenting dalam masyarakat (Maswadi Rauf, 2001: 7). Menurut Soerjono Soekanto (1986: 76-78), terdapat dua hal yang menjadi sumber terjadinya konflik yaitu: 1) Adanya orang-orang yang menduduki posisi-posisi tertinggi, sehingga kepentingan mereka berbeda dengan golongan yang menduduki posisi yang lebih rendah. 2) Ada golongan-golongan tertentu yang lebih disukai daripada golongan-golongan lain dalam kelompok tersebut. Berkaitan dengan perang Uhud maka penyebab konflik perang Uhud adalah karena keinginan untuk melakukan balas dendam dari pihak Quraisy Makkah terhadap Muslim Madinah akibat kekalahan yang dialami oleh pihak Quraisy pada saat perang Badar. Semenjak kekalahan Quraisy dalam perang Badar, pihak Quraisy semakin membenci kaum Muslimin dan berusaha untuk menghancurkan kaum Muslimin khususnya Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya.
e. Akibat Konflik Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik bernilai positif, sejarah dan kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa konflik fisik selalu mendatangkan akibat negatif. Bentrokan antara individu dengan individu, kerabat dengan kerabat, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan agama yang satu dengan agama yang lain, umumnya mendatangkan penderitaan bagi kedua belah pihak yang terlibat, seperti korban jiwa, material dan spiritual serta berkobarnya kebencian dan balas dendam. Akibat lain ialah terputusnya kerjasama antara kedua belah pihak yang terlibat konflik. Masa antara pecahnya konflik dan terbentuknya kerjasama kembali disebut masa permusuhan. Dalam masa ini usaha kooperatif tidak dapat dilakukan. Hal ini mengakibatkan proses kemajuan masyarakat mengalami
18
kemacetan. Apabila konflik terjadi di suatu negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan bersifat separatif, konflik juga menghambat persatuan bangsa serta integrasi sosial dan nasional (D. Hendropuspito OC, 1989: 249). Konflik yang terjadi dalam perang Uhud telah memunculkan berbagai akibat yang merugikan bagi pasukan Muslimin. Kekalahan yang dialami oleh pasukan Muslimin dalam perang Uhud tidak hanya menyebabkan kerugian secara materiil. Akan tetapi, juga berdampak pada melemahnya semangat pasukan Muslimin. Meskipun pasukan Muslimin mengalami cobaan yang besar akibat kekalahan dalam perang Uhud, namun pasukan Muslimin tidak pantang menyerah. Setelah perang Uhud berakhir, pasukan Muslimin menghimpun kekuatan militer dan menciptakan strategi perang yang baru dalam menghadapi pihak musuh. Usaha pasukan Muslimin untuk membalas kekalahan dalam perang Uhud tidak sia-sia. Hal tersebut terbukti dengan kemenangan yang diperoleh pasukan Muslimin saat menghadapi pihak Quraisy dalam perang Ahzab dengan menggunakan strategi perang parit.
f. Cara Penyelesaian Konflik Menurut D. Hendropuspito OC (1989: 250-251), ada 5 cara penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yaitu: 1) Konsiliasi atau perdamaian (conciliatio), yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses ini, pihak-pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ketiga. Namun dalam hal lain, pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua belah pihak yang berselisih untuk menghentikan persengketaan. 2) Mediasi (mediatio), yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang perantara (mediator). Dalam hal ini, fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga
tidak
mempunyai wewenang untuk
19
memberikan keputusan yang mengikat, keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan. 3) Arbitrasi (arbitrium), yaitu suatu cara penyelesaian konflik melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Abitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. 4) Paksaan (coersion), yaitu suatu cara penyelesaian konflik atau pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. 5) Detente, yaitu suatu cara penyelesaian konflik dengan mengurangi hubungan ketegangan antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai perdamaian. Dalam hal ini, belum ada penyelesaian secara definitif dan belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Menurut Maswadi Rauf (2001: 10-12), ada dua cara penyelesaian konflik, yaitu: 1) Cara persuasif (persuasive), yaitu suatu cara penyelesaian konflik dengan menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mencari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Cara penyelesaian konflik secara persuasif menghasilkan penyelesaian konflik secara tuntas, artinya tidak ada lagi perbedaan antara pihak-pihak yang sebelumnya berkonflik karena titik temu telah dihasilkan atas keinginan sendiri.
20
2) Penyelesaian secara koersif (coersive), yaitu suatu cara penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Cara koersif menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas yang rendah karena konflik sebenarnya belum selesai secara tuntas. Titik temu atau mufakat terbentuk secara terpaksa sehingga pihak yang lebih lemah menyetujui pendapat yang lebih kuat tidak atas dasar kesadaran dan keinginan sendiri. Konflik yang terjadi dalam perang Uhud diselesaikan secara koersif, yaitu penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Hal tersebut terbukti dengan adanya sejumlah perlawananperlawanan yang berasal dari kaum Muslimin maupun kaum Quraisy. Kedua kelompok tersebut saling beradu kekuatan dengan kepentingan yang berbedabeda. Kaum Quraisy memiliki ambisi yang besar untuk menghancurkan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya yang telah mengalahkan mereka dalam perang Badar. Selain itu, kaum Quraisy juga memiliki keinginan yang kuat untuk memperluas daerah kekuasaan mereka sampai wilayah Madinah. Sementara itu, kaum Muslimin memiliki tujuan untuk menegakkan kebenaran di atas kebathilan dengan berusaha menyebarkan agama Islam yang merupakan wahyu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Agama Islam a. Pengertian Agama Islam Agama bukan berasal dari bahasa Arab, sebab dalam bahasa Arab tidak dikenal istilah “Ga”. Dalam bahasa Arab dikenal istilah “Addin” artinya kepatuhan, kekuasaan atau kecenderungan. Menurut bahasa Sansekerta, agama berasal dari gabungan kata “a” artinya tidak dan “gama” artinya kacau sehingga kalau digabungkan maka agama artinya tidak kacau. Agama juga merupakan
21
terjemahan dari bahasa Inggris, “religion” atau religi yang artinya kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan (Aminuddin, 2002: 12-13). Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya (U. Maman Kh, 2006: 93). Agama merupakan produk kebudayaan atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayan. Menurut pandangan sarjana sosiologi, agama bisa dianggap sebagai suatu sarana kebudayaan bagi manusia dan dengan sarana itu dia mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalamannya dalam keseluruhan lingkungan hidupnya termasuk dirinya sendiri, anggota-anggota kelompoknya, alam, dan lingkungan lain yang dia rasakan sebagai sesuatu yang transendental (tidak terjangkau oleh penalaran manusia) (Elizabeth K. Nottingham,1994: 9). Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghargai sesuatu yang sakral lewat pengalaman beragama (religious experience), yaitu penghayatan kepada Tuhan sehingga manusia menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi sang illahi. Berpijak dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut agama adalah kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan. Menurut pengertian secara istilah, Islam berarti damai atau selamat, artinya agama itu membawa kedamaian dan keselamatan bagi dunia, baik yang menganut maupun yang tidak menganut agama Islam (Abu Su’ud, 2003: 137). Islam merupakan agama Samawi yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Kata Islam berasal dari bahasa Arab, berarti berserah diri kepada Allah. Dasar dari kata Islam adalah S-L-M, yang diucapkan silm, berarti damai, berasal dari kata aslama yang mengandung arti telah menyerah, yakni berserah diri kepada kehendak-Nya. Islam adalah agama yang membawa kedamaian bagi umat manusia selama mereka berserah diri kepada Tuhan dan pasrah atas kehendak-Nya. Sesuai dengan kitab suci yang
22
diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diakui oleh seluruh Nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW (Ahmad Khurshid, 1989: 3). Hal yang sama mengenai definisi Islam diungkapkan oleh Aminuddin (2002: 14) yang menyatakan bahwa: Islam berasal dari kata “salima” artinya selamat sejahtera dan “aslama” artinya patuh dan taat. Ada juga yang berpendapat bahwa Islam berasal dari kata “as-salmu”, “as-silmu”, “as-salamu” dan “as-salamatu” yang berarti selamat dan bersih dari kecacatan lahir dan batin, aman dan damai, tunduk dan taat. Agama Islam dengan demikian dapat diartikan sebagai agama selamat sentosa atau agama yang bersih dan selamat dari kecacatan lahir dan batin, agama yang aman dan damai atau agama yang berdasar kepada tunduk dan taat. Menurut Endang Saifuddin Anshari (1980: 23), Agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia, sepanjang masa dan di setiap tempat. Islam merupakan suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam berbagai hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan sesama manusia, ataupun hubungan manusia dengan alam lainnya, yang bertujuan untuk mencari keridhaan Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Islam adalah agama kebenaran, melingkupi segala aspek kehidupan yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia agar dijadikan sebagai tuntunan hidup. Guna menopang perkembangannya, manusia memerlukan dua hal pokok, yaitu: (1) sumber daya untuk mencukupi kebutuhan materi bagi pribadi dan masyarakat, (2) pengetahuan tentang prinsip-prinsip perilaku dan masyarakat sehingga manusia dapat memenuhi keperluan sendiri serta menjaga keadilan dan ketenangan dalam kehidupan manusia. Ajaran Islam mendasarkan pada enam pokok kepercayaan yang dikenal dengan istilah rukun iman. Keimanan dalam Islam menekankan pada kepercayaan dan pengakuan kepada semua yang bersifat gaib yang bukan hanya sekedar mengakui keberadaannya melainkan juga mengakui kebenarannya. Termasuk ke dalamnya adalah iman terhadap (1) Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut
23
disembah; (2) kitab-kitab suci yang merupakan pokok ajaran agama-agama terdahulu, yang terdiri dari Taurat, Injil, dan Quran; (3) para malaikat, yaitu jenis makhluk rohani yang bertugas untuk melaksanakan seluruh karsa atau kemauan Allah dalam melaksanakan kekuasaan terhadap hamba Allah lainnya; (4) Rasulullah, yaitu para nabi yang sekaligus bertugas untuk menyebarluaskan agama Allah; (5) meyakini akan datangnya hari kiamat, yaitu hari kebangkitan kembali
seluruh
umat
manusia
setelah
masa
kehancuran,
untuk
mempertanggungjawabkan seluruh amalan dalam hidup, dan terakhir adalah beriman terhadap adanya (6) qadla dan qadar, yaitu ketentuan atas nasib baik atau buruk dari makhluk yang berada di tangan Allah (Abu Su’ud, 2003: 142). Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan agama Islam adalah suatu kepercayaan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diwahyukan Allah kepada manusia dengan perantaraan Rasul. Agama Islam dapat didefinisikan pula sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang tertera dalam AlQur’an dan As-Sunnah berupa perintah, larangan serta petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b. Dasar Pokok Agama Islam Menurut Ahmad Khurshid (1989: 17), agama Islam mempunyai dasar pokok diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Percaya akan keesaan Allah. 2) Percaya akan kerasulan Muhammad SAW serta kepada ajaran yang disampaikaanya. 3) Percaya akan kehidupan sesudah mati serta pertanggungjawaban di depan Allah di hari kiamat kelak.
c. Sumber Ajaran Agama Islam Menurut Aminuddin (2002: 44), yang dijadikan sebagai sumber agama Islam yaitu :
24
1) Al-Qur’an Al-Qur’an menurut bahasa mempunyai arti yang bermacammacam, salah satunya menurut pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an juga mempunyai beberapa definisi yaitu firman Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril yang disampaikan kepada kita dan diperintahkan untuk membacanya, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. 2) Hadist / Sunnah Pengertian hadist secara luas ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau para sahabat Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) maupun sifat dan keadaannya. 3) Ijtihad Ijtihad menurut bahasa berarti mengerjakan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Sedangkan menurut istilah, yang disebut ijtihad adalah menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang ketetapan hukumnya belum ada. Keberadaan ijtihad diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadist. Nabi Muhammad SAW pernah menetapkan hukum dengan ijtihad dan memberi fatwa bukan melalui wahyu, terutama terhadap masalah-masalah yang tidak terkait dengan halal dan haram. Dalam hal ini, ijtihad Nabi Muhammad SAW adakalanya benar dan adakalanya salah. Rasulullah ditegur oleh Allah SWT melalui wahyu apabila ijtihadnya salah. Salah
satu contohnya adalah kasus Khawlah binti
Tsa’labah yang telah mendapat pernyataan zhihar dari suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku” dengan maksud dia tidak lagi menggauli istrinya sebagaimana dia tidak boleh menggauli ibunya. Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan bahwa zhihar sudah merupakan talak seorang suami kepada istri. Ijitihad Nabi Muhammad
25
SAW ini mendapat teguran dengan turunnya Q.S. Al-Mujadilah ayat 14, yang menjelaskan bahwa zhihar itu tidak termasuk talak. Suami yang telah mengucapkan kalimat zhihar kepada istrinya harus melakukan kafarat atau sanksi sesuai dengan yang disebutkan oleh Q.S. AlMujadilah ayat 1-4, salah satunya adalah dengan memerdekakan seorang budak sebelum suami ingin mencampuri istrinya (Supiana dan M. Karman, 2001: 278). Ijtihad sebagai salah satu hukum Islam ketiga setelah AlQur’an dan Hadist memiliki bebarapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Ijma’ Ijma’ menurut bahasa artinya berkumpul. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad (mujtahid) dalam menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan kepada dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Hukum yang ditetapkan oleh seluruh mujtahid pada dasarnya adalah hukum yang dikehendaki umat. Oleh sebab itu, mujtahid dijadikan sebagai wakil dari umat dalam menetapkan hukum (Aminuddin, 2002: 65). (2) Qiyas Qiyas menurut bahasa berarti mengukur atau mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menurut istilah, qiyas berarti menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya. Contoh dari qiyas adalah hukum tentang minuman keras. Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 90 telah ditegaskan bahwa hukum minuman keras adalah haram. Kemudian ditemukan nabidz (semacam minuman yang berasal dari perasan anggur) yang sama-sama memabukkan seperti minuman keras sehingga ditetapkan pula bahwa hukum nabidz juga haram (Aminuddin, 2002: 68).
26
d. Fungsi Agama Islam Menurut Faridi (2002: 18), fungsi agama Islam baik bagi perorangan (individu) maupun bagi masyarakat (sosial) diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Menghormati akal sekaligus memfungsikannya secara baik, agar manusia dapat berpikir cerdas tentang kejadian alam semesta serta dapat mengambil pelajaran dari alam, bahwa kejadian terbentuknya alam yang indah menjadi bukti nyata atas kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Pencipta Alam dan pengaturnya. 2) Menyinari jiwa agar tunduk kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. 3) Menyucikan hati manusia agar berakhlakul karimah sehingga ia hidup dalam ketenangan baik jasmani maupun rohani. 4) Menjadi obor penerang agar manusia dapat menempuh jalan kebaikan, itulah sebabnya diadakan tata cara berhubungan dengan Allah SWT, masyarakat dan keluarga. 5) Menjamin kebaikan bagi seluruh masyarakat agar kehidupan tetap stabil. Sebelum Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, sebagian besar masyarakat Madinah menganut agama Yahudi. Penganut Yahudi di Madinah percaya akan datangnya Rasul terakhir, sebagaimana yang dikatakan dalam kitab suci mereka sehingga kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah sudah dinantikan oleh sebagian besar masyarakat Madinah. Pada saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakatnya terbagi dalam berbagai kelompok. Kelompok Muhajirin yaitu pengikut Nabi Muhammad SAW yang terdiri dari orang-orang mukmin yang meninggalkan Makkah untuk ikut hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Pengikut Nabi Muhammad SAW lainnya adalah penduduk asli Madinah yang telah memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka mendapat sebutan kaum Anshor (umat penolong). Mereka sangat gembira menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan perjanjian Aqobah mereka akan membantu Nabi Muhammad SAW dalam kondisi apapun. Selain itu, di Madinah juga terdapat masyarakat yang
27
masih menyembah berhala. Meskipun demikian, mereka juga menyambut dengan baik kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Agama Islam dapat berkembang dengan pesat di Madinah karena masyarakat Madinah sejak awal sudah terkondisikan untuk menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW. Di Madinah, Nabi Muhammad SAW tidak mendapatkan kesulitan dalam menyebarkan agama Islam, menyampaikan petunjuk-petunjuk Islam kepada masyarakat yang tersesat hingga pada akhirnya mereka memeluk agama Islam.
3. Strategi Militer a. Pengertian Strategi Strategi berasal dari kata Yunani yaitu strategis yang diartikan sebagai seni (the art of the general). Jauh sebelum abad ke-19 nampak bahwa kemenangan suatu bangsa atas peperangan banyak tergantung pada adanya panglima-panglima perang yang ulung dan bijaksana (Lemhamnas, 1980: 116). Menurut Liddle Hart yang dikutip Lemhamnas (1980: 116), seorang ilmuwan dari Inggris yang hidup dalam abad ke-20 dan telah mempelajari sejarah perang
secara
global,
mengatakan
bahwa
strategi
adalah
seni
untuk
mendistribusikan dan menggunakan sarana-sarana militer untuk mencapai tujuantujuan politik. Strategi juga dapat diartikan sebagai suatu seni perang, khususnya mengenai perencanaan gerakan pasukan, kapal, dan sebagainya menuju posisi yang layak. Menurut Ali Moertopo (1974: 4), strategi adalah hasil suatu interaksi yang kompleks antara elemen-elemen metafisis, sosiologis, praktis maupun yang bersifat teknis mekanistis. Strategi adalah seluruh keputusan kondisional yang menetapkan tindakan-tindakan yang akan dan yang harus dijalankan guna menghadapi setiap keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Merumuskan suatu strategi berarti memperhitungkan semua situasi yang mungkin dihadapi pada setiap waktu di masa depan. Semenjak sekarang sudah menetapkan atau menyiapkan tindakan
28
mana yang akan diambil atau dipilih kelak, guna menghadapi realisasi dari setiap kemungkina tersebut (T. May Rudy, 2002: 1). Berdasarkan beberapa pendapat tentang definisi strategi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa strategi pada dasarnya merupakan suatu kerangka rencana dan tindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaian pentahapan yang masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan-tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan keseluruhan proses ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam abad modern sekarang ini, arti strategi telah meluas jauh dari artinya semula menurut pengertian militer. Pengertian strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang panglima di masa perang, tetapi sudah berkembang dan menjadi tanggungjawab dari seorang pimpinan. Terdapat beberapa rumusan tentang strategi, tetapi dari rumusan-rumusan yang ada tersebut tetap ada persamaan pandangan bahwa strategi tidak boleh lepas dari politik dan bahwa strategi tidak dapat berdiri sendiri. Pada umumnya, strategi disusun atas tiga bagian yang terpisah, yaitu: 1) Sasaran yang direncanakan Sasaran dari suatu strategi bisa bersifat ofensif maupun defensif dan dalam banyak hal dinyatakan untuk menjamin dan mempertahankan status quo, baik politically ataupun territorially. Oleh karena itu, pencapaian
sasaran-sasaran
strategi
tidak
bergantung
kepada
kemenangan militer. 2) Sarana-sarana yang tersedia untuk melaksanakannya Sarana yang dikembangkan bagi realisasi atas sasaran dapat juga memberikan refleksi pada strategi tertentu dan dapat ditambahkan pula bahwa dalam menyediakan sarana-sarana untuk suatu strategi tidak harus memerlukan keterlibatan aksi-aksi militer. 3) Rencana pencapaian (program) yang didasarkan pada sarana yang tersedia
29
Menyusun strategi memerlukan formulasi dari suatu program untuk pencapaian sasaran-sasaran yang direncanakan. (Piet Ngantung, 1975: 11) Strategi merupakan sebuah metode yang khusus untuk mencapai suatu tujuan yang objektif dan menemukan kebutuhan atau keinginan yang baru. Oleh karena itu, diperlukan suatu taktik untuk mewujudkan strategi. Perbedaan antara strategi dengan taktik sangat tipis karena taktik pada dasarnya merupakan bagian dari strategi. Taktik merupakan suatu proses atau sumber yang disusun oleh strategi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Taktik hanya berlaku dalam kurun waktu yang pendek atau jangka waktu yang singkat sehingga dapat pula dikatakan bahwa apa yang disebut strategi dalam suatu tingkat atau level tertentu adalah merupakan taktik pada tingkat atau level yang lebih tinggi. Penyusunan taktik sendiri berfokus pada perbuatan atau tindakan dan juga perencanaan serta pengimplementasiannya tanpa memandang tujuan akhir yang ingin dicapai. Taktik hanya berlaku selama kurun waktu tertentu saja sehingga seseorang yang menyusun strategi untuk jangka waktu panjang maka ia harus pula menyusun taktik untuk menyiasati problem-problem dan saingan-saingan yang mungkin akan dihadapi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Istilah strategi maupun taktik sangat identik dengan perang dan pertempuran. Seperti halnya strategi dan taktik, antara perang dan pertempuran juga terdapat perbedaan yang sangat tipis. Menurut Oppenheim dalam G.P.H. Haryomataram (1994: 4), perang merupakan persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh pihak yang mendapatkan kemenangan. Perang juga dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi persengketaan bersenjata antara dua negara atau lebih yang melibatkan semua aspek kehidupan sosial untuk mengalahkan pihak musuh dengan tujuan untuk mewujudkan suatu perdamaian. Biasanya di dalam perang terdapat pemaksaan syarat-syarat perdamaian dari pihak pemenang terhadap pihak yang kalah. Apabila pihak yang kalah bersedia menerima syarat-syarat yang telah diajukan oleh pihak yang menang,
30
maka perdamaian akan mudah untuk diwujudkan. Akan tetapi, jika pihak yang kalah tidak bersedia menerima syarat-syarat perdamaian yang diajukan oleh pihak yang menang, maka kemungkinan besar perang sulit untuk diselesaikan bahkan bisa terjadi peperangan yang berkepanjangan diantara kedua belak pihak yang bertikai. Pertempuran pada dasarnya merupakan bagian dari perang. Pertempuran dan perang sama-sama merupakan persengketaan diantara pihak-pihak yang saling bermusuhan dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Akan tetapi, di dalam pertempuran tidak melibatkan semua aspek kehidupan sosial seperti yang terjadi di dalam perang. Pertempuran hanya melibatkan kelompok-kelompok militer dalam usaha untuk menjatuhkan pihak lawan. Ruang lingkup pertempuran lebih kecil jika dibandingkan dengan perang. Biasanya pertempuran hanya terjadi di dalam suatu negara tertentu dan tidak melibatkan dua negara atau lebih seperti yang terjadi dalam perang. Berdasarkan konsep mengenai perang dan pertempuran, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa Uhud merupakan perang bukan pertempuran karena di dalam perang Uhud semua aspek kehidupan sosial baik agama maupun militer dilibatkan untuk mengalahkan kaum Quraisy.
b. Konsep Militer Menurut Amos Perltmutter (1988: 2), militer merupakan sebuah organisasi yang sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orangorang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Militer adalah suatu organisasi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu hierarki birokrasi. Suatu kekuatan militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mampu mengorganisir, merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai. Karakteristik militer yang paling utama adalah profesionalismenya. Tugas utama dari militer terbatas pada pelaksanaanya bukan pada perumusan
31
kebijaksanaan. Pada tingkat pengambilan keputusan, biasanya militer bekerja dalam satu kesatuan dengan para elite politik ( Louis Irving Horowitz, 1985: 8). Birokrasi militer seringkali tampil dan berfungsi sebagai unsur penentu yang dominan di dalam masyarakat. Selain itu, birokrasi militer juga merupakan sebuah unsur yang menjamin otonomi suatu negara tertentu. Hal ini sangat beralasan karena secara ekonomis elit militer lebih mungkin melepaskan diri dari kelas dominan tertentu yang ada di dalam masyarakat daripada kaum birokrat sipil. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya unsur kekuatan untuk menghancurkan aliansi atau persekutuan antarkelas baik internal maupun eksternal yang menghambat jalannya perkembangan suatu bangsa (Louis Irving Horowitz, 1985: 221).
c. Konsep Strategi Militer Strategi dalam istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua sumber daya yang tersedia yang dimiliki oleh suatu negeri untuk mencapai tujuannya dengan cara militer. Apabila terjadi pertentangan kepentingan maka pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai, tetapi jika pada pihak lain kemungkinan untuk mencapai pemecahan secara damai telah hilang maka satu-satunya pemecahan yang tersisa adalah tindakan militer (Afzalur Rahman, 2002: 39). Menurut Clausewitz yang dikutip oleh Afzalur Rahman (2002: 39), terdapat lima unsur yang membentuk strategi militer, yaitu: 1) Unsur psikologi dan moral. 2) Adanya organisasi kekuatan militer. 3) Posisi dan gerakan pasukan dan hubungannya dengan rintangan dan tujuan, misalnya situasi medan pertempuran. 4) Medan pertempuran. 5) Adanya jalur logistik. Secara khusus, Clausewitz juga menyebutkan pentingnya kejutan, dukungan masyarakat, dan besarnya kekuatan moral sebagai unsur pendukung
32
terbentuknya suatu strategi militer. Clausewitz juga memberikan penekanan pada pentingnya memiliki posisi yang lebih baik di medan pertempuran. Dalam mengembangkan suatu strategi militer, perlu diperhatikan bahwa strategi militer merupakan pernyataan yang jelas tentang semua sasaran-sasaran militer yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan militer (military power) dalam suatu jangkauan waktu yang ditentukan. Kekuatan militer disini adalah suatu keseimbangan (balance) antara tenaga manusia (manpower) dan peralatan (equipment) sedemikian rupa sehingga dapat disediakan suatu “Military Force” (kekuatan militer) yang diperlukan untuk jangkauan suatu periode strategis (Piet Ngantung, 1975: 58-59). Kekuatan militer senantiasa terwujud sebagai hasil kombinasi yang sesuai antara unit-unit militer dengan persenjataan dan perlengkapan militer dihubungkan dengan keperluannya untuk mendukung strategi militer. Sedangkan yang dimaksud dengan keseimbangan berkisar pada perbandingan dari tenaga manusia dengan senjata dan perlengkapan yang dibutuhkan dan yang dapat diperoleh. Nabi Muhammad SAW dapat dikatakan sebagai guru pertama ilmu militer dalam Islam yang membuat rencana strategi perang, membuat suatu taktik, dan mengadakan operasi militer. Nabi Muhammad SAW membuat sendiri strategi perangnya dan menerapkan strategi tersebut kepada pasukannya sendiri untuk mengalahkan rencana dan taktik musuh. Nabi Muhammad SAW mampu membuat kejutan
terhadap
musuhnya
dengan
gerakan
strategisnya
dalam setiap
pertempuran dan tidak pernah melakukan taktik strategi yang sama dalam dua pertempuran. Beliau selalu melakukan serangan dengan sangat rahasia dan tidak pernah membiarkan musuhnya mengetahui maksudnya sampai beliau benar-benar berada di medan pertempuran (Afzalur Rahman, 2002: 47). Prinsip dasar dari strategi perang Nabi Muhammad SAW adalah mencapai tujuannya dengan kerugian jiwa sekecil mungkin. Pada setiap pertempuran, beliau mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari pertempuran dan berusaha menyelesaikan perselisihan tanpa bertempur. Beliau baru melakukan peperangan kalau semua alternatif lain telah gagal. Musuh yang
33
tidak memberikan perlawanan di medan perang tidak dibunuh, tetapi hanya dijadikan sebagai tawanan perang. Nabi Muhammad SAW tidak pernah panik atau memperlihatkan ketidakberdayaan di medan pertempuran. Hal tersebut dapat dilihat pada peristiwa perang Uhud yaitu ketika pasukan panah meninggalkan kedudukannya dan melanggar perintah yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba musuh menyerang dari semua jurusan sehingga pasukan Muhammad mulai mundur dalam keadaan kacau dan berantakan. Meskipun dalam kondisi demikian, beliau tetap tenang dan penuh kepercayaan seperti sebelumnya, memanggil prajuritnya dan memberikan semangat baru kepada mereka dan merapatkan barisan di sekelilingnya serta bertempur dengan gagah berani sampai musuh mengundurkan diri. Pengaturan patroli untuk memperoleh berbagai informasi tentang musuh dan medan peperangan untuk keamanan kota dan penduduk merupakan contoh dari kecerdikan dan kejelian Nabi Muhammad SAW sebagai seorang komandan militer. Nabi Muhammad SAW dapat mengumpulkan informasi penting tentang musuh tanpa membiarkan informasi tersebut bocor atau diketahui oleh musuh sebelum waktunya. Patroli sering dikirim ke daerah sekitar musuh untuk mengumpulkan informasi yang tepat tentang kekuatan musuh, maksud dan gerakannya. Biasanya Nabi Muhammad SAW mengirimkan mata-mata ke daerah musuh untuk memperoleh beberapa informasi penting tentang musuh. Keberhasilan sistem patroli inilah yang memungkinkan Nabi Muhammad SAW untuk menyusun sistem pertahanan yang kuat di Madinah. Bukti lain dari kebesaran Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin militer adalah pembentukan unit intelijen militer dan penggunaannya yang efektif untuk memperoleh informasi penting tentang musuh dan menurunkan moral tentara musuh untuk kepentingan keamanan dan untuk melindungi eksistensi negara Islam. Sebelum detik-detik terjadinya perang Uhud, Nabi Muhammad SAW menerima informasi dari orang kepercayaan Nabi Muhammad SAW yang berada di Makkah yaitu Abbas tentang persiapan militer, perlengkapan dan kekuatan Quraisy yang bersiap-siap untuk menyerang Madinah. Oleh karena itu, Nabi
34
Muhammad SAW mengirim dua orang utusan yaitu Anas dan Munis untuk memperhatikan gerak-gerik musuh. Kemudian seorang penunjuk jalan bernama Hubab Ibn al Mundhir dikirim untuk mengukuhkan semua informasi yang telah diterima tentang kondisi musuh. Begitu juga sebelum pertempuran Ahzab, Nabi Muhammad SAW menerima informasi dari orang kepercayaan Nabi Muhammad SAW tentang kondisi musuh. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk menggali parit atas usulan dari sahabat Nabi yaitu Salman al Farisi untuk mempertahankan Madinah terhadap serangan musuh.
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan dengan judul penelitian ini yaitu Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Islam di Jazirah Arab Tahun 625 M – 630 M maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut: Konflik antara Quraisy dengan Muslim
Perang Uhud
Perkembangan
Perkembangan
Sikap Quraisy
Ajaran Islam Di
Militer Muslim
Makkah Terhadap
Jazirah Arab
Madinah
Muslim Madinah
35
Keterangan: Kekalahan yang dialami oleh kaum Quraisy dalam perang Badar menyebabkan munculnya keinginan kaum Quraisy untuk melakukan balas dendam terhadap kaum Muslimin. Hal tersebut diwujudkan dalam suatu peperangan yaitu perang Uhud. Dalam peperangan ini, pasukan Quraisy mampu membuktikan strategi pertempuran yang tangguh sehingga menimbulkan kekalahan yang besar bagi pasukan Muslimin. Penyebab kekalahan pasukan Muslimin dikarenakan mereka tidak mendengarkan apa yang diperintahkan oleh pemimpin mereka yaitu Nabi Muhammad SAW. Pasukan pemanah Muslimin meninggalkan pos mereka karena mereka beranggapan bahwa pasukan Quraisy telah menyerah. Selain itu, mereka berbuat demikian untuk mengambil bagian dalam penjarahan harta rampasan perang karena mereka menganggap perang telah usai. Tiba-tiba pasukan Quraisy menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang sehingga menimbulkan kekalahan yang besar di pihak kaum Muslimin. Kekalahan yang dialami oleh kaum Muslimin telah memberikan suatu pelajaran yang penting bagi kaum Muslimin, sehingga muncullah strategi-strategi militer yang baru untuk menghadapi musuh dalam perang-perang selanjutnya. Salah satunya adalah stategi militer pada perang Handaq. Atas dasar saran dari Salman al-Farisi, Nabi Muhammad SAW memutuskan sistem pertahanan dengan menggali parit besar mengintari perbatasan kota Madinah. Strategi perang parit ini terbukti mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang ingin menyerang pasukan Muslimin di Madinah. Kekalahan pasukan Muslimin dalam perang Uhud telah tergantikan dengan kemenangan yang mereka peroleh dalam peran Handaq. Terjadinya perang Uhud juga telah membawa perubahan yang besar dalam perkembangan Islam khusunya di Jazirah Arab. Semakin hari Islam mengalami perkembangan yang pesat dan memperoleh kedudukan yang dominan dalam masyarakat di Jazirah Arab. Hal ini terbukti setelah terjadinya peristiwa Fathu Makkah, Islam semakin mengakar kuat baik di Madinah maupun di Makkah. Kaum Quraisy pun mulai mengakui kekuatan umat Muslimin dan sedikit demi sedikit sebagian dari kaum Quraisy mulai masuk agama Islam.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Suatu penelitian memerlukan tempat untuk dijadikan objek guna memperoleh data yang diperlukan berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang berjudul “Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Islam di Jazirah Arab Tahun 625 M – 630 M” ini dilakukan dengan cara studi pustaka, yaitu suatu cara untuk memperoleh data atau fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, dokumen atau arsip di perpustakaan. Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi di perpustakaan sebagai tempat penelitian. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut: a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Daerah Kota Surakarta. e. Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta. f. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009. Adapun kegiatan yang diperlukan dalam jangka waktu penelitian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
36
37
Tabel 1 : Jadwal Penelitian No.
Jenis Kegiatan
1.
Persetujuan judul
2.
Proposal
3.
Perijinan
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Laporan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
B. Metode Penelitian Keberhasilan dalam penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh metode yang
digunakan.
Seorang
peneliti
dalam
melakukan
penelitian
dapat
menggunakan satu macam metode yang sejalan dengan permasalahan yang diteliti. Tujuan umum dari suatu penelitian adalah untuk memecahkan masalah, maka langkah-langkah yang ditempuh haruslah relevan dengan masalah yang dirumuskan. Menurut Koentjaraningrat (1986: 7), kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Helius Sjamsudin (1996: 2) yang dimaksud dengan metode adalah suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek atau bahan-bahan yang diteliti. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan dicapai, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian historis atau metode sejarah. Menurut Helius Sjamsudin dan Ismaun (1996: 60), metode sejarah ialah rekonstruksi imajinatif gambaran masa lampau peristiwaperistiwa sejarah secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah. Menurut Louis Gottschalk (1986: 32), metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis
38
rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan pada data yang diperoleh guna menentukan proses historiografi. Metode historis menurut Gilbert J. Garragham dalam Dudung Abdurrahman (1999: 33) didefinisikan sebagai seperangkat asas dan kaidah-kaidah yang sistematis, yang digunakan secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis dan menyajikan suatu sintesa yang dicapai pada umumnya dalam bentuk tulisan. Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan kembali fakta-fakta masa lampau. Menurut Hadari Nawawi (1995: 78), metode penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode sejarah atau historis adalah kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisis secara kritis data-data peninggalan masa lampau dan menyajikannya sebagai hasil karya melalui historiografi. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan sumber-sumber sejarah, menguji data-data sejarah supaya data tersebut valid dan reliabel kemudian menganalisisnya secara kritis untuk menghasilkan suatu penulisan sejarah atau historiografi. Penggunaan metode historis dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fakta sejarah yang berkaitan dengan dampak perang Uhud terhadap perkembangan Islam di Jazirah Arab tahun 625 M – 630 M. Pertimbangan mendasar penggunaan metode sejarah atau historis dalam penelitian ini yaitu karena metode ini lebih sesuai dengan data masa lampau yang telah diuji dan dianalisis secara kritis berdasarkan sumber-sumber sejarah yang diproleh.
C. Sumber Data Sumber sejarah seringkali disebut juga “data sejarah”. Data berasal dari bahasa Latin “datum” yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94). Data sejarah berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian dan pengkategorian. Menurut Kartini Kartono (1990: 243) data sejarah ialah bahan keterangan mengenai proses perkembangan historis gejala sosial dalam perurutan
39
temporal (berdimensi waktu) yang memberikan stempel pembentuk, hingga terwujud keadaan sekarang. Sumber data yang merupakan sumber sejarah adalah bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Helius Sjamsuddin (1996: 73), mengemukakan tentang pengertian sumber sejarah yaitu: Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lampau yang berupa kata-kata yang tertulis atau katakata yang diucapkan (lisan). Dalam penelitian ini, digunakan sumber data dari bahan-bahan tertulis. Louis Gottschalk (1986 : 36) mengemukakan bahwa: Sumber tertulis dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain atau dengan alat mekanis diktafon yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandang mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya. Dalam penelitian ini digunakan sumber tertulis sebagai sumber utama, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah berupa terjemahan Al-Qur’an dan juga beberapa tafsir yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu tafsir ibnu Katsir dan tafsir ibnu Abbas. Selain sumber primer, dalam penelitian ini juga menggunakan sumber data sekunder untuk mendukung hasil penelitian. Adapun buku-buku literatur yang digunakan sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini antara lain: (1) Sejarah Hidup Muhammad, karangan Muhammad Husain Haekal, (2) Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), karangan K. Ali, (3) Muhammad SAW Rasul Terakhir, karangan Dr. Majid Ali Khan, (4) Sirah Nabi Muhammad SAW, karangan Prof.
40
Abdul Hamid Siddiqi, (5) Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer, karangan Afzalur Rahman.
D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian historis merupakan kegiatan yang penting. Dalam metode sejarah dinamakan heuristik, yang berarti suatu cara untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah dengan menggunakan teknik tertentu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka. Menurut Koentjaraningrat (1986: 64) studi pustaka adalah suatu teknik yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah dengan membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan kunjungan ke perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian ialah memanfaatkan dengan maksimal sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Kartini Kartono (1990: 33) berpendapat bahwa studi pustaka merupakan sebuah penelitian di perpustakaan yang bertujuan untuk mengumpulkan data dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan misalnya; buku, surat kabar, dokumen dan lain-lain. Data-data tersebut berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas dalam penelitian. Ada beberapa keuntungan dalam penelitian dengan menggunakan teknik kepustakaan, antara lain akan membantu memperoleh pengetahuan ilmiah dan membuka
kesempatan
memperluas
pengalaman
ilmiah.
Dalam
teknik
kepustakaan, sumber yang didapat tidak mungkin dapat disimpan semua dalam ingatan, maka dalam pengumpulan data atas sumber sejarah dalam telaah pustaka diperlukan pencatatan yang sistematis. Louis Gottschalk (1986 : 46), mengemukakan bahwa “laboratorium yang lazim bagi seorang sejarawan adalah perpustakaan dan alat yang paling bermanfaat disana adalah katalogus”. Katalog perpustakaan biasanya mengandung
41
keterangan mengenai subjek dan judul buku maupun keterangan mengenai pengarang. Jika peneliti mengingat beberapa kunci yang terdapat di dalam subjek yang dibahasnya, maka peneliti dapat menemukan buku dan artikel yang dimasukkan ke dalam katalog di bawah salah satu kata-kata kunci. Tiap subyek sejarah mengandung beberapa indikasi mengenai orang, tempat, periode dan jenis jabatan manusia yang bersangkutan. Peneliti dapat menghitung perangkat judul yang dapat digunakan untuk mencari judul buku maupun pengarang yang relevan di dalam katalog. Kegiatan studi pustaka dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu dampak perang Uhud terhadap perkembangan Islam di Jazirah Arab tahun 625 M – 630 M yang tersimpan di berbagai perpustakaan. Kegiatan mengumpulkan buku-buku leteratur dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret
Surakarta,
Perpustakaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Daerah Kota Surakarta, Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Teknik studi pustaka ini dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai pengarang, judul buku, tahun terbit, dan subjek penelitian. 2. Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi sumber primer dan sumber sekunder yang berupa buku literatur yang relevan dengan tema penelitian yang tersimpan diberbagai perpustakaan.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah teknik dalam memeriksa dan menganalisa data sehingga akan menghasilkan data yang benar dan dapat dipercaya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data historis. Menurut
42
Helius Sjamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumbersumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 2), analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis tersebut. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian. Interpretasi dilakukan karena data tidak dapat berdiri sendiri sehingga memerlukan kemampuan khusus untuk memberitahukan interpretasi atau penafsiran maupun analisis sejarah. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur-unsur subjektifitas sehingga diperlukan konsep-konsep dan teori sebagai kriteria penyeleksi dengan pengklasifikasian. Oleh karena itu, peneliti dalam menginterpretasikan fakta sejarah harus memusatkan perhatiannya pada pos-pos tertentu yang menjadi objek penelitian. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Dalam menganalisa suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan kritik terhadap sumber data yang ditemukan. Hal ini bertujuan untuk menguji data tersebut apakah isi, fakta, dan cerita yang tersaji dapat dipercaya atau tidak dan dapat memberi informasi yang dibutuhkan. Fakta merupakan bahan utama yang dijadikan sejarawan untuk menyusun suatu cerita sejarah. Selain dari peninggalan yang tertinggal di masa lampau berupa reruntuhan, mata uang, benda seni dan lain-lain. Fakta sejarah juga diperoleh dari kesaksian dan karenanya merupakan fakta arti (fact of meaning), fakta-fakta tersebut tidak dapat dilihat, dirasa, dikecap, didengar atau dicium baunya. Faktafakta itu hanya terdapat dalam pikiran pengamat atau sejarawan dan karenanya dapat disebut subjektif (Louis Gottschalk, 1986: 172).
43
Bersikap objektif mungkin lebih sulit diperoleh dari data semacam itu, namun data perlu diperlakukan dengan berbagai jaminan khusus terhadap kemungkinan timbulnya kekeliruan, sehingga data sejarah yang dianalisis dengan kritik dan diinterpretasikan dapat menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya. Dalam penelitian itu, analisis data dilakukan setelah pengumpulan dan pengklasifikasian data. Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: (a) menyeleksi sumber sejarah yang telah diperoleh sesuai dengan masalah yang dikaji, (b) menafsirkan data sejarah sehingga dapat diperoleh fakta sejarah, (c) merangkai fakta sejarah yang saling berhubungan satu dengan yang lain atas dasar masalah yang dikaji dan yang relevan.
F. Prosedur Penelitian Agar suatu penelitian mencapai hasil yang maksimal, maka harus sesuai dengan prosedur atau urutan kerja yang dilalui untuk dilaksanakannya sebuah penelitian. Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dalam rangka pembuatan laporan penelitian (Louis Gottschalk, 1986 : 143). Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagaimana proses sejarah sesuai dengan metode penelitiannya. Dengan menggunakan metode sejarah maka prosedur penelitian yang harus dilewati adalah sebagai berikut:
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Fakta Sejarah
Historiografi
44
Keterangan: 1. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani “heurishein” yang artinya memperoleh. Menurut G. J. Renier yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 55), heuristik adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Oleh karena itu, heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum. Heuristik merupakan suatu ketrampilan dalam menemukan, menangani dan memperinci atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan. Menurut pendapat Ernest Bernsheim yang dikutip oleh Helius Sjamsudin dan Ismaun (1996: 19), heuristik adalah mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Sidi Gazalba (1981: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah. Pada tahap ini diusahakan untuk menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti dengan mengadakan klasifikasi atau penggolongan terhadap sumber-sumber yang banyak jumlahnya. Tahap ini merupakan tahap pertama penelitian yakni pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka, sehingga dalam pengumpulan data dilakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan, diantaranya adalah perpustakaan di lingkup Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan Daerah Kota Surakarta, perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta, dan perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Kritik Setelah data terkumpul, tahap berikutnya yaitu langkah verifikasi atau kritik guna memperoleh keabsahan sumber. Kritik yaitu kegiatan penilaian terhadap data untuk menyelidiki apakah data yang diperoleh itu otentik dan dapat dipercaya atau tidak sehingga mendapatkan fakta. Keabsahan sumber dicari melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu
45
(Helius Sjamsudin, 1996: 104). Dalam penelitian sejarah, kritik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Kritik Ekstern Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang berkenaan dengan keberadaan sumber apakah sumber itu dikehendaki atau tidak, masih asli atau sudah turunan. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 50), uji otentitas minimal dilakukan dengan pertanyaan: kapan buku itu ditulis, siapa yang mengarang, tahun berapa buku itu diterbitkan, referensi apa yang dipakai oleh pengarang buku itu. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat tanggal, bulan, tahun serta siapa pengarang atau penulis sumber tersebut dengan mengidentifikasikan sikap serta latar belakang pendidikan pengarang. Setelah identitasnya terbukti maka diadakan kritik intern. Sebelum semua sumbersumber sejarah yang telah dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu maka terlebih dahulu harus dilakukan penyeleksian ketat terhadap sumber-sumber sejarah tersebut. b. Kritik Intern Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas isi dari sumber sejarah. Kritik ini bertujuan untuk menilai dan menguji mutu dan kebenaran dari sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya sehingga dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mencari kesahihan. Dalam penelitian ini, kritik intern dilakukan dengan memastikan kebenaran isi sumber dengan cara membandingkan antara sumber yang satu dengan yang lain. Selain itu, dilakukan pula proses menguji kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh untuk mengetahui apakah isinya relevan atau tidak dengan penulisan dan tujuan dalam mengemukakan dampak perang Uhud terhadap perkembangan Islam di Jazirah Arab tahun 625 M – 630 M. Apabila peneliti sudah melakukan kritik ekstern dan kritik intern maka akan mendapatkan hasil berupa fakta sejarah.
3. Interpretasi Setelah data terkumpul dan dianalisis lewat kegiatan kritik, maka langkah berikutnya interpretasi data yang dilakukan dengan cara menafsirkan,
46
memberi makna dan hubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh. Kegiatan interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain berdasar pengetahuan yang dimiliki dengan teori atau konsep yang mendukung lalu disintesiskan sehingga muncul fakta sejarah. Fakta sejarah yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras dan masuk akal. Peristiwa yang satu harus dimasukkan dalam konteks peristiwa yang lain yang melingkupinya. Proses penafsiran fakta sejarah dan proses penyusunan menjadi suatu kisah yang integral menyangkut seleksi sejarah. Oleh karena itu, untuk keperluan tersebut diperlukan fakta-fakta yang relevan dan menyingkirkan faktafakta yang tidak relevan.
4. Historiografi Historiografi merupakan langkah yang terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis. Historiografi adalah cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah (Dudung Abdurrahman, 1999 : 67). Menurut Helius Sjamsudin (1996 : 153) dalam historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknik, penggunaan kutipan-kutipan, dan catatancatatan tetapi juga menggunakan pikiran kritis dan analisis. Pada tahap ini diperlukan suatu kemampuan dan kemahiran seorang peneliti dalam merangkai fakta-fakta sejarah yang ditulis secara kronologis, logis dan sistematis. Langkah terakhir dalam penelitian ini merupakan langkah menulis jejak sejarah yang telah dikumpulkan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga tersusunlah suatu karya penelitian yang berjudul “Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Islam di Jazirah Arab Tahun 625 M – 630 M".
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Terjadinya Perang Uhud 1. Madinah Sebelum Terjadinya Perang Uhud Madinah (Yastrib) terletak di dalam propinsi Hijaz, Kerajaan Saudi Arabia, kira-kira 270 mil sebelah Utara kota Makkah dan 650 mil sebelah Tenggara Damaskus. Kota Madinah berada pada ketinggian 2.050 kaki di atas permukaan laut. Di bagian Barat kota Madinah terdapat dataran yang luas dan subur terbentuk dari letusan gunung berapi. Sedangkan di bagian Timur dibatasi oleh medan lava. Ketiga sisi lainnya dibatasi oleh perbukitan tandus yang berbentuk setengah lingkaran. Puncak yang tertinggi adalah Gunung Uhud dengan ketinggian 1.200 kaki lebih di atas oase (Majid ‘Ali Khan, 1985: 87). Keadaan Madinah sangat berbeda dengan keadaan Makkah. Di Makkah dan daerah sekitarnya tidak terdapat lahan pertanian, hanya ada penggembalaan unta. Hal tersebut disebabkan karena kondisi tanah di Makkah sangat tandus. Konsekuensinya, eksistensi kota Makkah tergantung pada perdagangan. Sebaliknya, Madinah merupakan daerah oasis yang luasnya kira-kira 20 mil. Suhu tropis di Madinah tidak sepanas di Makkah. Tanah di Madinah sangat subur sehingga mampu menghasilkan pertanian yang melimpah. Penduduknya sebagian besar bertahan hidup dengan menanam kurma dan gandum (Asghar Ali Engineer, 1999: 144). Sejarah asal mula keberadaan kota Madinah tidak sepenuhnya diketahui oleh banyak orang. Suku bangsa utama yang tinggal di kota Madinah adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini berasal dari salah satu kabilah Arab Selatan. Sejak awal kedatangannya, suku Aus dan Khazraj telah menetap dan menguasai daerah oase. Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj adalah bangsa yang kuat. Ketangguhan mereka tidak diragukan lagi, seperti tampak dalam keperkasaan mereka pada saat peperangan-peperangan yang terjadi di antara keduanya yang tidak pernah padam. Di samping suku Aus dan Khazraj yang merupakan suku bangsa asli, terdapat pula pemukiman-pemukiman orang-
47
48
orang Yahudi di pinggiran kota. Orang-orang Yahudi tersebut terdiri dari Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’. Mereka menetap di daerah Fidak, Taima’, Wadi Al Qura, dan ada pula yang berdomisili di Khaibar. Sejarah masuknya orang Yahudi gelombang pertama tidak diketahui dengan pasti. Kemungkinan besar orang Yahudi telah tinggal di kota Madinah jauh sebelum kedatangan suku Aus dan Khazraj, tetapi gelombang perpindahan mereka yang utama terjadi akibat pengusiran oleh Kaisar Hardian (Kekaisaran Romawi) tahun 135 M. Ketika populasi suku Aus dan Khazraj semakin banyak, mereka pun mulai dapat mengambil alih kekuasaan dari orang-orang Yahudi satu persatu. Akhirnya, hampir seluruh wilayah kota Madinah berada dalam kekuasaan suku Aus dan Khazraj (Hasan Ibrahim Hasan, 2002: 172). Sampai dengan awal abad ke-7, suku Aus dan Khazraj berada dalam posisi yang lebih kuat daripada orang-orang Yahudi. Akan tetapi, kehidupan suku Aus dan Khazraj selalu dipenuhi dengan permusuhan yang menyebabkan sering terjadinya perkelahian satu sama lain. Salah satu hal yang memicu terjadinya perkelahian antara suku Aus dan Khazraj adalah ambisi mereka untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan cara berebut daerah oase di Madinah. Perubahan-perubahan dari kehidupan nomaden menjadi kehidupan mapan, menyebabkan krisis di Madinah dirasakan sangat berat daripada ketidaknyamanan yang terdapat di Makkah. Adat kesukuan yang berjalan dengan baik di daerah oase, sudah tidak berlaku lagi bagi suku-suku yang bermukim disekitar oase. Semakin lama berbagai suku yang berada di Madinah terperangkap dalam siklus kekerasan (Karen Amstrong, 2001: 195). Madinah bukanlah suatu kota yang tertata rapi, tetapi terdiri dari berbagai perkampungan. Selain itu, di Madinah juga terdapat banyak benteng pertahanan. Ketika mendapat serangan dari musuh, penduduk Madinah akan mencari tempat perlindungan di dalam benteng-benteng tersebut. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, di Madinah sering terjadi peperangan berbagai kelompok. Munculnya peperangan tersebut disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin bertambah sementara sumber penghidupan yang ada sangat terbatas sehingga terjadi tindakan saling merampas tanah milik suku lain
49
yang lemah. Pada mulanya, peperangan tersebut hanya terjadi diantara suku-suku kecil kemudian semakin lama peperangan semakin meluas dan melibatkan banyak kelompok suku di Madinah. Orang-orang Yahudi juga ikut terlibat dalam konflik antar suku di Madinah. Yahudi menjadi sekutu diberbagai konfigurasi, baik dengan suku Aus maupun dengan suku Khazraj. Yahudi mencoba memecah kesatuan suku Aus dan Khazraj dan menghembuskan sikap permusuhan antara kedua suku tersebut. Yahudi berhasil meningkatkan rasa permusuhan diantara suku Aus dan Khazraj. Klimaksnya terjadi peperangan Bu’ath pada tahun 618 M. Hampir semua suku-suku Arab di Madinah terlibat dalam perang tersebut, demikian juga dengan Yahudi, semua bersekutu dengan kelompoknya masingmasing. Perang Bu’ath tidak hanya memakan banyak korban tetapi juga menimbulkan banyak kerusakan. Di samping sumber daya manusia, sumber daya materi juga berkurang banyak (Asghar Ali Engineer, 1999: 145-146). Perang Bu’ath telah memberikan kemenangan bagi suku Aus dan Yahudi. Pada saat perang Bu’ath, suku Aus melakukan aliansi dengan Yahudi Bani Nadhir dan Quarizhah dalam mengalahkan suku Khazraj. Akan tetapi, kemenangan yang telah diperoleh oleh suku Aus dan Yahudi sebagai sekutunya tidak mampu dimanfaatkan secara efektif. Suku Aus menyadari bahwa dengan menghancurkan suku Khazraj akan menjadikan Yahudi mengontrol atau mengambil alih kembali kekuasaan di Madinah. Alasan tersebut membuat suku Aus mengadakan perundingan kembali dengan suku Khazraj. Pada akhirnya, muncul suatu kesepakatan diantara suku Aus dan Khazraj untuk mengangkat seorang laki-laki dari suku Khazraj sebagai raja di wilayah Madinah. Laki-laki tersebut adalah ‘Abdullah ibnu Ubbay ibnu Salul yang tetap besikap netral pada saat terjadinya perang Bu’ath. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Arab mampu mempertahankan kekuasaan dan keunggulan mereka terhadap Yahudi setelah pertempuran Bu’ath. Kekalahan suku Khazraj dalam perang Bu’ath menjadi penyebab bagi suku Khazraj untuk lebih siap menerima agama Islam, sehingga suku Khazraj lebih awal menerima Islam daripada suku Aus (Asmara Hadi Usman, 1994: 57).
50
Sebelum Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, berita tentang hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sudah tersebar luas di Madinah. Penduduk Madinah juga telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi sasaran utama orang-orang Quraisy yang berniat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya di Madinah disambut dengan baik oleh masyarakat Madinah. Dalam rangka menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW, maka kota Madinah diubah namanya menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi). Program awal yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah membangun masjid. Dalam membangun masjid tersebut, Nabi Muhammad SAW juga ikut bekerja seperti pekerja lainnya. Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah lebih dikenal dengan masjid Nabawi (Muhammad Husain Haekal, 2008: 196). Pada saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakat Madinah terbagi dalam berbagai golongan (kelompok). Pengikut Nabi Muhammad SAW yang pertama adalah kelompok Muhajirin yaitu pengikut Nabi Muhammad SAW yang terdiri dari orang-orang mukmin yang meninggalkan tanah kelahiran mereka dan turut berhijrah ke Madinah. Kesetiaan kaum Muhajirin terhadap perjuangan Nabi Muhammad SAW sangat besar. Mereka bersedia berhijrah dengan meninggalkan saudara-saudara dan keluarga yang mereka sayangi serta mereka tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam perjuangan di jalan Allah SWT (K. Ali, 2003: 62). Pengikut Nabi yang lainnya adalah penduduk asli Madinah yang telah memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini mendapat sebutan sebagai kaum Anshar (umat penolong). Kaum Anshar menerima dengan baik kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah mereka dan sesuai dengan perjanjian Aqabah maka mereka besedia membantu Nabi Muhammad SAW dalam berbagai kondisi. Kaum Anshar berperan aktif dalam setiap program yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka bersedia mengorbankan harta kekayaan mereka untuk kepentingan perjuangan Islam. Kaum Anshar tidak hanya memberikan perlindungan tempat tinggal, tetapi memberikan perlindungan kesejahteraan hidup. Ikatan persaudaraan antara kaum
51
Muslimin dan kaum Anshar semakin erat ketika Nabi Muhammad SAW menetapkan bahwa antara kedua kelompok ini saling mewarisi harta kekayaan. Kaum Anshar sangat besar pengaruhnya demi kesuksesan perjuangan Nabi Muhammad
SAW.
Oleh
karena
itu,
Nabi
Muhammad
SAW
sering
memperingatkan kepada sahabat-sahabat yang lain agar menghormati kaum Anshar. Masyarakat Madinah penyembah berhala juga ikut menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW. Seluruh masyarakat Madinah, baik yang beriman maupun yang tidak beriman, semuanya bersedia melindungi dan membela Nabi Muhammad SAW. Selain para penyembah berhala, ada juga kelompok yang tidak senang pada peranan Nabi Muhammad SAW yang meluas. Akan tetapi, antusiasme yang besar dari masyarakat Madinah terhadap ajaran Islam memaksa kelompok ini mengakui Islam secara nominal. Kelompok ini menentang Nabi Muhammad SAW secara rahasia. Oleh karena itu, mereka disebut kaum munafikun. Kelompok masyarakat ini lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan (K. Ali, 2003: 63). Meskipun Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya telah hijrah ke Madinah, namun kaum Quraisy tidak berhenti untuk memusuhi kaum Muslimin. Kaum Quraisy tidak bisa menerima jika popularitas Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin semakin meningkat. Kaum Quraisy merasa iri dan benci terhadap kemajuan yang diperoleh kaum Muslimin di Madinah. Oleh karena itu, mereka berusaha menjatuhkan basis kekuatan dan pengaruh kaum Muslimin di Madinah. Dalam rangka melaksanakan rencana tersebut, kaum Quraisy telah mempunyai seorang pelaksana yang tepat di Madinah, yang tidak lain adalah ‘Abdullah bin Ubay, seorang tokoh Yahudi Madinah. Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, ‘Abdullah bin Ubay pernah bermimpi akan menjadi seorang pemimpin di Madinah. Akan tetapi setelah mengetahui pengaruh Nabi Muhammad SAW di Madinah semakin meningkat, maka timbul rasa cemburu, benci dan iri hati atas supremasi politik Nabi Muhammad SAW. Keberadaan Nabi Muhammad SAW di Madinah telah memudarkan rencana ‘Abdullah bin Ubay untuk menjadi seorang penguasa mutlak di Madinah (Majid ‘Ali Khan, 1985: 100).
52
Setelah tinggal di Madinah, Nabi Muhammad SAW juga harus memecahkan beberapa masalah. Sebagaimana di Makkah, di Madinah belum ada pemimpin dan belum terbentuk suatu birokrasi pemerintahan. Di Madinah masih banyak suku-suku yang berdiri sendiri dengan aturan-aturan yang mereka tetapkan sendiri sehingga antara suku yang satu dengan yang lain saling bermusuhan dan banyak menimbulkan pertumpahan darah. Hal tersebut menimbulkan krisis di Madinah dan membuat penduduk Madinah merasakan kebutuhan akan adanya otoritas yang bisa dipercaya untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari (Asghar Ali Engineer, 1999: 154). Nabi
Muhammad
SAW
mencurahkan
perhatiannya
untuk
mengendalikan suasana politik masyarakat Madinah, khususnya mendamaikan suku Aus dan Khazraj. Sementara itu, sebagian pengikut Yahudi justru memanfaatkan permusuhan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan bagi pihak Yahudi. Kebijakan politik yang pertama kali ditempuh Nabi Muhammad SAW adalah upaya menghapuskan jurang pemisah antar suku-suku di Madinah dan berusaha menyatukan seluruh penduduk Madinah sebagai kesatuan masyarakat Anshar. Pada sisi lainnya, Nabi Muhammad SAW berusaha mempererat hubungan antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin melalui ikatan persaudaran di antara mereka. Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa dasar fondasi imperium Islam tidak akan kuat kecuali didasari oleh kerukunan dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk sangat memerlukan sikap toleransi antar berbagai suku dan umat beragama. Oleh karena itu, untuk mewujudkan semua rencana yang telah disusun, Nabi Muhammad SAW memprakarsai penyusunan suatu perjanjian atau konsesus bersama yang dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah”. Tersusunnya piagam Madinah diharapkan mampu mengakhiri permusuhan dan pertumpahan darah diantara suku-suku di Madinah. Hak-hak dan kewajiban setiap penduduk Madinah dipertegas dalam piagam Madinah, khususnya bagi golongan Yahudi yang tinggal di Madinah. Pokok-pokok ketentuan yang terdapat dalam piagam Madinah antara lain sebagai berikut:
53
a) Seluruh masyarakat yang ikut menandatangani piagam Madinah harus bersatu membentuk satu kesatuan kebangsaan. b) Jika salah satu kelompok yang ikut menandatangani piagam Madinah diserang oleh musuh, maka kelompok yang lain harus membelanya dengan menggalang kekuatan golongan. c) Tidak ada satu kelompok pun yang diperbolehkan mengadakan persekutuan dengan kafir Quraisy atau memberikan perlindungan kepada mereka atau membantu mereka mengadakan perlawanan terhadap masyarakat Madinah. d) Orang Islam, Yahudi dan seluruh warga Madinah yang lain bebas memeluk agama dan keyakinan masing-masing dan mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masingmasing. Tidak seorang pun diperbolehkan mencampuri urusan agama lain. e) Urusan pribadi atau perseorangan maupun perkara-perkara kecil kelompok nonmuslim tidak harus melibatkan pihak-pihak lain secara keseluruhan. f) Dilarang melakukan penindasan terhadap suku-suku lain. g) Sejak ditandatangani piagam Madinah maka segala bentuk pertumpahan darah, pembunuhan, dan penganiayaan diharamkan di seluruh Madinah. h) Nabi Muhammad SAW ditetapkan sebagai kepala Madinah dan memegang kekuasaan peradilan yang tertinggi. Piagam Madinah tersebut sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan politik umat Islam. Piagam Madinah dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis yang pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh pertama yang menyadari arti pentingnya keterlibatan dan dukungan rakyat dalam suatu sistem administrasi negara. Piagam Madinah juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah hanya bertugas sebagai seorang Rasul yang menyebarkan agama, tetapi sekaligus sebagai seorang negarawan yang besar. Pasal-pasal yang dirumuskan dalam piagam Madinah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya bermaksud memperkuat kekuasaannya untuk menghadapi serangan kaum Musyrik Makkah, tetapi tujuan yang utama justru untuk menggalang kerukunan bagi warga negara di kota Madinah (K. Ali, 2003: 66-68).
54
Piagam Madinah merupakan awal revolusi di Madinah untuk menuju kehidupan yang lebih aman dan damai. Diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan Madinah. Akan tetapi, sulit bagi Nabi Muhammad SAW untuk menjadi seorang pemimpin yang tidak tertandingi yang setiap ucapannya selalu diikuti oleh semua orang. Setelah Nabi Muhammad SAW melakukan konsolidasi dan mempunyai kekuasaan yang cukup besar, pendapat Nabi Muhammad SAW tidak selalu diterima tanpa kritik, kecuali dalam persoalan agama yang diputuskan berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Tradisi demokrasi suku dan masyarakat Madinah yang majemuk masih sangat kuat pada masa itu sehingga sulit untuk menghapuskannya dalam waktu singkat. Setelah mempelajari situasi Madinah, Nabi Muhammad SAW tidak tergesa-gesa untuk menyatakan kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW memberikan otonomi penuh kepada kelompok suku dan berbagai kelompok lainnya dengan maksud untuk tidak merendahkan kekuasaan mereka tetapi untuk menjadikan mereka sepakat membentuk sebuah masyarakat yang lebih besar dengan konstitusi yang mengatur hak dan kewajiban setiap anggota. Nabi Muhammad SAW cukup puas dengan kedudukannya sebagai pemimpin kaum Muhajirin. Piagam Madinah disusun dengan tetap memperhatikan kondisi setempat di Madinah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW dengan mudah dapat diterima oleh penduduk Madinah. Pengakuan
langsung
penduduk
Madinah
terhadap
kepemimpinan
Nabi
Muhammad SAW meunjukkan bahwa kebutuhan akan adanya suatu birokrasi sangat diperlukan bagi perubahan yang lebih baik bagi Madinah sehingga persengketaan berbagai suku maupun kelompok dapat diselesaikan (Asghar Ali Engineer, 1999: 158-159). Setelah terbentuknya piagam Madinah, kehidupan masyarakat Madinah mulai berjalan dengan stabil. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW masih harus memecahkan beberapa masalah penting. Masalah mendesak yang dihadapi Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah masalah mengenai kaum Yahudi. Sebagaimana orang-orang Arab, kaum Yahudi adalah bagian dari masyarakat baru. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW berupaya untuk menjalin hubungan
55
yang baik dengan kaum Yahudi agar Nabi Muhammad SAW dapat diterima sebagai pemimpin Madinah maupun sebagai Rasulullah atau utusan Allah SWT. Beberapa hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjaga hubungan baik dengan Yahudi diantaranya adalah Nabi Muhammad SAW bersikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan tradisi keagamaan yang dilaksanakan oleh kaum Yahudi. Tradisi kaum Yahudi tersebut misalnya arah kiblat ke Masjidil ‘Aqsha dan puasa ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa kaum Yahudi. Akan tetapi, orang-orang Yahudi tidak pernah bersikap baik terhadap Nabi sehingga upaya Nabi untuk memperbaiki hubungan baik dengan kaum Yahudi akhirnya gagal. Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa kaum Yahudi tidak akan pernah mau mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin baru Madinah maupun sebagai seorang utusan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW berubah haluan dan mengambil suatu tindakan baru. Salah satu hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah dengan mengubah arah kiblat ke Ka’bah. Langkah Nabi Muhammad SAW dengan mengubah arah kiblat ke Ka’bah merupakan hal yang monumental. Nabi Muhammad SAW yakin terhadap dirinya sendiri sebagai utusan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memutuskan hubungan dengan kaum Yahudi. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak memusuhi agama kaum Yahudi, namun Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa kaum Yahudi telah melakukan penyimpangan terhadap kitab suci yang telah diwahyukan dan tidak mau menjalankan ajaran yang terdapat di dalamnya. Diubahnya arah kiblat ke Ka’bah (Makkah), Nabi Muhammad SAW ingin menjadikan Arab khususnya Makkah sebagai pusat Islam (Asghar Ali Engineer, 1999: 160). Islam telah stabil di Madinah dan kaum Quraisy mengetahui bahwa semakin hari Islam terus tumbuh berkembang, kuat dan semakin tersebar. Apabila keadaan tetap seperti itu, maka kekuasaan kaum Quraisy akan semakin lemah. Oleh karena itu, kaum Quraisy selalu mendorong terjadinya permusuhan dan peperangan terhadap umat Islam. Kaum Quraisy selalu melakukan aksi teror terhadap kaum Muslim dengan berbagai cara. Kaum Quraisy memanfaatkan ‘Abdullah bin Ubay untuk melancarkan semua rencana jahat dari orang-orang
56
Quraisy. Kaum Quraisy mengetahui betul sikap permusuhan antara ‘Abdullah bin Ubay dengan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Langkah awal yang dilakukan oleh kaum Quraisy untuk melancarkan rencana yang telah disusun adalah dengan mengirimkan sepucuk surat kepada ‘Abdullah bin Ubay yang isinya memberikan sebuah ancaman kepada ‘Abdullah bin Ubay. Kaum Quraisy meminta ‘Abdullah bin Ubay untuk membunuh atau mengusir Nabi Muhammad SAW dari Madinah. Apabila ‘Abdullah bin Ubay tidak mau melaksanakan permintaan kaum Quraisy maka ‘Abdullah bin Ubay yang akan menjadi taruhannya. Ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang surat tersebut, Nabi Muhammad SAW langsung menemui ‘Abdullah bin Ubay untuk menanyakan kebenaran dari isi surat tersebut dan menasehati ‘Abdullah bin Ubay untuk tidak memulai peperangan dengan kaum Muslimin. ‘Abdullah bin Ubay merasa takut akan mendapatkan perlawanan dari kaum Muslimin. Oleh karena itu, ‘Abdullah bin Ubay menahan perlawanan terbuka dengan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. Dengan demikian, percobaan orang-orang Quraisy melalui perantara ‘Abdullah bin Ubay mengalami kegagalan. Meskipun demikian, orangorang Quraisy tetap tidak mau menyerah untuk menghancurkan Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin. Kaum Quraisy mulai mengalihkan perhatian kepada penduduk yang tinggal antara Makkah dan Madinah. Kaum Quraisy membujuk dan menghasut penduduk agar mau melawan kaum Muslimin (Majid ‘Ali Khan, 1985: 101). Di Madinah, Nabi Muhammad SAW menghadapi aliansi tiga musuh kaum Muslimin yaitu kaum Quraisy, kaum Yahudi, dan orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay. Kaum Muslimin berada pada kondisi yang sangat berbahaya karena dihadang oleh musuh dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, kaum Muslimin meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu bisa datang dari luar dan dari dalam kota Madinah. Ketika sudah memiliki persenjataan yang kuat dan perlindungan semakin kokoh, maka turun wahyu dari Allah SWT
yang
memperbolehkan kaum Muslimin untuk berperang dalam surat Al-Hajj ayat 39, yang artinya adalah sebagai berikut:
57
“Telah diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benarbenar Maha Kuasa menolong mereka” (Depag RI, 2005: 337). Setelah turun wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin mulai mempersiapkan diri dengan memperkuat senjata dan melakukan pencegahan terhadap serangan dari kaum Quraisy. Rasulullah SAW mulai mengutus saraya yaitu ekpedisi-ekspedisi militer yang terdiri dari para sahabat tanpa disertai oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga mengutus duta-duta atau perwakilan kepada kabilah-kabilah di seluruh wilayah Madinah. Kadang-kadang terjadi pertempuran kecil dalam beberapa kesempatan. Namun hal tersebut berguna untuk mendatangkan ketakutan di hati orang-orang Musyrik, serta mampu memperlihatkan kekuatan dan kegigihan umat Islam. Majid ‘Ali Khan (1985: 102) menyebutkan langkah-langkah yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut: a) Langkah pertama Nabi Muhammad SAW adalah mengirimkan pasukan kecil untuk mengamati gerakan orang Quraisy di sekitar Madinah sehingga diperoleh informasi yang lengkap dan tepat tentang rencana dari orang-orang Quraisy. Tujuan mengirimkan mata-mata ini terlihat jelas dari surat tugas Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada ‘Abdullah bin Jashy ketika ia diperintahkan untuk memata-matai orang Quraisy yang mengancam kaum Muslimin. Surat tugas tersebut berbunyi: “Pergilah ke lembah Nakhla (antara Makkah dan Tha’if), sergaplah orang-orang Quraisy dan dengar apa yang hendak mereka perbuat terhadap kita”. b) Mengadakan hubungan baik dengan suku-suku lain di sekitar Madinah agar suku-suku tersebut tidak berpihak kepada musuh Islam. Oleh karena itu, dibentuk suatu perjanjian perdamaian dan ternyata banyak suku yang ikut menandatangani perjanjian tersebut. Isi perjanjian tersebut menyerukan agar suku-suku di sekitar Madinah mau bekerjasama dengan kaum Muslimin, siap melawan dan mempertahankan diri apabila mendapat serangan dari musuh. c) Mempersempit jalur perdagangan Quraisy ke Syria yang melalui Madinah sehingga Quraisy tidak bisa membeli senjata dan amunisi untuk perang.
58
Setelah Nabi Muhammad SAW menyelesaikan beberapa hal yang berhubungan dengan keamanan di dalam kota Madinah, Nabi Muhammad SAW mulai memperhatikan masalah penting yang berhubungan dengan orang-orang Quraisy. Dalam hubungan ini, wajar apabila Nabi Muhammad SAW berpikir untuk mengadakan blokade-blokade ekonomi dengan menghambat perdagangan orang-orang Quraisy. Kekuatan utama Quraisy adalah perdagangan dengan Syria dan Iran melalui Madinah. Sedangkan jalur perdagangan tersebut telah berada di bawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Langkah yang diambil Nabi Muhammad SAW dengan cara memblokade jalur perdagangan kaum Quraisy sangat tepat karena hal tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk memaksa Quraisy agar mau mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin (Majid ‘Ali Khan, 1985: 103). Sebelum meletus perang Badar, Nabi Muhammad SAW melakukan ekspedisi dan pengintaian-pengintaian terhadap Quraisy. Pada bulan ke-17 sesudah hijrah, Nabi Muhammad SAW mengutus Hamzah bin Abdul Muttalib dengan bendera putih dan 30 orang berkuda dari golongan Muhajirin menuju Laut Merah untuk menghadang kafilah dagang suku Quraisy. Di Laut Merah ini Hamzah bertemu dengan pasukan Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal yang berjumlah 300 orang. Di Laut Merah ini tidak terjadi peperangan sehingga pasukan Hamzah dapat kembali ke Madinah dengan selamat. Kemudian pada bulan Dzulqa’dah, Rasulullah mengirim Sa’ad bin Abi Waqas dengan bendera putih untuk melakukan ekspedisi ke Kharrar. Miqdad bin ‘Umru ditunjuk sebagai pembawa bendera. Dalam pengintaian tersebut juga tidak terjadi penyerangan terhadap kafilah dagang Quraisy. Namun pada bulan Rajab, bulan ke-17 sesudah hijrah, terjadi pertumpahan darah untuk pertama kalinya. Nabi Muhammad SAW mengutus ‘Abdullah bin Jashy dengan 12 orang dalam sebuah misi rahasia. Surat yang masih tertutup diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada ‘Abdullah bin Jashy dengan perintah agar membuka surat tersebut setelah dua hari perjalanan. Ketika ‘Abdullah bin Jashy membuka surat tersebut, ‘Abdullah bin Jashy diperintahkan untuk melanjutkan perjalanannya ke Nakhla yang terletak antara Thaif dan Makkah. Akhirnya pasukan pimpinan ‘Abdullah bin Jashy sampai di
59
Nakhla setelah menempuh perjalanan pada hari-hari terakhir bulan Rajab. Ketika kafilah dagang suku Quraisy melewati daerah tersebut pada sore hari, mereka diserang oleh pasukan Muslim. Salah satu dari mereka, ‘Umru bin al-Hadrami, terbunuh dan pasukan Muslim kembali ke Madinah dengan membawa rampasan perang serta dua tawanan perang. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab padahal orang-orang Arab diharamkan untuk melakukan perang pada bulan Rajab. Peristiwa tersebut menimbulkan banyak protes dari berbagai penduduk Madinah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW harus bersikap hati-hati. Salah satu hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah tidak menyentuh harta rampasan perang dalam waktu beberapa saat. Tindakan kaum Muslim yang melakukan perang pada saat bulan Rajab mendapat peringatan dari Allah SWT dengan menurunkan wahyu berupa surat Al-Baqarah ayat 217 yang artinya adalah sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Depag RI, 2005: 34). Permusuhan antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy Makkah belum selesai. Peristiwa di Nakhla yang mengakibatkan terbunuhnya salah satu tokoh Quraisy bernama ‘Umru bin al-Hadrami semakin membuat marah orang-orang Quraisy Makkah. Kaum Quraisy selalu berusaha untuk memerangi Islam, menghalangi jalan Allah SWT, dan membuat berbagai kesulitan bagi umat Islam. Kaum Quraisy rela mengorbankan harta dan segala yang dimilikinya dalam memerangi Islam. Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah (Maret 624 M), yaitu dua bulan sesudah peristiwa Nakhla, sebuah kafilah besar membawa barang dagangan yang sangat banyak kembali dari Gaza menuju ke Makkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Inilah salah satu kafilah terbesar yang mengangkut
60
dagangan seharga 50.000 dinar. Orang-orang dari suku Quraisy banyak yang tertarik dengan barang niaga yang dibawa oleh kafilah yang terdiri dari 30 orang tersebut. Keuntungan yang diperoleh kafilah Abu Sufyan tersebut akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai perang melawan kaum Muslim Madinah (Asghar Ali Engineer, 1999: 166-167). Setelah Nabi Muhammad SAW mendapat kabar bahwa kafilah Abu Sufyan sedang dalam perjalanan menuju Makkah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk pergi menghadang kafilah Abu Sufyan. Nabi Muhammad SAW tidak melakukan persiapan secara matang sebab urusan kali ini adalah rombongan dagang, bukan orang-orang yang pergi ke medan perang. Abu Sufyan mendengar berita tentang kepergian Nabi Muhammad SAW untuk menghadang kafilah dagangnya. Setelah mendapatkan keuntungan yang besar dari perdagangannya, Abu Sufyan mulai merasa khawatir akan keselamatan harta yang telah mereka peroleh. Oleh karena itu, Abu Sufyan menyewa seseorang bernama Damdam bin Amr al-Gifari untuk pergi ke Makkah, memberi peringatan kepada orang Quraisy serta meminta bantuan dari kaum Quraisy. Abu Sufyan mengubah rute perjalanannya dan kembali ke Makkah dengan menyusuri pantai Laut Merah. Ketika sampai di Makkah, ternyata pasukan Quraisy telah bergerak menuju Madinah. Di tengah perjalanan, pasukan Quraisy Makkah yang dipimpin Abu Jahl menerima berita bahwa Abu Sufyan beserta kafilahnya telah sampai di Makkah. Sebenarnya pasukan Quraisy Makkah merasa ragu untuk berperang dengan pasukan Muslim Madinah karena sebagian besar dari pasukan Muslim Madinah adalah keluarga dan saudara mereka sendiri yang telah memeluk Islam. Seandainya pasukan Quraisy Makkah berperang dengan pasukan Muslim Madinah, maka sama saja membunuh keluarga sendiri. Akan tetapi, Abu Jahl tetap teguh pada pendiriannya untuk maju melawan kaum Muslim Madinah. Abu Jahl terus berusaha untuk menghasut kaum Quraisy Makkah dan membangkitkan rasa benci mereka terhaadap Islam dengan cara mengingatkan kaum Quraisy atas peristiwa di Nakhla yang menyebabkan terbunuhnya ‘Umru bin al-Hadrami oleh pasukan Muslim Madinah. Setelah terhasut oleh bujukan Abu Jahl, timbullah rasa kebencian dan rasa dendam kaum Quraisy Makkah terhadap kaum Muslim
61
Madinah sehingga niat untuk mengadakan perang tidak dapat dibatalkan lagi (Majid ‘Ali Khan, 1985: 125-126). Pasukan Muslim Madinah dan pasukan Quraisy Makkah sama-sama bergerak menuju Badar, suatu desa yang jaraknya kira-kira 80 mil dari Madinah. Pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW sedangkan pasukan Quraisy dipimpin oleh Abu Jahl, musuh besar dalam Islam sekaligus merupakan musuh Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy berkekuatan 1000 orang tentara, 300 ekor kuda dan 700 unta. Sedangkan kaum Muslimin mempunyai pasukan yang hanya berkekuatan 313 orang tentara, 2 ekor kuda dan 70 ekor unta. Senjata yang digunakan oleh pasukan Muslim sangat terbatas jumlahnya, tidak selengkap senjata pasukan Quraisy. Perang mulai berkecamuk pada hari Jum’at pagi, 17 Ramadhan 2 H (Maret 642 M). Tradisi peperangan bangsa Arab sering dimulai dengan sejumlah perang tanding. Tiga tentara Quraisy Makkah yakni Syaiba, Utbah, dan Walid bin Utba bertanding dengan tiga pejuang Muslim yaitu Ubaidah, Hamzah, dan Ali. Dalam waktu singkat ketiga pemuka perang Quraisy tersebut tewas di tangan pejuang-pejuang Muslim. Setelah peperangan massal selesai, pasukan Muslim Madinah berhasil meraih kemenangan. Banyak pasukan Quraisy yang terbunuh dan sebagian kecil melarikan diri namun ada juga yang dijadikan sebagai tawanan perang. Semantara itu, 14 pejuang Muslim gugur sebagai Syahid yang terdiri dari 6 pejuang dari kaum Muhajirin dan 8 dari kaum Anshar (K. Ali, 2003: 73). Perang Badar merupakan peristiwa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Islam. Perang Badar menunjukkan bahwa pasukan Quraisy Makkah yang jumlahnya lebih besar dapat dihancurkan oleh pasukan Muslim yang jumlahnya sedikit dengan perlengkapan senjata yang terbatas. Setelah kemenangan kaum Muslim pada perang Badar, kedudukan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah semakin kuat. Perang Badar juga membawa pengaruh yang besar bagi pengikut-pengikut Yahudi dan suku-suku Badui di sekitar Madinah. Mereka mulai menyadari dan mengakui munculnya kekuatan Islam yang besar. Sebelumnya orang-orang Yahudi selalu menghina dan meremehkan kekuatan orang-orang Muslim namun setelah kemenangan yang diperoleh kaum Muslim
62
pada perang Badar, Yahudi baru mengakui kehebatan kekuatan kaum Muslim. Kemenangan perang Badar telah mendorong umat Islam untuk menyusun kekuatan Islam yang lebih besar di Madinah dan memperkuat keberanian umat Islam dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Kaum Quraisy merasa sangat dipermalukan dengan kekalahan mereka dalam perang Badar. Oleh karena itu, Quraisy merencanakan sesuatu yang baru untuk balas dendam terhadap kaum Muslim Madinah. Kekalahan kaum Quraisy dalam perang Badar melatarbelakangi sejumlah peperangan lainnya dengan kaum Muslim (K. Ali, 2003: 75). Setelah perang Badar, hanya selama 7 malam Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah. Kemudian beliau mendatangi Banu Sulaim untuk menanyakan kebenaran berita tentang serangan Banu Sulaim dan suku Ghathfan. Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang ekspedisi Banu Sulaim ketika Nabi Muhammad SAW masih berada di Madinah. Sampai di tempat Banu Sulaim, Nabi Muhammad SAW diberitahu oleh seorang penggembala bahwa ada satu batalyon pasukan yang melarikan diri menuju pantai setelah mendengar kabar tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW tinggal selama 3 malam di tempat Banu Sulaim dan kembali ke Madinah dengan membawa 500 ekor unta yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Sampai di Madinah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk melakukan eksekusi terhadap Abu ‘Afak dan ‘Ashma binti Marwan. Abu ‘Afak merupakan tokoh Yahudi yang usianya sudah tua. Abu ‘Afak selalu mengecam keberadaan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. Abu ‘Afak juga sering menghasut masyarakat Madinah agar melawan Islam. Abu ‘Afak menulis ayat-ayat yang berisi penghinaan terhadap agama Islam. Oleh karena itu, Abu ‘Afak pantas untuk dieksekusi. Tugas eksekusi terhadap Abu ‘Afak dilakukan oleh Salim bin ‘Umair. Eksekusi juga dijatuhkan kepada ‘Ashma binti Marwan, seorang wanita dari suku Aus bangsa Madinah. ‘Ashma binti Marwan mendapatkan eksekusi karena telah menciptakan syair-syair dan juga tulisan yang berisi kecaman terhadap Nabi Muhammad SAW dan Islam. Setelah Badar, ‘Ashma binti Marwan menulis puisi beberapa bait yang isinya menghasut masyarakat Madinah untuk menyulut api
63
peperangan melawan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. ‘Ashma binti Marwan dieksekusi oleh ‘Umair bin ‘Auf (Majid ‘Ali Khan, 1985: 134-135). Terdapat beberapa peristiwa penting yang terjadi setelah perang Badar. Salah satunya adalah pengasingan atau pengusiran Bani Qainuqa’ yang terjadi pada bulan Syawal 2 H (April 642 M). Bani Qainuqa’ adalah bagian dari kaum Yahudi yang pertama kali merusak perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW. Bani Qainuqa’ terdiri dari 700 prajurit dan dikenal sebagai pengrajin emas dan saudagar kaya. Bani Qainuqa’ juga ikut serta dalam memerangi Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar. Selain itu, Bani Qainuqa’ juga sering menyakiti kaum Muslimin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW beserta pasukannya memutuskan untuk mengepung Bani Qainuqa’ selama 15 malam. Akhirnya Bani Qainuqa’ menyerah dan bersedia menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW. ‘Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin orang-orang munafik, memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan Bani Qainuqa’. Nabi Muhammad SAW mengabulkan permohonan ‘Abdullah bin Ubay tetapi dengan persyaratan tertentu. Nabi Muhammad SAW akan memaafkan dan membebaskan Bani Qainuqa’ dengan syarat Bani Qainuqa’ harus meninggalkan Madinah. Kemudian Bani Qainuqa’ memutuskan untuk pergi ke negeri Syam, untuk mencari perlindungan. Akhirnya Bani Qainuqa’ dapat keluar dari Madinah dengan selamat setelah sebelumnya Bani Qainuqa’ merasa akan binasa karena pelanggaran dan pemberontakan mereka (Majid ‘Ali Khan, 1985: 136). Kekalahan pada perang Badar membuat bangsa Quraisy malu dan sedih sehingga Quraisy sangat marah dan ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin Quraisy. Setelah perang Badar, Abu Sufyan dijadikan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Abu Sufyan bersumpah tidak akan mencampuri istrinya sebelum membalas kekalahan kaum Quraisy pada perang Badar. Abu Sufyan mulai menugaskan 200 orang pasukan untuk pergi ke Madinah pada bulan Dzulhijjah 2 H, dua bulan setelah perang Badar. Secara diam-diam pasukan Abu Sufyan merampok di ‘Uraid, kira-kira 3 mil dari Madinah pada malam hari dan membakar kebun kurma. Pasukan Abu Sufyan juga membunuh seorang Muslim, membakar rumah-rumah dan tumpukan rumput-rumput kering. Mendengar
64
kejadian tersebut, Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin mengejar Abu Sufyan. Akan tetapi, Abu Sufyan berhasil melarikan diri dengan meninggalkan kantong-kantong yang berisi sawiq (roti tipis yang terbuat dari gandum) sebagai persediaan makanan mereka. Oleh karena itu, peristiwa ini dikenal dengan Perang Sawiq (Majid ‘Ali Khan, 1985: 137). Sesudah perang Badar, orang Yahudi mulai menjalin persengkongkolan yang lebih luas untuk melawan Nabi Muhammad SAW. Pihak Yahudi mengirimkan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh besar Yahudi seperti Huyayy bin Akhthab, Sallam bin Abul Huqaiq, Abu Rafi’, al-Rabi’ bin al-Rabi’ bin Abu Huqaiq, Ka’b bin Asyraf dan Abu ‘Ammar, untuk menjalin kerjasama dengan bangsa Quraisy, Ghathfan dan Banu Quraizhah serta menghasut mereka agar memusuhi Nabi Muhammad SAW. Kaum Quraisy menyambut dengan baik ajakan Yahudi untuk bekerjasama melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya.
Pemimpin-pemimpin
dan
pemuka
Quraisy
mengadakan
musyawarah untuk memutuskan cara melakukan pembalasan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin. Tokoh-tokoh Quraisy yang hadir dalam musyawarah tersebut diantaranya adalah Abu Sufyan bin Harb, Abdullah bin Ra’biah, Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Jubair bin Muth’im, Harits bin Hisyam, Huwait bin Abdul Uzza, dan Ubay bin Khalaf. Dalam pertemuan tersebut banyak juga perempuan Quraisy yang datang diantaranya adalah Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan). Setelah membahas beberapa hal maka dari musyawarah tersebut menetapkan beberapa keputusan, yaitu: a) Keuntungan yang diperoleh dari kafilah dagang Quraisy pimpinan Abu Sufyan harus dikumpulkan oleh masing-masing orang dan akan digunakan untuk membiayai peperangan melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. b) Kabilah-kabilah Tihamah, Kinanah dan kabilah-kabilah Arab lainnya yang tinggal berdekatan dengan kota Makkah akan diikat perjanjian dengan kaum Quraisy agar mau membantu melawan Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin.
65
c) Kaum perempuan Quraisy yang keluarga dan saudaranya tewas dalam perang Badar, harus ikut berperang melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. (Moenawar Chalil, 2001: 99-100)
2. Pecahnya Perang Uhud a. Persiapan Perang Uhud Pemimpin-pemimpin kaum Quraisy mengadakan persiapan untuk perang melawan Nabi Muhammad SAW dan pasukan Muslimin. Setelah semua tentara Quraisy berkumpul, ternyata jumlah pasukan Quraisy lebih dari 3.000 tentara diantaranya terdapat 200 pasukan berkuda dengan persenjataan lengkap dan 700 pasukan berkendaraan unta serta memakai baju besi. Pasukan perang kaum Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan. Budak-budak Quraisy disuruh oleh para majikannya masing-masing untuk ikut serta menjadi anggota pasukan yang dipimpin oleh Abu Amir ar-Rahib. Kaum wanita juga turut berperan aktif untuk menyulut api peperangan, diantaranya adalah Hindun (istri Abu Sufyan), Ummu Hakim (istri Ikrimah), Barzah binti Mas’ud (istri Shafwan bin Umayyah), Fatimah binti Walid (istri Harits bin Hisyam), Barthah binti Munabbih (istri Amr bin Asb), dan yang menjadi pemimpinnya adalah Hindun. Hindun mempersiapkan seorang budak bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah (paman Nabi Muhammad SAW). Apabila Wahsyi berhasil membunuh Hamzah, maka akan dimerdekakan. Dendam Hindun kepada Hamzah sangat besar karena Hamzah telah membunuh ‘Utbah (ayah Hindun) pada saat perang Badar (Moenawar Chalil, 2001: 101). Sementara itu, kaum Muslimin Madinah sama sekali tidak mengetahui persiapan perang yang dilakukan oleh kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW baru menerima berita tentang persiapan kaum Quraisy setelah tiga hari sebelum pasukan Quraisy Makkah tiba di Uhud. Nabi Muhammad SAW menerima berita tersebut dari salah seorang paman beliau yang bernama ‘Abbas yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam namun masih tinggal di Makkah. Setelah mendengar berita tersebut, Nabi Muhammad SAW mengirim mata-mata yaitu Anas, Munis, dan Hubab untuk mencari informasi tentang pasukan Quraisy
66
Makkah. Akhirnya diperoleh informasi bahwa pasukan Quraisy Makkah sudah berada di dekat Uhud. Pada hari Jum’at 13 Syawwal 3 H, Nabi Muhammad SAW mengadakan musyawarah untuk membahas situasi tersebut dengan para sahabat beliau. Sejumlah sahabat berpendapat sebaiknya tetap bertahan dan berperang di Madinah. Nabi Muhammad SAW lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan untuk tetap tinggal di Madinah karena Madinah dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit yang dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan sehingga kaum Quraisy akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyerangan terhadap kota Madinah. Akan tetapi, para pemuda khususnya orang-orang yang tidak ikut serta dalam perang Badar memiliki pendapat lain. Mereka berpendapat untuk pergi keluar kota Madinah dan mengadakan perang terbuka dengan Quraisy Makkah. Adanya desakan dari kelompok pemuda tersebut membuat Nabi Muhammad SAW berubah pendirian dan mengikuti pendapat para pemuda yang menginginkan perang terbuka di luar Madinah. Setelah memperoleh keputusan, Nabi Muhammad SAW segera mengenakan baju perang dengan senjata lengkap. Setelah selesai shalat Jum’at, Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Bukit Uhud dengan memimpin 1.000 prajurit yang gagah berani untuk menghadapi 3.000 pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap dan yang telah merusak tanaman dan padang rumput kaum Muslimin. Pasukan Nabi Muhammad SAW bermalam tidak jauh dari kota Madinah agar keesokan harinya dapat melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Di tengah perjalanan menuju Uhud, pemimpin kaum munafik, ‘Abdullah bin Ubay melakukan desersi (membelot) dengan membawa 300 pasukan sehingga pasukan yang semula bersama Nabi Muhammad berjumlah 1.000 orang berkurang menjadi 700 orang. Tentara Muslim memang hanya berjumlah sedikit dan kurang memiliki keahlian perang, namun pasukan Muslim memiliki keimanan yang kuat untuk membela kebenaran. Menurut Hamka (1983: 96), pembelotan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay telah dijelaskan di dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 122. Ketika kaum Muslimin menyaksikan orang-orang munafik yang merupakan sepertiga dari rombongan Nabi Muhammad SAW menarik diri dan meninggalkan kaum Muslimin, maka timbul kemarahan dari sebagian kalangan
67
kaum Muslimin. Menyikapi sikap orang-orang munafik tersebut kaum Muslimin terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa orangorang munafik tersebut harus diperangi dan dibunuh karena mereka memang pantas untuk dibunuh. Sedangkan kelompok kedua yang mayoritas di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW berpendapat bahwa kaum munafik tersebut tidak perlu untuk diperangi. Nabi Muhammad SAW sendiri memilih untuk tidak memerangi kaum munafik tersebut. Sikap Nabi Muhammad SAW untuk tidak memerangi dan tidak membunuh kaum munafik merupakan sikap yang bijaksana, cerdas dan visioner karena apabila memerangi kaum munafik pada saat situasi yang kritis, tidak akan memberikan manfaat kepada kaum Muslimin. Situasi akan menjadi sangat sulit apabila konsentrasi kaum Muslimin harus diarahkan untuk memerangi kaum munafik karena hal tersebut akan semakin melemahkan kekuatan 700 pasukan yang masih tersisa. Meskipun kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum munafik, hal tersebut akan menguras tenaga pasukan Muslimin dan membuat pasukan Muslimin lemah dalam menghadapi pasukan Quraisy Makkah yang jumlahnya empat kali lipat jumlah pasukan Muslimin. Di samping itu, Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menghendaki adanya pertumpahan darah apalagi jika pertumpahan darah tersebut terjadi di kalangan Muslimin yang sama-sama masih memiliki ikatan darah karena kebanyakan dari orang-orang munafik yang menarik diri dari rombongan Nabi Muhammad SAW masih merupakan keluarga dan saudara sesama kaum Muslimin. Sikap ‘Abdullah bin Ubay beserta orang-orang munafik yang menarik diri dari Nabi Muhammad SAW, membawa pengaruh negatif bagi sebagian pasukan yang masih tetap berada dalam rombongan Nabi Muhammad SAW. Sebagian dari kaum Muslimin mulai terpengaruh dan menjadi lemah semangat perang kemudian mereka juga berpikir untuk menarik diri dari medan peperangan. Akan tetapi kegoyahan pendirian mereka dapat terselamatkan berkat bantuan Allah SWT serta motivasi penuh dari Nabi Muhammad SAW sehingga membuat mereka mengurungkan niat untuk mundur dari medan peperangan (Abu Faris, 1998: 197-199).
68
b. Jalannya Perang Uhud Setelah Nabi Muhammad SAW dan pasukan Muslimin selesai menghadapi persoalan penarikan diri ‘Abdullah bin Ubay dan kaum munafik, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan menuju Uhud. Nabi Muhammad SAW meminta ditunjukkan suatu jalan yang tidak dilalui oleh pasukan Quraisy Makkah. Khaistamah lalu menunjukkan jalan yang dekat dan yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah perjalanan dilanjutkan, tibalah rombongan Nabi Muhammad SAW di suatu jalan kecil milik Marba’ bin Qaizhi yang buta matanya. Ketika Nabi Muhammad SAW berjalan di depan rumah Marba’ bin Qaizhi, tiba-tiba Marba’ bin Qaizhi menaburkan debu ke arah muka Nabi Muhammad SAW sambil berkata, “Kalau engkau itu pesuruh Allah, aku tidak menghalalkan (memperkenankan) kepadamu berjalan di jalanku ini”. Dengan cepat, Sa’ad bin Zaid memukul Marba’ bin Qaizhi dengan senjata tajam sehingga membuat Marba’ bin Qaizhi terluka parah. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW hendak membunuh Marba’ bin Qaizhi, tetapi Nabi Muhammad SAW mencegahnya (Moenawar Chalil, 2001: 110). Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampailah kaum Muslimin di suatu tempat di bawah kaki Gunung Uhud. Di sinilah Nabi Muhammad SAW beserta pasukannya berhenti karena melihat tentara musuh sudah beramai-ramai menduduki tempat-tempat dekat Gunung Uhud. Pasukan musuh berkekuatan empat kali lebih banyak dari pasukan kaum Muslimin dan sebagian besar dari pasukan Muslimin sangat kurang keahliannya dalam berperang. Pasukan musuh juga memiliki persenjataan lengkap dengan peralatan perang serba cukup dan sebagian besar diantara pasukan Quraisy memiliki keahlian berperang. Nabi Muhammad SAW segera mengumpulkan tentaranya lalu memilih dan menduduki tempat yang cukup strategis letaknya dengan membelakangi bukit-bukit Uhud agar mampu melindungi barisan tentaranya. Akan tetapi, karena tempat-tempat yang lain sudah terlebih dahulu dikuasai pasukan musuh, tempat-tempat yang diduduki Nabi Muhammad SAW adalah tempat yang di belakangnya terdapat suatu jalan yang terbuka yang dapat dipergunakan oleh musuh untuk menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang. Walaupun demikian, sebagai seorang
69
pemimpin perang yang bijaksana, Nabi Muhammad SAW menjadikan tempattempat tersebut untuk menempatkan pasukan yang memiliki keahlian dalam memanah sebanyak 50 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair. Sayap kanan barisan berkuda dipimpin oleh Khalid bin Walid, sayap kiri barisan berkuda dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal, dan barisan tengah dipimpin oleh Shafwan bin Umayyah beserta pahlawan Quraisy lainnya. Semuanya telah bersiap-siap dengan gagah berani di tempat-tempat yang tidak mudah ditempuh oleh tentara kaum Muslimin. Bendera perang kaum Quraisy dipegang oleh Abu Thalhah (Moenawar Chalil, 2001: 111). Nabi Muhammad SAW juga mulai mengatur barisan pasukan Muslimin. Nabi Muhammad SAW menempatkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Ali bin Abu Thalib, Zubair bin Awwam, Abu Dujanah Sammak bin Kharsyah, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Mu’adz, Anas bin an-Nadhar, Mush’ab bin Umair, Sa’ad bin Ubadah, Usaid bin Hudhair, dan Habbab bin alMundzir di barisan pertama. Kemudian Nabi Muhammad SAW menginstruksikan kepada pasukan Muslimin yang telah berada pada posisi mereka masing-masing agar tidak melakukan peperangan sebelum Nabi Muhammad SAW mengijinkan mereka untuk berperang dan memerintahkan pasukan pemanah agar tidak meninggalkan posisi mereka dalam kondisi apapun (Abu Faris, 1998: 229). Berkaitan dengan penempatan posisi pasukan Muslimin dan perintah Nabi kepada pasukan pemanah, telah dijelaskan di dalam Tafsir Al-Azhar Q.S. Ali ‘Imran ayat 121 (Hamka, 1983: 95). Setelah kedua pasukan saling berhadapan dan siap bertempur, dimulailah dengan perang tanding. Abu Thalhah al-‘Abdari keluar dengan membawa panji kaum Quraisy lalu menantang perang tanding beberapa kali tetapi tidak seorang pun pasukan dari kaum Muslimin yang berani maju untuk melawannya. Kemudian Abu Thalhah berkata kepada pasukan Muslimin: “Wahai para sahabat Muhammad, kalian mengaku bahwa Allah akan menyegerakan kami dengan pedang kalian ke neraka dan menyegerakan kalian dengan pedang kami ke surga, tetapi adakah diantara kalian seorang yang mampu menyegerakan aku dengan pedangnya ke neraka atau aku akan menyegerakannya dengan pedangku ke surga. Kalian dusta demi Lata dan ‘Uzza, seandainya kalian
70
mengetahui hal itu benar niscaya ada orang yang keluar menyambutku” (Abu Faris, 1998: 233). Setelah mendengar perkataan tersebut, akhirnya Ali bin Abu Thalib maju ke medan pertempuran kemudian berhasil memukul Abu Thalhah hingga patah kakinya dan tergeletak di tanah. Kemudian Ali bin Abu Thalib mundur kembali ke barisan pasukan Nabi Muhammad SAW. Beberapa saat kemudian Abu Thalhah tewas akibat pukulan Ali bin Abu Thalib. Setelah Abu Thalhah tewas, panji perang diambil oleh saudaranya yaitu Utsman bin Abu Thalhah yang akan berhadapan dengan Hamzah. Dengan segera Hamzah menyerang Utsman bin Abu Thalhah sehingga berhasil menebas tangan dan pundaknya sampai ke pinggangnya. Setelah Utsman bin Abu Thalhah tewas, panji kemudian diambil oleh saudaranya Abu Sa’id bin Abu Thalhah yang berhadapan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil melempar Abu Sa’id dengan panah hingga tewas. Panji kemudian diambil oleh Musafi’ bin Thalhah bin Abu Thalhah dan berhasil dibunuh oleh ‘Ashim bin Tsabit bin Abu Aflah. Setelah Musafi’ tewas, panji kemudian diambil oleh saudara Musafi’ yaitu Harist bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh ‘Ashim. Kemudian panji diambil oleh saudaranya Musafi’ dan Harits yaitu Kilab bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh Zubair bin Awwam. Panji kemudian diambil oleh saudara Kilab yaitu Jallas bin Thalhah lalu berhasil dibunuh oleh Thalhah bin Ubaidillah. Setelah Jallas bin Thalhah tewas, panji kemudian diambil oleh Arthah bin Syurahbil bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdu Dar lalu berhasil dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib. Kemudian panji diambil oleh Abu Zaid Amer bin Abdi Manaf lalu berhasil dibunuh oleh Qazman. Setelah Abu Zaid Amer tewas, panji kemudian diambil oleh Shawab, seorang budak yang berasal dari Habasyah milik Banu Abdud Dar, lalu berhasil dibunuh oleh Ali bin Abu Thalib. Akhirnya panji jatuh tergeletak kotor di tanah hingga diambil oleh ‘Amrah binti ‘Alqamah al-Haritsiyah lalu mengangkatnya kepada pasukan Quraisy dan mereka pun mengerumuninya. Demikianlah para pahlawan kaum Muslimin berhasil menumbangkan para tokoh dan pembawa panji kaum Quraisy dan tidak ada lagi yang sanggup membawa panji tersebut hingga dipungut oleh seorang wanita. Setelah para pembawa panji tersebut terbunuh kemudian kaum
71
Quraisy terpecah belah, semangat mereka merosot dan kekuatan mereka pun hancur. Hal seperti ini menunjukkan kepiawaian Nabi Muhammad SAW dalam bidang militer karena mampu melemahkan kemampuan perang pasukan Quraisy sehingga mendesak pasukan Quraisy mundur dan lari meninggalkan harta dan wanita-wanita Quraisy (Abu Faris, 1998: 233-234). Para pasukan pemanah menyaksikan dari atas bukit peristiwa yang terjadi di medan pertempuran. Setelah menyaksikan pasukan Quraisy melarikan diri dengan meninggalkan harta dan wanita-wanita, pasukan Muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy. Menyaksikan kejadian tersebut, pasukan pemanah mengira pertempuran telah berakhir. Pasukan pemanah tertarik untuk turun dari bukit dan membantu saudarasaudara mereka yang sedang sibuk mengumpulkan harta rampasan dan bendabenda berharga yang melekat dalam tubuh para korban. Kemudian pasukan pemanah menyampaikan keinginan mereka kepada pemimpin mereka yaitu Abdullah bin Jubair agar meninggalkan bukit untuk bergabung bersama saudarasaudara mereka yang sedang mengumpulkan harta rampasan. Akan tetapi, Abdullah bin Jubair menolak permintaan para pasukan pemanah bahkan melarang mereka untuk melakukan hal tersebut. Abdullah bin Jubair mengingatkan akan perintah Nabi Muhammad SAW agar pasukan pemanah tidak meniggalkan bukit dalam kondisi apapun. Sebagian kecil pasukan pemanah ada yang mengikuti perintah Abdullah bin Jubair dan tetap tinggal di bukit dengan penuh waspada mengawasi keadaan dengan ketat. Akan tetapi, sebagian besar dari pasukan pemanah yang berjumlah 40 orang, mengabaikan perintah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak melaksanakan perintah Abdullah bin Jubair. Akhirnya, 40 orang pemanah turun dari atas bukit meninggalkan 10 orang pemanah dan ikut mengumpulkan harta rampasan dalam keadaan tidak mempedulikan pihak musuh. Kelalaian pasukan pemanah dalam menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah telah dijelaskan di dalam Tafsir Ibnu Katsir Q.S. Ali ‘Imran ayat 152153 (M. ‘Abdul Ghoffar, 2008: 159). Tentara berkuda pihak Quraisy yang berada di sayap kanan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid mengetahui dengan jelas bahwa sebagian besar
72
dari para pasukan pemanah Muslimin yang menjaga bukit Uhud sudah meningglkan posisi mereka masing-masing. Oleh karena itu, secara diam-diam Khalid bin Walid mengerahkan pasukan yang berada di bawah komandonya untuk menyerang pasukan pemanah Muslimin yang hanya tinggal beberapa orang dari arah belakang mereka. Setelah pasukan Khalid bin Walid mampu melumpuhkan pasukan pemanah Muslimin dan berhasil menguasai posisi strategis para pemanah, Khalid bin Walid segera memerintahkan pasukannya untuk memutar ke arah belakang pasukan kaum Muslimin dan kemudian secara mendadak menyerang kaum Muslimin yang sedang sibuk mengumpulkan harta rampasan. Pasukan Muslimin dikejutkan oleh serangkaian serangan pedang dan anak panah dari arah belakang sehingga mengakibatkan terbunuhnya sejumlah dari mereka. Serangan secara mendadak dari pasukan Quraisy menyebabkan pasukan Muslimin ketakutan dan terguncang sehingga banyak diantara pasukan Muslimin yang berpencar dan tercerai-berai. Pasukan Muslimin sama sekali tidak pernah mengira kalau pasukan Quraisy yang sudah melarikan diri dan mundur dari medan peperangan, berbalik arah dan kembali menyerang pasukan Muslimin dari arah belakang. Pasukan Muslimin berada dalam kondisi tidak siap siaga untuk melawan musuh karena serangan yang datang dari pasukan Quraisy sangat mendadak sehingga pasukan Muslimin terkepung baik dari arah depan maupun dari arah belakang (Moenawar Chalil, 2001: 120-121). Setelah Nabi Muhammad SAW melihat keadaan yang semakin kacau, Nabi menyadari bahwa tentaranya sedang terancam oleh bahaya yang besar dari pihak musuh. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW segera memilih salah satu dari dua alternatif yaitu melindungi diri sendiri di tempat yang tersembunyi atau maju dan berjuang di tengah medan pertempuran yang sedang berkobar dengan hebat dan dahsyat untuk membela barisan tentara yang sedang berantakan, kalang kabut, kocar-kacir dan terkepung oleh pihak musuh. Seketika itu juga Nabi Muhammad SAW mengambil suatu keputusan yaitu untuk sementara Nabi menyembunyikan diri sambil berseru dan memanggil sebagian tentaranya agar segera berlari dan mengelilingi tempat Nabi Muhammad SAW bersembunyi. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW belum bebas dari ancaman bahaya.
73
Mush’ab bin Umair, seorang pahlawan Islam yang gagah berani, yang pada saat itu sedang memegang bendera tentara Islam, selalau melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan tentara Quraisy. Ketika itu, Ibnu Qam’ah, seorang tentara Quraisy, berteriak di depan pasukan Muslimin, “Tunjukkanlah kepadaku mana Muhammad? Lebih baik aku celaka daripada Muhammad masih hidup”. Akan tetapi, Ibnu Qam’ah terus dihalangi oleh Mush’ab dan kawan-kawannya yang masih tetap mengelilingi Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut membuat Ibnu Qam’ah tidak mampu mencapai tempat Nabi Muhammad SAW bersembunyi. Akhirnya, Ibnu Qam’ah menikam Mush’ab hingga gugur. Ibnu Qam’ah menyangka bahwa yang ditikam dan dibunuhnya adalah Nabi Muhammad SAW karena Ibnu Qam’ah belum pernah melihat wajah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Mush’ab bin Umair memiliki wajah yang sangat mirip dengan wajah Nabi Muhammad SAW. Ibnu Qam’ah kemudian berteriak dengan keras dan meyakinkan semua yang terlibat dalam perang bahwa Nabi Muhammad SAW telah terbunuh. Teriakan tersebut diulangi sampai beberapa kali sambil berlarian di tengah medan pertempuran. Mendengar suara Ibnu Qam’ah, pasukan Muslimin semakin bertambah kacau sehingga ada diantara mereka yang saling menyerang saudara sendiri. Akhirnya, terjadi perpecahan diantara kaum Muslimin menjadi tiga golongan, yaitu sebagian ada yang melarikan diri menuju tempat dekat Madinah, tetapi tidak berani masuk dan pulang ke Madinah karena malu dan mereka hanya menanti para kawannya sampai selesai perang. Diantara pasukan Muslim yang melarikan diri adalah Ustman bin Affan, Walid bin Uqbah, Kharijah bin Zaid, dan Rifa’ah bin Ma’la (Moenawar Chalil, 2001: 122). Sebagian besar (golongan kedua) tetap bertempur dengan pantang menyerah karena mereka telah mendengar ucapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah
terbunuh.
Salah seorang tentara
Muslimin,
Tsabit
bin Dahdah,
memperingatkan kawan-kawannya, “Hai para kawanku Anshar! Jika benar Nabi Muhammad SAW telah mati terbunuh, biarlah ia mati, karena hanya Allah yang tidak mati selama-lamanya! Karena itu, berpeganglah kamu kepada agamamu dengan kokoh kuat! Allah sendirilah yang akan menolong dan memberikan kemenangan kepadamu!”. Peringatan tersebut sungguh besar pengaruhnya bagi
74
para pasukan Muslimin yang sedang mengalami kebingungan. Setelah mendengar ucapan Tsabit bin Dahdah, pasukan Muslimin menyerahkan diri hanya kepada Allah dan terus berjuang tanpa rasa takut. Sebagian lagi (golongan ketiga), sebanyak 14 orang tetap teguh mengelilingi Nabi Muhammad SAW dan mereka berusaha dengan sekuat tenaga melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan pasukan Quraisy. Mereka tidak mau melarikan diri dan tidak perlu merasa bingung karena mereka tahu bahwa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Mereka terdiri dari 7 orang sahabat Muhajirin dan 7 sahabat Anshar. Diantara tentara Muslimin yang masih bertahan mengelilingi Nabi Muhammad SAW yaitu (1) dari golongan Muhajirin: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnu Khattab, Ali bin Abi Athalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abu Ubaidah ibnu Jarrah (2) dari golongan Anshar: Abu Dujanah, al-Hubab ibnu Mundzir, Ashim bin Tsabit, al-Harits ibnu Shammah, Sahal bin Hanif, Sa’ad bin Muadz, dan Usaid bin Hudhair. Selain 14 orang tersebut, ada lagi beberapa sahabat yang ikut mengelilingi Nabi Muhammad SAW untuk melindungi beliau dari serangan musuh. Mereka ini seolah-olah menjadi benteng pertahanan Nabi Muhammad SAW dan mereka tidak menghiraukan sama sekali desas-desus tentang kematian Nabi Muhammad SAW. Kemudian Ka’ab bin Malik berteriak dan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Mendengar ucapan Ka’ab bin Malik, pasukan Quraisy semakin mendesak dan berusaha menerobos pertahanan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi ketika pasukan Quraisy mengetahui bahwa yang melindungi Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 30 orang saja, mereka semakin kuat menerjang pertahanan para sahabat yang sedang melindungi Nabi Muhammad SAW. Tentara Quraisy terus mendesak pertahanan sahabat Nabi sambil melepaskan anak panah sedangkan 30 orang sahabat Nabi yang sedang mengelilingi Nabi Muhammad SAW tetap bertahan dan menangkis serangan dari pasukan Quraisy dengan sekuat-kuatnya. Terkait dengan desas-desus kematian Nabi Muhammad SAW telah dijelaskan di dalam Tafsir AlAzhar Q.S. Ali ‘Imran ayat 144 (Hamka, 1983: 130). Para sahabat Nabi telah menjadikan diri mereka sebagai benteng pertahanan yang kokoh dan kuat untuk melindungi Nabi Muhammad SAW.
75
Pasukan Quraisy terus berusaha mencari kesempatan untuk menerjang dan menerobos pertahanan yang dibuat oleh para sahabat Nabi. Akan tetapi, pasukan Quraisy tidak mampu merobohkan pertahanan para sahabat Nabi kerena ketatnya penjagaan dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ketika serangan musuh kepada Nabi Muhammad SAW semakin hebat, tiba-tiba Nabi Muhammad SAW terkena lemparan batu dari pihak musuh sehingga menyebabkan wajah Nabi Muhammad SAW luka. Pada saat itu juga Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh di tengah-tengah medan pertempuran oleh seorang tentara musuh, yaitu seorang budak yang bernama Wahsyi dengan menggunakan tombak. Hamzah gugur setelah mampu membunuh 31 orang dari pihak musuh. Setelah berita terbunuhnya Hamzah terdengar oleh Nabi Muhammad SAW, beliau merasa sangat sedih karena Hamzah adalah paman Nabi Muhammad SAW yang memiliki jasa yang sangat besar kepada Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy merasa tidak puas apabila belum membunuh Nabi Muhammad SAW dalam perang Uhud. Pasukan Quraisy beranggapan bahwa dengan membunuh Nabi Muhammad SAW maka akan menyebabkan seluruh kaum Muslimin hancur (Moenawar Chalil, 2001: 124). Selain terkena lemparan batu dari musuh, Nabi Muhammad SAW juga dilempari dengan beberapa potongan besi. Utbah bin Abi Waqqash melemparkan potongan besi ke arah Nabi Muhammad SAW sehingga melukai muka dan menyebabkan salah satu gigi depan Nabi Muhammad SAW patah. Setelah melihat perbuatan Utbah, Hathib bin Abi Balta’ah segera mengejar dan membunuh Utbah. Serangan terhadap Nabi Muhammad SAW belum juga reda. Abdullah bin Syihab melemparkan batu dengan keras ke arah Nabi Muhammad SAW sehingga dahi Nabi luka parah dan gigi Nabi yang telah pecah masuk menembus daging bibir Nabi. Abu Qam’ah juga melemparkan dua potong besi yang berasal dari lapisan baju besi yang dipakainya sehingga melukai pipi Nabi Muhammad SAW. Potongan besi yang dilemparkan oleh Abu Qam’ah menembus ke bagian dalam pipi Nabi Muhammad SAW karena kuatnya lemparan yang dilakukan oleh Abu Qam’ah. Abu Ubaidah bin Jarrah berusaha mencabut potongan besi yang menembus bagian dalam pipi Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan gigi.
76
Potongan besi tersebut tembus sampai ke dalam gusi Nabi Muhammad SAW. Pada saat mencabut potongan besi tersebut gigi Abu Ubaidah juga ikut tanggal. Melihat keadaan demikian, Malik bin Sinan membersihkan darah yang mengalir di muka Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan yang demikian, serangan musuh masih terus dilancarkan dengan gencar ke arah Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy terus berusaha melalui berbagai cara untuk menembus pertahanan yang dibuat oleh para sahabat Nabi yang setia. Kemudian datang Ubay bin Khalaf dari kaum Quraisy yang menjadi penentang dan musuh Nabi Muhammad SAW dengan memakai baju besi sambil menunggangi kudanya yang bernama Ud menuju tempat Nabi Muhammad SAW dengan niat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Ketika Ubay bin Khalaf sudah mendekati tempat Nabi Muhammad SAW yang sedang dipertahankan oleh para sahabat Nabi, Ubay bin Khalaf segera menyerang Nabi Muhammad SAW dengan pedangnya tetapi ditangkis oleh para sahabat Nabi. Salah satu sahabat Nabi terbunuh oleh pedang Ubay bin Khalaf karena tidak mampu menahan tangkisan pedang dari Ubay bin Khalaf. Melihat kejadian tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Ubay bin Khalaf datang ke tempat Nabi Muhammad SAW karena Nabi akan menghadapi Ubay bin Khalaf dengan tangan Nabi sendiri. Kemudian Nabi Muhammad SAW mengambil tombak milik Harits ash-Shammah dan dengan cepat Nabi Muhammad SAW menyerang Ubay bin Khalaf terlebih dahulu sebelum diserang sehingga tombak tersebut menancap di sela-sela baju Ubay bin Khalaf, menembus lehernya dan akhirnya Ubay bin Khalaf tewas (Moenawar Chalil, 2001: 126). Sehubungan dengan lemparan batu dari pihak musuh, Nabi Muhammad SAW berusaha untuk menghindar. Nabi Muhammad SAW berjalan perlahanlahan dari tempat Nabi berada. Akan tetapi, baru saja Nabi Muhammad SAW berjalan beberapa langkah, Nabi jatuh ke dalam sebuah lubang yang digali oleh salah seorang dari pihak musuh, yaitu Abu Amir ar-Rahib. Abu Amir berbuat demikian karena sengaja ingin menjebak dan mencelakai pasukan Muslim terutama Nabi Muhammad SAW. Akibat terjatuh ke dalam lubang, kedua lutut Nabi Muhammad SAW luka-luka. Kondisi tersebut membuat Nabi Muhammad
77
SAW semakin kehilangan tenaga dan akhirnya Nabi pingsan. Melihat kondisi Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Thalhah bin Ubaidillah menolong Nabi. Kemudian kedua sahabat Nabi tersebut mengangkat Nabi menuju tempat yang aman. Setelah siuman, Nabi Muhammad SAW dapat berdiri tegak seperti biasa (Moenawar Chalil, 2001: 127).
c. Akhir Perang Uhud Semangat para sahabat yang melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan musuh masih tetap menggelora. Kegigihan pasukan Muslimin menjadikan barisan tentara Muslimin yang sudah kacau balau sedikit demi sedikit dapat tertata rapi kembali. Pasukan Muslimin segera menduduki tempat-tempat yang strategis untuk menangkis serangan dari musuh. Pasukan Muslimin banyak yang mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW menderita luka-luka dan juga banyak pahlawan Islam yang sudah terbunuh. Oleh karena itu, semangat pasukan Muslimin kembali bergelora dan dengan serentak bergerak maju penuh keberanian melakukan serangan balik terhadap musuh. Pasukan Muslimin berpendirian lebih baik hancur dalam menyerang daripada hancur binasa diserang musuh. Pertempuran antara pasukan Muslimin dengan pasukan Quraisy berkobar kembali. Meskipun tentara kaum Muslimin telah mengalami penderitaan yang sangat berat namun pasukan Muslimin terus berjuang dengan penuh keberanian dan disertai dengan keyakinan penuh bahwa kemenangan pasti akan diraih oleh kaum Muslimin. Seorang tentara Quraisy, Utsman bin Abdullah sedang menuju tempat Nabi Muhammad SAW berada namun dihadang oleh Harits bin Shammah sehingga menyebabkan kuda yang ditunggangi oleh Utsman bin Abdullah tergelincir dan jatuh ke dalam lubang yang sama dengan lubang yang pernah mengakibatkan Nabi Muhammad SAW terperosok. Melihat Utsman bin Abdullah terjatuh, Harits bin Shammah segera menebaskan pedangnya sehingga kaki Utsman bin Abdullah putus. Ubaidillah bin Jabir berusaha menolong Utsman bin Abdullah tetapi dihadapi oleh Harits bin Shammah. Ubaidillah bin Jabir tidak sanggup menghadapi perlawanan dari Harits bin
78
Shammah sehingga membuat Ubaidillah luka parah. Melihat Ubaidillah sudah tidak berdaya, Abu Dujanah segera memenggal leher Ubaidillah. Ummu Umarah, seorang wanita Anshar, juga ikut terlibat dalam perang Uhud. Pada awalnya, Ummu Umarah hanya menyertai suaminya yang turut berperang dan membantu menyediakan air bagi tentara kaum Muslimin tetapi setelah Ummu Umarah mengetahui bahwa pasukan Muslimin semakin terdesak oleh pasukan Quraisy, Ummu Umarah pun ikut bertempur melawan musuh dengan gagah berani sehingga mengalami luka yang parah. Begitu pula dengan Ummu Aiman, seorang wanita Muhajirin, yang pada saat itu juga ikut menjadi tentara Muslimin sebagai tenaga logistik, penyedia makanan dan minuman, juga ikut bertempur melawan musuh dan berhasil membunuh seorang tentara Quraisy yang bernama Hubab bin Arafah. Ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sedang beristirahat di atas bukit sambil mengobati luka-luka, tiba-tiba Khalid bin Walid dan pasukannya datang untuk kembali menyerang kaum Muslimin. Umar ibnu Khatthab segera mengerahkan pasukan yang berada di bawah pimpinannya untuk menghadang pasukan Khalid bin Walid. Melihat Umar ibnu Khatthab beserta pasukannya akan datang menghadang, maka Khalid bin Walid mengurungkan niatnya untuk menyerang kaum Muslimin. Khalid bin Walid memiliki pandangan bahwa pasukan Muslimin sudah mampu mengimbangi kekuatan pasukan Quraisy meskipun jumlah pasukan Muslimin sedikit. Dengan pertimbangan seperti itu, Khalid bin Walid mulai mengatur pasukannya untuk mundur. Mundurnya pasukan Khalid bin Walid menandai bahwa perang Uhud telah berakhir (Moenawar Chalil, 2001: 128-129). Setelah pertempuran Uhud berakhir, para perempuan Quraisy yang dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan, pergi menuju tempat bekas arena perang Uhud. Para perempuan Quraisy memperlakukan mayat-mayat pasukan Muslimin dengan kejam dan biadab karena para perempuan Quraisy tersebut menyimpan dendam kepada kaum Muslimin yang belum terpuaskan. Diantara kebiadaban yang dilakukan oleh para perempuan Quraisy tersebut adalah memotong hidung, telinga, dan anggota tubuh lainnya dari mayat pasukan Muslimin, bahkan ada
79
yang sampai merusak tubuh mayat pasukan Muslimin. Salah satu contoh dari kebiadaban perempuan Quraisy adalah perlakuan terhadap jenazah Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW. Setelah jenazah Hamzah dibelah dadanya oleh Hindun, kemudian Hindun mengambil hatinya, mengeluarkan usus dari dalam perut Hamzah dan dikalungkan ke leher Hindun bahkan Hindun mengunyah hati Hamzah untuk ditelannya, tetapi Hindun tidak sanggup menelannya lalu dimuntahkan kembali. Meskipun perang Uhud telah berakhir, tetapi Nabi Muhammad SAW masih merasa curiga terhadap gerakan mundur dari pasukan Quraisy. Nabi Muhammad SAW memiliki sebuah pendapat, tidak mungkin pasukan Quraisy yang memiliki jumlah pasukan lebih banyak daripada pasukan Muslimin tiba-tiba mengundurkan diri dan tidak mau melanjutkan peperangan dengan kaum Muslimin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyelidiki dan mengawasi gerak-gerik pasukan Quraisy. Setelah menerima perintah Nabi Muhammad SAW, Ali kemudian menyelidiki gerakgerik pasukan Quraisy dengan cara melakukan penyamaran agar tidak diketahui oleh pasukan Quraisy. Setelah selesai melakukan penyelidikan, Ali segera menghadap Nabi Muhammad SAW dan melaporkan hasil penyelidikan bahwa pasukan Quraisy sedang menuju arah selatan. Berdasarkan laporan dari Ali, Nabi Muhammad SAW yakin bahwa pasukan Quraisy akan kembali ke Makkah. Sebelum pasukan Quraisy kembali ke Makkah, mereka terlebih dahulu menguburkan teman-temannya yang tewas dalam perang Uhud. Setelah semuanya selesai, pasukan Quraisy kembali ke Makkah tanpa membawa tawanan perang seorang pun dan tidak membawa harta rampasan perang sedikit pun. Oleh karena itu, pasukan Quraisy belum bisa dikatakan menang dalam perang Uhud. Sementara itu, pasukan Muslimin masih tetap berada di Uhud. Setelah yakin bahwa pasukan Quraisy mengundurkan diri meninggalkan Uhud dan kembali ke Makkah, maka kaum Muslimin mempersiapkan diri meninggalkan Uhud untuk kembali ke Madinah. Meskipun telah mengalami kekalahan, namun pasukan Muslimin tidak dapat dikatakan kalah. Kekalahan pasukan Muslimin semata-mata bukanlah karena ketidakmampuan dalam berperang tetapi karena jumlah
80
persenjataan perang yang dimiliki sangat terbatas. Selain itu, kekalahan pasukan Muslimin dikarenakan tidak menaati perintah dari Nabi Muhammad SAW sebagai panglima perang pasukan Muslimin. Seandainya pasukan pemanah menaati perintah Nabi Muhammad SAW, maka kemenangan pasti akan diraih oleh pasukan Muslimin seperti pada saat perang Badar (Moenawar Chalil, 2001: 130132).
B. Dampak Perang Uhud Terhadap Perkembangan Ajaran Islam di Jazirah Arab Secara umum dapat dikatakan bahwa kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, namun dalam waktu singkat pasukan Muslimin telah mampu memulihkan kekuatan, bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan sebelumnya. Kaum Quraisy Makkah tidak rela membiarkan kekuatan Islam Madinah semakin berkembang sebab mereka mempunyai pandangan bahwa kekuatan Islam yang semakin meningkat dapat menjadi penghalang kepentingan sosial ekonomi dan politik kaum Quraisy. Oleh karena itu, kaum Quraisy selalu berusaha untuk menghancurkan kekuatan Islam di Madinah. Setelah perang Uhud berakhir, golongan Yahudi Bani Nadzir di usir dari Madinah karena telah melakukan pengkhianatan dan pembelotan. Sejak saat itulah, Yahudi Bani Nadzir bergabung dengan kaum Quraisy Makkah dan manjadi mata-mata bagi pihak musuh. Yahudi Bani Nadzir selalu mengawasi dan mengamati kondisi umat Islam di Madinah. Sebagian besar orang Yahudi yang diusir dari Madinah mengungsi ke wilayah Khaybar. Di Khaybar, Yahudi menghimpun kekuatan dan bersekutu dengan orang-orang Badui serta berencana untuk melakukan penyerangan terhadap Madinah. Pada tahun ketujuh hijrah, benteng pertahanan Yahudi di Khaybar dikepung oleh pasukan Muslimin hingga membuat Yahudi menyerah. Setelah Yahudi menyerah, semua golongan Yahudi baik Bani Qainuqa’, Bani Nadzir maupun Bani Quraizah secara total diusir dari Madinah. Semenjak saat itu, seluruh wilayah Madinah bebas dari pengaruh Yahudi (K. Ali, 2003: 97). Perang Uhud telah memberikan pelajaran yang penting kepada kaum Muslimin. Pelajaran tersebut berlaku sampai dengan hari Kiamat. Allah SWT
81
ingin menguji keimanan kaum Muslimin kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW melalui kekalahan yang diperoleh oleh kaum Muslimin dalam perang Uhud. Perang Uhud telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kaum Muslimin agar tidak meninggalkan perintah Nabi Muhammad SAW dalam situasi apapun (Majid ‘Ali Khan, 1985: 153-154). Selain itu, perang Uhud juga merupakan pembeda antara orang-orang beriman dengan orang kafir seperti yang telah dijelaskan di dalam Tafsir Ibnu Katsir Q.S. Ali ‘Imran ayat 121 (M. ‘Abdul Ghoffar, 2008: 125). Setelah perang Uhud, Nabi Muhammad SAW mulai melakukan berbagai pembaharuan. Nabi Muhammad SAW berhasil membentuk suatu pemerintahan kesatuan yang berpusat di Madinah. Bangsa-bangsa Arab pada saat itu masih benar-benar tersesat dalam bidang keyakinan atau kepercayaan terhadap suatu agama. Bangsa Arab masih banyak yang menyembah berhala dan meyakini segala macam tahayul. Kesesatan yang demikian berlangsung secara terus-menerus hingga datanglah Nabi Muhammad SAW yang berhasil menghapuskan seluruh bentuk kesesatan yang berkembang saat itu. Bangsa Arab mulai meninggalkan berhala dan akhirnya hanya menyembah kepada Allah SWT. Hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, yakni sekitar 2 tahun, Nabi Muhammad SAW berhasil mengubah kekafiran dan kemusyrikan bangsa Arab menjadi bangsa yang religius sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah seorang sosialis sejati. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW menyaksikan praktek eksploitasi manusia untuk kepentingan sekelompok manusia tertentu melalui praktek riba. Nabi Muhammad SAW segera mengambil langkah dengan cara mengganti riba dengan mengembangkan prinsipprinsip zakat dan sedekah sehingga distribusi kekayaan tidak hanya berkisar pada para pemilik modal saja. Nabi Muhammad SAW juga mendorong seluruh masyarakat Arab agar mencari suatu mata pencaharian tertentu untuk menunjang kebutuhan ekonomi sehari-hari. Upaya pembaharuan lainnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah penghapusan kasta sosial. Nabi Muhammad SAW menghilangkan jurang pemisah antara sesama anggota masyarakat yang hanya didasarkan pada
82
harta kekayaan, jabatan, bahkan keturunan dan warna kulit. Nabi Muhammad SAW memberikan suatu pelajaran bahwa kedudukan semua manusia adalah sama. Adapun yang paling mulia diantara manusia adalah yang paling taat kepada Allah SWT dan yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia. Nabi Muhammad SAW juga menghapuskan sistem perbudakan yang merupakan bagian integral dari sistem peradaban Arab. Nabi Muhammad SAW menetapkan sejumlah peraturan yang membantu meninggikan status para budak. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa tidak ada penghambaan diantara sesama manusia. Penghambaan yang sesungguhnya hanyalah penghambaan antara manusia dengan Allah SWT. Seringkali Nabi Muhammad SAW membeli budak untuk memerdekakannya. Aspek lain pembaharuan Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan kedudukan sosial wanita. Sebelum Islam benar-benar tumbuh di Jazirah Arab, tidak ada satu agama pun yang berusaha keras mengangkat derajat wanita. Selama ini wanita selalu diperlakukan secara hina. Di seluruh penjuru dunia, wanita hanya dijadikan sebagai pelayan bagi kaum laki-laki. Bahkan dalam bangsa Athena (Yunani), bangsa kuno yang paling berbudaya, seorang istri diperlakukan seperti budak. Melihat kondisi demikian, ajaran Islam mulai menetapkan sejumlah hak dan keistimewaan bagi wanita. Al-Qur’an secara tegas telah menyatakan bahwa wanita mempunyai hak-hak tertentu atas laki-laki sebagaimana laki-laki hak-hak tertentu atas wanita. Dalam ajaran Islam, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dalam hal pewarisan dan pemilikan harta perorangan, status wanita muslim jauh lebih tinggi kedudukannya daripada wanita-wanita non muslim. Nabi Muhammad SAW berusaha mengubah kondisi wanita yang sangat menyedihkan pada saat itu. Perlakuan yang baik dan penghormatan terhadap wanita merupakan salah satu ajaran dasar yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi berusaha memerdekakan dan membebaskan wanita dari penjajahan kaum laki-laki dengan memberikan hak untuk menentukan calon suami dan hak atas warisan kekayaan ayah atau suami yang meninggal. Nabi Muhammad SAW juga berusaha menghentikan tradisi membunuh anak perempuan sehingga kaum wanita tidak lagi menderita karena
83
kesewenang-wenangan kaum laki-laki. Pada saat itu, Jazirah Arab menjadi satu kesatuan politik di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Para penyembah berhala berbondong-bondong mulai memeluk agama Islam sehingga bangsa Arab semakin tinggi moralitasnya (K. Ali, 2003: 115-119).
C. Pengaruh Perang Uhud Dalam Perkembangan Bidang Militer Tentara Muslim Nabi Muhammad SAW adalah panglima tertinggi pasukan Islam yang turut mengambil bagian dalam 26 atau 27 kali perang dan ekspedisi. Nabi Muhammad SAW selalu memimpin pasukan Islam dalam semua pertempuran dan perang yang penting seperti perang Badar, Uhud, Hunain dan penaklukan Makkah. Sedangkan ekspedisi yang lebih kecil biasanya dipimpin oleh seorang panglima militer yang diangkat oleh Nabi Muhammad SAW. Apabila ada keperluan untuk mengirim ekspedisi militer, surat perintah dikeluarkan ke seluruh suku bangsa yang bersekutu, dan umat Islam pada umumnya bersatu untuk tujuan tersebut. Pada mulanya, pasukan Islam hanya terdiri atas beberapa kelompok kecil tentara, tetapi selama tahun-tahun terakhir dan masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, pasukan Islam berubah menjadi satu pasukan yang sangat besar. Dalam pertempuran Islam yang pertama yaitu perang Badar, pasukan Islam beranggota hanya 313 serdadu, tetapi di perang Tabuk (perang terakhir yang dilakukan Nabi Muhammad SAW) 30.000 serdadu turut mengambil bagian. Pasukan Islam dilatih untuk selalu disiplin dan semuanya diharuskan menjunjung standar moralitas yang tinggi (K. Ali dan Andang Affandi, 1995: 88-89). Nabi Muhammad SAW tidak memulai perang dengan musuh yang mana pun juga. Tujuan utama strategi perang Nabi Muhammad SAW adalah untuk mempertahankan kepercayaan terhadap ajaran Islam dan menghilangkan rintangan yang mengahalangi Nabi Muhammad SAW dalam usaha mengajarkan Islam sehingga orang-orang yang yakin akan kebenaran ajaran Islam dapat dengan bebas memeluk dan menjalankan ajaran Islam tanpa rasa takut. Tujuan strategi perang Nabi Muhammad SAW bukanlah untuk membunuh atau memusnahkan musuh Islam, tetapi menghentikan serangan musuh terhadap kaum Muslimin yang
84
ingin menjalankan kepercayaan dengan bebas. Oleh karena itu, seluruh strategi perang Nabi Muhammad SAW disusun dan direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dengan prisnsip sedikit mungkin melibatkan gerakan militer dan dengan kerugian jiwa yang sekecil mungkin (Afzalur Rahman, 2002: 43). Ketika semua usaha Nabi Muhammad SAW untuk mengadakan perdamaian gagal dan musuh mulai melancarkan serangan militer terhadap kaum Muslimin, Nabi Muhammad SAW mulai mengerahkan semua sumber daya yang ada serta perlengkapan yang dimiliki. Nabi Muhammad SAW mulai menerapkan strategi perang untuk mencapai tujuan dalam mematahkan perlawanan militer pihak musuh dengan prinsip kehilangan jiwa sedikit mungkin pada kedua belah pihak. Strategi perang Nabi Muhammad SAW didasarkan pada penyelidikan yang realistis atas kekuatan tentara musuh, baik dari segi pasukan maupun perlengkapan perang, strategi dan rencana perang, faktor geografis, medan pertempuran dan yang terpenting adalah kekuatan mental setiap pasukan. Nabi Muhammad SAW mengirim pasukan pengintai dan pasukan tempur ke daerah dekat kedudukan musuh sesuai dengan kebutuhan. Nabi Muhammad SAW juga membuat suatu unit komando untuk mencapai tujuan tertentu secara rahasia tanpa menumpahkan darah dan merusak perdamaian. Suatu unit koloni juga dibentuk untuk menyebarkan desas-desus diantara penduduk musuh untuk menurunkan moral musuh. Unit ini juga bekerja keras untuk mempesiapkan disiplin yang tinggi terhadap pasukan Islam dan semangat untuk berkorban demi kepentingan Islam (Afzalur Rahman, 2002: 44). Nabi Muhammad SAW sangat cermat dalam memilih lokasi pertempuran sehingga tidak saja meningkatkan efesiensi dan efektivitas militer tetapi juga dapat mengurangi kerugian jiwa manusia. Apabila musuh berusaha untuk melarikan diri, prajurit Muslimin diperintahkan untuk tidak mengejar musuh karena tujuan yang ingin dicapai bukanlah untuk membunuh tetapi untuk mematahkan perlawanan dan rintangan yang dilakukan oleh musuh kepada orangorang yang akan menunaikan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW lebih suka berdamai daripada meneruskan perang. Hal tersebut terbukti dengan kebijakan
85
Nabi Muhammad SAW yang lebih cenderung untuk menerapkan strategi dengan cara melakukan blokade ekonomi terhadap kaum Quraisy daripada melanjutkan peperangan dengan musuh. Kesimpulannya, strategi perang Nabi Muhammad didasarkan
pada
prinsip
kejutan,
kecepatan,
keamanan,
serangan,
dan
pengorbanan jiwa manusia yang sekecil mungkin (Afzalur Rahman, 2002: 46). Perang Uhud telah memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan militer tentara Muslim. Pasukan Muslim semakin meningkatkan kedisiplinan dalam militer. Strategi-strategi perang yang baru mulai diterapkan untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Hal tersebut dapat terlihat dalam berbagai perang yang terjadi setelah perang Uhud, misalnya dalam perang Handaq. Pada tahun 672 M, kaum Quraisy Makkah, suku-suku Badui, dan golongan Yahudi membentuk pasukan gabungan sejumlah 10.000 pasukan tempur untuk dikerahkan menggempur Madinah. Diantara gabungan pasukan tersebut terdapat 600 tentara berkuda yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Ketika Nabi Muhammad SAW menyadari akan adanya ancaman serangan dari pihak musuh, Nabi mengerahkan 3.000 pejuang muslim Madinah agar bersiap siaga menghadapi musuh. Atas dasar saran Salman al-Farisi, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk membuat sistem pertahanan dengan menggali parit besar mengintari perbatasan kota Madinah. Nabi Muhammad SAW juga memindahkan penduduk yang tinggal di luar kota Madinah untuk bertempat tinggal di dalam kota Madinah. Pekerjaan menggali parit dikerjakan oleh seluruh pasukan Madinah. Nabi Muhammad SAW juga ikut bekerja menggali parit bersama-sama dengan yang lainnya sambil mengatur strategi pertahanan perang. Pasukan Quraisy Makkah merasa heran ketika mengetahui strategi pertahanan yang dipersiapkan oleh Nabi Muhammad SAW karena strategi perang yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW belum pernah ada dalam peperangan besar bangsa-bangsa Eropa sekalipun. Pasukan gabungan Quraisy Makkah, Yahudi, dan suku-suku Badui mulai mengepung kota Madinah. Pasukan Quraisy Makkah selalu mengalami kegagalan setiap kali berusaha menyerang dan menerobos pertahanan pasukan Muslimin di dalam kota Madinah. Pasukan Quraisy memutuskan untuk menunda penyerangan terhadap kota Madinah sambil
86
memikirkan cara agar dapat menerobos masuk kota Madinah. Pasukan Quraisy mendirikan tenda-tenda di sekitar kota Madinah. Selama berhari-hari pasukan Quraisy tidak mendapatkan hasil dalam usaha menerobos kota Madinah dan melakukan penyerangan terhadap pasukan Muslimin. Pada saat persediaan bekal pasukan Quraisy mulai menipis, tiba-tiba datang serangan badai disertai hujan deras yang merobohkan tenda-tenda pasukan Quraisy dan membuat pasukan Quraisy tidak berdaya dalam menghadapi serangan badai padang pasir tersebut. Dalam kondisi kritis ini, Abu Sufyan mengambil inisiatif membubarkan pasukan gabungan agar segera kembali ke Makkah. Perang Handaq tercatat sebagai kemenangan pasukan Muslimin setelah kekalahan yang dialami pasukan Muslimin dalam perang Uhud. Operasi gabungan militer kafir Quraisy beserta Yahudi dan suku-suku Badui yang berlangsung selama berhari-hari sama sekali tidak membawa hasil. Peristiwa ini merupakan catatan buruk bagi pihak musuh sehingga menyebabkan kedudukan militer kaum Quraisy menjadi menurun dan menimbulkan dampak melemahnya kekuatan militer kaum Quraisy Makkah. Kemenangan perjuangan pasukan Muslimin dalam perang Handaq mampu membuktikan keberhasilan strategi pertahanan Nabi Muhammad SAW dalam melemahkan serangan musuh. Setelah kemenangan pasukan Muslimin dalam perang Handaq, kekuatan militer Islam semakin mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Semenjak saat itulah Islam mulai tersebar dengan pesat ke berbagai wilayah di sekitar Madinah (K. Ali, 2003: 8385).
D. Sikap Quraisy Makkah Terhadap Islam Madinah Seusai Perang Uhud Setelah perang Uhud, kaum Quraisy masih memusuhi Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin. Kaum Quraisy juga masih sangat membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yaitu ajaran Islam. Kaum Quraisy tidak menginginkan jika ajaran Islam semakin berkembang di wilayah Jazirah Arab. Kebencian yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap ajaran Islam ini justru mendorong Nabi Muhammad SAW untuk lebih meningkatkan dakwahnya.
87
Semakin sering Nabi Muhammad SAW mendakwahkan ajaran Islam, semakin besar permusuhan orang-orang Quraisy terhadap beliau dan para pengikutnya. Berbagai cara ditempuh oleh orang-orang Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW dan membendung pertumbuhan agama Islam, mulai dari bujukan, ancaman bahkan penyiksaan fisik. Banyak sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi korban kebencian kaum Quraisy. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah tentang ajaran Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Quraisy mulai tertarik untuk mengikuti kaum Muslimin. Orang-orang Quraisy yang tertarik terhadap ajaran Islam mulai berubah menjadi pengikut Islam. Sebagian bangsa Arab telah memeluk Islam, meskipun tidak sedikit pula yang menentang dan mengolok-olok Islam. Pemuka-pemuka Quraisy seperti Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash juga menyatakan diri untuk memeluk agama Islam (Hasan Ibrahim Hasan, 2002: 248). Pada kenyataannya masih ada sebagian masyarakat Arab yang menentang ajaran Nabi Muhamamd SAW. Hal tersebut dikarenakan mereka masih menganggap suci warisan agama kunonya dan mereka tidak bisa meninggalkannya. Suatu fakta yang wajar apabila sebuah agama atau ideologi yang sudah memainkan peran historisnya, terus dianut oleh masyarakat dengan penuh ketundukan bahkan dengan penuh semangat. Alasan itulah yang menjadikan kaum Quraisy Makkah banyak yang menentang ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Quraisy Makkah tidak menyadari pentingnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat menghapus ikatan suku dan menyatukan mereka menjadi satu kesatuan. Banyak orang-orang Quraisy yang berpura-pura mengikuti ajaran Islam kemudian mereka berkhianat. Golongan yang berkhianat terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW ini termasuk golongan orang-orang Musryikin. Sampai sekarang, golongan Musyrikin
masih
menentang
ajaran
Islam.
Mereka
berusaha
untuk
menghancurkan orang-orang Islam dengan berbagai cara. Kaum Quraisy sampai sekarang masih tinggal di Jazirah Arab dan mereka sudah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi golongan yang menentang Islam (Asghar Ali Engineer, 1999: 130).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perang Uhud diawali oleh adanya keinginan kaum Quraisy untuk melakukan balas dendam terhadap Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin di Madinah. Kekalahan yang dialami oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menumbuhkan kebencian kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin sehingga membuat kaum Quraisy benar-benar ingin memusnahkan Islam dari muka bumi. Berbagai macam cara dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghancurkan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. Perang Uhud terjadi pada hari pada hari Sabtu tanggal 15 Syawal tahun 3 H atau 625 M. Orang-orang Quraisy Makkah sangat berambisi untuk membalas kekalahan yang mereka alami dalam perang Badar. Pihak Quraisy mempersiapkan suatu pasukan besar dengan kekuatan 3000 serdadu untuk bertempur dalam perang Uhud. Pasukan Quraisy terdiri dari 700 pasukan infantri, 200 pasukan berkuda (kavaleri), dan 17 orang wanita. Seorang diantara wanita yang ikut dalam perang Uhud adalah Hindun bin Utbah, istri Abu Sufyan. Hindun ikut serta dalam perang Uhud karena ingin balas dendam atas kematian ayahnya yaitu Utbah yang tewas dalam perang Uhud. Pasukan Quraisy dipusatkan di suatu lembah yaitu di pegunungan Uhud, suatu pegunungan yang terletak 2 kilometer sebelah Utara kota Madinah. Nabi Muhammad SAW juga mulai mengatur pasukannya dengan menempatkan beberapa pasukan pemanah di atas bukit Uhud. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada pasukan pemanah agar tidak meninggalkan posisi mereka dalam kondisi apapun. Perang Uhud dimulai dengan perang tanding antara pasukan Muslimin dengan pasukan Quraisy kemudian dilanjutkan dengan pertempuran secara umum. Pasukan Muslimin bertempur dengan penuh semangat dalam melawan pasukan Quraisy. Pasukan Muslimin yakin
88
89
bahwa kemenangan ada di pihak mereka. Awalnya pasukan Muslimin yakin bahwa mereka telah memperoleh kemenangan. Akan tetapi, karena kelalaian para pasukan pemanah, maka secara tiba-tiba pasukan Muslimin mendapatkan serangan yang mengejutkan dari pihak Quraisy yang menyerang pasukan Muslim dari arah belakang. Akhirnya pasukan Muslimin menderita kekalahan yang besar dalam perang Uhud. Kekalahan pasukan Muslimin dikarenakan pasukan pemanah tidak mentaati perintah Nabi Muhammad SAW untuk tetap berada dalam posisi mereka. Pasukan pemanah mulai meninggalkan posisi pertahanan setelah melihat pasukan Quraisy mundur dengan meninggalkan harta benda mereka. 2. Kekalahan yang dialami kaum Muslimin dalam perang Uhud telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kaum Muslimin bahwa setiap perintah dan perkataan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kebenaran yang harus dipatuhi. Setelah perang Uhud, Nabi Muhammad SAW mulai melakukan berbagai pembaharuan.
Nabi Muhammad SAW berhasil
membentuk suatu pemerintahan kesatuan yang berpusat di Madinah. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga berhasil mengubah kekafiran dan kemusyrikan bangsa Arab menjadi bangsa yang religius sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. 3. Perang Uhud telah membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan kaum Muslimin Madinah. Setelah mengalami kekalahan dalam perang Uhud, pasukan Muslimin tidak kehilangan semangat untuk kembali bangkit menghimpun kekuatan baru dalam melawan musuh. Pasukan Muslimin semakin meningkatkan kekuatan militer mereka. Strategi-strategi perang yang baru mulai diterapkan dalam menghadapi kaum Quraisy. Salah satu strategi perang yang sangat terbukti mampu mengalahkan musuh adalah strategi perang parit yang merupakan inisiatif dari salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Salman Al-Farisi. Strategi parit mampu menjatuhkan kaum Quraisy sehingga kekalahan yang dialami oleh kaum Muslimin dapat terbalaskan oleh kemenangan kaum Muslimin dalam perang parit. Kemenangan yang diperoleh oleh kaum Muslimin dalam perang parit
90
membuat kaum Muslimin semakin percaya diri dalam menghadapi musuhmusuh Islam. 4. Perkembangan Islam yang semakin meningkat setelah perang Uhud membuat kaum Quraisy yang dahulunya menentang Islam, berbalik arah menyatakan untuk memeluk Islam. Kaum Quraisy masih ada yang berpura-pura masuk Islam dan kemudian berkhianat terhadap Nabi Muhammad SAW. Golongan ini termasuk golongan orang-orang Musyrikin. Sampai sekarang golongan ini selalu
berusaha
menentang
ajaran
Islam.
Mereka
berusaha
untuk
menghancurkan orang-orang Islam dengan berbagai cara. Kaum Quraisy sampai sekarang masih tinggal di wilayah Jazirah Arab dan mereka telah ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi golongan yang menentang Islam.
B. Implikasi 1. Teoritis Secara teorititis, konflik yang terjadi antara kaum Quraisy Makkah dengan kaum Muslimin Madinah dalam perang Uhud disebabkan karena adanya rasa ingin balas dendam dari pihak Quraisy atas kekalahan yang dialami pada saat perang Badar. Semula kaum Muslimin hampir mendapatkan kemenangan, namun tiba-tiba berubah menjadi kekalahan. Hal tersebut diakibatkan kerena faktor ketidakdisplinan dari pasukan Muslimin. Meskipun telah mengalami kekalahan dalam perang Uhud, kaum Muslimin dapat menghimpun kekuatan kembali dan berhasil membayar kekalahan yang pernah dialami pada perang Uhud dalam perang-perang selanjutnya, seperti perang Handaq. Sikap yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dalam perang Uhud merupakan penyelesaian konflik secara koersif (coercive) yaitu dengan jalan menggunakan kekerasan fisik untuk menyelesaikan permasalahan diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemenangan yang diperoleh kaum Muslimin setelah terjadinya perang Uhud telah membawa pengaruh yang besar bagi perkembangan Islam di Jazirah Arab. Islam semakin diakui kekuatannya oleh masyarakat luas dan banyak orang-orang Arab yang menyatakan diri memeluk agama Islam meskipun pada kenyataannya masih juga terdapat golongan-golongan tertentu yang menentang ajaran Islam.
91
2. Praktis Perang Uhud merupakan salah satu perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW tepatnya pada hari Sabtu tanggal 15 Syawal tahun 3 H atau 625 M. Dinamakan perang Uhud karena perang ini terjadi di suatu bukit yang bernama Uhud, kira-kira 2 kilometer dari kota Madinah. Perang Uhud merupakan suatu perang yang terjadi antara pasukan Quraisy Makkah melawan pasukan Muslim Madinah. Hal yang melatarbelakangi terjadinya perang Uhud tidak lain adalah keinginan untuk balas dendam dari pihak Quraisy terhadap kaum Muslimin karena kekalahan yang dialami oleh pihak Quraisy pada saat perang Badar. Pada awalnya pasukan Muslimin mulai mendapatkan kemenangan dalam perang Uhud. Akan tetapi, kemenangan kaum Muslimin tiba-tiba berubah menjadi kekelahan. Hal tersebut dikerenakan kelalaian dari pasukan pemanah yang berada di atas bukit
Uhud.
Sebelum
perang
dimulai,
Nabi
Muhammad
SAW
telah
memerintahkan pasukan pemanah agar tidak meninggalkan posisi mereka dalam kondisi apapun namun mereka melanggar perintah Nabi sehingga pasukan Muslimin mendapat serangan mendadak dari musuh dan akhirnya membuat pasukan Muslimin menderita kekalahan. Perang Uhud telah memberikan pelajaran yang penting bagi kaum Muslimin bahwa sabda Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kebenaran dan tidak ada keraguan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3. Metodologis Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Metode historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data atau peninggalan masa lampau. Peneliti berusaha merekonstruksi peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan perang Uhud yang terjadi pada tahun 3 Hijriah atau 625 M. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data atau fakta yang diperlukan dengan membaca buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak dikaji. Dalam penelitian ini, terdapat kesulitan pada langkah heuristik yaitu mencari dan memperoleh data terutama yang berkaitan dengan
92
perang Uhud karena jumlahnya yang tidak banyak. Peneliti mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa sumber yaitu bahasa Arab. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
Al-Qur’an
sebagai
sumber
primer
tetapi
hanya
berupa
terjemahannya.
C. Saran 1. Bagi Mahasiswa Sejarah Peneliti mengharapkan bagi mahasiswa sejarah hendaknya dapat melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai sejarah perang Uhud dalam hubungannya dengan perkembangan ajaran Islam setelah terjadinya perang Uhud. Masih banyak tema-tema penelitian yang belum diteliti berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, misalnya
penelitian
tentang
pengaruh
perjanjian
Hudaibiyah
terhadap
perkembangan Islam di Jazirah Arab, kondisi Makkah setelah penaklukan kota Makkah, peristiwa Haji Wada’ dan lain sebagainya. Hendaknya para mahasiswa lebih selektif dalam memilih tema penelitian sebelum penelitian itu dibuat. Selain itu, para mahasiswa juga disarankan untuk memperbanyak sumber data baik primer maupun sekunder yang bisa diperoleh dengan cara mengunjungi berbagai perpustakaan dan mengakses berbagai sumber dari internet.
2. Bagi Pemerintah dan Penerbit Pemerintah hendaknya memberikan kemudahan dan fasilitas yang baik bagi para mahasiswa untuk melakukan dan menulis sebuah penelitian. Misalnya, mempermudah birokrasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah penelitian. Dalam kaitannya dalam proses pembelajaran terutama mengenai perkembangan Islam, hendaknya pemerintah dan penerbit buku lebih banyak menerbitkan buku-buku tentang sejarah Islam yang berkaitan dengan segala peristiwa penting yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, misalnya bukubuku yang membahas tentang perang Uhud. Selain itu, hendaknya para penerbit buku banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah untuk dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Faris. 1988. Analisis Aktual Perang Badar dan Uhud di Bawah Naungan Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press. Abu Su’ud. 2003. Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Penerapannya Dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Afzalur Rahman. 2002. Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer. Jakarta: Amzah. Ahmad Syalabi. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid I. Jakarta: Pustaka AlHusna. Ali Moertopo. 1974. Strategi Politik Nasional. Malang: The Paragon Press. Ali, K. 2003. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ______ & Andang Affandi. 1995. Studi Sejarah Islam. Jakarta: Binacipta. Aminuddin, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Armstrong, Karen. 2001. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Surabaya: Risalah Gusti. Asmara Hadi Usman. 1994. Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah SAW, Sifat dan Organisasi yang Dimilikinya. Jakarta: Media Da’wah. Astrid S. Susanto. 1999. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Putra A. Bardin. Departemen Agama RI. 2005. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro. Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah.Yogyakarta : Logos Wacana. Duverger, Maurice. 2003. Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo. Endang Saifuddin Anshari. 1980. Agama dan Kebudayaan: Mukadimmah Sejarah Kebudayaan Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu. Engineer, Asghar Ali. 1999. Asal Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
93
94
Faridi. 2002. Agama dan Jalan Kedamaian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Goffar, M. ‘Abdul. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Gottschalk, Louis.1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gullen, M. Fethullah. 2002. Versi Terdalam: Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hadari Nawawi. 1985. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Hamka. 1983. Tafsir Al- Azhar Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas. Haryomataram, G.P.H. 1994. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Hasan Ibrahim Hasan. 2002. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Jakarta: Ombak. _______________ & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hendropuspito OC, D. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius. Horowitz, Louis Irving. 1975. Revolusi, Pembangunan. Jakarta: PT Bina Aksara.
Militerisasi
dan
Kosilidasi
Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju. _____________. 1988. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali. Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: UGM Press. Khurshid, Ahmad. 1989. Prinsip-Prinsip Pokok Islam. Jakarta: Ghalia Indonesia. Lemhamnas. 1980. Kewiraan Untuk Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia. Majid ‘Ali Khan. 1985. Muhammad SAW Rasul Terakhir. Bandung: Pustaka.
95
Maman, U. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo. Maswadi Rauf. 2000. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. May Rudy, T. 2002. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT Refika Aditama. Moenawar Chalil. 2001.Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press. Muhammad Halabi Hamdi. 2005. Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Nardhiyah Press. Muhammad Husain Haekal. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa. Nottingham, Elizabeth K. 1994. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Perlmutter, Amos. 1988. Militer dan Politik. Jakarta: Rajawali Press. Piet Ngantung. 1975. Pokok-Pokok Strategi Nasional. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Nasional. Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pruitt, Dean G. & Rubin, Jeffrey Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia. Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Sosiologi Kelompok. Bandung: CV Remadja Karya.