885
Dampak penetapan target peningkatan produksi ... (Erlania)
DAMPAK PENETAPAN TARGET PENINGKATAN PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA TERHADAP KEBUTUHAN PAKAN DAN AKTIVITAS BUDIDAYA IKAN DI PROVINSI JAWA TENGAH Erlania*) dan Zafril Imran Azwar**) *)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 E-mail:
[email protected];
[email protected] **) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1, Bogor 16154 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemerintah telah menetapkan target peningkatan produksi perikanan budidaya untuk Provinsi Jawa Tengah dalam rangka mendukung peningkatan produksi perikanan nasional sebesar 353% tahun 2010-2014 yang disuplai terutama dari perikanan budidaya. Untuk mencapai target produksi tersebut bisa dipastikan akan terjadi peningkatan kebutuhan pakan ikan untuk kegiatan budidaya. Kajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penetapan target peningkatan produksi perikanan budidaya tahun 2010-2014, terhadap kebutuhan pakan untuk kegiatan budidaya di Provinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2010 berupa data primer (hasil wawancara) dan data sekunder dari beberapa stakeholder. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan produksi budidaya dari 224.895 ton menjadi 521.484 ton pada tahun 2010-2014 (tanpa rumput laut), berdampak terhadap peningkatan kebutuhan pakan untuk kegiatan budidaya ikan dari 145.414 ton menjadi 395.557 ton pada tahun 20102014. Selain itu, juga berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi pembudidaya ikan. KATA KUNCI:
peningkatan produksi, budidaya, kebutuhan pakan, Jawa Tengah
PENDAHULUAN Provinsi Jawa Tengah dengan letak geografis antara 5°30’-8°30’ Lintang Selatan dan 108°30’111°30’ Bujur Timur, memiliki topografi alam yang bervariasi, antara lain waduk, telaga, sungai, dan rawa yang terbentuk secara alami maupun buatan, serta estuari dan pantai yang potensial untuk pengembangan kegiatan perikanan budidaya. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, saat ini luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan budidaya mencapai 43.040,75 ha, di mana kegiatan budidaya didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang berjalan dan berkembang cukup pesat. Hal ini dapat terlihat dari produksi perikanan budidaya yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti pada Tabel 1. Semenjak pelaksanaan FAO Technical Conference on Aquaculture di Kyoto tahun 1976, perikanan budidaya telah melalui perubahan yang besar, yaitu perkembangan dari aktivitas rumah tangga menjadi usaha budidaya skala komersial (Silpachai, 2001).Ditetapkannya target peningkatan produksi perikanan nasional hingga 353% pada tahun 2014 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang merupakan program utama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015. Peningkatan produksi salah satunya akan berdampak pada peningkatan kebutuhan pakan untuk kegiatan budidaya. Peningkatan kebutuhan pakan dapat menyebabkan peningkatan volume impor bahan baku pakan, karena industri pakan komersil sangat tergantung dengan bahan baku impor, seperti tepung ikan, tepung bungkil kedelai, poultry by product meal, meat bone meal dan tepung cumi, gandum, minyak ikan, minyak cumi, lesitin dan vitamin (Azwar et al., 2010). Besarnya penggunaan bahan-bahan impor dalam formulasi pakan komersil merupakan salah satu penyebab mahalnya harga pakan. Jika kenaikan harga pakan tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, akan menyebabkan terganggunya keberlanjutan usaha budidaya terutama di tingkat petani, karena biaya operasional budidaya sebagian besar adalah dari biaya pakan.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
886
Tabel 1. Peningkatan produksi perikanan budidaya di Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 – 2009 (ton) Tahun
Kegiatan budidaya Kolam Tambak Laut Keramba Kolam sawah Lainnya Total Sumber:
2006
2007
2008
2009
20.805,68 50.123,02 2.531,75 7.022,00 3.985,12 16,99
34.619,81 67.819,24 1.853,99 7.663,77 2.050,98 -
45.301,31 68.395,84 2.249,00 10.480,04 2.279,59 -
55.060,19 73.032,98 2.933,80 12.492,35 1.495,89 -
84.484,55 114.007,79 128.705,77 145.015,21 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah
Kajian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penetapan target peningkatan produksi perikanan nasional tahun 2010-2014, terhadap kebutuhan pakan untuk kegiatan perikanan budidaya di Provinsi Jawa Tengah. BAHAN DAN METODE Kajian ini berlokasi di Provinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data telah dilakukan pada bulan September 2010. Data yang diambil terdiri atas data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa stakeholder antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, kelompok pembudidaya ikan, dan kelompok usaha pakan mandiri, serta data sekunder dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (DJP2HP), Direktorat Jenderal Pertanian (bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan pengolahan hasil pertanian), serta Biro Pusat Statistik (BPS). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL DAN BAHASAN Proyeksi Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya dan Kebutuhan Pakan Target peningkatan produksi perikanan nasional telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 353% sampai dengan tahun 2014 yang dirinci untuk beberapa komoditas utama. Target peningkatan produksi nasional tersebut diturunkan menjadi target peningkatan produksi perikanan budidaya untuk setiap Provinsi se-Indonesia, termasuk Provinsi Jawa Tengah seperti yang tersaji pada Tabel 2. Persentase peningkatan produksi dihitung dari produksi tahun 2009 yang diuraikan menjadi target kenaikan produksi per komoditas per tahun, dari tahun 2010-2014. Pada tahun 2008, Jawa Tengah menjadi Provinsi penghasil produk budidaya urutan ke-5 terbesar di Indonesia, khususnya untuk komoditas air tawar dengan volume produksi mencapai 44.334 ton dan air payau 67.819 ton (Anonimous, 2009). Berdasarkan data pada Tabel 2, komoditas dengan target peningkatan produksi tertinggi hingga tahun 2014 adalah ikan lele dan nila, setelah rumput laut di urutan pertama. Kedua komoditas tersebut merupakan jenis ikan budidaya air tawar. Kondisi sebelum tahun 1993 menunjukkan bahwa 21% kebutuhan ikan untuk konsumsi manusia di seluruh dunia berasal dari perikanan budidaya, dan 65% dari total produksi budidaya dunia berasal dari budidaya air tawar (Josupeit, 1995). Namun kondisi sebaliknya yang terjadi pada tahun 2009, di mana produksi budidaya air tawar di Indonesia hanya 20,85%, sedangkan 79,14% merupakan produksi budidaya air payau dan laut (DJPB, 2009). Menurut data DJPB (2009), produksi perikanan budidaya nasional pada tahun 2009 didominasi oleh rumput laut dengan volume produksi mencapai 2.963.556 ton yakni 62,94% dari total produksi
887
Dampak penetapan target peningkatan produksi ... (Erlania) Tabel 2. Proyeksi peningkatan produksi perikanan budidaya per komoditas, Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014 terhadap produksi tahun 2009
Udang windu Udang vaname Rumput laut Kerapu Bandeng Kakap Nila Patin Mas Gurame Lele Lainnya Sumber:
Target peningkatan produksi (ton)
Produksi (ton)
Komoditas
2009
2010
6.200,00 1.600,00 15.000,00 5,00 48.340,41 34,84 19.999,57 600,00 6.000,31 6.000,31 42.000,00 39.521,86
6.250,00 4.000,00 20.000,00 7,00 58.899,99 37,87 44.999,78 1.299,91 7.499,82 7.000,36 48.700,00 46.200,00
2011
2012
2013
2014
6.400,00 7.099,74 8.469,76 12.500,06 4.000,00 4.000,00 5.000,14 6.500,30 60.000,00 100.000,00 150.000,00 200.000,00 10,00 10,86 14,00 20,00 71.600,02 84.099,73 96.700,28 111.800,16 41,66 49,23 56,61 64,38 65.000,30 85.999,99 111.799,74 125.999,80 3.399,70 5.800,24 9.899,91 16.800,02 7.999,59 8.599,85 9.300,00 10.000,09 7.500,02 7.799,51 8.100,33 8.499,80 62.700,31 84.900,21 114.800,50 154.300,23 52.800,00 66.099,80 73.999,78 74.999,50
Ditjen Perikanan Budidaya (2011)
budidaya, setelah itu, diikuti oleh produksi bandeng (6,97%); nila (6,87%); mas (5,29%); dan komoditas lainnya. Demikian pula dengan target produksi yang ditetapkan hingga tahun 2014, rumput laut diharapkan akan menjadi penyumbang produksi budidaya terbesar. Sementara itu, komoditas budidaya dengan produksi tertinggi untuk Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah ikan bandeng dan lele masing-masing 48.340 ton dan 42.000 ton. Namun pada tahun 2014 rumput laut tetap menjadi komoditas dengan target produksi tertinggi pada Provinsi ini, yaitu 200.000 ton yakni 28% dari total target produksi budidaya sebesar 721.484 ton (Gambar 2), kemudian diikuti oleh lele dan bandeng masing-masing 154.300 ton dan 126.000 ton (Tabel 2).
Produksi perikanan budidaya (ton)
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut khususnya di kabupaten Brebes dan Jepara. Hal ini terlihat pada besarnya produksi rumput laut tahun 2009 dan produksi yang ditargetkan sampai dengan 2014. Rumput laut merupakan komoditas andalan yang diharapkan
1.400,000
Total produksi
1.200,000
Produksi tanpa rumput laut dan komoditas lainnya
1.000,000 721,484
800,000
588,141
600,000 400,000 185,302 200,000 170,302 0,000 2009
454,46 341,452 244,895 224,895
281,452
354,46
2010
2011
2012
438,141 521,484
2013
2014
Tahun
Gambar 1. Target peningkatan produksi perikanan budidaya (produksi total dan produksi tanpa rumput laut dan komoditas lainnya/yang tidak teridentifikasi) Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
888
dapat mendongkrak pencapaian target produksi budidaya yang telah ditetapkan baik di Provinsi Jawa Tengah maupun secara nasional. Target produksi rumput laut nasional yang direncanakan mencapai 10 juta ton pada tahun 2014. Dampak Penetapan Target Peningkatan Produksi Terhadap Kondisi Usaha Budidaya Berbagai permasalahan muncul pada tingkat petani/pembudidaya ikan terkait adanya penetapan target peningkatan produksi, khususnya dari perikanan budidaya. Harga pakan komersil yang mahal menyebabkan meningkatnya biaya operasional budidaya sehingga petani membutuhkan modal yang lebih besar jika produksi harus dipacu untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa volume pakan yang dibutuhkan untuk kegiatan budidaya di Provinsi Jawa Tengah meningkat dari 145.414 ton pada tahun 2010 menjadi 394.557 ton pada tahun 2014. Hal ini menggambarkan kebutuhan pakan untuk daerah tersebut meningkat hingga 271% dalam rentang waktu 5 tahun, yang berarti para pembudidaya juga membutuhkan modal 271% lebih besar hanya untuk biaya pakan jika target produksi yang ditetapkan pemerintah harus tercapai dalam rentang waktu tersebut. Sedangkan mahalnya harga pakan tidak seimbang dengan nilai jual ikan, terutama ikan-ikan air tawar. Peningkatan kebutuhan pakan untuk usaha budidaya di Provinsi Jawa Tengah, secara tidak langsung menyebabkan peningkatan impor bahan baku oleh industri pakan komersil, karena 90% kebutuhan pakan disuplai oleh industri pakan skala besar yang membutuhkan bahan baku secara berkelanjutan dan berkualitas (Azwaret al., 2010). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2009), nilai impor bahan baku pakan pada tahun 2008 mencapai US$ 132.367.966,81. Oleh karena itu, pabrik pakan lebih banyak menggunakan bahan baku pakan yang diimpor dari luar negeri. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan yang menyebabkan industri pakan lebih memilih untuk menggunakan sebagian bahan-bahan yang diimpor dari luar, antara lain tidak tersedianya bahan-bahan tersebut di dalam negeri; bahan tersedia namun kuantitas dan kualitasnya lebih rendah dibandingkan bahan impor; bahan tersedia dengan kualitas yang baik namun kontinuitas tidak terjamin, sementara itu proses produksi harus terus berjalan sesuai dengan kapasitas produksi yang tersedia. Namun demikian beberapa bahan baku pakan yang tersedia di dalam negeri dengan kualitas di bawah bahan impor masih dapat digunakan untuk pakan ikan, khususnya untuk pakan ikan air tawar.
200.000
450.000 400.000
175.000 394.557 150.000 314.524
300.000
125.000
250.000
242.794
100.000
200.000
188.631
75.000
350.000
150.000
145.414 50.000
100.000
25.000
50.000
-
201 0
201 1
201 2
201 3
Total kebutuhan pakan (Ton)
Kebutuhan pakan per komoditas (Ton)
Di Provinsi Jawa Tengah terdapat beberapa sentra industri tepung ikan antara lain Tegal, Pekalongan dan Kendal. Tepung ikan lokal memiliki kandungan protein bervariasi antara31,31% hingga 55,51% dan umumnya kurang dari 45% (Azwar et al., 2010). Berdasarkan kisaran kandungan protein tersebut,
201 4
Tahun Udang Windu 1,6 80% Kakap 2,0 100% Gur ame 1 ,8 50%
Udang Va name 1 ,4 80% Nila 1,6 60 % Lele 1,1 100%
Ker apu 2,0 10 0% Patin 1,4 1 00% Tota l
Ban deng 1,8 20% Mas 1,5 60%
Gambar 2. Prediksi peningkatan kebutuhan pakan untuk kegiatan budidaya Provinsi Jawa Tengah tahun2010-2014
889
Dampak penetapan target peningkatan produksi ... (Erlania)
tepung ikan lokal umumnya tergolong dalam kelas tepung ikan mutu III (kadar protein minimal 45%) berdasarkan SNI Tepung Ikan/Bahan Baku Pakan No. 01-2715-1996/Rev.92. Dengan kualitas yang demikian, untuk memenuhi kebutuhan protein dalam pembuatan pakan ikan air tawar cukup dengan menggunakan tepung ikan lokal. Saat ini tren dalam pembuatan formulasi pakan ikan mengarah kepada upaya meminimalisir penggunaan tepung ikan, terutama ikan air tawar (Azwar & Rostika, 2010). Untuk pakan ikan air tawar penggunaan tepung ikan berkisar antara 8%-15%. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakan Provinsi Jawa Tengah hingga 394.557 ton pada tahun 2014 (Gambar 2), maka kebutuhan tepung ikan untuk Provinsi tersebut mencapai 31.565-59.184 ton. Selain itu, upaya peningkatan produksi masih terkendala karena masih kurangnya ketersediaan pasar yang menampung kelebihan produksi ikan-ikan budidaya, terutama pasar lokal yang sangat dibutuhkan oleh pembudidaya dengan skala usaha menengah ke bawah. Akibatnya jika suplai ikan ke pasar berlebih, harga jual ikan menjadi turun, sementara pembudidaya telah mengeluarkan biaya operasional budidaya yang tinggi akibat mahalnya harga pakan. Lain halnya dengan pembudidaya kecil, usaha budidaya skala besar/perusahaan mungkin tidak terlalu merasakan kurangnya ketersediaan pasar. Mahalnya harga pakan menyebabkan bermunculannya usaha-usaha pakan mandiri di tingkat pembudidaya maupun kelompok pembudidaya, terkait dengan upaya masyarakat untuk mendapatkan pakan dengan harga murah, walaupun kualitas pakan yang dihasilkan masih belum memenuhi standar yang diharapkan. Usaha pakan mandiri yang dimaksud adalah pembuatan pakan ikan sendiri oleh pembudidaya/kelompok menggunakan bahan-bahan baku lokal yang tersedia di sekitar lokasi budidaya, dan pakan yang dihasilkan digunakan sendiri maupun dijual kepada anggota kelompok dengan harga yang relatif murah. Adapun jenis-jenis bahan baku lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan pakan ikan antara lain ikan rucah, tepung ikan lokal, jagung, kedelai, darah sapi, dan lain-lain seperti pada Tabel 3. Ketersediaan bahan-bahan baku lokal pada masing-masing daerah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan baku impor. Hasil penelitian Suhenda et al. (2010) menunjukkan bahwa penggunaan tepung jagung fermentasi sebanyak 20% dalam ransum ikan mas tidak memperlihat gangguan terhadap laju pertumbuhan. Tepung bungkil inti sawit juga dapat digunakan dalam campuran pakan nila hingga 20% (Azwar & Rostika, 2010),
Tabel 3. Potensi bahan baku pakan lokal spesifik lokasi di Provinsi Jawa Tengah Bahan baku Dedak Jagung Biji karet (isi) Kedelai Kulit buah coklat Kulit ubi kayu Darah sapi Tepung ikan
Potensi
Satuan
4.259.6671 Ton/kering/tahun 2.239.4611 Ton/kering/tahun 609.983.4382 Ton/tahun 3 160.333 Ton/tahun 1.8312 Ton/segar/tahun 770.5693 Ton/segar/tahun 4 819.425 Liter segar/tahun 7.1051 Ton/kering/tahun
Sumber: 1. Peta potensi bahan baku pakan lokal, Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia Ditjen Peternakan TA. 2007 2. Statistik Perkebunan 2009-2011, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (konversi data luas area TM karet tahun 2009) 3. Biro Pusat Statistik, Jakarta, 2010 4. Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian, 2011
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
890
serta menurut Haetami & Sastrawibawa (2008), penggunaan tepung Azzolla pinata sebanyak 14,5% dalam pakan ikan bawal air tawar tidak menganggu kecernaan bahan kering pakan dan protein. Peningkatan produksi perikanan nasional yang ditargetkan oleh pemerintah akan dapat dicapai, jika didudkung dengan ketersediaan sarana dan prasarana budidaya yang lebih baik. Satu hal yang sangat diharapkan oleh para pembudidaya yaitu ketersediaan pakan ikan yang “murah” (pakan yang efisien dengan harga yang terjangkau), dalam artian biaya pakan yang dikeluarkan sesuai dengan nilai produksi atau profit yang dihasilkan, sehingga dengan adanya peningkatan produksi juga meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan. KESIMPULAN 1. 2. 3. 4.
Mahalnya harga pakan komersial membutuhkan perhatian dari pemerintah agar usaha budidaya ikan di masyarakat dapat berjalan dan berkesinambungan Dengan adanya peningkatan produksi, maka pemerintah harus menyiapkan pasar untuk menampung kelebihan produksi ikan dari pembudidaya Peningkatan kebutuhan pakan menyebabkan peningkatan nilai impor bahan baku pakan oleh industri pakan komersil Usaha pakan mandiri yang dikelola oleh pembudidaya sendiri membutuhkan bimbingan dalam teknologi pembuatan pakan, sehingga pakan yang dihasilkan kualitasnya lebih baik.
DAFTAR ACUAN Anonimous. 2009. Indonesian Fisheries Book 2009. Co-operation between Ministry of Marine Affair and Fisheries (MMAF) – Japan InternationalCooperation Agency (JICA), 84 pp. Azwar, Z.I. & Rostika, R. 2010. Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Bahan Baku Pakan Ikan dan Udang. Disampaikan dalam Semi-loka Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan, 26 Oktober 2010. Bogor, 16 hlm. Azwar, Z.I., Praseno, O., Kristanto, A.H., Sudradjat, A., Erlania, & Heptarina, D. 2011. Kebutuhan Pakan dan Kebijakan Pengembangan Industri Pakan dalam Menunjang Usaha Budidaya Perikanan. Analisis Kebijakan Perikanan Budidaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). 2009. Statistik Budidaya: Produksi 2009. http:// www.perikanan-budidaya.kkp.go.id. Diakses tanggal 8 Juli 2011. Haetami, K. & Sastrawibawa, S. 2008. Evaluasi Kecernaan Tepung Azolla (Azolla pinnata) dalam Ransum Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum, Cuvier 1818). J. Bionatura, 7 (3): 225-233. Josupeit, H. 1995. Aquaculture Production and Trade World Wide Survey. CIHEAM - Options Mediterraneennes. FAO. Rome, Italy, p. 9-28. Silpachai, D. 2001. The Bangkok Declaration and the Strategy for Aquaculture Development Beyond 2000: The Aftermath. RAP Publication 2001/20. FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok, Thailand, 84 pp. Suhenda, N., I. Melati dan A. Nugraha. 2010. Proses Fermentasi Tepung Jagung dan Penggunaannya dalam Pakan Ikan Mas,Cyprinus carpio. Prosiding Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur III, IPB International Convention Center. Bogor. hlm. 54-65.