1
Dampak Optimisme pada Perempuan dengan HIV Aprillia Ramadhin Said
ABSTRAK Jumlah Kasus Perempuan dengan HIV di Indonesia semakin bertambah, sedangkan terdapat beberapa permasalahan yang dialami oleh perempuan dengan HIV. Permasalahan ini yang menjadi sumber stres. Stres pada ODHA dapat menyebabkan berkembangnya HIV dalam tubuh, menurunkan imunitas serta memperburuk kesehatan dengan semakin parahnya penyakit ikutan (infeksi oportunistik) yang dapat berujung pada kematian. Tujuan : untuk memberi informasi mengenai dampak optimisme pada perempuan dengan HIV khususnya dalam kemampuan melakukan coping stress dan mengurangi resiko masalah kesehatan. Metode yang digunakan: studi literatur. Kesimpulan: berdasarkan dari hasil penelitian-penelitian dan beberapa sumber, diketahui bahwa optimisme memampukan seseorang untuk menilai kejadian yang menekan secara positif dan membantu memobilisasi sumber dayanya untuk mengambil langkah dalam menghadapi stresor (sumber stress), dapat membuat seseorang menunjukkan respon imun positif yang lebih kuat ketika berada di bawah stres, dapat mengurangi resiko masalah kesehatan. Kata Kunci: Perempuan, HIV, Optimisme, Permasalahan, Coping, Stress. Daftar Pustaka: 12, 1997-2011. ABSTRACT The number of cases women with HIV in Indonesia is increasing, while there are several problems experienced by women with HIV. This problem could become a source of stress (stressor). Stress on people with HIV/AIDS (ODHA) may cause a worsening health in patients, lowering immunity and aggravate health with the opportunistic infection that can lead to death. Purpose of this paper, to give information about the impact of optimism in women with HIV especially in the ability coping with stress and reduce the risk of health problems. Methods used in this paper is literature study. Conclusion of this study are: based on the results of some research, known that the optimism allow someone to assess positively, and help mobilize its resources to take steps in the face of stressor (source of stress), can make positive immune response under stress, reduce the risk of health problems. Keywords: Women, HIV, Optimism, Problems, Coping, Stress. Bibliography : 12, 1997-2011.
2
Pendahuluan Berdasarkan informasi dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 (dalam Nurrachman, 2010), jumlah kasus perempuan yang hidup dengan Human Imunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. HIV merupakan retrovirus yang menurunkan kemampuan sistem imun (Morgan dan Carole, 2009). Kasus HIV pada perempuan ini meningkat sampai 5,5 kali dalam lima tahun terakhir, sedangkan pada laki-laki yang angka peningkatannya hanya 3,5 kali (Depkes RI, 2010, dalam Nurrachman, dkk., 2011). Selain itu, Dalimoenthe (2011) dalam penelitiannya menuliskan bahwa diantara 1,7 juta perempuan Asia yang telah tertular HIV, hampir semuanya yaitu sebanyak 90% dari perempuan-perempuan tersebut tertular dari suami atau pasangan tetap mereka (Dalimoenthe, 2011). Jumlah peningkatan kasus yang lebih tinggi pada perempuan dan tingginya presentase perempuan yang tertular HIV dari suami atau pasangan tetap ini, membutuhkan perhatian khusus. Hal ini dikarenakan selama ini mereka tidak mendapatkan perhatian, karena mereka bukan merupakan orang-orang/ perempuan yang termasuk kedalam kelompok orang yang beresiko tinggi terinfeksi HIV seperti pekerja seks ataupun pengguna obat terlarang dengan jarum suntik (Nurrachman, dkk., 2010). Perempuan-perempuan yang terinfeksi HIV dari suaminya ini, memiliki tanggungan masalah sosial dan mental yang lebih berat, seperti keharusan untuk mengurusi dan menjaga kesehatan suami dan anaknya yang juga terinfeksi HIV, mengurusi pekerjaan rumah tangga, mencari pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang dilakukan agar suami, anak dan dirinya mendapat terapi antiretroviral (ARV) yang diketahui dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Nurrachman, dkk., 2010). Masalah-masalah yang dialami perempuan dengan HIV dapat menjadi tekanan, yang kemudian dapat menjadi sumber stres (stressor) dan dapat berdampak pada penurunan kesehatan perempuan dengan HIV tersebut. Stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi, dan lain-lain (Sunaryo, 2004). Evans, et al. (1997) dalam penelitiannya menemukan bahwa semakin parah stres kehidupan yang dialami oleh ODHA,
3
maka semakin besar resiko berkembangnya infeksi HIV dalam tubuh, selain itu tingginya stres parah yang dialami ODHA dapat meningkatkan peluang berkembangnya infeksi HIV tersebut hampir sebanyak 4 kali lipat (Evans, et al., 1997). Penurunan kesehatan ini tentunya juga akan berdampak pada kemungkinan lebih parahnya penyakit ikutan (infeksi oportunistik) yang di alami oleh perempuan dengan HIV karena semakin menurunnya imunitas tubuh, dan dapat berujung pada kematian. Dengan adanya tekanan-tekanan yang dialami oleh perempuan dengan HIV, tentunya diperlukan respons untuk mengatasi ataupun menyesuaikan keadaan psikologis terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tekanan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan coping terhadap stres atau tekanan-tekanan yang dialami oleh perempuan dengan HIV. Dalam menghadapi tekanan-tekanan yang dialami oleh perempuan dengan HIV tersebut dapat dilakukan dengan optimisme. Carver and Michael (2003) menyatakan bahwa seseorang yang optimis akan berasumsi bahwa kesulitan tersebut dapat ditangani dengan sukses, hal ini berimplikasi penting untuk bagaimana seseorang mengatasi stres (Carver and Scheier, 1999, dalam Carver and Michael, 2003). Selain itu, optimisme dapat membuat seseorang dapat menilai secara positif mengenai kejadian yang menekan dan membantu dalam mengambil langkah untuk menghadapi sumber stres (stressor) (Nurrachman, dkk., 2011). Optimisme disposisional (dispositional optimism) adalah harapan dunia bahwa masa depan akan membawa karunia hal baik dan minimnya hal-hal buruk (Scheier and Carver, 1992, dalam Baumgardner and Marie, 2009). Seseorang yang optimis tentunya akan lebih mudah untuk berubah dalam menyesuaikan diri terhadap stres (Nurrachman, dkk., 2011), yang tentunya apabila seseorang dapat mengatasi stresnya secara tidak langsung juga dapat meningkatkan harapan hidup dan mengurangi jumlah kematian.
4
Pembahasan Saat ini bidang ilmu psikologi telah banyak mengkaji aspek optimisme. Kajian ini di lakukan melalui berbagai penelitian, baik penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif. Berdasarkan beberapa penelitian dan tulisan dari beberapa sumber yang ditemukan, dapat diketahui bahwa optimisme memiliki dampak pada kesehatan. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan beberapa penelitian dan tulisan, seperti yang dituliskan oleh Scheier and Carver (1992) (dalam Baumgardner and Marie, 2009) optimisme dapat mengatasi stres dengan lebih efektif dibandingkan dengan pesimisme. Selain itu, optimisme ini mungkin memampukan seseorang untuk menilai kejadian yang menekan secara positif dan membantu memobilisasi sumber dayanya untuk mengambil langkah dalam menghadapi stresor (sumber stress) (Baumgardner and Marie, 2009). Optimis juga dapat melindungi diri dari reaksi emosional negatif yang kuat yang mungkin dapat menurunkan tingkat kepercayaan dan mengganggu efektifitas coping (Carver and Scheier, 2002b, dalam Baumgardner and Marie, 2009). Dispositional optimism terkait dengan berbagai indeks kesehatan. Individu yang memiliki skor tinggi pada pengukuran optimisme disposisional (yang diukur dengan Life Orientation Test) memiliki laporan yang lebih sedikit mengenai keluhan mengalami depresi, dapat lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif, dan lebih sedikit menunjukkan gejala fisik di bandingkan dengan pesimis (Reivich and Jane, 2003). Sumber lain menyatakan seseorang yang optimis tentunya akan mudah berubah untuk menyesuaikan diri terhadap stres, dan memiliki tekanan darah yang lebih rendah. Optimisme ini juga dapat membantu seseorang menahan sakit (Nurrachman, dkk., 2011). Dispositional optimism (optimisme disposisional) merupakan konsep yang sering disebut ketika berkaitan dengan cara seseorang menghadapi masalah (coping). Seseorang yang optimis cenderung lebih menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah, daripada seseorang yang pesimis. Ketika coping berfokus pada masalah (problem focused coping) bukan sebuah kemungkinan, seorang yang optimis beralih pada strategi coping berfokus pada emosi yang lebih adaptif seperti dengan penerimaan dan penggunaan humor (Peleg, et al., 2009). Dispositional optimism merupakan sebuah konstruk yang mencoba untuk mempelajari optimisme melalui keyakinan langsung yang dimiliki individu tentang peristiwa kehidupan di masa depan. Pandangan ini disebut dalam literatur sebagai "optimisme disposisional" atau
5
"model kepercayaan langsung" ini diukur secara langsung dengan menggunakan langkahlangkah seperti Life Orientation Tes-Revision (LOT-R) (Carver, et al., 1994, dalam Rabiega and Brooke, 2004). Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa seorang yang optimis menikmati kesehatan yang umumnya lebih baik daripada pesimis, hal ini dikarenakan optimis berharap bahwa lebih banyak hal baik akan terjadi pada mereka daripada yang buruk, sedangkan pesimis mengharapkan yang sebaliknya (Baumgardner and Marie, 2009). Optimisme ini dapat meminimalkan keparahan penyakit, juga dapat mempercepat pemulihan, dan dapat membuat kambuhnya suatu penyakit menjadi kecil kemungkinannya (Chang, 2001). Seorang yang optimis sangat mungkin menunjukkan respon imun positif yang lebih kuat ketika seseorang berada di bawah stres dibandingkan dengan pesimis (Segerstrom, et al., 1998, dalam Baumgardner and Marie, 2009). Hubungan antara optimisme dan emosi positif disarankan, hal ini berdasarkan fakta bahwa optimis diduga memberikan hasil yang baik. Sikap ini mungkin berkontribusi pada kondisi pikiran positif, yang dapat menjadi sumber yang berguna di saat stres atau sakit (Baumgardner and Marie, 2009). Selain itu, Taylor et al. (1992) dalam Chang (2001) menemukan hubungan antara optimisme dan kesejahteraan psikologis antara kohort laki-laki gay dan biseksual yang beresiko Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Di antara orang-orang yang seropositif (HIV+) serta mereka yang seronegatif (HIV-) optimisme yang lebih besar dikaitkan dengan rendahnya tingkat tekanan psikologis, yang berikutnya diukur dengan indeks komposit dari dampak negatif dan oleh kekhawatiran tertentu dan kekhawatiran tentang AIDS (Chang, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Kivimaki, et al. (2005) yang berjudul Optimism and Pessimism as Predictors of Change in Health After Death or Onset of Severe Illness in Family. Para penulis secara prospektif meneliti perubahan kesehatan setelah peristiwa besar dalam hidup (terjadinya kematian atau timbulnya penyakit parah dalam keluarga). Temuan ini menunjukkan bahwa optimisme dapat mengurangi risiko masalah kesehatan dan mungkin terkait dengan pemulihan lebih cepat setelah peristiwa besar dalam hidup (Kivimaki, et al., 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu manfaat dari optimisme adalah dapat mengurangi resiko masalah kesehatan, selain itu optimisme juga memiliki kemungkinan dalam kaitannya dengan pemulihan seseorang yang leih cepat setelah seseorang tersebut mengalami peristiwa
6
besar dalam hidupnya seperti terjadinya kematian ataupun timbulnya penyakit yang parah dalam keluarga. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian dan beberapa sumber penulisan, diketahui bahwa optimisme dapat mengatasi stres dengan lebih efektif, memampukan seseorang untuk menilai kejadian yang menekan secara positif dan membantu memobilisasi sumber dayanya untuk mengambil langkah dalam menghadapi stresor (sumber stres), dapat membuat seseorang menunjukkan respon imun positif yang lebih kuat
ketika berada di bawah stres, dapat
mengurangi resiko masalah kesehatan, dan optimisme ini memiliki kemungkinan dalam kaitannya dengan pemulihan seseorang yang lebih cepat setelah mengalami peristiwa besar seperti terjadinya kematian ataupun timbulnya penyakit yang parah dalam keluarga. Berbagai dampak optimisme pada kesehatan ini menunjukkan bahwa optimisme penting untuk dimiliki oleh ODHA khususnya perempuan dengan HIV yang memiliki berbagai permasalahan terkait infeksi HIV yang dialaminya.
Kesimpulan HIV dapat memunculkan berbagai permasalahan pada perempuan, khususnya perempuan yang terinfeksi HIV dari suaminya. Permasalahan-permasalahan tersebut seperti keharusan untuk mengurusi dan menjaga kesehatan suami dan anaknya yang juga terinfeksi HIV, mengurusi pekerjaan rumah tangga, serta mencari pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang dilakukan agar suami, anak dan dirinya mendapat terapi antiretroviral (ARV). Permasalahan-permasalahan tersebut dapat menjadi sumber stres (stressor). Stres yang dialami oleh perempuan dengan HIV ini dapat berdampak pada semakin berkembangnya HIV dan penurunan imunitas tubuh, serta dapat memperparah penyakit ikutan (infeksi oportunistik) pada perempuan dengan HIV yang dapat berujung pada kematian. Optimisme yang berdampak pada kemampuan seseorang dalam melakukan coping atau mengatasi stres (tekanan) dan pada kesehatan ini diharapkan dapat membantu perempuan dengan HIV untuk mengatasi permasalahannya serta membantu perempuan dengan HIV untuk memiliki kesehatan yang lebih baik. Dengan kesehatan yang lebih baik pada ODHA khususnya perempuan dengan HIV, diharapkan dapat menurunkan tingkat kematian ODHA di Indonesia.
7
Saran Adapun saran dari penulisan ini adalah: 1. Bagi orang dengan HIV/ AIDS (ODHA), diharapkan dapat mengerti dan memahami mengenai dampak optimisme pada kesehatan ODHA, sehingga dapat memunculkan kesadaran akan pentingnya sikap optimisme dalam diri mereka. 2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan studi literatur ini dapat menjadi salah satu informasi untuk kepentingan penelitian selanjutnya dalam mengkaji optimisme.
8
Daftar Pustaka Baumgardner, Steve R. and Marie K. Crothers. (2009). Positive Psychology. New Jersey: Pearson Education. Carver, Charles S. and Michael Scheier. (2003). Positive Psychological Assessment: a Hand Book of Models and Measures. 1st Edition. Washington: American Psychological Association. Chang, Edward C. (2001). Optimism& Pessimism: Implication for Theory, Research, and Practice. Washington DC, US: American Psychological Association. Dalimoenthe, Ikhlasiah. (2011). Perempuan dalam Cengkeraman HIV/AIDS: Kajian Sosiologi Feminis Perempuan Ibu Rumah Tangga. Jurnal Komunitas. Vol. 5. No. 1. 41-48. Evans, Dwight L., et al. (1997). Severe Life Stress as a Predictor of Early Disease Progresson in HIV Infection. American Journal of Psychiatry. Vol. 154: 5. Kivimaki, Mika., et al. (2005). Optimism and Pessimism as Predictors of Change in Health After Death or Onset of Severe Illness in Family. Journal of Health Psychology. Vol. 24. No. 4. 413–421. American Psychological Association. Morgan, Geri dan Carole Hamilton. (2009). Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik, Terjemahan: Syamsi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Nurrachman., dkk. (2011). Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia. Cet. Ke-1. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya. Peleg, Gil., et al. (2009). Hope, dispositional optimism and severity of depression following traumatic brain injury. Jurnal Kesehatan (Brain Injury). Vol. 23. No. 10. PP. 800808.Purnawingsih dan Widayatun. (2008). Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia: Tinjauan Sosio Demografis. Jurnal. Vol. III, No. 2. Rabiega, Joseph and Brooke J. Cannon. (2004). The Relationship of Optimism With Physical Well-Being. Artikel (Online). Marywood University. Diakses dari alpha.fdu.edu/psychweb/Vol16-17/Rabiega.pdf Reivich, Karen and Jane Gillham. (2003). Positive Psychological Assessment: a Hand Book of Models and Measures. 1st Edition. Washington: American Psychological Association. Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.