1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Terobosan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
2
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan
Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun. Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan sumber daya hayati. Situasi ini menunjukkan betapa laju kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di negeri kita berlangsung dalam kecepatan yang lebih tinggi dibanding laju pencegahan dan pemulihannya. Menurut kalangan akademisi dan penggiat lingkungan salah satu penyebabnya adalah masalah kelembagaan atau masalah struktural. Maksudnya, krisis ekologi yang melanda di sekitar kita muncul karena kebijakan, peraturan perundangan, dan program-program pembangunan selama ini belum mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Lingkungan hidup belum menjadi arus utama pembangunan. Salah satu terobosan penting yang akan ditempuh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk mengatasi masalah struktural tersebut adalah dengan menggagas, memperluas dan menginternalisasikan pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip keberlanjutan dalam formulasi kebijakan (policy), rencana (plan), dan program-program pembangunan. Instrumen atau mekanisme yang telah dikenal luas di berbagai belahan dunia untuk maksud tersebut adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) (Strategic Environmental Assessment). Tujuan utama KLHS dengan demikian bukan terletak pada dokumen yang dihasilkan melainkan lebih terletak pada lahirnya kebijakan, rencana dan programprogram yang mempertimbangkan lingkungan hidup dan keberlanjutan. Sudah barang tentu KLHS bukanlah satu-satunya solusi mujarab untuk mengatasi masalah lingkungan hidup, namun instrumen ini dapat menjadi pijakan untuk
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
mengubah paradigma berpikir para perencana pembangunan agar berpandangan jangka panjang, interdependensi dan holistik. Akhir kata, semoga dengan membaca buku ini para pembaca dapat memperoleh inspirasi dan tertarik mengaplikasikan KLHS sehingga lahir kebijakan, rencana dan program-program pembangunan yang telah mempertimbangkan benar kondisi lingkungan hidup dan keberlanjutan di masa mendatang. Jakarta, Desember 2007
Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Kata Pengantar
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena - antara lain - perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan suatu kerangka kerja atau framework pada tahap dini perencanaan pembangunan dengan maksud agar di masa mendatang dapat dicapai harmoni antara pembangunan dengan lingkungan hidup. Dengan menggunakan KLHS, para perencana pembangunan dapat mempertimbangkan jauh ke depan berbagai dampak pembangunan yang akan timbul dan pengaruhnya terhadap politik dan ekonomi. Demikian pula, KLHS dapat dimanfaatkan sebagai kerangka integratif bagi semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat. Buku ini merupakan buah kerjasama antara Pemerintah Kerajaan Denmark dengan Pemerintah Republik Indonesia, melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme Phase (ESP) 1; serta buah pemikiran dan kerja keras dari Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti, Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Chay Asdak, Tjuk Kuswartojo, dan Hardoyo. Kepada mereka yang telah memungkinkan terbitnya buku ini diucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga dengan hadirnya buku ini para pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat memahami manfaat dan lingkup KLHS serta peluang aplikasi KLHS di daerah dan sektor masing-masing.
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Jakarta, Desember 2007
Ir. Bambang Seryabudi, MURP Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Diterbitkan oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Gedung A, Lantai 4 Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410 Telp/Faks. (021) 8590667 e-mail:
[email protected] Website: http:\\www.menlh.go.id
Apresiasi Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini, antara lain: Soeryo Adiwibowo, Chay Asdak, Triarko Nurlambang, Tjuk Kuswartojo, Hardoyo Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme (ESP) Phase 1.
Pengarah Hermien Roosita (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Ketua Pelaksana Bambang Setyabudi (Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Penyusun Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti (Kementerian Negara Lingkungan Hidup) Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Chay Asdak SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Editor Yenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono (Kementerian Negara Lingkungan Hidup) Esthi S. Noorsabri
Pendukung Arifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Tria, Nana (Kementerian Negara Lingkungan Hidup) M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto
Grafis Fililo
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Glossary
AEMS (Adaptive Environmental Management System):
Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan. Kebijakan Publik: Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi kepentingan publik. Musrenbang: Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda). Partisipasi Publik: Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik. SEA (Strategic Environmental Assessment): Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). AMDAL : APBD : APBN : BAPEDALDA : BAPPEDA : BAPPENAS : BKPRD : BKTRN : KL : KLH : KLHS : KRP : POKJA : Permen :
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional Kementerian/Lembaga Kementerian Lingkungan Hidup Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kebijakan, Rencana, dan Program Kelompok Kerja Peraturan Menteri
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Perpres PP RAPBD RAPBN Renja Renstra RKA RKP RPJM RPJP SKPD UU UUD UU KN UU SPPN
: : : : : : : : : : : : : : :
Peraturan Presiden Peraturan Pemerintah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rencana Kerja Rencana Strategis Rencana Kerja Anggaran Rencana Kerja Pemerintah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Satuan Kerja Perangkat Daerah Undang-Undang Undang-Undang Dasar Undang-Undang Keuangan Negara Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
Daftar Isi Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan............................. Kata Pengantar.............................................................................................. Glossary ......................................................................................................... Daftar Isi........................................................................................................ 1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 2. KEBIJAKAN DALAM KONTEKS HUKUM DAN ADMINISTRASI ........................................................................... 2.1. Kebijakan Utama Pembangunan dan Relevansinya Dengan Lingkungan Hidup ............................................................. 2.1.1. Tujuan Pembangunan Nasional ............................................... 2.1.2. Strategi Pembangunan Berkelanjutan ...................................... 2.1.3. Peluang Aplikasi KLHS Dalam Konteks Kebijakan Pembangunan............................................................................. 2.2. Landasan Hukum Pembangunan Lingkungan Hidup dan Berkelanjutan Serta Relevansinya Dengan Otonomi Daerah ..... 2.2.1. Lingkungan Hidup Dalam Sistem Hukum Indonesia ........... 2.2.2. Desentralisasi dan Partisipasi Publik ...................................... 2.3. Konteks Institusi dan Administrasi Dalam Menilai Performa Pembangunana Lingkungan Hidup................................................ 2.3.1. Tanggungjawab Perumusan Kebijakan, Rencana Dan Program Pembangunan................................................... 2.3.2. Sikap Politik ; Peluang dan Hambatan ................................... 3. INTEGRASI PERTIMBANGAN LINGKUNGAN: PENGALAMAN INDONESIA ...............................................................
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
3.1. Beberapa Inisiatif KLHS Di Indonesia........................................... 3.1.1. Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH Bidang Air [2004]......... 3.1.2. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi ... 3.1.3. National Urban Environment Strategy (NUES)........................... 3.1.4. SENRA Bappenas....................................................................... 3.1.5. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Andalan Bogor, Depok, dan Bekasi [2004] .......................................................... 3.1.6. Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan, Rencana, dan Program Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) [2003] ....................................................................... 3.1.7. Studi Kajian Lingkungan Strategis Cipamatuh [2001]............ 3.1.8. Studi Dampak Lingkungan Kebijakan, Rencana dan Program Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta [2001/2002] ................................................................................. 3.1.9. Kajian Awal Lingkungan Strategis Jaringan Jalan Sumatera Barat [2003] ................................................................ 3.1.10. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Cirebon dan Sekitarnya [Cireme Watershed] ................................................. 3.2. Membanding Beberapa Inisiatif KLHS ......................................... 4. APLIKASI KLHS DI MASA DEPAN .................................................... 4.1. Prospek Pengembangan KLHS Di Indonesia ................................ 4.2. Alternatif Adopsi KLHS Di Masa Mendatang ..............................
Daftar Pustaka ..............................................................................................
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver 07 April, 2008
1. PENDAHULUAN
P
engarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik. Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya –yang memerlukan alokasi kegiatan di suatu lokasi atau kawasan tertentu– akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.
1
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional
maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salah satu instrumennya –yaitu AMDAL Regional– telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.
2
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.
2. KEBIJAKAN DALAM KONTEKS HUKUM DAN ADMINISTRASI
B
erakhirnya rejim Suharto dengan Orde Barunya pada tahun 1998 menjadi awal dari perubahan sistem tatanegara Republik Indonesia, dan merupakan bagian dari proses reformasi politik dan birokrasi. Sejalan dengan ini, proses perencanaan pembangunan nasional mengalami sejumlah perubahan, baik dari sisi filosofi atau dasar pemikiran sampai dengan tahap implementasinya. Pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam sebagai bagian dari pembangunan nasional juga mengikuti proses perubahan ini. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan negara telah mengalami perubahan sebanyak empat kali selama periode 1999 – 2002, melalui diterbitkannya amandemen UUD. Dalam kaitannya dengan pengelolaan pembangunan, hal-hal pokok yang berubah adalah sebagai berikut: a. Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); b. Ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan lima tahun nasional; dan c. Desentralisasi kekuasaan pemerintahan negara melalui penguatan otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3
Sebagai landasan pengelolaan pembangunan nasional, pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN). Sebelumnya, melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terlebih
dahulu dirumuskan alokasi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Undang-Undang ini dikenal sebagai UU Otonomi Daerah, dimana dalam rumusannya juga menekankan perlunya keharmonisan dan keselarasan pembangunan, baik di tingkat nasional, daerah maupun antardaerah.
2.1. KEBIJAKAN UTAMA PEMBANGUNAN DAN RELEVANSINYA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP 2.1.1. Tujuan Pembangunan Nasional UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan, baik pusat maupun daerah. Ditegaskan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tatacara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 5 tahun dan tahunan, serta penjabaran RPJM nasional yang memuat prioritas pembangunan yang disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan rakyat. Dalam pasal 5, 6, dan 7 UU SPPN disebutkan bahwa tindaklanjut dari rencana pembangunan nasional tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RPJP Daerah, RPJMD dan RKPD. Adapun rencana pelaksanaan kegiatan program pembangunan tertuang dalam Rencana Strategis–Kementerian/Lembaga (Renstra–KL) di tingkat pusat dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra–SKPD) untuk masa lima tahun. Renstra–KL dan Renstra–SKPD ini memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai tugas dan fungsi kementerian/lembaga ataupun Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dengan melibatkan partisipasi rakyat (stakeholders). Ada empat pendekatan yang digunakan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan, yaitu:
4
1. Politik Pemilihan presiden atau kepala daerah adalah bagian dari proses perencanaan pembangunan, dimana masing-masing calon mengkampanyekan rencana program pembangunan yang akan dijalankan, yang kemudian mendapat dukungan mayoritas rakyat pada tingkat nasional atau daerah yang bersangkutan.
2. Teknokratik Pemikiran dan pelaksanaan program pembangunan berdasarkan pendekatan kerangka pikir ilmiah yang ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang secara fungsional akan melaksanakan program pembangunan terkait. 3. Partisipatif Pelaksanaan program pembangunan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Keterlibatan mereka untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. 4. Top-down dan bottom-up Kedua pendekatan ini digunakan untuk menyelaraskan proses hirarkis perumusan rencana program pembangunan. Proses penyelarasan ini dilakukan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan. Ada empat tahapan dalam proses perencanaan pembangunan, yaitu: a. Penyusunan rencana Proses ini menghasilkan suatu rencana yang siap untuk ditetapkan dan terdiri dari empat langkah. Pertama, rancangan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja sesuai dengan rancangan rencana pembangunan di atas. Ketiga melibatkan partisipasi rakyat (stakeholders) untuk menyelaraskan masing-masing rencana program pembangunan melalui Musrenbang, dan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan untuk siap ditetapkan.
5
b. Penetapan rencana Pada tahap ini dihasilkan produk hukum dari rancangan program pembangunan, sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Ketetapan ini berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah sesuai dengan jenjang wilayah administratif masing-
masing Rencana Pembangunan Jangka Pembangunan Jangka Menengah/Tahunan.
Panjang
dan
Rencana
c. Pengendalian pelaksanaan rencana Dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana program melalui kegiatan-kegiatan, dikoreksi oleh para pelaksana yaitu lembaga/instansi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya Menteri/Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan yang bersangkutan sesuai tugas dan kewenangannya. d. Evaluasi pelaksanaan rencana Dilakukan secara sistematis melalui pengumpulan dan analisis data dan informasi untuk menilai pencapaian tujuan, sasaran dan kinerja teknis pelaksanaan pembangunan. Evaluasi ini diukur berdasarkan indikator kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator ini mencakup input, output, hasil (result), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact). Pelaksanaan evaluasi ini bersifat wajib bagi semua instansi atau unit kerja pelaksana program pembangunan. Adapun sistematika dokumen perencanaan mencakup Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan Pembangunan, Ruang Lingkup, Tahapan Perencanaan, Penyusunan dan Penetapan Rencana, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana, Data dan Informasi, Kelembagaan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Untuk tahun 2004–2009 telah disusun RPJM Nasional sebagai agenda pembangunan nasional. Agenda pembangunan ini disusun dengan memperhatikan adanya 11 (sebelas) permasalahan pokok pembangunan, yaitu:
6
1. Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional, 2. Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih rendah, 3. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah ini dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
4. Kesenjangan pembangunan antar daerah masih lebar, 5. Kurangnya perbaikan kesejahteraan rakyat; dan masalah ini sangat dipengaruhi oleh lemahnya dukungan infrastruktur pembangunan. 6. Belum tuntasnya penanganan aksi separatisme di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Papua untuk menjamin Negara Kesatuan RI, 7. Masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional, 8. Masih adanya ancaman keamanan nasional baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama mengingat luasnya wilayah RI serta beragamnya kondisi sosial, ekonomi dan budaya, 9. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, 10. Rendahnya kualitas pelayanan umum sebagai akibat masih adanya penyalahgunaan wewenang dan rendahnya kinerja aparatur pemerintah, dan 11. Belum kuatnya lembaga politik, lembaga penyelenggara negara, dan lembaga masyarakat. Adapun masalah lain yang juga penting dan mendasar adalah lemahnya karakter bangsa, belum terbangunnya sistem pembangunan berkelanjutan, melemahnya rasa nasionalisme, belum terlembaganya nilai-nilai utama kebangsaan, dan belum siapnya sistem pembangunan pemerintah dalam mengantisipasi perubahan. Berdasarkan permasalahan dan tantangan di atas, kemudian dirumuskan Visi Pembangunan Nasional Indonesia untuk tahun 2004 – 2009, yaitu: • • •
Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai; Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; serta Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya ditetapkan 3 (tiga) Misi Pembangunan, yaitu: Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai
7
•
• •
Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera
Untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut di atas kemudian dirumuskan 2 (dua) Strategi Pokok Pembangunan Indonesia, yaitu: 1. Strategi Penataan Kembali Indonesia Diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 45 agar tetap tegak sebagai Negara Kesatuan RI dan berkembangnya pluralitas sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. 2. Strategi Pembangunan Indonesia Diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang agar hak dasar rakyat terpenuhi dan tercipta landasan pembangunan yang kokoh. Adapun jabaran sasaran dan prioritas pembangunan yang telah tersusun adalah sebagai berikut (khusus untuk yang terkait dengan Lingkungan Hidup serta sumberdaya alam akan dirinci lebih lanjut): 1. Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai a. Sasaran 1: penurunan ketegangan dan ancaman konflik antar kelompok dalam masyarakat b. Sasaran 2: kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila c. Sasaran 3: semakin berperannya RI dalam perdamaian dunia
8
2. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis a. Sasaran 1: peningkatan keadilan dan penegakan hukum yang adil b. Sasaran 2: terjaminnya keadilan jender bagi peningkatan peran perempuan dalam pembangunan c. Sasaran 3: peningkatan pelayanan umum dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kepemerintahan daerah d. Sasaran 4: peningkatan pelayanan birokrasi kepada masyarakat
e. Sasaran 5: terlaksananya pemilihan umum tahun 2009 secara demokratis, jujur, dan adil 3. Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera a. Sasaran 1: menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009. Prioritas yang ditetapkan: • penanggulangan kemiskinan • peningkatan investasi dan ekspor non-migas • peningkatan daya saing industri manufaktur • revitalisasi pertanian • pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah • peningkatan pengelolaan BUMN • peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan • perbaikan iklim ketenagakerjaan • pemantapan stabilitas ekonomi makro b. Sasaran 2: berkurangnya kesenjangan antarwilayah. Prioritas yang ditetapkan: • pembangunan perdesaan • pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah c. Sasaran 3: peningkatan kualitas manusia secara menyeluruh. Prioritas yang ditetapkan: • peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas • peningkatan akses rakyat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas • peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial • pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olah raga • peningkatan kualitas kehidupan beragama
9
d. Sasaran 4: membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengacu pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip
pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan. Prioritas yang ditetapkan adalah perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup; dengan arah kebijakan pembangunannya meliputi: 1. mengelola sumberdaya alam untuk dimanfaatkan secara efisien, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh kelembagaan yang andal dan penegakan hukum yang tegas 2. mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun 3. memulihkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang rusak 4. mempertahankan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan serta meningkatkan mutu dan potensinya 5. meningkatkan kualitas lingkungan hidup e. Sasaran 5: membaiknya infrastruktur penunjang pembangunan.
sebagai
sarana
Prioritas yang ditetapkan adalah percepatan pembangunan infrastruktur. 2.1.2. Strategi Pembangunan Berkelanjutan Seperti disebutkan dalam sasaran, prioritas, dan arah kebijakan pembangunan dalam RPJM 2004–2009, strategi pembangunan berkelanjutan ini juga tercakup dalam sasaran pembangunan untuk melestarikan lingkungan hidup dan perbaikan pengelolaan sumberdaya alam. Pada bagian awalnya dijelaskan terlebih dahulu bahwa untuk mewujudkan sasaran ini, Indonesia sedang menghadapi permasalahan sebagai berikut: Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia; pengelolaan hutan berkelanjutan belum optimal karena pembagian wewenang dan tanggungjawab pengelolaan hutan belum tegas.
10
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Lemahnya hukum sehingga masih terjadi pembalakan liar hasil hutan (illegal logging). Rendahnya kapasitas pengelola hutan. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasajasa lingkungan lainnya. Kerusakan DAS. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Permasalahan batas wilayah laut dengan negara tetangga. Berkembangnya pencurian ikan dan pola penangkapan yang merusak lingkungan hidup. Potensi kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal. Citra dan pengelolaan usaha pertambangan yang merusak lingkungan. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity). Pencemaran air semakin meningkat. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan secara baik. Ketidakpastian hukum dalam pengelolaan bidang pertambangan. Terjadinya penurunan kontribusi migas dan hasil tambang bagi penerimaan negara. Belum ada cara pengelolaan limbah berbahaya secara sistematis dan terpadu. Belum terlaksana adaptasi kebijakan menanggapi perubahan iklim. Isu lingkungan global belum dipahami menjadi bagian dari pembangunan nasional dan daerah. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup. Masih rendahnya kesadaran rakyat dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:
2.
Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.
11
1.
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
10. 11. 12.
Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap sampai dengan tahun 2010. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan lainnya). Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif. Meningkatkan diplomasi internasional. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:
12
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan. 2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah. 3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan. 4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan. 5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan 7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana. Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009, sebagai berikut:
13
1. Program perlindungan dan konservasi sumberdaya alam. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain: a. Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; b. Perlindungan sumberdaya alam dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali terutama di kawasan konservasi –termasuk kawasan konservasi laut dan lahan basah– serta kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; c. Perlindungan hutan dari kebakaran; d. Pengembangan koordinasi kelembagaan pengelolaan DAS terpadu; e. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan, baik yang ada di daratan maupun di pesisir dan laut; f. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; g. Perumusan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; h. Pengembangan kemitraan dengan perguruan tinggi, masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, legislatif, dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam;
i.
Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumberdaya alam; j. Pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan melalui pengendalian hama penyakit dan gulma secara terpadu yang ramah lingkungan; k. Pengkajian dampak hujan asam (acid deposition) di sektor pertanian; l. Penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam lainnya; m. Pengembangan hak paten jenis-jenis keanekaragaman hayati asli Indonesia dan sertifikasi jenis; n. Pengembangan daya dukung dan daya tampung lingkungan; o. Penetapan kriteria baku kerusakan; serta p. Pengusahaan dana alokasi khusus (DAK) sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan lindung.
14
2. Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumberdaya alam sehingga selain berfungsi sebagai penyangga kehidupan juga dapat berpotensi untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kegiatan pokok dari program ini antara lain mencakup: a. Penetapan wilayah prioritas rehabilitasi pertambangan, hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil; b. Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, dan prasarana rehabilitasi hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulaupulau kecil; c. Peningkatan efektivitas reboisasi yang dilaksanakan secara terpadu; d. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di kawasan hutan, pesisir (terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria), perairan, dan bekas kawasan pertambangan, disertai pengembangan sistem manajemennya; e. Pengkayaan atau restocking sumberdaya pertanian dan perikanan;
f.
g.
Rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin pasokan air irigasi pertanian dan mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah sungai dan pesisir; serta Revitalisasi danau, situ, dan sumber-sumber air lainnya, khususnya di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya.
15
3. Program pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan melalui pelaksanaan prinsip-prinsip Good Environmental Governance (transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas). Kegiatan pokok dari program ini antara lain adalah: a. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan; b. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah, termasuk lembaga masyarakat adat; c. Peningkatan peran serta rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui pola kemitraan; d. Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumberdaya alam termasuk sistem penanggulangan bencana; e. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup; f. Peningkatan koordinasi antarlembaga baik di pusat maupun di daerah; g. Pengembangan peraturan perundangan lingkungan hidup dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; h. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas kasus perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; i. Pengesahan, penerapan, dan pemantauan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang telah disahkan; j. Upaya pembentukan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan; k. Pendirian Komisi Keanekaragaman Hayati yang didahului dengan pendirian sekretariat bersama tim terpadu keanekaragaman hayati nasional;
l.
Penyempurnaan prosedur dan sistem perwakilan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional bidang lingkungan hidup; m. Pengkajian kembali dan penerapan kebijakan pembangunan melalui internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; n. Peningkatan pendidikan lingkungan hidup secara formal dan non-formal; dan o. Pengembangan program Good Environmental Governance (GEG) secara terpadu dengan program good governance di bidang lainnya.
16
4. Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program ini bertujuan untuk mendukung perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pokok program ini antara lain adalah sebagai berikut: a. Penyusunan data sumberdaya alam, baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulaupulau kecil; b. Pengembangan valuasi sumberdaya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan cadangan mineral; c. Penyusunan neraca sumberdaya alam nasional dan neraca lingkungan hidup; d. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB Hijau) e. Penyusunan data potensi sumberdaya hutan dan Neraca Sumberdaya Hutan (NSDH); f. Pendataan dan penyelesaian tata hutan dan kawasan perbatasan dengan negara tetangga; g. Penyusunan indikator keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; h. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada rakyat, termasuk informasi mitigasi bencana dan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; i. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan dinamika global dan perubahan kondisi alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan kekeringan;
j.
Pengembangan sistem informasi terpadu mengenai pemantauan kualitas lingkungan hidup antara nasional dan daerah; k. Sosialisasi, pelaksanaan, dan pemantauan berbagai perjanjian internasional baik di tingkat pusat maupun daerah; l. Penyusunan laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) sebagai alat pendukung pengambilan keputusan publik; dan m. Peningkatan keterlibatan peran rakyat dalam bidang informasi dan pemantauan kualitas lingkungan hidup. 5. Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan hidup, baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara, sehingga rakyat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kegiatan pokok dari program ini secara keseluruhan terfokus pada upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan, dengan penekanan pada kasuskasus kualitas udara (emisi gas buang), air tanah, dan sampah di daerah perkotaan atau kabupaten, serta permasalahan regulasi dan kelembagaan berikut pendanaannya. Kajian terhadap konsep pembangunan nasional yang tertuang dalam UU SPPN dan operasionalisasinya melalui RPJM 2004–2009 ini dapat memberikan indikasi adanya beberapa hal tentang lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang perlu menjadi perhatian, jika dikaitkan dengan kemungkinan penerapan konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
17
Terdapat kesulitan dalam memahami struktur pemikiran yang sistemik dalam konteks fenomena dinamika lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana yang terjadi dalam satu perilaku ekosistem. Segala daftar substansi dalam arah, strategi dan program yang ada lebih menunjukkan semacam ’partial shopping list’ yang cenderung berorientasi pada objek ketimbang satu kerangka pemikiran konstruktif hasil sintesa kompleksitas fenomena lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam pada satu kesatuan geografis negara kepulauan tropis Indonesia yang khas. Hal tersebut terlihat dengan ditetapkannya urusan hutan, pertambangan minyak dan gas, serta pertambangan mineral dan batu bara sebagai satu
pembahasan tersendiri sejajar dengan urusan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Demikian pula dengan adanya beberapa butir program yang tumpang tindih. Sebagai contoh, kegiatan konservasi disinggung dalam dua program yang berbeda sementara isi kegiatannya kurang lebih sama, yaitu pada program konservasi sumberdaya alam dan program pengembangan dan pengelolaan sumberdaya laut. Secara konsep dan realitanya, urusan-urusan tadi seharusnya ada dalam satu lingkup besar lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sementara urusan hutan, laut, dan pertambangan merupakan subbagian dari sumberdaya alam. Hal ini menjadi lebih rumit dengan adanya fakta bahwa sebagai hasil kebijakan publik yang semestinya melibatkan sistem birokrasi dan sistem politik, dokumen RPJM ini tidak menjadi bahan pertimbangan utama agar tercipta satu konvergensi antara idealisme dan realita, hingga dapat tercipta satu kebijakan publik yang realistik dalam konteks keberagaman atau heterogenitas sosial-budaya-politik-ekonomi yang menjadi ciri stakeholders di Indonesia. Lebih jauh lagi, walaupun disebutkan adanya program peningkatan kapasitas, namun tidak disebutkan keberadaan lembaga legislatif –baik di pusat maupun di daerah– sebagai unsur utama dalam mekanisme pembuatan kebijakan. Hal-hal pokok di atas inilah yang menjadi dasar bagi kemungkinan adanya satu kesulitan tersendiri dalam hal menerjemahkannya pada satu mekanisme atau metode pengambilan keputusan sampai dengan implementasinya. Argumentasi selanjutnya yang terkait dengan masalah tersebut adalah sebagai berikut: Adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti yang telah dikonvensikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Secara formal, definisi pembangunan berkelanjutan sudah ditetapkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab 1 pasal 1: Bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
18
•
•
Konsep lingkungan hidup masih tetap dipandang sebagai satu bidang pembangunan yang sejajar dengan bidang sektoral lainnya. Di sisi lain, terlihat jelas adanya inkonsistensi konsep lingkungan hidup yang digunakan dalam SPPN dan RPJM ini. Bahkan dalam penjabaran sasaran, prioritas, dan arah pembangunan lebih perlu ditegaskan dan diluruskan mengikuti klausul dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: - bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk lain. - bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
•
Adanya pergeseran penekanan ke arah pentingnya politik dan sosialbudaya untuk demokratisasi dan kesetaraan, namun sektor ekonomi masih menjadi generator utama pembangunan Indonesia yang dianggap mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa ’pendulum’ dalam konsep ’segitiga’ kepentingan pembangunan berkelanjutan (sosial – ekonomi – lingkungan hidup) masih belum dirancang secara tepat, apalagi konsisten. Maksudnya, jika RPJM 2004 – 2009 diterapkan secara ketat, maka pembangunan masih bertumpu pada upaya-upaya pemanfaatan
19
Hal ini sangat substansial mengingat pembangunan lingkungan adalah basis dari mainstreaming pembangunan berkelanjutan. Lebih dari itu, pembangunan berkelanjutan ini dalam RPJM tidak dimaknai sebagai outcome pembangunan, dimana keselarasan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup adalah syarat pokoknya. Pengertian pembangunan berkelanjutan masih diperlakukan secara parsial pada tingkat operasionalisasi pembangunan sektoral. Dengan demikian, tecermin kuat bahwa kegiatan pembangunan berkelanjutan ini cenderung dirancang secara parsial, bukan sebagai payung konsep yang menjadi landasan operasional outcome pembangunan Indonesia. Lebih jauh lagi, argumentasi ini diperkuat dengan gambaran berikut:
sumberdaya (terutama alam) untuk kepentingan ekonomi semata, sehingga konsekuensi yang berupa kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem masih akan terjadi. •
Adanya bab yang menjelaskan tentang lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam yang memerlukan tindakan proteksi dan pemeliharaan mutu lingkungan hidup, serta keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam. Namun karena peletakan posisi komponen ini semata-mata hanya sebagai bagian dari cakupan kebijakan pembangunan, maka secara metodologis teridentifikasi sebagai suatu bagian pembangunan yang bersifat fragmented –bukan sistemik– sehingga masih diragukan untuk dapat berperan dalam mainstreaming pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, fenomena lingkungan hidup beserta komponen sumberdaya alam dan sumbersumber budaya adalah satu sistem perilaku yang interdependen.
•
Ketiadaan penjelasan tahapan dalam proses pembangunan untuk mencapai tujuannya juga dapat memberikan keraguan akan efektivitas pencapaiannya. Dengan kata lain, ada kesan bahwa RPJM ini berupa ’partial shopping list’ program pembangunan, tetapi cara (how to achieve), tujuan, sasaran, dan target pembangunan serta sistem pengendaliannya sama sekali tidak ada (setidak-tidaknya) pengarahannya.
•
Lebih dari itu, jika kembali kepada pendekatan yang digunakan dan permasalahan nasional yang diidentifikasi dalam dokumen RPJM, dapat dikatakan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut (politik, teknokratik, partisipatif dan top-down/bottom-up) masih dilakukan secara terbatas dan parsial, atau tidak terjadi proses sinkronisasi di antaranya. Indikasi praktis yang menunjukkan keadaan ini adalah masih banyaknya konflik antar pembangunan sektoral maupun daerah, dan juga konflik sosial-budaya-politik. Indikasi lain adalah munculnya keinginan pemekaran wilayah (lebih dari 150 daerah yang ingin –bahkan sebagian sudah– membentuk pemerintahan daerah baru) yang merefleksikan menguatnya gerakan politisi lokal untuk menentukan arah pembangunan daerahnya sendiri, selain ambisi untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar.
20
Kondisi ini dimungkinkan oleh struktur proses pengambilan keputusan, dimana sistem administrasi (eksekutif) dan sistem politik (legislatif) masih
kuat dipengaruhi pola orientasi sektoral. Selain itu, masih kuatnya tipikal sistem clientilistic atau patronage model dalam dinamika sistem politik di Indonesia, menyebabkan kepentingan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat atau membangun kekuatan pembangunan ekonomi (welfare state model dan economic development model) belum sepenuhnya menjadi kepentingan utama operasional pembangunan. Dengan kata lain, ada semacam sikap apatis dalam memahami visi pembangunan nasional sebagai amanat bangsa. Namun demikian, ada satu peluang kemungkinan dalam konteks penerapan konsep KLHS, khususnya dengan semakin fleksibelnya ruang publik untuk berpartisipasi melalui berbagai jalur media, sehingga dapat menciptakan tekanan sosial. Tekanan sosial ini secara teoritis dapat diharapkan menjadi aspirasi yang diserap dan dijadikan sebagai isu politik, untuk kemudian menjadi agenda pembuatan kebijakan pembangunan. Harapan ini sejalan dengan yang ditetapkan dalam RPJM 2004 – 2009, khususnya dalam penjelasan tentang tiga butir terakhir dari kegiatan pokok Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, serta pada Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sayangnya kegiatan ini tidak diposisikan sebagai program payung yang bersifat holistik dari keseluruhan program pembangunan berkelanjutan, sebagaimana filosofi dari KLHS. Adapun peraturan perundangan lain yang relevan dan dapat disinergikan dengan urusan lingkungan hidup adalah undang-undang penataan ruang. Hal ini dimungkinkan mengingat filosofi, konsep, sampai dengan teknis penerapannya merupakan satu horizon yang identik. Sementara itu, secara praktis dapat dipahami bahwa hampir seluruh aspek rencana pembangunan memerlukan lokasi atau ruang untuk mengalokasikan kegiatannya. 2.1.3. Peluang Aplikasi KLHS Dalam Kebijakan Pembangunan
21
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004 – 2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang
lebih bersifat holistik dan sistemik –bukan kepentingan pragmatis sektoral semata– yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum. Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan –khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya– masih ditemui inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).
22
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengan sistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.
2.2. LANDASAN HUKUM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DAN BERKELANJUTAN SERTA RELEVANSINYA DENGAN OTONOMI DAERAH 2.2.1. Lingkungan Hidup Dalam Sistem Hukum Indonesia Pada dasarnya, segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan mengakar pada UUD ’45 pasal 33 yang menyatakan bahwa: “Tanah, air dan sumberdaya alam adalah milik negara dan dikelola oleh pemerintah untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup menetapkan secara jelas bahwa lingkungan hidup terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Pernyataan ini dapat ditemui pada pembukaan UU ini: •
Butir (b) yang menyatakan bahwa, “dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45 dan untuk mencapai kehidupan yang harmonis sejalan dengan filosofi Pancasila, dibutuhkan satu tindakan bertahap untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan sebagai satu kesatuan kebijakan nasional demi memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.”
•
Dalam butir (d) disebutkan bahwa, “pengelolaan lingkungan hidup ada dalam bingkai pembangunan berkelanjutan (berwawasan lingkungan hidup) sesuai dengan norma hukum dan aturan yang berlaku dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, perhatian terhadap pembangunan lingkungan global, dan hukum internasional untuk lingkungan hidup.”
23
Di sisi lain, hukum sektoral mengatur pemanfaatan atau eksploitasi ekonomis sumberdaya lingkungan, seperti UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, Pertanian, Perikanan, Penataan Ruang, dan lain-lain. Secara substansial, instrumen-instrumen hukum ini masih mengandung kecenderungan lemahnya perhatian terhadap kepentingan pembangunan lingkungan hidup. Ada kemungkinan nilai dan sikap yang tertuang dalam instrumen-instrumen
hukum sektoral ini disebabkan oleh interpretasi sempit dari makna UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa sumberdaya alam dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga seolah-olah para pelaku ekonomi mendapat justifikasi untuk melakukan eksploitasi ekonomis. Namun demikian, sesungguhnya isi pasal ini dapat pula dimaknai bahwa eksploitasi ekonomi sumberdaya alam diperbolehkan sepanjang untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
2.2.2. Desentralisasi dan Partisipasi Publik Dalam UU SPPN dan RPJM ditegaskan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program-program pembangunan nasional di daerah masing-masing. Penguatan peran pelaksana pembangunan di daerah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sistem pemerintahan daerah memiliki hak otonom untuk menjalankan tugas kepemerintahan secara terdesentralisasi. Ada dua tujuan utama mengapa sistem desentralisasi yang diterapkan, yaitu: 1. Pemerintahan daerah dapat meningkatkan kesejahteraan dengan memberikan layanan publik di daerah. 2. Pemerintah daerah menjadi instrumen pendidikan politik untuk mempromosikan demokratisasi di daerah. Adapun filosofi adanya pemerintah daerah, seperti yang dijelaskan Direktur Jenderal PUOD (Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri, adalah:
24
1. Pemerintah daerah ada karena rakyat. 2. Rakyat memberikan legitimasi kepada wakil-wakil rakyat melalui Pemilu. 3. Tugas DPRD dan Kepala Daerah dibantu pegawai negeri sipil adalah mensejahterakan rakyat dengan cara-cara demokratis. 4. Kesejahteraan diukur dengan Human Development Index (HDI). 5. Kata kuncinya adalah pelayanan publik. 6. Hasil akhir pemerintah daerah adalah pelayanan dasar dan pengembangan sektor unggulan. 7. Pelayanan publik terdiri dari public goods dan regulasi publik.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa peran partisipasi rakyat akan menjadi dasar yang sangat kuat bagi proses pengambilan kebijakan pembangunan di daerah dan keberlangsungan penyelenggaraan pemerintah daerah. Partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan lingkungan hidup ini sebelumnya telah ditegaskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab 3 yang menetapkan Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat sebagaimana tercantum dalam pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 seperti yang dikutip berikut ini. Pasal 5 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. 3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 6 1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. 2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 7
25
1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. 2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; d. Memberikan saran pendapat;
e. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan. Pasal-pasal di atas menunjukkan validitas akan hak dan peran partisipatif rakyat dalam proses pembangunan lingkungan hidupnya. Hal ini dapat diinterpretasikan juga bahwa segala tahapan pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan, implementasi, dan pengendalian lingkungan hidup, diamanatkan untuk –dan bahkan harus– melibatkan rakyat. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu diperhatikan adanya elemen-elemen pokok sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fungsi pemerintah daerah Struktur organisasi pemerintah daerah Pegawai pemerintah daerah Keuangan pemerintah daerah Keterwakilan rakyat Layanan publik Supervisi
Elemen-elemen di atas merupakan satu sistem yang holistik –bukan parsial– dalam menjalankan pemerintahan daerah. Strategi yang dibutuhkan dalam menjalankan pemerintahan daerah secara garis besar terdiri dari butir-butir berikut: 1. Penguatan ketujuh elemen di atas 2. Identifikasi susunan yang ideal setiap elemen tersebut dengan mengacu pada koridor UU 32/2004 3. Identifikasi kondisi eksisting ketujuh elemen 4. Identifikasi kesenjangan antara kondisi ideal dan kondisi eksisting sehingga dapat diketahui permasalahan, hambatan, dan lain-lainnya 5. Susun atau rumuskan rencana kerja untuk masing-masing elemen dalam upaya mengatasi kesenjangan di atas 6. Seluruh rencana kerja terikat dalam satu kesatuan rancangan otonomi Terkait dengan otonomi daerah, pemerintah daerah terbagi dalam sejumlah cakupan urusan sebagai berikut:
26
1. Rumpun Lingkungan Hidup, PU, Perumahan
2. Rumpun Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga 3. Rumpun Kesehatan 4. Rumpun Penanaman Modal, UKM, Indag 5. Rumpun Kependudukan, Nakertrans, PP, BKKBN 6. Rumpun Perhubungan dan Kominfo 7. Rumpun Statistik, Arsip 8. Rumpun Pertanahan 9. Rumpun Kesbangpol 10. Rumpun PMD, Sosial 11. Rumpun Kepegawaian 12. Rumpun Kelautan dan Perikanan Laut 13. Rumpun Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Tanaman Pangan, Kehutanan 14. Rumpun Pertambangan 15. Rumpun Pariwisata dan Kebudayaan Kemudian kelima belas urusan tersebut dipilah ke dalam dua kategori, yaitu: a. Dinas urusan wajib: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Rumpun Lingkungan Hidup, PU, Perumahan Rumpun Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Rumpun Kesehatan Rumpun Penanaman Modal, UKM, Rumpun Kependudukan, Nakertrans, PP, BKKBNl Rumpun Perhubungan dan Kominfo Rumpun Pertanahan Rumpun Kesbangpol Rumpun PMD, Sosial
b. Dinas urusan pilihan:
27
1. Rumpun Kelautan dan Perikanan Laut 2. Rumpun Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Tanaman Pangan, Perikanan Darat, Kehutanan 3. Rumpun Pertambangan 4. Rumpun Pariwisata dan Kebudayaan 5. Rumpun Industri, Perdagangan
Sementara itu dalam perspektif kelembagaan, pemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok, yaitu: a. Badan/kantor (techno structure): 1. 2. 3. 4.
Rumpun Perencanaan, BPS, Rumpun Kepegawaian, Diklat, Arsip Rumpun Keuangan Rumpun Pengawasan
b. Pendukung (supporting staff): 1. Rumpun Asisten 2. Rumpun Biro/Bagian Memahami kategori urusan pemerintah daerah ini, dapat dikatakan bahwa seyogyanya urusan lingkungan hidup dan perlindungan ketersediaan sumberdaya alam menjadi salah satu agenda pokok pembangunan di daerah.
28
Dalam kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat daerah bagi kepentingan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pada dasarnya UU Otonomi Daerah dapat dikatakan akomodatif. Namun di sisi lain dapat juga terjadi sebaliknya, terutama jika dikaji dalam konteks keuangan daerah yang mengharuskan daerah lebih mampu menjadi mandiri. Hal ini memaksa para pelaku pembangunan di daerah untuk lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya alam –agar lebih cepat mengakumulasikan pendapatan daerah– yang berakibat pada akselerasi kerusakan lingkungan hidup dan kelangkaan sumberdaya alam. Sejumlah kasus akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang dimaksud, misalnya illegal logging, pertambangan di pemukiman padat di Sidoarjo, penambangan pasir di kepulauan Riau, dan lain-lain. Situasi ini sangat dimungkinkan, mengingat terbatasnya kapasitas pelaku pembangunan dalam memahami dan mengoperasionalkan filosofi pembangunan berkelanjutan –atau diperkenalkan oleh UNDP sebagai sustainable skills. Sejumlah pakar dari IPB dan UI bahkan menyatakan bahwa, dengan adanya UU Otonomi Daerah maka pemerintah daerah seperti memiliki legitimasi untuk mengeksploitasi sumberdaya alamnya, untuk kepentingan performa pembangunan ekonomi daerahnya.
2.3. KONTEKS INSTITUSI DAN ADMINISTRASI DALAM MENILAI PERFORMA PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP 2.3.1. Tanggungjawab Perumusan Kebijakan, Rencana, dan Program Pembangunan Dasar hukum yang menjadi acuan tanggung jawab dalam merumuskan kebijakan, rencana, dan program pembangunan adalah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam UU SPPN tersebut, khususnya pada Bab 1 tentang Kebijakan Umum, ditetapkan terminologi kunci dari definisi kebijakan, rencana, dan program serta hal-hal lain yang terkait. Selain itu, pada bagian 2.3.1. juga dijelaskan tahapan perencanaan. Mengacu pada Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Status, Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Tata Laksana Organisasi Kementerian RI, maka kita kenal tiga tipe kementerian yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan pembangunan, yaitu: •
Menteri Koordinator Bertanggung jawab mendukung tugas presiden dalam mengkoordinir perumusan kebijakan dan perencanaan, serta sinkronisasi implementasi kebijakan tersebut di antara bidang-bidang pembangunan yang tergabung dalam portofolio Menteri Koordinator yang bersangkutan.
•
Menteri yang membawahi sebuah Departemen Mempunyai tugas untuk membantu presiden melalui satu mekanisme pendelegasian otoritas untuk melaksanakan bidang dari tertentu dari tugas pemerintahan.
•
Menteri Negara Mempunyai tugas untuk membantu presiden dalam merumuskan kebijakan, dan koordinasi bidang tugas khusus yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
29
Pada saat ini ada tiga Menteri Koordinator (Menko) yaitu Menko Politik, Hukum, dan Keamanan; Menko Perekonomian; dan Menko Kesejahteraan
Rakyat. Menteri Negara Lingkungan Hidup ada di antara sepuluh kementerian di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat. Seperti yang disebutkan di atas, Menko Kesejahteraan Rakyat memiliki fungsi utama untuk mengkoordinasi perencanaan dan kebijakan, agar diperoleh sinkronisasi dan pengawasan implementasi penyejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. Sepuluh kementerian dalam koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat adalah: • • • • • • • • • •
Departemen Kesehatan; Departemen Pendidikan Nasional; Departemen Sosial; Departemen Agama; Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Kementerian Negara Lingkungan Hidup; Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita; Kementerian Negara Percepatan Pembangunan; Kementerian Negara Perumahan Rakyat; Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga;
Sementara itu, departemen memiliki otoritas tugas fungsional pemerintahan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan di bidang yang bersangkutan. Departemen yang dimaksud terdiri dari: Departemen Dalam Negeri Departemen Luar Negeri Departemen Keuangan Departemen Perhubungan Departemen Pekerjaan Umum Departemen Perindustrian Departemen Perdagangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Departemen Pertanian Departemen Kehutanan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Departemen Perikanan dan Kelautan Departemen Komunikasi dan Informasi Departemen Pertahanan dan Keamanan
30
• • • • • • • • • • • • • •
Di sisi lain, Menteri-menteri Negara bertanggung jawab untuk merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan nasional pada bidang-bidang yang bersifat khusus. Urusan lingkungan hidup ditangani oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), dengan tugas utamanya membantu presiden dalam merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan bidang lingkungan hidup beserta dampak lingkungan hidup. Lembaga sejenis yang erat kaitannya dengan urusan pembangunan lingkungan hidup adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan merangkap Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan mengkoordinir bidang perencanaan pembangunan. Keterkaitan kedua lembaga ini terwujud dalam mekanisme perumusan dan penyelenggaraan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
2.3.2. Sikap Politik; Peluang dan Hambatan Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan, bahwa diperlukan satu tindakan yang bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi pencapaian tujuan pembangunan, seperti diamanatkan UUD 45. Selanjutnya, keselarasan kepentingan pelestarian lingkungan hidup bagi proses pembangunan nasional, juga tertuang dalam dalam UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada umumnya, hukum atau UU sektoral tidak secara spesifik menyatakan keterkaitan kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan sektoral. Namun melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009, keterkaitan ini telah dipertegas. Keterkaitan yang telah diatur dalam satu undang-undang ini, dengan demikian, mengikat seluruh sektor pembangunan melalui satu visi pembangunan yang gamblang, dengan mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan perbaikan kualitas lingkungan. Disamping itu, juga relevan untuk mengkaitkan urusan ini dengan kebijakan otonomi daerah dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan pembangunan, termasuk keterbukaan informasi dan hasil kajian terhadap dampak lingkungan hidup secara regional.
31
Mengingat situasi inilah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis menjadi sangat relevan, dan bahkan perlu segera diadakan untuk mengarahkan
32
kebijakan, strategi, dan program pembangunan ke dalam mainstream keberlanjutan. Sebagai catatan, perencanaan pembangunan dirancang untuk kurun waktu berturut-turut 20 tahunan, 5 tahunan, dan 1 tahunan. Dalam konteks satu rangkaian proses atau mekanisme perencanaan pembangunan dan penyelenggaraannya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis dapat berperan sebagai asupan untuk meningkatkan ketepatan dan efisiensi pencapaian tujuan pembangunan. Namun demikian, keterlibatan KLHS dalam setiap bagian proses perencanaan pembangunan masih mengalami sejumlah hambatan. Hal ini, selain karena ketersediaan sumberdaya manusianya yang terbatas dalam mengintegrasikan nilai-nilai lingkungan hidup, terutama disebabkan oleh adanya sikap penolakan (reluctant) dari departemendepartemen sektoral, karena dianggap menghambat eksekusi pembangunan dan sekaligus berpotensi menimbulkan tambahan biaya.
3.
I N T E G R A S I P E R TIM B A N G A N L I N GK U N GA N : P E N G A LA M A N I N D O N E SI A
M
enyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank. Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu.
33
Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.
3.1.
BEBERAPA INISIATIF KLHS DI INDONESIA
Dalam dua tahun terakhir ini, didukung oleh lembaga donor dari Kerajaan Denmark (Danida), ketiga instansi utama yaitu Bappenas, KLH, dan Depdagri bekerjasama untuk merealisasikan konsep dan aplikasi KLHS ini. Selanjutnya, konsep dan aplikasi KLHS diupayakan secara terus menerus untuk menjadi bagian dari kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan. Berikut ini adalah deskripsi sejumlah kegiatan yang merupakan inisiatif penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang telah dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Bappenas, dan Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan beberapa instansi terkait baik di tingkat pusat maupun di daerah. 3.1.1. Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH Bidang Air [2004] a. Deskripsi Singkat Tidak terpenuhinya sumberdaya air secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas, meskipun telah banyak kebijakan, rencana, dan program terkait maupun peran serta berbagai pihak berkenaan dengan hal tersebut, telah mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumberdaya air yang lebih komprehensif untuk melengkapi kebijakan, rencana, dan program yang telah ada.
34
Dalam menyusun kebijakan ini digunakan perangkat KLHS terhadap kebijakan, rencana, dan program yang telah ada dan terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Sebagai suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan, KLHS mengedepankan proses partisipatif dan
koordinatif yang melibatkan berbagai pihak terkait. Kajian tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengumpulan data dan informasi, identifikasi masalah dan kendala, tinjauan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah, serta prakiraan dampak positif dan negatif dari kebijakan yang ada. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kebutuhan dan upaya solusinya, terutama kebutuhan kebijakan dan strategi implementasinya. Pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumberdaya air ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program para pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat, wilayah maupun daerah. Dalam hal ini, sangat disadari bahwa untuk mendorong pada pelaksanaan kebijakan masih menghadapi tantangan-tantangan, yaitu berupa komitmen stakeholder untuk menjabarkan secara kongkrit dalam bentuk program dan kegiatan. b. Tipe KLHS Kebijakan sektoral sumberdaya air. c. Pendekatan dan Metode Pendekatan kebijakan pengelolaan sumberdaya air yang rasional adalah berbasis ekosistem (Gambar 1). Pendekatan ini menempatkan keterkaitan antar komponen dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya air. Pendekatan ekosistem seperti tersebut pada Gambar 1 menunjukkan tiga sub-sistem yang harus menjadi perhatian dalam proses pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, yaitu sub-sistem produksi, sub-sistem distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Seluruh daya dan upaya seyogyanya ditujukan untuk mencapai keseimbangan antar sub-sistem atau keseimbangan secara proporsional dalam sub-sistem itu sendiri.
35
Sub-sistem produksi merupakan sistem alam dalam bentuk daerah aliran sungai (DAS) atau cekungan air tanah. Sub-sistem ini juga umum dikenal sebagai sistem tata air. Besarnya produksi air, selain tergantung pada besarnya curah hujan, juga ditentukan oleh karakteristik dan kondisi DAS maupun cekungan air tanah. Dalam banyak kasus, produksi air telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik, utamanya terkait dengan perubahan fungsi lahan dari yang bersifat meresapkan air ke dalam tanah menjadi kurang/tidak meresapkan air.
Sub-sistem kedua dari keseluruhan sub-sistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan adalah sub-sistem distribusi. Kedudukan faktor distribusi air sangat erat kaitannya dengan (1) jaminan akses rakyat kurang mampu dalam memperoleh sumberdaya air, dan (2) penentuan prioritas distribusi air untuk berbagai keperluan, antara lain untuk rumah tangga, pertanian, industri, dan keperluan sektoral lainnya. Untuk dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, maka pola konsumsi air harus terkait dengan sistem produksi sumberdaya air. Curah Hujan
Tata Air (Produksi)
Tanah, Vegetasi, dll [DAS, Cekungan Air Tanah]
(–)
Air Permukaan
KRP (+) KRP
Tata Ruang Tata Kelembagaan
KRP
KRP
Tata Guna Air (Konsumsi)
Tata Kelola (Distribusi)
KRP = Kebijakan, Rencana, Program
Gambar 1.
Pendekatan ekosistem sumberdaya air
dalam
kebijakan
pengelolaan
36
d. Tahapan Analisis Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis supply-demand dan analisis yang bersifat menggali terjadinya konflik pemanfaatan air, yang bersumber pada akses terhadap sumberdaya air, prioritas pemanfaatan air, dan tidak atau kurang tersedianya air pada musim kemarau. Analisis juga berupaya menggali kemungkinan menerapkan pendekatan konservasi sumberdaya air, misalnya melalui teknik pemanenan air hujan (rainwater harvesting) dan mekanisme insentifdisinsentif, selain prinsip-prinsip efisiensi pemanfaatan air.
Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pelingkupan: Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS. - Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP): Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif KRP pengelolaan sumberdaya air, termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup. - Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan): Mendeskripsi dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak KRP pengelolaan sumberdaya air termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui, menolak atau merevisi usulan dan/atau KRP yang sedang berjalan disertai dengan alasan masing-masing keputusan. - Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP tetap mempertimbangkan LH sesuai dengan saran studi KLHS.
37
e. Sumberdaya yang Digunakan Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan selain memerlukan kapasitas kelembagaan yang koordinatif dan fleksibel, diharapkan juga mampu bersinergi antarsektor dan antarwilayah. Kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan tersebut di atas diperlukan, karena pengelolaan sumberdaya air bersifat lintas wilayah dan melibatkan kepentingan berbagai sektor. Untuk itu, SDM yang digunakan adalah keahlian bidang kebijakan dan regulasi, perencanaan ruang, dan pengelolaan sumberdaya air. Data/informasi yang digunakan bersifat time series meliputi data klimatologi, pemanfaatan sumberdaya air,
kelembagaan pengelola sumberdaya air dan permasalahan pemanfaatan dan konservasi air. Tenaga ahli yang melaksanakan studi ini adalah para pakar pengelolaan lingkungan, pengelolaan sumberdaya air, regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya, sosial-budaya, dan perencanaan wilayah. f. Keluaran - Arahan Kebijakan Produksi Air Berkelanjutan Arahan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi air permukaan dan air tanah secara terintegrasi, guna mengatasi dan mengantisipasi permasalahan kekurangan air, serta mengatasi sebagian akar permasalahan di tingkat hulu yang mendukung terjadinya banjir. Besaran dan keberlanjutan produksi air selain ditentukan oleh besarnya curah hujan, juga ditentukan oleh kondisi daerah tangkapan air (catchment area) DAS. Secara empiris, apabila kondisi tutupan lahan (ground coverage) daerah tangkapan air suatu DAS telah terganggu, maka lebih banyak jumlah air hujan yang menjadi air larian, sehingga jumlah air hujan yang terinfiltrasi berkurang. Berkurangnya jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah akan menurunkan produksi air, terutama di musim kemarau. - Arahan Kebijakan Distribusi Air Secara Efisien, Efektif dan Berkeadilan Mendorong perencanaan peruntukan air permukaan dan air tanah secara jelas, terintegrasi, dan saling mendukung berdasarkan prakiraan dan antisipasi jenis kebutuhan dengan mempertimbangkan potensi sumber daya air. Meningkatkan akses rakyat miskin terhadap perolehan air secara berkelanjutan melalui pelestarian sumber-sumber air, dan meningkatkan infrastruktur agar memadai dengan memberdayakan rakyat.
38
- Arah Kebijakan Konsumsi Air yang Hemat dan Efisien Mendorong efisiensi pemanfaatan air melalui penerapan sistem drainase hemat air. Dengan meningkatnya ketidakpastian jumlah dan waktu ketersediaan air, diperlukan perubahan komoditas pertanian yang dikembangkan di sentra produksi pertanian yang mampu beradaptasi dengan periode kritis air –terutama di daerah-daerah dengan potensi kekeringan besar– agar tidak terjadi kegagalan panen.
Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, perlu mendorong dilakukannya daur ulang penggunaan air untuk kepentingan produksi, serta mendorong pola konsumsi dan distribusi yang hemat air. - Arah Kebijakan Tata Ruang dan Tata Kelembagaan Penyusunan rencana tata ruang yang adaptif, dengan memperhatikan pelestarian sumberdaya air dan daerah resapan melalui proses koordinatif dan partisipatif, diikuti penegakan hukum yang konsisten. Perlu dirumuskan bentuk dan mekanisme cash flow hulu-hilir DAS – termasuk aspek kelembagaan yang diperlukan– menuju pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan berbasis ekosistem DAS, terutama dalam menjaga stabilitas produksi air lintas wilayah. Untuk memberikan kepastian tentang aliran dana pencagaran sumberdaya air ke daerah konservasi (hulu DAS), maka perlu dipertimbangkan pembentukan mekanisme baru cash flow di luar mekanisme aliran dana konvensional. Merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif terhadap aktivitas pemanfaatan ruang untuk pengembangan sumberdaya air, agar kecenderungan menguatnya komersialisasi dalam pengelolaan sumberdaya air tetap lebih memperhatikan kepentingan publik daripada kepentingan korporasi. 3.1.2. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi a. Deskripsi Singkat Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi menggunakan pendekatan Kajian Lingkungan Strategis berupaya untuk memprakarsai langkah-langkah strategis dan upaya terobosan guna mendorong “pelurusan” pola konsumsi dan produksi energi yang sedang berlangsung untuk menuju ke suatu pola yang berkelanjutan.
39
Kajian ini dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh adanya emisi gas buang dan limbah yang timbul dari berbagai kegiatan di bidang energi, sejak proses eksplorasi, eksploitasi, produksi, distribusi dan pemanfaatanya. Konsumsi BBM yang masih menggunakan bensin bertimbal serta penggunaan batubara yang berkadar sulfur tinggi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran udara serta berkorelasi positif dengan
semakin tingginya kadar asam dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir. Permasalahan lain yang diperkirakan masih akan mewarnai konflik antarsektor dan antarkepentingan, adalah kegiatan produksi sumberdaya energi, terutama pada tahap eksploitasi atau penambangan yang dilakukan secara terbuka di kawasan hutan lindung. Kegiatan ini akan menimbulkan kerusakan sumberdaya hutan dan lahan yang berdampak besar dan penting pada lingkungan, dan akan lebih serius lagi apabila areal bekas penambangan tidak dikelola dengan baik. Permasalahan ketiga yang berpengaruh cukup serius terhadap keuangan negara dan upaya pengembangan energi alternatif adalah kebijaksanaan subsidi energi, seperti subsidi terhadap BBM. Apabila kebijakan subsidi BBM tidak diubah maka Indonesia akan mengalami krisis yang lebih berat, yaitu: •
Kebutuhan BBM yang semakin meningkat akan sangat memberatkan keuangan negara, karena beban subsidi semakin membengkak. Di samping itu devisa yang diperoleh dari ekspor minyak yang selama ini menjadi salah satu sumber penting bagi penerimaan negara tidak dapat diharapkan lagi, karena Indonesia akan menjadi net oil importer.
•
Daerah-daerah yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi non-minyak (batubara, gas, biomassa, panas bumi, dan lain-lain) sulit melaksanakannya.
•
Pengembangan PLTA skala kecil dan biomassa di wilayah perdesaan untuk mendorong perekonomian rakyat dan pengentasan kemiskinan tidak dapat dilaksanakan, karena tidak bisa bersaing dengan BBM yang disubsidi.
•
Mendorong terjadinya peningkatan pemilikan kendaraan pribadi yang berakibat pada kemacetan lalu lintas di perkotaan, pemborosan penggunaan BBM serta peningkatan polusi udara.
•
Menyebabkan tidak berkembangnya pemanfaatan energi alternatif dan terbarukan karena tidak mampu bersaing di pasar, mendorong terjadinya penyelundupan ke luar negeri, dan mempercepat Indonesia menjadi net oil importer.
40
Tujuan penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bidang energi ini adalah untuk mendorong para pihak
yang kegiatannya terkait dengan bidang energi agar menerapkan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. b. Tipe KLHS Kebijakan sektoral bidang sumberdaya energi c. Pendekatan dan Metode Kajian ini menggunakan pendekatan yang menempatkan keterkaitan antar komponen dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya energi. Pendekatan ini menunjukkan dua sub-sistem yang harus menjadi perhatian dalam proses pengelolaan sumberdaya energi berkelanjutan. Kedua sub-sistem tersebut adalah sub-sistem peluang dan sub-sistem tantangan. Seluruh daya dan upaya seyogyanya ditujukan untuk mencapai keseimbangan antar sub-sistem atau keseimbangan secara proporsional dalam sub-sistem itu sendiri. Sub-sistem yang menitikberatkan pada peluang sumberdaya energi yang menggali potensi sumberdaya energi tak terbarukan, sumberdaya energi terbarukan, serta dukungan teknologi dan juga peluang daerah untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada di daerah terbuka lebar sehingga memungkinkan dikembangkannya sumberdaya energi alternatif sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Sementara itu, sub-sistem yang menitikberatkan pada tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sumberdaya energi, antara lain: •
Tingginya resiko (country risk) Iklim investasi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini kurang kondusif terutama disebabkan oleh relatif tingginya resiko bila dibandingkan dengan negara-negara lain (resiko politik, keamanan, hukum, peradilan dan KKN). Hal ini sangat berpengaruh pada kegiatan proses produksi sumberdaya energi yang pada umumnya bersifat padat modal dan menggunakan teknologi tinggi. Terbatasnya infrastruktur BBG Saat ini infrastruktur untuk pengembangan gas, terutama prasarana dan saran distribusinya, masih sangat terbatas sehingga gas yang sangat kecil daya cemarnya kurang optimal digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik sebagai substitusi BBM.
41
•
•
Kualitas batubara Walaupun potensi dan cadangan terbukti batubara di Indonesia cukup besar, namun sebagian berkualitas rendah sehingga selain akan menimbulkan permasalahan lingkungan, juga kurang ekonomis untuk dikembangkan (Partowidagdo, Widjajono, 2003).
•
Lemahnya pelaksanaan good governance Eksploitasi sumberdaya alam telah menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan hidup. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak konsistennya pelaksanaan manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam, khususnya dalam masalah pengawasan dan pengembangan mekanisme kelembagaan. Pemerintah dalam hal ini sedang berupaya sekuat tenaga menerapkan good environmental governance yang mengamanatkan prinsip rule of law, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat.
•
Regulasi dan legislasi Produk hukum yang diperlukan untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup di sektor energi didasarkan pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun peraturan yang mengikutinya masih terbatas pada pencegahan pencemaran saja (bagian hilir) dan perlu penambahan peraturan pada bagian “hulu”.
d. Tahapan Analisis - Pelingkupan Mengidentifikasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bidang energi dengan mengetahui potensi sumberdaya energi terbarukan, sumberdaya energi tak terbarukan, dukungan teknologi, dan peran otonomi daerah.
42
- Analisis Kebutuhan dan Penawaran (Demand and Supply) Berdasarkan kondisi dan kebijakan saat ini, perkiraan kebutuhan energi pada tahun 2025 mendatang akan meningkat dua kali lipat jika dibandingkan dengan kebutuhan pada tahun 2000 yang lalu. Kebutuhan energi tersebut didominasi oleh sektor industri dan berturut-turut diikuti oleh sektor rumah tangga, transportasi, dan jasa. Sejalan dengan perkiraan kebutuhan tersebut, pola suplai dan konsumsi energi di Indonesia benarbenar sangat tergantung pada BBM. Jika tidak ada terobosan kebijakan baru, maka proyeksi suplai minyak sampai dengan tahun 2025 mendatang meningkat pesat dan berturut-turut adalah: 2.458 Peta Joule (PJ)/tahun
pada tahun 2005; 2.889 PJ/tahun pada tahun 2010; 3.616 PJ/tahun pada tahun 2015; 4.480 PJ/tahun pada tahun 2020; dan 5.841 PJ/tahun pada tahun 2025. Sementara itu, sumber energi fosil non-minyak seperti batubara dan gas – yang keberadaannya cukup berlimpah– tidak mengalami peningkatan suplai yang signifikan untuk konsumsi dalam negeri sampai dengan tahun 2025. Dari perkiraan tersebut, kontribusi sumberdaya energi renewable secara proposional justru semakin menurun, yaitu dari 31% pada tahun 2000, menjadi 27% pada tahun 2010 dan menjadi 16% pada tahun 2025. Sebaliknya, perkiraan produksi 3 jenis sumberdaya energi yang merupakan komoditi utama perekonomian nasional yaitu minyak bumi, gas dan batubara menunjukkan bahwa produksi minyak bumi semakin menurun, yaitu dari 3.026 PJ pada tahun 2000 menjadi hanya 1.055 PJ pada tahun 2025, sedangkan kedua komoditi andalan lainnya yaitu gas dan batubara semakin meningkat. Hal ini membawa konsekuensi semakin besarnya jumlah impor minyak kita dan sekaligus mendorong semakin besarnya konsentrasi CO2 di atmosfir. Pemanfaatan energi fosil di Indonesia relatif boros meskipun konsumsi per kapitanya relatif kecil bila dibandingkan dengan negara maju. Hal ini antara lain disebabkan oleh harga BBM yang relatif murah karena mendapat subsidi pemerintah. Pemanfaatan energi fosil yang boros, tidak bersih, dan tidak disertai dengan perawatan peralatan yang baik menyebabkan meningkatnya masalah-masalah lingkungan akibat pencemaran udara, serta tidak menjamin keberlanjutannya. Sumberdaya yang Digunakan Pengelolaan sumberdaya energi secara berkelanjutan, selain memerlukan kapasitas kelembagaan yang koordinatif dan fleksibel, juga memerlukan kemampuan bersinergi antar sektor dan antar wilayah. Kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan tersebut di atas diperlukan karena pengelolaan sumberdaya energi bersifat lintas wilayah dan melibatkan kepentingan sektor yang berbeda. Untuk itu, SDM yang digunakan adalah keahlian bidang kebijakan dan regulasi, perencanaan ruang, dan pengelolaan sumberdaya energi. Data/informasi yang digunakan bersifat time series meliputi data potensi sumberdaya energi yang ada, pemanfaatan sumberdaya energi, kelembagaan pengelola sumberdaya energi. Tenaga ahli yang
43
e.
melaksanakan studi ini adalah para pakar pengelolaan lingkungan, pengelolaan sumberdaya energi, regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya, sosial-budaya, dan perencanaan wilayah. f. Keluaran - Arahan Kebijakan Umum Dengan kondisi lingkungan yang semakin menurun kualitasnya, serta semakin menipisnya potensi minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama, maka diperlukan suatu kebijakan untuk memperlambat laju penurunan kualitas lingkungan dan memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di bidang energi yang perlu memperoleh perhatian adalah: •
Dalam pengelolaan energi, fungsi lingkungan hidup perlu dilestarikan dan daya dukung lingkungan perlu menjadi pertimbangan penting sebagai kendala (constraint) dalam proses pengambilan keputusan;
•
Energi yang berasal dari sumberdaya alam yang terpulihkan perlu dilestarikan daya pulihnya; dan
•
Energi yang berasal dari sumberdaya alam tak terpulihkan, pemanfaatannya dilaksanakan searif mungkin dengan memperhatikan kebutuhan intern dan antar generasi.
- Arahan Kebijakan Produksi dan Penyediaan Energi Kebijakan produksi dan penyediaan energi yang ramah lingkungan dilaksanakan dengan menghemat cadangan energi yang tidak terbarukan, antara lain dengan: •
Mendorong dikembangkannya energi yang terbarukan maupun energi alternatif.
•
Mendorong dimanfaatkannya energi terbarukan sehingga kebutuhan rakyat terhadap energi tetap dapat terpenuhi.
•
Inventasi pada tahap produksi harus sudah menginternalisasikan biaya lingkungan agar biaya pemulihan kerusakan dan pencemaran lingkungan tidak dibebankan kepada pemerintah atau rakyat namun kepada para pelaku kegiatan (Polluter Pays Principle).
44
- Arahan Kebijakan Penguatan Security of Supply
Dalam rangka penguatan security of supply, perlu didorong upaya penyediaan bahan bakar campuran yaitu antara BBM dengan bahan bakar yang berasal dari tanaman dan bahan organik lainnya seperti gasohol, biodisel, dan lain-lain. Dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan sangat menguntungkan karena dapat berhemat BBM dan meningkatkan lapangan kerja untuk memproduksi tanaman yang menghasilkan alkohol dan biodisel, serta melindungi lahan dan kerusakan (longsor dan banjir) dan mencegah kekeringan (Hernas, Tatang, 2003). Penggunaan panas bumi dan air secara optimal akan menguatkan security of supply. - Arahan Kebijakan Penghapusan Subsidi BBM • Kebijakan energi yang berkeadilan dilakukan dengan menghapus subsidi BBM secara bertahap, mendorong pengembangan infrastruktur untuk pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif, mendorong pengembangan teknologi ramah lingkungan, serta mendorong penerapan instrumen ekonomi agar sumberdaya energi yang terbarukan dapat memasuki pasar dengan harga yang kompetitif bersama-sama dengan energi tak terbarukan namun ketersediaannya cukup melimpah seperti gas dan batubara. •
Penghapusan subsidi BBM diharapkan dapat: 1) mendorong berkembangnya energi non-BBM, 2) mencegah impor BBM yang berkelebihan di masa mendatang, 3) mengurangi ketidakadilan intern dan antar generasi, 4) mengurangi polusi udara dan konsentrasi emisi gas rumah kaca, 5) penghematan keuangan negara, dan 6) mencegah terjadinya penyelundupan BBM.
•
Pelaksanaan skema-skema subsidi yang diberikan secara selektif dan terarah kepada kelompok rakyat miskin dan rentan penghisapan – terutama di daerah perdesaan dan/atau di daerah tertinggal– perlu didorong dan didukung oleh semua pihak. Alokasi dana subsidi BBM selanjutnya dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur energi alternatif yang ramah lingkungan untuk daerah perdesaan atau daerah terpencil.
45
- Arahan Kebijakan Pemanfaatan Energi yang Ramah Lingkungan Kebijakan pemanfaatan energi yang ramah lingkungan dilakukan dengan mendorong pola-pola penggunaan energi bersih. Untuk transportasi dilakukan terutama dengan mendorong dikembangkannya bahan bakar yang bersih dan rendah emisi, sedangkan untuk industri secara
berangsur-angsur akan memakai energi terbarukan. Selanjutnya, untuk kebutuhan rumah tangga akan didorong ke arah penggunaan energi yang bersih dan efisien. - Arahan Kebijakan Pencegahan Konflik Minimalisasi konflik antar sektor dilakukan dengan pengembangan kepemilikan bersama, dimana pemerintah, pengusaha dan rakyat memiliki akses yang sama dalam mendayagunakan sumberdaya alam dengan memperhatikan rasa kebersamaan, efisiensi dan keberlanjutan. - Arahan Kebijakan Penguatan Pemerintah Daerah Pemerintah pusat perlu melakukan upaya yang sungguh-sungguh guna mendorong pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mengembangkan sumberdaya energi alternatif sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini pemerintah pusat perlu berkoordinasi secara kontinu dengan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan potensi sumberdaya lokal. - Arahan Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Untuk lebih mengembangkan energi yang efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan, perlu didorong kegiatan penelitian dan pengembangan serta sosialisasi hasil-hasilnya kepada pemerintah daerah dan masyarakat luas. Selain itu, potensi limbah sebagai sumber energi alternatif perlu diteliti lebih lanjut kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya – seperti spesifikasi limbah dan masalah pengawasannya– mengingat pada kenyataannya, limbah turut mengkonservasi sumberdaya alam yang akan dijadikan sumber energi, dan dapat mengurangi potensi pencemaran yang ada.
46
- Arahan Program Aksi • Program Pemberdayaan Masyarakat • Program Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah • Program Pembentukan/Pendayagunaan Forum Koordinasi Antarsektor • Program Inventarisasi dan Valuasi Ekonomi • Program Penerapan Insentif dan Disinsentif • Program Motivasi Kepada Inovator • Program Peningkatan Efisiensi dan Pengembangan Energi Bersih
• • •
Program Penaatan terhadap Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berlaku Program Penjajagan Penggunaan Mekanisme Fleksibel Program Penguatan Data dan Informasi
3.1.3. National Urban Environment Strategy (NUES) a. Deskripsi Singkat Kajian Strategi Lingkungan Perkotaan Nasional atau National Urban Environment Strategy Study (NUES) merupakan bagian dari Proyek Pengelolaan Lingkungan Jawa Bagian Barat (Western Java Environment Management Project /WJEMP). WJEMP bertujuan untuk membantu kotakota di Indonesia, terutama di Jawa bagian barat, untuk mengembangkan perencanaan yang baik dalam hal pengelolaan lingkungan, terkait dengan desentralisasi kewenangan ke tingkat kabupaten dan kota. Kajian ini dilaksanakan untuk mengisi kesenjangan kebijakan pembangunan perkotaan, yang tidak mengintegrasikan pengelolaan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan. Disamping itu, kualitas lingkungan perkotaan juga menurun. Idealnya ada perangkat untuk mengintegrasikan komponen lingkungan dengan komponen pembangunan lainnya, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosialekonomi-budaya dari komponen lingkungan. Kajian diharapkan untuk mengembangkan perangkat yang terukur dan sistematik untuk memberikan masukan dalam pengambilan keputusan.
•
Mengembangkan model system dynamic untuk permasalahan generik lingkungan perkotaan guna menyusun strategi lingkungan perkotaan nasional yang dapat diaplikasikan untuk kota-kota di Indonesia.
•
Melakukan identifikasi para pemangku kepentingan
•
Melakukan identifikasi persoalan lingkungan perkotaan.
•
Melakukan simulasi dengan contoh kasus satu kota yang akan ditentukan kemudian berdasarkan ketersediaan data.
•
Studi ini juga bertujuan sebagai media pembelajaran bagi para pembuat keputusan baik di tingkat pusat maupun provinsi dan lokal
47
Kajian bertujuan untuk:
untuk membuat/mengembangkan kebijakan yang baik berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. b. Tipe KLHS Programatik. c. Pendekatan dan Metode Kajian menggunakan pendekatan pemodelan berbasis dinamika sistem (system-dynamics modeling) untuk memetakan struktur isu-isu lingkungan perkotaan. Pendekatan ini dianggap mampu untuk memodelkan perubahan dinamis berdasarkan waktu permasalahan-permasalahan lingkungan perkotaan dan struktur fenomenanya. Model dibangun dengan melibatkan parapihak kunci dan pakar terkait (konsultasi pakar/technocratic counselling). d. Tahapan Analisis
48
- Pelingkupan Isu-isu lingkungan perkotaan yang kompleks, baik di tingkat nasional, lokal (lintas sektor) maupun rakyat, diuraikan dalam diagram alir yang menggambarkan keterkaitan antar sektor yang dalam kajian ini digunakan sektor sampah, air, dan lahan. Untuk itu kajian ini melibatkan parapihak kunci dalam pengambilan keputusan dalam membangun model kelompok. Keterbukaan mereka dalam mengekspresikan asumsinya saat pengambilan keputusan merupakan peluang untuk memahami perilaku permasalahan-permasalahan secara struktural dan menyeluruh.
- Penetapan indikator
+ +
P end uduk + +
+
+
+
-
-
+ K u a lit a s H i d u p
+
Ekono m i
+
Sam pah +
+ -
-
-
La han
+ Lim bah
+
-
K etersediaan A ir -
+
K u a lit a s L in g k u n g a n + +
Ku alitas Air
Gambar 2. Model Global Lingkungan Perkotaan (NUES, 2005)
Dari hasil pemodelan tersebut, selanjutnya disusun indikator-indikator lingkungan kawasan perkotaan sebagaimana terlihat di bawah ini. Sumber Daya Air: 1. Mengurangi konsumsi air bersih sektor industri (volume air per output industri) 2. Mengurangi konsumsi air bersih sektor rumah tangga (volume air per kapita) 3. Mengurangi konsumsi air tanah sektor industri (persentase konsumsi air bersih dari air tanah) 4. Mengurangi konsumsi air tanah sektor rumah tangga (persentase konsumsi air bersih dari air tanah) 5. Meningkatkan kapasitas daya tampung air permukaan, misalnya dengan membuat danau buatan (volume kapasitas daya tampung air permukaan) 6. Meningkatkan imbuhan air tanah, misalnya dengan membangun sistem drainase vertikal untuk jalan dan kawasan permukiman (tinggi muka air tanah)
49
7. Mengurangi jumlah air hujan yang terbuang keluar DAS, misalnya
dengan melakukan penghijauan di daerah hulu (koefisien air limpasan) 8. Memperbaiki kualitas air buangan sektor industri yang dibuang ke badan air (BOD dan COD per volume air buangan) 9. Memperbaiki kualitas air buangan sektor rumah tangga yang dibuang ke badan air (BOD per volume air buangan) Lahan: 10. Menetapkan kawasan lindung bagi daerah aliran sungai dan daerah rawan bencana 11. Melarang alih fungsi lahan dari lahan terbuka menjadi lahan komersial (luas lahan terbuka) 12. Menyediakan lahan konservasi di tiap persil komersial (koefisien dasar bangunan) 13. Menyediakan lahan konservasi di tiap persil hunian (koefisien dasar bangunan) 14. Menetapkan luasan minimum lahan terbuka (luas lahan terbuka) 15. Menyediakan iklim yang kondusif untuk pengembangan industriindustri yang padat informasi sehingga tidak boros lahan industri Sampah: 16. Mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan rumah tangga (timbulan sampah per kapita) 17. Mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA (timbulan sampah kota per tahun) - Pengkajian Indikator-indikator tersebut diuji melalui beberapa pilihan skenario untuk merumuskan strategi lingkungan perkotaan nasional (national urban environment strategy). Skenario-skenario yang digunakan adalah:
50
a) Efisiensi: meningkatkan rasio output per sumber daya yang dikonsumsi, sehingga dapat menghemat sumber daya dan limbah yang dihasilkan. Ada 2 kategori skenario ini, yaitu: 1) menerapkan good housekeeping dan 2) mengganti teknologi;
b) End-of-pipe: mengelola limbah. Skenario ini bersifat padat teknologi dan modal serta membutuhkan proses adaptasi sebelum dapat digunakan secara luas; c) Rekayasa lingkungan: meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan; d) Konservasi lingkungan untuk mempertahankan kondisi alamiah lingkungan; dan e) Partisipatif (partisipasi masyarakat). - Mitigasi Hasil uji berdasarkan skenario selanjutkan dirumuskan dalam Tabel __ berikut ini.
Partisipasi Masyarakat
Konservasi
Rekayasa Lingkungan
End-of-pipe
Strategi (Indikator)
Efisiensi
Tabel 1. Strategi Lingkungan Kawasan Perkotaan
Sumber Daya Air X
2. Mengurangi konsumsi air bersih sektor rumah tangga (volume air per kapita)
X
3. Mengurangi konsumsi air tanah sektor industri (persentase konsumsi air bersih dari air tanah)
X
4. Mengurangi konsumsi air tanah sektor rumah tangga (persentasi konsumsi air bersih dari air tanah)
X
X
X
5. Meningkatkan kapasitas daya tampung air permukaan, misalnya dengan membuat danau buatan (volume kapasitas daya tampung air permukaan)
X
6. Meningkatkan imbuhan air tanah, misalnya dengan membangun sistem drainase vertikal
X
51
1. Mengurangi konsumsi air bersih sektor industri (volume air per output industri)
Partisipasi Masyarakat
Konservasi
Rekayasa Lingkungan
End-of-pipe
Efisiensi
Strategi (Indikator)
untuk jalan dan kawasan permukiman (tinggi muka air tanah) 7. Mengurangi jumlah air hujan yang terbuang keluar DAS, misalnya dengan melakukan penghijauan di daerah hulu (koefisien air limpasan)
X
8. Memperbaiki kualitas air buangan sektor industri yang dibuang ke badan air (BOD dan COD per volume air buangan)
X
9. Memperbaiki kualitas air buangan sektor rumah tangga yang dibuang ke badan air (BOD per volume air buangan)
X
Lahan 10. Menetapkan kawasan lindung bagi daerah aliran sungai dan daerah rawan bencana
X
11. Melarang alih fungsi lahan dari lahan terbuka menjadi lahan komersial (luas lahan terbuka)
X
12. Menyediakan lahan konservasi di tiap persil komersial (koefisien dasar bangunan)
X
13. Menyediakan lahan konservasi di tiap persil hunian (koefisien dasar bangunan)
X
14. Menetapkan luasan minimum lahan terbuka (luas lahan terbuka)
X
15. Menyediakan iklim yang kondusif untuk pengembangan industri-industri yang padat informasi sehingga tidak boros lahan industri
X
X
Sampah X
X
52
16. Mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan rumah tangga (timbulan sampah per kapita)
Partisipasi Masyarakat
Konservasi
X
Rekayasa Lingkungan
Efisiensi
17. Mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA (timbulan sampah kota per tahun)
End-of-pipe
Strategi (Indikator)
X
e. Sumberdaya yang Digunakan Kajian ini membutuhkan data time series dan keahlian khusus pemodelan berbasis system dynamics. f. Keluaran yang Diperoleh Strategi pengelolaan lingkungan perkotaan (lahan, air, sampah).
3.1.4. SENRA Bappenas a. Deskripsi Singkat Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 30/2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ditugasi untuk melaksanakan Kajian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Strategis (Strategic Environmental and Natural Resources Assessment/SENRA). Tujuannya adalah untuk menyediakan panduan pertimbangan lingkungan untuk perencanaan tata ruang dan sektoral berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami di wilayah-wilayah tersebut di atas.
53
Karena proses SENRA secara penuh memerlukan upaya dan biaya yang besar, Bappenas dan UNDP memanfaatkan proses antara yang disebut Proyek Critical Environmental Pressure Points (CEPP). Proses ini penting untuk mengawali pengembangan SENRA dalam skema rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias. CEPP dijabarkan sebagai “suatu upaya untuk mengidentifikasi dan mengkaji aspek-aspek lingkungan yang sudah atau berpotensi akan terpengaruh oleh dampak-dampak negatif
pembangunan. Kegiatan ini mencakup kajian-kajian dalam tahap awal perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias”. Kajian ini bertujuan untuk: • Meningkatkan kesadartahuan publik dan membangun rasa memiliki. •
Memberikan input identifikasi (variabel-variabel titik kritis lingkungan/CEPP) untuk meminimalisir efek-efek dampak negatif.
b. Tipe KLHS Programatik. c. Pendekatan dan Metode Kajian dilakukan dengan pendekatan pemodelan berbasis dinamika sistem (system dynamics modelling), yang menggabungkan model-model dinamika perkotaan dan perdesaan. Model dibangun untuk menjawab pertanyaan apakah kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi menimbulkan dampak terhadap lingkungan (biofisik, sosial dan ekonomi) di Aceh dan seberapa penting penentuan jangka waktu kegiatan dalam mengelola dampak. Model dibangun dengan metode konsultasi pakar (technocratic counseling) dan diuji melalui serangkaian Diskusi Kelompok Terfokus (focused group discussion/FGD) di beberapa kabupaten dan kota terpilih di Nanggroe Aceh Darussalam. FGD juga merekam perilaku berdasarkan waktu aspekaspek pembangunan, dengan perhatian utama pada kegiatan-kegiatan rekonstruksi rumah dan jalan, yang dimasukkan ke dalam model. Selanjutnya, model disajikan kepada parapihak di tingkat provinsi untuk verifikasi dan justifikasi. d. Tahapan Analisis
54
- Pelingkupan Lingkup kajian dibatasi secara geografis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan perhatian utama pada beberapa kabupaten dan kota yang mengalami kerusakan langsung oleh gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, yaitu DAS Krueng Aceh (yang meliputi Kota Banda Aceh dan sebagian Kabupaten Aceh Besar) dan Kabupaten Aceh Jaya. Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dipilih berdasarkan pengamatan rantai suplai sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk kegiatan konstruksi infrastruktur fisik, terutama
perumahan dan jalan. Pilihan atas kedua daerah ini juga dengan mempertimbangkan fakta bahwa konsentrasi tertinggi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di seluruh Provinsi NAD berada di kedua wilayah ini. Kabupaten Aceh Jaya dipilih selain karena dampak kerusakan yang terjadi, juga dengan alasan bahwa kabupaten ini baru terbentuk dan memiliki rencana tata ruang wilayah. Secara teoritis, kajian mencakup lingkungan manusia, yang meliputi komponen biofisik, sosial dan ekonomi. - Penetapan Indikator + + Economy
Population
+
+
-
+ + +
+
+
+ Road
+ + +
-
-
+
+
-
+
Construction Materials
House
+
+
Land
Gambar 3. Model Global CEPP (Bappenas, 2006)
55
Untuk menetapkan indikator, kajian mengembangkan pemodelan lingkungan berbasis dinamika sistem (system dynamics environmental modelling). Dalam membangun model, direkam aspek-aspek pembangunan dan keterkaitan antar aspek yang dianggap penting dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Selanjutnya, parapihak – sebagai calon pengguna model– dapat mengamati permasalahanpermasalahan lingkungan, yang sepenuhnya saling tergantung (interdependent) dan tak dapat dipecahkan secara sektoral. Model ini diharapkan dapat digunakan sebagai simulator kebijakan yang akan diambil untuk memitigasi dampak-dampak potensial.
Model mensistematisir perilaku berdasarkan waktu dari enam aspek pembangunan: 1) pembangunan rumah, 2) pembangunan jalan, 3) kependudukan (kelahiran, kematian, inmigrasi, outmigrasi, dan tenaga kerja), 4) ekonomi (industri, pertanian, dan PDRB), 5) pemanfaatan lahan (permukiman, pertanian, aktivitas ekonomi, dan terbuka), dan 6) bahan baku dan bahan bangunan (bata, kayu, tanah liat, pasir dan batu) ke dalam model. Lima sub-model pertama merupakan model generik pembangunan, sedangkan sub-model terakhir (bahan baku dan bahan bangunan) spesifik untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Kegiatan pembangunan rumah dan jalan dianggap sebagai faktor-faktor pendorong (driving factors) terhadap aspek-aspek pembangunan karena peningkatan intensitas kegiatan-kegiatan tersebut dalam jangka waktu yang sangat pendek (4,5 tahun dari 2005 sampai 2009). Feedback loop antaraspek tergambar pada Gambar 3. - Pengkajian Keenam sub-model disimulasikan dalam asumsi tidak ada intervensi kebijakan (disebut sebagai skenario business as usual/BAU) dan sumber daya dianggap tak terbatas, kecuali lahan dan suplai bahan bangunan. Simulasi menjadi penting untuk memahami bahwa variabel-variabel lingkungan (biofisik, sosial dan ekonomi) sensitif terhadap tekanan dari kedua faktor-faktor pendorong (pembangunan rumah dan jalan) dalam konteks rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Simulasi menggunakan informasi data dasar tahun 2006. Model diujicobakan di dalam tiga lokakarya para pihak di tingkat provinsi, tiga diskusi kelompok terfokus (FGD) di tingkat kabupaten/kota: Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Jaya. Pengamatan lapangan juga dilakukan di tiga lokasi tersebut untuk memastikan perilaku berdasarkan waktu dari aspek-aspek pembangunan yang akan dimasukkan ke dalam model.
56
- Mitigasi Secara teoritis, model dapat memprediksi seberapa besar, dimana dan kapan dampak dapat terjadi apabila skenario BAU tetap dilanjutkan. Sebagai contoh, penggunaan bata untuk dinding rumah ternyata meningkatkan penggunaan kayu bakar sebanyak 2,5 kali lipat daripada kebutuhan kayu bahan bangunan pada tahun 2007 dan menurunkan produksi kayu tebangan (log) hingga nol pada tahun 2010. Dampak terjadi
karena proses pembuatan bata di Aceh masih sangat bergantung pada kayu sebagai bahan bakar tungku pembakaran. Oleh karena itu, penebangan pohon untuk kayu bakar diduga lebih tinggi volumenya daripada untuk bahan bangunan. Hasil simulasi menunjukkan temuan-temuan penting, terutama dampak penggunaan bata dalam pembangunan rumah. Hasil ini dirumuskan dalam Matriks CEPP (lihat Tabel 2). Matriks ini diharapkan dapat menjadi perantara (interface) untuk melihat permasalahan-permasalahan lingkungan di Aceh secara keseluruhan, dimana parapihak dari satu sektor dapat memperkirakan seberapa besar, di mana dan kapan dampak intervensi yang dipilih di sektor mereka berpengaruh terhadap sektor lainnya. e. Sumberdaya Yang Digunakan Membutuhkan data series dan keahlian pemodelan dinamika sistem (system dynamics modelling). f. Keluaran Yang Diperoleh Indikasi awal titik kritis lingkungan dalam hal aspek-aspek biofisik, sosial dan ekonomi.
Tabel 2. Matriks CEPP LINGKUNGAN MANUSIA/HUMAN ECOLOGY Biofisik Elemen
Fungsi
Tanah/Top Soil
Lokasi galian tanah liat
Sosial Komoditi Tanah liat
Fungsi Penerbitan ijin galian tanah liat
Ekonomi Bentuk
Peluang usaha galian tanah liat
Fungsi
Aktivitas/Bentuk
Penambangan tanah liat
Industri bata
Penerbitan ijin galian tanah liat
Pendapatan sektor penambangan tanah liat Pendapatan sektor penambangan tanah liat per kapita
Batu pondasi
Penerbitan ijin usaha galian batu belah
Peluang usaha galian batu belah
Penambangan batu belah
Pendapatan sektor penambangan batu belah Pendapatan sektor penambangan batu belah per kapita
57
Lokasi galian batu belah
Tutupan Lahan/Land Cover
Hutan Produksi
Kayu bakar
Penerbitan ijin usaha industri bata
Peluang usaha industri bata
Penerbitan ijin usaha industri bata
Industri bata Pendapatan sektor industri bata Pendapatan sektor industri bata per kapita
Kayu bulat
Penerbitan ijin usaha industri kayu konstruksi
Peluang usaha industri kayu konstruksi
Penerbitan ijin usaha industri kayu konstruksi
Industri kayu konstruksi Pendapatan sektor industri kayu konstruksi Pendapatan sektor industri kayu konstruksi per kapita
Badan Air/ Water Bodies
Lahan/Land
Lokasi galian pasir
Lahan Budidaya
Pasir
Alih fungsi lahan permukiman
Penerbitan ijin usaha galian pasir
Peluang usaha galian pasir
Perumahan/ Perkotaan
Permukiman
Penambangan pasir
Pendapatan sektor penambangan pasir Pendapatan sektor penambangan pasir per kapita
Lahan Permukiman
Jasa publik: kepemerintahan, konstruksi, transportasi, telekomunikasi, air minum, kelistrikan dll.
Alih fungsi lahan aktivitas ekonomi
Lahan Aktivitas Ekonomi
Aktivitas industri, perdagangan dan jasa komersial: pabrik, pasar, toko, mal, kawasan industri, pelabuhan, jalan ekonomi dll.
Alih fungsi lahan pertanian
Lahan Pertanian
Sawah, ladang, tambak, kebun, perkebunan, hutan produksi
Kawasan lindung
Kawasan lindung
Hutan Lindung, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, sempadan sungai, lereng, dll.
Wirausaha
Kesempatan kerja
Pendapatan per sektor
Fasilitas Umum Fasilitas Sosial Ruang Terbuka Hijau Kota
Lahan Konservasi
Alih fungsi lahan terbuka
Angkatan kerja
Tenaga kerja
Pendapatan per sektor per kapita
Tidak bekerja
Pendapatan per kapita
Inmigrasi Outmigrasi
PDRB
Pendapatan per sektor Pendapatan per sektor per kapita Pendapatan per kapita
58
Udara/Air
Keanekaragaman Hayati/ Biodiversity
Catatan: Udara dan Keanekaragaman Hayati belum dikembangkan. Sumber: Bappenas (2006)
3.1.5. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Andalan Bogor, Depok, dan Bekasi [2004] a. Deskripsi Singkat Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat mengangkat beberapa bagian kawasan sebagai kawasan andalan. Salah satu dari kawasan andalan tersebut adalah Kawasan Andalan Bogor – Depok – Bekasi (Bodebek). Sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kawasan Metropolitan Jakarta, kawasan Bodebek ini telah menunjukkan perkembangan fisik yang sangat pesat dan saat ini telah menunjukkan kecenderungan meningkatnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Degradasi lingkungan hidup di Kawasan Bodebek menjadi perhatian karena menimbulkan dampak negatif terhadap Kota Jakarta. Pengembangan ekonomi Kawasan Bodebek dilakukan dengan cara mendorong pertumbuhan ekonomi melalui program: pengembangan agribisnis; pengembangan industri; pengembangan pariwisata; pengembangan usaha bisnis kelautan; pengembangan jasa; dan pengembangan sumberdaya manusia. Untuk mencapai tujuan pengembangan ekonomi Kawasan Bodebek, dan mencegah terjadinya degradasi lingkungan hidup, maka diperlukan suatu kajian yang bersifat mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan, rencana dan/atau program (KRP) pembangunan. Untuk itu, KLS diharapkan dapat membangun mekanisme pengelolaan lingkungan hidup dimana rakyat dapat terlibat langsung dalam proses penyusunan KRP.
59
b. Tipe KLHS Pembangunan regional
c. Pendekatan dan Metode Pendekatan pelaksanaan KLS Bodebek ini dititikberatkan pada arahan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Argumentasinya adalah bahwa KLS memiliki peran strategis dan positif dalam proses pengambilan keputusan yang diharapkan akan memperbaiki formulasi kebijakan karena telah mengintegrasikan pertimbangan lingkungan pada tahap awal dari proses formulasi kebijakan. Keselarasan pencapaian tujuan ekonomi dan perlindungan lingkungan merupakan syarat terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini perlu diingat kembali bahwa sasaran dari KLS Bodebek ini adalah untuk mempersiapkan wilayah ini dalam rangka pengembangan berbagai kegiatan di masa datang, khususnya mengakomodasikan perkembangan industri. Ditinjau dari sisi pendekatan alur penyusunan, KLS Bodebek akan cenderung sebagai pendekatan top down. Pendekatan ini dilakukan melalui formulasi perencanaan tata ruang (RTRW) yang diupayakan selaras antara Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi. Pengembangan ekonomi wilayah Kawasan Bodebek ini merupakan inisiasi pengembangan kawasan regional yang lebih besar, mencakup Kota Jakarta, dengan menggunakan pendekatan ekosistem daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung – Cisadane. Melalui pendekatan ekosistem DAS ini, maka prinsip-prinsip keterkaitan spasial, kelembagaan, dan antar sektor dapat ditelaah secara terintegrasi sehingga memungkinkan operasionalisasi prinsip dan mekanisme cost and benefit sharing principles. d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pelingkupan: Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS.
60
- Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP): Mengenali dan membandingkan RTRW dan dokumen rencana pengembangan ekonomi lainnya dari Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi, termasuk kemungkinan alternatif perubahannya yang sesuai dengan kepentingan lingkungan hidup.
- Analisis Lingkungan [Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan]: Mendeskripsi dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak KRP pengembangan kawasan andalan Bodebek termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui, menolak atau merevisi usulan dan/atau KRP pengembangan kawasan Bodebek yang sedang berjalan disertai dengan alasan masingmasing keputusan. - Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP tetap mempertimbangkan kepentingan lingkungan sesuai dengan saran studi KLHS. e. Sumberdaya yang Digunakan Mempertimbangkan sifat kajian yang mengarah pada tercapainya keterpaduan pemanfaatan ruang dalam rangka pembangunan ekonomi masing-masing wilayah administrasi, maka sumberdaya yang dibutuhkan adalah kebijakan RTRW dan rencana pengembangan ekonomi masingmasing Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi. Kajian lintas wilayah dalam perspektif sinkronisasi pemanfaatan ruang tersebut memerlukan data sumberdaya air, geologi, energi, transportasi, sosialekonomi, dan data pendukung lain yang relevan. Selain itu, juga dikaji peraturan lain terkait dengan pengelolaan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya Keppres 114/1999. Sebagian besar data pendukung dalam bentuk data time series. Tenaga ahli yang terlibat dalam kajian ini adalah pakar lingkungan, pakar perencanaan lingkungan, pakar hidrologi dan geologi, pakar kehutanan dan pertanian, dan pakar manajemen sistem informasi.
61
f. Keluaran Rekomendasi Kebijakan dan Rencana Pengembangan Kawasan Bodebek:
- Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Ekosistem Pengembangan kawasan Bodebek berkelanjutan memerlukan suatu pendekatan yang bersifat komprehensif dan terpadu. Dengan kata lain, optimasi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya di kawasan Bodebek secara berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan pengelolaan sumberdaya di masing-masing wilayah administrasi Bogor, Depok, dan Bekasi. Untuk itu, kaidah-kaidah eko-efisiensi dijadikan landasan KRP pengembangan kawasan Bodebek, dan Pemda berusaha mendapatkan sertifikat atau mendeklarasikan sendiri ISO 14000. - Rencana Penyebaran Kegiatan Ekonomi Dalam Konteks Tata Ruang a. Jangka Pendek Penyusunan peraturan perizinan yang transparan dan mudah diperoleh pengguna/pemohon terhadap perizinan/izin prinsip dan izin lokasi pemanfaatan ruang dilaksanakan berdasarkan prinsip rencana tata ruang yang ada (sesuai dengan rencana yang ada). Rehabilitasi kerusakan lahan kawasan lindung, suaka alam (konservasi) terutama pada lokasi-lokasi secara spesifik sangat rawan khususnya yang berada pada hulu daerah aliran sungai (DAS) dan daerah imbuhan airtanah (groundwater recharge area). b. Jangka Menengah Koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dan daerah sekitarnya agar dapat disusun keterpaduan rencana yang saling menunjang, dan diupayakan terciptanya sinkronisasi pemanfaatan ruang secara optimal bagi wilayah dan memberikan keuntungan bagi wilayah sekitarnya. Pengaturan kawasan perkotaan di hulu dan di hilir daerah aliran sungai (DAS) agar pertumbuhan dan perkembangannya tetap sesuai dengan daya dukung lingkungan dan selalu memiliki fungsi lindung terhadap lingkungan. Pengaturan pemanfaatan ruang untuk perkotaan ke arah vertikal agar dapat dibatasi pengembangan pemanfaatan ruang ke arah horisontal.
62
c. Jangka Panjang Penyusunan RTRW di tingkat lokal dan regional, dengan mendasari prinsip-prinsip kelestarian ekosistem, perencanaan tata ruang harus mampu memaparkan seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan lahan berkelanjutan dari segi sosial dan ekonomi serta mampu memfasilitasi partnership antara kepentingan pemerintah
daerah, para pelaku ekonomi, komunitas masyarakat lokal/adat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan para ahli konservasi/ahli lingkungan dan sebagainya. Penyusunan program strategis dan pelaksanaan rencana tata ruang harus mampu mengedepankan saling keterkaitan (inter-linkage) antara seluruh sektor dan departemen di lingkungan pemerintah, dan antara lembaga yang memiliki kompetensi atas pemanfaatan berbagai sumber daya. Lebih jauh lagi, perencanaan tata ruang harus memiliki bobot sebagai usaha menciptakan perangkat pembangunan berkelanjutan dan jangka panjang serta kondisi yang berkesesuaian satu sama lain, dan mampu mentolerir kepentingan-kepentingan sosial ekonomi dengan karakteristik kepentingan konservasi dan lingkungan hidup dalam sebuah wadah. - Rencana Pengembangan Transportasi Terpadu Pengelolaan transportasi di kawasan Bodebek seharusnya berlandaskan pendekatan ekosistem yang lebih luas dan khususnya untuk beberapa daerah sensitif, misalnya daerah Puncak merupakan hal yang sangat mendesak untuk dikelola. Untuk daerah sensitif ini pengelolaan transportasi terpadu dilakukan dengan cara membatasi pembangunan jaringan baru dan lebih dititikberatkan pada manajemen lalu lintas untuk mengelola arus lalu lintas yang ada. Langkah ini perlu dikaitkan pula dengan program pengendalian pembangunan fisik di kawasan sensitif ini terutama program pengaturan atas pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi. - Rencana Pengembangan Industri Terpadu Termasuk Pengelolaan Limbah Diperlukan masterplan pengembangan kawasan industri yang terintegrasi (dengan baik) dengan sistem infrastruktur kawasan yang telah ada. Kemudian mensosialisasikan produk kebijakan ini secara luas ke seluruh masyarakat khususnya masyarakat industri. Selain itu langkah yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan suatu mekanisme pengendalian pengembangan industri yang efektif untuk memantau diberlakukannya dan ditaatinya ketentuan-ketentuan dalam rencana pengembangan/pengelolaan lingkungan hidup yang telah disiapkan.
63
- Rencana Penanggulangan Banjir Diperlukan pertimbangan sistem peresapan air dan drainase dalam pembangunan gedung-gedung dan perumahan; rekayasa teknis untuk
menambah imbuhan airtanah di daerah imbuhan air tanah pada setiap cekungan air tanah, antara lain sumur resapan, reboisasi, penggunaan grass block, dan lain-lain; revitalisasi daerah resapan alamiah yang telah rusak seperti situ dan hutan lindung yang berada di daerah imbuhan airtanah; penyadaran rakyat agar tidak membuang sampah dan limbah ke sungai; koordinasi antar instansi dan sektor di daerah perbatasan antar wilayah terutama di kawasan lindung; penyusunan rencana penataan ruang yang mempertimbangkan aspek hidrologis dan banjir; inventarisasi dan evaluasi terhadap izin pengembangan yang telah diberikan kepada pengembang; penerapan koefisien dasar bangunan (KDB) yang rendah bagi daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan utama; penerapan konsep one river one plan one management yang diikuti petunjuk teknis dan operasional; dan penerapan konsep optimasi tata ruang melalui optimasi KDB dan KWT (koefisien wilayah terbangun) dan penetapan sumur resapan di kawasan yang sesuai, penetapan indeks konservasi dan sosialisasi teknis ke stakeholders, penetapan standar elevasi lahan di kawasan terbangun perkotaan, pemasyarakatan low impact development (grass block, ruang terbuka hijau [RTH] publik untuk resapan, RTH kavling untuk resapan), penetapan fungsi dasar bangunan di kawasan flood plain (hilir) seperti bangunan panggung dan pemanfaatan dasar bangunan untuk resapan sementara.
64
- Rencana Pengelolaan Sampah Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan kawasan Bodebek, maka pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, pasar, dan industri dikembangkan melalui prinsip ”minimisasi-daur guna-daur ulang” atau 3 R (reduce, reuse, dan recycle). Prinsipnya, model pengelolaan sampah adalah dengan melaksanakan tiga hal, yaitu a) merumuskan sistem insentif dan disinsentif bagi pelaksanaan prinsip 3 R; b) dukungan komitmen politik, antara lain regulasi pemanfaatan pupuk organik dalam pembangunan pertanian di Jawa Barat, regulasi bidang industri dalam pemanfaatan sampah logam, kertas, dan plastik; dan c) bersinergi dengan industri yang menggunakan bahan baku dari sampah. Tujuan akhir dari keseluruhan upaya tersebut di atas adalah menempatkan pengelolaan sampah dalam konteks realisasi Pembangunan Ramah Lingkungan.
- Mekanisme Kelembagaan Lintas Wilayah Administrasi Untuk mendukung pengembangan kawasan Bodebek sebagai kawasan andalan maka dibutuhkan satu bentuk kelembagaan yang memungkinkan kelembagaan tersebut memiliki otoritas yang kuat, khususnya dalam aspek perencanaan dan pengendalian alih fungsi lahan serta daya dukung lainya. Ada tiga alternatif bentuk kelembagaan, yaitu a) forum koordinasi, b) sekretariat bersama dalam bentuk badan kerjasama pembangunan (BKSP), dan c) penyatuan perencanaan dan pengendalian dalam satu kawasan Jakarta Metropolitan Raya (JMR). 6. Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan, Rencana, dan Program Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur [Bopunjur] [2003] a. Deskripsi Singkat Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) sebagai kawasan yang sangat strategis, baik untuk Provinsi Jawa Barat maupun DKI Jakarta, saat ini telah dan sedang mengalami kerusakan lingkungan yang serius. Hasil kajian menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan tersebut terkait dengan perubahan landscape yang disebabkan oleh kebijakan pengelolaan kawasan yang dilaksanakan oleh Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Permasalahan tersebut umumnya terkait dengan alih fungsi lahan dari bentuk yang mempunyai fungsi lindung tata air dan erosi menjadi mudah tererosi dan kedap air sehingga mengurangi resapan air, munculnya pembangunan yang sulit untuk dikendalikan karena pertumbuhan penduduk dan ekonomi terjadi pada jaringan jalan yang telah ada saat ini, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar lembaga dan antar kabupaten yang masih lemah, dan lemahnya penegakan aturan/hukum.
65
Mempertimbangkan bahwa masalah sinkronisasi kebijakan pemanfaatan ruang antar pemerintah daerah termasuk kerja sinergis antar sektor merupakan salah satu masalah utama terjadinya degradasi lingkungan di Bopunjur, maka diperlukan suatu analytical tool untuk menyelesaikan masalah tersebut. Alat analisis tersebut adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS dianggap efektif untuk menyelesaikan persoalan degradasi lingkungan di Bopunjur karena bersifat memberikan perbaikan pada tingkat sangat awal dalam suatu proses pengambilan keputusan,
yaitu pada tingkat kebijakan, rencana dan/atau program –dalam hal ini pemanfaatan ruang. b. Tipe KLHS Pembangunan regional. c. Pendekatan dan Metode Pendekatan kajian yang digunakan adalah pendekatan ekosistemik, menempatkan objek kajian dalam konteks keterkaitan dengan objek-objek lainnya dalam sistem. Sementara itu, teknik analisisnya menggunakan metode Meta Analysis, yaitu analisis yang dilakukan terhadap laporan, dokumen, dan sumber-sumber lainnya yang telah melalui proses analisis sebelumnya. Dengan kata lain, metode yang digunakan adalah analisis terhadap hasil analisis. Fokus analisis diarahkan pada review kebijakan, rencana, dan program pemerintah pusat dan daerah dalam penataan ruang Kawasan Bopunjur. Review kerangka kebijakan pemerintah dalam penataan ruang secara umum dan secara khusus terhadap Kawasan Bopunjur. Mengkaji berbagai program dan kegiatan sektoral maupun pemerintah daerah yang berkaitan dengan kebijakan strategis pembangunan kawasan, penataan ruang, program dan prioritas pembangunan pariwisata, permukiman, industri, pertanian, prasarana perkotaan dan perdesaan, penguatan kelembagaan serta penataan lingkungan, termasuk pengendalian banjir dan usaha konservasi tanah dan air. Mengumpulkan dan mengkaji berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan kualitas lingkungan di Kawasan Bopunjur. Inventarisasi data, mencakup administrasi wilayah dan kependudukan, kondisi fisik dan sosial ekonomi rakyat, kelembagaan penataan ruang, partisipasi rakyat dan dunia usaha dalam perencanaanpemanfaatan dan pengendalian ruang, kemampuan daerah dan rakyat serta dunia usaha dalam mengatasi konflik pemanfaatan ruang, serta kemampuan dalam mengatasi tindak gawat darurat. d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
66
- Pelingkupan:
Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS. - Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP): Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif KRP yang tertuang dalam bentuk RTRW dan rencana pemanfaatan lahan lainnya dari Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup. - Analisis Lingkungan [Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan]: Mendeskripsikan dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak KRP pengelolaan kawasan Bopunjur termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui dan/atau merevisi KRP pengelolaan Bopunjur yang sedang berjalan disertai dengan alasan masing-masing keputusan. Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP setelah revisi tetap mempertimbangkan lingkungan hidup sesuai dengan saran studi KLHS.
67
e. Sumberdaya yang Digunakan Mempertimbangkan sifat kajian yang mengarah pada tercapainya keterpaduan pemanfaatan ruang dalam rangka pembangunan ekonomi masing-masing wilayah administrasi, maka sumberdaya yang dibutuhkan adalah kebijakan RTRW dan rencana pengembangan ekonomi masingmasing Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Cianjur. Kajian lintas wilayah dalam perspektif sinkronisasi pemanfaatan ruang tersebut memerlukan data sumberdaya air, geologi, energi, transportasi, sosialekonomi, dan data pendukung lain yang relevan. Selain itu, juga dikaji peraturan lain terkait dengan pengelolaan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur, misalnya Keppres 114/1999. Sebagian besar data pendukung dalam bentuk data time series. Tenaga ahli yang terlibat dalam kajian ini adalah pakar lingkungan, pakar perencanaan lingkungan, pakar hidrologi
dan geologi, pakar kehutanan dan pertanian, dan pakar manajemen sistem informasi. f. Keluaran Hasil kajian KRP pengelolaan Bopunjur menunjukkan bahwa belum ada arah yang jelas apakah kawasan Bopunjur lebih ditujukan untuk kepentingan konservasi atau kepentingan ekonomi. Kepres 114/1999 lebih menekankan Bopunjur sebagai kawasan konservasi air dan tanah, sementara Perda No. 2 tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat dan Perda RTRW di Kabupaten Bogor dan Cianjur serta Kota Depok menentukan kawasan tersebut sebagai kawasan andalan, yang lebih berorientasi kepentingan ekonomi. Ketidaksamaan kepentingan (visi) antara pemerintah pusat dengan daerah tersebut di atas perlu dicarikan jalan keluarnya, melalui penyamaan kembali visi pusat dan daerah dalam pengelolaan kawasan tersebut. Hasil analisis terhadap KRP yang ada (Kepres 114/1999, Perda No. 2 Tahun 2003, dan beberapa Perda di Kabupaten Bogor dan Cianjur dan Kota Depok), menunjukkan bahwa isinya lebih mengatur tentang Kebijakan. Sementara untuk Rencana dan Program yang seharusnya merupakan turunan dan sekaligus operasionalisasi dari kebijakan sulit untuk diidentifikasi karena program aksi pada tingkat kabupaten dan kota seringkali didasarkan pada kepentingan sektoral dan daerah. Hasil studi KLS Bopunjur merekomendasikan 4 (empat) aspek yang harus menjadi isu utama dalam penanganan kawasan Bopunjur. Keempat aspek tersebut adalah: 1. Penetapan ulang peruntukan kawasan Bopunjur sebagai kawasan konservasi atau kawasan konservasi yang menyeimbangkan dengan kepentingan ekonomis. 2. Bentuk kelembagaan yang lebih memungkinkan untuk melakukan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian Kawasan Bopunjur yang lebih efektif. 3. Mengembangkan mekanisme cost and benefit sharing antara kawasan hulu-hilir dalam pengelolaan kawasan Bopunjur 4. Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengelolaan kawasan Bopunjur.
68
Rekomendasi yang diusulkan untuk menjawab keempat isu utama adalah sebagai berikut:
Pertama, Kawasan Bopunjur ditetapkan menjadi kawasan yang mempertimbangkan kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi. Kedua pengelolaan kawasan Bopunjur dilakukan melalui satu model kelembagaan khusus, yang didasarkan pada pola pengelolaan one river basin, one plan, one integrated management. Kelembagaan ini melibatkan seluruh stakeholders baik pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kota Depok, serta LSM. Mereka secara bersama-sama duduk dalam satu forum yang difasilitasi oleh pemerintah pusat atau kerjasama antara Provinsi Jawa Barat dengan DKI Jakarta. Ketiga, untuk mendukung dan sekaligus memberikan jaminan bagi setiap daerah agar mentaati kesepakatan tersebut di atas, maka dibutuhkan satu mekanisme pengelolaan kawasan Bopunjur yang melibatkan kepentingan hulu dan hilir melalui prinsip cost and benefit sharing dan responsibility sharing. Alasan implementasi responsibility dan cost and benefit sharing tersebut adalah mempertimbangkan bahwa dampak dari pengelolaan Kawasan Bopunjur akan dirasakan pula oleh daerah hilir (DKI Jakarta). Keempat, untuk memberikan penguatan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan Bopunjur dibutuhkan satu mekanisme insentif dan disinsentif. Melalui mekanisme ini, kelompok yang mematuhi ketentuan akan mendapatkan insentif sedangkan yang melanggar akan mendapatkan disinsentif.
3.1.7. Studi Kajian Lingkungan Strategis Cipamatuh [2001]
69
a. Deskripsi Singkat Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN dan SK Gubernur Jawa Barat No. 520.05/Kep.887-Perek/2000, Provinsi Jawa Barat telah membentuk delapan kawasan andalan. Salah satu kawasan andalan tersebut adalah Kawasan Priangan Timur, atau disebut kawasan andalan Cipamatuh terdiri atas wilayah pegunungan Cikuray, Papandayan, Malabar, dan Patuha. Konsep kawasan andalan merupakan pembangunan wilayah berdasarkan karakteristik potensi sumberdaya lokal. Dalam hal ini pengembangan Cipamatuh difokuskan sebagai kawasan
pengembangan agribisnis. Namun demikian, kebijakan tersebut di atas dinilai perlu untuk dikaji, terutama kajian lingkungan, apakah dapat dilaksanakan sesuai harapan dengan mengurangi sekecil mungkin persoalan-persoalan yang akan timbul terkait dengan program pengembangan Kawasan Andalan Cipamatuh. Untuk itu, karena kajian lingkungan dilaksanakan terhadap kebijakan, rencana, dan program pengembangan kawasan andalan Cipamatuh, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dianggap tepat untuk dilaksanakan. b. Tipe KLHS Pembangunan regional. c. Pendekatan dan Metode Pendekatan yang digunakan dalam studi KLHS Pengembangan Kawasan Cipamatuh adalah sistem pertanian terpadu (mixed farming), yaitu sistem yang mengintegrasikan aliran input dan output antara komponen tanaman dan ternak dalam satu sistem pengelolaan kegiatan pertanian. Secara konseptual, pembangunan kawasan andalan ini memprioritaskan usaha pertanian terpadu, komoditas terpadu, dan wilayah terpadu. Kajian lingkungan hidup strategis dilakukan terhadap kebijakan, rencana, dan program (KRP) termasuk persoalan pengembangan kawasan andalan Cipamatuh. Informasi KRP tersebut diperoleh dari wawancara dan focused group discussion yang melibatkan masyarakat lokal, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat serta instansi lain yang relevan. Identifikasi dan prakiraan dampak terkait dengan implementasi KRP pengembangan kawasan andalan Cipamatuh dilakukan dengan metode menyerupai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (EIA-driven) dengan penekanan pada dampak kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak sinergistik. d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pelingkupan: Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS.
70
- Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP):
Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif KRP yang tertuang dalam master plan pengembangan kawasan andalan Cipamatuh, termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup. - Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan): Mendeskripsi dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak KRP pengembangan kawasan Cipamatuh termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan (mitigasi dampak). Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui dan/atau merevisi KRP pengembangan kawasan Cipamatuh disertai dengan alasan masing-masing keputusan. - Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP pengembangan kawasan Cipamatuh setelah revisi tetap mempertimbangkan lingkungan hidup sesuai dengan saran studi KLHS. e. Sumberdaya yang Digunakan Sumberdaya dan informasi yang digunakan mencakup beberapa komponen yang diperkirakan akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kegiatan pengembangan kawasan Cipamatuh. Komponen yang dikaji adalah iklim, topografi, geologi dan kebencanaan, hidrologi dan kualitas air, agroekosistem, tata ruang dan pengembangan wilayah serta aspek sosial-ekonomi-budaya. Kebijakan yang dikaji adalah substansi SK Gubernur Jawa Barat No. 520.05/Kep.887-Perek/2000 dan beberapa kebijakan dan rencana pengembangan agrobisnis dari beberapa kabupaten di wilayah Cipamatuh. Tenaga ahli yang diperlukan adalah pakar pengelolaan lingkungan, pakar pertanian dan peternakan, pakar sosial, pakar sumberdaya air, dan pakar perencanaan wilayah/tata ruang. f. Keluaran
71
Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan yang diusulkan dari hasil kajian adalah ”Pengembangan Kawasan Andalan Agribisnis Cipamatuh Berbasis Keseimbangan Komoditas Unggulan”. Kebijakan pengembangan kawasan Cipamatuh ini didasarkan pada kaidah-kaidah agroekosistem, yaitu produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan ekuitabilitas. Dengan kata lain, pengembangan kawasan Cipamatuh menekankan pada keseimbangan pengembangan beberapa komoditas unggulan, bukan komoditas unggulan tunggal. Pengembangan komoditas unggulan tersebut dilakukan secara partisipatif dan berangkat dari karakteristik sumberdaya, sosial, dan budaya setempat. Rencana yang diusulkan dari hasil kajian adalah: a) penentuan zona pengembangan agribisnis, termasuk penetapan wilayah untuk kawasan lindung dan pariwisata, dan b) penentuan komoditas unggulan yang akan dikembangkan berdasarkan kesesuaian kondisi lingkungan biofisik dan sosial-budaya. Untuk pengembangan bidang peternakan [sapi potong], penentuan skala pengembangan populasi didasarkan pada daya dukung lingkungan, terutama dari sisi penyediaan pakan ternak, sumberdaya air, dan sistem yang adaptif yang telah berkembang di masyarakat lokal. Selain itu, pengembangan lembaga pengelola agribisnis, termasuk bidang peternakan, didasarkan pada peran pemerintah sebagai fasilitator dengan menekankan masyarakat lokal sebagai subjek pengelolaan agribisnis. Strategi Strategi yang harus dikembangkan adalah melibatkan rakyat pada keseluruhan tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program. Dalam hal ini, yang perlu dikembangkan adalah strategi farmers to farmers learning processes. Selain berdasarkan prinsip pengelolaan partisipatif dan adaptif, strategi pemasaran komoditas, terutama untuk pasar luar negeri adalah komitmen pada produksi ramah lingkungan.
72
Mitigasi Upaya mitigasi dampak negatif lingkungan atas KRP yang diusulkan adalah meliputi keseluruhan subsistem pra-produksi, produksi, dan pasca produksi. Pada tahap pra-produksi upaya mitigasi ditekankan pada aspek penyediaan pakan ternak (untuk komponen andalan bidang peternakan), dan sumberdaya air. Penyediaan pakan ternak dari bahan hijauan diatur agar tidak merusak hutan di sekitar zona pengembangan ternak. Untuk menghindari konflik terkait dengan sumberdaya air, terutama pada
musim kemarau, dilakukan pengembangan sumberdaya air, antara lain melalui teknik pemanenan air hujan (rainwater harvesting). Penanganan limbah ternak dilakukan menggunakan prinsip-prinsip ekoefisiensi, produksi bersih, dan prinsip waste to product.
3.1.8. Studi Dampak Lingkungan Kebijakan, Rencana, dan Program Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta [2001/2002] a. Deskripsi Singkat Studi ini berfokus pada potensi dampak kebijakan di Kota Yogyakarta. Ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan melakukan AMDAL, yaitu tidak menekankan pada spesifik fisik proyek tetapi lebih pada dampak kebijakan yang juga mencakup fenomena non-fisik. Kebijakan ini juga memperhatikan pedoman dan aturan-aturan fungsi pusat Kota Yogyakarta dan aktivitas fisiknya di dalam pusat kota tersebut, maupun interelasinya dengan daerah di sekitarnya (kabupaten tetangganya). Sejalan dengan posisi srategis kebijakan pembangunan pusat Kota Yogyakarta maka dampak potensial yang diakibatkannya bisa menyangkut kepentingan jangka panjang pembangunan pusat Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Hasil dari KLHS ini juga memberikan asupan bagi penapisan kepentingan AMDAL proyek. b. Tipe KLHS Rencana dan program pengembangan pusat perkotaan. c. Pendekatan dan Metode Pendekatan kajian yang digunakan adalah pendekatan ekosistemik, menempatkan objek kajian dalam konteks keterkaitan dengan objek-objek lainnya dalam sistem. Sementara teknik analisis menggunakan metode Meta Analysis, yaitu analisis yang dilakukan terhadap laporan, dokumen, dan sumber-sumber lainnya yang telah melalui proses analisis sebelumnya.
73
Analisis data sekunder [biofisik dan sosek] dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, untuk data dasar, analisis dilakukan dengan menunjukkan kecenderungan perubahan masing-masing data yang dikumpulkan dengan cara menampilkan data tersebut dalam bentuk time series. Analisis pada tahap ini adalah menunjukkan perubahan kondisi awal “tanpa” adanya pelaksanaan usulan kebijakan, rencana atau
program (KRP). Analisis juga menunjukkan keterkaitan antara satu data dengan data lainnya, misalnya keterkaitan antara pemanfaatan atau kebutuhan air bersih dan pasokan air (permukaan dan/atau air tanah). Kedua, analisis dilakukan terhadap prakiraan perubahan kondisi biofisik dan sosek akibat implementasi KRP yang diusulkan dalam rangka revitalisasi Kawasan Malioboro. Analisis bagian yang kedua ini merupakan analisis perubahan kondisi lingkungan “dengan” dilaksanakannya KRP. Beda perubahan kondisi lingkungan antara “tanpa” dan “dengan” usulan KRP akan dimanfaatkan untuk menentukan sejauhmana KRP yang diusulkan dapat diterima, diterima dengan perubahan, atau seharusnya tidak dilaksanakan. Fokus analisis diarahkan pada review kebijakan, rencana, atau program yang diusulkan oleh konsultan perencana revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta dan kebijakan Gubernur DIY. d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pelingkupan: Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS. - Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP): Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif usulan rencana revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta, kebijakan Gubernur DIY tentang pembangunan pusat perkotaan DIY, dan rencana pengembangan ekonomi lainnya dari kabupaten-kabupaten di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup.
74
- Analisis Lingkungan [Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan]: Mendeskripsi dampak lingkungan yang akan timbul akibat program revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak usulan program revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk
menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui dan/atau merevisi program revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta yang sedang berjalan disertai dengan alasan masing-masing keputusan. - Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP setelah revisi tetap mempertimbangkan lingkungan hidup sesuai dengan saran studi KLHS. e. Sumberdaya yang Digunakan Dua dokumen utama yang menjadi kajian adalah usulan rencana revitalisasi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta dan kebijakan Gubernur DIY dalam pengembangan makro dan pusat perkotaan DIY. Rencana pengembangan terdiri atas pengembangan ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, transportasi, dan pengembangan sumberdaya pendukung bidang energi dan sumberdaya air. Selain itu, dikaji juga rencana pembangunan di kabupaten sekitar Kota Yogyakarta. Sebagian besar data yang digunakan dalam bentuk data time series. Tenaga ahli yang terlibat dalam kajian ini adalah pakar lingkungan, pakar perencanaan lingkungan, pakar hidrologi, pakar sosial-ekonomi, pakar pariwisata, dan pengembangan wilayah.
75
f. Keluaran Tujuan studi ini adalah memberikan rekomendasi untuk Sistem Pengelolaan Lingkungan (EMS: Environmental Management System) Pusat Kota Yogyakarta dalam kaitannya dengan kebijakan, perencanaan dan program pembangunan pusat Kota Yogyakarta. Walau prinsip-prinsip kebijakan biasanya tidak berubah dalam jangka waktu yang panjang, namun turunan perencanaan dan program tidak bersifat kaku, sejalan dengan tuntutan dinamika perubahan sosial-budaya, ekonomi dan juga kondisi bio-fisik. Sebagian perubahan tadi merupakan hasil dari dampak langsung kebijakan yang bersangkutan tetapi juga bisa diakibatkan oleh pengaruh eksternal. Dengan demikian, pada akhirnya perlu ada penyesuaian terhadap kebijakan yang ada, termasuk yang terkait dengan urusan lingkungan hidup. Walau berbagai studi telah dilakukan, perubahan yang terjadi terus-menerus ini sering kali tidak mudah untuk
76
diramal sehingga senantiasa menimbulkan situasi ketidakpastian. Sebagai konsekuensi, diperlukan satu studi dengan pendekatan adaptif yaitu Adaptive Environmental Management System (AEMS). AEMS ini merupakan satu sistem yang menangani situasi ketidakpastian yang terkait dengan adanya perubahan dinamis suatu kebijakan dan kondisi lingkungan hidup. Presentasi skematis dari AEMS ini dapat dilihat pada Gambar 1. Manfaat dari AEMS ini dapat digunakan untuk upaya perbaikan secara kontinyu berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi umpan balik kajian kebijakan, perencanaan, dan/atau program (PPP: Policies, Plans, Programs) secara periodik. Hasil yang dinilai paling penting dari penerapan AEMS ini adalah dapat memfasilitasi proses evolusi Kota Yogyakarta sejalan dengan kondisi ekologi, ekonomi dan kesehatan sosial-budaya sebagai bagian dari dinamika Kota Yogyakarta yang selanjutnya diusulkan sebagai the Eco-city of Yogyakarta.
Pemerintah, Legislatif dan stakeholder lain
AEMS KLHS
Monitoring dan Evaluasi
Evaluasi
Evaluasi KRP Yogyakarta Inner City
AEMS
Rekomendasi KRP
RENDED
Rekomendasi KRP
KRP yang diterima
Dampak
Hasil-Hasil Monitoring dan Evaluasi
Feedback Sasaran: 1. Memelihara Poros Mistik Utara-Selatan 2. Sinergi kepentingan-kepentingan ekonomi, sosial and lingkungan 3. Sinergi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
Generasi Pertama
Feedback untuk KRP Revisi Lingkup Studi
AEMS Revisi
AEMS Revisi KLHS
Evaluasi
KRP Revisi
Monitoring dan Evaluasi KRP Yang Diterima
Dampak
Hasil-hasil Monitoring dan Evaluasi
Feedback
Generasi Kedua
Gambar 4. Adaptive Environmental Management System (AEMS), sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.
Menggunakan feedback untuk revisi selanjutnya
KRP Revisi
Generasi selanjutnya
Rekomendasi kebijakan ini diikuti oleh rekomendasi untuk perencanaan dan program. Kebijakan, rencana dan program inilah yang digunakan sebagai landasan untuk revitalisasi the Yogyakarta Inner City (YIC). - Pendekatan Ekosistem Dengan Kepemimpinan yang Kuat Pendekatan ekosistem telah dipilih sebagai dasar bagi usaha revitalisasi pusat kota Yogyakarta. Studi ini terfokus pada Jalan Malioboro dan sekitarnya, yang juga terkait dengan bagian Kota Yogyakarta lainnya dan kabupaten di sekitarnya. Oleh karenanya, diperlukan satu kepemimpinan yang kuat untuk melakukan koordinasi dan menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan. Kepemimpinan yang kuat ini seyogyanya dipegang oleh Gubernur DI Yogyakarta. Rekomendasi 1: Revitalisasi pusat Kota Yogyakarta berdasarkan pendekatan ekosistem membutuhkan kepemimpinan yang baik dan kuat di bawah Gubernur, untuk dapat mensinkronkan program revitalisasi antara pusat Kota Yogyakarta dengan kabupaten-kabupaten lain di DI Yogyakarta. - Penghijauan Pusat Kota Yogyakarta Kondisi Jalan Malioboro relatif masih jauh dari memadai dalam penyediaan pepohonan dan bunga untuk menjadi daya tarik wisatawan. Sangat dimungkinkan untuk menghijaukan Jalan Malioboro dengan mengkombinasikan pepohonan dan bunga dalam bentuk taman-taman kecil sepanjang jalan Malioboro. Program penghijauan ini juga dapat menciptakan pekerjaan tetap maupun sementara. Setiap aktivitas berkaitan dengan perancangan lanskap untuk jangka pendek dan menciptakan pekerjaan paruh waktu. Sementara itu, pemeliharaan taman termasuk pepohonan dan bunga-bungaan akan menjadi pekerjaan tetap yang akan memberi manfaat bagi rakyat.
79
Rekomendasi 2: Membuat Jalan Malioboro kelihatan hijau dan indah yang akan membuat manfaat untuk semua pihak yang berada atau berhubungan dengan jalan tersebut. Penghijauan kembali dimulai dari Tugu ke Keraton dengan membangun taman kecil tetapi fungsional di Hotel Trio dan di taman parkir di sebelah utara Hotel Garuda; kemudian tanaman sepanjang Jalan Panembahan Senopati, dan bundaran yang tanda lalu lintasnya dibuat dari bungabungaan di perempatan Kantor Pos. Selain itu juga tanaman
pepohonan dan bunga-bungaan ditanam secara tersebar di hotel, restoran, toko-toko dan perumahan pribadi. - Falsafah-Sejarah Poros Utara – Selatan Dari Laut Kidul – Krapyak – Gunung Merapi Poros filosofis-historis Utara–Selatan dari Laut Kidul – Krapyak – Gunung Merapi merupakan sebuah mitos. Di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Inggris, banyak cerita atau kejadian mitologis yang hidup di kalangan rakyat. Sebagai contoh, monster Loch Ness, raksasa di Land’s End-Cornwall Skotlandia, dan Pisky. Cerita mitologis ini dituangkan dalam publikasi berupa leaflet dan buku yang ditulis dalam bahasa populer dan seringkali diilustrasikan dengan gambar-gambar rekaan untuk menambah daya tarik objek yang dikunjungi. Leaflet biasanya didistribusikan secara gratis, sedangkan versi buku dengan topik yang sama dijual kepada umum. Rekomendasi 3: Mengingat kekayaan mitologi yang hidup dalam masyarakat, berbagai buku tentang mitos-mitos tersebut dapat dipublikasikan. Sebagai contoh, buku babad tentang poros historisfilosofis Utara – Selatan yang terentang dari Laut Kidul – Krapyak – Keraton – Gunung Merapi. Buku babad ini akan sekaligus dapat mencakup sejarah, falsafah, dan mistisisme rakyat Yogyakarta. - Budaya dan Museum Sejarah Keraton Yogyakarta Hadiningrat adalah sumber budaya dan sekaligus museum sejarah yang masih dapat dilihat sebagai suatu kesatuan. Keraton dengan karakteristik tersebut memungkinkan untuk menjadi suatu faktor penting dalam mengembangkan pariwisata, apabila keunikan budaya keraton tersebut dapat dikemukakan dengan atraktif dan menjangkau masyarakat luas. Cara efektif untuk memasarkan keunikan keraton dapat dilakukan melalui publikasi buku tentang keraton, yang mengeksplorasi hal-hal atraktif tentang keraton termasuk keunikan Alun-Alun Kidul dan Alun-Alun Lor. Contohnya adalah buku tentang Candrasengkala dan berbacam-macam ornamen di dalam keraton. Dalam hal ini, keberadaan pohon beringin di Alun-Alun Kidul dan Alun-Alun Lor dapat menjadi feature yang menarik dari keberadaan Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
80
Rekomendasi 4: Menerbitkan dan/atau memperbaiki metode komunikasi dan eksibisi serta mempublikasikan leaflet dan buku-buku tentang
hal-hal yang atraktif mengenai keraton termasuk keunikan budaya, mitologi dan tradisi-mistis Jawa. - Tata Ruang Jalan Malioboro Dengan dibebaskannya Jalan Malioboro dari kendaraan bermotor dan dikembangkannya wisata budaya, diperlukan penataan Jalan Malioboro dengan baik. Penataan itu menyangkut tempat bagi para pedagang kaki lima (PKL), jalur pejalan kaki, termasuk para penyandang cacad, jalur sepeda, jalur becak, jalur andong dan jalur kereta wisata keraton, juga tempat untuk kegiatan para seniman. Dengan demikian, “roh” Jalan Malioboro dapat dikembalikan, sementara ketertiban tetap terjaga. Untuk menghindari terjadinya konflik sosial, penataan Jalan Malioboro dilakukan berdasarkan pendekatan Atur-Diri-Sendiri, antara lain dengan menyusun sebuah covenant antara para PKL, seniman, pemilik toko dan hotel serta pemandu wisata. Rekomendasi 5. Melakukan penataan ruang Jalan Malioboro dengan menggunakan pendekatan Atur-Diri-Sendiri, antara lain dengan membuat covenant antara pihak-pihak yang berkepentingan. - Membangun Sinergi Dengan Kota dan Kabupaten Pariwisata mempunyai potensi besar untuk pengembangan sinergi Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta (KPPY) dengan kabupaten di sekitarnya. Potensi itu dapat diwujudkan dengan agrowisata dan ekowisata dengan berjalan kaki, bersepeda, berkuda atau kendaraan bermotor melalui jalan pedesaan. Di Inggris, misalnya, jalur berjalan kaki dikembangkan sampai ke kampung-kampung dengan kondisi jalan yang baik. Jalan pedesaan sempit dan berkelok-kelok, tetapi justru disukai oleh para wisatawan yang ingin melihat hal yang berbeda daripada perkotaan. Jalan itu juga dirancang untuk memelihara suasana perdesaan. Penginapan dilakukan di rumah penduduk dan petani (homestead) serta di tempat berkemah (camping ground) dan caravan park.
81
Untuk dapat berkembangnya agrowisata dan ekowisata yang baik diperlukan pemandu (guide) yang profesional yang mengetahui subjeknya dengan baik, misalnya tentang salak, flora dan fauna di daerah wisata serta sungai di bawah tanah. Mereka harus pula mengetahui paling sedikit sebuah bahasa asing, misalnya Inggris atau Jepang. Mereka harus pula terdidik dalam pertolongan pertama pada kecelakaan (first aid) dan
serangan jantung serta membawa pasien ke puskesmas terdekat. Sebuah sistem pelayanan kesehatan perlu pula dibangun. Rekomendasi 6: Membangun agro dan ekowisata dengan transpor berjalan kaki, bersepeda, berkuda dan kendaraan bermotor melalui jalan perdesaan dengan penginapan di rumah penduduk dan tempat berkemah serta dengan pemandu yang profesional. Dibangun pula polisi patroli berkuda. Ekowisata mempunyai potensi besar, namun belum dikembangkan. Paling sedikit terdapat tiga pusat ekowisata potensial, yaitu Bukit Plawangan – Bukit Turgo di Kaliurang dengan Gunung Merapi di latar belakangnya, Wanagama di Gunung Kidul dan Pantai Parangtritis di Bantul. Ekowisata baru di Kulon Progo dapat pula dikembangkan. Ekowisata tidak hanya bersifat sekedar rekreasi senang-senang, melainkan mempunyai pula aspek pendidikan dan ilmiah yang penting. Bukit Plawangan – Bukit Turgo di Kaliurang letaknya tidak jauh dari Yogya. Gunung Merapi yang terletak di latar belakangnya dengan kegiatan vulkaniknya memberi pemandangan yang mengasyikkan, terutama pada waktu terjadi guguran lava. Gunung Merapi terkenal di seluruh dunia karena tipe kegiatan vulkaniknya yang khas. Fauna dan flora pegunungan juga menjadi daya tarik ekowisata. Sebuah Taman Nasional Gunung Merapi sedang dikembangkan. Dalam kaitannya dengan ekowisata ini, seyogyanya Tlogo Putri dipugar dan dikembalikan ke bentuk asli alamiahnya. Perjalanan dari Yogya ke Kaliurang digabung dengan agrowisata melalui jalan perdesaan yang ada tanpa diperlebar. Para wisatawan diberi insentif untuk tidak menggunakan kendaraan pribadinya dengan menyediakan transpor umum dan bus Park-and-Ride yang teratur, aman dan nyaman.
82
Rekomendasi 7: Dalam kerangka Taman Nasional Gunung Merapi dikembangkan ekowisata Bukit Plawangan – Bukit Turgo dengan Gunung Merapi di latar belakangnya dan daya tarik fauna dan flora pegunungan serta dikemas dengan mencakup Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
- Pengembangan Energi Terbarukan (Program Pendukung) Untuk peningkatan pembangunan dan penyebarannya sampai ke perdesaan diperlukan pasokan energi yang memadai. Pasokan energi pada daerah yang luas dengan desa-desa yang terpencar yang mengandalkan sistem distribusi melalui grid akan sangat mahal. Untuk keperluan ini energi yang sesuai ialah energi terbarukan dari biomassa, angin, dan surya. Di tempat tertentu mungkin juga dapat dibangun pembangkit mini energi mikrohidro. Keempat jenis energi ini dapat diproduksi lokal untuk perumahan secara individual di desa yang terpencil sekalipun. Dengan energi ini dapat dikembangkan industri kecil dan menengah, menambah pasokan air bersih dengan memompanya dari tanah, menyediakan layanan pariwisata yang baik dengan air panas dan penerangan listrik. Keuntungan energi dari angin dan surya, dan juga dari sumberdaya air, ialah tidak adanya emisi karbon dalam bentuk CO2. Dengan demikian, penggunaan energi terbarukan tersebut tidak berdampak pada peningkatan pemanasan global. Sifat ini dapat digunakan untuk mendapatkan dana melalui perdagangan karbon dalam kerangka Protokol Kyoto. Rekomendasi 8: Mengembangkan energi biomassa, angin, dan surya untuk mendukung peningkatan pembangunan sampai ke pelosok perdesaan. - Alih Fungsi PKL Pengembangan berbagai jenis wisata dan kegiatan ekonomi lainnya yang direkomendasikan di sini dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Lapangan pekerjaan baru itu dapat digunakan secara terencana untuk mengurangi jumlah PKL di KPPY dengan alih fungsi. Untuk menghindari kerawanan sosial, alih fungsi dilakukan dengan Atur-Diri-Sendiri dengan memberi kesempatan dan insentif kepada para PKL untuk mengambil inisiatif dan menyusun peraturannya secara koperatif dengan pemerintah. Contoh lapangan pekerjaan baru untuk alih fungsi ialah: bisnis persepedaan, yaitu produksi sepeda dan suku cadangnya, perakitan dan perdagangan, penyewaan dan perparkiran sepeda dalam rangka kebijakan transpor terpadu dan pengembangan wisata bersepeda ;
83
•
•
• • • • • • • •
usaha mempercantik Yogyakarta, yaitu pembibitan, penjualan dan persewaan tanaman hias, perancangan dan pembangunan taman, penanaman pepohonan jalan dan tanaman hias serta pemeliharaannya; produksi dan perdagangan pupuk kompos; produksi dan pemasaran suvenir; polisi rangers; pemandu (guide) untuk wisata budaya, agrowisata dan ekowisata; usaha restoran dan penginapan, penyewaan kuda dan sepeda/motor; kurator dan ahli teknik permuseuman; pengembangan energi terperbarukan biomassa, angin dan surya; pengelolaan sampah.
Rekomendasi 9: Merencanakan lapangan pekerjaan yang tercipta dari kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan pariwisata untuk mengurangi jumlah PKL dengan alih fungsi, serta untuk mengeliminasi hinterland DIY sebagai sumber PKL baru dengan mempertinggi pendapatan dan kesejahteraan penduduk. - Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan latihan merupakan syarat mutlak untuk alih fungsi PKL dan untuk menyalurkan kesempatan baru kepada penduduk di luar KPPY. Pendidikan dan latihan itu tidak hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga kerja pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat tinggi, yaitu yang disebut knowledge worker. Dengan demikian, penduduk DIY akan dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja pada tingkat nasional dan global. Agar penduduk di hinterland juga dapat memanfaatkan pendidikan dan latihan tersebut, pendidikan dan latihan diadakan di dekat tempat kegiatan ekonomi baru, misalnya di Wonosari, Gunung Kidul dan Wates, Kulon Progo. Dengan kata lain, dilakukan desentralisasi pendidikan.
84
Rekomendasi 10: Melakukan pendidikan dan latihan dengan kebijakan desentralisasi untuk menyalurkan PKL dan penduduk DIY pada umumnya pada kegiatan ekonomi baru yang tercipta dan untuk menjadi knowledge worker.
3.1.9. Kajian Awal Lingkungan Strategis Jaringan Jalan Sumatera Barat [2003] a. Deskripsi Singkat Kebijakan perencanaan pembangunan yang belum merata serta terbatasnya anggaran pembangunan, telah menyebabkan terjadinya kesenjangan antar kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Distribusi pendapatan antar wilayah dan antar kelompok penduduk tidak merata, bahkan menunjukkan kesenjangan yang meningkat. Hal ini menimbulkan keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk mengembangkan jaringan jalan sehingga dapat membuka daerah terisolir, menstimulasi aktivitas perekonomian di daerah-daerah yang dilalui jalan tersebut, meningkatkan aksesibilitas sosial, ekonomi dan pemerintahan, dan meningkatkan pertahanan keamanan nasional. Namun di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa pengembangan jaringan jalan di kawasan lindung akan meningkatkan penebangan liar secara drastis, perburuan liar, dan perambahan hutan, sehingga dapat berakibat kawasan hilir mengalami banjir di musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Oleh karena itu, untuk pengembangan jaringan jalan yang dapat meningkatkan keuntungan ekonomi daerah sementara dampak negatifnya dapat diminimalkan, maka diperlukan kajian menyeluruh tentang jaringan jalan seperti apa yang sesuai untuk kondisi biofisik dan sosekbud di Sumatera Barat. Untuk itulah diperlukan Kajian Lingkungan Strategis, yaitu kajian lingkungan pada tingkat kebijakan, rencana dan/atau program Perencanaan Jaringan Jalan di Provinsi Sumatera Barat. Kajian lingkungan ini diharapkan dapat mencegah terjadinya permasalahan lingkungan hidup, utamanya yang bersifat lintas wilayah, terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan di Sumatera Barat. b. Tipe KLHS Rencana sektoral bidang transportasi.
85
c. Pendekatan dan Metode Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam implementasi Kajian Lingkungan Strategis terhadap rencana pengembangan jaringan jalan di Provinsi Sumatera Barat adalah seperti tersebut dalam Gambar 1. Pendekatan implementasi KLS tersebut dalam Gambar 1 adalah didasarkan pada sasaran (objective-led transport policy formulation). Dalam
pendekatan ini, sasaran yang akan dicapai dalam pengembangan jaringan jalan menjadi fokus utama. Sasaran tersebut dalam Gambar 1 dapat berkembang sesuai dengan aspirasi stakeholders yang akan diperoleh sebagai hasil pelaksanaan diskusi kelompok terarah (focused group discussion). Apabila sasaran telah disepakati, maka langkah selanjutnya adalah menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang akan digunakan untuk memperoleh sasaran. Alternatif yang diusulkan bervariasi mulai dari soal investasi jaringan jalan, sistem dan jenis transportasi, hingga masalah kendala kapasitas yang terkait dengan jaringan jalan dan moda transportasi yang ada saat ini. Selain itu, suatu rencana pengembangan jaringan jalan ramah lingkungan harus mengupayakan terciptanya sinergi antar sistem transportasi, misalnya jaringan jalan baru (jalan raya dan/atau jaringan jalan kereta api) harus terkait dengan jaringan yang telah ada serta moda transportasi lokal (bus, kendaraan lebih kecil, jenis kendaraan lainnya) sehingga mampu mengurangi terjadinya kemacetan lalu-lintas, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan jalan dan moda transportasi.
86
Setelah menentukan pilihan alternatif yang terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan dan moda transportasi, dilakukan simulasi model atau skenario jaringan jalan. Alternatif-alternatif yang diusulkan seperti tersebut di atas akan diidentifikasi dan dievaluasi dari pertimbangan dan kepentingan lingkungan/ekologinya. Pada tahap inilah prinsip-prinsip yang menjadi acuan KLS akan diaplikasikan terhadap berbagai alternatif yang terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan, sehingga kebijakan yang nantinya akan diambil telah mempertimbangkan aspek lingkungan/ekologi. Dengan kata lain, identifikasi dan evaluasi dampak positif dan negatif yang akan timbul dengan adanya alternatif-alternatif rencana tersebut di atas dapat menghasilkan pilihan alternatif yang paling sesuai dengan aspek lingkungan biogeofisik dan sosial-ekonomi-budaya, dan dengan demikian, diharapkan dapat berkelanjutan.
TUJUAN
Jaringan Jalan yang ramah lingkungan
Penurunan dampak negatif bagi wilayah sekitar
Investasi insfrastruktur jalan [pembangunan, manajemen, dll.]
Investasi transportasi publik [KA, bus dan transportasi massal lainnya]
Perencanaan spasial menentukan jaringan jalan
Perencanaan spasial yang optimal
Menurunnya frekuensi dan waktu tempuh
Peningkatan efisiensi dan kesesuaian dengan sistem transportasi lainnya
Alternatif/skenario-skenario Jaringan Jalan
Identifikasi dan evaluasi dampak alternatif
Gambar 5. Penerapan KLHS Untuk Jaringan Jalan Status KLHS Indonesia 2007
Alternatif terbaik jaringan jalan
Rev Ver, 30 June, 2007
Menurunnya emisi CO2
Inovasi teknologi dan efisiensi BBM
Perubahan moda transportasi [dari mobil ke kereta api]
Hambatan dalam kapasitas transportasi
Ukuran fiskal [pajak, insentif]
SASARAN
OPSI
ALTERNATIF
EVALUASI
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
87
Penurunan angka kecelakaan lalulintas
d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pelingkupan Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS. - Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif KRP yang tertuang dalam master plan jaringan jalan Sumatera Barat dan regional Sumatera, termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup. - Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan) Mendeskripsikan dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan, dan mengevaluasi dampak KRP jaringan jalan Sumatera Barat termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan (mitigasi dampak). Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL. - Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan Menyetujui dan/atau merevisi KRP jaringan jalan Sumatera Barat disertai dengan alasan masing-masing keputusan.
e. Sumberdaya yang Digunakan Review kebijakan, rencana, atau program pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan jaringan jalan di Provinsi Sumatera Barat, yang meliputi review kerangka kebijakan pemerintah dalam penataan ruang secara umum dan secara khusus di Provinsi Sumatera Barat. Mengkaji berbagai program dan kegiatan pemerintah daerah maupun sektoral yang berkaitan dengan kebijakan strategis pengembangan jaringan jalan, penataan ruang, program dan prioritas pembangunan pariwisata,
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
88
- Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP Memastikan apakah implementasi KRP jaringan jalan Sumatera Barat setelah revisi tetap mempertimbangkan lingkungan hidup sesuai dengan saran studi KLHS.
permukiman, industri, pertanian, prasarana perkotaan dan perdesaan, serta penataan lingkungan. Review berbagai studi dan kegiatan pengembangan jaringan jalan yang telah selesai, sedang berjalan, dan masih dalam proses penyusunan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan jaringan jalan di Sumatera Barat. Mengumpulkan dan mengkaji berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, utamanya yang terkait dengan pengembangan jaringan jalan. Inventarisasi data dan informasi, antara lain kondisi fisik dan sosialekonomi rakyat, kelembagaan penataan ruang, partisipasi rakyat dan dunia usaha dalam perencanaan-pemanfaatan dan pengendalian ruang, kemampuan daerah dan rakyat serta dunia usaha dalam mengatasi konflik pemanfaatan ruang, serta kemampuan dalam mengatasi tindak gawat darurat. SDM yang digunakan dalam studi KLHS ini melibatkan pakar pengelolaan lingkungan, ahli transportasi, perencanaan wilayah, dan ahli pertanian dan kehutanan. f. Keluaran Rekomendasi yang dihasilkan dari KLHS Jaringan Jalan Sumatera Barat adalah sebagai berikut: - KRP Penyusunan Jaringan Jalan Di Sekitar Kawasan Hutan Pengembangan jaringan jalan yang melintasi kawasan hutan, terutama kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, perlu disertai dengan suatu mekanisme pengendalian pemanfaatan jaringan jalan untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan, antara lain dengan cara: §
89
§
Pengendalian secara fisik, misalnya pembuatan jalan layang dan pemagaran pada lokasi yang memenuhi syarat finansial dan tidak mengganggu jalan satwa hutan. Untuk hal yang terakhir ini diperlukan kajian tentang rute/koridor satwa lokal. Pengendalian yang bersifat regulatif, misalnya dalam bentuk Perda tentang pendirian pos-pos pengawasan (check point) pemanfaatan lahan dan hasil hutan oleh Dinas Kehutanan dan Dinas Perhubungan. Perda harus dilaksanakan secara konsisten termasuk sanksi bagi pelanggar peraturan.
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
- KRP Penyusunan Jaringan Jalan Terhadap Pengembangan Wilayah Agar dapat mendukung pengembangan ekonomi wilayah secara optimal, penyusunan jaringan jalan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan sektor basis. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan sektor basis adalah analisis location quotion (LQ). Oleh karena itu, penyusunan jaringan jalan harus didahului dengan analisis sektor basis yang dapat dilakukan dengan menggunakan analisis LQ. - KRP Penyusunan Jaringan Jalan Terhadap Pengelolaan Transportasi Pengelolaan jaringan jalan di suatu daerah harus dilakukan secara menyeluruh termasuk pengelolaan antara jalan tol dengan jalan bukan tol (terutama lanjutan dari jalan tol). Dalam hal komersialisasi jalan ini (pengembangan jalan tol), perlu dipertimbangkan dampak negatif oleh adanya praktek monopoli pengelolaan jalan tol. Selain itu, pengelolaan jaringan jalan harus dilakukan secara partisipatif termasuk penerapan prinsip-prinsip “cost and benefit sharing” antara pengembang jalan dan rakyat yang tanahnya dimanfaatkan untuk jalan.
- KRP Penyusunan Jaringan Jalan Terhadap Kualitas Udara (InsentifDisinsentif) Untuk mengurangi tingkat pencemaran udara (penurunan emisi CO2) yang disebabkan oleh aktivitas transportasi, maka selain diperlukan pengelolaan lalu-lintas yang meningkatkan kelancaran arus lalu-lintas, diperlukan pula upaya pendukung, antara lain dalam bentuk keringanan harga (insentif) bagi pemakaian kendaraan berbahan bakar tanpa timbal (unleaded) dan/atau insentif bagi pengguna kendaraan tidak bermotor, terutama sepeda. Insentif yang sama juga diberikan kepada mereka yang menggunakan kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi CO2 SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
90
- KRP Penyusunan Jaringan Jalan Terhadap Tata Ruang Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan implementasi RTRW, proses dan mekanisme penyusunan RTRW diupayakan adaptif terhadap kondisi biofisik dan sosekbud lokal, koordinatif antar sektor, dan melibatkan stakeholders yang relevan dengan maksud dan tujuan penyusunan RTRW. Dalam konteks pengembangan jaringan jalan, salah satu tujuan penyusunan RTRW adalah menentukan jaringan jalan yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian lokal dan regional. Penyusunan jaringan jalan, baik pada tingkat kabupaten/kota, antar kabupaten/kota, dan antar provinsi harus mengacu pada RTRW masingmasing tingkatan tersebut di atas dan tidak bertentangan dengan RTRW nasional. Dengan kata lain, RTRW menentukan jaringan jalan.
minimal (ramah lingkungan). Salah satu insentif yang dapat diberikan adalah pengurangan pajak atas kendaraan bermotor ramah lingkungan. Mempertimbangkan kecenderungan terjadinya penyusunan jaringan jalan yang tidak terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, meningkatnya kemacetan dan pencemaran udara serta oleh adanya ketidakterpaduan dalam penyusunan jaringan jalan antar kabupaten/kota dan antar provinsi, maka diperlukan suatu panduan atau arahan penyusunan jaringan jalan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
3.1.10. Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kawasan Cirebon dan Sekitarnya (Cireme Watershed) a. Deskripsi Singkat Gunungapi Cireme merupakan salah satu dari deretan gunungapi yang tersebar dari barat ke timur di bagian tengah Pulau Jawa. Tubuh Gunungapi Cireme berbentuk kerucut asimetri dengan puncak tertingginya 3.078 m. Tubuh Gunungapi Cireme diperkirakan terbentuk dalam 2 (dua) perioda pembentukan, selama ribuan tahun pada akhir perioda Plio-Plistosen (2 – 1 juta tahun yang lalu). Tubuh Gunungapi Cireme dikatagorikan masih terbentuk terus sampai sekarang (karena Gunung Cireme masih dikatagorikan sebagai gunungapi aktif). Meskipun demikian, saat ini erosi merupakan tenaga pembentuk bentangalam utama di gunung ini.
Gunung Cireme yang menyendiri sangat menentukan iklim lokal, sehingga ada bagian wilayah yang bersuhu lebih rendah dan curah hujan SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
91
Kemiringan lereng Gunung Cireme berkisar antara 8 – 450, dengan kisaran sudut lereng dominan antara 15 – 30 0, termasuk di dalamnya bagian puncak Gunung Cireme. Bagian lereng dengan kisaran 30 – 45 0, umumnya merupakan lereng dari Endapan Vulkanik Tua Gunung Cireme. Gunungapi Cireme merupakan lokasi mata air yang penting bagi Kota Cirebon, daerah imbuhan air tanah bagi CAT Sumber–Cirebon, CAT Majalengka dan CAT Kuningan, hulu Sungai Kumpulkuista, Ciwaringin, Cigranala, Winong dan Jamblang, serta hulu anak-anak Sungai Cisanggarung dan Cimanuk. Tubuh gunungapi Cireme terletak di bagian tengah rangkaian pegunungan sedimen, menempati sekitar 20% dari luas Kawasan Ciayumajakuning dan merupakan daerah imbuhan air tanah utama bagi Cekungan Air Tanah Kuningan, Majalengka dan Sumber – Cirebon.
yang lebih tinggi dari bagian lain. Bentang alamnya dibentuk oleh gunung api, barisan bukit batuan tua yang membujur mulai dari Jawa Tengah sampai Jatiluhur, serta endapan pantai, endapan sungai, maupun endapan volkanik yang antara lain menjadi dataran banjir di bagian Utara. Pada musim kemarau sebagian besar sawah beririgasi di Kawasan Ciayumajakuning mengalami kekurangan air, seperti terlihat dari banyaknya petani yang harus menimba atau memompa air dari saluran irigasi terdekat, baik secara perorangan atau berkelompok. Petani bahkan harus berebut air dengan perkebunan tebu. Di Kabupaten Indramayu dan Cirebon kondisi ini diperburuk oleh kemungkinan masuknya air laut (air asin) ke sawah melalui sungai dan saluran irigasi. b. Tipe KLHS Programatik. c. Pendekatan dan Metode Dari lingkup dan tujuannya jelas bahwa kajian ini merupakan kajian kewilayahan yang bersifat makro, yang ditujukan untuk perumusan kebijakan regional. Agar dapat dijabarkan dalam panduan yang lebih operasional diperlukan kajian yang lebih rinci. Operasionalisasi tersebut dapat dilakukan dengan kajian AMDAL atau audit lingkungan.
Kajian diawali dengan mencoba mengkonseptualkan atau mencitrakan ekosistem alami Gunung Ciremai dan daerah aliran sungainya sampai ke pesisir. Berdasarkan geomorfologi kawasan yang dicitrakan oleh gunung, sungai dan garis pantai tersebut akan dicoba dijadikan dasar untuk mengkonseptualkan sub-sistem Gunung Ciremai. Diperkirakan bahwa informasi sekunder, terutama peta yang diperlukan untuk mengkonseptualkan ekosistem Gunung Ciremai ini belum cukup rinci untuk dapat mendeliniasi batasan ekosistem ataupun sub-ekosistemnya. Karena telah dapat dibayangkan bahwa konseptualisasi ini masih jauh dari keadaan nyatanya.
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
92
Keseluruhan kajian ini dilakukan berdasarkan data dan informasi sekunder. Sehubungan dengan luasnya wilayah yang harus dikaji dan terbatasnya sumber yang mendukungnya, maka pengukuran atau penyigian lapangan belum dapat dilakukan pada tahap ini. Sedangkan konfirmasi dan verifikasi atas informasi yang diperoleh hanya dapat dilakukan dengan lokakarya dan diskusi informal.
Sejak berabad pada ekosistem ini sesungguhnya telah terjadi aktivitas dan perkembangan yang secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan ekosistem ini. Perkembangan ini terus terjadi dan permintaan akan pelayanan ekosistem ini akan terus meningkat. Oleh karena itu dalam kajian lingkungan strategis ini dicoba ditelaah dinamika aktivitas dan perkembangan di kawasan ini. Dari telaah inilah akan dicoba dirumuskan permasalahannya dan direkomendasikan tindakan yang diperlukan. d. Tahapan Analisis Analisis kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan dalam kegiatan ini baru pada tahap pelingkupan yang mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS. Setelah mengetahui isu-isu dan dampak perting yang perlu dikaji kemudian ditentukan mintakat atau kawasan yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan kebijakan yang harus diputuskan oleh pemimpin daerah. e. Sumberdaya yang Digunakan Peta Isohyet (Peta Curah Hujan) yang dibuat oleh BMG (1972), BMG dan Bakosurtanal (1993) dan PPAB Cimanuk – Cisanggarung (2003). Review keterkaitan antara bentang alam (geomorfologi) dengan iklim yang membuahkan tata air yaitu: sistem hidrologi (air permukaan) dan geohidrologi (air tanah dalam), wilayah biologis (bioregion) sampai tapak biologis (biosite). Review perkembangan interaksi masyarakat manusia dengan lingkungan buatannya, serta kemampuan institusi yang harus menjaga keselarasan antara sistem alami dengan sistem buatan.
1. Kawasan Pegunungan Sebagai Kawasan Lindung Penentuan kawasan atau peningkatan keseluruhan wilayah ekosistem Gunung Ciremai menjadi empat kawasan yaitu pegunungan, SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
93
f. Keluaran Perlu dipahami bersama bahwa untuk menjadikan KLHS ini suatu kebijakan, perlu ada konsensus dan proses politik, yaitu proses untuk menentukan pilihan. Proses ini bisa merupakan dialog yang berkepanjangan yang tidak dapat diikuti oleh kajian ini. Tampaknya kajian hanya dapat memberikan saran, tetapi tidak memutuskan. Oleh karena itu KLHS yang akan disusun ini bukan untuk menilai kebijakan. Paling tidak KLHS ini dapat menjadi acuan atau saran menuju adanya kebijakan bersama berlandaskan pada ekosistem Gunung Cireme mengenai beberapa subjek sebagai berikut:
perbukitan, pedataran dan pesisir, belum mempunyai sifat mengatur. Permintakatan ini baru pada tingkat klasifikasi dan membakukan sifat yang ada. Oleh karena direkomendasikan agar kawasan pegunungan seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, sedang kawasan lain merupakan kawasan budidaya yang secara parsial mempunyai kawasan lindung. 2. Peta Kawasan Lindung Penetapan kawasan lindung hendaknya didasarkan pada peta rupabumi dengan skala sekurang-kurangnya 1 : 5.000 untuk kawasan pegunungan dan perbukitan, dan peta skala 1: 10.000 untuk kawasan pedataran dan pesisir. Saat ini belum ada peta yang dapat digunakan untuk menetapkan batas kawasan lindung secara akurat. Berdasarkan peta rupabumi berskala 1: 25.000 yang tersedia di Bakosurtanal dapat diindikasikan batas kawasan lindung, tetapi belum memadai untuk melaksanakan kegiatan di lapangan.
4. Budidaya Di Kawasan Pedataran Kawasan pedataran yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka telah selama sekitar seratus tahun memproduksi gula dan dewasa ini dalam kondisi sangat merosot. Industri gula berkaitan dengan perkebunan tebu, dan perkebunan tebu berkaitan dengan perkebunan tebu, dan perkebunan tebu berkaitan pengairan yang berhubungan dengan ekosistem Gunung Cireme. Berhentinya produksi gula memang tidak disebabkan oleh pengairan, walaupun demikian pasokan air oleh sistem pengairan yang ada juga telah menunjukkan kecenderungan menurun. Kondisi perairan ini telah dikaji secara mendalam, sehubungan dengan kegiatan proyek. Selanjutnya diperlukan tindakan untuk mengatur pemanfaatan dan SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
94
3. Aktivitas Di Kawasan Pegunungan Kawasan pegunungan merupakan lokasi mata air dan tandon air. Di lain pihak di kawasan ini juga ada kegiatan penggalian bahan bangunan. Untuk melakukan kegiatan yang tepat terhadap dampak pengambilan bahan bangunan tersebut, hendaknya segera dilakukan audit lingkungan terhadap penggalian tersebut. Audit hendaknya ditujukan untuk memastikan pengaruh galian tersebut terhadap tata air terutama air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Dapat dimengerti bahwa penggalian bahan bangunan tersebut disebabkan oleh adanya permintaan yang terus meningkat oleh kegiatan konstruksi di daerah perkotaan terutama Jakarta. Karena itu perlu dipertimbangkan menunjuk lokasi dan sumber bahan bangunan lain.
pengelolaan air tersebut. Revitalisasi industri gula sendiri memerlukan kajian dan kebijakan yang mendalam mengenai: pertanian tebu (bibit dan teknik cocok tanam), petani tebu, hubungan pertanian tebu dengan pabrik gula, tehnologi pabrik gula dan manajemen produksi gula. 5. Perkembangan Perkotaan Di Kawasan Pedataran Kawasan padataran, terutama yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon mengalami tekanan perkembangan permukiman terutama karean perkembangan Kota Cirebon. Oleh karena itu Kabupaten Cirebon merupakan wilayah yang paling tinggi pertumbuhan penduduknya. Perkembangan ini akan mengurangi atau paling tidak menekan kawasan pertanian dan produksi pertanian di kawasan pedataran Kabupaten Cirebon. Oleh karena itu pada pedataran Kabupaten Cirebon ini perlu ditentukan secara cermat bagian mana yang sebaiknya dipertahankan sebagai tanah pertanian dan bagian mana yang dapat dikembangkan sebagai kawasan permukiman. 6. Kawasan Pesisir Pada kawasan pesisir inilah sesungguhnya terjadi konsentrasi penduduk, tetapi air tanah dangkal di kawasan ini sebagian merupakan air payau. Dengan demikian bagian kawasan ini sangat tergantung pasokan air bersih dari luar. Selain itu kawasan ini juga merupakan daerah penerima polutan dan sedimen yang berasal dari hulunya, karena itu berkepentingan dengan pengelolaan sungai yang bermuara di kawasan ini. Sejauh mana polusi dan sedimentasi ini terjadi perlu dikaji lebih mendalam.
95
7. Pengelolaan Sungai Selama ini perhatian lebih banyak ditujukan pada sungai yang dianggap besar yaitu Sungai Cimanuk dengan debit rata-rata 20m3/detik, panjang 90 km, dan Cisanggarung dengan panjang 59,75 km. Kedua sungai tersebut perlu terus menerus dipantau dan kedua sungai tersebut perlu ditetapkan sasaran berapa besar debit minimum maksimumnya dan apa upaya yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut. Sungai kecil lainnya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, karena seperti halnya dengan bagian Pulau Jawa lainnya di kawasan ini juga bakal mengalami kelangkaan air.
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
8. Pengembangan Tata Penyelenggaraan Pengendalian Sistem Gunung Cireme Walaupun telah ada kesadaran dan niat untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan yang terkoordinasikan, tetapi karangka dan wadah untuk menyelenggarakan koordinasi tersebut masih harus dibangun. Karena itu direkomendasikan untuk membentuk wadah koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan yang mencakup seluruh kawasan ekosistem Gunung Cireme. Dimengerti bahwa badan perencanaan di daerah terpisah dari organisasi yang melaksanakan perencanaan, sedangkan pemantauan tidak menjadi kegiatan yang eksplisit dalam organisasi, tetapi implisit dalam badan perencanaan maupun organisasi pelaksanaan. Oleh karena itu wadah koordinasi tersebut harus dapat memfasilitasi koordinasi perencanaan, koordinasi perencanaan dengan pelaksanaan dan koordinasi dengan pelaksanaan saja. Sedangkan untuk pemantauan yang perlu dilakukan adalah koordinasi tentang apa yang akan dipantau dan bagaimana pemantauan harus dilakukan. Pelaksanaan pemantauan dapat dilakukan oleh masing-masing badan atau organisasi yang bertanggung jawab, tetapi hasil pemantauan harus dapat diakses oleh semua pihak. Koordinasi tidak dilakukan untuk segala segi, tetapi hanya untuk aspek-aspek khusus. Dalam kaitannya dengan ekosistem Gunung Cireme yang perlu dikoordinasikan adalah: pengelolaan air, pengawasan dan pengendalian hasil hutan dan bahan galian (pasir dan batu). Koordinasi terutama dalam kaitannya dengan sumber, permintaan dan pemasokannya.
MEMBANDING BEBERAPA INISIATIF KLHS
Maria Partidario, seorang yang dikenal sebagai “the Mother of SEA”, dalam Workshop IAIA (Asosiasi AMDAL Internasional) di Hanoi menjelaskan bahwa semakin banyak negara Asia memperkenalkan dan menerapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), bahkan Cina dan Vietnam telah menetapkan KLHS dalam sistem legal dan mewajibkan pelaksanaannya. Ditegaskan bahwa KLHS ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan isu-isu lingkungan hidup dan keberlanjutan dalam opsi strategis sehingga dapat mendorong mencari jalan menuju pencapaian pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu KLHS harus memiliki perspektif yang luas, holistik, dan terintegrasi dalam satu masa jangka panjang.
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
96
3.2.
Secara konseptual, KLHS merupakan satu bagian proses pengambilan keputusan pembangunan mulai dari kebijakan strategis sampai dengan pelaksanaan proyek, seperti yang tergambar dalam skema di bawah ini. KLHS terdiri dari Policy Environmental Assessment (EA), Programmatic EA, Regional EA, Sectoral EA, dan sebagian dari kegiatan Project EA –overlap dengan kegiatan AMDAL. Pendekatan KLHS diasumsikan dapat diterapkan dalam kondisi yang membutuhkan jalur pendek dan cepat, pengetahuan dan pemahaman komprehensif, dan intervensi fleksibel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KLHS merupakan suatu alat (tool) strategis untuk mengintegrasikan kegiatan yang dioperasikan secara strategis dan ini menjadikan KLHS berbeda dengan AMDAL.
EA across sequential decision making process
ESP Environmental Sector Program
Partidario (2002: 656)
Gambar 6. Peran KLHS Dalam Pengambilan Keputusan Pembangunan
97
Berdasarkan konsep SEA di atas dan mengkaji sejumlah kegiatan-kegiatan kajian yang terkait dengan KLHS di Indonesia, dapat diindikasikan bahwa cakupan kegiatan-kegiatan tersebut setidak-tidaknya telah menyentuh keseluruhan aspek dari KLHS, seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini.
SEA Status Report in Indonesia
Rev Ver, 30 June, 2007
Tabel 3. Pengalaman KLHS di Indonesia
Kebijakan Pengelolaan SDA&LH Bidang Air (2004)
Kebijakan Pengelolaan SDA&LH Bidang Energi (2004)
National Urban Environment Strategy (NUES) – (2005)
Strategic Environmental and Natural Resource Assessment (SENRA) – (2006)
SEA Status Report in Indonesia
Pendekatan & Metode
Tahapan Analisis
Sumberdaya yang Digunakan
Keluaran yang Diperoleh
Ekosistem DAS (kasus P. Jawa); analisis supply-demand air; analisis konflik akses terhadap sumberdaya.
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Data time series; kebijakan daerah; tenaga ahli kebijakan & analisis air.
Rekomendasi: 1) arah kebijakan pengelolaan SDA air yang berkelanjutan di Jawa; 2) formulasi perencanaan tata ruang; 3) tata kelembagaan yang mendukung.
Analisis supply-demand energi; valuasi ekonomi sumberdaya energi alternatif.
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Data potensi energi tak-terbarukan dan proyeksi permintaan energi.
Rekomendasi: 1) daftar energi alternatif yang potensial dikembangkan (bio energy); 2) program aksi pemanfaatan energi alternatif; 3) peningkatan kapasitas daerah dalam pengembangan energi alternatif.
Program
Pemodelan lingkungan berbasis dinamika sistem; konsultasi pakar
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi
Membutuhkan data time series & keahlian pemodelan.
Strategi pengelolaan lingkungan perkotaan (lahan, air, sampah).
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Membutuhkan data time series & keahlian pemodelan.
Indikasi awal titik kritis lingkungan dalam aspek biofisik & aspek sosek.
Program
Analisis Titik Kritis Lingkungan; pemodelan lingkungan berbasis dinamika sistem.
Tipe KLHS
Kebijakan
Kebijakan
Rev Ver, 30 June, 2007
98
Judul Studi
KLHS Kawasan Andalan Bogor – Depok – Bekasi (2004)
KLHS Kebijakan, Rencana, ProgramKawasan Bogor – Puncak – Cianjur (2003)
Studi KLHS Cipamatuh (2001)
Tipe KLHS
Regional
Regional
Regional
KLHS Kawasan Gunung Ciremai (2001)
Regional
Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan, Rencana & Program
Regional
SEA Status Report in Indonesia
Pendekatan & Metode
Tahapan Analisis
Sumberdaya yang Digunakan
Keluaran yang Diperoleh
Evaluasi kebijakan RTRW Bodebek dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Kebijakan RTRW Bodebek; data pendukung (sosek, biofisik).
Rekomendasi: 1) peruntukan tata ruang yang lebih ramah lingkungan; 2) rencana pengelolaan transportasi terpadu; 3) rencana pengelolaan industri; 4) kelembagaan terpadu Bodebek.
Evaluasi kebijakan RTRW Kab. Bogor dan Cianjur dalam konteks pembangunan berkelanjutan; ekosistem DAS Ciliwung.
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Kebijakan RTRW Kab. Bogor dan Cianjur; Keppres No. 14 th. 1999; data pendukung (sosek, biofisik).
Rekomendasi: 1) penyesuaian tata ruang Kab. Bogor dan Cianjur, utamanya konservasi kawasan Puncak; 2) keterpaduan tata ruang Kab. Bogor, Kab. Cianjur, Kab. Depok dan DKI Jakarta dalam konteks pengendalian banjir; 3) formulasi kompensasi kawasan hulu oleh kawasan hilir.
Agro-ekosistem; pengembangan ekonomi wilayah utamanya peternakan dan pertanian; analisis kebijakan; FGD.
Pelingkupan; Penetapan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
RTRW Prov. Jawa Barat; KRP pengembangan pertanian/peternakan Prov. Jabar.
Rekomendasi: 1) penetapan komoditas andalan pertanian/peternakan kawasan Cipamatuh; 2) mitigasi dampak negatif terkait dengan komoditas andalan; 3) kelembagaan lokal pengembangan komoditas andalan.
Ekosistem DAS; analisis daya dukung, analisis kebijakan.
Pelingkupan; Penetapan kriteria dan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Data geo-hidrobiofisik; data sosek dan kelembagaan.
Rekomendasi zonasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung lingkungan.
Analisis pusat pertumbuhan kota;
Pelingkupan; Penetapan kriteria
RTRW Prov. DIY; program revitalisasi
Rekomendasi: 1) integrasi aspek lingkungan dalam program revitalisasi
Rev Ver, 30 June, 2007
99
Judul Studi
Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta (2001)
Kajian Awal Lingkungan Strategis Dalam Rangka Penyusunan jaringan Jalan Provinsi Sumatera Barat (2003)
SEA Status Report in Indonesia
Tipe KLHS (perkotaan)
Pendekatan & Metode
Tahapan Analisis
Sumberdaya yang Digunakan
Keluaran yang Diperoleh
analisis daya dukung.
dan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
pusat perkotaan Malioboro.
pusat perkotaan (sektor energi, air tenaga kerja, transportasi, dan budaya); 2) pengurangan emisi CO dalam rangka CDM.
Formulasi kebijakan penyusunan jaringan jalan berdasarkan sasaran; FGD.
Pelingkupan; Penetapan kriteria dan indikator; Pengkajian; Mitigasi.
Panduan penyusunan jaringan jalan (Bina Marga); RTRW Prov. Sumbar; Rencana pengembangan jaringan jalan di prov. sekitar Sumbar; data pendukung sosek dan biofisik Prov. Sumbar
Rekomendasi: 1) Mitigasi dampak jaringan jalan terhadap sumber daya hutan (Kelok Sembilan); 2) Jaringan jalan untuk pengembangan ekonomi dan tata ruang wilayah.
Sektoral
Rev Ver, 30 June, 2007
100
Judul Studi
Hasil kajian-kajian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan untuk memasukkan konsep KLHS dalam sistem legal di Indonesia menjadi semakin penting dan mendesak. Hal ini didorong oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. Menjamin pencapaian tujuan pembangunan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berikut PP No. 7 tahun 2005 tentang RPJM tahun 2004 – 2009. Lebih dari itu juga untuk mengakomodir penerapan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. b. Mengurangi konflik vertikal (hirarki pusat-daerah) dan horizontal (antar daerah) dalam pelaksanaan pembangunan, termasuk juga konflik kepentingan sektoral. Perlu adanya satu mekanisme perumusan kebijakan pembangunan yang holistik dan bersifat integratif sehingga memberikan manfaat yang optimal. c. Menjamin kelestarian dan kemampuan sumberdaya alam dalam mendukung kebutuhan pembangunan saat ini dan masa yang akan datang. Tingginya tingkat deplesi sumberdaya alam mempengaruhi terutama ketersediaan sumber bahan pangan dan energi, serta berbagai bencana alam yang membesar dampaknya akibat peningkatan tekanan penduduk menjadi indikator kuat keadaan riel keterdesakan kebutuhan akan pengendalian pembangunan secara strategis. d. Pelaksanaan AMDAL Regional secara formal tidak lagi menjadi wajib setelah diterbitkannya PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL. Hal ini berarti untuk mengakomodir keperluan kajian lingkungan hidup pada tingkat regional dibutuhkan satu tool yang lebih tepat dan disinilah diperlukan KLHS regional.
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
101
e. Butir-butir di atas mengindikasikan masih lemahnya monitoring atau pengawasan dan pengendalian manajemen pembangunan.
4. A PLI K A SI K LH S D I M A SA D EPA N
B
erbagai inisiatif KLHS yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah tumbuh kebutuhan untuk mengintegrasikan sedini mungkin pertimbangan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan yang lebih ke “hulu” dari tingkat proyek –yakni pada tingkat kebijakan, rencana, atau program pembangunan. Instrumen pengambilan keputusan mengenai kelayakan lingkungan pada tingkat proyek pembangunan –yang dikenal dengan AMDAL– dipandang belum atau tidak cukup untuk mencegah sedini mungkin dampak lingkungan yang akan timbul. Dari Workshop AMDAL se-Asia yang diadakan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2007 di Hanoi dan Konferensi International Association for Impact Assessment (IAIA) pada tanggal 4 – 8 Juni 2007 di Seoul, diperoleh gambaran terkini tentang perkembangan kajian dampak lingkungan di tingkat Asia dan dunia, sebagai berikut:1 • Dari seluruh partisipan yang hadir di dalam Workshop AMDAL se-
Asia (mewakili 13 negara), dan Konferensi IAIA diperoleh informasi bahwa KLHS mulai berkembang di berbagai negara. Bahkan seluruh negara di Asia sudah memperkenalkan KLHS di dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup. Sebagian besar negaranegara di Asia kini tengah melaksanakan atau sudah memiliki berbagai pilot project yang menerapkan KLHS. Beberapa negara yang tengah melakukan pilot project KLHS ini telah menyadari pentingnya pengaturan KLHS dalam sistem legal mereka.
Memorandum Nomor M-10/Bid-Eva/PDL/I/06/2007, 14 Juni 2007, yang diterbitkan oleh Kepala Bidang Evaluasi dan Tindak Lanjut di Asisten Deputi Pengkajian Dampak Lingkungan.
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
102
1
• Dapat diketahui bahwa di antara
negara-negara Asia yang melaksanakan KLHS, Vietnam dan Tiongkok telah menempatkan KLHS dalam sistem hukum mereka dan mewajibkan pelaksanaan KLHS. Beberapa negara lain seperti Iran dan Filipina juga telah menempatkan KLHS dalam sistem hukum mereka namun dengan pelaksanaan KLHS yang bersifat sukarela. Kepala Bidang Evaluasi dan Tindak Lanjut di Asisten Deputi Pengkajian Dampak Lingkungan yang menghadiri fora tersebut menyimpulkan bahwa penetapan KLHS secara wajib telah mendorong penerapan KLHS secara meluas.
4.1. PROSPEK PENGEMBANGAN KLHS DI INDONESIA Dengan melihat bahwa KLHS di Indonesia sudah mulai dicoba sejak tahun 1998 dan perkembangannya dibandingkan dengan banyak negara Asia dan dunia, dapat dikatakan bahwa perkembangan KLHS di Indonesia tergolong lambat walau tidak dapat dikatakan tertinggal. Di lain pihak, dalam dekade terakhir ini kita melihat pula beberapa perkembangan penting di Indonesia, yaitu: • Menguatnya kewenangan kabupaten dan kota sebagai pemerintah
daerah otonom dalam menjalankan roda pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sementara di lain pihak, integrasi pertimbangan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kebijakan, rencana, dan program belum diketahui atau belum merupakan suatu kebutuhan. • Instrumen alokasi dan peruntukan ruang yang dituangkan sejak
diterbitkannya UU No. 24 Tahun 1992, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan UU No. 26 Tahun 2007, belum berperan efektif sebagai pemberi arahan dan pengendali bagi sistem pemanfaatan ruang yang: a) efisien dan produktif; b) dapat menciptakan pemerataan pembangunan antar wilayah; dan c) mampu mengurangi bahkan mencegah kerusakan sumber daya alam dan lingkungan (P4W LPPM IPB 2006; Universitas Indonesia 2006; Fakultas Teknik Universitas Krisnadwipayana 2006; Institut Teknologi Bandung 2006). • AMDAL yang telah dikenal luas di Indonesia sejak 1986 belum
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
103
menjadi instrumen yang efektif untuk pencegahan dampak lingkungan karena lemahnya peraturan perundang-undangan tentang AMDAL dan lemahnya pentaatan hukum. Sebagai contoh,
sebagian besar proyek-proyek pembangunan pemerintah pusat maupun daerah yang tergolong wajib AMDAL justru tidak melakukan telaahan dan penyusunan AMDAL. Kondisi ini menunjukkan bahwa di tahun-tahun mendatang terbuka peluang yang lebar dan luas bagi KLHS untuk diperkenalkan, disosialisasikan, dan dilembagakan di Indonesia. Di lain pihak, belum efektifnya berbagai instrumen pengelolaan lingkungan –khususnya penataan ruang dan AMDAL– menjadi bahan pertimbangan penting pula untuk meletakkan strategi adopsi dan implementasi KLHS di Indonesia. 4.2. ALTERNATIF ADOPSI KLHS DI MASA MENDATANG Sebelum langkah-langkah adopsi KLHS diutarakan, penting untuk dikemukakan terlebih dahulu beberapa prinsip pengarah (guiding principles) untuk mengimplementasikan KLHS. Prinsip-prinsip pengarah dimaksud adalah (Sadler dan Verheem 1996; Sadler dan Brook 1998): • Sesuai kebutuhan (fit-for-the purpose) • Berorientasi pada tujuan (objectives-led) • Didorong motif keberlanjutan (sustainability-driven) • Lingkup yang komprehensif (comprehensive scope) • Relevan dengan kebijakan (decision-relevant) • Terpadu (integrated) • Transparan (transparent) • Partisipatif (participative) • Akuntabel (accountable) • Efektif-biaya (cost-effective)
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
104
Masalahnya kemudian adalah bagaimana agar tercipta iklim yang kondusif sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip tersebut dapat diimplementasikan. Iklim dimaksud pada dasarnya dapat diwujudkan bila dibangun tata kelembagaan (institutional arrangement) yang tepat untuk itu, yang antara lain meliputi: • terdapat kebijakan dan peraturan perundangan yang jelas; • adanya formulasi eksplisit tentang lingkup aplikasi KLHS yang diperuntukkan bagi pengambilan keputusan; • terdapat ketentuan-ketentuan (antara lain peraturan perundangan) dan tanggung jawab yang harus dipenuhi; • adanya pedoman yang mengatur tentang proses dan prosedur KLHS; • adanya ketentuan atau persyaratan untuk keperluan kendali manajemen;
• adanya mekanisme untuk kendali mutu (quality control), termasuk
dalam hal ini telaahan terhadap implementasi dan keluaran KLHS. Tata kelembagaan (institutional arrangement) semacam inilah yang tampaknya harus dibangun untuk adopsi dan pengembangan KLHS. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu kita ketahui terlebih dahulu beberapa tipe atau model kelembagaan KLHS yang telah dikembangkan di beberapa negara. Ragam tipe atau model kelembagaan KLHS dimaksud adalah sebagai berikut: Tipe 1. KLHS telah menjadi kebijakan resmi dan peraturan perundangan KLHS diimplementasikan secara formal karena telah menjadi kebijakan resmi dan diatur dalam peraturan perundangan. Tipe 2. KLHS diaplikasikan untuk Rancangan Peraturan Perundangan dan Usulan Kebijakan KLHS disusun atau diaplikasikan untuk proses pengambilan keputusan pada tingkat tinggi. Sebagai contoh, KLHS disusun sebagai masukan untuk DPR atau Kabinet. Di beberapa negara yang menganut sistem ini, KLHS disusun secara luwes dan menggunakan prosedur yang minimum. Tipe 3. KLHS diaplikasikan untuk Rencana dan Program Pembangunan Sektor dan ruang tertentu yang memerlukan aplikasi KLHS ditetapkan secara umum atau didefinisikan secara spesifik dalam suatu daftar. Misalnya jenis rencana dan program tertentu yang perlu aplikasi KLHS, atau lokasi tertentu yang dipandang perlu aplikasi KLHS. Penyusunan KLHS diselenggarakan sebagai bagian yang integral dan iteratif dengan proses formulasi rencana dan program, ketimbang sebagai dua prosedur formal yang terpisah. Tipe 4. Aneka ragam KLHS Dalam tipe ini terdapat lima macam KLHS yang umumnya sering dijumpai di negara-negara yang belum memiliki kebijakan resmi tentang KLHS namun tengah bergerak ke arah adopsi dan penguatan KLHS. Lima macam KLHS tersebut adalah:
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
105
Tipe 4.1. KLHS berbasis AMDAL (EIA-based) KLHS tipe ini diselenggarakan sebagai bagian dari peraturan perundangan AMDAL (sebagai contoh, Belanda), atau diselenggarakan terpisah dari proses AMDAL namun prosedurnya masih berkaitan (contoh: Canada).
Tipe 4.2. KLHS yang berorientasi menilai implikasi lingkungan (environmental appraisal) KLHS tipe ini berciri menilai implikasi lingkungan dari kebijakan dan program pembangunan yang akan diluncurkan dan diselenggarakan melalui proses yang relatif tidak formal (contoh: Inggris). Tipe 4.3. KLHS diselenggarakan di dua jalur (dual track system) Beragam tipe KLHS diaplikasikan dalam berbagai proses yang berbeda atau terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, di Belanda KLHS yang ditujukan untuk menilai implikasi lingkungan suatu peraturan perundang-undangan menempuh proses yang berbeda dengan KLHS untuk rencana dan program. Tipe 4.4. KLHS terintegrasi dalam sistem kebijakan dan perencanaan terpadu (integrated policy and planning system) Elemen-elemen KLHS terintegrasi dengan proses formulasi kebijakan dan program (contoh: Selandia Baru). Tipe 4.5. KLHS yang berorientasi menilai keberlanjutan (sustainability appraisal) KLHS tipe ini berorientasi menilai secara terpadu (lingkungan hidup, sosial, ekonomi) keberlanjutan kebijakan dan program pembangunan yang akan diluncurkan (contoh: Inggris).
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
106
Menilik ragam KLHS yang telah diselenggarakan di Indonesia dan memperhatikan perkembangan terkini yang terjadi di Asia dan di negaranegara maju, maka format kelembagaan yang dipandang layak untuk pengembangan KLHS di Indonesia pada tahun-tahun mendatang adalah sebagai berikut: 1) Untuk menjamin KLHS diaplikasikan dengan baik dan berdaya guna, maka KLHS harus ditopang oleh kebijakan resmi dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan ini disarankan berupa Peraturan Pemerintah agar dapat diadopsi secara luas oleh sektor dan daerah. 2) Peraturan Pemerintah dimaksud perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu memayungi keanekaragaman tipe KLHS yang hendak dikembangkan di Indonesia. Seperti telah diutarakan pada Bab 4, dalam satu dekade terakhir ini berbagai aneka tipe KLHS – atau yang hampir serupa KLHS– telah dicoba dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan atau peraturan pemerintah dimaksud harus dapat membuka ruang dan menjadi landasan hukum bagi para pihak yang ingin mengaplikasikan:
a. KLHS pada tingkat kebijakan nasional (misalnya kebijakan energi nasional, kebijakan pengelolaan sumber daya air nasional) b. KLHS pada tingkat rencana pembangunan (misalnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/Daerah, atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah) c. KLHS pada tingkat regional (misalnya Rencana Tata Ruang Wilayah, rencana pengelolaan Daerah Aliran Sungai) d. KLHS pada tingkat sektoral (misalnya kebijakan transportasi di Pulau Jawa, kebijakan pertambangan di pulau-pulau kecil). 3) Peraturan
perundangan dimaksud harus secara eksplisit mengungkapkan sifat atau status KLHS (wajib atau sukarela). Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi sebagai berikut:
a. Bila KLHS bersifat wajib, maka ada tiga konsekuensi yang akan dihadapi. Pertama, kemungkinan besar akan timbul penolakan dari sektor (departemen) dan pemerintah daerah. Penolakan terutama muncul karena merasa ada tambahan pekerjaan yang dipandang tidak perlu. Terlebih di era otonomi daerah sekarang, kewajiban untuk menyelenggarakan KLHS akan lebih ditanggapi oleh pemerintah daerah otonom sebagai upaya pemerintah pusat untuk mengontrol kembali pemerintah daerah. Kedua, merujuk pada fakta bahwa sebagian besar proyek pembangunan pemerintah yang tergolong wajib AMDAL justru tidak melakukan penyusunan AMDAL, maka besar kemungkinan hal serupa akan timbul pula ketika KLHS diwajibkan. Ketiga, kalaupun ada sektor atau daerah yang melakukan KLHS terhadap kebijakan, rencana, dan program pembangunan, besar kemungkinan KLHS yang dilakukan lebih ditujukan untuk memenuhi kewajiban ketimbang digunakan sebagai instrumen untuk mendorong keberlanjutan (sustainability) kebijakan, rencana, dan program-program pembangunan.
b. Bila KLHS tergolong sukarela, maka ada dua konsekuensi yang
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
107
dihadapi. Pertama, besar kemungkinan tidak banyak sektor atau daerah yang akan menerapkan KLHS karena ketidaktahuan tentang peran, manfaat, lingkup dan prosedur aplikasi KLHS. Terlebih lagi jika penyelenggaraan KLHS bersifat sangat fleksibel, dan tidak deterministik seperti AMDAL. Sementara kalangan aparatur pemerintah umumnya membutuhkan panduan teknis untuk penyelenggaraan kebijakan, rencana, program atau proyekproyek pembangunan. Kedua, walau kemungkinan yang
menyelenggarakan KLHS terbatas jumlahnya, namun KLHS tersebut pasti dilaksanakan karena didorong oleh kesungguhan dan niat untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan lingkungan ketimbang karena semata untuk memenuhi persyaratan formal. Dalam waktu mendatang ini perlu dikaji secara kritis dan mendalam pilihan yang tepat untuk status KLHS di Indonesia, apakah wajib atau sukarela. Pandangan para pihak di pusat dan daerah perlu digali secara partisipatif. 4) Dipandang
penting untuk disusun, dikembangkan, dan dilembagakan suatu pedoman praktis (practical guidance) KLHS dan dikomunikasikan secara intensif kepada para pihak.
5) Sejauh mana keterlibatan rakyat dalam KLHS perlu didesain secara
benar dan matang untuk menghindari terjadinya persoalanpersoalan baru yang kemudian mengakibatkan beban sosial (social cost) yang lebih besar. 6) Diperlukan kendali mutu untuk memastikan KLHS diselenggarakan
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
108
secara sistematis, bertahap, terencana, dan bermutu sejak tahap kebijakan, rencana, hingga program.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004 – 2009, Sinar Grafika, Jakarta Anonim, 2005. Undang-Undang Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Anonim, 2004. Program-Program Kementerian Lingkungan Hidup, KLH Jakarta Anonim, 2006. Profil kemeterian Lingkungan Hidup, KLH, Jakarta Anonim. 2006. Kajian terhadap Aspek Lingkungan tentang Perda RTRWP. Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dengan PPLH Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Anonim. 2002. Keputusan Menteri Kimpraswil No. 327 Tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Annandale, D. dan J. Bailey. 1999. Strategic Environmental Assessment Project. Asian Development Bank. Chaker, A., K. El-Fadl, L. Chamas dan B. Hatjian. 2005. A review of strategic environmental assessment in 12 selected countries. Environ. Impact Asses. Rev. (in press). Dalal-Clayton, B. dan B. Sadler. 2005. Strategic Environmental Assessment: A sourcebook and reference guide to international experience. Earthscan Publ. Ltd., London, UK. 470 pp. Fakultas Teknik Universitas Krisnadwipayana (2006) Revisi Undang-Undang Penataan Ruang No 24 Tahun 1992. Proceeding. Round Table Meeting III antar Perguruan Tinggi, 13 Juni 2006. Jakarta. Institut Teknologi Bandung (2006) Pembahasan RUU Penataan Ruang. Proceeding. Round Table Meeting V antar Perguruan Tinggi, 22 Agustus 2006. Bandung
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
109
Lee, N. dan F. Walsh. 1992. Strategic environmental assessment: an overview. Project Appraisal. Vol. 7:126 – 136.
Nilsson, M., A. Bjorklund, G. Finnveden dan J. Johansson. 2005. Testing a SEA methodology for the energy sector: a waste incineration tax proposal. Environ. Impact Assess. Rev. (25):1 – 32. Nooteboom, S. 2000. Environmental assessments of strategic decisions and project decisions: interactions and benefits. Impact Assessment and Project Appraisal, Vol. 18, No. 2:151 – 160. Beech Tree Publ., Surrey, UK. ODPM. 2003. The UK Directive on Strategic Environmental Assessment: guidance for planning authorities. Office of the Deputy Prime Minister (ODPM). London. 66 pp. Partidario, M. R. 1994. Key issues in Strategic Environmental Assessment. NATO/FEARO research project. Ottawa, Canada. Partidario, M. R. 1996. Strategic environmental assessment: key issues emerging from recent practice. Environmental Impact Assessment Review. Vol. 16, No. 46:31 – 35. -------- (2000) Elements of an SEA Framework – Improving the Added-Value of SEA. Environmental Impact Assessment Review 20 (2000) 647–663. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB (2006) Mengenai Substansi “Naskah Akademik” RUU Penataan Ruang dan RUU Penataan Ruang. Proceedings. Round Table Meeting I antar Perguruan Tinggi, 20 April 2006. Bogor
SEA Status Report in Indonesia
Rev.Ver. 30 June, 2007
110
Sadler, B. dan R. Verheem. 1996. Strategic Environmental Assessment: Status, Challenges and Future Directions. Ministry of Housing, Spatial Planning and the Environment. The Netherlands and the International Study of the Effectiveness of Environmental Assessment. Soerjani, Mohamad, et.al., 2006. Lingkungan Hidup; Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, IPPL, Jakarta Therivel, R. dan A.L. Brown. 1999. Methods of strategic environmental assessment. In Petts, J. (ed.): Handbook of Environmental Impact Assessment. Vol. 1. Blackwell Science, Oxford, UK. Therivel, R. 2004. Strategic Environmental Assessment in Action. Earthscan Publications Ltd., London, UK. 276 pp. Tunggal, Arif Djohan, 2001. Peraturan Perundangan Lingkungan Hidup, Buku 1, Harvindo, Jakarta Universitas Indonesia (2006) Revisi Undang-undang Penataan Ruang No 24 Tahun 1992. Proceedings. Round Table Meeting IV antar Perguruan Tinggi. Jakarta