DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks Catatan Kuliah: PL-4201 Perencanaan Partisipatif. 2007. Penerbit ITB. Bandung.
Departemen Kehutanan. 1995. Pedoman Penetapan Zonasi Taman Nasional. Dirjen PHPA. Bogor. Harjasoemantri, Koesnadi. 1996. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. McKinnon, J. K Mckinnon, G Child, J Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Moleong, Lexy.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, Deddy. DR. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi & Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakrya. Bandung. Parwoto. 2004. From Community Participation for Citixen Participation. URDI. Vol. 16. Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methond, Second Edition. Sage Publication. Los Angeles.
White, Alastair.1981. Community Participation in Water and Sanitation : Concepts Strategies and Methods. Technical Paper Series. Vol. 17. World Health Organitation. The Netherlands.
Zuriah, Nurul. 2006. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Tugas Akhir Dwicaksana, Aninda. 2006. Penyelerasan Fungsi Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dalam Penataan Ruang Pasca Otonomi Daerah.
177
178
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung. Ichwani, M Ali. 2007. Bentuk Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Antarnegara (Studi Kasus: Kawaan Perbatasan Antarnegara Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur-Sabah dan Sarawak, Malaysia). Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung. Joko Suryono, Nasruddin dan Yudi Basuki. 1998. Arahan Fisik Penataan Ruang Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Penyangganya. Departemen Teknik Planologi. Institut Teknologi Bandung. Tesis Anwar, Toni. 2005. Penentuan Sistem Zonasi di Areal Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Sebagai Masukan Bagi Revisi RTRW Kabupaten. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Teknologi Bandung. Jurnal Ilmiah dan Terbitan Terbatas Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan. 2002. Letak Geografis dan Batas Kawasan TNBD.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi. 2004. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas 2005-2029. Jambi.
Blower, J.H. 1976. Management Problem. Bahan Kuliah pada Training Course in Management of Natural Reservasi 16-26 Maret. Biotrop. Bogor.
Buletin Langkah. 2002. Sebuah Perjalanan Bersama dalam Pengelolaan Hutan: Konsep, Penelitian, Partisipatoris dan Praksis. ACM CIFOR, Yayasan Gita Buana, dan PSHK-ODA. Muara Bungo Jambi. Departemen Kehutanan. 2001. Kawasan Taman Nasional, http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2001/PHKA/iii_2_1.htm. Dikutip tanggal 17 Januari 2006.
Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kajian Perbandingan Program
179
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program Pengembangan Wilayah Terpadu. Jakarta.
Forest Watch Indonesia. Kawasan Konservasi Taman Nasional Bukit Duabelas, http://fwi.or.id/index.php?lang=ina&link=konservasi&f=bukit12.html. Dikutip tanggal 12 Juli 2006. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. 2004. Dokumen Taman Nasional Bukir Duabelas. Jambi.
Kusumanto, Trikurniati., Elizabeh Linda Yuliani, Phil Macoun, Yayan Indriatmoko, dan Hasantoha Adnan. 2006. Belajar Beradaptasi-Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Barat. http://www.cifor.cgiar.org. Notulensi Hasil Diskusi Studi Kasus I Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan Implikasinya Terhadap Pemanfaatan Tanah-Tanah Desa di sekitarnya. Jakarta.
Oetomo, Andi. 2007. Catatan Kuliah PL 4202 Manajemen Pembangunan. Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Teknologi Bandung Santosa, Andri. Makalah Penunjang Diskusi Kawasan Halimun dalam Bingkai Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam. RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment. Jakarta. Sirait, Martua, Chip Say, A. Kusworo. 2001. Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?. ICRAF LATIN-P3AE_UI. Jakarta. Trisurat, Y. 2003. Ecosystem-Based Management Zones of the Western Forest Complex, Thailand. Faculty of Forestry, Kasetsart University, Bangkok, Thailand. www. sampaa.org.
Peraturan Perundangan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
180
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000 Tentang Perubahan Fungsi Sebagian Hutan Produksi Terbatas Serengam Hulu seluas ± 20.700 (Dua Puluh Ribu Tujuh Ratus) Hektar dan sebagian Hutan Produksi Tetap Serengam Hilir seluas ± 11.400 (Sebelas Ribu Empat Ratus) Hektar. Serta Penunjukan Sebagian Areal Penggunaan Lain seluas 1200 (Seribu Dua Ratus) Hektar dan Kawasan Suaka Alam Dan Pelestarian Alam (Cagar Biosfer) Bukit Duabelas Seluas ± 27.200 (Dua Puluh Tujuh Ribu Dua Ratus) Hektar, yang terletak di Kabupaten Sarolangon Bangko, Batang Hari Dan Bungo Tebo, Propinsi Jambi menjadi Taman Nasional seluas 60.500 (Enam Puluh Ribu Lima Ratus) Hektar dan Diberi Nama Taman Nasional Bukit Duabelas.
LAMPIRAN PANDUAN DAN TRANSKRIP WAWANCARA
183
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN & PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007 “BENTUK PERAN SERTA KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA DALAM PENATAAN KEMBALI KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)”
CHECKLIST WAWANCARA PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN PENATAAN KAWASAN TNBD BKSDA Provinsi Jambi telah menyusun dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Namun ketika RPTNBD tersebut disosialisasikan menimbulkan kritik dari komunitas adat Orang Rimba terhadap proses penyusunan dan substansi RPTNBD. Kritikan ini muncul karena BKSDA Provinsi Jambi tidak mengikutsertakan komunitas adat Orang mulai dari tahapan awal penyusunan RPTNBD, yaitu penataan kawasan TNBD. Kesepakatan antara komunitas adat Orang Rimba dengan BKSDA Provinsi Jambi, pada tahun 2006 akan dilaksanakan review RPTNBD dengan mengutamakan peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Hal ini penting karena dengan adanya penataan kembali kawasan TNBD, komunitas adat Orang Rimba memiliki batas yang jelas terhadap wilayah adat mereka dan bersedia untuk berperan serta dalam pengelolaan TNBD di masa yang akan datang. Namun hingga saat ini kesepakatan untuk mereview RPTNBD tersebut belum terlaksana karena belum ditemukan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba yang tepat dalam penataan kembali kawasan TNBD. Oleh karena itu, dalam studi ini akan dilihat persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta masyarakat lokal dalam penataan kawasan taman nasional dan preferensi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang telah dirumuskan. Data wawancara dan responden 1. Waktu Wawancara 2. Tempat Wawancara 3. Nama Responden 4. Instansi dan Jabatan / Kedudukan
184
I.
Persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Dan permasalahan yang mungkin terjadi jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD
II. Persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap peran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, LSM, dan komunitas adat Orang Rimba yang diharapkan dalam bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Yaitu dalam: a. Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba. b. Penunjukkan kawasan TNBD. c. Rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. d. Penataan batas dan penataan zona di dalam TNDB. e. Penetapan kawasan TNBD.
185
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN & PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007 “BENTUK PERAN SERTA KOMUNITAS ADAT ORANG RIMBA DALAM PENATAAN KEMBALI KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS (TNBD)”
CHECKLIST WAWANCARA PREFERENSI PEMANGKU KEPENTINGAN PENATAAN KAWASAN TNBD BKSDA Provinsi Jambi telah menyusun dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Namun ketika RPTNBD tersebut disosialisasikan menimbulkan kritik dari komunitas adat Orang Rimba terhadap proses penyusunan dan substansi RPTNBD. Kritikan ini muncul karena BKSDA Provinsi Jambi tidak mengikutsertakan komunitas adat Orang mulai dari tahapan awal penyusunan RPTNBD, yaitu penataan kawasan TNBD. Kesepakatan antara komunitas adat Orang Rimba dengan BKSDA Provinsi Jambi, pada tahun 2006 akan dilaksanakan review RPTNBD dengan mengutamakan peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD. Hal ini penting karena dengan adanya penataan kembali kawasan TNBD, komunitas adat Orang Rimba memiliki batas yang jelas terhadap wilayah adat mereka dan bersedia untuk berperan serta dalam pengelolaan TNBD di masa yang akan datang. Namun hingga saat ini kesepakatan untuk mereview RPTNBD tersebut belum terlaksana karena belum ditemukan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba yang tepat dalam penataan kembali kawasan TNBD. Oleh karena itu, dalam studi ini akan dilihat persepsi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta masyarakat lokal dalam penataan kawasan taman nasional dan preferensi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang telah dirumuskan. Data wawancara dan responden 1. Waktu Wawancara 2. Tempat Wawancara 3. Nama Responden 4. Instansi dan Jabatan / Kedudukan
186
Preferensi para pemangku kepentingan dalam penataan kawasan TNBD terhadap bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD (alternatif dan penjelasan terlampir).
a. Preferensi alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD yang paling tepat untuk diterapkan. Alternatif Bentuk Peran Serta Komunitas Adat Orang Rimba dalam Penataan Kembali Kawasan TNBD Alternatif
Bentuk Peran Serta Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD langsung kepada pemerintah pusat.
Alternatif 1
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya untuk memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang mereka miliki di lapangan.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah provinsi dan para pemangku kepentingan lainnya dalam
Alternatif 2
penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan Alternatif 3
kembali kawasan TNBD melalui perantara pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang
187
Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah kabupaten dan para pemangku kepentingan lainnya dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjasama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan para pemangku
Alternatif 4
kepentingan lainnya dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara LSM dimana LSM hanya beperan sebagai penerus informasi (penyambung lidah) Alternatif 5
antara komunitas adat Orang Rimba dan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hanya untuk memberikan informasi tentang peta-peta sosial yang mereka miliki di lapangan.
188
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara LSM kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama LSM dan para pemangku kepentingan lainnya dalam penataan batas dan
Alternatif 6
penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh pemerintah LSM.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjasama antara LSM dan pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama LSM, pemerintah provinsi dan para pemangku kepentingan lainnya dalam
Alternatif 7
penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh LSM dan pemerintah provinsi.
Peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD melalui perantara kerjsama antara LSM dan pemerintah kabupaten kepada pemerintah pusat. Alternatif 8
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD hingga tahap pengambilan keputusan bersama LSM, pemerintah kabupaten, dan para pemangku kepentingan lainnya
189
dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD.
Pemerintah pusat mengikutsertakan komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD dengan melakukan pemberdayaan dan pembelajaran terlebih dahulu kepada komunitas adat Orang Rimba.
Pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba dilaksanakan oleh LSM dan pemerintah kabupaten.
b. Alasan pilihan alternatif bentuk peran serta tersebut. c. Alternatif bentuk peran serta lainnya yang mungkin ada. d. Alasan pilihan alternatif bentuk lain peran serta tersebut.
191
TRANSKRIP WAWANCARA
Bapak Rakhmat Hidayat Direktur Eksekutif LSM KKI Warsi Jumat, 23 November 2007. 19.50 WIB
T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD?. J: Kalo berbicara peran serta Orang Rimba ya ki, dia harus jadi stakeholder utama kan, karena mereka lah yang akan menerima manfaat maupun akibat dari keberadaan kawasan itu. Dikatakan manfaat karena yang pertama, mereka tergantung hidup dan berpenghidupannya dari kawasan itu. Baik untuk memanfaatkan dari hasil hutan non kayu, seperti: rotan, nanau, jernang, berburu, mengumpulkan umbi-umbian, kemudian juga madu, ikan, dan yang lain-lainnya gitu ya. Tadi juga mereka berhak untuk memanfaatkan kayu untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya subsisten misalnya membangun tempat hidup mereka. Juga ketika kalo hutannya rusak mereka juga yang akan mendapat dampak pertama, ketika kebakaran hutan ya mereka lah yang mendapat dampaknya, ketika illegal logging ya merekalah yang terkena dampaknya, ketika di hulu-hulu sungai dijadikan tempat pertambangan mereka lah yang terkena pencemaran pertama kali. Dan Orang Rimba merasakan berbeda dengan Orang Melayu sehingga memang mereka lah yang harus dimintakan persepsinya tekait pengelolaan kedepan. Sehingga perlu dibangun peran serta Orang Rimba, peran serta yang dimaksud barangkali bukan hanya peran serta yang ditanyakan setuju atau tidak setuju tetapi lebih kepada bagaimana pengelolaan ruang kedepannya kira-kira dimana Orang Rimba boleh memanfaatkan mana yang tidak. Sampai sekarang juga Orang Rimba juga kan secara tradisional sudah memiliki pembagian zona-zona. Ada kawasan namanya tanah pranoon yaitu tanah tempat melahirkan, itu kawasan yang tidak akan pernah diapa-apakan, tidak akan ditebang kayunya, dan tidak akan dirusak. Karena emang itu kawasan yang semua Orang Rimba menjaga kawasan itu. Pertama, karena kawasan itu ada banyak tanaman obat, kedua dekat dengan sungai. Kemudian juga ada kawasan tempat mereka menikah, itu juga tidak akan dirusak. Karena memang ketika menikah Orang Rimba harus bisa mengumpulkan suatu jenis bunga, nah ketika bunga gak cukup yang lain juga sama, jadi
mereka sudah punya kawasan yang harus dijaga. Yang ketiga mereka juga punya etika,
mereka tidak akan buang air di sungai, kenapa tidak? karena memang ketika mereka buang air di sungai mereka mengambil air mencuci disitu juga artinya ketika sungai tercemar banyak yang terkena penyakit. Kemudian mereka juga harus untuk tidak memburu binatang-binatang yang sedang mengandung. Mereka juga tidak memburu harimau, gajah, dll. Mereka udah punya peraturan mana binatang yang boleh diburu dan yang tidak. Makanan mereka dari babi, babi memang binatang merusak untuk Orang Melayu. Nah jadi ketika pemerintah merencanakan pengelolaan maka konsep-konsep pengelolaan versi Orang Rimba harus menjadi substansi utama dalam pengelolaan. Jadi tidak hanya diminta pendapat saja tapi harus diekstraksi pengetahuan tradisional mereka ke dalam rencana pengelolaan. Nah ada peran perguruan tinggi, peran LSM, dimana peran mereka hanya sebagai fasilitator, misalnya bagaimana LSM menjembatani hasil pemikiran pemerintah untuk dikonsultasikan kepada Orang Rimba dan bagaimana juga menjembatani pengetahuan Orang Rimba agar bisa dipahami oleh pengelola kawasan. Kalo berbicara RPTNBD, RPTNBD itu kan proyek, proyek itu kan berbasis anggaran. Jadi klo ada proyek segini anggarannya segini. Nah kalo untuk sebuah rencana pengelolaan tidak bisa dibatasi oleh proyek. Nah seharusnya dari situ. Oke kalo proyek seharusnya ada studi dulu, harus ada studi yang lebih mendalam untuk memahami budaya. Jadi, pengelolaan itu bukan top down tapi berbasis dari bawah dulu, mana yang kawasan harus dijaga oleh mereka yang disebut zona inti. Zona inti kan tidak harus satu kawasan 1000 hektar jadi zona inti tidak, tetapi berbentuk mozaik-mozaik, ini
192
dilindungi, ini tidak, ini boleh berburu, nah jadi seperti itu, nah jadi basisnya dari bawah dulu, bukan sesuatu yang dari atas, yang nanti dikerjakan oleh Orang Rimba tapi mengadopsi konsep-konsep pengelolaan yang telah dijalankan Orang Rimba. Nah, kalo sudah diadopsi tentunya tidak akan terjadi benturan karena mereka sudah biasa. Oh, ini tidak akan kita apa-apa kan karena ini tempat pohon peliharaan dan tidak akan ditebang, oh ini tidak akan kita apa-apa kan karena ini tanah pranoon, kalo itu sudah ada dan diadopsi tidak akan menjadi masalah, persoalannya adalah ketika kemudian tanah pranoon, tanah tempat berburu mereka jadi kawasan zona inti, tentu masalah. Kalo zona inti kan kawasan yang tidak bisa diapa-apa kan, itu hanya untuk keperluan riset, padahal itu tempat berburu mereka nah itu terjadi kles. Nah, jadi yang lebih penting adalah dilakukan studi yang lebih mendalam terlebih dahulu sebelum menyusun RPTNBD. Ada studi mendalam kajian antropologi Orang Rimba kemudian baru ada konsultasi-konsultasi yang lebih intensif dengan masyarakat di kelompokkelompok. Karena memang mereka banyak kelompok-kelompok. Nah, bagaiamana kelompok-kelompok ini diajak berdialog. Warsi sendiri sudah memberikan masukan-masukan, sudah memberikan beberapa argumenatsi tetapi kapasitas bukan ada di Warsi tapi di kebijakan kan. Kalo kebiajakan sudah bilang oke maka tinggal dijalankan dan selesai. Maka perlu diubah paradigma penyusunan kebijakannya. Artinya apabila kebijakan oke maka pemerintah perlu merespon masukan-masukan dari Orang Rimba bukan malah melanjutkan pelaksanaannya. Nah, persiapan tersebut tidak mempertemukan inisiatif lokal dengan yang dari atas. Persoalannya disitu sehinga menimbulkan konflik. Konfliknya sebagian dari kelompok merasa ini tempat berburu kok malah jadi zona inti sehingga timbul persepsi dari Orang Rimba, kok mereka malah akan diusir, ga boleh ya itu persepsinya. Sehingga menurut saya kan peran LSM lebih kepada upaya penguatan kapasitas Orang Rimba. Sehingga dia memahami sebetulnya kapan RPTNBD dibikin, bagaimana Orang Rimba bisa memberi masukan.
T: Menurut Bapak, apakah akan muncul permasalahan jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? Jika iya permasalahan seperti apa?. J: Oh iya pasti, permasalahan jika Orang Rimba tidak dilibatkan, RPTNBD tidak akan berjalan, akan timbul konflik yang berkepanjangan, akan terjadi pelanggaran HAM.
T: Menurut Bapak, apakah benar dalam penyusunan RPTNBD komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan? J: Dibeberapa hal dilibatan, mereka diajak berdialog kadang-kadang hasil dialog ini tidak selalu diserap oleh orang yang buat. Jadi yang buat bukan BKSDA, BKSDA punya konsultan. Itu kan sama kayak teman-teman ITB menyusun tata ruang. Kan konsultan kadang-kadang asumsi yang di lemparkan masyarakat lain, yang dilemparkan konsultan lain, oleh pemda lain sehingga ada deviasi. Disitu konsultan orang yang tidak paham tentang itu. Konsultan diburu waktu bagaimana menyusun sebuah kerangka yang komprehensif sedangkan waktu yang diberikan hanya tiga bulan. Kan itu juga jadi masalah. Jadi untuk menyusun rencana tata ruang pengelolaan kawasan itu tidak hanya setahun tetapi lima tahun. Ada studi mendalam, ada proses-proses konsultatif. Ya bagaiamana tiga bulan harus menyusun rencana itu. Bagaimana bisa melibatkan Orang Rimba dalam waktu yang segitu. Untuk studi pustaka aja udah abis sebulan, untuk merumuskan kemudian habis 2 minggu, udah habis 1 setengah bulan. Kemudian baru dikonsultasikan. Kemudin jalan ke Jambi aja udah 1 minggu lagi, udah hampir 2 bulan. Pasti ini tidak akan maksimal. Menurut saya, yang udah biarlah tetapi bagaimana kedepannya mendisain sebuah kerangka yang kita mulai benar-benar pemahaman dari bawah. RPTNBD yang disusun kan hanya sebuah rencana. Udah bagaimana kita sekarang menyusun sebuah rencana yang benar-benar melibatkan peran serta komunitas adat Orang Rimba yang menyeluruh.
T: Jadi, menurut Bapak sebelum menyusun RPTNBD itu perlu dilakukan studi yang lebih mendalam dulu? J: Iya, ada kajian antropologi, ada kajian bentuk pengelolaan ruang mereka, ada kajian interaksi Orang Rimba dan Orang Melayu, ada kajian tekanan terhadap kawasan. Jadi yang komprehensif sehingga kemudian dari
193
kajian tersebut muncul bagaimana upaya-upaya untuk pemahaman terhadap Orang Rimba lebih kepada konsultasi yang bukan hanya dalam skup baik ini bagus untuk Orang Rimba tetapi konsultasi dari awal bagaimana nanti pada waktu menyusun, mereka tau bagaimana menyusunnya. Mereka juga harus diminta pendapatnya, seperti apa menyusunnya, bagaimana mereka harus terlibat, hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh Orang Rimba, kalo ada masukan seperti apa masukannya. Jadi ada sebuah tahapan yang jelas sehingga semua orang bisa berperan, pernah Orang Rimba diundang satu kali pertemuan di jambi, pertemuan itu 2 jam, gimana mau maksimal.
T: Menurut Bapak, Memang benar ya RPTNBD itu bermasalah jika diterapkan dan perlu dibikin yang baru lagi? J: Sebenarnya jika merujuk kepada UU No.5 Tahun 1990, tentang pengelolaan SDAH dan ekosistemnya, itu betul, tetapi persoalannya kan aturan itu muncul juga aturan yang sangat tidak menghormati hak-hak masyarakat asli. Artinya pertama, perbaiki dulu UU pokok itu. Yah di UU itu tidak ada hal yang macem-macem. Pokoknya negara bikin ya sudah. Jadi persoalannya mendasar, itu jadi seolah-olah negara lah yang punya itu. Nah, sekarang tidak lagi konteksnya tidak seperti itu. Konteknya adalah bagaimana kemudian sebuah kebijakan yang responsif dan dinamis. Kenapa responsif adalah karena dia harus merespon segala perubahanperubahan. Dinamis karena beberapa hal yang memang oh ini tidak cocok dan harus dirubah. Ya klo emang bermasalah RPTNBD nya untuk diterapkan jelas bermasalah.
T: Menurut Bapak, kalau memang mau dibikin RPTNBD yang baru musti dari awal sekali ya? yang jelas tahapan-tahapannya? J: Iya dari awal dulu. Oke mungkin studinya agak lama. Yang penting masing-masing stakeholders pasti punya data. Itu harus ada kompilasi data, analisis data, artinya yah dari awal menyusun RPTNBD itu. Dari awal menata kawasan itu. Jadi bukan hanya dari satu pihak saja.
T: Jadi menurut Bapak harus di tata lebih dulu kawasan TNBD itu dengan jelas? J: Iya harus ditata batas dulu dari awal karena tata batas itu sendiri belum ketemu gelang. Jadi harus ketemu gelang dulu.
T: Menurut Bapak, peran LSM dalam pemberdayaan dan pembelajaran komunitas adat Orang Rimba seperti apa? J: Pemberdayaan itu kan lebih kepada peningkatan kapasitas Orang Rimba sehingga mereka mampu berdialog, mampu mengadvokasi dirinya, mampu memahami kira-kira argumen apa yang bisa diberikan kepada pengambil kebijakan. Jadi lebih kepada pemberdayaan intelektual sehingga mereka mempunyai kapasitas yang setara ketika bernegosiasi. Peran LSM ya itu menguatkan kapasitas Orang Rimba baik dari aspek ekologi budaya maupun politik.
T: Bentuk pemberdayaan dan pembelajaran yang Bapak maksud seperti apa? J: Pemberdayaan yang dimaksud artinya secara rutin selalu mengajak Orang Rimba untuk mendiskusikan rencana pengelolaan kedepannya seperti apa. Jadi kita mendorong lahirnya jaringan antar tumenggung Orang Rimba, kemudian juga kita membantu mereka studi banding ke beberapa kawasan taman nasional, seperti ke .............. dan ke mentawai. Jadi mereka juga bisa belajar, terus juga pemberdayaan dalam kesehatan, pemberdayaan untuk meningkatkan ekonomi mereka, melalui hompongan karet. Kemudian juga kita mempekuat mereka untuk kemampuan baca dan tulis selain dari penguatan kelembagaan mereka sendiri.
194
T: Kalo bentuk pemberdayaan dan pembelajaran sebelum berperan serta dalalm penataan kembali kawasan TNBD seperti apa? J: Pemberdayaan sebelum penataan kawasan memang penting seperti pemetaan secara sederhana dan penggunanaan GPS agar mereka punya peta-peta sosial sendiri. Mereka itu sudah punya peta-peta sosial mereka sendiri dan itu sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Jadi mereka lah yang mengadvokasi dimana sumber daya mereka, dimana tempat berburu mereka, dimana ladang mereka, sudah ada di peta itu. Cuma tidak dimasukkan ketika penyusunan RPTNB. Bagi saya itu cuma teknik tapi yang penting bagi saya kemampuan dalam berdialog dan bernegosiasi. Apalah artinya peta-peta sosial tersebut jika tidak dimasukkan dalam penyusunan RPTNBD. Jadi yang lebih penting adalah bagaimana cara mengadvokasikan peta-peta sosial mereka. Itu lebih penting. Itu hanya alat-alat saja, mereka bisa buat peta-peta sederhana tapi jika petanya tidak dipake apalah artinya. Tetapi yang diharapkan adalah mereka bisa buat peta dan bisa mengadvokasikan peta-peta tersebut kedepannya itu jauh lebih baik. Oke untuk saat ini mereka perlu didampingi LSM tetapi kedepannya mereka harus bisa lebih mandiri dan otonom.
T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran terhadap komunitas adat Orang Rimba sebelum mereka ikut berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Kalo pemberdayaan menurut saya itu tugas pemerintah tapi untuk saat ini yang lebih concern dalam pemberdayaan adalah LSM.
T: Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran? J: Kalo sampai saat ini kira-kira sepuluh tahun pemberdayaan belum selesai dilaksanakan. Pemberdayaan harus disesuaikan dengan budaya mereka. Jadi yang pertama itu mengajarkan mereka membaca dulu. Untuk meyakinkan mereka membaca itu butuh waktu 5 tahun karena adat melarang mereka membaca. Jadi ada tahap-tahap itu. Jadi beda-beda pemberdayaannya tergantung budaya mereka. Jadi setelah diajarkan membaca, bagaimana kemudian diajak diskusi yang lebih mendalam tentang pengelolaan, dikasih buku-buku, diajak studi banding, nah itu bagian dari pemberdayaannya. Jadi pemberdayaan bukan hanya diukur dari fisik dan ekonomi semata. Ya kalo menggunakan GPS saja mereka 1 minggu juga sudah bisa menggunakannya. Tinggal ajarin pencet ini, pencet ini, itu mereka bisa. Itu lebih ke teknis tetapi bagaimana mereka bisa berdialog dan bernegosiasi. Tidak takut ketika berhadapan dengan orang luar, tidak takut ketika berhadapan dengan Pak Camat. Ini kan pelan-pelan merubah kultur, merubah budaya. Kalo GPS kan alat, tinggal pencet-pencet bisa. Pakai komputer sebentar, pakai handy cam mereka sudah bisa, tapi bukan itu pemberdayaan.
T: Menurut Bapak, apakah pemerintah pusat berperan dalam pelaksanaan pemberdayaan dan pembelajaran? J: Seharusnya tugas-tugas dalam pemberdayaan dilaksanakan pemerinah pusat, mengajak mereka, mendampingi mereka, tetapi ya tidak jalan. Iya itu karena keterbatasan jalan, keterabatasan anggaran, proyek, dll.
T: Kalau pemerintah provinsi berperan tidak dalam pemberdayaan dan pembelajaran? J: Sama saja dengan pemerintah pusat, pemberdayaan menurut mereka lebih kepada fisik., membagunkan rumah, kan mereka dibangunkan rumah, pertanyaannya apakah Orang Rimba membutuhkan rumah?. Orang Rimba kan berpindah-pindah hidupnya. Jadi dibangunkan rumah, rumah itu ditinggalkan sama mereka, dibangunkan sekolah, Orang Rimba kan pindah-pindah. Jadi sekolah tersebut juga ditinggalkan. Tapi pemberdayaan yang dimaksud adalah bagaimana mengamankan hutan tersebut agar nyaman bagi Orang Rimba sebagai tempat berburu dan tempat hidup. Jadi pemberdayaan yang dimaksud oleh pemerintah itu lebih ke fisik. Rumah itu dibangun akhirnya yang nempatin Orang melayu, Orang Padang, Orang Batak. Sekolah
195
dibangun akhirnya tidak ditempatin juga, pemerintah itu memaknai pemberdayaan itu fisik. Kalo kita memaknai pemberdayaan itu kapasitas. Memang ukurannya tidak terkuantifikasikan. Tapi memang itu yang utama. Pernah ada bantuan ternak, ternak kambing, ternak ayam, mereka itu haram makan ayam . Bagaimana mereka mau beternak klo itu haram menurut budayanya. Pernah dibangun rumah dibuat dengan cara potong pohon, bagi mereka tabu membangun rumah diatas tungkul. Dibangun rumah dengan atap seng, bagi mereka atap seng itu tabu, karena menurut mereka atap seng tabu karena dewa tidak bisa berhubungan dengan mereka. Itulah pemberdayaan menurut pemerintah, pemberdayan yang tidak tepat. Untuk memahami pemberdayaan, untuk memahami pengelolaan, belajarlah dari kondisi budaya mereka. Bagi Orang Melayu dan Orang Padang tidak apa-apa, tetapi bagi Orang Rimba bukan itu permintaannya. Mereka di tiap pertemuan selalu meminta agar kawasan hutan tidak dirusak, karena tanah mereka itu hutan, tempat mencari makan mereka di hutan, tempat menikah di hutan, tempat melahirkan di hutan. Nah kalo emang perlu pemberdayaan, pemerintah tolong mengirimkan ada dokter yang rutin terjun ke Orang Rimba. Sementara Warsi yang mengambil alih peran pemerintah tersebut. Warsi mengirimkan tenaga kesehatan, ada guru, dibangunkan kebun karet. Ada program karet rakyat dari pemerintah, tidak sampai ke Orang Rimba, hanya Orang-Orang Melayu yang menerimanya, Orang Melayu itu orang kampung atau orang dusun yang tinggal di sekitar TNBD. Ada program sekarang itu dana bantuan langsung tunai, Orang Rimba tidak dapat karena Orang Rimba tidak punya KTP, ya memang mereka tidak punya KTP. Ya jadi seperti itu pemberdayaan dari pemerintah tidak tepat, baik itu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten sama saja, tetapi beberapa pemerintah kabupaten, seperti Sarolangun sudah mulai merubah pendekatannya ke Orang Rimba.
T: Menurut Bapak siapa pihak yang paling tepat melakukan pemberdayaan dan pembelajaran? J: Sebenarnya persoalan Orang Rimba tidak bisa dipikirkan oleh dinas-dinas teknis tetapi harus terpadu, misalnya Depdiknas seolah-olah dia hanya mengurus pendidikannya saja tetapi pendidikan juga terkait dengan bagaimana pendapatan, sehingga harus ada sebenarnya sinergi lintas sektor kalo untuk melaksanakan pemberdayaan. Jadi bukan hanya memikirkan satu sisi saja. Kalo Depsos hanya bangun rumah saja, mau rumah ditempatin atau enggak mereka tidak peduli, Depdiknas bangun gedung sekolah mau itu digunain ato enggak ya tidak peduli. Seharusnya kan terintegrasi.
T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat melaksanakan penunjukkan kawasan TNBD? J: Kalo TNBD itu berbeda. Kawasan TNBD itu dulunya oleh Pemprov Jambi dijadikan Cagar Biosfer Bukit Duabelas awalnya. Itu dulunya kawasan berbukit dan Orang Rimba tidak tinggal disitu. Mereka tinggal di kawasan-kawasan datar. Ada tempat berburu disitu, binatang banyak disitu, jernang ada disitu, semua lah penghidupan mereka disitu. Kawasan berbukit kan tidak, nah kalo kawasan yang datar tempat hidup Orang Rimba itu oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan HPH dan perkebunan transmigrasi. Nah waktu itu kawasan yang sekarang menjadi TNBD tadinya menjadi HTI, mau ditanami dengan akasia. Kita proses, karena kalo ditebang Orang Rimba mau tinggal dimana?. Nah melakukan advokasi Orang Rimba juga terlibat, Orang Rimba setuju, ke mereka juga dijelaskan, ini mau dijadikan HTI, mereka juga protes, kalo ditebang nantinya mereka akan tinggal dimana. Akhirnya Warsi dan beberapa LSM di jambi bahu-membahu melakukan advokasi baik ke tingkat provinsi maupun ke pusat agar membatalkan kawasan itu menjadi HTI. Proses advokasi itulah yang kemudian juga didukung oleh gubernur. Gubernur merekomendasikan agar kawasan itu menjadi HTI dicabut. Mereka berjuang di Dephut, protes, demo segala macem. Akhirnya Dephut setuju untuk mencabut kawasan itu dan tidak menjadi HTI. Cuma di Indonesia dasar hukumnya tidak ada cagar biosfer, yang ada itu taman nasional, hutan lindung, itu yang ada, sehingga memang dengan sangat pahit, iya taman nasional. Iya tapi TNBD itu berbeda dengan taman nasional yang lain, berbeda karena TNBD itu diperbolehkan Orang Rimba hidup di dalamnya, sedangkan taman nasional yang lain tidak boleh, kalo ini boleh, sehingga Orang Rimba masih selamat karena tempat hidup mereka masih hutan. Coba seandainya dijadikan HTI mereka mau hidup
196
dimana?. Kalo ini aspirasi dari bawah. Nah memang saya tidak setuju kalo pusat menetapkan sekendak hati. Seharusnya proses dari bawah dulu, kebutuhan dari atas bukan dari atas. Tapi emang kita ga ada pilihan kan karena kita tidak ada bentuk yang lain selain taman nasional yang mempunyai kekuatan yang lebih kuat. Kalo jadi Tahura nanti bisa dibalak orang. Jadi saya setuju penunjukkan kawasan taman nasional dari pemerintah pusat berdasarkan usul dari bawah. Jadi berdasarkan aspirasi dari bawah. Jika memerlukan perlindungan dalam bentuk penunjukkan baru departemen menyetujui. Bukan departemen yang menetukan setuju tidak setuju.
T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Dimulai dari Orang Rimba dulu, Orang Rimba kita lihat persepsinya, mungkin yang paling dekat dengan Orang Rimba bisa LSM lah. LSM memfasilitasi proses bagaimana mengumpulkan aspirasi Orang Rimba itu yang pertama. Yang kedua mengumpulkan model-model pengelolaan kawasan versi Orang Rimba. Yang ketiga LSM kemudian bersama Orang Rimba membantu untuk merancang disain awal ruangnya, ini bisa disebut pemetaan sederhana, ini sumber daya kami, ini tempat berburu, ini tempat apa, ini tempat yang kita jaga, pokoknya untuk disain awal. Kemudian peran LSM membantu mengkonsultasikannya, pertama dengan sesama Orang Rimba dulu, sudah sama kah pendapatnya, sudah sama kah persepsinya. Kemudian peran LSM bersama Orang Rimba menyampaikan ini kepada UPT taman nasional. UPT taman nasional merupakan dari pemerintah pusat. Cuma dia bertempat di kawasan. Kemudian juga menyampaikan kepada pemerintah daerah. Jadi aspirasi tadi meliputi pengelolaan, perlindungan, juga bagaimana pengembagangan kedepan. Orang Rimba kan punya konsep hompongan yaitu memagari taman nasional dengan karet. Nah mungkin Pemkab bertugas untuk bagaimana membatu menyediakan karetnya. Mengatur pembagian karet agar tidak merugikan Orang Rimba. Bagaimana pemerintah memperbaiki infratrukturnya lah seperti jalan, itu peran pemerintah. Kemudian juga pemerintah juga bertugas untuk melindungi hak hidup Orang Rimba. Dan membangun sarana yang dibutuhkan seperti sarana kesehatan. Nah baru pemerintah provinsi harus bersamasama pemerintah kabupaten meyakinkan pemerintah pusat bahwa aspirasi Orang Rimba lah yang harus menjadi substansi RPTNBD. Ya pemerintah pusat hanya kemudian merancang sesuai dengan apa yang telah dirancang dari bawah. Dia mengkonsultasikan, mengkoreksi apakah sudah sesuai semuanya, kalo sudah ya itu yang dipake, ya yg dari bawah. Nah ketika semua itu dari bawah, semua aspirasi dari bawah, ya itu tidak akan jadi masalah. Yang jadi masalah adalah ketika orang dibawah ga ngerti tiba-tiba harus ada ini kan. Jadi dibalik prosesnya. Jadi peran Pemkab, Pemprov adalah mendukung dan meyakinkan pemerintah pusat bahwa aspirasi Orang Rimba inilah yang menjadi substansi RPTNBD. Jadi pemerintah pusat tinggal ketuk palu setelah menerima aspirasi Orang Rimba tersebut.
T: Kemudian bagaimana persepsi Bapak terhadap penetapan kawasan TNBD? J: Aturannya emang begitu. Aturannya emang pusat yang menetapkan tetapi pusat juga harus melibatkan Orang Rimba. Pemda dan LSM lah kalo ada untuk menjadi anggota badan pengelola. Selama ini badan pengelola taman nasional hanya UPT taman nasional saja tanpa melibatkan orang luar. Nah kedepan itu harus badan pengelola yang partisipatif, ada Orang Rimbanya, ada Pemdanya, sehingga jika terjadi masalah bisa dikonsultasikan dulu. Ini kan enggak UPT kan pegawai departemen kehutanan semua, tapi seandanya kalo ada Orang Rimba bisa memberikan aspirasinya. Kalo ada LSM bisa memberi koreksi, ada Pemda bisa menyatakan keberatan klo ada program yang tidak singkron. Itu semua ditampung dalam satu badan pengelola yang partisipatif.
197
T: Mau bertanya Pak tentang perbedaan Dephut dan BKSDA? J: Dibawah Dephut ada sekjen, sekjen itu ngurusin internal, kepegawaian dan macem-macem, ada BPK, itu ngurusin HTH, HTI disini. Ada RLPS, itu ngurusin rehabikitasi lahan dan kehutanan sosial, reboisasi, dll, itu disini. Ada Irjen untuk inspektorat, untuk pengawasan. Ada PHKA, ini untuk konservasi alam, jadi PHKA itu Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Ada Litbang untuk penelitian dan macem-macem. Dan ada Baplan, untuk peta-peta disini. Masing-masing tersebut dibawahnya punya UPT. Dibawah BPK itu ada BP2H. Sekjen tidak ada UPT. Dibawah RLPS ada BPDA. Irjen tidak ada. Dibawah PHKA, ada BKSDA. Dibawah Litbang, ada Litbang Tera. Nah itu kan ada UPT. Nah ada BKSDA, itu untuk mengelola kawasan diluar kawasan konservasi, seperti: hutan lindung, Tahura, dll, itu disini. Terus ada lagi yang dibawah PHKA yaitu UPT taman nasional. Dulu tidak ada UPT taman nasional, jadi taman nasional dipegang oleh BKSDA. Jadi taman nasional udah ada badan pengelola sendiri yaitu UPT taman nasiobal, yang dibentuk belum satu tahun lah. Jadi tidak lagi dikelola BKSDA. BKSDA itu unit pengelola teknis di daerah di tiap-tiap provinsi. BKSDA itu hanya di provinsi. Kalo dinas kehutanan beda lagi. Dinas kehutanan di kabupaten tidak bertanggung jawab kepada Dishut di provinsi, hubungannya hanya sebatas koordinasi. Dishut di kabupaten bertanggung jawab kepada bupati, dan Dishut di provinsi bertanggung jawab kepada gubernur. Kawasan hutan lain diluar hutan lindung, taman nasional, Tahura, HTI, HTH, suaka alam, baru dikelola oleh departemen kehutanan lewat dinas kehutanan di daerah. Jika di kabupaten dikelola oleh Dishut kabupaten dan jika di provinsi dikelola oleh Dishut provinsi. Hutan lain itu seperti hutan-hutan yang tersisa.
T: Kemudian bagaimana preferensi Bapak terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba yang saya tawarkan? J: Sebernarnya kalo untuk pemberdayaan yah semuanya perlu dilibatkan. Tidak ada pemerintah pusat saja, tidak ada pusat provinsi, tidak ada pusat kabupaten, tidak ada pusat dan kerjasama kabupaten dan provinsi, tidak ada pusat dan LSM yang tidak melakukan pemberdayaan, dll. Iya kalo saya yah semuanya perlu dilibatkan dalam pemberdayaan karena masing-masing tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda. Kalo berbicara untuk dalam kawasannya, iya itu pemerintah pusat karena kawasan taman nasional, Pemda tidak boleh masuk. Karena untuk pemberdayaan di dalam kawasan taman nasional itu kan emang pemerintah pusat lewat UPT taman nasional, karena Pemda tidak punya hak untuk masuk ke dalam taman nasional. Pemda hanya berkewajiban diluar kawasan taman nasional. Tetapi persoalan taman nasional bukan persoalan yang berdiri sendiri tetapi juga berinteraksi dengan daerah sekitanya. Jadi pusat bisa di dalam, Orang Rimba juga berhubungan dengan daerah sekitarnya, disitulah peran Pemkab, pemberdayaan ekonomi Orang Rimba dan masyarakat desa. Kalo hanya masyarakat desa yang diberdayakan sedangkan Orang Rimba tidak, nantinya Orang Rimba cemburu. Mereka cenderung melakukan tindakan yang destruktif dalam pengelolaan hutan. Dan pemerintah provinsi untuk beberapa kabupaten yang beririsan itu terlibat disini. Artinya provinsi misalnya, TNBD itu kan sebagian Sarolangun, sebagian Tebo, sebagian Batanghari. Pemda Sarolangun, dia hanya membantu program untuk masyarakat disekitar Sarolangun saja, Pemda Batanghari hanya di sekitar Batanghari saja, Pemda tebo hanya disekitar Tebo aja. Nah pemerintah provinsi adalah mengkover untuk semua program yang terkait dengan ketiganya, pemerintah pusat untuk yang di dalam taman nasional nya. Jadi kalo Pemda hanya di desa-desa sekitar taman nasional, dia tidak bisa masuk ke dalam taman nasional karena tidak ada wewenang dia. Nah kalo cuma pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi saja terus yang di dalam siapa, trus kalo hanya pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten saja, trus yang memberdayakan Orang Rimba siapa. Ini harus ada LSM mungkin juga harus berperan disini, LSM bisa menjembatani Pemprov dan Pemkab, menjembati pemerintah provinsi dan taman nasional. Jadi menjadi fasilitator antar pihak-pihak itu. Jadi Pemda itu tidak boleh masuk ke dalam taman nasional karena sesuai dengan tupoksinya.
198
T: Preferensi Bapak terhadap rincian/tahapan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba bagaimana? J: Iya dimulai dari LSM yang melakukan pemberdayaan, yang digunakan untuk membangun kapasitas Orang Rimba agar mampu berdialog dan berdiskusi dengan pihak-pihak luar.
T: Kalau dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD, Bapak lebih prefer siapa yang lebih tepat melaksanakannya? J: Iya pertama lebih baik ditentukan oleh Orang Rimba dulu. Jadi mereka menentukan mana-mana kawasan yang dijaga oleh Orang Rimba. Kalo yang berhak sebetulnya pemerintah pusat karena aturannya seperti itu. Nah kenapa harus Orang Rimba dulu yang melakukan itu supaya mereka tau dulu mana-mana yang akan diusulkan. Inilah yang perlu mendapat dukungan dari Pemkab dan Pemprov. Tata batas tidak akan bisa berjalan tanpa disyahkan oleh bupati dan gubernur. Kalo gubernur, saya tidak mau tanda tangan kalo Orang Rimba tidak setuju. Kan penting membangun dukungan agar gubernur mendukung apa yang telah kita bangun dari bawah. LSM dan Orang Rimba membuat penataan batas dan penataan zona versi mereka, lalu hasil itu dikomunikasikan ke Pemda untuk meminta dukungan-dukungan.
T: Jadi kesimpulannya preferensi Bapak terhadap alternatif bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba seperti apa? J: Kesimpulannya ya alternatif yang baru, dimana semua pihak perlu terlibat, mulai dari Orang Rimba, masyarakat desa sekitar, LSM, Pemkab, Pemprov, dan pemerintah pusat.
Bapak Rudi Syaf Manager Program Kominfo LSM KKI Warsi Senin, 26 November 2007. 10.15 WIB
T: Bagaimana pandangan Bapak tentang bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD? J: Sebenarnya penataan kawasan TNBD itu sudah ada di SK Penunjukkan TNBD seluas 60.500 ha pada tahun 2000. Nah, dalam perkembangaannya setelah jadi taman nasional yang ideal itu luasnya tidak mencapai 60.500 ha, tetapi kurang dari itu. Nah, jadi bentuk yang ideal dari kawasan taman nasional itu seperti ini, luasnya tidak mencapai seperti dalam SK itu. Karena seperti di dalam ini sudah ada orang, ini sudah ada permukiman, di atas ini juga ada. Jadi bentuk kawasan yang mungkin itu ya seperti ini karena sudah banyak tekanan dari luar. Nah kemudian kita mendorong Orang Rimba untuk menggunakan sistem-sistem tradisional mengurangi tekanan ini. Jadi Orang Rimba itu sepanjang batas luar membuat kebun karet yng menjadi hompongan. Tekanan semakin berkurang. Hanya setelah taman nasional, secara administrarsi telah terbentuk balai taman nasional (UPT taman nasional) sekitar tahun 2005. Nah, Indonesia ini kan punya UU tentang taman nasional bahwa taman nasional dibagi dalam zonasi maka muncullah proyek RPTNBD itu dalam pengelolaan TNBD. Karena proyek maka yang kerja itu konsultan. Karena tidak ada kewajiban-kewajiban itu akhirnya. Nanti klo dengan Pak Robert dia punya produk RPTNBD yang dibuat konsultan itu. Hampir yang dibawah ini, gitulah kira-kira, semua ini jadi zona inti. Nah kalo zona inti kan tidak boleh ada apa-apa. Nah itu Orang Rimba itu jadi keberatan. Karena kalo sampe hari ini walaupun RPTNBD udah dibuat, Orang Rimba itu kan menyebar di dalam TNBD ini. Memang mereka sedikit yang ada di zona inti. Yang terbanyak itu ya di atas ini, jika melihat sebaran Orang Rimba tadi. Nah yang jadi zona inti itu bukit ini. Nah, tapi mobilitas mereka kan tinggi. Nah itu yang menjadi masalah. Nah yang menjadi masalah utamanya itu adalah mereka tidak sependapat dengan zona inti yang dibuat dalam RPTNBD. Itupun yang menjadi masalah utama antara Orang Rimba dengan kasus RPTNBD hanya di zona intinya yang tidak sepakat. Nah, kalo Warsi sekarang mendorong bagaimana karena
199
aturan pemerintah itu bilang kalo taman nasional harus ada zona-zona nya itu. Jadi kita harus tetap mengakomodasi, jadi bagaimana zona intinya tetap ada tapi zona inti yang memang diakui oleh Orang Rimba. Nah Orang Rimba itu kan juga punya aturan pengelolaan kawasan. Dia punya tanah pranoon, tanah pranoon itu tempat ada pohon-pohon tertentu yang kalo anaknya lahir, ari-ari bayi itu ditanam disitu. Nah itu kan daerah inti itu, daerah lindung, hanya itu kecil-kecil, jadi bukan satu kawasan ini jadi daerah lindung mereka bukan. Jadi menurut kita kalo mengikuti Orang Rimba, zona inti itu akan menjadi banyak, kecil-kecil seperti ini. Dan itu tidak ada salahnya, yang penting kan latar belakang taman nasional ini dibentuk untuk Orang Rimba dasar berpijaknya. Jadi bukan sebaliknya kalo taman nasional untuk kepentingan konservasi jelas zona intinya harus paling luas karena kepentingannya ekologi, ekosistem, dan lain sebagainya. Tapi inikan lain, ini kepentingan untuk Orang Rimba berarti kepentingan Orang Rimba yang harus diutamakan jadi pendapat kita zona inti tetap mungkin ada di dalam RPTNBD tapi zona inti yang mengikuti zonanya Orang Rimba, point utamanya yang paling penting. Hanya memang zona intinya jadi kayak mozaik-mozaik gini. Dan sampai dengan hari ini sudah dimulai lagi ada dialog lagi yang intensif antara BKSDA, Orang Rimba, dan masyarakat sekelililng taman untuk membahas RPTNBD itu. RPTNBD itu juga harus memikirkan kawasan seperti ini. Ini bukan kawasan Orang Rimba lagi ini, kalo taman nasional kan disini. Nah klo disini udah kawasan orang melayu, ini kebun karet semua. Klo diliat dari citra tadi kan terlihat kalo kawasan ini udah terbuka. Tidak mungkin orang-orang ini diusir keluar kan. Makanya kawasan yang paling mungkin itu seperti itu.
T: Pandangan Bapak sendiri terhadap peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya seperti apa? J: Iya menjadi penting, jadi stakeholder paling pentingnya ya Orang Rimba karena memang taman nasional ini diperuntukkan untuk mereka, tapi seperti apa membangun komunikasinya. Berarti perlu lah mediator dan fasilitator nah disitulah peran Warsi bisa. Warsi bisa berperan lah disitu untuk menjadi mediator. Pertama seperti kasus dulu sewaktu konsultan bikin RPTNBD itu, penerjemah dia perlu kan, nah penerjemah dari Warsi, itu paling tidak, tapi idealnya kan perlu mediator. Warsi udah disini sejak tahun 1997, jadi relatif udah semua kelompok kita kenal. Tipikal Orang Rimba kan cenderung defensif, umpama jika ada orang baru datang dia tidak bisa langsung jadi terbuka, dia cenderung menghindar. Jika ada orang baru datang mereka langsung masuk ke semak-semak. Tapi memang cara mereka mempertahankan hidup seperti itu. Jadi Orang Rimba itu menjadi stakeholder penting dan mereka udah punya sistem pengelolaan ruang sendiri, seperti tadi ada tanah pranoon, ada padang jernang, padang jernang itu pohon jernang semua itu satu hamparan. Nah itu kan harus di protect juga, karena jernang tidak akan tumbuh kalo tidak ada naungan, kalo tidak ada pohon besar pohon jernangnya mati, nah itu kan udah jadi seperti zonasi. Jadi Orang Rimba itu punya tata ruang sendiri juga, itu tadi ada kawasan tanah pranoon, ada padang jernang, ladang yang mereka sebut ladang itu, itu kan hanya di tanamin padi dan itu pindah-pindah kan, itu juga pada kawasan tertentu. Jadi yang udah jadi belukar disebut sesak, nah sesak itu akan diulang lagi dan akan dibuka lagi setelah dianggap subur. Jadi ada udah terbagi lah ruangnya, nah ini untuk perladangan ini, dan ada juga hutan yang betul-betul jadi hutan permanen. Nah yang perlu didorong adalah bagaimana menemukan, mengambarkan pegelolaan Orang Rimba itu. Mereka itu kan hanya lisan. Oh disitu tanah pranoon, disini ditanam jernang, disini ditanam durian, disini kawasan ini tempat kita bisa buka ladang padi. Nah itu bagaimana bisa diruangkan dalam bentuk yang menjadi tergambarkan. Point yang utama untuk menghasilkan RPTNBD itu adalah menemukan itu. Berarti itu kan harus wawancara semuanya. Nanti dia bilang tanah pranoon kami disini, jadi kerjaan panjang emang. Diapakan dengan GPS di lapangan akhirnya dibuat poligonnya. Harusnya begitu tapi itu kan RPTNBD keterbatasannya kan proyek. Anggaranngya mungkin tidak sanggup. Tapi kalopun itu proyek mungkin bisa proyeknya RPTNBD itu dibuat selama 3 tahun, tahun pertama lebih ke wawancara kan, tahun kedua mulai mensurvey dan mendigitasikannya, tahun ketiga jadi. Itu kendala utama. Karena proyek pemerintah sulit untuk itu. Itu kedala utama.
200
T: Menurut Bapak sendiri penting ya peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya? J: Dia jadi stakeholder utama tetapi dia punya kelemahan karena interaksi dia dengan orang luar minimal. Punya perbedaan budaya yang sangat signifikan apalagi dengan konsultan.
T: Kalo peran serta komunitas adat Orang Rimba sendiri dalam penataan kawasan TNBD, menurut Bapak penting ga? J: Saya pikir masih sama pointnya dengan yang di atas karena pemangku kepentingan utamanya disini yaitu Orang Rimba. Sesuai dengan SK menteri dan mereka sudah hidup disini dari puluhan tahun yang lalu. Mereka punya batas yang jelas dengan orang melayu.
T: Menurut Bapak, apakah akan muncul masalah jika komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? J: Pasti ada masalah, karena kalaupun dipaksakan ada zona inti mau disini mereka akan tetap masuk pada saat mereka akan bergerak kesitu, mereka akan tetap masuk. Tetap ada masalah. RPTNBD sulit kalo emang dipaksakan untuk diterapkan karena ini memang tempat hidup Orang Rimba. Beda dengan taman nasional lain, taman nasional dibentuk awalnya tidak ada orang. Tapi kemudian orang merambah. Nah itu kan lain kasusnya. Klo kasus perambahan berbeda. Klo ini memang orang yang hidup disitu. Usulan dulu ini dibentuk untuk mereka disitu. Ya pasti jadi masalah besar. Jadinya hak hidup mereka jadi terganggu kan.
T: Pandangan Bapak, terhadap pemberdayaan yan pembelajaran sebelum komunitas adat Orang Rimba berperan serta dalam rencana pengelolaan TNBD ke depannya, pihak-pihak mana saja yang seharusnya terlibat? J: Harusnya semua berperan tapi ya itulah persepsinya berbeda-beda. Contoh pemerintah pusat, mereka ada peran disini, mereka bikin rumah disini, diluar taman nasional, ada sekitar 50 atau 60 rumah, atap seng, dinding papan, lantai tanah, mereka dari dalam hutan ini disuruh pindah keluar itu kan maksudnya pemberdayaan, bahwa hidup di dalam hutan tidak baik, lebih baik di rumah ini. Itu konsep pembangunan yang saya sebut integrationist romantic, ingin segera orang-orang yang dianggap terbelakang itu ingin segera hari ini bisa seperti kita, segera bisa berintegrasi seperti orang yang sudah maju ini. Tapi romantic terlalu dipaksakan, akhirnya apa, rumah itu kosong, ataupun kalo ada yang nunggu orang jawa, orang batak, Orang Rimba kembali lagi ke hutan. Ada banyak pembangunan seperti itu yang menjadi sia-sia, itu contoh bahwa upaya pemberdayaan, persepsinya berbeda dengan apa yang diinginkan Orang Rimba itu contoh. Kemudian contoh yang lain, beberapa titik dari tempat lokasi mereka ini ada puskesmas. Puskesma itu kan melayani pengobatan kesehatan masyarakat. Orang Rimba kan bagian dari masyarakat, tapi Orang Rimba tidak bisa dilayani di puskesmas, kenapa? karena Orang Rimba tidak punya KTP. Nah itu kontradiksi lagi, kalo tadi kan dibangunkan rumah. Kalo ini pelayanan kesehatan tapi tidak bisa diakses Orang Rimba. Artinya Orang Rimba tidak bisa berobat kesitu. Nah itu yang menjadi kontradiksi dalam pemberdayaan. Trus ada banyak SD, lagi-lagi Orang Rimba tidak bisa memanfaatkan fasilitas itu untuk pemberdayaan mereka, karena apa? karena Orang Rimba cenderung nomaden, cenderung bergerak. Jadi kalo bulan ini mereka lagi disini, SD disini bisa diakses, tapi kalo bulan berikutnya mereka berpindah lagi berarti juga pindah ke SD ini. Jadi tidak mungkin dengan sistem pendidikan kita. Itu lah contoh-contoh. Jadi semua pihak sebenarnya sudah terlibat. Nah kalo yang dikembangkan oleh LSM, khususnya Warsi, kalo terkait rumah tadi menurut kita itu terlalu romantic, terlalu dipaksakan, jadi harus dilakukan secara bertahap. Yang paling penting pemberdayaan bagi mereka adalah pengakuan wilayah ini dulu. Ini adalah wilayah hidup mereka. Itu satu. Yang kedua mendorong mereka intensif dengan pertanian. Nah kita bikin hompongan dengan kebun karet, nah itu kan mulai intensif, jadi mereka mulai jadi petani karet. Secara perlahan kita dorong. Kalo karet nya udah bagus disini kan susah kalo mereka mau pindah jauh-jauh,
201
kan rugi mereka meninggalkan kebun karetnya. Nah itu yang kedua pemberdayaan ekonomi. Yang ketiga hak mereka untuk mengakses pelayanan pemerintah, ada puskesmas, jangan ditanyakan mana KTP nya, jangan ditanyakan mereka penduduk desa mana, tapi dia bisa akses pelayanan kesehatan, pendidikan, harusnya pemerintah mulai mengembangkan pendidikan yang bisa mengikuti mobilitas mereka. Bararti pendidikan yang mobile. Nah Warsi mampu melakukan hal itu seharusnya pemerintah juga mampu. Itu yang keempat pendidikan. Yang terakhir bagaimana secara bertahap mendorong mereka kearah pengakuan sama seperti warga negara yang lain. Sama hak sama kewajiban. Menurut saya pendekatan pemberdayaan yang dilakukan tidak mengikuti persepsi Orang Rimba tapi mengikuti persepsinya kita. Itu sama, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten.
T: Kalo pemberdayaan dan pembelajaran sebelum berperan serta dalam penataan kawasan TNBD, menurut Bapak bagaimana? J: Sekarang sudah mulai, mereka udah bisa menggunakan GPS tapi kalo bikin peta modern seperti ini belum lah ya, tapi klo sketsa atau peta sederhama mungkin udah bisa. Contoh ini, ini kita buat dengan GPS samasama dengan mereka, ini ladang-ladang mereka yang kita ukur. Jadi kalo diliat secara utuh tadi nah ini dia kan. Beberapa udah kita buat dan kerjakan sama-sama. Nah yang diluar ini juga kita kerjakan sama-sama. Jadi kita udah coba buat sama-sama. Jadi mereka udah bisa memetakan ladang-ladang mereka. Dan mereka itu sangat fasih dengan peta, maksudnya peta yang seperti ini mereka tidak punya. Tapi kalo kita bentang, ini sungai ini, ini sungai, mereka langsung nyambung. Orientasinya lebih baik dari pada orang yang di kota. Kalo ini sudah berhasil dibuat semua zonasi di dalam RPTNBD menjadi gampang, tapi inikan susah, ini kan pekerjan yang bertahun. Kalo masalah waktu pemberdayaan, Warsi itu udah 10 tahun disitu, kalo berbicara pemberdayaan pastilah butuh waktu yang panjang. Karena itu lebih ke bagaimana akhirnya mereka mengubah budaya. Kalo pemerintah kan pengennya cepat, bikin rumah, suruh pindah, kan pusing mereka. Kalo ini bertahap jadi emang butuh waktu yang banyak, tapi saya tidak punya ukuran, oh ini 10 tahun jadi.
T: Trus kalo pemberdayaan untuk penggunan GPS dan pemetaan secara sederhana itu membutuhkan waktu yang lama ga Pak? J: Oh itu sebentar kalo yang teknis sebentar tapi yang sulit adalah bagaimana mendorong mereka untuk tidak lagi pindah. Kalo ada yang meninggal jangan pindah, itu tidak mungkin kan. Nah itu yang butuh waktu bertahun-tahun. Itu budaya. Kalo pake handy cam aja bisa kita ajarin. Baca tulis udah berapa ratus orang yang udah bisa baca tulis. Cepat.
T: Pendapat Bapak, tentang penunjukkan kawasan TNBD dari pemerintah pusat, apakah sudah sesuai? J: Kalo kasus TNBD kan terbalik, penunjukkannya bukan dari pusat. Kasus TNBD justru kasusnya ini kan. Penunjukkan oleh pusat malah ingin mengharuskan ini menjadi HTI. Justru kita bersama-sama Orang Rimba menolak HTI ini. Tapi emang untuk kasus taman nasional lain justru penunjukkan dari pusat. Pada dasarnya penunjukkan dari pusat kalo tidak mengacu kepada kepentingan masayarakat yang ada disitu, itu salah. Contoh ini yang salah itu penunjukkan HTI ini, dulu kan pusat nunjuk ini menjadi HTI. Penunjukkan itu kan diawali dari suatu rencana. Rencana itu kan harus didialogkan sec ara partisipatif, nah itu yang paling bagus, kalo mereka setuju, oke. Kalo mereka setuju dengan catatan atau mereka tidak setuju. Nah itu yang harus menjadi point yang paling menentukan apakah ini ditetapkan atau tidak. Jadi perencanaannya yang didiskusikan.
T: Pengen tau pendapat Bapak tentang rincian bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD?
202
J: Kalo saya yang itu tadi, seperti ini, dimulai dari mendialogkan dengan semua Orang Rimba untuk mendefinsikan tata ruang versi mereka. Umpama ini, ini daerah perladangan, ini kan perladangan semua. Ini kenapa bisa hijau, ini daerah hutan kami, bararti inikan bisa jadi zona inti. Nanti disini ada lagi perladangan, perladangan itu kan mengikuti sungai. Maka tahapannya dalam penataan kawasan TNBD ini adalah mewawancarai semuanya, dimana wilayah mereka, dan kemudian setelah mencatat narasi-narasi, karena semua berbicara, di overlaykan , di survey dengan survey bersama-sama seperti ini. Sehingga di dapat polygon-polygon ini kan. Barulah yang ketiga diputuskan dimana zonasinya. Kalo ini udah dapat semua, ketahuan kan ladangnya ini semua, kawasan lindungnya ini, tanah pranoon nya ini. Jadi harus dari bawah dulu itu tahapannya. Nah, tahapan selanjutnya adalah setelah dilakukan penataan batas selanjutnya adalah pengelolaan yang dilakukan bersama. Pada dasarnya Orang Rimba diberdayakan, kalo kita kan pada saatnya Orang Rimba sudah bisa sama dengan orang melayu di luar, tapi bukan hari ini, bukan integrationist romantic, jadi harus bertahap. Tuduhan yang banyak itu kegiatan seperti Warsi ini, Warsi dituduh conservationist. Pengen Orang Rimba itu seperti ini terus sampe kapanpun, nah itu kan salah juga. Kita bukan conservationist romantic. Jadi ada dua kutub antara integrationist dan conservationist. Conservationist kzlo yang kaku ingin sampe kapanpun tetap kayak gitu. Klo integrationist yang kaku ini ingin segera hari ini bisa seperti saya, sebenarnya ada ditengah itu. Tujuannya ke arah integrationist tapi jalannya.
T: Bagaimana menurut Bapak peran Pempus, Pemprov, dan Pemkab terhadap peran serta komunitas adat Orang Rimba ini? J: Semua pihak punya kekuasaan yang kuat, contoh pemerintah pusat, mereka punya anggaran yang jelas. Harusnya anggaran itu dialokasikan, diimplemnetasikan sesuai dengan persepsi Orang Rimba. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten sama, mereka punya. Contoh Pemprov dan Pemkab seperti puskesmas, fasilitas pendidikan, itu kan tanggung jawab ada di daerah. Pendidikan itu di kabupaten, puskesmas di provinsi dan
kabupaten.
Bagaimana
itu
bisa
dioptimalkan
sehingga
Orang
Rimba
bisa
mengaksesnya,
memanfaatkannya, nah itu perannya. Peran yang lebih ideal adalah bagaimana mendorong Orang Rimba juga bisa mendapatkan dukungan untuk meningkatkan sistem pertaniannya, sistem ekonominya, contoh aja sekarang mereka jual jernang, mereka mau jual kemana, paling datang juga tengkulak, jadi ada banyak tugas yang bisa dilakukan pemerintah pusat sampai kabupaten. Ini kan menyangkut manusia. Pemberdayaan jadinya bukan lagi sekedar keruangan. Keruangan menjadi penting untuk legalitas dia hidup disini. Kalo dia terancam diusir dari sini, hidupnya kan menjadi tidak nyaman.
T: Menurut Bapak, siapakah yang lebih berperan dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD? J: Pemeran utamanya tetap Orang Rimba, yang berikutnya jelas yaitu balai taman nasional. Kemudian ada LSM yang menjadi mediator dan fasilitator, dan yang terakhir orang-orang desa diluar untuk juga ikut mengakui itu. Kalo orang desa tidak mengakui, jadi rumit lagi, paling tidak 4 stakeholders itu lah. Karena kalo di dalam taman, aturan UU di Indonesia itu kewenangannya masih pusat, bupati dan gubernur tidak punya kewenangan. Itu di dalam taman nasional. Nah perpanjangan tangan pusat itu balai taman nasional. Jadi seperti yang saya bilang yang penting itu, Orang Rimba, balai, LSM, dan masyarakat, tapi kalo udah menyangkut pemberdayaan Pemprov dan Pemkab juga harus punya peran, karena kan puskesmas, SD, pendidikan itu di luar taman semua. Bagaimana bisa diakses ataupun kalau mau bikin guru yang bisa mobile. Yang punya dana itu kan Pemprov dan Pemkab. Kalo soal keruangan Orang Rimba udah punya sendiri pola keruangan versi mereka.
T: Menurut Bapak, siapakah pihak yang lebih tepat untuk menetapkan kawasan TNBD ini? J: Kalo saya melihatnya masih pemerintah pusat, dalam kasus ini kan masih presiden. Kalo ditetapkan di bawah nanti konfliknya terlalu tinggi. Kalo udah presiden yang menetapkan, konfliknya agak berkurang.
203
Memang akhirnya berlindung pada kekuasaan. Jadi harus presiden biar ga ada yang mengklaim. Orang Rimba tidak punya kekuatan kalo secara historis.
T: Preferensi Bapak sendiri terhadap alternatif bentuk peran serta yang saya tawarkan seperti apa? J: Kalo untuk penataan kawasan di dalam kawasan TNBD belum perlu lah Pemprov dan Pemkab. Yang paling penting itu Orang Rimbanya. Terus pemerintah pusat dalam hal ini yaitu balai, LSM yang menjadi mediator dan fasilitator, dan masyarakat di sekitar TNBD. Itu yang paling penting stakeholders nya. Dia akan menjadi ideal ketika merencanakan pemberdayaan barulah ikut Pemprov dan Pemkab. Kalo berbicara spatial, ya 4 itu aja. Karena aturan hukum Indonesia itu tegas karena di dalam TNBD tidak ada kewenangan kabupaten dan provinsi. Kalo pemberdayaaan sebelum penataan seperti penggunaan GPS dan pemetaaan sederhana bisa dilakukan bersama balai ataupun LSM juga bisa.
T: Kalo boleh tau alasan Bapak memilih alternatif itu? J: Karena satu, kenapa saya sebut pemerintah pusat dalam hal ini balai karena secara UU masih dibatasi seperti itu. Kewenangan di dalam kawasan taman nasional ada pada Dephut atau Pempus dan perpanjangan tangannya balai. Kalo LSM, karena sampe hari ini realitasnya LSM lah yang lebih punya program yang jelas dalam pemberdayaan dan keruangan Orang Rimba dan bisa menjadi mediator dan fasilitaor bagi balai tadi. Orang Rimba ini yang paling penting karena ini wilayah hidup mereka jadi merekalah yang menentukan penataan kembalinya seperti apa. Orang desa, orang yang paling sering berinteraksi dengan kawasan ini sehari-hari, apakah dalam bentuk ancaman ataupun tindakan-tindakan lainnya. Penataan kembali akan jadi ideal apabila didukung dan diakui oleh orang-orang desa.
Ibu Nelly Akbar Legal Assistant Program Orang Rimba LSM KKI Warsi Senin, 26 November 2007. 11.30 WIB
T: Bagaimana pandangan Ibu tentang peran serta Orang Rimba dalam penyusunan RPTNBD? J: Memang seharusnya dan idealnya keterlibatan Orang Rimba itu menjadi sangat penting dalam penyusunan RPTNBD. Tetapi mungkin kendalanya ketika pemerintah menyusun RPTNBD itu, mereka memang tidak memandang ini sebagai sesuatu yang penting. Memang ada diawal-awal mereka melibatkan beberapa Orang Rimba tetapi itu tidak representatif. Maksudnya hanya beberapa Orang Rimba saja, tidak mencakup keseluruhan Orang Rimba yang ada di dalam kawasan taman nasional. Sehingga ada missing disitu. Maksudnya ada Orang Rimba yang merasa wilayah mereka tidak diikusertakan dalam sosialisi untuk pembuatan RPTNBD itu. Diawal-awal mungkin mereka itu tapi lama kelamaan mereka makin merasa setelah keluarnya produk RPTNBD itu banyak hal yng tidak diakomodir disana, termasuk juga bahwa pemerintah dalam hal ini BKSDA waktu itu, belum balai taman, masih BKSDA sebagai pemangku kawasan, tidak secara detil membuat tentang kawasan-kawasan yang sebenarnya menjadi wilayah adatnya Orang Rimba. Jadi ketentuan itu dibuat sepihak saja oleh BKSDA. Ini zona inti, ini zona rimba, dan ini zona pemanfaatan, tanpa bertanya dulu apakah itu bertentangan atau tidak, apakah ada ketentuan sebenarnya di wilayah-wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah itu dijadikan kawasan atau zona-zona tertentu. Itu seperti itu. Memang kalau saat ini sudah agak menunjukkan titik terang juga si, tetapi itu juga mengalami proses yang panjang tapi ada tuntutan juga dari Orang Rimba terhadap BKSDA mengapa mereka tidak dilibatkan. Walaupun menurut pemerintah sendiri sudah dilibatkan tapi tidak dalam skala yang sesuai, tidak representatif itulah intinya. Kemudian ada counter lagi dari pemerintah juga bahwa mereka sudah membuat RPTNBD sesuai dengan keinginan Orang Rimba, tapi kenyataannya tidak. Nah sekarang dari adanya pertentangan antara pemerintah dan Orang Rimba
204
itu, akhirnya ada gabungan antara LSM, pemerintah , dan Orang Rimba sendiri sepakat untuk me-review kembali hasil dari RPTNBD yang udah mereka buat itu.
T: Kalau peran serta Orang Rimba sendiri dalam penataan kawasan TNBD sendiri menurut Ibu bagaimana? J: Kalo masih kurang atau tidaknya sangat relatif, kalo dibilang kurang kenyataannya selama ini mereka juga sering terlibat tapi kalo dikatakan terlibat tidak sepenuhnya mereka juga ikut dalam perencaanaan yang dibuat pemerintah. Tapi Orang Rimba sendiri yang didampingi Warsi jadi setiap apapun yang berhubungan dengan peran serta mereka, Warsi selalu memberikan advice gitu yah, pandangan-pandangan untuk mereka, apa yang terbaik bagi mereka. Karena ada semacam ketidaksiapan dari Orang Rimba sendiri untuk menerima program dari luar. Keterlibatannya masih sangat kurang tapi juga tidak bisa disalahkan karena taman nasional ini belum terbentuk secara baku. Maksudnya kemarin itu baru sebatas SK penunjukkan, belum dalam SK penetapan. Jadi sebenarnya posisinya masih sangat rentan dan peran serta Orang Rimba sendiri juga menjadi rentan belum ada pengakuan. Sebenarnya mereka sebagai apa disana, apakah mereka hanya menumpang, apakah mereka pihak yang punya kepentingan yang sama dengan BKSDA atau tidak.
T: Menurut Ibu akan muncul masalah tidak jika Orang Rimba tidak dilibatkan dalam pentaan kawasan TNBD? J: Jelas sangat bermasalah karena memang itu wilayah hidup mereka. Dari awal mereka sudah hidup disana. Kalo seandainya tidak dilbatkan artinya akan muncul banyak persoalan. Memangnya mereka mau ditarok dimana kalo tidak dilibatkan. Dalam sistem zonasi yang menentukan itu adalah pemerntah artinya persepsi pemerintah lah yang berlaku disana. Dan mereka tidak punya bargaining position untuk menjawab yang baik untuk mereka apa, jadi kalo tidak dilibatkan emang akan menimbulkan banyak masalah.
T: Menurut Ibu apakah perlu Orang Rimba itu diberdayakan terlebih dahulu sebelum berperan serta dalam penataan kawasan TNBD? J: Harusnya memang ada keterpaduan untuk memandang Orang Rimba dalam segala aspek. Termasuk oleh pemerintah setempat, juga oleh pemangku kawasan sendiri, ataupun NGO yang berkegiatan disana, harus mempunyai kesamaan pandangan tentang peran Orang Rimba yang ada disana. Selama ini yang sering terjadi adalah pemerintah sering menganggap sepele masalah Orang Rimba. Bahwa Orang Rimba berkehidupan, Orang Rimba di hutan ya sudah, sementara hutan itu bisa memenuhi kebutuhan kehidupan Orang Rimba. Artinya pemerintah tidak harus repot-repot memperhatikan Orang Rimba toh selama ini mereka bisa survive di dalam hutan. Itu kan persepsi yang salah. Harusnya itu tanggung jawab pemerintah untuk memperhatikan Orang Rimba. Karena keterbatasan mereka sebagai orang yang marginal dan keterbatasan akses. Kemudian juga dalam pemangku kawasan, sama mereka juga memandang Orang Rimba adalah orang yang sementara ada disana. Tetap nanti ketika balai sudah terbentuk, mereka bisa direlokasikan. Nah itu juga pandangan yang salah. Nah NGO sendiri harusnya mempunyai kemampuan untuk mengimbangi itu. Maksudnya apakah upayaupaya yang sudah dilakukan pemerintah ini berpihak tidak kepada Orang Rimba. Itu peran LSM. Jangan sampai kegiatan yang ada disana sebenarnya sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan Orang Rimba. Dan mungkin saat ini upaya itu sedang diupayakan beberapa NGO, ada Warsi, Sokola, ada juga BBHI yang mulai memikirkan kepentingan Orang Rimba adalah kepentingan yang harus diperhatikan secara spesifik dan bersama-sama dan tidak boleh satu institusi saja, seperti pemerintah saja atau BKSDA saja tapi harus secara keseluruhan semua pihak ikut terlibat untuk sharing tentang apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan Orang Rimba disitu.
T: Menurut Ibu pemberdayaan seperti apa yang dibutuhkan Orang Rimba sebelum mereka berperan serta dalam penataan kawasan TNBD?
205
J: Sudah ada pelatihan-pelatihan penggunan GPS, pemetaan secara partisipatif, itu semua sudah ada tapi itu semua sifatnya sangat teknis dan sudah bisa dilakukan Orang Rimba. Orang Rimba itu sudah sangat paham sekali ruang yang ada di dalam taman nasional. Tetapi Warsi juga telah mendorong beberapa kali pelatihan seperti pemetean partisipatif untuk Orang Rimba agar memahami ruangnya tapi secara digitasi seperti menggunanaan GPS, dll, Warsi udah mendorong itu. Sebenarnya Warsi sudah memikirkan itu dalam hal mempercepat proses revisi RPTNBD sendiri. Harus ada persiapan-persiapan di tingkat Orang Rimba, seperti mungkin saat ini Warsi berpikiran bagaimana ada organisasi yang lebih intens memikirkan tentang bagaimana revisi RPTNBD itu. Dengan cara pertama mengorganisir Orang Rimba, dengan membentuk kemarin itu ada semacam organisasi Orang Rimba yang disepakati bersama, yang tujuannnya adalah memberikan pemahaman baru tentang inilah zonasi yang diinginkan Orang Rimba. Inilah bentuk taman nasional yang diinginkan sebenarnya Orang Rimba. Disamping itu juga ada organisasi desa yang juga mensupport keberadaan organisasi Orang Rimba ini dalam hal mendukung revisi RPTNBD itu. Kalo di desa nama organisasinya PDK, Persatuan Desa Penyangga, kalo di Rimba organisasinya, yaitu organisasi rimba. Nah kenyataaannya sudah berjalan walaupun dalam tahapan merubah kebijakan itu. Karena memang ada sistemsistem di pemerintahan ini yang agak lamban. Seperti dalam hal sudah disepakati RPTNBD ini kan di revisi. Tetapi kenyatannya di lapangan ada kendala-kendala. Kendalanya yang sangat teknis, sepeti dalam hal budgeting untuk kegiatan ke lapangan, yang sepeti itu kewenangan ada di pemerintah sendiri.
T: Menurut Ibu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemberdayaan Orang Rimba? J: Lama tidaknya itu tergantung dari kesiapan Orang Rimba itu sendiri. Kalo kita bilang lama tidak bisa juga dikatakan demikian. Karena bisa aja kan Orang Rimba bisa memahami dan cepat juga membuat sebuah tindakan yang langsung menentukan beginilah pola yang diiginkan Orang Rimba. Intinya tergantung kesiapan Orang Rimba. Tapi yang penting adalah pemahaman Orang Rimba terhadap RPTNBD itu, sebenarnya untuk apa RPTNBD ini dibuat, kalo RPTNBD udah dibuat mereka mau apa, itu juga harus dibekali, terserah itu mau dibekali oleh siapa, oleh LSM atau oleh pemerintah. Konflik-konflik yang terjadi juga harus diperhatikan pasca revisi RPTNB ini, apakah seandainya RPTNBD sudah direvisi bisa menjamin kenyaman Orang Rimba, apakah bisa dijamin tidak ada konflik-konflik di kemudian hari. Itu yang harusnya diantisipasi dan diberi pembekalan Orang Rimba, termasuk dalam hal tata kelolanya. Seandainya udah ditentukan zonasi-zonasi yang telah sesuai dengan keinginan Orang Rimba, apa yang bisa dilakukan terhadap zonasi itu, apakah ada sistem perlindungannya, apakah ada sistem pengeloaannya. Kalo ada sistem pengelolaan sepeti zona pemanfaatan, pengelolaannya seperti apa, apakah bisa berkelanjutan, apakah bisa mendukung konservasi yang sustainable.
T: Menurut Ibu apakah telah sesuai penunjukkan kawasan taman nasional selama ini oleh pemerintah pusat? J: Kalo dari peraturan perundangan jelas bahwa penunjukkan kawasan taman nasional itu oleh Departemen Kehutanan yang mempunyai kewenangan untuk itu. Tentu tidak bisa diubah kalo udah ada. Kalo masalah apakah ini cocok atau tidak ya itu tergantung dari masyarakat asli yang ada di dalam situ, dalam hal ini Orang Rimba. Jadi yah pusat tidak hanya langsung menunjuk saja kawasan itu menjadi taman nasional. Tapi perlu dilihat dulu aspirasi-aspirasi dari bawah, dari masyarakat asli, dan pemda setempat.
T: Tahapan/rincian bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD menurut Ibu seperti apa? J: Saya kira sih yang pertama pemerintah harus memperhatikan aspek Orang Rimbanya terlebih dahulu, bukan aspek taman nasionalnya atau hutannya. Jadi kalo emang mau melakukan penataan kawasan TNBD yang nantinya akan dituangkan dalam RPTNBD, ya perlu disosialisasikan terlebih dahulu terhadap Orang Rimba, Orang Rimba perlu tau. Jangan seperti proses penataan kawasan yang kemaren tiba-tiba udah muncul aja penataan batas kawasaan taman nasional, tiba-tiba udah aja penataan zona-zona. Jadi yang pertama itu, balai TNBD harus melakukan dialog dan konsultasi bersama Orang Rimba sebelum melakukan penataan batas dan
206
penataan zona di dalamnya. LSM juga bisa berperan disini yaitu mendampingi Orang Rimba dan menjadi penghubung antara Orang Rimba dan balai TNBD. Dialog ini bertujuan untuk menyamakan persepsi antara Orang Rimba dan balai taman nasional, perlu menyamakan apa itu zona inti, apa itu zona rimba, apa itu zona pemanfaatan, dll. Pokoknya disepakati dulu lah secara bersama. Contoh kecil aja persepsi antara Orang Rimba dan balai TNBD aja terhadap zona inti berbeda-beda, makanya perlu disamakan dulu. Nah setelah dicapai kesepakatan bersama baru lah Orang Rimba yang didampingi LSM bersama balai TNBD melakukan penataan zona di dalam taman nasional. Selanjutnya untuk penataan batas kawasan taman nasional baru lah diikutkan masyarakat desa yang tinggal disekitar TNBD. Masyarakat desa ini perlu diikutkan juga loh karena keseharian mereka juga mengambil sumber daya hutan dari TNBD. Ketergantungan mereka terhadap hutan juga sangat tinggi. Untuk itu mereka perlu tau hasil kesepakatan penataan zona itu. Agar mereka juga tau mana aja zonazona yang dilindungi dan tidak boleh diambil sumber daya nya. Disamping itu juga untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat desa sekitar bahwa itu telah dijadikan taman nasional. Jadi akses mereka dibatasi. Kalo ga dapat pengakuan dari masyarakat desa ya sama juga. Selanjutnya bisa juga melibatkan Pemkab. Sebenarnya secara substansial Pemkab tidak mempunyai kewenangan disini karena penunjukkan kawasan taman nasional itu kan dari pusat. Tapi TNBD ini kan mengambil wilayah administrasi mereka jadi mereka juga harus dilibatkan. TNBD kan letaknya di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, Tebo, dan Batanghari. Nah jadi untuk penataan batas ini perlu dilakukan bersama antara Orang Rimba, balai TNBD, ikut sertakan masyarakat desa, dan pemkab yang terkait. Harapannya kan semakin banyak yang terlibat kan malah semakin baik hasilnya, bukan semakin rumit. Nah, Setelah penataan batas kawasan dan penataan zona ini disepakati secara bersama tinggal serahkan aja hasil kesepakatannya ke pemerintah pusat untuk ditetapkan statusnya menjadi kawasan taman nasional. Simpel kan?. Tapi itu idealnya menurut saya dan sangat tidak mudah untuk dilakukan.
T: Menurut Ibu, pihak-pihak mana yang lebih tepat melakukan penataan batas dan penataan zona? J: Mungkin balik-balik lagi kesitu lah, siapa yang memanfaatkan taman nasional itu, siapa yang paling besar kepentingannya di dalam taman nasional itu, ya jelas Orang Rimba. LSM mungkin bisa mendampingi Orang Rimba saja. Tapi intinya ya mereka berdua saja antara Orang Rimba dan balai TNBD itu. Mereka berdualah yang mempunyai komptensi untuk melakukan penataan kawasan TNBD. Orang Rimba karena mereka punya hak disana dan balai TNBD memang mempunyai kewenangan disana. Jadi balai taman dan Orang Rimba harus mempunyai kesepakatan yang menjamin bahwa penataan zona itu memang sesuai dengan keinginan kedua belah pihak.
T: Selama ini kan yang melakukan penetapan kawasan taman nasional kan pemerintah pusat, menurut Ibu bagaimana? J: Ya sama aja itu berdasarkan perundangan tetapi berada di pemerintah pusat. Dan itu sangat baku. Acuannya memang perundangan yang ada di indonesia.
T: Preferansi Ibu terhadap aternatif-alternatif yang saya tawarkan gimana? J: Kalo dalam penataan kawasan TNBD aja mungkin menurut saya sih lebih prefer kepada alternatif keenam. Namun disini perlu dilibatkan juga masyarakat desa sekitar TNBD. Kenapa mereka juga perlu dilibatkan? Karena penataan kawasan TNBD itu juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat desa di sekitar TNBD. Jadi yang paling berperan yah mereka-mereka itu lah. Kalo mereka itu sudah cocok antara balai taman dan Orang Rimba sendiri, dan juga masyarakat desa diikutsertakan, itu sudah bisa dikatakan sebagai suatu yang ideal lah ya, itu menurut saya, kalo dalam penataan, sehingga juga bisa meniminalisisr persoalan-persoalan dan konflik-konflik yang ada disana.
207
T: Alasan Ibu memilih alternatif tersebut? J: Alasannya mungkin lebih spesifik gitu yah dan lebih cepat prosesnya. Karena memang yang paling berkepentingan ya stakeholders kunci yang ada di alternatif keenam itu dan ditambah juga masyarakat desa yang ada disekitar TNBD. Karena yang lebih berkonflik yah stakeholderrs kunci itu. Alangkah memang lebih efisien sekali kalo kesepakatan dari stakeholders itu bisa di dapat untuk proses pembentukan pola penataan kawasan taman nasional itu. Jadi emang lebih efisien. Jika melibatkan lebih banyak pihak nantinya akan malah membingungkan, dan lagi juga kewenangan berada disana, kewenangan itu kan adanya di balai taman yah, jadi kalo banyak pihak nantinya akan blur yah, karena nanti akan ada kepentigan ini masuk, kepentingan itu masuk. Duduk bersama aja stakeholders ini udah cukup ideal menurut saya, kalo banyak pihak nantinya malah akan buang-buang energi.
Bapak Ir. Budi Daya, M.Sc. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Senin, 26 November 2007. 13.15 WIB
T: Bapak mau nanya tentang pandangan Bapak terhadap peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD seperti apa? J: Jadi sebenarnya gini, kami ini Dinas Kehutanan tidak mengurusi masalah kawasan konservasi. Termasuklah TNBD ini, kami sama sekali tidak menyentuhnya. Jadi, kalo adik mau bertanya tentang kawasan TNBD dan segala macamnya lebih baik kepada BKSDA Jambi yang kantornya di sebelah ini. Jadi BKSDA Jambi itu langsung
dibawah
Departemen
Kehutanan.
Kalo
kami
beda,
kami
ini
dibawah
gubernur.
Jadi,
pertanggungjawaban kami ya ke gubernur. Jadi, saya pikir karena saya ga terlibat di dalamnya saya tidak bisa menjelaskan apa-apa. Maaf ya Dek. Karena untuk taman nasional itu sebenarnya Dinas Kehutanan itu tidak mempunyai kewenangan. Paling kami Cuma dikasih tau aja kalo di Provinsi Jambi ini ada kawasan TNBD dengan luasan sekian. Nah, Cuma itu. Terus apalagi yang bisa saya jawab sebatas pengetahuan saya.
T: Terus gini Pak, kan selama ini penunjukkan kawasan TNBD itu selalu dari pemerintah pusat, nah pandangan Bapak sendiri gimana?, sudah sesuai belum? J: Penunjukkan kawasan taman nasional itu memang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah pusat agar dapat diterima oleh semua pihak tetapi dengan syarat yang level bawah udah memberikan dukungan terlebih dahulu. Contohnya saja kawasan TNBD ini, yang saya tau kan usulan penunjukkan TNBD ini dari daerah, bupati ngedukung, gubernur ngedukung, LSM juga, Orang Rimba sendiri juga ngedukung.
T: Kalo dalam penetapan kawasan TNBD sendiri masih setuju Pak kalo ditetapkan oleh pemerintah pusat? J: Iya saya kira hampir sama dengan yang sebelumnya yah. Itu lebih baik ditetapkan oleh pemerintah pusat saja. Biar kuat landasan hukumnya. Soalnya kalo udah ditetapin pada level daerah, sulit dek. Banyak kepentingan disana. Rumit pokonya. Jadi biar semua pihak bisa menerimanya lebih baik pusat saja yang netapin.
T: Dari alternatif bentuk peran serta yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mana? J: Saya pikir kabupaten dan provinsi sendiri kalo dalam penataan kembali kawasan TNBD ini belum perlu terlibatlah. Kalo kami sendiri dari provinsi mungkin untuk akses ke kawasan TNBD sangat jauh dan sangat jarang untuk kesana. Beda dengan pemerintah pusat, walaupun akses mereka jauh tapi mereka punya perpanjagan tangan di daerah yaitu Balai TNBD. Lagian Kalo Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, taman nasional itu bukan wilayah kerja kami. Kami tidak mengurus itu. Tapi kalo ditanyakan tentang alternatif peran serta ini, saya sepertinya lebih condong ke alternatif keenam. Soalnya di alternatif keenam itu udah tepat lah menurut
208
saya, karena itu memang kewenangan berada di mereka. Ada balai, ada Orang Rimba, dan LSM. Terus satu lagi kalo menurut saya karena keterbatasan Orang Rimba sendiri, saya kira Orang Rimba itu perlu diberdayakan dulu lah.
Bapak Arief Adiputra Kasubbag TU Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Selasa, 27 November 2007. 09.10 WIB
T: Bagaimana menurut Bapak peran serta Orang Rimba dalam penyusunan RPTNBD? J: Jadi gini ya dek, sebenarnya saya di balai taman nasional ini baru karena balai taman nasional ini memang baru dibentuk tahun ini. Nama lain balai ini yaitu UPT Taman Nasional Bukit Duabelas. Nah kalo ditanya tentang proses penyusunan RPTNBD itu secara langsung saya tidak terlibat tetapi saya hanya sekedar mengikuti perkembangannya saja. Jadi saya menjelaskan sebatas yang saya tau saja ya. Sebenarnya yang saya pahami memang kemaren itu sempat terdengar kalo ada protes dari Orang Rimba terhadap RPTNBD. Mereka protes karena mereka merasa kurang dilibatkan dalam penyusunan RPTNBD. Disamping itu mereka juga protes terhadap sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah. Saya dengar-dengar juga zona inti yang ditetapkan pemerintah itu bermasalah karena bertentangan dengan wilayah adat Orang Rimba. Tapi kalo saya mempelajari proses penyusunan RPTNBD itu oleh BKSDA ternyata mereka juga udah melibatkan Orang Rimba. Kalo tidak salah hanya beberapa Tumenggung yang dilibatkan disitu. Ketika proses penyusunan RPTNBD berjalan mereka tidak ada yang protes. Semuanya menyetujui hasil yang disepakati. Nah, ketika RPTNBD itu udah jadi dan disosialisasikan baru muncul protes dari Orang Rimba yang lainnya. Jadi kalo menurut saya BKSDA sendiri sudah melibatkan Orang Rimba dalam penyusunan RPTNDB namun menurut saya pelibatan itu masih kurang.
T: Kalo peran serta Orang Rimba sendiri dalam penataan kawasan TNBD menurut Bapak bagaimana? J: Yah hampir sama dengan yang di atas itu. Kan udah saya jelasin kalo dalam penyusunan RPTNBD, penataan batas, penataan zona dan segala macamnya itu, saya tidak terlibat langsung. Tapi saya hanya mengikuti perkembangannya saja. Jadi yang saya jelasin ya sebatas yang saya tau aja ya. Nah kalo dalam penataan kawasan TNBD yang meliputi penataan batas taman nasional dan penataan zona-zona di dalamnya, yang saya dengar juga seperti itu. Orang Rimba protes terhadap sistem zonasi yang telah di usulkan pemerintah. Sebenarnya yang protes itu hanya sebagian Orang Rimba aja sih, tidak semuanya. Cuma kan Orang Rimba ini sangat gampang dipengaruhi oleh orang luar, yah jadinya aja semuanya ikut protes. Salah satu contohnya ginilah, zona inti itu kan udah ditetapin pemerintah, segini luasya, zona inti itu perlu dilindungi, dan segala macemnya. Nah, Orang Rimba protes karena di dalam zona inti itu ada wilayah pengembaraan mereka. Itu lah yang diprotes oleh mereka. Sebenarnya dalam penataan zona taman nasional dan penataan batas kawasan BKSDA sudah mengadakan dialog-dialog dengan Orang Rimba. BKSDA juga menanyakan mana-mana aja yang menjadi wilayah adat mereka. Mereka itu juga punya zona inti sendiri loh. Nah jadi semua aspirasi itu di tampung oleh BKSDA. Termasuk kesepakatan dalam zona inti. Tetapi tiba-tiba muncul protes dari Orang Rimba ketika sistem zonasi udah jadi. Saya kira mungkin dalam penataan zona tersebut kepentingan Orang Rimba kurang diakomodir kali yah. Tapi kalo dari pelibatannya, BKSDA udah melibatkan mereka.
T: Bagaimana pendapat Bapak terhadap pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka berperan serta dalam penataan kawasan TNBD? J: Kalo masalah pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka berperan serta dalam penataan kawasan, saya pikir belum perlu lah. Kenapa saya katakan belum perlu, untuk melakukan pemberdayaan itu kan butuh dana,
209
sementara anggaran dari pemerintah itu terbatas. Kalo emang dibutuhkan pemberdayaan mungkin pemberdayaan yang sifatnya lebih dalam hal kesehatan, pendidikan, ekonomi, dll. Nah kalo dalam penat aan kawasan seperti penataan zona itu belum perlu lah. Jadi langsung libatkan Orang Rimba itu dalam penataan kawasan. Tahapan itu dimulai dari pembentukan tim kerja zonasi TNBD. Nah stakeholders yang berperan disini yaitu balai TNBD, Orang Rimba, dan beberapa LSM yang bisa mendampingi. Tujuan pembentukan tim ini yaitu untuk membagi Orang Rimba ke dalam beberapa kelompok. Nah masing-masing kelompok diketuai oleh Tumenggung sesuai wilayahnya masing-masing. Selain itu juga dilakukan diskusi bersama antara balai TNBD dengan Orang Rimba untuk menyamakan persepsi dalam penataan zona-zona. Sebagai contoh persepsi zona inti antara balai TNBD dan Orang Rimba itu berbeda loh. Makanya perlu disamakan dulu persepsinya biar penataan di lapangan menjadi lebih mudah. Di samping itu, dalam diskusi juga kita tanyakan mana daerahdaerah yang sakral bagi mereka, mana daerah yang tidak boleh dimasukin orang luar, dll. Nah itulah yang menjadi masukan utama dalam penataan zona di lapangan nanti. Sehingga setelah persepsi antara balai TNBD dan Orang Rimba sejalan barulah dilaksanakan penataan kawasan di lapangan. Kalo masalah penggunaan GPS menurut saya belum perlu lah. Yang terpenting adalah mereka bisa melakukan pemetaan secara partisipatif bersama balai TNDB, dan LSM.
T: Pandangan Bapak terhadap penunjukkan kawasan taman nasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat, seperti apa? J: Setau saya UU emang bilang begitu, kalo untuk penunjukkan kawasan taman nasional harus dari pemerintah pusat. Namanya juga nasional berarti harus dari pusat lah. Tapi pusat juga tidak asal menunjuk suatu kawasan menjadi taman nasional tapi harus dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam di kawasan itu terlebih dahulu.
T: Bagaimana menurut Bapak, rincian/tahapan peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD? J: Sebenarnya gini yah dek. Kita itu udah mendapat surat dari Komnas HAM yang berisi tentang pengaduan bahwa pihak pengelola TNBD melakukan pelanggaran hak-hak Orang Rimba. Jadi yah kita berkomitmen untuk menindaklanjuti temuan pelanggaraan hak-hak Orang Rimba. Kita diduga juga kurang melibatkan Orang Rimba. Makanya itu perlu ditindak lanjuti. Dan saat ini kita udah mulai mengikusertakan Orang Rimba dalam menyusun RPTNBD yang berbasis hak-hak asasi manusia. Tahapan yang pertama itu ya seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya yaitu dibentuklah tim kerja yang terdiri dari balai taman nasional, Orang Rimba, dan beberapa LSM kita libatkan. Sebelum melakukan survey, tim kerja ini melakukan diskusi-diskusi terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi mereka dalam penataan kawasn TNBD. Menyamakan persepsi tentang apa itu zona inti, apa itu zona rimba, apa itu zona pemanfataan, dll. Dalam tim kerja ini Orang Rimba kita bagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Tiap kelompok diketuai oleh seorang Tumenggung. Nah setelah diskusi dilakukan maka dicapailah kesepakatan kriteria zonasi antara Orang Rimba dan balai TNBD. Setelah itu secara bersama-sama Orang Rimba, balai TNBD, dan LSM hanya sebagai pendamping melakukan penataan kawasan di lapangan, baik itu penataan batas maupun penataan zona. Jadi dalam penataan batas dan penataan zona ini cukup Orang Rimba dan balai TNBD aja, sedangkan LSM hanya sebagai pendamping Orang Rimba. Kemudian hasil penataan kawasan TNBD disepakati bersama dan tinggal diserahkan ke pusat. Nah, pusat tiggal menetapkannya saja. T: Siapa pihak yang lebih tepat melakukan penataan batas dan penataan zona, menurut Bapak? J: Ya itu tadi seperti pertanyaan sebelumnya yaitu Orang Rimba, balai TNBD, dan LSM sendiri yang mendampingi Orang Rimba. Saya rasa tiga stakehloders itu ja udh cukup ideal.
T: Selama ini kan penetapan kawasan taman nasional selalu dari pusat, nah pandangan Bapak seperti apa? J: Kalo menurut saya sudah pas lah seperti itu dan juga karena kewenanannya kan ada di pusat. Jadi sebelum melakukan penetapan kaasan pusat itu menampung dulu semua aspirasi dan kesepakatan yang ada di daerah.
210
Seandainya penetapan itu ada di daerah nantinya akan banyak kepentingan disitu, misalnya kabupaten ini pengennya ini, kabupaten ini pengennga ini, nah jadi lebih baik pusat sajalah yang netapin.
T: Dari alternatif yang saya tawarkan, Bapak lebih prefer pada alternatif yang mana? J: Iya itu tadi seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Jadi aktor-aktor yang paling penting terlibat dalam penataan kawasan TNBD itu yah yang pertama kali itu Orang Rimbanya, terus balai TNBD, dan juga bisa mengikutsertakan LSM di dalamnya. Nah kalo ketiga aktor itu lebih cocok ke yang mana. Mungkin lebih cocok ke alternatif yang kelima yah. Disini ada Orang Rimba, LSM, dan pemerintah pusat yang dalam hal ini diwakili oleh balai TNBD. Nah di alternatif kelima ini kan tidak perlu pemberdayaan kan, jadi langsung aja kita libatkan Orang Rimbanya dalam penataan kawasan dengan membentuk tim kerja terlbih dahulu. Soalnya kalo berbicara pemberdayaan pasti butuh dana lagi. Sedangkan pemerintah itu dananya terbatas dek.
T: Alasan Bapak memilih alternatif tersebut bisa dijelaskan ga Pak? J: Saya kira bentuk peran serta di alternatif kelima itu sudah cukup ideal lah bagi saya. Tiga aktor yang terlibat itu udah cukup. Kalo makin banyak lagi aktor yang ikut nantinya makin rumit lagi. Makin banyak kepentingan disana. Contohnya aja misalnya kita libatkan masyarakat desa sekitar TNBD. Mereka itu nanti akan menuntut yang macama-macam lagi. Kita libatkan Pemkab, pasti juga banyak kepentingan juga disana, apalagi kan TNBD ini terletak di tiga kabupaten. Masing-masing Pemkab itu kan punya kepentingan yang beda-beda. Jadi masyarakat desa dan Pemkab itu hanya sekedar cukup tau sajalah kalo disitu ada TNBD. Udah itu aja.
Bapak Fery Apriadi Fasilitator Pendidikan LSM KKI WARSI Selasa, 27 November 2007. 10.15 WIB
T: Bagaimana persepsi Bapak tentang peran serta Orang Rimba selama ini dalam penataan kawasan TNBD? J: Jadi awalnya gini yah, taman nasional ini kan baru dibentuk tahun 2000. Ini pada awalnya tidak melibatkan Orang Rimba. Jadi ketika itu dibentuk Orang Rimba sendiri masih belum tau kalo itu statusnya udah menjadi taman. Jadi mereka tidak melibatkan Orang Rimba dalam pembentukkan ini. Jadi secara persepsinya mereka tidak tau sama sekali. Jadi ketika tahun 2003 atau tahun berapa itu ada sosialisasi dari pemerintah, ternyata ini udah menjadi taman nasional, dan mengapa kami tidak dilibatkan dalam pembentukannya. Apalagi ketika disampaikan ada zonasi. Mereka itu kan manusia jadi kalo ada zonasi pergerakan mereka terhambat toh. Taman nasional kan pada awalnya tidak ada kehidupan, dalam artinya manusia tidak boleh masuk kedalam. Hanya ketika diperuntukkan ada sistem zonasi pas lah mungkin bisa. Tapi ketika dalam bentuk taman nasional dan diperuntukkan bagi manusia ini kan jarang terjadi, baru di TNBD. Ini jadi permasalahan lagi kan, ketika dikasih sistem zonasi itu mengambat kehidupan seseorang lah. Makanya ada kayak isu-isu HAM disitu yang bermain. Ada perbedaan, dulu Orang Rimba tidak tau dan ga peduli dan sekarang melihat perkembangannya Orang Rimba sudah mulai peduli. Kami adalah penghuni rumah ini, ketika kami dibatas-batasi orang lain, dan kami harus menentukan sendiri batas-batas kami, dan kesadaran mereka udah mulai tinggi. T: Kalo peran serta Orang Rimba sendiri dalam penyusunan RPTNBD sendiri seperti apa? J: Peran serta gini yah, dulu ya peran serta sedikit, sekarang kan RPTNB ini mulai didorong agar masyarakat ikut aktif terlibat. Karena ada beberapa di dalam RPTNBD itu tidak sesuai, kerena awalnya mereka tidak dilibatkan. Nah sekarang mendorong mereka untuk terlibat aktif. Nah sekarang ini mereka itu sudah siap-siap loh untuk turun ke lapangan, untuk menentukan lokasi-lokasi mana yang bisa ditetapkan menjadi zona. Karena Orang Rimba sendiri mempunyai lokasi adat masing-masing. Ni lokasi kuburan, ga boleh dimasukin orang. Jadi kalo ini dijadikan zona inti sesuai kan. Yang dulu-dulu kan ga ada langsung aja kan. Jadi kan membatasi
211
mereka kan, karena bertentangan dengan lokasi adat mereka. Makanya pemerintah daerah harus mulai responsif. Bukan tidak tapi sih kurang. Ada sih niat tapi hanya sebatas ngomong aja. Mudah-mudahan itu niatan baiklah. Jadi jelas RPTNBD yang dulu bermasalah jika diterapkan karena tidak melibatkan Orang Rimba makanya perlu di revisi.
T: Bagaimana pandangan Bapak terhadap pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka berperan serta dalam penataan kawasan TNBD? J: Nah itu penting. Sebenarnya gini. Orang Rimba itu pemahamannya terhadap tata ruang di dalam kawasan itu jelas tau semua. Dari sungai berapa kilometer, belok kiri, sungai lagi, sini lagi, sini ada kebun ini, mereka sudah hafal semua. Jadi tahap awalnya itu memang lebih tepatnya memetakan setiap rombongan atau kelompok yang ada di bererapa daerah memetakan wilayah masing-masing. Ketika semua udah dipetakan dan dilukis secara sederhana sketsa awal. Mungkin menurut saya, Orang Rimba bersama dengan Warsi dan BKSDA dan lembaga-lembaga lain ikut terlibat dalam pemahaman GPS untuk memetakan. Disini jadi yah ada semacam suatu legitimasi kejelasannya kan. Dimana bukan hanya kita yang menitik, kalo kita yang menitik orang lain belum tentu percaya toh. Tapi kalo emang Orang Rimba yang melakukan orang lebih percaya. Oh emang benar Orang Rimba yang melakukannya. Jadi untuk saat ini yah, untuk pengelolaan tata ruang, untuk pengeloaan RPTNBD itu tadi pemahaman mereka tentang, pada awalnya mereka harus memetakan dulu tata rang wilayah mereka sendiri per kelompok. Akhirnya dibawa ke tingkat BKSDA bersama orang yang akan menyusun RPTNBD itu untuk bersama-sama dengan Orang Rimba mengambil titik lokasi-lokasi itu. Orang Rimba juga sudah banyak bicara, balai TNBD, terus disitu ada Polhut, Polisi Kehutanan, seharusnya kan Polhut ada di dalam hutan, ini tidak mereka hanya ada di pinggir taman dengan masyarakat desa. Yang masuk-masuk ke dalam itu sangat jarang sekali. Itu yang sangat disesali Orang Rimba. Pemkab juga harus turun ke lapangan, artinya mereka juga harus terlibat juga dalam menentukan batas-batas taman terlibat semua. Oke kalo batas taman itu, taman nasional itu kan ditetapkan oleh menteri. Tapi yang mempunyai wilayah itu adalah kabupaten, ketika kabupaten tidak mengizinkan bagaimana itu bisa turun. Rekomendasi kan dari bawah biasanya. Ketika pemerintah pusat ingin mengesahkan tapi dari bawah tidak setuju gimana dong. Masyarakat desa juga harus dilibatkan. Kalo berbicara masalah pemberdayaan maka ini berbicara pada suatu yang kompleks karena semua unsur elemen itu terlibat. Nah kalo berbicara pada pemberdayaan Orang Rimba dan Orang Rimba itu di dalam taman nasional. Dan taman nasional itu dikelilingi oleh desa-desa, otomatis kita tidak hanya memberikan pemberdayaan itu kepada Orang Rimba, untuk orang desa juga. Juga perlu ada keterlibatan mereka juga. Karena dalam bentuk hal pengakuan-pengakuan, seperti gini misalkan ya batas taman, batas taman kan, Orang Rimba kan tinggal di dalam. Bagaimana ketika orang desa itu tidak mengakui batas taman itu. Dia kan tetap masuk ke dalam. Lama-lama kan Orang Rimba kan bisa habis wilayahnya. Jadi harus ada pengakuan dari dua belah pihak. Ketika dua-duanya sepakat dan mengakui maka amanlah itu. Ketika hanya satu aja yang mengakui, udah kacau semuanya. Orang Rimba itu kan letaknya tersebar di dalam TNBD. Nah mereka itu juga punya wilayah adat, daerah-daerah terlarang, tanah kuburan, tanah pranoon, dll. Satu kelompok aja udah punya kayak gitu, apalagi kelompok yang lain kan. Tentunya kelompok lain itu juga punya. Inilah yang tidak diakui oleh pemerintah ketika dalam menetukan sistem zonasi di dalam RPTNBD itu. Jadinya harusnya ada pegakuan. Jadi yah mungkin aja bentuk zona inti yang mereka tawarkan berbentuk mozaik-mozaik yang tersebar.
T: Pak, kan selama ini penunjukkan kawasan taman nasional selalu dari pusat, menurut Ba[ak bagaimana? J: Iya saya sepakat sepeti itu, ya mulai dari bawah dulu. Pusat itu kan orang yang tidak tau apa-apa, pusat itu kan orang yang menetukan kebijakan semua, tinggal acc dan tanda tangan. Seharusnya kan pelibatan dari bawah terus ke atas. Keatas harus responsif, baru ke bawah untuk melihat kondisi di lapangan.
212
T: Menurut Bapak bagaimana rincian/tahapan-tahapan bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Seharusnya gini, memang kalo untuk pengelolaan taman itu kan orang-orang yang berkepentingan disitu harus dilibatkan, Orang Rimba, pemangku kawasan yang diwakilkan oleh balai taman, NGO atau LSM yang ada disitu, sepeti Warsi atau LSM lain juga ada. Itu harus dilibatkan semua. Nah orang desa juga harus dilibatkan, jadi biar ada pengakuan, jadi biar tidak ada saling tuding, oh enggak saya tidak dilibatkan, saya enggak tau, jadi ada transparansi yang diutamakan. Jadi setelah dilibatkan semua baru teman-teman yang terlibat tadi akan memberikan sebuah rekomendasi, hasil dari mereka turun ke lapangan, baru menghasilkan sebuah rekomendasi, bahwa ini gini-gini, luasan sekian, lokasinya ada disini-disini, kan jelas ini diakuin orang desa, ini gini-gini, dan yang menandatangi ini. Dan ketika ini udah jelas disusun, oleh pihak-pihak tadi, lalu naik ke tingkat kabupaten. Nah ketika kabupaten menyetujui, naik lagi ketingkat provinsi, dan provinsi menyetujui, udah sampe ke pusat. Dan pemerintah pusat tinggal acc aja. Oh ternyata orang-orang yang di level bawah dari tingkat orang yang terlibat bener atau masyarakatnya sampe ke provinsi telah menyetujui. Artinya yang diatas harus dong meng-acc-nya dan ketok palu. Tapi ga hanya ketok palu, pusat juga harus turun ke bawah dan mengecek ke lapangan, bener enggak ini di lapangan.
T: Pak, kan selama ini juga untuk penetapan status kawasan TNBD dilakukan oleh pemerintah pusat, pandangan Bapak sendiri seperti apa? J: Iya hampir sama tadi seperti dalam kasus penunjukkan dimana penetapan kawasan itu sebaikn ya dilakukan oleh pusat, tapi ya balik lagi musti ada proses yang terstruktur dari level bawah hingga atas. Jadi biar jelas gitu. Jangan pusat hanya menetapkannya sebelah pihak. Tapi liat dulu ke bawah. Kalo dari level bawah sudah oke yang tinggal ditetapkan. Tapi harus turun ke lapangan dulu untuk mengeceknya.
T: Nah sekarang masuk ke alternatif, dari alternatif bentuk peran serta yang saya tawarkan, Bapak lebih prefer alternatif yang mana? J: Seperti yang saya jelaskan pada point sebelumnya yaitu dimana dalam penataan kawasan TNBD ini semua pihak harus dilibatkan. Mulai dari Orang Rimba, pemerintah pusat yang diwakilkan oleh balai taman nasional, masyarakat desa sekitar, Pemkab, dan Pemprov. Kenapa saya katakan demikian, iya itu tadi biar proses yang kita capai tidak sia-sia. Satu aja dari mereka tidak kita libatkan akan bermasalah, betul kan. Makanya itu, intinya biar dapat pengakuan dari semua pihak dan tidak ada klaim lagi. Kayaknya saya kurang setuju dengan alternatif yang ada disini, yang saya inginkan semua pihak terlibat disini biar ada pengakuan dari semuanya. Dan kedepannya pun juga semakin lancar nantinya.
T: Kalo boleh tau kenapa Bapak memilih alternatif baru tersebut? kenapa semua pihak harus dilibatkan? alasannya apa Pak? J: Alasan ini kenapa mereka harus terlibat, misalkan takutnya ada slot-slot penolakan lagi dan intrik-intrik dibelakang itu dari orang desa. Saya tidak mengetahui nih kalo itu ditunjuk sebagai taman, itu batas taman, kerana saya tidak tau saya masuk aja ke taman, masa boboh dengan Orang Rimba, kan tidak ada aturannya. Kami tau cara nenek moyang kami dulu disini-disini belum ada kesepakatan seperti itu, karena kami tidak tau. Nah itu pentingnya adanya suatu koordinasi antar mereka itu. Ketika salah satu dari mereka tidak dilibatkan maka itu akan menjadi sia-sia, akan menjadi boomerang, misalkan kan dalam zonasi tadi, zonasi tidak melibatkan Orang Rimba yang terjadi adalah Orang Rimbanya menjadi ketakutan dan tidak diakui. Jadi semuanya dilibatkan biar ada pengakuan dari semuanya dan tercapai kesepekatan semuanya, dan enggak adalagi itu kata-kata saya tidak tau itu.
213
Ibu Agustina Dewi Siahaan Penata Kerja Sama dan Humas BKSDA Jambi Selasa, 27 November 2007. 11.20 WIB
T: Bagaimana pendapat Ibu terhadap peran serta Orang Rimba dalam penyusunan RPTNBD selama ini? J: Nah ini yang saya tau yah. Kalo menurut kami BKSDA Jambi, Orang Rimba sudah cukup berperan dalam penyusunan RPTNBD. Kami melibatkan beberapa orang, beberapa tumenggung. Jadi kan memang mungkin berapa orangnya tidak dapat saya jelaskan yah. Jadikan Orang Rimba itu terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil. Dulunya mereka mungkin hanya terdiri dari tiga tumenggung yah. Lama-lama banyak berkembang, ada yang tummenggung mengangkat sendiri jadi tumenggung, ada tumenggung yang diangkat oleh kepala desa, sehingga jadi banyak sekali tumenggung. Kita sendiri agak kebingungan, sebenarnya kita dibantu Warsi disini dalam penyusunan RPTNBD yah. Jadi ada beberapa Orang Rimba, kita anggap tumenggung itu sudah mewakili Orang Rimba. Kan kalo kita menganggap karena dia pemimpin kan. Jadi ada tumenggung tarib kita libatkan. Banyak hal yang kita dapat dari dia, informasi, makanya kita bisa ke dalam, dan wawancara gitu kan. Dia juga penunjuk jalan. Tumenggung tarib di air hitam, ada tumenggung yang di makekal juga, tapi ternyata ketika RPTNBD itu udah jadi, ternyata ada beberapa tumenggung yang bermunculan, juga ada yang bukan tumenggung misalnya, ada istilahnya adipati, dan ini sepertinya itu adanya pihak-pihak tertentu yang ikut campur seperti LSM-LSM yang dulunya tidak ada peran sertanya, bahkan kita tidak sama maju pada saat itu. Kemudian ada juga seperti LSM sokola itu, itu padahal dalam penyusunan RPTNDB itu dia hadir, di berita acaranya, dia selalu hadir. Tapi pada saat itu dia tidak mempermasalahkan, gimana sih baiknya yang namanya mewakili seluruh Orang Rimba. Tapi ketika RPTNBD itu udah jadi, dia mempermasalahkan, katanya tidak melibatkan Orang Rimba, tapi Orang Rimba yang mana. Sebenarnya itu yang menjadi kebingungan kita, karena ini ada kelompok-kelompok kecil, akhirnya dipolitisir lah oleh beberapa kelompok atau LSM datang ngambil masa ini sedikit kelompok, yang menanyakan kalo dia tidak dilibatkan. Kalo kami menganggap sudah cukup diwakili gitu. Tapi kenyataannya tidak ada bisa satu sosok pun di Orang Rimba yang dianggap bisa mewakili. Kenyataannya mereka hanya bisa mewakili diri mereka sendiri. Kami ternyata agak kurang paham dengan budayanya. Tiba-tiba muncul adipati, muncul ini, katanya dia tidak dilibatkan, akhirnya kami kumpulkan sebelum review itu pertemuan disini. Kalo ga salah tanggal 31 Mei. Itu juga ada dua atau tiga tumenggung tidak hadir. Kami minta bantuan LSM sokola dan Warsi untuk mengumpulkan. Kan mereka cukup paham yah siapa yang bisa mewakili. Bahkan bukan cuma adipati dan tumenggung aja yang hadir tetapi banyak. Ada beberapa puluh Orang Rimba yang hadir. Dan mereka bersama kepala BKSDA disaksikan oleh Warsi dan Sokola, juga ada beberapa LSM lain yang datang, yang ingin ikutan terlibat disitu. Padahal sebelumnya tidak terlibat mereka, sepakat bahwa RPTNBD itu akan kita diskusikan lagi. Akan kita sesuaikan dengan kenyatannya di lapangan. Sebenarnya RPTNBD itu bukan buku hukum yah, itu kan bukan buku hukum yang hukumnya kuat yah, itu kan rencana. Rencana yang kita sebagai pengelola sebenarnya. Itu kan hanya buku panduan kita sebagai pengelola, dan itu belum direalisasikan sama sekali di lapangan. Tapi tiba-tiba ada pihak-pihak yang mem-blow up. Ini nanti kalo direalisiskan, melanggar HAM, Orang Rimba akan terusir. Nah disini kita ini juga perlu dipahami kalo BKSDA Jambi ini. Sebenarnya kita lebih kekonservasi ke hutannya. Flora dan faunanya di dalamnya, ke kawasannya. Nah kebetulan ini kasusnya unik, ada masyarakat di dalamnya, dan masyarakat tersebut bergerak. Sebenarnya disini kita belajar untuk mengelola kawasan konservasi ini, dengan memperhatikan komunitas Orang Rimba. Sebenarnya disini masih belajar belum jadi hukum yang saklak karena hukum-hukum konservasi di negara kita belum ada yang mengakomodir masyarakat bergerak di dalamnya. Kalo masyarakat yang bergerak di dalamnya, seperti desa, itu kan bisa dijadikan daerah enclave. Jadi disini ada banyak pihak-pihak yang lain itu, marilah kita bersama-sama bergabung untuk membicarakan dan kita pikirkan sebenarnya metode mana yang paling baik untuk bisa mengkonservasi kawasan tetapi juga
214
menjamin Orang Rimba. Tapi yang terjadi selama ini kesan mereka (LSM) itu memojokkan kita terus. Padahal kita itu belum akan bergerak untuk melaksanakan RPTNBD. Itu kan bukan hukum yang harus betul-betul ditegakan, itu kan baru rencana.
T: Kalo peran serta Orang Rimba sendiri dalam penataan kawasan TNBD, menurut Ibu bagaimana? seperti penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD. J: Belum karena belum dilaksanakan. Jadi belum dilibatkan karena tata batas belum ada yang selesai. Kalo dulunya sebelum jadi taman nasional kan harus ditata batas nah itu ngelibatin, bukan hanya Orang Rimba, tapi juga masyarakat desa sekitar, itu melibatkan. Bahkan seringkali sekarang kalo kita ingin cari ini batas ini, batas itu, mereka lebih tau, mereka yang kasih tau. Tapi ada batas yang belum ketemu gelang di bagian utara. Nah itu belum dilaksanakan, ya belum juga melibatkan mereka. Kalo tata batas itu melibatkan mereka, mereka tau betul tata batas. Kalo zonasi, jadi taman nasional kalo mengacu pada UU no.5 Tahun 1990 itu dijelaskan bahwa taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfataan, dan zona lain yang dibutuhkan. Zona inti maksudnya juga untuk dijaga terus ekosistem aslinya. Kalo di peta kan zona itu susah juga dibuat di lapangannya. Jadi ini masih direncanakan di peta begini, belum dilaksanakan di lapangan, dan zonasi itu bisa berubah, misalnya zona inti cuma berapa persen, trus jadi berapa persen. Kalo dalam zonasi kita ngelibatin Orang Rimba waktu itu. Dalam artian selain kita studi ke lapangan kita juga meminta informasi dari Orang Rimba ini. Kayak kemarin kita, zona inti kita ambil daerah perbukitan. Orang Rimba sendiri mengakui tidak ada aktivitas disitu karena cukup terjal, tidak mungkin dijadikan perladanagn, berburu, dan itu pun Orang Rimba mengakui hutan-hutannya masih bagus, pohonnya masih tinggi-tinggi, makanya itu direncanakan jadi zona inti. Karena tidak mungkin juga ada perbukitan yang bagian selatan itu. Nah sebenarnya melibatkan seperti itu, dan zonasi itu masih konsep yah yang di RPTNBD itu. Selain informasi dari mereka kita juga menggunakan citra satelit dan memang itu masih belum terbuka, dan masih hutan. Dan seperti zona pemanfaatn lain, ada zona pemanfaatan khusus untuk Orang Rimba, dan itu pun menurut survey kata Orang Rimba dan juga liat dari peta itu kebun-kebunnya Orang Rimba. Makanya ada zona pemanfatan rimba, terus ada kebun-kebun orang desa yang udah telanjur ada. Itu diakomodir juga. Jadi zona pemanfaatan tradisional.Tterus ada juga seperti air mancur itu juga dijadikan zona pemanfaatan yang untuk rekreasi, dan ada kawasan yang rusak. Itu jga dikasih tau Orang Rimba, dan kita liat juga dari citra itu, dijadikan zona rehabilitasi yang natinya akan di rehabilitasi.
T: Menurut pendapat Ibu, apakah akan muncul masalah jika Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? J: Iya bakal dong. Makanya sekarang itu, kalo kamu udah berbicara dengan balai TNBD, udah banyak sekali hal yang mereka lakukan setelah mereka lepas dari BKSDA. Sudah banyak sekali mereka melibatkan peran serta Orang Rimba. Ada forum pertemuan yang rutin, juga forum antar tumenggung. Ya bakal dong, ini kan manusia. Ya pasti bermasalah, kalo taman nasional di tempat lain, isinya itu flora dan fauna, kalo ini manusia. Sebenarnya penting sekali TNBD buat Orang Rimba. Sama sekali kita tidak ada niat untuk mengeluarkan mereka dari TNBD. Walaupun kita hanya mengkonservasi hutan TNBD tanpa memikirkan orang di dalamnya, tapi ini sebenarnya akan dijamin kelangsungan hidup mereka, karena yang dikonservasikan hutan, sumber kehidupan mereka. Nah ini yang tidak dipahami oleh orang-orang yang berfikir kalo departemen kehutanan dengan taman nasional dan program-programnya, seperti RPTNBD itu. Mereka berfikir akan mengeluarkan Orang Rimba. Ini sebenarnya yang tidak dipikirkan oleh Orang Rimba, sebenarnya tidak ada pun Orang Rimba, kita itu mengkonservasi hutan ini, tetap seperti ini, dan bahkan lebih baik. Jadi kalo misalnya juga disalahkan Orang Rimba, ada beberapa mereka minta, pendidikan yang tidak diperhatikan, kesehatan tidak diperhatikan, itu sebenarnya bukan kerjaan Dephut. Itu kan kerjaan pemda, dinsos, makanya ini harus kolaborasi. Kalo kita
215
kolaborasi, LSM ini lebih tau kan apa yang dibutuhkan malah lebih enak, terciptalah itu, hutan yang lestari, Orang Rimbanya juga terjamin.
T: Menurut Ibu bagaimana pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD? Seperti pemetaan sederhana, penggunaan GPS, dll? J: Mungkin baca peta sederhana bisa, tapi kayaknya itu sudah, Warsi waktu itu ngadain. Iya itu perlu juga buat mereka. Kalo menurut saya yah, mereka tidak merasa itu penting bagi meraka, yang merasa itu penting kan kita. Misalkan LSM merasa itu penting, mereka harus dibekalin. Tapi kalo saya, saya merasa, mereka meras a tidak penting itu bagi mereka. Selama hutan mereka tetap ada itu yang paling penting, kayak misalnya bisa GPS atau bisa baca peta, atau mereka bakalan bikin peta menurut versi mereka, kayaknya mereka ga bakal kepikiran itu. Selama hutan itu masih ada, nah itu penting banget bagi mereka. Jadi yang merasa itu penting kan kita buat mereka, dan selama ini kan banyak orang merasa, itu adalah suara Orang Rimba, padahal itukan suaranya segelintir orang itu.
T: Selama ini kan penunjukkan kawasan taman nasional selalu dari pemerintah pusat, menurut pendapat Ibu bagaimana? J: Iya menurut saya memang sebaiknya seperti itu, penunjukkan kawasan taman nasional dari pemerintah pusat tetapi harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari bawah dulu. Kan Dephut tidak mungkin asal nunjuk. Sebenarnya kan ada banyak cerita dibelakang itu. Contohnya aja TNBD ini, Dephut kan menunjuk kawasan ini kan karena usulan dari bawah. Usulan dari Orang Rimba, LSM, kabupaten, dan provinsi. Jadi ya emang aturannya kayak gitu dan saya masih sepakat dengan itu. Jadi semua taman nasional di Indonesia ga secara tiba-tiba langsung ditunjuk jadi taman nasional. Kayak di Mandeling Natal ada taman nasional Batang Gadis. Itu malah Pemdanya yang ngusulin jadi taman nasional. Jadi semua itu dari bawah dulu. Bahkan LSM juga ada yang ngusulin, seperti di NTT itu dari LSM juga.
T: Bagaimana menurut Ibu rincian/tahapan bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Iya libatin langsung aja sih menurut saya sih. Nah sekarang kan udah ada balai TNBD yang mengelola. Mereka juga udah mulai, seperti hal yang mereka lakukan terhadap TNBD, jadi mereka sudah mulai menyerahkan apa sih maunya Orang Rimba, jadi mengelolanya tinggal mengarahkan, makanya perlu sekali terbuka, pengelolaannya juga terbuka, kami mempunyai rencana-rencana seperti ini, dan Orang Rimba juga punya rencana-rencana seperti ini. Oh baiknya rencana itu seperti ini, jadi harus terbuka, pengelola, Orang Rimba, dan stakeholers yang lain, sama-sama bicarakan. Intinya adalah harus duduk bersama, dengan duduk bersama ini, nantinya akan ditemukan banyak hal yang harusnya bisa dilakukan, dan bisa berbagi peran.
T: Pendapat Ibu tentang penetapan status hukum taman nasional yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat seperti apa? J: Iya kalo menurut saya berdasarkan UU memang seperti itu. Jadi kalo menurut UU itu yah, awalnya itu tidak langsung penetapan status kawasan TNBD tetapi diawali dengan penunjukkan kawasan taman nasional dulu dari pemerintah pusat melalui Dephut. Dalam penunjukkan kawasan pun, seperi yang telah saya jelaskan di atas, pemeintah tidak asal tunjuk tetapi harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari bawah. Nah seperti itu. Selanjutnya setelah penunjukkan baru diadakan penataan kawasan taman nasional di lapangan. Setalah semua sepakat dengan hasil penataan kawasan itu baru pusat tinggal menetapkan status hukum taman nasional saja. Jadi dalam penetapan status hukum kawasan taman nasional pun pusat juga harus memperhatikan usulan dari bawah. Saya kira memang lebih tetapt seperti itu. Biar status hukumnya lebih kuat jika ditetapkan oleh pusat.
216
T: Menurut Ibu, dari alternatif yang saya tawarkan Ibu lebih kepada alternatif yang mana? J: Kalo menurut saya, saya kurang tertarik dengan alternatif yang ditawarkan, saya pengennya di alternatif ini ada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Karena menurut saya, semakin banyak pihak yang terlibat tentunya pekerjaannya akan menjadi lebih ringan bukan. Oleh sebab itu semua pihak harus terlibat, mulai dari Orang Rimba nya yang paling penting, kemudian Balai TNBD, LSM-LSM yang memang benar-benar memiliki tujuan positif untuk membantu Orang Rimba dan pemerintah, masyarakat desa, Pemkab, dan juga Pemprov. Itu kan tidak ada di alterantif yang Anda tawarkan.
T: Alasan Ibu memilih alternatif tersebut apa? J: Iya semuanya harus terlibat, bukannya Orang Rimba aja, harus juga masyarakat desa sekitar, LSM-LSM yang terlibat di dalamnya, dan juga dinas terkait dan Pemda setempat. Pemda mungkin mendampingi yah, apalagi itu kan wilayah administrasi mereka. Jadi mereka juga harus mengetahui. Jadi walaupun itu kawasan konservasi dan SK-nya dari menteri kehutanan, tapi itu kan sudah di wilayah administarsi mereka. Nah untuk penataan batas bukan balai TNBD yang akan menata batas. Penataan batas akan dilakukan oleh balai tersendiri, namanya BPKH yaitu Balai Penataan Kawasan Hutan, itu ada di Sumsel, mereka yang mempuyai hak untuk menata suatu kawasan. Jadi balai TNBD itu akan mendampingi BPKH, karena balai TNBD sebagai pengelola kawasannya. Jadi ya bareng-bareng di lapangan bersama Orang Rimba dan masyarakat desa sekitar, tapi untuk pengesahannya oleh BPKH, itu Dephut juga tapi dia bagian penataan batas. Jadi BPKH itu tidak setiap provinsi punya.
T: Pengen tau alasan Ibu kenapa stakeholders tersebut perlu dilibatin dalam penataan kawasan TNBD? J: Kalo semakin banyak yang kerja sama kan akan semakin ringan yah. Lagipula kalo ada yang ga ikut, nanti ada yang iri hati lagi, ada yang protes lagi. Tetapi sekarang ini pengeloaan itu lebih efektif dan efeisian ya pengelolaan bersama, yang emang dia tu memang terlibat disitu, yang memang punya peran dan kepentingan disitu. Kalo tiba-tiba dia tidak punya peran, yang ada nantinya akan ngerecokin tiba-tiba diajak. Tapi kepentingan yang positif lah, harus jujurlah, apalagi LSM-LSM itu yah harus jujur. Kepentingan dia itu positif apa enggak disana. Kalo positif ayolah sama-sama. Toh Dephut itu tidak ada niat sama sekali untuk mencelakakan manusia. Kita kan pemerintah, peran kita kan mengkonservasi kawasan, tapi tidak ada niat untuk mencelakakan manusia, harus ada pemikiran positif dong dengan apa yang dikerjakan Dephut, jika memang ada yang salah mungkin karena kelalaian atau apa, mari sama-sama kita diskusikan bersama, biar enak nantinya. Saya bingung yah di Jambi ini, mungkin ditempat-tempat lain itu kerjasama nya udah membangun, konstruktif kerja samanya.Disini malah ada curiga-curiga yang ga jelas. Curiga kalo Dephut akan memusnahkan Orang Rimba, itu tidak ada sama sekali. Hukumnhya besar sekali, itu salah besar. Coba berpikiran positif kalo yang kita kerjakan ini baik, memang baik, karena memang mengkonservasi kawasan. Walaupun tidak ada Orang Rimbanya, ini kawasan yang kita konservasi, ternyata ada Orang Rimbanya, dan mereka menikmati betul. Ini kawasan yang tidak terjaga , yang tidak terganggu oleh hal-hal yang buruk, itu kan nikmat betul oleh Orang Rimbanya. Nah ternyata yang lain itu ingin berkolaborasi dalam pemberdayaan Orang Rimba, iya bagus, tapi yang sejalan dengan konservasi kawasan.
217
Bapak Budi Priyono Polisi Kehutanan BKSDA Jambi Selasa, 27 November 2007. 12.30 WIB
T: Pandangan Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD yang terjadi selama ini, seperti apa? J: Yang jelas untuk penataan batas, terutama zonasi-zonasi, ya itukan dilakukan oleh Bu Sekar dan Pak Leo. Nah itu kan dari kalangan atau pakar-pakar konservasi. Nah kemudian mereka juga terjun ke lapangan. Kemudian dalam hal penetapan zonasi itu kan ada kriteria yang pokok itu kan dan kemudian memang disesuaikan juga dengan Orang Rimba yang ada di dalam kawasan. Nah kemudian yang menjadi masalah begitu ketika akan disosialisasikan, masalah zonasi-zonasi yang ada di TNBD, saya pikir itu hanya sebagian kecil dari Orang Rimba, yang semacam komplain. Itu Orang Rimba yang berada di sungai apa itu, ya itu hanya sebagian kecil itulah. Kemarin itu kalo ga salah, kebetulan saya juga pernah sekali ikut pertemuan antara Warsi, saya, dan pihak LSM Sokola. Nah jadi kayaknya ada provokasi dari pihak LSM Sokola yang dalam arti mereka sendiri bergerak dalam kawasan itu sangat dibatas-batasi. Berbeda dengan Warsi yang mendapat respon dari BKSDA. Jadi saya pikir itu masalah zonasi terutama zona inti. Itu kan kita juga jelaskan kepada Orang Rimba bahwa yang namanya zona inti ini diperuntukkan untuk mayarakat yang dari luar. Nah bagi Orang Rimba sendiri itu diperbolehkan apabila itu diperuntukkan untuk adat. Umpama mereka ada acara mau menikahkan. Nah mereka butuh kayu, kayu setubung, meranti, atau apa gitu. Nah itu kan tidak setiap bulan, tidak mungkin 3 bulan sekali. Nah itu diperbolehkan kalo emang untuk adat. Kita udah jelaskan waktu itu karena bagi pihak LSM Sokola sendiri itu dianggap sebagai blaclist dari BKSDA makanya dibatasin. Karena dibatasin inilah jadinya kontra dengan kita. Jadi dengan satu jalan memprovokasikan Orang Rimba yang hanya sebagian kecil itu di aliran sungai apa itu. Nah kemudian posisi mereka juga masih diluar, masih diluar kawasan TNBD. Kalo berdasarkan titik koordinat, itu mereka yang melakukan protes itu, nah kemudian kalo mau menyebarkan zona inti, sebenarnya untuk Tumenggung Tarib dengan Tumenggung-Tumenggung yang lain itu tidak bermasalah. Hanya mungkin Sungai Makekal Hilir, itu hanya sebagian, sementara kan disitu ada 30-an Tumenggung. Sementara di Makekal Hilir itu hanya ada 2 atau 3 Tumenggung. Jadi persentasenya terhadap yang lain itu kecil sekali. Nah kemudian untuk peran serta terhadap kawasannya sendiri, itu sebagian besar saya pikir, memang mereka disamping berharap pemerintah, terutama pengelola kawasan supaya hutan itu tetap utuh. Dan ada memang sebagian kecil yang udah terkontaminasi oleh pihak luar, dan akhirnya mereka dengan pengetahuan mereka, bisa saja mereka menjual kayu ke luar. Nah dan juga ada mereka sudah bisa mengoperasikan gergaji mesin, tapi itu hanya sebagian kecil dari mereka. Jadi dalam penataan kawasan TNBD itu terutama dalam penataan batas dan penataan zona-zona udah dilibatkan Orang Rimbanya, terutama Tumenggung-Tumenggungnya atau wakil-wakilnya. Iya itu, jadi kemarin itu kita undang 2 orang per wilayah. Nah kalo dulu hanya 3 Tumenggung, Makekal, Batang Terab, dan satu lagi Sukolado. Nah kalo sekarang ibaratkan di hulunya ada Tumenggung, di tengah ada, dan di hilir ada. Makanya itu jadi 30-an lebih Tumeneggung itu kan. Nah itulah kita undang kemarin di Pematang Kabau. Nah bahkan sebenarnya dari Makekal Hilir itu datang Tumenggung Grib. Nah kebetulan saya bisa cerita, kita jadi istilahnya sebelum ada struktural itu kan, ada kepala satuan kerja TNBD, yang dibawah langsung BKSDA jambi, nah saya disitu, sebagai kepala satuan kerja staf TNBD. Jadi saya tau, cuma si Willi-nya ga hadir yang dari LSM Sokola, dan Butet juga ga hadir. Sementara dari yang lain kan kita minta masukan. Pertama kan kita jelaskan bahwa TNBD akan dikelola berdasarkan sistem zonasi. Nanti juga akan disesuaikan dengan kegiatan adat Orang Rimba. Nah kita juga tidak bisa memaksakan. Nah sementara mereka ada kegiatan yang memang harus dilakukan, seperti melangun, umpama beralas, mau menikahkan. Itu kan harus nebang pohon, Batang Terab yang ukurannya sekian. Nah itu dari awal memperhatikan, termasuklah camatnya sendiri, dan kepala desa juga kita
218
undang. Bahkan bukan perwakilan 1 atau 2 Orang Rimba aja yang datang tapi satu kampung gitu. Ada sampai 80-an orang, dan kita tampung semua makannya mereka itu. Padahal kita undang satu atau dua orang, tapi mereka yang datang itu 1 kampung. Mungkin itu lebih ratusan mungkin. Jadi pas diskusi itu mereka diajak berbicara. Jadi yang kemarin itu ada yang komplain itu, hanya sebagian kecil saja. Itu mungkin karena kegiatan dari LSM Sokola. Saya bukan mendiskriditkan mereka yah, itu kan dibatasin oleh BKSDA karena blacklist itu. Nah mungkin karena jalan satu-satunya ya agar mereka bisa tetap bisa eksis berkegiatan di dalam TNBD. Nah itu mereka memprovokasi Orang Rimba yang hanya segelintir. Saya pikir hanya sebagian kecil itu. Jadi pelibatan Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD sudah ada, terutama wakil-wakil, terus kepala desa juga kita undang juga.
T: Menurut Bapak, apakah akan muncul masalah jika Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? J: Iya saya pikir ibaratkan, kalo secara langsung kita libatkan iya agak susah, karena budayanya. Karena mereka kalo, ini penilaian saya ya, selagi mereka bisa dijamin. Nah mereka mau menuruti dengan apa yang kita omongin. Tetapi ibaratkan kalo kita sudah tidak bisa menjamin lagi, mereka beralih pada siapa yang berani menjamin mereka. Jadi kalaupun dilibatkan secaar langsung itu banyak tuntutan mereka. Nah tetapi secara tidak langsung memang harus dilibatkan karena aktivitas mereka di dalam kawasan itu, yang notabene adat istiadat mereka tidak bisa dirubah. Tetapi maksud saya itu adat istiadat mereka seperti, ketika mau menikahkan, itukan harus ada bunga dewa. Sementara kalo udah habis tidak ada bunga dewa, itu berarti tidak ada pernikahan antara Orang Rimba. Berarti kan lama-kelamaan akan musnah. makanya mereka juga sebagaima besar berkeinginan, pengelola yang terutama, pihak pemerintah yang mereka anggap harus melindungi kawaan TNBD, karena disitulah tempat hidup mereka. Jadi intinya memang bakal muncul masalah kalo mereka tidak dilibatin tetapi ya itu tadi, untuk melibatkan mereka secara tidak langsung jelas tidak mungkin karena tuntutan mereka banyak. Namun jika dilibatkan secara tidak langsung, maksudnya hanya perwakilan dari mereka itu harus kalo menurut saya.
T: Menurut Bapak, apakah perlu pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka terlibat dalam penataan kawasan TNBD?, seperti penggunaan GPS dan pemetaan sederhana itu? Terus pihak mana yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut? J: Iya kalo yang paling bertanggung jawab ya itu pengelola kawasan yaitu Balai TNBD karena mereka yang mengelola secara langsung TNBD. Nah kemudian tidak terlepas dari Pemda juga karena menyangkut masyarakat. Itu kalo tidak salah ketika Pemilu Orang Rimba itu juga punya hak pilih. Jadi kalo memang dibandingkan dengan taman nasional lain, TNBD ini memang unik karena di dalamnya ada Orang Rimba. Nah inilah memang perlu semacam manajemen yang benar-benar bisa melindungi kawasan dan juga Orang Rimba bisa hidup dengan adat istisadatnya. Pemberdayaan sebelum mereka terlibat dalam penataan kawasan TNBD seperti penggunaan GPS itu belum perlu lah, mungkin sebagian kecil dari mereka, seperti di Makekal itu, binaaan LSM Sokola itu sudah bisa menggunakaan GPS. Tapi pemberdayaan sepeti plotting-plotting untuk daerah perburuan itu perlu lah. Iya jadi kan kemaren itu, pertama ada penelitian di lapangan oleh Bu Sekar dan Pak Leo itu. Nah kemudian baru dituangkan dalam peta, sesuai dengan situasi dan kondisi. Nah untuk penetapan zonasi juga itu kan disesuaikan dengan kriteria kawasannya. Nah kemudian juga disesuaikan dengan Orang Rimbanya. Begitu ada RPTNBD itu baru disosialisasikan. Nah jadi kalo ibaratkan mau dilibatkan secara keseluruhan itu ga mungkin. Sementara yang dilibatkan perwakilan-perwakilannya saja udah ada pro dan kontra. Nah jadi kalo dilibatkan secara keseluruhan itu tidak akan benarlah. Tapi yang jelas kalo samasama menjaga, sama-sama amanlah, kawasannya terlindungi, karena ada Orang Rimba. Jadi kalo ada pihak luar yang masuk, jadi bisa mereka menjadi tameng. Jadi jika kawasan itu utuh, Orang Rimba itu sendiri kan bisa menjalani kehidupan dengan adat istiadat mereka sendiri. Jadi untuk pemberdayaan sebelum penataan
219
kawasan TNBD itu tidak perlu lah saya pikir. Soalnya nanti akan banyak tuntutan dari mereka. Jadi yah langsung libatin saja wakil-wakilnya. Jadi kalo mereka banyak dilibatin ya nanti kita malah kesulitan. Jadi ya saya pikir kita harus punya taktik dan teknik lah terhadap Orang Rimba ini. Tetapi kita tetap mengutamakan kepentingan Orang Rimba, tapi tidak secara global, tapi kepentingan itu yang jelas tidak membatasi adat istisadat spiritual mereka. Karena mereka sering melakukan itu di dalam hutan. Cuma kalo kita mengutamakan kepentingan Orang Rimba secara global yah itu, kita harus menjamin segala sesuatu yang mereka butuhkan. Nah ketika kita udah ga bisa menjamin lagi, nanti ada orang lain yang bisa menjamin mereka, mereka akan menuruti orang tersebut. Jadi yang kita pegang itu cukup tumenggung-tumenggung dan perwakilan mereka saja biar lebih mudah.
T: Pengen tau pandangan Bapak, tentang penunjukkan kawasan TNBD yang dilakukan oleh pemerintah pusat?, apakah masih setuju? J: Jadi saya masih setuju berdasarkan peraturan perundangan kalo penunjukkan kawasan taman nasional itu dari pemerintah pusat. Tetapi iya itu pemerintah pusat tidak hanya asal menunjuk suatu kawasan menjadi taman nasional, harus memperhatikan aspek-aspek dari bahwa dulu, lakukan dulu studi ke lapangan, seperti itu. Jadi ada pertimbangan dari bawah lah gitu.
T: Menurut Bapak, tahapan/rincian bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNDB seperti apa? J: Saya pikir kemarin, memang kemarin saya tidak ikut dalam tim RPTNBD itu, tetapi saya megikuti terus, karena itu memang kawasan kita juga. Jadi dengan adanya rencana kawasan itu menjadi kawasan taman nasional. Taman nasional itu kan dikelola dengan zonasi, kalo memang itu sudah benar-benar definitif yah, maka perlu dikelola dengan zonasi, karena di TNBD itu belum ada zonasi makanya dari BKSDA itu mengundang para pakar, seperti Bu Sekar dan Pak Leo. Akhirnya sama-sama lah dengan tim dari BKSDA ke lapangan mendapatkan peta. Ni bukit, ini sungai, ini daerah apa, itu bekerja sama dengan pemangku wilayah Orang Rimba, dalam arti survey lokasi. Jadi berdasarkan survey antara pakar lingkungan dengan tim BKSDA, termasuklah dari wakil-wakil dari Orang Rimba, Tumenggung itu, barulah dituangkan dalam bentuk peta-peta. Itu kan baru rencana, dan kemudian setelah dibuat rencana zonasi, baru kita sosialisasikan. Nah maksudnya kalo memang ada sanggahan atau bantahan. Itulah maksud saya tadi yang dikumpulkan di Pematang Kabau. Nah untuk rencana kita itu, ada ga sanggahan dari Orang Rimba, nah waktu itu tidak ada. Cuma itulah masalah pribadi dari LSM Sokola itu, Tumenggung Grib juga datang waktu itu, dan dia juga tidak ada masalah. Kita kan sudah kita jelaskan, ini kawasan zona inti, memang siapaun tidak boleh masuk kesitu kan. Tapi kan bagi orang luar, bukan bagi Orang Rimba. Nah bagib Orang Rimba sendiri, ketentuan itu boleh ditelorensi, kalo memang itu untuk kegiatan spiritual atau adat, ya itu silahkan. Jadi kita tidak melarang itu mutlak, itu tidak boleh, itu tidak boleh bagi orang luar. Karena memang suatu kawasan yang sudah ada status hukum. Jadi kalo memang ada pelanggaran bagi orang yang tau hukum. Jadi orang yang dihukum itu kan orang yang tau hukum, kan seperti itu, baru kita kenakan sangsinya. Nah kalo orang adat atau Orang Rimba, itu ada beberapa kali, itu kita serahkan dulu ke adat, itu apa sangsinya. Nah kalo adat udah tidak sanggup lagi, baru diserahkan ke kita, baru kita sesuaikan dengan UU yang berlaku. Jadi selama ini selalu kita serahkan pada tumenggung. Balik lagi dalam penataan kawasan TNBD, saya pikir sebelum ada penetapan zonasi, itu kan ada RPTNBD. RPTNBD itu termasuklah peta-peta zonasi kan. Itu disosialisasikan ke kabupaten-kabupaten terkait. Ada tim tersendiri, memang saya tidak terlibat, itu ada. Jadi saya rasa kemungkinan ada semacam legalitas dari Pemda, biar ada dukungan dari pihak Pemda. Terus Pemprov saya pikir juga perlu terlibatlah walaupun otonomi daerah tetaplah bupati kan tetap dibawah gubernur. Jadi Pemprov itu lebih kepada mengkoordinasikan antara kabupetan itu. Jadi kita tetap, karena Balai TNBD itu kan milik provinsi juga. Walaupun dia instansi pusat, nah karena kan Provinsi Jambi itu menjadi kebanggaan terseniri punya 4 taman nasional, yaitu TNBD, Taman Nasional Bukit
220
Tigapuluh, Taman Nasional Berbak, dan TNKS. Nah sementara kawasan-kawasan lain ada yang tidak memiliki taman nasional. Jadi ini menjadi kebanggaan tersendiri lah. Jadi tetap Pemda mendukung pengelola kawasan TNBD itu. Jadi setelah mendapat dukungan dari Pemkab dan Pemprov baru dibawa ke pusat.
T: Menurut Bapak, siapa saja pihak-pihak yang perlu terlibat dalam penataan kawasan TNBD?, seperti penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD. J: Dalam penentuan zonasi itu sendiri sebenarnya kalo tidak ada Orang Rimba di dalam itu, itu kan ada kriterianya. Umpamanya zona pemanfatan itu apa krietrianya, zona inti apa kriterianya, zona rimba apa krtiterianya. Nah tapi karena ada Orang Rimba di dalam, maka dalam rencana zonasi di dalam TNBD itu melibatkan juga Orang Rimba, antara tim dari BKSDA, termasuk pakar lingkungan Bu Sekar dan Pak Leo, termasuklah Orang Rimba per wilayah. Jadi umpama daerah ini, kelompok Tumenggung siapa. Kalo wilayah ini Tumenggung siapa. Nah itu dilibatkan, jadi tidak umpama Tumenggung Tarib, karena dia yang dituakan, Tumenggung Tarib kemana-kemana dia. Itu tidak, jadi tetap per wilayah, bahwa ini rencananya begini-begini, kita ceritain. Begitu ibarat kita punya rencana, itu baru diadakan petemuan di Pematang Kabau. Sebelum ini kita minta dukungan dan sosialisasi dulu ke Pemda. Begitu udah di dukung oleh Pemkab, baru kita sosialisasikan ke Orang Rimba, dan kepala desa dan masyarakat di sekitar kawasan TNBD. Barulah ditetapkan. Ini pun sampai sekarang belum ada penetapan, karena di lapangan itukan harus jelas batasbatasnya. Umpama ini zona inti batasnya mana, koordinatnya berapa, saya pikir sampai sekarang belum. Jadi itu baru rencana sampe skrg, rencana zonasi, karena belum defintif. Jadi untuk penataan zona itu hanya perlu Orang Rimba, balai TNBD, dan LSM. Masyarakat desa hanya mengetahui saja lah, tapi ga terlbat secara langsung untuk penetapan zonasi ini, Pemkab hanya memberi dukungan saja, karena secara teknik kita kan lebih tau.
T: Pandangan Bapak tentang penetapan kawasan taman nasional yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat, seperti apa? J: Jadi yah memang departemen yang menetapkan kawasan taman nasional itu, kita kan balai ini hanya sebatas usulan dan rekomendasi itu kan.
T: Kalo dari alterntaif yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mana? J: Kalo dalam penataan kembali kawasan TNBD ini mungkin saya lebih memilih semua pihak terlubat di dalamnya. Karena masing-masing pihak menurut saya punya peran disini. Mulai dari pemerintah pusat, Balai TNBD, Pemprov, Pemkab, LSM, Orang Rimba, dan masyarakat desa di sekitar kawasan. Nah, untuk penataan zona di dalamnya itu cukup lah Balai TNBD dan Orang Rimba saja yang didampingi LSM. Tapi kalo udah masuk dalam penataan batas baru masuk di dalamnya ada masyarakat desa, Pemkab, dan Pemprov. Nah, dalam penataan batas itu sama-sama lah kita kerjanya. Masyarakat desa kasih tau batas-batas TNBD yang benar itu kayak gimana sama pemerintah. Biar nanti penataan batas ini tidak jadi masalah lagi. Pemkab dan Pemprov juga begitu, karena ini wilayah adminitrasi mereka, ayo sama-sama kita tata batas. Kasih dukungan Pemkab dan Pemprov itu buat hasil penataan batas ini. Kalo udah sepakat semuanya dari bawah, baik itu penataan zona dan penataan batas baru serahin ke pusat. Pusat tinggal mengesahkan saja. Itu idealnya menurut saya. Jadi, menurut saya dari alternatif yang ada disini kurang tepat kalo menurut saya.
T: Kalo boleh tau alasan Bapak memilih alternatif tersebut apa Pak? J: Kalo semuanya terlibat memang yah agak rumit nantinya. Tapi kita kan pengen masalah yang sudah-sudah tidak terjadi lagi. Kalo cuma yang itu-itu aja dilibatin nantinya bermasalah lagi. Jadi biarlah rumit yang penting ke depannya bisa lancar dan tidak ada lagi masalah. Kalo semuanya dilibatin kan nantinya semuanya sepakat tuh dengan penataan kawasan itu, ga ada lagi yang protes, oh saya tidak tau, oh saya tidak dilibatin. Biar
221
semuanya tau dan semuanya memberikan dukungan itu kan lebih baik. Intinya kita kerja sama-sama untuk memecahkan masalah ini, ga ada lagi yang kerja sendiri-sendiri.
Ibu Titin Heriyatin Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jambi Rabu, 28 November 2007. 11.05 WIB
T: Bagaimana persepsi Ibu terhadap peran serta Orang Rimba dalam penyusunan RPTNB? J: Sebenarnya, ada pengelolaan kawasan konservasi, yang meliputi macam-macam, ada manajemen plan, diikuti oleh rencana tahunan (dulu 20 tahunan atau RKB, 5 tahunan atau RKL, RKP). Ternyata belakangan ini RPTND. Sebenarnya semua sama polanya, karena ada pedomannya dari Dirjen PHKA. Kita aplikasikan di lapangan. Kita sudah melakukan penelitian pendahuluan. Kita bertindak sebagai pemangku kawasan yang berkomunikasi dengan masyarakat. Kita yang tahu keinginan masyarakat, lingkungan, dan segala macamnya. Kawasan TNBD itu asalnya kan cagar biosfer. Itulah yang jadi masalah karena cagar biosfer itu areanya cuma berapa hektar. Kemudian diusulkan menjadi taman nasional, bukan oleh BKSDA, melainkan melalui inisiatif LSM, diusulkan ke Dephut. Sementara kita sendiri merasa itu layaknya tetap jadi cagar biosfer, bukan taman nasional. Karena taman nasional itu punya kriteria zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zon a pemanfaatan (tradisional bisa lah). Sedangkan ini, pemanfaatan intensif saja, apa yang bisa dikembangkan untuk pariwisata di situ. Jadi menurut kacamata BKSDA sendiri itu tidak layak jadi taman nasional. Tapi, ini alasan politik sebenarnya, cagar biosfer itu katanya tidak manusiawi, karena membiarkan masyarakat di dalam ketradisiannya. Jadilah pemerintah tidak berani menetapkannya sebagai cagar biosfer. Bukan karena dasar hukumnya tidak kuat tapi karena takut disalahkan oleh lembaga HAM internasional dengan tudingan pemerintah Indonesia membiarkan suku terasing dalam keadaan bodoh. Karena adanya usulan dari LSM itu ditetapkanlah jadi taman nasional, dengan catatan ada perluasan-perluasan. Nah, perluasan itu kan sebenarnya bukan lahan masyarakat, tapi kawasan hutan juga, ada HPK, HTI, dsb. Sistem di masyarakat, misalnya ke hutan dan hutan itu dibuka, ya dianggapnya itu milik pribadi, diakui sebagai milik nenek moyang. Sebenarnya yang bermasalah adalah pengaruh dari luar (LSM, masyarakat luar) dengan berbagai iming -iming. Hal ini terkait tidak adanya struktur dan kepatuhan adat yang jelas, beda seperti badui. Karena kalau ditelusuri sebenarnya suku anak dalam adalah masyarakat terbuang di Sumsel. Coba sekarang, kalau jadi taman nasional, mana zona intinya, semuanya sudah mereka jadikan kebun.
T: Kalo peran serta Orang Rimba dalam penyusunan RPTNBD menurut Ibu seperti apa? J: Kalau secara formal (materai tanda tangan) tidak mungkin, karena mereka punya keterbatasan. Tapi menurut saya, mereka sudah diakomodasi melalui komunikasi dengan mereka. Kita tahu apa maunya mereka, dalam hal ini apa mau mereka sebenarnya, tanpa pengaruh dari luar (terutama LSM). Karena ada LSM yang bersifat provokator, padahal itu LSM-LSM yang sudah punya nama hingga ke luar negeri. Itu namanya naif. Kalau kita telusuri, sebenarnya mereka yang memprovokasi, bukan suku anak dalam yang menuntut. Makanya sekarang kita jadi lebih apatis, karena kita tahu banyak laporan yang terlalu dikarang. Misalnya ada pengaduan sesuatu yang salah, apanya yang salah. Sebetulnya ya pengusulan pembentukan taman nasional itulah yang salah, tidak ada kriterianya. Dulu saya di BKSDA sejak tahun 1988 (dari Bogor), sebelumnya pernah di PU. Jadi kriteria-kriteria ukuran-ukuran begitu saya tahu. Saya bilang dulu saya sempat ke kanwil dan pernah ada usulan dari gubernur ingin jadi kawasan apa begitu, tapi kita tidak setuju. Sampai kepala balai menyatakan secara tertulis bahwa Bukit Duabelas tidak layak jadi taman nasional. Saya ingat persis karena saya yang bikin konsepnya. Sekarang kalau misalnya ada pertanyaan kenapa suku anak dalam tidak dilibatlkan dalam penyusunan RPTND, penyusunan dalam hal apa dulu, kalau penulisan ilmiahnya kan tidak mungkin. Yang
222
dilibatkan dari suku anak dalam itu ya mereka kita tanya tentang keinginan dan pendapat mereka. Tapi terkadang ada pemutarbalikan dari LSM. Dulu usulan menjadi taman nasional itu dasarnya adalah agar suku anak dalam itu punya tempat, dan dibuatkanlah keluar biosfer, termasuk areal HTI yang diaku i oleh suku anak dalam sebagai rumahnya. Tetapi dalam tata guna lahan hutan termasuk dalam HPH, HTI. Alasan LSM adalah, kalau itu di HTI atau HPH kan, nantinya terancam itu suku anak dalam. Memang kenyataannya seperti itu. Tapi karena ada provokasi LSM lain, muncul pernyataan kalau suku anak dalam tidak dilibatkan. Sebenarnya, kalau memang mau ditinjau kembali untuk tidak jadi taman nasional itu lebih bagus. Karena dulu ketika saya masih mengelola Bukit Duabelas sebagai calon cagar biosfer, saya pikir sebaiknya memang jadi cagar biosfer saja. Atau mungkin kawasan suaka alam lain lah, suaka margasatwa kek. Maaf saja, margasatwanya ya orang itu. Kalau cagar alam tidak cocok, karena orang harus keluar semua. Awal pembentukan saja sudah salah. Bukan salah pengelolaan, tapi karena pengaruh dari luar. Sekarang, suku anak dalam itu, kalau pengelola dulu misalnya ada suku anak dalam yang ditangkap. Sekarang diprovokasi oleh orang luar. Sekarang begini, yang namanya hutan negara (walaupun hutan adat) itu kan harus dilindungi. Kalau dilihat dari fungsinya hutan adat itu malah nantinya dibuka dan dimanfaatkan. Nah kalau secara lingkungan tidak memungkinkan untuk dibuka karena beresiko bencana, berarti kan negara harus melindungi. Karena berakibat ke masyarakat juga. Bukit Duabelas ini memang perlu dilindungi untuk cagar air. Tapi karena di situ banyak potensi (kayu dsb), orang jadi hijau matanya. Banyak pihak yang terlibat di situ karena tertarik kayunya. Pada intinya, masyarakat Indonesia pengetahuannya masih dangkal. Mengapa demikian, kawasan konservasi, bukan hanya Bukit Duabelas saja kan dilindungi sejak zaman penjajah Belanda, tidak boleh diapa-apakan. Tapi karena masyarakat merasa pintar sendiri, dirusaklah kawasan itu. Akhirnya jadi bencana yang menimpa masyarakat sendiri. Mungkin suatu saat nanti Bukit Duabelas juga akan seperti hutan-hutan bakau yang rusak, atau bahkan seperti tsunami aceh, karena potensinya semakin dikonsumsi. Dulu, ada yang namanya Rencana Tata Guna Hutan Kesepakatan (RTGHK), itu waktu masih orde baru. Jadi hutan itu sudah dislot-slotkan. Ada kawasan hutan dan non hutan. Kawasan hutan dibagi lagi menjadi kawasan konservasi (kawasan cagar alam, taman nasional, hutan wisata), kawasan hutan lainnya (HPH, HTI). Setelah reformasi, dan ada otonomi daerah, jadi kabur semua. Banyak kawasan hutan yang secara de jure masih kawasan hutan, walaupun dibuka dsb. Kecuali UK yang memanfaatkan jadi fungsi lain. Kenyataannya jadi kebun dsb. Sebenarnya semakin ke sini semakin kacau. Kemarin misalnya, bupati tidak mau diingatkan oleh gubernur. Otonomi daerah itu salah. Jadinya Indonesia terpecah-pecah menjadi kabupaten-kabupaten. Yang merusak jutaan hektar kawasan konservasi itu ya bapakbapak itu. Karena mereka memikirnya jangka pendek, 20 tahunan. Kawasan konservasi kan luasnya cuma 10% luas wilayah. Apakah bisa mencukupi kebutuhan penyediaan air untuk 90% yang lainnya, tidak mungkin. Masalah berikutnya adalah, karena diciptakan hutan atas dasar beberapa hal oleh pihak-pihak tertentu. Oleh masyarakat luar, LSM, dsb. Suku anak dalam kalau dibiarkan pun juga bisa mengatur sendiri. Jadi bukan masalah dilibatkan atau tidaknya, tapi lebih pada penyesuaian dengan kemampuannya. Justru kita bertanya kepada suku anak dalam, bagian hutan mana yang tidak boleh diganggu, dan semacam itu. Kita sudah mengakomodasi sesuai dengan porsi mereka. Kita memberikan kebebasan tapi dibatasi, karena kami khawatir dengan pengaruh dari luar yang membuat mereka mengenal produksi komoditas yang merusak lingkungan, seperti sawit atau karet. Misalnya dari mereka ada zona yang tidak boleh diganggu, nah itu dijadikan zona inti. Tempat melangun dijadikan zona rimba, dan tempat mereka berkebun, membangun tempat tinggal, itu dijadikan zona pemanfaatan tradisional. Itu sudah semaksimal mungkin mengakomodasi mereka. Kalau mereka merasa tidak dilibatkan, ya bagaimana lagi.
T: Kalo memang sudah dilibatkan Orang Rimbanya, kok malah jadi bermasalah, zonasinya justru tidak sesuai di lapangan?
223
J: Enggak ah, enggak ada yang bilang zonasi bermasalah. Karena sistem zonasi belum diterapkan. Taman nasional belum di zonasi semua. Isu yang ditiup-tiupkan saja itu. Baru calon zonasi, dan itu mereka sendiri yang memberi batasannya. Provokator saja itu. LSM paling, memang mereka cari dana dari masalah.
T: Menurut Ibu kalo Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan batas dan penataan zona akan muncul masalah tidak? J: Kalau tidak dilibatkan ya bermasalah mungkin. Tapi tidak ada yang tidak dilibatkan. Baru calon zonasi. Zona lain juga belum. Gunung kerinci harusnya zona inti, tapi dikunjungi semua orang. Tidak ada zonasi yang diterapkan. Memang orang Indonesia tidak konsisten.
T: Menurut Ibu sebelum Orang Rimba dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD, apakah mereka perlu dilakukan pemberdayaan terlebih dahulu? J: Suku anak dalam itu kan tanggung jawab Pemda (provinsi dan kabupaten). Dulu kan taman nasional hanya taman cagar biosfer saja. Cagar biosfer juga kriterianya tidak diterima. Kawasan perlindungan, suaka alam, suku anak dalam saja itu. Kriterianya juga tidak jelas. Sekarang, harusnya Pemda yang bertanggung jawab. Sekarang malah di dalam kawasan itu ada rumah-rumah. Itu tidak sesuai dengan prinsip taman nasional. Adat masyarakat saja sudah tidak sesuai. Pemberdayaan itu seperti apa, suku anak dalam itu punya tradisi. Tradisi tidak bisa beternak, menanam itu-itu saja. Jadi banyak keterbatasan. Sebentar-sebentar tidak boleh. Kalau suruh tanam karet ya itu merusak resapan air. Bentuk tanggung jawab Pemda dalam pemberdayaan ini mungkin dalam hal menambah wawasan mereka agar tatanan adatnya kuat dan tidak mudah terprovokasi. Contohnya menanam jenang untuk diolah lagi, dan bisa memperoleh manfaat sendiri. Jangan malah diberi motor, rumah, disuruh menanam sawit, itu tidak sesuai dengan adat maupun lingkungan. Itu salah, harusnya bagaimana agar mereka mandiri. Karena sebenarnya potensi Bukit Duabelas itu bagus dan banyak, tapi penggunaannya salah. Kebun yang ada sekarang saja sebenarnya hasilnya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan potensi yang dimiliki. Pemda dalam hal ini seharusnya bekerja sama dengan taman nasional sebagai pengelola. Itu bukan untuk menyengsarakan suku anak dalam, tapi untuk memandirikan mereka.
T: Menurut Ibu, berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemberdayaan Orang Rimba sebelum berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Karena daya tangkapnya berbeda, ya harus lebih lama dari kita. Yang jelas Pemda harus berperan dalam 1. Menambah wawasan suku anak dalam, 2. Pasar jangan sampai dikuasai tengkulak, sehingga bisa memperoleh hasil untuk meningkatkan ekonomi mereka sendiri. Karena tengkulak itu menguasai harga dan menjual ke luar negeri hingga 10 kali lipat.
T: Menurut Ibu apakah perlu pemberdayaan seperti penggunaan GPS, pemetaan partisipatif, dsb? J: Kalo menurut saya sih tidak perlu, langsung aja libatkan mereka dalam penataan kembali kawasan TNBD
T: Menurut Ibu, bagaimana tahapan-tahapan bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Itu komunikasinya sudah lama secara informal. Ada pembinaan, ada patroli, ada perbatasan. Selalu dikomunikasikan. RPTND itu hanya salah satu produk. Pengelolaan kawasan lindung, inventarisasi, semuanya dilakukan, dan salah satu produknya RPTND
T: Seandainya mereka sudah melakukan penataan batas dan penataan zona, apakah harus minta izin ke Pemda?
224
J: Jadi kita memang sudah mengadakan pertemuan dengan Pemda yaitu Pemkab. Sudah ada persetujuan dari bupati. Kalo persetujuan Gubernur kayaknya kurang nyambung. Jadi cukup bupati saja.
T: Menurut Ibu, pihak mana saja yang lebih tepat melakukan penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD? J: DepHut Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, ada pendampingnya di tingkat kabupaten.
T: Kalo untuk penataan batas dan penataan zona di lapangan, pihak mana saja yang seharusnya terlibat? J: Semua, mulai dari Dephut (teknik), penentuan wilayah oleh BKSDA, camat, Kades, balai suku rimba, dan pemkab.
T: Apakah penataan batas dan penataan zona itu juga butuh pengakuan dari masyarakat sekitar? J: Seperti yang saya jelaskan sebelumnya masyarakat desa sudah cukup terwakili oleh kepala desa atau orang yang ditunjuk. Dari BPN kabupaten juga
T: Pandangan Ibu terhadap penetapan status hukum kawasan TNBD yang dilakukan oleh pemerintah pusat, seperti apa? J: Iya kalo menurut UU memang seperti itu prosedurnya. Ini bertujuan untuk mengikat semuanya. T api tetap pembahasannya dari forum anak dalam, balai, dan pemkab.
T: Menurut Ibu, dari alternatif yang saya tawarkan, Ibu lebih memilih alternatif yang mana? J: Nah, itu dia seperti pada point sebelumnya, sebaiknya semua pihak terlibatlah disini, mulai dari pemerintah pusat, Balai TNBD yang ada di daerah, Pemkab sendiri, Pemprov juga boleh ikut, Orang Rimba sendiri yang paling penting, LSM yang mendampingi Orang Rimba, dan juga masyarakat desa di sekitar kawasan TNBD. Orang Rimba itu, ayo bareng-bareng kita ajarkan bagaimana cara melakukan pemetaan. Ini penting lah buat mereka, agar mereka itu bisa gambarin wilayah adat mereka di atas peta ini. Ayo, Orang Rimba itu keluarkan lah semuanya, jangan ada yang disimpan-simpan. Nah, kalo Orang Rimba udah siap mari kita lakukan penataan zona sama-sama. Menata zona ini cukup Orang Rimba, LSM, dan Balai TNBD sajalah. Karena yang punya wewenang ya mereka-mereka itu. Terus, pas mau masuk penataan batas barulah masuk Pemkab, Pemprov, dan masyarakat desa. Kita lakukan penataan batas di lapangan biar ga terjadi lagi masalah ini. Udah itu tinggal diserahin aja ke pusat hasilnya tapi syaratnya semua udah ngedukung hasil tersebut, baik Orang Rimba, LSM, Pemprov, Pemkab, dan masyarakat desa. Jadi, kalo saya lebih memilih sebaiknya semua pihak terlibat dalam penataan kembali kawasan TNBD ini. Mungkin tidak ada yah dari alternatif yang Adik tawarkan ini, saya cenderung punya alternatif baru dimana semua pihak terlibatlah di dalamnya.
T: Kalo boleh tau alasan Ibu memilih alternatif tersebut apa Bu? J: Gini yah, satu aja pihak tidak dilibatin dalam penataan kembali kawasan TNBD ini, saya yakin pasti akan jadi masalah lagi. Ambil contoh ajalah masyarakat desa, kalo mereka tidak dilibatin, mereka tuh ga akan tau kalo ini tuh udah jadi kawasan TNBD. Mereka terus aja ngambilin kayu, apapunlah itu dari dalam hutan. Seharusnya kan itu dilarang kalo udah jadi TNBD. Tapi yah, mereka seenaknya aja bilang, kita ga dilibatin, kita ga tau, makanya kita bebas masuk ke dalam kawasan TNBD. Oleh sebab itu, maksud saya itu ngelibatin semua pihak, biar semua pihak itu ngerti, semua pihak itu tau, kalo ini adalah kawasan TNBD. Jadi kedepannya kita bisa melaksanakan pengelolaan TNBD bareng-bareng. Emang untuk ngelibatin semuanya itu emang sulit, butuh banyak anggaran, tapi kan kita menginginkan hasil yang terbaik buat kita semua.
225
Bapak Martialis Puspito KM Penelaah dan Penyaji Data Perencanaan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Rabu, 28 November 2007. 12.15 WIB
T: Pandangan Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD yang terjadi selama ini seperti apa? J: Sebenarnya saya baru di Balai TNBD ini. Balai TNBD ini pun sebenarnya juga baru dibentuk. Jadi, kami ini masih perlu belajar banyak tentang kawasan TNBD. Dan sebagian staff kami ini juga merupakan orang-orang BKSDA Jambi. Jadi, yang dulunya pemangku kawasan berada di Balai TNBD tapi sekarang udah dipegang oleh Balai TNBD. Kalo ditanya tentang peran serta Orang Rimba, sebenarnya saya tidak mengetahui lebih mendalamnya yah. Tapi yang saya tau memang Orang Rimba kurang dilibatkan dalam penyusunan RPTNBD ya terlebih dahulu. Jadi bukan tidak dilibatkan tapi kurang. Terus mereka juga kurang dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD. Liatlah kemarin itu ada protes dari Orang Rimba. Orang Rimba menganggap penataan kawasan TNBD oleh pemerintah ini akan mengeluarkan mereka dari TNBD. Makanya itu penataan kawasan TNBD nya tidak sesuai dengan kondisi Orang Rimba. Iya karena mereka kurang dilibatin di dalmnya.
T: Kalo selama ini penunjukkan kawasan taman nasional itu dilakukan oleh pemerintah pusat apakah Bapak masih setuju? J: Wah kalo itu memang Undang-Undangnya udah emang bilang begitu. Taman nasional ini kan sifatnya nasional, seluruh Indonesia. Sudah sewajarnya lah penunjukkan itu dari pusat. Tapi yang perlu diingat adalah. Pusat tidak boleh semaunya menunjuk suatu kawasan menjadi taman nasional. Harus ada suatu proses yang terstruktur. Harus ada usulan-usulan dari bawah terlebih dahulu. Contohnya kayak TNBD ini kan usulannya dari daerah, bukan langsung aja gitu ditetapin oleh pusat.
T: Terus kalo untuk penetapan kawasan TNBD sendiri masih setuju Pak itu dari pusat? J: Iya hampir sama tadi seperti dalam kasus penunjukkan dimana penetapan kawasan itu sebaiknya dilakukan oleh pusat, tapi ya balik lagi musti ada proses yang terstruktur dari level bawah hingga atas. Jadi biar jelas gitu. Jangan pusat hanya menetapkannya sebelah pihak. Tapi liat dulu ke bawah. Kalo dari level bawah sudah oke yang tinggal ditetapkan. Tapi harus turun ke lapangan dulu untuk mengeceknya.
T: Dari alternatif yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih akternatif yang mana? J: Saya kira disini karena posisi saya sebagai Balai TNBD, yaitu pemerintah yang mengurus kawasan TNBD, saya lebih memilih alternatif yang kelima sepertinya. Alternatif kelima ini sudah cukup sesuai lah menurut saya karena memang pihak-pihak itu lah yang saat ini sedang concern dengan TNBD. Disamping itu juga proses peran sertanya kan juga lebih cepat. Pemberdayaan Orang Rimba sebelum penataan kembali kawasan TNBD ini saya pikir tidak perlu lah. Soalnya gini kalo udah berbicara untuk pemberdayaan, itu udah berbicara soal anggaran, anggara pemerintah ini kan sangat terbatas.
Ibu Ida Harwati, S. Hut Pengendali Ekosistem Hutan Tk. Ahli Pertama BKSDA Jambi Kamis, 29 November 2007. 12.30 WIB
T: Bagaimana persepsi Ibu terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD?.
226
J: Kalo yang dulu itu, saya itu masuknya setelah RPTN sudah jadi, maka saya kurang paham, tapi sepengetahuan kami orang itu dilibatkan tapi tidak terlalu dalam, dan memang lebih banyak tenaga ahli . Dan memang karena kurang dilibatkan jadi banyak masalah dan karakter orang rimba itu sendiri sepertinya memang gampang dimasuki oleh pihak lain, jadi sebenarnya mereka pun kurang tahu apa yang mereka suarakan, tapi kita usahakan untuk mengakomodir kepentingan mereka.
T: Menurut Ibu , apakah dalam penataan RPTNBD sudah ada usaha dari BKSDA untuk melibatkan mereka ? J: Sudah ada, sepertinya sudah, karena kita gak tahu prosesnya gimana
T: Menurut Ibu, apakah dalam penataan kawasan TNBD orang rimba cukup terlibat atau tidak (penataan zonasi, dll)? J: Ketika RPTNBD disusun kita memang masih sekedar usulan zonasi, tapi muncul masalah. Jadinya ada review RPTN. Jadinya akan ada revisi untuk penentuan zonasi. Jadi kita libatkan mereka, contohnya daerahdaerah yang dianggap sakral bagi mereka kita usulkan jadi zona inti. Mereka diminta untuk menunjukkan daerah-daerah sakral mereka seperti kebun karet mereka. Jadi mereka kita ajak dalam proses survei.
T: Menurut Ibu perlu tidak adanya pemberdayaan terlebih dahulu sebelum melibatkan suku rimba dalam penyusuan RPTNBD? J: Perlu, sebenarnya RPTNBD tujuannya untuk melindungi mereka, maka isinyapun harusnya mengakomodir kepentingan mereka, karena objeknya yang kita kelola sebenarnya manusia. Tapi sejauh ini karena m asih baru mungkin masih sedikit. Selain itu masalahnya ada di dana yang masih sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, beda ceritanya dengan Warsi, sedangkan di institusi pemerintah kesannya masih jalan masingmasing.
T: Jadi menurut ibu, pihak yang paling tepat untuk pemberdayaan itu LSM ya? J: Sebaiknya bersama-sama, ada koordinasi antara instansi dan NGO, kalau sekarang kan nggak, soalnya masing-masing pihak punya rancangan tersendiri, itu yang menjadi kesulitan, soalnya harus mensinergiskan langkah.
T: Menurut ibu, bagaimana seharusnya peran masing-masing stakeholder dalam pemberdayaan? J: Jadi di RPTNBD sudah ada matriks rencana per periode waktu, jadi di matrik kejaran itu sudah ada sebenarnya arahan-arahan peran untuk setiap stakeholder. Hanya saja masalahnya sinergi dan koordinasi untuk masing-masing stakeholder.
T: Pihak dinas sosial sudah menyediakan rumah bagi orang rimba dalam rangka pemberdayaan ? J: Ya, dinas sosial sudah menyediakan, akan tetapi lokasinya berada di luar hutan, sehingga menarik orang untuk keluar dari hutan, sementara mereka sendiri belum bisa untuk tinggal di luar bersama masyarakat desa. Seharusnya kegiatan pemberdayaan yang ideal itu memberdayakan mereka tetap di dalam tapi tidak merusak.
T: Menurut ibu sendiri akan membutuhkan waktu yang lama tidak untuk pemberdayaan orang rimba tersebut ? J: Ya, lama sekali malah. Kalo saya pribadi merasa pesimis dengan masa depan taman nasional bukit dua belas ini, karena masalahnya manusia dan kalo masalah manusia itu sangat kompleks dan dinamis apalagi mereka dapat pengaruh dari luar sehingga sangat kompleks jadi masalahnya, sangat sulit untuk menentukan solusinya, selain itu setiap tumenggung punya aturan yang berbeda. Mereka itu sebenarnya sudah terpengaruh oleh budaya-budaya modern seperti pake motor, celana jeans dan lain-lain.
227
T: Menurut Ibu, bakal muncul masalah kalo mereka tidak dilibatkan dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Bakal muncul masalah, dilibatkan jadi masalah, tidak dilibatkan jadi masalah, mereka gampang berubahrubah, itu tadi jadinya bermasalah terus.
T: Perlu gak pemberdayaan sebelum terlibat dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Harusnya perlu pemberdayaan buat Orang Rimba, itu kan nantinya akan memudahkan kita, misalnya kayak mereka bisa bikin sketsa sederhana.
T: Sebenarnya pihak yang lebih tepat untuk melakukan pemberdayaan itu siapa ? J: Bisa dari siapa saja, LSM bisa, pemerintahan juga bisa, kalo pemerintah itu masalahnya ada di dana, tapi yang penting tuh masalah koordinasi antara LSM dan pemerintah biar kita bisa jalan sinkron, kan tujuannya sama-sama baik.
T: Menurut Ibu , pihak mana yang lebih tepat melaksanakan penunjukkan kawasan TNBD? J: Sebenarnya dulu itu, ada usulan juga dari pemerintah daerah, cuman kalo tiba-tiba luasnya sekian itu dari BKPH melalui pemetaan kasar, penunjukkan batas itu bermasalah karena kurangnya sosialisasi. Sebenarnya lebih bagus kalo disusun dari bawah karena masyarakat yang lebih tahu kondisi serta sudah ada jaminan mereka akan menjaganya. Kalau penetapan memang dari atas.
T: Bagaimana persepsi Ibu terhadap rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD? J: Ya, untuk penataan kawasan asal mereka dilibatkan dalam penataan itu, sudah cukuplah. Kalau untuk tahapan-tahapannya sebaiknya bersama-sama sehingga kita sepakatin penataannya, biasanya kalo penataan kawasan pembuatan peta batas itu sudah ada timnya dari BKH kita hanya mengusulkan konsep saja sebaiknya sama-sama supaya lebih enak.
T: Siapa saja yang harus terlibat dalam penataan kawasan TNBD? J: Paling utamanya suku anak dalam, kemudian pemerintah dan LSM. Kalo orang rimba itu menjaga kawasan kalo pemerintah mengelola kawasan, LSM hanya kita minta pertimbangan saja karena tidak punya kewenangan apa-apa.
T: Kalo Pemkab sendiri perlu terlibat atau hanya cukup tahu saja ? J: Mereka perlu tahu agar disesuaikan dengan rencana tata ruang, kalo dilibatkan lebih baik tetapi mereka gak ada kewenangan untuk mengelola, tanggung jawab kawasan ada di pihak taman nasional bukit dua belas.
T: Berdasarkan undang-undang penetapan kawasan masih berada pada pemerintah pusat, menurut Ibu bagaimana ? J: Sebelum ditetapkan biasanya ada kajian dahulu, ada peta batasnya dulu setelah disetujui kan diumumkan kepada masyarakat kalo keberatan kita bisa mengajukan usulan revisi, tapi kewenangan kan ada di pihak pemerintah kabupaten.
T: TNBD ini belum penetapan ? J: Masih penunjukkan, RPTNBD itu setelah penunjukkan langsung bermasalah
T: Menurut UU No. 41 katanya langkah-langkahnya setelah ditetapkan baru keluar rencana pengelolaannya, ini terbalik ya?
228
J: Ya, ini baru penunjukkan tapi udah keluar rencana pengelolaannya, jadinya terbalik.
T: Menurut Ibu, dari alternatif yang saya tawarkan, Ibu lebih memilih alternatif yang mana? J: Kalo saya cenderung pada alternatif baru ya. Soalnya untuk penataan kembali kawasan TNBD ini tidak bisa hanya beberapa pihak saja yang memikirkannya. Tidak bisa pusat saja, tidak bisa Balai TNBD saja, Pemprov saja, Pemkab saja, tetapi semuanya harus saling berkoordinasi lah. Kalo hanya beberapa pihak saja yang terlibat nanti kedepannya malah cenderung untuk bekerja masing-masing. Jadi, baik itu pusat, Balai TNBD, Pemprov, Pemkab, LSM, Orang Rimba, dan masyarakat desa harus saling bekerja sama lah dalam penataan kembali kawasan TNBD ini. Untuk di dalam kawasan saja, untuk menata zona di dalamnya itu bisa dilakukan oleh Balai TNBD dan Orang Rimba. Nah, LSM bisa sebagai penghubung antara Balai dan Orang Rimba. Setelah di tata zona-zona nya, barulah penataan batas. Kalo untuk penataan batas ini kan udah menyangkut wilayah administrasi makanya Pemkab, Pemprov, dan masyarakat desa juga harus dilibatkan. Tapi sebelum pelibatan ini Orang Rimba tersebut iya seharusnya kita berdayakan lah, kita ajarkan mereka sampai mereka benar-benar siap untuk berperan serta dalam penataan kembali kawasan TNBD. Kalo semuanya sudah selesai dan semua udah ngedukung, tinggak disampaikan saja hasilnya ke pusat.
T: Kalo boleh tau alasan Ibu memilih alternatif tersebut apa Bu? J: Iya alasan saya ya biar kedepannya tidak terjadi masalah lagi soalnya kan semua pihak sudah mendukung dan menyepakati hasilnya bersama. Coba seperti kemarin itu, itu terjadi masalah kan karena ada yang merasa tidak dilibatkan. Ada yang merasa tidak tau terus seenaknya saja masuk ke dalam untuk ngambilin kayu. Oleh sebab itu mulai dari sekarang lah kita perbaikin prosedurnya biar jelas. Soalnya kalo kita hanya memikirkan masalah penataan kawasan melulu, kapan kita akan majunya. Kapan kita mau mengelola TNBD ini? Kasihan TNBD ini, saya prihatin dengan TNBD kalo seperti ini terus, sumber dayanya diambilin terus oleh orang-orang yang tidak bertangggung jawab.
Bapak Ir. Sudiyono Kasubbag TU BKSDA Jambi Jumat, 30 November 2007. 10.10 WIB
T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD yang terjadi selama ini? J : Jadi gini, kita sudah mencoba untuk melibatkan suku anak dalam, awalnya kita tidak tahu suku anak dalam itu seperti apa, makanya kita melibatkan LSM yang ada disana. Dengan harapan bahwa dengan bantuan LSM kita dapat menunjuk perwakilan dari suku anak dalam untuk menyalurkan aspriasi mereka dalam penataan kembali kawasan TNBD. Ternyata dalam perjalanannya kita sudah mengikuti LSM dan sudah mengambil beberapa tumenggung dan dirasa sudah cukup walaupun sebenarnya keinginan kami ingin melibatkan 100 % akan tetapi kondisi yang ada tidak memungkinkan. Dan ternyata mereka itu saya katakan siapa sih sebetulnya pimpinan puncaknya, disana tuh tidak jelas, masing-masing tumenggung punya kepentingan sendiri, itu menjadi kesulitan bagi kita untuk mengakomodi kepentingan mereka. Celakanya, kelompok-kelompok kecil yang keinginannya tidak terakomodir dimasuki oleh LSM-LSM yang kepentingannya atas nama kepentingan LSM, sehingga muncul asumsi seolah-olah kita belum mengakomodir kepentingan suku anak dalam. Ya, masalahnya siapa sih pemimpin yang paling tinggi dari tumenggung-tumenggung tersebut, sehingga sulit untuk mengakomodir. Asumsi saya sekarang suku anak dalam hanya melihat dari sisi untung atau tidaknya, sehingga kita sulit untuk menjadi konsisten. Masalah utama yaitu siapa pimpinan tertinggi yang bisa dipercaya yang menjadi wakil dari mereka, karena tidak jelas maka suku anak dalam itu mudah dipermainkan oleh pihak-pihak
229
dari luar, seperti kemarin waktu datang menteri perumahan, waktu mau meresmikan perumahan transmigrasi, yang katanya masyarakat sudah oke, ternyata menolak. Nah itu kan jadinya inkonsistensi. Harapan saya, harus ada pimpinan yang betul-betul mewakili keseluruhan, sehingga jadi jelas bagaimana pemerintah harus mengakomodir.
T : Kalo suku rimba tuh dilibatkan tidak dalam penataan kawasan TNBD seperti penataan batas, zonasi, dll. ? J : Zonasi itu kan dalam tahap perencanaan, kita sudah mengakomodir, karena ini masih konsep jadi mereka sepakat dan ga jadi masalah, dalam aplikasi lapangan mereka akan dilibatkan. Sampai sekarang belum ada aplikasi lapangan, seperti zona inti tuh dimana?. Kalo konsep kan sebenarnya bisa berubah bisa dilaksanakan atau tidak tapi secara garis besar itu sudah ada, tetapi yang terpenting menurut saya itu bagaimana aplikasi di lapangan.
T : Kalo dalam merumuskan zonasi itu dilibatkan juga atau tidak Orang Rimba itu ? J : Sudah, ya antara lain misalnya zona inti tuh daerah-daerah yang menurut suku anak dalam orang lain tidak boleh masuk ke situ, seperti kuburannya, tempat malahirkan, nantinya mereka juga yang akan menentukan. Pada dasarnya mereka sudah paham bahwa zona inti tuh merupakan zona yang terpencil, pada dasarnya mereka sudah paham zona inti tuh zona yang terlarang, sekarang tinggal bagaimana suku anak dalam sendiri menyepakati bahwa itu merupakan daerah terlarang dan apa tanda tanda daerah terlarang tersebut.
T: Menurut Bapak, apakah akan muncul masalah jika Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? J : Jelas, kalo tidak dilibatkan jelas, karena keberadaan TNBD itu diperuntukkan bagi suku anak dalam. Akan tetapi penataan kawasannya tidak akan menjadi baik kalo suku anak dalam itu sendiri tidak memiliki pemimpin yang jelas yang bisa mewakili aspirasi suku anak dalam. Sampai kapan pun akan sulit untuk menarik aspirasi dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah.
T: Kalo bentuk pemberdayaan dan pembelajaran sebelum berperan serta dalalm penataan kembali kawasan TNBD seperti apa? J : Perlu, saya kira untuk sebagai pengelola disana kita tidak kerja sendiri, untuk PHKA ini menyangkut kawasan, tapi untuk pemberdayaan pasti akan sangat terbatas, akan lebih baik jika melibatkan pemerintah daerah melalui dinas sosial, dan mereka juga harus menjaring aspirasi dari suku anak dalam dengan catatan harus ada pimpinan yang jelas, sehingga akan membantu pemprov sendiri untuk mengelola dengan baik. Saya rasa harus dimulai dari suku anak dalam itu sendiri. Apa sih tujuan mereka dengan adanya Bukit Duabelas. Pemerintah kan sudah memberikan SK, sertifikat nasional, kalo mereka tidak bersatu akan dipecah-pecah oleh mereka sendiri kan ini merugikan bagi suku anak dalam sendiri .
T : Jadi Pak, yang bertanggung jawab dalam pemberdayaan itu Pemda ? J : Untuk SDM menyangkut kesehatan, pendidikan yang bertanggung jawab itu pemkab dan pemprov, karena dia mempunyai organisasi yang lebih kuat, misalnya kami membantu ternak tapi kan yang menentukan ternak apa itu dinas peternakan. Oh disini cocok untuk tanaman rotan dan untuk apa untuk perindustrian, yang punya kewenangan seperti itu kan pemerintah kabupaten. Jadi harus satu tujuan dan masing-masing punya peran sendiri, karena terdapat keterbatasan dari masing-masing pihak.
T : Sebenarnya dari pihak pemerintah sendiri sudah melakukan pemberdayaan seperti misalnya membangun rumah, dll. ?
230
J : Pemkot udah ada, tapi ya itu tadi tanpa adanya pimpinan yang jelas maka akan susah. Karena namanya merubah pola pikir, kebiasaan itu proses yang lama, karena mereka masih belum terbiasa tinggal dirumah, masih terbiasa jalan di rimba. Selama belum terbiasa maka akan sulit, untuk membina ini perlu adanya sebuah tahapan yang jelas, perlu adanya diklat dulu, peyuluhan sehingga nanti mereka akan mengerti dan akan merubah pola pikirnya dengan sendirinya.
T: Menurut bapak perlu ga peran LSM dalam pemberdayaan ? J: Sebagai kontrol juga perlu, kontrol sosial, tapi harus benar-benar LSM yang berasal dari suara hatinya. Bukan LSM yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri.
T: Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemberdayaan dan pembelajaran? J : Kalo manusia itu berevolusi sudah sekian ribu tahun. Menurut saya itu bergantung pada tingkat intensif atau tidaknya kita dalam melakukan pemberdayaan terhadap suku anak dalam. Kalo kita intensif saya rasa dalam tiga generasi sudah dapat diberdayakan. Ukurannya generasi, saya kira karena kita tidak bisa seperti orang yang biasa tinggal di kota kemudian ditempatkan di hutan bisa tinggal di situ. Jadi harus mulai dari orang tuanya dulu, baru ke anak-anaknya.
T: Menurut Bapak, apakah perlu Orang Rimba diberdayakan seperti dengan cara dibekali penggunaan GPS, terus pembuatan peta-peta sederhana versi mereka, dll? J : Saya kira tidak perlu, yang perlu itu pengetahuan sederhana, paham bahwa disini perlu yang seperti ini, karena untuk bisa GPS itu harus pengetahuan dasar terlebih dahulu. Kalo harus mengajari seperti itu saya rasa hanya untuk kepentingan sesaat mereka. Yang lebih penting yaitu masalah pendidikan mereka untuk peningkatan pendapatan, seperti pengetahuan pertanian. Harapannya dengan dibekali pendidikan seperti itu maka akan meningkatkan tingkat ekonomi mereka, dengan demikian ketika ekonomi mereka sudah meningkat mereka akan mencari dengan sendirinya untuk kepentingan mereka.
T : Sebenarnya gini ya Pak, masalah dari BKSDA untuk menata kawasan ini cukup dengan menanyakan saja sama mereka gitu ? J : Saya kira kita harus timbal balik, bukan hanya bertanya pada mereka saja. Kita sebagai pihak yang punya dasar kehutanan harus menjelaskan kepada mereka. Seperti misalnya mereka menunjukkan lahan pertanian tapi topografinya miring. Kita harus menjelaskan, sebaiknya seperti apa. Ya, intinya timbal balik dan harus ada komunikasi.
T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat melaksanakan penunjukkan kawasan TNBD selama ini kan hanya dari pusat? J : Ya penunjukkan itu dari pusat tapi ada dasar dari kebutuhan daerah. Ada persetujuan dari bupati dan ada persetujuan dari gubernur. Pemerintah pusat harus meminta masukkan dari pemerintah daerah, kalo tidak ada persetujuan dari daerah pemerintah pusat tidak akan mungkin menetapkan kawasan Bukit Duabelas sebagai taman nasional.
T: Preferensi Bapak terhadap rincian/tahapan bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba bagaimana? J : Saya kira yang pertama itu ditanyakan dulu ke mereka. Kemudian ditinjau ke lapangan, saya tidak yakin kalo misalnya yang datang ke lapangan hanya tumenggung A, B, C sedangkan yang lainnya tidak diajak. Karena disana tidak ada pimpinan, kesulitannya disitu. Kalo ada pimpinannya maka akan mudah. Saya sarankan agar suku anak dalam membentuk forum sehingga punya tujuan bersama yang jelas, sekarang kan jalan sendirisendiri. Dulu tumenggung A tidak punya istri, tidak punya anak, kemudian yang lain mengangkat diri menjadi
231
tumenggung, ya jadinya pusing, terlalu banyak pihak yang ingin jadi pemimpin. Apalagi mereka belum punya administrasi yang jelas, sehingga terjadi tumpang tindih wilayah kekuasaan.
T : Menurut Bapak dalam penataan kawasan TNBD cukup hanya terlibat dari pihak BKSDA dan suku rimba saja ? J : Kalo ada LSM yang ikut berperan serta boleh saja sebagai pihak yang mengontrol, tapi ya kalo seperti itu yang namanya LSM tuh harus punya dana tersendiri.
T : Menurut Bapak Orang Rimba cukup tahu saja atau perlu terlibat jauh dalam penyusunan rencana penetapan kawasan TNBD ? J : Mereka cukup tahu saja, karena menyangkut penyusunan ini sudah wewenang pihak lain, karena sulit jika harus mengakomodir semua kepentingan, tapi untuk masalah sosialisasi mereka perlu tahu agar tidak muncul konflik.
T : Kalo pemkot sendiri bagaimana ? J : Perlu dilibatkan, tapi mereka sendiri harus sadar untuk menghormati kewenangan masing-masing. Sejauh ini keterlibatannya hanya pada tahap mengetahui saja.
T : Kalo untuk di dalam taman nasional pemkab punya wewenang ? J : Wewenang ada pada BKSDA, sehingga jika pemkab mau melakukan sesuatu harus ada koordinasi dengan BKSDA, contohnya seperti dinas pariwisata mau membangun sarana wisata itu harus berkoordinasi dengan BKSDA.
T : Kalo dalam penataan kawasan pemkab cukup tahu aja ? J : Ya, mereka cukup tahu saja, tidak perlu terlibat lebih jauh.
T : Kalo pemprov juga ? J : Pemprov juga sama saya kira, karena pemprov kan menerima laporan dari pihak kabupaten.
T : Jadi menurut bapak, dalam penataan kawasan TNBD cukup dari pihak BKSDA saja dan suku anak rimba ? J : Ya, dari taman nasional dan suku rimba, karena itu menyangkut kawasan kecuali kalo menyangkut tapak atau batas itu pemkab harus terlibat.
T : Masyarakat desa? J : Masyarakat desa cukup mengetahui saja.
T: Kalau dalam penataan batas dan penataan zona di dalam TNBD siapa saja yang perlu terlibat ? J : Sekarang yang mengelola taman nasional kan ada pihak pengelolanya yaitu pihak balai taman nasional. Jadi yang perlu terlibat ya pihak taman nasional dan suku anak dalam. Kalo dalam penataan batas pihak yang perlu terlibat bisa suku anak rimba itu sendiri, pemkab dalam hal ini aparat setempat, supaya masyarakat tahu kita menginformasikan ke masyarakat.
T : Berdasarkan UU penetapan kawasan kan masih dari pusat menurut bapak gimana ? J : Penetapan memang harus dari pusat akan tetapi harus berdasarkan usulan daerah.
T: Terus Pak, dari alternatif yang saya tawarkan Bapak lebih memilih kepada alternatif yang mana?
232
J: Iya itu tadi yang saya jelaskan barusan. Semua pihak bisa terlibat dalam hal ini. Karena banyak peran yang bisa diambil oleh para pemangku kepentingan dalam penataan kembali kawasan TNBD ini. Penataan kembali kawasan TNBD ini kan penting sekali bagi kita. Soalnya sampai detik ini penataan kawasan TNBD ini kan belum pasti. Nah, kalo belum pasti gimana kita akan mengelolanya ke depan. Untuk itu perlu ditata kembali. Untuk penataan zona aja dulu, itu cukuplah Orang Rimba, LSM, dan Balai TNBD sendiri karena emang udah Balai sekarang yang ngurusin TNBD itu. Tapi itu dia, Orang Rimba itu tidak bisa langsung dilibatin gitu aja. Inilah kita lakukan pemberdayaan, kita ajarin ke mereka, kita kasih bekal, kita ajak disk usi, kita samakan persepsi. Terus, baru kita tata batas kawasan TNBD itu, nah disini baru masuk pihak-pihak yang lain, masuklah Pemprov, Pemda, dan masyarakat desa. Pemprov dan Pemda perlu untuk menata batas bersama karena memang di wilayah mereka kan TNBD ini. Masyarakat desa karena mereka tinggal di sekitar TNBD ini biar mereka kasih tau mana-mana aja batas TNBD itu. Udah gitu aja saya kira udah cukup dan tinggal diserahkan ke pusat hasilnya. Jadi, saya cenderung ke alternatif baru.
T: Alasan Bapak memilih alternatif baru tersebut apa Pak? J: Intinya sih sederhana, biar semua pihak itu mengetahui dan memberikan dukungan terhadapa hasil penataan kawasan tersebut. Kalo semua pihak udah memberikan dukungan tentunya itu menjadi kekuatan hukum yang lebih besar bagi TNBD. Intinya sosialisasi penataan kawasan TNBD ini harus diketahui oleh semua pihak-pihak itu.
Bapak Erwin Iskandar Kepala Seksi Pengelolaan TNBD Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Jumat, 30 November 2007. 11.05 WIB
T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap bentuk peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD yang terjadi selama ini? J: Tidak terlibat, Orang Rimba tidak tahu apa-apa dalam penyusunan rencana TNBD. Kalo saya lihat poinnya, yang meributkan RPTNBD itu kan LSM bukan Orang Rimba. Orang Rimba itu gak terlalu meributkan, RPTND itu kan baru rencana, yang namanya rencana itu kan bisa berubah. Kaya rencana Jambi, menjadi negara Jambi misalnya. Ya, kan baru rencana, kalo rencananya ga di dukung kan ga akan jadi. Ini baru rencana aja udah ribut. Orang Rimba yang demo itu bukan Orang Rimba asli, Orang Rimba jadi-jadian itu, Orang Rimba yang dari luar. Saya tahu wajah-wajahnya juga.
T: Menurut Bapak, apakah dalam penataan RPTNBD Orang Rimba cukup terlibat atau tidak (penataan zonasi, dll)? J: Sebenarnya dari mereka sudah ditunjuk perwakilan, cuma pada saat pelaksanaan kita tidak bisa melaksanakan karena permasalahan dana. Sebenarnya untuk masalah zonasi itu sudah jelas, seperti contohnya zona inti mereka (Orang Rimba) juga sudah tahu yang seperti apa. Mana yang inti tuh kan kaya yang dibikin, yang deket air. Mereka sudah mengerti gak usah kita ajak yuk kita bahas masalah zona inti ini mereka ga suka. Mereka sendiri gak ngerti ketika saya jelaskan zona inti itu apa. Sebenarnya mereka gak mempermasalahkan masalah penataan zona inti, yang mempermasalahkan tetek bengek seperti itu tuh LSM. Sebenarnya kalo ga ada LSM tuh lancar-lancar aja sebenarnya, coba kaya di Gunung Gede Pangrango yang di Cibodas, Cianjur. Nah, disitu tuh ga ada masalah karena LSM di sana profesional. Mereka tuh kerja disana bener-bener untuk taman nasional karena dana yang dikucurkan berasal dari luar negeri untuk taman nasional. Warsi tidak akan dapat dana kalo tidak ada TNBD. Coba sekarang namanya bukan TNBD kembalikan namanya ke hutan produksi, kembalikan ke masing-masing kabupaten, misalnya nanti ada investor masuk,
233
misalnya HPH masuk jadilah hutan produksi, habis dibabat kan?. LSM gak akan ada di situ kalo namanya hutan produksi. Saya kan bukan hanya di jambi aja, ke Gunung Gede, Gunung Halimun, LSM disana tuh berlomba-lomba untuk berperan aktif dalam memajukan taman nasional karena mereka berkepentingan disitu. Bukannya saling menjatuhkan. Kita kan orang yang sekolah, harusnya tahu kan tata krama seperti permisi ke rumah orang ini rata-rata main selonong-selonong aja. Jadinya pusing gitu lihat kondisi yang kayak gini. Kita disuruh untuk menyelamatkan hutan yang sedikit itu untuk Orang Rimba yang tinggal disitu, Orang Rimbanya digosok-gosok begini-begini oleh LSM.
T: Menurut Bapak, apakah benar dalam penyusunan RPTNBD komunitas adat Orang Rimba tidak dilibatkan? J: Mereka tuh perlu tahu aja, seperti masalah zona inti dan kawasan di sekitar zona inti. Saya kemarin sudah jelaskan, zona inti tuh misalnya bukit, kawasan perbukitan. Di zona inti tuh pohon-pohonya ga boleh ditebang, ga boleh diperjualbelikan, terus yang deket sungai. Itu kenapa?, soalnya kalo hujan langsung ke sungai air tuh, air kotor, pada saat musim kemarau sungai kering. Mereka sudah tahu sebenarnya masalah-masalah seperti itu. Sebenarnya dalam penyusunan RPTNBD mereka hanya perlu tahu saja zona inti dimana, tidak perlu ikut serta dalam perumusan rencana (berembuk menyusun rencana). Karena yang lebih berperan dalam penyusunan rencana sebenarnya aparat pemerintah. Perlu tahu intinya, tapi tidak harus terlibat terlalu jauh. Inilah kampung mereka tolong dijaga baik-baik, kita sama-sama berkomitmen. Kenyataannya sekarang Orang Rimba banyak yang memperjual-belikan tanah mereka. Apalagi semenjak masuknya LSM terhadap komunitas Orang Rimba seperti mengajarkan HAM. Akhirnya kita juga jadi susah untuk menjaga komitmen dengan Orang Rimba untuk sama-sama merawat taman nasional. Gimana kita mau bertindak kalo misalnya kita koperasi tanah itu sudah dijual. Di taman nasional bukit dua belas tanah itu sudah dijual oleh Orang Rimba, akibatnya orang desa masuk dan bilang kalo beli tanah itu dari Orang Rimba. Akibatnya Orang Rimba itu ditangkap oleh polisi, akibatnya itu jadi urusan pemerintah dalam melindungi Orang Rimba padahal Orang Rimbanya sendiri seperti itu. Dilematis jadinya permasalahan Orang Rimba ini. Taman nasional satu-satunya untuk manusia dan ditunjuk untuk manusia bukan untuk satwa atau tumbuhan. Coba seperti gunung Gede Pangrango untuk perlindungan flora dan fauna. Jadi enak bekerjanya. Kalo misalnya masalah illegal loging ya udah tinggal tangkap pelakunya. Coba masalah di sini serba salah jadinnya, seperti kemarin ada kebakaran yang bakar Orang Rimba. Polisi sendiri tidak berani untuk menangkapnya. Kayak kemarin brimob dipukulin sama Orang Rimba ga berani jadinya. Masalah ini gara-gara ada pengaruh LSM juga sih sebenarnya. Coba kalo misalnya Orang Rimba disini kayak Suku Baduy, mereka ga pake sendal, baju hitam, tapi mereka ga merusak hutannya, karena kalo merusak hutan itu merupakan larangan, benar-benar dilindungi, malah mereka ada Suku Baduy dalam dan Baduy Luar.
T: Jadi, menurut Bapak sebelum menyusun RPTNBD itu perlu dilakukan studi yang lebih mendalam dulu? J: Kalo penataan tidak perlu, karena pemerintah sudah menunjuk. Ini batasan kawasan taman nasional, itu pemerintah yang menunjuk, bukan Orang Rimba. Orang Rimba itu perlu tahu aja, inilah batasnya, tetapi tidak perlu terlibat terlalu jauh. Mereka hanya perlu tahu aja batasnya ini HPH dan ini taman nasional, pemerintah yang melaksanakan, yang mengurus penataan itu ada pihak lain lagi yaitu MAPLAN (masyarakat planologi). Kita sendiri ga tahu, kita kan cuman tahu inilah lokasi X. Petanya batasnya dari mereka kita cuman tahu terima ya terima, cara ngelolanya gimana, mengamankannya gimana. Ya kalo terlibat terlalu jauh akhirnya gimana ya, jadinya mereka dimanja. Kayak kemarin pertemuan dengan bupati, ya orang pemda jadi bingung, terlalu banyak tuntutan kepada pemda. Ya, kalo mau hidup bebas dan enak sebaiknya keluar dari hutan dan tinggal di desa. Sebenarnya mereka sudah seperti kita saja, pake celana jeans, jam tangan, pake cincin, pake HP, motor juga bagus. Mereka sudah mengenal modernisasi, beda dengan suku baduy, mereka anti terhadap modernisasi soalnya kalo mengenal moderniasi mereka bakal hancur. Ya seperti sekarang aja Orang Rimba setelah mengenal modernisasi, hancur kan jadinya. Kalo dulu sebelum tahu modernisasi aman tuh, hutannya
234
juga aman ga ada apa-apa. Gara-gara bergaul dengan orang desa, masuknya LSM, ya sudahlah hancur. Mereka sekarang tahunya, bagaimana cara menjual hutan, diganti dengan motor, dengan HP. Saya larang, hutannya jangan dijual, dijaga, mereka bilang kami mau makan apa?. Kalo Bapak mau kasih makan saya dengan uang ga apa-apa, dari mana saya, saya aja buat makan anak istri susah, apalagi mau kasih orang lain. Kalo mereka benar-benar Orang Rimba asli, mereka hidup disitu, makan makanan yang ada disitu. Sebenarnya kalo mereka mau untuk makan sehari-hari, mereka bisa saja menanam sendiri untuk makanan sehari-harinya. Orang Rimba yang sekarang sudah berpikir ke arah menyempit artinya mereka sudah tahu cara untuk mencari uang yang banyak itu gimana. Mereka buka lahan, tanam jagung, tanam sawit, itu sudah jauh dari peradaban. Mereka mencirikan sebagai suku terpencil, katanya mereka tuh arif tapi kok bukannya menjaga hutan tapi mereka malah menjual.
T: Menurut Bapak, peran LSM dalam pemberdayaan dan pembelajaran komunitas adat Orang Rimba seperti apa? J: Sebenarnya peran LSM dalam taman nasional itu banyak, misalnya dalam penegakan hukum membantu dalam hal pendanaan karena masalah dana kita terbatas. Sebenarnya gitu peran LSM tuh, berarti LSM itu concern terhadap peran kawasan, sekarang peran LSM lebih condong ke manusia aja tapi gak memp erhatikan lingkungan. Contohnya sekarang masalah penebangan pohon oleh Orang Rimba ga ada yang berani menegakkan hukum karena takut, polisi aja takut. Pernah saya tawarkan ke Orang Rimba untuk pindah ke desa tapi mereka tidak mau. Sebenarnya peran LSM sangat bagus kalo berpihak ke pemerintah dan membantu dalam hal penegakkan hukum kalo tidak memberikan pengarahan ke Orang Rimba dalam hal yang positif seperti jangan nomaden, berpakaian yang bener, jangan menebang hutan. Sebenarnya dari kamu sendiri bisa membantu juga melalui tulisannya mengenai peran LSM ini harus seperti apa dan dalam hal apa. Kondisi yang terjadi sekarang kan adanya LSM bukan malah membantu tapi terkesan hanya menaikkan pamor LSM itu sendiri. Bukannya peduli terhadap masalah penataan kawasan, pemerintah sendiri tidak dilibatkan oleh pihak LSM. Kalo kondisinya kayak gitu yang hancur kawasan Bukit Duabelas. Ibaratnya kita ini anak bayi yang mau merangkak tapi belum merangkak udah banyak masalah akibatnya apa, si anak bayi itu jadi tidur, contoh realnya, kantor aja masih ngontrak. Beda sama LSM yang dananya besar-besar, tapi hasilnya apa, cuman buku, publikasi, beda kayak taman nasional yang sudah maju seperti Gunung Gede Pangrango dimana LSM dan pemerintah sama-sama bekerja sama untuk memajukkan kawasannya.
T: Menurut Bapak, pihak mana yang lebih tepat melaksanakan penunjukkan kawasan TNBD? J: Masalah hutan itu masalah dunia, jika masalah hutan sudah diserahkan ke Pemda masing-masing, dunia tuh sekarang tidak mau lagi. Dunia tuh sekarang sedang di teror oleh masalah penebangan liar, pemanasan global. Itu tuh kan sebenarnya merupakan akibat dari penebangan hutan yang ga make aturan. Makanya hutan ini masih dipantau oleh pusat, contohnya masalah hutan produksi, kaitannya sama bantuan dari luar negeri. Bantuan luar negeri ke Indonesia kan syaratnya hutan harus dijaga, kondisi sekarang kan banyak dana dari luar negeri di Indonesia. Makanya banyak LSM yang dapet dana dari luar negeri karena berhubungan dengan masalah pelestarian hutan. Coba kalo di hutan produksi kan ada perusahaan yang masuk terus pemerintah dapat dana, beda dengan taman nasional yang tidak menghasilkan apa-apa. Nah itu poin penting yang sering dilupakan oleh LSM. Harusnya kan mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 arti taman nasional tuh apa, itu yang LSM tidak tahu artinya makanya banyak LSM yang cuman concern sama masalah manusianya saja. Harusnya LSM yang masuk ke Bukit Duabelas itu kayak WWF, Efol, EI, wet lands, karena mereka lebih concern dan sebenarnya mereka sangat pengen masuk ke Bukit Duabelas.
T: Bagaimana persepsi Bapak terhadap rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kembali kawasan TNBD?
235
J: Penetapan batas kawasan mereka tidak terlibat, karena tidak akan efisien dilihat dari segi pendanaan, yang penting ketika ada penetapan batas ada sosialisasi ke Orang Rimba. Mereka tahu dan mereka sama-sama diajak untuk berkomitmen untuk sama-sama menjaga. Mereka jika diajak untuk berperan serta sangat sulit, mereka sangat berorientasi kepada uang bukan bekerja terlebih dahulu. Ketika diajak untuk berperan serta dalam penataan kawasan hal pertama yang mereka tanyakan ialah berapa upah yang diberikan kalo upahnya sedikit mereka menolak. Taman nasional ini lama-lama hancur, yang saya lihat LSM yang ada sekarang tidak peduli terhadap kelestarian alam lebih kepada manusianya saja. Seharusnya sinkron antara manusia dan alam. Sebenarnya kita mau melibatkan Orang Rimba akan tetapi dana minim, seperti kemarin kita sudah rapat dan sudah siap-siap untuk bekerja akan tetapi ketika sudah siap-siap tiba-tiba dana dihentikan. Gimana kita mau bekerja. Pada dasarnya mereka sudah tahu, zona inti itu dimana, seperti apa, tetapi masalahnya ada di pelaksanaan.
T: Perlu tidak dilibatkan pihak lain dalam penataan kawasan TNBD ? J: Tidak perlu, cukup pemerintah dan Orang Rimba saja, untuk apa, TNBD kan memang diperuntukkan bagi Orang Rimba dan bukan untuk pihak lain. Orang desa buat apa, karena mereka tidak boleh masuk ke kawsan TNBD. Saya sendiri sudah pusing mengurus masalah di TNBD ini, pengennya pindah ke tempat lain seperti TN Gunung Ciremai, karena lebih real saja karena yang ditonjolkan bukan cuman manusianya saja seperti disini. Saya sendiri masih bingung LSM disini maunya apa, seharusnya jika mereka mau masuk ke sini minta izin dulu ke sini karena kita sebagai pihak yang ditunjuk oleh pemerintah. Tapi kenyataannya mereka tidak izin terlebih dahulu. Beda dengan ditempat lain, seperti kemarin saya diklat di Bogor, peran LSM disana lebih real dan jelas tujuannya, sedangkan disini kesannya seperti jalan masing-masing.
T: Kalo Pemda sendiri perlu terlibat atau hanya cukup tahu saja ? J: Saya baru dapat kemaren di Batanghari, sebenarnya pemerintah kabupaten pun harus tahu karena yang bertanggung jawab dari pihak pemerintah. Intinya mereka harus tahu, akan tetapi dalam pelaksanaannya pihak pemkab menunjuk pihak lain dalam hal ini yaitu pihak planologi. Dalam pelaksanaannya pihak pemkab biasanya menunjuk orang untuk ikut terlibat dalam penyusunan rencana penetapan kawasan.
T: Jadi kalo masalah penetapan zona itu sendiri cukup dari suku rimba saja ? J: Kemarin kita mengundang camat juga, camat juga tahu masalah ini, akan tetapi tidak dilibatkan secara penuh. Karena kalo kita harus mengundang orang (tenaga ahli) perlu dibayar. Ya, sebenarnya kalo pihak lain cukup tahu saja karena yang akan mengelola kan sebenarnya kita dan kawasan TNBD sendiri kan diperuntukkan buat Orang Rimba bukan buat orang lain. Yang terpenting ialah bagaimana Orang Rimba tuh paham apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan di kawasan TNBD.
T: Kemudian bagaimana persepsi Bapak terhadap penetapan kawasan TNBD? J: Kita lihat dulu konteksnya untuk apa, pengelolaan hutan itu masih tidak jelas, kebijakan mengenai pengelolaan hutan berbeda-beda,
dilihat dari dana, kita masih sangat tergantung pada pihak luar negeri.
Dalam konferensi climate change di Bali Indonesia sendiri banyak disorot terus karena memiliki hutan yang paling banyak. Kalo hutan sendiri tidak dilindungi bagaimana jadinya. Saya sendiri sudah bisa merasakan karena pernah bekerja di beberapa insititusi yang berbeda. Kalo kita kerja di LSM kan enak tinggal ngomong saja, tapi kalo kita kerja di pemerintahan kan gak bisa gitu, kalo banyak ngelarang, kita bakalan banyak dimusuhin sama orang. Susah memang kalo kita memang ingin benar-benar menjaga hutan di Bukit Duabelas ini apalagi adanya pihak seperti LSM dan Orang Rimba itu. Dari tulisan kamu ini nanti bisa dilihat apakah cocok Bukit Duabelas ini dijadikan taman nasional, kita lihat saja kondisi yang terjadi sekarang antara pemerintah, LSM dan Orang Rimba itu sendiri. Masalah utama di bukit ialah LSM dan pemerintah masih belum bisa bekerja
236
sama pada satu arah dan tujuan yang sinkron. Kemudian masalah pelestarian hutan dan kepedulian terhadap manusia masih belum bisa berjalan sinkron. Dalam masalah pelestarian kawasan TNBD ini perlu didukung oleh berbagai macam disiplin ilmu, tidak bisa kita hanya melihat dari sudut pandang ilmu kehutanan saja tapi harus melibatkan berbagai macam disiplin ilmu.
T: Jadi Pak, dari alternatif yang saya tawarkan Bapak lebih memilih alternatif yang mana? J: Itu kan sudah saya bilang tadi, dalam penataan kembali kawasan TNBD ini cukup tiga pihak itu ajalah. Orang Rimba intinya yang paling penting, terus LSM juga bisa mendampingi Orang Rimba, dan Balai TNBD. Kalo tiga ini aja udah bisa kerja bareng, ya Insya Allah penataan kedepan tidak akan bermasalah lagi. Jadi Orang Rimba, LSM, dan Balai TNBD sajalah yang penata kawasan TNBD itu, mulai dari penataan zona sampai p enataan batasnya. Terus pemberdayaan yang seperti kamu maksud tadi, saya kira tidak perlu lah yah. Langsung aja libatin Orang Rimba itu. Kalo diberdayakan dulu tidak sanggup pemerintah ini. Pasti butuh anggaran yang besar, anggaran kita saja saat ini kan dihentikan pusat dulu. Oleh sebab itu, libatin langsung aja. Kemudian setelah hasil penataan kawasan udah ada tinggal diserahkan saja ke pusat. Ini saya kira lebih cepat dan tidak bertele-tele. Saya pikir dari alternatif ini saya lebih memilih alternatif ke lima.
T: Kalo boleh tau alasan Bapak memilih alternatif tersebut kenapa Pak? J: Saya pilih alternatif kelima tersebut karena memang pihak-pihak itu lah yang berkepentingan dalam penataan kawasan TNBD. Lagian kalo Cuma tiga pihak ini kan tentunya akan lebih cepat dan efisien mengingat dana kita yang sangat terbatas. Terus Orang Rimba lah yang paling penting dilibatin karena memang kawasan TNBD ini awalnya diperuntukkan untuk mereka bukan untuk pihak lain.
Bapak Adi Pendamping Komunitas Adat Orang Rimba LSM KKI Warsi Senin, 3 Desember 2007. 10.10 WIB
T: Bagaimana pandangan Bapak terhadap bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penyusunan RPTNBD yang terjadi selama ini? J: Mengenai peran serta Orang Rimba, kebetulan saya sudah 3 tahun kerja di W arsi, dan selama 3 tahun itu pula saya mendampingi Orang Rimba di lapangan. Mengenai RPTNBD sendiri saya juga mengikuti perkembangannya selama ini. Nah, saya pikir peran serta Orang Rimba sendiri saya nilai masih sangat kurang disana. Sebagai contoh kecil saja, berapa Orang Rimba sih yang tau akan RPTNBD itu. Memang BKSDA Jambi melibatkan Orang Rimba dalam penyusunannya tetapi itu dalam skala yang sangat kecil. Kalo tidak salah hanya 3 Tumenggung yang diajak berdialog saat itu. Nah, apakah itu yang dinamakan pelibatan, apakah bisa 3 Tumenggung itu mewakilkan suara Orang Rimba yang jumlahnya mencapai ribuan di lapangan. RPTNBD itu kan intinya sebuah rencana untuk mengelolan TNBD ke depannya. RPTNBD itu istilahnya sebagai acuan lah bagi BKSDA Jambi untuk mengelola kawasan tersebut. Tapi mereka tidak bisa mengabaikan aspek Orang Rimba. Mereka berkepentingan disini, mereka juga punya tujuan untuk mengkonservasi kawasan TNBD tetapi dengan adat mereka. Untuk itu coba lah kalo emang RPTNBD itu niatnya untuk mengelola TNBD ke depannya, coba lah dengan cara mengadopsi kebudayaan Orang Rimba dalam mengelola hutan tersebut.
T: Sedangkan pandangan Bapak terhadap peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD selama ini seperti apa?dalam penataan batas dan penataan zona seperti apa? J: Itu sama saja yah menurut saya. Penataan kawasan TNBD itu kan salah satu point penting yang terdapat dalam TNBD. Sederhananya gini lah. Jika kita ingin mengelola suatu kawasan maka kawasan tersebut perlu
237
ditata dulu kan. Nah, seperti itu. Jadi disini, peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD juga masih sangat kurang. Dulu itu, penataan kawasan TNBD oleh pemerintah kurang tepat di lapangan. Mereka itu tidak terjun langsung ke lapangan. Jika mereka terjun langsung ke lapangan, mereka tentunya tau mana batasbatas TNBD yang sebenarnya. Lihat saja penataan batas oleh pemerintah, banyak yang tidak sesuai kan di lapangan. Penataan batas mereka itu sekarang kan udah mengalami penyusutan karena udah banyak permukiman masyarakat desa di sekitarnya. Itu dari penatan batas. Nah, untuk penataan zona sendiri sama seperti itu, penataan zona mereka juga tidak sesuai. Zona inti saja, tidak bisa mereka langsung mengklaim suatu kawasan langsung sebagai zona inti. Ternyata di zona inti itu, ada wilayah adat Orang Rimba juga disitu. Orang Rimba punya pengaturan penataan ruang kawasan TNBD sendiri. Mereka juga punya zona yang tidak boleh diganggu dan zona yang boleh dimanfaatkan. Tiap kelompok Orang Rimba punya itu. Mereka punya yang namanya tanah berdewa dan tanah tidak berdewa. Tanah berdewa ini sangat sakral bagi Orang Rimba. Mereka sangat menjaga kawasan ini untuk kegiatan adat, seperti, untuk melahirkan, untuk pernikahan, dan kegiatan adat lainnya. Nah, tanah tidak berdewa ini baru boleh mereka manfaatkan untu memenuhi kebutuhan mereka sehari-sehari, seperi, untuk berkebun dan perladangan. Jadi, kan sekarang pemangku kawasan udah ada pada Balai TNBD. Nah balai ini sekarang sudah mulai untuk menata ulang kawasan TNBD, baik itu menata batas dan menata zona-zona di dalamnya. Mereka sudah mulai secara intensif mengajak Orang Rimba berdiskusi dan dialog untuk menyamakan persepsi tentang zona-zona. Usaha ini sudah dinilai cukup baik lah. Walaupun masih awal-awal dan belum dilaksanakan di lapangan. Jadi menurut saya memang pelibatan Orang Rimba kemarin-kemarin itu masih sangat kurang dalam penataan kawasan TNBD.
T: Menurut Bapak sendiri akan muncul masalah tidak jika Orang Rimba tidak dilibatkan dalam penataan kawasan TNBD? J: Oh itu pasti akan bermasalah menurut saya. Kan udah liat konflik yang terjadi selama ini. Itu karena apa, ya karena Orang Rimba kurang dilibatin. Sederhana saja menurut saya, kawasan TNBD itu kan udah ditempatin Orang Rimba selama bertahun-tahun. Mereka juga punya pemahaman terhadap tata ruang kawasan TNBD sendiri. Nah, sekarang ada pemerintah dalam hal ini BKSDA Jambi yang ingin mengelola kawasan tersebut. Sebelum mengelola, mereka menata kawasan itu terlebih dahulu. Jika mereka menata kawasan tersebut sesuai sudut pandang mereka saja itu salah. Nanti akan muncul lagi konflik dimana penataan kawasan versi mereka itu tidak sesuai dengan tata ruang kawasan versi Orang Rimba. Ya intinya pasti akan muncul masalah lah. Kalo pengelolaan kedepannya akan berjalan lancar, dilibatin dulu lah Orang Rimba ini mulai dari penataan kawasan TNBD sesuai dengan prosedur yang jelas.
T: Menurut Bapak, perlu tidak Orang Rimba itu diberdayakan terlebih dahulu sebelum mereka dilibatin dalam penataan kawasan TNBD?seperti diajarkan penggunaan GPS dan pemetaan secara sederhana? J: Oh itu pasti sangat diperlukan. Seperi yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Orang Rimba punya pemahaman sendiri terhadap tata ruang kawasan TNBD. Mereka juga punya wilayah adat yang mengatur kawasan-kawasan yang sangat dijaga dan yang boleh dimanfaatkan. Tetapi kelemahan mereka, ya mereka belum bisa menuangkan itu ke dalam peta-peta. Mereka hanya sebatas lisan dan sulit untuk menerjemahkannya ke dalam peta. Jika di lapangan, Orang Rimba sangat memahami kawasan hutan ini. Mereka tau dimana itu sungai, dimana itu jalan-jalan, tau dimana belokan-belokan, tau dimana kawasan yang terjal dan sangat rawan. Mereka paham benar akan semua itu, yah keseharian mereka memang berburu di dalam kawasan hutan itu. Jadi hampir semua kawasan hutan ini sudah dijelajahi oleh Orang Rimba. Cuma itu mereka sangat sulit menerjemahkannya. Saya bisa tau ini karena memang tugas saya mendampingi Orang Rimba. Nah, Warsi sendiri sudah mengajarkan itu semua kepada Orang Rimba. Kita mengajarkan bagaimana cara menggunalan GPS. Kita juga sudah melakukan pemetaan partisipatif bersama Orang Rimba. Melalui pemetaan partisipatif ini, sangat jelas tergambarkan bahwa mana-mana saja wilayah adat Orang Rimba. Zona
238
inti atau bagi mereka itu Tanah Berdewa tergambarkan di peta sederhana itu, begitu juga dengan tanah tidak berdewa juga terpetakan dengan jelas. Seharusnya kan ini tugas pemerintah dalam hal ini Balai TNBD untuk mengajarkan itu semua kepada Orang Rimba. Tapi ya karena itu, pemerintah kurang peka terhadap hal ini. Jika ditanya kepada mereka, ya balik lagi alasan mereka terbentur dengan dana. Yang saya tau, kemarin itu Balai TNBD udah punya niat untuk mengajak Orang Rimba untuk berdiskusi tentang zona-zona ini sebelum persiapan ke lapangan. Tetapi yang saya dengar, dana untuk mereka dihentikan oleh pusat dalam hal ini departemen Kehutanan. Jadinya, program itu sekarang tidak berjalan dan berhenti. Ya mulai berjalan lagi mungkin tahun depan menunggu dana itu turun kembali.
T: Pak, kan selama ini penunjukkan kawasan taman nasional itu selalu dari pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, nah pandangan Bapak sendiri seperti apa? J: Iya, saya pkir itu masih sesuai lah untuk dijalankan seperti itu. Cuma yang penting itu, pemerintah harus gali dulu informasi sebanyak-banyaknya tentang kawasan itu sebelum ditunjuk sebagai taman nasional. Jangan seperti kasus penunjukkan TNBD kemarin ini. Saya yakin itu, pemerintah kurang informasinya sehingga terjadi konflik dengan Orang Rimba. Saya sarankan sih sebaiknya pemerintah itu terjun lah ke lapangan. Liat kondisi di lapangan itu seperti apa. Karena sangat berbeda loh jika pemerintah hanya mendengar informasi itu dari pihak lain tanpa terjun ke lapangan dulu. Cobalah pahami dulu kondisi di lapangan. Contoh konflik sederhananya ajalah seperti ini, kok batas kawasan luar kawasan TNBD itu mengikuti jalan setapak yang umumnya digunakan oleh masyarakat desa sih. Nah, itu keliatan sekiali kan kalo pemerintah itu hanya ingin mudahnya saja. Seharusnya di lapangan batasnya tidak seperti itu. Makanya cobalah masuk ke dalam kawasan terlbih dahulu. Biar nantinya penataan kawasan tersebut bisa diterima oleh semua pihak terutama Orang Rimba ini.
T: Nah Pak, sekarang pengen tau aja pandangan Bapak terhadap tahapan/rincian bentuk peran serta komunitas adat Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD itu seperti apa? J: Jika mengacu pada penjelasan saya yang sebelumnya yah, tahapannya itu dimulai dari pemerintah dulu dalam hal ini Balai TNBD, untuk mengadakan pemberdayaan Orang Rimba sebelum mereka terlibat dalam penataan kawasan TNBD. LSM juga bisa terlibat disini untuk mendampingi Orang Rimba tapi memang tujuan LSM itu positif untuk menjembatani Orang Rimba dengan Balai TNBD. Jangan nanti justru LSM yang malah ngerecokin, bikin masalah di dalamnya. Jadi pertama itu ajak dulu Orang Rimba untuk berdiskusi secara intensif membicarakan tentang pentingnya penataan kawasan TNBD untuk pengelolaan ke depannya. Nah, dalam diskusi ini samakan dulu persepsi zona-zona antara versi Balai TNBD dengan Orang Rimba. Soalnya ini, jangan sampai ketika pelaksanaan penataan zona di lapangan malah zona inti versi Balai TNBD berbeda dengan zona inti versi Orang Rimba. Ini bisa kacau nantinya. Setelah persepsi antara Orang Rimba dan TNBD sama baru lah ajari Orang Rimba itu untuk menuangkan wilayah adat mereka ke dalam peta-peta sederhana. Dalam hal ini jika balai TNBD kesulitan dapat dibantu oleh LSM untuk memberdayakan Orang Rimba. Memang untuk membuat peta modern seperti yang sekarang ini mereka belum bisa. Tapi kalo hanya untuk membuat peta-peta sederhana saja mereka bisa kalo diajarkan. Kemudian ajak Orang Rimba untuk melakukan pemetaan partisipatif secara bersama-sama di lapangan. Nah, setelah itu hasil penataan kawasan TNBD antara Balai TNBD dengan Orang Rimba baru disosialisasikan kepada yang paling utama itu masyarakat desa sekitar TNBD. Masyarakat desa ini perlu mengetahui batas kawasan TNBD dan penataan zona di dalamnya. Soalnya gini biar masyarakat desa tau kawasan mana saja yang dilarang untuk dimasuki dalam TNBD. Selanjutnya Pemda dan Pemprov perlu disosialisasikan juga untuk memberikan dukungan terhadap hasil penataan kawasan TNBD yang telah dilakukan. Pemda sendiri tentunya akan mendukung hal terebut karena merupakan suatu kebanggaan lah bagi mereka karena di daerah ditunjuk sebagai kawasan taman nasional. Setalah memperoleh dukungan dari bawah, baik itu Pemkab dan Pemprov kemudian serahkan ke pusat. Dan pusat
239
tinggal menetapkan saja. Nah, ini yang dimaksud suatu proses yang dari bawah dimana usulan itu benar-benar berasal dari bawah.
T: Untuk penataan batas dan penataan zona sebaiknya dilakukan oleh siapa Pak? J: Saya pikir untuk penataan zona itu Orang Rimba, LSM, dan Balai TNBD di lapangan juga sudah cukup. Soalnya yang berwenang disitu yah emang Balai TNBD sebagai pemangku kawasan dan Orang Rimba. LSM sebagai penghubunglah antara Orang Rimba dan Balai TNBD. Soalnya kan yang lebih tau banyak tentang kebudayaan Orang Rimba kan LSM, seperti Warsi ini udah dari tahun 1997 mendampingi Orang Rimba. Nah kalo untuk penataan batas baru terlibatlah Pemprov, Pemkab, dan masyarakat desa itu. Jadi ya, itu dalam penataan zona tiga pihak itu aja, Orang Rimba, Balai TNBD , dan juga LSM. Dan kalo udah masuk penataan batas baru libatin masyarakat desa, camat, Pemkab, dan Pemprov. Khusus untuk Pemkab dan Pemprov sebaiknya mereka memberikan dukungan pada hasil penataan kawasan TNBD sebelum diserahkan kepada pemerintah pusat.
T: Pak, ini hampir sama dengan pertanyaan di atas, kalo penetapan status kawasan taman nasional itu oleh pemerintah pusat, pandangan Bapak seperti apa? J: Iya pointnya hampir sama dengan yang di atas kalo saya pikir. Berdasarkan peraturan perundangan kan emang seperti itu. Pemerintah pusat memang melakukan penetapan status kawasan taman nasional apabila telah dilakukan penataan batas dan penataan zona baru diserahkan hasilnya kepada pemerintah pusat. Nah, pemerintah pusat tinggal menetapkan saja status hukumnya. Intinya gini, dalam penetapan status kawasan taman nasional itu, pemerintah pusat harus menampung dulu aspirasi dan usulan dari bawah, jadi tidak hanya menetapkan secara sepihak saja.
T: Dari alternatif yang saya tawarkan Bapak lebih memilih alternatif yang mana? J: Sepertinya saya lebih tertarik untuk melibatkan semua pihak dalam penataan kembali kawasan TNBD ini. Soalnya masing-masing pihak punya peran yang berbeda-beda dalam hal ini. Seperti tadi, kalo dalam penataan zona di dalam kawaan TNBD ya itu Orang Rimba, LSM, dan Balai TNBD. Nah kalo udah berbicara penataan batas baru pihak-pihak yang dilibatin nambah lagi seperti Pemprov, Pemkab, dan masyarakat desa. Kalo udah dilakukan penataan batas dan penataan zona barulah hasilnya tinggal dikirim saja ke pusat. Pusat ya tinggal mengukuhkan saja status kawasannya. Jadi yah saya ngusulin alternatif baru ini mungkin lebih tepat dan bisa menjawab bentuk peran serta ini.
T: Boleh tau alasan Bapak memilih alternatif tersebut? J: Jadi kenapa saya memilih untuk semua pihak terlibat disini ya karena masing-masing pihak itu punya peran yang beda-beda. Dan peran itu memang ada dan tidak sengaja dimuncul-munculkan. Selain itu kalo semua pihak udah terlibat dan keputusan yang diambil adalah keputusan bersama tentunya kedepannya diharapkan tidak akan muncul lagi masalah. Jadi, idealnya semua terlibat agar semuanya punya tujuan sama yaitu untuk mengkonsevasi dan menjaga kawasan TNBD bersama Orang Rimba.
Prabung Kelompok Tumenggung Tarib Komunitas Adat Orang Rimba Senin, 3 Desember 2007. 21.10 WIB
T: Pak, selamo ini Bapak tau dak kalo pemerintah tu udah bikin yang namonyo RPTNBD untuk mengelola kawasan TNBD kedepannyo?
240
J: Kalo menurut sayo, sayo pernah dengar yang namonyo RPTNBD itu, tapi dak semua Orang Rimba ini yang tau. Hanyo segelintir lah Orang Rimba ini yang tau. Paling yang tau tu cuma tumenggung-tumenggung bae, Tumenggung Tarib, Tumenggung Grib, nah terus sikok lagi aku lupo namonya. Jadi, menurut kami kalo cuma tigo tumenggung bae yang dilibatin itu belum kami bilang pelibatan namonyo. Orang Rimba ini kan banyak jumalhnyo di dalam hutan ini. Masak Cuma tigo orang bae yang dilibatin.
T: Pak, Katanyo Orang rimba jugo punyo wilayah adat yo dalam mengelola kawasan TNBD ini, seperti apo itu Pak? J: Kami ini kan punyo pemimpin, setiap kelompok itu ado yang namonyo tumenggung. Kayak kelompok kami ini pemimpinnyo Tumenggung Nggrib. Kami hormat nian dengan Tumenggung Nggrib. Kelompok kami jugo punyo yang namonyo tanah bedewo dan tanah dak bedewo. Tapi kelompok tumenggung lain jugo punyo tanah bedewo dan tanah dak bedewo pula. Jadi setiap kelompok tu punyo wilayah adat dewek lah. Kelompok kami ini kan letaknyo nyebar di dalam hutan ini.
T: Kalo dari alternatif yang saya tawarkan ini, Bapak caknyo lebih memilih alternatif yang mano Pak? J: Kami caknyo lebih milih yang keenam lah Pak. Soalnyo selamo ini kami Orang Rimba ni cuma berh ubungan dengan Warsi dan Balai bae. Setau kami kalo bupati samo gubernur itu dak bakal pernah turunlah ke dalam hutan ini. Jadi biaklah penataan hutan ini kedepannyo cukup kami bae samo Balai dan Warsi. Warsi dewek udah ngajarin kami sedikit lah tentang pemetaan. Tapi kami raso masih kurang itu. Kami masih perlu banyak belajar lagilah menata hutan ini.
Tumenggung Tarib Komunitas Adat Orang Rimba Selasa, 4 Desember 2007. 11.20 WIB
T: Pak, pengen tau pandangan Bapak tentang penataan kawasan TNBD yang dilakukan oleh pemerintah ini seperti apo? J: Kami ini sebenarnyo setujulah dengan adonyo pengaturan zona yang dibilang Pemerintah itu. Tapi salahnyo pemerintah itu dakdo bilang-bilang kami kalo orang itu mau bikin zona-zona itu. Kami tibo-tibo dikasih tau bae samo pemerintah, ini ado pembagian zona-zona. Nah, ini zona inti, zona inti ini dak boleh masuk ke dalamnyo, itu dilarang. Tapi itulah dak enaknyo, zona inti itu dak sesuai dengan wilayah adat kami. Kami ini jugo punyo pembagian zona kayak pemerintah itu. Kami punyo tanah bedewo dan tanah dak bedewo. Tanah bedewo ini bagi kami zona inti, dak boleh diapo-apoin zona inti ini. Kalo zona inti ini dirusak, dewa bakal marah samo kami. Tanah bedewo ini bagi kami untuk tempat nikahan, tempat kuburan, tempat beranak. Nah terus tanah dak bedewo ini barulah jadi tempat berburu kami, tempat berladang.
T: Pengen tau hubungan antara pemerintah dengan Orang Rimba sekarang ini seperti apo Pak? J: Kami ini punyo tujuan yang samo dengan pemerintah itu yaitu samo-samo menjago kawasan hutan ini. Jadi, jangan ado pandangan lah dari pihak luar tu kalo kami ini bakal ngerusak kawasan hutan ini. Pemerintah tuh jangan asal tuduh baelah. Sebenarnyo yang ngerusak kawasan hutan itu pihak-pihak luar yang dak bertanggung jawab tu nah. Kami di dalam kawasan ini memang sangat menjago, kalo ado pihak luar yang mau ngerusak hutan, ngambil kayu, itu pasti langsung kami laporin ke balai. Biak balai yang langsung turun tangan. Kami ini cuma menjago bae dan melaporin kalo ado yang negrusak hutan.
T: Menurut Bapak, Bapak lebih milih alternatif yang mano dalam bentuk peran serta ini?
241
J: Kalo menurut kami Orang Rimba ini, kami tuh yang penting terlibat bae dalam penataan hutan ini. Tapi kalo dari pilihan yang tadi itu, kayaknyo kami lebih suko dengan alternatif keenam lah caknyo. Soalnyo pihak-pihak yang ado disitu sudah cukup kenal lah dengan kami, disitu ado Balai kan, ado LSM juga kan. Kalo LSM kami lebih dekat dengan Warsi. Soalnyo Warsi ini kan lah dari tahun 1997 ado disini. Tapi kami perlu jug a diajarin disini sebelum kami ikutan menata hutan ini. Mungkin Warsi dan Balai biso ngajarin kami. Istilahnyo kalo disini mungkin pemberdayaan lah.
Tumenggung Celetai Komunitas Adat Orang Rimba Selasa, 4 Desember 2007. 13.45
T Pak, pengen tau wilayah adat Orang Rimba dalam mengelola kawasan TNBD ini seperti apo Pak? J: Bagi kami hutan ini penting nian dan perlu dijago. Kami jugo menjago hutan ini, kami jugo punyo yang namonyo tanah bedewo dan tanah dak bedewo. Tanah bedewo ini selalu dilindungi dewo. Jadi kegiatan di tanah bedewo ini harus yang sakral, dak boleh untuk dirusak. Kami jugo punyo yang namonyo tanah dak bedewo, tanah ini yang kami manfaatkan. Tapi dak boleh sembarangan pulo manfaatinnyo.
T:Pak, mau tau tentang pandangan Orang Rimba terhadap pemerintah selamo ini kayak mano? J: Jadi sebenarnyo tujuan kami dengan pemerintah itu samo bae yaitu samo-samo untuk ngejago kawasan hutan ini. Jadi istilahnyo kan pemerintah itu sekalian minta tolong samo Orang Rimba ini, tolong dijago kawasan hutan ini. Kami memang dari dulu ngejago hutan ini tapi kami punyo adat istiadat dewek dalam menjagonyo. Untuk itu lah kalo emang pemerintah minta tolong ke kami, pemerintah harus ngikutin caro kami, harus menyesuaikan dengan wilayah adat kami.
T: Kalo dari pilihan yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mano Bapak? J: Kalo menurut Orang Rimba, makin dikit pihak yang terlibat makin mudah lah penataan hutan ini. Soalnyo kalo banyak nian yang ikutan kayak kabupaten, apolagi provinsi takutnyo malah makin bikin bingung. Orangorang desa yang diluar tu, kami pikir dak usah terlibatlah dulu. Jadi kami caknyo lebih suko dengan pilihan yang keenam ini. Jadi, disitu tu ado balai, Orang Rimba dewek, Warsi sebagai LSM. Kami jugo perlu diajarin dulu sebelum penataan hutan ini. Biar kami punyo modal pas pelaksanaannyo.
Wahab Masyarakat Desa Selasa, 4 Desember 2007. 13.00 WIB
T: Pandangan Bapak tentang peran serta Orang Rimba dalam penataan kawasan TNBD seperti apa? J: Saya pikir pemerintah kurang mensosialisasikan tentang RPTNBD tersebut, buktinya banyak sekali warga desa yang ga tau. Orang Rimba mungkin sebagian besar juga tidak tau.
T: Kalo peran serta dalam penataan kawasan TNBD yang terjadi selama ini seperti apa? J: Jadi sebenarnya sebagian besar dari masyarakat desa tidak tau kalo ini sudah menjadi kawasan TNBD. Saya kira sosialisasi dari pemerintah sangat kurang. Memang mereka mensosialisaskan kepada kepala desa tetapi tidak sampai ke bawah, kepada masyarakat desa lainnya. Penataan kawasan TNBD, masyarakat h anya sedikit yang tau. Hasilnya adalah mereka tetap saja masuk ke dalam kawasan TNBD. Tapi kalo mereka udah tau, dan ada sangsi yang tegas jika masuk ke dalamnya, masyarakat tidak akan melanggar itu.
242
T: Dari alternatif bentuk peran serta yang saya tawarkan Bapak lebih memilih alternatif yang mana Pak? J: Iya sebenarnya saya lebih setuju dengan alternatif keenam, tapi disini saya sebagai perwakilan masyarakat desa merasa terpanggil untuk terlibat dalam penataan kembali kawasan TNBD ini. Kalo menurut UU memang yang berhak itu ya Balai TNBD, LSM, dan Orang Rimba. Tapi kan kawasan TNBD ini berbatasan langsung dengan desa kami. Jadi kalo buat di dalam kawasan TNBD kami cukup tau sajalah hasilnya. Tapi kalo menyangkut penataan batas masyarakat desa saya pikir perlu juga dilibatkan.
Bapak Ir. Yoli Boybumin Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo Rabu, 5 Desember 2007. 10.50 WIB
T: Pak kan selama ini, Penunjukkan kawasan taman nasional itu selalu dari pusat, pandangan Bapak sendiri seperti apa Pak? J: Ya penunjukkan itu dari pusat tapi ada dasar dari kebutuhan daerah. Ada persetujuan dari bupati dan ada persetujuan dari gubernur. pemerintah pusat harus meminta masukkan dari Pemerintah daerah, kalo tidak ada persetujuan dari daerah pemerintah pusat tidak akan mungkin menetapkan kawasan Bukit Duabelas sebagai taman nasional.
T: Dari alternatif bentuk peran serta Orang Rimba yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mana Pak? J: Kalo menurut saya sih, alternatif yang kelima udah cukup tepat lah dalam merumuskan bentuk peran serta ini. Soalnya kan Dinas Kehutanan ini sebenarnya tidak mengurus kawasan konservasi. Yang kami urus itu seperti HTI, HPH, dan hutan lainnya. Soalnya kalo kami juga dilibatin disini gimana yah, repot juga jadinya. Jambi ini kan terkenal dengan hutannya. Jadi harus bagi-bagi tugas lah. Saya kira cukuplah pemerintah pusat, LSM, Orang Rimba. Pemerintah pusat kan kita tau juga anggarannya sangat terbatas. Jadi pemberdayaan itu belum perlu lah. Langsung aja libatin Orang Rimba dalam penataan ini.
Bapak Ir. Joko Susilo, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sarolangun Kamis, 6 Desember 2007. 09.10 WIB
T: Pak kan selama ini, Penunjukkan kawasan taman nasional itu selalu dari pusat, pandangan Bapak sendiri seperti apa Pak? J: Ya kalo menurut saya sih, kalo UU sudah bilang gitu, saya setuju saja bahwa penunjukkan dan penetapan itu dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Tapi pusat baru bisa melaksanakan penunjukkan dan penetapan jika sudah ada usulan-usulan dari daerah. Penunjukkan dan penetapan itu kan tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
T: Dari alternatif bentuk peran serta Orang Rimba yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mana Pak? J: Saya lebih setuju dengan alternatif yang kelima yah, lebih mudah sepertinya untuk dilaksanakan. Kawasan konservasi seperti taman nasional ini kan sebenarnya kewenangan pusat. Dinas Kehutanan ini tidak bertanggung jawab dengan pusat tetapi kepada bupati. Dinas Kehutanan kan bukan ngurusin masalah kawasan konservasi tapi diluar itu. Nah, untuk itu cukuplah Balai TNBD sama Orang Rimba. Terus tidak lupa juga LSM yang mendampingi. Pemberdayaan untuk Orang Rimba tidak perlu lah. Itu butuh waktu yang lama
243
lagi. Penataan kembali kawasan TNBD ini kan sangat mendesak. Karena aturan hukum Indonesia itu tegas karena di dalam TNBD tidak ada kewenangan kabupaten dan provinsi.
Bapak Ir. Suhabli Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari Jumat, 7 Desember 2007. 10.05 WIB
T: Pak kan selama ini, Penunjukkan kawasan taman nasional itu selalu dari pusat, pandangan Bapak sendiri seperti apa Pak? J: Hampir semua taman nasional di Indonesia penunjukkannya oleh pemerintah pusat karena memang peranturan UU seperti. Di Jambi kan ada 4 (empat) taman nasional, nah semuanya itu penunjukkan oleh pusat. Tapi usulan untuk dijadikan taman nasional itu muncul dari daerah. TNBD ini juga seperti itu, dulu pusat menunjuk kawasan TNBD karena ada usulan dari daerah. Tapi yang mempunyai wilayah itu adalah kabupaten, ketika kabupaten tidak mengizinkan bagaimana itu bisa turun. Rekomendasi kan dari bawah biasanya. Ketika pemerintah pusat ingin mengesahkan tapi dari bawah tidak setuju gimana dong.
T: Dari alternatif bentuk peran serta Orang Rimba yang saya tawarkan, Bapak lebih memilih alternatif yang mana Pak? J: Iya kalo menurut kami sebagai perwakilan pemerintah kabupaten, kami lebih memilih alternatif dimana semua pihak telibat dalam penataan kawasan TNBD. Walaupun itu taman nasional yang kewenangannya ada di tangan pemerintah pusat, tapi kan TNBD ini ada di wilayah administrasi kami. Jadi kami perlu terlibatlah disini, minimal dalam penataan batas lah. Kalo untuk penataan zona kami memang tidak berwenang. Jadi, disini mulai dari pemerintah pusat, Balai TNBD, pemprov, pemkab, LSM, Orang Rimba sebagai tokoh utama, dan juga masyarakat desa. Kalau pemkab tidak dilibatin natinya akan muncul masalah seperti yang kemarin itu.