Daftar Pustaka
Buku Referensi Bryant, Caroline and Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang. Terjemahan Rusyanto. LP3ES. Jakarta Burke, Edmund M. 1979. A Participatory Approach to Urban Planning. Human Sciences Press. New York. Chandra, Eka, dkk. 2003. Membangun Forum Warga : Implementasi Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil. Yayasan Akatiga. Bandung. Cohen, M John and Norman T Uphoff. 1977. Rural Urban Participation: Concepts and Measures Or Project Design, Implementation and Evaluation. Cornell University. New York Conyers, Diana. 1992. An Introduction to Social Planning In The Third World. John Wiley&Sons. London Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Friedmann, John. 1987. Planning In The Public Domain : From Knowledge to Action. Princeton University Press. Princeton New Jersey. Hidayat, Wisnu, Nyimas Dwi Koryati dan Hessel Nogi S Tangkilisan. 2003. Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Partisipatif. Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta Koentjoroningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalit dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta Midgley, James. 1986. Community Participation, Social Development and The State. Methuen. London. Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Nurhasanah, Ana, Rosdiana. 2004. Peta Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Bandung.
111
112
Soetrisno, Loekman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sumarto, Hetifah Sj. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Surbakti, A. Ramlan. 1984. Kemiskinan di Kota dan Program Perbaikan Kampung. Prisma No 6, LP3ES. Tesis dan Tugas Akhir Darwanto, Edy dan Gerardus Asmoro. 1992. Pendekatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Rakyat. Proyek Akhir. Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung. Parameswari, Dyah. 1994. Tinjauan Terhadap Penerapan Pendekatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Oleh Koperasi Permukiman Bina Karya. Tugas Akhir. Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung. Pawesthi, Therani. 2006. Evaluasi Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK) Di Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Tugas Akhir. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung. Sunarti. 2001. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (Studi Kasus: Tiga Lokasi P2BPK di Kota Semarang). Tesis. Program Magister PWK, Institut Teknologi Bandung. Wiranto, Prasetyo. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Warga Dalam Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan Secara Partisipatif (Studi Kasus: Penyusunan RDTR Majalaya 2002-2012). Tugas Akhir. Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.
Jurnal Ilmiah dan Terbitan Terbatas Aggens, Lorenz. 1994. Identifying Different Levels of Public Interest in Participation. Public Involvement and Dispute Resolution, vol 1. Fort Belvoir. VA: Institute for Water Resources. Arnstein, Sherry R. 1969. A ladder of citizen participation. Journal of the American Institute of Planners, vol 35 no 4.
113
Choguill, Marisa B. Guaraldo. 1996. A Ladder Of Community Participation For Underdeveloped Countries. Habitat International, vol 20 no 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung. 2005. Risalah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung, Tanggal 30 Desember 2005. IPGI. 2002. Membangun Partisipasi: Merumuskan Rencana Tata Ruang Kota Secara Partisipatif. Paul, Samuel .1988. Community Participation in Development Projects: The World Bank Experience. World Bank Discussion Papers 6. The World Bank. Washington. White, Alastair. 1981. Community Participation in Water and Sanitation: Concepts, Strategies and Methods. Technical Paper Series. Vol 17. Zulkaidi, Denny dan Nasrina Kumala Sari. 2004. Penilaian Tingkat Transparansi dalam Proses Penyusunan RTRW Kota, Studi Kasus: Proses Penyusunan Naskah RTRW Kota Bandung. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 15. Peraturan dan Perundangan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung Keputusan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang Di Daerah Peraturan Daerah Kota Bandung No 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Peraturan Daerah Kota Bandung No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung No 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang No 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
114
Bahan dari Internet http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/05/0105.htm: Perda RTRW Jamin Kepastian Hukum. Diakses 20 Juli 2007. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/09/0106.htm: Revisi Perda RTRW Ditandatangani di Punclut. Diakses 20 Juli 2007. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/09/0208.htm: RTRW Dinilai Cacat Hukum. Diakses 20 Juli 2007.
Pengesahan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/26/jabar/2157501.htm: RTRW Kota Bandung Tidak Transparan. Diakses 3 Agustus 2007.
Revisi
Perda Perda
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp : Soal RTRW Kota Bandung, Gubernur Akan Dipanggil Mendagri. Diakses 3 agustus 2007. http://www.sobirin-xyz.blogspot.com : Ada Manipulasi Perda RTRW Kota Bandung. Diakses 7 September 2007.
LAMPIRAN A: - Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung no 5 tahun 2006 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan; b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan; c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang- undangan terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukanan Peraturan Perundang- undangan;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan:
UNDANG-UNDANG UNDANGAN.
TENTANG
PEMBENTUKAN
PERATURAN
PERUNDANG-
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: (1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundangundangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. (3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. (5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. (6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. (7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. (8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (9) Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. (10) Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. (11) Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perandang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (12) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 2 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan. (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia/ (3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.
Pasal 4 Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi UndangUndang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
BAB II ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan.
Pasal 6 (1) Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas
a. pengayoman; b. kemanusian; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan ymg bersangkutan.
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III MATERI MUATAN Pasal 8 Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg berisi hal-hal yang: a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara, b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 9 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan UndangUndang. Pasal 10 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Pasal 11 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 14 Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
BAB IV PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG Pasal 15 (1) Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
Pasal 16 (1) Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah
dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB V PEMBEINTUKAIN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagaian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang-Undang Pasal 17 (1) Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. (2) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (3) Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.
Pasal 18 (1) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 19 (1) Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Pasal 20 (1) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara lain tentang menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lmnbat 60 (enam puluh) hari sejak surat Presiden diterima. (4) Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan undang-undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Pasal 21
(1) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan
dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. (2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat diterima. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 22 (1) Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan cleh
instansi pemrakarsa.
Pasal 23 Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan rancangan undang-undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan undang-undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 25 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah Pasal 26
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 28 (1) Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau
alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 29 (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota
disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota. (2) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota.
Pasal 30 (1) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan peryyakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. (2) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah.
Pasal 31 Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
BAB VI PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 32 (1) Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan
Daerah. (3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khasus menangani bidang legislasi. (4) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas. (5) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (6) Tingkat-tingkat pembicaraan sebegaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 33 Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2). Pasal 34 Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 35 (1) Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2) Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 36 (1) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang. (2) Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (3) Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Bagian Kedua Pengesahan Pasal 37
(1) Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (2) Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 38 (1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden
dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 39 (1) Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang. (2) Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan
peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu UndangUndang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(3)
BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 40 (1) Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh
dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat
pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 41
(1) Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. (2) Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan peraturan daerah diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bagian Kedua Penetapan Pasal 42 (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah
dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. (2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Pasal 43 (1) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. (2) Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
BAB VIII TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 44 (1) Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik peryusunan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan peraturan perundangundangan sebagaimara dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Pengundangan Pasal 45 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Berita Negara Republik Indonesia; c. Lembaran Daerah; atau d. Berita Daerah.
Pasal 46 (1) Peraturan Perandang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden mengenai: 1. perigesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2. peryataan keadaan bahaya. d. Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Peraturan Perandang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 47 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perandangundangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 48 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Pasal 49 (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. (2) Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
Pasal 50 Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Bagian Kedua Penyebarluasan Pasal 51 Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 52 Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
BAB X PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 53 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 54 Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 55 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun terhitang sejak diundangkannya UndangUndang ini.
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 57 Pada saat Undang-Undang int mulai berlaku maka: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat;
b. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan UndangUndang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur dalam Undang-Undang ini; dan c. Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 58 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Noyember 2004.
Agar sedap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2004 PRESIDEN REPUBLIK 1NDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 juni 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIKINDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 53. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya. Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yaitu: 1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847: 23) yang mengatur ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta. 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya UndangUndang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal. 4. Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan: a. Peraturan Pemerintah Nomor 1Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah; b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara, dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia; d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden. 5. Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat daerah.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, maka berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sebagai landasan yuridis dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat. Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun Undang-Undang ini hanya mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan mengenai pembentukan Undang-Undang Dasar tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hal ini karena tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang ke bawah. Dalam Undang-Undang ini, pada tahap perencanaan diatur mengenai Program Legislasi Nasional dan Program Legislasi Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu. Untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal 2 Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 4 Yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini hanya Undang-Undang ke bawah, mengingat Undang-Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang. Pasal 5 Huraf a Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Huruf b Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Huruf c Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya. Huruf d Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Huruf e Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf f Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Huruf g Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 6 Ayat (1), Huruf a Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf i Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Huruf j Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan", antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat (5) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan vang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Pasal 11 Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UndangUndang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan "yang setingkat” dalam ketentuan ini adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa.
Pasal 14 Cukup Jelas. Pasal 15 Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana, maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan Peraturan Perundangundangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Untuk perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah. Di samping memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perandang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas, Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Maksud "penyebarluasan' dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai mengetahui adanya rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibabas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan. Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas
Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Sebagaimana rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan, misalnya melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, Internet, media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai mengetahui adanya rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas didewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut. Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ketentuan mengenai tingkat pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini berlaku juga terhadap pembahasan rancangan undang-undang: a. usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat; b. ratifikasi; c. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang; d. penetapan anggaran pendapatan dan belanja Negara serta nota keuangan; e. perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara; dan f. perhitungan anggaran negara.
Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34
Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali rancangan undang-undang. Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Penyampaian rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara formil rancangan undang-undang menjadi Undang-undang setelah disahkan oleh Presiden. Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan rancangan undang-undang ke lembaran resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Pasal 38 Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43
Cukup jelas. Pasal 44 Penyempurnaan teknik dan penulisan, rancangan undang-undang yang masih mengandung kesalahan tersebut mencakup pula format rancangan undang-undang. Pasal 45 Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagai- mana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Daerah misalnya Peraturan Nagari, Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak, sama dengan tanggal Pengundangan, dimungkinkan, untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan tersebut. Pasal 51 Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. Pasal 52 Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksudmaksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia, stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan. Pasal 53 Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah. Pasal 54
Ketentuan dalam Pasal ini menyangkut keputusan di bidang administrasi di berbagai lembaga yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4389 LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATUR-AN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. JUDUL B. PEMBUKAAN 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar, Hukum 5. Diktum C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup D. PENUTUP E. PENJELASAN (Jika diperlukan) F. LAMPIRAN (Jika diperlukan) BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG. C. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG E. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Kerangka Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: A. B. C. D. E. F.
Judul; Pembukaan; Batang Tubuh; Penutup; Penjelasan (Jika diperlukan); Lampiran (Jika diperlukan).
A. JUDUL 2. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan. 3. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. 4. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 5. Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah,
Contoh UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 6. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh: UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR…TAHUN….TENTANG …. 7. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundangundangan yang diubah.
Contoh: UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984 8. Pada judul Peraturan Pertmdang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUIN 1985 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 T AHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG 9. Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase menjadi Undang-Undang.
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG 10. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan. 11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai teks resmi, name perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) 12. Jika dalam, perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa lnggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998) B. PEMBUKAAN 13. Pembukaan Peraturar Perundang-undangan terdiri atas: 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar Hukum; dan 5. Diktum.
B.1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 14. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 15. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
B.3. Konsiderans 16. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 17. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. 18. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. 19. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24. 20. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 21. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh: Menimbang: a. bahwa….; b. bahwa….; c. bahwa….; 22. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh Menimbang: a. bahwa.....; b. bahwa….; c. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang (Peraturan Daerah) tentang…; Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang atau peraturan daerah: Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dakan huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerihtah (Peraturan Presiden);. 23. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Lihat juga Nomor 19. 24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (-pasal) dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor 20.
Contoh : Manimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerimah tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat; B.4. Dasar Hukum 25. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 26. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundangundangan tersebut. 27. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 28. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. 29. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau
penetapannya. 30. Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Contoh Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 31. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundangundangan.
Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Mengingat: 1. ….; 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); 32. Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung.
Contoh : Mengingat: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847); 2. ....; 33. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. 34. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh Mengingat:
1. ….; 2. ….; 3 ….;
B.5. Diktum 35. Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; c. Nama Peraturan Perundang-undangan. 36. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tangah marjin. 37. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetajuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan FRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang: Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 38. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh Peraturan Daerah Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan GUBERNUR ... (nama daerah) MEMUTUSKAN: 39. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 40. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis se!uruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh Menetapkan:
MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
KEUANGAN
ANTARA
41. Pembukaan Peraturan Perandang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
C. BATANG TUBUH 42. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan
Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal (-pasal). 43. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: (1) Ketentuan Umum; (2) Materi Pokok yang Diatur; (3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); (4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); (5) Ketentuan Penutup. 44. Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. 45. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. 46. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab. 47. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. 48. Pengelompokkan materi Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sisternatis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. 49. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. 50. Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 51. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf, b. bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau b. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal). 52. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh: BUKU KETIGA PERIKATAN 53. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh: BAB I KETENTUAIN UMUM 54. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. 55. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh: Bagian Kelima. Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
56. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 57. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 58. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 59. Materi Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 60. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab. 61. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh: Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. 62. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 63. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 64. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 65. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh: Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 66. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipaham jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh rumusan tabulasi: Pasal 17 Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang: a. telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan b. telah terdaftar pada daftar pemilih. 67. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan halhal sebagai berikut: a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka; b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain. 68. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 69. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 70. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 71. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
Contoh: a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
Contoh: Pasal 9 (1) …..: (2) …..: a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. …. b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh: Pasal 12 (1) ….. (2) …..; a. ….; b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 1. ….; 2. ….; (dan, atau, dan/atau) 3. …. c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan setcrusnya.
Contoh: Pasal 20 (1) …. (2) …. (3) ….: a. …. b. ….; (dan, atau, dan/atau) c. ….: 1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) …
d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
Contoh: Pasal 22 (1) … (2) …
I
a. ... ; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …:
1. … 2. …(dan, atau, dan/atau) 3. …: a) ….; b) ….; (dan, atau, dan/atau) c) ….: 1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …
C.1. Ketentuan Umum 72. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal. 73. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 74. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim vang digunakan dalam peraturan; c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. 75. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi -Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan: 76. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang disesuaikan dengan jenis peraturannya. 77. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 78. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal) selanjutnya. 79. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi. 80. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. 81. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 82. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2. Materi Pokok yang Diatur 83. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum. 84. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: (1) kejahatan terhadap keamanan negara; (2) kejahatan terhadap martabat Presiden;
(3) kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; (4) kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; (5) kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. 86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. 88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. 89. Jika di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang berisi ketentuan peralihan. Jika tiidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup. 90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. 91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perandang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98; b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam pasal (-pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak pidana khusus. 92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Contoh: Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). 93. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
Contoh: Pasal 95 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah). 94. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
Contoh BAB V KETENTUAN PIDXNA Pasal 33 (1) Setiap orang ymg melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 95. Rumusan ketentaan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
Contoh: Sifat kumulatif :
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (figa ratus juta rupiah). Sifat alternative: Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Sifat kumulatif alternative: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 96. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah unsurunsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
Contoh: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan. 97. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentaan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya. 98. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 99. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan; b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau c. kedua-duanya.
C.A. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 100. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. 101. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup. 102. Pada saat suatu Peraturan Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan baru. 103. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. 104. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan. 105. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundangundangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Contoh: Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 106. Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tiddk diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan. 107. Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat. 108. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perandangundangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Contoh : Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah .... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 109. Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perandang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Contoh: Pasal 35 (1) Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal I huruf a.
C-5. Ketentuan Penutup 110. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir. 111. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundangandangan; b. nama singkat; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan. 112. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat: a. menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain; b. mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan. 113. Bagi nama Peraturan Perandang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. 114. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang kurang tepat (Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan. 115. Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang sebenarnya sudah singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang-Undang tentang Bank Sentral) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia. 116. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara. 117. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama. 118. Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri. 119. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang- undangan mana yang dicabut. 120. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan 120: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor ... Tahun .... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 121. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (1) Ordonansi Perburuan (Jachfordonantie 1931, Slaatsblad 1931: 133); (2) Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staasblad 1931 : 134); (3) Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan (4) Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie 1941, Staasblad 1941 : 167); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, 122. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perandang-undangan yang dicabut.
Contoh: Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 123. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ... Tahun tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 124. Pada dasarnya setiap Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan. 125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan pada saat diundankan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000. b. menyerahkan penetapan saat mulal berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah. Contoh: Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ... Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. 126. Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Perandangundangan: saat Pengundangan atau saat berlaku efektif. 127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan:
a. menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh : Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) mulai berlaku pada tanggal… b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.
Contoh : Pasal 40 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah
Jawa dan Madura pada tanggal… 129. Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya. 130. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. ketentuan barli yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan; c. awal dari saat mulai berlaku Perataran Perundangan-undangan sebaiknya ditetapkan tidak Iebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang-undang itu disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. 131. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya. 132. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 133. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan Perundangundangan lebih rendah yang dicabut itu.
D. PENUTUP 134. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat: a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah; b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan; c. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan d. akhir bagian penutup. 135. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…(jenis Peraturan Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
136. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perandang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan, pengundangan...(Jenis Peraturan Perundang-undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 137. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah). 138. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang mendatangani, tanpa gelar dan pangkat. 139. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan. 140. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh untuk pengesahan Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK TNDONTESIA, tanda tangan NAMA Contoh untuk penetapan: Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA 141. Pengundangan Peraturan Perandang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal Pengundangan; b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c. tanda tangan; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat. 142. Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan). 143. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh
Diundangkan di ... pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan) tanda tangan NAMA 144. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 145. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Walikota tidak menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 146. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut. 147. Penulisan frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh : LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR.... Contoh BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR.. Contoh : LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR....
E. PENJELASAN 148. a. Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan. b. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan. 149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya mernuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. 150. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. 151. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 152. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan perandang-undangan yang bersangkutan. 153. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perandang-undangan yang bersangkutan.
Contoh: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK 154. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL 156. Penjelasan umum meMuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan. 157. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh: I. UMUM (1) Dasar Pemikiran
... (2) Pembagian Wilayah ... (3) Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
... (4) Daerah Otonom ... (5) Wilayah Administratif
... (6) Pengawasan ... 158. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. 159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum. 160. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan
sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. 161. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang dialchiri dengan. tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal tidak digatungkan walaupun terdapat beberapa pasal benirutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang kurang tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas, Seharusnya Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. 162. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir. 163. a. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh : Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. b. jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. Contoh : Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan) 164. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran hatus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 165. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. 166. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan. 167. a. Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... b. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... Contoh hurif a: Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh huruf b : Pasal ... (1) ... (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 168. a. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dengan...
b. Jika peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai…diatur dengan atau berdasarkan… Contoh huruf a: Pasal… (1) … (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh huruf b :
Pasal ... (1) .... (2) Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pernerintah.
169. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut .
Contoh: Pasal 10 (1) … (2) ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan pendaftaran desain industri diatur
dengan Peraturan Pemenintah. 170. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan. 171. Jika pasal terdiri dari banyak ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya. 172. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko.
Contoh : Pasal ... Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 173. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif 174. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh UndangUndang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. 175. Hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat. 176. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada UndangUndang. 177. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari. 178. Di dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau ayat (-ayat) selanjutnya.
B. PENYIDIKAN 179. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. 180. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang atau Peraturan Daerah. 181. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya
diusahakan ajar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Contoh : Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama departemen atau instansi)... dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (atau Peraturan Daerah) ini. 182. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam UndangUndang atau Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (-pasal) sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN 183. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. 184. Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat. 185. Peraturam Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 186. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seturuh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 187. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 188. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 189. Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pecabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundangundangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh Pasal 1 Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan di nyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 190. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuall ditentukan lain secara tegas. 191. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku kembali, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 192. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan: a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan. 193. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 194. Jika Pengaturan Perundang-undangan yang diubah mempuyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundangundangan yang diubah. 195. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh: Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:... 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:... 3. dan seterusnya...
b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya).
Contoh: Pasal 1 Undang-undang Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang: a. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); b. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); c. Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…); c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah. 196. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragaf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada
tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
Contoh penyisipan bab: 15. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX A INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL Bagian Pertama Indikasi Geografi Pasal 79 A (1) … (2) ... (3) …
Pasal 79 B (1) … (2) … (3) …
Contoh penyisipan pasal 9. Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 128 A Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasilhasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan. 197. Jika dalam I (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh 10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (lb) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut Pasal 19 (1) ….
(1a) …. (1b) …. (2) ….
198. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus,
Contoh
9. Pasal 16 dihapus 10. Pasal 19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 (1) … (2) Dihapus (3) …
199. suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau c. esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 200. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundangundangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada : 1. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; 2. penyebutan-penyebutan, dan 3. ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama. 201. Penyusunan kembali sebagaimana dimaksud pada Nomor 199 butir a dilaksanakan oleh Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PENYUSUNAN KEMBALI NASKAH UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN… TENTANG …………………. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan Undang-Undang Nomor ... Tahun…tentang ... perlu menyusun kembali naskah Undang-Undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan; Mengingat: Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: KESATU: Naskah Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang…yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan-penyebutannya dan ejaan-ejaannya, berbunyi
sebagai tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. KEDUA: Peraturan Presiden ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, KETIGA: Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANGUNDANG 202. Batang tubuh Undang-Undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) menjadi undang-undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi undang-undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan undang-undang penetapan yang bersangkutan. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNATIONAL 203. Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian intemasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
Contoh untuk perjanjian multilateral: Pasal 1 Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa: Pasal 1 Mengesahkan Perjanjuan Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa: Pasal 1 Mengesahkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 19977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
204. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN 202. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh: Pasal 34 (1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang lebih baik: (1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin. 206 Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh: Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik: (1) Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
Contoh : Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. 208. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perandang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku: (1) Rumah itu pintunya putih. (2) Pintu rumah ita warnanya putih. (3) lzin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku: (1) Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih, (2) Pintu ramah itu (berwarna) putih.
Warna pintu rumah itu putih. (3) Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya. 209. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
6. Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan direksi badan usaha milik daerah. 210. Untuk mempersempit pengertian kata istilah isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Contoh 5. Anak buah kapal tidak meliputi koki magang. 211. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh : 3. Pertanian meliput pula perkebunan, peternakan, dan perikanan. Rumusan yang baik: 3. Pertanian meliputi perkebunan. 212. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama hindari penggunaan: a. beberapa isfilah yang berbeda untuk menyatakan satu. Contoh : Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasalpasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan. 213. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari. 214. Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka untuk menyederhanakan rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau akronim.
Contoh: a. Menteri adalah Menteri Keuangan. b. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah… c. Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah… d. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES. 215. Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut. 216. Untuk menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang bersangkutan.
Contoh: Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan) 217. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaanya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut: a. mempunyai konotasi yang cocok; b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia; c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh: (1) devaluasi (penurunan nilai uang) (2) devisa (alat pembayaran luar negeri)
218. Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh: (1) penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) (2) penggabungan (merger)
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 219. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.
Contoh: ... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 220. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama; b. jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak; c. jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi; 221. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh : Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan. 222. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Yang dimaksud dergan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang. 223. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh: Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. 224. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frase dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh : Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. b. Kata apabila digunakan untak menyatakan hublingan kausal yang mengandung waktu.
Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. c. Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. 225. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suata keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.
Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku. 226. Untuk menyatakan sifat kumulafif, digunakan kata dan.
Contoh : A dan B dapat menjadi ... 227. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau.
Contoh : A atau B wajib memberikan... 228. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus altematif, gunakan frase dan/atau.
Contoh A dan/atau B dapat memperoleh... 229. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh: Setiap orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum. 230. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh: Presiden berwenang menolak atau mongabulkan permohonan gasi. 231. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau Iembaga, gunakan kata dapat
Contoh: Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten. 232. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku.
Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan. 233. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh : Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 234. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
C. TEKNIK PENGACUAN 235. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan. 236. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat
Contoh: a. Persyaratan sebagaimana dimaksi.d dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)...
b. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula... 237. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan.
Contoh : a. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12. b. ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
238. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan kecuali ayat (4) huruf a.
239. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh: Pasal 8 (1) … (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari.
240. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (Jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh Pasal 15 (1) … (2) … (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan
Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan. 241. Pengacuan sedapat mungkin dilakuan dengan mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh: Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh… 242. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 243. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan.
Contoh: Pasal Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam rangkap 5 (lima). 244. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan pengguna frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. 245. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundangundangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 246. Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan Peraturan Perundang-undangan yang baru, gunakan frase berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis peraturan yang bersangkutan). 247. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali…
Contoh: Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN…TENTANG (Nama Undang-Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG…(nama undang-undang). BAB I … Pasal 1 … BAB II … Pasal ... BAB ... (dan seterusnya) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI (yang tugas dan tanggang jawabnya di bidang peraturan perundangundangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR…
B.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
PEMERINTAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN... TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN… TENTANG... MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…;
PENGGANTI
c. dan seterusnya…; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONIESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor...Tahun…tentang…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) ditetapkan menjadi Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
C. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN…
TENTANG PENGESAHAN KONVENSI… (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ...; c. dan seterusnya...; Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya…; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ... (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya). Pasal 1 (1) Mengesahkan Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang... (2) Salinan naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)...dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta Pada tanggal... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG (untuk perubahan pertama) atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… (untuk perubahan kedua, dan seterusnya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG…
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undangl Nomor…Tahun…tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…), diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal…(bunyi rumusan tergantung keperluan), dan seterusnya. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN... TENTANG ... (Nama Undang-Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…;
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya ...; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANGNOMOR ... TAHUN ... TENTANG.... Pasal I Undang-Undang Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA, (tanda tangan) (NAMA)
Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
F.
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGGANTI UNDANG-UNDANG
PENCABUTAN
PERATURAN
PEMERINTAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERTNTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG... DENGAN RAHMAT TUHAN YANUGMAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya…; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…; Dengan Persetujuaan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN…TENTANG...
Pasal I Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan Perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR... G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN... TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya...; Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG .... (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
BAB I ... Pasal 1 ... BAB II ... Pasal ... BAB (dan seterusnya) Pasal 2 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN... TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa...;
c. dan seterusnya
Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya…;
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG (nama Peraturan Pemerintah). BAB I … Pasal 1 BAB II Pasal… BAB… (dan seterusnya) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) T Diundangkan diJakarta pada tanggal ... MENTERI (yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… TENTANG (nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa…; c. dan seterusnya...; Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG (nama Peraturan Presiden). BAB I ... Pasal 1 BAB II ... Pasal... BAB... (dan seterusnya) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan) (tanda tangan) (NAMA) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR... J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI PERATURAN DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi) NOMOR...TAHUN... TENTANG (nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI (Nama Provinsi), Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya...;
Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya ...
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI (Nama Provinsi) dan GUBERNUR... (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (nama Peraturan Daerah Provinsi). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I BAB II ... Pasal ... BAB ... (dan seterusnya) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dangan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi). Ditetapkan di.... pada tanggal... GUBERNUR PROVINSI ... (Nama Provinsi) (tanda tangan) (NAMA) Diundangkan di ... pada tanggal ... SEKRETARTS DAERAH ... (Nama Provinsi) LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ...
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota)
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG (nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota), Menimbang: a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya Mengingat: 1. ...; 2. ...; 3. dan seterusnya Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA... (nama kabupaten/kota) dan BUPATI/WALIKOT.A.... (nama kabupaten/kota) MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG...(nama Peraturan Daerah Kabupaten/Kota). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I ... BAB Il ... Pasal... BAB... (dan seterusnya) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota). Ditetapkan di... pada tanggal... BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota) (tanda tangan) (NAMA) (Belum lengkap, original hilang, kurang 1 halaman saja dan merupakan halaman terakhir dari lampiran ini)
135
LAMPIRAN B TRANSKRIP WAWANCARA PRA SURVEY
Wawancara dengan Ibu Titiek Sulandri Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Bappeda Kota Bandung Waktu Wawancara : 13 juli 2007 Tempat Wawancara : Bappeda Kota Bandung T : Begini Bu Titiek. Saya sedang membuat tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam kegiatan revisi perda tentang RTRW tahun 2006 kemarin. Jadi mau nanya-nanya soal proses revisi waktu itu. J : Iya, ini yang revisi perda tahun 2005 kemarin atau revisi yang mana? T : Yang revisi perda bu, yang tahun 2005 kemarin. J : Iya, kalo yang revisi perda itu yang merevisinya banyaknya dewan, kaena itukan revisi perdanya. Proses yang dilakukan oleh eksekutif tidak banyak, banyaknya oleh dewan. T : Oh begitu bu. Kalau eksekutif itu terlibat pada proses apa bu? J : Waktu itu memang usulan perubahannya itu dari eksekutif. Jadi Bappeda waktu itu melakukan kajian tentang RTRW, apa yang perlu dirubah, lalu kita bareng-bareng bikin usulan perubahannya bagaimana. Yang dirubah kan tidak terlalu banyak, hanya 7 pasal kalo tidak salah. T : Berarti Bappeda juga yang bikin naskah akademik perubahan perda itu ya bu? J : Iya, waktu itu kita bikin naskah akademiknya T : Proses itu dipartisipatifkan tidak bu? J : Iya, dipartisipatifkan. Tapi yang kita undang juga tidak banyak ya, karena kan perubahan pasalnya ini sedikit. Waktu penyususnan RTRW tahun 2001-2002 itu kan sudah dipartisipatifkan. Dalam revisi ini kan yang dirubahnya hanya sedikit, kalo kita membuka partisipasi semua masyarakat secara luas itu nanti malah orang bertanya-tanya selama ini Bappeda kemana saja. T : Masyarakat yang terlibat waktu penyusunan naskah akademik itu siapa saja bu? J : Ya ada beberapa pakar yang kita undang. Untuk arsip-arsipnya itu ada, tapi harus dicari lagi. Waktu itu proses yang dijalani oleh Bappeda itu tidak banyak. Yang banyak itu di dewannya. Jadi kalo mau bertanya mungkin akan bisa lebih banyak dapat informasi kalo ke dewan. Tapi nanti saya coba carikan arsip-arsipnya. Mudah-mudahan masih ada lengkap. Wawancara dengan Bapak Iqbal Abdul Karim Mantan Ketua Pansus Pembahasan Rancangan Perda Atas Perubahan Terhadap Perda tentang RTRW Kota Bandung Waktu Wawancara : 17 juli 2007 Tempat Wawancara : DPRD Kota Bandung T : Saya sedang membuat tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam kegiatan revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung tahun 2006 kemarin. Jadi saya butuh informasi dari Pak Iqbal tentang tahapan-tahapan revisi kemarin, lalu tentang partisipasi masyarakat itu di tahapan apa saja? J : Iya jadi saya jelaskan dulu ya. Fungsi DPRD itu kan ada tiga, pertama fungsi legislasi, itu untuk membuat produk hukum, yang kedua itu fungsi anggaran, yaitu merencanakan anggaran bersama
136
pemerintah daerah setempat, kemudian yang ketiga ungsi kontrol, artinya mengawasi pelaksanaan peraturan ataupun kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Berarti tentang revisi Perda RTRW itu terkait dengan fungsi legislasi DPRD. Berdasarkan peraturan yang berlaku, penyusunan atau revisi peraturan daerah itu inisiatifnya bisa datang dari dua pihak, legislatif atau eksekutif. Kalau revisi Perda RTRW ini inisiatifnya datang dari pihak eksekutif. Biasanya sebelum kita menyusun rancangan perda, biasanya itu ada naskah akademiknya. Naskah akademiknya itu dibuat sebagai kajian akademik berdasarkan data-data dan fakta-fakta. Kalau inisiatif revisi peraturan daerah itu dari pemerintah kota berarti pemerintah kota yang buat naskah akademiknya. Kalau inisiatifnya dari dewan, berarti dewan yang buat. Waktu itu yang buat naskah akademik untuk revisi ini Bappeda bersama-sama dengan pakar dari Unpad dan ITB pokonya bersama kalangan akademis. Setelah itu dibuat draft raperda, draft raperda ini mengacu pada naskah akademik, jadi draft raperda itu sama dengan naskah akademik. Lalu setelah ada draft raperda baru pihak eksekutif itu mengajukan ke dewan. Disampaikannya dalam forum yang namanya Rapat Paripurna. T : Kalau rapat paripurna itu terbuka untuk umum tidak pak? J : Iya, rapat paripurna itu terbuka untuk umum. Rapat paripurna itu rapat untuk menyetujui, terutama tentang kebijakan-kebijakan. Kalau untuk mengambil keputusan atau menyetujui sesuatu oleh DPRD forumnya itu namanya rapat paripurna. Semua anggota hadir. Masyarakat umum juga dapat hadir dan menyaksikan rapat paripurna itu. Tapi dalam paripurna ini masyarakat tidak bisa ikut dalam pengaambilan keputusan. Lanjut ke tadi ya, jadi Raperda yang dibuat oleh eksekutif itu diajukan ke DPRD. Lalu tahap pertama, DPRD menerima penjelasan raperda tersebut dalam rapat paripurna. Tahap kedua, DPRD menyampaikan pandanganpandangan terhadap raperda itu melalui pandangan umum fraksi. Lalu masih di tahap dua digelar lagi paripurna untuk eksekutif menjawab lagi pandangan DPRD tersebut. Nah di tahap kedua ini DPRD membentuk pansus. Lalu tahap tiga itu adalah pembahasan raperda di tingkat pansus. Nah di tingkat pansus inilah dibuka lagi partisipasi masyarakat. T : Dari semuat tahap itu hanya pembahasan di tingkat pansus yang ada partisipasi masyarakatnya pak? J : Pada dasarnya di semua tahapan itu terbuka untuk masyarakat umum. Tetapi dalam revisi kemarin, masyarakat itu terlibat dalam pembahasan dengan pansus dan pas paripurna penetapan raperda juga masyarakat terlibat. T : Mekanisme menjaring partisipasi masyarakatnya itu bagaimana pak? J : Pansus mengundang masyarakat untuk menyampaikan masukan-masukan. Orang-orang yang terlibat dalam pembahasan naskah akademis itu kita undang kembali. T : Berarti orang yang terlibat dalam pembahasan dengaan pansus dan dalam pembahasan naskah akademis itu sama pak? J : Iya, kurang lebih sama. Orang yang terlibat dalam penyusunan naskah akademis itu kita undang kembali. Lalu selain itu dalam pembahasan dengan pansus juga ada orang-orang yang tidak terlibat dalam pembahasan naskah akademis. T : Selain dengan undangan ada nggak pak sosialisasinya? J : Ada, lewat talkshow, ada pengumuman di koran, media cetak dan elektronik, seperti di PR (Pikiran Rakyat), di STV juga, kan di dewan juga ada koordinator wartawan. Lalu lanjut lagi setelah pansus merampungkan pekerjaannya kemudian dilaporkan ke Panitia Musyawarah. Kemudian Panitia Musyawarah mengusulkan paripurna untuk pengambilan keputusan, penetapan raperda menjaadi perda. Penetapan raperda menjadi perda ini pada tahap keempat, melalui rapat paripurna. Setelah proses itu kemudian berdasarkan undnag-undang no 32 tentang pemerintahan daerah, perda tentang tata ruang itu harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur.
137
T : Kalau dalam paripurna penetapan perda itu ada partisipasi masyarakat tidak pak? J : Jadi partisipasi masyarakat itu adanya di tahap pra pembahasan di dewan, yaitu di tahap penyusunan naskah akademik itu tadi, lalu di pembahasan dengan pansus dan di paripurna juga. Karena paripurna itu terbuka untuk umum. T : Saya ingin tahu pak masyarakat yang terlibat dalam revisi ini siapa saja ya? Itu ada daftarnya tidak pak? J : Yang terlibat itu ada kalangan akademisi, pakar, lalu ada LSM juga. Kalau dari ITB itu ada Pak Denny. Lalu ada masyarakat Bandung Utara juga. T : Kalau untuk masyarakat Bandung Utara itu diundang juga pak? J : Nah itu dia, kalo dari masyarakat itu diundang karena mereka demo duluan. Jadi waktu pembahasan itu rame sekali, banyak demo masyarakat. T : Kalau untuk data-data tentang pembahasan kemarin, siapa saja yang terlibat, dsb itu ada tidak pak? J : Daftarnya itu ada tapi perlu dicari lagi. Filenya itu ada di staf saya. Nanti Bapak cek lagi ke staf Bapak, nanti arum hubungi lagi aja. Nanti kalau ada Bapak berikan.
LAMPIRAN C1 PANDUAN WAWANCARA
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH & KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN & PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007
“TINGKAT PEMENUHAN KETENTUAN PENYELENGGARAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REVISI RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANDUNG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 10 TAHUN 2004“ Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pemenuhan ketentuan penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam kegiatan revisi Peraturan Daerah no 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung berdasarkan Undang-Undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Evaluasi yang dilakukan difokuskan pada penyelenggaraan partisipasi masyarakat di tiga tahapan revisi perda tersebut menurut Undang-Undang No 10 tahun 2004, yaitu pada tahap penyusunan naskah akademik di tingkat eksekutif, pembahasan materi raperda bersama Pansus DPRD dan tahap penetapan Raperda menjadi Perda. Dengan demikian, pada penelitian ini akan dilihat sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap kegiatan revisi tersebut.
PANDUAN WAWANCARA Data wawancara dan responden Waktu Wawancara
:…………………………………………………….....
Tempat Wawancara
:…………………………………………………….....
Nama Responden
:……………………………………………………….
Keterlibatan responden dalam revisi Peraturan Daerah no 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung: a. Pribadi b. Mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) c. Mewakili masyarakat tertentu
Tahapan dimana responden terlibat dalam revisi Peraturan Daerah no 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung: a. Penyiapan raperda di tingkat eksekutif b. Pembahasan materi raperda bersama Pansus DPRD c. Penetapan Raperda menjadi Perda
Sejauh mana keterlibatan responden dalam setiap tahapan revisi Peraturan Daerah no 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung: a. Kehadiran (frekuensi) b. Keaktifan (memberi masukan, kritik, opini; contoh masukan, kritik, opini; cara menyampaikan masukan, kritik, opini) c. Pengambilan keputusan (dalam hal apa, cara pengambilan keputusan)
LAMPIRAN C2 TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT YANG TERLIBAT DALAM REVISI PERDA NO 2 TAHUN 2004 TENTANG RTRW KOTA BANDUNG
Wawancara dengan Ibu Wiwiek Pratiwi Waktu Wawancara : 28 agustus 2007 Tempat Wawancara : Departemen Arsitektur ITB T : Selamat sore bu, maaf mengganggu J : Oh ya tidak apa-apa. Silakan. T : Iya bu. Jadi begini. Saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam kegiatan revisi perda tentang RTRW tahun 2006 kemarin. Jadi saya ingin melihat gimana penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut, sejauh mana masyarakat dilibatkan. Ibu kemarin terlibat ya bu dalam revisi itu? J : Iya, saya terlibat. Waktu itu saya diundang oleh DPRD dalam beberapa forum pembahasan. Kalo tidak salah sebanyak 3 kali. Waktu itu saya diundang dan diberi materi tentang apa yang akan direvisi. T : Forum itu forum di DPRD bu? J : Iya, itu forum yang diadakan oleh Pansus DPRD. Yang hadir sekitar 20 orang lah. T : Terus ngapain aja bu dalam forum itu?, yang dibahas apa aja bu? J : Jadi saya hanya hadir dalam 3 kali forum pertemuan. Pertemuan yang pertama itu membahas tentang pemahaman tentang RTRW, jadi tentang kedatailan RTRW. Yang kedua itu membahas tentang materi yang akan direvisi. Waktu itu saya memberikan masukan tentang pariwisata, yaitu tentang bagaimana mengelola Bandung sebagai kota wisata. Trendnya itu kan sekarang Bandung sebagai kota wisata. Jadi sesuai dengan bidang saya, jadi saya memberikan masukan tentang pariwisata. Terus pertemuan yang ketiga itu membahas tentang pasar tumpah. Saya memberikan beberapa masukan tentang pasar tumpah. Saya sendiri berada pada posisi yang ingin mempertahankan pasar tumpah. Menurut saya pasar tumpah itu tidak perlu dipindahkan, Cuma perlu ditata saja, dipercantik. Lalu waktu itu saya juga memberikaan masukan tentang jalan Pasteur. Walaupun tidak ada dalam materi yang direvisi tapi saya memberikan masukan saja, soalnya menurut saya Pasteur itu perlu ditata. Jalan Pasteur kan gerbang utama yang diliat oleh orang-orang dari luar Bandung kalo ke Bandung. Jadi menurut saya perlu ditata dan diatur dengan baik. T : Lalu masukan-masukan ibu itu diakomodir tidak bu? J : Saya tidak tahu apakah diakomodir atau tidak, soalnya saya tidak diberi perda hasil revisinya. Dan jeleknya saya juga tidak mencari. Jadi saya tidak tahu. T : Kebetulan saya ada bu perda hasil revisinya. Kalau ibu mau nanti bisa saya kasih. J : Oh boleh-boleh T : Lalu waktu itu ibu terlibat tidak dalam kegiatan pengambilan keputusan? J : Tidak, saya tidak terlibat dalam pengambilan keputusan apapun. Waktu itu, selama 3 kali forum itu tidak ada proses pengambilan keputusan apapun. Hanya diskusi dan memberikan masukan saja.
T : Ibu kan terlibat dalam pembahasan materi revisi perda dengan pansus di DPRD, kalau dalam penyusunan naskah akdemik dengan pihak eksekutif atau dalam penetapan raperda menjadi perda ibu terlibat tidak bu? J : Tidak, saya tidak terlibat.
Wawancara dengan Bapak Iwan PK Waktu Wawancara : 30 agustus 2007 Tempat Wawancara : Departemen Planologi ITB T : Pak, kalo saya mau wawancara bapak untuk Tugas Akhir kapan bapak ada waktu pak? J : Wawancara tentang apa? T : Tentang keterlibatan bapak dalam revisi Perda tentang RTRW kemarin pak J : Aduh kapan ya?..wawancaranya lama tidak? T : Tidak pak, mungkin kurang lebih setengah jam J : Ya sudah, silakan sekarang saja T : Iya pak. Jadi begini pak, saya tugas akhirnya itu tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi Perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi masyarakat itu terlibat di tahapan apa saja, bentuk keterlibatannya seperti apa, keterlibatannya mewakili siapa dan sebagainya. Jadi saya mewawancarai orangorang yang pernah terlibat di revisi itu. Kalau Bapak waktu itu terlibat ya pak di revisi perda RTRW itu? J : RTRW Kota Bandung? T : Iya pak J : Iya, saya terlibat T : Waktu itu mekanismenya bagaimana pak? Bapak diundang atau bagaimana pak? J : Iya, waktu itu saya itu jadi pembahas T : Bapak waktu itu terlibatnya pada tahapan apa pak? Revisi itu kan ada tiga tahap penyusunan naskah akademik, pembahasan materi dengan pansus sama paripurna penetapan perda J : Saya terlibat dari awal sampe dengan pembahasan pansus T : Berarti bapak terlibat di penyusunan naskah akdemik pak? J : Iya T : Waktu penyusunan naskah akdemik berapa kali bapak hadir dan terlibat pembahasan? J : Banyak, saya lupa pastinya..hampir dua mingguan lah, full dua minggu tiap hari, soalnya waktu itu kan udah mau jadi perda jadi sering dibahas. T : Pokonya bapak selalu hadir ya pak? J : Iya T : Waktu itu bapak memberikan masukan atau apa pak? J : Iya, saya memberikan masukan tentang transport dan infrastruktur T : Tepatnya tentang apanya ya pak? J : Transport tentang penataan hierarki jalan, penentuan lokasi terminal, evaluasi lokasi terminal, lalu tentang traffic management. T : Kalau dalam pembahasan dengan pansus bapak memberikan masukan tentang apa pak? J : Sama, tentang transport dan infrastruktur juga T : Waktu pembahasan dengan pansus bapak berapa kali hadir pak? J : Waktu itu saya dua kali diundang pansus, dan dua-duanya hadir T : Bapak waktu itu terlibatnya mewakili siapa pak? J : Saya waktu itu diundang saja sebagai pakar
T : Masukan-masukan yang pernah bapak berikan waktu itu diakomodir tidak pak? J : Sebagian besar tidak T : Yang tidak itu tentang apa pak? J : Yang tidak itu soal hierarki jalan, terus soal bandar udara T : Kalau sebagian lagi yang diakomodir itu tentang apa pak? J : Sebagian tentang hierarki jalan, jadi tentang hierarki itu sebagian diakomodir sebagian tidak terus yang diakomodir itu tentang sistem parkir, penataan stasiun sama jalur angkot. T : Lalu dalam penyusunan naskah akademik dan pembahasan dengan pansus itu ada pengambilan keputusan tidak pak? J : Tidak saya tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Waktu itu saya hanya terlibat pembahasan revisi dan hanya memberikan masukan saja, dewan yang memutuskan T : Kalau dalam paripurna penetapan perda bapak terlibat tidak? J : Waktu itu saya diundang tapi saya tidak bisa hadir, karena bentrok dengan kegiatan lain T : Iya pak, itu saja yang perlu saya tanyakan J : Iya, kasus ini menarik karena waktu itu ada ribut-ribut. Karena apa yang diusulkan dengan yang dihasilkan berbeda. Jadi sepertinya ada tahapan revisi yang kita tidak terlibat. Jadi ada perbaikan peta, ada perbaikan naskah tapi para pakar ini tidak tahu, karena kita tidak dilibatkan. Jadi sepertinya hasil masukan dari para pakar ini mungkin digodok lagi jadi waktu dihasilkan di dewan itu sudah berbeda T : Jadi apa yang diusulkan dengan yang dihasilkan berbeda ya pak? J : Iya sebagian besar itu berbeda T : Iya pak. Itu saja mungkin pak. Terimaksih banyak J : Iya, mangga Wawancara dengan Bapak Erry Noviar Waktu Wawancara : 31 agustus 2007 Tempat Wawancara : PPSDL Unpad T : Begini Pak Erry, saya lagi penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan Pak Erry. Pak Erry waktu itu terlibat mewakili siapa dan terlibat pada proses apa? J : Saya itu mewakili atau diundang sebagai wakil dari PPSDL (Pusat Penelitian Studi Dampak Lingkungan Hidup). Dalam revisi yang kemaren itu yang saya dan teman-teman kritisi itu adalah sosialisasinya dan perumusan di awal itu tidak optimal. T : Jadi Bapak tidak terlibat dalam penyusunan naskah akademiknya? J : Tidak, setau saya itu tidak ada. Saya tidak terlibat dalam penyusunan naskah akademik dan juga pada waktu pembahasan dengan pansus itu tidak ada itu dokumen naskah akademik itu. Kan dalam naskah akademik itu lengkap kan alasan-alasan atau latar belakang perubahan perda itu ada, nah waktu dengan pansus itu tidak ada dokumen itu. Sehingga kita tidak dapat memberikan banyak masukan, hanya sebatas normatif saja. Karena itu tadi naskah akademiknya tidak ada. T : Jadi waktu itu Bapak terlibat pembahasan materi dengan pansus saja? J : Iya, jadi saya waktu itu diundang beserta pakar-pakar yang lain, ada Pak Deny Zulkaidi juga waktu itu, untuk memberikan masukan tentang materi revisi perda itu, terutama yang soal pasal 100 tentang Punclut itu. Bagaimana dari sisi lingkungannya. Ya saya bilang bahwa saya setuju saja
pembangunan di Punclut itu, kalau dasarnya kuat, karena itu kan Kawasan Lindung. Bukannya tidak boleh dibangun sama sekali tapi harus disesuaikan pembangunan itu dengan fungsinya sebagai Kawasan Lindung, berarti harus ada pengendaliannya, beda kalau dia itu fungsinya sebagai Kawasan Budidaya. Tetapi kalau memang dasarnya kuat ya semuanya saja berubah warna dari hijau jadi kuning. Tapi ini kan dasarnya ga kuat. Kalau mau dibangun ya jadikan saja kawasan budidaya yang berfungsi lindung. Jadi harus ada fungsi tata airnya. Waktu di DPRD itu, banyak orang-orang yang berpikir bahwa kalau dia Kawasan Lindung jadi tidak boleh dibangun sama sekali. Kalau mau dibangun ya dibangun sebagai budidaya yang berfungsi lindung jadi harus ada hitung-hitungannya, berapa persen pohonnya, berapa persen yang dibangun. Toh kalau dibiarkan begitu saja juga bisa rusak. Tapi ya itu tadi, yang bisa saya komentari hanya terbatas karena tidak ada itu dokumen atau naskah akademiknya. Jadi saya tidak tahu alasan perubahan pasal itu atau alasan Punclut itu. Kalau ada naskah akademik kan kita bisa tahu alasan-alasan atau latar belakang mau dibangun itu apa, sehingga kita juga bisa memberikan masukan yang lebih jauh lagi tidak sekadar normatif. Jadi waktu pembahasan itu kita diberi bahan, pasal-pasal yang berubah kemudian usulan pasal barunya. Dari situ ada beberapa yang saya komentarin. T : Berapa kali pak hadir dalam forum dengan pansus? J : Hanya dua kali. Waktu itu diundang dua kali dan saya datang. T : Masukan-masukan Bapak itu diakomodir tidak pak? J : Tidak, tidak diakomodir . Saya juga bingung waktu itu. Jadi masukan yang saya berikan itu tidak ada. Seharusnya kan setelah pembahasan dengan pansus, lalu kita memberikan masukan, seharusnya ada pertemuan lagi untuk konfirmasi bagaimana dengan masukan kita sebelumnya, masukan itu diapakan. Seharusnya pakar-pakar itu dilibatkan lagi dalam konfirmasi setelah pembahasan, tapi ternyata tidak ada. Setelah pembahasan itu tidak ada pertemuan lagi. Kalo menurut saya sepertinya ada pertemuan tertutup yang tidak mengundang pakar untuk mengambil keputusan. Menurut saya revisi perda ini sepertinya untuk mengakomodir kepentingan beberapa orang misalnya pengembang. T : Berarti Bapak tidak terlibat dalam pengambilan keputusan? J : Tidak, ya itu tadi sepertinya ada forum tertutup yang tidak mengundang para pakar dalam pengambilan keputusan. Jadi kita tidak dilibatkan. T : Kalau dalam paripurna penetapan perdanya Bapak diundang tidak? J : Tidak, tidak diundang. Revisi ini tuh sepertinya dipartisipatifkan. Dewan pasti bilang begitu, datanya mereka pasti punya, siapa saja yang hadir, siapa saja yang dilibatkan, tetapi sejauh mana itu diaddopt, apakah sosialisasinya sudah cukup itu tidak diperhitungkan. Seperti di pansus waktu itu, setelah ada masukan-masukan, ini loh masukan-masukan Bapak Ibu, tetapi kan itu tidak ada, tidak seperti itu. Mestinya kan ada edaran atau pertemuan lagi, ini lho hasil pertemuan dengan para pakar dan kesimpulan yang kami ambil apa, tetapi yang seperti itu tidak ada. Interpretasi dari DPRD itu harusnya ada dan disosialisasikan lagi. Jadi hasil akhirnya itu tidak pernah dikonsultasikan lagi.
Wawancara dengan Bapak Hardoyo Waktu Wawancara : 31 agustus 2007 Tempat Wawancara : Perpustakaan Geologi Teknik, Direktorat Geologi T : Selamat siang pak Hardoyo, saya arum J : Iya, silakan duduk T : Begini Pak, saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi masyarakat itu terlibat di tahapan apa saja, bentuk keterlibatannya seperti apa, keterlibatannya mewakili siapa dan sebagainya. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan bapak waktu itu di revisi perda ini. Pak Hardoyo waktu itu terlibatnya pada proses atau tahapan apa pak? J : Saya waktu itu terlibatnya pada proses penilaian rancangan perda. T : Penilaian rancangan perda itu berarti pembahasan materi perda dengan pansusnya ya pak? J : Iya secara resminya saya terlibat disitu. Jadi saya memberi penjelasan kepada bapak-bapak DPRD itu. Saya memberikan input kepada dewan T : Berapa kali ya bapak terlibat dalam pembahasan dengan pansus itu? J : Kalau yang formal itu saya diundang tiga kali oleh pansus dan saya selalu hadir. Di samping itu saya juga pernah diundang informal, jadi saya diundang secara khusus untuk menjelaskan tentang peranan geologi. T : Forum informal itu yang mengundang siapa pak? J : Itu kelompok kecil anggota DPRD, tapi bukan pansus. Hanya beberapa anggota DPRD yang berminat mengenai lingkungan. T : Waktu forum formal dengan pansus itu bapak ngapain aja pak? Memberi penjelasan atau masukan? J : Waktu itu saya memberikan masukan tentang potensi dan kendala di kawasan Bandung Utara (KBU). Jadi saya menguraikan tentang potensi-potensinya apa saja lalu kendalanya apa saja. T : Forum dengan pansus itu prosesnya seperti apa pak? J : Ya jadi kita membahas materi kemudian ada tanya jawab T : Pembahasan materinya sudah pasal per pasal atau secara umum saja pak? J : Waktu itu sepertinya sudah masuk pasal per pasal, dan saya memberikan tanggapan secara khusus tentang KBU itu T : Dalam forum pembahasan dengan pansus itu, bapak terlibat dalam pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak sampai disitu. Saya hanya memberikan teknisnya saja T : Oh tidak ya pak. Lalu masukan bapak itu bagaimana pak? J : Karena ini perda jadi masalahnya itu bukan hanya teknis saja tapi ada proses politisnya juga. Nah dalam proses politis itulah kita tidak bisa ikut. Jadi menurut saya, kalau saya tidak salah tanggap, memang masukan-masukan yang diberikan itu disaring oleh DPRD atau pemerintah di luar DPRD. T : Jadi masukan bapak diakomodir tidak pak di perda hasil revisinya itu? J : Ya sebagian ada. Sebagian tidak. T : Masukan yang diakomodir itu yang tentang apa pak? J : Misalnya tentang KBU itu harus dibangun dengan KDB rendah, lalu ada juga tentang fungsi KBU tidak hanya sebagai daerah resapan air tanah tapi juga memiliki fungsi yang lebih luas, yaitu sebagai hidororologi. Hidroorologi itu mengatur air tanah dan juga air permukaan. T : Kalau dalam paripurna penetapan raperda menjadi perda, bapak diundang tidak pak? J : Tidak. Kalau untuk ngetok palunya saya tidak diundang.
T: Kalau dalam penyusunan naskah akademik atau draft raperda dengan eksekutif terlibat tidak pak? J : Tidak, tidak terlibat. Itu dia yang saya pikirkan. Seharusnya kita para pakar itu sudah dilibatkan sejak penyusunan awalnya tetapi kenyataannya tidak. Itu lebih penting sebenarnya. T : Kalau bapak keterlibatannya dalam revisi perda ini mewakili siapa pak? Sebagai pribadi atau mewakili siapa pak? J : Saya mewakili pribadi juga mewakili kantor geologi
Wawancara dengan Bapak Rahmat Jabaril Waktu Wawancara : 31 Agustus 2007 Tempat Wawancara : Kantin Bengkok ITB T : Jadi begini mas tugas akhir saya itu tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat masyarakat itu terlibat di tahapan apa saja, bentuk keterlibatannya seperti apa, keterlibatannya mewakili siapa dan sebagainya. Mas Rahmat bisa tidak cerita keterlibatan dalam revisi perda waktu itu? Mewakili siapa, terlibat dalam proses apa saja? J : Awalnya tuh begini, bulan desember pas ada tsunami, orang lagi rame-ramenya konsentrasi ke Aceh, kebetulan pada waktu lagi rame ke situ (Aceh) ada temen yang memberi kabar ”mat, kita juga harus konsentrasi di Bandung. Coba liat di Punclut” katanya begitu. Akhirnya saya dan temen-temen kemudian liat ke Punclut. Ternyata tanah di Punclut itu sudah digeruk, mau dibikin jalan. Jadi pengusaha, PT. DAM Utama Sakti mencuri pandangan, artinya saat orang-orang sibuk ke Aceh mereka mulai menggarap di Punclut. Nah waktu ketahuan oleh saya, lalu saya kontak temen-temen. Besoknya kita kumpul dan demo ke DPRD. Sejak saat itu masalah ini mulai rame, mulai berkembang. Tadinya kita ingin mengadukan yang terjadi di Punclut itu sebagai pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan. Tetapi kemudian walikota merubah, merevisi perda RTRW. Akhirnya pada tahun 2005 muncul revisi perda RTRW yang umurnya baru setahun. Nah sebenarnya substansi dari revisi perda tentang RTRW itu adalah untuk menyelamatkan proyek di Punclut itu. Jadi logika kami, organisasi-organisasi yang tergabung di bawah KMBB (Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat), adalah bahwa revisi ini adalah silogisme dari proyek yang akan dibuat oleh PT DAM di Punclut. Karena yang dirubah dalam revisi itu adalah pasal 100, yang tadinya di kawasan Punclut tidak boleh ada bangunan kemudian dirubah menjadi boleh ada akses jalan. Waktu itu walikota dan PT DAM itu melakukan advokasi ke warga Punclut, melakukan tekanan ke warga agar menyetujui proyek itu. Karena nantinya akan dibangun sekolah, dibangun rumah sakit, dan yang lainnya yang berhubungan dengan fasilitas warga. Akhirnya warga menyetujui rencana itu. T : Warga itu warga punclut mas? J : Tidak semuanya warga punclut. Sebenarnya yang banyak itu warga di luar punclut yang masuk ke punclut. Jadi kayak broker-broker gitulah. Di Punclut itu sendiri sebenarnya kasus tanahnya bermasalah. Sebenarnya tanah-tanah di Punclut itu milik para Jendral. Jadi dari jaman Belanda tanah itu diserahkan ke Pemerintah Indonesia, lalu oleh Pemerintah Indonesia diberikan kepada para jenderal. T : Oh begitu ya mas J : Iya, lalu pada masa revisi perda ini sedang dibahas di pansus, waktu itu kita KMBB dan beberapa LSM lain melakukan tekanan-tekanan ke dewan
T : Jadi keterlibatan mas Rahmat waktu itu dalam demo saja atau terlibat di forum pembahasan juga mas? J : Selain demo, kita diundang juga oleh mereka (Dewan) untuk ikut dalam rapat pansus. Dalam rapat itu kita meminta bahwa revisi RTRW ini, khususnya pada pasal 100 untuk ditinjau ulang karena menyangkut kosmologi dan ekologi di Kota Bandung. Karena kalau nanti Punclut dibangun dampaknya nanti ke Kota Bandung. Waktu itu pansus menyepakati apa yang disampaikan oleh kita, dan pansus bilang bahwa masukan itu akan dibahas dalam rapat paripurna. T : Jadi dalam rapat paripurna penetapan perda itu mas Rahmat ikut lagi tidak? J : Tidak, saya tidak ikut lagi. Tidak diikut sertakaan. T : Oh jadi keterlibatan Mas Rahmat secara formal itu hanya di pembahasan dengan pansus saja ya? J : Iya, hanya dengan pansus saja T : Waktu itu berapa kali mas terlibat di pembahasan dengan pansus itu? J :Waktu itu kita hanya sekali diundang oleh pansus. Selebihnya kita melakukan demo dan melakukan lobi-lobi ke anggota fraksi di DPRD. T : Dalam forum pembahasan dengan pansus itu ada pengambilan keputusan tidak mas? J : Tidak, waktu itu hanya memberi masukan saja. Keputusan akhirnya di paripurna T : Masukan mas diakomodir tidak mas? J : Tidak, karena di perda hasil revisi itu tetap saja Punclut itu boleh dibangun. Nah oleh karena kita tidak puas dengan hasil paripurna, kita kemudian melakukan desakan ke Gubernur, karena perda itu masih dievaluasi Gubernur dulu. Lalu pada tanggal 6 maret 2006, kalau tidak salah, Gubernur mengeluarkan surat yang isinya bahwa perda RTRW itu harus direvisi ulang terutama pasal 100. T : Jadi Gubernur meminta revisi ulang ya? J : Iya jadi Gubernur meminta revisi ulang, tetapi kemudian tanggal 8 maret, selang 2 hari, Walikota malah mensahkan Perda itu di Punclut, padahal Gubernur belum menyetujui. Dari situ sampai sekarang pembangunan di Punclut itu terus berlanjut, padahal pembangunan jalan di sana itu tidak sesuai dengan AMDAL nya. T : Sebelum tahap pembahasan dengan pansus itu kan ada tahap penyusunan naskah akademik, mas terlibat tidak dalam penyusunan naskah akademik itu? J : Nggak, saya nggak tahu itu, saya nggak terlibat. T : Padahal waktu itu saya tanya ke Bappeda katanya penyusunan naskah akademik itu telah disosialisasikan dan membuka keterlibatan warga. J : Iya saya pernah dengar itu tapi orang-orang yang seharusnya dilibatkan itu pada kenyataannya tidak dilibatkan. Saya dan teman-teman dari LSM lain itu hanya dilibatkan pas pansus itu dan itupun cuma sekali. Kita yang diundang itu juga karena awalnya kita yang meminta bukan atas inisiatif dewan T : Waktu itu Mas Rahmat keterlibatannya mewakili siapa mas? J : Saya waktu itu mewakili KMBB. KMBB itu gabungan dari seluruh organisasi yang ada di Bandung.
Wawancara dengan Bapak Mubiar Purwasasmita Waktu Wawancara : 1 September 2007 Tempat Wawancara : Sekertariat DPKLTS T : Tugas akhir saya itu tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat sejauh mana keterlibatan masyarakat itu dalam proses revisi perda RTRW ini. Ada tiga tahapan dimana saya ingin melihat keterlibatan masyarakat, yaitu di tahap penyusunan naskah akademik, tahap pembahasan dengan pansus DPRD, dan tahap penetapan atau paripurna. Jadi saya mewawancarai orang-orang yang pernah terlibat untuk tahu sejauh mana keterlibatannya. Bapak keterlibatannya mewakili siapa pak? J : Jadi saya bagian daripada diminta pendapat oleh DPRD. Saya mewakili DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda). Revisinya itu sebenarnya berangkat dari niat atau motif revisinya. Nah motif revisinya itu sebetulnya, versi masyarakat pengamat lingkungan, adalah ingin merubah RTRW yang ada supaya developer yang ingin membangun sekarang masih bisa membangun. Itu intinya. Kenapa saya bisa mengatakan itu?. Karena di atas RTRW Kota itu ada RTRW Propinsi. RTRW Kota sebelum direvisi itu masih mendekati RTRW Propinsi. Jadi masih jauh lebih baik. Oleh karena itulah motivasinya dipertanyakan. T : Bapak waktu itu terlibat dalam proses apa? J : Ya dalam proses pembahasan, advokasi dengan dewan. Sebetulnya itu yang mempermasalahkan adalah kita, masyarakat sendiri. Kemudian pansus memfasilitasi dengan mengadakan forum advokasi. T : Itu berapa kali pak? J : Oh sering sekali. Lama. Dan pansus itu lebih ingin memfasilitasi Walikota bukan memfasilitasi masyarakat. Saya kalo tidak salah itu tiga kali datang. Pokonya kalo diundang selalu datang. T : Isi forum itu ngapain aja Pak? J : Ya saya menjelaskan kenapa Bandung Utara itu tidak boleh dibangun. Saya memberikan masukan-masukan terutama soal materi Punclut itu. Punclut itu kan bagian dari Bandung Utara yang ada di Kota. Idenya itu kan ingin mengotakan Kawasan Bandung Utara yang ada di bawah Kota. Itu yang ga bener. Seharusnya Bandung Utara itu memang diatur. Tetapi diatur itu bukan berarti memberi kesempatan pada pembangunan yang baru. Ini mah ngga. Yang udah ada ga diatur, tetapi memberi kesempatan pada yang baru. Jadi bisa dikatakan bahwa revisi itu tidak berniat untuk menyelamatkan Bandung Utara. Jadi sepertinya revisi ini untuk mengakomodir beberapa kepentingan saja. T : Dalam pembahasan dengan pansus, bapak terlibat dalam pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak terlibat. Saya tidak menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Jadi hanya memberikan masukan saja. T : Apakah masukan yang bapak berikan itu diakomodir atau ada respon dari pihak DPRD terhadap masukan bpk itu? J : Tidak, sama sekali tidak ada. Karena sejak awal mereka sudah menetapkan konsep. Jadi sejak awal konsep yang 20 % itu sudah ada. Jadi yang dihasilkan itu memang sudah ada sejak awal. Bukan karena pembahasan. Jadi forum-forum pembahasan dan masukan itu sepertinya hanya formalitas saja. T : Dalam paripurna penetapan perda Bapak diundang tidak? J : Nggak. Jadi apapun juga argumentasi teknis dari para pemerhati itu melekat pada beberapa anggota dewan. Ada beberapa anggota yang paham benar dan menjadi militan juga. Tapi tetap masukan kita tidak diakomodir karena bahasa politis di lingkungan kita bukan bahasa objektif tapi bahasa-bahasa kepentingan kekuasaan.
Wawancara dengan Bapak Setiadjie Waktu Wawancara : 1 September 2007 Tempat Wawancara : Kantin Bengkok ITB T : Tugas akhir saya itu tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat sejauh mana keterlibatan masyarakat itu dalam proses revisi perda RTRW ini. Mas Adjie waktu itu terlibat mewakili siapa? J : Saya itu bagian dari Kolektif Ekologi Sosial Studi, namanya itu Hijau Merdeka. Jadi waktu itu keterlibatan saya mewakili Hijau Merdeka ini. Hijau Merdeka juga merupakan bagian dari KMBB, jadi kita berada di bawah KMBB juga. T : Dulu Mas Adji terlibatnya pada proses apa? Pada tahap apa? J : Dulu terlibatnya waktu pembahasan dengan pansus. Cuma sekali sih diundangnya. Forum itu formatnya audiensi. Jadi audiensi itu awalnya inisiatif dari kita, teman-teman LSM, baru kemudian pansus mengundang kita. T : Jadi waktu itu cuma diundang sekali dan hadir ya mas? J : Iya. Cuma sekali dan formatnya audiensi T : Dalam forum itu ngapain aja mas isinya? J : Waktu itu bentuknya negasi ya. Jadi kita ngobrol dengan pansus dan mengkritisi banyak hal T : Mas Adji waktu itu mengkritisi atau memberi masukan tentang materi apa mas? J : Kalau saya waktu itu lebih mengkritisi ke prosesnya karena saya pikir suasananya tidak kondusif untuk membahas materi. Saya mengkritisi prosesnya dalam artian bahwa proses sosialisasinya lemah. Lalu beberapa hal tentang penyerapan aspirasi masyarakat juga lemah. Seolah-olah dengan mengundang sebagian kecil wakil masyarakat itu sudah dikatakan partisipasi masyarakat, padahal menurut saya tidak begitu T : Di forum dengan pansus tersebut ada proses pengambilan keputusan atau tidak mas? J : Tidak, dalam forum audiensi itu tidak memutuskan sesuatu. Kami hanya banyak mengkritisi saja. Baik soal materi maupun soal cara atau prosesnya. T : Kalau dalam paripurna penetapan perda mas adji diundang tidak? J : Tidak, saya hanya terlibat sekali itu saja waktu pembahasan dengan pansus T : Masukan yang diberikan waktu pembahasan dengan pansus itu diakomodir tidak mas atau ada follow up nya? J : Tidak, tidak diakomodir. Masukan mengenai materi maupun prosesnya yang kami kritisi tidak diakomodir. Waktu itu selain mengkritisi tentang sosialisasi dan partisipasi masyarakat, proses revisi yang kita kritisi itu adalah bahwa revisi ini diragukan atas inisiatif walikota. Sebab dari cetak biru kawasan Punclut yang direvisi itu ada sebagian yang masuk di bawah propinsi. Jadi secara prosedural ini masih dipermasalahkan. Jadi sepertinya ada satu langkah koordinasi dengan pemerintah propinsi yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan. T : Selain masukan dalam forum pembahasan itu, mas adjie memberikan masukan lewat media lain tidak? J : Iya, waktu itu saya dan teman-teman dari KMBB menyusun bareng beberapa pernyataan yang disertai dengan argumentasi kenapa kita menolak revisi perda itu. Di pernyataan itu kita juga sama masih mengkritisi materi punclut dan prose revisinya. Pernyataan itu kita kirimkan ke dewan. T : Ada tanggapaan tidak mas atas penyataan yang dikirimkan itu? J : Tidak ada tanggapan apa-apa. Mungkin menurut bayangan saya, dengan adanya audiensi itu, mereka (Dewan) menganggap sudah cukup memberikan tanggapan. Sepertinya begitu. Dewan itu menganggap sudah menjalankan proses revisi ini secara prosedural, namun yang saya tangkap
proseduralnya dijalani sebagai basa basi, formalitas, karena cukup dengan mengundang beberapa nama, atau beberapa wakil masyarakat atau LSM dan mereka mengatakan itu sudah memenuhi syarat, tapi secara content tidak. Jadi kesannya proses itu sebagai pembenaran saja bahwa kegiatan ini sudah diketahui publik. Soal content sepertinya udah ada terlebih dahulu, jadi mengundang orang-orang itu hanya sebagai formalitas saja.
Wawancara dengan Bapak Deden Waktu Wawancara : 1 September 2007 Tempat Wawancara : Jl. Siliwangi T : Saya sedang penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya mau tanya-tanya pak tentang keterlibatan bapak dalam revisi perda RTRW waktu itu. Keterlibatan Bapak di revisi perda itu mewakili siapa pak? J : Saya itu mewakili masyarakat Punclut yang ada dalam lingkungan saya, forum Akalbu, Aksi Kepedulian Alam Dan Lingkungan Bandung Utara. Kita bergerak di bidang penghijauan. T : Akalbu itu sebagian besar isinya masyarakat Punclut? J : Iya sebagian besar masyarakat Punclut, makanya saya mewakili masyarakat Punclut T : Dalam proses revisi perda RTRW ini bapak terlibat di tahapan apa pak? J : Awalnya itu saya dan masyarakat Punclut itu menjadi yang memohon kepada Walikota untuk bagaimana kawasan Punclut ini bisa setara kesejahteraannnya dengan masyarakat Kota Bandung yang lain. Karena penduduk Punclut ini Kota Bandung tetapi sangat tertinggal. Baik itu dari pembangunan fisik maupun non fisik. Makanya kita memohon kepada pemkot lantas pemkot akhirnya merevisi Perda tentang RTRW. Dalam revisi itu diantaranya ada perubahan di pasal 100 yang menyangkut Kawasan Punclut dan Bandung Utara, makanya disitu saya terlibat sebagai wakil dari masyarakat pemohon dari Punclut dan sebagai wakil masyarakat untuk berdialog dengan pansus. T : Berarti waktu itu bapak terlibat di pembahasan dengan pansus? J : Iya sempet terlibat waktu itu pembahasan dengan pansus. Saya sempet diundang. T : Berapa kali tuh pak terlibat dalam pembahasan dengan pansus? J : Secara formal hanya dua kali dengan pansus itu T : Sebelum pembahasan dengan pansus terlibat di penyusunan naskah akademik dengan Bappeda tidak pak? J : Ngga, waktu itu kita sering ketemunya dengan pemkot saja waktu memohon supaya masyarakat Punclut dapat menikmati pembangunan. Jadi saya tidak ikut-ikut dalam penyusunan naskah akademik. Di pansus juga kita hanya dipanggil dan diajak dialog saja T : Materi yang dibahas waktu berdialog dengan pansus apa pak? J :Tentang Punclut terutama tentang pasal 100. Kita hanya memberikan masukan dan menguatkan bahwa kita benar-benar memohon pembangunan di Punclut. Begitu saja. Jadi kita mendorong pembangunan di Kawasan Punclut itu T : Lalu masukan bapak itu diakomodir atau ada followaup nya dari DPRD? J :Iya diakomodir. Makanya direvisi kemudian disahkan karena kita kan menginginkan pembangunan infrastruktur, pendidikan, jalan. Makanya sekarang kan udah ada jalan, sekolah, karena perdanya sudah direvisi. Kalau dalam perda yang lama kan tidak boleh. T : Dalam forum dengan pansus itu ada proses pengambilan keputusan tidak atau menyepakati sesuatu? J : Tidak, tidak ada
T : Kalau dalam paripurna penetapan perdanya bapak diundang lagi tidak? J : Iya, ada waktu itu kita diundang untuk menghadiri paripurna dan kita datang. Selesai dengan pansus kan lantas di paripurnakan, nah waktu itu kita diundang, kita datang, nonton. T : Dalam paripurna itu kan ada pengambilan keputusan pak, baapak terlibat tidak pak dalam pengambilan keputusan? J : Oh nggak. Kita waktu itu hanya sebatas menyaksikan saja bagaimana anggota dewan itu menyepakati revisi itu.
Wawancara dengan Bapak Lambok Waktu Wawancara : 3 september 2007 Tempat Wawancara : Departemen Geologi ITB T : Siang pak J : Iya, gimana? T : Begini Pak, saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi Perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi masyarakat itu terlibat di tahapan apa saja, bentuk keterlibatannya seperti apa. Kalau Bapak sendiri waktu itu keterlibatannya mewakili siapa pak? J : Waktu itu terlibat sebagai ahli goelogi, mewakili ITB..dari Geologi T : Waktu itu terlibat dalam kegiatan/tahapan apa pak? J : Revisi ini yang tentang punclut itu kan? T : Iya pak J : Iya saya terlibat waktu pembahasan dengan pansus di DPRD T : Berapa kali pak bapak hadir dalam pembahasan itu? J : Tidak banyak, hanya dua kali T : Yang dibahas dalam forum itu apa pak? J : Ya waktu itu saya dimintai pendapat apakah daerah punclut itu daerah resapan atau tidak. Jadi saya memberikan masukan tentang itu, tentang punclut itu. T : Sebelum pembahasan dengan pansus itu, bapak pernah terlibat dalam penyusunan naskah akademik tidak pak? J : Nggak, nggak terlibat T : Jadi bapak hanya terlibat di pembahasan dengan pansus saja pak? J : Iya, hanya itu saja T : Dalam forum dengan pansus itu, bapak terlibat dalam pengambilan keputusan tidak pak? Atau hanya memberikan masukan saja? J : Tidak, saya hanya memberikan masukan saja, sejauhnya ya mereka itu politikus-politikus yang memutuskan T : Lalu dalam paripurna penetapan perda itu bapak terlibat tidak pak? J : Nggak, saya tidak ikut. Saya hanya pembahasan dengan pansus saja. T : Lalu masukan-masukan yang bapak berikan itu diakomodir tidak pak? J : Iya diakomodir. Waktu itu kan mereka (Pansus) memberikan draft perda, lalu menanyakan pendapat saya. Ya saya katakan bahwa itu (Punclut) memang bukan daerah resapan. Ya lalu diakomodir oleh mereka.
Wawancara dengan Bapak Tjuk Kuswartoyo Waktu Wawancara : 3 september 2007 Tempat Wawancara : Jl. Manyar No 6 T : Saya sedang penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya mau tanya-tanya pak tentang keterlibatan bapak dalam revisi perda RTRW waktu itu. Keterlibatan Bapak di revisi perda itu mewakili siapa pak? J : Saya tidak mewakili siapa-siapa, ya diundang saja T : Kalau dalam revisi ini Bapak terlibat pada proses apa pak? J : Saya banyak terlibatnya dalam forum informal. Saya punya perhimpunan, namanya Forum Anggota DPRD untuk Lingkungan. Jadi disitu saya ditanya-tanya oleh teman-teman DPRD tentang lingkungan, tentang Bandung Utara juga T : Pendapat Bapak tentang pembangunan Bandung Utara itu bagaimana pak? J : Bandung Utara yang mana, Bandung Utara itu kan luas, Bandung Utara yang gede apa yang kecil. T : Yang Punclut pak J : Punclut itu kan kecil itu, sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk dibicarakan. Hanya karena rame aja makanya dibicarakan. T : Dalam forum resmi dengan pansus Pak Tjuk pernah diundang tidak? J : Ya saya pernah diundang tapi itu kan cuma formalitas saja, saya tidak melihat keefektifannya. T : Waktu diundang itu hadir pak? J : Ya diundang kemudian hadir, lalu memberi masukan. Waktu yang diberikan itu kan pendek ya, kemudian yang ngomong banyak, jadi harus nunggu giliran, jadi kalo menurut saya forum itu tidak terlalu berarti. Justru pertemuan yang di luar pansus yang lebih berarti, karena waktunya lebih panjang, lebih intensif, ngomongnya lebih enak. T : Diundang oleh pansus berapa kali pak? J : Yaaa, saya udah lupa berapa kali. Yang jelas kalo ada undangan saya selalu ikut. T : Terus masukan Bapak tentang materi revisi itu gimana pak? J : Oh kalo saya sih ya tidak apa-apa Punclut itu dibangun. Untuk masalah itu saya tidak banyak memberikan masukan secara lisan. Saya menulis paper lalu saya berikan ke Walikota. Saya tidak apa-apa itu Punclut dibangun. Katanya mengganggu lingkungan, lingkungan mana yang diganggu. Saya berpendapat bahwa itu bukan daerah resapan air tanah dalam. Makanya kalo ngomongin Bandung Utara daerah resapan, daerah resapan yang mana. Itu kan harus dimengerti struktur Bandung Utara secara luas. T : Jadi masukan-masukan Bapak baik lisan atau lewat paper itu diakomodir tidak pak? J : Ya, iya. Tapi tidak signifikan juga, wong perdanya yang dirubah cuma dikit. T : Dalam paripurna penetapan perda diundang tidak Pak? J : Tidak, saya tidak ikut-ikutan lagi
Wawancara dengan Bapak Denny Zulkaidi Waktu Wawancara : 3 September 2007 Tempat Wawancara : Departemen Planologi ITB T : Saya tugas akhirnya itu tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya mau melihat sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam revisi perda itu. Ada tiga tahapan dimana saya ingin melihat keterlibatan masyarakat, yaitu di tahap penyusunan naskah akademik, tahap pembahasan dengan pansus DPRD, dan tahap penetapan atau paripurna. Jadi saya mewawancarai orang-orang yang pernah terlibat untuk tahu sejauh mana keterlibatannya. Bapak waktu itu terlibat di revisi perda ini mewakili siapa? J : Saya waktu itu memang beberapa kali diundang oleh DPRD. Jadi tidak lagi oleh eksekutifnya. Tapi waktu itu rada bingung juga, soalnya kalo dilihat dari ketentuan, evaluasi RTRW itu sebetulnya tidak memenuhi syarat. Karena baru 1 tahun kemudian tidak ada perubahan besar, segala macemlah. Tidak ada perubahan dari atas juga, dari eksternal, terus penyimpangan juga belum tahu soalnya baru 1 tahun itu. Jadi kalo menuruti pedoman yang dikeluarkan oleh PU tentang evaluasi Rencana Tata Ruang Kota itu sebetulnya belum bisa. Jadi mereka mengada-ada gitu bagaiman caranya supaya bisa direvisi. T : Bukannya Pak Deni sempat terlibat di penyusunan naskah akademik ya? J : Yang mana? Yang rencana tahun 2004 atau yang buat revisinya? T : Yang buat revisi pak J : Kalo yang revisinya tidak sama sekali. Itu tidak ada naskah akademiknya. Jadi tiba-tiba dikatakan mau dirubah ini, dirubah ini, kemudian langsung ke pembahasan di DPRD nya. Jadi saya melihat memang ada yang tidak konsisten, seperti penanganan pasar itu, permasalahannya sama tapi kenapa yang satu direhabilitasi dan yang satu direlokasi. Nah itu kan jadi tidak konsisten. Saya juga agak lupa ya apakah saya itu ikut membuat naskah atau tidak, tapi kelihatannya tidak ya. Yang membuat itu Bappeda, memang sempat konsultasi, tapi kalo ditanyakan apakah saya mengerjakan itu tidak. Saya itu pernah beberapa kali diundang oleh DPRD, pansus, tapi kalo sesudah pansus apa? T : Paripurna penetapan perda pak J : Nah di paripurna itu saya tidak diundang lagi. Tidak terlibat lagi. T : Jadi bapak terlibatnya di pembahasan dengan pansus saja pak? J : Iya. Kalo yang dengan eksekutif, Bappeda dalam menyiapkan materinya itu hanya konsultatif saja sebagai narasumber tetapi tidak ikut menyusun, yang menyusun adalah eksekutif. T : Terus Bapak dilibatkan dalam pengambilan keputusan? J : Tidak, padahal saya juga heran. Saya bolak balik bilang bahwa tidak usah dirubah terutama yang punclut karena kita bisa mengatasi itu. Jadi kalo memang ijin perdanya keluar ya tidak apaapa tetapi kita tetapkan hijau saja supaya bisa mengontrol lebih ketat, jangan dirubah jadi kuning. Tetapi buktinya yang keluar kan jadi kuning. T : Waktu itu berapa kali pak diundang atau hadir dalam pembahasan dengan pansus itu? J : Banyaklah, berkali-kali. T : Itu semuanya pertemuan konsultatif aja pak? Tidak menetapkan atau memutuskan sesuatu? J : Itu yang saya heran. Berkali-kali bertemu dengan dewan, tetapi tidak disimpulkan apa keputusannya untuk hari itu. Jadi tidak ada semacam berita acara. Jadi berkali-kali pertemuan yang ditanyakan itu-itu lagi dan saya juga menjawabnya tetap ga usah dirubah. Kelihatannya mereka sudah punya niat bahwa itu harus dirubah, terus gimana justifikasinya. Tetapi menurut saya tetap saja itu tidak justified. Akhirnya di tetapkan itu tetap saja berubah.
Wawancara dengan Bapak Daud Silalahi Waktu Wawancara : 3 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Dalam revisi Perda RTRW Kota Bandung, keterlibatan Bapak mewakili siapa? J : Dalam revisi Perda RTRW itu saya sempat beberapa kali dundang oleh DPRD atas nama pribadi sebagai pakar. Waktu itu saya dimintai pendapat soal pendekataan hukum tentang Punclut T : Berarti Bapak terlibat dalam pembahasan dengan pansus pak? J : Iya waktu itu diundang oleh Pansus. Itu forum konsultasi pansus saja T : Berapa kali Pak diundang oleh pansus atau berapa kali Bapak hadir dalam forum pansus itu? J : hmmmm..saya lupa, dua kali kalau tidak salah ya T : Dalam forum pansus itu ngapain aja pak? J : Ya kita berdiskusi ya. Karena forum konsultasi jadi pansus meminta pendapat saya dan saya memberikan masukan tentang penataan Punclut, bagaimana menurut pendekatan hukumnya, lebih ke hukumlah. T : Masukan yang bapak berikan diakomodir pak? J : Karena saya waktu itu memberikan masukan hanya tentang pendekatan hukum maka saya juga tidak tahu apakah diakomodir atau tidak. T : Dalam forum itu ada proses pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak ada pengambilan keputusan, hanya forum konsultasi saja T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik atau paripurna penetapan perda apakah Bapak terlibat atau pernah diundang? J : Tidak, tidak pernah. Saya hanya terlibat dalam forum konsultasi dengan pansus itu saja
Wawancara dengan Bapak Prido Waktu Wawancara : 4 september 2007 Tempat Wawancara : Hotel Karang Setra T : Begini Pak Prido, saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Ada tiga tahapan dimana saya ingin melihat keterlibatan masyarakat, yaitu di tahap penyusunan naskah akademik, tahap pembahasan dengan pansus DPRD, dan tahap penetapan atau paripurna. Jadi saya mewawancarai orang-orang yang pernah terlibat untuk tahu sejauh mana keterlibatannya. J : Siapa aja yang udah diwawancarai? T : Yang udah itu ada Mas Rahmat Jabaril, Mas Adji, terus Pak Denny Zulkaidi, Pak Lambok, Pak Erry Noviar, Pak Tjuk Kuswartojo, Pak Hardoyo, Pak Daud Silalahi yang dari Unpad. J : Kalau Indra Perwira? T : Indra Perwira itu belum dapet pak, kebetulan saya belum punya nomer kontaknya pak. Kalo bpk punya nomer kontaknya ga pak? J : Nanti deh kalo saya dapet nomernya, nanti saya sms ke Arum T : Oh iya pak J : Terus siapa lagi? T : Ada Pak Mubiar
J : Kalo Dadang Walhi udah belum? T : Belum pak soalnya lagi sakit. Udah saya hubungi tapi lagi sakit. J : Oh iya T : Iya pak, jadi waktu itu Pak Prido terlibat ya di revisi perda ini? J : Hmm revisi perda RTRW ya?..iya waktu itu saya terlibat..hmm kita mulai dari mana dulu nih? T : Ini pak, dulu bapak terlibat mewakili siapa pak? J : Pertama saya terlibat itu mewakili lembaga saya ya, lembaga advokasi kerakyatan. Lembaga advokasi kerakyatan itu terlibat dalam advokasi lingkungan. Kita berkoalisi dengan KMBB, Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat dan bergerak di bidang advokasi lingkungan dimana salah satu case nya itu adalah kasus punclut. Kebetulan saya itu lebih concern kepada kajian kebijakan tata ruang, karena kebetulan dulu pernah sekolah di Planologi. Lalu selama proses revisi itu yang kita lakukan adalah mengkaji berbagai peraturan yang ada misalnya RUTR dan peraturan-peraturan terkait lainnya. Dalam revisi perda RTRW ini, yang kita soroti itu ada di poin/pasal no 100 yang tentang KBU dan Punclut itu. Ketika pasal 100 itu mau dirubah itu yang menjadi perdebatan. Ketika audiensi dengan dewan, kita katakan bahwa kalau mau perda RTRW itu dirubah total karena kalau hanya merubah pasal itu tidak benar. Dalam hal ini kita tidak menemukan kata sepakat dengan dewan. T : Kalau begitu dulu bapak terlibat dalam tahap pembahasan dengan dewan pak? J : Iya waktu itu saya terlibat audiensi dengan pansus T : Dalam forum pembahasan dengan pansus itu pak Prido terlibat berapa kali pak? J : Waduh tepatnya saya lupa, tapi yang jelas setiap ada forum itu saya tidak pernah absen..kalo tidak salah lima kali T : Forum dengan pansus tersebut isinya apa saja pak, advokasi saja atau apa pak? J : Isinya audiensi, kemudian kita diminta untuk memberikan masukan, lalu ada rapat dengar pendapat juga T : Itu mekanismenya diundang ya pak prido? J : Iya itu diundang lalu selain diundang juga ada beberapa yang kita datang sendiri, atas inisiatif sendiri kita datang ke dewan meminta audiensi. Selain forum dengan dewan kita, lembaga advokasi kerakyatan dan KMBB, pernah membuat workshop tentang tata ruang, terkait punclut juga. Dalam workshop itu kita juga mengundang anggota dewan tapi tidak datang. Kemudian selain audiensi dan workshop kita juga membuat tanggapan tertulis tentang substansi perda tersebut dan kita kirimkan ke pansus. T : Oh berarti selain memberikan masukan lisan lewat forum resmi juga memberikan tanggapan tertulis ya pak? J : Iya, waktu itu kita kirimkan ke pansus T : Lalu pak, lebih spesifiknya waktu itu masukan yang bapak berikan tentang materi apa pak? J : Saya waktu itu memberikan masukan tentang punclut T : Lalu masukan-masukan bapak tersebut diakomodir tidak pak dalam perda hasil revisinya atau ada follow up lain terhadap masukan bapak tersebut? J : Sejauh ini tindak lanjut dari dewan terhadap masukan itu setelah audiensi itu masih dalam kamuflase, karena begini waktu itu mereka menjawab bahwa masukan saya akan jadi bahan pertimbangan tapi selanjutnya ketika pansus ini terus berproses kita tidak diberi tahu lagi bagaimana kelanjutan dari masukan kita tersebut. T : Jadi tidak ada forum audiensi lagi untuk membahas hasil pertimbangan pansus itu ya pak? J : Iya begitu. Dari situ kita cenderung menilai bahwa mereka mendevoniskan masalah. Jadi masalah ini seolah-olah ditutupi. Karena dalam forum audiensi itu tidak ada kata sepakat antara
LSM dengan pansus itu. Kemudian dalam audiensi itu pansus juga tidak membuat suatu keputusan tentang punclut itu lalu kemudian kasus tersebut dipendam. T : Berarti dalam forum waktu itu tidak ada proses pengambilan keputusan apapun ya pak? J : Iya tidak ada proses pengambilan keputusan apapun. Sepertinya mekanisme pansus waktu itu hanya dengar pendapat saja. Jadi mereka mengundang stakesholder terkait lalu dengar pendapat. Sedangkan untuk keputusan itu internal dewan sepertinya. T : Kalau begitu waktu itu masukan bapak itu tidak diakomodir tidak pak? J : Tidak, sepertinya masukan saya juga tidak dipertimbangkan T : Terus setelah forum pembahasan dengan pansus itu kan ada paripurna penetapan raperda menjadi perda pak, nah dalam paripurna itu bapak terlibat tidak pak? J : Tidak, saya dan KMBB waktu itu tidak diundang. Sudah tidak dilibatkan lagi. T : Terus pak sebelum pembahasan dengan pansus itu kan ada tahap penyusunan naskah akademik dengan pihak eksekutif, itu bapak terlibat tidak pak? J : Tidak saya tidak terlibat. Saya waktu itu baru terlibat di pembahasan dengan pansus saja. Dan setau saya, revisi ini tidak ada naskah akademiknya, sebab waktu pembahasan itu tidak ada naskah akademiknya. Setau saya yang ada itu naskah sanding. Jadi perda RTRW yang lama disandingkan dengan usulan-usulan perubahannya. Wawancara dengan Bapak Sobirin Waktu Wawancara : 4 september 2007 Tempat Wawancara : Puslitbang Air T : Selamat sore pak, saya arum J : Iya silakan…oke jadi gimana ini? T : Begini Pak, saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi masyarakat itu terlibat di tahapan apa saja, bentuk keterlibatannya seperti apa. Jadi saya mewawancarai orang-orang yang pernah terlibat untuk tahu sejauh mana keterlibatannya. Kalau Pak Sobirin waktu itu keterlibatannya mewakili siapa pak? J : Saya waktu itu wakil dari DPKLTS T : Waktu itu bapak terlibat dalam tahapan apa pak? J : Jadi begini, waktu itu saya terlibat di revisi perda no 2 tahun 2004. Namun sebelum direvisi pun, perda no 2 tahun 2004 itu menurut pemerhati lingkungan itu tidak konservatif. Yang lama itu tidak konservatif apalagi yang baru ya. Dulu dalam perda yang lama itu ada pasal 100 ya, tapi kemudian dirubah sedemikian rupa sehingga menurut pemerhati lingkungan itu perda ini menjadi use oriented bukan environmental oriented. Waktu diundang dalam pembahasan dengan pansus, saya memberikan masukan bahwa seharusnya RTRW Kota Bandung itu diarahkan untuk konservasi. Jadi saya waktu itu menolak revisi RTRW itu. T : Jadi bapak terlibat dalam pembahasan materi dengan pansus ya pak? J : Iya waktu itu terlibat T : Waktu itu bapak berapa kali terlibat pembahasan dengan pansus pak? J : Cuma sekali saja. Saya waktu itu diajak, diundang formal cuma sekali aja. Lalu dianggapnya udah. Udah gitu mereka (Pansus) proses sendiri. Seperti cuma formalitas. T : Jadi dalam forum ini bapak hanya memberikan masukan pak? Tidak ada proses penetapan sesuatu atau pengambilan keputusan? J : Iya hanya memberi masukan, tidak ada pengambilan keputusan sama sekali.
T : Lalu masukan bapak sendiri ada hasilnya tidak pak? J : Tidak, tidak ada sama sekali. Sepertinya tidak dipertimbangkan masukan saya itu karena di perda hasil revisinya tidak ada sama sekali. T : Kalau dalam paripurna penetapan perda itu bapak diundang tidak pak? J : Tidak, saya tidak diundang lagi T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik di tingkat eksekutif dilibatkan tidak pak? J : Tidak, saya hanya terlibat sekali waktu pembahasan dengan pansus saja. Jadi undangan pansus itu cuma formalitas aja. Yang penting sudah diajak-ajak orang-orangnya. Sudah begitu saja. Cuma formalitas. T : Oke, mungkin itu saja pak yang perlu saya ketahui. Terimakasih banyak pak sobirin, saya banyak dapet informasi dan pengetahuan nih. J : Oke sama-sama Wawancara dengan Bapak Taufan Waktu Wawancara : 5 september 2007 Tempat Wawancara : Sekertariat DPKLTS T : Begini Mas Taufan, saya kan tugas akhirnya tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan Mas Taufan waktu itu. Mas Taufan waktu itu terlibat mewakili siapa? J : Saya terlibat mewakili DPKLTS dan KMBB. KMBB kan koalisi masyarakat juga jadi ya semua itu. Jadi waktu itu kita, saya dan teman-teman dari KMBB sempat bikin beberapa leaflet juga tentang revisi perda ini. Isinya tentang intinya bahwa rencana revisi RTRW ini tidak baguslah. Dan kita mencoba bikin upaya-upaya penolakan. T : Dalam revisi itu Mas Taufan terlibat dalam proses apa? J : Saya sempet diundang waktu pembahasan dengan DPRD. Kalau dalam forum resmi saya hanya terlibat waktu diundang Pansus itu. Selain itu kita juga aktif bikin upaya penolakan, dengan demo, lalu kita juga bikin leaflet T : Berapa kali hadir atau diundang Pansus Mas? J : Hanya sekali, karena DPRD itu bikin forumnya terjadwal. Jadi ada yang mengundang LSM, ada yang mengundang pakar. Jadi saya waktu itu hanya sekali, waktu itu bareng dengan temanteman LSM lain, sama KMBB juga T : Dalam forum itu ngapain aja? J : Ya, waktu itu kita memahami bahwa salah satu yang berperan dalam mengesahkan revisi perda itu kan DPRD. Jadi yang kita lakukan waktu itu adalah semaksimal mungkin meyakinkan anggota dewan bahwa ada permasalahan serius yang melatar belakangi rencana revisi itu, salah satunya adalah kepentingan pihak pengembang. Bisa dilihatlah substansinya. Intinya dalam forum itu kita mencoba meyakinkan anggota dewan. Kita juga bawa bukti-buktinya, kita bawa peta-peta dan bahan-bahan tentang materinya, tentang Punclut. T : Jadi masukan yang diberikan itu lebih ditekankan pada Punclut? J : Iya waktu itu yang kita soroti itu Punclut, karena memang itu substansi yang intinya kan. T : Terlibat di proses pengambilan keputusan tidak Mas di forum itu? J : Disini kan posisi masyarakat hanya memberikan masukan. Keputusannya ada di DPRD. Tetapi kita juga di luar forum DPRD mencoba mempengaruhi keputusan itu. Kita mencoba mengontak anggota dewan. Kita juga lihat peta kekuatan, mana anggota dewan yang menolak
revisi ini. Kita mencoba melakukan penekanan-penekanan sampe waktu itu kita juga melakukan beberapa aksi. T : Masukan yang diberikan dalam forum itu diakomodir atau ditindaklanjuti tidak mas? J : Pada dasarnya masukan yang kita berikan, sesuai dengan data-data yang kita berikan mereka mengakui bahwa memang sesuai dengan data-data dan katanya betul. Cuma di perda hasil revisinya tetap saja dilakukan. Jadi tidak diakomodasi. T : Dalam paripurna penetapan perdanya terlibat atau diundang tidak Mas? J : Tidak, tidak terlibat dan tidak diundang. Wawancara dengan Bapak Indra Prawira Waktu Wawancara : 5 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi saya mau bertanya tentang keterlibatan Bapak dalam revisi waktu itu. Waktu itu keterlibatan Bapak mewakili siapa? J : Waktu itu saya pernah diundang beberapa kali oleh dewan untuk membahas revisi RTRW, yang tentang Punclut itu kan. Saya waktu itu diundang sebagai pakar hukum T : Berarti Bapak terlibat dalam pembahasan dengan pansus pak? J : Iya waktu itu diundang oleh Pansus. T : Berapa kali Pak hadir dalam pembahasan dengan pansus itu? J : Persisnya saya lupa, karena itu sudah lama ya. Tapi kalo tidak salah saya sempat diundang beberapa kali T : Setiap diundang selalu hadir pak? J : Iya, saya selalu hadir T : Pembahasan dengan pansus itu isisnya ngapain aja pak? J : Forum itu lebih kepada konsultasi saja. Jadi pansus meminta masukan dari beberapa pakar, ada pakar lingkungan, planologi dan sebagainya. Karena saya di bidang hukum jadi saya dimintai pendapat tentang pendekatan hukum. Jadi saya memberikan beberapa masukan terkait bidang hukum T : Apakah masukan yang bapak berikan diakomodir? J : Hmm saya rasa tidak ya. Karena tidak ada hasilnya dalam perda yang dihasilkan itu T : Dalam forum itu ada proses pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak ada pengambilan keputusan T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik atau rapat paripurna penetapan perda apakah Bapak ikut terlibat atau pernah diundang? J : Tidak, saya tidak ikut terlibat
Wawancara dengan Bapak Yayat Waktu Wawancara : 5 september 2007 Tempat Wawancara : Cidadap Punclut T : Begini pak, saya kan tugas akhirnya tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan Bapak dalam revisi perda waktu itu. Bapak waktu itu terlibat mewakili siapa? J : Sebetulnya Bapak kebetulan waktu itu ketua RW 10 (Kel. Ciumbeulit). Jadi Bapak mewakili warga Punclut RW 10 aja. T : Waktu itu ikut revisinya gimana pak? Proses yang Bapak ikuti gimana? J : Sebetulnya waktu itu ada rapat di kecamatan, tapi Bapak nggak dipanggil, ga diundang gitu. Jadi yang diundang cuma LSM aja. T : Yang di Kecamatan itu teh membahas tentang revisi RTRW Pak? J : Iya, membahas tentang revisi RTRW, tapi Bapak tidak diundang. Sebetulnya waktu di lapangan ini ada peresmian RTRW dari Pak Wali, Bapak juga kaget. Sebenarnya ini teh kapan dibahasnya. Tau-tau udah diresmikan. T : Oh begitu. Kalo pembahasan yang di dewan pernah ikut pak? J : Ngga, Bapak teh pernah ke dewan waktu tentang pengadilan Punclut tapi bukan revisi RTRW. Yang dateng ke dewan revisi RTRW mah LSM aja. T : Oh jadi ga pernaah ikut pembahasan di dewan pak? J : Nggak, makanya itu pas peresmian oleh walikota teh, Bapak teh heran ini kapan dibahasnya. Makanya sebagai pribumi yah, waktu peresmian itu Bapak teh merasa jadi tamu karena tidak tahu apa-apa. Bapak teh waktu itu pernah ke dewan gara-gara mengadukan, memPTUN kan PT DAM itu, karena pembangunan jalan. Tapi kalo pembahasan RTRW tidak pernah diundang. Wawancara dengan Bapak Dadang Sudarja Waktu Wawancara : 5 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan Bapak dalam revisi waktu itu. J : Oh iya. Boleh-boleh T : Bapak waktu itu terlibat mewakili siapa? J : Saya terlibat mewakili Walhi. Waktu itu bareng dengan teman-teman LSM lain juga. Ada dari KMBB juga. T : Dalam revisi itu Bapak terlibat dalam proses apa? J : Dalam forum resminya saya terlibat waktu diundang oleh DPRD. Waktu itu ada forum atau audiensi dengan Pansus revisi RTRW itu. T : Berapa kali hadir atau diundang Pansus Pak? J : Seingat saya hanya sekali aja T : Dalam forum itu ngapain aja Pak? J : Ya, waktu itu kita memberikan masukan dan pendapat kita tentang materi revisi itu, terutama tentang Punclut. Karena dalam revisi itu kan inginnya Punclut dibangun. Tapi kita mencoba memberikan masukan dan pandangan bahwa itu tidak bisa dibangun
T : Bapak waktu itu terlibat dalam proses pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak ada proses pengambilan keputusan. Kita hanya memberikan masukan-masukan, didengarkan oleh dewan. Sudah itu saja. Tidak ada pengambilan keputusan T : Masukan yang diberikan dalam forum itu diakomodir atau ada follow up nya tidak pak? J : Tidak, tidak sama sekali T : Dalam paripurna penetapan perdanya terlibat atau diundang tidak Pak? J : Tidak, tidak diundang. Wawancara dengan Bapak Syahrir Ramdan Waktu Wawancara : 6 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Saya sedang melakukan penelitian tugas akhir tentang penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi perda no 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Jadi saya ingin melihat bagaimana keterlibatan masyarakat di tiap tahapan revisi perda itu. Jadi saya mau nanya-nanya tentang keterlibatan Bapak dalam revisi waktu itu. Dalam revisi Perda RTRW Kota Bandung, keterlibatan Bapak mewakili siapa? J : Saya waktu itu mewakili warga Punclut yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Warga Punclut (FSWP) T : Waktu itu proses revisi yang Bapak ikuti itu pada proses apa? J : Banyak ya. Persisnya saya lupa, tapi pokonya waktu itu kita banyak mengadakan diskusi dan pertemuan-pertemuan untuk membahas tentang Punclut ini T : Pernah terlibat dalam forum resmi misalnya dengan Bappeda atau dengan dewan Pak? J : Pernah, waktu itu pernah diundang oleh dewan untuk diskusi dan menyampaikan aspirasi warga tentang pembangunan di Punclut terkait dengan revisi RTRW itu T : Berapa kali Pak diundang oleh dewan? J : Hmmm, berapa kali ya. Saya lupa persisnya, yang jelas lebih dari satu kali. Dan setiap diundang saya selalu datang T :Masukan yang bapak berikan ketika di dewan itu diakomodir tidak pak? J : Iya diakomodir T : Dalam forum dengan dewan itu ada proses pengambilan keputusan tidak Pak? J : Tidak, seingat saya tidak ada pengambilan keputusan atau menetapkan apa-apa T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik dengan Bappeda atau paripurna penetapan perda apakah Bapak pernah terlibat atau pernah diundang? J : Kalau dengan Bappeda saya tidak pernah terlibat, tapi kalau paripurna saya diundang dan datang Wawancara dengan Bapak Dahlan Waktu Wawancara : 6 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Dalam revisi Perda RTRW Kota Bandung, keterlibatan Bapak mewakili siapa? J : Waktu revisi RTRW itu kebetulan saya menjadi ketua RW 2 di Kelurahan Ciumbeulit ini. Jadi waktu itu ya mewakili masyarakat Punclut aja, khusunya masyarakat RW 2
T : Waktu itu proses revisi yang Bapak ikuti itu pada proses apa? J : Banyak sekali ya saya terlibat dalam revisi itu. Dari mulai dateng ke Walikota, kemudian dateng ke dewan terus ke Gubernur juga sampai ke Mendagri waktu itu T : Jadi waktu itu Bapak pernah diundang oleh Pansus? J : iya waktu itu sempat beberapa kali ya kita diundang oleh pansus soal revisi Punclut itu T : Dalam forum pansus itu ngapain aja pak? J : Kita waktu itu berdialog dengan dewan, menyatakan bahwa warga Punclut benar-benar menginginkan Kawasan Punclut itu untuk ditata. Perlu dibangun fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, rumah sakit. Soalnya itu sangat dibutuhkan. T : Jadi Bapak memberikan masukan soal pembangunan di Punclut ya? J : Iya, begitu soalnya kan saya mewakili warga. Warga itu menginginkan seperti itu T : Apakah masukan yang bapak berikan diakomodir? J : Ya, alhamdulillah iya didengarkan dan diakomodasi oleh anggota dewan. Sekarang di Punclut sudah mulai ada jalan, sekolah juga ada T : Dalam forum itu ada proses pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, kan waktu itu kita hanya berdialog saja. Keputusannya itu nanti oleh anggota dewan T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik atau paripurna penetapan perda apakah Bapak terlibat atau pernah diundang? J : Kalau dalam paripurna saya diundang dan datang, kalau yang lainnya (penyusunan naskah akademik) tidak Wawancara dengan Bapak Tata Santa Waktu Wawancara : 9 september 2007 Wawancara Via Telepon T : Dalam revisi Perda RTRW Kota Bandung, keterlibatan Bapak mewakili siapa? J : Saya mewakili warga Punclut. Kita tergabung dalam Paguyuban Peduli Punclut T : Waktu itu proses revisi yang Bapak ikuti itu pada proses apa? J : Waktu itu kita rapat-rapat dengan warga masyarakat, lalu ada juga rapat dengan LSM-LSM, pernah juga datang ke Walikota untuk menyampaikan aspirasi warga, lalu pernah di dewan juga T : Di dewan itu ngapain pak? J : Iya waktu itu diundang oleh Pansus. Lalu saya menyampaikan aspirasi tentang penyelamatan Punclut, bahwa Kawasan Punclut itu perlu penataan, penghijauan juga pengawasan T : Berapa kali Pak diundang oleh pansus atau berapa kali Bapak hadir dalam forum pansus itu? J : Hanya satu kali T :Masukan yang bapak berikan ketika di dewan itu diakomodir tidak pak? J : Iya diakomodir, karena memang di Punclut itu kan butuh penataan T : Dalam forum itu ada proses pengambilan keputusan tidak? J : Tidak, tidak ada keputusan apa-apa T : Kalau dalam penyusunan naskah akademik atau paripurna penetapan perda apakah Bapak terlibat atau pernah diundang? J : Aduh saya lupa lagi, tapi rasanya tidak pernah
LAMPIRAN C3 TABULASI HASIL WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT YANG TERLIBAT DALAM REVISI PERDA NO 2 TAHUN 2004 TENTANG RTRW KOTA BANDUNG Penyiapan Materi Raperda No
Responden Kehadiran
1
Wiwiek Pratiwi
tidak
2
Hardoyo
tidak
3
Erry Noviar
tidak
4
Daud Silalahi
tidak
5
Indra Prawira
tidak
6
Lambok
tidak
7
Denny Zulkaidi
tidak
8
Iwan PK
tidak
9
Mubiar P
tidak
10
Sobirin
tidak
11
Tjuk Kuswartoyo
tidak
12
Rahmat Jabaril
tidak
Keaktifan memberi masukan tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat
Rapat Paripurna
Pembahasan Materi di Pansus
Masukan diakomodir
Pengambilan keputusan
Kehadiran
Keaktifan memberi masukan
Masukan diakomodir
Pengembilan keputusan
Kehadiran
tidak
tidak terlibat
3 kali (100%)
aktif
tidak tahu
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
3 kali (100%)
aktif
sebagian besar tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
2 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
2 kali (100%)
aktif
tidak tahu
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
100%
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
2 kali (100%)
aktif
iya
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
100%
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
2 kali (100 %)
aktif
sebagian besar tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
3 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
100%
aktif
iya
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
Penyiapan Materi Raperda No
Responden Kehadiran
Keaktifan memberi masukan tidak terlibat tidak terlibat
Rapat Paripurna
Pembahasan Materi di Pansus
Masukan diakomodir
Pengambilan keputusan
Kehadiran
Keaktifan memberi masukan
Masukan diakomodir
Pengembilan keputusan
Kehadiran
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
5 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak
tidak terlibat
2 kali (100%)
aktif
iya
tidak terlibat
iya
tidak
tidak terlibat
100%
aktif
iya
tidak terlibat
iya
tidak
tidak terlibat
100%
aktif
iya
tidak terlibat
iya
13
Setiadjie
tidak
14
Taufan
tidak
15
Prido
tidak
16
Dadang Sudarja
tidak
17
Deden (Punclut)
tidak
18
Dahlan (Punclut)
tidak
19
Syahrir Ramdan
tidak
tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat tidak terlibat
20
Tata Santa
tidak
tidak terlibat
tidak
tidak terlibat
1 kali (100%)
aktif
iya
tidak terlibat
tidak
≥ 75 % = 0
Aktif = 0
Diakomodir =0
Terlibat = 0
≥ 75% = 20
Aktif = 20
Diakomodir =6
Terlibat = 0
iya = 3
Tidak Aktif = 20
Tidak Diakomodir = 20
Tidak Aktif = 0
Tidak Diakomodir = 12 Lain-Lain =2
Tidak Terlibat = 20
tidak= 17
Jumlah < 75 % = 20
Sumber : Hasil Wawancara, 2007
Tidak Terlibat = 20
< 75 % = 0