DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abdurrahman, “Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet-5 Abbas, Ahmad Sudirman, ”Qowa’id Fiqhyah dalam presfektif Fiqih”, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo media, 2004), cet ke-I Amin, Ma’ruf, ”Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: eLSaS, 2008). cet - 1 Asri, Benyamin, dan Thobari Asri. ”Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata Dan Hukum Agraria”, (Bandung: CV. Armico, 1987) Ali, Zainuddin, ”Hukum Perdata Di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet ke-I Arto, Ahmad Mukti, ”Masalah Pencatatan Perkawinan Dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No.26 Tahun IVV” (Mei-Juni, 1996) Azhar, Ahmad Basyir, "Hukum Perkawinan Islam" (Yogyakarta: UII Press, 2000), cet-9. A. Rahman, Bakhri dan Ahmad Sukarja, “Hukum Perkawinan Islam UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW”, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1995), cet. Ke-2 Fuad, Mahsun, ”Hokum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris”, (Yogyakarta: LKiS, 2005) Cet-1. Hanan, Damsyi,” Permasalah Itsbat Nikah, Kajian terhadap Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 7 KHI Mimbar Hukum”, No. 31 Tahun VII, (Jakarta: Al-Hikmah dan Dibinbapera, Maret-April, 1997) Harahap, M. Yahya, ”Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), cet-1
88
89
Hamka, ”Tafsir Al-Azhar”, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz-III Hamzah, Andi ”KUHP & KUHAP”, (Jakarta: PT. Reneka cipta, 2004), cet-11 Ismail al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad, “Shohih Bukhari”, (Makkah: Darul Bayyan Al Arobi, 2005 M/1426 H), cet-1, jilid. 3 Lubis, Sulaikin, dkk, ”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet-2 Munawir A.W, “Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap”, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), cet-2 Mahkamah Agung RI, ”Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan”, Buku II teknisi administrasi dan teknisi dilingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, 4 April, 2006) M. Zein, Satria Effendi, "Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer" (Jakartat: Prenada Media, 2005) cet-2 Nazir M, "Metode Penelitian", (Jakarta: Galia Indonesia, 1988), Cet-ke 2. Nasution, Amir Taat, “Rahasia Perkawinan Dalam Islam” (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet-3. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, ”Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987) Pengadilan Agama Jakarta Selatan, ”Data Yurisdiksi, Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2007. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 114/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 106/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0127/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2008.
90
Ramulyo, M. Idris, "Tinjauan Hukum Perkawinan" (Jakarta: Gema Insani Press,1974), cet-1 Ramulyo, M. Idris ”Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: IND-HILL, 1985), Cet-1 Rofiq, Ahmad, ”Hukum Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet-1 Sayid Muhammad Sato Addimyati al-Misri, Sayid Abi Bakar, “I’anatut Tholibin”, (Indonesia: CV. Dar Ihya al-Kutub al-Arobi). Susanto, Happy, ”Nikah Siri apa untungnya”, (Jakarta: Visimedia, 2007), cet-1 Suma, Muhammad Amin, "Hukum Keluarga Islam dan Dunia Islam", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Surkalam, Lutfi, ”Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita”, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), cet-1 Suhadak, ”Problematika Itsbat Nikah Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama”, diakses dari: http//www.pa-negara.net, hal.2, Desember 2009. Wawancara Pribadi, Dengan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I)
Oleh:
SAIFUL HADI NIM : 204044102982
Di Bawah Bimbingan
Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag NIP:196511191998031002
Dra. Afidah Wahyuni M.Ag NIP: 196804081997032002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abdurrahman, “Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet-5 Abbas, Ahmad Sudirman, ”Qowa’id Fiqhyah dalam presfektif Fiqih”, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo media, 2004), cet ke-I Amin, Ma’ruf, ”Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: eLSaS, 2008). cet - 1 Asri, Benyamin, dan Thobari Asri. ”Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata Dan Hukum Agraria”, (Bandung: CV. Armico, 1987) Ali, Zainuddin, ”Hukum Perdata Di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet ke-I Arto, Ahmad Mukti, ”Masalah Pencatatan Perkawinan Dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No.26 Tahun IVV” (Mei-Juni, 1996) Azhar, Ahmad Basyir, "Hukum Perkawinan Islam" (Yogyakarta: UII Press, 2000), cet-9. A. Rahman, Bakhri dan Ahmad Sukarja, “Hukum Perkawinan Islam UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW”, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1995), cet. Ke-2 Fuad, Mahsun, ”Hokum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris”, (Yogyakarta: LKiS, 2005) Cet-1. Hanan, Damsyi,” Permasalah Itsbat Nikah, Kajian terhadap Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 7 KHI Mimbar Hukum”, No. 31 Tahun VII, (Jakarta: Al-Hikmah dan Dibinbapera, Maret-April, 1997) Harahap, M. Yahya, ”Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), cet-1
88
89
Hamka, ”Tafsir Al-Azhar”, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz-III Hamzah, Andi ”KUHP & KUHAP”, (Jakarta: PT. Reneka cipta, 2004), cet-11 Ismail al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad, “Shohih Bukhari”, (Makkah: Darul Bayyan Al Arobi, 2005 M/1426 H), cet-1, jilid. 3 Lubis, Sulaikin, dkk, ”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet-2 Munawir A.W, “Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap”, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), cet-2 Mahkamah Agung RI, ”Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan”, Buku II teknisi administrasi dan teknisi dilingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, 4 April, 2006) M. Zein, Satria Effendi, "Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer" (Jakartat: Prenada Media, 2005) cet-2 Nazir M, "Metode Penelitian", (Jakarta: Galia Indonesia, 1988), Cet-ke 2. Nasution, Amir Taat, “Rahasia Perkawinan Dalam Islam” (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet-3. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, ”Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987) Pengadilan Agama Jakarta Selatan, ”Data Yurisdiksi, Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2007. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 114/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 106/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0127/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2008.
90
Ramulyo, M. Idris, "Tinjauan Hukum Perkawinan" (Jakarta: Gema Insani Press,1974), cet-1 Ramulyo, M. Idris ”Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: IND-HILL, 1985), Cet-1 Rofiq, Ahmad, ”Hukum Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet-1 Sayid Muhammad Sato Addimyati al-Misri, Sayid Abi Bakar, “I’anatut Tholibin”, (Indonesia: CV. Dar Ihya al-Kutub al-Arobi). Susanto, Happy, ”Nikah Siri apa untungnya”, (Jakarta: Visimedia, 2007), cet-1 Suma, Muhammad Amin, "Hukum Keluarga Islam dan Dunia Islam", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Surkalam, Lutfi, ”Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita”, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), cet-1 Suhadak, ”Problematika Itsbat Nikah Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama”, diakses dari: http//www.pa-negara.net, hal.2, Desember 2009. Wawancara Pribadi, Dengan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah, aturan pengesahan nikah atau itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatatkan oleh PPN yang berwenang. Perundang-undangan tentang pencatatan perkawinan yaitu Undangundang No.22 tahun 1946 dan dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN, dalam ayat 2 juga dijelaskan bahwa dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama. Adapun batasan-batasan itsbat nikah yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3. 1. Adapun faktor yang mempengaruhi itsbat nikah khususnya di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan selama periode 2008, yaitu untuk mengurus perceraian, status anak, tunjangan pensiunan, akta nikah yang hilang . Tapi, yang paling dominan yaitu, untuk mengurus tunjangan pensiunan. Anehnya, mereka yang mengajukan itsbat nikah untuk pengurusan pensiunan, kesemuanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi, dengan adanya pencatatan
59
60
nikah dapat memberikan kepastian hukum baik kepada suami, istri, anak-anak dan harta bersama. 2. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah yaitu sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan itu tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam pasal 8 s/d pasal 10 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Untuk kelengkapannya setiap permohonan itsbat nikah harus ada unsur kepentingan hukum, kalau asal-asalan hanya untuk diitsbatkan perkawinannya tanpa ada kepentingan hukum maka pastinya akan ditolak permohonan itsbat nikahnya.
B. Saran 1. Meningkatnya permohonan itsbat nikah tiap tahun, ini menandakan masih lemahnya kesadaran masyarakat dan masih minimnya sosialisasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Perlunya disosialisaaikan yang lebih gencar kepada masyarakat akan pentingnya pencatatan nikah, karena dengan adanya pencatatan nikah ada jaminan dan kepastian hukum menyangkut status perkawinan tersebut. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 2. Urgentnya akta nikah di dalam perkawinan, maka hendaknya pihak terkait untuk lebih intensif dalam mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya pencatatan nikah dan pihak KUA bersama tokoh masarakat yaitu dalam hal ini ulama menjalin hubungan yang kooperatif, agar tidak terjadi
61
perkawinan yang dilaksanakan didepan Ulama tanpa sepengetahuan KUA, bagi ulama juga membantu KUA dalam memberikan penyuluhan kepada masarakat akan pentingnya pencatatan nikah. 3. Imbauan kepada Pemerintah supaya Pengadilan Agama diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi misalnya, sanksi administrasi kepada pelaku itsbat nikah yang perkawianannya dilakukan setelah berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 supaya ada efek jera bagi pelaku nikah di bawah tangan.
KATA PENGANTAR Bismillâhirrahmânirrahîm Al-hamdulillâhi Rabb al-’âlamîn. Shalâtan wa salâman dâimain ’alâ Rasulillah SAW wa man tabi’ahu ilâ yaum al-dîn. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang InsyaAllah kita termasuk di dalamnya. Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya, sudah seyogyanya penulis berikan penghargaan kepada mereka yang turut berjasa atas terciptanya karya ini, yaitu: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Kamarusdiana S.Ag. MH, masingmasing sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Akhwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA, dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag yang keduanya adalah Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.
i
4. Pembimbing skripsi, Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag. dan Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. yang di tengah padat kesibukannya senantiasa sempat mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis. Berkat beliau, karya yang sedianya hanya pantas disebut pamflet atau selebaran gelap ini layak dianggap sebagai sebuah karya ilmiah. 5. Pembimbing akademik, Bapak Dr. Anwar Abbas, M.Ag. yang telah memberikan
arahan-arahan
akademik
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan perkuliahan dengan lancar. 6. Bapak Drs. H. Syaifuddin Turmudzi, MH., Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Mas Risman Panitera Muda Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta yang terhormat, Ayanda Mas’ud Ismail (Alm) dan Ibunda Miswaroh, (Allâhumma irham humâ kamâ rabbayânî shaghîro) dan saudara/i; Atik Dzulfatin, Saifurrohman, Himmatul Aliya, Inti Khobiatin, Muhammad Khotib dan Lulu Robwatin Kholwat. Berkat mereka penulis sanggup bertahan dalam ganas belantara Jakarta. Juga untuk ”Bidadari”-ku (?), yang hingga penulisan skripsi ini rampung, masih penulis titipkan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, hingga tiba saatnya nanti untuk dipetik. 8. Segenap Masyâyikh di Matholiul Falah Kajen, Pati, Jawa Tengah dan PP. Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Juga, guru-guruku, murobbi rûhî, al-ahyâ’ minhum wa al-amwât.
ii
9. Ayah Ibu angkatku, Bapak Drs. Masrur Ainun Najih dan Ibu Chyc Dalif Laily, yang telah banyak membantu baik moril atau materil demi pendidikan
penulis,
dan
yang
mengajarkan
kesantunan
serta
kesederhanaan dalam pergaulan, ”prioritaskan kebutuhan daripada keinginanan”,
semoga
Allah
memulyakan
kehidupan
dunia
dan
akhiratnya. 10. Sahabat-sahabat “ashhâb al-yamîn” Himpunan Alumni Bahrul Ulum Ibu Kota (Himabi) PP. Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, di Jakarta, dan Keluarga Matholiul Falah (KMF) di Jakarta. Juga rekan-rekan (sok) aktivis Pemuda an-Nahdloh, Ceger, Cipayung. Karena kalian, keyakinan penulis akan dunia mistis (hizb, klenik, wangsit, kuburan, jimat, dll) semakin mantap. Rasionalisme dan modernisme telah runtuh. 11. Kepada seluruh staff
pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak
memberikan banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis. 12. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama yang telah menfasilitasi penulis untuk melengkapi referensi dalam penulisan skripsi ini. 13. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama, “ceritamu, ceritaku dan cerita kita akan abadi”. Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini.
iii
Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi semua pihak, terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Ahwal Syakhsiyah konsentrasi Peradilan
Agama. Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan ucapan terima kasih.
Jakarta, 08 Januari 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
i
KATA PENGANTAR....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................
ix
BAB 1
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................
1
B. Pemabatasan dan Perumusan Masalah...............................
8
C. Review Studi Yang Relevan ..............................................
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
9
E. Metode Penelitian ..............................................................
10
F. Sistematika Penulisan ........................................................
12
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DI INDONESIA A. Pengertian Itsbat Nikah ......................................................
14
B. Hal-hal yang dapat diitsbatkan...........................................
16
C. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah ............................
18
D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan perkawinan ...
27
E. Akibat Hukum Dari Itsbat Nikah .......................................
33
v
BAB III
ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ..........................
35
B. Prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ...................................................................
38
C. Data Perkara Itsbat Nikah Pengadilan Agama Jakarta Selatan...................................................................
43
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ................................ BAB IV
44
ANALISA PUTUSAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Perkara Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatarn: ................................................................
47
B. Penetapan Hukum Duduk Perkara Nomor: 114/Pdt.P/2008/PAJS, 106/Pdt.P/2008/PAJS, dan 127/Pdt.P/2008/PAJS ..................................................
48
C. Analisa Terhadap Putusan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya .............................
vi
51
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................
59
B. Saran...................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
62
LAMPIRAN....................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia dan segala alam lainnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua mahluk tersebut terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan, ada jenis jantan dan betina, ada pria dan wanitanya. Adapun hikmah dari diciptakan Tuhan dari segala jenis atau makhluk berpasang-pasangan yang berlainan sifat dan bentuk adalah agar masing-masing saling butuh membutuhkan, saling memerlukan sehingga dapat berkembang. Manusia adalah makhluk sosial. Ibnu Khaldun, pernah mengatakan bahwa manusia pasti dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup menyendiri kecuali bersama-sama masyarakat itu, hidup bermasyarakat tentu diawali oleh manusia dalam bentuk sebuah keluarga. 1 Bagi manusia umumnya untuk mempertahankan keturunannya, yaitu dengan cara melangsungkan pernikahan sesuai dengan perintah agama. Agar mendapatkan keturunan yang sah dan dari perkawinan itu bisa untuk mempererat tali silahturahmi antar sesamanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita, mereka dikawinkan menurut hukum agama atau Undang-undang yang berlaku di
1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam dan Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.1.
1
2
negaranya, sebagai ikatan sah untuk hidup dalam pergaulan rumah tangga dan mempunyai sanksi hukum yang di ikrarkan dengan perkawinan dan ta’lik. Disebutkan dalam salah satu hadist Rasulullah SAW, berbunyi:
: ْﺳَﻠﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﱠﻠﻰ ا َ ل اﷲ ُ ْﺳﻮ ُ ل َﻟ َﻨﺎ َر َ َﻗﺎ: ل َ ﻦ َﻣﺴْ ُﻌﻮْد َﻗﺎ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ﻦ ُﺼ َ ْﺼ ِﺮ َوَاﺣ َ ﺾ ِﻟﻠْ َﺒ ﻏ ﱡ َ ع ِﻣﻨْ ُﻜ ُﻢ اﻟْ َﺒﺎ َء َة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ َوجْ َﻓِﺈ َﻧ ُﻪ َا َ ﻄﺎ َ ب َﻣﻦْ ِاﺳْ َﺘ َ ﺸ َﺒﺎ َ ﺸ َﺮاﻟ َ َْﻳﺎ َﻣﻌ 2 (ﺟﺎ ُء ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى َ ﺼﻮْ ِم َﻓِﺈ َﻧ ُﻪ َﻟ ُﻪ ِو ﻄﻊْ َﻓ َﻌَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ ج َو َﻣﻦْ َﻟﻢْ َﻳﺴْ َﺘ ِ ِْﻟﻠْ َﻔﺮ Artinya: “Hai pemuda-pemudi, barang siapa di antara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.” (HR. Al-Bukhari) Hikmah perkawinan itu menurut ajaran Islam, adalah untuk memelihara manusia (pemuda) dari perbuatan maksiat yang membahayakan diri, harta dan pikiran. 3 Allah sangat menganjurkan manusia untuk menikah, karena pernikahan tersebut akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Diantaranya, Allah akan melapangkan rizki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana firman Allah:
☯ ⌧
2
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shohih Bukhari, (Makkah: Darul Bayyan Al Arobi, 2005 M/1426 H), Cet, Ke-1, jilid. 3. h.1047 3
Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet, Ke-3, h.30-31.
3
Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Q.S. An-Nahl: 72) Proses pernikahan akan menghasilkan regenersi yang tumbuh dan berkembang, sehingga dalam kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Sebaliknya tanpa pernikahan generasi akan berhenti, kehidupan manusia akan terputus dan dunia pun akan berhenti, sepi dan tidak berarti. 4 Dalam hal ini, Syekh Dr. Jaad al-haq ‘ali jaad al-haq (Syekh Al-Azhar) berperndapat sebagaimana dikutip dalam buku Prof. Dr. H. Satria Efendi M. Zein, MA yang berjudul Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori, yaitu: 1. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syariat Islam seperti yang di rumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai mazhab. 2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat akta nikah yang resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
4
h.13.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), Cet. Ke-9,
4
Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5 Di Indonesia, meskipun Undang-undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 35 tahun yang lalu, ternyata banyak masyarakat yang melakukaan pernikahan tidak sesuai dengan ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Salah satunya yang makin marak dilakukan oleh beberapa masyarakat, artis, dan sebagian para pejabat melakukan pernikahan secara ilegal, salah satunya menggunakan jasa nikah siri atau nikah di bawah tangan, dengan berbagai macam alasannya. Perlu diketahui, bahwa nikah sirri adalah suatu perbuatan pernikahan yang sah menurut agama Islam, namun pernikahan itu dilakukan di luar pengawas petugas sehinga, pernikahan itu tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama), karena itu Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan hukum nikah siri adalah pelanggaran dan batal demi hukum. Banyak faktor yang melatarbelakangi pernikahan ilegal tersebut, salah satunya adalah faktor finansial yang menghalanginya, ada juga karena adat yang diberlakukan di daerah tertentu, ataupun terjadinya poligami dengan tidak memberitahukan istri, adapun alasan lainnya untuk penjelasan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidak cocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
5
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakartat: Prenada Media, 2005), Cet. Ke-2, h.33-34.
5
Dalam pasal 5 KHI disebutkan, agar terjaminnya ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam harus dicatat. Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 Jo. UU No.32 Tahun 1954. Pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan yang dimaksud dalam artian setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah. Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata harus di sini adalah dalam makna wajib menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 6 Sebenarnya, tujuan adanya pencatatan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Meskipun demikian pernikahan siri banyak dilakukan, bahkan menjadi model masa kini yang timbul dan berkembang secara diam-diam pada sebagian masarakat Indonesia. Dalam ilmu hukum cara itu dikenal dengan istilah penyelundupan hukum, yaitu suatu cara menghindari diri dari persaratan hukum yang ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan yang bersangkutan, dapat menghindarkan sesuatu akibat yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki. 7 Payung hukum bagi pelaku pernikahan ilegal salah satunya yaitu, nikah di bawah tangan, di antaranya adanya ketentuan yang membolehkan permohonan 6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet-5, h. 68. 7
h.22.
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Hukum Perkawinan, (Jakarta: Gema Insani Press,1974), cet-1,
6
itsbat nikah seperti diatur dalam pasal 7 KHI (Kompilasi Hukum Islam), menyiratkan sebuah prinsip bahwa, secara subtansial peraturan yang berlaku di Indonesia mengakui keabsahan sebuah pernikahan yang belum tercatat, dan kemudian dengan alasan-alasan yang dicantumkan dalam rincian ayat (3) KHI tersebut, nikah itu dapat dicatatkan dan diitsbatkan alias diakui secara administratif. Ini pada satu sisi, dan pada sisi yang lain dengan adanya pasal 7 tersebut, berarti telah memberi peluang bagi nikah-nikah yang tidak tercatat (nikah sirri) untuk kemudian mencatatkan diri sebagai mana mestinya. Adanya peluang ini, menguntungkan pihak yang melakukan pernikahan di bawah tangan, dan pada waktu yang sama merupakan tanggung jawab badan yang berwenang untuk merealisasi terwujudnya peluang itu bagi yang berhasrat untuk mengisi peluang tersebut. 8 Dampak terjadinya perkawinan yang dilakukan secara ilegal, atau perkawinan yang tidak tercatatkan di KUA, adalah istri dan anak sebagai pihak yang paling dirugikan. Karena, dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan akan menyulitkan dari pihak istri untuk menuntut hak-haknya. Ketika terjadi perceraian mulai dari hak harta gono-gini, hak waris dan yang paling menyakitkan ketika dari pernikahan itu membuahkan seorang anak, untuk mengurus akta kelahiran tidak bisa wali atas nama bapaknya, karena untuk membuat akta kelahiran tersebut diharuskan memakai akta perkawinan dari orang tua si anak tersebut. Jadi, wali dari si anak tersebut adalah ibunya sendiri. Apapun 8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Keluarga Islam Kontemporer, h. 37-38
7
alasannya, pernikahan ilegal seperti nikah siri atau nikah bawah tangan, merugikan salah satu pihak dan yang banyak merugi adalah perempuan dan anak. Sebagai konsekwensinya, apabila sudah terlanjur terjadinya nikah yang di luar prosedur tersebut, maka si istri dituntut untuk bersikap cerdas yaitu salah satunya dengan cara mengitsbatkan pernikahannya di Pengadilan Agama. Untuk jaga-jaga apabila terjadi perceraian si istri tidak kehilangan hak-haknya sebagai istri. Tentunya, untuk mengitsbatkan pernikahan tersebut bukanklah pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan. Beranjak dari banyaknya problematika yang ditimbulkan dari sebuah pernikahan yang terjadi di luar KUA atau tanpa sepengetahuan PPN, maka perlu penyelesaian yang tepat, supaya salah satu pihak tidak merasa dirugikan yaitu salah satunya dengan jalan mengitsbatkan pernikahannya di Pengadilan Agama. Sejalan
dengan
maraknya
masyarakat
yang
berupaya
mengisbatkan
pernikahannya, penulis mencoba mengamati dengan niatan untuk belajar dan menambah wawasan. Sebenarnya faktor-faktor apa saja yang memicu untuk mengitsbatkan pernikahan tersebut, yang dihubungkan dengan ketentuan KHI pasal 7 yang berlaku bagi umat Islam. Dari permasalahan itu peneliti memfokuskan dalam sebuah skripsi dangan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, sangat diperlukan adanya ruang lingkup pembatasan masalah di dalam skripsi, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas dan terarah, serta diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dari uraian di atas, dapat kita cermati bahwa yang menjadi pokok pembahasan penulisan skripsi ini adalah hanya menyangkut terhadap sebab-sebab terjadinya itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan selama periode tahun 2008. Setelah di uraikan secara umum masalah penelitian ini dalam latar belakang masalah, maka penulis menganggap perlu untuk merumuskannya. Guna untuk mengerucutkan permasalahan yang akan dibahas, perlu adanya suatu perumusan masalah agar mempermudahkan dalam pembahasan skripsi ini. Perumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apasaja yang mempengaruhi adanya itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan 2. Bagaimana alasan pertimbangan hakim dalam mengabulkan itsbat nikah dari data perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2008
C. Review Studi Yang Relevan Banyaknya karya ilmiyah yang mengulas tentang Hukum keluarga dalam khazanah hukum Islam di Indonesia. Begitu pula secara khusus karya ilmiyah
9
yang membahas tentang itsbat nikah, dapat dikatakan sudah mulai beredar dan muncul, karya ilmiah terdahulu tersebut, yang akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Saiful Bahri dalam penelitian Skripsinya berjudul: pelaksanaan itsbat nikah dalam rangka pencatatan perkawinan (Analisis putusan Hakim No. 002/Pdt. P/PA. Bekasi) Kesimpulan: Hakim menganggap penting itsbat nikah perlu diberikan untuk kasus-kasus tertentu saja, sedangkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya UUPA tidak perlu di berikan itsbat nikah karena bertentang dengan UUPA itu sendiri. 2. Ahmad Taridi dalam penelitian Skripsinya berjudul: Itsbat nikah sesudah berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Stadi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur) Kesimpulan: menyoroti proses atau tatacara pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama, juga dijelasakan perkara itsbat nikah yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Timur dari 10 perkara yang masuk hanya 6 perkara yang diputus, sedangkan 4 perkara lainya masuk dalam putusan 2005. 3. Mimin
S
dalam penelitian
Skripsinya
berjudul:
Itsbat
nikah
dan
penyelesaiannya di Pengadilan Agama (studi analisis di pengadilan agama Jakarta Timur) kesimpulan: perkawinan yang dilakukan di luar Undangundang perkawinan atau perkawinan di bawah tangan dapat di Itsbatkan di Pengadilan Agama dengan syarat-syarat yang ketat seperti dijelaskan pada pasal 7 KHI ayat 3, sedangkan perkawinan dilakukan di luar Undang-undang
10
perkawinan dan tidak di Itsbatkan di Pengadilan statusnya tidak berkekuatan hukum dan tidak memiliki akibat hukum. Adapun penelitian skripsi ini, lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya atau alasan-alasan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan selama periode tahun 2008.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulis ini dalam menyusun karnya ilmiah ini, bertujuan antara lain sebagai berikut: Tujuan Penelitian: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dalam mengajukan permohonan itsbat nikah. 2. Untuk mengetahui berapa jumlah itsbat nikah di pengadilan Jakarta selatan terkhususnya tahun 2008 3. Untuk mengetahui seperti apa prosedur pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Jakarta Selatan. Manfaat penelitian: 1. Memperkanya wawasan khususnya bagi penulis serta pengembangan dan pengaktualisasian dalam kontek hukum perkawinan di Indonesia 2. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang itsbat nikah bagi pernikahan yang belum tercatat.
11
3. Keguanaan akademisi untuk satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang hukum Islam.
E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Dalam penyusunan penulisan skripsi ini penulis menggunakan Penelitian kajian Kuantitatif (Studi kasus di Pengadilan Agama). Ada dua jenis data: sekunder dan primer. 9 Data primer adalah data yang diambil berasal dari sumber pertamanya, yakni data atau dokumen putusan di lembaga Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sedangkan data skunder adalah data pendukung berupa buku-buku, tulisan-tulisan. yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan objek penelitian. 2. Pendekatan Penelitian Adapun Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-Analisis. Metode, analisis pada sisi ini menggunakan penelitian terhadap putusan hakim di Pengadilan Agama, sehingga bisa mendapatkan hasil penelitian secara terarah dan sistematis. 3. Teknik Penarikan Kesimpulan Teknik penarikan kesimpulan dalam hal ini yang digunakan, metode induksi dan deduksi. Metode induksi ialah suatu cara berpikir atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak 9
M. Nazir, "Metode Penelitian" (Jakarta Galia Indonesia, 1988), Cet-ke 2, h.112.
12
dari masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum, sedangkan deduksi ialah suatu cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus sedangkan pada penelitian ilmiah ini menggunakan penarikan kesimpulan deduksi. 4. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini didasarkan, mengarah pada pedoman yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007, yakni buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi tulisan ini, maka penulis menyusunnya dalam bentuk sitematis penulisaan yang terdiri dari lima bab yang akan penulis uraikan sebagai berikut: Sebagimana Penulisan dalam Bab I gambaran umum penulisan skripsi Isinya mencakup: latar belakang masalah yang berkaitan dengan judul besar pada skripsi, kemudian dilanjutkan dengan perumusan dan pembatasan masalah tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
13
Sedangkan Bab II penulis menyajikan uraian-uraian, pelaksanaan itsbat nikah dalam hukum Islam di Indonesia, yang meliputi pengertian itsbat nikah, hal-hal yang dapat diitsbatkan, pencatatan perkawinan dan akta nikah, hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan, akibat hukum dari isbat nikah. Bab III penulis menguraikan isbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang meliputi, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta Selatan, prosedur itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi adanya itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bab IV Setelah disajikan dua variable yang berbeda, disatu sisi uraian pengertiannya dan ruanglingkup serta faktor-faktor itsbat nikah, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang analisa putusan itsbat nikah yang meliputi penetapan perkara No. 114/Pdt. P/2008/PA, penetapan perkara No. 106/Pdt. P/2008/PA, penetapan perkara No. 0127/Pdt. P/2008/PA, serta analisa terhadap pengaruh putusan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diangkat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adanya itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan beberapa saran penulis sebagai rekomedasi kepada beberapa pihak terkait menyangkut penelitian ini.
BAB II PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. PENGERTIAN ITSBAT NIKAH Secara subtansial arti kata itsbat nikah, yaitu gabungan dua kalimat yakni itsbat dan nikah. Itsbat merupakan dari bahasa Arab yang merupakan kata masdar
ً اﺛﺒﺎ- )اﺛﺒﺖ– ﺛﺒﺘﺎyang mempunyai arti ketetapan atau yang terambil dari kata (ت penetapan,pengukuhan atau pembuktian. 1 Sedangkan yang dimaksud dengan kata nikah, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Begitu juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II Pasal 2, bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang kuat
atau
mitsaqan
ghalizhan,
untuk
mentaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan definisi nikah yang diberikan Ulama fiqih, yaitu akad yang membolehkan terjadinya al-Istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita atau melakukan wati’ dan berkumpul, selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.2 1
A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), h.145. 2
Abdurraman,, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h.67
14
15
Jadi, yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan,
pembuktian,
atau
pengabsahan
Pengadilan
Agama
terhadap
pernikahan yang telah dilakukan karena alasan-alasan tertentu atau penetapan oleh Pengadilan Agama atas perkawinan yang sah tetapi tidak mempunyai akta nikah. Sebagimana yang dirumuskan dalam kamus besar Bahasa Indonesia bahwa, itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. 3 Istilah itsbat nikah hanya dipakai dalam Pengadilan Agama, untuk menyelesaikan sengketa pernikahan di kalangan umat Islam yang belum tercatatkan, atau ketentuannya yang tercantum dalam KHI Pasal 7 ayat 3. Sementara itu, bagi pasangan suami-istri yang beragama non muslim, pedoman semacam itsbat nikah tidak ada atau tidak diatur. Mereka justru diminta untuk melakukan pernikahan ulang yang kemudian disertai dengan mencatatkannya di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Kantor Catatan Sipil. Pernikahan ulang dilakukan karena UU Perkawinan tidak mengatur selain kemungkinan itu jika Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan, yang bersangkutan dapat melakukan gugatatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab pernikahan ulang adalah sama saja layaknya orang yang baru akan menikah, bahkan kini pernikahan mereka berhak dicatatkan secara resmi, sehingga gugatan semacam itu sah-sah saja 4
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1995), Cet. Ke-2, h. 111 4
Happy Susanto, Nikah Siri apa untungnya, (Jakarta: Visimedia, 2007), Cet. Ke-1 hal. 107
16
B. HAL-HAL YANG DAPAT DIITSBATKAN Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 64 berbunyi, untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah. 5 Dari ketentuan Undang-undang Perkawinan tersebut, bahwa itsbat nikah hanya dibatasi dengan perkawinan yang terjadi sebelum tahun 1974. Kemudian peraturan Undang-undang pekawinan tersebut telah disempurnakan dengan hadirnya Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3, adapun ketentuan tentang perkara yang diitsbatkan di Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : 1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Artinya bila seseorang telah menikah menurut tata cara (yang dikenal dengan nikah di bawah tangan dan tidak mencatatkan perkawinannya di Pegawai Pencatat Nikah atau Kantor Urusan Agama), kemudian ia bermaksud melakukan perceraian, ia dapat mengajukan permohonan itsbat nikah bersamaan dengan gugutan atau permohonan cerai. 2. Hilangnya Akta Nikah. Bila pernikahan telah dicatatkan dan mendapatkan Akta Nikah (buku nikah) tetapi kemudian buku tersebut hilang, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan itsbat nikah. Permohonan dapat
5
M. Yahya Harahap , Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975) Cet. Ke-1, h. 268
17
diajukan kepengadilan dengan membawa bukti lapor kehilangan akta nikah dari petugas yang berwenang (Polisi). 3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 adalah adanya calon istri, calon suami, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Bila ada keraguan dari syarat tersebut misalnya tentang wali nikah, maka ajuan itsbat nikah dapat dilakukan. 4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Maksudnya, dengan bukti bahwa perkawinan dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan tidak memiliki akta nikah, maka untuk kelengkapan administrasi, ia dapat mengajukan permohonan itsbat nikah. 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974. Artinya permohonan itsbat nikah dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak mempunyai halangan (dilarang oleh hukum) misalnya adanya hubungan darah, hubungan kekerabatan, hubungan sepersusuan, atau karena perempuan tersebut dalam masa iddah, atau bekas istri yang sudah diceraikan tiga kali berturut-turut. Dalam berpekara di Pengadilan Agama terdiri dari dua bentuk, yaitu gugatan dan permohonan. Gugatan adalah tuntutan hak yang di dalamnya mengandung unsur sengketa, sedangkan permohonan adalah tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang yang tidak
18
mengandung sengketa. 6 Atau disebut juga perkara voluntair karena di dalamnya tidak terdapat sengketa. Adapun dalam berbagai hal terdapat pihak yang berkeberatan atas suatu itsbat nikah yang diajukan secara voluntair, maka pihak yang berkeberatan atas itsbat nikah tersebut harus mengajukan bantahan ke Pengadilan Agama, baik sebelum atau sesudah itsbat nikah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Itsbat nikah untuk perceraian bisa diputus bersama-sama, sepanjang para pihak dapat membuktikan tentang keadaan perkawinannya dengan terlebih dahulu, baru kemudian diperiksa dalil-dalil gugutan perceraiannya. 7
C. PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH Pelaksanaan pencatatan perkawinan tidaklah menjadi suatu ketentuan sahnya suatu perkawinan, hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang ada dan terjadi, hal ini hanya semata-mata bersifat administratif. Sedangkan mengenai sahnya suatu perkawinan, sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 2,
6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 39 7
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Buku II teknisi administrasi dan teknisi dilingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: 4 April, 2006), h.30
19
bahwa perkawinan adalah sah, apabila menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu. 8 Dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan dalam masarakat Islam harus dicatat. Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 Jo. UU No.32 Tahun 1954. Pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan yang dimaksud dalam artian setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah. Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata harus di sini adalah dalam makna wajib menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, sedangkan pasal 7 ayat 1 menyebutkan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. 9 Pencatatan secara resmi adalah suatu hal yang wajib dilakukan dalam pernikahan, baik menurut ketentuan Agama maupun ketentuan Negara. PP tentang pelaksanaan UU Perkawinan pada pasal 45 ayat 1, menetapkan sanksi bagi yang tidak menghiraukan pencatatan pernikahannya dengan hukuman denda setinggi-tingginya sebesar Rp.7.500,- demikian juga, sanksi bagi Pegawai 8
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), h. 23 9
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h.68
20
Pencatat yang melanggar ketentuan itu dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-. Besarnya denda itu untuk saat ini memang terhitung sangat kecil, sehingga banyak pihak yang masih saja berani tidak mengindahkan ketentuan tentang aturan pencatatan tersebut. Padahal, pada ayat 2 ditegaskan bahwa tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori pelanggaran terhadap UU. 10 Dari uraian di atas betapa petingnya suatu pencatatan perkawinan, guna membetengi diri bilamana terjadi perceraian, menjaga keseimbangan hak antara pihak istri dan suami. Masalah pentingnya pencatatan, Allah telah mensyariatkan adanya pencatatan. Seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 282:
⌧ ☺
☺ ☺
⌧
⌧ ☺
10
Happy Susanto, Nikah Siri apa untungnya, h, 104.
☺
21
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
22
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282) Agar tidak terjadi pengingkaran antara kriditur dan debitur. Dalam ayat tersebut, menyuruh kepada orang yang beriman kepada Allah SWT supaya hutang piutang itu ditulis, sebab tidak layak, karena berbaik hati kedua belah pihak, lalu berkata tidak perlu ditulis, karena kita sudah percaya mempercayai, padahal umur kedua belah pihak sama-sama di tangan Allah. Suami mati dalam hutang, tempat berhutang menagih kepada ahli warisnya yang ditinggal, si ahli waris bisa mengingkari hutang itu karena tidak ada bukti berupa surat perjanjian.11 Dari landasan ayat di atas, betapa pentingnya suatu pencatatan setiap terjadi transaksi. Dalam hal ini, ayat di atas bisa diqiyaskan dengan keharusannya untuk pencatatan perkawinan. Dimaksud mengqiyaskan di atas, sama seperti pada kasus hukum minum bir atau wisky, misalnya seorang mujthid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitain secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab diharamkannya khamar. Hal ini sesuai firman Allah dalam surat al-Ma’idah[5]: 90-91. Dengan demikian,
11
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz.III, h.81
23
mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena ‘ilat keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan ‘ilat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya dalam al-Qur’an dan Hadist, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksud ulama ushul fiqh bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nash, disebabkan kesamaan ‘ilat antara keduanya. 12 Begitu juga antara pencatatan dalam akad perkawinan dan pencatan akad muamalah bisa diqiyaskan, karena pernikahan juga merupakan suatu tindakan yang masuk dalam kategori amalan muamalah. Dalam pemahaman Islam, kita mengenal ada dua macam amalan seorang muslim, yaitu ibadah dan muamalah. Amalan yang pertama merupakan hubungan secara langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya, dan amalan yang kedua adalah hubungan antara sesama hamba Allah. Penikahan merupakan suatu amalan muamalah, seperti halnya aktifitas berdagang, utang piutang, pinjam meminjam dan sebagainya. Karena pernikahan merupakan suatu akad yang terjadi dan melibatkan di antara dua belah pihak yang berkepentingan. 13
12
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSaS, 2008), Cet. Ke-1,
h.106-107. 13
Wawancara Pribadi, Dengan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009
24
Urgentnya pencatatan dalam pernikahan telah disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 yaitu: agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan. Tentang kata harus yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 menurut Abdurrahaman, SH. MH. Kata harus yang termuat dalam KHI pasal 5 ayat 1 bermakna wajib menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena perkawinan yang dilaksanakan di luar pengawasan Pegaawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah
merupakan
kewajiban
bagi
mereka
yang
akan
melangsungkan
perkawinan. 14 Akta Nikah adalah bukti otentik bagi masing-masing yang bersangkutan, karena ia dibuat oleh pegawai umum openbaar ambtenaar. 15 Masing-masing mempelai akan mendapatkan buku akta nikah, yang bisa dijadikan bukti otentik yang menyatakan bahwa telah benar-benar terjadi terjadi peristiwa pernikahan antara kedua belah mempelai. Akta perkawinan adalah sebagai alat bukti yang mempunyai tiga sifat: A) Sebagi satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak
14 15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.68
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND-HILL, 1985), Cet. Ke-1, h.168
25
B) Sebagai alat bukti penuh, artinya disamping alat bukti akta tidak dapat dimintakan alat bukti lain. C) Sebagi alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawan tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu. 16 Sedangkan tentang akta nikah di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya pada bab IV pasal.12 yang memuat antara lain sebagai berikut: 1. Nama, tempat dan tanggal lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman dari suami istri. apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. 2. Nama, agama/kepercayaan pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka. 3. Sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3) dan (5) Undang-undang. 4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang. 5. Izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 4 Undang-undang. 6. Persetujuan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang. 7. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota angkatan bersenjata. 8. Perjanjian perkawinan apabila ada. 9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
16
Benyamin Asri , Thobari Asri, Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata Dan Hukum Agraria, (Bandung,: CV. Armico, 1987), h.40
26
10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. 17 Akta Perkawinan itu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dibuat rangkap dua helai, pertama disimpan dikantor pencatatan KUA atau KCS, sedang helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi kantor pecatat tersebut atau sesuai termaktub dalam pasal 13 PP. Hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh Pengadilan bila kemudian hari terjadi talak atau gugatan cerai. Sebab Undang-undang pasal 39 menentukan bahwa cerai talak hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedang cerai gugatan harus dengan putusan Pengadilan. Kemudian kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan, yang mirip dengan buku nikah sekarang, sesuai pasal 13 ayat 2 PP dengan isi yang sama. 18 Para pemikir Islam atau hukum fiqih terdahulu, tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan ada aktanya. Sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting, namun bila diperhatikan pertimbangan hukum saat ini, pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih: 19
ﺢ ِ ﺐ اﻟ َﻤﺼَﺎِﻟ ِ ْﺟﻠ َ ﻰ َ ﺳ ِﺪ ُﻣﻘَ ﱠﺪمٌ ﻋَﻠ ِ َدرْ ُء اﻟ َﻤﻔَﺎ 17
M. Yahya harahap, Hukum Perkawinan nasional, h.276
18
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam, h.165 19
Ahmad Sudirman Abbas, Qowa’id Fiqhyah dalam presfektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo media, 2004), Cet. Ke-I, h.148.
27
“menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah, merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia. 20
D. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dijelaskan secara spesifik, yaitu perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidzan, untuk mentaati perintah Allah dan menjalankannya merupakan ibadah. Pengertian akad yang sangat kuat mengandung arti bahwa, ikatan perkawinan bukanlah ikatan yang main-main yang dapat mudahnya dinyatakan berakhir, tanpa adanya alasan-alasan syar’i yang dapat membenarkannya. Selain itu dengan klausul untuk mentaati perintah Allah dan menjalankanya merupakan ibadah, maka pelaksanan perkawinan, sejak awal haruslah sesuai tuntutan yang telah digariskan oleh Agama. 21 Sedangkan tujuan perkawinan sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 dijelaskan
20
29-30.
21
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. Ke-I, h..
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), Cet.Ke-1, h.1
28
bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 22 Oleh karena itu, untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan Perundangundangan yang berlaku sebagaimana disebut dalam KHI tentang pencatatan perkawinan. -
Pasal 5 ayat 1 agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
-
Pasal 5 ayat 2 pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22/1946 jo, Undang-undang No. 32/1954. Teknik pelaksanaannya dijelaskan pada pasal 6 yang menentukan:
1. Untuk memenuhi dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Secara rinci peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 menjelaskan tentang : 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan pernikahan menurut ajaran agama Islam. Dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud
22
Abdurrahmah, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 114
29
dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. 2. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah pada kantor pencatatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam
berbagai
Perundang-undangan
mengenai
pencatatan
perkawinan. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini. Secara ringkas sebagai berikut: a. Yang berkepentingan memberitahukan keinginan melakukan perkawinan kepada pegawai ditempat pencatatan ditempat perkawinan dilangsungkan. Ketentuan tentang hari ini boleh berbeda karena alasan yang penting, tapi mesti direkomendasikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. b. Pemberitahuan boleh disampaikan secara lisan atau tulisan oleh mempelai (orang tua/wakil) ini memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan status mempelai (dengan menyebut suami/istri sebelumnya) jika ada.
30
c. Kemudian pegawai mencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi berikut memastikan tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang, selain itu juga meliputi: 1) Kutipan akta kelahiran atau surat ketarangan dari kelurahan (setingkat) tentang umur dan asal usul calon mempelai 2) Keterangan mengenai nama, agama, kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai 3) Izin tertulis/izin Pengadilan bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun 4) Izin Pengadilan bagi suami yang ingin berpoligami dispensasi pengadilan bila umur belum mencukupi 19 tahun (pria) dan 16 tahun (wanita) 5) Surat kematian salah satu pihak yang telah meninggal dunia izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk PANGAB/MENHANKAM bila salah satu seorang calon mempelai anggota ABRI. 6) Surat kuasa bila calon mempelai tak bisa datang. Setelah dipenuhi semua syarat maka dibuat pengumuman oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). 23 Setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah dipersiapkan oleh PPN, kemudian diikuti oleh dua orang
23
Abdul Ghani, Himpunan perundang-undangan, h. 322
31
saksi dan wali nikah (bagi perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam). Akta tersebut juga ditandaangani oleh PPN dengan selesainya penandatanganan itu maka perkawinan telah tercatat secara resmi. 24 Sebagai penjelasan dalam pelaksanaan Undang-undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam memaparkan hal-hal yang diatur secara global dalam Undang-undang ini (khususnya bagi umat Islam). Termasuk dalam masalah itsbat nikah ini dalam Undang-undang secara gamblang disebutkan, salah satu prinsip perkawinan adalah pencatatan perkawinan agar memperoleh akta nikah. Sedangkan bagi orang yang tidak memperoleh akta nikah karena sesuatu alasan, dapat meminta itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Namun, hanya khusus untuk perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang sebelum Tahun 1974 diberlakukan, sementara dalam setiap pemeriksaan perkawinan selalu diperiksa akta nikahnya yang bisa saja tak ada lantaran alasan selain alasan yang disebutkan Undang-undang yang disebutkan di atas. Pemeriksaan akta nikah ini menjadi sangat penting karena tak mungkin dilakukan pemeriksaan tentang perceraian kalau tidak adanya perkawinan. Karena itu kalau itsbat nikah untuk menyelesaikan perceraian saja dilayani. Apalagi itsbat nikah untuk hal lain. 25 Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tidak ada jaminan akan selamanya pihak-pihak yang bersangkutan mau bertanggung jawab. Faktor vested 24
Bakhri A Rahman, dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Islam UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981), h. 38 25 Damsyi Hanan, Permasalah Itsbat Nikah, Kajian terhadap Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 7 KHI Mimbar Hukum, No. 31 Tahun VII, (Jakarta: Al-Hikmah dan Dibinbapera, Maret-April, 1997), h. 83
32
interest merupakan alasan yang menjadi penyebab pengingkaran terhadap suatu perkawinan, di mana nantinya secara otomatis akan melepaskannya dari tanggung jawab yang berkaitan dengan rumah tangga. Oleh karena itu, pemerintah membuat suatu aturan tentang pencatatan perkawinan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, merupakan suatu upaya yang diatur dalam Undang-undang, untuk melindungi martabat dan kesucian (mistagan al ghalidz) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami-istri mendapatkan salinannya, apabila terjadi percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta nikah tersebut, suami-istri memilik bukti otentik atas perbuatan hukum yang mereka lakukan. 26 Menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan, tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah: Pertama, manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, 26
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-
1, h.107.
33
baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut Perundang-undangan. Dengan ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut. 27 Kedua, manfaat Refresif, hal ini berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena lain suatau hal. Bisa mengajukan itsbat nikahnya atau penetapan perkawinannya kepada Pengadilan. 28 Dalam pembahasan di atas, tampaklah hubungan antara itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan. Di mana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan bukti otentik telah terjadinya perkawinan tersebut yang terwujud dalam bentuk akta nikah. Maka bagi yang belum mendapatkan akta nikah dapat dimintakan itsbat nikah (pengesahan nikah) kepada pihak Pengadilan Agama untuk mendapatkan akta nikah tersebut.
E. Akibat Hukum Dari Itsbat Nikah Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah, maka secara otomatis yang berkepentingan akan mendapatkan bukti yang otentik, yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama nantinya. Itsbat nikah 27
Ahmad Rofiq, h.111-112.
28
Ahmad Rofiq, h. 117.
34
ini berfungsi sebagai kepastian
hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan
hukum atas perkawinan itu sendiri, dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Dengan adanya pencatatan perkawinan, maka eksistensi perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Telah memenuhi ketentuan hukum materil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. 2. Telah memenuhi formil, yaitu telah dicatatkan pada pegawai pencatat nikah yang berwenang. Sebaliknya, pekawinan yang tidak tercatatkan dan tidak pula dimintakan itsbat nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah: 1. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum. 2. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 3. Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP. 4. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita saebagai istri dan juga anak-anaknya. 29
29
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan Dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No.26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 51-52.
35
Pengajuan permohonan itsbat nikah merupakan langkah yang tepat, bagi perkawianan yang tidak mempunyai akta nikah, guna membentengi diri dan terjaganya keseimbangan antara hak suami atau istri. Karena tidak ada jaminan bahwa suatu perkawinan akan langgeng selamanya, maka dengan diitsbatkan nikahnya akan menjadi bukti yang otentik yang berwujud sebuah akta nikah. Sehingga, apabila terjadi perceraian keseimbangan hak suami dan istri akan terjaga. Jadi, dengan itsbat nikah memberikan kepastian hukum baik kepada suami, istri, anak-anak dan harta bersama.
BAB III ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Sejarah berdirinya Pengadilan Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, pada mula Pengadilan di Jakarta hanya terdiri dari kantor induk dan 2 (dua) cabang yaitu: a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara. b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah (sekarang Jakarta Pusat). c. Kantor Cabang Pengadilan Istemewa Jakarta Raya sebagai induk. Semua Pengadilan Agama tersebut termasuk wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Surakarta, kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 71 tahun 1976, semua Pengadilan di Propinsi Jawa Barat dan Pengadilan Agama di wilayah khusus Ibu Kota Jakarta berada di dalam wilayah hukum Mahkamah Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Tinggi diubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta dengan realisasi perpindahan tersebut baru
35
36
terlaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1987. Dengan demikian otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama yang ada di Jakarta yang semula termasuk wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Bandung menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang beralamat di Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan, mempunyai luas tanah sekitar 3.421 M2. Adapun luas bangunannya Pengadilan Agama Jakarta Selatan seluas 1000 M2. yang saat ini dijadikan balai sidang perkantoran. Adapun luas bangunannya dan status tanah dan bangunan yang dipergunakan untuk kantor Pengadilan Jakarta Selatan adalah milik Pemda DKI Jakarta. 2. Dasar Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai instansi hukum yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugasnya yang menjadi dan landasan kerjanya: a. Undang-undang Dasar 1945. b. Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. c. Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. d. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. e. Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.
37
f. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974. g. Keputusan Ketua Mentri Agama RI No. KMA/004/SK/II/1992 tanggal 24 Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kesekretariatan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. h. Keputusan Mentri Agama RI No. KMA/SK/1/1991 tanggal 24 Januari 1991, tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. i. Keputusan Mentri Agama RI No. KMA/006/SK/III/1994 tentang pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh Pengadilan tingkat banding dan Pengadilan tingkat pertama. j. Undang-undang serta peraturan
Perundang-undangan lainya yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama. k. Keputusan Presiden No. 21 tahun 2004 tentang perubahan satu atap di bawah Mahkamah Agung RI. 3. Letak geografis wilayah hukum Secara astronomi wilayah Kota Madya Jakarta Selatan adalah seluas 145.73 Kilometer Persegi (Km2) dan secara astronomis wilayah Kota Madya Jakarta Selatan terletak dan berada pada posisi 06.15’ 40,8’ lintang selatan dan 106’45/0.00 bujur timur, dan berada pada kemiringan 26,2 diatas
38
permukaan laut. Wilayah hukum Jakarta Selatan meliputi wilayah kota Jakarta Selatan yang terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan dan 65 Kelurahan. 1
B. Prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam berpekara di Pengadilan Agama, terdiri dari dua bentuk yaitu gugatan dan permohonan. Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung unsur sengketa, dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara. 2 Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan yaitu penggugat dan tergugat. Dalam hukum acara perdata gugatan disebut perkara kontentius. Sedangkan surat permohonan adalah, suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh pihak orang yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, di hadapan badan Peradilan yang berwenang. 3 Atau disebut juga perkara voluntair, karena di dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan, juga dapat dianggap suatu proses Peradilan yang bukan sebenarnya. Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat
1
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Data Yurisdiksi, Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Jakarta, 2007) 2
Sulaikin lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-2, h.118 3
A.Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.39
39
diterima, kecuali Undang-undang menghendaki demikian. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah: 1. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan tindakan hukum. 2. Penetepan pengangkatan wali. 3. Penetapan pengangkatan anak. 4. Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah). 5. Penetapan wali adhol dsb. Produk perkara voluntair adalah penetapan. Nomor perkara permohonan diberi tanda P, misalnya Nomor 234/Pdt.P/2000/PAJS. Perlu diingat bahwa setiap permohonan itu tidak bersengketa, ada beberapa perkara dalam kompetensi absolut yang diajukan dengan prosedur permohanan, tetapi diperiksa dengan cara gugatan karena mengandung sengketa. Sebagai contoh, perkara izin ikrar thalak dan ikrar poligami. Dalam dua perkara ini perkara di kategorikan perkara kotentius dan diberi tanda G (gugatan). 4 Itsbat nikah seperti dijelaskan di atas, termasuk dalam kategori permohonan karena tidak mengandung sengketa. Adapun prosedur permohonan itsbat nikah harus memenuhi persyaratan-persyaratan di bawah ini: 1. Pemohon mendatangi Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 2. Suami atau istri termasuk pemohon. 4
A.Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, h. 41
40
3. Mengajukan permohonan pada bagian penerimaan perkara dengan membawa/ melengkapi beberapa persaratan administrasi yakni: a) Surat pengantar dari Pemerintah setempat/Lurah/Kepala Desa. b) Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP). c) Menyertakan surat permohonan itsbat nikah. Pemohon kemudian mendatangi meja 1 untuk ditetapkan biaya perkara (SKUM), setelah itu baru diberi nomor perkara. Kemudian, berkas yang sudah diberi nomor perkara itu, dibawa ke meja II untuk pengadministrasian. Setelah itu diserahkan di meja III untuk dibukukan. Selanjutnya oleh panitera, berkas itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama untuk diteliti dan kemudian, Ketua Pengadilan Agama menentukan majlis hakim yang akan menangani perkara tersebut. Majlis Hakim yang ditunjuk kemudian menentukan hari sidang. Setelah itu berkas perkara diserahkan kepada panitera. Menurut biasanya, proses perkara seperti itsbat nikah ini paling lama 4 hari sampai pemanggilan sidang pertama biasanya paling lambat 10 hari sesudah pendaftaran. 4. Menguasai permasalahan seperti: a) Orang yang menikahkan b) Nama wali dan statusnya c) Nama saksi-saksi d) Mengetahui tempat, hari dan tanggal/tahun pernikahan
41
5. Pemohon menghadiri sidang berdasarkan surat panggilan Pengadilan Agama, dengan membawa surat panggilan dan apa-apa yang diminta sewaktu mengajukan permohonan itsbat nikah. 6. Pemohon wajib membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar permohonan di muka sidang Pengadilan Agama, berdasarkan alat-alat berupa saksi-saksi dan surat-surat. Proses pemeriksaan pemohon itsbat nikah adalah: 1. Sesudah pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah dan telah membanyar perkara, maka perkara tersebut diberi nomor perkara dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama untuk di tunjuk Majlis Sidang. 2. Sebelum dilakukan persidangan terlebih dahulu para pemohon dipanggil secara patut dan sah. Pemanggilan secara patut dan sah ini dimaksudkan adalah surat pemanggilan itu harus sampai kepada pihak pemohon minimal tiga hari sebelum persidangan digelar/dilakukan. Dan surat pemanggilan itu harus ditandatangani oleh juru sita dan pihak yang memohon itsbat nikah itu. 3. Pemohon wajib membuktikan keabsahan pernikahan mereka dengan dalildalil berupa saksi dan surat-surat yang sah. 4. Setelah diadakan pemeriksaan dan terbukti sah atau tidaknya, maka dibuatkan oleh Pengadilan Agama (dalam hal ini majelis hakim yang menyidangkan perkara ini) penetapan berupa penolakan atau pengabulan permohonan tersebut.
42
Samua perkara Voluntair diselesaikan dengan putusan deklalator dalam bentuk penetapan atau beschiking. Putusan deklalator yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum. Misalnya, Putusan yang menyatakan sah tidaknnya suatu perbuatan hukum atau status perbuatan hukum seseorang. Menyatakan boleh tidaknya untuk melakukan perbuatan hukum. Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan adalah sebagai berikut: 1. Asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya kebenaran sepihak. Kebenaran yang terkandung di dalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri pemohon, kebenarannya tidak menjangkau orang lain. 2. Kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon. 3. Putusan penetapan tidak mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak manapun. 4. Putusan penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan penetapan tidak dapat diminta eksekusi kepada pengadilan. 5
5
Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 340
43
C. Data Perkara Itsbat Nikah Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara yang dikabulkan dan ditolak tentang Itsbat nikah, yang terjadi di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pada tahun 2008 data yang diperoleh dari bulan Januari sampai Desember adalah: 6 Sisa No
Bulan
Diterima Dikabulkan Ditolak
Akhir
Keterangan
Bulan 1
Januari
3
1
2
-
2
Februari
6
1
5
-
3
Maret
19
13
5
1
4
April
4
5
-
-
5
Mei
4
2
2
-
6
Juni
8
3
-
5
7
Juli
2
6
-
8
Agustus
2
3
-
-
9
September
4
3
1
-
10
Oktober
2
-
-
2
11
November
2
3
-
12
Desember
-
1
-
-
JUMLAH
56
41
15
10
1
1
1 perkara masuk bulan April
5 perkara masuk bulan Juli 1 perkara masuk bulan Agustus
2 Perkara masuk bulan November 1 perkara masuk bulan Desember
Perlu diketahui menurut biasanya, proses perkara seperti itsbat nikah ini paling lama 4 hari sampai pemanggilan sidang pertama, biasanya paling lambat 6
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Jakarta, 2008)
44
10 hari sesudah pendaftaran. Dari 56 kasus yang diterima dan 41 perkara yang diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, terhitung mulai dari bulan Januari sampai Desember periode tahun 2008 ternyata rata-rata (kira-kira 95%) adalah tentang perkara perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1974. 7
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Suatu perkawinan yang tidak diakui oleh hukum positif, secara otomatis tidak mendapat perlindungan hukum. Dampak dari perkawinan yang tidak tercatat atau nikah siri terhadap kaum perempuan dan anak dari hasil perkawinan, hal ini akan terasa dalam hal yang menyangkut hak-hak keperdataan dan perlindungan hukum misalnya, nafkah, harta bersama, warisan dll. Maksud dan tujuan utama perundangan mengatur tentang perkawinan, harus tercatatkan adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum Negara yang bersifat preventif
dalam
masyarakat
untuk
mengkordinir
masyarakatnya
demi
terwujudnya ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik. 8
7
Wawancara Pribadi, Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009 8
Suhadak, Problematika Itsbat Nikah Poligami Dalam Penyelesaian Di Pengadilan Agama, diakses dari: http// www.pa-negara.net hal, 2, Desember 2009
45
Itsbat nikah merupakan solusi yang tepat bagi mereka yang melakukan perkawianan yang belum tercatatkan, agar status perkawianan jelas dan diakui oleh hukum. Itsbat nikah merupakan penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama tentang kebenaran atau keabsahan suatu pernikahannya dan akan mendapatkan kepastian hukum. Dalam pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawianan yang dilangsungkan sebelumnya berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. akan tetapi pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk mengesahkan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN, yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama. Jadi ada pintu di sini untuk mengajukan itsbat nikah walaupun perkawinannya dilakukan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tapi dengan catatan harus mengandung ada kepentingan hukum misalnya, untuk mengurusi tunjangan pensiunan, penyelesaian perceraian, mengurus anak atau waris dll. 9 Pengajuan permohonan itsbat nikah yang menjadi obyek penelitian penulis adalah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada periode tahun 2008. 9
Wawancara Pribadi, Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak. Drs. Saefuddin Turmudzi, MH, Pada hari Senin, tanngal 14 Desember 2009.
46
Dari tahun 2007 ke tahun 2008 cenderung adanya peningkatan. Yaitu pada tahun 2007 permohonan itsbat nikah terdapat 24 perkara, dari total perkara yang masuk 1797 perkara yang telah diputuskan, sedangkan pada tahun 2008 permohonan itsbat nikah terdapat 41 perkara dari 2197 perkara yang telah diputuskan. Dari data yang masuk pada tahun 2008 terdapat 41 perkara yang telah diputus oleh majlis hakim. Sedangkan, permohonan itsbat nikah dari data yang diperoleh, anehnya 95% mereka mengajukan itsbat nikah untuk kepentingan mengurus tunjangan pensiunan dan perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan meningkatnya permohonan itsbat nikah tiap tahun, ini menandakan masih lemahnya kesadaran masyarakat dan masih minimnya sosialisasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
BAB IV ANALISA PUTUSAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Perkara Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Berdasarkan ketentuan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama khususnya pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan Undang-undang yang lain yang berlaku, antara lain: Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, PP No. 28 tahun 1977, Impres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam. Dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 dijelaskan, bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang: 1. Perkawinan 2. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Islam. 3. Wakaf dan Shadaqah. Dan itsbat nikah merupakan salah satu kewenangan mutlak (Kopetensi Absolut) Pengadilan Agama termasuk di dalamnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dari hasil wawancara dengan berbagi pihak di Pengadilan Agama Jakarta
47
48
Selatan, diantaranya dengan hakim Drs. Saefuddin Turmudzi, MH, bahwa pemohonan untuk itsbat nikah cenderung ada peningkatan “lihat saja pada tahun 2007 masuk 24 perkara permohonan itsbat nikah dari total perkara yang masuk 1797 perkara dan pada tahun 2008 masuk 41 perkara permohonan itsbat nikah dari total perkara yang masuk 2197 perkara, tetapi jumlah perkara itsbat nikah yang masuk dan di putus oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan jumlahnya tidak mendominasi perkara lainnya” ujarnya. 1
B. Penetapan Hukum Duduk Perkara Nomor. 114/Pdt.P/2008/PAJS, Nomor. 106/Pdt.P/2008/PAJS dan 127/Pdt.P/2008/PAJS. Dari penelitian lapangan yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, peneliti dibatasi hanya diberi tiga buah putusan penetapan itsbat nikah yang bisa mewakili dari 41 perkara itsbat nikah dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rinciannya sebagaimana terlampir di bawah ini:
1
Wawancara Pribadi, Dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abdurrahman, “Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet-5 Abbas, Ahmad Sudirman, ”Qowa’id Fiqhyah dalam presfektif Fiqih”, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo media, 2004), cet ke-I Amin, Ma’ruf, ”Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: eLSaS, 2008). cet - 1 Asri, Benyamin, dan Thobari Asri. ”Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata Dan Hukum Agraria”, (Bandung: CV. Armico, 1987) Ali, Zainuddin, ”Hukum Perdata Di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet ke-I Arto, Ahmad Mukti, ”Masalah Pencatatan Perkawinan Dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No.26 Tahun IVV” (Mei-Juni, 1996) Azhar, Ahmad Basyir, "Hukum Perkawinan Islam" (Yogyakarta: UII Press, 2000), cet-9. A. Rahman, Bakhri dan Ahmad Sukarja, “Hukum Perkawinan Islam UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW”, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1995), cet. Ke-2 Fuad, Mahsun, ”Hokum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris”, (Yogyakarta: LKiS, 2005) Cet-1. Hanan, Damsyi,” Permasalah Itsbat Nikah, Kajian terhadap Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 7 KHI Mimbar Hukum”, No. 31 Tahun VII, (Jakarta: Al-Hikmah dan Dibinbapera, Maret-April, 1997) Harahap, M. Yahya, ”Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), cet-1
88
89
Hamka, ”Tafsir Al-Azhar”, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), juz-III Hamzah, Andi ”KUHP & KUHAP”, (Jakarta: PT. Reneka cipta, 2004), cet-11 Ismail al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad, “Shohih Bukhari”, (Makkah: Darul Bayyan Al Arobi, 2005 M/1426 H), cet-1, jilid. 3 Lubis, Sulaikin, dkk, ”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet-2 Munawir A.W, “Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap”, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), cet-2 Mahkamah Agung RI, ”Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan”, Buku II teknisi administrasi dan teknisi dilingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, 4 April, 2006) M. Zein, Satria Effendi, "Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer" (Jakartat: Prenada Media, 2005) cet-2 Nazir M, "Metode Penelitian", (Jakarta: Galia Indonesia, 1988), Cet-ke 2. Nasution, Amir Taat, “Rahasia Perkawinan Dalam Islam” (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), cet-3. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, ”Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987) Pengadilan Agama Jakarta Selatan, ”Data Yurisdiksi, Populasi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2007. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 114/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 106/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0127/Pdt.P/2008/PAJS, “Tentang Itsbat Nikah”, Jakarta, 2008. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Laporan Perkara Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Jakarta, 2008.
90
Ramulyo, M. Idris, "Tinjauan Hukum Perkawinan" (Jakarta: Gema Insani Press,1974), cet-1 Ramulyo, M. Idris ”Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: IND-HILL, 1985), Cet-1 Rofiq, Ahmad, ”Hukum Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet-1 Sayid Muhammad Sato Addimyati al-Misri, Sayid Abi Bakar, “I’anatut Tholibin”, (Indonesia: CV. Dar Ihya al-Kutub al-Arobi). Susanto, Happy, ”Nikah Siri apa untungnya”, (Jakarta: Visimedia, 2007), cet-1 Suma, Muhammad Amin, "Hukum Keluarga Islam dan Dunia Islam", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Surkalam, Lutfi, ”Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita”, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), cet-1 Suhadak, ”Problematika Itsbat Nikah Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama”, diakses dari: http//www.pa-negara.net, hal.2, Desember 2009. Wawancara Pribadi, Dengan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bapak Drs. Saifudin Turmuzi, MH, Pada hari Senin tanggal 14 Desember 2009
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ﻩ ء ي
Huruf Latin
Keterangan
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ’ gh f q k l m n w h ` y
tidak dilambangkan Be Te te dan es Je ha dengan garis bawah ka dan ha De de dan zet Er Zet Es es dan ye es dengan garis bawah de dengan garis bawah te dengan garis bawah zet dengan garis bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrop Ye
Vokal Kata Ta Diftong Panjang Sandang Marbûtah Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin a ـــــﺂ â ــــَــ يai ال alة h&t i ـــــﻲ î ــــَــ وau u ـــــﻮ û
Vokal Arab ــــَــ ــــِــ ــــُــ
ix
51
C. Analisa Terhadap Putusan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang. Dalam pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawianan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk mengesahkan perkawianan yang tidak dicatatkan oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama. Adapun penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mengenai perkara Nomor. 114/Pdt.P/2008/PAJS bersifat voluntair, sebab tidak ada pihak yang berkeberatan dengan perkawinan tersebut. Dalam perkawinan antara Mardinem Binti Darmowinito dengan Djasmin Bin Sawirdjo yang dilakukan 15 Desember 1957. Jadi, sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya di Pengadilan Agama. Dan seterusnya dengan ketentuan pasal 7 ayat 3
52
huruf d KHI tentang kretaria itsbat nikah disebutkan: adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974. Permohonan yang diajukan oleh Ny. Mardinem Binti Darmowinoto, yang diwakilkan anaknya yang bernama Gatot Widiartono Bin Djasmin, dikarenakan Ny. Mardinem Binti Darmowinoto sedang dalam keadaan sakit strok yang tidak mungkin untuk berfikir normal. Sesuai yang yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (4), bahwa, yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawianan itu. Jadi, pengajuan itsbat nikah yang diwakilkan anak kandung yang bersangkutan adalah sah, dari Tujuan diajukan itsbat nikah untuk mengurus pensiunan suaminya, meskipun suaminya telah meninggal. Namun, setelah diperiksa di Pengadilan Agama tidak melanggar Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor. 0127/Pdt.P/2008/PAJS, juga bersifat voluntair karena, tidak ada pihak yang berkeberatan dengan perkawinan antara Mulyajirah Binti Purwosentono dan Yan Sukadi Bin Sukamat yang dilangsungkan pada tahun 1968, sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, hal ini boleh diajukan itsbat nikahnya dengan merujuk ketentuan KHI pasal 7 ayat 3. Disamping itu, kepentingan permohonan itsbat nikah yang diajukan Mulyajiroh Binti Purwosentono untuk mengurus tunjangan pensiunan, meskipun pihak suami sudah meninggal. Namun, setelah diperiksa oleh Pengadilan Agama
53
tidak mengandung pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari kedua penetapan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan di atas, mengenai
perkara
itsbat
nikah
No.0127/Pdt.P/2008/PAJS
dan
No.
144/Pdt.P/2008/PAJS, mempunyai kesamaan perkara yaitu: 1. Kedua permohanan itsbat nikah di atas sama-sama diajukan untuk kepentingan mengurus tunjangan pensiunan. 2. Perkawinan yang dilangsungkan, sebelum berlakunya Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan. 3. Di samping itu, kepentingan permohonan itsbat nikah untuk mengurus pensiunan meskipun pihak suami sudah meninggal, namun setelah diperiksa oleh Pengadilan tidak mengandung pelanggaran terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut, tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Jadi
penetapan
perkara
No.0127/Pdt.P/2008/PAJS
dan
No.
144/Pdt.P/2008/PAJS menyatakan, dikabulkan permohonan itsbat nikahnya para pemohon tersebut dan perkawianan sah menurut hukum.
54
Sedangkan,
penetapan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Selatan
Nomor.106/Pdt.P/2008/PAJS, tentang permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua belah pihak yaitu suami istri (Suman S.Pd Bin Sonto Sumarto dan Saidah Amih Binti H. Samaan Maan) selanjutnya disebut pemohon I dan pemohon II bersifat voluntair, sebab berdasarkan keterangannya tidak ada pihak yang berkeberatan dengan perkawianan antara Suman S.Pd Bin Sonto Sumarto dengan Saidah Amih Binti H. Samaan Maan, yang dilakukan pada tanggal 22 September 1994 secara agama Islam atau nikah siri. Jadi, penetepan perkara Nomor. 106/pdt.P/2008/PAJS ini menyatakan mengabulkan permohonan itsbat nikahnya pemohon I dan pemohon II (Suman S.Pd Bin Sonto Sumarto dengan Saidah Amih Binti H. Samaan Maan) dan perkawinan dinyatakan sah menurut hukum. Menyimak
penetapan
perkara
No.
106/Pdt.P/2008/PAJS,
penulis
berpendapat bahwa telah terjadi penyelundupan hukum dari perkawinan tersebut, karena pernikahan antara pemohon I dan pemohon II yang dilaksanakan pada tahun 1994, telah melakukan pernikahannya dengan cara nikah di bawah tangan, padahal status pemohon I masih terikat perkawinan dengan istri sahnya yang pertama dan tidak minta ijin secara resmi kepada petugas yang berwenang untuk melakukan poligami. Baru pada tahun 2006 pemohon I menceraikan istri pertamanya, jadi selama tahun 1994-2006 pemohon I telah melakukan poligami tanpa dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
55
Sesuai petunjuk Mahkamah Agung, menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN banyak berindikasi penyelundupan hukum, untuk mempermudah poligami tanpa prosedur hukum, dan memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama harus behatihati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengesahan atau itsbat nikah tidak dijadikan alat untuk melegalkan perbuatan penyelundupan hukum. Dalam perspektif global seperti uraian di atas, bahwa dengan adanya itsbat nikah, seakan-akan membuka peluang untuk berkembangnya praktek nikah sirri, karena kalau ingin mengesahkan perkawinannya tinggal ke Pengadilan Agama mengajukan permohonan itsbat nikah, aKHIrnya status pernikahannya pun menjadi sah di mata Negara. Sehingga harus dipikirkan bagi hakim apakah dengan mengitsbatkan nikah tersebut akan membawa lebih banyak kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi semua pihak dalam keluarga tersebut, hal ini tidak boleh luput dari pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan itsbat nikah yang diajukan kepadanya. Namun demikian, sikap hakim dalam mengambil suatu keputusan bersifat bebas dengan pertimbangan dan menafsirkan pasal peratuan perundangan demi kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti penafsiran pasal 6 ayat (1) KHI menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN dan pada ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Tidak
56
mempunyai kekuatan hukum atau kelemahan hukum tidak berarti bahwa hal itu sebagai suatu perkawinan yang tidak sah atau batal demi hukum. Pemikiran ini didasari pada pemahaman terhadap UU No.1/74 jo. PP. 9/75 dan KHI, dengan interpretasi bahwa yang menjadi patokan keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama (Islam), sampai saat ini belum ditemukan satu pasalpun yang menyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Jika pemohon ingin mengitsbatkan perkawinan sirrinya masihkah ada harapan? Apakah yang bersalah terus menjadi bersalah tidak ada lembaga Taubat untuk memperbaiki sebuah kesalahan. Apakah anak-anak yang lahir hasil dari pernikahan sirri akan selamanya menanggung beban ketidakjelasan status hukumnya baik di masyarakat dan Negara, apakah terhapus selamanya hak-hak keperdataan yang berhubungan dengan ayah kandungnya hasil perkawinan sirri seperti hak perwalian dan hak waris dll. Secara kasuistis hakim juga harus mempertimbangkan demi kemaslahatan umat dan keadilan di masyarakat. Adanya perbedaan pandangan tentang keabsahan perkawinan yang dilakukan secara hukum positif dan hukum Islam (hukum fiqih), ada timbul keinginan supaya terjadi penyeragaman dalam menentukan hukum perkawinan misalnya, hukum Islam (hukum fiqih) disesuaikan dengan aturan pemerintah (hukum positif), dalam hal ini KH. Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah, berpendapat bahwa ” ini sama-sama hukum yang berlaku dengan kekuatan dan kewenangannya. Yang dilakukan pemerintah ya pemerintah, kita kan di Negara RI. Tetapi fiqih tetap mempunyai keabsahan
57
yang tidak dibatasi oleh kekuasaan dan kewenangan pemerintah Undang-undang tidak bisa menggantikan fiqih”. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya itsbat nikah selama periode tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, menurut Bapak. Saefuddin Turmudzi, MH, yang paling dominan adalah mereka mengitsbatkan pernikahannya karena perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawianan berlaku dan biasanya dibarengi untuk pengurusan tunjangan pensiunan, “kira-kira 95% perkara permohonan itsbat nikah utuk pengurusan pensiunan dan anehnya kesemuanya perkawinan mereka terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan” ujarnya. Maka, sesuai Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 64 berbunyi: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah. Dan diperkuat yang termaktub dalam KHI pasal 7 ayat 3 huruf d. Jadi, untuk permohonan itsbat nikah akan dengan mudah dikabulkan, asal semua syarat dan rukun pernikahannya terpenuhi. Berdasarkan data yang bersumber dari laporan perkara tahunan di Pengadilan Jakarta Selatan, bahwa permohonan itsbat nikah tiap tahun mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2007 terdapat 24 perkara itsbat nikah, sedangkan pada tahun 2008 mengalami peningkatan yaitu terdapat 41 perkara permohonan itsbat nikah.
58
Dengan meningkatnya permohonan itsbat nikah tiap tahun, ini menandakan masih lemahnya kesadaran masyarakat dan masih minimnya sosialisasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa masyarakat umumnya merasakan sulitnya berpekara di Pengadilan. Segala macam tetek bengek yang berkaitan dengan administrasi pengadilan, mulai dari harus mendaftarkan sendiri, membanyar biaya perkara yang relative besar, sampai keharusan sidang-sidang Pengadilan yang dirasakan berbelit. Akan tetapi jika itsbat nikah ditempuh justru akan mengenakkan pencari di kemudian hari. Sebab, tentang keputusan keabsahan nikah dianggap berlaku sejak kapan pernikahan senyatanya dilakukan. Sebagai contoh seorang menyatakan bahwa dia telah menikahi seseorang pada tanggal 1 Juni 1960, sekalipun perkara tersebut baru diajukan pada tanggal 1 januari 2007. jika permohonan tersebut dikabulkan Pengadilan, maka keputusan Pengadilan tentang sahnya pernikahan tersebut tetap berlaku sejak 1 Juni 1960 bukan dihitung sejak kapan perkara tersebut diputus. Mungkin sebaiknya Pengadilan Agama diberi wewenang untuk menjatuhkan sangsi administrative supaya ada efek jera bagi masyarakat, untuk mengatisipasi perkawinan liar. Khususnya, bagi perkawinan yang tidak tercatatkan setelah berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena selama ini hakim Pengadilan Agama tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sangsi tapi, bertugas hanya menetapkan bukan memutuskan.
49
No 1.
2.
No. Perkara 114/Pdt.P/2008/PAJS
106/Pdt.P/2008/PAJS
Para Pihak Ny. Mardinem Binti Darmowinoto (73th). di wakilkan anaknya Gatot Widiartono Bin Djasmin.
•
•
Suman S. Pd Bin Sonto Sumartono (48th). Saidah Amih Binti H. Saaman Maan (40th).
Tahun Perkawinan, Alasan Itsbat Nikah 15 Desember 1957, • •
Akta Nikah hilang Untuk mengajukan tunjangan pensiunan
22 September 1994, • • •
Pertimbangan Hakim • Bukti tertulis yaitu: P1 sampai P8. • Pasal 64 UU No.1 tahun 1974. • Pasal 7 ayat 3 huruf (b) KHI.
•
Belum dicatat Kepastian hukum • status perkawinan. Penetapan Status anak.
Bukti tertulis P1 sampai P3. Pasal 7 ayat 2, 3 dan 4 KHI.
Putusan Dikabulkan
Keterangan •
•
Dikabulkan
•
• •
3.
127/Pdt.P/2008/PAJS
Ny. Mulyajiroh Binti
Tahun 1968,
•
Bukti Tertulis P1
Dikabulkan
•
Gatot Widiarto Mewakili Ibunya Yang Terkena Sakit Strouck. Bukti Penunjang Lainnya Menghadirkan SaksiSaksi Yang Bernama: Sudiran Bin Darmowinoto Dan Kasto Bin Darmowinoto. Bukti penunjang lainnya menghadirkan saksi-saksi yang bernama: Tonari S.Pd Bin Dari dan Verniasih Binti Wagimin. Perkawinannya berlangsung pada tahun 1994. Telah terjadi nikah siri, karena pernikahannya tidak dicatatkan di KUA. Bukti penunjung lainnya menghadirkan
50
Purwosentono (60th)
Mengurus pensiunan janda Almarhum
• • • •
Sampai P3 Pasal 7 Ayat 3 Dan 4 KHI. Pasal 14 KHI. Pasal 39 KHI. Pasal 2 ayal (1) UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
saksi-saksi yang bernama: Mulyaningsih Binti R. purwosentono dan Supri Bin Yanto.
Dari keseluruhan perkara di atas, yang perkawinannya dilaksanakan sebelum tahun 1974 adalah perkawinan perkara nomor: 114/Pdt.P/2008/PAJS dan 127/Pdt.P/2008/PAJS. Namun, perkara tersebut mempunyai alasan kuat, karena akta hilang dan perkawinan yang dilangsungkan sebelum Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan berlaku. Sedangkan perkara nomor: 106/Pdt.P/2008/PAJS, perkawinan yang dilaksanakan pada tahun 1994 atau jauh sesudah Undang-undang nomor 1 tahun 1974 berlaku, alasannya karena perkawinannya belum tercatatkan atau telah melakukan perkawinan di bawah tangan.