DAFTAR ISI Ni Wayan Sartini Partikel ne dalam Bahasa Jepang: Sebuah Kajian Komunitas Lintas Bahasa - 83 Bea Anggraeni Tata Bahasa Kefilsafatan Chomsky: Sebuah Dinamika Keilmuwan yang Sarat Kontroversi - 93 Jurianto Voice Manifestation in Academic Writing - 101 Simon Sira Padji Reading and Writing Process: Two Sides of One - 111 Adi Setijowati Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya sebagai Alternatif Matarantai Pembaca sastra - 119 Puji Karyanto Identifikasi dan Pembalikan Oposisi-Oposisi Hierarkis atas Teks Alegori Waktu Karya Sitok Srengenge: Pembacaan Dekonstruktif - 130 Retno Asih Wulandari Pengaruh India dan Jawa Pada Karya Sastra Kakawin - 142 Maimunah Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan Kuasa: Analisis terhadap Cerpen “Jangan Main dengan Kelaminmu” - 151
PARTIKEL NE DALAM BAHASA JEPANG: SEBUAH KAJIAN KOMUNIKASI LINTAS BAHASA Ni Wayan Sartini Abstract One of the important particles in Japanese is “ne”. This particle generally occured is short expressions. Syntactically, particle 'ne' is found at the end of a sentence. By using particle 'ne', a speaker involvs a hearer or listener in a conversation. This particle has several social functions, such as; to show amazement, to confirm, to tell the truth, etc. in the Indonesian language, some forms of the words which have similar meaning to particle 'ne' are 'ya', 'bukan', and 'kan' and these three words are found at the end of a sentence. Key Words: particle, syntactic, social function Pendahuluan Sungguh suatu hal yang menguntungkan apabila kita bisa menguasai beberapa bahasa asing. Hal itu akan dapat membuka cakrawala dan wawasan kita terhadap dunia luar dan budaya lain. Kemudian kita pun dapat membandingkan budaya sendiri dengan budaya lain. Antara bahasa dan budaya memang tidak bisa dilepaskan dari budayanya karena bahasa adalah bagian dari budaya. Saat ini minat masyarakat untuk mempelajari bahasa asing sangat besar. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang menuntut kemapuan untuk menguasai bahasa asing. Salah satu bahasa asing yang banyak dipelajari di Indonesia adalah bahasa Jepang setelah bahasa Inggris. Ini erat hubungannya dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Disamping itu kerjasama antar negara Indonesia dan Jepang semakin mendorong keinginan orang untuk mempelajari bahasa Jepang. Para ahli
bahasa (linguis) banyak yang menganalisis bahasa Jepang sebagai usaha dalam mengembangkan disiplin ilmu bahasa baik dalam bahasa, budaya maupun hubungan antara bahasa dan budaya. Analisis lintas bahasa (c ross language ) jelas akan memperkaya pengetahuan kita tentang bahasa lain baik dari segi struktur maupun dalam kasusastraan serta budayanya. Anna Wierzbicka misalnya memahami budaya Jepang dengan menganalisis cerita-cerita masyarakat Jepang yang diambil dari buku karangan Hiroko Kataoka dengan makalah yang berjudul Japanese Cultural Script: Cultural Psychology and Cultural Grammar (1996: 92). Bahasa Jepang telah banyak mengadopsi karakteristik bahasa Cina. Kata-kata dalam bahasa Jepang lebih dekat dengan bahasa Cina seperti terlihat pada nominal, verba dan adjectiva ditulis sesuai karakter bahasa Cina dengan tepat. Partikel dan alat-alat gramatical lainnya tidak ekuivalen dengan bahasa Cina,
)
* Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, telp (031) 5035676
83
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 tetapi dipresentasikan secara fonetis dengan simbol kana, yang dalam bahasa Jepang itu sendiri diciptakan dengan modifikasi tertentu dari sistem ideografi bahasa Cina (Webb, 1960: 106) Bahasa Jepang memiliki struktur yang sangat kompleks, hal itu kadangkadang menjadi kendala bagi orang yang mempelajari bahasa Jepang (NieNie, 1 99 4 : 68 ) . Ko m pl ek s da l am a rt i banyaknya partikel yang dimiliki oleh bahasa Jepang dan fungsinya sangat penting dalam bahasa Jepang. Ada pendapat mengatakan bahasa Jepang itu unik, karena memiliki kosa kata dan konstruksi gramatika dan idiom yang tidak berlaku untuk bahasa lain (Chino, 1996: 141). Partikel atau kata bantu dalam bahasa Jepang disebut joshi mempunyai banyak fungsi dengan makna yang berbeda (NieNie, 1996: 65). Disamping itu peranannya dalam kalimat bahasa Jepang juga sangat penting. Siapapun yang belajar bahasa Jepang tak akan menyangkal bahwa partikel adalah suatu hal yang sulit. Namun tak dapat disangkal pula bahwa partikel adalah bagian yang essensial dari sebuah kalimat. Sejalan dengan hal itu dengan menguasai imbuhan seperti prefiks, sufiks dan infiks (kalau ada) yang diletakkan pada nomina mempermudah kita menguasai dan mengungkapkan ide-ide yang kita pikirkan ke dalam bahasa Jepang. Mengingat banyaknya jumlah partikel dalam bahasa Jepang, pada kesempatan ini hanya akan dibahas satu jenis partikel saja yaitu partikel ne. partikel ini menarik karena disamping memiliki fungsi sintaksis juga memiliki fungsi sosial. Secara sintaksis partikel ne
84
selalu berada pada akhir kalimat dalam bahasa Jepang dan secara sosial fungsinya membagi rasa kepada lawan bicara. Partikel ini sangat menarik untuk dianalisis secara lintas bahasa karena partikel ini telah banyak menimbulkan tafsiran diantara para linguis. Misalnya Cook mengatakan bahwa pembicara yang menggunakan partikel ne secara tidak langsung akan mengundang lawan bicara menjadi lebih aktif dan secara emosional mendukung berlangsungnya percakapan dan dikatakannya juga directly indexes shared feelings (dalamAnna, 1996:4). Kalau dilihat lebih jauh, fungsi sosialnya yang lebih menonjol dari pada fungsinya secara sintaksis. Itulah keistimewaan partikel ini sehingga penulis ingin membandingkannya dalam bahasa Indonesia. Dengan faktor-faktor di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah apakah fungsi partikel ne dalam bahasa Jepang dan bagaimana perbandingannya dalam bahasa Indonesia? Teori Dalam membandingkan satu bahasa dengan bahasa lain serta untuk mendapatkan makna sebuah leksikon secara tepat tidaklah mudah, sebab ada banyak faktor yang berpengaruh dalam hal ini. Faktor-faktor itu antara lain budaya atau kebiasaan, pola komunikasi, kelaziman, dan sebagainya. Untuk mendapatkan kesamaan makna atau paling tidak mendekati makna aslinya sebuah leksikon dapat dianalisis dengan kajian Natural Semantic Metalanguage (NSM) dan etnografi. Studi etnografi mencoba menjelaskan konsep isi istilah asli secara kualitatif. NSM yang dikemukakan oleh Anna Wierbicka dan rekan-rekannya
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
(1994) melalui penelitian yang sangat panjang terhadap beberapa bahasa dapat mengatasi masalah pemaknaan ini. NSM terdiri atas kelompok kecil makna sederhana yang merupakan bukti dan dapat diungkapkan dengan kata-kata atau kelompok morfem dalam semua bahasa. Contoh: orang, seseorang, sesuatu, ini, mengatakan, ingin, tahu, baik, buruk dan tidak. Kata-kata ini muncul sebagai universal leksikal yang berarti dapat diterjemahkan secara tepat dalam semua bahasa. Kata-kata tersebut bergabung sesuai dengan kelompok kecil pola tata bahasa universal terdiri atas bahasa mini sebagai alat ideal untuk semantik campuran. Sebagian besar penelitian semantik cam puran ini dira ncang de nga n menggunakan NSM, lebih banyak fokusnya pada kebudayaan, kata-kata kunci, sikap bicara, partikel, dan elemenelemen bahasa serta hubungannya dengan percakapan (komunikasi). NSM tidak hanya digunakan untuk menganalisis semantik, tetapi juga digunakan untuk merumuskan pola-pola budaya dalam percakapan atau berbicara yang dikenal sebagai wacana budaya. Dalam tulisan ini, partikel ne dalam bahasa Jepang sebagai fakta linguistik hampir mirip dengan question tag dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia partikel ini memiliki kesamaan dengan penanda penegas bukan/kan, dan ya. Tags dalam Inggris contohnya adalah didn't she, haven't they, doesn't it dan sebagainya. Apabila dirumuskan dengan bahasa mini atau dengan NSM akan bermakna “I think you would say the same” (Saya pikir anda akan mengatakan hal yang sama atau dengan terjemahan bebasnya adalah anda
setuju dengan apa yang saya katakan. Konsep lain yang perlu diperhatikan dalam analisis lintas budaya adalah konsep kompetensi komunikatif. Konsep ini haruslah ditambahkan dalam konsep kebudayaa (cultural competence) atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol. Sistem kebudayaan merupakan pola simbol dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna tempat prilaku linguistik itu ditempatkan. Pola Komunikasi Orang Jepang Walaupun Indonesia dan Jepang sama-sama berada di benua Asia, namun banyak sekali perbedaan yang ada, terutama menyangkut pola komunikasi. Perbedaan tersebut tentu saja telah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing baik Indonesia maupun Jepang. Untuk bisa lebih jauh mengetahui bagaimana budaya Jepang dapat diteropong dengan memahami Natural Semantic Metalanguage (makna alamiah metabahasa). Orang Indonesia paling tidak suka apabila setiap patah kata yang diucapkan selalu ditimpali oleh lawan bicaranya. Hal ini kadang-kadang membuat pembicara tersinggung sehingga komunikasi tidak berlangsung dengan baik. Tetapi orang J epang m enguca pkan ungkap an ungkapan pendek seperti hai, ee, so desu ka, so desu ne, honto, naruhodo dan sebagainya di tengah pembicaraan
85
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 seseorang dianggap cara berkomunikasi yang benar (Edizal, 1992: 1). Menimpali seseorang yang sedang berbicara dengan menggunakan ungkapan-ungkapan pendek seperti tersebut diatas disebut dengan aizuchi. Kata ini berasal dari kata ai 'bersama-sama' dan 'tsauchi 'pemukul'. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ai z u ch i a d al ah m e m ukul se ca ra bergantian. Aizuchi diibaratkan dua orang tukang besi yang membantuk pedang dan menajamkannya dengan memukul-mukul besi panas secara berulang-ulang dan bergantian. Bila yang satu memukuli maka yang lain bersiap-siap menggantikannya sehingga menimbulkan irama yang enak didengar dan khas. Itulah aizuchi, sesuatu yang sangat diperlukan untuk mempertajam arus komunikasi. Pada bahasa manapun di dunia, mengalirnya pembicaraan tidak hanya dibuat oleh satu orang saja, melainkan dipengaruhi pula oleh pihak lain. Dengan kata lain lancarnya arus pembicaraan tidak hanya bergerak satu arah saja melainkan dua arah. Dalam bahasa Jepang keperluan arus dua arah sangat ditekankan dalam komunikasi, sehingga pembicaraan tanpa aizuchi akan terasa hambar. Penggunaan ungkapan-ungkapan pendek akan melahirkan kesan bahwa seseorang benar-benar memperhatikan apa yang diucapkan si pembicara. Contoh dapat dilihat berikut ini. A B A B A B
: Kesa desu ne. : Hai! : Shinjuku e ikimashitara : Ee! : Tenrankai ga arimasu : Aa, so desu ka?
Dalam percakapan diatas terlihat bahwa lawan bicara menimpali ucapan si
86
pem bicara dengan menggunakan beragam aizuchi. Pembicara juga berbicara terpotong-potong dengan maksud memberikan kesempatan kepada lawan bicara mengisi kekosongan tersebut. Dia tidak berusaha menyelesaikan pembicaraannya secara lengkap menjadi sebagai berikut: “Kesa sinjuku a ikimashitara, tenrankai ga arimasu” “pagi tadi ketika saya pergi ke Shinjuku, ada pameran” Dalam berkomunikasi, kita berusaha menggunakan kata-kata yang tepat dan singkat agar lawan bicara dapat memahami dengan mudah apa yang hendak disampaikan. Ketika berbicara otak kita akan bekerja dan memikirkan sesuatu dengan cepat sebelum mengeluarkan kata-kata, proses ini biasanya tidak terlalu lama. Sementara berpikir demikian akan ada interval sebelum ucapan dilanjutkan. Agar tidak timbul kevakuman, maka diisi dengan gumaman (hedges) atau semacamnya. Orang Jepang dalam berbicara biasanya dengan ungkapan-ungkapan yang terputus-putus diselingi dengan gumaman. Itulah cara mereka berkomunikasi yang dipengaruhi amat dalam oleh latar belakang budaya yang membentuknya. Bagi orang Jepang kebiasaan berbahasa dengan terputusputus seperti itu dipahami sebagai suatu seni berkomunikasi yang halus dan sesuai dengan tata krama yang mereka anut (Edizal, 1996: 4). Oleh karena itu banyak dilahirkan ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk mengisi kevakuman, misalnya ucapan ano. Disamping digunakan di tengah pembicaraan, dipakai pula pada awal percakapan yang kalau
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
dibandingkan dalam bahasa Indonesia mungkin hmmm…, anu, apa namanya dan dalam bahasa Inggris sejenis hedges. Bahasa Jepang mengenal perbedaan bahasa antara pria dan wanita dalam arti ada pemarkah yang jelas antara bahasa yang digunakan pria dan wanita. Misalnya Ano ne! Sering digunakan oleh kaum wanita saja dan hanya ditunjukkan kepada orang yang memiliki status sama atau lebih rendah. Ano desu ne! merupakan versi lain yang dapat digunakan untuk mengharapkan perhatian yang lebih besar dari lawan bicara. Perlu diingat bahwa setelah mengungkapkan ungkapan ini perlu menggunakan respon Hai! Atau semacamnya dari lawan bicara sebelum kalimat berikutnya dilanjutkan (Edizal, 1992: 8). Bahasa Jepang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa dengan kata lain penggunaan bahasanya tergantung dari lawan bicara dan dalam situasi bagaimana. Ini sangat erat kaitannya dengan mantra-mantra sosiolinguistik yaitu memperhatikan kepada siapa kita berbicara, situasinya bagaimana, intensitas hubungan, jenis kelamin usia dan sebagainya. Misalnya pemakaian ungkapan sayunara! Ungkapan ini merupakan salah satu ungkapan yang dikenal luas di Indonesia yang diwarisi setelah jaman Jepang. Digunakan sebagai salam perpisahan yang diucapkan oleh orang yang akan berangkat dan yang tinggal. Walaupun tidak persis sama kirakira berarti 'Selamat berpisah' atau 'Selamat jalan'. Ungkapan ini sering diucapkan oleh anak kecil dan anak muda kepada temannya. Anak kecil mengunakan salam perpisahan ini kepada
orang yang lebih tua, dan yang sebaliknya orang yang lebih tua juga menggunakan ungkapan ini sebagai salam perpisahan juga. Tetapi sayonara akan terasa janggal bila diucapkan kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dari pembicara. Misalnya tidak diucapkan oleh seseorang mahasiswa kepada dosennya. Sebagai gantinya digunakan ungkapan shitsurei shimasu. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang sama-sama ada ungkapan terimakasih untuk membalas kebaikan orang lain. Budaya Jepang sebagai budaya yang sangat menghargai segala perhatian dan kebaikan orang lain memiliki ugkapan arigato gozaimasu. Ungkapan ini secara harafiah mengandung makna 'sukar ini'. Makna dalamnya sangat di j i wa i ol e h o r a ng Je p a ng ya g berpandangan bahwa sedapat-dapatnya seseorang harus membalas kebaikan yang diberikan orang lain. Mengingat sukarnya balas budi seseorang, mereka menyatakan kebaikan yang diterima tersebut merupakan sesuatu yang sukar dibalas. Sehingga muncullah ungkapan Goshinsetsu Arigato gozaimashita yang artinya 'terimakasih atas kebaikan anda' (edizal, 1996: 10). Arigato saja disampaikan kepada orang yang sederajat atau lebih rendah, tapi tidak untuk orang yang punya kedudukan lebih tinggi. Arigato gozaimasu bisa diucapkan kepada atasan dengan lebih sopan bila ditambahkan dengan domo sehingga menjadi Domo arigato gozaimasu 'terimakasih banyak'. Bagi orang Indonesia ucapan 'terimakasih' juga sebagai ungkapan untuk membalas kebaikan orang baik yang sudah diterima. Pemakaian ungkapan ini
87
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 sama halnya dengan orang Jepang memiliki nuansa tergantung dari faktorfaktor sosial yang melatarbelakangi suasana atau situasi saat itu. Kepada orang yang dihormati atau lebih tinggi kedudukannya atau status sosialnya dan dalam situasi formal realisasi ungkapan tersebut akan menjadi sebagai berikut. “Saya ucapkan terimakasih atas perhatian Bapak dan Ibu”. “ Te r i m a k a si h b a n y a k a t a s bantuannya” S ebe l um nya sa ya u ca pka n terimakasih” dan sebagainya. Te t a p i u n g k a p a n i n i b i l a digunakan pada orang yang lebih rendah status sosial atau kedudukannya dan dalam kondisi yang akrab serta situasi informal maka ungkapan tersebut menjadi sebagai berikut: “terima kasih ya” atau terimakasih lho!” Trim's y!” atau “Makasih lho!”. Sebagaimana yang sudah disebutkan didepan bahwa bahasa Jepang memiliki pemarkah jenis kelamin pada bahasanya. Misalnya terlihat pada sistem pronoun bahasa Jepang, ada kata atashi 'saya' digunakan oleh wanita saja dan yang lainnya boku 'saya' yang penggunaannya oleh laki-laki saja, tetapi ada bentuk watakushi 'saya' yang bisa digunakan oleh pria maupun wanita (Holmes, 1992: 166). Barangkali ini merupakan refleksi dari sistem budayanya yang masih memprsoalkan kedudukan wanita dibandingkan pria. Sebenarnya secara konstitusi yang mulai berlaku tahun 1947 pe r be da an t er s e but suda h t i da k dipersoalkan lagi sehingga dengan
88
munculnya konstitusi itu diharapkan ada prinsip persamaan antara pria dan wanita (1983: 147). Dalam bahasa dan budaya Indonesia tidak ada leksikal yang secara eksplisit berbeda antara pria dan wanita. Khasanah leksikal antara pria dan wanita sama, hanya pemakaian saja yang berbeda sebab wanita di Indonesia tidak berani secara terbuka memakai kata-kata tertentu sehubungan dengan adanya kata-kata tabu yang pantang diucapkan oleh wanita. Inilah barang kali beda antara budaya Indonesia dan Jepang yang kaum wanitanya sudah bisa mendapatkan hakhaknya sejajar dengan pria. Perbedaan gender sudah tidak nampak secara nyata karena adanya kesadaran kaum pria di Indonesia sehingga muncullah istilah mitra kesejajaran. Ada sesuatu yang khas dalam bahasa Jepang yaitu penyebutan nama seseorang harus disertai dengan kata san sebagai penanda honorifks (penghormatan). Kata san yang mengikuti nama seseorang sapat berarti 'tuan, nyonya, bapak, ibu' dan sebagainya. Sementara penggunaannya tidak ada batas antara laki-laki dan perempuan, kadangkala muncul kesalahpahaman mengenai orang yang dimaksud. Misalnya Hosegawan-san ini bisa berarti tuan atau nyonya, nona Hosegawan. Ini sulit karena orang Jepang sering memperkenalkan nama keluarganya. Menyebut nama seseorang tanpa diikuti oleh kata San akan dianggap kasar bahkan kurang ajar. Namun tidak digunakan apabila nama seseorang diikuti langsung oleh jabatannya baik lisan maupun tulisan. Misalnya: Miki Sori Daijin artinya Perdana Menteri Miki. Dalam budaya Indonesia untuk
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
menyebut seseorang yang lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi maka digunakan bapak, ibu, tuan, nyonya sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan kesulitan bagi orang lain untuk mengetahui jenis kelami orang yang bersangkutan. Di instansi-instans juga dipakai kedudukannya sebagai sapaannya misalnya, bapak Dekan, Bapak Direktur, Ibu Ketua dan sebagainya. Bagi beberapa etnik di Indonesia adalah sesuatu hal yang tidak wajar apabila memanggil orang yang lebih tua dengan namanya saja sebab ini dianggap tidak sopan. Partikel ne dan Perbandingannya dalam Bahasa Indonesia Bahasa Jepang memiliki kurang lebih tujuh puluh jenis partikel, dan partikel-partikel ini memiliki fungsi yang penting dalam bahasa Jepang.(Chino, 1996: 1). Partikel ne adalah partikel yang pada umumnya muncul di akhir kalimat sehingga disebut sebagai sentence final particle, dan dari segi makna dikatakan pula the particle ne indicates that the speaker is expecting the listener's a g re e m e n t ( Ya s u o , 1 9 8 9 : 2 7 ) . Mempelajari nomina, verba dan adjectiva mungkin jauh lebih mudah dari pada mempelajari partikel. Partikel dalam bahasa Jepang tidak dapat ditebak, di cocok-cocokkan at au dipadanpadankan begitu saja seperti yang dilakukan terhadap nomina, verba dan adjectiva (Chino, 1996: vii). Sebagai suatu kesatuan yang berdiri sendiri partikel tidak memiliki arti. Partikel mungkin dapat didefinisikan sebagai bagian yang tak dapat ditafsirkan dalam sebuah percakapan, dan dalam
bagian-bagian pembicaraan tertentu menempatkan dirinya sendiri dalam konteks. Oleh karena itu suatu kata yang hanya terdiri atas partikel saja, tidak akan b e r a r t i a p a - a p a . Te t a p i d e n g a n menambahkan kata lain akan membawa suatu perbedaan yang besar. Contoh: Tokyo ne 'ke Tokyo” mungkin dapat memenuhi fungsi komunikatif tetapi ne saja kalau berdiri sendiri tidak dapat memberikan arti apa-apa. Kaidah bahasa dalam bahasa Jepang menyatakan bahwa partikel sesungguhnya tidak mempunyai arti kecuali arti yang berhubungan dengan konteks. Seperti yang telah dijelaskan oleh Cook bahwa dengan menggunakan partikel ne berarti alur komunikasi dalam aizuchi akan menjadi lebih lancar. Tanpa penggunaan partikel ini sama saja dengan tidak memakai pelumas untuk interaksi yang lebih baik. Partikel ne ini banyak melekat pada ungkapan-ungkapan pendek bahasa Jepang. Misalnya ada kebiasaan dalam masyarakat Jepang memberikan simpati kepada seseorang yang telah berbuat sesuatu, termasuk memberikan pujian terhadap hasil karya seseorang. Tidak peduli apakah hasilnya jauh dari pada apa yang diharapkan. Mereka senantiasa mengucapkan ungkapan: 1) Kawaii desu ne! 2) Oishii desu ne! untuk menilai suatu barang atau makanan yang dicicipinya. Ungkapan pujian begini dapat dipandang sebagai suatu sikap keterkaitan yang dalam terhadap pihak lain, sekalipun kedengarannya hanya bersifat basa-basi yang berlebihan. 3) Taihen desu ne! 'kerja keras ya' sering diucapkan untuk orang yang bekerja atau belajar yang lebih banyak dari biasa yang dilakukan. 4) Zannen desu ne! 'sayang
89
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol.4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 sekali, ya! Adalah ungkapan yang menunjukkan pembicara menyesalkan atau merasa sedih terhadap suatu peristiwa yanyangkut dirinya sendiri maupun orang lain. Ungkapan rasa simpati ini dapat disampaikan kepada seseorang yang tidak berhasil meraih tujuan yang diinginkannya. Itulah beberapa ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang Jepang yang mengandung partikel ne. Setelah interpretasi makna dalam bahasa sumbernya, sekarang akan dijelaskan partikel tersebut dalam bahasa Indonesia. Partikel adalah bentuk linguistik yang tidak bisa ditafsirkan sehingga dia tidak mengalami proses morfologi. Tetapi partikel ini bermakna kalau dia dilekatkan atau hadir bersama dalam konteks sintaksis. Dalam arti partikel memiliki fungsi sintaksis. Partikel ne adalah partikel yang muncul di akhir kalimat sehingga disebut sentence final particle. Contoh: Ii tenki desu ne. 'Hari yang indah, kan? Supotsu no aki ne. 'Musim yang bagus untuk berolah raga bukan?' Seperti yang telah dijelaskan oleh anna Wierzbicka (1996: ) bahwa partikel ne disejajarkan dengan question tags dalam bahasa Inggris. Partikel ini memiliki beberapa makna sebagai berikut: Bisa disejajarkan dengan question Tag dalam bahasa Inggris. Contoh: Shukudai o shimashita ne! “kamu sudah mengerjakan Pr kan! Hai, shimashita. “ya, sudah'
90
Bentuk-bentuk partikel ini dalam bahasa Indonesia bermacam-macam antara lain: bukan, ya, kan. Partikel ini dapat disejajarkan dengan pernyataan Alangkah…. Atau kata sekali apabila partikel ini berupa ungkapan pendek. Contoh: K i re i d e s u n e ! ' A l a n g ka h cantiknya' atau 'Cantik sekali ya', cantik ya'. Oishii desu ne! 'Alangkah enaknya' atau 'Enak sekali, ya' 'enak ya'. c) Berupa pernyataan retoris yang kadangkadang tidak memerlukan jawaban ini sering berhubungan dengan pernyataan terhadap pembenaran cuaca saat ini. Contoh: Kyo wa ii otenki desu ne. 'Hari ini udara cerah, ya” Kyo wa atsui desu ne. 'Hari ini panas, ya' Kyo wa samui desu ne. 'Hari ini dingin, ya' Pernyataan-pernyataan tersebut di atas bagi orang Jepang sudah biasa untuk mengungkapkan cuaca yang memang begitu adanya dan tidak mungkin disangkal oleh lawan bicaranya atau tidak perlu jawaban. Fungsi Partikel ne Ada beberapa fungsi partikel ne antara lain sebagai berikut: Menunjukkan pujian atau rasa kagum. Kirei na hana ne. 'Alangkah cantiknya bunga ini!' Subarashii enso datta wa ne'. Pertunjukan yang sungguh
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
menakjubkan!’ Untuk konfirmasi bahwa sesuatu itu benar. Kyo waii ii otenki desu ne. hari ini udara cerah ya’ Menyatakan bahwa seseorang sedang berpikir. Dalam hal ini barangkali bisa disejajarkan dengan hedges dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Indonesia mmm, eeee…, apa namanya?..... dan sebagainya. Contoh: Bali ni tsuite do omoishamita? 'apa pendapat Bapak tentang Bali?' Soo desu ne……..(disini terjadi jeda panjang pada ne) Menunjukkan kesepakatan dengan orang lain. Contoh Honto ni so desu ne. 'ya, itu betul sekali' atau 'itu benar sekali' Ossharu tori desu ne. 'Ya, seperti yang kamu katakan'. Memperhalus permintaan. Contoh: Dekireba zehi onegai shimasu ne'. 'Jika mungkin, tolong lakukan itu' 'Jika anda tidak keberatan, saya sangat menghargainya'. 'Kalau ada waktu, saya sangat menghargainya'. Menunjukkan permintaan atau pertanyaan untuk mendapatkan kepastian. Contoh: Ano hon, motte kite kudasatta desho ne. Kamu membawa buku itu untuk saya, kan? Harada-san, kyo kuru to itta-n desu ne 'Kata Tuan Harada, ia akan datang hari ini, bukan?’ Menunjukkan penonjolan yang tegas.
Contoh: Watashi wa Hokkaido no ho samui to omou n desu kedo ne. Saya pikir bahwa Hokkaido lebih dingin'. Simpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi partiukel ne sangat penting dalam bahasa Jepang. Partikel ini sarat dengan makna sosial sebab dengan kehadiran partikel ne hubungan antara pembicara dan pendengar menjadi lebih akrab. Partikel ini hanya muncul dalam percakapan baik itu percakapan langsung maupun wacanawacana budaya yang berupa percakapan. Dengan partikel ne seorang pembicara berharap adanya perhatian dan keterlibatan pendengar pada apa yang sedang dibicarakannya. Partikel ne tidak bisa berdiri sendiri karena tidak memiliki makna mandiri secara utuh dan selalu muncul diakhir sebuah kalimat (sentence final particle). Partikel ne umumnya muncul pada ungkapan-ungapan pendek dalam bahasa Jepang, terutama untuk menyatakan cuaca yang terjadi pada saat itu. Dengan menambahkan partikel ne di akhir sebuah kalimat berarti seorang pembicara menyatakan pembenaran terhadap cuaca saat itu (sejenis pernyataan retoris yang tidak membutuhkan jawaban). Fungsi partiken ne dalam bahasa Jepang ditentukan oleh intonasinya saat berkomunikasi. Ada beberapa fungsinya yaitu: 1) menunjukkan pujian atau rasa kagum, 2) untuk konfirmasi bahwa sesuatu itu benar, 3) menyatakan bahwa s e s e o r a n g s e d a n g b e r f i k i r, 4 ) menunjukkan sepakat denga orang lain, 5) memperhalus permintaan, 6)
91
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 menunjukkan permintaan atau pe rt a ny aa n unt uk m enda pa t kan kepastian, 7) menunjukkan penonjolan yang tegas. Kalau dibandingkan ke dalam bahasa Indonesia maka partikel ini dapat disejajarkan dengan Alangkah….. atau kata sekali (untuk menyatakan kata sifat), berupa pernyataan retoris seperti …..ya? dan dapat disejajarkan dengan question tag dalam bahasa Inggris.
DAFTAR PUSTAKA Chino, Naoko. 1996. Partikel Penting Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Edizal. 1992. Ungkapan Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Long Man. Sutjiati B. 1996. Pendekatan dalam Mempelajari Komunikasi Lintas Budaya. Makalah Untuk Seminar Internasional Bahasa Melayu di Lombok. Webb, Herschel. 1960. An Introduction to Japan. New York & London: Columbia University Press. Wierzbicka, Anna. 1996. Cross Cultural Communication. The Australian National University. Kedubes Jepang Jakarta, Jepang sebuah Pedoman Saku 1985.
92
Basic Japanese Intensive Course for Speaking and Reading: Osaka University of Foreign Studies Volume 2.
TATA BAHASA KEFILSAFATAN CHOMSKY: SEBUAH DINAMIKA KEILMUWAN YANG SARAT KONTROVERSI Bea Anggraini Abstract This article talks about the development of the chomskyan grammar in term of the discussion and the critical debate that surrounding it. One of the theories, developed in 17th century, is called “the philosophy of grammar”: a linguistic theory which has been much misinterpreted. There are some different points of views on this Chomskyan linguistic approach. The theories emerging from this approach are considerd as revolutionary as well as controversial in linguistic field. Nevertheless, what Chomsky had done actually was not creating a new paradigm but as a reaction to the previous theories. The thought developed from the already existing paradigm in renaissance period. Key word: grammar, linguistics, paradigm creation. Pendahuluan Kont rove rs i ada la h t el aa h (keilmuan) yang diwarnai dengan pernyataan ilmiah dari sudut pandang yang berlawanan. Ilmu dapat berkembang dan hidup subur, jika kehidupan kontroversi ini diberikan atmosfir yang sehat. Dalam kehidupan kontroversi keilmuan yang sehat, masing-masing kubu keilmuwan yang saling berhadapan akan selalu berusaha mempertahankan dan menyempurnakan kekurangankekurangan paradigma keilmuan masingmasing. Usaha penyempurnaan paradigma ini akan menghasilakan peningkatan kualitas teori yang sedang dianut. Kontroversi yang sempat diamati dewasa ini ialah kontroversi linguistik dalam abad ke-20, yaitu antara paham strukturalisme dan para Cartesian modern dengan gramatika transformasi generatifnya(Wahab, 1991:5). Thomas *)
Kuhn (1974) mengatakan bahwa revolusi keilmuan terjadi apabila paradigma ilmu yang sedang berlaku dapat disangkal, atau dengan istilah yang agak keras dapat dijungkirbalikkan kebenarannya karena ada gejala yang penat dengan bidang ilmu itu bertentangan dengan kebenaran paradigma yang sedang berlaku. Beberapa sarjana linguistik, antara lain Georgia M. Green (1974), seorang profesor linguistik dari University of ILLIONIS at ChampaignUrbana, percaya bahwa revolusi keilmuan dalam bidang linguistic terjadi ketika paradigma “ilmu keperilakuan' dalam wujud “linguistic structural” pada pertengahan abad ke-20 ini disangkal oleh paradigma mentalisme yang tercermin dalam tatabahasa generatif yang diketahui umum diperkenalkan oleh Noam Chomsky. Masalahnya, benarkah Chomsky yang menyulut api revolusi keilmuan dalam bidang linguistik ini?
Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlangga, tlp 031-5035676
93
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 Dikotomi-Dikotomi Aliran Strukturalisme Munculnya aliran baru dalam dunia linguistik ini tampaknya selalu ditandai oleh keluhan akan kekurangan dan kelemahan aliran yang sudah ada sebelumnya. Hal ini muncul sebagai akibat perbedaan sudut pandang dan cara berpikir ilmuan. Strukturalisme dalam linguistik biasanya dikaitkan dengan nama Ferdinand de Saussure. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Ferdinand de Saussure adalah bapak aliran Strukturalisme dalam bidang kebahasaan. Cara Saussure mengutarakan gagasan dalam linguistic diwarnai oleh dikotomi-dikotomi. Diakronik dan Sinkronik Dikotomi yang pertama ialah dikotomi antara diakronik dan sinkronik. Kata diakronik berasal dari bahasa Yunani dia- yang artinya sepanjang, dan kata chronos yang berarti waktu. Jadi diakronik berarti sepanjang waktu. Dalam istilah linguistik, diakronik berarti studi bahasa dari waktu ke waktu. Sementara itu kata sinkronik juga berasal dari bahasa Yunani. Kata synberarti bersama. Kata sinkronik berarti bersama dalam satu waktu. Dalam istilah linguistik, kata sinkronik berarti studi tentang kebahasaan untuk waktu yang bersamaan. Dengan demikian, menurut de Saussure, bahasa itu dapat dilacak dari waktu ke waktu dan dipelajari untuk jangka waktu tertentu. Langue dan Parole Dikotomi yang kedua adalah dikotomi antara langue dan parole. Menurut de Saussure, langue adalah
94
sistem bahasa dalam konteks sosial. Dengan demikian, bahasa adalah sistem lambang bersifat arbitrer yang menjadi berfungsi hanya dalam lembaga sosial. Dengan kata lain, bahasa ialah sistem interaksi antara individu yang satu denagn yang lain dalam lembaga sosial. Di lain pihak, parole, atau tindak bicara, ialah manifestasi pribadi, bagian dari sistem sosial dalam situasi tertentu. Di sini tampak adanya keadaan yang paradok. Sebagai milik mahluk sosial, langue bersifat kolektif, tetapi sebagai milik oribadi, parole bersifat individual. Signifiant dan Signifie Dikotomi ketiga ialah dikotomi antara signifiant dan signifie. Signifiant ialah bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Ada juga yang mengatakan bahwa signifiant itu sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Sementara itu, signifie diartikan sebagai kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Citra mental suatu bahasa itu tidak lain ialah makna yang dimaksudkan. Mental dan Fisik S el anj utnya, di kotom i ya ng keempat ialah dikotomi antara mental dan fisik. Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dipandang dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Karena mental dan fisik manusia itu jadi satu, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat mausia melalui alat-alat bicaranya. Bentuk dan Substansi Dikotomi yang kelima ialah dikotomi antara bentuk dan substansi.
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
Bentuk diartikan semacam sistem posisi dalam istilah linguistik. Menurut de Saussure, bukan substansi melainkan bentuklah yang relevan dengan sistem suatu bahasa, karena nilai satuan linguistik itu ditentukan oleh posisinya, bukan oleh substansinya. Pemindahan posisi satu unit saja dalam bentuk representasi bahasa, berubahlah nilai satuan lainnya. Contoh yang paling mudah untuk membuktikan pernyataan ini ialah berubahnya nilai satuan kalimat Pemburu memburu harimau menjadi Harimau membunuh pemburu. Nilai kalimat yang pertama itu berubah karena posisi unsur-unsurnya berubah pula. Paradigmatik-Sintagmatik Akhirnya, dikotomi yang keenam ialah dikotomi antara hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik. Hubungan paradigmatik ialah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa; sedangkan sintagmatik ialah hubungan yang diperoleh jika satuansatuan diletakkan bersama dalam satu tindak bicara. Ke en am di kot om i di at a s mendasari aliran strkturalisme dalam linguistik. Namun demikian, menurut Noam Chomsky, salah seorang Cartesian modern, apa yang diyakini oleh para penganut paham strukturalisme itu baru menyentuh aspek lahir saja dari bahasa manusia. Paparan kaum strukturalisme itu belum sampai menggapai struktur dalam suatu bahasa. Pandangan Chomsky Chomsky berpendapat bahwa dalam masalah bahasa, kaum strukturalis mengacu pada kerangka pikir kerilakuan.
Padahal, bahasa manusia itu sangat rumit, tidak sesederhana seperti yang diperkirakan oleh para penganut strukturalisme. Selanjutnya, sarjana ini mengatakan bahwa jika kita ingin memahami bagaimana bahasa dikuasai dan dipergunakan oleh manusia, kita harus memisahkan sistem kognitif secara tersendiri, suatu sistem pengetahuan dan keyakinan yang berkembang sejak anakanak, yang telah berinteraksi dengan faktor-faktor lain, untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan yang dapat kita amati. Dalam istilah linguistik, Chomsky menggunakan istilah kompetensi, yaitu yang mendasari tingkah laku manusia dalam berbahasa, tetapi pemilihan kompetensi itu tidak disadari oleh manusia. Dari konsep ini dapat dimengerti bahwa bahasa itu bukan learned, melainkan innate. Keprihatinan Chomsky yakni ketika ada orang yang datang kepadanya dan menyatakan bahwa untuk menyusun suatu tata bahasa, tata bahasawan tidak perlu mengumpulkan data sebanyakbanyaknya di lapangan, sebab segala sesuatu akan diselesaikan ole komputer. Menurut pengalaman Chomsky (mungkin juga menurut pengamatan kita), orang yang datang kepada chomsky itu terlalu yakin akan kemampuan otomaton. Padahal, kemampuan intelektual manusia lebih tinggi dari otomaton yang adi canggih sekalipun. Bukti yang segera dapat disajikan untuk mendukung gagasan bahwa tidak ada otomaton yang m a m pu m e na n di ng i k e m a m p u an intelektual manusia ialah ketidakmampuan otomaton memecahkan wacana yang saling terkait serta gejala budaya dalam bahasa. Perkembangan teknologi sekitar
95
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 tahun 1950-an, yang ditandai dengan munculnya mesin komputer, mesin penerjemah, teori matematika untuk perilaku manusia, malah memperkuat pikiran chomsky bahwa manusia itu sangat rumit, tidak sesederhana seperti yang dipikirkan oleh aliran ilmu keperilakuan. Menurut Chomsky, jika kita ingin memahami bagaimana bahasa itu dikuasai dan digunakan, kita harus memisahkan sistem kognitif ialah sistem pengetahuan dan keyakinan yang berkembang sejak anak-anak, yang telah berinteraksi dengan faktor-faktor lain untuk menentukan jenis perilaku yang kita amati. Istilah yang dipakai oleh Chomsky untuk sistem semacam ini ialah kompetensi linguistik, yang mendasari perilaku berbahasa, tetapi tidak disadari secara langsung oleh pemiliknya. Chomsky dan Kaum Jenius Renaisans Keprihatinan Chomsky terhadap perkembangan ilmu kebahasaan yang sangat didominasi oleh ilmu keperilakuan, otomata, dan teori komunikasi matematis itu mendorong dia untuk menggali pikiran-pikiran para ilmuwan yang hidup pada zaman abad kehidupan para jenius. Menurut keyakinan Chomsky, mustahil para jenius pada zaman Renaissance mempunyai pemikiran yang dangkal tentang gejala kemanusiaan yang sangat penting seperti halnya bahasa. Dia percaya bahwa pada zaman itu muncul pemikiran yang jenius pula dalam masalah kebahasaan. Pertama, ia menggali Descartes 91596-1650) yang menyatakan dan m en d em on s t ra s i kan bahw a da ya pemahaman dan kemauan merupakan dua k e k a y a a n m en t a l m a n us i a ya n g
96
melibatkan kapasitas dan asas-asas kejiwaan yang tak dapat dijangkau oleh otomata. Salah satu dari kapasitas dan asas yang tidak dapat dijangkau oleh otomata secanggih apapun ialah aspek kreatif pemakaian bahasa. Kapasitas dan asas ini bersifat pembawaan. Dalam perjalanan filsafat ilmu, konsep Descartes tentang pembawaan ini tidak hanya berpengaruh dalam bidang psikologi, melainkan juga dalam bidang fisika, misalnya, ia mengemukakan bahwa gravitasi adalah ciri bawaan semua benda bernyawa maupun benda nirnyawa. Pendapat Descartes ini diperkuat oleh Juan Huarte (akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17), seorang filsuf dan pakar fisika dari Spanyol. Sebelum masa Harte, para ahli percaya bahwa manusia mempunyai dua macam kekuatan generatif. Yang satu sama dengan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, sendangkan yang satunya lagi hanya dimiliki oleh totalitas substansi spiritual, yang menurut istilah Leibniz. Disebut ”monad”. Kekuatan generatif yang kedua inilah merpakan kecendekiaan manusia. Juan Harte memperkenalkan tiga tingkat kecendikiaan, yang dalam bahasa Inggris disebut wit, atau dalam bahasa Latin disebut ingenio. Tingkatan ingenio yang terendah yang dimiliki oleh manusia disebut docile wit. Pada tingkatan ini, mahluk hidup mampu mencerap gejala dunia luar melalui alat indera. Kecendekiaan yang lebih atas dari docile wit ialah norman human ingenio. Dengan normal human ingenio, manusia mampu menguasai pengetahuan lewat sumber-sumber dakhil dengan memanfaatkan data indera dan tidak terhenti sampai di situ saja melainkan
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
terus menerus menyusun suatu sistem kognitif (dalam arti konsep dan asas) yang dapat berkembang secara sendiri. Di samping itu, dengan normal human ingenio ini, manusia mempu menemukan pikiran baru dan cara yang tepat untuk menyatakan pikiran itu, yang sama sekali tidak didapat lewat pelatihan atau pemberitahuan. Yang terakhir, ingenio yang ketiga ialah apa yang disebut Huarte sebagai true creatifity (kreatifitas sejati). Dengan kreativitas sejati ini, manusia mampu menciptakan karya yang sama sekali baru, yang tidak pernah dilihat, didenganr, d i r a sa , a t au d i ba u s e b e l um ny a . Kreativitas sejati ini jauh lebih tinggi tingkatannya dari kecendekiaan manusia biasa, apalagi jika dibanding dengan docile wit. Sebaliknya, asosiasi rangsangan-tanggapan dalam ilmu keperilakuan baru berada dalam taraf docile wit saja, belum sampai menjangkau kecendekiaan manusia bebas, apalagi kreativitas sejati. Kreativitas pemakaian bahasa tidak dapat dijalankan hanya dengan cara asosiasi diantara rangsangan dan tanggapan saja. Pemakaian bahasa menyangkut kecendekiaan manusia biasa dan kreativitas sejati. Itulah sebabnya mengapa Descartes menyatakan bahwa bahasa itu adalah milik khas manusia. Pada tingkat yang amat rendah pun, yaitu pada tingkat docile wit, binatang, otomata, atau alat komunikasi matematis, tidak mampu menyamai manusia. Kera yang paling cerdas sekalipun tidak mampu menyamai manusia debile sekalipun. Sepandai-pandai binatang, kemampuan intelegensinya hayalah sebatas docile wit saja; sebaliknya, sebodoh-bodoh manusia,
ia masih memiliki kecendekiaan dan kreatifitas yang lebih dari binatang. Tata Bahasa Kefilsafatan Chomsky Atas dasar kajian landasan berpikir para genius pada zaman Renaissance itu Chomsky memiliki pendekatan linguistik yang dapat memerikan bahasa dan aktivitas mental dalam menghasilkan tutur kata setepat mungkin. Dia berusaha mengembangkan (bukan menemukan) teori yang asas-asas organisasinya tidak dikaitkan dengan pr o s e s m e k a ni s m e f i s i k. U n t u k menyampaikan maksudnya itu, Chomsky mengkaji teori linguistik yang berkembang pada abad ke-17, yaitu ”tata bahasa kefilsafatan”. Sayang, tatabahasa kefilsafatan itu dewasa ini tidak banyak diketahui orang. Di samping itu, konsep tentang tatabahasa kefilsafatan itu disalahmengertikan orang, termasuk para pakar bahasa pada zaman pra-renaissance. Bahkan Bloomfield pun dalam karyanya yang besar, language, juga salah paham terhadap tatabahasa kefilsafatan itu. Bloomfield salah tuduh, ketika ia menyatakan bahwa tatabahasa kefilsafatan itu adalah tatabahasa yang didasarkan atas bahasa latin. Ia makin tersesat dalam tuduhannya bahwa tatabahasa kefilsafatan itu bersifat preskriptif, tidak memperhatikan ”sounds of speech”, serta mengacaukan lisan dan tulisan. Padahal, tatabahasa kefilsafatan yang sebenarnya tidak seperti yang dituduhkan oleh Bloomfield. Salah saru dari buku tatabahasa kefilsafatan ialah port royal grammar (PRG) yang ditulis pada tahun 1660. PRG ini tidak banyak dibaca orang pada zaman sekarang karena dua hal. Pertama, buku
97
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 ini ditulis dalam bahasa Peracis; kedua, buku aslinya tersimpan dalam satu museum di London. Ditilik dari isinya, PRG tidak ditulis berdasarkan tatabahasa latin, tidak preskriptif, bahkan menurut p e n g a m a t a n C h om s k y, P R G i t u memenuhi syarat ”esplanatory adequacy”, artinya, ia mampu menjelaskan proses mental terwujudnya serangkaian bunyi yang mencerminkan makna. PRG menganggap bahwa satuan tatabahasa itu bukan kelas kata-kata dan infleksinya, melainkan frasa. Menurut PRG, kalimat dibagi-bagi dalam frasa, yang kemudian dibagi-bagi lagi menjadi frasa yang lebih kecil sampai pada lambang terminal yang diwakili oleh leksikon. Pemisahan semacam ini mencerminkan ”struktur permukaan” yang erat hubungannya dengan bunyi. Manakala menyangkut makna, mau tidak mau seorang tatabahasawan menyangkut pula proses mental. Makna yang terkandung dalam pikiran penutur itu disebut struktur dalam. Misalnya, ada kalimat 'invisible God created the visible world'. Bunyi yang kita dengar pada waktu kalimat itu dituturkan hanyalah struktur permukaan saja. Sebenarnya, pada ujaran semacam itu terdapat makna tiga proposisi, yaitu: God is invisible. God created the world. The world is visible. Dengan demikian, haruslah ada proses mental yag mengolah tiga proposisi itu untuk dijadikan satu proposisi. Dengan kata lain, haruslah ada proses mental yang menghubungkan struktur dalam dan struktur permukaan. Masih dalam satu paradigma
98
tatabahasa kefilsafatan, pemikiran yang terdapat pada PRG itu dipertegas oleh Wilhelm von Humbolt (1767-1835). Humbolt mengatakan bahwa penuturan mampu memakai bahasa dengan jumlah kalimat yang tak terbatas, walaupun dengan piranti yang sangat terbatas. Di samping itu, tatabahasa Humbolt berisi sistem kaidah yang mampu menciptakan kalimat-kalimat yang tak terbatas jumlahnya dan yang dapat menjelaskan keterkaitan antara struktur dalam dengan struktur permukaan secara baik. Tatabahasa Humbolt juga berisi kaidahkaidah yang menghubungkan struktur yang abstrak itu dengan representasi bunyi dan makna yang masing-masing tidak bertentangan dengan ”fonologi dan semantik semesta”. Sayang, teori tatabahasa yang memikirkan proses mental yang menghubungkan struktur permukaan ini tenggelam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dapat disimpulkan sekarang bahwa Chomsky sendiri mengakui bahwa gagasan mentalisme, terutama yang mengenai konsep kompetensi linguistik, segi kreatif pemakaian bahasa bahasa, struktur dalam, dan struktur permukaan, diambil dari pikiran-pikiran jenius dalam zaman Renaissance, terutama pikiranpikiran Descartes, Juan Huarte, dan Wilhelm von Humbolt, serta para pengikut paradigma mentalisme yang menghargai ”Port Royal Grammar”. Kontroversi Linguistik Indonesia Kontroversi dalam linguistik yang sekarang ini sedang kita amati di Indonesia ialah kontroversi antara kelompok yang percaya bahwa bahasa itu
Partikel ne dalam Bahasa Jepang...
berfungsi interaksional. Bagi para penganut transaksional, fungsi bahasa yang penting ialah daya penyampai pesan yang terkandung dalam kalimat atau ujaran. Kelompok ini percaya bahwa satuan bahasa yang terkecil ialah kalimat, sebab kalimat itu berisi persan yang dianggap lengkap. Siapa yang menerima pesan tidaklah penting. Agar pesan dapat diterima tanpa salah, kaimat haruslah jelas, seperti jelasnya kalimat yang diciptakan oleh seorang penutur yang ideal, tanpa cela. Sebaliknya, kelompok yang percaya bahwa bahasa itu berfungsi interaksional beranggapan bahwa bahasa hanyalah sekadar alat untuk berkomunikasi antar anggota sosial, sebab interaksi antar manusia itu sebenarnya merupakan kebutuhan dasar tingkat tinggi bagi manusia. Para analis bahasa yang pecaya bahwa bahasa itu sebagai fungsi interaksional lebih mementingkan bahasa lisan, sedang para penganut transaksional lebih tertarik pada tulisan. Simpulan Chomsky sendiri sebenarnya tidak pernah menyatakan bahwa ia telah menanamkan tonggak bara untuk menandai pergantian paradigma dalam bidang linguistik. Dalam kuliahnya dihadapan para cerdik-cendekiawan di University of California at Berkeley, pada bulan Januari 1967, ia hanya menyatakan keprihatinannya terhadap sikap para cendekiawan yang percaya begitu saja, menerima aliran psikologi kefaalan yang saat itu sedang naik daun itu. Chomsky tidak melihat adanya tanda-tanda skeptis dan kewaspadaan terhadap dogma baru itu. Singkatnya, reaksi terhadap strukturalisme dan pengagungan otomata
bukanlah penciptaan paradigma baru, melainkan pengembangan paradigma yang telah ada pada zaman Renaisssance. Dengan pengertian semacam ini, Chomsky mengakui bahwa ia tidak melakukan Revolusi Keilmuan ala Kuhn sebagaimana yang sering diteriakkan oleh pengikut-pengikutnya. Dalam tradisi kehidupan keilmuan ya ng s ud ah de wa s a , k ubu -k u bu keilmuwan yang sedang bersaing, m e ny e m pu r na ka n t e or i - t e o ri n y a. Persaingan itu berupa adu nalar dan olah pikir, tidak saling mematikan. Oleh sebab itu, tidak heran jika kita temui dua kubu yang saling bersaing itu terkadang hidup subur di bawah naungan satu kampus. Di Massachusetts Institut of Technology (MIT), Harvard University, University of Illionis, misalnya, pendekar-pendekar keilmuan dari kubu yang berbeda selalu dipelihara dan diberi atmosfir akademik yang baik untuk menyempurnakan dan mengembangkan teori dari kubu masingmasing. Dengan demikian, terciptalah suatu dinamika keilmuan yang segar. Kegiatan bernalar dan berolah pikir dalam argumentasi yang sehat terpupuk dan selalu mendapatkan siraman air yang menyegarkan. Kehidupan akademik yang demikian itulah yang bisa melahirkan ilmuan-ilmuan besar dan inovatorinovatao yang bermutu dalam bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton dan Co. ---------------------. 1972. Language and
99
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 Mind. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. ---------------------. 1975. Reflection on Language. New York: pantheon Books. Green, georgia M. 1974. Semantics and Sintactic Regularities. Bloomington: Indiana University Press Robins, R. H. 1976. A Short History of Linguistics. Blomington: Indiana University Press Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press
100
VOICE MANIFESTATIONS IN ACADEMIC WRITING Jurianto Abstract This paper discusses about voice manifestations in academic writing. Voice is a part of the writer identity that particularly refers to the authorship, the authority of the author, and the existence of the author in his writing. The data for this study was taken from some writings and an interview with three respondents. Based on the theory of voice introduced by Ivanic (1995, 1998), the analysis of the text is done to find out the voice manifestations within the texts. The result of the study shows that the three respondents see the voice in connection with the topic or the subject discussion of their writings. From the analysis, it is found that the voice is manifested in three ways; those are in the argumentation of the authors, in the language choices or in the recommendation style of the authors, and in the attitude of the authors towards other authors. Key words: voice, the author, the authorship, the authority of the author, the recommendation of the language, attitude, voice manifestation.
Introduction Asian students studying in western universities have been identified as having more problems than local students. The problems are concerned not only with language, in this case English as a second language (ESL) but also with attitudes to knowledge and educational expectations (Ballard and Clanchy, 1991) as well as the ESL students modes of learning (see also Ballard, 1984:49, who speaks of a Twofold Cultural Adjustment). The problems become apparent when it comes to the assessment of the students written work. Regarding this, Ballard and Clanchy (1991) identify three categories of problems: (1) English surface structure, (2) rhetorical styles, and (3) discrenpancies in the attitudes to knowledge taken by the ESL students and
*)
the academic staff. Although the degree of each might be different, the three groups of problems are faced by both ESL undergraduate and postgraduate students. To postgraduate students rhetorical styles and attitudes to knowledge would tend to be more apparent since essay writing is the most commonly used type of assessment at the postgraduate level. Therefore, these problems, especially those related to attitudes to knowledge, gain significance and need more attention and examination. Part of the gap between ESL students attitudes and academic staff's attitudes to knowledge may be seen, or may lie in, the expectations of the institution and the academics. In western universities the academic staff expect their students to
Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya UNAIR, telp (031) 5035676
101
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Januari - Juli 2008: 83 - 60 produce essays that reflect not only their extensive reading but, more importantly, their critical reading. The students, Morton (1991: 179) suggests, need “to exploit a variety of sources to produce their own synthesis.” In other words, the student is required “to reshape these [other writers ideas, evidence and arguments] into a new fabric of his [sic] own design (Ballard and Clanchy, 1991: 29). The students are expected to express a certain degree of “authorship, authoritativeness and authorial presence” (Ivanic, 1995: 12). Put differently, they are asked to convey their own 'voice' in their writing. In spite of its significance in academic writing, this notion of writer's voice, particularly in respect of university students, seems to have received insufficient attention to date. Except for the work by Ivanic (1995;1998), other work on this issue tends to draw on personal-introspective accounts (Fulwiler, 1990; Shen, 1989) and to be based on anecdotal evidence despite being based on extensive experience (see, for instance, Chanock, 1997). Thus, more empirical studies are needed. In addition, most work has ocused on voice in the first language context, notably English. This study is significantly different as it at writer's voice in English as a foreign language. This research aims to examine how Indonesian postgraduate students at an Australian university represent themselves in their academic writing. This representation is assumed to manifest in their ideas, beliefs and the expression of these in their writing. Thus, the study attemps to identify the ways in which the students convey their authorship, authoritativeness, and authorial presence.
102
An attempt was also made to unfold, or at least to indicate, how the ESL students themselves perceive their self representation in their writing. Methode of the Study This study is qualitative research using a case study design. Qualitative research, according to Denzin and Lincoln (1994: 2), involves an interpretative, naturalistic approach to its subject matter. As such, it attempts to understand and account for phenomena according to the meanings people bring to them (from their context) (1994: 2). Regarding this approach, Punch (1998: 29) suggests that it employs non-numerical and unstructured data and usually contains broad research questions and methods. Case study has been found useful for investigating a phenomenon in a detailed manner, and it is a resourceful approach to understanding and explaining the development or dynamics of a group or an individual (Stoecker,1991). As voice is implicated in interrelated aspects of writer identity, suggesting the complex nature of the notion of voice, this study requires a design or approach that enables the written products. As such, the use of case study appears to be justified for this inquiry. Participants Three Indonesian postgraduate students at an Australian University voluntarily became the participants of this study. The three participants are those studying the humanities: two from the arts faculty and one from the education faculty at the same Australian University. Of the two participants from the arts faculty, one is a male students who was doing a
Voice Manifestation in Academic Writing
Masters program in anthropologhy (this participant is given the pseudonym Anto) and the other is a female student (Komi) doing a Masters in communication. The one from the education faculty is a male student (Edo) doing a Masters program in TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) Data Collection The data were drawn from interviews and a writing sample collection. Interviews were conducted twice with each participants. Since interviewing is a powerfull means to understand other people (Fontana and Frey, 1994: 361), it follows that it is an effective technique to elicit participants thoughts, experiences, and feelings. A writing sample collection refers to collecting samples of writing for academic puposes that the participants have produced. The samples consist of eight writing assignments. The eight writing assignments could be grouped into five types: essays (consisting of 4), a research proposal, a book review, a thinking log, and a classroom observation report. The first interview that was taperecorded was carried out to elicit the participants opinions of their work and as a procedure to select the samples. The second interview was also tape-recorded and consisted of two parts. In the first parts the participants were asked to choose one of their writing pieces in which they felt their self is most represented, and to identify where their voice is located and how it is conveyed in that piece. In the second part the investigator and each participant discussed the investigator's identi-fication of where and how their
voice is present in other pieces. DataAnalysis The investigator examined the samples to see whether the writers voice was present. Basically this examination aimed to identify the ways in which the writers organize their arguments, the ways in which the take a stance or reveal attitudes towards the ideas, and the ways in which they make use of linguistic and rhetorical devices. This text analysis was conducted in two ways: holistically and analytically, respectively. In the former, I read the whole piece of writing and decided, according to my perception and understanding, on the prescence of the writers voice. I also made a comment on a strength of their voice. Next I identified bits or fragments of language where the voice is located. The results of the identification were then discussed with the participants individually in the second interview. In the analytical examination of the writing samples, I used the framework of voice manifestations in writing developed by Ivanic(1995, 1998). That wais, the identified bits of language were compared with the four categories: (1) whether or not [the participants use] the first person, (2) how they position themselves in relation the other authorities, (3) the relative certainty with which they write, and (4) the extent to which they claim authority for their personal experience (Ivanic, 1995: 27). Limitation of the Study As the number of both participants and samples is small, it would not be reasonable to aim to get a general picture
103
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2, No.2 Juli - Desember 2008: 81 - 160 of how Indonesian postgraduate students at an Australian university exercise or have authoritathiveness in their work. This is also due to the fact that there is a wide range of academis discourse types even withing a discipline, and that each discipline often has different practices as to how much and in what way it allows students to convey their voice in their academic writing. In addition, the present study does not look into the participant's writing histories. Had the interview included this aspect (both their writing in Indonesian and in English), the discussion would have been richer and may have been able to account for voice in a more comprehensive manner. Voice in Writing This section deals mainly with the notion of voice in academic writing. However, as the concept of voice is complex, and still being developped, I need also to look at the relationship between language and identity and at how voice is related to identity. Finally, I will discuss briefly how to analyse writing for voice. A saying, or a slogan to be more precise, relating language and identity that I can still remember from my elementary school teachers is Bahasa menunjukkan bangsa, which roughly means “language indicates nationality”. I understand the slogan more as a reminder of the relationship between language behaviour and the speaker's identity. Thus what and how you speak tells who you are, and especially to what group of people you belong. The slogan appears to have derived from, and illustrated, our traditional understanding of the relationship between language and
104
identity, identity being perceived mainly as a collective or aggregate characteristic. In this respect, language becomes a corporate symbol. While it is true that language emboddies such collective identities of its speakers, it is also correct that it is personal. And yet the relationship between language and identity is not that simple. As language is personal, social and political, so too is identity. The relationship between language and identity is ahapped by and shappes social, cultural, political and economic dimensions (e.g. Fairclough, 1995; Gee, 1996, 1999; Pennycook, 1994, 1998). The relationship is both abstract and theoretical (Peirce, 1997: 413). Peirce (1997) also suggests that understanding of the relationship is partly dependent on both theories of language and theories of identity. The complexity of the nation of identity has been widely aknowledged. In discussing the influence of the state on identity, Cheater and Hopa (1197: 208), for example, argue that to fully and correctly represent individual identity is complicated because the concept identity itself is fluid, situational and fundamentally political. This also suggests that identity is always changing from time to time and from context. It also changes from discourse to discourse. It is difficult, if not impossible, to find a person with a single identity. People have multiple identities dependent on, or related to roles they take in society in their social interactions. These identities are part of and shaped by the Discourses (Gee, 1996, 1999) of which we are members. Discourses (with a capital D), as Gee
Voice Manifestation in Academic Writing
argues, are always concerned with what we do with language, how we do it, and how we think and behave. As such, they ways with language inevitbly relate to different identities (Gee, 1996: 183). The idea of a writer's voice in writing is embedded in the concept of writer identity or writing and identity (Ivanic, 1995 & 1998). Based on her study with mature students, Ivanic (1195) suggest for aspects of writer identity that relate to one another. They are (1) writers' life-histories and sense of their roots; (2) the prototypical identities set up by discourse types, (3) the impressions writers' expression of authorship, authoritativeness and authorial presence (Ivanic, 1995: 11). It should also be noted here that in Ivanic's conception, the first three represent one of two aspects of the writer's voice in terms of making use of the language, that is, the combination and range of discourse types with which the writer feels comfortable (1995: 23). In this regard, there is no such thing as a personal voice but only an affiliation to or unique selection among existing discourse types (Ivanic, 1995: 23). Perhaps, this is precisely what fulwiler (1990) means when he speaks of public voice as embedded in the kind of language used in writing style, structure, tone, register. The fourth aspect, authorship, authoritativeness and authorial presence, concerns the writer's voive in terms of his or her own beliefs and ideas. It is the writers' voice in this respect that becomes the focus of this study, and this is concerned more with the content than the form of the writing. Nevertheless, like the concept of
form and function in linguistics, the content itself is encoded in the form. Very often in idea, message or content is manifested in many different forms. Thus, it is through the form that the content can be explored. As such, the discussion of the ways in which the content is conveyed is envitable. Central in this respect is the use of linguistic and rhetorical devices as well as text organisation. These categories include such notions as diction and tense that the writers use, and hedging, citation or antribution and the stance that they take or the attitude that they reveal. As far as analysing writing is concerned, a variety of different methods have been used, depending on the focus of the study. This focus is usually reflected in the aspects of texts to be examined. Purves (1988) indicates that in contrastive rhetoric, whose objects of study are written texts, the analysis varies in two major modes: one looking at general patterns of text structuring and the other examining the linguistic aspects of the texts. While the former refers to how texts are organised or ordered, the latter points to a variety of linguistic features such as cohesive devices, tenses, and verbs. While both text structure and its linguistic features may be looked at for examining aspects of voice in writing, there is another group of aspects that does seem to fit into both modes. Hedging and citation or referencing are a good example. Although it can be argued, for instance that is devices are linguistic, hedging is mostly understood as a communicative resource or strategy (e.g. Hyland, 1996; Mauranen, 1997; Meyer; 1997) that often suggests the extent to which a writer is committed to or takes a stance towards
105
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2, No.2 Juli - Desember 2008: 81 - 160 his/her claims. Also often indicative of certain aspects of the writer's voice is the use of citation or the ways of referencing, including use of reporting verbs (e.g. Thompson and Yiyun, 1991) and language reports (Thompson, 1996). Still another aspect examined to search the presence of voice is the use of first person pronouns (e.g. Vessileva, 1998; Chanock, 1997). Given the aims of the study to examine how Indonesian postgraduate students perceive voice in their writing and how their voice is realised, a method of analysing writing for voice developed by Ivanic (1995, 1998) is used. She proposhes what I refer to as a framework of voice manifestations where she identifies four ways in which authorship, authoritativeness and authorial presence are conveyed in a piece of writing. The framework includes (1) whether or not (the writers) use the first person. (2) how they position themselves in relation to other authorities (3) the relative certainty with which they write, and (4) the extent to which they claim authority for their personal experience (Ivanic, 1995: 27). In practice, what is examined includes how the writers take a stance or convey attitudes towards other authors' ideas and claims, that is, how they make use of citations and verbs (and tenses) of attribution. This may also include how they draw on personal experience and to what extent they are committed to the use of the first person, that is, what the “I” is portrayed as doing (Ivanic, 1995: 25). Manifestations of Voice This section presents the results of the interviews conducted with the three participants and the findings of the text analysis I conducted of the writing
106
samples the participants have provided. Most of what the participants said regarding the manifestations of their voice in their writing (in this case, the best piece among their selected work) is similar to what I had identified prior to the second interview. As a second language reader of their second language reader of their second language writing, I find that the participants in general demontrate a strong voice throughout the selected pieces of their writing. The three student writers indicate a relatively high degree of certainty in their arguments, which seems to suggest authoritativeness. This aspect is particularly evident in, among others, the frequent use of the language of recommendation and a certain degree of independence from others, the frequent use of the languages of recommendation and a certain degree of independence from other authorities. Anto, for instance, cites only one author (appearing in the fifth paragraph) in the first two pages of his tenpage essay “Human rights in Asia: a debate on the universality of human rights concept”. Edo and Komi tend to make use of the language of recommendation in most of teir work. In addition, with regard to personal experience the student writers show some degree of authority. That is, quite often they make a claim for personal experience when experience here is understood as the writers' opinions, beliefs and feelings. In her book review, for instance, Komi's voice is reflected particularly in her personal comments, including criticism and evaluation, on the book she reviewed. In the case of Edo, very ogten he draws on his personal experiences and observations when he is making claims.
Voice Manifestation in Academic Writing
Language of Recommendation With regard to voice manifestations, it is interesting to note that the language of recommendation is quite predominant in the students' work. This is an aspect of voice thet seems to relate, in my understanding, to Ivanic's the relative certainty the writes with. Providing recommendations, combined with a certain degree of independence from other authors, indicates authority on the part of the writer. In the case of Edo, perhaps this matter is rather obvious. The task given or the nature of the assignments requires him to provide evaluation and/or practical ideas regarding any aspect of English teaching he is writing about. On this issue, Hamp-Lyons (1991: 95) suggests that the nature of the task and the writer are intricately interwoven and reports that students writing on assessment tasks is influenced by the nature of the task, how much they know about it, whether they like it or not. Thus, in the case of Edo his frequent use of the language of recommendation seems inescapable. In the case of Komi, however, it is not straightforward. Her use of the language of recommendation is evident especially in her essay “National information policy: Does Australia need it?” it is an essay with which, compared to the other, she felt less satisfied because, in Komi's words, the context is Australian and it is not applicable to Indonesian context. Moreover, the essay is an instructed or prompted-assignment, a task that Komi does not like very much. This suggest that she may have less certainty, and hence less authority, in the subject matter. Yet, the fact is that she shows quite
a strong voice in the essay, which is manifested in her use of the language of recommendation and independence from other authors. And both of these indicate the relative certainty with which she writes. Students' Stance toward OtherAuthors Another aspect of position in relation to other authorities that is worth discussing has to do with how the student writers take a certain stance towards authors' ideas or claims. While on some occasions they do not clearly reveal their stance, Anto and Komi indicate their position especially in drawing on other authorities to make confirmation, to agree with scholars' opinions, which serves to support their argument. This is also the stance that Edo tends to take towards other authorities. On some occasions he uses other authors' ideas to back up his claims, and on other occasions he is making inferences from the ideas. On the other hand, Anto displays another, more critical stance. This position is achieved, for instance, through his questioning of commonly assumed notions such as human rights. Anto strongly pointed out I think that human rights are culturally and socially constructed. That's I establish the notion. My notion and I refer to many other experts about human rights. This critical stance is revealed by the following extract, among others. A consequence of Leary's position is not only that the conception of human rights is socially constructed by a society based on its cultural framework, but also that the universal declaration may be questionable in view of the cultural bias of its construction.
107
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2, No.2 Juli - Desember 2008: 81 - 160
Use and Non-use of the First Person The first person is often examined to identify the presence of voice, in particular the aspect of authorial presence (see, for instance, Vassileva, 1998). For the three student writers, however, the first person appears not very crucial. Not only are there only a few instances, but the students seem to avoid using first persons pronouns. There are two possible explanations for this phenomenon. Firstly, the genres or diciplines in which they write the subject matter call for the deployment of the third person. But, this is still datable. While in the case of Anto's discipline, anthropology, the use of third person or impersonal language forms may be highly appreciated, in Edo and Komi's disciplines (language teaching and communications, respectively) the use of the first person is not only valued but sometimes encouraged. This is also a point that Ivanic (1995, 1998) highlights, that discourse types play a role in shaping writer identity. Also perhaps the existing genres (Ivanic, 1995: 23). Or, perhaps the students are more concerned with the general assumption that academic ( w r i t i ng ) r e q u i r e s a n o b j e c t i v e perspective. Secondly, that the student writers do not employ the first person may have to do with their cultural norms. While using the first person “I” on some occasions, Edo explained that he did not feel comfortable. I feel rather clumsy, awkward to use the word “I” because in the context of my education there (Indonesia), I am in fact not allowed to use the first
108
person. usually it is the third person or made passive, as used in theses or more formal scientific writing. here (Australia) we are allowed to use “I”. but I do restrict myself to using the word “I” because the concept ) norm I have already brought since a long time a go. A variety of factors seem to come into play for the student writers in deciding not to use the first person. And yet, they have clearly conveyed their voice throughout their pieces of writing. This seems to indicate that the first person is not a sufficient criterion or characteristic of the presence of voice, or a sense of self (Hamp-Lysons, 1991: 99). In his discussion of personal/textual essay, Harvey (1994) clearly indicates that at the places in writing where the presence can be located, none is necessarily marked by the first person. Conclusion This study has shown that Indonesian postgraduate students at an Australian university convey their voice in their writing for academic purposes. To them the notion of voice relates particularly to their sense of ownership and their affective and intellectual engagement. Their voice is manifested in three major ways, that is, in the argument in which they incorporate knowledge, beliefs and personal experience, in the frequent use of the language of recommendation and in the stance they take towards other authorities. This findings indicate that the nation of voice is intertwined with a variety of such aspects as interest in and
Voice Manifestation in Academic Writing
attitudes towards the topic under discussion, freedom of choice, and personal satisfaction. They also suggest that voice manifestations vary from topic to topic, from genre to genre, and from one discipline to another with which each genre is associated. They also vary in accordance with some culturally preferred values. Therefore, in order to help and empower students to represent themselves in one way or another and write something that really matters to them. REFERENCES Ballard, B. 1984. “Improving Student Writing: An Integrated Approach to CulturalAdjustment”, in R. Williams, J. Swales, and J. Krikman (eds), Commond Ground: Shared Interest in ESP and Communication Studies. Oxford: Pergamon Press. Ballars, B and J. Clanchy. 1991. “Assessmet by M i s concep ti on : C ul t ur al I n f l u e n c e s a n d IntellectualTraditions” in L. HampLyons (ed.), Assessing Second Language Writing in Academic Contexts. Nowwood. N.J.Ab;ex. Chanock, K. 1997. “never Say “I”? the Writer's Voice in Essays in the Humanities”. In Z. Golebiowski and H. Borland (eds), Academic Communication Across Disciplines and Cultures, Vol. 2. Melbourne: Victoria University of Technology. Cheater, A. and N. Hopa. 1997. “Representing Identity”, in A. Dawson, After Writing Culture: Epistemology and Praxis in Contemporary Anthropology. London and New York: Routledge.
Denzin, N.K and YS Lincoln. 1994. “Introduction: Entering the Filed of Qualitative Research”, in NK. Denzin and Y.S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, C.A: Sage. Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language. London and New York : Longman. Fontana, A. and J. H. Frey. 1994. “Interviewing : The Art of Science”, in N. K. Denzin and Y. S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, C.A.: Sage. Fulwiler, T. 1996. “Looking and Listening of My Voice”. College Composition and Communication, 41(2), pp.214220. Gee, J. P. 1996. Social Linguistics and Literacies: Ideology in Discourses, 2nd Edition. London: Taylor & Francis. Gee, J. P. 1999. An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method. London and New York: Routledge. Hamp-Lyons, L. 1991. “Pre-text: Task related Influences on the Writer”, in Assessing Second Language Writing in Academic Context. Norwood, NJ: Ablex. Harvey, G. 1994. “Presence in the Essay”. College English, 56 (6), pp. 642-654. Hyland, K. 1996. “Writing without Conviction? Hedging in Science Research Articl es”. Applied Linguistics, 17 (4), pp. 433-454. Ivanic, R. 1995. “Writer Identity”. Prospect, 10 (1), pp. 8-31.
109
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2, No.2 Juli - Desember 2008: 81 - 160
________ 1998. Writing and Identity: The Discoursal Construction of Identity in Academic, Vo. 5. Amsterdam: John Benjamins. Mauranen, A. 1997. “Hedging in Language Reviser's Hands”, in R. Markkanen and H. Schroder (eds), Hedging and Discourse: Approaches to the Analysis of a Pragmatic Phenomenon in Academic Texts. Berlin and New York: Walter de Gruyter. Meyer, P. G. 1997. “Hedging Strategies in Written Academic Discourse: Strengthening the Argument by Weakening the Claim”, in R. Markkanen and H. Schroder (eds), Hedging and Discourse: Approaches to the Analysis of a Pragmatic Phenomenon in Academic Texts. Berlin and New York: Walter de Gruyter. Morton, R. 1999. “Abstracts as authentic Material for EAP Classes”. ELT Journal, 53(3), pp. 177-182. Peirce, B. N. 1997. “Language, Identity, and the Ownership of English”. TESOL Quarterly, 31 (3), pp. 409-429. Pennycook, S. 1994. The Cultural Politics of English as an International Language. New York: Longman. _________1998. English and the Discourses of Colonialism. London and New York: Routledge. Punch, K. F. 1998. Introduction to Social Research: Q uant i t at i ve a nd Qualitative Approaches. Thousand Oaks, C.A.: Sage. Purves, A. C. 1988. “Introduction”, in Writing across Language and Cultures:
110
Issues in Contrastive Rhetoric. Newbury Park, CA: sage Publication. Shen, F. 1989. “The Classroom and Wider Culture: Identity as a Key to Learning English Composition”. College Composition and Communication, 40 (4), pp. 459-466. Stoecker, R. 1991. “Evaluating and Rethinking the Case Study”. Sociological Review, 39 (1), pp.88112. Thompson, G. 1996. “Voices in the Text: Discourse Perspectives on L a n g ua g e R e p or t ” . A pp l i e d Linguistics, 17 (4), pp. 501-530. Thompson, G. and Y. Yiyun. 1991. “Evaluation in the reporting Verbs Used in Academic Papers”. Applied Linguistics, 12 (4), pp. 365-382. Vassileva, I. 1998. “Who am I/Who are We in Academic Writing?”. International Journal of Applied Linguistics, 8 (2), pp. 163-190.
READING AND WRITING PROCESS: TWO SIDES OF ONE Simon Sira Padji Abstract In every communication processes, it is a must to have a negotiation of meaning in order to deliver the message between communicators. In a verbal language, the negotiation of meaning between negotiators can be detected easily. On the other hand, in a written language, the negotiation of meaning between negotiators, between the writer and the reader is hard to be detected. This paper discusses the relationship between writing and reading by applying discourse analysis and process approach. Based on this approach, there is also the negotiation of meaning between writing and reading as well as between speaking and listening. In this relationship, the writers seem to have face to face conversation with the readers as the target of the writing so that the negotiation of meaning exists between them. This paper also discusses some suggestions that are beneficial for particularly teaching writing skill and teaching a language in general. Key words: the relationship, reading, writing, and the negotiation of meaning.
Introduction Reading and writing skills, two of the so called communicative language skills, have been perceived to be difficult skills to learn and to teach. So that, some practitioners of reading and writing would give pessimistic comment on this mater, such as “reading is difficult because it is foreign to our culture”, or “reading is a neglected skills but writing the forgotten one”. This phenomenon, however, has prompted experts to look into the process of reading and writing, and they have found out that these two skills are actually related to one another. Co-relational studies on the relationship between reading achievement and writing ability (e.g. Loban, 1963; Fischo, 1966; and Bippus, 1977 cited in Stosky, 1983: 628)
revealed that there is a close relationship between reading and writing. Loban (1963), for example, in his study of the reading scores and writing ratings of upper elementary students, concluded that those who read well also write well, and those who read poorly also write poorly (in Stosky, 1983: 628). Further studies that tried to examine the influence of reading upon writing ability have also shown that, to a certain extent, reading has some influence on writing ability. Heys (1962), for instance, found out that classes that additional reading and wrote only one paper every three weeks tended to make greater gains in writing than did the classes that wrote one paper every week but read less (cited in Stotsky, 1983: 634). These insights on the close
*) UNITOMO
111
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 relationship between reading and writing have brought into existence many composition textbooks (eg. Johnson, 1981: Catsy and Tight, 1969) that try to facilitatte the learning of composition skills through reading activities. In textbooks of this kind, the students are given model texts to read, followed by the analysis of grammatical points and rhetorical devices employed in the texts, and the last is composition practices, the student is always encouraged to pattern his composition after the model texts and doing a lot of exercises the students will eventually learn to write correctly and produce perfect compositions. In this short paper, the writer attemps to describe the nature of the relationships between reading and writing from the view point of communicative approach and to suggest some practical implications and in informal learning. There is no experiment, in this paper, to prove empirically the relationship between reading and writing skills. The discussion is based only on the existing opinions in the books ans articles on reading and writing skills. Comunicative Functions of Reading and Writing In any communication act, be it oral or written, in order to get the message across there must always be negotiation of meaning between the interlocutors. In the oral-aural mode of the language, this negotiation of meaning is apparent in an exchange between speaker A and B. For instance, speaker A expresses his idea/opinion about something to B. B, in turn, can question, ask for clarification about, agree, or disagree with the idea
112
right there and then. A upon receiving the reaction from B, can make different moves. Depending on the kind of response from B. If, for instance, B still questions or doubts about the statements, A can try convince him by giving reasons or arguments etc., until the issue is settled. In written mode, on the other hand, it is difficult to detect that there is a negotiation of meaning between the interlocutors, in this case, between the writer and the reader. The writer sends his message through printed text in the absence of the reader; there is no direct feedback from the reader that allows him (the writer) to clarify his idea or make new moves to settle the issue. The reader, in turn, in decoding the message depends solely on the printed text; there is no writer around from whom he can ask for clarification or with whom he can argue about the issue. The question is, if this is all about reading and writing, then how the aim of the communication act be achieved in written mode? Or, in other words, how do the writer and the reader negotiate meaning in order to settle the issue? There have been several studies that try to look into the process of writing and reading; and it has been found out that there is indeed a negotiation of meaning between the writer and the reader. This negotiation of meaning, however, is a covert of psychological process, which is difficult to detect. Widowson (1978) calls this covert negotiations of meaning in written mode of the language “interpreting” (p. 63). He claims that in order to achieve the aim of communication act, writing and reading activities have to be bridged by this
Reading and Writing Process
interpreting activity. This simply means that in writing, like in speaking, the writer must have a reader with whom he can negotiate meaning. Since there is no reader around at the time of writing, the writer has to imagine a proxy reader at the end of the communication line, which is “listening”, asking questions and arguing with him. The writer, therefore, has to take a double role, both as a writer, he put forward his opinion, or makes his statement, and then, assuming the role of a reader, he has to interpret the reader's schemata, his background knowledge, his probable questions or reactions, etc., and again, returning to the role of a writer, he responds to the questions or reactions of the proxy reader to defend or support his opinion. This circle of “questions an answers” will develop into a complete text in written form. The interpretation of the presence of a hyphothetical reader in the process of composing will enable the writer to develop his ideas in his effort to put his message across or, in other words, to settle the issue. The following example clarifies the point. For instance, a writer wants to make the following point: Students of UNITOMO are all very brilliant. He might anticipate possible objections from the reader, who might say “I don't think so” or something to that effect, so he goes on to support his statement with the following: Most of them can finish their study in a four-year time. They never fail in their examinations. Their GPA's are very high. After graduation, they are usually hired
right away by big companies and firms. The reader, at the other end of the communication line, in his effort to interprete meaning from the text or, some would say, to put meaning to the text has to have a writer as his interlocutor, to whom, he poses questions about the issues, or with whom he argues about the subject. In the absence of the interpreting activity there will be no negotiation of meaning in written mode, and by implication, there will be no communication. A writer who does not assume the role of a reader during the time of writing will only produce a text that is called a writer-based text (Flower, 1979). This kind of text is difficult to read because the writer does not write to communicate he writes for himself. On the other hand, a reader who does not share the same schemata with the writer, who does not have any knowledge about the issue, or, in short, who does not have a writer with him during the time of reading, will not be able to get enough message from the text because he does not negotiate meaning with the writer his proxy interlocutor. It is clear, then that in writing and reading there is the negotiation of meaning to settle the issue, like in speaking and listening. However, the negotiation of meaning in writing and reading is a covert process, and therefore, difficult to detect. In aural oral mode of language, the medium is sounds (symbols), which are encoded by the speaker and decoded by the hearer. In written mode of language, on the other hand, the medium is the written symbols,
113
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 which are encoded by the writer and decoded by the reader. The Process of Writing and Reading As has been mentioned above, in both oral and written mode of the language, there is negotiation of meaning. This negotiation of meaning is sometimes referred to as discourse (Widdowson, 1984: 100). The sound symbols (for auraloral mode) and the printed forms (for written mode) are actually partial product of the discourse captured in linguistic signals. The partial product, in the form of linguistic signals, of the written mode (non-reciprocal discourse) can be captured. This captured product of discourse, both the reciprocal and non reciprocal discourse) is called text. Although the product of oral-aural mode and that of written mode can be captured in a text, they are essentially different from one another. While the text of the reciprocal discourse is captured by a third party (he can be one of the interlocutors), with the interlocutors taking turn in the negotiation of meaning, the text of the non-reciprocal discourse id deliberately designed by one of the interlocutors (in this case the writer) to help the addressee (the reader) recover the message (Widdowson, 1984: 100). Since the discourse of non reciprocal type is carried out in the absence of either one of the interlocutors, the text (henceforth, the text always means non-reciprocal text) becomes the sole medium in the negotiation of meaning. This makes the writing and reading activities complex; very often, it is difficult to achieve a perfect agreement on the issue at hand. The writer, for instance,
114
is not always very sure about what questions or arguments would be raised by the reader about his statement because there are many possible questions that can be raised about one single statement. This is why, in his effort to make his point clear, very often, he has to change the course of negotiation by trying to pose different questions (the proxy readers's role) and giving different response (the writer's role) in the process of composing. This underlying psychological process materializes in the re-reading, making a lot of changes and corrections throughout the composing process. That is why the composing process is regarded as a recursive process (Perl, 1980: 364). The writer has to return every now and then to previous sentences to see whether they have answered the proxy reader's questions. All these efforts in the process of composing is actually the negotiation of meaning between the writer and his proxy reader in order to achieve the aim of the communication act. The reader's task is no less difficult. She has to negotiate meaning with a proxy writer to settle the issue through the medium of the text. He can raise questions, give arguments, and have doubts about the statement made by the writer; and the eventually he finds the answer provided by the sriter; and then eventually he finds the answer provided by the writer in the text. Since the negotiation of meaning is done in the absence of the writer, the reader can only approximate the writer's responses to his questions (Tierney and Pearsons, 1983: 569). Like in the reciprocal discourse wherein there is often mismatch between the interlocutors' ideas, the mismatch
Reading and Writing Process
between the ideas of the writer and the reader is also apparent. Since the discourse carried out during the time of composing takes place between the writer and a proxy reader, there are always possibilities that the questions or arguments raised by the proxy reader (who is actually the writer himself) may not match what the real reader has in mind during the time of reading, might follow a line of reasoning which is different from what is meant by the real writer. The analysis of the reader's and writer's think aloud (the protocol analysis) shows that the process of reading and writing is like a tug of war between the reader and the writer (Tierney and Pearson, 1984: 569). It is clear by now that a piece of discourse, be it aural-oral or written, must be built up or composed by at least two parties or participants, but the task of writer and a reader in “composing” a text is more difficult than that of a speaker and a listener. Unlike in the aural-oral mode where the participants are present at the time of composing, the writer, when he decides to write, has to envisage a proxy reader, or some would say, an intended reader, or some would say, an intended reader, who is not just a silent or passive reader waiting somewhere out there to be informed, but an active one, who is asking questions and gives reactions to the writer's opinions or statements. The writer, therefore, has to be able to predict the questions and / or reactions that might be given by the readers and able to provide the appropriate answer and/or responses. The things become more complicated due to the fact that different filed has different line of thought expressed in different text structure. For instance, if he decides to
write something about politics, since he also takes the role of the proxy reader, he has to be well-versed on the topic of politics, so that he can be able to understand the line of thought in the field of politics. Practical Implications It has been mentioned earlier that there have been some textbooks of composition that try to approach the teaching of writing through reading. The students are asked to pattern their compositions after the model texts provided in the textbooks. However, if writing and reading process is actually the process of negotiation of meaning (discourse) and the text is only a partial product of the total discourse, which is captured, in linguistic signals, then the idea above (that the students will eventually learn to write through the analysis of the model texts) becomes superficial. The students might be able to write grammatically correct sentences, build different kinds of paragraphs, and use proper rhetorical devices, but they will not be able to perform a discourse (the negotiation of meaning) in order to settle the issue. They will produce compositions that are uninteresting, incommunicative, or even difficult to read. If writing and reading are two sides of a process, then it is possible that reading, to a certain extent, can facilitate the tachig of writing. However, the analysis of model texts, as proposed by product approach, is not sufficient. The students have to be exposed to the process of discourse or the negotiation of meaning which lies beyond the text. If the exposure to the discourse has to be through reading,
115
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 then, the students have to be taught to read in certain ways that most likely help them reach down to the discourse process. The idea that reading facilitates writing is evident in the fact that those who read widely are expert writers alhough they never take writing/composition classes. Concerning this phenomenon, there are two different opinions. On one hand, Product Approach.tenets would argue that wide readers write better bacause they learn from the texts how words and sentences are used, how rhetorical devices are employed in the text, and how texts are organized. On the other hand, Process Approach tenets would argue that wide readers write better because they are familiar with the position of a reader and therefore are able to envisage well the questions or the reactions from the readers when they write. About the two opinions above, it can be said that the opinion from the Process Approach is more essential than that of the Product Approach. This is so due to the fact that everyone of us reads many different kinds of materials everyday but not many of us become good writers. This is because only the readers who are active and get down to the discourse process that can be come good writers, while superficial readers cannot. This does not mean that in writing, linguistic knowledge is not important. Diction, grammar, and rhetoric are still as important but insufficient. They alone will produce uninteresting and u n c o m m u n i c a t i v e w r i t i n g s . To supplement them, there must be the knowledge of the discourse process that makes a writing interesting to read because the writer seems to able to see
116
what the readers want to know. Recently, in the teaching of writing in formal institutions, there have been several textbooks on writing that try to apply this process approach. In the textbooks, the students are supplied with different topics and asked either to read about them or to discuss them in order to get the sense of discourse process before they are allowed to write. One of the books is by Marcella Frank (1990) entitled writing as thinking: A guided Process Approach. In this book, the writer provides seven different topics, and under each topics there are several articles on the said topic to be read by the student. The students are asked to summarize, read for further ideas, and do extra discussion before they are allowed to write their own paper. Another book is by Nancy Arapoff Cramer (1985) entitled The Writing Process: 20 Projects for group Work. In this book, the writer provides 20 topics, and under each topics there are several tasks to be completed by the students, but the main point here is that the students are asked to do discussions and brainstorming on the topic, getting feedback, revising, and editing their compositions. The following are some considerations that have to be taken during reading activities that might help the students learn to write better. First, reading process that most likely facilitates the learning of writing is the one that is active. This means, in order to comprehend the text, the reader has to negotiate meaning his proxy writer. He has to take active part by generating his own ideas and recreating the text (like a writer does). Tierney and Parson (1983)
Reading and Writing Process
call this kind of reading the composing model of reading. Second, classroom strategies for generating ideas and restructuring the text might be best in the form of summarizing, paraphrasing, reprocessing, retelling, acting out, and translating from one mode of communication to another (Squire, 1983: 582). The teacher has to lead the students in all these activities, acting as the writer who serves as the interlocutor in the negotiation of meaning. Third, r eading can also be introduced to children to facilitate their learning to write. It has been found out that the writing of the children contain features of their reafing texts (Eckhoff, 1983: 615). There are also some considerations to be taken when the teaching of writing is done through process approach: First, writing classroom activities start with generating ideas or getting ideas, but not with the analysis of rhetorical patterns, the use of rhetorical devices, and other theoretical concepts. Getting ideas can be done through reading activities and discussions or by quick-write and brainstorming. Second, writing is a recursive process. The teacher has to convince the students that they cannot finish one composition in one sitting. Rereading, rewriting or revising, and editing are typical steps they have to go through when they compose. Third, the teacher, on his part, has to prepare his time to go through the student compositions, and give feed back to those compositions. Fourt, if needed, a protocol analysis of students composition is done in order to see the process of writing of
each individual student and give proper remedies. Conclusion From the discussion above, it can be concluded that reading and writing are two sides of one single process. They are bridged by the interpreting activity from the writer on one side and the reader on the other. It is further observed that reading can facilitate writing, not by analizing the texts and ask the students to patters their compositions after the model texts but through the exposure to the discourse process that underlies the reading and writing process. The reading process that can facilitate the learning of writing is the one wherein the student has to negotiate meaning with his proxy writer to settle the issue at hand. The strategies suggested for the composing model of reading are summarizing, retelling, paraphrasing, reprocessing, acting aout, and translating out, and translating from ome mode of communication to another. Writing is a recursive process. It should start with generating ideas, followed bty writing, rereading, rewriting, revising, editing. The teacher must prepare enough time to read and give serious feedback to the students' drafts. A writing class without rereading, rewriting, revising, and editing is not a writing class.
REFERENCES Casty, A and Donald J. Tight. 1969. Staircase to Writing and Reading: A Rhetoric and Anthology (3rd.
117
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 ed.). Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall. Eckhoff, B. 1983. “How Reading Affects Children's Writing”. Language Arts. 60: 607-616. Frank, M. 1990. Writing as Thinking: A guided Process Approach. Englewood Cliffs, N.J.: PrenticeHall. Goodman, K and Yetta Goodman. 1983. “Reading and Writing Relationships: Pragmatic Functions”. Language Arts 60: 590 599. Johnson, K. 1981. Communicate in Writing. London: Longman. Krashen, S.D. 1982. Principle and Practice in Second Language Acquisition. Oxford: Pergamon Press. Smith, F. 1983. “Reading Like a Writer”. Language Arts. 60: 558-567. Squire, J.R. 1983. “Composing and Comprehening: Two Sides of the Same Basic Process.” Language Arts. 60: 581-589. Stosky, S. 1983. “Research on Reading / Wr i t i n g R e l a t i o n s h i p s : A Synthesis and Suggested Directions.” Language Arts. 60: 627-641. Tierney, R.J. and P. David Persons. 1983. “Toward a Composing Model of Reading”. Language Arts. 60: 568-580.
118
Widdowson, H.G. 1978. Teaching Language as Communication. Oxford: OUP. Widdowson, H.G. 1984. Explorations in Applied Linguistics 2. Oxford: OUP.
IKHWAL PERSEWAAN BUKU DAN PELANGGANNYA SEBAGAI ALTERNATIF MATARANTAI PEMBACA SASTRA Adi Setijowati Abstract This research aims to portray the profile of book rental in Surabaya. Specifically, it identifies book collection, customer, system of service, and the role of the book rental. Data were collected from five branches of Asterix book rental and 100 customers of Asterix book rental. The data were collected trough observation and by means of questionnaire. The results of this research show that: (1) the locations of five branches of Asterix book rental are conveniently situated. (2) the number of book collections is about ten million books, consisting of comic strip, novels, and story eith picture. (3) the number of regular customers of Asterix rental is about two thousand. (4) customers are required to leave the identity cards or driving licences. (5) the rentals serve as entertainment and information places. Key Words: book rentals, customer, book collection.
Pendahuluan Banyak orang beranggapan bahwa kehadiran persewaan buku di kota besar identik dengan tersedianya bacaan murahan, pop, atau berselera easy beauty. Sehingga timbul kesan bahwa persewaan buku hanya pantas dikunjungi oleh golongan masyarakat yang memunyai selera bacaan yang rendah. Bacaan yang dianggap rendah antara lain adalah jenis karya sastra yang disukai massa seperti misalnya komik, novel pop, atau karya yang diciptakan untuk memenuhi selera massa. Tampaknya anggapan-anggapan di atas perlu didudukkan pada proporsi yang sebenarnya, sebab pada kenyataannya banyak persewaann buku di kota (salah satunya adalah persewaan
*)
buku “Asterix”) menyediakan bacaan berupa karya sastra, seperti misalnya karya-karya terjemahan dari khasanah sastraAmerika. Kehadiran persewaan buku menggejala di kota-kota besar seiring dengan kebutuhan pragmatis masyarakat membaca buku secara rekreatif, tanpa harus membeli karena harga buku (sastra) cukup mahal di Indonesia dan harapannya adalah mendapatkan harga yang lebih murah dibanding kalau membeli bukunya sendiri. Pengamatan kami sementara menunjukkan bahwa menyewa buku di persewaan buku relative mahal harganya, terutama untuk golongan menengah ke bawah. Berdasarkan kenyataan-
Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 031-5035676
119
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 kenyataan di atas perlu diteliti lebih lanjut apakah benar dalam persewaan buku hanya terdapat bacaan dengan selera rendah seperti anggapan umum semacam itu? Persewaan buku sastra sebagai salah satu penyambung rantai penerimaan karya sastra kepada pembacanya ini berhubungan erat dengan minat membaca masyarakat terutama di kodya Surabaya. Minat membaca masyarakat perlu diketahui karena berhubungan dengan pembentukan karakter bangsa. Adapun beberapa alasan penting mengapa gejala tumbuhnya persewaan buku sastra di kota Surabaya perlu diamati adalah: (1) Banyak persewaan buku menyediakan bacaan sastra yang menghibur sekaligus bernilai. (2) Persewaan buku banyak didatangi pengunjung berbagai usia. (3) Pengamatan sepintas harga sewa dan denda buku yang cukup mahal. (4) Persewaan buku merupakan sarana mencerdaskan masyarakat di lingkungannya. Sejauh sampai saat ini belum banyak penelitian yang mengamati banyaknya persewaan buku di Surabaya. Pengamatan yang paling banyak adalah peran-peran perpustakaan dan guru dalam menumbuhkan perilaku gemar membaca. Namun demikian inventarisasi jenis buku cerita beserta profil taman bacaan belum mendapat perhatian. Penelitian ini lebih difokuskan pada profil persewaan buku yang ada di Surabaya, jenis buku yang tersedia, peminjam buku, tata cara peminjaman buku, dan jenis buku yang paling banyak dipinjam. Studi awal penelitian dilakukan pada taman baca yang cukup besar di
120
Surabaya yaitu taman bacaanAsterix yang semula mempunyai sepuluh cabang persewaan buku yang tersebar di Surabaya yang dapat menjaring pembaca cukup banyak terutama yang terletak di jalan Bharata Jaya. Hingga saat ini tinggal lima cabang. Ta m a n b a c a a n “ A s t e r i x ” menyediakan berbagai macam jenis buku, baik untuk anak-anak, remaja, dan orang tua. Koleksi bacaannya yang tersedia antara lain komik, novel untuk anak-anak dan orang dewasa, majalah pria dan wanita, majalah ilmiah popular, majalah anak-anak. Dari koleksi-koleksi tersebut akan dapat dilihat selera pembaca pad saat ini. Selera ini perlu diketahui untuk mengungkap keberaksaraan masyarakat pembaca Surabaya khususnya. Selain itu ke ha di r an t am a n b ac a an s an ga t menunjang kepentingan membaca masyarakat seiring dengan mahalnya buku bacaan. Oleh karena itu, kehadiran persewaan buku sebagai salah satu alternatif penyediaan bacaan pada masyarakat perlu diteliti lebih lanjut dan dikembangkan lebih jauh terutama tidak hanya sekadar hiburan melainkan lebih meningkat lagi membuat cendekia masyarakat pembaca di lingkungannya; dengan demikian persewaan buku turut menunjang keberaksaraan dan meningkatkan kualitas SDM. Adapun masalah-masalah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini yaitu: Pertama, bagaimana gambaran tempat dan lokasi persewaan buku/taman bacaan? Kedua, ada berapa macam jenis buku bacaan yang tersedia? Ketiga, siapa yang paling banyak meminjam buku? Keempat, Bagaimana tata cara
Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya ...
peminjaman buku? Kelima, bagaimana pendapat petugas persewaan buku mengenai seluk beluk persewaan buku? Keenam, bagaimana fungsi dan makna kehadiran buku di perkotaan Surabaya/ Metode Tulisan ini sebagai hasil dari penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data dalam penelitian ini ada tiga yaitu pertama tempat persewaan buku dan koleksi buku/karya sastra yang dipunyai persewaan buku. Kedua, peminjam/penyewa/pembaca persewaan buku. Untuk mengumpulkan data direncanakan dengan beberapa cara yaitu: pertama menggunakan cara observasi langsung di persewaan buku Asterix dan persewaan buku lainnya. Kedua, metode wawancara dengan pet uga s penj a ga ya ng m el aya ni peminjaman buku dan ketiga, metode kuisioner untuk peminjam buku. Keempat, dengan melakukan studi kepustakaan. Lokasi penelitian dipilih di kodya Surabaya. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan tersedianya persewan buku di kota besar lebih banyak daripada di luar kota Surabaya. Populasi peneltian adalah persewaan buku di Surabaya. Populasi persewaan buku didasarkan criteria bersarnya tempat persewaan buku dan banyaknya jenis koleksi bacan yang dipunyai. Untuk mengetahui tersebut dugunakan metode purposive sampel. Dalam hal ini peneliti menentukan sampel pada Taman Bacaan “ASTERIX” sedankan taman bacaan lain yang ada dipakai sebagai pembanding. Untuk menentukan sampel peminjam / pengunjung/ penyewa taman
bacaan Asterix ditentukan sejumlah 100, hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesan dan pendapatnya terhadap keberadaan sebuah taman bacaan. Gambaran Tempat dan Lokasi Taman Bacaan Asterix dan Taman Bacaan Lainnya Persewaan buku “Asterix” mempunyai lima cabang, yaitu: “Asterix” di Jl. Kalidami, “Asterix” di jl. Mayjen Sungkono, “Asterix” di Jl. Pondok Candra, “Asterix” di Jl. Bharata Jaya, dan “Asterix” di Jl. RungkutAsri Tengah. Dilihat dari luasnya ruangan, “Asterix” yang terletak di Jl. Bharata Jaya paling luas. Ukurannya meliputi 3,5 x 6 m terletak di pinggir jalan raya Bharata jaya yang ramai. “Asterix” di kawasan pondok Candra menempati areal garasi rumah dengan ukuran 3x4 meter. Sedangkan “Asterix” yang ada di rungkut asri tengah sama dengan “Asterix” di perumahan pondok Chandra. Yang paling kecil arealnya adalah “Asterix” yang terletak di jalan Kalidami dan “Asterix” yang berada di kawasan jalan Mayjen Sungkono. Lokasi persewaan buku “Asterix” di lima tempat itu sebagian besar dipinggir jalan yang cukup ramai lalu lintasnya. Dalam observasi langsung di dapat keterangan dari penjaga “Asterix” bahwa tahun 1990-an taman bacaan ini memunyai 10 cabang. Namun, dalam perjalanannya tinggal lima tempat meskipun demikian jumlah koleksi bukunya tidak menurun justru bertambah dari tahun ke tahun. Kesulitan utama dalam pengembangan Asterix adalah masalah tempat. Harga sewa tempat selalu naik dari waktu ke waktu. Sebagai contoh penutupan “Asterix” di jalan Menanggal
121
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 juga karena factor tersebut di atas, padahal jumlah penyewa buku bertambah banyak. Peneliti sebelum menentukan secara purposive di taman bacaan “Asterix” juga mengunjungi taman bacaan/persewaan buku lain seperti: pertama, persewaan buku Cergamis yang terletak di jalan Jetis Kulon 1. Kedua, persewaan buku dan komik Bahagia jalan Indragiri 3 surabaya. Ketiga persewaan buku Handoko jalan Kemlaten kawasan Karang Pilang. Keempat, persewaan buku Kwan, jalan Tenggilis Mejoyo dekat Universitas Surabaya. Kelima, persewaan buku dekat Universitas Kristen Petra, jalan Siwalan Kerto Surabaya. Dari kelima tempat itu rata-rata tidak mengkhususkan usaha persewan usaha persewaan buku melainkan gabungan dengan usaha lain, yaitu penyewaan VCD, wartel, took buku, dll. Dari pengamatan sepintas jumlah koleksi buku , Asterix lebih banyak dan lebih bervarisi. Koleksi Buku Taman Bacaan “Asterix” Adapun yang menjadi koleksi persewaan buku tersebut jumlahnya masing-masing lima cabang taman bacaan Asterix meliputi 10.000 eksemplar buku, yaitu berupa buku komik, novel, cergam, dan majalah. Komik menjadi koleksi terbanyak dan terlengkap. Komik terdiri dari dari berbagai serial yaitu antara lain: 1. Serial Top untuk perempuan: ada 14 judul. 2. Seriap Drama Top: ada enam judul serial ini tiap judul berkisar antara enam sampai 13 jilid. 3. Serial Komik Candy's Club ada delapan judul yang terdiri antara dua sampai sebelas jilid. 4. Komik Mini Seri: komik jenis ini
122
terdapat empat puluh tujuh judul, tiap judul terdiri dari 1-2 judul. 5. Serial Balet meliputi: terdapat enam judul. Tiap judul rata-rata terdiri dari empat sampai 21 jilid. 6. Serial Waki Yamato: ditemukan empat judul yang diantaranya terdiri dari tujuh jilid sampai 31 jilid. 7. Serial Yu Asagiri: ada delapan judul tiap judul serialnya berkisar antara 3-6 judul. 8. Serial Yukari Kawachi: ada tiga judul tiap judul terdiri dari2-4 jilid. 9. Serial Cerita Ternama: terdapat lima judul yang diantaranya antara 2 sampai 10 jilid. 10. Serial Michiyo Akaishi ada 6 judul tiap judul terdiri dari 6 sampai 9 jilid. 11.Serial Petualangan Manis: terdapat tujuh judul yang tiap judulnya terdiri dari 3-9 jilid. 12. Serial Cantik Berseri: ada 39 judul tiap judul berkisar 1-21 jilid dan diantaranya terdapat judul yang sampai saat ini belum tamat. 13. Cerita Cantik: ditemukan enam judul. 14. Karya Mito Orihara: terdapat enam judul tidak berjilid. 15. Komik yang lain karya Yu Natsuki, Yu Ishii, Calista Takarai, Maruya Yjoy, Keina Chihara Marie Koizumi, Chiaki Yaki, Momo tachubana, dan An Yoshimura. 16. Serial Misteri Berseri ditemukan 19 judul, tiap judul terdiri dari 1-10 jilid. 17. Cerita Misteri meliputi 9 judul. 18. Komik Komedi: terdapat empat judul. 19. Serial Remaja terdapat 6 judul. 20. Serial Pendekar / petualangan: 35 judul diantaranya terdiri dari 1-31 jilid. 21. Seriap Olah Raga: terdapat 18 judul. 22. Serial Detektif terdapat 4 judul. 23. SerialAnak 1: terdapat 16 judul 24. Pengarang Novel Indonesia yang koleksi karyanya ditemukan meliputi
Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya ...
nama-nama: V. Lestari , Maria A. S a r d j o n o, F r e d y, V. La d o na , Marga T., Mira W., Abdulah Harahap, Tara Zagita, La Rose, Nina Pane, Titie Said, Teguh S., S. Mara Gd., Prasanti, Pandir Kelana, Carl Chairul, 25. Nama pengarang novel Manca Negara yang karyanya menjadi koleksi “Asterix”: Agatha Cristie, Salandra, Anne Hampson, Anne Mather, Barbara Cartland, Jackie Collins, Mary Higgins Clark, Sidney Sheldon, Danielle Steel, Pat Conroy, Jon Cleary, Dean Koontz: intensitas, Scott Turow, Frederick Fonsyth, Steve Martine: The Judge, James Redfield, Alexandra Ripley, Alistair Mac Lean, Pearl S. Buck, Terry MC Millan, Margaret Mitchell, P.D. James, Ignazio Silone, Barbara Taylor Bradford, Joseph R. Garber, Jack Higgins, Erich Sebal, Erle Atanley Gardner, Craig Holden, Linda Davies, Richard Nevlle, Julie Clarce, Nancy Taylor Rosenberg, Philip Shelby, Carl Segan, Chiung Yao, J.K. Rowling , Philip Margolin, Eiji Yoshikawa, Linda Ching, Henri Charriere, Ngaio Marsh, A. Mater, Harold Robbins, Violet Winsper, RL. Stine , Charlotte Lamb, Inggrid Weaver, Bernado Guimario, Enid Blyton, Nelson Demilee, Sharron Kheadrick, Alfred Hitchcock , 26. Cergam petualangan + pendekar: 18 judul 27. Cergam Remaja: 4 judul. 28. Cergam anak: 9 judul. 29. Nama Pengarang Produksi Her Lequin: Nora Roberts, Sandra Brown, Debbie Macomber, Kristin Gabrial, Renee Roszel, Susane Brockman,
Ruth Jean Dale, Susan Meier, Alexandra Sellers, Emma Darcy, Diana Palmer, Barbara Daly, Day Leclaire, Jenefer Cruise, Gara Golter, Garok Mortimer , Trisha David, 30. Cerita Silat Seri Kho Ping Hoo terdapat 13 judul. Pendapat Petugas Penjaga “Asterix” Koleksi buku yang dipunyai “Asterix” menurut petugas penjaga buku mempunyai penggemar sendiri-sendiri. Dari data peminjam petugas penjaga taman bacaan, komik disukai ramaja baik laki-laki atau perempuan sampai orang tua. Novel dan majalah lebih disukai wanita dewasa. Lelaki dewasa sampai tua lebih menyukai cergam / cerita bergambar, komik juga cerita silat. Petugas penjaga buku rata-rata hafal dengan letak dan jenis buku yang dipunya Asterix. Menurut pengakuan mereka, bekerja di persewaan buku membuat mereka juga suka membaca, karena sering mendapat pertanyaan dari penyewa / peminjam buku. Sering mereka mempunyai minat untuk membaca buku karena penasaran mengapa salah satu buku sering dipinjam. Waktu luang, mereka gunakan untuk membaa novel, majalah, komik, dan cergam. Dalam sejumlah koleksi terutama berupa cerita bergambar (bukan berbentuk buku saku) ada petunjuk khusus untuk orang dewasa. Sedang dalam cerita yang berbentuk buku saku kadang tidak ada petunjuk dari penerbit. Koleksi buku “Asterix” dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama seiring dalam waktu yang cukup lama seiring, lamanya Asterix berdiri, yaitu kurang lebih 12 tahun. Penjaganya pun silih berganti. Menurut keterangan
123
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 petugas penjaga rata-rata mereka bekerja di Asterix tahan selama 2-4 tahun. Para petugas penjaga Asterix mendapat tempat penginapan disediakan pemilik 5 cabang “Asterix”. Sebagai penjaga mereka mengaku mendapat gaji yang lumayan menurut ukuran mereka selain itu mendapat uang makan dan uang transport pulang pergi dari tempat penginapan ke lokasi “Asterix”. Jumlah penjaga “Asterix” secara keseluruhan (lima cabang “Asterix”) sepuluh orang sampai dua belas orang. Mereka dalam satu bulan mendapat hak libur selama empat hari. Ketika ditanya apakah mereka tidak bosan menjaga persewaan buku tersebut, mereka rata-rata menjawab dengan senang dengan pekerjaannya karena selalu bertemu orang-orang yang baru (penyewa baru) yang dating dari berbagai kalangan. Tugas sehari-harinya relative mudah. Pemilik “Asterix” memperlakukan mereka sebagai partner kerja sehingga tampak kesan pemilik “Asterix” mempercayai sepenuhnya pegawai yang bekerja. Sebagai pengawan / penjaga / petugas pelayanan persewaan buku secara periodik berdialog dengan pemilik “Asterix” melaporkan kegiatan rutinnya. Petugas penjaga cukup tegas dan sopan dalam menolak penyewa buku apabila tidak memenuhi syarat-syarat administrasi misalnya, KTP/SIM/ Kartu Pelajar Kadaluarsa. Pangunjung /Peminjam Buku Taman Bacaan “Asterix” Peminjam buku yang datang meliputi berbagai macam usia. Umur kurang dari 15 tahun sejumlah 8%, umum 15-19 tahun terdapat 32%, umur 20-24
124
tahun terdapat 40%, umur lebih dari 24 tahun terdapat 20%. Dilihat dari tabel di atas yang paling banyak meminjam berada di usia 20-24 tahun, sebesar 40% kemudian urutan berikutnya peminjam usia 15-19 tahun sebesar 32% sedangkan peminjam berikkutnya usia 24 tahun ke atas sejumlah 20% berada diurutan ketigapeminjam buku berusia kurang dari 15 tahun. Pelanggan “Asterix” 40% berumur 20-24 tahun yan berarti orang dewasa / mahasiswa yang lebih banyak memanfaatkan peminjaman buku. Jenis kelamin peminjam buku berbanding seimbang antara wanita dan prianya, yaitu pria 50%, wanita 50%. Siapakah yang meminjam buku di asterix jawabannya terdapat dalam tabel di bawah: Tabel 1. Latar Belakang Pendidikan Peminjam Buku Pendidikan Jumlah % SLTP 8 8 SMU 22 22 Mahasiswa 40 40 Bekerja 30 30 Total 100 100 42% peminjam buku datang dari kalangan mahasiswa, 30% adalah pekerja, sedang lainnya datang dari anak SMU (22%) dan SLTP (8%). Dari sini tampak bahwa pelanggan Asterix sebagian besar orang dewasa. Tabel 2. Tingkat Keseringan Meminjam Buku Tingkat Jumlah % Peminjaman Rutin 30 30 Sering 59 59 Kadang 11 11 Total 100 100
Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya ...
59% peminjam/pelanggan “Asterix” ketika ditanya apakah sering meminjam buku mengaku sering mendatangi dan meminjam buku. Yang menjawab kadangkadang 11%, sedangkan yang menjawab rutin 30%. Dalam satu bulan peminjam buku menyewa buku yang paling banyak empat kali atau lebih yaitu sejumlah 57%. Yang menjawab dua kali sebulan sejumlah 21%, 12% lainnya menjawab satu kali meminjam buku dalam satu bulan. Ketika para peminjam buku diberi pertanyaan tentang apakah sebelumnya datang ke taman bacaan “Asterix” pernah atau tidak mengunjungi taman bacaan lain? 70% jawaban peminjam menyatakan pernah amngunjungi taman bacaan lain selain “Asterix”, sedangkan 30% lainnya menjawab tidak pernah. Ini berarti bahwa s eb agi a n bes a r pe l angga n t el a h membandingkan taman bacaan lain dengan Asterix dan memutuskan menyewa diAsterix lagi. Mengapa tertarik dengan taman bacaan Asterix?. Jawabannya terdapat dalam tabel berikut: Tabel 3. Ketertarikan peminjam buku mendatangi taman bacaan “Asterix” F % Tertarik Pinjam Buku di Asterix Karena:
Koleksinya 85 Kecepatan layanan 15 Lain-lain Total 100
85 15 100
Sebagian besar pelanggan Asterix mengaku puas datang ke Asterix karena jumlah koleksi bukunya banyak dan layanannya memuaskan. Berapa lama para peminjam buku? Jawabannya ada dalam tabel berikut:
Tabel 4. Rata-Rata Lama Peminjaman Buku Lama meminjam buku Satu minggu Dua minggu Dua minggu lebih Total
F
%
78 12 1 100
78 12 1 100
Para peminjam buku di Asterix kebanyakan menyewa buku selama satu minggu, yaitu sebanyak 78%. Yang menyewa selama dua minggu sebanyak 12%. Dan 1% peminjam yang lain meminjam buku selama dua minggu lebih. Jenis buku yang paling diminati adalah jenis komik. Peminjam buku yang menjawab menyewa komik sebesar 57%, 15% lebih suka menyewa novel sedangkan sisanya 27% menyewa komik dan novel sekaligus. Ketika peminjam buku ditanya apakah mereka suka mendatangi toko buku? Sebagian besar 85% menjawab suka datang ke toko buku sedangkan 15% lainnya menyatakan tidak pernah ke toko buku. Adapun toko buku yang paling banyak didatangi adalah Gramedia, Uranus, Manyar dan toko buku lainnya. Dari jawaban ini tampak bahwa toko buku merupakan informasi penting / acuan untuk menyewa komik / novel atau majalah. Dalam wawancara dengan pejaga / petugas Asterix didapat keterangan bahwa pengunjung / peminjam sering mengusulkan bukubuku untuk menambah koleksi baru Asterix. Biasanya usulan tersebut direspon secara positif oleh pemilik Asterix. Para peminjam lebih suka menyewa komik/novel/bacaan lain daripada membeli kemungkinan besar
125
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 disebabkan karena harga buku sangat mahal. Buku komik yang paling sering dipinjam yaitu serial petualangan, serial cinta, serial komedi/humor, misteri dan oleh raga serta detektif. Para peminjam yang lebih suka novel menyukai jenis novel misteri, percintaan, detektif yang rata-rata tersedia dalam jumlah yang cukup. Pengunjung tetap Asterix tidak hanya pengunjung yang tinggal dekat dengan lokasi prsewaan melainkan juga pengunjung dari tempat yang jauh. Jarak rumah dengan persewaan buku yang jaraknya kurang dari 3 km sejumlah 50%. Jarak rumah dengan lokasi lebih dari 5 km 27%. Sedangkan pengunjung yang jarak rumahnya dengan lokasi lebih dari 10 km sejumlah 23%. Tatacara peminjaman buku di taman bacaan asterix Peminjam buku apabila menyewa buku memakai tanda jaminan Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, dan kartu pelajar yang masih berlaku. Dari pendapat pengunjung Asterix harga sewa buku di Asterix dinilai cukup oleh 90% pengunjung yang menyatakan murah 5% dan yang menyatakan mahal 5%. Dari data ini tampak bahwa harga sewa buku yang diterapkan di Asterix dapat diterima oleh sebagian besar pengunjung. Ratarata harga sewa buku ditarik 10% dari harge beli buku, terutama buku-buku yang baru. Semakin lama bukunya semakin murah. Harga tersebut juga berlaku untuk novel sejarah dan majalah. Lama meminjam buku tergantung dari jumlah buku yang dipinjam, semakin peminjam buku meminjam dalam jumlah yang banyak maka mereka mempunyai tenggang waktu menyewa cukup panjang.
126
Mereka mengaku kadang-kadang didenda karena tidak tepat waktu mengembalikan buku sejumlah 69%. Pengunjung yang menyatakan tidak pernah didenda sejumlah 31%. Ketika ditanya tentang berapa buku yang disewa dan tidak kembali oleh pengunjung asterix tidak sampai sepuluh buku. Kemungkinan karena kartu identitas yang ditinggal adalah KTP/SIM jadi para pengunjung tepat mengembalikan buku. K e t i ka p e n gu n j u ng d i b e r i pertanyaan berapa rupiah mereka keluarkan untuk meminjam buku jawabannya bervariasi seperti dalam tabel berikut: Tabel 5. Jumlah Uang yang Dikeluarkan Pengunjung dalam Setiap Kali Datang Jumlah uang untuk menyewa buku diAsterix Kurang dari Rp 5000 Rp 5000 Rp 10.000 Rp 10.000 Rp 15.000 Rp 15.000 lebih Jumlah
F
%
33 33 50 50 10 10 7 7 100 100
Dari data di atas tampak bahwa segmen pasar persewaan buku terbanyak Rp 5000 Rp 10.000. menurut keterangan petugas penjaga buku, rata-rata pengunjung / peminjam / penyewa yang mengeluarkan uang sejumlah tersebut di atas lebih banyak dari SMU / remaja. Bila dilihat dari keseringan mereka menyewa buku maka paling tidak satu bulan menyisihkan uang sejumlah Rp 20.000 sampai Rp 60.000. Bila dibandingkan membeli buku a Rp 10.000 maka uang tersebut hanya mendapat antara 2-6 buah buku. Akan tetapi, jika menyewa uang tersebut dapat menjangkau puluhan buku. Berarti pula bahwa minat baca buku bisa
Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya ...
dikembangkan lewat persewaan buku karena harga sewa buku lebih terjangkau dari pada harga beli buku. Fungsi dan makna persewaan buku di Surabaya Menurut responden pengunjung / penyewa Asterix kehadiran persewaan buku mempunyai manfaat penting (90%) sedangkan yang menyatakan tidak ada manfaatnya hanya 10%. Ketika diberi pertanyaan manfaat apa yang diperoleh dari menyewa buku di Asterix, 20% menjawab untuk hiburan, 22% menjawab untuk menambah pengetahuan. 25% untuk hiburan sekaligus menambah pengetahuan sedangkan sisanya 13% menjawab menjawab manfaat lain-lain antara lain: menghemat dana dari pada membeli buku, menambah lapangan kerja, menghilangkan stress. Pendapat-pendapat di atas jelas menyarankan bahwa persewaan buku mempunya berbagai macam fungsi antara lain: menambah wawasan ilmu pengetahuan, rekreasi/hiburan, penghematan biasay dan lain-lain. Yang jelas menunjang dan mendongkrak minat membaca masyarakat lingkungan di sekitarnya. Pandangan responden tentang kelayakan sebuag pbuku ada beberapa syarat: pertama tempatnya luas dan ada tempat parker (11%), kedua, tempatnya dibuat menyenangkan (31%), ketiga, koleksinya lengkap (55%) keempat, lainlain 3% antara lain, tempat bersih, buku terawa/rapih, dan bisa baca ditempat. Apabila persewaan buku ditata seperti perpustakaan pendapat responden menjawab s etuju sebanyak 75% sedangkan 25% menyatakan tidak setuju. Responden yang menjawab setuju
memberikan alas an yang cukup beragam antara lain: pertama, oleksi buku tidak hanya komik, novel dan majalah akan tetapi hendaknya juga buku ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, mempermudah mencari informasi mengenai buku yang diinginkan. Ketiga, dapat mengemat uang, waktu dan tenaga. Keempat, bisa membantu orang yang tidak mampu membeli buku untuk membaca buku,kelima, meluaskan ilmu pengetahuan; keenam, dapat meningkatkan minat baca, ketujuh, untuk keseimbangan kehidupan; kedelapan, berfungsi sebagai one stop shopping. Dari berbagai jawaban di atas tampak bahwa di kota seperti Surabaya sebenarnya harus banyak terdapat persewaan buku semacam Asterix ini. Dari pengamatan peneliti persewaan buku merupakansalah satu agen prubahan masyarakat melalui minat membaca. Persewaan buku identik dengan komik dan novel murah sering dipandang sebelah mata. Apabila dikaji ari materi komik dan novel terutama yang terdapat di Asterix tampak bahwa materi komik dan novel tidak serendah yang disangka masyarakat. Dari kenyataan penunjung asteric dapat dikatakan bahwa sebenarnya masyarakat penunjung asterix mempunyai minat yang vukup tinggi. Adapun yang dapat dipalai sebagai alas an yaitu jumlah kartu pencatat peminjam dari waktu kewaktu bertambah. Sekarang penunjung tetap Asterix mencapai 1000 orang. Adapun jumlah uang yang didapat dari Asterix setiap bulannya rata-rata kalau sepi pengunjung tiap harinya kurang lebih Rp 250.000,00, kalau ramai dapat mencapai Rp 500.000 samapai Rp
127
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 600.000, 00 bahkan lebih dari Rp 1.000.000,00. Menurut penjaga persewaan buku Asterix hari-hari yang paling banyak menghasilkan uang tidak mesti hari libur. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang persewaan buku khususnya persewaan buku / taman bacaan asterix yangmempunyai lima cabang di sekitar Surabaya dapat disimpulkan bahwa tempat dan lokasi taman bacaan “Asterix” cukup strategis yaitu terletak di jalan kelas 2 dan 3, namun demikian letaknya cukup strategis, mudah dijangkau pengunjung/penyewa buku. Jumlah koleksi buku menurut penuturan petugas penjaga sejumlah 10.000 eksemplar sampai saat ini peneliti masih kesulitan mendata buku apa saja yang tersedia rangkap dua atau tida karena data buku yang dipunyai “Asterix” dalam keadaan hamper rusak atau tidak dapat terbaca. Koleksi bukunya cukup lumayan terutama karya-karya novel cukup beragam dari khasanah sastra Indonesia, inggris, amerika, cina, dan jepang. Persewaan buku mendapat respon yang baik dari masyarakat terbukti dari banyaknya pengunjung yang mempunyai minat untuk menyewa buku. Pengunjung dapat menyalurkan minat bacanya sekaligus meningkatkan baca masyarakat dengan uang yang cukup murah bila dibandingkan dengan membeli buku. Penunjung / penyewa dari usia kurang dari 15 tahun sampai dewasa menyukai komik yang ditawarkan di persewaan buku. Kaum wanita lebih menyukai novel dan komik daripada
128
cerita gambar dewasa. Sedangkan para bapak lebih suka pinjam cerita gambar dan cerita silat. Tatacara peminjaman buku yaitu penyewa meninggalkan identitas berupa KTP atau SIM A/B/C yang masih berlaku. Apabila terlambat mengembalikan buku penyewa dikenakan denda sejumlah 10% dari harga buku seharinya. Buku yang tidak kembali tidak sampai 10%. Usaha persewaan buku merupakan dunia usaha yang cukup menjanjikan apabila ditekuni dengan baik. Persewaan buku dapat memberikan peliang dunia kerja untuk mengatasi pengangguran. Kehadiran persewaan buku amat penting bagi masyarkat, hendaknya persewaan buku ditata seperti halnya ruang baca/perpustakaan, sehingga memperhatikan kenyamanan penyewa / pengunjung. Persewaan buku mempunyai fungsi untuk menambah pengetahuan sekaligus hiburan yang menyenangkan dan mempunyai makna yang penting untuk menuju kebeaksaraan masyarkat Indonesia agar tidak terjadi kondisi masyarakat buta membaca dan tulismenulis. Saran Perlu perubahan pencatatan data dari manual ke computer agar data buku tetap terjaga. Pemerintah daerah perlu memberdayakan persewaan buku terutama persewaan buku yang tergolong relative kecil. Selama ini persewaan buku hanya dianggap sebagai usaha sampingan maka perlu uluran tangan para penerbit, pemerhati pengembangan buku untuk mengembangkan secara professional.
Ikhwal Persewaan Buku dan Pelanggannya ...
DAFTAR PUSTAKA Bonnef, Marcel. 1976. Les Bandes Desiness. Paris: Puyraimond.
Kuala lumpur. Dewan bahasa dan pustaka. Bacaan lain: Kompas, 28April 1997.
Chamamah-Soeratno. 1995. “Penelitian Sastra dari Sisi Ppembaca dan Pembicaraan Metodologi” dalam Masyarakat Puitika Indonesia. Damono, Sapardi Djoko. 1996. “Telaah Sastra Popular” dalam Seminar Sastra Popular. Depok; fakultas sastra UI Escarpit, REL.. 1971. Sociology of Literature. London: frank Cass F a r u k , H T. . “ G l o b a l i s a s i d a n Perkembangan Ilmu Sastra” dalam Simposium Internasional III, Yogyakarta. Melani-Budianta. 1996. Mmemilah Pop dan Bukan Pop dalam Studi Sastra”, dalam Seminar Sastra Popular. Depok: FS UI. Swingewood, Alain. 1972. Sociology of Literature. London: paladin. Sugihartati, Rahman. 1996. “Peran P er pus t a kaa n, P us t a ka wa n Sekolah dan Guru” dalam Menumbuhkan Perilaku Gemar Membaca di Kalangan Anak Didiknya. Surabaya: Lembaga Penelitian Unair Setijowati, Adi. 1996. Anak-Anak, Buku Komik dan Karacter Building Surabaya: Lembaga Penelitian Unair. Yunus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra.
129
IDENTIFIKASI DAN PEMBALIKAN OPOSISIOPOSISI HIERARKIS ATAS TEKS ALEGORI WAKTU KARYA SITOK SRENGENGE: PEMBACAAN DEKONSTRUKTIF Puji Karyanto Abstract This article represents a strategy of deconstruction reading for an Indoesian literary text entitles Alegori Waktu (AW) by Sitok Srengenge. The study found that the hierarchy oppositions AW are: 1) opposition beween art genres: poem and prose; 2) opposition between text and the title; 3)opposition between author note and title; 4) opposition between geometric time and anthropology time; 5) opposition between imaginary and logical ways of thingking; and 6)opposition between AW and other texts. As a conseuenae of infersions of hierarchial oppositions the center of power could shift to the margin and vice versa. This means that in the perspective of deconstruction, there is no single meaning in texts. Key words: identification, hierarchical opposition, deconstruction. Pendahuluan Sejak tahun 1960-an kedudukan kaum New Criticsm di amerika mulai goyah. Terpengaruh oleh Nouvelle Critique dan penelitian di Eropa mengenai resepsi, perhatian peneliti sastra di Amerika pun mulai bergeser dari teks ke arah pembaca. Kaum poststrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, secara tegas menolak pandangan new criticsm yang fanatic dengan teori-teori objektif teks. Mereka ingin mendekonstruksikan teks lalu merekonstruksikan teks baru (Luxemburg, 1992: 60). Kaum dekonstruksionis secara radikal mengemukakan bahwa teks sesungguhnya merupakan paparan dunia ide yang dibentuk oleh relasi lambing kebahasaan dan system tanda yang sesuai dengan tata cara yang digunakan dan
*)
dikembangkan penuturnya. Secara prinsip kaum dekonstruksionis berpandangan bahwa teks merupakan medan yang secara referensial dan simbolik telah membentuk dunianya sendiri. Eksistensinya tidak tergantung secara konkrit sebagaimana yang dikembangkan kaum strukturalis, tetapi lebih berhubungan dengan dunia pikiran, pengetahuan, dan pengalaman penanggapnya (Aminuddin, 1999: 290). Di Indonesia sendiri, sampai satu dasawarsa yang lalu, paradigma yang berkembang dalam studi sastra umumnya masih bersifat strukturalis dn humanis, yakni mengandaikan konsep manusia universal dan peningkatan peradaban manusia sebagai tujuan pengarang dalam menciptakan karya sastra. Kritik sastra, menurut paradigma tersebut, juga berusaha menemukan makna sejati sebuag teks, melalui interpretasi yang
Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 031-5035676
130
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
sensitive dan teliti. Kritik juga berusaha menilai karya-karya sastra menurut kemampuan sebuah teks untuk memperkaya kehidupan batin dan meningkatkan rasa kemanusiaan para pembaca (Foulcher, 1994: 65). Dalam perkembangannya, pendekatan dan asumsi di atas mulai ditinggalkan atau diragukan. Paradigma lama mulai dirongrong oleh kesadaran akan relativisme dan pluralis m, ketidakpastian makna dan keengganan terhadap penilaian hasil sastra yang dianggap berlaku secara universal, sehingga dalam batas tertentu pergeseran yang terjadi dapat dianggap berkaitan pula dengan pemikiran dekonstruksi yang telah melanda semua bidang penelitian ilmu-ilmu sosial dan humaniora di negaranegara Barat. Menurut Pujiharto (2001: 5), ada beberapa nama pemikir Barat yang mendasarkan analisisnya pada metode dekonstruksi. Terlepas dari kekhususan pemikirannya, secara umum, kaum poststrukturalis yang dapat dimasukkan sebagai peletak dasar teori dekonstruksi antara lain adalah Jacques Derrida, Michael Foucalt, Paul de Man, dan lainlain. Artikel ini sendiri secara khusus akan mencoba menerapkan metode dekonstruksi yang dikembangkan Jacques Derrida pada salah satu teks sastra Indonesia mutakhir yang berjudul “Alegori Waktu” (selanjutnya akan ditulis “AW”) karya Sitok Srengenge yang dipublikasikan pada tahun 1995 melalui jurnal kebudayaan Kalam. Metode dan Dekonstruksi Istilah dekonstruksi dalam studi sastra diperkenalkan oleh Jacues Derrida melalui buku-bukunya, antara lain of
Grammatology, Writing and Difference, dan Dissemination. Secara sederhana metode dekonstruksi dapat diartikan sebagai model atau metode analisis untuk membaca berbagai macam teks dengan tujuan utama untuk menunjukkan adanya ketidaksesuaian logika atau retorika antar hal-hal yang secara eksplisit disebutkan dalam teks dengan hal-hal yang implisit. Dengan kata lain, semangat kajian dekonstruksi terhadap karya sastra bukanlah pada usaha menemukan makna tunggal dari sebuah teks sebagaimana semangat pendekatan strukturalisme, tetapi lebih pada usaha penelusuran seorang peneltii untuk menunjukkan adanya hal-hal yang kontradiktif yang disamarkan dalam teks (Budianta, 2002: 44). Prinsip dasar Saussure lainnya yang didekonstruksikan oleh Derrida adalah konsepsi tanda yang terbagi atas penanda dan petanda. Leitch (dalam Faruk, 1994:237) menjelaskan bahwa menurut Derrida pebagian yang tegas antara penanda dan petanda itu seakanakan membuat keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagai gantinya, Derrida menawarkan konsep 'jejak' (trace). Hal ini ditawarkan karena pada kenyataannya system tanda membawa orang dari satu penanda ke penanda yang lainnya yang saling berkaitan dalam hubungan diferensial, yang tidak pernah berakhir dan tidak dapat membawa orang pada titik asal muasal (origin) atau akhir (telos) atau esensi yang hakiki. Dengan kata lain, yang ada dalam tanda sesungguhnya bukanlah asal muasal, melainkan jejak-jejaknya dalam suatu mata rantai penanda (Budianta, 2002:4546).
131
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 Sebagai metode analisis, dekonstruksi biasanya memulai analisis dengan mengidentifikasi oposisi biner yang ada dalam teks, kemudian membalikkannya atau menunjukkan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks. Choi (dalam Aminuddin, 1999: 295) mengemukakan bahwa penghadiran oposisi biner dalam analisis teks dapat d ilakukan dengan m enghadirkan gambaran meda semantik secara berlawanan. Penghadiran oposisi biner tersebut dilandasi konsepsi bahwa seseorang tidak dapat mendapatkan gambaran makna suatu kata tanpa pemahaman makna kata yang menjadi makna oposisinya. Perlu dikemukakan di sini, bahwa dekonstruksi tidak sama artinya dengan 'membongkar' apalagi menghancurkan, sehingga yang tersisa tinggal monisme atau kekosongan. Dekonstrksi uga mukan metode tafsir yang dilengkapi dengan piranti-pirnti konseptual yang serba argumentative dan koheren. Dalam praktiknya, dekonstruksi adalah usaha membalik secara terus-menerus hierarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya (Sahal, 1994: 19-20). Dengan demikian, sesuatu yang semula dianggap sebagai pusat, fonasi, prinsip, dibalikka sehinga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikkan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanent sehingga dapat dilanjutkan hamper tanpa batas. Analisis Dekonstruksi Teks Alegori Waktu Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran bahwa dekonstruksi sesungguhnya merupakan medan
132
pemaknaan yang dibuat dan dihadirkan oleh pembaca. Menurut Culler (dalam Faruk, 1994: 243) ada empat level atau cara relevansi dekonstruksi terhadap kritik sastra, yaitu (1) terhadap serangkaian konsep-konsep kritik, termasuk konsep kesasteraan itu sendiri, (2) sebagai suatu sumber tema, (3) sebagai contoh srategi pembacaan, dan (4) sebagai gudang cadangan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan kritik itu sendiri. Dari keempat level di atas, artikel ini membatasi pembicarannya hanya pada level ketiga dari relevansi dekonstruksi terhadap kritik sastra tersebut, yakni memanfaatkan dekonstruksi sebagai strategi pembacaan terhadap teks AW karya Sitok Srengenge. Dalam level ini, analisis dekonstruksi yang dilakukan hanya mencoba mengidentifikasi dan me nghas il ka n t ipe-t ipe s t rukt ur, membangun posisi simetrik dan hierarkis, serta memperhatikan term-term yang mengandung argument yang bertentangan, dan dilanjutkan dengan usaha membalikkan hierarki dari oposisi yang ada dan mengembalikannya sebagai teks sebagaimana ang dikehendaki metode dekonstruksi. Adapun oposisi-oposisi dan termterm yang saling bertentangan yang ditemukan dari strategi pembacaan dekonstruksi terhadap teks AW adalah (1) oposisi genre sastra: prosa dan puisi; (20 oposisi judul dan isi cerita; (3) oposisi judul dan catatan pengarang; (4) oposisi waktu geometris dan antropologis (5) oposisi antara penalaran imajiner dan penalaran logis; dan (6) oposisi teks AW dengan teks lain.
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
Oposisi Genre Sastra: Prosa dan Puisi Pada teks AW terdapat oposisi antara genre sastra dan puisi. Redaktur Kalam (dan mungkin juga pengarangnya) memasukkan AW sebagai teks prosa seperti terlihat pada daftar isi majalah tersebut. Dengan demikian, asumsinya dilihat dari berbagai kriteria teks AW menurut redaktur Kalam memang didominasi oleh unsur-unsur prosa sehingga teks tersebut dimasukkan dalam kelompok prosa, meskipun dalam teks tersebut terdapat pula unsur-unsur kepuitisan dari genre puisi. Persoalannya, sudah tepatkah keputusan redaktur di atas sehinga tidak dapat diganggu gugat lagi keputusannya? Da la m pe rs pekt i f dekons t rukt if , jawabannya mestinya belum. Mengapa? Karena dekonstruksi memang selalu berusaha membalikan setiap pasangan oposisional yang sudah dianggap mantap dengan menempatkan hal yang sebelumnya tidak dominan menjadi dominan demikian pula sebaliknya. Suatu tolok ukur untuk pengelompokan teks sastra adalah situasi bahasa. Pengelompokan ini tidak memberi penentuan tentang isinya, melainkan hanya menentukan cara penyajian teks. Ciri puisi yang utama menurut Luxemburg (1989: 71) adalah adanya satu pembicara atau pencerita yang membawakan seluruh teks. Sedangkan menurut Riffaterre (1982: 1-2), satu hal yang selalu tetap hadir dalam teks puisi dari waktu ke waktu ialah bahwa puisi menyatakan sesuatu hal dengan arti lain. Ada ketaklangsungan ekspresi dalam puisi. Ketaklangsungan ekspresi dalam puisi disebabkan oleh penggantian arti, penyipangan arti, dan penciptaan arti. Jika diperhatikan, teks AW
ternyata sangat memenuhi dua kriteria di atas, perhatikan kutipan berikut: “sejak orang-orang berebut mencakari batang-batang sagu, lebih riuh dari peking meruyak rimbun rumpun bambu seruling, aku nyaris memahami arti sebuah pagi. Tapi ibu yang selalu tersenyum akan menyendal kelamin ayah agar memarahi aku yang gemar menanam lidi jantan di halaman rumah untuk mengerti hakikat waktu. Matahari yang selalu baik memberiku bayangan yang rebah ke tanah, yang sebuah ujungnya menyatu dengan kaki lidiku. Aku tertegun menyimak percakapan matahari lidiku yang bersibantu menciptakan bayangan itu. Gelebunggelembung rasa haru selalu kutekan jauh ke kerongkongan, untuk membendung airmata, manakala bayangan itu diamdiam kian memanjang meremang menghilang...” (AW, hal 78)
K u t i p a n t e k s AW d i a t a s dibawakan oleh seorang pencerita, jadi situasi bahasanya monolog. Ketaklangsungan ekspresi terlihat pula pada hampir seluruh bagian pada kutipn di atas. Baik penggantian arti, penyimpangan arti maupun penciptaan arti ketiga-tiganya kita temukan. Situasi penyajian semacam itu ditemukan hampir pada seluruh teks. Dengan demikian sesungguhnya unsur-unsur puisi menjadi sangat dominan dalam teks tersebut. Satusatunya aspek yang meragukan untuk disebut puisi adalah tipografi teks tersebut yang ditulis tanpa pembaitan. Akan tetapi, dalam konteks puisi mutakhir Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, dan sejumlah penyair lain juga menulis puisi dengan cara penulisan yang tidak memperhatikan pembaitan sebagaimana
133
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 puisi konvensional. Oleh karena itu dalam konteks pembacaan semacam ini unsur puisi menjadi dominan. Analisis di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemaknaan genre sastra antara redaktur kalam dan hasil pembacaan dekonstruktif. Dalam perspektif redaktur dan pengarang, unsurunsur prosa dalam teksAW dianggap lebih dominan sehingga mereka memasukkannya dalam kelompok prosa. Sebaliknya, dalam perspektif pembacaan dekonstruktif unsur-unsur puisilah yang lebih dominan. Hanya saja, seperti telah dikemukakan di atas, pembacaan dekonstruksi tidak sama artinya dengan a k t i fi t a s ” m em b ongk ar ” a pa l a gi ”menghancurkan”. Dekonstruksi sesunggunya hendak memunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis bahasa sebagai teks dan mebiarkan bahasa dalam karakternya yang bersifat polisemi, ambigu, serta paradoks dalam dirinya. Semuanya hanyalah teks. Oleh karena itu meskipun unsur prosa pada teks AW tampaknya lebih dominan, pada kenyataannya tidaklah demikian. Dalam teks prosa masih terdapat unsur-unsur puisi, dan dalam puisi terdapat unsurunsur prosa. Oposisi Judul dan Teks Judul sering diasumsikan merupakan nama sebuah karangan yang dapat dijadikan sebagai pintu awa untuk menemukan topik atau tema karangan. Dalam analisis teks sastra judul bahwan sering dianggap sebagai model dari suatu matriks yang tidak eksplisit dalam teks yang akan dijabarkan varian-variannya pada isi teks sastra secara keseluruhan. Dalam pengertian yang demikian, judul
134
diasumsikan merupakan suatu pusat dari suatu teks fiksi yang eksistensinya lebih tinggi dari isi teks sastra itu sendiri. Strategi pembacaan dekonstruksi, mencoba membalikkan oposisi hierarkis di atas. Judul tidak lagi ditempatkan sebagai pusat, tetapi justru di tempatkan sebaga subordinat. Judul anpa cerita sesungguhnya tidak akan terlihat eksistensinya. Tanpa adanya judul, alur cerita sebuah teks tetap akan mampu memberikan gambaran kepada pembaca isi cerita yang dipaparkan pengarang. Lagi pula, pada keyataannya banyak judul yang sama dapat digunakan untuk mendeskripsikan alur cerita yang berbeda-beda. Apabila judul merpakan superordinat yang dominan, mengapa di atas dapat terjadi? Dengan akta lain, dalam kerangka berpikir semacam ini, cerita pun dapat dianggap sebagai pusat yang kedudukannya lebih penting daripada judul. Dalam kasus teks sastra AW, tanpa judul pun teks tersebut tetap dapat ditangkap pengertiannya oleh pembaca. Hanya saja, cerita yang relatif panjang pada akhirnya memang membutuhkan semacam ringkasan yang dapat segera menarik minat perhatian pembaca untuk mengikuti teks sastra yang disajikan. Di sinilah peranan judul diperlukan. Dengan kata lain, meskipun cerita dapat dianggap sebagai pusat, kehairan judul tetap penting untuk menamai teks tersebut. Dalam konteks teks AW, jika cerita di posisikan sebagai pusat, dan eksistensi judul dinomorduakan, judul teks di atas akan tertulis ”Aleori Waktu”. Pemberian tanda silang pada judul untuk menunjukkan bahwa meskipun judul itu dihilangkan ia akan tetap hadir dalam
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
bentuk ”jejak” yang selalu siap dalam ketidakhadiran (tanda silang dalam konsep Derrida dimanfaatkan untuk menandai ketidakhadiran kehadiran). Singkatnya, merupakan sesuatu yang sulit memahami judul tanpa kehadiran cerita. Demikian pula sebaliknya, menjadi sesuatu yang sangat sulit memahami cerita tanpa mengetahui judulnya. Dalam judul terdapat ”jejak” cerita dan dalam cerita terdapat ”Jejak” judul. Oleh karena itu pemahaman terhadap keduanya harus melibatkan kedua hal yang dioposisikan. Oposisi Judul dan Catatan Pengarang Pada teks AW pengarang memberi tanda (*) pada judul teks dan kemudian diikuti dengan penjelasan pada akhir teks tersebut. Adanya tanda(*) pada judul dan penjelasan di akhir cerita secara struktural m e n g i n di ka s i k a n ba h w a c a t a t a n pengarang itu adalah sekadar tambahan yang hierarkinya berada di bawah teks secara keseluruhan. Apalagi, keterangan tersebut ditulis di bawah tempat dan tanggal penulisan teks, yang berarti keterangan tersebut benar-bear lepas dari teks. Catatan pengarang berada pada level pinggiran dan bukan pusat karena ia berada di luar cerita. Sebagai catatan tambahan kahadirannya tidaklah mutlak. Ada dan tidak adanya catatan tambahan tidak akan mengubah substansi makna yang terdapat pada teksAW. Strategi pembacaan dekonstruksi mencoba membalikkan struktur hierarki di atas. Pertama ádalah dengan meragukan bahwa keterangan tambahan itu berada di luar teks dan tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Kedua ádalah mencoba membalik hierarki yang ada dengan meletakkan catatan tambahan sebagai pusat, dan judul teks cerita
sekadar sebagai subordinat. Perhatikan kutipan berikut: Alegori Waktu * (judul teks) * dari berbagai dongeng yang kudengar pada masa kecilku (AW, hal. 78 dan 81) Catatan tambahan pada teks sastra di atas ternyta berisi penjelasan pengarang tentang sumber inspirasi teks sastra yang disusunnya. Satu hal yang perlu didiskusi kan ialah betulkah sumber cerita lebih rendah hierarkinya dibandingkan dengan cerita itu sendiri? Berbagai dongeng yang didengar pengarang pada masa kecilnya menjadi hipogram teks AW. Dengan demikian, melalui strategi pembacaan dekonstruktif yang membalikkan oposisi yang ada, pendapat hierarki oposisi struktural di atas dapat digugurkan. Mungkinkah dapat tersusun teks AW tanpa sejumlah hipogram aktual dan potensial yang telah masuk dalam storage penulis sebelumnya? Dengan demkian akan terlihat bahwa oposisi hierarkis yang terlihat dalam perspektif struktural sesungguhnya tidak ada. Hal itu dibuktikan dengan pembacaan dekonstruksi yang mencoba membalikkan hierarki oposisional yang dipahami sebelumnya. Baik judul beserta batang tubuh maupun catatan pengarang, semuanya adalah teks. Oleh karena itu, meskipun teks sastra tersebut seolah-olah lebi h dominan da ri pada cat atan pengarang, jika dicermati sesungguhnya tidaklah demikian. Judul beserta ceritanya membutuhkan catatan pengarang, dan catatan pengarang hanya dapat dipahami de n ga n pe m b a c a n c e r i t a s ec a r a keseluruhan.
135
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 Oposisi Waktu Geometris dan Waktu Antropologis Waktu geometris adalah waktu yang mengalir terus menerus tanpa bergantung kepada keberadaan manusia pada umumnya. Adapun waktu antropologis adalah waktu yang dialami subjek sebagai kehadiran sehingga dalam waktu antropologis seseorang dapat mengandaikan kehadiran waktu lampau dan akan datang pada waktu sekarang. Dalam eksistensi kemanusiaan, kesadaran waktu antropologis tidak dapat dilepaskan dari aspek keruangan sehingga kesadaran waktu antropologis juga berarti kesadaran dalam kehidupan (Aminuddin, 1999: 309). Teks AW, substansinya memang membicarakan konsep-konsep waktu melalui perumpamaan-perumpamaan. Waktu dibicarakan sedemikian rupa melalui berbagai metafora yang menawarkan amiguitas, polisemik, dan kadang-kadang kontradiktif. Sebagai c o n t o h , s e n j a , d a l a m t e k s AW dimetaforakan dengan pilihan kata: “biru langit tersaput jingga, lalu kelam dengan ribuan bintang mengerjap seperti sedia kala”. Malam, digambarkan dengan “…seorang penunggang gagak hitam yang selalu terburu-buru menyeberangi rawa-rawa sambil mengacung-acungkan kerisnya kearah matahari yang melayah ke padang gelagah…”. Dua kons ep wakt u, wakt u geometris dan waktu antropologis yang terbatas, dibicarakan dalam teks AW. Waktu geometris yang identik dengan keabadian terutama dipakai oleh aku lirik untuk mengilustrasikan diri dan k e l u a rg a n y a y a n g h i d u p d a l a m “keabadian”. Sementara waktu antropologis yang memiliki dimensi
136
keterbatasan karena hadirnya konsep kematian dibicarakan untuk mengilustrasikan tokoh-tokoh yang muncul di luar aku lirik dan keluarganya. Secara strtuktural terlihat bahwa waktu yang dibicarakan Sitok Srengenge lebih didominasi oleh konsep waktu geometris. Waktu tidak dibicarakan dalam batas-batas sebagaimana yang dialami manusia sebagai subjek dengan segala keterbatasan kewaktuannya karena hadirnya kematian, tetapi waktu dapat bergerak dalam rentang yang sangat panjang sehingga secara struktural mustahil manusia bisa mampu menjalaninya. Perhatikanlah kutipan berikut: “hari itu orang-orang kembali mendapati gambar-gambar besar ayah dan ibu terpancang di delapan penjuru desa, juga di pelosok-pelosok, bersama umbul-umbul warna-warni. Tak lama lagi ayah berulang tahun ketujuh ratus, dan ibu keenam ratus lima puluh. Sebuah perayaan besarbesaran disiapkan bersamaan tibanya saat perkawainan emas mereka entah yang keberapa kalinya…” (AW, hal 81).
Waktu pada kutipan di atas mengalir secara terus-menerus dalam rentang waktu ratusan tahun. Sebuah rentang waktu yang secara struktural mustahil dapat dialami oleh manusia sekarang (teks sastra ini dibuat pada tahun 1933). Sudah sahihkah simpulan di atas? Secara structural tentu jawabannya sudah. Tokoh yang dominan dalam teks tersebut memang tokoh aku lirik dan keluarganya. Denga demikian, konsepsi waktu yang dibicarakan pun lebih banyak didominasi
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
oleh tokoh dominan tersebut. Akan tetapi, secara dekonstuktif tentu jawabanya tidak harus demikian. Pembentukan realitas simbolik dalam teks mesti dikreasikan dan dibentuk ulang oleh penanggap sesuai dengan daya kreativitas dan hasil penelusuran yang dilakukan. Waktu antropologisnya dengan demikian dapat pula dianggap dominan, karena mustahil dapat memahami keabadian konsepsi waktu tokoh aku lirik d a n k e l u a rg a n y a t a n p a m e l i h a t perbandingannya dengan konsep waktu yang dialami oleh tokoh-tokoh di luar aku lirik dan keluarganya. Perhatikan kutipan berikut: “…kematian pun bisa muncul dari percintaan. Begitulah cara ayah dan ibu bercinta sembari memuntahkan serapah kutukan kepada mereka yang telah melahap serigala. Keheningan setelah itu adalah barisan panjang orang ke pemakaman dengan suara nyaris habis bahkan sekedar mendesis, perih mengguris guris…”
(AW, hal. 79). Perhatikan juga kutipan berikut: “seperti sebuah jendela yang membukakan diri bagi langit yang rindu bicara, selalu kudapati diriku pada dunia yang tidak prnah beda, dunia yang menjadikan segala sesuatu di luar dirinya hanya kenangan, seperti hujan yang kucurahkan dari kemaluanku untuk menumbuhkan kembali jari-jari ayah dan ibu setelah lama ranggas di ubunubunku. Barangkali waktu, yang selalu ingin kuketahui, telah mati. Seperti orang-orang beruntun mati, sampai…” (AW, Hal. 80).
Dari dua kutipan di atas, terlihat bahwa tokoh aku lirik dan keluarganya terlihat keabadiannya karena adanya ilustrasi kematian demi kematian yang dialami oleh tokoh-tokoh di luar mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya yang dominan di sini justru adalah waktu antropologis yang dialami oleh tokohtokoh bwahan. Lagi pula, dalam ilustrasi naratifnya, pengarang juga tetap menggunakan konsep antropologis yang dialami subjek manusia seperti pagi, siang, senja, malam, dan seterusnya. Kembali kepada pembacan dekonstruksi yang ingin mengembalikan bahasa sebagai teks, konsep waktu geometris dan antropologis dalam teks AW sesungguhnya memang harus disikapi hanya sebagai teks semata. Waktu geometris perlu diilustrasikan dengan menggunakan waktu antropologis, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian kedudukan keduanya sesungguhnya tidak harus dipandang sebagai suatu entitas yang hierarkis. Oposisi Penalaran Teks Absurd dan Teks Realis Meskipun teks sastra merupakan teks yang didomunasi oleh penalaran imajinasi yang bebas, tetapi untuk penarikan makna secara struktural logikalogika cerita biasanya tetap diukur dengan penalaran logis. Artinya, meskipun imajinasi bebas digunakan, pada akhirnya teks tersebut tetap harus terbaca benang merahnya sehingag tidak semua bagian dalam teks itu menjadi gelap bagi pembaca. Dalam pengamatan peneliti, ada dua jenis penalaran yang saling beroposisi dalm teks AW. Dalam hal ini peneliti menggunakan terminologi penalaran
137
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 absurd untuk menamai penalaran imajiner yang semena-mena dan mencoba membebaskan diri dari norma-norma, dan penalaran logis untuk menamai penalaran imajiner yang masih dapat ditelusuri kode-kodenya pada kehidupan nyata. Jika menggunakan perspektif structural, teks AW terlihat lebih banyak didominasi oleh logika-logika absurd. Tokoh yang diceritakan tidak jelas identitasnya apakah ia manusia, binatang, hantu, atau malah mungkin ia dewa. Perhatikanlah kutipan berikut: “…para pelayan itu sangat banyak jumlahnya, semua punya ekor, semua punya keahlian istimewa. Ayah suka memakai celana kolor longgar, dan ibu gemar jarit parang rusak diikat kendor. Keduanya tak pernah mengenakan celana dalam sebab itu hanya akan menelikung ekor mereka yang seukuran kembang sukun. Aku mempunyai saudara lebih dari setengah lusin. Kelamin mereka rata-rata berbentuk keris luk sembilan atau mata tombak denga trisula di ujungnya…(AW, hal 79).
Secara fisik tentu sulit bagi kita untuk mengidentifikasikan apakah tokoh yang diceritakan dalam teks ini manusia atau binatang. Jarit parang rusak adalah ikon pakaian yang biasa dipakai orang Jawa. Akan tetapi, diceritakan bahwa pelaku-pelaku dalam teks ini mempunyai ekor. Padahal, orang Jawa tidak ada yang punya ekor. Ketidakjelasan identitas tokoh juga terlihat dari model kelamin mereka yang “aneh”, berbentuk keris luk sembilan atau mata tombakdengan trisula di ujungnya. Perhatikan juga kutipan berikut: “…ranjang itu lumat berderak,
238
reranting kering berderak, atap-atap rumah berderak, pohonan merontokkan daun dan buah yang belum masak. Di taman orang-orang bubaran berlarian, satu dua tertimpa kelapa atau nangka atau durian. Kematian pun bias muncul dari percintaan. Begitulah cara ayah dan ibu bercinta sembari memuntahkan serapah kutukan kepada mereka yang telah melahap serigala…” (AW, hal 79).
Pada kutipan di atas pengarang menggunakan terminology orang-orang, tetapi dilihat dari atribut-atribut yang digambarkan tidak ditemukan identifikasi yang dapat mengarahkan pada kesimpulan bahwa pelaku dalam teks itu memang orang. Logika kausalitas dalam kutipan teks di atas bahwa dalam alam realitas sangat sulit ditemukan. Belum pernah ada peristiwa persenggamaan yang meminta korban manusia yang sangat banyak. Singkatnya, dalam kacamata struktural, teks di atas jelas didominasi logika teks absurd karena banyak peristiwa-peristiwa yang sulit diterima oleh penalaran umum. Akan tetapi, seorang kritikus dekonstruksionis, tidak boleh secara polos menentukan “arti” sebuah teks. Sebuah teks merupakan sebuah tekstur (tenunan) yang tersusun dari berbagai utas benang. Jika hanya satu utas benang saja yang diikuti, besar kemungkinan akan sampai pada kesimpulan yang keliru. Demikian pula dalam konteks teks AW. Secara struktural memang logika teks absurd mendominasi teks tersebut. Akan tetapi, masih terbuka peluang untuk membalik simpulan itu dengan menggunakan strategi pembacaan yang berbeda. Logika teks realis juga dapat menjadi dominan jika peristiwa-peristiwa
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
yang tampaknya absurd dan tidak masuk akal tadi dipahami sebagai metaforametafora dari konsep-konsep yang dibicarakan pengarangnya. Seperti terlihat dari judulnya (Alegori Waktu), teks tersebut pada dasarnya memang berisi perumpamaan-perumpamaan untuk membicarakan konsep-konsep waktu yang dipahami oleh pengarangnya. Dalam hal ini tentu saja dapat ditarik penalaran bahwa sesuatu yang dialegorikan semestinya secara hiirarkis memiliki tempat yang lebih tinggi daripada hal yang menjadi alegorinya. Alegori hanyalah deksripsi dari pokok persoalan yang dialegorikan. Dengan kata lain, melalui logika dekonstruksi, akan terlihat bahwa yang menjadi dominasi dalam teks AW justru logika teks realis. Sekali lagi, menurut pembacaan dekonstruksi yang ada hanyalah teks. Oleh karena itu logika absurd dan logika realis dalam teks AW tidak harus dioposisikan. Dalam logika teks realis akan ditemukan fakta bahwa tidak semua peristiwa dapat dirasionalisasikan. Demikian pula sebaliknya, dalam teks absurd juga tidak semua peristiwa membingungkan sehingga menjadi gelap bagi pembaca untuk menelusuri teks absurd tersebut kepada logika-logika yang dapat diterima nalar manusia. Oposisi TeksAW dan Teks-teks lain Salah satu aspek yang melandasi tindak dekonstruksi dalam proses pemaknaan teks menurut Aminuddin (1999: 298) adalah adanya asumsi bahwa segala sesuatu senantiasa berhubungan dengan sesuatu yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lixemburg (1992: 610) menjelaskan pula bahwa dekonstruksi dapat diartikan pula
sebagai penelitian mengenai intertekstualitas, yakni usaha mencari jejak-jejak teks lain dalam teks yang diteliti. Beberapa jejak teks lain dapat ditemukan pada teks AW. Seperti dikemukakan oleh Sitok Srengenge dalam catatan akhirnya teks AW ia susun berdasarkan beberapa dongeng yang pernah ia dengar pada masa kanakkanaknya. Perhatikan kutipan berikut: “pada saat berlangsungnya perayaan ulang tahun itu ingin sekali aku menancapkan lidi jantanku di tengah lapangan, aku ingin bertaruh dengan saudara-saudaraku, kalau perlu dengan ayah dan ibu, untuk mencabutnya. Aku kira, biarpun perkasa mereka tak akan mampu mencabutnya…” (AW Hal 81).
Teks di atas berkaitan erat dengan cerita rakyat yang hidup di jwa Tengah tentang asal-usul rawa pening dekat Salatiga. Dalam dongeng tersebut diceritakan bahwa suatu ketika Baru Klinting menancapkan sebuah lidi jantan pada sebuah tanah lapang. meskipun terkesan main-main, ia menantang orangorang untuk mencabut lidi jantan yang ia tanam di tanah. Ternyata semua yang berusaha mencabut lidi tersebut m engala mi kegagal an. Akhi rn ya dicabutnyalah lidi jantan itu, dan terjadilah keajaiban dengan munculnya sumber mata air dari bekas lidi jantan itu ditanam. Genangan air yang bersumber dari mata itu tersebut kemudian diberi nama Rawa Pening. Perhatikanlah juga kutipan berikut: “…telah kusiapkan sebuah perahu kertas yang akan membawaku
139
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 berlabuh di daratan jauh. Tetapi aku Cuma tersedu, mengingat orang-orang tak lagi punya lesung sejak seorang saudaraku mengamuk dan menyepaknya ke pucuk gunung…” (AW hal 81).
Kutipan di atas paling tidak memperlihatkan jejak dua teks yang pernah ada. Pertama adalah dongeng Sangkuriang di Jawa Barat, dan kedua adalah puisi “perahu kertas” karya Sapardi Djoko Damono yang secara interteks juga terkait dengan riwayat Nabi Nuh dalam Al-Quran. Kutipan “mengingat orang-orang tak lagi punya lesu ng sejak s eorang saudaraku mengamuk dan menyepaknya ke pucuk gunung” berkaitan dengan episode terakhir dongeng Sangkurianga. Pada akhir cerita dongeng Sangkuriang dikemukakan bahwa setelah diberitahu bahwa Dayang Sumbi, orang yang sangat dicintai Sangkuriang, adalah ibunya sendiri sehingga tidak boleh ia nikahi, amarah besar dan menganggap cerita itu sekadar alasan Dayang Sumbi untuk menolak cintanya. Maka dengan murka ditendangnya lesung yang telah ia buat semalam suntuk ke pucuk sebuah bukit, dan atas kehendak alam terjadilah Gunung Tangkuban Perahu. Dalam teks AW jejak-jejak cerita rakyat maupun teks lain memiliki makna baru karena diberi warna baru oleh pengarang. Keberadaan jejak-jejak teks tersebut sekaligus juga mendukung makna teks AW karena melalui penelusuran teks-teks lain itulah pembaca memiliki arah untuk menggali kemungkinan-kemungkinan makna yang ditawarkan. Adanya keterangan pengarang di akhir teks yang
140
menerangkan teks-teks yang menjadi hipogram teks baru yang disusunnya juga dapat diartikan bahwa sejumlah teks yang telah dikenal pengarang didekonstruksi oleh pengarang menjadi teks AW. Beberapa jejak teks lama yang telah dikenal pembaca ditawarkan dengan bingkai oposisi kemungkinan makna yang berbeda. Penutup Seperti telah dikemukakan pada bagian awal artikel ini, dari empat relevansi dekonstruksi, studi yang dilakukan penulis terhadap teks “AW” lebih terfokus pada level strategi pembacaan. Berdasarkan strategi pembacaan dekonstruktif terebut ditemukan adanya oposisi-oposisi yang kemudian dibalik hierarkinya. Oposisioposisi yang disampaikan penulis dalam artikel ini adalah oposisi-oposisi yang ditemukan penulis pada saat studi ini dilakukan. Pengkajian ulang terhadap teks yang sama sangat memungkinkan untuk menemukan oposisi yang berbeda sesuai dengan perkembangan storage yang dimiliki oleh penulis. Lagi pula, sebagai sebuah teks fiksi, teks “AW” adalah wacana yang maknanya belum tentu diterima sama oleh semua orang. Berdasarkan hasil pembacaan dekonstruktif terlihat bahwa oposisioposisi yang sebelumnya dikemukakan sesungguhnyatidak ada. Yang ada hanyalah teks. Hal ini terjadi karena penanda-penanda yang dioposisikan mengembang terus-menerus dan secara esensial kodrat pemaknaannya tidak stabil. Sesuatu yang dianggap sebagai pusat sesungguhnya dapat pula ditempatkan sebagai pinggiran, semikian pula sebaliknya. Jadi, tidak ada oposisi
Identifikasi dan Pembalikan Oposisi ...
dierarkis. Yang ada hanya wacana mengenai oposisi hierarkis. Oleh karena itu, tepatlah jika paham dekonstuksi berpedapat bahwa tidak ada makna tunggal dari sebuah teks. Sebagaimana sebuah tenunan, makna teks pada akhirnya sangat ditentukan oleh keahlian pembaca dalam melakukan penelusuran yang tepat terhadap benang-benang yang tertenun menjadi kain. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1999. “Dekonstruksi dan Proses pemaknaan Teks” dalam Bambang Kawanti P. (Ed.). Kajian Serba Linguistic, Jakarta: UKIAtmajaya dan Gunung Mulia. Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya”, makalah bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tangal 2730 mei 2002. Derrida, Jacques. 1994. Of Grammatology, translated by Gayatri C. Spivak. Baltimore and London. Johns Hopkins University press. Foulcher, Keith. 1994. “Beranjak dari Paradigm Lama Imbasan Posmodernisme dalam Kajian Budaya Indonesia di Australia” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, edisi I tahun 1994. H.T., Faruq. 1994, “Dekonstruksionisme dalam Studi Sastra” dalam Jabrohim (ed.). Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Masyarkat
Poetika Indonesia. Luxemburg, jan van dkk.. 1992. “Poststrukturalisme atau Dekonstruksi' dalam Pengantar Ilmu Sastra (terjemahan dick hartoko). Jakarta: gramedia. ------------1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Pujiharto. 2001. “Anailisis Dekonstruksi Cerpen Rembulan Terapung di Ko l a m R e n a ng ”, m a ka l ah Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia Xxiii, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, tanggal 9-10 oktober 2001. Rifaterre, Michael. 1982. Semiotic of Poetry. Bloomington, London: Indianan University Press. Sehal, Ahmad. 1994. “Kemudian, di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, edisi I 1994. Selden, Raman. 1991. “Teori Pasca Strukturalis” dalam Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (terjemahan Rachmad Djoko Pradopo dan Imran T. Abdullah). Yogyakarta: Gadjah Mada University press. Srengenge, Sitok. 1995. “Alegori Wa k t u ” d a l a m J u r n a l Kebudayaan Kalam edisi 4 tahun 1995. Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung:
141
PENGARUH INDIA DAN JAWA PADA KARYA SASTRA KAKAWIN Retno Asih Wulandari Abstract A kakawin is the best invention of some kavi in Old Javanese period from 9 to 15 century. The kakawin is a stanza consists of four lines, each comprising the same number of syllables and built on the same metric pattern. A great many different patterns or mettres of this kind were used in Old Javanese poetry, each bearing its proper name. This paper wants to convey two cultures, namely Indian and Javanese culture that have affected the old Javanese kakawin. The Indian influence on the kakawin can be seen from its language, structure (form) and content. Some words of the language of the kakawin, old Javanese language, are derived from Sanskrit language. The form and content follow some requirements of the kawya that is product of Indian culture. Another influence on the kakawin is Javanese culture. This influence can be distinguished from the setting of the story that shows the Javanese world, namely Javanese flora and fauna. Key Words:India, Jawa, Karya Sastra, Kakawin
Pendahuluan Kakawin dikenal sebagai sebuah produk karera sastra terbaik pada periode kesusastraan Jawa Kuno sejak abad 9 hingga 15 M. Pada periode ini, banyak bentuk kakawin dihasilkan oleh para pujangga dalam berbagai ragam cerita. Salah satu karya sastra kakawin tertua yaitu Ramayana, yang berisi cerita percintaan antara Rama dan Sinta. Menurut Zoetmulder dalam kalangwan: A survey of Old Javanese Lieterature, apabila kita akan membicarakan tentang karya sastra Kakawin, it will become evident how allpervading the influence of Indian lierature was in that field, (Hal ini akan menjadi bukti nyata bagaimana pengaruh India menyelimuti bidang ini)
*)
(Zoetmulder, 1974: 69). Selanjutnya ia menjelaskan juga bahwa sepanjang tradisi perkembangannya, subyek pembahasan atau cerita dalam Kakawin tergantung pada kesusasntraan India (Zoetmulder: 189). Cerita dan nama-nama tokoh yang muncul dalam Kakawin berasal dari India. Contohnya tokoh-tokoh Pandawa dan Korawa, Arjuna Sahasrabahu, Parasurama dan para dewa dengan musuh-musuhnya (Zoetmulder:187). Seperti kata Jawa pun dimana karya sastra kakawin dilahirkan juga berasal dari bahasa sansekerta Yav advipa (pulau gandum) yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi Labadios dalam The Geography of Ptolemy (Majundar, 1944: 66 dalam Sircar, 1970: 43).
Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlangga, tlp 031-5035676
142
Pengaruh India dan Jawa
Selain pengaruh kebudayaan India, k a k a w i n j u g a di p e ng a r u h i o l e h kebudayaan Jawa. Contohnya, latar tempat didalam cerita Kakawin, is presenting a picture of his own country and his own society. These man and women with their Indian names are essentially Javanese, acting like Javanese, thinking like Javanese and living like a Javanese environment (ini memberikan gambaran tentang negara dan masyaakat sendiri. Para tokoh pria dan wanita dengan nama India mereka, pada dasarnya dilukiskan sebagai seorang Jawa, berperilaku seperti orang Jawa, berfikir seperti orang Jawa dan tinggal di lingkungan Jawa) (Zoetmulder: 198). Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini hendak mengemukakan dua kebudayaan, yaitu India dan Jawa yang mempengaruhi karya sastra Jawa Kuna, yaitu kakawin. Apakah Kakawin? Kata kakawin berasal dari bahasa Sansekerta kawi, tetapi penambahan awalan dan akhiran Jawa ka dan n menunjukkan sentuhan blesteran. Didalam bahasa Sansekerta awalnya kata kawi berarti “seorang yang luar biasa, yang dapat melihat masa depan, seseorang yang bijak' akan tetapi kemudian arti kata ini dalam sastra klasik Sansekerta menjadi 'penyair' dan dalam arti ini pula kata kawi dipakai dalam sastra Jawa Kuno. Dalam morfologi Jawa Kuno atas dasar kawi yang mendapat awalan ka dan akhiran n (ka-kawi-n), menunjukkan arti 'pekerjaan atau karya seorang penyair, yaitu karya sastra atau syairnya. (Zoetulder: 101). Oleh karena itu kakawin yang ditulis dalam bahasa Jawa Juna menggunakan ragam puisi.
Pengaruh India Seperti telah dijelaskan di atas bahasa karya sastra kakawin adalah bahasa Jawa Kuno. Kata-kata dalam bahasa ini mayoritas berasal dari bahasa Sansekerta. Akan tetapi menurut Sarkar, the influence of Sanskrit necessarily limited: its contributionmainly lies in the sphere of loan-words, rhetoric and prosody (pengaruh India terbatas pada kata-kata pnjaman, bentuk retorikdan sajak) (Sarkar, 1970:79). Demikian halnya dengan Zoetmulder, ia menjelaskan bahwa meskipun beberapa elemen India dikombinasikan dengan bahasa Jawa Kuna sedemikian rupa, struktur dan karakternya tetap tidak terpengaruh (Zoetmulder: 11). Seperti contoh kata utama yang dalam bahasa Sansekerta berarti 'baik sekali', ketika ditambahkan awalan Jawa Kuna ke-…-n, kata jadiannya menjadi kata benda kottaman (kebajikan/keutamaan). Zoetmulder selanjutnya mengemukakan bahwa beberapa kata Sansekerta yang dipinjam oleh bahasa Jawa. Perkembangan bahasa Jawa Kuno yang seperti ini menurut beliau dapat dianggap sebagai suatu proses akulturasi (Zoetmulder:12) Selain itu pengaruh India lainnya pada kakawin dapat dilihat dari struktur karya sastra ini. Karena kakawin berbentuk puisi, ia dibentuk oleh aturanaturan tertentu. Menurut Zoetmulder kakawin adalah: Sebuah bait terdiri atas empat baris sedangkan masing-masing baris meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang sama. Menurut pola tersebut kuantita
143
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 setiap suku kata panjang atau pendeknya ditentukan oleh tempatnya dalam bari s bes ert a syar at syaratnya; dan sebuah suku kata dianggap panjang bila mengandung sebuah vokal panjang (a, u, o, e, o, ai) dan bila sebuah vokal pendek disusul oleh lebih daripada satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek (anceps). Aneka macam pola metrum ini dipakai dalam puisi Jawa Kuno, masing-masing dengan namanya sendiri (102).
Di bawah ini adalah contoh sebuah bait yang diambil dari kakawin Bharatayudha (10.12) dalam metrum Prthwitala (Zoetmulder: 102): Mulat mara sang Arjunasemu kama Nunan kasrepan Ri tingkah u musuh nira n pada Kadang taya wwang waneh Hana pwa ng anak ing yayah mwang Ibu len uwanggeh paman Makadi nrpa Salya Bhisma sira Sang dwijanggeh guru.
Bait di atas menunjukkan pola matris sebagai berikut: U U- U I UU - I U- U I UU - I U - - I UU : tanda ini menunjukkan vokal pendek - : tanda ini menunjukkan vokal panjang Kumpulan dari beberapa bait dapat disebut pupuh dengan pola metrum yang sama. Sehingga sebuah puisi kakawin dapat terdiri atas beberapa pupuh dengan berbagai macam bentuk metrum. Seperti contohnya kakawin Arjunawiwaha, mempunyai 36 pupuh yang totalnya terdiri atas 354 bait. Dan kakawin ini memiliki 24 macam metrum
144
dimana 9 dari jumlah tersebut berasal dari metrum Jawa kuno. Ini berarti sisanya (15 metrum)berasal dari India, yang dapat ditemukan didalam buku pedoman metrum India (Wiryamartana, 1990: 346). Istilah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna, seperti disebutkan oleh Zoetmulder (1974: 102) bila dipandang dari sudut linguistik merupakan padanan dari kata Sansekerta karya. Oleh karenanya struktur naratif kakawin Jawa Kuna juga terdiri atas beberapa bentuk unit naratif dari kawya dimana masing-masing unit tersebut memiliki kategori tertentu yang berbeda, antara lain seperti: - Doa atau ucapan syukur: asir
- Gambaran alam: arnava 'laut”: nagara 'kota': saila 'gunung'. - Materi yang didapatkan: artha - Kesenangan akan perasaan: kama - Perintah dan kebaikan; dharma - Pelepasan: moksa - Perkawinan: wiwaha - Episode tentang seorang utusan: duta - Terbitnya bulan: candrodaya dan matahari: arkodaya. - Perasaan erotik: srngarasa, dll (Hooykaas, 1958a: 41-47, Supomo, 1977: 42-48; Wiryamartana, 1990a: 348-352)
Setiap kakawin harus memiliki jenis-jenis unit naratif seperti tersebut di at a s . S e per t i m i s a l nya kaka wi n Arjunawiwaha terdiri atas beberapa unit naratif seperti asir, arnawa, nagara, saila, artha, dharma, dll (Wiryamartana, 1990: 348-352) Sedangkan, kakawin Arjunawijaya mempunyai beberapa unit naratif yaitu wiwaha, duta, saila, arnawa, srngararasa, candrodaya, arkodaya, dll (Supomo, 1977: 42-46). Pada dasarnya masih ada lagi
Pengaruh India dan Jawa
beberapa penjelasan yang lebih detil tentang aturan kakawin seperti yang terdapat didalam buku karangan Hooykaas, The Old-Javanese Ramayana Kakawin; an Exemplary Kakawin to form and Content. Akan tetapi dengan penjelasan seperti tersebut di atas sudah dapat menunjukkan pengaruh India pada karya sastra kakawin. Pengaruh Jawa Seperti telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, kakawin juga memiliki pengaruh dari kebudayaan Jawa. Seorang kavi “penyair” menggambarkan beberapa peristiwa yang mereka lihat disekitarnya. Zoetmulder membicarakan tentang keadaan alam di Jawa yang terpantul dalam sastra kakawin. Keadaan al am t ers ebut be rkai tan de nga n penggambaran waktu dan musim, flora dan fauna, daerah pedesaan dan istana raja serta kesatuan alam semesta (Zoetmulder: 187: 212). Supomo dalam Arjunawijaya. A Ka kawi n of m pu Tant ul ar j uga mengemukakan beberapa aspek kehidupan modern Jawa yang digambarkan dalam kakawin Arj una wi ja ya. Ide bel ia u unt uk mengedepankan keadaan kerajaan, pedesaan dan tempat religius terisnspirasi oleh Teeuw, Zoetmulder, Galestin, Robson, dan Worsley yang pernah mendiskusikan tentang hal ini seperti yang terdapat didalam Siwaratrikalpa (Supomo, 1977: 49-68). Dalam buku mereka disebutkan beberapa peristiwa dan kehidupan pedesaan Jawa seperti yang digambarkan didalam Siwaratrikalpa terutama pupuh 2 dan 3 (Teeuw, dkk, 1969: 45-51). Dibawah ini selanjutnya akan
dibicarakan tentang keadaan alam terutama flora dan fauna Jawa yang ditemukan dalam kakawin Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayudha, Gatotkachasraya, Nagarakrtagama, Siwaratrikalpa, dan Smaradahana. Flora Didalam beberapa kakawin disebutkan berbagai macam jenis tumbuhan asli Indonesia yang sampai saat ini masih bisa ditemukan, terutama di pulau Jawa. Bermacam jenis flora yang digambarkan oleh para penyair termasuk beberapa jenis bunga dan pohon. Pada beberapa kakawin banyak disebutkan berbagai jenis bunga seperti asoka; cempaka; gambar; jarak; menur; pundak; saroja; sirih ayu; tanjung dan teratai. Asoka atau angsoka disebutkan dalam Sum 5.7 (pupuh kelima dan bait ketujuh) ambet nisinwam ing asoka mare tengahta (Engkau dapat mencium wanginya bunga asoka) (Zoetmulder, 1974: 197: 538). Jenis bunga ini memiliki warna merah yang biasanya digunakan sebagai hiasan di rambut seorang gadis. Supomo menjelaskan bahwa asoka adalah salah satu jenis bunga yang sering muncul dalam hampir semua karya sastra kakawin (Supomo, 1977: 317). Dalam kakawin Arjunawijaya jenis bunga ini juga disebutkan pada pupuh 35 bait 4: makin alano hane wit in asoka samaja siraniket sekar arum (duduk di bawah pohon bunga asoka gajah yang berbau wangi, ia terlihat semakin cantik) (Zoetmulder: 130: 233). Bunga campaka juga sering muncul di beberapa kakawin, seperti Gatot Kacaraya, Siwaratrikalpa, dan Arjuna Wiwaha. Pada kakawin yang pertama pupuh 25 bait 2, bunga campaka
145
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 dicampur dengan madu dan bunga tanjung oleh Abhimanyu (Putra Arjuna) untuk memuja Dewa Cinta. Dalam Siwaratrikalpa pupuh 37 bait 3, disebutkan bahwa bungan campaka merupakan bunga yang termasuk didalam kelompok bunga yang sering digunakan dalam acara-acara ritual (Teeuw, 1969: 183). Menurut Zoetmulder, karena warna bunga campaka putih atau kuning terang maka bunga ini s ering digunakan dalam gaya bahasa metafora oleh penyair untuk menggambarkan warna kulit ideal seseorang wanita di keraton (kraton), sang awarna campaka (dia yang bak bunga campaka) (Zoetmulder, 1974: 197) Penyair Arjunawiwaha, mpu Kanwa menyebutkan bunga campaka pada pupuh 2 bait 8 yang melukiskan kecantikan wajah Subadra (istri Arjuna) kapantes ika warna campaka wulatnya duga-duga teka dalem hati (sangat pantas dikatakan bahwa kecantikan wajahnya mirip dengan bunga cempaka. Kecantikannya sungguh merasuk dalam hati) (Wiryamarthana, 1990: 76). Bunga mungil berwarna putih (menur) dikenal di tanah Jawa sebagai bunga melati. Bunga ini sering digunakan untuk menggambarkan hiasan rambut yang indah dari seorang putri. Menur dan Asoka juga termasuk dalam kelompok bunga-bungaan yang sering digunakan dalam acaea ritual. Dalam Erwatrikalpa pupuh 37 bait 3 kedua jenis bunga ini disebutkan oleh Tanakung: Mennur kaniri gambir arja kucubun Saha waduri putih lawan putat Asoka saha nagapuspa hana tanguli Bakula kalak macampaka Saroja biru ban putih sahana nin Kusuma halapen in samankana
146
Makadi semi nin majarja sulasih Panekara nin anarcane sira (Menur, kaniri, gambir arja, kecubun dengan waduri putih dan putat, asoka dan nagapuspa dan kalak dan campaka, teratai biru, merah dan putih, bungabungaan itulah yang harus kau ambil pertama kali, terutama seperti pucuk bunga maja dan sulasih yang lembut yang dijadikan bunga persembahan untuk dewa) (Teeuw, 1969: 140-141).
Beberapa tanaman yang disebutkan dalam beberapa kakawin juga dapat dikenali sebagai tanaman yang dapat dijumpai di pulau Jawa khususnya dan umumnya di Indonesia. Mereka antara lain gadung, pandan dan pring atau petung atau waluh, sering muncul didalam beberapa kakawin. Pohon gadung dapat dimasukkan kedalam keluarga tanaman rambat. Didalam kamus Old Javanese English Dictionary disebutkan jenis pohon ini memiliki a fragrant flowers and yields a tuber with narcotic properties (sejenis bunga yang wangi dan menghasilkan akar umbi yang mengandung narkotik) (Zoetmulder, 1982: 472). Dalam Arjunawijaya pupuh 31 bait 10, disebutkan tentang jenis pohon ini, tampo niwan panasih kilan sahalawan brem bras jagun mwan gadung (dan tampo, jampi-jampipengasih berupa sirup dan brem dan beras, dari ketan dan dari gadung). Tantular menjelaskan gadung d a p a t d i o l a h m e n j a di m i n um a n beralkohol yang disebut brem. Jenis minuman ini juga dapat diolah dari beras dan ketan (Supomo, 1977: 125; 225). Akar umbi gadung juga dapat dimasak keripik renyah yang bentuknya mirip seperti keripik kentang. Apabila
Pengaruh India dan Jawa
keripik gadung dimakan dalam jumlah yang banyak akan memabukkan. Pohon gadung yang memiliki sulur yang panjang sering digunakan oleh para kawi dalam gaya bahasa metafora untuk melukiskan pelukan atau rangkulan seseorang. Hal ini dapat dilihat dalam Arjunawiwaha pupuh 18 bait 11 lwir sambega ni lunggah ing gadung angolaken kayu ragas (seperti sulur pohon gadung yang memeluk pohon-pohon yang gersang) (Wiryamartana 1990a: 99; 155). Pupuh 20 bait 3 helan sahalawan rereb, kadi gadung lumung amilet asikapadana (seperti elang dan hujan gerimis, atau tanaman rambat gadung yang merangkul pohon asoka) (Supomo, 1977: 118; 215) Selain gadung didalam kakawin juga sering ditemukan tanaman pandan yang amat dikenal dalam dunia kuliner karena daunnya lazim digunakan orang sebagai pengharum makanan. Bunga dari tanaman pandan yang harum baunya disebut pudak, yang dapat digunakan sebagai alat tulis yang sering dikaitkan dengan penyair dan hasil karyanya (Zoetmulder, 1974: 135). Karena keharumannya, bunga ini sangat disukai oleh para penyair sebagai metafor beti seorang gadis. Bentuk kata pudak sering muncul dalam kelompok kata (frasa) yang lain seperti anak-anakan tinulis tikapened (GK. 10.9). Kelompok kata ini bermakna jenis tanaman pandanus yang lain. Bentuk frasa yang lain adalah pudak anak-anakan (campaka len wiraga winawa pudak anak-anakan penuh tika GK 11.14). Frasa ini mmepunyai arti boneka yang dibuat dari tanaman pandanus (Zoetmulder, 313). Teeuw (1969: 51) menyebutkan bahwa bunga pudak dalam kasusastraan Jawa
sering dianggap sebagai in the stocksituation where a lovelorn maiden nurses a pudak and addresses it as the child of her indifferent object of love: Wwanten manumbana pudak ginuritnya Partha. Nda-n suswa-suswani kinolnya hana n lininlin…… (Ada seorang wanita yang memeluk sambil membeli pudak dan menyanyikannya. Itu dianggapnya seperti Arjuna. Ia mencoba meletakkannya di dada, memeluk dan berkata padanya.
Tanaman lain yang sering muncul didalam kakawin adalah jenis tanaman bambu. Jenis tanaman ini disebutkan dalam beberapa kakawin dengan beragam nama. Seperti petung, pring atau wuluh. Dalam kakawin Gatotkacasraya disebutkan pada pupuh 4 bait 7 tentang tanaman petung yang biasa digunakan untuk memasak beras (bhukti mwan nasi matri sotan ini n anliwet-liweta ri wunbunin petung) (Wirjasuparta, 1960: 18). Selain itu, batang bambu yang panjang dapat digunakan sebagai saluran air di antara jurang satu ke jurang yang lain, seperti disebutkan dalam Smaradahana pupuh 21 bait 7 (Zoetmulder). Pohon bambu digunakan oleh beberapa penyair dalam kakawin mereka untuk menggambarkan berbagai macam bentuk perbandingan. Hal ini dapat dilihat dari dua contoh berikut ini: pertama, kata wuluh muncul didalam Arjunawijaya pupuh 22 bait 10, mar anras tan wuluh danta kawudan I leseh nin calumprin nikansah (batang-batang bambu yang menyedihkan, ia mengelupas, pelepah daun kering menghela nafas dalam-
147
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 dalam). Yang kedua terdapat dalam arjuna wiwaha pupuh 4 bait 4 kadyangrengo wuluh aghasa hatinya murcha (seperti mendengar gesekan pohon bambu yang menyebabkan mereka tertidur) (Supomo, 1977: 120; 218). Fauna Disamping beragam flora disebutkan dalam beberapa kakawin, terdapat juga fauna Jawa yang disebutkan. Mulai dari jenis fauna yang kecil seperti jenis insekta dan burung hingga binatang besar sperti kuda dan gajah. Dua jenis insekta seperti, bhramara (lebah) and larwa (laron) disebutkan dalam kakawin Gatotkacasraya dan Arjunawiwaha. Bhramara yang memiliki beberapa nama yang lain seperti kumbang 'kumbang', satpada 'binatang berkaki enam', madhubrata 'lebah madu', dan madhukara 'pengumpul madu (Zoetmulder, 1974: 202) Larwa yang dalam bahasa Jawa dan Indonesia disebut laron, sering muncul di musim penghujan. Laron dipercaya mengandung banyak protein, sehi ngga beberapa orang gemar mengkonsumsinya. Jenis burung seperti cucur, hayam, alas/ayam wana, mrak dan terguku merupakan jenis yang sering digunakan oleh para penyair dalam perumpamaan untuk menggambarkan keindahan alam. Menurut Zoetmulder (1982: 335) cucur adalah jenis burung kakatua jantan (calculus flavus) yang selalu digambarkan dalam bait bait kakawin 'jatuh cinta kepada rembulan'. Bait seperti ini dapat dijumpai pada kakwin Arjunawiwaha pupuh 18 bait 11, sang hyang lektumurun kamasihen anon cucur) Wiryamartana,
148
1990a: 155). Hayam alas dan ayam wana adalah jenis ayam hutan yang disebutkan dalam Gatotkacasraya pupuh 5 bait 13 ramya macanginger hayam alasnya…… (ayam hutan berkokok dengan ramainya…..”. dalam Bharatayudha pupuh 6 bait 1 lwir wuwus in winipanca papetak in ayam wana rin pakagan (kokokan ayam hutan di kandang burung seperti sebuah suara kesengsaraan). Keindahan bulu burung dan suara mrak 'burung mrak' sering dipilih oleh para penyair untuk menggambarkan berbagai bentuk pemandangan yang indah. Dalam Negarakertagama 91.3, Prapanca membandingkan suara merdu raja Hayam Wuruk dengan burung ini, gita narendra….. / mrak manawuwwang ing padapa tulya nika ring alango (suaranya mirip dengan suara burung merak) (Zoetmulder: 200; 539). Burung treguku 'terkukur” atau derkuku dalam bahasa Jawa muncul dalam kakawin Gatotkacasraya pupuh 10 bait 6. Sedangkan jenis binatang yang besar seperti gajah (aswa) dan (kuda) juga sering muncul didalam Kakawin Gatotkacasraya. Kedua jenis binatang ini biasa dijadikan alat transportasi oleh keluarga kerajaan dan bala tentaranya. Mereka disebutkan pada pupuh 13 bait 11: Kunan para strihaji rin rathahalep Watek suputra prasamahawan kuda Narendra kalih pwa gajendrawahana Hara dulur mwan Hari kapwa rehnira
(Gh 13.11) Wirjosuparta, 1960: 30) Simpulan Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa puisi Jawa kuna, yaitu kakawin, mendapat pengaruh India dan Jawa.
Pengaruh India dan Jawa
Pengaruh India dapat dilihat dari bentuk bahasa, struktur dan isi kakawin. Bahasa kakawin yang menggunakan bahasa Jawa Kuna, terutama kosa katanya banyak berasal dari bahasa Sansekerta. Sedangkan struktur kakawin yang berbentuk puisi dipengaruhi oleh metrum-metrum India yaitu dari kawya. Dan kawya ini juga mempengaruhi isi kakawin yang tersusun oleh unit-unit naratif. Pengaruh Jawa didalam kakawin dapat dikenali dari seting cerita yang menunjukkan dunia dimana para penyair kakawin lahir dan tinggal yaitu di tanah Jawa. Latar Jawa ini dapat dilihat dari gambaran alam dengan segala isinya yaitu flora dan fauna Jawa. Kedua pengaruh ini diramu begitu rupa dengan indahnya oleh para panyair kakawin sehingga keindahan bentuk puisi ini menjadikannya sebagai bentuk karya sastra terbaik pada masa Jawa Kuna. Untuk dapat memahaminya pembaca harus membekali diri dengan pemahaman bahasa, struktur, dan isi kakawin serta pengetahuan tentang flora dan fauna Indonesia khususnya Jawa agar dapat memahami bentuk-bentuk metafor yang digunakan oleh para penyair.
DAFTAR PUSTAKA Hooykaas, C. 1958. The Old-Javanese Ramayana Kakawin; an Examplary Kakawin as to Form and Content, VKA. 56.1. Sarkar. H. B. 1970. Some Contribution of India to the Ancient Civilization of Indonesia and Malaysia. Calcutta: Punthi Pustak. Sircar, C.C. 1970. “Indian Influence on The Geographycal Names of South-East Asia” In India'a Contribution to World Thought and Culture. Madras: Vivekananda Rock Memoria Committee. Supomo, S. 1977. Arjunawijaya; A Kakawin of mpu Tantular. The Hague: Nijhoff. 2 vols. (KITLV, Bibliotheca Indonesica 14). -------------- 1993. Bharatayudha. An Old Javanese Poem and its Indian Source. New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Pakshan. Teeuw, A and others (Th. P. Galetsin, S.O. Robson, P.J. Worsley and P.J. Zoetmulder. 1969. Siwaratrikalpa of mpu Tanakun: an Old Javanese Poem, its Indian Source and Balinese Ilustrations, BI 3. Wirjosuparta, Sutjipto. 1960. Kakawin Gatotkacasraya: Tjerita Lakon dalam bahasa Kawi. [PhD thesis Universitas Indonesia].
149
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwaha; Transformasi teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University. Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan; A Survey of Old Javanese Literature. The Hague: Nijhoff. [KITLV, Translation Series 16]. ----------------- 1982. Old Javanese English Dictionary. The Hague: Nijhoff.
150
TUBUH PEREMPUAN SEBAGAI MEDAN PERTARUNGAN KUASA: ANALISIS TERHADAP CERPEN "JANGAN MAIN DENGAN KELAMINMU" Maimunah Abstract After tlie New Order era, tlie representation of female sexuality lias become a main theme in Indonesian literary texts. Ayu Utami's writing Saman (1988) has pioneered and deconstructed this taboo subject. A paradigm shift has occurred since many young female Indonesian authors reveal bravely a positive representation of women's sexuality. It is important to note that Saman also promoted awareness of equal rights for women to celebrate their body as well as their sexuality. Djenar Mahesa Ayu is one of famous young female Indonesian authors who was awarded successfully a KOMPAS prize in 1998. Jangan Main-Main dengan Kelaminmu is, one of her writings that portrays a wife resistance against her husband oppression and betrayal. How women's body can be a power struggling site is the main theme which was acclaimed as a masterpiece. Keywords: Power, Sexuality, Body Politics
Pengantar Dunia sastra Indonesia pasca Orde Baru marak dengan fenomena hadirnya penulis -penul is perempuan yang membawa genre baru. Perempuan tampil membawakan suara dan aspirasi mereka yang selama ini didominasi penulis lakilaki. Ayu Utami dengan karyanya Saman (1998) dinilai sebagai pelopor munculnya "sastra perempuan'yang diikuti oleh Pjenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Dinar Rahayu, FiraBasuki dan lain-lain. Seksualitas perempuan menjadi tema utama mereka. Satu hal yang selama hampir 30 tahun ini dianggap sebagai tabu nasional. Kesadaran bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menikmati tubuh dan seksualitasnya adalah salah satu ciri yang membedakan apa/siapa? Dengan penulis perempuan
*)
generasi sebelumnya. Melani Budianta (2003:104) menguraikan fenomena ini sebagai buah dari gerakan feminisme yang menunjukkan bahwa semua orang termasuk perempuan berhak atas tubuhnya. Tubuh bukan lagi sesuatu yang tabu tetapi sesuatu yang positif, di mana perempuan juga berhak menikmati dan mengapresiasi bagian yang terdekat, yaitu tubuhnya sendiri. Berbeda dengan wacana lama yang menekankan fungsi tubuh sebagai alat reproduksi, generasi muda ini bergerak lebih jauh bahwa perempuan berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Jangan Main-Main dengan Kela minmu adalah cerita pendek Djenar yang mencoba mendekonstruksi wacana tubuh dan seksualitas perempuan yang selama ini menempati posisi sebagai pelengkap
Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlangga, tlp 031-5035676
151
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 dari seksualitas laki-laki. Djenar adalah penulis muda yang berhasil memenangkan Cerpern Terbaik Pilihan KOMPAS 2003 dengar cerpennya "Waktu Nayla". Tulisan ini mencoba menjawab bagaimana tubuh perempuan sebagaimana yang terepresentasi dalam cerpen menjadi arena pertarungan kuasa. Relasi Tubuh dan Kuasa Kajian tentang tubuh manusia telah berkembang sejak zaman Yunani kuno yang menyatakan bahwa tubuh adalah kuburan bagi jiwa (the body is the tomb of the soul). Pada masa Romawi, studi tubuh bergeser yang tidak lagi memandang tubuh secara negatif tetapi menganggapnya sebagai bagian dari kosmis. Masa Renaissance menggulirkan gagasan bahwa tubuh bukan lagi musuh yang harus diperangi tetapi sesuatu yang indah, personal, dan sekuler. Abad ke-20, tubuh menjadi topik yang dominan dalam ilmu Humaniora terutama Antropologi. Pandangan revolusioner pertama kali dicetuskan Margared Mead yang melihat tubuh s eb ag ai al at untuk m enganal is a rnasyarakat. Mead percaya pola pikir masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (Lazuardi,1999:1). Perang Dunia I yang menyisakan berjuta korban yang mengalami trauma fisik dan mental menyadarkan manusia un t uk m e n gg al i k em b al i h ar ka t kemanusiaan justru melalui tubuh. Tubuh menjadi suatu 'proyek' besar manusia (Mohamad, 2000 : 5). Wacana tentang tubuh dalam relasinya dengan kekuasaan (pouvoir) merupakan salah satu tema yang intens digeluti oleh Michel Foucault. Dalam
152
hampir semua bukunya, seperti L'Histoire de la Sexualite (1975), Surveiller et Punir (1976), dan La Naissance de la Clinic, tubuh dan seksualitas dikaji Foucault secara historis. la berkesimpulan bahwa kekuasaan berakar atas tubuh bahkan dalam Iingkup yang sangat kecil. Tubuh, menurut Foucault, merupakan lokus paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasi- nya relasirelasi kuasa dalam masyarakat modern . Dalam skema yang lebih luas, tubuh dapat pula dilihat sebagai tempat dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro mempertautkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan. Tubuh dengan demikian bukanlah sekedar tubuh jasmaniah atau badaniah. la sesungguhnya merupakan basis pemaknaan manusia dengan lingkungannya (Suyono, 2002 : 200). Anthony Synnott mengibaratkan tubuh sebagai 'spon' dalam kemampuannya menyerap makna, sehingga bernuansa politis. Identitas tubuh dan diri diilustrasikan paling jelas oleh perubahan tubuh. Konsep diri bisa berubah seringkali secara dramatis, pada saat terjadi perubahan pada tubuh seperti pubertas, kehamilan, dan menopause. Dengan kata lain, tubuh kaya akan simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik, ekonomi, dan seksual (Synnot, 2003 : 11). Kekuasaan dalam keyakinan Foucault tidak terpusat pada satu titik tetapi tersebar, bukan pula suatu institusi tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategi kompleks dalam suatu masyarakat denga cara, manuver, dan mekanisme kontrol tertentu. Kekuasaan yang sempurna memperlihatkan bahwa
Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan Kuasa ...
aktualitas pelaksanaannya semakin tidak diperlukan lagi, tetapi efeknya dirasakan. Disiplin dan norma menjadi konsep kunci untuk memahami tehnik kekuasaan yang membidik kepatuhan. Sasaran disiplin adalah tubuh: disiplin untuk mengekspresi dan mendidik. Dengan mengadopsi model penjara Panoptikan a la Jeremy Bentham, Foucault meny impulkan bahwa efek dari pengawasan terhadap tubuh adalah perasaan terus menerus diawasi. Foucault juga mengingatkan bahwa kekuasaan selalu melahirkan resistensi (Haryatmoko, 2002:10-12). Salah satu sumbangan Foucault terhadap feminisme adalah pandangannya yang kritis terhadap konsep 'kebenaran' sebuah tradisi sehingga memberi peluang bagi kaum feminis untuk menggunakan metodenya dalam membongkar diskriminasi gender (Sudiarja, 2003 : 47). Demikian pula sumbangan pemikiran Foucault tentang bahasa dan kekuasaan. Melawan dominasi kekuasaan haruslah dengan menjadi 'subyek yang berbicara'. Berangkat dari kondisi psikologis dan biologis ini, lack of power atau kelangkaan kekuasaan yang dialami perempuan harus dilawan dengan strateginya yaitu berbicara. Diam dan secrecy (bungkam) menjadi shelter yang aman bagi kekuasaan (Jurnal. Perempuan, 1999 :32). Karena itu perempuan harus menjadi subyek yang berbicara, menyuarakan pikirannya. Perempuan, dalam pandangan Helene Cixous dan Julia Kristeva, harus berani menulis untuk memecah kebisuan teks. Menulis dengan ecriture feminine karena tulisan laki-laki merupakan tulisan phallogosentrik yang seringkali meminggirkan perempuan
(Arivia, 2003 : 129). Memaknai “Jangan Main-Main dengan Kelaminmu” Cerpen Jangan Main-Main dengan Kelaminmu karya Djenar menampilkan lima bagian teks yang hampir mirip dan impersonal tanpa menyebutkan identitas tokohnya. Identifikasi pembaca terhadap tokoh t dan penokohan berdasarkan perbedaan pemakaian kata ganti orang pertama yaitu 'saya' dan kata ganti orang ketiga yaitu 'kami', dan 'mereka', dan 'a'. To k o h j u g a d i b e d a k a n berdasarkan identitas seksual 'pria' dan 'wanita'. Identitas seksual 'pria' dan 'wanita' ini terbingkai dalam sebuah perkawinan sehingga menciptakan kategori gender 'suami' dan 'istri' serta 'wanita simpanan'. Seksualitas dan gender tokoh-tokoh ini yang kem ud ian ditempatkan pengarang sebagai oposisi biner yang menempatkan dua polar yang berlawanan. Pria (suami) dan wanita (istri/wanita simpanan) serta seorang teman sebagai tokoh antara di tengah tokoh-tokoh tersebut. Pemaknaan cerpen ini berdasarkan interaksi keeempat tokoh ini beserta teks mereka masing-masing. Teks bagian pertama mendes kripsikan hubungan perselingkuhan yang sudah berlangsung lima tahun. Dengan wacana masing-masing, semua tokoh menyatakan bahwa hubungan itu tidak semata hasrat seksual karena mereka merasa tahu-aturan main. Teks bagian kedua lebih rinci mendeskripsikan alasan dari perselingkuhan itu dan dengan argumentatif menempatkan tubuh sebagai "proyek" yang memiliki tujuan dan strategi tertentu. Tubuh menjadi fokus di mana setiap kepentingan dan strategi
153
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 mulai disebar. Teks bagian ketiga merupakan klimaks karena sang istri ternyata hamil. Pada bagian ini terlihat pluralitas teks yang menarik. Masing-masing tokoh bergerak lebih jauh dengan memperlihatkan reaksi dan permainan dari strategi berikutnya. Teks bagian keempat menjadi penyelesaian dari klimaks. Teks dari sang suami melemah sementara teks kedua perempuan (is tri /wanit a si mpanan) s emaki n menunjukkan karakter yang kuat dan resistensinya terhadap kuasa tokoh suami. Teks bagian kelima kunci dan kesimpulan dari keseluruhan teks. Kedua tokoh wanita itu meninggalkan tokoh suami. Tubuh Perempuan Tokoh suami dideskripsikan sebagai seorang laki-laki yang mapan dan merasa kecewa dengan tubuh istrinya yang tidak lagi segar dan menarik. Lima tahun perkawinan itu menempatkan tokoh suami seakan dalam penjara yang membelenggu karena hidup bersama seorang istri yang membebaninya. Tubuh dalam pandangannya adalah faktor utama yang menentukan kepuasan dan citra diri sebagai seorang laki-laki. Mitos kecantikan dan keindahan menjadi alasannya untuk memiliki wanita simpanan yang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki istrinya : muda, segar, dan cantik. "Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan onggokan daging itu dari lemak-lemaknya. Dan kerut-kerut di sekitar mata, kening, dan lehemya, hanya dapat tertolong oleh bedah plastik. Kalau hanya akupuntur, entah berapa juta jarum yang hams ditusukkan supaya dapat mengembalikan ke kekencangan semula"
154
(hlm. 56). Jika tokoh suami memiliki tuntutan tinggi terhadap tubuh, tokoh wanita- simpanan dideskripsikan sebagai sosok yang memiliki kesadaran menjaga dengan baik tubuh dan penampilannya. Tubuh dan seksualitas merupakan aset utama yang harus dijaga karena bernilai ekonomis. Kebanggaan terhadap tubuh diekspresikan dengan merayakan seksualitasnya dengan riang. "Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan? ...Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat" (hlm. 56). Sementara itu, di kutub yang lain berdiri sang istri yang hampaknya menyadari dan mulai mengikuti senam, kebugaran sesuai yang diharapkan sang suami. Tokoh istri direpresentasikan sebagai ibu rumah tangga yang cerewet terhadap pembantunya. Ia memiliki alasan tersendiri bahwa kesibukannya mengurus rumah tanggalah yang menjadi biang tubuhnya tidak lagi menarik. Pengorbanan kehilangan tubuh indah dengan mengurus rumah tangga justru dibalas sang suami dengan perselingkuhan. Pada tahap ini terlihat bagaimana tokoh-tokoh tersebut memiliki apresiasi yang berbeda tentang tubuh. Tubuh, dengan cara yang berbeda, dimaknai berdasarkan kepentingan dan strategi tertentu. Tubuh bagi suami menjadi legitimasi dari perselingkuhannya. Sedangkan bagi wanita simpanan, tubuh menjadi sarana yang bernilai ekonomis. Tubuh sebagai bagian dari kepatuhan menjadi alasan sang istri mengikuti senam dan akupuntur karena ia mengetahui perselingkuhan sang suami.
Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan Kuasa ...
Tubuh sebagai relasi kuasa Tubuh sebagai arena kuasa terlihat terutama dari relasi suami, istri, dan wanita simpanannya yang sejak awal dihadirkan Djenar melalui kalimat pembuka "saya sangat tahu aturan main" (hlm....). Teks dari tokoh suami ini mengisyaratkan sebuah permainan yang tidak ringan, yaitu aktivitas seksual. Struktur kuasa yang hierarkis memperlihatkan tokoh suami sebagai yang berkuasa dan istri serta wanita simpanan sebagai yarig dikuasai. Suami dalam hal ini berperan sebagai pemegang otoritas terhadap tubuh istrinya. la mengontrol perkembangan tubuh yang dinilainya sebagai seonggok daging yang menjijikkan. Perempuan dalam sistem patriarkhi dilihat sebatas images (citracitra) yang merupakan representasi fisik semata. Seksualitas perempuan didefinisikan secara eksklusif oleh lakilaki. Kate Millet menyebutnya sebagai Sexual Politics (Pearce, 1989: 19) dimana obyektivikasi tubuh perempuan dan representasi seksual perempuan dilihat dari perspektif laki-laki. Pada kutub yang lain, tokoh wanita simpanan memainkan strategi yang berbeda. Disamping alasan ekonomis, ia nampaknya juga memiliki mekanisme dari manuver yang cerdik dalam memainkan aktivitas seksualnya. Sebagai seorang perempuan yang diakuinya juga akan melewati masa-masa kritis itu, tokoh ini menyadari bahwa suatu hari nanti akan mengalami hal yang sama (him. 56). Namuh' ia merasa diuntungkan oleh waktu dan kemudaan yang dialaminya. Tokoh istri sebagai 'terdakwa' berada pada pihak yang
dependen/tergantung secara ekonomis pada sang suami. Ia tidak memiliki posisi bargaining yang seimbang sehingga terkesan membiarkan hubungan perselingkuhan suaminya selama hampir lima tahun. Tubuh yang tidak lagi menarik itu seakan dijadikan politics of blame (politik kambing hitam) oleh si suami terhadap perselingkuha'nnya. Tokoh istri menjalani proses 'disiplinisasi' dan 'normalisasi' melalui senam serta akupuntur untuk tetap memelihara ketundukan itu. Melalui pendisiplinan ini, tubuh si istri dikontrol agar sesuai dengan citra ideal tubuh perempuan sebagaimana yang dimitoskan sang suami. "Karena saya sudah terbiasa melihat dan menikmati keindahan. Tubuh tinggi semampai. Kaki belalang. Rambut panjang. Leher jenjang. Pinggang bak gitar. Dan buah dada besar" (hal 57). Perselingkuhan itu dapat dimaknai sebagai sebuah 'punish' (hukuman) yang diterapkan oleh si suami yang merasa bahwa tubuh istrinya tidak lagi patuh yaitu dengan membiarkannya tidak menarik lagi.Pada bagian ini terlihat bagaimana relasi seksual suami-istri itu sangat tidak seimbang. Tokoh istri seakan tidak punya pilihan lain kecuali sebagai pemenuhan kewajibannya sebagai istri. "Padahal jarang sekali ia menyentuh saya. Benar-benar hanya sekali dalam tiga bulan, bahkan tidak jarang sampai lima bulan. Itupun dengan lampu yang dipadamkan, dan matanya pun selalu terpejam. Seolah-olah ia sedang tidak bersama saya. Ia sedang berada di dunia lain dan tidak mau berbagi dengan saya" (hlm. 57). Dari teks ini terlihat bagaimana relasi seksual dan kuasa itu berlangsung. Pada teks bagian keempat,
155
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 prosedur aktivitas seksual suami/istri itu dijabarkan pengarang dengan lebih rinci. Tokoh suami merasa heran dengan kehamilan istrinya sementara ia merasa terpaksa melakukannya. "Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun karena kasihan. ]uga dengan ritual, terlebih dulu minum ginseng supaya ereksi. Juga dengan catatan, lampu harus mati dan mata terpejam" (him. 57). Statemen tokoh suami ini menunjukkan bahwa aktivitas seksual itu bersifat mekanis. Relasi seksual yang tidak seimbang itu juga sekaligus memperlihatkan bagaimana tokoh suami menguasai sepenuhnya tubuh sang istri. Tubuh perempuan menjadi milik laki-laki. Tubuh perempuan dikonstruksikan dan menjadi pihak yang harus dinikmati, baik secara fisik maupun emosional. Melalui proses inilah, pembaca bisa mengenali karakter setiap tokoh sebagai, individu. Individu yang dalam segala aktivitasnya saling mengawasi dan saling menegosiasi strategi masingmasing. Foucault menjabarkan lebih lanjut bahwa semakin tubuh individu diketahui, semakin ia bisa ditaklukkan. Semakin individu ditaklukkan, semakin ia diketahui. Tubuh dan seksualitas dalam hal ini memiliki prosedur pengelolaan dimana kuasa ditambatkan. Pengelolaan seks dalam lembaga perkawinan dan institusi keluarga dapat menjadi model bagaimana relasi kuasa berlangsung. Hubungan perkawinan merupakan wilayah tempat berbagai tekanan paling dirasakan (Foucault, 2000 : 45). Tubuh dan resistensi kekuasaan Dominasi yang menyeluruh adalah sesuatu yang mustahil karena
156
kuasa bukan benda yang dimiliki dan bebas digunakan seenaknya. Kekuasaan selalu melahirkan resistensi. Dalam hal ini, Foucault meyakini adanya relasi yang erat antara Pouvoir (power) dan Savoir (knowledge) yakni bahwa kekuasaan terartikulasi dalam pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan terartikulasi dalam kekuasaan. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa untuk mengetahui produksi kekuasaan kita sekaligus harus menyelidiki produksi pengetahuan yang melandasinya (Aditjondro, 1994 : 60). Resistensi terhadap kuasa tokoh suami dihadirkan pengarang baik melalui tokoh istri maupun tokoh wanita simpanan. Resistensi tokoh istri terlihat ketika ia hamil dan menyadari perlakuan sewenang-wenang suaminya selama ini. Ia merasa berhak menentukan dan memilih kebahagiaan sendiri. Meninggalkan sang suami adalah resistensinya terhadap kekuasaan sang suami. "Mungkin saya terlalu lama merendahkan diri saya sendiri dengan membiarkannya menginjak-nginjak harga diri saya selama pernikahan kami. Tapi jangan harap ia bisa melakukan hal yang sama kepada anak saya. Sudah saatnya saya menentukan dan memilih kebahagian saya sendiri " (him. 57). Analogi yang menarik disini terlihat bagaimana seorang ibu tidak menginginkan anaknya mengalami nasib yang sama dengan sejarah hidupnya. Sejarah dan anak dianalogikan berada dalam garis yang sama. "Kemerdekaan" lepas dari marginalitas sang suami berarti ter bentuknya sejarah baru, suatu proses pengindentifikasian yang baru danlebih baik. Resistensi juga dilakukan tokoh
Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan Kuasa ...
wanita simpanan yang juga meninggalkan tokoh suami. Dengan argumentasi yang berbeda, ia meragukan kebenaran cerita laki-laki simpanannya. "Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu yang terbuang lianya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya bisa bergumam, tapi saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri" (him. 57). Teks ini juga menjadi bukti sekaligus menegasi teks sebelumnya- bahwa perselingkuhan itu tidak semata-mata karena faktor ekonomi. Plurailitas teks pada bagian ini merupakan reaksi dari permainan strategi atau kuasa tokoh suami. Harga diri dan hak untuk menentukan kebahagiaan sendiri menjadi pertimbangan utama dalam meresistensi kekuasaan. Meninggalkan laki-laki itu adalah strategi berikutnya yang mereka lakukan. Hal ini juga dapat dimaknai bahwa faktor ketergantungan ekonomi bagi kedua perempuan itu bukanlah penghalang untuk sebuah independensi. Kontradiksi dalam teks Teks cerpen "Jangan Main-Main dengan Kelaminmu" juga menarik untuk dianalisis untuk melihat pertarungan sekaligus kontradiksi di dalamnya. Dari sisi penokohan misalnya, Djenar nampaknya ingin menciptakan tokoh wanita yang berusaha mendekontruksi wacana tentang seksualitas perempuan yang selama ini dimarjinalkan. Dalam hal ini tujuan ini tercapai karena dibalik dependensi tokoh istri terhadap suaminya, ia berani mengambil keputusan radikal dengan meninggalkan suaminya. Kalimat kunci "I'm leaving you" (hlm. ...) mungkin
secara tepat mewakili hal ini. Namun dari sisi karakter, stereotip bahwa perempuan pasif belum sepenuhnya berhasil dihindari. Kedua tokoh perempuan merupakan sosok yang pasif dan baru bereaksi ketika terjadi perubahan besar pada tubuh perempuan, yaitu kehamilan tokoh istri. Obyektifikasi seksual itu cenderung dibiarkan berlangsung selama lima tahun "Tapi saya hamil, saya akan memberikannya seorang anak. Mungkin perkawinan kami bisa terselamatkan dengan kehadiran anak kami kelak" (him.57). Reaksi yang hampir terlambat ini dapat bermakna jamak. Pertama, kedua tokoh perempuan menikmati dan terhegemoni dalam 'main-main yang serius' ini. Kedua, kehadiran anak lah yang kemudian memghentikan perselingkuhan itu. Memanfaatkan metafora keibuan ini terlalu lemah sebagai sebuah alasan resistensi dan justru merusak karakter perempuan yang ingin lepas dari hegemoni pliallosentrisme. Kontradiksi ini juga menyiratkan pola dan bias phallosentrisme yang sebenarnya ingin didobrak. Plwllosentrisme adalah sistem yang mengekang atau mengeksploitasi tubuh perempuan (Budianta, 2003 : 44). Kedua tokoh perempuan tetaplah the second sex, warga kelas dua yang hidup dalam dan untuk fantasi seksual laki-laki. Karakter ini sangat berbeda dengan tokohtokoh perempuan ciptaan Pramoedya serta Mangunwijaya yang perkasa dan memberdayakan. Kontradiksi lain dapat dijumpai dalam judul "Jangan Main-Main dengan Kelaminmu". Judul ini dapat dibaca sebagai warning baik kepada tokoh suami
157
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 maupun wanita simpanannya yang telah 'bermain api' selama lima tahun. Kelamin dengan demikian tidak dipandang rendah bahkan menjadi sesuatu yang sangat penting dibanding anggota tubuh yang lain. Hal ini didukung oleh statemen tokoh suami "Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya" (hal 57) yang bermakna pengagungan pada phallus sebagai simbol kekuasaan. la memproteksi dengan ketat anggota tubuh sekaligus indra penciuman dan penglihatan dari segala sesuatu yang dianggapnya tidak estetis ("Lampu harus mati dan mata terpejam"). Demikian pula, teks yang diproduksi tokoh suami yang secara keseluruhan berisi tuntutannya yang tinggi terhadap tubuh perempuan. Sementara dalam teks, kedua tokoh perempuan tidak ditunjukkan secara argumentatif bahwa tokoh laki-laki memiliki kriteria ideal tubuh seorang lakilaki. Teks dengan demikian tidak memberi porsi yang cukup bagi seksualitas perempuan yang berdaulat dan tetap menunjukkan konstruksi phallosentris yang kuat. Demikian pula jika narasi ini dilihat dari alasan tokoh suami menghentikan perselingkuhan itu. Kalimat penutup "Saya hanya main-main, Ma.. .saya cinta kamu. Beri kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya." (hlm. 57) menjadi kurang argumentatif jika dikaitkan dengan karakter tokoh suami yang begitu memuja idealisasi tubuh perempuan. Dalam hal ini, Djenar kurang mampu menghadirkan secara argumentatif perubahan karakter sehingga memunculkan wacana yang kontradiktif. Bagaimana mungkin tokoh laki-laki yang sedemikan mengagungkan
158
idealisasi tubuh perempuan justru berbalik ketika tubuh istrinya semakin tidak menarik akibat kelahiran? "Kehamilan itu tidak membuat saya bahagia, Kehamilan itu justru membuat saya bingung, Apakah memang saya ditakdirkan untuk selamanya terperangkap dalam onggokan daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng, hanya karena terlanjur dikaruniai seorang anak?" (hlm. 57). Jika anak adalah simbol dari pengagungan terhadap kehidupan, kalimat'main-main' dimain-mainkan Djenar dengan serius. Penutup Tub uh d e nga n de miki an merupakan proyek besar bagi seseorang. Ia terus menerus dikonstruksi dan direkonstruksi. Tubuh adalah medium dimana kekuasaan saling menegosiasi. Walaupun teks cerpen ini tidak secara nyata menghadirkan bagaimana tubuh perempuan menjadi senjata untuk meresistensi kekuasaan laki-laki, namun kalimat "I'm leaving you" bisa ditafsirkan secara simbolis sebagai upaya untuk meruntuhkan hegemoni patriarkhi. Dihubungkan dengan teori Foucault tentang panoptikan, tokoh istri menjadi 'tawanan' sementara sang suami adalah pengawasnya. Di bawah kontrol disiplinisasi (surveiller) terhadap tubuh dan seksualitasnya, tokoh suami menempatkan sang istri dalam 'rumah kaca' dengan mengawasi gerak-geriknya. Perasaan terus menerus diawasi ini memenjara buruannya dalam rumah kaca yang tidak terlihat. Namun, mekanisme kontrol menjadi lepas kendali ketika tubuh istri mengalami proses feminitas, yaitu hamil dan melahirkan. Feminitas kemudian membalik struktur kuasa di
Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan Kuasa ...
tangan istri sekaligus pada saat yang sama feminitas menjadi titik balik perubahan identitas diri bagi kedua tokoh perempuan. Hal ini berbeda dengan tesis Foucault bahwa semakin tubuh diketahui, semakin ditaklukkan. Kedua tokoh perempuan justru sebaliknya. Dengan mengenali tubuh, mereka memainkan strategi atau kekuasaan dengan cara yang lain. Tubuh dengan caranya yang lain menjadi perantara untuk resistensi. Seksualitas-termasuk seksualitas perempuan- dengan demikian bukanlah wacana yang bebas nilai. Ia multi interpretasi, tergantung dari mana kita menilainya. Dan sastra adalah medium yang tepat untuk itu. Membaca tulisan Djenar sebagai penulis perempuan yang mencoba menjadi subyek yang berbicara dapat dimaknai bahwa menulis bukan hanya merupakan upaya merepresentasikan bagaimana tubuh perempuan diperlakukan, namun juga pada saat yang sama bagaimana kehidupan dijalani didalamnya. Menempatkan seksualitas perempuan den gan sega l a konse kuens i da n kontroversinya - sebagai wacana yang dialogis dan terbuka nampaknya merupakan 'spirit' yang dibawa Djenar.
DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George Junus. 1994. "P engeta huan/ Penget ahua n Lokal yang Tertindas" dalam Jurnal KALAM edisi khusus Postmodernisme. Jakarta: Yayasan KALAM.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Ayu, Djenar Maesa. 2003. "Jangan MainMain(dengan Kelaminmu)" dalam Jurnal BASIS edisi Sex. No 03-04 Maret-April. Yogjakarta: Kanisius. Budianta, Melani. 2003. "Merekam Penulis Perempuan dalam Sejarah Kesusatraan" Waw an c ar a da l a m Ju r n a l Perempuan edisi 30. Jakarta. ______. 2003. "Libido, Phallosentrisme, dan Seksualitas Perempuan" dalam Jurnal Srinthil. Jakarta: Desantara. Foucault, Michel. 2000. L'Histoire de la Sexualite. Diterjemahkan Rahayu S Hidayat. Jakarta: Gramedia. H a r y a t m ok o . 2 0 0 2 . " K e k ua s a a n Melahirkan Anti Kekuasaan" dalam Jurnal BASIS edisi khusus Foucault. No 01-02 JanuariFebruari. Yogjakarta: Kanisius. Jurnal Perempuan. 1999. "Foucault dan Feminisme" dalam Jurnal Perempuan, edisi XII. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Lazuardi, Luna. 1999. Studi Tubuh. News Letter KUNCI Cultural Studies edisi 1 Juni 1999. Yogyakarta: KUNCI Cultural Studies. Mohamad, Goenawan. 2000. "Tubuh, Melankoli, Proyek" dalam Jurnal
159
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 4, No.2 Juli - Desember 2008: 83 - 160 KALAM edisi Menguak Tubuh. Jakarta: Yayasan KALAM. Pearce, Lynne. 1989. "Chapter One: Sexual Politics" dalam Feminist Readings/Feminists Reading. London: Harvester-Wheatsheaf . Sudiarja. A. 2003. "Michel Foucault dalam Sejarah Seksualitas". Dalam Jurnal BASIS edisi 03-04, M a r e t - A p r i l . Yo g j a k a r t a : Kanisius. Suyono, Seno Joko. 2002. Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault Atas Dasar Pembentukan Kelas Menengah Eropa. Yogjakarta: Kanisius. Synnot, Anthony. 2003. The Body Social, diterjemahkan Yudi Santoso. Yogjakarta:Antariksa Jalasutra.
160
Ucapan Terimakasih
Mozaik, Jurnal Ilmu Humaniora dikelola oleh Unit Penelitian, Publikasi dan Dokumentasi Fakultas ilmu Budaya Universitas Airlangga. Sebagai jurnal yang menitikberatkan kajian-kajian ilmu-ilmu kemanusiaan dan kebudayaan, Mozaik memang mengalami kesulitan dalam meletakkan satu kajian utama, misalnya bahasa saja atau sastra saja sebaga fokus utama tulisan. Karenanya, Mozaik selalu berisi beragam kajian yang rumah besarnya adalah ilmu humaniora. Selanjutnya, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada mitra bestari yang selalu siap mendampingi jurnal ini untuk lebih baik dan lebih berkualitas dalam setiap artikel yang diterbitkan. Secara khusus, ucapan terimakasih ini kami berikan kepada Prof. Dr. Ayu Sutarto, Prof. Dr. Armada, dan Prof. Dr. Kisyanti yang telah meluangkan waktu untuk memberikan catatan dan saran terhadap artikel-artikel yang dikirimkan ke jurnal Mozaik. Catatan-catatan mitra bestari cukup penting demi perbaikan kualitas dan content tulisan dalam edisi kali ini.