1
DAFTAR ISI Kata Pengan tar Pendah uluan BAB I BAB II BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI BAB VII
BAB VIII BAB IX BAB X
………………………………………… ……………………….
…… ……V
………………………………………… ………………………. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA…… TINDAK PIDANA
…… ……1 …… ……4 …… …..14
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)……………………… ………………………... SIFAT MELAWAN HUKUM (RECHTSWDRIG, UNRECHT, WEDERRECHTELIJK, ONRECHMATIG)….. KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA……………………………… ………………………... KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORATZ)… KEALPAAN (CULPA)……………………………… ………… KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN………….. PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)… PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)………………………
…… …..25 …… …..33 …… …..41 …… …..49 …… …..61 …… …..67 …… …..69 …… …..79
2
BAB XI BAB XII
BAB XIII
BAB XIV
BAB XV SOAL UJIAN
PENYERTAAN……………………… ………………………... GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP/ CONCURSUS)……………………… ……………………….. ALASAN/DASAR PENGHAPUS PIDANA (STRAFUITSLUITINGSGROND, GROUNDS OF IMPUNITY)…………………………… ………………………. GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA……………………………… ……….. R E S I D I V E ( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)………. ………………………………………… ……………………………
…… …..94 …… …111
…… …118
…… …128 …… …140 …… …142
3
BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendirisendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Perlunya pemahaman terhadap teori-teori serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan agar peserta Pendidikan dan Pelatihan
4
pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.
II. DESKRIPSI SINGKAT Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
III. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Intruksional Umum Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana.
5
B. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana. IV. POKOK BAHASAN a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana. b. Tindak Pidana. c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat). d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig). e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz). g. Kealpaan (culpa). h. Kesalahan dalam delik pelanggaran. i.
Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
j.
Percobaan (poging, attempt).
k. Penyertaan. l.
Penggabungan tindak pidana (samenloop / concursus).
6
m. Alasan / dasar penghapus pidana (straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.) n. Gugurnya kewenangan menjalankan pidana.
menuntut
dan
V. FASILITAS / MEDIA Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain : a) b) c) d)
Modul asas-asas hukum pidana; Internet; Peraturan perundang-undangan; Literatur yang terkait.
7
BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. RUANG
BERLAKUNYA
HUKUM
PIDANA
MENURUT WAKTU Penerapan hukum pidana atau suatu perundangundangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum
pidana
menurut
waktu
menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu
8
aturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang
dengan
maksud
semata-mata
untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan
kebebasan
orang
lain
dan
untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen
zwang
(paksaan
psikologis)”
9
dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar : -
Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
-
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
-
Nullum
crimen
perbuatan
sine
pidana
poena tanpa
legali
(tiada
undang-undang
pidana yang terlebih dulu ada) Adagium ini menganjurkan supaya : 1) Dalam
menentukan
perbuatan-
perbuatan yang dilarang di dalam peraturan macamnya
bukan
saja
tentang
perbuatan
yang
harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga
macamnya
pidana
yang
diancamkan; 2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih
10
dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya
jika
nanti
betul-betul
melakukan perbuatan; 3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. melakukan dilarang, menyetujui
Andaikata juga maka
dia
ternyata
perbuatan dinpandang
pidana
yang
yang dia akan
dijatuhkan kepadanya. Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu : 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi,
11
akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif. 3) Aturan-aturan
hukum
pidana
tidak
berlaku surut. Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut : a) Tidak
dapat
dipidana
kecuali
ada
ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil). b) Tidak
diperkenankan
(pengenaan
suatu
Analogi
undang-undang
terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut). c) Tidak
dapat
dipidana
hanya
berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis). d) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa). e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut) f) Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
12
g) Penuntutan
hanya
dilakukan
berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
B. RUANG
BERLAKUNYA
HUKUM
PIDANA
MENURUT TEMPAT (LEX LOCI) Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana
nasional
menurut
tempat
terjadinya.
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu : a. Perundang-undangan
hukum
pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial). b. Perundang-undangan
hukum
pidana
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan
13
diluar
wilayah
disebut
Negara.
menganut
Pandangan
asas
personal
ini atau
prinsip nasional aktif. Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum
pidana
menurut
ruang
tempat
dan
berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat : I.
Asas Teritorial.
II.
Asas Personal (nasional aktif).
III.
Asas Perlindungan (nasional pasif)
IV.
Asas Universal.
Ad. I. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal
2
“Ketentuan
KUHP pidana
yang
menyatakan
dalam
:
perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
14
orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial,
dan
ketentuan
ini
sudah
sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan
pada
terjadinya
perbuatan
pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan
siapa
pelakunya,
warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas
nasional
yang
aktif)
menitik
beratkan pada orang yang melakukan perbuatan
pidana,
mempermasalahkan
tempat
tidak terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negaranegara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus
tunduk
dan
patuh
kepada
15
peraturan-peraturan
hukum
Negara
dimana yang bersangkutan berada. Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
16
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan
bentuk khusus
dari
alat
pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain. Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege).
Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.
Pejabat-pejabat Negara
asing
pemerintahan yang
berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
17
Pejabat-pejabat
badan
Internasional.
Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
Ad. II. Asas Personal Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya
sama-sama
berdaulat.
Apabila ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan
tindak
pidana
dan
tindak
pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara
tersebut
maka
berarti
bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa melakukan
di
luar
perbuatan
Indonesia pidana
yang tertentu
18
Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll. Pasal 5 KUHP menyatakan : “(1).
Ketetentuan
pidana
perundang-undangan
dalam Indonesia
diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah
satu
kejahatan
yang
tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan
pidana
dalam
perundang-undangan
Indonesia
dipandang
kejahatan,
sebagai
sedangkan menurut perundangundangan
Negara
dimana
perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. (2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat
19
dilakukan
juga
jika
terdakwa
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5
KUHP
memuat
asas
melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena : Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasalpasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai
perlindungan
terhadap
kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
20
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan
kejahatan
atau
pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena
mungkin
pembagian
tindak
pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan sedangkan
diancam menurut
dengan KUHP
pidana, Indonesia
merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan pasal 6 KUHP : “ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
21
perundang-undangan Negara
dimana
perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”. Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1)
butir
2
KUHP
adalah
untuk
melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin
dijatuhkan
menurut
KUHP
Negara asing tadi.
Ad. III. Asas Perlindungan Sekalipun
asas
personal
tidak
lagi
digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum
pidana
nasional
terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara
22
Pasal
4
KUHP
ditambah
(seteleh
berdasarkan
diubah
dan
Undang-undang
No. 4 Tahun 1976) “Ketentuan
pidana
undangan
dalam
perundang-
Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104,
106,
107,
108 dan 131; 2. Suatu uang
kejahatan atau
mengenai
uang
kertas
mata yang
dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun
mengenai
dikeluarkan digunakan
dan oleh
materai
yang
merek
yang
Pemerintah
Indonesia; 3. Pemalsuan
surat
hutang
atau
sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan
23
talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat
itu,
dan
tanda
yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan suratsurat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; 4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan
penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan
nasional
dan
melindungi
24
kepentingan
internasional
(universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan nasional
melindungi karena
pasal
memberlakukan
kepentingan 4
KUHP
ini
perundang-undangan
pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan
yang
merugikan
kepentingan nasional, yaitu : 1) Kejahatan Negara
terhadap
dan
martabat Republik
/
keamanan
kejahatan
terhadap
kehormatan
Presiden
Indonesia
dan
Wakil
Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1) 2) Kejahatan mata
uang
mengenai atau
pemalsuan uang
kertas
25
Indonesia atau segel / materai dan merek
yang
digunakan
oleh
pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2) 3) Kejahatan surat-surat
mengenai hutang
pemalsuan
atau
sertifkat-
sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagianbagiannya (pasal 4 ke-3) 4) Kejahatan
mengenai
pembajakan
kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke4) Ad. IV. Asas Universal Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh hukum
pengecualian-pengecualian internasional.
Bahwa
dalam asas
melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap
Negara
di
dunia
wajib
turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
26
Dikatakan
melindungi
kepentingan
internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang
negara
mana
yan
dibajak.
Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut
Indonesia
atau
pesawat
terbang
Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
27
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas,
pembajakan
kapal,
terbang
adalah
pesawat
laut
atau
mengenai
kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang
adalah
mengenai
kepemilikan
Negara asing, maka asas yang berlaku adalah
asas
melindungi
kepentingan
internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP “Ketentuan
pidana
dalam
perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan Kedua”.
dalam
Bab
XXVIII
Buku
28
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana
korupsi.
Akan
tetapi
pasal-pasal
tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 UU
No.
31
Tahun
1999
tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
29
dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14” Pasal 8 KUHP “Ketentuan
pidana
dalam
perundang-
undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia,
sekalipun
melakukan
salah
di
satu
luar
perahu,
tindak
pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua
dan Bab IX buku
ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal
di
Indonesia,
maupun
dalam
diundangkannya
tindak
ordonansi perkapalan”. Dengan
telah
pidana tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan
terhadap
sarana
/
prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
30
XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa
kejahatan
penerbangan
sudah
digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP. Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang
diakui
dalam
hukum-hukum
internasional. Menurut
Moeljatno,
pada
umumnya
pengecualian yang diakui meliputi : 1) Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka 2) Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
31
3) Anak buah kapal perang asing yang berkunjung
di
suatu
Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum adalah
internasional kapal peran teritoir
Negara
yang
mempunyainya 4) Tentara Negara asing yang ada di dalam
wilayah
Negara
persetujuan Negara itu.
dengan
32
BAB III TINDAK PIDANA a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana
tentang
pengertian
Tindak
pidana
(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang
siapa
yang
melanggar
aturan
tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
Larangan
ditujukan
kepada
perbuatan
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan sedangkan
oleh ancaman
kelakuan
orang),
pidana
ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
33
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan
pengertian
perbuatan
pidana
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan
monistis
yang
tidak
membedakan keduanya. b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA Dalam
suatu
peraturan
perundang-undangan
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
34
Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar
larangan
tersebut”.
Untuk
mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya
dirumuskan
dalam
peraturan
perundang-undangan pidana tentang perbuatanperbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.
Dalam
rumusan
tersebut
ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Menurut
Simons,
unsur-unsur
tindak
pidana
(strafbaar feit) adalah :
Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat
atau
tidak
berbuat
atau
membiarkan).
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
Melawan hukum (onrechtmatig)
35
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur Obyektif : Perbuatan orang Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. Mungkin
ada
keadaan
tertentu
yang
menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggung jawab Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan kesalahan.
harus
dilakukan
dengan
36
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sementara
menurut
Moeljatno
unsur-unsur
perbuatan pidana : Perbuatan (manusia) Yang memenuhi rumusan dalam undangundang (syarat formil) Bersifat melawan hukum (syarat materiil) Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari : 1) Kelakuan dan akibat 2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi : a. Unsur subyektif atau pribadi Yaitu
mengenai
diri
orang
yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
37
Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan
pegawai
negeri
maka
tidak
mungkin diterapka pasal tersebut b. Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan,
memperingan
atau
memperberat
yang
menentukan
pidana yang dijatuhkan. (1) Unsur
keadaan
misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP Pasal
164
mengetahui
KUHP
:
barang
permufakatan
jahat
siapa untuk
38
melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah
dengan
memberitahukannya
sengaja kepada
tidak pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada yang
terancam,
diancam,
apabila
kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang,
apabila
mengetahui
akan
terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak
melapor
melakukan
baru
dapat
perbuatan
dikatakan
pidana,
jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan. Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan
yang
dapat
diberikan
39
kepadanya
tanpa
selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan. (2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila
penganiayaan
tersebut
menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
40
2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana (3)
Unsur melawan hukum Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan
hukum
atau
sifat
pantang
dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan
41
oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada. Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk
memilikinya
secara
melawan hukum. Pentingnya pengertian Sekalipun
pemahaman
unsur-unsur
terhadap
tindak
permasalahan
pidana. tentang
“pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian
unsur-unsur
tindak
pidana
dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun
dari
yurisprudensi
yan
memberikan penafsiran terhadap rumusan
42
undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan pengertian
jaman,
dan
memudahkan
akan
diberikan
penjelasan
sehingga
aparat
penegak
hukum
menerapkan peraturan hukum. Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah : 1) Untuk menyusun
surat
dakwaan,
agar
dengan jelas; 2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi; 3)
Mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan
kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
43
4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi
bahwa
suatu
alat
bukti
hanya
berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana; 5) Mengarahkan
jalannya
penyidikan
atau
pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam
pembuktian
dipertanggungjawabkan
akan
dapat
secara
obyektif
karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah; 6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsurunsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang
dianut
dalam
doktrin
atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
44
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik. 1. Kejahatan dan Pelanggaran Pembagian
delik
atas
kejahatan
dan
pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan kejahatan
dalam
dan
kelompok
dalam
pertama
kelompok
kedua
mencari
secara
pelanggaran. Tetapi
ilmu
pengetahuan
intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat : a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
45
1. Rechtdelicten Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan,
terlepas
apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang
benar-benar
masyarakat
dirasakan
sebagai
oleh
bertentangan
dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian.
Delik-delik
semacam
ini
disebut “kejahatan” (mala perse). 2. Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala
quia
semacam
ini
prohibita). disebut
Delik-delik
“pelanggaran”.
Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum
dalam
undang-undang
46
pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”,
yang
benar-benar
dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain. b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan. Kejahatan ringan : Dalam
KUHP
digolongkan
juga sebagai
terdapat
delik
yang
kejahatan-kejahatan
47
misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil) a. Delik
formil
itu
perumusannya
adalah
delik
dititikberatkan
yang kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah
selesai
perbuatan
dengan
seperti
rumusan delik.
dilakukannya
tercantum
dalam
Misal : penghasutan (pasal
160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan
kebencian,
permusuhan
atau
penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah
palsu
pemalsuan
surat
(pasal (pasal
242
KUHP);
263
KUHP);
pencurian (pasal 362 KUHP). b. Delik
materiil
adalah
delik
yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
48
baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik
commisionis
per
ommisionen
commissa a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran
terhadap
larangan,
ialah
berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan KUHP).
pertolongan
(pasal
531
49
c. Delik
commisionis
per
ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Misal
:
seorang
ibu
yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga
wissel
yang
menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten) a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP. 5. Delik
tunggal
dan
delik
berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
50
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. b. Delik
berangkai
merupakan
:
delik,
delik
yang
apabila
baru
dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan) 6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten) Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung
terus,
misal
:
merampas
kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP). 7. Delik
aduan
dan
delik
laporan
(klachtdelicten en niet klacht delicten) Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan
(pasal
284
KUHP),
chantage
(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
51
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini
ada
hubungan
istimewa
antara
si
pembuat dan orang yang terkena. Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan,
karena
B
hutangnya
kepada
A.
tidak
membayar
Laporan
hanya
pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa. 8. Delik
sederhana
dan
delik
yang
ada
pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan
gequalificeerde
/
geprevisilierde
delicten) Delik
yang
ada
pemberatannya,
misal
:
penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
52
(pasal
363).
Ada
delik
yang
ancaman
pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanakkanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP). 9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955,
UU darurat tentang tindak pidana
ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
53
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”. b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu : 1. pidana pokok : a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan d. pidana
denda,
yang
dapat
diganti
dengan pidana kurungan 2. pidana tambahan : a. pencabutan hak-hak tertentu b. perampasan barang-barang tertentu c. dimumkannya keputusan hakim Sifat
dari
pidana
tersebut
adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia. c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
54
d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia. Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan korporasi.
sesuatu Seorang
fungsi anggota
dalam
sesuatu
pengurus
dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya. Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast). Dalam
KUHP
juga
ada
pasal
lain
yang
kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
55
pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”.
Akan
tetapi
ajaran
ini
sudah
ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi”
(S.1948-144)
pengendalian
harga”
dan
“Ordonansi
(S.1948-295)
terdapat
ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam
UU
Darurat
tentang
pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
56
bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”. Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak
pidana,
ya
bahkan
kadang-kadang
korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
57
bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu
tindak
korporasi.
pidana
dilakukan
oleh
suatu
58
BAB IV HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
A. Kausalitas Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil
(selanjutnya
disebut
delik
materiil),
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan. Misalnya : Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.
59
Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A. Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan”
dimana
pembahayaan
atau
dapat
berupa
perkosaan
suatu terhadap
kepentingan hukum. Hubungan
sebab
akibat
(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasalpasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP. Persoalan
kausalias
ini
terjadi
karena
kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
60
persoalan
ini
tidak
hanya
terdapat
dalam
lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum
dagang
misalnya
dalam
persoalan
asuransi. Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa
teori
kausalita.
Teori-teori
hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Akibat
kongkrit
harus
bisa
ditelusuri sampai ke sebab. Akan
tetapi
sebenarnya
tidak
boleh
dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi
sesudah
kejadian
“A”,
belum
tentu
disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc).
61
B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas) B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan,
maka
tidak
akan
terjadi
akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A. Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam
logika.
Dalam
hubungan
ini
baik
62
dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843). Van
Hamel,
seorang
penganut
teori
ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan
dengan
sebaik-baiknya”.
dijelaskan,
bahwa
harus
hubungan
kausal
dan
dibedakan
pertanggung
Di
sini
antara jawaban
pidana. Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir,
sebab
tiap-tiap
“sebab”
sebenarnya
merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya. Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau.
63
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu
seterusnya.
Berhubungan
dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian
faktor
yang
menimbulkan
akibat
itu
beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktorfaktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting). Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam
membatasi
lingkungan
berlakunya
pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih
sebab
yang
paling
menentukan
dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
64
hanya
merupakan
syarat
belaka.
Penganut-
penganutnya tidak banyak antara lain : 1.
Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.
Binding.
Teorinya
disebut
“Ubergewichtstheorie)” Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah
identik dengan
perubahan
dalam
keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat
terakhir
keseimbangan positif itu.
dan
yang
menghilangkan
memenangkan
faktor
65
B.3. Teori-teori generalisasi Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada
umumnya
dapat
menimbulkan
akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat
(teori
Contoh-contoh
adequate, tentang
Ada-quanzttheorie).
ada
atau
tidaknya
hubungan sebab akibat yang adequat : a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa. b. Seorang
yang
menyetir
mobil
terpaksa
mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang
66
jalan
yang
membelok,
disangka-sangka Pengendara
oleh
mobil
ini
sedang
ini
pengendara mendapat
tidak mobil.
penyakit
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan
bahwa
perbuatan
pengendara
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut. c. Seorang petani membakar tumpukan rumput kering
(hooi),
dimana
secara
kebetulan
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate
?
Jawabannya
tergantung
dari
keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
67
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab
itu
pada
umumnya
cocok
untuk
menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan
si
pembuatlah
yang
menentukan). 2. Penentuan obyektif. Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal
yang
secara
obyektif
kemudian
diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan
yang
diketahui
diketahui
oleh
atau
sipembuat,
pengetahuan dari hakim.
yang
dapat
melainkan
68
Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut
“objektive
nachtragliche
Prognose”
(Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif
(Von
Kries)
itu
tersimpul
unsur
penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat
mengira-ngirakan
atau
membayangkan
(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi
sipembuat
dapat
membayangkan
dan
seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya. Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya,
tetapi
tidak
berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu
69
mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul
dan
pekerjanya
itu
mati
disambar petir. Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia
tidak
mati.
Konsekwensi
ini
umumnya
dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan
apabila
dipakai
teori
adequate.
Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir.
Penyambaran
petir
adalah
hal
yang
kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan. Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons : Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
70
bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”. 2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum
itu
terdiri
atas
persangkaan,
(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini ada
biasa
dan
normal.
Ini
kesimpulan
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal
ikhwal
yang
berada
dan
menurut
pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”. 3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatanperbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai
strekking
untuk
menimbulkan
akibat yang bersangkutan.
Tinjauan
terhadap
teori-teori
kausalitas
tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
71
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan merupakan
apakah sebab
dimaksudkan
sesuatu
dari
dalam
perbuatan
sesuatu rumusan
itu
akibat
yang
delik
yang
bersangkutan. Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian.
Dalam
hal
ini
teori
adequat
dapat
menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah
dalam
kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang
misalnya
biasanya,
kadar,
pengalaman
manusia pada umumnya dan sebagainya. Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
72
dengan
nyata
teori
mana
yang
dipakai.
Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks) a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil). b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933 Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan
si
ayah
dapat
disebut
syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak
73
boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung. c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937. Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi
(stuur)
dan
membiarkan
pengemudi
tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara
perbuatan
terdakwa
dan
terjadinya
kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab. d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
74
barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan
peringatan-peringatan
dari
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas. Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :
75
a. Tidak mungkin
orang tidak berbuat
bisa
menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini). b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu,
yang disebut sebagai sebab
ialah
“sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu. c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
76
seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan
kereta
api
karena
tidak
memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab
sulit
dilihat
hubungannya
antara
penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul. d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab
dari
sesuatu
akibat,
apabila
ia
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang
nyata-nyata
tertulis
dalam
suatu
peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak : 1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab
sebagai
pembunuhan ?
ikut
berbuat
dalam
77
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883):
tidak,
tetapi
memang
sikap
semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut. 2) Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu. Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”,
yang
diharapkan
untuk
diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
78
dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”. Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya.
79
BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM (Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig)
A. Istilah dan Pengertian KUHP memakai istilah bermacam-macam : a. tegas
dipakai
istilah
“melawan
hukum”,
(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1), 522; b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin” (zonder
verlof)
(pasal
496,
510);
“dengan
melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” (pasal 429).
80
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undangundang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan
dengan
tegas,
yang
berhak
atau
berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula. Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian: 1. bertentangan dengan hukum (Simons) 2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain (Noyon) 3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R). Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam
81
rumusan
delik
sebagaimana
dirumuskan
dalam
undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik. Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi rumusan
delik
(tatbestandsmaszig)
itu
tidak
senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) : 1) regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum. 2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP,
82
karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga tidak ada unsur melawan hukum. Di
dalam
kedua
contoh
tersebut
hal
yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus : -
seorang ayah memukul seorang pemuda yang memperkosa anak-anaknya
-
seorang
menembak
mati
temannya
atas
permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan -
seorang bioloog membedah binatang-binatang (vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.
Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya
perbuatan.
Contoh
lain
yang
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah : -
Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
83
Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran
adat
ini,
maka
Mamak
dari
perempuan ini bersama-sama dengan orang lain mendatangi
orang
tersebut
untuk
dimintai
pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu tidak
mau
membuka
pintu
rumahnya
pintu
didobrak. Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan -
Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933 Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
84
tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk
kepentingan
Mahkamah Agung
peternakan.
Putusan
Belanda : Pasal 82 Undang-
undang ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : “tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak
dengan
tegas-tegas
menyebut
adanya
alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang
bersangkutan
perbuatan
yang
rumusan delik”.
tidak
secara
berlaku letterlijk
terhadap memenuhi
85
Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua sudut pandang yaitu : 1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila
perbuatan
diancam
pidana
dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang;
sedang
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau
bertentangan
dengan
undang-undang
(hukum tertulis). Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
86
pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada secara limitatief. 2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyatanyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan
bertentangan
dengan
undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya
sebagaimana
para
sarjana
yang
87
menganut ajaran sifat melawan hukum yang meteriil ialah : a)
Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap
kepentingan
hukum
hanyalah
bersifat melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan
tujuan
ketertiban
hukum
(den
Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht); kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum. b)
Zu Dohna mengatakan : Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang haq untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke). Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya. Di sini menurut Zu Dohna perbuatan
ayahnya
melawan hukum. c)
M.E. Mayer mengatakan :
tidak bersifat
88
Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kulturnorm itu maka sifat melawan hukumnya hapus. d)
Zevenbergen Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.
e)
Van Hattum Dengan
adanya
keputusan
Hoge
Raad
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
89
dengan itu menurut hemat saya (mer van Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan mer azas-azas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan
hukum”
dewasa
ini
(in
de
hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist). Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus dilakukan secara hatihati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak melanggar
hukum
berdasarkan
petunjuk
eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras / keturunan). Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan,
bila
suatu
perbuatan
itu
memenuhi
rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
90
alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis. Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara
kongkrit
yang
sedang
dihadapi
harus
mempertimbangkan : a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betulbetul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga
dipandang
adil
/
benar
oleh
seluruh
masyarakat pada umumnya. b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
91
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat
menghapuskan
kekuatan
berlakunya
peraturan yang tertulis dsb. c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiaptiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari keputusan mengetahui lebih-lebih
itu.
Maka
hakim
bagaimanakah keadaan
harus
benar-benar
keadaan
masyarakat
masyarakat
Indonesia
yang
dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap
apa
masyarakat, kedengaran
yang
agar
supaya
sumbang.
kepribadiannya
harus
sedang
Hakim
terjadi
dalam
putusannya
tidak
dengan
bertanggung
seluruh
jawab
atas
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.
92
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan : -
dalam fungsinya yang negatif Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
-
dalam fungsinya yang positif Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak
nyata
diancam
dengan
pidana
dalam
undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.
93
Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya yang
negatif.
Ini
adalah
konsekwensi
dari
diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang ini dimana juga masih tercantum azas seperti tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang mengakui azas nullum delictum dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan bahwa B telah membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur dengan nyawa. B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik : 1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
94
2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delikdelik semacam itu ada perbedaan paham : a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai
fungsi
yang
positif
untuk
sesuatu delik (artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum), maka harus dibuktikan. Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif. b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang negatif (artinya : tidak ada unsur sifat melawan hukum pada perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya suatu delik), maka tidak perlu dibuktikan. Yang
menganggap
sifat
melawan
hukum
itu
mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan
95
dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”. Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel (acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap dengan
diam-diam
ada,
kecuali
jika
dibuktikan
sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya dengan mencocoki rumusan undang-undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula. Hazewinkel-Suringa
memandang
sifat
melawan
hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana. C. Putatif Delik Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict, padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
96
delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum.
97
BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab –
(Zurechnungsfahigkeit Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggungjawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan
apabila
ia
tidak
mampu
bertanggung jawab. Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.
98
Simons : “kemampuan bertanggung jawab
dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang
mampu
bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila : a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan : a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu
99
Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut. Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang
itu
dikatakan
“dapat
mempertahankan
hidupnya dengan cara yang patut” ? Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian : Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku : a.
Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang.
b.
Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian
rupa,
sehingga
tidak
dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
100
dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai
dengan
pikiran
atau
perasaannya
bahwa
perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “normadressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).
101
2. Kesalahan 2.1. Pengertian Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan
bahwa
orang
itu
telah
melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan
pidana.
Untuk
dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal
ini
berlaku
asas
“TIADA
PIDANA
TANPA
KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
102
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 / 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana,
kecuali
pembuktian
yang
apabila
pengadilan,
sah
menurut
karena
alat
undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing
salah,
seleh”
adany
(yang
bersalah
pasti
salah).
Untuk
pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam
ilmu
hukum
pidana
dapat
dilihat
pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang
103
berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan). 2.2. Dasar Pemikiran Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran
tentang
hubungan
antara
perbuatan
dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan
104
antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari : a.
Aliran
klasik
yang
indeterminisme, berpendapat,
melahirkan
yang bahwa
pandangan
pada manusia
dasarnya mempunyai
kehendak bebas (free will) dan ini merupakan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan. b.
Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme
mengatakan,
bahwa
manusia
tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motifmotif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
105
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru
karena
tidak
adanya
kebebasan
kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan
(maatregel)
untuk
ketertiban
masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku. c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas 1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
106
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai penulis. a. MEZGER
mengatakan
:
kesalahan
adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak
pidana
(Schuldist
der
Erbegriiffder
Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen
Verwurf
gegen
den
Tater
begrunden). b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian
yang
“sociaal
ethisch”
dan
mengatakan antara lain : “Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam
hukum
pidana
ia
berupa
keadaan
psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan
keadaan
perbuatannya
dapat
pelaku”.
psychisch dicelakakan
(jiwa)
itu
kepada
si
107
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam
suatu
delik
merupakan
pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid rechtens)”. d. VAN
HATTUM
berpendapat
:
“Pengertian
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat
psychisch
yang
terdapat
dapat
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een strafbare dader). e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa” mengatakan
:
“Pengertian
mengandung
celaan.
Celaan
salah ini
dosa menjadi
dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa berada,
jika
perbuatan
dapat
dan
patut
108
dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh dicela
karena
perbuatan
itu;
perbuatan
itu
mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun dengan salah”. f. POMPE
mengatakan
pelanggaran
norma
antara yang
lain
:
dilakukan
“Pada karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku
dan
perbuatannya.
Hubungan
batin
tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) keadaan
batin
berupa
kehendak
perbuatan atau akibat perbuatan.
terhadap
109
Dari
pengertian-pengertian
kesalahan
dari
beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut : - Pengertian kesalahan yang normatif Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya. “Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan bahwa
“kesalahan seseorang tidaklah terdapat
dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
110
memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim. Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab
dan
tidak
adanya
alasan
penghapus kesalahan. 1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : a. menurut
akibatnya
ia
ada
hal
yang
dapat
hal
dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid) b. menurut
hakekatnya
ia
adalah
dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur
111
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidaktidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. 1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu : a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat
disamakan
dengan
pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di
112
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi apabila
dikatakan,
bahwa
orang
bersalah
melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. b. kesalahan
dalam
arti
bentuk
kesalahan
(sculdvorm) yang berupa : 1. kesengajaan
(dolus,
opzet,
vorzatz
atau
intention) atau 2. kealpaan
(culpa,
onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence). c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”. Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas)
sebagai
perbuatannya,
dapat maka
dicelanya
si
berubahlah
pelaku
atas
pengertian
kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
113
2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi : a. adanya
kemampuan
sipelaku
bertanggungjawab
pada
(schuldfahigkeit
zurechnungsfahigkeit);
artinya
atau keadaan
jiwa
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang
tertentu
menjadi
“normadressat”
yang
mampu. b. hubungan
batin
antara
sipelaku
dengan
perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya. c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan
114
adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP) Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan
bisa
dinyatakan
bersalah
atau
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana. Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan
dalam
(pertanggungan
arti
jawab
yang pidana)
seluas-luasnya orang
yang
bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan mempunyai
hukum tidak dengan sendirinya
kesalahan,
artinya
tidak
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
dengan
115
Itulah
sebabnya,
maka
kita
harus
senantiasa
menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan ialah adanya : 1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit) 2. dapat
dipidananya
orangnya
(strafbaarheid van de persoon).
atau
pelakunya
116
BAB VI KESENGAJAAN (DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluasluasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin
antara
si
pelaku
terhadap
perbuatan,
yang
dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
117
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada
anaknya,
menghendaki
dan
sadar
akan
perbuatannya. 1. Teori-teori Kesengajaan Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut: a. Teori kehendak (wilstheorie) Inti
kesengajaan
adalah
kehendak
untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons, Zevenbergen) b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie) Sengaja
berarti
membayangkan
akan
akibat
timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.
Teori
ini
menitikberatkan
118
pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. (Frank). Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja. 2. Bentuk Kesengajaan Dalam
hal
seseorang
melakukan
sesuatu
dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut : a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn noodzakkelijkheidbewustzijn
atau
119
c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet) Bentuk
kesengajaan
ini
merupakan
bentuk
kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong. Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb. Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa
yang menghubungkan
perbuatan dengan
akibat (kausalitas) dimana : 1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak.
120
2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi. Contoh 1 : A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu. Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP)
ada
kesengajaan
dengan
keinsyafan
kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan. Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan
diperkirakan
sipelaku
sebagai
kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi
merupakan
sipelaku.
resiko
yang
harus
diemban
121
Contoh 2 : A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya. Jadi dalam kasus ini : Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911) Contoh 3 : Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa
akhirnya
ia
akan
ketahuan.
Ia
ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
122
membunuh dirinya dengan merencanakan sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang. Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi (1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya. Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat oleh
Hoogerechtshof
dalam
tingkat
banding
menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut: Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpangpenumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) pada R.v.J di Semarang.
123
3. Dolus Eventualis Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu. Contoh: Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya
di
jalan
dalam
kota.
Dimuka
ia
lihat
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia
tetap
dalam
kecepatan
yang
sama
tanpa
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh, meskipun
tidak
dapat
dikatakan
bahwa
ia
mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki hal
itu,
dalam
arti,
meskipun
ia
sadar
akan
kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima
124
apa
boleh
buat
kemungkinan
itu,
dengan
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya. Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan
dengan
sengaja.
Bagaimanakah
menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) ? Berdasarkan
teori
menetapkan
dalam
kehendak, batinnya,
jika bahwa
sipelaku ia
lebih
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu. Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui / membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu.
125
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen theorie”). Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si pelaku
terhadap
perbuatannya
adalah
sebagai
berikut: a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.”
126
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri
Modderman
mengatakan,
bahwa
“voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dalam
uraian-uraian
kesengajaan
si-pelaku
diatas
penentuan
adalah
dengan
tentang melihat
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap
127
batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat. Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu. Contoh Van Bemmelen: A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter. Meskipun
A
mungkin,
bahwa
ia
mempunyai
kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi
128
atau bahwa matinya B itu disebabkan karena kekhilafan dari A. Dalam
hal
ini
diragukan
adanya
kesenjajaan,
sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang (bersifat melawan hukum) ? Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang mengatakan bahwa: a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan pengetahuan
sesuatu sipelaku
perbuatan bahwa
mencakup perbuatanya
melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya
129
dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman 169),
bahwa:
Kesengajaan
hubungannya perkataan adanya
dengan
lain
dalam
kesadaran
hukumnya
senantiasa
dolus
molus,
kesengajaan
mengenai
perbuatan.”
sifat
Untuk
ada
dengan tersimpul melawan adanya
kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana b. Kesengajaan tidak berwarna Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya kesengajaan
cukuplah
bahwa
sipelaku
itu
menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat melawan hukum. Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
130
perbuatannya
itu
dilarang
atau
bertentangan
dengan hukum. Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian : “Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet) ? Jawabnya tidak akan lain dari pada itu. Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu berwarna ialah akan merupakan beban yan berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan adanya
kesengajaan,
membuktikan
bahwa
tiap pada
kali
ia
terdakwa
harus ada
kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan
itu.
Sebaliknya,
alasan
bahwa
131
kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu keliru. Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun
pada
kenyataannya
ia
melakukan
perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana. 4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain,
bahwa
“unsur-unsur
delik
yang
terletak
dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja) dikuasai atau diliputi olehnya”. Oleh
karena
itu
pembentuk
undang-undang
menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan “opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua pasal
tersebut).
perkataan
Unsur
“opzettelijk”
yang
terletak
disebut
di
muka
“diobjektip-kan”
(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
132
kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP. Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal apa saja ? Pecahkanlah sendiri ! Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan, yang
disebut
di
belakang
perkataan
sengaja,
diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut yang
diobjektipkan,
ditanyakan
apakah
artinya
yang
sipelaku
tidak
perlu
mengetahui
atau
menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya umum atau bahaya maut tersebut”. Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena
itu
teknik
perundang-undangan
dalam
menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak
133
perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran pada teks tersebut. Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk), misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte” atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur
melawan
memberi.sifat
hukum
atau
arah
subjektif. dari
Unsur
perbuatan
ini yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........), misalnya
dalam
delik
pencurian
(pasal
362),
pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut “Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
134
melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. 4.1. Kata “dan” Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan: -
Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan hukum (wederrechtelijk)
-
Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa kata dan
-
Meyisipkan
kata
“dan”
diantara
perkataan
“sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi merumuskan sebagai “sengaja dan melawan hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk). Contoh: Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk van devrijhiid berooft of berooft houdt.............. Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain
135
pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang, maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan yang bisa membebaskan. Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of wegmaakt, wordt..................... Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan hukumnya
perbuatan
kesengajaan.
juga
Mengenai
hal
harus
diliputi
oleh
ini
terdapat
tiga
pandangan: a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan
kepada
sifat
melawan
hukumnya
perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan
136
hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum. Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang mendapat perintah dari pemilik rumah untuk membongkar
rumahnya,
tetapi
sebelum
melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana. b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya. Semua
delik
yang
menurut
unsur
“sengaja
melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan melawan hukum”, yang berarti dua hal yang terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain, meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan. c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya Berbeda
dengan
pendapat
ke
2
tersebut,
pendapat ini justru mengartikan sengaja dan
137
melawan hukum “sebagai” sengaja melawan hukum.
Jadi
meskipun
ada
perkataan
dan,
kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan asas, bahwa semua unsur yang
terletak di
belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya. Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama sekali tidak mengetahui sifat melawan hukumya perbuatan yang ia lakukan. Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang
pertama,
sedang
Vos,
Zevenbergen,
Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. 21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak diliputi oleh kesengajaan. Bagi
Prof.
Muljatno
perkataan
“dan”
diantara
perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum” tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu
138
harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum. 5. Kesengajaan Menurut Doktrin Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan : a. dolus premeditatus Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang mensyaratkan
unsur
“dengan
rencana
lebih
dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP. Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau tingkat
kesengajaan.
Menurut
M.v.T.
untuk
“voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada
139
rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan. b. dolus determinatus dan indeterminatus Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan dapat
lebih
determinatus, matinya
pasti
atau
pelaku
tidak.
misalnya
orang tertentu,
Pada
dolus
menghendaki
sedang pada dolus
indeterminatus pelaku misalnya menembak ke arah
gerombolan
orang
atau
menembak
penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air minum, dan sebagainya. c. dolus alternativus Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain
140
d. dolus indirectus, Versari in re illicita Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan, bahwa
semua
akibat
dari
perbuatan
yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang. Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan. Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang sebagai
“meutre”.
Hazewinkel-Suringa
menganggap hal ini sebagai suatu pengertian yang tidak baik. Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang pertanggung-jawab, illicita.menurut melakukan
ialah
ajaran perbuatan
ini
versari
in
re
seseorang
yang
terlarang
juga
141
dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya. Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”. e. dolus directus Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan juga kepada akibat perbuatannya. f. dolus generalis Pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang. Misalkan membunuh
seseorang orang
yang
bermaksud
lain,
telah
untuk
melakukan
serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut
142
otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu dilempar ke air ia belum mati. Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, ialah harapan dari terdakwa secara umum agar orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini. Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama (mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan”,
sedang
perbuatan
kedua
(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang terletak / di luar lapangan hukum pidana atau “menyebabkan
matinya
orang
karena
kealpaannya”. Contoh : Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan tetapi
air
pasangnya
tidak
setinggi
yang
diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan
143
dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku, namun karena akibat yang dikenhendaki telah terjadi, maka disini menurut von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.
144
BAB VII KEALPAAN (CULPA)
(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE,
FAHRLASSIGKEIT,
SEMBRONO, TELEDOR). Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam : Pasal 188
:
Karena
kealpaannya
menimbulkan
peletusan, kebakaran dst Pasal 231 (4)
:
Karena
kealpaannya
sipenyimpan
145
menyebabkan
hilangnya
dan
sebagainnya barang yang disita Pasal 359
:
Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360
:
Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb.
Pasal 409
:
Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian barang,
membahayakan
atau
keamanan
mendatangkan
orang
kerugian
atau
terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap
larangan
(teledor),
pendek
penghati-hati, kata
“
schuld”
sikap
sembrono
(kealpaan
yang
menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
146
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”) 1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit) Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan hal
yang
kebetulan
(toevel
atau
caous).kealpaan
merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan. Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan: a.
Hazenwinkel – Suringa Ilmu
pengetahuan
hukum
dan
mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai: 1.
kekurangan penduga – duga atau
2.
kekurangan penghati-hati.
jurispruden
147
b.
Van hamel Kealpaan mengandung dua syarat: 1. tidak
mengadakan
penduga-duga
sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
c.
Simons: Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur : 1. Tidak adanya penghati-hati, di samping 2. dapat diduganya akibat
d.
Pompe. Ada
3
macam
(anachtzaamheid):
yang
masuk
kealpaan
148
1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat 2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid) 3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan perbuatan). Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka haruslah
ditetapkan
dari
luar
bagaimana
seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
149
a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hatihati, paling ahli dan sebagainya. b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”. Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya
mengakibatkan
(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
orang
lain
150
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri. Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin
perbuatan
itu
perbuatan
yang
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa. Dalam diajukan
delik alasan
culpoos
tidak
pembenar
mungkin (rechtvaar
digingsgrond). c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
151
2. Bentuk kealpaan Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan
beserta
akibatnya,
akan
tetapi
ia
percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
152
sangat
berat.
VAN
HATTUM
mengatakan,
bahwa
“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat. 3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa” Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan. Misalnya: Pasal 480 (penadahan)
153
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit). Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan). Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu. -
Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”.
-
Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
-
Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”.
-
Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan
kepada
unsur
“pelaku/orang
yang
154
menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia. Dalam surat dakwaan: a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”. b. Ada
dan
dibuktikan
tidak
adanya
dalam
kealpaan
pemeriksaan
itu
harus
pengadilan
ditetapkan oleh Hakim. c. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui. Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan
terdakwa
yang
dituduh
melakukan
“schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama
155
sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betulbetul mempunyai dugaan atau tidak. Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa. Contoh : a.
terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b.
Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga
?
bagaimana
keadaan
mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan lampunya
indikasi normal,
dari maka
kealpaannya. seharusnya
Apabila ia
dapat
mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.
156
BAB VIII KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN
Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
157
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana menurut M.v.T. : Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan
secara
khusus
tentang
adanya
kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak. Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air dan susu). Duduk perkara; A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur
158
dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran. A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana. A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih kurang demikian: a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu. b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya. c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.
159
Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D. b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada. c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem, orang
yang
berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undangundang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
160
d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik. Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka: a.
ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.
b.
Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
161
BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan pengadilan)
dengan dimana
sengaja nestapa
oleh itu
negara
(melalui
dikenakan
pada
seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian,
kejaksaan,pengadilan
&
lembaga
pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan. Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum
162
untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri. Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran
pidana karena pidana
juga
berfungsi
sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan merupakan terhadap
reafirmasi “hati
nurani
struktur masyarakat yang
simbolis bersama“
atas
pelanggaran
sebagai
bentuk
ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan. Ilmu
yang
mempelajari
pidana
dan
pemidanaan
dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan
163
(matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan: 1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana); 2. Beratnya sanksi itu; 3. Lamanya sanksi itu dijalani; 4. Cara sanksi itu dijalankan;dan 5. Tempat sanksi itu dijalankan. Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier. ISTILAH Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah. Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk
164
menerjemahkan
straf.
Sudarto
juga
berpendapat
demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi: 1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang); 3. Dikenakan
pada
seseorang
penanggung
jawab
peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi rumusan delik/pasal). SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).
165
Jenis-jenis
hukuman
yang
dapat
dijatuhkan
oleh
Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al: 1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh) 2. Dimatikan dengan suatu keris 3. Dicap bakar. 4. Dipukul,
dipukul
dengan
rantai
(pidana
badan/corporal punishment) 5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara 6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut
Utrecht
merupakan
suatu
dan
R.Soesilo,
sanksi
yang
hukum bersifat
pidana istimewa:
terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
166
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif); Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat; 1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat; 2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.
167
Teori-Teori
yang
berkaitan
dengan
Pemidanaan
Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin 1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum.
Menurut
Leo
Polak
(aliran
retributif),
hukuman harus memenuhi 3 syarat: a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika) b. Tidak
bboleh
dengan
maksud
prevensi
(melanggar etika) c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik. 2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada
umumnya
seyogyanya
bersifat
menakutkan,
hukuman
sehingga bersifat
memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan
168
adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis. Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain adalah
memberikan
perlindungan
agar
orang
lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan. 3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:
Pembalasan, membuat pelaku menderita
Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana
169
Merehabilitasi Pelaku
Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005. Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005: Pasal 54 (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukanya
tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
170
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan; e. memaafkan terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia . Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita. Pasal 55; (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Apakah
tindak
pidana
dilakukan
berencana; e. Cara melakukan tindak pidana;
dengan
171
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana h. Pengaruh
pidana
terhadap
massa
depan
pembuat tindak pidana; i.
Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j.
Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak
172
pidana
dengan
menegakkan
norma
hukum
demi
pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan
terpidana,
dengan
melakukan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
Dan
restoratif
terdapat
dalam
tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.
Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP : a. Hukuman Pokok: 1. Hukuman mati 2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup) 3. Kurungan 4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15) 5. Tutupan (UU No.20/1946) b. Hukuman Tambahan:
173
1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP: Pasal 65 (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan c. pidana pengawasan d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana Pasal 66 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67 (1) Pidana tambahan terdiri atas:
174
a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam
masyarakat. (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain. (3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri
atau
dapat
dijatuhkan
walaupun
tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya. Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
175
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati : A. Dalam KUHP :
Pembunuhan berencana
Kejahatan terhadap keamanan negara
Pencurian dengan pemberatan
Pemerasan dengan pemberatan
Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B. Diluar KUHP;
Terorisme
Narkoba
Korupsi
Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 : ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya).
176
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan. Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan) Pasal 12 KUHP: Hukuman
penjara
lamanya
seumur
hidup
atau
sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana
dan
narapaidana/napi
masyarakat, (inmates):
Penghuninya
disebut
Warga
Binaan
Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).
177
Pembagian Sistem Penjara
– gevangenisstelsel,
menurut Utrecht :
Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum
diperkenankan
melakukan
pekerjaan
tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya
178
diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan
the
rise
of
feformatory
(pelepasan
bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.
Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Sistem
Borstal
(LONDON,
UK).
Dalam
penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
179
Sistem Osborne (NY,US). Memilih „BOS‟ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1
orang/1
sel.
Minimum
security/maximum
security/Super Maximum Security (SMS)
Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.
Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak
baik
ataupun
melanggar
aturan
maka
dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam,
kerja
di
bengkel
LP
untuk
buat
kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.
180
Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
Dapat
diberikan
reclassering),
jika
pelepasan telah
bersyarat
menempuh
PB-
2/3
dr
hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
Meskipun hukuman penjara dilakukan bersamasama tapi tetap ada pemisahan mutlak : Laki-laki dan perempuan Orang dewasa dan anak di bawah umur Orang yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif Orang militer dan orang sipil
Pidana kurungan Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara. Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
181
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP. Pidana Tutupan (UU No.20/1946) Pidana
yang
dijatuhkan
oleh
Hakim
dengan
mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari
oleh
dihormati/dihargai.
suatu
motivasi
Tempatnya
di
yang
patut
penjara,
namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
182
BAB X PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
I.
PENGERTIAN Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan
istilah
merumuskan
“percobaan”. batasan
KUHP
mengenai
hanya kapan
dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 (1) yang menyatakan : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu,
bukan
semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan syaratsyarat atau unsur-unsur yang menjadi batas
183
antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua
jenis
tindak
pidana.
Yang
dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana
yang
berupa
“kejahatan”
saja,
sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat
dipidana.
Pengecualian
tersebut
misalnya :
Percobaan duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5);
184
Percobaan
penganiayaan
ringan
terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);
Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5);
Percobaan penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
II.
SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna? Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua pandangan : (1).
Percobaan
dipandang
Strafausdehnungsgrund
sebagai
(dasar/alasan
perluasan pertanggungjawaban pidana). Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu
tindak
pidana
meskipin
tidak
memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan adalah
untuk
memperluas
dapat
dipidananya orang, bukan memperluas
185
rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang
tidak
dekictsvorm).
sempurna
(onvolkomen
Termasuk
dalam
pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. Hazewinkel-Suringa
dan
Porf.
Oemar
Seno Adji.
(2).
Percobaan
dipandang
sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan delik).
Menurut melakukan
pandangan sesuatu
ini,
percobaan
tindak
pidana
merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi merupakan delik tersendiri (delictum sui generis).
186
Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.
Alasan
Prof.
Moelyatno
memasukkan
percobaan sebagai delik tersendiri, ialah : a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana
karena
melakukan
suatu delik; b. Dalam
“perbuatan
konsep
pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya sendiri
perbuatan
bagi
itu
keselamatan
masyarakat; c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang
tidak
sempurna
(onvolkomen delictsvorm), yang ada hanya delik selesai. d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan sebagai
yang delik
dipandang
yang
berdiri
187
sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum
selesai,
merupakan Misalnya
jadi
baru
percobaan. delik-delik
maker
(aanslagdelicten) dalam pasal 104, 106, dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri.
Mengenai adanya dua pandangan tersebut diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan adalah strafbaarheid van de person (sifat
188
dipidananya orang); sedangkan pandangan yang
kedua
masyarakat
sesuai kita
dengan
sekarang
alam
atau
karena
yang
diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan.
III.
DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb: 1. Teori Subyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel. 2. Teori Obyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu : 2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum. 2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons. 3. Teori Campuran.
189
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers. Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif. Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan. IV.
UNSUR-UNSUR PERCOBAAN Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah : IV.1. Niat.
190
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat : a. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai. b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement. c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan. Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti :
191
1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama dengan kesengajaan; 2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement). Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi; Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar)
192
masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum. Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan. IV.2. Ada permulaan pelaksanaan. Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si
193
pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb : a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik; b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain. Contoh untuk delik formil : A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap. Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada
194
perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian. Contoh untuk delik materiil : A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya.
195
Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan 2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut; ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi; iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
V.
PERCOBAAN DALAM YURISPRUDENSI
BEBERAPA
Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
196
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R). Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaianpakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya. Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP. H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung
197
Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran. Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan. Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa : - Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil); - Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil) Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah :
198
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik; b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap. Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb : “Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan
199
oleh Hof‟s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”. IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan sematamata karena kehendak pelaku sendiri. Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sbb : a. Adanya penghalang fisik; Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak). b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik. Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain. c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan
200
khusus pada obyek yang menjadi sasaran. Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga. Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara : Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
201
Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal. Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah : Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana; Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya. Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan : Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe). Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
202
Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno). Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d‟excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah
203
mengurngkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim. Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat : a. Mempunyai konsekuensi materiil Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu. Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu? HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan
204
percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang. b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil) Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab. Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah
205
menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).
VI.
PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya racun). Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih
206
menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat. Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan : “Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”. Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja. Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara : Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana
207
orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan. Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari dua segi : - Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan - Keadaan tertentu dari orang yang dituju. Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah : a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya : - Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu; - Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg). b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat dilihat dari keadaan konkrit tertentu. - Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang
208
mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes; - Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak merupakan alat yang mematikan. Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal. Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru. Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya. Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan tidak mampu.
209
Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran dalam hubungan kausal. Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum). Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah sbb : 1. SIMONS Ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang tertentu itu dapat membahayakan benda hukum. Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyatanyata ada dalam keadaan khusus dimana perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya
210
jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan (strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai. Misal : - Mencoba membunuh orang dengan mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal adalah mampu jika jumlahnya memang dapat mematikan orang yang normal. - Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu secara
211
absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam makanan orang lain. 3. VAN HATTUM Dalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat dengan akibat yang dilarang oleh undangundang. Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam memformulir perbuatan terdakwa secara adekuat kausal itu, van Hattum memberikan ukuran/pedoman sbb : a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member keuntungan kepada si pembuat; b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada hakekatnya perbuatan
212
terdakwa membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed). Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik. Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu, sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain (musuhnya itu). Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb : “mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian menembakkannya”. Perbuatan demikian merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang
213
kebetulan dan mengisi senapandengan peluru dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut. 4. MOELYATNO Dalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai menimbulkan kejahatan yang dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara normatif. Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas dilakukan.
214
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952). Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong. Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut
215
masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum. Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”. 5. MANGEL AM TATBESTAND Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun
216
mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan antara tidak mampu yang absolute dan relative. Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benarbenar mengandung. Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
217
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong. Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah : a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa; b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.
218
Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan. Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb: - Orang yang melarikan perempuan yang ternyata sudah cukup umur; - Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya. Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah yang menurut Karni merupakan hakekat atau watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang
219
anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya undang-undang (putatief delict). Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan “rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”. VII.
PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338 KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yangbersangkutan diancam pidana mati atau penajara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut
220
KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.
221
BAB XI PENYERTAAN A. BEBERAPA ISTILAH 1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna). 2. Turut berbuat delik (Karni). 3. Turut serta (Utrecht). 4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris); Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis). B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT PENYERTAAN Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan : 1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) : - Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana - Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna. - Penganut a.l : Simons, van Hattum, Hazewinkel Suringa. 2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan) :
222
- Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana. - Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa. - Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn Saleh. Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang pertama sesuai dengan alam/pandangan individual karena yang diprimairkan adalah “strafbaarheid van de person” (hal dapat dipidananya orang), pandangan yang kedua sesuai dengan alam Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan pada strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno, pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat. C. PEMBAGIAN PENYERTAAN 1. Terbagi dua : a. Von Feuerbach membagi penyertaan dalam dua bentuk : a.1. Urherber (pembuat) a.2. Gehilfe (pembantu) b. KUHP Belanda dan Indonesia : b.1. Dader / Pembuat (pasal 47 Belanda / pasal 55 KUHP Indonesia).
223
b.2. Medeplichtige / pembantu (pasal 48 KUHP Belanda / pasal 56 KUHP Indonesia). c. Code Penal Perancis dan Belgia : c.1. Autores. c.2. Complices. d. Di Inggris : d.1. Principals (peserta baku). d.2. Accessories (peserta pembantu). 2. Pembagian tiga : 2.a. Di Jerman : 2.a.1. Tater (pembuat) 2.a.2. Anstifter (penganjur) 2.a.3. Gehile (pembantu) 2.b. Di Jepang : 2.b.1. Co principals (pembuat) 2.b.2. Instigator (penganjur) 2.c.3. Accessories (pembantu) 3. Pembagian empat : Di Uni Sovyet : 3.1. Executive of crime 3.2. Organizer 3.3. Instigator 3.4. Accessory D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA 1. Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah : a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
224
a.1. Pelaku (pleger) a.2. yang menyuruh lakukan (doenpleger) a.3. yang turut serta (medepleger) a.4. penganjur (uitlokker) b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari : b.1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan b.2. pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan. Mengenai pengertian pembuat (dader), ada dua pandangan : a. Pandangan yang luas (extensief) : - Dengan demikian mereka yang disebut dalam pasal 55 diatas adalah pembuat. - Penganut : M.v.T, Pompe, Hazewinkel-Suringa, van Hattum, Moelyatno. b. Pandangan yang sempit (restrictief) : - Pembuat hanyalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik, jadi hanya pembuat
225
materiil saja (yaitu pada no.1 pada pasal 55 di atas). - Menurut pandangan ini, mereka yang tersebut dalam pasal 55 hanya dipandang sebagai pembuat, jadi hanya disamakan saja dengan dader. - Penganut : HR, Simons, van Hamel, Jonkers.
2. Pleger (pelaku) a. Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik. b. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undangundang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat. Mengenai hal ini ada beberapa pedoman : 1). Peradilan Indonesia Pembuat (dalam arti sempit yaitu pelaku) ialah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab.
226
2). Peradilan Belanda Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus. 3). Pompe Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu. c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal ini ada dua pendapat : 1). Janggal dan tidak pada tempatnya Alasan : Karena pasal 55 berada dibawah bab V yang berjudul “Penyertaan tersangkut beberapa pidana”, pada penyertaan apabila “mereka yang melakukan” (para pelaku) itu diartikan pembuat tunggal. 2). Dapat dipahami Alasan : Karena pasal 55 menyebut “mereka yang dipidana” sebagai pembuat”, jadi plegers termasuk didalamnya “Pompe”. Karena pasal 55 menyebut “ siapa-siapa yang dinamakan pembuat”, jadi plegers
227
juga termasuk (Hazewinkel-Suringa).
didalamnya
3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan) a). Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dengan demikian : - Pembuat langsung (onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministra) - Pembuat tidaklangsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus domina). b). Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb : - Alat yang dipakai adalah manusia; - Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati) - Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari doenpleger . Hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah :
228
Bila ia tidak sempuna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (pasal 44); Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48) Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dimaksudkan dalam pasal 51 ayat (2); Bila ia keliru (sesat) mengenai salah satu unsur delik, misalnya A menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsu oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan tersebut; Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan ybs. (dalam undangundang) misal A menyuruh B (seorang kuli) untuk mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk memiliki bagi dirinya sendiri. c). Dalam hal pembuat materiil (alat) seseorang yang belum cukup umur, maka tidak ada menuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP
229
menganggap orang yang belum cukup unur itu tetap mampu bertanggungjawab (lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini dimungkinkan ada menyuruh lakukan. d). Apakah orang yang menyuruh lakukan (doenpleger) harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ? ada dua pendapat : d.1. Pendapat pertama : “harus”. Alasan, karena tidakmungkin seorang A menyuruh oarng lain B melakukan sesuatu yang A sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak ada doenpleger. d.2. Pendapat kedua : “tidak harus”.
230
“Menyuruh-lakukan sesuatu delik jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adlah pejabat”.
Hazewinkel-Suringa : “Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan perbuatan (pidana), akan tetapi ia justru dipidana walaupun ia tidak melakukan perbuatan”. Misal : A membius B seorang penjaga keamanan kereta api, sehingga lalai menjalankan tugasnya dan timbul kecelakaan. Walaupun A tidak berkualitas seperti B (yaitu tidak mempunyai kewajiban seperti B), A tetap dikatakan sebagai doenpleger dalam delik omissi yang dilakukan oleh B. Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus Walikota Zaan-dam) menyatakan : “Pasal 55 tidak menyatakan bahwa mereka yang menyuruh lakukan adalah dader, tetapi bahwa mereka dipidana sebagai dader, sehingga untuk menjadi middelijke dader (doenpleger) tidak perlu
231
ada kualitas pribadi seperti pembuat materiil”. e). Mungkinkah ada menyuruh lakukan terhadap delik-colpoos? Mungkin, dalam halo rang yang menyuruh-lakukan dapat menduga sebelumnya bahwa ka nada sesuatu akibat yang tidak diharapkan. Misal : A menyuruh seseorang pekerja B untuk melemparkan benda yang berat dari atap rumah ke bawah, tanpa menghiraukan apakah benda itu akan menimpa orang yang kebetulan ada / lewat di bawah atap rumah itu. B mengira bahwa A telah mengadakan pengamanan seperlunya. Jika karena lemparan itu ada yang tertimpa dan mati, maka A dapat dituntu karena menyuruh-lakukan tindak pidana yang tersebut dalam pasal 359 KUHP. 4. Medepleger (orang yang turut serta) a. Pengertian : 1). Undang-undang tidak memberikan definisi 2). Menurut M.v.T : Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut
232
berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. 3). Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada dua kemungkinan : Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras, salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak. Misal : dua orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu. - Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu misalnya : dalam pencurian dengan merusak (pasal 363 ayat (1) ke5) salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada
233
kawannya tadi.
yang
menggangsir
b. Syarat adanya medepleger : Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking). Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar. Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke ultvoering/physieke samenwerking). Persoalan kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit (ingat/lihat Bab VI tentang
234
“percobaan”), namun secara singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik ybs. Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung. Batas antara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam masalah pembantuan. c. Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ? Mengenai hal ini ada dua penadapat : 1). Pendapat pertama : “harus”. Medepleger adalah suatu bentuk daderschap (keadaan / sifat pelaku pembuat), orang turut serta melakukan adalah pembuat (dader) apabila ada beberapa orang bersama-sama melakukan delik, maka mereka timbal balik terhadap satu sama lain disebut pembuat peserta (mededader). Pembuat peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan undang-undang diisyaratkan untuk
235
daderschap. Barang siapa tidak dapat menjadi pembuatan tunggal (alleendader) juga tidak dapat dinamakan pembuat peserta (mededader). Sifat-sifat atau keadaan pribadi yang menentukan dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang mempunyai sifat-sifat tersebut. 2). Pendapat kedua : “tidak harus”. Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5 Januari 1932 yang kasusnya sbb : A memegang gelang milik orang lain untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut untuk kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A dinyatakan salah melakukan penggelapan, sedang suaminya “turut serta melakukan penggelapan” meskipun suaminya tidak memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pasal 372. Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum barang yang ada padanya bukan karena kejahatan “, sedang status suaminya terhadap barang itu ialah
236
menggadaikan barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari A dan tahu bahwa barang itu bukan milik A. d. Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos ? pada turut serta, kesengajaannya ditujukan kepada : 1. Kerjasama dengan orang lain (ditujukan pada perbuatan). 2. Tercapainya hasil yangmerupakan delik (ditujukan pada akibat). Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau kesenjangan orang turut serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan bersama, maka mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Misal : A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan menimpa orang yang ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak
237
menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi mereka bersamasama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun kurang berhati-hati serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu mereka dapat dituntut bersama-sama melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP. 5. Uitlokker (penganjur) a. Pengertian : Pengajur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan. Jadi hamper sama dengan menyuruhlakukan (doen-pleger), pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil / auctor physicus. Adapun perbedaannya sbb : Penganjuran Menyuruh-lakukan Menggerakkannya Sarana dengan sarana- menggerakkannya
238
sarana tertentu (limitatif) Pembuat materiil dapat dipertanggungjawa bkan (tidakmerupakan manus ministra)
tidak ditentukan (tidak limitatif) Pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawa bkan (merupakan manus ministra)
b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana : Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana ialah : Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif). Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).
239
Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil). c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat : 1. Tidak mungkin. d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran atau pengajuran yang gagal ? e. Pertanggungjawaban si penganjur.
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
240
(a). Tidak mungkin. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja. (b). Mungkin. Simons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan oleh undang-undang. Misal : Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan
241
mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya. Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu. d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal ? Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana. (catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti dikemukakan pada no. b diatas.
242
Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan : 1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig). Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana. Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos. 2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap dapat
243
dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum. Catatan :
Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid (sifat dapat dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat dipidananya orang (pertanggungjawaban pidana). Jadi lebih mendekati pandangan monistis. Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum perubahan tahun 1943), dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku). Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater (si turut-serta melakukan / medepleger, anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu / medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung, yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat
244
materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan.
Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh) yang melihatnya dari dua sudut pandang : 1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan pelaku atau peserta lainnya. 2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya. Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo
245
273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal ini berbunyi : 1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri. 2).
Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.
Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan
246
salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) merupakan alasan penghapus penuntutan. Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba / berusaha menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan / doenplegen yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke2. e. Pertanggungjawaban si penganjur. Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal : A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan” (pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (pasal 55 jo 351 ayat (3)).
247
Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A. Namun demikian, A masih dapat dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan. Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan, kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3 bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi pasal 163 bis). Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat dikenakan pada A. Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya
248
sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis. Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338). Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ? Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan) antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju)” atau meliputi juga seluruh corak kesengajaan.
249
Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B (pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara normative oleh Hakim. 6. PEMBANTUAN (medeplichtige) a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana. b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu : Jenis pertama : Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
250
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang Jenis kedua : Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan; Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan). Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta (medeplegen) perbedaannya sbb : Pembantuan Menurut ajaran penyertaan obyektif : perbuatannya hanya membantu / menunjang (ondersteuning shanling) Menurut ajaran subyektif :
Turut Serta Menurut ajaran obyektif : perbuatan merupakan perbuatan pelaksanaan (uitvoering shandelling)
Kesenjangan merupakan animus socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain); Tidak harus ada kerja sama yang disadari (beweste samenwerking) Tidak mempunyai
Kesenjangan merupakan animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik); Harus ada kerja sama yang disadari (bewuste samenworking) Mempunyai kepentingan / tujuan
Menurut ajaran subyektif :
251
kepentingan / tujuan sendiri. Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP). Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (pasal 57-1).
sendiri.
Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana. Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.
Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut : Penganjuran Kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si pengajur (ada kausalitas psikhis)
Pembantuan Kehendak jahat pada pembuat materiil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).
Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu : A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi, Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan,
252
tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku. Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan sama, maka batas antara bentukbentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif. Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris. B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan. Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara
253
tegas. Adapun yang dijadikan batas antara masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang subyektif. Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter (penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan) dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain). Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran karena : -
-
Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “ dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyertaan ini (yang dapat disamakan dengan pembagian autors dan complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris, berarti menganut system yang pertama. Akan tetapi apabila dilhat perbedaan pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.
254
Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut system Code Penal (system pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system KUHP Jerman (system kedua), maka konsekuensinya ialah : A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja. Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh lakukan dan penganjur. Perbedaan antara keduanya jangan dicari dalam sikap batin masing-masing, tetapi cukup bahwa : - Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan - Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 dan si pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan.
255
B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya. c. Pertanggungjawaban pembantu. 1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1); - Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2). Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam : a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417). b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349). 2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3). 3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa
256
pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58. 4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak. E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE DEELNEMING) Misal : 1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh. 2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah C. Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat dipidana karena adanya untuk “membujuk” atau
257
“membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk : - Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”) - Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan “membantu”). Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan. F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE DEELNEMING / NECESSARY COMPLICITY). Misal : 1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih; 2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer Negara asing; 3. pasal 297 : bigamy 4. pasal 284 : perzinahan; 5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun; 6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri. Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada,
258
apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang harus dilakukan. Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik . jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian “noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen). Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada juga yang menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Kami mempersoalkan bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur 15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak keberatan untuk memidana anak gadis tersebut. G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK YANG BERDIRI SENDIRI. Misal : 1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;
259
2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri dari tahanan; 3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan; 4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang dapat dipidana karena sifatnya. Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”). H.
PERBUATAN PENYERTAAN PENYERTAAN (DEELNEMING DEELNEMINGSHANSELINGEN)
DALAM AAN
Misal : 1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56); - putusan Landraad Batavia 18-21936 - putusan Rv j Batavia 20-3-1936 - putusan Rv j Senmarang 20-12-1937 2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56); - putusan Rv j Batavia 8-5-1930 3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55) – putusan Hoge Raad 25-1-1950
260
Catatan : bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai “Tatbescandausdeh-nungsgrund”, contoh-contoh diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang sebagai “delichtum sui generic”. Namun bagi mereka yang memandangnya sebagi “strafausdehnungsgrund”, contoh-contoh diatas dipandang tidak mungkin atau janggal.
261
BAB XII GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)
Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada putusan hakim diantaranya dan terhadap perkaraperkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus. I. BEBERAPA PANDANGAN. Ada dua kelompok pandangan persoalan concursus :
mengenai
1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l HazewinkelSuringa 2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno.
262
II. PENGATURAN DIDALAM KUHP Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari : 1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63. 2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64. 3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71. III. PENGERTIAN 1. Menurut rumusan KUHP : Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :
Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana. Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64 Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masingmasing merupakan kejahatan atau pelanggaran antara
263
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Catatan : Diantara perbuatanperbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut) narus belum ada keputusan hakim. 2. Menurut pendapat sarjana : Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.
264
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat : HAZEWINKEL-SURINGA Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain. Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar kesusilaan di muka umum). POMPE Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak
265
sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia 15 tahun diluar perkawinan). TAVERNE Ada concursus Idealis , apabila : -
-
Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih; Antara perbuatanperbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain.
Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut hukumada dua perbuatan yang masingmasing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:
266
Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang / pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis. VAN BEMMELEN Ada Concursus Idealis, apabila : -
-
Dengan melanggar satu kepentingan hukum. Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons
267
mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatanperbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh. IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL PEMIDANAAN 1. Concursus Idealis (pasal 63). a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
268
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun. b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat. c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara. d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang
269
dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara. 2. Perbuatan berlanjut (pasal 64). a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat. b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
270
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang). 3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71). a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Misal :
271
A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam. A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut. b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak. Misal : 1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara.
272
Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan. 2).
Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat : - Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-; - Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,-
273
-
-
-
-
(atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_ Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960. Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan. Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan). Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
274
3).
Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ? Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
275
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan. Misal : A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi). Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masingmasing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara. e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai
276
hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”. Misal : A melakukan kejahatan-kejahatan sbb : Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara); Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan); Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara); Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara). Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan
277
sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara. Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb : Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).
278
BAB XIII ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA (Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan
279
perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena : 1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan; 2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum. Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasanalasan tidak dapat dipidananya seseorang”. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni : a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP) b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana
280
melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman). Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu: a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48); b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249); c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50); d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah : 1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP; 2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal : I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan
281
II.
Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana : a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundangundangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan). b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum)
282
dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP. Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) : Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
283
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri. Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).
DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP). Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa
284
dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat. Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal : 1. vis absoluta (paksaan yang absolut). 2. vis compulsive (paksaan yang relatif). Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP). Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan
285
perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh daya paksa”). Contoh : A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan. Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
286
Paksaan Dario dalam : Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan. Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum. Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya. KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP). Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand
287
(pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB. Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat : I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum : Contoh klasik : “papan dari carneades”. Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau keduaduanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO). Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :
288
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya. 2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).
III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum : a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat
289
(kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum : Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara) Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter. Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916). b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut : Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat
290
dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang. BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)). Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga
291
untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana . Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok : 1. adanya serangan, Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut : a. b. c. d.
melawan hukum seketika dan langsung ditujukan pada diri sendiri / orang lain terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda 2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan : a. seketika dan langsung b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju
292
menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri. Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ? Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya. Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat. Apakah perbedaan pembelaan darurat ?
antara
keadaan
darurat
dan
293
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak. 2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan. 3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)). 4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum. Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
294
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP) (pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas) Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”. Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut : 1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan. 2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap. 3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara
295
kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum. MENJALANKAN PERINTAH (PASAL 50 KUHP).
UNDANG-UNDANG
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mulamula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban
296
tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban. Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya. Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undangundang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
297
MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)). Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui
298
batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar. Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat : 1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah. 2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya. Contoh lainnya : Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu
299
tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah. Catatan : Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan). Contoh lainnya : Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.
300
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU. Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya : a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anakanak atau anak didiknya (tuchtrecht); b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie); c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim); d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming); e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan); f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air). ALASAN AVAS.
PENGHAPUS
PIDANA
PUTATIEF
DAN
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undangundang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan
301
penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.
302
BAB XIV GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA
A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT. Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah : a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP) b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP) c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP) d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP) e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
303
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah : a. Abolisi b. Amnesti Delik Aduan. Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain. I.1. Bentuk Delik Aduan Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk : a. Delik Aduan Absolut Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk mencegah atau memulai suatu proses penuntutan. Misal :
304
Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi lakilaki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana. Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman). b. Delik Aduan relative Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP). II.2. Yang berhak mengadu (subyek). Ketentuan umum menentukan :
dalam
pasal
72
KUHP
305
1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) : Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata; Wali pengawas / pengampu Istrinya Keluarga sedaraj garis lurus Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
Orang tuanya Anaknya, atau Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya : Untuk perzinahan (pasal 284). Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak berlaku). Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding pengadilan
306
belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku. Untuk melarikan wanita (pasal 332) Yang berhak mengadu : Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74) a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan. II.4. Penarikan kembali aduan. Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya
307
jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76) Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”. Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah : a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara); b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan. Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1) sbb : “Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
308
terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”. Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sbb : Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap; Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama; Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
309
B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap; Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa : I. II.
III.
Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB). Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB); Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya : a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan; b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
310
c. Tetang tidak diterimanya perkara penuntutan sudah daluwarsa.
karena
Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapanpenetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusanputusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana. Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem. Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana. Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim
311
asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa : a) Putusan yang berupa pembebasan; Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling). b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum; Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan. c) Putusan berupa pemidanaan : - Yang sekuruhnya telah dijalani, atau - Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
312
-
Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu. Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana. Misal : A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)? Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada
313
penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja. Catatan : -
Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem; Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;
Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932. Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya. Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan
314
mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima. Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah : a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar : Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu : 1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338), 2) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359), 3) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)). b. Waktu terjadinya tindak pidana Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak
315
dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap. c. Tempat terjadinya tindak pidana. Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem. Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-tepatnya.
316
C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83). Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan. D. DALUWARSA (VERJARING). D.1 Daluwarsa Penuntutan. Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu : Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan. Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan pembuktian. Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup
317
terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan. Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini. D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan. Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun; Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun; Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun; Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan
318
dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah : -
-
-
Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan; Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia; Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut dimasukkan dalam catatan register.
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan. a. Pencegahan (stuiting). Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan
319
tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung. b. Penangguhan (scorsing). Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
320
D.2. Daluwarsa Pemidanaan. Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu : 1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan 2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan. Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini. D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana. Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu : untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun. Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun. Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga. Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
321
“tidak ada daluwarsa untuk mejalankan hukuman mati”.
kewenangan
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstekvonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa). D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan. a. pencegahan (stuiting) pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu : 1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana. Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
322
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung). b. penagguhan (schorsing). Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu : selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain. A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP. E.1. Grasi. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi /
323
diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
Tidak mengeksekusi seluruhnya, Hanya mengeksekusi sebagian saja Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri. Perihal prosedur Grasi diatur dalam undangundang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
324
I. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)). Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat
325
(1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya. Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
326
E.2. Amnesti. Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi). Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik. E.3. Abolisi. Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan
327
dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.
328
BAB XV RESIDIVE ( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
1. PENGERTIAN Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang MKHT. Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive Umum
329
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
2. MENURUT KUHP Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.
330
a. Residive Kejahatan. Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya : i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun ; ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun. iii. Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut. b. Residive Pelanggaran Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
331
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.
3. RECIDIVE DI LUAR KUHP Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang: i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga.
332
SOAL UJIAN DAFTAR PERTANYAAN MATERI DIKLAT ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat dibedakan menurut waktu dan menurut tempat. Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya hukum pidana di dalam KUHP dan di luar KUHP ? 2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi unsur dari suatu perbuatan pidana ?. 3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana ?. 4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader) menurut pasal 55 KUHP ?. 5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?