Daftar Isi Pergeseran Kategori Nomina dan Verba dalam Linguistics Across Cultures dan Linguistik di Pelbagai Budaya Dwi Haryanti ........................................................................... 1 Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat: Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau Chong Shin................................................................................ 19 Distribusi Bahasa Duri dan Bahasa Toraja: Suatu Analisis Geografi Dialek Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed .................................... 35 Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah Yeni Mulyani Supriatin ............................................................ 53 Reformulasi Perancangan Program ESP di Perguruan Tinggi Kusni ........................................................................................ 63 Tinjauan Preskriptif terhadap Pemakaian Kata Di Mana dalam Tulisan Mahasiswa I Dewa Putu Wijana ................................................................. 73 Fungsi dan Batas Kesemenaan Urutan Kata Bahasa Rusia dalam Kajian Perspektif Kalimat Fungsional Mohd. Nasir Latief ................................................................... 85 Peran Stereotipe dalam Komunikasi Lintas Budaya: Kasus Indonesia-Jerman Setiawati Darmojuwono ........................................................... 97 Masalah Relasi Gramatikal Bahasa Rongga: Sebuah Kajian Awal J. Kosmas dan I Wayan Arka ................................................ 107 Resensi Buku: Joan Kelly Hall, Teaching and Researching Language and Culture. Diresensi oleh Rahayu Surtiati Hidayat ................................ 117
Dwi Haryanti
Di samping itu, observasi awal menunjukkan bahwa pergeseran kategori nomina dan verba mendominasi atau banyak terjadi pada buku Lado Linguistics Across Cultures (1957) dan buku Dardjowidjojo Linguistik di Pelbagai Budaya (1979). Alasan lain yang mendukung adalah bahwa kegiatan penerjemahan tidak hanya dilakukan oleh lulusan dari jurusan bahasa Inggris tetapi juga dilakukan oleh lulusan nonbahasa Inggris. Adapun alasan lain yang mendesak adalah bahwa pada kenyataannya ada penerjemah yang hanya menggeser kelas kata tanpa mempertimbangkan pesan sehingga penggeseran kelas kata justru menggeser pesan yang dimaksud dalam bahasa sumbernya. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap pergeseran terjemahan. Berikut ini merupakan fenomena pergeseran kategori nomina dan verba yang terjadi dalam buku Linguistics Across Cultures dan terjemahannya dalam Linguistik di Pelbagai Budaya. Dengan memakai BSu sebagai singkatan untuk bahasa sumber dan BSa sebagai bahasa sasaran marilah kita telaah masalah ini. 060/TPP/HA4/HT5 BSu: The failure in the use of these lay in disregarding their language content. BSa: ‘Metode ini juga gagal dan oleh sebab yang sama pula.’ Kata failure termasuk kategori nomina dalam bahasa Inggris dengan pemarkah the yang berada di depan kata tersebut diterjemahkan ke dalam kategori ajektiva gagal dalam bahasa Indonesia. Kata gagal merupakan kate-gori ajektiva dan berfungsi sebagai predikat dalam kalimat Metode ini juga gagal dan oleh sebab yang sama pula. 090/TPP/HA6/HT6 BSu: We test him on his comprehension of the grammatical meaning of the sentence, or we test his ability to express a grammatical meaning through the patterns of the foreign language. BSa: Yang kita tes ialah komprehensi dari arti gramatik sebuah kalimat, atau pengungkapan suatu arti gramatik melalui pola-pola bahasa asing itu. Kategori verba (to) express dalam bahasa Inggris di atas diterjemahkan ke dalam kategori nomina pengungkapan dalam BSa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklasifikasi variasi pergeseran kategori (category shifts) nomina (nouns) dan verba (verbs) dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, peneliti berusaha mendeskripsikan ketepatan pesan BSa terhadap BSu-nya. Pesan merupakan salah satu kata kunci dalam penerjemahan karena penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan dari BSu ke dalam BSa dengan mempertimbangkan padanan dan ragam teksnya. Seorang penerjemah sebaiknya menguasai BSu, BSa, budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa tersebut, materi yang diterjemahkan, dan ragam dan teks yang diterjemahkan. McGuire (1991: 54) menyatakan bahwa “translator should have a perfect knowledge of both source language and target language”. Pandangan ini didukung oleh Brislin (1976: 47) saat dia menyatakan bahwa “translator
2
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
should know both the source and receptor languages, should be familiar with the subject matter, and should have facility of expression in the receptor language. Oleh karena itu, dengan dikuasainya BSu, BSa, dan teks yang diterjemahkan penerjemah dapat menuliskan pesan sebagai hasil terjemahan yang sepadan dengan BSu-nya. Kesepadanan dalam terjemahan harus dicapai tidak hanya pada pesan tetapi juga pada setiap bentuk bahasanya. Baker (dalam Leonardi 2000: 9-11) menyebutkan tataran padanan yang harus dicapai oleh penerjemah dalam hasil terjemahannya adalah dari tingkat kata, gramatikal, tekstual, dan pragmatik. Kata merupakan tataran bentuk bahasa terkecil yang harus diperhatikan penerjemah. Lebih lanjut Baker menjelaskan bahwa penerjemah harus menetapkan padanan gramatikal bahasa agar teks yang dihasilkannya wajar sehingga mudah dipahami pembaca. Oleh karena itu, diharapkan penerjemah memahami struktur BSu dan BSa secara total, yaitu, perbedaan gramatikal, leksikal, makna, dan semua sistem yang ada pada keduanya sehingga kesepadanan tekstual dan pragmatik dapat dicapai (Catford dan Baker dalam Leonardi 2000: 8-10). Berkait dengan kesepadanan pragmatik tersebut, penerjemah harus memahami konteks teks dan koteks yang diterjemahkannya. Gutt (dalam Hickey 1998: 43) menjelaskan context also includes the text surrounding an utterance, what has sometimes been called the co-text. Bahwa setiap teks terdapat jalinan bentuk dan makna yang tidak dapat dipisahkan sehingga dalam menerjemahkan teks jalinan tersebut harus tetap dipahami oleh penerjemah meskipun dia berusaha melakukan pergeseran-pergeseran dalam menerjemahkan. Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran tataran, pergeseran kelas kata, pergeseran intra-system, dan pergeseran gramatikal (Catford dalam Leonardi 2000: 6-7).
Pergeseran gramatikal dalam terjemahan tak dapat dihindari karena struktur suatu bahasa dapat berbeda dengan struktur bahasa yang lain. Di samping pergeseran gramatikal terdapat pergeseran kategori, yakni, pergeseran salah satu kelas kata BSu ke dalam kelas kata yang lain dalam BSa. Hal tersebut terjadi karena kelas kata sama dalam dua bahasa belum tentu mempunyai konsep yang sama pula. Larson (1984: 58) menyatakan bahwa penerjemah harus berusaha menentukan padanan kategori kata BSu ke dalam BSa tanpa terikat pada kategori yang ada. Kesepadanan pesan tidak dapat dijamin hanya dengan memadankan kategori atau kelas katanya, misalnya, nomina diterjemahkan ke dalam nomina. Oleh karena itu, penerjemah dapat melakukan pergeseran kategori untuk mencapai kesepadanan. Pergeseran kategori (category shifts) dibagi ke dalam structure shifts, class shifts, unit shifts, dan intra-system shifts. Structure shifts adalah perge-seran struktur yang terjadi dari suatu struktur BSu ke dalam struktur yang berbeda dalam BSa. Catford (dalam Shuttleworth 1997: 159-160) menjelaskan bahwa structure shift is a type of category
3
Dwi Haryanti
shift which involves a change in grammatical structure between ST and TT. Class shifts dalam terjemahan terjadi ketika kelas kata hasil terjemahan berubah dari kelas kata BSu-nya. Catford (1974: 78) menjelaskan bahwa class shifts occurs when the translation equivalent of a SL item is a member of a different class from the original item. Dia (dalam Shuttleworth 1997: 18) selanjutnya menjelaskan bahwa class shifts is a type of category shift which involves translating an SL item by means of a TL item belonging to a different grammatical class. Misalnya: a medical student diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ‘seorang mahasiswa kedokteran’. Medical masuk jenis kata ajektiva tetapi kata kedokteran merupakan kata benda. Unit shifts merupakan pergeseran yang terjadi apabila ada pergeseran antara suatu satuan lingual dalam satu tataran BSu dengan satuan lingual dalam tataran yang berbeda dalam BSa. Catford (1974: 79). Adapun intrasystem shifts merupakan pergeseran terjemahan yang terjadi karena adanya pergeseran intrasystem dari BSu ke dalam BSa (Catford dalam Shuttleworth 1997: 88). Berkait dengan tipe-tipe pergeseran di atas, dalam penelitian ini dikhu-suskan pada penelitian kategori nomina dan verba dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kategori kata nomina dan verba bahasa Inggris dan bahasa Indonesia diuraikan dalam makalah ini. Kata benda atau nomina merupakan jenis kata paling penting karena kalimat dapat disusun dengan menggabungkannya dengan kata kerja saja (Frank 1991: 6). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jenis nomina dalam bahasa Inggris antara lain proper nouns, concrete nouns, abstract nouns, countable nouns, uncountable nouns, collective nouns, compound nouns, dan derivative nouns. Contoh proper nouns antara Mrs. Smith, John, Jones, Indonesian, Islam, Sunday, Monday, June, November, Nature, dan Liberty. Kata benda konkret adalah kata yang mengacu pada objek yang dapat dirasakan oleh panca indra, misalnya, flower, tree, boy, father, dan nose. Kata benda abstrak adalah kata yang mengacu pada konsep yang hanya ada dalam benak manusia; contohnya beauty, justice, mankind, kindness, frienship. Kata benda yang dapat dihitung (countable nouns) adalah kata yang biasanya dalam menjamakkannya ditambah dengan –s, -es, dan -en (five chairs, three books, oxen, children), sedangkan kata benda yang tak dapat dihitung adalah kata yang tidak memerlukan sufiks dalam menjamakkannya (mass, coffee, iron). Collective nouns adalah kata yang mengacu pada kelompok manusia, hewan, atau benda yang dianggap sebagai satu kesatuan. Misalnya, audience, committee, class, crew, crowd, dan enemy. Di samping itu, terdapat nomina majemuk, yakni, nomina yang terdiri atas dua kata atau lebih yang menyatu
4
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
menjadi satu kosakata dan membentuk satu jenis kata. Dalam bahasa Inggris kata benda majemuk terdiri atas beberapa bentuk seperti bentuk-bentuk (a) noun + noun: bathroom, department store; (b) possessive noun + noun: lady’s maid, artist’s model; (c) adjective + noun: blackbird, common sense; (d) verb + noun: pickpocket, flashlight; (e) noun + verb: handshake; (f) gerund + noun: dining room; (g) noun + gerund: fortune telling; (h) preposition + noun: overalls, by-way; (i) verb + preposition-adverb: breakdown; dan (j) noun + preposition phrase: son-in-law, editor-in-chief. Kategori nomina jenis lainnya berasal dari kategori ajektiva yang diawali dengan artikel the, misalnya, the poor, the have, the rich. Selain itu, jenis kata adjective yang berakhiran –ch, -sh, -ese, -an juga masuk kelas kata benda, misalnya, the French, the Irish, the chinese, American, Italian, Indonesian. Bentuk adjective yang dimasukkan dalam bentuk kata benda juga bisa bentuk comparative, misalnya, the richest are not always the happiest) dan kemungkinan juga dimodifikasi dengan adverb, misalnya, the newly rich, the very poor dan juga dimodifikasi dengan adjective lain, misalnya, the deprived poor; the arrogant dan selfish rich. Adjective berakhiran –ed digunakan sebagai kata benda yang mengacu pada orang dalam bentuk tunggal, misalnya, his betrothed, the accused, the deceased. Bentuk adjective lain yang berfungsi sebagai kata benda, misalnya, Greek philosophers were searching for the good, the true and the beautiful; The best is still not good enough for him; Please buy some margarine for me; The cheapest is good enough. Kategori nomina yang lain adalah kategori verba dalam bentuk gerund (-ing) merupakan kata benda, misalnya, Swimming is a great sport; Seeing is believing. Di samping itu, juga terdapat beberapa kata yang berfungsi sebagai adverb juga mungkin digunakan sebagai noun, misalnya, from there, by now dsb (Frank 1991: 6-9). Kategori kedua adalah verba. Verba dalam bahasa Inggris merupakan jenis kata yang paling kompleks. Jenis verba pertama adalah predicating atau linking verbs. Kata kerja jenis ini merupakan inti kata dalam predikat yang menyatakan sesuatu mengenai objeknya. Secara tradisional biasanya bentuk ini disebut dengan a verb of action, namun saat ini jenis kata kerja ini juga meliputi kata kerja yang non-action dan linking verbs, sehingga istilah yang digunakan adalah event. Contoh kata kerja predikat adalah remember, cry, write, needs, bring, play, dan type. Lingking verbs merupakan predikat yang tidak lengkap dan kata kerja tersebut menjelaskan bahwa predikat yang sebenarnya akan mengikutinya. Kata penting dalam pelengkap (complement) biasanya adjective atau noun, misalnya, The boy is handsome; The girl is pretty; She is a pretty girl. Linking verb paling umum yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah appear, be, become, get (in the sense of become), look, remain, seem, feel, taste, smell, sound. The milk tastes sour; The rose smells sweet. Selain kategori nomina dan verba dalam bahasa Inggris di atas, berikut ini dijelaskan dua kategori tersebut dalam bahasa Indonesia. Kategori nomina bahasa Indonesia dipandang dari tiga segi, yakni, segi semantis, segi sintaktis, dan segi bentuk. Dari segi semantis, nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian, seperti kucing, meja,
5
Dwi Haryanti
dan kebangsaan. Dari segi sintaktis nomina mempunyai ciri-ciri berikut: (1) dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap, (2) nomina tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak. Kata pengingkarnya ialah bukan, (3) nomina pada umumnya dapat diikuti oleh ajektiva, baik secara langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang (Alwi dkk 2003: 213-215). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari segi bentuk morfologisnya, nomina terdiri atas dua bentuk, yakni, nomina yang berbentuk kata dasar dan nomina turunan. Nomina turunan dapat dilakukan dengan afiksasi, perulangan, dan pemajemukan. Nomina dasar adalah nomina yang hanya terdiri atas satu morfem dan terdapat nomina dasar umum, seperti, malam, rumah, meja, buku, kesatria, kayu, sabit, kursi, tas, dan pensil. Nomina turunan dapat dibuat melalui afiksasi, perulangan, dan pemajemukan. Afiksasi nomina adalah proses pembentukan nomina dengan menambahkan afiks tertentu pada kata dasar. Di samping itu, terdapat reduplikasi atau perulangan, yakni, proses penurunan kata dengan perulangan, baik secara utuh maupun secara sebagian. Alwi dkk. (213: 238-247) menjelaskan bahwa reduplikasi nomina dapat dibagi menjadi empat, yakni, perulangan utuh, perulangan salin suara, perulangan sebagian, dan perulangan yang disertai pengafiksan. Kategori lainnya adalah verba. Verba merupakan salah satu satuan gramatikal yang sangat penting dalam struktur sintaksis. Alwi dkk (2003: 87-90) menjelaskan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk morfologisnya. Adapun ciri yang dimaksud adalah (a) verba mempunyai fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain; (b) verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas; (c) verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti 'paling'. Verba seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah menjadi *termati atau *tersuka; (d) pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti *agak belajar, *sangat lari. Berdasarkan perilaku semantisnya verba dapat dibagi menjadi verba perbuatan (mendekat, mencuri, mandi, naik haji, menakut-nakuti, dan memukuli), verba proses (jatuh, kebanjiran, meninggal, terbakar, mengering, dan jatuh), verba keadaan (mati, berguna), dan verba pengalaman (mendengar, melihat, tahu, lupa, ingat, menyadari, dan merasa). Dari segi perilaku sintaksisnya verba dapat berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitifannya, verba dapat dibagi menjadi verba transitif, ekatransitif, dwitransitif, semitransitif, taktransitif, dan verba berpreposisi. Dari segi bentuknya, verba bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan dua dasar, yaitu, (1) dasar yang tanpa afiks apa pun telah memiliki kategori sintaksis dan mempunyai makna yang dapat berdiri sendiri (misalnya, marah, darat, dan pergi), (2) dasar yang kategori sintaksis maupun maknanya baru
6
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
dapat ditentukan setelah diberi afiks (misalnya, juang, temu, dan selenggara). Berdasarkan dua macam dasar tersebut, terdapat dua macam verba, yakni, verba asal (tidur, ada, datang, makan, mandi, suka, tinggal, dan turun) dan verba turunan (Alwi dkk 2003: 87-98). 1 METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif sehingga peneliti akan mendeskripsikan permasalahan pergeseran kategori terjemahan nouns dan verbs secara mendalam sesuai dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Di samping itu, peneliti juga akan berusaha menemukan dan mendeskripsikan ketepatan penerjemahan dengan terjadinya pergeseran terjemahan nouns dan verbs bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sumber data penting yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yang berupa dua buku yang teah disebutkan di atas, yakni, Linguistics Across Cultures (LPA), karya Robert Lado, dan terjemahannya Linguistik di Pelbagai Budaya (LPB) oleh Soenjono Dardjowidjojo. Data dalam penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang mengandung pergeseran kategori terjemahan nouns dan verbs dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Data dianalisis dengan metode padan translasional dengan penentu langue lain dan metode agih untuk menentukan pergeseran terjemahan kategori nomina dan verba dan metode padan referensial dengan alat penentu referen untuk menentukan ketepatan penerjemahan 2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data yang berupa kalimat-kalimat yang mengandung nomina dan verba dalam buku LAC dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia LPB didapat beberapa temuan sebagai berikut. 2. 1 Pergeseran Terjemahan Nomina dan Ketepatannya Pergeseran terjemahan kategori nomina bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada teks linguistik di atas terdapat 16 variasi, yakni, ke dalam verba, ajektiva, pronomina ‘ini’, nomina, frasa nomina, frasa nomina+nya, nomina majemuk, nomina+nya, nomina jamak ke dalam nomina tunggal, nomina jamak ke frasa nomina, nomina jamak ke nomina tunggal+nya, nomina tunggal ke nomina jamak, nomina tunggal ke nomina jamak+nya, nomina diadopsi, nomina diadaptasi, dan nomina tidak diterjemahkan. Berikut diberikan contoh dan pembahasan singkat agar temuan jelas. 2.1.1
Nomina Diterjemahkan ke dalam Verba
059/TPP/HA4/HT5 BSu: The reaction against rules and lists of words turned to what seemed like "common sense" solution: the use of connected materials. BSa: ‘Sebagai reaksi terhadap metode ini timbullah metode “common sense” yang memakai rangkaian materi sebagai bahan pelajaran.’
7
Dwi Haryanti
Kategori nomina use pada frasa the use of connected materials pada kali-mat bahasa Inggris diterjemahkan menjadi kategori verba memakai. Pergeseran terjemahan dari nomina ke dalam verba tersebut tidak mengubah pesan karena fungsi frasa secara keseluruhan memberikan penjelas pada kata majemuk common sense dengan adanya tanda baca titik dua (:) di depannya. Munculnya kata yang pada yang memakai juga menjelaskan common sense. Perlu dicermati pula bahwa memakai yang berkategori verba tersebut didahului dengan kata yang sehingga dalam konteks tersebut verba berubah kategori menjadi nomina. Namun demikian, pergeseran nomina ke verba dalam terjemahan tersebut tidak mengubah pesan sehingga terjemahan di atas dapat dikatakan tepat. 2.1.2
Nomina Diterjemahkan ke dalam Ajektiva
060/TPP/HA4/HT5 BSu: The failure in the use of these lay in disregarding their language content. BSa: ‘Metode ini juga gagal dan oleh sebab yang sama pula.’ Kategori kata failure merupakan nomina turunan dari ajektiva fail yang mendapat sufiks –ure. Nomina failure dalam kalimat bahasa Inggris berfungsi sebagai subjek dengan artikel the, sedangkan kata gagal dalam kalimat bahasa Indonesia di atas merupakan kategori ajektiva yang berfungsi sebagai predikat sehingga terjadi pergeseran letak dan fungsi. Oleh karena itu, terdapat pergeseran terjemahan dari nomina failure menjadi ajektiva gagal namun tidak mengubah pesan secara kontekstual sehingga terjemahan tersebut berterima dalam bahasa Indonesia, bila diperhatikan kalimat sebelum dan sesudahnya. 2.1.3
Nomina Diterjemahkan ke dalam Pronomina ‘ini’
034/TPP/HA3/HT3 BSu: The untrained teacher and student may get the impression that the book does simplify the learning of the language. BSa: ‘Guru yang tak terlatih bisa tergelincir, karena dia akan menganggap bahwa ini betul-betul mempermudah cara belajar.’ Terjemahan di atas mempunyai kesepadanan pesan dengan BSu walaupun terjadi pergeseran kategori nomina menjadi pronomina ini. Kategori nomina book pada frasa the book yang diterjemahkan ke dalam pronomina ini dapat mewakili makna yang terkandung dalam BSu. Namun demikian, terdapat kekurangtepatan terjemahan karena tidak diterjemahkannya kata student dalam kalimat sumber sehingga ada bagian informasi yang hilang tetapi pesan secara keseluruhan konteks tidak berubah.
8
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
2.1.4
Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina
051/TPP/HA4/HT4 BSu: The professionally trained teacher should notice not only a "foreign” accent or an "incorrect" form but a clear-cut, specific distortion of a sound, construction, or cultural pattern. BSa: Seorang guru profesionil harus bisa melihat tidak hanya "aksen" asing dan bentuk yang "salah" saja, tetapi juga distorsi yang spesifik dalam bunyi, konstruksi, maupun pola-pola budaya.’ Kalimat bahasa Inggris di atas mempunyai tujuh kategori nomina yang diterjemahkan ke dalam nomina juga dalam bahasa Indonesia. Nomina teacher diterjemahkan ke dalam guru, accent diterjemahkan ke aksen, form ke dalam bentuk, distortion ke dalam distorsi, sound ke dalam suara, construction ke dalam konstruksi, pattern ke dalam pola-pola. Oleh karenanya, setelah diperhatikan pesan BSa tidak berbeda dengan BSu sehingga terjemahan kalimat di atas merupakan terjemahan yang dapat diterima. 2.1.5
Nomina Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina
035/TPP/HA3/HT3 BSu: But in reality it does not teach the foreign language; it merely entertains teacher and student in easy but unproductive activity. BSa: Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa buku tadi tidak mengajarkan sebuah bahasa asing, melainkan menghibur sang guru beserta para siswanya dengan suatu cara yang tidak produktif.’ Nomina teacher pada kalimat di atas diterjemahkan ke dalam frasa nomina sang guru dan activity diterjemahkan ke dalam suatu cara. Terjadinya pergeseran terjemahan nomina bahasa Inggris ke dalam frasa nomina bahasa Indonesia pada kalimat di atas tidak mengurangi makna dan pesan BSu. 2.1.6
Nomina Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina+nya
027/TPP/HA2/HT2 BSu: On the surface, most textbooks look pretty much alike. BSa: Dari bentuk luarnya kebanyakan buku pelajaran kelihatannya sama.’ Nomina surface pada frasa the surface diterjemahkan ke dalam nomina +nya, bentuk luar+nya, dan secara keseluruhan kalimat ini tidak mengubah pesan meskipun terjadi pergeseran terjemahan kategori nomina. Hal tersebut dilakukan oleh penerjemah untuk mencapai nilai keterbacaan dalam BSa sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Partikel –nya sebenarnya menunjuk pada the pada the surface yang mengacu pada konteks sebelumnya karena yang diterjemahkan adalah wacana utuh.
9
Dwi Haryanti
2.1.7
Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina Majemuk
037/TPP/HA3/HT3 BSu: Textbooks should be graded as to grammatical structure, pronunciation, vocabulary, and cultural content. BSa: Buku pelajaran harus dinilai dari segi struktur gramatik, ucapan, kosakata, dan isi budayanya.’ Nomina majemuk kosakata merupakan terjemahan dari nomina vocabulary. Kalimat terjemahan tersebut mempunyai pesan yang sama dengan BSu sehingga pergeseran kategori nomina ke dalam nomina majemuk tidak mengurangi makna yang ada. 2.1.8
Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina + nya
021/TPP/HA2/HT2 BSu: In practice a teacher may be called upon to apply this knowledge under various circumstances. BSa: Dalam prakteknya, seorang guru yang demikian itu bisa dimintai bantuan untuk mempraktekkan ilmunya dalam berbagai-bagai situasi. Knowledge yang merupakan nomina dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam nomina+nya ilmunya dalam bahasa Indonesia dan tidak mengubah pesan sehingga terjemahan tersebut tepat. Partikel –nya dalam konteks di atas tidak aneh dilakukan penerjemah karena penerjemah bukan menghadapi kalimat lepas tetapi wacana yang berkohesi dan koherensi yang diterjemahkannya. 2.1.9
Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Nomina Tunggal
149/TPP/HA9/HT11 BSu: Phonemes are units of sound that exist in all the languages we know, whether or not they have ever been written. BSa: Fonim adalah kesatuan bunyi yang terdapat di semua bahasa, baik bahasa itu mempunyai tulisan atau tidak. Nomina jamak phonemes dan units diterjemahkan ke dalam nomina tunggal fonim dan kesatuan. Pergeseran tersebut tidak mengurangi pesan karena terdapat sistem yang berbeda antara BSu dengan BSa. Salah satu pemarkah nomina jamak pada bahasa Inggris adalah penambahan –s atau -es sedangkan dalam bahasa Indonesia nomina yang bermakna jamak tidak harus mempunyai pemarkah tetapi berdasarkan konteks yang mengikutinya. 2.1.10 Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina 013/TPP/HA2/HT2 BSu: The teacher of foreign languages may wonder why he has to go through the painful business of comparing languages. BSa: Guru bahasa bisa bertanya mengapa dia harus bersusah payah membandingkan bahasa yang dia ajarkan dengan bahasa para siswa.’
10
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Pergeseran terjemahan terjadi pada data di atas, yakni, nomina jamak diterjemahkan ke dalam frasa nomina. Nomina languages diterjemahkan ke dalam bahasa yang dia ajarkan dengan bahasa para siswa yang merupakan frasa nomina dengan kata pusatnya bahasa kemudian pewatas belakang yang panjang dimulai dengan kata yang. Pergeseran tersebut memperjelas pesan kalimat sehingga tidak mengubah pesan. 2.1.11 Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Nomina Tunggal + nya 028/TPP/HA2/HT2 BSu: Publishers see to it that their books look attractive and that the titles sound enticing. BSa: Penerbitan selalu berusaha agar buku mereka kelihatan rapi dan menarik, termasuk judulnya. Kalimat di atas mengandung nomina jamak titles yang diterjemahkan ke dalam nomina tunggal+nya, yakni, judulnya. Partikel –nya dalam judulnya merujuk pada buku yang dikeluarkan oleh penerbit dan makna -nya juga tersurat dalam the sebagai artikel dalam frasa the titles karena artikel the merujuk pada sesuatu yang sudah jelas yang biasanya sudah disebutkan sebelumnya. 2.1.12 Nomina Tunggal Diterjemahkan ke dalam Nomina Jamak 003/TPP/HA1/HT1 BSu: …The most effective materials are those that are based upon a scientific description of the language to be learned, carefully compared with a parallel description of the native language of the learner." BSa: Bahan-bahan yang efektif haruslah didasarkan atas suatu deskripsi ilmiah dari bahasa yang akan dipelajari dan yang kemudian dibandingkan dengan bahasa ibu dari para pelajar. Pada buku LAC dan terjemahannya terdapat pergeseran dari nomina tunggal ke dalam nomina jamak. Kasus tersebut terdapat dalam data 003/ TPP/HA1/HT1, yakni, nomina tunggal learner diterjemahkan ke dalam para pelajar. Para merupakan salah satu pemarkah jamak dalam bahasa Indonesia dan dalam hal ini sebagai pemarkah jamak nomina pelajar. Pergeseran terjemahan di atas tidak mengurangi pesan yang disampaikan di dalam BSa. 2.1.13 Nomina Tunggal Diterjemahkan ke dalam Nomina Jamak + nya 035/TPP/HA3/HT3 BSu: But in reality it does not teach the foreign language; it merely entertains teacher and student in easy but unproductive activity. BSa: Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa buku tadi tidak mengajarkan sebuah bahasa asing, melainkan menghibur sang guru beserta para siswanya dengan suatu cara yang tidak produktif.
11
Dwi Haryanti
Selain pergeseran di atas, nomina tunggal dapat diterjemahkan ke dalam nomina jamak+nya, yakni, student menjadi para siswanya. Terjemahan yang digeser tersebut tidak mengurangi pesan yang dimaksud dalam BSu. 2.1.14 Nomina Diadopsi 198/TPP/HA11/12/HT14 BSu: Since the transfer is usually in one direction, from the native language to the foreign language, an analysis with English as the foreign language is not the same as one with English as the native language. BSa: Karena transfer biasanya menuju ke satu arah, yakni, dari bahasa ibu ke bahasa asing, maka suatu analisa di mana Bahasa Inggris (BI) dipakai sebagai bahasa asing tidak sama dengan analisa di mana BI dipakai sebagai bahasa ibu. Kategori nomina transfer pada frasa the transfer diadopsi ke dalam terjemahan bahasa Indonesia. Diadopsi berarti diambil semua bentuk dan tidak ada penyesuaian tulisan dalam BSa sehingga ada kemungkinan tidak mengubah makna. Hal ini dapat dilakukan apabila kata tersebut sudah umum digunakan, nama orang, tempat, atau elemen budaya lain yang tidak mempunyai padanan dekat dengan BSa. 2.1.15 Nomina Diadaptasi 061/TPP/HA4/HT5 BSu: The number of passages and compositions that could be expressed in language are infinite, and it is easy to find a passage or a composition topic in which one might do badlyeven knowing the language. BSa: Jumlah bacaan atau komposisi yang bisa ditulis dalam suatu bahasa tidak terbatas. Karena itu sangat mudah untuk mendapatkan sebuah materi yang bisa menjatuhkan siapa saja yang menempuh tes tadi. Nomina turunan dalam bahasa Inggris compositions di atas diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi komposisi. Diadaptasi berarti peminjaman kata asing (dalam hal ini BSu), disesuaikan dengan BSa dengan cara mengubah tulisan dan ucapan tetapi masih tampak terpengaruh kata asing tersebut. Dalam kasus adaptasi tersebut tidak ada perubahan makna dan pesan. 2.1.16 Nomina tidak Diterjemahkan 048/TPP/HA3/4/HT4 BSu: The teacher will at all times in working with his students be faced with the need to diagnose quickly and accurately the problems troubling a student. BSa: Dalam menghadapi para siswa, seorang gürü selalu diharapkan untuk bisa memberikan diagnose secara cepat dan tepat terhadap kesukarankesukaran yang dihadapi para siswa.
12
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Salah satu data yang mengandung nomina tetapi tidak diterjemahkan adalah data nomor 048/TPP/HA3/HT4. Tidak diterjemahkannya nomina times pada frasa all times dan need pada frasa the need pada data di atas menyebabkan pesan menjadi berkurang karena ada informasi yang tidak disampaikan dalam kalimat BSa. Namun demikian karena struktur BSa disusun wajar maka tidak sulit untuk dipahami. 3 PERGESERAN TERJEMAHAN VERBA DAN KETEPATANNYA Verba bahasa Inggris dalam LAC diterjemahkan ke dalam 10 variasi, yakni, verba yang diterjemahkan ke dalam nomina, ajektiva, kata tanya, klausa, frasa preposisi, verba, frasa verba, verba+partikel (-nya dan –lah), men + transfer, dan verba yang tidak diterjemahkan. 3.1 Verba Diterjemahkan ke dalam Nomina 090/TPP/HA6/HT6 BSu: We test him on his comprehension of the grammatical meaning of the sentence, or we test his ability to express a grammatical meaning through the patterns of the foreign language. BSa: Yang kita tes ialah komprehensi dari arti gramatik sebuah kalimat, atau pengungkapan suatu arti gramatik melalui pola-pola bahasa asing itu. Pergeseran kategori verba terjadi dari BSu ke dalam BSa pada LAC dan terjemahannya. Salah satu variasi pergeseran tersebut adalah dari verba ke dalam nomina, yakni, verba express diterjemahkan menjadi pengungkapan yang berkategori nomina. Pewatas verba adalah ada to pada to express dan pewatas nomina dalam BSa adalah konfiks pe - an pada pengungkapan yang berkatadasar ungkap. Secara keseluruhan makna kalimat di atas tidak mengalami perubahan meskipun terjadi pergeseran dari verba ke nomina. 3.2 Verba Diterjemahkan ke dalam Ajektiva 005/TPP/HA1/HT1 BSu: The same assumption, that in the comparison between Native and foreign language lies the key to ease or difficulty in foreign language learning, was applied to the preparation of language achievement tests by Lado.4 BSa: Landasan yang sama, yakni, bahwa perbandingan antara bahasa ibu dengan bahasa asing merupakan kunci terhadap efektif tidaknya suatu pengajaran bahasa asing, telah juga dipraktekkan dalam mempersiapkan “achievement test” oleh Lado. Kategori verba (to) ease diterjemahkan ke dalam ajektiva efektif dalam BSa dan tidak mengubah pesan dari bahasa aslinya. Penerjemah berusaha menyusun BSa sewajarnya sehingga pesan tidak berubah dan kalimat mudah dipahami oleh pembaca.
13
Dwi Haryanti
3.3 Verba Diterjemahkan ke dalam Kata Tanya 014/TPP/HA2/HT2 BSu: Is it not his responsibility simply to teach a foreign language? BSa: Apakah tugas dia bukan hanya mengajar bahasa asing itu saja? Kata tanya merupakan salah satu variasi pergeseran terjemahan kategori verba dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kata tanya tersebut merupakan terjemahan lingking verbs yang berada paling depan dalam kalimat tanya (interrogative sentence), misalnya, is, am, are, was, were, appear, become, dan smell. Dalam kasus di atas is diterjemahkan ke dalam apakah. 3.4 Verba Diterjemahkan ke dalam Klausa 045/TPP/HA3/HT3/4 BSu: Commonly, the teacher finds that he is given an assigned Textbook that he finds inadequate both as to linguistic and cultural content. BSa: Tidak jarang terjadi bahwa seorang guru mendapat buku yang dia pakai tidak sempurna, baik ditinjau dari segi linguistik maupun darÕ segi budaya. Lexical verb atau auxiliary verbs dalam kalimat bahasa Inggris di atas, yakni, is given diterjemahkan ke dalam klausa dia pakai. Klausa dia pakai bersubjek dia dan berpredikat pakai. Terjemahan tersebut lebih sederhana dari BSu tetapi informasi yang disampaikan tidak berubah. 3.5 Verba Diterjemahkan ke dalam Frasa Preposisi 073/TPP/HA5/HT5 BSu: The application of the techniques of linguistic comparison tocultural comparison is now being explored and has already shown positive results for testing of cultural understanding. BSa: Dalam perbandingan budaya, pengetrapan ini masih dalam taraf penyelidikan, meskipun sudah ada hasil-hasil positif yang telah dicapai. Salah satu jenis verba dalam bahasa Inggris adalah auxiliary verb atau lexical verb yang dapat juga disebut verb phrase karena terdiri atas lebih dari satu verb. Dalam datum nomor 073/TPP/HA5/HT5 lexical verb-nya adalah is being explored. Terjemahan yang berupa masih dalam taraf penyelidikan merupakan frasa preposisi dengan pemarkah kata dalam. Pesan BSa sesuai dengan BSu meskipun terdapat pergeseran kategori dan perubahan struktur kalimat. 3.6 Verba Diterjemahkan ke dalam Verba 135/TPP/HA8/HT9 BSu: The following chapters present working techniques to carry out specific comparison of two systems of pronunciation, grammatical structure, vocabulary, writing, and cultural behavior
14
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
BSa:
Bab-bab berikut menyajikan teknik-teknik untuk melaksanakan perbandingan spesifik dari dua sistem ucapan, struktur gramatik, kosa kata, tulisan, dan tingkah-laku budaya.
Terdapat dua verba yang diterjemahkan ke dalam verba pada kalimat di atas. Verba present diterjemahkan ke dalam menyajikan dan carry out diterjemahkan ke dalam melaksanakan dan tidak mengubah pesan yang ada dalam BSu. 3.7 Verba Diterjemahkan ke dalam Frasa Verba 078/TPP/HA5/HT5 BSu: We used to talk in vague terms about foreign accent, comprehensibility, amusing errors in pronunciation, and the like, or we avoided the problem of testing pronunciation altogether. BSa: Dulu kita hanya berbicara tentang aksen asing, tentang pengertian kita terhadap sebuah bacaan, tentang kesalahan-kesalahan yang lucu dalam ucapan dan sebagainya. Kadang-kadang kita malah tidak mengindahkan hal-hal semacam ini samasekali. Di samping terjemahan dari verba ke verba terdapat variasi lain, yakni, dari verba ke dalam frasa verba. Pada kalimat di atas verba avoided diterjemahkan ke dalam frasa verba malah tidak mengindahkan. Dalam kasus di atas, penerjemah berusaha menangkap pesan BSu kemudian mengungkap pesan yang sama dalam BSa. 3.7 Verba Diterjemahkan ke dalam Verba+partikel (-nya dan –lah) 027/TPP/HA2/HT2 BSu: On the surface, most textbooks look pretty much alike. BSa: Dari bentuk luarnya kebanyakan buku pelajaran kelihatannya sama. Verba look diterjemahkan ke dalam verba + partikel -nya menjadi kelihatannya. Pergeseran terjemahan di atas tidak mengurangi pesan dan informasi yang disampaikan dalam BSa. 3.8 Verba Diterjemahkan ke dalam men + transfer 011/TPP/HA2/HT2 BSu: … that individuals tend to transfer the forms and meanings, and the distribution of forms and meanings … BSa: Dengan kata lain kita katakan bahwa pelajar mempunyai kecenderungan untuk men”transfer” bentuk, arti, dan distribusi dari bahasa atau budaya yang sedang mereka pelajari… Verba transfer dialihkan ke dalam men“transfer”, yakni, verba dialihkan sebagian, yakni, dengan menambahkan sufiks men- pada kata aslinya dan secara kontekstual tidak mengubah pesan yang disampaikan.
15
Dwi Haryanti
3.9 Verba tidak Diterjemahkan. 107/TPP/HA7/HT7 BSu: Good experimental test items have been worked out from the information yielded by that partial comparison of cultural behavior, and we have every reason to believe that much more complete testing of cultural understanding can be carried out with present tools. BSa: Banyak percobaan yang telah dilakukan dalam bidang ini, dan kita percaya bahwa testing pengertian budaya yang lebih sempurna akan bisa dilaksanakan dengan saksama. Dalam buku LAC dan LPB terdapat verba yang tidak diterjemahkan dan tidak mengubah pesan yang disampaikan dalam BSa tetapi ada sedikit informasi yang kurang lengkap. Verba yang tidak diterjemahkan dalam kalimat di atas adalah yielded (by). 4 SIMPULAN Berdasarkan semua uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam Linguistics Across Cultures karya Robert Lado dan terjemahannya Linguistik di Pelbagai Budaya oleh Soenjono Dardjowidjojo terdapat pergeseran kategori sebagai berikut. 1. Nomina diterjemahkan ke dalam 16 variasi, yakni, ke dalam verba, ajektiva, pronomina ‘ini’, nomina, frasa nomina, frasa nomina+nya, nomina majemuk, nomina+nya, nomina jamak ke dalam nomina tunggal, nomina jamak ke frasa nomina, nomina jamak ke nomina tunggal+nya, nomina tunggal ke nomina jamak, nomina tunggal ke nomina jamak+nya, nomina diadopsi, nomina diadaptasi, dan nomina tidak diterjemahkan. 2. Verba diterjemahkan ke dalam 10 variasi, yakni, verba diterjemahkan ke dalam nomina, ajektiva, kata tanya, klausa, frasa preposisi, verba, frasa verba, verba+partikel (-nya dan –lah), men + transfer, verba tidak diterjemahkan. 3. Hasil terjemahan pada dasarnya mempunyai ketepatan yang baik dan tidak ada perubahan pesan namun ada sedikit kekurangan informasi karena ada kata dan kalimat yang tidak diterjemahkan ke dalam BSa.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, dan Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Baker, M. 1995. In Other Words: A Course Book on Translation. London and New York: Routledge. Brislin, R. W. 1976. Translation: Application and Research. New York: Gardner Press Inc.
16
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press. Dardjowidjojo, Soenjono. 1979. Linguistik di Pelbagai Budaya. Bandung: Ganaco N.V. Terjemahan buku Lado, Linguistics Across Cultures. Haryanti, Dwi. 2005. Pergeseran Terjemahan Nouns dan Verbs dalam The Oldman and the Sea, A Farewell to Arms, dan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Hasil Penelitian Dosen Muda. Surakarta: Lembaga Penelitian UMS. Frank, Marcella. 1991. Modern English: A Practical Reference Guide. New Jersey: Prentice Hall. Hickey, Leo. 1998. The Pragmatics of Translation. Clevedon: British Library Cataloging in Publication Data. Lado, Robert. 1974. Linguistics Across Cultures. Michigan: The University of Michigan Press. Larson, M. L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. America: University Press of America. Leonardi, Vanessa. 2000. “Equivalence in Translation: Between Myth and Reality”. Translation Journal, Vol. 4, No. 4. Nord, Christiane. 2001. Translating as a Purposeful Activity. Manchester: St. Jerome Publishing. Shuttleworth, Mark dan Moira Cowie. 1997. Dictionary of Translation Studies. Manchester: St Jerome Publishing.
17
MASYARAKAT TIONGHOA KALIMANTAN BARAT: TINJAUAN PEMILIHAN BAHASA DI KOTA SEKADAU1 Chong Shin Institut Alam dan Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia
Abstract Although the Chinese community is stpread throughout Indonesia, the linguistic study of this minority group has been focused only in Java. To compensate for this discrepancy, a sociliolinguistic study was conducted outside Jawa, that is, in the city of Sekadau, West Kalimantan. The research is to reveal how the Chine community in the Sekadau multilingual area choses a language to use in their social interaction. The theory used is based on Fishman’s 1970 work, particularly in the social domain for the the language choice.
PENGENALAN Masyarakat Tionghoa merupakan suku minoritas yang tampak dan tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, hampir semua penelitian linguistik Sinologi mengenainya berfokus kepada masyarakat Tionghoa di Pulau Jawa saja (Chong 2003: 1). Memandang kelemahan sumber ilmiah ini, penelitian sosiolinguistik asasi telah dilakukan di kota Sekadau. Dalam makalah ini, dibahas pemilihan dan penggunaan bahasa dalam hubungan interetnik dan intraetnik oleh masyarakat Tionghoa di kota ini dengan berdasarkan kerangka teori Fishman (1970), yaitu, ranah (domain) dan pemilihan bahasa. Sesudah Pengenalan ada empat bagian lain: Bagian 1 -- Masyarakat Tionghoa di Kota Sekadau; Bagian 2 -- Kerangka Teori Pemilihan Bahasa; Bagian 3 – Masyarakat Tionghoa dan Pemilihan Bahasa; dan, Bagian 4 -- Kesimpulan. 1 MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA SEKADAU Bagian ini menguraikan kondisi geografi dan sosial-masyarakat di kota Sekadau. Dari segi geografi, kota Sekadau terletak di muara Sungai Sekadau, yaitu, sebuah anak sungai Kapuas yang terletak kira-kira 300 km dari pantai Kalimantan Barat (Lihat Peta 1). Berdasarkan wilayah administratif Republik Indonesia, kota ini terletak di kecamatan Sekadau Hilir2, yang berbatas dengan kecamatan Belitang Hilir di utara, kecamatan Sepauk, (kabupaten Sintang) di Timur, kecamatan Sekadau Hulu di Selatan dan kecamatan Mukok di barat (Kecamatan Sekadau 1996:1-2). Di kota Sekadau, terdapat tiga suku yang utama, yaitu, suku Melayu, Dayak 3 dan suku Tionghoa. Suku Tionghoa berjumlah kira-kira 1200 orang dan kebanyakan mereka merupakan peniaga runcit. Dalam kominitas Tionghoa 19
Chong Shin
ini, terdapat dua subsuku: suku Khek (suku mayoritas) dan Hoklo (suku minoritas). Dari segi sejarah migrasi orang Tionghoa di lembah Kapuas, kedua suku Tionghoa ini berasal dari wilayah Selatan negara China (Lihat Peta 2). Golongan ini semula berhijrah ke Kalimantan Barat sekitar akhir abad ke-17 untuk bekerja di tambang-tambang emas di persisir pantai (Lihat Peta 3). Akibat kehabisan sumber emas, terutama di wilayah Mandor, pada tahun 1832, orang Tionghoa ini mula berpindah ke anak sungai Landak dan melombong di lembah Belentian. Pada tahun 1851, sekumpulan besar dari mereka telah berhijrah ke Bonan dan di lembah ulu Tayan. Dari situ, mereka menembusi lebih mendalam ke lembah Kapuas (Lihat Peta 4). Pada awal abad ke-19, orang Tionghoa telah berpindah sampai di Sekadau dan Sintang. Seawal tahun 1820an, terdapat lebih 200 orang Tionghoa yang bekerja di tambang emas di Sungai Ayak dan sekitar Sekadau (Jackson, 1970: 26; Lihat juga Heidhues, 2003). Dari segi bahasa, orang Tionghoa di kota Sekadau hidup dikelilingi oleh pelbagai bahasa yang dituturkan oleh suku pribumi di lembah Sekadau. Mengikuti pengetahuan lokal, terdapat 12 bahasa yang dikenal dan diberikan nama di lembah Sekadau (Chong 2003 dan 2005). Menurut Chong (2005), walaupun kadar diversiti bahasa memang tinggi di lembah Sekadau, hanya 4 bahasa yang sering diguna-pakai oleh orang Tionghoa kota Sekadau, yakni, bahasa Indonesia, dialek Melayu Sekadau, bahasa Khek dan bahasa Hoklo– kedua-dua bahasa terakhir adalah bahasa Sinitik4. Dalam interaksi harian, bahasa Khek merupakan bahasa interaksi interetnik (sesama suku Tionghoa Khek-Khek dan Khek-Hoklo). Dialek Melayu Sekadau dan bahasa Indonesia masing-masing merupakan bahasa hubungan intraetnik utama (sesama suku Tionghoa-Melayu/Dayak). Setiap bahasa yang diguna-pakai untuk interaksi, baik Khek, Hoklo, Indonesia maupun Melayu Sekadau, masing-masing berbeda-beda mengikut ranah. Makalah ini berusaha membicarakannya berdasarkan ranah sosial yang dikemukakan oleh Fishman (1970). 3 KERANGKA TEORI PEMILIHAN BAHASA Dalam menganalisis pemilihan bahasa, Fishman dan Greenfield (1970 dalam Fishman 1971: 250-255) memperkenalkan konsep ranah5. Konsep ini ditafsirkan oleh Winford (2003: 114) dengan pengertian berikut: … domain analysis has provided much insight into the general patterns of language choice in bilingual communities. The concept provides a link between the micro-level organization of society, with its “sociocultural norms and expectations,” and the micro-level organization of language use manifested in “individual behavior at the level of face-toface verbal encounters.
Semasa meneliti pemilihan bahasa oleh masyarakat Puerto Rico (New York), Greenfield, yang sesudah setahun lebih melakukan partisipasi observasi dan mengumpul data, telah membentuk lima ranah, yaitu. ranah keluarga, persahabatan, agama, pendidikan, dan pekerjaan untuk menilai pemilihan bahasa oleh komunitas ini. Setiap ranah yang dibentuk berdasarkan peserta, tempat dan topik pembicaraan. Model tersebut adalah seperti berikut:
20
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
Ranah
Peserta
Tempat
Topik
Keluarga
Ibu bapak
Rumah
Bagaimana untuk menjadi anak yang baik.
Persahabatan Kawan
Pantai
Macamana untuk bermain sesuatu permainan.
Agama
Pastor
Gereja
Bagaimana untuk menjadi penganut yang baik.
Pendidikan
Guru
Sekolah
Bagaimana untuk menyelesaikan masalah algebra.
Pekerjaan
Pekerja
Tempat kerja
Bagaimana untuk melakukan kerja dengan lebih efisien.
TABEL 1: Model Ranah dalam Pemilihan Bahasa (Fishman, 1971: 250) 3 MASYARAKAT TIONGHOA DAN PEMILIHAN BAHASA Bagian ini membicarakan beberapa kasus pemilihan bahasa (Khek, Hoklo, Indonesia, dan Melayu Sekadau) oleh orang Tionghoa dalam sesuatu ranah. Data yang digunakan untuk diskusi ini merupakan data wawancara (dan juga partisipasi observasi) dengan 30 orang Tionghoa yang bersuku Khek, Hoklo, campuran Khek-Hoklo dan campuran Tionghoa-pribumi. Terdapat 3 ranah yang dilihat: ranah kekeluargaan, ranah masyarakat, dan ranah keagamaan dan kebudayaan, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 2 halaman berikut: 3.1 Ranah Kekeluargaan Anggota keluarga yang melatari ranah ini ialah seperti ibu bapak dan saudarasaudara. Pada lazimnya, bahasa ibunda (Khek ataupun Hoklo) merupakan bahasa komunikasi utama dalam keluarga Tionghoa untuk topik-topik pembicaraan. Kajian Erinita (2001: 70) melaporkan bahwa mahasiswa Tionghoa di kota Pontianak (Kalbar) memilih berbahasa Tionghoa, yakni, bahasa Ibunda dalam keluarga. Namun demikian, di kota Sekadau, penggunaan dan pemilihan bahasa tampaknya lebih kompleks. Berikut adalah uraiannya.
21
Chong Shin
Keluarga Tionghoa Khek Hasil wawancara dengan 18 orang Tionghoa Khek di kota Sekadau mendapati bahawa 17 orang daripadanya mengaku diri mereka berbahasa Khek dengan ibu bapa dan saudara di rumah. Ini ditampilkan dalam Tabel 4. Ranah Kekeluargaan
Keanggotaan Ahli-ahli keluarga
Tempat Rumah dan sekitarnya
Masyarakat
Masyarakat berbilang suku, misalnya Tionghoa, Melayu, Dayak dan suku-suku lain.
Tempat berkumpul, toko makan dan minum, tempattempat umum (seperti studio radio), sekolah dan sebagainya.
Keagamaan dan kebudayaan
Penganut-penganut yang seagama
Gereja, klenteng dan tempat ibadah Konfucu.
Tabel 3: Ranah-ranah Penggunaan Bahasa di Kota Sekadau. ______________________________________________________ Bahasa Khek Hoklo Jumlah ______________________________________________________ Bilangan 17 1 18 ______________________________________________________ Tabel 4: Penggunaan Bahasa Dalam Keluarga Tionghoa Khek di Rumah. Pada kebiasaannya, bahasa yang digunakan dalam keluarga Tionghoa adalah sejajar dengan afiliasi keturunan mereka. Maksudnya mereka yang mengaku diri sebagai suku Khek memang berbahasa Khek dalam keluarga. Namun, terdapat satu kasus yang memaparkan kelainan, yaitu, sebuah keluarga yang mengaku mereka suku Khek tetapi mereka berbahasa Hoklo di rumah. Rupanya, pertukaran bahasa dalam keluarga Tionghoa ini bermula sejak generasi nenek mereka. Jadi sehingga hari ini, bahasa Hoklo merupakan bahasa di rumah mereka, walaupun mereka merupakan suku Khek. Perubahan bahasa keluarga sesudah beberapa generasi turut dilaporkan oleh Dédé (1987: 107). Menurutnya di Pasuruan, terdapat masyarakat Tionghoa Peranakan yang mengubah kode bahasa keluarga dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia karena pengaruh ibu pada generasi yang lalu. Menurut Fishman (1977 dalam Appel dan Musyken 1987: 12) dimensi patrimony6 telah mempengaruhi bentuk pemilihan bahasa.
22
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
Keluarga Tionghoa Hoklo Orang Tionghoa Hoklo di kota Sekadau memang tidak banyak. Kerena itu, jumlah orang yang diwawancarai terbatas. Sepanjang wawancara, sebanyak tiga orang informan Hoklo yang telah diajak bicara. Mereka mengaku berbahasa Hoklo dalam keluarga. Keluarga Tionghoa Campuran Terdapat 2 kategori suku Tionghoa campuran pribumi yang diwawacarai: (1) Khek (bapa)-Dayak Kerabat (ibu); dan (2) Tionghoa Hoklo (bapak)-Dayak Ketungau (ibu)7. Bentuk penggunaan bahasa dalam keluarga mereka ialah: Suku Tionghoa Khek-Kerabat x x
Informan ini berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabat dengan ibunya. Dengan saudara di pihak bapak (yang bersuku Tionghoa Khek atau Hoklo), dia berbahasa bahasa Khek atau Hoklo. Dengan ibunya yang bersuku Dayak Kerabat, dia berbahasa Dayak Kerabat. Semasa mengunjungi kampung ibunya, dia berbahasa Dayak Kerabat dengan saudara pihak ibunya.
Suku Tionghoa Hoklo-Ketungau x x x
Dia berbahasa Hoklo semasa berkomunikasi dengan bapaknya (yang suku Hoklo). Dengan ibunya yang bersuku Dayak Ketungau, dia berbahasa Hoklo dan bahasa Ketungau. Dengan saudaranya, biasanya bahasa Indonesia dan Hoklo yang digunakan.
Suku Tionghoa Campuran Khek-Hoklo Untuk keluarga Tionghoa yang berbeda afiliasi etnisnya, yaitu, Khek-Hoklo atau Hoklo-Khek, secara umum mereka berbahasa Khek, Hoklo atau keduaduanya dalam rumah. Sepintas lalu, dari 7 informan yang diwawancarai, 2 dari mereka mengaku berbahasa Khek; 2 orang berbahasa Hoklo; dan, 3 orang berbahasa Khek dan Hoklo di rumah. Dalam keluargan kawin campur, biasanya penggunaan bahasa tidak statik. Contohnya, dalam sebuah keluarga campuran Tionghoa Hoklo (bapak)Khek (ibu)8 bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek. Tetapi pada suatu hari, apabila isterinya berangkat ke Pontianak, pertukaran bahasa berlaku. Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan anak-anaknya. Begitu juga, anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan bapaknya (Chong 2002: 55). Sekembali ibunya itu (yaitu, penutur Khek) ke rumah, dengan sendirinya bahasa harian diubah balik ke bahasa Khek.
23
Chong Shin
Terdapat seorang pria Khek yang menghadapi masalah berbicara (cacat wicara), yaitu, tidak bisa menyebut sistem tona bahasa Khek9. Dengan itu, dialek Melayu Sekadau yang tidak bersistem tona didefaultkan10 sebagai bahasa komunikasi di rumah. Perlu dinyatakan bahwa walaupun bahasa Indonesia adalah bahasa interaksi penting di kota Sekadau, hanya dialek Melayu Sekadau saja yang dipilihnya karena (1) dialek Melayu Sekadau sendiri adalah bahasa lokal dominan di kota Sekadau, dan (2) Tetangganya adalah suku-suku Dayak -- dan dialek Melayu Sekadau umum digunakan dalam interaksi suku-suku Dayak yang berbeda bahasa. Artinya tiada bahasa Dayak yang majoritas di kalangan suku-suku ini dan pada kebiasaannya, dialek Melayu Sekadau digunakan sebagai bahasa pengantar. 3.2 Ranah Masyarakat Ranah ini melihat interaksi interetnik dan intraetnik di tempat-tempat umum yang formal dan tidak formal. Situasi formal melibatkan tempat-tempat yang berunsurkan urusan resmi seperti di pemerintahan, sekolah, studio, dan gereja. Situasi tidak formal merujuk kepada situasi sosial yang lebih akrab dalam interaksi sosial Contohnya, dalam aktivitas perniagaan, pembicaraan di tempat awam dan sebagainya. Sesungguhnya, setiap situasi mempunyai penggunaan bahasa yang berbeda-beda. Urusan Resmi Dalam konteks negara Indonesia, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa formal dalam urusan resmi, seperti dalam hal-hal pelaksanaan pemerintahan, pengeluaran surat resmi, pengumuman, dan rapat. Namun demikian, dalam aspek komunikasi lisan seperti di kalangan staf-staf; ataupun, di antara staf dengan penduduk lokal yang datang berurusan, seringkali dialek Melayu Sekadau yang digunakan. Masyarakat Tionghoa tidak terkecuali dari pola penggunaan bahasa ini. Segala urusan resmi tertulis, misalnya, urusan suratmenyurat, dilakukan dalam bahasa Indonesia; sebaliknya semasa bertutur dengan pegawai kantor, mereka menggunakan kedua-dua bahasa -- bahasa Indonesia dan dialek Melayu Sekadau. Sekolah-sekolah Di Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa formal di sekolah. Namun demikian, pelajar sekolah itu menyadari bahwa bahasa Indonesia menghadapi “saingan” dari dialek Melayu Sekadau11, yaitu, dialek Melayu Sekadau sering dipakai di dalam kelas, malahan kadang-kadang guru dari suku Dayak Ketungau berbahasa Melayu Sekadau semasa mengajar di dalam kelas. Dari aspek pendidikan, pemuda Tionghoa di kota Sekadau rata-ratanya menerima pendidikan formal hingga ke peringkat SMU. Di antara 4 buah SMU di kota ini, Sekolah Menengah Umum Karya (SMUK)12 merupakan sekolah pilihan utama masyarakat Tionghoa13. Menurut pelajar di SMUK, bahasa pergaulan pelajar-pelajar Tionghoa di sekolah berdasarkan suku pihak lawan
24
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
bicara. Maksudnya, bahasa Khek dituturkan sesama suku Tionghoa (baik Tionghoa Khek maupun Tionghoa Hoklo). Semasa berinteraksi dengan pelajar Dayak dan Melayu, pelajar-pelajar Tionghoa biasanya berbahasa Melayu Sekadau ataupun bahasa Indonesia. Tempat-tempat Awam Dari sudut sosiolinguistik, menurut Dédé (1987: 56-59), bahasa Indonesia berperan sebagai: (1) instrumen penanda stratifikasi sosial oleh masyarakat kota besar, (2) lambang prestij yang ditiru oleh golongan yang kemudian memasuki golongan kelas menengah, dan (3) bahasa yang membawa citra “moden”. Di kota Sekadau, bahasa Indonesia menduduki hieraki diaglosik 14 yang tinggi. Seorang informan Tionghoa memilih berbahasa Indonesia dengan guru sekolah menengah, yakni. golongan yang berstatus tinggi dalam hieraki sosial kota Sekadau dan berbahasa Melayu Sekadau dengan masyarakat umum (yang berstatus sosial setara dengannya). Di kota Sekadau tampak bahwa aktivitas yang melibatkan masyarakat umum berhubungan erat dengan pemilihan bahasa15. Di aktivitas senaman aerobik, yakni, sejenis aktivitas senaman yang dianggap “berprestij” tinggi16 dalam masyarakat Sekadau, didapati bahwa jurulatih Tionghoa (wanita) berbahasa Indonesia semasa memberi petunjuk gerak-gerik senam kepada ahliahli yang terdiri dari suku Tionghoa dan Dayak. Ini ternyata berbeda dengan aktivitas yang “tidak berprestij”, misalnya, mencuci baju di “ranting17 di tepi sungai Kapuas”. Semasa mencuci baju, wanita, baik Tionghoa, Dayak maupun Melayu berkomunikasi sesama mereka dengan dialek Melayu Sekadau. Di studio Dermaga Ria, terdapat seorang juruhebah Tionghoa (suku campuran Hoklo-Ketungau) yang ditugaskan mengendalikan 2 siaran radio yang berbeda, yaitu, (1) siaran yang dalam bahasa Indonesia, dan (2) siaran dalam bahasa Khek dan Hoklo pada setiap hari Jum’at. Dalam siaran harian, bahasa Indonesia digunakan olehnya untuk melaporkan berita, membuat pengumuman, mengendalikan acara hiburan dan sebagainya. Pada setiap hari Jum’at, dalam segmen bahasa Tionghoa yang sebenarnya bahasa Khek dan Hoklo mesti digunakan secara berganti-ganti setiap minggu (misalnya minggu pertama berbahasa Khek dan minggu berikutnya bahasa Hoklo). Juruhebah ini kelihatan menggunakan kedua-dua bahasa ini. Diperhatikan juga bahwa bahasa Khek sering digunakan pada minggu yang sebenarnya dikhususkan untuk siaran bahasa Hoklo; malah, kadang-kadang seluruh segmen Hoklo itu dilangsungkan dalam bahasa Khek karena bahasa Khek merupakan bahasa Tionghoa dominan di kota Sekadau. Jadi, tidak heranlah sekiranya bahasa Hoklo kurang dipakai. 3.3 Ranah Keagamaan dan Kebudayaan Bagian ini berfokus kepada pemilihan bahasa dalam keagamaan dan budaya masyarakat Tionghoa. Aspek ini diberi perhatian karena telah dikesani bahwa terdapat hubungan di antara aspek agama/budaya dengan pemilihan bahasa.
25
Chong Shin
Agama Katolik Di kota Sekadau, suku-suku Dayak dan Tionghoa merupakan penganut utama agama Katolik. Dalam aktivitas gereja bahasa Indonesia merupakan medium bahasa utama dalam berkhotbah, membaca doa, menyanyi lagu rohani dan sebagainya. Menurut pihak gereja, pada suatu ketika dahulu terdapat Kitab Injil dwibahasa (bahasa Mandarin dan Indonesia) yang khusus digunakan oleh orang Tionghoa. Penganut yang dimaksudkan ini ialah mereka yang pernah menerima pendidikan bahasa Mandarin, yaitu, golongan yang berusia 50 tahun ke atas18. Namun demikian, sekarang hanya Kitab Injil dalam bahasa Indonesia saja yang dipakai. Agama Protestan Mirip dengan ranah keagamaan di gereja Katolik, bahasa pengantar dalam aktivitas gereja Protestan -- Gereja Kristen Nasional Injili Jemaah Filipi -- ialah bahasa Indonesia. Yang menarik, terdapat seorang penganut Tionghoa (30 tahun, bersuku Khek) yang menggunakan bahasa Khek19, apabila dia menerangkan hal-hal keagamaan kepada bapak kawannya (60 tahun; bersuku HokloKhek) yang lebih tua daripadanya, di dalam rumah kawannya. Maksudnya istilah agama yang biasanya disebutkan dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan ke dalam bahasa Khek. Di sini, jelas ada 2 faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa: lokasi dan umur. Di ruangan rumah yang peribadi, bahasa Khek digunakan dan bukannya bahasa Indonesia. Kedua, seperti yang dinyatakan oleh Saville-Troike (2003: 83), orang tua biasanya dikenal memiliki status sosial yang lebih tinggi. Karena itu, menggunakan bahasa Tionghoa untuk berbicara dengan orang tua Tionghoa merupakan suatu penanda hormat dan sopan. Agama Taoisme dan Kepercayaan Konfucu Kleteng Fuk De dan tempat ibadah Konfucu merupakan dua tempat ibadah Tionghoa yang melibatkan penggunaan bahasa Mandarin. Di kleteng Fuk De, ayat-ayat pedoman kehidupan dituliskan dalam kaligrafi Mandarin di dinding klenteng. Ini berbeda dengan laporan Dédé (1987: 181), yaitu, tulisan-tulisan di klenteng-klenteng di Pasuruan mempunyai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Di kota Sekadau, menurut petugas klenteng, antara syarat yang dipertimbangkan oleh masyarakat Tionghoa semasa memilih petugas klenteng ialah melihat keupayaannya berbahasa Mandarin. Tujuannya antara lain ialah supaya dapat menerangkan pedoman-pedoman agama yang dalam Mandarin kepada penganut sekiranya dimintai. Menurutnya biasanya dia akan menerangkannya dalam bahasa Khek. Ini berbeda dengan tempat ibadah Konfucu. Menurut informan, di tempat ibadah Konfucu, bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa pengantar dalam upacara beribadah karna para master Konfucu berasal dari Taiwan20.
26
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
Kebudayaan dan Bahasa Mandarin Bahasa bukan setakat instrumen penyampaian pesan untuk komunikasi (Appel dan Musyken 1987: 12). Peran bahasa Mandarin dalam masyarakat Tionghoa kota Sekadau adalah contoh yang relevan. Sepanjang penelitian lapangan, diobservasikan bahwa bahasa Mandarin tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat Tionghoa, kecuali dengan penulis21. Walaupun demikian, suratkhabar dan majalah Mandarin seperti Xin Sheng Ri Bao, Indonesia dan Asean dan Mandarin Pos dibeli secara teratur oleh segelintir kecil pelanggan. Menurut penjual suratkhabar, pelanggan-pelanggan utama ialah orang Tionghoa yang pernah menerima pendidikan bahasa Mandarin. Berdasarkan hasil wawancara, golongan tua yang bisa berbahasa Mandarin mengaku berasa janggal/malu untuk menuturkannya karena konon mereka lama tidak menuturkannya. Hadirnya bahasa Mandarin dalam komunitas Tionghoa ini lebih membawa makna sebagai penanda identitas kebudayaan Tionghoa. Sewaktu Imlek, misalnya, setiap keluarga Tionghoa akan menempelkan tulisan-tulisan (kaligrafi) Mandarin yang ditulis pada kertas merah di pintu rumah. Warga Tionghoa yang masih tahu menulis dan berbahasa Mandarin sering disuruh oleh teman atau jiran untuk menulis kartu-kartu undangan perkawinan. Bahkan dalam majlis perkawinan, orang yang fasih berbahasa Mandarin ditugaskan sebagai pengacara majlis perkawinan22. 3 KESIMPULAN Makalah ini menunjukan bahwa bahasa Khek, Hoklo, Melayu Sekadau, dan Indonesia merupakan 4 bahasa utama di kota Sekadau. Setiap bahasa yang dipilih oleh masyarakat Tionghoa mempunyai koneksi dengan ranah. Dalam ranah keluarga, bahasa dalam keluarga, baik bahasa Khek ataupun Hok Lo, merupakan bahasa komunikasi utama dalam keluarga Tionghoa. Di bawah ranah masyarakat, di tempat yang formal, penutur Tionghoa rata-ratanya berbahasa Indonesia. Sebaliknya dalam situasi tidak formal, dialek Melayu Sekadau yang merupakan lingua franca lokal, dipilih. Dalam ranah agama, orang Tionghoa menggunakan bahasa yang berbeda berdasarkan aliran agama. Penganut agama Kristian, baik di gereja Katolik maupun Protestan, berbahasa Indonesia; di klenteng berbahasa Khek atau Hok Lo. Di tempat ibadat Konfucu bahasa Mandarin digunakan; Dalam ranah kebudayaan, seperti dalam perkawinan, tampaknya komunitas Tionghoa berusaha berbahasa Mandarin karena bahasa ini melambangkan identitas Tionghoa. Namun demikian, pemilihan bahasa dalam ranah-ranah yang disebutkan tadi dipengaruhi oleh faktor seperti status lawan pembicara, umur, tempat, dan topik berbicara.
27
Chong Shin
DAFTAR PUSTAKA Appel, René dan Pieter Musyken. 1987. Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold. Chong Shin. 2002. “Sosiolinguistik Golongan Minoriti di Sekadau, Kalimantan Barat”. Majalah Dewan Bahasa. 2(6):52-57. _____. 2003. “Etnolinguistik Minoriti Cina di Pedalaman Kalimantan: Kajian di Sekadau”. Kertas Kerja Seminar Brunei Darussalam-Jepun: Kajian Brunei-Borneo. Universiti Brunei Darussalam, 11-12 August. _____. 2004. “Masyarakat Multilingual di Lembah Sekadau, Kalimantan Barat”. Makalah di Konferensi Linguistik Tahunan Ama Jaya Ke-2:
Nasional (KOLITA-2), Jakarta, 24 dan 25 Februari. _____. 2005. “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual: Minoriti Cina di Pekan Sekadau, Pulau Borneo”. Disertasi Doktoral. Universiti Kebangsaan Malaysia. Dédé Oetomo. 1987. “The Chinese of Pasuruan: Their Language and Identity”. Pacific Linguistics. Series D (63). _____. 1990. “The Bahasa Indonesia of the Middle Class”. Prisma. 50: 68-79. Erinita, Dwi Agus S.S. 2001. Pemertahanan Bahasa Etnis TiongHoa: Kasus Mahasiswa Kota Pontianak. Pontianak: Kantor Bahasa Pontianak. Ferguson, Charles. 2003. Diaglossia. Dalam. Paulston, Christina Bratt dan Richard G. Tucker, (pnyt). Sociolinguistics: The Essential Readings, hlm. 345-358. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Fishman, Joshua A. 1971. “The Sociology of Language: An Interdisciplinary Social Science Approach to Language in Society”. Dalam. Fishman, Joshua A. (pnyt). Advances in Sociology of Language, hlm. 217-404. Paris: The Hague. _____. 1986. Domains and “The Relationship Between Micro- and Macrosociolinguistics”. Dalam.Gumperz, J.J dan Dell Hymes, (pnyt). Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication, hlm. 435-453. New York: Basil Backwell. Herman, Simon R. 1972. “Explorations in the Social Psychology of Language Choice”. Dalam Fishman, Joshua A. (pnyt). Readings in the Sociology of Language. Paris: The Hague. Heidhues, Mary F. Somers. 2003. Golddiggers, Farmers, and Traders in the "Chinese Districts" of West Kalimantan, Indonesia. New York : Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University. Jackson, James C. 1974. Chinese in the West Borneo Goldfields: A Study in Cultural Geography. Hull: University of Hull Publications. Kecamatan Sekadau. 1996. Kecamatan Sekadau Hilir dalam Angka Tahun 1996. Sanggau: Mantri Statistik Kecamatan Sekadau Hilir. Leo, Suryadinata. 1986. The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers. Singapore: Chopmen Enterprises.
28
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
Mackie, J.A.C. 1976. “Anti-Chinese Outbreaks in Indonesia”. Dalam Mackie, J.A.C. (pnyt). The Chinese in Indonesia, hlm 77-138. Honolulu: The University Press of Hawai’i. Nothofer, Bernd. 1996. “Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal”. Sari. 14: 33-53 Profil Kabupaten Sekadau. 2001. Pontianak: Panitia Pembentukan Kabupaten Sekadau. Reid, Anthony. 2001. “Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia”. Dalam Reid, Anthony (pnyt.). Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, hlm. 15-50. Honolulu: University of Hawai’i Press. Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction. 3rd editions. Oxford: Blackwell Publishing.
PETA 1: LOKASI KOTA SEKADAU
Kota Sekadau
29
Chong Shin
Peta 2: Suku-suku tionghoa di selatan negara china yang bermigrasi ke Asia Tenggara
(Sumber: Reid, 2001) Peta 3: Kawasan pertambangan emas di Borneo Barat
(Sumber: Jackson, 1974)
30
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
Peta 4: Tempat orang Tionghoa di lembah kapuas pada abad ke-19
(Sumber: Jackson, 1974) CATATAN 1
Makalah ini dibentangkan di Konferensi Linguistik Nasional-Masyarakat Linguistik Indonesia (KLN-MLI) di Universitas Negeri Padang, 18-21 Julai 2005.
2
Pada tahun 2003, lembah Sekadau dan sekitarnya telah dijadikan kabupaten yang beribu kota di kota Sekadau dengan keluasan 5,945.300 km2 yang mencakup 8 kecamatan: Sekadau Hilir, Sekadau Hulu, Nanga Taman, Nanga Mahap, Belitang Hilir, Belitang Hulu, Belitang, dan Mukok (Profil Kabupaten Sekadau, 2001).
3
Suku Dayak mempunyai pelbagai subsuku seperti suku Ketungau, Kerabat, Menterap dan sebagainya.
4
Deskripsi linguistik untuk bahasa Khek, Hoklo dan Melayu Sekadau dapat dirujuk pada Chong (2005). Sepintas lalu, bahasa Khek merupakan bahasa sinitik cabang Kejia; bahasa Hoklo merupakan varian bahasa Min Selatan (yang mirip dengan bahasa Hokkien), kedua-dua bahasa ini menduduki cabang tersendiri dalam silsilah bahasa Sinitik Purba. Artinya penutur kedua-dua bahasa ini tidak akan saling mengerti bahasa lawan bicara sekiranya mereka tidak mempelajarinya. Dialek Melayu Sekadau juga merupakan bahasa varian Melayu Borneo Barat (lihat Nothofer 1996) yang sangat jauh beda dengan bahasa Indonesia.
5
Fishman (1986: 441) mendefinisikan ranah sebagai “…institutional contexts and their congruent behavioral co-occurences. They attempt to sumate the major clusters of interaction that occur in clusters of multilingual settings and involving clusters of interlocutors”. 6
Sesuatu pewarisan dari keturunan sebelumnya (Fishman 1977 dalam Appel dan Musyken 1987: 12).
31
Chong Shin
7
Suku Dayak Kerabat dan Ketungau merupakan dua suku Dayak di lembah Sekadau. Bahasa Kerabat merupakan bahasa cabang Melayik dan bahasa Ketungau menduduki cabang Ibanik, dalam salasilah rumpun bahasa Austronesia.
8
Dari 15 Desember 2001-15 Januari 2002 dan 20 Mei 2002-20 Agustus 2002, penulis tinggal dalam keluarga ini. Jadi observasi yang dilaporkan di sini merupakan hasil pemerhatian yang cukup akrab dan berterusan.
9
Tona atau nada dalam bahasa Khek (bahasa Sinitik) adalah fonemik.
10
Istilah ini diadarankan oleh J. Collins.
11
Dalam komunikasi peribadi dengan seorang pelajar di SMUN 1, Restituta (18 tahun)
12
Dimiliki oleh gereja Katolik.
13
Menurut masyarakat Tionghoa, sistem pendidikan di SMUK lebih berkualitas daripada sekolah-sekolah menengah yang lain. 14
Istilah “diaglosia” diperkenalkan oleh Ferguson (1959). Secara tradisi, istilah ini diterapkan dalam menangani masalah pengklasifikasian bahasa Arab di Baghdad. Dalam masyarakat Baghdad, bahasa Arab dituturkan dalam dua varian, yaitu masyarakat Arab yang beragama Kristian menuturkan “dialek Arab Kristian” di kalangan komuniti mereka, tetapi menuturkan “dialek Arab muslim” dengan komuniti umum. Jadi, ini berarti terdapat dua hieraki bahasa dalam sosial, yaitu, bahasa Tinggi (H) dan bahasa Rendah (L). Pada kebiasaanya, bahasa tinggi (H) merangkumi bahasa standard yang digunakan dalam pendidikan, agama dan aspek budaya yang tinggi, sebaliknya bahasa Rendah (L) umumnya merujuk kepada bahasa harian yang dituturkan dalam sosial seperti di tempat kerja, rumah dan sebagainya (Fishman 2003: 359); dan, juga dialek-dialek tempatan (Ferguson 2003: 346). 15
Menurut Herman (1972: 492): In a multilingual society instances are readily observable of choice of language which is determinted by considerations other than the requirements of the particular conversation. These consideration would appear generally to be related to the speaker’s reference to groups in the wider social milieu. 16
Ditafsirkan sebagai aktivitas “berprestij tinggi” karena senaman ini merupakan senaman yang moden, yaitu, biasanya dilakukan oleh masyarakat di bandar besar. 17
Tempat terapung di atas air yang dibina untuk kegunaan mencuci baju, sayur, mandi dan sebagainya. 18
Di Indonesia, gerakan anti Cina yang mencetus dari tahun 1959-69 (Mackie, 1976), telah mengakibatkan penutupan sekolah aliran Cina dengan sepenuhnya pada tahun 1965 (Leo, 1986: 154). Ini mengakibatkan golongan yang lahir sesudah jaman ini tidak berpeluang menerima sistem pendidikan Mandarin. 19
Biasanya diobservasikan bahwa pemuda ini, baik semasa membicarakan hal keagamaan maupun berdiskusi tentang hal gereja dengan teman-temannya, adalah dalam bahasa Indonesia. 20
Bahasa Nasional Taiwan ialah bahasa Mandarin.
21
Penulis berkompetensi dalam berbahasa Mandarin dan pernah menerima pendidikan Mandarin dari SD ke SMU.
32
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007
22
Penggunaan bahasa Mandarin dalam upacara perkawinan tidak banyak berbeda dengan masyarakat Tionghoa totok di Pasuruan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Dédé (1987: 181).
33
DISTRIBUSI BAHASA DURI DAN BAHASA TORAJA: Suatu Analisis Geografi Dialek Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed Universitas Hasanuddin
Abstract This study is to find out language variations and lexical differences and to observe closely interlanguage influences which would enable to classify groups of language, dialect, and subdialect areas based on lexical variation. This study is also to compare the distance location with the percentage of lexical distance of the villages. The result indicates that the linguistic distance between the localties cannot be used to determine the difference of the lexical contrast and the distance between two neighboring villages. There is high degree of similarity of phonic substances, segments of sound in a stream of speech, revealing that there is a high degree of mutual intelligibility among most speakers of both speech communities. It can, therefore, be concluded that both Dun and Toraja languages spoken in margina1 areas of Alla and Mengkendek subdistricts have a high degree of genetic relation .
PENDAHULUAN Bahasa Duri yang digunakan di Kecamatan Alla. Kabupaten Enrekang, berbatas langsung dengan bahasa Toraja dialek Gandangbatu yang digunakan di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. Kontak dan tingkat mobilitas penduduk di kedua wilayah itu cukup tinggi terutama di dua desa yang terdapat di Kecamatan Mengkendek bagian selatan seperti Desa Gandangbatu dan Desa Uluway (Sande 1980:3). Pada daerah yang relatif kecil seperti Kecamatan Alla dan Kecamatan Mengkendek ini dapat diduga terjadi sentuh bahasa di antara bahasa Duri dan bahasa Toraja dialek Gandangbatu. "Persaingan", "pertikaian", atau "saling melengkapi" antar bahasa menampilkan daerah-pakai suatu bahasa yang meliputi daerah-inti bahasa itu dan juga daerah-pengaruh bahasa itu terhadap daerah-pakai bahasa lain (Lauder 1990:6). Situasi geografi kedua kecamatan ini adalah tempat jalan poros Makassar-Tana Toraja melintas. Pada beberapa desa di Kecamatan Mengkendek terdapat kantong-kantong penutur bahasa Duri, dan sebaliknya di wilayah Kecamatan Alla terdapat kantong-kantong penutur bahasa Toraja.
35
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
1 GAMBARAN RINGKAS BAHASA DURI DAN BAHASA TORAJA Bahasa Duri: Tampak jelas dalam matriks di bawah bahwa bahasa Duri memiliki keseragaman oleh karena pada keempat dialeknya, yakni, dialek Baroko, Bilajin, Cakke dan Baraka tidak terdapat perbedaan yang signifikan (Valkama 1990:75). Persamaan leksikal dengan bahasa Toraja yang rata-rata 77,8 persen menunjukkan bahwa bahasa Duri cenderung lebih dekat ke kelompok bahasa Toraja, jika dibanding dengan persentasi kesamaan dengan bahasa EnrekangPattinjo yang hanya 75,7 persen. Selanjutnya. Mills (1975: 109) menguraikan bahwa bahasa Masserempulu adalah bahasa transisi antara bahasa Toraja-Saqdan dan bahasa Bugis.
Bagan 1.2.
Matriks subfamili kelompok bahasa Massemempulu (Valkama 1987:129)
Bahasa Toraja. Penghuni sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah dan sebagian daerah utara wilayah Sulawesi Selatan disebut suku Toraja (Salombe 1978:1). Oleh Adriani (Adriani-Kruyt 1950,1:3) suku Toraja tersebut dikelompokkan keda1am Toraja Timur yang bermukim di daerah Tojo-Poso, Sulawesi Tengah, Toraja Barat yang bermukim di daerah Kaili-Parigi, juga di Sulawesi Tengah, dan Toraja Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan Toraja Saqdan, yang bermukim di wilayah utara jazirah Sulawesi Selatan, sepanjang aliran sungai Saqdan. Selanjutnya, bahasa Toraja Timur disebut bahasa Bareqe yang kemudian diubah menjadi bahasa Pamona. Bahasa Toraja Barat disebut Bahasa Ulna, dan bahasa Toraja Selatan disebut bahasa Taeq. Semua nama bahasa tersebut berarti "tidak" (Salmer 1960: 114-115).
36
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
2 METODE PENELITIAN Di bawah ini disajikan tiga hal, yakni, instrumen yang dipakai untuk melaksanakan penelitian, komputerisasi yang dilakukan untuk pemetaan bahasa, dan penggambaran peta. 2.1 Instrumen Penelitian Instrumen yang merupakan perangkat bantu dalam memberikan dan membandingkan latar historis variasi bahasa di Kecamata. AlIa dan Mengkendek tersebut meliputi pokok-pokok berikut ini: 1) Peta bahasa dalam bentuk peta gambaran (display map) dan peta interpretasi (inlerpreli,'e map) digunakan untuk menginventarisasi dan mendistribusikan gejala kebahasaan (Goosens 1977:69-72). 2) Isoglos untuk mengelompokkan semua gejala kebahasaan (Chambers dan Trudgill 1980:103). 3) Dialektometri untuk mengukur secara statistik perbedaan ma11pun persamaan aspek-aspek bahasa yang terdapat antara titik-titik pengamatan berdekatan dan membandingkannya dengan sejumlah bahan yang diperoleh dari daerah yang diteliti (Ayatrohaldi 1985:59; Nothofer 1980:59-60). 2.1 Komputerisasi Pemetaan Bahasa Pemetaan Data: Program pemetaan bahasa Duri dan bahasa Toraja menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS, Geographycal Information System) yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sekarang int. Spesifikasi Peralatan: Perangkat bantuan yang digunakan dalam melakukan visualisasi komputer peta bahasa ini terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan untuk membuat peta bahasa dalam penelitian ini adalah: (a) dua unit komputer personal, prosesor Intel Celeron 1,7 Gigahertz; RAM 256 Megabytes, harddisc 30 Gigabytes dan (b) printer hp deskjet 1180c. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini: (a) Program spreadsheet yaitu program komputer yang mengatur data berupa angka ke dalam bentuk baris dan kolom pada layar monitor untuk mengi11tung kalkulasi yang diinginkan dan membuat perbaikan berdasar data baru yang bernama Microsoft Excel 2000, dan (b) Program interpolasi pemetaan Surfer versi 8.0. Pengolahan Data: Langkah-langkah pengolahan data tersebut adalah: (1) Input data: Input data dilakukan dengan mencatat data dalam kartu berian ke dalam worksheet data dalam program spreadsheet Ms Excel 2000. Worksheet data tersebut terdiri atas kolom-kolom dan baris-baris data yang disebut sel. Data dalam kartu berian disalin ke dalam kolom-
37
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
kolom dan baris-baris data tersebut Kolom data dalam program tersebut diisi dengan nama desa (lokasi), koordinat lokasi, kata dan arti kata. Data yang dimasukkan terdiri atas 70 desa dan 532 kata. Ini berarti bahwa jika desa memiliki 3 parameter (nama desa; koordinat x; koordinat y) dan kata memiliki 2 parameter (kata; arti kata), serta kode tambahan (2 parameter), maka data yang diinput sebanyak (70 desa x 532 kata x 7 parameter) 260.680 buah sel data. Data mentah yang telah diinput kemudian disusun berdasarkan lokasi dan diberi 2 parameter tambahan sebagai kodiftkasi nama desa (id desa) clan kata (id kata) clan masih tetap menggunakan Ms Excel 2000 Pengolahan data komponen peta Ada dua macam data yang diolah, yakni, data isoglos dan data dialektometrik. Pengolahan data isoglos. Penarikan berkas isoglos dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Surfer versi 8.0. Sebelum dilakukan penarikan isoglos, terlebih dahulu kata yang akan ditarik berkasnya diberi kode yang sama. Sementara itu, seluruh kata di luar kata tersebut diberi kode yang berbeda. Metoda interpolasi yang dipilih dalam proses ini adalah metoda minimum curvature. Pengolahan data dialektometri. Tahap pertama dalam pengolah~ data dialektometri adalah membuat segitiga dialektometri, yaitu, menghubungkan sebuah desa dengan desa terdekat dengan sebuah garis lurus. Setiap desa yang memiliki hubungan jarak terdekat akan dihitung jarak kosakatanya berdasarkan persentase perbedaan arti kata, baik untuk setiap kategori maupun untuk seluruh kata. Penghitungan perbedaan arti kata dilakukan dengan memanfaatkan logika matematika IF da1am program Ms Excel. Logika ini membandingkan arti kata dari kata yang sarna pada dua lokasi (desa) yang berbeda. Hasil logika ini akan menampilkan bilangan biner, yaitu, menampilkan nilai 0 (nol) jika sarna arti katanya atau nilai 1 (satu) jika beda arti katanya. Jumlah (SUM) dari seluruh nilai beda dibagi dengan jumlah seluruh kata yang dibandingkan dikalikan 100. Ini akan menghasilkan persentase perbedaan arti kata yang dibandingkan. Persentase perbedaan inilah yang menjadi jarak kosakata antardesa yang dibandingkan. Sementara itu, jarak lurus antardesa yang dibandirigkan dihitung berdasarkan koordinat posisi kedua desa tersebut. Perhitungannya memanfaatkan fungsi matematika akar kuadrat (SQRT) dan kuadrat (SQR) dalam program Ms Excel 2000. Proses yang sama dilakukan juga untuk menghitung dialektometri dalam permutasi antar desa.
38
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
Contoh persamaan untuk menhitung jarak antara dua lokasi desa: d=(X2-X1)2 +(Y2-Y1)2 dengan: d = jarak antara desa 1 dan desa 2 x1 = koordinat geografis x (bujur) desa 1 x2 = koordinat geografis x (bujur) desa 2 y1 = koordinat geografis y (lintang) desa 1 y2 = koordinat geografis y (lintang) desa 2 Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan jarak antara 2 desa: =SQRT( (Jarak!B1-J arak! B2) A 2+( J arak! C1-Jarak! C2) ) A 2) dengan: SQRT = akar kuadrat A2 = SQR = kuadrat Jarak!Bl = sel berisi koordinat geografis x (bujur) desa 1 Jarak!B2 = sel berisi koordinat geografis x (bujur) desa 2 Jarak!Cl = sel berisi koordinat geografis y (lintang) desa 1 Jarak!C2 = sel berisi koordinat geografis y (lintang) desa 1 Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan nilai perbedaan arti kata: =IF(A$l =A$2,O,1) dengan: A$l = sel berisi arti kata pada desa 1 A$2 = sel berisi arti kata pada desa 2 Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan jarak kosa kata (D) : =SUM('Kekerabatan (1-21)'!X75+'Tutur Sapa (22-36)'!R75+'K Desa (37-50)'!Q75+'Bag Tubuh (51-113)'!BN75+'Rumah & Bangunan (114-140)'!AD75+'Alat Rumah Tangga (141-174)'! AK75+'MakAllan & Minuman (175-187)'!P75+'T Halaman & Pepohonan (188-229)'!AS75+'Binatang (230-272)'!AT75+'Musim & K Alam (273-314)' !AS75+'Penyakit (315-337)' !Z75+'Perangai (338-352)' !R75+'Mata Pencaharian (353-371)'!V75+'Pakaian (372-386)'!R75 +'Permainan (387-392)'!I75+'Gerak & Kerja (393483)'! CP75 +'Bilangan (484-516)'!AJ75+'Sifat (517-532)'!S75 /Jarak!$J$19) *IOO dengan: SUM = jumlah 'Kekerabatan (1-21)'!X75 = sel berisi nilai beda pada kategori kekerabatan, dst Jarak!$J$19 = sel berisi jumlah kata yang dibandingkan 2.3 Penggambaran Peta Ada dua macam peta dalam penelitian ini: peta isoglos dan peta dialektometri.
39
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
Peta isoglos File grid dari hasil pengolahan data dapat ditampilkan dalarn lembar plot pada menu Map dalam program Surfer 8.0. File ini bisa ditampilkan sebagai peta me!alui sub menu Contour Map yang berupa berkas isoglos untuk salah satu arti kata dari sebuah kata tertentu. Hal ini dilakukan untuk semua arti kata dari setiap kata yang akan dipetakan. Untuk menampilkan seluruh berkas isogloS yang diinginkan dalam sebuah kategori kata, digunakan sub menu Overlay Maps dalam menu Map. Peta dialektometri. Penggarnbaran peta dialektometri dilakukan dengan menggambarkan garis lurus yang membagi antara dua lokasi (desa) yang berdekatan. Peta yang mengandung garis pembagi ini digambarkan dalam plot peta pada program Surfer 8.0. Garis-garis pembagi ini bisa diubah-ubah tampilannya pada sub menu Properties dalam menu Edit. Berdasarkan kategori dialektometri yang membagi menjadi 5 tingkatan, maka properties garis pembagi ini juga dibagi menjadi 5 jenis sesuai kategori jarak kosa kata antar desanya. Perbedaan tampilan terutama terlihat dalam hal ketebalan dan warna garis, sehingga lebih mudah diidentiftkasi dalam peta dialektometri yang ditampilkan. 3 PEMBAHASAN Sesuai dengan pola penyajian yang telah kita pakai, maka pembahasan dalam sub-bab ini akan juga mencakup dua topik, yakni, bahasan yang berkaitan dengan isoglos dan yang dialektometris. 3.1 Bahasan Berkas Isoglos Garis isoglos berupa garis yang menghubungkan tiap titik pengamatan yang memiliki gejala kebahasaan yang sama. Dengan demikian. garis isoglos berfungsi menyatukan titik-titik pengamatan yang mengandung gejala kebahasaan yang serupa. Hal ini berbeda dengan garis heteroglos yang diperkenalkan oleh Kurath, yang berfungsl memisahkan titik-titik pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang berbeda. Semua peta yang berbentuk peta imij, peta kontour, dan permukaan bumi memerlukan jaringan untuk pengolahnnya dengan surfer. Jaringan tersebut berbentuk empat persegi panjang yang terdiri atas ruang dan kolom yang sama. Proses penyatuan atau pengelompokan ditempuh dengan menggunakan sistem overlay. Kadang-kadang muncul pola berkas isoglos tetap yang mudah dibaca tetapi ada pula yang berpola sulit dibaca. Pola sebar 18 medan makna tersebut diuraikan secara detail di bawah ini. a. Kekerabatan. Pada medan rnakna kekerabatan terdapat 21 buah peta, yaitu, peta (01) SAYA, peta (02) IBU, peta (03) KAKEK, peta (04) NENEK, peta (05) ORANG TUA KAKEK/NENEK, peta
40
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
(06) ANAK, peta (07) CUCU, peta (08) ANAK CUCU, peta (09) ANAK KAKAK, peta (10) ABANG/KAKAK, peta (11) ADIK, peta (12) KAKAK PEREMPUAN, peta (13) ANAK ADIK, peta (14) SUAMI, peta (15) ISTRI, peta (16) ADIK/KAKAK DARI SUAMI/ ISTRI, peta (17) MERTUA. peta (18) MENANTU, peta (19) ANAK DARI KAKAKNYA/ADIKNYA AYAH/IBU, peta (20) KAKAK/ ADIK DARI AYAH/IBU, peta (21) BESAN. 3.2 Bahasan Dialekfometris Cara penghitungan jarak kosakata adalah dengan rumus pendekatan kuantitatif seperti berikut: (s x 1.00) = d% n
(2)
Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosakata dalam % Persentase jarak kosakata di antara dua titik pengamatan dapat dipero1eh dengan mengalikan jumlah beda kosakata dengan 100 kemudian dibagi dengan jumlah peta yang dibandingkan. Persentase jarak kosakata di antara dua titik pengamatan yang mencapai di bawah 20 persen dianggap tidak mempunyai perbedaan; antara 21-30 persen dianggap beda wicara/tuturan (parler); antara 31 50 persen dianggap beda subdia1ek (sousdia1ecte); antara 51-80 persen dianggap beda dialek (dialecte); dan di atas 80 persen dianggap beda bahasa (langue) (Francis 1983: 158).
Peta Hasil perhitungan dialektrometri medan makna seluruh kata T abet VI.19. Tabel Dialektometri medan makna seluruh kata bahasa Duri dan bahasa Toraja
41
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed ANTAR DESA
KELAS
RENTANG
ANTAR DESA
KELAS
RENTANG 0%-20%
1
-
2
negligeable
0%-20%
14
-
15
negligeable
1
-
3
negligeable
0%-20%
14
-
22
dialecte
51%-80%
1
-
18
sousdialecte
31%-50%
15
-
20
sousdialecte
31%-50%
1
-
17
dialecte
51%-80%
15
-
22
dialecte
51%-80%
2
-
3
negligeable
0%-20%
15
-
26
dialecte
51%-80%
2
-
13
negligeable
0%-20%
16
-
17
sousdialecte
31%-50%
2
-
17
sousdialecte
31%-50%
16
-
18
sousdialecte
31%-50%
3
-
4
negligeable
0%-20%
16
-
20
sousdialecte
31%-50%
3
-
13
negligeab
0%-20%
16
-
19
dialecte
51%-80%
3
-
6
sousdialecte
31%-50%
16
-
21
dialecte
51%-80%
4
-
5
negligeable
0%-20%
17
-
18
negligeable
0%-20%
4
-
13
negligeable
0%-20%
18
-
19
negligeable
0%-20%
4
-
6
sousdialecte
31%-50%
19
-
21
dialecte
51%-80%
4
-
20
sousdialecte
31%-50%
19
-
27
dialecte
51%-80%
4
-
14
dialecte
51%-80%
19
-
28
dialecte
51%-80%
4
-
14
dialecte
51%-80%
20
-
21
sousdialecte
31%-50% 51%-80%
4
-
16
diatecte
51%-80%
20
-
26
dialecte
5
-
6
sousdialecte
31%-50%
21
-
26
dialecte
51%-80%
5
-
11
dialecte
51%-80%
21
-
27
dialecte
51%-80%
5
-
14
dialecte
51%-80%
22
-
24
sousdialecte
31%-50%
6
-
7
negligeable
0%-20%
22
-
26
sousdialecte
31%-50%
6
-
8
dialecte
51%-80%
23
-
24
negligeable
0%-20%
6
-
9
dialecte
51%-80%
23
-
31
sousdialecte
31%-50%
6
-
11
dialecte
51%-80%
23
-
67
dialecte
51%-80%
7
-
8
dialecte
51%-80%
24
-
25
sousdialecte
31%-50%
7
-
11
dialecte
51%-80%
24
-
26
sousdialecte
31%-50%
7
-
12
dialecte
51%-80%
24
-
31
sousdialecte
31%-50%
7
-
66
dialecte
51%-80%
25
-
26
sousdialecte
31%-50%
7
-
67
dialecte
51%-80%
25
-
29
sousdiarecte
31%-50%
8
-
9
dialecte
51%-80%
25
-
30
sousdialecte
31%-50%
8
-
10
dialecte
51%-80%
25
-
31
sousdialecte
31%-50%
8
-
64
dialecte
51%-80%
26
-
27
sousdialecte
31%-50%
8
-
66
dialecte
51%-80%
26
-
29
sousdialecte
31%-50%
9
-
10
sousdialecte
31%-50%
27
-
28
sousdiarecte
31%-50%
9
-
62
dialecte
51%-80%
27
-
29
negligeable
31%-50%
9
-
63
dialecte
51%-80%
28
-
29
sousdialecte
0%-20%
10
-
63
dialecte
51%-80%
28
-
30
sousdialecte
31%-50%
11
-
12
negligeable
0%-20%
28
-
35
sousdialecte
31%-50%
11
-
22
sousdialecte
31%-50%
28
-
34
dialecte
51%-80%
11
-
15
dialecte
51%-80%
28
-
39
dialecte
51%-80%
12
-
23
negligeable
0%-20%
29
-
30
sousdialecte
31%-50%
12
-
24
parler
21%-30%
30
-
31
sousdialecte
31%-50%
42
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007 ANTAR DESA
KELAS
RENTANG
ANTAR DESA
KELAS
RENTANG
12
-
22
sousdialecte
31%-50%
30
-
33
sousdialecte
31%-50%
12
-
67
dialecte
51%-80%
30
-
34
dialecte
51%-80%
13
-
17
sousdialecte
31%-50%
31
-
32
parler
21%-30%
13
-
16
dialecte
51%-80%
31
-
33
sousdialecte
31%-50%
31
-
67
dialecte
51%-80%
46
-
51
sousdialecte
31%-50%
31
-
69
dialecte
51%-80%
47
-
48
negligeable
0%-20%
32
-
33
sousdialecte
31%-50%
48
-
49
negligeable
0%-20%
32
-
37
dialecte
51%-80%
48
-
50
negligeable
0%-20%
32
-
69
dialecte
51%-80%
49
-
50
negligeable
0%-20%
32
-
70
dialecte
51%-80%
49
-
51
sousdialecte
31%-50%
33
-
34
dialecte
51%-80%
50
-
51
sousdialecte
31%-50%
33
-
36
dialecte
51%-80%
51
-
52
dialecte
51%-80%
33
-
37
dialecte
51%-80%
51
-
54
dialecte
51%-80%
33
-
38
dialecte
51%-80%
52
-
53
sousdialecte
31%-50%
34
-
35
dialecte
51%-80%
52
-
54
sousdialecte
31%-50%
34
-
36
dialecte
51%-80%
53
-
54
sousdialecte
31%-50%
35
-
36
sousdialecte
31%-50%
53
-
55
sousdialecte
31%-50%
35
-
38
dialecte
51%-80%
54
-
55
negligeable
0%-20%
35
-
39
dialecte
51%-80%
54
-
57
negligeable
0%-20%
36
-
38
dialecte
51%-80%
54
-
60
langue
81%-100%
37
-
38
sousdialecte
31%-50%
55
-
56
negligeable
0%-20%
37
-
41
sousdialecte
31%-50%
55
-
57
negligeable
0%-20%
37
-
42
sousdialecte
31%-50%
56
-
57
negligeable
0%-20%
37
-
56
sousdialecte
31%-50%
56
-
58
sousdialecte
31%-50%
37
-
70
sousdialecte
31%-50%
56
-
70
sousdialecte
31%-50%
38
-
39
sousdialecte
31%-50%
57
-
58
sousdialecte
31%-50% 31%-50%
38
-
40
sousdialecte
31%-50%
57
-
59
sousdialecte
38
-
41
dialecte
51%-80%
57
-
61
sousdialecte
31%-50%
39
-
40
negligeable
0%-20%
57
-
60
sousdialecte
31%-50%
39
-
47
sousdialecte
31%-50%
58
-
68
negligeable
0%-20%
39
-
48
sousdialecte
31%-50%
58
-
59
sousdialecte
31%-50%
40
-
41
sousdialecte
31%-50%
58
-
69
sousdialecte
31%-50%
40
-
47
sousdialecte
31%-50%
58
-
70
sousdialecte
31%-50%
41
-
42
negligeable
31%-50%
59
-
61
sousdialecte
31%-50%
41
-
44
sousdialecte
31%-50%
59
-
67
sousdialecte
31%-50%
41
-
45
sousdialecte
31%-50%
59
-
68
sousdialecte
31%-50%
41
-
47
sousdialecte
31%-50%
59
-
66
dialecte
51%-80%
41
-
53
sousdialecte
31%-50%
59
-
65
dialecte
51%-80%
42
-
43
sousdialecte
31%-50%
60
-
61
sousdialecte
31%-50%
42
-
44
sousdialecte
31%-50%
60
-
62
sousdialecte
31%-50%
42
-
56
sousdialecte
31%-50%
61
-
62
sousdialecte
31%-50%
43
-
55
parler
21%-30%
61
-
65
sousdialecte
31%-50%
43
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed ANTAR DESA
KELAS
RENTANG
ANTAR DESA
KELAS
RENTANG
43
-
56
parler
21%-30%
62
-
63
negligeable
0%-20%
43
-
53
sousdialecte
31%-50%
62
-
65
negligeable
0%-20%
44
-
53
sousdialecte
31%-50%
53
-
64
negligeable
0%-20%
45
-
46
sousdialecte
31%-50%
63
-
65
negligeable
0%-20%
45
-
47
sousdialecte
31%-50%
64
-
65
negligeable
0%-20%
45
-
51
sousdialecte
31%-50%
64
-
66
negligeable
0%-20%
45
-
52
sousdialecte
31%-50%
65
-
66
negligeable
0%-20%
45
-
53
sousdialecte
31%-50%
66
-
67
sousdialecte
31%-50%
46
-
47
negligeable
0%-20%
67
-
68
sousdialecte
31%-50%
46
-
48
negligeable
0%-20%
67
-
69
sousdialecte
31%-50%
46
-
49
negligeable
0%-20%
68
-
69
sousdialecte
31%-50%
69
-
70
sousdialecte
31%-50%
Untuk penghitungan permutasi antardesa, langkah yang ditempuh untuk mengetahui keberadaan ataupun ketidakberadaan mata rantai pemahaman ialah dengan membandingkan jarak kosakata dari desa paling ujung dengan desa-desa lainnya sampai ke ujung terakhir. Dengan demikian, desa-desa yang dibandingkan ialah desa-desa yang berada di ujung utara dengan desa-desa yang terjauh di selatan; timur dengan barat; timur laut dengan barat daya, dan tenggara dengan barat laut. Tabel. Jarak kosakata antardesa Utara-Selatan ANTARDESA
KELAS
RENTANG
PERSEN BEDA
JARAK (meter)
JARAK (kilometer)
Utara-Selatan 1~2 1~13 1~16 1~20 1~15 1~22 1~12 1~67 1~59 1~61 1~60
negligeable negligeable dialecte sousdialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte
0%-20% 0%-20% 51%-80% 31%-50% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80%
0,38 5,26 53,20 49,62 53,57 57,52 58,83 70,86 73,50 71,99 71,05
2434 4282 4960 7740 8416 11253 14075 19347 23583 26188 27607
2,434 4,282 4,960 7,740 8,416 11,253 14,075 19,347 23,583 26,188 27,607
44
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
Jarak Kosa Kata Utara-Selatan 100 90 80
70.9
73.5
1~67 6
1~59
72
71.1
70
(%)
60
53.2
49.6
53.6
57.5
58.8
50 40 30 20 10
5.3 0.4
0 1~2
1~13
1~16
1~20
1~1 15
1~22 22
1~1 12
1~61 1~60
Antardesa Grafik. Jarak kosakata antardesa Utara-Selatan
Tabel. Jarak kosakata antardesa Timurlaut-Baratdaya KELAS
RENTANG
PERSEN BEDA
JARAK (meter)
JARAK (kilometer)
Timurlaut-Baratdaya 6~11 dialecte 6~12 dialecte 6~23 dialecte 6~31 dialecte 6~33 dialecte 6~38 dialecte 6~40 dialecte 6~47 dialecte 6~46 dialecte 6~49 dialecte 6~50 dialecte
51%-80% 51%-50% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-50% 51%-80% 51%-80%
57,71 58,08 57,52 53,95 56,39 69,74 67,86 70,30 70,30 69,92 70,11
5316 9724 10673 14203 18315 20672 24936 26236 28900 31494 32662
5,316 9,724 10,673 14,203 18,315 20,672 24,936 26,236 28,900 31,494 32,662
ANTARDESA
45
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
Jarak Kosa Kata Timurlaut-Baratdaya 100
80
57.7
58 .1
57.5
53.9
67.9
6 6~38 38
6 6~40 40
71.1
70 .3
70.3
69.9
6 6~47 4
6~46 6~49 6~50
56 .4
(%)
60
69.7
40
20
0 6~11 6~12
6~23
6~31 31 6 6~33 33
Antardesa Grafik. Jarak kosakata antardesa Timurlaut-Baratdaya
ANTARDESA
KELAS
RENTANG
PERSEN BEDA
JARAK (meter)
JARAK (kilometer)
Timur-Barat 8~66 8~67 8~69 8~32 8~37 8~38 8~39
dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte
51%-80% 51%-50% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80%
65,60 70,49 69,36 57,71 70,30 68,80 69,17
4454 8326 11835 13587 15465 18834 22961
4,454 8,326 11,835 13,587 15,465 18,834 22,961
Jarak Kosa Kata Utara-Selatan 100 80
65.6
70.5
70.3
69.4
65.8
69.2
8~38
8~39
(%)
57.7 60 40
20 0
8~66
8~67
8~69
8~32
Antardesa
46
8~37
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
Tabel. Jarak kosakata antardesa Tenggara- Baratlaut ANTARDESA
KELAS
RENTANG
PERSEN BEDA
JARAK (meter)
JARAK (kilometer)
9~63 9~64 9~66 9~67 9~31 9~25 9~29 9~28
dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte dialecte
51%-50% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80% 51%-80%
54,14 54,51 54,70 59,59 52,63 54,14 55,83 56,02
4405 8295 12068 15627 21184 23066 25128 28437
4,405 8,295 12,068 15,627 21,184 23,066 25,128 28,437
Jarak Kosa Kata Tenggara-Baratlaut 100
(%)
80 60
54.1
54.5
59.6
54.7
52.6
54.1
55.8
56
40 20 0
9~63
9~64 9~66
9~67 9~31 9~25 9~29
9~28
Antardesa Grafik. Jarak kosakata antardesa Tenggara- Baratlaut 4 KESIMPULAN Sejumlah data variasi kebahasaan yang didapat dari komunitas bahasa di wilayah Kecamatan Alla di Kabupaten Enrekang dan wilayah Kecamatan Mengkendek di Kabupaten Tana Toraja terkumpul dari 70 titik pengamatan. Data variasi yang diperoleh dari 532 buah kata kemudian direkam ke dalam 532 peta sebagai syarat mutlak bagi penelitian geografi dialek. Dari hasil1kajian serta pendokumentasian unsur kebahasaan yang bersifat geografi horizontal ditariklah kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. 1.
Hasil penelitian menunjukkan batas tingkat hubungan antara bahasa Duri dam bahasa Toraja di wilayah marginal Kecamatan AlIa dan Kecamatan Mengkendek ditandai dengan adanya derajat kemiripan sistem bunyi yang cukup tinggi antara kedua bahasa. Di wilayah mr.rginal Kecamatan AlIa dan Kecamatan Mengkendek ditemukan bahwa tingkat persamaan di antara dua variasi bahasa cenderung sejalan dengan tingkat kepesatan komunikasi
47
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
2.
3.
antarkomunitas bahasa tersebut. Gejala tersebut terlihat dengan jelas pada berkas-berkas isoglos. Berkas isoglos juga menunjukkan bahwa derajat proses akomodasi antarbahasa di wilayah marginal ini cukup tinggi dalam arti telah terjadi akomodasi jangka panjang di kalangan penutur. Dalam hal ini telah terjadi proses konvergensi yang dapat ditelusuri melalui hal-hal yang berkaitan dengan pengadopsian kosakata, penyelarasan pelafalan, maupun sikap bahasa. Keberadaan tingkat frekuensi komunikasi bersemuka yang tinggi. dan diperkuat oleh proses akomodasi di kalangan penutur kedua bahasa mengakibatkan derajat perbedaan kosakata pada desadesa yang berdekatan menjadi relatif rendah. Walaupun demikian, faktor-faktor yang berciri supremasi dan yang berkaitan dengan faktor sosial, budaya, dan ekonomi dalam skala kecil telah menimbulkan proses divergensi dalam perkembangan bahasa setempat. Penghitungan dialektometri persentase perbedaan jarak kosa kata antardesa, penarikan berkas isoglos dan dibantu oleh konsep mata rantai pemahaman timbal batik yang digunakan secara optimal dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa bahasa Duri dan bahasa Toraja di wilayah marginal berada pada derajat kekerabatan yang tinggi dalam arti bahwa derajat perbedaan kosakata yang dimiliki kedua hahasa relatif rendah. Berdasarkan prinsip kosakata dasar sebagai syarat yang tidak dapat ditawar-tawar dalam kehidupan sebuah bahasa, maka dapat dikatakan bahwa dari sudut kontras leksikal atau variasi leksikal di wilayah marginal ini terdapat dua dialek utama, yaitu, dialek utara dan dialek selatan serta subdialek tenggara, subdialek timur taut, dan subdialek barat daya. Berdasarkan penghitungan dialektometri secara permutasi, dapat dikemukakan temuan-temuan berikut: Makin jauh letak antara titik pengamatan dan titik uji persentase jarak, makin rendah persentase perbedaan kosak8ta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor jarak lokasi tidak selamanya menjadi penentu tingkat perbedaan jarak kosa kata. Hal ini berlawAllan dengan rumusan mengenai konsep mata rantai pemahaman timbal batik bahwa makin jauh letak lokasi titik pengamatan, makin tinggi persentase perbedaan kosa kata. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa bahasa Duri yang diteliti di wilayah marginal ini masuk ke dalam kelompok bahasa Toraja. Hal ini jelas kontradiktif dengan pendapat sebagian bahasawan dan anggota masyarakat yang mengklaim bahwa bahasa Duri berada dalam kelompok Massenrempulu.
48
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
DAFTAR PUSTAKA Abas, Husen, 1981. Hubungan antara Ekologi Bahasa dan Lingkungan Hidup; Perspektif dan Indikasinya pada masa datang. Makalah pada Seminar Lingkungan Hidup Universitas Tadulako. Adriani, N., en Kruyt, Alb. C. 1950. De Bare'e Sprekende Torajas van Midden Celebes deel I. Verhandelingen der koninklijke Nederlandsche Akademie van Wehllenchappen. Afdeling Letterkunde, Nieuwe Reeks, deel LIV. Amsterdam, NOORD Holandesche U itgeversmaatschhappi j. Allen, Harold B. 1973. 1ne Linguistic Atlas of the Upper Midwest. 3 vols, Minneapolis; Univ. of Minnesota Press. Atwood, E. Bagby. 1955. The Phonological Division of the Belgo. Roman. Orb is, IV:367-389. Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi, Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1985. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa. Jakarta: Balai Pustaka. Barr, Donald F., Sharon G. Barr clan Salombe. 1979. Langz:age of Central Sulawesi. Abepura: Percetakan UNCEN. Bawa, I Wayan. 1983. Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Allalisis Geografi Dialek. Disertasi pada Faku1tas Sastra Univer5itas Indonesia Jakarta. Casad, Eugene H. 1974. Dialect Intelligibility Testing. Oklahoma: Summer Institute of Linguistics of the Univ. of Oklahoma. Chambers, J.K. clan Peter Trudgill. 1980. Dialectology. London: Cambridge University Press. Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. (Janua Linguanun, series minor 4). The Hague: Mouton. Crystal1, David. 1997. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Blackwell Publisher 2000. Language Death. Great Britain: Cambridge University Press. Danie, Julianus Akun. 1991. Kajian Geografi di Minahasa Timur Laut. Jakarta: Balai Pustaka. Dhanawaty, Ni Made. 1980. Bahasa Bali di Kabupaten TabAllan: Sebuah Te1aah Geografi Dialek. Denpasar srkripsi SarjAlla pada Fak. Sastra Universitas UdayAlla. _____. 2004. Teori Akomodasi dalam Penelitian Dialektologi, dalam L:inguistik Indonesia, Jurnal lliniah Masyarakat Linguistik Indonesia tho ke 22, Nomor 1 Februari 2004, hat 1-14. Dyen, Isidore. 1965. Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages, dalam Supplement to International Journal of American Linguistics, Vol. 31, No.1. Francis, W. Nelson. 1983. Dialectology: An Introduction. London: Longman.
49
Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed
Friberg, Timothy dan Barbara Friberg. 1989. A. Dialect Geography of Bugis, dalam Papers in Westrn Austronesian Linguistics, Hal 303-330. Canberra: The Research School of Pasific Studies Australian National University. Gillieron, Jules. 1915. Etude de Geographic Linguistique. Pathologie et Therapeutique Verbales. Paris: Edouard Champion. Grijns, C. D. 1976. Bunga Rampai Mata Kuliah Dialektologi. Tahap 1 Juli-Agustus 1976 di Tugu Bogor. Grimes, Charles E. dan Barbara D. Grimes, 1987. Language of South Sulawesi, dalam Pasific Linguistics, Seri D-N078. Canberra: The Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Hale, Ken. 1992 "Endangered languages: On endangered languages and the safeguarding of diversity" dalamLanguage. Halaman 1-3, Nomor 1. Volume 68. Halim, Amran. 1976. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Amran Halim (ed), Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. HAllafie, Sitti Hawang et al. 1983. Morfologi dan Sintaksis, Bahasa Massenrempulu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Junaidi, Moha. 1977/1978. Bahasa Massenrempulu di Bara-Baraya Kotamadya Ujung Pandang. Laporan Penelitian Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud. Kontra, Miklos. Robert Phillipson. Tove Skutnabb-Kangas. dan Tibor Varady. 1999. Language : a Right and a Resource, Approaching Linguistic Human Right. Budapest: Central European University Press. Kurath, Hans. 1974. Studies in Area Linguistics. Bloomington in London; Indiana University Press. Lauder, Multamia RM.T. 1990. “Pemetaan dan Distribusi BahasaBahasa di Tangerang”. Desertasi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. _____. 1996. "Isolated Tribes of Indonesia: Language Mapping Issues" Makalah pada The eleventh KITL V International Workshop on South-East Asian Studies dengan tema The Study of Endangered Language and Literatures od South-East Asia, Leiden, Holland. _____. 2001. "Obstacle to Inventory of Languages in Indonesia; a dialectology perspective" Makalah pada The International Confrence of UNESCO dengan tema Pasific: A Language Treasure. Melbourne, Australia. _____. 2003. “Pengembangan dan Pemanfaatan Kajian Dialektologi di Indonesia”. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru
50
Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007
Besar Tetap Fakultas Dmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (8 Oktober 2003). McKaughan, Howard. 1964. “A Study of Divergence in Four New Guine Languages”. American Anthropologist.66:98-120. Milis, R.F. 1971. “Proto South Sulawesi and Proto Austronesian Phonology”. Desertasi pada University of Michigan. Nothofer, Bernd. 1980. Dialectgeographische Untersuchengen du in West-Java und im Westichen Zentral-Java. Dua Jilid. Wiesbaden: Horrossowitz. Salombe, C. 1992. “Bahasa Toraja Sagdan: Proses Morfemis Kata Kerja”. Seri ILDEP. Jakarta: Universitas Indonesia, Penerbit Djembatan. Sandarupa, Stanislaus. 2004. “The Examplary Center: Poetic and Politic of the Kingly Death Ritual in Toraja South Sulawesi, Indonesia”. Ph.D. Dissertation. University of Chicago. Ann Arbor: UMI Dissertation Services. Sande, J .S. et. al. 1976. Dialek Kesuq Sebagai Bentuk Baku Bahasa Toraja. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa. Sikki, Muhammad dkk 1989. “Struktur Bahasa Massenrempulu Dialek Maiwa”. Laporan Penelitian Ujung Pandang. Trudgill, Peter. 1975. Accept Dialect and the School. London: Edward Arnold. _____. 1986. Dialect and Contact. New York. Valkama, Kari. 1987. UNHAS-SIL. “Sociolinguistics Survey: Kabupaten Pinrang, Enrekang, Tana Toraja, Luwu, and Eastern Part of Polewali Mamasa”. Dalam Friberg (ed) Workpaper in Indonesian Languages and Cultures. V 015. _____. 1995. Person Marking in Duri, dalam Rene van den Berg (ed) SIlldies in Sulawesi Linguistics Part IV: NUSA volume 37 halaman 47-95. Valkama, Kari dan Susanne. 1990. “Duri Texts”. Dalam Barbara Friberg (ed) Sulawesi Language Text,. hlmn 75-88. Valkama, Susanne. 1995. “Notes on Duri Transitivity”. Dalam Rene van den Berg (ed). Studies in Sulawesi Linguistics part IV: NUSA, Volume 37, hlmn 2-45. Weinreich Uriel. 1954. “Is a Structural Dialectology Possible?” Word hlmn 388-400. Dicetaak ulang di J. Fishman (ed) Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton, 1968. _____. 1968. Language in Contact. The Hague: Mouton. Wurm, Stephen A, 1984. “Language Atlas: Pacific Area”. Pasific Linguistic Series C-66. Yamagiwa, Joseph K. 1967. “On Dialect Intelligibility in Japan”. Anthropological Linguistic. Ix:1-17. Yatim, Nurdin. 1983. Subsistem Honorifik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi.
51
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MENGUNGKAPKAN PERINTAH Yeni Mulyani Supriatin Balai Bahasa Bandung
PENGANTAR Sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk tindakan, tetapi juga dalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopan daripada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan “Silakan masuk” lebih sopan daripada tuturan “Masuk!”. Sopan santun dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-mata motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan merupakan faktor pengatur yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar, menyenangkan, dan tidak sia-sia karena sebagaimana dinyatakan oleh Leech (1993:38) bahwa manusia pada umumnya lebih senang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak sopan. Secara umum kesantunan berbahasa atau sopan santun dalam bertutur berhubungan dengan dengan dua orang pemeran serta yang boleh kita nama-kan (menurut istilah Leech, 1993:206) “diri” dan “lain”. Dalam percakapan “diri” diidentifikasi sebagai penutur dan “lain” diidentifikasi dengan petutur. Dari interaksi antara “diri dan “lain” itu, yang berlaku secara umum menga-takan bahwa sopan santun lebih terpusat pada “lain” daripada pada “diri”. Dengan kata lain, sopan santun terhadap petutur pada umumnya lebih penting daripada sopan santun terhadap “diri” atau penutur. Hal itu tampak dari prinsip sopan santun yang cenderung berpasangan yang terpusat kepada petutur seperti di bawah ini: (1) Kearifan: Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan keun-tungan orang lain sebesar mungkin. (2) Kedermawanan: Buatlah keuntungaan diri sekecil mungkin dan kerugiaan diri sebesar mungkin. (3) Pujian: Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, pujilaah orang lain sebesar mungkin. (4) Kerendahan hati: Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. (5) Kesepakatan: Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dengan lain sebanyak mungkin. (6) Simpati: Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain sekecil mungkin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.
53
Yeni Mulyani Supriatin
Prinsip sopan santun tersebut berlaku secara umum yang mengatakan bahwa sopan-santun lebih terpusat pada “lain” daripada pada “diri”. Sopansantun terhadap petutur lebih penting daripada terhadap penutur. Makalah ini tidak membahas sopan santun secara umum, artinya sopan santun dalam setiap tuturan yang menyatakan pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tetapi khusus kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah. Untuk itu, berikut ini akan dikemukakan kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah. Akan tetapi, sebelumnya perlu dipaparkan secara singkat beberapa pandangan tentang pemakaian jenis kalimat yang menunjukkan kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah. 1 ILOKUSI LANGSUNG DAN ILOKUSI TAKLANGSUNG Lyons (1977:745) menyatakan bahwa dari sudut pandang daya ilokusi pernyataan dihubungkan dengan kalimat deklaratif, pertanyaan dengan kalimat interogatif, dan perintah dengan kalimat deklaratif. Dengan perkataan lain, pernyataan atau berita dapat diungkapkan melalui kalimat deklaratif, pertanyaan melalui kalimat interogatif, dan perintah melalui kalimat imperatif. Ketiga jenis kalimat itu sesungguhnya apabila dikaji secara pragmatik (makna dalam hubungannya dengan situasi ujar) dapat menghasilkan makna imperatif. Jadi, makna yang menyatakan imperatif dapat diungkapkan lewat kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Pemakaian ketiga jenis kalimat itu akan sangat bergantung pada situasi dan konteks. Misalnya, tuturan berikut. (1) Pintunya masih terbuka. Apabila tuturan (1) disampaikan kepada seseorang yang baru masuk ke ruangan, sedangkan di luar udara sangat dingin atau suasana di luar sedang ribut padahal dalam ruangan itu sedang ada rapat, orang tersebut akan segera mengetahui bahwa tuturan itu bukan merupakan suatu pernyataan melainkan suatu perintah. Petutur diminta secara tidak langsung untuk menutup pintu. Petutur menginterpretasi tuturan (1) sebagai tuturan yang mengandung implikatur bahwa penutur ingin agar petutur menutup pintu. Interpretasi ini tentu bukan satu-satunya tafsiran dari kalimat (1), tetapi untuk situasi-situasi tertentu interpretasi ini masuk akal. Mungkin saja kalimat (1) dituturkan tanpa tujuan tertentu atau sekadar basa-basi dengan harapan agar petutur melakukan sesuatu untuk mengurangi suasana ribut di luar. Contoh lain, misalnya kalimat (2) berikut. (2) Punya korek api? Pada umumnya kita tidak menangggapi tuturan (2) sebagai pertanyaan tentang apakah kita memiliki korek api, tetapi akan menafsirkannya sebagai permin-taan tolong untuk meminta korek api. Petutur yang mendengar ujaran itu akan melakukan tindakan yang diminta, yaitu,, meminjamkan korek api. Dengan demikian, permintaan itu disampaikan dalam bentuk sintaksis pertanyaan.
54
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007
Pada dua contoh kalimat (1) dan (2) tersebut tampak bahwa dari segi gramatikal, ilokusi imperatif dapat berupa kalimat deklaratif dan kalimat interogatif. Kalimat deklaratif dan kalimat interogatif yang memiliki daya imperatif, imperatifnya tidak terdapat pada satuan lingual yang ada, tetapi pada implikatur. Menurut Leech (1993:57) tuturan yang disampaikan secara taklangsung disebut tindak ujar taklangsung atau ilokusi taklangsung. Tindak ujar taklangsung adalah tindak ilokusi yang dilakukan dengan tidak langsung, tetapi melalui tindak ilokusi lain. Jadi, suatu tindak ujar taklangsung dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak ujar langsung. Tindak ujar taklangsung itu sebagai bahan perbandingan dengan tindak ujar langsung atau ilokusi langsung, seperti yang terdapat pada contoh berikut. (3) Pergi ke Jakarta sekarang! Contoh (3) dapat dipandang sebagai tuturan langsung yang menyatakan perintah. Kalimat seperti pada contoh (3) dapat juga memakai verba performatif yang dapat menyatakan makna imperatif, seperti pada contoh (4) (4) Saya perintahkan kamu pergi ke Jakarta sekarang. Contoh (4) merupakan tuturan langsung yang disampaikan oleh petutur pada waktu mengujarkan kalimat itu. Tuturan langsung dan tuturan taklangsung itu sesungguhnya berkaitan dengan kesantunaan berbahasa. Tujuan yang mengandung perintah yang disampaikan secara langsung bertentangan dengan prinsip sopan-santun. Dalam prinsip sopan-santun tujuan-tujuan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata perintah. Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Leech (1993:123) secara umum dapat dirumuskan seperti berikut. a. Dalam Bentuk Negatif Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan menjadi sesopan mungkin. b. Dalam Bentuk Posiitif Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan. Baik dalam bentuk positif maupun negatif tuturan-tuturan yang sopan menguntungkan petutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopan merugikan petutur atau pihak ketiga. Hal itu sejalan dengan yang dikemukakan pada awal tulissan ini bahwa sopan-santun berbahasa lebih terpusat pada “lain” atau petutur. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam mengungkapkan perintah berikut ini akan dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa.
55
Yeni Mulyani Supriatin
2
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MENGUNGKAPKAN PERINTAH
Kearifan adalah salah satu prinsip sopan-santun yang dianggap penting dalam masyarakat bahasa Inggris. Demikian pula kearifan dalam mengungkapkan perinah dipandang sebagai sesuatu yang penting. Sementara itu, dalam masyarakat bahasa Indonesia adanya kata-kata seperti coba, tolong, mari, ayo, silakan, sudikah, mohon, dan kata-kata lain yang sejenis dengan itu yang mengawali kalimat imperatif sebagai pemarkah kesantunan dapat menun-jukkan bahwa kearifan yang merupakan prinsip kesantunan dalam mengung-kapkan perintah juga dianggap penting. Coba, tolong, dan silakan meskipun sama-sama digunakan untuk menyampaikan permintaan bantuan memiliki perbedaan terutama apabila dilihat dari situasinya. Kenyataan itulah yang mendorong Wolf dalam Kaswanti (1984:197) untuk berkesimpulan bahwa tolong dan coba merupakan bentuk yang dipergunakan untuk minta bantuan, sedangkan silakan digunakan untuk menawarkan bantuan kepada pendengar. Perbedaan antara tolong dan coba terletak hanya pada soal keresmian pemakaiannya saja; bentuk tolong lebih bersifat resmi (formal) dan dalam pemakaian menunjukkan rasa sedikit lebih hormat sedangkan coba terasa lebih informal karena digunakan pada situasi yang tidak resmi. Perbedaan pemakaian bentuk tolong dan coba bukanlah kendala resmitakresmi atau kendala sintaksis sebagaimana dikemukakan oleh Kaswanti Purwo (1984:197–198), melainkan karena kendala makna (pragmatik). Kalimat imperatif dengan bentuk tolong, penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada petutur. Kalimat imperatif dengan bentuk coba menempatkan penutur lebih tinggi daripada petutur. Pada kalimat imperatif dengan silakan, penutur menempatkan dirinya sejajar dengan petutur sebagaimana dinyatakan oleh Lapoliwa (1998). 4. a. Tolong tunggu di sini. b. Coba tunggu di sini. c. Silakan tunggu di sini. Pada contoh kalimat (4a) tampak penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada petutur; contoh (4b) penutur lebih tinggi daripada petutur, dan pada contoh (4c) penutur sejajar dengan petutur. Pemakaian silakan, dipandang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan coba karena penutur dan petutur berada pada tingkat yang sama, masing-masing tidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah. Sementara itu, pemakaian bentuk ayo dan mari sama-sama sebagai pemarkah kesantunan, tetapi dilihat dari situasi pemakaiannya juga menimbulkan perbedaan. Bentuk mari dipandang lebih santun daripada ayo. Bentuk mari digunakan oleh penutur untuk menyatakan ajakan kepada petutur yang dihormati oleh petutur, sedangkan bentuk ayo digunakan oleh penutur untuk
56
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007
menyatakan ajakan kepada petutur yang status sosialnya sejajar dengan penutur. Demikian pula dengan bentuk kalimat imperatif yang tidak diawali dengan pemarkah kesantunan apabila satu sama lain dibandingkan akan menunjukkaan kadar kesantunan berbahasa. Hal itu tergambarkan melalui skala “untung-rugi”, yaitu,, nilai-nilai yang dianggap menguntungkan atau merugikan petutur. Perintah-perintah yang menguntungkan petutur dipandang lebih sopan, sedangkan perintah-perintah yang merugikan petutur dipandang kurang sopan. Bentuk kalimat imperatif berikut yang merupakan ilokusi langsung dapat menyatakan perintah. Perintah tersebut, apabila diukur dengan skala sopansantun yang digunakan oleh Leech (167), tampak seperti berikut. Merugikan petutur 1. Tulis surat itu! 2. Ambilkan segelas air! 3. Lihatlah itu! 4. Nikmatilah liburanmu! 5. Makanlah kue itu! 6. Makanlah kue itu sepotong lagi!
kurang sopan
Menguntungkan petutur lebih sopan Dengan menggunakan bentuk imperatif seperti pada contoh (1—6) penutur merasa yakin bahwa petutur akan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Penggunaan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan lain kecuali menaati perintah. Hal itu dipandang merugikan petutur. Namun, pada contoh kalimat itu tampak nilai “untung-rugi” berubah dari rugi bagi petutur menjadi untung bagi petutur. Dengan berubahnya nilai ini, pada skala sopan-santun derajat kesopanan pun berubah antara contoh (1) dan (6) derajat kesopanan meningkat. Bentuk-bentuk kalimat baik yang merupakan ilokusi langsung maupun ilokusi taklangsung yang menyatakan perintah dapat menggambarkan derajat kearifan. Contoh kalimat (1---6) meskipun menunjukkan derajat kearifan, tetap saja dipandang tidak arif karena tuturan itu disampaikan secara langsung. Dan, tuturan yang disampaikan secara langsung bertentangan dengan prinsip kesantunan. Sementara itu, pemakaian bentuk interogatif yang merupakan ilokusi taklangsung dianggap lebih sopan karena tidak mengandung kata perintah. Misalnya, pada contoh berikut. Ketaklangsungan Kurang sopan 7. Baca buku itu! 8. Saya ingin kamu baca buku itu. 9. Maukah Anda membaca buku itu? 10. Apakah Anda keberatan membaca buku itu? 11. Dapatkah Anda membaca buku itu? Lebih sopan
57
Yeni Mulyani Supriatin
Contoh (7), yang merupakan ilokusi langsung, menyatakan perintah bahwa penutur bermaksud agar petutur membaca buku itu. Contoh (7), apabila dibandingkan dengan contoh (8) yang merupakan pernyataan, dipan-dang lebih arif. Pada contoh (8) penutur menaati prinsip kearipan karena ia menuturkan pernyataan bukan perintah. Sebuah pernyataan dipandang lebih arif daripada sebuah perintah karena sebuah pernyataan tidak menuntut adanya respons langsung yang berupa tindakan sehingga petutur mempunyai pilihan untuk menuruti atau pun mengabaikan keinginaan penutur. Namun, di sisi lain pernyataan yang memiliki daya perintah seperti pada contoh (8) terasa bahwa penutur memanfaatkan kearifan untuk keuntungan diri sendiri. Sementara itu, ada bentuk pernyataan yang dimulai dengan anda harus, misalnya, Anda harus membaca buku itu yang menyatakan perintah, mengungkapkan keyakinan pada penutur bahwa perbuatan yang diperintahkan akan dilaksanakan oleh petutur. Pemakaian bentuk pernyataan yang dimulai dengan anda harus dilakukan sebagai alternatif dari pemakaian bentuk imperatif seperti pada contoh (7) Baca buku itu apabila menggunakan bentuk imperatif masih ada kemungkinan bagi petutur untuk tidak menaati perintah, tetapi dengan menggunakan anda harus penutur seakan-akan mempunyai dan menunjukkan wewenang serta menjamin bahwa petutur akan taat. Oleh karena itu, pernyataan yang dimulai dengan anda harus memperkuat daya imperatiff dan menjadi lebih tidak sopan daripada imperatif langsung (Baca buku itu!). Dengan mengatakan anda harus tersirat pada diri penutur bahwa ‘saya pasti sekali bahwa anda akan menurut. Bentuk kalimat pada contoh (9) Maukah Anda membaca buku itu? dipandang lebih sopan karena pertanyaan yang diawali dengan maukah memiliki ilokusi tawaran, dan tawaran membaca dianggap sebagai suatu perbuatan yang menguntungkan petutur. Di samping itu, pertanyaan yang memerlukaan jawaban ya atau tidak dapat memberi kebebasan kepada petutur memilih renspons untuk menjawab ya atau tidak. Meskipun demikian, tawaran yang dianggap kegiatan yang menyenangkan petutur itu cenderung dijawab dengan ya karena apabila dijawab dengan tidak, petutur dianggap tidak sopan. Apabila ada pertanyaan seperti itu dan petutur menjawab dengan Saya tidak mau, berarti petutur lebih mementingkan keinginannya daripada keinginan penutur, padahal membaca buku yang ditawarkan oleh penutur bagi petutur dianggap tidak bermanfaat. Hal itu merugikan petutur. Oleh karena itu, penggunaan seperti pada contoh (10) Apakah Anda keberatan membaca buku itu? Dipan-dang lebih arif . Kalimat seperti contoh (10) merupakan ilokusi tawaran yang sopan. Pemakaian kata keberatan mengandung adanya suatu dugaan terlak-sananya tindakan itu oleh petutur. Apabila petutur setuju dengan tawaran itu, jawaban yang logis adalah, tidak, saya tidak keberatan. Akan tetapi, jawaban seperti itu tidak terlalu jelas, artinya, hanya mengandung makna ‘Saya tidak keberatan’. Dengan kata lain, petutur bukan tidak mau melakukan kegiatan yang ditawarkan, tetapi ia tidak secara jelas mengungkapkan apakah petutur betulbetul mau dan akan melakukan perbuatan sebagaimana disarankan oleh penutur.
58
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007
Pertanyaan yang mulai dengan dapatkah sebagaimana pada contoh (11) merupakan alat yang cocok untuk melembutkan efek imperatif. Pada pertanyaan yang dimulai dengan dapatkah, penutur menanyakan kemampuan petutur untuk melakukan perbuatan. Dapatkah implikasinya adalah ‘Anda tidak harus’. Dengan demikian, pertanyaan dapatkah seolah-olah memberi kemungkinan kepada petutur untuk mengabaikan usul penutur. Pertanyaan yang mulai dengan dapatkah dianggap lebih arif karena dapat dianggap sebagai usul yang menguntungkan petutur. Dari contoh (7–11) dapat dikatakan bahwa penggunaan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan kecuali menaati perintah, sedangkan penggunaan kata tanya mengungkapkan adanya keraguan pada penutur apakah petutur akan melaksanakan tindakan yang diminta oleh penutur. Dengan bertambahnya unsur keraguan yang tampak pada contoh (8–11) semakin lemah juga keyakinaan penutur bahwa petutur akan melakukan tindakan yang diinginkan oleh penutur. Sebagaimana telah dinyatakan bahwa kearifan yang merupakan salah salah satu prinsip sopan-santun, yaitu,, dengan menghindari penggunaan imperatif yang merugikaan petutur, dan berusaha menggunakan bentuk pernyataan yang tidak memerlukan respons langsung atau menggunakan bentuk pertanyaan yang memberi kebebasaan pada petutur untuk menolak keinginan penutur, artinya, penutur menaati prinsip kesantunan dalam mengungkapkan perintah. Akan tetapi, ada beberapa ilokusi taklangsung yang merupakan pertanyaan dan pernyataan yang tidak sopan atau bahkan melawan kearifan. Seperti yang dicontohkan oleh Leech (1993:200) berikut ini. 12. Apakah kamu tidak bisa diam? Pertanyaan dalam bentuk negatif atau jika dioposisikan dengan bentuk pasangannya, yaitu, pertanyaan dalam bentuk positif, Dapatkah kamu diam? yang merupakan ilokusi taklangsung dianggap tidak arif atau melawan kearifan karena pertanyaan seperti itu tidak memberi pilihan jawaban pada petutur atau jawaban petutur menjadi berkurang. Ketaklangsungaan seperti itu cenderung diinterpretasi sebagai ironi. Ironi ini mengesankan tindakan penutur yang tidak sopan melalui tuturan yang seakan-akan sopan. Dengan kata lain, ironi ini mengimplikasikan adanya sopan-santun yang tidak tulus. Bentuk pertanyaan lain yang merupakan ilokusi taklangsung yang tidak arif atau dianggap melawan kearifan adalah sebagai berikut. (13) Apakah Anda mau mengetik surat-surat ini? Tuturan pada contoh (13) mirip dengan tawaran, tetapi dimaksudkan sebagai perintah mengesankann seakan-akan penutur bertindak sopan dengan menawarkan suatu kegiatan atau memberi kesempatan kepada petutur untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Akan tetapi, tuturan itu akan diikuti dengan tindakan pengetikan surat-surat sebagaimana yang ditawarkan oleh
59
Yeni Mulyani Supriatin
penutur. Tuturan pada contoh (13) tersebut dianggap tidak arif karena pada kalimat itu terasa bahwa penutur mengandalkan stastusnya sebagai atasan, orang yang berkuasa. Dengan demikian, petutur harus menerima ‘tawaran’ penutur. Demikian juga dengan contoh (14) berikut ini. (14) Kamu, boleh pergi sekarang. Tuturan (14) sepintas mengesankan perbuatan penutur yang sopan dengan memberi kesempatan kepada petutur untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Sebagaimana contoh (13), tuturan (14) dianggap tidak sopan karena tuturan itu akan mengakibatkan petutur segera pergi. Tuturan (14) menggunakan kata modal boleh yang berhubungan dengan modalitas izin, tetapi dimaksudkan sebagai perintah. Dalam hal ini penutur tampak sopan karena ia memberi pilihan kepada petutur untuk mengerjakan perbuatan atau tidak, dan cara menawarkan pilihan tersebut memberi kesan seakan-akan perbuatan itu menyenangkan, tetapi sebenarnya tidak menyenangkan. Tuturan (13) dan (14) ini mengimplikasikan bahwa penutur berkuasa atas petutur sehingga petutur harus melakukannya. Selain skala “untung-rugi” dan skala kelangsungan-ketaklangsungan sebagaimana yang telah dikemukakan untuk menggambarkan kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah, terdapat skala yang sangat gayut dengan sopan-santun, yaitu, skala yang bertolak dari penjelassan Brown dan Gilman (dalam Leech 1993: 199). Skala yang dimaksud adalah untuk menentukan pilihan antara kata ganti sapaan yang akrab dengan kata ganti sapaan yang hormat. Kedua skala ini dapat digambarkan sebagai grafik, berikut. Jarak horizontal
Jarak vertikal Sumbu vertikal mengukur jarak sosial menurut kekuasaan yang dimiliki pemeran serta atas pemeran serta yang lain. Pada sumbu vertikal, seseorang yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yang akrab kepada orang lain, tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan bentuk sapaan yang hormat. Dalam bahasa Indonesia berdasarkan parameter – status sosial, usia, dan keakraban – (Alwi, dkk. 1998) untuk menyatakan perintah, seseorang yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yang akrab atau kamu kepada orang yang diperintah, sedangkan orang yang tidak memiliki kekuasaan dianggap tidak sopan apabila menggunakan sapaan yang akrab atau dengan sapaan kamu kepada atasannya, bentuk sapaan yang digunakan adalah bentuk sapaan yang hormat. Misalnya seperti berikut. (15) Datanglah kamu ke pesta itu nanti malam! (16) Saya mohon, sudilah kiranya Bapak datang ke pesta
60
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007
itu nanti malam. Pada contoh (15) seorang atasan dapat menyapa bawahannya dengan sapaan kamu, sedangkan pada contoh (16) seorang bawahan memakai pronomina persona pertama saya, bukan aku, waktu menyapa atasannya dengan sapaan hormat, yaitu, Bapak. Sumbu horizontal atau disebut dengan jarak ‘solidaritas’ atau dalam istilah Leech (1993:199) jarak social, derajat rasa hormat yang ada pada situasi ujar tertentu bergantung pada beberapa faktor, yaitu, status, usia, derajat keakraban, dan yang penting bergantung pada faktor sementara seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya, seorang dosen dapat menuturkan seperti pada contoh (17) kepada mahasiswanya, (17) Serahkan tugas itu minggu depan! Pada situasi ujar seperti pada contoh (17) seorang dosen merasa berhak menggunakan kekuasaannya yang sah atas perilaku mahasiswa. Akan tetapi, pada situasi ujar yang lain, ia tidak dapat menggunakan haknya lagi sebagai dosen, misalnya, menuturkan seperti pada contoh (18) berikut. (18) Buatkanlah saya secangkir kopi. Contoh (18) dipandang sebagai tuturan yang tidak sopan atau tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang dosen pada mahasiswa. 2 PENUTUP Kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah terpusat kepada petutur, yaitu, orang yang mendapat perintah. Kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah itu berdasarkan skala untung-rugi, ketaklangsungan, dan skala pemakaian sapaan antara sapaan yang hormat dengan sapaan yang akrab; faktor kesementaraan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam situasi ujar memungkinkan kita dapat membedakan derajat kesopanan antara tuturan yang kurang sopan, sopan, dengan tuturan yang lebih sopan. Tuturan yang mengungkapkan perintah yang kurang sopan itu banyak bergantung pada jenis kalimat imperatif atau ilokusi langsung, yaitu, perintah yang disampaikan secara langsung sehingga merugikan petutur. Sementara itu, tuturan yang maksudnya perintah yang sopan atau lebih sopan banyak bergantung pada jenis kalimat deklaratif dan interogatif atau ilokusi taklangsung, yaitu, perintah yang disampaikan tidak secara langsung dan tidak mengandung kata perintah sehingga menguntungkan petutur.
61
Yeni Mulyani Supriatin
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 1999. “Seputar Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia”. Dalam Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Alwi, Hsan, Soenjono Dardjowidjojo, dan Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Balai Pustaka. Austin, J.L.1962. How to Do thigs with Words. London: Oxford University Press. Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Lapoliwa, Hans. 1994. “Performatif pada Kalimat Imperatif” dalam Kongres Bahasa Indonesia V (Ed II). Jakarta: Pusat Bahasa. Leech, Geoffrey. Terjemahan Oka, M.D.D. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Lyons, John. 1977. Semantics. Jilid 1 dan 2. Cambridge: Cambridge University Press.
62
REFORMULASI PERANCANGAN PROGRAM ESP DI PERGURUAN TINGGI Kusni Universitas Negeri Padang
Abstract The present paper aims to show the needs of reformulating the design of English for specific purposes (ESP) courses for university students who do not major in English. The idea for the study was derived from the research on designing ESP programs that I conducted for two years for my dissertation. Results from the survey conducted in three public universities in Indonesia have indicated that there is a fundamental misunderstanding with the design of ESP courses which made the teaching of such courses ineffective and inefficient.
PENDAHULUAN ESP (English for Specific Purposes) merupakan salah satu bidang linguistik terapan yang telah berkembang cukup lama, semenjak awal tahun 1970-an. Sejalan dengan perkembangannya, di Indonesia ESP juga sudah dikenal, namun masih terbatas pada kalangan akademisi tertentu yang berkecimpung dalam bidang pengajaran bahasa Inggris saja. Secara teoretis, program ESP melibatkan beberapa pihak yang berkepentingan (stakeholders), namun pihak lain yang terkait langsung dengan praktek ESP yang seharusnya mengetahui bidang ini ternyata tidak mengenal ESP itu sendiri. Akibatnya, hingga tiga dekade terakhir sangat jarang ditemukan adanya publikasi, seminar, lokakarya, dan diskusi ilmiah yang membahas praktik dan perkembangan ESP di Indonesia. Tulisan ini merupakan laporan dari sebahagian hasil penelitian yang dilatarbelakangi oleh fenomena teoretis dan praktis. Fenomena teoretis menyangkut hasil pemahaman terhadap berbagai teori dan konsep dasar dalam bidang ESP yang diramu dari berbagai pemikiran para ahli dalam bidang ESP. Di antara konsep dasar tersebut adalah pengertian, karakteristik yang membedakan antara ESP dan EGP (English for general purposes), klasifikasi, perancangan, pelaksanaan proses belajar mengajar, dan evaluasi dalam bidang ESP. Konsep-konsep ini mengikuti gagasan yang dikemukakan oleh para ahli seperti Hutchinson dan Waters (1987), Jordan (1997), Dudley-Evans dan St. John (1998), McDonough dan Shaw (2000), dan McDonough (2002). Dari sisi fenomena praktis, terdapat dua fakta yang menjadi pendorong penelitian ini. Pertama, hasil-hasil penelitian dalam bidang ini yang telah dipublikasikan memberikan gambaran betapa bidang ini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu objek penelitian yang menarik bagi banyak pihak. Kedua, status ESP pada berbagai PT di Indonesia menunjukkan kecenderungan kurang menjadi perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan. Pada63
Kusni
hal, hampir semua program studi non-bahasa Inggris di berbagai jenis PT menawarkan mata kuliah bahasa Inggris (MK-BING) yang berbau ESP kepada mahasiswanya. Menyangkut fenomena praktis ke dua ini, dalam struktur kurikulum PT, pada awalnya, MK-BING hanya termasuk ke dalam kelompok mata kuliah dasar umum (MKDU) dengan bobot 2 SKS dan berisi bahasa Inggris umum. Kerancuan pemahaman terhadap MK ini sebagai bahasa Inggris umum atau bahasa Inggris untuk tujuan khusus berlangsung cukup lama hingga digaungkannya otonomi yang memberlakukan istilah kurikulum lokal dan kurikulum nasional. Pemberlakuan kedua kurikulum ini memungkinkan setiap PT untuk menyusun kurikulum sendiri. Pergeseran memberi dampak bagi berubahnya perlakuan terhadap mata kuliah BING, dari yang umum kepada ESP. Ada beberapa PT yang sudah memberi tajuk yang mencirikan bahwa MKBING bukan lagi berisi bahasa Inggris umum melainkan ESP seperti English for International Relations, Bahasa Inggris Hukum, Bahasa Inggris Kimia, Bahasa Inggris Teknik, dan berbagai tajuk ESP lainnya. Variasi ini tidak hanya terjadi pada kelompok dan tajuknya saja, melainkan juga pada statusnya (wajib dan pilihan), jumlah mata kuliahnya (1-4 buah), jumlah total sks-nya (2-12 sks), perancangannya, pelaksanaannya, dan evaluasinya. Pemahaman terhadap kedua fenomena tersebut mendorong penulis untuk melakukan kajian empiris secara lebih mendalam tentang bagaimana MK-ESP dirancang?. Sejauh mana fase-fase program ESP telah diimplementasikan dalam perancangan MK-ESP di PT? Survei yang melibatkan banyak pihak ini dijadikan dasar dalam menjawab pertanyaan ketiga: bagaimana seharusnya model perancangan program ESP dalam konteks PT di Indonesia? 1
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian survei yang menggunakan gabungan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan kepada pendapat para ahli untuk kedua jenis penelitian ini seperti Bogdan dan Biklen (1982), Johnson (1992), dan Wray, Trott, dan Bloomer (1998). Penelitian survei ini mengambil kasus yang terjadi di Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (UNPAD), dan Universitas Andalas (UNAND). Masing-masing pada Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Hukum (FH), dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Sumber data penelitian ini berjumlah 355 orang yang terdiri dari lima kelompok responden: 320 orang mahasiswa, 11 orang dosen pembina MKESP, 9 orang ketua PS, 9 dosen senior PS, dan 7 orang pakar TEFL di Indonesia. Empat kelompok pertama berasal dari ketiga universitas yang disurvei sementara kelompok yang terakhir diambil dari guru besar jurusan pendidikan bahasa Inggris Universitas Negeri Malang, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Negeri Padang. Kemudian, untuk penyelarasan data, peneliti juga menggunakan sumber data berbentuk dokumen berupa silabus MK, materi ajar, dan alat evaluasi yang digunakan dosen dalam MKESP. Penelitian ini menggunakan wawancara, kuesioner, dan analisis dokumen
64
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
sebagai alat pengumpul data yang didukung oleh banyak ahli seperti Oppenheim (1992) dan McDonough dan McDonough (1997). Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan semua responden, kecuali mahasiswa. Instrumen yang berupa kuesioner diperuntukkan bagi mahasiswa. Kuesioner ini disusun berdasarkan berbagai rambu-rambu yang dikemukakan oleh Nunan (1999) dan Oppenheim (1992). Kuesioner yang terdiri dari 35 butir ini dimaksudkan untuk menjaring data tentang penilaian mahasiswa terhadap kebutuhan BING mereka sendiri dan penilaian mereka terhadap bagaimana MK-ESP telah dirancang. Data yang diperoleh dianalisis mengikuti prosedur seperti yang diharuskan untuk jenis penelitian yang merupakan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif ini. Data yang bersifat kuantitatif yang didapat dari kuesioner dan wawancara dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yakni, dengan menghitung jumlah dan prosentase data dalam bentuk tabulasi. Khusus bagi data yang bertalian dengan pengurutan, analisis dilakukan melalui proses pembobotan pilihan terlebih dahulu. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif-argumentatif. Pertama, data dikelompokkan menurut variabel dan subvariabel yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian, data tersebut diverifikasi dengan cara membuang yang tidak signifikan. Selanjutnya, data yang dianggap penting diverifikasi ulang untuk digabung, dimaknai, dan ditafsirkan sesuai dengan unsur-unsur pembahasan yang ada. 2
TEMUAN PENELITIAN: PERANCANGAN ESP DI PT SETAKAT INI
Temuan penelitian yang disampakan dalam tulisan ini hanyalah temuan pokok yang merupakan sebahagian dari temuan penelitian yang telah dilakukan. Pertanyaan penelitian yang diambil adalah: Bagaimana AK kebutuhan dilakukan? Bagaimana profesionalisme pembina MK-ESP? Sejauh mana kola-borasi dalam perancangan MK-ESP telah dilakukan? Bagaimana MK-ESP telah dievaluasi? Semua pertanyaan penelitian ini disandarkan pada teori yang dikemukakan oleh banyak pakar ESP, antara lain, Hutchinson dan Waters (1987), Jordan (1997), Dudley-Evans dan St.John (1998), dan West (1999). Akumulasi dari pendapat mereka yang dirumuskan menjadi kerangka acuan teoretis menyatakan bahwa sebuah program ESP harus dirancang mengikuti sejumlah fase kegiatan yang bersiklus yaitu analisis kebutuhan, penentuan tujuan, pemilihan materi ajar, penetuan kegiatan belajar-mengajar, dan perencanaan evaluasi. Kerangka ini pula yang telah diikuti oleh banyak peneliti dalam bidang ESP ini dan telah menghasilkan berbagai temuan yang mendukung dan mengembangkan teori di bidang ini. Hasil analisis data survei ini menunjukkan adanya beberapa permasalahan pokok yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, perancangan MK-ESP selama ini sama sekali belum diawali dengan adanya analisis kebutuhan (AK) yang saksama sebagai dasar dalam perancangan program. Kealpaan AK ini menjadi awal dari berbagai kekeliruan yang amat mendasar dalam pelaksanaan MK ini seperti, penentuan tajuk yang tidak memberikan arah, bobot sks yang sangat bervariasi, tujuan MK yang tidak berfokus dan
65
Kusni
tidak menggambarkan ESP, dan pemilihan dan penggunaan materi ajar yang tidak sesuai dengan karakteristik dasar program ESP. Kedua, MK-ESP tidak dibina dan diajarkan oleh pembina MK yang memiliki profesionalisme sebagaimana seharusnya. Data menunjukkan bahwa dosen yang ditunjuk sebagai pembina MK tidak memiliki bekal pelatihan dan pendidikan yang memungkinkan mereka untuk menjadi pembina MK-ESP. Sebahagian besar mereka tidak memahami dengan baik, bahkan ada yang sama sekali tidak mengenal bagaimana program ESP harus dirancang dan dilaksanakan. Hal ini tidak hanya terjadi pada pembina MK-ESP yang sebahagian besar berasal dari dosen bidang ilmu, tetapi juga terjadi pada mereka yang berasal dari dosen bahasa Inggris. Kalaupun yang telah mengikuti pelatihan, pemahamannya terhadap ESP sangat jauh dari yang diharapkan karena ternyata waktu dan intensitas pelatihan sangat terbatas. Di samping itu, tidak satu pun pembina MK-ESP yang berupaya mengembangkan profesionalismenya, baik mengakses berbagai referensi tentang teori, hasil penelitian, dan praktek ESP maupun pendalaman keterampilan mengajar bahasa Inggris. Temuan pokok lainnya adalah ketiadaan koordinasi dan kolaborasi yang baik antara semua pihak yang dianggap sebagai stakeholders untuk MKESP. Data menunjukkan bahwa belum pernah terjadi adanya kolaborasi antara pembina MK-ESP yang berasal dari dosen BING dengan dosen senior dan pakar bidang studi. Tidak pernah ada kolaborasi antara pembina MK-ESP yang berasal dari dosen bidang studi dengan dosen BING atau pakar TEFL yang mengenal ESP dalam merancang dan melaksanakan MK-ESP ini. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pemahaman yang baik terhadap MK-ESP. Tidak ada yang merasa ikut bertanggungjawab terhadap MK ini selain pembina MK, termasuk pimpinan program studi dan pakar bidang ilmu yang semuanya menyatakan bahwa penguasaan bahasa Inggris yang berkenaan dengan bidang ilmu sangat penting bagi mahasiswa. Dengan demikian, MK-ESP selama ini tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Temuan selanjutnya menunjukkan bahwa program ESP pada setiap program studi belum terjamah oleh evaluasi. Ketiadaan agenda untuk evaluasi menjadi penyebab tidak diketahuinya berbagai permasalahan sehubungan dengan efektifitas pelaksaan MK-ESP. Pimpinan PS dan fakultas tidak menyadari adanya kekeliruan mendasar bahwa MK-ESP yang telah dan sedang berjalan tidak berjalan menurut kaidah dan karakteristik ESP seperti telah diungkapkan para ahlinya. Hal ini terjadi karena mereka juga tidak mengetahui bagaimana karakteristik dasar dari MK-ESP dan bagaimana seharusnya MK ini dirancang dan diimplementasikan. Temuan penelitian di atas sejalan dengan beberapa temuan hasil peneliti-an terdahulu yang dilakukan oleh Tubtintong (1994) di universitas Chulalong-korn, Thailand, Chia dll (1999) di Chung Shan Medical College, Taichung, Taiwan, dan Field (1999) di sebuah PT swasta di Yokohama, Jepang. Penelitian mereka membuktikan bahwa hasil AK merupakan dasar dalam perancangan program dan menentukan keterampilan apa yang harus dikembangkan dalam program ESP. Hasil penelitian ini juga memperkokoh temuan Bosher dan Smalkoski (2002), Kavaliauskien (2002), dan Deutch
66
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
(2003) bahwa perancangan program memerlukan pengumpulan informasi dari semua pihak terkait. Beberapa temuan penelitian juga mendukung temuan penelitian ini, seperti Daoud (2000), Holliday (1995), Quirke (1996), dan Dobson (1997). Temuan penelitian ini mendorong lahirnya sebuah pemikiran untuk mengadakan reformulasi perancangan MK-ESP di PT Indonesia. Inilah yang menjadi inti pemikirian yang diungkapkan dalam tulisan ini. Bentuk dan langkah-langkah dari perancangan program ESP yang diusulkan untuk reformulasi dibahas dalam topik berikut ini. 3
REFORMULASI PERANCANGAN MK-ESP YANG DIUSULKAN
Untuk keluar dari berbagai permasalahan yang ditemukan dalam penelitian survei dan menata kembali MK-ESP di masa depan, saya mengusulkan sebuah model perancangan yang disebut sebagai Model Kolaborasi Kolektif (MKK). Yang saya maksud dengan model dalam tulisan ini adalah penggambaran proses perancangan program ESP dalam suatu rantaian beberapa elemen pokok fase kegiatan yang saling bertalian (McQuail dan Windahl, 1989). Istilah kolaborasi yang saya gunakan mengikuti pendapat para pakar ESP yang mengungkapkan bahwa kolaborasi berarti kerja sama. Kata kolektif digunakan untuk mempertegas bahwa kolaborasi ini tidak hanya melibatkan kerja sama antara dua pihak, pembina MK dan dosen BS, tetapi kerja sama semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu pembina MK-ESP, dosen atau pakar BS, pimpinan PS dan fakultas, pakar TEFL yang lebih memahami teori dan praktek ESP, alumni atau pasar kerja, dan mahasiswa. Kata kolektif juga menunjukkan adanya kerja sama dan negosiasi dalam bentuk berkumpul bersama melalui diskusi, seminar, atau lokakarya untuk membahas berbagai hal yang menyangkut perancangan program ESP. Pengambilan keputusan harus dilakukan secara bersama-sama, sehingga tercipta perancangan yang negosiatif seperti yang ditekankan oleh Breen dan Littlejohn (2000). Dengan demikian, MKK berarti penggambaran proses perancangan MK-ESP yang dilakukan secara bersama-sama oleh enam pihak yang berkepentingan dalam suatu forum diskusi, seminar, lokakarya atau badan ad hoc tertentu di bawah koordinasi pimpinan PS dan fakultas. Semua pihak memiliki tanggung jawab atau akuntabilitas yang sama dalam menghasilkan rancangan MK-ESP ini. Model ini menunjukkan bahwa ada serantaian kegiatan yang harus dilakukan dalam bentuk kolaborasi kolektif dalam perancangan program ESP. Rantaian kegiatan yang dikemukakan para pakar, berlandaskan temuan penelitian yang telah dilakukan ini, tidak serta merta dapat diterapkan karena pihak yang berkepentingan belum memahaminya. Dengan kata lain, AK sebagai langkah awal dalam perancangan ESP yang diikuti dengan langkahlangkah berikutnya belum dapat dilakukan bila konsep tentang itu belum dipahami.
67
Kusni
3.1 Diseminasi Konsep Dasar ESP Kepada Semua Stakeholders Di dalam MKK ini, kegiatan awal yang harus dilakukan dalam perancangan MK-ESP adalah diseminasi konsep dasar ESP kepada semua pihak yang berkepentingan. Menurut saya, kegiatan ini sangat penting dan harus dilakukan karena, berdasarkan hasil penelitian, hampir semua pihak yang berkepentingan ini belum mengenal secara baik konsep dasar ESP. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap konsep dasar ini tidak mungkin akan tercipta kolaborasi yang baik dalam perancangan ini. Kegiatan ini diinisiasi oleh pimpinan fakultas atau PS dengan menghadirkan pakar ESP sebagai nara sumber. Stakeholders lainnya diundang dan dilibatkan dalam bentuk seminar dan lokakarya untuk menanamkan pemahaman tentang ESP. Kegiatan ini baru dapat dianggap berhasil bila semua pihak telah sampai pada pemahaman yang baik terhadap program ESP. Setelah semua pihak memahami konsep dasar ini, tahapan-tahapan proses perancangan MK-ESP yang bersiklus dapat dilakukan. Tahapan perancangan program ESP yang bersiklus ini adalah penentuan kebutuhan, penetapan informasi umum MK (tajuk, sks, sistem penawaran, dan deskripsi MK), penetapan tujuan, pemilihan materi ajar, perencanaan bentuk kegiatan belajar mengajar, dan perencanaan evaluasi. 3.2 Kolaborasi Penentuan Kebutuhan (Assessing Needs) Semua ahli ESP berendapat bahwa program ESP harus diawali dengan analisis kebutuhan. MK-ESP ini harus ditawarkan berdasarkan hasil AK yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak yang berkepentingan. Keterampilan dan penguasaan BING yang bagaimana yang dibutuhkan untuk dikembangkan dalam MK-ESP harus disepakati. Secara teoretis, AK dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen tertentu seperti angket, kuesioner, atau wawancara, namun ini belum dapat dilakukan oleh praktisi yang ada sehingga cukup dilakukan melalui kesepakatan dalam kolaborasi kolektif, tanpa harus menggunakan instrumen di atas. 3.3 Kolaborasi Penetapan MK-ESP Penetapan MK dalam konteks ini adalah proses penentuan tajuk, kode, bobot atau kesetaraan SKS, kelompok atau status, deskripsi, dan sistem penawaran MK selama ini dimunculkan tanpa AK yang saksama oleh perumus kurikulum. Semua ini menjadi komponen dan informasi yang dimuat di dalam struktur kurikulum PS. Penetapan MK yang berbasis kolaborasi kolektif ini memungkinkan semua pihak untuk berinteraksi, membicarakan, dan menetapkan semua entitas tersebut sebagai implementasi dari proses AK. Apapun keputusan yang diambil menyangkut tajuk, bobot sks, pengelompokkan MK-ESP, dan sistem penawaran MK-ESP akan mencerminkan bahwa penetapan awal MK ini didasarkan atas hasil AK yang berupa kesepakatan yang di-lakukan bersamasama oleh semua pihak yang berkepentingan setelah mereka memahami apa dan bagaimana program ESP.
68
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
3.4 Kolaborasi Penetapan Tujuan MK-ESP Pada tahap ini tim kolaborasi kolektif berdiskusi dalam merancang dan merumuskan tujuan MK. Patokan dasar yang harus difahami oleh semua pihak adalah bahwa, berdasarkan data penelitian survei, MK-ESP adalah sebuah mata kuliah yang diarahkan untuk membantu mahasiswa untuk kepentingan akademiknya, atau apa yang lebih dikenal sebagai EAP (English for Academic Purposes). Untuk pengembangan keterampilan membaca, pemahaman adalah tujuan yang paling penting untuk dijadikan fokus. Di dalam perancangan tujuan tersebut perlu disadari oleh semua tim kolaborasi bahwa yang akan dikembangkan dalam kelas adalah strategi dan teknik membaca yang efektif dan efisien yang termasuk dalam beberapa sub keterampilan membaca, pengembangan penguasaan kosakata yang bertalian dengan bidang ilmu, dan pengembangan keterampilan belajar. Kemudian, anggota tim kolaborasi juga harus menyadari bahwa perancangan tujuan untuk pengembangan keterampilan bahasa yang lain (menyimak, berbicara, dan menulis) dan penguasaan tata bahasa terintegrasi dengan keterampilan membaca, tetapi tidak menjadi fokus. 3.5 Kolaborasi Pemilihan dan Penentuan Materi Ajar. Pada tahap pemilihan dan penentuan materi ajar ini tidak semua tim kolaborasi kolektif harus terlibat. Pada tahap perancangan materi ini, pakar TEFL, pembina MK-ESP, dan dosen atau pakar bidang studi membicarakan berbagai alternatif tentang materi ajar seperti sumber, isi, dan karakteristik materi yang akan digunakan. Pembahasan materi ajar dalam tim kolaborasi ini merupakan hal yang tidak mudah karena menyangkut kepentingan dari sudut pandang yang berbeda oleh unsur yang terlibat dalam kolaborasi. Namun demikian, harus diakui bahwa perancangan materi dengan cara berkolaborasi ini merupakan alternatif yang dianggap tepat mengingat pembina MK mem-butuhkan gagasan dari dosen dan pakar bidang studi tentang materi yang mungkin lebih baik digunakan. Materi ajar ESP harus otentik karena ini merupakan salah satu ciri pokok program ESP. Pemilihan materi tersebut didasarkan pada subketerampilan bahasa yang ingin dikembangkan. Dari sisi isi materi ajar, tim kolaborasi kolektif juga harus menyadari bersama bahwa materi ajar ESP harus mengandung dua unsur isi, real content dan carrier content. Real content adalah materi untuk pengembangan keterampilan bahasa, sedangkan carrier content adalah materi yang bertalian dengan bidang ilmu yang menjadi spesialisasi mahasiswa. Dalam perancangan materi ini tim kolaborasi juga harus mengetahui bersama bahwa materi tersebut harus memenuhi kriteria sebagai materi ajar ESP yang baik seperti yang dikemukakan oleh Tomlinson (1998) dan Donna (2000). 3.6 Kolaborasi Perencanaan Bentuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM Ungkapan berbagai pakar pengajaran bahasa yang berbunyi: No one method is the best adalah ungkapan yang paling tepat difahami dalam kola-borasi kolektif dalam menentukan dan memberikan saran terhadap pembina MK
69
Kusni
tentang metode atau teknik mengajar yang akan digunakan. Pemilihan metode dan teknik mengajar sangat kontekstual. Perancangan KBM sangat ter-kait dangan tujuan yang ingin dicapai dan materi ajar yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Melalui keterampilan membaca pemahaman sebagai prioritas, pengembangan pengetahuan bidang studi, pengetahuan kosakata yang bertalian dengan bidang ilmu, dan keterampilan belajar terintegrasi dengan itu. Tim kolaborasi diharapkan memahami bahwa penggabungan berbagai bentuk ancangan pengajaran (multiple-based approach) seperti yang berpumpun pada pelajar (student-centered learning), berpumpun pada isi materi (content-based), berorientasi pada proses (process-based), dan berisi pemberian tugas-tugas (task-based) sangat dianjurkan dalam MK-ESP. Hal ini tentu lebih dituntut untuk difahami dan dilaksanakan oleh pembina MK. Penerapan semua bentuk pengajaran ini akan mencerminkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam kelas ESP melalui diskusi dan tugas-tugas yang berujung pada pengembangan keterampilan membaca, penguasaan unsur bahasa, keterampilan belajar, dan pengembangan pengetahuan bidang ilmu terkait. 3.7 Kolaborasi Perencanaan Bentuk Evaluasi. Perancangan evaluasi memerlukan perhatian khusus tim kolaborasi. Di dalam pertemuan semua stakeholders ini peserta dituntut untuk membicarakan bagaimana evaluasi akan dilakukan, baik evaluasi hasil belajar maupun evaluasi program secara keseluruhan. Stakeholders yang paling perlu terlibat dalam perancangana evaluasi ini adalah pembina MK-ESP, pakar TEFL, pakar bidang studi, dan pimpinan PS. Atas bimbingan pakar TEFL semua anggota tim kolaborasi diharapkan melahirkan kesepakatan tentang berbagai hal yang menyangkut penentuan hasil belajar mahasiswa dan evaluasi MK-ESP sebagai suatu program. 3.8 Kolaborasi Penyusunan Silabus MK-ESP Fase terakhir dalam model perancangan kolaborasi kolektif ini adalah penyusunan silabus MK yang juga dilakukan secara berkolaborasi oleh semua pihak yang berkepentingan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan, materi ajar, bentuk KBM, dan bentuk evaluasi yang telah dirumuskan dapat dieksplisitkan secara runtut dalam sebuah silabus MK. Format silabus ini dapat berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh pimpinan PT. Yang perlu di-perhatikan semua pihak yang berkepentingan adalah bahwa silabus harus berisi semua hasil kesepakatan yang telah diambil dalam enam fase sebelumnya. Setelah silabus MK ini tersusun secara baik, pembina MK akan sangat terbantu dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan evaluasi hasil belajar mahasiswa. Setelah pelaksanaan PBM yang diikuti dengan pelaksanaan evaluasi hasil belajar ini, pembina MK dapat menerapkan perancangan yang telah dibuat dalam mengevaluasi MK secara keseluruhan.
70
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
4
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian survei adalah bahwa MKESP yang selama ini telah berjalan salah urus, salah arah, dan menyimpang dari teori ESP yang seharusnya menjadi dasar. Permasalahan tersebut harus diupayakan untuk diselesaikan melalui penerapan teori ESP semaksimal mungkin berdasarkan konteks yang ada. Untuk ini, solusi yang dipandang paling tepat dilakukan dalam perancangan MK-ESP adalah penerapan model kolaborasi kolektif. Untuk setakat ini, model ini harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efektifitas MK-ESP di PT. Ada beberapa saran atau rekomendasi sebagai hasil perenungan terhadap hasil penelitian ini. Pertama, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sudah waktu-nya memikirkan untuk membuka program spesialisasi 1 tahun (setara 20-40sks) khusus ESP guru memberikan sertifikasi kepada pembina MK-ESP. Kedua, perlu dibentuk suatu lembaga tertertentu yang khusus untuk bidang ESP. Lembaga ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah yang mengkaji, merancang, mengevaluasi, dan meneliti berbagai hal yang menyangkut program ESP serta menyebarluaskan berbagai informasi hasil penelitian, pengalaman, dan kajian teori. Ketiga, sistem penawaran MK-ESP ini diusulkan untuk diubah menjadi MK wajib dalam bentuk 0 sks yang dapat ditawarkan dalam beberapa semester sesuai hasil AK. Mahasiswa yang akan mengambil kelas tertentu harus melalui suatu seleksi penempatan yang sesuai dengan kemampuan awal bahasa Inggris mereka.
PUSTAKA ACUAN Bogdan, R. C. dan S.K. Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Bosher, S. dan K. Smalkoski. 2002. “From Needs Analysis to Curriculum Development: Designing a Course in Health-care Communication for Immigrant Students in the USA”. English for Specific Purposes, 21: 59–80. Chia, H. U., R. Johnson, H. L. Chia dan F. Olive. 1999. “English for College Students in Taiwan: A Study of Perceptions of English Needs in a Medical Context”. English for Specific Purposes, 18: 107–120. Daoud, M. 2000. “LSP in North Africa: Status, Problems, and Challenges”. Annual Review of Applied Linguistics. 20: 77–96. Deutch, Y. 2003. “Needs Analysis for Academic Legal English Courses in Israel: A Model of Setting Priorities”. Journal of English for Academic Purposes, 2.2: 39–60 Dobson, G. 1997. “Development of an in-house ESP Course: A Descriptive Analysis”. Disertasi, tidak diterbitkan. www. les. aston. ac. uk/ lsu/ diss/ vwarta. html.
71
Kusni
Donna, S. 2000. Teaching Business English. Cambridge: Cambridge University Press. Dudley-Evans, T. dan M. J.St. John. 1998. Developments in English for Specific Purposes: A Multi-disciplinary Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Field, K. (ed.) . 2000. Issues in Modern Foreign Languages Teaching. London: Routledge Falmer. Holliday, A. 1995. “Assessing Language Needs within an Institutional Context: An Ethnographic Approach”. English for Specific Purposes, 14: 115– 126. Hutchinson, T. dan A. Waters. 1987. English for Specific Purposes: A Learning-centred Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Johnson, D. M. 1992. Approaches to Research in Second Language Learning. London: Longman. Jordan, R. R. 1997. English for Academic Purposes. A Guide and Resource Book for Teachers. Cambridge: Cambridge University Press. Kavaliauskien, G. 2002. „Aspects of Learning ESP at University“. English for Specific Purposes World Web-based Journal. 1.1. Tersedia di: http //esp-world.7p.com. McDonough, J. 2002. Applied Linguistics in Language Education. London: Arnold. McDonough, J. dan C. Shaw. 2000. Materials and Methods in ELT: A Teacher Guide. Oxford: Blackwell. Nation, I. S. P. 2001. Learning Vocabulary in Another Language. Cambridge: Cambridge University Press. Nunan, D. 1999. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press. Oppenheim, A. N. 1992. Questionnaire Design, Interviewing and Attitude Measurement. London: Pinter Publishers. Quirke, T. 1996. “Teacher Roles in ESP Course Design: A Case Study for Task-based Teaching Units”. Disertasi, tidak diterbitkan. www. les. aston. ac. uk/ lsu/ diss/ vwarta. html. Tubtimtong, W. 1994. “The Problems of Translating Communicative Needs into Course Design and Implementation”. Dalam Khoo, R. (ed.). LSP: Problems and Prospects. Singapore: 123–131. West, R. 1999. “Needs Analysis in Language Teaching”. Language Teaching, 27.1. Wray, A., K. Trott, A. Bloomer. 1998. Project in Linguistics: A Practical Guide to Researching Language. London: Arnold.
72
TINJAUAN PRESKRIPTIF TERHADAP PEMAKAIAN KATA DI MANA DALAM TULISAN MAHASISWA I Dewa Putu Wijana Universitas Gadjah Mada
Abstract The goal of the present paper is to describe the errors on the use of di mana 'where' found in university students' papers and show how the word should be correctly used in Standard Indonesian. It is hoped that this study can motivate researchers of Standard Indonesian to observe and describe other types of errors that frequently crop up in university students' papers.
PENDAHULUAN Pada umumnya penutur-penutur bahasa Indonesia mengenal kata di mana sebagai kata tanya yang digunakan untuk menanyakan tempat (lokasi) di dalam kalimat tanya informasi (Wijana, 1981; Ramlan 1983), seperti yang terdapat dalam kalimat (1) dan (2), atau sebagai konjungtor lokatif, seperti yang terdapat dalam kalimat majemuk subordinatif (3) dan (4). (1) Di mana rumahmu? (2) Di mana kamu membeli buku itu? (3) Saya tidak tahu di mana ia tinggal. (4) Saya sekarang tahu di mana ia biasa mengadu ayam. Akan tetapi, bila diadakan pengamatan secara lebih saksama, maka di samping bentuk pemakaian baku seperti (1) dan (2), dan sedikit tidak baku, seperti (3) dan (4) di atas, ada pula berbagai jenis kata di mana yang lain yang sama sekali dianggap tidak baku. Salah satu bidang pemakaian yang banyak memiliki persoalan yang cukup menarik berkaitan dengan penggunaan kata di mana adalah karya tulis atau karangan para mahasiswa. Dikatakan cukup menarik karena di dalam karya tulis mahasiswa kata di mana tidak hanya difungsikan sebagai kata tanya atau substitutor lokatif, tetapi juga dimanfaatkan sebagai penanda satuan-satuan gramatikal yang lain. Fungsi-fungsi di mana yang lain ini belum banyak dibicarakan oleh para linguis, baik yang berkecimpung dalam penelitian deskriptif, maupun yang sekaligus juga menaruh perhatian pada permasalahan-permasalahan preskriptif mengenai pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan tolok ukur tata bahasa Indonesia baku. Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan berupaya mendeskripsikan kesalahankesalahan mahasiswa di dalam menggunakan kata di mana yang terdapat di dalam karangan atau karya tulisnya, dan menunjukkan bagaimana seharusnya kata di mana itu diungkapkan dalam kalimat atau wacana bahasa Indonesia yang lebih baku, atau lebih “berbau” bahasa Indonesia. Penelitian ini diharap73
I Dewa Putu Wijana
kan dapat menarik minat peneliti-peneliti dan para pencinta bahasa Indonesia untuk mengamati berbagai bentuk kesalahan lain yang lazim terdapat dalam karya tulis atau karangan para mahasiswa, dan akhirnya secara bertahap dapat memperbaiki kualitas pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu buku pelajaran bahasa Indonesia yang membahas masalah penggunaan kata di mana yang tidak semestinya adalah karya Ramlan dkk. (1997). Dalam buku ini dikatakan bahwa di mana, di samping kata-kata yang lain seperti dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana, merupakan pengaruh negatif dari bahasa Inggris. Khususnya di mana ditransfer dari penanda klausa relatif where. Sementara itu, dalam mana dan di dalam mana, dari mana, serta yang mana secara berturut-turut ditransfer dari in which, from which, dan which. Sejajar dengan ini Moeliono (1985, 121) juga menduga kuat akan adanya pengaruh dari bahasa Inggris itu, bahkan bentukbentuk yang terpengaruh jauh lebih banyak dari itu, seperti atas mana, untuk mana, kepada siapa, dan dengan siapa. Walaupun dikatakan penggunaan konjungsi pungutan ini mudah dihindari bila pola kalimat bahasa Indonesia yang mendasarinya dikenal (ibid), pengaruh negatif ini semakin lama terasa semakin mengganggu karena dampaknya tidak hanya terbatas pada jenis konjungsi relatif, tetapi juga telah merambah pada elemen sintaktik yang lain yang jelasjelas bukan merupakan struktur bahasa asing, seperti yang ditemukan oleh Sugono (2003) dalam contoh (5) dan (6) berikut ini: (5)
Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga di mana telah bersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing.
(6)
Usaha ini akan dikembangkan terus di mana pemerintah juga akan membantu menyediakan tenaga untuk melatih para pengelolanya.
Di mana dalam (5) dan (6) karena di dalam bahasa Inggris kata ini tidak sejajar dengan where, tetapi dengan who atau because dan and yang bila diungkapkan ke dalam bahasa Indonesia yang baku berpadanan dengan yang, karena, dan lalu. Untuk ini dapat diperhatikan kalimat (7), (7a), dan (8) berikut: (7)
Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga yang telah bersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing.
(7a) Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga karena telah bersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing. (8)
3
Usaha ini akan dikembangkan terus, dan pemerintah juga akan membantu menyediakan tenaga untuk melatih para pengelolanya.
LANDASAN TEORI
Secara teoretis perubahan bahasa yang terjadi di dalam berbagai tatarannya (fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon), pada garis besarnya disebabkan
74
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Sebab pertama bersumber dari bahasa itu sendiri, sedangkan faktor kedua bersumber dari luar bahasa bersangkutan sehubungan dengan adanya peminjaman (borrowing) baik satuan lingual atau konsep dalam peristiwa kontak bahasa (Wardhaugh 1986). Dalam hubungan ini, faktor sosial dan kultural menjadi salah satu alasan utama dari peminjaman, dan kata-kata yang dipinjam umumnya memiliki kekhasan konsep. Sejauh butir-butir leksikal yang dipinjam dipandang sebagai interferensi merupakan bentuk sederhana (simple word) dari sudut pandang dwibahasawan yang mengucapkannya, menurut Weinreich (1968, 47-50) ada tiga tipe interferensi leksikal. Pertama kata-kata yang dipinjam secara langsung ditransfer ke bahasa peminjam tanpa perubahan bunyi. Misalnya saja dalam bahasa Jerman holismok diambil dari bahasa Inggris holy smoke(s). Dalam bahasa Italia ada kata azzoraiti yang dipungut dari bahasa Inggris that’s all right. Kedua, kosa kata bahasa peminjam mengalami perluasan pemakaian karena pengaruh kata asing yang menjadi modelnya. Bila dua bahasa memiliki konsep makna (semantem) yang sebagian saja sama, maka interferensi akan berupa proses penyamaan atau penyesuaian agar semantem-semantem itu sama atau kongruen. Di dalam bahasa Rusia kata urcven mengandung konsep ‘permukaan’, baik abstrak mupun kongkret. Di dalam bahasa Yakut kata lahym terbatas untuk menunjuk ‘permukaan air’ saja. Karena adanya pengaruh dari bahasa Rusia, kata lahym mengalami perubahan konsep yang tidak hanya menunjuk ‘tingkat permukaan air’, tetapi juga ‘tingkat perkembangan, kemampuan’, dsb. Sering kali dua semantem, misalnya X dan Y dalam suatu bahasa digabung atas dasar bahasa yang mempengaruhinya, dan kombinasi semantem itu dilambangkan dengan satu kata Z yang merupakan salah satu lambang semantem X atau Y, dan salah satu lambang semantem ini kemudian tidak digunakan. Sebagai contoh dalam dialek bahasa Yiddish semantem ‘bridge’ dan ‘floor’ digabungkan meniru model bahasa Belarusia most, dengan leksem brik dan kata yang lain yang mengacu ‘floor’ tidak digunakan. Ketiga, katakata yang dipungut mengalami perubahan bunyi menurut sistem bunyi bahasa yang menerimanya tanpa adanya perubahan makna. Misalnya kata Europa bahasa Spanyol dinaturalisasikan menjadi Uropa dalam bahasa Tampa, di Florida, atau kata vakaisje ‘vacation’ diserap menjadi vekejsen dalam bahasa Yiddish di Amerika. Dengan kerangka teori Weinreich tersebut, interferensi kata bahasa Inggris where terhadap pemakaian kata di mana termasuk interferensi leksikal tipe yang kedua. Masuknya pengaruh bahasa Inggris dalam hal ini menyebabkan meluasnya pemakaian kata di mana yang semula umumnya digunakan sebagai kata tanya, kemudian meluas sebagai konjungsi relatif, konjungsi antarklausa, dan konjungsi antarkalimat dengan konsep yang bermacammacam pula. Mungkin juga pengaruh itu menjadi sangat ekstrem, yakni sampai kepada pemakaian yang tidak ada di dalam bahasa Inggris. Sehubungan dengan inilah studi preskriptif mendapatkan kedudukannya guna mencegah semakin tidak terkontrolnya penggunaan kata di mana ini. Dengan kata lain, untuk menghindari kesan pembinaan yang tidak bersifat adatif, studi yang bersifat normatif akan mencegah perluasan pemakaian yang bersifat negatif itu pada batas-batas yang dapat ditoleransi.
75
I Dewa Putu Wijana
4
METODE
Data yang disajikan dalam tulisan ini diambilkan atau bersumber dari hasil karangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dalam rangka mereka mengerjakan soal mengarang sewaktu menghadapi ujian akhir semester. Pertama-tama Frase, kalimat, atau wacana yang mengandung kata di mana dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan jenis-jenisnya berdasarkan fungsi gramatikalnya di dalam kalimat atau wacana bersangkutan. Akhirnya setelah hubungan semantis antar elemennya diidentifikasikan, data itu digolong-golongkan berdasarkan makna yang diungkapkan. Sebelum disajikan data-data itu terlebih dahulu mengalami penyuntingan sedemikian rupa agar terbebas dari kesalahan-kesalahan linguistis yang lain sehingga seolah-olah hanya pada kata di mana-lah letak kesalahan kalimat atau wacana itu. Untuk lebih jelasnya bagaimana proses penyuntingan itu dilakukan dapat diperhatikan kalimat (9) dan (10) berikut: (9)
Sejak tahun ini di mana pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ...
(10) Oleh karena itu pemerintah telah mencanangkan suatu program di mana program tersebut dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa ini Pada tahap pertama data (9) dan (10) diubah menjadi (11) dan (12). Setelah diidentifikasikan fungsi gramatikal kata di mana-nya, diterapkan teknik substitusi untuk menggantikan kata di mana tersebut dengan kata-kata yang lebih pantas. Karena di mana dalam (11) berfungsi sebagai penanda klausa relatif temporal, kata di mana di ganti dengan di saat, dan karena di mana dalam (12) berfungsi sebagai penanda klausa relatif penerang, kata ini diganti dengan yang sehingga didapatkan bentuk kalimat bakunya (13) dan (14). (11) Tahun ini di mana pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ... (12) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program di mana dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa ini. (13) Tahun ini di saat pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ... (14) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program yang dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa ini. Data pemakaian di mana disajikan berdasarkan hirarkhi penandaan gramatikalnya secara berurutan dari tataran yang terendah sampai dengan tataran yang tertinggi.
76
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 5 HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan pengamatan secara saksama, didapatkan ada sekurangkurangnya 4 jenis kata di mana yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda di dalam kalimat atau wacana. Adapun keempat jenis itu adalah: 1. kata di mana yang berfungsi sebagai kopula 2. kata di mana yang berfungsi sebagai klausa relatif 3. kata di mana yang berfungsi sebagai penghubung antar klausa 4. kata di mana yang berfungsi sebagai penghubung antar kalimat 5.1 Kata Di mana Sebagai Kopula Kopula adalah verba yang menghubungkan subjek dengan komplemennya (Kridalaksana 1993), seperti be, seem, dan become. Hanya saja, kopula dalam bahasa Indonesia, terutama yang bersifat statis tidak bersifat verbal (Verhaar 1996). Kata-kata yang berfungsi sebagai kopula dalam bahasa Indonesia misalnya adalah, ialah, yakni, yaitu, dsb. Di dalam karangan mahasiswa seringkali ditemui pemakaian kata di mana yang fungsinya sejajar dengan kopula yakni atau yaitu sebagai penanda relasi ekuasional. Untuk jelasnya dapat dilihat kalimat (15), (16), dan (17) berikut: (15) Hutan adalah tempat kelangsungan hidup manusia yang di mana tempat berlindung sejak dahulu hingga sekarang. (16) Pada bulan Januari tanggal 26 tahun 2004 Institut Pertanian Instiper mengadakan suatu kegiatan, di mana para mahasiswa dan mahasiswi menempuh mata kuliah wajib pada semester 8, yaitu KKN. (17) Teknologi biodigester ini bisa diterapkan di lingkungan penduduk pedesaan yang mata pencahariannya beternak, di mana diterapkan tempat kandang ternak yang letaknya dekat dengan peternakan. Sebagai kopula pemarkah hubungan ekuasional kata di mana dalam (15), (16), dan (17) dalam bahasa Indonesia yang lebih baku dapat diganti dengan merupakan, yaitu atau yakni. Untuk ini perhatikan (18), (19), dan (20) berikut: (18) Hutan adalah tempat kelangsungan hidup manusia yang merupakan tempat berlindung sejak dahulu hingga sekarang. (19) Pada bulan Januari tanggal 26 tahun 2004 para mahasiswa Institut Pertanian Instiper mengadakan suatu kegiatan, yakni para mahasiswa dan mahasiswi menempuh mata kuliah wajib pada semester 8, yaitu KKN. (20) Teknologi biodigester ini bisa diterapkan di lingkungan penduduk pedesaan yang meta pencahariannya beternak, yakni di kandang yang letaknya dekat dengan peternakan.
77
I Dewa Putu Wijana
5.2 Kata Di mana Sebagai Penanda Klausa Relatif Atribut sebuah frase endosentrik dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Frasa endosentrik yang atributnya klausa lazim disebut klausa relatif. Klausa ini biasanya ditandai dengan sebuah penanda yang disebut perelatif (relativizer). Perelatif baku yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia adalah yang, tempat, di saat, dsb., seperti pada orang yang membaca buku itu, Rumah tempat ia beristirahat, dan Tahun lalu di saat harga bensin melambung tinggi. Kata di mana yang dalam bahasa baku digunakan sebagai kata tanya juga seringkali dipakai untuk menandai klausa relatif yang mengugkapkan makna lokatif. Salah satu contohnya adalah kata di mana dalam kalimat (21) berikut. (21) Penggunaan teknologi ini banyak memanfaatkan zat kimia yang berdampak bagi lingkungan di mana kegiatan tani itu berlangsung. (22) Hutan merupakan suatu tempat di mana sehari-hari bekerja.
mereka
Dalam bahasa yang baku kata di mana dalam hal ini dapat diungkapkan menjadi tempat sehingga dengan sedikit modifikasi (21) dan (22) menjadi (23) dan (24) berikut: (23) Penggunaan teknologi ini banyak memanfaatkan zat kimia yang berdampak bagi lingkungan tempat kegiatan tani itu berlangsung. (24) Hutan merupakan suatu areal tempat bekerja.
sehari-hari
mereka
Semakin besarnya pengaruh bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia mengakibatkan semakin luasnya pula pemakaian kata di mana yang merupakan interferensi bahasa internasional itu. Pada saat ini, dalam hubungannya dengan penanda klausa relatif, kata di mana tidak hanya digunakan untuk menandai hubungan lokatif, tetapi juga digunakan untuk menandai hubungan temporal dan penerang. Sebagai penanda temporal kata di mana dalam bentuk baku harus diungkapkan dengan di saat, di waktu, dsb., sedangkan sebagai penanda penerang dalam bentuk bakunya harus diungkapkan dengan yang. Untuk itu, dapat diperhatikan kalimat (25) s.d. (28) berikut. Kalimat (25) dan (26) dapat diubah menjadi (29) dan (30), sedangkan (27) dan (28) menjadi (31) dan (32). (25) Sejak tahun ini di mana pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ... (26) Dewasa ini di mana semua aspek kehidupan sudah menggunakan teknologi canggih dan modern, tetapi semuanya tidak dapat lepas dari penggunaan bahan baku yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan. (27) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program di mana program tersebut dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa Indonesia.
78
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 (28) Teknologi pertanian merupakan salah satu bidang pertanian di mana semua bidang pengajarannya dibimbing oleh seorang yang ahli dalam bidangnya. (29) Sejak tahun ini di saat pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ... (30) Dewasa ini di saat semua aspek kehidupan sudah menggunakan teknologi canggih dan modern, semuanya tidak dapat lepas dari penggunaan bahan baku yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan. (31) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program yang dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa Indonesia. (32) Teknologi pertanian merupakan salah satu bidang pertanian yang semua bidang pengajarannya dibimbing oleh seorang yang ahli dalam bidangnya. 5.3 Kata Di Mana Sebagai Penanda Hubungan Antarklausa Berdasarkan jumlah klausanya kalimat-kalimat secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Penggolongan ini tidak mengingkari adanya kalimat yang tidak berklausa, yakni kalimat-kalimat yang lazim disebut kalimat minor atau kalimat tak berklausa. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terbentuk dari satu klausa, sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terbentuk dari dua klausa atau lebih. Kalimat (33) adalah kalimat tak berklausa atau kalimat minor. Kalimat (34) adalah kalimat tunggal, dan kalimat (35) adalah kalimat majemuk. (33) Pergi! (34) Saya akan pergi. (35) Saya akan pergi, tetapi ayah hanya di rumah saja. Klausa-klausa yang menyusun kalimat majemuk lazimnya dihubungkan secara eksplisit dengan sebuah konjungsi antar klausa, lebih-lebih di dalam ragamragam pemakaian yang formal. Dari data yang terkumpul ditemukan cukup banyak kasus penggunaan kata di mana untuk menandai hubungan antar klausa, dan pertalian makna yang diungkapkannya pun ada bermacam-macam, bahkan sampai makna-makna yang bertentangan satu sama lain. Untuk jelasnya, dapat diperhatikan (36), (37), (38), (39), dan (40) berikut: (36) Di era informasi sekarang ini teknologi pertanian semakin terpuruk di mana para petani selalu resah akan keadaan pertanian di Indonesia. (37) Selain hal itu, yang sedang digalakkan sekarang adalah program biofarming di mana menciptakan pertanian organik. (38) Pada era globalisasi saat ini sektor pertanian sangat berpengaruh
79
I Dewa Putu Wijana
terhadap pendapatan negara Indonesia di mana hasil produksi pertanian kita sangat membantu negara kita sehingga harus ditingkatkan kualitasnya. (39) Para mahasiswa ditempatkan di Kabupatan Banjarnegara, di mana di Banjarnegara kami ditempatkan di sepuluh desa Kecamatan Pejawaran. (40) Manusia hendaknya dapat mengerti dan menyadari bahwa dalam hidup harus ada timbal balik. Di mana manusia menggunakannya, maka juga harus memeliharanya dengan baik. Bila dicermati hubungan makna klausa-klausa yang membentuknya, kalimat (36) memiliki hubungan makna akibat, (37) memiliki hubungan makna tujuan, (38) memiliki hubungan makna sebab, (39) makna perturutan, dan (40) makna syarat. Dengan demikian, kata di mana dalam kalimat-kalimat tersebut secara berturut-turut dapat disubstitusi dengan sehingga, untuk, lalu, dan apabila. Jadi, bentuk baku (36) s.d. (40) di atas adalah (41) s.d. (45) berikut: (41) Di era informasi sekarang ini teknologi pertanian semakin terpuruk sehingga para petani selalu resah akan keadaan pertanian di Indonesia. (42) Selain hal itu, yang sedang digalakkan sekarang adalah program biofarming untuk menciptakan pertanian organik. (43) Pada era globalisasi saat ini sektor pertanian sangat berpengaruh terhadap pendapatan negara Indonesia karena hasil produksi pertanian kita sangat membantu negara kita sehingga harus ditingkatkan kualitasnya. (44) Para mahasiswa ditempatkan di Kabupatan Banjarnegara, lalu di Banjarnegara kami ditempatkan di sepuluh desa Kecamatan Pejawaran. (45) Manusia hendaknya dapat mengerti dan menyadari bahwa dalam hidup harus ada timbal balik. Apabila manusia menggunakannya, maka juga harus memeliharanya dengan baik. 5.4
Kata Di Mana Sebagai Penanda Hubungan Antarkalimat
Sebuah paragraf lazimnya disusun oleh kalimat-kalimat yang satu sama lain berhubungan sehingga membentuk kesatuan yang bersifat kohesif dan koheren (Ramlan 1993). Kalimat-kalimat itu dipertalikan dengan berbagai piranti yang cukup banyak (tidak kurang dari 15) jenisnya (Verschueren 1999). Salah satu alat pemadu kalimat-kalimat pembangun paragraf itu adalah penghubung antarkalimat atau lazim juga disebut ungkapan penghubung. Dalam kaitannya dengan perangkaian dengan penghubung antarkalimat, kata di mana yang merupakan penerjemahan langsung dari bahasa Inggris where juga menampakkan pengaruhnya. Mula-mula pengaruh ini ditengarai muncul pada register ilmu
80
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 tertentu, tetapi, lama-kelamaan pengaruh ini muncul pada register-register yang lain. Untuk ini dapat diperhatikan wacana (46) s.d. (49) berikut ini: (46) Dalam dunia pertanian kita mengenal istilah ekstensifikasi dan intensifikasi di mana istilah tersebut memiliki arti perluasan lahan dan pengolahan secara intensif lahan yang ada. (47) Oleh karena itu, dalam upaya untuk membudidayakan tumbuhtumbuhan dan hewan ternak manusia tidak dapat melepaskan diri dari pemanfaatan teknologi. Di mana teknologi yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik, dan orang yang memanfaatkannya harus memiliki wawasan yang luas terhadap kelestarian lingkungan. (48) Dengan kemajuan teknologi, pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penyemprot. Di mana pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan pabrik yang mengandung banyak bahan kimia. (49) Di era globalisasi saat ini teknologi pertanian yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan untuk semua warga masyarakat. Di mana aspek-aspek teknologi pertanian ini harus mampu mensejahterakan kehidupan mereka. Dalam ekspresi yang lebih baku kata di mana dalam (46) s.d. (49) di atas dapat diungkapkan dengan ungkapan penghubung dalam hal ini, dalam hubungan ini, dsb. Dengan demikian, keempat kalimat terakhir di atas dapat diperbaiki menjadi (50) s.d. (53) berikut ini. (50) Dalam dunia pertanian kita mengenal istilah ekstensifikasi dan intensifikasi. Dalam hal ini, istilah tersebut memiliki arti perluasan lahan dan pengolahan secara intensif lahan yang ada. (51) Oleh karena itu, dalam upaya untuk membudidayakan tumbuhtumbuhan dan hewan ternak manusia tidak dapat melepaskan diri dari pemanfaatan teknologi. Dalam hal ini, teknologi yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik, dan orang yang memanfaatkannya harus memiliki wawasan yang luas terhadap kelestarian lingkungan. (52) Dengan kemajuan teknologi, pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penyemprot. Dalam hubungan ini, pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan pabrik yang mengandung banyak bahan kimia. (53) Di era globalisasi saat ini teknologi pertanian yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan untuk semua warga masyarakat. Dalam hal ini, aspek-aspek teknologi pertanian ini harus mampu mensejahterakan kehidupan mereka.
81
I Dewa Putu Wijana
Selain keempat jenis fungsi kata di mana di atas, ada pula jenis pemakaian kata di mana yang lain yang tidak begitu mudah diidentifikasikan sehubungan dengan banyaknya kesalahan-kesalahan lain yang ada di dalam kalimat bersangkutan. Ada kata di mana yang sejajar dengan preposisi di dan sebagai, dan ada pula di mana yang kehadirannya bersifat opsional. Untuk ini dapat diperhatikan (54) s.d. (56) berikut: (54) Pertanian merupakan suatu usaha manusia dalam bercocok tanam di mana objeknya merupakan sebuah lahan kosong. (55) Orang awam biasa menyebut hutan di mana ada kumpulan pohon-pohon yang cukup luas dan lebat tumbuh dan berkembang di areal yang cukup luas. (56) Yang dimaksud dengan teknologi pertanian yang ramah lingkungan adalah di mana teknologi pertanian dilakukan oleh setiap manusia dengan sarana dan prasarana yang ada. Di mana dalam (54) sejajar dengan di dan dalam (55) sejajar dengan sebagai. Sementara itu, di mana dalam (56) tidak memiliki imbangan apa-apa atau dapat dilesapkan. Dengan demikian ketiga kalimat terakhir di atas dapat diperbaiki seperti (57), (58), dan (59) berikut ini: (57) Pertanian merupakan suatu usaha manusia dalam bercocok tanam di sebuah lahan kosong. (58) Orang awam biasa menyebut hutan sebagai kumpulan pohonpohon yang cukup luas dan lebat yang tumbuh dan berkembang di areal yang cukup luas. (59) Yang dimaksud dengan teknologi pertanian yang ramah lingkungan adalah teknologi pertanian yang dilakukan oleh setiap manusia dengan sarana dan prasarana yang ada. 6
CATATAN PENUTUP
Suatu masyarakat bagaimana pun terisolirnya akan selalu berhubungan dengan masyarakat yang lain. Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang juga tidak dapat terhindar dari kebutuhan untuk berhubungan dengan negara lain dalam upaya mengembangkan dan menyetarakan kemampuan dirinya dengan bangsa-bangsa lain, terutama dengan negara-negara yang notabene memiliki keunggulan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja, dalam persoalan pengaruh-mempengaruhi ini, masyarakat atau kelompok yang secara sosial, politik, dan ekonomi lebih kuat cenderung akan memberikan pengaruh yang luar biasa besarnya, dan pengaruh itu biasanya dipandang positif oleh masyarakat penerimanya (Foley, 1997, 384). Sebaliknya pengaruh dari bahasa yang terdominasi tidak begitu besar, atau boleh dikatakan tidak ada. Dalam upaya pembentukan jati diri bangsa, pengaruh atau ketergantungan ini harus ditekan seminimal mungkin dengan berbagai kebijakan atau rekayasa bahasa sehingga pengaruh itu hanya sebatas pada aspek-spek bahasa yang benar-benar dibutuhkan. Untuk kepentingan inilah kebanggaan linguistik dan
82
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 kesadaran akan norma kebahasaan bahasa nasional memegang peranan yang sangat penting. Dengan demikian, kajian-kajian yang bersifat preskriptif harus selalu dikembangkan selaras dengan kajian-kajian yang bersifat deskriptif.
DAFTER PUSTAKA Foley, A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell. Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moeliono, A. M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan Ramlan, M., I D. P. Wijana, Y. T. Mastoyo, dan Sunarso, 1997, Bahasa Indonesia yang Salah dan yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset. Ramlan, M. 1983. Sintaksis. Yogyakarta: UB Karyono. Ramlan, M. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi. Sugono, D. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa. Verschueren, J. 1999, Understanding Pragmatics. London: Arnold. Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wardhaugh, R. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Weinreich, U. 1970. Languages in Contact: Findings and Problem. Paris: Mouton-The Hague. Wijana, I D. P. 1981. Kalimat Tanya dalam bahasa Indonesia. Tesis Sarjana Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM Yogyakarta.
83
FUNGSI DAN BATAS KESEMENAAN URUTAN KATA BAHASA RUSIA DALAM KAJIAN PERSPEKTIF KALIMAT FUNGSIONAL Mohd. Nasir Latief Universitas Indonesia
Abstract In this paper it is shown that grammatical functions cannot fully explain apparent free word order in Russian. By applying the perspectives from the Prague School of Functional Linguistics, the paper attempts to describe this inadequacy. Using this theory, it is demonstrated that any change of the word order in sentences in Russian has its own communicative function.
PENDAHULUAN Urutan kata di dalam bahasa Rusia sering disalahtafsirkan dengan kesemenaan (arbitrariness) (Bivon 1971). Anggapan ini bertolak dari kenyataan, bahwa urutan kata di dalam struktur kalimat bahasa Rusia memiliki sifat yang plastis. Bentuk flektif dari setiap komponennya mampu menjamin tetap terjaganya kegramatikalan konstruksi meskipun urutan kata tersebut dipermutasikan, seperti terlihat dalam contoh berikut. (1a) Anton þitaet knigu Anton membaca buku 'Anton membaca buku.' (1b) ýitaet Anton knigu membaca Anton buku 'Anton membaca buku.' (1c) Knigu þitaet Anton buku membaca Anton 'Anton membaca buku.' Dari sisi sintaksis, perubahan urutan kata pada contoh di atas sama sekali tidak berpengaruh pada kegramatikalan konstruksi tersebut yang terpelihara oleh adanya bentuk flektif dari setiap komponennya. Tetapi jika dilihat dari tujuan komunikasi yang dibawakan oleh pembicara atau penulis, perubahan urutan kata pada contoh di atas mampu menyatakan perubahan tujuan komunikasi. Contoh (1a) menyatakan tindakan Anton, þitaet knigu, contoh (1b) menyatakan objek yang dibaca Anton, knigu, sedangkan contoh (1c) menyatakan siapa yang membaca buku, Anton. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak terlepas dari maksud yang akan disampaikan oleh si pembicara atau penulis. Bahasa yang secara sistematik
85
Mohd. Nasir Latief
terstruktur melalui aturan-aturannya difungsikan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan komunikasi (Firbas 1992). Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, makalah ini akan mencoba menganalisis fungsi dan batas kesemenaan urutan kata bahasa Rusia yang secara sistemis terstruktur oleh kaidahnya di dalam sistem kebahasaannya, yaitu di dalam manifestasinya sebagai alat komunikasi. Makalah ini merupakan hasil penelitian terhadap komunitas penutur asli bahasa Rusia di Jakarta. Kajian urutan kata Bahasa Rusia dari sudut pandang fungsional pertama kali ditulis oleh I.P. Raspopov dalam bukunya Aktual’noe ýlenenie Predloženija (Perspektif Kalimat Fungsional) pada tahun 1961. Perihal urutan kata tidak ditelaah mendalam, hanya disinggung sebagai perbandingan antara analisis fomal dengan analis fungsional. Pada tahun 1967 Porjadok Slov v Russkom Jazyke (Urutan kata dalam Bahasa Rusia) karya O.A. Krylova dan S.A. Xavronina (direvisi tahun 1984) membahas aturan urutan kata pada tuturan emotif dan non emotif. Penekanan pada buku ini lebih bersifat edukatif dan mendasarkan pada karya-karya satra yang notabene adalah cerminan bahasa Rusia yang mewakili komunitas bahasanya. Eksplorasi terhadap kemampuan urutan kata itu sendiri (yang akan saya kemukakan dalam makalah ini) tidak terbahas. Kepustakaan lain yang merinci dan menempatkan permutasi urutan kata sebagai pokok bahasan dilakukan oleh Song (2001), hanya saja dari perspektif tipologi bahasa. 1
METODE
Penelitian ini menggunakan sudut pandang strukturalisme fungsional menurut pengertian Aliran Praha yang melihat bahasa sebagai sistem perangkat makna yang sarat ekspresi. Tuturan adalah perwujudan dari sistem bahasa itu sendiri dan yang langsung dapat diobservasi (Mathesius 1961). Di dalam komunikasi, alat-alat leksikal dan gramatikal bahasa tidak bebas berdiri sendiri, tetapi saling terikat dan menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang ditentukan oleh pemakai bahasa pada saat dituturkan. Dalam kaitannya dengan persyaratan konsituasi, yaitu persyaratan konteks dan situasi, unit-unit leksikal tersebut mendapatkan makna-makna tertentu; sedangkan kalimat yang secara gramatikal terdiri atas subjek dan predikat, dibagi menjadi tema dan rema. Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya membentuk suatu pola tersusun yang memperlihatkan suatu organisasi kontekstual (contextual organization). Model telaah yang diajukan oleh Mathesius ini selanjutnya dikenal sebagai Analisis Fungsional Tuturan, atau lebih populer dengan istilah Perspektif Kalimat Fungsional (PKF). Karena itu, bahasa kemudian diartikan sebagai sistem alat pengungkapan yang berorientasi pada tujuan. Untuk mengenali sistem tersebut hanya akan dapat dicapai me-lalui tuturan-tuturan tertentu yang dihasilkan oleh anggota komunitas bahasa. Belošapkova (1970) mengkaitkan perilaku sistem tuturan dengan aspek dinamis sintaksis (dinamiþeskij aspect sintaksisa). Aspek dinamis sintaksis melihat kalimat sebagai tuturan, yaitu sebagai satuan komunikasi yang memiliki karakter intonasi dan (jika terdiri dari beberapa elemen kata) urutan
86
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
kata. Satuan tuturan tersebut kemudian dihubung-kan dengan konsituasi tuturan yang membatasi dan menentukan bagian yang diaktualisasi. Barangkali akan lebih jelas jika kita melihat diagram yang diajukan oleh Mathesius (1961) yang menggambarkan tingkatan yang muncul di dalam realisasi tuturan komunikatif. isi (amanat) pikiran keinginan menyatakan dengan bahasa encoding (penyandian) keinginan menyatakan dengan tulisan ujaran tuturan tulis tuturan lisan ųųųųųųųųųųųųųųųųųųųųųųųų tuturan baca tuturan dengar decoding (pengawasandian) pemahaman isi (amanat) Pada diagram di atas, tahapan penyandian dan awasandi merupakan hal terpenting yang perlu dicermati. Pada penyandian isi pikiran diperlukan dua tahapan. Pertama, kita menyeleksi elemen-elemen yang sesuai dengan keinginan kita dan yang dapat diklasifikasikan oleh bahasa. Kedua, elemen-elemen tersebut kemudian disusun berdasarkan pada kaidah sintaksis, yang selanjutnya membentuk struktur kalimat. Sebagai contoh, diandaikan ada kenyataan (fakta) seseorang sedang menulis di papan tulis. Untuk mengu-tarakan fakta tersebut diperlukan seleksi elemen-elemen yang berdasarkan pada kaidah sintaksis. Dengan demikian jika pengutaraan maksud tersebut, misalnya dalam bahasa Rusia, elemen-elemen yang didapat dan memungkinkan antara lain, uþitel 'guru', pisat 'menulis', dan doska 'papan tulis' dan tentunya dengan perangkat kaidah bahasa Rusia. Tahapan berikutnya, setelah elemen-elemen tersebut diseleksi, elemen-elemen tersebut dioperasikan di dalam proses formasi kalimat berdasarkan model abstrak yang definit, yaitu kaidah dari bahasa yang diinginkan, dalam hal ini kaidah bahasa Rusia. Dari proses tersebut didapat sebuah tuturan: Uþitel’ pišet na doske 'Guru sedang menulis di papan tulis'. Dari contoh di atas nampak, bahwa di dalam proses formasi kalimat terdapat aspek dinamis sintaksis, yaitu di dalam proses hubungan timbal balik elemen-elemen tersebut dalam rangka pencapaiannya menjadi bentuk tuturan aktual. Pada proses tersebut hubungan timbal balik itu tidak lagi melulu ditentukan oleh kaidah leksiko-gramatikal dan persepsi linear tuturan (seperti urutan kata gramatikal), tetapi sekaligus ditentukan oleh amanat luar bahasa, yaitu oleh konsituasi dan oleh sikap si pembicara terhadap amanat tersebut, serta sikapnya terhadap kawan bicaranya (Daneš 1966). Dengan demikian ranah organisasi tuturan meliputi seluruh aspek yang berkaitan dengan proses tuturan. Di dalam sistem organisasi tuturan tersebut memungkinkan kita untuk memahami fungsi semantik dan gramatikal di dalam komunikasi nyata, yaitu pada saat struktur-struktur tersebut diperintahkan
87
Mohd. Nasir Latief
untuk menyampaikan beberapa realitas luar bahasa yang direfleksikan oleh pikiran dan pada saat struktur-struktur tersebut dimunculkan di dalam perspektif yang memadai (Firbas 1962, dikutip dari Daneš 1966). 2.1 Tema dan Rema Dari sudut pandang Perspektif Kalimat Fungsional (PKF), kalimat diartikan sebagai tuturan komunikatif elementer yang dipergunakan oleh pembicara atau penulis bereaksi terhadap kenyataan, baik konkret maupun abstrak, yang ditampilkan dalam pola kalimat dari bahasa yang diinginkan dan yang secara subjektif, yaitu dari sisi pandang pembicara atau penulis, dianggap lengkap (Mathesius 1929). Untuk hal tersebut, setiap kalimat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, yaitu bagian tuturan yang membawa informasi baru dan berisi tentang apa yang ditegaskan oleh kalimat, disebut dengan rema tuturan, atau menurut istilah sebelumnya dikenal sebagai predikat psikologis untuk membeda-kannya dengan predikat gramatikal. Bagian kedua dari kalimat itu berisi pokok tuturan yang disebut tema, atau subjek psikologis menurut istilah lama.Tema tuturan merujuk pada kenyataan atau fakta-fakta yang sudah diketahui dari konteks sebelumnya, atau pada fakta-fakta yang kebenarannya dianggap benar, sehingga tidak menambah informasi yang diberikan oleh kalimat tersebut dan dijadikan titik tolak pembicara atau penulis (Mathesius 1961). Misalnya, (2)
Ja þitaju knigu S P K Saya – sedang membaca – buku S P K
Kalimat tersebut memiliki struktur leksiko-gramatikal tetap. S (subjek) diisi oleh pronomina ja 'saya' berkasus nominatif. P (predikator) diisi oleh verba berkala kini dan menyatakan orang pertama tunggal þitaju 'sedang membaca'. K (komplemen) diisi oleh nomina berkasus akusatif dan berjenis kelamin feminin knigu 'buku'. Berdasarkan pada keperluan pengungkapan pembicara atau penulis, struktur itu difungsikan berdasarkan pada pembagian tema – rema. Misalnya, tujuan tuturan tersebut ingin mengungkapkan tindakan yang sedang dilakukan, maka struktur kalimat tersebut difungsikan menjadi (2a). (2a) Ja þitaju knigu S P K
T R ‘Saya sedang membaca buku.’ Pada kondisi ini, terjadi persamaan antara subjek gramatikal dengan tema tuturan, dan predikat gramatikal, yaitu predikator dan komplemen, dengan
88
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
rema tuturan. Namun jika tujuan tuturan ingin mengungkapkan objek dari tindakannya, maka struktur tersebut difungsikan menjadi (2b). (2b)
Ja þitaju knigu S P K
T R ‘Saya sedang membaca buku.’ Tema-rema tidak lagi bertepatan dengan subjek-predikat. Subjek bersama dengan predikator difungsikan sebagai tema, dan komplemen sebagai rema tuturan. Dari sudut PKF fungsi formal difungsikan sebagai penjamin kegramatikalan pengungkapan pembicara atau penulis terhadap realitas luar bahasa, yaitu, melalui kalimat dari bahasa yang diinginkan, sedangkan fungsi fungsional bertugas menyesuaikan fungsi-fungsi formal tersebut untuk keperluan sesaat, yaitu, keperluan di dalam menyampaikan reaksi terhadap realitas luar bahasa. Dengan demikian, hubungan tema-rema dengan subjek-predikat menjadi jelas. Tema tidak harus selalu sama dengan subjek gramatikal, demikian halnya antara rema dengan predikat gramatikal. Kedua-nya, menurut konsep yang diajukan Daneš (1966:225-240), memiliki tingkatan yang berbeda di dalam sintaksis. Subjek-predikat berada pada tingkat struktur gramatikal kalimat, sedangkan Tema-rema berada pada tingkat organisasi tuturan. Pada tingkat organisasi tuturan inilah fungsi struktur-struktur leksiko-gramatikal dapat dipahami di dalam komunikasi nyata. Dengan kata lain, melalui tuturan yang dihasilkan tersebut struktur-struktur leksiko-gramatikal yang memiliki sifat tetap tersebut difungsikan untuk keperluan pengungkapan pembicara atau penulis. 2.2 Fungsi Urutan Kata Urutan kata merupakan faktor pokok dari struktur organisasi kalimat. Pengaruh faktor tersebut tidak hanya berhenti pada ikatan dan hubungan gramatikal komponen-komponen bentuk verbalnya, tetapi meluas ke hubungan timbalbalik antar komponen-komponen tersebut yang mampu membuka tabir perspektif di dalam proses tuturan yang disampaikan (Raspopov 1984). Atas dasar faktor-faktor tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui fungsi urutan kata secara lengkap harus sekaligus memperhatikan ikatan dan hubungan komponen-komponen tersebut baik sebagai bagian gramatikal maupun sebagai bagian fungsional. Menurut Raspopov (1984), terdapat tiga fungsi dasar urutan kata di dalam bahasa Rusia: (a)
(b)
Sebagai penunjuk hirarki ikatan dan hubungan gramatikal komponen-komponen kalimat dalam bentuk verbal, disebut Fungsi Sintaksis Konstruktif. Sebagai penunjuk perspektif kalimat komunikatif, disebut Fungsi Sintaksis Komunikatif atau Fungsi Perspektif Kalimat Fungsional.
89
Mohd. Nasir Latief
(c)
Bersama dengan intonasi di dalam interrelasi tertentu dapat digunakan sebagai alat pembentukan variasi stilistik yang beragam dari setiap jenis sintaksis komunikatif, disebut Fungsi Stilistik.
2.3 Pengertian Struktur Dinamis Setiap struktur yang dihasilkan di dalam aspek dinamis sintaksis yang secara inheren memiliki tempat tekanan frasa dan urutan kata yang memadai disebut dengan struktur dinamis. Adamec (1966) menjelaskan bahwa struktur dinamis menampilkan dirinya sebagai generalisasi dari seluruh jajaran kalimat konkret yang selain memiliki konstruksi dari bagian-bagian sintaksisnya, juga urutan kata dan tempat tekanan frasa yang memadai. Struktur dinamis ini kemudian menjadi dasar pembentukan tipe-tipe PKF, yaitu tipe tuturan yang dibedakan berdasarkan atas pembagian 4 tipe informasi tuturan (Adamec 1966:26), yaitu (1) kalimat informatif lengkap (obšþe-informativnoe predloženie), (2) kalimat informatif tak-lengkap (þasno-informativnoe predloženie), (3) kalimat verifikatif lengkap (obšþe-verifikativnoe predloženie), dan (4) kalimat verifikatif taklengkap (þastno-verifikativnoe predloženie). Untuk memprediksi konsituasi atas keempat tipe tersebut saya mengadopsi klasifikasi pertanyaan yang diajukan Ch. Bally (dikutip dari Kovtunova 1976) yang membedakan 4 tipe dasar pertanyaan di dalam tuturan, yaitu, (1) pertanyaan diktal lengkap (polnyj diktal’nyj vopros), (2) pertanyaan diktal tak-lengkap (þastnyj diktal’nyj vopros), (3) pertanyaan modal lengkap (pol’nyj modal’nyj vopros), dan (4) pertanyaan modal tak-lengkap (þastnyj modal’nyj vopros). Jawaban dari keempat tipe pertanyaan tersebut adalah empat tipe tuturan di atas. Kalimat informatif lengkap merupakan jawaban dari pertanyaan diktal lengkap, dan seterusnya. Dengan demikian dari setiap struktur dinamis secara teoritis akan dihasilkan 4 kemungkinan tipe PKF. Selanjutnya sistematisasi analisis akan diawali dengan mengelompokkan struktur dinamis yang didasarkan pada jumlah komponen yang membentuknya. Pada permutasi struktur dinamis ini, permutasi hanya dilakukakan pada urutan kata, sedangkan tempat tekanan frasa tidak dipermutasikan. Tekanan frasa selalu diletakkan pada posisi akhir dengan asumsi bahwa tuturan tersebut terbebas dari muatan stilistika Dengan demikian, urutan tema – rema pada struktur dinamis dalam analisis ini adalah urutan objektif, yaitu, tema ditempatkan di depan rema, sedangkan urutan subjektif yang bermuatan stilistika (tuturan emotif) tidak akan dibahas di dalam makalah ini. 2.4 Permutasi Telah disebutkan, bahwa secara konstruktif komponen-komponen kalimat di dalam bahasa Rusia memiliki kebebasan di dalam penataannya. Perubahan urutan komponen-komponen di dalam suatu struktur yang sama, menurut istilah di dalam matematika disebut dengan permutasi (Behnke 1983:169): n! = (n.n-1.n-2. … .1)
90
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
keterangan notasi “n!” = permutasi; “·” = perkalian;
“n” = jumlah komponen di dalam struktur “- “ = pengurangan
dibaca: permutasi (n!) merupakan jumlah perkalian dari jumlah komponen di dalam struktur (n) dikalikan hasil dari jumlah komponen di dalam struktur dikurangi satu (n-1) dikalikan hasil dari jumlah komponen di dalam struktur dikurangi dua (n-2) dan seterusnya dikalikan dengan hasil dari pengurangan jumlah komponen di dalam struktur hingga jumlah pengurangan mencapai hasil satu ( … .1). Dari 6 struktur dinamis berkomponen 3 tersebut berdasarkan tipe informasi kalimat akan dihasilkan 24 struktur tipe PKF objektif. Dan jika letak tekanan frasa ikut dipermutasikan, yaitu kemungkinan dipindahkan ke tengah konstruksi atau awal konstruksi, maka akan didapatkan tambahan 48 struktur tipe PKF yang bersifat subjektif. 3
BAHASAN
Hasil dari data yang diperoleh, ternyata tidak semua dari setiap struktur dinamis menghasilkan tipe-tipe PKF yang mampu direalisasikan. Hal ini disebabkan selain oleh adanya batasan analisis yang menempatkan urutan kata sebagai faktor utama tuturan dan tekanan frasa sebagai faktor penunjang, juga oleh ambang batas logis bahasa yang membuat tipe-tipe tersebut tidak berkemungkinan untuk direalisasikan, meskipun secara teoritis struktur tersebut dapat dipermutasikan. Dari struktur dinamis berkomponen dua, yaitu, S dan P, hanya 5 tipe PKF yang mampu direalisasikan dari 8 kemungkinan permutasi, sebagaimana yang terdapat pada diagram berikut:
Struktur Dinamis S – P^ P – S^
tipe informasi kalimat IL ITL VL
VTL
1+ 5+
4º 8 ++
2º 6+
3 ++ 7º
Keterangan notasi: Bilangan 1, 2, 3, … menyatakan urutan penomoran tipe PKF; “IL” untuk Informatif Lengkap; “ITL” untuk Informatif Tak-Lengkap; “VL” untuk Verifikatif Lengkap; dan “VTL” untuk Verifikatif Tak-Lengkap; “^” menyatakan tempat tekanan frasa; “+” menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan; “º” menyatakan tipe PKF tidak dapat direalisasikan; “++” menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan dengan tekanan frasa kontrastif. Berdasarkan pembagian tema-remanya, pada struktur berkomponen dua tersebut tampak bahwa komponen yang mengisi gatra tema-rema tidak selalu
91
Mohd. Nasir Latief
berpadanan dengan pembagian formalnya, yaitu, pembagian S – P, sebagaimana yang terlihat pada diagram berikut: Struktur dinamis Tipe kalimat IL ITL VL VTL
S – P^ tema S º S º
P – S^ rema P^ º P^ º
tema º P º P
rema (P – S^) S^ º S^
Pada diagram di atas tampak bahwa fungsi formal, yaitu, pembagian S dan P difungsikan berdasarkan tujuan komunikasi yang ingin disampaikan oleh pembicara atau penulis, yaitu, berdasarkan pembagian tema-remanya. Pembagian S dan P berserta perangkat gramatikalnya hanya dipakai sebagai jaminan bahwa konstruksi tersebut sesuai dengan kaidah yang berlaku. Pada struktur dinamis berkomponen tiga hanya 16 tipe PKF dari 24 tipe PKF yang terealisasikan. 7 tipe PKF merupakan varian dari tipe PKF lainnya, sebagaimana yang terdapat pada diagram berikut: Struktur Dinamis S – P – K^ S – K – P^ K – S – P^ K – P – S^ P – S – K^
IL 1+ 5+ 9+ ļ 5 13+ 17+
P – K – S^ 21+ ļ 17
Tipe informasi kalimat ITL VL VTL 2+ 3º 4++ 6º 7++ 8º 10º 11++ ļ 7 12º 14+ 18+ ļ 2
15º 19º
22+ ļ 14
23º
16++ 20++ ļ 4 24++ ļ 16
keterangan notasi: “^” menyatakan tempat tekanan frasa; “+” menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan; “¯” menyatakan tipe PKF tidak dapat direalisasikan; “++” menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan dengan tekanan frasa kontrastif; dan “ļ” menyatakan varian dari. Berdasarkan pembagian tema-rema, komponen S, P dan K dikelompokkan seeperti terlihat di halaman berikut. Dari kedua diagram di atas, dibaca sebagai berikut: PKF 1 adalah tuturan informatif lengkap dengan urutan S – P – K di mana tema diisi oleh komponen S dan rema diisi oleh komponen P dan K, demikian seterusnya hingga PKF 24.
92
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007 St. dinamis t. kalimat
S–P–K
S–K–P
K–S–P
tema
rema
tema
rema
tema
rema
K–P–S tema
rema
P–S–K tema
rema
P–K-S tema
rema
IL
S
PK
SK
P
KS
P
K
PS
º
PSK
º
PKS
ITL
SP
K
º
º
º
º
KP
S
PS
K
PK
S
VL
º
º
SK
P
KS
P
º
º
º
º
º
º
VTL
SP
K
º
º
º
º
KP
S
PS
K
PK
S
Dari hasil data yang diperoleh, varian PKF yang terdapat pada konstruksi berkomponen 3 adalah: PKF 9 ({K – S} – P)
l PKF 5 ({S – K} – P)
PKF 11 ({K – S} – P)
l PKF 7 ({S – K} – P)
PKF 18 ({P – S} – K)
l PKF 2 ({S – P} – K)
PKF 20 ({P – S} – K)
l PKF 4 ({S – P} – K)
PKF 21 ({P – K – S})
l PKF 17 ({P – S – K})
PKF 22 ({P – K} – S)
l PKF 14 ({K – P} – S)
PKF 24 ({P – K} – S)
l PKF 16 ({K – P} – S)
Jika kita memperhatikan pada kontrastif tidaknya tekanan frasa pada setiap tipe PKF objektif di atas, terlihat bahwa setiap tipe PKF yang berciri verifikatif memiliki tekanan frasa kontrastif, sedangkan yang berciri informatif tekanan frasa tidak kontrastif. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa intonasi tuturan bagi penutur asli bahasa Rusia, khususnya intonasi yang membedakan tuturan berciri informatif dan verifikatif, bukan lagi dianggap suatu permasalahan, tetapi suatu hal yang sudah seharusnya demikian. Karena itu, sebagaimana Svedova (1970), Krylova (1984), Kovtunova (1974; 1976), dan Raspopov (1961; 1984) menyebutnya sebagai intonasi otomatis (avtomatiþeskaja intonacija) atau sebagai intonasi logik (logiþnaja intonacija). 4 KESIMPULAN Bertolak dari keseluruhan pembahasan dalam makalah ini, dapat ditarik kesimpulan dan beberapa catatan yang perlu disampaikan: a. Sebagai salah satu alat untuk menyatakan hubungan sintaksis, dalam artian konstruktif verbal, fungsi urutan kata mampu menutupi kekurangan penunjuk flektif yang tidak mencukupi dalam menyatakan ikatan dan hubungan gramatikal komponen-komponen di dalam struktur bahasa Rusia. Di samping itu urutan kata berperan sebagai pembeda hirarki antar komponen di dalam struktur konstruktif verbal bahasa Rusia. b. Dengan mendasarkan telaah bahasa pada PKF, fungsi urutan kata mendapat proporsi yang sebenarnya. Urutan kata mampu menampilkan fungsinya sampai batas maksimal (ambang batas logis bahasa) dalam memenuhi kebutuhan komunikasi. Adanya beberapa tipe PKF yang tidak
93
Mohd. Nasir Latief
dapat direalisasikan justru membuktikan adanya batas kesemenaan urutan kata dalam bahasa Rusia. Pada kondisi tersebut peran utama urutan kata akan segera diambil alih oleh tekanan frasa (yang pada kondisi tertentu juga tidak dapat direalisasikan) untuk menutupi ketidak-mampuan urutan kata dalam merealisasikan beberapa tipe PKF tersebut. Fungsi urutan kata pada kondisi ini tidak lagi berperan sebagai pembeda tema – rema, tetapi hanya menunjukkan hirarki atau tingkat gradasi di dalam tubuh tema atau rema. c. Dalam hubungannya dengan butir (2) urutan kata mampu berperan sebagai inspirator komponen-komponen dalam strukturnya. Dalam artian, sebagai alat untuk mewujudkan tipe-tipe kalimat tuturan, urutan kata memegang peranan penting dalam menggiring komponen-komponen tersebut masuk ke dalam kelompok tema atau rema. Hal ini membawa pengaruh besar terhadap makna leksiko-gramatikal komponen-komponen tersebut. d. Pada hakekatnya, bahasa yang oleh para Fungsionalis dilihat sebagai sebuah sistem perangkat makna yang sarat ekspresi (Vachek 1983:77), harus benar-benar dipahami, bahwa proses penyandian — awasandi yang diajukan Mathesius menempatkan kaidah bahasa sebagai suatu inata yang secara alamiah melekat pada diri setiap anggota komunitas bahasa.
DAFTAR PUSTAKA Adamec, Pržemyls. 1966. Porjadok Slov V Sovremennom Russkom Jazyke. Praha: Academia Nakladatelstvi ýeskoslovenské Akademie Ved. _____. 1974. “Aktual’noe ýlenenije, Glubinye Struktury ɿ Perifrazy” Di dalam Daneš, ed. 1974:189-195. _____. 1981. “Theme – Rheme Structure of Polyprepositional Simple Sentences in Present-day Russian”. Di dalam Folia Linguistica XV/3 – 4:223-256. Akademi Nauk, SSSR. 1980. Russkaja Grammatika Tom II. Moskva: Izdatel’stvo Nauka. Apresjan, Ju.D. 1964. “O Sil’nom ɿ Slabom Upravlenii”. Di dalam Voprosy Jazykoznanija XIII/3. Moskva: Izdatel’stvo Nauka. _____. 1967. Eksperimental’noe Issledovanie Semantiki Russkogo Jazyka. Moskva: Nauka. _____. 1974. Leksiþeskaja Semantika. Moskva: Nauka. Bakhtin, Mikhail, 1934. “Discourse in the Novel”. Di dalam Holquist, ed. 1981: 259-295. Barentsent, A.A., Jansen, A. Voogd. 1976. Russische Grammatica: Ten Gebruike bij een Inleiding in de Russische Taal. Universiteit Van Amsterdam.
94
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Barxudorova, A.M. Ed. 1980. Metodika Prepodavanija Russkogo Jazyka Inastrancam. Moskva:MGU Behnke, H.F. Bachmann. 1983. Fundamentals of Mathematics. Vol 1. trans. Cambridge: The MIT Press. Belošapkova, B.A. 1970. Složnoe Predloženie v Sovremennom Russkom Jazyke. Moska: Nauka. Bivon, R. 1971. Element Order: Studies in The Modern Russian Language. Cambridge: Cambridge University Press. Daneš, F. ed. 1974. Papers on Functional Sentence Perspective. The Hague: Mouton. Daneš, F. 1966. “A Three-Level Approach to Syntax.” Di dalam Travaux linguistiques de Prague. Praha: Academia. _____. 1974. “Some Aspect of the Czechoslovak Approach to problems of functional sentence perspective”. Di dalam Daneš, ed. 1974:11-37 Dorofeeva, T.M. 1986. Sintaksiþeskaja Soþetaemost’ Russkogo Glagola. Moskva: Russkij Jazyk. Firbas, Jan. 1962. “Notes on the Function of the Sentence in the Act of Communication.” Di dalam SPFFBU A10:134-148. _____. 1974. “Some Aspect of The Czechoslovak Approach to Problems Of Functional Sentence Perspective.” Di dalam Daneš. ed. 1974:11-37. _____. 1992. Functional Sentence Perspective in Written and spoken Communication. Cambridge: Cambridge University Press. Givón, T. 1984. Syntax: A Fuctional — Typological Introduction. Vol 1. Amsterdam: John Benjamin Publishing. Halim, Amran. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. Halliday, M.A.K. 1961. “Categories of the theory of grammar”. Di dalam Kress, ed. 1976:52-72. _____. 1970. “Intonation and meaning”. Di dalam Kress, ed. 1976:215-234. _____. 1974. “The Place of FSP in Linguistic Description.” Di dalam. Daneš. Ed. 1974:43-53. Holden, K.T.dan M. Krupp. 1987. “Word Order in Russian Transitive Sentences.” dalam Folia Slavica. Vol. 8 no. 2 – 3:254-271. Holquist, Michael. 1981. The Dialogic Imagination: Four Essays. Austin: University of Texas Press. Kovtunova, I.I. 1969. Porjadok Slov v Russkom Literaturnom Jazyke XVIII – pervoj treti XIX V. Moskva: Izdatel’stvo “Nauka”. _____. 1974. “Aktual’noe ýlenenie ɿ Sistema Jazyka (na materiale russkogo jazyka).” Di dalam Daneš, ed. 1974:142-151. _____. 1976. Sovremennyj Russkij Jazyk: Porjadok Slov ɿ Aktual’noe ýlenenie Predloženija. Moskva: Prosvešþenie. Kress, G.R. 1976. Halliday: System and Function in Language. London: Oxford University Press. Krylova, O.A. dan S.A. Xavronina. 1984. Porjadok Slov v Russkom Jazyke. 2nd ed. Moskva: Russkij Jazyk.
95
Mohd. Nasir Latief
Mathesius, Vilém. 1911. On the Potentiality of the Phenomena of Language”. Di dalam Vachek. Ed. 1983: 3-42. _____. 1927. “New Currents and Tendencies in Linguistic Research”. Di dalam Vachek, ed. 1983: 45-63. _____. 1929. “Functional Linguistics.” Di dalam Vachek, ed. 1983:121-139. _____. 1961. A Functional Analysis of Present Day English On a General Linguistic Basis. ed. Josef Vachek, terj. Libusé Duškova. 1975. Mouton, The Hague Paris: Academia Publishing House of the Czechoslovak Academy of Sciences Prague. Parret, Herman. 1974. Discussing Language. The Hague: Mouton. Raspopov, I.P. 1961. Aktual’noe ýlenenie Predloženija. Ufa. Raspopov, I.P. dan A.M. Lomov, 1984. Osnovy Russkogo Grammatiki: Morfologija I Sintaksis. Voronež. Rassudova, O.P. 1967. “Vidy v Sisteme Russkogo Glagola ɿ Metodi Metodika Raboty nad Vidami Glagola.” Di dalam Barxudorova. ed. 1980: 95115. Reformatskij, A.A. 1967. Vvedenie v Jazykoznanie. Moskva: Izdatel’stvo Nauka. Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Tipology: Morphology and Syntax. Longman: London. Svedova, N.Ju. 1964. “Determinirujušþii ob”ekt ɿ determinirujušþee obstojatel’stvo kak Samostojatel’nye Rasprostraniteli Predlože-nija.” Di dalam Voprosy Jazykoznanija XIII no. 6. Moskva: Izdatel’stvo Nauka. _____. 1970. Grammatika Sovremennogo Russkogo Literatur-nogo Jazyka. Moskva: Nauka. Vachek, Josef. 1966. The Linguistic Shool of Prague. Bloomington: Indiana University Press. Vachek, Josef dan Libusé Duškova. Ed. 1983. Praguiana: Some Basic and Less Known Aspects of the Prague Linguistic Shool. (vol. 12 LLSE) Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Voloshinov, Valentin. 1929/1973. Marxism and the Philosophy of Language. Seminar Press. Zolotova, G.A. 1980. Komunikativnye Aspekty Russkogo Sintaksisa. Moskva: Nauka.
96
PERAN STEREOTIPE DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA: KASUS INDONESIA-JERMAN Setiawati Darmojuwono Universitas Indonesia
Abstract The ability to communicate interculturally refers to someone's ability to exchange information efficiently and effectively with other people who have different cultural backgrounds. In pragmatic studies, nonlinguistic elements and culture have so often been taken for granted that they have not received a proper analysis. The present paper focuses more on the speakers' and their interlocultors' culture that forms a stereotype and influences the communication scheme. It will be argued that being sensitive to one's own culture and one's interlocutor's culture is an important factor in determining whether or not communication is successful. This is illustrated by two different groups of native speakers, namely, Indonesian and German, who experienced communication barriers because of different cultural backgrounds.
PENDAHULUAN Awal abad XXI ditandai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi komunikasi yang ikut mempercepat proses globalisasi di banyak negara. Jaringan komunikasi yang semakin luas memungkinkan keterlibatan penutur yang berlatar belakang budaya berbeda. Di bidang linguistik dan komunikasi keadaan ini memunculkan gagasan-gagasan baru sebagai hasil kajian komunikasi antarbudaya. Istilah “intercultural communication” dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan komunikasi antarbudaya atau komunikasi lintas budaya. Saya menggunakan istilah komunikasi antarbudaya, sebab saya berpendapat istilah ini lebih tepat, karena dalam komunikasi antar penutur yang berbeda latar belakang budayanya pola komunikasi yang terbentuk merupakan satu pola baru sebagai sinergi pola komunikasi penutur dan mitra tutur. Menurut Rogers dan Steinfatt (1999), kemampuan berkomunikasi antarbudaya merupakan kemampuan seseorang untuk bertukar informasi secara efektif dan tepat dengan orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Berlatar belakang budaya berbeda berarti memiliki lingkup kehidupan yang tidak sama. Lingkup kehidupan mencakup pandangan hidup, agama, etika, norma hukum, teknologi, sistem pendidikan dan hasil kebudayaan yang bersifat materi maupun non materi (Bolten 2001). Proses sosialisasi seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkup kehidupannya. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya merupakan salah satu tujuan pengajaran bahasa asing, namun dalam pengajaran bahasa asing perhatian lebih dipusatkan pada pengungkapan verbal
97
Setiawati Darmojuwono
yang sesuai dengan pola komunikasi bahasa asing yang dipelajari, bukan proses interaksi yang terjadi. Dalam kajian linguistik, khususnya kajian pragmatik diteliti unsurunsur bahasa yang dianggap memiliki konsep universal kemudian dibandingkan pengungkapan verbal konsep-konsep tersebut, seperti bentuk bentuk bahasa yang mengungkapkan kesantunan (mohon maaf, penolakan, bentukbentuk perintah, dan sebagainya). Hasil penelitian biasanya dikaitkan dengan latar belakang penuturnya untuk melihat kaitan antara bahasa dan budaya. Penelitian pragmatis yang telah dilakukan dapat dikembangkan ke arah pragmatik antarbudaya, seperti pendapat Ehrhardt (2003) yang menyatakan bahwa permasalahan kajian komunikasi antarbudaya bukan melihat hubungan antara ungkapan verbal dengan latar belakang budaya, namun lebih menitikberatkan pada interaksi yang terjadi, dan bagaimana persepsi penutur terhadap mitra tutur dan sebaliknya, hal-hal ini kemudian dikaitkan dengan strategi berkomunikasi. 1
UNSUR-UNSUR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Menurut Buhlmann, Fearns, dan Gaspardo (2003), komunikasi antarbudaya dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut (istilah dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh penyusun makalah): agama sejarah
hirarki kekuasaan
Maskulin - feminin
waktu
ruang
individualismekolektivisme-
Unsur antarbudaya
Kepastian hukum
paraverbal pesan nonverbsl
KOMUNIKASI hubungan antar t
verbal
98
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Komunikasi merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat dua arah dan melibatkan penutur dan mitra tutur. Selain bahasa unsur paraverbal (seperti intonasi, kecepatan berbicara dsb), unsur non verbal (gestik dan mimik), pesan yang akan disampaikan dan hubungan antar penutur merupakan faktor-faktor penting dalam mengkaji komunikasi antarbudaya, namun karena keterbatasan ruang, dalam kesempatan ini tidak dibahas. Pembahasan dalam makalah ini memfokuskan perhatian pada perbedaan lingkup kehidupan, stereotipe dan skema yang mempengaruhi strategi komunikasi antarbudaya. Menurut Hofstede (1993), yang dikutip oleh Buhlmann, Fearns, dan Gaspardo (2003), perbedaan dan persamaan lingkup budaya dapat diukur berdasarkan kriteria tempat, waktu, agama dan sejarah, hirarki kekuasaan, keterikatan antar individu, dominasi maskulin atau feminin dalam masyarakat dan kepastian hukum. Agama dan sejarah atau lebih tepat disebut ingatan kolektif suatu masyarakat menentukan nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Misalnya, penganut agama Kristen aliran Kalvinisme beranggapan bahwa sifat rajin, hati-hati, tanggung jawab, ulet, dapat dipercaya, efisiensi dalam bekerja dan sederhana merupakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan. Konsep ruang mengatur jarak kedekatan antar individu. Di kota-kota besar pada umumnya hubungan antar individu tidak seerat di pedesaan, demikian juga di Jerman pada umumnya orang lebih individualis dibandingkan dengan Indonesia. Sebagai hasil penelitian Hofstede (1993) dilihat dari segi individualitas, masyarakat Jerman menduduki peringkat 15 dari 53 negara yang diteliti, sedangkan Indonesia terletak pada urutan ke 47, berarti masyarakat Jerman lebih individualis dibandingkan masjarakat Indonesia karena keterikatan antar individu lebih erat (kolektif) dan harmoni merupakan unsur penting dalam kehidupan. Konsep waktu yang bersifat monokronis seperti masyarakat Jerman berciri menggunakan waktu secara efisien dan perencanaan waktu merupakan hal yang penting, sedangkan masyarakat Indonesia memiliki konsep waktu polikronis ciri-cirinya dalam waktu yang bersamaan dapat mengerjakan beberapa hal sekaligus, ketepatan waktu tidak begitu penting dan lebih fleksibel. Hirarki kekuasaan dalam masyarakat Indonesia berada pada urutan ke 8 sedangkan Jerman pada urutan ke 42 dari 53 negara yang diteliti. Dalam masyarakat yang mementingkan hirarki kekuasaan hubungan antara atasan dan bawahan sangat formil dan tanggung jawab berada pada atasan, akibatnya sikap kritis tidak dapat berkembang. Dalam masyarakat yang maskulin terdapat pembagian peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam masyarakat yang bersifat feminin pembagian peran tidak ketat dan perasaan serta kualitas hidup diutamakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat Jerman menduduki peringkat ke 9 sebagai masyarakat yang bersifat maskulin, sedangkan Indonesia pada peringkat ke 30 dari 53 negara. Kepastian hukum mempengaruhi tindakan spontan atau keragu-raguan seseorang jika terjadi sesesuatu yang dianggap mengancam muka, atau meng-
99
Setiawati Darmojuwono
hadapi suatu situasi baru. Masyarakat Jerman dalam hal ini terletak pada urutan ke 29 sedangkan Indonesia ke 41. Unsur-unsur antar budaya yang telah disebutkan dapat mempengaruhi komunikasi dalam bentuk stereotipe. Stereotipe merupakan generalisasi tentang sekelompok orang dengan mengabaikan realitas yang ada. Stereotipe dapat positif maupun negatif. Misalnya, stereotipe tentang orang Jerman di banyak negara disebutkan sebagai orang yang disiplin, tepat waktu, teliti, efisien, kaku (tidak fleksibel), sadar lingkungan, mengutamakan nalar daripada perasaan (Buhlman, Fearns, dan Gaspardo 2003). Stereotipe dapat dibedakan antara heterostereotipe (stereotipe tentang kelompok lain di luar kelompok sendiri) dan otostereotipe (stereotipe tentang kelompok sendiri). Otostereotipe orang Indonesia antara lain ramah-tamah, sopan, tenggang rasa, fleksibel. Setelah terjadinya bom Bali dan berbagai ledakan bom serta kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah Indonesia, berita-berita melalui media massa mengubah stereotipe tentang Indonesia di mata internasional. Stereotipe tentang Indonesia di Jerman lebih bersifat negatif, seperti teroris, fundamentalis, disertai heterostereotipe yang telah melekat pada Indonesia sebelum bom Bali, seperti korupsi, birokrasi, tidak tepat waktu, sopan, tidak berterus terang, kedudukan pria lebih tinggi daripada wanita. Sereotipe tentang mitra tutur merupakan persepsi awal penutur terhadap mitra tuturnya, dengan demikian stereotipe mempengaruhi strategi berkomunikasi. Dilihat dari segi linguistik kognitif, strategi komunikasi meng-ikuti pola-pola komunikasi yang tersimpan dalam otak manusia dalam bentuk jarringan mental dan berisi pola-pola komunikasi dalam berbagai situasi yang disebut skema (Schwarze dan Chur 1993). Proses komunikasi menurut Melenk (1979) dapat digambarkan sebagai berikut (istilah dalam bahasa Jerman diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penyusun makalah dan diadakan perubahan pada bagan persepsi penutur): Tujuan Komunikas Strategi
Ungkapan verbal
Pemahaman
Persepsi
Persepsi
Interpretasi
Interpretasi
Situasi komunikasi
100
Reaksi Mitra tutur
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Peran penutur dan mitra tutur dalam bagan dapat berubah-ubah tergantung siapa yang berbicara, karena komunikasi merupakan interaksi yang bersifat dua arah.Dalam komunikasi antarbudaya persepsi penutur tentang mitra tutur sangat dipengaruhi oleh stereotipe, dan hal ini akan menentukan strategi berkomunikasi yang berdampak pada keberhasilan atau kegagalan penyampaian pesan dalam suatu komunikasi. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tentunya juga mensyaratkan keterampilan-keterampilan umum dalam berkomunikasi seperti kemampuan sosial (antara lain empati, toleransi), kemampuan individual (seperti kemampuan berbahasa, peran, pengalaman berinteraksi antarbudaya dan sebagainya), kompetensi di bidang tertentu (penguasaan pengetahuan dalam pembicaraan antar pakar), ketrampilan dalam strategi berkomunikasi (Bolten 2001). Disamping keterampilan umum kepekaan terhadap budaya sendiri dan budaya mitra tutur merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu komunikasi.Dalam hal ini hambatan dalam berkomunikasi dapat terjadi karena persepsi yang keliru tentang mitra tutur (stereotipe tidak berlaku), atau karena penutur menerapkan pola-pola komunikasi yang lazim dalam budayanya tapi tidak lazim dalam budaya mitra tutur. Menurut von Baalen (2004), hambatan dalam komunikasi dapat dikoreksi melalui Wiederherstellungsstrategien (repair), misalnya, dengan pernyataan minta maaf, sehingga komunikasi tidak terputus. 2
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA INDONESIA – JERMAN
Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan unsur-unsur budaya yang mempengaruhi komunikasi seperti telah disinggung dalam bagian Pendahuluan, dapat disimpulkan perbedaan ciri-ciri masyarakat Indonesia dan Jerman sebagai berikut. Jarak ruang antar individu dalam masyarakat Indonesia lebih dekat dibandingkan Jerman, hal ini sesuai dengan sifat kolektif masyarakat Indonesia, sedangkan masyarakat Jerman lebih bersifat individualis. Konsep waktu yang mempengaruhi masyarakat Indonesia konsep poli-kronis, sedangkan masyarakat Jerman dipengaruhi konsep waktu yang mono-kronis. Agama Islam berpengaruh dalam etika dan norma-norma kehidupan masyarakat Indonesia, sedangkan di Jerman pengaruh agama kristen lebih berbentuk ingatan kolektif masyarakatnya, yang dalam adat istiadat dan pandangan hidup secara sadar atau tidak sadar menjadi landasan. Hirarki kekuasaan dalam masyarakat Indonesia masih lebih ketat dibandingkan masyarakat Jerman. Masyarakat Jerman lebih bersifat maskulin dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa dominasi laki-laki dalam masyarakat Jerman lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia. Kepastian hukum dapat dilihat dari banyaknya peraturan dan perundangan yang menjamin hak-hak asasi manusia dalam satu negara, sehingga masyarakatnya telah terbiasa untuk menyampaikan suatu pemikiran secara terbuka tanpa rasa takut dan ragu. Masyarakat Jerrman dalam kesigapan
101
Setiawati Darmojuwono
berkomunikasi berada pada posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Indonesia, karena jaminan hukum yang lebih baik. Berdasarkan beberapa penggalan percakapan sebagai hasil pengamatan dalam pengumpulan data untuk suatu penelitian, di bawah ini dipaparkan beberapa contoh komunikasi antarbudaya dan permasalahan yang dihadapi. Percakapan I: Situasi percakapan (A) seorang peneliti dari Indonesia berjenis kelamin perempuan akan meneliti di Jerman dan berbincang-bincang dengan guru besar (B) yang menjadi mitra di Jerman. Percakapan berlangsung pada awal kedatangan (A). B : Haben Sie einen schoenen Flug gehabt? 'Apakah perjalanan Anda menyenangkan?' A : Ja,danke. Ich wuerde gern ueber meinen Plan mit Ihnen sprechen. 'Terima kasih. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang rencana penelitian saya.' B : Ja natuerlich..Haben Sie eine Familie ? 'Ya, tentu saja. Apakah Anda memiliki keluarga?' A : Ja, wir haben einen Sohn, 12 Jahre alt.Haben Sie viele Mitarbeiter in Ihrem Institut ? 'Kami mempunyai seorang anak, usianya 12 tahun. Berapa jumlah pengajar di Institut Anda?' B : Ist Ihr Sohn alleine zu Hause ? 'Apakah anak Anda sendiri di rumah?' A : Nein, mein Mann ist ja da. 'Tidak sendiri, dengan suami saya.' B : Arbeitet er nicht ? 'Dia tidak bekerja?' A : Doch. Bis nachmittags ist unser Sohn in der Schule. Am Abend ist mein Mann zu hause.. 'Dia bekerja. Anak kami biasanya sampai siang hari di sekolah dan pada petang hari suami saya di rumah.' Penggalan percakapan di atas menunjukkan pengaruh stereotipe dalam pola percakapan. Skema percakapan A didasarkan pada stereotipe orang Jerman efisiensi waktu (percakapan langsung berkaitan dengan pekerjaan bukan halhal yang bersifat pribadi), karena ranah keluarga dan pekerjaan pada umumnya tidak dicampuradukkan, hal ini merupakan strategi berkomunikasi A yang memanfaatkan pengetahuan tentang stereotipe orang Jerman. Sebaliknya B juga mendasarkan komunikasinya pada stereotipe tentang orang Indonesia, seperti jarak antar individu yang dekat termasuk dalam keluarga. Stereotipe lain yang mempengaruhi skema B adalah sifat masyarakat yang maskulin dan feminin.Nampaknya stereotipe yang dimiliki B dikaitkan dengan tradisi yang berlaku umum di Indonesia, yaitu, pembagian peran secara tegas antara lakilaki dan perempuan. Ranah keluarga adalah ranah perempuan dan ranah pekerjaan adalah ranah laki-laki.
102
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Stereotipe yang terjalin dalam skema menyebabkan pelanggaran maksim relasi menurut Grice (1975), yaitu keinginan (A) untuk membahas rencana penelitian belum mendapat tanggapan dari (B), bahkan topik pembicaraan berubah ke ranah keluarga. A tidak berhasil mengubah topik pembicaraan ke ranah pekerjaan. Pada awal percakapan komunikasi tidak berjalan lancar, karena A mengikuti skema komunikasi yang dibentuk oleh stereotipe tentang orang Jerman, sedangkan B menggunakan skema komunikasi yang dipengaruhi stereotipe tentang orang Indonesia. Setelah A dan B berhasil melepaskan stereotipe dari skema komunikasi maka interaksi berlangsung dengan lebih lancar. Percakapan II : Situasi percakapan antara dosen Jerman (C) dengan mahasiswa Indonesia (D) pada waktu bimbingan penulisan skripsi : C : Analysieren Sie bitte die Daten Ihrer Untersuchung. Ich moechte die Ergebnisse Ihrer Analyse naechste Woche haben. 'Analisislah data penelitian Anda. Minggu depan saya ingin melihat hasilnya.' D : Insya Allah C : Insya Allah ? Die Ergebnisse moechte ich am Donnerstag haben.. 'Insya Allah ? Hari Kamis saya ingin memperoleh hasilnya.' D : Oh, Entschuldigung natuerlich am Donnerstag 'Maaf, tentu saja hari Kamis.' Hambatan pada awal percakapan terjadi karena perbedaan interpretasi yang berkaitan dengan agama. Bagi C Insya Allah berarti jika Allah berkenan saya akan menyerahkan pada hari Kamis. Ungkapan ini menunjukkan pengaruh agama dalam lingkup kehidupan seseorang, yaitu kepercayaan bahwa semua akan terlaksana jika Allah mengijinkan, sedangkan bagi D ungkapan Insya Allah lebih menunjukkan sikap menyerah pada nasib dan dianggap kurang berusaha. Bagi orang Jerman nalar lebih berperan dan menyerahkan tugas tepat waktu tergantung dari usaha seseorang. D menyadari bahwa C tidak memiliki kepekaan terhadap budaya D yang berkaitan dengan ranah agama, sehingga hambatan dalam komunikasi disingkirkan dengan permohonan maaf, hal ini sesuai dengan pendapat van Baalen (2004). Kesalahpahaman serupa juga ditemukan dalam penelitian Kniffka (2002) di kawasan Saudi Arabia, seperti terlihat dalam contoh percakapan berikut. Percakapan III : Situasi percakapan III terjadi dalam percakapan bisnis antara E (seorang pengusaha dari Indonesia) dengan F (mitra usaha di Jerman). F mengundang rombongan pengusaha dari Indonesia yang akan mengunjungi pabrik F yang mengekspor hasil produksinya ke Indonesia.
103
Setiawati Darmojuwono
F:
Wir haben fuer Sie meine Damen und Herren ein gemuetliches Hotel auf dem Lande reserviert, damit Sie das Land, die Leute und die deutsche Kultur kennenlernen. 'Kami menyediakan sebuah hotel yang nyaman di alam pedesaan agar Ibu dan Bapak dapat mengenal negara, penduduk dan budaya Jerman.' E : Ich dachte, dass wir in einem 5 Sternen Hotel in der Stadt bleiben. 'Saya kira kita tinggal di hotel berbintang 5 di kota.' F : Oh tut mir leid, moechten Sie lieber ein Zimmer in der Stadt haben ? 'Maaf, Bapak lebih suka tinggal di kota?' Hambatan dalam komunikasi terjadi karena E dan F memiliki konsep yang berbeda tentang hotel yang nyaman. Bagi F lingkungan yang asri merupakan tempat yang nyaman, sedangkan bagi E kenyamanan identik dengan kemewahan. Kesalahpahaman ini dapat dihindari jika penutur dan mitra tutur memiliki pengetahuan dan kepekaan terhadap lingkup keehidupan dua budaya. Masyarakat Jerman pada umumnya menghargai lingkungan yang asri dan alamiah, sedangkan di Indonesia kesadaran lingkungan belum begitu me-masyarakat. Ketiga contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa dalam komunikasi antarbudaya hambatan dapat terjadi bukan karena masalah bahasa, tetapi penyebabnya karena pengaruh stereotipe dalam penyusunan skema komunikasi dan perbedaan lingkup kehidupan antar penutur. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tidak hanya melibatkan kemampuan berbahasa, kemampuan sosial, kemampuan individual, wawasan dan pengetahuan tentang topik percakapan namun juga harus memiliki kepekaan tentang budaya sendiri dan budaya mitra tutur, sehingga peka terhadap perasaan dan pemikiran mitra tutur yang berbeda lingkup kehidupannya. Di bidang linguistik penelitian tentang komunikasi antarbudaya merupakan perluasan bidang kajian pragmatik ke arah pragmatik antarbudaya.
104
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
DAFTAR PUSTAKA Bolten, J. 2001. Interkulturelle Kommunikation. Erfurt: LZT. Buhlmann, R., A. Fearns, dan N. Gaspardo. 2003. Praesentieren und Verhandeln. Warschau: Poltext. Ehrhardt, C. 2003. “Diplomatie und Alltag.Anmerkungen zur Linguistik der interkulturellen Kommunikation”. Dalam J. Bolten dan C. Ehrhardt (peny.) Interkulturelle Kommunikation. Sternfels: Wissenschaft und Praxis. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam P. Cole dan J.L. Morgan (peny.), Syntax and Semantics, 41-58. New York: Seminar Press. Hofstede, G. 1993. Interkulturelle Zusammenarbeit. Wiesbaden: Gabler. Kniffa, H. 2002. “Sprach und Kulturkontakt: Linguistischen Perspektiven”. Dalam E. Apeltauer (peny.), Interkulturelle Kommunikation. Tuebingen: Narr. Melenk, H. 1979. “Alltagssprache”. Dalam R. Everett dan T.M. Steinfatt (peny.), Intercultural Communication. Illinois: Waveland Press. Schwarz, M. dan J. Chur. 1993. Semantik. Tuebingen: Narr van Baalen. Christine. 2004. “Fremdverstehen, Interkulturelle Kompetenz semantischpragmatisch betrachtet”. Dalam H. van Uffelen, C. van Baalen, dan J. Sommer (peny.), Sprachenpolitik und Integration. Wien: Wirtschaftsabteilung der Universitaet Wien.
105
MASALAH RELASI GRAMATIKAL BAHASA RONGGA: SEBUAH KAJIAN AWAL J. Kosmas dan I Wayan Arka Universitas Udayana
Abstract The article deals with the absence of affixation in the verbs of Rogga language and its other characteristics related to the isolation type and the rlational changes of grammatical arguments from the point of view of Lexical-Functional Grammar (LFG). Rongga distinguishes between semantic and grammatical relations. The changes of the grammatical relations in Rongga occurs through constructional changes such as word order in clauses, phrase markers, and serialization. There is evidence of an accusative pattern: A and S behave alike, different from P in its structural posisition, control, and relativization. The lexical mapping model normally used in the Lexical Mapping Theory in LFG cannot be used entirely in Rongga due to: (a) the absence of morphological processes for the changes of the argument structure and (b) the emergence of the mapping effect resulting from the constrction where it appears.
PENDAHULUAN Bahasa Rongga (BR) merupakan bahasa minoritas (sekitar 4000 penutur) di kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Walaupun BR tidak disinggung dalam Fernandez (1996) atau Blust (1993), BR tampaknya tergolong satu kerabat dengan bahasa-bahasa Flores, sub-kelompok Flores Barat, Malayo-Polinesia Tengah. Posisi BR dalam subkelompok ini saat ini belum jelas benar dan perlu penelitian yang mendalam. Secara tipologi morfologis, BR tergolong bahasa isolasi karena bahasa ini sangat miskin unsur morfologisnya. Kata-kata pada BR ini bersifat monomorfemis (Comrie, 1981:39). Karena itu, realisasi diatesis, bila ada, misalnya, aktif-pasif, tidak dapat diukur melalui afiksasi verba, tetapi mengandalkan tata urutan kata (word order) pada tataran sintaksis, seperti konstruksi pasif dalam bahasa Manggarai (Kosmas 2000; Arka dan Kosmas sedang diterbitkan). Ketiadaan morfologi pada verba dan nomina pada bahasa isolasi seperti BR merupakan tantangan yang menarik untuk kajian linguistik, utamanya analisis relasi gramatikalnya. Relasi gramatikal, misalnya, SUBJ(ek) dan OBJ(ek) pada bahasa bertipe aglutinasi, seperti bahasa Indonesia, umumnya bisa dipantau melalui penanda morfologis. Tidak demikian halnya dengan bahasa-bahasa isolasi seperti pada BR. Pembuktian terhadap relasi gramatikal dan konstituen garamatikal lainnya pada bahasa ini tidak selalu mudah 107
J. Kosmas dan I Wayan Arka
diinterpretasikan. Misalnya, terdapat kesulitan untuk menentukan apakah perubahan tata urut dan kemunculan suatu partikel atau preposisi juga menyebebabkan perubahan relasi gramatikal. Makalah ini akan membahas permasalahan tadi, berdasarkan data awal yang dikumpulkan lewat penelitian lapangan. Dalam Seksi 1 akan dipaparkan pola-pola dasar klausa BR yang secara sementara memberikan gambaran relasi gramatikal yang ada pada bahasa tersebut. Seksi 2 akan mencoba menerapkan tes-tes yang umum digunakan untuk mengetahui relasi gramatikal seperti keberadaan SUBJ. Seksi 3 akan mendikusikan temuan pada seksi sebelumnya dari sudut Tatabahasa Leksikal-Fungsional (TLF). Simpulan dan arah penelitian lebih lanjut akan diberikan pada Seksi 4. 1 POLA-POLA DASAR KLAUSA BR Pada dasarnya klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal intonasi dan tanda baca. Baik klausa maupun kalimat kedua-duanya merupakan konstruksi sintaksis yang memiliki unsur predikasi yang tidak terbatas pada verba, tetapi juga nonverbal. Tentu saja kalimat yang dimaksudkan di sini adalah kalimat sederhana (simple sentence). Akan tetapi, secara hierarki klausa merupakan bagian dari sebuah kalimat karena kalimat dibangun atas beberapa klausa. Karena data klausa BR yang telah dihimpun masih sangat terbatas, maka pembahasan kalimat dalam artian hierarki belum dapat dilakukan dalam makalah ini. Klausa memiliki struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur derivasi versi Teori Transformasi (Chomsky, 1965). Struktur dasar sangat erat kaitannya dengan istilah klausa dasar. Dalam hal ini, struktur dasar dipahami sebagai struktur atau konstrukti dasar dari klausa dasar yang belum mengalami revaluasi struktur. Sebuah klausa disebut sebagai klausa dasar apabila memiliki ciri-ciri: (1) terdiri atas satu klausa, (2) unsur-unsur intinya lengkap, (3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan (4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Secara lintas bahasa, struktur dasar klausa terdiri atas dua unsur, yaitu, (1) sebuah argumen inti dan predikat, dan (2) dua argumen inti dan sebuah predikat. Jenis klausa dasar dengan struktur dasar (1) mengisyaratkan bahwa kalimat dasar tersebut adalah kalimat intransitif, yakni, kalimat yang hanya terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat. Satu-satunya argumen inti pada klausa intransitif tersebut secara fungsional merupakan S (S = argumen subjek intransitif). Sebaliknya, klausa dasar dengan struktur dasar (2) mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat transitif, yakni, kalimat yang terdiri atas dua atau lebih argumen inti dan sebuah predikat. Uraian lebih lanjut tentang kedua jenis klausa/kalimat tersebut adalah seperti berikut. 1.1 Klausa Intransitif BR Berdasarkan tata urut konstituennya, predikat pada klausa dasar intransitif BR kebanyakan mengikuti argumen inti S. Tata urut kanonis SV berdasarkan frekuensi kemunculan pada tiga teks terlihat pada Tabel 1.
108
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
No. 1.
Jenis Klausa Intransitif
2.
Transitif
SV
VS
220 (97.35%)
6 (2.65%)
AVP
180 (96.26%)
V(P)S
Jumlah
7 (3.74%)
226 (100%) 187 (100%)
Tabel 1: Frekuensi Kemunculan Tataurut Konstituen Klauasa BR Argumen inti S dapat berupa agen maupun pasien, dan perbedaan peran semantis ini tidak mempengaruhi tata urut. Terlihat juga, tidak ada perbedaan permarkahan lain yang mencerminkan peran semantis dari S, seperti pada (1) dan dan (2) berikut. [Lihat juga Agen pada verba dasar transitif (1.2)] (1)
Kazhi nggoe 3T jatuh ‘Dia jatuh’
(2)
Mbu’e Marselina zhio one Nona Nama mandi prep ‘Nona Marselina mandi di kali’
alo kali
wae. air.
Unsur tambahan lainnya seperti adjung biasanya muncul setelah predikat, seperti pada (3). Adjung bisa juga muncul lebih dari satu unit dalam klausa (4) dan (5), dan bisa muncul sebelum S, seperti pada (6). (3)
Ja’o la’a zhele ndau 1T pergi ke barat itu. ‘Saya pergi ke sana.
(4)
Pu’u romba kazhi to’o one Dari pagi 3T pergi ke ‘Pagi-pagi dia pergi ke adiknya’
(5)
Pas romba ndau sadho ga ame Ame Lewa. Pada pagi itu datang sudah art ‘Pada pagi hari itu datanglah Lai Ame Lewa’
(6)
azhi adik
kazhi. 3T Lai nama
Pu’u romba kazhi mai. Dari pagi dia datang. ‘Pagi-pagi dia datang’.
Selain kategori verba seperti pada (1-6), predikat klausa intransitif BR juga dapat diisi oleh kategori nonverbal seperti nominal (7), adjektival,(8), preposisiona (9), dan numeral (10) berikut. (7)
Kami ata tani (N) 1J orang tani ‘Kami petani’.
109
J. Kosmas dan I Wayan Arka
(8)
Ana ndau balo tu’u. anak itu malas sangat ‘Anak itu sangat malas/malas sekali’.
(9)
Ema lau uma ndia. Ayahdi selatan kebun sekarang ‘Ayah di kebun sekarang’
(10)
Ana ja’o lima Anaksaya lima orang ‘Anaka saya lima orang’.
ata.
1.2 Klausa Transitif BR Klausa dasar transitif mempunyai dua atau lebih argumen inti. Berdasarkan jumlah argumennya, predikat transitif dibedakan atas dua macam, yakni, predikat monotransitif (dua argumen inti) dan predikat ditransitif (lebih dari dua argumen inti). Argumen predikat monotransitif terdiri atas A (agen) dan P (pasien). Tataurut klausa monotransitif adalah A-PRED-P, seperti pada (11). (11)
Kazhi kapu ana ito 3T gendong anak kecil ‘Dia menggendong anak kecil itu’.
ndau.. itu
Dari teks-teks yang dipakai sebagai sumber data, belum ditemukan P menempati posisi yang mendahului verba (P-A-PRED, P-PRED-A). Kalau pun ada, itu tampaknya bukan konstruksi transitif, seperti contoh (12), karena A yang muncul di belakang verba dimarkahi oleh preposisi ne ‘oleh’. Konstruksi *Ana ndau polu kazhi tidak berterima untuk makna yang sama dengan (12). (12)
Ana ndau polu ne Anak itu pelihara oleh dia. ‘Anak itu dipelihara oleh dia (nya).
kazhi.(Elisitasi)
Sementara itu, predikat ditransitif dengan tiga argument (A, G(goal), dan T (theme), seperti dicontohkan pada (13), mempunyai tataurut A-PRED-GT. Posisi G tidak selalu ketat setelah verba. Ini terbukti dari contoh (14) yang dikutip dari sebuah cerita yang menunjukkan G (ito ndia) datang setelah T. (13)
(14)
Kazhi ti’I ja’o 3T beri saya ‘Dia memberi saya uang’
ndoi uang
Ti'i ne apa ko ka ito Beri dengan apa PART makan anak ‘(saya) beri makan apa anak kecil itu.
ndia. itu
1.3. Konstruksi verba kompleks Predikat BR dapat terdiri atas serangkaian verba yang merupakan konstruksi verba kompleks. Gambaran pasti tentang tipe-tipe konstruksi verba komplek
110
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
ini memerlukan penelitian lebih mendalam. Namun demikian, sejumlah data awal memunculkan setidak-tidaknya ada dua verba yang frekuensi kemunculannya sangat tinggi dalam konstruksi verba kompleks. Dalam seksi ini akan disodorkan contoh-contoh dan uraian singkat mengenai perilaku verba tau dan mai. 1.3.1 Verba tau Dalam pembentukan verba kompleks, verba tau ‘buat’ diikuti verba transitif, seperti wangga ‘kerja’ (tau wangga), niu ‘panggil’ (tau niu), ala ‘ambil’ (tau ala) dan verba intransitif, seperti mbowo ‘bengkak’ (tau mbowo), dan mai‘datang’ (tau mai). Salah satu contohnya adalah sepert pada (15) berikut. (15)
Ja’o mbau tau 1T tidak mau buat ‘Saya tidak mau beristeri’
ala ambil
fai. isteri.
1.3.2 Verba mai Verba intransitif mai ‘datang’ tampaknya muncul dengan verba intransitif, seperti nangi ‘menangis’ (mai nangi) dan dengan verba transitif (kebanyakan), seperti songgo ‘pinjam’ (mai songgo), dengi ‘minta’ (mai dengi), zhenge ‘dengar’ (mai zhenge), dan tendu ‘ikut’ (mai tendu). Salah satu contohnya adalah seperti pada (16) berikut. (16).
2
Bhate ata mai songgo pare ne kazhi. Semua oranga datang pinjam padi dengan 3T ‘Semua/banyak orang meminjam padi padanya’.
PERAN SEMANTIS VS FUNGSI GRAMATIKAL
Pada seksi sebelumnya, telah diidentifikasikan peran A, P/T, dan G untuk predikat transitif, dan S untuk intransitif. Walapun peran ini tidak sepenuhnya bersifat semantis (S bisa diinterpretasikan sebagai subjek intransitif), dalam makalah ini A, P/T, dan G bukan dianggap sebagai relasi gramatikal, tetapi sebagai relasi peran (makro) semantis. Pertanyaan lebih jauh adalah apakah BR memiliki relasi gramatikal, dan kalau ya, bagaimana relasi gramatikal tersebut? Pembahasan masalah ini sangat kompleks, dan dalam makalah ini akan difokuskan pada satu relasi gramatikal saja, yakni, keberadaan subjek gramatikal, selanjutnya SUBJ, dalam BR. Konsepsi SUBJ yang diikuti adalah konsepsi menurut TLF. SUBJ merupakan salah satu fungsi gramatikal inti yang mempunyai ciri-ciri, di antaranya secara semantis tidak terbatas, [-r] (thematically unrestricted). Da-lam banyak bahasa, termasuk bahasa-bahasa Austronesia di Nusantara, SUBJ merupakan fungsi ‘tertinggi’ yang dapat dibuktikan dengan karakteristik eksklusifnya dalam beberapa perilaku sintaktis seperti kontrol, relativisasi, dan refleksif.
111
J. Kosmas dan I Wayan Arka
Karakteristik SUBJ tersebut di atas juga dijadikan sebagai parameter penelaahan fungsi SUBJ dalam BR, di samping telaahan melalui posisi strukturalnya. Posisi preverbal merupakan posisi SUBJ pada BR. Ini terbukti dari kendala kontrol yang diperlihatkan oleh contoh (17-19). Pada contoh (17), A berada pada posisi preverbal dan bisa dikontrol, sedangkan pada (18), A tidak berada pada posisi preverbal dan tidak bisa dikontrol, terlepas dari apakah A dimarkahi oleh ne ‘oleh’ atau tidak. Lebih jauh, S yang berada pada posisi preverbal juga bisa dikontrol seperti pada (19). (17)
Ja’o zhapa [__ 1T coba [__ ‘Saya mencoba timba air’.
neku wae]. timba air]
(18)
*Ja’o zhapa [wae neku 1T coba [timba oleh ‘Air coba ditimba oleh”
(ne)__] __]
(19)
Kazhi zhapa [__ 3T coba [__ ‘Dia mencoba lari’
pazhu] lari]
Contoh (17) dan (18) menunjukkan bahwa A berperilaku sama dengan S dalam hal kontrol. Pola kontrol S/A ini bersifat wajib karena argumen pada posisi ini tidak boleh dimunculkan. Misalnya, kalimat (17) (yang diulang sebagai 20) tidak berterima jika subjek ja’o ‘saya’ dimunculkna pada klausa sematan: (20)
*Ja’o zhapa [ ja’o neku 1T coba [__ timba ‘Saya mencoba timba air’.
wae]. air]
P tampaknya sedikit berbeda dalam hal kontrol: P tidak wajib dikontrol (Contoh 21). (Masih tidak jelas betul apakah pada saat P tidak muncul, maka kasus tersebut bisa dianalisis sebagai kontrol atau P adalah zero anaphora.). Tetapi bagaimanapun juga terlihat BR memperlakukan A=S dan berbeda dengan P dalam hal kontrol. Selanjutnya, jika terjadi alternasi ‘pasif,’ maka P berperilaku seperti S dan wajib dikontrol (contoh 22): (21)
Ja’o ndai [ dokter tau periksa (jao)] saya ingin dokter mau periksa (saya) ‘Saya ingin dokter mau memeriksa saya’
(22)
Ja’o
ndai
[ __/*jao
tau
ne dokter] saya ingin mau oleh dokter ‘Saya ingin diperiksa oleh dokter.’
112
periksa periksa
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
Berbeda dengan P, Dalam contoh-contoh berikut A/S juga berperilaku sama dalam kaitan dengan perelatifan. Kalimat (23) merelatifkan A, kalimat (24) merelatifkan S, dan keduanya berterima. Kalimat (25) merelatifkan P, dan kalimatnya tidak berterima. Jika P beralaternasi menjadi S, dan A muncul setelah verba dimarkahi dengan ne ‘oleh’, seperti pada kalimat (26), maka kalimatnya berterima. (23)
Joni ata wela ame Karolina Nama REL bunuh ART Nama ‘Joni yang membunuh Karolina, sudah pergi’.
(24)
Ana [ata mai ] ndau bhako anak REL datang itu keponakan ‘Anak yang datang itu keponakan saya.’
jao saya
(25) * Ana [ata meu tei __ ] ndau bhako ana REL kamu lihat itu keponakan ‘Anak yang datang itu keponakan saya’
ja’o. saya
(26)
to’o pergi
ga. sudah.
Ana [ata tei ne meu] ndau bhako ja’o anak REL lihat oleh kamu that keponakan saya Anak yang kamu lihat itu keponakan saya
Bukti-bukti dari kontrol dan relatifisasi menunjukkan adanya alternasi yang menyebabkan perubahan relasi gramatikal A dan P. A yang muncul setelah verba bukan lagi berperilaku sebagai subjek, sementara P yang muncul preverbal berberilaku sebagai subjek. Karena alternasi ini menunjukkan ciri tipikal pasifisasi, maka cukup beralasan kalau konstruksi yang berisi A dengan markah ne dan P yang berfungsi sebagai subjek dikategorikan sebagai konstruksi pasif dalam BR. Argumen A pada konstruksi ini secara sintaktis adalah oblik. Bahwa dia wajib dimarkahi oleh preposisi (ne) juga merupakan ciri tipikal Agen oblik pada pasif. Sementara itu, konstruksi transitif yang berisi A preverbal dan P yang postverbal akan selanjutkan disebut kalimat aktif. A adalah subjek gramatikal (SUBJ) dan P adalah objek gramatikal (OBJ). Perilaku objek pada konstruksi ditransitif memerlukan penelitian lebih jauh untuk mengetahui apakah kedua objek tersebut, yang secara semantis diidentifikasi sebagai G dan T, berperilaku yang sama atau berbeda dengan objek verba monotransitif. 3 DISKUSI DAN PENELITIAN LEBIH LANJUT Penelitian awal yang dipaparkan di atas sudah mengungkapkan setidaktidaknya pandangan bahwa BR mempunyai relasi gramatikal SUBJ, OBJ, dan OBL. SUBJ dan OBJ kedua-duanya muncul tidak bermarkah preposisi, sementara OBL pada konstruksi pasif muncul dengan pemarkah preposisi. Contoh (27) dan (28) berikut ini memperlihatkan OBL dengan peran semantis yang berbeda dan pemarkah preposisi yang berbeda: (27)
Senggu ne
kazhi
nipi
113
ndau.
J. Kosmas dan I Wayan Arka
Buang oleh 3T ‘Dibuangnya mimpi itu’ (28).
mimpi itu.
Ene weli buku ti’i azhi (Elisitasi). Ibu beli buku untuk adik. ‘Ibu membeli buku untuk adik’.
Karena BR adalah bahasa isolasi, maka tidak ada penanda morfologis pada verba yang menandai adanya alternasi gramatikal. Hal ini sudah terlihat pada alternasi aktif-pasif: verba yang sama dipakai pada kedua konstruksi yang berbeda. Yang membedakan kedua konstruksi aktif dari pasif adalah tataurut argumen dan pemarkahan A. Alteranasi lain yang dikenal pada bahasa-bahasa lain yang juga dimarkahi pada verba adalah penambahan argumen seperti kausatifisasi dan aplikatifisasi. Penelitian pada tahap awal ini belum secara mendalam menelaah konstruksi yang ekuivalen dengan kedua proses ini pada BR. Tetapi dapat dikemukan secara sepintas bahwa, sama halnya seperti pada pasifisasi, penambahan argumen tidak dimarkahi secara morfologis karena kendala tipologis bahasa ini yang bersihat isolatif. Seperti bahasa-bahasa isolatif lainnya, penambahan argumen dicapai melalui konstruksi kompleks yang melibatkan serangkaian verba yang dikenal dengan struktur serialisasi. Contoh (29) di bawah ini merupakan serialisasi kausatif dan (30) serialisasi dengan ditranstif ti’i ‘beri/kasi’. (29)
Ata ta mai nangi orang orang datang menangis ‘Banyak orang menagisi Saya ‘
ja’o. 1T
(30)
Sarlin tau ti’i ema ko nama buat kasi ayah part ‘Sarlin membuatkan ayah kopi’.
kopi kopi.
Identifikasi lebih jauh dan analisis persisnya konstruksi-konstuksi yang melibatkan lebih dari satu verba ini merupakan salah satu prioritas dalam penelitian lebih jauh. Permasalah teoretis yang juga mengemuka dalam kaitannya dengan adanya alternasi diatesis aktif-pasif pada BR yang tidak melibatkan penanda morfologis pada verba adalah bagaimana konsepsi perubahan struktur argumen mesti dianalisis. Khususnya, dalam teori-teori yang bersifat leksikal seperti TLF yang umumnya mengasumsikan perubahan struktur argumen adalah akibat dari afiksasi. Tetapi kenyataan empiris seperti pada BR (dan juga bahasa isolasi lainnya) adalah ketiadaan afiksasi, meskipun tetap ada perubahan argumen. Hal ini perlu kajian ulang, atau setidak-tidaknya, kajian tentang konsepsi yang berbeda atas perubahan struktur argumen, dan alternasi pemetaan ke strukture lahir. Alternatif analisis dari sudut TLF dalam kaitan dengan hal tadi dapat diringkas sbb:
114
Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007
(a) Multi entri: setiap verba mempunyai struktur argumen yang multientri, misalnya, tei ‘lihat’ mempunyai entri struktur argument (i) <SUBJ, OBJ> dan (ii) <SUBJ, OBL> (b) Derivasi zero: pemetaan leksikal bisa diadopsi tetapi dengan catatan terjadinya pemarkahan zero. Misalnya, tei didaftar pada entri leksikalnya sebagai transitif <SUBJ, OBJ>, dan terjadi alternasi pemetaan yang menurunkan <SUBJ, OBL>. Ini persis sama dengan afiksasi pasifisasi, misalnya, dalam bahasa Indonesia dengan di-. Bedanya, dalam BR tidak ada pemarkahan afiks. (c) Pemetaan konstruksi (sesudah leksikal): verba pada BR tidak muncul dengan pementaan <SUBJ, OBJ> atau <SUBJ, OBL>. Tetapi efek pemetaan yang demikian diakibatkan oleh konstuksi tempat verba itu muncul. Pemilihan analisis mana yang tepat membutuhkan kajian yang mendalam mengenai konsekuensi yang terkait, baik secara internal teoretis pada TLF, maupun kelaziman tipologis analisis tersebut. Hal ini juga merupakan salah satu aspek yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut. 4 SIMPULAN Dari analisis yang telah disodorkan di atas, dapat disimpulkan seperti berikut: 1) BR memiliki relasi gramatikal SUBJ, OBJ dan OBL. SUBJ dan OBJ muncul tanpa pemarkahan, sedangkan OBL dengan pemarkahan preposisi ne ‘oleh’. 2) Perubahan relasi gramatikal dalam BR terjadi melalui perubahan tataurut konstituen klausa dan melalui mekanisme predikat kompleks. 3) Argumen A (transitif) dan S (intransitif) selalu muncul pada posisi preverbal dan P pada postverbal. Apabila A muncul pada posisi postverbal, maka A pada posisi tersebut selalu dimarkahi dengan preposisi ne. Sementara itu, untuk P belum ditemukan data yang memperlihatkan munculnya P pada posisi preverbal. 4) Model pemetaan leksikal berdasarkan konsepsi Teori Pemetaan Leksikal dalam TLF tidak dapat digunakan secara utuh dalam BR karena verba pada BR tidak muncul dengan pemetaan <SUBJ, OBJ> atau <SUBJ, OBL>. Akan tetapi, efek pemetaan yang demikian diakibatkan oleh konstuksi tempat verba itu muncul.
DAFTAR PUSTAKA Arka, I Wayan. 2003. “Bahasa-bahasa Nusantara: Tipologinya dan Tantangannya bagi Tata Bahasa Leksikal – Fungsional”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Peny.). PELBA 16: 51 – 113. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atmajaya
115
J. Kosmas dan I Wayan Arka
Arka, I Wayan. 2004. “Palatography in a Fieldwork Setting: Investigating and Analysing Alveolar Continuant [r] and [ ] in Rongga” dalam I Wayan Pastika dan I Nyoman Darma Putra.(Peny.). Wibawa Bahasa: 40 – 50 Denpasar: Program Pascasarjana (S2 – S3) Linguistik, Universitas Udayana dan Bali Mangsi. Bresnan, Joan. 1998. Lexical-Functional Syntax Part III: Inflectional Morphology and Phrase Structure Variation. Stanford: Stanford University Press. Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax. Massachusetts: Blackwell. Bresnan, Joan dan Lioba Moshi. 1998. Applicative in Kivonjo (Chaga): Implications for Argument Structure and Syntax. California: Palo Alto. Comrie, Bernard. 1981. Language Universals and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell. Dalrymple, Mary. 2001. Lexical Functional Grammar. San Diego: Academic Press. Fernandez, Inyo Yos. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Historis Komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa Indah. Foley, William A. dan Robert D. van Valin Jr. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Kroeger, Paul. 1993. Phrase Structure and Grammatical Relations in Tagalog. Stanford, California: CSLI. Siewierska, Anna. 1991. Functional Grammar. London: Routledge. Spencer, A. 1991. Morphological Theory: An Introduction to Word Structure in Generative Grammar. London: Blackwell. Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
116
Resensi Buku Teaching and Researching Language and Culture oleh Joan Kelly Hall. London: Longman. 2002. 242 halaman, glosarium, indeks penulis, indeks subjek. Diresensi oleh Rahayu Surtiati Hidayat, Universitas Indonesia PENDAHULUAN Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, namun pengajarannya sering terpisah dari pengajaran bahasa. Ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence), misalnya, mempertimbangkan aspek budaya dalam pemelajaran bahasa sehingga lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran dan penelitian juga sering dianggap sebagai dua kegiatan yang tidak berkaitan. Di Indonesia, cukup banyak pengajar bahasa -khususnya di perguruan tinggi -- yang menyatakan bahwa mereka hanya ingin mengajar, tidak ingin meneliti. Mereka puas dengan menerapkan hasil penelitian orang lain, buku ajar bahasa misalnya, atau menyusun kurikulum dan bahan ajar tanpa landasan hasil penelitian, padahal pengajar perguruan tinggi wajib melakukan penelitian di samping pengajaran dan pengabdian pada masyarakat. Dalam pemikiran itulah saya melihat bahwa buku ini memberi sumbangan konsep baru dalam pengajaran dan penelitian bahasa dan budaya. Dalam bahasan selanjutnya, saya akan terlebih dahulu menguraikan isi buku, kemudian mendiskusikan beberapa konsep penting itu. ISI BUKU Buku yang terbit dalam seri Applied Linguistics in Action ini, yang disunting oleh Christopher N. Candlin dan David R. Hall, lebih mirip buku ajar perguruan tinggi daripada buku rujukan. Setiap bab dimulai dengan tujuan bab dan diakhiri dengan ringkasan (kecuali Bab 11) serta daftar bacaan lanjut yang beranotasi. Selain itu, uraiannya memudahkan pembaca karena semua kutipan diberi nomor dan judul, semua konsep penting juga diberi judul, tetapi tampilannya berbeda karena diletakkan dalam kotak. Terakhir, walaupun ini tidak khas buku ajar perguruan tinggi, tersedia “Glosary” yang menjelaskan makna berbagai istilah. Dalam lampiran, “Author Index” menyenaraikan semua penulis -- sangat banyak -- yang diacu dan “Subject Index” memuat berbagai topik yang dibahas. Memang, dengan menggelar pemandangan yang luas itu, penulis berusaha menonjolkan beberapa situs kegiatan kontemporer di bidang linguistik terapan, memetakan beberapa rute yang lazim dilalui untuk mencapai
117
Rahayu Surtiati Hidayat
situs itu, dan menunjukkan beberapa pemimpin ekspedisi yang paling dikenal (hlm 3). Sejalan dengan tujuannya menulis buku ini, ia membahas pemelajaran bahasa dan budaya yang mencakup bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahasa asing. Selain itu, penulis juga memaparkan berbagai penelitian di bidang pemelajaran bahasa dan budaya. Untuk itu, ia membagi bahasannya menjadi empat bagian. Bagian I merumuskan kembali bahasa dan budaya untuk menawarkan beberapa asumsi paling signifikan tentang hakikat pemelajaran bahasa dan buda-ya dari sudut pandang tindakan manusia di lingkungan sosial budaya (selan-jutnya disingkat sosbud). Bagian ini berisi tiga bab: Bab 1 memaparkan pengkajian tentang penggunaan bahasa yang merupakan inti linguistik terapan dengan menekankan dua aspeknya, yaitu, dialog dan tuturan tunggal serta ganda. Selain itu, dijelaskan budaya sebagai praktik sosbud, relativitas bahasa, dan ancangan yang disebut “linguistik yang dibentuk secara sosial” untuk meneliti bahasa dan budaya, serta etnografi kegiatan komunikatif. Terakhir, pengertian bahasa sebagai konteks diuraikan dalam rangka linguistik fungsional dan sistemik. Bab 2 mengkaji dan menelusuri pengertian identitas dan penggunaan bahasa dari berbagai sudut pandang terkini, dan Bab 3 menyajikan pemahaman terkini tentang pemelajaran bahasa dan budaya dengan mengaitkannya pada temuan baru dari penelitian tentang perkembangan bahasa. Bagian II, juga terdiri dari tiga bab, bertujuan menelaah bagaimana pemahaman terkini tentang bahasa dan budaya memengaruhi berbagai praktik pengajaran. Dalam Bab 4 diuraikan berbagai penelitian baru tentang latar bahasa dan budaya pemelajar, dan inovasi yang ditawarkan. Bab 5 membahas lingkungan sosbud di sekolah dan di kelas, sedangkan Bab 6 mengkaji konseptualisasi mutakhir bahasa dan budaya dalam isi kurikulum serta berbagai ancangan pedagogis mutakhir. Bagian III terdiri dari empat bab dan bertujuan untuk memperkenalkan berbagai hal yang telah diteliti dan diancang dalam pengkajian bahasa dan budaya. Dengan sejumlah contoh itu, diharapkan pembaca ingin tahu dan menjelajahi bidang pengajaran dan penelitian bahasa dan budaya. Bab 7 mengingatkan kembali konsep dasar penelitian -- kualitatif khususnya -- sedangkan Bab 8 menjelaskan enam ancangan yang digunakan dalam pnelitian dan pemelajaran bahasa dan budaya, yaitu, etnografi komunikasi, sosiolinguistik interaksional, analisis percakapan, analisis wacana, analisis wacana kritis, dan ancangan mikrogenetik. Bab 9 merupakan panduan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek penelitian. Sementara itu, Bab 10 menunjukkan benang merah berbagai proyek penelitian yang dapat dijadikan kerangka kerja bagi pendatang baru atau mereka yang tidak akrab dengan sudut pandang sosbud. Bagian IV merupakan penutup yang berisi “alat kerja” bagi pengajar dan peneliti bahasa dan budaya. Itu sebabnya, Bab 11, satu-satunya bab yang mengisi bagian ini menyajikan daftar jurnal linguistik terapan beserta anotasinya, kemudian daftar berbagai organisasi linguistik terapan beserta situs webnya, juga beranotasi. Terakhir, daftar sumber pengajaran dan penelitian bahasa dan budaya, masing-masing dilengkapi situs web.
118
Linguistk Indonesia, Tahun ke 25, No. 1. Februari 2007
2 DISKUSI Dari “penerapan linguistik” ke linguistik terapan. Dengan jelas penulis mengingatkan bahwa segala ancangan dan metode pengajaran yang dianggapnya tradisional sebenarnya belum memberi kesempatan kepada pemelajar untuk belajar menggunakan bahasa dalam interaksi sosial. Di sinilah letak kebaruan dalam karyanya karena ia merumuskan kembali konsep bahasa dan budaya dengan menekankan pengkajian tentang bahasa dalam penggunaan, makna dalam penggunaan, dan tindak tutur yang konkret. Akibatnya, pemelajaran bahasa harus didukung oleh hasil penelitian psikologi kultural atau teori sosbud tentang perkembangan bahasa, antropologi linguistik, psikologi perkembangan, dan psikolinguistik. Dari proses belajar-mengajar ke penelitian dalam proses belajarmengajar. Stern (1983: 43ņ50) telah menekankan hubungan antara kegiatan dalam pengajaran bahasa kedua dan penelitian dengan menyajikan sebuah model bertingkat tiga. Pertama, landasan tempat para ahli teori menekuni berbagai ilmu yang mendukung linguistik terapan (“educational linguistics”), kedua tingkat antara tempat para linguis terapan meneorikan pemelajaran, bahasa, dan pengajaran, dan ketiga praktik pengajaran bahasa tempat guru memikirkan metodologi dan organisasi pengajaran bahasa kedua. Jadi, ancangan multidisiplin itu digunakan dalam hierarki, masing-masing yang terlibat mendapat tempat tersendiri. Kebaruan Hall adalah memungkinkan peneliti, pengajar, dan bahkan pemelajar terlibat dalam penelitian. Bab 4, misalnya, mengulas berbagai eksperimen dan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh pengajar bersama peneliti. Hasilnya, pengajar mampu membangun kurikulum pembelajaran bahasa yang berbasis sosial budaya karena lebih memahami perbedaan budaya di antara berbagai komunitas. Sementara itu, melalui penelitian sosial berbasis kelas (classroom-based social research, h. 117), pemelajar dilibatkan dalam penelitian tentang bagaimana mereka menggunakan bahasa di luar kelas. Dari penelitian linguistik ke penelitian linguistik terapan. Sudut pandang sosbud merupakan kekuatan penulis dalam menawarkan sejumlah ancangan dan metode penelitian yang tepat untuk penelitian tentang pemelajaran bahasa. Sekilas tampak bahwa sebagian besar tidak berbeda dari metodologi penelitian di bidang sosial budaya, tetapi kekayaan contohnya mampu meyakinkan pembaca awam linguistik dan awam ilmu sosial bahwa dasar-dasarnya sangat mungkin digunakan untuk meneliti pemelajaran bahasa dan budaya. Tidak hanya berbagai proyek penelitian yang dibahas, tetapi juga perincian kegiatan penelitian sehingga buku ini mirip dengan panduan praktis bagi pembacanya; apalagi bab terakhir memuat dan mengomentari secara kritis berbagai jurnal, organisasi profesi, dan lembaga yang berkaitan dengan pemelajaran bahasa dan budaya. Sebagai penutup ulasan ini, saya menganjurkan -- mengingat isinya yang begitu penting dan penyajiannya yang mudah dipahami -- agar buku ini dibaca dengan cermat oleh para pengajar bahasa selain, tentu saja, mahasiswa, dosen, dan peneliti yang menekuni bahasa dan budaya.
119
Rahayu Surtiati Hidayat
ACUAN Bright, William (Penyelia). 1992. International Encyclopedia of Linguistics. New York: Oxford University Press. Damen, Louise. 1987. Culture Learning: The Fifth Dimension in the Language Classroom. Reading: Addison-Wesley Publishing Company. Galisson, R. & D. Coste (Ed.). 1976. Dictionnaire de Didactique des Langues. Paris: Hachette. Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Beverly Showers. 1992. Ed. ke-4. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon. Littlejohn, Stephen W. 2001. Ed. ke-7. Theories of Human Communication. Stamford, A.S.: Wadsworth. Richards, Jack C. & Richard Schmidt. 2002. Ed. ke-3. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Longman. Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press. Wray, Alison, Kate Trott, Ailleen Bloomer, Shirley Reay, dan Chris Butler. 1998. Projects in Linguistics. A Practical Guide to Researching Language. London: Arnold.
120