Daftar Isi
Penerbit
Daftar Isi:
Lab IAI, Jurusan Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ ISSN: 0216-1648 Vol. IX No. I Januari 2013
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan… Noor Rachmat …3
Penasehat: Dekan FIS UNJ
Pemimpin Umum: Ketua Jurusan Ilmu Agama Islam
Dewan Redaksi: Zaghlul Jusuf, M. Chudlori Umar, Andy Hadiyanto
Pemimpin Redaksi: Syamsul Arifin
Redaktur Pelaksana: Firdaus Wajdi
Staf Redaksi: Khairil Ikhsan, Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia, Muslihin, Izzatul Mardiyah
Alamat Redaksi: Gedung K, Lt. II, Ruang 207 Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur Tel./Fax. 021-47881925 E-mail:
[email protected];
Runtuhnya Dunia Islam Abdul Jalil …21 Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih Syamsul Arifin dan Sari Narulita …49 Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan Aplikasinya dalam Fakta Sosial Khairil Ikhsan Siregar …71 Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa and its Legal Effect on Indonesian Society Ahmad Hakam …95 Islamic Thought and Human Rights View on Rights of Child: A Case of Child Domestic Workers In Indonesia Firdaus Wajdi …105
1|Jurnal Studi Al -Quran
Daftar Isi
Vol. IX No. I Januari 201 3 |2
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
REAKTUALISASI TEOLOGI ISLAM DALAM PENDIDIKAN NOOR
RACHMAT
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 1. Pendahuluan Teologi adalah sebuah paham atau pemikiran tentang peranan agama dalam mengatasi permasalahan sosial. Sebuah fakta empiris, bahwa agama yang semula datang untuk menjawab permasalahan-permasalah yang terjadi waktu turunnya agama, dan bisa menjawabnya dengan baik, namun seiring perjalanan waktu, kenyataanya menjadi semakin jauh dari peran solusi, bahkan hanya sekedar menjalankan peran ritual tradisional yang statis. Dengan kata lain, adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran agama bukan sekedar tekstualisasi, untuk menjawab persoalan-persoalan manusia, bukan hanya masalah keimanan, ketauhidan saja tetapi juga masalah budaya, masalah kehidupan seharai-hari, dimana persoalan yang dihadapi oleh manusia, tidak pernah habis-habisnya. Budaya manusia berkembang terus dan siapapun tidak mingkin bisa menghentikan perkembangan budaya, sebagai konsekuensi Tuhan memberikan akal kepada manusia. Sementara Kitab suci, biarpun berlaku universal, tetap saja terbatas pada kaidah dan petunjuk secara garis besar. Mestinya kitab suci memang hanya mengatur prinsip-prinsip budaya saja dan aplikasi dan penerapannya biarlah itu urusan manusia.1 Jika
dikalangan
Kristiani lahir
faham
dan pemikiran teologi
pembebasan, maka didalam Islam tidak perlu lahi, yang perlu mungkin adalah rekonstruksi dan reaktualisasi teologi atau pemikiran-pemikiran yang diklaim sebagai manifestasi dari ajaran wahyu Ilahi.
Peristilahan teologi
adalah istilah yang diambil dari kata dasar theos yang berarti tuhan dan logos yang berarti Ilmu. Tetapi teologi biasanya dipergunakan sebagai kata untuk 1Zaghlul Yusuf, Ed, Pendidikan Agama Islam, analisis rangsangan Afeksi, MKDU-IKIP Jakarta, 1990, hal. 6-8.
3|Jurnal Studi Al -Quran
Noor Rachmat
menyebut ajaran Tuhan atau ajaran yang diyakini sebagai ajaran Tuhan. Jika kita sebut Teologi, maka kesannya, bertujuan untuk menjawab sebuah pertanyaan apakah Tuhan itu memberikan kebebasan atau tidak kepada manusia untuk ikut menentukan atau mewujudkan cita-cita hidupnya, apakah semuanya telah ditentukan oleh Tuhan tanpa ada celah bagi manusia untuk memilih dan memilah perbuatan dan rencana perbuatannya. Istilah teologi pembebasan lahir abad 20 dikalangan dunia Katolik atau protestan, dimana pengaruh gereja dalam menentukan kehidupan masyarakat sudah menjadi dogma dan acuan satu-satunya kebenaran dan kebaikan. Dengan demikian ini berarti membelenggu kreatifitas sebagian besar manusia untuk berkembang2, padahal agama hanyalah ajaran yang mengatur dan menjawab persoalan hidup manusia secara garis besar, termasuk masalah ekonomi, masalah polotik dan masalah pendidikan. Secara historis, Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk berhenti berfikir hanya saja di abad-abad modern ini mengalami nasib yang serupa, kerena terjadi stagnasi, kemandegan atau kejumudan pemikiran dan pengembangan pemikirannya, karena Islampun kemudian banyak yang menyeretnya kearah pemahaman yang sempit. Islam seoalah akan dibatasi pada pemahaman tekstual tradisioanal yang juga akan mengarah pada hal ritual semata. Padahal Islam pernah mengalami perkembangan pemikiranya yang luar biasa dimasa lalu, yaitu pada masa sejarah klasik Islam, sebagai akibat dari revolusi perfikir teologisnya Muktazilah yang waktu itu dijadikan sebagai idiologi Negara3. Namun karena mungkin terlalu emosional, terutama dengan adanya peristiwa Al-Mihnah, maka simpati pada idiologi negara yang kritis itu berbalik menuai protes baik secara kelompok maupun secara missal, terutama dari orang-orang yang merasa dirugikan dengan itu. Hal itu bisa saja terjadi, mengingat keampuan rasional manusia itu tidaklah sama, ada yang masih dalam tahap akal al-hayulani atau potensial, ada yng sudah sampai
2Lebih 3
jelas, baca F Wahono, Teologi Pembebasan, 2000. Noor Rachmat, Ilmu Kalam (Teologi Islam), Fikra Publika, 2011.
Vol. IX No. I Januari 201 3 |4
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
tahap
bilfi’li atau akal aktif dan ada yang sudah sampai tingkatan al-
mustafadah, atau akal maksimal4. 2. Permasalahan Dalam tulisan ini akan dibatasi saja pada masalah pendidikan. Sehingga permasalahan yang diangkat adalah jika dimasa klasik, teologi Islam sudah mampu menjadikan umat Islam menerapkan pendidikan yang mampu mengantar umat Islam kezaman kemasan disegala bidang, dan sekarang balik kembali mengalami kemunduran atau dalam Istilah Dr. Zakki Zamani dibuat judul bukunya “ Limaza ta’akhor al-Muslimuna wa al-taqadum ghairahum5” . Apakah perlu diperkenalkan lagi teologi yang mampu membebaskan umat Islam dari kemunduran dan mendongkrak kembali kemunduran Islam, sehingga mampu memberikan sumbangan pendidikan kepada dunia Islam, bahkan kepada dunia. Bukan sekedar umat yang pandai menjadi makmum dalam kemajuan pendidikan dan ilmu ?. 3. Menengok kemajuan pendidikan Islam Klasik. Islam yang oleh Istilah Harun Nasution diharapkan bangkit setelah Napoleon Bonaparte mengaqdakan ekspidisi ke mesir tahun 1800, dan umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya, ternyata tidak demikian adanya. Faktanya pendidikan yang berlaku didunia Islam masih belum memberikan nuansa pembebasan atau dengan istilah lain, belum memberikan pencerahan. Pembebasan dari kebodohan, pembebasan dari keterbelakangan, pembebasan dari perekonomian dan seterusnya. Terbukti dalam segala aspek keilmuan dan kependidikan masih saja umat Islam mengalami ketertinggalan. Pada hal dalam literature klasik pendidikan Islam, terdapat banyak leteratur yang berisi beragam rintisan dan pengembangan Pendidikan termasuk system pendidikan Islam. Sekedar menyebutkan, misalnya literature tentang metode, system dan materi pendidikan bagi anak-anak pada masa daulah Abbasiah ( 750-847 M), konsep dasar pendidikan multicultural di institusi pendidikan Libih lanjut baca Al-Farabi, dalam Filsafat Islam, Harun Nasution, UI Press, 1998. Dr. Zakki Zamani, seorang Ahli perminyakan Arab, yang bukunya diterjemah menjadi “Mengapa dunia Islam mundur sedangkan yang lainnya maju”, diterbitkan Oleh Bulan Bintang tahun 1980. 4 5
5|Jurnal Studi Al -Quran
Noor Rachmat
Islam dan tentang kehidupan murid dan mahasiswa pada masa Al-Makmun (813-833), kontrobusi Islam dalam pengembangan pendidikan di Spanyol ( abad XIII – X .M), kemajuan Ilmu Pengetahuan masa dinasti Fathimiyah (9081171 M), hingga tentang kurikulum pendidikan pada akhir Dynasti Saljuq (tahun 1258).6 Ini berarti bukannya mebebaskan, tetapi malah penekanan karena malah bertambah mundur. Pola-pola pendidikan yang dulu dirintis oleh ulama-ulama Islam malah terus dikembangkan oleh cendikiawan non muslim menajadi semakin berkembang pesat, sementara pendidikan dikalangan umat Islam semakin mundur jika disbanding dengan masa Islam klasik. 4. Rekonstruksi dan reaktualisasi Teologi Islam. Jika dikalangan Kristiani timbul gerakan atau pemikiran teologi pembebasan, karena nanpaknya agama-agama ini mengalami nasib yang serupa meski tidak mesti sama, agama menjadi sesuatu yang jumud, mapan dan doktriner. Sifat agama yang doktriner, kaku dan jumud itu sebenarnya bukan hanya dialami oleh kalangan nasrani saja tetapi dikalangan Islampun terjadi keadaan yang serupa. Agama dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran mutlak, harus diterima secara tekstual, manakala ada pikiran manusia yang tidak sesuai dengan kebenaran tekstual, maka pendapat manusia itu harus dipatahkan demi kebenaran teks agama. Kita lupa bahwa yang dimaksud kebenaran teks itu juga adalah kebenaran teks yang telah diinterpretasikan oleh manusia juga, yang dalam bahasa agamanya disebut telah ditafsir dan ditakwilkan juga. Dalam Islam, sebenarnya ada dua pemahaman yang sejak dulu sudah diperkenalkan, yaitu bahwa teks atau ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dalalahnya “ dhanni” dan ada yang qath’i. Dalam Ilmu Ushul Fiqh, ada istilah muhkamat ada mutashabihat, ada arti lafdhi ada Makanawi ada tekstual ada
kontekstual.
Siapakah
yang
diberi otoritas
untuk
membarikan
pemahaman secara benar terhadap ayat-ayat tersebut, para Kiyai, Ustaz,
Lebih jelas, baca Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005, baca pula Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya, 1996. 6
Vol. IX No. I Januari 201 3 |6
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
Ulama, atau para mufassir seperti misalnya Imam Al-Jalalain dengan Tafsir Jalalainnya, imam Al-Maroghi dengan Tafsir Al-Maroghinya, imam At-Tobari dengan tafsiri Al-Maroghinya, Quraisy Syihab dengan tafsir Al-Misbahnya ?. Wallahu A’lam bissowab ?. Terlepas dari otoritas yang biasanya diberikan oleh sebagian orang kepada orang-orang tertentu itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah sewaktu mereka menjelaskan tentang Islam itu, akal dan persepsi mereka tidak masuk sedikitpun kedalam tafsiran, pemaknaan dan opini mereka. Mungkinkah itu terjadi ? jawabnya ya sangat mungkin terjadi. Ini artinya, bahwa siapa saja mempunyai kompetensi untuk itu, juga mempunyai otoritas untuk memberi makna dan penjelasan tentang Islam. Adapun syarat untuk dapat melakukan interpretasi terhadap wahyu, adalah : Pertama, Memahami bahasa Al-Qur’an dalam berbagai bentuk, baik bentuk kata, bentuk kalimat, teori bahasa dan kedua, menguasai teori makna atau tafsir7. Dalam khasanah pemikiran teologi Islam klasik, ada persepsi yang dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan. Pemikiran teologi ini dulunya berasal diskursus antara pemikiran Al-Khowarij, Al-Murjiah, kemudian berkembang menjadi Qodariah, Jabariah, Asy’ariah, Al-Muktazilah dan seterusnya. Bermula tentang persepsi tentang dosa besar, kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya atau tidak, sampai teologi rasionalis AlMuktazilah, dimana manusia dinyatakan bebas menentukan pilihan perbuatannya
masing-masing,
dan
Allah
kelak
tinggal
meminta
pertanggungan jawabannya saja, tentang pilihan-pilihan yang diambilnya. Ini artinya, manusialah yang mesti membuat rencana program kerja hidupnya, dan rencana rencana lain, baik yang berhubungan dengan kehidupan individualnya maupun kehidupan bermasyarakatnya, termasuk memilih dan menentukan bagaimana proses belajar dan mengajar mesti berlangsung, karena Al-Qur’an hanya berpesan secara garis besar dan prinsip-prinsipnya
7
Zaghlul Yusuf, editor, Pendidikan Agama Islam, Sentuhan afeksi, IKP Jakarta, 1990, hal. 7-
10
7|Jurnal Studi Al -Quran
Noor Rachmat
saja. Maka peran dari akal sangatlah besar. Besar dan lausnya pemanfaatan kekuatan akal manusia dapat menentukan besar kecilnya, luas dan sempitnya pemahaman seseorang atau sekelompok orang dalam member wawasan dan wacana keislaman. Jika dahulu Al-Islam dengan Al-Qur’an dapat mengatasi dan menjawab problemtika kehidupan manusia, maka semsestinya Islam dengan Al-Quran akan selalu dapat mengatasi semua problematikan hidup dan kehidupan manusia, dari waktu kewaktu dan dari masa kemasa. Masalahnya sekarang, perlukah Islam merekonstruksi dan mereaaktualisasikan Teologi menghidupkan kembali
untuk
pemikiran pendidikan Islam yang pernah
memberikan kontribusi amat besar bagi kebudayaan umat manusia dimasa klasik yang lalu.8
a. Arti Pendidikan Islam Dalam Incyclopedia of Education ( Monroe), pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang berkaitan dengan sejumlah proses dari suatu kelompok sosial. Sementara Peters (1980) menyatakan bahwa pendidikan itu tidak lebih dari suatu aktivitas pembaharuan dalam kepribadian yang lebih baik. Petterson (1979) memberikan definisi, bahwa Pendidikan ialah usaha untuk mengubah dan memindahkan nilai-nilai budaya kepada setiap individu dalam masyarakat. Namun ada yang berpendapat bahwa pendidikan
adalah
usaha
membantu
mansia
menjadi
manusia.9
Memberikan pertolongan, menanamkan dan membentuk suatu karakter atau kebiasaan dan tabiat baik tidak lepas dari sebuah proses panjang yang namanya Pendidikan. Pendidikan dalam Islam adalah suatu kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan dakwah. Jika Al-Attas (1980) menyatakan bahwa istilah tarbiyah yang diartikan pendidikan, tidak terdapat dalam kamus besar Bahasa Arab, namun dalam kata yang dibentuk dari kata 8Mehdi
Nakosteen, dalam buku, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 8001350; with an introduction to Medieval Muslim Education, University of Colorado Press, Boulder,1964. 9 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 33.
Vol. IX No. I Januari 201 3 |8
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
dasar Rabb, ada didalam Al-Qur’an, seperti disebutkan antara lain dalam uah do’a : irhamhuma kama Rabbayani Shaghiro”10, atau “Qala alam nurabbika fina walidan walabistna fina min umrika siniina”11. Ahmad tafsir (2006) menyatakan bahwa Pendidikan adalah sebuah proses menolong manusia agar menjadi manusia. Manusia sebagai subyek pendidikan, ada yang berhasil manjadi manusia tetapi banyak yang tidak berhasil, yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai lebih rendah derajadnya dibanding Hewan “sungguh aku telah ciptakan manusia dalam sebaikbaiknya penciptaan, tapi kemudian bisa jadi mereka akan berada ditempat yang serendah-rendahnya12” makanya ada manusia yang baik, dan ada manusia yang tidak baik. Mendidik yang baik adalah menanamkan nilainilai kebaikan kepada subyek didik, sehingga kilak menjadi manusia yang baik. Kebaikan manusia bisa saja diukur dengan ukuran yang berbeda, bisa dengan ukuran agama, bisa dengan ukuran etis dan bisa pula dengan ukuran rasio. Bukankah
jika seseorang itu menjadi baik berarti
mengangkat harkat dan martabatnya sndiri, dan sebaliknya jika gagal berarti merendahkan derajat dan martabatnya sendiri pula. Oleh karenanya, yang namanya proses pendidikan itu tidak pernah mengenal kata sudah selesai, tetapi selalu dalam kondisi belum selesai dan masih terus berproses hingga akhir hayat ( life long education ) yang dalam hadis nabi disebutkan dari buaian sampai liang lahat. Orang yang belum menjadi baik akan tetap ada kesempatan untuk menjadi baik, sedangkan orang yang sudah baik, harus mempertahankan dan terus meningkatkan kualitas kebaikannya. Kualitas kebaikan dapat berasalal dari pola berfikirnya yang intelek, dari ketelitian, keterampilannya dan akhlaknya yang mulya dalam mengaplikasikan agamanya dan dari ketakwaannya13.
Al-Qur’an, Surat Isra’ ayat 24 Al-Qur’an, Surat Assyura ayat 18. 12 Al-Qur’an, Surah At-Tin ayat 4-5. 13 Lebih rinci, baca Zaghlul Yusuf, Sistem Pendidikaqn Islam, FKIP-UIA, 1992, hal. 54 dan seterusnya. 10 11
9|Jurnal Studi Al -Quran
Noor Rachmat
5. Pendidikan Islam masa klasik dan masa sekarang. a. Pendidikan Islam masa klasik. Proses panjang yang bernama pendidikan itu tidak pernah kenal kata selesai atau sudah selesai, melinkan selalu dalam kondisi belum selesai. Jika tujuan pendidikan atu adalah untuk menolong manusia menjadi manusia yang terbaik, maka bisa jadi kita nggak sepakat tentang tujuan tersebut karena sangat abstrak dang mengawang, namun semua orang akan setuju bahwa seseorang bersekolah atau mengikuti pendidikan (formal, informal dan non formal) adalah untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Ini berarti sama sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia oleh Tuhan yaitu menjadi khalifah dan tugas sebagai khalifah adalah : Pertama, Belajar ilmu ( Surat An-Maml 15-16 dan Al-Mukmin 54 ). Kedua
,
mengajarkan
Ilmu
(
Al-Baqarah
ayat
31-39).
Ketiga,
membudayakan Ilmu ( Al-Mukmin ayat 35). Ilmu yang dimaksud disini adalah Ilmu Allah, dimana setiap muslim mestinya mendasari segala aktifitas belajar, mengajar dan membudayakan ilmu pada dasar AlQur’an.14 Belajar, mengajarkan dan membudayakan Ilmu yang didasarkan pada ajaran dan tuntunan Allah, dikreasikan dan dikembangkan oleh para Ulama Klasik seperti : 1). Ibn Maskawaih (941-1030.M)15. Dia adalah sejarawan besar dan dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa, dan dikenal pula sebagai ilmuwan pertama dibidang filsafat akhlak dan didalam leteratur filsafat dikenal dengan nama Ibn Ali. Maskawaih sangat menekankan pada pendidikan Akhlak, yang meliputi tujuan Pendidikan Akhlak, materi pendidikan Akhlak, pendidikan dan anak didik, lingkungan Pendidikan dan
Baca, Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, Islam Universal, UPT MKU, UNJ, 2012, hal 23 dan seterusnya. 15 Nama Lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Ibn Ya’kub, Ibn Maskawaih, lahir di Rayy dan meninggal di Isfaham, dengan lingkungan berfikir teologi Syi’ah. Menurut sebagian riwayat, dia belajar sejarah pada Abu bakar Ahmad Ibn Kamil Al-Qoadi, belajar Filsafat pada Ibn AlAkhmar dan belajar Kimia pada Abu Toyyib. Ia juga banyak bertukar ilmu pada Abu Hayyan AtTauhidi, Yahya Ibn Adi dan Ibn Sina. 14
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 10
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
metodologi pendidikan. Karena itu, bukunya yang paling popular adalah buku tentang akhlak, yaqng berjudul “Tahzibul Akhlak”. a). Al-Qobisi (936-1012.M)16, ia lahir di Tunisia, tahun 936.M dan wafat pada tahun 1012.M ditempat yang sama, dengan bukunya yang terkenal, Ahwal al-Mutaallimin wa ahkam al- Muallimin. Disamping dikenal sebagai ahli hadis dan Fikih, ia juga adalah ahli bidang pendidikan, dengan judul buku diatas. Inti pemikiran pendidikanya, terutama ia sangat konsen pada pendidikan anak-anak dilembaga-lembaga yang namanya Kuttab agar manusia dapat menjaga kelangsungan hidupnya dengan baik dan untuk itu perhatian utama dimulai dari pendidikan anak. Mengabdi pada pendidikan, pengajaran anak dan hidup sebagai guru serta mau menyusun kurikulum pendidikan, metode pengajaran adalah perbuatan mulia bagi umat Islam17. Al-Qobisi juga menyarankan adanya kurikulum Ijbari dan ikhtiari, metode dan teknik belajar, percampuran belajar antara antara murid laki-laki dan perempuan dan demokrasi dalam pendidikan. 3). Al-Ghazali (1059-111.M)18, selama ini kita hanya mengenal Al-Ghazali sebagi penulis al-ikhya’ Ulum al-Din saja. Padahal dia juga menulis buku lain seperti tentang Ilmu kalam, Filsafat, Tasawuf, tapi biliau juga adalah juga pemikir tentang pendidikan, yang meliputi peranan pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pandidikan, pendidik dan murid19. Dia juga mendasari teorinya pada hadis Kullu mauludin yuladu alal fitroh, apakah anak akan menjadi Yahudi, akan menjadi Nasrani atau bahkan akan menjadi muslim, itu bergantung pada lingkungan pendidikannya, dan ini berarti anak itu lahir sudah membawa potensinya masing-masing, apakah potensi itu akan menjadi positif atau menjadi negatif bergantung pada lingkungan. Karena begitu besarnya pengaruh lingkungan pada pendidikan anak, maka Dia menekankan Nama lengkapnya, Abu Hasan Ali Bin Muhammad Khallaf al-Ma’arif, al-Qobisi, lahir di Karawan Tunisia. 17 Libih jauh, baca Abudin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, hal. 26 dan seterusnya. 18 Lahir di Ghazale, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan, th. 1059. 19 Lebih jelas, baca Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, hal 160 dst. 16
11 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Noor Rachmat
lingkungan sekolah dimulai dari Guru. Baginya, guru hendaknya mempunyai tipologi tertentu yang baik agar menjadi contoh tauladan yang baik, misalnya ; hendaknya seorang guru itu mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri. Guru hendaknya tidak menjadikan imbalan materi sebagai tujuan utama, karena mengajar adalah tugas yng diwariskan oleh Rasulullah. Guru hendaknya mengingatkan selalu kepada murid, bahwa menuntut ilmu itu adalah untuk mendekatkan diri pada Allah. Hindaknya murid itu saling menyayangi dan saling tolong menolong, belajarlah bermacam-macam ilmu dengan sungguh-sungguh hingga mencapai tujuan dari tiap-tiap ilmu yang dipelajarinya. Jadi, intinya Al-Ghazali menekankan pada pendidikan Keteladanan 20. 4). Ibn Taimiyah (123-1328.M.),21 lahir di Harran Siria 1263 M, dan wafat di Damaskus tahun 1328 M. Pendidikannya dimulai dengan mengaji pada ayah dan pamannya, kemudian dia belajar pada ulama-ulama terkemuka dDamaskus dan sekitarnya, antara lain kepada Samad Al-Maqdisi, seorang ahli hukum fikih dan hakim agung pertama dari Mazhab Hambali. Pemikirannya dibidang pendidikan sangatlah luas dan rinci, dimulai dari Filsafat Pendidikan, kurikulum, bahasa pengantar, pengajaran, metode pengajaran, etika guru dan murid dan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. Dasar Falsafah pendidikan menurut Ibn Taimiyah ilmu yang bermanfaat dan merupakan asas dari kehidupan yang cerdas dan unggul. Menggunakan ilmu akan menjamin masyarakat bagi kelaqngsungan hidup masyarakat itu sendiri, dan tanpa itu masyarakat akan terjerumus dalam hidup yang sesat
22.
Karena menuntut ilmu itu adalah ibadah, maka
memahaminya secara mendalam adalah sikap ketakwaan kepada Allah, dan mengkajinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang lain adalah
Baca, Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Jakarta, hal. 160 dst. Lengkapnya adalah Taqiyyudin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taymiyah. 22 Lebih jelas, baca Abudin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan Islam, hal 137 dan seterusnya. 20
21Nama
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 12
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
sodaqoh,
mendiskusikannya
kepada
orang
lain
adalah
tasbih
(
berzikar,Pen). Mengajarkan kepda orang lain adalah sodaqohnya para nabi. Dengan ilmu ini, Allah, Malaikat, hingga ikan yang ada dilautan serta bur23ung yang ada diangkasa memanjadkan solawat dan mengucapkan salam kepada yang mengajarnya. Bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya, ia akan dianggap sebagai orang yang dilaknat Allah. 5). Ibn Khaldun (1332-1406)24, Ia berasal dari keluarga politisi, intelektual dan aristokrat. Latar belakang keluarganya, nampaknya mempengaruhi pola piker dan perkembangan pemikirannya dan telah mewariskan tradisi intelektual pada dirinya, dan kondisi jatuh bangaunnya kekhilafahan dinasti bani Umayah dan Abbasiah memberikan warna berfikir baik dibidang filsafat maupun sosialnya. Kita mengenalnya sebagai penulis buku yang terkenal, yaitu Al-Muqaddimah daan Sejarah Alam semesta. Dia meninggal pada usia 74 tahun. Pemikiranya tentang pendidikan, meliputi manusia didik, ilmu, metode pengajaran dan spesialisasi. Dalam memandang manusia Ibn Khaldun tidak memandangnya dari kepribadiannya, melainkan dari sisi hubungan dan interaksinya terhadap kelompok yang ada dalam masyarakat, oleh karena itu ia sering disebut pendiri ilmu sosiologi dan antropologi. Ibn Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berfikir (hayawanun naatiq). Dengan berfikirnya itu, mereka mampu melahirkan ilmu dan teknologi, dan itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban, dan untuk ilmu pengetahuan, ia membaginya menjadi tiga bahagian, yaitu; Ilmu Tabiiyah (ulum tabiiyah) dan Ilmu-ilmu Naqliah (ulum naqliyah). Ulum Tabiiyah meliputi Ilmu Filsafat yaitu mantik dan logika, arithmatika, hisab dan Handasah, geometro, astronomi dan
Ibn Taimiyah, Al-Fatawa, ‘ilm al-Sulk, Juz.I, hal, 29-40. Nama lengkapnya adalah, Abdur rahman Abu Zayid Ibn Muhammad Ibn Kholdun, lahir th.1332 di Tunisia. 23 24
13 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Noor Rachmat
kedokteran. Sedangkan ulum naqliah meliputi agama/wahyu dan syareat, Al-Qur’an, fikih, kalam dan tasawauf25 Dalam metode pengajaran Ibn Kaldun mengembangkan metode bertahap, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pendidik mesti berperilaku sopan dan halus pada muridnya, begitu pula orang tua didik juga mesti bersikap sopan dan halus pada anaknya, karena orang tua adalah guru utama bagi anak-anaknya. Ilmu, dan keahlian, tidaklah bias tumbuh secara serempak dan simultan, melainkan tumbuh secara bertahab dan tidak secara tiba-tiba. Ibn Khaldun sebagai tokoh sosiologi, memiliki perhatian terhadap pendidikan dan pandangannya tentang pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang harus dididik untuk memenuhi memenuhi fungsi sosialnya ditengahtengah masyarakat26. Sebenarnya masih terlalu banyak karya-karya bidang pendidikan oleh para pemikir Islam lainnya yang oleh diabadikan oleh anNadim yang dikutip kembali oleh Mehdi Nakosteen27, masih ada lagi sekitar 45 buku, dan sekedar menyebutkan, antara lain; Kitab al-Khulk alInsan oleh al-Harmazi, kitab Mukhtasari Nahwa al-Mutaallimin, oleh alJurmi, kitab al-Mahasen oleh Ibn Qutaibah dan terakhir, adalah Kitab Adab as-Saqir, oleh Abdullah ibnul Muqoffa. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh bidang pendidikan yang lain yang terlalu banyak untuk dijelaskan dalam tulisan pendek ini. 6. Ilmuan-ilmuan muslim hasil kemajuan pendidikan Islam. Jika preode Dinasti Umayah (718 -767.M) yang dilanjudkan oleh Dynasti Abbasiah (135-189.H), ini adalah merupakan perubahan orde, dari orde peneklukan dan perluasan wilayah Islam atau ada yang menyebutnya preode deakwah keluar, maka preode Abbasiyah dimulai dengan penterjemahan secara besar-besaran terhadap buku dan khasanah intelektual Yunani kuno, kedalam bahasa Arab, melalui tradisi keluarga Lihat Insyclopedia Islam, Ichtra Baru Van Hove, Jakarta, 2005, Juz 3 hal. 81-83. Labih lanjut, baca Muqadimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadi Thoha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, baca juga taarih Ibn Khaldun, Daar Al-Fikr, Beirut, th. 1979. 27 Mahdi Nakosteen, hal.313-314. 2525 26
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 14
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
Barmak, dan pemanfaatan orang-orang yahudi yang mahir bahasa Yunani dan bahasa Arab. Secara idiologis waktu itu mulai berpengaruh sangat besar
idiologi al-Muktazilah,
yang
merupakan
penjelmaan
faham
Qodariah. Idiologi ini berkembang pesat sampai akhirnya mengalami kurang simpati setelah didakwahkan secara berlebihan, dalam bentuk alMihnah/ acquisition/ screening/ tes kesetiaan, disemua lapisan pegawai negeri. Bersamaan dengan itu, mulailah muncul pemikir-pemikir dan ilmuwan muslim diberbagai bidang, mereka telah direkam oleh beberapa buku sekurang-kurangnya ada di 7 judul buku yang ditulis oleh antara lain, Carl Brucleman, Dr. Safa Dzabihallah, dalam Tariche Adabiyat Dar Iran dn Tarich Ulum Akli dar tamaduni Islam, dan George Sarton dalam Introduction to the History of Sciense Dalam buku-buku tersebut dicatan ilmuwan-ilmuwan sesuai bidangnya masing-masing28. 1.
Bidang Astronomi dan Matematika ada 124 orang dan karyanya.
2.
Bidang Kimia ada 6 orang berikut karyanya
3.
Geografi ada 47 orang berikut karyanya
4.
Sejarah ada 86 orang berikut karyanya
5.
Kedokteran, ada 79 orang berikut karyanya
6.
Musik, ada 6 orang berikut karyanya
7.
Ilmu Pengetahuan alam, ada 20 orang berikut karyanya
8.
Pilologi, ada 24 orang berikut karyanya
9.
Filsafat, ada 75 orang berikut karyanya
10. Fisika dan Teknologi, ada 6 orang berikut karyanya 11. Sosiologi dan hokum, ada 21 orang berikut karyanya 12. Agama dan MIstisicme, ada 32 orang berikut karyanya 13. Bidang-bidang lain, seperti ; Ensyclopedia, Meneralogi, Astronomi, Agriculture, Leksikografi dan ilmu Pendetahuan Militer, ada 17 orang berikut karyanya. 28
Baca Mehdi Nakosteen, hal.613 dan seterusnya.
15 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Noor Rachmat
Demikianlah sekedar mengingat kembali para cendikiawan bidang pendidikan Islam Klasik. Masih banyak yang belum disubut dalam tulisan ini. Tujuannya adalah untuk merenung kembali betapa jasa mereka pada dunia pendidikan Islam bahkan didunia global, bahwa dengan ideide cemerlang mereka, mereka mampu mewarnai suasana akademis dunia Islam dengan lahirnya para pemikir dan para pengembang Ilmu Islam, sementara di Barat pada umumnya masih dalam suasan gelap dan terbelakang, yang jika mengambil istilah Harus Nasutian dalam bukunya Filsafat Islam, menyebut bahwa di Eropah masih becek jalanya dan gelap kota-kotanya29. Dari merekalah muncul orang-orang terkenal yang mempunyai reputasi sebagai para tokoh dan ilmuwan Islam. Demikian ramainya suasana gairah umat Islam terhadap Ilmu, mereka menulis, menciptakan dan menemukan bidang-bidang yang sebelumnya belum ada, dan ini semua hasil pendidikan yang begitu eksplosif dikalangan umat Islam, dan jika diperhatikan tahunnya, maka tahun yang tertua adalah tahun 1339. Maka pantaslah jika Harun Nasution menyatakan bahwa pesatnya perkembangan berlangsung hingga abad 15, untuk selanjudnya tudur dan bulum juga bangun sampai abad ke 18, bahkan sampai hari ini. Umat Islam lebih subuk mengislamkan orang Islam yang lain ketimbang mengembangkan dan memanfaatkan Islam sebagai sarana hidup dan kehidupan. Kegairahan tersebut kemudian berimbas pada pengembangan didunia lain, seperti berdirinya Universitas-Universitas di Benua Eropah dan Afrika dan itu adalah awal mula proses migrasi ilmu-ilmu Islam ke Bagian Barat dan Afrika. Sementara didunia Islam sendiri, Ilmu-ilmu itu akhirnya merana seperti kehilangan induknya, karena agama sekarang hanya sebatas pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat ritual belaka. 7. Sosialisasi dan penyadaran. Penulis yakin sepenuhnya jika fakta dan data diatas dibeberkan secara jelas kepada umat Islam, sebagian umat islam akan sadar akan kemundurannya. 29
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, UI Bulan Bintang, 1978.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 16
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
Fakta lain menunjkkan bahwa orang yang dapat memimpin dunia ini hanyalah orang yang menguasai ilmu dunia30. Meski pastilah masih banyak juga yang pola berfikirnya bercorak teologi fatalis dan mereka juga mendasarkan keyakinannya pada agama. Jika dikatakan bahwa pendidikan bertujuan membangun wawasan berfikir, maka tidak ada alasan lain, kecuali kita memajukan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa maraknya kemajuan sain Islam adalah akibat dari pendidikan yang terarah dan dan profesiaonal. 8. Rekonstruksi dan reaktualisasi Teologi Islam. Jika
dikalangan
Kristiani
timbul
gerakan
atau
pemikiran
teologi
pembebasan, karena nanpaknya agama-agama ini mengalami nasib yang serupa meski tidak mesti sama, agama menjadi sesuatu yang jumud, mapan dan doktriner. Sifat agama yang doktriner, kaku dan jumud itu sebenarnya bukan hanya dialami oleh kalangan nasrani saja tetapi dikalangan Islampun terjadi keadaan yang serupa. Agama dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran mutlak, harus diterima secara tekstual, manakala ada pikiran manusia yang tidak sesuai dengan kebenaran tekstual, maka pendapat manusia itu harus dipatahkan demi kebenaran teks agama. Kita lupa bahwa yang dimaksud kebenaran teks itu juga adalah kebenaran teks yang telah diinterpretasikan oleh manusia juga, yang dalam bahasa agamanya disebut telah ditafsir dan ditakwilkan juga. Dalam Islam, sebenarnya ada dua pemahaman yang sejak dulu sudah diperkenalkan, yaitu bahwa teks atau ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dalalahnya “ dhanni” dan ada yang qath’i. Dalam Ilmu Ushul Fiqh, ada istilah muhkamat ada mutashabihat, ada arti lafdhi ada Makanawi ada tekstual ada
kontekstual.
Siapakah
yang
diberi otoritas
untuk
membarikan
pemahaman secara benar terhadap ayat-ayat tersebut, para Kiyai, Ustaz, Ulama, atau para mufassir seperti misalnya Imam Al-Jalalain dengan Tafsir Jalalainnya, imam Al-Maroghi dengan Tafsir Al-Maroghinya, imam At-Tobari Hadis Nabi ? menyatakan bahwa barang siapa ingin makmur hidupnya didunia, kuasailah ilmu dunia, dan barang siapa ingin makmur hidupnya di akherat, kuasailah ilmu akherat, dan barang siapa ingin makmur di keduanya, maka kuasailah ilmu keduanya, yaitu ilmu dunia dan ilmu akherat. 30
17 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Noor Rachmat
dengan tafsiri Al-Maroghinya, Quraisy Syihab dengan tafsir Al-Misbahnya ?. Wallahu A’lam bissowab ?. Terlepas dari otoritas yang biasanya diberikan oleh sebagian orang kepada orang-orang tertentu itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah sewaktu mereka menjelaskan tentang Islam itu, akal dan persepsi mereka tidak masuk sedikitpun kedalam tafsiran, pemaknaan dan opini mereka. Mungkinkah itu terjadi ? jawabnya ya sangat mungkin terjadi. Ini artinya, bahwa siapa saja mempunyai kompetensi untuk itu, juga mempunyai otoritas untuk memberi makna dan penjelasan tentang Islam. Adapun syarat untuk dapat melakukan interpretasi terhadap wahyu, adalah : Pertama, Memahami bahasa Al-Qur’an dalam berbagai bentuk, baik bentuk kata, bentuk kalimat, teori bahasa dan kedua, menguasai teori makna atau tafsir31. Dalam khasanah pemikiran teologi Islam klasik, ada persepsi yang dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan. Pemikiran teologi ini dulunya berasal diskursus antara pemikiran Al-Khowarij, Al-Murjiah, kemudian berkembang menjadi Qodariah, Jabariah, Asy’ariah, Al-Muktazilah dan seterusnya. Bermula tentang persepsi tentang dosa besar, kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya atau tidak, sampai teologi rasionalis AlMuktazilah, dimana manusia dinyatakan bebas menentukan pilihan perbuatannya
masing-masing,
dan
Allah
kelak
tinggal
meminta
pertanggungan jawabannya saja, tentang pilihan-pilihan yang diambilnya. Ini artinya, manusialah yang mesti membuat rencana program kerja hidupnya, dan rencana rencana lain, baik yang berhubungan dengan kehidupan individualnya maupun kehidupan bermasyarakatnya, termasuk memilih dan menentukan bagaimana proses belajar dan mengajar mesti berlangsung, karena Al-Qur’an hanya berpesan secara garis besar dan prinsip-prinsipnya saja. Maka peran dari akal sangatlah besar. Besar dan lausnya pemanfaatan kekuatan akal manusia dapat menentukan besar kecilnya, luas dan sempitnya
31
Zaghlul Yusuf, editor, Pendidikan Agama Islam, Sentuhan afeksi, IKP Jakarta, 1990, hal.
7-10
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 18
Reaktualisasi Teologi Islam dalam Pendidikan
pemahaman seseorang atau sekelompok orang dalam member wawasan dan wacana keislaman. Jika dahulu Al-Islam dengan Al-Qur’an dapat mengatasi dan menjawab problemtika kehidupan manusia, maka semsestinya Islam dengan Al-Quran akan selalu dapat mengatasi semua problematikan hidup dan kehidupan manusia, dari waktu kewaktu dan dari masa kemasa. Masalahnya sekarang, perlukah Islam merekonstruksi dan mereaaktualisasikan Teologi menghidupkan kembali
untuk
pemikiran pendidikan Islam yang pernah
memberikan kontribusi amat besar bagi kebudayaan umat manusia dimasa klasik yang lalu.32 Jika
kita
mencermati
latar
belakang
teologis
perkembangan
dan
pengembangan sain dan teknologi diatas, kita bias langsung menyebutkan teologi rasional yang melatar belakangi. Bagaimanakah suasana berfikir teologis umat Islam ? perlu dilakuakn sebuah pengamatan secara obyektif. Tetapi penulis berkeyakinan, bahwa mayoritas umat Islam kembalikedalam suasana berfikir teologi fatalis atau jabariah. Ingat, kembalinya kita pada suasana berfikir fatalis ini semula berawal dari dominasi pengusa dan rajaraja yang dictator, tidak bias dikritik, dan siapa berani melontarkan kritik akan terancam. Masalahnya kita sekarang kan sudah merdeka, apakah masih ada ancaman kedektatoran dan kesewenang-wenangan ?. Meski penjajahan sudah berlalu, tepai memperbaiki pola piker apalagi secara simultan hampir tidak mungkin. Mungkin perlu proses. Namuan belum cukupkah berates tahun untuk sebuah proses ? nampaknya belum, meski sebagian kita sudah berusaha. Dunia Islam saat ini barangkali baru mulai pada suasana berfikir teologis Asyariah, “ Maju enggak mundurpun tak mau”. Kapan keta kembali ke suasana berfikir teologis yang rasioanal, jawabannya apakah “ Wallahu a’lam, atau kita harus mulai “. Semoga.
32Mehdi
Nakosteen, dalam buku, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 8001350; with an introduction to Medieval Muslim Education, University of Colorado Press, Boulder,1964.
19 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Noor Rachmat
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 20
Runtuhnya dunia Islam
RUNTUHNYA DUNIA ISLAM Abdul Jalil Universitas Negeri Jakarta
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Islam sebagai penutup risalah samawi, mampu membuktikan kehebatan konsep Ilahiyah yang berlandaskan kalimat tauhid menuju kejayaan dunia Islam dengan peradaban dan kebudayaan Islami yang gemilang. Dalam waktu yang realtif singkat, di mana dalam sejarah manusia, hanya Muhammad lah yang mampu melakukan reformasi total ini, dari lembah jahiliyah, masyarakat biadab yang tiada berperikemanusiaan, masyarakat terbobrok di seantero jagad yang mentradisikan tukar menukar istri, membudayakan perzinahan, mabok dan judi. Masyarakat yang mewariskan ibu tiri kepada anak tiri, dan pembunuhan terhadap anak-anak perempuan hanya untuk kepentingan gengsi dan ambisi mempertahankan kesukuan. Kurang dari seperempat abad, Muhammad yang ‘hanya’ manusia biasa dan terlahir sebagai anak yatim yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sederhana, hanya bersenjatakan keagungan budi pekerti dan mengandalakn sepenuhnya kebenaran absolut wahyu, dia berhasil merubah wajah dunia. Masyarakat sampah terkotor sejagad (jahiliyah) diubahnya menjadi masyarakat berkebudayaan dan berperadaban qur’ani yang cemerlang dan memancarkan keharuman budi pekerti figur pemimpin yang tiada tara yang disegani oleh tokoh-tokoh dan pemimpin negara mana pun.33 Sepeninggal Muhammad saw, walaupun para penerus (khalifah)-nya tidak
memiliki
integritas,
kredibelitas
dan
kapabelitas
sesempurna
Muhamamd, ternyata mereka yang tetap komit dan mengamlakan al Qur’an dan menjalankan sunnah Muhmmad dalam bermasyarakat dan bernegara, 33
Ismail Al Faruqi dkk, Atlas Budaya Islam, Bandung, Mizan, 2003, halaman 165
21 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
mampu mengharumkan nama Islam, sehingga Islam
pernah mewarnai
sejarah peradaban dunia yang terbentang dari daratan Eropa, Afrika, Asia tengah, dari Andalusia sampai Hindustan. Itulah sekilas cahaya masa lalu yang kini nyaris tidak lagi tersisa, selain bias kegamangan yang perdaban
barat
yang
kian redup disandingkan dengan gemerlapnya berhasil
menampakan
sinar
kepalsuan
yang
menyilaukan mata, sehingga umat Islam pun tergopoh-gopoh menjadi makmum masboq dan mengamini prestasi peradaban
barat,
hingga
berabad-abad dunia Islam menjadi buih-buih di samudera kehidupan modern yang dipermainkan oleh ombak kemajuan kaum kafir. Memang sangat ironis, kejayaan negara Islam yang diwariskan Rasulullah saw kini tinggal kenangan masa lalu, dan membias dalam mimpi dunia Islam modern yang terlanjur lama di-’nina-bobo’-kan oleh suprioritas budaya Barat yang berhasil mengekplotiasi
esensi
peradaban keemasan
Islam, sehingga Barat mampu keluar dari abad kegelapan menuju hingar bingarnya masa imperalisme yang mencabik-cabik kekuatan negara-negara Islam di seluruh penjuru dunia. Ada asap pasti ada api, itulah pepatah bangsa kita yang layak untuk menggambarkan hukum kausalitas runtuhnya dunia Islam. Mana mungkin negara Islam yang demikian hebat dan solid warisan Rasulullah, sekarang menjadi mainan Yahudi dan negara-negara skular? Bukankah Allah secara tegas telah menyatakan, bahwa Allah tidak akan mencabut nikmatNya dari hambanya, keculai kerena ulah dzalim mereka? Mari kita cermati firman Allah berikut: “… Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 22
Runtuhnya dunia Islam
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. 34
“jika
Kami
hendak
membinasakan
suatu
negeri,
Maka
Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancurhancurnya”.35 “Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”.36
Ketiga ayat tersebut sangat tegas menginformasikan kepada kita, bahwa segala macam krisis multidimensional yang dewasa ini mendera, bencana yang
menghancurkan
dan
meluluh
lantakkan
sebuah
negara
dan
memusnahkan peradabannya, faktor utamanya adalah karena faktor internal.
B. Batasan Masalah Agar
pembahasan
di
dalam
makalah
ini
bisa
terfokus
dan
terkonsentrasi pada permasalahan yang subtansial, yang berkenaan dengan faktor-faktor utama penyebab keruntuhan dunia islam, maka penulis membatasinya pada beberapa hal berikut agar dapat dicari dan diketemukan solusinya: 1. Kenapa kejayaan dunia Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw tidak bisa lestari sampai akhir
jaman? Bukankah Islam mengklaim dirinya
QS al Ra’du ayat 11 QS QS al Isra; 16 36 QS al Kahfi ayat 59 34 35
23 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah, tetapi kenapa realitasnya dunia Islam di bawah gedibal bangsa Barat. 2. Apakah fakor-faktor yang menyebabkan kemunduran dunia islam? 3. Mampukan dunia Islam bangkit dan kembali mencapai kejayaannya?
C. Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui konsep ketatanegaraan Islam yang diprakarsai oleh Rasulullah saw. sehingga dunia Islam dapat mencapai masa keemasan. 2. Untuk mengetahui faktor-fator internal dan eksternal atas runtuhnya dunia slam. 3. Untuk mencari solusi guna meraih kembali kejayaan dunia Islam.
II. Faktor Penyebab Runtuhnya Dunia Islam A. Sekilas tentang Strategi Rasulullah dalam Mendirikan Negara Madinah Ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah (622M/1H), realitas masyarakat di sana itu tediri dari beberapa kubu utama: Pertama, kaum Anshar, merupakan penduduk asli madinah. Kedua, kaum Yahudi
yang
sebelum Islam datang selalu mengambil keuntungan dengan pertentangan antar suku di Madinah, terutama antara suku Aus dan Khazraj. Ketiga, kaum Musyrikin yang tinggal di pedalaman kota Madinah yang amat membenci Islam, tapi tidak berdaya melawannya sehingga banyak yang berpura-pura masuk Islam untuk sekedar mengail di air keruh dan menikam dalam selimut, mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Munafiqin. Keempat, kaum Muhajirin yang datang ke Madinah dengan tangan kosong.37 Menghadapi realita pluralitas masyarkat Madinah yang super kompleks tersebut, maka Rasulullah saw menyikapinya dengan sangat bijaksana, penuh dengan keramahan dan kelembutan budi serta kesantunan sikap beliau berupaya mengikat dan mempersatukan seluruh elemen 37 Shafiyu al Rahman Mubarokfuri, Al Rahiq al Makhtum, Kairo, Dar al Wafa’, 2010, halaman 170
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 24
Runtuhnya dunia Islam
masyarakat majemuk tersebut guna membentuk sebuah masyarakat baru dengan menyusun langkah-langkah strategis sebagai berikut: 1. Mendirikan masjid :Pembinaan mental spiritual(622 M) Setibanya di Madinah, Rasulullah saw. langsung mengajak para sahabatnya untuk membangun masjid, sebelum bangunan lainnya, termasuk tempat tinggal beliau yang baru dibangun setelah 7 bulan pasca pembangunan masjid Nabawi. Hal ini dilakukan karena masjid merupakan lembaga paling potensial dan efektif untuk berdakwah, mendidik dan membentuk masyarakat Islam berdasarkan kalimat tauhid. Masjid mempunyai peran sangat vital dan potensial dalam menyatukan ummat Islam dan meyusun kekuatan mental spiritual mereka. Dengan selalu menjalankan solat berjamaah setiap lima waktu, berarti telah terjalin komunikasi
interaktif
sesama
jama’ahnya
sehngga
dapat
dimusyawrahkan segela permasalahan yang mereka hadapi bersamasama. Dengan merapatkan barisan dalam sholat
melambangkan
keteguhan hati mereka untk membela panji-panji tauhid dalam satu komando rasulullah saw.
2. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshor: Pembinaan sosial-ekonom ( 622/623 M). Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah dengan tangan kosong, karena seluruh harta bendanya ditinggalkan di Mekah, oleh Rasulullah saw dipersaudarakan dengan kaum Anshar, satu orang sahabat muhajirin dipersaudarakan dunia akhirat
dengan satu sahabat anshar, mereka
berbagi harta, rumah, ladang dan saling bergotong royong bahu membahu bekerjasma menggeliatkan perekonomian Madinah yang semula hanya bisa bertani bergabing dengan kaum muhajirin yang berjiwa bisnis sehingga prekenomiannya semakin kuat. Di samping memperkuat sektor perekonomian, langkah ini juga makin memperkuat ikatan pesaudaraan antar suku dan kabilah dalam satu ikatan masyarakat Islam yang solid
25 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
dengan semangat gotong-royong, senasib seperjuangan, sepenanggungan, satu perasaan dengan semangat ukhuwah Islamiyah.38 3. Meratifikasi Perjanjian Damai dengan Non Islam: Pembinaan politik ketatanegaraan dan diplomasi (2H/623 M). Perjanjian ini menjadi konstitusi negara Islam Madinah yang merupakan dokumen penting dalam menjalin hubungan muslin dan non muslim (yang disebut piagam Madinah).39 Adapun poin-poin utama isi piagam Madinah adalah sebagai berikut: a. Muqadimah: berisi penyataan dan pengakuan atas diri Muhamad sebagai Rasulullah saw. untuk semua umat Islam. b. Membentuk masyarakat madani yang terdiri dari berbagai etnik dan agama. c. Memperatuan umat Islam. d. Mempersatuan seluruh warga negara Madinah. e. Melindungi dan menjamin hak azasi manusia. f. Perlindungan terhadap agama minoritas. g. Mengatur hak dan kewajiban warga negara. h. Mengatur kewajiban bela negara. i. Politik perdamanian dan sanksi terhadap pengkhianatan 40 Trilogi pembangunan ala Rasulullah saw tersebut merupakan langkah briliyan yang terbukti mampu menjadikan negara Islam Madinah menjadi suprior, solid, kokoh bagai gedung yang kokoh dan
kuat, yang mampu
menahan dan menangkal serangan musuh kaum kafir quraisy dan sekutusekutunya, bahkan ketika kaum Yahudi berkhianat dan kaum munafiqin meninkam dari belakang, Rasulullah saw dengan mengandalkan keutuhan dan solidnya solidaritas dan ukhuwah Islamiyah antara Anshor dan
38
Mohammad Baharun, Islam Realitas Islam Idealitas, jakarta, Gema Insani, 2012,
halaman 57 39 40
Ibid, halaman 63 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan, Jakarta, Prenada Media Group, 2011, halaman 192-
199
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 26
Runtuhnya dunia Islam
Muhajirin mampu mengatasinya dengan gemilang sehingga dalam waktu kurang dari satu dekade negara Madinah meluas ke berbagai Jazirah Arabia.41
B. Faktor Internal yang melemahkan dunia Islam 1. Ambisi Politik dan pertikaian sesama muslim a. Masuk Islam bukan karena Allah Faktor internal yang secara perlahan tapi pasti memperlemah kekuatan kaum muslimin
dan memperburuk citra mereka sebagai
muslim adalah berawal dari masuk Islamnya kaum Quraisy di masamasa akhir hayat Rasulullah. Mereka masuk Islam
karena
pertimbangan politis dan ambisi mencari keuntungan duniawi. Mereka adalah
orang-orang kafir Mekah yang di awal munculnya Islam
menjadi penentang dan musuh utama dakwah Islam, kemudian mereka masuk Islam karena melihat Islam yang semakin kuat dan semua kaum muslimin hidup dalam kemakmuran, sehingga mereka merasa tidak ada lagi keuntungan mempertahankan kekafirannya. berdasarkan pertimbangan dan kepentingan materi inilah, mereka masuk Islam. Salah satu di antara mereka ini adalah Amru bin ‘Ash, waktu masih kafir, dia ditanya oleh beberapa temannya yang sudah masuk Islam: “Hai Amru bin ‘Ash, dimana otakmu? pakailah akal sehatmu, gunakan kecerdasanmu! Kenapa kamu belum masuk Islam? Lihatlah, beberapa orang temanmu yang dulu di bawahmu, setelah masuk Islam, kini mereka mendapatkan banyak keuntungan, kekayaan berlimpah dan jabatan serta kekuaasaan....maka tanpa pikir panjang lagi, Amru bin ‘Ash segera masuk Islam.”42 Selain itu ada pula tokoh kafir Quraisy yang masuk islam karena terpaksa, karena sudah tidak ada lagi peluang untuk mengalahkan 41
Mohammad Baharun, Islam Realitas Islam Idealitas, jakarta, Gema Insani, 2012,
halaman 55 42
Ahmad Syalabi, al Mujtama’ al Islami, maktabah al Nahdhoh al Misriyah, 1958, halaman
135.
27 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
Rasulullah dan kaum muslimin yang makin banyak, kuat dan solid di bawah komando para jenderal perangnya yang menggetarkan nyali mereka, seperti Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Jaroh dan Zubair bin Awam. Sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka selain masuk Islam. Salah satu di antara mereka adalah Abu Sufyan dan kronikroninya yang masuk Islam pada saat
kota Mekah dibebaskan
Rasulullah dari berhala dan kemusyrikan (8 tahun Hijriyah). Saat itu Abu sufyan di Mekah sudah tidak mempunyai lagi sekutu yang kuat untuk melawan Rasulullah saw. di bawah bayang-bayang akan kekalahan dan kehancurannya, maka dengan sangat terpaksa dia mengucapkan kalimat syahadat. Berikut ini sekilas kesaksian Abbas, paman Rasulullah, tentang proses masuknya islam AbuSufyan. Pagi hari menjelang pembebasan kota Mekah,
kubawa Abu
Sufyan ke hadapan Rasulullah saw. saat melihatnya, Rasulullah langsung menyambutnya: sungguh sial kau Abu Sufyan, sampai hari ginikamu belum juga mengakui tiada tuhan selain Allah. Abu Sufyan: demi ayah ibuku, sungguh bijaksananya engkau, betapa mulia akhlak dan sikapmu... iya, aku yakin hal itu....jika ada tuhan
selain
Allah
pasti
dia
sudah
menolongku
untuk
mengalahknamu. Rasulullah: celakalah kau Abu sufyan, apakah kau juga belum mengakuiku sebagai RasulNya? Jawabnya: maaf, dalam hal kerasulanmu, sampai saat ini di dalam hatiku masih ada keraguan. Mendengar jawaban Abu Sufyan yang mengacau, Abbas menukasnya: sialan kau, Abu Sufyan, masuklah Islam! Sekarang kau sudah tidak punya teman! Ucapkan dua kalimat syahadat, sebelum semua orang mencincang tubuhmu. Mendengar ucapan Abbas, Abu Sufyan langsung masuk islam dan mengikrarkan kalimat syahadat. Selain Abu Sufyan, banyak orang Mekah yang di dalam hati kecilnya mempercayai ajaran Muhammad, namun karena takut dan V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 28
Runtuhnya dunia Islam
kuatir akan keselamtan nyawa, keluarga dan
harta bendanya dari
pasukan Kafir Mekah, maka mereka tetap setia pada kekufurannya, hingga saat melihat Pasukan Islam membebaskan mekah, baru lah mereka berani menyatakan keislamannya. Jadi mayoritas orang yang masuk Islam pada saat pembebasan Mekah adalah mereka yang berjiwa hipokrit, bermental pengecut, mereka memperhitungkan untung dan ruginya jika bergabung dengan Islam, setelah mereka yakin akan mendapatkan banyak keuntungan materiil dalam islam, maka mereka berbondong-bondong menyatakan masuk Islam dengan satu tujuan meraih keuntungan materi dan mendapatkan kedudukan atau jabatan penting dan strategis sebagaimana para sahabat terkemuka. Namun mimpi dan ambisi duniawi ini tidak berani mereka tampakkan pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar dan Umar. Baru pada masa Utsman bin Affan lah niat busuk kepura-puraan masuk islam mereka terlihat nyata. Dari sinilah, benih-benih nepotisme tumbuh dan berkembang subur mengalahkan ghirah islamiyah sehingga memperlemah kekuatan dunia Islam. Negara Islam yang pada masa Rasulullah saw dan kedua khalifahnya masih solid dan kuat, semenjak Utsman mengalami kemunduruan, karena faktor usia lanjut, sehingga dia kurang mampu menjalankan roda pemerintahan sehingga pelaksanaan pemerintahan banyak diserakan kepada para pembantu-pembantunya
yang
hampir
semuanya
diangkat
berdasarkan kekerabatan yang tidak direkrut berdasarkan kapabelitas dan kredibelitasnya, sehingga menimbulkan gejolak masyarakat yang membawa pada tragedi pembunuhan atas diri Usman yang menjadi awal pertikaian internal ummat Islam yang meminta korban nyawa umat Islam, baik yang dipicu oleh kepentingan politik maupun pemaksaan kehendak terhadap madzhab atau aliran theologi yang ekstrem 43. 43
Ahmad Syalabi, al Mujtama’ al Islami, maktabah al Nahdhoh al Misriyah, 1958, halaman
136.
29 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
b. Sengketa Hak Waris Khilafah 1) Kubu Bani Hasyim Ketika Rasulullah wafat, dia tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya memimpin negara, sehingga memicu terjadinya perbedaan
sikap dan pendapat antara para sahabat yang ada
gilirannya nanti mengakibatkan konflik berdarah yang meminta korban ribuan nyawa kaum muslimin. Bani Hasyim, keluarga besar Rasulullah saw yang selama perjuangan dakwah Islam di Mekah menjadi pendukung utama, merasa paling berhak atas warisan kekhalifahan, terutama Ali bin Abi Thalib yang merasa paling berhak atas jabatan khalifah. Dia menolak keras mengakui Abu Bakar sebagai Khalifah dan tidak mau membai’atnya. Mari kita simak statemen Ali berikut: “Aku lebih berhak menjadi khalifah daripada kalian, aku tidak akan membai’atmu sebagai khalifah, justru kalian lah yang harus membai’atku sebagai khalifah. Bukankah kalian telah memaksa kaum Anshar menyerahkan jabatan khalifah ini dengan dalih bahwa kalian adalah kerabat Rasulullah saw? kalian mengatas namakan diri kalian sebagai kerabat Rasulullah, padahal kami lah ahli bait Rasulullah yang sebenarnya. Berarti kalian telah merampas hak khilafah dari ahli bait Rasulullah. Di depan kaum Anshar kalian mengaku paling berhak atas jabatan khalifah, karena Muhammad
adalah keluarga kalian
sehingga kaum Anshar merelakan jabatan itu dan menyerahkannya kepada kalian. Nah sekarang aku yang menuntut jabatan itu dari kalian dengan dalih yang sama yang pernah kalian ajukan di depan kaum Anshar, bahwa kami lah orang yang paling dekat dengan Rasulullah, dalam hidup dan mati. Nah, jika kalian memang beriman kepada Allah, seharusnya kalian sadar dan menyerahkan jabatan itu
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 30
Runtuhnya dunia Islam
kepada kami, tapi jika tidak, maka berarti kalian telah membangkang dan sengaja berbuat kedzaliman.44 Ya Allah... ya Allah.. Wahai kaum Muhajirin, jangan kalian
rampas kerajaan
Muhammad di jazirah Arab dari rumahnya, jangan kalian bawa mahkota kerajaan Muhammad ke rumah kalian, jangan kalian halangi hak keluarga Muhamad untuk menjabat khalifah. Demi Allah, wahai kaum muhajirin, sesungguhnya kami lah yang paling berhak atas jabatan itu itu, karena kami adalah keluarganya, kami lebih berhak daripada kalian semua.” Rupanya sikap Ali bin Abi Thalib sejalan dengan sikap istrinya, Fatimah binti Rasulullah, ketika Abu Bakar dan Umar mendatangi rumah duka, dia berkata: Kalian membiarkan jenazah Rasulullah yang terbujur di depan kami, sementara kalian asyik sendiri memutuskan urusan khalifah, tanpa minta persetujuan kami, dan tidak memberikan kami hak sedikit pun.45
2) Kubu suku Quraisy Semenara mayoritas
bangsa Arab, terutama suku quraisy
berusaha mati-matian untuk menjauhkan jabatan khalifah dari tangan Bani hasyim, mereka beranggapan, jika khalifah itu diberikan kepada salah satu Bani Hasyim, terutama Ali, pasti akan menjadi preseden buruk yang mengakibatkan jabatan itu menjadi barang warisan yang tidak bisa berpindah kepada selain Bani Hasyim, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab kepada Abbas, paman Rasulullah: Sesungguhnya bangsa Arab tidak ingin jabatan kenabian dan kekhalifahan berada di tangan Bani Hasyim, saat ini kaum Quraisy telah menentukan pilihannya yang tepat.46 44
Ahmad Syalabi, al Mujtama’ al Islami, maktabah al Nahdhoh al Misriyah, 1958, halaman
45
Ibid, halaman 137 Ibid, halaman 138
136 46
31 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
c. Tidak Adanya Pakta Pertahanan Negara-Negara Islam . Sebuah bangunan yang kokoh harus didesain dengan kontruksi yang kuat, yang teridiri dari bahan-bahan pilihan, dari pasir, semen, batu dan besi kualitas terbaik yang diaduk dengan komposisi yang seimbang sehingga menjadi bangunan yang kokoh. Konsep koalisi Negara Islam yang ideal sebagaimana digambarkan dalam al Qur’an sebagaimana bangunan yang kokoh ternyata hanyalah angan, karena realitasnya sejarah Islam telah melahirkan para raja yag ambisius yang rakus menginvasi wilayah untuk menunjukkan hegemoni daulatnya. Imperium Turki Usmani yang selalu berusaha menaklukkan dinasti Shofawi di Iran, yang masing-masing tetap mengklaim sebagai Negara Islam, tetapi sikap politik luar negerinya tidak mencontoh Rasulullah saw. di Madinah yang berusaha mempersatukan semua komponen masyarkat dan bahkan mengikat perjanjian damai dengan pihak non Islam guna meperkuat ketahanan Negara yang dibangun atas prinsip kalimat tauhid Lailaha Illaalloh. Dewasa ini, setali tiga uang, di mana negara-negara Islam di teluk tidak menunujukkan ukhuwah Islamiyah yang sinifikan, jalur Ghaza
berjuang sendirin melawan Israel, pertikaian internal di
Palestian seolah menjadi kambing hitam yang tidak ada solusinya, perang teluk jilid 1 antara Irak-Iran di tahun 80-an dengan korban kaum syiah dipihak iran dan sunni di pihak Irak, konflik irak-kuwait di era 90-an yang berakhir dengan adu domba fraksi-fraski di irak sehingga terbunuhnya Sadam Husein yang hingga kini Irak menjadi Negara Boneka barat, pertikaian dan perang saudara di Libiya, Mesir, Syiria, Yaman dan seluruh Negara Islam di teluk, pasti dipicu oleh ketidak pedulian para pemimpin mereka terhadap persatuan negaranegara Islam, sehingga mereka dimanfaatkan oleh pihak yahudi Nasrani yang dikomandani amerika, inggris dan Prncis yang leluasa mengacak-acak Negara-negar Islam dengan kedok demokrasi.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 32
Runtuhnya dunia Islam
2. Faktor Agamis a. Kebodohan (Lemahnya SDM) Umat Islam Terdorong oleh semangat dakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar yang mengacu pada seruan Rasulullah saw: Ballighuu ‘anni walau ayat” (sampaikan dariku, meskipun cuma satu ayat) inilah, maka semangat dakwah dan bertabligh menjadi semarak, tidak jarang mereka yanga benar-benar hanya bermodalkan satu ayat saja berusaha menjadi pendakwah tanpa didukung keilmuan keislaman lainnya. Sehingga pemahaman yang dangkal dan pcik kerap kali mewarnai geliat dakwah islamiyah yang minimalis. Sehingga pemahaman sebuah ayat yang hanya dimakna secara tekstual pasti akan berbeda dengan pemaknaan kontekstual. Dan dari sinilah tidak jarang terjadi polemik dan kontroversi pemaahaman dan pemngamalan sebuah ayat yang diperparah dengan perbedaan madzhab dan ormas atau orsspol. Tanpa adanya kesadaran bahwa kelemahan SDM setiap da’i dan mad’uw, pasti akan memperlemah ukhuwah islamiyah yang pada gilirannya nanti akan potensial menyebabkan pertikaian horisontal antara sesama muslim yang menyebabkan mereka menghabiskan waktu untuk bertikai yang pada gilirannya nanti akan mempercepat kehancurn dunia Islam.
b. Bobroknya moral dan Ukhuwah Islamiyah. Dalam waktu relatif singkat, sekitar 1 dekade, Rasulullah saw telah berhasil mendirikan negara Islam yang kuat di Madinah hingga di akhir hayat beliau mampu menaklukkan seluruh jazirah Arab dalam panji-panji Islam, bukan katena kekuatan pedang, namun beliau memberikan keteladanan tentang strategi dakwah yang paling indah, yakni dengan keagungan budi pekerti dan ukhuwah islamiyah yang tertanam kuat di hati seluruh komponen bangsa sehingga kaum anshar dan muhajirin lebur dalam satu kekuatan yang utuh bahu-membahu
33 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
membangun negara,
mereka
hidup dengan kekuatan moral dan
akhlakul karimah, satu rasa, satu perjuangan dan satu tujuan. Namun ukuhuwah Islamiyah dan akhlak alkarimah terasa demikian mahal di dunia Islam. Simaklah beberapa kasus pembantaian terhadapa kaum mslimin di belahan negara timu tengah atau di Birma, bagaimana sikap para pemimpin negara Islam? Nyaris tidak ada kekuatan moral dan akhlaq ala Muhajirin anshor yang bahu membahu bersatu melawan kaum kafir, bangsa arab tidak lagi mempunyai akhlaq Rasulllah yang peduli atas perlindungan HAM ummatnya, para pemimpin arab yang kaya-raya hanya berpesta pora denga hawa nafsu dan hobby duniawinya sehingga membiarkan saudaranya seiman di negara jirannya meregang nyawa. Beliau canangkan konsep jihad yang bersifat defensif, sebagai alternatif terakhir ketika dakwah Islamiyah diinjak-injak, jhad yang semata-mata untk ‘li-i’lai kalimatillah yang tetap menjunjng tinggi etika perang, melindungi anak-anak dan wanita, menjamin keamanan tawanan, tempat ibadah umat non
Islamlain dan semua fasilitas
umum. Santun dalam berdakwah, selalu merspon segala rintangan dakwah iskam dengn keikhlasan dan kesabaran dan mendoakan agar orang-orang yang menjahatinya mendapakan petunjuk dari Allah. Mari kita bandingkan dengan kondisi negara-negara mslim dewasa ini. Apa yang terjadi dengan para pemimpin mereka? Kita disuguhi oleh para politikus yang tamak dan tidak lagi mengindahkan moralitas, yang hanya
menguber jabatan dan kekayaan dengan
mengorbankan rakyat sebagai tumbal keserakahan ambisi politik yang tidak islami, memperkaya diri untuk memenuhi kepuasan syahwat duniawinya sehingga saling menjatuhkan sesama muslim
karena
kepentingan partainya, sehingga prediketnya sebagai pemimin dan politisi muslim hanya makin mengotori nama Islam yang suci dan meruntuhkan sendi-sendi ukhuwah Islamiyah.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 34
Runtuhnya dunia Islam
Semangat amar ma’ruf nahi munkar dlam berdakwah berubah dengan anarkisme yang saling tuduh sesat menyesatkan yang memicu tindak kekersan mengatas namakan agama, Keikhlasan dalam berta’awun dalam bermuamalat dan bermasyarakat bertukar dengan pamrih dan kepura-puran yang berorientasi pada pemuasan syahwat dan materi, toleransi dan saling menghargai pluralitas dalam beragama berubah menjadi fanatisme mdzhab yang tidak etis sehigga mudah mengkafirkan sesame muslim, kejujuran dan keadilan dalam menjalankan pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah saw, nyaris tidak dimiliki oleh seluruh komponen akhlak madzmumah semacam riya’,
masyarakat. Virus
takabbr, congkak, iri dengki,
tamak, ghibah dan namimah sudah menggerogoti individu-indiviu muslim sehingga keroposlah ketahanan masyarakat Islam, sehingga mudah sekali hancur diterpa angin budaya barat.47
c. Lesunya Geliat Peradaban Islam. Di dalam sejarah peradaban Islam klasik tercatat ummat Islam pada masa Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, Islam sudah mencapai keemasannya, berdirinya Negara Islam yang terbnetuk dari kesatuan masyarakat islam yang berperadaban al Qur’an yang menjalankan seluruh prinsip-prinsip kehidupan Islami di berbagai sektor, dari ibadah, muamalah, pereknonmian, hukum, ketatnegaraan dan pemerintahan semua mengacu pada prinsip-prinsip al Qur’an. Ketika dunia Islam tidak lagi mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan problematika social, politk yang timbul, mereka justru silau dengan sitem demokrasi barat yang dianggapnya modern, namun ternyata mewariskan ketidak adilan. Emokrasi yang hanya berpihak kepada suara mayoritas dan hanya akan berpihak pada kekuatan pemilik modal untuk membeli suara dan membentuk opini 47 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 177
35 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
public dengan dalih demokrasi, sehingga ummat Islam yang sudah tertinggal SDM-nya menjadi sasaran empuk bidikan peradaban barat, ataudnegan kata lain ketika umat Islam tidak lagi meyakini nilai-nilai alQur’an sebagai tolok ukaur kebudayaan dan perdabannya, maka saat itulah dunia Islam akan kehilangan nyawanya sehingga eksistensinya bagaikan buih yang timbul tenggelam di lautan global dan terpapar di pantai tanpa arti dan warna yang jelas selaian kehinaan dunia Islam.48
d. Ambisi Jabatan dan Kekuasaan Dari
perelisihan
faham
tentang
hak
waris
khilafah,
kerenggaangan ukhuwah Islamiyah sudah praktis menyita energy dan waktu masing-masing kubu Bani hasyim dak rival-rivalnya terutama BaniUmayah, sehingga potensi keilmuan yang seharusnya dapat dipacu untuk memajukan khazanah dunia Islam banyak terbuang untuk memikirkan cara dan berargumentasi tentang hak-haknya dan menyerang lawan politik. Sungguh sangat disayangkan,
ambisi kekuasaan para tokoh
Islam dan tamak terhadap jbatan kholifah telah menggerogoti ukhuwah Islamiyah yang suci ala Muhajirin dan anshor
binaan
Rasulullah, yang ditandai dengan perang terbuka sesame
kaum
muslimin, antara Ali dengan Mu’awiyah (perang shifin), antara Ali dengan Aisyah cs (prang Jamal), berlanjut dengan sikap nepotisme daulat Bani Umayah yang merubah system pemerintahan dari khilafah menjadi kerajaan yang menjadikan Negara sebagai harta warisan turun temurun yang menjadikan raja memiliki jabatan absolut dengan ambisi mempertahankan jabatan dan kekuasaannya secara turun temurun. Sebenarnya jika para pewaris kerajaan memiliki kecakapan, kredibelitas dan kapabeliats dalam memimpin Negara, memiliki akhlak karimah sebagaimana Rasulullah dan memiliki misi dan visi kenegaraan seperti khulafaur rosyidin tentu tidak akan menjadi 48
Ibid, hal 178
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 36
Runtuhnya dunia Islam
masalah yang serius, namun faktanya adalah mereka sangat rakus dan ambisius. Hobby para raja mengoleksi selir dan mengangkat putra mahkota lebih dari satu, selalu menjadi pemicu pertikaian sedarah dan seagama sehingga Negara menjadi rapuh akibat perang saudara yang melan banyak korban jiwa kaum muslimin.49
e. kotornya Peradilan Islam Efek domina dari system onarki absolut yang tidak islami dan tidak memilikiintegritas ukhuwah Islamiyah dan akhla karimah mewariskan beberapa keboboroakn para aparatur Negara, baik dari lembaga eksekutif maupun yudikatif. Para hakim yang korup dan membela pihak-pihak yang berduit menyebabkan suprioritas hokum diinjak-injak. Akumulasi kekeewaan pihak-pihak yang didzalimi hanya melagirkan dendam dan rasa beanci yang tidak ada ujungnya sehingga menyita banyak waktu dan energy masyarakat
untuk
membela dan memperthankan hak bahkan untuk merampas hak orang lain guna kepuasan syahwat duniawi sehingga
terjadi ketidak
harmonisan antara pihak kaya dan miskin yang menyebabkan melemahnya sendi-sendi ukhuwah Islamiyah. Kondisi ini diperparah dengan mentalitas para pejabat koru yang ingin selalu mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara sehingga tidak ada lagi waktu untuk memikirkan kesejahteraan umaat, mereka
hanya
memikirkan
bagaimana
cara
mempertahankan
jabatannya guna maeraih kenikmatan duniawinya bersama keluarga dan kroni-kroninya. Kebijakan undang-undang hanya dibuaat untuk kepentingan kekuasaan, sehingga menerlantarkan rakyat, jika rakyat tidak lagi mencintai pemimpinnya yang dzalim dan korup, maka yang mewarnai media massa sehari-hari hanya demontrasi, seminar atau pun diskusi-diskusi yang menyuarakan suara kebenceian terhadap 49 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 182
37 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
penguasa. Hal ini sangat memperlemah sendi-sendi ketahananan masayarakat sehingga mudah dihancurkan dan diadu domba oleh provokator yang mengangkat berbagai isu SARA sehingga terjadi konflik internal muslim yang menghancurkan ukhuwah Islamiyah.50
f.
Fanatisme aliran teologi dan fiqh Perbedaan persepsi terhadap sebuah teks al Qur’an atau hadis merupakan keniscayaan yang lahir dari beragamanya latar belakang budaya serta tingkat kemampuan intelektual setiap individu yang berbeda. Jika perbedaan madzhab ini melahirkan sikap toleransi dan tenggang rasa untuk saling menghargai pluralitas madzhab, tentu akan menjadi nuansa Islam yang rahmatan lil’alamin. Contoh kasus perbedaan madzhab para sahabat adalah, Ketika ibnu Umar memeberikan bagian warisan kepada ibu 1/3 dari sisa faurudh suami atau istri, sehingga bagiannya tetap separoh dari bagian ayah,
maka ibnu Umar diprotes oleh ibnu Abbas yang tetap
memberikan bagian 1/3 utuh dari harta dalam kasus warisan, dimana mayit meninggalkan seorang istri dan ayah ibu. Maka Ibnu Umar menjawab, bahwa dirinya berupaya menggabungkan ayat warisan 2 banding 1 dan ayat tentang bagian ibu dalam kasus mayit tdk punya anak yang menyisakan ahli waris ayah ibu, sehingga bagian ibu tetap separoh dari ayah dengan cara membagikan 1/3 setelah dibagikan warisan kepada salah seorang suami atau istri. Kemudian
mereka
bersepakat untuk saling menghargai hasil ijtihad masing-masing.51 Hal itu berbanding terbalik dengan frnomena pluralitas madzhab dan sekte teologi di berbagai penjuru negara Islam, di Negara yang menjadikan satu madzhab tertentu, maka madzhab lain akan menjadi sangat terlarang dan akan dimusuhi dan dikucilkan melebihi perlakuan terhadap non islam., sebagaimana yang terjadi di Negara50 51
Ibdid, 182 Ahmad Syalabi, al Mujtama’ al Islami, halaman 187
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 38
Runtuhnya dunia Islam
negara timur tengah semacam Iran, Saudi dan Syiria. Dan yang taidak pernah berakhir adalah konflik antar sunny – syi’ah di Madura, konflik dengan Ahmadiyah yang telah meminta korban nyawa serta konflik khilafiyah abadi NU Muhammdiyah yang menyedot banyak waktu dan fikiran hanya untuk membela ormasnya.52
g. Ummat Islam terperangkap di LSM-LSM, klub-klub dan organisasi Yahudi. Strategi yang dirancang oleh Zionis dalam mengahncurkan Islam adalah menyusupkan konsep dan nilai-nilai (budaya) Yahudi ke seluruh lapisan masyarakat muslim melalui klub-klub dan lembaga swadaya masyarakat yang diembel-embeli casing modernisme, sehingga banyak ummat Islam yang dengan suka rela bergabung dengan klub-klub yahudi semacam Rotari club, primasonri, lion yang dianggapnya sebagai komunitas bergengsi. Menghadapi relita ini, pagi-pagi sekali dunia Islam telah mengambil sikap, pada kongres OKI di Mekah tahun 1974 dikeluarkan resolusi, bahwa umat Islam haram bergabung dengan klub-klub tersebut, ummat Islam haus menjauhkan diri dari komunitas bentukanm
Yahudi
dalam
konteks
apa
pun
karena
akan
menhancurkan akidah Islamiyah.53 3. Faktor eksternal yang memperlemah dunia Islam a. Perang salib (1097-1292) Perang Salib yang terjadi selama hampir 2 abad (1097-1292) memberi pengaruh kuat terhadap Timur dan Barat. Di samping kehancuran fisik, juga meninggalkan perubahan yang positif walaupun secara politis, misi Kristen-Eropa untuk menguasai Dunia Islam gagal,
52
Mohammad Baharun, Islam Realitas Islam Idealitas, jakarta, Gema Insani, 2012,
halaman 53 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 193
39 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
tetapi Perang Salib berdampak luas
terhadap perkembangan Eropa
pada masa selanjutnya. Kerugian bagi pasukan salib
adalah hancurnya peradaban
Byzantium yang telah dikuasai oleh umat Islam sejak Perang Salib keempat hingga pada masa kekuasaan Turki Usmani tahun 1453. Akibatnya,
seluruh
kawasan
pendukung
kebudayaan
Kristen
Orthodox menghadapi kehancuran yang tidak terelakkan, yang dengan sendirinya impian Paus Urban II untuk unifikasi dunia Kristen di bawah kekuasaan paus menjadi pudar. Berkah lain
perang Salib bagi Eropa ialah, mereka sukses
mengambil alih berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkempang pesat di dunia Islam, sehingga turut berpengaruh terhadap peningkatan kualitas peradaban bangsa Eropa beberapa abad sesudahnya. Mereka belajar dari kaum muslimin berbagai teknologi perindustrian dan mentransfer berbagai jenis industri yang mengakibatkan terjadinya perubahan besar-besaran di Eropa, sehingga peradaban Barat sangat diwarnai oleh peradaban Islam dan membuatnya maju dan hingga kini mereka berada di puncak kejayaan. 54 Bagi umat Islam, Perang Salib tidak memberikan kontribusi apa pun bagi pengembangan kebudayaan, karena Islam kehilangan sebagian warisan kebudayaan. Peradaban Islam telah diboyong dari Timur
ke
Barat.
Dengan
demikian,
Perang
Salib
itu
telah
mengembalikan Eropa pada kejayaan, bukan hanya pada bidang material, tetapi pada bidang pemikiran yang mengilhami lahirnya masa Renaisance. Bagi Eropa, Perang Salib memberi kontribusi kepada gerakan eksplorasi hngga ditemukannya benua Amerika dan route perjalanan ke India yang mengelilingi Tanjung Harapan. Pelebaran cakrawala terhadap peta dunia mempersiapkan mereka untuk melakukan 54 http://www.referensimakalah.com/2011/09/akibat-perang-salib-bagi-umatislam_557.html, 3 jan 2013
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 40
Runtuhnya dunia Islam
penjelajahan samudera yang berkelanjutan dengan upaya negaranegara Eropa melaksanakan kolonisasi di berbagai negeri di Timur, termasuk Indonesia. Bagi dunia Islam, Perang Salib telah menghabiskan asset kekayaan bangsa dan mengorbankan putera terbaik. Ribuan penguasa, panglima perang dan rakyat menjadi korban. Gencatan senjata yang ditawarkan terhadap kaum muslimin oleh pasukan salib selalu didahului dengan pembantaian masal. Hal tersebut merusak struktur masyarakat
yang
dalam
limit
tertentu
menjadi
penyebab
keterbelakangan umat Islam dari umat lain. Sisi positif bagi dunia Islam dari perang salib adalah pembuktian bahwa Islam punya kekuatan militer, yang bukan hanya mampu mengusir Pasukan Salib, tetapi juga pada masa Turki Usmani mereka mampu mencapai semenanjung Balkan (abad ke-14-15) dan mendekati gerbang Wina (abad ke-16 dan 17), sehingga hanya Spanyol dan pesisir Timur Baltik yang tetap berada di bawah kekuasaan Kristen. Namun secara keseluruhan, perang salib menjadi aktor penyebab melemahnya dunia Islam, karena Eropa telah berhasil secara cerdas mengadopsi perdaban Islam sehingga
ke depan mereka
mampu menaklukkan dunia Islam melalui imperialismenya.55
b. Serbuan bangsa Mogol terhadap dunia Islam Pada awalnya Bangsa Mongol hidup berdampingan secara damai dengan wilayah Islam. Pemimpin Mongol Jengiz Khan membuat peraturan yang mengatur kehidupan beragama dengan adanya larangan merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya. Bangsa Mongol mempercayai super kekuatan, sekalipun mereka tidak menyembahnya. Jengiz Khan tidak mengusik umat 55 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 200
41 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
Islam, dan menghormati keluarga (keturunan) Nabi Muhammad yang ketika itu sudah meluas ke wilayahnya. Siasat ini antara lain untuk memberi landasan yang kokoh bagi bangsanya untuk menghadapi tantangan dan meluaskan wilayah ke luar negeri, baik ke Cina maupun ke negeri-negeri Islam. Pada tahun 1218 Jengiz Khan menundukkan Turkistan yang berbatasan
dengan
wilayah
Islam,
yakni
Khawarizm
Syah.
Kronologisnya, Jengiz Khan mengadakan kontak dagang dengan pihak Khawarizm sebagai usaha untuk mengenali situasi dan kondisi kekuasaan Islam di Asia Tengah. Ala’ Uddin Muhammad Khawarizm menerima kontak diplomasi perdagangan ini dengan amat hati-hati, Latar belakang yang menyebabkan invasi Mongol ke wilayah Islam adalah adanya peristiwa Utrar pada tahun 1218, yaitu ketika Gubernur Khawarizm membunuh utusan Jengiz Khan yang disertai para saudagar muslim mongol. Jengis Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang dagangan di Bukhara, tapi atas perintah amir Bukhara Gayur Khan, mereka ditangkap dan dihukum mati dengan alasan para pedagang Mongol tersebut melakukan tindakan kasar yang merugikan pedagang setempat. Hal tersebut menyebabkan
Mongol
menyerbu
wilayah
Islam
dan
dapat
menaklukkan Transoxania (wilayah Khawarizm) tahun 1219-1220. Jengiz Khan dan pasukannya melanjutkan serangan ke kota Bukhara kemudian membunuh penduduknya dan membakar semua madrasah, masjid-masjid dan rumah-rumah. Tentara kavaleri Mongol yang bersenjata busur-busur aneh menebar malapetaka dan kerusakan ke mana pun mereka bergerak. Strategi perang Mongol adalah dengan teror keji, menanamkan trauma dan rasa takut serta menjatuhkan mental musuhnya hingga tidak ada nyali melawannya. Mongol membunuh 700.000 penduduk Kota Marw, membobol bendungan dekat Gurganj hingga penduduk kota tersebut mati tenggelam, menuangkan emas yang mencair panas V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 42
Runtuhnya dunia Islam
ke tenggorokan gubernurnya. Selama hampir setahun berlalu (617 H/ 1220 M) akhirnya Turkistan jatuh ke tangan Jengiz Khan yang kemudian diikuti oleh Azerbaijan, Khurasan dan beberapa kota di Persia (618-619 H). Adapun akibat serangan Mongol tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pusat-pusat budaya Islam timur hampir-hampir disapu bersih, hancurnya istana-istana kerajaan dan perpustakaan. 2. Banyaknya penduduk yang terbunuh. Penduduk Harat (Heart) yang semula berjumlah 100.000 jiwa menjadi 40.000 jiwa. 3. Masjid-masjid Bukhara yang terkenal sebagai pusat ibadah dan pengetahuan dijadikan kandang kuda oleh pasukan Mongol. 4. Ribuan pengrajin muslim dibawa ke Mongolia untuk dijadikan budak.
c. Serbuan Mongol ke Irak dan Syiria Pada tahun 1256 M, cucu Jengiz Khan, Hulagu Khan, menyerang pusat pemerintahan Islam (Baghdad). Meskipun Hulagu Khan menganut agama tradisi Mongol, permaisurinya adalah penganut Kristen Nestorian yang mungkin mempengaruhi Hulagu Khan untuk membenci Islam. Kekerasan dan kekejaman Hulagu Khan sama dengan kakeknya. Balatentaranya menyeberangi pegunungan Zagros dan memasuki negeri Irak. Mereka melakukan pembunuhan berantai di Persia, Irak dan Syiria. Selama perjalanan menuju Baghdad, mereka menjarah dan membakar kota-kota dan desa-desa yang dilaluinya dan menyapu bersih semua kerajaan kecil yang berusaha tumbuh
di
atas
puing-puing
kerajaan
Syah
Khawarizmi.
Pada bulan September tahun 1257, tatkala Hulagu Khan dan tentaranya sampai di kota sebelum Baghdad, Hulagu mengirim ultimatum kepada Khalifah al-Musta’shim agar menyerah dan 43 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
mendesak agar tembok kota bagian luar diruntuhkan, tetapi khalifah menolaknya dan memerintahkan komandannya untuk mempersiapkan perang. Dalam keadaan demikian, wazir Abbasiyah, Muayyid al-Din bin Muhammad bin Al-Alqami secara rahasia bekerjasama dengan Mongol. Pada bulan Muharram 656 H (1258 M), Hulagu bersama kurang lebih 200 ribu pasukannya mengepung kota Baghdad. Pasukan Hulagu menggunakan pelempar batu dari arah barat dan timur untuk menghancurkan tembok ibu kota. Pada Januari 1258, tentara Mongol bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok tersebut. Tak lama kemudian salah satu menara benteng berhasil diruntuhkan. Khalifah mengirim Ibn Al-Alqami untuk meminta perdamaian kepada Bangsa Mongol, tetapi Hulagu menolaknya. Mongol menyerang kota Baghdad pada tanggal 10 Februari 1258. Khalifah beserta 300 pejabat tinggi Negara menyerah tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian, mereka dibunuh, termasuk sebagian besar keluarga khalifah dan penduduk yang tak bersalah. Menurut beberapa sumber sejarah, kedatangan Hulagu ke Baghdad atas undangan Ibn Al-Alqami. Ia yakin bahwa Hulagu akan membunuh khalifah dan meninggalkan Baghdad. Dengan demikian Ibn Al-Alqami dapat memindahkan kekuasaan pemerintahan ke tangan orang-orang ‘Alawiyyin. Tapi
kenyataannya setelah Mongol
membunuh khalifah, mereka merampok semua yang terdapat di dalam istana dan membakar kota Baghdad juga membunuh Ibn Al-Alqami. Adapun akibat serangan Mongol ke Baghdad yaitu: 1. Hancurnya
kota-kota
dengan
bangunan
yang
indah
dan
perpustakaan-perpustakaan. 2. Pembunuhan terhadap umat Islam bukan hanya terjadi pada msa Hulagu yang membunuh Khalifah Abbasiyah dan keluarganya, tetapi pembunuhan dilakukan juga terhadap umat Islam lainnya.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 44
Runtuhnya dunia Islam
3.
Timbul
wabah
penyakit
pes
akibat
mayat-mayat
yang
bergelimpangan belum sempat dikebumikan. 4. Hancurnya segala macam peradaban dan pusaka yang telah dibuat beratus-ratus tahun lamanya. 5. Dihanyutkannya
kitab-kitab
yang
dikarang
oleh
ahli
ilmu
pengetahuan ke dalam sungai Dajlah sehingga berubah warna airnya karena tinta yang larut. 6. Hancurnya Baghdad sebagai pusat Dinasti Abbasiyah yang di dalamya
terdapat
berbagai
tempat
belajar
dengan
fasilitas
perpustakaan, hilang lenyap dibakar Hulagu. 7.
Turunnya posisi Baghdad menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al-‘Arabi
8. Runtuhnya
kekuasaan
Dinasti
Abbasiyah
dan
mundurnya
kekuatan politik Islam. Serangan Bangsa Mongol berdampak besar pada peradaban Islam selanjutnya. Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan Mongol bukan saja mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran politik dan peradaban Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dikaji kembali tentang serangan Mongol ke dunia Islam, baik latar belakang serangan Mongol maupun akibat serangan tersebut. 56 . c. Negara-negara kristen Eropa menggerogoti wilayah Turki Usmani Bisa dikatakan efek domino dari perang salib adalah menjadikan bangsa Eropa cepat mengadopsi peradaban Islam, terutama di bidang iptek dan seni militer sehingga dengan modfikasi persenjataan dan taktik barunya, mereka mulai menyerbu wilayah-wilayah negara Islam yang saat itu berada di bawah kekuasaan turi Usmani, hinggga hegemoni Turki Usmani menjadi macan ompong bahkan kaum barat 56 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 196
45 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
menyebutnya the sick man, si jantan yang sakit, karena otoritas turki Usmani hanya tinggal nama sedankan wilayah-wilayah di afrika dan asia tengah sudah menjadi jarahan Inggris, prancis dan lainya.57
d. Gerakan imperalisme barat terhadap negara-negara Islam: Sejak abad ke-19 hingga dewasa ini, bangsa Eropa mendominasi dunia, didorong oleh kebutuhan ekonomi industri terhadap bahanbahan baku dan pemasarannya, dan kompetisi politik ekonomi satu sama lain, negara-negara Eropa bersaing menegakkan kerajaan teroterial dunia. Belanda menjajah Indonesia; Rusia mengambil Asia Dalam; Inggris mengkonsolidasi kerajaan mereka di India dan Afrika, dan mengontrol sebagian Timur tengah, Afrika Timur, Nigeria, dan sebagian Afrika Barat. Pada permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam. Dengan didukung oleh pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan yang besar serta dengan metode komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta api, dan telegrap. Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi perdagangan. Diiringi dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari negara-negara besar Eropa; akibatnya negeri-negeri Islam di seantero dunia yang waktu itu tidak memliki persenjataan lengkap dan masih hidup dalam keadaan labil karena pertikain internal, menjadi korban empuk imperialis.58
e. Israel dan zionisme Lahirnya Negara Israel Raya yang berdaulat di tahun 1948 merupakan babak baru dalam peta politik dunia, khususnya di Timur Tengah. Israel kemudian menjadi permasalahan utama selain masalah
Ibid, halaman 200 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 226 57 58
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 46
Runtuhnya dunia Islam
minyak bumi, keduanya kemudian menjadi dua faktor penyebab terpenting atas masuknya berbagai kepentingan dan kekuatan global di Timur Tengah. Semua
itu
semakin
menghadirkan
ketidakstabilan
politik
keamanan di Timur Tengah terlebih lagi ketika eksistensi dan peran Israel kemudian menjadi masalah internasional. Turunnya kekuatan-kekuatan politik dan militer internasional secara langsung juga menambah kompleksnya permasalahan. Penegakkan juga merupakan bagian dari rangkaian strategi Zionisme "Barat" untuk tujuan mengamankan sumbersumber dan jalur distribusi minyak bumi, sekaligus sebagai "basis" kepentingan Barat di seluruh wilayah Arab. Sampai hari ini, ketika kita berbicara mengenai kestabilan politik di Timur Tengah, maka mau tidak mau kita juga akan berurusan dengan keberadaan penting suatu negara kecil dengan peran besar di wilayah tersebut, Israel. Sejak lahirnya Israel, negara-negaara
Arab (dunia Islam)
beraliansi menentangnya dan pernah mencoba mengerahkan kekuatan militer untuk menyerang negara kecil ini, tapi selalu gagal.
Bahkan
sampai hari ini, energi umat islam di dunia banyak disita oleh ulah nakal Israel. 59 III.
Kesimpulan 1. Dunia Islam pernah mengalami pasang surut, pernah berjaya dan menaklukkan dunia dengan perdaban dan kebudayaan Islami, namun ketika pola hidup para pejabat negara dan rakyatnya tidak mencerminkan nilai-nilai al Qur’an, maka saat itulah Islam mengalami kehancuran dari dalam, walau pun tidak diserbu oleh musuh, maka dunia Islam sudah hancur dan kalah. 2. Walaupun dunia islam ada dalam cengekeraman budaya kafir, itu tidak serta merta dapat menghancurkan Islam, karena esensi Islam adalah al qur’an, sedangkan al qur’an akan selalu dijaga oleh Allah swt. Melalui
59 Ahmad Syalabi, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986, hal 227
47 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Abdul Jalil
kecerdasan para hufadz. Atau dengan kata lain, walaupun dunia Islam hancur, tetapi Islam akan tetap hidup sampai akhir jaman.
60
3. Kejayaan dunia Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw bisa kembali ditegakkan
sampai akhir
jaman jika seluruh komponen ummat Islam
meneladani sikap dan etika politik Rasulullah sebagaimanatertuang dalam piagam Madinah dan menjadikan al Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup.61 4. Kejayaan dunia Islam hanya akan menjadi kisah masalalu dan sekedar menjadi impian di siang bolong jika seluruh komponen umat Islam sedunia tidak mempunyai persamaan misi dan visi li-I’laa-ikalimatillah. 5. Para ulama, pakar pendidikan, pejabat dan penegak hukum serta da’i dan pelajar harus menjadi pelopor utama kebangkitan dunia islam dengan membentuk kepribadian islami dari diri sendiri, keluarga dan masyarkat.
DAFTAR PUSTAKA Baharun, Mohammad, Islam Realitas Islam Idealitas, jakarta, Gema Insani, 2012 Al Faruqi, Ismail dkk, Atlas Budaya Islam, Bandung, Mizan, 2003 Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan, Jakarta, Prenada Media Group, 2011 Proyek Pengadaan Al Qur’an dan terjemahnya. Mubarokfuri, Shafiyu al Rahman, Al Rahiq al Makhtum, Kairo, Dar al Wafa’, 2010Qutub, Sayyid, Ma’alim fi al Thariq, Syalabi, Ahmad, al Mujtama’ al Islami, maktabah al Nahdhoh al Misriyah, 1958 Syalabi, Ahmad, al Khadharah al Islamiyah 6, Kairo, Maktabah al nahdhiah al Misriyah, 1986 http://www.
referensimakalah.com/2011/09/akibat-perang-salib-bagi-
umat-islam_557.html, 3 Jan 2013
60 61
Sesuai dengan ayat: ( Sesuai dengan teks hadis (
) )
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 48
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
LATAR BELAKANG MAHASISWA DALAM MEMAHAMI FIQIH Syamsul Arifin dan Sari Narulita Universitas Negeri Jakarta
Latar Belakang Permasalahan Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (JIAI-FIS-UNJ memiliki latar belakang jenis pendidikan di SLTA yang berbeda-beda, yaitu: SMA, MA, SMK, dan pesantren. Perbedaan belakang
jenis
pendidikan
tersebut
menyebabkan
perbedaan
latar
kedalaman
pemahaman fiqih, khususnya yang terkait dengan penguasaan mereka terhadap dalil, baik itu dalil naqli (nash) maupun dalil aqli (analisis) yang menjadi hujjah suatu hukum. Selain itu, mereka memiliki perbedaan orientasi pemahaman fiqih, tekstual dan kontekstual. Selama ini, pembelajaran fiqih cenderung dipelajari secara tekstual, dari tingkat Sekolah Dasar (Madrasah Ibtida’iyah) hingga Perguruan Tinggi. Pandangan seperti ini merupakan sikap reduksi terhadap apa yang terjadi pada tingkat empiris mengenai pembelajaran fiqih, di sekolah maupun di pesantren. Akan tetapi memang secara umum sudah menjadi semacam kesadaran kolektif bagi kebanyakan masyarakat akademis bahwa pembelajaran fiqih lebih tekstual, berpegang erat kepada pendapat para pemimpin mazhab. Padahal berbagai masalah masyarakat terus bermunculan berbarengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini, ada kesenjangan antara masalah-masalah kemasyarakatan dengan “produk fiqih baru yang menjadi jawaban terhadap masalah tersebut. Hal ini dapat dimungkinkan jika fiqih tidak dipahami sebagai “kitab suci” tetapi dipahami sebagai sebuah produk hasil ijtihad para ulama fiqih di zamannya, yang berbeda dengan zaman sekarang, sehingga fiqih masih dapat “digugat” kebenarannya, selain juga fiqih baru dapat dilahirkan. Pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam diorientasikan pada pembelajaran
kontekstual,
yang
memposisikan
mahasiswa
sebagai
subyek
49 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
pembelajaran. Karena mereka selalu dikondisikan untuk aktif, kritis dan analisis. Kendatipun demikian masih ada masalah, yaitu sebagian besar dari mereka masih pasif, mungkin hal itu disebabkan karena pola pembelajaran di SLTA yang cenderung membuat mereka pasif. Hal itu akan dapat dipahami dengan cara memahami penilaian mereka mengenai pembelajaran fiqih di SLTA, baik menurut mahasiswa yang berlatar belakang SMA, MA, SMK, maupun pesantren.
Selain itu, perlu juga dipahami
mengenai penilaian mereka tentang pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam. Setelah dipahami penilaian mereka mengenai pembelajaran fiqih di SLTA dan di Jurusan Ilmu Agama Islam, maka akhirnya penting juga diketahui pembelajaran fiqih yang ideal menurut mereka di Jurusan Ilmu Agama Islam. Ada beberapa asumsi yang dapat diajukan terkait dengan pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Pertama, Mahasiswa JIAI berlatar belakang MA memiliki pemahaman yang lebih baik, lebih luas dan lebih dalam dibandingkan dengan mahasiswa yang berlatar belakang SMA dan SMK. Karena Mahasiswa berlatar belakang MA mempelajari Fiqih sebagai mata pelajaran yang terpisah (sperated), selain Aqidah-Akhlak, AlQur’an-Hadits, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Sementara mahasiswa berlatar belakang SMA dan SMK mempelajari fiqih hanya sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam (PAI), yang juga merupakan paduan dari Aqidah-Akhlak, Al-Qur’anHadits, dan Sejarah Islam. Lebih dari itu, mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam berlatar belakang Pesantren diasumsikan memiliki pemahamannya lebih baik daripada mahasiswa berlatar belakang MA, SMA dan SMK. Hal ini disebabkan mahasiswa berlatar belakang pesantren sekaligus mereka sebagai siswa MA ketika di SLTA. Bersamaan dengan itu, mereka juga belajar fiqih di luar jam pelajaran formalnya di kelas saat berada di pesantren. Sehingga mahasiswa berlatar belakang pesantren lebih banyak mempelajarai fiqih dibandingkan mahasiswa berlatar belakang non-pesantren. Mahasiswa berlatar belakang pesantren juga mempelajari fiqih dalam kitab-kitab tertentu, seperti Safinatun Najah, Bulughul Maram, Bidayatul Mujtahid, dan sebagainya. V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 50
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
Lepas dari kedalaman dan keluasan pemahaman mahasiswa JIAI dengan latar belakang mereka yang berbeda, mahasiswa JIAI diduga, secara umum memiliki kecenderungan memahami fiqih secara kontekstual, karena pola pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam memang diorientasikan kepada pembelajaran kontekstual. Selain itu, faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang memungkinkan mahasiswa berpikir kritis, kreatif dan analitis; hanya membutuhkan dukungan dari pola pembelajaran yang diterapkan. Penelitian mengenai masalah ini sangat menarik. Sebelumnya ada beberapa hasil penelitian fiqih yang dianggap penting untuk dijelaskan dalam rangka memberikan ‘bingkai” terhadap penelitian yang dilakukan peneliti mengenai latar belakang mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam dalam memahami fiqih. Diantara penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan62 Syaiful tentang Arah Rekonstruktif Metode Istinbath Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam Proses Awal penetapan Fatwa Hukum Tahun 2000-2010 (Analisa Tahkim Ilmu Ushul Fiqh). Penelitian ini menyimpulkan: Pertama, MUI dalam metodologis Fatwa telah melakukan terobosan kreatif dengan momodifikasi Rekonstruksi Ushul Fiqh yang di bangun terdahulu, ada 3 pola konstruksi bangunan istihbat fatwa MUI, MUI lebih banyak menggunakan pemahaman Tekstual, qiyas sebagai dasar fatwa cukup banyak di lakukan dengan pola qiyas jally dan terobosan yang di lakukan MUI melakukan illat qiyas dengan memunculkan perbedaan illat hukum pada masalah yang berbeda dengan asal (dasar hukum), kemudian di tarik perbedaan masalah yang berlawanan kemudian hukum furu’ yang di putuskan berupa kebalikan dari hukum asal. Qiyas juga dapat di bentuk dengan dalil yang lebih dari satu dengan masalah yang berbeda-beda kemudian menujuk kepada satu illat persamaan masalah. Kedua, NU dalam konstruksi fatwanya setelah tahun 2004 mencamtumkan dasar al-qur’an dan Hadist sebagai dasar fatwa. Namun demikian, dalam memutuskan fatwa konstruksi, fatwa tetap yang pokok di ambil dari kitab-kitab
62 Syaiful Abdullah, Arah Rekonstruktif Metode Istinbath Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam Proses Awal penetapan Fatwa Hukum Tahun 2000-2010 (Analisa Tahkim Ilmu Ushul Fiqh)., 2012
51 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
mu’tabarat imam empat, yakni Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafii dan Imam Hanafi. Ilhaq di lakukan apabila tidak ditemukan qoul ulamanya dengan metode mengikuti metodologis ushul fiqh yang di bangun oleh ulama. Ketiga, Muhammadiyah melakukan rekonstruksi fatwa selalu konsisten bahwa fatwa sebagai prodak hukum Islam harus di bangun melalui jalan istibath Hukum dengan konstruksi Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. Dalil aqliyah di lakukan apabila wilaya ijtihadnya masuk pada ijtihad qiasy dan istilahi. Untuk memahami dalil Naqli pemahaman Tekstual dan konstektual di gunakan dengan di kolaborasikan dengan pola berfikir ilmiah,ilmu pengetahuan dan hermeneutic. Semua penggunaan dalil di tujukan dalam rangka memenuhi tujuan maqosid syariah yaitu kemaslahatan Umat. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan Muhammad Atho Mudzhar, yaitu penelitian program doktornya di Universitas California, Amerika Serikat, di tahun 1990 tentang Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1957–1998 (Fatwas of The Council of Indoneisan Ulama (a Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1957-1988).63 Penelitian ini menyimpulkan bahwa fatwa MUI dalam kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fiqih. Fatwa – fatwa tersebut terkadang langsung merujuk pada al–Qur’an sebelum merujuk pada hadits dan pada kitab fiqih yang ditulis para ulama mazhab. Sedangkan sebagian fatwa lainnya terkadang tidak didukung oleh argumen yang meyakinkan, baik secara tekstual maupun rasional. Menurut peneliti hal ini tidak berarti MUI tidak memiliki metodologi yang digunakan. Secara teoritis setiap produk fatwa yang dikeluarkan MUI didasarkan pada landasan al–Qur’an, al–Hadits, Ijma dan Qiyas yang dianut oleh mazhab Syafi’i. Namun dalam prakteknya dasar–dasar hukum tersebut tidak selamanya diikuti. Adanya inkonsistensi MUI dalam mematuhi metodologi penetapan hukum tersebut, menurut peneliti disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti faktor politik, terkadang ada pula fatwa yang dipengaruhi oleh satu faktor, dan terkadang 63 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indoneisan Ulama (a Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1957-1988), 1989
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 52
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara fatwa MUI yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah antara lain mengenai fatwa penyembelihan binatang, keluaraga berencana, ibadah ritual, serta misalnya Pelabuhan Udara Jeddah atau Bandara King Abdul Azis sebagai tempat melakukan miqat bagi jama’ah haji Indonesia yang menggunakan pesawat.terbang. Penelitian ketiga adalah penelitian Siti Nurbaini tentang Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Santri dalam Pembelajaran Fiqih Bab Shalat Melalui Media Gambar di Kelas Iqra 3-4 TPQ Al-Fattah.64 Penelitian ini menyimpulkan bahwa media gambar dapat meningkatkan hasil belajar santri dalam pembelajaran fiqih bab salat di kelas iqra 34 dapat meningkatkan hasil belajar yang baik, baik kemampuan memahami teori maupun praktik. Ketiga penelitian di atas penting diajukan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya ada penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yang relevan dengan masalah pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam. Penelitian tentang Latar Belakang Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dalam memahami Fiqih penting dilakukan dalam rangka memahami orientasi pemahaman mahasiswa tentang fiqih dengan latar belakang jenis pendidikan mereka. Dengan cara demikian upaya meningkatkan kualitas pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam dapat diniscayakan. Apalagi penelitian tentang pembelajaran fiqih jarang dilakukan, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada yang melakukan penelitian. Bahkan lebih dari itu, penelitian yang terkait dengan latar belakang jenis pendidikan mahasiswa di SLTA dan pembelajaran fiqih, sepengetahuan peneliti belum ada yang melakukan selama ini, baik di Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, maupun di Jurusan lain yang sejenis di universitas lain. Inilah yang melatar belakangi peneliti untuk melakukan penelitian ini.
Siti Nurbaini, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Santri dalam Pembelajaran Fiqih Bab Shalat Melalui Media Gambar di Kelas Iqra 3-4 TPQ Al-Fattah (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011) 64
53 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam penelitian ini hendak menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah latar belakang jenis pendidikan mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta? 2. Bagaimana pandangan mahasiswa JIAI tentang pola pembelajaran fiqih di SMA, MA, SMK, dan di Pesantren? 3. Bagaimana pendapat mereka mengenai pembelajaran fiqih di JIAI saat ini? 4. Bagaimana pembelajaran fiqih yang ideal di JIAI menurut mahasiswa? 5. Bagaimana kecenderungan mahasiswa dalam belajar fiqih? Penelitian ini difokuskan pada dua fokus. Pertama, latar belakang jenis pendidikan mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam peserta kuliah fiqih dan penilain mereka mengenai pembelajaran fiqih di SLTA, penilain mereka mengenai pola pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam. Kedua, kecenderungan pemahaman mahasiswa dengan masing-masing latar belakang jenis pendidikan mereka, apakah mereka cenderung memahami fiqih secara tekstual atau kontekstual. Dengan memfokuskan pada kedual hal tersebut, penelitian ini akan menghasilkan hasil penelitian yang penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan dan menganalisis tentang: 1. Latar belakang jenis pendididikan mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. 2. Pandangan mahasiswa JIAI tentang pola pembelajaran Fiqih di SMA, MA, SMK, dan di Pesantren. 3. Pandangan mahasiswa mengenai pembelajaran fiqih di JIAI saat ini. 4. Pandangan mahasiswa JIAI tentang pembelajaran fiqih yang ideal di JIAI. 5. Orientasi mahasiswa JIAI dalam memahami fiqih. Penelitian inipun diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan dalil-dalil (proposisiV o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 54
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
proposisi) baru terkait dengan pemahaman mahasiswa mengenai fiqh. Dengan demikian, penelitian ini dapat memperkaya konsep-konsep baru mengenai fiqih, yang mampu mengembangkan khazanah keilmuan dalam bidang kajian Islam, khususnya tentang fiqh. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dan mampu memberikan preskripsipreskripsi (“resep-resep”) baru terkait dengan pola pembelajaran fiqih, khususnya mengenai metode pembelajaran fiqih yang mampu menjembatani kesenjangan pemahaman mahasiswa yang pada gilirannya mahasiswa dapat memahami fiqih secara optimal. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Karena fenomena-fenomena yang mengemuka merupakan fenomena dinamis, di mana pola pembelajaran fiqih dapat ditelaah melalui observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terkait dengan pandangan mereka mengenai pembelajaran fiqih dan kecenderungan atau orientasi mereka dalam mempelajari fiqih. Materi
(subject matter) dalam penelitian ini menyangkut sebuah proses
pembelajaran yang ditunjukkan oleh gejala-gejala, berupa gagasan-gagasan individu perindividu dalam suatu komunitas pembelajaran di Jurusan Ilmu Agama Islam mengenai mata kuliah fiqih. Gejala-gejala praktik pembelajaran fiqih merupakan gejala yang kompleks. Hal ini hanya dapat dipahami dengan baik apabila data dan informasinya dipaparkan secara lengkap dengan mengembangkan kategori-kategori yang relevan, termasuk dalam interpretasinya. Pertimbangan tersebut didasarkan pada beberapa tujuan penelitian kualitatif, di antaranya adalah untuk memahami makna (meaning). Makna akan diperoleh berangkat dari apa yang dikatakan subyek penelitian -dalam hal ini mahasiswadalam suatu studi, peristiwa-peristiwa yang terjadi, situasi-situasi yang ada, dan sejumlah tindakan yang dilakukan subyek penelitian. Kemudian berupaya memahami konteks khusus yang berkaitan dengan tindakan-tindakan subyek penelitian yang ada di dalam lingkup subyek yang diteliti -dalam hal ini mahasiswa JIAI. Kemudian, mengidentifikasi fenomena-fenomena yang tidak bisa diantisipasi 55 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
besrta pengaruhnya dan mengembangkan konsep-konsep baru tentang masalah yang diteliti. Lalu, memahami proses melalui mana peristiwa-peristiwa dan tindakan terjadi, kemudian diikuti dengan pengembangan penjelasan kausal. Obyek penelitian, yaitu latar belakang mahasiswa dan pembelajaran fiqih menunjukkan wataknya yang kualitatif, karena memang memiliki asumsi-asumsi dasar kualitatif. Ada beberapa asumsi kualitatif yang sesuai dengan obyek penelitian ini. Dalam hubungan ini, maka dapat dikatakan bahwa secara ontologis, realitas bersifat subyektif. Penelitian ini menghendaki peneliti berinteraksi dengan yang diteliti. secara aksiologis, penelitian ini sarat nilai. Keempat, secara retorik, penelitian ini tidak formal, keputusan-keputusan berlangsung terus-menerus, dan menghendaki penggunaan bahasa-bahasa kualitatif. Kelima, secara metodologis, penelitian ini lebih bersifat induktif, faktor-faktor pembentukannya bersifat timbalbalik, dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, disain dan kategori-kategorinya yang muncul diidentifikasi selama proses penelitian. Di samping itu, penelitian ini sangat terkait dengan konteks. Keenam, penelitian ini dikembangkan untuk pemahaman akurat dan terandaikan melalui verifikasi pembuktian.65 Ada beberapa asumsi penggunaan metode penelitian kualitatif,66 dalam kaitan dengan penelitian ini. Pertama, peneliti kualitatif lebih menekankan perhatian pada proses. Kedua, peneliti kualitatif tertarik pada makna bagaimana orang membuat pengalaman dan struktur dunianya. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan instrumen pokok untuk pengumpulan dan aanalisa data. Keempat, data didekati melalui instrumen manusia. peneliti kualitatif melibatkan kerja lapangan. Kelima, peneliti secara fisik berhubungan dengan orang, latar, lokasi, atau institusi untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya. Keenam, peneliti kualitatif lebih tertarik pada upaya membangun abstraksi dan rincian. Sedangkan Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam (indhept interview), wawancara, dan dokumen. Data yang dikumpulkan tersebut dijadikan sebagai rujukan dalam rangka untuk
John W. Crewewell, Research Design Qualitative & Qualitative Approaches (Jakarta; UI Pres, 2000), hal. 5-6 66 John W. Crewewell, Research Design Qualitative & Qualitative Approaches. hal. 140 65
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 56
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
memperoleh pengertian yang mendalam dan komprehensif mengenai masalah yang diteliti.67 Kerangka Konsep dan Teori Secara etimologis kata Fiqih (
) diartikan memahami sesuatu secara
spesifik atau dalam bahasa arabnya (
). Juga bermakna memahami dan
mengerti. Pengertian ini pun didukung oleh pemahaman ayat Qur’an, seperti surah ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut, Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun (QS. An-Nisaa:78) Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami (QS. Hud: 91). Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al-Israa:44)
67
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hal.255
57 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
Pemahaman ini pun selaras dengan hadits Rasulullah sebagai berikut, Siapapun yang menginginkan kebaikan disisi Allah hendaknya mau memahami Agama dengan baik (Al Hadits)
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa kata fiqh pada dasarnya adalah ilmu dan pemahaman. Dengan demikian, bila dikatakan seorang sangat faqih atas kebaikan dan keburukan, itu bermakna ia sangat memiliki ilmu atasnya dan memahaminya. Secara terminologis, Fiqih dapat diartikan sebagai satu bidang ilmu syariat yang khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia melingkupi hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan
sesamanya.
Secara
terminologi,
Fiqih
dipahami
dengan
definisit
sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifudin dari buku Jam’u al Jawami’ Karangan Ibnu Subki sebagai berikut: Fiqih adalah ilmu akan beragam hukum syariat aplikatif berdasarkan dalil yang terperinci. Bisa juga diartikan kumpulan hukum syariat aplikatif yang disimpulkan dari dalil-dalil.68
Maksud Hukum Syariat Aplikatif di atas adalah bahwa dengan pembatasan akan kata ‘ilmu akan muncul beragam hukum, maka dipahami bahwa ilmu Fiqih tidak ada kaitannya dengan ilmu kebendaan ataupun ilmu sifat. Dengan pembatasan ‘hukum syariat, maka dipahami bahwa ilmu fiqih tidak ada kaitannya dengan hukum matematika ataupun hukum bahasa, dan dengan pembatasan akan ‘aplikatif’, maka dipahami bahwa ilmu Fiqih tidak ada kaitannya dengan ilmu teologis dan sejenisnya. Maksud dalil terperinci adalah bahwa dengan pembatasan akan ’berdasarkan dalil’, maka dipahami bahwa hukum dalam kajian Fiqih harus berdasarkan dalil yang jelas dan terperinci bukan berdasarkan ilham semata. 68
Dalil yang ada
Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003)
hlm. 5
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 58
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
hendaknya berasal dari sumbernya yang akurat, baik dari al-Qur’an, hadits, Ijma maupun Qiyas (analogi) dilengkapi dengan paparan yang jelas akan maksud dari dalil yang digunakan Sedangkan sumber lain, seperti istihsan, maslahat mursalah, istishhab, urf (adat istiadat), syar’ man qablana (syariat yang berlaku sebelum masa rasulullah) dan lainnya masih diperdebatkan penggunaannya. Para ulama mengungkapkan bahwa sumber-sumber tersebut tetap harus berlandaskan dari sumber-sumber dasar, yakni dari al-Qur’an dan hadits. Disisi lain, kajian fiqih membahas semua perilaku manusia dan menerangkan hukumnya berdasarkan dalil yang shahih. Definisi di atas adalah definisi yang diungkapkan oleh Imam Amidi dan merupakan definisi populer yang banyak digunakan hingga saat ini. Atas pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Fiqih merupakan suatu ilmu yang memiliki tema pokok dengan kaidah & prinsip tertentu. Atas dasar itu, para ulama menggunakan metode khusus dalam menyimpulkan suatu hukum dari dalil-dalil, seperti qiyas (analogi), istihsan, istishhab, saddu dzara’i dan lainnya. 2. Bidang bahasan Fiqih mencakup hukum yang terkait dengan perbuatan aplikatif (praktek) hingga dengan memahami Fiqih, maka seseorang dapat mengetahui nilai dari perbuatan yang dilakukannya dan menerapkan perbuatan yang diwajibkan, dianjurkan ataupun diperbolehkan dalam hukum syariat ataupun menghindari berbagai perbuatan yang dimakruhkan atau diharamkan dalam kehidupannya kesehariannya. 3. Fiqih adalah ilmu tentang hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan dan perilaku manusia, baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran dan lainnya dan disimpulkan dari dalil-dalil syariat dan bukan dari akal ataupun perasaan semata. Dengan demikian, Objek bahasan Fiqih adalah semua perbuatan mukallaf (seseorang yang mendapatkan tanggung jawab penuh atau sudah dewasa) yang memiliki nilai hingga bisa ditentukan hukumnya – baik wajib, sunnah, mubah, makruh ataupun makruh.
59 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
4. Fiqih diperoleh melalui dalil yang terperinci, yakni dalil al-Qur’an, sunnah, Ijma dan dalil lainnya yang telah dianalisis melalui proses istidlal, istinbat dan nadzr. Dalam prakteknya, Ulama Fiqih membagi hukum Fiqih dengan pembagian sebagai berikut: 1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (khusus) atau hukum yang mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, haji dan zakat. 2. Hukum yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan sesamanya dalam upaya memenuhi kebutuhan material dan haknya masing-masing, seperti jual beli 3. Hukum yang berkaitan dengan ahwal syakhsiyah atau kehidupan pribadi seseorang dalam hal ini adalah kehidupan keluarga, seperti pernikahan, perceraian, rujuk, iddah dll 4. Hukum yang berkaitan dengan jarimah, jinayah atau uquubah atau tindak pidana dan konsekuensinya, seperti pembunuhan, pencurian dll 5. Hukum yang berkaitan dengan persoalan peradilan dan penyelesaian perkara hak dan kewajiban sesama manusia 6. Hukum yang berkaitan dengan masalah pemerintahan dan yang mengatur hubungan antar penguasa dan rakyatnya 7. Hukum yang mengatur hubungan antar negara dalam keadaan perang dan damai 8. Hukum yang berkaitan dengan persoalan akhlak atau etika. Keseluruhan hukum Fiqih di atas tidak hanya terkait dengan masalah keduniaan saja; namun juga mengandung unsur spiritual. Dengan kata lain, suatu perbuatan manusia tidak akan mendapatkan nilai perhitungan di dunia saja-seperti penghargaan dan hukuman; namun juga nilai perhitungan di akhirat –seperti pahala dan dosa.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 60
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
Hasil Penelitian Dengan muatan 4 (empat) SKS yang bermakna panjangnya pertemuan dengan mahasiswa –yakni 32 pertemuan @ 100 menit, materi pembelajaran fiqih di jurusan Ilmu Agama Islam “meng-cover” hampir semua tema fiqih. Metode pembelajaran yang diaplikasikan adalah dengan menggunakan metode diskusi bebas dan diskusi kelompok nalar mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam untuk mengkontekstualisasikan tema kajian dengan masalah-masalah kontekstual.
Dalam
diskusi
bebas,
dosen
memancing
mahasiswa
untuk
mengemukakan definisi, rukun, proses, yang membatalkan suatu hukum dan kemudian meminta mahasiswa untuk membuat bagan dan memecahkan beragam kasus yang berkaitan dengan tema yang ada. Sedangkan dalam diskusi kelompok, setiap kelompok yang bertugas mempresentasikan makalah dengan tema yang didapatkannya dengan komposisi waktu dimana waktu presentasi dengan powerpoint selama 30 menit dan tanya jawab selama 60 menit. Selama 90 menit awal, dosen bertindak sebagai peserta dan mendapatkan haknya sebagaimana mahasiswa lainnya, yakni boleh bertanya, menanggapi dan lain sebagainya. Para peserta bisa bertanya akan banyak kasus yang terkait dengan tema untuk menguatkan pemahaman. Selama 90 menit di awal inilah, dosen yang berperan sebagai peserta memberikan peluang penuh pada kelompok yang bertugas untuk memecahkan belbagai permasalahan yang diajukan oleh teman-temannya. Barulah di 10 menit terakhir, dosen kembali bertugas sebagai dosen untuk menguatkan jawaban kelompok presentator dan juga meluruskan jawaban yang dirasa kurang tepat. Di akhir diskusi, kelompok presentator berhak memilih tiga peserta terbaik; dimana peserta terbaik tersebut akan mendapatkan nilai keaktifan dalam kelas. Dengan model seperti ini, tampak antusias mahasiswa sangat besar dan hal ini ditunjukkan dengan semaraknya forum diskusi. Penilaian pun dilakukan secara transparan; dimana sejak awal perkuliahan, mahasiswa dan dosen telah melakukan kontrak perkuliahan untuk menyepakati jenis penilaian yang akan dilakukan. Dengan demikian, mahasiswa menjadi lebih bertanggungjawab dan antusias untuk menggapai hasil yang mereka harapkan.
61 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
Latar belakang Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam cukup beragam, mulai dari berlatar belakang pendidikan SMA, MA, SMK, dan juga Pesantren.Yang dimaksud berlatar belakang pesantren adalah mereka yang secara formal belajar Madrasah Aliyah (MA) sekaligus belajar di pesantren. Sedangkan selainnya, tidak belajar di pesantren. Perbandingan jumlah mahasiswa JIAI berdasarkan latar belakang jenis pendidikan mereka Nampak dalam tabel berikut. Tabel 4.2 Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa Reguler dan Non-Reguler Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa Reguler No. Jenis Pendidikan
Jumlah
Prosentase
1.
SMA
19
48,7%
2.
SMK
1
12,8%
3.
MA
14
35,9%
4.
Ponpes
5
2,6%
Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa Non- Reguler No. Jenis Pendidikan
Jumlah
Prosentase
1.
SMA
22
57,9%
2.
SMK
3
7,9%
3.
MA
13
34,2%
4.
Ponpes
0
0
Ternyata Mahasiswa JIAI yang berlatar belakang pendidikan SMA adalah mayoritas, baik pada kelas regular maupun non regular. Pada kelas regular jumlah mereka sebanyak 48,7 %. Sedangkan pada kelas non-reguler sebanyak 57,9%. Urutan berikutnya adalah berlatar belakang MA, kemudian SMK dan paling sedikit pesantren yang hanya ada di kelas regular. Keragaman tersebut tentunya berdampak dalam pemahaman dalam materi Fiqih. Asumsi dasarnya, mereka yang memiliki waktu belajar lebih V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 62
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
banyak akan memiliki pemahaman yang lebih baik yang berdampak pada lebih baiknya nilai yang mereka dapatkan sebagai bukti atas pemahamannya tersebut. Namun ternyata bila di amati dari hasil yang didapatkan oleh mahasiswa dengan beragam latar belakangnya dibawah ini, akan didapati hasil yang tidak sinkron. Mahasiswa
JIAI
memiliki
pandangan
berbeda-beda
tentang
pembelajaran fiqih di SLTA (SMA, MA, SMK, dan Ponpes) dan di JIAI. Namun demikian perbedaan tersebut hanya terjadi pada perbedaan sudut pandang, namun secara substansi pandangan mereka sama. Secara garis besar, pandangan mahasiswa tentang pembelajaran Fiqih sebelumnya dan juga pembelajaran Fiqih di Jurusan Ilmu Agama Islam adalah sebagai berikut, Pandangan akan Pembelajaran Fiqih sebelumnya di SLTA Pembelajaran
Pembelajaran
Pembelajara
Fiqih di SMA
Fiqih di MA
n
Fiqih
Pembelajaran
di Fiqih di Pesantren
SMK Tektual,
Teoritis
Rumit
Tekstual
Berpusat pada guru
Hafalan
Tidak Praktis
Menarik
Waktu terbatas
Rumit
Ceramah
Menghafal
Umum dan dasar
Ceramah
Ceramah
Deskriptif
Ceramah
Tanya-jawab Tugas
63 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
Pandangan Mahasiswa akan Pola Pembelajaran Fiqih di JIAI
Pandangan
Pandangan Mahasiswa
Berlatar
Belakang SMA
Mahasiswa Berlatar Belakang MA
Pandangan
Pandangan
Mahasiswa
Mahasiswa
Berlatar
Berlatar
Belakang
Belakang
SMK
Pesantren
Kontekstual, dengan
Analitis
Diskusi
Analitis
kasus
Penyelesaian
bebas
Menarik
Analitis
masalah
Menarik
Pemecahan
Kritis
Analitis
Aktif
masalah
Mahasiswa
Menghargai
Mendetail
Learning
aktif
pendapat
Lebih bermakna
Terperinci
Banyak
Dihubungkan
Waktu banyak
contoh
dengan
kasus
nyata
Student
Centerd-
Belum
banyak
dunia
praktik Dalam dan luas Metode diskusi Pandangan akan Pembelajaran Fiqih Ideal Pola Pembelajaran Fiqih Ideal Alumni SMA
Alumni MA
Alumni
Alumni
SMK
PESANTREN
Kasus sesuai
Menggunakan
Diskusi
Berpikir
dengan
teori
kasus
bebas
masalah yang
alat analisis
Mahasiswa
kritis
berkembang
Mendiskusika
aktif
Melintasi
Luas
n kasus
kreatif
dan
untuk
dan
dan
madzahab-
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 64
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
dalam
Menggunakan
Lebih
madzhab
Sinergi antara
peta konsep
banyak
Berorientasi
teori
Student
pada
pada
Praktik
Centered-
praktik
dan praktik
Dengan
Learning
Mengacu
metode
Keterpaduan
pada
beragam
teori
referensi-
dan
Mulai
dari
dan
teori
referensi
praktik
dasar sampai
yang
pada masalah
berbeda,
kompleks
baik
Dosen
maupun
memberikan
modern
klasik
penjelasan singkat saja
Sedangkan terkait kecenderungan mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI) dalam memahami fiqih, tampak sekilas ada perbedaan antara mahasiswa yang berlatar belakang SMA, MA, SMK, dan pesantren. Tetapi sesungguhnya
hasil
temuan
menunjukkan
bahwa
pada
hakikatnya
mahasiswa JIAI memiliki kecenderungan sama, yaitu cenderung berupaya memahami fiqih secara kontekstual, kendatipun latar belakang jenis pendidikan berbeda ketika di SLTA Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI) berlatar belakang SMA cenderung menilai bahwa fiqih tidak siap saji dan terkesan hanya mereproduksi hasil ijtihad para ulama, dan disakralkan. Oleh karena itu, pembelajaran fiqih perlu dilakukan cara berpikir dialektis, yaitu dialektika antara teks dan konteks. Sedangkan mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI) berlatar belakang MA cenderung menilai bahwa fiqih perlu pembaharuan karena berkembangnya faktor stagnasi pemikiran. Mereka pun mengemukakan area 65 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
pembaharuan
Fiqih
dan
alasan
perlunya
pembaharuan
Fiqih
serta
stagnannya pembaharuan pemikiran Fiqih saat ini. Adapun mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI) berlatar belakang SMK cenderung menilai bahwa fiqih yang dibutuhkan saat ini adalah Fiqih Maqashid dan hendaknya Fiqih dipahami sebagai sumber etika sosial dan kemashlahatan. Terakhir, mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI) berlatar belakang Pesantren cenderung menilai bahwa fiqih yang sangat dibutuhkan saat ini adalah Fiqih hubungan antar agama; Fiqih yang terkait dengan Aqidah serta pentingnya pembaharuan Fiqih. Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1. Pada masa sebelumnya, mahasiswa alumni SMA dan SMK umumnya mendapatkan materi yang bersifat praktis, singkat dan terkesan lebih menitikberatkan pada hafalan. Hal ini bisa jadi dikarenakan jam pelajaran agama yang terbatas dan terbaur dengan materi lainnya selain Fiqih. Akses terhadap literatur Fiqih pun terbatas, kecuali bila mereka mengikuti pengajian di luar jam pelajaran 2. Pada masa sebelumnya, alumni MA dan Pesantren umumnya mendapatkan materi Fiqih yang lebih kaya dan beragam. Bahkan mereka memiliki peluang yang lebih luas dalam mengakses literatur Fiqih. 3. Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam alumni SMA dan SMK umumnya memiliki rasa ingin tahu yang cukup dalam memahami materi Fiqih. Mereka cukup kritis dalam menganalisa permasalahan yang ada walaupun hal tersebut bermakna mereka harus bekerja lebih keras untuk mengejar ketertinggalannya dalam memahami Fiqih dasar. 4. Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam alumni MA dan Pesantren umumnya telah memahami materi yang ada bahkan materi yang ada terkesan berulang bagi mereka hingga memunculkan sedikit kebosanan dan menumpulkan rasa keingintahuan dan analisis mereka dan hal ini ditunjukkan dengan tidak
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 66
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
lebih baiknya nilai yang mereka dapatkan dari mahasiswa lain yang sebelumnya mempelajari materi tersebut lebih terbatas dari mereka 5. Pembelajaran Fiqih ideal bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam alumni SMA dan SMK adalah pembelajaran yang kembali pada dasar, mengingat mereka belum memiliki pondasi dasar yang cukup bagus serta waktu yang lebih banyak. 6. Pembelajaran Fiqih ideal bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam alumni MA dan Pesantren adalah pembelajaran yang berorientasi pada praktek di setiap materinya. Kecenderungan belajar Fiqih bagi setiap mahasiswa dengan berbagai latarbelakangnya memiliki corak yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun secara garis besar, sebagian besar dari mereka sepakat untuk mempelajari Fiqih tidak hanya terfokus kepada teks, namun juga bersifat kontektual hingga mereka mampu menganalisis dan menjawab permasalahan Fiqih yang ada pada masa ini, yang belum pernah ada pada masa sebelumnya. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan maka bisa disusun saran-saran sebagai berikut, 1. Untuk menciptakan kelas dengan kemampuan dasar yang sama, maka ada baiknya di adakan kelas khusus bagi para mahasiswa alumni SMA dan SMK untuk kembali mempelajari dasar hukum fiqih, guna mengejar ketertinggalan mereka di kelas 2. Pembelajaran kontekstual sangat dibutuhkan pada masa kini, dimana mahasiswa belajar mengidentifikasi permasalahan fiqih yang ada dan menganalisisnya untuk kemudian memberikan solusinya. Karenanya, pembelajaran model ini hendaknya semakin mendominasi di semua materi yang terkait dengan pembelajaran Fiqih, baik itu Fiqih (dasar) maupun Masail Fiqhiyah 3. Pembelajaran Fiqih pun idealnya disertai dengan banyak praktek, hingga ada baiknya jurusan sesekali menugaskan mahasiswa untuk magang di institusiinstitusi yang terkait langsung dengan praktek fiqih di masyarakat, hingga 67 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
dipahami aplikasi real dari praktek fiqih, seperti di MUI, lembaga zakat, lembaga pengurusan jenazah, takmir masjid, KUA, dan lain sebagainya. Referensi Abdullah, Taufik, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Tahun 2002 Abdullah, Syaiful, Arah Rekonstruktif Metode Istinbath Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam Proses Awal penetapan Fatwa Hukum Tahun 2000-2010 (Analisa Tahkim Ilmu Ushul Fiqh), 2012 As-Shiddieqy, Hasbi,, Filsafat Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001 Basynadi, Nibal. Dirasat maudhuiyyah ‘ala mazhab Imam Syafi’i. Kairo: Jami’at Azhar Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996. Crewewell, John W., Reserrch Design Qualitative
& Qualitative Approaches,
Jakarta; UI Press, 2000 Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hal.255 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Dahlan, Abdul Aziz (.. et al). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Dali, Peunoh, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2010 Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2011 Kahlawi, Ablah. Min Huda syariah fil ibadat; diraasatun fiqhiyyah muqaaranah. Kairo: Al Azhar Kairo Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Kairo: Dar Qalam, 1978 V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 68
Latar Belakang Mahasiswa dalam Memahami Fiqih
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999 Nurbaini, Siti, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Santri dalam Pembelajaran Fiqih Bab Shalat Melalui Media Gambar di Kelas Iqra 3-4 TPQ Al-Fattah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2011 Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995 Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwas of The Council of Indoneisan Ulama (a Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1957-1988), 1989 Qattan, Manna’ Khalil al-, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera antar Nusa, 2001 Qorib, Ahmad, Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997 Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, Jakarta: Robbani Press, 1997 Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Kairo: Dar Fatah, 1999 Sari Narulita, Ushul Fiqh, Jakarta: Ulinnuha Press, 2011 Syarifudin , Amir, Garis-garis besar Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
69 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Syamsul Arifin dan Sari Narulita
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 70
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
KESEDERHANAAN PRIBADI NABI MUHAMMAD DAN APLIKASINYA DALAM FAKTA SOSIAL (Sebuah Kajian Nilai al-QurAn dan Hadis) Khairil Ikhsan Siregar Universitas Negeri Jakarta Abstract The peper speeching about: “Simplicity Personal of Prophet Muhammad and Its Application in Social Facts”. Psychological of Prophet already ingrained from childhood to adulthood, with the emergence of consciousness, initiative, creative, empathetic, as joining to help his uncle Abdul Muttalib lighten the work of his uncle, so his grandfather and his uncle unfortunately, to himself as a substitute for parents. Will allow the Prophet for scuba. This personality produced social intraction both to individuals or to the public, such as the Prophet has reconciled the dispute among the tribes when want to return the stone of the black stone to the place of beginning, and others. But that personality, although after appointed a prophets and apostles and became leader the ummat in one islamic state, turns social intercourse prophet still an humble, earthy, and egaliter. It, many in deed prophet memasyarakat, sit with his people bitter tasting and delighted together. Prophet not use his authority to enrich up--and but he was more prioritizing everybody else than himself and his family. Keyword: Prophet personality Muhammad, Social Facts.” A. PENDAHULUAN
Umat muslimin meyakini semua perbuatan dan perkataan dan ketetapan Nabi Muhammad adalah jalan hidup yang selalu memberi penerangan bagi kaum muslim
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kedudukan Nabi
Muhammad dijadikan sebagai sosok manusia paripurna sebagai contoh bagi pengikutnya
dalam
berbagai
aktivitas
kihidupanan.
Karena
perkataan,
perbuatan dan ketetapan beliau diyakini sebagai rujukan sumber syari’ah Islam yang kedua atau yang disebut al-Hadis. Sedang sirah Nabi adalah refeleksi dari perjalanan hidup Nabi Muhammad yang
mencakup akhlak dan segala aktifitasnya yang dipahami secara
konseptional sebagai prinsip, kaidah, dan hukum bagi umat Islam. Maka dari itu, 71 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
perhatian umat Islam sangat besar khususnya para intelektual muslim sehingga melahirkan ribuan karya yang tidak henti-hentinya sampai sekarang. Karena perjalanan kehidupan Nabi Muhammad bisa juga dikatakan sebagai “metafora” (metaphor) berarti untuk suatu objek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Artinya menjadikan kehidupan Nabi sebagai sentral contoh bagi manusia yang berkeinginan keberhasilan di dunia maupun di akhirat. Kajian sirah nabawiyah sekarang ini banyak dirujuk kepada hadis-hadis sebagai dokumentasi tetang Nabi dihimpun dan dikodifikasi para ulama terdahulu khususnya ulama hadis, melalui jalan periwayatan sampai kepada Nabi, dan sahabat
maupun tabiin muridnya sahabat. Sehingga telah
memunculkan disiplin ilmu hadis untuk kepentingan keafsahan sebuah beritan tetang Nabi. Maka kajian sirah Nabi tidak terlepas dari kajian periwayatan sebuah hadis ditolak atau diterima, karena kuliatas hadis mentukan transformasi konsep yang akan dijadikan landasan bagi umat Islam. Salah satu tema yang menarik dari sirah
Nabi Muhammad
adalah
kehidupannya yang sederhana. Tetapi perlu diketahui terlebih dahu arti dari sebuah kedeserhanaan yang diambil mulai dari secara efistimologi, seperti banyak diartikan sebagai cara hidup yang relatif cukup tidak berlebih-lebihan. Kalau dirujuk juga kata sederhana dalam berbagai kamus bahasa, seperti Indonesia , Arab atau Inggris artinya adalah bersahaja, mudah, gampang dan lapang. Seperti di dalam bahasa Arab (
), atau dalam bahasa
Inggris; simple, easily done or understood. Kalau dilihat dari beberapa perspektif arti daripada kehidupan sederhana, seperti di antaranya dari kelompok sufi mengartikan dengan arti zuhud artinya hidup sederhana atau mengurangi nafsu. Sedangkan Soetanto Soepiadhy berpandangan hidup sederhana adalah pola hidup bersahaja tidak melampui batas atau berlebihan. Dari itu pemakalah tertarik mengangkat satu tema dari sirah Nabi dilihat dari sisi kehidupannya yang mencerminkan akhlak yang agung, yaitu kesederhanaan pribadi Nabi Muhammad SAW. selama hidupnya. Karena beliau dikabarkan dari riwayat hadis, sperti antara lain bahwa Nabi pernah merasakan V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 72
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
kelaparan bersama keluarganya. Maka penelitian
terinspirasi dari sebuah
riwayat dari kitab sunan imam al-Tirmidzi dan Al-Syamāilnya, yang menjelaskan sebagian dari makananya “bahwa Nabi pernah menahan lapar sampai-sampai mengikat dua buah batu diperutnya”. Yang dipahami dari arti hadis ini adalah keperibadian
seorang
Nabi
yang
bersahaja,egaliter,dan
memasyarakat.
Kemudian dibahas selengkapnya dari bebagai bahasan di antranya syahid hadis, kritik hadis, dan kontekstualisasi hadis khususnya di bidang hungan sosial. Karena Nabi tidak telepas dari sebagai sosok manusia biasa yang melakukan pernikahan untuk melahirkan keturunan, makan, minum dan beliau juga mempunyai kedudukan sebagai pemimpin kekuasaan sekalian Rasul sering bertindak ikut serta mengikuti sahabatnya dalam peperangan bahkan menjadi pimpinan perang.
B. PEMBAHASAN
1. Teks Hadis, Dan Syahid
Setelah dirujuk dari kitab mu’jam al-mufahras li alfāz al-hadis, teks hadis bab ini hanya diriwayatkan oleh imam muhadis al-Tirmiziy saja; kitab al-zuhud, bab 39, jilid 4, h.2371, hlm.182. Kemudian hadis-hadis yang menjadi
syahidnya
diambil dari kitab al-Syamāil al-Muhammadiyyah wa al-Khashāis al-Musthafawiyyah karya dari al-Imam Abi ‘Ῑsā Muhammad bin Ῑsā bin Surah al-Tirmiziy yang dikritik dan dikomentari oleh al-Jalimiy, Sayyid bin Abbas: terdapat beberapa 73 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
hadis
tetang kesederhanaan kehidupan Nabi
Rasulullah SAW.”
pada bab “ mā jāa fī ‘aisyi
hlm.169. Akan tetapi kajian teks pada makalah ini hanya
mengangkat teks hadis nomor 2371 dari kitab sunan al-Tirmiziy.
1.1 Teks Hadis: -
-
-
-
Arti hadis: al-Imam al-Tiarmiziy meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Ziyād, berkata: Sayār bekata:Sahal bin Aslam berkata : dari Yazid bin Abi Mansūr dari Anas bin Malik dari Abi Thalhah berkata: Kami melaporkan kepada Rasulullah SAW. bahwa kami merasakan kelaparan dan lalu kami tunjukkan satu batu yang terikat dalam perut kami, begitu juga yang lain satu batu, lalu Rasulullah menunjukkan dua batu yang diikat pada perutnya. -
Artinya: Zainab binti Abi Thaliq menyampaikan kepada kami, Hayyan bin Hayyah menyampaikan kepada kami dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah pernah mengikat batu di perutnya karena merasakan kelaparan. -
Artinya: Hadis Jabir berkata: Pada masa perang khandaq saya mengarahkan pandanganku kepada Rasulullah SAW. lalu saya menemukan bahwa beliau telah meletakkan batu di antara dirinya dan kain sarungnya dengan mengikatnya kencang untuk menahan lapar. 1.2 Teks Hadis-hadis dari kitab Sunan al-Tirmiziy selain hadis bab salah satunya:
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 74
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
Artinya: al- Imam al-Tirmiziy meriwayatkan dari Qutaibah bin Said, Abu alAhwas berkata dari Simāk bin Harb berkata: saya mendengar al-Nu’mān bin Basyīr berkata: Bukankah kalian mempunyai makanan dan minuman yang berlebihan ?, sesungguhnya saya telah melihat Nabi kalian Muhammad SAW. bahwa beliau hanya makan kurma yang kurang bagus yang
tidak
bisa
mengenyangkan. 2. Analisis Sanad Hadis 2.1 Struktur Sanad Hadis Di dalam hadis ini al-Tirmiziy meriwayatkan dari beberapa tingkatan sihingga sampai kepada perawi terakhir yaitu sahabat, dan urutannya sebagai berikut: 1.al- Imam al-Tirmiziy 3. Sayār
2. Abdullah bin Abi Ziyād 4. Sahal bin Aslam
5. Yazid bin Abi Mansūr
6. Anas bin Malik
7. Abi Thalhah
2.2. Kritik Hadis dan Komentar Ulama Sesungguhnya sanad hadis ini, telah dikritik Jalīmiy
dalam
kitab
al-Syamāil
oleh Sayyid bin ‘Abbās al-
al-Muhammadiyyah
wa
al-Khashāis
al-
Musthafawiyyah karya dari al-Imam Abi Isā Muhammad bin Isā bin Surah alTirmiziy . Sebagai berikut: bahwa dalam sanad hadis ini ada kelemahan ( fīhi du’fun), lalu hadis ini telah
ditulis Iman al-Tirmiziy dalam kitab sunannya
dengan nomor hadis 2371, di kitab al-zuhud pada bab tetang kehidupan sahabat
75 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
Rasulullah yang diriwayat dari Abdullah bin Abi Zayād melalui isnad ini, dikatakan adalah gharib. Kemudian di dalam tersebut ada Sayyār bin Hātim al-‘Anziy dan Imam Ibn Hibbān memasukkannya dalam katagori al-siqāt (8/298) dan Abu Dāwūd berkata dari al-Qawārīriy: lam yakun lahu ‘aqlun ( perawi ini tidak mengerti ) akan tetapi belum sampai dikatakan seorang pembohong. Dan Abu Ahmad alHakim berkata: “ bahwa di dalam hadis-hadisnya ada juga hadis-hadis munkarāt”.
Al- ‘Aqīliy berkata: “ bahwa kebanyakan hadis-hadisnya manākir
dan telah dilemahkan oleh Ibn al- Madīniy”. Lalu Al- Azdīy berkata: “ bahwa dia memilki
hadis-hadis munkar, sedangkan al-Hafiz berkata: “ bahwa dia
shadūq tetapi dia juga awhām”. Dan guru al-Tirmiziy (al-Mushannif) adalah Abdullah bin al-Hakam bin Abi Ziyād al-Qathawāniy al-Dahqān, dan dia seorang perawi yang shadūq dan Saha bin Aslam al-‘Adawiy dia shadūq, dan Yazid bin Abi al-Mansūr al-Azdiy alBashriy dikatakan : lā baksa bihi. Kemudian Anas bin Malik adalah sahabat yang besar begitu juga Abu Thalhah Zayyid bin Sahal sahabat ra dan semua yang lain. Hadis ini juga diriwayatkan Abus al-Syaikh (hlm. 265), dari Muhammad bin Yahya dari Abdullah bin Abi Zayād . Al-Baghawiy juga meriwayatkanya dalam kitab syarh al-sunnah dengan nomor hadis 4079 dari iman al-Tirmiziy. Dan ada juga hadis lain selain redaksi al-jū’ tetapi dengan redaksi al-ghartsu dimasuk oleh al-Baniy al- ‘Allamah dalam al-Shahīhah dengan nomor 1615. Dan hadis pertama didapatkan dari mu’jam Ibn al-A’rabiy dari jalan Zainab binti Abi Thalīq menyampaikan kepada kami dari Hayyān bin Hayyah dari Abi Hurairah : Bahwa Rasullah mengikat batu di atas perut karena lapar (dengan redaksi
al-gharts). Dan al-Baniy mengatakan bahwa isnadnya gharib, lalu
berkata: saya belum mengetahui kedua hadis ini kecuali dari sanad dari Abi Hurairah.
Pentahkik
kitab al-Syamāil al-Muhammadiyyah wa al-Khashāis al-
Musthafawiyyah ini, berkata bahwa dalam hadis tersebut ada tashīf dan tahrīf V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 76
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
sebenarnya yang meriwayatkan dari Abi Hurairah adalah Hibbān bin Jaz’i, dan Ibn
Hibbān
memasukkannya
dalam
kitab
al-siqāt-nya
(4/181),
dan
diterjemahkan Imam al-bukhariy dalam kitab al-Tārīkh al-Kabīr-nya (2/1/7/89) ditemukan ada nama Jaz’i di akhir terjemahannya dan beliau tidak menyebutkan jarhan maupun
ta’dīlan, beliau juga menyebutkannya dalam
kitabnya al-jarh wa al-ta’dīl-nya ( 3/268), lalu telah diterangkan lagi oleh al‘Allahmah al-Mu’allim al-Yamaniy dengan nama ibn jazī’, dan banyak yang meriwayat dari beliau diantaranya Zainab binti Abi Thalīq. Al-Hafiz berkata: beliau shadūq dalam kitab taqrīb, dan Ibn Sa’ad juga meriwayatkannya dalam kitab thabaqāt-nya (1/2/114) dari al-Dhahhak bin Mukhallad bin Abi ‘Ashim dari Zainab binti Abi Thalīq umu al-Hashin lalu berkata: Hibbān bin Juz’ Abu Bahar dari Abi Hurairah menyampaikan kepada saya. Lalu al-Bani mengakhiri perkataanya untuk kritk hadis bab ini dengan kata “ bahwa dengan mengumpulkan data tiga riwayat tersebut maka beliau
menilai hadis ini
dengan kualitas hasan, dan Allah Yang Maha Tahu”.
3. Analisis Matan Hadis
3.1. Perbedaan Redaksi Dalam Hadis Bab Sesungguhnya perbedaan redaksi hadis (matan hadits) dalam hadis bab ini tidak terlepas dari istilah priwayatan hadis dengan makna (riwāyatul hadits bilmaknā). Pembicaraan periwayatan hadis dengan makna boleh atau tidak sudah terjadi sejak masa Nabi, sahabat, dan tabi’in. Akan tetapi, pendapat sahabat juga berbeda di antaranya; manahan mulutnya untuk menyampaikan suatu hadis yang
lupa
lafadz
dari
Nabi,
sebagian
memahami
takut
dari
dosa
menyembunyikan ilmu maka memilih menyampaikan hadis dengan makna hadis. Kemudian permasalahan periwayatan hadis dari Nabi di kalang sahabat dan tabi’in sudah terjawab setelah ada keterangan dari Nabi b membolehkan
77 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
untuk periwayatan hadis dengan maknanya saja dengan syarat jika lupa kalau hapal tidak dibolehkan. Perbedaan redaksi hadis dalam bab ini tidak terjadi perubahan makna yang jauh, tetap masih memakai kosa kata yang dapat dimengerti oleh bangsa Arab, dan dua kosa kata “al-jū’ , dan al-gharts” dua kosa kata yang bermakna sama dalam kamus-kamus besar Arab yang artinya lapar. Artinya dua kosa kata ini terpakai di dalam bahasa keharian orang-orang Arab.
3.2. Pendapat Ulama tetang kedudukan Hadis Hasan Karena hadis bab dikritisi berkualitas hasan, sebagaimana diketahui penilaian kualitas hadis telah di bagi ulama hadis kepada 3 bagian; shahih,hasan dan dha’if. Berdasarkan kepada krediblitas orang-orang perawi hadis, terutama adalah bidang hapalannya (dhabth), keadilannya (‘adlu), dan dipercaya (tsiqah). Maka hadis hasan ada antara dua kreteria shahih dan dha’if kalau dibandingkan hadis hasan dengan hadis shahih hanya beda sedikit di hapalan perawinya lebih lemah daripada hadis shahih. Kehujaan dengan hadis hasan dari kedua jenisnya; hadis hasan lizatih dan hadis hasan lighairih dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana hadis shahih. Meski hadis hasan memiliki kekuatan di bawah hadis shahih. Oleh karena itu, sebagian ulama memasukkannya ke dalam kelompok hadis shahih, antara lain al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah meskipun mereka
mengetahui
bahwa hadis hasan memiliki kekuatan di bawah hadis shahih, dengan bukti tetap menangkan hadis shahih bila terjadi kontradiksi.
3.3. Rasionalisasi Hadis bab dalam Kontektualisasinya sebagai Konsep Kedudukan hadis sebagai landasan ajaran yang diikuti umat Islam, tetap membutuhkan penjelasan (syarah) sama dengan seperti al-Qur’an dibutuh penafsiran ayat-ayatnya oleh para ahli tafsir. Dari itu, hadis bab ini V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 78
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
kandunganya perlu diapresiasikan atau dilakukan pengamatan terhadap nilainilai dalam kandungannya. Karena hadis berfunsi seharusnya sebagai konsep yang bisa diikuti umat Islam, “ Ibarat organisme hidup yang bergerak dinamis sesuai langgam perkembangan masyarakat”. Di dalam kandungan hadis-hadis bab ini, yaitu tetang tarap hidup Nabi atau situasi yang menceritakan kondisi kehidupan Nabi bahwa beliau telah pernah merasakan kelaparan dalam masa hidupnya. Atau Nabi bersama keluarganya sering makan kurma yang kurang bagus tidak bisa mengenyangkan. Kondisi kesederhanaan hidup Nabi sampai-sampai orang non Islam (Yahudi) melihat atau mengetahui kondisi tersebut lalu menegor sahabat Nabi bisa makan yang enak dan memiliki makanan lebih. Dan di dalam hadis lain dari bab ini, juga mengakabarkan bahwa Nabi tidak pernah kenyang makan roti atau danging kecuali pada waktu-waktu makan bersama dengan sahabatnya. Dalam hadis bab ini memakai kata ‘ala dhofaf (makan bersama dengan orang banyak). Artinya Rasulullah itu, sebagai manusia biasa memiliki gambaran kehidupan keluarganya yang diajarkan hidup sederhana atau sampai kondisi prihatin. Tetapi, apakah teks-teks hadis bab ini bisa difahami secara lahiriahnya saja sehingga umat Islam harus berkehidupan seperti apa yang di dalam tersebut. Sirah kehidupan Nabi tidaklah masuk dari syari’at yang menekankan untuk diikuti sebagai konsep utuh yang harus ditaati jika tidak akan berdosa atau inkar. Sesungguhnya pun berita kehidupan Rasulullah demikian tidak lain hanya sebagai contoh bagi umat Islam agar bisa mencontoh Nabi dalam kondisi prihatin harus bisa membandingkan dirinya dengan Rasullah manusia yang paripurna bisa menerima kondisi prihatin atau agar bisa hidup sederhana. Di dalam hadis bab ini juga, “bahwa kondisi merasakan kelaparan diberitakan bukan hanya Nabi saja tetapi sahabat-sahabat terdekatnya Abi Bakar dan Umar bin Khathāb bertemu dengan Rasullah di malam hari dalam keluhan yang sama merasakan sangat laparan sehingga baik Nabi atau sahabatnya telah mengikatkan batu diperut masing-masing untuk mendingankan perut menahan rasa kelaparan, dan ternyata kondisi lapar yang dirasakan Rasulullah lebih dari
79 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
sahabatnya karena beliau sudah mengikat dua batu keras-keras di perutnya sedang sahabatnya baru satu batu. Walaupun kualitas hadis-hadis bab tetang kehidupan Rasulullah berkualitas shahih dan hasan tidaklah berlaku syari’at. Karena kedudukan hadis-hadis tetang kehidupan Rasulullah tidak termasuk syari’at
atau hukumnya wajib
untuk diikuti. Artinya cara hidup yang dicontohkan Nabi bukanlah satusatunya cara menahan kondisi kehidupan Umat Islam disaat prihatin. Kalau diperhatikan kepada contoh ungkapan redaksi hadis-hadis Rasulullah yang lain, seperti :
Artinya: al-Qādhiy Tajuddin al-Sabakiy: saya mendengar dari al-Ahmar dari Yazid bin Sinan dari Abi al-Mubārak dari ‘Atha’ dari Abi Said al-Khudriy berkata: Cintailah orang-orang miskin sesungguhnya saya mendengar Rasulullah di dalam doanya; “ wahai Allah, berilah aku hidup dan matikan dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin kelak di hari kiamat”(H.R.Imam atTirmidzi dan Ibnu Majah) Pemahaman teks hadis ini seakan-akan umat Islam dianjurkan agar hidup miskin sebagai cara hidup yang paling baik karena
pemahaman leteral
demikian isinya memang bisa dipahami bahwa Rasulullah saja mengharapkan agar menjadi orang miskin dan hidup bersama kelompok masyarakat miskin , artinya jika seseorang bisa hidup miskin adalah cara hidup yang ideal. Sebaliknya, kehidupan yang dimohon Rasul itu tidak bisa dipahami secara lahiriah, sedangkan ungkapan hadis tersebuta adalah merupakan ekspresi Nabi di depan Tuhannya sebagai kerendahan hatinya.
Imam al-Walid berkata: “
Rasulullah tidak pernah menjadi seorang fakir atau kondisinya kodisi orang fakir , sesungguhnya beliau orang yang paling kaya yang bisa mencukupi dunianya maupun kebutuhan keluarganya, sedangkan kata-kata beliau “ wahai
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 80
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
Allah aku hidup miskin” , maksudnya memiliki hati yang tenang bukan arti miskin yang membutuhkan belas kasihan, bahkan Rasulullah menolak keras bagi yang berkeyakinan
dengan mengartikan sebgai orang miskin yang
menunggu pemberian orang”. Maka sebenarnya Nabi meminta kepada Allah agar dijahukan dari sifat buruk, seperti sombong, congkak, di depan pengikutnya. Sedang sebenarnya Nabi Muhammad selalu memperlihatkan sikap memasyarakat, egaliter, dan bersahaja. Memaknai hadis-hadis bab di atas dan contoh hadis tersebut secara lahiriah memperlihatkan kehidupan Nabi yang kurang atau dalam kodisi yang memprihatinkan, tetapi banyak juga hadis-hadis Nabi dalam beberapa sabdanya, bahwa Nabi sering menekankan pentingnya hidup kuat, mandiri, serta berkecukupan. Seperti contoh hadis berikut:
Artinya:
Muhammad
bin
al-Mutsannā
dan
Muhammad
bin
Basysyār
berkata:Muhammad bin Ja’far berkata: Syu’bah meriwayatkan dari Abi Ishaq dari Abi alAhwash dari Abdullah dari Nabi SAW. bahwa beliau berkata: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, harga diri, dan kekayaan”.(H.R.Imam Muslim,al-Tirmidzi,Ibnu Majah,dan Ahmad ibnu Hambal). Dengan demikian, makna hadis tersebut telah menolak agar kaum muslim harus mendambakan hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi hadis ini menjelaskan bahwa Nabi mengharapkan pengikutnya adalah orang-orang kuat baik fisik, materi, dan memiliki harga diri. Yang selalu dalam petunjuk ajaran Allah.
81 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
4. Fakta-fakta Sosial Yang Membentuk Kepribadian Nabi dalam Kebersahajaan dan Memasyarakat Korelasi hadis-hadis bab dengan fakta-fakta sosial yang dilalui Nabi sangat kuat hubungannya. Artinya, sikap kesederhanaan di dalam diri Nabi erat dengan lingkungannya, yakni situasi yang melatih dirinya untuk mengalah dan membiarkan kehidupan dirinya bersama orang –orang yang sederhana. Maka kondisi sosial sebelum diangkat menjadi Rasul adalah sirah yang menguatkan sosok
Nabi
memiliki sikap sosial yang tinggi memasyarakat, egaliter, dan
bersahaja. Kondisi hidup Nabi yang sederhana bisa ditinjau dari fakta-fakta sosial yang mempengaruhi kualitas kesadaran Nabi bersikap rendah hati, sabar di depan pengikutnya. Kajian ini bisa dihubungkan fakta sosial di fase-fase kehidupan beliau sejak masa kecilnya sampai menjadi Nabi dan Rasul dengan data-data yang bisa memberi petunjuk. Tetapi ilmu umum seperti ilmu antropologi dan ilmu psikologi bisa menambahkan dalam penelitian ini, walaupun ilmu-ilmu tersebut lebih mengutamakan data-data empiris yang kadang berlawanan dengan keyakinan keberagamaan.
4.1. Kepribadian Nabi Muhammad Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) lebih dikenal dengan alsyakhshiyah. Syakhsiyah berasal dari kata syakhshy yang berarti pribadi. Kata kemudian diberi ya nisbiyah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’iy). Syakhshiyah yang berarti kepribadian. Namun dalam literatur Islam kata, syakhishiyah,telah banyak digunakan untuk mengambarkan dan menilai kepribadian individu. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa kata syakhshiyah telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Jadi kepribadian adalah totalitas sifat manusia baik fisik maupun psikis, yang membedakan antara manusia yang satu dengan lainnya. V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 82
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
Kepribadian Nabi ditinjau dari psikisilogi banyak dipengaruhi lingkungan sosial yang sederhana walaupun sebenarnya kakeknya Abdul Muthallib adalah seorang ketua kaum dan seorang exportir biasa membantu orang banyak sesuai dengan kemampuannya sehingga kerja samanya menghasilkan harta yang banyak. Di musim haji sering memberi makan dan minum para hujjaj atau yang sedang melaksankan haji sampai selesai musim haji. Tetapi Rasulullah yang dalam yatim hidup bersama keluarga ibu susuannya sampai umur 5 tahun, kemudian di umur 6 tahun ibunya meninggal maka dia menjadi anak yatim piatu. Lalu diasuh kakeknya di umur 8 tahun kakenya juga meninggal. Kondisi psikologis Nabi yang tidak
pernah diperkenalkan dengan kehidupan
materilistik dari kehidupan lingkungan kakeknya telah membentuk psikologis Nabi untuk tidak terpengaruh dengan materi di dunia. Kepribadian beliau juga terbentuk oleh berbagai perasaan, emosi, dan keinginan bermacam-macam hal yang ada dalam lingkungannya.
Seorang ahli etnopsikologi bernama A.F.C
Wallace, pernah membuat suatu kerangka tetang seluruh materi yang menjadi objek dan sasaran unsur-unsur
kepribadian manusia secara sistematis.
Kerangka itu memuat tiga hal (hal pertama merupakan isi kepribadian yang paling pokok), yaitu: a.
Beragam kebutuhan biologis diri sendiri, beragam kebutuhan dan dorongan psikologis diri sendiri, dan beragam kebutuhan dan dorongan baik biologis maupun sesama manusia selain diri sendiri. Sedangkan kebutuhankebutuhan tadi dapat dipenuhi atau tidak dipenuhi oleh individu yang bersangkutan sehingga memuaskan dan bernilai positif baginya, atau tidak memuaskan dan bernilai negatif.
b. Beragam hal (objek) yang bersangkutan dengan kesadaran individu akan identitas diri sendiri, (“identitas aku”), baik aspek fisik maupun psikologis, dan segala hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu mengenai bermacam-macam kategori manusia, binatang,tumbuh-tumbuhan, benda, zat, kekuatan, dan gejala alam(baik yang nyata maupun yang gaib dalam lingkungan sekelilingnya). 83 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
c.
Berbagai macam cara untuk memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapakan, atau mempergunakan beragam kebutuhan dari hal tersebut tadi, sehingga tercapai keadaan memuaskan dalam kesadaran individu bersangkutan. Pelaksanaan berbagai macam cara dan jalan tersebut terwujud dalam aktivitas hidup sehari-hari.
Ungkapan di atas, berhubungan dengan masa lalu Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, yang diceritakan oleh Nabi tetang dirinya: “bahwa dia juga sama dengan manusia biasa yang mendambakan bersenang-senang bisa bermain, berjudi, dan merasakan sebagaimana seorang pemuda yang gagah yang berkeinginan hal-hal yang bisa dinikmati”, apakah itu baik atau buruk karena kodisi sosial beliau memberikan peluang bagi Nabi. Baik itu, berbagai macam hal memenuhi kebutuhan perkembangan biologisnya, atau psikologisnya. Akan berusaha mendapatkan sekuat tenaga, tetapi tidak demikian dengan Nabi beliau menahan dirinya bertahan dalam kondisi yang sederhana dan terjaga dari dorongan kepada hal-hal yang buruk bagi dirinya sehingga baliau mendapat hal-hal yang positif dalam hidupnya. Walaupun begitu sayang paman Nabi Abu Thalib kepadanya sebagai bapak bagi Nabi. Akan tetapi Nabi melakukan bekerjaan sebagai pengembala domba-domba. Karena beliau memiliki perasaan yang dalam dan kecedasan yang kreatif bahwa beliau harus membantu pamannya meringankan beban keluarga adalah gambaran dari kepribadian Nabi yang mulia, juga termotivasi
sebagai perasaan terima kasih yang tinggi, beliau
menjadi seseorang yang maju, sebagai orang yang mempunyai
harga diri, dan pemerhati hubungan sosial yang baik.
4.2. Nabi Muhammad di Tengah Kabilah Arab Sebelum Islam Karakter bangsa Arab sebelum Islam memiliki sikap yang keras, kejam, dan tidak manusiawi. Masyarakat bangsa Arab masih dalam bentuk Kabilah-kabilah yang suka berperang dan saling membunuh di antra mereka, hasil tawanan dalam perang diperjual belikan atau dijadikan budak-budak untuk mereka.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 84
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
Kisah peletakan hajar aswad menceritakan situasi masyarakat Arab sebagai contoh betapa kerasnya masyarakat Arab dalam masyalah kecil mengakibatkan pertumbahan darah. Masyarakat Arab disekitar Makkah ketika itu, Makkah dilanda kebanjiran yang mengakibatkan ka’bah rusak sehingga para tokoh bangsa Arab sepakat memperbaiki memperbaharui ka’bah dari kerusakan yang ada pada ka’bah. Kemudian setelah sampai kepada peletakan hajar aswad ternyata mengakibatkan pertengkaran sengit antara dua kabilah Banu Abdi Dar dan Banu ‘Addiy akan saling membunuh seraya menunggu jalan keluarnya sehingga empat hari sebagian mengatakan lima hari. Kemudian pendapat dari al-Khazumiy yang dianggap paling tua saat itu menetapkan “ bahwa orang pertama masuk ke ka’bah dari pintu
syaibah maka ia yang memberikan
keputusan, ternya dikabarkan Nabilah yang masuk pertama kali kemudian dua kabilah ini meminta solusi dari Nabi karena beliau seorang laki-laki yang terkenal orang yang baik bagi semua derazat dan tikatan kehidupan sosial orang Qurasy di Makkah, juga terknal orang cepat menolong dengan ikhlas dan orang yang amanat”. Sehingga akhirnya Nabi menyelesaikan pertengkaran di antara dua kabilah tersebut dengan cara Rasul seorang
genius dan arif meminta
menaruh hajar aswad di atas selayer yang besar dan setiap sudutnya dipengang tiap kabilah lalu mengangkat hajar aswad dekat dengan tempatnya lalu Nabi meletakkannya pada tempatnya. Begitulah tingginya kepribadian Nabi Muhammad ditengah masyarakat sebagai fakta sosial bahwa beliau mendapat gelar al-Amīn dari kaum Qurasy saat sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. 5. Bentuk- Bentuk Intraksi Sosial Nabi 5.1. Kerjasama Nabi Berdagang Dengan Khadijah Bekerja untuk menghidupi diri sendiri adalah sikap menjaga harga diri, Nabi tidak menyia-nyiakan perhatian pamannya Abu Thalib dengan kasih sayangnya sebagai bapak bagi Nabi. Tetapi, beliau kerja keras bisa berdiri sendiri bahkan dapat membantu pamannya meringankan kebutuhan keluarga pamannya. Maka ketika ada tawar dari Siti Khadijah untuk bekerja dengannya beliau tidak menyia-nyiakannya karena Siti Khadijah saat itu wanita janda yang dikenal 85 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
pengusaha besar, memiliki kedudukan sosial yang mulia dan mempunyai harta. Kesempatan yang diberikan kepada Rasulullah untuk kerja sama berdangan ke kota Syam, pada perjalanan pertama
Siti Khadijah telah
memberikan
kepercayaan kepada Nabi membawa barang lebih dari pekerja yang lain, dan saat itu Nabi didampingi Maysarah anak dari Siti Khadijah dari perkawinannya sebelum Nabi. Dan dalam perdangan yang pertama ini Nabi telah menujukkan hasil perdangan beliau dengan
untung yang besar, juga telah membutikan
bahwa beliau orang amanah kepada Siti Khadijah. Dan Maysarah telah menceritakan kepada ibunya Siti Khadijah tentang kekhususan-kekhususan yang dimiliki Nabi, seperti
kemulian akhlaknya yang membuat terkangum
kepad Nabi. Pada akhirnya Siti Khadijah menyampaikan niatnya untuk menjadi istri Nabi melalui teman dekatnya (Nafisah binti Maniyah) dan Rasulullah menerimanya lalu mengabarkanya kepada semua pamanya ketika itu umur Nabi 25 tahun dan Siti Khadijah 40 tahun. Pernikahan Nabi bersama istrinya Siti Khadijah membuat beliau selalu terkenang kepada Siti Khadijah. Di dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan imam Muslim dari Aisyah ra.berkata: “Di antara istri-istri Nabi yang tidak pernah terlupakannya adalah Khadijah sedangkan saya belum pernah mengenalnya,dia juga berkata: jika Rasulullah
menyembeli seekor
domba Nabi berkata: “ kirimkan kalian kepada teman-temannya Khadijah, Aisyah juga berkata: suatu hari saya membuat Rasulullah marah dengan ucapanku: Khadijah!. Kemudian Rasulullah SAW. berkata: Sesungguhnya saya merasakan kedalaman cintanya”. Nabi telah menghabiskan pernikahannya bersama Siti Khadijah 25 tahun sehingga Siti Khadijah wafat di umur 65 tahun dan Nabi saat itu berumur 50 tahun. Tidak terpikir sama sekali menikah dengan wanita lain sedangkan umur laki-laki di usia antara 20 tahun sampai 50 tahun adalah masa tumbuhnya keinginan menambah istri keinginan berpoligami untuk tujuan memenuhi hawa nafsu. Maka dari, betapa tingginya perhatian Nabi hubungan sosialnya agar
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 86
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
tetap baik dan menjaga keharmonisan rumah tangganya, sehingga tidak ada yang disakiti dan terzhalimi baik di dalam keluarga dan masyarakat. 5.2. Intraksi Sosial Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Kepemimpinan Nabi Muhammad disamping sebagai juru da’wah tidak ada kekurangan, atau kejanggalan bagi beliau sehingga ia bersikap protokoler bahkan sebaliknya, mencerminkan kebersahajaan, selalu muka tersenyum, dan hidup sederhana walaupun beliau seorang kepala negara yang memungkinkan mendapatkan fasilitas apa yang dikehendakinya. Di dalam perluasan da’wah Islam beliau memimpinnya langsung. Hal itu dijelaskan bahwa beliau turun dalam peperangan-peperangan ketika ada perlawanan dari orang-orang yang tidak menyukai da’wah Islam. Nabi Muhammad mencatat sejarah sebagai manusia biasa mampu memimpin masyarakatnya menjadi manusia-manusia tangguh yang mengenal dirinya dan tujuan perjuangan hidupnya. Hal tersebut adalah keberhasilan interaksi sosial Nabi Muhammad yang dilakukan melalui pendekatan pesonal kepada semua masyarakatnya atas dasar kesesuaian ucapan dan paraktek. Bentuk keberhasilan pembinaan pesonaliti dari sahabat Nabi melahirkan cacatan sejarah dalam beberapa peristiwa, seperti Rabi’i bin ‘Amir bertemu dengan Raja Rustum dari Majusi Persia, sebagai utusan kaum muslimin ketika melakukan pernyebaran da’wahnya ke negeri Persia. Kesepakatan Sa’ad ibn Abi Waqas bersama sahabatnya memilih Rabi’i bin Amir untuk memenuhi permitaan Raja Rustum karena menginginkan penjelasan tujuan kaum muslimin. Kepribadian Rabi’i bin Amir sebelumnya tidak ada tujuan hidupnya kecuali mendapatkan kehidupan materialistik, berpoya-poya dengan kehidupan duniawi, berubah menjadi seorang sahabat yang memiliki keyakinan yang besar, memiliki jati diri yang kuat, berani menegaskan bahwa kebesaran Allah SWT. di atas segala-galanya. Kepemimpinan yang dilakukan Rasulullah memasyarakat tidak banyak menuntut,
tetapi
memberi,
tidak
menikmati
kekuasaannya
tetapi
melayani(susah-payah), tidak mengumbar janji tetapi memberi bukti-bukti. Nabi Muhammad bermasyarakat kepada semua tingkatan rakyatnya, memberi kasih 87 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
sayang untuk seluruhnya dari anak kecil sampai orang dewasa, dan orang tua baik orang muslim atau non muslim. Hal itu dapat diambil sebagai salah satu bukti ketika dalam perang al-khunain, Rasulullah menyapa perempuan anak kecil anak perempuan sahabatnya Basyir ibn Sa’ad adalah contoh perbincangan dengan dengan anak kecil menunjukkan sebagai pemimpin yang egaliter, penyayang. Abdullah ibn Abbas berkata: “Bahwa Rasulullah sosok yang sangat penyayang untuk semua manusia, barang siapa beriman kepadanya dan membenarkannya ia pasti bahagia, sebaliknya barang siapa yang tidak beriman kepadanya dia juga selamat, contoh jika seandainya ummat terkena musibah banjir”. Diartikan bahwa kasih sayang Rasulullah itu kepada orang yang tidak beriman kepadanya, hanya bentuk bantua kasih sayang di dunia saja, tidak di akhirat kela. Nabi selama pemimpinannya di tengah masyarakat yang plural di Madinah. Nabi telah berhasil membina masyarakat muslim yang toleran , seperti
Nabi memberi kesempatan
kesempatan bagi kaum dzimmi dan
mustakminin berdomisili bersama kaum muslimin. Ini adalah di sisi lain bahwa Nabi memahami bahwa kasih sayangnya menyeluh untuk semua makhluk Tuhan. Egaliter yang ditunjukkan Nabi Muhammad di dalam bermasyarakat mengajak diri seorang pemimpin mengenal rakyatnya sehingga ia merasakan penderitaan kaumnya. Nabi memiliki cacatan di dalam hidupnya ada beberapa bukti diriwayat dalam banyak hadis yang mengabarkan bahwa Nabi dan keluarganya pernah merasakan kelaparan, memakan gandum yang tidak bagus tidak bisa mengenyangkan. Kondisinya yang demikian adalah sifat kepribadian Nabi medahulukan orang lain dari pada dirinya dan keluarganya. Seorang pemimpin yang egaliter, hidup sederhana, tidak memanfa’at kekuasaannya untuk mengeruk kekayaan untuk dirinya dan keluarganya. Dari itu, Nabi telah menunjukkan sense of crisis ( sifat kepekaan atas kesulitan rakyat). Maka Nabi itu merasakan kesedihan, kelaparan rakyatnya dua kali lipat dari pada kaumnya. Secara kejiwaan, berempati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 88
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
mendorong simpati, yaitu dukungan , baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang lain. Sifat kepemimpinan Nabi sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa, yaitu sangat mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan, membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan yang gemilang. Hal itu dibuktikan semangat da’wah Rasul melebarkan dan memperluas daerah da’wahnya keluar dari tanah kota Arab Makah dan Madinah. Bukti-bukti terjadinya peperangan diperjalanan hidupnya adalah efek dari tawaran Nabi untuk mengikuti ajaran Islam secara baik-baik kemudian ditanggapi dengan perlawan perang kepada Nabi. Maka usaha memperluas tanah jazirah arabiah adalah sebagai cita-cita Nabi untuk
meraih kemajuan
masyarakat muslim sehingga telah sampai ke benua lain. 5.3. Implementasi Personaliti Nabi Antara Hak dan Kewajiban Konsistensi mewujudkan
di
dalam
pribadi
kepemimpinannya
Nabi bisa
antara bertahan
perkataan dan
dan
dapat
praktek diterima
masyarakatnya menduduki sebagai pemimpin seumur hidupnya untuk masyarakat muslim yang majemuk. Di antara pemimpin dan rakyatnya mempunyai komitmen agar tetap memperhatikan hak-hak dan kewajibankewajiban. Komitmen itu, dituangkan dalam bentuk loyalitas yang tinggi dan keta’atan mendukung kemimpinan yang kosisten dengan undang-undang yang diberlakukan. Pemimpin memiliki hak-hak kepada masayarakatnya. Kepribadian
Nabi
memperhatikan
hak-hak
penduduknya
kepada
pemimpinya, banyak kehidupan sehari-harinya keluar dari rumahnya dan kembali lagi tidak lepas dari pikiran untuk keselamatan ummatnya di dunia dan di akhirat. Nabi mendidik masyarakatnya agar tidak melakukan tindakantidakan kebohongan adalah implementasi dari hak-hak rakyatnya, bahwa pemimpin mencontohkan dalam dirinya tidak pernah membohongi rakyatnya. Nabi Muhammad SAW. pribadi yang semangat tidak mengenal lelah dalam hidupnya untuk menasehati umatnya. Beliau manusia yang cerdas, Nabi mengenal dengan siapa pun lawan bicaranya pada setiap kesempatan. Nabi menyesuaikan cara penyampaian nasehat kepada pribadi atau umum. Nabi 89 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
menyadari bahwa semangat memberi nasehat dan bersifat bersahaja yang ramah adalah di antara hak-hak ummat kepada pemimpinnya. Nabi Muhammad SAW. manusia biasa tetapi memiliki pandangan yang kosisten lebih memilih kehidupan akhirat yang abadi dari dunia materialistik yang hanya sesaat saja. Dia sebagai pemimpin memperhatikan kebutuhan rakyatnya
mendengankan
kebutuhan
penduduknya
tidak
melalaikan
kepentingan rakyatnya, karena kepentingan-kepentingan keluarga ataupun ajak-ajakan keluarganya untuk memperkaya dirinya atau menurunkan kekayaan, karena dia sebagai penguasa dapat memaksakan rakyatnya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, atau menurunkan tahtanya kepada keluarganya. Rasulullah SAW. sebagai suri tauladan adalah personaliti yang kuat tidak mudah tergoda dengan dunia materilistik. Walaupun sebenarnya fakta sosial bahwa beliau sudah terbiasa dari keluarga yang serba cukup, tetapi beliau komitmen dengan menjadi pemimpin yang memperhatikan hak-hak rakyatnya. Disisi lain, masyarakat madinah yang majemuk sebagai pusat pemerintahan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. bahwa perhatiannya tidak luput dari kehidupan masyarakat selain orang-orang non muslim yang berdomisili di tegah-tengah negara Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan masyarakat yang masih mengikuti agama nenek moyangnya. Nabi Muhammad mendudukkan mereka sebagai kafir dzimmi . Kafir dzimmi adalah masyarakat minoritas selain muslim, ada tiga latar belakang mereka sehingaga dinamakan kafir dzimmi, yakni: 1. Al-Mu’ahadiun (kafir di negara Islam mengikuti undang-undang negara dengan wajib membayar pajak). 2. Kafir dzimmi harbi ( kafir kalah dalam peperangan dengan Islam lalu negaranya menjadi negara perluasan kekuasan perintahan Islam). 3. Kafir dzimmi al-muwaqat (masanya selama perjanjian kotrak saja) di tanah pemerintahan Islam. Pada masa Nabi perkara kafir dzimmi sudah diatur dengan baik tetang hak-hak, dan kewajiban mereka. Di antara perintah Rasulullah kepada mereka: 1.Memberi keamanan kepada jiwa mereka, 2. Mereka diperlakuan sama dengan muslim di dalam undang-undang pidana, 3.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 90
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
Mereka diperlakukan sama dengan muslim di dalam undang-undang perdata. 4. Mereka dijaga kehormatannya dan tidak boleh dihina. 6. Intervensi Hak Prerogatif Allah Terhadap Pembinaan Pribadi
Nabi
Muhammad Penemuan data-data tetang fakta-fakta sosial memberi pengaruh besar dalam pembinaan kepribadian Nabi, di antaranya memiliki sifat sabar, egaliter, bersahaja, sederhana,
kuat, dan lainnya. Apakah argumentasi bahwa Nabi
Muhammad itu memiliki kepribadian sederhana itu, karena latar belakang pembina dari kakeknya sejak kecil
ditempatkan
dalam likungan yang
sederhana. Walaupun, Nabi dari keluarga yang memiliki harta dan keluarga yang terhormat, terpandang di kota Makkah. Fakta sosial yang dilalui Rasulullah di masa kecil, tidak luput juga dari intervensi hak prerogatif Allah yang mempunyai rencana untuk ummat manusia. Fenomena yang ditemukan Halimah al-Sa’diyah dan keluarganya bukti-bukti bahwa Allah tidak luput dari pemeliharan makhluk-Nya yang akan menjadi Nabi-Nya. Nabi Muhammad terjaga dari perbuatan buruk dan keji adalah intervensi Allah. Karena seorang yang akan menjadi uswah ( tauladan) terjaga dari hal-hal yang negatif. Walaupun Nabi melalui masa dewasanya yang tidak juga jauh dari keramaian masyarakat Makkah, bahkan dikabarkan Siti Khadijah melamarnya karena terdengar olehnya, beliau seorang pemuda yang amanah, empati dan dikenal seorang al-Amin di tengah masyarakat Makkah. Gejala-gejala kenabian Nabi Muhammad bahwa beliau ditutup hati dan pikirannya dari beribadah menyembah berhalah, tetapi beliau lebih sering mengasing diri ke Gua Hirah. Maka, fakta sosial yang ikut membia kepribadian Nabi, itu secara rasional memberi pembuktian yang diterima akal pikiran manusia. Tetapi, tidak untuk Nabi Muhammad karena kelahiran Nabi Muahammad ada intervensi Sang Khaliq memiliharanya sejak dalam kandungan. Sesungguhnya para Nabi adalah orang-orang yang terjaga, mereka mengenal Tuhannya dan sifat-sifat Tuhannya, sebelum mereka diangkat menjadi Nabi. 91 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
Tidak ada Nabi dikabarkan dimasa kecilnya telah melalui kehidupan dalam kekufuran atau dalam syirik. Bahkan bangsa Quraisy dahulu juga melakukan penghinaan kepada Nabi ketika mengiklankan agamanya, dan mereka tidak dapat bersyaksi bahwa Nabi di masa kecilnya telah menyembah berhala atau menyembah agama selain Allah.
7. Kesimpulan Kajian tetang hadis dan sirah Nabi dua hal yang sama karena membicarakan sirah Nabi dipastikan rujukannya harus kepada hadis. Tetapi, pemberitaan tentang sirah Nabi periyawayatanya tidak terlalu dipermasalahkan oleh ulama, tidak demikian dengan hadis-hadis yang berhubungan dengan aqidah dan hukum. Kajian hadis tetang sirah nabawiyah ulama hadis mengkleim banyak hadis-hadis lemah (dha’if). Tetapi, perbadingannya daripada tidak ada riyawatnya walaupun dha’if atau maudhu’ lebih baik dari hanya ucapan saja. Karena hadis-hadis dha’if masih ada perawinya dan bisa diteliti krediblitasnya. Ada beberapa kesimpulan dari penelitian ini: 1. Teks-teks
hadis
bab,
menguatkan
suatu
konseptual
yang
bisa
direaliasasikan dalam kehidupan, “bahwa sirah Nabi tentang kehidupan kepribadian Nabi, seperti sederhana memberikan hal-hal yang positif, di antaranya, melatih diri dalam kondisi perihatin agar bersabar. 2. Pemaknaan hadis Nabi tidak selalu dipahami dengan makna lahiriah, artinya ulama pun menyaksikan bahwa Rasulullah itu, orang yang cukup di dalam hidupnya, bahwa Nabi sebenarnya mengingankan pengikutnya yang memiliki harga diri, kuat dan semangat bekerja, bukan orang lemah yang miskin segala-galanya baik fisiknya atau psikisnya. 3. Nabi manusia biasa tetapi beliau manusia paripurna juga karena ia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki manusia lain, sperti kemampuan memimpin disamping sebagai juru da’wah.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 92
Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad
4. Nabi telah mendapat intervensi dari hak proregatif Allah untuk menjaganya dan memiliharanya dari kekafiran dan kemusyrikan sejak di masa kecilnya, karena telah didukung dengan bukti dari data-data.
DAFTAR PUSTAKA
Rachman, Budhy Munawar, Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Editor.( Jakarta: Penerbit Paramadinah,1995). Anwar, Desy, Kamus Lengkap Terbaru Bahasa Indonesia Terbaru.(Surabaya: Penerbit Amola, 2003). Al-Munazhamah al-‘Arabiyah lit-Tarbiyah wa AL-Tsaqafah wa al-Ulum, AL-Mu’jam al-Arbiy al-Asāsiy.( Tunis: Pernerbit Larus, 1988) AS Hornby, Oxfort Advanced Learner’s Dictionary of Current English.( London: Oxfort University Press. 1963) http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Fatawa/TasawufManusia.html http://soetantosoepiadhy.wordpress.com/ al-Būthiy, Muhammad Said Ramadhan , Fiqhu Sirah, (Damaskus: Penerbit Darul Fikri, 1977). al-Bānī Muhammad Nashiruddin , Sisilah al-Ahādīs al-shahīhah wa syaiun min fiqhihā wa fawāidihā, ( Riyad: Maktab al-Mārif li- al-Nashīr wa al-Tawzi’,2000). Ma’rūf, Basyar ‘Awad, ,Al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al- Kabīr ( Beirut: Darul Gharbīl Islamī. 1998) Syākir, Ahmad Muahammad, al-Bā’is al-Hatsīs Syarh Ikhtishar Ulumul Hadits- li alHafidz Ibn Katsīr, (Bairut: Darul al-Kutub al-‘Alamiyah. tt) Rahman , Fatchur, Ikhtisar Musthalah Hadits,( Bandung: PT. ALMA’ARIF,1974). al-Jalīmiy, Sayyid bin ‘Abbās, al-Syamāil al-Muhammadiyyah wa al-Khashāis alMusthafawiyyah karya dari al-Imam Abi ‘Ῑsā Muhammad bin Ῑsā bin Surah alTirmiziy.( Makkah : al-Maktabah al-Tijariyah, 1993).
93 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Khairil Ikhsan Siregar
Abu Zah, Muhammad Muhammad, al-Hadis wa al-Muhadisīn, h.205, ( Kairo: alMaktab al-Tawfiqiyah, t.t). Ibn Manzhur, Lisan al-Arabi.(Kairo: Dar-al-Ma’ārif. t.t). al-Khathib Muhammad ‘Ajaj, ushūl al-hadits, (Lebanon:Dar al-Fikri al-Hadis, 1967) Yasid, Abu Nalar dan Wahyu, ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007) al-Nawawiy, Muhyiddin Abi Zakariah Yahya bin Ayaraf, syarah shahih Muslim, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994) Ali, Jawād, AL-Munfashal fi Tārikh al-Arab qabl al-Islām,(Irak: Universitas Ba’dat,tt) Syihan, Al-Syaikh Khalil Makmun Sunan Ibnu Majah yang syarah oleh al-Imam Abi alHasan al-Hanafi dikenal nama al-Sindiy(w.1138), dan ditahkik dan dikiritik hadishadisnya atas kitab al-sitah, lalu disusun menurut huruf mu’jam dan tuhfatul asyraf, (Bairut: Libanon Dar al-Ma’rifah, t.t) . al-Baqiy, Abdul Fuad dan AJ. Wensick AJ. Wensick , al-Mu’jam al-Fahras li alfādz alAhādis, , ( Leiden: Maktabah Perel, 1939) al-Ba’lbaki, Rūhiy dan Munir al- Ba’albaki, kamus al-Mawrid Muzdawwijun,(Bairut:Libanon Dar al –‘Ilmi Lilmayin, 1996)
al-Wasīth
Al-Zuhailiy, Wahbah, Syamail al-Musthafa SAW. ( Damaskus: Dar al-Fikri, 2006)
Ramayulis, Psikologi Agama,(Jakarta: Radar Jaya, 2003) Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu antropologi,(Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2009)
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 94
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa …
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa and its Legal Effect on Indonesian Society Ahmad Hakam Universitas Negeri Jakarta
Abstract The relation between the state and ulama in Indonesia is intriguing, especially with regards to issuing fatwa and the people’s response and perception towards the consequences it may have on their civil and/or religious obligations. This paper aims to examine the phenomenon of fatwa by ulama on several matters, the development of fatwa by the Indonesian Ulama Council (MUI), and the result of the fatwa issuance in causing the societal confusion and controversy through time. It is argued that the fatwas issued by the MUI operate more as an official religious discourse rather than legally binding or affecting individual’s civil obligation. It is summed up that the fatwas are to a great extent simply a religious decree which can be accepted or rethought, and has no consequences on legal civil rights and obligation. The worry and controversy of the Indonesian Muslims are driven by the fact that it is an officially established religious institution and the ulama body which are highly regarded by many Muslims. In addition, there is neither strong connection nor absence of influence between the state and the ulama. The situation is not fixed and may change depending on the dynamics that take place in the level of state, social-culture, and religion.
Although the ulama organisation is recognised officially in Indonesia, the relationship between state and ulama in Indonesia still cannot be easily understood only through a single point of view. The well-known group of ulama and the most ‘powerful’ organisation is the MUI or Indonesian Ulama Council (Majelis Ulama Indonesia). It was established in 1975 by the Indonesian government with three main goals; to support the religious life, as it is one of the principles in national Pancasila
95 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Ahmad Hakam
ideology, to participate in the development process, and to maintain harmony between different religious believers (Bruinessen 1996). The council also serves officially as a consultant for government on issues related to the Muslim community in the country. Yet, at times the government also tries to use the MUI to legitimise its policy through religious discourse. Similarly, the other way around, the MUI in many instances seems to ask for government’s legal approval, for example, to ban certain sects after the fatwa stating their deviance is issued (Ibid.). In a way it proves that the state and religious authority in Indonesia is not two faces of the same coin. Thus, the relation between the state and ulama in Indonesia remains intriguing where the religious authority can be involved in civil matters and vice versa. This paper seeks to examine this phenomenon and its development through time. The argument will emphasise that the fatwa issued by the MUI operate more as an official religious discourse rather than legally binding or affecting individual’s civil obligation. Having said that, although the fatwa is not strictly obligatory, why there have been controversies and discontent in the society? There are at least four rationales that can be identified in this tension; intellectual, religious, economic, and personal. Indonesian Uama Council (MUI) and the Government
Prior to further discussing MUI fatwa and its response, it is useful to review the relation between state and Islam in Indonesian case. Since the independence Pancasila has been formulated by the founding fathers as the ideology of the state. According to Bruinessen (1996) strictly speaking ‘Pancasila is not secular ideology’. One of the reasons is that the first principle of the five pillars is belief in One God. The other principles also contain values that are reflected in Islam and other religions. ‘The state, then, claims to be based on religious and moral values that are not alien to Islam but not specifically Islamic either.’ Not long after the independence, some Islamist movements, particularly Darul Islam, tried to assert their aspiration on the realisation of the shari’a based state for Indonesia where ulama would become the leaders in many aspects of governance. The effort of V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 96
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa …
reviving the Jakarta Charter where the shari’a is part of the constitution was also pronounced rigorously. Later the Republic model of Indonesian state was maintained and though there is no clear cut between political and religious affairs, the (secular) state was observably dominant towards any Islamist voices. The Muslim parties were then given much less room in 1973 because they were merged into only one. The party in 1984 was even more repressed by the state, and forced to have, instead of Islam, Pancasila as the basis of their ideology (Ibid.).
Far before any Islamist parties emerged and sounded their voice, the Ministry of Religion was founded in 1946 and it until now still supervises many religious affairs such as Islamic education, marriages, divorces and inheritance courts. The state had taken step preventively to regulate matters between the community and governance. It is the fact that the majority of Indonesian population are Muslims and seeing this significance the president established the ulama council. The establishment of such institution seemed to be a bridge of communication between the state and society particularly concerning Islam and its society in Indonesia (Ibid.). After the fall of Suharto in 1998 the freedom of expression was celebrated and the MUI continue to play its role and, according to many observers, it has more power and freedom since the master has no longer controlling its tasks. The Indonesian Ulama Council or MUI consist of different Islamic scholars coming from different socio-religious organisations such as from Muhammadiyah and NU (Nahdatul Ulama). One of the MUI activities is to provide a religious decree or fatwa on issues that have no definite explanation either from the Islamic sources or from state law. The fatwa issued by the ulama is not only limited in ‘pure’ religious matters such as ritual and worship. It also covers social, economic, and politic subjects. Fatwa is independent from government regulation and does not need state approval (Hosen 2003 p169). The ulama are considered religiously more knowledgeable and they can be a source of clarification on matters concerned by the society. Their opinion is therefore respected but that does not mean that every Muslim has to obey the edict. The ulama council also cannot order people by force or punish them if they do not follow what is stated in the decree (Ibid.). 97 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Ahmad Hakam
The MUI Fatwas and the People’s Responses
Each time the MUI issued fatwa there has almost frequently been disgruntlement and criticism from different group of people. The discontent against the ulama’s opinion is often expressed through a variety of discourse and media. Some are in the form of written article in mass printed media or online on the website and blogs. The writers range from academia, students, businessmen, and individuals in general. The fatwa banning Ahamdi sect, for example, received many criticisms mainly from academic scholars in the country as well as from overseas. They usually argue that the banning of heterodox understanding of Islam is not in line with the spirit of democracy and freedom of thought. Moreover, the fatwa was believed to have led the tension to violent action by a group of mass who justified their attack based on the legitimised religious opinion (Galingging 2005). The incident happened however does not mean that MUI has been powerful enough to legitimate action to attack the Ahmadi followers but it is the angry mobs who were inspired by the fatwa and use it as a religious justification. The government, on the other side, cannot just simply arrest the Ahmadi followers since the civil law concerning the recognised religions and religious freedom is debatable among officials as well as scholars and lawyers. Galingging (2005) argues that ‘The weakness of the 1945 constitution and the Human Rights Law, the existence of Article 156 (a) of the KUHP, the limited mandate of the Human Rights Court have created legal uncertainties which can cause lifethreatening atmosphere.’ He further asserts that there is no legal binding that authorise anyone to condemn any sects in any religion. This is where interpretation of a religion considered a disgrace and what they do has been wrongfully criminalised (Ibid.).
Similarly, the fatwa banning the idea of ‘pluralism, secularism and religious liberalism’ where believing and practicing them is denounced haram has also brought widespread criticism as well as support. The case though is quite different, at least there is no violent action received by those exercising them. One of the V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 98
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa …
reasons is that they are still considered running in the corridor of Islam and using Islamic sources such as Qur’an and Sunna but with different or modern interpretation. The other possible reason is that the methods of understanding used by the group, such as JIL (Jaringan Islam Liberal) or Network of Liberal Islam, require intellectual faculty and certain level of education while most Muslims in Indonesia have no access to these kinds of ideas. So the ‘threat’ is not really felt by the mainstream who seem to prefer simpler doctrine and reasoning in understanding Islam. The idea of pluralism for example has been widely understood in quite narrow sense and it has been used to reinforce the idea that this Liberal Islam is potential to threat the ‘pure’ and ‘right’ Islam. It is particularly often referred to as equalising all religions exist in Indonesia without having special sentiment or belief that Islam is the most right religion. According to Platzdasch (2009) the main critique against pluralism in the fatwa ‘Muslim community is forbidden to follow the beliefs of pluralism, secularism and religious liberalism’ lies on the rejection of equality of faiths implied in pluralism. If
it seen more thoroughly, there is also a part of
pluralism that is actually endorsed by both the state and Muslim community, ‘live side by side with adherents of other faiths’ which can be called ‘religious plurality’. Thus in that sense ‘the Muslim community [has to] behave inclusively, in the sense of maintaining social relations with adherents of other religions as long as no mutual harm is caused’ (Ibid.).
The other fatwas that have attracted massive attention is regarding the general election especially in 1999. It is haram to abstain and therefore voting is religiously obligatory. Additional recommendation was also inserted in the fatwa, that is, Muslims were encouraged to vote for Muslim parties. Since election is individually performed it is up to the participants whether they want to vote or abstain. It is political and at the same time personal choice whether to follow or not to follow the ulama fatwa depends on their understanding and belief in the role of ulama in their religious life. Some criticism against this fatwa said that it is against democracy to force people to vote and the significant number of neutral voice in the election is not necessarily coming from those who did not vote, there possibly have been technical 99 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Ahmad Hakam
problem as well. The other provoking fatwa is the banning of smoking. If the majority of Indonesian population stop smoking then the cigarette company will lose many of its profits. The tax income for the state will then decrease significantly. It will also abandon the workers both in the tobacco farmland and in the cigarette factory. The fatwa has triggered the discontent among businessmen and smokers, though until now there is no serious legal prohibition enforced by the state or charge of criminal offence for those who still smoke. Interviews done by Reuters (2009) show how people expressed their various concerns. Some base their reason on economic, personal and some even positively respond because of religious reason. "I am angry about the fatwa, because both my father and grandfather are smokers and the new fatwa now makes them sinners," said Abdul Hardiyanto, 38, a Muslim stock broker.’ Another individual was questioning, "Is MUI playing God here?" More rigorously a Muslim who works in a fish shop said, "I am going to keep smoking, because religion must stay away from this matter.”
Although the fatwas are not legally binding, the religious pressure they cause is noticeably affecting the feeling of Muslims since the label haram is commonly and widely believed referring to committing big sins. Nevertheless, there is nothing completely new in all of the current fatwas. They can be dated back to the past in 1950s and 1980s. Some of the early fatwas issued were the declaration that Ahmadiya was heretic and the obligation of voting Muslim leaders in parliament in order to achieve the implementation of the shari’a or Islamic law (Platzdasch 2009). The legally ineffective decree can be indicated by the changeable term ‘fatwa’, religiously giving pressure, into ‘appeal’ or seruan, a more neutral calling or advice not to abstain in election in 1999. The suggestion is also slightly softened, from advising Muslims to vote candidates who would implement Islamic law and teachings to vote the ‘qualified Muslim candidates’ or those who would ‘guard Islamic interests’ (Ibid.). The tone of ‘fatwa’ or ‘appeal’ from 1950s election until nowadays remains basically the same, i.e. an (religious) advice for Muslim to vote ‘Islam-friendly parties’ (Ibid.).
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 100
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa …
Likewise, other current issues such as the practice of family planning using vasectomies are actually an updated version of the 1979 fatwa. The banning smoking fatwa that is specifically applied for children and pregnant women and prohibition of smoking in public place is basically ‘common sense rather than a clear Quranic command’ (Ibid.). The smoking ban has also been regulated in state law or by the local authority though not seriously implemented. It ‘in essence is not much different from regulations and common perceptions in many Western countries today’ (Ibid.). Regarding the marriage, the state law has also regulated the minimum age of marriage, 19 for men and 16 for women. Thus the MUI fatwa only reiterate the already stipulated law and regulation (Ibid.). The most current formulation of fatwa is the obligation of wearing helmet for bikers especially in the capital city Jakarta. This is performed because the civil regulation deems unsuccessful in persuading people to obey the rule (Rachman 2010). The number of accidents causing bikers death is increasing and every effort to solve the problem is welcome. The Road Safety Association requested the MUI to issue a fatwa making helmets obligatory or wajib for motorcyclists (Ibid.). It is assumed that bikers will obey the law since there is a religious responsibility to always wear helmet and ignoring this rule will be sonsidered a sin. The initiative is warmly welcome by the secretary general of MUI, Ichwan Sam, saying that it was worth following-up. The case, however, was viewed differently by the Ministry of Transportation. He asserted, ‘Please don’t mix a thing like this with religioin’ (Ibid.). The current phenomenon in fatwa may imply several indications. The increasing freedom of expression after the fall of Suharto NewOrder in 1998, not only provide more room for the MUI but their counterpart as well. The more open and widespread criticism towards the fatwas voiced by a variety of members of Indonesian society has coloured the multi-faceted social process that involve interaction not only between state and religion but also between religious authority and community and even the cross over between all of these entities.
The role of ulama in general and effect of fatwa in particular, for the last fifty years may slightly change in the sense that religious authority nowadays ‘is no longer the 101 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Ahmad Hakam
sole domain of the ulama, who as religious specialists par excellence had monopolised religious interpretation’ (Kaptein 2004). The more accessible mass education and information has resulted in the way individuals and groups exchange and influence each other about certain subjects. It can be seen in the public talk and a number of written materials that some educated but non-specialists participate in religious debates (Ibid.). The vigorous view that Islamisation in many aspects is taking place is not quite defensible when it is assessed through a broader perspective such as the relations and interactions that is going on between the groups. Indonesia remains feature ‘intellectual and organisational pluralism’ throughout centuries and even since pre-modern times ‘neither the courts nor the ulama monopolised authority over the moral and intellectual life of the Muslim community in the MalayIndonesian world.’ Also, the ideals of religious pluralism and tolerance are deeply grounded in the archipelago’s cultural values’ since long time ago (Eliraz 2007). Conclusion In conclusion, some fatwas, especially in the case of condemnation or rejection on certain religious sects, the Indonesian Ulama Council authority is shaking the society because it is officially an established religious institution sponsored by the state. The implementation and legal action to a great extent do not show manifest amalgamation of civil law with religious authority as to implement criminal offence charge. The banning of the belief of pluralism as mainly associated with the Islam Liberal movement is not legally affecting individuals as well. It is a discourse that is overrated as having civil power to undertake legal action or coerce people to obey or to be charged with committing criminal offence. In the case of banning smoking it is more a common sense and the stipulation that it is haram does not provide legal effect towards individuals. It is rather a discourse that may be considered and accepted by the Muslim community. The constitution and principle of the state also play a role in the overall situation. There is neither strong connection nor absence of influence between the state and the ulama. The situation is not fixed and may change
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 102
Nothing to Fear: Misreading the Ulama’s Fatwa …
depending on the dynamics that take place in the level of state, social-culture, and religion. References:
Eliraz, G. (2007) ‘Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study’ in Research Monographs on the Muslim World, 1 (5). Washington DC: Hudson Institute.
Galingging (2009) ‘MUI Fatwa Negates Freedom of Religion, Human Rights’ The Jakarta
Post.com.
Available
online
at
http://www.thepersecution.org/world/indonesia/05/jp_1208.html
Hosen, N. (2003) ‘Fatwa and Politics in Indonesia’ in Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Azra, A. And Salim, A. (Eds). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Kaptein, Nico J. G. (2004) ‘ The Voice of the ‘Ulama’: Fatwas and Religious Authority in Indonesia’ Working Paper Institute of Southeast Asian Studies. Available online at http://www.iseas.edu.sg/vr22004.pdf
Bruinessen, M. (1996) ‘Islamic State or State Islam? Fifty years of State-Islam Relations in Indonesia’ in Ingrid Wessel (Hrsg.) Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts. Hamburg: Abera-Verlag, pp.19-34.
Platzdasch, B. (2009) ‘Recent Fatwa Controversies in Indonesia: Much Ado about Little New’ in Viewpoints. Singapore: Institute of South East Asian Studies. Available online at http://www.iseas.edu.sg/viewpoint/bp17mar09.pdf
Reuters (2009) ‘Indonesia Fatwa on Smoking Sparks Anger: debate’. Available online at http://www.reuters.com/article/idUSJAK358702
103 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Ahmad Hakam
Rachman, A. (2010) ‘MUI called on to Issue Helmet Fatwa’ in JakartaGlobe 20 February 2010. Available online at http://www.thejakartaglobe.com/home/muicalled-on-to-issue-helmet-fatwa/359756
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 104
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
Islamic Thought and Human Rights View on Rights of Child: A Case of Child Domestic Workers In Indonesia Firdaus Wajdi Universitas Negeri Jakarta Introduction Multidimensional crisis in Indonesia results some problems in many sectors. The most obvious one is economics. Many people become poorer that before due to the impacts of economics crisis. This phenomenon stimulates other problems, for example the Increase of Child Workers. A Child worker is a problematic condition in Indonesia. In terms of age they should enjoy the “children time” when they can play and enjoy the socialization among their friends. On the other hand the economics condition force them to make a living. The jobs of Child Workers are varying from keeping fisher in Jermal 69 to the domestic workers. But in this essay, the writer will focus more on Child Domestic Workers. The child domestic workers’ presence since long time ago had been placed as unidentified hidden public work. The works types are obvious but sometimes it is difficult to differentiate between employers’ family and the servant. In addition, the recruitment process done generally in an abusive work for instance without any control, safety guarantee, uncertain jobs, physical and mental violence threat.70 ILO survey results in 2003 predict that in Indonesia there are 688.000 child domestic workers. The number exceeds the estimation of the Bureau of Center Statistic (BPS) that calculate only 152.000 workers. Unfortunately this huge number of child is not followed by good condition of them. In this regard, the moving text that appears on the website of “Nelly Asih” foundation, a supplier of both male and female domestic workers, containing the following statement: “Domestic workers must not be treated like chewing gum”. Chewing gum? Something that is chewed, played with, blown out into bubbles—in fact, something that you can do just about anything you like with. After its usefulness is finished, it is then thrown away. It’s cheap and easy to find.71 Therefore the children need protection from us. Protection of children define as all activities designed to guarantee and protect children and their rights so that they Jermal is a place in seashore for fishing fishes. It is much find in the South Sumatra KOMPAK Jakarta (the Education Committee for the Indonesian Creative Child Labour Foundation) Child Labour News, Vol 8 No. 03 September-November 2002, Jakarta, page 4 71Center for Study and Child Protection in collaboration with UNICEF Jakarta, Kalingga, Vol. May-June 2004. 69 70
105 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
may live, grow, develop and participate optimally in society in accordance with the dignity to which they are entitled as human being, and so that they may be protected against violence and discrimination.72 The background to the enactment of the Law No. 23 Year 2002 on Child Protection was that Indonesia ratified the Convention on the Rights of the Child in 1990 after its adoption by the UN General Assembly to address the rights and special needs of children 73 This effort is going on, however we need more struggle to protect the rights of children and to ensure that they will not face any discrimination; exploitations of an economic or sexual nature; neglect; harsh treatment, violence and abuse; injustice, and other forms of miss treatment Islam Thought View Islam pays a lot attention for right of child. In normal condition, the parents have responsibility to protect their children and fulfill the needs. However the governments also has responsibility to protect them. In the 6th intentional seminar on Miracle of al-Qur’an and al-Sunnah on Science and Technology states some conclusion as follows:74 Article 7, Regarding “child rights due from the parents” Article 7 of the Cairo Declaration stipulates: (a). As of the moment of birth, every child has rights due from the parents, society and the state to be accorded proper nursing, education and material, hygienic and moral care. Both of the fetus and the mother must be protected and accorded special care. (al-Baqarah: 233) (b). Parents and those in such like capacity have the right to choose the type of education they desire for their children, provided they take into consideration the interest and future of the children in accordance with ethical values and the principles of the Shari’ah.
72Ministry
of Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia
Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Page 2 73Ibid, page 5 74Muslim
Intellectual Society of Indonesia (ICMI), Muslim World League Makkah in corporation with Inter-Islamic University cooperation Indonesian Council for Da’wah Islamiyah (DDII) and State institute of Islamic studies Syarif Hidayatullah Jakarta, in IPTN Bandung, Indonesia from 29 August through 1 September 1994 V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 106
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
(c) Both parents are entitled to certain rights from their children, and relatives are entitled to rights from their kin, in accordance with their tenets of the shari’ah. (alNisa 36) As the writer states above that in normal condition the parents have responsibility to protect their children, however the governments also has the same responsibility as stated in adz-Dazriyat: 19 Islam also guarantees the rights quality between male and female. Both male and female gets wages according to their jobs (an-Nisa: 32; al-Ahqaaf: 19) and prohibit the discrimination between male and female workers. Why putting this Islamic view argument in this essay? Because the majority of Indonesians are Muslims, therefore, most of people who involve in this problem are Muslim. Houpely, this will become contribution for solving the problems related Human Rights View about Child Domestic Workers Article 5 No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or regarding treatment of punishment Article 23 1. Every one has the right to work, to free choice of employment, to just and favorable conditions of work and to protection against unemployment 2. Everyone without any discrimination, has the right to equal pay for equal work Article 24 Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay. Article 25 1. Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well-being of him self and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control 2. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection. Ben White and Indrasari Tjandraningsih in Child Workers in Indonesia append to save children’s position75
75
Ben White and Indrasari Tjandraningsih. Child Workers in Indonesia. Bandung: AKATIGA, 1998, page 81-85. 107 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
Save the Children’s position on children and work is based on the United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC) and our experience, and that of our partner organizations, in a wide variety of cultures and contexts worldwide. The following articles are particular relevance to children and work issues: Article 3, which states that all action taken involving or affecting children must be in their best interest Article 12, which states that children must be consulted on all actions likely to affect them Article 32, which recognizes children’s right to be protected from economic exploitation and from performing any work which is likely to interfere with their education or harm their health or development Article 27, which recognizes the right of children to an adequate standard of living. Save the Children recognizes that children engage in a variety of forms of work, and that the condition and nature of their work vary from occupations where children are able to develop responsibility and skills, and combine work with schooling, to conditions of extreme hazard and exploitation. The extent to which work is harmful or beneficial to children depends on a number of factors, including the type of work; the hours they work; their age; their access to education; whether or not they are separated from their families for long periods and the degree to which they are exposed to specific hazards. Save the Children believes that: The eradication of hazardous and exploitative forms of work, which jeopardize children’s development as a priority for action. Work which is not damaging to children’s health or development, and allows children to develop skills, self-confidence and respect in their families and communities can be beneficial to their development. In such case, where earning income enables children to eat better or pay school-related expenses, work can be a positive experience for children. It is therefore essential to distinguish carefully between different kinds of work. To tackle the problems of exploitative and hazardous child labour in a sustainable manner, it is essential to address the root cause of poverty and social inequality as well as to improve the immediate situations of working children. The views of working children and their families must form an essential part of all action on child labour issues. They know their immediate situations best, and it is their right to participate in planning initiatives that affect their lives.
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 108
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
In addition, ILO Convention 182 on the worst forms of Child Labour lists the types of work in which children must not be employed under any circumstances. These include all types of slavery and forced labour, child prostitution, forcible drafting into armed forces, and involvement in activities that violate the law. This Convention also allows each state to specify other forms of labour that are highly hazardous to children having regard to local circumstances. In doing so, the state may be assisted by labour unions, employers’ associations and other relevant groups. Children should also be consulted as part of this process. The states that ratified ILO Convention 182 committed themselves to drawing up comprehensive plans for the expeditious elimination of the worst forms of Child Labour, while simultaneously taking action to alleviate poverty and facilitate access to education.76 Indonesia Law about Child Domestic Workers To guarantee the rights Indonesian government Indonesian government extracts from Law No 25 51 as follows:
of child that protected by the international convention, tries to erase the Child Domestic Worker. Actually has a clear regulation about Child Domestic Workers (1997) Chapter VII and Accompanying Explanatory Notes
Child Employment in Indonesia’s New Labour Law Chapter VII: Protection, Remuneration, and Welfare Part one: Protection Clause 95 The employment of children by any employer is forbidden Not included under ‘employment of children’, as defined in paragraph (1) above are: Work undertaken solely by members of the same family; Work for the home and its surrounding yard, in as much as this undertaken communally by family members according to local practice; Work undertaken by pupils of public technical and vocational schools and under government supervision; Work undertaken in government and private residential institution, social institution and foundations, and Children’s remand Homes.
Clause 96 The prohibition as defined in Clause 95 does not hold for children who for certain reasons are compelled to work. Employers of children who for certain reasons are compelled to work as defined under (1) Above are obliged to provide protection. 76
Kalingga, Op. Cit., page 10 109 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
The protection of children who are compelled to work as defined under (1) above shall include: Not employing the child for more than 4 hours per day; Not employing the child between the hours of 6.00 pm and 6.00 am; Paying wages according to the regulations currently in force for the hours worked; Not employing children in underground mines, other underground sites, quarries and underground tunnels or under water; Not employing children in places or occupations liable to endanger their morals, safety or health; Not employing children in factories in enclosed spaces where machinery is used; Not employing children in the construction of roads, bridges, water coarses or building; Not employing children in the loading, unloading or moving of goods in harbors, docks, railway stations, good yards, storage places or warehouses. Further regulations on other hazardous occupations and on procedures for employing children who for certain reasons are compelled to work as defined under paragraph (2) above shall be announced by the Minister. Explanatory notes on the new Labour Law: Clause 95 (1): By ‘employment of children’ is meant causing a child to work in a relationship bound by working hours and payment of a wage. Clause 96 In practice there are children who for certain reasons are compelled to work because of economic reasons in order to increase the income of their family or themselves, because of parental neglect or an insufficiently harmonious family environment which results in neglect of the child. The meaning of ‘protection of children who for certain reasons are compelled to work’ is protection intended to prevent any damage to the child’s physical, mental, or social development and to ensure the safety of the child. A. The restriction on working hours is intended to child with the opportunity for growth and development, education and social life. C. This provision is intended to ensure that the wages paid conform to the prevailing minimum age rate, adapted to the hours worked. Where the explanatory notes are not given for other clauses, they are taken as selfexplanatory. In addition to protect the right of children, the Ministry of Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia produce Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection to protect the child from any discrimination; exploitations of an economic or sexual nature; neglect; harsh treatment, violence and abuse; injustice, and other forms of miss treatment. 77 77
Repbulic Indonesian Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Op., Cit., page 17 V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 110
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
Characteristic of Child Domestic Workers This able will describe some characteristics of child domestic workers in Indonesia. The Data was taken from Kalingga.78 No Recruitme Wages Treatment Work Description . nt pattern 01
Through employm ent bureau foundatio n
Negotiate d
Child and employer do not know each other/no family relationship Family far away Susceptible to abuse due to family ties
02
Through intermedi ary (acquaint ance, friend, family member, other domestic worker, ect)
Cash
Child and employer do not know each other/no family relationship Family far away Employer behaves well due to relationship with intermediary If intermediary is another domestic worker,
78
Paid in kind (sent to school, lessons)
As ordered by employer Work divided up if more than one domestic Sometimes no difference in treatment between children and adults No day off work Idem If child normally goes home every day, she will usually get a weekly day off
Normally lives in employer’s home Normally goes home once a year (Lebaran/Ne w Year) Sometimes child’s parents visit, but more often do not
Live with employer Goes home once per year Sometimes child’s parents visit, but more often do not Some children return home everyday (if nearby)
Sulaiman Zuhdi Malik in Kalingga Vol May-June 2004, page 3 111 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
employer can do as he pleases Idem
03
Children/ Idem family of domestic worker
04
Through neighbori ng children
Idem
Quite tolerant
05
Children of employer (from other village/ci ty)
Idem
Employer and child know each other or have a familial relationship Child often treated no differently to employer’s own children
Idem Different made between children’s and adults’ work Child tend to be under supervision of adult domestic worker Only minds After house/child employer ren while returns employer is home, child out working also returns home Work Idem involves If the providing employer assistance, travels to the either done child’s together or village, the alone child Normally normally light work goes as well for a limited Child’s time parents sometimes visit
Some notes: 1. The characteristic states above are not universal (not all employer regard their child domestic workers as being akin to slaves or “chewing gum”). V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 112
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
2. Usually, an employer’s treatment of a child domestic worker is influenced by the social environment (urban/sub-urban area), housing complex, or normal residential area. In general cases of repeated or fatal abuse occur in housing complexes where each family lives in isolation. 3. The age threshold for children (under 18) is frequently little understood, or is sometimes actually a factor in deciding to employ a domestic worker – young or old, inexperienced or experienced. 4. Among certain social groups (for example, the Batak), kinship (from the same clan) is frequently a determinant factor in how an employer treats a child domestic worker 5. The recruitment pattern highlighted in point 5 in the above table normally comes into play when a potential employer returns to his home village, or receives a visit in the city from family members. Other characteristics: The majority of Child Domestic Workers are girls. Based on the widely geld, traditional view of society that the work of women is lighter than that of men, domestic workers are normally poorly paid. In the case of Child Domestic Workers, the lack of appreciation for the work they do is exacerbated by their relatively young ages, and the fact that they may not possess as many skills as adult domestic workers. The results of this can be seen in the wages they receive—only between Rp. 125,000 and Rp. 150,000 per month (ILO-IPEC: 2003). Given the current situation, many women who have children decide to keep working, and hand over the responsibility for keeping their households in good order to domestic workers.79 Child Domestic Workers generally work alone in family homes, and live together with the employer’s family. The conditions in which they work and live vary greatly, depending on the employer and the relationship of employment. A domestic worker is expected to be able to do everything that is required of her, and to always be quick to respond to the needs of the family. The frequently disguised nature of her employment results in the relationship between the employer and the domestic worker being unclear, and complicates the possibility of applying legal rules to ensure the protection of domestic workers. As a result, the current position of domestic workers in general, and Child Domestic Workers in particular, is highly vulnerable to exploitation, with little in the way of protection being available to those who fall victim to such exploitation.80
79 80
Kalingga, Op. Cit., page 11-12 Ibid., page 11 113 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
Problems faced by Child Labour Many child domestic workers may find a good circumstance. The child finds kind employer, gives a standards wages and support the education of the worker. However most of them are vulnerable to fall in violence. Here are some forms of violence most frequently experienced by Child Domestic Workers81
Physical violence: Pinched Slapped Kicked Scalded Whipped Electrocuted Slapped with the hand/an object Hair pulled Deprived of food Given moldy/inedible food Locked in the bathroom/stereoroom Working from 04.30-23.00 Not getting enough rest Carrying heavy loads Forced to do a particular job in large volumes Not enough rest between one job and the next Psychological violence Scolded Shouted at Insulted Ridiculed repeatedly based on physical appearance Not allowed to mix with other people Not allowed out of the house Access to parents greatly restricted Not allowed to go back to home village Required to work quickly Told to do different things at the same time Different orders given in respect of the same job Wages not paid, or not as agreed No wages 81
Ibid., page 13 V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 114
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
Different food to that of employer Sexual violence Buttocks fondled from behind Forcibly kissed Touching of the breasts Invited to have sex or watch pornographic videos Raped after being unwittingly given drug, or raped with threats Forced to watch the employer having sex Ridiculed using sexual language or in respect of certain parst of the anatomy Forced to perform oral sex on or masturbate employer Physical and psychological violence Late responding to or complying with summons/order Late completing a particular job Work fails to satisfy employer Violates rules/orders of employer Breaks a particular object or thing Acts “impolitely” to employer, for example fails to curtesy when meeting employer, etc”) Child serves as a substitute for the anger the employer feels towards another person, etc. Sexual Violence (modus) Employer demands massage Ordered to sleep in employer’s bedroom Sometimes sleeps in employer’s room While child is working While house is empty Invited out on various pretexts Drugged Invited to watch pornographic videos Seduced, coaxed, or enticed Threatened with violence These problems and violence is effects of the complexity to find the facts. The workplace, which is in a house of employer make the condition not easy due to the difficulty to see the violence obviously. In addition the bad low enforcement in Indonesia also contributes to the problems. The police officer seem pay just little attention to the child domestic workers related crimes. 115 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
Roots of Child labour Some people may easily argue that the main cause of Child Workers is poverty, this opinion is true. In addition, Child Workers in Asia82 reports that there are five main categories of poverty in different parts of South Asian as a root of Child Labour, namely: Economic poverty; Geographical poverty; Social poverty; Cultural Poverty; Political poverty. These kinds of poverty are the roots of child workers. Lack of education also becomes main factor for increasing the child domestic workers. Based on the data collected in Surabaya, most of them cannot pass elementary school or just finished the sixth elementary school. This why some family may think that the children can be paid in low standards. The lack of education also makes the children face difficulty when they fall in to violence and discrimination. They do not know how to protect their rights; even they may do not know what are their rights. The other root is cultural value. In Indonesia there is a tradition called ngenger means to join live with the richer family. And also there is kind like “obligation” that the richer brother will take and save his younger brother. This cultural aspect is also contributes to the increase of Child Domestic Workers. The other cultural factor is, many family tolerance if their children go to work, even some family support them since they will help the economic condition of the family. In addition the other factor of child labour is no good alternative, some child want to go work but since they can not find the good alternative, they prefer to accept work whatever is that.83
Solutions From the description above, it is clear that Child Domestic Workers needs special protection regarding their rights. The only solution is to eliminate and erase the Child Domestic Workers in this world
The erase of child domestic workers is a must, however we need to solve the problems gradually, since there are many problems related to this kind of problem. For example, poverty. If we terminated the Child Domestic Workers in one time radically without any support to the economic condition of the family, it is also not a Child Workers in Asia. Vol 16 No. 2 May-August 2000 Agustina Hendriawati et, all, Summary of Situation Analysis of Children Who Need Special Protection, PKPM Atma Jaya, Depsos, UNICEF, Jakarta: 1998 page 6-10 82 83
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 116
Al-Muthaliqaat Al Fikriyah
wise way. The most important is how to protect the right of the Child domestic workers and ensure that they face no discrimination and violence in any forms of it. And there are many alternatives of solution for it:
First of all, providing good and special educations for them. This is undeniable that the Child Domestic Workers phenomenon is strongly linked to the lack of education. They choose to be domestic workers due to they cannot afford to go to school.
Therefore the first solution is providing free basic education. This free education is provided for poor families who cannot pays for schools. This kind of school also may have special characteristics, for example, the time is started in the evening or night so the children who work in the morning still can have education. Tini is a picture of child labour. Tini finished 5-year elementary school but she still want to continue her education. She says: “I work from morning until evening, when time for school? 84
The second solution is making a clear regulation to protect the rights of child domestic workers. The child domestic workers must be regulated in law because they need standardization since some times it is difficult to define the child domestic labour who works with their family for example, how they can have equal rights include wages like the other child workers85 Conclusion It is clear that a Child Domestic worker is a problematic phenomenon in Indonesia. This phenomenon is not only related to poverty that is big problem in Indonesia. This phenomenon is related to education and many other factors.
The child domestic workers are vulnerable to e exploited and face discrimination. So we need more effort to solve these problems.
Actually the Islamic thought, Human Rights and Indonesian Constitutions are clear regulations to show what are the rights of children. The regulation also did not Child Labour News no. 5 August-October 1999, Jakarta, p.6 KOMPAK Jakarta (the Education Committee for the Indonesian Creative Child Labour foundation) Child Labour News, Vol 8 No. 03 September-November 2002 Jakarta, page 23 84 85
117 | J u r n a l S t u d i A l - Q u r a n
Thahir Muhammad Ahmad
support the discrimination among child domestic workers, however we still see the child domestic workers related problems.
One thing to notice here is that the problem of Child Domestic Workers is not only the government’s problem, this is our collective responsibility. So everybody supposed to help according to his or her ability.
All elements of community must pay attention to these problems since the children are the next generation of the nation. What the nations will be is also determined by the condition of the children and the young in present.
Reference KOMPAK Jakarta (the Education Committee for the Indonesian Creative Child Labour Foundation) Child Labour News, Vol 8 No. 03 September-November 2002, Jakarta Center for Study and Child Protection in collaboration with UNICEF Jakarta, Kalingga, Vol. May-June 2004 Ministry of Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection Muslim Intellectual Society of Indonesia (ICMI), Muslim World League Makkah in corporation with Inter-Islamic University cooperation Indonesian Council for Da’wah Islamiyah (DDII) and State institute of Islamic studies Syarif Hidayatullah Jakarta, in IPTN Bandung, Indonesia from 29 August through 1 September 1994 Ben White and Indrasari Tjandraningsih. Child Workers in Indonesia, AKATIGA, Bandung, 1998 Child Workers in Asia. Vol 16 No. 2 May-August 2000 Hendriawati, Agustina et, all, Summary of Situation Analysis of Children Who Need Special Protection, PKPM Atma Jaya, Depsos, UNICEF, Jakarta: 1998 Child Labour News no. 5 August-October 1999, Jakarta
V o l . I X N o . I J a n u a r i 2 0 1 3 | 118