DAFTAR ISI
Pendahuluan Puisi dalam Kereta Kafan Kemurkaan Perempuan Jangan Mati Karena Cinta Pertemuan-pertemuan Raga Penutup
SINOPSISRaga, pemuda yang mendapat gelar kesarjanaan dari Bandung, masih melakukan kebiasaannya membawa kain kafan dalam perjalanannya menuju kampung halamannya, Bogor. Kebiasaan ini diilhami dari kawan lamanya, Yusufa yang anggota keluarganya memiliki kafan masing-masing untuk mengingatkan diri dari kematian. Selain itu lahan kosong di belakang rumah Yusufa dimaksudkan sebagai lahan kubur untuk mereka isi kelak. Selama dalam perjalanan Raga mengingat kisah hidupnya. Mulai dari menerima perlakuan ayahnya yang temperamental, pertemuannya dengan Kelana yang membuatnya menjadi anak jalanan, sampai ketika ibunya wafat dengan mengenaskan. Atas bantuan kawannya, Joang, Raga mendapatkan pekerjaan sebagai editor bahasa di sebuah media cetak. Di sana ia harus memerangi idealismenya sendiri dengan standar ketatabahasaan yang dipegang di harian tersebut. Untuk menyegarkan pikirannya dari kejenuhan pekerjaan ia menemani kawan wartawannya mewawancarai Gemintang (Min),
perempuan
yang
pekerjaannya
sebagai
guru
diberhentikan hanya karena diketahui mantan PSK. Berita Min menghiasi di berbagai media dan menjadi kontradiksi. Sementara Raga jatuh hati di awal perkenalan dengan Min 2
hingga diam-diam ia mengirim email dengan nama samaran Kelana. Min dan Raga pun bertaaruf sebatas chating dan email hingga pada suatu hari keduanya bertemu didampingi teman masing-masing untuk menyahkan hubungan. Namun pada acara makan malam berlangsung, sesuatu yang tak terduga dialami Raga. Salman dan Sifa yang selama ini teman masa lalu yang sudah tak terdengar lagi kabarnya malah muncul sebagai pasangan. Terlebih ketika Sifa ternyata teman dekat Min. Sifa,
adalah gadis yang hanya mengenyam
pendidikan sampai bangku SD. Ia berkawan di usia 13 dengan Raga ketika sama-sama belajar di sebuah pendidikan gratis untuk anak jalanan bernama Ruang Belajar yang didirikan seorang mahasiswa. Sifa merasa semua harapannya kandas saat dikawinpaksakan orang tuanya di usia 17. Sifa rela menjadi istri ketiga seorang pemilik tanah di Purwakarta demi keluarganya. Pernikahan itu membuatnya harus menghancurkan rasa simpatinya pada Raga yang sudah dipupuk sejak awal pertama mengenal. Namun ketika Sifa menjadi janda setelah suaminya meninggal dan ia tinggal satu atap dengan kawan lamanya Min, ingatannya pada sosok Raga kembali terngiang.
3
Suatu hari Min diberitakan berbagai media sebagai mantan PSK yang menuai kecaman karena dianggap perubahannya sebagai kamuflase dan tetap membuka praktek
prostitusi.
Hal
ini
membuat
Sifa
enggan
memperkenalkan dirinya sebagai teman Min terutama terhadap Salman, pemuda yang dikenalnya saat bertemu di rumah Raga yang kosong. Suatu ketika saat mencoba peruntungan mengikuti audisi film, ia bertemu dengan Raga dan rasa cintanya kembali menyeruak. Namun ia harus menutupi pertemuannya dengan Salman dan Kelana –yang juga teman Raga. Suatu ketika Sifa memutuskan untuk pindah dari rumah Min untuk gencar mendapatkan perhatian Raga. Namun saat Sifa menghadiri makan malam Min yang hendak memperkenalkan sang calon suami, Sifa terkejut karena calon suami itu adalah Raga. Kebohongannya pun terbongkar. Salman, berusaha menghentikan bakat menyukai sesama jenisnya sejak kecil. Namun pertemuannya dengan Radit ketika berusia 16, membawanya pada satu kesalahan fatal yang kelak membuatnya putus asa. Salman yang datang dari keluarga miskin diajak ke Jakarta oleh Radit untuk kemudian disekolahkan dan tinggal satu atap. Di sana ia melakukan kesalahan fatal yang membuatnya nyaris bunuh 4
diri dengan berjalan gontai di rel kereta api selama perjalanan pulang. Namun seseorang menyelamatkannya, Kelana, seorang tunawisma yang kemudian dibawa Salman ke rumah kosong Raga untuk tinggal. Beberapa hari kemudian ia bertemu dengan Sifa, yang mengaku kawan Raga dan hendak berkunjung. Akan tetapi ketika mereka usai melakukan salat Ashar berjamaah, Kelana kabur entah kemana. Karena sadar Raga dan Kelana sudah hilang kabar, keduanya bersahabat sampai di suatu waktu Salman yang bertekad untuk berubah itu melancarkan niatnya untuk bertaaruf dengan Sifa. Sifa pun menerima meski dengan setengah hati. Suatu hari Salman diajak Sifa makan malam menuju kawan Sifa, namun betapa terkejutnya ia saat mengetahui keberadaan Raga di sana. Terutama saat mengetahui betapa Sifa menyembunyikan pertemuannya dengan Raga. Raga tak hanya nama salah satu tokoh, melainkan tubuh sebagai alat penggerak keinginan ruh. Para tokoh sibuk mempertanyakan keberadaan diri, keinginan, dan fakta bahwa semua orang akan mengarah pada kematian. Min yang hak hidupnya direnggut sejak berusia 13 tahun gemar mengritisi kedigjayaan pihak laki-laki yang gemar melakukan penindasan terhadap pihak perempuan. Kelana, seorang 5
seniman jalanan yang hidupnya tak pernah berjalan mulus selalu berdelusi dan berlaku menurut cara yang tidak diterima kebanyakan orang. Dan pertalian demi pertalian akan membawa beberapa tokohnya menemukan peristiwaperistiwa serba bersinggungan yang tak terduga.
6
Pendahuluan DALAM satu ruangan yang pengap lagi temaram, seorang lelaki renta menghentikan aktivitasnya. Punggungnya bersandar di penyangga kursi dan sepasang lengannya menumpu di atas meja. Dari balik kaca matanya yang memantulkan sinar, ia alihkan pandangan untuk menyegarkan penglihatan. Tampaklah seorang pemuda tanggung yang sedang asyik membaca ensiklopedi di sudut kamar. Ia berdiri dengan kaki menyilang, menutupi setengah wajahnya dengan buku yang tergenggam di hadapan. Matanya binar, dahinya lebar, barangkali sedang tersenyum sungging. “Orang-orang berharap meninggal dengan cara-cara yang alamiah,” kata pemuda itu di tengah gemuruh kipas angin. “Tapi mereka bisa saja mati saat jatuh dari motor, gagal jantung di rumah sakit, atau kejatuhan bola monster. Tak ada bedanya. Semua orang akan jadi jasad.” Lelaki tua berwajah basah itu mendongakkan kepala dan terus mengurai pertanyaan tanpa harus membuka mulut. Sebab, sang pemuda tahu segala hal. Kelak ia akan membuka jendela dan melihat ketandusan di luar sana. Begitu gersang, membuat keringat membasuhi sekujur tubuh, mengingatkannya akan ending yang fana.
7
Puisi dalam Kereta DI stasiun orang-orang seperti sedang kesetanan menunggu kereta datang. Seolah gerbong kereta adalah surga tempat bidadari bersemayam, mereka beranjak cepat dari tempat duduk atau melesat cepat usai berdiri lantas berdesakdesakan memasukinya. Tak peduli keberadaan yang tua yang lemah karena hal-hal yang bersifat duniawi menuntut mereka untuk mengedepankan kekuatan ekstra. Di antara ajaibnya suasana stasiun, seorang pemuda kumal dan bermata hampa berjalan datar. Tubuh kurusnya sesekali terjungkal tertabrak lalu lalang orang yang melangkah gesit dan mantap. Tapi ia tak pernah marah atau jengkel seperti kebanyakan orang saat posisinya disepelekan. Pikirannya terlalu mumet untuk berpikir yang jauh-jauh. Karena yang paling penting dalam hidupnya adalah mengakhiri. Di tepi peron ia masih menunggu saat yang tepat lagi bertanya, kapan kereta itu akan melaju. Lalu beranganangan mengenai penjatuhan dirinya di atas rel sampai kereta meremukredamkan badannya yang kurus. Sementara detik demi detik terasa seperti bola raksasa yang menggelinding hebat. Bisa jadi ia akan tersungkur berkilo-kilo meter: jatuh jauh di rel kereta dan patah tulang sebelum kereta melibas. Dan detik itu datang serupa malaikat pencabut nyawa, tiba laksana momok dengan tubuh yang meraksasa setiap kali napas lelaki itu berhembus. Karena inilah saat terakhirnya memperjuangkan hidup. Mencium ajal sendiri. Tentu dengan tangan sendiri.
8
Satu.. (Saatnya meloncat. Kereta menggeram seperti singa. Siap lari). Dua.. (Saatnya kematian untuk sekawanan luka yang mengerangkeng hatinya selama ini). Tiga.. Ia siap meloncat namun sebelum tubuhnya meringan begitu saja, seseorang menggamit lengannya kuatkuat. Wajahnya oval halisnya tebal dan tubuhnya lebih tinggi beberapa sentimeter. Sementara orang-orang yang berkerumun sebal menyaksikan. Tak ada kepanikan, kekhawatiran. Mereka berlalu dan kembali khidmat menunggu kereta lain. Berlaku biasa. “Ini kesalahan,” kata pemuda berpakaian hitamhitam dan berhalis tebal itu. “Anda punya saran yang lebih baik, hah? Apa itu akan terdengar seperti.. menyarankan saya untuk menunggu kematian seperti yang digariskan Tuhan?” “Kenapa Anda harus mengakhiri hidup Anda sekarang? Padahal Anda bukan penjarah, pemerkosa, pembunuh..” “Saya akan menjawabnya kalau ini sudah menjadi urusan Anda.” Kelana berjalan seolah menghalau semua orang yang merupa penghalang dari sebuah perburuan. Namun Si Misterius itu bersejajar mengikutinya. “Anda cuma kesepian dan selalu hidup dalam kenikmatan euforia. Sekarang adalah puncaknya. Jadilah Anda bom waktu. Tapi jauh dari lubuk hati Anda, Anda menginginkan seseorang menyelamatkan diri Anda. Seseorang yang tak pernah ada. Yah, dia mungkin ada. Tapi dia fatamorgana. Jadi apa gunanya.” Sosok itu berbicara seperti sambaran petir. “Percayalah Kelana, saya akan membantumu.” Kelana menghentikan langkahnya saat namanya diketahui. Bagaimana mungkin, tanyanya. Awalnya ia 9
mencoba untuk tidak peduli namun kakinya malah tak bisa digerakkan. “Siapa sebenarnya kamu?” Kelana akhirnya berbalik. “Apakah kau gaib?” “Namaku Manusia, dan aku nyata.” Sosok itu tersenyum. Jubah hitamnya berkelebat disepoi angin. “Sungguh, aku tidak punya waktu untuk bercanda!” Kilah Kelana. “Tapi kenapa kau punya banyak waktu untuk melakukan percobaan bunuh diri?” Kelana terdiam. Bunuh diri? Ia hanya berlari menuju garis akhir penderitaan. Dalam pelariannya ia perlu menerima rasa sakit yang kelak akan membawanya sebagai pemenang dengan menerima lebih dari sekedar medali atau piala, melainkan ketenangan yang kekal. “Dengan cara apa saja kau pernah melakukannya?” Pertanyaan Manusia seperti meledek. “Jatuh dari lantai lima sebuah mal? Menelan segenggam pil? Memasukkan sebuah peluru ke dalam pistol lalu mengarahkannya pada kepalamu?” Kelana menatap geram namun Manusia membujuk rayu. “Hatimu bergemuruh seperti deburan ombak. Maukah kau bersamaku ke bibir pantai?” Tanpa menunggu respon, Kelana sudah menghadap laut yang terbentang luas tanpa batas dalam hitungan menit. Sepatu telah dilepas, celana jeans telah digulung sampai sedengkul. Ia berdiri di pesisir namun melangkah gamang karena terkejut, membuat jejak telapak kakinya tersapu buih pantai. Ia menyaksikan jajaran hutan hijau di ujung timur dan bebukitan kecil di ujung barat sebelum mendapati wajah Manusia yang memerah karena senja berwarna oranye. 10
“Beberapa orang yang naik kereta tadi adalah pelaku kriminal. Di salah satu gerbong mereka bunuh diri dengan meloncat dari pintu kereta atau jendela ketika kereta sedang melaju. Mereka lebih memilih mati di tangan sendiri ketimbang merasakan pedihnya eksekusi dan penilaian sosial. Kebanyakan dari mereka adalah bankir korup yang meninggalkan hutang trilyunan rupiah dan pejabat tikus. Selebihnya pemerkosa, pembunuh, atau penjarah saat peristiwa Mei lalu terjadi.” Kelana tertawa konyol. Kenapa ia harus percaya? Ia hanya tidak percaya kalau penjahat kelas kakap bisa melakukannya. Bukankah mereka tinggal kabur ke luar negeri atau menggelontorkan ratusan juta dari rekening jika tercium hukum, memberikannya pada siapa saja yang bisa membantu, lalu bebas! Setidaknya mendapat vonis lebih ringan dari tuntutan. Sementara untuk penjahat kelas teri, kenapa tidak mereka gunakan proses persidangan mereka untuk bertobat? Manusia tertawa, badan tegapnya setengah terguncang. “Kemana saja kau? Dalam beberapa tahun ke belakang, orang-orang terkena virus moralitas. Tak terkecuali dengan para pejabat pemerintah dan penguasa. Mereka mengira kematian macam itu akan membuat mereka jauh lebih merasa terhormat.” Kelana mengerutkan kening. “Kenapa aku tak terkena virus itu? Bukankah aku juga penjahat..” Manusia menepuk pelan punggung Kelana di tengah kicau burung dan kepak kelelawar yang berseliweran. “Mungkin kau dilindungi,” bisiknya. Kelana terheran namun sedetik kemudian Manusia malah gencar terbahak. “Kau tidak lupa ‘kan, di satu minggu setelah menjadi mualaf? Bunuh diri adalah dosa syirik, dosa yang tak terampuni Tuhan. Di neraka kau akan kekal dan disiksa menurut 11
caramu memampuskan diri. Mungkin dengan berkali-kali dihempas kereta sampai remuk lalu kembali utuh dan berulang tanpa akhir.” Kelana ingin berkelit tapi ia merasa tak mampu. Desir angin menyibak-nyibak tengkuknya sampai dingin, membuat timbunan beban kembali menyeruak dan menyengsarakan dadanya. Sambil menekuk wajah dan sepasang lututnya menumpu di atas pasir, gambarangambaran mengenai masa lalunya terlintas satu persatu seperti cuplikan film bioskop dengan editing berantakan. Ketika kebahagiaan dan kepedihan tak hanya sebagai bumbu, tapi melebur menjadi adonan lengkap kehidupan. SAAT berusia tiga belas ia kabur dari panti asuhannya di Bekasi hanya untuk menemukan kedua orang tua yang telah membuangnya. Berbekal tabungan yang tak seberapa serta alamat yang ia curi dari kepala asrama, ia berhasil datang ke Jakarta meski yang ia dapatkan adalah penolakan. Padahal hanya sebuah pengakuan yang ia harapkan, sama sekali tidak meminta kedua orang tua dengan satu anak yang tinggal di rumah susun itu menerimanya kembali. Ia berjalan tak tahu arah dengan membawa hati yang patah lalu terjaring petugas keamanan yang membuatnya harus tinggal di tempat penampungan. Karena hidup bagaikan roda, Kelana mengalami kepedihan dan kebahagiaan silih berganti. Di stasiun, sewaktu umur 15 tahun ia bertemu dengan Damar, lelaki berumur, muslim, dan dosen Fakultas Humaniora yang kemudian menawarinya tinggal di rumahnya sebagai pembantu rumah tangga. Akhirnya bocah penyemir sepatu itu tinggal berdua dan mencicipi pengetahuan yang ia lahap dari buku-buku yang berjejer rapi di perpustakaan pribadi sang majikan. Selain mempelajari kesusastraan, ia pun 12
membaca buku-buku keislaman sampai oleh seorang alim ulama ia dimuslimkan. Empat tahun kemudian Damar menemukan pendamping hidup, menikah, dan kembali ke kampung halaman untuk mendapatkan gelar profesor. Meski dibekali modal untuk membuka usaha, Kelana tahu kesengsaraan hidup di jalanan akan kembali ia jilati. Akhirnya ia membuka usaha sablon meski pada suatu hari yang naas, rukonya dijarah saat kerusuhan berlangsung pasca penembakan aparat keamanan terhadap aktivis mahasiswa. Membuat massa mengamuk, melebur ke jalanan, membakar gedung, toko, kendaraan, membuat ratusan orang ke akhirat, dan meninggalkan korban perkosaan yang dialami warga keturunan. Para demonstran mengepung Senayan sebelum presiden melengserkan diri dari kursi kekuasaan yang dikecapnya selama puluhan tahun itu. Keadaan tak menjadi dingin karena masalah demi masalah masih bergelayutan dan menunggu penyelesaian. Membuat sebagian orang yang tak mengerti semakin tidak mengerti. Sebab mereka hanya ingin kedamaian. Ketika tahun beranjak dan ia terus bekerja serabutan untuk mempertahankan hidup, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Siti, anak perempuan satu-satunya Bu Sum, pemilik Warteg Sederhana yang selalu ramai pembeli. Ketika pertama kali melihatnya, Kelana tersengat sesuatu yang menjalar dan tak terbantahkan. Belakangan ia itu kalau itu cinta. Begitu pun Siti yang wajahnya ayu seperti puteri keraton, siapa yang tak meleleh saat Kelana gemar membuatkan puisi cinta. Dan setiap kali bertemu di warteg, komunikasi yang mereka layangkan hanya melalui surat. Namun Bu Sum tak menyukai keberadaan Kelana, seorang pengangguran, gelandangan, lulus SD pun tidak.
13
Akhinya Kelana mendapatkan pekerjaan sebagai salesman barang-barang elektronik dan berkos. Itu pun tak cukup untuk meyakinkan orang tua Siti. Di sisi lain ia termakan iming-iming penghasilan yang didapat dari mengedarkan narkoba sampai gigolo. Sebab seorang teman pernah berkata kepadanya, bahwa tak ada yang benar-benar sakral di dunia ini. Jadi untuk apa menunggu kesempatan yang lebih baik jika kesempatan yang lain sudah ada di pelupuk mata. Bahkan jika kesempatan itu berupa lowongan pekerjaan sebagai seorang pembunuh. Maka di tengah keadaan yang mendesak ia tergoda untuk memilih pekerjaan yang mampu mendatangkan uang secara instan, semata agar bisa memperistri Siti. Dua bulan kemudian melamarlah ia meski harus menelan kepahitan layaknya menelan kaktus. Saat Siti sudah dijodohkan dengan lain orang, hati Kelana patah sekali lagi. Siti pun tahu Kelana seterluka dirinya. Tapi konon anak-anak yang mengingkari orang tua akan durhaka dan –mungkin– membatu seperti halnya Malin Kundang. Dan sejak saat itu Kelana tak lagi membuat puisi cinta, melainkan puisi ketuhanan. Meski imannya pasang surut seperti gelombang pantai –di sini. “TUHAN menciptakan aku dan kau dengan akal dan nafsu. Bukan untuk membuat ujian terasa berat terlebih karena upaya iblis yang kerap memenuhi nerakanya dengan manusia-manusia. Bukan pula konflik ini menyenangkan Tuhan. Ia tak mengharap apa-apa dari kita karena Ia berkuasa penuh akan segalanya. Beruntunglah jadi manusia, jadi makhluk paling sempurna hingga membuat makhluk lain iri. Kita mungkin tidak dapat menghilang, tak abadi, tak membuat segala sesuatunya dengan sihir. Tapi kita mendapatkan keinginan kita dengan usaha. Untuk mencipta sesuatu kita memerlukan proses, tak langsung jadi dalam sekali tepuk.” 14
Manusia berbicara sepanjang rel kereta api listrik, membuat Kelana semakin bersimpuh tak karuan dan membiarkan tetes air mata yang jatuh ke atas permukaan pasir yang abu terseret gelombang kecil yang pasang. “Tidak ada hidup yang tidak begitu. Hidup itu penuh resiko. Kelahiranmu beresiko kematian, perjuanganmu beresiko kegagalan, pernikahanmu beresiko perceraian. Setidaknya mengambil resiko dapat membuatmu belajar.” Dahulu ia selalu mengenyahkan pernyataanpernyataan motivator yang tidak lebih berbeda dengan tukang obat pinggir jalan: omong kosong. Tapi saat ini ia membiarkannya tertelan laksana hasil kunyahan. “Setiap manusia tidaklah selalu lengkap. Buatlah dirimu menjadi madu yang mendatangkan banyak lebah.” Kelana limbung. Air matanya simbah. Laut sudah semakin merah, matahari tenggelam perlahan. “Aku tak bisa menjadi atau merupa madu. Aku racun yang banyak membuat orang lari.” “Kita adalah apa yang kita pikirkan. Kadang musuh terbesar dari kita adalah pikiran kita sendiri. Ubahlah hal itu dan jadikanlah ia sahabatmu. Berdamailah dengan dirimu. Hidup itu pilihan. Kaulah yang menentukan.” Itu benar. Kelana mengangguk pelan sebagai tanda bersetuju. Ia simpuhkan kakinya di atas pasir yang basah sambil mendongakkan wajah. Sementara, senja telah berganti, awan hitam siap menyelimuti separuh bumi dengan kegelapan, laut masih bergelombang dan bergemuruh. Tapi sosok itu hilang tak ada serasa moksa. Kelana pun tahu. Bahkan tanpa perlu menengok kanan kiri.
15
DI stasiun orang-orang seperti sedang kesetanan menunggu kereta datang. Seolah gerbong kereta adalah surga tempat bidadari bersemayam, mereka beranjak cepat dari tempat duduk atau melesat cepat usai berdiri lantas berdesak-desakan memasukinya. Tak peduli keberadaan yang tua yang lemah karena yang mereka pikirkan adalah menunggu waktu yang tepat untuk melakukan bunuh diri masal! Istighfar membuat bayang-bayang Kelana mendadak sirna. Ia kembali dan mendapati kereta api yang ditumpanginya berhenti di stasiun terakhir. Tak lama ia merasa tubuhnya didorong dari belakang dan seruan terdengar bertubi-tubi bagai memaki. Kelana yang masih berdiri di sisi pintu gerbong menjadi penyebab kemarahan penumpang yang berdesakan ingin keluar. Sesegera mungkin ia meloncat demi mengusaikan kekisruhan. Berduyun-duyun ia keluar stasiun dan berharap cepat-cepat sampai di kontrakan. Beberapa kali ia menarik dan menghembuskan napas secara perlahan dalam perjalanan. Ia berharap kekalutan yang mengoyak-ngoyak hatinya musnah dan tak lagi bersisa. Sambil terus membersihkan jiwanya dari kekisruhan, ia seberangi jalan raya, ia masuki gang demi gang, ia yakin keberadaan dirinya membawa manfaat bagi orang-orang sekitar. Terutama Raga, yang bulan ini sudah masuk ke sarang sebenarnya, kelas, pendidikan, ayoman guru, Ibu yang baik, hal-hal yang tidak dimiliki Kelana sejak kecil. “Aduh!” Ia mengaduh sebelum mengusaikan senyuman hatinya. Rasa sakit teramat hebat terasa di bagian punggung. Di hentakan kedua, entah benda tumpul apa yang mengenai
16
bagian belakang kepalanya, pandangan matanya kabur lalu gelap seperti memasuki lubang hitam. “Masukkan ke mobil!” Tawa meledak seusai seorang lelaki bersuara berat memerintah. Di sebuah gang sempit tubuh Kelana yang kaku diangkat oleh seorang lelaki brewok berwajah sangar dengan topi yang dikenakan. Sementara lelaki berkaos putih dengan tangan kekar bertato melepaskan bongkahan kayu yang baru saja ia gunakan untuk meminsankan seseorang. Satu lagi yang memerintah melangkah mengomando agar korban diseret menuju mobil sebelum dimasukkan ke jok belakang. Beberapa detik kemudian mobil melaju setelah tiga lelaki misterius itu masuk ke dalam. Hanya darah yang sedikit menggenang di tanah gang yang tertinggal.
17
Kafan KAFAN dalam ransel telah dia bawa sebagai persiapan menjelang kematian. Padahal dia tak pernah berharap berakhir lebih cepat di saat hendak berziarah kubur. Wajahnya serupa kuyup oleh kesedihan. Kehilangan masih terasa bagai bara yang berkobar dalam matanya. Pemandangan yang dilihatnya dari tempat duduk terlihat bagai fast motion dalam sebuah video. Titik-titik gerimis berjatuhan di kaca jendela bis bagai bayanganbayangan masa lalu yang berkelebat saling mengejar dan menindih. Mungkin ia akan menangis sesampainya di kampung halaman, tempat ia memulai dan menghabiskan masa remajanya. Tempat ketika ia selalu satu romansa dengan ibunya. Melalui perjalanan yang kini terasa tampak pendek sekali di matanya, rasanya ia bisa mengambil benang merah kehidupan, bahwa setiap manusia akan berujung pada kematian, momok bagi yang hidup. Semua orang tahu namun tak banyak dari mereka yang terus menerus mengingat kedatangan ajal. Tak ada satu orang pun yang siap dengan hal-hal buruk. Tak ada satu pun yang mau jika kesenangan dan semua yang telah dimiliki dirampok. Termasuk saat peristiwa lima tahun lalu terjadi dalam hidupnya: kehilangan seseorang yang amat dicintai. ! Musik dangdut terdengar tiba-tiba dan membahana. Sebuah intro lagu SMS terdengar seperti gempita tahun baru agar sopir dan kondektur bis melek. Raga singkirkan lamunan dan kembali menghadapi realita. Lima jam lagi sampai di Bogor, perjalanan panjang yang ia tempuh dar 18