Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto Penyunting/Editor: Syahrir Ika, Farid Arif Wibowo, Ivan Yulianto, Novijan Janis, Riza Azmi, Hendro Ratnanto Joni, Eko Nur Surachman, Hadi Setiawan, Muhamad Nasir Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis PNM Sekretariat: Hani Widyastuti, Hapsari Widowati, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron Penerbit: Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Percetakan: PT Prima Najah Mandiri Alamat: Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786 Email:
[email protected]
Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Daftar Isi
www.actualidadecommerce.com
UTAMA: l Penguatan Beberapa Sumber Penerimaan Pajak Sebagai Upaya Mitigasi Risiko APBN................................................................................................ 4 Oleh: Hadi Setiawan dan Sofia Arie Damayanty l Mengurai Mitigasi Risiko untuk Penerimaan Negara.........................................10 Oleh: Novijan Janis l Eksplorasi Sumber-Sumber Penerimaan Pajak dan Mengatasi Usaha Penghindaran Pajak dalam Agenda Perpajakan Internasional.......................... 17 Oleh: Rahadian Zulfadin Mitigasi risiko: Mengkaji Isu Lintas Generasi dalam Pengelolaan Risiko Keuangan Negara... 20 Oleh: Farid Arif Wibowo l Permasalahan Dan Tantangan BUMN sebagai Salah Satu Instrumen Penerimaan Negara................................................................................................25 Oleh: Indria Wardhani l
wawancara: Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) dengan ........................... 30 Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax (Staff Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan) Oleh: Riko Amir, Hadi Setiawan, Hendro Ratnanto Joni, Ivan Yulianto, Hani Widyastuti
l
edukasi fiskal: Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dengan Terbitnya Perpres Perubahan Kedua tentang Jaminan Kesehatan..................................................33 Oleh: Cheva Arifyani l Penjaminan Pemerintah atas Pembiayaan Proyek Tol Trans Sumatera oleh PT Hutama Karya (Persero)........................................................................... 38 Oleh: Hilman Qomarsono l
opini: Mengatur Layar Haluan Kapal Ekonomi Indonesia Untuk Mengarungi Samudra Ekonomi Global...................................................................................... 42 Oleh: Eko Nur Surachman
l
Info Utang Pemerintah............................................................................................47 Sekilas Info Risiko................................................................................................... 49 exposure..................................................................................................................... 50 2
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Editorial Mengail Potensi Pajak
P
otensi penerimaan pajak sebenarnya cukup besar, akan tetapi pemerintah memiliki kesulitan untuk mengailnya. Ada enam indikator yang bisa menjelaskan hipotesis ini. Pertama, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 4%. Itu berarti ada peningkatan penghasilan dan nilai tambah ekonomi yang merupakan basis pajak. Kedua, tax ratio masih rendah, angkanya tidak mampu melewati 12%. Ketiga, jumlah pembayar pajak masih sangat sedikit. BPS melaporkan bahwa jumlah wajib pajak (WP) Orang Pribadi (OP) yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 19.9 juta, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 61 juta (Sensus Penduduk 2010). Begitu juga WP Badan hanya sebanyak 1,9 juta NPWP Badan dari sekitar 23 badan usaha yang ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang aktif menjadi pembayar pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajaknya hanya sekitar separuh jumlah yang memiliki NPWP. Angka-angka tersebut memberikan indikasi bahwa basis pajak di Indonesia masih sangat sempit. Keempat, tax ratio PPh Orang Pribadi baru mencapai 0,94%, padahal Direktorat Jenderal Pajak pernah menyebutkan penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saat ini mencapai sekitar 60 juta WP. Dari jumlah tersebut, sebanyak 26 juta WP telah terdaftar, sementara sisanya 34 juta WP belum terdaftar. Sedangkan potensi penerimaan pajak dari OP setidaknya mencapai Rp300 triliun (Fuad Rahmany, Bisnis.com, 29 Juni 2014). Kelima, tax coverage ratio hanya 56% untuk PPh OB dan 55% untuk PPN. Keenam, tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah, yang tergambar dari sedikit sekali wajib pajak yang menyampaikan SPT ke Direktorat Jenderal pajak Kementerian Keuangan. Banyak orang kaya Indonesia yang menempatkan dananya di luar negeri mengkonfirmasi bahwa para WP tersebut tidak patuh membayar pajak. Potensi penerimaan pajak yang cukup besar ini sebenarnya bisa dikail asalkan pemerintah benar-benar
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
serius dan konsisten membenahi beberapa aspek yang masih lemah seperti data base, single identity number, kualitas pelayanan, dan law enforcement. Data base harus diperkuat, single identity number harus segera dibangun, kualitas pelayanan harus ditingkatkan, begitu juga law enforcement harus diterapkan secara konsisten tanpa pandang bulu. Bila kita tanyakan kepada rekanrekan di DJP, mereka mungkin saja mengatakan semua upaya itu sudah kami kerjakan. Namun, fakta menunjukan potensi pajak yang begitu besar masih sulit dikail. Pasti ada sesuatu yang mengganjal yang perlu mendapat tindakan koreksi. Mungkin cara kita dalam memandang sesuatu persoalan (mindset) yang perlu kita koreksi. Selama ini, bisa jadi kita terbiasa menyalahkan faktor yang berada di luar kita yang menyebabkan penerimaan negara menurun atau tidak mencapai target. Mungkin kita sudah terbiasa menunggu WP datang sehingga ekspektasi penerimaan kita ditentukan oleh sebesar-besar probabilitas kedatangan WP. Mungkin kita cukup puas dengan hanya mengail di wilayah-wilayah tertentu yang merupakan “wilayah kakap” dan kurang tertarik untuk mendatangi “wilayah teri” yang sebenarnya tidak kalah potensinya. Intensifikasi pemungutan pajak menjadi kurang berdaya hasil karena hambatannya ada di dapur kita sendiri, tetapi luput dari perhatian kita. Kelemahan adiministrasi perpajakan, kelembagaan dan kompetensi SDM, serta kualitas pelayanan, semua itu merupakan urusan kita, bukan urusan orang lain. Lemahnya penerapan reward and punishment kepada WP, itu juga urusan kita. Siapa-siapa yang mestinya diberi amanah untuk memimpin Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari Dirjen hingga Kepala KPP, itu juga urusan kita. Kalau kita fokus menyelesaikan semua hal yang menjadi “urusan kita” tersebut, paling tidak 70% dari persoalan penerimaan pajak bisa kita selesaikan. Kunci keberhasilan dalam mengail pajak terletak pada daya effort kita sendiri. Demikian editorial, selamat membaca. Syahrir Ika
3
Penguatan Beberapa Sumber Penerimaan Pajak Sebagai Upaya Mitigasi Risiko APBN Oleh: Hadi Setiawan1 dan Sofia Arie Damayanty2 1. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected] 2. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected]
U T A M A
1. Pendahuluan Pemerintah telah melakukan tiga reformasi utama dalam kebijakan APBN, yaitu (i) mengubah struktur pendapatan negara dari yang sebelumnya mengandalkan sumber daya alam, menjadi mengandalkan pajak; (ii) mengubah belanja yang sifatnya kurang produktif seperti subsidi BBM, menjadi kebijakan belanja yang produktif, misalnya pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial dan penganggulangan kemiskinan; dan (iii) mengubah kebijakan financing yang sebelumnya hanya mengandal-
kan pada pasar keuangan menjadi kebijakan financing yang mengkombinasikan financing dari dari sumbersumber lain seperti bilateral maupun non-bilateral (Nazara, 2015). Dalam hal pendapatan negara, pajak telah menjadi andalan penerimaan sejak beberapa tahun yang lalu dan semakin menjadi andalan pada tahun 2015 (mencapai 71% dari total penerimaan dalam negeri). Tabel 1 menunjukkan perincian proporsi penerimaan pajak, perpajakan dibandingkan dengan total penerimaan dalam negeri di APBN.
Tetapi jika melihat dari sisi capain target, tax ratio maupun tax bouyancy, hasil yang didapat dari kinerja pajak memang tidak begitu menggembirakan. Realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target dalam 10 tahun terakhir kecuali pada tahun 2008 dimana Indonesia menerapkan sunset policy. Terlebih di tahun 2015, dimana penerimaan pajak hanya sekitar 81,5% dari target yang ditetapkan. Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam 2 tahun terakhir, nilai tax buoyancy1 Indonesia berada dibawah 1.
Tabel 1. Proporsi Penerimaan Pajak, Perpajakan Terhadap Penerimaan Dalam Negeri (Dalam triliun rupiah) Tahun A 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Penerimaan Pajak Penerimaan Pajak Tanpa PPh Migas dengan PPh Migas B C 263,39 298,54 315,01 358,20 381,37 425,37 494,09 571,11 494,49 544,53 569,35 628,23 669,65 742,74 752,37 835,83 832,65 921,40 897,68 985,13 1.011,16 1.060,00
Penerimaan Penerimaan Dalam Perpajakan Negeri D E 347,00 493,92 409,20 636,15 491,00 706,11 658,70 979,30 619,90 847,10 723,30 992,25 873,90 1.205,35 980,50 1.332,32 1.077,31 1.432,06 1.146,87 1.545,46 1.235,80 1.491,50
B:E (%) F 53,33 49,52 54,01 50,45 58,37 57,38 55,56 56,47 58,14 58,09 67,79
C:E (%) G 60,44 56,31 60,24 58,32 64,28 63,31 61,62 62,73 64,34 63,74 71,07
D:E (%) H 70,3 64,3 69,5 67,3 73,2 72,9 72,5 73,6 75,2 74,2 82,9
Sumber: LKPP, NK APBN berbagai tahun, press release DJP
4
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Gambar 1. Perbandingan Realisasi Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Penerimaan Pajak, PDB, Tax Ratio, dan Tax Buoyancy
Sumber: LKPP, BPS, dan Laporan Tahunan DJP
Hal ini menunjukkan bahwa secara rasio pertumbuhan penerimaan pajak masih kalah cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (Amir, 2014). Jika kondisi ini terus berlangsung, maka risiko terbesar APBN akan beralih ke penerimaan pajak. Artinya, jika penerimaan pajak selalu jauh dari target, maka Pemerintah harus berpikir untuk mencari cara lain agar dapat menutupi belanja yang harus dikeluarkan, apalagi Pemerintahan Jokowi saat ini sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan infrastruktur yang membutuhkan dana sangat besar. Salah satu caranya adalah dengan memperbesar pembiayaan, tetapi besarnya pembiayaan harus selalu dijaga di bawah 3% PDB, agar tidak melanggar UU dan khususnya juga agar tidak membahayakan bagi perekonomian Indonesia. Melihat kondisi tersebut, di tahun-tahun mendatang, Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas agar dapat meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi harus terus dilakukan oleh DJP. Potensi sumbersumber penerimaan pajak yang selama ini belum tersentuh harus mulai dicermati dan digali. Tulisan ini akan mengulas beberapa strategi dari seINFO RISIKO FISKAL
kian banyak strategi yang bisa dilakukan oleh DJP untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak khususnya terhadap sumber-sumber penerimaan yang selama ini belum banyak disentuh agar efek buruk sebagaimana disebutkan diatas yaitu Indonesia “terlilit” utang untuk membiayai APBNnya dapat dihindari.
2. P enguatan Beberapa Sumber Penerimaan Perpajakan a. Potensi Pajak dari Kegiatan eCommerce Perdagangan dalam jaringan online (e-commerce) sangat marak sekarang ini seiring dengan semakin besar dan pesatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut Menteri Kominfo Rudiantara, perdagangan elektronik Indonesia meningkat sangat pesat. Pada tahun 2013, nilainya ditaksir sekitar US$8 miliar. Pada tahun 2014, ditaksir meningkat menjadi US$ 13 miliar dan pada tahun 2015 diperkirakan menjadi US$ 20 miliar bahkan di tahun 2020 diharapkan menjadi US$ 135 miliar (Sinar Harapan, 2015). Suatu angka yang sangat fantastis, yang berarti potensi pajak disitu juga sangat besar, baik dari PPN maupun dari PPh. E-commerce sendiri berarti penyebaran, pembelian, penjualan,
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya (wikipedia, 2016). Sedangkan menurut Etemad (2004) mengatakan bahwa e-commerce adalah suatu transaksi yang terjadi melalui jaringan elektronik, sebagian besar melalui internet yang mencakup proses penyediaan, membeli dan menjual barang, jasa dan informasi secara elektronik. Selain itu sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE No. 62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013, e-commerce diartikan sebagai perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik (Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan, 2013). Secara umum terdapat lima bentuk e-commerce di Indonesia (maxmonroe.com, 2015), yaitu: (i) Daftar iklan baris, yaitu penyedia jasa e-commerce tidak terlibat secara langsung dalam proses jual beli yang terjadi. Dalam bentuk bisnis ini, pihak perusahaan ecommerce hanya menjadi media yang mempertemukan antara penjual dan pembeli dalam satu tempat. Pihak perusahaan e-commerce mengambil keuntungan dari iklan premium yang terpasang pada website tersebut. Contoh bisnis ini adalah berniaga. com, olx.com, termasuk Kaskus FJB. (ii) Marketplace C2C (customer to customer), model bisnis e-commerce ini sedikit lebih kompleks dibandingkan dengan model bisnis yang pertama. Disini, penyedia jasa e-commerce selain menyediakan tempat bagi pembeli dan penjual juga memberikan layanan metode pembayaran dari transaksi online yang dilakukan melalui layanan escrow atau rekening pihak ketiga. Perusahaan e-commerce mendapatkan peng5
U T A M A
hasilan dari sistem iklan premium dan juga adanya komisi dari jasa escrow. Contoh bisnis ini adalah tokopedia, traveloka, bukalapak dan lamido. (iii) Shopping Mall, merupakan bentuk bisnis e-commerce yang mirip dengan bentuk bisnis Marketplace C2C. Perbedaannya hanya pada penjual yang ada pada e-commerce tersebut. Pada bisnis e-commerce model ini hanya brand-brand besar yang telah mempunyai nama di pasar lokal atau pun internasional yang bisa masuk di website bentuk bisnis ini. Kemudian untuk masuk pun biasanya dilakukan proses veri-
U T A M A
fikasi yang tidak mudah. Pendapatan e-commerce ini adalah dari komisi penjual yang notabenenya brand besar tersebut. Contoh bentuk bisnis ini adalah blibli.com. (iv) Toko online B2C (Business to Consumer), bentuk bisnis e-commerce ini adalah seperti toko konvensional pada umumnya, yaitu mereka menjual produk milik perusahaan e-commerce tersebut sendiri. Sehingga semua keuntungan dari penjualan murni dimiliki oleh perusahaan e-commerce. Contoh bentuk bisnis ini adalah Lazada, Bhinneka, Berry Benka, dan lain-lain.
(v) Sosial Media Shop, bentuk bisnis e-commerce ini memanfaatkan sosial media untuk berjualan. Saat ini sosial media yang banyak digunakan adalah facebook. Berdasarkan lima bentuk e-commerce di Indonesia yang dijelaskan sebelumnya, dapat dirinci potensi pajak yang bisa diperoleh oleh negara sebagaimana terlihat dalam Tabel. 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari kelima bentuk bisnis e-commerce tersebut sebagian besarnya belum tersentuh oleh pajak khususnya untuk jenis bisnis nomor 1 sampai dengan tiga. Karena pada umumnya data penjualnya sangat banyak dan susah terdeteksi. Dilihat dari sisi aturan, se-
Tabel 1. Potensi Pajak dari Lima Bentuk e-commerce Bentuk e-commerce Daftar Iklan Baris
Transaksi Yang Terutang Pajak • Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan penyedia jasa e-commerce
• penjualan barang dan jasa oleh penjual
Marketplace C2C
• Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan penyedia jasa e-commerce
• Penyediaan layanan jasa escrow atau jasa rekening pihak ketiga oleh penyedia jasa e-commerce • penjualan barang dan jasa oleh penjual
Shopping Mall
• Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan penyedia jasa e-commerce
• komisi penjualan yang diterima oleh perusahaan penyedia jasa e-commerce
• Penyediaan layanan jasa escrow atau jasa rekening pihak ketiga oleh penyedia jasa e-commerce penjualan barang dan jasa oleh penjual
Toko Online B2C
• penjualan barang dan jasa oleh penjual
Sosial Media Shop
• penjualan barang dan jasa oleh penjual
6
Jenis Pajak Terutang • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan • Objek PPN • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh Pasal 23 • Objek PPh dalam SPT Tahunan • Objek PPN • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas laba • Objek PPN
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
harusnya aturan pajak yang ada saat ini juga berlaku untuk bisnis online sebagaimana ditegaskan dalam SE No. 62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013 tetapi harus diakui bahwa aturanaturan tersebut sedikit sulit untuk ditegakkan. Hal ini terjadi karena sifat bisnis online yang sangat berbeda dengan bisnis konvensional. Dalam bisnis online lokasi jual beli sulit ditentukan, pembeli dan penjualnya agak susah untuk dideteksi karena tidak perlu ketemu, pembayarannya sangat mungkin dilakukan secara tunai/kas, dan sebagainya. Oleh karena itu, hal ini menjadi PR besar bagi pemerintah untuk bisa menggali potensi pajak dari bisnis online ini khususnya untuk mempersiapkan infrastruktur dan SDM yang mumpuni untuk dapat menggali dan “menangkap” potensi pajak dari bisnis ini.
Selain perusahaan-perusahaan lokal yang menjalankan bisnis online tersebut, banyak juga pemain asing yang berusaha di Indonesia dan sama sekali tidak tersentuh pajak di Indonesia karena tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga susah untuk dipajaki dan umumnya transaksinya juga sulit untuk dideteksi. Perusahaan asing tersebut seperti amazon, agoda, booking.com, airbnb, dan lain-lain. Potensi penerimaan pajak dari perusahaan asing ini juga sangat besar. Hal lain yang juga masih sangat hangat adalah bisnis online berbentuk jasa seperti untuk sektor transportasi (Uber, Grab, Lyft, Go-Jek, dll), asuransi (Malacca EZ), Perbankan (investree, modalku, koinworks, lendingclub), jasa rumah tangga (sejasa, homejoy, Go-Clean, dan HapyFresh).
Semua bisnis ini juga berpotensi menambah penerimaan PPh maupun PPN.
B. Alternative Minimum Taxation (AMT) Sampai dengan tahun 2015 lebih dari 4000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mengalami kerugian sehingga mereka tidak perlu membayar pajak (Kristiaji, 2015). Apakah PMA tersebut benar-benar rugi atau melakukan praktek transfer pricing dan memindahkan keuntungan ke luar negeri? Hal ini yang masih menjadi pertanyaan, karena sebagian dari PMA tersebut sudah beroperasi cukup lama di Indonesia. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Edi Slamet Irianto juga mengatakan bahwa jumlah PMA yang mengalami kerugian adalah sebesar
Tabel 2. Beberapa Praktek AMT di Negara Lain No. Negara Based on Assets 1. Argentina 2. El Savador 3. Rep. Dominika Based on Turnover 4. Phillipina 5. Nicaragua 6. Niger 7. 8. 9.
Mozambiq Burundi Canada
10.
Afrika Tengah
11. 12. 13.
Kamerun Djibouti Gambia
14. 15.
Guinea Bissau Hungaria
16. 17. 18.
Kamboja Tajikistan Taiwan
19. 20.
Tanzania US
Dasar Perhitungan 1% dari jumlah aset pada akhir tahun pajak 1% dari jumlah net aset 1% total nilai aset (jika lebih besar dari nilai utang perusahaan) if corporate tax is less than 2% on gross income 1% on the annual gross income 1% of the gross margin for industrial companies, and 1.5% of the gross margin for other companies for turnover less than USD 85,000 minimum lump-sum tax: 1% of annual turnover only province of Ontario: 2.7% where total revenue equals or exceeds CAD 100 million and total assets equal or exceed CAD 50 million 0.3% of annual turnover for agricultural activities; 1.85% of annual turnover for other activities 2.2% of turnover 1% of the turnover exclusive of VAT, with a minimum of DJF 120,000 AMT: 1.5% and 2.5% of gross revenues for audited and unaudited accounts, respectively; 3% final presumptive tax on turnover below GMD 500,000 1% of annual turnover The general corporate tax rates apply on a taxable base of 2% of the annual revenue if a taxpayer fails to provide the tax authorities with a cost structure of his deductible expenses minimum 1% of annual business turnover 1% on gross income if no corporate income tax is due 10% AMT applies to the companies that earn exempt income (exempt income is added back to the taxable profits, and taxed at 10% - 12%). 0.3% payable by organizations with perpetual unrelieved losses for 5 consecutive years 20% of alternative minimum taxable income (AMTI) in excess of USD 40,000 if AMT exceeds regular tax
Sumber: Presentasi Direktorat Jenderal Pajak, 2016
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
7
U T A M A
U T A M A
28%, sekitar 3.918 PMA rugi selama 1-2 tahun dan 1.150 PMA rugi selama 3-5 tahun (Farman, 2015). Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak dan Pemerintah. Bagaimana bisa sebuah perusahaan yang sudah rugi bertahun-tahun tetapi masih bisa bertahan dan tetap berusaha di Indonesia. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi praktek yang diduga sebagai “kecurangan” yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan Alternative Minimum Payment. Pengertian Alternative Minimum Payment sendiri adalah sebuah jenis pemajakan yang didisain untuk menghindari perusahaan dari tidak membayar pajak atau membayar terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan mereka (Lyon & Silverstein, 1995). Dengan mengenakan AMT, potensi penghindaran pembayaran pajak bagi WP yang mengaku selalu rugi dapat diminimalisir. Karena dengan AMT, WP dipaksa untuk membayar pajak walaupun dia rugi, tentunya ketika ruginya dianggap tidak wajar lagi. Pembayaran pajaknya
misalnya sebesar persentase tertentu dari omzetnya, persentase tertentu dari laba kotornya, persentase tertentu dari nilai aset, atau perhitungannya lainnya. Tetapi jika seandainya jumlah pajak yang harus dibayar lebih besar dengan menggunakan perhitungan normal maka umumnya jumlah yang dibayar adalah sebesar perhitungan normal. Beberapa negara yang telah menerapkan AMT adalah sebagai dalam tabel 2. Pengenaan AMT dalam sistem perpajakan di Indonesia dapat dijadikan salah satu alternatif untuk mengurangi praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak khususnya WP PMA yang diduga banyak melakukan praktek-praktek transfer pricing. Hal ini sekaligus dapat menambah potensi penerimaan pajak.
C. Potensi Pajak dari WP Orang Pribadi Tahun 2016 merupakan tahun bagi DJP untuk fokus pada Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dikatakan oleh Menteri Keuangan
Bambang P.S. Brodjonegoro dalam konferensi pers terkait penerimaan pajak tahun 2015 (Kementerian Keuangan, 2016). Hal ini dilakukan karena potensi penerimaan pajak dari WP OP masih sangat kecil. Pada tahun 2014, ternyata penerimaan dari PPh OP hanya sebesar 11,20% dari total penerimaan Pajak diluar cukai dan pajak perdagangan internasional (Setiawan, 2015). Jika dilihat dari tax ratio nya, ternyata tax ratio PPh OP Indonesia juga tergolong kecil untuk kawasan ASEAN, yaitu hanya sebesar sebesar 0,94%. Jauh lebih kecil bandingkan dengan Thailand yang sudah mencapai 8,10%, Vietnam 8,80%, Laos 3,20%, Malaysia 2,29%, Singapura 2,06%, Filipina 1,99%, dan Kamboja 1,80% (Hidayat, 2014). Menteri Keuangan mengatakan bahwa jumlah penerimaan PPh OP yang kecil ini terutama disebabkan oleh masih sangat rendahnya tingkat kepatuhan pajak dan kecilnya basis WP yang ada saat ini. Setiawan (2015) mengatakan bahwa untuk tahun 2015 saja sebetulnya terdapat potensi penerimaan PPh OP yang masih dapat digali oleh DJP yaitu sebesar Rp 26,4 triliun (pesimis) sampai dengan Rp61,6 triliun (optimis). Oleh karena itu peran WP OP sangat diperlukan untuk menunjang penerimaan pajak, khususnya dari WP OP non karyawan yang bergerak di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang sangat banyak di Indonesia. Hal ini akan berdampak baik bagi perekonomian Indonesia, karena penerimaan dari WP OP cenderung lebih tahan
www.actualidadecommerce.com
8
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
terhadap kondisi perekomian global dibandingkan dengan WP Badan (Kementerian Keuangan, 2016). Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari WP Orang Pribadi antara lain (i) menambah basis WP yang saat ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk/pengusaha di Indonesia, (ii) membuat single identity number menjadi kenyataan, (iii) memperkuat database terkait wajib pajak khususnya yang terkait dengan harta dan penghasilan yang diperoleh dengan cara bekerjasama sebanyak-banyak nya dengan pihak-pihak yang mempunyai data, (iv) memperbaiki pelayanan dan memperbanyak sosialisasi khususnya di mal-mal dan pasar-pasar yang selama ini jarang tersentuh pajak sekaligus membuat sistem yang mudah dipahami oleh Wajib Pajak, dan (v) melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu yang di dukung penuh dari pimpinan tertinggi negara ini (Setiawan, 2015).
Penutup Kebutuhan penerimaan pajak yang semakin lama semakin besar dan menjadi andalan dalam APBN mengharuskan Pemerintah untuk memikirkan cara-cara baru dalam meningkatkan penerimaan pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi harus dilaksanakan dengan cara yang lebih cerdas dan lebih tepat sasaran. Hal ini untuk menjaga jangan sampai penggenjotan penerimaan pajak berakibat pada terganggunya kegiatan ekonomi yang tentunya pasti akan mempengaruhi besaran pertumbuhan ekonomi. Tetapi apabila pemerintah juga terlalu “longgar” maka efeknya penerimaan pajak menjadi tidak tercapai yang akan berakibat pada tidak sehatnya APBN Indonesia karena untuk menutupi defisit yang besar dibutuhkan sumber lain yaitu utang. INFO RISIKO FISKAL
Beberapa strategi yang disampaikan oleh penulis diatas merupakan strategi yang patut dicoba oleh Pemerintah. Pada akhirnya semua membutuhkan kemauan dan dukungan dari semua pihak baik dari Pemerintah,
DPR, maupun Wajib Pajak. Semoga besaran penerimaan pajak yang sudah ditargetkan dalam APBN dapat tercapai dan Indonesia tidak perlu terjebak dalam lilitan “utang” yang melewati batas yang sudah ditetapkan UU. n
Referensi 1. Amir, H. (2014). Tax Buoyancy (Kinerja Pemungutan Pajak): Mengapa Menurun? Retrieved March 28, 2016, from http://kangamir.blogspot. co.id/2014/09/tax-buoyancy.html 2. Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. (2013). Surat Edaran Direktur Henderal Pajak Nomoe SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Ats Transaksi E-Commerce. 3. Etemad, H. (2004). E-commerce: the emergence of a field and its knowledge network. International Journal of Technology Management. http://doi.org/10.1504/IJTM.2004.005783 4. Farman, G. (2015). Kupas Tuntas Masalah PMA Rugi. Inside Tax, (Edisi 34), 41–42. 5. Hidayat, A. (2014). Analisis Dampak Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Di Indonesia. Jurnal BPPK, 7(1), 1–90. 6. Kementerian Keuangan. (2016). Pemerintah Fokus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Untuk Capai Target Penerimaan 2016. Retrieved April 18, 2016, from http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pemerintah-fokuspada-wajib-pajak-orang-pribadi-untuk-capai-target-penerimaan-2016 7. Kristiaji, B. B. (2015). Multinational Firms’ Losses and Profit Shifting Behavior in Indonesia: Some Comments (No. 1215). Jakarta. 8. Lyon, A. B., & Silverstein, G. (1995). Alternative Minimum Tax Rules and Multinational Corporations, (January), 39–50. 9. maxmonroe.com. (2015). Mengenal 5 Bentuk Bisnis E-commerce Yang Ada Di Indonesia. Retrieved March 28, 2016, from https://www. maxmanroe.com/mengenal-5-bentuk-bisnis-ecommerce-yang-ada-diindonesia.html 10. Nazara, S. (2015). Wawancara IRF dengan Kepala BKF. Info Risiko Fiskal Edisi 2. 11. Setiawan, H. (2015). Meningkatkan Penerimaan Pajak Melalui Reformasi PPh Orang Pribadi. Warta Fiskal Edisi 6. 12. Sinar Harapan. (2015). Potensi Pajak “e-Commerce” Bisa Tembus Rp 15 Triliun. Retrieved March 28, 2015, from http://www.sinarharapan. co/news/read/151029108/potensi-pajak-e-commerce-bisa-tembus-rp15-triliun-
Catatan Kaki 1 Tax Buoyancy dapat dihitung dengan cara membagi pertumbuhan penerimaan perpajakan (secara riil) dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka penerimaan perpajakan yang dihitung secara nominal harus disesuaikan dulu untuk menjadi angka riil dengan tahun dasar yang sama dengan perhitungan PDB-nya (Amir, 2014)
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
9
U T A M A
Mengurai Mitigasi Risiko untuk Penerimaan Negara Oleh: Novijan Janis
Kepala Seksi Analisis Struktur Aset dan Kewajiban Pemerintah-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected]
U T A M A
Dampak Perekonomian Global Secara umum kondisi perekonomian nasional di tahun 2016 diawali dengan ketidakpastian perekonomian global yang berdampak pada perekonomian dalam negeri. Diantara indikator ketidakpastian perekonomian global adalah berlanjutnya pelemahan perekonomian global dan terakhir melemahnya perekonomian Republik Rakyat Tiongkok yang sebelumnya diharapkan dapat menjadi lokomotif perekonomian global, kebijakan rebalancing ekonomi (pengalihan dari investment-driven menjadi consumption-driven) tidak dapat berjalan dengan lancar, berlanjutnya kejatuhan harga barang komoditas akibat perlambatan ekonomi global, dan ketidakpastian kebijakan ekonomi di negara-negara maju. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global dimaksud ternyata memberikan dampak negatif pada perekonomian domestik. Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015 dari Bank Indonesia, sebenarnya pada triwulan IV tahun 2015 perekonomian nasional menunjukkan kinerja positif yang dapat dilihat dari tingkat inflasi yang masih terkendali (sekitar 4%), 10
defisit transaksi berjalan mulai menurun (sekitar 2% dari PDB), nilai tukar rupiah yang mulai menguat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekspor masih mengalami kontraksi, investasi pada pihak swasta masih mengalami penurunan dan lain sebagainya sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi umum perekonomian domestik masih belum membaik secara utuh. Dalam kondisi perekonomian global dimaksud, banyak negara termasuk negara-negara maju mengalami penurunan dalam hal penerimaan negara. Hal sama juga dialami oleh Republik Indonesia dimana perekonomian baik dalam skala global maupun dalam skala domestik menyebabkan target penerimaan negara khususnya dari sisi perpajakan tidak dapat tercapai. Hal dimaksud pada akhirnya memberikan tekanan pada fiskal. Bila mengacu kepada Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (NK-APBN) Tahun Anggaran 2016, maka kondisi tidak tercapainya target penerimaan negara dimaksud dapat dikategorikan sebagai risiko fiskal. Dalam NK-APBN dimaksud, risiko fiskal diartikan sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat
menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN.
Risiko Fiskal Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Keuangan sudah melakukan pengelolaan risiko fiskal sejak tahun 2005 tepatnya pada saat pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur (KPRPI) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 518/ KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur. Namun secara resmi, Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan pengelolaan risiko fiskal sejak tahun 2008 tepatnya pada saat Pemerintah mengungkapkan Risiko Fiskal pada salah satu bab dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008. Secara umum, risiko fiskal dalam pelaksanaan APBN dapat muncul dari sisi Pendapatan atau dari sisi Belanja, namun pengungkapan risiko fiskal dimaksud pada saat ini lebih cenderung dari sisi Belanja. Pada awal pengungkapan risiko fiskal, tekanan fiskal pada APBN memang banyak yang berasal dari sisi belanja khususnya dari akun subsidi.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Tekanan fiskal dimaksud muncul karena belanja subsidi sering kali melebihi target yang telah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi sebagai konsekuensi logis dari komitmen Pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dengan harga yang terjangkau. Subsidi dimaksud mencakup subsidi untuk energi, listrik, pangan (tertentu), pupuk, benih, PSO dan bunga kredit program. Namun demikian seiring dengan berkelanjutannya perlambatan ekonomi global sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini maka tekanan fiskal pada APBN mulai terasa signifikan pada sisi penerimaan (pendapatan) negara. Dampak akhir yang muncul dari tekanan fiskal pada APBN baik yang berasal dari sisi belanja maupun yang berasal dari penerimaan negara adalah terjadinya pelebaran defisit anggaran. Dalam penjelasan dari UndangUndang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah diatur tentang pembatasan defisit anggaran. Dengan demikian pelebaran defisit anggaran tidak hanya akan berdampak pada risiko terhambatnya tujuan dari pembangunan nasional namun juga dapat berdampak kepada risiko kepatuhan (compliance risk). Pada dasarnya risiko kepatuhan ini diperkenalkan oleh The Bank for International Settlement (BIS) dalam pengelolaan perbankan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat pengguna jasa perbankan. Namun jenis risiko ini pun dapat berlaku bagi pelaksana pemerintahan dalam segala segi termasuk dalam pengelolaan Keuangan Negara.
Kinerja Penerimaan Negara Menimbang peran strategis dari penerimaan negara terhadap pembangunan nasional maka Pemerintah sangat memperhatikan pencapaiINFO RISIKO FISKAL
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) penerimaan negara non perpajakan disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diatur lebih lanjut dalam UndangUndang no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. an target penerimaan negara. Pada dasarnya suatu Pemerintahan akan memutuskan jenis atau tipe Anggaran yang akan digunakan apakah Anggaran Defisit atau Anggaran Surplus. Setelah itu baru akan ditetapkan jumlah kebutuhan dari Penerimaan Negara yang dapat membiayai pembangunan sampai pada tingkat yang diharapkan. Mengingat Pembangunan Nasional menjadi salah satu tolok ukur dari kinerja suatu Pemerintahan maka kinerja Penerimaan Negara pun menjadi salah satu dari tolok ukur keberhasilan suatu Pemerintahan. Secara umum, penerimaan negara dapat dibedakan menjadi pe-
nerimaan negara yang berasal dari perpajakan, penerimaan negara yang berasal dari non perpajakan dan hibah (baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) penerimaan negara non perpajakan disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diatur lebih lanjut dalam UndangUndang no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pada dasarnya kinerja penerimaan negara dapat dinilai dengan dua cara. Cara pertama adalah cara yang sangat sederhana yaitu dengan membuat perbandingan realisasi nilai nominal penerimaan antara tahun dinilai dengan penerimaan tahun sebelumnya. Adapun cara berikutnya adalah dengan menilai realisasi pencapaian target dari penerimaan yang telah ditetapkan baik secara nominal maupun secara prosentase. Dalam cara pertama dari penilaian kinerja penerimaan dimaksud, kinerja penerimaan akan dikatakan baik apabila secara nominal penerimaan negara, baik yang berasal dari penerimaan perpajakan maupun yang berasal dari non perpajakan, dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang positif. Dengan menggunakan cara atau metode pertama dimaksud maka kinerja penerimaan negara dari Pemerintahan Republik Indonesia untuk periode Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2014 masuk dalam kategori baik. Hal ini dapat dilihat dalam data penerimaan negara untuk periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 yang tercantum
Tabel 1. Realisasi Penerimaan Negara (Dalam Rp. Triliun) AKUN
2010
2011
2012
2013
2014
Penerimaan Negara
992.2
1,205.3
1,332.3
1,432.1
1,545.5
I. Penerimaan Perpajakan
723.3
873.9
980.5
1,077.3
1,146.9
II. Penerimaan Bukan Pajak
268.9
331.5
351.8
354.8
398.6
Sumber: Kementerian Keuangan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
11
U T A M A
Tabel 2. Realisasi Pencapaian Target Penerimaan Negara (Dalam Rp. Triliun) AKUN
2010
2011
2012
2013
2014
Nominal
%
Nominal
%
Nominal
%
Nominal
%
Nominal
%
Penerimaan Negara
992,2
100,3%
1.205,3
105,9%
1.332,3
98,5%
1.432,1
95,8%
1.545,5
94,8%
I. Penerimaan Perpajakan
723,3
97,3%
873,9
103,3%
980,5
96,5%
1.077,3
93,8%
1.146,9
92,0%
II. Penerimaan Bukan Pajak
268,9
108,8%
331,5
114,2%
351,8
103,1%
354,8
101,6%
398,6
103,0%
Sumber: Kementerian Keuangan
U T A M A
dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Dalam tabel berikut dapat dilihat bahwa nominal penerimaan negara pada Tahun Anggaran 2014 secara umum mengalami peningkatan sebesar 55,8% dibandingkan dengan nominal penerimaan negara pada Tahun Anggaran 2010. Adapun dalam cara kedua dimaksud, kinerja penerimaan suatu Pemerintahan diukur dengan menilai realisasi dari target penerimaan. Dalam hal ini, kinerja penerimaan dikatakan baik apabila pencapaian target penerimaan berada pada angka 100% atau lebih. Bila penilaian kinerja penerimaan negara dari Pemerintah Republik Indonesia untuk periode Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2014 menggunakan cara realisasi pencapaian target sebagai tolok ukur penilaian maka akan diperoleh kesimpulan yang berbeda dari penilaian kinerja dengan menggunakan cara pertama, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan tabel dibawah ini dapat dilihat bahwa sejak Tahun Anggaran 2012 target Penerimaan Negara tidak tercapai. Bila kinerja dari penerimaan negara dimaksud dalam tabel 2 dinilai secara individu maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Pemerintah adalah tidak baik. Namun demikian bila dielaborasi lebih lanjut, khususnya terhadap realisasi pencapaian target penerimaan negara di negara lain maka hal yang sama juga dialami. Da12
lam ilmu manajemen risiko, peristiwa tidak tercapainya apa yang telah ditetapkan sebelumnya merupakan risiko.
Faktor Risiko Dari Penerimaan Negara Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki hubungan yang saling terkait dengan jumlah pajak yang akan diterima oleh Pemerintah. Bahkan dalam beberapa literatur yang diantaranya ditulis oleh Bradley M. Braun dan Yasuji Otsuka dalam The Effects of Economic Conditions and Tax Structures on State Revenue Flows disebutkan bahwa kondisi perekonomian dapat mempengaruhi struktur perpajakan suatu daerah. Secara umum faktor risiko dari penerimaan
Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki hubungan yang saling terkait dengan jumlah pajak yang akan diterima oleh Pemerintah.
negara bila dilihat dari keberadaan faktor risikonya dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Secara umum faktor internal adalah faktor risiko yang berasal dari dalam negeri sedangkan faktor risiko eksternal adalah faktor risiko yang berasal dari luar negeri. Berkenaan dengan risiko penerimaan negara yang terjadi akhir-akhir ini di Republik Indonesia maka dapat diidentifikasi jenis faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal. Dalam Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015 yang disusun oleh Bank Indonesia, disebutkan bahwa tantangan atau risiko terhadap perekonomian nasional berasal dari eksternal (perekonomian global) dan internal (perekonomian domestik). Faktor eksternal yang memberikan dampak negatif terhadap penerimaan negara diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan tidak merata sehingga mengurangi daya serap barangbarang ekspor dari Indonesia. Selain itu ketidak-pastian di pasar keuangan global yang tinggi menimbulkan ketidak-pastian pada pasar keuangan domestik sehingga mengurangi laba yang diperoleh para pelaku di pasar keuangan domestik. Terakhir adalah turunnya harga komoditas yang menjadi ekspor unggulan Indonesia seperti perkebunan, perhutanan dan pertambangan sehingga mengurangi jumlah penerimaan negara dari barang ekspor.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Dalam Laporan Perekonomian Indonesia dimaksud juga disebutkan faktor internal yang pada akhirnya dapat menyebabkan turunnya penerimaan negara diantaranya adalah melemahnya nilai tukar rupiah sehingga menurunkan kinerja keuangan korporasi secara umum dan pada akhirnya berdampak pada penurunan laba korporasi. Selain itu lemahnya tingkat kepatuhan wajib pajak juga merupakan faktor risiko internal dari penerimaan negara. Berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak khususnya untuk tahun pelaporan 2015, ternyata dari Wajib Pajak (WP) yang wajib menyampaikan SPT (sejumlah 17,37 juta WP) hanya sekitar 10,52 juta WP yang menyampaikan SPT Tahunannya (yaitu sejumlah 60,60%). Faktor internal yang sering mendapat sorotan adalah mengenai inefisiensi dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 khususnya dalam sub-sub judul Reformasi Keuangan Negara disebutkan bahwa rasio penerimaan pajak terhadap PDB untuk Indonesia merupakan rasio terendah diantara negara-negara G20 dan merupakan salah satu yang terendah diantara negara-negara berpenghasilan menengah. Hal yang diangkat dalam RPJMN dimaksud diantaranya adalah masih lemahnya aspek administrasi perpajakan yang mencakup kelembagaan, sistem dan prosedur, termasuk dari aspek sumber daya manusia (baik dari segi jumlah maupun kemampuan), komputerisasi, serta pengadilan pajak.
Mitigasi Risiko Penerimaan Negara Secara umum, dalam beberapa tahun terakhir ini, risiko fiskal dari sisi penerimaan negara tidak hanya dialami oleh Republik Indonesia. Hal INFO RISIKO FISKAL
ini terjadi karena negara-negara maju yang menjadi tumpuan bagi perkembangan perekonomian global sedang mengalami permasalahan ekonomi dan keuangan. Sejak terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 2008 dan berlanjut dengan krisis ekonomi di kawasan Eropa maka perlambatan ekonomi terjadi secara global. Perlambatan ekonomi terjadi karena konsumsi masyarakat dan pemerintah di negara-negara maju dikurangi. Dengan demikian negara-negara yang biasa mengekspor komoditinya ke negara-negara maju dimaksud semakin mengurangi volume ekspor mereka. Hal ini berdampak pada turunnya penerimaan negara baik di Indonesia maupun negara-negara lainnya, khususnya pada sektor perpajakan. Beberapa negara melakukan terobosan untuk menjaga penerimaan negara pada tingkat yang memungkinkan bagi negara dimaksud untuk tetap bertumbuh. Diantaranya seperti Pemerintah India yang meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan pembelian kembali (buy back) atas saham BUMN yang dimiliki Pemerintah. Besaran saham yang akan dibeli kembali oleh masing-masing BUMN berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah India dan Direksi BUMN terkait. Selain itu Pemerintah India juga meminta agar masing-masing BUMN meningkatkan jumlah pembayaran dividen dibanding dengan pembayaran dividen di tahun sebelumnya. Negara lain yang melakukan terobosan dibidang penerimaan negara adalah Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang melakukan Revenue Reforms sejak akhir tahun 2013. Diantara strategi reformasi penerimaan yang dilakukan Pemerintah RRT adalah sebagaimana yang tersebut dalam sebuah Kertas Kerja dari IMF dengan judul “China: How
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Can Revenue Reforms Contribute to Inclusive and Sustainable Growth?” yang ditulis oleh W. Raphael Lam and Philippe Wingender pada tahun 2015. Reformasi dimaksud mencakup reformasi sistem keuangan nasional dan reformasi perpajakan. Beberapa strategi reformasi yang telah dilakukan adalah penguatan pajak progresif atas penghasilan individu, peralihan dari pajak bisnis (penjualan) menjadi pajak pertambahan nilai (PPN), perluasan pajak properti dan penerapan pajak lingkungan. Menghadapi risiko penerimaan negara, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa terobosan di bidang perpajakan, diantaranya adalah reformasi di bidang perpajakan, keringanan perpajakan bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset, menghapus pajak berganda, dan lain sebagainya.
Reformasi Perpajakan Dalam RPJMN periode 2015-2019 khususnya pada Buku 2 dalam sub-sub judul Reformasi Keuangan Negara, disebutkan bahwa mitigasi risiko yang diharapkan dapat menanggulangi risiko penerimaan pajak adalah dengan melakukan reformasi perpajakan. Dalam PMK nomor 234 /PMK.01/ 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan disebutkan secara implisit bahwa aparatur perpajakan di Republik Indonesia terdiri dari dua (2) yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dengan demikian reformasi perpajakan akan mencakup reformasi yang dilakukan pada kedua institusi Pemerintah dimaksud. Secara umum reformasi perpajakan mencakup tiga (3) hal yaitu Organisasi, Proses Bisnis dan Sumber Daya Manusia (SDM). Reformasi pada organisasi dapat dilakukan dengan adanya pembentukan unit baru atau perampingan organisasi. Adapun re13
U T A M A
U T A M A
formasi pada proses bisnis dapat berupa penyempurnaan produk layanan kepada masyarakat, otomatisasi pelayanan, penambahan produk pelayanan dan lain sebagainya. Terkait dengan implementasi dari reformasi SDM dapat berupa penyempurnaan evaluasi kinerja, penyempurnaan mekanisme pendidikan - pelatihan dan lain sebagainya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku Wakil Pemerintah dalam hal pemungutan pajak senantiasa melakukan penyempurnaan pada institusi dan bisnis proses terkait pemungutan pajak. Diantara upaya penyempurnaan dimaksud adalah pembentukan dua Unit Eselon 2 (Direktorat Intelijen Perpajakan dan Direktorat Perpajakan Internasional); melakukan koordinasi secara berkelanjutan dengan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) dalam hal pertukaran data perpajakan; melakukan kerjasama dengan berbagai instansi Pemerintah termasuk dengan pihak swasta (seperti lembaga penyelenggara kartu kredit) khususnya dalam hal pengumpulan informasi perpajakan; penyempurnaan SPT Elektronik (penambahan fungsi “Upload CSV hasil aplikasi e-SPT”). Selain itu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pun telah melakukan beberapa langkah reformasi yang diantaranya adalah dengan pembentukan Direktorat Kepatuhan Internal, melakukan koordinasi secara berkelanjutan dalam hal pengawasan laut dan pengurangan dwelling time, penyempurnaan dan penerapan aplikasi otomasi pelayanan dan pengawasan di kawasan berikat, penerapan Pusat Logistik Berikat (PLB) dan lain sebagainya. Dalam rangka mengefisiensikan aktifitas perdagangan Internasional Indonesia Pemerintah, dhi. Kementerian Keuangan telah mengeluarkan PMK nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat sebagai peraturan teknis dari Peraturan Pemerintah 14
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku Wakil Pemerintah dalam hal pemungutan pajak senantiasa melakukan penyempurnaan pada institusi dan bisnis proses terkait pemungutan pajak. (PP) nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana telah diubah dengan PP nomor 85 Tahun 2015. Sampai dengan saat ini sudah ada sebelas (11) Perusahaan Penerima Fasiltas PLB yaitu: 1. PT Cipta Krida Bahari (Cakung) 2. PT Petrosea Tbk (Balikpapan) 3. PT Pelabuhan Panajam (EastkalAstra Group) (Balikpapan) 4. PT Kamadjaja Logistics (Cibitung) 5. PT Toyota Manufacturing Indonesia (Karawang) 6. PT Agility International 7. PT Gerbang Teknologi Cikarang (Cikarang Dry Port) 8. PT Dunia Express (Sunter dan Karawang) 9. PT Khrisna Cargo (Benoa dan Denpasar) 10. PT Vopak Terminal Merak (Merak) 11. 11. PT Dahana (Persero) (Subang)
Revaluasi Aset Sejak tahun 2015, Pemerintah secara intensif telah mengeluarkan
beberapa Paket Kebijakan Ekonomi, diantaranya adalah Paket Kebijakan Ekonomi V. Pada bulan Oktober 2015, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi V yang mencakup dua kebijakan di bidang perpajakan dan satu kebijakan di bidang perbankan dengan rincian tiga (3) kebijakan deregulasi yaitu: 1) Revaluasi Aset; 2) Menghilangkan pajak berganda dana investasi Real Estate, Properti dan Infrastruktur; dan 3) Deregulasi di bidang perbankan syariah. Dari ketiga kebijakan dimaksud, kebijakan tentang revaluasi aset diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang diuntungkan dalam kegiatan revaluasi aset ini apakah pemerintah atau pihak swasta. Secara konsep, revaluasi aset dapat diartikan sebagai penilaian kembali sebuah aset dengan menggunakan data harga pasar yang berlaku pada saat revaluasi. Pertimbangan utama dari dilakukannya revaluasi aset adalah karena nilai aset (aktiva) dianggap tidak lagi mencerminkan nilai pasar yang sesungguhnya yang disebabkan oleh terjadinya inflasi atau perubahan nilai tukar mata uang setempat yang signifikan dan akan berjalan dalam waktu yang lama. Dengan demikian revaluasi aset dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan nilai aset (aktiva) yang sudah ada. Secara akuntansi khususnya dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16, selisih nilai aset antara sebelum dan sesudah revaluasi aset akan diakui sebagai ekuitas. Dengan demikian, secara akuntansi revaluasi aset akan menambah nilai aset pada sisi aktiva dan menambah ekuitas pada sisi pasiva. Dampak dari peningkatan nilai aset dimaksud adalah bertambahnya kemampuan perusahaan untuk mencari pembiayaan dari lembaga keuangan komersial. Dalam praktek-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
nya revaluasi aset dilakukan pada saat perusahaan akan masuk dalam pasar modal (penerbitan saham atau penerbitan surat utang), restrukturisasi perusahaan (khususnya yang berdampak pada pelepasan atau penambahan unit tertentu), akuisisi dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tujuan revaluasi aset adalah agar perusahaan dapat menjual saham atau surat utang atau unit tertentu dengan harga yang sesuai harga pasar. Berkenaan dengan selisih nilai aset dimaksud, Pemerintah (dhi. Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan) mengkategorikan pertambahan nilai aset sebagai penghasilan yang merupakan obyek pajak. Hal ini sudah diatur dalam UndangUndang (UU) nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU nomor 17 Tahun 2000 dimana peraturan teknis yang terakhir mengatur hal tentang revaluasi aset adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 79/PMK.03/2008 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Ketentuan perpajakan dimaksud juga menjadi pertimbangan bagi perusahaan pada saat akan melakukan revaluasi aset mengingat pengenaan PPh Final sebesar 10% atas revaluasi aset. Dalam beberapa kasus, ada perusahaan yang membatalkan keinginan untuk melakukan revaluasi aset yang diantaranya setelah mempertimbangkan konsekuensi perpajakan dimaksud. Pada tahun 2015, Pemerintah melihat adanya kebutuhan revaluasi aset pada beberapa perusahaan nasional dalam rangka melakukan ekspansi. Dengan demikian, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan yang memberikan insentif perpajakan bagi perusahaan yang akan melakukan revaluasi aset dalam periode tahun 2015 dan tahun 2016. Kebijakan dimaksud INFO RISIKO FISKAL
Menghilangkan Pajak Berganda Pada Dana Investasi Real Estate, Properti dan Infrastruktur
dinyatakan dalam PMK nomor 191/ PMK.10/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Yang dimaksud dengan insentif perpajakan adalah pengenaan PPh Final atas revaluasi aset yang lebih rendah bila dilakukan pada tahun 2015 dan tahun 2016 dibandingkan bila dilakukan pada tahun sebelum atau sesudahnya. Dengan adanya insentif perpajakan pada revaluasi aset dimaksud, maka pada tahun 2015 sejumlah 43 BUMN dan 19 anak perusahaan BUMN telah melakukan revaluasi aset di tahun 2015. Adapun dampak dari revaluasi aset dimaksud adalah : - Aset BUMN mengalami kenaikan nilai sebesar Rp. 308 Triliun - Penerimaan Pajak Rp. 10,61 Triliun - Realisasi penyaluran KUR mengalami peningkatan sebesar Rp. 100 Triliun dengan jumlah debitur sebanyak 5 juta - Realisasi Program Kemitraan mengalami peningkatan menjadi Rp. 2,32 Triliun untuk 92.372 mitra binaan - Penyaluran BL meningkat menjadi Rp. 1,59 Triliun. Dengan demikian revaluasi aset dapat dianggap menguntungkan bagi perusahaan dan dapat digunakan sebagai sarana bagi Pemerintah atau Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan Badan.
Sebagaimana dengan kebijakan perpajakan tentang revaluasi aset yang lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha, maka kebijakan terkait penghapusan pajak berganda pada dana investasi, real estate, properti dan infrastruktur pun juga lebih memperhatikan kepentingan para pelaku usaha. Kebijakan dimaksud muncul berdasarkan hasil pembahasan bersama antara Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Implementasi dari kebijakan dimaksud adalah diterbitkannya PMK nomor 200/ PMK.03/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan. Insentif perpajakan yang diberikan kepada para pelaku usaha oleh Pemerintah melalui kebijakan dimaksud adalah sebagaimana tersebut pada tabel berikut. Dana Investasi Real Estate, Properti dan Infrastruktur atau sering disebut dengan DIRE adalah suatu produk dalam pasar modal dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dimana portofolio asetnya berupa properti dan perumahan. Secara umum DIRE mempunyai struktur yang sama dengan reksadana hanya
Tabel 3. Insentif Perpajakan Pada Kontrak Investasi Kolektif Jenis Pajak
Sebelum PMK 200/ PMK.03/2015
Sesudah PMK 200/ PMK.03/2015
PPN
10%
0%
PPh Final
5%
0%
BPHTB
5%
5%
Pajak Dividen (SPC)
15%
0%
Sumber: Kementerian Keuangan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
15
U T A M A
U T A M A
aset portofolio dari reksadana berupa surat berharga (seperti saham, surat utang, deposito dan lain sebagainya). Berdasarkan data OJK per Juni 2015, produk DIRE yang sudah diperdagangkan di pasar modal di Indonesia hanya satu (1) yaitu DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia yang diterbitkan pada 28 November 2012 oleh PT Ciptadana Asset Management. Aset dasar (underlying asset) dari DIRE dimaksud adalah pusat perbelanjaan Solo Grand Mall, di Solo Jawa Tengah dengan dana kelolaan sebesar Rp 529,33 miliar per Juni 2015. Namun demikian, berdasarkan pengamatan OJK sebenarnya banyak aset di Indonesia yang menjadi underlying asset bagi produk DIRE yang dijual di Singapura. Keseluruhan aset dimaksud senilai dengan Rp 30 triliun. Selain itu, BNI Asset Management yang merupakan anak usaha dari BNI Securities pernah melakukan kajian untuk menerbitkan produk DIRE di Indonesia namun terkendala dengan aspek perpajakan. Hal-hal dimaksud menjadi pendorong bagi Pemerintah dan OJK untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat mengembangkan produk DIRE di Indonesia namun untuk memperluas pengembangan dimaksud maka ruang lingkup yang diberi insentif perpajakan pun diperluas pada jenis KIK sehingga kebijakan perpajakan yang diberikan mencakup KIK untuk DIRE, KIK untuk Efek Beragun Aset (EBA) dan KIK sejenisnya. Secara sepintas, kebijakan tentang penghapusan pajak berganda dimaksud akan mengurangi penerimaan negara. Namun demikian bila kebijakan dimaksud dapat mendorong pertumbuhan investasi di bidang infrastruktur dan real estate dan memperbanyak jumlah dan volume perdagangan atas produk-produk dimaksud maka pada akhirnya kebijakan dimaksud akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Namun 16
demikian, dampak dari kebijakan dimaksud sangat bergantung dengan peraturan teknis yang akan disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Mengingat sampai saat ini masih belum ada peraturan teknis dimaksud maka belum bisa dievaluasi secara umum hasil dari kebijakan tersebut.
Kesimpulan Dalam kondisi perlambatan ekonomi yang terjadi secara global di banyak negara, dapat dipahami bila
terjadi penurunan penerimaan negara. Namun demikian hal dimaksud tidak menyurutkan niat dari Pemerintah di masing-masing negara untuk senantiasa meningkatkan penerimaan negaranya. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia yang terus berupaya untuk menyusun strategi dalam meningkatkan penerimaan negara agar dapat meminimalisir risiko yang terjadi dari unsur Penerimaan Negara sebagaimana sebagiannya telah tersebut pada tulisan diatas. n
Referensi: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
10. 11.
Bank Indonesia. 2015. Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015, Bersinergi Mengawal Stabilitas Mewujudkan Reformasi Struktural. Jakarta. Braun, Bradley M., Otsuka, Yasuji. 1998. The Effects of Economic Conditions and Tax Structures on State Revenue Flows. International Advances in Economic Research 4(3) : 259-269. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2005. Keputusan Menteri Keuangan nomor 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.10/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keuangan nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keuangan nomor 234/PMK.01/ 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Presiden Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Eksplorasi Sumber-Sumber Penerimaan Pajak dan Mengatasi Usaha Penghindaran Pajak dalam Agenda Perpajakan Internasional Oleh: Rahadian Zulfadin
Kepala Subbidang Kebijakan Pembangunan Ekonomi Global-PKPPIM-BKF. Email:
[email protected]
P
ada saat melantik Direktur Jenderal Pajak yang baru di awal Maret 2016, Menteri Keuangan RI mengatakan bahwa penerimaan pajak adalah risiko terbesar yang dihadapi APBN saat ini. Pernyataan tersebut menggambarkan kondisi eksternal dan internal saat ini yang dapat berdampak negatif pada penerimaan pajak. Di sisi eksternal, pemulihan ekonomi global masih berjalan lambat dan tidak sesuai harapan sehingga mengganggu ekspor Indonesia. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal tersebut diperparah dengan harga komoditas yang menurun dan volatilitas aliran modal global yang tinggi yang membuat nilai tukar tidak stabil. Di sisi internal, kondisi ekonomi ekonomi global yang belum stabil meningkatkan kerentanan ekonomi perekonomian terbuka seperti Indonesia dari sisi ekspor impor, yang mengakibatkan melemahnya pertumbuhan ekonomi dan sulitnya meningkatkan kapasitas ekonomi dalam jangka menengah. Faktor-faktor eksternal dan internal tersebut secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi potensi penerimaan pajak dalam APBN INFO RISIKO FISKAL
mengingat potensi penerimaan pajak terutama tergantung dari besaran ekonomi yang dapat dikenakan pajak, yang pada saat ini mengalami tekanan seperti terlihat pada pertumbuhan ekonomi yang melemah. Menghadapi kondisi yang tidak ramah terhadap potensi penerimaan pajak, diperlukan langkah-langkah inovatif dan strategis terutama untuk mengatasi penghindaran-penghindaran pajak serta menggali sumber-sumber baru penerimaan pajak. Penggalian sumber-sumber baru penerimaan pajak menjadi relevan terutama karena fenomena teknologi informasi yang memunculkan bentukbentuk bisnis baru yang secara ekonomi dapat dikenakan pajak serta praktek-praktek perpajakan internasional yang semakin kompleks. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana memulai langkah-langkah strategis dan inovatif tersebut? Selain inisiatif dalam negeri, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengikatkan diri pada suatu komitmen yang akan memaksa kita membuat pilihan-pilihan sulit agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dalam literatur ekonomi,
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
hal tersebut sering disebut commitment device atau commitment contract. Rogers, Milkman dan Volpp (2014) menjelaskan dua ciri utama commitment device. Pertama, pilihan untuk menggunakannya bersifat sukarela. Kedua, kegagalan memenuhi komitmen akan memiliki konsekuensi langsung tidak tercapainya tujuan. Dalam agenda kerjasama internasional terkait isu perpajakan internasional di Forum G20, G20/ OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project dapat dikatakan sebagai sebuah commitment device terkait upaya mengatasi penghindaran pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak di suatu negara. Dilihat dari argumen Rogers, Milkman dan Volpp (2014) BEPS Project bersifat sukarela mengingat sifat Forum G20 yang non-binding, namun kegagalan mengatasi BEPS akan memiliki konsekuensi hilangnya potensi penerimaan pajak yang cukup besar. Dukungan atas BEPS Project termuat dalam dokumen Leaders’ Communique yang dikeluarkan di Antalya, Turki dalam KTT Presidensi G20 Turki di bulan November 2015. BEPS Project memiliki 15 rencana aksi 17
U T A M A
U T A M A
yang diharapkan dapat menjadi cross border solution untuk mengatasi praktek-praktek perpajakan internasional yang seringkali menimbulkan distorsi alokasi modal dan keuangan global. Ke 15 rencana aksi tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Aksi ke-1 adalah kajian dari OECD mengenai tantangan perpajakan dalam digital economy dan pilihan kebijakan untuk mengatasinya. Digital economy yang terus membesar belum diimbangi dengan kapasitas perpajakan yang mampu mengidentifikasi dimana dan bagaimana mengenakan pajak atas tambahan manfaat ekonomi yang muncul dalam dalam digital economy. Di dalam negeri, langkah awal yang telah dilakukan adalah mendirikan payment gateway dan mendorong terbentuknya Permanent Establishment atau bentuk usaha tetap. Aksi ke-2 digunakan untuk mengatasi hybrid mismatch arrangements baik dari sisi instrumen atau entities yang sering digunakan untuk mendapatkan manfaat pajak dengan
adanya perbedaan perlakuan pajak yang berbeda di antara dua negara. Di dalam negeri, penyempurnaan atas UU PPh saat ini sedang dilakukan salah satunya untuk mengatasi dampak dari hybrid mismatch. Aksi ke-3 ditujukan untuk memperkuat Controlled Foregin Company (CFC) Rules untuk mengatasi ketidakpastian pengenaan pajak atas penghasilan dari wajib pajak dalam negeri yang bersumber dari anak perusahaan asing akibat penundaan distribusi penghasilan antara perusahaan induk dan perusahaan anak yang tidak segera dilakukan. Dengan penguatan aturan ini, otoritas pajak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tanpa harus menunggu distribusi penghasilan dimaksud. Rencana aksi ke-4 digunakan untuk membatasi praktek pengurangan basis pengenaan pajak yang sering dilakukan dengan memanfaatkan pembiayaan utang dari perusahaanperusahaan dalam grup yang sama. Di dalam negeri, telah terbit PMK Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan
Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Perhitungan Pajak Penghasilan yang ditetapkan paling tinggi 4:1 (empat banding satu) dengan beberapa pengecualian. Aksi ke-5 terkait dengan peningkatan transparansi, termasuk dalam tukar menukar informasi perpajakan, untuk mengatasi praktek-praktek perpajakan yang merugikan. Praktek yang biasa digunakan adalah dengan memanfaatkan rezim-rezim perpajakan yang lebih menguntungkan. Aksi ke-6 ditujukan untuk mengatasi treaty abuse. Treaty abuse digunakan untuk mendapatkan manfaat pajak dari negara dengan aturan pajak yang lebih ringan walaupun aktivitas ekonomi berada di negara yang berbeda namun memiliki tax treaty dengan negara dimana manfaat pengenaan pajak yang lebih ringan diperoleh. Aksi ke-7 ditujukan untuk mengatasi pemalsuan dengan berbagai cara atas status Permanent Establishment (PE) untuk menghindari pengenaan pajak. Cara-cara yang di-
www.corporatelivewire.com
18
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
gunakan termasuk perubahan alamat, penggantian distributor atau lokasi finalisasi kontrak yang kesemuanya ditujukan untuk mendapatkan pajak yang lebih rendah. Di dalam negeri, perubahan terkait PE akan dimasukkan dalam draft RUU PPh. Rencana aksi ke-8 hingga ke-10 ditujukan untuk mengatasi dampak atas transfer pricing. Praktek transfer pricing sering berakibat pada manfaat pajak yang tidak sepenuhnya diperoleh oleh negara dimana aktifitas bisnis dan penciptaan nilai tambah berada. Dalam hal ini arm’s length principle of transfer pricing digunakan untuk memastikan bahwa besaran pajak yang dapat dikenakan atas transaksi antara dua pihak adalah sama dengan besaran pajak yang dikenakan dengan asumsi transaksi tersebut terjadi antara dua pihak yang independen. Aksi ke-8 hingga ke-10 digunakan salah satunya untuk memperkuat implementasi arm’s length principle terutama untuk transaksi intangibles. Aksi ke-11 terkait dengan pengembangan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang BEPS. Metodologi dan data tersebut sangat penting sebab keberhasilan pengumpulan pajak sangat tergantung pada tersedianya data dan metodologi untuk menghitung potensi pajak. Sebagai gambaran, estimasi OECD atas global revenue losses akibat BEPS di tahun 2014 berada pada kisaran USD 100 miliar hingga USD 240 miliar, atau sekitar 4-10 persen dari penerimaan pajak korporasi global. Metodologi yang akan dibangun juga diharapkan dapat mengestimasi kerugian akibat aggresive tax planning yang dilakukan wajib pajak. Aggresive tax planning ini menjadi fokus dari aksi ke-12 yang mewajibkan adanya keterbukaan dari wajib pajak atas aggresive tax planning yang mereka lakukan. Dengan melakukan aggresive tax planning wajib pajak memanfaatkan INFO RISIKO FISKAL
semaksimal mungkin apa yang diperbolehkan dalam peraturan perpajakan sampai pada titik yang berpeluang menimbulkan dispute atas legalitas dari perencanaan pajak yang mereka lakukan. Rencana aksi ke-13 ditujukan untuk memberikan panduan dokumentasi transfer pricing bagi MultiNational Enterprises (MNEs) untuk memberikan gambaran umum atas aktivitas bisnis dan kebijakan transfer pricing mereka kepada otoritas pajak di negara-negara dimana mereka beroperasi. Aksi ini juga meminta MNEs untuk memberikan informasi yang lebih detail bagi negara-negara dimana kebijakan transfer pricing mereka lakukan. Aksi ini juga menuntut adanya country-by-country reporting oleh MNEs, yang memungkinkan otoritas pajak suatu negara melakukan assessment atas kebijakan transfer pricing yang dilakukan oleh MNEs di negara tersebut berdasarkan informasi yang diberikan oleh MNEs. Rencana aksi ke-14 ditujukan untuk menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak antar negara yang lebih efektif melalui penerapan standar minimum dan pemahaman atas best practices dalam penyelesaian sengketa pajak. Sedangkan rencana aksi ke-15 mengkaji kemungkin pengembangan instrumen multilateral yang dapat menggantikan atau memodifikasi bilateral tax treaty untuk meningkatkan efektifitas rencana aksi mengatasi BEPS secara keseluruhan. Dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur yang sangat besar, Indonesia membutuhkan sumber-sumber penerimaan dalam negeri yang handal. Besaran tax ratio yang masih relatif rendah dibandingkan dengan tax ratio di negara-negara yang setara dengan Indonesia baik di tingkat regional maupun global menunjukkan masih besarnya potensi penerimaan pajak yang dapat digali. Dalam
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
kaitannya dengan BEPS Action Plan, Menteri Keuangan menekankan pentingnya rencana aksi terkait dengan transfer pricing dan perpajakan dalam kaitannya dengan perkembangan digital economy. Sebagai contoh, dalam berbagai pertemuan internasional posisi Indonesia dalam agenda mengatasi transfer pricing adalah untuk memastikan agar penerimaan pajak dapat sepenuhnya diterima oleh negara dimana aktivitas bisnis dan penciptaan nilai tambah berada. Demikian juga dengan aspek perpajakan dari digital economy. Fakta yang baru-baru ini terungkap adalah bahwa beberapa perusahaan global yang memiliki aktivitas dalam digital economy tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Perlu diupayakan win-win solution antara perusahaan global tersebut dengan negara dimana mereka melakukan aktivitas usahanya agar pertumbuhan sektor terkait tidak terganggu dan pada saat yang bersamaan negara mendapatkan penerimaan pajak yang seharusnya, yang sangat dibutuhkan dalam pendanaan pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur yang dalam periode 2015-2019 diperkirakan memerlukan dana lebih dari Rp 5000 triliun. Implementasi rencana aksi BEPS memerlukan konsensus di antara negara-negara dalam lingkup regional maupun global, mengingat keberhasilan implementasi rencana aksi BEPS sangat tergantung pada kesamaan pandangan di level bilateral maupun regional. Di dalam negeri, implementasi rencana aksi BEPS perlu didukung dengan institusi pajak yang kuat dan kredibel, regulasi pajak yang sederhana dan konsisten serta dukungan politik yang kuat. Hal ini penting mengingat beratnya mencapai target penerimaan pajak dalam kondisi ekonomi eksternal dan internal yang kurang mendukung. n 19
U T A M A
Mengkaji Isu Lintas Generasi dalam Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Oleh: Farid Arif Wibowo
Kepala Subdirektorat Hubungan Investor-Dit. SPP-DJPPR. Email:
[email protected]
Latar Belakang
m i t i g a s i r i s i k o
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen yang tinggi dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risiko keuangan negara. Sebelumnya, pengelolaan risiko fiskal atau risiko keuangan negara belum banyak didiskusikan dan pengelolaannya lebih tersebar (scattered) di beberapa unit di Kementerian Keuangan. Mulai tahun 2007, setelah didirikannya Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal di bawah Badan Kebijakan Fiskal, isu mengenai risiko keuangan dalam pengelolaan APBN mulai mendapat perhatian yang spesifik. Salah satu produk yang mencerminkan usaha untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko fiskal tersebut dapat dibaca pada produk atau dokumen Pernyataan Risiko Fiskal yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2008 dan masih terus menjadi bagian dalam Nota Keuangan dan APBN hingga saat ini. Pembahasan mengenai risiko dalam pernyataan tersebut lebih difokuskan pada hal-hal yang berpotensi mengakibatkan deviasi dari apa yang sudah direncanakan dalam APBN. Dari tahun ke tahun, proses penyusunan Pernyataan Risiko Fiskal tersebut mengalami perbaikan-perbaikan termasuk dalam proses identifikasi, analisis dan mitigasi risiko fiskal. Akan tetapi cakupan 20
dari pengelolaan risiko dalam kegiatan tersebut masih terfokus pada isuisu risiko yang terbatas pada APBN dan fiskal. Baru pada tahun 2014, seiring dengan perpindahan pengelolaan risiko dari Badan Kebijakan Fiskal ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Pemerintah mencoba untuk memperluas cakupan pengelolaan risiko terkait dengan keuangan negara dengan mengembangkan kerangka yang lebih luas dan holistik. Dengan kerangka tersebut, pembahasan mengenai risiko tidak hanya dibatasi pada risiko terkait dengan anggaran pemerintah dalam APBN tetapi juga diperluas sehingga mencakup risiko-risiko dalam neraca keuangan negara, yang melibatkan neraca dari unit-unit keuangan lain termasuk Bank Indonesia dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga bisa menghubungkan kondisi dalam APBN dengan kondisi pasar. Pengelolaan risiko keuangan negara secara lebih holistik tersebut dilakukan dengan menggunakan basis pengelolaan aset dan kewajiban (Asset and Liability Management, atau ALM) di tingkat negara (sovereign). Dalam kerangka tersebut, aset dan kewajiban negara disandingkan untuk keperluan analisis kebijakan termasuk sejauhmana kewajiban-kewajiban tertentu akan dibiayai dengan aset yang
sesuai dan relevan. Lebih daripada itu, perluasan cakupan fokus pengelolaan negara tidak hanya terkait dengan horison ruang tetapi juga horison waktu, di mana risiko keuangan negara juga diharapkan mencakup isu-isu jangka panjang hingga lintas generasi. Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 206 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, di mana isu pengelolaan risiko aset dan kewajiban negara juga dikaitkan dengan isu lintas generasi. Dalam salah satu pengaturan mengenai tugas pokok dan fungsi Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, disebutkan dalam pasal 1409 dari PMK tersebut bahwa pengelolaan risiko aset dan kewajiban negara juga dilakukan dengan “mengidentifikasi, mengukur dan menyusun rekomendasi mitigasi risiko terhadap demografi, perubahan lingkungan dan lintas generasi”. Pernyataan ini merepresentasikan ide perlunya isu-isu pengelolaan risiko keuangan negara dikaitkan dengan isu ‘demografi, perubahan lingkungan dan lintas generasi’.
Isu Lintas Generasi Isu lintas generasi (intergenerational issues) telah menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan dalam berbagai perspektif. Pengertian ten-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
tang ‘lintas generasi’ sendiri merujuk pada hal yang melibatkan beberapa generasi yang berbeda, sesuatu hal yang bisa terkait dengan banyak subyek pembahasan. Dalam bidang sosiologi dan psikologi, misalnya, isu lintas generasi banyak dikaitkan dengan isu keadilan dalam hubungannya dengan anak, remaja dan orang tua, terutama terkait interaksi dan perlakuan. Dalam bidang lingkungan, isu lintas generasi juga banyak dibahas terutama terkait dengan isu pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan, pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam khazanah ilmu ekonomi, isu lintas generasi pertama kali dikemukakan oleh James Tobin di 1974 dalam tulisannya “What is Permanent Endowment Income?” yang salah satunya menggarisbawahi perlunya keadilan ekonomi lintas generasi.
Pembahasan Isu lintas generasi dalam pengelolaan risiko keuangan negara Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, pembahasan dan pelaporan isu lintas generasi dimaksudkan untuk menilai kesinambungan keuangan pemerintah dalam jangka panjang. Laporan tersebut disusun untuk melihat dampak dari kebijakan dan trend pada saat ini, termasuk profil kependudukan yang umumnya semakin menua dan pertumbuhan penduduk yang umumnya melambat, pada anggaran pemerintah dalam jangka waktu beberapa puluh tahun dari saat ini. Prinsip dari disusunnya laporan lintas generasi ini adalah karena standar hidup generasi masa depan akan sangat tergantung dari keputusan yang diambil pada saat ini. Pada kenyataannya, isu lintas generasi sudah banyak dikaitkan dengan pembahasan fiskal dan keuangan negara. Pembahasan mengenai isu lintas generasi dalam pengelolaan INFO RISIKO FISKAL
keuangan negara biasanya dilakukan untuk memberikan dasar pembahasan kesinambungan kebijakan pemerintah saat ini untuk beberapa waktu yang akan datang (biasanya 10 tahun atau lebih). Pembahasan mengenai isu lintas generasi biasanya dilakukan dengan membangun model penerimaan dan belanja pemerintah berdasarkan asumsi-asumsi jangka panjang tertentu. Asumsi-asumsi jangka panjang tersebut biasanya melihat pada perubahan variabel-variable tertentu seperti variable demografi, lingkungan atau perubahan iklim dan kewajiban pemerintah. Dari beberapa variabel tersebut, isu perubahan demografi menjadi isu lintas generasi yang paling banyak dibahas dalam kaitannya dengan keuangan negara di masa depan. (Anderson and Sheppard, 2009) Perubahan demografi merujuk pada perubahan struktur dan jumlah populasi akibat dari perubahan angka kelahiran dan kematian penduduk. Perubahan ini bisa mempengaruhi belanja pemerintah melalui belanja wajib yang terkait dengan usia (misalnya program pensiun, belanja kesehatan dan jaminan hari tua) dan penerimaan pemerintah (misalnya berkurangnya dasar pengenaan pajak karena meningkatnya angka ketergantungan penduduk usia tua terhadap usia muda). Angka ketergantungan usia biasanya didefinisikan sebagai rasio penduduk berusia 65 tahun atau lebih dibandingkan dengan penduduk usia bekerja. Biasanya angka tersebut direpresentasikan sebagai jumlah tanggungan pada tiap 100 penduduk usia bekerja. Isu perubahan iklim juga dianggap sebagai salah satu isu lintas generasi yang bisa mempengaruhi belanja dan investasi pemerintah karena pemerintah harus membiayai adaptasi terhadap perubahan cuaca ekstrim dan kejadian-kejadian lain yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Risiko fiskal dalam hal ini mungkin juga
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
terkait dengan skema-skema asuransi publik yang mempengaruhi belanja pemerintah untuk merespon dampak dari perubahan iklim. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengakui adanya biaya-biaya dan fiskal yang bisa diakibatkan oleh perubahan iklim. Beberapa negara sudah menghitung biaya yang keluar dari kegiatan untuk melindungi akibat perubahan iklim, tetapi baru sedikit negara yang telah membuat proyeksi biaya fiskal dari perubahan iklim ini untuk jangka yang panjang. Kewajiban kontinjen pemerintah bisa juga menjadi isu lintas generasi. Kewajiban kontinjen pemerintah bisa diartikan sebagai kewajiban yang mungkin harus dibayar pemerintah tergantung pada kejadian di masa yang akan datang. Kewajiban ini bersifat tidak pasti karena kemungkinan terjadinya di masa datang tidak dapat diketahui secara pasti, atau karena jumlah yang harus dibayar tidak dapat diukur secara pasti. Kadangkala laporan lintas generasi sering dibingungkan dengan pemahaman mengenai medium term budget framework (MTBF) atau proyeksi aktuarial dari dana tertentu dalam anggaran. Proyeksi fiskal lebih menggambarkan sifat dan tingkat tekanan dan risiko fiskal di masa yang akan datang sebagai alat untuk membahas kesinambungan fiskal, sementara MTBF digunakan untuk mendukung stabilitas fiskal melalui fungsi perencanaan pemerintah (Anderson dan Sheppard, 2009).
Praktek pelaporan isu lintas generasi di beberapa negara Pada kenyataannya, isu lintas generasi telah sering dilibatkan dalam pembahasan dan pelaporan fiskal di banyak negara. Dalam beberapa tahun terakhir, pelaporan proyeksi fiskal dalam jangka panjang menjadi populer terutama di antara negaranegara maju anggota OECD. Awal21
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
nya, di pertengahan tahun 1990an, proyeksi fiskal jangka panjang hanya diterbitkan oleh beberapa negara diantaranya Selandia Baru, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hingga tahun 2010, sudah hampir 30 negara yang membuat dan melaporkan proyeksi jangka panjang tersebut. Horison waktu antara beberapa proyeksi yang dilakukan negara-negara tersebut berbeda-beda. Ada yang hanya mencakup sampai 25 tahun ke depan seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan tetapi juga ada yang mencakup sampai dengan 100 tahun ke depan seperti yang dilakukan oleh Belanda. Sebagian besar membatasi pada jangkauan sekitar 41 hingga 50 tahunan. Pada umumnya laporan lintas generasi diterbitkan oleh Kementerian Keuangan atau unit pengelola fiskal di suatu negara. Penerbitan tersebut biasanya disyaratkan oleh sebuah undang-udang atau ketentuan mengenai transparansi dan akuntabilitas yang mewajibkan pemerintah untuk membuat laporan jangka panjang. Mengenai periode pelaporan, be-
berapa negara membuat laporan lintas generasi secara tahunan, ada pula yang melaporkannya secara periodik dalam tiga atau empat tahun sekali, ada pula yang melaporkannya secara ad hoc. Lembaga-lembaga internasional yang tertarik dengan pemantauan fiskal juga mulai memberikan perhatian yang khusus seperti IMF, Komisi Eropa dan OECD. Pembahasan dan pelaporan isu lintas generasi dan dampaknya bagi keuangan negara banyak dipraktekkan oleh negara-negara tersebut karena dianggap dapat memberikan beberapa manfaat. Yang pertama, pelaporan dan pembahasan isu tersebut bisa memberikan gambaran profil kesinambungan fiskal sebuah negara. Kedua, laporan lintas generasi dapat menjadi kerangka kerja untuk mendiskusikan kesinambungan fiskal di masa yang akan datang akibat dari suatu kebijakan pada saat ini, serta menggambarkan dampak fiskal dari suatu reformasi kebijakan. Pembahasan dan pelaporan lintas generasi memberikan cara untuk
menilai kesinambungan fiskal berdasarkan pada beberapa hal seperti asumsi-asumsi tentang kebijakan saat ini, pajak yang dianggap konstan, profil demografi serta parameter-parameter mikro dan makro ekonomi. Laporan lintas generasi dapat membantu pemerintah saat ini untuk mengambil tindakan berdasarkan tekanan fiskal dan risiko secara gradual lebih awal dan bukan di saat-saat akhir, sekaligus menghindarkan pemerintah yang akan datang untuk dipaksa menghadapi perubahan kebijakan secara mendadak. Analisis lintas generasi ini dapat membantu pemerintah untuk mengelola tekanan fiskal yang tidak terlihat atau susah untuk diprediksi di masa datang. Secara umum, analisis lintas generasi dianggap sebagai salah satu cara untuk mendorong kesinambungan fiskal.
Belajar dari pengalaman Australia dalam menyusun laporan lintas generasi Salah satu negara yang telah mapan dalam melaksanakan pemba-
Praktek Pelaporan Lintas Generasi di Beberapa Negara Negara Australia Kanada Denmark Jerman Korea Belanda Selandia Baru Norwegia Swedia Swiss Inggris Amerika Serikat
Tahun Pertama terbit Intergenerational report 2002 Staff Working Papers 2000 Denmark Convergence Programme 1997 2008 Second Report on the Sustainability 2005 of Public Finance Vision 2030 2006 Ageing and the Sustainability of 2000 Dutch Public Finance New Zealand’s Long Term Fiscal 1993 Position Long Term Perspectives of 1993 Norwegian Economy Sweden’s Economy (Budget Bill) 1999 Long Term Sustainability of Public 2008 Finance in Switzerland Long Term Public Finance Report 1999 Analytical Perspectives 1997 The Long Term Budget Outlook 1991 The Nation’s Long Term Fiscal 1992 Outlook Nama/Judul Dokumen
Jangka Waktu Proyeksi 40 tahun 40 tahun Hingga 2070
Minimal 3 tahun sekali Ad hoc Setahun sekali
Hingga 2050
Minimal 4 tahun sekali
25 tahun Hingga 2100
Ad hoc Ad hoc
40 tahun
Minimal 4 tahun sekali
50 tahun
Minimal 4 tahun sekali
Hingga 2060 50 tahun
Setahun sekali Minimal 4 tahun sekali
50 tahun 75 tahun 75 tahun 75 tahun
Setahun sekali Setahun sekali Sekitar 3 tahun sekali Setahun 3 kali
Frekwensi terbit
Sumber : Anderson dan Sheppard, 2009 (dimodifikasi)
22
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
hasan dan pelaporan isu lintas generasi dalam pengelolaan keuangannya adalah Australia. Sebagaimana negara maju yang lain, Australia saat ini menghadapi permasalahan populasi yang semakin menua (ageing population). Hal ini telah memberikan tekanan pada belanja pemerintah. Diperkirakan, tekanan yang lebih besar akan terjadi pada pertengahan dekade mendatang, pada saat generasi baby boomers memasuki usia tua. Dalam hal populasi, Australia dihadapkan pada problem bahwa di 2054-2055 mereka akan mempunyai angka harapan hidup yang tertinggi di dunia, di mana untuk laki-laki diproyeksikan akan mencapai 95,1 tahun sementara untuk perempuan sebesar 96,6 tahun. Struktur populasi juga akan berubah secara drastis, di mana proporsi yang lebih besar akan berusia di atas 65 tahun di tahun 2054-2055 (Commonwealth of Australia, 2015). Australia pertama kali menerbitkan laporan lintas generasi pada tahun 2002, disusul kemudian pada tahun 2007, tahun 2010 dan terakhir pada tahun 2015. Penerbitan laporan lintas generasi di Australia memang direkomendasikan oleh undang-undang yaitu Charter of Budget Honesty Act 1998, yang memberikan dasar untuk pengembangan pengelolaan fiskal, keterbukaan infomasi mengenai keuangan negara dan transparansi dalam kebijakan fiskal Australia. Laporan Lintas Generasi Australia Tahun 2015 diawali dengan proyeksi tiga penentu pertumbuhan ekonomi Australia, yaitu populasi, partisipasi di lapangan kerja dan produktifitas yang meningkat. Populasi penduduk Australia diproyeksikan akan berubah dalam 40 tahun ke depan. Tingkat dan struktur perubahan penduduk tersebut penting karena akan mempengaruhi seberapa cepat perekonomian dan pendapatan penduduk tumbuh untuk meningkatkan tingkat standar INFO RISIKO FISKAL
hidup di masa depan. Hal yang kedua yang menjadi perhatian adalah partisipasi. Partisipasi merujuk pada proporsi penduduk di atas 15 tahun atau lebih yang aktif di lapangan kerja. Dalam 40 tahun ke depan, proporsi penduduk yang terlibat dalam angkatan kerja diperkirakan akan menurun seiring dengan menuanya populasi. Semakin sedikit proporsi penduduk Australia yang bekerja berarti akan semakin lambat pertumbuhan ekonomi di masa tersebut. Hal yang ketiga yang dilihat dari laporan itu adalah produktifitas. Di antara tiga faktor pendorong, faktor produktifitas dianggap sebagai hal yang paling penting dalam kinerja perekonomian Australia. Hal tersebut dikarenakan produktifitas diartikan sebagai bagaimana penduduk bisa bekerja lebih efisien atau memproduksi barang dan jasa lebih banyak atau lebih berkualitas dengan sumber daya yang sama. Isu mengenai lingkungan juga dicakup dalam laporan lintas generasi 2015 karena dianggap dalam 40 tahun ke depan isu tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup penduduk Australia dalam beberapa hal. Bab kedua dari Laporan Lintas Generasi Australia 2015 mengkaji posisi anggaran Pemerintah Australia selama ini dan bagaimana kecenderungan ekonomi dan kependudukan diproyeksikan akan mempengaruhi anggaran pemerintah Australia selama 40 tahun ke depan. Untuk menggambarkan kesinambungan kebijakan dalam jangka panjang tersebut, digunakan tiga skenario, yaitu perhitungan dengan skenario kebijakan sebelumnya, skenario kebijakan saat ini dan skenario kebijakan yang diusulkan. Bab yang ketiga menjelaskan tentang pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja, peluang dan pertumbuhan ekonomi serta memastikan bahwa penduduk
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Australia bisa tetap menikmati standar hidup yang lebih tinggi pada 40 tahun mendatang.
Pentingnya pembahasan dan pelaporan isu Lintas Generasi di Indonesia Seiring dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjaga kesinambungan fiskal dan keuangan negara dalam jangka panjang, pembahasan dan pelaporan mengenai isu-isu lintas generasi akan menjadi salah satu kerangka dan instrumen yang tepat untuk memantau kemungkinan perubahan variabelvariabel jangka panjang berdampak pada keuangan negara. Seringkali pembahasan mengenai isu-isu lintas generasi dianggap hanya diperlukan oleh negara-negara maju saja, sebagaimana digambarkan di atas bahwa kebanyakan negara-negara yang membahas dan melaporkan isu lintas generasi adalah negara maju . Tetapi pada dasarnya semua negara yang mempunyai potensi terpapar atau terekspos dengan risiko-risiko keuangan jangka panjang perlu untuk membangun pembahasan dan pelaporan isu lintas generasi. Dalam hal itu, Indonesia sebenarnya juga tidak steril dari problem perubahan variabel lintas generasi dalam beberapa dekade mendatang. Dalam bidang kependudukan contohnya, kajian yang dilakukan oleh UNFPA Indonesia (Adioetomo dan Mujahid, 2014) menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang menuju ke arah populasi yang menua (ageing population). Sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010 memberikan gambaran bahwa bahwa jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas adalah sebesar 18,1 juta, atau 7,6 persen dari total penduduk. Jumlah ini diproyeksikan meningkat menjadi 33,7 juta atau 11,8 persen dari populasi pada tahun 2025 dan mencapai 23
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
48,2 juta orang atau 15,8 persen pada 2035. Struktur usia penduduk Indonesia secara bertahap bergeser ke arah di mana semakin banyak penduduk di kelompok usia yang lebih tinggi, ditandai dengan peningkatan usia rata-rata dari 27,2 tahun pada tahun 2010 menjadi 33,7 tahun di tahun 2035. Index Penuaan, yang merupakan rasio orang tua per 100 anak-anak (usia 0-14 tahun), diproyeksikan meningkat dari 26,3 di 2.010 menjadi 73,4 di 2035. Sementara itu, Rasio Potensi Dukungan (Potential Support Ratio) atau jumlah rata-rata pekerja yang memiliki potensi untuk mendukung orang tua, diperkirakan menurun dari 13 pekerja per satu orang tua pada tahun 2010 menjadi hanya 6,4 pekerja di tahun 2035. Dalam hal kependudukan Indonesia juga menghadapi kemungkinan penurunan partisipasi angkatan kerja. Penurunan partisipasi angkatan kerja merupakan indikasi dari turunnya kemandirian ekonomi yang membawa konsekuensi bagi para pembuat kebijakan tentang bagaimana mendukung kesejahteraan orang tua. Pada tahun 2010, setengah dari orang tua di Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas masih aktif dalam angkatan kerja. Angka tersebut lebih kecil dari angka 61,4 persen dari mereka yang berusia 60-69 tahun, 40,9 persen berusia 70-
79 tahun, dan hanya 22,5 persen yang berusia 80 tahun ke atas. Hal-hal yang terkait transisi demografi tersebut menimbulkan tantangan bagi pembuat kebijakan, termasuk dari kacamata fiskal dan keuangan negara.
Pengelolaan risiko lintas generasi dalam kerangka ALM Neraca Negara yang dipakai sebagai instrumen untuk pengelolaan aset dan kewajiban negara sangat relevan dipakai sebagai basis untuk melihat dan membahas isu-isu lintas generasi. Dengan kerangka ALM akan dapat dilihat dengan lebih detil bagaimana efek perubahan variabelvariabel terkait isu lintas generasi dapat mempengaruhi networth Negara. Dengan memakai ALM Negara sebagaimana yang disusun oleh Merton (2007), pengaruh perubahan struktur demografi sebagai salah satu variabel akan berdampak pada aset, terutama pada proyeksi penerimaan dari pajak di masa yang akan datang. Demikian juga pada sisi kewajiban, perubahan demografis di masa datang akan merubah proyeksi belanja, terutama yang terkait erat dengan isu kependudukan seperti kesehatan dan mungkin juga pendidikan. Di sisi kewajiban, isu lintas generasi juga dapat mempengaruhi
Referensi 1.
Adioetomo, S.M. dan Mujahid, G. 2014. Indonesia on the Threshold of Population Ageing, UNFPA Indonesia Monograph Series No. 1, UNFPA Indonesia, Jakarta. 2. Anderson, B. dan Sheppard, J. 2009. Fiscal Futures, Institutional Budget Reforms, and Their Effects: What Can be Learned? OECD Journal on Budgeting,Volume 2009/3, OECD 3. Commonwealth of Australia, 2015. 2015 Intergenerational Report: Australia in 2055. Commonwealth of Australia. Canberra. 4. Merton, Robert C., 2007, “Observations on Sovereign Wealth Fund, Reserve and Debt Management: A Country Risk Management Perspective,” Luncheon Address at the First IMF Annual Roundtable of Sovereign Asset and Reserve Managers, November 15-16.
24
komponen lain, misalnya pada komponen utang kewajiban kontinjen yang bisa muncul dari penjaminan infrastruktur atau penjaminan lainnya.
Kesimpulan Sebuah kerangka kajian terhadap isu-isu terkait lintas generasi bisa memberikan dasar untuk melihat sejauhmana variabel-variabel terkait dengan perubahan-perubahan di masa depan bisa memberikan dampak terhadap keuangan negara yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah pada saat ini. Meskipun Indonesia saat ini belum pada tahap problem demografi yang akut, tetapi dalam beberapa dekade ke depan diperkirakan Indonesia juga akan menghadapi problem populasi yang menua yang akan memberi dampak yang serius terhadap fiskal. Pemerintah Indonesia perlu mengembangkan sebuah kerangka yang dapat digunakan untuk melihat dan menganalisis isu-isu lintas generasi, baik terkait dengan demografi atau isu lainnya, sehingga dapat mengantisipasi munculnya tekanan pada fiskal yang diakibatkan oleh perubahanperubahan tersebut. Kerangka tersebut dapat digabungkan dengan kerangka pengelolaan risiko yang saat ini sedang dikembangkan di Kementerian Keuangan, seperti kerangka sovereign ALM (sebagai salah satu cara untuk melihat risiko aset dan kewajiban negara dalam jangka panjang). Kerangka tersebut diharapkan dapat memberikan dasar bagi perumusan rekomendasi-rekomendasi kebijakan tentang hal-hal yang perlu diantisipasi di masa datang yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan saat ini. n (Diskusi dan study visit mengenai penyusunan Laporan Lintas Generasi di Australia terkait artikel ini dilaksanakan atas dukungan Australia-Indonesia Government Partnership Fund).
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Permasalahan Dan Tantangan BUMN sebagai Salah Satu Instrumen Penerimaan Negara Oleh: Indria Wardhani
Kepala Seksi Risiko Pelaksanaan PSO pada BUMN II-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected]
1. Pendahuluan Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendefinisikan BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Tujuan pendirian BUMN adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan; c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta dari Penyertaan Modal Negara (PMN). Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepaINFO RISIKO FISKAL
da BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.
2. Kinerja BUMN Di Indonesia Berdasarkan data dari Kementerian BUMN tahun 2015, hingga saat ini Indonesia memiliki 119 BUMN dengan kepemilikan penuh (100%) dan 24 BUMN dengan kepemilikan minoritas yang umumnya merupakan perusahaan public atau perusahaan yang telah melepaskan sebagian saham ke
public melalui mekanisme IPO (Initial Public Offering). Jumlah tersebut berkurang 20 BUMN jika dibandingkan dengan tahun 2013. Berkurangnya jumlah BUMN tersebut dikarenakan 2 BUMN berubah status badan hukum menjadi BPJS (PT Askes dan PT Jamsostek), 14 BUMN perkebunan menjadi satu holding BUMN perkebunan, dan 6 BUMN kehutanan menjadi satu holding BUMN kehutanan. Total asset BUMN dari tahun 2010 s.d 2014 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 16.38% per tahun. Dari sisi permo-
Gambar 1. Posisi Keuangan BUMN Tahun 2010 s.d 2014.
Sumber: Kementerian BUMN, 2015
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
25
m i t i g a s i r i s i k o
Gambar 2. Pendapatan dan Laba BUMN Tahun 2010 s.d 2014
Sumber: Kementerian BUMN, 2015
Tabel 1. Capital Expenditure (Capex) BUMN
m i t i g a s i r i s i k o
Keterangan (Rp. triliun)
2010
2011
2012
2013
2014
Government Capital Expenditures
80
118
145
181
146
SOE’s Capital Expenditures Percentage Comparison SOE/ Government
93
118
143
212
255
GDP Nominal Persentage Comparison Capex of SOE/GDP
116.3%
100.0% 98.6%
117.1%
174.7%
6,447
7,423
8,242
9,269
10,196
1.44%
1.59%
1.74%
2.29%
2.50%
Sumber: Kementerian BUMN, 2015
dalan, modal BUMN juga mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 16.03% selama tahun 2010 s.d 2014. Sedangkan pendapatan BUMN secara nominal mengalami kenaikan selama tahun 2010 s.d 2014, meskipun nilai Net Profit Margin (NPM) mengalami penurunan selama
Gambar 3. Jumlah SDM Di BUMN
Sumber: Kementerian BUMN, 2015
26
5 tahun terakhir. Posisi keuangan BUMN secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 dibawah ini. Nilai Capital Expenditur (Capex) BUMN juga mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir dengan kenaikan rata-rata pertahun sebesar 29%. Jika dibandingkan dengan Ca-
pex Pemerintah, Capex BUMN selama 5 tahun rata-rata sebesar 121,3%. Sedangkan jika dibandingkan dengan Gross Domestic Product (GDP), capex BUMN selama 5 tahun rata-rata sebesar 1,91%. BUMN juga sangat concern dengan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja di BUMN terus mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir dengan kenaikan rata-rata sebesar 3.01%. Per Desember 2014, jumlah tenaga kerja di seluruh BUMN mencapai 774.983 orang, yang meliputi pegawai tetap maupun pegawai honorer. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di gambar 3 berikut. Meskipun kinerja keuangan BUMN mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir, akan tetapi kinerja BUMN tersebut dianggap masih kurang signifikan dalam menyumbang pendapatan negara. Hal ini terlihat dari presentase “bagian laba BUMN” terhadap pendapatan negara hanya sekitar 3% dari total pendapatan negara per Desember 2014. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pendapatan “cukai” pada pendapatan negara yang mampu menyumbang sekitar 7.62% (tahun 2014) dan 8,10% (tahun 2013) dari total pendapatan negara.
3. Hubungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah dan BUMN memiliki hubungan yang cukup erat, baik terkait dengan kepemilikan saham BUMN maupun terkait kegiatan usaha operasional BUMN. Jika terjadi goncangan pada laporan keuangan BUMN, akan berpengaruh terhadap APBN mengingat adanya hubungan/ transaksi antara BUMN dengan APBN. Beberapa hubungan (transaksi) antara APBN dengan laporan keuangan BUMN antara lain:
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
a. BUMN sebagai sumber penerimaan negara dalam APBN. BUMN merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Penerimaan tersebut berupa penerimaan pajak yang dipungut oleh Pemerintah dari BUMN karena BUMN merupakan subyek pajak. Penerimaan negara lainnya dari BUMN adalah penerimaan non pajak seperti dividen, royalty dari BUMN, serta bunga yang dibayarkan oleh BUMN atas hutang dari Pemerintah. b. Pemberian subsidi dan margin sebagai pengeluaran APBN. Subsidi diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN karena BUMN mendapat penugasan khusus (public service obligation) dari Pemerintah untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum. Meskipun BUMN mendapat penugasan dari Pemerintah, BUMN harus tetap mengejar keuntungan untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, Pemerintah tetap memberikan margin kepada BUMN yang mendapat penugasan sebesar harga wajarnya c. Penyertaan Modal Negara (PMN) Penyertaan Modal Negara (PMN) merupakan salah satu bentuk pengeluaran APBN kepada BUMN disamping subsidi dan margin. Pemerintah memberikan PMN kepada BUMN dengan tujuan untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN serta meningkatkan kapasitas usaha BUMN. Pemberian PMN tersebut memperhatikan kemampuan keuangan negara serta Rencana Jangka Pendek dan Jangka Panjang perusahaan. d. Penjaminan Pemerintah dan pencadangan dana risiko fiskal. Pemberian jaminan oleh Pemerintah menimbulkan risiko terhadap APBN (risiko fiskal) yang bersifat kontinjensi. Untuk memastikan INFO RISIKO FISKAL
Permasalahan internal lain di BUMN adalah terkait masalah manajemen dan penerapan Good Corporate Governance (GCG). pelaksanaan kewajiban Pemerintah terkait kewajiban kontinjen, setiap tahun Pemerintah menganggarkan dana cadangan risiko fiskal dalam APBN. e. Pemberian pinjaman Pemerintah kepada BUMN Subsidiary Loan Agreement (SLA) merupakan salah satu skema pinjaman yang diberikan Pemerintah kepada BUMN. SLA mengacu pada sovereign rating pemerintah sehingga memiliki biaya utang yang murah. Pada APBN, SLA berada pada pos pembiayaan dalam negeri, sedangkan pembayaran atas bunga SLA akan menambah pendapat lain-lain yang termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain SLA, pemerintah juga memberikan pinjaman dengan persyaratan lunak kepada BUMN. PT PLN merupakan salah satu BUMN yang telah menerima pinjaman dari Pemerintah. Untuk lebih jelasnya hubungan antara laporan keuangan BUMN dan APBN dapat dilihat pada gambar 4.
4. Permasalahan Struktural BUMN Rendahnya kontribusi BUMN terhadap pendapatan negara disebabkan
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
oleh beberapa faktor, baik secara internal maupun eksternal. Permasalahan yang berumber dari faktor internal yaitu pengelolaan BUMN kurang ditangani secara profesional. Hal ini terlihat dari kontribusi laba bersih BUMN secara total terhadap pendapatan negara, dimana sebagian besar disumbang dari BUMN yang sudah “go public” atau terdaftar di bursa efek yang berjumlah sekitar 19 BUMN. Sementara dari sisi eksternal, adanya intervensi dari Pemerintah membuat BUMN tidak dapat beroperasi secara optimal. Hal ini karena kebijakan BUMN berubahubah tergantung kepada penguasa/ kondisi politik di tanah air. Permasalahan internal lain di BUMN adalah terkait masalah manajemen dan penerapan Good Corporate Governance (GCG). Selama ini kebijakan pemerintah seringkali dianggap melemahkan dan mengkerdilkan BUMN. Sebagai entitas bisnis, seharusnya diperlukan rambu-rambu governance dalam mengelola BUMN. Berkaca dari BUMN di negara Malaysia dan Singapura, selama BUMN dikelola secara professional, kepemilikan Pemerintah tidak menjadi kendala bagi BUMN untuk memiliki kinerja (profit) yang setara dengan swasta. Selama ini, perusahaan yang telah dikelola secara transparan, efektif, dan efisien telah terbukti mampu meningkatkan kinerja keuangan dan pada akhirnya akan meningkatkan laba perusahaan. Namun sayangnya belum banyak BUMN yang menerapkan semua prinsip dalam GCG , kecuali beberapa BUMN yang sudah go public karena tuntutan dari pasar modal. Penerapan GCG belum menjadi budaya, melainkan lebih didorong oleh kewajiban regulasi. Masalah lainnya terkait dengan likuiditas keuangan, di mana banyak BUMN mengalami kesulitan keuangan. BUMN-BUMN yang mendapakan tugas-tugas PSO misalnya sangat ter27
m i t i g a s i r i s i k o
Gambar 4. Hubungan Laporan Keuangan BUMN dan APBN
m i t i g a s i r i s i k o
Sumber: Kementerian Keuangan
gantung pada pelaksanaan APBN. Pencairan subsidi yang tidak tepat waktu merupakan salah satu faktor pemicu rendahnya kontribusi BUMN terhadap pendapatan negara. Fakta menunjukkan bahwa selama ini BUMN menerima pencairan subsidi di akhir periode, sehingga mengganggu cash flow perusahaan. Selain subsidi, Pemerintah juga memberikan PMN kepada beberapa BUMN. PMN diberikan kepada BUMN dengan tujuan untuk memperbaiki 28
struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas BUMN. Pemberian PMN tersebut juga dimaksudkan untuk menjalankan program-program tertentu seperti: mendukung pencapaian pemerintah di program tertentu, mendukung penugasan pemerintah kepada BUMN, dan mendukung upaya restrukturisasi BUMN. Seperti halnya pencairan subsidi, pencairan PMN juga sering dilakukan di akhir periode, sehingga PMN baru bisa dimanfaatkan untuk periode berikutnya.
Adanya anggapan yang keliru di masyarakat, bahwa PMN diberikan kepada BUMN yang merugi. Anggapan tersebut muncul karena selama ini Pemerintah dan DPR seringkali memberikan PMN kepada BUMN yang merugi. Padahal BUMN yang tidak memiliki urgensi strategis seharusnya tidak memperoleh PMN. Selain itu, seringkali PMN disamakan dengan subsidi, sehingga apabila BUMN memperoleh PMN maka BUMN tersebut juga akan memperoleh subsidi (Sunarsip, 2016).
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Permasalahan lain yang dihadapi BUMN adalah BUMN sering dijadikan last resort dalam memenuhi target penerimaan negara selain utang. Ketika realisasi pajak tidak mencapai target, shortfall (kekurangan pendapatan) ditutup dari dividen BUMN dan hutang. Dalam jangka pendek, target penerimaan negara tercapai, akan tetapi dalam jangka panjang kinerja BUMN akan terganggu jika setoran dividen ke pemerintah tanpa memperhitungkan Capital Expenditure (Capex) dan Operational Expenditure (Opex), yang pada akhirnya justru akan membebani APBN. Selain itu, peran Menteri BUMN yang mencakup fungsi regulasi (pengaturan, membuat kebijakan, dan pelayan publik) dan juga fungsi korporasi (persetujuan rencana bisnis, penetapan dan perubahan anggaran dasar, penunjukan pengurus, dan aksi korporasi lainnya) berdampak pada adanya praktek intervensi yang berlebihan terhadap BUMN dari kekuatan politik dan birokrasi. Privilege yang diberikan oleh pemerintah tersebut dikompensasi melalui policy direction yang menjadi political cost bagi BUMN. Selain itu, perlakuan istimewa dari pemerintah kepada BUMN menjadikan BUMN menjadi kurang peka terhadap lingkungan usaha, lemah dalam persaingan usaha, kurang lincah dalam bertindak, serta lamban dalam mengambil keputusan yang berdampak pada hilangnya momentum yang berakhir pada kerugian.
5. Tantangan Kedepan Dalam Mengelola BUMN Target penerimaan negara setiap tahunnya mengalami kenaikan. Dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN untuk meningkatkan sumber pendapatan negara yang berasal dari BUMN, diperlukan langkah-langkah mitigasi risiko dan reformasi BUMN secara masif. Selain itu, penguatan dan INFO RISIKO FISKAL
perbaikan kinerja BUMN merupakan amanah konstitusi mengingat cabangcabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam hal ini BUMN, yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah ditugaskan untuk mengelola dua hal tersebut. Secara umum BUMN memiliki misi menghasilkan profit (dalam bentuk dividen) yang akan menjadi penerimaan negara untuk pembangunan periode selanjutnya. Kedua, BUMN memiliki fungsi sebagai pemilik pelayanan atau kemanfaatan publik yang mencerminkan tugas utama negara. Perbaikan BUMN diusulkan dimulai dari Pemerintah dengan memisahkan antara fungsi regulasi dan fungsi korporasi. Fungsi korporasi seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada BUMN sebagai entitas bisnis. Sedangkan Pemerintah cukup berperan di fungsi regulasi dan pengawasan kepada BUMN. Terkait masalah finansial BUMN, sudah selayaknya Pemerintah berada di garda depan mengingat fungsi BUMN sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Pemberian PMN kepada beberapa BUMN merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk meningkatkan kinerja BUMN. Dengan kemampuan permodalan
yang meningkat, terutama untuk BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur dan pangan diharapkan dapat menjadi penggerak pembangunan seiring fokus kerja pemerintah sekarang yaitu membangun infrastruktur dan membenahi kedaulatan pangan. Kedepan pencairan subsidi dan PMN seharusnya lebih cepat atau tidak diakhir tahun agar subsidi dan PMN tersebut dapat dimanfaatkan oleh BUMN secara maksimal. Adanya perbaikan permodalan dari pemerintah perlu dibarengi dengan perbaikan birokrasi, perbaikan pengelolaan keuangan BUMN, dan perbaikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, penerapan Good Corporate Governance (GCG) untuk memastikan pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan dapat dipercaya menjadi syarat mutlak untuk peningkatan kinerja BUMN. Selanjutnya pengawasan terhadap kinerja BUMN sangat perlu dilakukan agar BUMN memiliki kinerja maksimal. Kedepan diharapkan BUMN di Indonesia mampu menjadi tangan kanan pemerintah dengan kinerja yang mumpuni. Dan pada akhirnya BUMN dapat menjadi alat investasi bagi pemerintah yang akan memberikan sumbangan bagi penerimaan negara secara signifikan. n
Referensi 1. Kementerian BUMN; http://www.bumn.go.id 2. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, 2014, http://www.kemenkeu. go.id 3. Sunarsip, PMN BUMN: Strategi dan alokasi, 2015, http://sunarsip.com/ index.php?option=com_content&view=article&id=210:pmn-bumnurgensi-strategi-dan-alokasinya&catid=37:bumn&Itemid=129 4. Undang-undang Nomor 3 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 5. Wirabrata, Achmad; Upaya Sinergis Pemberdayaan BUMN, 2015. Info singkat ekonomi dan Kebijakan Publik; Vol. IV, No. 21/I/P3DI/November/2012.
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
29
m i t i g a s i r i s i k o
Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF)
Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax (Staff Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan)
Oleh: Riko Amir1, Hadi Setiawan2, Hendro Ratnanto Joni3, Ivan Yulianto4, Hani Widyastuti5 1. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko APBN-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected] 2. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected] 3. Kepala Seksi Persetujuan Proyek Sektor I-Dit. PDPPI-DJPPR. Email:
[email protected] 4. Kepala Seksi Risiko Lembaga Keuangan I-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected] 5. Kepala Seksi Pengungkapan Risiko Keuangan Negara-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected]
w a w a n c a r a
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, sumber risiko utama dalam APBN 2016 adalah mismatch antara penerimaan negara dengan belanja negara. Kebijakan belanja yang ekspansif terutama untuk percepatan pembangunan infrastruktur, membutuhkan dukungan pembiayaan, utamanya bersumber dari penerimaan negara. Mengingat tantangan ekonomi tahun 2016 masih relatif sama dengan tahun 2015, kiranya sumber-sumber penerimaan perlu di eksplorasi dalam rangka mitigasi risiko tidak tercapainya target penerimaan negara.
U
ntuk menggali lebih dalam terkait strategi Pemerintah dalam menggali sumbersumber potensi penerimaan dalam rangka mencapai target penerimaan negara sesuai APBN 2016, redaksi IRF memandang perlu untuk melakukan wawancara dengan Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax, Staff Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan. Wawancara dilaksanakan pada hari Kamis, 31 Maret 2016 bertempat di ruang kerja Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara.
30
Bagaimana pandangan Bapak terhadap kondisi ekonomi global pada 2015 dalam kaitannya dengan target penerimaan kita di tahun 2016? Dibandingkan dengan tahun 2015 sepertinya kondisi ekonomi tahun 2016 sudah lebih baik. Dari data investasi yang disampaikan oleh BKPM, pada beberapa bulan terakhir cukup ada peningkatan. Sektor riil saat ini juga terlihat sudah mulai bergerak, walaupun mungkin kalau kita lihat secara makro pergerakannya hampir
sama. Jadi kalau melihat kondisi seperti itu sebenarnya tantangan buat APBN sekarang dari sisi penerimaan relatif lebih berat, karena targetnya pasti meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun kita lihat potensinya masih ada, namun dari kondisi makro ekonomi tadi mungkin peningkatannya tidak bisa segera. Saya lihat juga sampai dengan kuartal I, baru Eropa saja yang membaik. Kalau negara yang lainnya seperti Jepang, China, masih bermasalah. Harga-harga komoditas juga masih
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
belum bergerak banyak. Walaupun harga minyak sekarang sudah perlahan-lahan meningkat dibandingkan bulan-bulan kemarin, namun secara umum perubahannya masih belum terlalu signifikan. Jika dilihat dari target penerimaan negara 2016 dengan perkembangan ekonomi yang Bapak sampaikan tadi pergerakannya tidak terlalu signifikan, bagaimana optimisme Bapak terhadap target penerimaan kita? Dibutuhkan effort untuk mencapai target tersebut dan sekarang issue yang banyak disampaikan orang adalah terkait tax amnesty. Sebenarnya ada atau tidaknya kebijakan tax amnesty seharusnya lebih kepada effort yang dilakukan oleh kita untuk mencapai target tersebut, baik dari segi policy di Kementerian Keuangan maupun dari segi implementasi di Direktorat Jenderal Pajak. Dengan melihat gap tax to GDP ratio, Pemerintah mempunyai ruang untuk mencapai target tersebut, namun bagaimana caranya ruang itu bisa dimanfaatkan. Sebenarnya tantangannya di situ. Berdasarkan evaluasi tahun 2015, menurut Bapak kebijakan apa yang perlu diperkuat? Kalau kita lihat dari tahun 2015 dan sebenarnya juga pada tahuntahun sebelumnya, kita masih tetap bertumpu kepada penerimaan pajak dari Wajib Pajak tertentu. Wajib Pajak yang dikelola oleh dua Kanwil yaitu Kanwil LTO dan Kanwil Khusus sudah menghasilkan penerimaan lebih dari 70%. Kanwil LTO untuk WP yang besar, Kanwil Khusus untuk FDI (penanaman modal asing). Itu saja sudah 70% lebih. Jadi sebenarnya risiko dari segi ini yang harus dimanage. Orang Pribadi potensinya masih sangat tinggi, kemarin juga penerimaannya masih sangat kecil. Dan jika dilihat dari proporsi di luar negeri, harusnya individual income tax lebih tinggi dibandingkan deINFO RISIKO FISKAL
ngan corporate income tax. Income itu sebetulnya ujung-ujungnya adalah pada orang pribadi. Jika perusahaan laba, ujungnya ke pemegang saham, ke direksi, belum lagi entrepreneur sebagai supporting-nya. Jadi seharusnya strategi yang mau kita arahkan itu yang harus diperkuat. Strategi yang pertama, sebagaimana praktik internasional, namanya based erosion and profit shifting. Jadi transfer pricing dan lain-lain nanti akan coba kita tutup. Nanti akan ada regulasiregulasi dan sudah dimulai dari tahun 2014 dan 2015 yang namanya general avoidance rule. Yang kedua, secara administratif juga harus ada penguatan peningkatan compliance. Jadi bagaimana cara mengawasi Wajib Pajak, kita harus sistemik dan itu yang diminta Pak Menteri untuk dilakukan oleh DJP. DJP sudah mulai, misalnya untuk PPN ada yang namanya e-faktur dan e-invoice yang sudah dilakukan, progress-nya cukup bagus. Hanya ini masih perlu integrasi dengan yang lain. Jadi ini tidak bisa parsial-parsial, tetapi harus diintegrasikan. Dalam konteks mencapai target tadi Pak, apa kira-kira strategi di bidang perpajakan dan non perpajakan untuk mencapai target di tahun 2016? Harus terintegrasi dan harus komprehensif. Sekarang sumber pertumbuhan di Indonesia kelihatannya paling banyak dari FDI. Jadi jangan sampai cancel out karena sumber pertumbuhan Indonesia yang bisa kita dorong sekarang adalah investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Maka, Pemerintah membuat paket-paket kebijakan dengan tujuan supaya investasi di dalam negeri meningkat. Kalau seperti ini harusnya ada support juga dari yang lainnya, misalnya dari segi financing. Investasi tidak bisa kalau tidak ada uang. Selanjutnya, kemudahan usaha juga harus didukung. Dari Kementerian Keuangan sendiri kita punya tools yang lain,
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
karena kalau tidak memakai anggaran Pemerintah berarti harus didukung yang lain. Jadi internal Kementerian Keuangan harus terintegrasi dan eksternal harus terkoordinasi dengan baik, sehingga nanti paling tidak kita bisa menambah investasi yang baru. Ada pendapat dari pengamat bahwa FDI adalah extend artinya dampak ekonominya tidak bisa langsung dirasakan tahun ini, sementara kita punya beban di tahun 2016 harus segera ada eksplorasi sumber penerimaan baru. Menurut Bapak, paduan antara kita mendukung infrastruktur yaitu lebih mempercepat proses pergerakan pertumbuhan dengan FDI yang mungkin membutuhkan waktu dua sampai dengan tiga tahun seperti apa Pak? Kita tidak bisa melihat itu. Misalnya, mau investasi ke suatu tempat menunggu sampai pabrik itu jadi, baru ada impact ekonominya, kan salah. Sekarang lihat, ini kenyataan yang sudah saya dalami berkali-kali, ada suatu perusahaan yang akan melakukan investasi di suatu tempat, pada saat investasi apa dampaknya terhadap ekonomi kita? Konstruksi, sektor informal bergerak. Paling tidak efek segeranya ada. Misalnya kawasan industri berarti membutuhkan jalan menuju ke kawasan itu, perlu listrik, dan lain-lain sehingga ekonomi bisa tumbuh. Ini dukungannya bisa dari kita dan harus sangat terintegrasi karena saya pikir impact segeranya juga ada. Namun dengan FDI bisa membuat kota baru, new community. Selain menimbulkan sumber pertumbuhan baru, apakah ada arah yang difokuskan untuk investasi itu sendiri dalam jangka pendek dan jangka panjang? Tergantung, saya terus terang melihat ini dua-duanya multi touch. Dalam artian namanya industri kan bisa macam-macam, ada industri yang 31
w a w a n c a r a
w a w a n c a r a
nature-nya padat karya, tetapi ada juga yang memang high tech yang tidak bisa digantikan oleh tenaga manusia karena ada risiko yang tinggi. Jadi dua-duanya harus sinkron, kalau tidak industrinya hanya itu-itu saja. Tinggal bagaimana proporsinya, padat modal pun bisa diciptakan melalui supporting-nya. Misalnya, industri mobil yang high tech pasti ada yang membuat skrup, jok, dan sebagainya. Kalau saya melihatnya dua hal itu akan tetap saling berkaitan. High tech merupakan core, tetapi supportingnya padat karya sehingga orang bisa bekerja di situ. Strategi di luar perpajakan untuk mengejar target di tahun 2016 kurang lebih seperti apa, Pak? Kalau terkait PNBP, saya pikir dengan harga minyak dan tambang turun harusnya kita mulai pengawasan yang lebih baik. Kita tidak tahu apakah ini low compliance atau high compliance. Kemudian masalah sistemnya, cara collectingnya, bagaimana kita mengawasi mereka. Karena DJA sudah punya SIMPONI untuk mengawasi, tetapi itu baru angka. Strategi dan sebagainya perlu diintegerasikan. Kalau kita bisa punya tools untuk ikut masuk sampai dengan ke strategi, saya rasa itu lebih baik, walaupun itu bukan tanggung jawab kita tetapi paling tidak kita bisa memberi feeding dan itu harus ada monitoring dari kita. Kalau saya lihat sekarang strateginya lebih diarahkan ke sistem. Bagaimana optimisme Bapak terkait peningkatan penerimaan dari tax amnesty? Karena ini Undang-undang, saya berharap pendapatannya besar, kalau kecil jadi tidak worth it. Ini harus kita upayakan supaya dapatnya besar dan yang paling penting sebenarnya bukan penerimaannya, tetapi ini akan meningkatkan database. Kalau angkanya kecil jadi tidak bisa menu32
tupi dan akhirnya perlu action yang lain. Mungkin ada beberapa hal yang akhirnya kita tidak bisa lakukan, karena orang sudah diampuni. Kalau undang-undang ada, bagaimana cara kita mengawasi baik income yang short term maupun long term. Strategi yang pertama, aturannya harus ada dulu. Yang kedua, bagaimana kita bisa punya semacam “gula-gula” agar wajib pajak mau menggunakan kesempatan atas aturan tax amnesty ini. Selain itu, kita harapkan repatriasi yang memadai untuk pembiayaan pembangunan indfrastruktur. Jadi, kita bisa mendapatkan double impact yaitu untuk short term dan long term. Apakah revaluasi asset di tahun 2016 bisa mempunyai peminat seperti di tahun 2015? Sasaran revaluasi asset adalah untuk semua perusahaan, bukan hanya BUMN. Untuk tahun 2015 revaluasi asset dilaksanakan baru sebentar, sehingga untuk tahun 2016 ini masih banyak perusahaan yang akan memanfaatkan revaluasi asset ini. Apa yang perlu dimitigasi supaya target penerimaan kita tidak seperti tahun kemarin, dengan hasil dua bulan terakhir ini apakah penerimaan bisa lebih tinggi dari tahun kemarin? Too early, karena ini baru bulan Maret (pada saat wawancara dilakukan-red) dan SPT yang banyak masuk biasanya ada di bulan April, itu pun kita bicara mengenai tahun 2015. Normalnya untuk tahun 2016 di bulan Mei-Juni, kita hanya bisa mengawasi agar tidak terlalu jatuh dan memastikan penerimaan dengan memperkuat pengawasan dengan melihat sektor mana yang sedang booming dan sektor mana yang lagi turun dan itu semua sudah dilakukan. Sekarang yang harus kita cari adalah terobosanterobosan, misalnya sekarang sektorsektor yang tumbuh adalah konstruksi dan telekomunikasi. Kita lihat dari
situ, dari segi compliance, segi kewajaran pembayaran pajak sudah benar atau belum. Kita sudah mempunyai beberapa plan dari segi policy dan implementasi. Misalnya policy-nya perlu diubah akan kita ubah untuk mengejar penerimaan. Atas rencana pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan, Bagaimana dampaknya terhadap penerimaan? Sebenarnya yang dibutuhkan bukan pemisahan tetapi fleksibilitas di bidang SDM dan keuangan. Maksudnya mengenai fleksibiltas SDM begini, kalau ada orang yang baik harusnya bisa dikasih reward. Dengan adanya fleksibilitas itu DJP bisa lebih responsif terhadap perubahan. Yang namanya bisnis saja model bisnisnya berubah, kita juga harus menyesuaikan jadi kita tidak kaku. Kita menambah orang susahnya setengah mati. Jadi kalo kita bicara responsive harapannya ketika ada action kita bisa memberi respon dan harapannya penerimaannya bisa naik. Bukan terkait dengan kekuasaan yang mutlak, dengan adanya rencana fleksibilitas, DJP diberi kewenangan sehingga dia mudah untuk merespon. Apa harapan Bapak terhadap peran pengelolaan risko fiskal ke depannya? Kalau bisa lebih realistis dalam artian jangan hanya wacana, jangan membuat suatu instrumen yang tidak bisa dijalankan. Jangan sampai sudah pindah dua tempat hasilnya minimum. Ini kebutuhannya banyak, banyak proyek-proyek yang sebenarnya bisa kita dukung dengan itu (dukungan/jaminan Pemerintah). Dengan menggunakan instrumen itu pemerintah lebih safe, kita lebih secure, kita bisa dorong karena kita punya tools untuk itu sehingga balance. Organisasi ini sangat penting tetapi tolong benar-benar dijalankan, tidak harus perfect tetapi dijalani dengan benar sehingga ada improvement. n
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dengan Terbitnya Perpres Perubahan Kedua tentang Jaminan Kesehatan Oleh: Cheva Arifyani
Pelaksana pada Seksi Risiko Jaminan Sosial-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected]
B
onus demografi merupakan kondisi yang dialami suatu Negara yang memiliki penduduk dengan usia produktif lebih besar daripada usia non produktif. Kondisi ini dapat menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi secara siginifikan jika Negara tersebut berhasil dalam mengelolanya. Menurut beberapa pendapat para ahli, Indonesia sendiri diperkirakan dapat menikmati puncak bonus demografi pada tahun 2020 sampai dengan tahun 2030 sebagaimana dapat dijelaskan pada piramida penduduk Indonesia di bawah ini. Dalam menyambut bonus demografi bagi Indonesia, Pemerintah harus mempersiapkan berbagai hal agar bonus demografi tidak menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu kuncinya adalah melakukan pengelolaan terhadap penduduk berusia produktif menjadi berkualitas dengan perbaikan di segala bidang diantaranya kesehatan dan ketenagakerjaan. Indonesia telah membuktikan kesiapannya menghadapi bonus deINFO RISIKO FISKAL
mografi dengan terbitnya UndangUndang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur tentang jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan nasional. Melalui SJSN yang dijalankan berdasarkan konsep asuransi sosial ini, Indonesia dapat menggunakan peluang atas kondisi bonus demografi dengan memanfaatkan sumber daya penduduk menjadi lebih produktif. Dengan demikian meningkatnya jumlah penduduk Indonesia tidak hanya menjadi ancaman melainkan juga tantangan untuk meningkatkan jumlah penerimaan iuran yang dapat dikelola badan pengelola jaminan sosial. Untuk pengaturan badan pengelola atas jaminan sosial ini, telah diterbitkan UU BPJS yang mengatur tentang jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dibandingkan dengan jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan kesehatan nasional memiliki permasa-
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
lahan yang lebih kompleks. Kepesertaan JKN bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan ditargetkan mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada awal tahun 2019. Sampai dengan tahun 2015 cakupan kepesertaan JKN telah mencapai 62,71% atau 160 juta jiwa dari total penduduk 255 juta jiwa. Jumlah peserta tersebut terdiri dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non PBI. Peserta Non PBI terdiri dari Pekerja Penerima Upah (PPU) yang dipekerjakan oleh penyelenggara Negara maupun bukan penyelenggara Negara, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri dan Bukan Pekerja (BP). Lihat Tabel 1. Selama 2 tahun pelaksanaan JKN, terjadi permasalahan atas kepesertaan JKN sehingga menyebabkan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan mengalami defisit. Pada tahun 2014 saja, DJS mengalami defisit sebesar Rp3,31 T (audited) dan tahun 2015 sebesar Rp3,06 T (unaudited). Defisit tersebut diantaranya disebabkan karena adverse selection, ketidaksesuaian besaran iuran dan manfaat, moral hazard, sistem rujukan belum ber33
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Gambar 1. Piramida penduduk Indonesia Tahun 2015, 2020, 2025, 2030, dan 2035
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Sumber: www.bkkbn.go.id
34
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Tabel 1. Kepesertaan JKN pada tahun 2015 dan tahun 2016 Segmen Peserta A. PBI B. BUKAN PBI 1. PPU 2. PBPU-Pekerja Mandiri 3. Bukan Pekerja C. JAMKESDA dan PJKMU ASKES (transisi) TOTAL PESERTA
Prognosa 2015 RKAT 2016 Populasi Peserta Populasi Peserta 2015 2015 2016 2016 a b c d 88,2 88 92 92 148,1 61 147,15 79 94,85 40,91 96,61 53,23 48 15 44 19 5,55 4,97 6,49 6,16 19 11 19 18 255
jalan optimal, dan terdapat peserta yang iurannya menunggak. Sebagai contoh, peserta baru mendaftar dalam program JKN setelah ia sakit dan menerima pelayanan kesehatan (pelkes) dari puskesmas atau Rumah Sakit. Apalagi setelah ia dapat menikmati fasilitas kesehatan yang diperlukan dan sembuh dari sakitnya, ia tidak membayar iuran kembali atau menunggak.
160
259
189
Perbandingan Peserta dan Populasi 2015
Perbandingan Peserta dan Populasi 2016
b/a 100,00% 40,85% 43,14% 30,66% 89,52% 60,00%
d/c 100,00% 53,40% 55,10% 43,57% 94,90% 92,54%
62,71%
72,94%
Defisit tidak hanya menghambat tercapainya sustainabilitas program JKN, melainkan juga dapat mengganggu sustainabilitas APBN karena Pemerintah sebagai financier of the last resource ikut bertanggung jawan atas risiko kegagalan program JKN. Seperti halnya yang telah dilakukan pada tahun 2015, APBN memberikan PMN kepada BPJS Kesehatan untuk menutup defisit DJS Kesehatan sebesar Rp5 T.
Kenaikan Peserta 2016 dan 2015 d/b 4,76% 29,86% 30,10% 31,21% 23,94% 54,23% 17,79%
Permasalahan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah sebagai regulator maupun pemilik program JKN untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 12/2013) agar sustainabilitas program JKN maupun APBN dapat terjaga. Pemerintah melakukan revisi pertama terhadap Perpres 12/2013 dengan menerbitkan
Tabel 2. Perbedaan Perpres Jamkes jo. Perubahan Pertamanya dengan Perubahan Kedua Perpres Jamkes Ketentuan Perpres 12/2013 jo. Perpres 111/2013 Ketentuan Perpres 19/2016 Besaran iuran bagi peserta PBI sebesar Rp19.225 per orang per Besaran iuran bagi peserta PBI sebesar Rp23.000 POPB dan mulai bulan (POPB). berlaku 1 Januari 2016. Besaran iuran bagi peserta PBPU dan BP: Besaran iuran bagi peserta PBPU dan BP: a. Rp25.500 POPB dengan manfaat perawatan kelas III; a. Rp25.500 POPB dengan manfaat perawatan kelas III; b. Rp42.500 POPB untuk kelas II; b. Rp51.000 POPB untuk kelas II; c. Rp59.500 POPB untuk kelas I. c. Rp80.000 POPB untuk kelas I. Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2016. Batas paling tinggi gaji/upah per bulan sebagai dasar Batas paling tinggi gaji/upah per bulan sebagai dasar perhitungan besaran iuran bagi PPU-BU dan pegawai perhitungan besaran iuran bagi PPU-BU dan pegawai Pemerintah non pegawai negeri sebesar 2 kali PTKP dengan Pemerintah non pegawai negeri sebesar Rp8.000.000. status kawin dan 1 anak. PPU dan pegawai Pemerintah non pegawai negeri dengan PPU-PNS dan pegawai Pemerintah non pegawai negeri dengan gaji/upah di atas 1.5 – 2 kali PTKP K1, beserta keluarganya gaji/upah di atas Rp4.000.000-Rp8.000.000, beserta keluarganya mendapatkan ruang perawatan kelas I. mendapatkan ruang perawatan kelas I. Keterlambatan pembayaran iuran peserta PBPU dan BP Dalam hal peserta (kecuali peserta PBI) terlambat membayar dikenakan denda 2% per bulan dari total iuran tertunggak. iuran lebih dari 1 bulan, penjaminan diberhentikan sementara. Dalam hal keterlambatan pembayaran lebih dari 6 bulan, Penjaminan dapat aktif kembali dengan membayar tunggakan penjaminan diberhentikan sementara. iuran (maks. 12 bulan). Jika terdapat peserta yang memperoleh pelayanan kesehatan (pelkes) 45 hari setelah penjaminan aktif kembali, peserta wajib membayar denda atas pelayanan tersebut sebesar 2,5% kali jumlah bulan tertunggak atas biaya pelkes dengan ketentuan: (i) jumlah bulan tertunggak 12 bulan; dan (ii) besar denda paling tinggi Rp30.000.000. Untuk PPU, denda ditanggung pemberi kerja. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Juli 2016. Terkait manfaat pelkes, pemberian manfaat pelayanan promotif Terkait manfaat pelkes, pemberian manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pelayanan penyuluhan kesehatan dan preventif meliputi pelayanan penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana (KB), dan perorangan, imunisasi rutin, KB, dan skrining kesehatan. skrining kesehatan. Pelayanan KB yang diberikan meliputi Pelayanan KB yang diberikan meliputi konseling, konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi. pelayanan kontrasepsi termasuk vasektomi dan tubektomi.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
35
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Perpres 111/2013 tentang Perubahan atas Perpres 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan dan revisi kedua dengan menerbitkan Perpres 19/2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Beberapa hal yang diubah dalam Perpres 19/2016 diantaranya terkait besaran iuran peserta Jamkes untuk PBI, PBPU, dan BP. Selain itu, terdapat perubahan pada kewajiban atas tunggakan untuk peserta non PBI, perubahan batas atas dan bawah gaji peserta terhadap pengenaan besaran iuran, peninjauan besaran tarif INA CBG’s, dan perbaikan pelayanan kesehatan lain. Tabel 2 akan menjelaskan perbedaan Perpres Jamkes jo.
Perubahan Pertamanya dengan Perubahan Kedua Perpres Jamkes. Sebagaimana dijelaskan pada ketentuan pasal 17A.1 ayat (3) Perpres 19/2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, jika peserta mendapatkan pelkes dalam 45 hari sejak peserta membayar tunggakan, peserta dikenakan sistem co-sharing. Penerapan sistem co-sharing sangat berbeda dengan sistem sebelum ditetapkannya Perpres 19/2016. Sebelumnya peserta yang menunggak ha-
nya dikenakan denda sebesar 2% dari iuran sehingga hal tersebut dijadikan celah moral hazard. Misalnya peserta dengan penyakit katastropik menunggak membayar iuran wselama 12 bulan dan baru membayar pada saat akan melakukan pengobatan di rumah sakit pada bulan ke-13 sehingga jika diasumsikan besaran iuran Rp50.000,00 dan biaya pengobatan sebesar Rp100 Juta, maka peserta hanya membayar sebesar Rp662.000,00 untuk mendapatkan penjaminan kesehatan dengan rincian sebagai berikut.
Tunggakan iuran (13 x Rp50.000,00) Jumlah denda (2% x 12 x Rp50.000,00) Total yang harus dibayar
Rp650.000,00 Rp12.000,00 Rp662.000,00
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
antaralampung.com
36
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Tabel 3. Contoh Kasus co-sharing Disertai Penjelasan Ilustrasi 1
Penjelasan
Seseorang menjadi peserta JKN pada bulan Januari. Sejak saat itu, iurannya menunggak. Peserta mendapatkan grace period satu bulan sehingga peserta tetap diberi penjaminan apabila klaim di bulan Februari. Pada tanggal 20 bulan Desember, peserta tersebut sakit dengan perkiraan biaya sebesar Rp120 juta. Besaran iuran per bulan diasumsikan Rp50.000,00.
I
No 1. 2. 3.
II
III
Uraian Iuran tertunggak Iuran bulan berjalan Denda TOTAL
IV
Jumlah 11 x 50.000 0 2,5% x 11 x 120 juta
Ilustrasi 2
XI
XII
Jumlah Maks 550.000 33.000.000
Tagihan 550.000 30.000.000 30.550.000
Penjelasan
Seseorang telah terdaftar sebagai peserta JKN sejak Januari 2015. Sejak saat itu peserta menunggak lebih dari 12 bulan dan ingin mengaktifkan kembali status kepesertaannya. Pada tanggal 10 bulan September, peserta tersebut sakit dengan perkiraan biaya sebesar Rp90 juta. Besaran iuran per bulan diasumsikan Rp50.000,00.
Jika dilihat dari Perpres 12/2013, perilaku peserta di atas tidak bertentangan dengan ketentuan, akan tetapi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta sehat yang telah membayar iuran secara rutin. Oleh karena itu, melalui Perpres 19/2016 Pemerintah menerapkan sistem co-sharing sebagai bukti langkah tegas kepada peserta yang gemar menunggak iuran. Berikut perhitungan total biaya yang ditanggung oleh peserta yang menunggak.
2015 12 bulan
No 1. 2. 3.
Uraian Iuran tertunggak Iuran bulan berjalan Denda TOTAL
2016 I
...
Keterangan: IB = besaran iuran per bulan IBj = besaran iuran bulan berjalan T = jumlah bulan tertunggak (maksimal sebanyak 12 bulan) B = biaya pelayanan kesehatan* * Total biaya pelkes (sistem cosharing) dibatasi hingga sampai Rp30.000.000,00. Jika total biaya pelkes tersebut lebih dari
Rp30.000.000,00, maka total biaya pelkes harus dibayar peserta sama dengan Rp30.000.000,00 Untuk lebih jelasnya, contoh dibawah ini akan menjelaskan kasus co-sharing disertai penjelasan pada tabel 3. Melalui Perpres 19/2016, terlihat komitmen Pemerintah untuk mengatasi perilaku peserta yang menunggak sehingga diharapkan tingkat kolektibilitas cukup dan Dana Jaminan
Sosial tidak mengalami kesulitan keuangan. Untuk mencapai tingkat kolektibilitas yang cukup, Pemerintah dapat menerapkan pendekatan lain seperti pendekatan penghargaan bagi peserta yang telah rutin membayar. Misalnya BPJS Kesehatan memberikan penghargaan berupa souvenir bagi peserta mandiri yang telah rutin membayar selama
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
VI
VII
Jumlah 12 x 50.000 1 2,5% x 12 x 90 juta
Total Biaya Pelkes Sistem co-sharing* = (IB x T) + IBj + (2,5% x T x B)
INFO RISIKO FISKAL
...
VIII
Jumlah Maks 600.000 50.000 27.000.000
IX
Tagihan 600.000 50.000 27.000.000 27.650.000
12 bulan. Penghargaan tersebut juga dapat diberikan bagi peserta yang membayar tagihan iuran selama 6 bulan ke depan. Selain itu, BPJS Kesehatan sebaiknya melakukan updating data peserta mandiri secara berkala, misalnya 3 bulan. Pembaruan data alamat email, anggota keluarga, alamat rumah, nomor telepon, dan sebagainya dilakukan agar sistem reminder yang telah diterapkan BPJS Kesehatan baik melalui email maupun pengiriman surat dapat tepat sasaran. Pembaruan data akan memudahkan BPJS Kesehatan jika dibuat secara online. Dengan terbitnya Perpres 19/2016 dan beberapa alternatif di atas, diharapkan peserta non PBI dapat rutin membayar iuran dan tingkat kolektibilitas optimal sehingga DJS Kesehatan tidak mengalami defisit atau membebani APBN. Tingkat kolektiblitas yang optimal menjadi salah satu indikator bahwa program JKN sustainable dan dapat berjalan tanpa membebani APBN. n 37
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Penjaminan Pemerintah atas Pembiayaan Proyek Tol Trans Sumatera oleh PT Hutama Karya (Persero) Oleh: Hilman Qomarsono Kepala Seksi Risiko Dukungan dan Jaminan Atas Penugasan Pemerintah.
Latar Belakang
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Pembangunan infrastruktur jalan, khususnya jalan tol mempunyai arti yang signifikan didalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan pembangunan ruas atau jaringan baru jalan tol akan memperlancar arus faktor produksi baik barang raw material, sumber daya manusia, bahkan ketika barang jadi hasil produksi akan didistribusikan kepada konsumen. Kelancaran faktor-faktor produksi ini akan berkontribusi kepada efisiensi proses produksi sehingga barang hasil produksi akan lebih kompetitif dipasar. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah telah membangun jaringan dan ruas tol baru, maupun ekstensi jaringan tol yang lama. Namun, yang perlu dicermati, pembangunan ini masih terkonsentrasi di pulau Jawa, padahal justru daerah penghasil bahan mentah dan pusat konsumsi yang masih terbuka untuk di eksplorasi adalah daerah di luar pulau Jawa, khususnya di pulau Sumatera. Dalam rangka mengembangkan dan membangun ruas/jaringan tol di pulau Sumatera tersebut, Pemerintah menugaskan PT. Hutama Karya untuk melakukan pengusahaan 4 (empat) ruas jalan tol di Sumatera yang layak secara ekonomi, namun belum layak seca38
Email:
[email protected]
ra finansial melalui Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera. Ruas jalan tol dimaksud meliputi ruas Medan – Binjai, ruas Palembang – Simpang Indralaya, ruas Pekanbaru – Dumai, ruas Bakauheni – Terbanggi Besar. Adapun penugasan kepada PT Hutama Karya (Persero) sebagaimana dimaksud meliputi pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan. Selanjutnya, mempertimbangkan kebutuhan yang lebih luas terutama integrasi jaringan jalan tol yang akan mendukung satu sama lain, dilakukan perubahan Peraturan Presiden Nomor
Pembangunan infrastruktur jalan, khususnya jalan tol mempunyai arti yang signifikan didalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
100 Tahun 2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2015. Perubahan dilakukan terhadap lingkup penugasan dari Pemerintah kepada PT Hutama Karya (Persero) dari semula pengusahaan atas 4 (empat) ruas jalan tol menjadi 24 (dua puluh empat) ruas tol dengan memprioritaskan 8 (delapan) ruas tol yang diamanatkan selesai pada 2019 yaitu ruas Medan – Binjai, ruas Palembang – Simpang Indralaya, ruas Pekanbaru – Dumai, ruas Bakauheni – Terbanggi Besar, ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang, ruas Pematang Panggang – Kayu Agung, ruas Palembang – Tanjung Apiapi, ruas Kisaran – Tebing Tinggi. Untuk melaksanakan penugasan tersebut, PT Hutama Karya (Persero) harus memperoleh pendanaan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang meliputi biaya desain, biaya konstruksi, biaya supervisi, biaya peralatan tol dan perlengkapan operasi, biaya overhead proyek, pajak pertambahan nilai (PPN) dan biaya-biaya lainnya. Pendanaan untuk biaya-biaya tersebut berasal dari setoran ekuitas dan pinjaman. Sumber dana untuk pengusahaan jalan tol dapat berasal dari antara lain: Penyertaan Modal Negara; penerusan pinjaman dari pinjaman Pemerintah yang berasal dari
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
luar negeri dan/atau dalam negeri; penerbitan obligasi oleh PT Hutama Karya (Persero); pinjaman PT Hutama Karya (Persero) dari lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan multilateral; pinjaman dan/atau bentuk pendanaan lain dari badan investasi Pemerintah; pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya jaminan Pemerintah, kemampuan membayar kembali kewajiban pinjaman PT Hutama Karya (Persero) kepada kreditur dijamin oleh Pemerintah.
Pendanaan dan Jaminan Pemerintah Kebutuhan pendanaan atas 8 (delapan) ruas tol dimaksud diperkirakan mencapai Rp 81,2 triliun. Mengingat bahwa pengusahaan proyek Tol Trans Sumatera tidak layak secara finansial, dibutuhkan porsi modal/ekuitas yang lebih besar dibandingkan porsi pinjamannya untuk memastikan kemampuan bayar proyek Tol Trans Sumatera. Adapun komposisi pendanaan proyek Tol Trans Sumatera diperkirakan terdiri dari Rp 52,4 triliun ekuitas dan Rp 28,8 triliun pinjaman. Untuk kebutuhan porsi ekuitas, pemenuhan pendanaan diharapkan dapat diperoleh dari Penyertaan Modal Negara dan pinjaman korporasi PT Hutama Karya (Persero). Sedangkan untuk kebutuhan porsi pinjaman diperoleh dari pinjaman lembaga keuangan, termasuk diantaranya dimungkinkan berupa pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional (skema direct lending). Selain itu, PT Hutama Karya (Persero) dapat menerbitkan obligasi untuk memenuhi porsi pinjaman proyek. 1 2 3 4 5 6 7 8
RUAS Medan-Binjai Palembang-Indralaya Bakauheni- T. Besar Pekanbaru-Dumai T. Besar - P. Panggang P. Panggang - Kayu Agung Palembang - Tj Api Api Kisaran - Tebing Tinggi Total
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014, atas porsi pinjaman untuk pembiayaan Tol Trans Sumatera oleh PT Hutama Karya (Persero) khususnya atas pinjaman lembaga keuangan dan penerbitan obligasi, dapat diberikan jaminan Pemerintah yang diberikan melalui Menteri Keuangan. Ketentuan lebih lanjut atas pemberian jaminan Pemerintah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan untuk Percepatan Proyek Pembangunan Jalan Tol di Sumatera. Sebagai catatan, ketentuan dimaksud hanya ditujukan atas pinjaman dari lembaga keuangan yang bersifat komersial. Dalam hal pinjaman berasal dari lembaga keuangan internasional, ketentuan penjaminannya telah diatur tersendiri melalui Peraturan Presiden
KM 17 22 140 130 100 85 90 60 644
INVESTASI 1.604 3.301 16.795 16.210 11.907 10.085 14.289 6.991 81.182
Sumber: PT Hutama Karya (Persero)
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
PMN 1.123 2.061 8.728 11.347 9.526 5.868 11.431 2.307 52.391
Pinjaman 481 1.240 8.067 4.863 2.381 4.217 2.858 4.684 28.791
Nomor 82 Tahun 2015 tentang Jaminan Pemerintah Pusat atas Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah atas Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada Badan Usaha Milik Negara. Sedangkan untuk penjaminan atas penerbitan obligasi belum terdapat ketentuan yang mengaturnya. Mengingat proyek Tol Trans Sumatera merupakan proyek yang tidak layak secara finansial, maka jaminan Pemerintah diberikan dalam rangka meningkatkan creditworthiness dan bankability dari proyek sehingga dapat menarik pembiayaan dari lembaga keuangan. Jaminan Pemerintah bersifat jaminan penuh atas seluruh kewajiban PT Hutama Karya (Persero) sesuai dengan perjanjian pinjaman dengan kreditur. Hal ini sebagai konsekuensi atas tingginya ketidakpastian pendapatan yang bersumber dari pengguna jalan tol sehingga dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengembalikan pinjaman. Dengan adanya jaminan Pemerintah, kemampuan membayar kembali kewajiban pinjaman PT Hutama Karya (Persero) kepada kreditur dijamin oleh Pemerintah. Dalam memberikan jaminan Pemerintah, Menteri Keuangan harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penjaminan yaitu: (i) kemampuan dan kondisi keuangan Negara; (ii) kesinambungan fiskal baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang; (iii) pengelolaan risiko fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip penjaminan di atas, Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal penjaminan secara berkala 39
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
yang berlaku sebagai patokan dalam pemberian jaminan Pemerintah. Batas maksimal penjaminan ditetapkan dengan metode menghitung batas maksimal eksposur kewajiban yang dapat dijamin oleh Pemerintah berdasarkan persentase tertentu dari Produk Domestik Bruto Nasional tiap tahunnya. Selain itu Menteri Keuangan menyediakan anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anggaran kewajiban Pemerintah dimaksud bersifat kontinjen berupa penyisihan dana berdasarkan perhitungan probabilitas/kemungkinan terjadinya gagal bayar atas kewajiban PT Hutama Karya (Persero) yang dijamin. Dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal, Menteri Keuangan dapat menugaskan Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur untuk memberikan jaminan atas pinjaman PT Hutama Karya (Persero). Sebagai mitigasi atas risiko kemungkinan terjadinya gagal bayar kewajiban PT Hutama Karya (Persero), di dalam Peraturan Menteri Keuangan diatur tata cara pemberian jaminan Pemerintah yang diantaranya terdiri dari beberapa tahapan analisis dan persetujuan. Pertama, PT Hutama Karya (Persero) harus menyampaikan dan melakukan konsultasi kepada Menteri Keuangan atas rencana pengusahaan jalan tol (business plan) yang memuat paling kurang aspek teknis, aspek hukum dan aspek keuangan. Konsultasi pada aspek keuangan menjadi hal krusial mengingat aspek ini sangat berpengaruh pada penentuan porsi ekuitas dan pinjaman. Di dalam aspek keuangan setidaknya harus memuat model keuangan (financial model), studi lalu lintas harian dan perkiraan biaya investasi. Berdasarkan hasil studi lalu lintas harian dan besaran biaya proyek dapat disimulasikan kemampuan meminjam dari suatu proyek sehingga dapat ditentukan komposisi 40
Setelah perjanjian pinjaman ditandatangani, PT Hutama Karya (Persero) mengajukan permohonan jaminan kepada Menteri Keuangan. pinjaman dan ekuitas. Menteri Keuangan sangat berkepentingan untuk mengetahui batas kemampuan meminjam suatu proyek sebagai mitigasi atas kemungkinan gagal bayar dari pinjaman yang dilakukan. Selanjutnya ketentuan komposisi pinjaman dan ekuitas dimaksud dituangkan di dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol antara PT Hutama Karya (Persero) dan Badan Pengatur Jalan Tol, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Setelah proses konsultasi dengan Menteri Keuangan, PT Hutama Karya (Persero) melakukan proses pengadaan pinjaman untuk ditawarkan kepada calon kreditur dengan mencantumkan fasilitas dari Pemerintah berupa jaminan atas pinjaman. Menteri Keuangan tidak terlibat dalam proses pengadaan pinjaman, namun Menteri Keuangan berwenang dalam menentukan harga acuan (benchmark) yaitu batas maksimal biaya pinjaman yang berupa suku bunga dan biaya lain-lain (all-in cost). Dalam hal telah ditentukan calon kreditur, PT Hutama Karya (Persero) melakukan proses negosiasi perjanjian pinjaman. Proses ini melibatkan Menteri Keuangan terutama terkait dengan penyusunan klausul-klausul yang
menyangkut kewajiban Pemerintah selaku penjamin pinjaman. Perjanjian pinjaman dapat ditandatangani oleh para pihak setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan dimaksud adalah persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms & conditions) pinjaman. Setelah perjanjian pinjaman ditandatangani, PT Hutama Karya (Persero) mengajukan permohonan jaminan kepada Menteri Keuangan. Permohonan dimaksud melampirkan dokumen-dokumen paling kurang berupa rencana pengusahaan jalan tol, penetapan lokasi oleh Pemerintah Daerah, perjanjian pengusahaan jalan tol,perjanjian pinjaman, laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit oleh auditor independen dan rencana mitigasi risiko kegagalan pemenuhan pembayaran kembali kewajibannya. Dokumen rencana pengusahaan jalan tol diperlukan dalam rangka verifikasi atas rencana pengusahaan jalan tol yang telah disampaikan sebelumnya untuk mengetahui apabila terjadi perubahan rencana. Dokumen penetapan lokasi oleh Pemerintah Daerah diperlukan untuk mengetahui rencana pembebasan lahan dan waktu yang diperlukan dalam proses pembebasan lahan dimaksud. Dokumen perjanjian pengusahaan jalan tol diperlukan dalam rangka verifikasi atas hasil konsultasi dengan Menteri Keuangan yang telah dilakukan sebelumnya. Sementara dokumen perjanjian pinjaman dibutuhkan untuk verifikasi dengan hasil persetujuan Menteri Keuangan atas syarat dan ketentuan pinjaman. Laporan Keuangan PT Hutama Karya (Persero) digunakan untuk proses analisis keuangan korporasi terutama terkait dengan kemampuan membayar kewajiban pembayaran dan likuiditas perusahaan. Dokumen rencana mitigasi risiko kegagalan pe-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
menuhan pembayaran kembali kewajiban diperlukan dalam rangka proses monitoring setelah kewajiban PT Hutama Karya (Persero) timbul sebagai konsekuensi atas perjanjian pinjaman. Dokumen rencana mitigasi risiko paling kurang harus memuat upayaupaya terbaik untuk memenuhi kewajiban dan rencana untuk mencegah terjadinya gagal bayar.
Surat Jaminan Pemerintah Atas usulan permohonan jaminan PT Hutama Karya (Persero), Menteri Keuangan menugaskan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk melakukan evaluasi dan berkoordinasi dengan Biro Hukum Kementerian Keuangan. Evaluasi dilakukan melalui proses analisis dan verifikasi dokumen yang telah disampaikan oleh PT Hutama Karya (Persero) sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Setelah proses evaluasi dilakukan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan dalam rangka penerbitan surat jaminan Pemerintah. Surat jaminan Pemerintah yang telah ditandatangani Menteri Keuangan disampaikan kepada kreditur dengan tembusan kepada PT Hutama Karya (Persero). Adapun substansi dari surat jaminan Pemerintah menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku penjamin sesuai dengan kewenangannya setuju untuk melakukan pembayaran kepada kreditur dalam hal PT Hutama Karya (Persero) tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur sesuai dengan perjanjian pinjaman. Surat jaminan bersifat sekunder dan accessoir terhadap perjanjian pinjaman. Surat jaminan diterbitkan dengan tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali oleh Menteri Keuangan selaku penjamin. Surat jaminan yang diterbitkan memiliki syarat efektf keberlakuan. INFO RISIKO FISKAL
Dokumen rencana mitigasi risiko paling kurang harus memuat upaya-upaya terbaik untuk memenuhi kewajiban dan rencana untuk mencegah terjadinya gagal bayar. Surat jaminan dinyatakan efektif apabila Surat Perintah Mulai Kerja telah diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Surat Perintah Mulai Kerja dapat diterbitkan oleh pejabat yang berwenang apabila telah terpenuhi satu dari dua syarat pembebasan lahan. Syarat pertama adalah lahan telah bebas minimal 70% dari total keseluruhan ruas jalan tol yang akan dibangun. Syarat yang kedua adalah lahan telah bebas seluruhnya (100%) pada salah satu seksi dari ruas jalan tol yang akan dibangun. Surat Perintah Mulai Kerja diperlukan sebagai syarat efektif berlakunya jaminan Pemerintah untuk memastikan tidak terdapat kendala terutama pembebasan lahan yang dapat menunda target penyelesaian pembangunan proyek jalan tol. Mengingat surat jaminan Pemerintah merupakan syarat efektif pemenuhan pembiayaan (financial close) berdasarkan perjanjian pinjaman yang mengakibatkan mulai timbulnya kewajiban PT Hutama Karya (Persero) kepada kreditur, dapat dinyatakan bahwa selama proses pembebasan lahan belum diselesaikan maka pemenuhan pembiayaan belum dapat dilakukan. Dengan demikian belum terdapat kewajiban PT Hutama Karya (Perse-
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
ro) yang akan timbul kepada kreditur. Terakhir, apabila di kemudian hari PT Hutama Karya (Persero) mengalami kegagalan dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada kreditur sesuai dengan perjanjian pinjaman dan kemudian Menteri Keuangan sebagai penjamin membayar kewajiban tersebut, maka atas hal dimaksud tidak menghilangkan kewajiban pembayaran PT Hutama Karya (Persero). PT Hutama Karya (Persero) tetap memiliki kewajiban atas jumlah yang tidak dapat dibayarkan kepada kreditur, yang kemudian beralih kewajibannya kepada Pemerintah. Hal ini dituangkan dalam bentuk perjanjian penyelesaian pembayaran utang PT Hutama Karya (Persero) kepada Pemerintah. Di dalam perjanjian penyelesaian pembayaran utang memuat ketentuan paling kurang hal-hal sebagai berikut: (i) pengakuan utang PT Hutama Karya (Persero) dan janji untuk membayar utang tersebut kepada penjamin; (ii) jumlah seluruh utang dan jangka waktu pembayarannya termasuk masa tenggang; (iii) jumlah cicilan dan tanggal pembayaran cicilan; dan (iv) tata cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian penyelesaian pembayaran utang PT Hutama Karya (Persero) kepada Pemerintah melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa dan/ atau lembaga arbitrase. Pada pelaksanaan pemberian jaminan Pemerintah, sampai dengan saat ini Menteri Keuangan telah menerbitkan surat jaminan Pemerintah atas pinjaman untuk ruas jalan tol Medan – Binjai sebesar Rp 481 miliar dan atas pinjaman untuk ruas jalan tol Palembang – Simpang Indralaya sebesar Rp 1,2 triliun. Dengan terbitnya jaminan Pemerintah, diharapkan pembangunan ruas jalan tol Medan – Binjai dan Palembang – Simpang Indralaya dapat selesai sesuai target. n 41
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Mengatur Layar Haluan Kapal Ekonomi Indonesia Untuk Mengarungi Samudra Ekonomi Global Oleh: Eko Nur Surachman
Kepala Seksi Dukungan Pemerintah Proyek Sektor I-Dit. PDPPI-DJPPR. Email:
[email protected]
O P I N I
D
iskursus tentang pengelolaan APBN terasa menjadi lebih hangat dan dinamis akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan begitu dinamisnya isu-isu domestik, seperti pembahasan RUU Pengampunan Pajak danjuga kondisi perekonomian global yang mempengaruhi kalkulasi dan prakiraan asumsi dalam menyusun APBN. Dari kalkulasi dan prakiraan asumsi inilah kemudian, APBN dihitung dengan menyusun rencana penerimaan dan pengeluaran negara. Dalam hal penghitungan pengeluaran negara lebih besar dari asumsi penerimaan, maka pemerintah akan menghitung pembiayaan untuk menutup selisihnya. Penerimaan yang dimaksudkan disini
meliputi pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah, pengeluaran/belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah provinsi dan kab/ kota, termasuk dana desa, sedangkan pembiayaan APBN sendiri meliputi pembiayaan dengan penerbitan obligasi, surat utang, sukuk, maupun pinjaman baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan memakai teori Keynes, pertumbuhan ekonomi merupakan akumulasi dari jumlah konsumsi masyarakat (‘C), investasi masyarakat (“I”), belanja pemerintah (“G”), dan selisih antara ekspor (“X”) dan impor (“IM”), atau dikenal dengan rumus Y= C+I+G+(X-Im). Sehingga asumsi
pertumbuhan ekonomi dalam APBN akan menjadi acuan berapa besar belanja pemerintah yang dibutuhkan untuk mencapainya, tentunya dengan juga memperhitungkan prediksi faktor “C” , “I”, dan “(X-Im)”. Secara umum, makin besar G maka Y juga akan menjadi besar. Dalam beberapa kasus, G perlu menjadi lebih besar lagi, apabila faktor C, I dan (XIm) lebih kecil dari yang seharusnya, sehingga G perlu mengkompensasi untuk mencapai Y yang diinginkan. Perhitungan besaran faktor C, I, G, dan (X-Im) ini juga tidak lepas dari besaran inflasi dan nilai kurs rupiah, dimana makin tinggi inflasi, maka secara ceteris paribus, C akan menjadi lebih kecil. Demikian juga dengan
Gambar 1. Asumsi Makro APBN 2016.
Sumber : Kemenkeu 2016
42
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
makin tinggi kurs rupiah terhadap US dollar, maka selisih X dan Im juga akan makin kecil. Selain itu, asumsi harga minyak serta lifting hasil eksplorasi minyak mentah dan gas, menjadi acuan pada penyusunan penerimaan, khususnya untuk memperkirakan besaran penerimaan pajak migas, dan penerimaan PNBP berupa bagi hasil dan royalti migas. Makin tinggi asumsi yang dibuat untuk faktor migas ini, maka penerimaan juga akan menjadi lebih besar. Dari sisi pembiayaan, asumsi imbal hasil Surat Perbendaharaan Negara (SPN) diperlukan sebagai acuan imbal hasil variabel SUN (Surat Utang Negara) yang menjadi sumber pembiayaan APBN. Makin tinggi SPN, makin tinggi pula imbal hasil SUN, makin tinggi imbal hasil SUN, secara ceteris paribus, SUN akan laku untuk menutup pembiayaan, tetapi pembayaran bunga utang pemerintah akan juga semakin besar. Makin tinggi SPN yang membawa yield SUN naik juga akan membuat benchmark suku bunga kredit perbankan akan ikut naik. Dengan naiknya bunga kredit perbankan ini, baik langsung maupun tidak akan mempengaruhi investasi (I), karena ekspektasi return dari investasi yang dilakukan masih di bawah tingkat suku bunga kredit yang digunakan untuk membiayai investasi yang dilakukan. Keseluruhan faktor-faktor dari teori Keynes ini juga kemudian dapat digunakan untuk memperhitungkan potensi penerimaan, termasuk penerimaan perpajakan maupun non perpajakan yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran dan belanja negara. Dengan prinsip ceteris paribus, dapat dikatakan, bahwa makin tinggi target pertumbuhan ekonomi (Y) maka makin tinggi pula penerimaan, baik pajak maupun non pajak yang harus dicapai yang digunakan untuk membiayai belanja pemerintah (G). Pola hubungan ini juga dapat diINFO RISIKO FISKAL
lihat dari sisi sebaliknya, bahwa makin tinggi penerimaan, maka alokasi belanja dimungkinkan untuk menjadi lebih besar, yang nantinya akan berpengaruh ke kenaikan Y. Pola kasualitas “ayam dan telur” inilah yang membentuk siklus APBN, mana yang harus ditentukan terlebih dahulu sangat dinamis, sehingga pendekatan penyusunannya pun juga harus simultan, integratif dan non linear.
Menahkodai kapal APBN di gelombang perubahan ekonomi global Perekonomian dunia memasuki fase baru dalam siklusnya, dimana salah satu negara yang menjadi motor penggeraknya yaitu Tiongkok mengalihkan mesin pertumbuhan ekonominya yang semula berorientasi ekpansif ke luar negeri menjadi fokus kepada pertumbuhan konsumsi di dalam negeri1. Situasi ini memperumit masalah perekonomian dunia, karena motor penggerak lainnya yaitu Amerika Serikat juga masih gamang dalam menentukan arah kebijakan moneternya guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam negerinya yang masih volatile karena krisis ekonomi yang mereka alami pada dasawarsa pertama era millenium. Area sentra pertumbuhan ekonomi lainnya yaitu Eropa pun tidak lebih baik, bayangan default negara-negara seperti Yunani, Spanyol, bahkan Italia masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan, ancaman keluarnya Inggris dari EU atau yang dikenal dengan BREXIT menjadi topik yang menimbulkan ketidakpastian di kawasan ini, belum ditambah lagi sekarang ini, zona biru ini menanggung ekses dari gejolak instabilitas keamanan dan sosial yang berasal dari kawasan konflik di semenanjung timur tengah, baik berupa ancaman terorisme dan pengungsi pencari suaka, menjadikan ketidakpastian baru
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
yang mengancam perekonomian di kawasan EU. Kawasan sentra perekonomian lainnya yaitu Asia Timur juga kurang lebih mengalami siklus dengan tren menurun, Jepang dengan kebijakan suku bunga negatifnya mengirimkan sinyal yang cukup kuat ke pasar, bahwa negara yang juga salah satu barometer perekonomian dunia inipun sedang dalam kesulitan dan berusaha untuk rebound. Situasi perekonomian global yang membentuk fase baru dalam siklus ekonomi dunia ini tentu berpengaruh ke negara-negara lainnya, tak terkecuali Indonesia. Mingguan The Economist2 menurunkan laporan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2015 hanya berkisar 2.9%, dimana kawasan yang menikmati pertumbuhan paling baik adalah zona asia dan australia, yaitu tumbuh 5.7% sedangkan zona Eropa menjadi kawasan yang pertumbuhannya paling kecil yaitu berkisar di 1.4%. Di level negara, mengacu pada data IMF3, pertumbuhan ekonomi 2015 diantara negara G20, dinikmati paling besar oleh India dan China, sedangkan Brazil dan Rusia mengalami minus pertumbuhan. Indonesia sendiri, bersama-sama dengan negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Filipina masih menikmati pertumbuan positif di kisaran 4.7%, bahkan 6%, jauh dari negara-negara G20 lain yang pertumbuhannya berkisar 1-2% Berdasarkan acuan data global tersebut, maka asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan masih diprediksikan berkisar di angka 4.5%-5.5%. Hal ini cukup realistis untuk dilakukan, walaupun dalam pencapaiannya, usaha semua komponen bangsa mutlak bekerja keras untuk dapat mewujudkannya. Strategi yang perlu disusun berikutnya adalah bagaimana meramu faktor-faktor dalam teori Keynes 43
O P I N I
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan.
Sumber : The Economist (2016)
O P I N I
Gambar 3. Pertumbuhan Ekonomi Berbagai Negara 2015.
Sumber : IMF dan Statistic Times. Data diolah
sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, untuk bisa menjadi sebuah persamaan yang menghasilkan Y = 4.5%-5.5% atau kalau mengambil asumsi makro APBN 2016 adalah 5.3%. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, namun juga tidak mustahil untuk dilakukan dengan kerja keras dan semangat pantang menyerah. Komponen yang kontrolnya paling dekat dengan pemerintah sehingga bisa diramu langsung oleh pemerintah adalah belanja pemerin44
tah atau “G”. Dalam situasi ekonomi global yang sangat volatile seperti sekarang ini, komponen G ini menjadi andalan bagi pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi domestik dalam rangka mencapai target Y yang diinginkan. Tumpuan utama dalam komponen ini disandarkan 2 sub komponen yaitu belanja pemerintah pusat dan belanja transfer ke daerah sejalan dengan asas desentralisasi fiskal. Kedua tumpuan ini juga sangat erat kaitannya dengan
penyusunan prediksi penerimaan, karena penerimaan, baik pajak maupun non pajak harus mampu membiayai belanja APBN ini. Belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah dalam hal ini, sebaiknya diprioritaskan kepada jenis belanja yang secara simultan akan mempengaruhi komponen C dan I. Belanja modal untuk pembangunan sarana infrastruktur patut menjadi prioritas, sebab jenis belanja ini akan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya investasi (komponen “I”). Dengan masifnya pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur, terutama basic infrastructure akan menjadi faktor pengganda (multiplier effect) bagi pertumbuhan ekonomi, bukan hanya pada jangka pendek tahunan, tapi juga dalam jangka menengah 5 tahunan, maupun jangka panjang per dasawarsa. Kembali lagi, mengingat situasi perekonomian dunia yang diperkirakan masih jauh dari titik balik (rebound), maka upaya penguatan ekonomi domestik yang didukung dengan infrastruktur yang berkualitas dan dalam kuantitas yang memadai akan sangat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mandiri (self sustain). Selain itu, belanja pegawai dan belanja barang juga dapat menjadi andalan dalam jangka pendek untuk menaikkan konsumsi (komponen “C”). Di masa lalu, ditengarai komponen C inilah yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi utama dari Indonesia, karena Indonesia memiliki pasar konsumen yang sangat besar dengan tingkat daya beli yang berada di kuadran menengah. Peran belanja pegawai dan barang pemerintah ini dapat dilihat juga sebagai multiplier factors yang akan melipatgandakan konsumsi masyarakat secara luas. Mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik terbaru mengenai komponen yang membentuk PDB (Produk Domestik Bruto) sebagai perwujudan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Gambar 4. Komponen PDB Indonesia 2010-2015.
Sumber : BPS (2016)
dari pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat bahwa pada tahun 2015, komponen G tumbuh signifikan sebesar 5.38%. Walaupun secara agregat, sumbangan G ini tercatat sebesar 9.75% terhadap PDB, namun pengaruh G kepada C -yang tergambar sebagai Private Consumption ; tumbuh 4.96% ; sumbangan ke PDB 55.91%, dan Gross Domestic Fixed Capital Formation yang mencerminkan Investasi tumbuh 5.07% ; sumbangan ke PDB 33.19% - inilah yang perlu menjadi catatan penting. Gali, Valido, dan Salles (2002)4 mengungkapkan pola keterkaitan antara government spending dan consumption ini, dimana tingkat konsumsi akan naik apabila terdapat kenaikan belanja pemerintah.
deral Pajak untuk mewujudkannya. Dilihat dari data historis, penerimaan perpajakan ini terus dalam tren kenaikan, dimana pada tahun 2010, tercatat penerimaan pajak senilai Rp 628 Triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 1055 Triliun pada tahun 2015, atau meningkat 68% selama 5 tahun, atau 13.5% per tahun (Informasi Keuangan APBN 2016, Kemenkeu).
Gambar 5. Realisasi Penerimaan Pajak 2010-2015.
Rincian dari data realisasi penerimaan ini, dapat dibaca sebagaimana berikut :
Gambar 6. Realisasi Penerimaan Pajak PPh Non Migas, PPN dan PPnBM 2010-2015.
Bagaimana belanja ini dibiayai? Setelah melakukan exercise terhadap belanja dan asumsi makro untuk membentuknya, maka secara simultan perlu disusun asumsi prakiraan penerimaan yang digunakan untuk membiayai belanja tersebut. Sumber penerimaan negara masih didominasi dari penerimaan pajak, dimana secara historis sumbangan pajak mencapai 70-80% dari total penerimaan APBN, dimana di APBN 2016, sumbangan pajak ditargetkan mencapai 75% dari total penerimaan atau setara dengan Rp 1.360 Triliun (Informasi Keuangan APBN 2016, Kemenkeu). Jumlah ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah terutama Direktorat JenINFO RISIKO FISKAL
Gambar 7. Realisasi Penerimaan Pajak PBB dan PPh Migas 2010-2015.
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak (Data diolah)
45
O P I N I
O P I N I
Dari sajian data diatas, pajak PPh Non Migas, PPN dan PPnBM dalam tren yang positif, dapat diartikan bahwa perkembangan ekonomi global yang sedang mengalami tren penurunan tidak secara drastis mempengaruhi penerimaan pajak dari sub komponen PPn Non Migas, PPN dan PPnBM. PPh Non Migas ini terdiri dari Pajak-pajak sebagai berikut, lihat tabel 1. Dari data penerimaan tahun 2015, DJP mencatat bahwa pertumbuhan yang dicatatkan oleh PPh Non Migas didukung oleh pertumbuhan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, PPh Pasal 25/29 Badan, PPh Final, PPh Pasal 26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, serta PPh Pasal 22 Impor (DJP, 2016), dimana PPh pasal 25/29 Orang Pribadi naik sebesar 110% dan PPh pasal 25/29 Badan naik sebesar 21%, kemudian diikuti dengan PPh Final yakni 14,55%, PPh Pasal 21 yakni 8,86%, dan PPh Pasal 22, dengan pertumbuhan 9,36%. Data dan fakta ini mengindikasikan
bahwa basis penerimaan pajak mulai bergeser ke wajib pajak orang pribadi, setelah sekian lama bergantung kepada wajib pajak badan usaha. Sedangkan untuk PPN Dalam Negeri tercatat PPN Dalam Negeri tumbuh 8,94%, Penerimaan PPN/PPnBM Lainnya juga tumbuh 69,56%, dan penerimaan PBB tumbuh pula 18,99%. Sedangkan efek perubahan ekonomi global dirasakan dengan penurunan pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor sebesar 12,75%, penurunan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Impor sebesar 24,87%, dan penurunan pertumbuhan PPnBM Dalam Negeri sebesar 12,10% Data realisasi tahun 2015 ini kemudian menjadi benchmark penyusunan target penerimaan tahun 2016, dimana diproyeksikan penerimaan akan naik 3.9%. Keputusan yang sangat realistis bagi pemerintah, yang dapat dibaca, bahwa pemerintah cenderung untuk mempertahankan capaian penerimaan
Tabel 1. Jenis-jenis Pajak No. Jenis Pajak Keterangan 1 PPh Ps 21 Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri. PPh Ps 22 Pajak yang dipungut oleh dan sehubungan dengan : • Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; • Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. • Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah PPh Ps 23 Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. PPh Ps 25 PPh Pasal 25, Pajak penghasilan yang dikenakan apabila Wajib Pajak (baik Orang Pribadi atau Badan) menerima/memperoleh penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja atau mempunyai usaha bebas. PPh Ps 29 Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau Wajib Pajak Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan yang telah disetor sendir PPh Ps 26 Pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Luar Negeri. PPh Final Pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
46
perpajakan tahun 2015. Hal ini diperlukan untuk mengirim sinyal kepada masyarakat dan pelaku usaha, bahwa pemerintah tidak akan menerapkan kebijakan pajak yang justru akan membebani dunia usaha (overburdened). Diharapkan dengan pesan tersebut, masyarakat umum dan pelaku dunia usaha pada khususnya akan optimis untuk menjalankan kegiatan perekonomian, dimana kegiatan tersebut dalam framework teori Keynes akan menaikkan komponen C dan I. Ditambah dengan serapan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari G, maka pertumbuhan Indonesia (Y) akan tetap dapat mencapai target yang ditentukan, bahkan berpotensi dapat mencatat outlier pertumbuhan ekonomi, dengan besaran setara dengan Filipina, bahkan mungkin India. Semoga saja segenap komponen bangsa, kompak dan bersatu padu dalam kapal besar Indonesia ini, sehingga memudahkan nahkodanya untuk mengarahkan kapal ke tujuan yang dicita-citakan bersama, masyarakat adil, makmur dan sejahtera. n
Catatan Kaki 1 A radical change in China’s economic policy strategy would be needed for there to be a steep depreciation of the Chinese RMB, Economic Research, 20 August 2015No.642, Natixis 2 http://www.economist.com/ blogs/graphicdetail/2015/01/ daily-chart 3 http://statisticstimes.com/ economy/projected-worldgdp-ranking.php 4 https://www.ecb.europa.eu/ events/pdf/conferences/lopezsalido.pdf Understanding the Effects of Government Spending on Consumption
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 1 / TA H U N 2 0 1 6
Jaminan Pemerintah Untuk Mendukung Pengembangan Jaringan Distribusi Sumatera
P
ada tanggal 23 Mei 2016, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, menandatangani Perjanjian Jaminan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Dunia (World Bank) atas Pinjaman Langsung dari Bank Dunia kepada PT PLN (Persero) untuk membiayai pengembangan jaringan distribusi di Sumatera. Nilai pinjaman langsung tersebut sebesar $500 juta atau sekitar Rp6,5 triliun dengan menggunakan skema Program for Result (PforR). Pemberian jaminan atas pinjaman langsung dari Bank Dunia kepada PT PLN (Persero) merupakan jaminan kedua yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada PT PLN melalui skema pinjaman langsung, setelah sebelumnya jaminan juga diberikan untuk pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) untuk membiayai investasi jaringan kelistrikan di Sumatera. Pinjaman dari Bank Dunia tersebut merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan investasi jaringan distribusi di Sumatera yang nilainya diperkirakan mencapai $1,45 miliar atau setara Rp18,9 triliun dalam periode 2015 – 2019. Nilai investasi pada jaringan distribusi PT PLN tersebut ditujukan untuk mendukung program kelistrikan 35-Gigawatt, meningkatkan rasio elektrifikasi di Pulau Sumate-
ra, serta meningkatkan pelayanan kepada rumah tangga dalam memperoleh energi listrik. Skema pinjaman langsung yang digunakan adalah skema PforR yang karakteristiknya berbeda dengan tata cara pelaksanaan pinjaman Bank Dunia pada umumnya. Dalam skema ini, pencairan pinjaman dikaitkan dengan serangkaian indikator atau hasil yang harus dicapai oleh PT PLN (Persero) selama periode 2016 – 2019. Di samping itu, penggunaan dana pinjaman telah dapat menyesuaikan sistem yang berlaku di PT PLN (Persero), sehingga tidak lagi mengadopsi sistem Bank Dunia.
Perubahan skema tersebut memberikan fleksibilitas dan kecepatan proses pelaksanaan pinjaman yang juga dapat meningkatkan efisiensi pembiayaan. Dalam rangka pengelolaan risiko atas pemberian jaminan tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara akan melakukan review secara berkala atas risk mitigation plan yang dilaksanakan oleh PT PLN, memantau secara langsung pencapaian indikator yang diperjanjikan, serta melakukan monitoring cash flow dan escrow account PT PLN. n
s e k i l a s i n f o r i s i k o
mlmagz.com
Posisi Utang Pemerintah Pusat 2011 2011
Total Utang Pemerintah Pusat
I N F O u t a n g p e m e r i n t a h
1,808.95
2012 2012
1,977.71
2013
2014
2013
2014
2,375.50
2,608.78
2015 *)
Maret 2016
2015 *)
Maret 2016 3,236.61
3,098.64
(Dalam Triliun Rupiah)
April 2016 **) (Dalam Triliun Rupiah) Nominal %
April 2016 **)
3,279.28
100.0%
Nominal
%
a. Pinjaman Total Utang Pemerintah Pusat 1). Pinjaman Luar Negeri Bilateral a. Pinjaman Multilateral 1). Pinjaman Luar Negeri Komersial Bilateral Suppliers Multilateral 2). Pinjaman KomersialDalam Negeri
621.29 1,808.95 620.28
616.61 1,977.71 614.81
714.44 2,375.50 712.17
677.56 2,608.78 674.33
751.92 3,098.64 748.06
746.02 3,236.61 741.83
749.37 3,279.28 745.04
22.9% 100.0% 22.7%
381.66 621.29 212.96 620.28
359.80 616.61 230.23 614.81
383.53 714.44 288.29 712.17
334.62 677.56 292.33 674.33
337.83 751.92 359.97 748.06
340.28 746.02 352.12 741.83
347.30 749.37 349.08 745.04
10.6% 22.9% 10.6% 22.7%
Suppliers b. 2). Surat Berharga Negara Pinjaman Dalam Negeri Denominasi Valas ***) Denominasi RupiahNegara b. Surat Berharga
1.01 25.15
1.80 24.37
2.27 40.00
3.22 47.15
3.86 50.08
4.19 49.28
4.33 48.51
0.1% 1.5%
0.50 1,187.66 1.01 195.63
0.41 1,361.10 1.80 264.91
0.35 1,661.05 2.27 399.40
0.24 1,931.22 3.22 456.62
0.17 2,346.73 3.86 610.63
0.14 2,490.58 4.19 658.59
0.15 2,529.92 4.33 656.59
992.03 1,187.66
1,096.19 1,361.10
1,261.65 1,661.05
1,474.60 1,931.22
1,736.09 2,346.73
1,832.00 2,490.58
1,873.32 2,529.92
57.1% 77.1%
195.63 9,068
264.91 9,670
399.40 12,189
456.62 12,440
610.63 13,795
658.59 13,276
656.59 13,204
20.0%
25.15 381.66 0.50 212.96
Denominasi Valas Nilai Tukar Rupiah (IDR ***) thd US$1) Denominasi Rupiah
24.37 359.80 0.41 230.23
992.03
Catatan : *) Angka sementara, tidak termasuk Pre Funding Nilai Tukar Rupiah Accrued (IDR thd Interest US$1) sebesar Rp 40,82 Triliun 9,068 **) Tidak termasuk ***) Termasuk SUN Valas Domestik Catatan : *) Angka sementara, tidak termasuk Pre Funding **) Tidak termasuk Accrued Interest sebesar Rp 40,82 Triliun ***) Termasuk SUN Valas Domestik
40.00 383.53 0.35 288.29
47.15 334.62 0.24 292.33
50.08 337.83 0.17 359.97
49.28 340.28 0.14 352.12
48.51 347.30 0.15 349.08
1.5% 10.6% 0.0% 10.6%
0.0% 77.1% 0.1% 20.0%
1,096.19
1,261.65
1,474.60
1,736.09
1,832.00
1,873.32
9,670
12,189
12,440
13,795
13,276
13,204
57.1%
Indikator risiko Utang Pemerintah Pusat Interest Rate Risk 25.9 22.5 18.8 25.9
16.2 22.5
18.8
16.2
23.2 Rate Risk Interest 21.0 16.0 23.2 16.0
2011
2012
2011
2012
14.8 21.0 14.8
2013
Variable rate ratio [%]
2013
Variable rate ratio [%]
2014
Exchange Rate Risk 21.1 14.0 21.1 14.0
2015*)
19.2
45.1
44.4
45.1
44.4
2015*)
19.2
Apr-16**)
10.4
10.2
11.7
10.7
11.8
2011
2012
2011
2012
2011
2012
2013
2011
2012
2013
2014
2014
ATM (in years) **) Menggunakan asumsi PDB pada APBN 2016
11.0
2013
2014
2015*)
11.0
Apr-16**)
FX Debt to total debt ratio (%)
2014
2015*)
Apr-16**)
FX Debt to total debt ratio (%)
Debt Maturing 34.6
9.33
32.4 21.5 32.4
33.4
33.9
35.3
21.8 33.4
20.1 33.9
21.8 35.3
Debt Maturing
7.221.5
8.621.8
7.22012
8.6
9.33
2015*)
Apr-16**)
2015*)
Apr-16**)
8.2
2011
ATM (in years)
*) Realisasi Sementara
2013
FX Debt to GDP ratio (%) **)
22.7 34.6
9.28
42.7
11.8
8.222.7 9.32
43.9
10.7
FX Debt to GDP ratio (%) **)
Apr-16**)
9.73 9.28
43.4
11.7
Refixing rate [%]
9.60
42.7
10.2
9.73
9.70
43.9
10.4
Average9.60 Time To Maturity
9.32
43.4
12.7
Average Time To Maturity 9.70
46.7
12.7
Refixing rate [%]
2014
46.7
Exchange Rate Risk
2011
in < 1 year (%)
2012
in < 1 year (%)
2013
7.720.1
8.521.8
7.7
8.5
2014
in < 3 year (%)
2013
2014
in < 3 year (%)
33.8 23.9 33.8 23.9 7.9
7.9
2015*)
Apr-16**)
2015*)
Apr-16**)
in < 5 year (%)
in < 5 year (%)
*) Realisasi Sementara **) Menggunakan asumsi PDB pada APBN 2016
Sumber: Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat” DJPPR
PosisiPengelolaan Pengelolaan Kewajiban Kewajiban Penjaminan Posisi Penjaminan
Posisi Pengelolaan Kewajiban Penjaminan Posisi Pengelolaan Kewajiban Penjaminan
I N F O u t a n g
Proyeksi Jatuh Tempo Pokok Pinjaman Proyeksi Jatuh Tempo Pokok Pinjaman Yang Dijamin Pemerintah Pusat Dijamin Pemerintah PusatPusat Proyeksiyang Jatuh Tempo Pokok Pinjaman Yang Dijamin Pemerintah
Proyeksi 10,000.00
Jatuh Tempo Pokok Pinjaman Yang Dijamin Pemerintah Pusat
45.00
45.00 40.00 45.00 40.00 35.00 40.00
in billions in billions Rp Rp in billions Rp
10,000.00 9,000.00 10,000.00 9,000.00 8,000.00 9,000.00 8,000.00 7,000.00 8,000.00 7,000.00 6,000.00 7,000.00 6,000.00 5,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 2,000.00 1,000.00 2016 1,000.00 Proyek FTP 2 (USD Eq- IDR) 2016 Proyek FTP 1 (IDR) 4,554.89 Proyek FTP 2 (USD Eq IDR) 2016 Proyek FTP 1 (USD Eq IDR) 4,950.07 Proyek FTP 2 1 (USD (IDR) Eq IDR) 4,554.89 Proyek -ProyekFTP KPBU (USD Eq IDR) Proyek 1 Eq- RHS IDR) 4,950.07 Proyek FTP 1 (USD (IDR) 4,554.89 ProyekFTP PDAM (IDR) 29.05 Proyek FTP KPBU (USD Eq Eq IDR) IDR) 4,950.07 Proyek 1 (USD Proyek PDAM (USD (IDR) Eq - RHS Proyek KPBU IDR) 29.05 Proyek PDAM (IDR) - RHS
29.05
2017
2018
2019
2017 4,554.89 2017 4,950.07 4,554.89 -4,950.07 4,554.89 31.21
2018 3,851.47 2018 4,950.07 3,851.47 -4,950.07 3,851.47 39.58
2019 2,518.40 2019 4,950.07 2,518.40 -4,950.07 2,518.40 38.67
31.21
39.58
38.67
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2020 2021 2022 2023 2024 2025 1,124.95 975.40 667.85 667.85 667.85 667.85 2020 2021 2022 2023 2024 2025 4,950.07 4,392.97 3,537.80 2,665.41 1,923.93 495.16 1,124.95 975.40 667.85 667.85 667.85 667.85 ------4,950.07 4,392.97 3,537.80 2,665.41 1,923.93 495.16 1,124.95 975.40 667.85 667.85 667.85 667.85 33.07 26.64 26.64 13.70 13.29 2.78 4,950.07 4,950.07 4,950.07 4,950.07 4,392.97 3,537.80 2,665.41 1,923.93 495.16 31.21 39.58 38.67 33.07 26.64 26.64 13.70 13.29 2.78 -
33.07
26.64
26.64
2026 2026 2026 -
35.00 30.00 35.00 30.00 25.00 30.00 25.00 20.00 25.00 20.00 15.00 20.00 15.00 10.00 15.00 10.00 5.00 10.00 5.00 5.00 -
--2.78
-2.78 -
13.70 Buku 13.29 2.78 Utang2.78 Sumber: Saku “Profil Pemerintah Pusat” DJPPR
p e m e r i n t a h
Sosialisasi UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, Semarang, 27 April 2016
e x p o s u r e
Seminar Penugasan Khusus Ekspor Dalam Rangka Ketahanan Usaha, Semarang, 31 Mei 2016
Kunjungan lapangan ke PLTP Lahendong, Manado dalam rangka penerapan sytem binary cycle dan small scale pada PLTP, Manado, 26 Mei 2016
Penandatangann Perjanjian Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Proyek Palapa Ring, Aula Mezzanine Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, 29 Februari 2016
Workshop Sosialisasi PMK 189/PMK.08/2015 tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah atas Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN, Hermitage HotelJakarta, 26 Januari 2016
Kunjungan lapangan dalam rangka memantau perkembangan proyek PLTU Batang 2 x 1000 MW, Batang, 30 Mei 2016
e x p o s u r e