FORUM TARBIYAH
ISSN 1829-5525 Vol. 8, Nomor 2, Desember 2010 Halaman 131-260
JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
Daftar Isi Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi Kebijakan ..................................................... 131-152 Muslihudin Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga ........................... 153-164 Sopiah Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif .............. 165-180 Moh. Muslih Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran untuk Peningkatan Prestasi Belajar dan Motivasi Berprestasi) ... 181-192 Esti Zaduqisti Pemikiran Ibnu Sahnun tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an ...... 193-202 Ahmad Ubaedi Fathuddin Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan ............................................................................. 203-214 M. Sugeng Sholehuddin Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islam di Jawa Sampai Periode Perang Jawa .................................................... 215-230 Moh. Slamet Untung
ý¦Ìÿđ¥ ¬Č©Æ¯ U ¦Ą°Čũą ¬ċĆªĀ÷¥ «iÌ÷¥ Ely Mufidah /¬û¦ä÷¥ «ÆàĀ÷¥
..................................... 231-260
FORUM TARBIYAH JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
Penanggungjawab Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag Pengarah Zaenal Mustakim Pimpinan Redaksi Abdul Khobir Anggota Redaksi M. Sugeng Sholehuddin Sopiah Ahmad Ta‘rifin Maskhur Redaksi Ahli Jayadi (IAIN Sunan Gunung Djati Bandung) H. Dede Rosyada (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Sekretariat Sumiyati
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
131
DAYA SAING PENDIDIKAN: REVIEW ATAS PONDASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Muslihudin*
Abstract: The competitiveness of the global community of education deals with the problems of humanity. For that reason the development of curriculum should consider the major issues that developed in the global world. The curriculum that may be developed is an “eclectic” between humanistic approach, reconstruction of social and academic. Meanwhile, the learning approach can be implemented with “experiental learning”. From the government side should be put through categorization of the school on formal education, therefore the competitiveness of national education will experience acceleration. Kata kunci: daya saing, pendidikan, kebijakan.
PENDAHULUAN Naisbitt dan Aburdene mengamati beberapa kecenderungan perubahan masyarakat global atau masyarakat pasca industri yang kemudian lebih dikenal sebagai mega trends 2000 (Naisbitt & Aburdene, 1990). Kecenderungan tersebut meliputi; di bidang ekonomi terjadi pergeseran sektor dominan secara berurutan: mengikuti perubahan dari produksi pertanian ke industri yang menandai modernitas, terjadi pergeseran dari produksi indutri ke produksi jasa (sektor tertier), meliputi berbagai jenis pekerjaan dan profesi yang tidak terlibat langsung dalam proses produksi seperti: perdagangan, keuangan, *. IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Jln. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon 45132 Telp. (0231) 481264)
132
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
transportasi, pemeliharaan kesehatan, rekreasi, riset, pendidikan, administrasi, dan pemerintahan. Di bidang struktur kelas dan stratifikasi sosial berkembang kelas pemberi jasa yang berperan penting dalam masyarakat. Di dalam kelas pemberi jasa ini berkembang kelompok-kelompok teknisi dan profesional yang bekerja di bidang ilmu, riset dan pengembangan, dan “jasa kemanusiaan”, yakni pendidikan, kesehatan, kebudayaan, kesejahteraan sosial, dan rekreasi. Di bidang teknologi terjadi peningkatan teknologi intelektual baru (kemudian mengacu pada Hi-Tech) yang lebih dibutuhkan dalam memproses informasi ketimbang memproses bahan mentah dan energi. Di bidang dinamika masyarakat, terjadi pertumbuhan teknologi yang mampu berkembang sendiri. Di bidang sistem nilai dan kehidupan sehari-hari, pusat perhatian bergeser ke ilmu pengetahuan dan hasilnya melalui berbagai bentuk pendidikan permanen. Kemudian menghasilkan apa yang disebut masyarakat ilmu pengetahuan. Proses modernisasi yang revolusioner juga menyisakan sejumlah risiko. Ia melahirkan ketidakpastian sebagai akibat dari tindakan seseorang atau sekelompok orang dan memupuk bahaya yang terkadang tidak bisa diprediksi. Profil risiko dari proses modernisasi menunjukan kecenderungan menghawatirkan (Sztompka, 2005) dengan terjadinya karakter risiko yang meliputi: universalisasi risiko, yaitu kemungkinan baru bencana global yang membahayakan setiap orang terlepas dari kelas, etnis, dan kekuasaannya (misalnya perang nuklir, kehancuran ekologi), globalisasi risiko, yaitu perluasan risiko lingkungan terhadap sebagian besar umat manusia (misalnya pengaruh besar pasar minyak terhadap fluktuasi ekonomi secara global, pengambilalihan perusahaan atau privatisasi oleh pemilik modal dan kaum kapitalis), pelembagaan risiko, yaitu munculnya organisasi yang menjadikan risiko sebagai sasaran bisnisnya (misalnya bursa saham, perjudian, asuransi, perdagangan gelap senjata), refleksifitas risiko, yaitu kemunculan dan kedahsyatan risiko sebagai efek samping yang tidak dapat diharapkan, atau efek bumerang dari tindakan manusia (misalnya bahaya ekologi akibat baru dari pola kerja atau garis hidup modern bagi kesehatan dan peradaban manusia). Melihat kecenderungan demikian diperlukan suatu kajian ulang yang bersifat fundamental untuk menempatkan daya saing pendidikan berhadapan dengan berbagai kecenderungan yang bersifat problematis seperti dikemukakan di atas.
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
133
KURIKULUM PEMBELAJARAN; SEBUAH PENDEKATAN 1. Ciri-Ciri Kurikulum Adanya kecenderungan global yang bersifat problematik berimplikasi kepada perlunya pengembangan kurikulum dengan mempertimbangkan isuisu utama yang sedang berkembang di dunia global, serta sedapat mungkin melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Oleh sebab itu kurikulum harus mengakomodasi hal-hal berikut ini: a. Kurikulum yang menjamin terjadinya keseimbangan akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi antara negera maju dan berkembang. Bagi masyarakat maju dengan tingkat penemuan di bidang teknologi (technological invention) yang cepat telah mencapai derajat kemakmuran yang luar biasa yang kemudian menempatkan mereka sebagai subjek. Tetapi pada sisi lain, masyarakat di negara berkembang dengan tingkat melek teknologi (technological literacy) yang masih rendah, hanya berperan sebagai konsumen (user) dari teknologi yang sedang berkembang dan menempatkan mereka pada posisi sebagai objek. Hubungan antara subjek dan objek teknologi yang tidak seimbang ini telah melahirkan suatu kegamangan hidup dan perasaan teralienasi dari percaturan sosial budaya yang tengah berlangsung sehingga melahirkan mentalitas powerless dan daya saing rendah yang berujung pada produktifitas rendah. b. Kurikulum yang peduli terhadap lingkungan dan ketahanan ekologi. Ketahanan ekologi (ecological sustainability) telah menjadi kekhawatiran semua penduduk bumi. Pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran untuk memenuhi tingkat konsumsi manusia yang semakin meningkat telah menimbulkan ketidakseimbangan ekologi. Perubahan dramatis iklim dunia, serta pemanasan global, dan musnahnya sejumlah hutan sebagai paru-paru dunia telah membangkitkan kesadaran global untuk merencanakan ketahanan ekologi di masa mendatang (planning for sustainable future). c. Kurikulum yang mengembangkan semangat pluralisme. Pluralisme menginginkan kesempatan yang sama di dalam ruang publik dan kebebasan untuk berserikat dalam ruang budaya berbeda. Bagi Walter Feinberg (1996), pluralisme telah mendorong pentingnya pendidikan mulitkultural yang berakar pada tiga prinsip utama yaitu 1) persamaan dalam kesempatan memperoleh pendidikan (equality of educational
134
d.
e.
f.
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
opportunity), 2) kebebasan untuk berkumpul (freedom of association), karena ini adalah sarana untuk memelihara masyarakat demokratis, 3) pertumbuhan individu (individual growth), dalam hal ini seseorang bebas untuk mengembangkan talentanya. Sementara itu, tujuan pendidikan multicultural seperti dijelaskan Feinberg (1996) adalah; 1) providing students with information about the diversity within their own society; 2) encouraging respect for the practices of other cultural groups; and 3) helping students from disadvantaged minorities develove pride in their own cultural heritage. Kurikulum yang mengembangkan visi tatanan dunia baru (new world order) yang damai dan toleran. Semangat dan cita-cita tatanan dunia baru (new world order) pada dasarnya adalah kesadaran masyarakat internasional untuk hidup berdampingan secara damai, masyarakat tanpa kekerasan, masyarakat yang menghormati hak-hak asasi manusia yang berusaha mencapai tatanan kehidupan bersama secara harmonis. Cita-cita ini hanya bisa direalisasikan melalui proses pendidikan perdamaian sebagaimana diamanatkan deklarasi PBB tahun 1999. Seperti dikutip Ivan A. Hadar (2007) pendidikan perdamain memainkan peran kunci guna mengembangkan “budaya perdamaian” yang didefiniskan sebagai “sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup yang berbasis prinsip-prinsip non kekerasan dan toleransi (deklarasi PBB 1999). Kurikulum yang mengembangkan sensitifitas gender. Selama ini proses pendidikan mau tidak mau telah menghasilkan kultur hegemonic laki-laki atas kaum perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan secara tidak sadar telah melahirkan relasi subjek-objek atau relasi kuasa dan tuna kuasa di dalam masyarakat. Sejatinya, asumsi-asumsi yang bersifat dikotomis dan diskriminatif terhadap hubungan laki-laki dan perempuan hanya dibangun berdasarkan identifikasi perbedaan biologis (sexual determinate). Sebab secara psikologis atau sosiologis antropologis perbedaan antara laki-laki dan perempuan menjadi wilayah yang abuabu. Kurikulum yang mengembangkan visi masyarakt madani yang demokratis. Sebagai sebuah teori atau konsep, civil society memiliki beberapa karakteristik atau indikator yang melekat padanya. Civil society paling tidak memiliki empat cita-cita yaitu inklusifisme,
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
135
egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi. Sementara itu, yang ingin dibangun civil society adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik dan desentralistik dengan partisipasi publik lebih besar. Dari beberapa karakteristik ini, demokrasi merupakan ciri paling utama. 2.
Pendekatan Eklektik: Humanistik, Rekontruksi Sosial dan Akademik Kurikulum humanistik ini secara filosofis dilandasi oleh progressivisme, yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan progressif pragmatisme John Dewey dan Romanticisme-Naturalisme JJ. Rousseau. Kurikulum ini lahir dari kesadaran bangsa Amerika pentingnya kemampuan memecahkan masalah, kreatifitas dan inovasi bagi anak-anak (McNeil, 1990:4). Tujuan kurikulum disusun sedemikian rupa untuk menghasilkan peserta didik yang dengan pengalaman belajarnya mampu memiliki kepribadian yang utuh dan mandiri. Tujuan ini tentu saja dihubungkan dengan kondisi ideal pertumbuhan pribadi, integritas dan otonomi pribadi siswa (McNeil, 1990:6). Dalam hal ini, aktualisasi diri siswa merupakan jantung dari kurikulum humanistik ini. Kurikulum humanistik menekankan kepada integrasi, yaitu kesatuan pribadi secara utuh antara intelektual, emosional dan tindakan. Oleh karena itu, maka kurikulum humanistik harus dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dan utuh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Isi kurikulum (substansi bahan ajar) harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan yang akan datang. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan siswa sebagai peserta didik. Substansi bahan ajar juga disesuaikan dengan minat, bakat dan tingkat perkembangan siswa peserta didik. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau sudut orang lain, tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri. Organisasi kurikulum tidak mementingkan sekuens (urutan), sebab dengan sekuens yang kaku siswa tidak mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Sekuens dalam kurikulum humanistik harus mencakup elemen-elemen tentang nilai, konsep, sikap, dan masalah. Dari hal-hal tersebut disusun kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa mengembangkan elemenelemen itu. Peran guru adalah dalam membangun suasana yang hangat dan akrab yang memungkinkan siswa dapat mencurahkan perasaannya. Guru juga
136
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
berperan sebagai sumber belajar, yang mampu memberikan bahan pelajaran yang menarik serta mampu memperlancar proses pembelajaran, serta membantu dan mendorong siswa mengaktualisasikan diri. Tiga hal mendasar bagi guru humanistik seperti yang diinginkan muridnya yaitu; a) mendengarkan secara komprehensif pandangan murid atas realitas (“ia peduli perasaan dan pemahaman saya, apa yang ingin saya sampaikan dan apa yang rasa saya sulit untuk diekspresikan”), b) respek teerhadap siswa (“ia menggunakan ide saya untuk menyelesaikan masalah”), c) menjadi alamiah dan otentik tidak menekankan aspek permiukaan (“ia membiarkan kami tahu apa yang ia pikirkan”) (McNeil, 1990:8). Proses pembelajaran yang baik menurut kurikulum humanistik ini adalah manakala proses pembelajaran tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi yang dimilikinya, mengembangkan perasaan dan pikirannya untuk mengaktualisasikan dirinya. Pembelajaran humanistik mengkaitkan individual learning dengan social learning. (McNeil, 1990: 23). Evaluasi pembelajaran pada kurikulum humanistik ini lebih ditekankan pada proses belajar siswa. Kriteria keberhasilan ditentukan oleh perkembangan anak didik supaya menjadi manusia yang terbuka dan mandiri. Berbagai kegiatan yang dilakukan dievaluasi sejauhmana kegiatan tersebut mampu memberikan nilai untuk kehidupan masa yang akan datang. Siswa ditempatkan sebagai subyek belajar yang berusaha untuk belajar mandiri. Artinya, siswa harus didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan hanya sekadar menerima informasi dari guru. Kondisi lingkungan belajar dikondisikan agar dapat mendorong dan memfasilitasi berlangsungnya suasana pembelajaran yang hangat dan menarik, sehingga seluruh potensi siswa dapat berkembang. Kurikulum humanistik dibangun atas landasan filsafat progressivisme John Dewey. Pemikiran John Dewey dalam pendidikan dapat dirumuskan ke dalam empat poin penting yaitu; 1) keterkaitan antara pendidikan dengan demokrasi, 2) pertumbuhan (growth) sebagai tujuan pendidikan, 3) problem solving atau inquiri sebagai metode pendidikan, 4) pendidikan progressive sebagai pendekatan baru. Secara lebih khusus seperti dikutip oleh Miller dan Seller, John Dewey telah memberikan posisi dasar dan pandangan dasarnya tentang pendidikan yang diterbitkan untuk pertama kali tahun 1897 dalam artikel yang berjudul My Pedagogic Creed.
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
137
Kurikulum rekontruksi sosial tertarik pada hubungan antara kurikulum dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Penganut pandangan ini optimis bahwa pendidikan dapat memberikan efek perubahan sosial pada masyarakat (McNeil, 1990:29). Rekontruksi sosial muncul pada pemikiran kurikulum Amerika tahun 1920-1930 di tangan George Count, Theodore Brameld dan Harold Rugg. Theodore Bramel menggaris bawahi perbedaan rekontruksi sosial pada empat hal; 1) komitmen untuk membangun kultur baru, 2) masyarakat mampu bekerja mengendalikan institusi sosial dan sumber-sumber jika tatanan duni berada dalam demokrasi yang sesungguhnya, 3) sekolah tidak hanya membantu individu untuk mengembangkan hidup bersosialisasi tetapi belajar bagaimana berpartisifasi merencanakan kehidupan sosial secara lebihbaik, 4) siswa harus diyakinkan terhadap pentingnya perubahan melalui prosedur yang demokratis (McNeil, 1990: 30). Tujuan kurikulum rekontruksi sosial adalah menghadapkan siswa dengan berbagai problem yang dihadapi manusia. Bagi rekontruksi sosial problem ini bukan melulu objek sudi ilmu sosial tetapi bagian dari masalah seluruh disiplin ilmu. Kurikulum rekontruksi sosial tidak memiliki tujuan dan materi umum. Ia berisi misalnya pada tahun pertama memformulasikan tujuan untuk rekontruksi politik dan ekonomi. Aktifitas yang behubungan dengan tujuan ini meliputi; 1) survey kritis masyarakat, 2) kajian ekonomi lokal, nasional dan pandangan dunia, 3) kajian tentang pengaruh penyebab historik dan kecenderungan situasi ekonomi lokal, 4) menguji faktor politik berhubungan dengan ekonomi lokal, 5) mempertimbangkan proposal perubahan, 6) menentukan kebutuhan masyarakat yang diakomodasi proposal (Mcneil, 1990: 31). Peran guru menekankan kerja sama dengan masyarakat bersama-sama siswa untuk menemukan solusi masalah sosial. Menekankan pengalaman kelompok, kerja proyek, saling ketergantungan dengan konsensus masyarakat. Instruksional sequences biasanya melalui tahapan berikut; 1) identifikasi isu yang muncul sebagai problema, 2) mengkaji realitas kehidupan siswa termasuk akar penyebab problem, 3) mengkaitkan isu ke dalam institusi dans truktur masyarakat lebih besar, 4) mengkaitkan analisis sosial kepada visi iedal yang dimiliki siswa tentang dunia, masyarakat, 5)mengambil alih tangungjawab untuk menyesuaikan dengan visi ideal (McNeil, 1990: 34).
138
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Evaluasi meliputi spektrum kemampuan yang luas; artikulasi isu, hasil solusi yang mungkin, definisi ulang pandangan dunia, keinginan untuk beraksi dengan yang ideal. Kurikulum rekontruksi sosial dibangun atas pandangan filsafat pragmatis. Tokohnya adalah Alexander Pierce, WiliamJames, John Dewey. Charles Sander Peirce pertama kali membangun apa yang disebut pragmatism’s basic principle. Ia diantaranya merumuskan : “in order to ascertain the meaning of an intellectual conception one should consider what practical consequences might conceivably result by necessity from the truth of that conception; and the sum of these consequences will constitute the entire meaning of the conception” (Power, 1982:123). Bagi Peirce, practical consequence (konsekunesi praktis) menjadi criteria pragmatis (pragmatic criterion) terhadap apa yang ia sebut sebagai meaning (makna) dan truth (kebenaran) suatu idea atau konsep. Theorinya tentang realitas diinspirasi oleh teori evolusi. Makna evolusi bagi Peirce adalah “nothing more nor less than the working out of a definite end” (Power, 1982), menurut Peirce keberadaan realitas dalam kondisi berkembang secara natural (natural development). Theory Peirce dalam Power (1982: 124) tentang kebenaran sangat kompleks, ia membaginya kepada tiga katagori; kebenaran transenden (transcendent truth) yang ia maknai sebagai which belongs to things as things, kebenaran kompleks (complex truth) yang ia maknai sebagai the validity of proposition, kebenaran logika (logical truth) yang ia maknai sebagai the conformity of positions with reality. Peirce menolak kebenaran absolute tetapi ia mengakui kebenaran objektif yang ia maknai sebagai conformity of something independent of his (man’s thinking) it to be so or of any man opinion on the subject. Theory Peirce tentang etika (ethical theory) sama beratnya dengan teorinya tentang kebenaran. Etika menurut Peirce adalah a normative science with but one central aim; to look forward to conduct or to action. Dasar dari ethical conduct Peirce ia rumuskan dalam kata-kata “what am I to aim, what am I after”. William James tokoh ke dua pragmatisme menjadi perumus pragmatisme yang sebenarnya. James diapresiasi oleh ahli sebagai tokoh yang mengkompromikan secara sempurna konflik antara rasionalism (where ideas alone are real) dan empirism (where only matter has existence). William James
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
139
menempatkan pragmatism hanya sebagai metode (Power, 1982:126). Hal ini Nampak dalam pernyataannya seperti dikutip Edward J. Power: “to attain perfect clearness in our thoughts of an object we need only consider what conceivable effects of a practical kind the object may involve – what sensations we are to expect from it, and what reaction we must prepare. Our conception of these effects, whether immediate or remote, is then for us the whole of our conception of the object, so far as that conception has positive significance at all”.
Ada beberapa kata kunci yang dapat kita identifikasi dari pernyataan James atas pragmatisme yaitu; pentingnya efek praktis suatu objek, perlunya mempersiapkan reaksi menghadapi efek, konsepsi kita terhadap kebenaran keseluruhan objek tergantung efek praktis objek itu apakah memiliki makna positif atau tidak. Kurikulum akademik yang menekankan kepada subjek matter terprogram, bersifat spesialis dalam berbagai bidang akademik. Mengacu kepada hasil kerja Jerome Bruner tentang curriculum design yang didasarkan atas structure academic disciplines. Konsep structure academic disciplines ditetapkan dalam tiga posisi, antara lain: 1. Organizatinal structure (bagaimana disipline membedakan secara mendasar satu dengan yang lainnya yang juga menunjukan batas bidang kajian disiplin). 2. Substantive structure (ragam pertanyaan untuk menanyakan bidang kajian, terdiri dari data dan ide-ide (konsep, prinsip dan teori) untuk menginterpretasi data. 3. Syntactial structure (pola yang masing-masing data dikumpulkan, pernyataan test, penemuan generalisasi) (McNeil, 1990:73). Tujuan kurikulum akademik adalah mengembangkan pemikiran rasional, membekalai siswa untuk melakukan riset. Kurikulum akademik meyakini bahwa siswa yang mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan metode-metode untuk mengembangkan intelektual lebih lanjut dapat belajar mengembangkan pemikiran dan mengendalikan selera mereka. Sekolah menekankan prestasi akademik mampu berpikir sebagai ekonom, sejarawan, matematikawan fisikawan dan yang lainnya. Metode pembelajaran menekankan kepada metode ekspositori dan inquiry. Bersumber kepada textbook dan pertanyaan faktual serta melatih level-level proses kognitif (McNeil, 1990:85).
140
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Kurikulum terorganisasi. Organisasi kurikulum bertujuan a) menghubungkan pengalaman belajar ke dalam bebagai bidang pembelajaran (integration), b) menjamin bagian-bagian bidang terbangun berurut satu sama lain (sequence). Hasil pembelajaran diukur melalui kompetensi akademik dengan keterampilan yang luas meliputi: 1. Reading (kemampuan menginterpretasi makna yang disimpulkan penulis secara baik) 2. Writing (kemampuan menulis kembali untuk berbagai tujuan dan berbagai pembaca) 3. Mathematic (kemampuan memformulasikan dan menyelesaikan problem dengan cara logis atau menggunakan terma matematika) 4. Reasoning (kemampuan menggambarkan kesimpulan secara rsional dari informasi yang ditemukan dari berbagai sumber) 5. Studying (kemampuan menerima kritik kosntruktif dan belajar dari kirtik itu) (McNeil, 1990:88). Evaluasi sesuai dengan bidang studi; essay, multiple choice dan ragam evaluasi yang bersifat pencil and paper test. Filsafat yang mendasari kurikulum akademik adalah filsafat esensialisme. Esensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang merupakan kombinasi filsafat idealisme dan realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing Aliran ini mendasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, di samping mendasarkan pada lingkungan sosial. Pandangan inti essentialism seperti dikutip George F. Kneller (1971:58) adalah: 1) learning, of its very nature, involves hard work and often unwilling application (belajar, meskipun bersifat alamiah, melibatkan usaha keras dan sering diluar harapan), 2) the innitiative in education should lie with the teacher rather than with the pupil (insiatif dalam pendidikan harus bersumber dari guru dibanding siswa), 3) the heart of the educational process is the assimilation of prescribed subject matter (jantung proses pendidikan adalah asimilasi materi yang sudah tersedia), 4) the school should retain traditional methods of mental discipline (sekolah menerapkan metode disiplin mental tradisional).
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
141
William Bagley tokoh essensialis seperti dikutip Kenneth T. Henson (tt, : 84) mengatakan bahwa “the purpose of school is to stabilize society by teaching that knowledge which is essential. This would require mastery of subject such as reading, writing, arithmetic, history and English which are essential to prepare students for productive live. The teaching of this subjects should be organized from the simple to the complex and from the concrete to the abstract”. Dalam kajian Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins (2009: 56) esensialisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Philosophical base, mengacu kepada filsafat idealism dan realism b. Aim of education, mendorong pertumbuhan intelektual seseorang; mendidik siswa untuk menjadi kompeten (to promoto the intelectual growth of the individual; to educate the competent person). c. Konowledge, keterampilan esensial dan subjek akademik; menguasai konsep-konsep dan prinsip-prinsip materi pembelajaran (essential skills and academic subjects; mastery of concepts and principles of subject matter). d. Role of education, guru memiliki otoritas pada area materi tertentu; secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai tradisional (teacher is authority in particular subject area; explicit teaching of traditional values). e. Curriculum focus, keterampilan esensial (“three Rs”) dan subjek esensial (bahasa Inggris, sain, sejarah, matematika dan bahasa asing) (essential skills (three Rs) and essential subjects (english, science, history, math, and foreign language)). f. Related curriculum trends, kembali ke dasar, melek budaya, hebat dalam pendidikan (back to basic, cultural literacy; excellence in education). 3.
Pendekatan Pembelajaran Untuk pembelajarannya menggunakan experiental learning (belajar melalui pengalaman atau mengalami). Menurut kamus Webster‘s experiential adalah “the actual living through of aon event or events”. RMIT Teaching and Learning Unit sebuah lembaga pengembangan belajar Australia seperti dikutip Lang and Evans (2006) mendefinisikan experiental learning sebagai “experiences that are designed and chosen for their ability to extend and challenge student thinking in a broad range of capabilities”. Karakteristik experiental learning adalah; 1) siswa aktif terlibat dalam proses belajar, 2)
142
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
mereka bekerja dan belajar pada situasi yang realistik, 3) belajar dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ragam kemampuan yang berbeda; memperoleh pengetahuan, mengasimilasi, membuat pengetahuan baru, pemahaman yang mendalam, pengembangan pribadi, kemampuan memecahkan masalah, belajar bagaimana belajar (Lang and Evans, 2006). David Kolb seorang tokoh experiental learning meyakini bahwa siswa membutuhkan empat kemampuan atau mode belajar yaitu; 1) concrete experience, siswa harus terlibat secara penuh ke dalam pengalaman baru, 2) reflective observation, siswa mesti mengobservasi pengalaman-pengalaman atau mendapatkan pengujian atas pengalaman-pengalaman, menganalisis dan melakukan refleksi pengalaman yang membawanya kepada pengalaman sebelumnya, 3) abstract conceptualization, siswa membangun abstraksi, membuat konsep dan generalisasi secara logis, 4) active experimentation, siswa mesti memanfaatkan teori baru secara nyata membuat keputusan untuk memecahkan masalah (Lang and Evans, 2006: 382). Thesis Kolb tentang experiental learning seperti dikemukakan di atas memiliki dua dimensi pening yaitu; pertama melibatkan “concrete experiences” di satu sisi, dan berakhir pada “abstract conceptualization” pada sisi lain, kedua “active experimentation” di satu sisi, dan berujung “reflective observation” pada sisi lain. Bagi Kolb konflik di antara empat mode belajar ini akan mengintegrasikan berlangsungnya level kretivitas tingkat tinggi dengan tingkat pertumbuhan siswa. Sebab menurut Kolb mode ini mengintegrasikan fungsi-fungsi organisme siswa secara total; berpikir, merasa, mempersepsi dan melakukan. Jones and Pfieffer (1979) seperti dikutip Lang and Evans (2006: 385) menyajikan lima tahapan yang ia sebut sebagai experiental learning cycle yaitu; 1. Experiencing (an activity occurs). Ini adalah tahapan pertama dimana seorang siswa atau kelompok terlibat interaksi dengan lingkungan atau dengan yang lain. Proses ini menghasilkan infromasi dan menggiring kepada pembentukan feelings (merasakan). 2. Sharing (reaction and observation shared-publishing). Pada tahapan ini siswa mengingat kembali apa yang telah dialami, melaporkan apa yang mereka lihat dan bagaimana mereka merasakaannya. Di bagi di antara anggota kelompok. Tujuannya menyediakan data untuk analisis lanjutan. Observasi dan reaksi dapat dilakukan dengan berbagai cara;
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
3.
4.
5.
143
menulis laporan, laporan lisan, email dll. Analyzing (menentukan pola dan dinamisasi-processing). Ini adalah tahapan kunci yang melibatkan pembicaraan mengenai pengalaman atau perasaan yang telah dilaporkan. Ini mesti dilakukan secara sistematis teknisnya dapat dengan; melihat tema umum, mengklasifikasi pengalaman, melengkapi pertanyaan, menemukan terma kunci, menemukan pola. Inferring (prinsip-prinsip yang diperoleh-generalizing). Tahapan ini menjawab pertanyaan “lalu bagaimana?’. Ia menyimpulkan bagaimana merumuskan apa yang telah dipelajari melalui pengalaman dan analisis serta generalisasinya untuk diaplikasikan dalam konteks yang baru. Applying (planning to use learning in new situation-the future). Tahapan ini mentransfer pengetahuan baru ke dalam aplikasi.
Secara ringkas experiental learning terjadi ketika; siswa terlibat dalam aktivitas, mengemukakan apa yang terjadi (yang dialami), melihat dibalik peritiwa secara kritis, memperoleh pemahaman bermakna dari analisi kritis, meletakan hasil dalam kerja (konkret) (Lang and Evans, 2006: 386). MODEL KEBIJAKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN UNTUK DAYA SAING PENDIDIKAN Kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan nasional untuk melakukan katagorisasi terhadap sekolah jalur pendidikan formal adalah salah satu upaya untuk mendorong percepatan daya saing pendidikan nasional. Sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menetapkan kebijakan tentang pengkategorian sekolah berdasarkan tingkat keterlaksanaan standar nasional pendidikan ke dalam kategori standar, mandiri dan bertaraf internasional, telah banyak sekolah yang berusaha merespon kebijakan tersebut dan mengimplementasikannya secara bertahap. Dalam penjelasan Pasal 11, Ayat 2 dan Ayat 3 Peraturan Pemerintah dijelaskan bahwa dengan diberlakukannya Standar Nasional Pendidikan, maka Pemerintah berkepentingan untuk memetakan sekolah/ madrasah menjadi sekolah/madrasah yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan sekolah/madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam sekolah kategori mandiri
144
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
(SKM), dan sekolah/ madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar. Mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ada Standar Nasional Pendidikan yang harus dipenuhi yaitu; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan). Pemerintah telah menetapkan bahwa satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa paling lambat pada tahun 2013 semua sekolah jalur pendidikan formal khususnya di SMA/MA sudah/hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang berarti berada pada kategori sekolah mandiri. Untuk menuju terpenuhinya delapan Standar Pendidikan Nasional tersebut setiap sekolah mulai mengadakan penyesuaian secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga ada sekolah yang baru memasuki tahap rintisan, tahap potensial, tahap standar, tahap mandiri sampai puncaknya adalah sekolah bertarap internasional. Secara umum seperti dijelaskan oleh Ditjen. Manajemen Dikdasmen (2008) tujuan dari program rintisan SKM/SSN adalah: 1) mendorong sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan agar mencapai kondisi memenuhi/ hampir memenuhi standar nasional pendidikan, 2) memberikan arahan upayaupaya yang harus dilakukan sekolah untuk dapat memenuhi/hampir memenuhi standar nasional pendidikan, 3) memberikan pendampingan kepada sekolah untuk mewujudkan SKM/SSN dalam kurun waktu tertentu, 4) menjalin kerjasama dan meningkatkan peran serta stakeholder pendidikan di SMA baik ditingkat pusat dan daerah dalam mengembangkan SKM/SSN, dan 5) mendapatkan model/rujukan SKM/SSN. Program rintisan SKM/SSN terdiri dari beberapa kegiatan yaitu identifikasi profil sekolah berdasarkan data yang dijaring melalui inventarisasi kondisi sekolah; penyusunan program kerja rintisan SKM/SSN oleh sekolah; penilaian, penyempurnaan dan penyepakatan program kerja melalui asistensi dan sinkronisasi program; dan supervisi dan evaluasi hasil pelaksanan program rintisan SKM/SSN.
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
1.
145
Pengembangan Kurikulum SKM, SSN dan SBI Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum nasional yang bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani kebutuhan siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa. Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2) ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan khusus (Dit. Pembinaan SMA, Ditjen. Manajemen Dikdasmen, 2008). Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI dan SKL yang berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan standar kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan. Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kriteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut, (3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir (Munandar, 2001 dalam Dit. Pembinaan SMA, Ditjen. Manajemen Dikdasmen, 2008). Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri. Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan uraian di atas adalah kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.
146
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum (MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan pribadi yang memiliki akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara yang baik. MPD harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang tertentu yang dipilih sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi di perguruan tinggi. Namun, mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh peserta didik yang telah memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya. Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka sekolah perlu menunjuk petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar setiap peserta didik dan menyimpannya dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal yang ditetapkan. Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik maksimum 16 orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta didik memilih mata pelajaran yang akan diambil pada suatu semester, memilih program jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara umum serta menjawab pertanyaan akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik yang pada suatu semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan studi dalam rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya. 2.
Model Pembelajaran SKM, SSN dan SBI Mutu kegiatan belajar-mengajar akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan SKM/SSN. Oleh karena itu, kegiatan belajar-mengajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dirancang dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat dicapai hasil percepatan
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
147
belajar secara optimal, dan sebaliknya. Seperti dikemukakan Caroll dan Bloom (1974) bahwa banyak peserta didik yang memiliki bakat, minat, kemampuan dan kecerdasan luar biasa, bahkan sebaliknya maka dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar dapat diterapkan pelayanan individual dan pelayanan kelompok. Pemberian layanan secara individual membawa implikasi dalam manajemen yakni penambahan tenaga, sarana dan dana. Oleh karena itu dilakukan gabungan antara layanan individual dan kelompok, dengan pengertian bahwa pada umumnya layanan pendidikan diberikan pada kelompok peserta didik yang memiliki kemampuan dalam matapelajaran yang sama. Meskipun kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok, penilaian terhadap kemajuan hasil belajar merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta didik. Kecuali penilaian yang dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan belajar/ hasil kerja kelompok. Model pembelajaran yang dilaksanakan saat ini mengacu pada prinsipprinsip yang dikemukakan Bruner (Munandar, 2001) yaitu memberikan pengalaman khusus yang dapat dipahami peserta didik; pengajaran diberikan sesuai dengan struktur pengetahuan/keilmuan sehingga peserta didik lebih siap menyerapnya; susunan penyajian pengajaran yang lebih efektif dan dipertimbangkan ganjaran yang sesuai. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada SKM/SSN tidak hanya ditekankan pada pencapaian aspek intelektual saja, melainkan dalam pembelajaran perlu diciptakan kegiatan dan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua dimensi dalam pendidikan, seperti: watak, kepribadian, intelektual, emosional dan sosial. Sehingga diharapkan tercapai kemajuan dan perkembangan yang seimbang antara semua dimensi tersebut. Strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar. Strategi ini harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai antara lain metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif. Pembelajaran model hafalan pada pembelajaran program siswa yang memiliki kemampuan lebih sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
148
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Dari pemaparan di atas sesungguhnya pembelajaran yang terjadi merupakan impelemntasi dari model Dick dan Carey dimana peran guru atau tugas utama guru adalah sebagai perancang pembelajaran, dengan peranan tambahan sebagai pelaksana dan penilai kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain strategi belajar mengajar yang terapkan dalam mengajar pada SKM/ SSN bukan hanya menekankan pada aspek intelektual saja melainkan pada juga pada proses kreatif dan berpikir tinggi dalam bentuk strategi belajar yang bervariasi yang harus diciptakan oleh guru secara kreatif. Menurut Arends (2008) seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting. Ketiga aspek ini antara lain: 1. kepemimpinan, 2. pemberian instruksi melalui tatap muka dengan peserta didik, 3. bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua. Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek tersebut harus terpadu. Pada aspek kepemimpinan, banyak peran guru sama dengan peran pemimpin yang bekerja pada tipe organisasi lain. Pemimpin diharapkan mampu merencanakan, memotivasi, dan mengkoordinasi pekerjaan sehingga tiap individu dapat bekerja secara independen, dan membantu memformulasi serta menilai pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus merancang dan melakukan pekerjaan secara efisien, kreatif, tampil menarik dan berwibawa sebagai seorang aktor di depan kelas, serta hasilnya harus memenuhi standar kualitas. Pada aspek pemberian instruksi, guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas melalui tatap muka menyampaikan informasi dan mengarahkan apa yang harus dilakukan peserta didik. Pada apsek ini hal yang perlu diperhatikan adalah unsur konsentrasi atau perhatian peserta didik terhadap uraian materi yang disampaikan guru. Pada umumnya perhatian penuh peserta didik berlangsung pada 5 sampai 10 menit pertama, setelah itu perhatiannya akan turun. Untuk itu guru harus berusaha menjaga perhatian peserta didik, misalnya dengan memberi contoh penggunaan materi atau konsep yang diajarkan di lapangan. Pada aspek kerja sama, untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal guru harus melakukan kerjasama dengan peserta didik, kolega guru, dan orang tua. Masalah yang dihadapi guru dapat berupa masalah di kelas, atau masalah individu peserta didik. Masalah di kelas dapat didiskusikan dengan
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
149
guru lain yang mengajar di kelas yang sama atau yang mengajar mata pelajaran sama di kelas lain. Masalah individu peserta didik dibicarakan dengan orang tua peserta didik. Dengan demikian semua masalah yang terjadi di kelas dapat diselesaikan. Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena ada interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam dan di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik (Arends, 2008). Model pembelajaran tradisonal terdiri atas ceramah atau presentasi, instruksi langsung, dan pengajaran konsep. Model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik atau konstruktivis terdiri atas belajar kooperatif, instruksi berbasis masalah, dan diskusi kelas. Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pada model pembelajaran sekolah mandiri, yaitu : 1. pembelajaran, dan 2. evaluasi. Peran utama guru di sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik. Teknik pembelajaran adalah bagian dari setiap metode, dan beberapa metode digabung menjadi strategi, yang merupakan kombinasi kemampuan dan keterampilan guru untuk menerapkan metode dan strategi pembelajaran. Teknik yang banyak digunakan antara lain: 1. menyampaikan informasi, 2. memotivasi, 3. memberi penguatan, 4. mendengarkan, 5. memberi dan menjawab pertanyaan, dan 6. pengelolaan. Strategi pembelajaran adalah kombinasi metode yang berurutan dan dirancang agar peserta didik mencapai standar kompetensi. Strategi formal yang dikembangkan berdasarkan penelitian pembelajaran yang efektif dan menekankan pada hasil belajar yang lebih tinggi adalah: 1.
Pengajaran aktif : fokus akademik, pembelajaran diarahkan oleh guru dengan menggunakan bahan yang terstruktur dan berurutan.
150
2. 3.
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pembelajaran masteri : suatu pendekatan diagnostik individu pada pembelajaran di mana peserta didik melakukan pembelajaran dan diuji sesuai dengan kecepatannya untuk mencapai kompetensi. Pembelajaran kooperatif : penggunaan tutor sebaya, pembelajaran grup, dan kerjasama untuk mendorong peserta didik belajar.
Model pembelajaran pada SKM/SSN menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik agar mampu belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas. Strategi untuk memotivasi peserta didik membangun komunitas belajar tersebut meliputi: 1. meyakini potensi peserta didik, 2. membangun motivasi intrinsik, 3. menggunakan perasaan positif, 4. membangun minat belajar peserta didik, 5. membangun belajar yang menyenangkan, 6. memenuhi kebutuhan peserta didik, 7. mencapai tujuan pembelajaran, dan 8. memfasilitasi pengembangan kelompok. Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SKM/SSN adalah: 1. Berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar. 2. Menggunakan berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar. 3. Proses pembelajaran bersifat kontekstual. 4. Interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif. 5. Menekankan pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik 6. Dilakukan melalui kelompok belajar dan tutor sebaya. 7. Mengalokasikan waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik 8. Melaksanakan program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif. SIMPULAN Daya saing pendidikan nasional menjadi cita-cita segenap bangsa Indonesia. Untuk meningkatkan daya saing pendidikan nasional memerlukan kekuatan sinergi antara kebijakan di wilayah hulu dan implementasi di wilayah hilir. Daya saing pendidikan nasional dapat terwujud jika pola pengembangannya tidak bersifat pragmentaris, tetapi sedapat mungkin bersifat holistik dan berangkat dari visi bersama tentang pendidikan nasional bangsa ke depan. Visi yang dibangun hendaknya bukan semata-mata kesadaran terhadap ketertinggalan bangsa dari negeri jiran atau bangsa lain di dunia, tetapi berangkat dari kesadaran terhadap nilai fundamental, nilai historis, dan
Daya Saing Pendidikan: Review Atas Pondasi dan Implementasi...
151
konteks Indonesia baik secara geografis maupun demografis. Dengan demikian visi pendidikan nasional serta kebijakan daya saing pendidikan nasional betulbetul lahir dari suasana kebatinan bangsa Indonesia menhadapi tantangannya di masa mendatang. Dalam hal ini kebijakan daya peningkatan daya saing pendidikan mengakar pada fondasi filosofis yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa atau suatu sistem nilai yang telah berurat berakar pada bangsa Indonesia yang dielaborasi sebagai philosopical input pendidikan nasional. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Akbar S. 1993. Posmodernisme; Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung. Allan C. Ornstein & Francis P. Hunkins. 2009. Curriculum, Foundations, Principles and Issues. New York: Pearson International Edition. Feinberg, Walter. 2005. The Goals of Multicultural Education: A Critical Reevaluation, http: //www.ed.UIUC.edu/EPS/PES_yearbook/96_docs/ #fnl, tgl. 2 Juni. Hadar, Ivan A. 2007. Budaya Perdamaian. KOMPAS. 12 Januari. Helmut R. Lang & David N. Evans. 2006. Models, Strategies and Methods for Effective Teaching. Boston: Perason. Henson, Kenneth T. (tt). Curriculum development for Education Reform. New York: Longman. John D. McNeil. 1990. Curriculum A Comprehensive Introduction. Scott, Foresman/Little, London: Brown Higher Education. Kneller, George F. 1971. Introduction to The Philosophy of Education. New York: John Wiley & Son. _______, (editor). (tt). Foundations Of Education. New York: John Wiley and Sons. Naisbit , John & Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000. London: Sidgwick. Power, Edward J. 1982. Philosophy of Education; Studies in Philosophies, Schooling, and Educational Policies. New Jersey: Prentice Hall. Richard I. Arends. 2008. Learning To Teach; Belajar untuk Mengajar. Edisi ke 7. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Schubert, William H. 1986. Curriculum; Perspective, Paradigm and Possibility. New York: Macmillan Publishing Company. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
152
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
153
REFORMULASI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Sopiah* Abstract: Education by parents to their children in the family has a very important position, especially in modern times as present, where external influence is very heavy and diverse. Our children are much influenced by both positive and negative influences. Lastly, the worrying effect at this goge era, the influence of electronic, printed and communication media is very influential on the development of children, moreover those means are more sophisticated, faster and easier. Our children can learn, access and search for any information easily. Meanwhile parents do not have a free opportunity to educate, guide and direct them, then it is the time for parents to realize it, turn to the belief that education in the family is important, should be prioritized for our children’s optimal development purposes in terms of the formation of perfect beings. Kata kunci: keluarga, pendidikan, anak.
PENDAHULUAN Di Negara kita, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat (UU No 20 Tahun 2003). Menurut pendapat seorang ahli pendidikan, Langeveld bahwa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan ada tiga macam, yaitu lembaga keluarga yang mempunyai wewenang yang bersifat kodrati, lembaga Negara yang mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang dan lembaga gereja yang *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
154
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
mempunyai wewenang yang berasal dari amanat Tuhan (Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006:224). Hampir senada dengan itu tokoh pendidikan di Indonesia, RM Soewardi Soerjaningrat yang lebih di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara berpendapat tentang tricentra pendidikan. Tricentra atau tiga pusat pendidikan yang sangat penting ini meliputi alam keluarga yang membentuklembaga pendidikan keluarga, alam perguruan yang membentuk pendidikan sekolah dan alam pemuda yang membentuk lembaga pendidikan msyarakat (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991:171-172). Sidi Gazalba (1970: 2627) berpendapat bahwa yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan adalah rumah tangga, sekolah dan kesatuan sosial. Rumah tangga merupakan pendidikan primer pada masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah, pendidiknya orang tua, sanak kerabat, family, saudara-saudara, teman sepermainan dan kenalan pergaulan. Sekolah, merupakan pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai usia masuk sekolah, pendidiknya adalah guru yang professional. Sementara kesatuan sosial merupakan pendidikan tersier, sebagai pendidikan terakhir tapi bersifat permanen, pendidiknya adalah kebudayaan, adat istiadat dan suasana masyarakat setempat. Dari beberapa pendapat di atas jelasnya bahwa pada umumnya para ahli sepakat bahwa pendidikan itu diselengggrakan di dalam keluarga, selain di sekolah dan di masyarakat. Maka pendidikan keluarga sanat penting tetap di laksanakan, sebagai dasar yang penting sebelum anak-anak kita memasuki pendidikan di sekolah dan di masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan oleh masing-masing keluarga menjadi landasan untuk keberlangsungan dan kesuksesan pendidikan anak-anak bangsa. Semakin kokoh landasan pendidikan pendidikan yang dimiliki anak, akan semakin kokoh pula bangunan pendidikan yang selanjutnya.Sebaliknya semakin rapuh landasan pendidikan yang dimiliki anak, semakin rapuh pula pendidikan selanjutnya. Dalam kehidupan modern di abad 21 ini pendidikan keluarga seakan dipandang tidak berharga lagi. Masyarakat dunia pada umumnya, Indonesia khususnya seperti mabuk kepayang dengan mencukupkan pendidikan anakanak cucunya di sekolah (baca pendidikan formal). Pendidikan keluarga dilaksanakan sekadarnya saja, sisa-sisa tenaga kedua orang tua yang modern yang sehari semalam disibukkan dengan dunia kerja, usaha dan bisnis untuk menyambung hidup keluarga, untuk sekolah anak-anak bahkan untuk memperkaya dan membangun prestise keluarga, sehingga terpandang sebagai keluarga yang mapan, keluarga kaya dan keluarga dengan atribut-atribut yang
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
155
membanggakan tujuh keturunan. Sungguh memprihatikan, betapa banyak keluarga yang tega mengabaikan pendidikan Islam di lingkungan keluarga, atau minimal menyederhanakan dan menganggap sepele pendidikan keluarga. Sejatinya pendidikan Islam dalam keluarga begitu sangat penting. Ungkapan keluarga sebagai “pendidikan pertama dan utama” memang sangat penuh makna yang bijaksana. Betapa tidak anak anak dan cucu kita tumbuh dan berkembang pertama pada lingkungan pendidikan keluarga. Bagaimanapun umat Islam memandang kalau anak lahir dengan fitrah yang suci, kalau keadaan keluarga dan pendidikan Islam tidak diarahkan dengan baik, maka potensi dan pengembangan fitrah tersebut akan mengalami hambatan yang berarti. Mengapa demikian? Kita sangat maklum di satu sisi anak anak dan cucu kita belajar baik pada lembaga bimbingan yang bonafid, tetapi siraman rohani dan kesalehan sosial tidak kita asahkan, maka pendidikan anak-anak dan cucu kita menjadi gersang, verbalisme dan hanya untuk meraih nilai formal di raport, nilai administrasi yang buta mata dan budek telinga, jauh dari terasah tajamnya hati, lebih banyak mendengar dan lebih banyak melihat dengan hati yang tulus, terlebih bila disesuaikan dengn aplikasi perbaikan tingkah laku yang mencerminkan tepat dan cerdasnya satu tindakan.. PENDIDIKAN KELUARGA Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di definisikan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyuntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Jalur pendidikan yang ada di Indonesia meliputi pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya pendidikan anak bangsa. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, 2006:73), dengan demikian pendidikan keluarga, perlu di lakukan dengan sebaik-baiknya karena merupakan aturan agama dan juga aturan negara yang berlaku di Indonesia, sebaliknya kalau pendidikan dalam keluarga tidak dilakukan dengan baik,
156
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
maka semestinya merupakan satu kesalahan, menyalahi aturan yang berlaku, baik agama maupun negara. Dalam Islam pendidikan berfungsi untuk membimbing dan dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas hidup di muka bumi sebagai abdullah, yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak Allah, mengabdi hanya kepada Allah maupun sebagai khalifah Allah, baik menyangkut pelaksanaan tugas ke khalifahan terhadap diri sendiri, rumah tangga, masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap alam (Muhaimin, 2004:24). Sementara itu, pendidikan dalam keluarga merupakan bagian dari pendidikan Islam, pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama yang sangat penting bagi anak-anaknya. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tua yang menentukan bagaimana keberagamaan anak itu melalui pendidikan dan pembentukannya. Orang tua, terutama ayah dan ibu harus menyadari hal ini sepenuhnya. REPOSISI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang identik dengan kata “keluarga” yaitu kata usrah, nasl, ’ali dan nasb. Dalam bahasa Inggris keluarga diistilahkan dengan “family”(Echols dan Shadily, 2003:232). Dalam ajaran Islam keluarga dapat terbentuk melalui keturunan, perkawinan, persusuan dan pemerdekaan. Keluarga inti biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada beberapa kewajiban orang tua terhadap anak yang sesuai dengan ajaran Islam dalam al-Qur’an (Tim Depag RI, 1988: 55-56), di antaranya: Mendoakan ke arah yang baik, menyusui sampai usia dua tahun, memelihara anak dari api neraka, menyerukan shalat, menciptakan kedamaian dalam rumah tangga, mencintai dan menyayangi anak, bersikap hati-hati terhadap anakanak, mencari nafkah yang halal dan mendidik anak agar berbakti kepada orang tuanya. Menurut Al-Nahlawi (1979:123-127) kewajiban orang tua dalam pendidikan anak-anaknya adalah: menegakkan hukum-hukum Allah Swt. pada anaknya, merealisasikan ketentraman dan kesejahteraan jiwa keluarga, melaksanakan perintah agama dan perintah Rasulullah dan mewujudkan rasa cinta kepada anak-anak melalui pendidikan.
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
157
Kewajiban orang tua yang merupakan hak-hak anak tersebut pada dasarnya sangat berkaitan dengan pola dan materi pendidikan dalam keluarga. Pola pendidikan informal memang memiliki ciri khas yang berbeda dengan pendidikan formal di sekolah. Keluarga adalah tempat bernaung yang nyaman bagi anak-anak, maka semestinya anak-anak merasakan pendidikan di dalam keluarga dengan nyaman sehingga pendidikan dapat di terima anak dengan hati terbuka. Pendidikan dalam keluarga dilaksanakan dengan segenap cinta dan kasih sayang orang tua. Tidak ada orang tua yang berharap anaknya berakhlak budi pekerti yang tidak baik. Menurut Ibnu Jauzi yang dikutip M.Athiyah al-Abrasyi (1990:106) bahwa pembentukan yang utama itu di waktu kecil. Apabila seorang anak dibiarkan melakukan sesuatu yang kurang baik, dan menjadi kebiasaannya, orang tua akan sukar meluruskannya. Ini berarti bahwa pendidikan budi pekerti yang tinggi wajib di mulai di rumah (dalam keluarga). Sejak anak masih kecil harus dididik dengan kebiasaan yang baik sehingga anak-anak terbiasa berbuat baik. Kebiasaan baik yang terpelihara lebih utama dari pada merubah kebiasaan yang tidak baik menjadi baik. Penanaman kebiasaan yang baik dan budi pekerti yang mulya idealnya dilakukan pertama dan utama dalam pendidikan keluarga. Orang tua yang berorientasi dan memfokuskan pendidikan pada pendidikan formal, menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada pendidikan sekolah sesungguhnya telah keliru, karena dengan alasan apa pun pendidikan keluarga adalah landasan untuk kesinambungan pendidikan pada masa berikutnya di lembaga mana pun anak berpendidikan. Pendidikan di sekolah, terutama pendidikan “agama” tidak mencukupi bila tidak dibarengi dengan pendidikan keluarga yang dilakukan di rumah. Dengan demikian, sudah saatnya para orang tua memosisikan kembali pendidikan keluarga sebagaimana mestinya. Pendidikan keluarga yang didasari dengan kesadaran orang tua bahwa posisi pendidikan ini sangat penting, niat orang tua mendidik sesuai ajaran agama dan norma masyarakat dan suasana pendidikan pada keluarga yang mendukung dengan semua itu diharapkan pendidikan keluarga akan berpengaruh secara signifikan dalam membentuk manusia berbudi luhur, mengembalikan anak-anak kita ke martabat yang baik yang selalu dicita-citakan oleh bangsa ini.
158
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
POLA PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil di bawah kepemimpinn orang tua, ayah dan ibu. Keluarga ideal adalah keluarga yang lengkap, antar anggotanya harmonis serta menjadi naungan dan pengayom bagi anak-anak dan cucu, tempat yang nyaman untuk berteduh dari hingar bingarnya lingkungan luar. Semua orang berharap keluarga yang dibangun mengarah ke “keluarga ideal”, keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, seperti dicita-citakan oleh setiap pasangan yang mulai berumah tangga. Menurut A Scheneiders (1964: 405) keluarga ideal ditandai dengan ciriciri :Minimnya perselisihan antar orang tua atau orang tua dengan anak, ada kesempatan untuk menyatakan keinginan, penuh kasih sayang, penerapan disiplin yang tidak keras, ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berpikir, berperasaan dan berperilaku, saling menghormati dan menghargai di antara orang tua dengan anak, ada musyawarah keluarga dalam memecahkan masalah, terjalinnya kerjasama antara orang tua dengan anak, orang tua memiliki emosi yang stabil, berkecukupan dalam bidang ekonomi dan mengamalkan nilai-nilai moral dan agama. Sebagian kejahatan yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia di dominasi oleh anak-anak muda. Hal ini didukung oleh fakta bahwa dalam 80% penghuni penjara adalah anak-anak muda. Hal itu karena mereka kurang mendapatkan contoh yang baik dalam keluarga ataupun lingkungan. Dalam hal ini yang paling berperan adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan media bersemainya bibit kehidupan (Muladi, 2007:52). Dalam menyoroti perilaku anak-anak dan remaja saat ini yang tidak sedikit terkena penyakit dekadensi moral, seperti terjadinya pergaulan bebas, sikapnya yang kurang hormat kepada guru dan orang tua, para orang tua harus betul-betul menaruh perhatian pada anakanak dan remaja.Orang tua terutama para ibu hendaknya selalu berusaha mendekatkan anak-anak dan remaja kita pada pendidikan agama, karena pendidikan agama di sekolah belum cukup untuk membimbing mereka untuk menjadi anak yang memiliki budi pekerti luhur atau akhlakul karimah. Menurut R. Covey yang dikutif Yusuf (2005:48), ada empat (4) prinsip peranan keluarga, yaitu: modelling (uswah/teladan), mentoring (pelindung), organizing (pengatur) dan teaching (pengajar). Dari empat peranan yang diungkapkan R. Covey ini, pendidikan keluarga hendaknya dilakukan dengan luwes, dengan “ pola demokratis”, karena selain orang tua menjadi teladan , orang tua juga pelindung, pengatur dan pengajar. Orang tua yang bijak bisa
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
159
menentukan kapan harus menekankan disiplin, kapan memberi kebebasan anak untuk bisa berkreativitas, bagaimana bertindak dan berperilaku di hadapan anak, sehingga anak berkembang dengan baik dan seimbang. Peranan keluarga ini sangat penting dalam membangun kepribadian anak. Bila peranan ini dilakukan dengan baik, anak akan tumbuh kembang dengan baik pula. Sebaliknya, apabila peranan keluarga ini tidak berfungsi, maka tumbuh kembang anak pun tidak optimal, terutama dalam perkembangan mental dan kepribadian anak. Anak yang diberi teladan yang baik, perlindungan, pengaturan dan pengajaran yang juga baik dari keluarganya relatif perkembangannya baik. Dengan demikian orang tua dituntut untuk menjadi pendidik yang memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya, memberikan sikap dan keterampilan yang memadai, memimpin dan mengatur kehidupan keluarga, memberikan contoh teladan yang baik bagi keluarga dan bertanggung jawab dalam kehidupan keluarga, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Anak-anak yang tumbuh berkembang dan dibesarkan dalam keluarga yang baik akan berkembang relatif baik, sebaliknya anak yang tumbuh kembang dan di besarkan dalam keluarga yang kurang menepati fungsi keluarga dengan sendirinya akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang semestinya. Contoh kasus anak yang sangat tergantung pada orang tuanya atau minder dan lain-lain. Meminjam istilah dari Hawari (1997:163-165) keluarga yang tidak berperan dengan baik adalah keluarga yang mengalami “disfungsi”. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi memiliki risiko yang lebih besar untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya seperti anti sosial dari pada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan utuh.. Menurut Hawari ciri keluarga yang mengalami disfungsi adalah sebagai berikut: kematian salah satu atau kedua orang tuanya, kedua orang tua berpisah atau bercerai, hubungan kedua orang tua tidak baik, hubungan orang tua dengan anak tidak baik, suasana rumah tangga tegang, tanpa kehangatan, orang tua sibuk dan jarang ada di rumah, salah satu atau kedua orang tua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan. UPAYA PERBAIKAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Untuk memperbaiki keadaan keluarga yang mengalami “disfungsi” perlu dipertimbangkan untuk memosisikan kembali pendidikan Islam dalam keluarga
160
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
sebagai pondasi pertama dan utama. Bagaimanapun anak lebih banyak memungkinkan untuk dibangun karakter kepribadiannya melalui pendidikan yang baik dalam keluarga. Secara sosial anak akan mengalami perubahan karena beragam pengaruh dari luar keluarga termasuk lingkungan sekolah. Akan tetapi, kalau pendidikan Islam dalam keluarga memadai, anak akan terhindar dari pengaruh yang kurang baik, minimal kalau sudah terlanjur terpengaruh, pengaruh itu hanya sepintas saja, tidak akan mewarnai karakter yang sudah terbangun kokoh, karena warna dari karakter kepribadian yang Islami akan mampu memfilter segala sesuatu yang datang sebagai pengaruh yang kurang baik. Upaya yang bisa dilakukan secara dini untuk memperbaiki pendidikan keluarga di antaranya: Mulailah membangun rumah tangga dengan niat yang baik, memilih calon suami atau isteri lebih diutamakan karena faktor “ agama” atau seaqidah, perhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan baik, hubungan antar anggota keluarga diusahakan selalu harmonis, orang tua konsisten dalam mendidik anak, berikan perhatian yang cukup untuk keluarga, berikan dasar-dasar pendidikan agama dalam keluarga, orang tua memperhatikan lingkungan pergaulan anak dan orang tua selalu menberi contoh teladan dalam berbuat baik. Menurut al-Abrasyi (1990:109) sifat meniru pada anak memiliki pengaruh yang besar dalam pengajaran dan pendidikan budi pekerti dan akal. Meniru merupakan satu faktor yang penting bagi pembentukan kebiasaan anak-anak. Anak-anak suka meniru orang tuanya, saudaranya, teman-temannya, dan lingkungannya. Adapun dasar–dasar pendidikan yang diberikan dalam keluarga meliputi dasar pendidikan budi pekerti/akhlak terpuji, dasar pendidikan dan keterampilan sosial, dasar pendidikan kecerdasan intelektual, dasar pendidikan agama dan pembiasaan yang baik. Dari landasan pendidikan yang diberikan keluarga ini diharapkan anak akan tumbuh kembang secara baik, perkembangan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan spiritualnya pun dapat berkembang positif, sesuai tujuan pendidikan perspektif ajaran Islam. Dasar-dasar pendidikan budi pekerti berkaitan dengan dua hal. Pertama berkaitan dengan pengenalan dan pembiasaan melakukan budi pekerti/ akhlakul karimah, yang kedua berkaitan dengan pengenalan dan pembiasaan untuk meninggalkan budi pekerti/akhlakul maghmumah. Karena orang tua merupakan modelling atau teladan,maka hendaklah pembiasaan ini dilakukan secara konsisten, bertanggung jawab dan berkesinambungan. Tidak mudah
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
161
misalnya untuk berlaku konsisten, kadang antara ibu dan bapak saja menyikapi berbeda terhadap sesuatu yang dilakukan anak, belum lagi lingkungan keluarga yang lain. Semua pendidikan yang dilaksasakan di keluarga memang harus didasari kesadaran yang baik dari orang tua, terutama ayah dan ibu bahwa semua yang dilakukan merupakan investasi bagi keberhasilan pendidikan anakanaknya. Dasar-dasar pendidikan yang berkaitan dengan keterampilan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan amaliah sosial anak dan hubungan sosial. Dasar-dasar ini sangat berkaitan dengan” norma” atau aturan masyarakat yang berlaku di satu tempat. Dalam hal ini diperlukan juga pengenalan dan pembiasaan yang berkaitan dengan perilaku sosial. Tidak mudah menjadikan seseorang memiliki keterampilan sosial yang baik, bila tidak dibiasakan dilatihkan sejak dini. Sejak kanak-kanak,anak-anak mulai bergaul dan berhubungan sosial baik dengan anggota keluarga yang lain, teman sebaya, guru dan orang tua. Tentu saja bila dasar-dasar pendidikan sosial ini dilaksanakan dengan baik, akan tercermin dalam perilaku sosial anak. Anak bisa memosisikan diri, tahu diri dan sadar diri sehingga dalam kesempatan apa pun dan dengan siapa pun anak akan berperilaku selaras dan sesuai norma, pandai bergaul, sikapnya tepat sesuai dengan siapa dia berhadapan. Ulwan (1990: 1-2) mengistilahkan pendidikan ini dengan “pendidikan kemasyarakatan’, yaitu pendidikan anak sejak dini agar terbiasa melakukan tata krama sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber dari akidah Islamiah yang abadi dan emosi keimanan yang mendalam agar di msyarakat anak berpenampilan dan bergaul dengan baik, sopan, ajeg, matang akal dan bertindak bijak. Menurut Ulwan pendidikan ini merupakan bagian dari tanggung jawab para pendidik dan orang tua. Pendidikan ini meliputi penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia, pemeliharaan hak-hak orang lain, melaksanakan tata krama sosial yang berlaku umum dan kontrol serta kritik sosial. Adapun dasar-dasar pendidikan kecerdasan intelektual, ini berkaitan dengan kecerdasan nalar. Pendidikan dalam keluarga harus dilaksanakan dengan mengembangkan kecerdasan anak berkaitan dengan pemanfaatan pemikiran akal, penajaman analisis dan kemampun untuk problem solving, disamping pendidikan yang mencerdaskan emosional dan spiritual anak. Kemampuan ini akan dimulai dari hal yang sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dari perkembangan kemampuan mengingat maupun
162
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
berpikir. Kecerdasan emosional bisa dikenalkan dan dilatihkan kepada anakanak melalui dimensi-dimensi kecerdasan emosial, seperti kesadaran diri, pemahaman diri, motivasi yang tinggi, empati dan keterampilan sosial. Dimensidimensi ini yang dibiasakan-dilatihkan, sehingga anak tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang cerdas secara emosional. Adapun kecerdasan spiritual akan lebih baik bila dikaitkan dengan pendidikan agama, sehingga pendidikan yang diberikan lebih terarah. Yang tidak kalah penting dasar-dasar pendidikan agama dan pembiasaan yang baik dari orang tua. Dasar –dasar pendidikan agama paling tidak berkaitan dengan dasar-dasar ilmu aqidah, dasar-dasar ilmu syariah, dasar-dasar ilmu tasawuf dan akhlak. Dengan ilmu aqidah anak-anak diharapkan bisa memiliki keyakinan terhadap agama Islam, sehingga bisa mengamalkan keberagamaan dan muamalah berdasar syariah, menghiasi diri dengan dasar tasawuf dan akhlak Islam yang terpuji. Kalau akhlak anak-anak sekolah di era mbah google ini sudah sangat memprihatinkan, bagaimana dengan anak-anak yang tidak bisa bersekolah, mungkin lebih parah. Dalam hal ini maka ada pertanyaan besar, bagaimana sesungguhnya pendidikan (terutama pendidikan agama) di lakukan di tiap keluarga? Bagaimanakah posisi pendidikan ini? Jangan-jangan pendidikan semacam ini sudah tidak diprioritaskan, sudah agak di sepelekan, orang tua terlalu sibuk dan “tidak memiliki waktu yang cukup” ataukah mungkin pendidikan keluarga dianggap tidak penting lagi? ataukah ini satu indikasi kegagalan pendidikan keluarga, baik yang berkaitan dengan dasar-dasar pendidikan budi pekerti, dasar-dasar pendidikan sosial, maupun dasar-dasar pendidikan agama. Begitu juga dengan “pembiasaan”, satu kata kunci yang cukup penting dalam pendidikan Islam yang dilakukan di keluarga, karena pembiasaan dalam melakukan yang baik atau meninggalkan yang tidak baik sesuatu yang sangat tertanam dan terbenam di hati dan perilaku anak, mewarnai perilku anak pada masa-masa pendidikan dan kehidupan selanjutnya. Pembiasaan sangat berkaitan dengan perilaku orang tua pada keseharian. Orang tua yang terbiasa melakukan hal-hal yang baik, tidak akan terlalu sulit untuk melakukan pembiasaan yang baik kepada anak-anaknya, karena anak-anak pada dasarnya selalu melakukan peniruan (immitation) kepada lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Orang tua menjadi “teladan” (modelling) dalam segala hal, maka orang tua harus selalu konsisten dalam melakukan segala hal, sehingga anak-anakpun konsisten dalam melakukan peniruan dan pembiasaan dalam melakukan hal yang baik. Anak-anak tidak akan ragu untuk meniru-
Reformulasi Pendidikan Islam dalam Keluarga
163
meneladani orang tua mereka, karena orang tua mereka memang meyakinkan untuk di teladani perilakunya. Bila orang tua tidak melakukan yang baik, bagaimana bisa menjadi “teladan yang baik” bagi anak-anaknya? Ironis memang bila banyak orang tua berharap anak-anak dan keturunannya menjadi orang yang baik dan berbudi luhur, sementara mereka tetap melakukan hal yang kurang baik di hadapan anak-anaknya. Bila seperti itu yang terjadi, maka pendidikan keluarga yang kita lakukan tidak efektif, karena tidak dibarengi dengan teladan yang baik dari orang tua. Anak-anak akan relatif bimbang, apalagi dipihak lain pengaruh lingkungan begitu mendesak mereka. SIMPULAN Dasar–dasar pendidikan yang dilakukan pertama kali di keluarga merupakan landasan pendidikan yang sangat penting bagi keberhasilan pendidikan anak selanjutnya. Pendidikan keluarga dalam ajaran Islam merupakan pendidikam pertama dan utama, hendaknya dilakukan dengan konsisten, luwes dan penuh kasih sayang. Pendidikan yang dilaksanakan di keluarga minimal meliputi dasar-dasar pendidikan budi pekerti dan akhlak al-karimah, keterampilan sosial, kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, pendidikan agama dan pembiasaan yang baik. Di zaman yang serba modern ini, pendidikan Islam yang diselenggarakan keluarga harus diposisikan kembali sebagai pondasi pendidikan, sesuatu yang luar biasa penting, landasan pendidikan yang akan menentukan bangunan pendidikan pada masa berikutnya. Pembiasaan merupakan satu kata kunci yang penting dalam pendidikan keluarga. Pembiasaan yang baik sangat didukung dengan teladan yang baik dari orang tua. Tanpa teladan yang baik dari orang tua, pembiasaan tidak bisa dilakukan secara optimal..
DAFTAR PUSTAKA A. Schneiders, Alexander. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Winston. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Al-Abrasyi, M.Athiyah. 1990. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta :Bulan Bintang.
164
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1979. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha. Beirut: Dar al-Fikr. Hawari, Dadang. 1997. Al-Quran, Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. M.Amir, Saliun. 2010. “ Ibu Guru Besar yang Pengusaha”. Rindang. Desember. MuhaImin, et. all. 2004. Paradigma Pendidikan Islam- Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Muladi, “Keluarga Benteng Pertahanan Nasional”. 2007. Psikologi Plus. Volume II Nomor 6. Desember. Nashih Ulwan, Abdullah. 1990. Pendidikan Anak Menurut Islam, Pendidikan Sosial Anak. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Tim Depag RI. 1998. Islam untuk Disiplin Antropologi. Jakarta: P3AIPTU. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Jakarta: Citra Umbara. Yusuf LN, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
165
PEMBELAJARAN MORAL MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF Moh. Muslih*
Abstract: The development of moral learning through cooperative learning aims to produce students who are good, having moral, who understand, and able to exercise the rights and obligations both as a human being living in society as well as citizens of Indonesia. Assessment of moral learning through cooperative learning is relevant and necessary in the era of globalization which demands competition and impacts on the emerging attitude of exclusivism, permisivisme, and secularism. Cooperative learning has some advantages not only in boosting student academic achievement, but can also encourage the social aspects of treatment such as respecting others, empathy with others, cooperate with others and reduce the various negative aspects of competition, as well as able to give impressions on some other positive behaviors. However, to implement cooperative learning takes good preparation and planning therefore teaching and learning process can be carried out effectively and efficiently. Kata kunci: pembelajaran moral, pembelajaran kooperatif, pelajar.
PENDAHULUAN Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode belajar kelompok. Mereka telah membagi para siswa dalam kelompok dan memberikan tugas kelompok. Namun, guru-guru ini mengeluh karena hasil kegiatan-kegiatan ini tidak seperti yang mereka harapkan. Siswa bukannya *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
166
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
memanfaatkan kegiatan tersebut dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka, tetapi mereka justru memboroskan waktu dengan bermain, bergurau, dan sebagainya. Para siswa pun mengeluh tidak bisa bekerja sama dengan efektif dalam kelompok. Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar dengan metode cooperative learning. Keinginan baik para guru untuk mengaktifkan para siswa perlu dihargai. Namun, para guru perlu dibekali dengan sedikit latar belakang, landasan pemikiran, dan penerapan metode pembelajaran gotong-royong untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dilaksanakan adalah metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Metode ini biasa disebut juga metode gotong royong. Sifat pembelajaran kooperatif tidak sama dengan belajar kelompok atau belajar bekerja sama biasa. Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa dituntut untuk bekerja dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan oleh guru, sehingga seluruh siswa harus bekerja aktif. Pengkajian pembelajaran kooperatif sangat relevan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, apalagi kalau dikaitkan dengan berbagai life skill yang harus dikuasai siswa untuk menjalani hidup di masyarakat di era globalisasi sekarang ini. KONSEP DASAR PEMBELAJARAN KOOPERATIF Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran moral. Lickona (1997) berpendapat bahwa strategi pembelajaran kooperatif merupakan suatu usaha yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan moral atau karakter para pelajar. Terdapat beberapa konsep dasar tentang pembelajaran kooperatif. Secara umum, pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil pelajar yang dapat memberikan peluang kepada para pelajar untuk berinteraksi sesama mereka dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran teman-teman dalam satu tim mereka, selain pembelajaran mereka sendiri di dalam proses pembelajaran. Salah satu definisi pembelajaran kooperatif menekankan pada dua hal penting, yaitu kelompok kecil dan bekerja sama. Kedua hal ini merupakan komponen mendasar yang saling berhubungan untuk mewujudkan pembelajaran kooperatif. Pendapat ini sebagaimana definisi yang telah
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
167
diberikan oleh Johnson dan Johnson (1991) adalah merujuk pada satu tim pembelajaran dengan menggunakan kelompok kecil untuk belajar. Melalui kelompok kecil ini, setiap pelajar perlu bekerja sama antara sesama anggota dalam kelompok baik untuk diri sendiri maupun kelompok. Satu kelompok kecil yang bekerja sama belum dapat dikatakan sebagai pembelajaran kooperatif apabila tidak ada pondasi yang dapat membina kerja sama melalui proses interaksi yang mudah dipahami untuk menyukseskan keberhasilan kelompok. Kesuksesan kelompok ini merupakan elemen utama dalam pembelajaran kooperatif. Pendapat ini sebagaimana telah diberikan oleh Slavin (1990) bahwa pembelajaran kooperatif adalah pelajar akan bersedia membantu teman dalam kelompok sekiranya mereka menghendaki kelompok mereka sukses. Selain itu, sesama teman berupaya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pelajar yang lain pada waktu menerangkan konsep yang sangat kompleks dan sulit. Selanjutnya, Slavin (1990) memberi penekanan pada tujuan kelompok dan kesuksesan kelompok. Tujuan dan kesuksesan kelompok hanya dapat dicapai jika semua anggota dalam kelompok mempelajari tujuan yang dipelajari. Prinsip dasar pembelajaran koperaratif ini menekankan pada semua anggota dalam kelompok untuk mempelajari tujuan pembelajaran untuk mencapai kesuksesan kelompok. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran secara tradisional, sebab pembelajaran kooperatif merupakan teknik pembelajaran kelompok dengan memberikan kesempatan pelajar untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan meningkatkan perkembangan sosial, etika dan pemikiran dalam berbagai cara yang tidak diberikan dalam teknik pembelajaran dengan struktur kompetitif individualistik dan teknik pembelajaran resitasi secara tradisional. Namun demikian, Slavin, et al. (1990) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif hanya akan berkesan apabila mempunyai tiga ciri, yaitu pertama, ganjaran kelompok. Ciri-ciri ganjaran kelompok, pelajar akan diberikan ganjaran apabila kelompok mereka mencapai lebih daripada kriteria tertentu yang ditetapkan. Semua kelompok menerima ganjaran yang sama, misalnya simbol berupa sertifikat untuk pencapaian. Ganjaran yang dikatakan oleh Slavin bukanlah angka. Setiap pelajar hendaknya berusaha mendapatkan angka masing-masing. Pemberian ganjaran kelompok merupakan cara yang terbaik untuk mendorong para pelajar terlibat secara inten dalam aktivitas kelompok.
168
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Kedua, tanggung jawab individu. Ciri tanggung jawab individu bermakna kesuksesan kelompok sangat bergantung pada pembelajaran individu semua anggota dalam kelompok. Dengan kata lain, kelompok tidak akan mendapatkan kesuksesan dengan usaha individu tertentu saja. Tanggung jawab individu mendorong pada anggota-anggota kelompok untuk mengajar dan membimbing anggota yang lainnya serta semua anggota bertanggung jawab untuk menguasai pelajaran. Ketiga, peluang yang sama untuk memperoleh kesuksesan. Ciri peluang yang sama bermakna semua pelajar tanpa mempertimbangkan latar belakang prestasi tinggi, sedang dan rendah mempunyai peluang yang sama untuk memberikan kontribusi peningkatan pencapaian kelompok mereka untuk menjadi yang terbaik. Ini bermakna kontribusi semua anggota kelompok akan dihargai dan diapresiasi. Ketiga cara ini merujuk pada kaidah “pembelajaran tim pelajar” yang diperkenalkan oleh Slavin dan teman-teman. Sebaliknya, Kagan (1992) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif bukan sekadar bekerja sama, tetapi mewujudkan ketergantungan yang positif dan terstruktur. Kelompok pelajar dapat dikatakan sebagai kelompok kooperatif apabila memenuhi lima ciri yang telah ditekankan. Beliau merujuk pada teknik belajar bersama. Kelima ciri berikut dianggap penting untuk memastikan kelancaran kerja kelompok. Ciri pertama, saling bergantung secara positif. Saling bergantung secara positif, maksudnya perasaan di kalangan satu kelompok pelajar bahwa apa yang membantu seorang anggota dalam kelompok akan dapat membantu anggota-anggota lain dalam kelompok dan perasaan yang menyakitkan pada anggota akan menyakitkan semua anggota kelompok tersebut. Oleh karena itu, pelajar harus bekerja sama di dalam satu kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa kerja sama antaranggota, kelompok tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Ciri kedua, proses interaksi secara langsung. Proses interaksi secara langsung maksudnya adalah interaksi terjadi secara langsung di antara anggota pelajar dalam kelompok dalam proses pembelajaran kerja sama. Model interaksi yang demikian ini menjadi elemen utama dalam pembelajaran kooperatif. Anggota kelompok pelajar melakukan kerja sama melalui berbagai gagasan tentang bahan pembelajaran dan saling menolong serta memberi dorongan antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
169
Ciri ketiga, tanggung jawab individu dan kelompok. Tanggung jawab individu dan kelompok maksudnya adalah satu kelompok bertanggung jawab mencapai tujuan dan setiap individu bertanggung jawab memberi kontribusi kerja yang selayaknya. Oleh karena itu, perlu ada satu pedoman untuk menentukan kemajuan satu kelompok dan mengetahui secara pasti tentang usaha setiap anggota dalam kelompok. Ciri keempat, keterampilan interpersonal. Keterampilan ini perlu untuk memberikan peranan kelompok untuk berfungsi dengan baik dan maksimal. Sebagai contoh, perlunya ada kepemimpinan yang dapat memberikan kesan dan dampak positif, keterampilan untuk membuat keputusan, mewujudkan kepercayaan sesama anggota, komunikasi yang berkesan dan keterampilan untuk menyelesaikan konflik yang muncul di dalam kelompok. Ciri kelima, proses kelompok. Pelajar dalam kelompok kecil mendiskusikan bagaimana mereka menyelesaikan secara baik terhadap berbagai tugas dan mencapai tujuan mereka. Mereka perlu saling membantu di antara mereka untuk mencapai tujuan tersebut. Implementasi pembelajaran kooperatif di dalam kelas terdiri dari berbagai etnik, diantara ciri-ciri yang diperlukan untuk menyukseskan kerja secara kelompok. Ciri pertama, dari segi pembentukan dan pengelolaan kelompok. Pembelajaran kooperatif berbeda dibandingkan dengan kerja kelompok tradisional yang tidak mempunyai struktur yang khusus. Pembelajaran kooperatif mempunyai panduan tertentu untuk menentukan ukuran jumlah pelajar dalam kelompok, pemilihan anggota kelompok dan aspek teknik lain yang berkaitan untuk mengelola kelompok kecil. Ciri kedua, berkaitan dengan berbagai bentuk tugas yaitu adanya struktur tugas tertentu untuk memastikan keterlibatan semua pelajar dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pembelajaran kooperatif perlu mempunyai penilaian terhadap hasil kerja setiap anggota kelompok. Ciri ketiga, komponen sosial. Komponen ini ditekankan dari segi keterampilan bekerja di dalam kelompok, cara berinteraksi secara lisan dan bukan lisan serta penilaian yang mempunyai dampak dalam bekerja sama di dalam kelompok. Ciri keempat, perlunya diskusi diwujudkan di dalam pembelajaran kooperatif. Hal ini karena melalui diskusi sesama pelajar, mereka mempunyai peluang untuk menjelaskan pemahaman dan pandangan mereka secara lisan.
170
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Perbedaan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran tradisional dari segi saling ketergantungan yang positif antara pelajar, bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, implementasi interaksi dua arah antara pelajar dan peranan guru sebagai fasilitator cara ketika kerja berkelompok. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa antara ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah penggunaan kelompok kecil di dalam suasana pembelajaran yang terancang, mendorong para pelajar untuk bekerja sama, berinteraksi dan mempunyai tanggung jawab. Namun, terdapat perbedaan antara ciri-ciri yang ditekankan seperti ganjaran kelompok dan kepentingan keterampilan sosial. Hal ini disebabkan pelaksanaan sesuatu kaidah pembelajaran kooperatif yang digunakan didasarkan menurut teori yang berbeda. TEKNIK-TEKNIK PEMBELAJARAN KOOPERATIF Para pakar telah memperkenalkan berbagai teknik untuk mengendalikan pembelajaran kooperatif dengan menggunakan pendekatan dan penekanan yang berbeda, Lickona (1991: 189-197) telah mengenalkan delapan teknik pembelajaran kooperatif sebagai berikut. Pertama, pembelajaran berpasangan. Pembelajaran berpasangan dapat dilaksanakan dalam pembelajaran moral baik sesama guru dan para pelajar. Bentuk pembelajaran ini merupakan bentuk paling sederhana untuk memulai pembelajaran kooperatif. Dalam bentuk pembelajaran berpasangan ini, para pelajar mendengarkan sebagaimana seorang guru bertanya kepada mereka mengenai satu pertanyaan, kemudian mereka mendiskusikan pandangan mereka dengan pasangan mereka itu, selanjutnya pandangan itu dikongsikan dengan kelompok secara keseluruhan. Kedua, kelompok dalam satu tempat duduk. Pelajar duduk dan bekerja dalam tiga kelompok. Mereka saling menyemak terhadap setiap tugas pelajar yang lain. Setiap tugas seorang pelajar itu akan disemak oleh dua orang pelajar lain yang duduk bersamanya sebagai bukti mereka telah menyemak tugas tersebut. Ketiga, pembelajaran secara tim pelajar. Lickona (1991) menegaskan bahwa bentuk pembelajaran ini telah dikembangkan oleh Johnson, Pengarah Pusat Kajian di Sekolah Rendah dan Menengah di Johns Hopkins University. Bentuk pembelajaran secara tim pelajar dapat digunakan pada tingkat dua
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
171
hingga dua belas pada mata pelajaran tertentu. Slavin (Lickona, 1991) memberikan enam langkah untuk melaksanakan pembelajaran tim pelajar yaitu pertama, guru menentukan para pelajar menjadi empat anggota kelompok berdasarkan latar belakang kemampuan, jenis kelamin dan etnik. Anggota kelompok ini diubah setiap lima hingga enam minggu. Kedua, seorang guru mempresentasikan satu bahan pelajaran pada kelas secara keseluruhan. Ketiga, pelajar bekerja berpasangan pada lembaran kerja yang telah disediakan oleh guru; para pelajar bertanya kepada setiap yang lain, menyimak berbagai pandangan dalam satu lembaran kerja jawaban, dan menjelaskan pertanyaan kepada setiap yang lain. Pelajar menentukan tujuan untuk membantu semua anggota kelompok untuk memperoleh 100 persen pada kuis. Keempat, menggerakkan meja, para pelajar mengambil kuis secara individu. Kelima, kumpulan memberikan skor dengan menambahkan nilai perbaikan yang diperoleh setiap anggota kelompok bahwa jumlah itu dibagi dengan jumlah anggota kelompok yang mengambil kuis tersebut. Keenam, hadiah kelompok diberikan kepada semua pasukan yang memperoleh skor yang terbaik. Untuk meningkatkan minat, seorang guru perlu menyediakan dua peringkat hadiah. Keempat, pembelajaran jigsaw. Teknik pembelajaran jigsaw yang pertama, diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar dalam bidang psikologi, Elliott Aronson untuk membantu Austin, Texas, sekolah pemerintah yang mempunyai berbagai masalah yang disebabkan oleh keterasingan sekolahnya (Lickona, 1991). Pembelajaran jigsaw memberikan peluang untuk berpartisipasi dan membangun sikap saling bergantung untuk mendorong setiap pelajar secara aktif. Peranan penting ini dimainkan oleh dua kelompok yaitu kelompok di rumah dan kelompok pakar. Para pakar diberikan dorongan untuk belajar subtopik secara baik karena mereka perlu bertanggung jawab untuk mengajarkannya kepada teman-teman anggota kelompok pelajar lain. Manakala anggota kelompok di rumah didorong untuk mendengar dengan baik laporan para pakar tersebut, karena mereka mengetahui bahwa ujian di pada waktu yang akan datang meliputi semua subtopik tersebut. Kelima, ujian secara berkelompok. Bentuk pembelajaran ini berbeda dengan pembelajaran tim pelajar dan pembelajaran Jigsaw, di mana para pelajar mengambil kuis secara individu selepas kerja kelompok mereka. Manakala pembelajaran dengan ujian secara berkelompok, pelajar mengkaji, melaksanakan dan mengambil ujian bersama-sama.
172
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Keenam, proyek kelompok kecil. Satu bentuk penting mengenai pembelajaran kerja sama adalah para pelajar bekerja sama untuk menghasilkan satu produk. Penekanan dari pembelajaran kerja sama ini adalah proses kerja sama seperti pemecahan masalah kelompok. Kajian kelompok lebih baik daripada pembelajaran bahan untuk ujian. Di antara contoh kerja kelompok kecil, ialah kelompok bekerja yang terdiri dari empat orang pelajar di kelas diberi tugas untuk mengugkap dan membuat sebuah permainan, kemudian mengajarkan kepada keseluruhan kelas bagaimana melaksananakan permainan tersebut. Ketujuh, pertandingan kelompok. Pertandingan dengan sendirinya mewujudkan permusuhan di antara kelompok. Namun, apabila pertandingan dilaksanakan di kelas dengan semangat komunitas dengan etika bekerja sama maka pertandingan di antara kelompok dapat menjadi suatu dorongan dan menyenangkan. Pertandingan hendaklah diperkenalkan secara hati-hati, setelah berbagai sikap dan keterampilan dibangun secara baik. Bahkan, seorang guru hendaklah melaksanakan pengamatan apakah pertandingan tersebut dapat memberikan semangat bekerja sama atau sebaliknya. Salah satu cara untuk menjadikan pertandingan menarik adalah dengan memberi ganjaran kepada semua kelompok yang dapat mencapai prestasi pada tahap tertentu, dan juga pengakuan kepada kelompok yang paling baik. Kedelapan, proyek kelas secara keseluruhan. Seorang guru dapat melaksanakan aktivitas kelas secara baik dengan menggunakan kekuatan dari proyek kelas secara keseluruhan untuk memberikan semangat kerja sama yang lebih besar. Proyek kelas secara keseluruhan memerlukan banyak tenaga kerja, dan ganjaran yang diberikan adalah besar: moral kelas sangat tinggi beserta semangat kelompok dan tenaga yang dapat membawa berbagai aktivitas bentuk kerja sama yang lain. USAHA-USAHA UNTUK MENYUKSESKAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF Terdapat berbagai usaha untuk menyukseskan pembelajaran moral melalui pembelajaran kooperatif. Dalam hal ini, Lickona (1991: 197-204), telah memberikan berbagai tip untuk menyukseskan pembelajaran moral melalui pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut:
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
173
Pertama, menjelaskan bahwa kerja sama merupakan bagian penting dalam tujuan proses pembelajaran di kelas. Guru mengawali pembelajaran dengan memberi pesan yang jelas kepada para pelajar bahwa kerja sama adalah bagian penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pernyataan mengenai pentingnya kerja sama dalam kelas disampaikan secara berulangulang kepada pelajar untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan kepada setiap anggota dalam kelompok. Ini karena kerja sama merupakan tujuan utama dalam setiap aktivitas kerja sama. Kedua, membangun komunitas. Para guru perlu melakukan berbagai aktivitas dalam komunitas agar dapat membantu para pelajar memahami dan merasakan senang serta nyaman kepada setiap anggota yang lain. Ketiga, mengajarkan keterampilan khusus yang diperlukan untuk bekerja sama. Pembelajaran kooperatif akan sukses apabila seorang guru memberikan langkah-langkah secara terus-menerus kepada para pelajar untuk membuat keputusan mengenai proses kelompok untuk bekerja sama. Langkah-langkah tersebut di antaranya memberikan peluang kepada setiap ahli untuk menyatakan gagasannya, seorang sekretaris kelompok mencatat berbagai gagasan dari setiap anggota kelompok dan menawarkan gagasan tersebut kepada anggota lain yang tidak sependapat dan pada akhirnya menyempurnakan gagasan tersebut untuk mendapatkan gagasan yang paling baik. Selain itu, keterampilan lain juga diperlukan oleh pelajar, yaitu membagi secara adil, mendengar secara baik gagasan setiap anggota, mengakui kontribusi gagasan anggota yang lain untuk mencapai kesepakatan apabila berlaku konflik. Oleh karena itu, berbagai keterampilan utama tersebut perlu dijelaskan di dalam kelas oleh guru supaya dapat dipahami oleh para pelajar. Keempat, membuat berbagai peraturan untuk bekerja sama. Kesuksesan pembelajaran kooperatif, seorang guru mengawali untuk membuat peraturan mengenai kerja sama, misalnya seorang guru memberikan pertanyaan kepada para pelajar “Tiga hingga empat peraturan apa saja yang diperlukan agar kerja sama yang baik dapat dilaksanakan di antara para pelajar. Guru memberikan kesempatan kepada pelajar untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam membuat peraturan tersebut. Setiap gagasan mengenai peraturan yang muncul hendaklah ditulis di papan tulis. Ini dimaksudkan supaya pelajar dapat melaksanakan kerja sama yang baik.
174
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Kelima, mendorong tanggung jawab kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama dan memberi sumbangan pemikiran. Pembelajaran kooperatif akan sukses apabila para pelajar melaksanakan pembelajaran tim pelajar tentang bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan baik untuk membantu meningkatkan tanggung jawab semua pelajar terhadap peraturan kerja sama. Ini merupakan cara yang paling efektif untuk disampaikan kepada pelajar sebelum aktivitas ini ditanyakan kepada mereka. Misalnya, ada beberapa pertanyaan yang mereka perlu menjawabnya, yaitu “Bagaimanakah tim anda bekerja sama dalam suatu aktivitas yang dilasanakan?. “ Tanggung jawab apakah yang anda laksanakan sebagai anggota dalam kelompok ini? “Apakah yang anda dapat bantu untuk kerja kelompok yang lebih baik dalam aktivitas yang akan dilaksanakan?. Keenam, mendorong pelajar secara terus-menerus untuk melakukan refleksi ketika bekerja sama. Untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran kooperatif, guru perlu meminta kepada anggota kelompok untuk melakukan refleksi terhadap pembelajaran kerja sama yang telah dilakukan selama ini. Terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh anggota kelompok untuk mewujudkan refleksi tersebut di antaranya apakah kelompok Anda belajar mengenai kerja sama kelompok yang dapat dilakukan secara lancar? Apakah yang dapat diputuskan oleh kelompok Anda untuk melakukan sesuatu yang lain pada waktu yang akan datang? dan Deskripsikan tiga cara yang dapat membantu anggota kelompok yang lain supaya merasa senang dan nyaman untuk menjadi kelompok Anda? Ketujuh, memberikan peranan yang maksimal kepada anggota kelompok. Setiap anggota kelompok diberikan peranan yang khusus supaya setiap anggota dalam kelompok mendapat kesempatan dan mengetahui apa yang akan dilaksanakan. Peranan ini memberikan struktur dukungan yang dapat menjamin setiap anggota kelompok dapat berpartisipasi serta secara aktif. Selain itu, pemberian peranan kepada setiap anggota kelompok dapat meningkatkan efisiensi kerja kelompok yang dilaksanakan. Kedelapan, bersaing dalam pembelajaran kerja sama untuk melaksanakan tugas. Untuk menyukseskan kegiatan ini, perlu dibuat tugas secara kelompok baik dalam bentuk berpasangan ataupun kelompok. Anggota kelompok merasakan akan mendapatkan keuntungan dari kerja sama ini. Apabila tugas yang diberikan kepada kelompok sangat mudah maka anggota kelompok tersebut dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu, anggota kelompok perlu
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
175
mendapatkan tugas yang lebih sulit dan kompleks supaya kerja sama dapat dilakukan untuk menyelesaikan tugas tersebut yang melibatkan semua anggota kelompok secara maksimal. Kesembilan, menggabungkan berbagai strategi pembelajaran kooperatif. Menggabungkan strategi pembelajaran kooperatif akan dapat menghasilkan kelebihan yang sangat besar karena bentuk strategi yang berbeda mempunyai keuntungan yang berbeda. Misalnya, kelompok yang terdiri dari berpasangan, kelompok yang terdiri dar tiga orang dan empat orang masing-masing mempuyai pola pembelajaran dan dinamika hubungan secara peribadi. Pendekatan kerja sama yang sangat berstruktur tinggi yang dimaksudkan ialah ujian penguasaan bahan secara peribadi, seperti pembelajaran kelompok pelajar dan jigsaw ujian dilaksanakan secara individu dan dapat meningkatkan kerja sama tanpa mengorbankan waktu. Berbeda dengan pembelajaran kelompok kecil atau proyek kelas secara keseluruhan memerlukan waktu yang lebih dalam pengelolaan serta lebih mudah untuk menyelesaikan masalah, akan tetapi mampu memberi kesempatan kepada anggota kelompok untuk membuat keputusan dan menjadi kreatif serta kesuksesan dengan tantangan secara bersama. KELEBIHAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF Secara umum, pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa kelebihan dalam proses pembelajaran moral. Terdapat berbagai kelebihan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran moral bagi pelajar. Lickona (1991:186: 189) telah mengidentifikasikan enam kelebihan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran moral yaitu sebagai berikut: Pertama, pembelajaran kooperatif mengajarkan nilai kerja sama di antara para pelajar. pembelajaran kooperatif dapat mengajarkan sesuatu yang baik kepada pelajar yaitu membantu setiap pelajar yang lain. Beliau menelaah suatu kajian yang dilaksanakan oleh Marilyn Watson bahwa pembelajaran kooperatif memberi kesempatan kepada seseorang dalam anggota kelompok supaya berbuat adil dan murah hati serta senang berbuat kebajikan sesama kelompok yang kondusif dan peduli kepada teman anggota kelompok dapat mengembangkan berbagai sikap yang lebih baik, dan lebih cenderung untuk melakukan perilaku prososial dengan lebih mudah
176
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Kedua, pembelajaran kooperatif dapat membangun komunitas di dalam kelas. Membangun komunitas di dalam kelas dapat membantu para pelajar untuk mengetahui dan peduli mengenai setiap yang lain dan merasakan menjadi ahli dalam unit sosial kecil sebagaimana dalam kelompok yang lebih besar lagi secara keseluruhannya. Pendapat ini didukung oleh Berman (1990), pembelajaran kooperatif mendorong kesedaran sosial ketika digabungkan dengan strategi dasar untuk membangun komunitas yang peduli, dan membantu mencapai keseimbangan tujuan yang menekankan pada prestasi personal dan kolektif. Selain itu, membangun komunitas di dalam kelas dapat mengurangi konflik secara peribadi. Dalam hal ini, Lickona (1997) berpendapat pembelajaran kooperatif dapat mengurangi etnik, perkauman dan halangan sosial yang lain serta mengintegrasikan setiap pelajar dan struktur sosial yang kecil mengenai kelompok kerja sama. Ketiga, pembelajaran kooperatif mengajarkan berbagai nilai kehidupan, di antaranya yang paling penting dalam kehidupan adalah mendengar, mengambil pandangan orang lain, berkomunikasi secara efektif, menyelesaikan berbagai konflik, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Keempat, pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik, penghormatan diri, dan persepsi terhadap sekolah. Khusus kelebihan yang berkaitan dengan prestasi akademik dikuatkan oleh Kluge (1990); Berman (1990); Totten, Sills, & Digby (1991), yaitu pembelajaran kooperatif dapat memperbaiki prestasi pelajar. Selain itu, pembelajaran kooperatif tidak hanya dapat meningkatkan prestasi akademik, tetapi, juga dapat meningkatkan efektifvitas dan hasil pembelajaran pelajar yang positif (Slavin, 1995; Nolinseke & Millis, 1999; Cabrera, et al., 2002). Kelima, pembelajaran kooperatif menawarkan satu pilihan mengesan. Pembelajaran kooperatif merupakan cara yang paling baik untuk menghindarkan berbagai kesan negatif dan dapat mencapai kesamaan pendidikan. Semua anggota dalam kelompok pembelajaran kooperatif dapat belajar untuk bekerja dan peduli mengenai berbagai perbedaan dalam anggota kelompok dan mereka dapat menguasai bahan yang lebih mendalam karena mereka membantu mengajarkan bahan kepada setiap anggaota yang lain. Keenam, pembelajaran kooperatif mempunyai potensi untuk memberi motivasi yang paling penting dan merasa menjadi komunitas di kelas yang dapat menumbuhkan suasana moral dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
177
Selain kelebihan di atas, Johnson dan Johnson (1992:122) berpendapat kajian mengenai berbagai bentuk pembelajaran kooperatif yang telah dilaksanakan secara meluas selama dua puluh tahun yang lalu, menunjukkan bahwa bentuk pembelajaran kooperatif pertama, mendorong perkembangan perilaku sosial meliputi menghormati orang lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda, mengambil risiko dan saling memberi dorongan. Kedua, meningkatkan motivasi dalam diri sendiri. Ketiga, meningkatkan pembelajaran dan pemikiran pelajar kepada peringkat yang lebih tinggi pada semua peringkat kemampuan. Selain itu, keunggulan daripada teknik pembelajaran kooperatif terhadap teknik pembelajaran tradisional yang paling nyata ketika tugas-tugas pembelajaran memerlukan konsepsulisasi, pemecahan masalah, pemikiran pada level yang lebih tinggi dan solusi kreatif untuk menerapkan apa yang telah dipelajari. Manakala, menurut Ellis dan Feldman (1994) pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan pemikiran yang lebih tinggi karena pelajar mengetahui bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk menjelaskan, mendiskusikan dan mengajarkan apa yang mereka pelajari, di samping mengintegrasikan informasi secara kolaborasi dan menggalakkan diskusi yang dapat menyelesaikan pandangan yang berkonflik, eksplanasi dan pemahaman karena mereka mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dan memperoleh keuntungan dari proses berpikir, motivasi dan umpan balik dari sesama teman. SIMPULAN Dari berbagai kajian mengenai pembelajaran kooperatif (cooperative learning) di atas tidak dapat diragukan lagi bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang unik karena pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama antaranggota kelompok untuk memahami dan menguasai materi pelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu struktur tugas dan penghargaan yang berbeda dalam mengupayakan pembelajaran siswa. Struktur tugas itu menghendaki siswa untuk bekerja bersama dalam kelompokkelompok kecil. Struktur penghargaan mengakui upaya kolektif dan individual. Pengembangan pembelajaran kooperatif dapat dilaksanakan untuk pembelajaran moral karena pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa kelebihan tidak saja dalam mendorong prestasi akademik pelajar, tetapi dapat mendorong aspek perlakuan sosial, misalnya menghargai orang lain, empati
178
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
kepada orang lain, bekerja sama dengan orang lain dan mengurangi berbagai aspek negatif dari kompetisi, serta memberikan kesan berbagai perilaku yang positif lainnya. Namun demikian, untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif diperlukan kesiapan yang baik dan perencanaan yang matang agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Berman, S. (1990). Educating for social responsibility. Educatioanal Leadership, November, 75-80. Cabrera, A. F., Crissman, J. L., Bernal, E. M., Nora, A., Terenzini, P., & Pascarella, E. T. 2002. Collaborative learning; Its impact on college students’ development and diversity. Journal of College Student Development. 43, 20-34. Ellis, E. and Feldman, R. 1994. Creating “thought-full” classroom: fostering cognitif literacy via cooperative learning and integrated strategies instruction. In S. Sharan (Ed.), Handbook of cooperative learning methods. Westport CT: Greenwood Publishing Group. Johnson, D.W., R.T. Johnson, and K.A. Smith. 1991. Cooperative learning: Increasing college faculty instructional productivity. Ash E-ERIC Higher Education Report No. 4 Washington DC: George Washington University. Johnson, D. Dan Johsson, R. 1992. Encourajing thinking through contructive contraversy. In N. Dvidson and T Worsham (Eds.). Enhancing Thinking Through Cooperative Learning. New York: Teachers College Press. Kagan, S. (1990). The structural approach to cooperative learning. Lickona, T. (1997). Educating for character: A comprehensive approach. In Molnar, Alex. (Ed.), The contruction of children’s character: Ninetysixth yearbook of the national society for tghe study of education. Chicago Illinois: The National Society For The Study of Education. _______. (1991). An integrated approach to character development in the elementary school classroom. In Beninga Jacques S. (Ed.), Moral, character and civic education in the elementary school. New York and London: Teachers College Press. Nolinseke, t., & Millis, B. (1999). Cooperative learning as an approach to pedagogy. American Journal of Occupational Therapy, 53, 31-40. Slavin, R. E. (1990). Cooperative learning. New Jersey: Prentice-Hall.
Pembelajaran Moral Melalui Pembelajaran Kooperatif
179
_______. (1990). Cooperative learning. Theory, research, and practice nd (2 ed.). Boston: Allyn & Bacon.. Educational Leardership, 47 (4), 1215. Totten, S., Sills, T., & Nunnery J. (1997). Cooperative learning in the secondary mathematics classroom. The Journal of Educational Research, 91 (1).42-48. ?
180
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
181
PROBLEM-BASED LEARNING (Konsep Ideal Model Pembelajaran untuk Peningkatan Prestasi Belajar dan Motivasi Berprestasi) Esti Zaduqisti* Abstract: As the development of age into the era of globalization, all the problems on this planet turns increasingly complex, innovative and transparent. People who are not creative, and innovative absolutely will be left behind by the rapid flow of these developments. The same case takes place in education, particularly in the learning process, in which there are many learning models emerging for the purpose of progress and success in learning. One such model is the Problem Based Learning or often referred to as PBL (Problem Based Learning) with an which is innovatively pictured by effective concept in improving learners’ learning achievement and increasing achievemnt motivation of learners as well. Kata kunci: problem based learning, motivasi berprestasi.
prestasi belajar,
PENDAHULUAN Wibowo (2007: 118) menyatakan bahwa pendidikan Islam saat ini mendapat sorotan tajam dan kurang menggembirakan dengan julukan pendidikan “terbelakang” atau sejenisnya. Hal ini disebabkan kelemahankelemahan yang dimiliki oleh pendidikan Islam, meskipun tidak semua, yaitu sulit untuk bisa berubah. *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
182
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Berusaha bangun dari keterbelakangan, pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan apakah dimungkinkan sebuah metode yang kurang relevan dengan konteks perkembangan zaman juga merupakan faktor-faktor kelemahan tersebut? atau dengan kata lain perlukah ada sebuah pembaharuan dalam pembelajaran, sehingga apa yang dikatakan oleh Tohirin (2005) bahwa kegiatan pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pendidikan secara keseluruhan memang benar. Menjawab pertanyaan tersebut, Wibowo (2007:119) menyatakan bahwa perlunya diadakan perubahan kurikulum yang didasarkan pada logika kebutuhannya dan merespon kebutuhan masyarakat diharapkan sistem pendidikan Islam beserta lembaganya mampu menyesuaikan dengan situasi zaman. Kebijakan pemerintah yang menekankan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dalam seluruh sistem pendidikan formal nasional, termasuk pada jenjang perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi, mendorong para pengajar menerapkan metode-metode yang mendukung terealisaikannya kebijakan itu (Supratiknya dan Titik Kristiyani, 2006:17) dan berusaha mengembangkan berbagai pendekatan pembelajaran baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan pembelajar dan tuntutan masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan mutu serta relevansi pembelajaran di perguruan tinggi, khususnya pada jenjang undergraduate atau setara program S-1 di tanah air, dan salah satu Model Pembelajaran Baru adalah Problem-Based Learning. MODEL PEMBELAJARAN Sebelum mengulas apa itu PBL, sedikit akan dijelaskan mengenai model pembelajaran dalam pendidikan serta perbedaan antara pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran, karena semuanya tersebut saling terkait. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2)
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
183
pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). (Achmad, 2008). Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. (Achmad, 2008). Salah satu contoh metode yang biasa di gunakan dalam proses pembelajaran di dunia pendidikan kita antara lain lain adalah metode diskusi. Metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah. Metode diskusi ini sering dipertukarkan dalam penggunaannya dengan metode tanya jawab. Dalam diskusi dapat saja muncul pertanyaan, tetapi pertanyaan tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu. Dalam diskusi terjadi menukar gagasan atau pendapat untuk memperoleh kesamaan pendapat. (Amiruddin, 2009) Metode lain yang meski dalam era sekarang ini banyak dikatakan sebagai metode yang sudah ketinggalan jaman, namun mau tidak mau akan secara otomatis digunakan oleh seoarang pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Metode tersebut adalah metode ceramah. Metode ceramah adalah metode penyampaian bahan pelajaran secara lisan. Metode ini banyak dipilih guru karena mudah dilaksanakan dan tidak membutuhkan alat bantu khusus serta tidak perlu merancang kegiatan siswa.(Amiruddin, 2009) Metode Ceramah lazim digunakan dalam model pembelajaran kovensional. Menurut Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
184
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Memang, model pembelajaran kovensional ini tidak serta merta kita tinggal, dan guru mesti melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidak pada awal proses pembelajaran di lakukan. Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran yang akan kita gunakan. Sedangkan Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990 dalam Achmad, 2008) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Sekarang ada satu model lagi yaitu Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning). (Supratiknya dan Titik Kristiyani, 2006) .Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran; teknik pembelajaran; model pembelajaran. dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Sumber: (Achmad, 2008)
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
185
PROBLEM-BASED LEARNING (PBL) Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993 dalam www.lubisgrafura.wordpress.com). Model PBL sudah lebih lazim digunakan dalam proses pembelajaran di Barat, hal ini seperti dikutip dari buku “How to Use Problem-based learning in The classroom” yang ditulis oleh Robert Delisle (1997), sebagai berikut: PBL is presently used in more than 60 medical schools worldwide and also in schools of dentistry, pharmacy, optometry, and nursing. It is also used in high schools, middle schools, and elementary schools in cities, suburban counties, and rural communities. Teachers have been trained at the Problem-Based Learning Institute in Springfield, Illinois; the Center for Problem-Based Learning at the Illinois Mathematics and Science Academy in Chicago; and the Center for the Study of Problem-Based Learning at Ventures In Education in New York City.
Fogarty (1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/ mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993 dalam (www,lubisgrafura.wordpress.com).
186
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
KARAKTERISTIK METODE PROBLEM-BASED LEARNING I Wayan Dasna dan Sutrisno, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, (www,lubisgrafura.wordpress.com) berpendapat bahwa PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: 1. Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2. Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, 3. Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, 4. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5. Menggunakan kelompok kecil, dan 6. Menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Lebih lanjut Dasna menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalamanpengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari. (www,lubisgrafura.wordpress.com).
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
187
PENGARUH METODE PROBLEM-BASED LEARNING TERHADAP PENINGKATAN ASPEK-ASPEK PSIKOLOGIS SISWA (PRESTASI BELAJAR DAN MOTIVASI BERPRESTASI) Ada beberapa penelitian Mengenai metode problem-based learning, diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Supratiknya dan Titik Kristiyani (2006), dalam penelitiannya diungkapkan bahwa metode pembelajaran berbasis problem (PBL) terbukti efektif diterapkan dalam pembelajaran mata kuliah yang bersifat teori, selain itu hasil penelitian juga menunjukan bahwa PBL terbukti lebih efektif dibandingkan metode pembelajaran tradisional untuk pembelajaran mata kuliah teori, dan yang terakhir adalah menyangkut pengaruh perbedaan dosen terhadap hasil dan proses pembelajaran baik dengan metode PBL dan tradisional. (Supratiknya dan Titik Kristiyani, 2006: 31). Hasil belajar adalah seluruh kecakapan dalam segala hal yang diperoleh melalui proses belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan dengan angka dan diukur dengan menggunakan tes hasil belajar (Briggs dalam leslie, 1979). Senada dengan pendapat tersebut, Adkins mendefinisikan hasil belajar sebagai kemampuan yang dapat diukur secara langsung dengan tes. (dalam Dorothy C Adkins, 1974). Sedangkan Sudjana menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.(Sudjana, 1995). Dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar yang dicapai oleh siswa ditunjukkan oleh perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, keterampilan, analisis, sintesis, tes serta nilai dan sikap. Adanya perubahan itu tercermin dalam prestasi belajar yang diperoleh siswa. Prestasi belajar yang dicapai seseorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (internal) maupun dari luar diri (eksternal) individu. Yang pertama, yaitu Faktor internal, Ahmadi dan Supriyono (1991) menggolongkan faktor internal antara lain : faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kematangan fisik maupun psikis. Kedua, Faktor eksternal, Menurut Ahmadi dan Supriyono (1991) yang tergolong faktor eksternal antara lain : faktor stimuli belajar, faktor metode belajar dan lingkungan di sekitar individu yang belajar. Menurut Budianto (dalam Santoso, 2001) ada 3 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, antara lain: Motivasi, minat dan inteligensi. Salah satu aspek kognitif yang dapat diukur adalah Prestasi Hasil Belajar Menurut Winkel (1989) suatu bukti dari keberhasilan dan usaha yang dicapai
188
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
adalah prestasi. Suryabrata (1993) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam belajar. Prestasi belajar ini dinyatakan dalam nilai rapor atau indeks prestasi yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran proses belajar. Menurut Chaplin (1981) prestasi belajar merupakan keberhasilan yang bersifat khusus dalam melakukan tugas belajar atau merupakan tingkat penguasaan tertentu dalam menjalankan tugas belajar atau tugas akademik di sekolah. Prestasi belajar dikumpulkan lewat tes prestasi sebagai hasil akhir dari sebuah pembelajaran. Para pakar pendidikan yang lain seperti: Hadiyanto (2001), Arikunto (1996), dan Sudjana (1992) secara garis besar mengatakan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil proses pembelajaran yang diperoleh dengan cara melakukan tes dan penilaian. Definisi ini menegaskan bahwa sistem penilaian atau evaluasi adalah sangat penting dalam dunia pendidikan karena sistem tersebut dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang penguasaan peserta didik terhadap materimateri yang telah diajarkan. Sebuah temuan mendeskripsikan bahwa metode PBL lebih Efektif digunakan dalam sebuah pembelajaran yang diterapkan kepada anak didik dibandingkan dengan metode yang tradisional (metode ceramah dan tanpa melibatkan keaktifan dan kreatifitas anak didik dalam memperoleh bahan ajar). Model PBL menuntut siswa untuk belajar aktif, menuntut pembelajar mampu memecahkan masalah yang dibuat pengajarnya ataupun masalah yang di uat oleh pembelajar sendiri. hal ini akan memacu prestasi dan hasil belajar pembalajar secara efektif. Seperti telah disebutkan bahwa Penerapan metode pemebelajaran dengan model PBL (Problem based learning) mempunyai efek pada kognitif (http://en.wikipedia.org). Selain mempunyai efek pada kognitif, PBL juga mempengaruhi motivasi (Subramaniam, 2006). Menurut Atkinson (1992) motivasi berprestasi mempunyai kecenderungan seseorang mengadakan reaksi untuk mencapai tujuan dalam suasana kompetisi demi mencapai atau melebihi ukuran yang lebih baik dari sebelumnya. Mc Clelland (1981) menyatakan bahwa dalam motivasi berprestasi itu berarti kecenderungan berprestasi dalam menyelesaikan suatu aktivitas atau pekerjaan dengan usaha yang aktif sehingga memberikan hasil yang terbaik. Kebutuhan berprestasi (N-Ach) tercermin dari perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan (standar of exellence).
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
189
Motivasi berprestasi adalah motif yang mendorong manusia untuk berbuat lebih baik dari orang lain dalam mencapai tujuannya. Motivasi berprestasi dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan semangat dalam kegiatan belajar dan menjamin kelangsungan kegiatan belajar tersebut. Sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek dapat tercapai dengan hasil yang sebaik-baiknya. Motivasi berprestasi adalah kecenderungan seseorang mengadakan reaksi untuk mencapai tujuan dalam suasana kompetisi demi mencapai atau melebihi ukuran yang lebih baik dari sebelumnya (Atkinson, 1992). Motivasi berprestasi juga merupakan kecenderungan berprestasi dalam menyelesaikan suatu aktivitas atau pekerjaan dengan usaha yang aktif sehingga memberikan hasil yang terbaik. Mc Clelland (1981). Motivasi disini merupakan proses pembangkit gerakan dalam diri seseorang kemudian orang tersebut melaksanakan suatu tindakan. Menurut Goodenough (dalam Suseno 2001). Motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk membentuk keberhasilan di dalam belajar. Motivasi pada seseorang dalam mempelajari sesuatu akan menentukan hasil yang dicapai Lynn & Cassidy (1989) menyebutkan bahwa ada tujuh indikator yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur tinggi-rendahnya motivasi berprestasi seseorang, yaitu etos kerja (work ethic), gigih (tamak) (acquisitiveness), dominan (dominance), sempurna (excellence), bercita-cita (status aspiration), berdaya saing (competitiveness), dan ahli (mastery). Menurut Atkinson (1992) motivasi berprestasi mempunyai kecenderungan seseorang mengadakan reaksi untuk mencapai tujuan dalam suasana kompetisi demi mencapai atau melebihi ukuran yang lebih baik dari sebelumnya Dari karakteristik model pembelajran PBL, yang telah ditarangkan di atas, yaitu dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Hal ini merangsang seseorang untuk mengadakan reaksi untuk mencapai tujuan dalam suasana kompetisi demi mencapai sesuatu. Sehingga diasumsikan bahwa model pembelajaran PBL ini mempunyai kontribusi yang positif dalam meningkatkan motivasi berprestasi.
190
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
SIMPULAN Pengaruh Metode Problem-Based Learning terhadap Peningkatan Aspek-aspek Psikologis Siswa, dalam tulisan ini difokuskan pada peningkatan hasil prestasi belajar dan peningkatan motivasi berprestasi. Namun demikian pengungkapannya jauh dari kesempurnaan, karena hanya besifat ulasan singkat dan kurang komprehensif. Banyak masukan dan saran untuk membuat tulisan ini lebih komprehensif, salah satunya adalah dengan mendiskusikan tulisan ini. Terimakasih atas masukan yang diberikan oleh para pembaca dan pembahas.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Atkinson, Rita. L. 1992. Pengantar Psikologi Jilid I. Penerjemah Taufik Burhan. Jakarta: Erlangga. Delisle, Robert. 1997. How to Use Problem-based learning in The classroom. USA: Association for Supervision and Curriculum Development. Dorothy C Adkins. 1974. Test Construction: Development and Interpreting of Achievement test. Ohio: Merriel Company. Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights Illionis: Sky Light. Hadiyanto, Zool. 2001. “Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Profesionalisme Guru Serta Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah”, Journal Pendidikan, Vol. 1, No. 2, Juni 2001. http://en.wikipedia.org. Lynn, Richard & Tony Cassidy. 1989, A multifactorial approach to achievement motivation: The development of a comprehensive measure; Journal of Occupational Psychology 62, 301-312, British: The British Psychological Society. Mc. Clelland. 1981. Human Motivation. New York: Cambridge University Press. Sardiman, AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Pedoman bagi Guru dan Calon Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Problem-Based Learning (Konsep Ideal Model Pembelajaran...)
191
Subramaniam. 2006. Problem-based learning: Concept, theories, effectiveness and application to radiology teaching Radiology. Waikato Clinical School University of Auckland: Hamilton New Zealand. Sudjana, N. 1992. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Sudrajat, Achmad. 2008. http://www.psb-psma.org Supratiknya dan Titik Kristiyani. 2006. Efektifitas Metode Problem-Based Learning dalam Pembelajaran Mata Kuliah Teori Psikologi Kepribadian II. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi UGM. Vol. 33 (1). 17 – 31. Suryabrata, S. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tohirin. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam : berbasis Integrasi dan Kompetensi. Jakarta: P.T. Grasindo Persada. Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993 www.lubisgrafura.wordpress.com Wibowo, AM. 2007. Pendidikan Islam di bawah Bayang-bayang Peradaban Industrial (Antara Tantangan dan Harapan). Forum Tarbiyah, Jurnal Pendidikan Islam STAIN Pekalongan. Vol.5 (2). 110-124 www.lubisgrafura.wordpress.com
192
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an
193
PEMIKIRAN IBNU SAHNUN TENTANG BELAJAR MENGAJAR AL-QUR’AN Ahmad Ubaedi Fathuddin*
Abstract: Ibn Sahnun was the first Islamic leaders in which his thoughts was concentrated in the areas of education, especially teaching the Qur’an to early childhood. The highlighting of Sahnun’s was based on the notion that the Qur’an is the source of knowledge, and learning at an early age would be so attached and rooted in the child. Through Adab al-Mu’allimin, it is known that the thought of Ibn Sahnun seemed complete and programmed well, especially for the classical era in which only a few leaders who pursued the field of education. And of those concepts can be found some things that are still relevant for today, especially about the emphasis on methods of reading, memorizing and understanding in studying the Qur’an, as apparent in the method of iqra ¸ qira’ati, and amtsilati, and the permissibility of a Qur’an teacher to receive, take or set wages from his students Kata kunci: Ibnu Sahnun, belajar-mengajar, al-Qur’an.
PENDAHULUAN Perkembangan pendidikan Islam jika ditinjau dari sejarahnya, terkesan terlambat pertumbuhan dan perkembangannya dibanding dengan disiplin ilmuilmu keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tafsir, hadits, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena kurangnya aktivitas penelitian dan kajian bidang ilmu pendidikan Islam, dan juga selama ini pendidikan Islam lebih tampak *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
194
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
sebagai sebuah praktek pendidikan bukan sebagai ilmu dalam arti ilmu yang memiliki struktur bahasan dan metodologi penelitian tersendiri (Nata, 2000: 1). Dalam kondisi pendidikan Islam yang seperti ini, maka baru-baru ini banyak dilakukan serangkaian kajian dan penelitian untuk menumbuh kembangkan ilmu pendidikan Islam. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian pemikiran para tokoh intelektual muslim zaman klasik, pertengahan dan zaman modern, di antaranya Ibnu Sahnun. Ibnu Sahnun terkenal sebagai tokoh pendidikan Islam, karena besarnya perhatian beliau terhadap masalah-masalah pendidikan Islam, baik itu perhatian terhadap tujuan pendidikan Islam, kurikulum, metodologi pengajaran, guru, siswa, manajemen pendidikan maupun lainnya. Penelitian tokoh dalam perspektif sejarah ini diharapkan dapat memberikan informasi perbandingan yang bermanfaat bagi kemajuan pendidikan Islam di masa sekarang dan akan datang dengan memberikan penilaian yang kritis terhadap pemikiran-pemikirannya yang masih relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dalam tulisan ini penulis membatasi masalah yang akan dibahas, yaitu tentang sejarahnya, tentang kitab karangannya, dan kontribusi pemikirannya dalam pendidikan Islam khususnya berkaitan proses belajar mengajar al-quran pada anak usia dini. BIOGRAFI IBNU SAHNUN Nama lengkap Ibnu Sahnun adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abi Sa’id bin Habib bin Hisan ibnu Hilal bin Bakar bin Robiah al-Tunukhi. Nama asli yang diberikan orang tuanya adalah Abdu al-Salam, yang kemudian karena kejeniusan dan kecerdasannya ia bergelar Sahnun yang berarti Burung Elang (al-Tho-ir-Hadid al-Nadzor), dan ia seorang syeikh terkenal yang mengembangkan madzhab Maliki di Qairuwan Afrika Utara. Beliau lahir di Qairawan, Tunisia, Afrika Utara (202-256 H/813-869 M) dan merupakan pemikir yang yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam (Hijazi, 1995: 62). Ibnu Sahnun lahir dan tinggal di daerah penganut fanatik madzhab Maliki (Ahlu al-Madinah), melalui didikan ayahnya, Abu Said Sahnun yang juga seorang Syeikh terkenal yang pertama kali mengajarkan madzhab Imam Maliki
Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an
195
yang menjadi madzhab pertama di Afrika Utara, khususnya di Qairuwan (Hijazi, 1995: 62). Tetapi meskipun ayahnya yang pertama yang menyebarkan madzhab Maliki di Afrika, Tunisia, Hijaz bahkan Andalusia Spanyol, namun dibanding Ibnu Sahnun ia tidak lebih terkenal darinya, karena Ibnu Sahnun merupakan peletak dasar pertama bidang pemikiran pendidikan Islam, khususnya pemikiran pendidikan yang bebas dan berdiri sendiri serta lepas dari pengaruh sastra dan mazhab-mazhab pemikiran filsafat, yang sebelumnya belum ada yang membahas tentang ilmu pendidikan secara rinci dan jelas. Ibnu Sahnun mengemukakan pemikiran pendidikannya dengan menggali sumber ajaran Islam yang asli yaitu al-Qur’an dan hadits nabi. KITAB ADAB AL-MUALLIMIN Semasa hidupnya, Ibnu Sahnun mengarang kitab yang berjudul “Adab al-Muallimin”, yang merupakan kitab pertama tentang pendidikan Islam. Pertama kali diterbitkan di Tunisia tahun 1350 H (Al-Daim, 1964: 208). Kitab ini membahas tentang dasar-dasar pendidikan anak serta aturan-aturan dalam mendidik anak yang berlangsung sejak munculnya Islam sampai abad ke-3 hijriah. Buku tersebut juga dilengkapi dengan referensi yang jelas merujuk pada al-Qur’an dan hadits nabi yang berkaitan dengan belajar mengajar al-Qur’an yang dilakukan pada anak usia dini, karena belajar al-Qur’an diwaktu dini akan sangat efektif seperti mengukir di atas batu yang tidak lekang dimakan waktu. Adapun masalah-masalah pokok yang dikemukakan Ibnu Sahnun dalam kitab Adab al Muallimin menurut Hijazi (1995: 59) antara lain: 1. Pendidikan al-Qur’an 2. Berlaku adil diantara anak-anak 3. Bab larangan mengajarkan sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah dan usaha apa yang harus dilakukan untuk itu 4. Tentang adab. Apa yang diizinkan dan apa yang dilarang dalam berprilaku 5. Apa kewajiban guru setelah selesai proses pembelajaran 6. Hadiah Hari Raya 7. Hal-hal yang harus dihindari anak didik 8. Kewajiban-kewajiban guru dalam bergaul dengan anak didiknya 9. Upah guru dan kapan waktu pemberiannya 10. Pengadaan Mushaf al-Qur’an dan buku-buku fiqh dan sebagainya.
196
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Kitab ini merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada Ibnu Sahnun serta jawaban atas masalah-masalah yang telah beliau diskusikan dengan yang lainnya. Kumpulan konsep pendidikan Ibnu Sahnun ini jika disusun berdasarkan urutan temanya yang diaplikasikan pada teori modern adalah sebagai berikut (Hijazi, 1995: 60) Pasal I : Konsep Pendidikan dan Metodologi Pengajaran Pasal II : Peranan Pendidik Pasal III : Metode Pengajaran Adab Menurut Ibnu Sahnun Pasal IV : Management Sekolah, mencakup topik: a. Tempat Pendidikan b. Pengertian atau Pengenalan c. Liburan Sekolah d. Hadiah e. Kebutuhan Pengarang Buku f. Menyewa Buku g. Menyewa Pendidik Berdasarkan analisa penulis, konsep-konsep ini jika diteliti lebih lanjut, semuanya mengacu pada proses pembelajaran al-Qur’an, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk proses pembelajaran ilmu pengetahuan yang lainnya, karena jika siswa telah dapat mengikuti proses pembelajaran al-Quran dengan baik maka ia akan dapat mengikuti pembelajaran ilmu-ilmu yang lainnya. Menurut Al-Daim (1964: 208), kumpulan pemikiran Ibnu Sahnun tentang pendidikan yang terkumpul dalam kitab adab al-Muallimin ini, meskipun hanya merupakan kitab tipis yang terdiri dari 15 halaman, namun dapat menjelaskan tentang efektifitas pembelajaran khususnya proses pembelajaran al-Quran. Selain itu, buku ini begitu penting serta dapat dijadikan sumber utama dalam wacana pemikiran pendidikan Islam, karena isinya masih relevan dengan teori pendidikan modern. Pada abad ke-4 H buku ini dikembangkan oleh alQabisi yang dituangkan dalam kitabnya: “al-Mufasalah lil ihlal al muta’allimin wa al ahkam al-Muallimin wa al-Muta’allimin”. (Perincian tentang keadaan para pelajar serta hukum-hukum para guru dan pelajar) yang terdiri dari tiga jilid (Syamsuddin, 1985: 41).
Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an
197
PEMIKIRAN IBNU SAHNUN TENTANG BELAJAR DAN MENGAJAR AL-QUR‘AN Konsep pendidikan Ibnu Sahnun terdiri dari dua bagian, Pertama, Pendidikan yang mengikat, yaitu mempelajari al-Quran. Kedua, Pendidikan yang tidak mengikat atau suka rela yaitu mempelajari ilmu pengetahuan yang lainnya seperti ilmu matematika, syair, bahasa arab, tulis menulis, dan seluruh nahwu (Sahnun, tt.: 69). Dalam hal pembelajaran al-Quran dan urgensinya, Sahnun (tt.: 69) telah merincinya dengan jelas, dan ia banyak mengungkapkan beberapa ayat alQuran dan hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang keutamaan orang yang belajar dan mengajarkan al-Quran. Beliau sangat menganjurkan untuk mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, berdasarkan ayat (QS: al-Fathir: 12): G#Å C°%XT ´N\CÊ ÍZÚ °% [k\FXT ÈOÈXn µ×®\y µ1WmÉÙ ³!ÖkWÃ [k\F ©DWmÔUWÙ s©SW*ÔRd W%XT C°% SÅÓW*×W*° Wm¦\XSW% °Oj°Ù \Ú ÁÝÙ sWmV"XT \IW5S¾WÚ V"
“Kemudian Kami wariskan al-Qur’an kepada orang-orang yang kami pilih dari para hamba Kami.” (QS. Al-Fathir: 12).
Juga haditas Nabi yang berbunyi: “Orang yang paling utama di antara kalian adalah orang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya”.
Serta dikuatkan oleh hadits nabi yang menerangkan kedudukan dan keutamaan orang yang belajar dan mengajar al-Quran yang diriwayatkan Bukhori: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-quran dan mengajarkannya” “Allah mengangkat derajat kaum dengan al-Quran” “Pelajarilah oleh kalian al-Quran, karena sesungguhnya ia menghilangkan nifak (kemunafikan) sebagaimana api menghilangkan kotoran besi (karat)”
Sahnun dalam Syamsuddin (1985:42) sangat menganjurkan adanya wajib belajar atau menuntut ilmu bagi anak-anak, terutama mempelajari ilmu
198
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Al-Qur’an. Karena menurutnya, mempelajari Al-Qur’an sebagai sumber ilmu akan dapat menghapus kebodohan, dapat memelihara dan menjaga agama (Islam) dan agar memperoleh kebahagiaan di akhirat, maka oleh karena itu wajib bagi setiap muslim-muslimah untuk menuntut ilmu terutama mempelajari al-Quran. 1.
Materi Pembelajaran al-Quran Dipaparkan pula oleh Sahnun, konsep yang harus diikuti pendidik dalam mengajarkan al-Quran kepada anak didik. Ia seperti dikutip Hijazi (1995: 65): “Pendidik wajib mengajarkan anak didiknya tentang i’rab al-Quran, syakal, huruf hijaiyah, khat yang baik, membaca yang baik, waqaf, tartil, dan ini semua merupakan suatu keharusan”. Dengan latar belakangnya yang bermazhab Maliki, maka dalam jenis bacaan al-Quran ia menganut qira’ah Madinah, yaitu qira’ahnya Nafi yang dianggapnya sebagai qira’ah terbaik. Meskipun demikian, ia tetap membolehkan untuk mengajarkan jenis bacaan lainnya atau mengajarkan bacaan sahabat-sahabat nabi (Imam Nawawi, 1988: 67). Ibnu Sahnun memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajarkan penyimpangan bacaan al-Qur’an, karena Imam Malik mengatakan, “tidak boleh membaca dengan lahn, dan saya tidak melihat perlu mengajarkan syair sebab hal ini mendorong kepada bernyanyi, dan hal itu makruh”. Dan dia beranggapan bahwa itu dilarang keras (Syamsuddin, 1985: 42). Di sini terlihat bahwa Ibnu Sahnun ternyata sangat mementingkan bacaan dengan materi-materi seperti tersebut di atas, namun beliaupun tidak menafikan kemampuan menulis sebagai penunjang kemampuan membaca. Menurut Syamsuddin (1985: 42), di samping belajar al-Qur’an, beliau sangat menganjurkan pula untuk mempelajari ilmu-ilmu selain Al-Qur’an. Karena ilmu pengetahuan yang lainnya ini pun berasal dari al-Qur’an. 2.
Adab Belajar al-Quran Adab pelajar dalam mempelajari al-Quran yang dikemukakan Ibnu Sahnun adalah akhlak mulia seperti yang diajarkan agama, sunah dan syar’i. serta menekankan pada hubungan baik antara guru dan murid dan juga bagaimana praktek pengamalan Al-Qur’an yang merupakan kewajiban dasar bagi siswa agar siswa memberikan penghormatan terhadap Al-Qur’an setinggitingginya.
Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an
199
Selain itu, siswa diwajibkan membaca Al-Qur’an pada waktu dan tempat yang seharusnya. Al-Qur’an tidak boleh dibaca di jalan-jalan umum atau kamar mandi, karena sebagian ulama fikih mewajibkan wudu atau bersuci terlebih dahulu sebelum membaca Al-Qur’an. Namun dibolehkan bagi anak-anak untuk tidak berwudlu terlebih dahulu karena ia belum balig. Di antara adab yang lain membaca al-Qur’an menurut Ibnu Shahnun sebagaimana disampaikan Hijazi (1995: 70-71) adalah bahwa: a. Apabila dibacakan ayat-ayat sajadah di depan anak-anak kemudian mereka mengulang-ulangnya maka guru tidak harus bersujud, kecuali jika anak-anak menginjak dewasa, itu pun terserah pada yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak. b. Waktu pembelajaran al-Quran sebaiknya dimulai dari pagi (saat Dluha) sampai tergelincir matahari. c. Guru dilarang untuk memindahkan materi (dari surat ke surat lainnya) sebelum siswa hafal dengan bacaan i’rab dan tulisannya. 3.
Adab guru dan kewajibannya dalam mengajarkan al-Quran Pokok-pokok ajaran Ibnu Sahnun tentang adab guru dan kewajibannya harus berdasarkan hukum agama dan hukum syari. Antara lain apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak, kapan guru menerima upah dan berapa besarnya serta kapan guru boleh menerima hadiah serta yang lainnya. Menurut Ibnu Sahnun di antara adab guru adalah memberikan hukuman kepada anak didik, namun bukan hukuman badan. Guru boleh memberikan hukuman badan kepada anak didik apabila ada kesalahan perbuatan atau salah dalam belajar al-Qur’an (Alavi, 1988: 70). Itu pun jelas memperoleh izin dari orang tua. Hukuman badan tersebut dibatasi maksimal 3 kali pukulan rotan, dan dilakukan bukan pada bagian muka atau kepala. Sebab wilayah muka dan kepala merupakan bagian yang sangat vital dari tubuh manusia dan menurutnya guru dilarang menghukum siswa yang usianya kurang dari 10 tahun. Hal ini didukung oleh hadits nabi dari Muhammad bin Sahnun dari Ya’qub bin Humaid dari Waki’ dari Hisyam bin Abdillah bin Abi Bakar dari Nabi SAW bersabda: ‘Tidak dihalalkan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir memukul lebih dari sepuluh kali pukulan kecuali ada batasannya” (Sahnun, tt.: 76).
200
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Selanjutnya, dalam bentuk lain, hukuman dapat dilakukan dengan melarang siswa makan dan minum. Hal ini sekaligus melatih anak untuk berpuasa. Di samping itu ada ketentuan-ketentuan khusus yang harus dimiliki oleh seorang guru seperti harus ikhlas, taqwa, peka terhadap masalah dan penyayang (Hijazi: 1995: 81). Adapun yang berkenaan dengan pemberian upah atau gaji guru, menurut Ibnu Sahnun pemberian upah bagi guru yang mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan sekuler, telah menjadi praktik umum sehari-hari. Akan tetapi, seorang guru yang menerima gaji sangat dilarang keras menerima atau mengumpulkan hadiah dari anak murid, atau menyuruh mereka memberikan sesuatu kepadanya (Hijazi: 1995: 71). Akan tetapi guru juga boleh menentukan gaji atas profesinya setelah disepakati dengan wali murid. Guru harus berlaku adil dalam menghadapi siswa dan berkewajiban mengawasi kegiatan belajar siswa. Tentang upah guru dijelaskan dalam Adab al-Mualimin, dari Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada Atha’, “Apakah aku boleh mengambil upah dari mengajar al-Quran? Apakah engkau mengetahui ada seseorang yang membencinya?, ‘Atho menjawab, “Tidak”. (Sahnun, tt.). Imam Malik bahkan menganjurkan seorang guru untuk menerima upah atas pengajarannya, bahkan ia mewajibkannya (Hijazi: 1995: 71).. Jadi kesimpulan dari penjelasan di atas bahwa jika kita ingin mengambil upah dari mengajar al-Quran diperbolehkan, akan tetapi hal itu pun tidak melepaskan niat guru dari sifat ikhlas dan taqwanya kepada Allah, serta tidak menjadi beban bagi siswa dan orang tuanya. 4.
Metoda pengajaran al-Quran menurut Ibnu Sahnun Metode pengajaran al-Quran yang dianjurkan Ibnu Sahnun adalah metode eklektik atau campuran. Di mana materi pelajaran disampaikan dengan metode ceramah, diskusi, hapalan dan pemahaman, dimana semua itu merupakan ide-ide pembelajaran yang terprogram (Hijazi: 1995: 72). Dalam metode ceramah, guru menyampaikan penjelasan satu ayat AlQur’an dan siswa menyimak dan mencatatnya, kemudian guru membacakan ayat tersebut dan siswa mengulanginya sampai hafal. Metode ini disampaikan dalam bentuk halaqoh (Hijazi: 1995: 72).
Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Belajar Mengajar Al-Qur’an
201
Selanjutnya, dalam menghadapi hal-hal yang sulit dan penting, dapat digunakan metode diskusi, di mana siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya serta dapat diambil solusi yang baik terhadap masalah tersebut sebelum berlanjut pada materi berikutnya. Dalam metode diskusi ini siswa dapat memilih tema dari materi yang akan dibahas, kemudian dikaji dan didiskusikan bersama-sama. Guru bertindak sebagai moderator dan menengahi pendapat para siswa. Setelah dicapai kesepakatan baru dapat dipindahkan pada materi berikutnya. Dengan metode diskusi ini diharapkan siswa mengetahui dasar-dasar metode diskusi dan adab mendengar atau menyimak. Metode menyimak ini ditujukan untuk menguatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Dan waktu pelaksanaan diskusi dikhususnya setiap akhir minggu dan dilaksanakan secara terprogram. Jadi metode pembelajaran Ibnu Sahnun lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat memotivasi siswa agar senantiasa bertukar pikiran dan berdialog dan berkompetisi dalam meraih prestasi. Yaitu metoda yang membangkitkan kesadaran agama dan menjaga tata krama. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa Ibnu Sahnun sangat menekankan pendidikan anak pada usia dini, terutama pendidikan tentang al-Qur’an. Karena dengan mempelajari al-Qur’an sebagai sumber ilmu di usia dini dapat menghapus kebodohan dan menciptakan potensi Islami bagi anak, karena ajaran al-Qur’an akan begitu melekat dalam dirinya serta mengakar. Sebagaimana pepatah arab mengatakan “belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”. Pemikiran pendidikan Ibnu Sahnun terlihat lengkap dan terprogram, khususnya untuk zaman klasik di mana hanya beberapa tokoh saja yang menekuni bidang pendidikan. Dari konsep-konsepnya itu kita dapat menemukan beberapa hal yang masih relevan untuk zaman sekarang. Untuk konsep pembelajaran al-Qur’an yang dikemukakannya ia pun lebih menekankan kemampuan membaca, hafalan dan pemahaman dibandingkan menulis, dan metode itu pula yang banyak digunakan sekarang ini, yaitu dengan adanya metode belajar membaca cepat, baik sistem dua
202
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
jam, sembilan jam, metode iqra¸ qira’ati, amtsilati, dan lain-lain, yang semuanya lebih mementingkan pada kemampuan membaca dan pemahaman dibanding kemampuan lainnya. Dengan metode pembelajarannya inilah diharapkan dapat menghapuskan wabah buta huruf al-Qur’an dan kebodohan di kalangan umat Islam. Karena ia merupakan orang pertama yang menyusun konsep pendidikan dan metode pembelajaran, maka sudah selayaknya kalau ia dianggap sebagai pioner di dunia pendidikan, di mana konsepnya dapat dijadikan acuan oleh tokoh pendidikan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Daim, Abdullah Abdul. 1964. Tarikh al-Tarbiyah. Dimasqi. Allavi, Ziauddin. 1988. Muslim Educational Thought in The Middle Ages. Terj. Abuddin Nata. New Delhi: Atlantic Publishers and Distribution. Nawawi, Imam. 1988. Al-Tibyan fi Adabi hamalati al-Quran, terj. Surabaya: Pustaka Progressif. Nata, Abudin. 2000. Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press. Sahnun, Muhammad. Ttp. Kitab Adab al-Muallimin, ditahkik oleh Mahmud ‘Abdul Maula. Aljazair: al-Syarikat al-wathoniah li al-Nasyr wa al-Tauzi’. Syamsudin, Abdul Amir. 1985, Al-Fikru al-Tarbawi inda Ibnu Sahnun wa al-Qabisi. Beirut: Dar al-Iqra’. Hijazi, Abdurahman Utsman. 1995. Al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda Ibnu Sahnun. Beirut: Al-Maktab al-Ashriyah.
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 203
ISMA’IL RAJI AL-FARUQI THE FOUNDING FATHER ISLAMISASI PENGETAHUAN M. Sugeng Sholehuddin* Abstract: The presence of Ismail Raji al-Faruqi’s ideas who had dared to offer a rationale for Islamizing science is a startling breakthrough at that time. However, what was imagined by Muslim intellectuals at that time was that the idea was very heavy to be resolved immediately. Ismail Raji al-Faruqi noted that Muslims were subjugated by the West, all life aspects, such as military, political, economic, legal, and educational system had been exploited. Therefore, Ismail Raji al-Faruqi wanted to restore all those channels with the religious spirit of Islam. In the building of modern civilization Ismail Raji al-Faruqi did not depart from zero, in spite of that he departed from the existing civilization by organizing infilteration values derived from monotheism. Kata kunci: islamisasi ilmu pengetahuan, pendidikan
PENDAHULUAN Islam merupakan agama yang paling dibenarkan oleh Allah dibandingkan dengan agama-agama lain yang ada di muka bumi ini (QS. Ali Imran : 19). Di samping itu Islam juga merupakan agama sempurna (QS. Al-Maidah : 3). Namun dalam perkembangannya, Islam mengalami pasang surut kejayaan. Islam mengalami kejayaannya, yaitu pada masa Bani Abbasiyah, dan kemudian perlahan-lahan mengalami kemunduran di segala bidang kehidupan. *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
204
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pada masa kejayaan Islam, Islam mampu mengakomodasi peradabanperadaban luar ke dalam peradaban Islam, tetapi sekitar abad ke-19, ide-ide dan pengaruh Barat yang asing bagi kebudayaan Islam, telah menembus imperium Usmaniyah. Dan beberapa bagian wilayah Islam telah jatuh ke tangan kekuasaan Barat. Misalnya Mesir, jatuh ke tangan Napoleon Bonaparte pada tahun 1798. Pada awalnya kaum muslimin ditundukkan oleh Barat, terutama melalui militer dan politik. Kemudian mereka secara ekonomis dieksploitir. Pengaruh Barat terhadap dunia Islam, menyebabkan hukum, sistem pendidikan, religius dan intelektual melalui berbagai saluran. Sejarah telah mencatat berbagai tokoh pemikir yang telah menyumbangkan pemikirannya dalam peradaban dunia. Seperti Ismai’il Raji Al-Faraqi, yang telah berusaha merubah pandangan dunia tentang ilmu pengetahuan yang Islami, sehingga beliau mengeluarkan konsep tentang Islamisasi pengetahuan. Dalam tulisan ini akan dibahas salah seorang tokoh yang pemikiranpemikirannya terutama dalam bidang pendidikan selalu diarahkan untuk mengembalikan visi Islam, yaitu Isma’il Raji Al-Faraqi, yang semasa hidupnya pernah manjabat sebagai direktur Lembaga Pengkajian Islam Internasional. BIOGRAFI Isma’il Raji Al-Faraqi merupakan ilmuan muslim terkemuka pendiri pusat pengkajian Islam di Temple University Philadelphia, AS. Beliau dilahirkan di Jaffa, sebuah daerah di Palestina, ketika Palestina belum direbut oleh Israel. Dia dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1921 (Van Hoeve, 1993 : 334). Dia merupakan penentang Zionis Israel, bahkan hingga wafatnya, dia masih berpendapat bahwa negara Israel harus dirobohkan. Pendidikan pertama yang diperolehnya yaitu di masjid dan kemudian di sekolah biara. Dari masjid ke biara, perubahannya sangat besar dan berbeda, tetapi hal tersebut justru memberikannya bekal dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi, 1998: 6). Setelah memperoleh pendidikan di College Desferes selama 1 tahun yaitu tahun 1926 – 1636. Kemudian dia melanjutkan studinya di American University sampai memperoleh gelar B.A. (Bachelar of Arts) pada tahun 1941 M. Selanjutnya dia menjadi pegawai pemerintah Palestina dalam mandat
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 205
Inggris selama 4 tahun. Berkat prestasinya, dia diangkat menjadi gubernur di porpinsi Gailee (Haris, 1998 : 2). Pada tahun 1949, Al-Faruqi melanjutkan belajaranya kembali. Dia kuliah di Indiana Unversity hingga memperoleh gelar dalam bidang filsafat. Setelah 2 tahun kemudian, dia juga memperoleh gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Harvard University. Gelar Doktor diraihnya dari Indiana University. Dan dia juga memperdalam pengetahuan keislaman di Universitas Al-Azhar selama 4 tahun (Haris, 1998 : 3). Pada tahun 1959, dia memberi kuliah sebagai dosen pada Mc Gill University Monteral Kanada. Tahun 1961, dia menggabungkan diri dalam kegiatan Ventral Institut for Islamic Research di Karachi Pakistan. Di sana dia hanya 2 tahun, kemudian dia pindah ke Amerika dan mengajar di fakultas agama University of Chicago. Selanjutnya ia memulai program pengkajian Islam di Syracuse University, New York. Sekitar 5 tahun kemudian tahun 1968, dia menjadi profesor di Temple University Philadelphia. Dia mendirikan pusat pengkajian Islam di sana. Dia mengabdikan pada Universitas itu sampai akhir hayatnya. Al-Faruqi merupakan satu tipe intelektual yang lahap dan penulis sangat produktif. Selama hidupnya dia telah menulis sebanyak seratus artikel. Hampir semua ilmu dijelajahinya, dari etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi, dan lain-lain. Kemudian disajikan dalam bentuk yang lebih komprehensif dan saling berhubungan. Pada tahun 1962, dia menerbitkan buku pertamanya, “On Arabism, Urabh and Religions. An Analysis of the Dominant Edeas og Arabism and of Islam as it’s Highst Moment of Conciousness”. Pada 1964, “Christian Ethics” lalu diikuti dengan buku “Historical Atlas of the Religions of the World, The Great Asian Religions, dan The Cultur Atlas of Islam. Juga Tawhid : It’s Implication for Though and Life.” Isma’il Raji Al-Faruqi wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1406 H atau 27 Mei 1986. Dia dibunuh oleh 3 orang yang tak dikenal, di wilayah Cheltelham, Philadelphia (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi, 1998 : 8). Maka untuk mengenang beliau, The Internasional Institut of Islam Though (IIIT), Washington DC, tahun 1993 memberi penghargaan bagi karya-karya akademis yang istimewa. Penghargaan ini dikenal sebagai “Isma’il Al-Faruqi Award”.
206
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
SETTING SOSIAL Al-Faruqi hidup pada abad XX, yaitu tahun 1921-1986. Dia tinggal di Palestina, kemudian hijrah ke Amerika dan wafat di sana. Pada masa hidupnya, banyak sekali pengaruh Barat terhadap dunia Islam, terutama dalam bidang sains modern dan teknologi. Dalam menggapai pengaruh Barat tersebut, Umat Islam terjadi diversifikasi, sehingga umat Islam dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : Pertama : Kelompok yang menerima baik seluruh yang datang dari Barat. Kedua : Kelompok yang menolak segala yang berasal dari Barat. Ketiga : Kelompok yang menerima peradaban Barat dengan merubah atau setidaknya menambah nilai-nilai yang terkandung dalam peradaban tersebut. (Abd. Haris, 1998 : 1) Adapun Isma’il Raji Al-Faruqi dapat ditempatkan pada kelompok muslim yang ketiga. Konsep Islamisasi Pengetahuan yang dicanangkannya mempunyai pengaruh besar kepada para intelektual muslim lain, seperti Ja’far Syaikh Idris dari Sudi Arabia Osman Bakar dari Malaysia dan sebagainya. Menurut pandangan Ismai’il Al Faruqi umat Islam waktu itu dalam keadaan yang lemah (Jalaluddin dan Usman Said,tt:159). Kemerosotan muslim dalam zaman kemunduran menyebabkan kebodohan. Di kalangan kaum muslim berkembang buta huruf, kebodohan dan tahayul. Akibatnya muslim yang awam lari dari keyakinan, yang buta huruf bersandar kepada literalisme dan legalisme atau menyerahkan diri kepada pemimpin mereka. Sehingga umat menjadi fanatik secara harfiyah kepada Syari’at dan meninggalkan sumber kreativitas. Zaman kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan, terutama bidang ekonomi telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Dalam keadaan seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagai kaum muslimin tergoda oleh kemajuan barat tersebut dan berupaya untuk mengadakan reformasi dengan cara westernisasai. Ternyata jalan yang ditempuh itu menghancurkan umat Islam itu sendiri. Keadaan tersebut menyebabkan integritas kultur Islam terpecah dalam diri mereka sendiri, terpecah dalam pemikiran, perbuatan dalam rumah tangga dan keluarga mereka.
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 207
Dari segala problem tersebut dikatakannya bahawa pendidikanlah yang menjadi masalah pokok kaum muslimin, dan pendidikan pula yang akan menjawab segala problem tersebut. Sebab bagaimanapun juga, pendidikan tidak hanya membawa kamajuan pada suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan umat, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan ketimpangan dan kemunduran. Adalah suatu kenyataan bahwa umat Islam sudah dua abad sampai memasuki abad modern dan mengumandangkan pembaharuan di segala bidang tetapi sampai sekarang masih dalam keadaan terpuruk. Dewasa ini dunia pendidikan Islam telah banyak dipengaruhi oleh berbagai etika, sehingga memberikan dampak negatif terhadap sistem kehidupan dan kehidupan umat Islam. hal ini antara lain karena etika kurang dihayati dan diamalkan dalam kehidupan, hingga terjadi kemerosotan moral dan terjadi pergeseran sumber rujukan akhlak dari sumber yang Islami ke sumber-sumber bukan Islam. keadaan ini, menurutnya mempercepat timbul dualisme dalam sistem pendidikan dan kehidupan umat Islam yang sekaligus berarti menimbulkan dualisme dalam sitem akhlak. dan secara keseluruhan dia melihat bahwa umat Islam telah mengalami suatu masalah malaise (Jalaluddin dan Usman Said, tt : 160). Begitu buruk kondisi umat Islam menurut pandangannya, seperlu dilakukan suatu pemecahan masalah umat secara tuntas. Dalam kebutuhan hidup yang bersifat strategis, makanan pokok, pakaian, energi dan perlengkapan militer, tak ada negara Islam yang berswasembada. Karena itu setiap negara Islam akan mengalami bencana kelaparan, jika negara-negara Barat karena alasan tertentu akan menghentikan perdagangan yang tidak menguntungkan mereka. Mungkin ada yang melihat kemajuan industri yang dicapai beberapa negara Islam, namun tidak dimaksudkan untuk memenuhi hal-hal yang sangat mereka butuhkan. Industri tersebut hanya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan sekadarnya yang sengaja diciptakan oleh iklan kolonial yang bersifat intensif. Janji palsu untuk memberikan kehidupan yang lebih baik di kota-kota, godaan untuk bekerja di berbagai usaha pembangunan yang spekulatif, serta diberbagai usaha industri barang-barang konsumsi maupun eksploitasi para tuan tanah melalui pungutan pajak menyebabkan petani-petani muslim tersingkir kedesa-desa. Adapun uang hasil penjualan minyak negara-negara muslim lebih banyak disimpan di negara non muslim yang hasil simpanannya itu digunakan untuk memperkuat musuh-musuh Islam. AL-Faruqi melihat bahwa kemajuan
208
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
yang dicapai umat Islam merupakan kemajuan yang semu (Jalaluddin dan Usman Said, tt: 161). Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat modern, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber dari moral agama. Disinilah dia melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya umat Islam mengambl sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat modern. Pandangan yang dualisme ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami oleh umat Islam bahkan sudah mencapai tingkat serius yang disebut malaise. Gejala dualisme itu akan menjadi kian parah, terutama di karenakan westernisasi yang terjadi, telah menembus ke bidang akademis. Banyak pemuda-pemuda muslim yang berpendidikan Barat memperkuat weternisasi dan sekularisasi di lingkungan perguruan tinggi dan universitas. Menurut pandangannya, meskipun kaum muslimin sudah menggunakan sistem pendidikan sekuler Barat, namun baik mereka yang lulusan universitas maupun para cendikiawan tidak menghasilkan sesuatupun yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena pendidikan di dunia Islam tidak memiliki wawasan yang Islami. Gejala ini olehnya disebut sebagai the lock of vision, kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil. Dan untuk menghilangkan gejala ini menurutnya dengan melalui pendidikan (Jalaluddin dan Usman Said, tt : 162). Gejala yang dinilai Al-Faruqi sebagai kehilangan visi di kalangan umat Islam tersebut, adalah merupakan krisis mentalis muslim dewasa ini. Sebab dapat memperburuk kondisi umat Islam, jika dibiarkan berlarut-larut, dan usaha mengatasinya belum terlihat nyata. Ijtihat baru yang dilakukan, hanya terbatas pada masalah hukum dan belum menghasilka konsep dasar dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara pendidikanpun tidak menghasilkan muslim yang diharapkan, karena pendidikan yang mereka terima cenderung menjauhkan mereka dari visi Islam. demikianlah kondisi dan keadaan umat Islam waktu itu, sehingga menurut pandangannya perlu adanya perubahan-perubahan. LANDASAN BERPIKIR ISMA‘IL RAJI AL-FARUQI Al-Faruqi percaya bahwa Islam adalah solusi bagi problem yang dihadapi manusia sekarang. Karenanya dia tidak bosan mengingatkan umat Islam yang berlebihan melakukan weternisasi, dan melakukan tindakan-
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 209
tindakan tanpa perencanaan yang matang dan tepat (Isma’il Raji Al-Faruqi dan Lois Lamnya Al-Faruqi, 1998 : 6) Al-Faruqi membahas permasalahan dan perubahan secara komprehensip dan integeral, berdasarkan kehidupan sosial secara global menuju proses idealitas perubahan. Dan dengan melihat konsep, pemikiran, dan langkah yang telah ia perbuat dapat diketahui metode yang digunakannya yaitu “Analitik Paedagogi Sosiographick Methode”, dimana metode tersebut suatu metode pendidikan bagi masyarakat, kemudian dianalisa untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut pandangannya bahwa ilmu pengetahuan Islam bukan cahaya tiba-tiba dalam kesadaran orang yang mengalami pengalaman mistis, meski berapa sufi muslim mendefinisikannya demikian. Ia juga bukan informasi dan pencerahan yang datang secara subjektif melalui perenungan. Ilmu pengetahuan Islam adalah pemahaman rasional empiris dan intuitif tentang setiap bidang realitas. Ilmu pengetahuan Islam sangat jauh dari spekulasi. Kebencian Islam terhadap pengetahuan spekulatif bukanlah anti intelektualisme. Tapi ini merupakan puncak kritik. Pencarian manusia tidak akan pernah berhasil tanpa strategi dan ekonomis. Ilmu itu tak terbatas, dan tak ada jalan pintas menuju ilmu. Sedangkan jalan menuju ilmu sukar dan memerlukan pendisiplinan aplikasi diri dan dedikasi, terutama jalannya pajang dan menghabiskan banyak waktu, tetapi manusia dianugerahi karunia yang mempengaruhi mencari dan mencapai tujuannya (Isma’il Raji Al-Faruqi dan Lois Lamnya Al-Faruqi, 1998 : 262). Al-Faruqi berkeinginan kembalinya visi Islam dalam bidang pendidikan, juga agar umat Islam dalam mencari ilmu dengan cara rasional. Sehingga teorinya tersebut dapat disebut teori “Hilostik Idealisasi Perspektif Teoritis” yaitu suatu teori yang mendasarkan pada harapan depan menuju proses idealis untuk memajukan masyarakat ideal. IDE POKOK PENDIDIKAN ISMA‘IL RAJI AL-FARUQI Pada dasarnya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting dapat dipilih menjadi dua, yaitu mengenai tauhid sebagai paradigma peradaban dan islamisasi pengetahuan (Haris, 1998 : 4). A. Tauhid Sebagai Paradigma Peradaban Menurutnya, tauhid dalam kaitannya dengan peradaban mempunyai dua dimensi. Pertama tauhid mempunyai dimensi metodologis. Yaitu tauhid sebagai
210
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
prisip pertama etika, aksiologi, sosial, dan estetika. Pemahaman terhadap tauhid yang berdimensi metodologis maupun isi tersebut dalam kaitannya dengan membangun peradaban Islam itulah yang menjadi dasar paradigma peradaban yang dikemukakannya. Menurutnya, tauhid adalah esensi Islam. tauhid itulah yang memberikan identitas pada peradaban Islam yang mengikat semua unsur bersama-sama yang menjadikan unsur-unsurnya tersebut satu kesatuan yang integral dan organis yang kita sebut peradaban. Dalam mengikat unsur-unsur yang berbeda tersebut, esensi peradanan tauhid, membentuk mereka dengan cetakannya sendiri. Ia mencetak unsur-unsur itu agar saling selaras dan saling mendukung. Tanpa mengubah sifat-sifat mereka, esensi tersebut mengubah unsur-unsur yang membentuk suatu peradaban dengan memberikan ciri baru sebagai bagian dari peradaban tersebut. Tauhid sebagai esensi dan ciri dari ajaran Islam, menurutnya adalah merupakan pandangan umum dari realitas, kebenaran, ruang dan waktu, serta sejarah dan nasib manusia. Ia menyatakan bahwa dalam ekonomi, manusia hanya mempunyai hak pakai harta benda, sedangkan hak mutlak berada pada Allah. demikian pula dalam bidang politik, kekuasan tertinggi berada pada Allah. Tauhid sebagai esensi pengalaman agama dalam diri seorang muslim, akan memberi pemahaman bahwa dalam pandangannya realita ada dalam dua tata order yang terpisah, yaitu yang natural dan transenden (Jalaluddin dan Said, tt: 163). Melalui pengalaman agama ini (yang berintikan tauhid) maka dalam pandangan Islam, realisasi kehidupan harus mengabdi pada suatu tujuan dan natur suatu fitrah yang tak dapat diidentikkan dengan pandangan filsafat ciptaan manusia (aliran-aliran filsafat). Esensi pengalaman agama atas dasar tauhid ini adalah merupakan realisasi bahwa kehidupan tidaklah sia-sia. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN Menurut pandangannya, umat Islam mengalmai krisis mentalitas pada zaman modern ini, karena satu sisi mereka telah berkenalan dengan peradaban Barat, namun di lain sisi mereka kehilangan pijakan yang kokoh berupa pedoman hidup yang bersumber dari moral agama. Krisis yang dialami oleh umat Islam akan berlarut-larut dan akan memperburuk keadaan mereka sendiri apabila dibiarkan begitu saja. Dia melihat ilmu-ilmu sosial Barat masih memiliki kelemaham metodologi maka seharusnya ilmu-ilmu tersebut diislamisasikan artinya ilmu-ilmu pengetahuan Barat dengan ajaran tauhid Islam. menurutnya,
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 211
islamisasi pengetahuan itu merupakan langkah strategis dalam mengatasi kebodohan dan kelemahan, bahkan kemunduran umat Islam. Menurutnya tujuan dari rencana kerja islamisasi pengetahuan yang telah dicanangkannya adalah : 1. Penguasaan disiplin ilmu modern. 2. Penguasaan khasanah Islam. 3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern. 4. Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern. 5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT (al-Faruqi, 1984 : 98) Untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu, sejumlah langkah harus diambil menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing langkah tersebut, yaitu ada 12 langkah yang diperlukan untuk mencapai islamisasi pengetahuan. Kedua belas langkah itu adalah: 1. Penguasaan disiplin ilmu modern : penguraian kategori. 2. Survei disiplin ilmu. 3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi. 4. Penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa. 5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6. Penilain kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya dimasa kini. 7. Penilain kritis terhadap khasanah Islam : tingkat perkembangannya di masa kini. 8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam 9. Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10. Analisa kreatif dan sintesa. 11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam : Bukubuku daras (teks) tingkat universitas. 12. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah disampaikan (Isma’il raji Al-Faruqi, 1984 : 118) Adapun untuk mempercepat islamisasi pengetahuan tersebut juga diperlukan alat-alat bantu yaitu konferensi-konferensi, seminar-seminar, dan loka karya untuk pembinaan staf.
212
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Menurutnya, islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin di bawah kerangka Islam, berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsipprinsip, dan tujuan-tujuan yang sesuai dengan : 1.
2.
3.
4.
5.
Keesaan Allah Keesaan Allah adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap yang Islmi. Itulah prinsip bahwa Allah adalah Allah, bahwa tak ada sesuatupun yang selain dari padaNya, Dia tunggal secara mutlak, selain dari Dia adalah terpisah dan berbeda dengan Dia serta merupakan ciptaanNya. Kesatuan alam semesta. Alam semesta adalah sebuah keutuhan yang integral karena merupakan karya penciptaan tunggal yang aturan dan desain yang telah diciptakanNya, termasuk bagian alam semesta tersebut. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. Kesatuan kebenaran merumuskan bahwa, berdasarkan wahyu kita tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan realitas, pernyataan yang diajarkan wahyu tentulah benar, pernyataan-pernyatan itu harus berhubugan dan sesuai dengan relaitas. Kesatuan kebenaran juga merumuska bahwa tidak ada kontradiksi, perbedaan, atau variasi diantara nalar dan wahyu, yang merupakan prinsip yang bersifat mutlak. Kesatuan hidup Manusialah yang sanggup memikul amanah, kesanggupan manusia memikul amanah ini, menempatkannya di atas para malaikat. Adalah wajar jika manusia mengisyaratkan dan memiliki, mencintai, kawin dan memperoleh keturunan, merebut dan menjalankan kekuasaan, dan lain sebagainya. Islam mengendaki aktivitas-aktivitas ini berlanjut terus, tidak seperti Kristen dan Budha. Kesatuan umat manusia. Umat manusia adalah satu dan sama, inilah landasan dari universaisme Islam. Semua manusia adalah sama di mata Tuhan, yang membedakannya adalah perbuatan-perbuatan moral mereka (Taqwa) dalam prestasi kultural atau kebudayaan (al-Faruqi, 1984 : 55-97).
Isma’il Raji Al-Faruqi merupakan tokoh intelektual yang senantiasa memperhatikan umat Islam melalui konsep dan gagasannya. Konsep dan gagasannya ia lahirkan secara universal dan holistik, sehingga ia terkesan terlalu
Isma’il Raji Al-Faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan 213
ideal, dan belum dapat direalisasikan secara menyeluruh. Lewat konsep islamisasi pengetahuan sempat menggemparkan dunia, bahkan di Barat khawatir akan bangkitnya Islam. Al-Faruqi sangat menekankan dan menjiwai akan persoalan umat. Gagasannya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Meskipun konsep tentang islamisasi ilmu pengetahuan banyak dikritik oleh para ilmuan. Namun gagasannya itu telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap usaha-usaha mendekatkan kembali sains modern dengan sumber ilmu sebenarnya yaitu Allah Swt., selain itu juga memberikan sumbangan yang besar terhadap penyusunan materi pendidikan Islam. Gagasan yang dicanangkan Al-Faruqi tenatang islamisasi pengetahuan merupakan gagasan yang baru, sehingga gagasan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Dia dalam membangun peradaban Islam yang modern, tidak berangkat dari titik nol, namun berangkat dari peradaban yang sudah ada dengan mengadakan infiltrasi nilai-nilai yang bersumber dari tauhid. Dan masalah Islamisasi ilmu pengetahuan tampaknya juga berpijak dari paradigma yang didasarkan pada pemahaman terhadap tauhid. SIMPULAN Gagasan dan ide pendidikan al-Faruqi benar-benar ekstrim karena menganggap pendidikan Barat menerapkan konsep pendidikan yang sekuler. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan ruh Islam. Oleh karena itu umat Islam harus menpunyai bentuk khas pendidikan menurut ajaran Islam. Ismail Raji‘ al-Faruqi mengecam bila umat Islam hanya meniru konsp pendidikan Barat tanpa mengetahui atau meninjau aspek yang sebenarnya. Konsp pendidikan al-Faruqi merupakan suatu komoditi bagi pengembangan dunia pendidikan Islam. Pola yang disampaikan merupakan suatu paradigma yang perlu inovasi baru karena dari semua konsep yang berkembang adalah epistimologi tentang pendidikan Islam. Terlebih lagi gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan ide pokok bagi perkembangan dinamika pendidikan Islam. Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam konteks kemajuan pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan yang berkembang secara terus menerus dan menjadikan pendidikan Islam berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
214
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA Al-Faruqi, Isma’il Raji dan Lois Lamnya Al-Faruqi. 1998. The Cultur Atlas of Islam. Penerjemah Ilyas Hasan, Bandung: Mizan. Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Penerjemah Anas Mahyiddin. Bandung: Pustaka. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam Volume IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 2000. Problem dan Prospek IAIN Antopologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Depag RI. Haris, Abd. 1998. Jurnal IAIN Sunan Ampel (Isma’il Raji Al-Faruqi Tauhid sebagai Paradigma Peradaban). Edisi XII Tahun 1998. Harun, Nasution. 1972. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lembaga Studi Agama dan Filsafat.1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Ciputat: CV. Guna Aksara. Nasution, Harun. 1975. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang. Van Hoeve.1993. Ensiklopedia Islam 1. Jakarta: Ichtiar Baru.
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 215
TELAAH HISTORIS PERTUMBUHAN PUSAT PENDIDIKAN ISLAMDI JAWA SAMPAI PERIODE PERANG JAWA Moh. Slamet Untung* Abstract: This paper tries to study and criticize an interesting topic of Islamic education center in Java in the context of history up to the Java War period. There are two important things that will be studied related to the topic, first, the chronology of growth and development of Islam in Java, and second, a center of Islamic education in sociocultural perspective by placing the Java community institutions such as the center of education activity. The dynamics of growth and development of Islamic educational institutions are influenced by not only internal factors of the founders, but also the external factors that are global. Accumulatively - integratively, both effects fuse and produce a format and style of Islamic educational institutions as will be described through this study. Kata kunci: Islam, institusi pendidikan, jawa.
PENDAHULUAN Historisitas pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Nusantara khususnya di Jawa ditandai antara lain oleh keberadaan institusiinstitusi pendidikan Islam sebagai sentra aktivitas kependidikannya. Dalam segala manifestasinya, pusat pendidikan Islam memiliki bentuk yang bervariasi dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra (2001: vii) pusat *. Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Pekalongan e-mail:
[email protected]
216
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
pendidikan Islam tersebut memiliki relasi substansial dan fungsional, yakni menjadi wahana berlangsungnya aktivitas kependidikan Islam yang berfungsi sebagai instrumen penanaman akidah dan doktrin-doktrin keislaman. Pertumbuhan institusi pendidikan Islam di Jawa berlangsung secara gradual, yaitu bermula dari yang sangat sederhana sampai kepada tahapan yang boleh dikatakan lengkap. Sepanjang sejarah, institusi pendidikan Islam telah memainkan peran dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pada masanya. Meskipun pada tahap awal pertumbuhannya berbentuk sangat sederhana, institusi pendidikan Islam yang lahir seiring dengan kedatangan Islam di Nusantara, dalam sejarah pertumbuhannya tidak pernah steril dari problematika yang dihadapinya. Satu hal yang patut dicatat, bahwa pendidikan Islam dengan institusi pendidikannya telah memberi warna tersendiri perjalanan sejarah Nusantara ini –bangsa Indonesia di kemudian hari. Perubahan yang terjadi dalam perkembangan umat Islam di Indonesia berdampak pada pasang surut sejarah pendidikan Islam yang menunjukkan sebuah dinamika tertentu. Pertanyaannya ialah bagaimana sesungguhnya perjalanan historis institusi pendidikan Islam yang telah eksis di Nusantara dan secara intens memiliki peran sosio-kultural yang besar, di samping peran politiknya yang tidak bisa dinafikan. Perlu ditegaskan, bahwa tulisan ini mencoba mengelaborasi dan mengeksplorasi institusi pendidikan Islam di Jawa sejak kedatangan Islam pertama kali di pulau tersebut dan mencoba menjelaskan bagaimana pertumbuhan institusi tersebut sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu hingga pecah Perang Jawa (1825-1830) yang menandai masa keemasan (golden age) pendidikan Islam selama periode Kerajaan Islam Mataram. Di samping itu, akan dibahas peran sosio-kultural dan edukatif-religius yang dimainkan oleh pusat pendidikan Islam tersebut dalam rentang waktu yang dimaksud. TEORI KEDATANGAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA DI NUSANTARA Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kedatangan Islam pertama kali di Nusantara ini. Menurut sebagian sarjana terutama asal Belanda, asal-usul Islam di Nusantara ini adalah Anak Benua India tepatnya Gujarat, tiba di Nusantara pada abad ke-12. Teori ini dikembangkan oleh Snouck
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 217
Hurgronye yang berargumen bahwa begitu Islam menetap kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan –banyak di antara mereka menetap di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara– datang ke dunia Melayu –Indonesia sebagai para penyebar agama Islam pertama. Teori lain berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal dengan alasan bentuk dan gaya batu nisan yang terdapat di Pasai termasuk batu nisan Malik ash-Shalih justru mirip dengan batu nisan yang ada di Bengal. Teori ini masih diperdebatkan, misalnya berkaitan dengan keberadaan madzhab yang dianut umat Islam di Nusantara (Madzhab Syafi’i) dan madzhab umat Islam di Bengal (Madzhab Hanafi). Ada juga teori yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara dibawa oleh para dai Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Pendukung teori ini berargumen bahwa mayoritas umat Islam di Nusantara adalah pengikut Madzhab Syafi’i yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar sebagaimana disaksikan oleh Ibn Bathuthah ketika berkunjung ke kawasan ini. Teori lain menyebutkan bahwa Islam dibawa langsung dari Arabia ke Nusantara. “Teori Arab” ini banyak diterima oleh sebagian pakar Indonesia. Mengenai kedatangan Islam ke Indonesia, mereka menyimpulkan bahwa Islam bukan dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Teori-teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara di atas didasarkan pada hasil temuan Azyumardi Azra dalam disertasi doktornya (Azra, 1999: 24-28). Berbeda dari Azra, Taufik Abdullah (1991: 35) menjelaskan bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Berdasarkan literatur Arab, banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Pada abad ke-7 Masehi/ke-1 Hijriah, Islam telah masuk ke Nusantara, akan tetapi baru berkembang pada abad ke-13 Masehi. Perluasan Islam tersebut ditandai oleh berdirinya kerajaan Islam tertua di Nusantara seperti Perlak, Samudra Pasai di Aceh pada 1292 dan 1297. Melalui sentra-sentra perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara, dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, Islam kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke Indonesia Bagian Timur. Meskipun di sana terjadi peperangan, tetapi Islam masuk ke
218
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Nusantara –dan konversi agama dari Hindu ke Islam– secara umum berlangsung damai (Hasbullah, 1999: 17). Menurut sebagian ahli, di antara para dai pertama Islam di Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim. Menurut sebuah laporan, Maulana Malik Ibrahim mengislamkan sebagian besar wilayah pesisir utara Jawa dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk Raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramavardhana supaya masuk Islam. Akan tetapi tampaknya setelah kedatangan Raden Rahmat –putra seorang dai Arab di Campa– Islam memperoleh momentum di Istana Majapahit. Raden Rahmat –bergelar Sunan Ampel– dianggap mempunyai peran menentukan dalam proses islamisasi pulau Jawa. Sunan Ampel mulai mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam pertama yang menjadi cikal bakal pesantren di Nusantara. INSTITUSI-INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM DI JAWA: PERSPEKTIF SEJARAH Sejarah pendidikan Islam di Nusantara, pada periode awal didasarkan pada sistem kedaerahan –dan tentu tidak terkoordinir dan tersentralisir seperti sekarang ini. Masing-masing daerah berusaha mengembangkan pendidikan dan pengajaran Islam sendiri. Oleh karena itu, pendidikan Islam antara daerah satu dengan lainnya saling berbeda. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia memberikan gambaran bahwa kontak-kontak pertama antara pengembangan Agama Islam dengan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat menunjukkan adanya akomodasi kultural. Di samping bermula dari persinggungan dalam dunia perdagangan, sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam tidak jarang terjadi pula dalam suatu kontak intelektual. Kedatangan bangsa Barat di satu sisi telah membawa kemajuan di bidang teknologi, akan tetapi kemajuan tersebut tidak dinikmati penduduk pribumi. Sebagai penjajah, Belanda telah melakukan proses pembodohan terhadap penduduk pribumi. Belanda berbeda dari bangsa-bangsa penjajah lain seperti Inggris misalnya. Belanda telah bertindak tidak fair dan gentle terhadap penduduk pribumi Nusantara. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidik adalah westernisasi dan kristenisasi untuk kepentingan Barat dan Nasrani (Hasbullah, 1991: 47-48). Pada penghujung abad ke-19, berbagai macam bentuk penyelenggaraan dan institusi pendidikan Islam seperti pendidikan dalam bentuk rumah, surau/ langgar, masjid, dan pesantren sederhana mulai dikenal. Pendidikan yang
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 219
diselenggarakan di rumah lebih menekankan pelajaran praksis seperti tauhid dan materi ibadah dasar. Spesifikasi materi pelajaran belum dilakukan dan pelajaran belum diberikan secara terstruktur rapi. Pendidikan yang diselenggarakan di langgar dibagi dalam dua tingkatan; tingkatan dasar yang disebut pengajian Alqur’an dan tingkatan lanjutan yang disebut pengajian kitab. Tingkatan dasar memberikan materi pelajaran huruf hijaiah, juz ‘Amma dan Alqur’an. Anak yang telah menyelesaikan pengajian Alqur’an dapat melanjutkan ke pengajian kitab. Materi pengajian kitab mencakup nahwu sharaf, tafsir, dan fiqih. Pada awal perkembangannya, pendidikan Islam di Jawa diselenggarakan secara informal. Sambil berdagang para dai Muslim melakukan aktivitas pendidikan lewat dakwah. Mereka memberikan materi pendidikan dan pengajaran Islam melalui tindakan nyata (bi al-hal) dalam bentuk keteladanan. Mereka berperilaku sopan, ramah, ikhlas, amanah, jujur, dan menghormati adat istiadat lokal yang berlaku. Pendidikan yang diselenggarakan di langgar/masjid bersifat elementer dimulai dengan mempelajari huruf hijaiah atau seringkali secara langsung mengikuti guru menirukan bacaan Alqur’an. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar/masjid ialah membaca Alqur’an secara baik dan benar tanpa memahami kandungannya. Metode pembelajaran di langgar/masjid menggunakan sistem sorogan –anak secara individual belajar kepada ustadz/ kiai– dan sistem halaqah –seorang ustadz/kiai duduk bersila memberikan materi pelajaran dikelilingi murid-murid (Hasbullah, 1991: 21-23). Pesantren merupakan salah satu pusat pendidikan Islam di Jawa pada awal perkembangan Islam di sana sebagai pranata pendidikan Islam tradisional yang dipimpin oleh seorang kiai/ulama. Di pesantren, para santri mempelajari berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning. Berkaitan dengan sejarah pesantren, Abdurrahman Mas’ud (1999: 8) menjelaskan: Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), “Spiritual Father” Walisongo, dalam masyarakat Santri Jawa biasanya dipandang sebagai guru-nya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.
220
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pada abad ke-15, di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur telah ditemukan komunitas Muslim yang dipelopori Walisongo yang pada 1428 mendirikan Masjid Demak sebagai pusat agama terpenting di Jawa. Bagi komunitas Muslim, keberadaan Masjid Demak bukan hanya sebagai pusat peribadatan semata, tetapi juga sebagai pusat pendidikan Islam mengingat institusi pendidikan pesantren pada periode awal ini belum menemukan bentuk finalnya. Pada dasarnya masjid dan pesantren merupakan center of excellence yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian Muslim (Mas’ud, 1999: 11). Selanjutnya Mas’ud (1999: 12) menjelaskan upaya yang dilakukan “Bapak Pesantren” Maulana Malik Ibrahim dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan pesantren: Approach dan wisdom Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling keagungan Muhammad Saw. serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Barang kali karena modeling ini pula gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Maulana Malik Ibrahim mampu eksis dan berkembang dari abad ke abad sampai kini. Menurut Dhofier (1992: 13), akar sejarah pesantren berasal dari perkembangan institusi pendidikan Islam yang disebut “nggon ngaji” yang menyelenggarakan pengajian Alqur’an seperti langgar/surau. Dhofier menjelaskan fenomena “nggon ngaji” ini sebagai berikut: Traditionally Qur’anic Schools in Indonesia did not have clear denominative terms except that the place where the students were engaged in these educational activities were called “nggon ngaji” meaning the place where students learn to read the Qur’an. Students who took part in this Islamic education activity were denoted by their action “ngaji qur’an”, meaning learning to read the Qur’an.
“Nggon ngaji” merupakan Qur’anic Schools yang mengajarkan bacaan al-Qur’an dengan mengambil tempat di rumah, surau/langgar, atau masjid sebagai cikal bakal institusi pesantren. Dhofier (1991: 14) menjelaskan, “it is very important to note that these qur’anic schools in Indonesia were
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 221
traditionally a part of a wider traditional Islamic education called pesantren”. Pendidikan Islam tradisional yang disebut “nggon ngaji” belum memiliki kelas permanen seperti yang ada sekarang ini. Jenis pendidikan ini memiliki tingkatan bervariasi. Selanjutnya Dhofier (1991: 15) menjelaskan: All “nggon ngaji”, however, were not of the same kind; they were in fact, highly stratified. They started with the earliest elementary form of education at home in which instruction was given mostly by parents: this consisted of memorizing some short “surah” (chapters) from the qur’an beginning when a child was about five years old. At the age of seven or eight, a child was taught to read the Arabic alphabet usually by his older brothers or sisters until he mastered the ability to read the Qur’an. Skill in reading the Qur’an, as it was understood by Javanese Moslems, needed continuous training by qualified teachers. To gain a better standard of reading, then the child had to attend further training, which was mostly available in mosques ….
Secara historis, pesantren merupakan salah satu di antara sistem pendidikan Islam tradisional di Indonesia yang memiliki kedudukan dominan. Dhofier (1991: 15) menyatakan: …the strength of Islamic education in Indonesia is still in its pesantren system. The dominant position held by pesantren is partly due to their success in producing numerous highly qualified ulama who are imbued with the calling to spread Islam and to strengthen the faith among Indonesia Moslems. As advanced Islamic training centers, the pesantren also produces teachers ….
Meskipun pesantren bukan satu-satunya institusi pendidikan Islam di Indonesia, pesantren telah membentuk beberapa kecenderungan Islam di Indonesia seperti dijelaskan Martin van Bruinessen (1992: 27), “The pesantren (or pondok, surau, dayah, as it is called elsewhere) is not the only institution of Moslem religious education, and the tradition it embodies is only one of several tendencies within Indonesian Islam.” Kalangan ahli masih memperdebatkan kapan pesantren didirikan pertama kali. Meskipun prototype pesantren dalam bentuk embrio telah ada pada masa Maulana Malik Ibrahim. Fakta sejarah ini diakui juga oleh Bruinessen (1992: 32) yang mengatakan:
222
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
We know very little of the precise origins of the pesantren, not even when the institution made its first appearance. Much that has been said about early pesantren seems to be based on an extrapolation th into the past of the 19 century institution and on much speculation. Pigeaud dan de Graaf seperti dikutip Bruinessen (1992: 32) menyebut pesantren sebagai tipe kedua dari sentra keagamaan yang penting di samping masjid, telah muncul pada awal abad ke-16: … pesantren as a second type of important religious centers, beside th the mosques, for a period as early as the 16 century: independent communities, often located faraway in the mountains, and having their origins in the pre-Islamic mandala and ashrama.
Perkembangan pesantren pada abad ke-17 merupakan titik puncak dari proses perkembangan pendidikan Islam sebelum akhir abad ke-19, ketika Sultan Agung –Raja Mataram– memerintah antara 1613-1645. Sultan Agung yang bergelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama ing Tanah Jawi adalah kepala negara yang salih dan menjadi salah satu referensi utama dunia santri. Sultan Agung membina relasi harmonis dengan ulama. Harmonisasi hubungan Sultan Agung dengan para ulama telah menempatkan dirinya sebagai pemimpin negara yang disegani dan mengakar di masyarakat. Dia menawarkan tanah perdikan kepada kaum santri dan member iklim kondusif bagi kehidupan intlektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300 pesantren. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, pesantren telah dibedakan menjadi pesantren besar (master pesantren), pesantren spesial yang mengkhususkan pada cabang ilmu tertentu, dan pesantren tarikat. Sistem pendidikan Islam di Jawa sebelum abad ke-19 mencapai kejayaaanya ketika Sultan Agung memerintah (Mas’ud, 1999: 15-17). Menurut Mas’ud selanjutnya, puncak kejayaan Islam pra abad ke-20 terjadi pada masa Kerajaan Islam Mataram. Meskipun puncak kejayaan tersebut berangsur-angsur surut hingga pada saat berakhirnya perlawanan rakyat Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1785-1855) yang terkenal dengan Perang Jawa (1825-1830). Pangeran Diponegoro adalah simbol Mujahid Jawa yang menjadi model terbaik bagi kaum santri karena kegigihan perlawanannya terhadap kolonial Belanda dalam Perang Diponegoro. Hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan dunia pesantren dijelaskan oleh Mas’ud (1999: 21) sebagai berikut:
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 223
Diponegoro memperoleh dukungan besar dari para kiyai dan santri. Hubungan Pangeran ini dengan dunia pesantren bukanlah hal yang baru, karena dia sendiri pernah memperoleh pendidikan di tempat yang sama. Anti kolonialisme Diponegoro tampaknya didasari atas panggilan dan sentimen keagamaan ….
PUSAT-PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI JAWA SAMAPAI PERANG JAWA Menurut Bruinessen (1992: 32), sebagian peneliti melihat bahwa di desa perdikan wahana kontinyuitas yang menghubungkan pesantren dengan institusi keagamaan pra Islam dapat dilacak. Tidak diragukan lagi bahwa perdikan sebagai institusi terhormat dan beberapa desa perdikan pada abad ke-19 dalam realitasnya telah menikmati status tersebut sejak masa-masa pra Islam. Namun demikian, tampaknya bahwa eksistensi pesantren di sebuah desa perdikan merupakan sesuatu yang sangat insidental. Dari 211 desa perdikan yang tercantum pada survei akhir abad ke-19, hanya ada 4 desa perdikan di mana pajak secara eksplisit diperuntukkan bagi pemeliharaan pesantren. Di dalam desa perdikan di mana terdapat pesantren, di sana biasanya terdapat makam yang secara spiritual memiliki potensi fungsi keagamaan yang dihormati. Makam yang terdapat di sekitar desa perdikan dirawat oleh tokoh-tokoh agama yang berpengaruh. Karena peran pengajaran keagamaan inilah, orang-orang itu lantas melembagakan peran tersebut dalam bentuk pesantren dengan santri berasal dari penduduk setempat. Institusi pendidikan Islam yang dapat disebut pesantren paling tua ialah Pesantren Tegalsari yang didirikan pada 1742 dan masih berfungsi hingga saat ini. Hal ini didasarkan pada survei pertama Belanda mengenai institusi pendidikan asli Indonesia yang dilakukan pada 1819. Institusi semacam pesantren sesungguhnya telah ada sejak masa Hindu-Budha (Noer, 2001: 89). Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam yang tumbuh melalui proses wajar atas perkembangan sistem pendidikan Islam. Pesantren ialah tempat belajar para santri, sedangkan pondok ialah rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu (Noer, 2001: 89). Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan urgensi moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994: 55). Pesantren yang berdiri di Nusantara, khususnya di Jawa
224
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
dimulai dan dibawa oleh Walisongo, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren yang pertama kali didirikan ialah pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim (wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 822 H/8 April 1419) di Gresik (Noer, 2001: 92). Menurut Yunus (1979: 217), pada 1475 Raden Patah –Raja Demak Pertama– mendirikaan pesantren di hutan Glagah Arum di sebelah barat Jepara. Pesantren ini tumbuh pesat, sehingga Glagah Arum –sebuah kampung kecil– berkembang pula, dan akhirnya berubah menjadi sebuah kota kabupaten yang kemudian dikenal Bintara dengan Raden Patah sebagai bupatinya. Dalam perkembangan selanjutnya pesantren menjadi pranata penddikan Islam yang menyatu dengan aktivitas dakwah sehingga menurut A.H. Johns institusi inilah yang menentukan watak keislaman pada masa kerajaan Islam. Bahkan menurut J.L. Peacock, selama lebih dari tiga abad (1600-1945) pesantren berkembang sebagai sistem pendidikan umum bagi bangsa Indonesia (Jalaluddin, 1990: 8). Sentra pendidikan Islam tradisional di Jawa lainnya sebelum akhir abad ke-19 ialah langgar/masjid. Menurut penelusuran Mahmud Yunus (1979: 218219), masjid pertama yang didirikan di Jawa ialah Masjid Sikayu (1477) terletak di sebelah barat dekat Semarang. Pendidikan dan dakwah Islam mengalami perkembangan pesat pasca berdirinya Kerajaan Islam Demak. Raden Patah selaku penguasa memberikan dukungan dan mendorong aktivitas-aktivitas kependidikan Islam. Di pusat suatu daerah didirikan masjid yang dijadikan sebagai pusat pendidikan Islam dan dikelola seorang badal. Ketika Mataram naik menggantikan Pajang pada 1575 dan Sultan Agung berkuasa (1613-1645) terjadi perubahan dan peningkatan pendidikan Islam secara signifikan. Sultan Agung melakukan upaya adaptasi budaya lama yang bercorak Hindu menjadi budaya baru yang bercorak Islam. Misalnya grebeg diadaptasi dengan Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi, gamelan sekaten dipukul pada acara grebeg di halaman Masjid Besar, mengganti Tahun Saka dengan Tahun Jawa. Sultan Agung juga memerintahkan agar di setiap ibukota kabupaten didirikan sebuah Masjid Gede, dan di setiap ibukota kecamatan didirikan Masjid Kawedanan. Demikian juga di setiap desa didirikan Masjid Desa atau Langgar. Langgar merupakan pranata pendidikan Islam dasar di Jawa pada awal perkembangan Islam. Menurut Deliar Noer (1996: 14), pengajaran di langgar dimaksudkan untuk mempelajari membaca Alqur’an. Pada tahapan ini,
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 225
mempelajari Alqur’an hanya difokuskan pada membaca atau mengulang bacaan, bukan memahami kandungannya. Pembelajaran diberikan tidak dalalm ruang kelas yang teratur. Seorang ustadz mengajar santri seorang demi seorang secara bergantian, sedangkan yang belum atau sudah memperoleh giliran mengulang kembali bacaan itu. Kemajuan antara santri satu dengan santri lainnya tidak sama tergantung pada kecakapan masing-masing. Ustadz yang mengajar di langgar biasanya berasal dari mereka yang telah menyelesaikan pelajaran agama ala kadarnya di suatu pesantren. Dalam perspektif dakwah, langgar/masjid sebagai sentra pendidikan Islam memiliki peran signifikan. Bahkan sistem pendidikan Islam langgar/masjid dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara sebelum kemunculan pesantren. Dalam pengertian sederhana, pada awalnya pendidikan Islam langgar/masjid dapat dikatakan sebagai institusi pendidikan formal sekaligus institusi pendidikan sosial. Meskipun menurut Hasbullah (1991: 132), pada tahap awal ini sebenarnya telah dibedakan antara penyelenggaraan pendidikan Islam di langgar dan masjid. Pendidikan Islam di langgar merupakan pendidikan tingkat dasar yang disebut pengajian Alqur’an. Pendidikan tingkat lanjutan disebut pengajian kitab diselenggarakan di masjid. Materi pendidikan Islam di langgar di samping membaca Alqur’an juga praktik ibadah. Pembelajaran diberikan secara langsung melalui praktik/contoh teladan. Lama belajar Alqur’an di langgar tidak ditentukan tergantung pada kemampuan, bahkan situasi dan kondisi setempat. PERAN EDUKATIF-RELIGIUS DAN POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM Kultur pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya bagi komunitas santri Jawa merupakan sebuah model ideal. Para pendiri dan pengisi nilai-nilai edukatif pesantren –Walisongo– memandang bahwa mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Corak pendidikan Islam di pesantren tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai dasar sufisme yang dikembangkan Walisongo. Antara tarikat dan pesantren di Jawa terdapat relasi kuat. Dua elemen ini saling memperkuat dari abad ke abad. Relasi istimewa yang dibangun antara Sultan Agung dengan para ulama telah menyadarkan rakyat akan urgensi hubungan antara umara’ dan ulama. Bersama para ulama, Sultan Agung menunaikan shalat Jum’at dan diikuti tradisi musyawarah serta mendengar fatwa-fatwa keagamaan dari para ulama (Mas’ud, 1999: 15).
226
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Sentiment keagamaan rakyat Jawa yang direpresentasikan oleh Pangeran Diponegoro memunculkan sikap anti kolonialisme dalam segala bentuknya. Sikap yang demikian itu disebabkan oleh hasil pendidikan yang diperoleh dari pendidikan langgar/masjid atau pesantren. Pada saat Pangeran Diponegoro “memberontak” penguasa zalim Belanda dia memperoleh support yang tidak kecil dari para kiai/ulama dan para santrinya. Pengaruh agama telah memainkan peran dalam memotivasi perlawanan rakyat terhadap penguasa kafir Belanda. Dalam hal ini Mas’ud (1999: 22) menguraikan sebagai berikut: Agaknya heroisme kebangsaan dan intelektualisme keagamaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kaum santri. Keduanya membutuhkan tokoh ideal dalam bentuk kepemimpinan efektif dan fungsional bagi komunitas ini. Dari point ini bisa dipahami jika tokoh-tokoh Walisongo, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dipandang sebagai pemimpin umat yang harus dicontoh. Islam memiliki andil besar selama Perang Jawa. Berkaitan dengan peran Islam tersebut, Roff (1989: 43) menjelaskan: Peranan tertinggi dimainkan Islam dalam memberikan ideologi bagi revolusi yang membangun kepercayaan dan praktik Islam suci secara definitif, dengan perjuangan melawan kekuasaan asing. Sangat mungkin, tampaknya bahwa satu akibat dari Perang Jawa itu ialah diperkuatnya kedudukan ulama di kalangan petani.
Uraian singkat di atas diharapkan dapat memberikan ilustrasi mengenai peran yang dimainkan institusi pendidikan Islam di Jawa pada awal perkembangannya. INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM SAMPAI PERANG JAWA Proses islamisasi dan konversi penduduk Jawa pada abad ke-15 tidak akan berjalan mulus tanpa dukungan dari institusi pendidikan Islam yang berpusat di rumah, langgar/masjid, dan berikutnya pesantren. Fakta historis tentu akan berbicara lain seandainya para founding fathers pesantren secara all out terjun ke medan kekuasaan tanpa mempedulikan pusat-pusat pendidikan Islam tersebut. Kepedulian para founding fathers pesantren mendirikan Masjid Demak merupakan langkah strategis yang patut dicatat. Masjid Demak (didirikan
Telaah Historis Pertumbuhan Pusat Pendidikan Islamdi Jawa... 227
pada 1428) menjadi bagian integral dari pusat dakwah Islam di Jawa. Masjid tersebut didirikan atas inisiatif para Walisongo tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi sentra pendidikan Islam sebelum kemunculan pesantren. Pertumbuhan pusat pendidikan Islam pada saat itu berpengaruh signifikan terhadap pembentukann komunitas Muslim di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-15. Dalam beberapa hal, langgar –sebagai pusat pendidikan Islam tradisional– menjadi simbol bagi kesatuan umat setempat yang lazim dipimpin seorang modin (berasal dari kata imam ad-din) atau kiai langgar. Sejak awal pertumbuhannya, langgar bukan saja sebagi tempat ibadah terutama shalat, akan tetapi ia merupakan sentra masyarakat Islam lokal. Para modin atau kiai langgar merupakan seorang ‘patriarch’ yang memimpin umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di samping sebagai guru ngaji, seorang modin atau kiai langgar juga seorang imam shalat dan sekaligus sebagai orang yang dipandang ‘sepuh’ dalam komunitasnya. Pada masa awal pertumbuhannya, sebagian besar langgar didirikan atas prakarsa pribadi pemiliknya. Warga desa yang kaya atau mereka yang pulang dari menunaikan ibadah haji mendirikan langgar di pekarangan rumah mereka. Di samping memiliki makna religius bagi si pemilik langgar, mendirikan langgar bermakna prestise yang tinggi. Belajar di langgar dikenal ngaji/ngaos atau ngaji alip-alipan karena yang dipelajari ialah huruf-huruf dasar Arab (hijaiah dari alif sampai wawu). Dan karena ngaji itu diselingi hafalan ayat-ayat atau surat-surat pendek dari Alqur’an, maka belajar di langgar disebut pula ngaji apalan/turutan. Mereka yang telah menamatkan (khatam) pelajaran di langgar dapat melanjutkan pengajian kitab di pesantren. Institusi pesantren telah tumbuh dan berkembang pada ‘zaman kewalen’ (masa kewalian). Dukungan ulama dan kedekatan penguasa dengan mereka membuka pintu selebar-lebarnya bagi pertumbuhan pesantren. Sultan Agung Mataram memberikan tanah perdikan kepada para kiai dan santri yang dimanfaatkan untuk institusi pendidikan Islam tersebut. Pada masa Sultan Agung ini sudah dikenal pesantren dasar (mengajarkan Alqur’an, tauhid, dan praktik ibadah), pesantren menengah (mengajarkan kitab di serambi masjid), pesantren besar (mengajarkan “kitab besar” yang ditulis dalam bahasa Arab untuk diterjemahkan ke dalam bahasa daerah), dan pesantren takhassus (mengajarkan spesialisasi ilmu tertentu).
228
FORUM TARBIYAH Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Pandangan hidup yang dibangun oleh tata nilai yang dikembangkan pesantren pada masa lampau dapat dilihat dari manifestasinya dalam kesediaan komunitas pesantren untuk menerima hidup bersahaja, berkorban secara tulus untuk meraih cita-cita agung menjadi insan salih (kebiasaan tirakat), dan kebanggaan pada pola hidup sebagai santri. Sebagai pusat pendidikan Islam tradisional, pesantren telah terlibat langsung dalam menempa kader-kader mujahid fi sabilillah. Namun sejarah juga mencatat, kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) menandai suatu era di mana pendidikan Islam (pesantren khususnya) mulai surut pada medium abad ke-19. SIMPULAN Seiring kedatangan Islam di Pulau Jawa, secara bertahap institusi pendidikan Islam muncul. Sejarah merekam bahwa pusat-pusat pendidikan Islam tradisional di Jawa seperti langgar, masjid, dan pesantren memiliki andil tidak kecil dalam memberi warna perjalanan bangsa Indonesia. Secara intensif pusat-pusat pendidikan Islam tradisional di Jawa tersebut tumbuh dan berkembang sepanjang pertengahan abad ke-15 dan mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke-18. Secara historis, institusi langgar/masjid memiliki peran signifikan dalam pengajaran membaca Alqur’an. Di samping dua institusi pendidikan Islam tradisional tersebut, pesantren ialah institusi pendidikan Islam tradisional lainnya. Pada awal pertumbuhannya, pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tradisional yang amat sederhana. Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren menjadi bagian integral dari aktivitas dakwah Islam yang memberikan watak keislaman pada masa Imperium Islam di Jawa. Eksistensi pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari figur Walisongo. Hal itu dapat dilacak dari peran yang dimainkan Walisongo dalam merintis mendirikan langgar, masjid, dan pesantren. Puncak kejayaan pendidikan Islam sebelum abad ke-20 terjadi pada masa Kerajaan Mataram Islam. Kejayaan tersebut berangsur surut sampai ketika Perang Jawa (1825-1830) berakhir. Secara institusional pendidikan Islam pada saat itu mengalami deklinasi, akan tetapi semangat pendidikan Islam tersebut tetap terpelihara dan hidup hingga masa sebelum dan sesudah Kemerdekaan Indonesia. Satu hal yang patut dicatat di akhir kajian ini ialah bahwa dari pusat-pusat pendidikan Islam itulah denyut jantung dan nafas kehidupan Islam terus bergerak maju sampai sekarang ini.