DAFTAR ISI BAB. I
PENDAHULUAN …………………………………………………………. A. Latar Belakang …………………………………….…………..……... Tujuan Instruksional Umum …………………………………………... Tujuan Instruksional Kusus ……………………….…………………..
01 01 01 01
BAB II
MEKANISME DETEKSI DAN PENCACAHAN ………………..………. A. Prinsip dasar Kerja Alat Ukur Radiasi …….………………………….. B. Pengelompokan Alat Ukur Radiasi ……………………..……………. C. Mekanisme Deteksi Radiasi ………………………………………….. 1. Proses Ionisasi ……………………………………………..…….. 2. Proses Sintilasi ……………………………………………..……. 3. Proses Termoluminensi ……………………………………..…… 4. Efek Pemanasan …………………………………………….…… 5. Reaksi Kimina ………………………………….……………….. D. Cara Pengukuran Radiasi …………………………………………….. 1. Cara Pulsa ………………………………...……………………… 2. Cara Arus ………………………………………………………… E. Sistem Pencacahan …………………………………………………… 1. Sistem Pencacahan Integral ……………………………………. 2. Sistem Pencacahan Differencial ………………………………..
02 02 03 04 04 04 05 06 06 07 07 08 10 11 11
BAB III
DETEKTOR ISIAN GAS …………………………………………………. A. Sistem Kerja ……………………………….…………………………. B. Detektor Kamar Pengionan ……………....…………………….…….. C. Detektor Proporsional …………………….………………………….. D. Detektor Geger Muller ………………………………….…………….
13 13 18 20 22
BAB IV.
DETEKTOR SEMIKONDUKTOR ……………………………………….. A. Sistem Kerja ………………………………………………….……….. B. Jenis Detektor Semikonduktor ………………………………………... C. Kelebihan Detektor Semikonduktor ………………………………….
31 31 33 36
BAB V.
DETEKTOR SINTILASI ………………………………………………….. A. Sistem Kerja ………………………….……………………………….. B. Bahan Sintilasi ……………….……………………………………….. C. Jenis Detektor Sintilasi ……………………………………………….. D. Tabung Photomultiplier ……………………………………………….
36 37 38 38 39
BAB VI.
DETEKTOR NEUTRON …………………………………………………. A. Sistem Kerja ………………………………………………………….. B. Jenis Detektor Neutron ……………………………………………….. 1. Boron Trifluoride Proportional Counter …………………………
42 42 43 43
2. 3. 4. 5.
Boron Lined Proportional Counter ……………………………… Halium Proportional Counter …………………………………… Gas Recoil Proportional Counter ……………………………….. Superheated Drop Detector ………………………………………
44 44 44 45
BAB VII
ALAT UKUR RADIASI PERORANGAN ……………………………….. A. Sifat Alat Ukur Radiasi Perorangan …………………………….......... B. Jenis-Jenis Alat Ukur Radiasi/ Monitor Radiasi Perorangan …………. 1. Dosimeter Saku ………………………………………………….. 2. Fim Badge ……………………………………………………….. 3. Dosimeter Termoliminensi (TLD) ………………………………. C. Bioassay dan Whole Body Counting ………………………………….
46 46 47 47 49 53 56
BAB VIII
PEMANTAUAN LINGKUNGAN ……………………………………….. A. Monitor Radiasi ………………………………………………………. B. Monitor Kontaminasi ………………………………………………….
58 58 60
BAB IX
SPEKTROSKOPI …………………………………………………………. A. Sistem Kerja ……………………………………………….………….. B. Resolusi …………………….…………………………………………. C. Analisis Kualitatif …………………………………………………….. D. Analisis Kuantitatif ……………………………………………………
61 61 64 64 64
BAB X.
PEMILIHAN, UJI FUNGSI DAN KALIBRASI ………………………….. A. Pemilihan Alat Ukur Radiasi …………………………………………. B. Uji Fungsi Alat Ukur Radiasi ………………………………………… C. Kalibrasi Alat Ukur Radiasi …………………………………………..
65 65 66 68
Daftar Pustaka ………………………………………………………………
70
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Alat ukur radiasi dibutuhkan bukan hanya karena radiasi tidak dapat dirasakan oleh panca indera manusia, tetapi juga karena kita membutuhkan nilai-nilai tertentu dari sumber radiasi seperti aktivitas dan dosis. Modul ini berisi penjelasan mengenai berbagai tipe dan karakteristik alat ukur radiasi untuk berbagai keperluan proteksi radiasi. Karena fokus pembahasan terhadap “peralatan”, maka modul ini tidak membahas mengenai dosimeter biologis. Tujuan Instruksional Umum Setelah perkuliahan ini diharapkan para siswa mampu memahami prinsipprinsip dasar deteksi dan pengukuran radiasi, serta menguasai pemilihan jenis-jenis alat alat ukur radiasi dalam kaitannya dengan proteksi radiasi. Tujuan Instruksional Khusus Setelah perkuliahan ini diharapkan para siswa mampu: 1. Menjelaskan perbedaan kuantitas, energi, dan dosis radiasi; 2. Menguraikan mekanisme pemantauan radiasi; 3. Menjelaskan prinsip kerja, keunggulan, dan kelemahan detektor isian gas, sintilasi, semikonduktor, dan emulsi fotografi; 4. Menguraikan penggunaan dosimeter perorangan, surveimeter, dan monitor radiasi; 5. Menjelaskan prinsip kerja, keunggulan dan kelemahan detektor saku, film badge, dan TLD; 6. Menjelaskan tata cara penggunaan surveimeter; 7. Menguraikan prinsip kalibrasi alat ukur radiasi untuk proteksi; 8. Menjelaskan sistem pencacahan differensial dan integral serta sistem spektroskopi.
1
BAB II MEKANISME DETEKSI DAN PENCACAHAN A. Prinsip Dasar Kerja Alat Ukur Radiasi Hal yang paling mendasar untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah mengetahui besarnya radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi (zat radioaktif atau mesin pemancar radiasi), baik melalui pengukuran maupun perhitungan. Keberadaan radiasi tidak dapat dirasakan secara langsung oleh sistem panca indera manusia. Radiasi tidak bisa dilihat, dicium, didengar, maupun dirasakan. Oleh sebab itu, untuk keperluan mengetahui adanya dan mengukur besarnya radiasi, manusia harus mengandalkan pada kemampuan suatu peralatan khusus. Pada
prinsipnya,
pendeteksian
dan
pengukuran
radiasi
dengan
menggunakan alat ukur radiasi memanfaatkan prinsip-prinsip kemampuan interaksi (saling-tindak) antara radiasi dengan materi. Setiap alat ukur radiasi selalu dilengkapi dengan detektor yang mampu mengenali adanya radiasi. Apabila radiasi melewati bahan suatu detektor, maka akan terjadi interaksi antara radiasi dengan bahan detektor tersebut (terjadi pemindahan energi dari radiasi yang datang ke bahan detektor). Perpindahan energi ini menimbulkan berbagai jenis tanggapan (response) yang berbeda-beda dari bahan detektor tersebut. Jenis tanggapan yang ditunjukan oleh suatu detektor terhadap radiasi tergantung pada jenis radiasi dan bahan detektor yang digunakan. Pendeteksian keberadaan dan atau besarnya radiasi dilakukan dengan mengamati tanggapan yang ditunjukan oleh suatu detektor. Untuk mengukur besarnya tanggapan yang diberikan oleh bahan detektor, maka detektor tersebut dihubungkan dengan peralatan khusus yang mampu mengubah tanggapan-tanggapan tersebut menjadi sinyal-sinyal elektronik. Selanjutnya, sinyal-sinyal elektronik tersebut diubah/dikonversikan ke dalam besaran tertentu. Dengan menggunakan faktor konversi tertentu, besaran-besaran tersebut dapat ditampilkan secara digital/analog sebagai 2
hasil akhir berupa angka-angka yang menunjukan besarnya radiasi yang diterima oleh bahan detektor. B. Pengelompokan Alat Ukur Radiasi Hingga saat ini, telah dikembangkan berbagai jenis alat ukur radiasi dengan spesifikasi dan keunggulannya masing-masing. Dilihat dari garis besar pemanfaatannya, alat ukur radiasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: (1). Untuk kegiatan proteksi radiasi, dan (2). Untuk kegiatan aplikasi/penelitian radiasi nuklir. alat ukur radiasi yang digunakan untuk kegiatan proteksi radiasi harus memiliki kemampuan untuk menunjukan nilai intensitas atau dosis radiasi yang mengenai alat tersebut. Nilai intensitas atau besaran dosis radiasi yang ditunjukkannya itu
dapat
dijadikan sebagai bahan acuan oleh seorang pekerja radiasi untuk dapat langsung mengambil tindakan tertentu. Sedangkan alat ukur radiasi yang digunakan untuk kegiatan aplikasi radiasi dan penelitian biasanya ditekankan memiliki kemampuan untuk dapat menampilkan nilai kuantitas /spektrum energi dari radiasi yang mengenainya. Dari segi cara pembacaannya, alat ukur radiasi juga dapat dibedakan pula menjadi dua kelompok, yaitu: (1). Alat ukur pasif, yaitu alat ukur radiasi yang hasil pengukurannya tidak dapat dibaca secara langsung, melainkan harus melalui proses khusus terlebih dahulu. Contoh alat ukur radiasi pasif, antara lain: Film badge dan TLD badge. (2). Alat ukur aktif, yaitu alat ukur radiasi yang hasil pengukurannya dapat dibaca secara langsung. Contoh alat ukur radiasi aktif, antara lain: surveimeter dan dosimeter saku. Selain itu, berdasarkan fungsinya terhadap manusia atau lingkungan, alat ukur radiasi dapat dibedakan pula menjadi dua kelompok, yaitu: (1). alat ukur radiasi untuk pemonitoran dosis perseorangan, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur besarnya radiasi yang diterima oleh tubuh manusia. Alat ini dapat berupa alat ukur aktif atau alat ukur pasif, dan (2). alat ukur radiasi yang digunakan untuk pemonitoran lingkungan.
3
C. Mekanisme Deteksi Radiasi Detektor radiasi bekerja dengan cara mendeteksi perubahan yang terjadi di dalam bahan detektor/medium penyerap. Perubahan ini terjadi karena adanya perpindahan energi dari radiasi ke medium tersebut. Terdapat beberapa mekanisme yang pada umumnya digunakan untuk mendeteksi dan mengukur radiasi, yaitu: (1). Proses ionisasi, (2). Proses sintilasi, (3). Proses termoluminensi, (4). Efek pemanasan, dan (5). Reaksi kimia. 1. Proses Ionisasi Ionisasi pada suatu medium secara langsung dapat disebabkan oleh radiasi partikel alpha dan beta; dan ionisasi secara tidak langsung dapat disebabkan oleh Sinar-X, sinar gamma, dan neutron. Kumpulan/jumlah pasangan ion yang terjadi/diproduksi berkaitan erat dengan jumlah energi radiasi yang mengakibatkan terjadinya proses ionisasi tersebut. Dalam proses ionisasi ini, energi radiasi diubah menjadi peristiwa terlepasnya sejumlah elektron dari atomnya (energi listrik). Bila diberikan medan listrik terhadap pasangan ion yang terbentuk itu, maka elektron akan bergerak menuju ke kutub positif, sedangkan residual atom-nya yang bermuatan positif akan bergerak menuju kutub negatif. Pergerakan elektron-elektron tersebut dapat menginduksikan arus atau tegangan listrik. Arus dan tegangan listrik yang ditimbulkan ini dapat diukur dengan menggunakan peralatan penunjang misalnya Ampermeter atau Voltmeter. Semakin besar energi radiasinya, maka akan dihasilkan lebih banyak pasangan ion. Semakin banyak pasangan ion, maka arus atau tegangan listrik yang ditimbulkannya akan semakin besar pula. 2. Proses Sintilasi Yang dimaksud dengan proses sintilasi adalah terpancarnya sinar tampak pada saat terjadinya perpindahan/transisi elektron dari tingkat energi 4
yang lebih tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah. Perpindahan elektron seperti ini dapat terjadi di dalam bahan detektor. Perpindahan elektron dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi terjadi karena adanya proses eksitasi. Dalam proses kembalinya elektron dari tingkat energi yang lebih tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah/keadaannya semula, maka akan dipancarkan energi yang berupa foton sinar-X. Karena bahan detektor ditambahkan bahan pengotor berupa unsur aktivator, yang berfungsi sebagai penggeser panjang gelombang, maka radiasi yang dipancarkannya bukan lagi Sinar-X melainkan berupa sinar tampak. Proses sintilasi ini akan terjadi apabila terdapat kekosongan elektron pada orbit elektron yang lebih dalam. Kekosongan elektron ini dapat disebabkan karena lepasnya elektron dari ikatannya (proses ionisasi) atau proses loncatnya elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi (lintasan elektron yang lebih luar) karena dikenai radiasi. Semakin besar energi radiasi yang diterima, maka akan terjadi kekosongan elektron di orbit sebelah dalam akan semakin banyak, sehingga percikan cahaya yang dikeluarkannya akan semakin banyak. Cahaya tampak yang terjadi ini selanjutnya akan dikonversikan menjadi sinyal elektrik. 3. Proses Termoluminensi Pada prinsipnya, proses termoluminensi ini hampir sama dengan proses sintilasi. Letak perbedaannya adalah: pada proses sintilasi, elektron yang tereksitasi akan kembali ke orbit semula secara langsung (selang waktu yang sangat cepat) sambil memancarkan Sinar-X yang selanjutnya dikonversikan menjadi cahaya tampak, sedangkan pada proses termoluminensi, untuk membuat elektron-elektron yang tereksitasi kembali ke orbitnya semula, maka medium detektornya harus dipanaskan terlebih dahulu sampai dengan temperatur tertentu. Sebelum medium
detektor
tersebut
dipanaskan,
elektron-elektron
masih
terperangkap pada keadaan eksitasinya, sehingga tidak bisa kembali ke orbitnya semula. 5
Semakin banyak radiasi yang diterima, maka akan semakin banyak pula elektron yang terperangkap di orbit elektron yang lebih luar dari atom medium detektor. Ketika medium detektor tersebut dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, elektron-elektron tersebut kembali ke orbit semula dengan memancarkan sinar tampak. Sinar tampak yang timbul akan dikonversikan menjadi sinyal elektrik. 4. Efek pemanasan Peristiwa lain yang diakibatkan oleh adanya perpindahan/penyerapan energi radiasi oleh medium detektor adalah timbulnya kenaikan temperatur pada medium. Semakin besar energi radiasi yang dipindahkan/diserap, maka kenaikan temperaturnya akan semakin tinggi. Jadi dalam mekanisme ini, energi radiasi diubah menjadi energi panas. Mekanisme ini jarang/tidak cocok digunakan untuk melakukan pengukuran radiasi secara rutin. Mekanisme pengukuran radiasi dengan memanfaatkan mekanisme ini memiliki tingkat sensitivitas yang sangat rendah (diperlukan dosis energi radiasi yang sangat tinggi untuk menaikan temperatur medium, dan kenaikan temperatur medium pada umumnya tidak tinggi). Mekanisme ini, pada umumnya hanya digunakan sebagai standar primer untuk peralatan kalibrasi. 5. Reaksi kimia Energi radiasi dapat mengakibatkan perubahan kimia. Perubahan atau reaksi kimia ini juga merupakan suatu mekanisme yang sering digunakan dalam pengukuran radiasi. Bahan yang diradiasi dengan dosis tertentu akan mengalami perubahan kimia, misalnya perubahan warna. Selain itu radiasi juga dapat berfungsi sebagai katalisator pada reaksi kimia, sehingga apabila diberikan dosis radiasi dengan besar tertentu, maka reaksi kimia dalam medium dapat berlangsung lebih cepat. Jadi 6
dalam mekanisme ini, energi radiasi diubah menjadi perubahanperubahan/reaksi kimia. Pada umumnya digunakan untuk menganalisa film fotografi untuk dosimetri perseorangan, Sinar-X medis, dan radiografi industri. D. Cara Pengukuran Radiasi Terdapat dua cara pengukuran radiasi, yang menampilkan hasil pengukurannya secara langsung, yaitu cara pulsa (pulse mode), dan cara arus (current mode). 1. Cara Pulsa Setiap radiasi yang mengenai alat ukur akan dikonversikan menjadi sebuah pulsa listrik. Apabila kuantitas/jumlah radiasi yang mengenai suatu alat ukur semakin tinggi maka jumlah pulsa listrik yang dihasilkannya akan semakin banyak pula. Sedangkan energi dari setiap radiasi yang mengenai alat ukur akan sebanding dengan tingginya pulsa listrik yang dihasilkan. Jadi semakin besar energi radiasinya, maka akan semakin tinggi pula pulsa listrik yang ditimbulkannya. Tingginya pulsa yang dihasilkan dapat dihitung dengan persamaan:
∆V =
∆Q C
(Persamaan II.1) ∆V adalah tinggi pulsa listrik yang dihasilkan, ∆Q adalah jumlah muatan listrik, dan C adalah kapasitas detektor.
7
Contoh soal: Bila ada 100 buah radiasi dalam 10 detik, dengan energi radiasi sebesar 35 keV memasuki detektor gas yang mempunyai daya ionisasi 35 eV, maka setiap radiasi tersebut akan mengionisasi detektor dan akan menghasilkan 1000 pasangan ion (elektron). Muatan listrik setiap elektron adalah 1,6 x 10-19 Coloumb, sehingga jumlah muatan yang dihasilkan oleh radiasi tersebut adalah 1,6 x 10-16 coloumb. Tinggi pulsa yang dihasilkan oleh muatan tersebut adalah 0,1 mVolt (misalkan kapasitas detektor tersebut adalah 1,6 x 10-12 farad). Jadi dalam contoh ini akan menghasilkan 100 buah pulsa listrik dalam 10 detik dengan tinggi pulsa masing-masing adalah 0,1 mVolt. Informasi yang dihasilkan oleh alat ukur radiasi yang menggunakan cara pulsa ini adalah jumlah pulsa listrik (cacahan) dalam selang waktu pengukuran tertentu dan tinggi pulsa listriknya. Jumlah pulsa listrik yang ditimbulkannya akan sebanding dengan jumlah radiasi yang masuk detektor, sedangkan tinggi pulsa akan sebanding dengan energi radiasinya. Kelemahan alat ukur radiasi yang menerapkan cara pulsa ini adalah adanya kemungkinan tidak tercacahnya radiasi karena terlalu cepatnya proses konversi radiasi yang masuk menjadi pulsa listrik. Untuk dapat mengubah sebuah radiasi menjadi sebuah pulsa listrik dibutuhkan waktu konversi tertentu. Apabila jumlah radiasi yang akan diukur sedemikian banyaknya sehingga selang waktu antara dua buah radiasi yang berurutan lebih cepat dari konversi alat, maka radiasi yang terakhir tidak akan tercacah. 2. Cara Arus Pada cara arus ini, radiasi yang masuk detektor tidak dikonversikan menjadi pulsa listrik melainkan rata-rata akumulasi energi radiasi per satuan waktunya akan dikonversikan menjadi arus listrik. Semakin 8
banyak jumlah radiasi per satuan waktu yang memasuki detektor, maka akan semakin besar arusnya. Demikian pula bila energi radiasi semakin besar, arus yang dihasilkannya semakin besar. Alat ukur radiasi yang menerapkan cara arus ini dapat menghilangkan kerugian penerapan cara pulsa, karena yang akan ditampilkan dalam cara ini bukanlah informasi dari setiap radiasi yang memasuki detektor, melainkan integrasi dari jumlah muatan yang dihasilkan oleh radiasi tersebut dalam satu satuan waktu
I =
∆Q ∆t
(Persamaan II.2) I adalah arus listrik yang dihasilkan oleh detektor, ∆Q adalah jumlah muatan listrik, sedangkan ∆t adalah tetapan waktu (time constant) detektor. Bila menggunakan contoh soal di atas, maka araus listrik yang dihasilkan adalah 1,6 x 10-15 Ampere. Terlihat di sini, bahwa proses konversi pada cara arus ini tidak dilakukan secara individual untuk setiap radiasi, melainkan dilakukan secara akumulasi untuk seluruh radiasi. Informasi yang ditampilkannya adalah intensitas radiasi yang memasuki detektor. Kelemahan cara arus ini adalah ketidakmampuannya untu memberikan/menampilkan informasi energi dari setiap radiasi. Keuntungan cara arus ini adalah proses pengukurannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara pulsa. Sistem pengukur radiasi dengan menerapkan mode arus ini pada umumnya
digunakan
dalam
kegiatan
proteksi
radiasi,
seperti
surveimeter. Sedangkan dalam kegiatan penelitian, pada umumnya menerapkan cara pulsa.
9
E. Sistem Pencacahan Seperti halnya dengan alat ukur yang digunakan untuk keperluan proteksi radiasi, sistem pencacah radiasi juga terdiri atas detektor dan peralatanperalatan lain sebagai penunjang. Perbedaannya, peralatan penunjang pada alat ukur proteksi radiasi biasanya sudah merupakan satu kesatuan yang sifatnya portabel (mudah untuk dibawa-bawa), sedangkan pada sistem pencacah radiasi, peralatan-peralatan penunjang tersebut terpisah dan terdiri atas beberapa modul yang mengikuti standar tertentu, seperti: NIM (Nuclear Instrument Module), misalnya modul penguat (amplifier), modul sumber beda potensial, modul pencacah (counter), dan modul-modul lainnya. Modul-modul tersebut bersifat bongkar-pasang, sehingga suatu modul dapat digunakan untuk berbagai macam konfigurasi sistem pencacah. Sistem pencacah radiasi yang digunakan dalam aplikasi dan penelitian nuklir, bertujuan untuk mengukur kuantitas dan energi radiasi. Kuantitas radiasi merupakan jumlah radiasi yang memasuki detektor. Besarnya kuantitas radiasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: aktivitas sumber radiasi, jenis dan energi radiasi, serta jarak dan jenis penahan radiasi yang disimpan di antara sumber radiasi dan detektor. Sedangkan energi radiasi merupakan kekuatan dari setiap radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi. Besarnya energi radiasi ini bergantung pada jenis radionuklidanya. Jenis radionuklida yang berbeda akan memancarkan radiasi dengan energi yang berbeda. Berdasarkan pada kegunaannya, untuk mengukur kuantitas dan atau energi radiasi, sistem pencacah radiasi dapat dibedakan menjadi dua konfigurasi:
10
1. Sistem pencacah integral Sistem pencacahan ini digunakan untuk menghitung jumlah radiasi yang memasuki detektor tanpa memperhatikan tingkat energi radiasinya. Modul peralatannya dapat dikatakan sangat sederhana. Jenis detektor yang digunakan adalah detektor jenis G-M yang tidak dapat membedakan tingkat energi radiasinya.
Inverter
Counter
Detektor Geiger Muller
HV Pencatat Waktu
Gambar II.1. Sistem Pencacahan Integral
Inverter berfungsi untuk meng-inversi-kan polaritas pulsa yang berasal dari detektor G-M, High Voltage Power Supply berfungsi untuk memberikan sumber energi listrik pada detektor G-M, Counter berfungsi untuk menghitung serta menampilkan jumlah pulsa dalam rentang waktu tertentu, sedangkan pencatat waktu berfungsi untuk menentukan rentang waktu pencacahan. 2. Sistem pencacahan differensial Sistem pencacahan differensial ini digunakan untuk menghitung jumlah radiasi yang memasuki detektor dengan memperhatikan rentang energinya. Detektor yang digunakan harus mampu membedakan energi radiasi yang memasukinya. 11
Detektor Counter Amplifier
Diskriminator
HV Pencatat Waktu
Gambar II.2. Sistem Pencacahan Differensial
12
BAB III DETEKTOR ISIAN GAS A. Sistim Kerja Salah satu jenis alat ukur radiasi yang pertama kali dikenalkan dan sampai saat ini masih terus dan sering digunakan untuk mengukur radiasi adalah detektor isian gas. Detektor ini terdiri dari dua elektroda, yaitu positif dan negatif, serta berisi gas di antara kedua elektrodanya. Elektroda positif disebut sebagai anoda yang dihubungkan ke kutub listrik positif, dan elektroda negatif disebut sebagai katoda yang dihubungkan ke kutub listrik negatif. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder yang terbuat dari bahan gelas, dengan sumbu tengahnya sebagai konduktor yang berfungsi sebagai anoda, dan dinding (selimut) silinder berfungsi sebagai katoda. Gas yang digunakan sebagai bahan isian untuk detektor ini ( detektor-detektor isian gas yang sederhana) dapat berupa udara kering pada tekanan atmosfir.
Katoda Kapasitansi C
V(t) = Sinyal Output
d Anoda
Resistansi R
Gambar III.1. Detektor Isian Gas
Apabila konstanta waktu R.C jauh lebih besar daripada waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan semua ion yang terbentuk karena proses ionisasi, maka tinggi pulsa dapat dihitung dengan menggunakan rumus tinggi pulsa seperti yang telah dijelaskan di atas (persamaan II.1). 13
Arus listrik yang mengalir di Resistansi R sangat kecil, alat ukur pada daerah arus listrik sekecil itu adalah alat ukur beda potensial. Agar besarnya beda potensial dapat diukur, pada arus listrik yang mengalir sangat kecil, harus dipasang nilai resistansi R yang besar (biasanya mencapi ratusan megaohm). Melakukan pekerjaan dengan menggunakan nilai resistor yang besar seperti ini, besarnya kelembaban udara harus diusahakan serendah mungkin. Radiasi yang memasuki detektor akan memberikan sebagian atau seluruh energinya untuk mengionisasi gas, sehingga timbul ion-ion positif (dari atom atau molekul residu) dan ion-ion negatif (elektron bebas). Radiasi partikel α dan β dapat melakukan proses ionisasi langsung pada bahan isian gas, sedangkan gelombang elektromagnetik/foton (Sinar-X atau sinar γ) dan neutron dapat melakukan proses ionisasi secara tidak langsung. Karena bahan penyerap/bahan isian detektor yang akan mengalami proses ionisasi adalah gas, maka disebut sebagai detektor isian gas. Sehingga pada umumnya, semua alat ukur radiasi jenis ini harus kedap udara dari luar untuk menghindari tercampurnya gas isian detektor dengan gas-gas yang berasal dari udara di luar detektor. Karena prinsip kerjanya adalah pengumpulan muatan listrik yang terjadi karena adanya radiasi, maka bentuk medan elektrostatik dalam tabung juga memiliki pengaruh. Oleh karena itu untuk mencapai efisiensi dan sensitivitas yang tinggi, geometri bentuk ruangan, letak dan bentuk elektroda, dan campuran gas isiannya berbeda-beda. Karena adanya medan listrik antara katoda dan anoda, muatan-muatan listrik (ion positif dan ion negatif) tersebut dapat dikumpulkan. Besarnya medan listrik ini dapat diatur melalui pengaturan tegangan kerja (High Voltage) detektor. Elektron-elektron akan terkumpul di anoda, sedangkan ion-ion positif akan terkumpul di katoda. Karena elektroda-elektroda detektor menarik ion-ion yang muatannya berlawanan, maka akan terjadi pengurangan muatan listrik pada masing-masing elektroda. Beberapa 14
muatan listrik dalam elektroda akan mengalami proses netralisasi oleh ionion yang ditariknya. Penurunan jumlah muatan pada masing-masing elektroda akan mengakibatkan pula penurunan tegangan listrik antara kedua elektroda tersebut. Jumlah penurunan tegangan listrik antara elektroda tersebut akan selalu sebanding dengan jumlah pasangan ion yang terbentuk. Sedangkan jumlah pasangan ion itu sendiri tergantung pada jenis dan energi radiasi yang masuk/ditangkap oleh detektor. Perubahan tegangan listrik ini akan mengakibatkan terjadinya aliran listrik (pulsa/denyut out-put) yang kemudian dapat diubah menjadi angka-angka hasil cacahan radiasi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa jumlah ion yang dihasilkan akan sebanding dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi gas pada umumnya berkisar antara 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik. Ion-ion yang dihasilkan oleh radiasi yang memasuki detektor dinamakan sebagai ion primer. Apabila medan listrik di antara dua elektroda detektor semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion primer akan semakin tinggi. Tingginya energi kinetik ion-ion primer akan mampu untuk mengadakan proses ionisasi lainnya. Ion-ion baru yang terbentuk karena proses ionisasi yang dilakukan oleh ion-ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik antara kedua elektroda terlalu kecil, maka akan terjadi rekombinasi/penggabungan kembali antara ion-ion positif dan ion-ion negatif dari gas isian. Bila medan listrik di antara kedua elektroda semakin tinggi, maka jumlah ion-ion yang dihasilkan oleh radiasi akan sangat banyak, yang terdiri dari dari ion-ion primer dan ion-ion sekunder. Jenis radiasi yang akan dideteksi mengharuskan juga pemakaian dinding khusus pada detektor. Untuk mendeteksi sinar gamma, dapat dipakai semua logam sebagai bahan dinding tabung, karena daya tembus sinar gamma 15
yang sangat besar. Tekanan gas isian dapat diperbesar melebihi tekanan atmosfir. Untuk mendeteksi partikel jenis elektron, dinding detektor harus dibuat setipis mungkin untuk memungkinkan partikel tersebut dapat mencapai dan berinteraksi dengan gas isian. Dinding biasanya terbuat dari plastik yang sangat tipis. Sedangkan untuk mendeteksi jenis proton, dinding tersebut harus dibuat lebih tipis lagi. Pada gambar III.2 di bawah ini akan dijelaskan hubungan antara beda potensial dengan jumlah ion yang dapat terkumpul pada masing-masing elektroda detektor isian gas.
Jumlah ion yang terkumpul dalam satuan waktu
Daerah 5
Daerah 4 Daerah 3 Daerah 2
Daerah 1
0
V1
V2
V3
V4
Beda Potensial
Gambar III.2. Hubungan antara beda potensial elektroda detektor isian gas dengan jumlah ion yang terkumpul pada masing-masing elektroda.
16
Daerah 1. Pada awal daerah ini, tegangan antara anoda dan katoda sangat rendah. Medan listrik pada detektor tidak cukup kuat sehingga elektron dan ion positif bergerak sangat lambat (energi kinetiknya kecil), sehingga elektron dan ion positif bergabung kembali/rekombinasi ion, sebelum masingmasing ion tersebut mencapai anoda/katoda. Karena terjadinya proses ini, maka tidak ada ion yang terkumpul di masing-masing elektroda, sehingga tidak ada pulsa yang tercatat. Daerah ini disebut sebagai daerah rekombinasi. Daerah 2. Pada daerah ini, muatan yang terkumpul bersifat tetap/konstan, karena tidak terjadi rekombinasi ion atau pembentukan ion sekunder. Seluruh ion yang terbentuk dapat dikumpulkan, sehingga tingginya pulsa tidak ditentukan oleh beda potensial antara kedua elektrodanya. Besarnya arus listrik yang mengalir dalam sirkuit akan bersifat tetap, atau disebut saturation current, dan hanya tergantung pada besarnya radiasi yang diterima oleh detektor, apabila energi radiasi yang diterima besar, maka saturation current akan besar juga. Daerah ini disebut daerah ionisasi. Daerah 3 Dengan naiknya tegangan antara kedua elektroda detektor, maka elektron dan ion positif memiliki energi kinetik yang cukup tinggi untuk bergerak menuju
elektrodanya
masing-masing.
Elektron-elektron
dapat
mengionisasi atom lain pada gas isian, proses ini disebut sebagai ionisasi sekunder. Karena proses ionisasi sekunder ini, muatan listrik yang terkumpul pada masing-masing elekroda menjadi lebih besar, sehingga akan terjadi multiplikasi/pelipatan besarnya muatan. Proses multiplikasi ini pada tegangan tertentu tidak tergantung pada banyaknya ionisasi primer.
17
Jumlah total muatan yang terkumpul akan sebanding dengan ionisasi primer. Jadi tinggi pulsa yang terjadi proporsional dengan ionisasi primer, atau sebanding dengan energi radiasi yang masuk detektor. Oleh karena itu, pada daerah ini detektor dapat digunakan untuk keperluan identifikasi energi radiasi. Daerah ini disebut daerah proporsional.
Daerah 4. Medan listrik dalam detektor sangat kuat sehingga satu pasangan ion positif dan elektron cukup kuat untuk menginisiasi terjadinya guguran elektron (electon avalenche). Guguran elektron ini akan menimbulkan pulsa yang kuat, yang bentuk dan tingginya tidak tergantung pada ionisasi primer dan tipe partikel radiasi. Pulsa hanya akan tergantung pada elektronik pencacah. Pada daerah ini detektor tidak bisa lagi digunakan untuk mengidentifikasi energi radiasi. Daerah ini disebut daerah Geiger Muller. Daerah 5 Jika tegangan detektor ditinggikan dan lebih besar lagi, ionisasi tunggal akan menimbulkan lucutan kontinu (continous discharge) dalam gas, dan alat tidak bisa untuk menghitung lagi. Jika detektor dioperasikan pada tegangan yang lebih besar dari daerah kerja 4, maka detektor akan rusak. Daerah ini disebut daerah discharge. B. Detektor Kamar Pengionan Kamar pengionan ialah bilik/ruangan tertutup yang berisi gas. Ionisasi yang terjadi pada gas isian karena radiasi akan dikumpulkan pada elektroda dan diukur. Medan listrik dalam bilik tersebut sangat sensitif untuk menarik elektron-elektron bebas dan ion-ion positif ke elektrodanya masing-masing. 18
Detektor ini bekerja pada daerah ionisasi. Pada daerah ini tidak terjadi proses
multiplikasi
muatan
dalam
detektor.
Output
pulsa
sebanding/proporsional dengan energi radiasi yang masuk/diserap oleh detektor, sehingga energi radiasinya dapat diukur. Karena pulsa yang terbentuk tidak besar, maka hanya partikel-partikel pengionisasi kuat seperti α, proton, fragmen fisi, dan ion-ion besar yang bisa dideteksi secara efektif dengan menggunakan jenis detektor ini. Partikel alfa dan beta dengan tingkat energi yang sama akan menghasilkan keluaran pulsa yang berbeda, pulsa dari partikel alfa akan lebih besar daripada pulsa dari partikel beta. Beda potensial yang digunakan pada umumnya kurang dari 1000 volt. Apabila Variable High Voltage Power Supply kita hidupkan mulai dari 0 volt, maka akan terbentuk suatu daerah tegangan operasi yang disebut daerah ionisasi, namun tegangan operasi ini masih relatif rendah, namun sudah cukup untuk menarik ion-ion yang terbentuk ke elektrodaelektrodanya, sebelum ion-ion tersebut bergabung kembali/rekombinasi untuk membentuk atom netral gas isian. Pergerakan elektron menuju anoda yang dikarenakan adanya perbedaan potensial antara elektroda detektor tidak mungkin menghasilkan ionisasi sekunder. Jadi jumlah elektron yang terkumpul pada anoda hanya merupakan hasil ionisasi primer, sehingga tinggi pulsa yang terbentuk akan sebanding dengan jumlah ion primer yang dihasilkan pada proses ionisasi primer atau dengan kata lain faktor penguatan/multiplikasi pada detektor ini sama dengan satu. Aliran elektron di dalam detektor dapat menimbulkan aliran listrik yang dipakai sebagai dasar untuk pengukuran radiasi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa pada umumnya arus listrik yang timbul sebagai pulsa keluaran, biasanya sangat rendah kira-kira 10-12 ampere, sehingga memerlukan
19
rangkaian elektronik penguat arus yang besar dan sangat sensitif. Rangkaian penguat arus ini dikenal dengan amplifier dc (direct current). Pada umumnya pengukuran radiasi dengan menggunakan jenis detektor ini menerapkan
mode
arus
(current
mode).
Namun,
apabila
ingin
menggunakan jenis detektor ini dengan menerapkan mode pulsa, maka diperlukan penguat pulsa yang sangat baik Dalam membuat kamar ionisasi, maka pengaruh dindingnya sangat penting dan harus diketahui betul karakteristiknya. Jika bahan dari dinding kamar ionisasi memiliki komposisi atom yang sama dengan komposisi atom gas isian di dalamnya, maka kamar ionisasi ini disebut dengan kamar ionisasi homogen. Jenis dinding lain yang sering digunakan juga ialah dinding plastik yang mempunyai komposisi atomik seperti komposisi atomik jaringan-jaringan tubuh manusia, dan diisi dengan gas yang memiliki komposisi atomik
yang sama. Ini disebut dengan Tissue Equivalent
Ionization Chamber. Keuntungan detektor jenis ini adalah, dapat membedakan energi radiasi yang memasukinya, serta tegangan kerja yang dibutuhkan dalam pengoperasiannya tidak terlalu tinggi. C. Detektor Proporsional Dibandingkan dengan daerah ionisasi, jumlah pasangan ion yang dihasilkan di daerah proporsional ini lebih banyak. Karena jumlah pasangan ion lebih banyak maka tinggi pulsa keluarannya akan lebih tinggi. Detektor yang bekerja pada daerah ini, pada umumnya memiliki beda potensial kerja antara 800 s.d. 2000 volt. Karena pulsa keluarannya lebih tinggi, maka pengukuran radiasi dengan menggunakan detektor ini lebih sering menerapkan metode pulsa. Dalam kurva karakteristik di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasangan ion yang dihasilkan sebanding dengan energi radiasi yang memasuki detektor, 20
sehingga detektor ini dapat membedakan energi radiasi. Misalnya: apabila radiasi alfa dan beta yang memiliki energi radiasi yang sama besar, maka radiasi alfa dapat menimbulkan pulsa yang lebih tinggi daripada radiasi β. Namun demikian, jumlah pasangan ion atau tinggi pulsa keluaran yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh tegangan kerja detektor. Dalam kurva tersebut slope kurva pada daerah proporsional berbentuk curam, yang artinya adalah sedikit saja perubahan beda potensial/tegangan kerja detektor maka akan meningkatkan jumlah pasangan ion juga avalenche-nya yang lebih banyak secara signifikan. Karena sifat detektor ini, maka tegangan operasi yang diperlukannya harus sangat stabil. Selain dipengaruhi oleh tegangan kerjanya, besarnya multiplikasi muatan juga tergantung pada diameter anoda. Apabila diameter anoda kecil, maka multiplikasi muatan yang terjadi akan semakin besar. Elektron-elektron yang terbentuk dari hasil proses ionisasi primer yang tertarik ke elektroda positif dan negatif akan mengakibatkan proses ionisasi sekunder. Proses ionisasi sekunder mengakibatkan jumlah ion sekunder, atau yang lebih dikenal dengan nama avalenche menjadi lebih banyak sehingga faktor pelipatan (multiplikasi) akan menjadi lebih besar dari satu. Proses ionisasi sekunder dapat meningkatkan jumlah ion sebanyak 10000 kali lipat dari jumlah ion primer. Hal ini berarti bahwa untuk setiap elektron yang dihasilkan dalam proses ionisasi primer akan menghasilkan tambahan 10000 elekton lagi karena terjadinya proses ionisasi sekunder ini. Campuran dan tekanan gas isian harus dipilih agar proses multiplikasi bersifat linear dengan radiasi yang diterima. Di samping itu pula, campuran gas isian harus dapat juga berfungsi sebagai penghenti proses multiplikasi. Sifat multiplikasi yang diskrit dan linear terhadap energi radiasi merupakan sifat dasar detektor proporsional. Tekanan gas isian menentukan pula proses multiplikasi.
21
Output-nya berupa rangkaian pulsa yang kemudian dihitung dengan menggunakan sirkuit penghitung. Rentang waktu terbentuknya pulsa serta pergerakan pulsa tersebut menuju sirkuit penghitung berhubungan dengan waktu-mati (dead-time) dan resolusi detektor. Pada umumnya waktu-mati detektor proporsional sangat singkat, kurang dari
microsekon.
Singkatnya,
waktu-mati
detektor
proporsional
memungkinkan bagi detektor ini untuk dapat menghitung laju pulsa yang tinggi. Amplitudo untuk masing-masing pulsa pada umumnya sangat kecil, lebih kurang berorde milivolt. Agar amplitudo pulsa ini dapat dibaca dan dihitung, maka diperlukan proses preamplification. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan resolusi detektor, dapat digunakan pulse height discrimination circuit. Secara teoritis, detektor yang sama dapat digunakan sebagai kamar ionisasi, detektor proporsional, atau penghitung Geiger Muller. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis detektor ini adalah terletak hanya pada perbedaan tegangan kerjanya. Namun, pada kenyataannya dan juga karena pertimbangan ekonomis-praktis, maka ketiga jenis detektor ini dibuat secara terpisah. Gas flow proportional counters, adalah salah satu jenis detektor proporsional yang sering digunakan untuk perhitungan sampel dalam fisika kesehatan. Detektor ini memiliki end-window yang sangat tipis agar memungkinkan partikel alfa dan beta dapat memasuki detektor. Gas flow artinya adalah harus ada aliran gas yang masuk pada bilik penghitung, untuk menggantikan gas isian yang telah didifusikan keluar detektor melalui end-window yang sangat tipis tersebut. Campuran gas yang pada umumnya digunakan pada detektor jenis ini salah satunya adalah campuran inert gas dan hidrokarbon, antara lain: gas P-10, yang terdiri dari 90% gas argon dan 10% metana. D. Detektor Geiger Muller
22
Detektor ini merupakan salah satu jenis detektor yang tertua dan sampai dengan sekarang masih sering digunakan, khususnya dalam bidang proteksi radiasi. Penggunaan detektor ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Geiger dan Muller pada tahun 1928. Detektor G-M merupakan alat pencacah radiasi yang sederhana dan tidak dapat digunakan untuk keperluan spektroskopi. Beberapa peralatan ukur radiasi portabel, menggunakan detektor jenis Geiger Muller. Dari sudut pandang elektronika, detektor G-M sangat sederhana dan juga ekonomis serta pengoperasiannya yang mudah. Detektor ini bekerja pada daerah Geiger Muller. Pada umumnya, sebagai bahan gas isiannya dipilih menggunakan gas P-10, seperti halnya gas isian pada detektor proporsional. Namun sering juga digunakan gas Helium dan Argon sebagai gas isiannya. Jumlah pasangan ion dalam gas isian yang terjadi karena radiasi, pada detektor yang bekerja di daerah ini sangat banyak, bahkan dapat mencapai nilai saturasinya. Tinggi rendahnya pulsa keluaran tidak tergantung pada energi radiasi yang memasukinya. Berapa pun besarnya energi radiasi yang memasuki jendela detektor, banyaknya pasangan ion yang dihasilkan sama dengan nilai saturasinya. Jadi pulsa keluaran tabung G-M hanya menunjukan tinggi rendahnya muatan listrik yang terkumpul. Karena jumlah muatan listrik yang terkumpul sangat besar (sekitar 109 s.d. 1010 pasangan ion), sehingga amplitudo pulsa keluarannya relatif tinggi (dalam orde volt). Tingginya amplitudo pulsa keluaran merupakan salah satu keunggulan detektor G-M, karena tidak memerlukan rangkaian sirkuit elektronika penguat pulsa (pre-amplifier). Detektor G-M pada umumnya dapat menghitung radiasi dengan menerapkan metode pulsa sama halnya dengan detektor proporsional, dan juga dapat menghitung radiasi dengan menerapkan metode arus sama seperti halnya detektor kamar pengionan.
23
Tingginya tegangan kerja tabung detektor G-M, akan menimbulkan medan listrik yang tinggi. Tingginya medan listrik pada tabung detektor G-M dapat mengakibatkan terjadinya guguran elektron (electron avalenche). Pada kondisi tertentu, satu guguran elektron menjadi pemicu terjadinya guguran elektron berikutnya pada tempat yang berbeda di dalam tabung. Pada satu nilai beda potensial tertentu, medan listrik akan bersifat kritis, artinya setiap terjadinya guguran satu elektron akan diikuti oleh rata-rata satu guguran elektron lainnya. Peningkatan jumlah guguran elektron menyebar dengan cepat. Secara teoritis, jumlah guguran elektron dapat meningkat secara eksponensial dalam rentang waktu yang singkat. Elektron-elektron bebas yang terbentuk karena adanya guguran elektron mengakibatkan molekul-molekul pada gas isian akan mengalami eksitasi. Dalam rentang waktu yang singkat (orde nanosekon), molekul-molekul gas yang tereksitasi tersebut akan kembali stabil, artinya elektron-elektron pada molekul
gas
isian
yang
tereksitasi
akan
kembali
pada
tingkat
energi/orbitnya semula. Perpindahan elektron dari keadaan tereksitasi menuju keadaan semula memancarkan gelombang elektromagnetik, dengan panjang gelombang yang berada pada rentang panjang gelombang cahaya tampak. Gelombang elektromagnetik ini adalah elemen penting dalam reaksi rantai yang terjadi dalam tabung G-M. Apabila satu foton berinterkasi fotolistrik dengan atom/molekul gas isian maka akan terbentuk satu elektron bebas. Elektron bebas tersebut akan bergerak menuju anoda dan akan memicu terjadinya guguran elektron lain. Karena keadaan tereksitasinya molekul gas isian sangat singkat, sementara foton bergerak dengan kecepatan cahaya, maka terbentuknya elektron bebas yang dihasilkan dari proses fotolistrik (elektron sekunder) hampir bersamaan dengan terjadinya guguran elektron yang pertama. Ketika Geiger discharge mencapai angka tertentu, efek kolektif dari guguran elektron berperan dalam menghentikan rantai reaksi yang terjadi dalam tabung G-M. Berhentinya rantai reaksi dalam tabung G-M akan 24
terjadi setelah kira-kira jumlah guguran elektron berikutnya sama dengan jumlah elektron sebelumnya, maka seluruh pulsa keluaran memiliki besar amplitudo yang sama, dan tidak tergantung pada jumlah pasangan ion awal yang terjadi pertama kali dalam tabung G-M, sebagai akibat interaksi radiasi dengan molekul gas isian. Mobilitas ion positif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan mobilitas elektron. Ketika konsentrasi ion positif cukup tinggi, maka akan menurunkan medan listrik dalam tabung. Karena multiplikasi/reaksi rantai dalam gas isian memerlukan medan listrik di atas harga minimum tertentu, maka penurunan medan listrik itu akan menghentikan proses Geiger discharge. Pada detektor jenis ini, proses discharge terjadi sepanjang anoda. Seluruh proses discharge terjadi dalam waktu singkat (orde mikrosekon). Waktu ini lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk pulsa keluaran yang timbul karena guguran elektron tunggal. Proses discharge ini, harus “didinginkan secara tiba-tiba” (quenching) untuk mencegah terjadinya proses discharge yang terus menerus serta untuk mencegah terjadinya multiplikasi pembentukan pulsa. Setelah proses Geiger discharge berhenti, ion-ion positif bergerak lambat ke katoda. Kemudian dinetralisir oleh elektron-elektron yang ada di permukaan katoda. Dalam proses ini sejumlah energi, yang disebut sebagai fungsi kerja (work function), dibebaskan. Energi tersebut sama dengan energi ionisasi gas dikurangi dengan energi yang diperlukan untuk mengeluarkan elektron dari permukaan katoda. Jika energi yang dibebaskan tersebut masih melebihi fungsi kerja katoda, maka energi tersebut mungkin akan mengeluarkan elektron lagi dari permukaan katoda. Elektron ini akan bergerak ke anoda, dan akan memicu guguran lain yang akan menjadi Geiger discharge yang kedua. Maka akan tercatat, pulsa tambahan yang bukan berasal dari radiasi yang masuk.
25
Proses quenching dapat dilakukan dengan menambahkan gas quenching sekitar 5-10 %. Gas yang digunakan untuk quenching ini dipilih gas yang memiliki potensial ionisasinya lebih rendah dari gas isian, dan memiliki struktur yang lebih kompleks dibandingkan dengan komponen gas isian. Ion-ion positif yang bergerak menuju katoda akan bertabrakan dengan molekul gas quenching. Ion-ion positif ini akan mengionisasi gas quenching, sehingga terbentuk elektron bebas dan molekul residu gas quenching yang bermuatan positif. Jika konsentrasi gas quenching besar, maka dapat dipastikan bahwa ion-ion positif yang menuju ke katoda adalah ion-ion positif yang berasal dari gas quenching. Netralisasi ion-ion tersebut akan menyebabkan tidak ada tambahan guguran elektron dalam tabung GM. Contoh gas quenching yang banyak digunakan secara luas adalah etil alkohol dan etil format. Beberapa tabung menggunakan gas halogen (Cl dan Br) sebagai gas quenching-nya. Gas-gas halogen memiliki kelebihan lain yaitu bahwa gas ini tidak cepat habis dalam proses quenching. Kerugian utama dari detektor G-M adalah tidak dapat membedakan energi radiasi yang memasukinya. Contohnya: dengan menggunakan detektor jenis ini, kita tidak akan bisa membedakan secara elektronik antara radiasi partikel alfa dan beta, juga tidak bisa mengukur besarnya energi radiasi masing-masing partikel tersebut. Selain itu, kerugian detektor G-M adalah memiliki waktu-mati yang cukup lama, (berkisar antara 100—300 µsekon), sehingga kemampuan ukurnya hanya terbatas pada laju cacah yang rendah. Detektor G-M tidak cocok jika digunakan untuk menghitung laju cacah yang tinggi dalam rentang waktu yang singkat (laju pulsa yang tinggi, beberapa ratus pulsa per sekon), karena akan menimbulkan pembentukan pulsa yang sangat cepat. Kondisi ini disebut dengan fold back artinya tingginya radiasi dari sumber radiasi yang diukur dengan menggunakan tabung G-M akan menimbulkan pembentukan pulsa keluaran yang sangat cepat. Pulsa yang terbentuk pada ujung akhir pulsa sebelumnya, terjadi karena anoda sudah menarik muatan 26
listrik negatif baru sebelum proses pembentukan pulsa keluaran karena tangkapan muatan listrik negatif sebelumnya selesai. Apabila detektor digunakan untuk mengukur radiasi yang tinggi, maka detektor ini akan menunjukan hasil bacaan pulsa awal yang tinggi dan akan kembali kepada titik nol dengan cepat. Untuk menghindari terjadinya foldback biasanya tabung G-M dilengkapi dengan sirkuit elektronik tambahan, ini dilakukan apabila dalam spesifikasi tabung G-M yang diterbitkan oleh pabrik pembuatnya tidak menyatakan bahwa: proses foldback tidak akan terjadi. Segera setelah satu butir partikel masuk detektor, akan terjadi muatan listrik positif dan negatif dalam gas isian. Muatan positif di dalam tabung menyebabkan medan listrik dalam detektor menurun. Radiasi yang masuk pada saat medan listrik menurun tidak dapat menghasilkan pulsa yang cukup tinggi untuk tercacah. Waktu-mati detektor adalah waktu saat detektor tidak dapat mencacah sama sekali. Bila sebagian muatan positif sudah dinetralkan maka kuat medan berangsur-angsur menjadi besar sehingga pulsa mulai terbentuk lagi walaupun masih kecil. Waktu ini dinamakan waktu pulih (recovery time). Pada beberapa sistem pencacahan pulsa harus mencapai tinggi amplitudo tertentu dulu untuk dapat tercacah. Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk discharge kedua yang melebihi amplitudo tersebut disebut resolving time. Dalam prakteknya, sering disebut dengan waktu-mati saja. Harga waktu-mati detektor GM sekitar 50-100 µsekon/cacah. Pada detektor GM, jika tegangan dioperasikan dari nol samapi tegangan yang tinggi dan hasil cacahannya digambarkan maka akan ada bagian yang datar. Daerah ini disebut plateau. Pada daerah plateau, jika ada perubahan tegangan, hasil cacahan tidak berubah secara signifikan. Tegangan kerja yang mulai timbulnya cacah disebut starting voltage. Bila V1 adalah
27
tegangan mulainya plateau, V2 adalah tegangan batas dari plateau. Lereng plateau (slope) didefinisikan sebagai berikut: Laju Cacah (Count/Menit)
N2 N1
Beda Potensial (HV) V1
V2
Gambar Hubungan antara Beda Potensial dengan Laju Cacah Detektor Geiger Muller
Rumus plateau slope untuk daerah kerja detektor Geiger Muller adalah: ∆N / N ∆V (Persamaan III.1.) PS =
100 x∆N / N ∆V (Persamaan III.2.) PS (%) =
Rumus perubahan prosentase laju cacah setiap perubahan beda potensial sebesar 100 V adalah:
28
PS =
100∆N / N x100 ∆V
(Persamaan III.3.)
10 4 ( N 2 − N1) / N1 V 2 − V1 (Persamaan III.4.) PS =
N1 dan N2 adalah laju cacah pada V1 dan V2, jika harganya ≤ 10 %/100 volt maka detektor itu baik. Hal ini berarti tegangan berubah 100 volt ada kenaikan laju cacah 5 %. Di atas V2 tegangan terlalu tinggi untuk detektor ini sehingga terjadi pulsa yang terus menerus. Jika detektor dioperasikan di atas tegangan V2, maka akan rusak. Tegangan kerja detektor diambil pada daerah plateau. Karena satu pasangan ion yang terbentuk dalam gas dapat memicu Geiger discharge penuh, maka efisiensi pencacahan untuk sembarang partikel bermuatan yang masuk daerah aktif adalah 100%. Dalam situasi praktis, efisiensi pencacah efektif ditentukan oleh probabilitas radiasi masuk jendela detektor tanpa absorpsi atau hamburan. Ada beberapa alasan mengapa detektor jenis GM jarang digunakan untuk mendeteksi neutron. Untuk neutron termal gas GM memiliki tampang lintang tangkapan yang kecil. Gas yang mempunyai tampang lintang tangkapan yang tinggi (BF6) lebih cocok dioperasikan pada daerah proporsional. Neutron cepat dapat mereproduksi inti rekoil dalam gas isian yang dapat menghasilkan pasangan ion. Karena itu tabung Geiger terutama yang berisi gas Helium dapat mendeteksi netron cepat. Tetapi detektor isian gas untuk netron dioperasikan sebagai detektor proporsional. Sinar gamma dapat dideteksi dengan jalan sinar gamma tersebut berinteraksi dengan dinding detektor. Interaksi tersebut menghasilkan elektron. Jika interaksi tersebut terletak di bagian dalam dinding elektron
29
tersebut bisa masuk gas detektor. Kemudian elektron tersebut dideteksi oleh detektor GM sebagaimana biasanya. Efisiensi pencacahan gamma tergantung pada: (1). Probabilitas sinar gamma yang berinteraksi dengan dinding dan menghasilkan elektron, dan (2). Probabilitas elektron tersebut mencapai gas dalam tabung GM. Probabilitas interaksi sinar gamma dengan materi meningkat dengan naiknya nomor atom materi. Karena itu dinding detektor GM untuk sinar gamma dibuat dengan materi yang nomor atomya tinggi. Bismuth (z=83) digunakan secara luas. Bagaimanapun efisiensi GM untuk gamma jarang lebih besar dari beberapa persen. Ketebalan dinding dibuat sedemikian rupa agar interaksi besar. Tetapi jika terlalu tebal akan melebihi range elektron dan elektron tidak bisa mencapai gas, biasanya tebal dinding sekitar 1-2 mm. Detektor ini dapat dibuat dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Walau demikian, pada umumnya di lapangan, jenis detektor ini dibuat dengan bentuk silinder, dan dikenal dengan nama G-M tube. Detektor G-M yang kecil telah cukup sensitif untuk mengukur dosis radiasi yang rendah. Bagi detektor jenis kamar ionisasi, untuk memperoleh tingkat sensitivitas yang sama, harus dibentuk dengan ukuran yang lebih besar. Apabila detektor jenis ini, akan digunakan untuk mengukur radiasi alfa dan beta, maka detektor ini harus memiliki jendela detektor yang sangat tipis, yang memungkinkan partikel alfa dan beta dapat memasukinya. Secara umum, detektor jenis isian gas tidak cukup efektif untuk mengukur radiasi gamma. Namun demikian, untuk detektor isian gas jenis G-M memerlukan rangkaian sirkuit elektronik tambahan dan dipsanang dalam bungkus padat, apabila digunakan sebagai peralatan survai radiasi gamma. Apabila detektor G-M akan digunakan sebagai peralatan dose-meter atau dose-rate meter, maka detektor ini harus memiliki tanggapan (response) yang sama dengan jaringan tubuh manusia, pada seluruh rentang energinya.
30
Detektor G-M akan mengalami over-response pada energi kira-kira di bawah 200 keV, sehingga diperlukan filtrasi yang cocok, yang dipasang mengelilingi tabung detektor G-M untuk menjamin bahwa respon energinya linear. Hal ini disebut dengan kompensasi energi.
31
BAB IV DETEKTOR SEMIKONDUKTOR A. Sistim Kerja Konduktivitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk mengalirkan arus listrik. Detektor semikonduktor, pada prinsipnya bekerja melalui konsep pengukuran perubahan konduktivitas suatu bahan yang disebabkan oleh adanya radiasi ionisasi. Detektor semikonduktor memiliki kesamaan dengan jenis detektor isian gas dalam beberapa prinsip sistem kerjanya. Semikonduktor adalah bahan-bahan yang dapat mengalirkan arus listrik, namun kemampuan daya hantarnya tidak sebaik bahan konduktor, juga dapat menghambat aliran arus listrik, namun daya hambatnya tidak sebaik bahan insulator. Pada dasarnya, terdapat juga bahan-bahan isolator yang terbuat dari bahan semikonduktor tidak dapat mengalirkan arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada di pita valensi, sedangkan di pita konduksinya tidak ditempati oleh elektron. Detektor bahan semikonduktor, merupakan jenis detektor yang masih baru. Detektor
ini
memiliki
beberapa
keunggulan
yaitu
lebih
efisien
dibandingkan dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta memiliki resolusi yang lebih baik daripada detektor sintilasi. Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan, dan memberikan energi yang cukup, sehingga beberapa elektron dalam kristal berpindah dari pita valensi ke pita konduksi, sehingga menyisakan hole. Pasangan elektron dan hole ini seperti juga pasangan ion dalam zat cair atau gas, akan bergerak apabila ada beda tegangan, seperti ion positif dan ion negatif. Ingat bahwa muatan positif dalam bahan semikonduktor pada kenyataannya tidak bergerak. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa hole-hole dalam kristal akan diisi oleh elektron-elektron tetangganya,
elektron-elektron
yang
bergerak
ini
pun
akan 32
meninggalkan/membuat hole-hole baru di tempatnya semula. Hal ini menyebabkan seolah-olah hole itu bergerak. Pada umumnya bahan semikonduktor yang sering digunakan adalah silikon (Si) dan Germanium (Ge). Untuk meningkatkan daya hantar listrik-nya, maka ditambahkan bahan pengotor (doping). Apabila bahan pengotor memiliki kelebihan elektron sehingga aliran listrik adalah pergerakan muatan negatif dalam bahan, yang dikenal dengan sebutan semikonduktor tipe–n. Apabila bahan pengotor menambah hole, aliran listrik disebabkan oleh adanya pergerakan efektif muatan positif dalam bahan, yang dikenal dengan sebutan semikonduktor tipe–p. Detektor terdiri dari tipe–n dan tipe–p. Semikonduktor tipe–n dihubungkan dengan kutub positif dari tegangan listrik, sedangkan semikonduktor tipe–p dihubungkan dengan kutub negatif dari tegangan listrik. Hal ini menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke kutub negatif (atas), dan pembawa muatan negatif akan tertarik ke kutub positif (bawah). Hal ini menyebabkan timbulnya lapisan kosong muatan (depletion layer). Lapisan kosong muatan ini sama dengan halnya volume sensitif pada ruangan dalam kamar ionisasi. Dengan timbulnya lapisan muatan yang kosong ini, maka tidak akan timbul arus listrik. Bila ada radiasi pengion memasuki daerah ini, akan terbentuk pasangan “ion-ion” baru, yaitu elektron dan hole yang masing-masing akan bergerak ke kutub positif dan kutub negatif. Tambahan elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik. Detektor semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi radiasi yang mengenainya atau disebut memiliki resolusi yang tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi gamma biasanya memiliki resolusi sebesar 50 keV, artinya detektor ini dapat membedakan energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut memiliki perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya memiliki resolusi 2 keV. Jadi 33
terlihat bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi. Sebenarnya kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk menentukan jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan. Kelemahan dari detektor semikonduktor ini adalah harganya lebih mahal, pemakaiannya harus hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor semikonduktor harus didinginkan pada nitrogen cair. B. Jenis Detektor Semikonduktor Beberapa jenis detektor semikonduktor: 1. Surface barrier: untuk mengukur radiasi alfa dan beta; Detektor ini memiliki lapisan jenis–p yang sangat tipis, yang diletakan di atas lapisan jenis–n. Detektor ini sangat efektif dalam pendeteksian partikel bermuatan dan pemisahan tingkat energi yang berbeda-beda. Kemampuan untuk memisahkan energi yang berbeda-beda disebut dengan resolusi energi. Detektor surface barrier dapat memisahkan tiga kelompok partikel alfa dari Am-241 dengan energi 5,486; 5,443; dan 5,389 MeV. Satu masalah pada detektor surface barrier yang harus mendapat perhatian adalah permukaan kristal harus selalu tetap bersih dan bebas dari minyak atau bahan-bahan pengotor lainnya. Selain itu, detektor ini sangat sensitif terhadap cahaya, karena foton cahaya dapat mencapai volume sensitif-nya dan menghasilkan pasangan elektron dan hole. 2. PIPS (Passivate Implant Planar Silicon): untuk mengukur radiasi alfa dan beta; Salah satu metode yang digunakan untuk memasukan bahan pengotor pada permukaan semikonduktor adalah dengan memberikan paparan 34
berkas ion pada permukaan menggunakan akselerator. Sebagai contoh: kristal silikon diberi paparan berkas ion boron, akan memiliki lapisan–p yang terbentuk pada permukaannya. Metode pemberian doping ini akan membuat kristal lebih stabil dan tidak akan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Detektor ini dapat digunakan dalam spektrometri alfa, monitoring beta, deteksi beta berenrgi rendah dan ion-ion berat. 3. HPGe: untuk mengukur radiasi gamma; Detektor semikonduktor germanium memiliki efisiensi yang tinggi untuk mengukur radiasi gamma, namun pada kenyataannya detektor Ge(Li) harus tetap berada dalam temperatur yang sangat rendah, walaupun sedang tidak digunakan, pada umumnya digunakan nitrogen cair. Hal inilah yang merupakan salah satu keterbatasan jenis detektor ini. Apabila bahan pengotor dalam kristal germanium tetap rendah, hal ini dapat menyebabkan untuk mendapatkan volume sensitif relatif lebih kecil. Jenis detektor ini disebut dengan High Purity Germanium Detektor. Detektor jenis ini dapat disimpan dalam ruangan dengan temperatur kamar tanpa menimbulkan kerusakan pada kristalnya, namun harus tetap didinginkan sebelum digunakan untuk mengurangi jumlah panas yang ditimbulkan oleh elektron dalam pita konduksi. Seperti detektor Ge(Li), detektor ini juga efisien digunakan untuk mengukur radiasi gamma. 4. LEGe: untuk mengukur radiasi Sinar-X dan gamma; LEGe merupakan kependekan dari Low Energy Germanium Detektor, merupakan konsep baru dalam geometri detector germanium dengan beberapa kelebihan tersendiri dibandingkan dengan detector planar atau coaxial dalam beberapa aplikasi. Detektor LEGe dibuat dengan jendela bagian depan yang tipis. Kapasitansi detektor lebih kecil daripada detektor planar dengan ukuran yang sama. Bising (noise) pada amplifier pada umumnya meruapakan fungsi dari kapasitansi detektor, namun detektor LEGe memiliki bising yang lebih rendah, sehingga memiliki 35
resolusi yang lebih baik pada energi yang rendah dan menengah. Detektor LEGe memiliki daerah aktif 50 mm2 s.d. 38 mm2 dan dengan ketebalan berkisar antara 5 mm s.d. 20 mm.. Untuk meningkatkan respon pada tingkat eneergi yang rendah, biasanya dilengkapi dengan jendela tipis yang terbuat dari bahan Be. Untuk aplikasi yang melibatkan energi di atas 30 keV, detektor LEGe dapat dilengkapi dengan jendela yang terbuat dari bahan alumunium setebal 0,5 mm. 5. SiLi: untuk mengukur radiasi Sinar-X. Detektor jenis ini sama dengan detektor semikonduktor Ge(Li), namun memiliki kelebihan yaitu detektor ini dapat disimpan pada temperatur kamar tanpa menimbulkan kerusakan pada kristal, dan dapat dioperasikan
pada
temperatur
kamar.
Untuk
meningkatkan
kemampuannya, detektor ini dapat didinginkan dengan menggunakan nitrogen cair sebelum digunakan. Silikon memiliki nomor atom yang lebih rendah dibandingkan dengan germanium, hal ini berarti kemungkinan berinteraksinya dengan radiasi gamma lebih kecil. Detektor semikonduktor Si(Li) tidak lebih efisien dalam pengukuran radiasi gamma, apabila dibandingkan dengan detektor Ge(Li), namun sangat efisien untuk mengukur radiasi gamma yang memiliki energi yang rendah (kira-kira kurang dari 150 keV) atau Sinar-X dan partikel beta atau elektron. 6. Ge (Li) Detektor semikonduktor yang terbuat dari bahan-bahan seperti silikon dan germanium, dapat ditambahkan ke dalamnya bahan lithium. Daerah, tempat ditambahkannya bahan lithium tersebut dinamakan sebagai intrinsic region atau lithium drifted yang berada di antara bahan semikonduktor jenis –p dan jenis –n. Besar kecilnya ukuran instrinsic region menentukan volumen sensitif sebuah detektor. Salah satu kelebihan detektor semikonduktor untuk pengukuran radiasi gamma adalah ukuran detektor yang pada umumnya berukuran kecil dibandingkan dengan detektor isian gas. Jenis detektor yang terbuat dari 36
bahan
semikonduktor,
yang
ke
dalam
kristal
germanium-nya
ditambahkan bahan lithium disebut sebagai detektor Ge(Li). Pada temperatur ruangan, atom-atom lithium akan terus bergerak melalui kristal germanium akan mengubah ukuran instrinsic region, hal inilah yang menjadikan detektor Ge(Li) harus selalu berada dalam temperatur yang sangat rendah, bahkan pada saat detektor jenis ini tidak sedang digunakan. Detektor Ge(Li) merupakan detektor yang efisien dalam pengukuran radiasi gamma dan memiliki resolusi energi yang baik. C. Kelebihan detektor semikonduktor dibandingkan dengan detektor isian gas 1. Detektor berukuran lebih kecil; 2. Memiliki resolusi energi yang lebih baik untuk seluruh jenis radiasi; 3. Memiliki efisiensi yang lebih tinggi untuk radiasi gamma; 4. Fast timing characteristic yang memungkinkannya dapat mengukur laju cacah yang tinggi; 5. Memiliki volume detektor efektif yang daoat diatur sesuai dengan jenis radiasi yang diukurnya.
37
BAB V DETEKTOR SINTILASI
A. Sistim Kerja Detektor sintilasi selalu terdiri dari dua bagian, yaitu: bahan sintilator dan photomultiplier.
Detektor
sintilasi
bekerja
memanfaatkan
radiasi
fluoresensi (biasanya cahaya) yang dipancarkan ketika elektron dari keadaan tereksitasi kembali ke keadaan dasarnya pada pita valensi. Bahan yang dipilih sebagai bahan detektor adalah bahan yang memungkinkan peristiwa kerlipan cahaya tersebut dapat terjadi dalam waktu yang sangat cepat (kira-kira 1 µsekon). Bahan sintilator merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan cahaya yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik. Mekanisme pendeteksian radiasi pada detektor sintilasi dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: •
Proses pengubahan radiasi yang mengenai detektor menjadi kerlipan cahaya di dalam bahan sintilator;
•
Proses pengubahan kerlipan cahaya menjadi pulsa listrik di dalam tabung photomultiplier.
Penyerapan radiasi gamma yang berenergi 1 MeV dalam detektor sintilasi menghasilkan kira-kira 10.000 eksitasi elektron, dan jumlah radiasi elektromagnetik dalam bentuk cahaya. Efisiensi pendeteksian detektor gas terhadap radiasi gamma sangat rendah kira-kira 1%. Dengan mengguakan kristal sintilasi padat, dapat diperoleh efisiensi pendeteksian radiasi gamma yang cukup tinggi, bervariasi antara 20 s.d. 30 %.
38
B. Bahan sintilator Dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar (ground state), seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga elektron tersebut dapat melompat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya. Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya. Percikan-percikan cahaya ini kemudian ditangkap oleh photomultiplier. C. Jenis Detektor Sintilasi Beberapa kristal sintilator yang sering digunakan adalah sebagai berikut: 1. Kristal NaI(Tl): digunakan untuk mengukur radiasi gamma dan SinarX. Detektor sintilasi NaI(Tl) dibuat dari kristal tunggal natrium iodida (NaI) yang sudah sedikit diberi pengotor Talium (Tl). Karena kristal NaI bersifat higroskopis, maka kristal tersebut ditutup rapat-rapat dalam wadah alumunium (Al) yang dilapisi cromium (Cr). Di antara kristal NaI(Tl) dan dnding wadah Al dimasukan reflektor berupa serbuk mangan oksida (MnO) atau Alumunium trioksida (Al2O3). Kristal NaI(Tl) direkatkan pada sebuah tabung pelipat ganda elektron menggunakan perekat bening yang terbuat dari silikon. Pada ujung tabung pelipat ganda elektron terdapat elektroda peka cahaya yang disebut fotokatoda. 2. Kristal ZnS(Ag): digunakan untuk mengukur radiasi alpha dan beta;
39
3. Kristal LiI(Eu): digunakan untuk mengukur radiasi neutron lambat karena unsur Li akan bereaksi dengan neutron menghasilkan partikel alfa. Partikel alfa yang dihasilkannya akan mengeksitasi bahan sintilator sehingga mwnghasilkan percikan cahaya. Jadi proses sintilasi di sini terjadi secara tidak langsung. 4. Sintilator organik: sintilator organik ini dibuat dari bahan organik seperti anthracene atau stilbene. Sintilator ini dapat berupa cair (sintilator cair) atau berupa padat. Kegunaan utama sintilator cair ini adalah untuk pengukuran radiasi beta aktivitas rendah (low level counting). D. Tabung photomultiplier Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabung multiplier berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa/arus listrik. Tabung multiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang berfungsi sebagai sensor cahaya pada salah satu ujungnya. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai percikan cahaya. Elektron yang dihasilkan akan diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron. Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.
40
Apabila radiasi gamma memasuki tabung detektor maka akan terjadi interaksi radiasi gamma dengan bahan detektor. Interaksi itu dapat menghasilkan efek fotolistrik, hamburan compton dan produksi pasangan. Karena reaksi ini maka elektron-elektron bahan detektro akan terpental keluar sehingga atom-atom itu berada dalam keadaan tereksitasi. Atomatom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan dasarnya sambil memancarkan kerlipan cahaya. Cahaya yang dipancarkan itu selanjutnya diarahkan ke foto katoda sensitif. Apabila foto katoda terkena kerlipan cahaya, maka dari permukaan foto katoda itu akan dilepaskan elektron. Antara foto katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang diberi tegangan tinggi dan diatur sedenikian rupa sehingga tegangan dinoda yang di belakangnya selalu lebih tinggi daripada tegangan dinoda di depannya. Perbedaan tegangan antara dinoda kira-kira 100 volt. Elektron yang dilepaskan oleh fotokatoda akan dipercepat oleh medan listrik dalam tabung pelipat ganda elektron menuju dinoda pertama. Dalam proses tumbukan antara elektron dan dinoda akan dilepaskan elektron-elektron lain yang kemudian dipercepat menuju dinoda kedua dan seterusnya. Dinoda terakhir yang terdapat dalam tabung pengganda elektron berupa anoda. Hasil akhir jumlah pelipatan elektron tergnatung pada jumlah dinoda. Tabung
pelipat
ganda
elektron
yang
mempunyai
10
tingkat
dinodamisalnya, pada anoda (dinoda terakhir yang sekaligus berperan sebagai pelat pengumpul elektron) bisa didapatkan faktor penggandaan elektron antara 107-108. Dengan demikian, sinar gamma yang dideteksi akan menghasilkan pulsa listrik sebagai keluaran dari detektor NaI(Tl). Tenaga elektron yang dilepaskan ini bergantung pada intensitas sinar gamma yang mengenai detektor. Makin tinggi energi elektron, makin tinggi pula pulsa listrik yang dihasilkannya, sedang makin banyak elektron yang dilepaskan, makin banyak pula cacahan pulsanya. Pulsa listrik dari detektor akan diproses lebih lanjut oleh penguat awal dari peralatan elektronik berupa penganalisis saluran ganda (MCA) sehingga 41
pada layar penganalisis itu dapat ditampilkan spektrum radiasi gamma yang ditangkap oleh detektor. Data tampilan spektrum gamma pada layar penganalisis dapat dipakai untuk analisis spektrometri gamma baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Detektor sintilasi NaI(Tl) memiliki efisiensi yang cukup baik untuk radiasi gamma. Kerlipan cahaya yang dipancarkan dari bahan pemendar memiliki panjang gelombang sekitar 4200 angstrom pada temperatur kamar dengan waktu peluruhannya 0,25 µdetik. Waktu peluruhan ini merupakan waktu yang diperlukan untuk memancarkan sekitar 63 % dari cahaya foton yang disimpan oleh bahan detektor. Kadar Talium sebanyak 0,1 % akan menghasilkan efisiensi detektor yang lebih besar dengan menurunnya temperatur. Karakteristik dari detektor NaI(Tl) ini, adalah: a. Memiliki pancaran kerlipan cahaya yang tinggi dari energi radiasi yang tersimpan dalam bahan detektor; b. Memiliki nomor atom (Z) yang tinggi karena adanya atom Iodine (I): c. Bahan pemendar padat dengan rapat jenis sebesar 3,57 gr/cm3 memiliki kemungkinan interaksi per cm yang cukup tinggi, Untuk pencacahan beta, dapat dengan cara melarutkan sampel pada bahan sintilator toluenen,, hal ini dapat meningkatkan efisiensi pencacahan sebesar 100 %.
42
BAB VI DETEKTOR NEUTRON
A. Sistim Kerja Neutron merupakan partikel yang tidak bermuatan listrik seperti elektron dan proton. Karena tidak bermuatan, neutron tidak dapat menyebabkan ionisasi secara langsung terhadap materi yang dikenai atau dilewatinya. Namun demikian, apabila neutron berinteraksi dengan materi, neutron akan menyebabkan ionisasi sekunder. Dengan melakukan deteksi/pengukuran terhadap partikel/ion hasil dari proses ionisasi sekunder, inilah pengukuran terhadap radiasi neutron dapat dilakukan. Neutron cepat (fast neutron) dapat dideteksi melalui hasil interaksinya dengan bahan-bahan yang banyak mengandung atom hidrogen. Jenis interaksi antara neutron dengan inti atom hidrogen adalah tumbukan elastis. Tumbukan elastis antara neutron dengan inti atom hidrogen akan mengeluarkan partikel proton dari inti atom. Deteksi terhadap neutron dilakukan dengan ionisasi yang dilakukan oleh proton yang keluar dari inti atom hidrogen akibat tumbukan ini. Untuk deteksi neutron cepat sering digunakan alat ukur proporsional dengan bahan isian yang memiliki kadar atom hidrogen yang tinggi, seperti polietilin. Peralatan ini memiliki kepekaan yang sangat rendah dan sulit untuk melakukan pengukuran di bawah laju dosis radiasi 50 µSv/jam. Interaksi nuklir yang sering terjadi, yang digunakan dalam deteksi neutron adalah reaksi antara neutron dengan bahan boron-10 dan lithium-6. Boron10 memiliki penampang lintang tangkapan yang tinggi (4010 barn) terhadap neutron termik. Interaksi antara neutron dengan kedua bahan ini menghasilkan radiasi partikel alfa. Partikel alfa ini yang akan melakukan ionisasi terhadap bahan detektor.
43
Neutron termik dapat dideteksi pula dengan memanfaatkan interaksi antara neutron dengan helium-3 yang menghasilkan proton dan tritium. Sistem pendeteksian ini lebih disukai dibandingkan dengan pendeteksian yang menggunakan gas boron-10, karena reaksi ini tidak sensitif terhadap gangguan sinar gamma. Dalam daerah yang memiliki radiasi campuran sinar gamma dan neutron, lebih mudah melakukan pengukuran neutron dengan menggunakan detektor proporsional. Tiga jenis interaksi yang pertama disebutkan merupakan interaksi neutron yang sering terjadi pada neutron dengan energi kira-kira/kurang dari 0,5 eV. Neutron dengan tenaga ini disebut sebagai neutron lambat. B. Jenis detektor neutron 1. Boron trifluoride proportional counter Gas Boron trifluoride, diperkaya dengan boron-10 digunakan dalam penghitung proporsional isian gas. Pada prinsipnya, detektor jenis ini sangat peka/sensitif untuk mengukur radiasi neutron termik, dan tidak sensitif untuk neutron cepat. Apabila detektor ini digunakan untuk mendeteksi neutron dengan energi intermediate dan cepat (energinya di atas 1 MeV), detektor ini harus ditambahkan dengan dikelilingi oleh bahan pemoderasi neutron, seperti polyethylene, untuk mengurangi energi/kecepatan neutron cepat menjadi neutron termal. Filter yang terbuat
dari
bahan
cadmium
dapat
ditambahkan
untuk
lebih
menyeragamkan respon energi. Detektor ini dapat digunakan untuk mengukur radiasi neutron dengan energi mulai dari energi thermal sampai dengan energi 10 MeV. Detektor ini dapat dipakai untuk membedakan laju dosis neutron termik dan neutron cepat di medan radiasi neutron campuran dengan memodifikasi teknik pengukuran sebagai berikut:
44
•
Jika detektor ini dipakai untuk pengukuran langsung (tanpa ditambah bahan moderator), maka akan terpantau oleh detektor hanyalah laju dosis neutron termik saja;
•
Jika detektor ini diberikan bahan tambahan moderator polietilin dan dilapisi lempeng filter bahan cadmium, maka neutron termik akan terserap oleh bahan filter cadmium, sehingga yang terdeteksi hanya neutron cepat saja.
2. Boron lined proportional counter Boron digunakan sebagai pelapis (liner) di dalam dinding proportional counter yang memungkinkan dikatakan sebagai proportional gas daripada boron trifluoride. Namun untuk tingkat stabilitasnya tidak sebaik stabilitas yang dimiliki oleh boron trifluoride proportional counter. 3. Helium proportional counter Helium propotional counter menggunakan helium sebagai bahan target radiasi partikel neutron dan sebagai gas isian dalam detektor. Dalam hal aspek-aspek yang lainnya, jenis detektor ini sama dengan detektor jenis boron trifluoride proportional counter. 4. Gas recoil proportional counter Neutron dengan tingkat energi di atas 500 keV dapat dideteksi dengan menggunakan proportional counter yang diisi dengan gas seperti methane yang berisi porsi lebih banyak atom hidrogen, neutron cepat akan bertumbukan dengan atom hidrogen. Secara alternatif, atom hidrogen
dapat
diperoleh
dengan
menggunakan
bahan
seperti
polyethylene pada dinding counter. Counter ini ditutup/dilapisi dengan lembaran tipis cadmium yang akan meng-absorp neutron slow dan neutron thermal.
45
5. Superheated drop detector Superheated drop detector berisi microscopic liquid drops dalam bahan seperti gel. Neutron yang datang akan memberikan energinya pada liquid drops tersebut untuk membuatnya mendidih dengan cepat dan berubah menjadi
butiran-butiran/gelembung.
Terdapat
audible
pop
yang
dikumpulkan dan direkam dengan menggunakan peralatan tertentu. Cartridge yang berisi superheated liquid harus diganti pada saat seluruh drops telah mendidih. Pengukuran laju dosis ekuivalen dari neutron sulit untuk dilakukan karena faktor kualitas untuk neutron ini cukup bervariasi tergantung pada energinya. Salah satu alat yang dapat secara langsung dapat mengukur laju dosis ekuivalen dari neutron adalah neutron rem meter. Alat ini pada umumnya digunakan untuk pendeteksian neutron di instalasi nuklir. Alat ini dapat dipasang pada posisi yang tetap atau dapat juga bersifat portable.
46
BAB VII ALAT UKUR RADIASI PERORANGAN A. Sifat alat ukur radiasi perorangan Alat ukur atau lebih tepatnya dikatakan alat monitor radiasi perseorangan, ada pula yang menyebutnya sebagai dosimeter perorangan harus bersifat ringan dan mudah untuk dibawa kemana-mana. Selain itu pula, harus terbuat dari bahan yang cukup kuat agar dapat menahan penggunaan seharihari, harus dapat mendeteksi dan mencatat dosis radiasi yang kecil maupun yang
besar,
secara
konsisten
dan
tepat.
Pengaruh-pengaruh
eksternal/lingkungan seperti: temperatur yang tinggi, kelembaban, dan mechanical shock tidak boleh mempengaruhi unjuk kerja alat ini. Karena banyak Pekerja Radiasi (PR) yang diharuskan menggunakan alat ini, secara ekonomis alat ini pun semaksimal mungkin memiliki harga yang murah. Ditinjau dari dari sudut pandang tingkat sensitivitasnya, jenis alat monitor perseorangan dikelompokan lagi sesuai dengan medan radiasi dan jenis radiasi yang ada dalam lingkungan pekerjaan tempat Pekerja Radiasi yang bersangkutan tersebut bekerja. Contohnya: untuk dosimeter film emulsi, dikelompokan menjadi: (1). Dosimeter film neutron, yang digunakan untuk memonitor dosis radiasi neutron, dan (2). Dosimeter film gamma, yang digunakan untuk memonitor dosis radiasi gamma. Demikian halnya dengan TLD, ada yang didesain untuk memonitor radiasi beta (elektron), radiasi sinar gamma, maupun campuran berbagai jenis radiasi seperti: betagamma, neutron-gamma, serta neutron-beta-gamma. Interpretasi dan evaluasi terhadap penerimaan dosis radiasi yang telah diterima oleh pekerja radiasi didasarkan pada hasil rekaman alat monitor perorangan ini. Evaluasi ini, pada umumnya dilakukan secara berkala, misalnya: setiap bulan atau kwartalan. Sebagai penunjang, pada saat melakukan pekerjaan, pada umumnya pekerja radiasi dilengkapi tidak hanya dengan satu jenis alat monitor radiasi perorangan, yang 47
memungkinkan interpretasi/evaluasi dosis radiasi dapat dilakukan secara cepat dan seketika setelah selesai melakukan pekerjaan dengan radiasi. B. Jenis-jenis Alat Ukur/Monitor Radiasi Perorangan 1. Dosimeter saku Dikatakan dengan dosimeter saku karena ukuran dosimeter ini cukup kecil dan dalam penggunaannya dapat dimasukan ke dalam saku pakaian atau celana. Konstruksi dosimeter saku berupa tabung silinder berisi gas. Dinding silinder pada umumnya terbuat dari alumunium atau plastik yang permukaan bagian dalamnya dilapisi dengan bahan konduktor akan berfungsi sebagai katoda yang bermuatan negatif, sedangkan sumbu logam dengan jarum “quartz” di bagian bawahnya bermuatan positif. Mula-mula
sebelum
digunakan,
dosimeter
ini
diberi
muatan
menggunakan charger yaitu suatu catu daya dengan tegangan tertentu. Jarum quartz pada sumbu detektor akan menyimpang karena adanya perbedaan potensial. Dengan mengatur nilai tegangan pada waktu melakukan charging maka penyimpangan jarum tersebut dapat diatur agar menunjukan angka nol. Dalam pemakaian di tempat kerja, bila ada radiasi yang memasuki detektor maka radiasi tersebut akan mengionisasi gas isian, sehingga akan terbentuk ion-ion positif dan negatif. Ion-ion ini akan bergerak menuju anoda atau katoda sehingga mengurangi perbedaan potensial antara jarum dan dinding detektor. Perubahan perbedaan potensial ini menyebabkan penyimpangan jarum berkurang. Jumlah ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor sebanding dengan intensitas radiasi yang memasukinya, sehingga penyimpangan jarum juga sebanding dengan intensitas radiasi yang telah memasuki detektor. Skala dari penyimpangan jarum tersebut kemudian dikonversikan menjadi nilai dosis. 48
Keuntungan dosimeter saku ini adalah dapat dibaca secara langsung dan tidak membutuhkan peralatan tambahan untuk pembacaannya. Peralatan lain yang dibutuhkan adalah charger untuk me-reset skala jarum quartz. Kelemahannya, dosimeter ini tidak menyimpan informasi dosis yang telah mengenainya dalam waktu yang lama (sifat akumulasi kurang baik). Hal ini disebabkab oleh adanya kebocoran elektrostatik pada detektor. Jadi, meskipun tidak sedang dikenai radiasi, nilai yang ditunjukan jarum akan berubah. Untuk menghindari kebocoran yang seperti ini, diperlukan adanya sistem isolasi yang bagus pada elektrodanya. Laju kebocoran dosimeter yang normal untuk dosimeter saku yang baik harus kurang dari 3 % dalam periode 48 jam. Dosimeter yang kebocorannya lebih dari 5 % pembacaan skala penuh per hari tidak boleh digunakan. Selain itu, dosimeter ini kurang teliti dan memiliki rentang
energi
pengukuran
tertentu
yang
relatif
lebih
sempit
dibandingkan dengan alat monitor perorangan yang lain. Pada saat ini, sudah dibuat dan dipasarkan dosimeter saku yang diintegrasikan
dengan
komponen
elektronika
sehingga
skala
pembacaannya tidak lagi dengan melihat pergeseran jarum, melainkan dengan melihat display digital yang dapat langsung menampilkan angka hasil pengukurannya. Dosimeter saku digital ini juga tidak membutuhkan peralatan charger terpisah karena sudah built-in di dalamnya. Setiap kali diaktifkan, secara otomatis dosimeter ini menampilkan angka nol. Jenis dosimeter yang telah disebutkan di atas, digolongkan pada jenis dosimeter saku jenis baca langsung. Dosimeter saku jenis bacaan langsung
tersedia
dengan
jangkauan
kepekaan
skala
penuh
penyimpangannya sebesar 1 mSv sampai 100 mSv. Dosimeter ini memberikan tanggapan dengan tingkat kebergantungannya terhadap energi cukup tinggi, terutama untuk foton dengan energi kurang dari 300 keV. Terhadap foton dengan energi yang lebih dari 300 keV, tanggapannya cukup akurat dengan simpangan ± 10 % dari nilai sebenarnya. Sedang untuk foton dengan energi yang di bawah 300 keV, 49
kesalahan hasil pembacaannya bisa mencapai faktor 2 atau 3 kali nilai yang sebenarnya. Ada pula dosimeter saku jenis kapasitor. Dosimeter ini pada prinsipnya merupakan detektor kamar ionisasi, namun tidak menghasilkan tanggapan secara langsung karena muatan listrik yang terkumpul pada proses ionisasi akan “disimpan” terlebih dahulu seperti halnya suatu kapasitor. Prinsip kerja dari dosimeter saku jenis ini adalah dengan memanfaatkan fenomena kapasitor listrik. Apabila pada kapasitor diberi muatan listrik Q, maka antara kedua keping kapasitor akan terdapat perbedaan potensial sebesar V, yang besarnya adalah V=Q/C, C adalah kapasitas dari kapasitor. Jika dosimeter menerima radiasi pengion, maka akan terjadi ionisasi di dalam ruang sensitif kapasitor tersebut. Proses ionisasi ini menghasilkan ion-ion yang selanjutnya akan tertarik pada kepingkeping kapasitor. Tertariknya ion-ion listrik tersebut mengakibatkan berkurangnya beda potensial di antara kedua keping kapasitor itu. Besarnya penurunan keping kapasitor ini sebanding dengan besarnya dosis radiasi yang masuk. Pembacaan dosimeter perseorangan ini dengan menggunakan peralatan khusus, yang berfungsi sekaligus pengisi muatan listrik kapasitor pada dosimeter ini akan digunakan. Dosimeterr ini pada umumnya memiliki rentang pengukuran 200 mR atau 2 mSv dengan ketelitian sekitar ±15 % untuk energi foton dari 50 keV sampai 2 MeV. 2. Film Badge Alat pemantau dosis radiasi perorangan yang lazim digunakan adalah film badge. Detektor jenis ini menggunakan detektor berupa film fotografi, serta memanfaatkan sifat radiasi ionisasi yaitu menghitamkan pelat film yang dilewatinya. Dosimeter film emulsi dibuat dari bahan dasar berupa selulosa asetat yang dilapisi bahan sensitif radiasi pada salah satu atau kedua permukaannya. Lapisan yang sensitif ini disebut 50
emulsi yang terdiri dari gelatine dan komponen-komponen foto sensitif berupa kristal silver halide, pada umumnya adalah AgBr, yang tersebar secara merata dalam matriks gelatin. Tebal bahan dosimeter film kirakira 200 mikron, sedang tebal lapisan emulsi, bentuk, dan ukuran kristal AgBr serta pengotor-pengotor lainnya berbeda-beda untuk setiap jenis film. Lapisan emulsi film untuk pemantau Sinar-X kira-kira 12 mikron, sedang untuk pemantau neutron kira-kira tiga kalinya. Film emulsi yang digunakan untuk pemantauan dosis perseorangan ini umumnya memiliki emulsi ganda, yaitu emulsi cepat pada salah satu permukaan dan emulsi lambat pada permukaan yang lainnya. Penggunaan dua macam emulsi ini memungkinkan dilakukannya pengukuran radiasi dengan jangkauan dosis yang lebar. Emulsi cepat dapat digunakan untuk mengukur radiasi gamma 50 µSv, jika dosis radiasi melebihi nilai ini, maka emulsi cepat akan mengelupas dari film, dan emulsi lambat yang dipakai sampai dengan dosis radias 10 Sv. Film badge terdiri atas dua bagian, yaitu: detektor film dan holder. Detektor jenis film dapat menyimpan dosis radiasi yang telah mengenainya secara akumulatif selama film itu belum diproses. Semakin banyak dosis radiasi yang telah mengenainya atau telah mengenai orang/personil yang memakainya, maka tingkat kehitaman film setelah diproses akan semakin pekat. Holder film selain berfungsi sebagai tempat film ketika digunakan, juga berfungsi sebagai penyaring (filter) energi radiasi. Dengan adanya beberapa jenis filter pada holder, maka dosimeter film badge ini dapat membedakan jenis dan energi radiasi yang telah mengenainya. Terdapat beberapa jenis filter yang digunakan, seperti plastik dengan tebal 0,5 mm; 1,5 mm; dan 3 mm, alumunium dengan tebal 0,6 mm, tembaga dengan tebal 0,3 mm, serta campuran antara Sn 0,8 mm dan Pb dengan tebal 0,4 mm, juga campuran antara Cd dengan tebal 0,8 dan Pb dengan tebal 0,4 mm.
51
1
2
5
4
3
6
7
8
Keterangan: 1:Tanpa filter;2:Plastik 0,5 mm3:Plastik 1,5 mm4: Plastik 3,0 mm5:Alumunium 0,6 mm6:Tembaga 0,3 mm7: Sn 0,8 mm + Pb 0,4 mm8:Cd 0,8 mm + Pb 0,4 mm
Gambar VII.1. Konstruksi Holder Film merk Chiyoda
Radiasi yang mengenai film, akan berinteraksi dan mengionisasi AgBr, semakin besar radiasi yang mengenainya, maka akan semakin banyak pasangan ion Ag+ dan Br- yang terbentuk. Pemrosesan film dimulai dengan memasukan film ke dalam larutan developer, Ag+ akan berubah menjadi hitam berwarna perak. Pemrosesan film selanjutnya adalah dengan memasukan film ke dalam larutan pemantap (fixer), larutan ini akan melarutkan sisa-sisa AgBr, dan AgBr yang sebagai logam perak akan semakin diperkuat sebagai film laten. Sebelum menentukan hasil pembacaan film, harus dibuat terlebih dahulu kurva kalibrasi. Dengan membandingkan antara tingkat kehitaman film dengan dosis radiasi yang sebenarnya. Sensitivitas film dipengaruhi oleh energi radiasi yang mengenainya. Bila menggunakan filter, maka terdapat suatu batas (cut off) energi. Bila energi radiasinya lebih besar daripada batas tersebut, maka film akan sensitif dan sensivitasnya relatif tidak dipengaruhi lagi oleh energi radiasi. Bila energi radiasinya lebih kecil daripada batas, maka film tidak sensitif atau film tidak akan mempengaruhi perubahan kimia. Batas energi tersebut di atas sangat ditentukan oleh jenis filter dan jenis radiasi.
52
Film-film yang digunakan dalam dosimeter film badge sangat tergantung pada energi dalam kisaran energi yang rendah, dan radiasi gamma maksimal 0,2 MeV. Ketergantungan energi ini timbul dari kenyataan bahwa penampang lintang fotoelektrik perak dalam bentuk emulsi meningkat jauh lebih cepat daripada penampang lintang fotoelektrik udara atau jaringan tubuh manusia untuk energi foton di bawah 0,2 MeV. Sensitivitas maksimum film untuk foton gamma teramati pada rentang tenaga 30 s.d. 40 keV. Di bawah energi ini, tingkat sensitivitas film menurun karena adanya pelemahan radiasi oleh pembungkus kertas. Sebagai akibat dari ketergantungan energi ini, film badge tidak berguna bagi foton Sinar-X yang energinya kurang dari 0,2 MeV, kecuali apabila filmnya dikalibrasikan dengan radiasi distribusi energi sinar-X. Dalam penggunaan film badge, perlu diperhatikan dua hal penting yaitu batas saturasi tingkat kehitaman film dan masalah fadding. Apabila film telah mencapai batas saturasinya, maka penambahan dosis radiasi tidak akan mempengaruhi tingkat kehitaman film. Oleh karena itu, film badge harus sudah diproses sebelum dosis radiasi yang mengenainya mencapai nilai saturasinya. Beberapa jenis film memiliki tingkat saturasi dosis 2 rad (0,02 gray). Sedangkan masalah fadding adalah peristiwa perubahan tingkat kehitaman film karena pengaruh temperatur dan kelembaban. Dosimeter film badge memiliki sifat akumulatif yang lebih baik daripada dosimeter saku. Keuntungan lainnya adalah film badge dapat membedakan jenis radiasi yang mengenainya dan memiliki rentang pengukuran energi yang lebih besar daripada dosimeter saku. Selain itu, film yang telah diproses dapat digunakan untuk perhitungan yang lebih teliti serta dapat didokumentasikan. Kelemahannya adalah untuk mengetahui dosis yang telah mengenainya harus diproses terlebih dahulu secara khusus serta membutuhkan peralatan tambahan untuk membaca tingkat kehitaman film, yaitu densitometer. Film badge mampu mengukur penyinaran sinar gamma antara 10 mR sampai dengan 1800 R yang berasal dari radium, radiasi partikel beta 53
yang energi maksimumnya 400 keV, dengan dosis radiasi antara 50 mrad sampai dengan 1000 rad, radiasi neutron thermal dari 5 mrad sampai dengan 500 rad dan neutron cepat dengan dosis radiasi 4 mrad sampai dengan 10 rad. Netron cepat yang energinya di atas 0,5 MeV dapat dimonitor dengan film penjejak nuklir seperti Eastman Kodak NTA yang ditambahkan pada film badge. Radiasi neutron pada film badge menyebabkan adanya proton rekoil (proton yang terpental) yang disebabkan oleh tumbukan elastis inti atom hidrogen dalam pembungkus kertas, emulsi, dan film. 3. Dosimeter Termoluminensi (TLD) Dosimeter ini sangat menyerupai dosimeter film badge, hanya detektor yang digunakan adalah kristal anorganik thermoluminensi, misalnya bahan LiF. Proses yang terjadi pada detektor ini apabila dikenai radiasi sama halnya dengan proses detektor sintilasi. Perbedaannya adalah bahwa cahaya tampak baru akan dipancarkan, setelah kristal dipanaskan. Proses ini disebut proses termoluminensi. Senyawa lain yang sering digunakan untuk TLD adalah CaSO4, CaF2 yang mengandung bahan pengotor Mn. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa bahan memiliki kemampuan untuk menyimpan energi radiasi pengion yang diterimanya. Jika bahan tersebut mendapat rangsangan berupa energi panas yang cukup maka akan dipancarkan cahaya tampak dengan intensitas sebanding dengan energi total yang diserap oleh bahan tersebut. Materi-materi yang memiliki sifat tersebut disebut fosfor. Selain bahan-bahan yang telah disebutkan di atas, bahan-bahan lain yang termasuk bahan fosfor, antara lain: NaCl, LiB4O7. Zat padat dengan struktur kristal memiliki berbagai macam kerusakan kisi-kisi kristal di dalamnya. Beberapa kerusakan kisi-kisi itu disebabkan antara lain oleh hilangnya atom-atom atau ion-ion dari bahan, struktur 54
bidang kristal yang terputus atau adanya bahan-bahan asing (pengotor) yang terdapat dalam kristal. Pada daerah di sekitar terjadinya kerusakan kisi tersebut sering kali terbentuk pusat-pusat muatan listrik yang dapat menarik muatan listrik yang berlawanan. Oleh sebab itu, jika elektron bergerak memasuki daerah kerusakan di mana terdapat pusat muatan positif, maka elektron akan tertarik oleh pusat muatan tersebut. Sebaliknya ion positif dapat tertarik memasuki daerah kerusakan kisi-kisi dimana terdapat muatan listrik negatif. Jika pusat-pusat muatan yang terbentuk cukup kuat, maka pusat muatan itu mampu mengikat ion yang tertarik padanya. Pusat-pusat muatan yang cukup kuat itu disebut sebagai perangkap, sedangkan kemampuan perangkap dalam mengikat ion disebut kedalaman perangkap. Tingkat kedalaman perangkap tergantung pada tingkat kerusakan kisi. Jika satu jenis kristal ditambahkan bahan pengotor, maka diperoleh kristal dengan satu jenis perangkap. Banyak perangkap-perangkap yang tidak stabil secara termik sehingga akan melepaskan tangkapannya pada suhu kamar. Pada perangkap yang stabil, elektron akan tetap terperangkap sampai dengan kisi diberikan energi panas yang cukup. Radiasi ionisasi yang memasuki detektor akan berinteraksi dengan kristal termoluminensi, menyebabkan elektron yang berada dalam pita valensi berpindah ke pita konduksi. Elektron-elektron ini tidak dapat kembali pada keadaan semula, yaitu pada pita valensi karena elektron ini sengaja “dijebak” oleh pita energi. Apabila kristal dipanaskan, elektron akan kembali pada pita valensi dengan melepaskan/memancarkan foton cahaya. Jumlah elektron yang tereksitasi/berpindah dari pita valensi ke pita konduksi sebanding dengan jumlah dosis radiasi yang mengenai detektor. Pemanasan pada TLD menyebabkan TLD itu memancarkan cahaya tampak yang ditangkap oleh foto katoda sehingga terjadi pelepasan 55
elektron dari permukaan foto katoda itu. Elektron-elektron yang dilepaskan ini selanjutnya diarahkan ke tabung pengganda elektron yang di dalamnya terdapat dinoda-dinoda. Setiap kali elektron menumbuk dinoda akan menyebabkan terlepasnya elektron-elektron lain dari dinoda tersebut. Dengan demikian terjadi pelipatgandaan jumlah elektron di dalam
tabung
pengganda
elektron.
Elektron-elektron
itu
dapat
menghasilkan pulsa listrik yang akan diproses lebih lanjut oleh sistem rangkaian alat pencacah sehingga diperoleh data hasil cacahan radiasi dari TLD. Panas yang diberikan sama dengan energi yang diperlukan untuk men”jebak” elektron-elektron dalam pita konduksi. Pada umumnya, banyaknya puncak cahaya dalam hasil pembacaan menunjukan tempattempat yang berbeda , sesuai dengan tingkat energinya dalam pita konduksi yang menangkap elektron. Jumlah total cahaya itu merupakan total energi yang dilepaskan oleh seluruh elektron untuk kembali pada pita valensinya, yang sebanding energi radiasi yang masuk ke dalam detektor. Sedangkan intensitas cahaya sebanding dengan dosis radiasinya. Dosis radiasi dapat ditentukan dengan menghitung jumlah foton cahaya yang dipancarkan. Secara praktek, perhitungan dosis dapat dilakukan oleh penentuan daerah spektrum foton cahaya yang dipancarkan oleh bahan TLD. Perubahan kelembaban, tekanan udara, dan temperatur normal tidak mempengaruhi TLD. Berbeda dengan film pada film badge yang akan berkabut bila dipakai lebih dari satu bulan. Sebagaimana film badge, dosimeter ini digunakan selama jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, baru kemudian diproses untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang telah diterimanya. Pemrosesan dilakukan dengan memanaskan kristal TLD sampai dengan temperatur tertentu,
56
kemudian mendeteksi percikan-percikan cahaya yang dipancarkannya. Alat yang digunakan untuk memproses dosimeter ini adalah TLD reader. Keunggulan TLD dibandingkan dengan film badge adalah terletak pada tingkat ketelitiannya. Selain itu, ukuran kristal TLD relatif lebih kecil dan setelah diproses kristal TLD tersebut dapat digunakan lagi. Kelemahannya adalah: biaya awalnya mahal, dan data dosis akan hilang setelah proses pembacaan. Dari tiga jenis dosimeter yang telah dibahas di atas, terlihat dosimeter saku merupakan dosimeter yang dapat dibaca langsung, sedang film badge dan TLD memerlukan suatu proses sehingga hasil pengukurannya tidak dapat diketahui secara langsung. Pekerja Radiasi yang berada di daerah radiasi tinggi dianjurkan untuk menggunakan dua jenis dosimeter yaitu dosimeter saku dan film badge atau TLD. Dosimeter saku digunakan untuk mengetahui dosis yang telah diterimanya secara langsung, misalnya setelah menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Sedang film badge atau TLD digunakan untuk mencatat dosis yang telah diterimanya selama selang waktu yang lebih panjang, misalnya selama satu bulan. Dosimeter termoluminensi secara kuantitatif memberikan respon terhadap Sinar-X, sinar gamma, partikel beta, dan proton-proton pada rentang dosis radiasi 10 mrad sampai dengan 100.000 rad.
C. Bioassay dan Whole Body Counting Sebelum bekerja di daerah yang keadaan udara dan lingkungannya terkontaminasi, seorang pekerja radiasi diharuskan untuk mengkaji besarnya radiasi dan kemungkinan tubuhnya terkena radiasi. Bioassay adalah metode untuk menentukan jenis, jumlah, dan tempat zat radiaoktif di dalam tubuh manusia melalui pengukuran langsung atau melalui analisis bahan-bahan yang di-ekskresi-kan oleh tubuh manusia. 57
Pembahasan lebih lanjut mengenai bioassay menggunakan analisa ekskresi dapat dilihat pada modul mengenai efek biologi radiasi pada tubuh manusia. Dalam whole body counting, jumlah zat radioaktif pemancar gamma yang berada pada seluruh bagian tubuh diukur secara langsung dengan menggunakan detektor sintilasi sodium iodide. Untuk mengurangi cacah latar-belakang, dan kemudian untuk meningkatkan sensitivitas pengukuran, tubuh yang diukur dan detektor nya diberi perisai tertutup, seperti timbal. Pada umumnya whole body counting dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu: jenis scanning, jenis kursi, dan jenis stand-up. Dalam jenis kursi, sistem ini memiliki 3 detektor, satu untuk mengukur thyroid, satu untuk mengukur paru-paru, dan satu untuk mengukur perut. Orang yang akan diukur duduk di kursi, dan pengukuran dilakukan, dan hasil pengukuran ditampilkan dalam spektrum yang terpisah. Seluruh data diproses dengan menggunakan komputer. Setelah 5 menit pengukuran, pada umumnya kitas sudah dapat mengetahui radionuklida dan menghitung jumlahnya yang ada di thyroid, paru-paru, dan perut. Pada umumnya hasil pengukuran dari whole body counting untuk menghitung dosis pada jaringan tertentu, dan memasukan nilai tersebut dalam rekaman dosis. Jenis stand-up pada umumnya digunakan, memiliki detektor germanium atau sodium iodide. Orang yang akan diukur berdiri di depan detektor, dan komputer akan menghitung dosisnya.
58
BAB VIII PEMANTAUAN LINGKUNGAN A. Monitor Radiasi Yang dimaksud dengan pemantauan radiasi pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengukur besarnya radiasi di suatu daerah. Pada kegiatan ini, biasanya digunakan peralatan surveimeter. Terdapat dua alasan untuk melakukan pemantauan radiasi, yaitu: 1. Perubahan radiasi dapat menjadi sebuah indikasi terjadinya perubahan pada plant system ; 2. Perubahan radiasi dapat menjadi sebuah indikasi untuk mengubah prosedur kerja yang diperlukan. Jenis detektor yang digunakan pada surveimeter tergantung kepada tujuan penggunaannya. Untuk mengukur laju dosis yang rendah, diperlukan alat ukur radiasi yang sangat sensitif, seperti detektor Geiger-Muller atau detektor sintilasi NaI(Tl). Untuk mengukur laju dosis yang tinggi, pada umumnya digunakan detektor isian gas. Beberapa detektor memiliki jendela detektor yang dapat ditutup dan dibuka. Jika jendela detektor ditutup, maka hanya radiasi gamma saja yang dapat diukur, sementara jika jendela detektor dibuka, maka radiasi beta yang dapat diukur. Dengan cara ini, detektor dapat digunakan di daerah yang radiasinya campuran. Surveimeter berbeda dengan detektor-detektor atau alat ukur radiasi yang digunakan untuk mengukur radiasi perorangan. Surveimeter harus mampu menampilkan/menunjukan hasil pengukurannya secara langsung. Metode peengukuran pada surveimeter dengan menerapkan mode arus.
59
Setelah pemilihan surveimeter yang sesuai dengan keadaan di lapangan, seorang pekerja radiasi harus melakukan beberapa kegiatan pemeriksaan pre-operational, antara lain: 1. Periksa sertifikat kalibrasi. Dalam sertifikat kalibrasi atau label kalibrasi yang pada umumnya ditempel pada alat yang bersangkutan menunjukan faktor kalibrasi dan masa berlakunya kalibrasi; 2. Periksa keadaan baterei alat ukur radiasi. Hal ini dilakukan untuk memastikan, apabila baterei dalam keadaan yang tidak baik, maka pembacaan hasil pengukuran radiasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya; 3. (Untuk pengukuran beta dan gamma). Periksa bahwa respons yang diberikan oleh alat ukur baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan check source; 4. Periksa sistem display dan faktor multiplikasi. Pada surveimeter, pada umumnya terdapat beberapa faktor multiplikasi seperti x 1, x 10, x 100, dan lain-lain. Display dapat menunjukan satuan hasil pengukuran yang berbeda-beda, antara lain: Sv/jam dan cpm (count per minute). Apabila setelah dilakukan beberapa pemeriksaan di atas, alat tersebut gagal, maka alat yang bersangkutan tidak dapat digunakan. Apabila alat yang akan digunakan baik, maka harus dilakukan persiapan berikutnya, antara lain: 1. Siapkan checklist survei; 2. Nyalakan surveimeter; 3. Pilih rentang pengukuran yang tepat (apabila tidak diketahui, pilih terlebih dahulu rentang pengukuran yang paling tinggi); 4. Periksa beberapa tanda peringatan yang dipasang di suatu daerah; 5. Letakan surveimeter setinggi pinggang; Ada pula peralatan monitor radiasi yang diletakan secara tetap pada suatu tempat di daerah radiasi.
60
B. Monitor kontaminasi Masalah kontaminasi merupakan satu masalah yang sangat penting, terlebih lagi apabila kontaminasi tersebut terjadi pada tubuh manusia. Kontaminasi dapat dengan mudah terjadi, apabila seorang pekerja radiasi bekerja dengan sumber radiasi yang terbuka, sebagai contoh: sumber radiasi yang berbentuk cair atau gas. Pada umumnya, radiasi yang dipancarkan oleh kontaminan kecil, sehingga diperlukan monitor kontaminasi yang sangat sensitif dan memiliki efisiensi pengukuran yang tinggi. Selain itu detektor yang digunakan harus memiliki jendela yang luas, karena kontaminasi dapat terjadi tidak hanya pada tempat dengan luas yang kecil, tapi dapat terjadi pada daerah yang lebih luas lagi. Display pada monitor kontaminasi, pada umumnya berupa jumlah cacahan (cpm/count per minute). Nilai ini harus dikonversikan menjadi besaran radioaktivitas, dengan menggunakan efisiensi sistem detektor. Terdapat beberapa jenis monitor kontaminasi, yaitu: 1. Surface monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur kontaminasi di seluruh permukaan daerah kerja, seperti: lantai, dinding, permukaan meja atau kursi; 2. Hand and shoe monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur radiasi pada kaki dan tangan; 3. Whole Body Monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur kontaminasi di seluruh tubuh. Alat ini pada umumnya diletakan di pintu keluar daerah yang memiliki tingkat radiasi yang tinggi.
61
BAB IX SPEKTROSKOPI A. Sistim Kerja Sistem spektroskopi digunakan untuk perhitungan jumlah radiasi untuk masing-masing tingkat atau rentang energi tertentu. Sistem spektrokopi berbeda dengan sistem pencacahan integral maupun differensial. Hasil pengukuran dengan menggunakan sistem spektrokopi berupa suatu spektrum distribusi radiasi terhadap energinya. Merupakan satu fenomena alam bahwa spektrum distribusi energi radiasi untuk setiap nuklida bersifat spesifik, sehingga spektrum suatu nuklida akan berbeda dengan spektrum nulida yang lain. Apabila spektrum energi radiasi, dapat diketahui, maka unsur radioaktif tersebut dapat dengan mudah ditentukan. Sistem spektroskopi ini merupakan sistem pencacah radiasi yang paling banyak digunakan dalam berbagai pengukuran, baik dalam bidang industri maupun penelitian, karena sistem ini dapat melakukan pencacahan secara integral maupun differensial, sekaligus menghasilkan spektrum distribusi energi radiasi. Detektor yang digunakan dalam sistem spektroskopi harus memiliki kemampuan untuk membedakan energi radiasi. Untuk tujuan spektroskopi diperlukan pula peralatan penunjang seperti analog to digital converter (ADC) dan Multi Channel Analyzer (MCA).
62
Detektor
Amplifier
MCA
ADC
HV
Gambar IX.1. Sistem Spektroskopi ADC berfungsi untuk mengukur tinggi pulsa yang datang. Informasi tingginya pulsa yang diolah oleh ADC akan dikirimkan ke MCA agar diletakan pada tempat tertentu yang sesuai dengan tingginya pulsa. Dalam MCA terdapat kanal-kanal yang akan mencatat pulsa sesuai dengan tingginya. Jadi di dalam MCA, tersimpan informasi: nomor kanal, tinggi pulsa, dan energi radiasi. Kemudian akan digambarkan kurva yang menghubungkan antara tinggi pulsa dengan jumlah cacah. Walaupun foton gamma yang dipancarkan oleh suatu tadioisotop bersifat diskrit, namun karena bentuk interaksi antara foton gamma dengan materi detektor lebih dari satu jenis interaksi, sehingga pada MCA tidak akan muncul satu energi saja. Spektrum yang membawa informasi energi gamma ada;lah yang berasal dari interaksi fotolistrik (full energy peak). Karena dalam spektrum ini, seluruh energi gamma terserap oleh atom bahan detektor. Maka dalam pemilihan jenis detektor yang akan digunakan harus juga
memilih
detektor
dengan
bahan
yang
memiliki
kemampuan/kemungkinan terjadinya interaksi fotolistrik dengan foton gamma yang tinggi. Jumlah kanal dalam MCA, tergantung tipa MCA-nya itu sendiri. Pada MCA yang baik, jumlah kanalnya adalah 8196, ini setara dengan 10 volt. Tinggi pulsa yang dihasilkan akan sebanding dengan faktor penguatan pada sirkuit penguat (amplifier). Misalnya: Foton gamma yang berenergi 0,662 63
MeV yang dipancarkan oleh sumber radiasi Cs-137, dengan gain pada amplifier bernilai 100 akan menghasilkan pulsa 1 volt. Pulsanya akan muncul di kanal no 819. Jika spektrum dikehendaki untuk muncul di tengah-tengah MCA, maka tinggi pulsa pulsa harus sekitar 5 volt dan gaim pada amplifier harus dinaikkan menjadi 500.
Gambar IX.2. Spektrum hasil spektroskopi.
64
Gambar IX.3. Spektroskopi gamma dari sumber Al-28 dengan energi 1779 keV
Untuk dapat mengidentifikasi besarnya energi dari suatu unsur harus dibuat kurva kalibrasi terlebih dahulu. Kurva kalibrasi ini dibuat dengan mencacah sumber radiasi standar (yang sudah diketahui energi radiasi, dan aktivitas serta jenis nuklidanya) minimal sebanyak 3. Contoh: Sumber radiasi standar Co-60 dan Cs-137. Kedua sumber standar tersebut dicacah dan nomor kanal tempat adanya foto peak (full energy peak) harus dicatat. Misal nomor kanal tersebut adalah x1 (E = 0,662 MeV dari Cs-137), x2, dan x3 (masing-masing untuk E1 = 1,173 MeV dan E2 = 1,332 MeV dari Co-60). Dari data-data ini, dapat dibentuk satu persamaan linear matematika, dibuat dengan regresi linear yang menghubungkan antara energi dan nomor kanal puncak energi. Contoh: E = a + b. x , E = energi radiasi, a, b = konstanta, dan x = nomor kanal. B. Resolusi Resolusi
adalah
kemampuan
detektor/sistem
pencacahan
untuk
membedakan pulsa satu dengan pulsa yang lainnya, tepatnya adalah kemampuan memisahkan lebih dari satu pulsa yang berdekatan. C. Analisis kualitatif Analisis kualitatif adalah analisa dengan menggunakan sistem spektroskopi untuk menentukan jenis radionuklida tertentu. D. Analisis kuantitatif Analisis
kuantitatif
adalah
analisa
dengan
menggunakan
sistem
spektroskopi untuk menentukan besarnya aktivitas, dan energi radiasi dari suatu radionuklida tertentu.
65
BAB X PEMILIHAN, UJI FUNGSI DAN KALIBRASI A. Pemilihan Alat ukur radiasi Pemilihan peralatan ukur radiasi tergantung pada beberapa faktor. Beberapa persyaratan umum termasuk: portable (kemudahan untuk dibawa), kemampuan mekanis, kemudahan penggunaan dan pembacaan, kemudahan perawatan, serta kehandalannya. Di samping persyaratanpersyartan umum ini, alat ukur radiasi harus dikalibrasi juga, serta harus memiliki karakteristik-karakteristik lain seperti: 1. Kemampuan untuk memberikan tanggapan (response) pada radiasi yang sedang diukur. Hal ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh praktis:
Sebuah
alat
ukur
radiasi
yang
digunakan
untuk
mengukur/mendeteksi radiasi beta dan gamma, yang berjendela pada salah satu sisinya, yang pada umumnya digunakan adalah dengan ketebalan dinding 30 mg/cm2. Peralatan ukur radiasi ini tidak akan berfungsi dengan baik untuk mengukur/mendeteksi beta yang berenergi rendah, seperti: C-14 atau S-35, atau untuk kontaminasi alfa, seperti: Po-210. Masing-masing dari jenis radionuklida ini akan memancarkan radiasi energi yan tidak dapat dapat menembus dinding alat ukur dengan tebal 30 mg/cm2. Demikian pula, akan terjadi kesalahan dalam menyimpulkan hasil pengukuran apabila menggunakan peralatan ukur radiasi beta untuk mengukur radiasi neutron. Maka, dalam pemilihan alat ukur radiasi, harus diperhatikan bahwa penggunaan masing-masing peralatan disesuaikan dengan obyek yang akan diukur. 2. Kepekaan (sensitivitas). Alat ukur radiasi yang digunakan harus peka terhadap radiasi yang diukurnya. Contoh praktisnya adalah: alat ukur radiasi/ detektor radiasi yang digunakan untuk mencari jarum radium yang hilang harus memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat ukur radiasi yang digunakan untuk mengukur radiasi di ruangan akselerator. Dalam ruangan akselerator, mungkin radisi yang ada mencapai ratusan mGy per jam. Sebuah alat ukur radiasi yang memiliki sensitivitas 0,01 mGy/jam dapat digunakan dan 66
berfungsi dengan baik di lingkungan ang seperti ini. Dalam usaha mencari jarum radium yang hilang, dengan menggunakan alat ukur yang sama akan sangat membatasi daerah kerjanya. Sebuah alat ukur radiasi Geiger muller yang memiliki tingkat sensitivitas 0,05 mGy/jam mungkin dapat lebih membantu. Misalnya: jika 1 mg jarum radium hilang, jarak pendeteksian antara sumber radiasi tersebut dengan alat ukur tertentu adalah 90 cm, sementara dengan menggunakan alat ukur Geiger Muller jarak tersebut adalah 412 cm. Sehingga dengan menggunakan alat ukur radiasi Geiger muller dapat meliputi daerah kerja 53,5 m2, sedangkan dengan menggunakan alat ukur radiasi yang pertama hanya mencakup daerah kerja seluas 2,5 m2 saja. Tingkat kepekaan yang tinggi pun pada keadaan tertentu tidak akan membantu kita mencapai tujuan pengukuran. Kisaran tingkat radiasi atau sensitivitas alat ukur radiasi harus juga dipertimbangkan dan sesuai dengan onyek pengukurannya. 3. Waktu response. Waktu respon suatu alat ukur radiasi dapat didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan oleh alat tersebut untuk mencapai 63 % dari pembacaan akhir dalam suatu mendan radiasi. Waktu ini ditentukan oleh kapasitas input (dalam farad) dan tahanan (dalam ohm). Konstanta waktu biasanya dinyatakan dalam detik. Waktu respon yang rendah artinya alat ukur tersebut dapat memberikan tanggapan yang cepat atas perubahan-perubahan yang terjadi dalam medan radiasi. 4. Ketergantungan energi. Pada umumnya peralatan ukur radiasi memiliki rentang energi yang terbatas. Ketergantungan energi biasanya sudah dinyatakan oleh pabrik pembuatnya, misalnya: akurat sampai dengan 10 % dari nilai yang sebenarnya untuk energi 80 keV sampai dengan 2 MeV. Atau juga dengan menggunakan kurva ketergabtungan energi. B. Uji Fungsi Aalat Ukur Radiasi. Setiap alat ukur radiasi harus memiliki dokumentasi yang mencukupi mengenai pengujian-pengujian yang pernah dilakukan terhadapnya. Dokumentasi
yang
mencukupi
dapat
membantu
pengguna
untuk 67
menelusuri kesesuaian antara hasil yang ditunjukan oleh alat ukur radiasi tersebut dengan spesifikasi alat yang diterbitkan oleh pabrik pembuatnya. Pada umumnya, pengujian-pengujian alat ukur radiasi untuk pertama kalinya dilakukan oleh pihak pabrik pembuat sendiri atau laboratorium pengujian yang terakreditasi untuk menilai kesesuaian dengan spesifikasi disainnya sebelum alat ukur radiasi tersebut dikirimkan kepada pemakai. Selanjutnya pengujian alat ukur radiasi dilakukan oleh pihak yang berkompeten sebelum digunakan. Dalam masa penggunaan, pengujian alat ukur radiasi harus dilakukan secara reguler dalam rentang waktu tertentu. Tujuan pelaksanaan pengujian ini adalah untuk mendapatkan keyakinan yang cukup bahwa alat ukur radiasi tersebut berfungsi sesuai dengan spesifikasi teknisnya. Pengujian dalam masa penggunaan alat ukur radiasi pada umumnya meliputi: uji linearitas, uji kinerja overload, uji respon energi, dan lain-lain. Salah satu cara untuk mengetahui apakah tanggapan suatu alat ukur radiasi terhadap intensitas radiasi tertentu dapat disimpulkan baik adalah dengan melakukan pengujian statistika yang dikenal sebagai Chi-square test4) yang rumusannya dinyatakan sebagai berikut: k
χ =∑ 2
atau,
(
i =1
n − ni n
)2
(∑ n ) 2 i n − ∑ k 2 χ = i =1 n k
2 i
dengan ň adalah nilai rata- rata untuk pengulangan pengamatan sebanyak k kali, sedangkan ni adalah nilai dari masing-masing pengamatan ke i. Sebagai ilustrasi pemakaiannya, katakanlah diamati suatu tanggap alat dengan scaler yang lamanya pengamatan sama untuk setiap pengulangan sebanyak sepuluh kali. Dalam hal ini berarti nilai derajat bebasnya sembilan, sehingga apabila ditetapkan bahwa nilai keboleh jadian 5% dipakai untuk menetapkan ketidakwajaran, maka untuk hasil hitung χ2 68
yang nilainya melampaui 16,92 disimpulkan alat yang diperiksa patut diperkarakan sebagai tidak wajar (tidak stabil) dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Cara pengujian di atas sangat bermanfaat terutama pada saat berhadapan dengan respons alat yang sulit dinilai hanya dengan menggunakan indera penglihatan dan pendengaran.
C. Kalibrasi Alat ukur radiasi Telah merupakan suatu ketentuan, baik dari sudut peraturan perundangundangan maupun dari sudut pandang teknis bahwa setiap peralatan ukur radiasi harus dikalibrasi secara berkala oleh laboratorium yang berwenang serta terakreditasi. Tujuan kalibrasi adalah untuk menguji ketepatan hasil pengukuran yang ditampilkan oleh alat dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Nilai hasil pengukuran yang ditampilkan/hasil pengolahan suatu alat ukur radiasi harus dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Faktor koreksi yang menunjukan perbandingan antara nilai yang sebenarnya dengan nilai yang ditunjukan oleh suatu alat ukur radiasi disebut faktor kalibrasi. Hasil pengukuran adalah hasil perkalian antara nilai yang ditampilkan oleh suatu alat ukur dengan faktor kalibrasi alat tersebut. Secara ideal, faktor kalibrasi harus bernilai satu, namun pada kenyataan di lapangan terdapat beberapa alat ukur radiasi yang tidak memiliki faktor kalibrasi sama dengan satu. Bila faktor kalibrasi suatu alat kurang dari satu, itu berarti bahwa nilai yang ditunjukan oleh suatu alat ukur radiasi lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya, dan sebaliknya apabila faktor kalibrasi alat lebih dari satu, maka nilai yang ditunjukan oleh alat itu lebih besar dari nilai yang sebenarnya.
69
Besarnya faktor kalibrasi yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 0,8 sampai dengan 1,2. Faktor kalibrasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Fk =
Ds Du
(Persamaan X.1.) Fk adalah faktor kalibrasi, Ds adalah nilai dosis radiasi yang sebenarnya, dan Du adalah nilai dosis radiasi yang ditunjukan oleh alat ukur radiasi. Terdapat dua metode untuk melakukan kalibrasi yaitu menggunakan sumber radiasi standar dan menggunakan alat ukur standar. Cara pertama, alat ukur diletakan pada jarak tertentu, misalnya 1 m, dari sumber radiasi standar yang telah diketahui jenis nuklida dan aktivitasnya. Dosis radiasi yang mengenai alat ukur radiasi ditentukan berdasarkan perhitungan, ini merupakan nilai yang sebenarnya, sementara nilai yang ditunjukan oleh alat ukur radiasi merupakan hasil pengolahan yang dilakukan oleh alat ukur radiasi yang bersangkutan. Cara yang kedua adalah, alat ukur yang akan dikalibrasi dan alat ukur standar diletakan pada jarak yang sama dari suatu sumber radiasi standar. Nilai yang ditunjukan oleh alat ukur standar dianggap mewakili nilai yang sebenarnya, sedangkan nilai yang ditunjukan oleh alat ukur yang akan dikalibrasi dibandingkan dengan hasil pembacaan alat ukur radiasi standar untuk memperoleh faktor kalibrasinya.
70
DAFTAR PUSTAKA 1. Tsoulfanidis, Nicholas, Measurement and Detection of Radiation, Hemisphere Publishing Corporation, London, 1983; 2. Knoll, Glen F., Radiation Detection and Measurement, 2nd edition, John Wiley and sons, Singapore, 1989; 3. Burnham, J.U., Radiation Protection, New Brunswick Power Corporation, 1992; 4. Lilley, J.S., Nuclear Physics Principles and Applications, John Willey and Sons, Singapore, 2001; 5. Cember, Herman, Introduction to Health Physics, edisi bahasa indonesia, Pergamon Press, Sydney, 1983; 6. Ridwan, Mohammad, Prayoto dkk., Pengantar Ilmu Pengetahuan Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta, 1978; 7. Edwards, Cris, M.A. Statkiewicz S., E. Russel Ritenour, Radiation Protection for Dental Radiographers, edisi bahasa indonesia, Widya Medika, 1990.
71