Daftar Isi
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia: Studi terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Sharia Zakat Legislation Long Road in Indonesia: A Study of Law No. 23 of 2011 about Zakat Management — 409 Mustolih Siradj
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA. (Analisis Fiqhiyah dan Kebijakan Publik) Zakat Honey in Caliph Umar Ibn Khattab Era. (Fiqhiyah Analysis and Public Policy) — 449 Ahmad Munif
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi (Studi Terhadap Pegawai Kementerian Agama Pusat) Paying Zakat Muzakki Intention with Theory of Planned Behavior Modification Approach (Study of a religious ministry officials) — 477 Hastomo Aji
Tafsir Ahkam : Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia Interpretation of Ahkam: Zakat as a Solution for People’s Economy in Indonesia — 541 Hasani Ahmad Said
Jurnal Bimas Islam Vol.7 No.III 2014
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat Religious Radicalism and Prevention Effort Through Community Participation — 569 Jaja Zarkasyi dan Siti Julaeha
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _409
Long Road of Sharia Zakat Legislation in Indonesia: A study of Law No. 23 of 2011 about Zakat Management
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia: Studi terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Mustolih Siradj Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia, APSI email:
[email protected]
Abstract: Zakat as a religious instrument that has a mission to empower the poor has been running for so long in this country. However, in the beginning of the New Order era driven charity started entering into state legislation. Zakat has the potential to help the government tackle the issue of social justice and welfare. This is consistent with the constitutional mandate. However, due to the unfavorable political situation zakat issues suspended. In 1999 issued Law No. 38/1999 it became a milestone in Indonesian Sharia Islamic ummah charity officially become legal positive which means recognized by the state. This Act was later replaced by Law 23/2011. Unlike the previous law, Law No. 23/2011 provides reinforcement against BAZNAS role as a leading sector in the management of a national charity. Unfortunately, until now there are many amil zakat institutions (LAZ), which was formed to people who do not obey the law. There should be a law enforcement charity.
410_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Abstraksi: Zakat sebagai instrumen keagamaan yang memiliki misi memberdayakan kaum dhuafa sudah berjalan begitu lama di negeri ini. Akan tetapi baru pada awal era orde baru zakat mulai didorong masuk menjadi legislasi negara. Zakat sangat berpotensi untuk membantu pemerintah menanggulangi persoalan keadilan dan kesejahteaam sosial. Ini sejalan dengan mandat konstitusi. Namun karena situasi politik yang kurang kondusif persoalan zakat ditangguhnkan. Pada tahun 1999 terbit UU No. 38/1999 hal ini menjadi tonggak sejarah ummat islam di Indonesia syariat zakat secara resmi menjadi hukum positiv yang berarti diakui oleh negara. UU ini kemudian diganti dengan UU No.23/2011. Berbeda dengan UU sebelumnya, UU No. 23/2011 memberikan penguatan peran terhadap BAZNAS sebagai leading sector pengelolaan zakat nasional. Sayangnya, sampai saat ini masih banyak lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat yang belum patuh kepada perundang-undangan tersebut. Harus ada penegakan hukum zakat. Keywords: charity, legislation, laws
A. Pendahuluan Zakat dalam ajaran Islam merupakan salah satu sendi utama keislaman seseorang sebagaimana pilar (rukun) islamnya lainnya yakni syahadat, shalat, puasa dan berhaji ke baitullah. Dalam posisi tersebut zakat dianggap sebagai ma’lûm min al dîn biddhdharûrah atau diketahui adanya secara otomatis dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.1 Di dalam al-Quran terdapat dua puluh tujuh ayat2 yang mensejajarkan kewajiban shalat dengan zakat dalam berbagai bentuk kata.3 Di dalam al-Quran terdapat ayat yang memuji orang-orang yang secara sungguh-sungguh membayar zakat,4 sebaliknya memberikan ancaman kepada mereka yang mengabaikannya.5 Karena itulah Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. sangat tegas memerangi mereka yang gemar shalat
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _411
tetapi enggan membayar zakat.6 Sebab perbuatan tersebut merupakan bentuk kedurhakaan sehingga manakala didiamkan berpotensi dapat memunculkan kedurhakaan-kedurhakaan berikutnya. Zakat memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, pihak yang berkedudukan sebagai penerima zakat—yang disebut mustahik— yang berhak mendapat bagian dari dana/harta zakat. Kedua, orang-orang yang wajib membayar zakat—yang disebut muzakkî—yaitu orang-orang yang memiliki harta benda sesuai dengan ketentuan peraturan zakat yang dikeluarkan berdasarkan dengan jumlah kekayaan (nishâb) serta lamanya kepemilikan harta (haul) tersebut. Sisi yang terakhir itulah yang masuk dalam kategori arkân al-islâm. Dimensi yang pertama hanya merupakan konsekuensi logis dari adanya sisi yang kedua. Dengan kata lain, adanya pengumpulan zakat disebabkan karena adanya muzakkî (wajib zakat). Zakat selain sebagai sendi dari implementasi keimanan juga memiliki dimensi sebagai pendidikan moral. Sebagaimana terkandung dalam ajaran shalat, di sana ada kandungan ajaran tentang kedisiplinan, kepatuhan, kebersihan, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan zakat ada muatan ajaran akhlak, yaitu mengikis sifat serakah yang ada pada diri manusia terhadap harta benda.7 Umumnya, jika makin banyak harta yang dimiliki seseorang akan cenderung kikir. Hal tersebut dipicu karena rasa cinta terhadap harta benda, kecuali jika ada kepentingan atau keuntungan diri sendiri. Di sisi lain, zakat merupakan ibadah mâliyah (harta/kebendaan), yaitu pemberdayaan harta benda yang diberikan Allah kepada manusia yang digunakan untuk kepentingan bersama. Hal ini senada dengan aspek ekonomi. Zakat mengajak pada sebuah muara adanya kebersamaan untuk menikmati kesejahteraan sehingga timbul adanya pemerataan, kesamaan, kebersamaan. Zakat akan memberi makna yang sangat berarti bila didorong kepada upaya meningkatkan produktivitas penerimanya. Pemikiran ini sudah sejak lama digagas oleh ulama terkemuka Syeikh Arsyad al-Banjari. Mereka (kaum dhuafa) bukan diberi sesuatu untuk
412_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
jangka pendek, tetapi semestinya diberikan sesuatu yang mampu menjamin kebutuhan dalam jangka panjang.8 Zakat memang bukan dimaksudkan untuk menghilangkan kemiskinan sama sekali, tetapi bertujuan untuk menekan volume kemiskinan. Kemiskinan, di manapun dan sampai kapanpun tetap akan ada, termasuk di negara-negara maju karena itu sudah menjadi ‘sunatullah’. Hanya saja di negara kita jumlah orang miskin terlalu banyak, sedang di negara-negara maju relatif lebih sedikit. Maka hadirnya zakat diharapkan menjadi salah satu upaya agar bisa terjadi pemberdayaan terhadap kalangan tidak mampu.9 Bahkan, dengan sedikit bereforia, beberapa kalangan mengandaikan zakat sebagai sosok “Imam Mahdi” atau “Ratu Adil”. Meski personifikasi ini sangat sulit dicerna rasio, tetapi diyakini suatu saat, kehebatan dan kemukjizatan zakat akan muncul ke permukaan.10 Ungkapan tersebut menggambarkan betapa kuatnya posisi zakat dalam ruang keyakinan masyarakat, berikut kekuatan besar yang terkandung di dalamnya. Secara teoretis, zakat diproyeksikan untuk mencapai beragam tujuan strategis, diantaranya adalah meningkatkan kesejahteraan para mustahiq (penerima zakat) terutama fakir-miskin, meningkatkan etos kerja, aktualisasi potensi dana untuk membangun umat, membangun sarana pendidikan yang unggul tetapi murah, sarana kesehatan, institusi ekonomi, institusi publikasi dan komunikasi, meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial seseorang, menciptakan ketenangan, kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan hidup, menumbuhkembangkan harta yang dimiliki dengan cara mengusahakan dan memproduktifkannya, mendorong pelaksanaan ibadah mahdhah, adanya sharing economy, serta mengatasi pelbagai macam musibah yang terjadi di tengah masyarakat.11 Jika dilacak dalam sejarah ummat Islam, pencapaian tersebut pernah dilakukan pada zaman pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang hidup seratus tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Pada zaman
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _413
itu Umar Ibn Abdul Aziz begitu kesulitan untuk menyalurkan zakat karena sangat susah menemukan mustahik (penerima zakat). Zaman itu, masyarakat hidup sejahtera sehingga sebagian besar mereka sudah menjadi muzaki (wajib zakat). Saat ini kondisinya masih terbalik, muzaki sedikit mustahik-nya sangat banyak.12 Di Indonesia praktik pengelolaan zakat dilakukan secara tradisional. Ada yang dipercayakan kepada amil (pengurus), ada pula yang langsung diberikan muzaki kepada mustahik. Antusiasme pembayar zakat sudah sangat tinggi, hanya saja belum terorganisir dengan baik sehingga sulit diukur. Kadangkala zakat hanya dikelola oleh amil (‘âmil)13 temporer baik penghimpunan maupun pendayagunaannya, personalianya juga dibentuk secara ad hoc terutama menjelang datang Ramadan atau dibentuk manakala ada kepentingan mendesak terentu seperti membangun pesantren, masjid, mushala, madrasah maupun kepentingan sosial lainnya. Setelah itu selesai, amil ad hoc membubarkan diri.14 Program sekejap seperti itu pada hakekatnya sama saja dengan melestarikan keimiskinan itu sendiri.15 Fenomena perzakatan secara sederhana dalam masyarakat Islam di Indonesia dari sisi historis sudah menjadi kebiasaan selama ratusan tahun sehingga berurat akar di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sayangnya, belum ada satu catatan sejarah manapun yang bisa memastikan kapan persisnya praktik zakat mulai berlangsung. Pada zaman kolonial praktik zakat secara tradisional sudah terjadi.16 Zakat pada masa lalu merupakan tulang punggung dan sekaligus penggerak bagi tegaknya dakwah Islam di nusantara. Kegiatan zakat kental sebagai dimensi ekspresi dan antusiasme masyarakat muslim dalam menjalankan ajaran agamanya.17 Pengelolaan ZIS (zakat, infak, dan sedekah) masih dominan bersifat personal, yang tingkat akuntabilitas dan transparansinya tidak begitu bagus. Zakat masih dianggap sebagai kegiatan membantu orang tidak mampu yang merupakan pekerjaan sosial yang tidak perlu diseriusi sebagaimana memposisikan pekerjaan/ profesi sehari-hari.18 Akibat ‘pola’ semacam ini pemikiran dan praktik
414_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
zakat memiliki banyak kelemahan baik dalam aspek filosofis, struktur kelembagaan, dan manajemen operasional yang menjadikan visi zakat teredusir dari semula merupakan simbol gerakan sosial menjadi aksi simbolik personal semata yang tidak berdampak pada realitas sosial.19 Zakat bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan dan mempersempit jurang kesenjangan sosial di masyarakat. Tujuan zakat sejalan dengan salah tujuan yang ingin dicapai oleh Negera Republik Indonesia Indonesia yang sudah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 194520 yang salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Disisi lain negara juga diberikan mandat oleh konstitusi untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.21 Dengan kata lain negara harus mengangkat harkat dan martabat kaum muskin (dhuafa). Salah satu cara dari sekian banyak pilihan instrumen yang dapat digunakan adalah melalui pranata keagamaan yang langsung memiliki misi utama melakukan penanggulangan terhadap persoalan kemiskinan dimana orang-orang miskin adalah merupakan sasaran utamanya. Dalam Islam riasalah yang memiliki muatan tersebut adalah rukun Islam ketiga yaitu zakat. Zakat merupakan sumber dana yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut.
B. Sejarah Pengelola Zakat 1. Era Pemerintahan Orde Baru dan Reformasi Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah menimang-nimang potensi zakat sebagai salah satu upaya memerangi kemiskinan. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto sudah pernah memiliki upaya menyiapakan zakat untuk diajukan kepada DPR agar disahkan menjadi undang-undang, akan tetapi hal itu tidak terwujud.22 Menteri Agama juga pernah mengirim RUU Zakat kepada menteri yang memiliki kaitan dengan bidang ini, yaitu Menteri Sosial dan Menteri Keuangan dengan surat No. MA/099/1967, tanggal 14 Juli 1967.23 Kemudian Pada tahun 1968 Menteri Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _415
4 Tahun 1968 Tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Pembentukan Baitul Mal. Tidak lama setelah PMA tersebut dikeluarkan, Presiden Soeharto dalam peringatan Isra Mi’raj nabi Muhammad SAW tanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan anjuran untuk mengumpulkan zakat secara sistematis dan terorganisasi dengan baik. Akan tetapi, Paraturan Menteri Agama Nomor 4 dan 5 kemudian ditangguhkan pelaksanaannya dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969 karena ada pihak-pihak yang kurang sejalan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.24 Dinamika politik waktu itu kurang mendukung untuk memasukkan zakat dalam legislalasi perundangundangan negara. Selanjutnya, pada tanggal 21 Mei 1969 Keluarlah Kepres No. 44 Tahun 1969 tentang Pembentukan Pantia Pembangunan Uang Zakat yang diketuai oleh Menkokesra Idham Chalid. Keppres ini dalam operasionalnya diuraikan dalam surat Edaran Menteri Agama No. 3 Tahun 1969 yang intinya hasil pengumpulan uang zakat agar dikirim kepada Presiden Soeharto melalui Rekening Giro Pos No. A.10.00.25 Keberlangsungan pengumpulan zakat model ini kemudian tidak diketahui perkembangan selanjutnya. Akan tetapi keluarnya Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969 tersebut tidak membuat masyarakat putus harapan, bahkan justeru membuat memicu kreativitas di daerah mengambil prakarsa membentuk badan amil zakat. Di DKI Jakarta muncul BAZIZ DKI. Di Jawa Barat dan Jawa Timur membentuk BAZ (Badan Amil Zakat), di Sulawesi Selatan ada BAMILZA, di Aceh ada BHA (Badan Harta Agama). Pembinaan lembaga-lembaga tersebut dilakukan oleh Departemen Agama C.q. Ditjen Bimas Islam. Tahun 1982 digagas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila26 untuk mengumpulkan dana umat melalui amal jariyah.27 Pasca reformasi yayasan ini geliatnya kurang begitu terlihat. Setelah hampir tiga puluh tahun vakum dan tidak memiliki kepastian hukum, pada awal tahun 90-an diskursus zakat kembali menguat dan menemukan momentumnya. Tren diskursus filantropi28 menggejala
416_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
di berbagai negara hingga turut menorobos ke Indonesia. Gerakan ini juga ikut mendorong timbulnya gerakan gerakan filantropi islam29 untuk membantu pemerintah menanggulangi persoalan keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada tahun 1991 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS) dîkuti oleh Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1991 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 Tentang Pelaksanaan SKB tersebut. Badan ini bukanlah organisasi pemerintah, karena pemerintah hanya menjadi penasehat. Usaha penyiapan naskah akademik peraturan perundang-undangan tentang zakat sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Proyek Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasi BPHN tahun 1984/1985, namun tidak berkelanjutan.30 Memasuki medio 1990 terlihat perubahan sikap rezim Orde Baru terhadap pengelolaan zakat yang dianggap makin mendesak. Pemerintah akhirnya benar-benar mengajukan Rancangan UndangUndang Pengelolaan Zakat (RUU Zakat) secara resmi kepada DPR. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Zakat yang disampaikan oleh pemerintah (Presiden) dengan surat Nomor R.31/PU/VI/1999 tanggal 24 Juni 199931 salah satu yang dijadikan alasan pemerintah adalah : Apabila dikelola dengan baik akan merupakan potensi serta sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Selama ini pengelolaan zakat di negara kita, baik yang dilakukan oleh lembaga sosial kegaamaan maupun badan amil zakat belum maskismal dan terkesan kurang profesional.32 Pengajuan RUU Zakat ini tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan konstitusional bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk beribadah menurut agamanya. Tujuan rancangan RUU Zakat ini adalah untuk memberikan aturan hukum setingkat undang-undang bagi
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _417
upaya pengelolaan dan pendayagunaan zakat.33 Pertimbangan tersebut sebagaimana tercantum dalam konsideran huruf (a) UU No. 38/1999 yang menyatakan : “Bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.” Setelah diparupurnakan pada 14 September 1999, akhirnya pada 23 September 1999 UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan menjadi lembaran negara. Lahirnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ 1999) harus diakui sebagai sebuah catatan historis penting dalam perzakatan nasional. Sejak lahirnya beleid tersebut lembaga-lembaga pengelola zakat mendapatkan kepastian hukum dan zakat secara resmi masuk dalam ranah hukum positif atau dengan kata lain telah terjadi legislasi ‘syariat’ zakat menjadi hukum negara. Hal ini mengikis sikap ambigu kaum muslim antara loyalitas kepada hukum agama (syariat) dengan hukum negara.34 Secara empirik, sejak terbitnya UU No. 38/1999 dunia zakat nasional semakin semarak dan berkembang relatif cukup pesat, hal itu ditandai dengan menjamurnya lembaga-lembaga zakat baik yang dibentuk oleh pemerintah berupa Badan Amil Zakat (BAZ) dan amil zakat yang diprakarsai oleh kalangan masyarakat berupa lembaga amil zakat (LAZ)35 maupun Unit Pengumpul Zakat (UPZ). 2. Substansi UU No. 38/1999 Zakat selain sebagai ibadah mahdah juga memiliki dimensi sosial telah dipraktikkan oleh ummat Islam ratusan tahun. Zakat memiliki peran yang sangat vital dalam denyut kehidupan ummat Islam. Bahkan tak berlebihan jika zakat dianggap sebagai tulang punggung dakwah islam di bumi nusantara. Hal itu bisa ditelusuri dengan melihat berdirinya ribuan masjid, mushalla, pesantren, madrasah, yayasan yatim piatu serta fasilitas keagamaan maupun sosial lainnya yang nota bene berasal dari pengumpulan serta pendayagunaan harta umat Islam melalui praktik zakat yang memberi dampak dan manfaat yang amat besar terhadap pembangunan bangsa. Oleh karena itu maka tidak berlebihan bila
418_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
kemudian ummat Islam merasa perlu memasukkan zakat ke dalam sistem bernegara. Lahirnya UU No 38/1999 membawa paradigma baru terutama dari sisi manajemen dan kelembagaan yang bermuara pada peran penting dari eksistensi amil. Sebelumnya zakat hanya diposisikan sebagai kegiatan ibadah yang dianggap rutin yang jauh dari sentuhan menejemen (person to person), kalaupun ada sangat sederhana bila tidak mau dibilang seadanya. Bila sudah sampai ke tangan amil maka dengan bebas dia amil bisa mendistrisusikannnya tanpa strategi, target, dan visi yang jelas. Terlebih ada sebagian masyarakat yang memiliki keyakinan bila ibadah zakat akan lebih afdhal bila disampaikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahik) khususnya terkait dengan zakat fitrah yang masih banyak kalangan yang menganggap sebagai ‘budaya’36 dari pada urusan pemberdayaan. Zakat (fitrah) hanya dianggap sebagai urusan individu. Gaung kinerja amil sayup-sayup baru akan terdengar menjelang bulan Ramadhan tiba sehingga terkesan sporadis dan ad hoc. Dari tahun ke tahun fenomena seperti itulah yang ada. Akan tetapi perlu dîngat, hal ini bukan berarti masa ‘pra lahirnya’ UU pengelolaan zakat amil profesional tidak ada sama sekali. Hanya saja memang jumlahnya masih sangat sedikit. Sebut saja misalnya BAZIZ DKI yang berdiri 1968,37 Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)38 yang eskis mulai 1987, dan BAMUIS BNI39 beroperasi sejak tahun 1967 mereka secara kontinyu dan konsisten menjalankan fungsi amil zakat. UU Nomor 38/1999 sejatinya telah mendorong lahirnya paradigma baru agar pengelolaan zakat bisa ditangani secara lebih terarah dan terencana baik dari sisi pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusian sehingga bisa mencapai sasaran dan hasil guna yang optimal sebagaimana mandat dari maqashid al- zakat. Dari yang selama ini lebih berdimensi konsumtif menjadi produktif, dari pola person to person dikelola oleh amil sehingga lebih banyak kaum mustadh’afin yang bisa merasakan manfaat zakat. Karena itu UU 38/1999 memberikan titah tersebut kepada BAZ (Badan Amil Zakat) yaitu amil yang dibentuk oleh pemerintah yang
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _419
memliki struktur dari tingkat nasional hingga level kecamatan dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yakni amil yang diprakarsai oleh masyarakat untuk menjadi ujung tombak, baik di tingkat nasional maupun daerah untuk menggalang potensi zakat. UU No. 38/1999 juga telah mengakomodasi zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.40 Ketentuan tersebut kemudian dikuatkan melalui UU No.17/2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan dan dirubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).41 Selain itu UU No. 38/1999 juga menetapkan bahwa bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak (mustahik), tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan. Hal tersebut dibolehkan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.42 Meski demikian kedudukan zakat dalam UU No. 38/1999 masih dianggap sebagai kegiatan sukarela (voluntary). Sayangnya meski zakat sudah mengalami proses legislasi dalam sistem perundang-undangan, terbitnya UU No. 38/1999 tidak diberangi dengan perangkat peraturan teknis (juknis) dibawahnya yang mengikat berupa Peraturan Pemerintah (PP) sehingga dalam level implementasi di lapangan terjadi kebingungan dan ketidakpastian di kalangan stakeholders zakat dalam menjalankan undang-undang. Setelah UU No. 38/1999 praktis regulasi yang muncul hanyalah berupa Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksana UU No. 38 Tahun 1999, Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.43 3. Amandemen UU No. 38/1999 Setelah sebelas tahun diberlakukan, UU No. 38/1999 dianggap oleh banyak kalangan khususnya praktisi sudah tak bisa menjawab
420_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
perkembangan zaman. Problem mendasar yang dihadapi pada rezim UU No. 38/1999 adalah adanya kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. UU No. 38/1999 tidak memberikan kejelasan lebih rinci terkait tugas dan fungsi BAZNAS (Badan Amil Zakat) yaitu lembaga amil yang dibentuk oleh pemerintah dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) lembaga amil yang didirikan masyarakat (swasta). Keduanya memiliki kedudukan yang ‘sejajar’ sama-sama dapat menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan zakat sehingga acapkali dalam situasi tertentu cenderung berada pada posisi saling berkompetisi. Hal ini memunculkan dikotomi yang cukup tajam, BAZ seolah-olah hanya bekerja dan tanggungjawab kepada pemerintah, sedang LAZ punya masyarakat. Masing-masing jalan sendiri-sendiri. Hal ini berakibat strategi memerangi kemiskinan mengalami penumpulan selain tidak efektif karena berjalan parsial dan minimnya sinergi. Keadaan semacam itu tentu saja kurang kondusif sehingga potensi yang begitu besar terabaikan. Pengelolaan maupun pendistribusian tidak memiliki arah. Meskipun sama-sama memiliki visi mengentaskan kemiskinan tetapi antara BAZ dengan LAZ tak ada yang memiliki data akurat berapa sesungguhnya jumah mustahik yang harus dibantu, berapa besar potensi muzaki, data pemetaan sebaran mustahik hampir nihil, penyaluran juga kurang tertata dan cenderung sporadis. Hal yang sama juga rupanya juga dirasakan oleh pemerintah. UU No. 38/1999 ternyata dianggap belum berjalan maksimal sebagaimana diharapkan, bahkan pengelolaan zakat seperti benang kusut yang sulit diurai.44 Kelemahan tersebut terjadi karena adanya persoalan yuridisformal dimana pemerintah selaku pemegang otoritas kurang berdaya untuk memaksa muzaki menunaikan kewajiban zakat. Zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (tax dedactible cost) meskipun telah menjadi norma juga ternyata di level implementasi sulit direalisasikan karena aturan tersebut tidak mendapat penjabaran yang lebih rinci melalui ‘juknis’ sehingga sulit diterapkan, maka yang muncul adalah phobia beban ganda bagi warga negara antara zakat dan pajak.
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _421
Kondisi diatas yang kemudian melatarbelakangi adanya keinginan, baik dari Dewan Perwakila Rakyat (DPR),45 pemerintah, maupun para pegiat zakat untuk merevisi atau bahkan mengganti46 UU No. 38/1999. Tujuan atas perubahan atau penggantian beleid tersebut adalah; pertama, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sehingga harus dikelola secara kelembagaan. Kedua, UU No. 38/ 1999 dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum.47 Akhirnya, setelah melalui proses yang cukup panjang panjang dan diskusi alot antara DPR dengan pemerintah yang juga melibatkan berbagai elemen masyarakat yang berkecimpung dengan zakat, lahirlah UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat menggantikan Undang-undang Zakat No. 38/1999. Pertanyaannya kemudian, apakah UU No. 23/2011yang mulai diundangkan sejak 25 November 2011 tersebut akan mampu menyelesaikan substansi persoalan zakat nasional? Untuk menjawab hal ini tentu saja cukup sulit. Tetapi tampaknya apa yang sering ditulis oleh Yahya Harahap, Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengutip Poltaris, sangat mustahil menciptakan produk undangundang yang sempurna. Sebab bagaimanapun bagus dan sempurnanya undang-undang pada saat dibahas dan diperdebatkan di parlemen, namun pada saat undang-undang itu diundangkan (diberlakukan), pasti akan berhadapan langsung dengan seribu satu macam masalah yang sebelumnya tidak diperkirakan dan tidak diprediksi pada saat undangundang itu dirumuskan.48 UU No. 23/2011 segera berhadapan langsung dengan berbagai masalah dalam penerapan, baik disebabkan adanya kekosongan atau celah hukum yang terbuka, rumusannya terlampau luas (broad term), kekeliruan perumusan atau pendefinisian (ill defined) maupun kata atau rumusan yang mengandung ambiguitas. Apalagi dihubungkan dengan realitas kehidupan masyarakat yang sangat cepat (speedy social change) pada saat sekarang bisa saja semakin membuat UU No. 23/2011 akan menjadi rumusan kalimat mati ditinggalkan oleh perubahan masyarakat itu sendiri. Oleh karena sangat mungkin umur dari UU No. 23/2011 sendiri tidak akan bertahan lama seperti halnya
422_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
yang dialami oleh UU No. 23/2011 yang hanya bertahan dua belas tahun saja.49 Pada era teknologi dan informasi seperti sekarang, secara objektif dan universal, tidak mungkin menciptakan undang-undang yang bisa bertahan hidup puluhan tahun. Bahkan untuk mempertahankan undangundang yang mampu bertahan puluhan tahun saja tidak mudah jika tidak dîkuti dengan perubahan atau revisi yang terus menerus tanpa henti. Substansi UU Pengelolaan Zakat baru didominasi oleh pengaturan terkait dengan kelembagaan. Hal ini bisa dipahami karena judul dalam undang-undang ini, Pengelolaan Zakat, sangat terkait dengan aspek teknis, yang tidak bisa dipisahkan dengan kelembagaan pelaksana. Aspek kelembagaan mendapat perhatian lebih dari para perancang undangundang tersebut.50 Dominasi pengaturan terkait dengan kelembagaan terlihat dari jumlah Pasal yang mengaturnya. Dari 47 Pasal secara keseluruhan, 32 Pasal diantaranya mengatur terkait dengan kelembagaan. Adapun kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/ kota, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pelaksana Zakat (UPZ). Dari kelima lembaga tersebut, BAZNAS diatur dengan pasal yang paling banyak, bahkan ada satu Bab khusus mengatur tentang BAZNAS, yaitu Bab Î tentang Badan Amil Zakat Nasional. Pengaturan mengenai BAZNAS pun paling lengkap, yaitu mencakup definisi, kedudukan, sifat, bentuk, keanggotaan, fungsi, tugas, dan wewenang.51 Apabila dibandingkan dengan UU No 38 Tahun 1999, UU Pengelolaan Zakat baru mengatur hal yang berbeda sama sekali terkait dengan konsep kelembagaan BAZNAS. BAZNAS dalam UU Pengelolaan Zakat baru merupakan satu lembaga yang definitif dan diatur secara rigid. Sedangkan BAZNAS dalam UU No 38 Tahun 1999 merupakan bentuk dari badan amil zakat yang hanya diatur fungsinya saja, sedangkan pengaturan mengenai BAZNAS secara definitif diatur dalam peraturan pelaksananya, yaitu Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional.52 Dari proses perumusan hingga diundangkan UU No. 23/2011 banyak mendapat sorotan dari organisasi pengelola zakat (OPZ) khususnya
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _423
di kalangan Lembaga Amil Zakat (LAZ) karena beleid ini dianggap mengusung model sentralisasi yang menggeser eksistensi LAZ. UU No. 23/2011 memposisikan BAZNAS sebagai pemegang ‘otoritas’ zakat.53 Kedudukan LAZ menjadi subordinasi dan hanya menjadi pembantu BAZNAS54 dalam tata kelola zakat. Disamping itu ada pengetatan menjadi LAZ yang mengharuskan amil zakat bentukan masyarakat harus berbentuk ormas yang mengelola mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.55 Disamping itu harus dikukuhkan oleh Kementerian Agama. Untuk LAZ yang sudah dikukuhkan Kemenag seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, PKPU, diberikan waktu penyesuaian paling lambat lima tahun.56 LAZ yang ada sekarang rata-rata masih berbadan hukum yayasan. Dengan begitu harus merubah total lembaganya karena harus memiliki izin ormas dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). LAZ yang sudah berada di bawah payung ormas jumlahnya sangat sedikit seperti LAZIS Muhamamadiyah, LAZIS Nahdlatul Ulama, BMH Hidayatullah dan LAZ Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDÎ). Selebihnya eksistensinya berbadan hukum yayasan di tambah dengan izin operasional kegiatan sosial dari Kementerian Sosial. Disamping itu ada pula ancaman pasal pemidanaan terhadap amil. Dinamika tersebut berlanjut. LAZ dan masyarakat yang tidak sejalan dengan beberapa muatan dalam UU No. 23/2011 pada 16 Agustus 2012 mengajukan permohonan uji materi (judicial review)57 terhadap UU Zakat dengan batu uji menggunakan beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 oleh dan atas nama lembaga maupun perorangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).58 Adapun mereka yang menjadi pemohon dalam uji materi tersebut adalah adalah Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Yatim Mandiri, Yayasan Portal Infaq, Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF), Lembaga Pendayagunaan dan Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Waqaf Harapan Ummat (LPP-ZISWAF HARUM), Yayasan Harapan Dhuafa Banten, Lembaga Manajemen Infaq (LMI), YPI Bina Madani Mojokerto, Rudi Dwi Setiyanto dari Gresik, Arif Rahmadi Haryono dari Kota Bekasi, Fadlullah dari Banten, Sylviani Abdul Hamid dari Jakarta ke Mahkamah Konstitusi (MK).59
424_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Menurut para pemohon dengan diundangkannya UU No. 23/2011 telah akan membuat pengelolaan zakat nasional khususnya yang dilakukan oleh masyarakat sipil baik secara kelembagaan melalui Lembaga Amil Zakat yang berbadan hukum maupun amil zakat tradisional akan berpotensi mengalami kemunduran. Selain itu mereka juga akan mengalami kerugian konstitusional, marjinalisasi, subordinasi, dan ketidaknyamanan dalam beraktifitas selaku Lembaga Amil Zakat (LAZ) . Mereka akan berada dalam bayang-bayang ketakutan karena berpotensi mengalami diskriminasi dan kriminalisasi.60 Maka itu Para Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas atas Pasal 5,61 Pasal 6,62 Pasal 7,63 Pasal 17,64 Pasal 18,65 Pasal 19,66 Pasal 38,67 dan Pasal 4168 UU 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Pasal 28C ayat (2)69, Pasal 28D ayat (1)70, Pasal 28E angka 271 dan angka 372, Pasal 28H angka 273 dan angka 374 Undang-Undang Dasar 1945. Bila diurai secara lebih rinci, para permohonan uji materi tersebut memiliki alasan sebagai berikut:75 a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga berpotensi mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia; b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS; c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan menambahkan syarat-syarat baru; d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada, karena hampir seluruh LAZ berbadan hukum Yayasan yang secara hukum tidak dapat didaftarkan sebagai Ormas. UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _425
bahwa yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota, sedangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyatakan ormas sebagai entitas yang berbasis keanggotaan. e. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mensyaratkan LAZ harus berbentuk ormas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade terakhir telah membangkitkan zakat nasional. f. Pasal 18 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa pendirian LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS yang sekaligus bertindak sebagai operator zakat. g. Pasal 38 melarang setiap orang untuk dengan sengaja bertindak selaku amil zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Terhadap pelanggarnya, Pasal 41 memberikan ancaman pidana berupa pidana kurungan dan/atau pidana denda. Pasal 38 juncto Pasal 41 membuka potensi terjadinya kriminalisasi terhadap amil zakat yang tidak memiliki izin pejabat berwenang. h. LAZ yang telah memperoleh izin dari Menteri diberi kesempatan selama lima tahun untuk menyesuaikan diri, namun UU 23/2011 tidak menyediakan payung hukum bagi upaya perubahan badan hukum dimaksud. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan76 hanya mengabulkan sebagian pasal yang dimohonkan oleh para pemohon yakni Pasal 18 ayat (2) poin (a), (b) dan (d) tentang syarat pembentukan Lembaga Amil Zakat, Pasal 38 dan Pasal 41 yang mengatur tentang pemidanaan amil zakat. Selebihnya pasal-pasal yang dimohonkan oleh para pemohon uji materi UU No. 23/2011 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).77 Karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat (binding) maka apapun hasilnya semua pihak berkewajiban menghormati putusan tersebut, termasuk mereka yang merasa tidak puas dengan ‘ketuk palu’ majelis hakim. Dengan demikian
426_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
UU No.23/2011 secara filosofis, yuridis, politis, sosiologis maupun administratif.78 Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 86/ PUU-X/2012 terhadap UU No. 23/2011 tata kelola zakat sesungguhnya tidak banyak mengalami perubahan berarti. Sentral pengelola zakat (leading sector) saat ini diberikan secara sentralistik kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang memiliki jejaring struktural berjenjang dari tingkat pusat, propinsi, hingga kabupaten/kota yang bertugas menjalankan pengelolaan zakat secara nasional.79 Bentuk kelembagaan BAZNAS dalam UU No. 23/2011 lebih kuat dibanding UU No. 38/1999 karena merupakan lembaga nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.80 Kemudian BAZNAS dipimpin oleh secara kolektif kolegial oleh 11 (sebelas) orang dengan komposisi terdiri dari 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat yang dimaksud terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.81 Masa kerja BAZNAS selama lima tahun.82 Adapun untuk pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/ kota. BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.83 BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.84 Penguatan kelembagaan BAZNAS dengan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzaki, mustahik, dan pengelola zakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan zakat.85 Kedudukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam UU No. 23/2011 sangat berbeda dibanding dengan pada masa rezim UU No.38/1999. Jika sebelumnya LAZ ‘sejajar’ dengan BAZ, kini LAZ posisi LAZ
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _427
‘terdegradasi’ menjadi pembantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.86 Selain itu syarat pembentukannya juga ditentukan secara eksplisit dan cukup ketat. Secara kumulatif syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk LAZ adalah;87 wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Terbitnya izin dari menteri apabila dapat memenuhi persyaratan yakni; mendapat rekomendasi dari BAZNAS; memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; bersifat nirlaba; memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. LAZ juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah secara berkala.88 Setelah keluar putusan uji materi dari Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 86/PUU-X/2012 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pemerintah pada 14 Februari 2014 mengundangkan Paraturan Pemerintah (PP) No. 14/2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat sebagai panduan operasional dan teknis (juknis) undang-udang pengelolaan zakat. Terbitnya PP ini cukup ‘monumental’ mengingat dalam dunia perzakatan nasional, karena pada Undang-Undang Zakat yang sebelumnya yakni UU No. 38/1999 tidak memiliki PP. Untuk itu diharapkan PP tersebut berdampak positif dan makin memperkuat tata kelola zakat di tanah air. PP No 14/2014 tersebut antara lain mengatur tentang posisi amil zakat yang berupa perseorangan. Dalam UU 23, amil zakat harus berupa badan resmi. Ia bisa berupa badan hukum, ormas, atau harus mendapat ijin resmi. Sehingga kalau ada pihak-pihak yang melakukan penghimpunan zakat diluar itu bisa dikenai tindakan pidana. Semangatnya adalah bagaimana zakat bisa dikonsolidasikan ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Hal ini akan berdampak dalam penghimpunan zakat di masyarakat, meski prakteknya tidak
428_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
secara otomatis. Untuk itu PP tersebut perlu disosialisasikan dan dîmplementasikan. Edukasi kepada masyarakat secara terus menerus juga perlu dilakukan, dalam hal ini untuk mengubah paradigma masyarakat yang selama ini lebih suka membayar zakat secara langsung tunai kepada mustahik degan cara dibagi-bagikan untuk didorong agar diserahkan kepada amil resmi yang telah dikukuhkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemanag). Pada intinya Peraturan Pemerintah memang diperlukan supaya UU No. 23/ 2011 bisa dilaksanakan dengan benar sesuai dengan yang sudah ditentukan undang-undang untuk menjadi aturan main (rule of law) yang berlaku dan harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Selanjutnya, setelah PP Nomor 14 Tahun 2014, agenda strategis berikutnya yang harus dilakukan oleh Pemerintah (Kemenag) adalah membuat regulasi turunannya. Dari ketentuan yang tercantum dalam PP, sedikitnya tujuh regulasi setingkat peraturan menteri yang sudah harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lambat satu tahun sesuai batas waktu yang disebutkan dalam PP oleh Kementerian Agama. Peraturan Menteri Agama (PMA) yang dimaksud: (1) Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah; (2) PMA tentang Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif;(3) PMA tentang Pembentukan Tim dan Tata Cara Seleksi Calon Anggota BAZNAS;(4) PMA tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi Sekretariat dan Unit Pelaksana BAZNAS;(5) PMA tentang Pembentukan Organisasi BAZNAS provinsi; (6) PMA tentang Pembentukan Organisasi BAZNAS kabupaten/kota;(7) PMA tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif BAZNAS dan LAZ.89 Selain itu, PP No.14/2014 juga mengamanatkan kepada BAZNAS untuk menyusun pedoman pengelolaan zakat yang menjadi acuan pengelolaan zakat untuk BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ. Pedoman pengelolaan zakat tersebut memuat norma, standar dan prosedur dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengkoordinasian pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di tanah air.
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _429
Dengan diberikannya wewenang secara formal kepada BAZNAS untuk membuat pedoman pengelolaan zakat, maka tidak diperlukan lagi penyusunan pedoman sejenis oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat.90
C. Law Inforcemant UU Zakat Belakangan ini fenomena ghirah berbagai kalangan masyarakat yang turut serta untuk belomba-lomba (fastabiqul khairat) berniat membantu mereka yang kurang mampu dengan jalan mendirikan lembaga yang menghimpun dan menyalurkan donasi zakat, infak, sedekah dan pengumpulan sumbangan keagamaan lainnya seperti kurban, fidyah, akikah meningkat cukup tajam. Ada yang secara eksplisit menyatakan diri sebagai lembaga amil zakat adapula yang menjadikan kegiatan pengumpulan donasi zakat hanya menjadi ‘sampingan’dari kegiatan kemanusiaan. Fenomena tersebut akan makin terasa jika mendekati bulan Ramadhan. Di sepanjang jalan di berbagai wilayah khususnya Ibukota bentangan spanduk ajakan berzakat bertebaran. Momentum ini digunakan karena Ramadhan diyakini sebagai saat yang tepat untuk melipatgandakan amal ibadah dengan ganjaran yang berlipat-lipat sehingga banyak orang antusias menyalurkan zakat karena diyakini di bulan tersebut merupakan keutamaan beramal sehingga lebih banyak muslim yang dari biasanya. Pada saat itu lembaga pengumpul zakat dadakan bertebaran dimanamana. Termasuk yang berkeliling di tempat-tempat umum. Hiruk pikuk kegiatan pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh berbagai lembaga zakat di berbagai daerah jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan lembaga. Akan tetapi ternyata tidak banyak Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang memiliki izin operasional dan diakui oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama maupun Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Pusat terutama LAZ yang beroperasi di level nasional. Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 23/2011, belum ada LAZ yang memperbarui izin atau mengajukan izin baru kepada
430_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Kementerian Agama. Sampai dengan saat ini hanya ada 18 (delapan belas) LAZ yang sudah dilegalisasi.91 Kedelapan LAZ92 tersebut adalah : 1. LAZ Dompet Dhuafa Republika berdasarkan Keputusan Menteri AgamaNomor 439 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001; 2. LAZ Yayasan Amanah Takaful berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001; 3. LAZ Pos Keadilan Peduli Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 441 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001; 4. LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 481 Tahun 2001 tanggal 7 November 2001; 5. LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 523 Tahun 2001 tanggal 10 Desember 2001; 6. LAZ Baitul Maal Hidayatullah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 538 Tahun 2001 tanggal 27 Desember 2001; 7. LAZ Persatuan Islam berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 552 Tahun 2001 tanggal 31 Desember 2001; 8. LAZ Yayasan Baitul Maal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 330 Tahun 2002 tanggal 20 Juni 2002; 9. LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 406 Tahun 2002 tanggal 7 September 2002; 10. LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 407 Tahun 2002 tanggal 17 September 2002; 11. LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 445 Tahun 2002 tanggal 6 November 2002;
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _431
12. LAZ Baitul Maal wat Tamwil berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 468 Tahun 2002 tanggal 28 November 2002; 13. LAZ Baituzzakah Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 313 Tahun 2004 tanggal 24 Mei 2004; 14. LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhîd (DUDT) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 410 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004; 15. LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007; 16. LAZIS Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal 21 November 2002; 17. LAZIS Nandlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 65 Tahun 2005 tanggal 16 Februari 2006; 18. LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 498 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006; Lembaga lainnya yang memposisikan dirinya sebagai lembaga amil zakat nasional sampai saat ini belum memiliki legalitas, beberapa diantaranya adalal LAZ terkenal yang secara agresif menggalang dana melalui media massa maupun sosial media bahkan papan reklame yang dipasang di jalan-jalan protokol. Sebut saja diantaranya Aksi Cepat Tanggap (ACT), Al-Azhar Peduli Ummat, Program Pembibitan Penghafal Al-Quran (PPPA) Darul Quran, Mizan Amanah, Rumah Yatim, Istana Yatim, Yatim Mandiri, Portal Infaq sesungguhnya belum memiliki izin dari Kementerian Agama.93 Hal ini tentu saja menjadi ironi karena lembaga yang notabene mengumpulkan dana dari masyarakat melalui instrumen keagamaan berupa zakat, infak, sedekah dan sumbangan keagamaan lainnya ternyata belum patuh kepada perundangundangan.94 Kredibiltas dan akuntabilitas lembaga-lembaga patut dipertanyakan. BAZNAS dan Kementerian Agama kedepan harus tegas
432_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
dengan menertibkan lembaga-lembaga amil zakat yang belum memiliki izin. Sebab secara tersurat eksplisit persyaratan pendirian lembaga amil zakat telah diatur diatur oleh Pasal 18 UU No. 23/2011 jo Pasal Junto Pasal 57 PP No.14/201495. LAZ harus memiliki izin dari Kementerian Agama sebagai syarat melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat dari masyarakat;
D. Pengaturan tentang Lembaga Amil Zakat (L AZ) Pasca diundangkannya syariat zakat sebagai hukum positif dalam peraturan Negara Republik Indonesia melalui UU No.38/1999 kemudian diganti dengan UU No 23/2011. banyak wet yang menjadi pilar/mendukung implementasi pelaksanaan zakat dalam kehidupan bernegara. UU Zakat mendapat ‘penguatan’ dan dukungan dari undangundang yang mengatur perpajakan berikut peraturan teknis yang ada di bawahnya (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak). Dalam Pasal 4 ayat (3) Poin a. 1 UU No. 36 Tahun 200896 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) menyebutkan, zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau lembaga amil zakat dikecualikan dari objek pajak. Akan tetapi, jika melihat UU diatas ada satu syarat terkait dengan fasilitas pengecualian objek pajak tersebut yaitu, badan amil zakat atau lembaga amil zakat tersebut merupakan lembaga yang telah diakui/ disahkan oleh pemerintah. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 9 ayat (1) poin g UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Junto Pasal 1 ayat (1) b PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Junto Pasal 1 ayat (1) b dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _433
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Junto Pasal 1 (a) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/Pj/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Junto Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan sebagai Penerima Zakatatau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Apabila pengeluaran zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 60 Tahun 201097 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Junto Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Junto Pasal 3 (a) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/Pj/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Dari landasan perundang-undangan diatas maka manakala ada lembaga amil zakat yang belum dibentuk atau disahkankan oleh pemerintah lantas melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan donasi zakat maka sangat merugikan terhadap muzaki. Pasalnya muzaki tidak dapat menggunakan bukti setoran donasi zakat tersebut sebagai alat tukar untuk menikmati fasilitas ‘keringanan’ kewajiban pajak kepada negara. Di sisi lain, negara juga dirugikan oleh praktik penghimpunan dana zakat yang dijalankan lembaga amil zakat yang belum disahkan oleh pemerintah karena pendapatan/pemasukan
434_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
yang semestinya menjadi objek pajak tidak masuk ke kas negara. Jangan sampai karena persoalan nihilnya legalitas kelembagaan niat baik untuk melakukan ibadah sosial justeru berbuah menjadi dosa sosial. Sebab bagi orang muslim berkewajiban menjunjung tinggi aturan kitab suci, pada saat yang sama sebagai bagian warga negara siapapun harus patuh terhadap tatanan konstitusi.
E. Penutup Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia terus mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Pengelolaan zakat tidak lagi kaku, melainkan mengalami berbagai perbaikan sebagai bentuk optimalisasi potensi zakat bagi kesejahteraan ummat. Tak bias dipungkiri, peran regulasi zakat sangat penting dalam perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia. Revisi atas regulasi zakat merupakan bagian upaya pemerintah dalam optimalisasi peran zakat sebagai sektor penting dalam pembangunan kesejahteraan. Bahwa lahirnya revisi atas regulasi zakat mentikberatkan pada peningkatan pengelolaan dan pendisribusian dana zakat. Hal ini menegaskan bahwa zakat dipandang sebagai sumber pemberdayaan umat.
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _435
Daftar Pustaka Asshiddiqie, Jimly, Perih. Undang-Undang, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010 Fajri Nursyamsyi, Potensi Disfungsi BAZNAS Pasca UU Pengelolaan Zakat, tersedia dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4ee868828f156/potensi-disfungsi-baznas-pasca-uu-pengelolaanzakat-broleh--fajri-nursyamsi-sh-, Diakses 7 September 2014). Forum Zakat, Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2025 Panduan Masa Depan Zakat Indonesia, FOZ: Jakarta, 2012 Hafidhuddin, Didin, Anda Bertanya tentang Zakat, Infak dan Sedekah; Kami Menjawab, Jakarta : BAZNAS, 2010 _______________, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2008 _______________, Fiqih Zakat, http:/ /zisqatar.files.wordpress. com, diakses pada 20 Juni 2011. Harahap, Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika: Jakarta, 2009 Ichwan Sam at. all., Himpunan Fatwa Zakat MUI Tahun 1982-2011, Baznas : Jakarta, 2011 Al-Jazaari, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Beirut : Darul Fikr, 1976 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005 Mas’udi, Masdar F., “Zakat: Konsep Harta yang Bersih”, dalam Nurcholis Madjid, et.al., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:
436_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Paramadina, 1995 Mufraini, M. Arief, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012 Noor Aflah, ed, Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Jakarta: Forum Zakat, 2011 Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqhuz Zakat, Beirut: Muassasah Risalah, 1991 Soffan Islam, dalam Noor Aflah, ed., Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Jakarta: Forum Zakat, 2011 Suntana, Ija, Politik Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia , 2014 Susewo, Erie, Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsiop Dasar, Ciputat: Institute Manajemen Zakat, 2004 ___________, Politik Ziswaf, Jakarta: UI Press, 2008. Masdar Farid Mas’udi, Zakat itu Pajak, Mizan : Bandung, 2005 Yafie, Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 1994 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012.
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _437
Endnotes 1. Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 1994, h. 231. 2. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhuz Zakat, Beirut: Muassasah Risalah, 1991, h. 42. 3. Kadangkala berbentuk fiil madhi, fiil mudhari’, fiil amar maupun jumlah ismiyyah.
4. Dalam surat Al-Taubah ayat 5 dan ayat 11 disebutkan bahwa kesediaan membayar zakat sebagai indikator utama ketundukan seseorang kepada agamanya.
5. Surat At-Taubah ayat 34-35 menyatakan orang-orang yang menumpuk harta lalu tidak mengeluarkan zakat maka harta-harta tersebut akan berubah menjadi azab yang pedih.
6. Abu Bakar Jabir Al-Jazaari, Minhajul Muslim, Beirut : Darul Fikr, 1976, h., 248.
7. Surat Al-Hasyr ayat 7. 8. Noor Aflah, ed, Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Jakarta: Forum Zakat, 2011, h. 129.
9. Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat, Infak dan Sedekah; Kami Menjawab, Jakarta : BAZNAS, 2010, cet ke-3
10. Masdar F. Mas’udi, “Zakat: Konsep Harta yang Bersih”, dalam Nurcholis Madjid, et.al., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, cet. II, h. 423.
11. Lihat, Didin Hafidudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2008, h. 11-13; lihat pula, Didin Hafiduddin, Fiqih Zakat, http:/ /zisqatar.files.wordpress. com, diakses pada 20 Juni 2011.
12. Soffan Islam, dalam Noor Aflah, ed., Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Jakarta: Forum Zakat, 2011, h. 131.
13. Amil Zakat menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola ibadah zakat atau seseorang atau sekelompok
438_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola ibadah zakat., Ichwan Sam at. all. Himpunan Fatwa Zakat MUI Tahun 1982-2011, Baznas : Jakarta, 2011, h. 41.
14. Forum Zakat, Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2025 Panduan Masa Depan Zakat Indonesia, FOZ: Jakarta, 2012), h. 4.
15. Erie Susewo, Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsiop Dasar, Ciputat: Institute Manajemen Zakat, 2004, h. 10.
16. Forum Zakat, Ibid, h. 4. 17. Ibid. 18. Erie Sudewo, Politik Ziswaf, Jakarta: UI Press, 2008, h. 143. 19. Masdar Farid Mas’udi, Zakat itu Pajak, Mizan : Bandung, 2005, h. 18. 20. Alinea keempat UUD 1945 “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....,”
21. Pasal 34 UUD 1945 menyatakan : “Fakir miskin dan anak terlantar dipeliharan oleh negara”
22. Ija Suntana, Politik Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia , 2014, h. 123. 23. Anchas Sulchantifa Pribadi sebagaimana dikutip Ija Suntana, Politik Hukum Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2014, h. 135.
24. Keterangan pemerintah di hadapan Rapat Paripurna DPR RI Mengenai rancangan undang-undang tentang Pengelolaan Zakat , tanggal 26 Juli 1999 halaman 6.
25. Ija Suntana, Ibid, h.. 136 26. Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila didirikan pada tanggal 17 Pebruari 1982. Akte pendirian Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila dibuat dihadapan Notaris Soelaeman Ardjasasmita. Pemrakarsa Yayasan tersebut adalah Presiden Soeharto, disertai H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dan Sudharmono, SH. Dalam operasionalnya yayasan
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _439 ini dijalankan oleh H. Aminnachmud dan H. Bustanil Arifin, SH. Dasar pemikiran pendirian Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila adalah bahwa untuk meningkatkan usaha pencapaian tujuan pembangunan nasional, dalam masyarakat Pancasila yang memperhatikan kemajuan agama, maka perlu diadakan usaha-usaha nyata untuk meningkatkan kesejahteraan lahir bathin umat Islam, dengan jalan pengerahan daya dan dana umat Islam yang berwujud sedekah/amal jariyah secara sukarela, sssuai serta tidak bertentangan ajaran agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Profil Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, tersedia dalam http:// www.yamp.or.id/profil.php, diakses 5 September 2014).
27. Forum Zakat, Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2025: Panduan Masa Depan Zakat Indonesia, Jakarta : FOZ, 2011, h. 7.
28. Secara etimologi filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering diterjemahkan dengan “kedermawanan”. Secara filosofis, filantropi, sedikit berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun shadaqah]. Filantropi lebih bermotif moral yakni berorientasi pada ‘kecintaan terhadap manusia’, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi. Gerakan Filantropi di Indonesia, tersedia dalam http://interfidei.or.id/index.php?page=event&id=43 , diakses 5 September 2014).
29. Filantropi Islam dalam hal ini bisa diartikan sebagai kegiatan, baik dilakukan oleh sebuah lembaga maupun komunitas, yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’. Dalam konteks Indonesia kelahiran organisasi-organisasi [NGO] amal keagamaan ini dilatarbelakangi paling tidak dua krisis yakni krisis politik dan krisis ekonomi. Lembaga-lembaga filantropi Islam muncul untuk merespon dan membantu pemerintah dalam melayani seluruh warganya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Karena krisis tersebut maka perlu adanya sebuah gerakan untuk menggalang dana dari masayarakat [zakat, infaq dan shadaqah] dalam rangka menolong masyarakat itu sendiri. Gerakan Filantropi di Indonesia, tersedia dalam http://
440_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 interfidei.or.id/index.php?page=event&id=43 , diakses 5 September 2014).
30. Keterangan pemerintah di hadapan rapat paripurna DPR RI mengenai rancangan undang-undang tentang pengelolaan zakat tanggal 26 Juli 1999 h. 3 dan 6.
31. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005, h. 411.
32. Keterangan Pemerintah di hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai Rancangan Undang-Undang Pengelaolaan Zakat tanggal 26 Juli 1999, h. 2. Selain itu pemerintah juga berargumen tujuan dari diusulkannya rancangan undang-undang tentang pengelolaan zakat adalah adanya Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk beribadah menurut agama masing-masing, penunaian zakat merupakan kewajiban ummat islam di indonesia yang mampu dan berhasil mengumpulkan dana zakat yang merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan zakkat merupakan peranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan soasial bagi seluruh rakyat indonesia dengan masyarakat yang kurang mampu., Ija Suntana, Politik Hukum Islam, Bandung : Pustaka Media, 2014, h. 124.
33. Pendapat akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Zakat, tanggal 14 September 1999, h. 3.
34. Jazuni, Ibid, h. 341. 35. Sejak terbit UU No. 38/1999 Pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional, BAZNAS. Di kalangan masyarakat
jumlah LAZ, Lembaga
Amil Zakat tingkat nasional hingga sekarang yang telah dikukuhkan oleh pemerintah melaui SK Menteri Agama yang dikeluarkan pada medio tahun 1999 – 2004 ada 18, delapan belas) LAZ yakni LAZ Dompel Dhuafa, LAZ Yayasan Amanah Takaful, LAZ Pos Keadilan Peduli Umal, LAZ Yayasan Bailulmaal Muamalal, LAZ Dana Sosial AI Falah, LAZ Bailulmaal Hidayalullah, LAZ Persaluan Islam, LAZ Yayasan Bailul Maal PT Bank Negara Indonesia, LAZIS Muhammadiyah, LAZ Bangun Sejahlera Milra Ulama, LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, LAZ Yayasan Bailulmaal
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _441 Bank Rakyal Indonesia, LAZ Bailul Maal Wal Tamwil, LAZ Bailuzzakah Pertamina, LAZ Dompel Peduli Umal Daarul Tauhid, LAZ Rumah Zakal Indonesia, LAZ Nahdlalul Ulama; dan LAZ Ikalan Persaudaraan Haji Indonesia, Data Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Agama berdasarkan Surat No. B.VIII/3/HM.01/69-04/2014 tentang Informasi Seputar LAZ.
36. M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012, h. 42.
37. BAZIS DKI Jakarta merupakan sebuah badan pengelola zakat resmi yang dibentuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Badan ini berdiri secara resmi pada tahun 1968 sejak berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta, ketika itu dijabat oleh Ali Sadikin) No. Cb. 14/8/18/68 tertanggal 5 Desember 1968 Tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta. Profil Baziz DKI Jakarta tersedia dalam http://bazisdki.go.id/page/index/profil-bazis , diakses 5 September 2014).
38. Yayasan Dana Sosial Al-Falah, YDSF) digagas oleh seorang tokoh di kota Surabaya bernama H. Abdul Karim yang juga merupakan Ketua Yayasan Masjid Al Falah Surabaya. YDSF resmi berdiri pada 1 Maret 1987, kemudian dilegalkan dengan akte notaris Abdul Razaq Ashiblie, S.H. Nomor 31 tanggal 14 April 1987. Dua tahun setelahnya, dikuatkan lagi dengan rekomendasi Menteri Agama RI Nomor B.IV/02/HK.03/6276/1989., Menengok Sejenak Perjalanan 25 Tahun YDSF, tersedia dalam http://www.ydsf.org/blog/kabarydsf/menengok-sejenak-perjalanan-25-tahun-ydsf, diakses 5 September 2014)
39. Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara Indonesia, BAMUIS BNI) didirikan dengan Akte No.10 R.Soerojo Wongsowidjojo tanggal 5 Oktober 1967 di Jakarta, yang mendapat dorongan dan dukungan dari Bapak Sutanto, MA., Direktur Utama PT. Bank Negara Indonesia, Persero) Tbk atau BNI pada waktu itu. Maksud dan tujuan pendiriannya adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat dan mengusahakan dana ini menurut
442_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 cara-cara yang sah dan diridhai Allah SWT serta hasil usaha ini akan disalurkan untuk keagungan Kalimatullah., Soya Sobaya, Pengaruh Jaringan BNI terhadap Efektivitas Zakat Produktif, Studi di Baitul Mal Umat Islam BNI, La Raiba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. IV No. 2 Tahun 2010 h. 251
40. Pasal 14 ayat 3 UU No. 38/1999 menyatakan : “Zakat yang dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
41. UU No. 36/2008 kemudian memunculkan Peraturan Pemerintah, PP) Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan. Setelah itu terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan
yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, kemudian ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/Pj/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto yang direvisi oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
42. M. Arief Mufraini, Op., cit h. 43-44. 43. Erie Sudewo, Politik Ziswaf, Ibid, h. 276. 44. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, PPID) DPR RI, Naskah Akademis RUU Pengelolaan Zakat, h. 3-4 .
45. RUU Pengelolaan Zakat merupakan inisitif dari DPR RI berdasarkan surat Ketua DPR RI No. LG.01.04/6480/DPR RI/IX/2010 kepada Presiden Republik Indonesia. Presiden kemudian menugaskan Menteri Agama, Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM berdasarkan surat No.76/ Pres/09/2010 untuk membahas RUU Pengelolaan Zakat.
46. Apabila perubahan mencakup lebih dari separuh dari materi undang-
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _443 undang yang bersangkutan maka dianjurkan undang-undang yang akan diubah dicabut kemudian disusun kembali menjadi undang-undang yang baru yang mengatur h. yang sama., Jimly Asshiddiqie, Perih. UndangUndang, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010, h. 166.
47. Bagian Penjelasan UU No. 23/2011. 48. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika: Jakarta, 2009, h. 27. 49. Ibid, h. 28. 50. Fajri Nursyamsyi, Potensi Disfungsi BAZNAS Pasca UU Pengelolaan Zakat, tersedia dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ee868828f156/ potensi-disfungsi-baznas-pasca-uu-pengelolaan-zakat-broleh--fajrinursyamsi-sh-, Diakses 7 September 2014).
51. Ibid 52. Ibid 53. Pasal 6 UU No. 23/2011 menyatakan : “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
54. Pasal 17 UU No. 23/2011 menyatakan : “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.”
55. Pasal 18 UU No. 23 tahun 2011 (1) Pembentukan LAZ harus memiliki izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri (2) Izin sebagaimana dimkasud pada ayat, 1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. Organisasi kemasyarakatan yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial b. Berbentuk lembaga berbadan hukum c. Mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS d. Memiliki pengawas syariah e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuagan untuk melaksanakan kegiatannya
444_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 f.
Bersifat nirlaba
g. Memliliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan ummat ; dan h. Bersedia diaudit secara syariat dan keuangan secara berkala
56. Pasal 43 ayat 4 UU No. 23/2011. 57. Untuk tetap menjamin bahwa politik hukum harus sesuai dengan citacita dan tujuan bangsa dan negara , dalam politik hukum nasional masih disediakan institusi dan mekanisme pengujian atas peraturan perundangundangan. Dengan demikian meskipun sebuah peraturan perundangundangan sudah, khususnya undang-undang telah diproses melalui program legislasi nasional, prolegnas) ia masih bisa diuji lagi konsistensinya dengan UUD atau dengan peraturan yang lebih tinggi melalui judicial rievew., Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010, h.. 37
58. Pasal 24C amandemen ketiga UUD NRI 1945 menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengdaili pada tingkat pertama dan tarekhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji undang –undang terhadap undangundang dasar, memtutus sengketa kewenangan lembaga negara yang keweangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memtutus pembubaran partai politik, dan memtutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
59. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012. 60. Ibid. 61. Pasal 5 ayat, 1): “Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS”; ayat, 2): “BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat, 1) berkedudukan di ibu kota negara”; ayat, 3): “BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat, 1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri”.
62. Pasal 6: “BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional”.
63. Pasal 7 ayat, 1): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a. perencanaan pengumpulan,
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _445 pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat”; ayat, 2): “Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”; ayat, 3): “BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1, satu) kali dalam 1, satu) tahun”,
64. Pasal 17: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ”,
65. Pasal 18 menyatakan :
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. , 2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat, 1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. berbentuk lembaga berbadan hukum; c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. memiliki pengawas syariat; e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. bersifat nirlaba; g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
66. Pasal
19: “LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala”,
67. Pasal 38: “Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian atau pendayagunaan zakat tanpa izin dari pejabat yang berwenang”.
68. Pasal 41: “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1, satu tahun) dan/atau pidana denda paling banyak
446_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 Rp50.000.000,-, lima puluh juta rupiah).
69. Pasal 28C ayat, 2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
70. Pasal 28D ayat, 1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
71. Pasal 28E angka 2 UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”
72. Pasal 28E angka 2 angka 3 UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
73. Pasal 28H angka 2 : “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
74. Pasal 28H angka 3 : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
75. Risalah Sidang Perkara Nomor 86/PUU-X/2012. 76. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 perih. pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2013.
77. Putusan Mahkamah Konstitusi No 86/PUU-X/2012. 78. Jimly Asshiddiqie, Perih. Undang-Undang, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010, h. 166.
79. Pasal 6 UU No. 23/2011. 80. Pasal 5 ayat, 3) UU No. 23/2011. 81. Pasal 8 ayat, 1), 2), 3) UU No. 23/2011. 82. Pasal 9 UU No. 23/2011. 83. Padsal 15 ayat, 1), 2), 3) UU No. 23/2011. 84. Pasal 29 ayat, 4) UU No. 23/2011
Jalan Panjang Legislasi Syariat Zakat di Indonesia _447
85. Penjelasan PP No. 14/2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.23/2011 tentang Pengelolaan Zakat
86. Pasal 17 UU No. 23/2011. 87. Pasal 18 UU No. 23/2011. 88. Pasal 29 ayat, 3) UU No. 23/2011 89. Kementerian Agama
Segera
Tindaklanjuti
Peraturan
Pemerintah
Tentang Zakat, tersedia di http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ kementerian-agama-segera-tindaklanjuti-peraturan-pemerintah-tentangzakat-, Diakses 6 September 2014)
90. Ibid. 91. Jawaban Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, PPID Kementerian Agama atas korespondensi penulis melalui surat No. B.VIlI/3/HM.01/1694/2014 tanggal 18 Juni 2014 tentang Jawaban Permohonan Informasi Sepular Lembaga Amil Zakal, LAZ.
92. Jawaban Direktur Pelaksana BAZNAS atas korespondensi penulis berdasarkan surat No.067/PH/BAZNAS/VI2014 Tanggal 2 Juni 2014 tentang Jawaban Surat Permohonan Informasi status Lembaga Amil Zakat.
93. Berdasarkan jawaban Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, PPID Kementerian Agama atas korespondensi penulis melalui surat No. B.VIlI/3/HM.01/169-4/2014 tanggal 18 Juni 2014 tentang Jawaban Permohonan Informasi Sepular Lembaga Amil Zakal, LAZ dan Jawaban Direktur Pelaksana BAZNAS atas korespondensi penulis berdasarkan surat No.067/PH/BAZNAS/VI2014 Tanggal 2 Juni 2014 tentang Jawaban Surat Permohonan Informasi status Lembaga Amil Zakat.
94. Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI) No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat menyatakan yang dimaksud dengan amil zakat adalah pertama, seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat atau kedua, seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
95. Berdasarkan Pasal 57 PP No. 14/2014 mensyaratkan pembentukan LAZ
448_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 wajib mendapatkan izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial atau lembaga berbadan hukum; b. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS; c. Memiliki pengawas syariat; d. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; e. Bersifat nirlaba; f.
Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
g. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
96. Pasal 4 Ayat, 3) Poin a. 1 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, PPh): “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan”.
97. Pasal 2 PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto :”Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat, 1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari pengi atashasilan bruto”.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _449
Zakat Honey in Caliph Umar Ibn Khattab Era. (Fiqhiyah Analysis and Public Policy)
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA. (Analisis Fiqhiyah dan Kebijakan Publik)
Ahmad Munif STAI INDONESIA JAKARTA email:
[email protected]
Abstract: Umar bin Khattab is one of the companions of the Prophet. He was quite bold, assertive, dignity, and fair. While he served as a caliph, he picked zakat (charity) for honey. Yet history of prophets including collect zakat honey is dha’if. So, that might be an ijtihad of Umar itself with particular consideration. The results or conclusions of the study is the first, honey zakat collection by Umar because it has similar feature and characteristics to other types of zakat must be given. Second, collecting zakat honey by Umar, in the context of public policy (government) based on landowner requests for the government to protect their land. : Abstraksi: Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang cukup berani, tegas, berwibawa, dan adil. Ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia memungut zakat untuk madu. Namun hadits nabi, tentang mengumpulkan zakat madu adalah dha’if. Sehingga mungkin apa yang dilakukan merupakan ijtihad Umar sendiri den-
450_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 gan pertimbangan tertentu. Hasil atau kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, pengumpulan zakat madu oleh Umar karena madu memiliki sifat dan karakteristik yang mirip dengan jenis zakat lain yang wajib diberikan. Kedua, pemungutan zakat madu oleh Umar, dalam konteks kebijakan publik (pemerintah), dikarenakan permintaan pemilik lebah madu agar dilindungi lahannya. Keyword: Umar ibn Khattab, Zakat, Honey
A. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Masa kekhalifahan Umar ibn Khattab merupakan masa pengembangan yang pesat dalam perkembangan Islam. Pada masa itu, perluasan kekuasaan Islam telah meliputi jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian besar kota Persia dan Mesir. Umar ibn Khattab sendiri dikenal sebagai pribadi yang luar biasa. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas dalam menegakkan pemerintahan yang adil dan bijaksana, juga sangat belas kasihan terhadap orang faqir dan miskin. Tak salah bila sebelum Umar masuk Islam, Rasul pernah berdo’a, agar kelak di kemudian hari Islam bisa dikuatkan oleh dua Umar, dengan Umar ibn al-Khattab, atu dengan abu Jahal Bin Syam.” Ternyata yang dikabulkan oleh Allah adalah Umar ibn al-Khattab. Ketika Umar menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar, salah satu kebijakannya adalah terkait penetapan pemungutan zakat madu. Kebijakan Umar ini menimbulkan tanda tanya di kemudian hari. Apakah yang diterima oleh umar tersebut benar-benar zakat? Atau itu adalah hadiah dari pemilik ternak madu karena daerah tempat ternak lebah madu miliknya dijaga khalifah?
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _451
Di kemudian hari, pendapat tentang wajib atau tidaknya zakat madu menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ada yang mewajibkan dan ada yang tidak mewajibkan membayar zakat madu. Zakat madu pada masa Imam Syafi’i misalnya, melahirkan dua pendapat yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah yang dicetuskan di Iraq, sedangkan qaul jadid terdapat dalam kitab Al-Umm yang dicetuskan di Mesir. 2. Rumusan Masalah a. Bagaimana kebijakan zakat madu pada masa Umar dilihat dari sisi fiqhiyah? b. Bagaimana kebijakan zakat madu pada masa Umar dilihat dari sisi kebijakan publik?
B. Metode Ijtihad Dan Pandangan Umar Ibn Khattab Tentang Zakat 1. Metode Ijtihad Umar ibn Khattab Sebagaimana ahli fiqh pada umumnya, Umar juga mempunyai metode dalam menetapkan suatu hukum. Meskipun, mungkin, Umar dulu tidak mengetahui dan mengklasifikasikan metode apa yang ia pakai. Namun setidaknya ada ciri-ciri tertentu yang dipakai Umar dalam mengemukakan suatu pendapat hukum. Hal ini yang diuraikan Muhammad Baltaji dalam bukunya Manhaj Umar bin Khattab fi Al-Tasyri’; Dirasah Mastu’ubah li Fiqh Umar wa Tandzimihi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab. Secara umum, sudah menjadi kelayakan bagi kebanyakan ahli fikih dan ahli sejarah tasyri Islam untuk mengatakan tentang Umar ibn Khattab, “Pertama kali ia bersandar pada Al-Qur’an. Jika suatu permasalahan ia temukan hukumnya dalam Al-Qur’an, maka ia memutuskannya sesuai dengan apa yang ada di Al-Qur’an tersebut. Jika ia tidak menemukan
452_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
dalam Al-Qur’an, ia kemuadian beranjak menuju sunnah. Dan jika hukumnya tidak ia temukan juga di sunnah, maka ia beranjak menuju bermusyawarah dengan ahli ijtihad dan kemudian berijtihad.”1 Umar termasuk orang yang tidak mau mensakralkan pendapat seseorang, bahkan kepada pendapat Abu Bakar yang merupakan pengganti pertama Rasulullah. Oleh karena itu, Umar tidak mau memegang teguh atau tidak mengikuti pendapat Abu Bakar secara mutlak–meskipun ia (Umar) sangat menghormati orang ini (Abu Bakar)kecuali jika pendapat itu ada dasar nash qathi’i-nya (pasti) dari Al-Qur’an dan sunnah.2 Dapat dilihat misalnya, Umar berseberangan dengan Abu Bakar dalam masalah pemberian bagian tidak sama (al-mufadhalah fi al‘atha), dalam masalah bagian mu’allafatu qulubuhum (orang yang baru masuk Islam). Keputusan dan perilaku Umar dalam menyikapi setiap permasalahan yang berhubungan dengan tasyri’ selalu realistis. Dalam artian, mencarikan solusi setiap permasalahan yang telah terjadi di masyarakatnya dengan benar-benar menyelami dan melihat langsung inti permasalahan tersebut.3 Setiap masalah yang ia carikan solusinya adalah benar-benar sudah terjadi. Sehingga ijtihadnya merupakan suatu keharusan dengan jalan mengistinbathkannya (menyandarkannya) dengan nash-nash agama, dan yang sekaligus dapat mewujudkan kemaslahatan.4 Model pemikiran “harus adanya konteks yang dihadapi” adalah satusatunya faktor yang menggerakkan usaha Umar dalam bidang tasyri’. Pemikiran Umar untuk berijtihad bukanlah untuk berbangga diri dan berlebihan dalam menggunakan rasionya, dan tidak pula pemikiran itu sebagai ungkapan khayalan dan hanya sebatas gambaran semata.5 Baltaji mempertegas bahwa realistis dan kongkrit dalam berpikir merupakan karakteristik Umar secara umum. Sebagai contoh, ketika Umar memberikan hukuman kepada Shabigh ibn Asal ketika berulang-ulang menanyakan tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat, yang tidak
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _453
ada jawaban finalnya, tidak ada manfaat riilnya, dan tidak mungkin bisa sampai kepada suatu jawaban akhir. Dari penelusuran yang dilakukan Baltaji, menerangkan bahwa dalam setiap kejadian tentang Umar, tak satu pun sang khalifah mempraktikan ijma’ seperti yang didefinisikan oleh para ahli ushul fikih setelahnya.6 Tidak disangkal, bahwa pada masa Umar pun para mujtahid sangat sulit untuk berkumpul di Madinah7 dalam satu forum guna memecahkan suatu permasalahan. Di samping itu, dalam meminta pendapat untuk menanggapi suatu permasalahan, Umar tidak pernah mensyaratkan untuk hanya mengambil pendapat orang yang memang ahli dalam berijtihad, dengan jalan mereka harus mengeluarkan statemen pendapatnya itu dengan jelas dan harus dengan diucapkan. Yang terjadi pada masa Umar adalah ia meminta pendapat kepada orang yang memang ahli ra’yu yang kebetulan saat itu berada di situ (di tempat masalah itu ditanyakan atau terjadi). Umar mengambil keputusan hanya dengan pendapat sebagian dari ahli ra’yu tersebut, meskipun yang lainnya hanya diam dan tidak mengiyakan. Dan jika Umar memutuskannya, maka hal itulah yang terbaik saat itu –jika tidak ada satupun dari para mujtahid yang berada di situ yang menentangnya-, yang ia menyebutnya dengan ijma’ sukuti.8 Pada saat itu terdapat perbedaan pendapat para mujtahid, Umar hanya mengambil salah satunya dengan tetap menghormati dan menyebutkan pihak yang menentangnya. Misalnya, Ibnu Abbas tidak sependapat dalam masalah ‘aul (hal warisan) dengan apa yang Umar praktikkan selama masa kekhalifahannya. Juga Bilal ibn Rabbah, menentang kebijakan Umar dalam keputusannya untuk tidak memberikan bagian daerah-daerah yang telah dibebaskan Islam. Qiyas juga dipakai Umar dalam mengemukakan pendapat hukumnya. Meskipun Umar tidak mempunyai definisi tertentu mengenai qiyas.9 Namun apa yang diakukan Umar senada dengan pengertian qiyas yang berkembang di kemudian hari. Yang dibutuhkan Umar dalam qiyas adalah bagaimana menyamakan satu permasalahan dengan
454_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
permasalahan lain yang hukumnya juga hasil menyamakannya dengan permasalahn lain, sampai si pencari hukum yakin bahwa Hukum Allah adalah satu.10 Baltaji mencontohkan, Umar dalam mewajibkan barang dagangan orang muslim untuk dizakati adalah mengqiyaskannya dengan emas dan perak dengan jami’ (titik persamaan) keduanya samasama memiliki nilai. Dan perkiraan harga atau beban diyat, jika tidak menggunakan onta adalah mengqiyaskannya dengan penerimaan Rasulullah atas pembayaran pajak dengan memakai selain uang, yaitu membayarnya dengan mengeluarkan pakaian (kain) dan hewan piaraan. Selanjutnya yang dilakukan Umar dalam menanggapi suatu permasalahan adalah, jika satu kejadian ada nash khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Adapun jika dalam masalah itu tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak mengeluarkan satu keputusan tasyri’ hanya dengan menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakannya bahwa itu adalah karena maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan yang lain.11 Dr. Musthafa Zaid melihat bahwa usaha Umar demi kemaslahatan dapat dicontohkan, dengan menambahkan hukuman peminum khamr, menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz, tidak dipotongnya tangan seorang pencuri ketika musim paceklik, dll.12 Adakalanya dalam pertimbangan kemaslahatan itu, terdapat pilihan antara kemaslahatan umum dan khusus (individu). Dalam hal ini Umar selalu berusaha mencapai maslahat yang umum, bukan yang khusus. Adapun ketika tercapai maslahat umum bersamaan denga maslahat khusus, maka Umar menetapkan dan mensinergikan keduanya. Akan tetapi jika antara maslahat umum dan khusus saling bertentangan, maka Umar tidak gegabah memenangkan salah satunya, dan jika sudah mentok (tidak ada jalan keluar lain), sang khalifah langsung merujuk kembali kepada tujuan ketetapan dasar tasyri’ islami, yaitu dengan mengalahkan maslahat individu dan memenangkan maslahat umum.13 Contohnya adalah ketika umar menegur dan melarang keluar rumah wanita yang
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _455
terserang penyakit kusta. Dalam hal ini Umar telah merampas hak individu seseorang dengan melarangnya bergaul dengan orang banyak, ketika ada kemungkinan besar wanita itu akan dapat merugikan orang banyak di sekelilingnya yang mau bergaul dengannya. Metode selanjutnya yang digunakan Umar dalam menetapkan suatu hukum adalah Umar memenangkan salah satu kemungkinan yang berdasar pada rasio, jika hal itu dapat membawa maslahat,14 dengan syarat kemungkinan itu tidak berlawanan dengan nash.15 Misalnya ketika Umar memutuskan untuk menghukum dengan pembunuhan kepada jamaah yang telah membunuh satu orang. Di samping itu, Umar juga menggunakan saddu adz-dzarai’. Meskipun pada waktu itu (mungkin) Umar sendiri belum memahami makna metode ini sebagaimana dipahami para ulama ushuliyin. Akan tetapi yang pasti Umar telah mempraktikkan dalam beberapa tasyri’nya. Ini dilakukan Umar ketika ia melihat pada suatu perkara untuk dijalankan dengan cara yang lain. Maksudnya, ada satu perbuatan yang asalnya adalah mubah dan boleh dilakukan, namun perbuatan ini pada perkembangannya dijadikan sarana untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan. Dari sini, harus di-review kembali hukum itu, sehingga dapat mengantarkan pada tujuan tasyri’.16 Contoh keputusan Umar yang masuk dalam kategori saddu adz-dzarai adalah sesuai dengan satu cerita; bahwa Rasulullah telah meninggal, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar, banyak orang yang mendatangi pohon yang pernah diadakannya baiat Ridhwan pada zaman Nabi saw., dengan melakukan sholat di bawahnya. Melihat fenomena ini, berkatalah Umar, “Saya lihat kalian wahai manusia, telah kembali kepada aluzza. Dari sekarang, siapapun yang datang ke situ dan tempat-tempat seperti itu, maka aku akan membunuhnya dengan pedang sebagaimana dibunuhnya orang-orang murtad.” Umar kemudian memerintahkan pohon itu untuk ditebang, dan akhirnya dirobohkan pohon itu.17
456_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
2. Pandangan Umar Tentang Zakat Hudhori bek menerangkan, dalam pandangan Umar, zakat merupakan satu dari beberapa rukun Islam yang ada. Syari’at telah memerintahkan agar mengambil zakat dari orang-orang kaya (aghniya’) dan memberikannya kepada fuqara’.18 Muhammad Rowas dalam buku Mausu’ah Fiqh Umar bin al-Khaththab menyebutkan, menurut Umar, zakat merupakan fardhu yang telah difardhukan (diwajibkan) Allah kepada muslimin, orang yang menunaikan zakat akan mendapat ajr (pahala) dari Allah.19 Pada masa pemerintahan Umar, zakat merupakan sumber pendapatan utama Negara Islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.20 Hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat berat, sehingga orang yang tidak mau membayar zakat dapat didenda sebesar 50% dari jumlah kekayaannya sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah sendiri, “Orang yang tidak mau membayar zakat, akan saya ambil zakatnya dan setengah dari seluruh kekayaannya.” Inilah salah satu keputusan yang sungguh diakui sebagai kepentingan dan kebenaran oleh Umar. Pengakuan ini dapat dilihat jelas dari pendapatnya tentang tindakan Abu Bakar yang amat tegas terhadap suku-suku yang tidak mau membayar zakat.21 Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, akan saya perangi mereka yang membedakan antara kewajiban ibadah dan kewajiban membayar zakat, karena zakat berurusan dengan harta benda. Ya Allah, jika mereka menghindari kewajiban mereka membayar zakat kepada saya, walau hanya seekor anak kambing, yang seharusnya itu telah mereka bayar kepada Rasulullah, saya akan perangi mereka, saya akan perangi mereka karena penolakannya itu.”.22 Begitulah kata Abu Bakar. Dengan mengacu kepada ucapan Abu Bakar itulah, Umar menyatakan, “Demi Allah, dia telah membuka hati Abu Bakar (untuk menerima kebenaran) karena saya tahu bahwa itulah sikap yang benar.”
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _457
Umar memahami benar tujuan utama kewajiban zakat, yakni mencegah menumpuknya harta di bawah kekuasaan sekelompok kecil. Oleh sebab itu, agar distribusi kekayaan di kalangan umat dapat berjalan secara adil dan merata, zakat harus diambil dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin. Untuk mencapai tujuan ini, dia membuat berbagai kebijaksanaan dengan menambah jenis barang yang wajib dizakati bila dirasa perlu dan menghilangkannya jika dianggap sudah tidak relevan bagi struktur perpajakan pada waktu itu. Kitab Mausu’ah Fiqh Umar bin Khattab menguraikan berbagai macam pandangan Umar dalam persoalan fiqh. Termasuk di antaranya zakat. Umar menetapkan syarat sebagai seorang muzzakki. Di antaranya adalah; 1. Islam, 2. Merdeka (hurriyyah); 3. Menyeluruh,23 Umar juga memiliki pandangan mengenai jenis harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Harta yang wajib dizakati menurut Umar tercermin dari perintahnya kepada amil yang akan bertugas di Damsyiq; “Sesungguhnya zakat diwajibkan atas pertanian, ‘ain (emas dan perak), dan hewan ternak.” Akan tetapi keterangan lain menyebutkan, bahwa Umar mewajibkan zakat atas ‘ain (emas dan perak) dan barang dagangan, hewan ternak seperi unta, kambing, sapi, setalah itu Umar juga memasukkan kuda, budak, tanaman dan madu. Menurut Umar, ada beberapa syarat harta yang wajib dizakati; 1. Sempurna nishabnya dan bebas dari hutang. 2. Merupakan harta yang bisa dikembangkan. 3. Mencapai haul. dan 4. Digembalakan, untuk hewan ternak.24
458_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Zakat sebenarya diwajibkan atas dasar ketulusan hati dan cara yang baik. Dengan demikian, mengambil harta zakat yang berkualitas tinggi sampai di luar batas kewajaran adalah dilarang. Sehingga Umar melarang untuk mempersulit manusia dalam mengeluarkan zakat.25
C. Pendapat Umar Tentang Zakat Madu 1. Biografi Umar ibn Khattab Umar ibn Khattab nama lengkapnya adalah Umar ibn Khattab ibn Nufail keturunan Abdul Uzza al-Quraisy dari suku Ady. Umar dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy untuk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku-suku yang lain.26 Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka’ab. Ibu beliau bernama Hantamah binti Hasyim ibn al-Mugrirah alMakhzumiyah. Rasulullah memberi beliau “kun-yah” Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafsah adalah anaknnya yang paling tua, dan memberi “laqab” (julukan) al-Faruq.27 Sebelum masuk Islam, Umar ibn Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijjah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah dan Abdul Muthalib masuk Islam.28 Sebelum Umar masuk Islam Rasullullah berdo’a kepada Allah agar Umar masuk Islam. “Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling engkau cintai, dengan Umar ibn al-Khattab, atu dengan abu Jahal Bin Syam.” Ternyata yang dikabulkan oleh Allah adalah Umar ibn al-Khattab.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _459
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya. Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim ibn Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya. Dengan terburu-buru Umar pergi hingga tiba di rumah adik perempuannya dan iparnya, yang saat itu ada pula Khabbab ibn al-Art, sedang menghadapi shahifah berisi surat Thaha, dia membacakan ini di hadapan mereka berdua. Tatkala Khabbab mendengar kedatangan Umar, dia menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fatimah menyembunyikan Shahifah Al-Qur’an. Namun setelah di dekatinya adiknya tadi, karena Umar tadinya sempat mendengar bacaan khabbab di hadapan adik dan iparnya. Namun berkat hidayah Allah SWT. yang diberikan melalui adiknya tersebut, Umar menyadari bagaimana keluhuran agama Islam. Hingga terbuka hatinya untuk masuk islam. Maka Segera Umar pergi ke rumah Arqam ibn Abu Arqam dimana Rasulullah dan para shahabatnya berada. Hingga akhirnya di sanalah ia menyatakan keislamannya.29 2. Kepemimpinan Umar bin Khattab Umar menyebut dirinya khalifah khalifati rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang beriman).30 Keberhasilan yang dicapai di masa pemerintahan Umar ibn Khattab, banyak ditentukan oleh berbagai kebijakan dalam mengatur dan menerapkan sistem pemerintahannya. Adapun diantara prestasi yang
460_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
dicapai pada masa kekhalifahannya antara lain adalah: 1. Perluasan Wilayah Islam.
Pada masa Umar gelombang ekspansi (perluasan wilayah kekuasaan) banyak terjadi antaranya, ibu kota Syria, Damaskus jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian setelah tentara Bizantium kalah dalam perang Yarmuk, dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir dan ke Irak, ibu kota Mesir ditaklukkan pada tahun 641 M. Sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian besar kota Persia dan Mesir.
Bersamaan dengan ekspansi tersebut, pusat kekuasaan Madinah mengalami perkembangan yang amat pesat. Khalifah telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntunan masyarakat baru yang berkembang. Umar mendirikan dewan-dewan, membangun Baitul Māl, mencetak uang, mengatur gaji, menciptakan tahun hijriah dan sebagainya. Dan karena wilayah kekuasaan semakin luas, maka wilayah Islam dibagi menjadi unit-unit administratif yang diatur menjadi delapan wilayah propinsi yaitu: Makkah, Madinah, Jasirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
2. Bait al-Mal.
Pendirian bait al-Mal dijadikan Umar sebagai lembaga perekonomian Islam dimaksudkan untuk menggaji tentara militer yang tidak lagi mencampuri urusan pertanian, para pejabat dan staf-stafnya, para qadli dan tentunya kepada yang berhak menerima zakat, adapun sumber keuangan berasal dari zakat, bea cukai, dan bentuk pajak lainnya. Pajak diterima dalam bentuk uang kontan dan barang atau hasil bumi.31
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _461
Umar ibn Khattab dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (Fairuz), seorang budak pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah salah seorang warga Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lu’lu’ (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M.32
3. Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar ibn Khattab
Pada masa Khalifah Umar, ia memungut zakat madu. Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka membayar usyr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak mau maka tidak akan mendapat perlindungan.33
Selengkapnya adalah, ketika Umar ibn Khathab dilantik sebagai khalifah, Sufyan ibn Wahb, menulis surat kepadanya menanyakan tentang masalah peternak lebah madu yang menginginkan lahannya dilindungi. Maka Umar membalas suratnya dengan mengatakan : ’’Jika ia membayar kepadamu apa yang dulu ia bayarkkan pada Rasulullah SAW, berupa sepersepuluh madu dari lebahnya, maka lindungilah untuknya Lembah Salabah itu. Dan kalau tidak maka lebah itu merupakan lebah hujan yang bisa dimakan oleh siapa saja yang menghendakinya.’’ Dalam suatu riwayat pada hadits ini disebutkan, ‘’Dari setiap sepuluh kantong, satu kantong.’’34
Menurut laporan Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang diperroleh dari daerah pegunungan dan yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.35
Untuk kadar nishab zakat madu, umar menetapkan bila madu itu mencapai 10 (sepuluh) afraq. Diriwayatkan, ada salah seorang dari penduduk Yaman menemui Umar. Mereka berkata pada
462_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Umar; “Ya amir al-mu’minin, sesungguhnya di Yaman terdapat banyak lebah madu.” Kemudian Umar menjawab; “Maka bagi kalian, tiap sepuluh afraq harus dikeluarkan zakatnya satu firaq.”
Dalam riwayat tentang penetapan zakat madu oleh Umar di atas, penulis belum menemukan penjelasan yang menyebutkan apa yang dilakukan Umar itu atas dasar pernah dilakukan Nabi sebelumnya. Hal ini dikarenakan juga karena riwayat tentang penetapan zakat madu oleh nabi Muhammad saw. Tidak ditemukan riwayat yang shahih.
Diperselisihkan riwayat dari beliau tentang masalah zakat madu. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata: Hilal, yaitu salah seorang dari bani Mut’an datang kepada Rasulullah SAW, dengan membawa sepersepuluh hasil madu dari lebah miliknya. Sebelumnya ia memang pernah meminta kepada beliau agar melindungi sebuah lembah yang dinamai Salabah untuknya.
Dalam Musnad Imam Ahmad tertulis riwayat dari Abu Sayyarah al-Mu’ti, ia berkata, ’’Saya katakan, wahai Rasulullah, saya mempunyai lebah?’’ Beliau Bersabda: ‘’Bayarkan sepersepuluh dari hasilnya’’. Saya katakan wahai Rasulullah, lindungilah untukku.’’ Maka Rasul melindungi untuknya. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
D. Pembahasan 1. Analisis Fiqhiyah terhadap Kebijakan Pemungutan Zakat Madu Umar ibn Khattab Pendapat Umar ibn Khattab untuk memungut zakat madu merupakan salah satu ijtihad Umar dalam mengaplikasikan kewajiban zakat. Bisa dikatakan ijtihad karena dalam riwayatnya tidak ditemukan bahwa Umar melakukan ini atas dasar mengikuti apa yang terdapat dalam alQur’an maupun yang telah dihaditskan Nabi Muhammad.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _463
Kalau diteliti lebih dalam, justru Umar ingin mengaplikasikan lebih lanjut apa yang tertuang dalam teks al-Qur’an terkait dengan madu. Dimana al-Qur’an sudah menerangkan beberapa kelebihan dan keutamaan madu. Diantaranya dalam QS al-Nahl: 68-69 yang menyebutkan “….. dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia…….36 Dari ayat di atas diterangkan bahwa di dalam madu lebah terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia yang dapat di buktikan secara ilmiah. Hal ini telah ditetapkan oleh beberapa analisis tentangnya, ternyata di dalam madu terdapat beberapa zat antikuman yang sangat bermanfaat. Beberapa eksperimen telah dilakukan di beberapa tempat di bumi ini, barat dan timur untuk menguatkan hal tersebut, semua eksperimen ini membuktikan kebenaran isi alqur’an mengenai madu dan pengaruhnya dalam penyembuhan berbagai penyakit.37 Madu juga di gunakan untuk mengawetkan buah-buahan, minuman penguat serta untuk pembuatan kue. Khasiat madu yang demikian besar dan sumbangannya dalam dunia kesehatan telah menjadikan madu sebagai pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan atau perkebunan. Perkembangan madu yang sangat pesat didukung oleh kemajuan teknologi menjamin kesejahteraan pengelolanya. Isu kesehatan yang berkembang di sepanjang masa menjadikan madu tetap dijadikan alternatif suplemen untuk menjaga tubuh tetap fit, segar dan bugar.38 Hadits nabi juga menyebut kelebihan madu, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW, dan mengadu, “Wahai Rasulullah, saudaraku terkena diare. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Minumkanlah madu kepadanya”. Orang itupun kemudian meminumkan madu kepada saudaranya. Akan tetapi, ia kemudian datang lagi kepada Nabi dan mengadu untuk kedua kalinya, “wahai Rasulullah, aku sudah meminumkan madu kepadanya, tetapi diarenya justru semakin parah”. Nabi SAW pun bersabda lagi, “Pergilah dan minumkanlah madu
464_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
kepadanya”. Orang tersebut pun lantas meminumkan madu lagi kepada saudaranya itu. Ia pun kembali datang mengadu, “wahai Rasulullah, minum madu justru semakin memperparah diarenya”. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Maha benar Allah dan telah berdusta perut saudaramu. Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut lantas pergi, dan meminumkan madu kepada saudaranya. dan tak lama kemudian, saudaranya itu pun sembuh. Dalam kitab al-Thibb minal Kitab was Sunnah, Muwafiquddin al-Baghdadi mengatakan, “Rasulullah SAW biasa minum madu setiap hari, yaitu madu yang dicampur air. Beliau meminumnya di pagi hari ketika perut masih kosong”. Juga Rasulullah SAW bersabda,” Hendaklah kalian menggunakan dua obat yaitu madu dan al-Qur’an.39 Oleh karena keberadaannya yang memberi banyak manfaat dan memberi keuntungan kepada pemiliknya, maka Umar mengambil zakat dari madu. Mengingat pada esensinya zakat, menurut Umar, diambil dari harta yang orang yang memiliki kelebihan harta untuk didistribusikan kepada yang kekurangan harta. Dan dalam hal ini, pemilik madu memperoleh kelebihan harta dari madunya tersebut. Pada sisi lain, ulama sendiri berbeda pendapat mengenai keberadaan hadits Nabi yang menyebut Nabi pernah menarik zakat madu. Tidak banyak yang menyitir riwayat Umar dalam memungut zakat madu di atas. Dimana hal tersebut menyebabkan perbedaan pandangan tentang wajib atau tidaknya melaksanakan zakat madu. Seperti diuraikan Yusuf Qardhawi bagaimana perbedaan tersebut menyangkut dari hal kewajiban, jumlah nasab, hingga kadar yang harus dibayarkan. Argumentasi Ulama’ yang mengatakan madu tidak ada zakatnya:40 • Kalangan ulama’ berbeda pendapat tentang sejumlah hadits ini dan hukumnya. al-Bukhori mengatakan, tidak ada sedikitpun keterangan yang shahih tentangn zakat madu.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _465
• Imam al-Tirmidzi mengatakan, tidak ada keterangan yang shahih dari nabi SAW dalam bab ini sedikitpun. • Ibnu al-Mundzir mengatakan, tidak terdapat pada kewajiban shadaqah dari madu, suatu hadits yang valid dari Rasulullah SAW dan tidak pula Ijma’. Jadi, tidak ada zakat padanya. • Imam al-Syafi’i menyatakan, hadits yang menyebutkan pada madu ada kewajiban sepersepuluh adalah dha’if, dan pada keterangan yang tidak boleh diambil darinya sepersepuluh juga dha’if kecuali dari Umar bin Abdul Azis. Mereka ini menyatakan, beberapa hadits yang mewajibkan, semuanya cacat. Hadits Ibnu Umar berasal dari riwayat Shadqah ibn Abdullah ibn Musa ibn Yasar ibn Nafi’ darinya. Sedangkan Shadqah dinyatakan dha’if oleh Imam Ahmad, Yahya ibn Main dan lain-lain. Al-Bukhori mengatakan Shadqah tidak ada apa-apanya dan hadits ini munkar. Adapun argumentasi Ulama’ yang menetapkan madu ada zakatnya adalah;41 Imam Ahmad, Abu Hanifah, serta sejumlah ulama’ lain berpendapat, bahwa di dalam madu terdapat zakatnya. Mereka memandang, bahwa beberapa atsar yang ada saling menguatkan satu sama lain. Memang beragam sumbernya dan bermacam-macam jalurnya. Namun, riwayat yang mursal dikuatkan dengan riwayat yang musnad (ada sanadnya lengkap). Abu Hatim al-Razi pernah ditanya tentang Abdullah, ayah Munir dari Saad bin Abu Dzuhab,’’Apakah shahih haditsnya?’’ Ia menjawab, ‘’Ya’’. Mereka menambahkan,’’Berhubung madu itu keluar dari cahaya pohon dan bunga, lagi pula bisa ditakar dan disimpan lama, maka menjadi wajiblah zakat padanya, seperti halnya biji-bijian dan buahbuahan’’. Mereka mengatakan; beban biaya dalam mengambilnya dibawah beban biaya pada tanaman dan buah-buahan.
466_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Orang-orang yang mewajibkan adanya zakat pada madu, berbeda pendapat apakah ada atau tidak? Tentang hal ini ada dua pendapat: Pertama; zakat madu wajib, baik pada jumlah madu yang banyak atau yang sedikit. Ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah. Kedua; zakat pada madu mempunyai nisab tertentu. Kemudian diperselisihkan tentang kadarnya. Abu Yusuf berkata; ‘’Ukuran minimumnya sepuluh kati (rithl). Muhammad ibn al-Hasan mengatakan, ‘’Kadarnya lima faraq’’. Sedang satu faraq itu sama dengan tiga puluh enam kali di Irak. Imam Ahmad mengatakan; ‘’nisabnya sepuluh faraq’’. Dari uraian di atas, tampak bahwa Umar ibn Khattab dalam mengambil ketetapan memungut zakat, tidak secara langsung berdasarkan Hadits Nabi. Namun sebagaimana diterangkan oleh Baltaji, bahwa metode ijtihad Umar mencakup berbagai metode yang juga dirumuskan ulama’ belakangan. Ketika nash al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan dasar hukumnya secara jelas, maka dalam pengambilan keputusan hukum berdasarkan hal di luar teks nash al-Qur’an dan Hadits. Dalam hal ini Umar menggunakan metode qiyas untuk menetapkan perkara terkait kewajiban zakat madu dan kadar nishab yang harus dibayarkan.42 Seperti yang diuraikan fuqaha di atas, yakni keberadaan madu yang memiliki banyak manfaat dan keuntungan, serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. 2. Analisis Kebijakan Publik Pemungutan zakat madu oleh Khalifah Umar juga bisa dilihat dari sisi kebijakan publik. Mengingat kebijakan Umar ini terkait dengan pamasukan kas Negara. Jamak diketahui bahwa pada masa kekhalifahannya, Umar membentuk bait al-maal, dimana salah satu sumber pemasukannya berasal dari zakat. Bait al-maal memiliki peran signifikan pada masa Umar ini. Keberadaannya dimanfaatkan betul oleh Umar dan jajaran pengelolanya untuk mendistribusikan kas Negara bagi kebutuhan rakyat.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _467
Terkait dengan pemungutan zakat madu ini, bisa dilihat bagaimana alasan dan upaya dalam menjalankannya. Umar mengatakan bila pemilik ternak lebah madu menginginkan agar daerah ternak madunya dilindungi negara, maka wajib membayar zakat sebesar 10%. Bila pemilik ternak lebah madu tidak mau, maka tidak ada kewajiban bagi Negara untuk melindunginya, bahkan Umar menyebut lahan ternak lebah madu itu sama halnya dengan lahan milik umum yang siapapun boleh mengambil manfaatnya. Kita bisa melihat Umar dalam hal ini seperti menjalankan prinsip penunaian pajak sebagai salah satu instrumen kebijakan sosial.43 Dari prinsip yang ada, bila dikontekskan dengan apa yang dilakukan Umar, Umar ingin agar sumber-sumber strategis penerimaan Negara benarbenar diperoleh dan pihak yang membayarnya mendapat keuntungan pengelolaan lahan. Dengan bahasa lain, hak dan kewajiban antara Negara dan penerima manfaat fasilitas Negara juga terjalin di sini. Seperti yang dikatakan Umar, kekhalifahan beserta jajarannya yang mengelola fasilitas Negara menjalankan kewajibannya untuk melindungi lahan lebah madu karena pengelola lahan lebah madu juga telah menunaikan kewajibannya untuk membayar zakat kepada khalifah. Pihak pemilik lahan maupun kekhalifahan Umar sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat yang merupakan haknya masing-masing. Dan andai pemilik lahan lebah madu enggan menunaikan zakat ke bait al-maal, Umar juga sudah mengemukakan, tidak akan memberikan fasilitas Negara berupa perlindungan atau pengamanan. Dan itu dianggap lahan bebas yang bisa dimanfaatkan siapapun. Artinya, fasilitas Negara tidak boleh diberikan diberikan kepada mereka yang enggan atau tidak mau membayar zakat atau pajak kepada negaranya.
468_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
E. Kesimpulan Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim atas harta yang dimiliki dengan memenuhi syarat tertentu. Adakalanya jenis zakat yang harus dibayarkan tidak secara tekstual dalam nash al-Qur’an maupun hadits, namun ia memiliki sifat dan ciri yang sangat mirip dengan harta yang tertuang dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Dalam menetapkan madu, meski tidak ada ada riwayat shahih dari nabi saw. tentang zakat madu, umar memungut zakat madu dari penduduk dengan alasan dan syarat tertentu. Yaitu keberadaan madu yang memberi manfaat lebih bagi pemiliknya dan bisa disimpan dalam jangka waktu tertentu. Pertimbangan ini pula yang dipakai fuqaha yang sepakat dengan adanya kewajiban zakat madu. Pemungutan zakat madu oleh Umar, dalam konteks kebijakan publik (pemerintahan) disebabkan permintaan pemilik lahan lebah madu agar lahannya dilindungi pemerintahan Umar. Bila pemilik lahan menginginkan hal itu, maka ia harus membayar zakat atas hasil ternak lebah madu, karena zakat pada masa itu meruapakan salah satu sumber utama bait al-maal sebagai lembaga perekonomian Negara.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _469
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010 Ashraf, Muhammad, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khatab, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990 Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005 Bek, Hudhori, Itmam al-Wafa, Beirut : Maktabah Tsaqafiyah, 1982 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974 Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang: Walisongo Press, 2008 Haekal, Muhammad Husain, Umar bin Khattab; diterjemahkan oleh Ali Audah, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2002 al-Halawi, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab: Ensikopledia Berbagai Persoalan Fiqh, Surabaya : Risalah Gusti, 1999 http://didikturmudi.wordpress.com/2011/10/10/biografi-umar-bin-khattab-ra/ Diakses pada tanggal 15 Nopember 2012 pukul 08.54WIB. http://lifestyle.okezone.com//menguak-khasiat-madu, di-download pada 30 Januari 2013. http://pemudabugis.multiply.com/journal/item/214 Diakses padatanggal 21 Nopember 2012 pukul 00.56 WIB http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/umar-bin-khattab.html pada tanggal 15 Nopember 2012 pukul 20.31 WIB.
Diakses
al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zadul Ma’ad , Beirut: Maktabah al-Manar, 1986 Kamil, Muhammad Abdushshamad, Al-I’jazu Al-Ilmu Fi Al-Islamu Al-
470_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Qur’anul Karim, Alimin, Gha’neim Dkk, Terj. Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003 Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Kholaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1999 Rowasy, Muhammad, Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khaththab, Beirut: Maktabah al-Falah, 1981 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _471
Endnotes
1.
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005, h. 453
2. ibid., h. 457-458 3. ibid., h. 459 4. ibid. 5. ibid. 6. ibid, h. 466. Ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu zaman tertentu tentang suatu peristiwa. Lih. Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1999. h. 48
7. Merupakan ibu kota pemerintahan pada masa Umar. 8. Ibid., h. 467 9. Qiyas adalah menyamakan peristiwa yang tidak ada hukumnya kepada peristiwa yang sudah ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat. Rukun qiyas meliputi; ashl, furu’, hukum ashl, dan illat hukum. Lih. Abdul Wahab Kholaf, ibid, h. 58
10. ibid, h. 469-470 11. ibid., h. 480 12. ibid, 482
472_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
13. ibid., h. 482-483 14. Dalam hazanah ilmu ushul dikenal dengan maslahah mursalah, menurut Abdul Wahab Kholaf, maslahah mursalah adalah maslahah dimana syari’ tidak mensyari’atkan hokum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Menurut Muhammad Abu Zahrah, maslahah mursalah atau istislah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hokum islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakuinya atau tidak. Sementara Muhammad Yusuf Musa mendefinisikan maslahah mursalah sebagai segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syari’ dengan mengakuinya atau menolaknya, akan tetapi mengakuinya dengan menarik manfaat dan menolak kerusakan. Lih. Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang: Walisongo Press, 2008, h. 16
15. Ibid, h. 485. Contoh kasus ini adalah putusannya terhadap kasus qishash kepada jamaah, hanya karena mereka membunuh satu orang.
16. Ibid., h. 487 17. ibid 18. Hudhori Bek, Itmam al-Wafa, Beirut : Maktabah Tsaqafiyah, 1982, h. 112 19. Muhammad Rowasy, Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khaththab, Beirut: Maktabah al-Falah, 1981, h. 351
20. Muhammad Ashraf, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khatab, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990, h. 85
21. ibid, 87
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _473
22. ibid, h. 87-88 23. Bahwa zakat itu diwajibkan atas harta yang dimiliki oleh seorang muslim. Maka sekiranya harta yang dimiliki seorang muslim tersebut telah mencukupi, wajib membaar zakat, baik ia sudah baligh atau tidak, berakal atau gila. Berdasarkan hal itu, maka Umar mempertegas mengenai kewajiban zakat seorang yatim yang masih kecil. Oleh karena itu Umar memerintahkan kepada para wali anak yatim untuk mengelola (membanyakkan) harta anak yatim sehingga tidak wajib zakat. Lalu berkata, “Dagangkanlah harta anak yatim, supaya tidak termakan zakat.” Dan Umar melakukan hal itu, sehingga harta anak yatim bertambah dan ditolak zakatnya.”
24. Rowasy, ibid, h. 353-355 25. Diriwayatkan Abdurrazaq dan Ibnu Syaibah, dari Saad al-A’raj, bahwa Umar bertemu dengannya. Kemudian Umar bertanya, “Hendak pergi kemana?” Sa’ad menjawab, “Aku akan ikut berperang.” Umar kemudian bertanya, “Kembalilah kepada temanmu –temannya bernama Ya’la bin Umayyahyang sesungguhnya, bekerja dengan benar itu adalah jihad yang baik. Apabila engkau menentukan zakat binatang ternak, perhatikan yang baik, jangan melupakan pemiliknya, lalu bagilah menjadi sepertiga, kemudian biarkan pemiliknya memilih sepertiga, kemudian anda memilih dari dua pertiga yang tersisa.” Dan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah disebutkan, “Apabila pemilik kambing menunjukkan kambingnya kepadamu, maka pisahkan jadi dua bagian, kemudian silakan anda memilih separo dari sisa yang telah dipilih pemiliknya.” (Rowas, ibid, h. 351). Diriwayatkan Imam Malik dan Syafi’i, dari Aisyah ra, ia berkata, “Ada seorang lewat di depan Umar dengan membawa sekawanan kambing hasil zakat. Dalam sekawanan kambing itu, Umar melihat seekor kambing yang kantong susunya kelihatan besar karena penuh dengan susu. Maka Umar bertanya, ‘Kambing apa ini?’ mereka menjawab, ‘Kambing hasil zakat.’ Umar
474_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 bertanya lagi, ‘Apakah pemiliknya memberikan kambing ini denga penuh ikhlas, tidak ada paksaan? Janganlah kalian membuat fitnah di kalangan umat manusia, jangan mengambil hewan unggulan umat Islam, karena itu akan bisa menyulitkan mereka dalam mencari nafkah!” (Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab: Ensikopledia Berbagai Persoalan Fiqh, Surabaya : Risalah Gusti, 1999, 1999: 108, Rowas, ibid, h. 357-358). Akan tetapi bila pemiliknya menyerahkan sebagian harta yang bernilai tinggi itu dengan kemauan sendiri, maka harus diterima. Harta yang berkualitas tinggi, sengaja tidak diambil sebagai zakat adalah untuk menjaga kemaslahatan pemiliknya. Demikian pula dengan harta yang berkualitas rendah, tidak boleh dikeluarkan untuk zakat dengan tujuan menjaga kemaslahatan orang miskin (Abdul Aziz, 1999: 108).
26. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 98 27. Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab; diterjemahkan oleh Ali Audah, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, h. 7
28. Ibid, h. 12 29. http://pemudabugis.multiply.com/journal/item/214 Diakses padatanggal 21 Nopember 2012 pukul 00.56 WIB
30. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, h. 37
31. http://didikturmudi.wordpress.com/2011/10/10/biografi-umar-bin-khattabra/ Diakses pada tanggal 15 Nopember 2012 pukul 08.54WIB.
32. http://www.biografitokohdunia.com/2011/03/umar-bin-khattab.html Diakses pada tanggal 15 Nopember 2012 pukul 20.31 WIB.
Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA _475
33. Muhammad Rowasy , Mausu’ah Fiqh Umar ibn al-Khattab, ibid, h. 362 34. Muhammad bin Al-Hasan mengatakan, ‘’kadarnya lima faraq’’. Sedang satu faraq itu sama dengan tiga puluh enam kali di Irak. Imam Ahmad mengatakan; ‘’nisabnya sepuluh faraq’’. Kemudian kawan-kawannya berbeda pendapat tentang faraq dalam tiga versi: Pertama; Ukurannya enam puluh kati. Kedua; Tiga puluh enam kati. Ketiga; Enam belas kati. Perkatan yang terakhir ini adalah perkataan zhahir dari Imam Ahmad.a zakat mustaghalat (harta yang dimiliki untuk diambil untuk mendapatkan pemasukan).
35. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 70
36. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974, h. 275.
37. Muhammad Kamil Abdushshamad, Al-I’jazu Al-Ilmu Fi Al-Islamu AlQur’anul Karim, Alimin, Gha’neim Dkk, Terj. Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, h. 237.
38. Dikutip dari, http://lifestyle.okezone.com//menguak-khasiat-madu, di-download pada 30 Januari 2013.
39. lihat Sunan Ibnu Majah, j.II, h.1142, hadist no.3452, bab Madu. 40. lih. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Zadul Ma’ad. h. 497 41. lih. Ibid. h. 499 42. Jumlah sepersepuluh zakat yang harus dikeluarkan itu sama dengan zakat tanaman, seperti padi yang pengairannya hanya bergantung pada hujan. Umar juga mempertimbangkan besaran manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari hasil ternak lebah madu.
476_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
43. Asas pemungutan pajak dari falsafah hukum, diantaranya yaitu : 1. Teori Asuransi : negara sebagai suatu perusahaan asuransi yang menjamin bagi penduduk. 2. Teori Kepentingan : penduduk negara mempunyai kepentingan dari pajak yang dipungut oleh pemerintahnya. 3. Teori Bakti : penduduk yang berbakti dan bagian dari suatu negara sehingga harus membayar pajak. 4. Teori Pembangunan : pajak yang dipungut untuk pembangunan.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _477
Paying Zakat Muzakki Intention with Theory of Planned Behavior Modification Approach (Study of a religious ministry officials) Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi (Studi Terhadap Pegawai Kementerian Agama Pusat)
Hastomo Aji Program Pascasarjana Universitas Indonesia email:
[email protected]
Abstract: The research is aimed to find out the understanding of the officials at the Ministry of Religious Affairs on zakat mal and determining how far and how much the influence of attitude, subjective norm, behavioral control and marketing strategy affect the intention of paying zakat. The method applied are cross tabulation and double regressions. The result of the research shows that among 180 respondents who were aware of the obligation of paying zakat mal, 42,8% of them paid zakat directly to the mustahik. 20% paid zakat at mosques, 31,7% paid zakat to zakat foundations, and the rest, which was 5.6% paid zakat through other ways. Besides that, the research result also signifies that the variables of attitude and behavioral control have a significant influence toward the intention of muzaki in paying zakat mal partially, while the variable of subjective norm and marketing strategies do not have a partially significant effect. The variable of paying zakat intention can be explained by the four variables: attitude, subjective norms, behavioral control, and
26% of marketing strategy.
478_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Abstraksi: Riset ini mempunyai tujuan untuk mengetahui pemahaman pegawai Kementerian Agama tentang zakat mal. Selain itu juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar pengaruh variabel sikap, norma subjektif, kendali prilaku dan strategi marketing terhadap intensi membayar zakat. Metode yang digunakan yaitu tabulasi silang dan regresi berganda. Hasil riset menyatakan 180 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal 42,8 % diantaranya membayar zakat secara langsung kepada mustahik, Kemudian 20 % membayar zakat di masjid, 31,7 % membayar zakat pada lembaga zakat, dan sisanya 5,6 % membayar pada lainnya. Selain itu hasil riset juga menyatakan Variabel sikap dan kendali prilaku berpengaruh signifikan terhadap intensi muzakki dalam membayar zakat mal secara parsial, sedangkan variabel norma subjektif dan strategi marketing tidak berpengaruh secara signifikan secara parsial dan variable intensi membayar zakat mal mampu dijelaskan oleh ke empat variabel yaitu sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi marketing sebesar 26%. Keywords: Zakat, Ministry of Religious Affairs, Cross Tabulation, Multiple Regressions
A. Pendahuluan Zakat telah dikenal dalam agama samawi yang dibawa oleh para rasul terdahulu. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Anbiyaa’: 73: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kAmilah mereka selalu menyembah.” Hanya, pada saat itu zakat tanpa ditentukan kadarnya, juga tanpa diterangkan dengan jelas harta-harta mana yang harus dizakati. Demikian juga soal batasan jumlah nishab, terserah inisiatif dan keridlaan para muzakki (pembayar zakat). Mereka yang menerima zakatpun hanya
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _479
dua golongan: fakir dan miskin. Kondisi suka rela tersebut berlangsung hingga tahun kedua Hijriah atau bertepatan dengan tahun 623 Masehi. Ayat-ayat mengenai zakat sudah diwahyukan kepada Nabi SAW semenjak berada Makkah (QS 30:29, 51:19) namun zakat baru diwajibkan bagi umat Islam pada tahun kedua setelah hijrah di Madinah dengan turunnya ayat al-Quran (QS 9:60 dan 103) yang berisi rincian mengenai golongan yang berhak (mustahik) atas zakat. Allah SWT secara tegas memberi perintah kepada Nabi SAW untuk mengambil shadaqah (yang disini berarti zakat) dari harta mereka yang mampu untuk menyucikan harta tersebut. Kalimat “ambillah” disini mengacu kepada kekuatan yang sanggup melakukan yakni negara atau pemerintah. Indonesia dengan penduduk muslim sebesar 204,8 Juta1 jiwa atau sebesar 88,5% (2010) dari total jumlah penduduk yang ada tentu menjadi sumber potensi yang sangat besar dalam penerimaan zakat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi zakat Indonesia besar, hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation (IMZ, 2009) mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun dalam bentuk barang Rp 5,1 triliun dan uang Rp 14,2 triliun. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Survei yang dilakukan UIN Syarif Hidayatullah mencakup 1.500 responden di 11 provinsi, 200 masjid, 50 lembaga ZIS ( Zakat Infaq Shadaqah) pemerintah, dan 50 lembaga ZIS swasta. Selain itu, survei dengan metode sampling probability dan wawancara ditambah dengan survei opini publik dan opini organisasi. Ada temuan menarik dari hasil penelitian tersebut yakni 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat mal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat mal terbesar (70 persen) adalah masjidmasjid, BAZ pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta LAZ swasta hanya 4 persen zakat mal. Sementara itu Public Interest ResearchandAdvocacy Centre (PIRAC)
480_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
mengungkapkan bahwa potensi zakat di Indonesia tahun 2007 Rp 9,09 Trilyun dan terakhir berdasarkan hasil riset Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Fakultas Ekonomi Manajemen IPB pada awal tahun 2011 mencoba mengeksplorasi potensi zakat Nasional dengan menggunakan data yang diolah dari SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) Badan Pusat Statistik (BPS) serta data instansi lain yang relevan seperti Bank Indonesia. Hasil Riset diperoleh potensi zakat sebagai berikut : Tabel 1.1 Potensi Zakat Nasional Keterangan
Potensi Zakat
Potensi Zakat Rumah Tangga Potensi Zakat Industri Swasta Potensi Zakat BUMN Potensi Zakat Tabungan Potensi Zakat Nasional
Rp 82,7 Triliun Rp 114,89 Triliun Rp 2,4 Triliun Rp 17 Triliun Rp 217 Triliun
Persentase terhadap PDB 1,30% 1,80% 0,04 % 0,27 % 3,4 %
Sumber : Riset BAZNAS dan FEM IPB (2011) Pada sisi pencapaian pada tahun 2010, dana zakat yang berhasil dihimpun BAZNAS baru sebesar Rp 1,5 Triliun dan data tahun 2011 dana zakat yang dihimpun sebesar 1,8 Triliun. Pencapaian ini tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi zakat berdasarkan hasil riset tersebut. Rendahnya pencapaian zakat ini antara lain disebabkan dua hal utama, pertama, masih rendahnya kesadaran Muzakki untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga amil zakat dan kedua masih belum optimalnya transparansi dan kredibilitas lembaga pengelola zakat sehingga belum terbangun kepercayaan Muzakki pada lembaga zakat. Hal ini didukung pula berdasarkan survey yang dilakukan Dompet Dhuafa Republika tahun 2009 tentang persepsi publik terkait zakat mal dan pengelolaan zakat untuk Wilayah Jabodetabek diperoleh hasil Muzakki yang membayarkan zakatnya secara langsung ke Mustahik (33,2%), Masjid (18,3%), Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) (2,1%), Kyai/Ulama (2,1%) dan Yayasan Sosial (2,1)% dan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _481
sisanya tidak menjawab. Survey yang sama dilakukan dengan Responden Dosen Perguruan Tinggi Islam Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2007 (Uzaifah, 2007) diperoleh hasil Muzakki yang membayarkan zakatnya secara langsung ke mustahik (46%), Masjid (11%), BAZ dan LAZ (39%), dan Yayasan Sosial (4)% . Teori Planned Behaviour atau disingkat dengan TPB menyatakan bahwa intensi seseorang untuk berperilaku dipengaruh sikap (attitude), Norma subjektif (Subjective Norm) dan Kendali perilaku (Perceived Behaviour Control). Metode banyak digunakan untuk kajian berbagai bidang termasuk juga kajian pada bidang zakat. Berdasarkan pada beberapa riset tersebut maka dibutuhkan rekontruksi paradigma zakat dari zakat personal jangka pendek yang bersifat karikatif menjadi zakat institusional jangka panjang yang lebih bersifat pemberdayaan. Hal ini penting karena zakat berdimensi sosial, bukan privat, dimana manfaat zakat ditujukan untuk maslahah social (public goods). Peranan pemerintah, MUI dan ormas-ormas Islam sangat dibutuhkan disini. Peluang kedua datang dari pengelolaan dana zakat secara kolektif dan professional. Hasil dan manfaat zakat akan optimal hanya ketika zakat dikelola secara kolektif dan professional. Melalui pengelolaan yang tepat, zakat semakin bermakna dalam upaya memberdayakan kaum dhuafa hingga mampu mengubah dirinya menjadi muzakki (pemberi zakat) dimasa datang. Terkait dengan hal ini sebenarnya telah terjadi perkembangan yang menggembirakan. Pengelolaan zakat secara kolektif mendapat dukungan regulasi yang kuat sejak dikeluarkannya UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Terdapat rasionalisasi yang kuat mengapa Islam lebih mendorong pengelolaan zakat secara kolektif melalui amil zakat, bukan pengelolaan secara individual (Ramli, 2010) Pertama, Amil berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara para pembayar zakat (muzakki) dan masyarakat penerima zakat (mustahik). Hal ini penting mengingat Islam sangat
482_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
menganjurkan menjaga martabat dan harga diri para mustahik selain tentunya mendorong para muzakki untuk lebih ikhlas dalam beramal. Rasulullah SAW bersabda: “Penduduk surga ada tiga : Penguasa adil yang memberi derma dengan tepat, penyayang berhati lembut terhadap kerabatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari meminta-minta kepada orang lain” (HR. Muslim). Kedua, Amil membantu secara proaktif mengingatkan muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat-nya sekaligus membantu menghitung berapa jumlah kewajiban zakat para muzakki. Ketiga, Amil akan bisa lebih dalam, cermat, lengkap dan teliti dalam mengidentisifikasi mustahik agar penyaluran dan pendayagunaan zakat direalisasikan secara baik dan efektif. Keempat, dibutuhkan amil agar muzakki tak merasa masih memiliki zakat. Kelima, muzakki memang bukan amil. Muzakki yang menempatkan dirinya sebagai amil cenderung menempatkan mustahik sebagai obyek sehingga mustahik yang kemudian ‘dipaksa’ mengantri pembagian zakat, bukan muzakki yang mendatangi para mustahik. Kelemahan dari muzakki yang menyalurkan sendiri zakatnya adalah bahwa tidak semua asnaf bisa dibantu, padahal Allah SWT menetapkan 8 golongan, maka tetap 8 golongan bukan menjadi 2 golongan (fakir dan miskin saja). Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai regulator dan pengawas dari organisasi pengelola Zakat (OPZ) memiliki peran yang sangat penting untuk memajukan penerimaan zakat Indonesia. Kementrian Agama pusat memiliki 10 satuan kerja, dari 10 satuan kerja yang mayoritas pegawainya beragama Islam semua terdapat pada 6 unit kerja yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Bimas Islam, Direktorat Jenderal Pengelolaan Haji dan Umroh, Inspektorat Jenderal, Badan Litbang dan Diklat dan Sekretariat Jenderal dengan jumlah pegawai total sebanyak 2.544 pegawai.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _483
Tabel 1.2 Statistik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama Pusat No
Unit Kerja
Jumlah
1
Sekretariat Jenderal
774
2
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
298
3
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
455
4
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
267
5
Inspektorat Jenderal
415
6
Badan Litbang Serta Pendidikan dan Pelatihan
335
TOTAL
2.544
A. Landasan Teori: Konsep Prilaku Konsumen Perpektif Umum dan Islam 1. Konsep Prilaku Konsumen Perpektif Umum Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Bentham yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk melakukannya. Oleh pengikutnya, John Stuart Mill dalam buku On Liberty yang terbit pada 1859, paham ini dipertajam dengan mengungkapkan konsep ‘freedom of action’ sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia. Menurut Mill, campur tangan negara di dalam masyarakat manapun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia merupakan campur tangan terhadap
484_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu harus dihentikan (Nasution et all, 2006) Hawkins (1998) mengemukakan bahwa perilaku konsumen (consumer behavior) adalah studi terhadap individu, kelompok atau organisasi dan proses yang mereka gunakan untuk memilih, mengamankan, menggunakan dan menentukan produk, service, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan dampak proses tersebut pada konsumen atau masyarakat. Engel (1995) menyatakan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Menurut Loudon (1988) dan Schiffman (1994) perilaku konsumen merupakan kegiatan sejak dari mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghentikan pemakaian dari produk dan jasa yang diharapkan akan dapat memuaskan kebutuhan. Jadi perilaku konsumen bukan hanya dilihat dari apakah seseorang membeli atau tidak suatu produk, melainkan proses yang menyeluruh sejak dari mencari hingga menghentikan pemakaian suatu produk atau jasa. Dari berbagai definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa (1) Perilaku konsumen menyoroti perilaku baik individu maupun rumah tangga. (2) Inti dari perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan pembelian barang atau jasa (3) Tujuan mempelajari perilaku konsumen adalah untuk menyusun strategi pemasaran yang berhasil. Selanjutnya sikap adalah suatu proses kognitif, emosi, perceptual dan motivasi organisasi yang berlangsung lama dengan menghormati beberapa aspek lingkungan kita. Emosi adalah kekuatan, perasaan yang relatif tidak dapat dikontrol, yang mempengaruhi perilaku. Selanjutnya, ingatan adalah total akumulasi pengalaman pembelajaran sebelumnya, yang terdiri dari ingtan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Personality yaitu sebuah kecenderungan respon karakter individu yang berlaku pada situasi yang similar. Faktor eksternal yang mempengaruhi
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _485
perilaku pembelian konsumen terdiri dari kebudayaan, demografi, kelas sosial, subkultur, keluarga, referensi kelompok, aktivitas marketing, pelayanan, fasilitas, dan promosi. Kebudayaan bersifat sangat luas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah simbol dan fakta yang kompleks, yang diciptakan oleh manusia, diturunkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat yang ada. Sedangkan Hawkins (1998) menyatakan kebudayaan adalah kompleksitas yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, kebiasaan dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari kedua definisi di atas jelas bahwa kebudayaan itu berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan perilaku masyarakat. Sementara itu demografi adalah menggambarkan sebuah populasi suatu ukuran, distribusi dan struktur. Perilaku pembelian seseorang bisa dipengaruhi oleh umur, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan nya. Dengan demikian seorang pemasar dituntut untuk dapat mengkombinasikan keseluruhan variabel demografis untuk menentukan pasar sasaran dan mengembangkan strategi pemasaran untuk meraih target tertentu. Kotler (1997) mengemukakan bahwa kelas sosial yaitu suatu kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang dan para anggota dalam jenjang itu memiliki nilai, minat dan tingkah laku yang sama. Sedangkan Hawkins (1998) menyatakan bahwa kelas sosial adalah sebuah hierarkhi masyarakat menurut perbedaan yang relatif dan kelompok yang sama dengan menghormati sikap, nilai dan gaya hidup. Subkultur adalah sebuah segmen dari budaya yang lebih besar di mana pangsa anggota-anggotanya membedakan pola perilakunya. Kelompok etnis kebanyakan dikelompokkan sebagai subkultur, di
486_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
samping itu generasi, agama, dan daerah geografis dapat dijadikan dasat dari subkultur. Anggota keluarga dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku pembelian meskipun setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda. Definisi keluarga menurut Hawkins (1998) yaitu sebuah unit yang terdiri dari dua atau lebih orang yang saling berhubungan, satu yang memiliki atau menyewa tempat tinggal. Biasanya dalam melakukan pembelian, seringkali terjadi konflik di dalam keluarga yang diakibatkan oleh adanya perilaku yang berbeda oleh masing masing anggota keluarga dalam melakukan pembelian. Untuk itu seorang pemasar perlu mengetahui anggota keluarga yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, mengetahui motivasi dan ketertarikan konsumen. Faktor yang menyebabkan perilaku pembelian seseorang bisa juga dipengaruhi oleh referensi kelompok. Referensi kelompok adalah kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk kepribadian dan perilakunya. Sedangkan aktivitas marketing yaitu berbagai upaya yang dilakukan oleh pemasar untuk dapat menjual barang atau jasa. Upaya tersebut antara lain bisa berbentuk penetapan harga yang bersaing, penggunaan media promosi, memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan dan melengkapi fasilitas. Kotler (1997) mengemukakan bahwa pelayanan (service) merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud serta tidak menghasilkan kepemilikian sesuatu. Proses produksinya mungkin dan tidak mungkin juga dikaitkan dengan produk fisik. Sementara itu fasilitas merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan berlangsungnya kegiatan tertentu dari suatu perusahaan. Untuk perhotelan kelengkapan fasilitas dapat menjadi daya tarik konsumen/pelanggan dalam memilih jasa penginapan. Promosi juga berperan banyak dalam menentukan masa depan perusahaan.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _487
Dikenal banyak jenis promosi seperti periklanan, penjualan personal, hubungan masyarakat dan promosi penjualan di mana keempat jenis promosi tersebut sering disebut sebagai promotional mix. 2. Konsep Prilaku Konsumen Perpektif Islam Sebagai agama yang syamil, Islam telah memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan serta arahan-arahan positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan (Najib,2003) dalam hal ini : 1. Pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi.. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang dalam islam. 2. pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya… ”(QS. 17 : 29). Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi pondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
488_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Ada tiga nilai dasar yang menjadi pondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim (Huda, 2006) 1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption. 2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan. 3. Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat (QS: Al (2) : 165) sehingga Kedudukan harta merupakan anugrah Baqarah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk secara berlebihan). Harta merupakan alat (sehingga harus dijauhi untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265) .
(النظافة تدعو إىل اإلميان واإلميان مع: قال رسول اهلل صلي اهلل عليه و سلم عبداهلل بن مسعود:صاحبه يف اجلنة) الراوي
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _489
Menurut Manan (1970) , ada 5 prinsip konsumsi dalam islam : 1. Prinsip Keadilan, Syarat ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah: darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk memuja berhala atau tuhantuhan lain.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. 2 tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Pengampun lagi tidak Maka ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Maha Penyayang. (QS : Al-Baqarah/2: 173)
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya
bagi tubuh dan jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu معyang membahayakan moral dan اهللspiritual, واإلميانlangsung تدعو إىل اإلميان (النظافة: عليه و سلم صلي اهلل قال رسول karena sama dengan mempersekutukan Allah. Kelonggaran untuk :اويرال)اجلنةيفصاحبه melakukan perihal diatas diberikan مسعود bagi بنعبداهلل orang yang terpaksa dan tidak mempunyai jalan keluar selain itu, apabila dia tidak melakukan mati. memakan itu tetapi itu dia Dia akan boleh makanan akan hanya sekedarnya saja.
baik dan cocok untuk dimakan, 2. Prinsip Kebersihan, makanan harus tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
معاإلميان (النظافة تدعو إىل اإلميان و: قال رسول اهلل صلي اهلل عليه و سلم
عبداهلل بن مسعود:صاحبه يف اجلنة) الراوي
490_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Rasulullah SAW Bersabda: Kebersihan itu memanggil kepada keimanan dan keimanan bersama sahabatnya di dalam surga ( HR. Abdullah Bin Mas’ud) 3. Prinsip Kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan. Sederhana bukan berarti miskin, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
Makan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. mesjid[534], dan Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS : Al-A’raaf:31).3
(النظافة تدعو إىل اإلميان واإلميان مع: قال رسول اهلل صلي اهلل عليه و سلم
4. Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kitaمسعود memakan dan :meminum عبداهلل بن اجلنة) الراويmakanan صاحبه يف disediakan halal yang Tuhannya.
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[442] dan makanan (yang berasal) laut[443] bagi orang-orang dari اإلميان makanan تدعو النظافة yang (lezat : و اهلل قال مع وsebagai اإلميان إىل سلمbagimu, عليهdan اهللصلي رسول yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang عبداهلل :اجلنة) الراوي صاحبه يف buruan darat, selama kamu dalamمسعود ihram.بنdan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS : Al-Maidah : 96).4 5. Prinsip untuk moralitas, seorang muslim diajarkan menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepadanya Islam perpaduan setelah makan. Hal ini penting karena menghendaki nilai-nilai hidup material dan spiritual yag berbahagia.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _491
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim :07) Jadi preferensi seorang konsumen dalam Islam dibangun atas kebutuhan akan maslahah, baik maslahah yang diterima di dunia ataupun di akhirat. Intinya Maslahah adalah setiap keadaan yang membawa manusia pada derajat yang lebih tinggi sebagai makhluk yang sempurna. Maslahah di dunia dapat berbentuk manfaat fisik, biologis, psikis, dan material, atau disebut manfaat saja. Maslahah akhirat berupa janji kebaikan (pahala) yang akan diberikan di akhirat sebagai akibat perbuatan mengikuti ajaran Islam.
B. Metode Penelitian 1. Metode Untuk Pemecahan Masalah a. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan desain penelitian kuantitatif. Desain penelitian menggunakan suatu instrumen untuk melakukan eksplorasi dan mengidentifikasi variabel Sikap (attitude) , norma subjektif (Sujective Norm), kendali perilaku (Perceived behaviour Control dan strategi pemasaran (Marketing strategy) dalam mempengaruhi intensi membayar zakat .Desain penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel Sikap (attitude) , norma subjektif (Sujective Norm), kendali perilaku (Perceived behaviour Control dan strategi pemasaran (Marketing strategy) dapat mempengaruhi intensi membayar zakat. b. Variabel Penelitian Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Sikap (attitude) , norma subjektif (Sujective Norm), kendali perilaku (Perceived behaviour Control dan strategi pemasaran (Marketing strategy)yang diperoleh melalui konstruk pertanyaan pada kuesioner
492_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
2) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah intensi membayar c. Definisi Operasional Penelitian Adapun definisi operasional untuk variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Sikap (Attitude) merupakan suatu faktor predisposisi atau faktor yang ada dalam diri seseorang muzakki yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara yang konsisten, yaitu suka atau tidak suka pada penilaian terkait pembayaran zakat 2) Norma subjective (Subjective Norm) merupakan suatu fungsi keyakinan individu Muzakki dalam hal menyetujui atau tidak menyetujui terkait pembayaran zakat. 3) Kendali Perilaku (Perceived Behavioral Control) merupakan persepsi seorang muzakki tentang kemudahan atau kesulitan untuk membayar zakat 4) Strategi pemasaran (Marketing strategy) merupakan upaya pemasaran yang dilakukan organisasi pengelola zakat yang akan mempengaruhi muzakki dalam membayar zakat 5) Intensi merupakan kekuatan utama yang menjadi sumber motivasi seseorang muzakki untuk membayar zakat . Semakin kuat intensi untuk membayar zakat maka semakin besar kemungkinannya untuk membayar zakat. d. Instrumen Penelitian Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah instrumen kuesioner untuk mengetahui Sikap (attitude), norma subjektif (Sujective Norm), kendali perilaku (Perceived behaviour Control dan strategi pemasaran (Marketing strategy)serta intensi muzakki dalam membayar zakat Skala yang dipakai dalam penyusunan kuesioner adalah skala ordinal atau sering disebut skala Likert. Dengan skala Likert ini memungkinkan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _493
responden untuk mengekspresikan intensitas perasaan mereka.Jawaban setiap pertanyaan memiliki angka 1 sampai 5 pada tiap kategori. Jawaban setiap pertanyaan mempunyai gradasi dari sangat setuju, setuju, tidak berkomentar, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Angka pilihan respons yang digunakan hanya 1 sampai 5 saja, dengan alasan jika respons terlalu sedikit, maka hasilnya terlalu kasar. Sebaliknya, jika pilihan respons terlalu banyak, responden dikhawatirkan akan sulit membedakan antara pilihan respons yang satu dengan pilihan respons yang lain. Cara menjawab pertanyaan kuesioner ini dengan memberikan tanda chek list (√) pada kolom yang tersedia. e. Rancangan Kuesioner Tahapan dalam menyusun kuesioner dapat dikelompokkan atas 1) Tahap Pertama
Tahap pertama rancangan kuesioner ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan atau data-data yang berkaitan dengan penelitian untuk merumuskan pertanyaan. Langkahlangkah yang dilakukan untuk pengumpulan data yaitu: a) Mencari data-data sekunder berkaitan dengan tema penelitian, baik riset, jurnal, buku-buku literatur dan lainlain. b) Mencari data-data penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya. c) Berkonsultasi dengan orang-orang ahli dibidang tema penelitian ini.
2) Tahap Kedua Sejumlah pertanyaan kuesioner mengacu pada pertanyaan kuesioner penelitian sebelumnya. Pasca penyusunan kuesioner selanjutnya dilakukan pengujian untuk mendapatkan keakuratan dan kehandalan faktor dengan cara menyebarkan kuesioner itu
494_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
kepada 30 responden. Hasilnya di uji dengan reliabilitas dan validitas. Faktor yang hasil ujinya negatif dikeluarkan. Setelah pertanyaan kuesioner itu diperbaiki, kemudian dilakukan penyebaran kuesioner kepada 180 responden. f. Uji Instrumen Untuk menguji apakah kuesioner yang digunakan mempunyai kekuatan validitas dan reliabilitas dilakukan pengujian dengan menggunakan program SPSS. Validitas (Simamora, 2002) adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap valid jika mampu mengukur apa yang diinginkan, dengan kata lain mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti. Ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip validitas yaitu unsur ketepatan dan unsur ketelitian. Ketepatan adalah seberapa jauh alat pengukur dapat mengungkapkan dengan jitu gejala yang hendak diukur, sedangkan ketelitian adalah seberapa jauh alat pengukur dapat menunjukan dengan sebenarnya status dan keadaan gejala atau bagian yang akan diukur. Untuk mendapatkan koefisien validitas dilakukan dengan mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total dari masing-masing instrumen. Rumus yang digunakan adalah dengan teknik korelasi Product Moment Pearson (Sugiyono, 2004). Reliabilitas (Simamora, 2002) adalah tingkat keandalan kuesioner. Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang-ulang kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliable. Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterhandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi dan sebagainya namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (konsisten). Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisien reliabilitasnya maka uji coba tersebut semakin reliabel. Sebaliknya
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _495
semakin kecil korelasi uji coba tersebut, semakin rendah pula nilai reliabilitasnya, sesungguhnya tes dituntut untuk memiliki koefisien reliabilitas setinggi mungkin. Metode uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan Alpha Cronbach (Simamora, 2002). g. Metode Analisis Data Sesuai tujuan penelitian, maka analisis data yang akan digunakan yaitu metode analisis multiregresi (multiple regression analysis). Dengan metode ini dapat dilihat pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat pada penelitian. Variabel bebasnya adalah karakteristik individu berupa tingkat pendidikan, umur, jenis pekerjaan, dan pendapatan; sedangkan variabel terikatnya adalah pemahaman. Metode persamaannya, sebagai berikut : Y = a + b 1 x1 + b 2 x2 + b 3 x3 + b 4 x4 + e Notasi : a b 1 b 2 b 3 Y x1 x2 x3 x4 e
: konstanta : koefisien regresi : Intensi membayar zakat : Attitude (sikap) : Subjective Norm (Norma subjective) : Perceived Behaviour control (Kendali perilaku) : Marketing strategy : variabel residual
Teknik untuk analisis ini dilakukan dengan bantuan computer melalui program SPSS versi 17.0. pengertian terhadap hasil-hasil analisis adalah berdasarkan print out perhitungan tersebut, setelah itu dilakukan pengujian sebagai berikut. 1. Uji Hipotesis Parsial, uji hipotesis dengan uji t pada tingkat signifikan 0,05 untuk masing-masing variabel bebas dengan dua sisi (two tails). Jadi masing-masing 0,025. Pengujian dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai thitung terhadap ttabel. Adapun kriteria pengujian yang digunakan yaitu jika thitung > ttabel maka H0 ditolak dan
496_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
jika thitung< ttabel maka H0 diterima. 2. Uji Hipotesis Simultan, uji hipotesis simultan dengan uji F pada tingkat signifikan 0,05 untuk semua variabel bebas secara bersamasama. Pengujian dilakukan dengan membandingkan besarnya Fhitung. Adapun kreteria pengujian yang digunakan yaitu jika Fhitung> Ftabel maka H0 ditolak dan jika Fhitung< Ftabel maka H0 diterima.
3. Koefisien Determinasi (R2), koefisien determinasi dimaksudkan sebagain dari keragaman total variabel terikat (Y) yang dapat diterangkan atau diperhitungkan oleh keragaman variabel bebas (x). Koefisien determinasi ini adalah suatu ukuran yang mempunyai arti lebih pasti dan di hitung dengan maksud mengkuadratkan koefisien korelasi. 4. Uji Autokorelasi, uji autokorelasi berarti terdapatnya korelasi anggota populasi atau data pengamatan yang diurutkan berdasarkan waktu, sehingga munculnya suatu datum sebelumnya mempengaruhi datum berikutnya. Autokorelasi muncul pada regresi yang menggunkan data berkala. Masalah autokorelasi dalam persamaan regresi linier berganda dapat dideteksi dengan menggunakan metode DurbinWatson (DW). Metode ini merupakan suatu teknik hitung yang paling umum dipakai. 5. Uji Multikolinieritas, uji multikolinieritas dipergunakan untuk menunjukkan kuat lemahnya hubungan yang terjadi anatara variabel bebas. Pendeteksian terhadap gejala multi kolinieritas dapat ditemui pada koefisien korelasi. Koefisien korelasi anatar vaeiabel bebas, untuk daerah positif yang lebih besar dari 0,50 atau untuk daerah negative lebih kecil -0,05 dinilai hubungan antara variabel tersebut relative kuat, berarti mengandung multikolinieritas. Bila daerah positif nilai koefisien korelasi lebih kecil dari 0,05 atau daerah negatif lebih besar dari 0.05 maka hubungan antara variabel tersebut lemah, berarti tidak mengandung multikolineritas.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _497
2. Metode Pengumpulan Data a. Data yang Digunakan Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari obyek penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner dibagikan kepada responden yang berisikan sejumlah pertanyaan dan jawaban. Responden diminta untuk memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan dirinya. Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari obyek penelitian. Data sekunder meliputi data penelitian yang telah dipublikasikan yang berkaitan dengan masalah, berbagai literatur yang berkaitan dengan topik penelitian seperti majalah, koran, internet. a. Penentuan Sampel Penelitian Menurut Tabachink dan Fidell 1998 (dalam Ferdinand, 2005) ukuran sampel yang dibutuhkan adalah antara 10-25 kali jumlah variabel independen. Model dalam penelitian ini terdiri dari 4 variabel independen maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah antara 50-125 sampel. Berpedoman pada Hair dkk 1995 (dalam Ferdinand, 2005) maka sampel yang disarankan adalah berkisar 100-200. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 180 responden, jumlah ini telah memenuhi ukuran sampel yang ditentukan. Responden penelitian adalah muzakki pada lingkungan Kementrian Agama Pusat yang meliputi 6 unit kerja yaitu Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Direktorat Jendral Bimas Islam, Direktorat Jendral Pengelolaan Haji dan Umroh, Inspektorat Jendral, Badan Litbang dan Diklat dan Sekretariat Jendral. Teknik sampling yang akan digunakan adalah non probability sampling, yaitu dengan menggunakan purposive sampling (sampling bertujuan). Teknik ini dipilih karena responden yang diteliti merupakan responden yang sesuai dengan tujuan penelitian (Kerlinger, 2002).
498_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
3. Tahap Penyelesaian Masalah Adapun tahapan dalam proses pengelolaan data penelitian ini dilakukan sebagai berikut: a. Tahapan awal memilih instrumen penelitian yaitu survei dalam bentuk kuesioner. b. Merumuskan kuesioner berdasarkan kategori hipotesis yang telah ditetapkan. Tentunya dengan merujuk kepada penelitianpenilitian sebelumnya. c. Menetapkan sampel. Adapun metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling, yaitu dengan menggunakan sampling purposive (bertujuan). d. Selanjutnya dilakukan pengujian untuk mendapatkan keakuratan dan kehandalan faktor dengan cara menyebarkan kuesioner itu kepada 30 sampel. Hasilnya diuji dengan reliabilitas dan validitas. Faktor yang hasil ujinya negatif dikeluarkan. e. Setelah kuesioner di uji selanjutnya menyebarkan kuesioner kepada 150 sampel. f. Selanjutnya dianalisis menggunakan analisis regresi berganda. g. Setelah data diproses sesuai teknik yang ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah interprestasi dan dianalisis output tersebut. Interprestasi output ditambah dengan data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. h. Langkah selanjutnya adalah menjawab hipotesis penelitian dan apa yang menjadi tujuan dilakukan penelitian ini, yaitu untuk menganalisis pengaruh variabel attitude, Sujective Norm, Perceived Control dan Marketing strategy dalam mempengaruhi intensi membayar zakat i. Langkah terakhir adalah mengambil kesimpulan penelitian dan saran-saran yang bermanfaat bagi perkembangan zakat.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _499
C. Analisis Dan Pembahasan 1. Pengantar Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan terhadap dua pertanyaan yang diajukan pada Bab I, langkah awal tentunya dilakukan uji validitas dan realibitas dan setelah itu terpenuhi maka dilakukan analisis data responden serta pemahaman responden tentang zakat. Kemudian dilakukan analisis pengujian hipotesis dengan terlebih dahulu melakukan uji multikolinearitas, heterokedastistas dan autokorelasi dan setelah ini terpenuhi baru dilakukan uji hipotesis secara simultan maupun parsial. 2. Uji validitas dan Realibilitas Pengujian validitas instrumen data (skala) masing-masing variabel penelitian dengan kriteria pengujian r kritis sebesar 0,30. Sebagaimana pendapat Sugiyono, bahwa apabila harga korelasi di atas 0,3 maka dapat disimpulkan butir instrumen valid, sedangkan bila harga koefisien korelasi di bawah 0,3 maka dapat disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid (gugur) sehingga harus diperbaiki atau dibuang . Untuk pengujian reliabilitas instrumen ditunjukan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisien reliabilitasnya maka uji coba tersebut semakin reliabel. Sebaliknya semakin kecil korelasi uji coba tersebut, semakin rendah pula nilai reliabilitasnya, sesungguhnya tes dituntut untuk memiliki koefisien reliabilitas setinggi mungkin. Metode uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan Alpha Cronbach. Menurut Nunnaly (1967), suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach lebih dari 0,60. Sehingga pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian adalah dapat diandalkan atau diterima. Berikut ini hasil uji validitas dan reliabilitas setiap variabel dalam penelitian ini.
500_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap Butir Pernyataan SIKAP1
Korelasi Pearson 0,748
r Kritis
Sig. (2-tailed)
Keterangan
0,30
0,000
Valid
SIKAP2
0,657
0,30
0,000
Valid
SIKAP3
0,748
0,30
0,000
Valid
SIKAP4
0,780
0,30
0.000
Valid
SIKAP5
0,744
0,30
0,000
Valid
0,749
Andal
Alpha Cronbach Sumber : Kuesioner, data diolah
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa semua butir-butir pernyataan yang ada dalam instrumen untuk mengukur sikap muzakki adalah valid. Terlihat nilai signifikansi semua butir pernyataan berada di bawah 0,05. Selain valid, instrumen untuk mengukur sikap ini juga dapat diandalkan. Hal ini terlihat dari nilai Alpha Cronbach sebesar 0,749 lebih besar dari 0,60. Tabel 4.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Norma Subjektif Butir Pernyataan NORMA1
Korelasi Pearson 0,648
NORMA2 NORMA3
r Kritis
Sig. (2-tailed)
Keterangan
0,30
0,000
Valid
0,931
0,30
0,000
Valid
0,931
0,30
0,000
Valid
0,799
Andal
Alpha Cronbach Sumber : Kuesioner, data diolah
Pada uji validitas dan reliabilitas untuk instrumen Norma Subjektif terlihat dari tabel di atas, bahwa semua butir pernyataan yang diajukan sebagai instrumen mengukur norma subjektif memiliki signifikansi dibawah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa semua butir pernyataan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _501
untuk mengukur norma subjektif adalah valid. Pada variabel norma subjektif ini, memiliki nilai Alpha Cronbach sebesar 0,799 lebih besar 0,60. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen untuk mengukur variabel norma subjektif ini dapat diandalkan. Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Kendali Perilaku Butir Pernyataan PC1
Korelasi Pearson 0,758
PC2 PC3
r Kritis
Sig. (2-tailed)
Keterangan
0,30
0,000
Valid
0,823
0,30
0,000
Valid
0,846
0,30
0,000
Valid
0,721
Andal
Alpha Cronbach Sumber : Kuesioner, data diolah
Tabel diatas, menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas variabel Kendali Perilaku (PC). Untuk uji validitas, semua butir pernyataan yang mewakili variabel Kendali Perilaku memiliki signifikansi dibawah 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua butir pernyataan tersebut adalah valid. Untuk hasil uji reliabilitas variabel Kendali Perilaku, dapat terlihat nilai alpha cronbach sebesar 0,721 lebih besar dari 0,60. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen untuk mengukur Kendali Perilaku dapat diandalkan. Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Marketing Strategy
MARKETING1
Korelasi Pearson 0,879
MARKETING2 MARKETING3
Butir Pernyataan
r Kritis Sig. (2-tailed)
Keterangan
0,30
0,000
Valid
0,935
0,30
0,000
Valid
0,744
0,30
0,000
Valid
0,816
Andal
Alpha Cronbach Sumber : Kuesioner, data diolah
502_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Tabel diatas, menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas variabel marketing strategy. Untuk uji validitas, semua butir pernyataan yang mewakili variabel Kendali Perilaku memiliki signifikansi dibawah 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua butir pernyataan tersebut adalah valid. Untuk hasil uji reliabilitas variabel Kendali Perilaku, dapat terlihat nilai Alpha Cronbach sebesar 0,816 lebih besar dari 0,60. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen untuk mengukur marketing strategy dapat diandalkan. Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Intensi Butir Pernyataan INTENSI1
Korelasi Pearson 0,851
INTENSI2
r Kritis
Sig. (2-tailed)
Keterangan
0,30
0,000
Valid
0,769
0,30
0,000
Valid
INTENSI3
0,532
0,30
0,002
Valid
INTENSI4
0,709
0,30
0.000
Valid
0,654
Andal
Alpha Cronbach Sumber : Kuesioner, data diolah
Butir-butir pernyataan yang mewakili variabel Intensi dalam penelitian ini semua butir-butir pernyataan tersebut adalah valid. Hal ini terlihat dari hasil uji validitas untuk instrumen yang mengukur variabel Intensi pada tabel di atas. Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai signifikansi butirbutir pernyataan yang mewakili variabel Intensi adalah 0,000 dibawah 0,05. Sementara untuk keandalan instrumen tersebut, terlihat dari nilai Alpha Cronbach sebesar 0,654 lebih besar 0,60. Hasil uji reliabilitas ini menunjukkan bahwa instrumen variabel Intensi dapat diandalkan untuk mengukur tingkat Intensi muzakki dalam membayar zakat. Berdasarkan uji validitas dan realibilitas untuk semua variabel independent dan dependent semua pertanyaan memenuhi kriteria validitas dan realiblitas
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _503
3. Demografi Responden Responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 180 responden, penyebaran kuesioner dilakukan dengan dua pendekatan yaitu langsung dan melalui on line internet. Hasil yang diperoleh sebagai berikut :
a. Demografi responden berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 4.1 Demografi responden berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Kuesioner, data diolah Berdasarkan pengolahan dengan Microsoft excel 2007 dan SPSS 17 dapat diketahui bahwa dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, responden dengan jenis kelamin laki-laki mendominasi, yaitu sebesar 65% , sedangkan sisanya yaitu responden perempuan mencapai 35%.
b. Demografi responden berdasarkan Usia
Gambar 4.2 Demografi responden berdasarkan Usia Sumber : Kuesioner, data diolah
504_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, distribusi responden dengan usia diatas 30 < 40 tahun mendominasi dalam survey ini. Tercatat ada 39% responden dari 180 responden berusia antara 30 < 40 tahun. Usia responden 20 < 30 tahun dan 40 < 50 tahun menduduki posisi kedua dengan jumlah 49% . Sedangkan responden dengan usia diatas 50 tahun hanya 7%. Dalam penelitian ini tidak ditemui satupun responden yang berusia dibawah 20 tahun.
c. Demografi responden berdasarkan Status Pernikahan
Gambar 4.3 Demografi Responden Berdasarkan Status Pernikahan Sumber : Kuesioner, data diolah Dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, 87% nya adalah responden dengan status menikah. Sementara responden yang belum menikah hanya 11%. Responden yang berstatus janda/duda hanya sebesaar 2%.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _505
d. Demografi responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 4.4 Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sumber : Kuesioner, data diolah Responden dengan pendidikan sarjana mendominasi dalam penelitian ini. Tercatat ada 59% responden berpendidikan sarjana kemudian diikuti oleh responden dengan pendidikan magister 20%, responden yang berpendidikan SMU 12%, sedangkan responden yang berpendidikan D3 sebesar 5%, responden yang berpendidikan doktoral hanya 2% dan sisanya berpendidikan SD dan SMP masing-masing 1%.
e. Demografi responden berdasarkan Penghasilan
Gambar 4.5 Demografi Responden Berdasarkan Penghasilan Sumber : Kuesioner, data diolah
506_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Penghasilan responden yang dominan dalam penelitian ini adalah antara Rp 3 – 7 juta rupiah yang mencapai 39% dari total responden, kemudian diikuti oleh responden dengan penghasilan dibawah 3 juta yang mencapai 34%. Sedangkan sisanya responden dengan pendapatan diatas 7 dan dibawah 10 juta mencapai 17% , dan terakhir responden dengan pendapatan diatas 10 juta sebesar 10 %. 4. Statistik Deskriptif Pemahaman Zakat Mal Statistic deskriptif digunakan untuk menjelaskan distribusi jawaban responden dalam bentuk frekuensi, persentase (%) yang dilihat dalam bentuk tabulasi silang untuk mengetahui sejauh mana responden tahu tentang zakat dan lembaga zakat. Terkait dengan pertanyaan penelitian pertama yaitu Bagaimana pemahaman pegawai Kementerian Agama terhadap zakat malmaka dilakukan dengan menggunakan metode cross tab dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4.6 Tabel 4.6 TahuTentang Tentang Zakat * Mengetahui Kewajiban Membayar Zakat Tahu Zakat MalMal * Mengetahui Kewajiban Membayar Zakat Mal Crosstabulation tahu tentang zakat malMal * mengetahui kewajiban membayar zakat mal Crosstabulation Crosstabulation
mengetahui kewajiban membayar zakat mal ya ya tahu tentang zakat mal
Count
Total
176
0
176
% within tahu tentang zakat mal
100.0%
.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
98.3%
.0%
97.8%
% of Total
97.8%
.0%
97.8%
3
1
4
% within tahu tentang zakat mal
75.0%
25.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
1.7%
100.0%
2.2%
% of Total
1.7%
.6%
2.2%
179
1
180
tidak Count
Total
tidak
Count
mal % of Total
97.8%
.0%
97.8%
3
1
4
% within tahu tentang zakat mal
75.0%
25.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
1.7%
100.0%
2.2%
% of Total
1.7%
.6%
2.2%
179
1
180
% within tahu tentang zakat mal
99.4%
.6%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
100.0%
100.0%
100.0%
99.4%
.6%
100.0%
tidak Count
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _507
Total
Count
% of Total
Sumber Kuesioner, data diolah Sumber ::Kuesioner, data diolah Dari tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa dari total responden yang Dari tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa dari total responden mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 98,3% diantaranya tahu tentang zakat yang mengetahui kewajiban 98,3% mal. Sisanya 1,7% tidakadanya tahu tentang zakat mal. membayar Sementara itu,zakat dari 176mal, responden yang tahu tentang zakat mal, keseluruhan dari responden tersebut mengetahui adanya kewajiban diantaranya tahu tentang zakat mal. Sisanya 1,7% tidak tahu tentang membayar zakat mal. Kemudian dari total responden yang tidak mengetahui adanya zakat mal. Sementara itu, dari 176 responden yang tahu tentang kewajiban membayar zakat mal, keseluruhan dari responden tersebut tidak tahu tentang zakat mal,Sedangkan keseluruhan dari responden responden tersebut mengetahui adanya zakat mal. dari total yang tidak tahu tentang zakat mal, 75% di antaranya mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, sisanya 25% tidak kewajiban membayar zakat mal. Kemudian dari total responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal. tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, keseluruhan Tabel 4.7 dari responden tersebut tidak tahu tentang zakat mal. Membayar Sedangkan dariMal Jenis Zakat Mal Yang Diketahui * Mengetahui Kewajiban Zakat Crosstabulation total responden yang tidak tahu tentang zakat mal, 75% di antaranya
mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, sisanya 25% tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal.
508_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Tabel 4.7 Jenis Zakat Mal Yang Diketahui * Mengetahui Kewajiban Membayar jenis zakat mal yang diketahui * mengetahui kewajiban membayar zakat mal Zakat Mal Crosstabulation Crosstabulation
mengetahui kewajiban membayar zakat mal ya jenis zakat zakat profesi mal yang diketahui
zakat pertanian
zakat binatang ternak
Count % within jenis zakat mal yang diketahui
85 100.0%
0
85
.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
47.5%
.0%
47.2%
% of Total
47.2%
.0%
47.2%
32
0
32
Count % within jenis zakat mal yang diketahui
100.0%
.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
17.9%
.0%
17.8%
% of Total
17.8%
.0%
17.8%
9
0
9
Count % within jenis zakat mal yang diketahui
100.0%
.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
5.0%
.0%
5.0%
% of Total
5.0%
.0%
5.0%
41
0
41
zakat emas Count dan perak % within jenis zakat mal yang diketahui
zakat kekayaan dagang
Total
tidak
100.0%
.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
22.9%
.0%
22.8%
% of Total
22.8%
.0%
22.8%
8
0
8
Count % within jenis zakat mal yang diketahui % within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
100.0% 4.5%
.0% 100.0% .0%
4.4%
yang diketahui % within mengetahui 22.9% .0% 22.8% kewajiban membayar zakat Intensi Muzakki mal Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _509 % of Total zakat kekayaan dagang
Count % within jenis zakat mal yang diketahui
22.8%
8
0
8
100.0%
.0% 100.0%
4.5%
.0%
4.4%
% of Total
4.4%
.0%
4.4%
3
1
4
75.0%
25.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
1.7%
100.0%
2.2%
% of Total
1.7%
.6%
2.2%
1
0
1
Count % within jenis zakat mal yang diketahui
Total
.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal Count zakat saham/oblig % within jenis zakat mal asi yang diketahui
lainnya
22.8%
100.0%
.0% 100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
.6%
.0%
.6%
% of Total
.6%
.0%
.6%
Count
179
1
180
% within jenis zakat mal yang diketahui % within mengetahui kewajiban membayar zakat mal % of Total
99.4%
.6% 100.0%
100.0%
100.0% 100.0%
99.4%
.6% 100.0%
Sumber : Kuesioner, diolah Sumber : Kuesioner, datadata diolah
Dari tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui Darikewajiban tabel 4.7membayar di atas zakat dapatmal, diketahui bahwa tahu dari tentang 179 responden adanya 47,5% diantaranya zakat profesi, 17,9 % tahu tentang zakat pertanian, 5% tahu tentang zakat binatang ternak, 22,% tahu tentang yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 47,5% zakat emas dan perak, 4,5% tahu tentang zakat kekayaan dagang, 1,7% tahu tentang zakat diantaranya tahu tentang zakat profesi, 17,9 % tahu tentang zakat saham / obligasi dan sisa nya 0,6% tahu tentang zakat lainnya. Sedangkan dari total pertanian, 5% tahu tentang zakat binatang ternak,zakat, 22,%0,6% tahudiantaranya tentang tahu responden yang tidak tahu adanya kewajiban membayar tentangemas zakat dan saham/ obligasi, selebihnya tidak mengetahui jenis zakatdagang, harta yang ada. zakat perak, 4,5% tahu tentang zakat kekayaan 1,7% Tabel 4.8 apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui kewajiban membayar zakat mal Crosstabulation apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui kewajiban
% of Total
99.4%
.6% 100.0%
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui 510_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 adanya kewajiban membayar zakat mal, 47,5% diantaranya tahu tentang zakat profesi, 17,9 % tahu tentang zakat pertanian, 5% tahu tentang zakat binatang ternak, 22,% tahu tentang zakat emas dan perak, 4,5% tahu tentang zakat kekayaan dagang, 1,7% tahu tentang zakat tahu tentang zakat saham / obligasi dan sisa nya 0,6% tahu tentang saham / obligasi dan sisa nya 0,6% tahu tentang zakat lainnya. Sedangkan dari total zakat lainnya. total responden yang tidak responden yangSedangkan tidak tahu dari adanya kewajiban membayar zakat,tahu 0,6%adanya diantaranya tahu tentang zakat saham/ obligasi, selebihnya tidak mengetahui jenis zakat harta yang ada. kewajiban membayar zakat, 0,6% diantaranya tahu tentang zakat
saham/ obligasi, selebihnya tidak mengetahui Tabel 4.8 jenis zakat harta yang ada. apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui kewajiban membayar Tabel zakat mal4.8 Crosstabulation
Apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui
apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui kewajiban kewajiban membayar zakat mal Crosstabulation membayar zakat mal Crosstabulation mengetahui kewajiban membayar zakat mal ya apakah sudah Sudah melakukan pembayaran zakat mal
belum
Count
Total 1
164
% within apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal
99.4%
.6%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
91.1%
100.0%
91.1%
% of Total
90.6%
.6%
91.1%
Count
16
0
16
100.0%
.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
8.9%
.0%
8.9%
% of Total
8.9%
.0%
8.9%
179
1
180
99.4%
.6%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
99.4%
.6%
100.0%
% within apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal
Total
tidak 163
Count % within apakah sudah melakukan pembayaran zakat mal % within mengetahui kewajiban membayar zakat mal % of Total
Sumber : Kuesioner, data diolah
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 91,1% diantaranya sudah melakukan pembayaran zakat, dan sisanya 8,9% dari total responden belum melakukan pembayaran zakat. Sedangkan dari total responden yang tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat, hanya 0,6% diantaranya yang melakukan pembayaran zakat, sisanya belum melakukan pembayaran zakat.
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _511
Dari tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 91,1% diantaranya sudah melakukan pembayaran zakat, dan sisanya 8,9% dari total responden belum melakukan pembayaran zakat. Sedangkan dari total responden yang tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat, hanya 0,6% diantaranya yang melakukan pembayaran zakat, sisanya belum melakukan pembayaran zakat. Tabel 4.9 Kapan melakukan pembayaran zakat mal * mengetahui kewajiban membayar zakat mal Crosstabulation mengetahui kewajiban membayar zakat mal ya kapan melakukan pembayaran zakat mal
setiap mendapat hasil profesi
Count
91
0
91
% within kapan melakukan pembayaran zakat mal
100.0%
.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
50.8%
.0%
50.6%
% of Total
50.6%
.0%
50.6%
79
1
80
% within kapan melakukan pembayaran zakat mal
98.8%
1.3%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
44.1%
100.0%
44.4%
% of Total
43.9%
.6%
44.4%
9
0
9
100.0%
.0%
100.0%
5.0%
.0%
5.0%
setahun sekali Count
lainnya
Total
tidak
Count % within kapan melakukan pembayaran zakat mal % within mengetahui
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
44.1%
100.0%
44.4%
% of Total
43.9%
.6%
44.4%
9
0
9
100.0%
.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
5.0%
.0%
5.0%
% of Total
5.0%
.0%
5.0%
179
1
180
99.4%
.6%
100.0%
512_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 lainnya
Count % within kapan melakukan pembayaran zakat mal
Total
Count % within kapan melakukan pembayaran zakat mal
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari tabel 4.9 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal 50,8% diantaranya sudah melakukan pembayaran zakat setiap mendapat hasil profesi, Kemudian 44,1% membayar zakat setahun sekali dan sisanya 5% memilih lainnya. Sedangkan dari total responden yang tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat, keseluruhan dari responden tersebut membayar zakat dalam setahun sekali. Dari total responden yang membayar zakat setiap mendapat hasil profesi, keseluruhan dari responden tersebut megetahui adanya kewajiban membayar zakat. Sementara itu dari total responden yang membayar zakat setahun sekali, 98,8 % diantaranya mengetahui adanya kewajiban membayar zakat, sisanya 1,3 % tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat.
keseluruhan dari responden tersebut megetahui adanya kewajiban membayar zakat. Sementara itu dari total responden yang membayar zakat setahun sekali, 98,8 % diantaranya mengetahui adanya kewajiban membayar zakat, sisanya 1,3 % tidak mengetahui adanya kewajiban membayar zakat.Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _513 Intensi Muzakki Tabel 4.10 4.10 mengetahui tentang nisab zakatTabel mal * mengetahui kewajiban membayar zakat mal Crosstabulation Mengetahui tentang nisab zakat mal * mengetahui kewajiban mengetahui tentang nisab zakat mal * mengetahui kewajiban membayar zakat membayar zakat mal Crosstabulation mal Crosstabulation mengetahui kewajiban membayar zakat mal ya mengetahui ya tentang nisab zakat mal
Count
166
0
166
% within mengetahui tentang nisab zakat mal
100.0%
.0%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
92.7%
.0%
92.2%
% of Total
92.2%
.0%
92.2%
13
1
14
92.9%
7.1%
100.0%
% within mengetahui kewajiban membayar zakat mal
7.3% 100.0%
7.8%
% of Total
7.2%
.6%
7.8%
179
1
180
99.4%
.6%
100.0%
100.0% 100.0%
100.0%
tidak Count % within mengetahui tentang nisab zakat mal
Total
Total
tidak
Count % within mengetahui tentang nisab zakat mal % within mengetahui kewajiban membayar zakat mal % of Total
Sumber : Kuesioner, datadata diolah Sumber : Kuesioner, diolah
99.4%
.6%
100.0%
Dari tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 92,7% diantaranya mengetahui tentang nisab zakat. Sisanya 7,3% tidak mengetahui tentang nisab zakat. Sementara itu responden yang tahu tentang nisab zakat, keseluruhan dari responden tersebut mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal. Dari total responden yang tidak mengetahui tentang nisab zakat, 92,9% diantaranya mengetahui adanya kewajiban membayar zakat. Sisanya 7,1%
membayar zakat mal % of Total Total
7.2%
Count
514_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 % within
.6%
7.8%
179
1
180
99.4%
.6%
100.0%
mengetahui tentang nisab zakat mal
Dari tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa dari 179 responden yang % within 100.0% 100.0% 100.0% mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 92,7% diantaranya mengetahui kewajiban mengetahui tentang nisab zakat. Sisanya 7,3% tidak mengetahui tentang membayar zakat mal nisab zakat. Sementara itu responden yang tahu tentang nisab zakat, % of Total 99.4% .6% 100.0% keseluruhan dari responden tersebut mengetahui adanya kewajiban Sumber : Kuesioner, data diolah membayar mal.diDari yangdaritidak Darizakat tabel 4.10 atas total dapat responden diketahui bahwa 179 mengetahui responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 92,7% diantaranya mengetahui tentang tentang nisab zakat, 92,9% diantaranya mengetahui adanya kewajiban nisab zakat. Sisanya 7,3% tidak mengetahui tentang nisab zakat. Sementara itu responden membayar zakat. Sisanya 7,1% responden tidak mengetahui adanya yang tahu tentang nisab zakat, keseluruhan dari responden tersebut mengetahui adanya kewajiban membayar mal. kewajiban membayar zakatzakat mal. Dari total responden yang tidak mengetahui tentang nisab zakat, 92,9% diantaranya mengetahui adanya kewajiban membayar zakat. Sisanya 7,1% Setelahtidak mengetahui tentang zakat mal maka responden responden mengetahuipemahaman adanya kewajiban membayar zakat mal. Setelah mengetahui tentang zakat keberadaan mal maka responden pun disiapkan pertanyaanpemahaman tentang pengetahuan lembagapun disiapkan pertanyaan tentang pengetahuan keberadaan lembaga zakat, dengan hasil cross zakat, dengan hasil cross tab sebagai berikut : tab sebagai berikut : Tabel 4.11 4.11 apakah saudara yakin lembaga zakatTabel akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik * dimana yakin saudaralembaga membayarzakat zakat akan mal Crosstabulation Apakah saudara menyalurkan zakat
harta anda dengan baik * dimana saudara membayar zakat mal
apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan Crosstabulation baik * dimana saudara membayar zakat mal Crosstabulation dimana saudara membayar zakat mal langsung ke yang lembag berhak menerima masjid a zakat lainnya Total apakah
sangat
saudara yakin yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
Count
1
0
4
% within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
20.0%
.0%
80.0%
% within dimana saudara membayar zakat mal
1.3%
.0%
7.0%
.0%
2.8%
.6%
.0%
2.2%
.0%
2.8%
9
6
6
2
23
39.1% 26.1%
26.1%
% of Total yakin
Count % within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan
0
5
.0% 100.0 %
8.7% 100.0 %
% within 1.3% .0% 7.0% .0% 2.8% dimana saudara membayar zakat Intensi Muzakkimal Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _515 % of Total yakin
.6%
.0%
2.2%
.0%
2.8%
9
6
6
2
23
% within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
39.1% 26.1%
26.1%
8.7% 100.0 %
% within dimana saudara membayar zakat mal
11.7% 16.7%
10.5%
20.0% 12.8%
1.1% 12.8%
Count
% of Total kurang yakin
5.0%
3.3%
3.3%
15
9
4
% within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
48.4% 29.0%
12.9%
9.7% 100.0 %
% within dimana saudara membayar zakat mal
19.5% 25.0%
7.0%
30.0% 17.2%
1.7% 17.2%
Count
% of Total
8.3%
5.0%
2.2%
47
19
32
3
tidak
Count
yakin
% within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
46.1% 18.6%
31.4%
3.9% 100.0 %
% within dimana saudara membayar zakat mal
61.0% 52.8%
56.1%
40.0% 56.7%
% of Total
26.1% 10.6%
17.8%
2.2% 56.7%
sangat tidak yakin
Count % within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda
5
2
11
26.3% 10.5%
57.9%
4
31
1
102
19
5.3% 100.0 %
% within dimana saudara membayar zakat 516_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 mal % of Total sangat tidak yakin
Total
Count % within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik
61.0% 52.8%
56.1%
40.0% 56.7%
26.1% 10.6%
17.8%
2.2% 56.7%
5
2
11
1
19
26.3% 10.5%
57.9%
5.3% 100.0 %
% within dimana saudara membayar zakat mal
6.5%
5.6%
19.3%
10.0% 10.6%
% of Total
2.8%
1.1%
6.1%
.6% 10.6%
77
36
57
42.8% 20.0%
31.7%
Count % within apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik % within dimana saudara membayar zakat mal % of Total
10
180
5.6% 100.0 %
100.0% 100.0 100.0% 100.0% 100.0 % %
42.8% 20.0%
31.7%
5.6% 100.0 %
Sumber : Kuesioner, data diolah
Dari tabel 4.11 di atas dapat diketahui bahwa dari 180 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal 42,8% diantaranya membayar zakat secara langsung kepada mustahik, Kemudian 20% membayar zakat di masjid, 31,7% membayar zakat pada lembaga zakat, dan sisanya 5,6% membayar pada lainnya. Sedangkan jika dilihat dari kepercayaan muzakki terhadap lembaga zakat, hanya 2,8% dari total responden yang sangat yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik. Kemudian 12,8% telah yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik. 17,2% dari responden
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _517
masih kurang yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik. Sementara itu sebagian besar dari responden yaitu sebesar 56,7% masih tidak yakin, dan sisanya 10,6% masih sangat tidak yakin. Dari total responden yang membayar zakat langsung kepada mustahik, hanya 1,3% diantaranya yang sangat yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik, 11,7% dari responden sudah yakin, 19,5% masih kurang yakin, sementara 61% masih tidak yakin dan sisanya 6,5% sangat tidak yakin dengan lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik. Kemudian dari total responden yang membayar zakat langsung kepada masjid, tidak ada responden yang sangat yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik, tetapi 16,7% dari total responden yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik. Kemudian 25% dari responden yang membayar zakat di masjid kurang yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik, 52,8% tidak yakin dan sisanya 5,6% sangat tidak yakin dengan lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta dengan baik. Dari total responden yang membayar zakat pada lembaga, 7% diantaranya sangat yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakatnya dengan baik. 10,5 % dari total responden tersebut yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik. Sementar itu 25% dari responden yang membayar zakat pada lembaga zakat masih kurang yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik.56,1% dari total responden yang membayar zakat pada lembaga zakat, masih tidak yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta muzaki dengan baik. Sisanya 19,3% sangat tidak yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik. Sedangkan dari total responden yang memilih membayar zakat ke tempat lain, 20% diantaranya yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik, 30% masih kurang yakin, 40% tidak yakin dan sisanya sangat tidak yakin kalau lembaga zakat akan menyalurkan zakat dengan baik.
518_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Tabel 4.12 dari mana saudara mendapatkan informasi tentang lembaga zakat * bagaimana penilaian terhadap program-program lembaga zakat Crosstabulation dari manasaudara saudara mendapatkan informasi tentang lembaga zakat * bagaimana penilaian saudara terhadap program-program lembaga zakat dari mana saudara mendapatkan informasi tentang lembaga zakat * bagaimana Crosstabulation penilaian saudara terhadap program-program lembaga zakat Crosstabulation bagaimana penilaian saudara terhadap program-program lembaga zakat sangat baik dari mana teman saudara mendapatk an informasi tentang lembaga zakat
Count % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat % of Total
koran
Count
baik
3
26
8.3% 16.7%
25.2%
43.3% 25.0%
.6%
1.1%
1.7%
14.4%
7.2% 25.0%
0
2
4
25
20.0%
2
sangat tidak baik Total
tidak baik
13
3
45
34
% within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat
.0%
8.3% 22.2%
24.3%
10.0% 18.9%
% of Total
.0%
1.1%
2.2%
13.9%
1.7% 18.9%
1
8
1
18
20.0%
33.3%
5.6%
17.5%
3.3% 16.1%
.6%
4.4%
.6%
10.0%
.6% 16.1%
0
0
0
4
televisi Count % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat % of Total radio
1
kuran g baik
Count
1
1
29
5
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _519 % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat
.0%
.0%
.0%
3.9%
3.3%
2.8%
% of Total
.0%
.0%
.0%
2.2%
.6%
2.8%
0
3
3
12
2
20
12.5% 16.7%
11.7%
6.7% 11.1%
1.1% 11.1%
spandu Count k % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat % of Total brosur Count % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat % of Total
.0%
.0%
1.7%
1.7%
6.7%
1
3
3
7
2
16
12.5% 16.7%
6.8%
6.7%
8.9%
20.0%
.6%
1.7%
1.7%
3.9%
1.1%
8.9%
0
0
1
4
4
9
% within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat
.0%
.0%
5.6%
3.9%
13.3%
5.0%
% of Total
.0%
.0%
.6%
2.2%
2.2%
5.0%
2
6
3
7
4
22
majalah Count
lainnya Count
520_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 % within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat % of Total Total
Count
40.0%
25.0% 16.7%
6.8%
13.3% 12.2%
2.2% 12.2%
1.1%
3.3%
1.7%
3.9%
5
24
18
103
30
180
% within bagaimana penilaian saudara terhadap programprogram lembaga zakat
100.0 100.0% 100.0 100.0% 100.0% 100.0 % % %
% of Total
2.8%
13.3% 10.0%
57.2%
16.7% 100.0 %
Sumber : Kuesioner, data diolah
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, 25% diantaranya memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari teman, 18,9% memperoleh informasi dari Dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, koran, 16,1% dari responden memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari televisi, 25% diantaranya memperoleh informasi tentang informasi lembagadari zakat dari 8,9% 2,8% memperoleh informasi dari radio, 11,1% memperoleh spanduk, memperoleh informasi tentang lembaga zakatdari dari koran, brosur, 5% dari responden memperoleh teman, 18,9% memperoleh informasi 16,1% dari responden informasi tentang lembaga zakat dari majalah dan sisanya 12,2% memperoleh informasi dari memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari televisi, 2,8% lainnya. memperoleh informasi dari responden radio, 11,1% memperoleh informasi dari Sementara itu penilaian terhadap program-program yang dijalankan oleh lembaga zakat cukup beragam. Hanya 2,8% dari total responden penelitian ini spanduk, 8,9% memperoleh informasi tentang lembaga zakatdalam dari brosur, mengatakan kalau progam-program yang dijalankan oleh lembaga zakat itu sangat baik. 5% dari responden memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari 13,3% dari responden mengatakan kalau program-program yang ada pada lembaga zakat majalah dan 12,2% memperoleh dari lainnya. sudah baik, 10%sisanya masih mengatakan kurang baik,informasi 57,2% mengatakan mengatakan tidak baik dan sisanya 16,7% dari total responden mengatakan program-program yang ada di lembaga Sementara itutidak penilaian responden terhadap program-program zakat saat ini sangat baik.
yang dijalankan oleh lembaga zakat cukup beragam. Hanya 2,8% dari total responden dalam penelitian ini mengatakan kalau progamprogram yang dijalankan oleh lembaga zakat itu sangat baik. 13,3% dari responden mengatakan kalau program-program yang ada pada lembaga zakat sudah baik, 10% masih mengatakan kurang baik, 57,2%
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _521
mengatakan mengatakan tidak baik dan sisanya 16,7% dari total responden mengatakan program-program yang ada di lembaga zakat saat ini sangat tidak baik. Tabel 4.13 apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta Tabel 4.13 saudara kinerja lembaga zakat anda dengan baik * bagaimana menurut apakah saudara yakin lembaga zakat akan menyalurkan zakat harta anda dengan baik yang ada saat ini Crosstabulation * bagaimana menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini Crosstabulation bagaimana menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini kuran tidak sangat g baik baik tidak baik
baik sangat Count apakah saudara yakin yakin % within bagaimana lembaga zakat menurut saudara akan kinerja lembaga menyalurkan zakat yang ada saat zakat harta ini anda dengan % of Total baik yakin Count % within bagaimana menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini % of Total kuran Count g % within bagaimana yakin menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini % of Total tidak Count yakin % within bagaimana menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini % of Total sangat Count
Total
5
0
0
0
5
21.7%
.0%
.0%
.0%
2.8%
2.8%
.0%
.0%
.0%
2.8%
16
5
2
0
23
69.6% 15.2%
1.9%
.0%
12.8%
1.1%
.0%
12.8%
8.9%
2.8%
2
21
7
1
31
8.7% 63.6%
6.6%
5.6%
17.2%
1.1% 11.7%
3.9%
.6%
17.2%
90
5
102
.0% 21.2% 84.9%
27.8%
56.7%
2.8%
56.7%
12
19
0
.0% 0
7
3.9% 50.0% 0
7
% of Total kuran Count g % within bagaimana 522_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 yakin menurut saudara
8.9%
2.8%
1.1%
.0%
12.8%
2
21
7
1
31
8.7% 63.6%
6.6%
5.6%
17.2%
1.1% 11.7%
3.9%
.6%
17.2%
90
5
102
.0% 21.2% 84.9%
27.8%
56.7%
2.8%
56.7%
12
19
kinerja lembaga zakat yang ada saat ini % of Total tidak Count yakin % within bagaimana menurut saudara kinerja lembaga zakat yang ada saat ini % of Total sangat Count
0
.0% 0
7
3.9% 50.0% 0
7
Sumber : Kuesioner, data diolah Sementara itu jika dilihat dari pandangan responden tentang kinerja lembaga zakat saat ini, dari 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini 12,8% dari responden tersebut mengatakan kalau kinerja zakat yang ada saat ini, 18,3% dari total responden yang menjadi sampel mengatakan kalau kinerja lembaga zakat yang ada saat ini kurang baik, 58,9% dari total responden mengatakan kinerja lembaga zakat tidak baik, dan sisanya 10% mengatakan kinerja lembaga zakat yang ada saat ini sangat tidak baik. Dari data di atas dapat diketahui bahwa kepercayaan masyarakat terhadap masyarakat masih sangat rendah. Berdasarkan hasil perhitungan cross tab maka dapat disimpulkan tentang beberapa hal sebagai berikut : 1. Responden yang berjumlah 180 ternyata yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 98,3% , sisanya 1,7% tidak tahu tentang zakat mal. 2. Responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, 47,5% diantaranya tahu tentang zakat profesi, 17,9 % tahu tentang zakat pertanian, 5% tahu tentang zakat binatang ternak, 22,% tahu tentang zakat emas dan perak, 4,5% tahu tentang zakat kekayaan dagang, 1,7% tahu tentang zakat saham / obligasi dan sisa nya 0,6% tahu tentang zakat lainnya 3. Berdasarkan 180 responden yang mengetahui adanya kewajiban
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _523
membayar zakat mal 42,8% diantaranya membayar zakat secara langsung kepada mustahik, Kemudian 20% membayar zakat di masjid, 31,7% membayar zakat pada lembaga zakat, dan sisanya 5,6% membayar pada lainnya. 5. Analisis Regresi Linier Berganda Melalui analisis regresi linier berganda ini maka diperoleh apakah variabel bebas yang diuji berpengaruh signifikan terhadap intensi responden dalam membayar zakat. a. Pemeriksaan asumsi analisis regresi linier berganda 1) Uji Normalitas Sebelum pengujian model regresi linier berganda dilakukan terhadap setiap variabel bebas maka pemeriksaan asumsi regresi linier perlu dilakukan agar menghasilkan taksiran koefisien regresi yang tidak bias (shahih dan benar). Pemeriksaan pertama adalah bahwa data error berdistribusi normal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan rasio Skewness dan rasio Kurtosis. Rasio Skewness adalah nilai Skewnes dibagi dengan Standar error Skewness, sedangkan rasio kurtosis adalah nilai Kurtosis dibagi dengan standar error Kurtosis. Distribusi data akan dikatakan normal bila berada antara nila -2 hingga +2 (Santoso, 2005). Berikut hasil pengolahan dengan SPSS 17. Tabel 4.14 Hasil Uji Skewness Tabeldan 4.14 Kurtosis Hasil Uji Skewness dan Kurtosis Descriptive Statistics Descriptive Statistics N
Minim Maxim um um Mean
Std. Deviatio n
Statist Statisti Statisti Statisti ic c c c Statistic Unstandardized Residual
180
Valid N (listwise)
180
- 1.45895 .00000 .61188963 2.3660 00 4
Sumber : Kuesioner, data diolah
Skewness
Kurtosis
Statist Std. Statist Std. ic Error ic Error -.603
.181
1.107
.360
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari hasil analis data menggunakan SPSS 17, di dapatkan nilai Skewness sebesar -0,603 dan Standar error Skewness sebesar 0,181. Sehingga rasio Skewness menjadi -3,331. Sedangkan nilai kurtosisnya adalah 1,107 dan standar error kurtosisnya adalah 0,360. Jadi nilai rasio kurtosisnya adalah 3,075. Dari nilai rasio skewness dan nilai rasio kurtosis yang berada antara -2 hingga +2 dapat disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal.
Statist Statisti Statisti Statisti Statist Std. Statist S ic c c c Statistic ic Error ic E Unstandardized .181 524_Jurnal Bimas Islam Vol.7.180 No.III 2014 - 1.45895 .00000 .61188963 -.603 Residual 2.3660 00 4 Dari hasil analis data menggunakan SPSS 17, di dapatkan nilai Valid N 180 Skewness sebesar -0,603 dan Standar error Skewness sebesar 0,181. (listwise) Sehingga rasio Skewness menjadi -3,331. Sedangkan nilai kurtosisnya
1.107
adalah 1,107 dan standar error kurtosisnya adalah 0,360. Jadi nilai Sumber : Kuesioner, data diolah rasio kurtosisnya adalah 3,075. Dari nilai rasio skewness dan nilai rasio Dari hasil analis data menggunakan SPSS 17, di dapatkan nilai Skewness sebe kurtosis antara -2 hingga dapat disimpulkan bahwa data -3,331. Se Standar yang error berada Skewness sebesar 0,181.+2 Sehingga rasio Skewness menjadi tidak berdistribusi kurtosisnya adalah normal. 1,107 dan standar error kurtosisnya adalah 0,360. Jadi nilai ras
adalah 3,075. Dari nilai rasio skewness dan nilai rasio kurtosis yang berada antara 2) Uji autokorelasi dapat disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi maka pada penelitian 1) Uji autokorelasi ini digunakan uji Durbin-Watson. Jika nilai DW berada diantara dU Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi maka pada atau penelitian ini sampai dengan 4-dU, maka dikatakan tidak terdapat autokorelasi, Durbin-Watson. Jika nilai DW berada diantara dU sampai dengan 4-dU, maka d autokorelasi yang terjadi adalah nol. terdapat autokorelasi, atau autokorelasi yang terjadi adalah nol. Tabel 4.15 Tabel 4.15 Hasil Uji autokorelasi Hasil Uji autokorelasi
Model Summaryb Model Summaryb Model 1
R .510a
R Square
Adjusted R Square
.260
Std. Error of the Estimate
DurbinWatson
.243 ,61884
1.965
a. Predictors: (Constant), marketing strategy, subjective norms, perceived behaviour control, attitude b. Dependent Variable: zakat intention
Sumber : Kuesioner, data diolah Sumber : Kuesioner, data diolah Dari Dari analisis menggunakan SPSS 17, didapatkan nilai DW untuk analisis menggunakan SPSS 17, didapatkan nilai DWdata untuk data y yang adalah sebesar langkah 1,965. Kemudian selanjutnyanilai dL da adalahdianalisis sebesar 1,965. Kemudian selanjutnyalangkah adalah menentukan adalah menentukan nilai dL dan5 dU. Dengan menggunakan derjat 180, sedan menggunakan derjat kepercayaan %, sampel yang digunakan adalah penjelas sebanyak 4. Maka didapatkan nilai dL dan dU sebesar 1,7109 kepercayaan 5 %, sampel yang digunakan adalah 180, sedangkan variabeldan 1,8017 disimpulkan bahwa4.tidak terjadi autokorelsi sama1,7109 dengan nol. penjelas sebanyak Maka didapatkan nilaiatau dL autokorelasi dan dU sebesar dan 1,8017. Berarti dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelsi 2) Uji Multikolinearitas atau autokorelasi sama dengan nol. Untuk melihat terjadi atau tidaknya multikolinearitas pada penelitian ini, maka digu Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan pada model dalam penelit
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _525
3) Uji Multikolinearitas
Untuk melihat terjadi atau tidaknya multikolinearitas pada penelitian ini, maka digunkaan uji VIF. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan pada model dalam penelitian ini terjadi multikolineritas. Setelah dilakukan analisa menggunakan SPSS 17 didapatkan hasil sebagai berikut :Setelah dilakukan analisa menggunakan SPSS 17 didapatkan hasil se multikolineritas. berikut :
Tabel 4.16 Tabel 4.16 Hasil UjiHasil Collinearity Uji Collinearity a Coefficients Coefficientsa Standardiz Unstandardiz ed ed Coefficient Coefficients s
Model 1
B (Constant)
Std. Erro r
Beta
1.367 .512
Collinearity Statistics
t
Sig.
2.671
.008
Toleran ce VIF
attitude
.235 .097
.170
2.425
.016
.865 1.156
subjective norms
.021 .079
.019
.271
.787
.893 1.120
perceived behaviour control
.428 .069
.431
6.232
.000
.882 1.133
marketing strategy
.009 .071
.008
.123
.902
.943 1.060
a. Dependent Variable: data zakatdiolah intention Sumber : Kuesioner,
Sumber : Kuesioner, data diolah Berdasarkan tabel diatas untukvariabel variabelsikap sikap Berdasarkan tabel diatasterlihat terlihatbahwa bahwa nilai nilai VIF VIF untuk adalah 1,156 VIF untuk variabel subjektif adalah 1,120, subjektif nilai VIFadalah untuk kendali perilaku adalah adalah 1,156, nilai norma VIF untuk variabel norma 1,120, nilai dan nilai VIFkendali untuk strategi marketing menunjukan bahwa semua nila VIF untuk perilaku adalahadalah 1,133 1,060. dan Hal nilaiiniVIF untuk strategi kurang dari 10 artinya tidak ada multikolinier antara variabel bebas. Asumsi ini terpenuhi. marketing adalah 1,060. Hal ini menunjukan bahwa semua nilai VIF 3) Uji Heteroskedastisitas kurangUntuk dari 10 artinya tidak model ada multikolinier antara variabel bebas. melihat apakah dalam penelitian terbebas atau tidak dari ma heteroskedasititas maka digunakan uji Glejser. Uji Glejser secara umum dinotasikan se Asumsi ini terpenuhi. berikut : |e| = b1 + b2X2 + v Dimana : |e| adalah nilai absolut dari residual yang dihasilkan dari regresi model X2 adalah variabel penjelas. Bila variabel penjelas secara statistik signifikan mempengaruhi residual maka dikatakan m memiliki masalah heteroskedastisitas. Setelah dilakukan uji dengan SPSS 17 maka didap
526_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
4) Uji Heteroskedastisitas Untuk melihat apakah model dalam penelitian terbebas atau tidak dari masalah heteroskedasititas maka digunakan uji Glejser. Uji Glejser secara umum dinotasikan sebagai berikut : |e| = b1 + b2X2 + v Dimana : |e| adalah nilai absolut dari residual yang dihasilkan dari regresi model X2 adalah variabel penjelas. Bila variabel penjelas secara statistik signifikan mempengaruhi residual maka dikatakan model memiliki masalah heteroskedastisitas. Setelah dilakukan uji dengan SPSS 17 maka didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 4.17 Tabel 4.17 Hasil Uji Hasil Glejser Uji Glejser a Coefficients a Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1
Std. Error
B
(Constant)
.726
.320
Attitude
.058
.061
subjective norms
.022
perceived behaviour control marketing strategy
Standardiz ed Coefficient s Beta
t
Sig.
2.271
.024
.076
.960
.338
.050
.035
.450
.653
-.110
.043
-.201
-2.568
.011
-.046
.045
-.079
-1.036
.302
a. Dependent Variable: abresid Sumber : Kuesioner, data diolah
Dari analisis yang dilakukan menggunakan SPSS 17 di temukan bahwa Dari analisis yang dilakukan menggunakan SPSS 17 di temukan bahwa nilai t-statis nilai t-statistik semua variabel semua variabel tidak atau nilai semua variabel dari penjelas hampir semuapenjelas variabelhampir tidak signifikan secara statistik signifikan secara statistik atau nilai p>0,05. Hal ini menunjukan bahwaheteroskeda Hal ini menunjukan bahwa dalam model yang diteliti, tidak terdapat masalah
Kecuali untuk variabel kendali perilaku dan konstanta signifikan secara statistik, yang terdapat heteroskedastisitas. Selain menggunakan uji Glejser, heteroskedastisitas juga dapat dilihat menggunakan scatterplot. Seperti yang terdapat pada gambar dibawah ini.
a. Dependent Variable: abresid Sumber : Kuesioner, data diolah
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _527 Dari analisis yang dilakukan menggunakan SPSS 17 di temukan bahwa nilai t-statis semua variabel penjelas hampir semua variabel tidak signifikan secara statistik atau nilai model yang diteliti, tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Haldalam ini menunjukan bahwa dalam model yang diteliti, tidak terdapat masalah heteroskeda Kecuali untuk variabel kendali perilaku konstanta signifikan secara Kecuali untuk variabel kendali perilaku dandan konstanta signifikan secara statistik, yang terdapat heteroskedastisitas. statistik, yang berarti terdapat heteroskedastisitas. Selain menggunakan uji Glejser, heteroskedastisitas juga dapat dilihat Selain menggunakan uji Glejser, heteroskedastisitas juga dapat menggunakan scatterplot. Seperti yang terdapat pada gambar dibawah ini.dilihat
dengan menggunakan scatterplot. Seperti yang terdapat pada gambar dibawah ini. Scatterplot Devendent Variable : zakat intention
GambarGambar 4.6 Scatterplot 4.6 Scatterplot
Sumber : Kuesioner, data diolah
Sumber : Kuesioner, data diolah Berdasarkan uji asumsi klasik dapat disimpulkan bahwa model yang diajukan tidak terdapat masalah autokorelas, multikolineritas dan heterokedastisitas, sehingga selanjutnya dapat dilakukan uji hipotesis baik secara simultan maupun parsial. 6. Uji Hipotesis Setelah asumsi regresi linier berganda terpenuhi maka selanjutnya untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua Bagaimana pengaruh sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi pemasaran OPZ terhadap intensi muzakki pegawai Kementerian Agama dalam membayar
Berdasarkan uji asumsi klasik dapat disimpulkan bahwa model yang diajukan terdapat masalah autokorelas, multikolineritas dan heterokedastisitas, sehingga selanjutnya dilakukan uji hipotesis baik secara simultan maupun parsial.
528_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
zakat secara parsial dan simultan maka dilakukan pengujian koefisien 1. Uji Hipotesis regresi pada model regresi linier berganda secara simultan dengan uji F. Setelah asumsi regresi linier berganda terpenuhi maka selanjutnya untuk men Berikut hipotesis yang didapatkan
pertanyaan penelitian yang kedua Bagaimana pengaruh sikap, norma subjektif, kendali pe dan strategi pemasaran OPZ terhadap intensi muzakki pegawai H0 : β1= β2 = β3= 0, artinya tidak ada pengaruh yang nyata secaraKementerian simultan Agama membayar zakat secara parsial dan simultan maka dilakukan pengujian koefisien regresi dari variabel bebas terhadap variabel terikat. model regresi linier berganda secara simultan dengan uji F. Berikut hipotesis yang didapatk H0 :: β1 β1=≠β2 tidakada adapengaruh pengaruh yang yang nyata dari variabel H1 β2= ≠β3= β3 0,= 0artinya , artinya nyata secara secarasimultan simultan terhadap variabel terikat. dari variabel bebas terhadap variabel independen. H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 = 0 , artinya ada pengaruh yang nyata secara simultan dari variabel terhadap variabel independen. Jika F Hitung> Ftabel berarti H0 di tolak , artinya secara simultan variabel Jika F Hitung> Ftabel berarti H0 di tolak , artinya secara simultan variabel bebas berpengaruh ter bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. variabel terikat. Berikut hasil dengan SPSSSPSS 17 : 17 : Berikut hasilpengolahan pengolahan dengan Tabel 4.18 Uji F
Tabel 4.18 Uji F b ANOVA ANOVAb
Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
Regression
23.531
4
5.883
Residual
67.019
175
.383
Total
90.550
179
F 15.361
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), marketing strategy, subjective norms, perceived behaviour control, attitude b. Dependent Variable: zakat intention
Sumber : Kuesioner, data diolah
Sumber : Kuesioner, data diolah tabel diatas diketahui bahwaF Fhitung hitungsebesar sebesar 15,361. 15,361. Artinya Artinya FF hitung > F DariDari tabel diatas diketahui bahwa karena dilihat darikarena signifikansi α
F tabel, dilihat α < diartikan 5%. Sehingga Subyektif, kendali perilaku dan strategi marketing secara simultan mempengaruhi inte diartikan bahwa variabel Sikap, Norma Subyektif, kendali perilaku dan seseorang untuk membayar zakat. strategiDisamping marketing secara simultan mempengaruhi melakukan uji simultan juga dilakukanintensitas uji secara seseorang parsial (uji t), apakah parsial membayar masing-masing variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Dalam uji t ini jika : untuk zakat. t hitung > t tabel , H0 ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari m Disamping uji simultan uji secara parsial (uji masing variabelmelakukan yang diuji. Berikut adalahjuga hasildilakukan pengolah daari SPSS 17 :
t), apakah secara parsial masing-masing variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Dalam uji t ini jika :
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _529
t hitung > t tabel , H0 ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari masing-masing variabel yang diuji. Berikut adalah hasil pengolah daari SPSS 17 : Tabel 4.19 Uji t Tabel 4.19 Uji t Coefficientsa a Coefficients
Standard ized Unstandardized Coefficie nts Coefficients Model 1
B
Std. Error
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
1.367
.512
2.671
.008
attitude
.235
.097
.170 2.425
.016
.865
1.156
subjective norms
.021
.079
.019
.271
.787
.893
1.120
perceived behaviour control
.428
.069
.431 6.232
.000
.882
1.133
marketing strategy
.009
.071
.008
.902
.943
1.060
(Constant)
.123
a. Dependent Variable: zakat intention
Sumber : Kuesioner, data diolah
Sumber : Kuesioner, data diolah Dari hasilolahan olahan SPSS SPSS 17 dapat terlihat dalam tabel 4.9 tabel di atas. Bahwa Dari hasil 17yang yangdilakukan dilakukan dapat terlihat dalam untuk masing-masing variabel memiliki nilai t hitung> t tabel . Hal ini dilihat juga dari signifikansi 4.9 diada atas. Bahwa untuk masing-masing memiliki nilai t hitung> yang dibawah 5 %. Kecuali norma subjektif variabel dan strategi marketing memiliki nilai signifikan Kondisi ini menunjukkan variabel norma dan strategi tdiatas tabel5 .%.Hal ini dilihat juga daribahwa signifikansi yang subjektif ada dibawah 5 %.marketing secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap intensitas membayar zakat. Kecuali norma subjektif dan strategi marketing memiliki nilai signifikan Dari tabel 4.21 dapat dilihat Model regresi yang terbentuk adalah :
diatas 5 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa variabel norma subjektif dan strategi marketing secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap intensitas membayar zakat. Dari tabel 4.21 dapat dilihat Model regresi yang terbentuk adalah :
Intensi = 1,367 + 0,235 Attitude + 0,021 Subjectif Norms + 0,428 Perceived behaviour control + 0,009 marketing strategy + x
530_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Berdasarkan tabel diatas dapat diinterpretasikan bahwa : 1. Nilai koefisien regresi untuk konstanta adalah 1,367 , artinya bahwa jika sikap, norma subyektif, kendali perilaku dan strategi marketing tidak ada, maka intensitas muzaki membayar zakat sangat kecil . 2. Nilai koefisien regresi untuk variabel sikap adalah 0,235. Dengan nilai t statistic 2,425 dan nilai signifikansi p-value 0,016 < 0,05 maka tolak hipotesis nol yang berarti bahwa sikap berpengaruh signifikan terhadap intensi membayar zakat. Koefisien regresi bertanda positif menunjukan bahwa semakin positif atau tinggi persepsi responden terhadap lembaga zakat maka akan meningkatkan keinginan muzaki untuk membayar zakat. Setiap terjadi kenaikan sikap yang dilakukan oleh lembaga zakat sebesar 1 satuan maka akan meningkatkan keinginan muzakki membayar zakat naik sebesar 0,235. Hasil signifikan dari variabel sikap ini menjadi perhatian terhadap setiap lembaga zakat untuk terus menerus mengedukasi terhadap setiap masyarakat khususnya yang tergolong muzaki tentang pentingnya membayar zakat terutama pada lembaga zakat. Edukasi seperti efektivitas, penyaluran dalam bentuk program-program yang sesuai dengan ketentuan asnaf, transparansi pengelolaan dapat ditumbuhkan sebagai salah satu strategi yang baik dalam rangka menumbuhkan sikap positif masyarakat dalam membayar zakat terutama pada lembaga zakat. 3. Variabel norma subjektif mempunyai koefisien regresi 0,021. Dengan nilai t statistic 0,271 dan nilai signifikansi p-value 0,787 > 0,05 maka tidak tolak hipotesis nol yang berarti bahwa norma subyektif tidak berpengaruh signifikan terhadap intensi muzzaki membayar zakat. Lingkungan seperti teman, keluarga dan pihak lain tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan intensitas muzaki membayar zakat. Koefisien regresi bernilai positif menunjukan, bahwa semakin besar rekomendasi atau dukungan teman, keluarga atau pihak lain untuk menjadi muslim yang taat membayar zakat maka akan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _531
meningkatkan keinginan dan minat muzaki untuk membayar zakat. Hal ini merekomendasikan kepada pihak-pihak yang yang berperan dalam pengumpulan zakat/organisasi zakat baik lembaga amil zakat maupun badan amil zakat untuk membuat strategi marketing dengan melibatkan para muzaki yang telah membayar zakat pada organisasi pengelola zakat untuk mengajak, merekomendasi rekan lainnya untuk ikut membayar zakat pada organisasi pengelola zakat, baik lembaga amil zakat maupun badan amil zakat. Peran pihak lain seperti guru ngaji, ustadz, pimpinan majlis taklim atau pondok pesantren dapat berguna untuk mendorong para jamaah/umat Islam terutama yang tergolong muzaki agar lebih terdorong untuk membayar zakat pada organisasi pengelola zakat. Berdasarkan koefisien regresi di atas menunjukan bahwa dengan meningkatnya peranan teman, keluarga atau guru mengaji sebesar 1 satuan untuk mendorong muzaki maka akan meningkatkan intensitas keinginan atau minat membayar zakat sebesar 0,021. 4. Variabel kontrol perilaku mempunyai koefisien regresi 0,428. Dengan nilai t statistic 6,232 dan nilai signifikansi p-value 0,000 < 0,05 maka tolak hipotesis nol yang berarti bahwa kendali perilaku berpengaruh signifikan terhadap intensi membayar zakat. Ketika kendali perilaku meningkat sebesar sebesar 1 satuan maka akan meningkatkan intensitas seseorang untuk membayar zakat. 5. Variabel strategi marketing mempunyai koefisien regresi 0,009. Dengan nilai t statistic 0,123 dan nilai signifikansi p-value 0,902 > 0,05 maka tidak tolak hipotesis nol yang berarti bahwa strategi marketing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensi membayar zakat. Nilai positif menunjukkan ketika strategi marketing meningkat sebesar 1 satuan maka akan meningkatkan intensitas sesorang untuk membayar zakat sebesar 0,009. Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut maka pertanyaan penelitian kedua sudah terjawab dengan kesimpulan secara simultan variabel
532_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi pemasaran OPZ berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi dan secara parsial variabel sikap dan control prilaku berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensi sedangan variabel norma subjective dan marketing strategi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel intensi. Untuk melihat seberapa besar variabel – variabel bebas yang ada dalam menjelaskan variabel terikat dalam hal ini intensitas membayar zakat, maka dapat dilihat dari nilai R squre.. Berikut hasil pengolahan dengan SPSS 17. Tabel 4.20 Tabel 4.20 R Square R Square b Model Summary Model Summaryb Model 1
R .510
R Square a
Adjusted R Square
.260
Std. Error of the Estimate
.243 ,61884
a. Predictors: (Constant), marketing strategy, subjective norms, perceived behaviour control, attitude b. Dependent Variable: zakat intention
Dari uji analisis yang dilakukan dengan SPSS 17 dihasilkan nilai R square adalah 0,260. Artinya hanya 26 % variability variable intensitas mampu dijelaskan oleh keempat variabel yaitu sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi marketing. sedangkan sisanya 74 % dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak masuk dalam model penelitian ini. Hasil riset ini jika dikaitkan dengan riset terdahulu memberikan hasil yang berbeda, pada riset ini varibel sikap dan kendali prilaku mempengaruhi intensi muzakki dalam membayar zakat sedangkan pada riset Zainol, et al., (2009) variabel sikap dan norma subjektif berpengaruh signifikan terhdapa intensi. Sebaliknya jika dibandingkan dengan riset Sapingi, et al (2011) riset ini memberikan hasil yang sama yaitu variabel
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _533
sikap dan kendali perilaku mempengaruhi intensi muzakki dalam membayar zakat.
E. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan pertanyaan penelitian dan analisis serta pembahasan yang dilakukan pada bagian sebelumnya maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan : a. Terkait dengan pertanyaan penelitian pertama tentang bagaimana pemahaman pegawai Kementerian Agama terhadap zakat mal maka dapat disimpulkan : 1) Jumlah responden yang berjumlah 180 ternyata 179 responden mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal, dan dari yang mengetahui zakat mal tersebut 50,8% diantaranya sudah melakukan pembayaran zakat setiap mendapat hasil profesi, kemudian 44,1 % membayar zakat setahun sekali. 2) Berdasarkan 179 responden yang mengetahui adanya kewajiban membayar zakat mal 42,8% diantaranya membayar zakat secara langsung kepada mustahik, Kemudian 20% membayar zakat di masjid, 31,7% membayar zakat pada lembaga zakat, dan sisanya 5,6 % membayar pada lainnya 3) Berdasarkan 180 responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, 25% diantaranya memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari teman, 18,9% memperoleh inforamsi dari koran, 16,1% dari responden memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari televisi, 2,8% memperoleh informasi dari radio, 11,1% memperoleh informasi dari spanduk, 8,9% memperoleh informasi
534_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
tentang lembaga zakat dari brosur, 5% dari responden memperoleh informasi tentang lembaga zakat dari majalah dan sisanya 12,2% memperoleh informasi dari lainnya. b. Terkait dengan pertanyaan penelitian kedua tentang bagaimana pengaruh sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi pemasaran OPZ terhadap intensi muzakki pegawai Kementerian Agama dalam membayar zakat secara parsial dan simultan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Variabel sikap, norma subjektif, kendali prilaku dan strategi marketing secara bersama-sama atau simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap intensi muzakki dalam membayar zakat mal 2) Variabel sikap dan kendali prilaku berpengaruh signifikan terhadap intensi muzakki dalam membayar zakat mal secara parsial, sedangkan variabel norma subjektif dan strategi marketing tidak berpengaruh secara signifikan secara parsial. c. Terkait pertanyaan penelitian ketiga tentang seberapa besar pengaruh sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi pemasaran OPZ terhadap intensi muzakki Kementerian Agama dalam membayar zakatmal dapat dismpulkan bahwa variabel intensi muzakki mampu dijelaskan oleh ke empat variabel yaitu sikap, norma subjektif, kendali perilaku dan strategi marketing sebesar 26% . sedangkan sisanya 74% dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak masuk dalam model penelitian ini. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas maka saran yang dapat diberikan : 1. Variabel sikap dan kendali prilaku berpengaruh secara signifikan
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _535
terhadap intensi membayar zakat, maka konsekwensinya harus ada upaya edukasi yang bersifat terus menerus pada para muzakki terkait kewajiban membayar zakat, selain itu juga perlunya edukasi pembayaran zakat melalui organisasi pengelola zakat (OPZ) supaya dampaknya bagi mustahik lebih besar, karena riset ini juga memberikan hasil masih sedikitnya muzakki yang melakukan pembayaran zakatnya melalui OPZ. 2. Penelitian ini tentunya harus terus dikembangkan, maka untuk penelitian berikutnya perlu ditambahkan variabel lain yang diperkirakan mempengaruhi intensi muzakki misalnya unsur edukasi, bisa digunakan metode eksperimental.
536_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Daftar Pustaka
Ajzen, I., Attitude, Personality, and Behavior, Open University Press, Milton Keynes. Buckingham, 1988 Ajzen, Icek, Attitudes, Personality, and Behavior, Edisi kedua, New York: Open University Press, 2005 Assael, H., Consumer Behavior and Marketing Action, New York: PWSKENT Publishing Company, 1992 Ayuniyah, Qurroh, Factors Affecting Zakat Payment Through Institution Of Amil: Muzaki’s Perspectives Analysis (Case Study Of Badan Amil Zakat Nasional [Baznas]), IIUM, 2011 Bakar , Nur Barizah Abu dan Hafiz Majdi Abdul Rashid, “Motivations of Paying Zakat on Income: Evidence from Malaysia,” International Journal of Economics and Finance, Vol. 2, No. 3; August 2010 Beik, IS. Economic Role of Zakat in Reducing Poverty and Income Inequality in Jakarta, Indonesia: Case Study of Dompet Dhuafa. Ph.D Dissertation. International Islamic University of Malaysia, Malaysia, 2010 Doa, H.M. Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, Jakarta: Nuansa Madani, 2001. ________________, Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolan Zakat Harta, Jakarta : Nuansa Madani, 2002 ------------------------, Pengelolaan Zakat Oleh Negara, Untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Korpus, 2004. Engel, J.F., Perilaku Konsumen, (Edisi Keenam). Alih Bahasa Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara, 1995. Fishbein dan Ajzen, Belief, Attitude,Intentions and Behavior: an introduction
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _537
to theory and research, California: Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1975 Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002 Hawkins, D., Consumer Behavior: Building Marketing Strategy, (7th Edition), New York: McGraw-Hill, 1998. Hedzir Ida Husna Binti, Intention To Pay Zakah On Employment Income Among Manufacturing Employees In Penang, College of Business Universiti Utara Malaysia, 2009 Hogh, Michael , Graham Vaughan, Social Physchology, Third Edition, Prentice Hall, United Kingdom, 2002 Huda, Nurul, “Prilaku Konsumsi Islami”, Jurnal Dikta Ekonomi, vol 4 No 2 tahun 2007 Huda, Nurul et, all, “Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah,” Prenada Kencana Group, 2012 Indonesia Magnificence of Zakat, Menggagas Arsitektru Zakat Indonesia : Menuju Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Pengelolaan Zakat Nasional, Jakarta: Indonesia Zakat &Development Repot, 2010 Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), Indonesia Zakat and Development Report 2011 : Kajian Empirik Zakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Dhompet Dhuafa, 2011 Karim, Adiwarman dan A.Azhar Syarief, “Fenomena Unik di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia,” Jurnal Pemikiran dan Gagasan: Zakat &Empowering, Vol 1 Agustus 2008 Kotler, P., Marketing Management: Analysis, Planing, Implementation, and Control, Engteword Cliffs,N.Y.: Prentice-Hall Inc, 2000 Loudon, David and Bitta, A.J. Della, Consumer Behavior, Concept and Application, New York: McGraw-Hill Companies, hic, 1993, Fourth Edition
538_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Mannan, M. A., Islamic Economics: Theory and Practice, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1970 Mukhammad Najib, “Perilaku Konsumsi Dalam Islam”, tazkiaonline. com, 2003 Nasution, Mustafa Edwin, et al., “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006 PEBS /Pusat Ekonomi Bisnis Syariah, Zakat dan Era Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Ummat, FEUI dan DD, 2009 PEBS /Pusat Ekonomi Bisnis Syariah, “Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia: Menuju Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil Dalam Pengelolaan Zakat, IZDR, IMZ,” 2010 Qadir, A., Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1998 Qardawi, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. (Sari Nurlita Lc, Trans), Jakarta: Zikrul Hakim, 2005 Qardawi, Yusuf, Hukum zakat, diterjemahkan Salman Harun dkk, Jakarta: Pustaka litera Antar Nusa, 2010 Ramdhani , Neila , Sebuah Pengantar Dalam Belajar Teori-Teori Sikap, Program Pendidikan Doktor Fakultas Psikologi UGM, 2007-2008 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Sapingi, Raedah ,Noormala Ahmad and Marziana Mohamad, A Study On Zakah Of Employment Income: Factors That Influence Academics’ Intention To Pay Zakah, 2nd International Conference On Business And Economic Research (2nd ICBER 2011) Proceeding Sarlito W. Sarwono, Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka, 2006 Shalihati, F., “Analisis Sikap dan Persepsi Muzzaki terhadap Badan Amil Zakat Nasional di Kota Jakarta”, MM Dissertation. Master of
Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi _539
Management, Magister Business of Bogor Agricultural University, Indonesia. 2010 Shirazi, N. S., “Providing for the Resource Shortfall for Poverty Elimination through the Institution of Zakat in Low-Income Muslim Countries”. IIUM Journal of Economics and Management, vol. 14, no. 1, 2006 Simamora, B., Panduan Riset Perilaku Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 Sudarmiatin, “Model Perilaku Konsumen dalam Perspektif Teori dan Empiris pada Jasa Pariwisata”, Jurnal Ekonomi Bisnis, Tahun 14 No 1 Maret 2009. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat Uzaifah, Studi Deskriptif Prilaku Dosen Perguruan Tinggi Islam DIY Dalam Membayar Zakat, La_Riba Jurnal Ekonomi Islam Vol 1 No1, tahun 2007, hal 127-143 Zuhayly, Wahbah, Zakat : Kajian Berbagai Mazahab, diterjemahkan Agus Effendy, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
540_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Endnotes
1. Pew Forum on Religion & Public Life, yang dirilis Kamis, 27 Januari 2011 2. Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
3. Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka’bah atau ibadat-ibadat yang lain. [535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
4. Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini Ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya. [443] Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _541
Interpretation of Ahkam: Zakat as a Solution for People’s Economy in Indonesia
Tafsir Ahkam : Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia
Hasani Ahmad Said Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta email: [email protected]
Abstract: Interpretation Ahkam as a bid among many solutions offered, as a simplification and facilitate the study of the Quran. From the name, al-Ahkam, this interpretation model talks about law, precisely the verses related to Islamic law. Deeper knowledge about the law verses in the Qur’an in turn will produce a flexible interpretation of the law, according to times changing. One of interpretation pattern is recruited in this study is the interpretation with the law pattern. In this writing, the writer will emphasize on introductory the study of contemporary Islamic law in this case is about charity/ zakat.
Abstraksi: Tafsir Ahkam menjadi tawaran di antara banyak solusi yang disodorkan, sebagai penyederhanaan dan mempermudah dalam kajian al-Quran. Dari namanya, alAhkâm, model tafsir ini berbicara tentang hukum, tepatnya ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam. Pengetahuan yang mendalam terhadap ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an pada gilirannya akan melahirkan tafsir hukum yang fleksibel, sesuai dengan perkembangan zaman. salah satu corak tafsir yang akan diangkat dalam kajian ini adalah
542_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 tafsir dengan corak hukum. Dalam’ tulisan ini, titik tekan kajian lebih mengantarkan kepada kajian hukum Islam kontemporer dalam hal ini adalah tentang zakat. Keywords: al-Qur’an, zakat, ahkam, tafsir, Indonesia
A. Pendahuluan Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur’an menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Al-Qur’an dan di mana terdapat tuntunan AlQur’an, di situ terdapat kemaslahatan.1 Al-Qur’an al-karim adalah kalam Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk (hidayah) bagi seluruh umat manusia. Kitab suci tersebut datang sebagai mu’jizat yang kekal dan dipergunakan oleh Islam untuk menentang orang-orang Arab yang tidak mampu menandingi kemu’jizatan yang dimilikinya, baik dalam segi susunan kata, gaya bahasa, maupun dalam segi keindahankeindahan syari’at, filsafat, ilmu pengetahuan maupun perumpamaanperumpamaan yang dikandungnya.2 Kandungan ayat al-Qur’an juga berisi tidak hanya sya’ir-sya’ir yang indah saja, melainkan juga terdapat berbagai kaidah hukum yang harus dijadikan panduan bagi umat Islam. Oleh karena itu, kandungan al-Qur’an yang dijadikan panutan tersebut banyak dikaji dan dibahas melalui ilmu fiqh dan tafsir, yaitu fiqh sebagai cabang ilmu yang mengkaji dan menyimpulkan hukum dengan apa yang terdapat pada nash alQur’an, sedangkan tafsir adalah cabang ilmu yang mengkaji makna dan maksud yang dikehendaki oleh Qur’an itu sendiri.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _543
Al-Qur’an sendiri menyebut sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan li al-nâsh). Akan tetapi petunjuk al-Qur’an tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya tafsir yang mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Al-Qur’an tersebut.3. Itulah sebabnya sejak al-Qur’an diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tidak henti-hentinya. Secara terminologis4, tafsîr5 adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.6 Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn alZarkâsyi (745-749 H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang terkandung di dalamnya).7 Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam QS. al-Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.8 Berkembanglah manhâj (pendekatan) tafsir dari manhâj atsari ke manhâj ra’yi, dan berkembang pula tarîqah (metode) tafsir.9 Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir. Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak taSawuf, corak sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).10 Semangat al-Qur’an Al-Qur’an yang shâlih likulli zamân wa makân, M. Quraish Shihab mengistilahkan dengan “Membumikan al-Qur’an”. Dalam bahasa Nashr Hâmid Abû Zayd dikenal tekstualitas Al-Qur’an (mafhûm al-nash) atau meminjam Shahrur “al-Qirâ‘ah al-mu‘âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Al-Qur’an, dan lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, maka tuntutan
544_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan.11 Pokok permasalahan yang akan ditelisik melalui rangkaian studi ini adalah mengenai tafsir ahkam sebagai salah satu corak penafsiran AlQur’an atau dengan kata lain alat corak penafsiran hukum dikaitkan dengan permasalahan dan upaya kontekstualisasi studi hukum Islam dalam penafsiran kontemporer yang berkembang di masyarakat saat ini. Oleh karena itu, kajian ini dapat diuraikan ke dalam lima sorotan besar dalam bentuk pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut: Pertama, menyoal bagaimana peran tafsir ahkam sebagai instrumen corak penafsiran?; Kedua, bagaimana teori dan model tafsir ahkam; Ketiga, sejauh mana konsep dan aplikasi tafsir ahkam memengaruhi dalam struktur bangun model penafsira Al-Qur’an kontemporer saat ini?; Keempat, bagaimana pola dan strategi menuju upaya kontekstualisasi di tengah arus perubahan sosial dan seberapa jauh corak hukum dalam sebuah penafsiran meng-cover proses kontekstualisasi dalam masyarakat. Namun, demikian, agar fokus kajian ini tidak mengalami bias, maka hal-hal yang tidak memiliki relevansi, tersutama substansi yang berada di luar kaitan langsung dengan core kajian dalam studi ini tidak akan menjadi perioritas yang memadai. Mengingat luasnya cakupan masalah-masalah di atas, penelitian ini hanya memfokuskan pada beberapa aspek model tafsir ahkam, sebagai rancang bangun corak penafsiran Al-Qur’an. Selain itu, fokus kajian dibatasi pada aspek ayat-ayat hukum saja. Muhammad Husayn al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa alMufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang, secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (allaun al-‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _545
pendekatan menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan berpijak pada realitas sosial.12 Penelitian ini memusatkan perhatiannya pada pengkajian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi dengan bantuan materi yang terdapat di perpustakaan. Sesuai dengan masalah pokok yang dibahas, maka penelitian ini akan diawali dengan mencari ayat-ayat yang berkaitan dengan kajian hukum Islam kontemporer untuk ditafsirkan. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data sekunder yang menyangkut permasalahan konsep hukum Islam kontemporer yang berasal dari kitab-kitab tafsir ahkâm, buku-buku, jurnal, dan lain-lain. Kemudian studi dilanjutkan dengan mengemukakan tafsir ahkam dalam tafsir yang berkaitan dengan kajian hukum Islam terutama kajian kontemporer sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah di atas, dengan menggunakan metode komparatif (Perbandingan).
B. Gambaran Umum Tafsir Ahkam 1. Menelusuri Tafsir Ahkam: Telisik Ontologis Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.13 Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkâm. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbât al-syai’ ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan
546_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :
خطاب اهلل املتعلق بأفعال املكلفني إقتضاء أو ختيريا أو وضعا
اهلل املتعلق بأفعال ا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu خطاب اهلل تعاىل sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”. خطاب
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran
خطاب الشرع املتعلق بأفعال املك خطاب Islam)اهلل adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam تعاىل خطاب اهللibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana melaksanakan
dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat
أيتموين أصلي كما رdengan (صلوا di atas ( خطاب اهلل تعاىلtuntutan Allah ta’ala) dalam )definisi خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan
saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui )منسككم وا عينhukm (خذ Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama. Menurut ulama fiqh, خطاب الشرع adalah )أيتموين أصلي “كما رakibat” (صلواyang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut َّ َوآتُوا itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah الزَكا َة )أيتموين أصلي (صلوا كما ر (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm )منسككم (خذوا عين adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
ِ حقَّو ي وم حص ِادdapat Dari mengenai ayat-ayat hukum هsebelumnya )منسككم عينpengertian (خذوا َ َ َ ْ َ ُ َ َوآتُوا disimpulkan َّ َوآتُواbahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Alالزَكا َة Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan ِ َكسبتمatau ِmeninggalkan ِ ِ dengan thalab ِ األر ض ُك ْم ِم َنmelakukan ََخَر ْجنَا ل َّ ( َوآتُواtuntutan ُْ َ ات َما ْ َوِمَّا أdan الزَكاة َأَنْف ُقوا م ْن طَيِّب ْ untuk ْ َ sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum ص ِاد ِه ح َحقَّوُ يَ ْوَمayat-ayat َوآتُوا َ َ adalah Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum. Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ِوإ ث َكاللَ ًة ور َن َر ُج ٌل يayat ْن َكاalُ ص ِاد ِه تُوا َحقَّوُ يَ ْوَم َحayat-ayat َوآ ُ َ َ ِ ahkam (tafsir hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasiَ ِ ِ ات َما َك َسْبتُمkepada أَنْف ُقوا ayat-ayat hukum. Pembatasan ayat-ayat hukum َ م ْن طَيِّبpembahasan yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari ahkam ِ أَنِْف ُقوا ِمن طَيِّب اْلَ ِّج ْمَرِة إِ َىلtafsir َّع بِالْع فَ َم ْن ََتَت ْ َما َك َسْبتُ ْمdengan ات ُ َ َ ْmetode tafsir lainnya. ِ ث َكاللَ ًة ُ ور َ َُوإ ْن َكا َن َر ُج ٌل ي 14
ِ ث َكاللَ ًة ُ ور َُوإ ْن َكا َن َر ُجِ ٌل ي َ َّع بالْعُ ْمَرِة إِ َىل ا ْْلَ ِّج َ فَ َم ْن ََتَت
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _547
2. Tafsir Ahkam: Model Penafsiran Ayat Hukum Kontemporer Tafsir fiqhi atau ayat-ayat ahkam (hukum) telah tumbuh dan berkembang semenjak era rasulullah SAW, karena ia merupakan bagian dari al-Qur’an yang diturunkan Allah kepadanya. Jenis tafsir ini termasuk bagian dari tafsir rasulullah SAW yang telah disampaikan kepada manusia, karena banyak sekali dari ayat-ayat yang
املكلفني بأفعال اهلل املتعلق خطاب ختيري إقتضاء أو املكلفني بأفعال املتعلق خطابريااهلل diturunkan kepada rasulullah SAW merupakan ayat-ayat “al-far’iyah” وضعا أو ختي أو إقتضاء املكلفني بأفعال املتعلق اهلل خطاب وضعا أو ا ري ختي أو إقتضاء املكلفني بأفعال املتعلق اهلل خطاب (subtansial), yangوضعا dikenal dalam terminologi Maka “ريا أوal-mushtalah” املكلفني إقتضاء أو ختي املتعلق بأفعالfiqhi. خطاب اهلل rasulullah SAW menafsirkannya kepada sahabat-sahabatnya dengan اهلل تعاىلdanخطاب perkataan perbuatannya; totalitasnya, خطاب اهلل تعاىلBeliau menjelaskan yang تعاىل اهلل تعاىل خطاب اهلل خطاب me-menspesifikasikan yang absolutnya, dan mendefinisikan yang تعاىل اهلل خطاب substansialnya; serta beliau menjelaskan kepada mereka apa-apa yang الشرعayat-ayat ع خطاب rumit dari tersebut. خطاب الشر ع الشرع خطاب الشر خطاب Sebagai contoh dari kasus-kasus itu, misalnya Rasulullahعmengerjakan خطاب الشر shalat berjama’ah dengan sahabat-sahabatnya, lalu bersabda kepada )أصلي أصلي)رأيتموين صلوا كما ( “ (صلوا كما رShalatlah sebagaimana kamu melihat mereka: أيتموين )أيتموين أصلي كما رر (( أيتموينibadah صلوواا كما صل saya mengerjakannya”, Beliau melaksanakan)أصلي prosesi haji )(صلوا كما رأيتموين أصلي bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau bersabda kepada mereka: )منسككم)عين منسككم “ (خذواAmbilah manasik haji kamu”, dan inilah خذوا عينdariku ( )منسككم عين خذوواا منسككم ((خذ sekelumit tafsir ayat-ayat hukum shalat dan haji )di dalam عين al-Qur’an. )(خذوا عين منسككم Demikian juga halnya dengan hukum zakat, Allah memerintahkan agar ditunaikan َةdengan َّ وآتُواperintah الزَكا َّ totalitas, َوآتُواseperti dalam ayat: َ الزَكا َة ََّّ َووآآتتُوواا الزَككااةَة َالزَكاة َّ ََوآتُُوا الز َ َ Artinya: “dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah/2: 110). ِوآتُوا ِحِقَّو ي وم حص ِاده َ َ َ ْ َ ُ صادَه ِِ وآتُوا حقَّو ي وم حص َ َوآتُوا َحقَّوُ يَ ْوَم ََح اد ِِهه ََ ََوآتُوا ََحقَّوُُ يََ ْْوََم ََح اد ِ ص ِاد ه ص وا َحقAlَُوآت Artinya: “dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya” َ (َّوُ يَ ْوَم َحQS. ِ ِ طَيِّب141)أَِنِْف ُقوا ِمن جنَساْبتُلَ ْمُك َموِِمَِّام أنَخAn’am/6: َخرَك ات أَما َّا ات ما َكسبتم وِِِمَّا أَخرجنا لَ أَُكنِْمف ُقِِموانِم ْن ِِ أَنِِْف ُقوا ِِمن طَيِّب ِِاألرطَيِّب ْ َ ْ ضات َما َك َْسْبتُ ْم ََوِم َض َ ْ ْْ ات ََما َك َسْبْتُُ ْْم ََوِِمَّا أ ْْ َخََر ْْجنََا لَ ُك ْْم ِم ََن األر ِ ََأأََننِْْفف ُُققوواا ِمم ْْنن ططََييِِّّبب َ ِ األر ض ن م م ك ل ا ن ج ر َخ أ َّا ِم و م ت ب س ك ا م ات ُ َ َ َ ُ ْ َْ َ ْ َْ َ َ ْ ْ َ ْ Artinya: “nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang ِوإِن كان رجل يوإ ن ْ ًث َكاللَة ُ ور ور َ ُثَكاَكَناللَرًةُج ٌل ي َ ْ َ َ ُ َُ ٌَُ الللََةًة ث َكك ور َووإإِِ ْنن َككاا َنن َرر ُججلٌل يي َ ُ ُ َ ال ث ور ًث َكاللة ُ َ َُوإِ ْن َكا َن َر ُجلٌ ي ً َ َ ُ ور َُ ٌَُ َ َ ْ َ َّعْل بِِّجالْعُ ْمَرِة إِ َىل ا ْْلَ ِّج فَمن ََتَت ِ فمِن ََتت ِ ِ ِ فَمن ََتَت اْلَ ِّجج ََْ َّع بالْعُ ْمَرَِةَ إَْىل َا َ َْ ْْ ىل ََ فَ ََم ْْن ََتَت َّع ببِِااللْْععُُ ْْممََررِِةة إإِِ ََىل َّع ِّاْلَج فَمن ََتَت ِّ َّع بالْعمرة إ َىل ا ْْل
548_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi” (QS. AlBaqarah/2: 267). Maka Rasulullah SAW yang menjelaskan kepada mereka apa-apa yang harus ditunaikan zakatnya, ketentuan dan waktu-waktu pelaksanaannya. Demikianlah pada hampir semua kewajiban syariat. Adalah para sahabat selalu antusias menanyakan kepada beliau setiap turun ayat-ayat seperti itu, Umar bin al-Khattab ra berkata: Saya pernah menanyakan kepada rasulullah SAW tentang “kalalah”? Lalu Rasulullah SAW bersabda: Bacalah ayat “shaif” (ayat yang diturunkan pada musim panas).15 Setelah rasulullah SAW wafat, para sahabatpun baru mulai berijtihad dalam memahami petuntuk-petunjuk lain dari ayat-ayat hukum yang tidak pernah ditanyakan maksudnya kepada rasulullah SAW, dan mereka tidak pernah mengetahui tentang kasus itu. Kemudian pengalaman baru itu telah menjadi pekerjaan yang cukup berat dihadapi para sahabat senior, terurama setelah kaum muslimin semakin berkembang dan kompleks yang membutuhkan aturan-aturan permanen, untuk menata kehidupan mereka berdasarkan hukum-hukum syariat yang lurus dan benar. Maka hal pertama menjadi perhatian besar sahabat tiada lain adalah harus memahami ayat-ayat hukum, karena sumber pokok yang akan mengaplikasikan hukum-hukum syariat ini adalah al-Qur’an. Demikianlah mereka bekerja keras mempelajari al-Qur’an, terutama ayat-ayat hukumnya, berusaha sekuat tenaga mencernah ayat perayat ke dalam benak dan hati mereka. Apabila mereka menemukan di dalam al-Qur’an hukum-hukum yang dibutuhkan pada kasus-kasus dihadapinya maka diaplikasikannya, tetapi apabila tidak menemukan atau kesulitan, mereka mencari kepada sunnah-sunnah rasulullah SAW. Dan jika tidak menemukannya juga pada sunnah, mereka melakukan ijtihad namun tetap menyandarkan pemikiran mereka kepada sumber utama yaitu al-Qur’an dan sunnah nabi SAW, kemudian mereka meng-istinbat-kan hukum pada kasuskasus yang memerlukan hukum tersebut dengan perasaan tawakkal.
)(صلوا كما رأيتموين أصلي َّ _وا549 الزَكا َة َُوآت Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia Maka tersebutlah tokoh-tokoh kaliber dibidang ini, seperti Abu )ِ منسككم وا عينBakar (خذ ِ ه اد ص ح م و ي َّو ق ح ra yang pernah berkata: “Sesungguhnya saya pernah mengeluarkan َ َ َ ْ َ ُ َ َوآتُوا ijtihad tentang “kalalah” jika saya benar, maka itu dari Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, dan jika saya salah maka itu kesalahanةsaya َِّ واdan َالزَكان ُأََونآِفت ِ ِ ِ ِ ض األر ن م م ك ل ا ن ج ر َخ أ َّا ِم و م ت ب س ك ا م ات ب ي ط م ا و ق dari setan, karena Allah ْterlepasْ ُdari itu semua. Menurut saya “kalalah” َ َ ِّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ُْ َ َ َ ْ َ adalah orang yang tidak mempunyai anak dan bapak”. Jelas Abu Bakar di sini telah merujuk kepada firman Allah: ِِ
صاده َ َووإِآتُْنوا َكاَحَنقَّوُريَجْولَم ي َحور ث َكاللَ ًة ُ َُ ٌَُ َ
Artinya: “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayahنdan ِ(QS. ِ األر ض ْم ِمtidak جنَا لَ ُكmeninggalkan َخَر َسْبتُ ْم َوِِمَّا أanak,” ات ِ َما َك طَيِّبAl-Nisa/4: أَنِْف ُقوا ِم ْن ْ ْ َ ْ َ ِ ِ اْلَ ِّج 12). ْ فَم ْن ََتَتَّع بالْعُ ْمرة إ َىل
َ
َ
َ
Dan ayat inilah yang telah ditafsirkan dan dita’wilkan oleh Abu Bakar ra dan mengaflikasikannya dalam hukum semasaةpemerintahannya. َكا َن َر ُج ٌل يLain َوإِ ْن ً َث َكالل ُ ور ُ َ halnya dengan Umar bin al-Khattab ra yang berijtihad dalam memahami firman Allah:
اْلَ ِّج ْ َّع بِالْعُ ْمَرِة إِ َىل َ فَ َم ْن ََتَت
Artinya: “Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),” (QS. Al-Baqarah/2: 196) Dari ayat ini Umar ra melarang melakukan hubungan suami-isteri ketika sedang melaksanakan haji, sebagaima dalam konteks ayat, sebagai ijtihad dari dirinya. Namun ditolak olehnya para sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali ra, Ibn Mas’ud ra, Abu Musa ra dan Abdullah Ibn Umar ra. Harus diketahui bahwa para sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, adakalanya mereka sepakat menerapkan hukum dari ayat yang di tafsirkan, dan terkadang pula berbeda dalam memahami ayat. Maka berbeda hukum-hukum mereka dalam suatu kasus yang mereka cari hukumnya, seperti perbedaan yang terjadi antara Umar bin al-Khattab ra dengan Ali bin Abi Thalib ra dalam menentukan iddah perempuan hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, maka Umar ra menetapkan
550_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
iddahnya sampai ia melahirkan, sedangkan Ali ra berpendapat bahwa iddahnya adalah yang terjauh di antara dua masa yang telah disebutkan dalam dua ayat berbeda: melahirkan, dan menjalani masa empat bulan dan sepuluh hari. Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat seperti ini adanya kontra di antara dua nash (ayat) yang bersifat umum di dalam al-Qur’an, bahwa sanya Allah SWT menjadikan iddah bagi perempuan hamil hingga melahirkan, dan menjadikan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya sampai menjalani masa empat bulan dan sepuluh hari tanpa ada perincian. Lalu Ali ra berijtihad menerapkan kedua ayat secara bersamaan, bahwa setiap ayat dari keduanya berlaku khusus bagi keumuman yang lain. Sedangkan Umar ra berpendapat bahwa ayat thalaq berlaku khusus untuk ayat mengenai perempuan yang ditinggal mati suaminya. Dan ternyata pendapat Umar ra diperkuat oleh kasus Sabi’ah binti al-Harits al-Aslamiyah yang telah ditinggal mati oleh suaminya, lalu melahirkan setelah 25 hari dari kepergian suaminya, dan kala itu rasulullah SAW membolehkannya menikah lagi. Kasus-kasus perbedaan seperti ini lazim terjadi dikalangan sahabat berdasarkan pemahaman setiap dari mereka pada ayat al-Qur’an, dan apa yang menyokong dengannya dari petuntuk-petunjuk luar. Walaupun tetap ada perbedaan itu, namun tiap-tiap dari mereka yang berbeda selalu pergi sendiri mencari kebenaran, maka jika telah menemukan petunjuk dan ternyata harus mengakui pendapat yang berhaluan dengannya, ia serta merta menggugurkan pendapatnya sendiri dan beralih kependapat yang lebih benar. Semangat al-Qur’an Al-Qur’an yang shâlih likulli zamân wa makân, M. Quraish Shihab mengistilahkan dengan “Membumikan al-Qur’an”. Dalam bahasa Nashr Hâmid Abû Zayd dikenal tekstualitas Al-Qur’an (mafhûm al-nash) atau meminjam Shahrur “al-Qirâ‘ah al-mu‘âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat, sempitnya
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _551
terhadap pemahaman Al-Qur’an, dan lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan.16 Secara umum, dalam kedudukannya Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari : a. Hukum thoharoh (kebersihan); b. Hukum ibadah (shalat, zakat, puasa dan haji); c. Hukum makanan dan penyembelihan; d. e. f. g. h. i.
Hukum perkawinan; Hukum waris; Hukum perjanjian; Hukum pidana; Hukum perang dan Hukum antar bangsa-bangsa.
Dari 6000-an ayat al-Qur’an, ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: pertama, hukum-hukum ibadat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk mengatur perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada tiga perkara yaitu: 1. Ibadah badaniyah, seperti shalat dan shaum; 2. Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu zakat dan sedekah; 3. Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu haji, jihad, dan nadzar. Kedua, hukum-hukum muamalat, yaitu segala hukum yang disyari’atkan untuk menyusun dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta perikatan antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan masyarakat, atau perseorangan dengan negara. Muamalat dibagi kepada sebelas perkara, yaitu: 1. Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu hukum-hukum yang rapat perhubungannya dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir
552_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
hingga matinya, yaitu kawin, cerai, iddah, hubungan kekeluargaan, penyusuan, nafkah, wasiat dan pusaka; 2. Hukum-hukum muamalat madaniyah, yaitu hukum-hukum jual beli, sewa menyewa; 3. Hukum-hukum jinayah (pidana), yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara hidup manusia, kehormatan dan harta; 4. Hukum-hukum ini diterangkan secara terperinci dalam Al-Qur’an. Perbuatan manusia yang diterangkan Al-Qur’an yaitu pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan tidak disengaja, mencuri, merampok, zina, dan qodzaf; 5. Hukum-hukum internasional, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya hukum-hukum yang disyari’atkan untuk jihad, aturanaturan perang, perhubungan antara ummat Islam dengan ummat lain, hukum-hukum tawanan dan rampasan perang; 6. Hukum-hukum acara; 7. Hukum-hukum dustur, yaitu hukum-hukum yang diatur untuk menggariskan hubungan antara rakyat dengan Negara; 8. Hukum-hukum yang berpautan dengan kekeluargaan : kawin, cerai dan pusaka; 9. Urusan-urusan pidana, hukum membunuh, mencuri dan sebagainya; 10. Hukum-hukum internasional, yaitu : hukum-hukum perang, perhubungan negara dengan negara dan rampasan-rampasan perang; 11. Hukum-hukum perdata : Jual beli, riba, gadai, sewa menyewa dan sebagainya.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _553
Selain itu, ada juga ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah : a. Berhubungan dengan ibadah, sebanya 140 Ayat; b. Mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat; c. Berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 ayat; d. Berhubungan dengan hukum-hukum perang dan damai, tugas pemerintahan, sebanyak 35 ayat; e. Berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 ayat; f. Mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 ayat. Jika dikalkulasikan, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an tidak mencapai 1/10 dari keseluruhan ayat Al-Qur’an. Sebagaian ulama menyebutkan tidak lebih dari 200 Ayat . ada juga yang berpendapat ayat-ayat hukum mencapai 500 ayat.
C. Tafsir Ahkam Kontemporer: Memotret Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri.17 Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban shalat dan manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman shalat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.
554_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Zakat menurut etimologi berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik. Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Ibnu Taimiah, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Zakat menurut terminologi berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt. untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat. Zakat dalam Al-Qur’an dan hadis banyak dijelaskan, seperti firman Allah swt.: “Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu itu akan menjadi ketenteraman buat mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103). “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’”. (QS. Al-Baqaraah/2: 43). “Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”. (QS. Al-An’am: 141). Dalam hadis yang sahih, Rasulullah Saw. ketika memberangkatkan Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda, “Beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan kepada fakir miskin di kalangan mereka.” (Hadis ini diketengahkan oleh banyak perawi). Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: “Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan”. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan oleh Al-Thabrani dari Ali ra: Artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _555
kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih”. Lalu, bagaimana mengoptimalisasikan dana zakat itu? Keberhasilan zakat tergantung kepada pendayagunaan dan pemanfaatannya.18 Walaupun seorang wajib zakat (muzakki) mengetahui dan mampu memperkirakan jumlah zakat yang akan ia keluarkan, tidak dibenarkan ia menyerahkannya kepada sembarang orang yang ia sukai. Zakat harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan yang benar adalah melalui badan amil zakat. Walaupun demikian, kepada badan amil zakat manapun tetap terpikul kewajiban untuk mengefektifkan pendayagunaannya. Pendayagunaan yang efektif ialah efektif manfaatnya (sesuai dengan tujuan) dan jatuh pada yang berhak (sesuai dengan nas) secara tepat guna. Keberadaan amilin ini didukung oleh fakta historis bahwa Rasulullah pernah mengutus Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat Bani Sulaim, juga mengutus Mu’adz ibn Jabal untuk memungut zakat dari penduduk Yaman. Pertanyaannya, apa makna strategis Al Qur’an dan praktik Nabi Saw (Al-Hadis) berkaitan dengan keberadaan amil zakat di atas? Secara tersirat, Al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa keberadaan amil dalam mengelola zakat memiliki peran yang sangat strategis. Artinya, amil diharapkan mampu mewujudkan cita-cita zakat sebagai salah satu instrumen dalam Islam (Sistem ekonomi Islam) dalam rangka menciptakan pemerataan ekonomi dan harmonisasi antarumat. Dalam konteks ini, para amil zakat tidak hanya sekedar mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, tetapi juga dituntut untuk mampu menciptakan pemerataan ekonomi umat sehingga kekayaan tidak hanya berputar pada satu golongan atau satu kelompok orang saja.
556_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Hasyr : 7 Artinya: supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Ayat di atas, memberi pelajaran bahwa Islam tidak melarang untuk kaya. Islam mengajarkan umatnya untuk mencari harta kekayaan dan menjadi orang kuat.19 Para amil harus mampu memilih dan memilah agar penyaluran zakat tepat sasaran dan jangan sampai diberikan kepada orang yang tidak berhak, Allah swt memperingatkan bahwa ada orang yang tidak pantas menerima zakat tetapi ingin mendapatkan bagiannya lalu orang tersebut mencela Nabi Muhammad Saw. mengenai masalah pembagian harta zakat, surat Al-Taubah : 58 : Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Amil zakat harus mampu menciptakan dan merumuskan strategi pemanfaatan zakat yang berdaya guna dan berhasil guna. Amil zakat juga harus mampu mengeksplorasi berbagai potensi umat sehingga dapat diberdayakan secara optimal. Dengan demikian, zakat menjadi lebih produktif dan tidak hanya sekedar memiliki fungsi karitatif. Secara lebih jelas, Yusuf Al-Qardhawi20 menyebutkan urgensi keberadaan amil, yaitu: pertama, jaminan terlaksananya syariat zakat (bukankah ada saja manusia-manusia yang berusaha menghindar bila tidak diawasi oleh penguasa?). Kedua, pemerataan (karena dengan keterlibatan satu tangan, diharapkan seseorang tidak akan memperoleh dua kali dari dua sumber, dan diharapkan pula semua mustahiq akan memperoleh bagiannya). Ketiga,memelihara air muka para mustahiq, karena mereka tidak perlu berhadapan langsun dengan para muzakki, dan mereka tidak harus pula datang meminta. Keempat, sektor (ashnaf yang harus menerima) zakat, tidak terbatas pada individu, tetapi juga untuk kemaslahatan umum, dan sektor ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _557
Nabi Muhaminad SAW pernah memberikan shadakah kepada seorang fakir sebanyak dua dirham, sambil mernberi anjuran agar mempergunakan uang itu satu dirham untuk makan dan satu dirham lagi untuk membeli kampak dan bekerja dengan kampak itu. Lima belas hari kemudian orang ini datang lagi kepada Nabi SAW dan menyampaikan bahwa ia telah bekerja dan berhasil mendapat sepuluh dirham. Separuh uangnya dipergunakan untuk makan dan separuhnya lagi untuk membeli pakaian. Zakat diberikan tidak sekedar sampai pada fakir, sunnah Nabi menyarankan agar zakat dapat membebaskan seorang fakir dari kefakirannya. Nabi pun dicerca orang yang tidak mendapat bagian zakat atau dipuji karena seseorang mendapat sesuai dengan yang diingininya. Padahal Nabi menentukan mustahik atas dasar tepatnya sasaran. Apabila tidak ada lagi mustahik maka dana zakat dikirimkan ke luar daerah atau untuk dimasukkan ke dalam dana baitul maal seperti dilakukan oleh Mu’az pada zaman Khalifah Umar. Tiga kali Gubernur Yaman mengirimkan zakat kepada Umar, dan tiga kali Umar menolak, bahwa ia tidak menyuruh Mu’az memungut upeti. Tetapi Mu’az menerangkan bahwa ia tidak lagi mendapatkan mustahik zakat. Di dalam Al Qur’an disebutkan mustahik adalah 8 asnaf. Pengertian tentang kedelapan asnaf berkembang sesuai dengan berubahnya kondisi sosial ekonomi di atas dasar yang tetap. Dengan mengubah orientasi, tetapi tetap berpegang kepada nas mustahik seperti tersebut di atas, dilakukan proyek rintisan untuk mengembangkan pendayagunaan zakat untuk mencapai efektif manfaat yang maksimal. Proyek rintisan pada dasarnya memerlukan dana yang besar. Hal ini perlu mendapat perhatian dan meminta kesadaran para muzakki. Memang dengan konsentrasi dana semacam ini dapat menimbulkan pengaruh yang dianggap kurang memperhatikan kepentingan para asnaf secara langsung. Namun untuk mengatasi hal tersebut setiap proyek rintisan diprogramkan secara matang dengan mempertimbangkan kepentingan para asnaf (sesuai nas). Di samping itu penanganan proyek tentu sudah dilakukan pula lembaga-]embaga sosial lainnya.
558_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Dana yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, meliputi : a). Bidang Sarana Ibadah, b). Bidang Pendidikan, c). Bidang Kesehatan, d). Bidang pelayanan sosial, e). Bidang Ekonomi. Proyek-proyek ini dilaksanakan sesuai dengan urutan prioritas dan alternatif yang paling memungkinkan bagi penggunaan dana zakat. Selain itu, keberhasilan zakat dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia juga bisa dilakukan dengan upaya reward dan punishman. Reward, upaya ini bisa saja dilakukan bagi pembayar zakat yang taat, sehingga perlu juga upaya memberikan penghargaan. Baik itu ucapan terimakasih berupa sertifikat, bahkan dimasukkan dalam pengumumanpengumuman yang sifatnya terbuka atau bahkan dengan cara lain yang mampu menggugah muzakki lain untuk berlomba-lomba dalam membayar zakat. Ancaman hukuman bagi muzaki yang tidak mau membayar zakat, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 180 dinyatakan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya itu kelak akan dikalungkan di lehernya pada hari kiamat. Dalam surat Al-Taubah ayat 34 dan 35 dinyatakan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya itu kelak akan dipanaskan dalam api neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung mereka, dan punggung mereka. Dalam surat Fushilat ayat 6 dan 7 disebutkan bahwa neraka wail (kecelakaan besarlah) bagi mereka yang mempersekutukan (Nya), yaitu mereka yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sanksi pidana berupa denda hanya sebesar zakat yang wajib ditunaikannya, yaitu 2,5 persen zakat hartanya yang harus dibayarkan ke BAZ ditambah 2,5 persen dendanya yang harus disetorkan ke kas negara, tidak saja mereduksi ancaman hukuman dari Allah, tapi justru membebaskan mereka dari ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _559
Sedang dalam Undang-undang no. 38 tahun 1999 Pasal 21 dikatakan sebagai berikut: 1. Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sabagimana dimaksudkan dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurunngan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyanya Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). 2. Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran. 3. Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga yang beragama Islam dan telah memenuhi kewajiban berzakat harus segera menyadari tanggungjawabnya dalam menyisihkan sebagian hartanya untuk faqir miskin. DPR dalam Draft Rancangan UndangUndang Pengelolaan Zakat rencananya akan memberlakukan sanksi bagi muzakki (wajib zakat) yang tidak mau membayar zakat. Kemudian, sejak digulirkannya seruan Presiden SBY tentang perlunya merevitalisasi pengelolaan zakat, infak, dan sedekah dalam acara pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FES) tanggal 4 Februari 2009, yang kemudian diikuti wacana tentang perlunya merevisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlunya pemberian sanksi kepada muzaki yang tidak mau berzakat, pengintegrasian LAZ ke dalam BAZ, serta usul agar zakat dapat mengurangi besarnya pajak, yang disampaikan oleh menteri agama di depan panitia ad hoc III DPD RI tanggal 24 Februari 2009, telah muncul sambutan dan tanggapan dari berbagai pihak. Dengan demikian, penulis bersepakat bahwa di Indoensia jangan terlalu banyak LAZ atas nama pribadi atau bahkan lembaga. Akan tetapi
560_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
LAZ yang sudah marak ada ini dilakukan pembinaan oleh Kementerian Agama RI, dan selanjutnya dilebur dalam BAZ yang satu atas dengan pemerintah. Jadi, ke depan cukup satu BAZNAS yang fokus menangani zakat atau bahkan ZISWAF. Di beberapa instansi pemerintah tingkat pusat (terutama di BUMNBUMN) sudah dibentuk unit pengumpul zakat yang dipesankan oleh Dirjen Bimas Islam. Akhirnya, UPZ-UPZ yang dibentuk oleh BABINROHIS tersebut tidak hanya mengumpulkan zakat, tapi juga menyalurkannya sesuai selera masing-masing dan menjadi LAZ yang namanya juga berbeda-beda. Fenomena inilah yang mendorong dibentuknya LAZ oleh lembaga-lembaga lainnya, seperti 4 LAZ tersebut di atas. Semuanya kemudian, pada tahun 1997, terhimpun dalam suatu asosiasi yang diberi nama Forum Zakat (FOZ). Ketua FOZ pertama adalah Pak Eri Sudewo, salah seorang perintis dan pendiri Dompet Dhuafa Republika. Akan tetapi, setelah dibentuk BAZNAS dengan Keputusan Presiden No 8 Tahun 2001, LAZ-LAZ yang berdiri setelah ditolaknya pembentukan BAZIS Nasional oleh Presiden Soeharto pada 1992, seharusnya dikembalikan kepada cita-cita semula, yaitu menjadi UPZ dari BAZNAS. Pengintegrasian LAZ ke dalam BAZ yang diwacanakan oleh menteri agama, bukan sentralisasi karena lawan sentralisasi adalah desentralisasi. Mungkin istilah yang tepat adalah merger, yang biasa dilakukan dalam dunia usaha untuk tercapainya efisiensi. Jadi, 18 LAZNAS yang sudah dikukuhkan oleh menteri agama diintegrasikan (dimerger) menjadi satu ke dalam BAZNAS, apakah sebagai UPZ BAZNAS atau UPZ BAZ Provinsi, atau masuk dalam kepengurusan BAZNAS atau BAZ Provinsi. Demikian pula, LAZ-LAZ yang sudah dikukuhkan di daerah. Dengan cara demikian, pengelolaan zakat tentu akan lebih efisien karena tidak akan terjadi lagi persaingan dalam pengumpulan zakat dan tidak akan terjadi lagi overlapping dalam pendistribusian zakat. Selain itu, juga tidak akan terjadi kebingunan pada muzaki, kepada petugas zakat yang mana dia harus menyetorkan zakatnya.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _561
Demikian pula, bagi para mustahik, karena di setiap desa/kelurahan tempat kediaman/tempat tinggal mereka sudah ada petugas zakat yang berkewajiban mengurusi kepentingan masing-masing. Dalam RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang sudah disiapkan oleh tim yang diangkat oleh Pemerintah c.q. Departemen Agama, BAZ desa/kelurahanlah yang akan menjadi ujung tombak dalam memerangi kemiskinan di negara kita. BAZ desa/kelurahanlah yang mengetahui dan bisa berhubungan langsung dengan muzaki dan mustahik yang berdomisili di desa/kelurahan. Merekalah yang mengumpulkan ZIS di wilayah masing-masing sesuai lingkup kewenangan yang sudah ditentukan dan mereka pulalah yang menyalurkan, mendistribusikan, dan mendayagunakannya sesuai ketentuan agama serta aturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila hasil pengumpulan zakat di suatu desa/kelurahan sudah dapat menanggulangi dan memenuhi kebutuhan fakir miskin di wilayah masing-masing, dan masih ada sisa, sisa tersebut bisa disetorkan ke BAZ kecamatan untuk disumbangkan kepada fakir miskin di desa/kelurahan tetangganya. Hingga hari ini, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. Kemiskinan sebagai bentuk ancaman merupakan paradigma yang telah ada sejak beridirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian dalam perkembangannya dampak krisis moneter pada tahun 1997 semakin memperparah perekonomian Indonesia. Sejak tahun inilah krisis moneter sebagai pintu gerbang dari segala permasalahan kompleks yang terjadi di Indonesia ke arah kondisi yang paling buruk. Inflasi melonjak ke level yang tinggi, pengaruhnya adalah bahan kebutuhan masyarakat melejit sampai pada tingkat di luar batas kemampuan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia. Angka kemiskinan di Indonesia melonjak tajam. dari ±200 juta jiwa penduduk Indonesia 60% nya hidup dalam garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia
562_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
sangat fluktuatif. Pada tahun 1976 angka kemiskinan Indonesia berkisar 40% dari jumlah penduduk, tahun 1996 angka kemiskinan turun menjadi 11% dari total penduduk. Pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 penduduk miskin Indonesia mencapai 24%. Tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 18 % dari total penduduk, angka kemiskinan pada 2003 sebesar 17,4%, pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 14 %. Akan tetapi angka resmi BPS berdasarkan sensus kemiskinan tahun 2005 mencapai 35.1 juta jiwa atau 14,6 % dari jumlah penduduk. Data BPS 2006 mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa. Sementara itu bank dunia (World Bank) menyatakan bahwa, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 120 juta jiwa dengan asumsi mereka yang hidup di bawah dua dolar sehari. Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Islam sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin bagi manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat. Zakat sebagai instrumen ekonomi untuk memberdayakan mereka yang tidak mampu, setiap tahun sekali ditunaikan oleh kaum muslim yang kaya (aghniya), tampaknya masih belum ada atau tidak ada korelasinya secara signifikan dengan pengurangan angka kemiskinan. Masa depan manajemen zakat di negeri ini belum banyak beranjak dari pemahaman konvensional. Para muzaki masih cenderung membagi zakatnya sendiri secara langsung kepada mustahik yang dilakukan dengan pola konsumtif karitatif. Implikasinya, pemberian zakat itu habis sekali pakai; dan dampak ikutannya, menjadikan mereka memiliki kebergantungan secara tahunan, karena tahun depan mereka menunggu lagi untuk mendapatkan
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _563
zakat. Bagi warga yang memiliki kekayaan dan hendak menyalurkan zakatnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan setempat, sistem pemberiannya pun harus diatur dengan baik. Kendala-kendala optimalisasi zakat di Indonesia adalah masalah sosialisasi dan payung hukum pengaturannya. Selain itu, yang masih dihadapi dalam penghimpunan zakat adalah belum terjadinya kerja sama antara lembaga-lembaga zakat swasta dengan pemerintah. Keduanya hingga saat ini masih terus berjalan sendiri-sendiri. Bila lembaga amil zakat swasta dan pemerintah bisa bekerja sama, mungkin potensi zakat tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Sementara itu dalam kaitannya dengan masalah pengelolaan, sebaiknya zakat dikelola negara, dan hal itu dibenarkan jika merujuk kepada surat Al- Taubah di Al-Qur’an. Dengan cara demikian, pengelolaan zakat akan dapat efektif dan transparan. Melalui Departemen Agama (Depag) (saat ini, Kemenag) telah mengusulkan agar zakat dapat dikelola oleh satu badan, dan dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang (UU) 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kenapa zakat harus diurus oleh satu badan? Alasannya: pertama, karena selama ini tak ada transparansi dari lembaga amil zakat; bahkan tidak ada laporan dari para pengelola amil zakat itu. Kedua, Depag ingin agar zakat dapat dikelola negara sehingga di masa mendatang tidak ada lagi dualisme antara lembaga amil zakat (LAZ) dan badan amil zakat (BAZ). Selama ini, seolah terjadi rebutan di antara kedua lembaga tersebut di berbagai daerah. Tentu saja usulan amandemen UU tentang Pengelolaan Zakat itu disambut baik, dan akan terus didorong oleh Komisi VIII DPR RI. Sebab, solusi zakat untuk mengatasi kemiskinan merupakan sesuatu yang perlu didorong. Kita berkeyakinan bahwa zakat memiliki kesamaan dengan budaya bangsa yang mengandalkan gotong royong. Jika memang benar, itu merupakan peluang untuk bisa ditindaklanjuti. Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa
564_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya. Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.
D. Penutup Semangat terhadap nilai-nilai Islam yang dimuat dalam hukumhukum positif seharusnya mendapat apresiasi oleh seluruh masyarakat muslim Indonesia. Apresiasi tersebut dapat dilakukan dengan menjadi muzakki yang aktif, tidak hanya dalam proses aktifitasnya sebagai seorang muzakki yang mengeluarkan hartanya, tapi apresiasi tersebut juga dapat diwujudkan dengan ikut berperan dalam pengawasan secara langsung atau tidak langsung terhadap pengelola zakat, yang dalam hal ini adalah Badan Amil Zakat menuju badan yang professional. Sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ayat ahkam menjadi tawaran dalam menjawab problematika yang muncul di masyarakat. Dari pendapat di atas, betapa banyaknya ayatayat al-Qur’an yang berbicara tentang hukum. Belum lagi kemajuan dan perkembangan zaman terus pesat, dibarengi pula dengan peliknya persoalan hukum yang terjadi di masyaakat dan sudah barang tentu memerlukan jawaban dari nur al-Qur’an. Sementara yang menghidupkan dan menjawab semua problematika hukum Islam itu adalah al-Qur’an itu sendiri, tentu dibarengi dengan interpretasi yang mumpuni.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _565
Daftar Pustaka
‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H. Bâqî, Muhammad Fu’ad ‘Abdul, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987 Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990 al-Dzahabî, Muhammad Husayn, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 Harahap, Syahrin, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dlam Bidang Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995 al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, al-Fiqk al-Iqtishadi li Amir al-Mukminin ‘Umar ibn Khattab, terj. Asmuni Solih Zamakhsyari, Jakarta: Khalifa, 2006 Hafiduddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002 Ibrahim, Muhammad Isma’il, Al-Qur’ân wa I’jâz al-‘Ilmi, Kairo: Dâr alFikr al-‘Arabi, t.th. Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984 Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996 Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996 Ibnu Mandzûr al-Afriqi, Lisân al-‘Arâb, Beirut: Dâr al-Shadîr, tth. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003
566_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Nizar, M., Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988 Pensier, Derek J., “Asal-usul Filantropi Yahudi Modern”, dalam Waren E. Ilcham dkk (ed.), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, Jakarta: CSRC UIN Syahid Jakarta, 2006 Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur’an; Mengungkap Tradisi Tafsir Nusantara: Tinjauan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lectura Press, 2014 _______, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî Bidang teologi Islam, Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005 Shihab, M. Quraish dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, Jakarta: Penamadani, 2003 al-Suyûthî, Jalâluddîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr: tt. Suma, Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2002 Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001 Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad 20.” Jurnal Ulumul Qur’an, III, no. 4, 1992 al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tth. al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tth. al-Zarkasyi, Badruddîn Muhammad bin Abdullah, al-Burhân fî ‘Ulûm alQur’ân, Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th. al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Tafsir Ahkam Ekonomi: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia _567
Endnotes 1. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Al-Qur’an; Mengungkap Tradisi Tafsir Nusantara: Tinjauan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lectura Press, 2014, h. 13-14.
2. Muhammad Isma’il Ibrahim, Al-Qur’ân wa I’jâz al-‘Ilmi, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, t.th, h. 12.
3. M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad 20.” Jurnal Ulumul Qur’an, III, no. 4, 1992, h. 50.
4. Lihat Lebih lanjut, Hasani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî Bidang teologi Islam,” Tesis PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005, h. 2-3.
5. Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassarayufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap (alKasyfu), memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H., h. 87., Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafad yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al-Afriqi, Lisân al‘Arâb, Beirut: Dâr al-Shadîr, tth., j.5, h.55. Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia. Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tth., Jilid II, h.3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985, jilid II, h. 15.
6. Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,,,,, ibid, h.3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,,,, ibid, h. 15.
7. Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm alQur’ân, Beirut: Isa al-Bab al-Halabi, t.th., j. 1, h. 13.
8. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran Q.S. al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan
568_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur’ân, Beirut: Dâr alFikr, 1987, h. 97. dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi ‘Ulûm alQur’ân,,,,, ibid, h. 4-6, lihat pula Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm alQur’an, Beirut: Dâr al-Fikr: tt., juz II, h. 173-174.
9. Hasani Ahmad Said, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr,,,,, h. 7-8. 10. Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, Jakarta: Penamadani, 2003, h. xxxiii-xxxiv
11. Baca, Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran, h. 13-14. 12. Muhammad Husayn al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, ibid, h. 15 13. Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2002, h. 27.
14. Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 118. 15. Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab “Azan”, bab “Azan lilMusafir” No. 605.
16. Baca, Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah Alquran, h. 13-14. 17. Lihat, Derek J. Pensier, “Asal-usul Filantropi Yahudi Modern”, dalam Waren E. Ilcham dkk (ed.), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, Jakarta: CSRC UIN Syahid Jakarta, 2006, h. 237.
18. Bahasan ini bisa dilihat lebih lanjut pada Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002
19. Dalam teori ekonomi Islam, distribusi mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produk dan sumber kekayaan. Islam membolehkan kepemilikan khusus dan kepemilikan umum. Lihat, Jaribah bin Ahmad alHaritsi, al-Fiqk al-Iqtishadi li Amir al-Mukminin ‘Umar ibn Khattab, terj. Asmuni Solih Zamakhsyari, Jakarta: Khalifa, 2006, h. 212.
20. Sejalan dengan pendapat ini, bisa dibandingkan dengan pasal 2, 5, 17 UU RI no. 23 tahun 2013 tentang pengelolaan zakat.
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _569
Religious Radicalism and Prevention Effort Through Community Participation
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat
Jaja Zarkasyi dan Siti Julaeha Rumah Moderasi Islam (RUMI) email: [email protected]
Abstract: Prevention of religious radicalism is not only through legal approach and security, but also through a variety of economic approaches, educational, political and sociocultural. To achieve this, it requires the participation of society at large. By involving the community, there are many strategies and human resources that can be optimized as a prevention media in growing religious radicalism. Local value is also a potential that can be maximized to prevent the spread of radicalism. Thus, the involvement of the wider community becomes imperative for optimal prevention of religious radicalism.
Abstraksi: Pencegahan radikalisme agama tidak hanya melalui pendekatan hukum dan keamanan, melainkan juga melalui berbagai pendekatan ekonomi, pendidikan, politik maupun sosial-budaya. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan partisipasi masyarakat secara luas. Dengan melibatkan masyarakat, ada banyak strategi dan SDM yang dapat dioptimalkan sebagai media pencegahan tumbuhkembangnya radikalisme agama. Nilai-nilai lokal (local value) juga merupakan potensi yang dapat dimaksimalkan
570_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014 untuk mencegah penyebaran radikalisme. Maka, keterlibatan masyarakat secara luas menjadi keharusan untuk optimalnya pencegahan radikalisme agama. Keywords: radicalism, participation, community, prevention, zakat
A. Pendahuluan Radikalisme yang mengatasnamakan agama dalam beberapa dekade terakhir telah menghiasi perdebatan para sarjana di berbagai dunia. Pro dan kontra bermunculan. Bagi sebagian kelompok, radikalisme dimaknai sebagai jawaban atas “kediaman” atas berbagai tindakan destruktif sebagain kekuatan terhadap dunia Islam. Namun, bagi kelompok lainnya, apapun alasannya radikalisme sangat membahayakan karena dampaknya yang sangat besar dalam meniptakan kerusakan tatanan sosial di masyarakat. Radikalisme dan turunannya banyak memunculkan dampak negatif, baik rusaknya tatanan sosial kebangsaan maupun berjatuhannya korban-korban dari masyarakat sipil yang tidak terkait dengan inti permasalahan. Ada banyak bentuk radikalisme yang sangat destruktif seperti peristiwa pengeboman, pembunuhan bahkan pencurian dengan kekerasan. Tragedi bom Bali I dan II misalnya, merupakan bukti nyata bahwa bahwa radikalisme telah merenggut ketenangan dan kerukunan bangsa Indonesia. Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, professor dalam Ilmu Sejarah Peradaban Islam dan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, menyatakan bahwa gerakan radikalisme agama dalam beberapa hal dapat mengganggu stabilitas nasional dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setidaknya ada tiga alasan mengapa radikalisme agama ini dapat menggangu NKRI. Pertama, mewarnai/
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _571
mengganti ideologi negara yang mapan dengan ideologi kelompok tersebut, tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain. Kedua, membawa instabilitas/keresahan sosial karena sifatnya yang militan, keras, cenderung anarkis, tidak mau kompromi. Ketiga, dampak dari radikalisme dapat mengancam eksistensi kedudukan para elit penguasa.1 Menurut Prof. Abdurrahman Mas’ud, fenomena radikalisme yang ada di Indonesia sebaiknya disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh.2 Hakikatnya, radikalisme dan seluruhturunannya, terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan, dan menjadi musuh bersama umat beragama. Mereka seringkali menempatkan agama sebagai tameng untuk meligitimasi tindakan dan perbuatannya. Semua agama sepakat, bahwa agama tidak pernah melegitimasi munculnya gerakan radikalisme dan terorisme. Sebab agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Terorisme misalnya, tidak memiliki akar dalam Islam dan semua aksi teror pada dasarnya bukan tindakan keagamaan. Islam sangat keras dalam mengecam terorisme dan ini ada dalam Alquran. Maka, ketika agama berlawanan dengan karakter dasar agama itu, berarti agama telah terkontaminasi oleh kepentingan lain di luar agama seperti kepentingan ekonomi dan politik.3 Radikalisme dengan mengatasnamakan agama sangat merusak tatanan sosial kemasyarakatan, memperkeruh suasana tidak kondusif bagi keutuhan umat Islam.Bukanhanyaitu, citrakesucian agama yang transendentaltercoreng. Yang paling penting adalah menjaga sakralitas agama pada satu komitmen, untuk memperteguh keyakinan pada nilainilai dasar agama yang paling fundamental. Suasana yang tertekan dan goncangan batin yang begitu mendalam, membuat seseorang yang menganut prinsip radikalisme akan terus berupaya mencari titik temu
572_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
sebuah kebenaran yang mereka anut. Atas nama agama, seseorang sering mengabaikan dimensi keluhuran kemanusiaan yang menjadi fitrah manusia itu sendiri, sehingga tindakan kekerasan menjadi pilihan yang paling ideal untuk memperkuat jaminan kehidupan selanjutnya.4
B. Memahami Radikalisme Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme bermakna: 1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3) sikap ekstrem dalam aliran politik.5 Dalam bahasa lain, radikalisme merupakan paham yang menghendaki terjadinya perubahan sosial dan politik melalui jalan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap benar. Dari sini, radikalisme bisa dipahami sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besarbesaran, sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang terakhir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar bagi peradaban dunia. Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda untuk memaknai gerakan radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak heran bila pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat tergantung pada keyakinan dasar penganutnya.6 Pengertian lain mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan radikal atau radikalisme itu adalah prinsip-prinsip atau praktikpraktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Kata radikal juga sering diartikan sebagai keberpihakan, kecondongan, mendukung pada satu ide pemikiran saja, satu kelompok, atau suatu
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _573
ajaran agama secara penuh dan bersungguh-sungguh serta terfokus pada suatu tujuan serta bersifat reaktif dan aktif. Secara harfiah, radikalisme atau fundamentalisme tidak memliki sesuatu yang negatif. Namun secara etimologi, radikalisme dan fundamentalisme telah mengalami penyempitan makna yang bermakna negatif.7 Untukmenghindarikerancuan, maka perlu dibedakan antara radikal, radikalisme dan radikalisasi. Menurut KH. Hasyim Muzadi, (Mantan Ketua PBNU dan pengasuh Pesantren al-Hikam Malang), pada dasarnya seseorang yang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berpikir sudah seharusnyalah seperti itu. Katakanlah misalnya, seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah (ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik) disebabkan Indonesia tidak menerapkan syariat Islam. Dan oleh karena itu, misalnya, dasar Negara Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (khilāfah islāmiyyah). Pendapat yang radikal seperti itu sah-sah saja. Sekeras apapun pernyataan di atas jika hanya dalam wacana atau pemikiran, tidak akan menjadi persoalan publik. Sebab pada hakikatnya, apa yang muncul dalam benak atau pikiran tidak dapat diadili (kriminalisasi pemikiran) karena tidak termasuk tindak pidana.4Kejahatan adalah suatu tindakan (omissi). Dalam pengertian ini, seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak.8 Adapun term “radikalisme”, Hasyim Muzadi mendefiniskannya sebagai“radikal dalam paham atau ismenya”. Biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force (kekuatan) masyarakat dan teror. Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Dalam hal ini, setiap orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak.9
574_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, adalah (seseorang yang) tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum, politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan keadilan. Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu.10 Lalu, apa saja faktor yang mendorong munculnya radikalisme dalam agama? Syamsul Bakri, dosen Peradaban Islam STAIN Surakarta, dalam penelitiannya membagi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme kedalam 5 (lima) faktor. 11 Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosialpolitik daripada gejala keagamaan. Menurutnya, telah terjadi kesalahan pemahaman dunia Barat yang sering menyebutnya sebagai radikalisme Islam, padahal hal itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Dengan demikian, konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain lebih berakar pada masalah sosial-politik. Kedua, faktor emosi keagamaan. Sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu, sering mendorong sekelompok orang untuk melakukan gerakan radikalisme. Fenomena tersebut merupakan faktor
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _575
emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif. Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.12 Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.13
576_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahan di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.14 Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, menguatkan pandangan ini. Menurutnya, potret dunia Islam dan kehidupan umat Islam di berbagai negara, baik secara global dan nasional, menghadapi masalah internal yang merupakan warisan sejarah yang panjang. Dan setelah sekian lama, belum dapat berkonsolidasi dengan baik. Radikalisme Islam disebabkan dari adanya permasalah non agama. Ada faksionalisasi politik di negaranegara Islam. Di tambah lagi ada ajaran Islam yang jika kita dalami potensial melahirkan perbedaan pendapat. Ada penafsiran yang beragam tentang daulah, misalnya. 15 Munculnya radikalisme tidak berasal dari satu sebab yang tunggal. Ada banyak faktor yang telah mendorong lahirnya radikalisme. Bahwa bukan hanya dorongan idiologis belaka, akan tetapi juga sangat terkait dengan perebutan akses ekonomi dan politik, perebutan pengaruh. Dengan demikian, maka radikalisme harus dipahami secara komperehensif agar tidak terjadi kesalahan identifikasi.
C. Sejarah Konflik Konflik dalam sejarah Islam telah nampak benih-benihnya pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Para sahabat saling berbeda pendapat tentang sosok yang pantas menggantikan posisi Nabi SAW sebagai pemimpin. Walau pada akhirnya Abu Bakar as-Shiddik muncul sebagai khalifah pertama, namun percikan perbedaan tentang sosok khalifah tetaplah tidak bisa dihindari. Dan kepemimpinan Abu Bakar sendiri tidak sepi dari adanya penolakn sebagian kecil umat Islam.
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _577
Tiga periode khalifah pasca Abu Bakar, yaitu Umar bin Khottab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib, juga mengalami berbagai guncangan politik dan perpecahan. Khalifah Utsman bin Affan misalnya, banyak mendapat tentangan dari sebagian kelompok karena sikapnya yang dianggap terlalu lemah, sangat mudah terpengaruh oleh berbagai kepentingan kekeluargaan. Hingga akhirnya Utsman terbunuh. Selanjutnya, periode kepemimpinan Ali bin Abi Thalib mendapatkan perlawanan dari beberapa sahabat diantaranya Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah. Pada masa Ali pulalah terjadi konflik yang sangat tajam dengan Muawwiyah, menjadi pintu bagi lahirnya konflik yang lebih luas antara dua kubu politik ini. Perbedaan pandangan politik menyeret keduanya dalam peperangan yang dahsyat. Namun, ketika peperangan antara keduanya hampir dimenangkan oleh pasukan Ali, Muawiyah bin Abu Sufyan menawarkan arbitrase. Proses arbitrase sendiri pada akhirnya dimenangkan oleh kubu Muawwiyah yang memiliki tingkat kecerdikan politik dibanding Ali. Proses arbitrase rupanya melahirkan pro dan kontra di kalangan pendukung Ali. Mereka yang menolak adalah kelompok Khawarij. Khawarij tumbuh sebagai golongan radikal, baik pandangan politik maupun teologisnya. Bagi mereka, baik Ali mupun Muawiyah telah melakukan berdosa besar, sehingga berhak dihukumi kafir atau murtad dari Islam. Sebagai konsekuensinya maka darah keduanya halal ditumpahkan. Dalam setiap argumentasinya, Khawarij selalu merujuk kepada dua dalil, yaitu “lâ hukma illa lillâh” (tidak ada hukum selain bagi Allah) dan “lâ hakama illallâh” (tidak ada hukum selain Allah). Pada perkembangannya, bukan hanya persoalan teologis yang menjadi sasaran kelompok khawarij, mereka juga menyasar tematema politik, yang mana sikap politiknya sangat ekstrem dan radikal. Khawarij berpandangan, setia muslim yang tak sependapat dengan paham mereka, kedudukannya musyrik dan halal darahnya. Paham
578_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
radikal khawarij mendapat reaksi yang tak kalah keras dari kelompok Islam lainnya, mengingat sangat tidak ramah terhadap perbedaan. Beberapa aliran teologi (kalam) seperti Murji’ah, Syi’ah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariah dan lainnya memberi respon yang tak kalah keras atas berbagai pandangan khawarij. Kondisi ini menyeret umat Islam terjerumus pada konflik sektarian, saling menyalahkan dan bahkan terus berdebat hingga lahirlah konflik antara Mu’tazilah melawan Asy’ariah, antara kaum filosof dengan kaum mutakallimin, antara ahli syariah dengan ahli tasawuf. Pada akhirnya, umat Islam semakin asyik dengan pertengkaran dan melupakan persatuan, sehingga di sinilah Islam mulai masuk dalam kemunduran. Sejarah panjang konflik sekte dalam Islam memberi pengaruh yang sangat luas dalam perkembangan Islam, termasuk di Nusantara. Prof. Dr. Abdul A’la, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, memberi gambaran yang cukup luas terkait dengan fenomena radikalisme di Nusantara. Menurutnya, hampir semua sejarawan sepakat, penyebaran Islam di kawasan Nusantara –yang nantinya sebagian besar wilayahnya menjadi Indonesia –ditumbuh-kembangkan melalui proses dan pola secara damai. Penduduk di kepulauan ini pada umumnya menerima dan memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad (saw) itu secara suka rela, tanpa dilatarbelakangi dengan adanya suatu paksaan yang berarti. Bahkan sampai derajat tertentu, penduduk menyikapi agama yang baru ini sebagai sesuatu yang tidak asing. Pola penyebaran dan pembumian Islam secara damai ini menjadi ikon penting Islam di bumi Nusantara.16 Kendati demikian, keberagamaan Islam di kawasan tersebut bukan berarti seutuhnya berwajah mulus seperti itu. Dalam periode tertentu, atau dan di daerah tertentu kekerasan dari kelompok Islam tertentu juga ikut menghiasi wajah keislaman Nusantara. Kelompok awal yang melakukannya adalah gerakan Padri yang melakukan kekerasan bukan hanya terhadap orang di luar Islam, tapi juga terhadap sesama Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka. Kekerasan dan tindakan
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _579
sejenis yang dilakukan tampaknya bukan semata-mata terjadi secara serta-merta, tapi merujuk kepada pandangan keagamaan tertentu yang berkelindan dengan aspek lain dan terkonstruk secara sistematis yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan tindakan semacam itu.17 Pemikiran yang dikembangkan kaum Padri tidak berhenti sebatas pada aras diskursus semata. Mereka melabuhkannya ke dalam realitas kehidupan melalui aksi konkret. Dalam melakukan tindakan dengan mengatasnamakan agama itu, mereka terperangkap ke dalam fundamentalisme radikal yang berujung kepada kekerasan terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan kaum Padri. 18 Kekerasan yang dilakukan kaum Padri –meminjam konsep Galtung– merupakan segi tiga kekerasan yang sudutnya terdiri dari kekerasan struktural, langsung dan kultural. Pada umumnya, mereka melakukan kekerasan dengan bentuk kekerasan struktural dan langsung yang ditegakkan sebagai kaki, dan kekerasan kultural sebagai dasar pelegitimasi. Kekerasan kultural sebagai aspek-aspek budaya –yang diwakili agama dan ideologi, bahasa, dan ilmu pengetahuan –yang menjustifikasi kekerasan dapat ditelusuri dengan amat memadai pada pemikiran agama mereka tentang takfir, penyesatan dan sejenisnya. Melalui itu mereka mengembangkan kekerasan struktural yang dirupakan dalam bentuk konsep marginalisasi terhadap orang-orang, kelompok, atau masyarakat.19 Minangkabau yang tidak bersedia mengikuti ajaran mereka. Kekerasan struktural ini kemudian ditubuhkan menjadi kekerasan langsung dengan melakukan pengepungan dan pembunuhan. Semua itu, eksplisit atau implisit, didasarkan pada ajaran agama. Dengan demikian, kekerasan itu muncul dari radikalisme keberagamaan mereka.20 Dari paparan di atas dapat kita tarik benang merah, bahwa radikalisme agama tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi di internal umat Islam, berbagai persinggungan baik secara politik,
580_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
ekonomi maupun paham keagamaan, memberi pengaruh terhadap kemunculannya. Dalam hal ini inilah kita melihat bahwa radikalisme agama sering mengatasnamakan paham agama ternetu sebagai legitrimasinya, sedangkan motivasi politik, ekonomi dan sosial budaya menjadi kabur. Mohammed Arkoun, satu diantara sarjana muslim kontemporer, melihat radikalisme Islam sebagai dua tarikan berseberangan, yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam selalu akan berada di tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan perkara itu. Bahwa radikalisme secara serampangan dipahami bagian substansi ajaran Islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan politik. Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme Islam. Tarikan politik dan sosial telah menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran manusia. Nyata, Islam tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan berseberangan itu.21 Kalau kita lebih rinci menganalisis sejarah munculnya radikalisme yang mengatasnamakan agama, ternyata ada satu tesis yang patut kita pertimbangkan secara matang terkait fanatisme, terhadap ideologi yang dilakukan sekelompok aliran politik tertentu yang meresahkan keamanan dunia. Radikalisme agama pada dasarnya berujung pada sebuah kegagalan yang kemudian melahirkan kebencian, dendam, maupun fanatisme. Barangkali kita harus menyadari, pendukung radikalisme agama tidak mampu memberikan tawaran untuk mencapai kesepakatan damai maupun keinginan melakukan dialog partisipatif demi memecah kebuntuan. Ketika jalan damai tidak tercapai, jalan pintas berupa selfdefeating (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama, yang dipahami
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _581
dalam suasana jiwa yang sakit dan tertekan, kerap dilakukan sebagai bentuk kepuasaan pribadi.22
D. Pencegahan Radikalisme Berbasis Partisipatoris Pencegahan radikalisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan seluruh elemen bangsa sesuai dengan kapasitas dan posisinya. Keterlibatan aktif elemen masyarakat berkontribusi besar dalam mencegah pengarus negatif radikalisme agama. Partisipasi masyarakat menjadi keharusan. Masyarakat dengan beragam latar belakang dan perannya harus diberikan ruang untuk berperan, sehingga pencegahan dan penanggulangan radikalisme agama tidak melulu dengan cara-cara represif dan penegakkan hukum. Permasalahan ideologi tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara yang represif, namun harus dirumuskan cara penanggulangan yang efekif, menggunakan penyelesaian dengan pola-pola yang persuasif di mana faktor komunikasi dan humanis menjadi kunci yang sangat penting (soft approach). Tidak adil juga apabila menyerahkan seluruh tanggung jawab penyelesaian permasalahan radikalisme dan terorisme kepada pemerintah, khususnya aparat keamanan. Untuk itu harus diupayakan sinergi dari seluruh stakeholder, harus dilihat bahwa persoalan ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah dan aparat. Ada generasi dan tunas-tunas bangsa yang harus diselamatkan dari bahaya radikalisme dan terorisme.23 Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, Ketua MUI menegaskan, bahwa pencegahan radikalisme tidak harus didominasi melalui pendekatan represif dan hukum. Menurutnya, ormas Islam sebagai institusi yang membawahi pembinaan umat, harus diberi akses yang luas terhadap isuisu radikalisme. Ia mencontohkan, ormas Islam harus diberi akses untuk berinteraksi dengan tokoh-tokoh radikal agar dapat terjalin komunikasi, melakukan pembinaan kepada eks anggora radikal.24
582_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Sebagai perwujudan partisipasi, ada tiga hal yang harus dilakukan sebagai perwujudan partisipasi masyarakat secara luas terhadap pencegahan dan penanganan radikalisme agama. 1. Memberikan edukasi secara komperehensif kepada masyarakat Derasnya arus informasi tentang gerakan-gerakan radikalisme di berbagai dunia mungkin saja dapat menarik emosi sebagian kecil umat Islam Indonesia. Bagaimanapaun, ketika idiologi Islam dikedepankan sebagai jargon-jargon gerakan radikalisme, sangat mungkin membangunkan gerakan-gerakan garis keras yang memang telah memiliki akar di Indonesia.
Untuk mencegah hal tersebut, kita harus menyampaikan edukasi yang komperehensif tentang konflik yang disinyalir sebagai magnet kemunculan radikalisme. Kita bisa menyebut bahwa konflik Palestina-Israel, Suriah, Mesir dan Libya sangat mungkin memberi pengaruh bagi tumbuhnya kelompok-kelompok radikal. Kemunculan dukungan terhadap gerakan IS misalnya, adalah dikarenakan adanya slogan jihad dan khilafah islamiyyah.
Pencegahan dampak radikalisme, seperti gerakan IS, dapat kita lakukan melalui edukasi yang komperehensif tentang peta konflik IS dan kawasan Timur Tengah. Secara proporsional kita tempatkan IS dalam konteks konflik regional kawasan Timur Tengah dalam perebutan akses politik, ekonomi dan budaya. Dan tak ada kaitannya bahwa gerakan mereka adalah jihad. Bahwa IS bukanlah gerakan agama dan tak terkait dengan jihad dan syahid, melainkan perebutan akses kekuasaan politik, ekonomi dan budaya.
Kita awali dengan sebuah pernyataan, bahwa kemunculan IS adalah bagian tak terpisahkan dari konflik regional di kawasan Timur Tengah. Konflik yang terjadi di beberapa negara seperti Irak, Libya dan kini Suriah, tidak bsia dilepaskan dari konflik perebutan akses ekonomi, politik dan budaya. Secara kultur, negara-negara di kawasan Timur Tengah dibangun di atas sistem kesukuan dan memiliki sejarah
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _583
panjang dalam konflik antar suku dalam memperebutkan akases kekuasaan. Pada saat yang bersamaan, melimpahnya minyak menjadi daya tarik tersendiri, sehingga maklum adanya jika perebutan kekuasaan semakin menemukan momentumnya.
Pasca runtuhnya dinasti Saddam Husen, pemerintahan Irak tak pernah benar-benar stabil, selalu saja memunculkan rivalitas SunniSyiah, sehingga pemerintahan tak pernah optimal. Rivalitas tersebut disebabkan kerasnya persaingan antar kelompok dan suku untuk mendapatkan akses politik dan ekonomi. Begitu pula dengan Libya, suku-suku yang dahulu berada dalam barisan penentang Qaddafi, kini justru saling membunuh memperebutkan akses kekuasaan. Bahkan Libya kini tak pernah menemukan stabilitasnya dan mengarah pada konflik berkepanjangan. Kesamaan agama pun tak mampu menekan konflik tersebut.
Konflik Suriah yang secara kasat mata menghadapkan Syiah vs Sunni, adalah perebutan penguasaan terhadap akses politik dan ekonomi. Apalagi, konflik Suriah adalah perebutan penguasaan kawasan yang lebih luas, tidak sebatas perebutan dalam negeri. Kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik Suriah tengah berebut pengaruh kawasan sebagai akses untuk penguasaan ekonomi dan politik secara stabil dan luas.
Ketika IS pertama kali muncul dengan gerakannya yang massif dan merebut beberapa wilayah penting di Irak dan Suriah, fakta bahwa mereka adalah pemain baru dalam perebutan akses kekuasaan tak bisa dihindari. Fakta menunjukkan bahwa IS kini mengincar ladangladang minyak Suriah dan Irak, menjualnya secara murah guna memperolah persenjataan. Walaupun muncul teori konspirasi bahwa IS dibentuk oleh kekuatan asing dan kepentingannya, namun tetap saja tak bisa mengesampingkan bahwa mereka adalah bagian dari kekuatan suku-suku yang berebut akses politik dan ekonomi.
584_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Hal utama dalam edukasi adalah, bahwa konflik-konflik yang “disangkakan” sebagai konflik sektarian berbasis teologis, sesungguhnya hanyalah penutup luar untuk membungkus gerakan yang sesungguhnya, yaitu perebutan akses ekonomi, politik dan budaya. Tentu, isu seputar perebutan akses ekonomi dan politik tidaklah mampu membawa IS ini sebagai isu internasional; tidak pula mampu menarik atensi kalangan Islam garis keras untuk ikut bergabung dalam barisan ini. Sementara, IS sangat membutuhkan dukungan dunia Islam dan dunia secara luas, agar gerakannya semakin eksis dan meluas.
Pilihan yang diambil adalah internasionalisasi gerakan melalu bahasa agama. Maka, dipilihlah isu khilafah Islamiyyah sebagai identitas gerakan IS. Doktrin jihad dan syahid pun dipilih untuk memperkaya dan mendramatisir slogan khilafah islamiyyah ini. Slogan Khilafah islamiyyah berhasil menarik dukungan dari kelompok kecil masyarakat muslim dunia, bahkan di negara-negara Barat itu sendiri.
Hari ini kita membaca berita kisah Aqso, perempuan keturunan Pakistan yang tinggal di Scotlandia, yang bergabung dengan gerakan IS di Suriah. Aqsa bukanlah satu-satunya perempuan muslim yang menjadi korban ajakan IS, ada banyak para perempuan dari berbagai belahan dunia Barat lainnya. Bahkan media Malaysia beberapa pekan ke belakang memberitakan dua warganya bergabung dengan IS dengan slogan jihad seks, sebuah kenyataan yang sangat miris kita mendengarnya. Pun, isu khilafah ini dalam batas tertentu, juga berhasil menarik perhatian kalangan muslim Indonesia, khususnya mereka yang pernah terjerat kasus radikalisme.
Apa yang dipaparkan di atas tentu masih perlu mendapatkan telaah lebih dalam. Namun, setidaknya hal ini menambah perspektif bagi kita guna menyikapi IS dan kelompok radikal lainnya secara proporsional. Kita tidak boleh emosional menyikapi IS, dengan serta merta menyatakan sebagai gerakan keagamaan. Sikap kritis sangat
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _585
diperlukan dalam menyikapi konflik berbau keagamaan yang terjadi di dunia Islam.
IS akan sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia jika kita gagal mengidentifikasinya. Akan terus muncul dukungan dari elemen kecil masyarakat jika kita gagal melakukan edukasi akan pentingnya pemahaman global terhadap konflik IS dan kawasan Timur Tengah; jika kita gagal membendung klaim jihad dan slogan khilafah islamiyyah.
Pada akhirnya, masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar, bahwa jangan sampai konflik sektarian di kawasan timur tengah dijadikan legitimasi untuk generalisasi konflik kepada aliran atau paham yang ada di Indonesia. Akan sangat merugikan bagi keutuhan NKRI jika konflik-konflik tersebut merusak hubungan harmoni akibat generalisasi konflik yang salah pemahaman.
2. Penguatan Moderasi Islam
Keragaman bahasa, budaya, dan agama tak jarang memicu lahirnya konflik. Padahal, keragaman tersebut merupakan identitas bangsa Indonesia. Maka sebuah pertaruhan besar bangsa ini untuk meramu keragaman dalam bingkai NKRI. Jika ini berhasil, maka maka dunia akan melihat Indonesia sebagai rujukan utama sebagai ideal type (contoh ideal) dalam pengelolaan keragaman. Indonesia dengan keragamannya memiliki nilai strategis dalam kancah internasional. Sebagai bangsa yang multikultur dan multietnis, ini adalah sebuah pertaruhan besar dan berdampak terhada dunia Islam secara umum.
Sebaliknya, jika Indonesia gagal dalam meramu keragaman tersebut, maka bukan hanya masyarakat muslim Indonesia yang akan meraskaan dampaknya, melainkan juga dunia Islam, dan dunia secera keseluruhan. Indonesia adalah barometer Islam di dunia, terutama dalam hal kerukunan kehidupan beragama. Maka, saat Indonesia tidak sukses menjaga dan membangun kehidupan agama sebagai pilar kerukunan, akan berdampak pada percaturan Islam
586_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
di dunia Internasional. Stabilitas dunia Islam akan terdampak jika bangsa Indonesia gagal mengelola keragaman di sekitarnya.
Sejarah umat manusia selalu menempatkan agama sebagai isu yang sangat sensitif di setiap negara, di setiap zaman, termasuk pula bagi bangsa Indonesia modern ini. Pada satu sisi, agama mampu menjadi unsur yang mempererat solidaritas dalam waktu yang pendek. Namun terkadang solidaritas tersebut melampaui ikatan-ikatan primordial lainnya, seperti ikatan kesukuan dan ikatan kekerabatan. Di sinilah urgensi penataan hubungan antar dan intra umat beragama mengemuka dan menjadi perhatian serius bangsa Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Guru Besar tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penataan kehidupan umat beragama tidak mesti negara --dalam hal ini pemerintah-- melakukan intervensi terhadap urusan-urusan adhoc setiap agama, atau menetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan agama. Akan tetapi yang diperlukan adalah negara dan pemerintah menjadi pengayom terhadap setiap agama dan para pemeluk agama tersebut. Jarak ideal antara negara perlu dipelihara dan dipertahankan. Hubungan antara keduanya sebaiknya bersifat administratif, bukannya negara menampilkan diri sebagai pengawas atau pengatur. Karena jika demikian adanya maka yang terjadi sesungguhnya adalah pengebiran terhadap agama, karena ajaran agama itu ada yang bersifat mutlak.
Di samping upaya tersebut, lanjutnya, secara horizontal juga dibutuhkan adanya kesungguhan untuk menciptakan adanya saling pengertian antara umat bergagama. Salah satu upaya ke arah sana ialah, bagaimana umat bergagama membaca ulang kitab suci tidak dengan menekankan collective memory yang sarat dengan prinsip negasi (princeple of negation), yang selalu menekankan perbedaan. Umat beragama dalam masyarakat pluralistik sudah waktunya membaca kitab suci dengan menekankan titik temu (principle of
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _587
identity). Dengan begini, agama akan tampil sebagai sarana perekat (melting pot) integrasi bangsa, bukannya sebagai faktor desintegrasi nasional. Gagasan ini tidak berarti mengupayakan penyatuan agama. Bagaimanapun juga agama-agama tidak akan pernah mungkin disatukan. Titik berat perjuangan kita dalam hubungannya dengan agama, bukanlah bagaimana mewujudkan persatuan antara umat beragama, tetapi bagaimana belajar berbeda dan menerima perbedaan itu sebagai sesuatu yang positif dan mempunyai hikmah yang penting. Gagasan ini juga tidak bermaksud mengecilkan peranperan publik agama menjadi peran peran privat, atau lebih jauh lagi, tidak bermaksud mengakui pendapat Diderot yang mengatakan bahwa agama dengan segala lembaga dan pranatanya adalah sumber segala kebobrokan masyarakat, dengan ciri utama tidak adanya samasekali toleransi. Akibatnya, toleransi dikembangkan lebih merupakan suatu cara (prosudur) agar manusia dapat menyingkir dari agama, atau agama menyinkir dari manusia.25
Posisi dan kedudukan Indonesia saat ini sangat strategis. Hal ini misalnya bisa dilihat dari peran besar Indonesia dalam menengahi berbagai konflik di beberapa negara. Indonesia misalnya, pernah mengirim beberapa kontingen Garuda untuk menjadi penjaga perdamaian, seperti di Bosnia, Sudan, dan Libanon. Peran ini tak lepas dari keberhasilan Indonesia dalam mengelola keberagaman, baik dari aspek budaya, bahasa, dan bahkan agama. Indonesia dipandang berhasil membangun moderasi Islam.
Moderasi Islam merupakan jalan tengah di tengah keberagaman beragama, termasuk dalam dalam hubungan harmoni antara Islam dan kearifan lokal (local value). Local value (kearifan lokal) sebagai warisan budaya Nusantara, mampu disandingkan secara sejajar sehingga antara spirit Islam dan kearifan budaya berjalan seiring, tidak saling menegasikan. Maka, kita melihat model kehidupan dalam keragaman Indonesia dipandang
588_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
sangat tepat diterapkan dalam konteks heterogenitas masyarakat dunia.
Dis amping itu, moderasi Islam sangat berperan dalam mendialogkan Islam dan modernitas. Dalam menyikapi modernitas, Islam tidak dalam posisi menolak atau menerima secara menyeluruh, melainkan tetap mengedepankan sikap kritis sehingga modernitas tumbuh menjadi nilai poitif ketimbang negatif. Di saat negara-negara muslim begitu kaku dan konservatif terhadap perubahan dan produk-produk modernitas, Indonesia justru menjadikannya media dakwah dengan memasukan spirit Islam di dalamnya.26
KH. Hasyim Muzadi memiliki pandangan tersendiri tentang moderasi muslim Indonesia. Menurutnya, umat Islam Indonesia patut bangga karena memiliki cara berfikir keagamaan yang mengikuti ahlussunah yang diaplikasikan dalam kehidupan keindonesiaan yang menggabungkan antara ibadah, fikih, dan tasawuf secara bersamaan. Bangsa ini memiliki karakter keberagamaan yang taat, tanpa menghapus nilai kebangsaan. Umat Islam mampu hidup berdampingan dengan berbagai kelompok umat dan budaya lain, tanpa menanggalkan identitas keislamannya sesuai dengan ketentuan wahyu. 27
Umat Islam Indonesia memiliki seting pemikiran paradigma berfikir yang menempatkan nilai agama dan negara hidup berdmapingan, tidaka saling menegasikan, serta tidak merusak kemajemukan. Bangsa Indonesia tidak tertarik untuk mendirikan negara sekuler, begitu pula dengan negara agama. Sekulerisme telah gagal membangun bangsa-bangsa di dunia, sebagaimana Negara agama juga tidak mampu membangun dalam kemajemukan. Tetapi Indonesia yang sangat majemuk dengan beragama budaya dan agama mampu hidup damai dan berdampingan. Ini adalah sebuah prestasi bahwa bangsa Indonesia berhasil membangun negara di atas prinsip agama dan budaya bangsa, tidak menegasikan satu atas yang lainnya. KH. Hasyim menggarisbawahi bahwa kondisi ini terbentuk bukan
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _589
tanpa usaha. Para pendahulu telah membangun fondasi yang kokoh tentang keberagaman dan kebangsaan sebagai tonggak moderasi Islam, kita tinggal merumuskan saja dalam moderasi Islam.28
Moderasi pemikiran yang dibangun para ulama dapat dimengerti oleh berbagai aliran, baik yang ekstrim maupun liberal. Moderasi pemikiran Islam menemukan tempatnya di Indonesia. Bahkan sekte-sekte sangat menghargai moderasi kita, sekalipun belum tentu mengikuti. Di dunia Islam pun garis moderasi ini bisa mengatasi modernisasi dan globalisasi. Ketika arus globalisasi dan informasi deras memasuki kehidupan masyarakat, moderasi Islam mampu menyikapinya dengan baik.29
Di sinilah, agama harus dilepaskan dari politik kekuasaan, dan dijadikan alat justifikasi. Agama perlu dikembalikan kepada eksistensinya sebagai sumber moralitas luhur yang selalu membimbing umatnya dan umat manusia secara keseluruhan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Melalui pendekatan moral, langit harapan akan tampak lebih cerah. Kekerasan tidak dihadapkan dengan kekerasan yang lain. Justru, masing-masing pihak diharapkan akan kembali kepada eksistensinya sebagai manusia yang mengemban moralitas luhur dalam bentuk pembumian kedamaian, keadilan, kesetaraan dan sejenisnya, serta pengendalian diri dan seumpama.30
Moderasi Islam bukan sebatas warisan budaya bangsa, melainkan masa depan dunia Islam. Keragaman yang ada dalam kehidupan umat Islam adalah sebuah nilai lebih yang jika salam dikelola, akan memunculkan berbagai konflik. Untuk itulah, moderasi Islam adalah sebuah keniscayaan untuk merawat keragaman dan menciptakan kedamaian di dunia Islam.
3. Penguatan peran Ormas Islam
Organisasi Masyarakat (Ormas)Islam tidak sebatas lembaga formil dan merepresentasi kelompok atau golongan tertentu. Lebih dari itu, Ormas Islam memiliki peran yang sangat luas dalam pembangunan
590_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
agama sebagai pilar utama pembangunan nasional. Pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sosial-budaya adalah wilayah yang banyak mendapat perhatian ormas Islam. Tak mengherankan jika ormas Islam memiliki kedudukan yang istimewa dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anggota serta respon yang luar biasa terhadap langkah dan program Ormas Islam. Menurut Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj, bahwa paham dan gerakan radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial, tetapi dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensip dan terpadu. Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir. Terorisme merupakan public enemy yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya, tanpa pamrih pada kepentingan politik yang parsial dan sekadar politik kekuasaan, tetapi pamrih pada politik kebangsaan dan kerakyatan.31
Peran penting Ormas Islam setidaknya tergambar dalam dua hal berikut.
Pertama, ormas Islam memiliki kapasitas menyampaikan pemahaman Islam moderat. Sebagai induk organisasi, Ormas Islam akan selalu menjadi tempat rujukan bagi para anggotanya, baik dalam paham keagamaan, pilihan politik walau sangat terbatas, maupun dalam bersikap tentang suatu isu. Selain itu, loyalitas anggota terhadap keputusan ormas Islam juga sangat kuat. Semua ini adalah potensi besar, bahwa ormas Islam berperan besar dalam mendistribusikan nilia-nilai moderais Islam, dan pada saat yang bersamaan menangkal paham radikal dan ekstrim.
Kedua, ormas Islam memiliki kapasitas untuk berdialog dan melakukan pembinaan kepada para pendukung paham-paham radikal. Dengan kekuatan tokoh-tokoh yang dimiliki dan jaringan yang luas, ormas Islam memiliki kapasitas untuk berdialog dengan kelompok radikal. Seperti disampaikan Din Syamsuddin, bahwa
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _591
ormas Islam sangat siap menerjunkan tokoh-tokoh terbaiknya jika diberikan akses kepada kelompok radikal, baik untuk beridlaog maupun melakukan pembinaan.
Pandangan ini telah mendapat respon dari pemerintah. Melihat maraknya faham dan gerakan radikalisme agama, termasuk munculnya kembali gerakan NII, Kementerian Agama telah menyusun upaya pencegahan dan penanggulangan melalui langkahlangkah preventif pada pranata institusi pendidikan, lembaga keagamaan dan masyarakat. Seluas mungkin partisipasi masyarakat ditingkatkan, di samping penguatan peran stakeholders yang tersebar di seluruh Indonesia.32
Institusi pendidikan merupakan institusi yang paling rentan terhadap infiltrasi berbagai gerakan radikalisme agama, mengingat peserta didik merupakan sasaran yang sangat rentan dilihat dari aspek sosial psikologis. Menurut data Badan Litbang dan Diklat Kemenag, langkah preventif yang dilakukan di institusi pendidikan di bawah binaan Kementerian Agama, meliputi perguruan tinggi agama, pendidikan agama pada perguruan tinggi umum, madrasah, pesantren, dan pendidikan agama pada sekolah, selengkapnya adalah sebagai berikut:33 a) Di Perguruan Tinggi Agama Negeri akan dilakukan kegiatan antara lain: Pemetaan radikalisme di seluruh PTAIN; Penguatan organisasi ekstra kampus; Pemasyarakatan ideologi Pancasila; Semiloka dan simposium mengenai strategi preventif dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme agama; Memperkuat regulasi kampus yang mempersempit munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme agama; Menjadikan ‘Terorisme dan Radikalisme Agama” sebagai materi dalam Mata Kuliah Dasar Umum; Memantau dan membimbing aktivitas kampus melalui Unit Kegiatan Mahasiswa dan Lembaga Dakwah Kampus dengan substansi ibadah dan akhlak mulia
592_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
bersumber pada nash-nash yang sahih; dan pengembangan wawasan multikultural bagi dosen dan mahasiswa. b) Di Perguruan Tinggi Umum meliputi kegiatan antara lain: Pemetaan radikalisme di PTU; Pemasyarakatan ideologi Pancasila; penguatan kurikulum dan materi pendidikan agama; penguatan kegiatan ekstra kurikuler keagamaan yang lebih terstruktur; Semiloka dan simposium tentang Islam dalam berbagai perspektif; pengembangan wawasan multikultural bagi dosen-dosen pendidikan agama; dan sosialisasi bahaya terorisme bagi keutuhan NKRI. c) Di madrasah meliputi kegiatan antara lain: penguatan kurikulum pendidikan agama melalui kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler; penguatan kegiatan pembinaan kebangsaan melalui kepramukaan; penguatan peran guru BK dalam pemberian bimbingan bagi siswa yang terdeteksi terkontaminasi faham-faham keagamaan yang menyimpang; penguatan hubungan antara madrasah dengan komite madrasah dalam penanggulangan masuknya faham-faham menyimpang; dan Pengembangan wawasan multikultural untuk guru dalam memahami ajaran agama d) Di pesantren melalui kegiatan antara lain: Pengembangan wawasan multikultural dan budaya damai melalui jambore/ kemah santri; pelatihan life skill dan kewirausahaan; sosialisasi “Islam Rahmatan Lil Alamin”, makna jihad, pilar-pilar kebangsaan, dan ketahanan nasional; dan pemetaan dan usahausaha preventif bagi pesantren yang rawan terhadap ideologi radikal. e) Adapun di sekolah umum melalui kegiatan antara lain: pengembangan kegiatan ekstra kurikuler keagamaan; penguatan peranan Kelompok Kerja Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran dan Kelompok Kerja Pengawas melalui
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _593
workshop, seminar; pengembangan wawasan untuk organisasi kerohanian siswa sekolah melalui pelatihan pendidikan agama; dan menambah materi berwawasan multikultural pada kegiatan-kegiatan pesantren kilat dan pelatihan-pelatihan guru agama. Lembaga keagamaan, terutama rumah ibadah, khususnya masjid dan musholla yang berada di lingkungan kampus atau pemukiman merupakan sasaran yang rentan terhadap masuknya fahamfaham keagamaan menyimpang mengingat sifat rumah ibadah yang terbuka untuk umum dan lemahnya manajemen rumah ibadah. Di samping itu daya tahan serta antisipasi masyarakat terhadap fahamfaham keagamaan menyimpang masih relatif rendah. Hal ini disebabkan antara lain oleh rendahnya pemahaman agama dan lemahnya pembinaan yang sistematis terhadap ajaran agama yang benar.34
Langkah preventif yang akan dilakukan di lembaga keagamaan di bawah binaan Kementerian Agama serta pembinaan keagamaan masyarakat, meliputi antara lain: a) Intensifikasi sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pembinaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah; b) Pemberdayaan rumah ibadah secara multifungsi, menghidupkan organisasi remaja masjid dan rumah ibadah lainnya; c) Penguatan majelis taklim berperspektif kerukunan, pemberdayaan masyarakat, dan kebangsaan; dan pengembangan wawasan multikultural bagi penyuluh agama dan tokoh agama; d) Mengembangkan dialog antar tokoh agama; e) kampanye budaya damai dan hidup rukun, pengembangan
594_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
budaya toleransi, pelurusan makna jihad, dan intensifikasi peran Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem); f) Penguatan early warning system kehidupan beragama melalui peningkatan peran penyuluh agama; g) Pemberdayaan pranata keagamaan masyarakat dalam mengantisipasi masuknya faham menyimpang di masyarakat; dan sinergi antar instansi untuk penguatan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama; h) Pemberdayaan keagamaan.35
FKUB
dalam
mengatasi
isu-isu
sosial
Langkah Kementerian Agama dalam pencegahan bahaya radikalisme agama sebagaimana dijelaskan di atas, menegaskan bahwa peran ormas Islam dan masyarakat secara luas sangat penting. Secara rutin, Kementerian Agama selalu melibatkan ormas Islam, baik itu dalam hal koordinasi program, pembinaan maupun dalam penanganan isuisu keagamaan. Dalam hal ini, ormas Islam dan pemerintah telah membangun sinergi untuk menciptakan pola pelayanan dan bimbingan masyarakat yang komperehensif. Baik dengan ormas maupun orsospol, Kementerian Agama terus membangun komunikasi terkait isu-isu aktual dan strategis, terutama menyangkut berbagai masalah kerukunan umat beragama. Isu-isu yang ada harus menjadi isu bersama, sehingga terbangun program yang terintegrasi antara pemerintah dan ormas. Dengan adanya integrasi dimaksud, maka pembangunan kerukunan umat beragam tidak berjalan masing-masing dengan hasil yang kurang memuaskan tentunya.36
E. Peran Lembaga Zakat dalam Pencegahan Radikalisme Zakat merupakan satu diantara nilai-nilai ajaran Islam yang menitikberatkan pada upaya pemerataan ekonomi dan kesejahteraan. Perintah berzakat memiliki makna yang sangat luas, yaitu memperkuat
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _595
solidaritas dalam bermasyarakat, semangat berbagi dengan saudarasaudara yang tengah mengalami kekurangan. Karena alasan ini pulalah negara terlibat dalam optimalisasi pengelolaan zakat dengan tujuan agar manfaat dapat didistribusikan secar luas dan memberi pengaruh bagi peningkatan kualitas hidup. Dalam perjalanannya, dana zakat kini tidak hanya bersifat konsumtif. Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) telah melakukan berbagai terobosan berupa pemanfaatan dana zakat bagi kegiatan dan usaha produktif. pendistribusian dana zakat diarahkan pada pengembangan usaha dan kegiatan ekonomi produktif, dengan tujuan memperkuat ketahanan ekonomi di masyarakat. Hal ini jelas sangat positif mengingat berdampak luas pada peningkatan taraf hidup dan memperluas jangkauan zakat. Spirit zakat sebagai unsur penting dalam pengentasan kebodohan dan kemiskinan harus kita kembangkan lebih luas lagi dalam pencegahan radikalisme. Memang, secara kelembagaan pengelolaan zakat saat ini tidak memungkinkan untuk terjun langusng dalam pencegahan. Akan tetapi lembaga zakat memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk ikut serta pencegahan radikalisme. Melihat urgensi partisipasi masyarakat dalam pencegahan radikalisme di satu sisi dan faktor-faktor penyebab munculnya radikalisme di sisi lain, maka lembaga zakat menemukan momentumnya untuk berperan lebih dalam pencegahan radikalisme ini. Pertama, penguatan kelembagaan pendidikan Islam, baik formal maupun non formal, dalam membangun dialog intra umat beragama. Lembaga pendidikan memegang perang penting sebagai media dialog di tengah heterogenitas umat. Lembaga pendidikan misalnya berperan sebagai pusat kegiatan seluruh unsur umat tanpa melihat latar belakang organisasi maupun madzhabnya. Di sinilah partisipasi masyarakat yang heterogen menjadi pintu untuk mencegah lahirnya paham-paham radikal yang ditimbulkan dari adanya perbedaan paham keagamaan.
596_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Hal ini misalnya dilakukan oleh masyarakat Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya melalui MI Bahrussalam. Sebagai wilayah yang pernah terkena imbas konflik aliran, menyatukan kembali masyarakat dan memotong rasa saling curiga adalah target terdekat. Maka, melalui MI Bahrussalam masyarakat diberi kesempatan yang sama untuk menyekolahkan anak-anaknya, tanpa melihat aliran dan organsiasinya. Bukan hanya itu, dalam pembangunan gedung madrasah juga melibatkan seluruh kelompok yang sebelumnya terkena dampak konflik. Hasilnya, kini MI Bahrussalam tidak hanya sebagai pusat kegiatan belajar, melainkan juga tempat untuk berdialog mencara titik persamaan dan mempersempit titik perbedaan. Dengan intensitas pertemuan, sosialisasi dan kontak, maka perlahan tapi pasti benih konflik dapat diminimalisir. Kedua, penguatan sektor usaha pada wilayah yang potensial melahirkan gerakan-gerakan radikal maupun daerah yang pernah mengalami konflik aliran. Lahirnya konflik maupun radikalisme juga dipengaruhi oleh faktor sosial-politik, kecemburuan ekonomi dan juga kemiskinan. Perbedaan terkadang dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan, walau pada dasarnya ada aspek lain yang lebih memperngaruhi. Di sinilah kita melihat bahwa radikalisme maupun konflik terjadi sering dijadikan bungkus atas perebutan akses ekonomi maupun kecemburuan. Pastisipasi masyarakat secara luas dalam pengelolaan akses ekonomi adalah satu diantara langkah efektif dalam meredam konflik meluas. Maka, pelibatan secara merata dalam aktifitas perekonomian menjadi penting, selain guna menciptakan kesejahteraan, juga memperkuat komunikasi antar masyarakat. Lembaga pengelola zakat memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini. Pendistribusian dana zakat perlu ditingkatkan pada daerah-daerah rawan konflik dan radikalisme, memberi peluang partisipasi yang luas bagi masyarakat sekitar untuk mengelola perekonomian, mensejahterakan lingkungan. Pemberian modal usaha, pemberian pelatihan maupun
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _597
penyuluhan akan sangat berdampak luas bagi penguatan kerukunan dan meminimalisir konflik dan arus radikalisme.
F. Kesimpulan Radikalisme Agama telah menjelma sebagaifenomena sosial di masyarakat yang terkait dengan berbagai faktor: politik, ekonomi, sosial-budaya dan juga paham keagamaan. Karena itulah, menyikapi radikalisme agama tidak bisa secara parsial, akan tetapi harus secara jeli dan komperehensif. Hal ini dalam rangkat menghindari kesalahan dalam menyikapi yang akan berdampak terhadap keutuhan umat, bangsa dan negara. Pencegahan radikalisme diwujudkan melalaui partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme agama diwujudkan melalui dialog, pemberdayaan ekonomi maupun dialog budaya. Dalam hal ini, pencegahan radikalisme tidak lagi menjadi domain hukum dan keamanan dalam penangannya, melainkan juga menjadi tanggung jawab masyarakat secara luas. Sebagai bagian dari NKRI, umat Islam harus aware terhadap berbagai perilaku destruktif yang disebabkan paham-paham radikal dan ekstrim, karena semua itu akan merusak kualitas kehidupan beragama. Untuk itulah, kita harus terus membuka dan mengambil nilai dari sejarah para ulama, tokoh agama dan ormas Islam yang telah bahu membahu membangun dan menjaga keragaman Nusantara dalam bingkai keislaman yang moderat.
598_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Daftar Pustaka
Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal“, Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012 Abd A’la, “Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan,” Pidato Ilmiah Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008 Dhyah Madya Ruth S.N., S.H., M.Kn. (editor), Memutus Mata Rantai Radikalisme Dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi Birru, 2010 Jaja Zarkasyi, “ Masa Depan Moderasi Islam di Kawasan ASEAN,” bimasislam.com Laporan Akhir Tahun Kementerian Agama Tahun 2011, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2011 KH. Hasyim Muzadi, “Peran Ormas Islam Dan Lembaga Dakwah Dalam Memelihara Mainstream Muslim,” disampaikan dalam HAB Kementerian Agama tahun 2008 Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag, “Islam dan Perspektif Tentang Radikalisme Agama,” http://www.pascastainpontianak.com/ islam-dan-perspektif-tentang-radikalisme-agama.html Muhamamd Ismaiel, “Radikalisme Islam di Indonesia,” nu.or.id, 28/10/2008
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _599
Mohammad TakdirIlahi, “GenealogiRadikalisme Agama,” SinarHarapan, 7 Januari 2014 Nasaruddin Umar, “Membina Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia: Perspektif Islam,” Jurnal Bimas Islam Vol. 5 No. 1 2012 Republika.co.id, 31 October 2013 Republika, 26 April 2011 Syamsul Bakri, “Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer”, Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 (http://www.ditpertais. net/jurnalptai/dinika-skt/31104/bakri-01.pdf) http://kbbi.web.id/radikalisme (diunduh tanggal 25 sepetember 2014)
600_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Endnotes
1. Laporan Akhir Tahun Kementerian Agama Tahun 2011, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2011
2. Ibid 3. Republika.co.id, 31 October 2013 4. Mohammad Takdir Ilahi, “Genealogi Radikalisme Agama,” Sinar Harapan, 7 Januari 2014
5. http://kbbi.web.id/radikalisme(diunduh tanggal 25 sepetember 2014) 6. Mohammad TakdirIlahi, “GenealogiRadikalisme Agama,” SinarHarapan, 7 Januari 2014
7. Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag, “Islam dan Perspektif Tentang
Radikalisme Agama,” http://www.pascastainpontianak.com/islam-danperspektif-tentang-radikalisme-agama.html
8. Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal“, Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012, h. 82
9. Abu Rokhmad, ibid, h. 83 10. Ibid 11. Syamsul Bakri, “Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer”,
Jurnal DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 (http://www.ditpertais.net/ jurnalptai/dinika-skt/31104/bakri-01.pdf)
12. Ibid 13. Ibid 14. ibid 15. Disampaikan dalam Seminar Nasional, “ Fenomena ISIS terhadap NKRI,” di Jakarta, 9 Agustus 2014
16. Abd A’la, “Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik
Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan,” Pidato Ilmiah Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam
Radikalisme Agama dan Upaya Pencegahannya Melalui Partisipasi Masyarakat _601 pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008, h. 1
17. ibid, h. 2 18. Ibid 19. Ibid, h. 12 20. ibid 21. Muhamamd Ismaiel, “Radikalisme Islam di Indonesia,” nu.or.id, 28/10/2008 22. Mohammad Takdir Ilahi, “Genealogi Radikalisme Agama,” Sinar Harapan, 7 Januari 2014
23. Dhyah Madya Ruth S.N., S.H., M.Kn. (editor), Memutus Mata Rantai Radikalisme Dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi Biru, 2010, h. 13
24. Disampaikan dalam Seminar Nasional, “ Fenomena ISIS terhadap NKRI,” di Jakarta, 9 Agustus 2014
25. Nasaruddin Umar, “Membina Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia: Perspektif Islam,” Jurnal Bimas Islam Vol. 5 No. 1 2012
26. Jaja Zarkasyi, “ Masa Depan Moderasi Islam di Kawasan ASEAN,” bimasislam.com
27. KH. Hasyim Muzadi, “Peran Ormas Islam Dan Lembaga Dakwah Dalam Memelihara Mainstream Muslim,” disampaikan dalam HAB Kementerian Agama tahun 2008
28. Ibid 29. ibid 30. Abdul A’la, Ibid, h. 21 31. Republika, 26 April 2011 32. Disarikan dari buku “Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012”, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2012
33. Ibid 34. LaporanAkhirTahunKementerian Agama tahun 2012 35. Ibid 36. Disarikan dari Laporan akhir Tahun Direktorat Penerangan Agama Islam Tahun 2013
602_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _603
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
604_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III 2014
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam ([email protected]).