Lampiran Nomor Tanggal
: Keputusan BPK-RI : 17/K/I-XIII.2/12/2008 : 24 Desember 2008
301.000/2008
PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2008
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
UUD 1945
Peraturan Per-UU-an Pemeriksaan Keuangan Negara
Pedoman Umum
SPKN
Kode Etik PMP
Juklak
200 Pemeriksaan Kinerja
100 Pemeriksaan Keuangan
300 Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
400 Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu 500 Penatalaksanaan Kertas Kerja Pemeriksaan 600 Pemeriksaan Berperspektif Lingkungan Hidup
Juknis
100.001 Pemahaman dan Penilaian SPI Pemeriksaan Keuangan
200.001 Penentuan Area Kunci
100.002 Pemahaman dan Penilaian Risiko Pemeriksaan
200.002 Penentuan Kriteria
100.003 Penetapan Batas Materialitas Pemeriksaan Keuangan
100.004 Penentuan Metode Uji Petik Pemeriksaan Keuangan
101.000 Pemeriksaan LKPP dan LKKL
302.000 Pemeriksaan Pengelolaan Limbah RSUP/RSUD 201.000 Pemeriksaan Atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
203.000 Pemeriksaan Atas Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Industri
102.000 Pemeriksaan LKPD
103.000 Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia
400.001 Reviu Pemeriksaan
Direktorat Litbang
301.000 Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi TPK yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Badan Pemeriksa Keuangan
303.000 Pemeriksaan Pengendalian Pencemaran Udara Dari Sumber Bergerak 304.000 Pemeriksaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Daftar Isi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................................
i iii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................... A. Latar Belakang ..........................................................................................
1 1
B. Tujuan ...................................................................................................... C. Lingkup Bahasan.......................................................................................
2 3
D. Dasar Hukum Penyusunan......................................................................... E. Sistematika Penulisan ................................................................................
4 4
GAMBARAN UMUM ....................................................................................
5
A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif........................................ B. Konsep Pemeriksaan Investigatif...............................................................
5 5
C. Jenis Penyimpangan .................................................................................. D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif ..........................................
6 7
E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif ................................................ F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif ............................... G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif..............................................................
9 10 10
H. Kualitas Pemeriksa Investigatif ................................................................. I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif .............................................
10 11
PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF .........................................................
15
A. Umum....................................................................................................... B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal...................................................
15 15
C. Penanganan Informasi Awal......................................................................
20
PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF............................................ A. Umum.......................................................................................................
29 29
B. Pengembangan Hipotesa ........................................................................... C. Penyusunan Program Pemeriksaan............................................................
29 29
D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya ......................................................... E. Penerbitan Surat Tugas .............................................................................
32 32
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ....................................
35
A. Umum....................................................................................................... B. Pembicaraan Pendahuluan.........................................................................
35 35
C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa ...........................
35
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
i
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Daftar Isi
D. Analisis dan Evaluasi Bukti ......................................................................
44
E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK ........................................ F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang .................... G. Pembicaraan Akhir....................................................................................
46 46 47
PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF.......................................... A. Umum ...................................................................................................... B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif............................................... C. Susunan Laporan Pemeriksaan Investigatif ...............................................
49 49 49 50
D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan ............................................................
52
BAB VII PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH................................... A. Umum......................................................................................................
53 53
B. Tujuan ..................................................................................................... C. Ruang Lingkup ........................................................................................ D. Tahap-Tahap Pemeriksaan .......................................................................
53 54 54
BAB VIII PENUTUP....................................................................................................... A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif......................... B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif .........................
61 61 61
BAB VI
C.
Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif............................
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM GLOSARIUM JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF KETERANGAN GAMBAR LAMPIRAN TIM PENYUSUN JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
ii
61
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
DAFTAR LAMPIRAN III.1 III.2 III.3 III.4 III.5
Hasil Telahaan Informasi Awal Mekanisme Penanganan Informasi Awal Tabel Kehandalan Sumber dan Validitas Informasi Tabel Akuntabilitas Penanganan Sumber Informasi Awal Hasil Analisis Informasi Awal
IV.1 IV.2 IV.3 IV.4
Contoh Langkah-langkah Pemeriksaan Program Kerja Perorangan Formulir Pengorganisasian Surat Tugas Matrik Komunikasi Kegiatan Persiapan Pemeriksaan
V.1 V.2 V.3 V.4 V.5 V.6 V.7 V.8
Bukti Pemeriksaan dan Bukti Hukum Berita Acara Peminjaman Dokumen Permintaan Informasi Teknik Wawancara Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) Berita Acara Pemeriksaan Fisik Pengamanan Alat/Barang Bukti dan KKP Matrik Unsur Tindak Pidana Korupsi
VI.1 VI.2
Formulir Pengorganisasian Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Matrik Komunikasi Kegiatan Pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif
VII.1
Mekanisme Permintaan Penghitungan Kerugian Negara
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB I
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab I
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 01
Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan kerugian bagi negara dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu, KKN di Indonesia harus diperangi dengan usaha keras dan langkah tegas secara konsep maupun sistematis.
02
BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi KKN bersama – sama dengan semua pihak.
03
Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca amandemen UUD 1945 yang mengubah ketentuan tentang BPK dari semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan yang semakin kuat ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun 2006. Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara, menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban BPK. Untuk menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2006, BPK melaksanakan pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
04
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dengan prosedur eksaminasi.
05
Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
06
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07, menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah penyimpangan yang mengandung unsur pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa.
07
Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Laporan tersebut dijadikan sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
08
Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No. 15
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Kedudukan dan peran BPK yang semakin kuat mengakibatkan BPK perlu mengatur hal-hal pokok yang memberikan landasan yang seragam bagi pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan investigatif
1
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab I
Tahun 2004 adalah pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang perbankan atau tindak pidana di pasar modal. 09
Tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan beberapa jenis tindak pidana korupsi antara lain korupsi yang terkait dengan kerugian negara, korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
10
Petunjuk teknis ini khusus mengatur tentang pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, supaya juknis ini bisa lebih fokus, mengingat banyaknya tindak pidana terkait kerugian negara maupun jenis tindak pidana korupsi. Selain itu, jenis TPK yang mengakibatkan kerugian negara/daerah adalah jenis perbuatan melawan hukum yang sering ditemukan oleh pemeriksa BPK di lapangan. Perbuatan melawan hukum terkait tindak pidana dan tindak pidana korupsi lainnya akan diatur oleh juknis tersendiri.
11
Selama belum ada juknis tersendiri yang mengaturnya, juknis ini bisa dijadikan acuan untuk melakukan pemeriksaan investigatif atas tindak pidana selain tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah.
12
Pedoman pemeriksaan investigatif sebelumnya telah ditetapkan dengan pedoman pemeriksaan yaitu Keputusan BPK No. 17/SK/K/1995 tentang Pemeriksaan Khusus. Sejalan dengan perkembangan organisasi dan peraturan perundang-undangan khususnya bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dipandang perlu menyempurnakan Pedoman dimaksud.
13
Dengan ditetapkannya juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah diharapkan pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dengan pemahaman, pemikiran dan tindakan yang sama, sehingga diperoleh hasil pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
B. Tujuan 14 Tujuan Juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah ini adalah untuk : 1. Menyamakan pemahaman atas pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah; 2. Memberikan pedoman kepada pemeriksa yang melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sehingga perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan investigatif dapat selaras dan dapat segera ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang; 3. Mengefektifkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah agar mencapai hasil pemeriksaan yang optimal sesuai dengan standar pemeriksaan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Tujuan Juknis Pemeriksaan Investigatif
2
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab I
C. Lingkup Bahasan 15 Juknis pemeriksaan ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah mulai dari tahap pra pemeriksaan investigatif hingga tahap pelaporan. Juknis ini juga berisi pedoman pelaksanaan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara/daerah atas permintaan instansi yang berwenang.
Lingkup juknis
16 Definisi keuangan negara/daerah mengacu kepada definisi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yaitu semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan negara tersebut meliputi: 1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan Negara; 4. Pengeluaran Negara; 5. Penerimaan Daerah; 6. Pengeluaran Daerah; 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. 17 Pengertian kerugian negara/daerah dapat diartikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan pengertian dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara adalah kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dibedakan atas: 1. Kerugian yang secara nyata telah ada, yaitu kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya; dan 2. Kerugian yang belum nyata dan pasti atau masih bersifat potensi. Meskipun baru potensi, nilai kerugian negara tersebut harus dapat dihitung.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
3
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab I
D. Dasar Hukum Penyusunan 18 Dasar hukum penyusunan juknis ini adalah: 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4400);
Dasar hukum penyusunan
2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654); 3. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4707); 4. Surat Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 31/SK/IVIII.3/8/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan, Keputusan, dan Naskah Dinas Pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia; 5. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 39/K/I-VIII.3/7/2007 tanggal 13 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia; 6. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1/K/I-XIII.2/2/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan; 7. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 09/K/I-XIII.2/7/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyusunan atau Penyempurnaan Pedoman Pemeriksaan dan Non Pemeriksaan
E. Sistematika Penulisan 19 Juknis Pemeriksaan ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bab II : Gambaran Umum Bab III : Pra Pemeriksaan Investigatif Bab IV : Persiapan Pemeriksaan Investigatif Bab V : Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Bab VI : Pelaporan Pemeriksaan Investigatif Bab VII : Penghitungan Kerugian Negara/Daerah Bab VIII : Penutup Referensi Lampiran-Lampiran
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis ini terdiri dari delapan bab
4
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB II
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
BAB II GAMBARAN UMUM
A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif 01 Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang berkenaan dengan safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan.
Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan atau kinerja
02 Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah ditemukannya indikasi awal adanya penyimpangan.
Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif
Penyimpangan merupakan definisi yang dipakai sebagai payung dari berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap, korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, serta fraudulent statements. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan ”lanjutan” dari auditing, auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada pengungkapan penyimpangan. 03 Pemeriksaan investigatif merupakan bagian dari akuntansi forensik, yaitu aplikasi keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalah-masalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.
Akuntansi forensik
Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan investigatif menerapkan teknik-teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi yang sedang diperiksa. 04 Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Tujuan pemeriksaan investigatif
B. Konsep Pemeriksaan Investigatif 05 Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya dilakukan secara reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk menemukan indikasi penyimpangan. Bila ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK, pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Pemeriksaan investigatif dilaksanakan berdasarkan informasi awal dari pihak internal dan eksternal
5
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
06 Secara garis besar langkah – langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut: 1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan investigatif. 2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan persiapan pemeriksaan. 3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan pemeriksaan.
Garis besar langkah pemeriksaan investigatif
07 Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya menemukan fakta serta menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan.
Penelusuran fakta terkait penyimpangan dan niat pelaku
08 Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan. 09 Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu motivasi (motivation), adanya kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya kemampuan (capability).
Empat hal penyebab terjadinya penyimpangan
Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai dari alasan ekonomi, tekanan dari atasan, sampai balas dendam. Adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait dengan lemahnya Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa. Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan budaya di entitas yang diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa atau keyakinan untuk mengembalikan aset yang diambil. Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian teknologi yang memudahkan pelaku untuk memalsukan dokumen. 10 Dalam pelaksanaan pemeriksaan, kesempatan diberikan kepada pihak terkait untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang sebenarnya berdasarkan pendapat mereka masing–masing, dimana dan bilamana peristiwa terjadi sehingga tersedia kesempatan untuk membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau penyimpangan tersebut.
Tanggapan dari pihak terkait
C. Jenis Penyimpangan 11 Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Pasal 15 sampai 25 menguraikan perbuatan – perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan hukumnya antara lain adalah: menyuap pejabat negara (bribery of national public officials), menyalahgunakan wewenang (abuse of functions), dan melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).
Jenis penyimpangan menurut UNCAC dan ACFE
12 Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membahas penyimpangan di tempat kerja atau penyimpangan terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud) dalam fraud tree yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements). 13 Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
6
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi menurut undang-undang tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption menurut ACFE adalah empat bentuk yaitu: konflik kepentingan (conflicts of interests), menyuap (bribery), gratifikasi ilegal (illegal gratuities), dan pemerasan (economic extortion). 14 Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa sehari–hari disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, ”mengambil” aset secara ilegal (tidak sah atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain dimana si pelaku tidak memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi kepentingan pribadinya. 15 Istilah fraudulent statements adalah penyimpangan berkaitan dengan penyajian laporan keuangan. Terdapat dua kelompok dalam penyimpangan ini. Yang pertama adalah penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya. Yang kedua adalah penyimpangan dalam menyusun laporan non keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan seringkali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Keduanya bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern.
D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif 16 1. Aksioma Pemeriksaan Investigatif Pernyataan dalam pemeriksaan investigatif antara lain: a. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah atau tidak terjadi dalam situasi khusus. Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan kadang–kadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer).
Beberapa aksioma pemeriksaan investigatif
b. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse proof). Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa juga mencoba membuktikan bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi. Karena melakukan pembuktian bersifat dua sisi, teknik pemeriksaan dalam mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak yang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku penyimpangan. c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya membuktikan penyimpangan tidak terjadi. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
7
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak terjadi. Artinya dalam melakukan pembuktian seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan dari pihak lain. d. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta kejadian, dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau tidak bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah teori – bersalah atau tidak bersalah – dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan yang terjadi di pengadilan. 17 2. Prinsip Pemeriksaan Investigatif Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006, laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu pelaksanaan pemeriksaan memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, serta pemahaman terhadap ketentuan perundang–undangan dan prinsip – prinsip pemeriksaan investigatif guna pemecahan masalah yang dihadapi. Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah: a. Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara membandingkan antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
Prinsip-prinsip pemeriksaan investigatif
b. Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang–undangan yang berlaku. c. Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti–bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti tersebut dapat diterima di pengadilan. d. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks dan jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan kasus di kemudian hari. e. Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan. f. Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya, maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besar. g. Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta–fakta sehingga bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri, yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak yang diindikasikan terlibat teridentifikasi. h. Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan manusia. Sepanjang diperlukan, Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
8
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan keterangan yang diberikan oleh saksi. i. Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya. j. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangkan.
E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif 18 1. Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, antara lain: a. Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif. b. Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 jo. Pasal 9 ayat (1) huruf b, c, dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau dokumen. c. Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur permintaan keterangan dan pemanggilan. d. Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang kerugian negara dalam proses peradilan. e. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil pemeriksaan. f. Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pemeriksa yang melanggar UU No. 15 Tahun 2004 dan UU No. 15 Tahun 2006. 19 2. Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain:
Peraturan terkait pemeriksaan investigatif
Peraturan terkait tindak pidana khusus
a. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. b. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. c. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007. d. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. e. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003. f. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
9
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
3. Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain:
Bab II Peraturan terkait proses penegakkan hukum
a. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP; b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian; c. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; e. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 20 Perspektif kerugian negara menurut:
Perspektif kerugian negara
1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya. 2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif 21 Sasaran pemeriksaan investigatif BPK adalah kasus yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis ini yaitu perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN.
Sasaran dan ruang lingkup pemeriksaan investigatif
22 Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh entitas pemeriksaan BPK, meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihak–pihak yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif 23 Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan guna mengungkap ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban pemeriksa investigatif
24 Kewajiban pemeriksa investigatif termasuk: 1) mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis ini; 2) menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait; dan 3) selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan.
H. Kualitas Pemeriksa Investigatif 25 Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J. Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Kualitas yang harus dimiliki pemeriksa investigatif 10
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah: a. Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal. b. Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi. c. Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh. d. Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya kehidupan. e. Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument). Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat. f. Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela. g. Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam bidang akuntansi dan audit. h. Kompetensi gabungan (Mixed Competency). Memiliki pengetahuan yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum, permintaan keterangan, dan teknologi informasi.
I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif 26
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan memberikan mandat kepada BPK, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
27
Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori penyelidik sesuai KUHAP, namun sesuai mandat BPK, hasil pemeriksaan mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Oleh karena itu, kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penyelidik.
28
Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil penyelidikan, maka pemeriksaan investigatif BPK dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut: 1) pra pemeriksaan, 2) persiapan pemeriksaan, 3) pelaksanaan pemeriksaan, dan 4) pelaporan pemeriksaan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Laporan BPK dijadikan dasar penyidikan
11
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
29 Tahapan pemeriksaan dapat dijelaskan dalam bagan arus berikut ini: Tahap pelaksanaan pemeriksaan investigatif Pra Pemeriksaan Investigatif
Persiapan Pemeriksaan Investigatif
Sumber Informasi Awal (IA)
5 elemen dasar Mengembang kan hipotesis
Pembicaraan pendahuluan
Administrasikan IA
Menyusun program pemeriksaan
Menganalisis dan mengevaluasi bukti
Pahami IA Analisis IA Evaluasi IA Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigasi
Menetapkan kebutuhan sumber daya Menerbitkan surat tugas
Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
Prinsip pelaporan
Mengumpulkan bukti
Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK
Susunan laporan Reviu dan tanda tangan
Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang Pembicaraan akhir
Pra Pemeriksaan Investigatif
30 Tahap Pra Pemeriksaan Investigatif Proses pra pemeriksaan meliputi: mengadministrasikan informasi awal, memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi informasi awal, dan keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif. 31 Pra pemeriksaan bertujuan untuk menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua hal penting yang harus dicermati dalam pra pemeriksaan yaitu penelahaan terhadap substansi informasi dan proses penanganan informasi awal.
Tahap persiapan pemeriksaan investigatif
32 Tahap Persiapan Pemeriksaan Investigatif Persiapan pemeriksaan investigatif bertujuan agar pelaksanaan pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan. Kegiatan dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan hipotesis, 2) penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan kebutuhan sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas.
Tahap pelaksanaan pemeriksaan investigatif
33 Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi kegiatan pembicaraan pendahuluan, pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa, analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan, pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK, pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang, dan pembicaraan akhir. 34 Dari konsep laporan hasil pemeriksaan, tim harus melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/ Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa. Pemaparan intern merupakan satu tahap yang sangat penting karena akan menentukan proses tindak lanjut suatu kasus yang diindikasikan merugikan keuangan negara dan atau TPKKN. Oleh karena itu, semua pihak intern BPK yang hadir dalam pemaparan intern harus menguasai dan mendalami pengetahuan tentang unsur Tindak Pidana Korupsi dan tindak pidana khusus lainnya terkait dengan tugas BPK. 35 Pemaparan tim Direktorat Litbang
pemeriksa
kepada
instansi
Badan Pemeriksa Keuangan
yang
berwenang pada 12
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
dasarnya merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN. 36 Umumnya BPK dan instansi yang berwenang sepakat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN, belum memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN sehingga perlu ditempuh langkah lebih lanjut, dan tidak memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN. 37 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa. Pembicaraan akhir tersebut dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat entitas yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan. 38 Tahap Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
Pelaporan pemeriksaan investigatif
Tujuan pelaporan pemeriksaan investigatif adalah dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaporan pemeriksaan agar mempertimbangkan prinsip pelaporan, susunan laporan, reviu, dan tanda tangan laporan. Prinsip pelaporan pemeriksaan investigatif harus akurat, jelas, tidak memihak, relevan, dan tepat waktu. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
13
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
Direktorat Litbang
14
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab II
Direktorat Litbang
15
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB III
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
BAB III PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang telah/sedang/dan akan terjadi.
Penelahaan informasi awal
02 Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu dilakukan penelaahan terlebih dahulu. 03 Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tujuan penelahaan informasi awal
04 Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti: Temuan Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan, maupun ekstern BPK seperti permintaan instansi yang berwenang/Instansi Pemerintah/Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), LHP Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan laporan/pengaduan masyarakat.
Sumber informasi awal
05 Dokumen yang memuat informasi awal dapat berbentuk surat permintaan untuk melakukan pemeriksaan dan surat pengaduan dari masyarakat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung termasuk melalui teknologi informasi. 06 Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) oleh Tortama sesuai dengan kebutuhan. Tim persiapan pemeriksaan investigatif ini mengacu kepada Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) Bab III mengenai perencanaan pemeriksaan. 07 Telaahan informasi disajikan dalam Hasil Telaahan Informasi Awal, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.1.
B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal 08 Penanganan informasi awal berdasarkan sumber informasi awal diperoleh dari TP/LHP Auditama Keuangan Negara, TP/LHP BPK Perwakilan, inisiatif Badan, permintaan instansi yang berwenang kepada Ketua BPK, permintaan instansi yang berwenang kepada Kepala Perwakilan BPK, permintaan pihak ketiga kepada Ketua BPK, serta permintaan pihak ketiga kepada Kepala Perwakilan BPK. Mekanisme penanganan informasi awal tersebut adalah sebagai berikut:
Mekanisme penanganan informasi awal
09 1. TP/LHP Auditama Keuangan Negara (Kantor Pusat) Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh AKN atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan indikasi
Sumber Informasi awal dari hasil pemeriksaan AKN
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
15
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa AKN mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif. Bagan arus mekanisme penanganan informasi awal dapat dilihat pada lampiran III.2. Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut: a. Tim pemeriksa AKN melalui Tortama menyerahkan TP/LHP kepada TPPI serta melakukan pemaparan atas temuan tersebut dan jika dipandang perlu dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum untuk membahas apakah temuan tersebut terdapat cukup alasan untuk dilakukannya pemeriksaan investigatif. b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa melalui Tortama menyerahkan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) kepada TPPI. c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama atau Pejabat yang ditunjuk pada AKN yang bersangkutan, tim pemeriksa AKN, pengendali teknis AKN, dan TPPI. Jika diperlukan dapat dihadiri oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait. d. TPPI melakukan telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP. Temuan AKN diharapkan dapat mengungkap unsur Who, yaitu pihak yang bertanggung jawab, dan juga bukti petunjuk yang dapat membuat peluang pembuktian menjadi lebih meyakinkan, misalnya: 1) Surat Pernyataan/Keterangan dari entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang terkait yang membenarkan terjadinya TPKKN; atau 2) Dokumen yang berkorelasi dengan TPKKN yang diperoleh dari entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang terkait. e. Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP telah mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN, maka TPPI mengusulkan untuk dilakukan pemaparan dengan instansi yang berwenang sebelum laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada Ketua BPK. Selanjutnya, Ketua BPK menyampaikan kepada instansi yang berwenang. f.
Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP belum mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN, TPPI menyimpulkan hasil telaahan sebagai berikut: 1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara.
g. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil telaahan TP dan/atau LHP serta KKP kepada Tortama untuk diadministrasikan. h. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka dimintakan tambahan bukti pendukung.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
16
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
1) Dalam hal tambahan bukti pendukung tidak cukup memenuhi unsur 3 W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir g. 2) Dalam hal tambahan bukti pendukung cukup memenuhi unsur 3 W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir i. i.
Jika hasil telaahan menyimpulkan cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama dan Angbintama untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.
j.
Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat : 1) menugaskan tim khusus, atau 2) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; Untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
k. Selanjutnya informasi dan berkas penelaahan dikembalikan untuk diarsipkan oleh Tortama terkait. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 10 2. TP/LHP BPK Perwakilan Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh Kepala Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan TPKKN, yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK Perwakilan mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif. Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut: a. Tim pemeriksa di Perwakilan melalui Kalan menyampaikan TP/LHP kepada Tortama. Kemudian Tortama menyerahkan temuan tersebut kepada TPPI. Tim Pemeriksa di Perwakilan melakukan pemaparan atas temuan pemeriksaannya dengan TPPI dan jika dipandang perlu dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum untuk dibahas apakah terdapat cukup alasan dilakukannya pemeriksaan investigatif.
Sumber Informasi awal dari hasil pemeriksaan BPK Perwakilan
b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa di Perwakilan melalui Tortama/Kalan menyerahkan KKP kepada TPPI. c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama, Kalan atau pejabat yang ditunjuk, tim pemeriksa Perwakilan, TPPI. Jika diperlukan dapat dihadiri oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait. d. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B.1.d sampai dengan butir B.1.k. 11 3. Inisiatif Badan Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam hal ini adalah dari Ketua BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota BPK tentang informasi TPKKN yang terjadi di entitas yang diperiksa BPK. Penanganan informasi yang berasal dari inisiatif Badan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Sumber informasi awal dari inisiatif Badan
a. Badan menyampaikan perintah telaah kepada Tortama melalui Angbintama mengenai informasi adanya TPKKN. Tortama menyampaikan informasi tersebut kepada TPPI untuk ditelaah. b. TPPI kemudian melakukan telaahan dan membuat laporan hasil Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
17
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
telaahan dengan menilai apakah kasus tersebut berada dalam kewenangan BPK. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi informasi dengan mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan kelengkapan informasi. Jika dipandang perlu, TPPI dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif serta Tenaga Ahli terkait. c. Laporan hasil telaahan TPPI memuat simpulan: 1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara. d. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil telaahan kepada Badan melalui Tortama untuk di administrasikan dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. e. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua melalui Tortama dan mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan untuk melengkapi data pendukung. Jika hasil pemeriksaan pendahuluan: 1) Data pendukung tidak memenuhi memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka TPPI menyerahkan hasil telaahan kepada Badan untuk di administrasikan dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 2) Data pendukung telah memenuhi memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir f. f.
Jika hasil telaahan menyimpulan cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.
g. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat : 1) Menugaskan tim khusus, atau 2) Mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan investigatif. 12 4. Permintaan Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK Adalah informasi dari sumber ekstern BPK seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kepolisian. Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tujuan permintaan pada tahapan penyelidikan umumnya untuk mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu kasus/kejadian. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Sumber Informasi awal dari permintaan Instansi yang berwenang ke Ketua
18
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk menetapkan adanya kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum dan unsur melawan hukum yang telah dikembangkan oleh instansi yang berwenang. Permintaan pemeriksaan dalam rangka melakukan penghitungan kerugian negara/daerah dari Instansi yang berwenang, diatur tersendiri pada Bab VII. Mekanisme penanganan informasi awal yang bersumber dari permintaan Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK dilakukan sebagai berikut: a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan kepada Ketua BPK, untuk di Pemerintahan Pusat disampaikan oleh Liason Officer (LO) dari Kejaksaan Agung/KPK/Mabes POLRI sedangkan di Pemerintahan Daerah disampaikan oleh LO dari Kejaksaan Tinggi/Kapolda. b. Kemudian Ketua menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI melalui Tortama. c. TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melakukan pemaparan dan menyajikan bukti pendukung yang diperlukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi TPKKN. Jika dipandang perlu TPPI dapat meminta Ditama Binbangkum untuk hadir dalam rangka memberi pertimbangan masalah hukum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif serta Tenaga Ahli terkait. d. Setelah pemaparan oleh instansi yang berwenang selanjutnya TPPI melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan tersebut berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. e. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi informasi dengan mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan kelengkapan informasi. f.
TPPI membuat hasil telaahan dengan simpulan: 1) Menerima permintaan bantuan karena TPKKN cukup jelas, yang disertai dengan data pendukung yang memadai. 2) Menolak permintaan bantuan karena TPKKN tidak jelas serta tidak dilengkapi dengan data pendukung yang memadai.
g. Dalam hal masih diperlukan data tambahan untuk memperkuat kesimpulan, maka pengumpulan bukti tersebut dapat dilakukan sendiri oleh instansi yang berwenang atau membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari pemeriksa BPK dan penyidik dari instansi yang berwenang atau oleh tim pemeriksa BPK. h. Selanjutnya, TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama. i.
Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat: 1) Menerima permintaan instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan investigatif dengan: a) menugaskan tim khusus, atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait. 2) Menolak permintaan dengan menyampaikan surat jawaban ke instansi yang berwenang.
13 5. Permintaan Instansi yang berwenang kepada BPK Perwakilan Mekanisme penanganan permintaan instansi yang berwenang kepada BPK Perwakilan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan sebagai berikut: a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan kepada Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Sumber informasi awal dari permintaan Instansi yang berwenang ke BPK Perwakilan
19
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
Kepala Perwakilan BPK. b. Kemudian Kalan menyampaikan permintaan tersebut kepada Tortama dan meneruskannya kepada TPPI. c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.c sampai dengan B.4.i. 14 6. Permintaan Pihak Ketiga kepada Ketua BPK Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR, DPD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada Ketua BPK. Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ketiga kepada Ketua BPK dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Sumber Informasi awal dari Pihak ke III ke Ketua
a. Berdasarkan permintaan dari DPR/DPD, APIP, dan masyarakat mengenai adanya TPKKN kepada Ketua BPK, Ketua kemudian menyampaikan perintah telaah kepada Tortama yang selanjutnya meneruskan kepada TPPI mengenai informasi adanya TPKKN tersebut. b. TPPI melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan tersebut berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.e sampai dengan B.4.i. 15 7. Permintaan Pihak Ketiga kepada BPK Perwakilan Permintaan pihak ketiga kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari DPRD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada BPK Perwakilan. Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ke III kepada BPK Perwakilan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Sumber informasi awal dari permintaan Pihak ke III ke Perwakilan
a. Berdasarkan permintaan dari DPRD, APIP, dan masyarakat mengenai adanya TPKKN kepada Kalan, selanjutnya Kalan menyampaikan informasi tersebut kepada Tortama. b. Tortama kemudian menyampaikannya kepada TPPI mengenai informasi adanya TPKKN tersebut. c. TPPI selanjutnya melakukan langkah–langkah sesuai dengan butir B. 6.b. sampai dengan B. 6.c. 16 8. Jalur Komunikasi Pengaduan Masyarakat BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan yaitu: a. Badan Pemeriksa Keuangan – RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI, Jl. Jend. Gatot Subroto No 31 Jakarta Pusat 10210 ; b. Badan Pemeriksa Keuangan – RI Kantor Perwakilan Propinsi....... up. Kasubag Humas, Jl............................(alamat disesuaikan dengan lokasi kantor Perwakilan); c. Alamat email
[email protected] untuk penyampaian laporan melalui email.
Jalur Komunikasi pengaduan
C. Penanganan Informasi Awal 17 Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu substansi informasi dan proses penanganan informasi awal. 18 1. Substansi Informasi Penelaahan dilakukan terhadap substansi informasi mengenai: a. Kewenangan BPK, b. Nilai Kebenaran, c. Materi informasi dan d. Kelengkapan Informasi Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Substansi informasi
20
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
19
a. Kewenangan BPK Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN terjadi pada entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
20
b. Nilai Kebenaran Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber informasi yang handal dan memiliki validitas informasi yang tinggi. Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”, dan memiliki validitas informasi yang “tinggi”. Sedangkan informasi yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang “rendah”. Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan memiliki validitas yang tinggi maka nilainya adalah 8 (sangat diandalkan = 4; validitas tinggi = 4). Tingkat kehandalan sumber informasi dan validitas informasi ini mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana terlampir dalam Lampiran III.3.
21
c. Materi informasi Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN. Jika materi informasi yang disajikan masih diragukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.
22
d. Kelengkapan Informasi Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What (indikasi adanya TPKKN yang dilakukan), Where (dimana TPKKN dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).
23 2. Proses Penanganan Informasi Awal Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: a. mengadministrasikan informasi awal, b. memahami informasi awal, c. menganalisis informasi awal, d. mengevaluasi informasi awal, dan e. keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif. 24
a. Mengadministrasikan Informasi Awal Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK mempertimbangkan dua hal yaitu: 1) kerahasiaan sumber-sumber informasi awal dan 2) akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal.
Bab III
Proses penanganan informasi awal
Mengadministrasikan informasi
1) Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal a) BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang diterima sebagai informasi rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas pemberi laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya BPK telah mendapatkan kewenangan dari pemberi laporan atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. b) Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang diterima dari masyarakat harus diidentifikasi antara lain asal sumber informasi (AKN, DPR/D, Instansi yang berwenang, APIP), bulan dan tahun laporan diterima, dan lain-lain. c) Seluruh informasi berbentuk nonelektronis dikonversi menjadi elektronis untuk memudahkan distribusi dan pengendalian. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
21
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
d) Akses terhadap dokumen yang memuat semua informasi awal dari semua sumber informasi awal termasuk pengaduan masyarakat baik dokumen dalam bentuk fisik maupun nonfisik, harus dikendalikan dan dibatasi. e) BPK tidak mempunyai kewenangan untuk membatasi pemberi laporan yang bermaksud mempublikasikan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada BPK. 2) Akuntabilitas penanganan sumber informasi awal BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber informasi awal yang akan mencatat setiap penerimaan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat, antara lain: a) Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang bukan di bawah kewenangan BPK yang diteruskan ke instansi lain yang berwenang; b) Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan; c) Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan kegiatan koordinasi dengan lembaga pengawasan dan instansi yang berwenang; d) Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat penyidik untuk tahap penyidikan; dan e) Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti. Tabel akuntabilitas penanganan sumber informasi awal ini dapat dilihat pada lampiran III.4. 25
Memahami informasi awal
b. Memahami Informasi Awal 1) Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal–hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci masalah yang terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius, berpihak, memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif, sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa (1) sangat mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu informasi ini harus ditangani secara obyektif. 2) Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan menggunakan pendekatan 5W (what, who, where, when dan why) dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur – unsur TPPKN terkait pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab seluruh unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who (siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN) dan What (TPKKN apa yang dilakukan).
26
c. Menganalisis Informasi Awal 1) Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi awal ke dalam pendekatan 5W + 1H .
Menganalisis informasi awal
2) Selain dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dalam menganalisis informasi awal yang diterima, penelaah juga menggunakan laporan–laporan BPK yang terdahulu yang relevan untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan. 3) Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Unsur 5W+1H (1) Jenis TPKKN (what) Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
22
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
Dengan menjawab pertanyaan “what” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang substansi TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna pada saat pengembangan hipotesis awal untuk menetapkan jenis TPKKN. (2) Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who) Dengan menjawab pertanyaan “who” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang pihak–pihak yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak – pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. (3) Dimana TPKKN terjadi (where) Dengan menjawab pertanyaan “where” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi ini amat berguna pada saat menetapkan ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga membantu pada saat menentukan locus delictie (tempat terjadinya TPKKN). (4) Waktu terjadinya TPKKN (when) Dengan menjawab pertanyaan “when” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan ruang lingkup pemeriksaan investigatif. Penentuan tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan membantu pemeriksa dalam memahami ketentuan yang akan digunakan. (5) Penyebab terjadinya TPKKN (why) Dengan menjawab pertanyaan “why” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang mengapa seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan motivasi seseorang melakukan kecurangan sehingga dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya unsur niat seseorang melakukannya. (6) Modus operandi TPKKN (how) Dengan menjawab pertanyaan “how” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu pemeriksa dalam menyusun modus operandi TPKKN tersebut. b) Unsur TPKKN Dengan menggunakan pendekatan unsur–unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat menjelaskan tentang TPKKN yang dilaporkan. Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat unsur dalam pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi: (1) setiap orang. (2) secara melawan hukum. (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. (4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hasil analisis 5W + 1 H kemudian dituangkan dalam bentuk Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
23
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
matrik III.5 27
Bab III
dengan format sebagaimana tercantum pada lampiran
d. Mengevaluasi Informasi Awal 1) Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah informasi awal yang diperoleh telah didukung dengan data pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang memadai.
Mengevaluasi informasi awal
2) Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media masa, internet, dan informasi intern BPK lainnya. 3) Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan informasi lain, penelaah harus membandingkan informasi tersebut dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal sebagai berikut: a) Unsur TPKKN Dengan menggunakan pendekatan unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat mengevaluasi informasi awal tentang TPKKN yang dilaporkan tersebut dengan data pendukungnya. Contoh: Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait TPKKN dengan menggunakan “Pasal 2 Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi”: No Unsur TPK Bukti 1
Setiap orang
SK Bendahara
2
Secara melawan hukum
Melakukan pembayaran tanpa otorisasi
3
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Rekening Pribadi Bendahara
4
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Contoh unsur TPK
-
b) Unsur 5W+1H Dengan menggunakan kriteria 5W + 1H, pelaksanaan evaluasi atas informasi mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Jenis TPKKN (what) Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait. Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap informasi kemungkinan adanya kerugian negara/ daerah, hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk ditindaklanjuti. Faktor–faktor lain yang terungkap akan mempengaruhi dalam menentukan simpulan. (2) Pihak yang bertanggungjawab (who) Penelaah mengidentifikasi pihak–pihak yang mungkin bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak– pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. Mungkin saja informasi ini tidak terungkap dalam pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
24
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
lain terungkap dalam pengaduan, penelaah dapat menyusun hipotesis awal tentang siapa yang diindikasikan melakukan kecurangan. Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak– pihak yang bertanggung jawab mungkin diperoleh selama melakukan pemeriksaan investigatif. Sebagai contoh, meskipun informasi Who (siapa) tidak terungkap dalam pengaduan, tetapi berdasarkan informasi adanya indikasi terjadi KKN pada proyek X, maka pemeriksa dapat melakukan hipotesis kemungkinan siapa–siapa yang diduga melakukan TPKKN. (3) Dimana TPKKN terjadi (where) Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor penting yang harus ada untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus). (4) Waktu terjadinya TPKKN (when) Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus terungkap untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus). (5) Penyebab terjadinya TPKKN (why) Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab terjadinya TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis atas terjadinya suatu TPKKN sehingga memperkuat hipotesis yang akan ditetapkan. Informasi ini jarang terungkap dalam pengaduan, namun hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan pemeriksaan investigatif, apabila informasi atas unsur– unsur lainnya telah mencukupi. (6) Modus operandi TPKKN (how) Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu TPKKN dilakukan. Informasi tentang bagaimana suatu indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsur penting dalam penelaahan dan unsur kunci untuk menilai apakah suatu TPKKN telah dilakukan. Sebagaimana unsur “why” di atas, unsur ini juga jarang terungkap dalam pengaduan. Namun demikian walaupun informasi tersebut tidak terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak layak untuk dilakukan apabila unsur lainnya telah mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan pemeriksaan investigatif. Unsur “How” berkaitan langsung dengan modus operandi atau cara seseorang atau pihak tertentu melakukan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
25
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
TPKKN. Unsur “How” merupakan tindakan verbal seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan tindakan, sehingga secara keseluruhan merupakan TPKKN. Contoh: Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait dengan informasi penyimpangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada Pemerintah Daerah Kabupaten ABC: No 1
Unsur 5W + 1H Jenis TPKKN(What)
2
Pihak yang bertanggungjawab (Who) Dimana TPKKN terjadi (Where) Waktu terjadinya TPKKN (When) Penyebab terjadinya TPKKN (Why) Modus operandi TPKKN (How)
3 4 5 6
Fakta Pelanggaran PP No. 105/2000 dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melalui mekanisme kas bon. Bupati Pemda Kab. ABC Pemda Kab. ABC TA 2006/2007 -
4) Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum diperoleh secara lengkap, tetapi dengan memperhatikan prioritas penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat diindikasikan dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu: What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang berkaitan dengan kejadian), dan Where (entitas dimana TPKKN terjadi). 5) Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “simpulan penelaahan informasi awal” dengan pilihan sebagai berikut: a) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara. b) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk melengkapi informasi mengenai unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN yang belum diperoleh. c) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W atau dilengkapi data pendukung yang lengkap. 6) Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan informasi tambahan langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait, TPPI mengajukan usul kepada Ketua BPK untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: a) Materialitas nilai kerugian negara. b) Sensitivitas isu tersebut. c) Kecenderungan TPKKN di tempat lain. d) Kemungkinan kemudahan mendapatkan tambahan informasi yang diperlukan. Usulan pengumpulan bahan dan keterangan disetujui oleh Ketua BPK dengan menerbitkan disposisi kepada Tortama terkait atau TPPI untuk mengumpulkan data atau bukti pendukung tambahan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
26
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab III
pada entitas terkait. Pengumpulan bahan dan keterangan dapat dilakukan dengan memanfaatkan laporan dan/data dari instansi lain. 7) Pengumpulan data dimaksudkan untuk memastikan/ memperkuat/mendukung indikasi bahwa hal–hal yang diungkapkan dalam informasi benar–benar mempunyai dasar untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. 8) Hasil telaahan dan pengembangan informasi dilaporkan kepada Ketua BPK dalam waktu selambat–lambatnya tujuh hari setelah surat tugas pengumpulan data selesai. 9) Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan tersebut disusun dan ditandatangani oleh TPPI dan disampaikan kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut. 28
e. Keputusan Melaksanakan Pemeriksaan Investigatif
Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif
1) Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK dapat: a) menugaskan tim khusus, atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan investigatif. 2) Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh TPPI. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
27
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab III
28
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB IV
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab IV
BAB IV PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Tujuan persiapan pemeriksaan investigatif adalah agar pelaksanaan pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan.
Persiapan pemeriksaan investigatif
02 Kegiatan dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan hipotesa, 2) penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan kebutuhan sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas.
B. Pengembangan Hipotesa 03 Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Contoh hipotesa:
Hipotesa merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan 2 atau lebih variabel
1. Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara Negara. 2. Panitia pengadaan barang memenangkan kontraktor A.
melakukan
tender
proforma
untuk
3. Bupati X memberikan bantuan sosial fiktif dengan merekayasa proposal sehingga merugikan keuangan daerah sebesar Rp 10 M. 04 Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau lebih variabel yang berguna untuk: a) memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan investigatif; b) mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi; c) sebagai alat yang sederhana dalam membangun fakta–fakta yang tercerai–berai tanpa koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan d) sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta. 05 TPKKN yang masih bersifat umum selanjutnya diuraikan menjadi beberapa hipotesa TPKKN yang lebih spesifik (hipotesa yang disusun oleh TPPI dapat lebih dari satu hipotesa). 06 Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum dari media masa terkait dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI menyusun hipotesa secara singkat dan jelas. 07 Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b) siapa yang bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d) dimana TPKKN terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya unsur-unsur TPKKN.
C. Penyusunan Program Pemeriksaan 08 Tujuan penyusunan program pemeriksaan adalah untuk menentukan langkah-langkah pemeriksaan dalam rangka membuktikan hipotesa. Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI memperhatikan lima elemen dasar yaitu Situasi, Tujuan, Rencana Langkah, Administrasi & Logistik, Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lima elemen dasar yang harus diperhatikan dalam menyusun program pemeriksaan
29
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab IV
dan Komunikasi. 09 1. Situasi, yang mencakup bagian: a.
Masalah 1) Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi TPKKN yang dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini. 2) Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi tambahan yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
10
b. Analisis Masalah 1) Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi yang menyertai, diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna memperkuat gambaran substansi TPKKN yang telah terjadi yang nantinya akan dibuktikan. 2) Analisis masalah merupakan dasar dirumuskannya hipotesa, lebih lanjut diuraikan ke dalam langkah–langkah pemeriksaan investigatif yang akan dilaksanakan berikut siapa yang akan melaksanakan serta rencana waktu pelaksanaannya.
11
c. Simpulan 1) Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat. 2) Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya dibuktikan melalui pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
12 2. Tujuan Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya TPKKN sebagaimana dirumuskan dalam hipotesa awal. Tujuan ini dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas menggambarkan hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dalam suatu kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan secara keseluruhan. 13 3. Rencana Langkah Rencana langkah pemeriksaan investigatif mencakup: a. Menjabarkan rencana langkah-langkah pemeriksaan investigatif yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b. Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan penanggung jawab dan jangka waktu pelaksanaannya. 14 4. Administrasi dan Logistik Administrasi dan logistik mencakup bagian: a. Usulan Tim Pemeriksa Investigatif Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup uraian rinci mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan. b. Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga waktu yang dibutuhkan untuk masing - masing langkah pemeriksaan. c. Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif Menjabarkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemeriksaan. 15 5. Komunikasi Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
30
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab IV
Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara rinci mengenai arus informasi (siapa melapor kepada siapa), waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan. 16
Program Pemeriksaan Investigatif 1. Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat mengumpulkan bukti–bukti yang diperlukan dalam mengungkapkan dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari sumber yang relevan dan tepat, dan b) penentuan hubungan bukti dengan pihak yang terkait.
17
Program pemeriksaan investigatif diarahkan untuk mengungkap dan membuktikan setiap hipotesa.
2. Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang terinci yang sekurang – kurangnya disusun berdasarkan struktur atau kerangka yang mencakup: a. Dasar Hukum Pemeriksaan Menguraikan peraturan perundangan-undangan yang menjadi sumber mandat BPK dalam melakukan pemeriksaan investigatif. b. Standar Pemeriksaan Menguraikan pedoman yang ditetapkan BPK sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk dan atas nama BPK. c. Tujuan Pemeriksaan Investigatif Adalah untuk membuktikan pernyataan hipotesa rinci yang telah dirumuskan, sebagai contoh: Program Kerja Pemeriksaan PEMERINTAH KABUPATEN ABC Tujuan Pemeriksaan: Untuk membuktikan ada tidaknya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada Kabupaten ABC. d. Entitas Yang diperiksa Menguraikan entitas yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK. e. Lingkup Yang Diperiksa Menguraikan batasan bagi Tim Pemeriksa untuk menerapkan prosedur pemeriksaan yang ditentukan berdasarkan hipotesa dan tujuan yang telah dibuat meliputi sasaran, lokasi maupun waktu. Contoh: Adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten ABC pada TA 2006 – 2007. f. Hasil Telaahan Informasi Awal Menguraikan situasi dan permasalahan sebagaimana yang telah dianalisis dalam tahap penyusunan hipotesa atas predikasi. g. Alasan Pemeriksaan Menguraikan kondisi (predikasi/hipotesa) atau permasalahan yang telah diidentifikasi dalam tahap penelaahan informasi awal yang melatarbelakangi pemeriksaan investigatif. Alasan ini menjadi prioritas untuk dibuktikan secara lebih rinci lagi dengan menggunakan prosedur pemeriksaan dalam pelaksanaan pemeriksaan. h. Metodologi Pemeriksaan Menguraikan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
31
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab IV
i. Langkah – Langkah Pemeriksaan Investigatif Berdasarkan tujuan dan lingkup pemeriksaan investigatif, disusun langkah-langkah pemeriksaan. Contoh langkah pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran IV.1. j. Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif 1) Bagian ini memberikan waktu dan durasi pelaksanaan program kerja pemeriksaan investigatif secara rinci dan disusun berdasarkan hari tugas (daily basis). 2) Bagian ini sebaiknya disusun dalam pola matriks dengan menggunakan model Gantt chart, yang mengkaitkan antara obyek & langkah–langkah pemeriksaan dengan tanggal pelaksanaan pemeriksaan investigatif. 3) Waktu pelaksanaan dibuat dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan kerumitan masalah TPKKN yang diperiksa. 4) Waktu pelaksanaan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan hingga draft final juga disertakan di dalam Gantt chart. k. Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif Menguraikan urutan komposisi tim pemeriksa yang dilengkapi dengan jumlah biaya pemeriksaan. l. Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Menguraikan pihak – pihak yang memperoleh laporan hasil pemeriksaan. m. Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif Menguraikan pejabat yang berwenang dalam persetujuan program pemeriksaan. 18 Berdasar paket program pemeriksaan yang telah disetujui, ketua tim melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggota tim atas langkah pemeriksaan yang terdapat dalam program pemeriksaan. Para anggota tim pemeriksa kemudian menyusun konsep Program Kerja Perorangan yang merupakan penjabaran dari program pemeriksaan dan mengajukannya kepada ketua tim untuk direviu. Setelah memperhatikan pertimbangan pengendali teknis, ketua tim pemeriksa menyetujui konsep program kerja perorangan. Format program kerja perorangan dapat dilihat pada lampiran IV.2.
D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya 19
Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang optimal dan efektif.
20
Kebutuhan sumber daya pendukung yang harus ditentukan antara lain menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran biaya pemeriksaan, dan perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam, telekomunikasi, komputer dan lain-lain.
21
Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat kesulitan dan rumitnya masalah yang akan diperiksa.
Penentuan sumber daya pendukung ditentukan seefisien mungkin
E. Penerbitan Surat Tugas 22 Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka diterbitkan surat tugas oleh Ketua atau Angbintama atau Kalan. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Penerbitan surat tugas oleh 32
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab IV Ketua/Angbintama/Kalan
23 Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang lingkup pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI, dan rencana jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan. 24 Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus diorganisir hingga diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang diterbitkan, status penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang diterbitkan. Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada lampiran IV.3. 25 Susunan tim pemeriksa investigatif adalah sebagai berikut: 1. Penanggung jawab pemeriksaan investigatif. 2. Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan). 3. Pengendali teknis pemeriksaan investigatif. 4. Ketua tim pemeriksa investigatif. 5. Anggota tim pemeriksa investigatif. Matriks komunikasi kegiatan persiapan pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran IV.4.
Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
33
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab IV
34
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB V
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
BAB V PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan, yaitu: 1. Pembicaraan pendahuluan 2. Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa 3. Analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan 4. Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK 5. Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang 6. Pembicaraan akhir
Pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan
B. Pembicaraan Pendahuluan 02 Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang diperiksa dengan maksud: 1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas. 2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Tujuan pembicaraan pendahuluan
03 Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pemeriksaan, terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang diperiksa. 04 Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan lingkup pemeriksaan serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa. 05 Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun manajemen puncak dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan terlibat dalam kasus yang bersangkutan . 06 Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus direncanakan agar tidak mengungkap informasi yang diperlukan secara rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku menghilangkan, menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli. 07 Jika dalam pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya pemeriksaan investigatif, maka Tim Pemeriksa menempuh langkah – langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.
C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa 08 Pada tahap ini, pemeriksa investigatif telah memiliki hipotesa awal yang berisi mengenai, siapa, bentuk dan jenis peristiwa, indikasi TPKKN yang merugikan keuangan negara/daerah. Tujuan pengumpulan bukti
09 Tujuan pengumpulan bukti Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3. penanggung jawab Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
35
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
atau pihak yang terkait atas TPKKN. Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu memahami jenis – jenis dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara keduanya. Penjelasan mengenai bukti pemeriksaan dan bukti hukum dapat dilihat pada lampiran V.1. 10
Strategi pengumpulan bukti
Strategi pengumpulan bukti Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar, yaitu: 1. Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara terhadap saksi yang mendukung dan menganalisis dokumen yang tersedia. 2. Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan saksi intern yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna membangun kasus. 3. Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap kasus, mengidentifikasikan pelaku kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan (intent) si pelaku.
Lima metode dalam pengumpulan bukti
11 Metode pengumpulan bukti Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam hipotesa awal, pemeriksa mengumpulkan bukti dengan cara: 1. meminta dokumen, 2. meminta keterangan, 3. melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan, 4. memperoleh bukti elektronik/digital, 5. melakukan penyegelan dan 6. memotret dan merekam. 12 1. Meminta Dokumen a. Pasal 10 huruf a UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK untuk meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Meminta Dokumen
b. Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan indikasi TPKKN. Dokumen ini didapatkan dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa. c. Dalam memperoleh bukti pemeriksaan, pemeriksa dapat: a. Meminta dokumen kepada pejabat atau pihak terkait lainnya yang berwenang untuk memberikannya melalui surat yang dilampiri dengan daftar dokumen yang diminta. b. Mengecek kesesuaian antara jumlah/jenis dokumen/bukti yang diterima dengan daftar permintaan dokumen/bukti. c. Memfotokopi setiap dokumen asli yang diperoleh kemudian dilegalisasi oleh pembuat dokumen asli atau pejabat yang berwenang dari entitas yang diperiksa dan distempel dengan memuat penjelasan “sesuai dengan aslinya dan bukti asli ada di kantor kami di bawah tanggung jawab Saudara ........”. d. Jika dokumen yang diperoleh hanya berupa fotokopi, maka pemeriksa harus melakukan prosedur pemeriksaan lainnya seperti konfirmasi kepada pihak - pihak yang terkait dengan dokumen tersebut. e. Setiap peminjaman dan pengembalian dokumen asli harus Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
36
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
dibuatkan berita acara peminjaman/pengembalian dokumen. Formulir Berita Acara Peminjaman Dokumen dapat dilihat pada lampiran V.2. f.
Jika dokumen asli maupun fotokopi tidak dapat diperoleh, maka pemeriksa mengajukan permintaan tertulis kedua kalinya dengan menjelaskan dasar hukum permintaan dokumen disertai konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut.
g. Jika dokumen asli maupun fotokopi dapat diperoleh tetapi tidak dapat dipinjamkan, pemeriksa harus mencatat secara lengkap nomor dokumen, tanggal dokumen, halaman buku dan catatan lain yang dianggap perlu untuk memudahkan mendapatkan kembali pada saat penyidikan dilakukan. h. Daftar dokumen/bukti tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang dari entitas yang diperiksa, sebagai bukti dukungan bahwa daftar tersebut telah dibuat sesuai dengan dokumen/bukti yang ada pada saat itu. i.
Jika dokumen tersebut tetap tidak diberikan, maka pemeriksa dapat segera merencanakan langkah berikutnya, yaitu : 1) Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan. 2) Melakukan penyegelan sesuai dengan kewenangan BPK setelah mendiskusikannya dengan Ditama Binbangkum. Tata cara penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan.
j.
Perolehan dokumen terkait dengan kerahasiaan bank 1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). a) Pemeriksa dapat memperoleh informasi dari PPATK berkaitan dengan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Formulir Permintaan Informasi kepada PPATK dapat dilihat pada lampiran V.3. b) Dalam hal diperlukan adanya konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas informasi yang telah diberikan, dapat dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk. c) Informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam surat permintaan informasi. d) Informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan atau diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PPATK. e) Pemeriksa bertanggung jawab atas kerahasiaan, penggunaan, dan keamanan informasi yang diterima. 2) Pemeriksa dapat meminta dokumen yang diperlukan kepada Bank, dengan izin/kuasa dari pemegang rekening. 3) Jika cara 1) dan 2) di atas tidak berhasil, pemeriksa dapat meminta pihak instansi penyidik untuk mendapatkan izin Pimpinan Bank Indonesia, setelah melalui proses sesuai dengan prosedur yang berlaku di instansi penyidik. Menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, izin pemberian keterangan yang menyangkut rahasia bank untuk suatu perkara yang menyangkut rekening nasabah bank hanya dapat diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia kepada pihak
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
37
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim atas permintaan tertulis dari ketiga instansi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pejabat BPK yang berwenang meminta secara tertulis kepada intansi penyidik agar mengajukan permohonan izin kepada Pimpinan Bank Indonesia. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 UU No. 10 Tahun 1998. 4) Langkah-langkah persiapan dalam mendapatkan izin tersebut antara lain: a) Menyampaikan surat permintaan. b) Jika diminta, pemeriksa melakukan presentasi kasus kepada penyidik untuk meyakinkan bahwa tanpa dokumen yang diperlukan, posisi kasus menjadi lemah. 13 2. Meminta Keterangan a. Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh pemeriksa dengan tujuan untuk memperoleh, melengkapi dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan.
Meminta keterangan
b. Permintaan keterangan tertulis dapat dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya dengan membuat Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK), Surat Pernyataan, dan pengisian kuesioner. c. Permintaan keterangan secara lisan dapat dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya dengan wawancara dan wawancara mendalam. d. Definisi dan Tujuan Wawancara 1) Wawancara adalah usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan. Wawancara bersifat netral, tidak menuduh. Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai. Wawancara memiliki pola dan struktur yang spesifik, serta memiliki tujuan. Wawancara dapat berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan. 2) Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan terhadap penanggung jawab atau pihak yang diduga terkait dengan TPKKN. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang dapat dipakai untuk mengungkap segala sesuatu yang menyangkut bagaimana TPKKN yang terjadi. e. Untuk menjaga independensi dan mencapai tujuan, wawancara dan wawancara mendalam dilakukan di kantor BPK atau kantor entitas yang diperiksa kecuali jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka pemeriksa dapat melakukan wawancara di tempat lain berdasarkan pertimbangan pemeriksa. f.
Teknik dan Dokumentasi Wawancara 1) Teknik Wawancara Teknik wawancara secara rinci dapat dilihat pada Lampiran V.4. 2) Dokumentasi hasil wawancara a) Pernyataan dari responden dapat didokumentasikan melalui tulisan tangan atau diketik selama wawancara dan/atau direkam secara elektronik dengan menggunakan kamera video dan alat lain. Pasal 10 butir e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret dan merekam sebagai alat bantu pemeriksaan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
38
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
b)
Kegiatan pemotretan dan perekaman yang dilakukan oleh pemeriksa bertujuan untuk memperkuat dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan. Manfaat hasil rekaman gambar dan suara adalah: (1) Memungkinkan pemeriksa investigatif melakukan pengamatan selama berlangsungnya wawancara dan juga sesudahnya. (2) Memudahkan pemeriksa investigatif membuat Berita Acara Permintaan Keterangan. (3) Dapat menjadi bukti ketika tersangka mengklaim bahwa wawancara atau wawancara mendalam dilakukan di bawah tekanan.
c)
Jika direkam dengan kamera video, buatlah salinan teks wawancara dan minta responden memastikan ketepatannya. Catatan teks wawancara agar ditandatangani oleh responden untuk penegasan ketepatannya.
d)
Kemudian susunlah pernyataan berdasarkan urutan kejadian secara logis. Dari catatan tersebut pemeriksa menyusun BAPK yang akan ditandatangani oleh pihak yang memberikan keterangan.
e)
Hasil wawancara tersebut dituangkan dalam BAPK. Formulir BAPK dapat dilihat pada lampiran V.5. Berita acara ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi, namun berita acara ini dapat digunakan oleh aparat penyidik untuk kepentingan penyidikan.
f)
Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara:
Bab V
(1) Pemeriksa harus merencanakan wawancara dengan baik. Oleh karena itu pemeriksa harus mempunyai gambaran umum tentang apa yang diketahui oleh saksi, dokumen apa yang dapat disediakannya serta bagaimana hubungan informasi tersebut dengan kasus yang sedang diperiksa. (2) Sebelum melakukan wawancara, pemeriksa perlu mereviu semua data/informasi yang telah diperoleh. Informasi tersebut dapat dibagi dalam tiga kategori sebagai berikut: a) informasi yang sudah dapat didokumentasikan/relevan, dan tidak perlu didiskusikan; b) informasi yang mungkin dapat didokumentasikan/relevan, tetapi masih perlu didiskusikan; dan c) informasi yang harus dibangun melalui kesaksian. (3) Pemeriksa dapat melakukan wawancara dimulai dari lingkungan paling luar, yaitu mereka yang tidak mempunyai kepentingan terhadap kasus yang akan diungkap atau saksi yang tidak memiliki kepentingan. Setelah itu wawancara mengarah kepada pihak yang memiliki konspirasi dan yang terakhir adalah wawancara kepada pihak yang menjadi target kasus tersebut. (4) Wawancara sebaiknya dilakukan secara non formal, dengan kemampuan memilih cara pendekatan yang tepat. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
39
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
(5) Peranan tiap orang dalam hubungannya dengan peristiwa TPKKN yang terjadi dapat menghasilkan keterangan yang berbeda. (6) Sikap mental, kepribadian dan latar belakang saksi/ responden perlu dipertimbangkan, karena dapat memberikan pengaruh yang besar atas isi keterangan yang diberikan, misal karena enggan, takut/terpaksa, merasa tidak nyaman, tidak simpati kepada pemeriksa, bersikap tidak peduli, rasa dendam, sensasi dan fitnah. (7) Wawancara kepada saksi tidak hanya melengkapi bukti dalam suatu kasus, tetapi dapat juga digunakan untuk menunjukkan keterkaitan bukti dengan saksi lain. Oleh karena itu, pemeriksa investigatif harus meneliti keterkaitan tersebut. (8) Pemeriksa harus hati–hati membedakan mana keterangan yang merupakan fakta dan mana keterangan yang merupakan pendapat/persepsi yang disampaikan oleh saksi. (9) Pada umumnya wawancara mendalam dilaksanakan pada saat: 1) sebanyak mungkin informasi telah diperoleh dari sumber selain tersangka, 2) terdapat beberapa bukti atau informasi yang hanya dapat diperoleh dari tersangka, dan 3) waktu, tempat dan materi wawancara mendalam sedapat mungkin dalam pengendalian pemeriksa. g. Jika responden dalam wawancara menghendaki untuk didampingi penasehat hukumnya, hal tersebut dapat diijinkan sepanjang kehadiran penasehat hukum tidak mengganggu jalannya proses wawancara. Penasehat hukum boleh hadir mendampingi responden namun ia tidak boleh mengajukan dan/atau menjawab pertanyaan pemeriksa. Penasehat hukum hanya boleh melihat dan mendengar proses wawancara. h. Dalam rangka wawancara untuk mendapat dan meminta keterangan, BPK berwenang melakukan pemanggilan kepada orang tersebut. Pelaksanaan pemanggilan mengacu pada tata cara pemanggilan dan permintaan keterangan yang berlaku di BPK. i.
Sebelum melakukan pemanggilan, pemeriksa investigatif perlu mempertimbangkan seseorang yang dipanggil mempunyai peranan sebagai saksi atau sebagai pihak yang bertanggung jawab/terkait atas TPKKN yang telah terjadi.
14 3. Melakukan Pemeriksaan Fisik dan Pengamatan a. Pemeriksaan fisik lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya. Formulir Berita Acara Pemeriksaan Fisik dapat dilihat pada lampiran V.6.
Pemeriksaan fisik dan pengamatan
b. Pengamatan diartikan sebagai pemanfaatan panca indera untuk mengetahui sesuatu. Kunjungan ke ruang kantor untuk melihat kondisi peralatan yang ada, kegiatan yang dilakukan, banyak dan ragamnya pegawai; mendengar tingkat kebisingan atau keheningan suasana kantor; merasakan suhu panas atau dingin tempat kerja dan lain sebagainya. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
40
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
c. Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di lapangan antara lain adalah: 1) Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan pemeriksa lebih memahami mengenai proses yang terjadi sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh dan kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut. 2) Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan terkini tentang keberadaan suatu aktiva atau obyek yang diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan. 3) Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/ gambaran yang telah diperoleh sebelumnya. 4) Melengkapi informasi yang sudah ada. 5) Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait dengan perkiraan besarnya kerugian karena kerusakan fisik yang diperiksa. 6) Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa TPKKN.
Bab V
Tujuan pemeriksaan fisik dan pengamatan lapangan
d. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan fisik: 1) Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap dan jelas. 2) Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu disediakan peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan misalnya: alat tulis/catatan, peralatan foto, dan alat perekam handycam. e. Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik: 1) Hasil pemeriksaan fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk foto dan rekaman wawancara. Dan hasil pengujian fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan Fisik. 2) Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik yang baik akan membantu pemeriksa dalam kegiatan pemeriksaan. 15 4. Memperoleh bukti elektronik/digital a. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi mengakibatkan sumber perolehan bukti mengalami perluasan sehingga tidak hanya mencakup bukti konvensional, tetapi juga mencakup bukti non-konvensional seperti bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence). Bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence) adalah bukti yang disimpan, diterima atau dikirim dalam bentuk digital dengan menggunakan perangkat elektronik.
Memperoleh bukti elektronik/digital
b. Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga dapat diperoleh dari: 1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
41
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. c. Komputer sebagai salah satu peralatan elektronik, yang dapat mengolah, menyimpan, menerima dan mengirimkan bukti elektronik, memiliki peran yang bermacam–macam di dalam kejahatan teknologi tinggi: 1) Komputer sebagai sebuah obyek. Komputer dan sistem jaringan seringkali menjadi obyek atau sasaran kejahatan, sabotase fisik, pencurian atau penghancuran informasi. 2) Komputer sebagai sebuah subyek. Komputer merupakan subyek langsung dari kejahatan ketika komputer berada di dalam lingkungan di mana pakar teknologi melakukan kejahatan. 3) Komputer sebagai sebuat alat bantu. Komputer secara nyata digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, baik penggelapan, pencurian informasi yang dilindungi atau pun hacking. 4) Komputer sebagai sebuah simbol. Komputer memberikan pelaku sebuah kredibilitas hingga memudahkan pelaku melakukan tindak kejahatan. d. Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer, terdapat tiga langkah utama: (1) mengambil image atau imaging, (2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis, yaitu menganalisis image yang sudah diproses. e. Untuk mengamankan data elektronik penting terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang tersimpan dalam komputer, dari penghancuran atau perubahan data, pemeriksa investigatif dapat menempuh langkah–langkah sebagai berikut: 1) Menutup seluruh akses terhadap komputer atau media elektronik. Hanya pihak yang kompeten dan berwenang saja yang dapat memperoleh akses terhadap komputer tersebut. 2) Mematikan komputer dilakukan dengan mencabut kabel listrik yang terhubung dengan komputer tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terdapat perubahan, atau tindakan lain yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu untuk menghilangkan atau merubah barang bukti. 3) Mendokumentasikan waktu dilakukan dengan mencatat kapan waktu menutup akses dan mematikan komputer. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa dapat mempertanggung jawabkan keaslian dari alat bukti. 4) Mendokumentasikan lingkungan kerja dimana komputer tersebut berada. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh gambaran yang utuh terhadap alat bukti yang ada. Mengidentifikasi media elektronik yang ditemukan dan dianggap memuat alat bukti yang dicari. 5) Mengkonsultasikan dengan ahli forensik komputer. Langkah paling penting adalah pemeriksa melakukan konsultasi dan/atau koordinasi dengan ahli forensik komputer (misalkan dengan ahli forensik komputer KPK). Hal ini tentunya telah dimulai sebelum melakukan penyegelan atau memasuki ruangan komputer. Melakukan penyegelan
16 5. Melakukan Penyegelan a. Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
42
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan. b. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara yang berada dalam penguasaan dan atau tanggung jawab pihak yang diperiksa atau pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan. c. Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa ditunda karena alasan tertentu, yaitu jika pihak yang menguasai dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen pengelolaan keuangan negara tidak berada di tempat pada saat pemeriksaan dilaksanakan atau alasan lain sehingga pemeriksaan tidak dapat dilaksanakan. d. Tata cara penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 17 6. Memotret dan Merekam a. Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
Memotret dan merekam
b. Pemotretan dan perekaman gambar ataupun suara dapat dilakukan oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan pada saat pemeriksa: 1) Meminta keterangan (wawancara dan wawancara mendalam); 2) Melakukan pemeriksaan fisik; 3) Memperoleh bukti elektronik; 4) Melakukan penyegelan. 18 Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, pemeriksa investigatif dapat melakukan teknik pemeriksaan sebagai berikut: 19
1. Konfirmasi Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dari sumber lain yang independen, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kasus tender pengadaan barang dan jasa misalnya, permintaan konfirmasi dari pemasok yang cenderung melindungi pejabat, perlu diperkuat dengan konfirmasi dari Direktorat Jenderal Bea & Cukai, kalau barang tersebut diimpor.
20
2. Pengujian Memeriksa hal-hal atau sampel-sampel yang representatif dengan maksud untuk mendapatkan simpulan, sehubungan dengan kelompok yang dipilih.
21
3. Reviu analitikal Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara: a) membandingkan anggaran dengan realisasinya, b) mencari hubungan antara satu data keuangan dengan data keuangan lain, c) menggunakan data non keuangan, d) regresi atau analisis trend, dan e) menggunakan indikator ekonomi makro.
22
4. Pemeriksaan keabsahan Memeriksa sah tidaknya serta lengkap tidaknya bukti yang mendukung suatu transaksi.
23
5. Rekonsiliasi Penyesuaian antara dua golongan data yang berhubungan tetapi masing – masing dibuat oleh pihak – pihak yang independen.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan pemeriksa
43
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
24
6. Penelusuran Memeriksa dengan jalan menelusuri proses suatu keadaan atau masalah, kepada sumber atau bahan pembuktiannya.
25
7. Penghitungan kembali Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara memeriksa kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lainlain). Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi umumnya amat rumit, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang kompleks, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda.
26
8. Penelaahan pintas Melakukan penelaahan secara umum dan cepat untuk menemukan halhal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Bab V
27 Penyimpanan Bukti Bukti yang telah diperoleh harus dikelola dengan baik. Pengamanan alat/ barang bukti dapat dilihat pada lampiran V.7. 28 Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah : 1. Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada situasi, kondisi dan kreativitas pemeriksa investigatif dalam menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan secara tepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan. 2. Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan alat bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka mendukung ke arah penuntutan. 29 Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan berisi informasi yang cukup agar pemeriksa yang berpengalaman, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan pemeriksa. 30 Pendokumentasian dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP). Masa penyimpanan KKP disesuaikan dengan masa kadaluarsa penuntutan kasus pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundangundangan yang berlaku. Susunan dan isi minimal KKP dapat dilihat pada lampiran V.7.
D. Analisis dan Evaluasi Bukti 31 Tujuan analisis dan evalusi setiap bukti yang diperoleh adalah: 1. Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena pada dasarnya perumusan hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan pemeriksaan. 2. Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta sebagai landasan perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut. 3. Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi.
Tujuan analisis dan evaluasi bukti
32 Hasil analisis bukti dapat memberikan petunjuk untuk memperoleh bukti– bukti lain yang relevan sebagai bukti dukungan atas validitas bukti yang kita peroleh. 33 Hasil analisis bukti dapat menunjukkan gambaran mengenai suatu kejadian dari suatu peristiwa. Rangkaian dari berbagai analisis bukti akan menggambarkan secara menyeluruh keadaan yang sesungguhnya mengenai suatu sangkaan yang ingin diuji kebenarannya. 34 Pemeriksa Direktorat Litbang
dapat
menggunakan
pertimbangan
Badan Pemeriksa Keuangan
keahliannya
dalam 44
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
melakukan evaluasi terhadap bukti apabila tidak diperoleh cukup bukti dan informasi untuk membuat simpulan. 35 Pertimbangan keahlian (value judgment) tidak dapat diberikan oleh pemeriksa apabila dari bukti yang diperoleh menunjukkan secara jelas suatu kondisi tanpa perlu interpretasi/ simpulan. 36 Teknik menganalisis bukti 1. Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan pemeriksaan, pemeriksa berupaya untuk memperoleh bukti–bukti yang relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai teknik pemeriksaan.
Teknik menganalisis bukti
37 2. Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh pemeriksa. Tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan dalam proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa tidak dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena ketidakmampuan pemeriksa membaca dan menginterpretasikan sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah diperoleh. 38 3. Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata relevan untuk pembuktian suatu kejadian. 39 4. Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai kebenaran suatu kontrak, pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK). 40 5. Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti tersebut dalam rangkaian bukti–bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang ditemui. 41 6. Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk menilai apakah hipotesa yang disusun telah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa ditunjukkan untuk menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN. Teknik mengevaluasi bukti
42 Teknik mengevaluasi bukti 1. Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu mengenai urutan proses kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus kejadian/modus operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologi fakta kejadian. 43
2. Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat bagi pemeriksa untuk memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang ditangani.
44
3. Bagan arus kejadian a. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman suatu proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa, Siapa, Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi. Perbuatan TPKKN yang dilakukan dalam suatu rangkaian proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi. b. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
45
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
TPKKN. Posisi awal perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan pribadi atau golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara. c. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung dengan kualitas dan kuantitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Apabila menggunakan bukti–bukti yang tidak langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti–bukti pendukung lainnya. 45
4. Kronologi fakta a. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu kejadian. Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya berdasarkan bukti–bukti yang diterima. b. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu diperhatikan pemeriksa mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti, sehingga aspek “bilamana” yang ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
46 Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan. Kesimpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung hipotesa yang sudah dirumuskan.
E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK 47 Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa.
Pemaparan di lingkungan intern
48 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan. 49 Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan simpulan hasil pemeriksaan investigatif tersebut. Dari hasil pemaparan, Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang berwenang. Namun, jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas simpulan tersebut maka Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan. 2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme tuntutan ganti rugi. 3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.
F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang 50 Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Pemaparan dengan instansi yang berwenang 46
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN. 51 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan beserta dengan instansi yang berwenang. Pemaparan dapat dilakukan di kantor Pusat BPK/BPK Perwakilan atau di kantor instansi yang berwenang sesuai dengan kebutuhan. 52 Pemeriksa memaparkan hasil pemeriksaan dan matrik unsur TPPKN terkait dengan hasil pemeriksaan tersebut. Contoh Matriks dapat dilihat pada lampiran V.8. 53 Simpulan hasil pemaparan Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 1. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya. 2. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh langkah sebagai berikut: a. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh bukti yang diperlukan. b. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang diperlukan jika terdapat keterbatasan kewenangan BPK.
G. Pembicaraan Akhir 54 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa.
Pembicaraan akhir dengan pejabat entitas yang diperiksa
Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa hingga tidak mengganggu, menghambat atau menyulitkan proses pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau pun proses perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di kemudian hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut. 55 Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan investigatif dapat dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan. 56 Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan simpulan tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan mempertimbangkan kelancaran proses pembicaraan akhir. 57 Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting) untuk ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa atau memperoleh komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi yang diperiksa.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
47
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab V
Aksioma dan
Prinsip Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
48
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB VI
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab VI
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB VI PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani oleh Ketua BPK.
BPK melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung indikasi unsur-unsur TPKKN ke instansi yang berwenang
02 Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsip pelaporan, susunan laporan, serta reviu dan tanda tangan. 03 Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar laporan, distribusi laporan, nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan Pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran VI.1.
B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif 04
Pelaporan pemeriksaan investigatif harus mempertimbangkan prinsipprinsip berikut:
05
1. Akurat Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak terkait, harus dikonfirmasikan sebelum penulisan laporan. Informasi yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi. Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus dicatat dalam KKP untuk mendukung laporan. Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan bahwa seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat sebelum dituangkan dalam LHP.
06
2. Jelas Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian serta kalimat atau bagian yang secara tidak jelas berhubungan dengan informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya digunakan dalam konteks kalimat dan agar dijelaskan seperlunya.
07
3. Tidak memihak Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan, tetapi harus berdasarkan fakta yang didukung oleh bukti yang cukup yang dituangkan dalam KKP.
08
4. Relevan Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang relevan dengan masalah atau kasus yang ditangani. Memasukan informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya akan membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan mengakibatkan pemeriksa dikritik atas metodologi kerjanya.
09
5. Tepat waktu Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Pelaporan mempertimbangkan prinsip akurat, jelas, tidak memihak, relevan dan tepat waktu
49
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VI
Laporan yang sudah ditandatangani segera disampaikan agar informasi yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya digunakan dan memenuhi tujuannya.
C. Susunan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif 10
Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif adalah sebagai berikut: Bagian I : Simpulan Bagian II : Umum 1. Dasar Penugasan Pemeriksaan 2. Ruang Lingkup Pemeriksaan 3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 2. Materi Temuan a. Jenis TPKKN b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian c. Penyebab dan Akibat TPKKN d. Pihak penanggung jawab dan pihak yang terkait e. Bukti pemeriksaan yang diperoleh Lampiran Catatan: Jika tim pemeriksa tidak dapat menyimpulkan adanya indikasi unsur TPKKN, LHP tidak perlu mengungkapkan bagian III angka 2 huruf c dan d.
11
Penjelasan masing–masing bagian dapat diuraikan sebagai berikut: Bagian I : Simpulan
Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif
Bagian ini memuat hasil pemeriksaan yang secara ringkas dan jelas mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur TPPKN atas kasus yang diperiksa. 12
Bagian II : Umum 1. Dasar Penugasan Pemeriksaan BPK berdasarkan: a. Pasal 23E Undang–Undang Dasar 1945. b. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. c. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara d. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. e. Surat Tugas BPK–RI f. Sumber informasi awal misalnya, Surat Permintaan dari Instansi yang berwenang, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI atau Laporan APIP atau Pengaduan Masyarakat. g. Dan lain – lain 2. Ruang Lingkup Pemeriksaan menguraikan tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau triwulan). 3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa a. Nama entitas yang diperiksa b. Alamat entitas yang diperiksa c. Organisasi entitas yang diperiksa d. Kegiatan yang diperiksa
13
Bagian III Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum obyek/kegiatan yang diperiksa menguraikan tentang peraturan perundang–undangan yang mendasari obyek/kegiatan yang diperiksa termasuk juga ketentuan intern dari entitas yang
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
50
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VI
diperiksa. 2. Materi Temuan a. Jenis TPKKN Bagian ini menguraikan secara singkat klasifikasi TPKKN dan ketentuan peraturan yang dilanggar. b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian Bagian ini menguraikan fakta dan proses kejadian yang mencakup penjelasan tentang apa, siapa, dimana, bilamana, mengapa, dan bagaimana kasus yang sedang diperiksa. Secara khusus, unsur ”bagaimana” yaitu uraian dari proses kejadian, harus menjelaskan secara rinci dan gamblang disertai dengan bagan arus tentang cara terjadinya kerugian negara/daerah. Dalam uraian tersebut juga menjelaskan mengenai unsur kerja sama, yaitu uraian yang menerangkan secara jelas mengenai tindakan pihak penanggung jawab atau pihak terkait, sehingga memberikan gambaran adanya kerja sama pihak yang bersangkutan. Kerja sama tersebut dapat berupa suatu perbuatan yang dilakukan secara bersama dalam bentuk pemberian fasilitas, pemberian kemudahan dalam informasi/data dan atau bentuk kemudahan lainnya sehingga mengakibatkan kerugian negara/daerah. Jika dalam pengungkapan fakta dan proses kejadian, tim pemeriksa menyebutkan kode penanggung jawab dan atau pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut, pengungkapan tersebut harus didukung dengan fakta perbuatan, keterlibatan, bukti pendukung, keterangan pihak terkait lainnya, dan informasi lain yang dianggap relevan dengan permasalahan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. c. Penyebab dan Akibat TPKKN Dalam menguraikan faktor penyebab timbulnya TPKKN, perlu memperhatikan : 1) Kesempatan, misalnya karena lemahnya sistem pengendalian manajemen dan pelaksanaannya (pengawasan melekat). 2) Niat atau motivasi, misalnya karena adanya keinginan melakukan penyimpangan sebagai akibat dari suatu kebutuhan. Contoh: Kepala Daerah menggunakan APBD untuk kepentingan pribadi dalam rangka mengikuti Pilkada. 3) Kemampuan, misalnya kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan untuk melakukan penyimpangan. Dalam menguraikan ”Akibat Penyimpangan”, Tim Pemeriksa harus memuat indikasi kerugian negara/daerah. Indikasi kerugian negara/daerah yang diungkapkan dalam nilai uang dirinci per tahun kejadian. Jika indikasi kerugian negara/daerah belum dapat ditentukan besarnya, perlu digunakan kata–kata ”sekurang–kurangnya”. d. Pihak yang Bertanggung Jawab Dalam pengungkapan pihak yang bertanggung jawab, hasil pemeriksaan hanya mencantumkan kode penanggung jawab dan peranannya. Dalam uraian ini tidak diperkenankan mencantumkan nama orang, organisasi, lembaga dan atau badan hukum secara lengkap dan jelas. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
51
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VI
Nama orang, organisasi, lembaga dan atau badan hukum yang bertanggung jawab dibuat dalam daftar terpisah, selanjutnya dikirim secara tertutup dan sangat rahasia ke penanggung jawab pemeriksaan BPK. Penyebutan pihak yang bertanggung jawab dan atau pihak yang terkait harus didukung fakta yang relevan dengan peranan, perbuatan dan bagian tanggung jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. e. Bukti pemeriksaan Bukti pemeriksaan adalah bukti yang lengkap, kompeten, dan relevan yang diperoleh pada saat pemeriksaan untuk mengungkap indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. 14
Lampiran Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif, antara lain: a) Bagan arus proses kejadian. b) Bukti rincian, misalnya rekapitulasi kwitansi, rekapitulasi SPM, dan rekapitulasi penerima bantuan . c) Daftar bukti pemeriksaan yang diperoleh.
D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan 15
Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu secara berjenjang oleh pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum ditandatangani dan disampaikan kepada pihak yang berwenang. Matrik komunikasi kegiatan sebagai reviu kegiatan pembuatan laporan pemeriksaan investigatif dapat dilihat pada lampiran VI.2.
Laporan direviu secara berjenjang
16
Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan.
Penandatangan laporan
17
Setelah laporan hasil pemeriksaan investigatif ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, hasil pemeriksaan investigatif disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan matrik unsur TPKKN.
18 Hal–hal yang perlu diperhatikan: a. LHP investigatif harus menjawab tujuan pemeriksaan investigatif, yaitu membuktikan ada/tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. b. Jika satu bulan sejak dilakukannya pemaparan, instansi yang berwenang tidak memberikan pendapat, Tim Pemeriksa tetap membuat LHP dan menyampaikannya kepada Penanggung jawab pemeriksaan dengan nota dinas pengantar dari Pemimpin Tim. Selanjutnya Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan LHP kepada Badan. c. Penyerahan LHP tidak berarti pemeriksa investigatif selesai menjalankan tugas terkait dengan pemeriksaan, karena ada kemungkinan pemeriksa BPK diminta oleh instansi yang berwenang untuk memberikan keterangan ahli.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
52
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB VII
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
BAB VII PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH A. Umum 01
Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah.
02
Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses secara hukum.
03
Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah dilakukan pada tahap penyidikan. Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan ahli oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan.
04
Penugasan penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis. Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian negara/daerah seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan informasi.
05
Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat berupa: 1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan. 2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku, lebih besar dari yang seharusnya. 3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif. 4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai. 5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada. 6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya. 7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku. 8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.
06
Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.
Pengertian Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
B. Tujuan 07
Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Tujuan Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
53
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang
C. Ruang Lingkup 08
Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian negara/daerah kepada BPK.
Ruang Lingkup Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
D. Tahap - Tahap Pemeriksaan Tahapan Penghitungan Kerugian Negara/Daerah
09
Tahapan penghitungan kerugian negara/daerah meliputi: 1. Persiapan, 2. Pelaksanaan, 3. Pelaporan
10
1. Persiapan Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan kepada a. Ketua BPK dan b. Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada di daerah.
Persiapan
11
a. Ketua BPK Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui Ketua BPK. Tahapan persiapan dapat dilihat pada lampiran VII.1.
Permintaan ke Ketua
1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung indikasi kerugian negara dari instansi yang berwenang, maka Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait atau menugaskan TPPI untuk melakukan penelahaan atas permintaan tersebut. 2) TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang disertai dengan data dan infomasi untuk mendapatkan kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus yang diperiksa masuk dalam lingkup kewenangan BPK. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan. 3) Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan: a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup. b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup. c) Diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena didukung bukti-bukti yang cukup. 4) Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. 5) Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI meminta bukti tambahan kepada instansi yang berwenang. a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi, selanjutnya TPPI Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
54
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN. 6) Jika hasil telaahan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut. 7) Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI menyimpulkan: a) Tidak terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan, disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan Surat Tugas 8) Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif dalam rangka menghitung indikasi kerugian negara/daerah, maka: a) menugaskan tim khusus; atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan. 12
Permintaan Ke Kepala Perwakilan
b. Kepala Perwakilan Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui BPK-RI kantor perwakilan. 1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung kerugian negara/daerah dari instansi yang berwenang, maka Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk ditelaah 2) TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan pemaparan kasus disertai dengan data dan informasi yang akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat diundang untuk hadir dalam pemaparan. 3) Langkah selanjutnya sesuai dengan angka D. 1.a.3) sampai dengan D.1.a.8)
13
Penyusunan program pemeriksaan a. Program penghitungan kerugian negara/daerah yang disusun harus mengarah pada penetapan nilai kerugian negara dan untuk mendapatkan bukti-bukti yang sah secara hukum sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai kerugian negara. b. Program pemeriksaan dirancang untuk menilai kelengkapan, kompetensi, dan relevansi bukti yang diterima dari instansi yang berwenang sesuai dengan tujuan penghitungan yang dilaksanakan. Tim pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan lapangan apabila
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
55
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
diperlukan.
c. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas menetapkan metodologi untuk menghitung kerugian negara d. Susunan program pemeriksaan Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah sekurang-kurangnya disusun dengan kerangka sebagai berikut: 1)
Dasar pemeriksaan Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber mandat BPK untuk melakukan pemeriksaan.
2)
Alasan pemeriksaan Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang berwenang dan hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas kasus yang diminta.
3)
Standar pemeriksaan Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.
4)
Tujuan pemeriksaan Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan indikasi kerugian negara yang terjadi pada kasus yang diperiksa.
5)
Instansi yang diperiksa Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan.
6)
Lingkup yang diperiksa Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang diperiksa.
7)
Metodologi pemeriksaan Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan.
8)
Pengarahan pemeriksaan Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung jawab pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan.
9)
Prosedur/langkah pemeriksaan Menguraikan langkah-langkah dilaksanakan oleh tim dalam pemeriksaan.
pemeriksaan yang rangka pelaksanaan
10) Jangka waktu pemeriksaan Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan kondisi di lapangan. 11) Susunan tim dan biaya pemeriksaan 12) Instansi penerima hasil pemeriksaan e. Pembuatan surat tugas Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani oleh Ketua BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk. 14
2. Pelaksanaan Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai berikut:
Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah
a. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang. Pemeriksa harus Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
56
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut ditemukan oleh penyidik dan kerugian negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya. b. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dan bukti tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK, serta memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang disidik. c. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut diminta dari instansi yang berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan lapangan sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri atau dari instansi yang berwenang dievaluasi dan dianalisa. d. Tahap Pemeriksaan 1) Memahami kasus yang dibangun Ketika melakukan tahapan di atas, pemeriksa menempuh halhal berikut ini: a) Memahami Jenis TPKKN Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN yang terjadi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah kontrak/pembayaran fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas barang lebih rendah dari spesifikasi dalam kontrak. b) Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa. Dalam tahap ini pemeriksa mempelajari peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk menilai pelaksanaan kegiatan. c) Memahami Transaksi Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah masalah pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag, penyaluran kredit. Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah hilang/kurang diterimanya suatu hak, timbul/ bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima). Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi dan menganalisis bukti – bukti yang berhubungan dengan penghitungan kerugian negara atas kasus TPKKN yang diperiksa. d) Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN. e) Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan, kelalaian, memenuhi unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi). 2) Mengevaluasi dan menganalisis bukti–bukti: a) Tim melakukan evaluasi dan analisis atas bukti – bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dengan memperhatikan kebutuhan data bagi pemeriksaan yang akan dilakukan. b) Evaluasi Direktorat Litbang
dan
analisis
yang
dilakukan
Badan Pemeriksa Keuangan
dengan 57
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
memperhatikan ketentuan–ketentuan yang mendasari suatu transaksi atau kegiatan serta ketentuan mengenai entitas yang diperiksa. 3) Melakukan penghitungan kerugian negara/daerah Modus operandi kasus-kasus TPKKN menentukan metode yang digunakan dalam menghitung kerugian negara yang terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan metodologi penghitungan kerugian negara/daerah sesuai dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan. a) Metode Penilaian Kerugian Negara/Daerah Penghitungan atas kekurangan uang, surat berharga, barang dapat menggunakan beberapa metode penilaian, sebagai contoh: nilai perolehan, nilai jual, dan nilai ganti, nilai pasar yang wajar, nilai historis yang disesuaikan dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak, nilai buku dan lain sebagainya. Penggunaan metode penilaian tersebut dalam praktik penghitungan kerugian negara/daerah harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggung jawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum. b) Pengungkapan Metode Penilaian Metode yang digunakan pemeriksa dalam melakukan penghitungan kerugian negara/daerah hendaknya disampaikan kepada aparat penyidik dan diuraikan dalam laporan hasil pemeriksaan penghitungan indikasi kerugian negara. e. Penggunaan Ahli Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka Tim melalui Pengendali Teknis meminta instansi yang berwenang untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan. Dalam hal Tim menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini bahwa metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. f.
Pemaparan Hasil Pemeriksaan Setelah melakukan pemeriksaan, Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada Penanggung Jawab untuk mendapatkan masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan, tim menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang.
g. Laporan Hasil Pemeriksaan 1) Setelah Tim melakukan pemaparan kepada instansi yang berwenang, Tim segera menyusun konsep LHP dan menyampaikan konsep laporan tersebut kepada Pengendali Teknis. 2) Pengendali Teknis akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka konsep yang telah direviu akan disampaikan kepada Penanggung Jawab. 3) Penanggung Jawab akan mereviu konsep laporan dan jika Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
58
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
menyetujui konsep tersebut, maka LHP akan disampaikan kepada Ketua BPK/Tortama. h. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Tim mendokumentasikan langkah-langkah pemeriksaan yang telah dilaksanakan dalam KKP.
15
i.
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, tim harus mendapat pengawasan yang baik dari Pengendali Teknis.
j.
Lain-lain Jika menemukan adanya tindak pidana lain maka Tim melalui Pengendali Teknis menyampaikan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.
3. Pelaporan Pemeriksaan a. Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan serta memberikan informasi dan penjelasan yang dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan. b. Bentuk dan susunan laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut: Bab I : Simpulan Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Bab II : Umum 1) Dasar Penugasan Pemeriksaan 2) Ruang Lingkup Pemeriksaan 3) Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 4) Batasan tanggung jawab pemeriksaan Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian negara dan menilai besarnya nilai kerugian negara. Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 2. Materi Temuan a. Unsur Indikasi Tindak Pidana Korupsi b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian c. Penyebab dan Akibat d. Bukti Pendukung Pemeriksaan e. Metode Penghitungan Kerugian Negara/Daerah f. Hasil Perhitungan Kerugian Negara/Daerah Lampiran c. Tanda tangan LHP 1) Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. 2) Penanggung jawab pemeriksaan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas pengantar. d. Penyampaian LHP 1) Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang berwenang yang meminta kepada BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara/daerah. 2) Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan pejabat BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan. Proses peradilan disini diartikan
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
59
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VII
sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik atau hakim.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
60
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
BAB VIII
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Bab VIII
BAB VIII PENUTUP A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif 01
Petunjuk teknis pemeriksaan investigatif ini mulai berlaku saat ditetapkan oleh Ketua BPK.
Juknis pemeriksaan ini mulai berlaku sejak ditetapkan
B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif 02
Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah dapat berupa perubahan petunjuk teknis dimaksud atau penjelasan atas substansi petunjuk teknis tersebut.
03
Perubahan atas petunjuk teknis ini akan disampaikan secara resmi melalui surat keputusan tentang perubahan petunjuk teknis dimaksud.
04
Penjelasan atas substansi Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah disampaikan secara tertulis oleh tim pemantauan pada Sub Direktorat Penelitian dan Pengembangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Pemutakhiran juknis investigatif dapat berupa perubahan juknis atau penjelasan substansi.
C. Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif 05
Petunjuk teknis ini merupakan dokumen yang dapat berubah sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan, standar pemeriksaan, dan kondisi lain. Oleh karena itu, pemantauan atas juknis ini akan dilakukan oleh tim pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah. Selain itu, masukan atau pertanyaan terkait dengan petunjuk teknis ini dapat disampaikan kepada:
Pemantuan juknis pemeriksaan ivestigatif oleh Bidang Litbang Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
Subdit. Litbang PDTT Ditama Revbangdiklat Email:
[email protected]
Ditetapkan di
: Jakarta
Pada tanggal
:
Desember 2008
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETUA,
Anwar Nasution Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
61
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Bab VIII
62
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Association of Certified Fraud Examiners, Fraud Examiners Manual, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985, Kamus Hukum Pidana. Bologna, G. Jack and Linquist, J. Robert, 1995, Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, John Wiley & Sons Canada, Ltd, Canada. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Singleton, W. Tommie, et. al. 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, edisi ke-tiga, John Wiley and Sons, New Jersey. Tuanakotta, M. Theodorus 2007, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta. Tim Dinastindo, 1993, Kamus Komputer Berilustrasi, Dinastindo, Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Daftar Singkatan dan Akronim
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM Singkatan
Kepanjangan
A ACFE
:
Association of Certified Fraud Examiner
AKN
:
Auditorat Keuangan Negara
B BA
Berita Acara
BAP
Berita Acara Pemeriksaan
BPK
Badan Pemeriksa Keuangan
D Ditama Binbangkum
:
Direktorat Utama Pembinaan dan Bantuan Hukum
K Kalan
:
Kepala Perwakilan
Kasubag
:
Kepala Sub Bagian
KKP
:
Kertas Kerja Pemeriksaan
KPK
:
Komisi Pemberantasan Korupsi
KUHAP
:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
L LHP
:
Laporan Hasil Pemeriksaan
P P2
:
Program Pemeriksaan
PDTT
:
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
S Satker
:
Satuan Kerja
SK
:
Surat Keputusan
SPI
:
Sistem Pengendalian Intern
SPKN
:
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
ST
:
Daftar Singkatan dan Akronim
Surat Tugas T
Tortama
:
Auditor Utama
TPKKN
:
Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
TPPI
:
Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif U
UNCAC
Direktorat Litbang
:
United Nations Convention Against Corruption
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Glosarium
GLOSARIUM A ACFE
: Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), yaitu asosiasi penyedia jasa pendidikan dan pelatihan anti-fraud, yang mempunyai misi untuk mengurangi kejahatan kerah putih dan fraud, serta membantu anggotanya untuk mencegah dan mendeteksi fraud.
Aksioma
: Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. B
Badan
: Sebutan untuk BPK RI atau juga sebagai pemberi tugas pemeriksaan. Badan terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK RI.
BA
: Berita Acara (BA), yaitu laporan tertulis yang bersifat autentik, dibuat oleh pejabat yang berwenang, mengenai suatu kejadian tertentu.
BAP
: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yaitu laporan tertulis mengenai jalannya pemeriksaan berupa pendengaran keterangan saksi, tersangka, atau keterangan ahli, atau pun tentang tindakantindakan lain dalam rangka pemeriksaan/penyidikan.
Barang Bukti
: Benda yang diajukan dalam sidang pengadilan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Bukti pemeriksaan
: Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan antara lain: bukti pemeriksaan fisik, bukti hasil konfirmasi, bukti dokumentasi, observasi, bukti hasil tanya jawab dengan instansi yang diperiksa, dan prosedur analitis. Bukti dapat menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti pemeriksaan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti hukum. Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti hukum oleh pemeriksa adalah masalah kewenangan. Sebagai contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa pada instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti keterangan saksi (atau mungkin terdakwa).
Bukti yang relevan
: Bukti yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti – bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan.
Bukti yang material
: Bukti yang mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sangkaan yang diindikasikan. Material tidak dilihat dari besaran dan nilai yang terkandung dalam bukti tersebut. Bukti ”notulen rapat” mungkin tidak mempunyai nilai uang, tetapi dokumen tersebut dapat dijadikan bukti adanya suatu putusan rapat/peserta
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Glosarium
rapat/dan kegiatan rapat. Jika bukti tersebut menjadi bagian dari proses pembuktian adanya indikasi Tindak Pidana Korupsi, maka bukti tersebut sangat material sifatnya. Bukti adalah kompeten
: Bila dilihat dari proses bukti tersebut dibuat dan diperoleh. Jika bukti dibuat oleh petugas yang tidak kompeten maka bukti tersebut dianggap tidak kompeten. Jika bukti yang diperoleh pemeriksa dengan cara tidak resmi maka bukti tersebut tidak dapat diterima menurut hukum.
Bukti utama
: Bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/ kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta.
Bukti tambahan
: Bukti yang lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan bukti utama. Bukti tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama.
Bukti langsung
: Fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan langsung jika didukung dengan pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya uang suap (kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah check dari pemasok.
Bukti tidak langsung
: Bukti yang mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak pelanggaran atau fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran. Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang tidak dikenal ke rekening seseorang pada waktu berdekatan dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak langsung. Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta dengan didukung oleh bukti lainnya yang setingkat dengan fakta yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar, tetapi bukti tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara meyakinkan. E
Entitas
: 1. Satuan yang berwujud; wujud : 2. Kesatuan unit F
Forensik
: 1. Belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to public discussion and debate. 2. Argumentative, rhetorical. 3. Relating to or dealing with the application of scientific knowledge to legal problems.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
:
Glosarium
Terjemahan: 1. Berkenaan dengan pengadilan atau perdebatan publik. 2. Bersifat argumentasi, retorik. 3. Berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum. H
Hasil Pemeriksaan
: Produk dari pelaksanaan tugas pemeriksaan yang terdiri dari KKP, LHP dan dokumen pemeriksaan lainnya.
Hipotesis
: Skenario terburuk dari suatu kasus penyimpangan, yaitu, berdasarkan dugaan, kemungkinan peristiwa terburuk terjadi. Misalkan dugaan kasus penerimaan uang suap atau kickback, penggelapan, perbedaan kepentingan, penyimpangan dalam penyajian laporan keuangan dan lain–lain. K
Kerugian Negara/Daerah
: Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh suatu tindakan yang melanggar hukum/kelalaian seseorang.
Ketua Tim
: Personil pemeriksa yang bertindak sebagai koordinator pemeriksaan di lapangan dan bertanggung jawab kepada pengendali teknis atas pelaksanaan pemeriksaan di lapangan
Keterangan saksi
: Salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan ahli
: Keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
KKP
: Kertas Kerja Pemeriksaan yaitu catatan-catatan yang dibuat dan data yang dikumpulkan oleh pemeriksa secara sistematis pada saat melaksanakan tugas pemeriksaan mulai tahap persiapan pemeriksaan sampai dengan tahap kesimpulan akhir pembuatan laporan.
Konfirmasi
: Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan dengan cara mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan penegasan dari pihak lain. M
Matematis
: Hal-hal yang berkaitan dengan angka, seperti penghitungan dan nilai. O
Opini Direktorat Litbang
: Pendapat yang dikeluarkan pemeriksa terhadap laporan keuangan entitas yang diperiksa. Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Glosarium
P P2
: Program Pemeriksaan (P2), langkah pemeriksaan di lapangan yang harus dilaksanakan oleh tim pemeriksa.
Pembuktian
: Cara membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Petunjuk
: Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk Teknis Pemeriksaan
: Petunjuk yang memuat teknik-teknik dan urutan langkah pemeriksaan yang harus dilakukan terhadap suatu objek pemeriksaan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan dan sarana pemeriksaan.
Predikasi (predication)
The totality of circumstances that would lead to a reasonable, professionally trained, and prudent individual to believe a fraud has occurred, is occurring, and/or will occur. Predication is the basis upon which an examination is commenced. Investigative Audit should not be conducted without proper predication” Terjemahan: Keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi. Predikasi adalah dasar untuk memulai pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan investigatif sebaiknya tidak dilakukan tanpa adanya predikasi yang memadai.
Prosedur
: 1. Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. 2. Langkah-langkah yang secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. S
SPKN
: Standar Pemeriksaan Keuangan Negara; standar pemeriksaan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara.
Standar
: 1. Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan atau ukuran baku. 2. Sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sbagai ukuran nilai (harga).
Surat tugas
: Surat penugasan kepada pemeriksa untuk melakukan kegiatan pemeriksaan pada suatu entitas dan dalam waktu tertentu.
T Tim Pemeriksa Direktorat Litbang
: Terdiri dari penanggung jawab, pengendali teknis, ketua tim dan Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Glosarium
anggota tim. TP
: Temuan Pemeriksaan; indikasi permasalahan yang ditemui di dalam pemeriksaan di lapangan.
TPK
: Tindak Pidana Korupsi; tindakan yang mengandung unsur melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
TPKKN
: Istilah yang digunakan dalam juknis ini untuk perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah.
TPPI
: Tim persiapan pemeriksaan investigatif dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif. U
UNCAC
: United Nations Convention Against Corruption. W
Wawancara
Direktorat Litbang
: Usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan. Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai.
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
KETERANGAN GAMBAR No
Gambar
Keterangan
1
Proses/Aktivitas
2
Dokumen
3
Input/Output data yang diproses atau informasi
4
Alternatif Keputusan atau Situasi
Operasi Manual 5
6
Direktorat Litbang
Penyimpanan data
Badan Pemeriksa Keuangan
Keterangan gambar
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
LAMPIRAN
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.1
HASIL TELAAHAN INFORMASI AWAL PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN No. ________________ Nomor & tanggal mengadministrasikan: Nomor & tanggal laporan dugaan: Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Laporan berasal dari: - Nama pelapor : - Alamat pelapor :
Penelaah, Oleh : Tanggal : Td. Tangan :
Analisis Laporan Dugaan: No
Jenis Dugaan Unsur TPKKN (What)
Indikasi Kerugian Negara/Daerah
Tempat & Waktu Terjadinya
Pihak yang Diduga Terkait
(Where & When)
(Who)
Modus Operandi (How)
Dugaan unsur-unsur Pasal TPKKN
Hasil telaahan: - Cukup alasan, karena____ - Perlu melengkapi informasi, karena _______ - Tidak cukup alasan, karena _____ Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan: 1. 2. 3. Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
MEKANISME PENANGANAN INFORMASI AWAL 1. TP/LHP AKN
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lampiran III.2 - 1
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
2. TP/LHP BPK Perwakilan
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lampiran III.2 - 2
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.2 - 3
3. Pengembangan Inisiatif Badan Pengembangan Inisiatif Badan Badan
Angbintama
Tortama
Mulai
Perintah Telahaan
Perintah Telahaan
Perintah Telahaan
Menyampaikan Perintah
Menyampaikan Ke TPPI
Melakukan Penelahaan
Menyampaikan Lap
Cukup alsn?bukti cukup?
Perintah Telahaan
Lap Hasil telahaan
TPPI
Lap Hasil Usulan telahaan Rik Pdhln
Menelaah
Staf Ahli PI/ Tenaga Ahli terkait
Mgikuti Pmparan & Mberi Ptimbgn
Pertimbangan
Ya
Tidak
Lap Hasil telahaan
Menyimpan Lap
Ditama Binbangkum
Perlu Bukti tmbh?
Ya
1
Tidak
Lap Hasil telahaan Dok disimpan Lap Hasil Usulan telahaan Rik Pdhln
Tim
Lap Hasil telahaan Usulan Rik Pdhln
Tidak
Perintah Rik pendahuluan
Rik Pendahuluan
Menyampaikan Lap Hasil Rik Pdhln
1 Lap Hasil telahaan Usulan PI
Lap Hasil telahaan Usulan PI
Lap Hasil telahaan Usulan PI
Penelahaan Menugaskan
Ya Ckp Alasan?
Tidak Lap Hasil telahaan Disposisi
Tim Khusus
Disposisi
Tim
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
4. Permintaan Instansi ke Ketua
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lampiran III.2 - 4
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
5. Permintaan Instansi ke BPK Perwakilan
Ya
Tidak
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lampiran III.2 - 5
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.2 - 6
6. Permintaan Pihak Ke III ke Ketua
Permintaan Pihak Ke III Ke Ketua Pihak ke III
Ketua
Tortama
TPPI
Mulai
Permintaan PI
Permintaan PI
Permintaan PI
Permintaan PI
Menyampaikan Perintah
Menyampaikan Ke TPPI
Penelahaan
Ya Y/T
Menolak permintaan
Lap Hasil telahaan
Lap Hasil telahaan
Menyampaikan ke Ketua
Lap Hasil telahaan
Lap Hasil telahaan
Menyampaikan ke Ketua Menugaskan
Lap Hasil telahaan
Tidak Menyampaikan ke Tortama
Lap Hasil telahaan
Menyampaikan ke Tortama
Tim
Disposisi
Disposisi Tim
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
7. Pihak Ke III ke BPK Perwakilan
Ya Tidak
Tidak
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Lampiran III.2 - 7
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.3
TABEL KEANDALAN SUMBER DAN VALIDITAS INFORMASI Validitas Informasi Tinggi (4) Sangat Andal
Temuan AKN
(4)
Inisiatif BPK
Andal
Informasi dari atasan langsung
Informasi dari orang yang terlibat
Hasil investigasi APIP
Berita di media massa tertentu
Berita di media massa tertentu
Berita di media massa tertentu
Informasi dari LSM tertentu
Informasi dari LSM tertentu
Informasi dari LSM tertentu
Informasi dari pihak yang merasa dirugikan
Informasi dari pihak yang merasa dirugikan
Informasi dari pihak yang merasa dirugikan
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Berita di media massa tertentu
Berita di media massa tertentu
Informasi dari LSM tertentu
Informasi dari LSM tertentu
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Tidak Andal (2)
Tidak Diketahui
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Informasi tanpa identitas sumber informasi
Informasi tanpa identitas sumber informasi
Informasi tanpa identitas sumber informasi
(1)
Direktorat Litbang
Rendah (2)
(3)
Keandalan Sumber Informasi
Sedang (3)
Badan Pemeriksa Keuangan
Tidak Diketahui (1)
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Informasi dari perorangan
Informasi tanpa identitas sumber informasi
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.4
TABEL AKUNTABILITAS PENANGANAN SUMBER INFORMASI AWAL Kewenangan BPK No
Status Sumber Informasi
Kasus A B C D
Jumlah
Bukan Kewenangan BPK Sumber Status Kasus Informasi E F
Jumlah (tempat), (tanggal/bulan/tahun)
Catatan : a. Informasi dalam penelaahan b. Informasi telah ditindaklanjuti c. Informasi yang sudah diteruskan ke intansi yang berwenang untuk penyidikan d. Informasi yang tidak ditindaklanjuti e. Informasi sudah diserahkan ke intansi yang berwenang f. Informasi tidak diserahkan ke intansi yang berwenang
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
......(nama)........ NIP. .........
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran III.5
HASIL ANALISIS INFORMASI AWAL PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN No. ________________ Nomor & tanggal mengadministrasikan: Nomor & tanggal laporan dugaan: Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Laporan berasal dari: - Nama pelapor : - Alamat pelapor :
Penelaah, Oleh : Tanggal : Td. Tangan :
Analisis Laporan Dugaan: No
Jenis Dugaan Unsur TPKKN (What)
Indikasi Kerugian Negara/Daerah
Tempat & Waktu Terjadinya
Pihak yang Diduga Terkait
(Where & When)
(Who)
Modus Operandi (How)
Dugaan unsur-unsur Pasal TPK
Hasil telaahan: - Cukup alasan, karena____ - Perlu melengkapi informasi, karena _______ - Tidak cukup alasan, karena _____ Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan: 1. 2. 3. Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran IV.1
CONTOH LANGKAH - LANGKAH PEMERIKSAAN Hipotesis: terjadi indikasi tindak pidana korupsi di APBD Kabupaten X tahun anggaran 20062007 melalui mekanisme kas bon. UMUM 1. Dapatkan informasi umum dengan mempelajari laporan dan kertas kerja pemeriksaan sebelumnya. 2. Dapatkan dan pelajari PP No. 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah. 3. Dapatkan dan pelajari Perda APBD TA 2006–2007 dan Perda Perhitungan 2006 – 2007. 4. Dapatkan kumpulan DASK TA 2006 – 2007, terutama untuk satker-satker yang memperoleh kas bon cukup besar dan belum dipertanggungjawabkan sampai akhir tahun anggaran. KHUSUS 1. Kembangkan Matriks Tindak Pidana Korupsi berdasarkan uraian situasi dan permasalahan sebagaimana yang telah dianalisis dalam tahap penyusunan predikasi dan hipotesa. 2. Tetapkan bukti – bukti yang akan diperoleh dari hasil evaluasi atas unsur – unsur Tindak Pidana Korupsi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang belum terpenuhi. PERIKSA KEBENARAN MATERIAL PENGELUARAN MELALUI MEKANISME KAS BON 1. Dapatkan dan pelajari dokumen SPMU BUD, BKU BUD, Buku Bank dan mutasi rekening Kas Daerah periode TA 2006 – 2007. 2. Dapatkan data dan informasi tentang daftar kas bon posisi akhir tahun 2006 dan 2007, daftar pengambilan kas bon 2006 – 2007 dst. 3. Teliti apakah terdapat pengeluaran kas bon untuk pembayaran kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. PRAKTIK PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN VIA KAS BON 1. Lakukan wawancara dengan pemegang kas daerah dan pejabat lain yang langsung terlibat dalam pengelolaan kas daerah mengenai praktik pengeluaran dan per tanggungjawaban keuangan dan dapatkan keterangan: a. Praktik pengeluaran dan pertanggungjawaban dana. b. Pejabat yang terlibat dalam alur pengeluaran dan pertanggungjawaban dana. 2. Bandingkan praktik pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dengan ketentuan dalam PP No. 105 Tahun 2000 dan identifikasi pelanggaran ketentuan yang terjadi serta pihak-pihak yang bertanggungjawab. 3.
Lakukan telaahan mendalam terhadap dokumen pencairan kas daerah, dokumen deposito, rekening giro dan pemindah bukuan, dan seterusnya. WAWANCARA 1. Tetapkan pihak–pihak yang akan diwawancarai dan bukti yang dapat diperoleh dari mereka. 2.
Lakukan wawancara dengan Kabag. Keuangan Pemerintah Kabupaten ABC berkaitan dengan pencairan kas daerah. 3. Lakukan wawancara dengan Kepala Kas Daerah berkaitan dengan pencairan kas daerah dan uji silang dengan jawaban Kepala Bagian Keuangan. DOKUMENTASI KKP 1. Tuangkan hasil telaahan dalam kertas kerja pemeriksaan Dan seterusnya ...
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran IV. 2
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM KERJA PERORANGAN PROGRAM PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS.......(disesuaikan dengan P2-nya) Nama Anggota Tim Pemeriksa:......... No.
Langkah Pemeriksaan
1
2
Waktu Pemeriksaan (mandays) Rencana Realisasi 3 4
KKP No.
Catatan Ketua Tim
5
6
………………., …………………………..
Direktorat Litbang
Disetujui oleh,
Disusun oleh,
(Ketua Tim ybs)
(Nama Anggota Tim ybs)
……………. NIP. ………
……………. NIP. ………
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran IV..3
FORMULIR PENGORGANISASIAN SURAT TUGAS No
No & Tgl Srt Tugas
Jml Pemeriksa
Rencana hari pemeriksaan
Sifat pemeriksaan
Nama Entitas
Rencana Periode pemeriksaan
Realisasi hari pemeriksaan
No & Tgl Lap PI
Ket
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Penjelasan: Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan surat tugas hingga laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkannya, dengan menggunakan formulir pengorganisasian surat tugas. 1. 2. 3. 4. 5.
Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan surat tugas yang diterbitkan. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Surat Tugas. Diisi dengan nomor dan tanggal surat tugas yang diterbitkan. Kolom 3: Jumlah pemeriksa. Diisi dengan jumlah pemeriksa yang ditugaskan. Kolom 4: Rencana Hari Pemeriksaan. Diisi dengan jangka waktu rencana pemeriksaan. Kolom 5: Sifat Pemeriksaan. Diisi dengan sifat pemeriksaan yang dilakukan. Misalkan pemeriksaan pendahuluan guna pengumpulan bahan keterangan, pemeriksaan investigatif, penugasan permintaan instansi yang berwenang untuk penghitungan kerugian negara/daerah. 6. Kolom 6: Nama Entitas. Diisi dengan nama entitas yang diperiksa. 7. Kolom 7: Rencana Periode Pemeriksaan. Diisi dengan informasi periode pemeriksaan yang direncanakan. 8. Kolom 8: Realisasi Hari Pemeriksaan. Diisi dengan informasi realisasi hari pemeriksaan. 9. Kolom 9: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan informasi nomor dan tanggal laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan. 10. Kolom 10: Keterangan. Diisi dengan informasi penting lainnya misalkan, nama kota yang dikunjungi tim pemeriksa.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran IV.4
MATRIK KOMUNIKASI KEGIATAN PERSIAPAN PEMERIKSAAN
No
Kegiatan
1
K. Tim menyampaikan rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan
2
Dalnis menerima rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan dari K. Tim
Tgl. ____
3
Dalnis selesai mereviu hipotesis dan Program Pemeriksaan
Tgl. ____
4
K. Tim memperbaiki rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan dan menyerahkan kepada Dalnis
5
Dalnis menerima perbaikan rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan
Tgl. ____
6
Dalnis menyampaikan rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan kepada P. Jawab
Tgl. ____
7
P. Jawab menerima rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan
Tgl. _____
8
P. Jawab selesai mereviu dan menyetujui rumusan hipotesis dan Program Pemeriksaan
Tgl. _____
9
P. Jawab menyampaikan telaahan kepada Ketua BPK
Tgl. _____
10
Ketua BPK menerima hasil telaahan
Tgl. _____
11
Ketua BPK memberikan disposisi terhadap hasil telaahan
Tgl. _____
12
Penerbitan Surat Tugas
Direktorat Litbang
K. Tim
Dalnis
P Jawab
Ketua
Tgl. _____
Tgl. _____
hasil
Tgl. _____
Badan Pemeriksa Keuangan
Tgl. _____
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 1
BUKTI PEMERIKSAAN DAN BUKTI HUKUM A. Umum Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa tujuan dari hukum acara pidana antara lain adalah: “Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari satu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, setidaknya ada tiga ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur masalah bukti yaitu: 1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan 3. UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. B. Bukti Menurut KUHAP Pasal 183 KUHAP menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pada seseorang kecuali apabila sekurang–kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar–benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan pasal 183 KUHAP di atas, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang–kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Oleh karena itu pemeriksa investigatif – walaupun dalam sistem hukum Indonesia bukan penyelidik atau penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP – dalam pelaksanaan pemeriksaan, mereka harus mempertimbangkan hal–hal yang dapat mendukung dipenuhinya ketentuan seperti diatur dalam pasal 183 KUHAP ini. Hal ini harus menjadi perhatian pemeriksa karena laporan BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemeriksa BPK harus mengupayakan kualitas hasil pemeriksaan yang dihasilkannya sama dengan kualitas hasil penyelidikan. Jenis–jenis alat bukti diatur pada ayat 1 Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: - Keterangan saksi; - Keterangan ahli; - Surat; - Petunjuk; - Keterangan terdakwa. 1. Keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah apabila saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan di bawah sumpah/janji tentang apa yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri atau dialaminya sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu. Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan: ”Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 2
Pasal 185 KUHAP mengatur hal–hal yang berkaitan dengan keterangan saksi. Ayat 1 menyatakan bahwa keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah apa yang oleh saksi dinyatakan di sidang pengadilan. Ayat 2 menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan terhadapnya. Prinsip ini dalam ilmu hukum dikenal dengan apa yang disebut ”unus testis nullus testis” atau satu saksi bukan saksi. 2. Keterangan ahli. Pasal 1 huruf 28 KUHAP menyatakan: ”Keterangan ahli adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Ada tiga cara memperoleh alat bukti keterangan ahli yang sah yaitu: a. Memberikan keterangan didepan penyidik yang dituangkan dalam bentuk BAP. Sebelum memberikan keterangan ia wajib bersumpah/janji di hadapan penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Keterangan ahli dalam bentuk BAP biasanya merupakan tanggapan atas pertanyaan penyidik. b. Ahli memberikan keterangan dalam bentuk laporan yang diminta secara resmi oleh penyidik, yang disebut laporan ahli yang dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli ini kemudian disebut juga dengan alat bukti surat. Pasal 187 huruf c KUHAP menyatakan bahwa salah satu bentuk alat bukti surat adalah surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. c. Ahli memberikan keterangan di sidang pengadilan berdasarkan penetapan hakim dan keterangannya dicatat dalam berita acara sidang oleh panitera. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. 3. Surat. Surat yang mempunyai nilai pembuktian sebagai alat bukti surat harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, yang membagi alat bukti surat dalam empat jenis surat yaitu: a. Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri disertai alasan tentang keterangannya itu. Contoh: Akta Notaris, Akta Pejabat PPAT, Berita Acara Lelang Negara. Jenis surat ini biasa juga disebut dengan akta otentik atau surat resmi. BAP Saksi dan juga BAP Tersangka tidak merupakan alat bukti surat. b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang–undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau keadaan. Contoh: Paspor, SIM, KTP, Surat Perintah Perjalanan Dinas, dan lain-lain. c. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Contoh: Visum et repertum, LHP BPK, laporan pemeriksaan KAP. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh dari surat jenis ini adalah korespondensi, surat pernyataan dan sebagainya. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 3
4. Petunjuk Yang bisa bernilai sebagai alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang bersesuaian satu sama lain atau bersesuaian dengan tindak pidana itu, dan dari persesuaian tersebut membenarkan adanya suatu kejadian tertentu. Dalam pasal 188 ayat 1 KUHAP, menyatakan: ”Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Pasal 188 ayat 3 KUHAP menyebutkan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Oleh karena itu petunjuk sebagai alat bukti tidak diperoleh di tingkat penyidikan dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu proses di sidang pengadilan yang bersumber dari keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa atau dari alat bukti surat (Pasal 188 ayat 2 KUHAP). Beberapa contoh alat bukti petunjuk: a. Saksi yang memberikan keterangan di sidang, tetapi ia tidak disumpah. Keterangannya itu bukan merupakan alat bukti keterangan saksi, akan tetapi dapat merupakan alat bukti petunjuk apabila bersesuaian dengan keterangan dari saksi lain yang disumpah. b. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman (dokter forensik), bukan merupakan alat bukti keterangan ahli. Apabila isi visum et repertum itu bersesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, maka visum et repertum itu dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. c. Surat perjanjian di bawah tangan bukan alat bukti surat. Tetapi apabila surat itu ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, ia dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. d. Keterangan terdakwa dalam BAP atau yang diberikan di luar sidang, merupakan alat bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut justru bersesuaian dengan alat bukti sah yang lain. Undang–Undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang memperluas sumber petunjuk sehingga meliputi informasi, dokumen atau data yang dapat dilihat, dibaca, diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan, baik secara biasa maupun secara elektronik atau optik termasuk dan tidak terbatas pada yang tertuang di atas kertas maupun selain kertas. 5. Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa yang dinyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahuinya atau yang dialaminya sendiri merupakan alat bukti. Dalam hal terdakwa menyangkal di sidang, maka keterangannya dalam BAP di tingkat penyidikan dapat menjadi alat bukti petunjuk asalkan keterangan dalam BAP tersebut didukung oleh suatu bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Menurut putusan Mahkamah Agung RI Nomor 229/K/Kr/ 1953, pengakuan terdakwa di luar sidang yang ditarik tanpa alasan, merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa tersebut. Pasal 189 KUHAP yang berbunyi: a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri b. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 4
c. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. d. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. C. Bukti Menurut UU Nomor 20/2001 dan UU Nomor 31/ 1999 tentang Tidak Pidana Korupsi. Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188 ayat 2 KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: 1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan 2. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memilik makna. D. Bukti Menurut UU Nomor 15/ 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan: 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan 3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 7. Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 menyebutkan: ”dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektoronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara atau gambar, b. peta, rancangan, foto dan sejenisnya, c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Di samping bukti–bukti yang telah diuraikan di atas, cara-cara memperoleh bukti merupakan sesuatu yang penting dilihat dari sudut hukum. Salah satu ketentuan dalam hukum positif di Indonesia yang secara ketat mengatur cara–cara memperoleh data atau informasi (dari sudut pemeriksa berarti bukti) adalah ketentuan di sektor perbankan. Keharusan tersebut ada pada ketentuan mengenai kerahasiaan bank (Pasal 42 UU No. 10 Tahun 1998). Oleh sebab itu informasi yang menyangkut perbankan harus diperoleh dan diperlakukan sesuai dengan cara – cara yang ditetapkan dalam UU dan atau ditetapkan oleh otoritas perbankan. E. Hubungan Bukti Pemeriksaan dengan Bukti Hukum Bukti pemeriksaan dapat pula menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti pemeriksaan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti hukum. Tim pemeriksa investigatif harus mengembangkan bukti yang diperolehnya lebih lanjut sehingga dapat digunakan sebagai bukti hukum. Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti hukum oleh pemeriksa adalah masalah Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 5
kewenangan. Sebagai contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa pada instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti keterangan saksi (atau mungkin terdakwa). Berikut ini akan diuraikan bagaimana suatu bukti pemeriksaan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi bukti hukum dalam rangka mendukung proses penegakan hukum, dengan melakukan analisis masing–masing jenis bukti pemeriksaan dikaitkan dengan kemungkinan bukti hukum yang dapat diperoleh dari bukti pemeriksaan yang bersangkutan. 1. Pengujian Fisik Dalam pengujian fisik, pemeriksa memeriksa fisik atau penghitungan terhadap fisik aset dari instansi yang diperika. Dokumen hasil pemeriksaan fisik adalah Berita Acara Pemeriksaan fisik (BAP) yang ditandatangani oleh pemeriksa maupun pejabat dari instansi yang diperiksa. Dalam memeriksa fisik, pemeriksa melakukan aktivitas sebagai berikut: a. Pemeriksa menyaksikan sesuatu (fisik aset atau keadaan tertentu), b. Pemeriksa menandatangani dokumen, c. Pemeriksa melakukan penilaian berdasarkan keahliannya (pengendalian atas aset yang tidak memadai atas aset yang diperiksa). Berdasarkan fakta-fakta ini bukti hukum yang dapat dikembangkan adalah: Keterangan saksi Pemeriksa dapat diminta sebagai saksi sehubungan dengan apa yang ia lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri (pasal 1 angka 27 KUHAP). Pemeriksa juga dapat didengar keterangannya sebagai saksi sehubungan dengan pelaksanaan program pemeriksaan yang harus dijalankannya. Surat BAP fisik yang ditandatangani oleh pemeriksa dan pejabat dari instansi yang diperiksa dapat memenuhi ketentuan hukum sebagai bukti surat sepanjang didukung dengan alat pembuktian yang lain (pasal 187 huruf d KUHAP). Contoh: Dalam BAP fisik disebutkan bahwa alat pemantau radiasi yang ada hanya dua unit (seharusnya tiga unit). Pemeriksaan menunjukkan bahwa alat tersebut merupakan alat yang harus diimpor. Dari bukti impor barang, ternyata barang yang diimpor hanya dua unit. Berdasarkan ini maka BAP fisik dapat dijadikan alat bukti surat karena diperkuat dengan alat pembuktian lain, yaitu bukti impor barang. Keterangan ahli Pemeriksa dapat diminta pendapatnya sehubungan dengan hal yang berkaitan dengan pemeriksaan fisik tersebut, misalnya bagaimana pengendalian atas suatu aset dan jumlah dari aset tersebut pada saat pemeriksaan. Petunjuk Dalam BAP fisik, umumnya pemeriksa membuat simpulan atas apa yang telah dilakukannya yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan. Sesuai pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kertas kerja pemeriksaan dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam rangka mengadili suatu perkara. Kertas kerja pemeriksaan juga dapat dijadikan petunjuk bagi hakim berkaitan dengan pemeriksaan investigatif atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang. 2. Konfirmasi Bukti konfirmasi diperoleh dengan mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 6
penegasan dari pihak lain. Bukti konfirmasi tertulis yang diperoleh saat pemeriksaan merupakan bukti surat sepanjang didukung dengan bukti lain yang sah (pasal 187 huruf d KUHAP). Contoh: berdasarkan hasil konfirmasi, pemeriksa melakukan wawancara dengan pihak terkait dan diperoleh hubungan saling mendukung antara hasil konfirmasi dengan hasil wawancara tersebut, maka bukti konfirmasi dapat dijadikan bukti surat. Namun perlu diperhatikan bahwa dari sisi hukum acara pidana, wawancara yang mendukung konfirmasi tersebut harus dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik. 3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan bukti pemeriksaan yang diperoleh dari hasil pengujian yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap dokumen dan catatan yang mendukung informasi pemeriksaan. Contoh dokumen adalah risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kontrak dan lain-lain. Dokumen dapat menjadi bukti surat jika sesuai dengan pengertian bukti surat menurut huruf a, b, c atau d dari pasal 187 KUHAP. Dokumen yang diperoleh harus asli. Dalam praktik, umumnya pemeriksa memperoleh dokumen fotocopy. Dari sisi hukum pidana agar fotocopy tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang mendukung dakwaan, maka harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal syarat-syarat sebagai bukti surat tidak terpenuhi, maka dokumen tersebut dapat dijadikan bukti petunjuk bagi hakim (untuk kasus tindak pidana korupsi atau pencucian uang). 4. Observasi Observasi adalah jenis bukti pemeriksaan yang digunakan untuk menilai aktivitas tertentu dari instansi yang diperiksa oleh pemeriksa dengan menggunakan indera. Dengan keahliannya, pemeriksa menyimpulkan hasil observasi yang dilakukannya. Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang, hasil observasi yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti petunjuk. Observasi juga dapat dikembangkan menjadi alat bukti keterangan saksi, yaitu pemeriksa diminta untuk menjadi saksi atas apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Saksi disini adalah saksi dalam pengertian saksi berantai (ketting bewijs). 5. Tanya jawab dengan instansi yang diperiksa Tanya jawab merupakan salah satu cara pemeriksa melakukan pengujian atas apa yang menjadi obyek pemeriksaan. Bukti pemeriksaan yang berasal dari tanya jawab ini mempunyai tingkat keandalan yang lebih rendah dibandingkan bukti pemeriksaan lain yang telah dijelaskan di atas. Tanya jawab yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat menjadi alat bukti petunjuk bagi hakim dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Tanya jawab dapat menjadi alat bukti keterangan saksi jika tanya jawab dilakukan oleh aparat penyidik yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan dalam tahap penyidikan. Perlu diingat tanya jawab yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap pihak terkait dengan dugaan penyimpangan, apa yang terungkap dapat digunakan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan. 6. Prosedur analitis Prosedur analitis merupakan jenis bukti pemeriksaan yang diperoleh melalui pembandingan antara satu data dengan data lainnya. Hasil pembandingan ini dapat digunakan pemeriksa untuk menyimpulkan apakah suatu transaksi mengandung penyimpangan atau tidak. Hasil dari prosedur analitis biasanya menghasilkan suatu indikasi. Pemeriksa perlu membuktikan kebenaran material atas indikasi tersebut. Dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi atau pencucian uang, hasil prosedur analitis yang dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan dapat digunakan oleh hakim sebagai bukti petunjuk. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 7
PEMAHAMAN TERHADAP BUKTI Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua arti dari ”bukti”, yaitu: 1) sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, 2) hal yang menjadi tanda perbuatan jahat. Barang bukti Barang bukti adalah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan bukti maka benda tersebut harus terlebih dahulu disita oleh penyidik. Benda yang dapat disita adalah: 1. Seluruh atau sebagian diduga diperoleh merupakan hasil dari tindak pidana. 2. Dipergunakan secara langsung untuk melakukan atau mempersiapakan tindak pidana. 3. Dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana. Contoh barang bukti berkaitan dengan tindak pidana yang diperkarakan sebagai obyek tindak pidana adalah: alat untuk melakukan perbuatan (seperti: cap, mesin kas, komputer); hasil dari perbuatan (seperti: rumah, kendaraan, pabrik); serta barang lainnya yang mempunyai hubungan langsung dengan perbuatan tersebut (seperti: tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki arti). Alat Bukti Makna dari alat bukti dapat diperoleh dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut pasal 184 KUHAP terdapat lima jenis alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti dapat dimaknai sebagai alat yang dapat diarahkan menjadi alat bukti hukum menurut ketentuan hukum pidana atau menurut ketentuan hukum perdata. Diterima Menurut Hukum Agar bukti-bukti dapat diterima menurut hukum, pemeriksa investigatif BPK harus memperhatikan hal-hal berikut ini: Jenis-jenis Bukti: 1. Bukti utama adalah bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta. 2. Bukti tambahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan bukti utama. Bukti tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama. 3. Bukti langsung merupakan fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan langsung jika didukung dengan pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya uang suap (kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah check dari pemasok. 4. Bukti tidak langsung mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak pelanggaran atau fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran. Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang tidak dikenal ke rekening seseorang pada waktu berdekatan dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak langsung. Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta dengan didukung oleh bukti Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.1 - 8
lainnya yang setingkat dengan fakta yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar, tetapi bukti tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara meyakinkan. Sumber Bukti: 1. Saksi merupakan sumber informasi yang paling utama bagi pemeriksa. Pemeriksa seringkali memperoleh dokumen dan bukti lain dari hasil wawancara dengan saksi yang dapat mendukung dan mengungkap fakta/ kejadian. 2. Departemen/instansi/unit kerja yang menjadi subyek pemeriksaan investigatif dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang penting bagi pemeriksa. 3. Instansi pemerintah terkait mungkin memiliki catatan dan informasi yang relevan dengan pemeriksaan investigatif yang dilakukan. Sebagai contoh, pemilikan tanah oleh tersangka, kendaraan bermotor dan lainnya, semua informasi tersebut mungkin relevan dengan permasalahan yang sedang diperiksa. 4. Informasi yang berada dalam penguasaan badan usaha atau perusahaan swasta. 5. Data yang tersimpan secara elektronik. Bukti dan informasi yang relevan diperoleh dari hasil pengujian forensik. Data yang terhapus dan arsip yang dilindungi dengan kata sandi/ password dapat diperoleh dan dibuka kembali, sehingga bermanfaat bagi pemeriksa. 6. Tersangka pada umumnya memiliki informasi relevan yang secara langsung berkaitan dengan permasalahan yang sedang diinvestigasi. Dalam keadaan tertentu, tersangka mungkin akan memberikan informasi kepada pemeriksa selama pelaksanaan wawancara. 7. Instansi penegak hukum, umumnya mengumpulkan data intelijen baik secara individu maupun secara kelompok. Kepolisian memiliki informasi catatan sejarah dari orang–orang yang pernah melakukan pelanggaran. 8. KPK dapat memberikan informasi mengenai laporan pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi. 9. PPATK dapat memberikan informasi mengenai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan/ atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pencucian uang. Data intelijen seperti ini tentunya amat bermanfaat bagi pemeriksa dalam menentukan profil para pelaku. 10. Internet sebagai alat yang digunakan untuk penelitian. Data yang diperoleh dari media semacam ini bermanfaat bagi pemeriksa sebagai sumber informasi.
Kuantitas dan Kualitas Bukti Berdasarkan pasal 183 KUHAP, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang–kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Walaupun pemeriksa BPK dalam sistem hukum Indonesia bukan merupakan penyelidik dan atau penyidik seperti yang diatur dalam KUHAP, namun dalam pelaksanaan tugasnya pemeriksa BPK patut mempertimbangkan hal–hal yang dapat mendukung dipenuhinya ketentuan pasal 183 KUHAP ini. Agar bukti yang dikumpulkan dapat diterima menurut hukum, maka bukti harus relevan, material, dan kompeten.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.2
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BERITA ACARA PEMINJAMAN DOKUMEN Pada hari ini .........................tanggal ............................bulan .................... tahun .................bertempat di........................................................... kami: Nama :.............................................................. NIP : ............................................................. Jabatan : ............................................................. Berdasarkan Surat Tugas Nomor : ............................................................. tanggal.............................. telah meminjam dokumen berupa: 1. ........................................................................................................... 2. ........................................................................................................... 3. ........................................................................................................... Demikian Berita Acara ini kami buat dengan sebenarnya dengan mengingat sumpah jabatan.
Yang meminjamkan
Peminjam
Nama: NIP :
Nama: NIP :
Atasan penanggung jawab
Ketua Tim Pemeriksa
Nama: NIP :
Nama: NIP :
Catatan: Berita Acara ini dibuat rangkap dua, lembar satu untuk instansi yang meminjamkan dan lembar dua untuk tim pemeriksaan..
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V..3 - 1
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERMINTAAN INFORMASI Nomor
:
Jakarta,
Sifat
: Rahasia dan Segera
Kepada Yth.
Lamp.
: ____ lembar (lihat contoh lampiran)
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Perihal
: Permintaan Informasi
Transaksi Keuangan di Jakarta
Dasar Hukum: 1. Undang–Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003; 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; 3. Nota Kesepahaman antara antara BPK-RI dengan PPATK No.02/KB/I-VIII.3/09/2006 dan No. NK1/1.02/PPATK/09/06 tanggal 25 September 2006. 4. Laporan BPK No. ____________. 5. Surat Tugas No. __________, tanggal __________. Sehubungan dengan perkara indikasi tindak pidana korupsi _______ (disesuaikan dengan kasus yang sedang ditangani) pada instansi ________ yang saat ini dalam tahap audit investigatif BPK, bersama ini diminta bantuan Bapak untuk memberikan informasi keuangan yang mencurigakan sehubungan dengan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas. Adapun penjelasan mengenai duduk perkara yang sedang diaudit investigatif sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran surat ini. Mengingat informasi dari PPATK bersifat sangat rahasia dan tidak dapat diberikan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PPATK, maka kami bersedia untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut dan akan menggunakannya hanya untuk kepentingan permintaan informasi ini. Demikian untuk menjadi maklum, atas bantuan dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih. Tortama
Tembusan : Yth. Ketua BPK
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V..3 - 2
Contoh lampiran V.3-2. Lampiran Surat Nomor: ______ Tanggal: _____ Penjelasan Singkat Duduk perkara Pengadaan barang yang dilakukan oleh Dinas X Propinsi Y (disesuaikan) tahun ____ dengan rekanan PT ABC dan PT XYZ (disesuaikan) diduga terjadi penggelembungan harga pada harga–harga yang terkait (disesuaikan). Dari hasil penggelembungan harga tersebut (disesuaikan) diatas diindikasikan telah terjadi kick back kepada para pejabat di lingkungan Dinas X Propinsi Y tersebut. Pasal perundang–undangan yang dilanggar Penggelembungan harga yang terjadi adalah tindak pidana asal yang diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kickback yang terjadi adalah pengalihan hasil tindak pidana asal (proceeds of crime) yang menurut kami merupakan salah satu bentuk pencucian uang yang diduga melanggar pasal 2 serta pasal 3 (1) UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dugaan Transaksi yang Mencurigakan Diduga terdapat transaksi–transaksi yang terkait dengan pelanggaran–pelanggaran pada butir 2 di atas yang berhubungan dengan rekening–rekening sebagai berikut: No. 1.
2.
Nama PT ABC
PT XYZ
Nama Bank
Nomor Rekening
Waktu Terjadi
Bank Top
397-300-409-0
Nopember 2002 Desember 2003
s/d
Bank Samiun
203.04.07368
September 2003 s/d Juni 2004
Bank Asing
743.30.07074.9
Nopember 2002 Desember 2003
s/d
Informasi yang Diperlukan Transaksi–transaksi mencurigakan yang patut diduga merupakan kickback sebagaimana dimaksud dalam butir 1.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 1
TEKNIK WAWANCARA Beberapa fakta, melalui analisis dan pengamatan yang tajam, memungkinkan pemeriksa investigatif membuat sketsa awal dari penyimpangan yang diduga terjadi. Sketsa awal ini dikembangkan, didalami, dan diperluas dengan wawancara. A. Persiapan Sebelum melakukan wawancara, bahkan sebelum ada kontak dengan orang yang diduga melakukan penyimpangan, pemeriksa investigatif harus menguasai secara baik semua fakta yang telah terkumpul. Ketua dan anggota tim pemeriksa bersama–sama menganalisis dan mendebatkan fakta yang terkumpul, serta membuat dugaan sementara. Pemeriksa yang bertugas melakukan wawancara harus menguasai mana yang fakta dan memanfaatkan sepenuhnya fakta ini. Ia harus memisahkan fakta dari apa yang masih bersifat dugaan. Kalau tidak, dalam proses wawancara pelaku penyimpangan akan dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum diketahui pemeriksa. Biasanya saksi yang taraf keterlibatannya paling rendah akan diwawancarai lebih dahulu daripada saksi yang tingkat keterlibatannya lebih besar. Cara ini akan memberi dasar yang lebih luas bagi pewawancara untuk menyiapkan materi wawancara lebih lanjut. Urut-urutan ini penting karena beberapa alasan: 1. Pada tahap awal belum banyak fakta terkumpul. Jadi kalau wawancara dimuat dengan orang yang diduga menjadi subyek atau perencana, maka ia dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum diketahui pemeriksa. Sebaiknya, orang yang tidak bersalah dengan terbuka akan memberikan informasi dan fakta–fakta penting, termasuk motif serta peluang terjadinya penyimpangan. 2. Mengetahui bahwa banyak orang sudah diwawancarai sebelumnya, subyek penyimpangan tidak kuasa lagi mengendalikan apa yang dapat diungkapkan, dan apa yang sebaiknya tidak perlu diungkapkan kepada pemeriksa dalam wawancara. Mengatur persesuaian atau konsistensi dalam kebohongan merupakan hal yang sulit, sekalipun melalui persekongkolan. Hal ini akan memudahkan pemeriksa mendapatkan informasi penting yang selanjutnya dikembangkan dalam wawancara mendalam. B. Karakteristik Wawancara yang Baik Wawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Harus dirancang dalam waktu yang cukup dan melakukan bahasan secara mendalam untuk mengungkap fakta yang relevan. Informasi yang diperoleh selama proses wawancara harus diperiksa. 2. Harus mencakup semua informasi yang penting dan mengurangi informasi yang tidak relevan. Perlu ditentukan mana informasi yang dianggap relevan, mana yang tidak. Data atau fakta yang tidak relevan seringkali mempersulit dalam analisis informasi. 3. Sedapat mungkin dilaksanakan berdekatan waktu dengan saat kejadian yang akan ditanyakan. Dengan berlalunya waktu, daya ingat saksi dan responden menurun, dan hal–hal yang penting dapat hilang atau terlupakan. 4. Harus dilakukan secara obyektif, dan diarahkan untuk mengumpulkan informasi dengan tepat dan tidak memihak. 5. Pengumpulan informasi akan berhasil dengan baik jika wawancara dilakukan dengan secara informal dan bersahaja. C. Karakteristik Pewawancara yang Baik Pewawancara yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, 2. Ingin berbagi informasi dengan pihak lain, 3. Tidak melakukan interupsi terhadap responden dengan pertanyaan yang tidak penting, dan seringkali informasi penting diperoleh dengan cara sukarela sebagai respon dari suatu pertanyaan yang spesifik,
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 2
4. Memiliki hasrat yang kuat terhadap responden dan apa yang dikatakannya, 5. Menunjukkan keseriusan dan perhatian atas jawaban yang diberikan. 6. Tidak mengajukan pertanyaan dengan sikap yang menyalahkan. Informasi seringkali diperoleh dengan gaya wawancara yang informal dan rendah hati. 7. Dapat menjelaskan kepada responden, bahwa ia berupaya memperoleh fakta yang relevan dan bukan untuk menangkap seseorang. 8. Pewawancara harus memulai wawancara tepat waktu, berpakaian secara profesional, dan wajar dalam berbicara dengan responden. Kemungkinan tingkat keberhasilan wawancara kecil: - Jika pewawancara melakukan pendekatan secara formal, merasa ia lebih tinggi, atau mencoba mempengaruhi responden dengan kewenangannya. - Jika reponden memandang bahwa pewawancara bias, atau mencoba mengkonfirmasi kesimpulan yang kurang tepat (forgone conclusion), maka responden akan enggan bekerja sama. - Jika responden beranggapan mereka menjadi target dari pertanyaan, maka mereka cenderung tidak kooperatif. D. Tipologi Pertanyaan "The more formal we make the visit the less information we might obtain. — Arthur Conan Doyle, "The Hound of the Baskervilles" Dalam melakukan wawancara, umumnya terdapat lima jenis pertanyaan yang dapat diajukan kepada pihak terkait dengan kasus yang diperiksa: 1) pertanyaan pembuka, 2) pertanyaan informasional, 3) pertanyaan penutup, 4) pertanyaan menguji, dan 5) pertanyaan memperoleh pengakuan. Dalam wawancara rutin, guna mengumpulkan informasi dari saksi yang netral atau mendukung, hanya tiga dari lima jenis yang akan ditanyakan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan informasional, dan penutup. Jika pewawancara mendapat kesan bahwa responden tidak menjawab dengan benar, pertanyaan yang bersifat wawancara mendalam yaitu untuk memperoleh pengakuan dari responden harus disampaikan. Bagan arus di bawah ini menggambarkan alur wawancara:
Pertanyaan Pembuka
Pertanyaan Informasional
Tidak Pelaku Ya
Pertanyaan Menguji
Ya Bohong
Tidak Pertanyaan Pengakuan Pertanyaan Penutup
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 3
1. Pertanyaan Pembuka Melakukan wawancara terhadap bagian pembelian lebih baik dilakukan secara dadakan guna menghindari kesempatan pegawai tersebut melakukan alibi. Berikut ini diuraikan empat langkah dalam tahap pertanyaan pembuka. a. Memperkenalkan diri. Jika responden tidak mengenal pewawancara, maka perlu perkenalan. Pewawancara tersenyum, melakukan kontak mata, menyebutkan nama dan berjabat tangan. Senyum membuat suasana nyaman, kontak mata berarti menghormati, dan berjabat tangan adalah bersahabat. b. Menjelaskan maksud. Pewawancara pertama kali menjelaskan mengapa ia berada di sini. Pewawancara sebaiknya tidak langsung bertanya kepada responden mengenai hal-hal yang penting. Pewawancara tidak boleh mempunyai rasa curiga karena akan menimbulkan rasa tidak percaya bagi responden. c. Mengembangkan saling pengertian dan komitmen. Pada tahap awal, pewawancara harus membuat responden merasa nyaman, karena tujuan dari wawancara adalah mendapatkan informasi. Jika responden merasa terancam, pewawancara akan mengalami kesulitan dalam memperoleh fakta. Sebaiknya wawancara dimulai dengan topik yang umum dan disukai responden, misalnya mengenai tugas responden dan ide-ide perbaikan. Jika responden mulai berbicara, pewawancara harus menatapnya agar mendapat kesan bahwa apa yang disampaikan itu penting, lebih dari itu pewawancara harus memperoleh komitmennya untuk memberikan informasi. d. Mengamati reaksi responden. Pada saat yang sama pewawancara harus mengamati reaksi responden. Tujuannya adalah memperhatikan responden pada saat ia merasa nyaman, dan kemudian mengamati bagaimana reaksinya pada saat ia merasa tertekan. Prosedur ini penting saat pewawancara mewawancarai seseorang yang kejujurannya diragukan. Contoh memperkenalkan diri Salah: Pewawancara: “Ibu Mandika, saya adalah Agus, pemeriksa BPK. Saat ini saya sedang memeriksa kasus yang diduga ada kecurangan, apakah Ibu mengetahui sesuatu mengenai hal itu. Sudah berapa lama Ibu bekerja pada BUMN ini?” Benar: Pewawancara: “Ibu Mandika, saya adalah Agus, saya ingin mendapatkan informasi dari Ibu, pernah kita bertemu sebelumnya?” Responden: Saya tidak yakin apakah kita pernah bertemu. Pewawancara: “Saya ditugaskan dari kantor dan saya memerlukan bantuan Ibu. Apakah Ibu bersedia membantu saya?” Responden harus mendapatkan kesan bahwa mereka memiliki sesuatu yang sama dengan pewawancara, dan merasa nyaman dengan suasana yang ada. Hal ini dapat dicapai bila responden melihat pewawancara bersikap terbuka dan bersahabat. Contoh menjelaskan maksud Pewawancara: “Saya sedang mengemban tugas dari kantor mengenai masalah ini dan saya memerlukan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 4
bantuan Ibu” “Saya sedang melakukan reviu mengenai prosedur pada kantor ini” ”Saya sedang mengumpulkan informasi berkaitan dengan prosedur pengadaan”. Pewawancara harus menanyakan komitmen responden sebelum melakukan wawancara, dan mendorong responden mengatakan kata ”ya” dengan tegas. Contoh mendapatkan komitmen Pewawancara: “Ibu Mandika, saya adalah Agus, saya sedang melakukan reviu fungsi pengadaan kantor. Apakah Ibu bersedia membantu kami?” Responden: ”Ya” atau Pewawancara: “Saya sedang mengumpulkan informasi tentang beberapa prosedur kantor. Mungkin Ibu Mandika, dapat membantu kami?” Responden: Tidak menjawab Pewawancara: “Dapatkah Ibu membantu saya, bisa Ibu?” Responden: ”Ya. Mengenai apa?” Jika pewawancara telah memperoleh komitmen responden untuk membantu, dan pewawancara harus menjelaskan maksud wawancara lebih rinci. Kemudian gunakan ungkapan transisi. Contoh ungkapan transisi Pewawancara: “Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang sering terjadi. Saya sedang mengumpulkan informasi mengenai fungsi pembelian dan bagaimana fungsi itu beroperasi. Pertama kali saya akan menanyakan mengenai pekerjaan yang Ibu lakukan. Informasi ini penting bagi kami.” Melakukan wawancara dengan pemasok: Pewawancara: “Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang sering terjadi. Telah saya sampaikan bahwa saya ditugaskan kantor untuk mengumpulkan informasi mengenai prosedur pengadaan. Karena anda bekerja pada salah satu dari pemasok BUMN ini, amat membantu jika saya berbicara kepada anda. OK?” atau “Sebenarnya ini sesuatu yang sering terjadi. Saya mendapat tugas dari kantor untuk mengumpulkan informasi, dan mereka menyarankan saya untuk menghubungi anda. OK?” Pewawancara harus mengupayakan untuk mendapatkan persetujuan secara terus menerus. Responden lebih mudah menjawab pertanyaan yang mengiyakan dibandingkan menolak.
Contoh Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 5
Pewawancara: “Betul Ibu?” ”Dapat membantu kami?” ”Betul Bu, iya kan?” Hal yang perlu diperhatikan pada saat memperkenalkan diri: 1. Lakukan kontak fisik dengan responden, tetap menjaga jarak sehingga tidak mengganggu rasa nyaman responden. 2. Gunakan kata–kata yang enak didengar (soft words), berada di pihak responden, dan hindari penggunaan kata–kata negatif. Pewawancara mengenalkan diri dengan menyebutkan nama. Kecuali ada alasan khusus, pewawancara tidak perlu menyebutkan gelarnya. Penyebutan gelar dapat mengganggu rasa emosi responden atau mungkin rasa takut. 3. Jangan melakukan wawancara lebih dari satu orang pada saat yang bersamaan. 4. Guna menjaga rasa nyaman responden. Wawancara harus dilakukan di tempat yang tidak mudah diketahui oleh teman, keluarga, atau teman sekantor. Pada umumnya responden enggan memberikan informasi bila diketahui oleh orang lain. 5. Pada tahap pendahuluan pewawancara agar tidak menanyakan hal-hal yang sensitif. Pertanyaan sensitif harus ditanyakan sesudah melalui perencanaan yang matang dan berhati– hati. 6. Hindari penggunaan kata–kata yang dapat menimbulkan rasa emosi. Jangan gunakan kata-kata berikut ini: Sebaiknya gunakan kata-kata ini: Investigasi Meminta penjelasan Audit Reviu Interviu Menanyakan beberapa pertanyaan Penggelapan/ pencurian Masalah administrasi 7. Pada tahap awal, pewawancara harus menjaga jarak dengan responden kira–kira empat hingga enam kaki agar tidak mengganggu rasa nyaman responden. 2. Pertanyaan Informasional. Seketika pewawancara dapat menciptakan suasana nyaman, ia harus melanjutkan ke wawancara pokok, yaitu perolehan fakta. Terdapat tiga model pertanyaan yang dapat digunakan agar diperoleh reaksi responden secara berbeda: pertanyaan terbuka, tertutup dan menuntun. Pertanyaan terbuka Adalah jenis pertanyaan yang memerlukan penjelasan yang rinci dan tidak dapat dijawab dengan “ya” atau “tidak”. Pada umumnya pertanyaan jenis ini digunakan oleh pewawancara pada tahap pengumpulan informasi, yaitu agar responden berbicara mengenai fakta sebenarnya. Pertanyaan tertutup Adalah jenis pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Pertanyaan jenis ini sebaiknya digunakan oleh pewawancara pada saat ia mengkonfirmasi kembali fakta-fakta yang diperoleh. Pertanyaan menuntun Pewawancara menggunakan jenis pertanyaan ini untuk mendapatkan pengakuan. Jenis pertanyaan ini kurang tepat jika digunakan untuk memperoleh informasi. Contoh: ”Apakah anda mencuri uang tersebut?” Untuk masuk pada tahap pertanyaan informasional, pewawancara memerlukan transisi. Pada umumnya pertanyaan yang bersifat transisi berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab responden.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 6
Contoh pertanyaan transisi (bersifat terbuka) Pewawancara: “Telah saya sampaikan sebelumnya, tugas saya adalah mengumpulkan informasi mengenai prosedur pengadaan. Dapatkah Ibu Mandika menjelaskan apa tugas Ibu disini?” Background questions “Apa gelar anda?” “Tanggung jawab apa yang anda lakukan?” “Sudah berapa lama anda ditugaskan di sini?” “Apa yang paling anda sukai dari pekerjaan anda?” “Apa yang anda paling tidak sukai dari pekerjaan anda?” “Apa yang anda ingin lakukan bagi perusahaan anda? “Secara menyeluruh bagaimana anda menyukai pekerjaan anda?” Pewawancara harus tetap melakukan observasi prilaku verbal dan nonverbal responden selama wawancara berlangsung. Pertanyaan informasional dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pemahaman sistem pengendalian akuntansi, berkaitan dengan dokumen, dan operasi bisnis atau sistem bisnis. Pewawancara: “Coba ceritakan tentang prosedur pekerjaan anda?” “Coba ceritakan dokumen apa saja yang menjadi tanggungjawab anda?” “Coba jelaskan pendelegasian wewenang di departemen anda?” “Coba ceritakan prosedur mana yang perlu diperbaiki pada departemen anda?” Jawaban responden nantinya akan diuji kembali oleh pewawancara berdasarkan fakta secara mendalam. Jika jawaban tidak konsisten, maka perlu ada klarifikasi. Tetapi pewawancara jangan menunjukkan ekspresi kecurigaan mengenai kejujuran dan integritas responden pada tahap ini. Pewawancara agar tidak bereaksi berlebihan dengan pernyataan responden, jangan menunjukkan rasa terkejut, menyakiti, atau rasa emosi selama wawancara. Pertanyaan diungkapkan dengan cara hipotetis untuk menghindari kemarahan. Pewawancara: “Sebagian dari tugas saya adalah mencegah dan menemukan adanya pemborosan. Tolong ceritakan kepada saya, menurut Ibu Mandika dimana terjadinya pemborosan harta atau uang pada BUMN ini?” Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pewawancara dalam menghadapi: 1. Responden terlalu sibuk. Mungkin saja responden terlalu sibuk pada saat dihubungi, atau responden resisten karena lelah, ancaman rasa ego, atau tidak suka berbicara kepada orang asing. Dalam hal ini pewawancara dapat menekankan kepada responden bahwa: wawancara hanya berlangsung sebentar atau mengatakan bahwa pewawancara sudah menunggu, atau proyek ini amat penting, atau wawancara tidak akan sulit. 2. Responden tidak ingat. Biasanya pernyataan seperti ini bukan ungkapan resistensi, tetapi ungkapan mengenai: kerendahan hati, dalam keadaan tertekan, atau hati–hati. Cara yang terbaik pewawancara merespon adalah tetap diam sementara responden memikirkan jawabannya. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 7
Akibatnya, responden akan berkata “berikan saya waktu sebentar untuk mengingatnya”. Bila cara tersebut kurang berhasil, maka pilihan lainnya dengan menyampaikan pertanyaan yang lebih rinci/sempit. Pewawancara: “Ibu Mandika, saya memahami Ibu mungkin tidak ingat semua transaksi. Apakah Ibu ingat transaksi itu bernilai lebih dari Rp 100 juta?” Atau ”Baiklah kalau Ibu tidak ingat transaksi secara rinci. Apakah Ibu ingat bagaimana reaksi Ibu pada saat mengetahui jumlahnya?” 3. Responden yang temperamen Jika diantisipasi bahwa wawancara akan menimbulkan situasi emosional, sebaiknya pewawancara harus dua orang, karena jika wawancara berlangsung buruk maka pewawancara lainnya dapat menyaksikan prosesnya. Wawancara yang sifatnya tiba–tiba (dadakan) dapat dilakukan, sehingga responden merasa tidak siap untuk diwawancarai, atau tidak sempat hadir dengan pengacaranya. Strategi yang dapat dikembangkan oleh pewawancara sebaiknya dirancang tidak berurutan, sehingga responden tidak dapat mengetahui arah dari isi wawancara. Contoh wawancara dengan responden yang temperamen Responden: “Saya tidak ingin terlibat dalam masalah ini.” Pewawancara: Saya tidak akan bertanya apapun jika Ibu Mandika memang tidak terlibat, dan saya akan berusaha membantu Ibu untuk mengatasi masalah ini dengan mendiskusikannya secara informal” (jangan berkata “off the record”) Responden: “Mengapa saya harus berbicara kepada anda?” Pewawancara: Saya mencoba melihat permasalahan ini secara jernih, dan bantuan Ibu amatlah penting. Responden: “Anda tidak akan dapat membuktikannya!” Pewawancara: Saya tidak mencoba untuk membuktikan atau tidak membuktikannya, namun hanya mengumpulkan informasi. Responden: “Anda tidak dapat memaksa saya untuk berbicara!” Pewawancara: Saya tidak mencoba untuk memaksa Ibu melakukan sesuatu, saya hanya ingin menyelesaikan masalah ini dan amat menghargai bantuan yang Ibu berikan. Jika tidak ada alasan cukup menduga adanya penyimpangan. Jika pewawancara hingga tahap ini yakin bahwa tidak ditemukan adanya penyimpangan berkaitan dengan responden, maka ia harus mengakhiri wawancaranya. Lihat pada penjelasan butir 4 mengenai pertanyaan penutup. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 8
Jika terdapat keragu-raguan. Jika pewawancara hingga tahap ini meragukan kejujuran jawaban yang disampaikan oleh responden, maka pewawancara harus melanjutkan wawancaranya dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menuduh tetapi bersifat menguji, agar memperoleh gambaran mengenai kejujuran responden tersebut. Lihat pada penjelasan butir 3 mengenai pertanyaan menguji. Behavior Symptom Analysis dan Saluran Komunikasi Hasil dari penelitian National Security Agency dikenal dengan NSA study, menunjukkan ada tiga tingkat atau saluran yang dapat digunakan untuk berkomunikasi yaitu: verbal channel, paralinguistic channel, dan nonverbal channel. 1) Verbal channel. Adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang, pilihan kata dan susunan kata-kata yang dipergunakannya untuk mengirimkan pesan. Subyek yang sehat jiwanya dan yang secara normal berinteraksi sosial, akan mengalami kecemasan ketika ia berbohong. Kecemasan bisa timbul dari dalam, karena ia tahu apa yang dikatakannya tidak benar; atau karena ketakutan ia khawatir kebohongannya akan terungkap. Ketika subyek harus menjawab pertanyaan dalam suatu wawancara, ia mempunyai empat pilihan: berbohong, mengelak atau menghindar, mengakui secara tersamar, atau menceritakan apa adanya. Subyek berbuat salah, ditanya ”apakah anda menggelapkan uang perusahaan?” Jika ia mengakui apa yang sebenarnya terjadi dengan menjawab: ”Ya, saya menggelapkan uang perusahaan”, hal ini tidak menimbulkan rasa cemas baginya. Jika ia mengakui tetapi dibungkus dengan ketidaksengajaan atau kekhilafan, dan jawabannya diiringi dengan nonverbal behaviour, seperti menggelengkan kepala; atau dengan paralinguistic behaviour, dengan ucapan berbisik yang nyaris tak terdengar ”Saya khilaf Pak”. Kecemasan mulai ada tetapi rendah tingkatannya. Jika ia mengelak tanpa menyatakan secara tegas dengan menjawab: ”Kenapa saya harus berbuat hal-hal semacam itu?” atau ”Memangnya kau kira saya ini siapa?”. Menurut subyek, ia tidak berbohong, tetapi tingkat kecemasan yang ditimbulkan lebih tinggi dari kondisi (b). Jika ia berbohong habis-habisan dengan menjawab: ”Tidak, saya tidak menggelapkan uang perusahaan”, maka tingkat kecemasan yang ditimbulkan tinggi. Sifat manusia adalah menghindari kecemasan. Kecemasan tidak dapat diterima dan tidak dikehendaki. Upaya manusia untuk menekan kecemasan ini terungkap dalam paralinguistic behavior dan nonverbal behavior. Perilaku seperti inilah yang harus diamati oleh pemeriksa yang berpengalaman pada saat melakukan wawancara. 2) Paralinguistic channel. Dalam hidup sehari-hari sering ditemui adanya ucapan yang makna sesungguhnya berbeda dari apa yang keluar dari mulut pembicara. Ciri-ciri percakapan tertentu ini di luar apa yang diucapkan atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pemeriksa pada saat melakukan wawancara. Berikut ini adalah ciri-ciri percakapan tertentu yang perlu diketahui oleh pemeriksa investigatif. Response latency Menunjukkan rentang waktu antara kata terakhir dari pertanyaan pewawancara dengan kata pertama dari jawaban subyek. Menurut NSA study, response latency ratarata untuk subyek yang jujur adalah 0,5 detik, sedangkan untuk subyek yang berbohong 1,5 detik. Contoh: Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 9
”Dimana anda tinggal?” Response latency dijadikan acuan untuk pertanyaan yang sederhana tetapi bagi subyek mengandung ”bahaya” seperti: ”siapa yang mengantar uang suap ke rumah anda?”. Contoh: Pewawancara: ”Apakah anda pernah menggelapkan harta perusahaan sebelumnya?” Responden: ...Apakah saya pernah menggelapkan harta perusahaan sebelumnya? Emmmm, belum pernah. atau Responden: Hmm ... Apakah anda bisa mengulang pertanyaan itu?” Early responses Umumnya jawaban lebih awal merupakan reaksi dari subyek yang jujur, yang terlanjur gugup pada awal wawancara. Subyek yang jujur akan mengulangi jawaban yang lebih awal tadi pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaan. Itulah perbedaannya dengan early response yang diberikan subyek yang berbohong. Ketika subyek yang berbohong memberikan early response, ia tidak mengulangi jawaban itu pada saat pewawancara menyelesaikan pertanyaannya. Mengapa? Subyek yang berbohong segan sekali menjawab pertanyaan yang memojokkannya. Sekali ia memberikan jawabah yang terlalu awal, ia merasa sudah menjawab dan tidak perlu mengulangi jawabannya. Jawaban awalnya sebenarnya respon untuk membantah. Tanda-tanda berbohong sangat perlu diperhatikan ketika early response terjadi pada pertengahan dan/atau akhir wawancara. Pada saat ini kegugupan subyek yang jujur sudah mereda (ia gugup pada awal wawancara). Tetapi sebaliknya bagi subyek yang berbohong, saat inilah ia merasa semakin terpojok. Response length Penelitian menunjukkan bahwa secara statistik subyek yang jujur memberikan jawaban lebih panjang dibandingkan subyek yang berbohong. Subyek yang jujur memberikan jawaban selengkap mungkin dan seringkali menawarkan informasi tambahan walaupun tidak diminta. Sebaliknya subyek yang berbohong memberikan jawaban yang singkat, sekedar ”memenuhi syarat” sudah menjawab. Ia khawatir jawaban yang panjang akan menimbulkan pertentangan satu sama lain. Jawaban yang panjang cenderung bersifat mengalihkan topik pembicaraan. Response delivery Penyampaian jawaban nampak dari kecepatan (rate), tinggi-rendahnya (pitch) nada dan kejelasan (clarity) suara. Hal-hal ini bisa sejalan dengan apa yang dikatakan, tetapi bisa juga bertentangan. Umumnya ketika subyek mengungkapkan emosinya secara jujur, rate dan pitch meningkat. Subyek yang jujur menginginkan pewawancara memahami jawabannya karena itu ia akan berbicara dengan jelas dan dengan volume yang pas. Subyek yang berbohong cenderung menjawab dengan suara pelan, tidak jelas dan menggumam. Continuity of the response Jawaban yang jujur mengalir dengan bebas, merupakan tanggapan yang spontan, apa adanya. Jawabannya mengalir sebagai satu alur pikir. Satu kalimat disusul dengan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 10
kalimat yang lain, sambung menyambung, tidak meloncat-loncat dari satu alur ke alur yang lain. Sebaliknya, jawaban dari subyek yang berbohong ada perilaku berhenti – kemudian – jalan (”stop-and-start” behavior). Erasure behavior Dalam percakapan sehari-hari seseorang mengatakan sesuatu yang kedengarannya mungkin tidak menyenangkan bagi lawan bicaranya. Kemudian, ia mengatakan ”cuman bercanda koq” diiringi gerakan alis dan senyum. Gerakan alis dan senyum dalam percakapan mempunyai efek ”menghapus konotasi yang tersirat” dalam ucapannya. Dalam komunikasi paralinguistic ada perilaku tertentu yang dampaknya seperti ”gerakan alis dan senyum”, seperti tertawa, batuk-batuk kecil atau mendehem, segera sesudah mengucapkan suatu bantahan. Percakapan berikut memberi contoh erasure behavior atau perilaku menghapus apa yang dikatakannya: Pewawancara: Apakah anda menggelapkan uang Rp 100 juta itu? Responden: Tidak (tertawa). Pewawancara: Anda tahu siapa yang melakukan? Responden: Saya malah tidak tahu ada penggelapan (tertawa). Pewawancara: Apakah anda berfikir pegawai bank yang mencuri uang itu? Responden: Sulit mengatakannya. Mungkin saya pelanggan yang salah mengisi slip setoran (mendehem kecil). 3) Nonverbal channel. Nonverbal channel adalah sikap tubuh, gerak tangan, gerak kaki dan mimik wajah. Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa 70% dari pesan-pesan yang dikirimkan dalam komunikasi antar manusia terjadi pada tingkat nonverbal. Statistik ini mencerminkan betapa besarnya pesan yang disampaikan melalui gerak tubuh. Perilaku nonverbal cukup rumit untuk dievaluasi, sering menimbulkan interpretasi yang keliru, dan evaluasinya harus dilakukan dalam konteks isi atau substansi verbal yang disampaikan pembicara. (a) Sikap tubuh Sikap tubuh mengungkapkan keterlibatan emosional yaitu rasa percaya diri dan minat. Subyek yang jujur mempertahankan minat dan percaya diri yang tinggi dalam menyampaikan pernyataanya. Sikap tubuhnya tegak, searah dengan pewawancara sehingga ia siap berdialog secara langsung. Kalau ia menyilangkan kaki, ia meletakkan satu tungkai di atas tungkai yang lain dan dilakukan dengan santai dan nyaman. Mempelajari nonverbal behavior sebaiknya melalui rekaman gambar dan suara dari wawancara yang sesungguhnya. Subyek yang berbohong terlihat dari gerak lamban, seakan tidak berjiwa, terjerembab dalam kursinya. Ia tampak tak berminat dengan wawancara. Batang tubuhnya menjauhi pewawancara. Bentuk lain yang dilakukan adalah menyilangkan lengan di depan dada, atau menyembunyikan kaki di bawah kursi. Perilaku nonverbal yang mengungkapkan subyek berbohong adalah kemampuannya mempertahankan sikap tubuh tadi selama wawancara berlangsung, statis, tidak berubah.
(b) Gerak tangan Terdapat tiga jenis gerakan tangan. Pertama, subyek tetap tidak melibatkan dirinya, tidak ada gerak tangan sama sekali. Ini menunjukkan subyek tidak mempunyai percaya diri terhadap jawaban yang disampaikannya. Atau subyek memandang Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 11
pertanyaan yang diajukan tidak penting. Kedua adalah tangan yang menjauh dari tubuh. Pewawancara akan melihat gerakan tangan perilaku menjelaskan pada subyek yang jujur. Subyek melakukan gerakan tangan seperti orang berpidato atau guru yang sedang mengajar, ketika ia menceritakan pengalamannya yang ada hubungannya dengan kegiatan fisik. Ketiga adalah tangan yang mengarah pada bagian tubuh. Gerakan ini disebut perilaku menyesuaikan. Gerakan perilaku menyesuaikan dibagi dalam tiga kategori yaitu: gerak merapihkan diri, gerak bersifat pribadi, dan gerak melindungi. Gerak merapihkan diri seringkali tidak mempunyai makna. Maknanya baru ada kalau dikaitkan dengan verbal response-nya. Contoh: membetulkan letak rambut, mengebas baju seperti membuang pasir atau debu, memeriksa kuku dan lain-lain. Gerak bersifat pribadi yaitu gerak memenuhi kebutuhan pribadi seperti menggaruk tangan atau daun telinga, tapi kali ini tidak ada rasa gatal. Gerakan ini menandakan bahwa subyek tidak nyaman dengan pertanyaan pemeriksa. Gerak melindungi yaitu gerak tangan mengarah atau membuat kontak dengan muka. Contoh: tangan diletakkan di pipi untuk menopang kepala. Subyek yang berbohong menggunakan gerakan ini seperti menutup mulut dan menjawab pertanyaan melalui celah-celah jari jemarinya, seolah-oleh jari-jarinya dapat menyaring ucapannya yang tidak benar. Menghindari tatap mata dengan pura-pura secara tidak sadar menggosokgosok matanya atau mengusap alis matanya. (c) Gerak kaki Ketika subyek menyilangkan tungkainya satu pada yang lain, dan sering menghentakkan satu kakinya ke tanah, ini menandakan adanya kecemasan. Ini tidak berarti subyek berbohong, namun perubahan dalam hentakan kaki seiring dengan jawaban atas suatu pertanyaan bisa merupakan indikasi subyek sedang berbohong. Hal ini hanya berlangsung 1 – 2 detik saja, kemudian kembali ke gerak kaki yang normal. Gerak kaki juga bisa merubah sikap duduk subyek. Dengan menapakkan kaki dan mendorong punggung ke sandara kursi, juga bisa disertai kursi berpijak pada dua kaki belakangnya. Jika sikap ini dilakukannya sesaat sebelum atau selama menjawab suatu pertanyaan, ini dapat menunjukkan subyek berbohong (d) Mimik wajah Berbagai ekspresi atau mimik wajah disebabkan oleh subyek yang khawatir bahwa kebohongannya akan terungkap, ketidakpastian apakah ia akan berhasil menutupi kebohongannya, atau mungkin ia sadar bahwa kebohongannya sudah terungkap, dan siap mengakui kesalahannya. Dari semua perubahan mimik wajah, yang paling sulit untuk dievaluasi adalah kemarahan. Pada umumnya subyek yang berbohong tidak berani atau enggan menatap wajah pewawancara. Ia akan menundukkan kepala melihat lantai, atau mengalihkan matanya ke samping, atau ke langit- langit ruangan. Atau bahkan ia menantang pewawancara dengan menatap lama. 3. Pertanyaan Menguji Jika pewawancara yakin bahwa responden tidak jujur, jenis pertanyaan hipotetikal atau yang tidak bersifat menyalahkan dapat diajukan. Melalui pengamatan atas jawaban verbal dan nonverbal, pewawancara dapat menguji kredibilitas responden dengan beberapa tingkat ketepatan. Pengujian ini merupakan dasar bagi pewawancara mengambil keputusan apakah melanjutkan ke pertanyaan yang mengarah pada pengakuan secara legal atas perbuatan yang melanggar hukum. Contoh 1 Pewawancara: Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 12
“Pada umumnya mereka bukanlah subyek kejahatan. Sering ditemukan bahwa mereka mencoba melakukan tindakan tersebut karena mereka tidak mendapatkan imbalan yang cukup sesuai dengan kualitas mereka. Anda paham maksud saya?” Penjelasan: Responden yang jujur dan tidak jujur akan menjawab ”ya” terhadap pertanyaan ini. Namun responden yang jujur cenderung berpendapat tidak setuju bahwa mereka bukan orang jahat. Ia akan mengatakan: ”ya” saya paham, tetapi hal itu tidak membenarkan tindakan mencuri”. Contoh 2 Pewawancara: “Mengapa anda berpendapat bahwa di sini dibenarkan mengambil aset perusahaan?” Penjelasan: Subyek pada umumnya membenarkan tindakannya, ia cenderung membenarkan tindakannya dengan mengatakan bahwa ”setiap orang melakukannya” atau ”perusahaan harus memperlakukan karyawan lebih baik jika mereka mengharapkan karywan tidak mencuri”. Responden yang jujur cenderung mengatakan ”pencurian aset orgnanisasi walaupun bagaimana tidak dibenarkan. Itu perbuatan kriminal”. Contoh 3 Pewawancara: “Menurut anda, apa yang harus kita lakukan kepada seseorang yang menghadapi situasi dilematis dan melakukan kesalahan di mata perusahaan?” Penjelasan: Responden yang tidak jujur akan mengatakan ”Bagaimana saya tahu? Itu bukan urusan saya” atau ”bila mereka pegawai yang baik, mungkin kita harus memberikan kesempatan lagi kepada mereka.” Contoh 4 Pewawancara: “Apakah anda pernah berfikir – walaupun belum pernah dilakukan - boleh saja mengambil keuntungan pribadi karena posisi anda di perusahaan?” Penjelasan: Pada umumnya semua orang – jujur atau tidak jujur – akan mengatakan ”tidak” terhadap pertanyaan ini. Namun subyek cenderung memberikan pendapatnya mengapa ia melakukan itu. Contoh 5 Pewawancara: “Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?” Penjelasan: Orang yang bersalah tidak ingin kecurigaan ini menuju pada dirinya, umumnya orang yang tidak jujur akan mengatakan ”mungkin saja orang lain”. Orang yang jujur akan mengatakan “yang jelas bukan saya, karena saya tidak melakukannya”. Contoh 6 Pewawancara: “Ganjaran apa yang harus diberikan kepada orang yang melakukan ini?”. Penjelasan: Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 13
Orang yang jujur umumnya tidak toleran pada pelaku kejahatan, mereka akan mengatakan ”mereka harus masuk penjara atau dipecat saja”. Namun pelaku kejahatan akan mengatakan “Ya... itu tergantung dari alasan mengapa ia melakukannya” atau “mungkin saja ia mempunyai alasan yang tepat” Sikap yang ditunjukan oleh responden: Responden yang jujur Tenang Santai Kooperatif Peduli Terbuka, langsung Tidak fleksibel Menyenangkan
Responden tidak jujur Tidak sabar Tegang Mempertahankan diri Tidak peduli Amat sopan, akrab berlebihan Arogan Menjengkelkan
4. Pertanyaan Penutup Wawancara yang tidak konfrontasi meliputi tiga tahapan yaitu: pertanyaan pembuka, pertanyaan informasional dan pertanyaan penutup. Maksud dari pertanyaan penutup adalah: a. Mengkonfirmasi kembali fakta. Seketika pewawancara memahami fakta yang telah diperoleh, maka ia perlu melakukan konfirmasi kembali atas fakta tersebut. Ia dapat mengakhiri dengan mengajukan pertanyaan penutup. Contoh pertanyaan penutup Pewawancara: “Ibu Mandika, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu hadir disini. Namun sekali lagi saya ingin meyakinkan apa yang telah kita bicarakan. Jadi tugas Ibu adalah termasuk memberikan persetujuan atas semua pengadaan pada instansi ini, betul demikian Bu? Dan Ibu juga memberikan persetujuan atas penunjukkan pemasok baru, betul Bu?” Pewawancara: “Anda menduga–tetapi belum yakin–bahwa Agus mungkin memiliki hubungan istimewa dengan salah satu pemasok kami. Apa itu benar?” Pada kondisi tertentu pewawancara diperhadapkan dengan fakta penting oleh responden, yakinkan kembali dengan bertanya “Apakah Anda yakin?”. b. Mendapatkan informasi tambahan. Dalam tahapan ini, pewawancara juga memberikan kesempatan kepada responden jika ia ingin menyampaikan informasi tambahan. Contoh pertanyaan penutup Pewawancara: “Ibu Mandika, terima kasih karena Ibu amat membantu saya. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepada saya mengenai apa yang telah kita bicarakan bersama? Ada sesuatu yang saya mungkin lupa untuk ditanyakan?” Pewawancara: “Ibu Mandika, mungkin ada seseorang yang saya harus wawancarai. Apakah ada dokumen berkaitan dengan masalah ini yang belum kita bahas? Jika saya menjaga nama Anda dengan baik, apa saran Anda dan kepada siapa saya harus bertanya?” c. Menjaga hubungan baik. Tujuan dari tahapan ini, adalah menjaga hubungan baik responden. Hal ini penting karena pewawancara mungkin saja menghubunginya lagi di kemudian hari. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 14
Contoh pertanyaan penutup Pewawancara: “Ibu Mandika, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu datang di sini pada hari ini. Jika saya selesai mereviu catatan saya, mungkin ada pertanyaan lagi yang akan saya sampaikan kepada Ibu. Tidak keberatan jika Ibu saya hubungi kembali?” Pewawancara: “Pada kondisi seperti ini, orang yang jujur dapat rusak reputasinya karena adanya rumor/ isu. Kami tidak ingin hal itu terjadi pada Ibu. Oleh karena itu, saya menginginkan kerja sama Ibu. Dapatkah saya mempercayai Ibu untuk tidak membicarakannya hingga semua fakta terungkap?” Pada umumnya responden akan menjawab “ya” kecuali jika ia mengalami bahwa wawancara berlangsung tidak menyenangkan. Pewawancara sekali lagi harus tersenyum, melakukan kontak mata dan berjabat tangan untuk mengakhiri wawancaranya. 5. Pertanyaan untuk Mendapatkan Pengakuan Jika pewawancara yakin bahwa responden berbuat penyimpangan seperti yang dimuat dalam pertanyaan, maka saatnya sekarang pewawancara mendapatkan pengakuan subyek dengan melakukan wawancara yang bersifat menuduh. Penilaian terhadap subyek harus didasarkan pada reaksi verbal dan nonverbal si subyek selama wawancara juga termasuk dokumen, bukti fisik dan wawancara lainnya. Masa transisi pada tahapan ini amat penting. Satu alasan mengapa perlu masa transisi adalah untuk memberikan kesan bagi subyek bahwa perbuatan curangnya telah terungkap. Dalam kondisi ideal, pewawancara biasanya meninggalkan ruang wawancara beberapa saat, dengan mengatakan untuk “memeriksa sesuatu”. Pewawancara harus yakin bawa dokumen yang mendukung penyimpangan telah tersusun rapih. Foto kopi dokumen tersebut dapat disimpan dalam sebuah map/folder dan membawanya ke ruang wawancara. Jika pewawancara tidak memiliki dokumen, pewawancara dapat mengisi map atau folder dengan kertas kosong. Pewawancara harus mengeluarkan bukti/dokumen tersebut satu per satu untuk ditunjukkan kepada subyek. Teknik ini akan membuat subyek merasa lebih cemas/tertekan, karena ia tidak mengetahui bukti apa lagi yang akan diperlihatkan kepadanya. Semakin tinggi tekanan yang dirasakan, maka semakin besar peluang subyek mengakui perbuatannya. Contoh Pewawancara: Ketika pewawancara kembali ke ruang wawancara, map atau folder tersebut diletakkan di atas bangku, dan pewawancara bertanya, “Ibu Mandika, kami mengetahui bahwa Ibu telah mengambil uang dari pemasok” Atau ”Apakah ada alasan yang tepat mengapa seseorang mengatakan bahwa Ibu Mandika telah mengambil uang dari pemasok” Konfrontasi secara langsung harus dilakukan agar subyek mengakui perbuatannya dan secara psikologis subyek merasa perbuatannya telah terungkap. Tunjukkan dokumen tersebut kepada responden dan minta komentarnya. Pewawancara jangan membuka atau menjelaskan bukti tersebut. Pada umumnya 20% dari kasus, subyek akan mengakui perbuatannya. Jika responden tidak mengakuinya, lanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya. Tujuan pada tahap ini adalah: 1) untuk membedakan orang yang jujur dari yang bersalah. Orang yang bersalah sering mengakui perbuatannya pada tahapan ini, sedangkan orang yang tidak bersalah tidak akan mengakui kecuali mendapat ancaman atau kekerasan; 2) untuk mendapatkan Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 15
pengakuan yang syah. Pengakuan, sesuai ketentuan, harus diakui tanpa ada pakasaan; dan 3) responden yang mengakui perbuatannya harus menandatangani pernyataan tertulis yang menjelaskan fakta terjadi. Hal ini mencegah kemungkinan subyek menyangkal atas pengakuannya. Persiapan Pelaksanaan wawancara harus ditetapkan waktunya jika pewawancara memperkirakan dapat mengendalikan situasi wawancara tersebut. Sebaiknya wawancara tidak dilakukan di kantor subyek, dan lebih baik jika dilakukan secara tiba-tiba. Ruang wawancara Ruang wawancara harus dirancang dengan nuansa privacy. Pintu ruang wawancara tertutup tetapi tidak dikunci, dan jangan ada suatu penghalang yang membatasi subyek untuk meninggalkan ruangan. Gangguan selama proses wawancara diupayakan seminimal mungkin. Subyek sebaiknya tidak duduk di belakang meja. Kehadiran pihak lain Jika subyek menghadirkan penasehat hukumnya, pewawancara harus memahami bahwa kehadirannya hanya sebagai pengamat. Penasehat hukum tidak boleh mengajukan pertanyaan atau keberatan atas pertanyaan pewawancara. Selain dari subyek dan dua orang pemeriksa yang bertugas dalam wawancara, pengamat tidak dibolehkan hadir dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari subyek. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap wawancara untuk mendapatkan pengakuan dari subyek: - Subyek jarang sekali mengakui perbuatannya secara sukarela, jika ia yakin bahwa ada keraguan pewawancara mengenai perbuatannya. - Pewawancara harus mempunyai rasa percaya diri yang tinggi walaupun ia tidak yakin sepenuhnya. - Pewawancara jangan menampakkan kemarahan, kejengkelannya atau mengumpat atas perbuatan subyek. Untuk memperoleh pengakuan dari subyek diperlukan rasa simpati yang besar dan menekan serendah mungkin pandangan buruk terhadap moral subyek. - Subyek tidak pernah akan mengakui perbuatannya jika pewawancara memperlakukan subyek sebagai orang jahat. Pewawancara harus melakukan pendekatan bahwa alasan subyek melakukan perbuatannya dapat diterima secara moral. - Secara hukum dapat diterima melakukan tuduhan kepada subyek yang tidak bersalah sepanjang: tuduhan didasari dengan alasan yang kuat; tuduhan dilakukan dengan menjaga privacy subyek. Langkah–langkah untuk Mendapatkan Pengakuan Subyek a. Tuduhan langsung. Tuduhan tidak diungkapkan dalam bentuk pertanyaan, tetapi pernyataan. Penggunaan kata– kata yang dapat menimbulkan rasa emosi seperti ”mencuri”, ”kejahatan”, dan ”kriminal” harus dihindari. Contoh tuduhan langsung Salah ”Kami punya alasan untuk percaya bahwa Ibu Mandika telah menerima suap” Atau ”Kami menduga Ibu Mandika telah menerima suap”
Benar ”Pemeriksaan investigatif kami menunjukkan bahwa Ibu Mandika lah yang: - telah merekayasa pencatatan (hindari ”kecurangan”) - telah mengambil aset perusahaan tanpa izin (hindari ”mencuri” ”menggelapkan” atau Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 16
”merampok”) - telah mengambil uang dari pemasok (hindari ”suap” atau ”sogok”) - tidak menjelaskan kejadian sebenarnya (hindari ”bohong” atau ”curang”) Pewawancara sambil membuka halaman tertentu dalam folder yang berisi bukti. b. Amati reaksi subyek. Pada saat subyek dituduh, umumnya orang yang bersalah akan terdiam. Jika subyek membantah tuduhan tersebut, biasanya bantahannya lemah. Pada banyak kasus subyek mengungkapkan bantahannya dengan menggumam. Terkadang subyek menanggapi dengan ”apa yang Anda maksudkan?” atau ”Anda bilang apa?” seolah-olah ia tidak mendengar. Dalam behavior symptom analysis, ia berbohong. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mengerti atau tidak mendengar karena tuduhan disampaikan dengan kalimat singkat, langsung, terarah dan lugas. Subyek yang bersalah menghindari kontak mata dengan pewawancara. Ini memungkinkannya menyiapkan jawaban verbal yang kemungkinan besar bukan jawaban sama sekali. Subyek menunjukkan tanda bersalah seperti mengubah postur, menyilangkan tungkai, duduk terjerembab di kursi atau bersandar jauh ke belakang seolah-olah berusaha menjauhi pewawancara. Namun subyek tidak akan mudah menyerah, dan langsung mengakui kesalahannya. Terlalu banyak yang ia pertaruhkan; ia kehilangan pekerjaan, reputasinya jatuh, teman-teman dan masyarakat akan menjauhinya. Subyek yang tidak bersalah akan terperanjat dengan tuduhan yang dilontarkan. Dan umumnya mereka akan marah dan memperlihatkan kejengkelannya dengan tuduhan tersebut. Berbeda dengan subyek kejahatan, subyek yang tidak bersalah menolak mentah-mentah perbuatan yang ditanyakan oleh pewawancara. Ia akan tersinggung berat dan berupaya keras untuk menghentikan tuduhan itu. c. Pengulangan dugaan. Jika subyek tidak merasa keberatan terhadap tuduhan yang dikemukakan, maka tuduhan tersebut harus diulang kembali dengan kadar yang sama kuatnya dari tuduhan pertama. Contoh Pewawancara: ”Saya telah jelaskan, Bu, pemeriksaan kami telah menemukan bahwa Ibu adalah orang yang bertanggung jawab. Kami tidak lagi menanyakan apa yang Ibu telah lakukan, tetapi mengapa Ibu melakukannya?”. d. Menginterupsi bantahan subyek. Baik subyek yang jujur dan tidak jujur pada umumnya keberatan atas tuduhan yang diajukan kepada mereka dan mencoba untuk melakukan bantahan. Oleh karena itu pewawancara harus menginterupsi bantahan tersebut. Berikut ini diuraikan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghentikan atau menginterupsi bantahan subyek. Contoh Responden: ”Bahkan sayapun tidak berada disana ketika semua catatan dibuat” Atau ”Mungkin saja itu orang lain yang melakukannya” Atau ”Saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan” Perlu dipahami bahwa baik subyek yang jujur dan tidak jujur, umumnya akan menolak habis-habisan jika dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Oleh karena itu, pewawancara jangan sekali-kali menanyakan mengenai alasan penolakan. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 17
Contoh Salah Pewawancara: ”Apakah Ibu melakukan ini?” Atau ”Apakah Ibu adalah orang yang bertanggung jawab?” Contoh Benar Pewawancara: ”Mengapa Ibu melakukan ini?” e. Menunda. Satu teknik yang amat efektif untuk menghentikan atau menginterupsi bantahan subyek adalah melalui taktik menunda. Pewawancara jangan berargumentasi dengan responden, namun mencoba menunda bantahan subyek seluruhnya. Contoh Pewawancara: ”Bu, saya mendengar apa yang Ibu katakan, namun saya ingin menjelaskan ini terlebih dahulu. Kemudian berbicaralah... Subyek yang tidak bersalah, pada umumnya tidak menyela atau tetap membiarkan pewawancara berbicara. f.
Menginterupsi subyek. Kadang-kadang, pewawancara perlu menginterupsi terhadap upaya subyek yang melakukan bantahan terus menerus. Pada tahap ini, pewawancara harus siap meningkatkan interupsinya jika kondisi mengharuskannya, misalkan: ”Ibu Mandika, jika Ibu tetap menyela, saya akan menghentikan wawancara ini.” Subyek yang bersalah akan berpikir bahwa pernyataan pewawancara merupakan ancaman baginya, karena rasa keingintahuannya atas bukti yang dimiliki oleh pewawancara.
g. Memberikan alasan. Jika taktik tersebut di atas tidak berhasil, pewawancara dapat mencoba memberikan alasan kepada responden, dan melakukan taktik yang biasanya digunakan untuk mengacaukan alibi. Contoh Pewawancara: ”Saya paham yang Ibu Mandika katakan, namun bagaimana dengan faktur–faktur yang sudah saya peroleh ini. Coba perhatikan faktur sebesar Rp 500 juta rupiah ini. Fakta ini jelas menunjukkan bahwa Ibulah yang bertanggung jawab” (jangan bertanya kepada responden untuk menjelaskan bukti tersebut pada tahap ini). Atau ”Ibu Mandika, saya telah banyak melakukan wawancara kepada banyak orang sebelum saya duduk di sini bersama dengan Ibu. Saya tidak bertanya kepada Ibu saat ini, apakah Ibu bertanggung jawab atas faktur tersebut; saya mengetahui Ibu lah yang bertanggung jawab. Ini adalah kesempatan Ibu untuk menceritakannya kepada seseorang yang dapat memahami” (jangan ungkapkan identitas atau jumlah saksi yang telah diwawancarai). Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 18
h. Menetapkan rasionalisasi. Seketika dugaan, pengulangan dugaan, dan sanggahan telah dilakukan, kini saatnya bagi pewawancara untuk menetapkan rasionalisasi moral yang dapat diterima yang memungkinkan responden menyetujui perbuatannya secara sadar. Umumnya subyek yang tidak jujur berusaha menjelaskan alasan moral dari apa yang telah dibuatnya, ketimbang ia dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral. Namun pewawancara harus tetap memperhatikan agar tidak membuat pernyataan yang dapat membuat responden percaya bahwa ia dimaafkan secara hukum karena kooperatifnya. Jangan sekali-kali pewawancara mengungkapkan rasa terkejut, marah atau mengumpatnya dengan pengakuan atas perbuatan apapun dari subyek. i.
Perlakuan yang tidak wajar (unfair). Penjelasan yang umum mengenai perbuatan kriminal adalah subyek berusaha memperoleh harta perusahaan. Kajian menunjukkan bahwa tindakan karyawan yang tidak produktif – termasuk mencuri – disebabkan utamanya karena ketidakpuasan akan pekerjaan. Pewawancara yang peka dapat menggali informasi lebih dalam dari subyek yang telah diperlakukan oleh perusahaan sebagai korban. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika, saya rasa saya paham mengenai apa yang Ibu maksudkan. Dan saya mengerti bahwa Ibu mempunyai alasan yang kuat mengapa Ibu melakukan ini. Ibu telah bekerja keras disini untuk mendapatkan reputasi Ibu. Saya pikir mungkin perusahaan membayar Ibu tidak sesuai dengan kapasitas Ibu. Dan hal inilah yang sedang Ibu pikirkan juga, bukan begitu Bu Mandika?”. Atau ”Ibu Mandika, saya telah melihat kondisi seperti ini sebelumnya. Dan saya pikir perusahaan hanya memperhatikan kepentingannya. Jika Ibu telah diperlakukan dengan baik, hal ini tidak mungkin terjadi, bukankah begitu Bu Mandika?”
j.
Kurang adanya pengakuan Beberapa pegawai mungkin merasakan bahwa prestasi mereka tidak diperhatikan oleh perusahaan. Dengan cara bersimpati kepada subyek, pewawancara dapat mengungkapkan: ”Ibu Mandika, saya melihat beberapa hal mengenai Ibu. Nampaknya Ibu telah memberikan lebih banyak dibandingkan dengan pengakuan yang Ibu terima dari perusahaan, bukan begitu Bu Mandika?”
k. Masalah keuangan. Perbuatan kriminal intern, khususnya manajemen tingkat atas, sering dilakukan dengan menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya – perorangan atau organisasi. Berikut ini contoh bagaimana mengembangkan pertanyaan berkaitan dengan masalah keuangan sebagai motifnya. Contoh Agus adalah seorang pimpinan sebuah BUMN dan diduga melakukan kecurangan. Pewawancara: ”Pak Agus, saya telah mengetahui jumlah pendapatan yang dibayar BUMN ini kepada Bapak. Dan terus terang saya terkejut. Saya pikir seharusnya BUMN ini dapat membayar Bapak lebih besar. Tidaklah mengherankan kalau selama ini Bapak terlibat. Bapak melakukan ini semua hanyalah untuk kelangsungan hidup, bukan begitu Pak Agus?” l.
Berkorban untuk orang lain. Dalam banyak kasus, keseriusan masalah moral dapat dikurangi dengan pendekatan bahwa perbuatan yang telah dilakukan subyek adalah untuk kepentingan orang lain. Ini dapat
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 19
dilakukan jika pewawancara melihat bahwa si subyek adalah orang yang suka membantu orang lain. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika, saya paham bahwa Ibu melakukan ini bukan untuk kepentingan Ibu. Setelah saya telaah secara berhati-hati, saya berpikir Ibu melakukan ini untuk menolong suami Ibu, bukan demikian Bu?” Atau ”Pak Agus, Bapak memiliki tanggung jawab yang besar dalam BUMN ini. Banyak pegawai bergantung kepada Pak Agus atas pekerjaan mereka. Saya paham Bapak melakukan ini, karena Bapak melihatnya untuk kepentingan perusahaan, bukan begitu Pak?” Masih banyak lagi taktik bertanya yang harus dikembangkan oleh pewawancara berkaitan dengan alasan–alasan lain yang digunakan oleh subyek yaitu: menyimpang dari kebiasaan; masalah keluarga; ulah pihak lain; stress, narkoba, dan alkohol; balas dendam; benar–benar terdesak akan kebutuhan hidup yang mendasar. Kalau subyek tidak bersalah, ia tidak membuat justification atau pembenaran apapun. m. Penyimpangan tidak signifikan. Pewawancara dapat melakukan pendekatan dengan cara mengubah cara pandang subyek atas tingkat keseriusan moral dari kasusnya. Namun pewawancara harus berhati-hati agar tidak memberikan pernyataan yang menimbulkan kesan bagi subyek dapat terbebas dari tanggung jawab hukum. Misalkan: ”Ah...itu bukan masalah besar dari segi hukum. Itu hanya penyimpangan teknis”. Sebaiknya pewawancara melakukan dengan cara membandingkan: Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika, segala sesuatu relatif sifatnya. Apa yang telah Ibu lakukan, sebenarnya bukan apa-apa dibandingkan dengan masalah-masalah besar lainnya, Ibu bukan Sherny Konjongiang kan?” Atau ”Saya melihat diri saya ada pada posisi Ibu, jika saya dihadapkan pada kondisi yang sedang Ibu hadapi, mungkin saya akan melakukan hal yang sama, bukan begitu Bu?” n. Mematahkan alasan subyek. Walaupun pewawancara telah menggunakan teknik rasionalisasi dengan tepat, mungkin saja subyek tetap membantah atas perbuatannya. Jika pewawancara berhasil menghentikan bantahan subyek, umumnya pelaku penyimpangan terus mencari alasan macam-macam mengapa ia tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Strategi berikut ini dimaksudkan adalah untuk memojokkan subyek dengan menyajikan bukti fisik yang berkaitan dengannya. Alasan subyek umumnya dapat dipatahkan dengan menggunakan cara-cara di bawah ini: 1) Menyajikan bukti fisik. Sering kali orang yang bersalah menyalahartikan sejumlah bukti fisik. Bukti fisik biasanya disajikan pada saat tertentu dengan urutan kebalikan berdasarkan pentingnya. Jika subyek tidak lagi membantah, pewawancara harus menghentikan menunjukkan bukti. Contoh Reponden: ”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya tidak bertanggung jawab atas pembayaran faktur ini”. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 20
Pewawancara: ”Ini adalah salah satu dari faktur yang kami tanyakan (tunjukkan dokumen tersebut). Kami tidak pernah menerima barang yang dibayar itu (jangan menjelaskan apakah sudah atau belum dibicarakan dengan departemen akun hutang) ”. ”Mandika, sudahlah... tidak ada artinya Ibu menolak fakta ini. Kami memiliki banyak bukti. Mari kita selesaikan masalah ini, tapi Ibu harus menolong saya, OK” (jangan menuduh responden berbohong– hal ini akan membuat lebih lama wawancara). 2) Diskusi dengan saksi. Teknik lain untuk mematahkan alasan subyek adalah dengan membicarakan pernyataan saksi. Tujuannya adalah memberikan informasi yang cukup tentang pendapat orang lain tanpa harus mengungkapkan banyak hal. Idealnya pernyataan pewawancara akan menimbulkan kesan bagi subyek bahwa banyak orang mempunyai pendapat yang berbeda terhadap penjelasan yang ia ceritakan. Contoh Reponden: ”Saya tidak mungkin melakukan ini. Saya harus mendapatkan persetujuan dari pengawas saya untuk itu”. Pewawancara: ”Dalam kondisi normal memang itu diperlukan. Namun pada kenyataannya hal itu terjadi. Beberapa orang telah menceritakan kejadian ini secara berbeda-beda. Saya paham bagaimana Ibu berupaya meyakinkan saya. Tetapi Ibu hanya membuat kondisi ini semakin buruk. Jika Ibu kooperatif, maka Ibu tidak saja menolong saya tetapi juga menolong Ibu sendiri. Paham?”. 3) Diskusi ketidakjujuran subyek. Teknik akhir yaitu mendiskusikan ketidakjujuran subyek. Maksudnya adalah menanyakan logika subyek, agar tidak membuatnya malu. Teknik ini kadang–kadang dilakukan jika dokumen fisik tidak tersedia. Contoh Reponden: ”Saya tidak mungkin melakukan perbuatan itu. Mana sempat saya melakukannya”. Pewawancara: ”Ibu Mandika...inilah yang sebenarnya terjadi, Ibu sudah tahu, apa yang Ibu telah lakukan, demikian juga saya. Saya paham betul, amat sulit bagi Ibu untuk mengakui perbuatan Ibu. Namun jika semua fakta harus diungkapkan, setiap orang akan memiliki kesimpulan yang sama, Ibulah yang bertanggungjawab. Jika Ibu terus membantah apa yang telah Ibu lakukan, maka Ibu akan membuat kondisi semakin buruk. Ibu paham bukan?”.
o. Ajukan pilihan kepada subyek. Setelah alibi/alasan subyek dikacaukan/dipatahkan, umumnya subyek terdiam. Beberapa orang mungkin menangis dalam kondisi seperti ini. (Jika demikian, buat suasana nyaman. Jangan ganggu subyek pada saat ia menunjukkan emosinya). Kondisi ini membuat subyek secara sadar akan mengakui atau tidak mengakui perbuatannya. Pewawancara harus mengajukan pertanyaan pilihan kepada subyek. Pilihan pertama memungkinkan subyek mempunyai alasan moral yang dapat diterima atas perbuatannya. Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 21
Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika... apakah Ibu merencanakan hal ini secara sadar, atau terjadi begitu saja?” Atau ”Ibu Mandika... Ibu melakukan ini, apakah Ibu membutuhkan uang lebih banyak, atau karena menghadapi masalah keuangan?” Atau ”Ibu Mandika...Ibu melakukan ini karena Ibu tidak pernah merasa cukup, atau karena perlakukan perusahaan terhadap Ibu?”. p. Benchmark admission. Apapun jawaban subyek atas pertanyaan pilihan tersebut – apakah ya atau tidak – ia telah melakukan benchmark admission. Sekali benchmark admission dinyatakan, secara tidak sadar subyek telah memutuskan untuk mengakui perbuatannya. Pertanyaan dirancang dengan struktur pilihan negatif disajikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan pilihan positif. Dengan cara ini, subyek harus mengangguk atau memilih ”ya”. Pada umumnya subyek menjawab secara negatif juga. Contoh Responden: ”Saya tidak melakukannya secara sengaja” Atau ”Saya tidak melakukannya karena menginginkan uang lebih banyak” Atau ”Saya tidak melakukannya karena saya merasa tidak pernah cukup”. Jika subyek menjawab pertanyaan dengan pilihan negatif, pewawancara harus menekankan lebih jauh lagi untuk pengakuan secara positif. Contoh Pewawancara: ”Kalau begitu, hal itu terjadi seketika saja?” Atau ”Jadi Ibu lakukan itu untuk mengatasi masalah keuangan” Atau ”Jadi Ibu lakukan itu karena cara perusahaan memperlakukan Ibu?”
q. Penguatan kembali rasionalisasi. Sekali subyek menyatakan benchmark admission, pewawancara harus menguatkan kembali keputusan yang diambil oleh subyek. Kemudian pewawancara harus membuat pengalihan ke pengakuan verbal, dimana rincian perbuatan diperoleh.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 22
Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika, saya senang mendengar Ibu melakukan perbuatan tersebut disertai alasan yang tepat. Hal itu menegaskan apa yang saya pikirkan selama ini – bahwa Ibu diperhadapkan dalam kondisi yang amat rumit. Kapan peristiwa pertama terjadi?” r.
Pengakuan secara verbal. Peralihan menuju pengakuan secara verbal, dilakukan pada saat pertama kali subyek menyampaikan informasi mengenai perbuatannya. Setelah itu, tugas pewawancara adalah menggali lebih dalam mengenai rincian peristiwa – jika dimungkinkan termasuk informasi yang hanya diketahui oleh subyek. Terdapat tiga pendekatan dalam peroleh pangakuan secara verbal: runtutan peristiwa, transaksi, atau peristiwa kejadian (event). Pendekatan yang digunakan tergantung dari masing-masing kondisi kasus. Misalkan: pewawancara ingin mendapatkan informasi perkiraan nilai uang yang digelapkan, pihak lain yang terlibat, dan tempat bukti fisik terkait dengan kasus. Setelah fakta dasar ini dikonfirmasikan, pewawancara dapat mengkonfirmasikan hal-hal yang lebih khusus lagi secara berurutan. Pewawancara harus memperoleh pengakuan subyek sedini mungkin, bahwa perbuatannya adalah salah. Hal ini mengkonfirmasikan unsur penting dari motivasi (intent) subyek. Secara psikologi, kebanyakan subyek berbohong satu hal atau lebih dalam mengakui perbuatan jahatnya, walaupun secara fakta si subyek memang bersalah. Jika hal ini terjadi, pewawancara harus mengingat kejanggalan perkataan subyek tersebut dan melanjutkannya seolah-olah ketidakjujuran itu telah diterima subyek sebagai kebenaran. Kejanggalan itu harus diungkapkan hingga fakta–fakta relevan lainnya diberikan oleh subyek. Jika kejanggalan itu bersifat signifikan, maka pewawancara harus menindaklanjuti dengan pengakuan verbal atau mengoreksinya dalam pernyataan tertulis. Jika kejanggalan itu tidak signifikan, informasi tersebut dapat diabaikan secara keseluruan melalui pernyataan tertulis. Informasi berikut ini harus diperoleh selama pengakuan verbal: 1) Subyek mengetahui bahwa perbuatannya adalah salah. Motivasi (intent) adalah unsur penting berkaitan dengan perbuatan penyimpangan. Tidak saja subyek mengakui perbuatannya, tetapi juga ia mempunyai motivasi melakukannya. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...Ibu telah memutuskan untuk menolong diri Ibu sendiri, saya juga sanggup menolong Ibu. Saya ingin bertanya beberapa hal agar permasalahan menjadi lebih jelas. Setahu saya, Ibu melakukan perbuatan ini, Ibu tahu betul bahwa hal itu salah, tetapi Ibu tidak bermaksud merugikan perusahaan, bukankah begitu Bu?” Perhatikan: Pertanyaan di atas dirancang agar subyek mengakui motivasinya dalam melakukan penyimpangan, tetapi ”tidak bermaksud merugikan” pihak lain. Pastikan pertanyaan agar tidak disalahartikan oleh subyek sehingga ia merespon ”saya tidak bermaksud melakukannya”. 2) Fakta hanya diketahui oleh subyek. Seketika pertanyaan mengenai motivasi subyek dipecahkan, pertanyaan berikutnya berkaitan dengan fakta yang hanya diketahui oleh subyek. Fakta itu termasuk mengestimasi berapa kali kejadian dan jumlah uang yang terkait dengan peristiwa itu. a) Perkiraan peristiwa berulang
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 23
Dalam kasus penyimpangan, umumnya subyek berupaya merendahkan nilai uang atau jumlah kejadian terkait dengan peristiwa kejadian. Mungkin hal ini disebabkan sifat manusia yang cenderung menyembunyikan masalah yang tidak menyenangkan. Jika subyek merespon dengan ”saya tidak tahu”, pewawancara harus mengawalinya dengan angka yang tinggi kemudian secara bertahap menurunkan jumlah tersebut. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...berapa kali menurut Ibu hal itu terjadi?” Responden: ”Saya tidak tahu” Pewawancara: ”Apakah sebanyak 100 kali?” Responden: ”Mana mungkin!” Pewawancara: ”Mungkin sebanyak 75 kali?” Responden: ”Tentu tidak...mungkin tidak lebih dari dua atau tiga kali”. Pewawancara: ”Ibu Mandika yakin?” Responden: “Barangkali tiga kali, tetapi tidak mungkin lebih dari itu” b) Motivasi perbuatan jahat. Motivasi subyek mungkin sama atau berbeda dengan yang dikembangkan oleh pewawancara. Reaksi umum subyek adalah ”Saya tidak tahu”. Pewawancara harus terus menggali informasi yang lebih mendalam dari subyek. Motivasi dapat ditetapkan seperti berikut ini: Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...kami telah membahas apa yang menyebabkan Ibu melakukan ini. Tetapi saya ingin mendengarnya dari Ibu sendiri. Mengapa Ibu melakukannya?” c) Kapan perbuatan itu terjadi. Pewawancara ingin memperoleh informasi mengenai tanggal dan waktu perbuatan subyek dimulai. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika... saya yakin Ibu ingat kapan pertama kali peristiwa itu terjadi”. Reponden: ”ya” Pewawancara: ”Coba ceritakan kepada saya?” Responden: Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 24
”Sekitar pertengahan Januari tahun lalu” Pewawancara: ”Ibu Mandika…saya kagum Ibu mampu mengatakannya. Ibu telah melakukan yang benar, coba Ibu ceritakan lebih rinci mengenai peristiwa pertama”. d) Kapan perbuatan itu diakhiri. Pada kasus kecurangan, khususnya kecurangan internal, perbuatan pada umumnya terus menerus. Oleh karena itu, subyek jarang menghentikan perbuatannya sebelum hal itu terungkap. Pewawancara harus mendapatkan tanggal perbuatan itu diakhiri. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika…kapan terakhir Ibu melakukan perbuatan itu?” e) Jika ada pihak lain terlibat. Ketimbang bertanya apakah ada orang lain terlibat, pertanyaan berikut ini perlu disimak: Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...siapa lagi yang mengetahui tentang ini selain Ibu sendiri?”. Dengan bertanya siapa lagi yang mengetahui, pewawancara tidak saja menanyakan nama lain yang melakukan konspirasi, tetapi juga pihak lain yang mungkin mengetahui apa yang telah terjadi tetapi tidak melaporkannya. s. Bukti fisik. Bukti fisik – walaupun seberapa kecil kemungkinannya – harus diperoleh dari subyek. Pada banyak kejadian, pendapatan ilegal dari kecurangan langsung disimpan pada rekening bank milik subyek. Pewawancara dapat bertanya kepada subyek untuk menyerahkan catatan banknya secara sukarela untuk direviu. Disarankan pewawancara untuk mendapatkan 1) otorisasi tertulis yang terpisah atau 2) keterangan yang dinyatakan dalam pengakuan subyek yang secara suka rela memberikan informasi banknya. Yang lebih baik dilakukan adalah metode pertama. Jika ada catatan lain terkait yang dapat diperoleh hanya dengan persetujuan subyek, izin mereviu catatan tersebut harus dilakukan selama pengakuan lisan subyek. Dalam beberapa hal, disarankan untuk menunda tindakan tersebut sampai pengakuan tertulis dilaksanakan. Permintaan bukti fisik dari subyek dapat dilakukan sebagai berikut: Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...untuk melengkapi rincian informasi, saya memerlukan catatan bank (atau bukti fisik lainnya). Ibu paham bukan?” Responden: ”Tidak, saya tidak paham” Pewawancara: ”Baiklah, saya perlu mendokumentasikan fakta–fakta dan merampungkan beberapa pertanyaan yang masih tersisa. Ibu telah memutuskan untuk menceriterakan kejadian tersebut seluruhnya, termasuk peran Ibu. Saya hanya meyakinkan bahwa fakta itu tepat dan wajar menurut Ibu. Kami meyakinkan bahwa Ibu tidak dipersalahkan karena perbuatan orang lain. Saya ingin mengatakan bahwa Ibu amat kooperatif dan ingin melakukan yang benar, OK?” Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 25
(hindari penggunakan kata ”bukti” atau penyajian untuk pengadilan atau jaksa). Reponden: ”Baiklah” Pewawancara: ”Dimana Ibu menyimpan rekening bank Ibu? (jika pewawancara mengetahui sekurangnya ia memiliki leibh dari satu bank dimana untuk usahanya, pertanyaan menjadi: ”Ibu Mandika...dimana Ibu melakukan usaha selain di Bank X Jakarta?”). Responden: ”Hanya di Bank X Jakarta” Pewawancara: ”Saya memerlukan persetujuan Ibu untuk mendapatkan rekening bank tersebut, jika diperlukan. Dimana Ibu menyimpan dokumen aslinya?” (jangan tanyakan persetujuan subyek untuk melihat dokumen tersebut, namun jelaskan kepadanya bahwa dokumen tersebut diperlukan. Biarkan subyek mengungkapkan rasa keberatannya jika ia mempunyai masalah mengenai itu). 1) Penggunaan hasil kejahatan. Pewawancara juga harus mendapatkan informasi secara umum mengenai apa yang telah dilakukan oleh subyek terhadap uang haram yang diperolehnya. Seringkali uang tersebut telah digunakan untuk bersenang–senang atau berfoya–foya. Pewawancara harus menghindari memberikan komentar atau menanyakan subyek mengenai gaya hidup mewahnya. Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...uang tersebut Ibu gunakan untuk apa?” (biarkan subyek yang menjelaskan, jangan memberikan saran/jawaban kecuali ia diam saja). 2) Keberadaan harta. Pada saat yang tepat, pewawancara dapat juga menanyakan kepada subyek apakah ada harta miliknya yang dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan. Ketimbang bertanya ”Apakah masih ada harta yang tersisa?” pertanyaan harus diarahkan ”Apa yang tersisia?” Contoh Pewawancara: ”Ibu Mandika...apa yang masih Ibu sisakan dari semua ini?” Responden: “Tidak banyak. Saya menggunakan seluruh uang untuk menanggulangi masalah keuangan suami saya. Sedikit uang dan sebuah kapal yang sudah dibayar, hanya itu saja”. Pewawancara: “Baik, apapun itu, keadaan akan menjadi lebih baik jika Ibu secara sukarela mengembalikannya, Ibu setuju?” Hal-hal khusus dari kasus penyimpangan. Seketika hambatan utama teratasi, pewawancara harus kembali memfokuskan hal-hal khusus mengenai kasus penyimpangan. Umumnya dapat dimulai dari awal kesempatan dan dilanjutkan secara runtut dalam bingkai yang logis. Sebab pertanyaan dirancang untuk mencari informasi, maka pertanyaan harus terbuka sehingga jawaban subyek bersifat mandiri Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.4 - 26
dari pertanyaan. Yang terbaik adalah mendapatkan jawaban dari subyek secara mandiri terlebih dahulu sebelum menunjukkan bukti-bukti fisik kepada subyek. Jika subyek tidak dapat mengingat peristiwa itu secara independen, maka dokumen dapat digunakan pewawancara untuk menolong subyek mengingat kembali peristiwa. Dalam menentukan hal–hal khusus dari perbuatan penyimpangan subyek, pewawancara pada umumnya harus menanyakan hal-hal berikut ini: - Siapa yang mengetahui transaksi tersebut? - Apa arti dari dokumen tersebut? - Kapan transaksi tersebut terjadi? - Kemana uang yang diperoleh dari transaksi tersebut mengalir? - Mengapa perbuatan itu dilakukan? - Bagaimana perbuatan itu disembunyikan? Pada puncaknya, subyek harus memberikan pengakuan secara tertulis atau Berita Acara Pengakuan dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara tersebut. Kelemahan cara ini adalah bahwa pengakuan tertulis ini tidak menggunakan kata-kata, kalimat, atau bahasa subyek sepenuhnya. Sehingga di kemudian hari, mungkin saja subyek menyangkal pengakuan yang telah dibuatnya itu. Wawancara adalah kegiatan yang sulit dan amat jarang seseorang dapat menguasai wawancara tanpa latihan yang cukup. Dengan menguasai teknik yang ada, jika dilakukan dengan tepat, hal ini dapat menolong dalam memperoleh informasi yang diperlukan, dapat dipercaya, dan sah.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.5 - 1
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BERITA ACARA PERMINTAAN KETERANGAN (BAPK) Pada hari ini .........................tanggal ............................bulan .................... tahun ................. jam ......................sampai dengan jam ..................bertempat di........................................................... kami..........................................(nama lengkap)..........................................................................................
Pangkat/ Golongan : ............................................................. NIP : ............................................................. Jabatan : ............................................................. Berdasarkan Surat Tugas Nomor : ............................................................. tanggal.............................. telah meminta keterangan kepada: .................................................(nama lengkap).........................................................................................
Tempat/tanggal lahir Jenis kelamin Kewarganegaraan Agama Pekerjaan/Jabatan Pangkat/golongan NIP Instansi Alamat Instansi Alamat tempat tinggal
: : : : : : : : : :
.............................ia diminta keterangan dalam masalah..................................................................... ..................................................................................................................................................................... . Selanjutnya atas pertanyaan kami (Pemeriksa), ia memberikan keterangan sebagai berikut:
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.5 - 2
Catatan: 1. BAPK bukanlah sekedar suatu media komunikasi antara pemeriksa dengan pihak pemberi informasi, namun juga merupakan suatu media untuk mengkonfirmasikan temuan hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait. 2. Penyusunan pertanyaan-pertanyaan dalam BAPK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Inventarisasi hal-hal/temuan yang akan dikonfirmasikan kepada pihak terkait, b. Siapkan bukti pendukung dari temuan tersebut, c. Susun pertanyaan-pertanyaan yang redaksinya sedemikian rupa sehingga jawaban yang diperoleh diharapkan sesuai dengan tujuan konfirmasi. 3. Jangan mengajukan pertanyaan yang tidak sesuai dengan temuan yang ada (butir a dan b), atau pertanyaan lain yang dapat melemahkan substansi temuan tersebut, tanpa ada pertanyaan lain dari pemeriksa yang menangkalnya. 4. Berikut ini adalah contoh dari pertanyaan dalam BAPK. Pertanyaan BAPK dapat dikembangkan sesuai dengan masalah, situasi dan kondisi yang ada.
Pertanyaan
Jawaban
1. Apakah Suadara mengerti mengapa hari ini diminta keterangan oleh pemeriksa? 1. Jawaban: ....................................................... 2. Apakah Saudara pada hari ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani? 2. Jawaban: ....................................................... 3. Bersediakan Saudara memberikan keterangan sehubungan dengan kasus...................? 3. Jawaban: ....................................................... 4. Harap Saudara jelaskan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan dan menjadi tanggung jawab Saudara? 4. Jawaban: ....................................................... 5. Sejak kapan Saudara mulai melakukan tugas pekerjaan itu? 5. Jawaban: ....................................................... 6. Siapakah yang berwenang dan berhak memerintahkan Saudara untuk melakukan tugas pekerjaan tersebut? 6. Jawaban: ....................................................... 7. Siapa saja yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung baik atasan/bawahan dengan tugas pekerjaan tersebut? 7. Jawaban: ....................................................... 8. Bagaimana mekanisme pelaksanaan tugas pekerjaan tersebut? 8. Jawaban: ....................................................... 9. Sejak kapan Saudara melakukan perbuatan tersebut? 9. Jawaban: ....................................................... 10. Siapa yang memerintah Saudara untuk melakukan perbuatan tersebut? 10. Jawaban: .......................................................
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.5 - 3
11. Saudara sadar bahwa Saudara telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan (menerima suap, merekayasa nilai pengeluaran uang, memalsukan dokumen pendukung pengeluaran,...), bagaimana jawab Saudara? 11. Jawaban: ....................................................... 12. Jika Saudara mengerti perbuatan tersebut menyimpang, mengapa Saudara melakukannya? 12. Jawaban: ....................................................... 13. Saudara sadar bahwa perbuatan Saudara berakibat merugikan negara/orang lain/ merusak citra Saudara sebagai pegawai, bagaimana jawab Saudara? 13. Jawaban: ....................................................... 14. Apakah ada hal-hal lain yang perlu Saudara sampaikan kepada kami dalam kesempatan ini? 14. Jawaban: ....................................................... 15. Apakah jawaban Saudara di atas adalah benar dan bukan karena paksaan/ tekanan atau pengaruh dari kami peminta keterangan? 15. Jawaban: ....................................................... Demikian Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya dan permintaan keterangan ini kami akhiri. Selanjutnya Berita Acara Permintaan Keterangan ini dilihat dan dibaca sendiri oleh yang bersangkutan dan setelah mengerti isinya serta membenarkan semua keterangannya, maka ia membubuhkan tanda tangannya seperti di bawah ini dan membubuhkan parafnya pada halaman-halaman di muka Yang memberi keterangan
(nama lengkap) Berita Acara Permintaan Keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, dengan mengingat sumpah jabatan kami sekarang ini, kemudian ditutup dan ditandatangani pada hari ini dan tanggal seperti tersebut di atas. Yang meminta keterangan 1. ....................................................................................... 2. .......................................................................................
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.6 - 1
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK Pada hari ini .........................tanggal ....................... sampai dengan tanggal..............bulan .................... tahun ................. kami: Nama NIP Jabatan
: ............................................................. : ............................................................. : .............................................................
Nama NIP Jabatan
: ............................................................. : ............................................................. : .............................................................
Berdasarkan Surat Tugas Nomor : ............................................................. tanggal.............................. telah melakukan pemeriksaan fisik dengan hasil : ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... ............................................................................................................................................................... .......................................... Yang menguasai fisik barang
Nama : NIP : Jabatan
Direktorat Litbang
Pemeriksa:
1......................................... :
2.........................................
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.6 - 2
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK Pada hari ini……..sampai dengan …….atau dari tanggal ………..sampai dengan tanggal…… sesuai dengan Surat Tugas Nomor: …….tanggal… telah dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil sebagai berikut: Nama/Kode Proyek: : Departemen/Lembaga :
No
1
Pekerjaan Yang Diperiksa
Kontrak
2
No & Tgl
Ni lai
3
4
Nilai Barang Diperiksa Fisiknya
Fisik Menurut Pemerik saan
Jenis Pekerjaan Tidak Sesuai Kontrak
5
6
7
Berita Acara/Kuitansi Fiktif atau Tidak Benar No & Tgl
Fisik Diperiksa Fiktif
Nilai Fiktif
Kon trak
Reali sasi
Seli sih
8
9
10
11
12
13
Penanggung Jawab
Pemeriksa
Nama :
1..........................................
NIP
2..........................................
:
Jabatan :
Direktorat Litbang
Nilai Realisasi Tidak Sesuai Kontrak
Badan Pemeriksa Keuangan
Ket
14
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.7- 1
PENGAMANAN ALAT/ BARANG BUKTI DAN KKP 1. Alat/ barang bukti tidak disimpan oleh pemeriksa, barang bukti tersebut harus disegel/diamankan oleh penanggung jawab alat/barang bukti dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang dari entitas yang diperiksa dan pemeriksa. Untuk itu perlu dibuat berita acara pengamanan barang bukti. 2. Pihak entitas yang diperiksa atau penanggung jawab alat/ barang bukti, diminta untuk membuat “pernyataan kelengkapan alat/ barang bukti yang diperiksa” untuk meyakinkan bahwa tidak ada barang bukti lainnya yang belum diserahkan/ diperlihatkan. 3. Dokumentasi hasil pengumpulan dokumen Dokumen dikumpulkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Investigatif. Pada setiap kertas kerja pemeriksaan memuat dengan jelas tanggal, nama, paraf penyusun, dan paraf penelaah kertas kerja pemeriksaan. Selain itu, pada setiap kertas kerja pemeriksaan yang berupa berita acara yang jumlah halamannya lebih dari satu halaman, setiap lembar berita acara harus diparaf oleh pemberi penegasan dan peminta penegasan. Sesuai dengan prosedur dan teknik pemeriksaan yang digunakan, maka kertas kerja pemeriksaan dan bukti pendukung lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Susunan dan isi minimal kertas kerja pemeriksaan adalah sebagai berikut: 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16
3.17 3.18
Data umum termasuk struktur organisasi. Hasil penelaahan ketentuan perundang–undangan dan pengendalian intern pada kasus penyimpangan yang diidentifikasi merugikan keuangan negara. Fakta dan proses kejadian kasus atau modus operandi (termasuk bagan arus). Penyebab dan akibat penyimpangan. Penghitungan jumlah kerugian keuangan negara. Pihak–pihak yang diduga terlibat atas kerugian negara. Tindak lanjut yang telah dilakukan oleh pihak instansi yang diperiksa. Pemaparan tim pemeriksaan di lingkungan BPK dan dengan Aparat Penegak Hukum atas kasus. Risalah pembicaraan akhir hasil pemeriksaan antara pemeriksa dengan instansi yang diperiksa. Surat pernyataan kesanggupan untuk mengganti kerugian keuangan negara beserta jaminannya dalam kasus tuntuan ganti rugi. Berita acara penegasan dan surat pernyataan lainnya. Berita acara peminjaman barang bukti. Berita acara pengamanan barang bukti. Berita acara pemeriksaan kas/fisik. Pernyataan tentang kelengkapan barang bukti yang diperiksa. Kesepakatan dan pelaksanaan tindak lanjut dengan instansi yang diperiksa yang memuat kesepakatan tentang langkah perbaikan/pengamanan yang telah dilaksanakan dan rencana pelaksanaan tindak lanjut di masa datang. Berita acara kesepakatan antara BPK dan Instansi yang diperiksa. Apabila surat kesepakatan tidak diperoleh, maka kesepakatan dapat dituangkan dalam bentuk lain. Pihak pihak yang diduga bertanggungjawab. 3.18.1 Dalam menentukan pihak yang diduga terlibat harus dibedakan antara pihak swasta dan pejabat/pegawai negeri, ABRI dan BUMN/BUMD. 3.18.2 Pengungkapan identitas pelaku pihak swasta, antara lain: nama, pekerjaan/jabatan, dan alamat, dan data lainnya, serta peranan dan tanggung jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. 3.18.3 Pengungkapan identitas pejabat/pegawai negeri, TNI/ Polri dan BUMN/ BUMD, antara lain: nama, pekerjaan/ jabatan, NIP/NIK/NRP/ NPP, alamat dan data lainnya, serta peranan dan tanggung jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.7- 2
Di dalam laporan pemeriksaan uraian mengenai pihak yang diduga terlibat hanya mencantumkan kuantitas dan kode pelaku serta peran keterlibatannya. Penjelasan lebih rinci mengenai pejabat yang diduga terlibat disajikan dalam bentuk lampiran tersendiri. Lampiran tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pengantar masalah. 3.19 Berita acara penegasan. Keterangan yang akan digunakan untuk mendukung temuan, dituangkan dalam berita acara penegasan dan dibuat sebelum pelaksanaan pemaparan intern. Berita acara harus mencakup materi temuan pemeriksaan secara jelas, sehingga tergambar perbuatan yang bersangkutan, dan memudahkan pejabat yang berwenang menindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Perlu diperhatikan, bahwa berita acara ini bukan hanya merupakan media komunikasi antara pemeriksa dan instansi yang diperiksa serta pihak lain yang dipandang perlu untuk memberikan informasi, melainkan juga sebagai media untuk mengkonfirmasikan materi temuan tersebut kepada pihak yang terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam menyusun pertanyaan untuk berita acara harus memperhatikan hal–hal berikut ini: 3.19.1 3.19.2 3.19.3
Inventarisasi temuan yang perlu dikonfirmasikan kepada pihak terkait. Inventarisasi dan penegasan bukti dari temuan di atas. Atas inventarisasi dan penegasan bukti dari temuan di atas, disusun pertanyaan yang mengarah untuk memperoleh jawaban dalam rangka penegasan materi temuan.
Pemeriksa agar tidak mengajukan pertanyaan yang tidak mengacu pada temuan dan bukti tersebut di atas dan atau pertanyaan lain yang jawabannya melemahkan substansi temuan tanpa dapat direspon dengan pertanyaan lain dari pemeriksa. Oleh karena itu, berita acara penegasan hanya memuat pertanyaan–pertanyaan untuk tujuan konfirmasi yang secara formal harus dimuat dalam berita acara. Pertanyaan tersebut disusun dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan sesuai materi temuan yang akan diungkapkan dalam laporan pemeriksaan.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.8-1
MATRIKS UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI 1. Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
No.
Indikasi unsur tindak pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan
Unsur Tindak Pidana
1
Setiap Orang
2
Secara melawan hukum
3
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Alat Bukti
Indeks KKP
Kesimpulan : 1. 2. 2. Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
No.
Indikasi unsur tindak pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan
Unsur Tindak Pidana
1
Setiap Orang
2
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
3
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana.
4
Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
5
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Kesimpulan : 1. 2.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Alat Bukti
Indeks KKP
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran V.8-2
Contoh: PASAL 2 UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999
No.
Unsur Tindak Pidana
Indikasi unsur tindak pidana yang ditemukan dalam pemeriksaan
Indeks KKP
Alat Bukti
1
Setiap Orang
Bupati Kibul, selaku pihak KTP/SIM/SK yang membuat otorisasi untuk pengangkatan Kibul pengeluaran kas bon sebagai Bupati sekaligus pihak penerima kas bon
2
Secara melawan hukum
Dalam pertanggungjawaban dana terdapat penyimpangan sekurang-kurangnya Rp5M yaitu berupa: SPJ fiktif Rp3M; tranfer ke rekening pribadi Rp2M
Bukti permintaan dan pengeluaran kas bon dari BUD kepada Bupati
Bukti penggunaan kas bon (kuitansi pen. oleh Bupati) Bukti pertggjwban penggunaan kas bon 3
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Kronologis permintaan pembayaran kas bon dan pemberian persetujuan oleh bupati untuk pembayaran kepada bupati
Dok pertggjwban kas bon yang tidak di anggarkan dalam APBD Perda APBD DASK
4
Dapat merugikan keuangan Merugikan keuangan daerah Berkurangnya negara atau perekonomian sekurang-kurang nya Rp5M kas daerah negara
dan saldo
Kesimpulan : 1. 2. 3. Catatan: Matriks Tindak Pidana Korupsi, merupakan Kertas Kerja Pemeriksaan Investigatif, bukan merupakan lampiran dari Laporan Pemeriksaan Investigatif.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran VI.1
FORMULIR PENGORGANISASIAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN INVESTIGATIF No
No & Tgl Laporan
Jumlah Halaman Laporan
Distribusi Laporan
No & Tgl Surat Pengantar
Tindak Lanjut
Penjelasan
1
2
3
4
5
6
7
1
Pengembangan temuan pemeriksaan keuangan/ pemeriksaan kinerja/PDTT 1) 2) Sub total 1
2
Tindak Lanjut Surat Pengaduan 1) 2) Sub total 2
3
Permintaan dari Instansi yg berwenang: 1) 2) Sub total 3
4
Penugasan Gabungan Total
Penjelasan: Penanggung jawab pemeriksaan mengorganisasikan laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkannya, berdasarkan kelompok informasi awal sebagai dasar melakukan pemeriksaan investigatif, dengan menggunakan formulir pengorganisasian laporan pemeriksaan investigatif. 1. Kolom 1: Nomor Urut. Diisi nomor urut sesuai dengan urutan laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan 2. Kolom 2: Nomor dan Tanggal Laporan. Diisi dengan nomor dan tanggal laporan yang diterbitkan. 3. Kolom 3: Jumlah Halaman Laporan. Diisi dengan jumlah halaman laporan yang diterbitkan. 4. Kolom 4: Distribusi Laporan. Diisi dengan informasi instansi/pejabat yang memperoleh distribusi laporan 5. Kolom 5: Nomor dan Tanggal Surat Pengantar. Diisi dengan nomor dan tanggal Surat Pengantar yang diterbitkan. 6. Kolom 6: Tindak Lanjut. diisi dengan informasi mengenai tindak lanjut laporan yang telah diserahkan kepada intansi yang berwenang melakukan tindak lanjut. 7. Kolom 7: Penjelasan. Diisi dengan informasi penting lainnya berkaitan dengan laporan pemeriksaan investigatif.
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran VI.2
MATRIK KOMUNIKASI KEGIATAN PEMBUATAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN INVESTIGATIF NO
KEGIATAN
K. TIM
DALNIS
P. JAWAB
1
Ketua Tim menyampaikan draf I laporan
2
Dalnis mulai mereviu draf I laporan
Tgl. ___
3
Dalnis selesai mereviu draf I laporan
Tgl. ___
4
Ketua Tim mulai memperbaiki draf I laporan
Tgl. ____
5
Ketua Tim menyampaikan draf II laporan
Tgl. ____
6
Dalnis mulai mereviu draf II laporan
Tgl. ___
7
Dalnis selesai mereviu draf II laporan
Tgl. ___
8
Ketua Tim mulai memperbaiki draf II laporan
Tgl. ____
9
Ketua Tim menyampaikan draf III laporan
Tgl. ____
10
Dalnis menyampaikan draf akhir laporan
11
P. Jawab mulai mereviu draf akhir laporan
Tgl. ___
12
P. Jawab selesai mereviu draf akhir laporan
Tgl. ___
13
Ketua Tim mulai meperbaiki draf akhir laporan
14
Ketua Tim menyampaikan laporan kepada Dalnis
Tgl. ____
Tgl. ___
Tgl. ____
Tgl. ____
15
Dalnis menerima laporan
Tgl. ___
16
Dalnis menyerahkan laporan kepada P. Jawab
Tgl. ___
17
P. Jawab menerima laporan
Tgl. ___
18
P. Jawab menandatangani laporan
Tgl. ___
19
P. Jawab menyampaikan laporan kepada Ketua BPK
20
Ketua BPK menerima laporan
21
Ketua BPK menanda tangani Surat Pengantar Laporan
Direktorat Litbang
KETUA
Tgl. ___ Tgl. ___
Badan Pemeriksa Keuangan
Tgl. ___
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran VII.1 - .1
MEKANISME PERMINTAAN PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA 1. Permintaan Penghitungan Kerugian Negara Ke Ketua
Permintaan Penghitungan Kerugian Negara ke Ketua Instansi yg Berwenang
Ketua BPK
Permintaan penghitungan
Permintaan penghitungan
TPPI
Menugaskan menelahaan
Permintaan pemaparan
Permintaan penghitungan
Permintaan penghitungan
Permintaan Pemaparan
Menugaskan menelahaan
Pemaparan
Hasil Paparan
Hasil Paparan
Penelahaan
Bukti tambahan
Tortama
Cukup Jelas & yakin. Tmsk unsur pidana?
Ditama Binbangkum
Lain-lain
Menghadiri Pemaparan
Ya
Tidak
HT: tidak dilakukan PI
Tidak
Belum/ Cukup Bukti? Ya
Permintaan Bukti tamb Permintaan Bukti tmbhn
Permintaan Bukti tmbhn
Penelahaan Ada kerug? Tidak
Kerug Neg? Ya
HT:dilakukan PI
Hasil Telahaan
Menugaskan
Disposisi
Tim Disposisi
Tim
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Lampiran VII.1 - .2
2. Permintaan Penghitungan Kerugian Negara Ke Kepala Perwakilan
Permintaan Penghitungan Kerugian Negara ke BPK Perwakilan Instansi yg Berwenang
Kalan
Tortama
TPPI
Permintaan penghitungan
Permintaan penghitungan
Permintaan penghitungan
Permintaan penghitungan
Melaporkan
Menugaskan menelahaan
Permintaan pemaparan
Ditama Binbangkum
Permintaan Pemaparan
Ketua BPK
Lain-lain
Menghadiri Pemaparan
Pemaparan Hasil Paparan
Hasil Paparan
Penelahaan
Cukup Jelas & yakin. Tmsk unsur pidana?
Bukti tambahan
Ya
Tidak
Belum/ Cukup Bukti?
Tidak
HT: tidak dilakukan PI
Ya
Permintaan Bukti tamb
Permintaan Bukti tmbhn
Permintaan Bukti tmbhn
Penelahaan Ada kerug? Tidak
Kerug Neg? Ya
Hasil Telahaan
HT:dilakukan PI
Menugaskan
Disposisi
Tim
Disposisi
Tim
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETUA, ttd
Anwar Nasution
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
TIM PENYUSUN JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF TAHUN 2008
Pengarah
:
Udju Djuhaeri
Nara Sumber
:
1. Hendar Ristriawan 2. Gatot Supiartono
Penanggung Jawab
:
Daeng M. Nazier
Ketua
:
Gudono
Wakil Ketua
:
Astilda Sinabutar
Sekretaris
:
Tiwi Pawitasari
Anggota
:
1. Iman Santoso 2. Alwiyen Edison Situmorang 3. Lukman Hakim 4. Sumarsana 5. Silpana Suryani 6. Dwiyana Novisanti 7. Intan Rahayu Widhiastuti 8. Catharina Sri Kariningsih 9. Cahyo Anggoro 10.Latifah Dewi Tutiana 11.Aurora Magdalena
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan
Tim
Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah
Tim
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Telp.
: 021-5704395 Ext.327
Badan Pemeriksa Keuangan
Fax.
: 021-5705376
Gd. Arsip Lantai II
e-mail :
[email protected]
Jl. Gatot Subroto No. 31 Jakarta Pusat 10210
Direktorat Litbang
Badan Pemeriksa Keuangan