penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap I dan II.
2. Perhitungan Dana Bagi Hasil BPHTB a. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). NPOP
dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud
dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga rata-
rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
b. Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan
pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan hak karena putusan hakim, dan pemberian hak baru.
c. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP adalah NJOP dikurang dengan NPOPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
BPHTB terutang = NPOPKP x tarif
= (NPOP -NPOPTKP) x Tarif
= (NPOP -Rp. 30.000.000,00) x 5 %
d. Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJOP PBB, maka cara perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:
BPHTB terutang
= (NJOP PBB -Rp. 30.000.000,00) x 5%.
e. Besarnya NPOPTKP tersebut dapat diubah dengan peraturan pemerintah,
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.
III-58
Transfer ke Daerah
3.2.1.4. DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) DBH CHT merupakan amanat Pasal 66A Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 yang bersumber dari penerimaan cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang
dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). Dalam pengelolaan dan penggunaannya, gubernur menetapkan pembagian dana bagi
hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Pembagian
DBH CHT dilakukan dengan persetujuan menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.
Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk
menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing daerah. Adapun penggunaan DBH CHT diarahkan
untuk mendanai kegiatan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tersebut juga mengamanatkan penggunaan DBH CHT kedalam 5 (lima) kelompok kegiatan utama,
yaitu (1) Peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, (2) Pembinaan industri hasil tembakau, (3) Pembinaan lingkungan sosial, (4) Sosialisasi ketentuan di bidang
cukai, dan (5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal. Untuk menjabarkan lima kegiatan utama menjadi rincian kegiatan, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No 84/PMK.07/2008 sebagai berikut:
1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang meliputi: a) Standardisasi kualitas bahan baku;
b) Pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;
c) Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian;
d) Penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau
e) Penguatan kelembagaan kelompok petani bahan baku untuk industri hasil tembakau.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-59
2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi:
a) Pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/ peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;
(i)
Jumlah mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau di setiap pabrik atau tempat lainnya;
(ii) Identitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (merek, tipe, kapasitas, asal negara pembuat);
(iii) Identitas kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau; dan
(iv) Perpindahan kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau.
b) Penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI); c) Pembentukan kawasan industri hasil tembakau;
d) Pemetaan industri hasil tembakau berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah, meliputi :
(i)
Nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), dan nomor izin usaha industri;
(ii) Lokasi/alamat pabrik (jalan/desa, kota/kabupaten, dan provinsi); (iii) Realisasi produksi;
(iv) Jumlah tenaga kerja linting/ giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga kerja lainnya;
(v) Realisasi pembayaran cukai; (vi) Wilayah pemasaran;
(vii) Jumlah, merek, tipe, dan kapasitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau;
(viii) Jumlah alat linting; dan
e) Asal daerah bahan baku (tembakau dan cengkih). III-60
Transfer ke Daerah
f) Kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan usaha besar dalam pengadaan bahan baku;
g) Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; dan/atau
h) Pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah melalui penerapan Good Manufacturing Practices (GMP).
3) Pembinaan lingkungan sosial, meliputi :
a) Pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di lingkungan
industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau;
b) Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL);
c) Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum; dan/ atau
d) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok.
4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai merupakan kegiatan menyampaikan ketentuan di bidang cukai kepada masyarakat
yang bertujuan agar masyarakat mengetahui, memahami, dan mematuhi ketentuan
di bidang cukai yang dilaksanakan dalam periode tertentu dan/atau secara insidentil.
5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi:
a) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu di peredaran atau tempat penjualan eceran;
b) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran; dan
c) Pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-61
d) Apabila dalam pelaksanaan kegiatan
pengumpulan informasi ditemukan
indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu, hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol dan minuman mengandung etil
alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran, gubernur/
bupati/walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Setelah mengevaluasi pelaksanaan ketentuan penggunaan DBH CHT tahun 2008 khususnya mengenai penggunaan DBH CHT, dan dengan mempertimbangkan usulan
dari daerah, serta dalam rangka membantu program pengentasan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran maka ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.07/2008 khususnya Pasal 1, Pasal; 3, Pasal 6 , Pasal 7, dan Pasal 9 disempurnakan melalui penetapan PMK Nomor 20/PMK.07/2009. Dalam PMK ini ditetapkan pemambahan 2(dua) butir kegiatan yang cukup memperluas penggunaan DBH CHT yaitu:
Butir e : Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasul tembakau, dan/atau
Butir f : Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau
dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi.
Keberhasilan pemanfaat DBH CHT sebagaimana diatur dalam PMK No 84/
PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para gubernur/bupati/walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan
DBH CHT sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Penjabaran tersebut seyogyanya dituangkan dalam peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota yang masing-
masing kegiatan dilengkapi dengan kerangka acuan (Term of Reference/TOR) yang komprehensif. TOR tersebut sebaiknya meliputi Substansi 7W & 2H sebagai berikut: III-62
Transfer ke Daerah
1. What – kegiatan apa : Nama kegiatan yang akan didanai dari DBH CHT;
2. Which – kegiatan yang mana : Penjelasan kaitannya dengan salah satu kegiatan yang mana dari PMK No 84/PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009
3. Why – mengapa perlu kegiatan tersebut : Penjelasan alasan perlunya, maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut bagaimana cara melaksanakannya, dilengkapi dengan
data dan gambaran kasus-kasus yang telah terjadi sehingga mendorong perlunya solusi melalui kegiatan tersebut;
4. Who – siapa yang melaksanakan : penjelasan mengenai pelaksanan kegiatan antara lain SKPD, unit dibawah SKPD yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
5. Whom – siapa penerima manfaat : penjelasan mengenai masyarakat yang akan menerima manfaat dari keluaran
6. Where – lokasi kegiatan : Penjelasan mengenai dimana kegiatan dilaksanakan dan dimana keluaran (output) kegiatan akan berada.
7. When – waktu kegiatan : penjelasan mengenai waktu mulai dan waktu selesai pelaksanaan kegiatan (lamanya), dengan tabel penjadualan pelaksanaan kegiatan rinci dan jelas.
8. How – bagaimana cara melaksanakannya : Penjelasan mengenai cara-cara mencapai keluaran, misalnya melaui proses pengadaan, melalui pengerahan tenaga kerja (padat karya), melalui koperasi dan sebagainya;
9. How much –berapa harga kegiatan : Penjelasan mengenai sumber dana dan besaran dana yang diperlukan, pengembangan dari butir how much ini adalah Rincian Anggaran Biaya (RAB).
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-63
3.2.2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DBH SDA adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DBH Sumber Daya Alam berasal dari penerimaan: a. Pertambangan Minyak Bumi; b. Pertambangan Gas Bumi; c. Pertambangan Umum;
d. Pertambangan Panas Bumi; e. Kehutanan; dan f. Perikanan.
Persentase alokasi DBH Sumber Daya Alam ditunjukkan dalam skema berikut:
III-64
Transfer ke Daerah
Gambar 3.1
Skema Bagi Hasil SDA
Sumber: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH Sumber Daya Alam oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu: • •
Dana Reboisasi (sebelumnya DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR) SDA Panas Bumi.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-65
2) Adanya penegasan mekanisme, yakni: •
Penetapan alokasi dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan berdasarkan
•
Jadwal penetapan.
•
daerah penghasil, dan dasar perhitungan.
Penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan.
3) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan pertambangan minyak bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. • •
Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%.
4) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan gas bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan. • •
Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%.
5) Tambahan DBH dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah
sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan perincian: – Untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%. – Untuk kabupaten/kota penghasil 0,2%; dan
– Untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 0,2%. III-66
Transfer ke Daerah
6) Realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi
130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui mekanisme formula DAU.
3.2.2.1. DBH SDA Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (DBH SDA MIGAS) 1. Pola Pembagian Dana Bagi Hasil Migas Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud diperlukan kegiatankegiatan yang meliputi penyusunan rencana (perkiraan) dan realisasi di bidang Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Migas dari hasil kegiatan KKKS.
Terkait dengan perhitungan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selanjutnya menghitung perkiraan alokasi maupun
realisasi DBH SDA Migas sebagai dasar penyaluran DBH SDA Migas per provinsi/ kabupaten/kota.
Porsi pembagian DBH SDA Migas menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
yang ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan adalah sebagai berikut :
a. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut : •
3,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
•
6,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
•
6,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan bersangkutan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-67
b. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan minyak bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut : • •
5,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
10,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Gambar 3.2
Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi
c. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan Gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut : •
6,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
•
12,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
•
III-68
12,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan bersangkutan.
Transfer ke Daerah
d. DBH SDA Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan Gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut : • •
10,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
20,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Gambar 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA Gas Bumi
e. Pengecualian untuk Daerah Otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah
otonomi khusus tersebut mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut : • •
Bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan Bagian dari pertambangan Gas Bumi sebesar 40%.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-69
2. Penyusunan Perkiraan DBH SDA Migas a. Mekanisme Penyusunan Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen Perimbangan Keuangan selanjutnya akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil SDA Migas. Data-data yang
digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan mekanisme perhitungannya sebagai berikut : 1) Data
a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas per KKKS.
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan
daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang
disampaikan Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil
per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per daerah penghasil;
b) Data lifting per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di persentase-kan dengan total lifting per KKKS sehingga didapat rasio lifting per KKKS per daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi lifting yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu;
c) Rasio lifting per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan III-70
PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran Transfer ke Daerah
tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil;
d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;
e) PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;
f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan.
b. Penetapan
Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:
1) Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) melalui penetapan asumsi makro APBN antara Pemerintah dengan DPR;
2) Berdasarkan asumsi tersebut Menteri ESDM menetapkan daerah penghasil dan
dasar perhitungan DBH SDA Migas. Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan.
Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau
berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah
penghasil berdasarkan pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah
diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting per daerah penghasil SDA Migas oleh Menteri ESDM.
3) Bersamaan dengan proses tersebut, BP Migas melakukan perhitungan perkiraan
Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah per KKKS;
4) Berdasarkan ketetapan Menteri ESDM tersebut, Dirjen Anggaran melakukan
perhitungan perkiraan faktor-faktor pengurang (Domestic Market Obligation/ Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-71
DMO, Fee Usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, PDRD). Hasil
perhitungan PNBP SDA Migas per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan;
5) Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA
Migas yang kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas paling
lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran.
Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut: Gambar3.4
Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas
3. Penyusunan Realisasi DBH SDA Migas a. Mekanisme Penghitungan
Proses penghitungan realisasi DBH SDA Migas berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: III-72
Transfer ke Daerah
1. Penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan;
2. Dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan;
3. Mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah
data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue, sedangkan pada
mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas yang digunakan
adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi Gross Revenue sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan dianggap lebih mendekati dibanding jika menggunakan realisasi lifting;
4. Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, realisasi s.d. triwulan III dan realisasi s.d. triwulan IV.
Data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dan mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas adalah sebagai berikut : 1) Data
a) Realisasi lifting per daerah penghasil per KKKS berdasarkan berita acara rekonsiliasi lifting yang disampaikan oleh Ditjen Migas;
b) Perkiraan Realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan oleh Ditjen Anggaran.
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data
Realisasi Gross Revenue yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data
perkiraan realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Gross Revenue yang tersusun per daerah penghasil per KKKS pada data Ditjen
migas dielaborasi dengan data Gross Revenue per KKKS dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil; Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-73
b) Data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di persentase-kan dengan total Gross Revenue per KKKS sehingga didapat rasio
Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil. Rasio Gross Revenue dimaksud untuk mengetahui porsi Gross Revenue yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu;
c) Rasio Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil;
d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;
e) Dihitung porsi DBH-nya dari PNBP per daerah penghasil untuk bagian pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;
f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat realisasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya disalurkan ke tiap-tiap daerah;
g) Sebelum disalurkan, realisasi DBH SDA Migas dikurangi terlebih dahulu dengan kelebihan salur tahun sebelumnya dan total DBH SDA Migas yang telah disalurkan pada triwulan sebelumnya pada tahun anggaran berjalan.
III-74
Transfer ke Daerah
Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: Gambar 3.5
Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas
b. Penyaluran
Setelah diketahui hasil perhitungan DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke masingmasing provinsi/kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara pemerintah pusat (yang diwakili oleh BP Migas, Kemendagri, Ditjen Migas, Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan daerah penghasil.
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa perhitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah penghasil.
Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi dasar penyaluran DBH SDA Migas ke rekening umum kas provinsi/kabupaten/kota penerima DBH SDA Migas.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-75
Proses penyaluran DBH SDA Migas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Di awal tahun:
a) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan perkiraan Alokasi DBH SDA Migas,
Dirjen Perimbangan Keuangan mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharaan;
b) Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.
2) Setiap triwulan penyaluran:
a) Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana PerimbanganDitjen
Perimbangan
Perbendaharaan;
Keuangan
mengajukan
SPM
Migas
ke
Ditjen
b) Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN-Ditjen Perbendaharaan menerbitkan SP2D;
c) Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari Rekening Kas Negara ke Rekening Kas pemda provinsi/kabupaten/kota.
Format Penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan dengan kebijakan Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari tahun 2008 dilakukan secara triwulan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan
sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. DBH SDA Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan triwulan II pada bulan Juni;
b. Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas
Desember s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas triwulan III disalurkan pada bulan September;
III-76
Transfer ke Daerah
c. Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas
Desember s.d. Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA Migas triwulan IV disalurkan pada bulan Desember;
d. Penyaluran DBH Migas rampung (Triwulan V) memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya;
e. Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni pemerintah kurang bayar, maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P tahun berikutnya;
f. Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar harga Minyak dan Gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.
Adapun diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: Gambar 3.6
Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-77
Gambar 3.7
Penyaluran DBH SDA Migas
4. Mekanisme Counter Balance dana Penyaluran DBH Migas 4.1. Prinsip DBH
Prinsip DBH secara umum meliputi : (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah
persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun – dalam hal migas
perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs
Rp thd US$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam satu tahun – dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun berikutnya (tetap 12 bulan).
III-78
Transfer ke Daerah
4.2. Waktu Perhitungan realisasi PNBP/DBH Migas.
Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP
dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun
kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi
PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal
ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya.
4.3. Kebijakan Pengalihan Sisa Anggaran ke Rekening Cadangan
Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus,
idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi
migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila tidak direalisasikan. Oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan
sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara).
Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas
daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit
penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-79
2008 s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).
Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan. 4.4. Kebijakan Mekanisme Counter Balance
Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan
Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember
menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan
biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance) Gambar 3.8
Counter Balance dalam Management Cashflow DBH MIgas
III-80
Transfer ke Daerah
4.5. Pola Baru penyaluran DBH SDA
Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah
dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian,
kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran
DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah,
disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan
realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September
berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus.
Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV
disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan Agustus.
Selanjunta realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan
hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah
agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret. 4.5. Kebijakan Triwulan V
Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan
secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah sebagai berikut:
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-81
Tabel 3.2
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
Waktu (Triwulan)
Besaran Penyaluran
Waktu Penyaluran
Tidak mempertimbangkan realisasi
20% dari perkiraan alokasi
Juni
Desember s/d Agustus
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw III
Periode realisasi
I
Tidak mempertimbangkan realisasi
III
Desember s/d Mei
II
IV V
Desember s/d November
Sumber : Kementerian Keuangan
20% dari perkiraan alokasi
Maret
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I dan Tw II
September
Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw IV
Februari
Desember
Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan
penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan
penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun
anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk
ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas. 5. Pemantauan dan Evaluasi
Pada dasarnya DBH SDA Migas sebagaimana DBH SDA lainnya bersifat Block Grant
yang kewenangan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemda penerima, kecuali untuk dana Tambahan Anggaran Pendidikan Dasar sebesar 0,5 persen dari
III-82
Transfer ke Daerah
porsi DBH SDA Migas harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan diatur lebih lanjut dalam PMK.
Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana tambahan ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya.
Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional
untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran
berikutnya, yaitu daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa pemotongan penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya. 3.2.2.2. DBH SDA Pertambangan Umum
Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran
eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Kedua Iuran tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen ESDM.
Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US $ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak).
Untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada kuasa pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/
eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap semester.
Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-83
galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas
hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau
satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan
batubara ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti
bersifat advalorem (dalam persentasi) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi.
Tatacara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai berikut:
Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti
untuk batubara sudah termasuk dalam bagian pemerintah dari Dana Hasil Produksi
Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana
hasil produksi batubara/DHPB). Bagian pemerintah sebesar 13,5 persen tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% DHPB.
Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima
Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Tatacara penghitungan Iuran Tetap (landrent/deadrent) sebagai berikut:
III-84
Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)
Transfer ke Daerah
Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan Umum sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent
adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan dan 64 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil (lihat gambar 3.9). Untuk bagian daerah dari royalti adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan, 32 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32 persen untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan. Gambar 3.9
Perhitungan DBH SDA Pertambangan Umum
Tabel 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan Umum
JENIS DBH
PERTAMBANGAN UMUM
% UNTUK DAERAH
PORSI
PROV
A.
LAND RENT PENGHASIL
KAB/KOTA
80%
16%
C.
ROYALTI PENGHASIL
KAB/KOTA
80%
16%
B.
D.
LAND RENT PENGHASIL ROYALTI PENGHASIL
PROVINSI PROVINSI
80% 80%
80% 26%
KAB/KOTA
PENGHASIL
KAB/KOTA
LAIN DALAM
64% -
32% -
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
PROV -
32% 54% III-85
3.2.2.3. DBH SDA Kehutanan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
(IIUPH), (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti; dan (3) Dana Reboisasi.
Definisi masing-masing penerimaan adalah berikut :
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang dikenakan
kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.
b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara, dan
c. Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan
d. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan). Tarif IIUPH terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas HPH (hektar).
Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun).
Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah
tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan
(2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan
Kayu (IPK) (lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran produksi ke industri terkait
dengan HPH, pembayaran dilakukan oleh pihak industri penerima. Untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak terkait dengan pemegang HPH, pembayaran III-86
Transfer ke Daerah
dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap
bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana
Reboisasi didasarkan dari Laporan Hasil Penebangan (LHP). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assesment yaitu perusahaan pemegang HPH
mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang sebelumnya disebut SAKO. Pengesahan LHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10 persen dari area produksi
oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen LHP. Jika terjadi penyimpangan volume <5%, LHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian jenis tanaman.
Gambar 3.10
Perhitungan DBH SDA Kehutanan
Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari
kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH
Dana Reboisasi (DBH-DR) serta Penetapan DBH PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-87
Negeri (WPOPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/kota yang sebelumnya
ditetapkan oleh Gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam
perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan.
Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Tarif
Dana Reboisasi merupakan tarif satuan US $ per m3, dimana besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan.
Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan
dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Usaha Pemanfaatan Hutan (UPH) dengan perhitungan sebagai berikut:
– Perkiraan penerimaan IHPH/IIUPH, baik hutan alam maupun tanaman yang
dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/UPH dikalikan tarif IHPH yang berlaku
– Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku
– Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH 3.2.2.4. DBH SDA Perikanan
DBH Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia
yang memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas
kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha III-88
Transfer ke Daerah
perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan,
yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh.
Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/
Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (US $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan
ikan (Dead Weight Ton -DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong
kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor
perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan. Perhitungan DBH SDA Perikanan
a. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Objek yang penting dalam penghitungan PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan.
Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah: PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)
Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah:
1. Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan. 2. Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Tabel 3.4
No. 1 2
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) Ukuran Kapal
Tarif
<50 DWT
US $ 500
50-100 DWT
US $ 1000
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977 Catatan: Untuk setiap kelebihan di atas 100 DWT dengan pembulatan perhitungan sampai dengan 50 DWT dikenakan tambahan US $ 250. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-89
b. Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
Objek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor Perikanan yang diekspor, dengan rumus sebagai berikut:
PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%)
atau yang diperlukan adalah:
1. Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan. 2. Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan.
Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor. Tabel 3.5
No. 1 2 3
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
Golongan Jenis Udang
Ikan Tuna, Cakalang.
Lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977
Gambar 3.11
Mekanisme Penetapan Alokasi DBH SDA
III-90
Transfer ke Daerah
Tarif (%) 2
1.5 1
3.2.3. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam PP 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut:
a. Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.
b. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada
pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat
60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis.
c. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.
d. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.
e. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing
daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari menteri teknis.
f. Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk
masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya.
3.3. DANA ALOKASI UMUM
3.3.1. Penyusunan Formula dan Perhitungan DAU JDalam UU No.34/20004 porsi DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU adalah bagian 10 persen untuk provinsi dan bagian 90 persen untuk kabupaten/kota. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-91
Gambar 3.12
Kebijakan Jumlah Alokasi DAU Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004
Pengaturan terakhir pemerintah mengenai jumlah alokasi DAU ini secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa alokasi DAU sekurang-kurangnya
26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi tersebut
belum dapat dihitung secara kuantitatif, maka imbangan alokasi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota mengikuti aturan yang lalu, yaitu 10% untuk Provinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. III-92
Transfer ke Daerah
3.3.1.2. Formula DAU dalam Kerangka Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
DAU = AD + CF Dimana:
DAU = Dana Alokasi Umum AD
= Alokasi Dasar
CF
= Celah Fiskal
CF
= KbF – KpF (celah fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan
Dimana
kapasitas fiskal).
3.3.1.3. Variabel DAU 1. Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji PNSD.
2. Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah darat dan perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004)
3. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil SDA.
4. Secara Sistematika Penyusunan Formula DAU dapat digambarkan dalam Gambar 3.13 berikut ini :
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-93
Gambar 3. 13
Formula Umum Dana Alokasi Umum Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut:
KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5IPDRB/kap) Dimana:
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD IP
= Indeks Jumlah Penduduk
IPM
= Indeks Pembangunan Manusia
IW IKK III-94
= Indeks Luas Wilayah
= Indeks Kemahalan Konstruksi
Transfer ke Daerah
IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variable α1 + α2 + α3 + α4 + α5 = 100%
Sementara itu, terkait dengan daerah pemekaran baru, perhitungan alokasi DAU untuk daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.14. Gambar 3.14
Pembagian DAU bagi Daerah Pemekaran
Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, kebijakan dalam pengalokasian DAU tahun 2010 adalah sebagai berikut:
a. DAU ditetapkan 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi per daerah sesuai dengan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, dan ditetapkan dengan peraturan presiden.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-95
b. Pengalokasian DAU kepada masing-masing daerah menggunakan formula DAU,
yaitu DAU dihitung berdasarkan formula atas dasar celah fiskal (CF) dan alokasi dasar (AD). CF suatu daerah merupakan selisih kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan jumlah gaji PNSD.
c. Alokasi dasar mengakomodir kebijakan kenaikan gaji pokok PNS sebesar 5 persen, mempertimbangkan formasi PNS dan gaji ke-13.
d. Variabel kebutuhan fiskal daerah meliputi (i) jumlah penduduk, (ii) luas wilayah,
(iii) indeks kemahalan konstruksi, (iv) produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, dan (v) indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan variabel kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Pada tahun 2010, DAU ditetapkan sebesar Rp203.485,2 miliar, yang terdiri dari: a. DAU Murni Rp192.490,3 miliar; dan
b. DAU Tambahan untuk Tunjangan Profesi Guru Rp10.994,9 miliar.
Untuk mendapatkan alokasi DAU yang ditujukan dalam rangka pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant) digunakan indikator koefisien variasi dan indeks Williamson yang dapat menggambarkan tingkat pemerataan yang paling optimal, serta jumlah daerah yang mengalami penurunan DAU paling sedikit. Alokasi DAU tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini: Tabel 3. 6
No.
1
III-96
Alokasi DAU 2009 dan 2010
Tahun
2009
Transfer ke Daerah
DAU (miliar Rupiah)
Jumlah Daerah
186.414,10
33 Provinsi
Perpres Nomor 74 Tahun 2008
477 Kab/Kota
No.
Tahun
DAU (miliar Rupiah) DAU Murni 192.490,3
2
2010
Perpres Nomor 53 Tahun 2009 Tambahan DAU untuk tunjangan profesi Guru 10.994,9
PMK Nomor 223 Tahun 2009
Jumlah Daerah 31 Provinsi
469 kab/kota 33 provinsi 477Kab/Kota
3.3.2. DAU Daerah Pemekaran
Sejak dimulainya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah memberikan warna baru dengan adanya pemekaran daerah baik di tingkat provinsi serta terutama di tingkat kabupaten/kota. Pemekaran daerah memberi
dampak terhadap jumlah DAU yang diterima oleh daerah pemekaran. Pembagian DAU pada daerah yang mengalami pemekaran dialokasikan pada daerah induk sebelum pemekaran, dan dibagi secara proporsional dengan menggunakan 3 variabel luas wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah PNSD.
3.4. DANA ALOKASI KHUSUS Sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, Pasal 51
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Dalam tahun 2010, arah kebijakan umum DAK diarahkan untuk:
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-97
1. Diprioritaskan membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya
relatif rendah, dalam rangka mendorong pencapaian SPM kepada masyarakat, melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat;
2. Mendukung prioritas percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin,
serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial, terutama dalam rangka perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin;
3. Mendukung prioritas peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat dan
pengendalian penyakit, peningkatan jaminan pelayanan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan, pemantapan revitalisasi program KB, dan peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata;
4. Mendukung prioritas pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan kemanan nasional, terutama dalam rangka penguatan kapasitas pemerintahan daerah dan kualitas pelayanan publik;
5. Mendukung prioritas penguatan perekonomian domestik yang berdaya saing, yang didukung oleh pembangunan pertanian infrastruktur dan energi, khususnya dalam rangka peningkatan stabilitas harga dan pengamanan pasokan bahan pokok,
peningkatan ketahanan pangan, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan,
perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin, peningkatan pelayanan
infrastruktur sesuai standar pelayanan minimal (SPM), dan dukungan infrastruktur bagi peningkatan saya saing sektor riil;
6. Mendukung prioritas peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, khususnya dalam rangka peningkatan pengelolaan sumber daya air,
peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, dan peningkatan kualitas penataan ruang dan pengelolaan pertanahan.
III-98
Transfer ke Daerah
Berdasarkan arah kebijakan DAK tersebut, serta memperhatikan kemampuan
keuangan negara, DAK tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp21.133,4 miliar, yang
berarti turun sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut terutama
terjadi pada penurunan DAK di bidang infrastruktur jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi sekitar 37 persen, serta penurunan DAK bidang kesehatan sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, untuk mendukung kebijakan 20 persen anggaran pendidikan di APBN, DAK Pendidikan ditetapkan sama dengan tahun sebelumnya.
Selain itu, pada tahun 2010 terdapat pemisahan bidang DAK, yaitu DAK Air Minum dan Sanitasi yang pada tahun 2009 masih berdiri dalam satu bidang, pada tahun 2010 sudah dipisah menjadi 2 bidang, yaitu DAK Air Minum dan DAK Sanitasi.
Selanjutnya, alokasi DAK dari tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.7 di bawah ini.
Tabel 3.7
Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11
Bidang
(miliar rupiah) DAK 2009
DAK 2009
Pendidikan
9.334.882.000.000,00
9.334.882.000.000,00
a. Kesehatan Dasar
3.411.270.000.000,00
2.223.660.000.000,00
Kesehatan
b. Kesehatan Rujukan
4.017.370.000.000,00 606.100.000.000,00
-29,56%
606.100.000.000,00
0,00%
4.500.916.800.000,00
2.810.207.000.000,00
Air Minum
1.142.290.000.000,00
357.231.500.000,00
Sanitasi
Prasarana Pemerintahan Kelautan dan Perikanan Pertanian
Lingkungan Hidup
Keluarga Berencana
1.548.980.000.000,00
968.402.000.000,00
-
357.231.500.000,00
1.100.360.000.000,00
1.207.840.000.000,00
351.610.000.000,00
351.610.000.000,00
562.000.000.000,00-
1.492.170.000.000,00 329.010.000.000,00
0,00%
2.829.760.000.000,00
Jalan
Irigasi
%
386.253.000.000,00
-34,81% -37,56% -37,48% -37,45% -31,27%
1.543.633.000.000,00 329.010.000.000,00
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
9,77% 3,45% 0,00% 0,00%
III-99
No
Bidang
DAK 2009
DAK 2009
%
12
Kehutanan
100.000.000.000,00
250.000.000.000,00
150,00%
14
Perdagangan
150.000.000.000,00
107.322.500.000,00
-28,45%
13
Sarana dan Prasarana Perdesaan Jumlah
190.000.000.000,00 24.819.588.800.000,00
300.000.000.000,00 21.133.382.500.000,00
57,89%
-14,85%
Sumber : APBN 2010
3.4.1. FORMULASI KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu (1) penetapan program dan kegiatan, (2) penghitungan alokasi DAK, (3) arah dan penggunaan DAK, dan (4) administrasi pengelolaan DAK. 3.4.1.1. Penetapan Program dan Kegiatan
Sebagaimana disebutkan pada awal bab ini kegiatan khusus yang di danai dari DAK
merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa
program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional
sebagaimana tercantum dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan
khusus dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya,
menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telahditetapkan tersebut kepada Menteri Keuangan.
Mekanisme penetapan program dan kegiatan dapat dilihat pada Gambar 3.15 berikut ini.
III-100
Transfer ke Daerah
Gambar 3.15
Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan
Sumber: PP Nomor 55 Tahun 2005
3.4.1.2. Penghitungan Alokasi DAK Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu: 1. Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK 2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Sementara itu, penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-101
Perhitungan alokasi DAK 2009 tetap berdasarkan pada ketentuan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan beberapa perubahan tujuan dan sasaran yang
hendak dicapai. Hal baru yang terdapat dalam pelaksanaan alokasi DAK 2009 adalah lebih dioptimalkannya kriteria teknis, baik dalam penentuan daerah tertentu maupun besaran alokasi masing-masing daerah. Hal tersebut ditujukan untuk meminimumkan
terjadinya miss allocation, sekaligus mengoreksi berbagai kebijakan alokasi DAK tahun-tahun sebelumnya. Implikasi dari itu semua adalah adanya beberapa daerah
yang mengalami penurunan alokasi, namun di beberapa daerah lainnya justru mengalami kenaikan alokasi. 1. Kriteria Umum
Sesuai dengan pasal 40 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-
kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan
umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah Penerimaan Umum
= PAD + DAU + (DBH – DBHDR)
Belanja Pegawai Daerah
= Belanja PNSD
Dimana:
PAD
= Pendapatan Asli Daerah
DAU
= Dana Alokasi Umum
DBHDR
III-102
APBD DBH PNSD
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
= Dana Bagi Hasil
= Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi = Pegawai Negeri Sipil Daerah
Transfer ke Daerah
Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN) tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Dalam tahun 2009, arah kebijakan umum DAK adalah untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah. Hal ini diterjemahkan bahwa DAK dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1 (satu). Dalam hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini.
Rata-rata Nasional Kemampuan Kauangan Daerah =
Total Kemampuan Keuangan Daerah secara Nasional Jumlah Daerah
Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN < 1, atau
dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas dalam memperoleh DAK. Rumus IFN dapat dilihat di bawah ini. Indeks Fiskal Netto Daerah Z =
Kemampuan Keuangan Daerah Z
Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah
2. Kriteria Khusus Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, Seperti
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK.
Dalam tahun 2009, kriteria khusus yang dipergunakan dalam perhitungan alokasi DAK dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Papua dan daerah tertinggal/ terpencil
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-103
2. Karakteristik wilayah, meliputi:
a. Daerah pesisir dan/ atau kepulauan;
b. Daerah perbatasan dengan negara lain; c. Daerah rawan bencana
d. Daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan; d. Daerah pariwisata.
3. Kriteria Teknis
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.
3.1. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup Kegiatan DAK Pendidikan
Indikator Teknis untuk bidang pendidikan meliputi :
a. Jumlah Sekolah Dasar (SD)/Sekolah Luar Biasa (SLB) b. Jumlah ruang kelas SD rusak
c. Jumlah SD/SLB yang belum memiliki perpustakaan d. Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) e. Jumlah ruang kelas SMP rusak ringan
f. Jumlah ruang kelas SMP rusak sedang g. Jumlah ruang kelas SMP rusak berat h. Jumlah ruang kelas SMP susut
i. Jumlah SMP yang belum memiliki perpustakaan j. Rasio siswa dengan ruang kelas
k. Angka Partisipasi Kasar (APK) SUP
l. Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) III-104
Transfer ke Daerah
m. Alat Pembelajaran Matematika
n. Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) o. Alat Kesenian
p. Alat Olah Raga
Indikator teknis ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Adapun ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan dalam tahun 2010 diarahkan juga untuk kegiatan di tingkat SMP. Selanjutnya, ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan meliputi:
a. SD/SDLB: •
Pembangunan perbaikan ruang perpustakaan
•
Pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan meliputi alat peraga,
•
b. SMP
Perabot pendukung perpustakaan
kit multimedia, buku pengayaan, buku referensi, ICT pendidikan, dan alat elektronik pendidikan
•
Pembangunan ruang kelas baru
•
Pemenuhan kebutuhan buku referensi, pengayaan dan panduan sesuai standar
• •
Pembangunan ruang perpustakaan/pusat sumber belajar beserta perabotnya BNSP
Pemenuhan kebutuhanalat-alat peraga dan pembelajaran bagi sekolah yang belum mempunyai alat tersebut, yaitu alat lab bahasa, lab IPA, dan alat matematika
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-105
3.2. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup Kegiatan DAK Kesehatan
Dalam tahun 2010, DAK Kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan dasar, dan pelayanan kesehatan rujukan. Pada DAK Kesehatan untuk
pelayanan kesehatan dasar diperuntukkan untuk pelayanan dasar dan pengadaan obat.
Indikator teknis DAK Kesehatan terdiri dari: 1. Indikator Pelayanan Kesehatan Dasar: a. Indeks Jumlah penduduk; b. Indeks Luas Wilayah;
c. Indeks Wilayah Khusus;
d. Indeks Kemiskinan Masyarakat.
2. Indikator Pelayanan Kesehatan Rujukan
a. Indeks Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit (IGDRS) 1)
Kelas RS;
3)
Jenis RS;
2) 4) 5)
Jumlah Tempat Tidur RS; Jenis Menu;
Alokasi Tahun Sebelumnya.
b. Indeks Tempat Tidur Kelas III 1)
Bed Occupancy Rate (BOR) kelas III;
3)
Jumlah Tempat Tidur Kelas III;
2) 4) 5)
Jumlah Tempat Tidur RS; Jenis Menu;
Alokasi Tahun Sebelumnya.
c. Indeks Pelayanan Obstetri Neo-natal Emergensi Komprehensif (PONEK) RS 1) 2) III-106
Jumlah Tenaga SpA;
Jumlah Tenaga SpOG;
Transfer ke Daerah
3)
Pelayanan Darah;
5)
Alokasi Tahun Sebelumnya.
4)
Jenis Menu;
d. Indeks PONEK RS : Bobot UTDRS
e. Indeks Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi : Bobot Labkes f.
Indeks Jumlah Penduduk : Jumlah Penduduk
g. Indeks Human Poverty Index (HPI): Data Kemiskinan Masyarakat
Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup : a. Pelayanan Dasar:
1. Pembangunan Pos Kesehatan Desa;
2. Pembangunan Puskesmas, Puskesmas perawatan;
3. Melengkapi puskesmas perawatan mampu Pelayanan Obstetri Neo-natal Emergensi Dasar (PONED) minimal 4 puskesmas perawatan kab/kota melalui pengadaan alat medis;
4. Pengadaan roda 2 utk petugas dan bidan desa; 5. Pengadaan pusling perairan dan roda 4;
6. Pengadaan sarana pendukung penyimpanan vaksin/obat di instansi farmasi; dan
7. Pengadaan obat generik .
b. Pelayanan Rujukan:
1. Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS;
2. Pemenuhan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD) RS;
3. Pemenuhan peralatan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS;
4. Pembangunan sarana prasarana dan pemenuhan peralatan PONEK RS; dan
5. Pemenuhan peralatan kultur untuk Microbacterium Tuberculosis (M.Tbc) di BLK Provinsi.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-107
3.3. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Infrastruktur
Indikator teknis DAK untuk infrastruktur meliputi: 1. Bidang Infrastruktur Jalan a. Luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. Total Panjang Jalan; dan d. Kondisi Jalan.
2. Bidang Infrastruktur Irigasi a. Luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. Luas Daerah Irigasi; dan
d. Luas Daerah Irigasi Kondisi Rusak.
3. Bidang Infrastruktur Air Minum a. Luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. Jumlah Penduduk Miskin; dan
d. Jumlah Desa Rawan Air Bersih.
4. Bidang Infrastruktur Sanitasi a. Jumlah Penduduk; b. Luas Wilayah;
c. Luas Kawasan Kumuh Perkotaan; dan d. Kondisi Sanitasi.
Adapun ruang lingkup untuk DAK Infrastruktur adalah sebagai berikut: 1. Bidang Infrastruktur Jalan
Ditujukan untuk pemeliharaan berkala, peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi urusan daerah.
III-108
Transfer ke Daerah
2. Bidang Infrastruktur Irigasi
Ditujukan untuk peningkatan, rehabilitasi, dan pembangunan jaringan irigasi
3. Bidang Infrastruktur Air Minum
Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) eksisting, pembangunan SPAM baru, dan perluasan jaringan dan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat miskin.
4. Bidang Infrastruktur Sanitasi
Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem dan Pelayanan Eksisting (air limbah,
persampahan, dan drainase), pengembangan Pelayanan Sistem dan Layanan Baru (air limbah, persampahan, dan drainase), perluasan jaringan dan peningkatan
sambungan pelayanan air limbah untuk masyarakat miskin dan /atau kumuh melalui pengembangan sistem air limbah komunal, dan dukungan pada kegiatan 3 R (reduce, reuse, recycle).
3.4. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Kelautan dan Perikanan
Indikator Teknis untuk bidang kelautan dan perikanan mempertimbangkan: a. Produksi Perikanan; b. Kapal Berlabuh;
c. Luas Lahan Budi Daya; d. Saluran Tambak; e. Tenaga Kerja; f. Pokmaswas; g. Luas KKLD; h. Pasar Ikan;
i. Unit Pengolah Ikan; dan j. Penyuluh Perikanan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-109
Ruang lingkup kegiatannya mencakup:
a. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan tangkap;
b. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras produksi perikanan budidaya;
c. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
d. Penyediaan dan rehabilitasi sarpras pemberdayaan ekonomi masyarakat di
pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan konservasi dan pengembangan perikanan;
e. Penyediaan sarana dan prasarana pengawasan;
f. Penyediaan dan pengadaan sarpras penyuluhan perikanan
3.5. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Pertanian
Indikator Teknis untuk bidang pertanian mempertimbangkan: a. Luas Penggunaan Lahan;
b. Kebutuhan Rehab dan Baru BPP; c. Jumlah Penyuluh;
d. Kategori Rawan Pangan; dan
e. Kebutuhan Lumbung Pangan.
Ruang lingkup kegiatannya meliputi:
a. Penyediaan fisik prasarana penyuluhan yang hanya digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan;
b. Penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan lahan meliputi: pembangunan/ rehabilitasi Jalan Usaha Tani (JUT), jalan produksi, optimasi lahan, peningkatan kesuburan tanah, sarana/alat pengolah kompos, konservasi lahan, serta reklamasi lahan rawa pasang surut dan rawa lebak;
c. Penyediaan fisik sarana dan prasarana pengelolaan air, meliputi pembangunan/
rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa
III-110
Transfer ke Daerah
(JIDES), Tata Air Mikro (TAM), irigasi air permukaan, irigasi tanah dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam parit, embung;
d. Perluasan areal meliputi: cetak sawah, pembukaan lahan kering/ perluasan areal untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan; dan
e. Penyediaan lumbung pangan dalam rangka mendukung kelembagaan distribusi pangan masyarakat yang merupakan bagian dari upaya peningkatan ketahanan pangan nasional.
3.6. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Lingkungan Hidup
Indikator teknis DAK Lingkungan Hidup meliputi: a. Panjang sungai;
b. Kepadatan penduduk;
c. Luas tutupan lahan; dan d. Kelembagaan;
Ruang lingkup kegiatannya mencakup:
a. Pembangunan gedung laboratorium, pengadaan sarana dan prasarana pemantauan kualitas air, pengadaan laboratorium lingkungan bergerak;
b. Pembangunan unit pengolahan sampah (3R), pembangunan teknologi biogas, pembangunan IPAL komunal;
c. Penanaman pohon di sekitar sumber air di luar kawasan hutan, pembangunan
sumur resapan/biopori, pembangunan Taman Hijau, pengadaan papan informasi, dan pengadaan alat pencacah gulma;
Pengembangan sistem informasi lingkungan untuk memantau kualitas air;
d. Pengadaan alat pemantauan kualitas udara, alat pembuat asap cair, dan alat pembuat briket arang; dan
e. Pengadaan alat pemantau kualitas tanah. Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-111
3.7. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Prasarana Pemerintahan
Indikator teknis untuk DAK Prasarana Pemerintahan meliputi: a. Jumlah SKPD yang belum punya kantor sendiri; b. Kondisi kantor yang rusak;
c. Daerah yang pindah ibu kotanya; dan
d. Luas Prasarana Pemerintahan yang masih dibutuhkan.
Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup pembangunan/perluasan/rehabilitasi
gedung kantor kepala daerah, DPRD, dinas, badan, dan gedung SKPD lainnya dengan
tetap memperhatikan kriteria umum, khusus, dan teknis dalam penentuan daerah penerima.
3.8. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Keluarga Berencana
Indikator teknisnya meliputi:
a. Jumlah Penyuluh Keluarga Berencana (PKB)/Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB);
b. Jumlah Pengendali Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB); c. Jumlah desa/kelurahan; d. Jumlah kecamatan; dan e. Jumlah klinik KB.
Ruang lingkup kegiatannya meliputi:
a. sepeda motor bagi PKB/PLKB dan PPLKB; b. mobil pelayanan KB keliling;
c. sarana pelayanan di Klinik KB;
d. mobil unit penerangan (MUPEN) KB;
e. pengadaan public address dan KIE Kit; III-112
Transfer ke Daerah
f. pengadaan bina keluarga balita (BKB) Kit; dan g. pembangunan gudang alokon.
3.9. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Kehutanan
Indikator teknis DAK Kehutanan provinsi meliputi: a. Luas Area Tahura;
b. Luas Wilayah; dan c. Kelembagaan.
Indikator teknis DAK Kehutanan kabupaten/kota meliputi: a. Luas Hutan Mangrove; b. Luas Lahan Kritis;
c. Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan; d. Luas Hutan Lindung;
e. Kelembagaan Penyuluhan Kehutanan; dan
f. Daerah Penghasil/Jumlah DBH yang Diperoleh. Ruang lingkup kegiatannya meliputi:
a. rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis di luar kawasan hutan, kawasan mangrove, Tahura, dan Hutan Kota;
b. pengelolaan Tahura dan Hutan Kota termasuk pengamanan hutan; c. pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya;
d. pembangunan dan pemeliharaan bangunan sipil teknis (bangunan Konservasi
Tanah dan Air/KTA) yang meliputi dam penahanan, dam pengendali, gully plug, sumur resapan, embung dan bangunan konservasi tanah dan air lainnya;
e. peningkatan penyediaan sarana penyuluhan teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). dan
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-113
f. Rehabilitasi Lahan Kritis di dalam kawasan hutan lindung, taman hutan raya, hutan mangrove, dan hutan pantai.
3.10. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Perdagangan
Indikator teknis:
a. Jumlah desa yang tidak memiliki pasar permanen/semi permanen pada jarak < 3 km
b. Persentase jumlah pasar rusak.
Ruang lingkup kegiatannya diarahkan untuk Pembangunan dan pengembangan pasar tradisional dan pasar penunjang.
3.13. Kriteria Teknis dan Ruang Lingkup DAK Sarana dan Prasarana Perdesaan
Indikator teknisnya meliputi:
a. Persentase Luas Kawasan Produksi; b. Persentase Pasar Non Permanen;
c. Akses ke Pusat IKK kurang dari atau sama dengan 6 km; d. Akses ke Pusat IKK lebih dari atau sama dengan 6 km; e. Persentase Desa Berbukit; f. Persentase Desa Dataran;
g. Persentase Desa Pesisir Pantai;
h. Persentase Transportasi Sungai;
i. Persentase Transportasi Laut Perahu Tidak Bermotor; j. Persentase Transportasi Laut Perahu Bermotor; k. Persentase Kendaraan Roda 3/lebih; l. Persentase Kendaraan Roda 2; dan III-114
Transfer ke Daerah
m. Persentase Kendaraan Tidak Bermotor.
Adapun ruang lingkup kegiatannya diarahkan untuk membiayai pengadaan moda transportasi perintis darat, laut dan air/rawa.
3.4.1.3. Penghitungan DAK Daerah Pemekaran Untuk daerah pemekaran tahun 2008 dan 2009 sebanyak 14 daerah kabupaten/kota, perhitungan alokasi DAK-nya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Kriteria umum dan khusus mengikuti daerah induknya; b. Kriteria teknis berdasarkan ketersediaan data teknis;
c. Secara administrasi, penetapan alokasi DAK bagi 14 daerah otonom baru tersebut masih digabung dengan induknya.
Dari beberapa penjelasan di atas, proses pengalokasian DAK 2009 dapat dijelaskan pada Gambar 3.16 dan 3.17 di bawah ini.
Gambar 3.16
Proses Penentuan Daerah Tertentu Penerima DAK
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-115
Gambar 3.17
Proses Penentuan Besaran Alokasi per Daerah
Dari Gambar 3.16 di atas, terdapat serangkaian proses yang harus dilalui, baik dalam
menentukan daerah tertentu yang menerima DAK maupun dalam menentukan besaran alokasi masing-masing daerah.
Tahap 1 : Menentukan Daerah Tertentu Penerima DAK
1. Jika suatu daerah memenuhi kriteria umum yang ditunjukkan dengan IFN < 1, maka daerah tersebut pada proses ini layak mendapat alokasi DAK;
2. Jika pada proses no. 1 di atas daerah tidak memenuhi, maka dilihat kriteria khusus yang pertama yaitu apakah daerah tersebut termasuk dalam pengaturan otonomi khusus atau termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal. Jika ya, maka daerah tersebut layak memperoleh alokasi DAK;
3. Jika daerah tersebut tidak termasuk dalam kriteria khusus pada butir 2 di atas, maka lihat kembali kriteria khusus yang kedua yaitu karakteristik wilayah yang
III-116
Transfer ke Daerah
ditunjukkan dengan indeks kewilayahan (IKW). Pada proses ini, IFN dan IKW
digabungkan sehingga menghasilkan IFW. Dalam hal ini apabila IFW > 1, maka daerah tersebut layak memperoleh DAK;
4. Jika daerah tersebut ternyata masih belum layak untuk mendapatkan DAK pada
proses nomor 3 di atas, maka dilihat kriteria teknisnya untuk masing-masing bidang yang didanai dari DAK yang dicerminkan dengan indeks teknis (IT). Pada proses ini, IT digabungkan dengan IFW sehingga menghasilkan IFWT. Jika IFWT > 1, maka daerah tersebut layak mendapat alokasi DAK pada bidang tersebut.
Tahap 2 : Menentukan Besaran Alokasi DAK masing-masing Daerah
1. Setelah proses penentuan daerah tertentu dilalui, maka harus dihitung besaran alokasi untuk masing-masing bidang dan masing-masing daerahnya (ADB, alokasi daerah dan bidang);
2. IFWT masing-masing daerah dikalikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan menghasilkan Bobot Daerah (BD) untuk masing-masing daerah;
3. Selanjutnya, BD tersebut dikalikan dengan pagu alokasi DAK masing-masing bidang sehingga dihasilkan alokasi daerah bersangkutan untuk masing-masing bidang.
3.4.1.4. Administrasi Pengelolaan DAK 1. Dana Pendamping
Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pelaksanaan program
yang didanai DAK, daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari nilai DAK yang diterimanya untuk
mendanai kegiatan fisik. Dana Pendamping tersebut wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan. Jika daerah tidak menganggarkan Dana Pendamping, pencairan DAK tidak dapat dilakukan. Dana Pendamping juga dicantumkan dalam
Rencana Definitif (RD) dan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA-SKPD) atau dokumen pelaksana anggaran sejenis lainnya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-117
Untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, yaitu selisih antara penerimaan
umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif maka tidak diwajibkan menganggarkan Dana Pendamping. 2. Penganggaran
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK, Menteri Teknis menetapkan Petunjuk Teknis pelaksanaan kegiatan DAK untuk masing-masing bidang. Jika menteri teknis tidak menerbitkan petunjuk teknis DAK, maka digunakan petunjuk teknis tahun lalu yang diterbitkan oleh menteri teknis terkait. 3. Pemantauan dan Pengawasan
Pemantauan dan pengawasan dari kegiatan yang dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus ini melibatkan tiga hal penting, yaitu pemantauan teknis, pelaksanaan kegiatan dan
administrasi keuangan serta penilaian terhadap manfaat kegiatan yang dibiayai
oleh DAK tersebut. Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pengawasan fungsional/pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan DAK dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan/atau aparat
pengawasan intern pemerintah daerah. Apabila dalam pemeriksaan tersebut terdapat penyimpangan dan/atau penyalahgunaan, BPK dan/atau aparat pengawas
intern pemerintah daerah menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Daerah sendiri melalui tim koordinasi melakukan evaluasi terhadap manfaat pelaksanaan DAK yang melibatkan pihak terkait setempat.
Sementara itu, untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan DAK di daerah dalam
kaitannya dengan penyempurnaan kebijakan DAK, telah diterbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 0239/M.PPN/11/2008, SE 1722/
III-118
Transfer ke Daerah
MK.07/2008, 900/3556/SJ Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan
Dan Evaluasi Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK). SEB dimaksud lebih banyak
mengatur tata hubungan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi DAK yang dilaksanakan antar tingkat pemerintahan. 3.4.1.5. Pelaporan
Kepala daerah penerima DAK wajib menyampaikan laporan triwulan yang memuat
laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir kepada:
a. Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009. tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.;
b. Menteri Teknis; dan
c. Menteri Dalam Negeri.
Penyaluran DAK dapat ditunda apabila daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud.
Menteri Teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK pada akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam Negeri.
3.5. PENYALURAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-119
diserahkan
kepada
gubernur/bupati/walikota
selaku
kepala
pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini berarti, pemerintah daerah melakukan sendiri pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya.
Sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, dalam upaya menyempurnakan
bagan akun standar Menteri Keuangan telah mengelompokkan bagan akun yang terkait dengan pengalokasian dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan
penyesuaian ke dalam kelompok bagan akun tersendiri yaitu ”Kelompok Transfer ke Daerah” menggantikan ”Kelompok Belanja ke Daerah”. Hal ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar. Selanjutnya pada tahun 2008, perubahan ini diimplementasikan ke dalam perubahan nomenklatur
APBN dari sebelumnya ”Belanja ke Daerah” menjadi ”Transfer ke Daerah” dan diikuti pula dengan perubahan mendasar dalam pelaksanaan penyalurannya dari kas negara
ke kas daerah. Pelaksanaan penyaluran ini terakhir diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Penyaluran angggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan cara pemindahbukuan
dari rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dalam rangka
penyaluran tersebut, Bendaharawan Umum Daerah (BUD) atau Kuasa BUD membuka rekening pada bank sentral atau bank umum untuk menampung penyaluran semua
anggaran Transfer ke Daerah (DBH Pajak, DBH SDA, DAU, dan DAK) dengan nama Rekening Kas Umum Daerah.
III-120
Transfer ke Daerah
Boks 3.1 Penyempurnaan New Design Kebijakan Penyaluran Transfer ke Daerah Kebijakan pengelolaan transfer ke daerah sejak tahun 2008 telah memakai pola baru, terutama ditandai dengan adanya perubahan nomenklatur Belanja ke Daerah menjadi Transfer ke Daerah dalam struktur APBN 2008, serta perpindahan pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran (PA/KPA) dari pemerintah daerah menjadi Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara operasional, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Mengacu pada hasil evaluasi atas pelaksanaan PMK 04/PMK.07/2008 tersebut, serta memperhatikan berbagai masukan yang berkembang di masyarakat, pada tahun 2009 telah ditetapkan PMK Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Beberapa hal yang diatur dalam PMK tersebut adalah: (1) Penambahan komponen DBH baru, yaitu DBH Cukai Hasil Tembakau, yang penyalurannya dilakukan per triwulan. Triwulan I s.d. III disalurkan masing-masing sebesar 20 persen, 30 persen, dan 30 persen, sedangkan triwulan IV disalurkan sebesar selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang sudah disalurkan selama triwulan I s.d III; (2) DBH PBB/BPHTB ditransfer sesuai realisasi penerimaan PBB/BPHTB secara mingguan; (3) DBH PPh ditransfer per triwulan. Triwulan I s/d III masing-masing sebesar 20 persen, sedangkan triwulan IV adalah selisih alokasi definitif dengan jumlah dana yang sudah disalurkan selama triwulan I s/d III; (4) DBH SDA ditransfer per triwulan sebesar 20 persen untuk triwulan I dan triwulan II, sedangkan triwulan III didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA s.d triwulan III dengan realisasi penyaluran triwulan I dan II. Sementara itu, penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA s.d triwulan IV dengan realisasi penyaluran triwulan I, II, dan III; (5) DAU ditransfer setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi per daerah; (6) DAK ditransfer secara bertahap, yaitu tahap-1 sebesar 30 persen untuk daerah yang sudah menyampaikan Perda APBD dan laporan penyerapan penggunaan DAK tahun sebelumnya, serta tahap-2 dan 3 masing-masing sebesar 45 persen dan 25 persen setelah Laporan Penyerapan DAK tahap sebelumnya diterima dan sudah mencapai 90%. (7) Dana Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, serta Propinsi NAD ditransfer secara triwulan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri keuangan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-121
Pelaksanaan atas new design kebijakan penyaluran transfer ke daerah tersebut mempunyai dampak positif, yaitu : (a) mempercepat penyelesaian Perda APBD; (b) mendorong pelaksanaan treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; (c) mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana; (d) mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; (e) mempercepat tersedianya data realisasi transfer; (f) meningkatkan akuntabilitas penyusunan LRA Transfer ke Daerah, dan (g) meningkatkan akurasi sistem informasi keuangan daerah (SIKD).
3.5.1. PENYALURAN DBH PAJAK 3.5.1.1. Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh mengacu pada Pasal 19 PMK No.04/ PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
a. Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan.
b. Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut : •
Penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing sebesar 20
•
Penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif
•
persen (dua puluh persen) dari alokasi sementara;
dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I sampai dengan triwulan III.
Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan I sampai
dengan triwulan III yang didasarkan atas alokasi sementara lebih besar
daripada alokasi definitif, maka kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
III-122
Transfer ke Daerah
3.5.1.2. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB a. Penyaluran DBH PBB didasarkan pada Pasal 17, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
b. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan.
c. Penyaluran DBH PBB bagian daerah dilaksanakan secara mingguan.
d. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan november tahun anggaran berjalan.
e. Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan sebagai insentif kepada
kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sector pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan, dilaksanakan dalam bulan November tahun anggaran berjalan.
f. Penyaluran Biaya Pemungutan PBB bagian daerah dilaksanakan secara bulanan 3.5.1.3. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB
Penyaluran DBH BPHTB didasarkan pada Pasal 17, PMK No.21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah yaitu:
a. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan.
b. Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian daerah penyaluran BPHTB dilaksanakan secara mingguan (setiap Jum’at).
c. Penyaluran DBH BPHTB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan november tahun anggaran berjalan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-123
3.5.1.4. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (CHT) Penyaluran DBH CHT didasarkan pada Pasal 20, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah yaitu:
a. Triwulan I sebesar 20 persen dari alokasi sementara;
b. Triwulan II sebesar 30 persen dari alokasi sementara;
c. Triwulan III sebesar 30 persen dari alokasi sementara;
d. Triwulan IV sebesar selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, II, dan III, dilaksanakan setelah Ditjen Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi pelaksanaan DBH CHT semester I.
Boks 3.2
DBH CUKAI HASIL TEMBAKAU Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung untuk mengoptimalkan upaya pengawasan dan pengendalian serta memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara sehingga diperlukan adanya penyempurnaan kebijakan yang disesuaikan dengan perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan Pemerintah lainnya. Untuk itu, pada tanggal 15 Agustus 2007 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Salah satu ruang lingkup perubahan UU tersebut adalah mengenai pengaturan tambahan komponen DBH, yaitu DBH Cukai Hasil Tembakau kepada Pemerintah Daerah, yang diatur dalam Pasal 66A sampai dengan Pasal 66D. Dalam UU tersebut menyatakan bahwa “Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil Cukai Hasil Tembakau sebesar 2 (dua) persen yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.” Dalam ketentuan tersebut, terdapat komponen utama, yaitu provinsi penghasil Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan provinsi penghasil tembakau sebagai hasil pertanian atau tembakau sebagai produk primer. Dalam hal ini penggunaan CHT bersifat limitatif, sehingga yang memperoleh DBH CHT adalah daerah provinsi dimana pabrik hasil tembakau berada. Hal tersebut didasarkan pada sifat dan karakteristik dari pungutan cukai yang tidak dikenakan secara langsung.
III-124
Transfer ke Daerah
Selanjutnya, sejalan dengan hasil peninjauan undang-undang cukai berdasarkan amar putusan mahkamah konstitusi, dapat disampaikan bahwa pengalokasian DBH CHT untuk provinsi penghasil tembakau dapat dipenuhi paling lambat Tahun Anggaran 2010.
3.5.2. PENYALURAN DBH SUMBER DAYA ALAM Secara umum, pola penyaluran DBH SDA dilaksanakan secara triwulanan, yaitu: a. Triwulan I sebesar 20 persen dari pagu di PMK-nya;
b. Triwulan II sebesar 20 persen dari pagu di PMK-nya; c. Triwulan III berdasarkan: •
(perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan
•
(penyaluran triwulan I dan II (40 persen PMK)) + (lebih salur tahun
II)
sebelumnya).
d. Triwulan IV berdasarkan (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan III) – (penyaluran s.d. triwulan III)
e. Penyaluran rampung tahun sebelumnya (bulan Februari) berdasarkan (perhitungan
perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan IV) – (penyaluran s.d. triwulan IV).
Proses Penyaluran
Penyaluran DBH SDA Migas dari rekening kas negara ke rekening kas pemerintah daerah penerima DBH SDA Migas. Proses penyaluran tersebut sebagai berikut:
a. Dirjen PK mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharan.
b. Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan DIPA Migas untuk Dirjen PK.
c. Berdasarkan DIPA tersebut, Direktur Dana Perimbangan sebagai KPA mengajukan SPM Migas ke Direktur PKN – DJPBN.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-125
Gambar 3.18
Format Penyaluran DBH SDA Migas
d. Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN – DJPBN menerbitkan SP2D. Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke rekening kas pemda provinsi/kabupaten/kota
Selanjutnya, alur perhitungan dan penyaluran DBH Migas dapat dilihat pada Gambar 3.19.
Sementara itu, sejak tahun 2008 diberlakukan sedikit perubahan dalam proses penyaluran ini. Bila sebelumnya semua dokumen dilaksanakan untuk setiap triwulan,
maka mulai tahun 2008 proses permintaan dan penerbitan DIPA dilaksanakan hanya satu kali di awal tahun. Jadi hanya ada satu DIPA untuk setiap tahunnya. Prosesnya sebagai berikut:
1. Di awal tahun:
III-126
Transfer ke Daerah
Gambar 3.19
Alur Perhitungan dan Penyaluran DBH Migas
a. Berdasarkan PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas, Dirjen PK mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharan.
b. Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharan menerbitkan DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.
2. Setiap Penyaluran:
a. Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana Perimbangan sebagai KPA mengajukan SPM Migas ke Direktur PKN – DJPBN.
b. Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN – DJPBN menerbitkan SP2D.
c. Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke rekening kas pemda provinsi/kabupaten/kota
Dengan demikian proses penyaluran dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, karena penyaluran setiap triwulannya tidak lagi melalui proses permintaan dan penerbitan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-127
Gambar 3.20
Mekanisme Penyaluran (2008)
3.5.3. PENYALURAN DAU Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAU dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan
melalui KPPN setempat. Kepala daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan Umum Negara (BUN) membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau
pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN setempat untuk penyaluran DAU setiap bulan.
Sesuai dengan peraturan menteri keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggung-
jawaban Anggaran Transfer ke Daerah, mulai tahun 2008 Dirjen Perimbangan
Keuangan bertindak selaku KPA yang menyusun DIPA dan menyampaikannya
kepada Dirjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masingmasing daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM setiap bulan dan menyampaikannya kepada Kuasa BUN (KPPN Jakarta II - DJPB). III-128
Transfer ke Daerah
3.5.4. PENYALURAN DAK Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAK dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan
melalui KPPN setempat. Kepala Daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan Umum Negara (BUN) membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau
pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN setempat untuk penyaluran DAK setiap tahapnya.
Seiring dengan perubahan yang disebutkan di atas, mulai tahun 2008 penyaluran
DAK dilaksanakan langsung melalui Kuasa BUN (KPPN Jakarta II - DJPB) dengan cara memindahbukukan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Berdasarkan peraturan menteri keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Dirjen Perimbangan Keuangan
ditunjuk sebagai KPA yang menyusun DIPA dan menyampaikannya kepada Dirjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Dalam rangka menyalurkan DAK, Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM yang terbagi dalam 3 tahap yaitu;
• Tahap I sebesar 30 persen dari alokasi, dilaksanakan setelah Perda mengenai APBD, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, dan
Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan,
• Tahap II sebesar 45 persen dari alokasi, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap I diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan, dan
• Tahap III sebesar 25 persen dari alokasi, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah Laporan Realisasi Penyerapan DAK Tahap II diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan.
Sesuai dengan PMK, pelaksanaan penyaluran secara bertahap tersebut tidak dapat dilakukan sekaligus dan tidak boleh melampaui tahun anggaran berjalan.
Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
III-129
BAB IV Pinjaman, Hibah, dan Investasi Daerah
IV-132
Pinjaman, Hibah, dan Investasi Daerah
BAB IV Pinjaman, Hibah, dan Investasi Daerah
4.1. PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kewajiban kepada pemerintah pusat untuk mendistribusikan pendanaan yang memadai bagi pemerintah
daerah sejalan dengan kewenangan yang telah diserahkan. Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk dapat mengelola pembangunan di daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Kondisi ini menimbulkan
konsekuensi kebutuhan akan keselarasan pelaksanaan pembangunan diantara masing-masing tingkat pemerintahan maupun antar tingkat pemerintahan yang sama.
Koordinasi yang efektif dalam pelaksanaan pembangunan nasional ini diharapkan akan sinergi yang optimal antara pusat dan daerah dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi dan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah pusat memberikan sumber-sumber penerimaan kepada pemerintah daerah, yang antara lain terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan Hibah Daerah. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan dengan tegas bahwa
selain berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya.
Pengalokasian dana perimbangan dan pemberian pinjaman dan/atau hibah ini Sinergi Pusat dan Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Pelengkap Buku Pegangan 2010
IV-133