Cuap-cuap bentar yaaw... Hai, hai, halooooo... Seneng deh karena ternyata blog tercinta ini masih bisa mengadakan FF Party walaupun terlambat, yang harusnya diadakan bukan Desember jadi mundur ke Januari. Pertama-tama, jelas kami mau mengucapkan terima kasih untuk semua author yang telah berpartisipasi dalam event ini, juga untuk readers baik yang meninggalkan oksigennya maupun yang masih menjadi silent reader. Waduh, duh, jadi formal ya? Oke lah, di halaman ini admin cuma mau numpang eksis dikit... Kami sangat senang karena masih cukup banyak author yang mau berpartisipasi, yah walau kami tidak berhasil mendapatkan main author kali ini. Selamat untuk para pemenang, dan bagi yang belum beruntung, jangan bosen latihan nulis. Memang engga ada sesuatu yang instan di dunia ini, semuanya butuh proses, ‗kan? Kalo yang
sekarang
belum
masuk
10
besar,
siapa
tahu
pada
event
berikutnya
bisa
mengikutsertakan karya yang lebih kece. Never give up, yaw! E-book ini dibuat semata-mata untuk kenangan, bentuk apresiasi kami kepada kalian yang udah mau luangin waktu ikut event ini dan yang udah mau nyempetin baca semua karya. Ebook ini berisikan 10 judul fanfiction yang merupakan urutan 10 besar dalam event FF Party 2012 ini. Urutannya gimana? Ada di daftar isi, kok. Maap lama banget e-book ini kelarnya, soalnya... yay, ngedit 229 halaman ff bukanlah hal yang bisa diselesaikan dalam sekejap mata. Mohon maaf kalo ada format yang berbeda yang disebabkan kekhilafan dan kepikunan saat mengedit, begitu pula dengan typo dan EYD yang mungkin terlewat atau keliru karena pengetahuan editor yang masih amatiran. Maapin juga kalo desainnya ala kadarnya, agak buru-buru ngedit e-book ini soalnya. Dan agar seragam, maka tidak ada poster ff yang disertakan dalam e-book ini. E-book ini pasti tidak sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya dapat membuat e-book yang lebih baik. Wokelah kalo begitu, sebagai penutup halaman kurang penting ini, kami pamit ngilang dulu yaaaa. Selamat menikmati cerita-cerita yang ada di sini ^^ Tetep dukung SF3SI yaaa… ^^d
Best Regards,
SF3SI Heroes
2
SF3SI proudly present… E-book FF Party 2012… Didedikasikan untuk ulang tahun Onew dan Minho…
Thank you buat semua Hero yang telah berpartisipasi dalam event ini. Big thanks buat Yen yang telah mempersembahkan hadiah untuk event ini. Semua orang yang telah berkontribusi dalam event ini.
Tim juri: Yuyu, Lumie, Tiara, Bibib, Lana
Supplier, editor, and scheduler: Ivy & Nindy
Editor, layout, and cover e-book: Bibib
3
This E-book legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction
4
Daftar Isi The 1st Winner: Unconscious Case – By: Song Eun Cha
6
The 2nd Winner: Angel Olympic 2012 – By: Kim_Mus2
62
The 3rd Winner: Another Nutcracker Story– By: qL
75
The 4th Winner: Embraces of the Devil – By: Nurahboram
98
The 5th Winner: White Christmas – By: Zikey
126
The 6th Winner: Cor Tangite – By: dhila_kudou
132
The 7th Winner: Resolution – By: Faciikan
172
The 8th Winner: Nobody Knows – By: Bella Jo
174
The 9th Winner: Kutukan Natal – By: Lee Hana
188
The 10th Winner: 33 Days Contract – By: Choi Ye Joon
210
5
Unconscious Case
Author
: Song Euncha & Bella Jo
Main Cast
: Lee [Onew] Jinki | Choi Minho | Bluebell Constantia (OC)
Suport Cast
: The rest of SHINee‘s member
Genre
: Thriller, mystery, adventure, psycho, romance, friendship
Type/Length
: Sequel
Rating
: PG 16 Part 1
Waktu mengalir bersama berlalunya musim. Saat cerah matahari beranjak lelah, angin berhembus resah dalam dingin musim gugur. Hilir mudik daun kering kekuningan terbang rendah bersama alur angin. Rantingranting kehilangan selimut daunnya, meranggas kering, berusaha keras bertahan diri menanti musim dingin. Bunga-bunga pinggiran taman tak lagi menunjukkan cerah warnanya. Kota kehilangan hijau rimbun dan ceria warna lain bersamaan dengan hilangnya terik. Matahari enggan menunjukkan semarak cahayanya, terlebih geraknya telah condong ke barat. Secercah lembayung senja melirik lirih di langit timur kota London yang masih berdiri congkak bersama penduduk angkuhnya. Oh, mungkin kota itu jarang tersentuh warna cerah di musim panas sekalipun. Gaun-gaun tersibak rendah bersamaan dengan langkah-langkah panjang pemakainya. Lumpur memercak ringan dari kubangan-kubangan kecil berisi campuran air dan tanah. Para gentleman mengayun tongkat dengan dagu terangkat, pandangan matanya seakan muak melihat dunia yang berdiri pongah di sekitarnya. Para kuli sibuk mempercepat langkah, berharap matahari kian cepat tenggelam dalam gelap agar mereka dapat semakin cepat pulang ke rumah. Bau parfum bercampur bau amis daging, serta bau busuk sampah dan potongan kulit binatang yang masih belum dibersihkan dari gantungannya— di selusuran lingkungan kumuh yang
penghuninya tak juga berkurang—menyeruak indera penciuman. Para bangsawan yang mengaku
dermawan bahkan tak dapat menahan diri untuk menutup hidung, berjanji pada diri mereka sendiri untuk mempercepat segala kegiatan agar mereka bisa segera mengangkat kaki dari tempat kumuh itu. Mereka tahu, tak pernah ada hal yang aman di East End, bahkan untuk segemerincing koin satu sen-an yang dibawa anakanak pengemis. Maka tak mungkin pula nyawa mereka aman di sana. Seorang lelaki tua menatap miris wilayah tersebut setelah mengunjungi wanita penjual bunga tempat ia biasa membeli seikat mawar untuk istrinya. Jika saja wanita kasar yang temasuk baik hati untuk ukuran penduduk East End itu tidak sakit keras, ia takkan mungkin mau melangkah ke sana. Berpakaian layaknya bangsawan seperti pakaian sehari-harinya memang sangat berisiko. Namun pakaian penduduk kumuh biasa malah jauh lebih berbahaya. Bisa saja orang salah mengira dia penghuni baru dan membunuhnya demi mengincar kepingan sepuluh sen yang terperangkap di kantungnya. Jadi begitulah tampilannya, gagah dalam balutan kemeja dan coat hitam kebesarannya, tak lupa tongkat sepanjang setengah tinggi badannya untuk menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa. Di belakangnya, mengekor seorang pria muda berwajah oriental dengan mata sipit dan jas usang yang agak kebesaran di tubuh tegapnya. Sebatang rokok terselip di bibir pria oriental itu, mungkin agar orang tidak terkecoh wajahnya yang tampak amat muda. Si pria berdeham pelan berusaha mencairkan suasana sementara kakinya terus mengambil langkah panjang. Pria oriental itu mendongak memperhatikan punggungnya lalu tersenyum penuh arti. Si pria melirik dari balik topi tingginya, ―Apakah polisi Scotland Yard sepertimu sudah terbiasa dengan suasana daerah ini? Benar-benar tidak nyaman,‖ tanyanya diselipi keluhan.
6
Pria oriental itu menarik puntung rokok dari lipatan bibirnya, lalu menghembuskan kepulan asap ke samping kanannya. Matanya menjelajah sesaat, semakin memperhatikan tempat kumuh yang percikan lumpurnya bahkan terasa lebih menjijikkan dari pada lumpur pusat kota London. ―Jika pekerjaan Anda menangkap penjahat yang sehari-harinya keluar masuk East End, tentu hal ini takkan lagi menggangu Anda. Inspektur Skimhead juga sering meminta saya untuk memberi kawalan pada bangsawan seperti saat ini, jadi ini bukan lagi menjadi hal asing bagi saya.‖ Pria tua itu mengangkat bibirnya sekilas membentuk garis tipis. ―Yang paling kutekankan di sini adalah mengenai ‗udara‘-nya.‖ Tangannya mengibaskan tongkat beberapa kali, membentuk gerak tubuh yang amat sering dijumpai pada kegiatan sehari-hari. Pria oriental itu mengerutkan alisnya sesaat lalu tertawa pelan saat menangkap maksud pria yang biasa dikenal dengan sebutan Lord Martin. Hidungnya mencoba mendengus semakin tajam dan aroma pekat menyeruak masuk menusuk-nusuk saraf pembaunya. ―Jika itu yang Anda maksud, tentu saja jawabannya lebih segar di pasar daging kota London.‖ Keduanya tertawa bersama, lalu melanjutkan perbincangan ringan mereka sampai akhirnya mereka dapat menghirup udara yang lebih segar dari pada di East End tadi. Lord Martin kembali berdeham saat matanya menangkap kereta kuda—yang biasa membawanya pulang ke rumah—telah menunggu tak jauh dari tempatnya berada. Ia berbalik sesaat, menatap pria berkulit seputih susu itu dengan tatap hangat khas dirinya. Ia menjabat tangan pria oriental itu sambil menepuk-nepuk bahunya dengan salah satu tangan yang masih terselip tongkat. Pria itu balas tersenyum penuh wibawa, susunan gigi kelincinya terlihat saat senyumnya semakin mengembang. ―Terima kasih atas kawalanmu hari ini. Bahkan tak ada seorang pun yang berani mengusikku saat melihatmu berada di belakangku,‖ pria itu masih memerangkap tangan kanan sang polisi muda dalam jabatan tangannya. ―Aku harus semakin sering meminta Inspektur Skimhead mengutusmu untuk mengawalku di lain waktu, tentu bukan hanya saat berkunjung ke East End.‖ ―Anda terlalu memuji saya, Lord Martin. Ini adalah pekerjaan normal yang biasa dilakukan polisi seperti saya. Namun, tentu saya akan sangat senang jika Anda memilih saya untuk mengawal Anda lagi di lain waktu,‖ balas si pria muda itu kalem. Sepasang alis tebal gelap mempertegas kedewasaan ucapannya. Lord Martin tersenyum, lalu melepas jabatan tangannya, ―Hanya ada satu yang kurang, Anak Muda. Aku bahkan belum tahu siapa namamu walau tugasmu hari ini sudah berakhir. Jadi, bisakah setidaknya kau memperkenalkan diri sebelum kita berpisah di sini?‖ Lelaki muda itu tertegun menyadari kecerobohan konyolnya. Ia tertawa canggung lalu menundukkan tubuhnya sekilas. ―Nama saya Onew, Tuan. Onew Lee.‖ *** Onew Lee sudah lama tinggal di kota London. Ia tak mengenal siapa orang tua kandungnya. Yang ia ingat hanyalah ia sudah dibuang di East End sejak masih bayi, lalu menghabiskan masa kecilnya yang suram bersama pukulan seorang pria botak—yang wajahnya bahkan tak lagi dapat ia ingat—di salah satu panti asuhan daerah kumuh tersebut. Seperempat mangkuk bubur untuk jatah makan sehari serta tumpukan pekerjaan yang diwajibkan padanya membuat ia berusaha keras kabur dari wilayah menjijikkan itu, dengan tekad mendapat kehidupan yang jauh lebih baik di London. Sayangnya, London tak seramah yang ia kira. Lebih dari setahun ia terlunta-lunta di jalanan, tak jauh beda dari kehidupannya di East End. Namun perasaan cintanya akan kebebasan membuat ia dapat bertahan melewati masa-masa tersebut. Hingga akhirnya masa itu berakhir saat ia berhasil menolong seorang young Lady yang hendak dirampok dan diculik sekawanan bandit. Ia pernah melihat kawanan itu di East End, serta paham pula kelemahan kawanan bodoh itu. Setelah bertarung habis-habisan dengan mereka, akhirnya Onew bisa membawa young Lady itu kabur dari sana. Ia dihadiahi hal yang tak pernah dibayangkannya, hal yang lebih bagus dari piringan besar makanan yang terbayang dalam pikirannya saat ia menyelamatkan young Lady itu.
7
Onew diadopsi keluarga tersebut. Ia diberi nama dan dihadiahi makanan serta status keluarga yang baik. Onew tak menyia-nyiakan hal tersebut. Ia belajar keras dengan tujuan mendapatkan pekerjaan dan hidup mapan. Akhirnya Onew berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai polisi begitu ia menginjak usia dewasa. Sayangnya di tahun yang sama pula keluarga yang selama ini memeliharanya malah membuangnya karena menduga ia anggota keluarga Lee, keluarga oriental saingan dagang keluarga tersebut yang dikenal berperangai buruk. Onew pun didepak dari keluarga tersebut dan dipaksa menyandang nama keluarga Lee. Walau sedih, untungnya Onew tidak memiliki hati untuk keluarga tersebut. Ia menerima semua begitu saja, tapi bukan berarti ia beralih pada keluarga Lee. Di pinggiran kota London—di mana para pekerja dan penjual roti hidup saling berdampingan dengan baik— Onew hidup bersama seorang gadis yang mengaku sebagai pemilik rumah sewa tersebut. Gadis itu bernama Bluebell Constantia, gadis berperawakan kecil dengan rambut merah kusam. Wajahnya putih walau agak kusam. Kelabu debu jalanan tak mampu menutupi kecantikan wajahnya, begitupun dengan kecantikan hatinya. Onew dapat hidup nyaman bersamanya, saling mebantu kehidupan satu sama lain. Sayangnya, di tahun ke-tiga Onew bekerja, ia mendapat sebuah masalah serius. Masalah di mana misteri dan ketakutan terbesar merayapi hidupnya. *** Kepolisian Scotland Yard sudah memasuki waktu pergantian shift. Onew melepas topi polisinya dengan gerak lelah. Seharian berkecimpung dalam kriminalitas yang menguras otak dan tenaga membuatnya ingin langsung membanting diri ke atas kasur, walau kasur kamarnya pun tak bisa disebut empuk. Inspektur Skimhead menyapanya sekilas saat mereka saling berpapasan di depan kantor polisi. Onew hanya membalas dengan senyum lemah lalu tangannya tampak menopang dahi. Inspektur Skimhead mengangkat alis dengan bingung. Ia berdeham sebelum menghentikan langkah Onew dengan panggilannya. ―Onew Lee!!‖ ―Ya! Siap, Inspektur!‖ sahut Onew tegas saking terkejutnya. Si pria berkepala plontos yang tadi memanggilnya pun tertawa pelan, ―Santai saja, kita tidak sedang bekerja,‖ ia mendekati pria muda itu, ―ada apa denganmu? Wajahmu tampak pucat. Apa makan atau tidurmu bermasalah?‖ ―Tidak, Inspektur. Justru saya rasa akhir-akhir ini saya tidur lebih lama dari biasanya, entah kenapa. Dan lebih anehnya lagi saya merasa lelah luar biasa begitu selesai bekerja atau beraktivitas,‖ jelasnya dengan suara pelan, sungguh sangat berbeda dari pribadi cerianya yang biasa. ―Oh, itu aneh. Mungkin kau harus memeriksakan diri ke Dokter. Apa kau perlu cuti?‖ tanya Inspektur Skimhead. Ia tahu Onew adalah anggota hebat yang kinerajanya amat memuaskan. Tentu saja kehilangan Onew di saat-saat penting—hanya karena menghiraukan penyakit kecil—akan menjadi hal yang sangat konyol. Tapi opsir muda itu tersenyum dan menggelengkan kepala, ―Tidak perlu, Inspektur. Dokter bilang saya hanya perlu istirahat. Itu saja.‖ ―Oh, baiklah kalau begitu. Beristirahatlah yang cukup. Kau bisa pergi sekarang.‖ ―Baik, Inspektur. Terima kasih.‖ Onew melangkah gontai di sepanjang perjalanan pulang. Jalan yang biasa ia lalui terasa jauh lebih panjang dari biasanya, membuat langkahnya semakin berat. Rasa kantuk mendera diri dan setiap inderanya. Hanya beberapa langkah lagi ia akan sampai di tempatnya tinggal, namun kantuknya tak tertahankan lagi saat ia sampai di beranda rumah papan berukuran sedang tersebut. Ia pun dikuasai alam mimpi hanya dalam hitungan detik. *** Waktu berlalu dengan cepat. Bluebell yang biasa bekerja di sebuah toko roti di seberang jalan diizinkan pulang lebih cepat. Hari itu hari peringatan tiga tahun Onew tinggal bersamanya, hari yang diakui pria itu pula sebagai
8
hari kelahirannya. Sampai sekarang pun Bluebell masih heran bagaimana bisa Onew yang seorang yatim piatu, tahu kapan ia lahir. Namun gadis itu tak mau terlalu menghiraukan hal tersebut. Yang terpenting baginya adalah dapat tinggal dengan nyaman bersama Onew, lelaki manis yang selalu memperlakukannya dengan baik serta bertanggung jawab dengan seluruh pekerjaan yang diberikan padanya. Keseriusannya dalam bekerja tidak mengurangi daya humor lelaki itu, membuatnya semakin manis di mata Bluebell. Berjam-jam berlalu sejak kepulangan Bluebell. Berbagai hidangan sederhana namun lezat telah terhidang di atas meja kayu lapuk yang setidaknya masih kuat menampung makanan-makanan tersebut. Sebenarnya ia sempat bimbang mengingat kemungkinan uangnya tidak akan cukup untuk menyediakan hidangan Natal apalagi tahun baru nanti. Tapi Bluebell memfokuskan pikirannya hanya pada ulang tahun Onew ini. Yang lain nanti saja baru ia pikirkan lagi. Bluebell mulai tak sabar. Seharusnya Onew sudah pulang satu jam lalu, namun lelaki itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Gadis yang semakin cemas itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar dan mencari Onew. Tapi begitu kakinya menginjak pintu beranda, ekspresi cemasnya berubah takut dan terkejut. ―Ya Tuhan, Onew!! Apa yang terjadi padamu??!!‖ Lelaki itu tak bangun juga. Bahkan suara dengkurannya pun tak terdengar. Bluebell semakin gelisah. Haruskah ia memanggil dokter? Tapi ia sudah menghabiskan semua uangnya untuk menyiapkan hidangan istimewa yang telah dingin di atas meja. Onew sendiri tak kunjung bangun walau lima jam telah berlalu. Dengan berat hati Bluebell memakan hidangan tersebut sendiri, tanpa tawa dan lelucon yang biasa Onew lontarkan di dua tahun sebelumnya. Hanya beberapa hidangan yang ia anggap tahan lama yang ia tinggalkan kalau-kalau lelaki itu terbangun. *** Matahari menyembulkan diri dengan malu-malu, menunjukkan waktu telah memasuki pagi. Semilir angin dingin yang berubah agak hangat membangunkan Bluebell dari tidurnya. Ia hampir terjaga semalaman menjaga Onew sampai akhirnya ia tertidur. Bluebell kembali melirik Onew yang masih terlelap. Baiklah, lelaki itu memang sering kesiangan akhir-akhir ini, namun tidur dua belas jam begitu saja tanpa terbangun sedikitpun benar-benar tidak wajar. Akhirnya Bluebell kembali mengguncang tubuh Onew, jauh lebih kuat dari guncangannya kemarin malam. Tak ada hasil. Onew sama sekali tak sadar dari alam mimpinya. ―ONEW!!‖ PLAAKK!! Baiklah, Bluebell memang keterlaluan sampai menampar Onew dengan kerasnya. Tapi kesabaran gadis itu ada batasnya, kesabaran yang megalahkan semua rasa cemasnya. Untunglah usahanya membuahkan hasil, lelaki itu terbangun walau wajahnya tampak lelah dan amat letih. ―Apa? Ada apa?‖ tanya Onew dengan wajah ngantuknya. Ia mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Perasaannya bercampur aduk, antara marah dan bingung. Bluebell berkacak pinggang di hadapannya, ― ‗Ada apa‘? kau masih menanyaiku ‗ada apa‘??!! Onew Lee! Kau tidak tahu betapa cemasnya aku setelah menemukanmu terbaring di beranda kita dan tak juga bangun sampai pagi ini??!! KAU MASIH MENANYAIKU ‗ADA APA‘????!!!!‖ Dan rentetan kata itu berhasil membuka mata Onew lebar. Suara seraknya bergumam tak percaya, ―Apa??!!‖ *** Sedikit terhuyung, Onew berjalan menyusuri gang sempit pemukiman para penjual roti tempat ia tinggal tiga tahun terakhir. Kepalanya masih berdenyut, detak jantungnya tak beraturan. ―Selamat pagi, Onew Lee,‖ sapa lelaki gemuk dengan kumis hitam yang menutupi mulutnya. ―Selamat pagi, Mr. Milles,‖ Onew balik menyapa, memaksakan seulas senyum sambil membungkukkan tubuhnya.
9
―Oh! kau terlihat tidak sehat. Terlibat dalam kasus rumit?‖ kelakar Mr.Milles, lantas ia menurunkan karung tepung dari bahunya. Menepuk kedua tangannya, lalu berkacak pinggang. Onew terkekeh, ―Tidak! Aku hanya sedikit lelah,‖ terang Onew sekenanya. Mr.Milles menarik napas, hembusan napasnya terlihat begitu jelas dan berat. ―Banyaklah beristirahat di waktu luang, Onew Lee. Opsir sepertimu sangat diperlukan untuk menjaga keamanan kota. Terlebih lagi wilayah kecil seperti tempat kita ini.‖ Onew kembali tersenyum, merasakan energi positif dari kalimat Mr.Milles. Itu benar! Wilayah kecil seperti tempat tinggalnya ini sangat rawan dari serangan bandit, akan menjadi runyam jika para bandit kampungan itu menerobos wilayahnya. ―Thanks, Mr.Milles. Saya akan bekerja lebih keras lagi,‖ ucap Onew akhirnya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya. Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering yang telah gugur dari pohonnya. Onew merapatkan lagi coat cokelat lusuhnya, berjalan lebih cepat agar segera tiba di kantor kepolisian Scotland Yard.
TING
Lonceng kecil yang telah usang itu berbunyi saat Onew membuka pintu, membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya. ―Onew Lee!‖ pekik sebuah suara, membuat Onew terkejut. Si pemilik suara lantas berhambur ke arah Onew, kedua tangannya memegang dua buah mug hitam berisi kopi. Disodorkannya satu mug ke hadapan Onew, ―minumlah. Kita masih punya waktu bersantai lima menit,‖ katanya, lalu membawa Onew ke ruangannya. Sedikit bingung Onew meraih mug dari Inspektur Skimhead, dan mengikuti lelaki itu ke ruangannya. ―Nah, bagaimana istirahatmu? Kau tidak terlihat lebih baik,‖ tanya Inspektur Skimhead setelah ia dan Onew duduk di kursi lipat yang dibatasi oleh meja kerjanya. ―Seharusnya lebih baik setelah aku tidur dua belas jam tanpa terbangun sedikitpun,‖ terang Onew, sorot matanya meredup mengingat bagaimana pagi ini Bluebell membangunkannya. Lalu ia menyesap kopinya, merasakan kopi hangat itu membuat tubuhnya lebih segar. Mata Inspektur Skimhead terbelalak, ―Dua belas jam? Itu sangat bagus.‖ Lelaki itu lalu menyesap kopi dalam mug-nya, menyandarkan punggung tegapnya di sandaran kursi. Onew diam, memandangi tumpukan map di atas meja Inspektur Skimhead. Sementara pikirannya kembali menerawang pada ranjang di rumahnya yang tiba-tiba ia rindukan. ―Ada kasus yang perlu kita selidiki. Cukup rumit,‖ terang Inspektur Skimhead, lantas ia kembali duduk tegak. Onew mengalihkan pandangannya dari tumpukan map, memandang Inspektur Skimhead. Inspektur Skimhead menaruh mug di mejanya. ―Kasus penculikan. Elspeth Windsor , 17 tahun. Putri bungsu bangsawan Windsor Gregory, bangsawan dengan gelar Duke¹ –gelar tertinggi dalam aristokrat Inggris,‖ lanjut Inspektur Skimhead, tersirat ketakutan dalam nada bicaranya barusan. ―Penculikan?
Bagaimana
bisa
seorang
putri
bangsawan
diculik?‖
tanya
Onew.
Inspektur
Skimhead
menggedikkan kedua bahunya, lalu meraih lagi mug-nya. ―Diperkirakan ada orang dalam yang terlibat. Dan yang paling dicurigai adalah Vladimir Fox, pengawalnya.‖ Inspektur Skimhead menyesap lagi kopinya. Berusaha mengenyahkan kekhawatiran yang kembali menyergapnya. Benar! Pagi ini ia mendapat laporan kehilangan atas nama Elspeth Windsor
langsung dari orang
kepercayaan Duke of Windsor Gregory. Mengatakan bahwa putri bungsunya hilang. Dan tentu saja berita ini membuat geger kepolisian Scotland Yard. Tentu ini merupakan tugas besar bagi Inspektur Skimhead, ia harus mengerahkan opsir-opsir terbaiknya.
10
―Jadi, aku akan melibatkanmu dalam kasus ini, Onew. Kuharap kau mempersiapkan dirimu.‖ Inspektur Skimhead memandang Onew. ―Siap, Inspektur!‖ jawab Onew sigap, melupakan rasa lelah dan kantuk yang sedari tadi menderanya. ―Minumlah kopimu dan kembali ke rumah. Kuberi satu hari libur untukmu. Kau terlihat lelah, istirahatlah yang cukup. Besok kita askan melakukan penyelidikan.‖ ―Oh! Tidak perlu, Inspektur. Saya siap melakukan penyelidikan hari ini. Lagipula, kita tidak bisa menunggu lebih lama untuk mengetahui keberadaan putri bungsu bangsawan Windsor.‖ Onew berusaha mengelak, meski pada kenyataannya ia memang membutuhkan tidur. Dengan cepat Onew menyesap lagi kopinya, menghabiskannya dalam beberapa teguk. ―Nah, Saya sudah kembali segar, Inspektur,‖ terang Onew, meyakinkan bahwa dirinya siap untuk bertugas. Inspektur Skimhead memandang Onew, seolah menyelidiki sesuatu melalui mata sipit opsir muda itu. *** Kaki berbalut boot hitam itu melangkah, menyusuri gang sempit di mana begitu banyak kubangan air yang tidak bisa dihindari. Rumah-rumah dengan atap rendah berderet nyaris tanpa jarak, ayam ternak berkeliaran ke sana ke mari. Bau tidak menyenangkan menyeruak, menerobos hidung kedua laki-laki itu. Tidak kalah dengan East End, wilayah ini sangat kumuh dan padat. Inspektur Skimhead melirik lagi catatan kecil di tangannya, lalu matanya menjelajah deretan rumah yang berjejer dekat lahan kosong yang tidak terawat. Matanya menatap deretan rumah tersebut, sementara tangan kirinya menarik puntung rokok yang terselip di antara lipatan bibirnya. ―Kurasa ini tempatnya,‖ lantas ia melangkah, mendekati salah satu rumah dengan dinding kayu yang dicat warna merah.
Tok tok tok
Diketuknya pintu rumah itu. Hanya beberapa detik hingga seorang wanita bermata biru itu membuka pintu. Matanya sembab dan rambutnya tidak tergulung rapi. ―Kami dari kepolisian Scotland Yard. Kedatangan kami untuk melakukan pemeriksaan pada Vladimir Fox,‖ ucap Inspektur Skimhead tegas. Tapi wanita yang ditaksir berusia pertengahan 30 itu lantas menangis, menundukkan kepalanya sambil terisak. Inspektur Skimhead dan Onew saling berpandangan, sama-sama merasa bingung dengan apa yang terjadi. Satu-satunya hal yang Onew mengerti adalah kenyataan bahwa Elspeth Windsor benar-benar diculik Vladimir Fox. Dua puluh menit lamanya wanita yang mengaku sebagai kakak perempuan dari Vladimir Fox bercerita sambil terisak. Ia menceritakan bahwa adiknya—Vladimir—tidak pulang ke rumah satu hari sebelum Elspeth dinyatakan hilang. Onew menatap wanita itu, seolah merasakan kesedih yang dirasakannya. ―Kami adalah keturunan campuran. Ada darah Asia dalam tubuh kami,‖ terang wanita bernama Esther itu. Onew hanya mengangguk, pantas saja ia merasa tidak asing dengan wajah Esther. ―Aku telah memperingatkan Vladimir untuk menjaga dirinya dan berhati-hati, terlebih lagi saat mengetahui bahwa ia dipekerjakan untuk menjadi pengawal putri bungsu Duke of Windsor Gregory,‖ lanjutnya. Ia kemudian menghapus lagi air mata dengan sapu tangan murahan yang digenggamnya. ―Jadi, menurut Anda, Vladimir benar-benar membawa Elspeth pergi?‖ tanya Onew. Esther memandang Onew, sorot matanya menunjukkan penyangkalan besar. Tapi pada kenyataannya, apa yang terjadi berlainan dengan apa yang diharapkannya. ―Vladimir jatuh cinta pada Elspeth. Berkali-kali aku memintanya untuk berhenti bekerja sebagai pengawal Elspeth, tapi itu membuat Vladimir semakin tak tergoyahkan. Tapi sunguh, aku tidak menyangka ia akan membawa Elspeth pergi.‖ Esther kembali terisak, wajah dan hidungnya telah memerah. ―Menurut Anda, ke mana Vladimir akan membawa Elspeth? Dia pasti tahu bahwa Scotland Yard bukanlah tempat yang aman untuk melarikan diri,‖ tanya Onew lagi. Ia terlarut dalam kasus penculikan ini, melupakan
11
bahwa seharusnya Inspektur Skimhead lah yang memimpin interogasi semacam ini. Tapi di sisi lain, Inspektur Skimhead justru senang. Seperti inilah cara kerja Onew yang membuatnya menjadi salah satu opsir terbaik kepolisian Scotland Yard. Esther mengusap lagi air matanya, kemudian memandang Onew dan Inspektur Skimhead penuh keraguan. ―Kami tidak akan menangkap dan memenjarakan Vladimir jika ia tidak terbukti menculik Elspeth. Kami akan mencari tahu keberadaan Vladimir, dia akan menjadi saksi,‖ terang Onew buru-buru, ia tahu kedua mata Esther tak henti memancarkan ketakutan yang besar. Esther kembali memandang Onew dan Inspektur Skimhead bergantian, menelisik mata dua orang di hadapannya, memastikan bahwa kedua orang anggota kepolisian itu memang akan menolong Vladimir. Lagipula, Esther begitu sedih dengan perginya Vladimir yang membuat hidup keluarga mereka semakin terlunta-lunta. Esther menatap Onew, seolah memberikan isyarat melalui tatapannya. ―Oh! Inspektur, bisa tinggalkan kami sebentar?‖ pinta Onew, ia segera mengerti maksud tatapan Esther barusan. Inspektur Skimhead tidak banyak bertanya. Ia lantas menjauh, membiarkan Onew berbicara bersama Esther. Lelaki itu berjalan menuju lahan kosong yang terletak beberapa meter dari rumah Vladimir. Merogoh sesuatu di saku kemeja kirinya, dan tak lama kepulan asap muncul dari mulutnya. Kini, hanya Onew dan Esther. Wanita itu sempat terdiam beberapa detik, masih ragu apa ia benar-benar bisa memercayai Onew. ―Katakanlah. Aku tidak akan mengkhianati keluargaku. Kita sama-sama memiliki darah Asia, meski pada kenyataannya itu tidak terlalu menguntungkan di tempat ini,‖ terang Onew, dan itu mengingatkannya lagi pada alasan mengapa ia ditendang oleh keluarga yang telah mengasuhnya. Esther mengusap air matanya, lalu merengsek mendekati Onew. Berbisik tepat di telinga opsir muda itu, ―kami memiliki perkebunan keluarga di Nobotte wood, 65 km di tenggara Scotland Yard. Carilah Vladimir di sana. Tidak! Namanya Key, itu nama aslinya. Keluarga di perkebunan hanya mengetahui nama lahirnya,‖ terang Esther. Onew mengangguk. Entah mengapa, mendengar nama Key membuatnya membayangkan bahwa wajah lelaki itu akan sama orientalnya dengan dirinya. ―Baiklah, saya akan mencarinya ke sana. Terima kasih sudah membantu kami dalam penyelidikan ini. Tenanglah. Kuharap Key tidak benar-benar menculik Elspeth.‖ Entah mengapa setelah mendengar nama asli Vladimir, Onew merasa begitu akrab dengan lelaki yang bahkan belum pernah ia temui. Onew hendak beranjak saat Esther menahan tangannya. ―Kumohon, aku mempercayaimu. Key adikku satu-satunya, ia juga tulang punggung keluarga kami di sini. Jangan tangkap dia meskipun kenyataannya dia benar-benar menculik Elspeth. Aku yakin putri bangsawan itu juga mencintai Key,‖ bisik Esther, kedua mata birunya menatap Onew tajam. *** Bluebell mengaduk lagi kualinya, mencium aroma yang muncul dari kepulan asap kualinya. Ah! Tidak salah lagi! Sup kentangnya akan memilik rasa yang sempurna. Ia menaburkan sejenis rempah-rempah untuk menambah rasa pada supnya, lalu melirik ke meja makan yang ada di belakangnya. Matanya berbinar menatap dua buah mangkuk dan piring yang telah tertata rapi di sana, begitu juga dengan sendok dan gelas. Rasanya ia tidak sabar menunggu waktu makan malam tiba, yang artinya adalah Onew akan segera pulang. Hari ini Bluebell sengaja ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan supnya. Ia merasa bersalah saat mengingat lagi bagaimana pagi ini ia membangunkan Onew. Memang menyebalkan bahwa Onew tidur selama 12 jam tanpa terbangun sedikitpun. Oh! Bahkan Onew tertidur sebelum ia berhasil masuk ke dalam rumah. Jelas saja itu menyebalkan bagi Bluebell, ia tidak bisa menghabiskan malam bersama Onew untuk sekedar mengobrol atau hanya memandangi wajah Onew semalaman. Tapi, tidak seharusnya ia bersikap seperti itu pada Onew, apalagi menampar Onew hanya untuk membangunkan lelaki itu. Onew pasti sangat lelah dengan pekerjaannya.
12
Dan inilah kesempatan bagi Bluebell untuk menebus kesalahannya. Ia yakin, Onew akan suka dengan sup kentangnya. Oh! Ia lupa bahwa Onew selalu suka masakannya. Bluebell baru saja mematikan api saat terdengar suara pintu depan dibuka seseorang, derap langkah kaki terdengar mendekat. Dengan cepat Bluebell menuangkan sup panas ke dalam mangkuk, ia tahu Onew sudah pulang. ―Ouch!‖ Gadis itu mengerang saat sup panas mengenai telunjuk kirinya, tapi dengan cepat ia menghisap jari telunjuknya. Bluebell tergesa-gesa meninggalkan kualinya saat terdengar suara pintu lain yang dibuka lalu ditutup. Ia harus segera menyapa Onew, mungkin laki-laki itu mengira Bluebell masih marah padanya dan segera masuk ke kamar. Bluebell melepas apronnya cepat, lalu merapikan lagi rambutnya seiring dengan langkahnya menuju kamar. Satu, dua, tiga, Bluebell menghitung dalam hati sebelum ia mengetuk pintu.
Tok tok tok
Tak ada jawaban. ‗Apa ia mengira aku masih marah padanya?‘ batin Bluebell. Perlahan Bluebell memutar kenop pintu, mendorong pintu seukuran tubuhnya. Ia menghela napas, melihat lelaki itu telah tergolek di atas ranjang. Bahkan Onew belum melepas sepatu boot-nya. ―Onew!‖ panggil Bluebell, lantas ia mengguncangkan tubuh Onew. Lelaki itu bergeming, tetap memejamkan kedua matanya seolah tidak pernah mendengar suara Bluebell. ―Onew!‖ panggil Bluebell lagi, kali ini ia mengguncang tubuh Onew lebih keras. Masih tidak ada respon, lelaki itu bahkan mulai mendengkur. Bluebell menghela napas, kekesalannya kembali muncul. Belum sampai satu menit Onew sampai di rumah dan ia segera terlelap begitu tubuhnya menempel pada ranjang. Dengan perasaan kesal, akhirnya Bluebell mengalah. Membiarkan Onew terlelap, yang artinya ia akan makan malam sendiri lagi. Bluebell melepas sepatu boot Onew, lalu merapikan posisi tidur lelaki itu. Ditatapnya wajah lelaki itu. Sepertinya benar, Onew memang kelelahan. Ah! Hari esok Bluebell harus memaksa Onew pergi ke dokter, pikir Bluebell. *** Onew melangkah gontai menapaki halaman sempit rumahnya. Ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu lelah dan benar-benar memerlukan tidur. Tidak biasanya ia seperti ini. Bahkan Inspektur Skimhead membatalkan penyeledikan mereka ke Nobotte Wood di Althorp hanya karena Onew tidak fokus dan terus menguap. Entah sudah berapa gelas kopi yang ia minum setiap singgah di sepanjang perjalanan mereka ke tempat yang dipenuhi perkebunan dan ladang berburu itu, tapi nyatanya itu tidak sedikitpun mengurangi rasa kantuk yang mendera Onew. Malam belum terlalu larut, dan Onew telah diijinkan pulang oleh Inspektur Skimhead. Mereka akan melanjutkan penyelidikan besok pagi jam 9. Lagi-lagi Onew menguap sepanjang perjalanannya, ia benar-benar merasa sangat lelah. Seperti tidak tidur untuk waktu yang lama, dan satu-satunya hal yang ia perlukan saat ini adalah tidur.
KLEK
Onew memutar kenop pintu rumahnya, melangkah begitu saja menuju kamar. Ia tahu seharusnya ia menyapa Bluebell terlebih dahulu dan mengatakan bahwa ia akan melewatkan makan malam karena rasa kantuk yang terus menderanya. Tapi sayangnya, Onew bahkan tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal itu. Kedua matanya begitu berat, dan tubuhnya terasa remuk. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk segera masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, meski ia mencium aroma sedap dari dapur. Dan dalam hitungan detik, ia segera terlelap.
13
Onew mengerang pelan, ia masih merasa ngantuk saat perutnya terasa begitu lapar. Susah payah ia membuka kedua matanya yang begitu berat. Ah! Sepertinya ia baru tertidur dua jam dan harus terbangun karena lapar. Onew menggeliat, menguap lebar sebelum akhirnya beranjak dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia menatap dirinya, menatap seragam polisi yang masih menempel di tubuhnya. Ia rasa ia benar-benar lelah, hingga tidak sanggup untuk mengganti pakaian. Baiklah! Ia rasa ia harus segera makan, selain itu ia harus meminta maaf pada Bluebell. Gadis itu pasti tidak senang karena dirinya pulang dan tertidur begitu saja tanpa mengatakan apapun. Terlebih lagi kejadian di pagi hari saat Bluebell membangunkannya sudah lebih dari cukup bagi Onew untuk meminta maaf pada Bluebell. Onew baru saja hendak beranjak saat kedua matanya menangkap dua sosok yang tidak asing. Kedua sosok itu duduk di kursi kayu di hadapan Onew. Menatap Onew penuh selidik. Onew merasa ada sesuatu yang salah, lantas ia melirik jendela kamar. Ah! Rupanya sudah pagi. Baiklah, ia tertidur hingga pagi dan terlambat menemui Inspektur Skimhead. Hei! Seterlambat apakah ia hingga Inspektur Skimhead datang ke rumahnya? Dan, ah! Wajah Bluebell seolah sedang bertanya-tanya, ada segurat kekhawatiran yang tergambar di wajah cantik gadis itu. ―Sudah bangun, Onew?‖ tanya Inspektur Skimhead, lantas ia menyesap lagi rokoknya yang tinggal seperempat. Onew merasa sangat malu. Celakalah! Inspektur Skimhead pasti sangat murka, pikir Onew. ―Oh! Selamat pagi, Inspektur.‖ Onew segera bangkit dan menegapkan tubuhnya, memberi hormat pada Inspektur Skimhead. ―Kurasa kau perlu memeriksakan dirimu ke dokter,‖ ucap Inspektur Skimhead, ia kemudian beranjak dari kursinya. ―Saya hanya merasa terlalu lelah, Inspektur. Maafkan saya.‖ Onew segera meminta maaf, ia tahu bahwa Inspektur Skimhead sedang menyindirnya. Inspektur Skimhead menatap Onew, melihat gurat-gurat lelah di wajah opsirnya. Kedua mata Onew sedikit merah, juga wajahnya terlihat begitu berantakan. Seperti orang yang sama sekali belum tidur selama tiga hari. ―Apa tidur dua hari sudah cukup bagimu?‖ tanya Inspektur Skimhead, membuat Onew terbelalak. ―Du-dua hari?‖ Onew tergagap, pasti Inspektur Skimhead sedang menyindirnya lagi. Ia hanya terlelap hingga pagi, mana mungkin dua hari sudah berlalu? Kedua mata Onew menatap Inspektur Skimhead dan Bluebell bergantian. ―Maafkan Saya, Inspektur. Saya terlambat menemui Anda untuk perjalanan ke Nobotte Wood. Saya akan segera bersiap-siap.‖ Onew membungkukkan tubuhnya sebagai permintaan maaf, kemudian hendak beranjak saat tangan Bluebell menahannya. Gadis itu menatap Onew penuh kekhawatiran. ―Onew, kau benar-benar tertidur selama dua hari,‖ terang Bluebell cemas. Onew membelalakkan lagi kedua matanya. Tidak mungkin! Pasti Bluebell dan Inspektur Skimhead telah besekongkol untuk mengerjainya, pikir Onew. *** Murung dan bingung. Inspektur Skimhead memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Onew dalam penyelidikan kasus penculikan Elspeth. Ada banyak yang dikhawatirkan inspektur kepala itu, salah satunya adalah nama baik kepolisian Scotland Yard. Lelaki paruh baya berkumis tebal dan berkepala botak itu hanya mengatakan bahwa ia dan tim baru bentukannya akan segera melakukan penyelidikan ke Nobotte Wood, mereka akan menyisir seluruh daerah Althorp bila perlu. Sayangnya, Onew masih menyembunyikan kenyataan bahwa Vladimir Fox adalah keturunan Asia bernama asli Key. Serta kebenaran bahwa tempat itu merupakan perkebunan keluarga yang kemungkinan dihuni banyak orang Asia. Entah kenapa, ia enggan memberitahukan semua itu. Inspektur Skimhead memberikan cuti pada Onew selama dua minggu. Itu artinya, Onew tidak diperbolehkan bekerja sampai tahun baru. Dan tentu saja inspektur Skimhead pasti akan menjadikan liburan tahun baru untuk kembali meliburkannya, jika saja kesehatan Onew belum membaik. Onew merasa teramat sangat
14
kecewa pada dirinya sendiri. Hanya karena ketiduran selama dua hari, membuatnya benar-benar kehilangan kepercayaan atasannya tersebut. Inspektur dengan tegas menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter hari itu juga. Bluebell juga ikut-ikutan memaksanya. Onew yakin dia cuma kelelahan. Ya, pasti hanya kelelahan. Bukan hal lain. "Anda hanya kelelahan. Tidak ada gangguan lain. Anda tidak perlu khawatir." Ucapan dokter jelas membuat Onew girang sekaligus membuat Bluebell tidak percaya. Gadis itu menautkan alis, "Anda pasti salah, Dok. Tidak mungkin orang yang tidur dua hari berturut-turut hanya menderita kelelahan biasa. Pasti ada yang salah dengan dirinya. Saya yakin!" ucapnya ngotot. Dokter yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu hanya tersenyum bijaksana, "Kenapa Anda begitu khawatir, Miss? Bagaimana keadaannya saat tertidur? Bukankah dia-" tanya si dokter bijaksana. "Tapi dia bahkan tak sadar saat melakukannya. Oh, aku tidak tahu, Dokter. Begitu aku bangun, makanan yang kusediakan di dekatnya sudah habis dan air di kamar mandi tampak berkurang. Mungkin saja semua kegiatan berupa makan dan buang air itu hanya dugaan. Bisa saja...bisa saja... itu dilakukan oleh orang lain! Ah, atau tikus! Bisa saja, bukan? Aku yakin Onew benar-benar sakit! Aku yakin, Dokter!" potong Bluebell. Semua kemungkinan terburuk muncul di kepalanya. Jelas Onew adalah orang yang amat berharga baginya, dan di relung hatinya ia merasa harus menjaga lelaki oriental itu. ―Listen, Miss. Anda tidak perlu khawatir. Saya benar-benar yakin dia hanya kelelahan. Jika Anda masih belum yakin, saya akan meresepkan obat penenang padanya sehingga dia dapat beristirahat cukup dan baik saat ia merasa lelah. Okay?‖ ujar si Dokter kalem. Bluebell menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mengangguk setuju. Onew—yang tak sadar menahan napasnya sedari tadi—mulai menghembuskan napas lega. Ia tidak mau dibebani kewajiban makan obat atau terapi atau... ah, apapun itu yang menyulitkannya dan pekerjaannya. Akhirnya mereka pun undur diri dan pulang setelah menebus resep. ―Kau harus memakan obatnya dengan benar, Mr. Lee! Aku akan menjadi pengawasmu!! Akan kupastikan kau sembuh sebelum Natal, sehingga kita bisa menghias rumah bersama dengan semua pernak-pernik Natal seperti tahun-tahun sebelumnya!‖ ucap Bluebell tegas. Onew tersenyum kecut mendengarnya. Sebenarnya ia enggan mengkonsumsi obat-obatan, tapi kelihatannya kali ini Bluebell benar-benar akan memaksanya. Ia tersenyum, sebuah rencana muncul di otaknya. ―Allright, Miss Constantia. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan, apapun yang kau senangi,‖ tuturnya sambil tersenyum manis. Topi cokelat yang sama lusuh dengan coat-nya itu ia lepas, lalu ia mengambil langkah mundur di depan Bluebell. Rambut hitam setengkuknya yang agak kemerahan dihembus sepoi angin dingin. Bluebell mengernyitkan dahi, ―Kenapa kau berkata begitu? Aku jadi tak yakin-‖ Gemuruh mulai melanda dada gadis itu seiring senyum Onew yang semakin lebar dan jarak mereka yang entah kenapa semakin dekat. Bluebell menelan ludah. ―Aku hanya penasaran, young Lady,‖ lanjut Onew. Sinar mata pemangsa yang menggoda, berbinar di manik cokelat kelamnya. ―Kenapa kau begitu peduli padaku? Aku hanya seorang penyewa di tempatmu. Tidakkah kau kira kita terlalu dekat? Apa kau punya alasan logis yang dapat menjelaskan kedekatan kita? Oh, atau setidaknya kekhawatiranmu yang berlebihan?‖ Onew tersenyum penuh arti sambil melirik sepasang mata hijau gadis berambut merah itu. Ia menangkap munculnya semburat merah muda di pipi gadis itu. ―Jangan-jangan, kau memiliki perasaan khusus padaku?‖ tanyanya to the point. Kalimat tadi jelas membuat Bluebell salah tingkah, tampak dari wajah dan telinganya yang memerah. Suaranya bergetar, sementara tangannya sibuk menggenggam ujung sweater-nya. ―Si...siapa bilang? Memangnya siapa yang peduli padamu?! Aku tidak merasa-‖ ―Oh, kalau begitu kau tidak peduli padaku?‖ potong Onew dengan wajah yang terlihat sedih. Hati Bluebell malah terenyuh melihat ekspresi polos lelaki itu, ia hanya mampu terdiam sambil mengalihkan pandangannya
15
ke kerah coat Onew. Langkah keduanya terhenti. Onew tersenyum, ―yang mana yang benar, Bells? Kau pasti peduli padaku, bukan? Wajahmu menunjukkannya dengan jelas, Bells,‖ bisiknya sambil meraih wajah kemerahan Bluebell. Panas menjalar dari kedua permukaan kulit yang saling bersentuhan itu, mengedarkan sengatan listrik ringan ke jantung Bluebell yang berdetak lebih cepat dari biasanya. ―Aku yakin, Bells. Kau menyukaiku, bukan?‖ Bisikan Onew tepat di telinga kiri Bluebell sontak membuat tubuh gadis itu seakan diserang ribuan volt listrik. Sentuhan lelaki itu pada pipinya saja sudah hampir membuat tingkahnya tak terkendali. Apalagi dengan rentetan kata yang disertai terpaan napas hangat Onew yang menembus hawa dingin itu? Panas segera menjalar cepat di sekujur tubuh Bluebell, dadanya bergemuruh keras dan ia terus berdoa agar Onew tak dapat mendengarnya. Ia terus mengalihkan pandangannya ke arah lain, sementara napasnya tertahan. Hanya satu kata yang berhasil keluar dari bibirnya, ―Ti...tidak...‖ ―Apa kau mencintaiku, Bells?‖
DEG
Bluebell langsung mengalihkan pandangannya, menatap langsung ke dalam manik kelam Onew. Mata sipit Onew serasa memangsa dirinya, membekukannya seperti batu. Sementara darah mengalir deras dalam pembuluh darahnya. Napas keduanya seakan bersatu, sementara detak jantung terus berpacu. Hidung keduanya menempel, menciptakan uap-uap putih hasil napas panas mereka yang beradu dengan udara beku. Selama ini Bluebell tak pernah memikirkan bagaimana perasaannya pada lelaki yang telah tiga tahun tinggal seatap dengannya itu. Ia hanya merasa nyaman, ia tahu itu. Tapi setiap senyuman dan tawa Onew membuat hatinya bahagia. Ia ingin mereka terus bersama. Ia ingin Onew bisa selalu berada di sisinya dan tentu saja dalam keadaan sehat. Ia belum mau kehilangan sinar mata penuh semangat Onew dari hidupnya—yang selama ini ia anggap tak berharga. Onew kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Bluebell. Senyum merekah jenaka di bibir tebalnya, ―Benar begitu ‗kan, Miss Bluebell Constantia?‖ bisiknya dengan suara parau. Bluebell langsung terkesiap menyadari posisinya. Ia merangsek lepas dari sentuhan Onew. Warna merah tergambar jelas di kulit putihnya. Matanya menangkap senyum nakal pada bibir lelaki di hadapannya dan rasa sebal langsung menyadap semua akalnya. Ia mengepalkan tangan lalu berkata lantang, ―Tidak! Aku tidak mencintaimu! Aku tidak peduli padamu! Lakukan semuanya sesukamu!!!‖ Dan gadis itu pun berbalik pergi. Onew tertawa-tawa di tempatnya, sadar bahwa Bluebell sudah tau bahwa dia hanya bercanda. Yah, mungkin dia agak kelewatan kali ini, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk... ―Bells, aku tidak akan pulang selama dua atau tiga hari! Jangan cemaskan aku, okay?‖ teriak Onew menembus keramaian orang yang lalu lalang. Langkah Bluebell terhenti saat akal sehat kembali penuh dalam pikirannya. Ia berbalik lagi, namun sosok Onew sama sekali tak dapat ditemukannya. Bluebell menepuk kening saat menyadari kebodohannya. Ia melepas napas kesal sementara matanya menjelajah resah, ―Kenapa aku bisa setolol ini? Dia pasti berkata begitu hanya agar bisa lepas dariku! Ah, dia pasti pergi ke Nobotte Wood. Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini pada Inspektur Skimhead?‖ gumamnya gelisah. Pandangan mata manusia yang terbatas tak mampu membelah keramaian kota London dalam sekali pandang. Dalam
semilir
angin
dingin
dan
cuaca
yang
amat
tak
bersahabat,
lebih
banyak
pikiran
yang
membayangkan fish and chips panas tersuguh di hadapan mereka untuk menghangatkan isi perut yang ikut ditusuk dingin. Tak ada seorang pun yang sadar ataupun peduli pada lelaki muda ber-coat coklat tua yang telah menyewa seekor kuda dan langsung membawanya membelah keramaian kota kelabu itu dalam langkah
16
kencang yang pasti. Si penunggang memandang jalan dalam pelukan rasa lelah. Yang ada di pikirannya hanya satu saat ini, Nobotte Wood di Althorp.
Part 2
Inspektur Skimhead mendecak putus asa. Ia dan timnya sudah menyisir seluruh daerah Althorp, termasuk Nobotte Wood. Namun tak ada seorang pun yang mengenal Vladimir Fox ataupun mengaku pernah mengenalnya. Malahan pemilik sebuah kediaman yang dikelilingi perkebunan Winch House menolak mentahmentah kedatangannya. Pemiliknya seorang lelaki oriental tua yang tampak pemarah. Ia menggumamkan bahasa yang tak dikenal sang Inspektur lalu mengucap kata-kata seperti Natal dan tahun baru di sela-sela kalimatnya. Inspektur Skimhead akhirnya tak memaksa lelaki tua itu lebih jauh. Setelah menyisir daerah itu berkali-kali, akhirnya ia menghentikan sementara pencarian dan memutuskan untuk kembali ke kediaman Esther. Otaknya berpikir keras bagaimana cara agar wanita muda itu mengatakan di mana adiknya, walau dengan paksaan sekalipun. "Inspektur, seluruh tim sudah berkumpul. Kami menunggu perintah Anda," ucap seorang opsir dengan penuh hormat. Inspektur Skimhead menghela napas panjang, lalu melirik kembali bangunan Winch House yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Hanya itu satu-satunya bangunan yang belum digeledah, tapi ia tak bisa menggeladah paksa begitu saja. Ia menghela napas panjang. Jika saja Onew Lee ada di sampingnya sekarang, lelaki muda itu pasti akan memberikan saran atau malah membujuk si lelaki tua itu dengan cara yang... Ah, pasti ada yang dapat Onew lakukan untuk mempermudah penyelidikan! Lelaki botak itu mulai menyesali keputusannya meliburkan Onew. "Baiklah, kita kembali ke kantor pusat. Besok pagi-pagi sekali kita akan mendatangi rumah saudari Vladimir Fox. Pokoknya, kita harus menyelesaikan kasus ini sebelum Natal tiba," putusnya. Si opsir mengiyakan dan akhirnya rombongan mereka pun kembali ke London. Tak ada yang sadar bahwa sepasang mata memperhatikan mereka dengan tajam sedari tadi. Langkah sepasang kaki berbalut boot hitam butut menyusuri jalan kecil dengan tumpukan alat-alat berkebun dan barang-barang bekas di sekelilingnya. Jalan itu berakhir di depan pintu sebuah rumah batu yang tampak usang dan kurang terawat. Di belakang rumah tersebut terhampar kebun sempit yang hanya berbataskan pagar kayu yang sudah lapuk dan keropos di sana-sini. Pemilik langkah kaki itu menarik napas dalam-dalam sebelum membimbing senyum di wajahnya. Ia mengetuk pintu lapuk di depannya.
TOK TOK
Lelaki itu mendengar suara derap kaki yang bergemuruh di sepanjang lantai kayu. Rasa gugup menyergap dirinya saat pemilik rumah membukakan pintu. Seorang lelaki tua berambut uban dengan tubuh kecil tegap tampil di hadapannya. Wajahnya tak bersahabat dan mata sipitnya menatap tajam. "Siapa kau?" tanya pemilik rumah parau. Lelaki asing berambut hitam di depannya tampak agak gugup. Kedua pasang mata sipit itu saling berpandangan saat si lelaki asing berkata, "Saya...saya Onew Lee. Saya mencari seseorang bernama Key, lelaki muda keturunan Asia. Apakah dia ada di sini?" tuturnya. Lelaki tua itu mengernyitkan alis, "Kau bilang namamu 'Lee'?" "Ya. Saya Onew Lee... saya-" "Taemin! Kemari! Apa kau mengenal lelaki ini?" potong lelaki tua itu. Onew menggerutu dalam hati. Ia sudah mengumpulkan banyak keberanian untuk datang ke tempat asing itu. Setidaknya lelaki tua itu harus
17
mendengarnya sampai selesai dulu, bukan? Keduanya diam sambil menanti kedatangan orang yang namanya dipanggil si pemilik rumah. Lelaki tua itu melirik Onew sekilas dan wajahnya mulai melembut. Pandangannya kembali ke dalam rumah saat seorang remaja berambut hitam berponi mendekati keduanya. Pandangan ramah dan kekanakan si remaja membuat hati Onew terasa hangat dan nyaman. "Ne, Kim ahjussi?" ucap si remaja yang sepertinya bernama Taemin itu dengan bahasa yang tidak mengerti Onew. Lelaki tua tadi mengarahkan jempolnya pada Onew, "Kau mengenalnya? Marganya 'Lee'. Namanya Onew Lee" Si lelaki langsung berbalik pergi, meninggalkan Onew yang bingung sementara Taemin terus memperhatikannya dari ujung rambut hingga kaki. Ia menatap lekat sepasang mata coklat kelam Onew yang dihiasi gurat lelah. Setelah beberapa detik ditelan canggung, Taemin buka suara. "Ah! Kau pasti anak angkat keluarga Marquis Leincesterberry yang dibuang beberapa tahun lalu itu, ya?" gumamnya. Jujur saja kalimat itu agak menyinggung Onew, terutama kata 'dibuang' di sela-selanya. Onew hanya tersenyum tipis mengiyakan. "Ah, maafkan aku. Bukan maksudku menyinggung. Aku juga minta maaf atas nama keluargaku karena membuatmu mengalami hal yang
tidak
menyenangkan seperti itu,"
sesal Taemin. Senyum sendu
kekanakannya mampu meluluhkan hati Onew. Opsir muda itu hanya balas tersenyum heran, "Kau...?" "Ah, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Lee Taemin, 19 tahun. Mmmm... Aku tidak punya nama Inggris, terlalu malas bergaul dengan kaum kulit putih yang pongah itu. Panggil saja aku Taemin. Aku yakin kau lebih tua dariku," ujar Taemin ceria. Onew jadi mengerti kenapa Taemin minta maaf padanya. Lelaki yang lebih muda darinya itu melebarkan pintu dan mempersilakannya masuk, "aku tidak tahu apa urusanmu di sini, tapi Kim ahjussi selalu membiarkan setiap keturunan Asia keluar-masuk bangunan ini. Jadi, tak apa. Semua saling membantu. Yah, kau tau betapa sulitnya bagi kita hidup di sini." Onew tak begitu memperhatikan omongan lawan bicaranya sementara keduanya mulai menjelajah rumah. Ternyata isi rumah tersebut jauh lebih bagus dari tampilan luarnya. Dari penjelasan Taemin, Onew jadi tahu bahwa rumah itu milik lelaki keturunan Korea yang berlayar ke Inggris di masa mudanya. Hidup sebagai pendatang di London ternyata tidak mudah. Beratnya hidup membuatnya sulit percaya pada orang-orang kulit putih. Lelaki itu selalu memperlakukan keturunan Asia—terutama Korea—dengan sangat baik dan akhirnya meninggal. Lalu mewariskan hartanya pada si anak, yaitu lelaki tua yang Onew temui tadi. Kenyataan bahwa ayahnya tewas karena dibunuh penduduk setempat membuat lelaki tua bernama Kim Youngwoon itu mendendam pada orang Inggris dan tak pernah mau berhubungan dengan orang kulit putih manapun. Namun ia tetap bersikap baik pada keturunan Asia, sama seperti ayahnya. "Sebenarnya Kim ahjussi punya banyak saudara, makanya ada banyak orang yang sering keluar-masuk tempat ini. Oh, ya! Kebun miliknya bukan hanya yang dibatasi pagar kayu itu. Di luar pagar kayu itu masih miliknya," celoteh Taemin panjang lebar. Onew hanya menanggapi dengan anggukan sesekali. Baru kali ini Onew bersyukur memiliki darah—yang sepertinya—keturunan Asia. Namun sekarang, ia berpikir keras bagaimana ia harus bertanya tentang Key. "Oh, ya. Apa urusanmu ke sini?" 'Akhirnya!' pikir Onew. Tanpa sadar ia tersenyum cerah, "Oh, aku mencari lelaki bernama Key. Menurut saudarinya—Esther—kemungkinan besar ia berada di sini. Apa mungkin kau tahu sesuatu tentang itu?" tanyanya langsung. Ia jadi berubah antusias. Padahal sedari tadi ia merasa amat lelah sekaligus amat rindu pada ranjangnya di rumah. Ia menatap Taemin penuh harap, sementara keduanya masih terus berjalan menyusuri koridor. "Oh, Key Hyung? Sampai kemarin malam dia ada di sini, tapi dia keluar tadi pagi. Katanya ada hal yang perlu ia urus. Aku tidak tahu kenapa, tapi Key Hyung yang biasanya ceria dan cerewet malah sangat depresi akhirakhir ini," gumam Taemin. Keduanya sampai di suatu ruangan besar di ujung lorong. Di sana duduk dua orang lelaki yang wajahnya juga tampak asing untuk negara kulit putih seperti Inggris. Yang seorang bersenderkan
18
tembok di dekat perapian, sementara yang satunya sibuk menuliskan sesuatu di sudut ruangan. Lelaki berbaju mahal di dekat perapian melambaikan tangan ke arah mereka, senyum terulas tipis di bibir kemerahannya. "Hai, Hyung. Apa kau tahu Key Hyung ke mana? Ada yang mencarinya. " Taemin menunjuk sekilas ke arah Onew yang tersenyum canggung di ambang pintu. Lelaki di hadapannya tampak sangar. Warna rambutnya aneh, seperti lapisan tiga warna. Lelaki itu memandangnya tajam seperti pemangsa, tampak raut tidak suka di sana. Onew menelan ludah. ‗Hal baik apa yang bisa ia harapkan di rumah orang?‘ pikirnya. Lelaki berwajah garang itu mengatakan sesuatu pada Taemin dengan bahasa yang tak dapat Onew mengerti. Taemin hanya mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian laki-laki itu berjalan menghampiri Onew, tangannya ia julurkan, menanti genggaman salam dari Onew. Ia tersenyum dan Onew mulai merasakan keramahan dari senyumnya. Wajah lelaki di hadapannya berubah manis, seperti anak anjing mungil yang penurut dan ingin disayang. ―Good evening, Mr. Lee. Namaku Tyson Nathaniel Ferrers, beberapa orang memanggilku Earl Ferrers. Kau bisa menyebutku Kim Jonghyun di sini. Senang berkenalan denganmu,‖ tutur laki-laki itu ringan. Onew terperangah. Ternyata lelaki muda di hadapannya ini bahkan sudah menyandang gelar Earl, pasti ia dari keluarga penting. Tiba-tiba ia agak salah tingkah dan berubah hormat seperti sikapnya bekerja di kepolisian. ―Senang berkenalan dengan Anda juga, Sir. Saya Onew Lee,‖ ucapnya gugup. Jonghyun terbahak melihat tingkahnya lalu menepuk-nepuk bahu lelaki itu setelah berjabat tangan, ―Tidak perlu kaku begitu. Kita semua bersaudara di sini. Kau seperti tentara saja,‖ ucapnya geli. Ia membimbing Onew menuju perapian dengan santainya. Onew sendiri tiba-tiba sadar akan sikapnya yang memang berubah seharian ini. Tidak biasanya ia seperti ini. Ada apa dengannya? ―Ah, Minho! Beri salam pada tamu kita!‖ ujarnya nyaring pada lelaki berbadan tegap yang terlalu sibuk dengan tumpukan buku di sekitarnya. Orang itu hanya melempar senyum ramah sekilas sebelum melanjutkan kegiatannya. Jonghyun menggeleng-gelengkan kepala sambil menghembus napas malas, ―dasar! Dia selalu dingin begitu. Jangan terlalu dimasukkan ke hati, ya. Temannya memang hanya buku dan kasus.‖ ―Memangnya apa pekerjaannya?‖ tanya Onew penasaran. ―Ah, dia hanya detektif swasta yang kurang terkenal. Setahun lalu ia gagal masuk Scotland Yard karena kurang koneksi. Sayang sekali untuk bocah pintar sepertinya,‖ celoteh Jonghyun miris. ―Oh ya, namanya Choi Minho. Dia yatim piatu yang dipungut Kim ahjussi tujuh tahun lalu.‖ ―East End?‖ tanya Onew lagi. Jonghyun tersenyum kecil sambil menuang teh ke dalam tea set di atas meja. ―Bukan. Nasibnya sedikit beruntung karena ayahnya sempat mendapat pekerjaan di London sebelum meninggal.‖ Lelaki itu menyodorkan secangkir teh Darjeeling pada Onew seraya duduk di hadapannya, ―dan kau?
Apa
urusanmu
ke
mari?
Sepertinya
kau
berhubungan
dengan
kawanan
polisi
yang
diusir
Kim ahjussi siang tadi.‖ ―Oh, tebakan Anda tepat sekali,‖ jawabnya malu. Akhirnya Onew menceritakan maksudnya datang ke tempat itu sekaligus libur yang diberikan atasannya karena panjang tidurnya yang abnormal. Jonghyun mendengarkan dengan seksama sambil menyesap tehnya sesekali. ―Intinya kau mencari Key, ‗kan?‖ simpul Jonghyun. Earl muda itu bangkit lalu menambah kayu bakar ke dalam panasnya perapian. Onew mengangguk ringan. Air muka Jonghyun berubah tegang walau ia berusaha menutupinya mati-matian. Onew mulai memasang mata siaga. ―Memang benar Elspeth diculik. Aku, Key, dan Taemin bersama dengannya saat itu. Tentu bukan hanya kami. Puluhan orang diundang Duke of Windsor Gregory hari itu dalam sebuah jamuan makan malam. Aku datang sebagai tamu kehormatan, sementara Taemin datang untuk mengirimkan bahan makanan yang dipesan bangsawan itu. Lady Elspeth tidak suka keramaian, dia meminta Key yang tengah berbincang denganku dan Taemin untuk menyingkir dari tempat pesta bersamanya. Kami memutuskan pergi ke tempat kediamanku
19
dengan kereta kuda terpisah. Elspeth dan Key, sementara aku dengan Taemin. Kami sempat terhenti saat ada gerombolan polisi Scotland Yard memaksa kami berhenti untuk melakukan pemeriksaan dadakan. Mereka menyebutkan bahwa ada pencuri kabur yang suka menyembunyikan diri di kereta kuda,‖ ungkap Jonghyun. Pikiran Onew mulai mengawang. Ia memang mengingat pemeriksaan tersebut karena sempat terlibat sekilas di dalamnya. ―Saat kereta kami dihentikan, kami memutuskan untuk turun dan melihat sekeliling sesaat. Aku... aku tidak begitu mampu mengingat kejadian tersebut karena terlalu mabuk. Taemin memapahku kembali ke kereta kuda dan ingatanku hanya sampai di situ. Begitu bangun, aku sudah ada di kediamanku dan mendapat berita bahwa Elspeth hilang diculik malam itu. Buktinya adalah sobekan gaunnya di dekat lokasi kejadian dan teriakan yang sempat didengar beberapa orang malam itu. Selebihnya, aku tidak tahu lagi.‖ Onew mendecak dalam hati mendengar kisah gantung itu. Ia butuh keterangan yang lebih banyak. Ada terlalu banyak tersangka dalam cerita Jonghyun. Ia mengambil pena dan buku kecil dari saku jasnya dan menuliskan keterangan penting yang disampaikan Jonghyun. Ia kembali bertanya, ―Key masih dinyatakan hilang dan paling dicurigai sebagai tersangka dalam kasus ini. Bukankah Key sempat datang ke mari? Apa yang ia katakan?‖ ―Ia hanya diam. Sangat sulit diajak bicara. Yang ia sebut hanya nama Elspeth. Kondisinya cukup aneh. Ada beberapa bekas bercak darah di kemeja dan wajahnya. Entah itu miliknya atau bukan, aku tidak tahu. Seperti orang linglung yang dihinggapi berbagai kebingungan dan ketakutan. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa ia jadi seperti itu. Setelah makan, ia mengemasi beberapa potong roti lalu pergi membawanya,‖ jawab Jonghyun. Kerutan halus tampil di keningnya yang kusam. Matanya menyiratkan ada beberapa hal yang tengah ia pikirkan. Entah itu berupa kebingungan, cemas, atau justru ketakutan. ―Apa kau tahu di mana Key sekarang?‖ tanya Onew lagi. Sepertinya ia memang harus bertanya langsung pada Key selaku orang terdekat Elspeth saat itu. Jonghyun tersenyum lemah lalu menggeleng pelan. Onew mengerang frustasi. Ia mengacak rambutnya sekilas sementara sakit kepala mendera otaknya, membuatnya sulit berpikir jernih. Ia tak tahu sampai kapan dapat menahan rasa kantuknya. ―Satu pertanyaan lagi,‖ gumam Onew, berusaha untuk kembali fokus pada pekerjaannya. ―Apa Key memang mencintai Elspeth?‖ Jonghyun tersenyum penuh makna, senyum yang sangat aneh bagi Onew. Seakan ada banyak hal yang tersembunyi dari tarikan garis di bibir tipis lelaki bersuara nyaring itu. ―Dia memang mencintai Elspeth sekaligus membencinya. Tekanan yang diberikan Duke of Windsor Gregory selama menjadi pengawal pribadi gadis itu membuatnya tertekan. Sebagai orang muda, kau pasti tahu bahwa antara rasa cinta dan benci hanya dibatasi garis tipis yang disebut kesadaran.‖ *** Onew menyandarkan punggungnya pada tembok batu yang dingin. Ia memutuskan untuk melewatkan malam sambil berpikir di rumah itu. Kim Youngwoon tidak melarangnya, malah memperlakukakannya dengan jauh lebih baik dari pertemuan pertama mereka tadi. Earl Ferrers kembali ke Middlewich House—kediamannya yang cukup jauh dari tempat itu. Sementara Minho masih berada di tempatnya. Onew tidak tahu apa yang dipikirkan lelaki pendiam itu walau di dalam hatinya ia sangat berharap Minho mau membantunya menyelidiki kasus tersebut. Taemin mengatakan dia ingin pulang sebentar ke rumah keluarga Lee di London untuk mengantarkan beberapa pesanan pelanggan. Ia berjanji akan kembali ke Winch House malam itu. Mata Onew tertuju pada perapian yang tak jauh dari tempatnya duduk, menahan kantuk luar biasa dan berusaha untuk tetap berpikir. ―Dua hari sudah cukup... dua hari sudah cukup...,‖ gumamnya pelan pada diri sendiri. ―Apa yang kau katakan?‖
20
Onew terlonjak kaget dari tempatnya duduk, sementara Minho ternyata sudah duduk di sampingnya. Bibir Minho menyunggingkan senyum tertahan saat melihat Onew memegang dada, seolah berusaha menormalkan kembali detak jantungnya. ―Maaf jika aku mengagetkanmu, Hyung.‖ ―H...hyung?‖ ―Jonghyun Hyung mengatakan kalau kau lebih tua dari kami. Jadi kami harus memanggilmu ‗Hyung‘, jika kau tidak keberatan tentu saja,‖ jawab Minho tenang dengan suara beratnya yang khas. Onew terseyum kecil sambil menggeleng pelan, ―Tentu saja aku tidak keberatan. Suatu kehormatan bagiku diterima dengan baik di rumah ini.‖ Minho balas tersenyum, lalu pandangannya berubah serius. Onew jadi ikut tenggelam dalam suasana serius yang diciptakannya. ―Aku mendengar percakapanmu dengan Jonghyun Hyung tadi. Dan aku jadi ikut merasa penasaran dengan apa yang menimpa Elspeth. Aku ingin membantumu menyelidiki kasus penculikan Elspeth Windsor itu,‖ ucapnya tenang dan tegas. Ia menambahkan, ―ada sedikit hal yang kuketahui tentang malam itu, Hyung.‖ ―Apa itu?‖ ―Sebenarnya, Taemin tidak menyukai Elspeth dan keluarganya. Taemin salah satu orang yang paling keras menentang hubungan Key dan Elspeth—yang terlibat dalam romansa beda kasta itu. Alasan yang paling kuat dari rasa bencinya adalah perlakuan Duke of Windsor Gregory pada keluarga Lee. Bangsawan itu sering menuduh keluarga Lee melakukan kecurangan dagang atau mengirimkan sayuran busuk padanya. Namun beliau tetap selalu memesan sayur dan buah dari keluarga Lee.‖ ―Lalu? Spertinya kau curiga Taemin adalah pelaku kasus ini.‖ Minho mengangguk menanggapi ucapan Onew. Ia memperhatikan sekeliling, memastikan Kim Youngwoon tidak ada di dekat mereka. Ia mendekat ke arah Onew, lalu berujar dengan suara pelan, ―Taemin selalu membawa pisau tajam di saku belakangnya. Hanya ada beberapa orang yang tahu bahwa Taemin bisa amat kasar pada perempuan, terutama yang ia benci. Ada beberapa saksi yang mengatakan bahwa mereka melihat Taemin bersama Elspeth dan Key sesaat sebelum gadis itu hilang. Taemin juga sempat hilang beberapa jam setelah kejadian itu. Tapi ternyata, ia ditemukan tengah mengantarkan buah pesanan seorang janda tak jauh dari sini. Aneh sekali, bukan?‖ Minho menautkan jari-jari kedua tangannya sambil memandang Onew serius, ―aku curiga, Hyung. Taemin adalah adik kesayangan Key di sini. Key pasti mau melakukan apapun demi melindunginya. Jika saja Taemin memang sangat membenci Elspeth sampai menculik dan membunuhnya, jika saja Key tahu dan terlibat jauh di dalamnya, Key pasti bertindak untuk melindungi Taemin walau hal itu membahayakan ataupun merugikan dirinya sendiri,‖ ujarnya. Onew langsung bangkit dari duduknya. Wajahnya terlihat sangat serius. ―Kita harus bertemu dengan Taemin sekarang juga! Dia pasti tau sesuatu!!‖ Minho tak sempat menghentikan langkah cepat Onew yang segera keluar rumah. Ia hanya dapat memandang punggung lelah Onew lalu mengalihkan pandangan pada bukunya yang ada di sudut ruangan, buku catatan data penyelidikan kasus penculikan Elspeth yang ia kumpulkan sebelum bertemu dengan Onew. Minho kembali duduk, bersandarkan tembok sambil tetap berpikir. Ruangan yang temaram dengan cahaya perapian itu tampak semakin gelap bersamaan dengan kasus penculikan Elspeth yang mungkin saja telah berubah menjadi pembunuhan. *** Onew berlari keluar Winch House dengan langkah yang terasa amat berat. Matanya semakin berat. Meski begitu, semangat untuk menemui Taemin—setidaknya demi mendapatkan lebih banyak keterangan—masih ada di benaknya. Tapi ia sudah tak mampu lagi melangkah, dan langkahnya pun
terhenti seraya jatuh
terjerembab di atas tanah yang dingin. Ia tidak tahu kenapa masih terus merasa begitu lemah walau perutnya
21
sudah kenyang terisi makanan. Napasnya mulai tak teratur, sementara matanya semakin berat. Ia benarbenar butuh tidur sekarang. ―Tidak apa-apa kalau lima menit saja, bukan? Onew Lee, hanya lima menit... hanya lima menit....‖ Onew terus mengulang kalimat itu dalam benaknya, sementara matanya mulai tertutup rapat. Berbagai rasa campur aduk dalam hati dan pikirannya. Kasus penculikan itu, Esther, Winch House, Key, Taemin, Minho. Ah, bahkan Bluebell... gadis itu pasti menunggunya dengan cemas di rumah. *** ―Aaaaaakkkhhh!!!! Lepaskan aku! Kumohon lepaskan aku!!‖ Onew langsung bangkit dari pembaringannya dan mencari asal suara itu. Suara seorang gadis yang sangat lemah dan tak berdaya. Onew semakin mempercepat larinya saat si pemilik suara berteriak, ―Kumohon... aku masih ingin bersama ayahku... aku masih ingin tinggal di Windsor... kumohon, lepaskan aku!!!‖ Onew sampai di sebuah perkebunan dengan ilalang tinggi menjulang. Ia melihat seorang pria berbadan tinggi dengan pisau mengkilat berada di tangan kanan yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Tangan kirinya memegang ikatan yang menjerat erat tangan dan tubuh seorang gadis yang berjalan terseret-seret di belakangnya. Gadis itu terus menangis histeris sementara si lelaki yang memakai topi dan coat warna gelap itu tak mau menghentikan langkahnya. Onew terkesiap. Tindak kejahatan terpampang jelas di hadapannya. Ia menyesal tidak membawa pistolnya hari itu. Lelaki itu tampak kuat, Onew tak tahu harus berbuat apa. ―Hey, lepaskan dia!!‖ teriak Onew lantang dengan segenap keberaniannya. Kedua orang itu mendengar suara Onew dan menoleh cepat. Awan berarak, membiarkan cahaya bulan menembus sesaat menerpa daratan, memperlihatkan sepasang mata tajam layaknya seorang pembunuh menatap mangsanya. Mata itu menatap langsung ke arah Onew, mata sipit yang amat mengerikan. Onew disergap ketakutan luar biasa. Pemilik mata itu menyimpul tali yang mengekang si gadis pada kayu terdekat dan segera berlari ke arah Onew. Onew terkejut menyadari dirinyalah yang menjadi sasaran pria mengerikan dengan pisau di tangannya itu sekarang. Ia langsung berbalik lari, berjanji dalam hati untuk kembali menyelamatkan si gadis jika ia bisa meloloskan diri dari pembunuh berdarah dingin yang tengah mengejarnya kini. Dengan segenap tenaga, lakilaki bertubuh kecil namun tegap itu melangkah dengan cepat menembus ilalang. Napasnya tak karuan. Langkah pembunuh di belakangnya terdengar jelas menapak tak jauh darinya. Onew semakin ketakutan. Ia memutuskan untuk berlari ke arah Winch House. Beberapa belokan menuju rumah itu membuat jaraknya dan si pembunuh terpaut jauh. ―Akh!‖ Tiba-tiba Onew terjerembab jatuh. Ia langsung berusaha bangkit, berdiri dengan hati yang semakin ketakutan dan debar jantung yang semakin tak karuan. ―Hyung, ada apa? Apa yang terjadi?
Kenapa kau berlari begitu?‖ Suara Taemin memecah fokus Onew,
membuatnya kembali tak memperhatikan langkahnya. Ia jatuh lagi, kali ini menghantam batu besar sehingga membuat kepalanya terluka parah. ―Di sana ada pembunuh, Tae... kita harus lari! harus lari!‖ ucap Onew lemah. Kesadarannya mulai menghilang sementara ia berusaha mati-matian untuk tetap sadar. Taemin terus memanggil-manggil namanya namun Onew sudah tak mampu menjawab dan hanya dapat memandang Taemin dengan pandangan berbayang tak jelas. Tiba-tiba pembunuh tadi sudah ada di belakang Taemin—yang masih belum beranjak dari tempatnya. Onew tak dapat melihat dengan jelas lagi. Yang ada hanya teriakan Taemin dan suara memercik serta tikaman di telinga Onew. Sepertinya Taemin sempat bergerak menjauh dari sana, suara langkah kakinya semakin menjauh. Teriakan Taemin melemah dan Onew semakin ketakutan. Ia berusaha mengumpulkan tenaganya, sesedikit apapun yang masih tersisa. Sepertinya si pembunuh itu terlalu fokus pada Taemin. Tak lagi terdengar suara dari lelaki muda itu, baik rintihan pelan sekalipun. Onew langsung membuka matanya lebar-lebar dan
22
bangkit dari tempatnya. Ia beranjak menuju Winch House dengan langkah tertatih dan darah menetes dari kepalanya. Pakaiannya juga tampak dinodai percikan darah, sepertinya milik Taemin. Onew tak sempat lagi memikirkannya. Ia terlalu takut.
TOK TOK TOK
Minho langsung beranjak cepat membuka pintu mendengar gedoran paksa tersebut. Decakan meluncur dari bibirnya sebelum ia menggerutu, ―siapa lagi di malam hari seperti ini?‖
KLEK
―Minho....‖ Onew terjatuh ke pelukan Minho begitu pintu terbuka. Minho membelalakkan matanya lebar. Darah memenuhi wajah dan pakaian Onew. Ada apa ini? Sayangnya Minho bahkan terlalu kaget untuk berkata-kata. Matanya yang memang besar masih melotot lebar. Napas Onew semakin tak karuan di pelukan Minho, dan lelaki berbadan tegap itu jatuh belutut dengan tubuh lemah Onew di pelukannya. ―H-Hyung?‖ ―Tae...min... Taemin.... di...a sudah....‖ Onew tak mampu melanjutkan kalimatnya dan kehilangan kesadaran. Minho semakin panik. Ia mengguncang tubuh Onew, namun lelaki itu tak juga bangun. ―Minho, ada apa?‖ Suara Kim ahjussi memecah kepanikan Minho. Laki-laki itu menoleh dengan wajah bingung, ―Se...sepertinya ada yang terjadi dengan Taemin, Ahjussi...‖ *** Seberkas cahaya menyilaukan memaksa lelaki itu untuk membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya ia mendapati langit-langit putih dan dinding batu kusam di dekatnya. Ia mengerang, kepalanya terasa pusing. ―Hyung!‖ terdengar pekikan di sampingnya, lantas dua tangan yang kuat meraih tengkuk dan punggung lelaki itu. ―Akh!‖ Onew mengerang lagi. Kali ini kepalanya tidak hanya pusing, tapi juga berdenyut hebat. ―Gwaenchana, Hyung?‖ tanya suara berat yang telah dikenal Onew. Onew tidak menjawab, ia hanya mampu mengerang pelan. Kepalanya terasa berputar-putar, sementara pelipisnya masih berdenyut perih. Dibantu Minho, Onew kini menyandarkan tubuhnya pada sofa merah tua tempat ia berbaring. Ia diam beberapa saat untuk mengembalikan kesadarannya. Perlahan Onew mengaduk memori dalam kepalanya, mengingat lagi apa yang terjadi sebelum ia terbangun dan mendapati kepalanya berdenyut hebat. Beberapa klise segera terputar ulang dalam kepala Onew. Dimulai dari kedatangannya ke Winch house, perkenalan singkatnya dengan Taemin, Jonghyun, dan Minho. Lalu rasa kantuk yang menyerangnya dan, ah! Pembunuh itu! ―Taemin!‖ pekik Onew tertahan. Ia hendak bangkit, namun segera urung saat kepalanya berdenyut semakin hebat. Ia mengerang, tangan kanannya menyentuh pelipis kanannya. Ada perban yang melilit kepalanya, dan sedikit rasa hangat yang Onew rasakan saat menyentuh pelipisnya yang berdenyut. ―Tenang, Hyung. Kau aman di sini,‖ ucap Minho, ia kemudian menuangkan teh hijau ke dalam cangkir. Sementara Onew masih terdiam, berusaha mengingat lagi apa yang terjadi. Dalam kepalanya kembali berputar kejadian di mana pembunuh itu mengejarnya, lalu Taemin yang menghampirinya dan semuanya menjadi gelap. Hanya percikan darah yang ia ingat.
23
DEG!
Seketika jantungnya berdebar hebat, darahnya berdesir kencang. Percikan darah itu, percikan darah yang muncul setelah erangan kecil dari mulut Taemin. Onew kembali beranjak, mengabaikan rasa sakit di pelipisnya. ―Hyung, kau mau ke mana?‖ tangan Minho menahan Onew. ―Taemin! Aku harus bertemu dengannya!‖ terang Onew histeris. Kini ia telah bangkit, berjalan dengan kaki gemetarnya. ―Hyung, tenangkan dirimu.‖ Lagi, tangan kuat Minho berhasil mengembalikan Onew ke atas sofa. Onew sempat meronta dan memanggil-manggil Taemin histeris. ―Tenang, Hyung. Tenangkan dirimu,‖ ucap Minho sembari menyodorkan cangkir berisi teh hijau pada Onew. Memaksa opsir Scotland Yard itu menyesap teh. Susah payah, akhirnya Onew mau menyesap teh hijau hingga habis. Napasnya mulai tenang, tidak ada lagi teriakan histeris dari mulutnya yang memanggil nama Taemin. Satu, dua, tiga... Jantung Onew mulai kembali pada ritme normal. Lelaki itu menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Memejamkan kedua matanya sambil mengulangi kegiatan menarik dan menghembuskan napas beberapa kali. Perlahan pikirannya mulai tenang, meski itu membuat denyutan di pelipisnya semakin menjadi. Onew kemudian menatap perapian yang berada di seberang sofa merah tempatnya berbaring. Memandangi percikan kembang api kecil saat kayu—yang sepertinya sedikit basah—terbakar. ―Taemin,‖ gumam Onew lagi, kali ini suaranya pelan dan bergetar. Minho dan Jonghyun yang ada dalam ruangan itu saling berpandangan, seolah memikirkan hal yang sama. ―Hyung, apa yang sebenarnya terjadi?‖ tanya Minho, ia menyipitkan kedua matanya. ―Pembunuh itu… dia yang menculik Elspeth,‖ terang Onew, mengingat lagi kejadian tidak jelas dalam kepalanya. ―Penculik Elspeth?‖ tanya Minho dan Jonghyun bersamaan. Terdengar jelas bahwa mereka terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan opsir Scotland Yard itu. ―Kau melihatnya, Hyung?‖ tanya Minho lagi. Perlahan Onew mengalihkan pandangannya dari perapian, lalu menatap mata bulat Minho. Onew mengangguk, ―Dia ada di Althorp,‖ terangnya singkat. ―Di Althorp? Hyung, bagaimana-‖ ―Dia membawa Elspeth! Lelaki itu mengenakan topi dan coat berwarna gelap. Tubuhnya tinggi kecil, tapi ia terlihat begitu sigap dan kuat. Ia membawa sebilah pisau,‖ Onew melanjutkan, membuat Minho dan Jonghyun mengerutkan lagi dahi mereka. Onew menatap Minho dan Jonghyun dengan mata sipitnya, menangkap raut wajah tak percaya dari keduanya. Ia lalu memejamkan kedua matanya, berusaha mengingat lagi detil dari kejadian yang ia lihat. Lelaki itu menyeret wanita yang berteriak-teriak ingin tetap tinggal di Windsor. Tidak salah lagi! dia pasti Elspeth Windsor. Lalu lelaki itu mengejar Onew, mengejarnya hingga ke Winch house. Onew bertemu Taemin hanya beberapa meter di dekat Winch house, lalu terdengar erangan Taemin diikuti percikan darah. Minho dan Jonghyun masih terlihat kebingungan, saat Onew tiba-tiba bangkit. Onew berjalan tertatih menuju kursi kayu dekat perapian dan menyambar coat cokelatnya. ―Aku akan kembali ke Scotland Yard. Kematian Taemin harus segera dilaporkan dan ditangani. Yeah! Meski ini Althorp, tapi kematian Taemin ada hubungannya dengan hilangnya Elspeth Windsor.‖ Lantas Onew beranjak menuju pintu. Tangannya telah menyentuh kenop pintu saat ucapan Minho menahannya. ―Hyung, kematian Taemin telah ditangani lima hari yang lalu.‖ Onew diam, mencerna apa yang baru saja diucapkan Minho. Lima hari yang lalu? Jangan gila! Taemin baru saja mati beberapa jam yang lalu, pikir Onew. Onew berbalik, menatap Minho yang kini duduk di sofa. Matanya mengabsen Jonghyun yang tengah menyesap teh—memandanganya dengan pandangan yang sulit
24
diartikan. ―Apa maksudmu, Minho-ya? Taemin baru saja mati beberapa jam yang lalu di hadapanku,‖ desis Onew, ia melangkah mendekati Minho. ―Tidak! Taemin tewas lima hari yang lalu, Hyung. Lima hari yang lalu kau datang kemari dan berkenalan dengan kami. Dan di hari itu juga Taemin tewas, alat pembunuhnya adalah pisau yang selalu ia sembunyikan di balik tubuhnya,‖ terang Minho, membuat kepala Onew berputar-putar. Lima hari yang lalu? Apa yang sebenarnya terjadi? lima hari telah berlalu? Mengapa rasanya waktu baru berjalan beberapa jam saja? batin Onew. Ia hanya mampu memandangi Minho dan Jonghyun, menatap dua pasang mata yang begitu mencurigakan. Pasti ada yang disembunyikan keduanya, pikir Onew. ―Aku akan kembali ke Scotland Yard,‖ ucapnya, kemudian berbalik dan meninggalkan Minho dan Jonghyun.
BLAM
Pintu tertutup. Jonghyun menaruh cangkirnya di atas meja kecil dekat perapian. ―Minho-ya, kupikir ada yang janggal di sini,‖ ucapnya singkat. Minho menatap Jonghyun, ―Kupikir kematian Taemin lah yang janggal, Hyung. Juga kesaksian opsir Scotland Yard itu,‖ tanggap Minho. Jonghyun lalu beranjak, memasukkan kayu bakar ke dalam perapian. ―Ia melihat Elspeth dan penculiknya di Althorp. Tidak mungkin!‖ desis Jonghyun. *** Gadis itu menatap lagi ke luar jendela, kedua kakinya terus melangkah menyusuri ruang tamu sempit di rumahnya. Entah sudah berapa lama ia mondar-mandir di sana, sambil sesekali melirik ke arah jendela. Berharap seseorang segera datang. Ia mendesah ringan, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang selama lima hari ini terus berputar dalam kepalanya. Tapi nyatanya, itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia malah semakin kacau. Sudah lima hari Onew tidak pulang. Laki-laki itu meninggalkannya dalam perjalanan pulang setelah dari Dokter. Tentu saja Bluebell tahu bahwa Onew tengah melakukan penyelidikan ke Nobotte Wood di Althorp. Tapi sungguh! Mengapa lelaki itu tidak juga kembali? Dan yang membuat kekhawatiran Bluebell semakin memuncak ialah kedatangan Inspektur Skimhead yang menyatakan bahwa Onew tidak pernah datang ke kantor kepolisian Scotyard. Yang artinya, kepoolisian Scotland Yard sama sekali tidak menerima berita dari Onew. Bluebell menggigit bibir bawahnya, merasakan kekhawatiran yang semakin memuncak. ‗Onew sedang tidak sehat, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Apa lelaki itu makan dengan baik? Apa lelaki itu tidak lupa minum obat?‘ batin Bluebell. Ia terperanjat saat menyadari sesuatu. Lima hari lamanya lelaki itu tidak pulang dan tidak memberi kabar. Mungkinkah justru ia tertidur selama lima hari? pikir Bluebell. Gadis itu lalu berlari menuju kamarnya, tergesa-gesa mengenakan coat merah lalu berlari menuju pintu depan. Ada satu tempat yang harus didatanginya, sehubungan dengan masalah tidur Onew.
KLEK
Belum sempat Bluebell menyentuh kenop pintu saat pintu tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok lelaki berbadan tegap dengan coat cokelat lusuhnya. ―Onew!‖ pekik Bluebell, ia tidak sadar bahwa suaranya begitu nyaring saat memanggil nama Onew. Perasaan aneh segera memenuhi hati gadis itu, perasaan aneh yang membuatnya sakit perut dan melompat memeluk Onew. Tapi tentu saja ia tidak melakukan hal konyol itu.
25
―Apa yang terjadi?‖ tanya Bluebell panik saat mendapati perban yang melilit kepala Onew. Onew melangkah dengan kaki gemetarnya, melangkah menuju dapur tanpa menghiraukan pertanyaan Bluebell. Bluebell mengekor, kedua matanya memperhatikan gerak-gerik Onew yang terasa aneh. Onew terus melangkah dengan tubuh limbungnya, kepalanya terasa berputar-putar dan pelipisnya berdenyut hebat. Ia merasa aneh, langkahnya terasa begitu ringan seolah kedua kaki bebalut boot hitamnya tidak menapaki bumi. Kedua tangannya segera membuka lemari di mana Bluebell biasa menyimpan roti untuk persediaan
makanan.
Lalu
meraih loaf terdekat.
Ia
mencari
piring
dan
pisau,
sedikit
terburu-buru
mendudukkan tubuhnya di kursi. Kedua tangan gemetarnya memotong loaf asal, dan dengan cepat memasukkan potongan loaf ke dalam mulutnya. Mengunyahnya seperti serigala lapar yang baru mendapatkan mangsa. ―Onew, apa yang terjadi?‖ tanya Bluebell lagi. Kedua tangannya sibuk membuat teh hangat ke dalam cangkir. Lagi, Onew tidak menanggapi pertanyaan Bluebell. Lelaki itu terlalu sibuk makan, makan dengan lahapnya seolah melewatkan makan untuk waktu yang lama. Bluebell menaruh cangkir teh ke hadapan Onew, lalu duduk di hadapan lelaki itu. Onew masih fokus pada loaf-nya yang hampir habis. Bluebell tahu ada yang tidak beres, sesuatu yang buruk telah terjadi pada laki-laki di hadapannya. Kedua mata hijau Bluebell menatap Onew. Memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Kedua mata Onew merah, seperti seseorang yang begitu lelah dan tidak tidur lebih dari tiga hari. Wajahnya kusam dan tidak bercahaya,
rambutnya
berantakan
dan
terlihat
kumal.
Selain
itu coat lusuhnya
terlihat
lebih
kotor
dibandingkan lima hari yang lalu. Bluebell terus memperhatikan Onew, memperhatikan dengan seksama. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuat jantungnya berdebar tak karuan, dan membuat darahnya berdesir saat ia menatap Onew seperti ini. Menatap lelaki itu sesuka hati, sementara lelaki itu sama sekali tidak menyadarinya. Membuat Bluebell merasa Onew hanyalah miliknya, dan hanya bisa dilihat seperti itu oleh dirinya. Kini Onew telah selesai dengan loaf-nya, ia meneguk teh buatan Bluebell dengan cepat. Bluebell masih memandangi Onew saat tanpa ia sadari Onew menatapnya, ―Bells, hari ini kau memasak? Adakah yang bisa kumakan? Aku sangat lapar.‖ Akhirnya Onew buka suara, membuat Bluebell terperanjat. Gadis itu kembali pada dunianya, menatap Onew salah tingkah. ―Oh! aku… aku memasak kari,‖ jawab Bluebell, berusaha menyembunyikan kegugupannya saat sepasang manik cokelat itu menatapnya. Onew tersenyum, baru menyadari bahwa ia sama sekali belum menyapa Bluebell. Ia merasa begitu lapar dalam perjalanannya kembali ke Scotland Yard. Rasa lapar yang begitu besar dan tidak tertahankan. Oh! Bahkan ia rasa dirinya nyaris mati jika tidak segera memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sedetik kemudian ia baru menyadari bahwa dirinya merasakan perasaan aneh saat melihat gadis berambut kemerahan di hadapannya itu. Perasaan aneh seperti rindu yang membuatnya merasa lega saat melihat Bluebell. Kini Onew yang memperhatikan Bluebell, memperhatikan sepasang mata hijau yang menyorotkan gurat kekhawatiran, memperhatikan rambut kemerahan yang tidak tergulung dengan rapi, juga kantung mata yang seolah menunjukkan bahwa gadis itu kurang tidur. Lima hari telah berlalu, itu yang diucapkan Minho. Meski pada kenyataannya Onew masih tidak bisa mencerna bahwa ia tertidur selama lima hari dan sama sekali tidak menyadarinya. Lima hari! Pastilah Bluebell mencemaskannya. Perasaan bersalah segera menyeruak memenuhi dada Onew. ―Aku akan menceritakan apa yang terjadi setelah makan,‖ terang Onew akhirnya, ia tahu bahwa gadis di hadapannya benar-benar khawatir akan dirinya. Tidak seharusnya aku tertidur selama lima hari, pikir Onew. Tapi sungguh! Itu di luar kendalinya. *** Pagi itu salju turun cukup lebat. Dinginnya udara menusuk hingga ke tulang rusuk. Beberapa kegiatan terhenti karena salju lebat yang tak kunjung usai, tapi laki-laki itu terus melangkah. Mengeratkan coat cokelatnya sambil menundukkan kepala, sementara kepulan asap terus muncul dari lipatan bibirnya.
26
TING
Lonceng tua itu berbunyi saat si lelaki memasuki kantor kepolisian Scotland Yard. Sekelompok opsir yang tengah berkumpul di salah satu meja di tengah ruangan segera menoleh ke arah pintu. Salah satu di antara mereka yang berbadan agak gemuk dan berkepala botak nyaris melompat saat mengetahui siapa yang datang. ―Onew!‖ pekiknya, ia lantas memisahkan diri dari kumpulan opsir yang tengah mendiskusikan sesuatu di meja. ―Selamat pagi, Inspektur,‖ sapa Onew, ia mematikan rokoknya lalu memberi hormat pada Inspektur Skimhead. ―Dari mana saja dirimu? Kami kewalahan tanpamu!‖ ucap Inspektur Skimhead, lelaki botak itu lalu merangkul Onew. Memaksa opsir muda itu mengikutinya ke ruangan lain. Inspektur Skimhead melambaikan tangannya pada sekumpulan opsir yang masih sibuk mendiskusikan sesuatu di meja, sebagai tanda bahwa mereka harus tetap melanjutkan diskusi tanpa dirinya. ―Kau sudah sarapan, Onew?‖ tanya Inspektur Skimhead. Onew belum sempat menjawab, ―Matilda! Bawakan kopi dan roti panggang ke ruanganku. Onew perlu sarapan!‖ teriaknya pada pelayan kepolisian Scotland Yard yang biasa menyiapkan makan. Onew sempat melihat wanita paruh baya dengan pakaian lusuhnya yang berwarna biru tua. Wanita itu tersenyum pada Onew, sebelum akhirnya menghilang di pintu lain. ―Oh! Tapi Saya sudah sarapan, Inspektur.‖ Onew merasa tidak enak pada perlakuan Inspektur Skimhead yang mengistimewakannya. Ini aneh! Seharusnya Inspektur Skimhead memarahinya karena ia pergi ke Nobotte Wood tanpa sepengetahuannya dan tidak kembali untuk waktu yang cukup lama. Tapi kenyataannya, sambutan yang begitu hangat seperti inilah yang diterima Onew. Kini Onew dan Inspektur Skimhead telah duduk berhadapan di ruang Inspektur Skimhead. Kedua mata Onew menangkap tumpukan map di atas meja Inspektur Skimhead. ―Onew, ada beberapa hal yang ingin kudiskusikan dengamu. Sudah lama aku menunggu hari ini,‖ ujar Inspektur Skimhead. ―Tentang Elspeth Windsor ?‖ tebak Onew. Inspektur Skimhead terkekeh, ―Jangan terburu-buru, Onew. Itu akan kita simpan untuk waktu makan siang.‖
TOK TOK TOK
Terdengar ketukan pintu yang menginterupsi keduanya, lalu disusul dengan kedatangan Matilda yang membawa baki berisi secangkir kopi dan piring kecil berisi beberapa helai roti panggang. Inspektur Skimhead segera merapikan tumpukan map di atas mejanya asal, lalu menaruhnya ke lantai. ―Letakkan di sini saja,‖ ucapnya dan dituruti oleh Matilda. Tak lama, wanita paruh baya itu segera menghilang. ―Aku ingin membicarakan tentang Lee Taemin, juga kematiannya yang begitu janggal,‖ lanjut Inspektur Skimhead. Seketika rahang Onew mengeras, darahnya berdesir cepat. Entah mengapa, ada ketakutan tersendiri saat mengingat bahwa Taemin mati di hadapannya enam hari yang lalu. Dan itu membuat Onew teringat pada laki-laki yang diduga adalah pelaku penculikan Elspeth. Inspektur Skimhead menangkap gurat ketakutan yang muncul tiba-tiba di wajah Onew. ―Minumlah kopimu,‖ perintahnya, berusaha membuat Onew lebih rileks. Tanpa pikir lagi, Onew segera menyambar cangkir kopi dan menyesapnya buru-buru. Ia tidak menyadari bahwa tangannya bergetar. Inspektur Skimhead memandang Onew beberapa detik sebelum akhirnya meraih sebuah map dari tumpukan map yang tadi ia taruh di lantai. ―Lee Taemin, 19 tahun. Keturunan Asia yang tinggal di Nobotte Wood, Althorp. Ia tinggal di Winch house milik Kim Youngwoon, bekerja sebagai pengantar sayur dan buah-buahan untuk Kim Youngwoon,‖ Inspektur Skimhead membaca beberapa baris tulisan dalam map. Onew bergeming dan tetap menyesap kopinya. ―Ia ditemukan tewas enam hari yang lalu pada sore hari menjelang malam. Ia tewas dengan sepuluh tikaman di tubuhnya, dan penyebab utama kematiannya adalah tikaman yang tepat mengenai jantungnya. Alat
27
pembunuhan berupa pisau kecil yang diduga selalu disimpan Taemin di balik pakaiannya,‖ lanjut Inspektur Skimhead. Onew masih diam, kini ia melahap roti panggang. ―Aku bertemu Choi Minho, seorang detektif swasta dari Althorp. Hari di mana Taemin ditemukan tewas adalah hari yang sama dengan hari di mana kau datang ke Winch house, ‗kan?‖ tanya Inspektur Skimhead dan membuat Onew mau tidak mau menghentikan kegiatannya mengunyah roti. Susah payah roti itu ia telan, lalu menyesap lagi kopinya. Ia memandang Inspektur Skimhead yang kini menuntut penjelasan darinya. ―Benar, itu hari yang sama dengan kunjunganku ke Althorp. Dan lelaki itu yang membunuh Taemin di hadapanku,‖ terang Onew sendu, ia mengingat lagi cipratan darah yang muncul setelah terdengar erangan dari Taemin. Dan itu membuat bulu kuduknya meremang. ―Lelaki itu? Maksudmu penculik Elspeth?‖ interogasi Inspektur Skimhead. Onew mengangguk. Perlahan ia menceritakan apa yang terjadi di hari kunjungannya ke Winch house, hingga terjadilah pembunuhan Taemin di depan matanya. Inspektur Skimhead mengerutkan dahinya, mengelus dagu dengan ibu jari dan jari telunjuknya. ―Kau melihatnya? Benar-benar melihatnya?‖ tanya Inspektur Skimhead, seolah tidak percaya bahwa Onew telah melihat lelaki dengan topi dan coat gelap itu. ―Tentu! aku melihatnya. Dia menyeret Elspeth dan mengikat gadis itu di pohon,‖ terang Onew berapi-api. Meski kejadian itu tidak jelas dan berlangsung begitu cepat, tapi Onew masih mengingatnya dengan baik. ―Inilah yang membuatku harus membahas ini denganmu, Onew.‖ Inspektur Skimhead menarik napas dalam, lalu menghembuskan napasnya pelan. Onew menatap Inspektur Skimhead penuh tanya, ia yakin ada sesuatu yang tidak ia ketahui dalam kasus ini. ―Tidak ada saksi yang mengatakan bahwa mereka pernah melihat lelaki dengan topi dan coat gelap di sekitar Winch house sore itu. Tidak ada seorangpun!‖ terang Inspektur Skimhead, membuat Onew terperanjat. ―Aku benar-benar melihatnya!‖ pekik Onew. Ia merasa tersudutkan saat Inspektur Skimhead mengatakan tak ada seorang pun saksi yang melihat si penculik di sekitar Winch house. Selama ia menjadi opsir Scotland Yard, baru kali ini keterangannya diragukan. Terlebih lagi yang meragukannya adalah Inspektur Skimhead. ―Tidak ada tanda-tanda seseorang mengejarmu ke Winch house. Dan pada alat kejahatan, hanya ditemukan sidik jarimu dan Taemin,‖ Inspektur Skimhead melanjutkan. Ia kembali menghela napas, terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Onew terbelalak. Mencerna ulang apa yang baru saja ditangkap gendang telinganya. Sidik jarinya? Tidak mungkin! Ia bahkan tidak pernah menyentuh pisau itu. Yeah! Sama sekali tidak. Oh! Ataukah ia melupakan beberapa hal sebelum kepalanya terantuk dinding batu dan semuanya menjadi gelap? pikir Onew. ―Yang jadi pertanyaanku adalah, apa kau terlibat pergulatan dengan lelaki itu? Tim penyelidik menduga bahwa kalian bertiga terlibat pergulatan kecil sebelum akhirnya kau jatuh pingsan dan Taemin tewas.‖ Inspektur Skimhead berusaha menenangkan Onew, juga menenangkan dirinya sendiri. Ia lalu melanjutkan, ―tapi yang membuat kami bingung adalah tidak ditemukannya sidik jari ketiga. Onew, apa kau benar-benar melihat lelaki itu?‖ tanya Inspektur Skimhead lagi, kali ini ia menegakkan tubuhnya. Menatap Onew tajam seraya melipat kedua tangan di depan dadanya. ―Kau meragukanku, Inspektur? Aku memang tidak ingat jika aku terlibat dalam pergulatan dengannya dan Taemin. Yang kuingat lelaki itu mengejarku lalu menyerang Taemin yang saat itu hendak menolongku. Yeah! Itu wajar jika kalian tidak menemukan sidik jari ketiga. Bisa saja lelaki itu mengenakan sarung tangan,‖ terang Onew datar, berusaha menyembunyikan ketakutan yang tiba-tiba menyergapnya. Meski pada kenyataannya bayangan di mana lelaki itu mengacungkan pisau kembali berputar dalam kepala Onew. Dan lelaki itu sama sekali tidak memakai sarung tangan.
28
Inspektur Skimhead mengerutkan dahinya beberapa detik, lalu mendesah ringan, ―Kita akan melakukan lagi penyelidikan ke Nobotte Wood. Kau harus ikut denganku. Kau tahu? Kasus hilangnya Elspeth Windsor seperti sebuah kasus yang sengaja di-design untuk mempermainkan kepolisian Scotland Yard,‖ terang Inspektur Skimhead berang. Ia mengingat lagi selintingan-selintingan yang beredar di masyarakat tentang cara kerja kepolisian Scotland Yard yang dianggap lamban dan tidak bisa menangani masalah kecil. ―Siap, Inspektur!‖ Onew menegakkan tubuhnya. Perasaan takut yang tadi menyergapnya tiba-tiba menguap. Berganti dengan semangat yang seolah mengguyur tubuhnya. ―Oh! Choi Minho akan bergabung dengan kita. Kurasa darah Asia akan sangat membantu dalam kasus ini,‖ ucap Inspektur Skimhead sebelum ia beranjak dan meninggalkan Onew. Onew tertegun, mengingat lagi informasi-informasi yang diberikan Inspektur Skimhead tentang kematian Taemin dan penculikan Elspeth. Juga kabar mengejutkan bahwa detektif swasta dari Althorp itu akan bergabung dalam penyelidikan. Wait! Apa saja yang sudah diketahui Minho dan tidak diketahuinya? Pikir Onew. Ia segera beranjak menyusul Inspektur Skimhead. Ia yakin, ada sesuatu yang tidak diceritakan Minho padanya tentang hari di mana Taemin tewas. Seketika kalimat Jonghyun yang menyatakan bahwa Minho gagal masuk kepolisian Scotland Yard kembali terngiang di kepala Onew. Ini hal yang kurang baik, pikir Onew.
Part 3
TOK TOK TOK
Ketukan itu terdengar tiga kali sebelum seorang lelaki tua muncul dari balik pintu. Ia hanya membuka pintu sebesar tubuhnya, lalu melongokkan kepalanya. Matanya memandang sinis ke arah Inspektur Skimhead yang ada di hadapannya. Ia berdecak sebelum matanya mengabsen lelaki bermata sipit yang tidak asing baginya. ―Onew?‖ tanyanya yang sebenarnya lebih ia tujukan pada diri sendiri. ―Selamat siang, Kim Ahjussi,‖ sapa Onew seraya membungkukkan tubuhnya. Kim ahjussi tersenyum sekilas, tapi senyumnya segera menguap begitu mengingat kedatangan Onew kali ini bersama dengan keturunan kulit putih yang picik dan angkuh. ―Datang untuk penyelidikan? Mencari Key? Pulanglah! Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa di sini. Lagipula, kami masih berduka dengan kepergian Taemin,‖ ucapnya ketus, lantas ia menutup pintu. Pintu belum tertutup sempurna saat tangan sigap Onew berhasil menahannya. Kim ahjussi menatapnya, ―Taemin! Kami datang untuk melakukan penyelidikan atas kematian Taemin, Ahjussi,‖ terang Onew cepat, membuat Kim ahjussi menatap Onew dan Inspektur Skimhead bergantian. ―Masuklah! Tapi tidak dengan lelaki berkulit putih itu!‖ tandas Kim ahjussi. ―Terima kasih, Ahjussi,‖ ucap Onew, lantas ia menatap Inspektur Skimhead. ―Inspektur, serahkan ini padaku. Tunggulah di tempat lain di Nobotte Wood, ada restoran kecil 3 kilo dari sini,‖ pinta Onew. ―Baiklah, kuserahkan padamu. Tapi ingat! Jangan tertidur dalam penyelidikan, aku tidak mau menunggu berhari-hari hanya untuk orang yang sedang tidur!‖ Inspektur Skimhead memperingatkan. Onew hanya tersenyum, menanggapi ucapan Inspektur Skimhead sebagai kelakar kecil menjelang sore. Tak lama, Onew segera menghilang di balik pintu Winch house. Kim ahjussi membawanya ke ruang tengah, di mana Minho dan Jonghyun tengah duduk-duduk dekat perapian sembari berbincang. ―Tanyakanlah apa yang ingin kalian tanyakan pada mereka. Aku tidak mau membahas apapun tentang kematian Taemin. Oh! Sungguh anak muda yang malang,‖ ratap Kim ahjussi sebelum ia meninggalkan ketiganya. ―Selamat siang,‖ sapa Onew dan disambut oleh senyuman dari Minho dan Jonghyun.
29
―Kau sudah sehat, Hyung?‖ tanya Minho. Onew hanya mengangguk. ―Maaf mengganggu waktu kalian, tapi aku harus melakukan tugasku,‖ terang Onew, lantas ia duduk di sofa merah—tempat di mana ia terbangun setelah kematian Taemin. ―Wah! Kedengarannya menarik!‖ ungkap Jonghyun dengan intonasi riang yang dibuat-buat. Onew berdeham pelan mendengarnya, menyadari tingkah Jonghyun yang seolah meremehkan dirinya. ―Apa yang sebenarnya terjadi setelah aku tak sadarkan diri? Apa ada hal aneh lainnya?‖ Onew membuka pembicaraan dengan notebook dan pena di tangannya. Ia memandang kedua lawan bicaranya dengan serius, persis seperti mengintrogasi seorang tahanan. Minho dan Jonghyun sempat bertukar pandang sebelum Jonghyun berkata, ―Tidak. Tidak ada hal yang aneh. Kami hanya melaporkan kematian Taemin pada kepolisian setelah memastikan adik kecil kami itu memang sudah tidak bernyawa. Kim ahjussi sempat mengurung diri selama tiga hari di dalam kamarnya. Hal itu cukup menyulitkan bagi Minho, terutama saat membujuk paman tua itu makan. Inspektur dari kepolisian itu sempat terkejut saat tau kau terlibat dalam hal ini. Sayangnya, Kim ahjussi tidak mau membiarkannya masuk begitu saja walau Inspektur botak itu hanya ingin melihat keadaanmu. Lama-lama paman tua itu cukup merepotkan,‖ jelasnya diakhiri gerutuan. Matanya beranjak memandang ke luar jendela, tempat Kim ahjussi menghabiskan waktu setiap hari. ―Hyung,‖ tegur Minho dengan suara rendah. Jonghyun menatapnya skeptis. ―Apa? Aku benar, bukan? Kita semua jadi orang-orang yang paling dicurigai karena paman keras hati itu. Jika saja ia membiarkan polisi-polisi itu masuk, mereka dapat memastikan bahwa memang tidak ada hal yang mencurigakan di sini, bukannya berbalik menyerah dan menyebar rasa tidak percaya pada kita!‖ tandasnya tajam. Bayangan akan pandangan orang-orang atas dirinya serta kabar burung yang mengatakan bahwa ialah tersangka kasus pembunuhan itu membuatnya kesal. Bagaimanapun semua tuduhan itu merusak nama baiknya sebagai Earl Ferrers. ―Baiklah, aku paham akan hal itu,‖ potong Onew sebelum Minho sempat membalas ucapan Jonghyun. Tak ada hal penting yang dapat dicatatnya, setidaknya semua hal tadi pasti sudah diketahui Inspektur Skimhead. Kim Jonghyun bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke dekat jendela. Tangannya terlipat di depan dada, sementara wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan lagi. Sepertinya ada hal yang ia pendam dalam pikiran. Namun Onew tak bisa menebak apa itu. Jonghyun berbalik menatap Onew dengan tatap tajamnya, ―Justru aku merasa ada hal yang aneh denganmu, Hyung,‖ ucapnya dengan menekankan panggilan barunya pada Onew. ―Bagaimana kau bisa yakin kalau itu penculik Elspeth Windsor? Bukti yang kau sebutkan tak cukup. Dan lagi, penggambaranmu akan sosok pelakunya juga aneh. Seharusnya kau tidak dapat melihat jelas di saat malam seperti itu, bukan? Kau mencurigakan!‖ tuduhnya langsung tanpa pikir panjang. Onew tertegun mendengar kalimat Jonghyun, ia merasa disudutkan dan hal itu sama sekali membuatnya tak senang. Ia hendak bangkit berdiri dengan penuh emosi. ―Kau tidak seharusnya berkata begitu hanya karena sosok yang disebut Onew Hyung mirip dengan Key!‖ Ternyata kali ini Onew kalah cepat dari Minho. Laki-laki berbadan tegap itu masih duduk dengan tenang di tempatnya walau pandangan kedua orang yang sering bertandang ke Winch house itu sudah saling tebas dengan pandangan tajam. ―Aku tahu Key adalah orang terdekat bagimu saat ini. Tapi tetap saja kau tidak bisa melepaskannya dari jerat hukum jika ia memang bersalah,‖ tambahnya. ―Ia. Tidak. Bersalah.‖ Jonghyun menekan setiap kata yang diucapkannya. Badannya dicondongkan dengan penuh amarah, ―dan selama hal itu memang masih belum terbukti, tak ada yang boleh menyalahkannya begitu saja. Bahkan dalam kasus kematian Taemin sekalipun!‖ ―Jangan kabur dari kenyataan hanya karena kau membenci Taemin!‖ Kali ini Minho bangkit dari tempat duduknya dengan penuh amarah. ―Key satu-satunya tersangka yang paling dicurigai! Dan kau tahu bahwa perasaan yang ia pendam untuk Elspeth bahkan merupakan satu kesalahan besar!‖ Rentetan kalimat itu keluar dari mulutnya dengan berbagai penekanan. Jonghyun semakin naik darah mendengarnya. ―Jangan menuduh sembarangan hanya karena kau membenci Key!‖ balas Jonghyun. Tangannya sudah terkepal keras. Bisa saja kepalan itu melayang tanpa kendali emosi. ―Hanya karena Key terus menjadi saingan
30
hidupmu selama ini, jangan pernah berpikir kau bisa menjatuhkannya dengan kasus ini. Dan aku tidak pernah membenci Taemin. Kami memang sering bertengkar, namun aku tak pernah membencinya. Ia seorang adik yang berharga bagiku, sama berharganya dengan Key dan dirimu. Aku tak punya alasan untuk membunuhnya!‖ kilah Jonghyun. Urat-urat lehernya tampak jelas, menunjukkan amarah yang sebentar lagi akan meledak dalam bentuk tindakan. Napasnya sudah terengah, seakan menahan hal besar yang hendak meledak dalam dirinya. ―Dan aku pikir kau juga mencurigakan, Choi Minho!!‖ ―Kau!!‖ ―Cukup kalian berdua!‖ Jonghyun dan Minho menoleh ke arah Onew yang tiba-tiba saja memotong perseteruan mereka. Sepasang mata cokelat kelam itu menatap keduanya intens, seperti tatapan guru yang menangkap basah perkelahian muridnya. Entah bagaimana pandangan itu membuat Jonghyun maupun Minho ciut dan menyadari betapa bodohnya pertengkaran mereka tadi. Perlahan mereka menenangkan diri dan kembali duduk, walau masih dalam posisi berjauhan. Onew menghembuskan napas kesal melihat tingkah kekanakan keduanya. Ia menahan kepalanya yang sempat diserang nyeri hebat hanya karena mendengar perang kata kedua lawan bicaranya itu. Ia ikut duduk kembali di sofa lalu mencatatkan beberapa hal yang baru diketahuinya dari pertengkaran tadi. Sepertinya orang-orang Winch House ini memiliki hubungan yang rumit. ―Pokoknya, Key tidak mungkin bersalah. Ia sama sekali tidak bersalah, aku yakin itu!‖ tandas Jonghyun lagi. Minho menyipitkan mata melihat tingkah aneh Earl Ferrers, seakan ada yang memang disembunyikannya. Onew juga merasakan hal serupa. Ia semakin curiga dengan tingkah Jonghyun. Klise akan penjelasan Jonghyun mengenai hari di mana Elspeth menghilang kembali melintas dalam pikirannya. Yah, Jonghyun salah satu orang yang paling mencurigakan selain Key. Ditambah dengan kenyataan bahwa Key adalah orang yang amat penting bagi Jonghyun. Bau misteri semakin menyengat kasus itu. Onew jadi begitu mencurigai Jonghyun. ―Di mana kau saat kematian Taemin?‖ tanya Onew memecah keheningan yang sempat tercipta. Jonghyun dan Minho—yang sedari tadi diam dengan pandang tertunduk—menoleh ke arahnya. ―Earl Ferrers?‖ sambung Onew. Sekilas gurat ketakutan tampil di wajah laki-laki bertubuh pendek namun tegap itu. Ia membuka topinya
lalu
memainkan
benda
hitam
panjang
itu
dengan
tangannya
sesaat.
―Aku
berada
di
kediamanku, Middlewich House,‖ sahutnya beberapa saat kemudian. Agaknya ia berubah gelisah. ―Apa ada yang orang yang dapat membuktikan hal itu?‖ tanya Onew lagi. Sisi polisinya kembali mendominasi ruangan yang temaram hanya dengan cahaya perapian itu. Sesaat Jonghyun menelan ludah, ―Yeah, tentu! Para pelayanku dapat menjadi saksi alibiku. Kau dapat menanyai mereka jika kau tak percaya.‖ ―Benarkah?‖ tanya Onew sekali lagi. Jonghyun mengiyakan lalu menyesap tehnya, menelan cairan itu bersama kata-kata yang mungkin saja dapat meluncur dari bibirnya. Kecurigaan Onew semakin kuat. Ia tahu pelayan Jonghyun tak dapat dipercaya begitu saja. Pelayan yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Ferrers pasti akan selalu berpihak pada Tuannya, bahkan walau harus berbohong sekalipun. Opsir muda itu mengalihkan pandangannya pada Minho yang tengah menatap Jonghyun. Tak perlu baginya menanyakan alibi lelaki itu, sudah jelas ia ada di Winch House beberapa saat sebelum Onew melangkah keluar dari sana. Ia menghela napas panjang. ―Minho, aku ingin bicara denganmu sebentar. Itu pun jika kau tak keberatan.‖ *** Jalanan Kota London sudah memperlihatkan betapa sibuknya orang-orang menyambut Natal yang akan datang dua hari lagi. Semarak hiasan dan bunga-bunga mengisi ruas-ruas jalan. Tampak suka cita tergambar jelas di wajah penduduk London, bahkan di wajah pengemis yang masih sibuk menahan dingin di sudut gang. Para wanita sibuk berbelanja keperluan Natal bersama anak-anak mereka, para pria bolak-balik mengangkat kotak-
31
kotak berisi rangkaian hiasan Natal, sementara anak-anak berlarian menikmati riuhnya persiapan Natal tahun itu. Semua bersorak, semua bergembira. Termasuk gadis berambut merah yang tengah berjalan di seberang barisan toko makanan. Ia memperhatikan suasana kota yang hanya dapat dinikmatinya setahun sekali itu dengan senyum tergambar di wajah ovalnya. Namun tak ada yang tahu bahwa ia menyimpan kecemasan mendalam di relung hatinya. Apa kami bisa menikmati Natal bersama tahun ini? Bisa saja ia tertidur sepanjang hari lagi. Semua semakin mengkhawatirkan, batinnya. Matanya sibuk memandang barisan roti hangat yang terpajang di depan toko kue. Memorinya kembali pada saat-saat di mana ia baru mengenal Onew tiga tahun lalu. Hingga saat ini, tak ada seorang pun lelaki yang mampu menggantikan rasa nyaman yang ia rasakan terhadap lelaki itu. Ia menghembuskan napas pelan saat matanya menangkap pemandangan sepasang kekasih saling menggenggam tangan di depan toko bunga. Si lelaki memberikan beberapa kuntum mawar merah pada si wanita. Indah sekali. Sebersit rasa iri muncul di hati gadis itu. Tunggu, kenapa ia harus merasa iri? ―Bluebell Constantia, sadarkan dirimu!! Kau harus sadar akan posisimu! Kau dan dia hanya teman serumah. Hanya, teman.‖ Gadis itu menepuk-nepuk pipinya yang memang sudah memerah karena dingin. Ia memejamkan mata sesaat dan menarik napas dalam-dalam. Lalu bersiap untuk kembali menghadapi kehidupan. ―Apa yang sedang kau lakukan?‖ ―GYAAA!!!‖ Bluebell terlonjak ke belakang begitu ia membuka mata. Sosok Onew Lee tiba-tiba saja sudah berada tepat di depannya, bahkan dengan jarak wajah yang amat dekat. Bluebell berusaha mengontrol detak jantungnya yang tak karuan. Ia memandang Onew sebal, walau hatinya senang sekali mendapati lelaki itu ada di hadapannya. ―Apa yang kau lakukan?! Kau hampir membuat jantungku keluar dari rongganya!‖ omel Bells, bibirnya ia tarik maju. Onew terkekeh melihat reaksi gadis mungil itu. Tangannya spontan mengacak rambut merah kusam gadis putih itu. Senyum khasnya tertarik jelas membentuk garis indah di bibirnya, ―Maaf mengagetkanmu. Aku sedang melaksanakan pekerjaanku sebagai opsir Scotland Yard, Bells. Lihat lelaki yang tengah membeli buah di sana? Dia adalah sumber informasi penting saat ini,‖ ujarnya santai sambil menunjuk seorang lelaki pendek bertubuh tegap yang tengah tersenyum manis setelah bertransaksi dengan penjual buah. Perlahan sorot mata Onew berubah, suaranya rendah saat berkata, ―sekaligus tersangka bagiku.‖ ―Eh?‖ Onew kembali tersenyum, matanya yang sipit seakan tertutup saat melakukannya. ―Ah, pokoknya dia orang yang amat penting bagiku sekarang,‖ bohongnya. Kali ini Bluebell yang menyipitkan mata hijaunya, ―Kenapa kau bekerja lagi? Bukankah inspektur Skimhead menyuruhmu berlibur?! Sudah, lupakan saja kasus menggelikan itu! Biarkan saja polisi lain yang menanganinya!‖ ucapnya sebal. ―Tidak bisa, Bells. Ini pekerjaanku. Lagi pula-‖ ―Ah, apa aku melewatkan sesuatu?‖ Omongan Onew terpotong saat lelaki yang ia dan Bells bicarakan tadi sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu menatap Bells dengan tatap ramah, senyum lebarnya manis sekali. Entah kenapa Onew tidak suka dengan pemandangan di depannya, terutama saat Bluebell balas tersenyum. Kedua orang itu menatap Onew, membuat lelaki itu menyadari posisinya. ―Oh, ya. Bells, ini temanku, Earl Ferrers. Dan Earl, ini teman serumahku, Bluebell Constantia.‖ Kedua manusia beda kelamin itu saling berjabat tangan. Tanpa diduga Earl Ferrers menarik lengan Bells lebih jauh dan mengecup punggung tangannya yang berbalut sarung tangan cokelat. ―Senang berkenalan dengan Lady secantik Anda,‖ ucapnya pelan namun jelas. Semburat merah muda muncul di pipi Bluebell, cepat-cepat ia tarik tangannya. ‖Senang berkenalan dengan Anda juga, Sir.‖
32
―Kau bisa memanggilku Kim Jonghyun. Itu nama kecilku,‖ ujar Jonghyun cepat. Bluebell hanya bisa tersenyum canggung dibuatnya. ―EHEM!!‖ suara Onew mengembalikan mereka pada dunia nyata. Semburat di pipi Bluebell semakin jelas saat lelaki yang tinggal serumah dengannya itu tiba-tiba saja menariknya ke balik punggung. ―Sudah saatnya kita pergi, Earl. Masih ada banyak hal yang harus kita selesaikan,‖ ujarnya berwibawa. Jonghyun menahan senyum geli, ―Oh, tentu. Aku akan kembali lebih dulu ke kereta kuda. Sepertinya ada yang ingin kau bicarakan dengan Miss Constantia.‖ Wajah Onew memerah saat pandangan Jonghyun menyiratkan hal lain padanya. ―Mmmm... jadi, ada hal yang ingin kau bicarakan denganku?‖ Suara Bluebell membuat Onew berbalik. Tiba-tiba keduanya berubah canggung saat saling berhadapan. Ya, sepertinya mereka berdua melihat pandangan Jonghyun sebelum beranjak pergi tadi. Bells memainkan lipatan gaunnya dengan gelisah, berharap Onew takkan mengatakan hal yang dapat membuatnya kecewa ataupun sedih. Sementara itu Onew salah tingkah di tempatnya. Berhari-hari tidur tanpa melihat Bluebell membuatnya rindu, bahkan setelah mereka saling bicara semalaman kemarin. Ia menilik penampilan gadis itu hari ini. Gaun merah yang Bells pakai amat sesuai dengan suasana Natal yang tengah membalut kota, membuatnya semakin cantik dengan semburat merah menghiasi pipinya. Onew menelan ludah saat mata gadis itu balas menatap tepat di matanya. ―Onew?‖ bisik gadis itu. Onew belum juga berkata-kata saat tangannya menjulurkan sebuket mawar ke arah Bluebell. Gadis itu terbelalak dengan rona riang. Ia langsung menerima rangakaian mawar indah itu dan memeluknya. Onew tersenyum damai melihatnya. ―Kau...tapi...bagaimana bisa,‖ Bluebell masih belum bisa mengendalikan keriangannya, ―bagaimana bisa buket mawar ini muncul begitu saja?‖ ―Sepertinya Earl Ferrers terlalu mempesonamu sampai kau tak menyadari bahwa aku menyembunyikan buket mawar itu di balik punggungku sejak tadi,‖ jawab Onew sedikit kecewa. Rasa tidak senang kembali menghinggapi hatinya. Bells sadar akan hal itu dan merasa bersalah. Onew berusaha tersenyum. ―Itu tidak penting. Tadinya aku ingin membawakannya ke rumah. Tak disangka malah kita bertemu di sini. Itu saja. Aku harus pergi sekarang.‖ Onew beranjak dari tempatnya sambil melambai sekilas pada Bluebell. Ia terperangah dengan sikap aneh Onew. ―Onew, tunggu!‖ ―Mmm?‖ Onew enggan berbalik. Ada rasa yang menghantui hatinya. Ingin sekali ia meledak tanpa tau sebabnya, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melontarkan kemarahan yang tak jelas sebabnya begitu saja. Terutama pada Bluebell. Ia bergeming dari posisinya, menanti lanjutan kata gadis itu. Bluebell menggigit bibir dengan alis bertaut. Onew agak aneh hari ini, dan itu cukup mengganggunya, pikir Bluebell. ―Apa kau akan pulang malam ini?‖ tanya gadis itu pelan, suaranya setengah berbisik. Terdengar jelas ia menyimpan harapan yang amat kuat dari pertanyaan tersebut. ―Maaf, Bells. Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini,‖ jawab Onew datar. ―Kalau begitu, bagaimana dengan besok? Besok malam Natal, bukan? Setidaknya kau bisa pulang besok.... Jadi, jadi kita bisa memasang hiasan Natal bersama seperti tahun-tahun sebelumnya... Kita...‖ Bluebell tak bisa melanjutkan kata-katanya saat Onew tiba-tiba saja berbalik dan memeluknya erat. Setitik air meleleh keluar dari kelopak matanya. Dadanya terasa begitu sesak saat kehangatan tubuh lelaki itu menyelimutinya. Perasaannya tak tentu saat itu, membuat pikirannya tak mampu bekerja normal. Ia terlalu dihantui rasa cemas dan takut. Dibalik itu, ia amat merindukan Onew berada di sisinya seperti biasa, merindukan senyum dan tawa hangat yang ditujukan hanya padanya, merindukan setiap waktu yang biasa mereka habiskan bersama dalam suka dan duka. Ia begitu merindukan segala hal yang ada pada diri Onew.
33
―Ssst... jangan menangis, Bells,‖ suara rendah itu berusaha menghiburnya. Bahkan Bluebell sendiri tak sadar bahwa ia telah menangis deras dalam dekapan Onew. Ia ingin menumpahkan semua perasaannya, tapi lidahnya tak sanggup merangkai kata. Ia hanya bisa diam sesenggukan seraya menenggelamkan kepalanya di dada lelaki itu. Onew mengelus punggungnya, menjalarkan kehangatan lewat sentuhan yang ia berikan. Tangis Bells malah semakin deras. ―Sssst... Listen, Bells. Aku benar-benar minta maaf tak bisa pulang malam ini. Tapi aku berjanji akan menyelesaikan semua hal ini secepatnya dan kembali besok. Mmm?‖ bisiknya di telinga Bluebell. Gadis itu mendongakkan kepalanya, menatap lurus ke arah Onew. Matanya tampak meragukan ucapan yang baru saja ia dengar. Onew tersenyum sendu sambil menghapus bekas laju air di pipi kemerahan gadis itu. ―Kita akan menghabiskan malam Natal bersama. Kau harus menungguku karena ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu besok. Jadi percayalah, aku akan pulang,‖ bisiknya lagi. ―Kenapa tidak kau katakan sekarang saja?‖ Onew menggeleng pelan, ―Tidak bisa. Aku menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan waktu yang tepat dan saat ini bukanlah waktunya. Kau harus bersabar, Bells. Percayalah padaku.‖ Ia melepas dekapannya dari gadis mungil itu. Bluebell menangkap gurat lelah tampil jelas di wajah Onew. Walau debaran-debaran telah mengisi dadanya, rasa cemas kembali mendominasi hatinya. Ia hanya bisa diam memandangi punggung Onew yang menjauh dan akhirnya hilang di balik keramaian jalan. ―Lalu apa yang harus kulakukan jika kau tidak juga kembali?‖ bisik Bluebell dengan bibirnya yang telah berubah pucat diterpa angin dingin. Butiran salju kembali turun. Beberapa orang bersorak-sorai gembira. Tapi tidak dengan gadis bergaun merah itu. Hatinya pun seakan diterpa angin musim dingin, dingin dan beku. *** Kereta kuda tua yang dikendalikan seorang kusir bermantel hitam memasuki area Middlewich House. Halaman bersalju membuat tapak kuda bergerak panik melawan licinnya butiran es. Kedua penumpangnya turun dan bergegas memasuki rumah batu yang mewah nan megah itu. Beberapa pelayan tampak menyambut keduanya, si tuan rumah langsung memerintahkan mereka menyediakan hidangan untuk tamunya. ―Sepertinya salju akan terus turun malam ini. Sebaiknya kau menginap di sini, Hyung,‖ ucap si empunya rumah-Earl Ferrers. Tamunya masih terperangah dengan keindahan rumah yang lebih tepat disebut puri tersebut. Ia mengangguk lalu tersenyum sekilas, ―Sebenarnya hal itu pula yang aku pikirkan sebelum tiba di sini. Terima kasih.‖ ―Anda sudah sampai, Tuan?‖ Seorang lelaki berpakaian pelayan muncul lalu memberi hormat pada Earl Ferrers. Bangsawan muda itu tersenyum, ―Ya. Kau sudah menerima pesan yang kukirimkan sebelum sampai tadi?‖ ―Ya, Tuan.‖ ―Bagus. Selebihnya hanya disesuaikan dengan keadaan saja. Kau tak mau situasi semakin runyam, bukan?‖ Si pelayan mengangguk lalu mengantarkan keduanya menuju ruang baca yang letaknya jauh di dalam rumah. Onew mengernyitkan alis sambil memperhatikan pelayan itu. Postur tubuhnya tampak familiar. Sedari tadi lelaki itu terus menunduk, membuat Onew kesulitan menatap wajahnya. Yang jelas, sepertinya pelayan itu bukan orang Eropa. ―Minta Mrs. Bolton menyiapkan kamar untuk tamuku. Ia akan menginap malam ini,‖ ujar Jonghyun sebelum si pelayan undur diri. Tampaknya lelaki yang masih amat muda itu tertegun dan gerak tubuhnya agak panik. Jonghyun memberi tatapan menenangkan dan pelayan itu pun pergi. ―Kau juga memperkerjakan orang Asia?‖ tanya Onew dengan nada mencela, ―kupikir kau menghargai warga Asia.‖
34
―Memberi pekerjaan sama artinya memberi kesejahteraan hidup, Hyung. Lagi pula ia bukan sekedar pelayan biasa. Dia pesuruhku, orang yang bertugas melayani sekaligus menjadi penjagaku. Dia spesial,‖ jelas Jonghyun. Dengan santai dituangkannya teh panas ke dalam tea set yang baru saja dibawakan seorang maid. Ia menyodorkan teh itu, ―silakan duduk. Kau ingin menyelesaikan pekerjaanmu dengan cepat, bukan?‖ ―Ya,‖ jawab Onew. Ia kembali bertingkah layaknya mengintrogasi orang, ―Aku ingin kau menjelaskan lebih jauh bagaimana situasi saat Elspeth Windsor hilang.‖ Jonghyun menyesap tehnya lalu berkata tidak senang, ―Sudah kukatakan bahwa malam itu aku mabuk. Aku tidak bisa mengingat rentetan kejadiannya. Tiba-tiba saja aku sudah terbangun di Middlewich House ini.‖ ―Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Elspeth Windsor?‖ Kali ini Jonghyun tampak tertegun dan menelan ludah. Ia melirik pintu dengan agak cemas. Onew memperhatikan gerak-geriknya seksama. ―Apa kau punya hubungan khusus dengan Lady Elspeth, Earl?‖ Jonghyun belum menjawab, ia hendak kembali meraih cangkir tehnya. Namun Onew langsung menjauhkan benda itu darinya. Jonghyun kembali menelan ludah. ―Kata-katamu akan ikut tertelan jika kau meminum teh ini,‖ tandas Onew tajam. Tiba-tiba saja Jonghyun tertawa lemah. Ia mengangkat kedua tangannya dengan mimik kalah. ―Baiklah, aku menyerah, Opsir. You caught me.‖ Onew menaikkan alisnya, masih belum mengerti apa maksud Jonghyun. Bangsawan muda yang membawa darah Asia dari pihak ibunya itu mendekati rak buku tak jauh dari sana, lalu menyenderkan tubuhnya. Pandangannya melayang jauh, mengembalikan segala klise ke dalam kepalanya. ―Aku memang punya perasaan khusus pada Elspeth, tapi ia tak menganggapku lebih dari sahabatnya,‖ gumam Jonghyun lemah. Tatapannya tampak sedih. ―Akulah yang mengenalkan Elspeth pada Key, membuat sahabat kecilku itu menjadi pengawal gadis yang kucintai. Tak kusangka baik Key maupun Elspeth saling tertarik satu sama lain. Sungguh, hal itu sempat membuat hatiku hancur saat Key menceritakan perasaannya. Tapi aku semakin tak berdaya saat Elspeth juga menceritakan bahwa ia pun punya perasaan pada Key. Menarik, bukan? Aku kalah dari seorang lelaki miskin yang sudah kuanggap sebagai adik dan sahabatku sendiri. Aku kalah sebelum bertanding.‖ Onew mengurungkan niatnya untuk mencatat di buku kecil berwarna merah yang masih ia pegang. Ia mendengarkan secara seksama. Emosi tampak mengambil alih ekspresi lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu. Tangan Jonghyun tampak terkepal erat, mungkin sebentar lagi ia akan meledak. ―Melihat mereka terus bersama membuatku iri tak karuan. Melihat mereka saling memandang satu sama lain dengan penuh cinta membuatku amat cemburu. Kadang aku ingin sekali menculik Elspeth dari Key sehingga aku bisa memiliki gadis itu sepenuhnya. Kadang aku juga ingin sekali menghabisi siapapun pria yang dekat dengannya, terutama oran-orang yang menyakitinya. Aku ingin sekali... ya, ingin sekali,‖ Jonghyun berceloteh seperti anak kecil yang hilang kendali. Onew seakan melihat orang gila yang mengeluarkan semua isi hatinya dengan bebas. Lelaki itu menahan napas, bersiap pada segala kemungkinan buruk yang ada.
TOK TOK TOK
Tiba-tiba saja ekspresi Jonghyun berubah, seakan menyadari hal yang amat gawat. Ia tampak panik, tapi segera berusaha mengendalikan dirinya dengan dehaman. Pelayan berwajah Asia tadi datang sambil membawakan beberapa hidangan kecil. Tampaknya si pelayan dan Jonghyun saling bertukar pandang, bangsawan muda itu menelan ludah dibuatnya. Si pelayan keluar dari ruangan dengan aura menyeramkan mengelilinginya. Onew menyadari pemandangan ganjil di hadapannya itu. Jonghyun berdeham lagi, ―Po...pokoknya itu hanya keinginan yang tak mungkin kulakukan saja. Itu hanya sekedar keinginan yang tak tersampaikan, tak lebih.‖
35
―Apakah keinginanmu itu bisa saja kesampaian jika memang ada yang membenci Elspeth?‖ tanya Onew lagi. ―Mungkin. Jika orang itu terlalu membencinya. Tak ada yang akan tahu aku membunuh orang, terutama dengan kuasaku. Hahaha,‖ candanya. Onew tidak ikut tertawa. Kecurigaannya terhadap Jonghyun malah menguat. Menurut Minho, Taemin cukup membenci Elspeth. Bisa saja Jonghyun yang cemburu pada Key mengambil kesempatan itu untuk membunuh Taemin dan menjatuhkan segala kesalahan pada Key yang masih menghilang. Atau malah bisa saja ia dan Key menculik Elspeth entah untuk tujuan apa lalu membunuh Taemin. Tindakannya membela Key mati-matian tadi siang juga sangat mencurigakan. Selain itu, Elspeth sama sekali belum ditemukan baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Oh, ya. Bukankah saat itu Jonghyun pernah mengatakan... ―Earl, apa kau pernah berpikir membenci Elspeth?‖ tanya Onew lagi. Pertanyaannya disambut senyum getir lelaki itu. Pandangan Jonghyun menerawang, seakan sedih bercampur sesal. ―Pernah. Aku pernah membenci gadis menawan itu. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, Hyung?‖ Jonghyun menatap Onew dengan matanya yang tampak lelah. ―Cinta dan benci itu sangat mirip. Yang memisahkan keduanya hanyalah sebuah garis tipis yang disebut kesadaran.‖ *** Onew berjalan dengan kepala tertunduk melewati koridor panjang Middlewich House. Ia dibawa pelayan berwajah Asia tadi menuju kamarnya setelah gagal menanyai pelayan-pelayan rumah itu. Pelayan lain berada di bangunan terpisah dari bangunan utama tersebut. Anehnya, hanya Earl Ferrers dan pelayan berwajah Asia itu yang menghuni bangunan utama. Bangunan pelayan memiliki jam malam di mana pada jam tersebut mereka tak bisa diganggu lagi, kecuali jika ada perintah langsung anggota keluarga Ferrers. Sungguh tak mengenakkan jika Onew harus menganggu jam malam mereka demi beberapa pertanyaan. Lagi pula, bisa saja pelayan-pelayan itu berbohong demi keselamatan Tuannya, bukan? ―Ini kamar Anda, Tuan.‖ Onew mengangguk pelan saat pelayan membukakan pintu kamarnya. Kamar yang cukup mewah, menampakkan betapa kayanya keluarga Ferrers. Onew masih mengedarkan pandangannya saat tanpa sadar ia bertanya. ―Di mana kamar Earl Ferrers?‖ ―Kamar beliau berjarak sepuluh kamar dari sini, kamar paling ujung. Beliau tidak suka diusik orang lain makanya memilih kamar itu,‖ jelas si pelayan, tangannya menunjuk ruangan di ujung koridor. Wah, tampaknya pelayan satu ini benar-benar dekat dengan Jonghyun. Ia bahkan tahu alasan sang Earl memilih kamar tersebut. ―Dan kau? Di mana kau tidur?‖ Pelayan itu tampak menelan ludah, kepalanya semakin tertunduk dalam, ―Kamar saya berjarak dua kamar dari kamar beliau.‖ ―Oh, aneh juga. Tidak biasanya pelayan tidur di deretan kamar yang sama dengan kamar tuannya. Selain itu jarak kamar kalian terlalu dekat untuk ukuran orang yang tak suka keributan seperti Earl Ferrers,‖ ujar Onew langsung. Si pelayan agaknya panik dibuat Onew. Opsir muda itu semakin curiga dengan gerak-gerik pelayan itu. ―Tu... tuan meminta Saya untuk berada tak begitu jauh darinya untuk jaga-jaga dari kemungkinan terburuk. Begitu, Tuan... jika tak ada perlu lagi, saya mohon diri.‖ Pelayan itu cepat-cepat hendak menutup pintu. ―Tunggu!‖ Suara Onew membuat si pelayan membeku di tempatnya. Onew menatapnya penuh selidik, ―Apa kau tahu di mana Earl Ferrers enam hari yang lalu, tepatnya saat Lee Taemin mati terbunuh?‖ Pelayan itu berbalik menatap Onew lurus. Wajah oval yang tampak agak tirus serta bibir kemerahan dengan lekuk sempurna miliknya dapat Onew lihat dengan jelas. Laki-laki itu menatap Onew lurus-lurus dengan mata
36
sipitnya yang tajam, tajam seperti rubah. Sedetik kemudian Onew membeku. Ia merasa familiar dengan sinar mata yang seakan memangsa dirinya itu. ―Saat itu beliau sedang bersama dengan saya di Middlewich House,‖ ujar lelaki itu dengan suara bergetar di akhir kalimatnya, seakan ada hal lain yang ia sembunyikan lewat kalimatnya barusan. *** Malam semakin larut. Gelapnya tak lagi mampu ditembus cahaya rembulan yang tampak samar di balik arak awan. Salju terus turun bersama derasnya suara angin. Panasnya perapian tak lagi mampu menjadi penghangat utama ruangan di mana Onew bebaring dengan gelisah. Ia merasa sangat lelah, namun pikirannya seakan melarang lelaki itu untuk tidur. Begitu banyak data yang telah ia dapatkan, terutama mengenai hubungan rumit antara beberapa penghuni Winch House, juga Elspeth Windsor. Sekarang ia harus mencari bukti lain yang dapat menguatkan dugaannya. Kali ini Onew menduga kuat Jonghyun-lah tersangka kasus penculikan dan pembunuhan itu. Jonghyun benar, kuasanya sebagai Earl Ferrers dapat menghindarkannya dari tuduhan sebagai pelaku kasus tersebut. Namun bukti masih belum cukup. Apalagi mengingat tidak ditemukannya sidik jari di pisau Taemin. Kalau ditinjau dari pisau tersebut malah Onew-lah yang dicurigai sebagai pelakunya. Tapi ia sendiri berani bersumpah demi apa pun zat suci di dunia ini bahwa ia tidak bersalah. Ia melihat lelaki yang menculik Elspeth, ia mendengar sendiri suara tikaman dan rintihan Taemin, bahkan ia masih mengingat jelas warna cipratan darah di hari naas itu. Sungguh, kepala Onew terasa amat sakit hanya dengan mengingat rentetan kejadian itu. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur, dengan harapan bisa terbangun esok paginya. Ia juga tak bisa melupakan begitu saja janjinya pada Bluebell Constantia. Onew memeluk senjata api yang ia bawa demi jaga-jaga. Ia tak mau terjadi hal buruk di rumah besar itu, terutama hal yang menyangkut keselamatan hidupnya. Jika ada orang jahat yang berniat membunuhnya di rumah itu, ia yakin bisa melawan dengan senjata yang telah menemaninya selama tiga tahun hidupnya itu. Dengan pikiran itu pula Onew memejamkan matanya dan mulai terlelap. *** Kim Jonghyun bergerak gelisah di dalam kamarnya yang luas. Ia tampak was-was. Opsir yang tengah menginap di kediamannya itu tampaknya amat curiga dengan segala tindakan dan keterangan yang ia buat. Ia sendiri salah karena bicara terlalu banyak. Jika dibiarkan, bisa saja rahasia yang dipendamnya akan ketahuan dan semua rencananya akan gagal. Pria itu semakin panik memikirkan kemungkinan tersebut.
KLEK
Jonghyun terlonjak dari tempatnya. Ia tidak menyangka pintu kamarnya tak terkunci di saat pikirannya tengah kalut. Jonghyun diam di tempatnya, menduga satu orang yang paling ia yakini masuk ke ruangannya tersebut. Sepasang kaki masuk dan Jonghyun langsung tertegun melihat benda yang tengah dibawa orang itu langsung mengarah padanya. Pikirannya kosong sementara kakinya mulai melangkah mundur, ―Tu...tunggu dulu... apa yang mau kau lakukan?‖ Orang itu bejalan semakin dekat, membuat Jonghyun mengangkat kedua tangannya dengan panik, ―He...hei... Aku percaya padamu selama ini... kenapa kau malah mengkhianati kepercayaanku? Aku...aku bahkan membawamu ke rumah ini, memberikan apa pun yang kau inginkan... apa lagi yang kurang?‖ Orang itu melangkah semakin dekat. Mulut benda yang ditujukan pada Jonghyun sudah menempel di pelipis laki-laki itu. Keringat dingin menyelimuti kening Jonghyun, sementara tubuhnya gemetar ketakutan. Mata yang tengah memandangnya seakan mata malaikat pencabut nyawa yang berkilat penuh amarah. Napasnya tercekat, sementara ia menelan ludah dengan napas tertahan, ―Sudah kuduga kau yang melakukannya… kau
37
yang membunuh Taemin!‖ serapah Jonghyun di tengah ketakutannya. Tapi laki-laki itu bergeming, seolah cacian Jonghyun adalah hembusan angin malan yang lalu begitu saja. ―A... apa karena ucapanku? Apa karena tindakanku...? Apa yang membuatmu berbalik seperti ini...? Kumohon... jauhkan benda itu dari...‖
DOR DOR DOR
Tiga peluru yang bersarang di otaknya menghentikan ucapan Jonghyun. Earl itu langsung jatuh merosot tanpa nyawa. Langkah si penarik pelatuk mundur perlahan, matanya menatap kosong korbannya yang tak lagi sanggup berkata-kata. Dengan cepat ia tinggalkan tempat itu. Beberapa menit kemudian pemilik sepasang kaki lainnya sampai di depan pintu kamar Jonghyun. Ia menatap tak percaya pemandangan yang ada di hadapannya. Mendengar suara lain di koridor, ia langsung berlari mengejar asal suara. Tak perlu lagi memeriksa keadaan korban. Sudah pasti lelaki itu tak lagi bernyawa. *** Onew berlari di sepanjang koridor. Setelah terbangun karena suara tembakan dan melihat tubuh Jonghyun sudah terbujur kaku tak bernyawa, ia mengejar sebuah suara yang seakan berlari kencang menapaki lantai kayu rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu utama terbuka kasar. Orang yang tengah dikejarnya sudah menapaki tumpukan salju di luar. Onew mempercepat larinya. Tiba-tiba saja ia tersandung lantai kayu yang mencuat dan terjatuh menghantam lantai dengan keras. Kepalanya kembali berdarah, namun ia tak menghiraukan luka tersebut dan kembali berlari. Akhirnya ia sampai di ujung pintu dan mendapati seorang lelaki berdiri tak jauh dari tempat itu. Awan kembali berarak, membiarkan cahaya bulan menampakkan sepasang mata tajam mengerikan yang tengah memandang ke arah Onew. Pandangan mata yang Onew kenal, coat dan topi gelap yang Onew kenal, postur tubuh yang juga Onew kenal. LAKI-LAKI ITU LAGI!! Lagi-lagi lelaki yang Onew lihat di malam enam hari lalu itu, si penculik sekaligus pembunuh Taemin. Onew menahan napas. Ia kembali berhadapan dengan kedua mata itu. Orang itu berbalik hendak pergi, membuat Onew spontan mengeluarkan senjatanya dan mengarahkan tembakan ke arah lelaki itu berkali-kali. Tak ada satupun yang mengenainya, malah laki-laki itu berlari semakin jauh. Onew mengumpat keras. Kepalanya sakit sekali dan darah yang keluar semakin deras. Ia jatuh berlutut menahan kepalanya saat pandangan matanya sudah berkunang-kunang dan tak dapat melihat dengan jelas lagi. ―BERHENTI KAU, SIALAN!!!‖ teriak Onew histeris. Ia berusaha menguatkan diri sementara sebelah tangannya terus menembak. Namun sosok lelaki itu semakin jauh dan akhirnya menghilang di balik hujan salju. Onew mengumpat berkali-kali. Suaranya semakin lemah dan akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri. *** Lilin-lilin Natal telah terpasang indah di sudut-sudut rumah. Berbagai kue dan hidangan sedap tersaji manis di atas meja bertaplak kain merah kotak-kotak. Christmas Carrol terdengar indah dari luar rumah. Pohon Natal mungil terpajang di sudut ruang tamu, berhiaskan berbagai hiasan sederhana, tak lupa dengan bintang di atasnya. Gadis pemilik rumah berputar dengan anggunnya di depan cermin. Gaun merah muda dan rambut berhiaskan jepit bunga yang ia beli beberapa hari lalu membuat dirinya yang memang cantik tampil semakin anggun. Ia tersenyum lebar. Hatinya berdebar menanti kedatangan lelaki yang telah ia tunggu sejak kemarin, lelaki yang memberikannya sebuket bunga mawar indah padanya. Lelaki itu berjanji akan mengatakan hal penting yang bahkan membutuhkan momen tepat untuk mengatakannya. Pipinya bersemu merah sementara jantungnya berdebar dalam irama romansa yang tak karuan. Ia ingin segera bertemu laki-laki itu, berharap hal yang akan dikatakan lelaki itu sesuai dugaannya, sesuai keinginannya.
38
Ia duduk di depan perapian dengan berpangku tangan. Senyumnya terus mengembang. Semakin tak sabar menunggu waktu berjalan cepat. Berbagai hiasan Natal membuat hatinya berubah damai. Ia berharap lelaki itu memang kembali padanya, sesuai janji yang ia dengar. Walau hatinya masih cemas, ia tetap menanti dengan penuh debar. Cepatlah waktu berlalu... cepatlah ia datang padaku, batinnya. ―Bells...‖ Gadis itu membuka matanya perlahan dan mendapati lelaki yang ia tunggu tengah tersenyum di hadapannya. Wajah lelaki itu tak lagi dipenuhi gurat lelah seperti beberapa hari belakangan ini. Senyum yang begitu ia rindukan. Tanpa sadar Bluebell langsung bangkit dan memeluk lelaki itu dengan erat dan penuh kebahagiaan. ―Akhirnya kau datang juga... aku sudah menantimu sejak tadi,‖ bisiknya setengah mengomel. Lelaki itu menanggapi dengan pelukan yang semakin erat. ―Ada yang ingin kukatakan padamu.‖ Perlahan Bells melepaskan pelukannya, memandang Onew dengan penuh harap. Kedua tangan lelaki itu membelai pipi Bells penuh sayang. Senyumnya yang berubah sendu membuat ekspresi Bluebell berubah perlahan. Kecemasan langsung menyergap hatinya. ―Sekarang adalah saat yang tepat, Bells. Aku ingin kau mendengarnya baik-baik,‖ ujar Onew setengah berbisik. Bells mengangguk perlahan. Onew menghembus napas pelan. ―Aku mencintaimu, Bells. Sangat mencintaimu,‖ ungkapnya. Jantung Bluebell seakan mencelos mendengar pernyataan gamblang itu. Ingin sekali ia memeluk Onew kegirangan sambil membalas pernyataan tersebut. Sayangnya Onew langsung menyambung kalimatnya, ―tapi kita tak bisa bersama.‖ Bells terdiam. Ia serasa dilambungkan tinggi-tinggi ke atas lalu dijatuhkan begitu saja. Hatinya hancur berkeping-keping sementara ia masih tak bisa menerima kenyataan yang baru didapatnya. Onew melepaskan pelukan Bells darinya lalu melangkah mundur, menjauh dari gadis itu. ―Maafkan aku,‖ bisiknya. Bluebell melangkah maju, mengejar sosok lelaki yang begitu ingin ia rengkuh kembali. Setidaknya ia harus tahu alasan lelaki itu! Ya, alasannya!! "Menyerahlah. Kalian takkan bisa bersama." Suara rendah yang terdengar dingin itu... Bluebell mendongak sesaat sebelum Onew berhasil digapainya. Onew malah dicengkram sesosok asing yang menyembunyikan keseluruhan tubuhnya di balik Onew. Bulu kuduk gadis itu berdiri saat melihat mulut pistol sudah terarah ke pelipis lelaki berkulit putih yang perlahan memucat itu. Yang dapat Bells lihat hanyalah sepasang mata coklat sipit yang seakan hendak memangsa siapa pun yang dilihatnya. Pandangan itu menatap tepat ke manik hijau Bluebell, gadis itu merasakan sengatan rasa takut yang menyebar cepat ke sekujur tubuhnya. "Ja... jangan...," bisik Bluebell tertahan. Lelaki asing itu semakin mencengkram leher Onew, membuat korbannya tak bisa bernapas. Onew pasrah saja dicengkram sosok itu, matanya menatap sendu ke arah Bluebell. Seolah mengatakan tak ada yang dapat mereka perbuat. Spontan Bells menjerit panik. Mata tajam bagai mata rubah itu menyiratkan senyuman. Sungguh reaksi yang diinginkannya. "Kumohon...lepaskan dia!" Bells kembali bersuara saat ia mendengar rintihan Onew. Dadanya dicengkram takut luar biasa, sementara air mata mengalir deras di kedua belah pipinya. Lelaki itu diam. Yang terdengar hanyalah napas Onew yang tinggal satu-satu dan suara kecil sesenggukan Bluebell. Lagi-lagi sepasang mata rubah itu menyiratkan senyuman. Kali ini Bells tau itu bukan reaksi biasa. "Kalian tak bisa bersama... Karena dia MILIKKU!"
DOR
39
"ONEEEEEWWW!!!"
BUK
Suara kayu bakar yang jatuh saling menimpa membuat Bluebell terbangun dari mimpinya. Napasnya masih terasa sesak dan air mata ikut mengalir di ujung matanya. Semua terasa begitu nyata, memaksanya untuk percaya bahwa hal itu mungkin terjadi. Gadis itu menatap linglung sekitarnya sambil berusaha menenangkan diri. Ia bangkit dari kursi tempat ia tertidur. Sinar mentari menembus jendela ruangan tersebut. Pagi Natal sudah datang rupanya. Bluebell mendesah kecewa saat melihat keadaan rumahnya masih sama dengan kemarin malam, hanya saja beberapa lilin sudah habis dan padam. Tak ada tanda-tanda kehadiran orang lain. Gadis itu mendekati cermin dan melepas semua hiasan dan aksesoris yang melekat di tubuhnya. ―Dia tidak datang,‖ bisiknya pada diri sendiri. Semua perasaan buruk kembali melanda dirinya, membuat tetes air matanya jatuh perlahan. ―Onew, di mana kau?‖
Part 4
Seberkas cahaya menerobos masuk, memaksa lelaki itu membuka kedua matanya yang masih terasa berat. Ia mengerjap beberapa kali sebelum indera penciumnya membaui aroma kalkun panggang. Ia membuka kedua matanya, aroma itu begitu menggoda dan membuat perutnya semakin berteriak minta diisi. Perlahan ia bangkit, menyadari dirinya berada di sebuah kamar yang cukup luas, dengan segala perabot yang mewah. Ia menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran ranjang, mengerang saat merasakan denyutan hebat di kepalanya. Tangan kanannya menyentuh pelipisnya, ―Akh!‖ lelaki itu mengerang lebih keras. Sebuah luka yang telah dibalut perbanlah yang merupakan sumber nyeri itu. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa dirinya berada di salah satu kamar di Middlewich House. Beberapa klise kembali berputar dalam kepalanya. Ingatan bahwa Earl Ferrers telah tewas semalam menyerbu memorinya. Yeah! Lelaki itu! Ia melihat lelaki dengan coat dan topi gelap itu semalam. Lelaki itu lah yang telah membunuh Earl Ferrers. Ia melirik ke luar jendela yang setengah tertutupi gorden, menatap salju tebal yang menyelimuti jalan. Sepertinya hari sudah siang, tidak ada waktu lagi. Penyelidikan harus segera dilakukan sebelum pembunuh itu lari terlalu jauh, pikirnya. Lantas ia bangkit, dan hendak meraih coat cokelatnya yang tersampir di sofa dekat perapian saat pintu terbuka.
KLEK
Seorang pelayan muncul sambil mendorong meja kecil yang ditutupi penutup makanan berwarna perak. Ia melangkah pasti mendekati Onew. Onew sempat terperanjat saat menatap sepasang mata sipit itu, mata sipit yang begitu tajam. ―Anda sudah bangun, Tuan?‖ tanya si pelayan, lalu menghentikan meja kecil yang ia dorong di samping ranjang. Ia membuka penutup makanan di atas meja kecil tadi, menampilkan potongan roti panggang dengan aroma bawang bombay dan potongan kalkun panggang berwarna cokelat mengkilap. ―Aku harus segera pergi. Semalam... Earl Ferres...‖ Onew tiba-tiba terbata, perasaannya kembali didera rasa takut tidak jelas saat mengingat suara tembakan dan aksi kejar-kejarannya dengan lelaki bertopi dan coat gelap. Si pelayan membeku, ia menundukkan kepalanya. Lalu bebalik menghadap Onew dengan masih menundukkan kepalanya. ―Benar. Earl Ferrers tewas tiga hari yang lalu. Tiga tembakan di kepalanya,‖ terang si pelayan, suaranya bergetar seolah menahan tangis yang akan segera meledak.
40
―Ti... tiga hari yang lalu? Bukankah Earl Ferrers tewas semalam?‖ Lagi, Onew dikejutkan dengan pernyataan orang-orang yang mengatakan bahwa ia telah melewatkan beberapa hari dengan tidur. Pelayan berwajah Asia itu sedikit mengangkat wajahnya, menautkan kedua alisnya mendengar pertanyaan konyol Onew. Apa opsir itu tidak sadar bahwa ia telah tertidur selama tiga hari? pikirnya. ―Benar, Tuan. Tiga hari yang lalu. Earl Ferrers tewas pada dua malam sebelum Natal tiga hari yang lalu,‖ terangnya lagi dan membuat Onew membeku di tempatnya. Lagi! kejadian seperti ini terulang lagi. Ia melihat pelaku pembunuhan dan pingsan. Lalu terbangun, seakan semuanya baru terjadi kurang dari 12 jam. Tapi kenyatannya, waktu berlalu lebih lama dari perkiraannya. Tiga hari. Meski episode kali ini jauh lebih singkat dari yang sebelumnya, tapi Onew merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Sepertinya Bells benar, ada hal aneh dari kebiasaan tidurnya yang tidak wajar itu. Ya Tuhan! Bluebell! Onew baru ingat akan janjinya untuk menemui gadis itu pada malam Natal untuk mengatakan hal yang sangat penting. Ia nyaris melompat, menyambar coat-nya dan memakainya cepat. ―Anda mau ke mana, Tuan?‖ tanya si pelayan. ―Aku harus pergi!‖ tanggap Onew cepat, lantas ia memeriksa lagi barang-barangnya di tiap saku yang ada di pakaiannya. ―Tidakkah sebaiknya Anda makan terlebih dahulu, Tuan? Anda tertidur selama tiga hari. Saya yakin tubuh Anda memerlukan enerji,‖ bujuk si pelayan, membuat Onew kembali teringat akan perutnya yang sedari tadi bergejolak minta diisi. ―Makanlah, lalu bersihkan diri Anda. Lagi pula di luar salju cukup lebat. Saya yakin beberapa jam lagi salju akan reda. Kami akan mengantar Anda dengan kereta kuda,‖ si pelayan melanjutkan dan sukses membuat Onew menurutinya. Kini Onew menyandarkan lagi tubuhnya yang memang terasa begitu lelah. Dipakainya serbet dan bersiap menyantap makanan yang telah disediakan. Si pelayan menuangkan teh ke dalam cangkir. ―Ini teh herbal. Bisa membantu mempercepat penyembuhan luka di pelipis Anda,‖ terang si pelayan. Onew merasakan kekakuan pada si pelayan perlahan mulai menghilang. Ia terlihat lebih luwes dibandingkan malam di mana pertama kali ia melihatnya. Onew menyesap teh yang disodorkan padanya, merasakan hangatnya teh herbal membasahi kerongkongan keringnya. Kemudian ia mulai menyantap hidangan dengan lahap, hingga tidak menyadari bahwa si pelayan memperhatikannya seksama. Memperhatikan dengan kedua mata rubahnya seolah tengah menyelidiki sesuatu. Benar! Pelayan keturunan Asia itu memang sengaja menahan opsir Scotland Yard itu untuk berada lebih lama di Middlewich House. Ia harus memperhatikan gerak-gerik sang opsir. Tidak! Tidak boleh terlewatkan sedikitpun. Karena begitu si opsir mulai bergerak, ia pun juga harus bergerak! *** Sesuai perkiraan si pelayan, salju mereda seiringan dengan waktu siang yang semakin turun menuju sore. Setelah merasa lebih baik dan mempersiapkan dirinya, akhirnya Onew berpamitan pulang. Tentu saja setelah ia melakukan perbincangan alot dengan si pelayan dan beberapa orang kepercayaan Earl Ferrers. Perlahan tapi pasti, Onew naik ke dalam kereta kuda. ―Hati-hati di jalan, Tuan,‖ ucap si pelayan. Kereta kuda mulai berjalan, menembus timbunan salju yang menutupi sekitar Middlewich House. Hanya derit roda yang berputar yang terdengar oleh gendang telinga Onew. Ia diam, memikirkan beberapa hal yang baru saja terjadi. Didampingi orang-orang keperayaan Earl Ferrers, Onew mendatangi makam sang bangsawan. Memberikan penghormatan terakhir yang seharusnya ia lakukan tiga hari yang lalu. Perbincangannya dan orang-orang kepercayaan Earl Ferrers mau tidak mau membuatnya merasa tersudutkan. Sama seperti kasus Taemin, di mana kesaksian Onew sama sekali dianggap tidak logis dan meragukan. Ia mendesah, merasakan denyutan di pelipisnya. “Maaf, Tuan. Tapi malam itu tak ada satupun dari palayan kami yang melihat adanya penyusup. Apalagi jika pelakunya berlari di koridor utama. Kami hanya mendengar suara tembakan sebanyak tiga kali disusul rentetan tembakan lain beberapa menit kemudian.” Satu kalimat panjang dari penasihat keluarga Ferrers
41
kembali terngiang di kepala Onew. Pernyataan yang sama seperti yang dilontarkan Inspektur Skimhead. Onew lalu berpikir, mengapa pembunuhan itu terjadi tepat di mana ia melakukan kunjungan pada si Tuan rumah?
DEG!
Seketika jantung Onew berdebar tak karuan, debaran menakutkan yang tidak tertahankan. Jangan-jangan pembunuh itu memang mengincarnya dan mengikutinya. Yeah! Tidak salah lagi. Itu pasti karena Onew telah melihatnya tengah menyeret Elspeth hari itu. Tiba-tiba kedua lutut Onew gemetar, ia sampai tidak bisa duduk dengan baik dan segera menyandarkan tubuhnya pada kursi berlapis kain beludru ungu itu. Ia menaruh tangan di dadanya, mengatur napasnya sebisa mungkin. Dengan cepat ia menggeser jendela dan memandang ke luar. Kedua mata sipitnya menjelajah liar jalanan berlapis salju tebal, memastikan bahwa tidak ada yang sedang mengikutinya. Onew menutup kembali jendela kereta. Lalu berusaha menenangkan dirinya. Kasus ini semakin rumit dan benar-benar telah menjeratnya. Sepanjang perjalannya menjadi opsir, ia tidak pernah dikejar atau bahkan menjadi sasaran pelaku kejahatan. Tentu ia seorang penegak keadilan dan pembasmi kejahatan, tapi baru kali ini ia merasa takut akan kejahatan itu sendiri. Kini kepalanya kembali memutar ulang beberapa klise.
“Tiga buah tembakan tepat mengenai otak. Caliber 45 dan diduga jenis senjata yang digunakan adalah Colt M1911A1. Tidak ada tanda-tanda perlawan dari Earl Ferrers. Ia tewas seketika sebelum menyadari pelaku akan benar-benar menghabisinya.”
Kalimat si pelayan bermata sipit itu kembali terngiang di kepala Onew. Caliber 45 melalui Colt M1911A1, senjata yang sama dengan miliknya. Onew memejamkan matanya, berusaha mengingat lagi aksi kejarkejarannya dengan si lelaki bertopi dan coat gelap itu. Ia ingat bahwa ia menembakkan peluru sampai habis, dan tak ada satupun yang mengenai lelaki itu. Tapi, mengapa senjata yang digunakan untuk membunuh Earl Ferrers sama dengan miliknya? Apakah Onew melewatkan kejadian di mana senjata miliknya dicuri si pelaku dan digunakan sebagai alat pembunuhan? batinnya. ―Akh! Come on!‖ Onew mengerang pelan, memaksa dirinya untuk mengingat
hal-hal yang mungkin ia
lupakan. Urutan kejadian saat ia berkunjung ke Middlewich House berputar begitu cepat dalam kepalanya. Dan satu-satunya hal yang tetap bersarang dalam kepalanya adalah pelayan berwajah Asia yang sangat mencurigakan. Benar! Pelayan itu bahkan tidur di kamar yang hanya berjarak dua kamar dari Earl Ferrers. Onew mulai menyusun analisisnya. Pertama, si pelayan itu menyusup ke kamar Onew dan mencuri senjatanya, lalu menyusup ke kamar Earl Ferrers dan membunuhnya. Setelah itu, dengan cepat ia kembali ke kamar Onew dan mengembalikan senjata Onew ke tempatnya semula. Lalu berlari di koridor menuju kamar Earl Ferrers, seolah ia baru mendengar suara tembakan dan berbaur dengan yang lainnya, pikir Onew. Ia mengingat lagi bagaimana mencurigakannya sikap dan gerak-gerik si pelayan dan Earl Ferrers saat mereka saling berhadapan. Seolah menyembunyikan sesuatu. ―Ah!‖ Onew berteriak, sesuatu baru saja melintas dalam pikirannya. Tidak salah lagi! Si mata rubah itu adalah mata yang sama dengan mata tajam penculik Elspeth. Kini mengertilah Onew mengapa pembunuhan selalu terjadi saat ia melakukan kunjungan ke rumah korban. Si mata rubah itu memang mengincarnya, dan ingin menjadikan Onew sebagai tersangka tunggal dari pembunuhan orang-orang yang telah mengetahui kasus Elspeth. Sekejap ia merinding, menyadari betapa dekatnya ia dengan si pelaku selama ini. Mungkin saja ia mati selama tertidur jika si pembunuh memang menginginkan kematiannya. Namun rasa takut itu berubah menjadi amarah, ia benar-benar telah dibodohi si pelayan yang sepertinya...
42
―Key, rupanya itu kau,‖ gumam Onew pelan, ia menggeretakan giginya kesal. Onew menimbang, antara harus kembali ke Middlewich House dan segera menangkap Key atau melanjutkan perjalannya pulang ke Scotland Yard. Ia kemudian membuka jendela kecil di hadapannya, berbicara pada sang kusir. ―Sudah berapa jauh kita dari Middlewich House?‖ sang kusir menolehkan kepalanya sedikit. ―Sudah sangat jauh, Tuan. Kita sudah mencapai lebih dari setengah perjalanan menuju Scotland Yard,‖ terangnya. Onew sempat berpikir sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menemui orang yang bisa membantunya. ―Tolong bawa aku ke Winch House,‖ pinta Onew. Dugaannya semakin kuat. Ia benar-benar yakin bahwa lelaki itu adalah Key. Ya, pasti itu Key! Namun satu hal terbersit dalam kepalanya, sebuah hal yang ganjil. Jika yang Onew pikirkan mengenai rentetan kejadian itu memang benar, lalu Onew terbangun oleh suara tembakan apa? *** Lelaki bermata bulat itu masih sibuk dengan coretan-coretan analisisnya di atas notebook. Berkali-kali alisnya berkerut saat memikirkan hal-hal yang baru saja ditulisnya. Kematian Kim Jonghyun mau tidak mau cukup mengusiknya.
Itu
terlalu
mendadak
dan
mengejutkan.
Kepolisian
Althorp
bahkan
ikut-ikutan
mengintrogasinya. Dan yang lebih konyol lagi, ia menjadi salah satu terduga yang mungkin membunuh sang Earl. Minho terkekeh, itu menggelikan. ―Pembunuh yang cerdas,‖ gumamnya pelan. Tentu Minho akan menjadi salah satu terduga karena ia terlibat pertengkaran mulut dengan Jonghyun di hari terakhir pertemuan mereka. Minho mengacuhkan hal itu, lalu menyesap lagi teh hijaunya. Memaksa dirinya untuk tetap tenang. Caliber 45 dengan jenis senjata Colt M1911A1 adalah pistol standar yang digunakan polisi, detektif, dan pengawal. Siapa pun bisa jadi pelakunya. Tunggu! Detektif? Polisi? Pengawal? Tiba-tiba saja Minho mengingat seseorang. Seseorang yang bahkan berada di tempat kejadian saat sang Earl tewas, sama seperti kasus Taemin.
KLEK
Minho terlonjak dan nyaris melompat saat seseorang membuka pintu dan muncul di depannya. Pikirannya buyar dengan kedatangan orang tersebut. Kedua mata Minho bahkan sempat memancarkan ketakutan seperti baru melihat malaikat pencabut nyawa. ―Onew Hyung?‖ tanyanya. Onew melangkah mendekati Minho, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa dekat perapian. Minho segera menaruh notebook-nya ke dalam saku coat dan berhambur ke arah Onew, ―Hyung-― ―Sebentar, Minho. Aku perlu waktu untuk menghirup udara,‖ sambar Onew sambil merentangkan kelima jari tangan kirinya ke arah Minho. Lantas ia memejamkan kedua matanya sambil menghirup napas dalam-dalam. Minho membiarkan Onew melakukan apa yang ingin dilakukannya, meski dalam kepalanya berkecamuk begitu banyak pertanyaan. Onew membuka matanya, lalu menatap Minho. ―Kau harus membantuku, Minho. Kaulah satu-satunya yang bisa membantuku,‖ pinta Onew cepat. ―Apa, Hyung? Apa yang harus kulakukan?‖ tanya Minho tak sabaran. Minho segera meraih cangkir dan menuangkan teh hijau ke dalamnya saat melihat Onew kembali mendesah ringan. Sepertinya opsir Scotland Yard itu sedikit tertekan. Onew menyambut cangkir dari Minho, lalu menyesap isinya pelan. ―Listen, orang itu mengincarku. Dia! Lelaki dengan topi dan coat gelap yang menculik Elspeth!‖ terang Onew setelah ia selesai dengan teh hijaunya. Minho hanya mengerutkan dahi, bahkan kebenaran adanya lelaki itu pun masih belum jelas hingga sekarang. ―Kau boleh tidak mempercayaiku saat kematian Taemin, tapi kali ini kau akan mempercayainya. Kau harus tahu apa yang terjadi di Middlewich House.‖ Onew begitu berapi-api, rasanya ia tidak sabar untuk kembali ke Middlewich House dan membekuk Key.
43
―Apa yang terjadi di sana, Hyung?‖ Minho segera mengeluarkan notebook dan penanya. Bersiap mencatat informasi penting yang akan segera didengarnya dari Onew. ―Penculik Elspeth adalah lelaki bermata sipit, mata sipit yang tajam seperti rubah yang siap memburu mangsanya. Dan pada hari kunjunganku ke Middlewich House, ada seorang pelayan berwajah Asia yang diakui Earl Ferrers sebagai pelayan spesialnya,‖ Onew menatap Minho yang matanya berkilat-kilat memantulkan kobaran api kecil dari perapian. ―Jonghyun Hyung mempekerjakan orang Asia?‖ tanya Minho yang sebenarnya ia tujukan pada diri sendiri. Onew mengangguk pasti sebagai tanda bahwa Minho tengah memikirkan hal yang sama dengannya. ―Aku menangkap gerak-gerik mencurigakan antara Earl Ferrers dan pelayan itu selama mereka saling berhadapan. Seolah ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan, Oh! Kau tidak akan percaya ini.‖ Kini Onew menegakkan tubuhnya, menatap Minho dengan mata berkilat. ―Kecurigaanmu selama ini benar! Jonghyun memang terlibat dalam penculikan Elspeth,‖ ujar Onew dan sukses membuat Minho terperanjat. ―M... maksud Hyung, Jonghyun hyung yang menculik Elspeth?‖ tanya Minho dengan suara sedikt bergetar. Selama ini ia memang mencurigai Key, Jonghyun dan Taemin terlibat dalam kasus hilangnya Elspeth. Ia selalu merasa ada yang disembunyikan mereka setelah kasus penculikan Elspeth Windsor santer terdengar. ―Earl Ferrers memiliki motif kuat untuk melakukannya. Kau tahu? Malam itu aku menanyainya banyak hal. Dan ia menceritakan bahwa ia terlibat romansa sepihak dengan Elspeth,‖ lanjut Onew, membuat Minho terbelalak tak percaya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Jonghyun menaruh perasaan pada Elspeth, tidak sama sekali! ―Bahkan ia lah orang yang memperkenalkan Elspeth pada Key, lelaki yang sudah dianggapnya sebagai adik. Nyatanya, Earl Ferrers kalah sebelum berperang. Elspeth terang-terangan mengatakan padanya bahwa ia jatuh cinta pada Key, begitu juga sebaliknya.‖ Minho mengangguk mantap, analisis kecil tengah berputar dalam kepalanya. Tapi itu belum cukup untuk menyimpulkan mengapa Jonghyun lah yang tewas, bukan Key. Ia menatap Onew dengan pandangan yang seolah mengatakan bahwa ia memerlukan keterangan lebih. ―Ini analisisku. Kurasa Earl Ferrers berpura-pura membantu Elspeth dan Key dalam pelarian mereka dengan menyembunyikan mereka di Middlewich House. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi Key dan merebut Elspeth. Tapi sayang, rencana busuknya telah lebih dulu dicium Key sehingga lelaki itu membunuhnya lebih dulu.‖ ―Caliber 45, Colt M1911A1?‖ tanya Minho. Ia tiba-tiba teringat akan dugaannya mengenai senjata pembunuhan Jonghyun. Rahang Onew tiba-tiba mengeras, kilatan di matanya memudar. Minho menyipitkan matanya penuh selidik, ―Hyung, apa senjatamu-― ―Dia memakai senjataku, Minho. Key, dia lah pelayan berwajah Asia yang kutemui di Middlewich House. Sepertinya kedatanganku ke Middlewich House merupakan kesempatan baginya untuk menghabisi Jonghyun. Kau mengerti, ‗kan? Makan atau dimakan! Dia menyusup ke kamarku dan mencuri Colt M1911A-ku, lalu menyusup ke kamar Earl Ferrers dan membunuhnya. Dengan cepat kembali ke kamarku dan mengembalikan senjata ke tempatnya. Lalu berlari di koridor dan membaur dengan yang lainnya, seolah ia baru saja mendengar suara tembakan. Cerdik sekali!‖ terang Onew, kilatan di matanya kembali muncul. Ia terlihat begitu geram dan tidak sabar untuk segera membekuk Key sebelum lelaki itu kabur ke tempat lain. Minho terlonjak! Ia memang telah sampai pada analisis bahwa pelayan itu adalah Key, tapi tidak pernah memikirkan bagaimana Key menghabisi Jonghyun. Ternyata cinta bisa membuat siapa pun menjadi buta. Hubungan Jonghyun dan Key sangatlah baik, layaknya adik- kakak. Tapi sungguh mengenaskan, Jonghyun mati di tangan anjing yang ia pungut di pinggir jalan. Minho menaruh notebook-nya ke saku coat, lalu bangkit. ―Hyung, kurasa belum terlambat jika kita kembali ke Middlewich House dan menangkap Key! Aku yakin rubah itu masih menikmati kemenangannya di istana Jonghyun Hyung.‖ Minho hendak beranjak saat tangan Onew menahannya, ―Sebelum itu, bisakah kita pergi ke suatu tempat? Aku harus menemui seseorang yang sangat penting.‖ Kilatan di mata Onew hilang, tergantikan dengan sorot mata yang begitu redup dan sendu.
44
*** Hari itu salju tidak turun, tapi langit tak juga cerah. Gumpalan awan kelam berarak mengikuti arah hembusan angin. Kereta kuda itu terus berjalan, menembus putihnya jalanan yang beku. Deritan roda yang berputar tidak lagi memenuhi gendang telinga, tertelan oleh hiruk pikuk yang mulai terdengar di setiap sudut. Tanggal 27 Desember, Onew dan Minho tengah dalam perjalanan menuju Scotland Yard. Jarak yang cukup jauh antara Althorp dan Scotland Yard memakan waktu lebih dari setengah hari. Sepanjang perjalanan Onew merasa begitu lelah, bahkan sudah tidak bisa dihitung berapa kali ia menguap. Ia merasa begitu lelah dengan kasus ini, juga dengan banyak hal yang tidak dimengertinya. Tapi sepanjang perjalanan itu pula, hatinya merasa cemas. Memikirkan gadis berambut merah yang telah menunggunya pada malam Natal. Oh! Bahkan kini tiga hari telah berlalu semenjak malam Natal. Onew mendesah, seolah menghempaskan ganjalan yang ada di dadanya. Ia telah berjanji pada Bluebell untuk mengatakannya malam itu. Benar! Ia begitu mencintai gadis itu dan baru memiliki keberanian setelah tiga tahun. Tidak! Bukan keberanian yang selama ini ia kumpulkan, melainkan kepingan-kepingan golden untuk melamarnya. Dalam hatinya, ia telah merancang banyak rencana. Membelikan rumah yang jauh lebih baik untuk Blluebell. Lalu mereka akan menikah dan hidup bahagia dengan beberapa orang anak. Ia telah mengecewakan Bluebell dengan tidak pulang malam itu. Pastilah Bluebell telah lebih dari sekedar kecewa padanya. Oh, atau mungkin itu akan membuat Bluebell berubah pikiran? pikir Onew. Mengingat reaksi apa yang akan diperlihatkan Bluebell nanti membuat Onew mati-matian menahan rasa kantuknya. Ia tahu, jika ia tidur maka ia tidak bisa mengendalikan dirinya. ―Hyung.‖ Minho mengguncangkan tubuh Onew. Lelaki itu terperanjat, terbangun dari lamunannya. ―Hyung, kita sudah sampai.‖ Minho lantas menenteng tas hitamnya, lalu turun dari kereta kuda. Ia menapaki tanah bersalju Scotland Yard, kedua mata bulatnya berbinar menatap gedung kecil bertuliskan Scotland Yard Police. Memorinya akan hari di mana ia ditolak masuk ke tempat itu kembali berputar, meninggalkan rasa muak yang memenuhi dadanya. ―Ayo!‖ Onew menepuk bahu Minho, membuyarkan lamunan detektif itu. Dengan langkah gemetar Minho mengikuti Onew ke dalam kantor kepolisian Scotland Yard. Jantung Minho berdebar tak karuan, darahnya berdesir cepat, dan itu membuat kedua lututnya lemas. Tapi kali ini lain, hal-hal itu ia rasakan bukan atas dasar ketakutan dan kekecewaan seperti yang pernah ia alami. Melainkan karena ia begitu senang akhirnya ia akan terlibat dalam regu kepolisian Scotland Yard dalam menguak kasus penculikan Elspeth, juga dua kasus kematian yang mengikutinya.
TING
Bel tua itu berbunyi, membuat beberapa kepala menoleh ke arah Onew dan Minho. Wajah-wajah frustasi para opsir berubah menjadi wajah penuh kemurkaan. Beberapa diantaranya bahkan mengepalkan tangan mereka. ―Onew!‖ pekik lelaki berkepala botak, ia segera mematikan benda yang sedari tadi terselip di lipatan bibirnya. ―Semakin kacau! Semakin kacau!‖ ujarnya berang. Ia menarik Onew tanpa mempedulikan Minho, seolah Minho tidak tampak di hadapannya. Onew tidak sempat mengatakan apa pun pada Minho karena ia telah lebih dulu ditarik Inspektur Skimhead ke ruangannya. Dan tinggal lah Minho di ruangan utama kepolisian Scotland Yard, bersama para opsir berkulit putih yang memandang sinis ke arahnya. *** Inspektur Skimhead membanting pintu ruangannya, lalu menjatuhkan tubuh tambunnya di kursi yang kemudian menimbulkan suara bederit kecil. Onew tidak berkata apa-apa, ia hanya duduk di hadapan Inspektur Skimhead. Ia tahu bahwa sang Inspektur tengah marah besar. Meski begitu, Onew tetap menenangkan dirinya. Ia punya banyak informasi yang akan membuat emosi atasannya meleleh.
45
―Sungguh! Nama baik kepolisian Scotland Yard diambang kehancuran! Orang-orang Duke of Windsor Gregory tidak tinggal diam, Onew! Mereka mendatangiku dua kali setiap hari dan mencaci kinerja kita yang begitu buruk! Tapi yang lebih buruk dari itu, campur tangan orang-orang suruhan bangsawan itu membuat penyelidikan semakin rumit dan kabur.‖ Inspektur Skimhead begitu berapi-api, ia bahkan mengucapkan kalimat panjang itu dalam satu tarikan napas. ―Dan kau! Kau ke mana saja, Onew? Kau tahu kau sangat penting dalam penyelidikan ini. Oh! Aku benci kasus yang melibatkan darah Asia!‖ cercanya, ia menggeram. Onew tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. ―Tenang, Inspektur. Saya datang membawa banyak informasi. Bahkan Anda tidak akan percaya jika Saya mengatakan bahwa Saya tahu keberadaan Vladimir Fox,‖ terang Onew santai. Air muka sang Inspektur segera berubah, wajah merahnya tadi berubah menjadi normal. ―Kau tahu di mana si rubah itu?‖ Inspektur Skimhead mencondongkan tubuhnya ke arah Onew. Onew hanya mengangguk santai, membuat Inspektur berkepala pelontos itu semakin tak sabaran. Perlahan Onew mulai menceritakan perjalanannya ke Middlewich House, juga percakapannya dengan Earl Ferrers yang membuat sang Inspektur terkejut bukan main. Tidak bisa dipungkiri, bahwa nama Earl Ferrers sempat masuk dalam daftar terduga. Tapi kemudian, Duke of Windsor Gregory sendiri yang memintanya untuk menghapus nama Earl Ferrers dari daftar terduga. Inspektur Skimhead berdecak kesal saat mendengar cerita Onew yang menyatakan bahwa Earl Ferrers memiliki motif yang sangat kuat untuk menculik Elspeth. Sang Inspektur menggerutu, dugaannya semakin kuat bahwa kasus penculikan Elspeth memang sengaja dirancang untuk mempermainkan kepolisian Scotyard Land. Tibalah Onew pada cerita di mana ia mendengar suara tembakan dan melakukan aksi kejar-kejaran dengan lelaki bertopi dan coat gelap di tengah salju. Kali ini semangat di wajah Inspektur Skimhead meredup, dahinya berkerut seolah tengah memikirkan hal lain. ―Onew,‖ potong Inspektur Skimhead. ―Aku telah mendapat informasi tentang senjata api yang digunakan sebagai alat pembunuhan. Kau yakin Vladimir telah mencurinya darimu? Lalu mengembalikannya diam-diam setelah ia membunuh Earl Ferrers?‖ Lagi, rasa kecewa menyergap Onew. Sama seperti saat ia menjelaskan bagaimana ia melihat cipratan darah setelah terdengar erangan dari Taemin. Inspektur Skimhead menunjukkan ekspresi yang sama, ekspresi ragu dan tidak percaya. Onew mengeluarkan senjatanya, lalu menaruhnya di atas meja. ―Selongsongnya kosong. Saya menghabiskan peluru untuk menembaki lelaki itu.‖ Inspektur Skimhead memandang senjata api milik opsirnya, lalu menatap mata sipit Onew. ―Anda ingin mengatakan tidak ada sidik jari lain selain milikku?‖ tebak Onew. Ia bahkan telah mendengar hal tersebut dari orang kepercayaan Earl Ferrers sebelum ia diperbolehkan kembali ke Scotland Yard. ―Anda boleh mencurigai Saya, Inspektur. Tapi ingat! Ini adalah pembunuhan berencana, Vladimir tentu telah mempersiapkan segalanya dengan baik,‖ terang Onew, berusaha mengenyahkan rasa kecewa atas reaksi Inspektur Skimhead. Inspektur Skimhead kembali menegakkan punggungnya, menatap Onew dengan sorot mata meredup. ―Lalu, di mana Vladimir sekarang?‖ tanyanya. ―Jika kita belum terlambat, ia seharusnya masih ada di Middlewich House, bekerja sebagi pelayan. Satu-satunya pelayan berwajah Asia dan satu-satunya pelayan yang tinggal di bangunan utama Middlewich House.‖ Inspektur Skimhead sempat berpikir sebelum akhirnya ia bangkit dan beranjak. ―Aku tidak bisa menunggu waktu lebih lama untuk menangkap rubah itu!‖ ujarnya sambil melangkah ke luar ruangan. Onew mengekor, meski ia ingin sekali menemui Bluebell terlebih dahulu. Tapi sepertinya ia memang harus kembali ke Middlewich House. Langkah Onew terhenti saat Inspektur Skimhead menghentikan langkahnya dan berbalik menghdap Onew. ―Kau! Kau mendapat cuti sampai tahun baru!‖ tukasnya enteng, lantas ia kembali melangakah, membuat Onew membelalakkan kedua matanya. ―Apa? Anda bercanda, Inspektur? Mana bisa-― ―Listen! Namamu sudah terkenal di kepolisian distrik lain di Scotland Yard, mereka telah menganggapmu sebagai salah satu dari sekian yang terlibat dalam dua kasus pembunuhan yang mengikuti kasus penculikan
46
Elspeth. Berterimakasihlah padaku karena aku telah berusaha menutupinya, walaupun gagal,‖ ungkapnya setengah berbisik. ―Tapi Inspektur-― Onew berusaha membela diri dan menuntut haknya. Ia tahu semua orang pasti mencurigainya, tapi posisinya benar-benar tidak menguntungkan. ―Onew! Kau tertidur setiap kali pembunuhan terjadi. Dan keteranganmu dianggap lelucon. Maka dari itu, pakailah waktu detensimu untuk berisitirahat!‖ desis Inspektur Skimhead, membuat Onew membeku di tempatnya. Onew menatap punggung Inspektur Skimhead yang menjauh darinya. Lelaki botak itu kini menghampiri Minho yang duduk kaku di salah satu kursi. Mereka berbicara, membicarakan hal yang tidak bisa di dengar Onew. Mata Minho membelalak sebelum akhirnya ia tersenyum, kemudian mendekati Onew. ―Hyung, Inspektur Skimhead memasukkanku dalam tim! Ini bukan mimpikan?‖ ungkap Minho sumringah. Mata bulatnya terlihat semakin besar. Onew mendesah pelan, tentu saja itu kabar buruk baginya. Tapi ia ingat bagaimana Minho begitu ingin bergabung dengan kepolisian Scotland Yard. Ia tidak boleh egois. Lagi pula, mungkin hari liburnya bisa ia gunakan untuk menebus kesalahan-kesalahannya pada Bluebell, pikirnya. Onew menaruh kedua tangannya di bahu Minho, menatap mata bulat lelaki jangkung itu. ―Lakukan yang terbaik, Minho. Tangkap Key sebelum ada korban lain yang jatuh. Aku tahu, yang selanjutnya menjadi sasaran Key adalah kita berdua. Orang-orang yang tahu dan menyelidiki kasus hilangnya Elspeth,‖ Minho mengangguk mantap. ―Carilah tempat tinggalku setelah selesai penyelidikan,‖ lanjut Onew. Hari itu juga Inspektur Skimhead beserta timnya—termasuk
Minho—segera meluncur
ke Middlewich
House. Onew jelas sedih melihat rombongan tim penyidik di mana seharusnya ia berada di sana. Mobil yang ditumpangi Inspektur Skimhead dan timnya telah menghilang dari pandangan Onew. Lelaki itu baru menyadari bahwa ia merasa sepi dan menyedihkan. Lalu ia menyeret langkahnya meninggalkan kantor kepolisian Scotland Yard. Oh! Sebaiknya ia membelikan sesuatu untuk Bluebell, pikirnya. *** Gadis berambut merah itu tengah asyik di dapur, melupakan kegelisahannya selama ini dengan membuat panekuk cokelat. Memasak kudapan bisa dengan mudah membuatnya merasa senang. Meski pada kenyataannya ia akan kembali merasa sedih saat memakan kudapan buatannya seorang diri. Yeah! Seorang diri,
tanpa
ditemani
lelaki
bermata
sipit
itu.
Bluebell
segera
menggelengkan
kepalanya,
berusaha
mengenyahkan Onew dari pikirannya barang sekejap. Setidaknya hingga ia kembali menyadari bahwa dirinya memang sendiri. Panekuk itu berbentuk bulat dan berlapis tiga. Kini Bluebell tengah menyiramkan cokelat cair dari panci sambil bersenandung kecil. Ia kemudian menaburkan gula tepung. Sedikit saja, karena gula tepung sangat mahal. Dan terakhir, ia menaruh buah stroberi di atasnya. Gadis itu mendesah, melepas apronnya riang. Lalu duduk di salah satu kursi dan memandangi dua piring berisi panekuk. Kini, rasa sepi itu kembali menyergapnya dan memeluknya begitu erat. Sudah nyaris tiga hari berlalu sejak malam Natal, dan Onew belum juga menampakkan batang hidungnya. Ditambah lagi desas-desus mengenai kematian seorang Earl di Althorp membuat Bluebell semakin gelisah, menebak-nebak apakah Onew ada hubungannya dengan kasus itu. Bluebell masih memandangi panekuk sambil menopang dagu dengan tangan kanannya saat seseorang membuka pintu depan. Ia melirik malas ke arah pintu yang sebenarnya tidak bisa ia lihat, menebak bahwa yang datang adalah Mr.Milles yang akan mengundangnya makan malam atau seorang tukang pos yang membawakan surat-surat penawaran rumah di wilayah lain di luar Scotland Yard. Bluebell mendesah, kemudian melangkah gontai menuju pintu depan. Wajahnya benar-benar tidak bersemangat dan jika saja ia bukan gadis ramah, mungkin ia sudah mengusir tamu yang datang tanpa mengetuk pintu itu. Bluebell belum tiba di depan pintu saat kedua mata hijaunya menangkap sosok yang sangat ia rindukan. Ia membulatkan kedua matanya, berusaha memastikan apa ia sedang bermimpi atau tidak. ―Kau kenapa?‖ tanya Onew yang mulai melangkah mendekati Bluebell, membuat gadis itu semakin membelalakan kedua matanya. ―O... Onew?‖ tanyanya yang lebih ia tujukan pada diri sendiri. Onew malah terkekeh, ―Kau pikir
47
siapa, Miss Constantia?‖ Onew menarik Bluebell yang masih berdiam diri menuju sofa lusuh di ruang tamu, memaksa gadis itu duduk. Ia kemudian duduk di samping Bluebell. Mata Bluebell yang tadi sempat terbelalak tak percaya kini kembali terbelalak. Tapi bukan karena terkejut, melainkan karena ia merasa senang dengan apa yang kini ada di hadapannya. Onew menyodorkan sebuket bunga mawar merah yang begitu indah. ―Selamat hari Natal, Bells. Maaf terlambat,‖ ucap Onew setengah berbisik. Bluebell segera meraih bunga itu dari tangan Onew, menyesap aromanya ringan. Dalam hatinya, ada perasaan bahagia yang begitu membuncah. Dan rasanya kali ini ia ingin memeluk Onew, meluapkan kerinduannya pada lelaki itu. ―Terima kasih, Onew.‖ Akhirnya Bluebell membuka mulut. Ia tersenyum, kemudian memeluk Onew. Bells tidak tahu bagaimana mengungkapkan kebahagiaannya, rasanya ia ingin menggenggam Onew dan tidak akan pernah melepaskannya. Bluebell semakin mengeratkan pelukannya saat ia mengingat mimpinya pada malam Natal, mimpi di mana Onew mengatakan bahwa ia sangat mencintai Bluebell, lalu meninggalkannya. ―Bells, aku tidak bisa bernapas,‖ ucap Onew dengan suara seperti orang tercekik yang dibuat-buat. Bluebell menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia masih ingin memeluk Onew seperti itu. Karena itu membuatnya sangat bahagia, seolah Onew hanya miliknya seorang. Lelaki bermata sipit itu lalu tersenyum simpul. Kedua tangannya memeluk Bluebell dan semakin menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa ia pun memang merindukan Bluebell. Dan itu membuat keinginannya untuk melamar Bluebell semakin tak tegoyahkan. Semilir angin khas musim dingin berhembus ringan, menerbangkan salju-salju kecil yang masih melayang. Berhembus seolah saling berkejaran, ikut bersuka cita menyaksikan dua anak manusia yang saling melepas rindu. Bluebell tidak tahu berapa lama ia menenggelamkan dirinya dalam pelukan Onew. Ia merasa begitu hangat dan nyaman, dan itu semua membuatnya merasa aman. ―Bells,‖ panggil Onew. Lelaki itu berusaha melepaskan Bluebell dari pelukannya. Gadis itu sempat menggelengkan kepalanya, tapi tak lama akhirnya ia membiarkan Onew melepaskan dirinya. ―Kau baik-baik saja, Bells?‖ tanya Onew saat menyadari pipi Bluebell basah. Bluebell mengangguk, meski air mata itu kembali menetes. Ia mengusapnya cepat, ―Aku baik-baik saja, Onew. Asalkan kau di sini, aku pasti baik-baik saja,‖ ucap Bluebell. Ia tidak menyadari bahwa ucapannya menyiratkan makna lain bagi Onew. ―Bells, kau-― ―Oh! Kau sudah makan? Aku baru saja membuat panekuk. Kau pasti suka.‖ Tanpa menunggu tanggapan dari Onew, Bluebell menariknya menuju dapur. Memaksa lelaki itu menghabiskan dua piring panekuk yang baru saja dibuatnya. Onew tidak bisa berkata apa-apa, yang ia lakukan hanya mengikuti keinginan Bluebell. Yeah! Untuk menebus kesalahannya pada Bluebell. Onew menyantap panekuk dengan lahap, sesekali kedua matanya mencuri pandang ke arah Bluebell—yang tengah memandanginya sambil menopang dagu. ―Kau tidak bosan memandangiku?‖ kelakar Onew, ia kemudian terkekeh. Bluebell hanya menggelengkan kepalanya, seolah mengucapkan sebuah kalimat saja akan mengganggu konsentrasinya yang sedang memandangi Onew. Onew melahap lagi potongan panekuk, lalu menganggukkan kepalanya. ―Miss Constantia, kau tahu kan di dunia ini tidak ada yang gratis?‖ tanya Onew, membuat Bluebell terperanjat. Onew kemudian menyeringai, berusaha menakuti Bluebell. Ia mencondongkan tubuhnya, seolah berusaha menjangkau Bluebell. Seringai dan tatapan tajam Onew seolah menghipnotis Bluebell, ia sama sekali tidak bisa memerintahkan alat geraknya untuk menjauh. ―Kau harus membayarnya malam ini,‖ bisik Onew parau. *** Gadis dengan gaun merah muda itu berlari ke sana ke mari, kedua matanya tak henti menjelajahi keramaian kota yang diterangi lampu berwarna-warni. Tangannya masih menggenggam permen kapas saat kedua
48
matanya menangkap bangunan kecil yang begitu terang dan berwarna ceria. ―Kita ke sana!‖ Bluebell menarik tangan Onew. Hatinya begitu senang malam ini. Akhirnya Onew berjanji untuk menghabiskan malam ini dengan melakukan hal yang disukai Bluebell.
TING
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi saat gadis bermata hijau itu mendorongnya. Lantas ia menatap nanar cupcake aneka warna yang dipajang di display. Matanya liar menjelajahi jenis-jenis pastry cantik yang dipajang di atas stand kecil berbentuk melingkar seperti air terjun kecil. Onew menautkan kedua alisnya melihat tingkah laku Bluebell yang seperti anak kecil. Kini gadis itu mendekati si pemilik toko yang berdiri di belakang display. Pemilik toko itu seorang lelaki tua dengan rambut beruban, ia memakai coat hitam dan tubuhnya sedikit bungkuk. Ia terlihat begitu ramah dan tersenyum pada setiap orang yang datang. Bluebell mengatakan sesuatu pada si pemilik toko, kemudian berlari ke arah Onew dan mengapit lengan lelaki itu. ―Ayo kita pergi!‖ ajaknya riang. Onew tidak mengerti, tapi kemudian ia mengikuti Bluebell. Malam semakin larut, sudah banyak tempat yang Onew dan Bluebell kunjungi. Pasar malam, taman kota, dan toko kue. Sebenarnya Onew ingin mengajak Bluebell menonton teater. Tapi sayang, teater adalah tempat bagi para bangsawan. Ia tidak mau jika Bluebell merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri karena melihat Ladies bergaun mewah dan berhiaskan hiasan rambut yang berkilau. ―Sekarang kita mau ke mana?‖ tanya Onew. Kini mereka berjalan berdampingan. ―Kita pulang saja. Aku lelah,‖ jawab Bluebell, ia menguap sambil mengeratkan lagi coat-nya. Onew menatap Bluebell. Memperhatikan feature wajah gadis itu. Sepasang mata hijau yang bulat, hidung yang lancip, serta bibir mungilnya yang semerah darah. Onew tersenyum, ada kebahagiaan tersendiri yang merasuk ke dalam kalbunya saat ia melihat wajah itu. Dan saat itulah, sesuatu terbersit dalam pikiran Onew. ―Bells, bisa tunggu di sini sebentar?‖ pintanya, ia menarik Bells ke pinggir jalan tepat di dekat sebuah rumah berdinding batu. Bluebell terperanjat, dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. ―Tidak! Kau mau ke mana?‖ tanyanya panik. Bluebell tahu, pastilah Onew akan meninggalkannya lagi seperti waktu itu. ―Sebentar saja, Bells. Aku janji.‖ Kini Onew menaruh kedua tangannya di bahu Bluebell. ―Tidak! Sebentar yang kau maksud adalah kurun waktu yang lebih dari satu hari,‖ tandas Bluebell, kini ia meraih satu tangan Onew dan mencengkeramnya kuat. ―Hanya sebentar.‖ Onew berusaha meyakinkan Bluebell lagi. ―Tidak mau! Dan jangan berjanji untuk kembali pada hari tertentu. Aku tidak mau menunggu!‖ pekik Bluebell, pancaran matanya begitu tajam. Memandang Onew seolah ingin mengurung lelaki itu dalam bola matanya. Onew meraih kedua tangan Bluebell, ―Listen, Bells. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu seperti waktu itu. Aku hanya perlu ke suatu tempat, sebentar. Kau bisa menghitungnya. Hemm…. 20 menit,‖ ucap Onew tenang. Bluebell menggelengkan kepalanya dan ia berusaha mencengkeram tangan Onew lagi. ―Baiklah, 10 menit. Tunggulah 10 menit di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Mengerti?‖ Onew menegaskan intonasi bicaranya dan membuat Bluebell terdiam. Akhirnya, gadis berambut merah itu hanya mampu menatap nanar punggung Onew yang berlari menjauh darinya. Salju kembali turun, membuat wajah Bluebell memerah. Sudah 5 menit Bluebell menunggu dan itu membuatnya semakin ketakutan. Ia tidak mengerti, apakah ia bodoh atau sejenisnya. Yang jelas, ia telah membiarkan Onew pergi lagi darinya. Seketika perasaan takut itu menghinggapinya, memutarkan klise di mana lelaki itu meninggalkannya, juga mimpi buruk Bluebell yang menyiratkan hal serupa. ―Tidak!‖ pekik Bluebell tertahan. Tanpa pikir lagi ia melangkahkan kaki kurusnya, mencari-cari keberadaan Onew.
49
Part 5
Kedua kakinya terus melangkah, mengikuti ke mana batinnya meminta. Dalam kepalanya hanya ada satu nama—Onew. Bagaimanapun Onew tidak boleh meninggalkannya lagi. Tidak boleh! Bluebell telah melewati toko-toko kecil yang mulai tutup, juga melewati kelap-kelipnya kota yang mulai redup. Tapi ia tak kunjung menemukan Onew. Ia lantas berlari, berlari tanpa arah seiringan dengan rilisnya air mata. Hatinya begitu sakit, Onew benar-benar meninggalkannya lagi. Ia mengutuki dirinya yang begitu bodohnya membiarkan Onew pergi, tepat di depan matanya. ―Onew!‖ teriak Bluebell. Gadis itu menghiraukan udara dingin yang kian menusuk. Ia berbalik, matanya liar mencari sosok bermata sipit itu. ―Onew!‖ teriaknya lagi, kali ini disertai isakan karena ia tak juga menemukan Onew. Tubuh Bluebell merosot, menyentuh tumpukan salju yang dingin. Ia terisak, Onew benar-benar meninggalkannya. ―Aku mencintaimu, aku mencintaimu,‖ bisik Bluebell sambil terisak, kini bibir merahnya berubah menjadi pucat. Menggumamkan kalimat cinta itu dengan hati yang terlunta. Ia masih menangis saat kedua matanya menangkap sosok lelaki di toko perhiasan. Bukan toko perhiasan mewah di mana ada ruangan luas tempat memajang perhiasan. Hanya toko perhiasan kecil, di mana si pemilik toko menjajakan dagangannya dalam display lebar yang menghadap ke jalan. Bluebell bangkit, ia menyipitkan matanya karena seolah mengenal lelaki yang kini tengah menatap sesuatu dalam kotak berwarna merah. Terseok-seok, Bluebell melangkah mendekati toko perhiasan itu. Hanya ingin memastikan bahwa lelaki yang tengah dipandanginya adalah lelaki yang sedari tadi ia cari. Bluebell terus mendekat, hingga ia bisa melihat benda apa yang tengah dipandangi si lelaki. Sebuah benda berkilau berbentuk melingkar, bertahtakan sebuah permata yang amat kecil di tengahnya. ―Bells!‖ Onew terkejut, lantas ia menutup kotak merah dengan cepat dan menyembunyikannya di dalam saku coat. ―A... apa yang kau lakukan di sini? Sudah kubilang untuk menungguku. Lihatlah dirimu!‖ Onew memperhatikan Bluebell yang berantakan. Wajah gadis itu memerah, matanya sedikit bengkak dan air mata setengah kering masih menghiasi wajahnya. ―Apa yang kau lakukan di sini?‖ alih-alih menjawab pertanyaan Onew, Bluebell malah balik bertanya. Onew sempat terdiam, lalu memandang lagi nama toko tempat ia dan Bluebell berada. Ia kemudian mendesah, sepertinya rencananya gagal. ―You caught me!‖ Onew kemudian mengeluarkan lagi kotak merah tadi dari saku coat-nya dan menaruhnya di atas display. Mata hijau Bluebell mengikuti kotak merah itu. Ia sempat berpikir, tapi tak lama ia membulatkan kedua matanya. ―Onew...‖ ia hanya menggumam pelan, tak berani berpikiran terlalu jauh. Ia takut akan dibawa terbang tinggi, lalu dijatuhkan. Onew tersenyum, lalu membuka kotak merah. Menampilkan lagi benda berkilauan yang sempat dilihat Bluebell. Mata hijau Bluebell berbinar, ia seperti sedang bermimpi. Baru kali ini ada seorang lelaki yang memperlihatkan benda berkliauan itu, terlebih lagi lelaki itu adalah lelaki yang disukai Bluebell. ―Onew-― ―Bells, tadinya aku ingin memberikan ini saat malam Natal. Tapi aku justru melanggar janjiku sendiri. Dan aku berencana memberikannya pada tahun baru nanti, 4 hari lagi. Tapi kau sudah lebih dulu melihatnya. Sayang sekali ini bukan kejutan lagi,‖ terang Onew, ia menatap intens mata Bluebell. Seketika jantung Bluebell berdetak tak karuan, ia merasakan lagi perasaan aneh yang membuat perutnya sakit. ―Ini...‖ Bluebell menggantungkan kalimatnya, menatap Onew dengan pandangan bertanya. Tentu saja Bells tidak bodoh, ia mengerti apa maksudnya seorang lelaki memberikan cincin pada seorang gadis. Tapi, lagi, Bells tidak mau terlalu percaya diri. Ia tidak yakin bahwa Onew memang benar-benar memiliki perasaan serupa dengannya, mengingat Onew yang selalu mengedepankan urusan pekerjaan. ―Aku mencintaimu, Bells,‖ ungkap Onew dengan semburat merah di wajahnya. Suaranya sedikit bergetar. Ia tidak percaya bahwa ia telah mengungkapkan kalimat yang selama ini dipendamnya. Bells membulatkan kedua
50
matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. ―Aku mencintaimu, Bells. Dan aku bermaksud melamarmu dengan ini,‖ lanjut Onew. Bluebell kian terpana, ia tidak percaya bahwa Onew bermaksud untuk melamarnya. Sungguh! Meski ia begitu mengharapkan Onew mengucapkan kalimat itu, tapi ia tidak pernah berpikir bahwa Onew berniat untuk melamarnya. Seketika wajah Bells memerah, dan kedua matanya segera digenangi benda cair. Ia tersenyum. ―Onew, aku-― ―Kumohon. Tunggulah aku. Tunggulah aku,‖ sambar Onew, membuat Bells mengerutkan dahinya. ―Tunggulah aku pada hari pertama di tahun baru. Aku akan melamarmu dengan cincin ini, Bells,‖ lanjut Onew, lantas ia meraih kedua tangan Bluebell. Apa? Senyum di wajah Bluebell memudar, ada sesuatu yang mengusiknya, ―Kenapa aku harus menunggu 4 hari lagi? Kenapa tidak sekarang?‖ tanyanya polos, seperti anak kecil yang menuntut mengapa satu tambah satu tidak bisa menjadi tiga. ―Aku harus menyelesaikan kasus itu, Bells,‖ terang Onew, sorot matanya meredup. Ada gurat tidak senang di wajahnya. Bluebell berdecak, ―Tidak! Hentikan itu sekarang! Berhentilah menyelidiki kasus itu!! Aku takut terjadi sesuatu padamu dan hari pertama di tahun baru itu tidak akan pernah datang untukku!‖ Bluebell menggelengkan kepalanya, berbicara dengan intonasi tegas. ―Kumohon, Bells. Sedikit lagi, sedikit lagi aku akan menyelesaikan kasus itu, lalu aku akan melamarmu dan kita akan menikah.‖ Onew berusaha meyakinkan Bluebell. ―Tidak! Aku tidak bisa menunggu! Aku tidak mau menunggu!‖ pekik Bluebell tertahan, ia jelas-jelas menahan tangisnya. Onew menarik Bluebell dalam pelukannya, ia tahu bahwa gadis itu akan segera menangis. ―Tidak! Kau tidak boleh membuatku menunggu lagi, Onew. Tidak boleh!‖ ucap Bluebell terisak, ia memukuli dada Onew ringan. Onew diam, membiarkan Bluebell meluapkan kekecewaannya. Bluebell menangis. Ia takut, takut jika Onew tidak menepati janjinya seperti yang sudah berlalu. Perlahan Onew melonggarkan pelukannya, menatap wajah merah Bluebell. jari-jari tangannya mengusap bulirbulir air yang mengalir dari pelupukmata gadis itu. ―Look at me, Bells,‖ bisiknya. Mata mereka bertemu, ―kumohon. Aku berjanji, kasus ini akan jadi kasus terakhir sebelum kita menikah. Dan aku akan menjadi polisi keamanan kota yang tidak terlibat dengan kasus seperti ini lagi. Kau tahu, Bells? Bukan hanya kau, aku pun merasa lelah dan takut sepertimu. Percayalah.‖ Amarah yang sempat terlihat di wajah Bluebell meredup. Ia menangkap ketakutan yang dipancarkan sepasang mata sipit yang tengah menatapnya. ―Kau percaya padaku kan, Bells?‖ tanya Onew, dan dijawab oleh anggukan dari Bluebell. ―Maka dari itu, tunggulah aku. Aku berjanji.‖ Bluebell sempat mengalihkan pandangannya dari mata Onew, tapi tak lama ia menganggukan kepalanya. ―Terima kasih, Bells. Terima kasih karena sudah mempercayaiku. Aku mencintaimu,‖ bisik Onew. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Bluebell, menempelkan kening mereka. ―Aku mencintaimu, Bells. Aku mencintaimu,‖ bisiknya lagi sebelum ia mengecup singkat kening Bluebell. *** Lelaki bermata bulat itu mengerutkan dahinya saat membaca apa yang ia tulis dalam notebook-nya selama ia melakukan penyelidikan di Middlewich House. Ia membaca lagi barang-barang bukti temuannya, juga kesaksian para penghuni Middlewich House. Dan yang paling mengejutkannya adalah kenyataan bahwa tidak ada pelayan berwajah Asia di Middlewich House. Ia berdeham, berusaha mengenyahkan sesuatu yang baru saja melintas dalam pikirannya.
51
Kepalanya kembali memutar klise saat ia masuk ke kamar sang Earl dan tidak menemukan tanda-tanda adanya penyusup dan sejenisnya. Benar-benar pembunuhan terencana yang begitu rapi. Kemungkinannya ada dua. Pertama, si pelaku memang merupakan orang dekat Kim Jonghyun, itu diperkuat dari tidak adanya tanda pembukaan pintu secara paksa maupun bekas perlawanan. Kedua, pelakunya orang lain yang entah bagaimana mengetahui seluk-beluk Middlewich House. Seharusnya pelayan yang dimaksud Onew lah pelakunya, tapi mengapa pelayan itu justru tidak pernah ada? “Malam itu Tuan Onew berlari ke luar Middlewich House. Aku mendengar suara tembakan beberapa kali dan mendapati Tuan Onew sudah tak sadarkan diri. Tapi Tuan, demi kebaikan Earl Ferrers yang sudah mempekerjakan saya di sini, saya berani bersumpah bahwa Tuan Onew sangat mencurigakan. Di Middlewich House, hanya orang tertentu yang boleh memiliki senjta api. Bahkan Earl sendiri tidak memilikinya. Pasukan penjaga keamanan Middlewich House tinggal di bangunan berbeda yang berjarak dua bangunan dari sini. Perlu waktu lebih dari lima menit untuk melakukan kejahatan terencana sekalipun.” Kesaksian salah satu pelayan di Middlewich House kembali terngiang di kepala Minho. Dan itu membuat kepalanya pusing. Ia melihat lagi gambar buatannya tentang sketsa luka tembak di kepala Jonghyun. Ia meniliknya lagi, ini bukan tembakan biasa. Pastilah pembunuh itu merupakan penembak terlatih. Buktinya saja, tiga tembakan beruntun yang tepat mengenai bagian vital otak. Minho berpikir, tembakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang pernah berlatih menembak. Yeah! Minho pun pernah berlatih menembak. Tembakan jitu yang langsung mengenai bagian vital, artinya si pelaku sudah tahu di bagian mana yang akan membuat korbannya lumpuh seketika. Seperti seorang polisi yang tengah menembak seorang buronan.
DEG!
Lagi, pikiran Minho hanya tertuju pada satu orang saja yang mungkin melakukan hal itu. Tapi lagi-lagi hatinya menyangkal. Lagipula, orang itu tidak punya motif untuk melakukannya. Minho membuka-buka lagi halaman notebook-nya ke belakang, dan membaca catatan yang ia buat mengenai kasus Taemin. Dalam beberapa baris tertulis. Lee Taemin, 19 tahun. Tewas dengan pisau yang selalu ia simpan di balik tubuhnya. Terdapat tanda-tanda perlawanan dari korban sebelum akhirnya ia kalah dan mendapatkan tikaman berubi-tubi di tubuhnya. Hanya ada dua sidik jari yang ditemukan, sidik jari Taemin dan Onew Hyung. Onew Hyung bersaksi bahwa ia melihat seorang lelaki dengan coat dan topi gelap, matanya sipit dan tajam. Ia tengah menyeret Elspeth sebelum akhirnya mengejar Onew Hyung ke Winch house. Hal janggal : tidak ada seorangpun di Nobotte Wood yang mengatakan pernah melihat lelaki dengan ciri-ciri seperti yang dilihat Onew Hyung. Terlebih lagi pada hari di mana Taemin tewas.
TOK TOK TOK
Minho terlonjak, dengan cepat ia memasukkan notebook ke dalam saku coat-nya. ―Inspektur Skimhead di sini. Boleh aku masuk?‖ terdengar suara berat lelaki botak itu. ―Silakan, Inspektur.‖ Minho berusaha menenangkan dirinya. Inspektur Skimhead muncul, lalu duduk di samping ranjang-di samping Minho. ―Apa yang kau temukan?‖ tanya sang Inspektur. ―Belum terlalu jelas, Inspektur. Saya perlu beberapa bukti lagi.‖ Minho menyembunyikan temuannya. Ia belum terlalu yakin, terlebih lagi orang yang dicurigainya tidak punya motif, meski seluruh bukti mengarah orang itu.
52
Inspektur Skimhead terkekeh, ―Ayolah, Minho. Aku tahu kau telah membuat analisa. Mari kudengar,‖ desak Inspektur Skimhead. Sebenarnya ia tidak bisa percaya begitu saja pada orang Asia—kecuali Onew. Tapi sungguh, Onew dan Minho benar-benar orang yang sangat berguna dalam membantunya menyelesaikan pekerjaan rumit. Minho menatap Inspektur Skimhead ragu, mata bulatnya memancarkan sedikit ketakutan. Ia masih menimbang sebelum akhirnya membuka mulut, ―Inspektur, ada sesuatu yang janggal di sini,‖ ia memulai. ―Janggal? Maksudmu ini tentang Vladimir?‖ tanya Inspektur Skimhead. ―Ini mengenai pelaku yang membunuh Taemin dan Jonghyun Hyung, sekaligus penculik Elspeth seperti yang Onew Hyung katakan,‖ lanjut Minho dengan suara bergetar. Inspektur Skimhead memandang mata bulat Minho tajam, seolah tidak sabar mendengar penjelasan Minho. ―Ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang Vladimir Fox,‖ ucap Minho. ―Tolong dengarkan saya dan jangan bertanya hingga saya selesai bercerita.‖ Minho melanjutkan dan Inspektur Skimhead tidak mengatakan apa pun. ―Vladimir Fox. Bekerja sebagai pengawal Lady Elspeth Windsor. Sebagai pelayan, ia tentu bukan orang sembarangan. Ia telah dilatih sebelum diperbolehkan menjadi seorang pengawal. Seorang pengawal bekerja mengawal Lady ke manapun dan melindunginya dari bandit. Sudah tentu ia pandai bela diri dan tahu bagaimana caranya menembak. Bahkan kemampuan menembaknya setara dengan para polisi. Bukan perkara sulit baginya untuk menghabisi seseorang hanya dalam dua atau tiga tembakan, atau bahkan satu. Ia juga hafal tata letak kota dan beberapa distrik di kota dekat Scotland Yard. Ia dilatih seperti itu kalau-kalau ada situasi genting yang mengharuskan Lady jauh dari rumahnya. Perawakannya tinggi dan kurus. Punggungnya tegap, dan ia punya senyum menawan seperti seorang bangsawan. Dan Vladimir Fox, dia adalah keturunan Asia dengan mata sipit yang tajam. Begitu tajam seperti rubah. Nama aslinya adalah Key. Dan yang paling penting adalah deskripsi yang disebut Onew Hyung persis dengan rupa Key yang kukenal.‖ Minho mendesah, akhirnya ia menceritakan apa yang sempat ia sembunyikan. Ia tahu seharusnya ia melindungi Key karena mereka sama-sama keturunan Asia. Tapi di sisi lain, Minho beranggapan bahwa menceritakan hal ini mungkin bisa sedikit mengecoh Inspektur Skimhead. Inspektur Skimhead jelas terlonjak mendengar ini. Tidak salah lagi! pelaku tunggal dari semua kasus yang dianggap mempermainkan kepolisian Scotland Yard adalah Vladimir Fox. Lelaki botak itu bangkit, ―Jadi, sudah pasti dia pelakunya? Apa dia sudah kabur?‖ tanyanya geram. ―Tidak! Kurasa ia masih ada di Middlewich House. Memang dia lah yang menyamar sebagai pelayan di malam kunjungan Onew Hyung.‖ ―APA?‖ Inspektur Skimhead semakin geram. ―Tapi bukankah mereka mengatakan di sini tidak ada-― ―Key seperti adik kesayangan Earl Ferrers. Tentu semua orang akan melindunginya,‖ sambar Minho. Inspektur Skimhead semakin tak sabaran. Ia yakin bahwa ia akan berhasil menangkap si mata rubah jika ia bergerak lebih cepat. Selain itu, ia yakin bahwa Elspeth pun ada di Middlewich House. *** Gadis itu menatap sendu ke arah pintu kamar. Sudah satu hari berlalu, tapi lelaki itu tak kunjung bangun. Ia bahkan sudah mengeceknya beberapa kali dan lelaki itu tetap terlelap seperti seorang bayi. Lantas si gadis kembali ke dapur, memakan makan malamnya seorang diri. Ia memberengut kecewa, lagi-lagi Onew tidur. Lelaki itu segera terlelap setelah mereka kembali dari acara jalan-jalan mereka malam itu. Dan ini adalah tanggal 28 Desember, yang artinya Onew telah terlelap nyaris 24 jam. Bluebell menyantap supnya tanpa selera, pikirannya kembali menerawang pada kejadian malam sebelumnya. Di mana Onew mengatakan bahwa ia begitu mencintainya, dan itu membuat dada Bluebell kembali bergemuruh kencang. Semburat merah telah nampak di wajahnya, ia tidak sabar menunggu hari itu tiba. Hari
53
di mana Onew akan melamarnya dengan cincin itu dan menikahinya. Tapi tak lama, kebahagiaan itu pudar, berganti cemas yang membuncah. Bluebell mengingat lagi kebiasaan tidur Onew yang makin memburuk. Lelaki itu telah beberapa kali tidur dalam waktu yang tidak wajar. Juga kunjungannya ke beberapa Dokter yang membuatnya semakin resah akan keadaan Onew. Ia mendesah. Dalam hatinya bertekad, ia akan menyeret Onew ke Dokter seperti waktu itu. Tak peduli jika lelaki itu menolak atau bahkan meronta. Bluebell baru saja hendak naik ke atas ranjang saat ia mendengar teriakan. ―Tidak! Tolong aku! Tolong aku!‖ Gadis itu berlari menuju kamar Onew, sementara pikirannya menerawang memikirkan hal yang menakutkan. Belum sampai kakinya menjejak di depan pintu kamar Onew, lelaki itu telah nampak di hadapannya, berjalan sempoyongan sambil menggigit kuku jari tangannya. ―Tolong aku! Dia akan membunuhku!‖ teriak Onew lagi, ia terlihat begitu histeris. Bluebell berlari dan segera meraih kedua tangan Onew. ―Onew, apa yang terjadi? siapa yang akan membunuhmu?‖ tanyanya panik. Tapi Onew menghiraukannya, seolah Bluebell tak nampak di hadapannya. ―Tidak! Tolong aku! Menjauh dariku!‖ teriaknya lagi, kali ini ia menutup kedua telinganya dengan tangan. Mendudukkan dirinya di sudut ruangan dengan kedua kaki yang ditekuk. ―Tidak! Menjauh dariku!‖ Kini Onew membenamkan wajah di antara lututnya, kemudian mulai terisak seperti anak kecil. Bluebell menghampiri Onew dengan kepanikan yang telah mencapai ubun-ubun. Ia menyentuh bahu pria itu, ―Onew, apa yang terjadi? Ini aku, Bluebell,‖ bisik Bluebell. Onew masih terisak, ―Tolong aku! Tolong aku!‖ Perlahan lelaki itu mengangkat wajahnya, memandang Bluebell dengan wajah bercucuran air mata. Ia benarbenar terlihat ketakutan, seperti seorang anak kecil yang baru saja bermimpi buruk. ―Tenanglah, aku di sini. Siapa yang mengejarmu?‖ tanya Bluebell sendu. ―Bells,‖ panggil Onew, lelaki itu kemudian berhambur ke arah Bluebell dan menenggelamkan dirinya dalam pelukan hangat gadis itu. ―Tolong aku, Bells. Aku takut! Dia akan membunuhku!‖ gumam Onew di tengah isakannya. Meski bingung, Bells tetap memeluk lelaki itu. Berusaha memberikan ketenangan untuknya. ―Tenang, aku di sini. Kau akan aman,‖ gumam Bells, meski dalam pikirannya ia merasa ada yang aneh dengan pria itu. Onew benar-benar seperti seorang anak berusia 10 tahun. *** Onew terus tertidur setelah kejadian malam itu. Ia sesekali terbangun dan berteriak histeris. Meneriakkan hal yang sama bahwa ada orang yang akan membunuhnya. “Lelaki bermata rubah itu! Dia penculik Elspeth! Aku lah sasaran berikutnya!” Tanggal 30 Desember, Bluebell tidak tahu lagi bagaimana cara menenangkan Onew setiap kali lelaki itu terbangun dan berteriak histeris. Tapi tak lama, Onew akan kembali tertidur dan melakukan hal yang sama. Bluebell melirik lagi Onew yang terlelap di atas ranjang, wajahnya begitu damai seperti seorang bayi. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Onew, lalu menyibakkan anak rambut yang menghalangi mata Onew. ―Tunggulah di sini,‖ bisik Bluebell sebelum akhirnya ia mengecup kening Onew. Gadis itu lalu beranjak, meninggalkan Onew. Ia berencana menemui beberapa Dokter untuk memeriksa Onew. Uangnya memang tidak banyak, tapi uang yang selama ini ia tabung akan cukup untuk membayar Dokter. *** Onew terbangun dari tidurnya saat mendengar suara dua orang yang tengah beradu mulut di dekatnya. ―Kau yang membunuh Taemin dan Jonghyun Hyung! Mengakulah! Semua bukti mengarah padamu-― ucap sebuah suara berat.
54
―Hentikan! Tutup mulutmu jika kau tidak ingin bernasib sama dengan dua orang itu!‖ tanggap suara lain yang lebih nyaring dan rendah. ―Berhentilah bermain api! Kau tidak punya celah lagi untuk mengelak. Kembalikan Elspeth dan larilah jika kau ingin selamat,‖ ancam si suara berat. Lantas laki-laki yang satunya lagi tertawa melengking. Membuat bulu kuduk Onew meremang. ―Kau pikir aku takut? bahkan aku bisa membunuh satu kompi polisi sekalipun!‖ ancamnya geram. Onew bangkit dari ranjangnya, mengambil pistol dalam saku seragamnya dan mengendap menuju dapur—di mana pertengkaran tengah terjadi. Onew memang tidak tahu mengapa dua laki-laki yang ia duga sebagai Minho dan Key itu bisa ada di rumah Bluebell dan, Oh! Bluebell! Di mana gadis itu? Jangan-jangan Key... Pikiran Onew terhenti saat tangannya begitu saja membuka pintu kamar perlahan. Onew mengintip melalui celah pintu. Satu laki-laki bertubuh tinggi yang tentu saja adalah Minho, dan laki-laki lain yang lebih pendek yang tidak bisa ia lihat wajahnya dengan jelas. Laki-laki itu memakai topi dan coat gelap.
DEG!
Seketika jantung Onew berpacu cepat. Lelaki itu sudah pasti Key! Si mata rubah yang merupakan dalang dari semua kasus yang ada. Onew mengendap perlahan, berusaha tidak membuat suara. Ternyata penyelidikan Minho membuahkan analisis yang sama dengan dirinya bahwa Key lah dalang dari semua kasus ini. ―Haha! Kurasa kau juga harus mati seperti Taemin dan Earl.‖
KLEK KLEK
Si mata rubah memasukkan selongsong ke dalam senjata apinya, lalu menodongkannya ke hadapan Minho. Minho bergeming, jelas-jelas ia ketakutan. ―Tu... tunggu dulu! Aku sudah menawarkan padamu untuk melarikan diri. Aku berusaha membantumu h-―
DOR
Satu tembakan tepat di kening Minho sukses membuat lelaki itu kehilangan nyawa. Ia bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimat yang telah ada di ujung lidahnya. Tubuh Minho menggelepar di atas lantai, kedua matanya terbelalak dan tak lama ia berhenti bergerak. Onew membungkam mulutnya. Ia menyesal tidak bisa menyelamatkan Minho karena terlalu santai. Di luar itu, ia seharusnya telah mengantisipasi bahwa Key akan bertindak jauh lebih cepat dari yang bisa dibayangkan siapapun. ―HAHAHAHAHAAHA!!!‖ Key tertawa, tertawa dengan suara melengkingnya yang menakutkan. Ia menatap puas mayat Minho. Seperti seekor singa jantan yang baru menang melawan singa jantan lainnya. Onew mengendap mendekati Key. Ia berniat untuk berada di belakang Key dan menembak lelaki itu. Jantungnya berdebar keras tiap kakinya mengambil langkah. Sudah lama ia menantikan saat ini. Dengan ini, ia akan bebas dari segala tuduhan dan akhirnya berhasil mengungkap kasus pelik menyebalkan itu. Ya, dengan menyelesaikan kasus ini, ia akan hidup tenang bersama Bluebell!
55
Susah payah akhirnya Onew berada di belakang Key, pistolnya tertodong tepat di bagian otak kecil Key. Satu tembakan akan menghilangkan nyawa Key kurang dari satu detik. Napas Onew tertahan, peluh mengalir di kedua pelipis dan keningnya. Ia terus mengulang serantai kalimat di dalam hati. Semua akan selesai dengan satu tembakan... semua akan selesai dalam satu tembakan.... Sebutir keringat kembali jatuh. Ia mengambil napas di sela rasa sesak yang mulai menyerang dada. Dengan tangan gemetar, Onew telah bersiap menarik pelatuk. Ya, hanya satu tembakan... hanya satu tembakan... ―Tidak semudah itu!‖ Key berbalik, sebelah tangannya bergerak cepat memelintir tangan Onew dalam satu gerakan. Onew terlonjak, ia langsung meronta keras, melepaskan diri dari cengkraman kuat Key. Dengan cepat ia berlari menuju kamar. Sayangnya ia gagal, Key telah lebih dulu mendorong meja dan melumpuhkan langkah Onew. Onew tersungkur ke lantai dengan pistol yang nyaris terlepas dari genggamannya. ―Jangan main-main, Key! kau akan mati di tanganku!‖ pekik Onew, ia berusaha bangkit kemudian berlari menuju kamar. ―Dalam mimpimu!‖ Kali ini Onew hanya dapat melihat bibir pucat yang tengah tersenyum dingin ke arahnya. Kedua mata rubah itu tersembunyi di balik topi. Entah kenapa suara itu terdengar amat familiar. Namun Onew tak lagi mampu berpikir saat Key maju dan menyerang dirinya. Keduanya terlibat dalam pergulatan sengit, adu tinju dan tendang. Cakaran dan geraman. Erangan dan suara amuk memenuhi ruangan, disambut suara barang berjatuhan tak terkendali. Key mengunci tubuh Onew dengan menindihnya. Sebelah tangannya menggenggam pisau yang baru ia cabut dari saku belakangnya. Gila! Pisau itu persis pisau yang menrenggut nyawa Taemin. Onew belum mau mati di sini, ia harus bertahan hidup! Dengan sekali tendangan kuat ia berhasil menjatuhkan Key dan langsung bangkit berdiri. Key hendak kembali melawan, namun Onew langsung menendangnya hingga lelaki itu tersudut di kamar Onew. Opsir muda itu langsung mengarahkan pistol yang ia genggam susah payah sejak tadi ke arah Key. Napasnya sesak tak karuan, bersamaan dengan peluh yang membanjiri sekukur tubuhnya. Anehnya, tawa Key malah membahana memenuhi ruangan, seakan bukan dia yang kalah dalam pertarungan sengit itu. Lelaki itu membalikkan tubuhnya menghadap Onew. ―Kau menang!‖ ucapnya, entah bagaimana pisau yang tadi ia genggam telah berganti dengan pistol serupa yang tengah digenggam Onew. Mulut senjata itu tertodong tepat ke arah Onew. Masih dengan napas terengah, Onew mendekati Key hati-hati. ―Tetap di tempatmu!‖ Key diam saat Onew terus mendekat. Sebenarnya Onew bisa saja menembak Key saat itu juga. Tapi rasa penasaran yang begitu besar terlalu mengusainya. Ia ingin melihat wajah Key sepenuhnya, selama ini topi gelap itu selalu menghalangi pandangannya. Ia ingin memastikan bahwa Key adalah pelayan yang ia temui di Middlewich House. Satu, dua, tiga... Langkah Onew semakin mendekat. Perlahan kegelapan yang menutupi wajah Key memudar, tergantikan dengan cahaya yang menerpa kulit putihnya. Cahaya itu terus bergerak, memperlihatkan bibir dan hidung Key dengan jelas. Seperti mengerti keinginan Onew, Key kemudian melepaskan topi yang selama ini menutupi sebagian wajanya. Seringaian tampil jelas lewat bibir dan cahaya manik coklat yang tertuju pasti pada Onew. Topinya mendarat mulus di lantai saat bibirnya pun mengatakan jelas satu kata. ―PEMBUNUH!!!‖
Tidak...ini tidak mungkin!! Ini tidak dapat dipercaya!!
56
Gila! Benar-benar gila!! Pasti ada yang tengah mempermainkanku saat ini! Onew terbelalak, kedua matanya nyaris melompat. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Kepalanya berputar-putar, ia seolah sedang bermimpi. Apa yang ada di hadapannya seharusnya Key, lelaki berwajah Asia dengan mata setajam rubah. Tapi bukan itu yang ditangkap matanya, bukan itu! Ia seakan merasa takdir tengah mempermainkannya. Tentu, ini sangat tidak logis! Seharusnya yang ia lihat adalah sosok Key, sosok pria bermata rubah dengan kulit putih pucat dan seringaian lebar di wajahnya! Seharusnya yang ia lihat adalah sosok yang persis dengan pelayan di Middlewich House!! Tapi bukan itu yang ia lihat... Mata itu, hidung itu, bibir itu... ia tidak melihat Key di manapun. Yang terpampang jelas di depannya adalah sesosok pria yang tengah menodongkan pistol ke arahnya. Pria yang tengah terpampang di permukaan tipis cermin. Demi Tuhan! Itu dirinya!! Itu bayangan dirinya!! ―Tidak mungkin!‖ pekiknya ketakutan. Ia berbalik ketika mengingat bahwa Minho telah mati. Ia berlari ke dapur. Dan benar saja! Minho terkapar tak bernyawa di atas lantai dengan tembakan di kepalanya. Onew menjauh, menggelengkan kepalanya cepat. Ia kemudian membuka selonsong pistolnya, dan mendapati hanya satu peluru yang berkurang. ―Tidak mungkin! Tidak mungkin!‖ Ia berteriak, menutup kedua telinga dengan tangannya. Matanya menatap langit-langit seolah ada yang tengah mengawasinya. *** Minho baru saja turun dari kereta kuda. Menatap rumah kayu berwarna putih di hadapannya. Begitu rapi dan indah, ia yakin bahwa gadis pemilik rumah itu sama cantiknya dengan rumah yang tengah dipandanginya. Ia melangkah, memasuki halaman rumah dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban. Ia tahu ini tidak sopan, tapi ia harus segera menemui Onew. Benar! Hasil analisanya menunjukkan bahwa seluruh bukti pembunuhan mengarah pada Onew. Hanya laki-laki itu yang paling mungkin membunuh Taemin dan Jonghyun. Di hari pertama kunjungannya ke Winch house, lelaki itu menanyai semua orang mengenai Key. Dan Taemin lah yang ia curigai terlibat dalam penculikan Elspeth. Onew lalu pamit pulang, ia berhalusinasi bahwa ada orang yang tengah menyeret Elspeth dan mengejarnya. Saat itu lah Taemin datang, berusaha menolong. Tapi malangnya, Onew yang sudah tahu di mana Taemin menyembunyikan pisau segera meraih pisau itu. Lalu menikam Taemin bertubi-tubi. Setelah itu ia tertidur selama lima hari agar bebas dari tuduhan. Di hari di mana ia berkunjung ke Middlewich House. Kecurigaannya berpindah pada Jonghyun, ia berjalan dalam tidurnya sambil memegang pistol. Dengan mudah masuk ke kamar Jonghyun yang hanya berjarak sepuluh kamar dari kamarnya. Tanpa basa-basi, ia menembak Jonghyun tepat di kepalanya. Melumpuhkan sang Earl tak lebih dari 30 detik. Lalu ia berlari di koridor, seolah mengejar lelaki bertopi gelap yang telah menembak Jonghyun. Yang paling menguatkan analisis Minho adalah keadaan Onew yang janggal. Jam tidurnya yang tidak normal, serta emosi lelaki itu yang tidak stabil. Memang, halusinasi amat sulit diterima logika. Tapi Minho yakin dengan pasti bahwa Onewlah pelakunya, bahkan walau tanpa motif sekalipun. Minho yakin Inspektur Skimhead tidak akan percaya analisisnya dan pastilah ia akan terkejut karena opsir kesayangannya itulah pelaku pembunuhan Taemin dan Jonghyun. Maka dari itu, Minho telah mengecoh sang Inspektur untuk mengejar Key. Tapi tentu saja Minho tak mengatakan di mana Key sebenarnya. Minho memang tahu bahwa Key lah yang menjadi pelayan malam itu. Ia bahkan menyelinap ke bangunan tempat tinggal para pelayan untuk menemui Key. Lelaki bermata rubah itu bahkan menangis di hadapannya, meminta Minho untuk melepaskannya dan membiarkan ia dan Elspeth menjauh dari Scotland Yard.
57
Minho membuka pintu. Tidak di kunci! ―Selamat siang! Onew Hyung,‖ panggilnya, tak ada jawaban. Ia melangkah lagi menuju ruangan lain yang segera ia ketahui sebagai dapur. ―Hyung, kau di sana? Ini aku, Choi Minho.‖
KLEK
Pintu tak jauh dari dapur terbuka, menampilkan sosok Onew yang seperti orang linglung. ―Hyung, aku-― ―Diam di situ!‖ Minho terlonjak, ia menahan langkahnya karena kini opsir itu tengah menodongkan pistol padanya. Sorot mata lelaki itu tampak aneh, seakan kosong dan dingin. Benar-benar bukan Onew yang biasanya. ―Hyung, tolong turunkan pistol itu. Kau membuatku takut,‖ pinta Minho tenang. Ia tahu, Onew melakukan dua pembunuhan tanpa disadari, dan kali ini bisa saja Onew melakukan hal serupa padanya. ―Kau yang membunuh Taemin dan Jonghyun Hyung! Mengakulah! Semua bukti mengarah padamu-― ucap Minho. ―Hentikan! Tutup mulutmu jika kau tidak ingin bernasib sama dengan dua orang itu!‖ balas Onew garang. ―Berhentilah bermain api! Kau tidak punya celah lagi untuk mengelak, Onew Hyung. Larilah jika kau ingin selamat.‖ ―Kau pikir aku takut? bahkan aku bisa membunuh satu kompi polisi sekalipun!‖ ancam Onew geram. Minho berusaha mundur perlahan, tidak mau sedikit saja pergerakannya akan menimbulkan hal fatal. ―Haha! Kurasa kau juga harus mati seperti Taemin dan Earl.‖
KLEK KLEK
―Tu... tunggu dulu! aku sudah menawarkan padamu untuk melarikan diri. Aku berusaha membantumu h-―
DOR
Satu tembakan telah merenggut nyawa Minho kurang dari satu detik. Tubuh Minho menggelepar, kedua matanya terbelalak. Tamat sudah riwayat detektif yang baru beberapa hari bergabung dengan tim impiannya itu. Setitik penyesalan muncul di hati Minho sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. *** Bluebell membeku dalam duduknya. Ia tidak percaya dengan apa saja yang baru Dokter ucapkan tentang Onew. ―Dokter, apa Anda yakin? Mungkin saja ada yang salah,‖ tanya Bluebell berusaha menghibur diri. Tapi sayanganya, sang Dokter kembali mengucapkan hal yang sama. ―Sindrom Kleine-Levin atau disebut juga Sleeping Beauty. Menyerang satu dari satu juta orang di dunia. Penderita akan mengalami episode panjang dari tidurnya. Gejala awal, penderita akan mengeluh lelah dan perlu tidur. Ia akan tetap merasa seperti itu meski ia telah terlelap beberapa hari tanpa bangun. Pada episode kedua tidurnya, ia akan tidur lebih lama dari tiga hari dan bangun jika lapar dan ingin buang air. Ia akan marah jika seseorang mengusiknya ketika ia ingin tidur. Pada episode berikutnya, keadaan akan semakin buruk. Penderita akan bertingkah seperti anak kecil dan ketakutan. Ia akan mengalami hal menakutkan dalam mimpinya yang ia anggap seperti nyata. Dan kenyataan yang seolah seperti mimpi. Ia akan mengalami kebingungan
dan
tidak
bisa
membedakan
mimpi
dan
kenyataan.
Penyakit
ini
tidak
bisa
sembuh, Miss Constantia. Dan sampai saat ini belum ditemukan apa penyebabnya. Teman Anda akan
58
mengalami episode ketiga dalam tidurnya yang akan memakan waktu lebih dari dua bulan, bahkan mungkin enam bulan. Lambat laun, ia akan melupakan memori dalam kepalanya.‖ Bluebell tidak bisa mengucapkan apa pun. Ini adalah Dokter ke lima yang ia datangi, sekaligus Dokter ke-3 yang mengatakan hal serupa—bahwa Onew terkena Sindrom Kleine-Levin. Gadis itu hanya diam, dan tak lama setetes air mata meluncur bebas membasahi pipinya. Apa yang harus ia lakukan pada lelaki yang amat dicintainya? Onew akan melupakan segalanya, segala yang terjadi antara mereka, dan bahkan mungkin akan melupakan Bluebell. Gadis itu mulai terisak, dan tanpa sadar menangis di hadapan Dokter. Ia membekap mulut dekat kelima jari tangan kanannya yang terasa dingin. Sungguh! Batinnya mengatakan kali ini ia akan benar-benar kehilangan Onew. *** Angin dingin masih berhembus, ikut membekukan hati pejalan kaki Kota London yang masih berjalan dengan pongahnya. Kuncup hijau daun masih enggan mengisi ranting kering, bahkan salju pun masih enggan mencair. Langit masih tampak gelap, seakan ikut merasakan mendung yang tengah malanda hati beberapa penduduknya. Waktu masih berjalan seperti biasa, tetap tak mau ditarik mundur meski ratusan penduduk kota itu memohon-mohon sekalipun. Itu pulalah yang dirasakan seorang gadis berambut merah yang tengah melangkah gontai menuju satu bangunan putih kusam yang tak begitu jauh darinya. ―Oh, Miss... Kau datang lagi?‖ sapa seorang petugas jaga yang tengah berdiri di samping gerbang. Gadis itu hanya menyunggingkan seulas senyum yang dipaksakan. Ia kembali melanjutkan langkahnya ke dalam. Lelaki tadi hanya menggelengkan kepalanya prihatin, ―Sayang sekali untuk gadis muda secantik dirinya... apa dia tidak sadar tak ada lagi gunanya menanti orang yang tak lagi jelas kapan kembali bermasyarakat?‖ Beberapa perbincangan dengan petugas yang biasa ia temui, dan ia pun diminta menanti di ruang biasa yang ia datangi. Matanya menatap sekeliling dengan sendu, tak tahu sampai kapan ia akan tetap mendatangi ruangan itu di masa depan nanti. Di sana amat tenang, hanya ada satu meja kayu dan beberapa kursi coklat yang mengelilinginya. Di atas meja terletak sekeranjang makanan yang gadis itu bawa bersamanya.
KLEK
Suara pintu mengusik ketenangan gadis itu, membuat campuran rasa menyerbu hatinya. Di ambang pintu berdiri seorang lelaki yang tengah menunduk dengan gurat lelah memenuhi wajahnya. Pandangan lelaki itu kosong. Tangannya yang terborgol, sementara kakinya melangkah lemas menuju kursi di seberang gadis itu. Si gadis kembali memaksakan senyum saat lelaki itu dapat ia pandang dengan leluasa di hadapannya. Petugas yang mengantarkan lelaki itu undur diri, menonton keduanya lewat kaca transparan yang membatasi ruangan. ―Hai,‖ sapa si gadis. Lelaki itu mengerjapkan sepasang mata sipitnya sesaat sebelum bertanya dengan suara parau, ―Kau siapa?‖ Sungguh, pertanyaan itu menusuk hati si gadis. Dadanya mulai terasa sesak sementara air mata hendak menjebol keluar kelopak matanya. Ia meraih tangan lelaki itu dengan gemetar. ―Onew, ini aku.... Aku Bluebell...,‖ ujarnya dengan suara bergetar. ―Oh, Bells... itu kau...,‖ jawab si lelaki dengan nada datar. Matanya beralih memandang Bluebell dengan tatap kosongnya, ―Maaf... entah kenapa aku tak bisa mengingat dengan jelas. Kurasa akhir-akhir ini aku terlalu lelah,‖ gumamnya murung. Pandangannya beralih pada keranjang yang dibawa Bluebell dan gadis itu dengan segera mengeluarkan isinya. Onew menatap seluruh makanan itu sesaat sebelum menyambar dan melahapnya. Ia seperti pengemis yang tak makan berhari-hari.
59
―Bagaimana tidurmu?‖ tanya Bells, berusaha diperhatikan dan mengalihkan pembicaraan. ―Tidak lebih baik,‖ jawab Onew di sela kunyahannya. Gadis itu tertunduk lemas. Sudah satu tahun Onew berada di rumah sakit jiwa itu dan tak ada satupun pengobatan yang berhasil menyembuhkannya. Sungguh! Onew tidak gila! Dia menderita Kleine-Levin. Tapi tidak ada yang memepercayai Bluebell. Inspektur Skimhead, yeah! Lelaki yang selama ini menjadikan Onew sebagai opsir terbaiknya lah yang justru menjebloskan Onew ke rumah sakit jiwa ini. Ia terlampau kecewa bahwa pelaku dari kasus yang rumit itu adalah opsir kesayangannya. Onew. Keadaannya semakin hari malah semakin buruk. Terakhir Bluebell dengar lelaki itu tertidur selama empat bulan dan hanya bangun untuk makan dan buang air. Sungguh, hidup macam apa itu? ―Apa ada hal lain yang kau butuhkan?‖ tanya Bluebell lagi. Lelaki itu tak menanggapi. Ia hanya terus mengunyah makanannya dalam diam. Bluebell yakin, sebentar lagi lelaki itu akan kembali tertidur dalam waktu yang lama. Buliran air mata akhirnya meluncur di pipi mulusnya. ―Onew,dengarlah... mungkin ini terakhir kalinya aku mengunjungimu....‖ Onew menghentikan gerakannya. Ia mendongak menatap Bluebell, matanya menyiratkan keterkejutan. Gadis itu mulai terisak dengan sebelah tangan berusaha menahan laju tangisnya. ―Aku... aku sudah tidak bisa menunggumu lagi. Aku tidak bisa begini selamanya... Aku...aku harus menikah,‖ isakan gadis itu semakin kuat, ―...dan sudah ada yang melamarku....‖ Onew membatu di tempatnya. Matanya semakin berisi, kesadarannya semakin penuh. Akhirnya ia menangkap apa maksud Bluebell. Gadis itu menggenggam erat tangannya, geraknya masih bergetar hebat, ―Untuk kali ini saja...untuk kali ini saja... maukah kau mengatakan kau mau melepaskanku? Katakanlah kalau kau ingin aku berbahagia maka aku akan menikah sesuai dengan permintaanmu berbulan-bulan lalu... Kumohon...‖ Onew bangkit tiba-tiba dari duduknya. Dengan gerak cepat ia memeluk gadis itu. Tatapannya menyiratkan rasa takut. ―Tidak, Bells...! Tidak bisa! Tidak boleh!! Kau tidak bisa meninggalkanku sendiri begitu saja!! Jangan tinggalkan aku, Bells,‖ ujarnya dengan suara parau bergetar. Matanya mulai mengeluarkan bulir-bulir yang sama derasnya dengan air mata Bluebell. Gadis itu balas memeluk Onew dan melanjutkan tangisnya. ―Aku...aku mencintaimu, Bells!! Aku mencintaimu... tolong, jangan tinggalkan aku....‖ ―Aku...aku juga mencintaimu, Onew... terlalu mencintaimu....‖ Keduanya hanyut dalam laju air mata yang masih mengalir deras. Onew mendongakkan kepalanya, hendak menghapus genangan air di pipinya. Namun matanya malah menangkap satu sosok yang berdiri di sudut ruangan, sosok ber-coat coklat dan bertopi hitam yang tengah menyunggingkan senyum ke arahnya. Hatinya langsung dicengkram rasa takut dan tanpa sadar ia langsung mendorong gadis di pelukannya. ―Tidak! Menjauhlah dariku!! Jangan ganggu aku! Jangan bunuh aku!! TOLONG!!!‖ ―Onew...‖
Bells
menatap
bingung
sekaligus
panik
lelaki
itu.
Onew
beranjak
ke
sudut
ruangan,
menyembunyikan kepalanya dalam lipatan lengan dan lututnya. Ia terus menangis kencang dan berteriak ketakutan seperti melihat hantu. ―TIDAK! Menjauh dariku!! Menjauh dariku!!‖ ―Onew...‖ Petugas yang mengawasi langsung masuk ke dalam begitu melihat pemandangan tersebut. Bluebell langsung ditarik mundur sementara dua petugas lain berusaha menyuntikkan obat penenang pada Onew. Laki-laki itu terus meronta keras, bahkan berbagai makian dan teriakan minta tolong terus meluncur dari mulutnya. Bluebell berusaha keras mendekatinya, tapi petugas terus menarik paksa dirinya. ―Tidak! Onew! Kumohon...aku ingin melihat kondisinya!‖ racau Bluebell. Gadis itu terus dipaksa meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup, Bluebell tak lagi mendengar teriakan Onew. Lelaki itu tampak kembali tak
60
sadarkan diri, kembali tenggelam kepada ketidaksadaran yang menguasainya berbulan-bulan hingga menjeratnya dalam satu kasus yang bahkan tak ia ketahui pasti kebenarannya. Bluebell terisak di tempatnya. Hatinya begitu terluka. Onew tidak menepati janji untuk melamarnya pada hari pertama tahun baru. Bahkan satu tahun telah berlalu, dan hari pertama di tahun baru yang Bluebell nanti tidak pernah datang menghampirinya.
EPILOG Lelaki bermata sipit itu menyesap lagi teh dalam cangkirnya. Ia menatap ke luar jendela yang ditutupi salju. Wajahnya berseri-seri. ―Apa yang sedang kau lakukan, Key?‖ tanya seorang gadis yang kini menghampirinya. Gadis itu berkulit putih dan bermata biru, rambut ginger-nya ia biarkan terurai. ―Aku sedang menikmati hidupku bersamamu, Elspeth.‖ Key menaruh cangkirnya ke atas meja, lalu memeluk Elspeth. ―Kau bahagia?‖ tanya Key, dan dijawab oleh anggukkan kecil dari Elspeth. Key melonggarkan pelukannya, kini ia menatap mata biru Elspeth. Meraih wajah gadis itu agar menatapnya, ―Benarkah kau bahagia meski kini kau bukan seorang Windsor lagi?‖ tanya Key serius. Elspeth tersenyum manis, ia mengusap pipi Key. ―Aku tidak peduli dengan kekayaan dan gelar kebangsawanan yang selama ini kumiliki. Aku tidak memerlukannya, Key. Satu-satunya yang kuperlukan adalah dirimu. Dan aku sangat bahagia menjadi Elspeth Fox,‖ ucapnya riang. Keduanya kemudian tertawa, sebelum akhirnya mendekatkan wajah mereka. Saling memberi kehangatan di tengah dinginnya salju di luar sana. Benar! Key akhirnya melarikan Elspeth ke tempat yang jauh dari Scotland Yard. Kini mereka tinggal di Roseend di desa Rosegate. Sebuah rumah di daerah peternakan dan perkebunan yang luas. Key akan memulai hidup barunya dengan Elspeth. Ia akan bekerja sebagai seorang petani dan peternak. Dirinya telah merangkai hal apa saja yang akan ia lakukan untuk Elspeth. Ia mendesah lega, setelah perjalanan yang begitu panjang. Akhirnya Tuhan merestui ia dan Elspeth untuk bersama. Meski Taemin dan Jonghyun harus menjadi korban. Benar, kedua laki-laki itu telah membantunya dalam melarikan Elspeth. Mereka bahkan melakukan begitu banyak hal untuk melindungi Key. Taemin yang membuat kesaksian palsu mengenai malam hilangnya Elspeth, lalu ia yang selalu mengantarkan makanan ke tempat persembunyian pertama mereka di sebuah rumah kumuh di gang sempit. Lalu Jonghyun yang begitu berbesar hati memberi mereka tempat untuk bersembunyi meski pada kenyataannya Key tahu Jonghyun menyukai Elspeth. Key berjanji untuk membahagiakan Elspeth dan tidak akan pernah meninggalkan gadis itu. Mengorbankan apa yang ia punya, seperti pengorbanan yang telah dilakukan Elspeth untuknya. Juga yang telah dilakukan Taemin dan Jonghyun yang bahkan mengorbankan nyawa mereka. END
61
Angel Olympic 2012
Author
: kim_mus2 (Twitter: @kim_mus2)
Main Cast
: Lee Jinki a.k.a Onew & Choi Minho
Support Cast
: Jonghyun, Key, Taemin, & SM Town Family
Genre
: Fantasy, Brothership, Comedy
Type/Length
: Two shots
Rating
: PG 13
Summary
:
Akhir tahun 2012 ini, empunya malaikat region Korea Selatan, Lee Sooman, mengadakan Angel Olympic ke67. Perlombaan ini diikuti 7 batalion utama yang terdiri dari TVXQ, Super Junior, Girls Generation, SHINee, F(x), EXO-K, dan EXO-M.
Part 1
Khusus untuk tahun ini, pemenangnya adalah batalion yang mampu membawa 30 arwah calon malaikat baru yang meninggal dengan tiga ekspresi wajah berbeda. Tersenyum riang, terkejut dengan mulut menganga, dan menangis dengan eyes smile. Hadiah bergengsi sudah menanti bagi setiap batalion. Mampukah batalion SHINee memenangkan perlombaan ini? Let‟s check this out! SHINee Hari senin pagi, tanggal 31 Desember 2012, seluruh malaikat berkumpul di lapangan terbuka SM Paradise atas titah dari sang tetua, yang tak lain adalah Malaikat Senior bernama Lee Sooman. Beliau melangkah menaiki podium dan berdeham pelan, menyiapkan suara untuk berpidato. Di belakang Mr. Sooman, seorang malaikat cantik berjalan berdampingan dengan seorang malaikat tampan berkacamata. Mereka berdua adalah sekretaris Boa Kwon dan bendahara Kang Ta. Setelah sang sekretaris dan bendahara berdiri di samping kanan dan kirinya, Mr. Sooman pun membuka suaranya. ―Hadirin yang berbahagia. Semangat pagi!‖ ujar Mr. Sooman lantang, sambil mengepalkan tangannya di udara. ―Pagi!‖ jawab semua batalion dengan serempak. Mr. Sooman pun menyunggingkan senyumannya. Hatinya sangat senang melihat semua anak buahnya yang sigap di barisan masing-masing. Sungguh sangat membanggakan, menurutnya. Dengan mata yang berbinar, Mr. Sooman kembali melanjutkan khotbahnya. ―Saya sangat senang melihat semangat anda sekalian hari ini. Semangat malaikat muda yang menggelora. Semangat ideal yang selalu didambakan demi kemajuan kualitas kinerja Perserikatan Malaikat Maut Region Korea Selatan. Hari ini, sebuah event besar akan kembali dilaksanakan. Event bersejarah yang hanya diselenggarakan di akhir tahun.‖ ―Maaf pak, durasi.‖ Kang Ta mengingatkan. ―Iya, saya tahu!‖ ujar Sooman singkat dan padat, tapi kurang jelas. ―Nona Kwon, berapa menit lagi waktu pidatonya?‖ Mr. Sooman memalingkan wajahnya dari Kang Ta dan beralih pada si sekretaris seksi.
62
―Satu menit saja, Tuan,‖ tutur Boa sambil tersenyum manis, menunjukkan lesung pipitnya. Senyum yang menghanyutkan. Mr. Sooman pun mabuk kepayang dibuatnya. Kang Ta hanya memutar bola matanya, bosan melihat tingkah si malaikat tua-tua keladi. ―Baiklah, langsung saja. Untuk tahun ini peraturannya sangat mudah. Bawakan 30 arwah calon malaikat baru ke hadapanku tepat pukul 12 malam ini. Pastikan mereka meninggal dalam keadaan tersenyum riang, terkejut dengan mulut menganga, dan menangis dengan eyes smile. Batalion yang menang akan mendapatkan hadiah bergengsi yang cukup mahal dan sangat berharga. Apa kalian siap untuk berlomba?‖ ―Siap!‖ jawab semua pasukan batalion malaikat, lagi-lagi dengan suara yang terdengar kompak nan merdu. ―Dengan ini, saya nyatakan Angel Olympic 2012 resmi dibuka.‖ Mr. Sooman mengembangkan sayapnya yang sudah beruban, lalu terbang tinggi sebagai tanda pembukaan acara. Semua malaikat bertepuk tangan dengan antusias. Di tengah keriuhan suasana saat itu, Kang Ta sang bendahara tiba-tiba menaiki podium dan meraih microphone. ―Perhatian untuk semua batalion! Karena hadiah untuk event kali ini cukup mahal, kepada setiap leader saya tunggu kedatangannya di ruangan bendahara untuk membayar uang pendaftaran. Terima kasih.‖
BRUK
Mr. Sooman kaget dengan kelancangan bendaharanya yang menaiki podium, kemudian kehilangan keseimbangan dan terpaksa jatuh dari posisi terbangnya. Sebenarnya Kang Ta tidak terlalu patut dipersalahkan, faktor usia Sooman sendirilah yang membuatnya terjatuh. ―Aww! Pinggangku…,‖ rintih Sooman. ―Mari saya bantu, Pak.‖ Kang Ta mengulurkan tangannya menawarkan bantuan. ―Tidak usah! Aww!‖ tolak Sooman masih dengan ringisannya. ―Mari saya bantu berdiri, Pak,‖ tawar Boa masih dengan senyum manisnya. ―Terima kasih, Nona.‖ Sooman pun bangkit dengan bantuan Boa, kemudian pergi meninggalkan Kang Ta yang tetap di tempat, memasang wajah BT alias Butuh tatih tayang. Butuh kasih sayang maksudnya. SHINee Pasca mendengar pengumuman terakhir dari Kang Ta, sang leader Onew terlihat gundah. Keuangan batalionnya akhir-akhir ini sangat menurun. Anggotanya sering sekali menghamburkan uang. Mulai dari Minho dan Taemin yang terus pergi ke rental PS di pusat kota SM Paradise, Key yang terus membeli peralatan dapur super mahal, hingga Jonghyun yang selalu pergi berkencan bersama malaikat wanita yang baru dilantik setiap malamnya. Terlebih jika Onew mengingat syarat perlombaan kali ini yang cukup sulit, kesempatan batalion SHINee untuk menang sepertinya sangat tipis. Saingan mereka, semuanya berkualitas. TVXQ, Super Junior dan Girls Generation adalah batalion senior yang cukup tangguh. F(x), EXO-K, dan EXO-M juga tak bisa diremehkan. Mereka lebih muda dan memiliki daya juang yang masih cukup tinggi. Sempat tersirat dalam pikiran Onew untuk mundur dari perlombaan ini. Tapi, reputasi batalionnya akan menurun jika hal itu ia lakukan. Sungguh berat beban sang ketua. ―Hyung, kenapa melamun? Nanti ayam tetangga mati, loh. Hyung nanti tak bisa makan ayam,‖ ujar Taemin sembari mengguncang-guncangkan bahu Onew. Maknae satu ini nampak khawatir pada sang leader, tak seperti member lainnya yang malah sibuk dengan gadget masing-masing. ―Uang Min, uang,‖ jawab Onew lemas.
63
―Uang pendaftarannya berapa gitu, Hyung?‖ tanya Taemin polos. ―Kau tak mungkin bisa membayarnya, Min. Uang kas kita saja akan benar-benar habis kalau digunakan untuk membayar uang pendaftaran ini,‖ jelas Onew dengan wajah yang semakin mengkhawatirkan. ―Sebentar Hyung, aku tanya Minho hyung dulu. Sepertinya kami masih punya uang bekas sewa PS kemarin.‖ Taemin langsung bergegas mencari Minho. Tapi, orang yang dicari tak ada di tempat. Di manakah Minho berada? ―Minho Hyung! Kau dimana?‖ pekik Taemin sekuat tenaga. ―Woy! Di atas.‖ Taemin mendongak dan akhirnya menemukan Minho yang sedang terbang sambil mengangkut beberapa peralatan perang. ―Barang-barang apa yang kau bawa, Hyung?‖ tanya Taemin masih dengan posisi kepala menegadah ke atas karena Minho yang tak tahu kenapa tak mau turun juga. ―Bola, dan raket ini bisa digunakan untuk mendeteksi para calon malaikat. Pokoknya kita harus memenangkan perlombaan ini. Aku tidak mau kalah dari Super Junior sunbaenim,‖ tegas Minho dengan tekad yang bulat. Onew terharu mendengar pernyataan Minho. Mana mungkin dia tega menghancurkan harapan dongsaengnya itu. Namun, jika meninjau kembali pada realita, kondisi keuangan mereka memang sangat kritis. Belum lagi urusan makanan. Pagi ini saja mereka belum bisa sarapan, bagaimana dengan makan siang dan makan malam? Apa mereka berlima harus berpuasa? Semuanya terlalu rumit bagi Onew. ―Minho-ya, apa menurutmu kita akan menang?‖ tanya Onew sedikit ragu. ―Tentu! Aku ini seorang juara.‖ Minho membusungkan dada penuh keyakinan dalam dirinya. ―Baiklah. Aku akan membayar uang pendaftarannya.‖ Onew pun berjalan gontai dengan membawa dompet kumalnya yang berisi lembaran uang terakhir batalion SHINee. ―Hyung! Tak perlu khawatir soal uang. Aku punya banyak. Kemarin, noona yang aku kencani memberiku uang untuk membeli laptop baru, tapi aku belum membelinya,‖ teriak Jonghyun yang berhasil menghentikan langkah Onew seketika. Mata Onew pun mulai berkaca-kaca mendengar betapa tulusnya perkataan Jonghyun. ―Kau juga tak perlu khawatir soal makanan. Makan pagi, siang dan malam sudah aku siapkan. Ayo kita sarapan dulu!‖ Suara cempreng Key terdengar sangat syahdu di telinga Onew. Kali ini, para dongsaengnya sungguh berhati malaikat. Padahal mereka sering sekali melupakan jati dirinya sebagai malaikat. Saking senangnya, Onew berbalik, merentangkan tangan dan berlari penuh semangat pada semua member-nya. Tapi, tak seorang pun mau memeluk Onew. Sedih. SHINee Waktu menunjukkan pukul 18.00 waktu Korea Selatan. Semua batalion turun ke bumi, siap untuk memulai pertandingan sengit. ―Ok! Sekarang waktunya beroperasi. Kita bagi dua regu saja. Aku dan Taemin akan pergi ke arah barat. Onew hyung, Jonghyun hyung dan Key, kalian pergi ke arah timur.‖ Untuk urusan lomba, tanpa sadar Minho merebut posisi Onew sebagai leader untuk memberi komando. ―Yaa! Bagaimana dengan arah utara dan selatan, huh?‖ sewot Key sedikit realistis. ―Pertanyaan bagus. Ada yang punya ide harus bagaimana?‖ Ternyata jawaban Minho mengecewakan. Semua member menghempaskan napas. ―Bagaimana kalau begini saja.‖ Sang maknae mengacungkan telunjuk di depan wajahnya sambil tak hentinya mengedipkan mata. Tapi, sungguh mengherankan,
member lainnya begitu antusias menanti perkataan
Taemin selanjutnya. Akhirnya aspirasi maknae dihargai.
64
―Begini, Hyungdeul! Minho hyung ke
arah
barat,
Onew hyung ke
timur,
Jonghyun hyung ke
utara
dan
Key hyung ke selatan,‖ jelas Taemin penuh semangat. ―Kau sendiri?‖ tanya Jonghyun, dengan tanpa memandang Taemin karena matanya terlanjur teralihkan oleh sebuah tweet yang muncul di gadget-nya. ―Aku akan menunggu di sini. Dengan begitu, Hyung bisa kembali ke tempat ini. Otte?” Taemin tersenyum manis memandangi hyungdeul-nya yang mengangguk-angguk tanda setuju dengan sarannya. ―Ok!‖ jawab semua member, kemudian pergi ke arah mata angin yang telah ditentukan. Sedangkan Taemin, dia hanya duduk santai di bangku taman sambil memainkan sebuah game di HP Android yang diberikan pihak komite kemalaikatan sebulan yang lalu pasca lulus dari akadsemi malaikat cabang Seoul. SHINee Sepanjang jalan menuju arah barat, Onew terus berusaha memutar otak demi menemukan cara tercepat untuk menemukan para arwah yang telah ditentukan. Tapi sungguh sangat disayangkan, dalam keadaan lapar seperti saat ini, otaknya tak dapat berfungsi dengan baik. ―Loh, kok bau ayam goreng ya?‖ heran Onew seraya memperlambat kecepatan terbangnya. ―Ah, ini pasti hanya halusinasi,‖ lanjut Onew kemudian. Ketika ia hendak kembali mengepakkan kedua sayapnya, aroma ayam malah semakin kuat menusuk hidungnya. Benar-benar meruntuhkan iman. Dengan mata terpejam, tubuh Onew terbius, mengambang mengikuti arah datangnya aroma sedap itu. Aromanya semakin tajam, bentuk paha ayam semakin tercitra di benak dan pikiran Onew. Ini sungguh sangat berat baginya. Di satu sisi, tugas untuk mencari arwah belum ia tunaikan sama sekali. Di sisi lain, perutnya terus bergemuruh minta diberi asupan ayam. ―Woy! Hyung! Sadar!‖ Suara yang begitu familiar terngiang di telinga Onew. Tapi, aroma ayam ini membuatnya tak bisa berkutik, bahkan untuk sekedar membuka kedua matanya sekalipun. ―HYUNG!‖ Teriakan yang memekakan telinga itu akhirnya membangunkan Onew. ―Key!‖ pekik Onew kegirangan karena leader yang satu itu melihat member-nya membawa sekotak ayam goreng. ―Kau membawakanku ayam? Hua… saranghae….” Onew pun langsung memeluk Key erat. Suka cita menyelimuti hatinya. Sang penyelamat hidup datang padanya. Alih-alih membalas pelukan Onew, Key malah memutar bola matanya kemudian menyentuh salah satu bulu sayap Onew dengan apitan jari telunjuk dan jempolnya. ―Hyung. Kalau kau tak segera melepaskan pelukanmu, bulu sayapmu ini akan kucabut dengan paksa,‖ ancam Key yang masih terperangkap dalam pelukan Onew. ―Hana… dul…” Key mulai mengambil ancang-ancang. ―Andwae!” Onew menjauh dari Key dengan segera. Dia tahu benar pencabutan bulu sayap itu sangat menyakitkan, sama sakitnya dengan pencabutan bulu kaki dan bulu semacamnya. Key tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Onew terus merenggut sambil terus memfokuskan mata pada kotak ayam di tangan Key. Dengan wajah memelas, Onew mengedipkan matanya berkali-kali pada key sambil menunjuk kotak ayam. Key yang geli melihat ekspresi Onew akhirnya menyerah. Kotak ayam pun akhirnya dibuka. Tangan Onew langsung menjulur ke dalam kotak dan hampir berhasil menangkap paha ayam krispi itu, tapi sebuah tangan dengan kutek hitam di setiap kuku berhasil mencegahnya. ―Wait! Malam ini Hyung hanya boleh mengambil tiga potong ayam. No more!” tegas Key dengan penekanan di frasa terakhir.
65
Onew mengangguk lemas, terpaksa patuh pada Key. Ia sadar kalau keuangannya sedang mengalami krisis. Menghemat pengeluaran untuk keperluan pangan memang seharusnya ia lakukan. Apalagi ini adalah akhir bulan, sekaligus akhir tahun, gaji belum ada di tangan. Demi menikmati kelezatan ayam yang terbatas, Onew menyantap sang ayam sedikit demi sedikit. Ia berharap, cara itu dapat membuat lidah dan perutnya tidak terlalu rindu dengan rasa ayam untuk beberapa waktu ke depan. Seiring berjalannya waktu, daging yang menempel pada tulang paha ayam dalam genggaman Onew semakin menipis. Suapan terakhir akan membuat daging itu raib seketika. Dengan perlahan Onew memasukan daging ayam itu ke dalam mulutnya. ―Omo! GG!‖ pekik Key tiba-tiba.
GLEK
Potongan daging terakhir itu sukses masuk ke dalam tenggorokan Onew, lengkap dengan tulangnya. Sungguh sangat menyakitkan. Onew hanya bisa memegangi lehernya tanpa bisa mengeluarkan suara indahnya. ―Ya Tuhan, batalion Girls Generation turun ke jalan. Omo! Omo! Hyung, kau lihat itu?‖ Key mengguncangguncangkan bahu Onew dengan tangan kanannya tanpa sedikit pun menoleh pada orang yang dipanggilnya itu. Onew dan Key terdiam di udara. Suasana hening seketika. Onew masih berurusan dengan tulang ayam. Sementara Key ternganga melihat para malaikat cantik yang menjelma menjadi manusia itu, menari dan bernyanyi lagu Dancing Queen di tengah jalanan kota Seoul. Beralih
pada
fokus
penglihatan
Key
dan
Onew.
Lupa
dengan
penjelmaannya
sebagai
manusia, member batalion Girls Generation atau yang populer dengan sebutan SNSD itu malah menari sambil mengambang di udara. Tapi, sungguh diluar akal sehat, tak ada satu pun orang yang menyadari kejanggalan itu. Puluhan kaum pria yang baru pulang dari sekolah ataupun pulang dari tempat kerja berhamburan ke tengah jalan demi menyaksikan penampilan kesembilan gadis aduhai itu. Semua pria itu tersenyum bahagia, benar-benar bahagia menyaksikan surga dunia. Tanpa pria-pria itu sadari, hanya dalam hitungan detik sebuah truk container menghantam tubuh mereka. Kehidupan pun berakhir. Namun, sebuah kesuksesan bagi SNSD yang sudah mengumpulkan puluhan arwah yang meninggal dalam keadaan tersenyum bahagia. Mission one completed. Prestasi pertama untuk SNSD. ―Hyung, SNSD sudah berhasil. Bagaimana dengan nasib batalion kita? Satu arwah pun belum kita temukan,‖ sedih Key. ―Ohok! Ohok! Ohok!‖ Karena kaget melihat puluhan nyawa yang menghilang begitu saja, tulang ayam pun akhirnya bisa keluar dari tenggorokan Onew. Syukurlah. ―Sebaiknya kita menjelma menjadi manusia seperti mereka, Key,‖ saran Onew dengan intonasi yang cukup terdengar bijak. ―Woho! Aku rasa itu ide yang bagus Hyung. Tumben kau pintar,‖ sorak Key girang. ―Yaa!‖ bentak Onew sedikit tak terima dengan kata-kata dongsaeng-nya.
66
Part 2
SHINee Pasca menyaksikan kesuksesan SNSD memboyong puluhan arwah yang meninggal dengan ekspresi wajah tersenyum bahagia, Key dan Onew memutuskan untuk turun ke bumi dengan menjelma sebagai manusia. Berkat arahan Key, si malaikat Fashionista, Onew diminta mengenakan jeans ketat berwarna hijau dengan coat berbulu yang berwarna dominan kuning. Sementara Key, dia memutuskan untuk berkesperimen sesuai dengan cita-citanya sejak dulu jika dia dilahirkan kembali sebagai manusia. Cita-cita itu tak lain adalah menjadi seorang wanita. Key mengenakan boot hitam, stocking hitam, rok pendek sepaha yang juga berwarna hitam, kemudian coat manis berwarna pink cerah yang membalut tubuh ramping Key dari pundak hingga ke pinggang. ―Hyung, kita mau mulai dari mana?‖ tanya Key sambil memainkan rambut barunya yang bergelombang. Onew masih tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan Key ketika segerombolan yeoja berbincang-bincang dengan sangat berisik sambil berjalan menuju sebuah gedung bioskop. Wajah mereka sangat tidak asing. Onew baru bisa menyadari identitas mereka setelah melihat anting-anting yang bergelantungan di telinga mereka. Ada yang berbentuk kaktus, pisang, dan dinosaurus berwarna merah. Tidak salah lagi. ―F(x)!‖ ujar Onew dan Key berbarengan. ―Mereka mau kemana? Apa kita harus mengikuti mereka?‖ tanya Key penasaran. ―Tidak! Raket dari Minho menunjukkan sinyal arwah di tempat lain,‖ cegah Onew sambil merentangkan tangan kanannya di depan dada Key. ―Itu SNSD, Hyung! Sebaiknya kita mengikuti mereka ke salon itu. Mungkin nanti kita bisa merebut target mereka,‖ usul Key antusias yang sebenarnya sedikit bermodus karena jiwa dandannya sedang kumat. ―Tidak! Raket ini menunjukkan kalau kita harus menaiki bus itu. Kajja!‖ Onew menarik paksa tangan Key kemudian masuk ke dalam sebuah bus mini. Dia sudah tak peduli dengan omelan Key yang tak kunjung berhenti. Yang terpenting untuk saat ini adalah menemukan arwah, pikir Onew. Sepanjang jalan, Key memasang wajah cemberut. Sesekali dia menghentakkan kaki pada lantai bus dengan penuh tenaga karena kesal. Onew menjadi risih dibuatnya, begitu pula dengan pak supir yang duduk di sebelah mereka. ―Chagiya, jangan
marah
terus
dong.‖
Onew
berusaha
memulai
pembicaraan
dengan
kemampuan acting seadanya. Tak ada jawaban dari Key. ―Chagiya! Jebal, tersenyumlah.‖ Onew kembali memohon dengan wajah memelas. ―Chagiya….” Onew terus berusaha mendapatkan hati Key. Tapi dongsaeng-nya itu terus saja ngambek. ―Key! Sebenarnya aku mau minta ayam!‖ tegas Onew yang sebenarnya kelaparan sejak tadi. Satu ayam yang dimakannya tadi belum cukup membuatnya kenyang. ―Yaa! Makan nih ayammu!‖ Key berdiri kemudian menyumpalkan paha ayam ke mulut Onew dengan kasar. Semua penumpang menjadi shocked dibuatnya. Dengan amarah yang berkecamuk di dadanya, Key melangkah pasti menuju pintu keluar bus itu. ―Chagiya! Kau mau kemana?‖ lirih Onew yang mencoba meraih tangan Key untuk menahannya pergi. ―Aku mau turun! Supir, tolong hentikan bus ini!‖ ―Jangan, Pak!‖ cegah Onew, dan pak supir pun menjadi bingung dibuatnya. ―Hentikan!‖ pekik Key. ―Tidak!‖ Onew berhasil meraih tangan kanan Key.
67
―Hentikan!‖ Key menghempaskan tangan Onew. ―Kumohon Chagiya, sudah empat tahun kita bersama. Kenapa kau tega padaku seperti ini?‖ Onew menangis dengan penuh penghayatan seraya kembali menggenggam kedua tangan Key. Key sangat tak nyaman dengan acting leader-nya ini. Benar-benar memalukan. Kini dia sangat menyesal berpakaian seperti wanita. Kalau tahu akan seperti ini, Key tentu akan mengubur cita-citanya itu dalam-dalam dari sejak awal. ―Kita akhiri saja sampai di sini. Kita pu….‖ Belum sempat Key melanjutkan perkatannya, suara lain menyahut dengan begitu riuh. ―Andwae! Jangan putuskan namja-mu nona! Dia itu lelaki yang baik. Dia sangat mencintaimu.‖ Seluruh penumpang bus bersuara saking prihatinnya melihat hubungan Onew dan Key. Onew yang merasa mendapat dukungan malah semakin menjadi dalam tangisannya. Karena sedikit muak dengan keadaan saat itu, Key memutuskan untuk mengakhiri drama kecilnya dengan Onew. Dengan perlahan Key membuka kotak berbahan plastik transparan berisi ayam goreng yang dibawanya sejak tadi. Diraihnya sepotong paha ayam dari dalam kotak kemudian dengan lembut Key berkata, ―Chagiya, maafkan aku. Sebagai wujud permintaan maafku, maukah kau menyantap ayam yang ada di tanganku ini?‖ Secara otomatis Onew mengangguk bersemangat sambil tersenyum riang. ―Saranghae,” tutur Key dengan lembut sambil mengusap pipi Onew yang mengembang saking semangatnya melahap ayam. Semua penumpang bus menangis terharu. Rasa haru dan bahagia yang mereka semua rasakan mampu membuat mata mereka yang berair membentuk lengkungan manis, karena mata mereka yang terlanjur sipit.
BRUK
Karena ikut terharu melihat Onew dan Key, sang supir tak lagi memperhatikan jalan dan bus pun masuk jurang. ―Hyung! Ayo kita cari arwah lagi. Drama tadi membuatku lelah.‖ Key yang sudah kembali mengenakan seragam kemalaikatannya terbang tinggi meninggalkan bus yang sudah terjatuh ke jurang. ―Hmm… baiklah,‖ jawab Onew yang masih terus mengunyah ayam. ―Tuan, bagaimana dengan nasib kami?‖ Seseorang menepuk bahu Key. Betapa terkejutnya Key, orang yang menepuk bahunya itu adalah sang supir bus yang baru meninggal. ―Omo! Kau sudah jadi hantu? Eh, kenapa kau punya sayap seperti kami?‖ tanya Key bertubi-tubi. ―Huwa! Kalian calon malaikat baru ya?‖ tanya Onew pada para penumpang lainnya yang juga sudah menjadi arwah dengan sayap putih di punggungnya masing-masing. ―Ne. Kami senang bisa meninggal dalam keadaan seperti tadi,‖ timpal seorang yeoja paruh baya yang masih mengenakan stelan kantor. ―Maksudnya bagaimana, Bu?‖ tanya Onew sopan. ―Tadi, kami meninggal saat menangis bahagia melihat sepasang kekasih yang kembali rujuk. Rasanya benarbenar damai.‖ Senyum mengembang di bibir ibu itu. Matanya membentuk bulan sabit saat tersenyum. Lucu, pikir Onew. Lalu ia teringat sesuatu dan kembali bertanya. ―Bu, apa ibu meninggal sambil tersenyum seperti ini?‖ ―Ya, begitulah. Adegan sepasang kekasih tadi membuatku tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan,‖ jawabnya mantap.
68
Onew menoleh ke arah Key. Mereka berdua menyadari sesuatu. ―Apa anda sekalian menangis dan tersenyum seperti ibu tadi saat meninggal?‖ tanya Key frontal pada semua mantan penumpang bus. ―Ne!‖ jawab semua arwah calon malaikat itu berbarengan. ―Yuhuuu!‖
PROK
Onew dan Key ber-high five kemudian terbang kesana kemari penuh kegirangan. ―Ngomong-ngomong, pasangan kekasih yang tadi dimana ya?‖ celetuk seorang penumpang, dan OnKey pun membatu seketika. SHINee ―Minho tunggu aku!‖ Jonghyun mengejar Minho yang terbang dengan kecepatan tinggi di kegelapan malam itu. ―Yaa! Hyung! Kenapa mengikutiku? Pergi sana ke utara! Jangan membebaniku!‖ ujar Minho, sarat dengan penolakan. ―Shireo! Menurut beberapa tweet, Seoul bagian barat itu lebih banyak populasi gadis cantiknya daripada bagian selatan. Aku mau ikut denganmu.‖ Ucapan Jonghyun terdengar semakin menyebalkan di telinga Minho. Dia sangat tak suka mendengar kata-kata orang yang tak mempunya visi menjadi juara seperti hyungnya yang satu itu. ―Ok! Kalau kau mau ikut denganku, tambah kecepatan terbangmu!‖ tantang Minho yang kemudian melesat jauh meninggalkan Jonghyun. Dengan sekuat tenaga dan sedikit terpaksa, Jonghyun mengepakkan sayap pendeknya untuk mengejar Minho. Beberapa menit kemudian, bola yang dibawa Minho menunjukkan sinyal arwah calon malaikat. Minho pun berhenti. Jonghyun sedikit senang melihat Minho berhenti karena berarti dia bisa beristirahat sejenak. ―Kenapa berhenti?‖ tanya Jonghyun sok gagah, padahal napasnya sedang tersengal. ―Sinyalnya sangat kuat di daerah sini. Coba kita mampir ke café yang ada plang bertuliskan Handel & Gretel itu!‖ ajak Minho, dan Jonghyun hanya menurut saja. Minho dan Jonghyun melangkah pasti memasuki café itu. Semua mata tertuju pada Minho dan Jonghyun, tapi kedua malaikat tampan itu sama sekali tak menyadarinya. Minho mengedarkan pandangannya pada semua pengunjung, tapi mereka semua malah terlihat tersenyum bahagia bahkan seperti terpesona. Ada apa gerangan? Batin Minho. ―Ho! Kita sudah jadi manusia, tapi sayap kita belum kita sembunyikan,‖ tutur Jonghyun mengingatkan. ―Mwo? Aah!‖ Minho langsung panik, takut membuat semua pengunjung ketakutan. Tapi, semua terlambat. Belasan gadis sudah tewas tak bernyawa akibat debaran jantungnya yang menggila setelah melihat dua malaikat tampan yang tiba-tiba datang tanpa undangan. Roh para gadis itu langsung berterbangan dari tubuh aslinya. Jonghyun langsung bersemangat menyebar pheromone khas malaikatnya dan para gadis itu pun langsung menempel padanya. Ketimbang merayu arwah baru yang semuanya berjenis kelamin perempuan itu, Minho lebih tertarik untuk mengamati jasad mereka. Setelah melakukan inspeksi, Minho pun tersenyum puas. Semua gadis itu meninggal dalam keadaan bahagia dengan senyuman yang merekah di bibirnya.
69
―Ok! Sekarang tinggal mencari arwah yang meninggal dengan cara menganga. Aduh bagaimana ya caranya?‖ Minho melirik Jonghyun yang masih saja digelayuti arwah para gadis. Sebenarnya Minho ragu untuk meminta saran, tapi siapa tahu Jonghyun hyung-nya itu bisa memberi referensi yang baik berdasarkan info di twitter. ―Hyung, kita masih harus mencari arwah yang meninggal dengan ekspresi menganga. Coba cari informasi tentang itu,‖ ucap Minho yang terdengar sedikit memerintah. ―Ok! Sebentar ya.‖ Jonghyun mengotak-atik gadget-nya untuk beberapa menit. ―Gotcha! Daerah Gangnam, di pemandian air panas,‖ jelas Jonghyun bersemangat. Pemandian air panas adalah tempat orang mandi. Wanita juga banyak yang mandi di sana, dan Jonghyun pun senang. Begitulah kira-kira mindset Jonghyun. Tanpa banyak pertimbangan, Minho diikuti Jonghyun dan dayang-dayangnya pergi ke salah satu pemandian air panas di Gangnam. Tak ada keraguan sedikit pun di benak Minho untuk masuk ke tempat itu. Tekadnya untuk menang sudah sangat bulat. ―Silahkan Tuan, tempat pemandian untuk lelaki ada di sebelah kanan,‖ jelas seorang penjaga pada Minho. Entah apa yang ada di pikiran Minho, kakinya malah melangkah ke sebelah kiri. Jonghyun yang konon lebih senior dalam urusan yeoja pun sedikit terkejut dengan tindakan frontal Minho. Bayangkan saja, Minho langsung masuk ke tempat pemandian air panas wanita. Minho bukan mengintip, tapi masuk. Berarti Minho akan menyaksikan para wanita mandi secara langsung. ―Omo! Minho-ya!‖ panik Jonghyun yang berlari kecil mengejar Minho yang terus berjalan mantap dengan langkah lebar. ―Jihyun-ah, bagaimana keadaan cucumu? Apa dia sudah membaik?‖
BRET
Minho membuka baju bagian atasnya dan abs berbentuk kotak-kotak cokelat pun tampak dengan jelas. ―Huwaa… asmaku kambuh. Pemuda itu, indah.‖ Beberapa nenek yang sedang berendam bersama dalam acara reuninya meninggal sesuai jadwal, pasca melihat keindahan tubuh Minho. ―Misi selesai, Hyung! Ayo kita kembali ke Taemin. Tadi Key menghubungiku katanya dia juga sudah berhasil mengumpulkan arwah yang meninggal dalam keadaan menangis dengan eyes smile,” jelas Minho yang kemudian pergi diikuti oleh arwah nenek-nenek yang terpesona padanya. SHINee ―Onew Hyung! Sebentar lagi jam 12 malam. Ayo cepat kita kembali ke SM Paradise,‖ teriak Minho pada Onew yang baru datang bersama Key sambil menaiki sebuah bus terbang dengan belasan arwah di dalamnya. ―Okey! Berapa jumlah arwah yang ada bersamamu?‖ teriak Onew sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela pintu depan bus. ―Jonghyun Hyung hitung selirmu! Nenek, cepat berhitung!‖ titah Minho dengan santai. ―Dua belas, Ho!‖ kata Jonghyun yang masih terus mencolek-colek dagu para arwah gadis. ―Nenek, kalian ada berapa nenek?‖ tanya Minho pada para nenek yang terus bergerombol di belakangnya. Tapi, nenek itu terlihat kebingungan untuk menjawab. Mungkin mereka lupa bagaimana cara berhitung. Maklum lah, mereka sudah terlalu banyak berpikir sewaktu muda. Mengingat hal itu, secara voluntir Minho menghitung jumlah para nenek. ―Aku dan Jonghyun hyung membawa 18 arwah, Hyung!‖ Akhirnya Minho selesai menghitung.
70
―Waduh! Kita masih kurang satu arwah lagi, Ho! Aku cuma bawa 11 arwah,‖ keluh Onew sedikit frustasi. Padahal, kemenangan sudah di depan mata. Minho yang tak terima dengan resiko kekalahan yang akan dialaminya langsung mendarat di tanah. Dia akan mencari satu arwah terakhir itu sebelum waktu perlombaan habis. Melihat Minho yang begitu bersemangat, Onew pun langsung turun dari bus padahal bus itu belum mendarat di tanah. ―Hyung! Kau mau kemana?‖ jerit Key histeris saat melihat Onew meluncur dari bus. ―Mencari satu arwah lagi, Key! Berapa waktu yang tersisa?‖ ―Dua puluh menit lagi, Hyung!‖ jawab Key, cepat. Di saat Minho dan Onew sibuk memperjuangkan satu arwah yang tersisa, sang maknae masih setia berada di spot semula. Dia terlihat begitu asyik meliuk-liukkan badannya mengikuti alunan irama musik Noona Neomu Yeppeo yang berasal dari HP Android-nya. Lagi-lagi HP itu membantu Taemin mengusir kebosanan yang menimpanya. Tanpa Taemin sadari, seorang yeoja di seberang jalan terus memperhatikannya dengan wajah yang berseri. Yeoja itu nampaknya telah jatuh hati pada sang maknae. Gadis itu mulai mendekat pada Taemin. Dengan jarak yang semakin dekat, akhirnya Taemin pun menyadari keberadaan sang gadis. Karena bingung dengan apa yang harus dilakukannya, Taemin hanya bisa tersenyum kikuk. Begitu pula dengan sang gadis. Pipinya bersemu merah akibat senyuman Taemin. ―Ada yang bisa saya bantu, Nona?‖ tanya Taemin memberanikan diri. ―Ah, ne. Saya malaikat baru. Mohon bimbingannya.‖ Gadis itu membungkuk 90 derajat, kemudian Taemin pun melakukan hal yang sama. ―Kalau boleh tahu, siapa namamu nona?‖ tanya Taemin malu-malu. Rupanya si maknae sedikit tertarik pada sang gadis. ―Taemin-ah!‖ Key datang merusak suasana. ―Omo! Hai, Nona. Kau malaikat baru? Kapan kau meninggal?‖ lanjut Key pada sang gadis bersayap putih susu di depan Taemin. ―Baru saja. Di seberang jalan sana.‖ ―Jangan bilang, kau adalah gadis yang tertabrak itu nona?‖ tunjuk Key pada sebuah jasad yang tergeletak di pinggir jalan. ―Hehe, iya. Tadi aku terlalu terpukau dengan dia,‖ jujur sang gadis sambil menunjuk Taemin, sang namja yang sudah berhasil merenggut hati dan juga nyawanya. ―Oh, begitu? Sebentar! Sebentar! Aku cek dulu ya jasadmu.‖ Key langsung berlari menghampiri jasad sang gadis. Dilihatnya ekspresi si mayat, dan sungguh beruntung, mayat itu meninggal dengan senyuman indah terukir di bibirnya. “Huwa! Onew Hyung! Minho! Huwa! Ayo kita pulang ke SM Paradise! Waktunya tinggal 10 menit lagi. Ppalli!‖ teriak Key heboh. Dua orang yang mendapat panggilan langsung terbang menuju titik koordinat tempat Key berada. Hanya dalam waktu beberapa detik, Minho dan Onew mendarat di samping Key. ―Waeyo, Key? Wae?‖ Minho menelungkupkan kedua tangannya di pipi Key, kemudian mengguncangguncangkan kepala sahabatnya itu. ―Perempuan ini kenapa, Key?‖ tanya Onew polos, sambil berjongkok di depan si mayat. ―Minho-ya! Lepaskan tanganmu! Itu arwah yang kita butuhkan!‖ Key menunjuk si mayat tanpa menoleh, karena tangan Minho membuat kepalanya tak bisa bergerak. ―Di mana arwahnya? Ini kan cuma mayat.‖ Di saat penting begini, Onew malah kehilangan kecerdasannya.
71
―Yaa! Hyung! Masa kau tidak melihatnya? Itu yang sedang bersama Taemin!‖ jelas Key yang masih memberontak untuk melepaskan kepalanya dari tangan Minho. Onew dan Minho menoleh dan mereka pun tersenyum. Sang maknae sedang berbincang akrab dengan newbie angel di sampingnya. Cinta pertama. Itulah yang sedang dialami Taemin. ―Sudah, cepat! Kita harus ke SM Paradise!‖ Suara Key memecah keheningan. SHINee Semua batalion sudah kembali berbaris di lapangan. Detik-detik pengumuman pemenang akan segera berlangsung. Semua batalion termasuk SHINee benar-benar tegang. Memang benar SHINee sudah mengumpulkan jumlah arwah sesuai dengan persyaratan. Tapi, bisa saja batalion lain membawa lebih banyak dari jumlah yang ditentukan. Jam dinding di menara SM Paradise telah berbunyi, pertanda waktu menunjukkan pukul 12 malam. Waktu pergantian tahun sekaligus waktu penentuan pemenang Angel Olympic 2012. Onew sang leader terlihat sangat was-was menanti pengumuman ini, sebuah pengumuman yang akan menentukan reputasi SHINee sekaligus menentukan apakah keuangan mereka akan meningkat ataukah bangkrut tahun ini. Segera setelah suara dentingan jam berhenti, Mr. Sooman melangkah ke podium, diikuti oleh sekretaris Boa Kwon dan bendahara Kang Ta. Beliau sudah membawa sebuah kertas berisi list pemenang yang akan segera ia bacakan sebentar lagi, tentunya setelah pesan-pesan kurang penting dari beliau. ―Hadirin yang berbahagia! Salam super!‖ Mr. Sooman mengepalkan tangannya di udara. ―Super!‖ jawab semua batalion dengan penuh semangat. Untunglah mereka masih bersemangat setelah menghadapi berbagai halangan dan rintangan seharian tadi. ―Saya benar-benar bangga melihat kalian dapat kembali berdiri di sini, di tempat ini dengan senyum merekah di bibir kalian. Nampaknya, semangat tak pernah pudar dari diri kalian yang kesatria. Terima kasih, saya sangat terharu dengan dedikasi kalian. Leader Yunho, Leeteuk, Taeyon, Onew, Victoria, Suho, dan Kris, bagaimana keadaan member kalian?‖ ―Siap! Jjang!‖
tandas
para leader sambil
mengancungkan
jempol.
Seluruh member bertepuk
tangan
mendengar suara tegas dan lantang dari leader mereka. ―Baiklah. Sekarang waktunya pengumuman. Apa kalian siap?‖ Sooman berteriak penuh semangat. ―Siap!‖ Semua batalion berteriak dengan gayanya masing-masing. Mr. Sooman pun langsung membuka gulungan kertas yang dipegangnya sejak tadi. ―Para malaikat yang saya cintai. Sebelum saya umumkan pemenangnya, saya akan terlebih dulu memberitahukan perolehan arwah dari tiap batalion. Dimulai dari yang tiba pertama, TVXQ. Jumlah arwah yang dikumpulkan hanya sebanyak 10 arwah. Kalian harus lebih bekerja keras tahun depan.‖ ―Baik, Pak.‖ Yunho dan Changmin menjawab tanpa gairah. Badan mereka rasanya hampir remuk. Di saat batalion lain bekerja dengan banyak member yang bisa saling bergotong royong, batalion mereka terpaksa harus bekerja berdua saja. Terkumpulnya 10 arwah pun sudah merupakan prestasi luar biasa bagi mereka. ―Batalion kedua yang tiba adalah F(x). Ah, untuk batalion ini saya serahkan pada Nona Boa.‖ Sooman menyerahkan kertas yang dipegangnya pada Boa, tak lupa sambil tersenyum simpul untuk sedikit mengangkat kulit pipinya yang sudah agak sedikit keriput. ―Alright! Untuk F(x), saya mendapat laporan kalau kalian tidak mengikuti perlombaan karena menonton di bioskop. Apa itu benar?‖ tanya Boa yang kemudian mendapat cengiran dari semua member yang diketuai Victoria itu.
72
―Selanjutnya. Perolehan untuk batalion SNSD adalah sebanyak 30 arwah. Jumlah yang sempurna. Selamat!‖ Boa tersenyum setelah memberikan pengumuman. Semua anggota SNSD berteriak-teriak sambil meloncat kegirangan, bahagia dengan prestasinya. Namun, semua itu pudar seketika saat seorang arwah muncul. ―Permisi Nona Boa. Tadi saya dibawa ke sini oleh nona-nona SNSD, tapi saya ini bukan calon malaikat. Jadi, saya harus pergi kemana ya?‖ tanya seorang arwah namja belia dengan tampang polosnya. ―Ah baiklah, nanti noona antar ke tempatmu ya. Ehem! Karena ada kesalahan teknis, berarti SNSD hanya berhasil mengumpulkan 29 arwah. Sungguh sangat disayangkan. Baiklah, untuk pengumuman selanjutnya, Tuan Sooman, apa anda mau melanjutkan?‖ Boa sepertinya sudah tak mau melanjutkan pengumuman. ―Saya sudah tak kuat berdiri disini, Nona. Tuan Kang Ta tolong dilanjutkan, ya. Saya pergi dulu. Saya harus segera tidur.‖ Mr. Sooman pun pergi sambil melambai pada semua anggota batalion. Kemudian, Kang Ta mengambil kendali. ―Selanjutnya. Super Junior. Hmm… kalian memang hebat. Jumlah arwah yang berhasil kalian kumpulkan adalah sebanyak 2012 arwah.‖ ―Huwoow! Yuhuuu!‖ Semua member Super Junior menari-nari merayakan prestasi mereka yang sangat gemilang. Jumlah arwah yang mereka bawa puluhan kali lipat lebih banyak dari yang ditargetkan. Mendengar semua ini, hati Onew hancur sehancur-hancurnya. Apalagi Minho, si penggila kemenangan. Wajahnya yang tampan terlihat sangat kusut. Harga dirinya sangat terluka. ―Ehem! Bolehkah saya melanjutkan pengumumannya?‖ Wibawa Kang Ta berhasil menghentikan kegaduhan. ―Dengan sangat menyesal, saya harus memberitahukan bahwa Super Junior tidak dapat menjuarai perlombaan ini. Alasannya sederhana. Semua arwah yang dibawa meninggal dengan ekspresi tertawa di wajah mereka. Bukan tersenyum, menganga karena terkejut, ataupun menangis. Sekian untuk SUJU.‖ Onew dan Minho langsung melonjak kegirangan mendengar kabar tersebut. Tapi itu tak bertahan lama, sebuah teriakan menghentikan euphoria kedua orang itu. ―Luhan hyung hilang!‖ Tiba-tiba Sehun, maknae EXO-K berteriak sambil berlari ke tengah lapangan dengan raut wajah paniknya. ―Mwo?‖ Semua hadirin termasuk SHINee membulatkan mulut. ―EXO-K, EXO-M, Ka!‖ Perintah Suho dan Kris. Setelah itu, semua member EXO turun ke bumi mencari Luhan, tak peduli lagi dengan award malam itu. ―Baiklah, saya rasa pemenangnya sudah dapat ditentukan. Mari kita sambut bersama-sama, SHINee! Juseyo!‖ Kang Ta mempersilahkan SHINee untuk maju mengahadap semua peserta lainnya. Onew berlinang air mata, Minho terus mengangkat kepalan tangannya ke udara sambil tersenyum puas, Key dan Taemin meloncatloncat kegirangan sambil menggerak-gerakan tangannya ke atas dengan begitu ceria, sedangkan Jonghyun langsung membuka semua akunnya di setiap social network yang ada di SM Paradise, untuk menyebarkan berita kemenangan SHINee secara online. ―Untuk hadiah tahun ini, SHINee akan mendapatkan hadiah sebagai berikut. Uang belanja jutaan rupiah dan tiket jalan-jalan gratis ke SM Paradise Special Island di langit ke-7 selama satu bulan. Selama itu, SHINee akan dibebas tugaskan dari kegiatan dinas kemalaikatan. Untuk pengambilan hadiah, silahkan temui saya di ruangan bendahara. Karena hari sudah semakin larut, mari kita tutup acara Angel Olympic tahun ini. Salam Malaikat!‖ Kang Ta menutup acara Angel Olympic 2012 dengan resmi. Semua Malaikat kembali ke kediamannya masing-masing. SHINee Karena sangat antusias untuk mengambil hadiah, seluruh member SHINee langsung menuju kantor Kang Ta. Di sana, sesuatu yang sedikit rumit terjadi.
73
―Onew-ssi. Maaf. Aku rasa kau sudah tahu konsekuensinya,‖ tutur Kang Ta sedikit menyesal. ―Baiklah.‖ Onew menjawab dengan nada yang semakin melemah. ―Sebenarnya ada apa ini, Hyung?‖ tuntut Minho sedikit menggebu. ―Maaf. Saya tidak bisa memberikan hadiah untuk kalian sekarang. Kalian harus melunasi uang pendaftaran terlebih dulu,‖ jelas Kang Ta. ―Lah, bukannya uangnya sudah aku kasih, Hyung?‖ Jonghyun akhirnya peduli dengan masalah SHINee. ―Itu… emm… tadi uangnya hilang. Aku tak tahu kapan dan dimana hilangnya. Mian.‖ Onew kembali memelas. Semua member terlihat sangat kecewa. Hadiah yang mereka tunggu-tunggu sepertinya akan hilang begitu saja. Sungguh malang nasib SHINee. Minho yang sudah teramat kesal dengan situasi ini memilih untuk keluar dari ruangan Kang Ta dan menenangkan diri. ―Appa!‖ Seorang anak berlari kecil ke arah Minho sambil melambaikan tangan. Minho mencoba menerka-nerka siapa gerangan malaikat kecil itu. Setelah keduanya berada dalam jarak dua meter, akhirnya Minho tahu. ―Yoogeuni! Aigoo!‖ Minho langsung memeluk anak asuhnya itu dengan penuh suka cita. Rasanya, masalah yang dialami Minho hilang begitu saja begitu melihat si kecil Yoogeun. ―Appa, tadi aku menemukan dompet lusuh ini. Apa appa tahu ini punya siapa?‖ tanya Yoogeun seraya menyodorkan sebuah dompet berwana cokelat pudar. ―Ini ‗kan… Onew Hyung dompetmu ditemukan!‖ girang Minho sambil memangku Yoogeun masuk ke dalam ruangan Kang Ta. ―Tak usah acting Ho, kami tahu kau actor hebat.‖ Onew masih bersedih. Ucapan Minho lebih terdengar seperti harapan palsu bagi dirinya. ―Aku tidak bohong. Ini dompet kumalmu ‗kan, Hyung?” tanya Minho sambil mengacungkan sebuah dompet. ―Huwaa… ne!‖ Onew langsung bangkit dan merebut dompetnya. ―Coba dicek, ada uangnya tidak?‖ Key mendekati Onew dan mengintip isi dompetnya. ―Taraaa!‖ Onew mengacungkan beberapa lembar uang ke hadapan semua member. Akhirnya, SHINee bisa pergi berlibur bersama, tak lupa bersama Yoogeun tentunya. END
74
Another Nutcracker Story
Author
: qL^^ (wp: mystorymyfictionworld)
Main Cast :
Choi Minho as The Nutcracker / Lee Jaeha,
Kim ShinYoung as herself (covered by IU)
Lee Hwon as Mouse King / Jaeha Step Brother
Support Cast
:
Park Hyeki as Shinyoung‘s cousins
Lee Jinki as Palace Head Department of Eksternal Relations
Lee Inhwa as shaman and palace doctor
Lee Taemin as bachelor Taemin
Kim Jonghyun as monk
Genre
: Advanture, Fantasy, Romance
Type/Length
: Trilogy
Rating
:G
Summary
: Boneka kayu Shinyoung mendadak hidup dan bertarung melawan tikus-tikus. Shinyoung yang
tubuhnya mengecil terpaksa mengikuti boneka kayunya ke suatu zaman yang hanya pernah dilihat Shinyoung di drama saeguk. Bisakah Shinyoung membantu mengembalikan bonekanya menjadi pangeran dan kembali ke asalnya? Another nutcracker story! Find your fairytale
Part 1
Shinyoung menatap boneka kayu hadiah tahun baru dari sepupunya. Dikeluarkannya boneka kayu itu dari dalam kotaknya. Shinyoung memainkan tangan si boneka kayu dan tersenyum. Belum pernah dia merasa segembira ini hanya karena mendapatkan sebuah boneka. Apalagi Shinyoung sekarang bukan seorang anak perempuan lagi, dia sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar menari. Hyeki hanya mengangkat alisnya tinggi saat melihat ekspresi Shinyoung yang menurutnya berlebihan. Dia tahu Shinyoung senang mengoleksi boneka, tapi itu pun boneka barbie. Bukan boneka kayu seperti yang dibawanya ini. Sepupu Shinyoung itu hanya menggelengkan kepalanya. ―Ya! Kim Shinyoung, jangan tersenyum terus seperti itu. Itu hanya sebuah boneka,‖ tegurnya ketus. Shinyoung mengalihkan pandangannya pada Hyeki. ―Gomawo, aku suka sekali hadiahmu. Bagaimana kau bisa mendapatkannya?‖ tanyanya penasaran. Hyeki mengangkat bahu. ―Aku harus mengelilingi semua pembuat boneka kayu yang ada di London untuk mendapatkan
bonekamu.
Di
antara
semua
boneka,
hanya
boneka
itu
yang
memakai
pakaian
seperti magistrate kerajaan Korea. Si pembuat boneka belum memberikannya nama, jadi terserah kau mau memberi nama apa,‖ jelas Hyeki panjang lebar. Shinyoung merapikan hanbok yang dipakai oleh boneka kayu itu. ―Minho, aku akan menamainya Minho,‖ ujar Shinyoung. ―Minho?‖ ulang Hyeki. ―Terdengar familiar,‖ gumamnya. ―Apa katamu?‖ tanya Shinyoung bingung.
75
―Ah tidak, lupakan saja,‖ ujar Hyeki mengibaskan tangannya. ―Jangan lupa, bibi bilang besok pagi aku harus menemanimu untuk kencan buta.‖ ―Apa?! Tapi besok kan libur tahun baru,‖ Shinyoung terpekik. Dia menghela nafas sambil beranjak untuk meletakkan Minho—boneka kayunya—di atas meja di sebelah tempat tidurnya. ―Ibu memang selalu seenaknya sendiri.‖ Hyeki hanya tertawa. ―Terserah apa katamu,‖ ujar Hyeki acuh. Gadis itu berdiri dan meregangkan tubuhnya yang pegal. ―Aku akan tidur lebih dulu, aku lelah sekali setelah naik pesawat 14 jam dari Inggris,‖ sambungnya sambil beranjak meninggalkan kamar Shinyoung. Shinyoung hanya mengangguk, membiarkan Hyeki pergi. Dia sendiri bersiap untuk tidur. Shinyoung berbaring miring supaya dia bisa menatap Minho. Boneka kayu itu memiliki gurat wajah orang Asia dan ditambah dengan hanbok dan topi magistrate yang memberi citra gagah. Shinyoung bahkan merasa bila Minho sangat tampan untuk ukuran boneka kayu. Haish, apa yang kaupikirkan Kim Shinyoung? Gerutu Shinyoung mengomeli dirinya sendiri. Entah untuk berapa lama Shinyoung menatap boneka itu hingga dia akhirnya tertidur. *** Shinyoung merasa dia baru tidur sangat sebentar ketika dia mendengar bunyi-bunyi berisik di bawah tempat tidurnya. Shinyoung membuka matanya kaget dan duduk di tempat tidur. Kamarnya remang-remang hanya diterangi cahaya lampu tidur. Shinyoung menoleh ke atas meja dan melihat bonekanya sudah menghilang. Kaget, Shinyoung bergerak turun dari tempat tidur. Dia menjadi lebih kaget lagi saat melihat sekawanan tikus sedang mengepung bonekanya. Shinyoung mengusap-usap matanya. Tidak, dia tidak salah lihat. Kawanan tikus itu tidak bergerak dengan empat kaki. Mereka berdiri dengan dua kaki dan kaki depannya dipakai untuk memegang pedang panjang. Shinyoung bahkan menyadari bahwa tikus-tikus itu memakai pakaian prajurit perang kerajaan Korea zaman dulu. Hanya satu tikus yang berbeda dan dia memakai hanbok yang mirip dengan yang dipakai boneka kayunya. Minho—boneka kayunya—juga bergerak lincah
untuk ukuran boneka kayu, menghalangi tikus-tikus itu.
Rupanya Minho juga mempunyai pedang, salah satu properti yang ada di dalam kotak boneka. Shinyoung hanya berdiri terpaku menatap pemandangan itu. Tidak ada yang menyadari dia melihat semua keanehan itu sampai tiba-tiba Shinyoung menyenggol meja riasnya dan menjatuhkan botol parfumnya. Perkelahian itu mendadak berhenti. Tikus prajurit mendekati Raja Tikus lalu berbisik sesuatu. Kawanan tikus itu tiba-tiba mendekatinya Shinyoung. Minho—boneka kayunya—menghalangi kawanan tikus itu, namun tibatiba selembar kertas seperti jimat atau jampi-jampi terbang dan menempel tepat di lengan Shinyoung. Dan semuanya terjadi begitu saja. Tiba-tiba Shinyoung mengecil. Tubuhnya menyusut. Meja, kursi, lemari dan tempat tidurnya pelan-pelan terasa jauh lebih besar. Shinyoung bahkan tenggelam dalam baju yang dikenakannya. Sekarang Shinyoung bisa mendengar apa yang diucapakan tikus-tikus itu. Suara-suara yang tidak mungkin ditangkap oleh telinga manusia biasa. Tanpa aba-aba, Minho tiba-tiba menyerang tikus-tikus itu. Shinyoung bisa melihat perkelahian yang diungguli Minho. Tikus-tikus itu menyumpah, kewalahan membalas serangan Minho walaupun jumlah mereka lebih banyak. Lalu prajurit tikus semuanya menyebar berlarian termasuk si Raja Tikus menuju gerbang kecil di dinding kamar Shinyoung. Shinyoung tidak pernah ingat kalau dinding kamarnya punya gerbang seperti itu. Sekarang suasana kamar sunyi senyap. Hanya ada desahan nafas Minho yang kelelahan dan degupan jantung Shinyoung. Shinyoung panik. Tentu saja. Dia mendadak menyusut dan sekarang bahkan dia tidak punya baju. Shinyoung menggengam erat-erat bajunya yang kini sangat kebesaran agar menutupi tubuhnya.
76
Shinyoung terpekik kaget ketika Minho tiba-tiba menyerahkan sebuah hanbok dan pakaian renang pada Shinyoung. Wajah kayu Minho serius sekali dan terlihat galak. ―Pakailah, kau tidak mungkin kemana-mana memakai kain panjang begini, ‗kan?‖ ujar Minho. Shinyoung terperangah. Ini suara Minho. Benar-benar suara Minho—boneka kayunya. Tangan Shinyoung gemetaran mengambil hanbok dan pakaian renang itu. ―Dari mana kau mendapatkannya?‖ tanya Shinyoung bingung. Minho mengangkat bahu. ―Aku mengambilnya dari boneka barbie-mu,‖ jawabnya ringan. Shinyoung menatap Minho dengan horor. Bayangan Minho membuka paksa hanbok dan pakaian renang dari boneka barbie-nya membuatnya kaget. Minho tersenyum miring. ―Tenang saja. Aku bukan pervert, boneka barbie-mu tidak akan hidup. Dia tidak seperti aku,‖ jawab Minho. ―Cepat ganti baju, aku harus menyelesaikan banyak urusan,‖ sambung Minho. ―Tunggu sebentar. Jangan mengintip!‖ ancam Shinyoung lalu menyeret tubuh yang terlilit pakaiannya ke dalam celah gelap di antara kaki meja dan tempat tidurnya. Sekarang bahkan ukuran kaki meja itu sudah seperti pilar besar yang bisa menutupinya dari pandangan Minho. Lima menit kemudian, Shinyoung sudah selesai berganti baju. Sekarang dia memakai hanbok sederhana berwarna biru dan merah muda. Rambutnya diikat dengan pita merah. Shinyoung jadi merasa sebagai pemeran wanita di saeguk yang sering ditontonnya. Dia menghampiri Minho yang sedang bersandar di dekat gerbang tempat menghilangnya tikus-tikus tadi. ―Minho-ssi,‖ panggilnya. Minho menoleh dan sedikit terperangah. Saat tadi dia melihat boneka barbie yang memakai hanbok itu, dia sama sekali tidak merasa hanbok itu istimewa. Tapi saat gadis itu yang memakainya, hanbok itu jadi terlihat berbeda. Gadis itu cantik, Minho harus mengakui itu. ―Waeyo?‖ tanya Shinyoung bingung, menatap dirinya sendiri. Minho berdeham. ―Aniya,‖ jawabnya singkat. Shinyoung mengerjap tidak paham. ―Tadi kau memanggilku apa?‖ tanya Minho pada Shinyoung. ―Minho,‖ jawab Shinyoung cepat. ―Hyeki bilang kau belum punya nama, jadi aku boleh menamaimu dan aku menamaimu Minho,‖ jelasnya. ―Hyeki? Aaah, yang memberikanku padamu itu?‖ Minho menggerutu. ―Namaku bukan itu, tapi untuk penyamaran aku akan memakai nama Minho,‖ putusnya. ―Hei, tunggu sebentar. Kau harus menjelaskan dulu sebenarnya apa yang terjadi di sini? Mengapa aku bisa mengecil seperti ini?‖ tuntut Shinyoung. Minho menggeram. ―Haish, kau harus tahu bahwa kau sudah menambah bebanku. Selain menyelesaikan urusanku, aku juga harus mencari cara agar mengembalikanmu seperti semula,‖ omel Minho. ―Harusnya kau tidak terbangun, jadi kau tidak terlibat.‖ ―Mwo? Salah siapa yang begitu berisik di malam hari?‖ balas Shinyoung tak mau kalah. ―Ya! Mana ada orang berperang dalam keadaan sunyi,‖ balas Minho. Shinyoung menggelembungkan pipinya kesal. ―Jadi, siapa kau sebenarnya dan bagaimana kau bisa jadi boneka yang hidup?‖ tanya Shinyoung lagi. Minho tidak menjawab. Dia malah berjalan menuju gerbang dan berdiri tepat di hadapan gerbang itu.
77
―Jawabannya ada di dalam pintu ini,‖ ujar Minho. ―Kau bisa memilih menunggu di sini sampai aku kembali dan mengembalikanmu atau ikut ke dalam sana dan menghadapi apa yang tidak pernah kau tahu. Bagaimana?‖ tanya Minho, mengulurkan tangannya. Shinyoung menatap uluran tangan Minho dengan ragu. Dia tidak mungkin membiarkan Minho sendirian mencari cara untuk mengembalikannya. Bagaimana kalau Minho tidak kembali? Masa dia akan menghabiskan seumur hidupnya dalam bentuk tubuh kecil begini. Shinyoung tidak tahu apa yang dimaksud Minho mengenai ‗apa yang ada di dalam gerbang itu‘, tapi dia akan menjadi pemberani dan memutuskan mengikuti Minho ke dalam sana. Shinyoung menarik nafas pelan. Berdoa dalam hati semoga dia tidak salah mengambil keputusan. Shinyoung meletakkan tangannya di atas telapak tangan kayu Minho, memutuskan ikut ke dalam sana. Minho tersenyum miring. ―Kalau kau sudah di dalam sana, kita harus menyelesaikan segalanya untuk dapat keluar. Kau mau mengambil resikonya?‖ tanya Minho sekali lagi. Shinyoung mengangguk. ―Kalau aku mengikutimu, kau harus berjanji tidak akan meninggalkanku sendirian di dalam sana. Kita akan keluar bersama, janji?‖ tanya Shinyoung sambil memberikan kelingkingnya. Minho tidak bisa menolak. Gadis ini terlibat dalam masalah ini karena dirinya dan jiwanya sebagai laki-laki tidak akan membiarkan wanita sendirian. Minho mengaitkan kelingkingnya pada Shinyoung. ―Aku berjanji,‖ ujarnya. Pelan tapi pasti, Minho mendorong gerbang itu dengan sebelah tangannya sementara sebelah tangan lagi menggenggam tangan Shinyoung erat-erat. Anehnya tangan kayu itu tidak terasa keras di kulit Shinyoung. Pintu gerbang itu terbuka. Sinar putih yang terang menyilaukan Shinyoung. Dan dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kamar tidurnya yang nyaman. Petualangan baru sudah dimulai. *** Shinyoung mengerjap beberapa kali, memaksa agar matanya beradaptasi dengan sinar matahari yang menyilaukan. Matanya mulai fokus saat Shinyoung menyadari di mana dirinya berada sekarang. Dia berada di sebuah desa dan tangannya masih menggenggam tangan kayu Minho. Hei, Minho si boneka kayu di tengah desa manusia? Shinyoung tidak sempat memikirkan hal lain saat tiba-tiba Minho menyeretnya. Mereka bersembunyi di balik dinding saat mendengar derap-derap langkah. Sekawanan prajurit tikus putih lewat sambil membawa tombak dan tameng. Shinyoung menahan nafas. Minho menatapnya. ―Jangan berisik, aku akan menuntunmu menuju markas. Kau hanya perlu mengikutiku,‖ ujar Minho. Shinyoung mengangguk, membiarkan dirinya diseret Minho. Mereka berjalan melewati desa. Minho melipat tangannya dan menunduk agar tidak ada yang menyadari bahwa dia boneka kayu. Tapi Shinyoung memperhatikan penduduk desa sendiri terlalu sibuk untuk memperhatikan sekitar. Penduduk desa itu memakai hanbok sederhana dan bergerak cepat dalam diam. Wajah mereka khawatir, entah apa yang dikhawatirkan. Desa itu sendiri persis seperti desa yang sering dilihat Shinyoung dalam saeguk. Pasar yang ramai, rumahrumah yang berdempetan, gisaeng-gisaeng yang berpenutup kepala, beberapa penjual obat. Kepala Shinyoung sampai terasa pusing membayangkan kalau ini semua hanya khayalan. Minho dan Shinyoung berhenti di depan semua rumah yang bertuliskan ‗Lee‘. Rumah yang cukup besar. Minho mendorong pintu gerbang rumah hingga terbuka dan seseorang berlari menyambut mereka. ―Hyung!‖ teriaknya gembira. Seorang bocah laki-laki berambut jamur yang berusia sekitar 15 tahunan. ―Taemin, kau bisa membongkar rahasiaku,‖ sungut Minho menjewer telinga bocah yang dipanggil Taemin.
78
Shinyoung menilai dari sikap Taemin yang biasa saja berarti dia sudah sering melihat Minho dalam bentuk boneka kayu seperti ini. Taemin—yang seakan baru sadar bahwa Minho tidak datang sendiri—berganti menatap Shinyoung. ―Ah, maafkan aku. Annyeonghaseyo, Noona,‖ sapa Taemin ramah sambil membungkukkan badan. Shinyoung balas membungkuk dan tersenyum. Minho menepuk kepala Taemin keras. ―Sejak kapan dia jadi noona-mu?‖ omelnya pelan. Lalu berjalan memasuki rumah tradisional Korea itu Taemin segera menempeli Shinyoung. ―Noona, siapa namamu?‖ tanya Taemin penasaran. Shinyoung tidak bisa menjawab. Dia terlalu terpesona pada interior rumah itu. Benar-benar khas Korea. Shinyoung belum pernah melihat hal ini seumur hidupnya. ―Mana Jinki Hyung?‖ tanya Minho pada Taemin. ―Jinki Hyung ada
di
istana.
Raja
memanggil
semua
pejabatnya
ke
istana,‖
jawab
Taemin
polos.
―Inhwa Noona juga. Semuanya ada di istana,‖ jelas Taemin. Minho menghela nafas. Hwon sudah tahu dia akan datang. ―Jangan sampai ada yang mengetahui aku di sini, mengerti Taemin-ah?‖ ucap Minho memperingatkan Taemin. ―Ne, arraseo,‖ jawab Taemin. Minho lalu menyuruh Taemin menyiapkan makan siang untuk Shinyoung. Sedangkan Minho sendiri mengantarkan Shinyoung ke sebuah kamar. ―Kau bisa beristirahat di sini,‖ ujar Minho. ―Aku harus menunggu yang lain kembali untuk membicarakan rencanaku.‖ Shinyoung menahan tangan Minho. ―Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku sendiri. Kalau begitu kau harus menceritakan padaku,‖ ujarnya. Minho mengalah dan duduk di hadapan Shinyoung. ―Ceritanya panjang. Ngomong-ngomong aku belum tahu namamu,‖ kata Minho tiba-tiba. Shinyoung mencibir. ―Oh, kau baru ingat untuk bertanya sekarang ya? Namaku Kim Shinyoung. Kau bisa memanggilku Shinyoung,‖ ujar Shinyoung ketus—membuat Minho tertawa. Oke, ini pertama kalinya Shinyoung melihat Minho tertawa. ―Kau sudah sering kemari, ya?‖ tanya Shinyoung lagi. ―Maksudmu?‖ tanya Minho. ―Ya, datang ke dunia ini. Buktinya Taemin tidak terkejut melihatmu sebagai boneka kayu,‖ jelas Shinyoung. Minho tersenyum pahit. ―Memangnya kau tahu kalau dulunya aku bukan boneka kayu?‖ tanya Minho. ―Ah, maaf. Aku dibesarkan dengan dongeng Barat. Jadi itu hanya asumsiku kalau kau dikutuk atau semacamnya menjadi boneka kayu, sama seperti yang terjadi pada tubuhku yang mengecil ini,‖ jawab Shinyoung. Minho sudah akan menjawab pertanyaan Shinyoung ketika tiba-tiba pintu ruangan digeser. Dua laki-laki termasuk Taemin dan satu orang perempuan berdiri di hadapan pintu. Mereka membungkuk memberi hormat. ―Selamat datang kembali, Jeonha,‖ ujar salah satu dari mereka yang bermata sipit. Jeonha? Shinyoung mengernyit. ―Ah, kalian sudah kembali. Kuharap Hwon tidak bersikap menyebalkan di istana,‖ ujar Minho ringan. Mereka semua lalu duduk di hadapan Minho. Minho tersenyum menatap mereka semua lalu berpaling menatap Shinyoung.
79
―Ah, aku akan memperkenalkan mereka. Mereka semua adalah kepercayaanku dalam melewati masa-masa sulit ini. Ini Menteri Dalam Negeri Lee Jinki,‖ Minho menunjuk laki-laki bermata sipit, ―ini salah satu shaman dan dokter terbaik istana, Lee Inhwa,‖ Minho menunjuk satu-satunya wanita yang ada di ruangan ini. ―Dan kau sudah mengenal Taemin, ‗kan? Dia sarjana Lee Taemin, ajudanku.‖ Shinyoung mengangguk, berusaha mengingat nama-nama dan wajah-wajah baru itu. ―Salam kenal, aku Kim Shinyoung,‖ ujar Shinyoung memperkenalkan diri. ―Shinyoung ini pemilik baruku,‖ ujar Minho menambahkan. Semuanya mengangguk-angguk kaku. Kelihatannya hanya Taemin yang menganggap Minho sederajat, yang lain sangat menghormati Minho. ―Maafkan hamba, Jeonha. Istana sepertinya sudah mengantisipasi kehadiran anda di kerajaan. Raja Hwon sudah memerintahkan untuk menyebarkan gambar anda ke seluruh penjuru negeri,‖ ujar Jinki memberitahu Minho. Minho mengangguk paham. ―Aku tahu dia sudah siap. Bukankah hal itu selalu terjadi saat aku kembali ke sini?‖ tanya Minho retoris. Tuh, ‗kan, Shinyoung benar. Minho sudah pernah datang ke dunia ini. Hwon? Siapa yang dimaksud Minho dengan Hwon? ―Keamanan istana juga sudah diperketat Jeonha,‖ kata Inhwa. ―Tidak apa-apa. Kalian harus tetap membiarkan Hwon mempercayai kalian hingga rencana kita berhasil,‖ sahut Minho. Jinki ikut berbicara. ―Kami sudah mengumpulkan pengikut Jeonha, sesuai dengan perintah Anda. Kita sudah siap bergerak, kapan pun Anda inginkan kami sudah siap,‖ ujarnya. Minho mengangguk paham. ―Tapi maafkan kami Jeonha. Kami belum bisa menemukan apa arti ramalan itu. Kekuatan kita tidak akan cukup menghadapi mereka,‖ ujar Inhwa menimpali. Minho terdiam memijat keningnya. ―Teruslah berusaha,‖ hanya itu yang bisa dikatakannya. Semuanya terdiam sesaat. ―Ah ya, hamba sudah menyiapkan ramuan untuk Anda, Jeonha. Ritual yang seperti biasa,‖ Inhwa berkata dengan cepat. Minho mengangguk. ―Baiklah, setelah itu aku meminta bantuanmu untuk memeriksa Shinyoung. Kita harus menemukan cara supaya dia bisa kembali ke tubuhnya semula,‖ kata Minho. Inhwa mengangguk mengerti. Minho beranjak, diikuti Inhwa. Shinyoung kembali menahan tangannya. ―Aku akan pergi sebentar. Taemin akan menemanimu di sini, setelah itu kau harus mematuhi Inhwa dan diperiksa. Kau paham?‖ ujar Minho menyakinkan Shinyoung. Shinyoung merasa dirinya pasti sudah gila karena dengan mudah gadis itu mengangguk. Dengan lembut, Minho melepaskan pengangan tangan Shinyoung dan tersenyum. Kali ini senyum tulus, bukan senyum miring atau senyum pahit. Senyum itu seakan menggemakan kata ‗percayalah‘ di kepala Shinyoung. Minho lalu menghilang di balik pintu. Shinyoung baru menyadari bahwa selama Minho tersenyum jantungnya berdegup keras. Shinyoung sampai harus menenangkan debaran jantungnya. Jangan-jangan .... ***
80
Shinyoung mengetuk pintu ruang kerja Inhwa dan masuk ketika Inhwa mempersilahkannya. Ruang itu dipenuhi lemari buku dan bau rempah-rempah yang digunakan sebagai obat. Di salah satu sisi ruangan ada dipan tempat orang-orang yang sakit berbaring untuk diperiksa. Tanpa disuruh, Shinyoung langsung berbaring di sana. Inhwa memeriksa denyut nadi Shinyoung dan tanda-tanda vital lain yang hampir sama seperti yang dilakukan Hyeki, sepupunya yang kuliah di kedokteran. Shinyoung tidak tahan untuk tidak bertanya pada Inhwa. ―Kau seorang dokter istana?‖ tanya Shinyoung. ―Ya,‖ jawab Inhwa singkat. ―Tapi kau juga seorang shaman?‖ tanya Shinyoung lagi. ―Ya,‖ jawab Inhwa. Lagi-lagi pendek. ―Sudah berapa lama kau mengenai Minho?‖ tanya Shinyoung lagi. ―Minho?‖ Inhwa menghentikan pemeriksaannya dan menatap Shinyoung. ―Siapa yang kau sebut Minho?‖ Shinyoung balas menatap bingung. ―Minho tentu saja. Minho— boneka kayu,‖ jawabnya polos. Inhwa mendesah. ―Namanya bukan Minho dan kau seharusnya tidak boleh memanggilkan hanya dengan nama. Itu melanggar hukum,‖ jawab Inhwa. ―Lalu siapa nama aslinya?‖ tanya Shinyoung penasaran. ―Kau tahu bagaimana ceritanya dia berubah seperti itu?‖ Inhwa berhenti memeriksa dan menatap Shinyoung serius. ―Namanya Hwang Teja Lee Jaeha. Dan ya, aku tahu bagaimana beliau bisa menjadi seperti itu.‖ ―Ceritakan padaku,‖ pinta Shinyoung mencengkram lengan Inhwa erat-erat. ―Akan kuceritakan, Nona Kim. Tapi kita harus membahas masalah tubuhmu dulu,‖ ujar Inhwa sabar. Dia melepaskan diri dari cengkraman Shinyoung. ―Dengar, saat kau mengecil, ani, tepat sebelum kau mengecil ada sebuah kertas yang tertempel di lenganmu bukan?‖ tanya Inhwa. ―Oh, kenapa kau bisa tahu?‖ Shinyoung kaget. ―Kertas itu yang membuatmu mengecil seperti ini. Itu semacam kutukan yang dibiasa diberikan oleh para shaman. Aku memang seorang shaman, tapi kekuatanku tidak cukup untuk mengembalikan keadaanmu seperti semula. Sama seperti yang dialami oleh Hwang Teja Lee Jaeha,‖ Inhwa menjelaskan. ―Lalu aku tidak bisa kembali seperti semula?‖ tanya Shinyoung. Perasaannya campur aduk antara sedih dan bingung. Inhwa menarik nafas. ―Sebelum Hwang Taeja berubah seperti itu, ada sebuah ramalan yang menyatakan kekuatan bulan bisa membantu matahari. Kau paham maksudnya?‖ tanya Inhwa. Shinyoung menggeleng. Dia menyukai saeguk tapi dia sama sekali tidak paham mengenai ramalan dan sebagainya. ―Matahari diartikan sebagai raja, itu simbol. Bulan diartikan dan disimbolkan sebagai ratu. Artinya, seseorang yang bisa membantu raja adalah bulannya, ratunya,‖ ujar Inhwa menjelaskan. ―Lalu apa susahnya menemukan calon ratu?‖ tanya Shinyoung. ―Ada banyak gadis yang bisa diseleksi untuk menjadi Bingung (putri mahkota).‖ ―Takdir itu mengalir dalam darahnya, tidak semua orang bisa menemukannya,‖ ujar Inhwa lagi. ―Jadi selama kami belum menemukan siapa, semua rencana ini tidak berguna.‖ ―Memangnya apa yang terjadi bila ada bulan dan matahari?‖ tanya Shinyoung lagi.
81
―Kau tidak tahu? Gerhana matahari. Saat bulan menutupi matahari, langit akan gelap gulita, saat itu kekuatan shaman akan mencapai puncaknya. Saat itu akan akan bisa menolongmu dan Hwang Teja,‖ jelas Inhwa. Jadi begitu, Minho membutuhkan bulannya. Namun pertanyaannya siapa? Shinyoung harus membantu Minho menemukan orangnya agar dia bisa segera pulang. *** Malam itu, Shinyoung duduk di kamarnya sambil menatap langit melalu jendela. Bulan sabit bersinar terang. Kontras dengan langit kelabu. Shinyoung menoleh cepat saat merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Ternyata Minho. Tapi Minho yang jauh berbeda. Minho yang sekarang bukan lagi boneka kayu. Gerakannya cukup kaku tapi kulitnya benar-benar menyerupai kulit manusia. Shinyoung tersenyum melihatnya. ―Aku hampir tidak mengenalimu,‖ ucapnya. ―Kenapa? Aku jauh lebih tampan sekarang?‖ tanya Minho menggoda Shinyoung. Shinyoung mendengus. Minho memutuskan duduk di hadapan Shinyoung, ikut memandang langit. ―Jadi apa yang kau lakukan tengah malam begini memandang langit?‖ tanya Minho. Shinyoung tersenyum. ―Bukankah bulan itu indah?‖ tanyanya. Minho memandang Shinyoung, bingung dengan perkataannya. ―Jadi kau seorang putra mahkota rupanya,‖ ujar Shinyoung lagi, mengalihkan perhatian Minho dari bulan. ―Kau sudah tahu? Inhwa sudah menceritakannya padamu?‖ tanya Minho. ―Tidak semuanya, tapi ya secara garis besar aku sudah mengerti,‖ jawab Shinyoung. ―Aku masih boleh memanggilmu Minho, ‗kan? Atau aku harus mulai memanggilmu Jeonha?‖ tanyanya tersenyum nakal. Minho tertawa mengejek. ―Terserah kau saja. Aku juga tidak dalam posisi putra mahkota sekarang,‖ jawabnya getir. Mereka terdiam. Shinyoung menunduk. ―Dia kakak laki-lakiku, anak selir pertama Ayah. Aku sudah siap menyerahkan tahtaku padanya kalau saja ternyata dia tidak mempunyai ideologi yang berbeda. Biksu terakhir di kerajaan memberikan kutukan, yang menyentuh tahta raja selain aku akan berubah menjadi tikus. Itulah kenapa Hwon akhirnya berwujud seperti itu,‖ Minho bercerita. ―Semua pengikutnya juga berubah menjadi tikus?‖ tanya Shinyoung. ―Seperti yang kau lihat malam itu, ya. Mereka semua berubah menjadi tikus. Aku sendiri diubah oleh shaman yang dimiliki Hwon sehingga menjadi seperti ini. Inhwa masih punya sedikit kekuatan untuk mengembalikanku selama beberapa hari. Kau juga sudah tahu, bukan? Aku akan ke dunia ini lalu kembali dilempar keluar dan kembali menjadi boneka kayu. Hwon selalu berhasil melemparku keluar sebelum aku bisa melakukan apaapa,‖ jelas Minho tersenyum getir. ―Tapi kau selalu berhasil kembali lagi, ‗kan?‖ Shinyoung memberi semangat. ―Apa yang terjadi dengan rakyatmu? Mereka terlihat khawatir,‖ Shinyoung bertanya lagi. ―Hwon mengancam siapa pun yang terlihat berhubungan denganku akan dihukum. Karena itu semuanya hidup dengan saling tidak mempercayai,‖ jelas Minho. Shinyoung mengangguk, lalu berkata, ―Aku sudah mendengar soal ramalannya.‖ ―Ramalan? Bulan dan matahari itu?‖ tanya Minho memastikan. Shinyoung mengangguk sementara Minho mendengus. ―Aku masih tidak percaya pada ramalan itu,‖ ujarnya sebal.
82
―Kenapa?‖ Shinyoung bertanya. ―Tentu saja. Hanya karena menunggu sang bulan aku tidak bisa memperjuangkan segala rencanaku,‖ gerutu Minho. Shinyoung menatap Minho penasaran ―Kau tidak memikirkannya? Memikirkan putri mahkota?‖ tanya Shinyoung. Minho terdiam dan membuang muka. ―Kau harus mulai mencarinya agar semua hal ini cepat selesai,‖ ujar Shinyoung memaksa Minho. ―Aku tahu. Inhwa sudah memberikan petunjuk kemana kita harus mencari gadis itu. Besok pagi kita akan berangkat, Taemin akan menemani kita sedangkan Jinki dan Inhwa akan tetap tinggal untuk memata-matai Hwon,‖ jelas Minho. ―Arraseo,‖ ujar Shinyoung. ―Tidurlah, besok akan menjadi perjalanan yang berat,‖ nasihat Minho. Shinyoung mengangguk paham. ―Aku akan memastikan kau kembali dengan selamat.‖ ―Aku tahu itu,‖ jawab Shinyoung dan Minho meninggalkan Shinyoung di kamar. Siapa pun takdir Minho, Shinyoung percaya dia akan menolong mereka.
Part 2
Pembicaraan mengenai topik putri mahkota dengan Shinyoung berhasil membuat Minho terjaga sepanjang malam. Topik yang selama ini selalu berusaha dihindarinya. Ego Minho sebagai putra mahkota menolak percaya bhawa dia tergantung pada seorang ‘bulan‘ hanya untuk menjalankan misinya. Namun, sekarang dia sudah mengalah. Misi ini harus segera dijalankan. Minho bersiap pagi-pagi sekali dan baru saja akan membangunkan Shinyoung saat menyadari gadis itu sudah terbangun lebih dulu. Shinyoung bahkan membantu Taemin menyiapkan kuda dan makanan. Inhwa menyerahkan peta perjalanan pada Minho. ―Hati-hati di jalan, Jeonha,‖ pesan Jinki khawatir. ―Di sana, jangan lupa cari biksu Kim. Dia akan menolong kalian,‖ Inhwa mengingatkan Minho. Minho mengangguk paham. ―Kami akan segera kembali,‖ ujar Minho berpamitan. Dua kuda itu lalu segera melaju meninggalkan kediaman keluarga Lee. Minho sebelumnya harus mengenakan penutup muka agar tidak dikenali. Shinyoung duduk di belakang Minho, berpegangan erat-erat pada pinggang Minho. Seumur hidup dia belum pernah naik kuda dengan kecepatan seperti ini. HyeKi jago menunggang kuda, tapi tidak secepat Minho. Minho sendiri baru pertama kali membonceng seseorang bersamanya di kuda. Pegangan Shinyoung di pinggangnya cukup membuat Minho berdegup. Seumur hidupnya menjadi pangeran atau boneka kayu, dia belum pernah melakukan skinship dengan seorang gadis seperti yang dilakukannya dengan Shinyoung. Mereka melewati perbatasan ibu kota kerajaan dan melihat lukisan wajah boneka kayu Minho tertempel di dinding-dinding. Saat akan keluar perbatasan, Minho harus mempertahankan sikap tenangnya agar mereka lolos pemeriksaan. Shinyoung sudah mengkeret ketakutan di belakangnya. Taemin mengecek peta memastikan mereka masih berada di jalur yang benar sesuai petunjuk Inhwa. Mereka semakin menjauh dari ibu kota kerajaan. Jalan-jalan berlapis tanah mulai berubah menjadi padang rumput. Lalu kembali berubah menjadi jalur pepohonan.
83
Minho berulang kali menoleh ke belakang. Nalurinya mengatakan mereka diikuti. Tapi dia tidak melihat ada pasukan tikus di mana pun. Jadi Minho memutuskan bahwa itu hanya kekhawatirannya yang berlebihan. Mereka memasuki desa baru yang juga dijaga pasukan tikus berwajah garang. Beruntung mereka masih lolos memasuki desa. Minho memutuskan agar mereka beristirahat di desa itu. Masih ada dua hari lagi sebelum mereka mencapai gunung di mana Biksu Kim tinggal. Mereka akhirnya menyewa pondok kecil dari penduduk. Sama seperti di ibu kota, penduduk ini juga seolah-olah takut pada sesuatu hal. Minho mempelajari peta yang diberikan Inhwa sedangkan Shinyoung membersihkan diri. Taemin sedang keluar untuk mencari informasi. Shinyoung kembali ke dalam pondok setelah mengganti hanbok-nya. Minho harus berusaha keras menjaga ekspresinya tetap datar melihat Shinyoung. Gadis itu jelas-jelas menarik perhatian Minho. ―Hyung! Hyung!‖ Taemin tiba-tiba berlari ke dalam pondok dengan nafas terengah. ―Kau harus menolong orang-orang ini, Hyung,‖ ujar Taemin panik. ―Waeyo?‖ tanya Minho bingung. Taemin menyeret Minho menuju lapangan terbuka yang dipenuhi banyak orang. Shinyoung mengikuti di belakang. Seorang wanita paruh baya sedang memohon-mohon pada seseorang yang menurut Minho pasti pejabat pemerintahan. Seorang anak laki-laki paling kurang berumur 5 tahun berdiri di dekat wanita itu. ―Apa yang terjadi?‖ tanya Minho pada kerumunan orang-orang. Yang lain segera menjauh, menolak menjawab ketika ditanyai Minho. Jadi Minho memutuskan melihat lebih dekat agar bisa mengerti. Tangannya menarik tangan Shinyoung secara otomatis, memastikan gadis itu tidak hilang atau tersesat. ―Maafkan hamba, Menteri. Anak ini masih kecil. Dia hanya sedang bermain-main. Dia tidak sengaja menabrak dan mengotori baju Anda,‖ si wanita paruh baya yang ternyata ibu si anak kecil memohon. ―Kau tidak tahu bajuku dibuat dari apa? Ini dari sutera Cina. Kau akan menghabiskan seumur hidupmu bekerja pun tidak akan sanggup membeli kain ini. Anak kecil ini harus dihukum. Dia harus tahu bagaimana caranya menghargai milik orang lain,‖ tukas si pejabat. ―ANDWAE!! Dia masih kecil,‖ pekik si ibu sambil memeluk anaknya yang tidak tahu menahu itu. Shinyoung sangat penasaran kenapa wanita itu sangat histeris mendengar anaknya akan dihukum. Hukuman macam apa yang akan diberikan hanya karena kesalahan kecil ini? Mata Shinyoung membelalak ketika melihat seorang prajurit tikus membawa bara api beserta besi yang bertuliskan penjahat. Anak kecil dihukum sekejam itu? Tanpa sadar Shinyoung sudah akan menghentikan si prajurit, namun pegangan Minho di tangannya menahan Shinyoung. Shinyoung melihat tatapan melarang yang ditunjukkan Minho dan dia tidak paham kenapa kejahatan seperti itu hanya dibiarkan. Salah seorang penduduk akhirnya tidak tahan juga. ―Maafkan hamba Paduka. Anak itu masih kecil sekali. Hukuman itu tidak sepadan dengannya,‖ ujar penduduk itu sambil menunduk dalam-dalam. Pejabat itu berbalik dan menatap penduduk itu sambil menyeringai. ―Oh, benarkah. Kalau begitu hukuman itu aku berikan padamu dan pada ibunya agar sepadan. Bagaimana?‖ tanya pejabat itu. Tanpa menunggu jawaban dan di tengah ramainya kerumunan orang-orang, tanpa ragu prajurit tikus menekankan besi yang terpanggang bara itu ke wajah si penduduk dan ke lengan si ibu. Suara jeritan keduanya membuat Shinyoung tanpa sadar menangis dan Taemin terduduk lemah di tanah. Minho sendiri hanya terpaku, tidak bisa melakukan apa-apa. Perlahan Minho menghapus air mata di pipi Shinyoung dengan jari tangannya, lalu membantu Taemin berdiri. Dia menuntun mereka berdua kembali ke pondok. Taemin, sesampainya di pondok, langsung berbaring dan
84
menolak bicara. Semantara Shinyoung berusaha keras agar menahan tangisnya. Dia sungguh shock melihat hukuman yang mengerikan seperti tadi. ―Taemin pasti marah lagi padaku,‖ ujar Minho. ―Aku tidak bisa membela orang tadi padahal aku seorang putra mahkota.‖ Shinyoung menarik nafas dalam, lalu tanpa bisa ditahan setetes airmatanya jatuh lagi. Shinyoung menghapus air matanya. ―Itu terlalu mengerikan, Minho-ssi. Aku... aku juga mengerti bagaimana perasaan Taemin. Tapi aku mengerti kenapa kau tidak bisa menolong orang itu. Bila kau muncul malah hanya akan semakin membahayakan semua orang, ‗kan?‖ katanya. Minho mengangguk. Ucapan Shinyoung memang benar walaupun Minho membenci dirinya sendiri yang selalu berlindung di balik alasan itu. Perlahan-lahan Minho bisa merasakan amarahnya meluap. Amarah atas ketidakberdayaannya. Amarah atas penderitaan rakyatnya. Amarah atas segala pengkhianatan Hwon. Dia harus mengontrol amarahnya sendiri. Minho mengenggam erat-erat sarung pedangnya, menyalurkan semua amarahnya di sana. Shinyoung tiba-tiba memegang tangan Minho, memaksa Minho melepaskan genggamannya dari sarung pedang. Telapak tangan Minho memerah dan ada luka lecet di sana. Shinyoung mengambil kain yang dibungkuskan Inhwa untuknya sebagai pengobatan dan melilitkannya di telapak tangan Minho. ―Jangan sakiti dirimu sendiri dengan kemarahan. Aku akan bicara dengan Taemin dan besok kita bisa meninggalkan desa ini,‖ ujar Shinyoung pelan sambil membalut tangan Minho. Minho menatap balutan kain di telapak tangannya, lalu berganti menatap Shinyoung yang tersenyum. ―Terima kasih sudah menghapus airmataku,‖ ujar Shinyoung pelan, lalu gadis itu beranjak untuk membujuk Taemin. Minho menghela nafas. Shinyoung benar-benar berbeda. *** Pagi-pagi sekali Taemin dan Shinyoung sudah mengepak barang-barang mereka. Mereka harus segera melanjutkan perjalanan. Taemin masih marah pada Minho, jadi dia hanya menjawab sekenanya ketika ditanya. Shinyoung memberi tatapan ‗jangan memaksa‘ pada Minho, jadi mau tak mau namja itu mendengar. Namun Minho justru merasa kesal sendiri saat Taemin justru menjawab ramah segala pertanyaan Shinyoung. Perjalanan dilanjutkan menuju pegunungan. Pemukiman penduduk semakin jarang dan mereka kembali memasuki hutan. Naluri Minho lagi-lagi mengatakan kalau mereka diikuti. Tapi Minho tidak bisa melihat siapasiapa. Kelihatannya Shinyong sangat menikamti perjalanan ini. Minho bisa mendengar decakan kagum yang keluar dari bibir Shinyoung saat mereka mulai memasuki hutan. Barisan pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi dikelilingi ole pohon-pohon besar lainnya. Cahaya matahari yang terbiaskan oleh pepohonan menambah kesan magis dan indah. Shinyoung bahkan bisa melihat hewan-hewan kecil berlarian di pinggir jalan hutan. ―Kau sangat menyukainya, ya?‖ tanya Minho sambil sedikit tertawa. ―Mwo? Apa maksudmu?‖ Shinyoung balik bertanya. ―Ini,‖ tunjuk Minho pada pepohonan, ―seluruh pemandangan ini. Kau sangat menyukainya?‖ tanya Minho lagi. ―Keurom,‖ jawab Shinyoung bersemangat. ―Pemandangan seperti ini bukan pemandangan yang bisa dilihat setiap hari di Seoul.‖ Alis Minho berkerut. ―Seoul?‖ tanya Minho.
85
Shinyoung terdiam sejenak sebelum menjawab. ―Ne, Seoul nama kota dimana aku tinggal,‖ jawabnya pelan. Ada perasaan rindu aneh yang melandanya saat membicarakan Seoul. Minho bisa merasakan perubahan suasana hati Shinyoung dan dia memutuskan tidak bertanya lagi. Selama ini Minho tidak pernah sekalipun memikirkan bagaimana bila Shinyoung sudah tidak lagi bersamanya. Pepohonan semakin rapat saat mereka mulai memasuki hutan semakin dalam. Hutan mulai menggelap karena cahaya matahari mulai sulit menembus lebatnya daun-daun pepohonan. Naluri Minho lagi-lagi memberi tahu bahwa mereka diikuti. Minho diam dan memandang sekeliling. Benar saja, saat pohon-pohon tinggi mulai mengelilingi akhirnya Minho bisa melihat pasukan tikus bersembunyi di sana. Pasukan tikus itu keluar dar persembunyiannya, melompat dan menghalangi jalan mereka. Minho sampai harus menarik tali kekang kudanya. Kedua kuda mengangkat kaki depan mereka tinggi-tinggi karena kaget. Minho turun dari kuda dan membiarkan Shinyoung turun juga. Dia memberi tatapan peringatan pada Taemin sebelum berbalik menghadapi pasukan tikus itu. ―Ada masalah apa?‖ tanya Minho berpura-pura polos. Pasukan tikus ini memakai seragam serba hitam yang sangat dikenali Minho. Mereka mesin pembunuh kerajaaan Hwon. Tanpa aba-aba, pasukan itu mulai menyerang. Minho dan Taemin mendorong Shinyoung di belakang karena gadis itu tidak punya keahlian berpedang. Dia bisa bermain anggar tapi sepertinya pedang yang diayunkan Minho dan Taemin jauh berbeda dengan anggarnya. Harus diakui Shinyoung cukup baik melindungi dirinya sendiri. Dia tidak menjerit dan terkadang berhasil melempari satu dua prajurit tikus dengan batu-batu besar yang dipungutnya dari tanah. Cukup membuat prajurit tikus merasa pusing. Minho berhasil menumbangkan dua orang dengan pedangnya dan Taemin membunuh satu orang. Darah-darah bermuncratan dari segala arah. Minho harus melawan empat orang dalam arah yang berbeda dan Taemin juga sama. Minho sama sekali tidak menyadari bahwa salah satu prajurit mulai berlari ke arahnya. Minho menusuk dua di antaranya, namun dirinya sendiri tertusuk di bagian lengan kanan. Sayangnya lengan kiri Minho tidak sebaik lengan kanannya dalam menggunakan pedang. Taemin berhasil menumbangkan dua orang lagi. Tapi Taemin tidak menyadari prajurit tikus yang akan menusuk Minho. Prajurit itu sudah siap menusuk ketika tiba-tiba Shinyoung berdiri di hadapan Minho dan membiarkan dirinyalah yang ditusuk. Darah segar membasahi hanbok Shinyoung, membuat Minho menatap gadis itu shock. Taemin lebih sigap membantai sisa-sisa prajurit tikus dan menyisakan satu orang. Taemin meletakkan pedangnya di leher prajurit itu. ―Katakan siapa yang membayar kalian?‖ tanyanya mengancam. Prajurit itu hanya tertawa. Prajurit itu tidak menjawab dan malah mengigit lidahnya sendiri. Bunuh diri. Minho menahan tubuh Shinyoung yang ambruk. Dengan hati-hati, Minho mencabut pedang yang menusuk perut Shinyoung. Gadis itu mengernyit menahan sakit. Taemin berlari mendekat, membawa perbekalan obatobat yang diberikan Inhwa namun tidak satu pun untuk menyembuhkan luka tusuk. Minho mengenggam eraterat tangan Shinyoung. Memberikan gadis itu kekuatannya. Minho takut, sangat takut gadis itu akan mati di sini. Dia takut kehilangan Shinyoung. Taemin mulai menangis. ―Noona…,‖ panggilnya lirih. Tiba-tiba seorang biksu muncul entah dari mana, mendekati mereka bertiga. ―Aigoo, apa yang terjadi pada gadis ini?‖ wajahnya biksu itu berkerut khawatir melihat darah di hanbok Shinyoung. ―Mari, mari, pemondokanku dekat dari sini dan kalian bisa merawatnya di sana,‖ ajak biksu itu ramah.
86
Minho segera menggendong Shinyoung mengikuti biksu itu dan membiarkan Taemin yang menuntun kudakuda mereka. Benar saja, sepuluh menit berjalan, pemondokan itu sudah terlihat. Beberapa biksu wanita segera berlari membantu Minho membawa Shinyoung ke dalam salah satu ruangan. Biksu wanita itu meminta Minho meninggalkan ruangan dan berjanji akan menyelamatkan Shinyoung. Dengan langkah gontai, Minho keluar ruangan dan terduduk di depan pintu. Minho menatap darah Shinyoung yang membekas di telapak tangannya. Kalau terjadi sesuatu pada gadis itu, Minho yakin dia bisa gila. Gadis itu memberikan terlalu banyak dukungan baginya. Bahkan sekarang Minho tidak bisa merasakan luka nyeri di lengan kanannya. Dia seakan mati rasa. Bahu Minho ditepuk oleh seseorang. Biksu tadi yang menyelamatkan mereka. ―Kau terlihat frustasi sekali anak muda,‖ ujar biksu itu tenang. Minho tidak menjawab, hanya menunduk memandang tanah. Biksu itu membantu merawat luka di lengan kanan Minho. Dia membalurkan obat di lengan Minho dan membalutnya dengan perban. ―Terlalu ambisius terkadang hanya akan membawa bahaya,‖ ucap biksu itu lagi saat dia selesai membalut lengan Minho. ―Aku tidak ambisius,‖ protes Minho tiba-tiba. Biksu itu tersenyum. ―Tentu saja kalau kau bilang tidak. Tapi tanya hatimu, bukan lisanmu yang harusnya menjawab,‖ biksu itu menunjuk dada Minho. ―Aku hanya ingin semuanya segera berakhir. Semuanya kembali ke tempatnya semula,‖ keluh Minho frustasi. ―Anak muda, kau harus menikmati prosesnya untuk paham mengapa hasilnya begini atau begitu. Kedewasaan diperoleh dengan pembelajaran hidup,‖ ujar biksu. Minho terdiam mencerna perkataan biksu itu. Proses? Ya, Minho terlalu tidak sabar untuk mencapai hasil yang dia mau. Bukankah begitu? ―Gadis itu? Kau menyukainya bukan?‖ tanya biksu itu. Minho menghela nafas. Suka? Jelas-jelas dia menyukai Shinyoung, tapi apa gunanya bila gadis itu bukan bulannya. ―Dia dan aku adalah takdir yang sia-sia,‖ jawab Minho. Biksu itu tersenyum lagi. ―Terkadang yang kau cari adalah yang ada di sekitarmu namun luput dari penglihatanmu. Lihatlah lebih teliti,‖ nasihat biksu itu. Minho tersentak. Sadar apa yang dimaksud biksu itu. ―Anda biksu Kim?‖ tanyanya tak percaya. Biksu itu mengipas-ngipas dirinya. ―Ah, begitulah orang-orang memanggilku,‖ jawabnya ringan. Minho segera menunduk. ―Maafkan aku. Aku tidak menyadarinya sejak kau pertama kali menolong kami di hutan,‖ ujar Minho meminta maaf. ―Jeonha, jangan begitu. Manusia memang sekali-sekali berbuat salah bukan?‖ balas biksu Kim bijaksana. Minho menunduk semakin dalam. ―Apa yang harus kulakukan? Apakah ramalan itu memang benar?‖ tanya Minho. ―Jeonha, yang tahu jawabannya adalah jeonha sendiri. Apa yang dikatakan ramalan
itu? Saat bulan
berdampingan dengan matahari, semua keseimbangan akan kembali ke tempatnya. Bukankah dikatakan berdampingan? Artinya segala hal yang akan terjadi semuanya merupakan keputusan putra mahkota. Sang bulan akan mendampingi,‖ jelas biksu Kim. ―Jadi maksudmu?‖
87
―Lakukanlah yang menurut Anda benar,‖ ujar biksu Kim. Minho menghela nafas. Itu berarti rencananya harus segera dijalankan dengan atau tanpa adanya bulannya. Putri mahkota. ―Bulan purnama dan gerhana matahari akan terjadi tujuh hari lagi, Jeonha. Anda masih sempat kembali ke ibu kota dan bersiap,‖ pesan biksu Kim lagi. Seorang biksu wanita mendekati mereka berdua, mengabarkan bahwa Shinyoung sudah sadar. Wajah Minho langsung dipenuhi senyum cerah. ―Terima kasih banyak, Biksu Kim. Aku akan memikirkan nasihatmu,‖ seru Minho bersemangat. Dia segera berlari menuju kamar Shinyoung. Shinyoung terbaring di atas matras. Matanya tertutup, mungkin dia tertidur karena lelah. Namun Shinyoung perlahan membuka matanya saat Minho sudah duduk di sampingnya. ―Bagaimana perasaanmu?‖ tanya Minho cemas. ―Senang,‖ jawab Shinyoung. ―Aku senang masih bisa membuka mata dan melihatmu. Berarti kau tidak mengingkari janji dan membiarkanku sendirian di sini.‖ Shinyoung tersenyum. ―Aku mencemaskanmu, Bodoh,‖ gerutu Minho. ―Apa yang kaupikirkan ketika itu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?‖ Shinyoung tertawa kecil. ―Aku? Aku memikirkan penderitaan rakyatmu, memikirkan nasibku yang tidak bisa kembali. Kau pikir kalau kau yang tertusuk keadaan akan menjadi lebih baik. Akan lebih banyak yang menderita, Bodoh,‖ cibir Shinyoung. Minho hanya diam, tidak membalas ucapan Shinyoung. ―Aku baik-baik saja, tenanglah,‖ Shinyoung meyakinkan Minho. ―Kita akan kembali ke ibu kota secepatnya setelah lukamu membaik. Kita harus tiba sebelum bulan purnama,‖ Minho memberitahukan rencananya. ―Bagaimana dengan Bingung? Biksu Kim?‖ tanya Shinyoung heran. ―Kita sudah menemukan biksu Kim dan untuk bingung. Lupakan saja, rencana itu harus tetap berjalan,‖ ujar Minho. Shinyoung menatap Minho heran, namun tidak menyuarakannya. Dia hanya mengangguk. ―Noona!!‖ Taemin tiba-tiba menghambur masuk dan memeluk Shinyoung. Minho terpaksa harus menyeret Taemin agar melepaskan pelukannya dari Shinyoung. ―Noona-mu masih sakit. Dia harus beristirahat,‖ omel Minho. ―Mwo? Hyung saja yang pergi. Wajahmu yang terlipat itu akan membuat noona stres,‖ balas Taemin tak mau kalah. ―Mwoya?!‖ teriak Minho tak terima dan menjewer Taemin. ―Itu fakta, Hyung!‖ ―Tapi aku Putra Mahkota, Taemin-ah!!!‖ ―Ya! Kalian berdua! Hentikan!‖ *** Mereka tinggal di pemondokan itu selama dua hari sembari menunggu kesehatan Shinyoung pulih. Taemin dan Minho mengisi hari dengan berlatih bela diri bersama biksu Kim dan bergantian menjaga Shinyoung. Selama beberapa hari itu, Taemin selalu menggoda Minho karena dia kerap menangkap basah Minho sedang memperhatikan Shinyoung.
88
Para biksu wanita dengan senang hati ikut berbagi ilmu pada Shinyoung. Untuk pertama kalinya, Shinyoung belajar meditasi dengan cara yang benar. Shinyoung bahkan mendapatkan hanbok baru untuk menggantikan hanbok-nya yang terkena darah. Shinyoung merasa hal-hal baru di dunia ini sangat menyenangkan. Bahkan menonton Minho dan Taemin berlatih pedang juga tidak membosankan. Pada hari ketiga, mereka bertiga berpamitan akan kembali ke ibu kota. Ramuan yang diberikan Inhwa sudah mulai kehilangan pengaruhnya bagi Minho. Tubuh Minho menjadi lebih kaku dan gurat-gurat kayu mulai kembali muncul di wajah dan tubuhnya. Hal ini berarti Minho harus menyusup untuk bisa memasuki ibu kota. Biksu Kim menyerahkan jimat sebagai pertolongan agar rencana mereka berhasil. ―Ingat Jeonha. Semua ini harus diakhiri oleh Jeonha sendiri,‖ ujar Biksu Kim mengingatkan. Minho mengangguk paham. Dia menunggang kuda dengan Shinyoung di belakangnya. Taemin mengikuti dengan menunggang kuda yang lain. Siap untuk menyambut rencana besar di ibu kota.
Part 3
Di langit hanya boleh ada satu bulan dan satu matahari. Saat langit memiliki dua matahari, maka keseimbangan akan terganggu. Bulan akan membantu Matahari mengembalikan segalanya ke tempat semula. *** Minho, Shinyoung dan Taemin berhasil mencapai ibu kota dalam waktu dua hari. Mereka masih memilki waktu dua hari untuk menghimpun pasukan dan menghadapi gerhana matahari. Kuda-kuda mereka mulai mendekati gerbang ibu kota. Prajurit tikus berwajah garang menahan kuda mereka dan memeriksa. ―Kenapa kalian membawa satu kuda yang tidak ditunggangi?‖ tanya prajurit itu membentak. ―Kami membutuhkan tunggangan untuk membawa perbekalan,‖ jawab Taemin tenang. Prajurit tikus itu menatap tak percaya, tapi Taemin lebih pintar bernegosiasi. Taemin menyerahkan setengah bungkusan makanan untuk tikus-tikus itu dan mereka diperbolehkan lewat. Sementara Taemin membujuk prajurit-prajurit tikus itu, Minho dengan mudah melompati dinding perbatasan dan menunggu Taemin serta Shinyoung lewat. Shinyoung mendesah lega ketika menemukan Minho berdiri santai, terlindung dalam kegelapan bayangan tembok perbatasan. Shinyoung kembali menunggang kuda bersama Minho menuju kediaman keluarga Lee. ―Sudah kubilang tak perlu khawatir. Para prajurit itu pada intinya memang mudah dibodohi,‖ seru Minho ringan. Shinyoung memutar bola matanya, kesal dengan sifat Minho yang menggampangkan sesuatu. Mereka tiba di kediaman keluarga Lee dan langsung disambut oleh Inhwa dan Jinki. Wajah keduanya khawatir apalagi ketika melihat bebat di lengan Minho dan wajah Taemin dengan beberapa luka kecet. Apalagi melihat Minho yang sudah kembali menjadi boneka kayu. ―Astaga! Jeonha, Taemin-ah, apakah kalian baik-baik saja?‖ tanya Jinki cemas. Taemin dan Minho mengangguk dan mereka semua memasuki rumah. ―Aku dan Taemin hanya luka kecil, tapi Shinyoung tertusuk di perut. Kau harus memeriksanya, Inhwa,‖ perintah Minho pada Inhwa. Inhwa mengangguk. ―Tapi Jeonha, aku melihat bahwa gerhana matahari akan terjadi dua hari lagi, apakah itu benar? Apakah biksu Kim memberitahu sesuatu?‖ tanya Inhwa. ―Benar. Itulah sebabnya aku kembali lebih cepat. Kita tidak akan menunggu ‗bulan‘ lagi, kita akan memulainya sendiri,‖ tukas Minho.
89
Jinki dan Inhwa terdiam. ―Baiklah, Jeonha. Besok saya akan meminta pengikut kita berkumpul dan mengatur strategi,‖ usul Jinki. ―Aku percayakan padamu, Jinki-ssi,‖ ujar Minho. Rencana perang akan segera dimulai. *** Inhwa lalu mengajak Shinyoung mengikutinya ke ruang kerja. Inhwa meminta Shinyoung melepaskan hanboknya dan memeriksa luka tusuknya. ―Hmm, lukanya mulai sembuh. Biksu-biksu itu pasti merawatmu dengan baik,‖ ujar Inhwa puas dan menyuruh Shinyoung mengenakan kembali hanbok-nya. ―Wuah, bagaimana kau tahu?‖ tanya Shinyoung. ―Aku melihatnya,‖ jawab Inhwa, ―Di sini,‖ sambungnya sambil menunjuk pelipisnya. Shinyoung hanya mengangguk-angguk. Dia memang selalu melupakan fakta bahwa Inhwa juga seorang shaman yang memiliki kekuatan gaib. ―Kau harus ikut pertemuan untuk membahas strategi,‖ cetus Inhwa tiba-tiba. Shinyoung menoleh. ―Aku?‖ ―Tentu saja. Kau bisa membantu mereka. Bukankah kau sudah dua kali melihat sendiri pertarungan tikus-tikus itu?‖ ujar Inhwa. ―Tapi...‖ ―Hwang Teja membutuhkan bantuanmu, Kim Shinyoung,‖ timpal Inhwa. Shinyoung menunduk menatap lantai. Bagaimana caranya dia bisa membantu? *** Minho berdiri di tengah keremangan malam di halaman kediaman keluarga Lee. Dia menatap bayangannya sendiri di bawah pantulan sinar bulan. Minho melihat tubuhnya. Lengan yang kaku yang disambungkan dengan mur satu sama lain. Ekspresi wajahnya yang kaku. Gerakan tubuhnya yang kaku. Dia benar-benar sebuah boneka kayu. Pertemuan dengan para pengikutnya sudah selesai dilakukan. Minho masih bisa mengingat bagaimana mereka terkesiap ketika melihatnya dengan wujud boneka kayu. Syukurlah Jinki bisa meyakinkan mereka untuk mempercayai Minho, sehingga misi mereka bisa berjalan. Besok akan terjadi bulan penuh dan gerhana matahari total. Langit akan gelap gulita. Saat itulah misi Minho akan berjalan. Besok akan jadi puncaknya, apakah dia akan bisa mengembalikan semuanya atau dia harus menunggu gerhana berikutnya untuk menyelesaikan semuanya. Minho menoleh ketika mendengar langkah-langkah kaki. Bibirnya langsung melengkung membentuk senyuman ketika melihat Shinyoung yang datang. ―Bukannya Jinki sudah memperingatkanmu untuk tidak berdiri di halaman malam-malam begini? Bagaimana kalau mata-mata Hwon melihatmu?‖ tegur Shinyoung. Minho tertawa kecil. ―Kau lupa Inhwa sudah menanamkan jimat di sekeliling rumah ini. Tidak akan ada yang bisa melihat ke dalam rumah,‖ jawab Minho ringan. Kebiasannya selalu memperkirakan sesuatu itu mudah. Ya, kecuali misi mereka besok. Shinyoung berdiri di samping Minho, ikut menatap sinar bulan. ―Sedang apa kau di sini?‖ tanya Minho heran. ―Aku? Aku tidak bisa tidur,‖ jawab Shinyoung pendek.
90
―Kau memikirkan hari esok?‖ tanya Minho lagi. Shinyoung menatap Minho dan tersenyum getir. ―Tepat sekali,‖ sahutnya. Minho menatap Shinyoung dengan pandangan menyesal. ―Maafkan aku melibatkanmu dalam hal ini,‖ ujarnya. ―Tidak apa-apa. Aku hanya cemas memikirkan bagaimana aku kembali dan bagaimana nasib boneka kayuku,‖ kata Shinyoung dengan nada bercanda. Minho ikut tertawa. Awalnya dia sangat heran mendengar permohonan Inhwa untuk membiarkan Shinyoung ikut serta, tapi kemudian dia mengerti. Dia mengingat dengan jelas saat Inhwa menyebutkan ulang ramalannya dan apa yang dilihatnya sebagai seorang shaman. Lagi-lagi Minho menatap Shinyoung. Cahaya bulan memantul di wajahnya sehingga wajah gadis itu terlihat jelas. Mereka bersama hanya beberapa hari dan Minho sudah menyadari perasaannya pada gadis itu. Entah apa yang merasukinya, Minho memutuskan dia harus mengatakannya sebelum semuanya terlambat. ―Aku menyukaimu,‖ ujar Minho pelan. Dia menatap Shinyoung sungguh-sungguh. ―Aku benar-benar menyukaimu, Kim Shinyoung.‖ Shinyoung balas menatap dengan ekspresi terkejut. Dia tidak siap menerima pernyataan Minho. ―Tidak perlu dijawab. Kau dan aku memang takdir yang sia-sia,‖ timpal Minho lagi. ―Ani, bukan seperti itu. Aku hanya bingung,‖ sahut Shinyoung tak enak hati. Minho tersenyum tulus dan Shinyoung bisa merasakan jantungnya mulai berdebar-debar lagi. Minho mengulurkan tangan kayunya dan membiarkan Shinyoung menyambut uluran tangannya. Perlahan, Minho menarik Shinyoung mendekat. Cukup dekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. ―Sekali ini saja, aku minta maaf,‖ ujar Minho, lalu dia mencium Shinyoung. Shinyoung tersentak saat kulitnya dan kulit kayu Minho bersentuhan. Bukan saja karena dia kaget dirinya sedang dicium sebuah boneka kayu tapi juga karena kulit Minho tidak terasa seperti kayu. Minho melepaskan ciumannya, lalu menatap Shinyoung. ―Aku akan memastikan kau pulang dengan selamat,‖ ujarnya lagi. Walaupun aku tidak akan bisa merelakanmu kembali, batinnya dalam hati. *** Lapangan memanah di belakang istana akan menjadi lokasi perang mereka. Menurut Jinki, Hwon mengadakan latihan memanah setiap hari di sana. Apalagi siang ini akan terjadi gerhana total. Hwon sangat menyukai gerhana. Pasukan Minho, termasuk Jinki dan Taemin sudah bersiap dengan persenjataan mereka. Prajurit tikus di dalam lapangan tidak akan seramai di perbatasan atau di luar tembok istana. Minho sendiri sudah siap dengan pakaian perangnya. Dia masih mengingat jelas petunjuk Inhwa. Gerhana matahari akan terjadi selama tujuh menit dan hanya tujuh menit itulah kesempatan Minho untuk menumbangkan Hwon. Shinyoung sendiri saat ini sedang bersama Inhwa di ruang doa khusus shaman-nya. Inhwa mengenakan hanbok merah khas shaman dan Shinyoung mengenakan hanbok mewah seperti putri mahkota. Inhwa meminta
Shinyoung
untuk
membantunya
memberikan
energi
tambahan
selama
gerhana
matahari
berlangsung. Perlahan-lahan langit mulai menggelap. Bulan mulai terlihat di langit dan bergerak menutupi cahaya matahari. Pasukan Minho menyerbu memasuki lapangan dan menawan seluruh prajurit tikus yang ada di sana. Hwon tidak terlihat kaget. Dia hanya tersenyum mengejek ketika melihat Minho. ―Oh, Jaeha-ya. Kau datang juga rupanya,‖ serunya sombong. Minho bahkan masih bisa melihat seringaian di wajah tikus Hwon.
91
―Aku pasti datang untuk mengambil milikku,‖ balas Minho tenang. Sementara itu, di kediaman keluarga Lee, di dalam ruang doa, Inhwa mulai menjelaskan kepada Shinyoung. ―Saat bulan mulai menutupi cahaya matahari, langit akan menggelap. Saat itu istana akan bersih dari pengaruh energi negatif dan saat itu pula kita harus memasukkan energi positif kita,‖ ujar Inhwa. Shinyoung mengangguk. ―Apa yang bisa kulakukan?‖ ―Duduk saja di sini dan berkonsentrasilah untuk mengalirkan energi positifmu keluar. Aku akan membantu mengalirkannya ke dalam istana,‖ jawab Inhwa. Walaupun Shinyoung sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengalirkan energi, tapi dia mengangguk. Dia akan berusaha membantu Minho. Lapangan memanah mulai gelap. Bulan saat ini benar-benar sudah menutupi matahari. Gerhana matahari sudah terjadi. Mata orang awam tidak bisa melihat perubahan energi di istana, tapi mata Jinki dan Taemin bisa. Lee bersaudara ini bisa melihat gelombang asap hitam yang meliuk-liuk yang ditarik dari istana. Tapi mata siapa pun pasti bisa melihat perubahannya. Saat gerhana matahari terjadi, kegelapan menyiram Minho dan seluruh manusia yang ada di sana. Saat mata-mata mulai bisa melihat di dalam kegelapan yang diterangi obor, mereka bisa melihat Minho yang kembali sebagai manusia dan Hwon serta pasukannya yang tidak lagi berwujud tikus. Inilah mengapa Hwon sangat menyukai gerhana. Hanya kegelapan gerhana yang bisa mengembalikan mereka seperti semula. Wajah Hwon memang menyerupai Minho. Mereka sangat mirip untuk disebut sebagai saudara tiri. Namun sayangnya wajah Hwon lebih sering dihiasi seringaian licik. Hwon meraba wajahnya yang tidak lagi berbulu tikus dan dia tersenyum miring. Puas dengan wujudnya. Hwon menyeringai, lalu berteriak, ―SERANG!!‖ Peperangan pun terjadi. Pasukan demi pasukan saling membantai. Pedang-pedang diayunkan menebas bagian tubuh musuh. Darah berceceran di mana-mana. Jinki dan Taemin berhasil membunuh beberapa orang. Minho sendiri menebas beberapa musuh saat dia berusaha mencapai Hwon. Dan duel tidak terelakkan lagi. Pedang Minho dan Hwon saling beradu menghasilkan bunyi metal yang khas. Hwon menusuk ke arah kiri Minho yang berhasil ditahan Minho dengan sarung pedangnya. Minho menyikut Hwon lalu memukul bagian wajahnya. Darah segar mengucur dari hidung Hwon. Hwon tersulut amarah. Dia menyerang lagi sisi kanan Minho dan Minho berkelit ke kiri. Dia menyabet kaki Hwon membuat keseimbangan Hwon terganggu. Hwon kembali menyerang dan Minho lagi-lagi menghindar. Mereka terus saling menyerang hingga Hwon lengah sesaat karena kakinya terluka. Pedang Minho mendarat dengan mulus di leher Hwon. Gerhana matahari masih terjadi dan langit masih gelap. Para prajurit Minho berhasil membunuh sebagian prajurit Hwon dan menahan beberapa orang. Sekarang semua mata di lapangan menatap Minho dan Hwon. ―Bunuh saja,‖ tukas Hwon mengejek. ―Kau tidak berani melakukannya ‗kan anak manja?‖ Minho menggenggam erat pedangnya. Meletakkanya tepat di lekukan leher Hwon. Hwon terkekeh mengejek. ―Kau bisa saja memiliki tahta, tapi kau tidak akan bisa mengubah wujudmu,‖ seru Hwon lagi. ―Siapa yang mau memiliki raja boneka kayu?‖ ejeknya lagi. Minho menggeram. ―Dengarkan aku Lee Jaeha! Kalau kau pergi dengan tenang, aku tidak akan membunuhmu. Kerajaan ini akan aman,‖ kata Hwon. ―Aman? Kau menyiksa rakyatku yang ketakutan,‖ geram Minho.
92
Hwon hanya terkekeh mengerikan. Tiba-tiba Minho mendadak merasakan tubuhnya sakit. Minho jatuh berlutut dan harus menggunakan pedangnya untuk menahan tubuhnya. Hwon berbuat curang. Dia pasti menggunaguna Minho. Jauh di kediaman keluarga Lee, Inhwa bisa merasakan energi yang memaksa Minho untuk jatuh. Energi itu berusaha menyerap kekuatan Minho sehingga Minho bahkan tidak memiliki tenaga untuk bangkit. ―Saatnya sudah datang, mulailah mengalirkan energi positifmu,‖ seru Inhwa pada Shinyoung. Shinyoung menurut, berusaha memaksa seluruh sel tubuhnya untuk memberikan energi positif agar memastikan Minho bisa kembali dengan selamat. Dia ingin bisa melihat Minho lagi. Sementara itu Hwon tertawa melihat Minho yang terlihat tidak punya tenaga. ―Lihatlah kalian pengikutnya! Putra mahkota kalian bahkan tidak memiliki kemampuan untuk menghadapiku dengan berdiri,‖ komentar Hwon mencemooh. Para prajurit Hwon yang menjadi tawanan juga meneriakkan cemoohan mereka, membuat prajurit Minho mengencangkan letak pedang mereka di leher para tawanan. Inhwa berusaha memusatkan seluruh kekuatan spiritualnya untuk mengambil energi positif dari Shinyoung. Benar, apa yang dilihatnya dalam visi shaman-nya memang benar. Gadis ini adalah bulan. Energi gadis ini memberikan kekuatan untuk menolong Minho yang sekarat karena diguna-guna. Istana yang bersih dari energi negatif memudahkan aliran energi positif yang dikirimkan Inhwa untuk Minho. Perlahan-lahan Minho mulai merasakan kembali kendali yang ada di tubuhnya. Minho mulai menggerakkan tangannya yang mencengkram pedang. Lututnya tidak lagi goyah. Minho sekarang menyadari bahwa Inhwa pasti sudah melakukan sesuatu untuk menghalangi guna-guna shaman Hwon. Minho memutuskan tidak berdiri dulu. Dia membiarkan Hwon terus menerus mencemoohnya di hadapan para pengikutnya. Waktu tujuh menit Minho hampir habis. Bulan perlahan mulai bergeser dari tempatnya. Jinki dari kejauhan memberi Minho tatapan memperingatkan. Dengan mendadak, Minho bangkit berdiri dan berlari menyerang Hwon kembali. Hwon berkelit dan membalas menyerang Minho. Duel dilanjutkan, namun rupanya kondisi kaki Hwon yang terluka sedikit menyulitkannya. Minho mendapatkan kesempatan baik dan langsung menghunus pedangnya. Pedang Minho menusuk Hwon tepat di jantungnya dan Minho bergetar. Guna-guna itu kembali lagi. Di dalam ruang doa, Shinyoung bisa merasakan Inhwa kesulitan dan memaksa dirinya untuk mengalirkan lebih banyak energi lagi. Minho di lapangan mendadak mulai kembali melemah. Dia mengerang namun berusaha tetap menggengam pedangnya erat-erat. Hwon menjerit dan darah menyebur dari mulutnya. Bulan mulai menjauhi matahari dan langit perlahan-lahan mulai kembali terang. Energi yang dikirimkan Inhwa dengan bantuan Shinyoung perlahan-lahan kembali mengembalikan kontrol tubuh Minho dan menjaganya tetap stabil. Bukan hanya menjaga Minho tapi menjaga seluruh istana agar energi buruk tidak kembali. Cahaya matahari perlahan mulai menerangi lapangan itu. Hwon masih menggeliat di ujung pedang Minho tapi Minho memantapkan pegangannnya. Sinar matahari yang menerangi lapangan membuat mata-mata menjadi silau. Langit kembali terang seperti biasanya dan para prajurit terkesiap. Di tengah lapangan, Hwon terbaring melintang dengan pedang Minho masih menancap di jantungnya. Wujudnya sudah kembali menjadi tikus, begitu pula dengan prajuritnya yang mati maupun yang menjadi tawanan. Minho berdiri di dekat mayat Hwon terpaku menatap dirinya sendiri. Lengan dan kakinya sama sekali tidak memiliki gurat kayu lagi. Minho meraba wajahnya. Hanya terasa kulit halus yang sama seperti manusia biasa. Minho tidak bisa menahan diri untuk tersenyum sementara para pengikutnya berteriak-teriak heboh atas kemenangan mereka.
93
Jinki dan Taemin berlari mendekat, lalu keduanya membungkuk, diikuti oleh seluruh pasukan yang lain. Memberi hormat pada raja yang baru. Putra mahkota yang seharusnya. Setelah penghormatan, Jinki mendekati Minho. ―Jeonha, hamba mengingatkan pesan Inhwa untuk kembali ke kediaman keluarga Lee setelah anda berhasil,‖ ujarnya. Minho tentu saja ingat, tapi dia tidak bisa meninggalkan lapangan yang kacau-balau ini. Jinki seakan bisa membaca pikirannya. ―Hamba dan Taemin akan membantu memindahkan mayat-mayat dan mengurus para tawanan, Jeonha. Pergilah,‖ saran Jinki. Minho menatapnya sekilas, lalu mengangguk. Dia berlari menuju kudanya dan memacunya secepat mungkin menuju kediaman keluarga Lee. Minho tiba di sana dan segera menghambur ke ruang doa. Dia terkejut mendapati Inhwa yang memeluk Shinyoung yang pucat dan gemetar. ―Shinyoung-ah,‖ panggil Minho khawatir. Dia menggantikan Inhwa memeluk Shinyoung di lengannya. Wajah Shinyoung pucat pasi. ―Maafkan hamba, sepertinya Shinyoung memaksa menegularkan seluruh energinya untuk menyelamatkan Anda dari guna-guna Jeonha,‖ ujar Inhwa memberitahu. Inhwa juga terlihat sama khawatirnya. ―Kau berhasil?‖ tanya Shinyoung lemah. ―O, tentu saja. Kau tidak melihat aku sudah berubah menjadi normal,‖ sahut Minho. Shinyoung tertawa, tawa yang lemah. ―Kalau begitu, aku bisa pulang,‖ ujar Shinyoung lagi. ―Andwae, Shinyoung-ah,‖ Minho menggenggam tangan Shinyoung erat. ―Kita akan kembali bersama bukan?‖ Shinyoung mengingatkan janji mereka. Rasanya janji itu sudah lama sekali. Minho tidak menjawab, dia hanya menggenggam tangan Shinyoung. Perlahan wajah Shinyoung yang pucat mulai mengabur. Tubuh Shinyoung mulai tidak terasa dalam pelukan Minho. Bahkan telapak tangannya yang digenggam erat juga mulai mengabur. Dalam sekejap tubuh Shinyoung menghilang, menyisakan udara yang digenggam Minho dengan erat. Minho menunduk dalam-dalam. Dia meninju lantai. ―Padahal aku belum memberitahumu. Kau adalah bulan yang dilihat Inhwa,‖ sesal Minho. ―Kita berdua ditakdirkan bersama.‖ *** Sinar matahari yang menyilaukan menyentak Shinyoung. Gadis itu terduduk cepat dan baru menyadari bahwa dia sudah berada di kamarnya. Di atas tempat tidurnya yang nyaman. Ada Hyeki di sana sedang menyibak gorden kamarnya membuat sinar matahari menerobos masuk. ―Hyeki? Apa yang kaulakukan di sini?‖ tanya Shinyoung kaget. ―Membangunkan putri tidur yang cantik,‖ jawab Hyeki menyindir. ―Ayolah, kau harus bangun pagi. Nanti malam tahun baru, kau tidak ingin melewatkannya begitu saja bukan?‖ sahut Hyeki yang sudah terlihat rapi. ―Apa? Tahun baru?‖ tanya Shinyoung bingung. Hyeki balas menatap Shinyoung heran. ―Hei, nona Kim. Lebih baik sekarang kau mandi, kalau tidak bibi akan mengomel. Kau tidak lupa ‗kan kalau kita harus ke salon sebelum menghadiri kencan butamu?‖ Hyeki menjawab. Shinyoung tersentak. Dia buru-buru menoleh ke mejanya dan boneka kayunya sudah menghilang. Minho menghilang!
94
―Minho? Kau lihat Minho?‖ tanya Shinyoung panik. Dia turun dari tempat tidurnya dan memeriksa kolong tempat tidur. Shinyoung bahkan mengecek gerbang kecil di sudut dinding kamarnya, tapi nihil. ―Ah, kalau yang kau maksud boneka kayumu, aku menyimpannya di lemari koleksi barbiemu,‖ Hyeki menggelengkan kepalanya. ―Boneka itu aku beli dengan harga mahal, jadi tidak boleh diletakkan sembarangan di meja,‖ ujar Hyeki. Shinyoung berlari mendekati lemari koleksi barbienya dan memang benar Minho ada di sana dengan pakaian kebesaran magistrate-nya. Shinyoung menghela nafas. Jadi itu semua hanya mimpi? Ciuman pertamanya dan segala hal tentang petualangannya hanya mimpi? Hyeki menatap Shinyoung yang menghela nafas berat. Sepupunya itu terlihat terpukul dan Hyeki tidak suka melihatnya. Jadi Hyeki mendorong punggung Shinyoung dan menyerahkan handuk. ―Mandi! Setelah itu aku akan menemanimu ke salon,‖ paksa Hyeki galak. Shinyoung hanya mengerjap pasrah dan melangkah memasuki kamar mandi. ―Ya ampun! Aku sudah mau gila karena harus mengomel pagi-pagi,‖ seru Hyeki frustasi, lalu meninggalkan kamar Shinyoung. *** Tepat pukul 6 sore, Hyeki dan Shinyoung keluar dari salon. Shinyoung terlihat cantik dengan dress dan rambutnya yang ditata rapi. Hyeki menemani Shinyoung berjalan menuju kafe tempat kencan buta akan dilakukan. ―Astaga! Bibi bahkan menyuruhku menemanimu sampai ke kafe,‖ gerutu Hyeki. Shinyoung tidak menyahut, hanya memperhatikan orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Wajahnya murung seperti kehilangan sesuatu. Dia masih memikirkan segala hal yang terjadi kemarin. Mereka tiba di kafe itu dan memesan minuman hangat. Hyeki bisa menangkap wajah Shinyoung yang tetap murung. ―Hei, Shinyoung-ah, apakah terjadi sesuatu padamu? Kau sedang PMS ya?‖ tanya Hyeki bertubu-tubi. Dan dia hanya mendapatkan gelengan sebagai jawaban dari Shinyoung. Hyeki menghela nafas. ―Kau bisa menceritakan padaku, kita sepupu, ‗kan?‖ ujar Hyeki lagi. Shinyoung menatap kepulan asap cappucino-nya dan mendongak menatap Hyeki. ―Tapi kau harus berjanji akan mempercayai ceritaku dan tidak tertawa,‖ ujarnya. Hyeki mengangguk dan memasang wajah berjanji. Shinyoung menarik nafas dalam dan menceritakan semuanya pada Hyeki. Tentang boneka kayunya yang hidup. Tubuhnya yang mengecil. Petualangannya. Ciumannya. Semuanya. ―Tapi saat aku terbangun pagi ini boneka itu tidak hidup dan entahlah aku merasa kecewa,‖ ujar Shinyoung mengakhiri ceritanya. Hyeki menatapnya dengan wajah takjub. ―Wuoaah, daebak!! Ceritamu bisa dijadikan sebuah skenario film,‖ ujar Hyeki sungguh-sungguh. Keduanya menyeruput minuman mereka. Shinyoung menatap jendela kaca kafe. Di luar ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip. Beberapa anak kecil bahkan sudah mulai membakar kembang api kecil-kecil. ―Kenapa kau merasa kecewa? Kau benar-benar jatuh cinta pada boneka kayu itu?‖ tanya Hyeki prihatin. Shinyoung tahu jawabannya akan sangat konyol, tapi dia mengangguk. Hyeki mendesah, lalu mengulurkan tangannya dan mendukung Shinyoung. ―Apa pun perasaanmu, kau harus mengendalikannya. Himne! Kau akan kencan buta malam ini dan sayang sekali kalau make up cantikmu tertutup wajah mendung,‖ kata Hyeki memberi dukungan.
95
Shinyoung tersenyum kecil. Hyeki benar. Dia tidak boleh hidup dalam dunia mimpi. ―Ah, aku rasa orangnya sudah datang. Bukankah dia bilang dia memakai tuksedo putih? Itu ada orang yang memakai tuksedo putih,‖ seru Hyeki tiba-tiba. Shinyoung memang duduk membelakangi pintu jadi dia tidak bisa melihat siapa yang datang. Hyeki melambai pada orang itu dan Shinyoung bisa merasakan orang itu mendekat. ―Ah, selamat malam. Bibi Kim bilang kau akan ditemani seseorang,‖ sapa pria itu. Shinyoung tersentak dan segera berdiri. Suara itu. ―Oh, benar sekali. Anda Tuan Choi?‖ tanya Hyeki ramah. Dia menjabat tangan pria itu. ―Ya dan kau pasti Hyeki,‖ jawab pria itu dan menoleh menatap Shinyoung. Shinyoung yang berdiri di sebelah Hyeki hanya menunduk tidak berani menatap pria itu hingga pria itu berbicara lagi. ―Dan kau pasti Kim Shinyoung. Senang berkenalan denganmu,‖ sapa pria itu ramah dan mengulurkan tangannya. Shinyoung ragu-ragu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan pria itu. Sensasi sentuhan yang familiar. Shinyoung mendongak dan menatap wajah pria itu. Dia harus menahan rasa terkejutnya. Di hadapannya berdiri Minho. Minho, sang putra mahkota dan jelmaan boneka kayunya.. ―Aku Choi Minho,‖ ujar Minho menyebutkan namanya. Hyeki menyikut Shinyoung. ―Ya! Bukankah itu nama yang sama dengan nama bonekamu?‖ bisik Hyeki. Shinyoung hanya mengangguk kaku. Dia tidak bisa memberitahu Hyeki bahwa mereka bahkan memiliki wajah dan suara yang sama. Hyeki tersenyum ramah. ―Kalau begitu tugasku sudah selesai. Aku pamit dulu dan tolong jaga sepupuku ini ya, Tuan Choi,‖ ujar Hyeki berpamitan. Gadis itu segera berdiri dan meninggalkan kafe itu. Meninggalkan Minho dan Shinyoung berdua. Shinyoung harus berusaha keras menenangkan debaran jantungnya karena Minho. ―Kau harus menjaga ekspresimu, hampir saja aku ketahuan,‖ ujar Minho tiba-tiba. ―Mwo?‖ Shinyoung tersentak. ―Jangan bilang.....‖ Minho tertawa. ―Tentu saja. Kau adalah bulanku. Kalau saja Hyeki jeli, dia pasti tahu kalau aku Minho si boneka kayu,‖ ujar Minho ringan. Lagi-lagi menggampangkan sesuatu. Shinyoung mendadak merasa ingin menangis. ―Kau jahat, kupikir semuanya hanya mimpi,‖ ujar Shinyoung lirih. ―Aku menepati janjiku. Bukankah kita akan kembali kemari bersama-sama?‖ tanya Minho sambil tersenyum tulus. Shinyoung menatap Minho dengan senyumnya. Bagaimana pun cara Minho kembali, Shinyoung sangat bersyukur karena itu berarti kisahnya berakhir bahagia. *** ―Apa? Kau bilang kau akan pulang setelah pesta kembang api tahun baru selesai?‖ ulang Hyeki di seberang. Minho dan Shinyoung sekarang sedang duduk di taman, menunggu detik-detik pergantian tahun baru. Menunggu pesta kembang api setelah tadi menghabiskan berjam-jam di kafe untuk makan malam dan mengobrol banyak hal. Termasuk kehidupan Minho di dunia ini. Di taman itu, ada banyak orang yang juga duduk di sana bersama pasangan mereka. Shinyoung sedang menelpon Hyeki, mengabarkan bahwa dia akan pulang terlambat.
96
Hyeki mendesah di telepon. ―Hei, hei, kupikir kau saat ini sedang patah hati, Kim Shinyoung?‖ tanya Hyeki setengah menyindiri. ―Apa kau begitu terpesonanya pad kharisma Tuan Choi Minho itu?‖ Shinyoung hanya tertawa mendengar celotehan. ―Aku akan menceritakannya ketika tiba di rumah,‖ ujarnya lalu menutup telepon. Minho menoleh pada Shinyoung. ―Kau menceritakannya pada Hyeki?‖ tanya Minho tak percaya. Shinyoung mengangguk. ―Memangnya dia percaya?‖ tanya Minho lagi. Shinyoung kembali mengangguk. ―Hyeki itu seperti Inhwa, perasaannya tajam mendeteksi hal-hal yang tidak biasa,‖ jawab Shinyoung. Shinyoung meletakkan kepalanya di pundak Minho. Satu detik lagi akan terjadi pergantian tahun. Kembang api mulai meledak di angkasa menambah keindahan langit Seoul di malam hari. New year eve bersama orang yang paling dicintainya membuat Minho sangat bahagia. ―Mulai tahun depan dan seterusnya, aku akan memastikan kita terus bersama,‖ bisik Minho di telinga Shinyoung. ―Kau berjanji?‖ Shinyoung mengacungkan kelingkingnya. Kali ini Minho kembali mengaitkan kelingkingnya, bukan karena jiwanya sebagai pria. Tapi karena rasa cintanya pada Shinyoung. ―Aku berjanji,‖ sahut Minho. Shinyoung tersenyum puas. ―Aku akan menjawab pernyataanmu, aku mencintaimu,‖ ujarnya. Minho mencium puncak kepala Shinyoung. ―Aku juga sangat mencintaimu,‖ sahut Minho. Dan keduanya menghabiskan waktu memandang kembang api tahun baru bersama. Boneka kayu hadiah tahun barunya adalah takdirnya. Mereka berdua tersenyum bahagia dalam akhir cerita mereka. END
97
Embraces of the Devil
Author
: Boram.Onyu aka nurahboram
Main Cast
: Lee Jinki (28 th),
Other Cast
: Ibu Minho (44 th), Lee Eunmi (18 th), Jane Bell (42 th), and others
Genre
: Psychology, romance
Length
: Trilogy
Rating
: PG- 13
Choi Minho (26 th)
Part 1
Dia duduk di sudut, tepat berhadapan dengan jendelanya. Sudah berjam-jam ia menatap panorama alam luas di atas sana, awan-awan seperti kapas putih yang terbentang di antara langit birunya. Tak tahu apa yang di pikirannya, terlepas dari putihnya itu kini harus bergeser tergantikan gumpalan kehitaman yang hampir tak memberi celah bagi sang mentari untuk membagi sinarnya di muka bumi. Wajahnya masih belum menunjukkan ekspresi. Di ambang pintu, lensa mata almond sang wanita tua mengawasi dalam diam. Tak berniat mengusik ketenangan sang anak, setelah perdebatan mental dan hati mendekamnya dalam kecemasan, membuatnya harus menyuntikkan ziprasidone(1) sesuai resep dr.Brown. Ketika hipotalamus(2)nya
memproduksi oksitosin(3) maupun vasopressin secara
bersamaan
di
atas
batas
kewajaran, amarahnya menjadi tak terkendali. Kutukan, sumpah serapah, berganti dalam jangka waktu lima menit menjadi perasaan bersalah, larut dalam panik berlebihan, mengutuk lagi sebagai timpalannya, dan teruslah siklus itu terus berlanjut selama empat jam terakhir ini. Selama fase terpekurnya dalam meratapi kesalahannya itulah, sang ibu memiliki kesempatan menyuntikkan senyawa kimia itu ke puncak lengan sang anak. Jika melihat bagaimana terampilnya sang ibu merapikan jarum suntiknya ke dalam kapsul plastik itu, bagaimana ia menemukan titik yang tepat agar ujung jarum itu bisa mengalirkan generasi kelima dari antipsychotics(4) ke dalam pembuluh darahnya, kalian mungkin berpikir jika ia seorang dokter ahli saraf, atau paling tidak suster. Nyatanya tidak. Pengalaman tidak pernah berbohong, terlatih menjalankan peranan ini selama sepuluh tahun membuatnya hapal jenis-jenis obatan psikotik yang sudah biasa diresepkan oleh dr. Brown, dokter ahli saraf yang telah merawat Minho sejak psikolog menemukan gejala mental disorder(5) pada kejiwaan anak itu. ―Waktunya makan, Dear.” Tak ada jawaban, lantas sang ibu menarik tubuh sang anak hingga lelaki itu berdiri tegak, tanpa sadar mengikuti langkah ibu yang menuntunnya. ―Aku ingin tidur,‖ pintanya kemudian. Sang ibu mengacuhkan permintaannya, meski kalimat itu terus diulangnya berkali-kali. Putra tunggalnya harus diasupi ‗makanan yang nyata‘, bukan lagi infus karbohidrat yang akan diberikannya ketika Minho mengalami penurunan ketahanan tubuhnya nanti, efek dari penolakannya untuk makan seperti tiga bulan yang lalu. ―Kau harus makan ini dan segera sembuh, Dear,‖ dukungnya. Tidak sadar jika ia kembali membangkitkan emosi sang anak jika saja pengaruh ziprasidone-nya tidak benar-benar bekerja.
98
―Aku ingin tidur.‖ Tidak lagi berkompromi dengan ibu, Minho meninggalkan meja makan dan kembali lagi ke kamarnya. Ibu mengikuti di belakangnya, ketika ia memastikan Minho telah terlelap, dengan terpaksa ia menyuntikkan vitamin sekadar untuk menjaga daya tahan tubuhnya. *** Jinki merengut. Ia membolak-balik kertas berisi tabel-tabel di dalamnya. Sesekali memperbaiki letak kacamatanya, hanya untuk memastikan jika minusnya harus bertambah lagi. Oh great, setebal apalagi kacamatanya jika ia meng-upgrade-nya menjadi minus 4 nanti? Ia bisa membayangkan olok-olokan Eunmi di pertemuan mereka. Gadis berumur 18 tahun itu pasti akan menggodanya dengan julukan ahjussi lagi. ―Ahjussi!” Panjang umur! Gadis itu muncul dari balik pintu dengan box makan siang di tangannya. ―Ini sudah jam istirahatmu, ‗kan? Ayo makan!‖ Jinki mengangguk, setelah merapikan berkasnya, ia bergabung bersama Eunmi yang sudah menunggunya sedari tadi di lounge. ―Ini adalah makanan yang berharga, Oppa. Aku menemukan bahannya dengan susah payah setelah searching di internet.‖ Jinki menyumpit abalon, setelah sebelumnya menyendokkan nasi ke mulutnya. ―Enak. Ini masakan eomonim, ‗kan?‖ ―Aku juga ikut memasaknya, Oppa!‖ ―Jinja?‖ ―Ne, aku yang mengupas sayuran dan bawang. Itu membuatku menangis.‖ Ekspresi cemberut itu selalu disukainya. Jinki mencubit pipinya segera, membuat Eunmi harus meringis pelan. ―Bagaimana dengan sekolahmu? Kudengar kau ketiduran di kelas lagi.‖ ―Oppa! Bisakah kau berpura-pura tidak tahu? Aku ini yeojachingu-mu. Aku juga bisa malu, tahu!‖ Eunmi batal dengan niatnya memandangi wajah tampan itu. Ia lebih memilih handphone-nya ketimbang berurusan dengan namjachingu-nya yang menyebalkan itu. ―Tahun depan adalah tahun penentuanmu, kau harus belajar. Ya! Dengarkan kalau aku bicara!‖ Handphone di tangan Eunmi raib, berpindah ke tangan Jinki. Lelaki itu membulatkan matanya ketika layarnya menunjukkan salah satu personel boyband favorit Eunmi, 2PM, melakukan adegan membuka bajunya, memamerkan abs coklatnya hingga Jinki merasa ciut. ―Kau tak mengacuhkanku hanya untuk bocah-bocah ini? Lee Eunmi!‖ ―Kenapa? Kau cemburu? Jika ya, maka bentuk perutmu itu jadi kotak-kotak. Habiskan waktumu di gym sekalisekali, jangan terus terkurung dalam ruangan sempit itu!‖ bantah Eunmi merebut handphone-nya kembali. Jinki meneguk air tanpa jeda. Matanya berkedip tak percaya menatap Eunmi yang sibuk membereskan kotak bekalnya. ―Aku pulang. Tidak perlu meneleponku nanti malam. Aku tidak akan menerima permintaan maafmu.‖ ―Aku juga tidak akan meminta maaf padamu!‖ teriak Jinki kemudian, sedang matanya tak beralih dari punggung itu. *** Masih sepi, lantas Jinki menuju kotak minuman dan memasukkan beberapa uang koin demi segelas kopi hangat. Malamnya harus terlewatkan percuma, dengan insomnianya. Ia hampir meminum diazepam(6), tapi otak warasnya memilih tidak. Ia sudah melewati pendidikan kedokteran spesialisasi psikiatri selama 2 tahun di
99
University of Cambridge setelah melewati ‗Cum Laude‘ di dua setengah tahun pertamanya di Imperial College London. Dan ia tahu, obat tidur sejenis itu bisa membuatnya ketergantungan akut. Ia menolak tawaran London Mental Health Centre, memilih pulang ke Gwangmyung dengan alasan merindukan kampung halamannya. Meskipun ia memiliki alasan lain yang terdengar tak masuk akal. Lagipula, ia lelah melewati perdebatan antara psikolog dan psikiater semenjak ia menjadi Co-Assistant dr.Grey di Pusat Penanganan Gangguan Kejiwaan di London itu. Sementara para psikolog menekankan wawancara klinis, para dokter bersikukuh meminta faktor neurobiologis menjadi acuan. Ia lelah harus dipimpong kesana kemari, menghadapi arogansi dr.Grey. Yah, bisa dibilang itu adalah pemberontakan dari ketidakprofesionalan dokter sialan itu, setelah mengetahui Jinki menolak Jessica Grey, putri satu-satunya. Namun, ketika ia melewati setengah tahun pertamanya di Seoul Health Mental Care, nyatanya keteganganketegangan itu tetap hidup. Toh, ia tetap menjalaninya. Niatnya untuk mengabdikan hidup demi para pengidap mental disorder, sosiopat, skizofrenia, dan beberapa penyakit lain sejenisnya sudah tertanam dalam dirinya. Seperti ketika ia menghadapi pasiennya pagi ini, Han Jaehee. Gadis pengidap skizofrenia(7). Ia menggeleng kesal ketika melihat anjuran resep psikolog Jane Bell. ―Aku yang memintanya, Dokter Lee.‖ ―Jaehee-ssi, kau datang kesini minggu terakhir. Dan aku mendengar dari para apoteker jika kau memesan Valproid acid(8) untuk dosis tiga kali sehari.‖ ―Aku datang kemari untuk meminta tanda tangan persetujuanmu saja.‖ Jinki menggeleng lagi. Keras kepala yeoja satu ini belum juga berubah. ―Kurasa aku akan menolak untuk yang satu ini. Kau bisa membahayakan janinmu.‖ ―Kau tidak perlu mencampuri urusanku, Dokter Lee. Kembalikan saja resepku, aku bisa meminta dokter lain yang menanganinya.‖ Jinki memijit peningnya. Berhadapan dengan pecandu obat seperti Han Jaehee tidak akan pernah dimenangkannya. ―Aku butuh obat itu, Dokter. Aku mohon.‖ Belum menyerah, Jinki menarik pasiennya menuju ruangan Jane Bell yang terpisah satu lantai dengannya. Ia menggeser daun pintunya kesal. Menatap tajam pada Jane yang disibukkan dengan materi kuliahnya. ―Oh, Dokter Lee. Kurasa kau melanggar batas kesopanan. Seharusnya kau mengetuk pintu lebih dulu.‖ ―Kau seorang psikolog, bukan psikiater. Kau tidak berhak mengajukan resep.‖ Jane membuka kacamatanya. Ekspresinya tak berubah, satu hal yang selalu dibenci Jinki karena ia bisa menebak apa yang ada di pikiran Jane Bell. Ia tahu, dan bagaimana bisa ia setuju untuk menerima permintaan perempuan yang hamil untuk meresepkannya obat-obatan berdosis tinggi yang bisa membahayakan janinnya? ―Asisten Jang, tolong bawa Nona Han Jaehee berkeliling.‖ Ditinggal berdua, Jane segera bangkit dari kursinya. Menghampiri mesin pembuat kopi, dan menuangkan dua cangkir cappucino. Secangkir ia sodorkan pada Jinki. ―Perspektif klinis berusaha membuka pribadi, menyembuhkannya pelan-pelan. Dengan bantuan obat tentunya. Terapis namanya, ‗kan? Aku hanya seorang psikolog, bukannya kau lebih ahli dalam soal ini? Kau psikiater bukan?‖ ―Ketergantungan, Jane. Ia membutuhkan waktu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bukan di bawah pengaruh obat.‖ ―Ada
beberapa
hal
yang
tidak
bisa
diubah.
Percayalah,
mereka
membutuhkan
itu
jauh
dibandingkan dopamine.‖
100
Matanya mengerjap. Ia terkejut sesaat, kemudian memilih menyerah untuk berdebat dengan psikolog itu. Tidak habis pikir, Jane Bell memang selalu bisa membaca pikirannya. Hal yang selalu dikutuknya ketika ia diharuskan bekerja sama menangani pasien yang sama. Ia tidak pernah bisa dikalahkan oleh Jane Bell. *** Dr.Brown masih setia menunggu pemilik ruangan. Ditemani riwayat pasien-pasien Jinki, ia bisa menyimpulkan betapa besarnya kepedulian lelaki itu pada penderita skizofrenia. Berpindah ke frame foto di meja kerjanya. Di balik kacanya terpampang foto gadis muda tersenyum lebar. Tidak ada beban yang tampak di wajahnya, ia bahkan bisa membayangkan kesenangan yang terpancar dari wajah itu ketika pemotret mengambil gambar wajahnya tanpa sepengetahuannya. ―Dia cantik,‖ ujarnya ketika derik pintu tergeser terdengar. Jinki menunduk cepat, tersenyum simpul atas pujian sang dokter. ―Oh Man, matamu jeli sekali memilih dia sebagai wanitamu.‖ ―Dia delapan belas tahun,‖ jawabnya kemudian. ―Kau berbeda empat tahun darinya?‖ ―Sepuluh tahun tepatnya.‖ Dr.Brown mendecak, lantas mendudukkan dirinya pada sofa. ―Oke, aku harus mengakuinya. Kau cukup baby face. Apa kau menipunya dengan umurmu?‖ Jinki menaikkan alisnya tak setuju, sebagai gantinya sang dokter tertawa. Perasaan Jinki mulai dilingkupi kecemasan. Hal yang tidak wajar bagi seorang pemimpin divisi Perawatan Mental Disorder mempunyai waktu untuk bertandang ke ruangannya. Terlebih pada peningkatan pasien yang hampir dua kali lipat dibanding tahun lalu. ―Sudah saatnya bagiku untuk pensiun, Lee. Aku mendambakan kehidupan yang tenang di masa pensiunku di St.Morritz.‖ Dr.Brown menghirup dalam-dalam oksigen di sekitarnya, menambah kegelisahan Jinki. ―Aku ingin menitipkan pasienku.‖ ―Tapi dokter...‖ ―Kode etik kita, kau masih mengingatnya, ‗kan?‖ Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya. Kode etik internasional itu membuatnya tak berkutik, tak punya alasan lagi ia menolak permintaan dr.Brown. *** ―Dr.Brown sudah pensiun?‖ Wanita itu membulatkan matanya tak percaya. Tak sabaran ia menekan nomor telepon sang dokter, namun bukan suara berat yang menjawabnya, tetapi suara operator wanita yang membuatnya mengumpat kesal. ―Dr.Brown mengalihkan pasiennya pada dr.Lee, Nyonya Choi. Aku rasa aku bisa mengantar kalian ke ruangannya.‖ Tak membutuhkan waktu lama, si resepsionis cantik menunduk pamit ketika ia mempersilakan nyonya Choi bersama putranya yang tampan masuk ke dalam ruangan dr. Lee. Alisnya berkedut tak senang, melihat dokter yang duduk di kursinya segera berdiri mempersilakannya duduk. ―Jadi, namamu adalah Choi Minho, bukan?‖ Lelaki di depannya mengangguk. Dari ekspresi lelahnya, Jinki bisa menebak dengan mudah jika lelaki itu berada di bawah pengaruh ziprasidone. Jinki melipat kedua tangannya di atas meja, mencoba memahami
101
karakter
Minho
sekaligus
membandingkan
riwayat
kesehatannya. Agitated
depression(9), dysphored
mania(10), bisa disimpulkannya jika Minho mengalami mixed state. Kondisi psikiatris dimana gejala mania dan depresi terjadi secara bersamaan. ―Bagaimana kabarmu? Ah, aku rasa harus dimulai dengan perkenalan dulu. Aku dr.Lee, dokter yang menjadi penanggung jawabmu mulai sekarang.‖ ―Mana dr.Brown?‖ ―Dia sudah pensiun.‖ ―Dimana dia? Aku membutuhkan dia!‖ Mendesah, Jinki tersenyum sehangat mungkin. Menghadapi seorang pengidap penyakit jiwa tidak akan pernah berhasil dengan ikut membalas teriakannya. ―Nona Wei, tolong temani Nyonya Choi sebentar.‖ ―Maksudmu kau mengusirku?‖ ―Tidak begitu Nyonya, aku ingin berdiskusi sebentar dengan Minho.‖ ―Dr.Brown selalu membiarkan aku mengikuti diskusi bersama dengannya dan Minho.‖ ―Maaf. Kebijakanku tidak seperti itu.‖ Terpaksa nyonya Choi mengikuti langkah Wei Liu, asisten Jinki yang sudah menunggunya dari tadi, ketika pertarungan sengit pertemuan mata mereka harus dimenangkan oleh Jinki. Jinki memastikan pintu tertutup rapat, kemudian memusatkan perhatiannya kembali pada Minho. Mata bulat di wajah kecilnya bukanlah tipikal warga Korea pada umumnya. ―Hari ini bagaimana perasaanmu?‖ ―Aku tidak berminat mengobrol dengan siapapun kecuali dr.Brown.‖ ―Baiklah kalau begitu, mari kita mengecek riwayatmu.‖ Jinki membuka lembarnya, dimulai dari map dengan tahun 2000. Gejala kemarahan yang tidak biasa, panik berlebihan, paranoid dengan cahaya terang. Catatan terakhir mengerutkan kening Jinki. Photophobia. Digesernya kursi, kemudian menarik gorden hingga cahaya mentari yang tadi terhalang tirai dengan mudahnya menerangi ruangan sempit yang tadinya hanya dibekali lampu neon 10 watt. Seperti yang ditebaknya, Minho mulai meracau. Ia melindungi kepalanya segera, masuk ke kolong meja untuk menghindari cahaya terang yang dipikirnya bisa membunuh. Jinki lebih sigap lagi. Ia menarik tubuh Minho, yang meskipun lebih besar darinya, tapi tetap berhasil. ―Tenangkan dirimu!‖ tegasnya Jinki tak mempengaruhi Minho. Lelaki itu mulai memberontak, hingga Jinki harus terpelanting ke samping, pinggangnya sempat terantuk dengan sudut meja. Untungnya, seseorang segera muncul dari balik pintu dan menutup tirai. Ia menghampiri Minho, menepuk pipinya tiga kali hingga Minho mulai tenang. Minho mengenalnya, Jane Bell. Psikolog yang menanganinya di samping dr.Brown. ―Apa kau gila, Jinki! Aku tahu kau tidak sebodoh ini, kau harusnya membaca riwayatnya terlebih dulu!‖ Jane meneriakinya. Untungnya, dinding ruangan itu sudah dilapisi dengan glasswool. Pengedap suara itu dengan sempurna menyerap suara berisik yang ditimbulkan dalam ruangan. Mata Bell teralih pada meja Jinki. Ia mengumpat ketika menemukan catatan Minho sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya Jinki sudah tahu. ―Temui aku di ruanganku sejam kemudian.‖ Giliran Jinki yang mengumpat. Perempuan itu merebut pasiennya lagi, tanpa peduli pada ia yang masih duduk lemas di lantai meratapi pinggangnya. *** ―Kau tahu berapa banyak masalah yang kau lakukan hari ini, Lee?‖
102
Mengangguk lemas, itulah jawaban yang diberikannya untuk Jane Bell yang sudah megap-megap sedari tadi. Jane melampiaskan marah pada meja kerjanya dengan meninju sisi kacanya, dokter di depannya justru menampilkan ekspresi innocent, meningkatkan stresnya. ―Baiklah, aku bisa mentolerir Jaehee. Kau tidak sepenuhnya salah, tapi kau harus tahu. Ada beberapa hal yang tidak akan bisa dimengerti oleh dokter sepertimu yang selalu menuhankan pengetahuan. Psikilogi. Kau tidak bisa menghiraukan satu itu.‖ ―Psikologi? Aku tidak mengerti mengapa kalian, para psikolog, dengan seenaknya menyetujui permintaan klien kalian akan obat-obatan yang memiliki efek berbahaya bagi para pasien. Ia mengandung, Jane. Kau bisa bertanggung jawab jika nanti anaknya positif mengidap autis?‖ ―Itu hanya kemungkinan. Ya, aku benar-benar benci berargumen denganmu.‖ Tangan Jinki mengepal, urat-urat menonjol di balik kulitnya. ―Lebih dari itu. Tidakkah bisa kau bayangkan jika ia tidak menggunakan obat itu, ia bisa saja kehilangan kendali dirinya dan melakukan percobaan bunuh diri lagi. Setidaknya kau bisa menyelamatkan dua nyawa secara bersamaan.‖ ―Menyelamatkan? Kau pikir obat bisa menyelamatkannya? Dan apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaannya jika ia merawat anaknya yang juga cacat mental? Ayolah, Jane. Hentikan pengobatannya, dan tingkatkan keamanannya.‖ ―Lalu apa yang bisa kita lakukan? Rumah sakit ini punya 700 pasien, tahun ini jumlahnya meningkat drastis menjadi 1288 orang. Tenaga psikolog yang ada hanya 20 orang, psikiater dikurangi dr.Brown tersisa 18 orang. Perawat yang tersedia hanya 37 orang. Security berjumlah 30 orang. Petugas sosial ada 10 orang. Kau pikir akan memusatkan keamanan pada Jaehee tidak akan berpengaruh pada pasien lainnya?‖ Bungkam. Jinki menghempaskan pantatnya di atas sofa. Ia kalah telak pada bantahan Jane. Tidak ada yang salah pada ucapannya. Ia justru menyalahkan dirinya tidak memikirkan konsekuensi ke depannya dan dengan percaya dirinya ia terus membangkang. ―Maafkan aku,‖ ucapnya. Jane mendesah. Ia benci harus menyerah pada kelogisan. Ia tidak bisa memungkiri, bagaimana ia menyetujui perspektif Jinki. Lelah sudah pasti. Ia menggeluti bidangnya selama 20 tahun, menghadapi para pengidap mental disorder dengan setiap masalahnya. ―Kurasa kita sudah selesai dengan permasalahan ini. Aku ingin membicarakan pasien barumu, Choi Minho, yang juga pasienku sepuluh tahun ini.‖ ―Katakanlah, aku hanya ingin berbaring sebentar.‖ Jane bangkit dari duduknya, ikut menyamankan diri di sofa yang berhadapan dengan Jinki. ―Ia mengidap mixed state.‖ ―Aku tahu itu. Aku ingin kau menceritakan semua hal yang kau tahu tentang dirinya terkecuali apapun yang tertulis di medical record karena aku sudah membaca catatan tentangnya sepuluh tahun terakhir ini.‖ Terkesima. Jinki selalu membuatnya kagum atas kecerdasan yang ditimpali dengan kepedulian yang besar terhadap pasiennya. Yang ditahunya, catatan itu diberikan pada Jinki baru sehari dan Jinki bisa menyelesaikan puluhan map dalam seharinya. Jane tahu berapa banyak pasien Jinki, dan kemudian ia tersenyum melihat lingkaran hitam di bawah mata yang sedang terpejam itu. ―Itu sangat sulit, satu jam tidak akan cukup untuk itu. Jika kau benar-benar ingin tahu, bagaimana dengan libur besok?‖ *** I Surrender dengan khas suara Celine Dion mengalun di kafe bernuansa country itu. Salah satu pengunjungnya menatap layar ponselnya yang bertuliskan pesan singkat dari gadis yang bisa dipastikannya sedang
103
menggumpat di sana. Ia membalasnya dengan ucapan ‗Mianhe, princess‘ dan menyelipkan foto aegyo-nya yang sedang mencibir sebagai ungkapan penyesalannya karena telah membatalkan kencan mereka. Ia tertawa pelan, mengencani gadis yang jauh lebih muda darinya harus disikapi dengan tingkah kekanakan pula. Tidak peduli jika ia hanya akan menyisakan dua tahun lagi untuk merayakan ulang tahun di usia keduapuluhnya. Tawanya meledak kemudian, ketika Eunmi membalas pesannya. Jangan menunjukkan aegyo yang tidak pantas untuk umurmu, Ahjussi. Kau tahu, kau jelek. ―Sepertinya kau bahagia sekali.‖ Jinki mengusap air matanya, menyodorkan sebelah tangannya dengan terbuka untuk mempersilakan Jane duduk. ―Kau tidak membawa berkas apapun?‖ ―Sudah tertanam di otakku. Aku tidak membutuhkannya. Bagaimana dengan memesan makanan terlebih dulu?‖ Jinki mengangguk, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil salah satu pelayan dan memesan steak bertabur keju mozarella dan sepiring kentang. Sedang Jane memesan Autumn Salad. ―Ada beberapa hal yang terasa janggal bagiku. Aku baru tahu kemarin jika Choi Minho tidak dirawat di rumah sakit.‖ ―Ibunya yang meminta ini, dan dr.Brown mengizinkannya. Aku tidak pernah mendapatkan keluhan yang berat seperti penderita mental disorder lainnya, kecuali kemarin. Beruntung aku segera dapat informasi dari asistenku jika pasien itu dialihkan padamu.‖ ―Jadi, aku beruntung di matamu? Aku justru sial karena kesempatanku mengenali Minho harus hilang karena kau tiba-tiba saja menculiknya.‖ Jane mendecak, memberikan tatapan ‗kau menyebalkan‘ yang ditanggapi Jinki dengan senyum. ―Aku membaca, di tahun 2002 ia mengalami depresi ringan. Ia tercatat tidak mengunjungi rumah sakit lagi setahun kemudian, kemudian kembali dengan riwayat skizofrenia.‖ ―Saat itu, dr.Brown memberinya antidepresan untuk menghambat depresinya. Awalnya berjalan lancar, kemudian dia datang kembali dengan keluhan insomnia, dan ia diberi anxyolitics untuk dugaan skizofrenia.‖ Lagi, Jinki mendesah. Ia hampir mengajukan pertanyaan lagi ketika pelayan datang bersama pesanannya. *** Setirnya digenggam erat. Sang pemilik tangan menginjak pedal gasnya, menyebabkan jarum hijau speedometer-nya terus bergerak ke atas. Jinki berusaha menghentikan suara-suara Jane di kepalanya, berusaha menjernihkan pikirannya untuk menarik kesimpulan yang bisa mempermudah jalannya untuk menangani pasien barunya. Lebih dari itu, bayangan lain muncul di benaknya. Lee Eunmi. Gadis itu menjadi alasan utamanya mengakhiri percakapan panjangnya dengan Jane, dan segera melajukan mobilnya. Padahal di kepalanya masih banyak keganjalan yang harus ia pertanyakan. Entah bagaimana bisa, gadis itu bisa memotret acara makan siangnya bersama Jane dan mengirimkan padanya. Bodohnya, ia mengatur silence mode di ponselnya hingga ia baru menyadari keberadaan pesan masuk dari gadisnya itu ketika Jane meminta izin ke toilet.
„Ini yang kau sebut bekerja? Kau menjadikan alasan pekerjaanmu untuk menolak kencan kita, dan memilih berkencan dengan ahjumma itu? Aku merasa bodoh. Seharusnya aku bisa menduganya, jika kau hanya mempermainkanku. Nappeun namja.‟
104
Jinki menghentakkan tangannya di setir ketika mobilnya terparkir sempurna di depan rumah gadis itu. Berbekal tekad, ia membuka pintu mobilnya, menatap ragu pada kenop bell. Belum sempat ia menekannya, pintu segera terbuka. Wanita anggun muncul dan tersenyum hangat padanya. ―Eomonim, selamat malam.‖ ―Masuklah, aku sudah menduga kau akan segera datang.‖ Menunduk lagi, kemudian memakai sandal rumah yang telah ditunjukkan Nyonya Lee. Ia mendesah, ketika tidak ada lagi telinga kelinci di atasnya. ―Eunmi membawa sandalmu masuk ke kamarnya. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi sampai dia menangis sehebat itu.‖ Belum sampai ia meminta maaf, sosok lelaki berwibawa datang bersama sebuah buku tebal. Jinki berdiri segera, menunduk dalam pada lelaki itu. Ini ada kedua kalinya ia bertemu, dan ketegangan itu masih ada. Nyonya Lee pamit, menambah was-was pada dirinya yang mulai berkeringat dingin. Masa depannya dipertaruhkan untuk ini. Ia tidak boleh sampai salah bicara, jika ia masih punya niat untuk meminang anak gadis dari lelaki di depannya yang menatapnya sarkatis. ―Jadi, apa yang sudah kau lakukan hingga putri kami menangis?‖ ―Jewsongnida, Abonim. Ada kesalahpahaman di sini. Eunmi salah mengartikan pertemuanku dengan rekan kerjaku, ia menganggap ka-‖ ―Hhh... anak itu benar-benar.‖ Tuan Lee menyimpan bukunya. Sekilas Jinki bisa membaca judul buku itu, The Milligan Wars. Salah satu novel favoritnya. ―Dia memang masih labil. Butuh perjuangan untuk mengencani yeoja yang jauh lebih muda.‖ Jinki tersenyum, tersirat jika Tuan Lee sedang berusaha membandingkan dirinya dengan masa mudanya bersama Nyonya Lee. Tidak mengherankan, sang istri memang terlihat lebih muda darinya. Dan Jinki harus bersyukur untuk itu. ―Naiklah, sehari ini dia belum makan.‖ Jinki mengangguk senang, baru selangkah ia menaiki jenjang tangganya, Tuan Lee kembali memanggilnya seraya tersenyum licik. ―Jangan harap kau bisa pulang jika kau tidak bisa membujuknya keluar dari kamar. Ah ya, aku dan eomma Eunmi harus pergi ke pertemuan keluarga. Kami mungkin pulang larut malam.‖ Tergagap, tapi Jinki segera mengangguk takzim. Membujuk Eunmi cukup sulit, mengingat bagaimana gadis itu masih dalam tahap labil. Ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan penderita gangguan jiwa, tapi apa daya. Ia tidak bisa menolak permintaan calon mertuanya, dan masalahnya harus diselesaikan malam ini. Besok ia akan memulai perjuangannya lagi bersama literatur yang membahas mixed state, ia pertama kalinya mendapat kasus ini, mengingat hampir seluruh pasiennya pengidap skizofrenia. Suara mesin mobil yang terdengar semakin memperparah kecemasannya. Bagaimana bisa sepasang orang tua itu meninggalkannya berdua saja? Tidakkah mereka pikir sesuatu bisa terjadi pada anaknya? Oh, ia berdoa saja agar hari ini setan-setan itu dibelenggu untuk tidak menggoda nafsu birahinya. ―Eunmi-ya...‖ Tidak ada jawaban. Jinki terus mengetuk pintu, hasilnya justru musik My Chemical Romance terputar dengan volume maksimal. Mencari solusi lain, Jinki meraih teleponnya dan menekan nomor Eunmi. Rejected. Jinki bisa membayangkan bagaimana Eunmi mencabut baterai ponselnya. Oh, nightmare! ―Kita harus bicara.‖
105
Suara Jinki tertelan musik rock band legenda itu. Frustasi, Jinki mengacak rambutnya. Terhitung lima belas menit ia mengetuk pintu, tanpa hasil. Ide lain muncul, ia menarik dompetnya dan mengeluarkan salah satu kartu namanya. Pena yang terselip di sakunya ikut ditarik, menuliskan beberapa kata di belakang kertas kecil yang kosong itu. „Ayah dan ibumu pergi. Aku mohon, kita bicara di luar. Jangan biarkan desas-desus menyebar di lingkungan perumahan ini.‟ Hening kemudian. Tidak ada lagi alunan musik rock. Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka. Di luar dugaannya, ia tertarik ke dalam dan sempat mendengar bunyi punggungnya yang beradu dengan pintu yang tertutup. Selanjutnya, terdengar suara kunci yang terputar. Jinki belum sempat menganalisis, wajah muram itu lebih mengundang perhatiannya. Matanya masih sembab. Sempat dilihatnya beberapa kertas tisu bertebaran di lantainya. ―Aku tidak tahu kenapa kau menyukai ahjumma jelek itu, Oppa! Dan aku tidak mau mendengar alasan darimu.‖ Keanehan lainnya lagi. Tangan Eunmi bergerak cepat membuka kancing piyamanya. Masih di kancing keduanya, tangan Jinki lebih cekatan menahan Eunmi. ―Apa yang kau lakukan?‖ ―Jika kau menginginkannya, kau boleh meniduriku, Oppa! Terserah apa yang akan kau lakukan padaku, tapi kumohon. Jangan, tidak boleh. Kau harus memilihku, kau...‖ Eunmi menundukkan kepalanya. Ia menangis lebih keras, berusaha mendapatkan perhatian Jinki yang dipikirnya teralihkan pada ahjumma itu. Justru, ia bisa merasakan tangan Jinki yang mengancing kembali piyamanya. ―Babo. Apa semudah itu kau memberikan harga dirimu pada laki-laki?‖ ―Aku baru pertama kali ini melakukannya. Tidak akan kukatakan pada lelaki manapun kecuali kau, Oppa!‖ ―Harusnya aku yang ragu, apa kau benar-benar akan melakukan itu? Kau bisa menjamin kalimatmu sendiri?‖ Eunmi mengangkat wajahnya. Mata sembabnya membuat nyali Jinki ciut. ―Nappeun namja.‖ ―Kau juga nappeun yeoja, Eunmi. Mana bisa perempuan menyerahkan dirinya begitu saja pada lelaki yang belum dinikahinya?‖ Merasa tidak terima, Eunmi menendang tulang kering Jinki. Usahanya dianggap percuma, padahal ia sudah memikirkannya ribuan kali dalam sehari ini cara agar ia bisa membuat Jinki bertekuk lagi padanya. ―Ya, ya, aku minta maaf.‖ Mengelus pantatnya yang beradu dengan lantai, ketika ia ditendang keluar dari kamar Eunmi. Ia ikut takjub pada tubuh kecil yang menyimpan tenaga besar yang tidak diduganya sama sekali. ―Maafkan oppa, Eunmi. Dia teman kerjaku. Aku bertemu dengannya siang ini untuk membahas pasien baruku.‖ ―Bohong!‖ ―Ya, Lee Eunmi. Aku harus bagaimana untuk meyakinkanmu?‖ Jinki menyandarkan dahinya pada sisi pintu. ―Waktu di London dulu, aku bertemu dengan gadis kecil yang terus mengikutiku semasa co-assistent dulu. Ketika aku berbalik, ia berpura-pura bersembunyi di balik tiang. Bodohnya, ia pikir aktingnya sempurna. Aku ikut bersembunyi, menyenangkan sekali ketika melihatnya melirik ke sana sini untuk mencariku. Kupikir, ia
106
akan segera kembali pada ayahnya. Tapi tidak, ia tetap terus mencariku. Karena kasihan, aku menghampiri gadis kecil itu. Mata bulatnya sangat cantik, dan aku masih ingat bagaimana ekspresi terkejutnya saat itu. Dia tiba-tiba bilang ‗I Love You‘ dengan wajahnya yang memerah. Kupikir biasa saja, kemudian dengan yakinnya ia mengatakan ini padaku. You‟ll gonna be mine, whatever comes. Aku terkejut setengah mati saat itu. Mendapat pernyataan cinta dari gadis kecil yang bahkan tidak kukenal.‖ Pintu terbuka, Eunmi melap air mata dengan punggung tangannya. ―Kemudian, aku tidak tahu setan apa yang membuatku mengatakan ini. Then, grow up well. I‟ll coming after you to bill for your promise. Aku menganggap diriku pedofil waktu itu, ketika kurasakan jantungku berdebar kencang melihat senyum manisnya. Kau tahu siapa namanya?‖ Eunmi mencibir sebagai jawabannya, sementara air matanya yang jatuh beriringan diusap oleh ibu jari Jinki. ―Namanya Lee Eunmi. Dia alasanku meninggalkan London, menolak tawaran menggiurkan London Medical Health Centre, dan kembali ke Gwangmyung untuk menemukan gadis kecil yang sudah menjelma jadi siswi sekolah tinggi yang cantik.‖ ―Kau pikir aku akan tersentuh dengan ceritamu?‖ ―Kupikir ya, melihat bagaimana kau berusaha menyembunyikan senyum bahagiamu itu.‖ ―Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada ahjussi dengan pribadi overconfident seperti ini?‖ Jinki tersenyum lebar, memperlihatkan sepasang gigi kelincinya yang lagi-lagi membuat Eunmi merona. Ia menendang kaki Jinki, kemudian menarik sepasang sandal lainnya dengan telinga kelinci dan sepasang matanya. ―Aku lapar, buatkan aku makanan.‖ ―Yes, My Highness.‖ Jinki bergegas ke dapur, ketika ia baru selangkah turun, Eunmi tiba-tiba memanggilnya. Ia berbalik, dan bibirnya sudah tertempel dengan bibir Eunmi. Ia merasakan adrenalinnya bekerja. Dan tanpa mempedulikan setan lagi, ia menarik pinggang Eunmi merapat ke sisinya. Merasakan indahnya ciuman hangat itu, sekaligus first kiss-nya. Keterangan (1)
= Ziprasidone digunakan untuk depresi, perawatan bipolar, kekacauan mood, kegelisahan, agresi,
dementia, autism, dan stress pasca trauma. (2)
= Hipotalamus terhubung dengan sistem syaraf yang juga berperan dalam memelihara tekanan
darah, denyut jantung, suhu tubuh, dan emosi. (3)
=
Bersama
vasopressin,
oksitosin
memiliki
peran
dalam
mempengaruhi
tekanan
darah.
(berdasarkan pengamatan Oliver dan Scahfer di tahun 1895) (4)
= Antipsychotic adalah suatu pengobatan psikiatris yang semata digunakan untuk merawat penyakit
kejiwaan ( termasuk khayalan atau halusinasi), terutama sekali skizofrenia dan bipolar disorder (5)
= Gangguanmental secara psikologis, berpotensi pada kelakuan, biasanya dikaitkan dengan
kesusahan atau cacat. Kekacauan Mental biasanya digambarkan oleh gabungan bagaimana seseorang merasakan, bertindak, berpikir. (6)
= sejenis obat tidur.
(7)
= Skizofrenia adalah diagnosis psikiatri yang menggambarkan gangguan mental yang ditandai
oleh kelainan dalam persepsi atau ungkapan realitas. (8)
= Valproic acid (VPA), adalah anticonsulvant dan obat penstabil mood, digunakan untuk
perawatan epilepsi, bipolar disorder.
107
(9)
= Kondisi depresi yang menyebabkan kegelisan
(10) = Keadaan dimana penderitanya merasa tidak bahagia, emosional, dan ketidaknyamanan mental Referensi : Wikipedia This story inspired by Song Eun Cha‟s comment about mental breaking, and Yenni‟s comment about skizofrenia. I'm so complimenting for Aminocte's comment, so grateful that you do criticizing some fatal mistakes here. :*
Part 2
Masih
belum
mendapatkan
pencerahan.
Padahal
buku bipolar
disorder setebal
500
halaman
berspesialiasi mixed state sudah diselesaikannya pagi ini. Tidak tidur semalaman, dengan bekal kopi ia memutuskan untuk menghabiskan malamnya di rumah sakit lagi. Tidak banyak yang bisa disimpulkannya. Tak ada perbedaan dalam tingkatan jenis delusi dan halusinasi antara pelaku skizofrenia,ataupun psychotic mixed mania (mixed state). Pasien mixed state memiliki skor yang lebih tinggi dalam hal depresi dan rangsangan stimulasi dibandingkan para skizofrenia. Justru, beberapa kasus membuktikan terdapat kesalahan diagnosa, penukaran jenis mental disorder hingga pengidap skizofrenia dinyatakan sebagai pasien mixed state. Mirisnya, ia justru mengorbankan hari liburnya hari ini khusus untuk mendalami salah satu bagian dari mental disorder itu, dengan hasil yang minim. Belum lagi dengan kasus puluhan pasien lainnya yang menuntutnya secara tidak langsung untuk memutar otaknya lebih keras, maka ia memutuskan untuk berkeliling ruangan. Sekedar menyapa pasien-pasiennya untuk menanyakan kabarnya hari ini. Han Jae Hee. Ia terlihat asyik membaca Pregnancy
Order,
yang
membuat
Jinki
meneguk
ludah
pahitnya.
Efek
dari Olanzapine menenangkannya dari pemberontakan yang mungkin saja terjadi. Jinki beralih ke ruangan lain. Beberapa di antaranya masih tidur, hingga ia memutuskan kembali ke perpustakaan, mengembalikan buku yang dipinjamnya tadi. di sana ia bertemu lagi dengan beberapa pasiennya yang menenggelamkan diri dalam buku-buku relijius. Kelompok pejuang kebenaran Injil, itu julukan mereka. ―Pagi Dokter Lee.‖ Jinki membalas sapaan itu dengan senyuman. Jane sudah lebih dulu mengunjungi perpustakaan. Yang ditahunya, psikolog itu sering menghabiskan waktu disini untuk berkonsultasi dengan kliennya. Keberuntungan bagi Jinki, ia bisa menanyakan lagi hal-hal lainnya yang sempat terhambat kemarin. ―Aku bisa menebak dengan mudah. Hanya satu hal yang membuat Lee Jinki sepanik itu, tidak karena pemberontakan pasiennya yang hampir membunuhnya. Tapi, Lee Eunmi. Diagnosaku benar, ‗kan?‖ ―Ya, kau tahu. Anak kecil memang sulit ditebak.‖ ―Dia bukan anak kecil lagi, dia adalah kaum young adult yang memerlukan bimbingan. Tidak berniat membuatnya konsultasi denganku?‖ ―Tidak sama sekali. Dia cukup membencimu.‖ Jane tertawa. Ia memang sering mendapatkan lirikan sinis dari gadis muda itu jika mereka berpapasan. ―Minho, dia cukup berbeda dari klien bipolar disorder yang lain. Ia lebih terkontrol.‖ ―Percobaan bunuh diri selama lima kali dalam sepuluh tahun berturut-turut. Agitation(1), panik berlebihan, kemarahan yang tidak wajar, tertekan tanpa alasan yang pasti. Itu yang kau sebut terkontrol?‖ ―Hm, kau benar-benar membaca semua riwayatnya?‖
108
Jinki mencebik. ―Baiklah. Aku masih kabur soal hypomania(2)-nya.‖ ―Itu adalah puncak kejayaan bagi para mental disorder. Maksudku, efek positif yang ditimbulkannya cukup menarik. Ia terjun langsung ke perusahaan ibunya menjadi supervisor lapangan, dalam waktu sebulan dewan komite mengangkatnya menjadi CEO karena kerja kerasnya. Tidak lama, ia mundur dari jabatannya. Ia kembali ke rumah sakit dengan depresi berlebihan, insomnia adalah alasannya. Dalam sehari, ia hanya tidur selama dua jam selama enam bulan.‖ ―Hebat. Aku tidak menyangka jika efek hypomania bisa sedrastis itu. Aku masih heran. Tidak ada penjelasan mendetail mengenai sebabnya.‖ ―Ya, itu juga sempat kutanyakan pada dr.Brown. Tapi, dia hanya bilang penderita mental disorder bisa saja menderita satu fase itu.‖ ―Satu hal lagi. Aku tidak menemukan catatan apapun mengenai penyebab ia menjadi pengidap bipolar disorder.‖ ―Aku rasa tidak juga. Sepuluh tahun yang lalu, waktu aku masih menjadi pegawai baru sejak transfer dari Michigan, Minho sudah menjadi klien pertamaku. Ia datang bersama ibunya, dan wanita itulah yang memberitahuku jika anaknya
mengidap mental disorder. Sedikit melanggar sih, tapi di setiap konsultasi
ibunya selalu mendampinginya. Ia menolak untuk meninggalkan ruanganku, dan Minho juga menolak konsultasi tanpa ibunya.‖ *** Masih terjebak dalam kamarnya selama 3 jam, Minho memilih membunuh waktu dengan buku-buku finansial yang sebenarnya sudah diselesaikannya sejak beberapa tahun yang lalu. Merasa jenuh, ia melempar buku itu ke sembarang arah. Menyalakan TV yang menayangkan berita-berita, mengganti channel-nya berkali-kali dan belum mendapat kesenangan dari sana. Akhirnya, ia memilih berbaring di kamarnya. Mencoba memainkan kembali skenario usang yang sudah tersimpan rapat di memorinya. Ia berusaha mengumpulkannya satu-satu, mencoba mengingat sesuatu yang disebutnya kebahagiaan. Mencari tahu alasan logis mengapa ia harus bertahan hidup hingga selama ini, tersiksa dalam kungkungan proteksi sang ibu. Bersikap pasrah ketika ia harus mendapatkan suntikan senyawa kimia, meskipun sarafnya memerintahkan tidak. Karena setelah itu, ia akan berjibaku dengan halusinasi yang mengontrol sarafnya untuk tidak melakukan hal yang diinginkannya. Tangannya bergerak cepat mengelus keningnya. Berpikir keras tidak diperbolehkan oleh sarafnya, kembali ia mengingat tablet antipsychotic yang diminumnya. Ia tahu, sang ibu mengurangi dosisnya pagi ini, menjadi satu tablet saja. Setidaknya, ia masih bisa berpikir jernih. Merasa jenuh, Minho akhirnya keluar dari kamar ketika tiba-tiba pening melanda kepalanya. Oh, bagaimana bisa sang ibu lupa menutup tirai gorden hingga berkas sinar mentari itu lolos masuk melalui kaca bening jendelanya. ―Tidak, tidak. Lepaskan aku.‖ Ia meracau. Memukul tubuhnya sendiri, kemudian berlari masuk ke kamarnya secepat mungkin. Lelaki itu menggedor pintu kamarnya. Punggung Minho harus bertabrakan dengan pintu yang terus dipaksa untuk dibuka dari luar. Saklar yang berada di kawasan tangannya segera ditindis. Hingga tak ada lagi cahaya yang tersisa di kamar itu. Tubuhnya beringsut ke bawah, tak ada lagi gedoran di pintunya. Untuk beberapa saat ia merasa aman, beberapa detik kemudian pintu itu kembali digedor. Gemetar menjalari seluruh tubuhnya. Ia mencari alternatif untuk segera kabur dari lelaki itu, ia harus kabur. Itu perintah neuronnya, dan kehilangan kesadaran.
109
*** Sirine ambulans melengking memecah barisan mobil yang berjejer rapi di jalan. Beberapa perawat menjemputnya segera ketika van putih itu terparkir, mendorong brangkar secepat mungkin begitu melihat kuantitas darah yang tak juga berhenti mengalir dari tubuh yang tergolek lemah itu. Sang ibu ikut mendorong brangkar, tangisnya pecah sedari tadi. Ia jatuh bersimpuh ketika brangkar itu berhasil masuk ke dalam ruang operasi. Tidak berselang lama, lelaki lain berjas putih dan seorang wanita berlari tergesa menghampiri wanita yang hampir kehilangan kesadarannya. ―Nyonya Choi, tenangkan dirimu, oke? Lihat aku.‖ Wanita itu, Jane, mengibaskan tangannya di depan mata Nyonya Choi. Lelaki lainnya menggeleng lemas melihat si wanita tua sudah menutup rapat mata yang masih berbekas air mata itu. Beberapa perawat dengan cekatan membantu Jinki mengangkat tubuh nyonya Choi ke atas bangsal. ―Aku akan menemaninya sampai siuman, kau akan menunggu di sini, ‘kan?‖ Jinki mengangguk. Ia mengantar kepergian Jane dengan masih berusaha mengatur napasnya. Kehilangan kewarasannya mungkin, ia menempuh setengah mil jarak rumah sakit tempatnya bekerja dengan rumah sakit umum ini dengan bermodalkan laju kakinya. Ia tidak tahu apa yang ada di pikirannya lima belas menit yang lalu ketika asisten Jane tiba-tiba menggebrak pintu ruang kerjanya, merusak tidur yang seharusnya digunakan untuk membayar insomnia semalamnya, mengabarkan jika Choi Minho melompat dari kamar apartemennya yang terletak di lantai 3. Ia menghempaskan dirinya di kursi besi yang tersedia, menunggu selama sejam hingga sang dokter keluar sambil membuka maskernya. ―Ia baik-baik saja. Kurasa ia akan segera sadar.‖ Jinki menghembuskan napas lega. Ia menunduk berkali-kali pada perawat yang keluar satu persatu dari ruangan. Setelah memakai baju khusus sesuai persyaratan umum ketika memasuki ruang UGD, ia melangkah pelan menghampiri bangsal Minho. Lelaki itu terbaring pucat dengan bantuan pernapasan di mulutnya. Beberapa perban meliliti kepala kecilnya. *** ―Kau sudah bangun?‖ Jinki mengerjapkan matanya, berusaha mengembalikan nyawanya yang tertidur di bawah alam sadarnya. Ia tidak melihat tubuh Minho lagi, kecuali ia sendiri yang terbaring di bangsal. ―Kau anemia. Dan satu lagi, kejutan!‖ Jane mendorong lelaki yang memakai baju pasien yang sama dengannya, Choi Minho. ―Dialah yang mengangkat tubuhmu sejak dua hari yang lalu kau pingsan di dekat tubuhnya. Pertahanan tubuhnya sangat hebat. Ia hanya membutuhkan waktu selama delapan jam untuk memulihkan shock tubuhnya.‖ Lelaki di depannya masih menunjukkan ekspresi yang sama. Datar. Dua hari? Jinki bahkan tidak mengingat apa yang terjadi terakhir kali hingga ucapan Jane menstimulasi impuls sarafnya. ―Aku rasa aku akan meninggalkan kalian berdua. Aku perlu mengurus pasien yang lain lagi.‖ Dengan kontak mata, Jinki segera tahu jika nyonya Choi belum juga sadar. ―Apa kabarmu hari ini?‖ ―Tidak sebaik yang kau lihat.‖ Jinki tersenyum, ia hampir bangkit dari tidurnya ketika tiba-tiba Minho menahan tangannya. ―Apa aku bisa memercayaimu seperti aku mengatakan segalanya padadr.Brown?‖
110
―Tentu saja. Aku tahu ini baru pertemuan kita yang kedua kali, tapi kau bisa menganggap aku sebagai temanmu.‖ ―Ucapan kalian sama semua. Seperti sebuah naskah tertulis yang terus terulang-ulang untuk dijalankan para pemerannya.‖ Menaikkan alisnya, Jinki melepas genggaman Minho. Ia menurunkan kedua kakinya hingga bergantung di atas bangsal. ―Benarkah? Kalau begitu, kau ingin menganggapku apa?‖ ―Cheonsa.‖ *** Konsultasi hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Kedua lelaki itu menghabiskan waktu di ruang inap yang mereka putuskan untuk dipakai bersama, bersenda gurau layaknya teman yang baru saja bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Minho mulai membuka diri, menjelaskan bagaimana ia mencintai science-fiction, dan menemukan fakta jika mereka berdua adalah penggemar dari novel The Milligan Wars. ―Aku tidak suka pada karakter Allen,‖ kata Minho. ―Dia selalu tampil seperti bos, menguasai panggung seolaholah dia adalah pemeran protagonis,‖ lanjutnya. ―Bukankah Sang Guru yang menetapkannya? Ia lebih cemerlang dibanding karakter-karakter lainnya, dan lebih masuk akal dalam menentukan langkah apa yang harus diambil Billie.‖ Minho menggeleng. Sinar di matanya seperti berapi-api. Jinki berhasil memancingnya untuk berdiskusi. ―Tidak! Ia pasti sudah menekan sang guru, lalu berpura-pura menawarkan solusi untuk membantu Billie. Aku ragu jika semua karakter sudah berfusi, aku yakin Allen berhasil membunuh Billie, Tommy, Ragen, dan yang lainnya. Lalu Danny, ia malang sekali. Ia hanya dibutuhkan untuk meredam rasa sakit.‖ Jinki tersenyum. Halusinasi. Minho membayangkan Billy Michigan sehidup mungkin dari bagaimana ia menginpretasikan sosok itu seperti ia mengenal Allen. ―Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?‖ ―Orang harus berhenti saling menyakiti. Allen yang mengatakan. Wanita sok suci yang mengagungkan perdamaian.‖ ―Tapi bukankah itu justru bagus? Billy tidak harus dihadapkan pada pengadilan, atau dilemparkan ke Lima lagi bukan?‖ ―Tetap saja! Dia pembunuh! Dia membunuh Billy yang asli, Arthur, dan beberapa karakter lain. Ia mungkin saja penyelamat, tapi kenyataan jika ia mengurung dan mengubur mereka adalah fakta yang tidak bisa diterima. Bagimu mungkin ia penyelamat, tapi bagiku ia seperti malaikat maut yang memperlambat kematian seseorang dan menyiksanya pelan-pelan. ‖ Jinki mengangguk mengerti, mencoba menunjukkan bahwa ia menyetujui ucapan
Minho. Sekaligus
menenangkan emosi Minho untuk tidak meledak. Ia tidak dalam kondisi terbaiknya untuk menangani Minho yang memiliki potensi besar untuk memulai gejala mixed state. Agitasi, kecemasan, kelelahan, iritabilitas, panik, tertekan, dan marah. *** Jinki membuka tirai, setelah sebelumnya menekan saklar lampu. Ia membuka jendelanya, mencoba menghirup udara segar sebagai timpalan ia menghabiskan waktu berjam-jam di dalam ruangan pengapnya. Matanya tertuju pada kawanan lelaki berseragam militer yang berbaris teratur. Sang pemimpin memberi aba-aba untuk istirahat sejenak, ketika ia menemukan Jinki menatapnya dan menyambutnya dengan lambaian tangan. Ia mengenalnya, Han Taejin. Wanita muda yang baru saja mendapat rekomendasi pekerjaan tetapnya sebagai psikolog, setelah setahun menjadi percobaan di rumah sakit ini.
111
―Pagi, Dokter Tampan.‖ Ia menggoda Jinki, seperti yang biasa ia lakukan pada klien-kliennya. Termasuk lelaki-lelaki yang memasuki masa menopausenya di sana. Bedanya, mereka gila dan Jinki waras. ―Kudengar kau punya pasien baru yang tampan, mau mengenalkannya padaku? Siapa namanya?‖ ―Dia pasienku, Jin-ah. Jangan mencoba merebutnya dariku.‖ ―Pelit! Padahal aku ingin berbagi rahasia denganmu mengenai Minho.‖ Jinki tertawa. Kemudian menyentilkan jarinya di dahi Taejin. Kau bahkan berpura-pura tidak tahu namanya tadi, Babo.‖ ―Ya! Aku menyerah. Bagaimana dengan makan malam nanti. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan mengenai Minho.‖ ―Oke, sepanjang kau tak menganggap ini adalah kencan. Aku sudah punya tunangan.‖ Taejin mengumpat, kembali menguar tawa Jinki hingga gadis itu kembali bergabung bersama pasukan patriot palsunya. *** Berjalan semulus yang diharapkan. Sesi tanya jawab dengan beberapa pasiennya berakhir dengan mendapatkan kepercayaan mereka. Sedikit demi sedikit. Berusaha menggali kenangan yang sempat terkubur dalam hati mereka, seperti terapis yang dijalankan pasien pada umumnya. Tiga tahun ia bekerja sebagai psikiater di pusat penanganan mental disorder di Seoul itu setidaknya membuahkan hasil, mendapat kepercayaan para penderita skizofrenia adalah dengan menemukan pembicaraan yang pas, mengenai halusinasi mereka—yang segera menuntun Jinki pada hipotesanya. Kekerasan adalah hal paling umum yang memiliki andil besar dalam mengembangkan tahap skizofrenia mereka. Seperti pagi ini, ia
bahkan melewatkan waktu istirahat bersama Minho. Mendiskusikan masa kecilnya,
beberapa hal yg menjadi poin catatannya adalah dia pernah punya ayah. Ia sudah lupa bagaimana tampangnya, tapi ia ingat tubuh kekarnya yang selalu menggendongnya mengelilingi rumah. 6 bulan tercatat, dia mengadakan konseling bersama Jinki. Ia dengan terbuka menceritakan halusinasinya, mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting untuk segera dimasukkan ke dalam catatan laporannya. Pernah sekali, Jane meminta pihak rumah sakit untuk memasang kamera pengawas di ruangan Jinki. Sehari sebelumnya, Jinki hampir saja kehilangan nyawanya menghadapi pasiennya yang tiba-tiba mengacungkan pisau padanya. Tidak terduga, ibu Minho histeris meminta menghilangkan seluruh kamera itu, dan ia membawa Minho pulang. Konselingnya ditunda hingga Jinki berhasil meyakinkan rumah sakit untuk melepas seluruh kamera itu. Kebanyakan masa konsulnya ditemani oleh sang ibu, tanpa segan justru wanita itu kerap kali menginterupsi percakapan mereka. Menghentikan kalimat Minho yang dianggapnya sudah di batas kewajaran, seperti ketika ia menceritakan bagaimana setan menyembunyikan tanduknya, menutupinya dengan sayap putih seakan-akan ialah sang malaikat. Jinki seringkali mendengar bualan itu dari Minho. Sejenis, tema yang sama, tapi dengan cerita yang berbeda. Pretend. Semua konsultasi Minho mengingatkannya pada lirik Secondhand Serenade kesukaan Eunmi. It seems all of these words couldn‟t be further from the truth. Sama pada kasus Minho, dan ribuan penderita mental disorder lainnya. Ia tidak bisa mempercayai, juga tidak bisa untuk menutup mata atas seluruh pengakuan Minho. Sudah pasti itu dari bualan halusinasinya, tapi kalian tahu? Ia sudah menjadi psikiater sejak tiga tahun yang lalu. Pengalamannya mungkin masih minim, tapi ia terlatih untuk menghubungkan korelasi tiap konsultasi pasiennya. Seorang penderita mental disorder tidak mengarang cerita begitu saja. Ada alasan untuk itu, dan
112
kebanyakan merupakan clue yang diberikan secara tidak langsung oleh alam bawah sadar mereka. Mengaitkan benang merahnya, lalu mendapatkan kesimpulan penting yang berpengaruh penting pada pasiennya, kemajuan atau justru kemunduran. “Minho menjalani pendidikan sekolah menengahnya di Apguejong, bersamaku. Kami tidak begitu dekat. Aku masih empat belas tahun saat itu. Aku tidak tahu jika ia sudah menderita gejala mixed state, dan temantemanku juga. Ia tipe penyendiri. Ia tampan, banyak yang memberi surat cinta padanya. Tapi suatu hari ia menangis sejadi-jadinya. Semua temanku takut, hanya aku yang mendekatinya saat itu. Dan aku sempat memeluknya, karena kupikir ia akan membaik dan berhasil. Tangisnya mulai reda. Aku sempat mendengar bisikannya, dia bilang „aku juga ingin mencintai perempuan, tapi aku tidak bisa‟. Aku tanya lagi kenapa, dan dia bilang „aku sudah dikutuk oleh malaikat, aku akan terjerat rantainya dan tidak bisa melepaskan diri darinya‟. Aku mengelus punggungnya, berusaha untuk menenangkannya. Aku sangat ingat, dia mengatakan ini sebelum ibunya datang „Ingatlah, Taejin. Malaikat tak selamanya mulia, dia juga bisa menyamarkan setan yang merupakan sosok aslinya‟. Aku tidak mengerti apa maksud ucapannya, kecuali waktu itu kupikir dia benar-benar gila.” “Lalu, apa yang terjadi setelahnya? Apa kalian mulai dekat setelah itu?” Taejin menggeleng, mengisap sari jeruk dari jusnya. “Lebih buruk dari itu. Aku tidak melihatnya keesokan hari, besoknya, lusanya, minggu depannya lagi. Ketika kutanyakan pada wali kelas kami, ternyata dia sudah pindah sekolah. Aku pernah menceritakan ini pada dr. Brown, dan aku tidak mengerti. Besoknya, pengumuman pengunduran dirinya tersebar.” ―Dokter Lee...‖ Jinki mengerjapkan matanya, Jane berdiri di sampingnya menatapnya cemas. ―Kau terlihat pucat, kau insomnia lagi?‖ ―Bisa dibilang begitu, tapi tidak sepenuhnya.‖ ―Pacarmu tidak pernah mengunjungimu lagi. Ada masalah?‖ ―Bisa dikatakan tidak, bisa juga ya.‖ ―Maksudmu?‖ ―Aku membatalkan janji makan malamku dengan keluarganya. Dan ini sudah keempat kalinya. Aku tahu, ini adalah momen yang penting. Tapi aku tidak bisa meninggalkan pasienku dalam waktu bersamaan.‖ Jinki menenggelamkan wajah di balik lipatan tangannya, hembusan napas yang dipantulkan meja mengenai wajahnya. ―Mau kuberi saran? Kau memang harus merilekskan dirimu, Jinki. Kau bekerja seperti robot belakangan ini. Kulihat, kau bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit ketimbang rumahmu. Aku tahu, kau seorang workaholic, tapi juga bukan alasan untuk melupakan kontak dengan dunia luarmu, ‗kan? Aku ragu, jika nantinya kegilaan pasien itu bisa tertular padamu.‖ ―Mereka tidak gila, Jane. Mereka hanya tersesat, memerlukan pembimbing untuk mendapatkan arah jalan yang benar.‖ ―Kau berusaha mendikteku?‖ ―Jane, aku tidak sedang ingin berdebat.‖ ―Baiklah aku mengerti itu. Pertimbangkan saja saranku, oke?‖ *** Tangannya terkepal, meremas plastik yang membungkus tangkai tanpa duri itu, sesekali ia mencium baunya sebagai terapi khusus untuk menenangkan dirinya.
113
―Selamat malam.‖ Basa-basinya tak ditanggapi Eunmi, justru pintu hampir tertutup jika kakinya tak bergerak cepat ia jepit di sela pintu. ―Aku sendirian di rumah, Ahjussi. Aku tidak mau desas-desus menyebar keluar jika aku mempersilakanmu masuk.‖ ―Eunmi, dengarkan. Aku punya alasan.‖ ―Pasienmu. Aku sudah mendengar itu ribuan kali, Oppa. Jadi, tidak usah-usah membuang waktumu dengan percuma.‖ Eunmi kembali menutup pintunya, dengan tiba-tiba ia menarik buket bunga mawar di tangan Jinki. ―Kau berusaha menggodaku dengan bunga? Aku alergi pada bunga. See? Untuk hal sekecil ini saja kau tidak tahu.‖ Tertutup sempurna. Sempat bunga itu terlempar ke dadanya, membuat Jinki memijit keningnya. Lagi, pening menghinggapinya. Ia menyandarkan kepalanya pada sisi pintu, mencoba mengurangi denyut di kepalanya ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. *** ―Sikap Minho sangat aneh hari ini, Jinki,‖ kata Jane. Wanita itu meminta Jinki kembali ke rumah sakit, ada beberapa keganjalan yang ingin ia diskusikan. Dan jadilah Jinki di tempat ini sekarang, ruang kerja Jane. Memandangi kecemasan wanita itu yang sangat tidak biasa. ―Dia baik-baik saja. Dia menjalani diskusi denganku pagi ini,‖ tanggap Jinki. ―Tidak. Ah, maksudku setelah dia menjalani konseling denganmu. Yesus, aku sudah sering melihat mata kosong, tapi ini tidak. Minho seperti mayat hidup. Apa kau menyuntikan haloperidol(3) padanya?‖ ―Tidak, kau tahu prosedurku, ‗kan? Aku tidak pernah memberi pasienku obat, kecuali...‖ Jane menunggu. Tapi Jinki belum bereaksi. ―Kecuali apa, Jinki?‖ pinta Jane memaksa, ia pun harus mengikuti arah mata Jinki. Kakinya melemas, mulutnya yang terbuka ditutupnya dengan sebelah tangan. Jinki mengulang pembacaan tabel itu berkali-kali. Kadar haloperidol Minho dalam tubuhnya sampai 120 mg dalam sehari. Melebihi situasi maksimal yang diperbolehkan, 100 mg. Oh, bodohnya. Ia lupa mengecek catatan kesehatan Minho, dan lebih memfokuskan dirinya pada konseling. ―Kapan ia menjalani tes ini, Jane?‖ ―Itu adalah prosedur yang biasa dijalani pasien.‖ ―Siapa yang meresepkan obat-obatan ini padanya?‖ ―Kau satu-satunya psikiater yang menanganinya.‖ Jinki mengernyit, ada nada curiga dalam kalimat Jane. ―Aku tidak pernah memberikan dosis lebih dari 50 mg dalam sehari, Jane. Bahkan untuk kategori paranoia skizofrenia sekalipun.‖ ―Maafkan aku Jinki. Aku tidak berusaha melebihkan, kau tahu. Tapi kau bisa saja mendapatkan hukuman atas alasan rendahnya pengawasan.‖ ―Rendahnya pengawasan? Kau menyalahkanku untuk itu? Gunakan akal sehatmu, Jane. Semuanya sudah salah sejak aku menangani Choi Minho. Ia seorang dysphoric mania, agitated depression. Dia mengalami halusinasi berlebihan selama bertahun-tahun, tapi pihak rumah sakit tidak melakukan upaya apapun untuk memasukkannya ke sini. Kau punya alasan lain yang lebih wajar?‖ ―Aku tidak bermaksud untuk... lupakan... Ini tidak akan selesai jika kau terus meneriakiku, sekarang cobalah untuk bersikap tenang, oke?‖
114
―Maafkan aku.‖ Menjatuhkan diri di sofa lembut itu, Jinki kembali memijit keningnya. ―Bukannya tidak berusaha sama sekali. Rumah sakit sudah pernah mengupayakan itu. Aku dan dr.Brown menjadi penanggung jawabnya. Kasusnya cukup rumit, bahkan Komisi Perlindungan Anak ikut andil dalam ini. Minho masih di bawah umur, menurut hukum, seorang ibu mempunyai hak untuk merawat anaknya. Tidak terkecuali untuk anak dengan kondisi mental terganggu. Sesuai permintaan pengadilan. Minho di bawah pengawasan untuk menemukan kondisi di mana ia bisa berbahaya untuk dirinya sendiri, ataupun orang lain. Kami menyerah saat itu. Minho tiba-tiba menjadi anak baik yang penurut. Kami memutuskan untuk berhenti. Dan lagi, tenaga medis yang tersedia sangat minim. Dan masih banyak pasien yang harus kami tangani.‖ ―Tidak, sekarang Minho sudah dewasa. Aku rasa kita bisa mencobanya lagi.‖ ―Kendali nyonya Choi sangat kuat. Dia penggalang dana terbesar rumah sakit ini. Aku rasa, itu adalah salah satu alasannya mengapa persidangan waktu itu dihentikan tiba-tiba oleh rumah sakit. Menggunakan dana pemerintah saja tidak cukup. Kita memiliki begitu banyak pasien disini, belum lagi seperempat jumlah pasien adalah tunawisma dan tidak mempunyai keluarga, harga obat-obatan juga tidaklah murah.‖ ―Sialan!‖ Jane ikut duduk di samping Jinki. Ia meremas bahu lelaki itu, seperti biasa yang ia lakukan pada klien-kliennya untuk memberi ketenangan. Ia mendesah kesal, ikut mengumpat. Kemudian berdiri membuka laci meja kerjanya. ―Hei, Jinki.‖ Mata Jinki terbuka sedikit. Tergesa, ia menangkap sesuatu yang dilemparkan Jane padanya. Besi, ia tahu dari dingin yang dijalarkan pada telapaknya. Membuka kepalan tangannya, sebuah kunci dengan mata tiga. ―Dr.Brown menitipkan ini padaku. Katanya, aku harus memberikan ini padamu jika keadaannya mendesak.‖ ―Kunci?‖ ―Itu kunci apartemen Minho.‖ *** Bukannya bersikap skeptis, ia masih ragu memutar kunci itu ke dalam lubangnya. Tidak, keputusan harus diambil. Hasilnya, menegangkan. Sungguh di luar kendalinya, ia masih bingung ketika kunci di tangannya benar-benar bekerja. Pelan ia membuka pintu, ketika tiba-tiba pemilik apartemen menariknya masuk segera, lalu menutup pintu setelah sebelumnya ia melirik keadaan di luar. Jinki kehilangan kesempatan untuk bertanya, keheranan mengambil alih kesadarannya lebih dulu. Kondisi apartemen itu benar-benar kacau. Sofa tidak berada tepat di tempatnya. Kakinya hilang sebelah, dengan hamburan botol-botol kecil di sekeliling lantai. Penyedot debu masih tertempel di sofa, memberi sinyal jika seseorang telah meninggalkan tempat itu dalam keadaan terburu-buru. ―Bagaimana bisa kau memiliki kunci ini, Dokter Lee?‖ Napasnya tersengal, seperti yang dikatakan Jane saat mereka bertemu di rumah sakit tadi. Mata Minho memerah, bibirnya pucat, pipinya seperti lebam terkena pukulan. Pemukul kriket yang ditendangnya tak sengaja membuat Jinki kembali menarik hipotesanya. ―Ya Tuhan. Siapa yang melakukan ini padamu, Minho?‖ ―Kau belum menjawabku, siapa yang memberimu kunci ini?‖ Tidak berniat menjawab, Jinki meraih dagu Minho, memiringkannya untuk memperjelas seberapa buruk bekas kebiruan itu. Oh, bahkan masih ada bekas darah dari lubang telinganya.
115
―Ya Tuhan, kau harus ke rumah sakit, Minho. Aku akan mengantarmu.‖ ―Tidak, tidak sekarang. Ibuku akan segera datang, kau pulang saja, Dokter.‖ Jinki menggeleng. Beberapa pertanyaan masih berkecimpung di kepalanya, matanya justru tak sengaja menemukan sepasang kaki yang muncul dari balik pintu. Minho lebih gesit, ia mendorong Jinki keluar dan menggunakan tubuhnya sebagai tameng untuk menahan Jinki tidak masuk. ―Apa yang terjadi, Minho? Katakan padaku!‖ ―Jangan mencampuri urusanku, dan segera pulang!‖ ―Aku doktermu, aku punya hak untuk tahu. Sekarang biarkan aku masuk dan melihat keadaan, oke?‖ ―Aku mohon, Dokter Lee. Aku mohon, pulanglah. Aku mohon dengarkan permintaanku kali ini saja. Aku akan menceritakan semuanya padamu nanti. Jangan ceritakan apapun yang kau lihat malam ini. Aku bersumpah, aku akan membayarmu untuk itu.‖ ―Tidak, Minho. Dengarkan aku. Aku akan menyelamatkanmu.‖ ―Malaikat itu sudah merantaiku, aku tidak akan pernah bisa lepas darinya. Aku membutuhkannya, dan dia membutuhkanku.‖ Kembali meracau. Kemudian menangis tersedu, Jinki memeluk tubuh yang lebih tinggi darinya. Ia merasakan kehangatan tubuh Minho yang membalas pelukannya, hingga ia merasakan sebuah hantaman keras di kepalanya. Oleng, ingatan terakhirnya adalah seorang wanita dengan tampak kabur,di tangannya terdapat sebuah stick golf. Darah pekat menetes dari ujungnya. ―Mianhe, Dokter Lee...‖ Itu yang bisa ditangkap oleh telinganya, kemudian semua gelap.
Keterangan: (1)
= Agitation adalah keadaan tidak menyenangkan yang biasa diekspresikan dengan menimbulkan
masalah, pusing, lekas marah dan tegang. (2)
= Hypomania adalah keadaan mood yang ditandai dengan euforia atau pemarah gigih, serta pikiran dan
perilaku yang konsisten dengan seperti keadaan mood. Sering dikaitkan dengan kreativitas dan produktivitas (3)
= Generasi pertama antipsikotik yang digunakan untuk perawatan skizofrenia, penyakit kegilaan akut.
Bipolar disorder atau gangguan afektif bipolar (dulu dikenal sebagai manic-depressive disorder atau manik depresi) adalah diagnosis psikiatri untuk gangguan mood.
Part 3
Pening yang dirasanya menyerang seluruh sistem rangka Jinki, tak sadar ia mengeluh. Matanya sulit dibuka. Ada cairan pekat yang merekatkan bulu matanya. Darah. Bau bacin tercium hidungnya, membuatnya mereka ulang kejadian terakhir yang ia alami. Belum mendapat jawaban, Jinki berusaha mengangkat kepalanya. Di saat itu pula, perihnya semakin terasa. Ia mengeluh lagi. Berusaha keras memerintahkan sarafnya untuk bekerja sama,
agar penglihatannya tak kabur lagi, ia
mendapati lelaki yang terbujur kaku berseberangan darinya. Kelopak matanya mengerjap. Ubun-ubun mengilat tanpa rambut, tubuh proporsional, ia tahu siapa orang itu. Dr.Brown. ―Emph...‖
116
Tidak punya kuasa untuk berbicara. Jinki baru sadar, rasa kering di bibirnya disebabkan lakban hitam yang merekat di sana. Mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, saraf perasanya mengirimkan impuls ke otak, ada tali yang mengikat kedua rangka gerak utama di tubuhnya. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ia melirik jas putih yang masih menutupi kemejanya, oh, betapa ingatannya baru kembali. Dan sekarang, kemana lelaki itu? Ia memutar kepala sejauh yang ia bisa, masih interior yang sama. Ia hampir terjengkang ke belakang, jika saja tubuhnya tak terikat pada kursi besi itu ketika matanya bertatapan langsung dengan mata bulat lainnya. Minho. Tidak ada ekspresi di wajah itu. Masih di bawah pengaruh haloperidol, angkatan pertama dari antipsychotic yang masih juga menunjukkan kejayaannya dalam pengobatan psikiatrik untuk kondisi yang serius. ―Mmph...‖ Berjuang mengeluarkan suara untuk mendapatkan perhatian Minho. Tetapi lelaki itu tetap duduk tenang di tempatnya. Ia menonton sedari tadi, mengganti channel setiap lima menit sekali. Pening menyerbu kepalanya. Tak berusaha melawan, ia mengikuti perintah otaknya. Tertidur. *** “Aku tidak akan membiarkan anakku melakukan konseling denganmu!” “Kenapa tidak, Nyonya?” Jinki membujuk wanita itu untuk segera kembali ke ruangannya,menatap Minho sesekali yang memberi ekspresi, seperti penyesalan. “Kau memasukkan kamera itu ke ruanganmu! Kau pikir aku tidak tahu? Kau memata-matai kami? Oh, tidak, Dokter. Kau bisa menipu pasien lainnya. Tapi tidak, tidak sama sekali untuk anakku.” “Kami tidak berusaha memata-matai kalian. Itu hanya prosedur.” “Prosedur katamu? Omong kosong itu sudah kudengar berkali-kali. Kau berusaha merebut anakku dariku, „kan?” “Tidak sama sekali, Nyonya Choi. Di sini aman. Aku bisa menjamin itu. Percayalah, kondisinya akan semakin membaik jika ia dirawat di sini.” “Kau berusaha mengatakan padaku jika anakku gila? Dia tidak gila! Dia sangat waras! Aku tidak akan menarik ucapanku, dia tidak akan melakukan konseling jika kamera pengawas itu masih ada di sini!” *** Kembali terbangun dari alam bawah sadarnya. Jinki mencoba mengumpulkan kekuatannya bahkan untuk sekedar mengangkat kepalanya. Energinya terkuras. Darah di kepalanya sudah mengering, menutupi koyakan luka yang disebabkan oleh hantaman sesuatu yang keras. Kembali mengingat. Stick golf, wanita dengan wajah yang kabur. Ia mencoba berkompromi dengan sarafnya, untuk meredakan rasa sakit di kepalanya agar ia bisa berpikir jernih. Getaran di sakunya membuyarkan konsentrasinya. Jinki menengok sesaat ke sekeliling, Minho masih berfokus pada televisinya. Akankah Tuhan telah menjulurkan tangan untuknya? Memberinya kesempatan untuk meminta bantuan agar ia bisa terlepas dari jeratan seorang psikopat? Oh, ternyata tidak. Ia ingat tangannya terikat, kakinya pun tak bisa membantu. Lantas, apa yang bisa dilakukannya agar ia bisa menekan tombol-tombol ponselnya? Sama saja dengan nol. ―Dokter Lee...‖ Jinki membuka matanya, menatap tajam pada lelaki yang masih juga belum menunjukkan ekspresinya. ―Aku sudah memperingatkanmu. Ini salahmu.‖
117
―Mmmph...‖ ―Aku akan melepas lakbanmu, apa kau haus?‖ ―Baiklah, kuanggap jawabanmu tidak.‖ ―Mmmph...‖ Jinki bernapas lega, mengalirkan udara dari mulutnya ketika lakban terlepas dari mulutnya. Tanpa aba-aba, sebuah gelas ditekankan pada celah bibirnya. Air mengalir melewati kerongkongan keringnya. Mulutnya hampir tersegel lakban lagi. ―Tidak, tunggu sebentar Minho. Biarkan aku bicara.‖ ―Sang malaikat akan segera datang, aku tak punya waktu yang banyak untuk mendengarmu.‖ ―Cukup, Minho! Sampai kapan kau akan diperbudak ibumu?‖ ―Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter.‖ ―Jangan berpura-pura tidak tahu. Malaikat itu, malaikat berkedok setan itu, dia adalah ibumu, ‗kan?‖ Minho menggigit bibirnya, kemudian menjulurkan lidahnya untuk membasahi bibir bawahnya. ―Aku memang malaikat, tapi aku bukan setan, Dokter Lee.‖ Sekali lagi, hantaman kriket mengenai pelipisnya. Kehilangan kesadaran, dan segalanya menjadi hitam sebelum melihat sang ibu tersenyum licik padanya. *** “Apa kau suka membaca Alkitab?” Jinki menggeleng. “Kau seorang atheis?” “Tidak juga. Aku seorang Protestan yang tidak taat. Mengunjungi gereja hanya pada perayaan besar. Ada apa?” “Tidak merasa berdosa?” Kerutan di dahinya mulai timbul, Jinki memperbaiki letak kacamatanya. “Aku tidak punya waktu untuk melakukannya. Alkitab adalah laporan kesehatan pasienku, gerejaku adalah rumah sakit ini, dan aku berkhotbah untuk pasienku sesekali, menjadi penawar racun untuk luka-luka mereka.” “Kau akan dikutuk, dokter.” “Kenapa begitu?” “Tuhan tidak suka hamba yang melupakan-Nya. Dengan malaikat-Nya, ia bisa mengirimkan bala kutukan untukmu.” “Lalu bagaimana dengan malaikatmu? Apa ia termasuk kiriman Tuhan untukmu?” Meremas jarinya tak sabaran, membasahi bibir bawah dengan lidahnya, Minho berusaha meredakan gemuruh kegugupannya. “Hanya kau yang kuberitahu ini, Dokter.” Menangkap isyarat Minho dari bisikannya, Jinki memajukan badannya. Nampaknya lelaki itu akan membuka rahasia besarnya, begitu dipikir Jinki. Meski ia bisa menebak akan ada bumbu halusinasi lagi dalam pengakuannya nanti. “Aku ini pendosa. Aku melakukan dosa yang besar, dan kurasa malaikat itu akan menyakitiku lagi.” “Berdosa? Apa yang kau lakukan?” Jakunnya bergerak naik turun. Minho menarik napas dalam-dalam.
118
“Aku membunuh, dan memilih jalan pemberontakan bersama malaikat itu. Aku sudah mengatakannya, bukan? Malaikat itu, hanya wujudnya saja yang bersayap. Hatinya gelap, tak ada warna lain kecuali hitam di dalamnya.” “Kau membunuh?” “Aku mohon, dokter. Jangan katakan ini pada siapa pun, aku tidak mengatakan ini pada siapa pun. Tidak pada ibuku, dr.Brown ataupun Jane.” Mengangguk. Jinki mengedipkan matanya tak percaya. Ia melihat gemetar di bibir Minho, matanya yang memerah, dan tubuhnya yang bergerak maju mundur. *** ―Eomma bawa jajangmyun, makanan kesukaanmu, Minho sayang.‖ Tidak bereaksi. Minho memilih menjemput kantongan yang sempat terabaikan oleh nyonya Choi di atas lantai. Ada ceceran darah mengering di atas marmernya. Memasukkan bahan makanan satu persatu dalam kulkas, kemudian menyiapkan meja makan dengan hidangan jajangmyun dalam kotak plastik. ―Terima kasih telah menjaganya untukku, Sayang.‖ Belaian lembut di wajah Minho didapatkannya sebagai hadiah. Ia menutup matanya, menikmati pancaran keibuan dari nyonya Choi yang menatapnya hangat. ―Aku rasa, kita harus membebaskan mereka,‖ pinta Minho di suapan terakhirnya. Tak ada kehangatan, tersisa sorotan tajam yang cukup membekukan Minho di tempatnya. ―Maksudku adalah, ini bisa menarik kecurigaan orang-orang terdekat mereka.‖ ―Dan ketika kita membebaskan mereka, kau akan mendekam di rumah jagal itu.‖ ―Rumah sakit, Eomma. Bukan- ― ―Kau tahu, Minho? Aku tahu ini akan terjadi. Keyakinanmu akan goyah. Dan itu membuatku, merasa... kau tahu...‖ Meninggalkan sisa makanannya, nyonya Choi menghampiri tubuh terikat yang kehilangan kesadarannya itu. Dalam sekali gerakan, ia menarik rambut yang dipenuhi darah mengering. ―Sudah bangun, Dokter Lee?‖ Kerjapan mata yang lemah, tapi bisa ditangkapnya sang ibu tersenyum. Wanita itu membuka plester hitam di mulutnya ketika didengarnya gumaman lemah. ―Neo micheoso...‖ Senyum memudar. Tangan kurusnya menarik rambut itu, menyisakan beberapa helai rambut Jinki dengan darah keringnya. Lelaki itu mengaduh, tidak cukup keras, ia tidak punya tenaga untuk itu. Sebuah sapu tangan melengket di hidung nyonya Choi. Tidak punya waktu untuk menebak siapa yang telah membiusnya, ia segera pingsan. Minho mengangkat tubuh sang ibu masuk ke dalam kamarnya, memakaikannya selimut, kemudian menyalakan medical brewer. ―Sang budak membangkang pada tuannya, ya?‖ sindir Jinki. Minho sudah duduk di depannya. ―Bisa menjelaskan padaku kenapa wajahmu bengkak begitu?‖ Jemarinya saling meremas, Minho membuang pandangannya ke lantai. ―Ibumu yang melakukannya?‖ tanyanya hati-hati. Minho menatap mata Jinki tak suka. Kerutan di keningnya membuat Jinki bisa menangkap perubahan ekspresi itu segera, menjadikan hipotesanya kemungkinan besar sudah pasti benar.
119
―Apa dia sering melakukan itu padamu?‖ Tak menjawab lagi, Minho menggigit bibir bawahnya. Sebuah tindakan yang secara tidak langsung berarti ‗ya‘ bagi Jinki, membuat lelaki itu mengumpat. ―Dia tidak gila. Ibuku hanya menghukumku karena aku melakukan tindakan tercela. Aku mendengar pembicaraannya dengan dr.Brown.‖ Giliran Jinki yang mengerutkan keningnya, melirik sekilas pada tubuh yang masih tergolek lemas di sampingnya. ―Apa kau mau dengar ceritaku, Dokter Lee?‖ ―Kenapa aku harus?‖ ―Karena kau dokterku. Kau adalah cheonsa-ku.‖ *** Salju meleleh, bunga bermekaran, menyerbakkan wangi yang memesona bagi siapapun pengagumnya. Daundaun bermunculan kembali dari ranting kecoklatan yang rapuh, burung-burung tak bersembunyi lagi dan kembali bercengkrama di dahan-dahan pohon. Seakan ikut merayakan kebahagian menyambut musim semi setelah berbulan-bulan dirundung pilu kehilangan sarang mereka yang terhempas angin, tenggelam dalam salju. Tapi tidak bagi anak lelaki yang membaringkan dirinya pada rumput hijau yang menunjukkan kejayaannya kembali, setelah menyerah akan kesombongan salju yang menutupi kesegaran daun-daunnya. Anak lelaki itu gemetar. Ia menutup matanya rapat-rapat. Berusaha mematikan fungsi seluruh inderanya. Berpura-pura tidak tahu ketika langkah kaki semakin mendekat padanya. “Pagi, Minho sayang.” Masih enggan membuka matanya. Ia tahu, lelaki tua itu ikut berbaring di sebelahnya. Ia bahkan bisa mencium aroma kental alkohol. Tak berselang beberapa detik, tangan lelaki tua itu mulai menyentuh wajahnya. Turun ke dadanya, perutnya, hingga celananya. Tangannya yang terselip dalam saku celananya tertarik, dituntun oleh tangan lain yang lebih besar untuk kemudian diciumi. “Kau tahu, appa lapar. Tapi, bukan makanan. Aku menginginkanmu. Kau mengerti „kan, Minho?” Air matanya menetes, jatuh membasahi rumput yang menjadi pembaringannya. “Kau menangis? Brengsek! Hey, gadis kecil cengeng! Berhenti menangis!” Tidak kunjung menenangkan dirinya, justru air matanya mengalir semakin deras. Tamparan yang ia dapatkan, tubuhnya dibalik dalam satu hentakan hingga ia telentang, dan tubuh lelaki tua itu menindih tubuhnya yang lebih kecil. *** ―Ayahmu yang melakukannya? Dia... em...,‖ ―Ya, dia menyetubuhiku sampai puas. Semakin aku menangis, penyiksaannya tidak akan berhenti. Dia memuaskan dirinya, tidak peduli jika aku memohon ampun. Kau tahu? Aku benci sinar matahari sejak saat itu. Aku benci padanya yang menjadi saksi mati bagaimana aku diperlakukan tidak adil. Aku benci pada kebungkamannya, seolah menikmati pertunjukkan ayah dan aku. Aku benci sinar matahari, dia mengingatkan aku bagaimana- ‖ Kalimatnya terhenti, diselingi tangisan Minho. Pedih sekali. Jika saja Jinki dalam posisi yang bebas, ia akan merengkuh tubuh Minho. Meredakan getaran di bahunya. Antara marah, jijik dan juga benci, itu yang ditangkap Jinki dari wajahnya yang merah padam. ―Aku turut menyesal. Kapan umurmu waktu itu?‖
120
―Aku tidak ingat dengan jelas. Tujuh atau delapan tahun, mungkin?‖ ―Lalu, bagaimana dengan ibumu? Apa dia tak menghentikan ayahmu?‖ ―Tidak. Aku tidak punya ibu.‖ Menautkan alisnya, Jinki meminta penjelasan dengan ekspresi kebingunannya. ―Malaikat itu datang suatu hari. Dia membawaku pergi dari neraka itu, dan mengadopsiku sebagai anaknya.‖ ―Tapi, tidak seberuntung yang kau kira. Aku akan mati dalam hitungan jam, bukan? Entah itu di tanganmu, atau di tangan ibumu. Tidak ingin menceritakan sesuatu lagi? Menurutku, akan lebih mudah jika kau ingin berbagi.‖ Meremas kuat jari-jarinya, Minho berusaha menenangkan diri. Ia tidak suka mengais sejarah lama yang sudah terkubur dalam-dalam. ―Dia adalah malaikatku. Dia menyelamatkanku dari mimpi burukku-‖ ―Dan kemudian memberimu mimpi buruk lainnya. Biar kutebak, dia mungkin mengontrolmu dengan haloperidol? Atau amfetamin secara berlebihan untuk membangkitkan hypomania-mu?‖ sambung Jinki Minho bungkam. Ia tidak tahu apa nama obat itu. Senyawa kimia yang mengontrol otaknya secara keseluruhan, menciptakan halusinasi lain yang membuatnya kehilangan kenangan masa lalunya, membiarkan dirinya menjadi mayat hidup sesekali. Pemukul kriket yang telentang bebas di samping tubuh dr.Brown diambilnya. ―Tidak berusaha melawanku?‖ ―Kau bercanda? Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku, kepalaku sudah pening sejak... entah beberapa jam yang lalu. Lagipula hidupku sudah hancur, sepertinya. Aku sudah kehilangan yeoja-ku, pasienku menjadi tak karuan, mengancamku dengan pemukul kriket. Dan lebih parahnya, aku tidak menyadari jika malaikat yang selama ini kau ceritakan adalah ibumu sendiri. Tanda-tandanya sudah jelas, tapi aku menolak dugaanku, dan membiarkan seorang penderita skizofrenia merawat anak untuk kemudian menjadi sepertinya. Psikiater macam apa aku ini?‖ Minho mengangkat bahunya, mengatakan kemudian, ―Aku ikut berduka mengenai yeoja-mu.‖ ―Kau orang baik, Dokter Lee. Kau cheonsa-ku. Karena itu, kalian harus mati segera sebelum kalian melumuri diri dengan dosa lagi,‖ sambung Minho lagi. ―Aku? Kenapa aku ini cheonsa? Lalu bagaimana denganmu?‖ ―Aku bisa merasakan kehangatan ketika disisimu, Dokter. Aku tidak mengerti kenapa. Sedang aku... aku adalah pendosa. Aku membunuh Choi Minho dari dulu, dan menghidupkan Choi Minho lain yang sudah menjadi budak malaikat. Palsu." "Aku tidak yakin jika hatimu menginginkan itu." "Aku sudah membunuh sekali, mengapa menurutmu aku tidak bisa membunuh sekali lagi?‖ Tamparan mengenai pipi Minho. Cukup keras hingga otot pipinya merasa kebas. ―Apa yang kau lakukan pada ibumu?‖ ―Mianhae, Eomma, aku hanya...‖ ―Aku mengerti perasaanmu, Sayang.‖ Jinki melengos. Ia memandang bagaimana sang ibu memeluk anaknya, memberinya ketenangan. Dan Minho tersedu-sedu di atas bahu sang ibu, betapa menyedihkan lelaki itu di mata Jinki. ―Kau menyayangi eomma, ‗kan?‖ Dengan gumaman Minho menjawabnya.
121
―Bisakah kau membunuh dokter Lee?‖ Melepas pelukannya, kemudian menatap tajam sang eomma, tak cukup untuk meruntuhkan ketetapan hatinya. Tak juga mendapat respon, tamparan menjadi ganjaran untuk Minho. ―Aku membesarkanmu untuk menjadi tidak secengeng ini, Minho! Kau berani menentangku? Kau ingin kukembalikan ke rumah kumuh itu? Hidup bersama ayahmu lagi? Kau mau itu?‖ Diserang kepanikan. Minho berjongkok segera, ia menutup kepalanya. Berusaha menghilangkan cuplikan kenangan yang tiba-tiba saja berkelebat dalam bayangannya. Minho menggeleng kuat, menangis kemudian meraung-raung. Ia memukul dirinya, menendang udara kosong di depannya berkali-kali. Bayangan lelaki tua itu, yang menyentuh tubuhnya dengan sentuhan nakal, mengotori kesucian tubuhnya. Minho meronta melepaskan diri, lagi-lagi ia terjebak dalam halusinasinya. *** ―Baiklah, waktumu sudah habis, Dokter Lee.‖ Berpacu dalam kecemasannya. Jinki berusaha menampilkan ekspresi datar, mencoba mementahkan ancaman nyonya Choi yang memungut kriket yang sempat terlantar itu. Nyatanya tidak, seperti bom waktu, ia hanya menunggu detik-detik terakhir hingga kriket itu menghantamnya berkali-kali. Menghilangkan nyawanya dalam beberapa menit ke depan. ―Kau tahu Minho, aku sungguh menyesal tidak benar-benar menjadi cheonsa-mu. Aku tidak bisa melumpuhkan ingatan menyedihkanmu. Aku tidak bisa...‖
Plak!
Satu kali pukulan mengenai pipi kirinya. Ia terbatuk, memuntahkan darah dari sela mulutnya. Ia tidak diberikan kesempatan untuk bernapas, hingga pukulan kedua ataupun ketiga. Jinki tersenyum, lebar sekali hingga darahnya pun tak mampu menutupi lengkungan bibirnya. ―Masih bisa tersenyum, Dokter Lee?‖ ―Ternyata kau benar-benar gila, Nyonya Choi.‖ ―Apa katamu? Kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah malaikat Tuhan, aku mendengar bisikan-Nya setiap waktu. Aku mendengar perintah-Nya untuk menyelamatkan Minho.‖ ―Ah ya, bisikan Tuhan. Ternyata kau seorang paranoia skizofrenia.‖ Nyonya Choi tertawa, mengambil kesempatan untuk meregangkan otot lengannya yang sedikit kejang setelah mentransfer tenaga pada kriket di tangannya. "Beberapa hal masih membingungkanku? bagaimana bisa kau berkelit dengan penyakitmu itu? Mengapa kau tetap bisa memimpin perusahaan? Dan mendapatkan pasokan obat yang cukup untuk menghidupimu dengan tanpa halusinasi?‖ ―Bukannya sedikit congkak, kau bisa menyebutnya anugerah Tuhan. Aku adalah orang pilihan. Kecerdasan yang luar biasa. Aku melewati masa kuliahku di jurusan bisnis dan farmatologi sekaligus. Puji aku, jika kau menginginkannya, Dokter Lee." Mengerutkan alisnya. Seorang skizofrenia mengalami kesulitan dalam memfokuskan diri terhadap sesuatu. termasuk belajar, ataupun bekerja. ―Uang tidak pernah berbohong, Dokter. AKu berhasil mendapatkan ijazahku dengan sogokan. Aku tidak sepenuhnya belajar, tapi aku sempat tahu pengetahuan mengenai obat psikotik,‖ jawabnya setelah melihat raut tanya di wajah Jinki.
122
―Kau hebat, Nyonya Choi. Ada hal lain yang mau kau sampaikan? Ceritakan padaku masa lalumu. Itu akan meredakan sedikit bebanmu, kukira.‖ ―Berusaha mengulur waktuku, Dokter?‖ Menggeleng kuat, padahal peningnya melarang Jinki untuk menggerakkan lehernya sedikit saja. Toh, keras kepalanya sanggup mengempaskan rasa sakit itu. "Aku akan mempersingkat kisahku, karena aku tidak bisa mengulur waktu lebih lama untuk nyawamu yang akan melayang beberapa menit lagi. Aku dibesarkan oleh ayah yang luar biasa... tidak tahu diri, tidak bermoral, dan juga sakit jiwa. Aku dibesarkan tanpa ibu, dan menjadi media penyalur kebutuhan seks ayahku. Setiap kesalahan kecil yang kulakukan akan meninggalkan memar di tubuhku." Tatapan yang sarat akan kebencian sirna menjadi genangan air di pelupuk matanya. Nyonya Choi mengusapnya, kemudian tersenyum tipis pada Jinki yang menatapnya iba. "Tidak perlu merasa bersalah ataupun kasihan padaku, Dokter. Setelah kematian ayahku, seluruh warisan diberikan padaku. Setidaknya, pengorbananku tidak berakhir sia-sia. Setelah itu, aku mulai mendengar bisikan Tuhan yang menuntunku untuk menemukan anak malang itu. Dan aku bertekad, untuk melindunginya, untuk menyembuhkannya agar ia tak menjadi seperti ayahku. Aku ingin dia normal, Dokter." ―Apa kau punya wahyu lain dari Tuhan, Nyonya Choi? Tidak berniat membaginya denganku?‖ Suara serak Jinki menghentikan lamunan nyonya Choi. ―Dengan senang hati, Dokter. Kau tahu apa yang dibisikkan padaku tadi? Aku harus membunuhmu, juga dokter bodoh ini.‖ Menendang lengan dr.Brown yang terkulai tak berdaya, nyonya Choi kembali mengambil ancang-ancang untuk melakukan pukulan selanjutnya. ―Itu bukan bisikan Tuhan, Nyonya Choi. Kau sakit! Oh, demi Tuhan. Aku bisa membantumu, hentikan pemberontakanmu, Nyonya. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu dan juga Minho, konsel-― ―Tutup mulutmu!‖ Kekuatan terakhirnya terkuras. Jinki menggeser tubuhnya sedikit, menjatuhkan ponselnya mendekati kaki nyonya Choi. ―Brengsek!‖ Layarnya masih menunjukkan sepersekian menit sambungan teleponnya dengan entah siapa di seberang sana. Dalam hitungan detik, gebrakan pintu terdengar. Beberapa personil muncul dengan pistol di tangannya. Nyonya Choi segera memeluk anaknya. Minho sendiri tak berhenti meraung. ―Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh anakku.‖ Ia menuntun Minho untuk berdiri, mundur selangkah demi selangkah menghindari pasukan polisi khusus yang terus merangsek maju mendekatinya. ―Anda hanya perlu menyerahkan diri, Nyonya. Dan juga anakmu.‖ ―Dia hanya boleh dirawat olehku! Dia tidak akan masuk penjara! Dia adalah anakku! Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang dilakukan psikiater-psikiater bodoh itu? Aku juga bisa melakukannya! Aku tidak akan pernah memasukkan anakku di tempat berkumpulnya para serigala.‖ Bersikeras dan terus mencoba menarik tubuh Minho untuk ikut bersamanya. Nyonya Choi memutar otak. Menarik berbagai siasat untuk bisa melarikan diri dari situasi pelik ini. Sesaat setelah idenya untuk menembus polisi dengan bermodalkan tekadnya, dan dor! Sebutir timah panas menyusup masuk ke tendon betisnya. Nyonya Choi berlutut, mengerang. Seluruh tubuhnya mengejang, tapi ia masih menguasai dirinya. Ia menutup matanya pelan, melihat pertambahan kuantitas polisi yang terus mendekati mereka. Ia menyerah, mendekatkan bibirnya pada telinga Minho yang semakin bergetar mendengar suara letusan pistol beberapa detik tadi.
123
―Aku mencintaimu, Minho. Kau adalah anakku, aku mencintaimu. Aku akan melindungimu apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu terkurung dan mengumpankanmu pada serigala-serigala psikopat. Oh tidak. Maafkan aku sayang, eomma melanggar janji kali ini.‖ Kedua kakinya memanjat pada kusen jendela, membiarkan punggungnya terkena angin malam yang menembus baju tipisnya, mengenai kulitnya hingga menusuk tulang belakangnya. Ia memecahkan kaca dengan tangannya, membiarkan pecahannya jatuh satu persatu. Sedetik, ia ikut bergabung dengan pecahan kaca itu, melambungkan dirinya di udara, menghempaskan dirinya di atas runtuhan kaca. *** Jika ada yang pantas untuk menggambarkan suramnya langit di atas sana, maka kelabu kehitaman merupakan jawabannya. Bulir air mulai berjatuhan, tidak deras, tidak juga gerimis. Di bawahnya, di salah satu tempatnya di muka bumi beberapa payung hitam menaungi manusia dengan pakaian serba hitamnya. ―Terima kasih telah menghubungi Eunmi waktu itu. Aku mungkin akan mati jika kau tak melakukannya.‖ Minho diam. Ia tak mengalihkan pandangannya pada gundukan tanah bertabur bunga-bunga segar dengan aneka warna. Sudut mata Jinki tak sengaja teralih pada sebelah tangan Minho yang bebas, tidak lagi terkepal, terbuka bebas. ―Eomma-mu, dia mencintaimu.‖ ―Aku tahu itu,‖ tukas Minho, ia tidak ingin mendengar suara lain kecuali gemerisik air yang bertabrakan dengan sisi atas payung ataupun tanah. Ia mencoba menikmati harmoni suara itu, sekedar terapi ringan menenangkan gemuruh di dadanya. Jinki mengusap air matanya, menyimpulkan betapa untuk seorang yang kehilangan kewarasannya, ia harus memuji kesungguhan itu. Cinta, ia memiliki cara tersendiri untuk merealisasikan kehadirannya. Nurani mungkin sudah terhapus dalam prinsip sekaligus nilai-nilai moralnya. Ia tidak memiliki semua itu sebenarnya, ia telah dikalahkan oleh penyakitnya. Oleh halusinasi yang tak berujung. Ya, ia mungkin telah kalah. Tapi tidak dengan cintanya. Cinta itu menjadi pondasi harapannya untuk bertahan hidup. Cinta itu sebagai bukti kepeduliannya untuk melindungi miliknya yang berharga. Cinta itu adalah wujud nyata kasih seorang ibu dalam keterbatasannya. Cinta itu. The infinite love from a mother to her son. Amazingly to know that there were no difference between love and madness - Boram
Epilog
Kedua pergelangan tangannya dilingkari dengan borgol besi, lantas ia memilih menatapi lantai, membiarkan kedua lengannya diapit oleh tangan kekar lainnya. Jinki menatap sendu lelaki tua itu. Dua polisi yang mengiringnya mundur segera setelah Jinki menghalangi langkah mereka. Tetap dengan jarak tak jauh dari satu meter, mereka bersandar di tembok. Sekedar memberikan privasi untuk Jinki dan dr.Brown yang kini saling bertukar pandang. ―Maafkan aku.‖ Jinki mendesah pelan. Semua kalimat yang terangkum tadi sudah menghilang, kecuali rasa iba yang tersisa melihat wajah penuh luka itu, meski sebenarnya wajahnya sendiri juga bengkak dengan memar kebiruan. ―Katakan jika tuduhan terhadapmu salah, Dokter.‖ Dr.Brown menggeleng lemas, menyurutkan semangat Jinki untuk melakukan pembelaan terhadapnya. ―Aku senang karena kau telah menyelamatkan Minho, dan juga aku. Semuanya akan sia-sia jika aku mati. Jangan menatapku seperti itu, aku memang pantas mendapatkannya. Semua penyiksaan yang akan kulalui seumur hidupku nanti tidak sebanding dengan kejahatan yang sudah kulakukan.‖
124
Air matanya menggenang, Jinki mengusapnya segera. ―Ya, aku tahu jika ibu Minho seorang skizofrenia. Aku juga bekerja sama menyembunyikan penyakitnya. Aku mengizinkan obat-obatan yang diminta Nyonya Choi untuk mengendalikan anaknya. Aku mengajarinya cara menyuntik, dosis obat yang diperlukan. Aku menyalahgunakan profesiku, mengotorinya dengan godaan untuk kenikmatan sesaat. Aku berdosa, Jinki.‖ Tidak perlu waktu lama, Jinki memeluk dr.Brown. Marahnya sudah menguap sedari tadi. ―Aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu, Dokter,‖ hiburnya kemudian sebelum melepaskan pelukannya. Kedua polisi itu kembali menggiring dr.Brown menuju kerumunan massa, dengan kilatan cahaya kamera para reporter yang haus akan berita kasus suap itu. Beberapa pengawal mencoba melindunginya dari serangan tanya bertubi-tubi dari para reporter. ―Istrinya sakit parah, leukimia stadium tiga. Dia butuh biaya yang banyak untuk pengobatannya,‖ jelas Jinki ketika Jane menatapnya tak setuju untuk dukungan moral yang diberikan Jinki pada dr.Brown. Seketika, ekspresi Jane menjadi iba. ―Hei, kau mau kemana? Pengobatanmu masih dilanjutkan!‖ Jinki tidak menjawabnya. Ia hanya melambaikan sebelah tangannya dengan senyum yang dipaksakannya. Bibirnya seperti robek ketika ia memaksakan sudutnya untuk melengkung. Ia jengah dengan rumah sakit, ia benci pada bau obat-obatan. Untuk saat ini, ia ingin mengistirahatkan diri untuk mendinginkan kepalanya sebelum kembali berkutat dengan pasien-pasiennya. Ia menunduk, meski lehernya seperti mau patah ketika ia melakukannya. Untuk mengalihkan perhatiannya, ia menghitung jumlah ubin yang dilewati. Dan berhenti ketika sepasang sepatu memijak ubin yang akan dihitungnya lagi. Ia bergeser ke samping, justru pemilik sepatu itu kembali menghalanginya. ―Ahjussi. Bahkan dengan wajah bonyok seperti itu, kau tetap tampan.‖ Rengekan itu sangat dikenalnya. Jinki mengangkat kepalanya pelan, terpana untuk beberapa saat melihat gadisnya mengusap air matanya. ―Aku ingin mendaftar jadi pasienmu. Aku selalu dibayangi wajah ahjussi setiap saat. Bahkan, bisikan yang selalu kudengar adalah suaramu. Katakan padaku, aku sudah gila, ‗kan?‖ Jinki tersenyum. Perih di bibirnya tak terasa lagi. Tangannya justru meraih bahu Eunmi, merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Menghirup aroma Eunmi yang selalu disukainya, menikmati debaran jantung gadisnya yang hampis sama kencang dengan miliknya. Ia tidak lagi memikirkan apa-apa,kecuali membisikkan kalimat di telinga gadis itu. Kalimat yang untuk pertama kali dalam seumur hidupnya yang akan dikatakan pada satu-satunya perempuan di antara jutaan di muka bumi ini. ―Saranghae, Eunmi-ya.‖ END Reference: 1.
Daniel Keyes- The Milligan Wars, Sickened-Wolly Lamb, yang membuka pemahaman saya akan penderita mental disorder.
2.
Wikipedia yang sudah memberikan informasi mental disorder, perawatan,dan hal‖ lainnya.
3.
Moodbuster berupa fanfic buatan author‖ favorit saya, Dista Dee, Yuyu, Storm, Azura, Bibib, Shirae Mizuka, dan beberapa author lainnya yang memberi pengaruh tidak langsung dalam pengembangan tulisan saya (meskipun tulisanku gak maju-maju)
125
White Christmas
Author: Zikey Main Cast: Lee Jinki Genre: Family, Angst, Anguish, Life Length: Oneshot Rating: General Summary: Semalam aku berdoa kepada tuhan sebelum tidur, agar ia memastikan bahwa uangku cukup untuk membeli mainan ini sehingga ibu bisa memberikannya kepada adikku. Tuhan mendengarku! Note: Terinspirasi dari kisah nyata dengan beberapa perubahan. Untuk typo-nya, langsung di komen aja, harap maklum yaaa ^o^ *** Seorang laki-laki merapatkan balutan selimutnya, tubuhnya meloncat-loncat kecil untuk menaikkan suhu tubuh. Setelah sabar menunggu, panggangan roti itu berbunyi juga. Segera ia meraih roti panggangnya dan menuangkan kopi panas ke dalam cangkir putihnya. Dengan kakinya yang terbalut rapat oleh sandal tidur berbentuk boots, ia melangkah di atas lantai kayu yang tidak cukup hangat untuknya. Sebuah api berkobar menyambutnya dari dalam perapian, siap menghangatkan tubuh lelaki itu di tengah hujan salju kecil yang menghias pemandangan jendela. Ini baru hujan salju keempat, namun rasanya ia sudah tidak kuat menahan suhu yang terus turun. Meski diakuinya begitu indah pemandangan, ia tetap tidak bisa mengelak bahwa musim salju kali ini membuatnya menggigil sepanjang pagi. Walau tidak lagi disambut pepohonan rimbun dan hijau, melihat putihnya salju yang menyelimuti jalanan, tetap membuat paginya indah. Dengan antusias ia meneguk kopi yang masih mengepulkan asap, demi memberi kehangatan di dalam organorgannya. Matanya mulai membaca baris demi baris tulisan dalam kertas abu-abu bernama koran, diiringi instrument saxophone yang mengalun memenuhi penthouse mewah tempatnya berlindung. ―Mabuk, kecelakaan, mabuk, kecelakaan, tidak ada berita yang lebih pantas dibaca apa?‖ Ia mengeluh. ―Kemana para polisi?‖ tambahnya sambil menyalakan TV. Berita televisi itu menayangkan berita yang baru saja ia baca di koran barusan, membuatnya kesal namun tidak bisa mengganti saluran. ―Sekarang
siapa
yang
bisa
bertanggung
jawab?
Menuntutnya
bermiliyar-milyar
juga
tidak
akan
mengembalikan bocah tidak berdosa itu. Sekarang bagaimana nasib suami dan anak pertamanya, jika sang ibu tidak lama lagi menyusul putranya yang mengalami kecelakaan bersamanya.‖ Ia mengoceh seolah ada seseorang yang mendengarkan keluhannya. ―Oppa…,‖ suara lembut seorang gadis membuatnya menoleh, di sana, seorang gadis berbalut selimut tipis bersandar pada daun pintu. ―Tidak kedinginan? Aku saja yang pakai baju lengkap masih menggigil. Cepat pakai baju, aku sudah membuatkan roti panggang, setelah itu mandi, dan kamu bisa kembali ke rumahmu.‖ ―Oppa…,‖ ia merajuk. ―Aku tidak ingin sarapan yang itu, aku menginginkanmu.‖ ―Get over it! Nothing happened between us, it‟s just one night stand, don‟t dream too much.‖ ―Huh, juteknya! Setelah aku memberikan yang terbaik semalam, masih tidak bisa luluh juga?‖ ―Ya ampun, jendela saja bisa membuktikan siapa yang lebih baik semalam. Jadi cepat pergi dari rumahku, hari ini aku harus ke kantor. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu tentang ini atau video-mu akan tersebar luas di kampus.‖
126
―Iya, iya, menyebalkan sekali! Aku mandi duluan, tapi—― ―Aku tidak akan menyusul!‖ Gadis itu mendengus kesal, menyerah juga. ―Lee Jinki, angkat telephone-mu! Jangan buang-buang uang untuk membeli ponsel kalau panggilanku saja diabaikan.‖ Lelaki itu bangkit sambil mendengus, menekan salah satu tombol di pesawat teleponnya. ―Yeoboseoyo? Jinki-ya! Sudah berapa lama kamu mengabaikan ibumu ini, huh?‖ ―Maaf, maaf, aku cuma sedang sibuk. Ada apa sih Bu, pagi-pagi begini menghubungiku?‖ ―Ada apa? Kamu tidak merindukan orang tuamu sama sekali? Sudah berapa lama sejak terakhir kamu main kemari?‖ ―Ya ampun Bu, aku baru saja main ke sana delapan bulan yang lalu!‖ ―Delapan bulan itu bukan waktu yang singkat, Jinki-ya.‖ ―Oppa! Air panasnya macet!‖ ―Di sana ada orang lain? Jinki? Yeoboseyo?‖ ―Oppa!‖ ―Jinki?‖ ―Bu, aku akan menelpon mu balik besok.‖ Jinki mendengus lagi, semakin kesal dengan gadis yang kini berada di kamar mandi. ―Awas saja kalau ia hanya main-main!‖ Ia mengancam sambil berjalan menuju tempat gadis itu berada. ―Oppa… aaahh… bantu aku!‖ ―Shit!‖ *** ―Paprika? Sebentar, aku catat dulu.‖ Jinki merogoh ponsel dari saku celananya, membuka fasilitas note dan siap mencatat. ―Jangan bahan makanan dulu, peralatan rumah atau semacamnya.‖ Ia tersenyum pada petugas keamanan kemudian mengambil satu keranjang beroda. ―Pembersih lantai, toilet dan piring, pewangi ruangan, pasta gigi, sabun, sarung tangan, sudah? Bahan makanan? Baiklah, paprika, lalu apa?‖ Ia mencatat seluruh barang yang ia dengar melalui earphone. Hari ini tanggal belanja bulanan yang rutin ia lakukan setiap bulan dan di rumahnya ada pelayan bayaran yang datang satu minggu sekali akan medata untuknya. ―Tidak, seperti biasa, aku tidak akan membeli peralatan natal. Aku tidak begitu membutuhkannya, mungkin aku akan berlibur ke luar kota atau ke rumah orang tuaku kalau mereka memaksa. Oke, sampai jumpa.‖ Ia baru akan memulai kegiatan belanjanya ketika ia melihat gadis kecil yang membawa kotak miniatur pahlawan mainan di depan kasir terpisah, umurnya telihat sekitar lima atau enam tahun. Gadis itu tidak terlihat seperti gadis tomboy yang akan menyukai mainan laki-laki, ia jadi tertarik untuk memperhatikan. ―Aku ingin membeli boneka ini,‖ katanya sambil berusaha meletakkan mainannya di atas meja kasir yang 10 cm lebih tinggi dari kepalanya. ―Berapa harganya?‖ ―Harganya 37.500,‖ jawab kasir itu ramah. ―Ini uangnya.‖ ―Maaf Sayang, tapi ini tidak cukup.‖ Kasir itu mengembalikan lima lembar uang pecahan 1.000 won kepada gadis kecil itu. ―Kenapa? Aku punya lima lembar, bukannya lebih banyak?‖ ―Iya, tetapi nominalnya lebih kecil dari yang diminta.‖
127
Gadis itu menoleh pada seorang nenek yang berdiri di sebelahnya, ―Nenek, katakan padanya kalau uang itu cukup. Iya ‗kan, Nek? Aku bisa membeli mainannya kan, Nek? Aku sudah menabung, uangnya cukup.‖ ―Aku sudah bilang sayang, uangmu masih kurang, kita tidak bisa membeli mainan itu dengan uangmu. Tunggu di sini!‖ ―Tapi aku mau beli dengan uangku, Nenek.‖ ―Iya, aku tahu, tunggu di sini. Jangan kemana-mana! Janji padaku, tunggu aku di sini dan kita akan membeli mainannya.‖ Nenek itu tersenyum pada kasir sebelum meninggalkan cucunya di dekat meja kasir, membuat Jinki tertarik untuk menghampiri. ―Hai,‖ sapanya ramah. ―Apa ini mainanmu?‖ ―Iya, aku ingin membelinya.‖ ―Untuk apa? Bukannya gadis cantik sepertimu lebih menyukai boneka barbie?‖ Kini Jinki berjongkok di hadapannya, memberi gadis itu tatapan penuh perhatian. ―Ini untuk adik laki-lakiku, ia sangat menginginkan boneka pahlawan ini sejak lama. Ia yakin Santa akan memberikan mainan ini sebagai hadiah untuknya, dia sudah menanti. Tapi aku tahu Santa tidak akan pernah memberikan mainan ini kepadanya, jadi aku ingin membelikan ini untuknya.‖ ―Kenapa? Kamu tidak percaya dengan Santa Claus?‖ ―Bukan,‖ wajahnya tiba-tiba terlihat sangat sedih, ia menunduk, memandangi ujung sepatunya. ―Aku yakin Santa tidak akan bisa mengirimkan ini ke tempat dimana adikku berada sekarang.‖ ―Tentu saja bisa, Santa akan melakukan apapun untuk anak manis sepertimu. Jangan khawatir, adikmu pasti akan mendapatkan mainan ini dari Santa.‖ ―Tidak, kata ayah, Santa tidak akan bisa mengirimkan ini padanya karena ia sudah berada di tempat Tuhan. Santa tidak boleh mengunjungi tempat Tuhan karena Tuhan pasti akan meminta Santa untuk menemaninya selamanya, seperti Tuhan meminta adikku menemaninya di sana. Jadi aku harus membeli mainan ini dan memberikannya pada ibuku, sehingga ia bisa memberikan ini padanya ketika ia pergi ke sana.‖ Jinki tidak mengerti, namun sesuatu dalam hatinya seperti bergejolak, ia merasakan sebuah desiran panas di dalam hatinya. ―Adikku sudah pergi ke tempat Tuhan, dan kata ayah, ibu akan segera menyusulnya ke sana untuk menemani Tuhan bersama adikku. Jadi aku pikir, ibu bisa memberikan mainan ini kepada adikku ketika mereka bertemu di sana.‖ Kini ia mengerti apa yang ia rasakan, jantungnya seolah berhenti berdetak, namun desiran-desiran panas itu terus terasa di dalam dadanya. Gadis itu mendongak, menatap Jinki dengan matanya yang begitu indah. ―Aku bilang pada ayahku untuk meminta ibu jangan pergi dulu, aku harus bertemu dengannya. Aku mau ia menungguku hingga aku kembali dari mall dengan boneka ini.‖ Gadis itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku mantel hangatnya, dalam genggaman jemarinya yang mungil ia memperlihatkan sebuah foto. Hati Jinki tiba-tiba terasa hampa, ia tersenyum melihat foto indah itu. Begitu bahagia, keluarga ini sangat bahagia, terlihat dari bagaimana sang ayah memeluk gadisnya sambil tertawa. ―Aku mau ibu membawa foto ini bersamanya, jadi ia dan adikku tidak akan melupakan kami. Aku mencintai ibu, dan aku tidak ingin ia meninggalkanku. Tetapi ayah bilang, ibu harus pergi ke sana agar ia bisa menemani adikku yang kesepian.‖ Kemudian ia menatap kotak mainan itu, mata itu tidak berair, namun menggambarkan kesedihan yang amat dalam. ―Haruskah kita cek lagi? Siapa tahu ternyata uangmu cukup untuk membeli mobil-mobilan ini.‖ ―Baiklah,‖ kemudian gadis itu memberikan lembaran uangnya pada Jinki. ―Semoga uangku cukup.‖
128
―Coba ambil kotak mainannya, kita harus lihat label harganya,‖ katanya berusaha mengalihkan perhatian gadis itu, kemudian mengganti uang milik gadis itu dengan lima lembar uang 10.000 won. ―Baiklah, jadi kita butuh berapa?‖ tanyanya sambil melihat label harga. ―34.500? Ayo kita hitung.‖ ―Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh.‖ Gadis itu menghitung selagi Jinki memisahkan setiap lembar, dari tangan kiri ke tangan kanannya. ―50.000!‖ serunya riang, membuat Jinki tersenyum. ―Kita masih memiliki sisa uang.‖ ―Terima kasih Tuhan untuk memberiku uang yang cukup.‖ Matanya yang berbinar memandangi lembaran uang itu, kemudian ia menatap Jinki. ―Semalam aku berdoa kepada tuhan sebelum tidur, agar ia memastikan bahwa uangku cukup untuk membeli mainan ini sehingga ibu bisa memberikannya kepada adikku. Tuhan mendengarku!‖ Jinki tersenyum lagi lalu mengelus rambutnya yang halus dan tebal. ―Aku juga ingin memiliki cukup uang untuk membelikan mawar putih untuk ibu, tetapi aku tidak berani meminta lebih kepada Tuhan. Namun ia memberiku cukup uang untuk membeli mainan ini dan mawar putih! Ibuku sangat menyukai mawar putih!‖ Tidak lama, neneknya muncul dari balik rak, Jinki segera mengucapkan salam perpisahan. Ia menyelesaikan kegiatan belanjanya dengan perasaan yang amat berbeda dari perasaan ketika ia akan memulai kegiatan berbelanjanya. Jinki benar-benar tidak bisa melupakan gadis kecil itu selama beraktivitas, hingga kemudian ia mengingat artikel yang ia baca di koran dua hari lalu. Juga berita TV yang ia keluhkan pagi-pagi. Dalam koran itu tertulis, kecelakaan lalu lintas yang terjadi antara pengendara mabuk dan seorang wanita. Penumpang dalam mobil wanita itu seorang laki-laki kecil berumur tiga tahun yang meninggal dalam lokasi kejadian, sementara sang wanita dalam kondisi kritis. Keluarga korban harus memutuskan antara melepaskan peralatan pendukung karena wanita ini tidak akan bisa sembuh dari koma, atau tetap bertahan hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Apakah ini keluarga gadis kecil itu? *** Jinki mengambil roti dari panggangan kemudian duduk di depan perapian dengan secangkir kopi, setangkup roti lapis, dan beberapa koran dari penerbit yang berbeda. Usai pertemuannya dengan gadis kecil itu, Jinki tidak bisa melepaskan perhatiannya dari kasus yang masih menjadi bahasan koran dan berita di TV ini. Ia tidak berhenti mengikuti perkembangan beritanya, demi mencari tahu kebenaran. ―Keluarga korban telah mencabut tuntutan, namun pelaku akan tetap diberi sanksi oleh pihak kepolisian. Keluarga korban mengaku, tidak akan ada yang bisa mereka tuntut, kalaupun diberi kesempatan untuk menuntut, suami korban ingin meminta istri dan putranya kembali. Pada dini hari tadi, akhirnya keluarga memutuskan untuk berhenti berharap dan membiarkan korban untuk menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang…—― Ia tidak ingin mendengarkan beritanya hingga selesai, bukannya ia tidak bisa menerima kenyataan, namun ia tidak bisa menunggu lebih lama untuk melayat. Jinki segera meraih mantel hangatnya dari lemari, mengambil dompet dan ponsel, menarik kunci mobil dari gantungan, dan segera berlari menuju parkiran mobil. Mobilnya berhenti di depan toko bunga untuk membeli satu keranjang mawar putih dan bunga lili, dan kembali melaju menuju tempat tujuannya. Entah apa yang ia pikirkan, ia sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini. Semua sahabatnya tentu tahu orang seperti apa Lee Jinki ini, seorang lelaki yang tidak pernah peduli pada sekitar, hanya melakukan apa yang menurutnya bermanfaat, dan tidak memiliki hati. Tapi gadis kecil itu telah merubah cara pandangnya, bahkan tanpa ia sadari. Sikapnya berubah, hatinya berubah, ia hampir tidak mengenali dirinya yang sekarang. Namun di sisi lain, ia bersyukur, karena bertemu gadis itu, juga atas perubahan yang tidak ia kehendaki ini, sehingga kini ia bisa berterima kasih kepada Tuhan seperti cara gadis itu berterima kasih.
129
Kakinya menginjakkan langkah pertama di rumah duka yang kini dipenuhi orang-orang berpakaian rapi serba hitam, namun Jinki berdiri dengan hati hancur, tidak peduli pada pandangan orang-orang yang bingung melihat mantel coklat yang membalut tubuhnya. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, hingga matanya menemukan sosok itu. Tubuh seorang wanita dengan setangkai mawar putih cantik di tangannya dengan selembar foto gadis kecil dan ayahnya, yang ia lihat dua hari lalu. Sementara itu sebuah minatur boneka batman diletakkan di atas dadanya, membuat Jinki terpaksa mendongak untuk menahan air matanya. Setetes air mata mengalir juga di pipinya, membuatnya terkejut. Terakhir kali Jinki meneteskan air mata, ketika ia diperolok teman-temannya enam belas tahun yang lalu. Hidupnya kini berubah untuk selamanya, cinta yang gadis itu miliki untuk ibu dan adik laki-lakinya hingga saat ini terasa begitu sulit dibayangkan. Dan pemabuk itu telah merenggut segalanya. Cinta dan kasih sayang seorang ibu yang semestinya bisa ia rasakan hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, berakhir tanpa belas kasih. Adik yang baru saja merasakan bumi dengan kakinya sendiri, kini harus kembali menghadapi kegelapan, namun tanpa kehangatan seperti pada masa sembilan bulan dalam kandungan ibunya. *** TING TONG
―Iya, iya sebentar, aku datang.‖ Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari menuju pintu, senyumnya merekah ketika pintu itu terbuka. ―Eomma…‖ Jinki langsung memeluk tubuh ibunya dengan erat. ―Oh, Jinki-ya, ada apa denganmu? Apa kantormu mulai macam-macam?‖ ―Aku merindukanmu.‖ ―Aku juga,‖ wanita paruh baya itu mulai memeluk putranya dengan erat. ―Aigoo, putraku yang paling tampan. Sejak kapan tubuhmu jadi sekurus ini, huh? Tinggal lah di sini selama beberapa hari, aku akan membuat banyak masakan enak untukmu.‖ Namun Jinki tidak berkutik, ia terus memeluk tubuh ibunya, mencium bau sampo dan sabun yang melekat di tubuh ibunya dan selalu membuatnya dirindukan. ―Aigoo, Jinki-ya, kita masuk dulu, pintunya harus ditutup.‖ ―Shireo! Aku mau memelukmu hingga puas.‖ ―Baiklah, baiklah, aku juga ingin memelukmu hingga puas. Karena aku tidak tahu kapan putraku akan memelukku lagi.‖ ―Eomma!‖ Ibunya hanya terkekeh dan tetap memeluk putranya dengan erat, dengan begini, angin dingin yang berhembus tidak akan membuat putra semata wayangnya menggigil kedinginan. ―Wah, salju! Jinki lihat, hujan salju. Sudah lama sekali aku berharap hujan salju turun ketika kita sedang bersama seperti ini, akhirnya Tuhan mendengar doaku.‖ Namun ini tidak berarti apa-apa, Jinki-ya. Melihatmu saja sebenarnya sudah lebih dari cukup, namun berada dalam pelukanmu ini, aku tidak akan mati dengan penyesalan sama sekali. Tuhan mencintaiku, Tuhan juga mencintaimu, aku tahu. Ia akan selalu memberi lebih meski aku tidak meminta, aku hanya ingin melihat salju turun ketika membukakan pintu untukmu. Namun, Tuhan memberiku kesempatan untuk melihat salju turun, dalam pelukanmu, Putraku. ―Aku mencintaimu, Eomma.‖ ―Aku juga, Sayang.‖ Terima kasih Tuhan, untuk segalanya. Maaf karena aku tidak pernah berterima kasih lagi kepada-Mu sejak beranjak remaja, maaf juga karena mengabaikan kehadiran-Mu selama ini. Tuhan, bersediakah Engkau
130
mendengarkan permintaanku? Aku tidak akan meminta terlalu banyak. Aku hanya ingin, gadis kecil itu mendapatkan cinta kasih yang cukup untuknya. Biarkan ia dicintai oleh apapun yang ia cintai, hingga semua makhluk di bumi ini sadar bahwa manusia sepertinya lah yang sangat dibutuhkan oleh dunia. Kemudian, biarkan aku mencintai kedua orangtuaku lebih lama, aku berjanji akan menunjukkan cintaku pada mereka lebih sering. Terakhir, jagalah kami, yang masih bernafas di bumi, maupun yang telah berada di sisi-Mu dengan cinta-Mu. Hingga seluruh umat manusia sadar akan besarnya belas kasih-Mu, dan balas mencintai-Mu seperti Engkau mencintai kami para manusia.Terakhir, terima kasih telah mengizinkan aku untuk memeluk ibuku, membuatku sadar betapa aku rindu akan kehangatan pelukannya. Sekian doaku hari ini, dari umat yang baru kembali mencintaimu. Lee Jinki. ―YA! TUTUP PINTUNYA! Pantas saja sejak tadi aku kedinginan. Kalian gila ya? Berpelukan di depan pintu yang menjeblak terbuka. Memangnya kita sedang shooting film? Cepat masuk!‖ ―APPA!‖ ―WAE?!‖ ―Dasar menyebalkan!‖ Jinki menutup pintu rumahnya dengan kesal, namun tidak cukup untuk membuatnya berhenti tersenyum apalagi bersyukur. Lelaki paruh baya itu duduk di depan perapian, kemudian tersenyum. Terima kasih, Tuhan. END
131
Cor Tangite
Author
: dhila_kudou
Title
: Cor Tangite (String of Heart)
Main Cast
: Lee Jinki
Support Cast
:
Lee Taemin as Choi Taemin
Kim Kibum
Choi Minho
Minor Cast
:
Kim Jonghyun
Shinwoo (CNU) B1A4
Genre
: Bromance, Family, Life, Sad, Angst/Hurt, Medical
Rating
:G
Type
: Alternative Universe (AU)
Length
: Sequel
Summary
: “Ketika akhirnya hati kita terhubung oleh benang-benang takdir yang tak terlihat.”
Part 1: Shattered
Seoul, 15 Desember 2012 Dentuman musik yang memilukan hati menggema di langit-langit ruangan. Ibarat perkusi penuh harmonisasi beradu dengan kecepatan konstan. Irama yang satu berasal dari alat pemantau denyut jantung. Irama yang kedua—cukup lembut—berasal dari tarikan pegas ventilator. Dan irama yang lainnya berasal dari cairan elektrolit dan darah yang menetes di tabung infus. Dan beberapa nada lainnya yang tak kalah menarik untuk didengarkan. Intensive Care Unit, di sinilah ia berada. Seorang pemuda ringkih dan pucat, tertidur pulas dengan berbagai alat menopang tubuhnya. Matanya terpejam tenang, seolah sedang bermimpi indah. Jiwanya saat ini entah kemana, menghilang. Ini sudah minggu kedelapan ia koma. Di luar ruangan itu, dua anak manusia terlihat berdiskusi. Salah seorang dari mereka menunduk, memasang wajah memelas dan prihatin. Satunya lagi tetap tenang, mencoba menjaga wibawa dalam dirinya; wibawa yang ditopang oleh jas putih yang dikenakannya. ―Dari hasil pemeriksaan lanjut, semuanya mengaju kepada diagnosa brain death, Nyonya,‖ jawab salah seorang di antara mereka. Matanya yang terhalang oleh kacamata tampak teduh, namun menahan kesedihan yang cukup mendalam. ―Tak bisakah ditunggu barang seminggu saja di sini, Dok?‖ jawab perempuan setengah baya di depan orang tersebut. Nada suaranya terasa memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. Sang dokter menggigit bibir bawahnya, lalu berkata, ―Namun, asuransi hanya menanggung sampai bulan kedua, Nyonya. Dan jatuh temponya pada hari ini.‖
132
―Aku yang akan membayar sisanya, Dok. Tenang saja. Anakku yang lain juga akan mencari asuransi yang lain yang lebih mampu untuk menolongnya,‖ balas perempuan setengah baya tersebut, tak menerima. Sang dokter akhirnya menyerah. Bagaimana pun juga, walau sudah berkali-kali ia menjelaskan seputar brain death kepada sang nyonya di hadapannya tersebut, ia tetap ditentang. Padahal, semata-mata agar tak ada kemubaziran, mengingat si pasien yang berada di dalam ruangan tersebut memang sudah meninggal dalam arti medis. Tapi, ia juga tak sepenuhnya yakin dengan jawaban tersebut. Akankah ini pertanda bahwa keajaiban akan segera menghampiri keluarga ini? ―Baiklah. Saya akan menunggu untuk seminggu ke depan. Kalau masih tak ada perkembangan yang lebih baik, atau malah semakin memburuk, kami dengan terpaksa mencabut alat-alat yang terpasang di tubuh anak anda, Nyonya Lee. Saya hanya ingin tak ada yang terbuang sia-sia. Bagaimana, Nyonya Lee?‖ Yang ditanya hanya terdiam. Ia terlihat sedang mencerna perkataan dokter barusan. Ini kali ketiga pernyataan tersebut keluar dari sang dokter. Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah menjadi lebih bersemangat. ―Terima kasih, Dok. Terima kasih!‖ Perempuan setengah baya itu bangkit dari kursi tunggu yang berada di luar ruangan ICU. Ia membungkukkan badannya selama beberapa detik kepada sang dokter. Setelahnya, ia kembali masuk ke dalam ruangan ICU dan mengambil tempat di sebelah ranjang anaknya. Tangannya membelai rambut sang anak dengan penuh kasih sayang. Wajahnya terlihat sembab, entah sudah berapa lama ia menangis. Tapi kali ini, di hadapan anaknya, ia mencoba menguatkan diri. ―Kamu pasti sembuh! Kamu pasti akan kembali lagi, Taemin-ah!‖ ujar perempuan setengah baya tersebut yang sempat didengar oleh sang dokter dari luar. Dokter tersebut menghela napas berat. Sudah kesekian kalinya ia menyaksikan kejadian ini, tentunya dengan sosok yang berbeda. Tak ingin terlalu larut dalam perasaan pilu, ia pun memilih meninggalkan tempat tersebut dan mencari udara segar di luar rumah sakit. Entah kenapa, aku merasa ingin menyelamatkannya. Ingin kulihat anak itu berjalan di depanku, lalu tersenyum padaku. Ingin kubicara hangat dengannya. Walau tak ada satu benang pun yang menghubungkan kami sebelumnya. Andai aku bisa memanggil arwahnya di atas sana, lalu mengembalikannya ke dalam tubuhnya yang ringkih itu. *** Jonghyun berlari memasuki area taman belakang rumah sakit. Di sini ia berjanji dengan sahabatnya, Jinki, untuk berbincang-bincang mengenai hal yang Jonghyun tak tahu apa. Namun yang jelas, Jonghyun menangkap ada sesuatu yang tak beres dari percakapan teleponnya dengan Jinki tadi siang. Akhirnya ia mendapati sahabatnya sedang duduk di salah satu bangku taman. Jas putih masih tersampir di tangan kirinya. Jinki tengah membuka sebuah botol air mineral lalu meneguknya perlahan. ―Jinki-ya!‖ Orang yang dipanggil menolehkan kepalanya ke arah Jonghyun. Ia melambai sekilas. Jonghyun mempercepat langkahnya. ―Ada masalah lagi?‖ tanya Jonghyun sambil menyodorkan burger berukuran medium kepada Jinki. Ia pun ikut duduk di sebelah sahabatnya itu. ―Gomawo…,‖ ucapnya saat menerima burger tersebut. ―Masalah kemarin itu.‖ Jonghyun mencoba mengingat obrolan terakhirnya dengan Jinki, ―Anak SMA itu? Yang tiga hari yang lalu sudah didiagnosa mati batang otak itu, ‗kan? ‖
133
Jinki mengangguk. Matanya menerawang menatap puncak pepohonan yang berdiri kokoh di depannya, ―Entahlah sudah berapa kali aku menjelaskan kepada orang tuanya seputar perkembangan anaknya. Ia tetap bersikeras untuk tidak melepaskan alat bantu itu,‖ Jonghyun terdiam, menunggu kelanjutan cerita dari Jinki. ―Oya, kau sudah tahu mengapa dia bisa koma?‖ tanya Jinki. Jonghyun pun mencoba mengingat percakapan ia lakukan dengan Jinki sejauh ini. ―Sepertinya kau belum memberitahukannya kepadaku,‖ jawab Jonghyun sambil menggigit burger di tangannya. ―Baiklah, akan kuceritakan padamu.‖ *** Flashback [15 Oktober 2012, 15.00 KST] Hujan kali ini begitu menyusahkan bagi Taemin. Ia baru saja menyelesaikan prakarya perorangan di kelas bersama temannya untuk dikumpul keesokan hari. Teman-temannya sekarang sudah lebih dulu pulang ke rumah. Dan sekarang Taemin hanya menunggu sendirian di bawah kanopi sekolah. Ia memandangi rintikan hujan yang terkumpul membentuk genangan-genangan air yang indah di pekarangan sekolahnya. Tangannya sibuk menggenggam dan mengelus prakarya buatannya. Sebuah boneka kelinci dari tanah liat. Awalnya ia berpikir alangkah baiknya ia meninggalkan prakarya tersebut di dalam lokernya. Namun, ia mengurungkan niat tersebut. ―Warnanya masih kurang. Lebih baik kutambahkan cat-nya nanti di rumah,‖ batinnya. Hujan tak kunjung mereda. Dan kini, jam tangannya telah menunjukkan waktu 15.30 KST, yang berarti bus kota yang menuju rumahnya sebentar lagi akan tiba di halte seberang sekolah. Taemin pun memutuskan untuk berlari menuju gerbang sekolah. Air hujan sekonyong-konyong membasahi pakaiannya. Tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya sekarang adalah segera ke rumah dan mengecat prakaryanya tersebut, lalu beristirahat. Melihat jalanan cukup lengang, ia memberanikan diri untuk melintas. Dengan tangan masih berusaha melindungi ‗kelinci‘ di genggamannya. Sesampainya di seberang, ia merasa pesimis melihat sekumpulan manusia yang mengantri di halte tersebut. Akankah ia mendapatkan bus pertama sore ini? Bagaimana ini? Akhirnya bis yang ia tunggu pun datang. Mengingat rombongan yang akan masuk cukup banyak, ia cukup lama menunggu sampai giliran dia tiba. Ia beruntung masih bisa masuk ke dalam bis tersebut. Bangku-bangku di dalamnya telah penuh terisi. Ramai, sesak, dan tetesan air di mana-mana. Maklum, sebagian besar di antara mereka sudah dalam keadaan basah kuyup. Bus mulai bergerak perlahan. Tangan Taemin menggapai pegangan yang berada di sebelah kirinya untuk menjaga keseimbangan. Matanya mencoba meraih pemandangan di tepi jalan. Hujan turun semakin deras. Ia dapat mendengar serbuan bulir hujan yang membentur atap bus dan menghasilkan bunyi yang sedikit menyeramkan. Dalam hati, ia merasa beruntung dapat berlindung di bawah atap bus walau untuk sementara. Seperempat jam kemudian, ia sampai di halte terakhir yang menuju rumahnya. Ia pun turun di halte tersebut. Saat kakinya hendak menapaki tanah, ia merasakan sedikit oleng. Hampir saja jika tak ada pegangan tubuhnya akan terhuyung jatuh ke tanah. ―Hati-hati!‖ ujar salah seorang penumpang bus yang berada di belakang Taemin. Ia menahan lengan kurus Taemin yang genggamannya sudah terlepas dari pegangan pintu bus.
134
Taemin hanya membalasnya dengan tersenyum. Ia benar-benar merasa tak fokus sekarang. Ditambah lagi hujan deras yang tak kunjung berhenti menyerbu kerak bumi. Seketika perasaannya tak enak. ―Ya ampun, eomma belum aku hubungi dari tadi!‖ Cepat-cepat ia menyusupkan tangannya ke dalam saku celananya. Ia pun mendapati ponselnya dalam keadaan mati. ―Aiishh…,‖ ia mengacak rambutnya sebal. Ia tak punya pilihan lain selain berlari kembali menerobos hujan yang intensitasnya semakin meningkat. Kakinya pun mengayun cepat. Tubuhnya bergerak lurus membelah tirai hujan. Kepalanya sedikit ia tundukkan. Butiran-butiran hujan menyapu wajahnya yang memucat kedinginan. Pandangannya mengabur akibat tetesantetesan tersebut. Namun, ia tak bisa mengeringkannya. Kedua tangannya sibuk menjaga ‗seekor kelinci‘ agar tak basah terkena hujan. Ia hanya berpikir bagaimana ia bisa segera sampai di rumah, bertemu dan meminta maaf pada ibunya, dan segera mengeringkan ‗kelinci‘ tersebut. Dan hal itu membuatnya tak menyadari kalau ia sedang menyebrang menerobos lalu lalang kendaraan. … Cliché… … Sebuah
minibus
berkecepatan
tinggi
menghantam
tubuhnya.
Kelincinya
terlepas,
terpelanting
dari
genggamannya. Ia terjatuh dengan kepala yang lebih dulu membentur aspal. Minibus tersebut berhenti tepat 5 senti disamping tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Dan dengan tak tahu dirinya, minibus tersebut memutar stir dan meninggalkan Taemin meregang nyawa di tengah jalan. Pandangannya mengabur, seiring ia merasakan cairan hangat membasahi bagian belakang kepalanya. ***
[16.35 KST] Ddrrrt…drrrt…
―Halo?‖ ―Halo, Minho. Kamu bisa jemput Taemin di sekolahnya?‖ tanya seseorang dari seberang. ―Maaf, Eomma. Tapi sekarang aku masih rapat,‖ jawab Minho setengah berbisik. Ia mencoba menahan suaranya agar tak mengganggu peserta rapat. ―Tapi, ini sudah 2 jam dia telat pulang. Ponselnya juga tak aktif.‖ ―Tak apa, Eomma. Taemin mungkin mengerjakan tugas bersama temannya. Sebentar lagi dia pasti pulang,‖ jawab Minho mencoba menenangkan Ibunya. ―Aah, aku akan kirimkan nomor
temannya, Kibum. Siapa tahu
Taemin bersamanya,‖
ujar
Minho
menambahkan, berharap dengan begitu kecemasan ibunya akan berkurang. ―Baiklah kalau begitu. Kamu juga jangan pulang terlalu larut, Minho.‖ ―Iya, Eomma. Kututup dulu ya teleponnya. Nanti kuhubungi lagi,‖ ujar Minho setengah berbisik sambil mengakhiri sambungan teleponnya. Ia pun mengutak-atik ponselnya sebentar untuk mencari nomor salah satu teman Taemin. Belum sempat menekan tombol ‗Send‘, ponselnya kembali berdering. Minho pun mengangkatnya.
135
―Halo?‖ ―Hyung, ini aku, Kibum.‖ ―Iya Kibum, ada apa?‖ Minho mendengar suara keributan dari speaker ponselnya. Ia juga mendengar Kibum yang sedang mencoba mengatur napasnya yang memburu. ―Taemin tertabrak mobil, Hyung.‖ Minho mengerjapkan matanya tak percaya. Ini terlalu mendadak. Jantungnya terasa berhenti sejenak, lalu berdetak kembali dengan kecepatan yang menggebu-gebu. Tungkainya melemas seketika. Taemin? Gumamnya pelan. ―Sekarang dia berada di persimpangan jalan dekat rumah Hyung. Aku bingung harus berbuat apa,‖ jawab Kibum dari seberang. ―Kamu telepon 911 dari sana. Tunggu ambulans datang. Dan tolong kamu temani Taemin sampai ke rumah sakit ya? Hyung segera menyusul kamu nanti.‖ ―Baik, Hyung.‖ Minho mematikan sambungannya. Pikirannya menumpul. Ia benar-benar panik. Adik semata wayangnya kecelakaan untuk yang pertama kalinya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bodoh! Ia mengutuki dirinya sendiri karena terlalu sibuk dan membiarkan Taemin sendiri. Ia benar-benar menyesal. Ia merasa gagal menjadi hyung bagi Taemin. Tanpa izin, ia berlari keluar ruangan rapat dan segera menuju parkiran mobil. *** ―Kenapa hanya tertabrak mobil bisa koma 2 bulan seperti itu?‖ tanya Jonghyun. Jinki buru-buru menelan burger yang telah lumat dikunyahnya. ―Nah, kalau itu tergantung keparahan trauma kepalanya. Taemin saat itu mengalami epidural hematom, di mana benturan tersebut menyebabkan pembuluh darah otak yang menjalar di bagian luar otak pecah, namun tetap mengumpul di dalam tengkorak. Pasien dengan epidural hematom tersebut pada awalnya pingsan, lalu kembali sadar dan terbangun kembali setelah trauma. Namun perlahan gerakan tubuhnya terganggu dan bicaranya tak lagi jelas. Atau penglihatannya menjadi kabur. Tergantung dimana hematom tersebut berada. Setelahnya, ia menjadi tak sadarkan diri, lebih parah dari sebelumnya, dan bisa saja koma.‖ ―Lalu, dia menjalankan operasi, ‗kan?‖ ―Benar. Dan memang operasinya berhasil. Hematom tersebut berhasil dikeluarkan. Namun, tak selalu operasi yang berhasil membuat pasien menjadi baik dan sembuh. Ada kalanya keajaiban tak berpihak pada dokter bedah dan si pasien,‖ ujar Jinki memberi penjelasan. Jonghyun menarik napas berat. *** Minho memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah. Ia hendak menjemput ibunya pulang sebelum nantinya mereka kembali ke rumah sakit tempat Taemin mendapat pertolongan. Ia mencoba menahan air matanya agar tak keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah ia berhasil menguatkan diri, ia pun berjalan masuk ke dalam rumah. ―Minho, kau sudah pulang? Apa kau tahu di mana Taemin sekarang?‖
136
Minho terdiam. Dirinya tak mampu menjawab pertanyaan ibunya sekarang. Terlalu pahit dan lidahnya terlalu kelu mengungkapkan kejadian yang baru saja terlintas di benaknya. ―Minho, kau tampak pucat. Ayo, masuk dulu, Eomma akan buatkan teh hangat untukmu—― ―—Eomma,‖ Akhirnya Minho pun memberanikan diri untuk berbicara. ―Ya, Minho? Kau kenapa?‖ Minho segera memeluk kaki Ibunya. Air mata yang sedari tadi ditahannya terjatuh. Ia menangis dengan penuh penyesalan. ―Aku minta maaf, Eomma. Aku benar-benar menyesal. Andai aku tak ikut rapat tadi sore—― ―Ada apa dengan Taemin?‖ tanya ibunya seolah mendapat sinyal buruk dari permintaan maaf yang diajukan Minho. ―Taemin… tertabrak mobil, Eomma. Dan sekarang ia dibawa ke rumah sakit.‖ ―Ya Tuhan…,‖ Ibu Minho menyentuh keningnya sambil memejamkan mata. Ia menarik napas dalam, ―Taeminah…‖ ―Maafkan aku, Eomma… Andai aku—― ―—sudahlah Minho. Kau tak perlu merasa bersalah seperti itu. Mungkin ini takdir yang terbaik untuk keluarga kita,‖ jawab ibunya sembari menghapus air mata yang berlinang di pipinya. ―Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!‖ ―Baik Eomma,‖ jawab Minho lemah mengiyakan. Ia tak menyangka Ibunya bisa cepat menguasai diri. Tak ingin berlama-lama, ia pun mengambil dua jaket di atas kursi dan menyerahkan salah satunya kepada Ibunya. Mereka berdua pun bergegas keluar rumah. Tak lupa Minho memayungi Ibunya agar tak kehujanan untuk masuk ke dalam mobilnya. Mobil mereka pun melesat menuju rumah sakit. *** Jinki merapikan buku catatan pasien IGD yang masuk hari ini. Sekitar 40 pasien telah ia tangani berdua dengan temannya. Ia mendapatkan tugas jaga di IGD selama tiga hari ke depan. Dan hari ini cukup melelahkan bagi dirinya. Ia meregangkan ruas-ruas jarinya yang telah penat. Lalu berdiri, berjalan mengitari meja dokter jaga di sudut kiri ruangan putih ini. Sesaat kemudian, ia mendengar bunyi sirine ambulan yang sayup-sayup terdengar dari luar. Kali ini ia merasakan hal itu cukup menggiriskan, perihal sirine tersebut dibarengi oleh suara hujan yang sangat deras menghujam bumi. ―Jinki! Itu pasien tabrakan mobil tadi!‖ ujar Shinwoo. ―Telepon dari supir ambulans itukah?‖ tanya Jinki mencoba mengingat peristiwa sesaat sebelumnya. ―Benar! Suster, tolong persiapkan alat untuk resusitasi dan bedah minor,‖ pinta Shinwoo kepada perawat IGD di sebelahnya. Perawat itu mengangguk, lalu bergegas menuju ruangan tempat penyimpanan peralatan medis. Shinwoo berlari ke pintu IGD, lalu membukanya. Petugas ambulans terlihat berusaha menarik brankar keluar mobil. Shinwoo pun datang membantu petugas tersebut. ―Siapa namanya?‖ tanya Shinwoo kepada petugas ambulans. ―Choi Taemin, 18 tahun,‖ jawab si petugas. Mereka berdua mendorong brankar ke dalam ruangan IGD. ―Taemin! Taemin! Apakah kamu mendengar saya?‖ tanya Shinwoo ke arah Taemin, si korban tersebut. Taemin hanya mengeluarkan gumaman tak jelas. Badannya menegang menahan sakit yang amat sangat.
137
―Dia masih sadar,‖ ujar Shinwoo. Jinki menyusul Shinwoo sambil mengeratkan handschoon yang membalut tangannya, lalu berlari menuju tempat brankar tersebut berhenti. Mereka pun memindahkan tubuh sang korban dari brankar ambulans ke brankar IGD. ―Taemin, coba genggam tangan saya!‖ pinta Jinki sambil meletakkan jarinya di telapak tangan Taemin. Taemin berhasil menggenggamnya dengan erat. ―Bagus! Teruslah bertahan, Taemin! Kami akan menolongmu!‖ ujar Jinki setengah berteriak. Ia benar-benar tampak bersemangat untuk menyelamatkan nyawa dan raga pasien yang berada di hadapannya saat ini. ―Sudah berapa lama kejadiannya?‖ tanya Jinki sambil sibuk memasang jarum infus ke pergelangan tangan sang korban. ―Kira-kira sepuluh menit yang lalu, Hyung!‖ Jinki menggantungkan botol infus ke tiang infus. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia baru menyadari kalau suara barusan sangat familiar dalam memori otaknya. Ia pun memutar kepalanya ke arah sumber suara. ―Kibum?!‖ ―Tolong bantu Taemin, Hyung! Selamatkan dia!‖ pinta Kibum sungguh-sungguh. Ia mendekap tas Taemin yang dibawanya erat-erat. ―Akan kuusahakan sekuat tenaga, Kibum. Kau sudah menghubungi keluarganya?‖ tanya Jinki yang tetap serius memberi pertolongan kepada Taemin. Ia memasang masker oksigen ke wajah Taemin. Sementara Shinwoo mengguyurkan larutan NaCl untuk membersihkan luka di kepala Taemin. Setelahnya, ia mencukur rambut di sekitar tempat luka dengan gunting untuk melihat secara jelas luka tersebut dan memudahkan tindakan selanjutnya. ―Sudah, Hyung. Mereka akan datang sebentar lagi,‖ jawab Kibum sambil berjalan mundur. Ia diminta untuk berdiri di luar garis steril di sana oleh perawat yang bertugas. ―Lukanya menganga lebar, Jinki,‖ kata Shinwoo. ―Biar aku yang menjahit di bagian kepala. Kamu tolong urusi luka lainnya,‖ kata Jinki. Shinwoo mengangguk. Ia memang masih baru dalam hal kegawatdaruratan ini, perihal ini bulan pertamanya bertugas di rumah sakit ini. Sedangkan Jinki telah enam bulan bekerja di sini. Tentulah pengalaman Jinki lebih banyak dibandingkan dirinya. ―Tahan sedikit ya! Aku akan memberi anestesi di sini,‖ ujar Jinki mengambil spuit yang diserahkan oleh perawat di sampingnya. Lalu dengan gesit ia menjahit luka tersebut kembali. Baru saja ia menggunting benang jahitan yang tersisa setelah jahitan selesai, Taemin terbatuk-batuk. Menyaksikan hal tersebut, Kibum langsung berteriak dan mencoba mendekat. ―Taemin-ah!‖ Taemin tetap terbatuk. Segera setelah itu, ia memuntahkan sesuatu dan mengenai masker oksigennya. ―Taemin!‖ Kibum kembali berteriak. Ia benar-benar tak tega melihat keadaan teman yang sedang meregang nyawa di hadapannya. Perawat bergegas mengambil baskom kecil guna menampung muntahan Taemin. Jinki langsung membuka masker oksigen Taemin dan memutar kepala Taemin ke arah kanan agar muntahan tersebut tak menyumbat saluran napasnya dan mudah untuk keluar. Di waktu yang bersamaan, Minho dan Ibunya masuk ke dalam IGD. Mereka melihat Taemin yang sedang diberi pertolongan medis oleh para petugas. Ibu Taemin segera menyembunyikan wajahnya ke pelukan Minho, tak kuasa melihat keadaan anaknya. Minho pun mencoba menenangkan Ibunya dengan mengusap bahu ibunya pelan.
138
―Eomma…,‖ lirih Taemin lemah. Mata sayunya menatap ibunya yang tengah menangis membelakanginya. Seisi ruangan mengarahkan pandangannya ke arah Taemin. Spontan, Ibunya berbalik dan langsung bergegas mengambil tempat di sebelah kiri Taemin. ―Ya Taemin, ada apa, Nak? Bicaralah. Apa yang kau rasakan sekarang?‖ ujar Ibunya membelai rambut Taemin. Air matanya bercucuran membasahi wajah teduhnya. ―Eomma, maafkan aku karena telat pulang ke rumah,‖ ujar Taemin sedikit bersusah payah. ―Astaga Taemin, Ibu tak mempermasalahkan hal itu. Sekarang yang penting kamu harus kuat! Kamu harus tetap bertahan! Jangan tinggalkan Eomma!‖ ujar Ibunya setengah berteriak. Dadanya sangat sesak saat ini. Tapi ia mencoba untuk tetap kuat di hadapan Taemin. ―Eomma akan menunggumu!‖ Minho menyeka air matanya. Ia berjalan mendekat ke arah Taemin. ―Hyung, aku—― Ucapan Taemin terhenti. Ia kembali memuntahkan sesuatu, terbatuk-batuk dengan badan yang menyentak. Kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Jinki kembali berusaha memberikan pertolongan pada Taemin. ―Taemin! Kenapa Taemin?!‖ teriak Ibunya lagi. Taemin tak menjawab. Tubuhnya melemah, terdiam. Matanya kembali terpejam. Ia tak sadarkan diri. ―Perdarahan epidural! Cepat telepon ruang operasi!‖ teriak Jinki kepada suster yang bertugas. Shinwoo meminta Minho dan Ibunya untuk kembali menunggu di luar ruangan IGD. Sementara Kibum kembali bertanya kepada saudara kandungnya. ―Hyung? Apa yang akan kalian lakukan?‖ tanya Kibum. ―Kita akan menghubungi dokter bedah syaraf dan melakukan operasi terhadap Taemin. Kemungkinan ada penggumpalan darah di dalam tengkoraknya dan itu yang menyebabkan ia muntah dan kembali tak sadarkan diri. Kamu tolong tenangkan keluarganya ya!‖ kata Jinki bergegas keluar ruangan IGD melalui pintu di sebelah dalam. Ia berlari ke arah kiri, tepat di mana kamar operasi berada. Sementara brankar Taemin telah terlebih dahulu dibawa oleh perawat dan Shinwoo ke ruangan radiologi yang berada di sisi kanan IGD untuk menjalani pemeriksaan CT-Scan emergency kepada Taemin. Butuh beberapa menit agar suasana dan hawa ruangan IGD kembali tenang. Sesekali, terdengar isakan Nyonya Lee yang menangis sesenggukan. Tak henti, Minho berusaha menenangkan Ibunya tersebut. ―Ahjumma, ini tas dan prakarya Taemin,‖ kata Kibum sopan. Ibu Taemin tersenyum kecil, lalu menerima tas tersebut. Minho membantu memegang tas itu karena kini perhatian ibunya terpusat pada prakarya Taemin yang berada di genggaman Kibum. Sebuah kelinci dari tanah liat dengan beberapa keretakan di sisi ‗tubuhnya‘. ―Ini… buatan Taemin?‖ ―Iya. Dan ia terlambat pulang karena ingin menyelesaikan ini segera di sekolahnya, Ahjumma,‖ jawab Kibum penuh rasa hormat. ―Maafkan aku Ahjumma. Andai aku menungguinya di sekolah—― ―Tak apa-apa Kibum-ah, ini bukan salah siapa-siapa. Ini memang sudah takdirnya,‖ jawab Nyonya Lee tenang, walau guratan kesedihan masih terpatri di wajahnya. ―Kibum, bagaimana kalau aku antar kamu pulang sekarang? Hari sudah beranjak malam,‖ tutur Minho sambil menyandang tas Taemin ke punggungnya. ―Tapi, aku mau menunggu sampai operasi Taemin selesai,‖ tolak Kibum.
139
―Aku tak ingin orang tuamu cemas menunggumu di rumah. Tenang saja, aku akan memberitahumu hasil operasinya nanti,‖ bujuk Minho. ―Sekalian aku hendak membawa baju-baju Taemin ke sini dan membereskan rumah. Tadi masih ada jendela yang belum ditutup ‗kan, Eomma?‖ lanjut Minho sambil menatap Hyung-nya. Nyonya Lee tersenyum, ―Hati-hati di jalan, Minho.‖ Minho menganggukkan kepalanya. Ia pun menatap Kibum di sebelahnya, ―Bagaimana?‖ ―Baiklah. Aku pamit dulu, Ahjumma,‖ tutur Kibum. Minho dan Kibum menyalami Nyonya Lee untuk berpamitan. Lalu meninggalkan Nyonya Lee sendiri di ruang tunggu IGD. Dalam kesendirian itulah, sekelebat memori terlintas di benak Nyonya Lee. Hal itu membuatnya kembali terisak. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya. ―Taemin-ah, kau harus bertahan, Nak! Jangan tinggalkan eomma! Eomma tak ingin kehilangan orang yang eomma cintai lagi,‖ lirihnya dalam hati. *** Seoul, 21 Desember 2012 Jinki meletakkan tas kerjanya di atas kursi. Lalu, ia berjalan menuju gantungan baju di sudut kamar, dan menggantungkan jas dokternya di sana. Saat itulah, ia mendengar pintu kamarnya diketuk seseorang. ―Ya, sebentar!‖ Ia pun bergegas meraih gagang pintu dan memutar kuncinya. Terlihat Kibum menunggu di depan pintu dengan dua cangkir teh hangat di tangannya. ―Ada apa, Kibum?‖ ―Apa aku mengganggumu, Hyung?‖ ―Tentu saja tidak. Ayo masuk!‖ Kibum berjalan masuk ke dalam kamar Jinki. Ia memandangi interior kamar Jinki lekat-lekat. ―Rapi sekali, Hyung,‖ pujinya. ―Ini untukmu.‖ ―Haha, kamu seperti baru pertama kali masuk ke kamar Hyung saja,‖ balas Jinki sambil meraih teh hangat yang disodorkan Kibum kepadanya, ―Gomawo.‖ ―Ya, satu minggu itu waktu yang sangat lama tidak bertemu denganmu. Apalagi masuk ke dalam kamarmu ini, Hyung. Mungkin sudah sebulan aku tak berkunjung ke sini,‖ ujar Kibum sambil menatap deretan bukubuku yang tersusun rapi di dalam lemari buku Jinki. ―Benarkah? Ah, maafkan Hyung-mu ini Kibum-ah. Aku terlalu sibuk jaga di rumah sakit sehingga tak sempat bertemu denganmu,‖ tutur Jinki dengan raut penyesalan di wajahnya. ―Eh, aku tak bermaksud begitu. Haha, tenang saja, Hyung. Aku bukan anak kecil lagi,‖ kata Kibum sambil tergelak. ―Ya… ya… aku tahu itu, Kibum,‖ kata Jinki sambil menepuk bangga bahu Kibum. ―Oya, kita ngobrolnya di balkon saja yuk!‖ *** Nyonya Lee meletakkan handuk kecil yang sedikit lembab ke dalam tas berukuran sedang yang dibawanya. Ia baru saja membersihkan wajah dan tangan anaknya dengan handuk kecil tersebut. Kegiatan itu rutin ia lakukan setiap pagi dalam kurun waktu 2 bulan terakhir, semenjak sang anak terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Tak berdaya, atau mungkin tak bernyawa?
140
Lagi-lagi perasaan cemas dan takut menggerayangi tubuh Nyonya Lee. Taemin-ah, apa kamu tak bosan tidur terus di sini? Apa kamu tak rindu dengan Eomma? Dengan Minho Hyung, Nak?
Ttok, ttok.
Nyonya Lee mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Ia menyempatkan dirinya untuk mengusap lembut rambut Taemin sebelum akhirnya beranjak menuju pintu ruangan rawat Taemin. Seorang perawat sedang berdiri di depan pintu tersebut. ―Ada apa, Suster?‖ ―Kami akan membawa Tuan Taemin ke ruang diagnostik untuk pemeriksaan terakhir,‖ ujar sang perawat dengan sopan. Nyonya Lee menarik napas panjang, sebelum mempersilahkan sang perawat masuk dan membawa Taemin keluar ruangan. ―Ayo Taemin, kamu pasti bisa meyakinkan dokter kalau kamu masih hidup. Kamu harus bisa, Taemin-ah!‖ gumam Nyonya Lee berat. Ia menggenggam erat tangan Taemin yang cukup dingin. Sebuah genggaman yang tak berbalas genggaman. Untuk kesekian kalinya, air mata jatuh membasahi wajahnya. *** Semilir angin musim gugur berhembus dari arah selatan. Jinki menyesap teh hangatnya perlahan sambil merilekskan diri. Kesibukan bertubi-tubi di rumah sakit membuat raganya letih tak terhingga. Tiap hari tak lebih dari 4 jam ia tidur di rumah sakit. Di tahun pertama seperti ini, Jinki harus memaksimalkan daya tahan tubuhnya untuk menjadi dokter jaga di IGD, diselingi dengan tugasnya untuk mengawasi pasien yang dirawat di ruangan intensif rumah sakit. Salah satunya adalah Taemin, pasien yang menjadi tanggung jawabnya di sana. ―Hyung, bagaimana kalau kita buat perayaan kecil-kecilan untuk eomma?‖ Lamunan Jinki buyar saat Kibum memulai diskusinya dengan Jinki. Ia memutar kepalanya ke arah Kibum dan menatap adiknya heran, ―Dalam rangka apa memangnya?‖ ―Hyung tak tahu kalau besok Hari Ibu?‖ ―Benarkah? Ah, Hyung lupa,‖ ujar Jinki sambil menepuk dahinya. ―Bagaimana rencanamu esok?‖ ―Hmm, aku sih ingin memasak sesuatu yang spesial untuk eomma. Jadi, besok kita yang akan menyiapkan sarapan. Bagaimana menurut Hyung?‖ ―Boleh saja. Tapi—― ―Tapi kenapa, Hyung?‖ tanya Kibum penasaran. ―Sepertinya hyung tak bisa menemani kamu sampai selesai memasak. Besok hyung harus ke rumah sakit segera,‖ jawab Jinki dengan wajah menyesal. ―Oh, ya sudah. Tak masalah. Ah, bagaimana keadaan Taemin, Hyung?‖ balas Kibum. Jinki terdiam sejenak. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi santai yang tengah didudukinya, ―Ya begitulah, Kibum.‖ Kibum seolah dapat membaca makna tersirat yang disampaikan hyung-nya. Raut wajahnya kembali datar.
141
―Besok pagi, Hyung akan berdiskusi dengan dokter yang lain mengenai tindakan yang akan diberikan pada Taemin selanjutnya. Dan besok hasil pemeriksaan akhir juga akan dikeluarkan,‖ imbuhnya. ―Jadi, Hyung akan menyerah pada kondisi Taemin sekarang?‖ tanya Kibum. Jinki langsung menatap Kibum serius, sedikit kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan saudaranya tersebut. ―Hyung tak bisa memutuskan sekarang. Semoga saja besok ada keajaiban,‖ jawab Jinki. ―Dan semua itu bergantung pada Taemin. Apakah ia akan kembali, atau pergi. Itu haknya,‖ ujar Jinki tenang. Ia berdiri dari duduknya. Kibum hanya menerawang jauh sambil bersandar ke pagar balkon. ―Do‘akan saja ya, Kibum,‖ pinta Jinki. Kibum pun mengangguk. Ia sendiri sudah pasrah dengan semuanya. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh hyung-nya untuk menyembuhkan sahabatnya itu. Tapi, semua hasil bergantung pada Yang Kuasa. Kibum sangat tahu itu. ―Hyung…,‖ panggil Kibum. Jinki menolehkan wajahnya, ―Ya Kibum?‖ ―Aku harap kita berdua tak saling canggung lagi setelah ini,‖ ujar Kibum mantap. Jinki tersenyum. ―Maafkan hyung, Kibum. Kamu sudah berusaha dengan sangat baik untuk bisa dekat dengan hyung. Maafkan sifat hyung yang sedikit tertutup kepadamu, bahkan sampai kamu beranjak remaja sampai saat ini. Apa daya karakter hyung memang seperti ini, tapi hyung tetap menganggapmu seperti adik kandung hyung kok. Tenang saja,‖ ujar Jinki. ―Kamu jangan mencemaskan hal ini lagi, ya?‖ Kibum tergelak. ―Haha, menjawab pertanyaanku saja masih dengan bahasa baku begitu. Ya sudahlah,‖ keluh Kibum bercanda. ―Seorang dokter itu harus serius,‖ balas Jinki, membela diri. ―Nggak selalu, kok!‖ timpal Kibum. Jinki pun meninju bahu Kibum gemas. Mereka saling bertatapan. Jinki pun merasa tergerak untuk memeluk adiknya hangat. Kibum menyengir lebar, lalu membalas pelukan tersebut. Kibum bahagia, benar-benar bahagia. Tak mengapa ia ditakdirkan memiliki saudara tiri berlainan ibu. Karena saudara tersebut sangat menyayangi dirinya, seperti Jinki hyung yang berada di hadapannya saat ini. Kibum berharap agar kehangatan yang ia rasakan saat ini tetap abadi, selalu melindunginya, selamanya. Hyung, aku bersyukur memilikimu. Walau dulu aku sedikit kecewa saat mengetahui kalau kita bukanlah berstatus saudara seayah seibu. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku mengabaikan hal itu. Karena yang terpenting, aku punya Jinki Hyung, dirimu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sekiranya aku ditakdirkan menjadi anak tunggal. Apakah aku dapat merasakan kehangatan yang sama?
Part 2: Reunion
Summary
: “Ketika akhirnya hati kita terhubung oleh benang-benang takdir yang tak terlihat.”
Seoul, 22 Desember 2012 Minho memarkirkan mobilnya di basement rumah sakit. Sekilas, ia melirik jam digital mobilnya. Pukul 01.25 KST. Setelah itu, Ia bergegas menuju ruangan ICU di mana adiknya berada.
142
Akhirnya, ia sampai di depan ICU. Ia pun membelok ke arah kiri menuju ruangan tempat petugas ICU berjaga. Ia meminta baju steril kepada salah satu petugas di sana. ―Maaf, Tuan, bisakah nanti anda membawa Nyonya Lee keluar ruangan? Peraturan di sini melarang pengunjung untuk berlama-lama di ruangan ICU,‖ titah sang perawat di sana. ―Ibu saya masih belum pulang?‖ tanya Minho terheran. ―Belum, Tuan. Kami pun
tak
tega menyuruh beliau untuk
keluar
ruangan. Kami harap Tuan bisa
melakukannya,‖ jawab perawat tersebut. ―Baik. Terima kasih, Suster.‖ Minho pun bergegas mengenakan baju steril. Ia pun menggeser pintu ruangan ICU. Perlahan, ia berjalan ke sisi kanan ruangan, tempat adiknya terbaring lemah. Ia menemukan bilik Taemin masih diterangi lampu kecil di dalamnya. Pelan-pelan ia menyibakkan tirai yang mengitari ranjang adiknya itu. Ia pun mendapati Ibunya tertidur pulas di tepi ranjang. ―Eomma….‖ Nyonya Lee menggerakkan tubuhnya. Ia mengerjapkan matanya perlahan hingga akhirnya menyadari Minho yang membangunkannya. ―Minho? Sudah lama datang?‖ ―Belum, Eomma. Aku baru saja pulang kantor,‖ jawab Minho. ―Jam berapa sekarang?‖ ―Setengah dua pagi, Eomma. Apa tak sebaiknya Eomma tidur di penginapan saja? Hawa di sini terlalu dingin.‖ Nyonya Lee menggeleng, ―Bagaimana bisa Eomma meninggalkan adikmu di saat-saat terakhirnya seperti ini?‖ Minho terdiam. ―Tadi sore Taemin melakukan pemeriksaan terakhir. Apapun hasilnya esok, itu tak dapat diganggu-gugat lagi. Bila negatif, itu artinya Taemin tak akan bersama kita lagi, seperti ini,‖ lirih Ibunya dengan mata berkaca-kaca. ―Eomma ingin merasakan kenyamanan saat berada di dekat Taemin, walau faktanya Taemin tak menyadari hal itu
dan
tak
memberikan
respon
apa-apa
kepada eomma.
Sebelum
ia
benar-benar
pergi
dari
hadapan eomma selamanya, eomma ingin menghabiskan waktu-waktu terakhir dengan berada di sisinya.‖ ―Bagaimana bisa Eomma yakin Taemin akan meninggalkan kita?‖ tanya Minho dengan sedikit penekanan. Dadanya benar-benar terasa sesak sekarang. ―Bukannya Eomma yang bilang kalau kita harus menunggunya hingga sadar? Kapan pun itu waktunya? Walau asuransi telah tak sanggup membiayai perawatan dan pengobatan Taemin, kita harus tetap menunggunya?‖ ―Eomma telah mengubah persepsi eomma terhadap Taemin sekarang. Bukannya eomma letih menunggu, tapi kesemua itu ada akhir, Minho. Walaupun nanti adikmu sadar, namun suatu saat nanti ia akan benar-benar pergi meninggalkan kita, ‗kan? Begitu juga sebaliknya. Mungkin eomma yang akan pergi meninggalkan kalian berdua. Mungkin juga kamu yang terlebih dahulu. Dan sepertinya, waktu dua bulan satu minggu itu sudah waktu yang lebih untuk kita menunggu Taemin. Ditambah lagi hasil pemeriksaan yang menunjukkan kalau adikmu benar-benar telah tiada,‖ jawab Ibunya. ―Tak mungkin! Taemin masih hidup! Lihat Eomma, jantungnya masih berdetak. Dan dia masih bernapas!‖ bantah Minho. ―Tapi itu karena bantuan alat-alat ini, Minho. Hanya raganya yang berfungsi. Tapi dirinya tak lagi di sini,‖ jawab Ibunya lagi. ―Eomma sudah pesimis dengan hasil pemeriksaan besok.‖ Minho tetap bersikukuh, ―Tapi Eomma—― ―—biarkan eomma mengikhlaskan Taemin sekarang, Minho. Biarkan eomma mengikhlaskannya…,‖ lirih nyonya Lee sambil terisak.
143
Minho menarik salah satu kursi di dekatnya, lalu segera menghempaskan badannya di atas kursi tersebut. Lututnya benar-benar lemas sekarang. Apakah ia harus mengikuti saran Ibunya? Apakah ia harus merelakan Taemin untuk pergi selamanya? Di tengah keheningan tersebut, perlahan, Nyonya Lee meraba hasil prakarya Taemin di atas meja, dan mengambilnya. Ia pun menyodorkan prakarya tersebut kepada Minho. ―Eomma rasa, kamu belum mengamati boneka ini sebelumnya, Minho,‖ ujar Ibunya. Minho mengambil prakarya tersebut. Ia amati bentuk wajah kelinci itu, ia usap perlahan. *** “Hewan apa yang paling kau sukai, Minnie?” “Tentu saja kelinci, Hyung! Aah, andai aku benar-benar punya seekor kelinci di rumah.” “Tapi kamu kan alergi bulu hewan?” “Nah, itu dia yang bikin aku menyesal seumur hidup, Hyung! Aah, lihat saja nanti. Aku akan membuat kelinci tanah liat yang banyak jumlahnya. Biar aku tak merasa kesepian saat Hyung tak berada di rumah,” ujar Taemin yakin. Matanya berbinar-binar saking semangatnya ia dengan rencana berliannya itu. *** ―Kelinci yang manis. Benar-benar manis…,‖ ujar Minho sambil mengelus ‗kelinci‘ tersebut. Tiba-tiba, ia meraba tekstur yang aneh di badan kelinci tersebut. Telunjuknya berusaha mengenal tekstur itu. Ah, seperti ujung sebuah kertas memo. Perlahan, ia menarik kertas tersebut keluar dari tubuh prakarya itu. “For my great brother. Ini hadiah pertamaku untukmu, Hyung. Rencanaku sudah kubuktikan, bukan?”
Tanpa disadari, air matanya menyeruak keluar dari rongga matanya. Ia menggenggam prakarya kelinci tersebut erat-erat. Tangan kirinya memegang kertas memo tersebut sambil bergetar. Ia terisak. Bahunya bergetar hebat seolah-olah begitu banyak rasa sesak yang sedang dikeluarkan dari tubuhnya. Sebuah tangisan pilu penuh kesedihan. Minho menunduk dalam sambil menutup sebagian wajahnya. Sosok yang kini ia tangisi hanya terdiam. Tak bersuara, apalagi tersenyum. Matanya tetap tertutup syahdu. Taemin tak menyadari jika keluarganya kini sedang bimbang. Antara mengharapkan kesadarannya kembali, atau merelakan ia pergi. *** Kibum menuruni anak tangga perlahan. Kesadarannya belum benar-benar terkumpul. Namun, apa daya, ia telah berniat membuat sesuatu yang spesial untuk Ibunya di pagi hari ini. Ia melirik jam bandul di ruang tengah. Masih pukul 04.45 KST. Di saat itulah ia menyadari ada sesuatu yang terjadi di rumahnya. Ia mencium aroma makanan yang sedikit familiar, namun ia tak tahu apa pastinya. ―Jangan-jangan…,‖ Kibum segera berlari menuju dapur. Kesadarannya langsung terkumpul sempurna. Matanya membulat melihat Jinki tengah asyik mengaduk kimchi stew yang baru saja ia angkat dari kompor. Merasa tengah diperhatikan, Jinki pun menoleh ke arah Kibum. ―Hai, kau sudah bangun ternyata,‖ sapa Jinki dengan wajah cerah.
144
―Err…ada yang masih bisa aku bantu, Hyung?‖ tanya Kibum. Ia merasa malu. Kibum yang punya rencana, tapi hyung-nya lah yang mengerjakannya duluan. Bahkan rencana tersebut hampir rampung dilakukan oleh Jinki. ―Itu, kamu menyiapkan hidangan untuk diletakkan di atas meja saja. Mangkuk sama peralatan makan lainnya sudah hyung letakkan di dekat lemari sana. Tak keberatan, ‗kan?‖ ―Tentu saja tidak, Hyung. Memangnya Hyung bangun jam berapa tadi?‖ ―Ah, hyung tak sempat melirik jam tadi. Mungkin sekitar tiga puluh menit yang lalu. Haha,‖ jawab Jinki dengan senyum lebar. Sebenarnya ia sedikit berbohong karena sebenarnya ia tak sepicing pun tidur semalam karena sibuk mencari resep masakan di dunia maya. ―Oh… oke. Nasinya sudah dimasak, Hyung?‖ tanya Kibum. ―Sudah, tinggal disajikan saja, kok.‖ Setelah beberapa menit berlalu, mereka pun selesai menghidangkan makanan yang telah dipersiapkan untuk kedua orang tua mereka. Di saat yang bersamaan, orang tua mereka keluar kamar dan terperangah menyaksikan ruang makan yang telah terang benderang. ―Wah, ada apa ini?‖ tanya Nyonya Kim. Ia menatap berbagai hidangan dan 4 gelas susu hangat yang tersaji di atas meja makan. ―Selamat hari Ibu, Eomma!‖ koor Jinki dan Kibum bersemangat. Satu persatu mereka memeluk ibu mereka hangat. ―Terima kasih, Sayang,‖ balas Ibu mereka. Ia tersenyum bahagia, terharu. ―Selamat hari Ibu juga ya, Sayang. Terima kasih kau telah menjadi Ibu yang sukses mendidik anak-anak kita,‖ ucap Ayah mereka. Tak lupa ia mengecup pelan dahi istrinya, lalu memeluknya. Nyonya Kim membalasnya dengan senyuman yang cerah. ―Mari kita makan!‖ ujar Kibum. Ia menggeser kursi makan untuk eomma-nya. Sementara Jinki menggeser kursi makan untuk appa-nya. Saat Nyonya Kim hendak membalikkan mangkuk, ia menemukan dua helai kertas kecil berisi tulisan tangan. ―Ini…dari kalian?‖ tanyanya. Jinki dan Kibum hanya tersenyum saling bertatapan. Nyonya Kim membaca tulisan tersebut dengan seksama.
Teruntuk Eomma tersayang. Terima kasih atas segala hal yang telah kau berikan untukku. Tak hingga jumlah dan rupanya. Kasih sayang yang begitu besar
serta didikan bijakmu telah membantuku menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
Maafkan bila aku belum bisa membalas jasamu, Eomma. Tetaplah menjadi Ibuku selamanya. Aku bangga memilikimu.Sangat bangga. -Kim Kibum-
Tak terasa air mata Nyonya Kim meleleh. Ia pun bergegas menghapusnya, lalu tersenyum. ―Terima kasih, Kibum.‖ Kibum yang sedang menyendok makanan tersenyum simpul. Ia merasa bahagia berhasil memberi sedikit hadiah pada Ibunya tersebut.
145
Untukmu, Eomma. Tak terasa telah hampir 24 tahun engkau telah menjadi eomma dalam hidupku. Walau bukan darahmu yang mengalir
dalam
tubuhku,
namun
kasih
sayangmu
begitu
kental
memberi
kehidupan
dalam
jiwaku. Eomma telah memberikan segalanya tanpa pamrih untukku, dan tak peduli dengan statusku yang sebenarnya. Mungkin ini ucapan terima kasihku yang kesekian kalinya, namun kutahu, itu tak cukup menjadi balasan terhadap jasa yang telah kau berikan padaku. Eomma, terima kasih atas segalanya. Maafkan jika aku belum bisa membalas semua yang telah kau berikan untukku. Aku dan Kibum mencintaimu selalu. -Lee Jinki-
―Jinki…,‖ panggil Nyonya Kim tanpa mengalihkan pandangannya dari surat yang ditulis Jinki. Jinki mengangkat wajahnya dan menatap eomma-nya, ―Iya Eomma?‖ ―Ada sesuatu yang ingin eomma berikan padamu,‖ ujarnya sambil berdiri dari kursi makan, lalu berjalan menuju kamarnya. Tak lama kemudian, ia kembali lagi dengan secarik kertas di tangannya. ―Ini, nomor telepon ibu kandungmu. Kamu hubungi hari ini, ya? Berikan ucapan terima kasihmu padanya,‖ kata Nyonya Kim. Matanya memandang wajah Jinki lekat-lekat. Jinki terhening spontan. Ia merasakan sesuatu mengumpul di rongga dadanya, menyebabkan rasa sesak yang siap keluar saja melalui air mata. Kibum menatap hyung-nya dalam diam dan penuh rasa pilu. Jinki berbalik menatap ayahnya. Tuan Lee menganggukkan kepalanya tenang. ―Dari mana Eomma mendapatkan nomor itu?‖ tanya Jinki. Ia berusaha tetap tenang. ―Appa-mu yang berusaha keras mencari informasi mengenai keberadaan Eomma-mu sekarang. Maaf, kami tahu ini sudah sangat terlambat untuk mengungkapkan keberadaan ibu kandungmu sekarang. Tapi kami telah berusaha keras mencari beliau. Kuharap kamu bisa menghubunginya hari ini ya, Sayang,‖ kata nyonya Kim dengan nada memohon. Jinki termenung. Ia mencoba mengingat kejadian yang menimpa dirinya sebelumnya. Di ulang tahunnya yang ke-10, sang Ayah mengajaknya mengobrol serius di ruang tengah. Saat itulah ia mengetahui kalau nyonya Kim bukanlah ibu kandungnya yang sebenarnya. Pantaslah ia selalu merasa canggung dengan eomma-nya selama ini, begitu juga dengan adiknya, Kibum. Di saat itu jugalah, ia menemukan jawaban mengapa terdapat perbedaan marga di dalam keluarganya. Sang adik membawa marga ibunya, sedangkan ia menyandang marga dari ayah kandungnya. Begitulah keputusan yang dibuat oleh Tuan Lee untuk menghargai istrinya dan Kibum. Namun sayang, Jinki tak menyimpan memori mengenai paras ibunya, karena ia terpisah saat umurnya belum genap dua tahun. Ayahnya pun tak pernah memperlihatkan album kenangan yang setidaknya dapat membantu Jinki untuk membayangkan sosok ibu kandungnya tersebut. Ayah dan ibunya bercerai. Hakim memutuskan hak asuh jatuh di tangan Tuan Lee. Barulah beberapa bulan kemudian, ayahnya menikah dengan Nyonya Kim. Lalu lahirlah Kibum yang memiliki selang umur 7 tahun dengannya. ―Ehm… ayo, dilanjutkan makannya,‖ ujar Kibum memecah keheningan dan kecanggungan yang tercipta di ruang makan. Lamunan Jinki pun berakhir. Ia menatap deretan angka beserta sebaris nama yang tertulis di kertas dalam genggamannya. Lee Hwangmi ***
146
Jinki memasuki lift dengan langkah tak bersemangat. Pikirannya terlalu penuh oleh kilasan-kilasan memori di masa lalunya. Ditambah lagi kenyataan bahwa saat ini ia telah mendapatkan nomor ibu kandungnya. Hanya selangkah lagi, kau akan tahu segalanya, Jinki! Ia bimbang, linglung. Antara siap dan tak siap akan kenyataan selanjutnya. Apa yang akan ia lakukan jika dia bertemu dengan Ibunya? Hei, bisa jadi nomor ini tak aktif lagi. Tangannya menimang-nimang ponsel lipat yang menampilkan deretan nomor ibunya. Ia menatap angka-angka itu berulang kali, sampai layar tersebut berkedip tiba-tiba.
Dr. Shinwoo calling
Jinki langsung menekan tombol hijau, ―Ya Shinwoo? Ada apa?‖ ―Jinki, kau di mana? Kami menunggu kamu dari tadi. Rapatnya sebentar lagi akan dimulai!‖ ―Ah… iya… iya… aku sudah di dalam lift. Dua menit lagi akan sampai,‖ jawab Jinki. Ia menatap jam tangannya sekilas. Ternyata ia telah terlambat 10 menit karena kejadian sewaktu sarapan pagi tadi. Di sepanjang perjalanan pun ia hanya sanggup melajukan mobilnya dengan di bawah 40 kilometer per jam karena berbagai hal yang berkecamuk di pikirannya. ―Baik, kami tunggu!‖ Jinki menutup flip telepon genggamnya. Ia mengekspirasikan udara dari mulut yang lebih panjang dari biasanya. Berharap dengan begitu rasa sesak yang terkumpul di pikirannya bisa berkurang seketika. Pintu lift terbuka. Ia menyampirkan tas ke bahu kirinya. Dengan setengah berlari ia bergegas menuju ruangan rapat yang telah direncanakan sebelumnya. Sesampainya di depan pintu, ia membenarkan letak kacamatanya, lalu membereskan poni yang menutupi sebagian dahinya. ―Permisi. Maaf, saya terlambat,‖ ujar Jinki sambil membuka pintu. Kemudian menutupnya dengan canggung. Ini kali pertama dia terlambat selama bekerja di rumah sakit ini. Kepala ruangan ICU, sekaligus pimpinan rapat—lebih tepatnya diskusi—menyilakan Jinki duduk dengan menggerakkan tangan kanannya ke salah satu kursi kosong yang berada di sudut ruangan. Jinki bergegas menghampiri kursi tersebut. Belum sedetik badannya terduduk di kursi, Shinwoo langsung menyikutnya pelan. ―Demi apa kamu terlambat seperti ini?‖ tanya Shinwoo penasaran, ―tak biasanya.‖ Jinki hanya membalas dengan senyuman kosong. Hanya sekadar basa-basi alih-alih tak mau menjawab pertanyaan temannya itu. Shinwoo menyodorkan seberkas data kepada Jinki. ―Baiklah, kita lanjutkan diskusi kembali. Sesuai kesepakatan minggu lalu, pasien bernama Choi Taemin telah menjalani pemeriksaan akhir untuk menentukan tindakan apakah pasien tetap dirawat dalam ICU atau dipulangkan,‖ kata ketua diskusi, kepala ruangan ICU. Jinki mendengarkan dengan serius. ―Hasil pemeriksaan telah berada di hadapan kalian masing-masing. Jadi, keputusan akhir telah ditetapkan. Pasien Choi Taemin didiagnosa Brain Death et causa Epidural Hematoma. Pasien telah melakukan operasi dan menjalani perawatan selama dua minggu tujuh hari tanpa perkembangan yang berarti. Diduga telah terjadi kerusakan sel-sel otak yang cukup luas karena hematom tersebut. Dengan pertimbangan di atas, dan juga sesuai dengan ketentuan prosedur pelayanan perawatan ICU yang berlaku, maka pasien akan dicabut seluruh pengobatan dan dilakukan penghentian terapi serta dipulangkan kepada keluarga…‖ ―Ada tanggapan dari peserta diskusi?‖ Jinki menarik napas dalam. Ia menatap Shinwoo sekilas
147
―Tak apa-apa, Jinki,‖ ujar Shinwoo seolah-olah membalas tatapan Jinki. Kepala ruangan ICU menganggap keseluruh peserta telah mengerti dengan penjelasan panjangnya tadi, ―Baiklah kalau tidak ada tanggapan, berarti semuanya setuju. Dokter Jinki?‖ panggil ketua diskusi. ―Ya, Dok?‖ ―Anda nanti yang akan ditugaskan untuk melakukan inform consent kepada keluarga pasien. Alat bantu akan dilepaskan nanti pukul 09.00 KST. Mengerti?‖ Jinki mengangguk takzim, ―Mengerti, Dok.‖ ―Baiklah, dengan ini diskusi ditutup.‖ *** Jinki berjalan melewati lorong tempat ruangan perawat berada. Hari ini ia tidak mendapatkan tugas jaga di IGD rumah sakit. Setelah ia mengganti pakaiannya dengan baju jaga, satu stel baju berbahan katun ringan berwarna biru gelap lengan pendek, ia pun mengambil tempat di salah satu kursi yang tersedia di sana. Ia memilih untuk menyendiri sambil menatap pemandangan luar melewati jendela rumah sakit. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk melihat deretan nomor ibunya kembali. Tangannya berusaha mengambil ponsel yang tersimpan di saku jas putihnya. Ia pun membuka flip ponsel dan mencari nomor tersebut. Kenapa tak kau coba telepon beliau sekarang, Jinki? Jinki merasa heran dengan dirinya sendiri. Entah kenapa ia menjadi tak sabar mendengar suara ibu kandungnya—itupun jika nomor hasil pencarian ayah tersebut tepat dan benar. Jinki menggenggam ponsel tersebut lebih erat dari pada biasanya. Jantungnya berdegup kencang. Kuatkah ia saat mendengar suara ibu kandungnya nanti? *** Minho baru saja selesai merapikan diri di kamar penginapan keluarga pasien yang letaknya berseberangan dengan gedung utama rumah sakit. Ia menunggu ibunya yang juga sedang bersiap-siap untuk pergi menuju ruang rawat Taemin. ―Yuk, Eomma.‖ Ia merangkul bahu ibunya dengan lembut. Setelahnya, mereka berjalan menuju gedung utama tempat ICU berada. Tempat tubuh Taemin berisitirahat di sana. Tak lama, ia sampai ke ruangan perawat. Ruang perawat tersebut terdiri dari ruangan lepas dengan meja panjang yang melengkung membentuk huruf L. Di sanalah keluarga pasien akan melapor kepada perawat ruangan ICU dan meminta tolong kepada mereka. Misalnya, meminta baju steril, registrasi pasien masuk dan keluar, menemui dokter ruangan ICU, dan sebagainya. Salah seorang perawat yang telah hapal dengan keluarga Taemin pun bergegas menghampiri mereka. ―Keluarga Choi Taemin?‖ ―Iya, Suster. Benarkah hasil pemeriksaan Taemin akan keluar hari ini?‖ tanya Nyonya Lee. Minho menunggu jawaban sang perawat dengan degupan jantung yang lebih hebat dibanding biasanya. ―Benar, Nyonya. Nanti dokter Jinki akan berbicara langsung dengan anda. Mohon tunggu sebentar lagi, beliau sedang bersiap-siap.‖ Nyonya Lee mengangguk. Hatinya sudah mantap akan tetap teguh apapun hasilnya nanti. Tak boleh ada penyesalan dan kesedihan yang terlalu mendalam jika hasilnya yang disampaikan nanti tidak sesuai harapannya. Sementara Minho mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruang perawat. Di sana ia menemukan sosok Jinki yang sedang duduk menatap keluar jendela. Tampaknya ia sedang menelepon seseorang, pikirnya.
148
Drrt… drrt…
Ponsel Nyonya Lee berdering. Dengan tenang Nyonya Lee mengambil ponselnya yang berada di dalam tas tangannya. Sederet nomor yang tak dikenal menghubunginya. Ia pun mengangkat telepon tersebut tanpa mengubah posisinya sekarang. Minho melirik Ibunya sekilas. ―Yoboseyo?‖ Tak ada jawaban. ―Siapa ini?‖ ulang Nyonya Lee kembali. Entah kenapa, Minho menemukan ketidakberesan di sana. … ―Maaf Dok, keluarga pasien Choi Taemin sudah datang,‖ jawab perawat yang menemui keluarga Taemin sebelumnya. Jinki memutar badannya ke arah meja pembatas ruangan perawat alih-alih untuk memastikan keberadaan keluarga Taemin tersebut. Ia pun menangkap sosok Nyonya Lee yang sedang menelepon seperti dirinya. Jangan-jangan… ―Apakah ini benar nomor Lee Hwangmi?‖ tanya Jinki perlahan. Ia mengabaikan perkataan perawat barusan. Matanya terfokus dengan Nyonya Lee yang menampilkan raut wajah kebingungan. “Ya benar, ini siapa?” jawab seseorang di seberang. Tepat! Tepat sekali Jinki! Kau tak hanya tahu suara ibumu, tapi juga wajah ibumu sekarang! Itulah suara pekikan hatinya sekarang. Sekujur tubuhnya bergetar karena pekikan tersebut. Napasnya memburu. Setidaknya itulah yang ia rasakan saat mendapati gerakan mulut nyonya Lee di seberang meja sana sama dengan suara yang ia dengar dari speaker ponselnya kini menempel di telinganya. Segera ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan pelan menuju meja pembatas tersebut. Manik matanya menyiratkan bahagia. Benar, ia bahagia tak terkira saat ini. Kedua matanya tak lepas dari wajah nyonya Lee untuk memastikan bahwa dugaannya tak salah. Si perawat hanya memperhatikannya dengan tatapan heran. … Minho menatap Ibunya, lalu menatap dokter Jinki yang juga menatap Ibunya, saling bergantian. Benar-benar aneh. Ribuan pertanyaan menyergapnya tiba-tiba. Apakah dokter Jinki yang menelepon Eomma saat ini? Tapi untuk apa? … Nyonya Lee kebingungan. Siapa penelepon ini sebenarnya? ―Ini siapa?‖ tanya nyonya Lee kembali. Ia pun membalikkan badannya agar ia dapat berkonsentrasi dengan teleponnya saat ini. … Minho melihat dokter Jinki semakin mendekat ke arah mereka, namun tanpa menurunkan ponsel dari telinganya. Yang anehnya lagi, ia tersenyum lebar ke arah ibunya yang kini berdiri membelakangi meja pembatas. ―Eomma, apa dokter Jinki yang menghubungi Eomma saat ini?‖ tanya Minho sambil menatap ibunya, lalu berbalik melayangkan tatapan ke arah Jinki sambil menyiratkan raut wajah risih.
149
―Dokter Jinki?‖ ulang Ibunya terheran karena ucapan Minho. Ia memutar badannya kembali. Saat itulah ia menangkap sosok dokter Jinki, dokter yang merawat Taemin, berdiri di hadapannya sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang tak dapat diartikan oleh dirinya saat ini. ―Saya Lee Jinki. Anak dari Lee Hwangmi dan Lee Donghwa. Apakah Eomma mengenalnya?‖ Akhirnya si penelepon— dengan kata lain dokter Jinki—tersebut bersuara kembali. Nyonya Lee terhening seketika. Ia merasakan ribuan sentakan kekagetan menyerbu badannya. Suara yang ia dengar lewat ponselnya persis dengan suara yang ia tangkap dari mulut dokter Jinki yang berdiri di seberang meja di hadapannya. Dan… Lee Donghwa? Tiba-tiba sekelebat memori masa lalu terlintas di dalam pikirannya. Deretan flashback berputar silih berganti sampai akhirnya terhenti ketika menampilkan seorang sosok. Sosok yang pernah bersamanya 25 tahun yang lalu. Apakah Lee Jinki di depanku saat ini…anakku? Benar-benar anakku?
Tut… tut… tut… tut…
Jinki menutup flip ponselnya. Dengan begitu sambungan telepon tersebut terputus. Dirinya dengan jelas menangkap manik mata nyonya Lee yang kini menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Jinki merasa sebaiknya ia memberikan waktu kepada Lee Hwangmi, ibu kandung menurut dugaannya sementara ini, untuk mencoba mengingat-ingat kembali masa lalunya dengan jalan mengakhiri panggilan telepon tersebut. ―Eomma, apa maksud semua ini?‖ tanya Minho sambil memegang bahu ibunya. Nyonya Lee hanya terdiam membeku sambil menatap dokter Jinki tanpa kedip. ―Lee Jinki?‖ gumam ibunya pelan. Matanya mulai memanas menahan rasa sesak di rongga dadanya. Sesak yang kini diartikannya sebagai rasa bahagia, sekaligus penyesalan tiada kira. Jinki hanya mendehem berat. Ia berbalik berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil seberkas data di sana. Lalu ia keluar dari ruangan perawat melewati pintu kecil di ujung meja. Sampai akhirnya ia berdiri berhadapan dengan nyonya Lee dan Choi Minho yang menatapnya dengan wajah kebingungan meminta kepastian. ―Mari ikut saya ke ruangan di sebelah sana,‖ pinta Jinki kepada kedua orang tersebut. Ia menggunakan karakter dokternya kembali. Wajahnya kembali seperti semula seolah-olah tak terjadi apa-apa sebelumnya. ―Dokter Jinki, apa maksud ke semua ini?!‖ bentak Minho tak sabar. Nyonya Lee tiba-tiba menunduk. Sebulir air mata keluar dari tempat persembunyiannya. Jinki tetap tersenyum seakan-akan tak peduli. Tangannya memberi isyarat menunjuk ke arah pintu ruangan yang akan ia tuju. ―Nanti akan saya jelaskan di dalam ruangan.‖ *** Jinki
menarik
gagang
pintu
ruangan inform
consent.
Di
ruangan
inilah
seluruh
proses inform
consent dilakukan. Inform consent tersebut bertujuan agar keluarga tahu akan tindakan yang akan dilakukan, dengan kata lain, dokter akan menjelaskan kondisi pasien dan kemungkinan tindakan yang diberikan. Di sanalah keluarga pasien akan menandatangani surat persetujuan tindakan. Dan bagi dokter, persetujuan
150
tersebut berarti beban tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain, jika terjadi sesuatu pada pasien, maka salah satu bukti yang diperlukan untuk penyidikan adalah inform consent tersebut. Ruangan kecil ini hanya berukuran 2 x 2 meter. Di dalamnya terdapat dua kursi untuk keluarga pasien, satu kursi untuk dokter, sebuah meja, dan sebuah papan tulis yang berguna untuk memudahkan dokter memberi penjelasan mengenai kondisi pasien. Di ruangan inilah, sebuah misteri akan dipecahkan. Jinki mempersilakan Nyonya Lee dan Minho untuk duduk. Minho tanpa henti mengarahkan tatapan tajam kepada Jinki sambil mengiringi nyonya Lee ke kursi. ―Baiklah, semuanya sudah tenang. Saya akan menjelaskan semuanya. Sebelumnya, saya mohon maaf karena telah membuat sedikit kekacauan,‖ ujar Jinki hormat. ―Langsung saja, Dok!‖ balas Minho dingin. Nyonya Lee menggenggam lengan Minho seolah-olah menyuruh Minho untuk lebih sopan. ―Baiklah, tapi sebelumnya, saya minta anda tidak memotong penjelasan saya nanti. Bagaimana pun tidak masuk akalnya penjelasan yang akan saya sampaikan nanti kepada anda, saya harap anda menyimpan keterkejutan anda dahulu. Begitu juga jika nanti ada pertanyaan sehubungan dengan penjelasan saya nanti. Paham?‖ Minho terdiam sesaat untuk mencerna kata-kata Jinki barusan, ―Oke, tak masalah.‖ Jinki menarik napas dalam. Ia pun melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di atas meja. Otot-otot tubuhnya terasa menegang saat ini. Sedikit lagi. Ya, hanya sedikit lagi. ―Saya mendapatkan nomor Eomma dari appa saya, Lee Donghwa, tadi pagi. Ia telah berusaha keras mencari keberadaanmu, Eomma. Dan akhirnya, saya mendapatkan nomor tersebut dari tangannya,‖ ujar Jinki memberi penjelasan. Nyonya Lee masih terdiam. Jinki pun melanjutkan perkataannya kembali. ―Apakah Lee Hwangmi yang dimaksudkan appa adalah Eomma?‖ tanya Jinki perlahan, seolah-olah berusaha memasukkan pertanyaan tersebut ke relung hati nyonya Lee yang wajahnya masih tertunduk saat ini. Tangisan nyonya Lee akhirnya pecah. Ia menangis tersedu-sedu. Ia memahami benar pertanyaan yang baru saja Jinki lontarkan padanya. Memang benar, dialah ibu kandung Jinki, yang sudah berpisah dengannya selama hampir 24 tahun. Ia menyesal. Ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia menghilang, menikah dengan orang lain, dan tanpa sedikitpun berusaha untuk mencari tahu kondisi anak pertamanya? Begitu pengecutkah ia selama ini, tak ingin bertemu dengan anaknya? Walau terkadang rasa penasaran akan anak pertamanya menyelimuti dirinya? Kini, anaknya lah yang bertemu mencarinya. Dan yang paling memalukan, dengan bantuan mantan suaminya. Tangisan penyesalan nyonya Lee semakin deras. Minho mengurut bahu Ibunya untuk memberikan rasa nyaman dan menenangkan Ibunya. ―Maafkan Eomma, Jinki-ya…,‖ lirih Nyonya Lee di sela tangisnya. Jinki hanya menatap Ibu kandungnya sambil tersenyum. ―Tak ada yang perlu dimaafkan, Eomma. Tak ada yang patut untuk disalahkan di sini. Aku tetap merasa bahagia meski diasuh dengan ibu tiriku, istri baru appa. Aku juga masih dapat merasakan kehangatan keluarga, ditambah lagi dengan adanya Kibum. Semua itu sudah cukup lengkap, Eomma,‖ ujar Jinki tenang.
151
―Dan sekarang, Aku telah menemukan Eomma. Sungguh, tak terbayangkan rasa ini sebelumnya, Eomma. Benar-benar bahagia. Aku bersyukur saat menemukan fakta ini, hatiku tak menolaknya. Aku menerimanya, tanpa ada rasa kesal sedikitpun. Karena Eomma juga berpisah dengan cara baik-baik, ‗kan?‖ Nyonya Lee masih terisak. Namun Jinki tampaknya tak ingin berusaha menghentikan tangisan ibunya. Ia menganggap, biarlah rasa sesak dan penyesalan yang dirasakan ibunya keluar melalui air mata itu. Sampai akhirnya emosi ibunya kembali stabil, dan tangisan pun akan mereda dengan sendirinya. ―Bagaimana keadaanmu, Nak?‖ tanya Nyonya Lee saat ia mulai merasa tenang. Jinki memajukan badannya ke depan, ―Seperti yang Eomma lihat saat ini. Tampak bahagia, bukan?‖ Jinki tak henti-hentinya tersenyum kepada ibunya. Hal itu membuat ibunya merasa lebih baik. Nyonya Lee pun ikut tersenyum. Di saat yang sama, Minho, yang kini duduk di sebelah kiri ibunya terdiam. Perasaannya campur aduk, begitu juga dengan pikirannya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada Jinki dan eomma-nya sekarang, tapi ia pikir biarlah momen ini khusus untuk mereka berdua. Biarlah ia di sini hanya bertindak sebagai penonton saja. Jinki melirik jam tangannya. 15 menit lagi menuju jam 09.00 KST. Waktu untuk inform consent sebentar lagi akan berakhir. Ah, untuk pertama kalinya ia merasa kesal dengan waktu, mengapa terlalu cepat berlalu? Bisakah rasa bahagia yang ia rasakan kini berlangsung lebih lama? ―Eomma, ada lagi pertanyaan yang akan disampaikan?‖ tanya Jinki penuh hormat. ―Biar kita lanjutkan nanti, Jinki-ya. Ehm, sekarang bagaimana keputusan mengenai adikmu?‖ tanya Nyonya Lee sambil menyimpan saputangan yang ia pakai untuk menghapus air matanya ke dalam tas kembali. Adikmu? Ya, Jinki tak salah dengar. Ia baru saja mendengar kata ‗adikmu‟ dari mulut ibu kandungnya. Ketakutan segera menyergap dirinya. Adikku? Ah, Taemin telah menjadi adikku mulai sekarang. Tapi… Jinki merasa menyesal. Kenapa ia tak mengetahui keberadaan ibunya lebih cepat? Setidaknya ia masih sempat menghabiskan waktu bersama Taemin, adik seibunya. Paling tidak ia bisa menyampaikan fakta kalau Taemin masih memiliki saudara lain, yaitu dirinya. Jinki menarik napas dalam. Ia memakai kacamatanya kembali. Kemudian, ia membuka berkas-berkas hasil pemeriksaan adiknya kemarin. Kali ini, ia harus kuat menyampaikan semuanya. ―Choi Taemin tetap tak menujukkan perkembangan yang berarti, Eomma. Seluruh pemeriksaan menujukkan telah terjadi mati otak pada Taemin. Aku tahu ini begitu berat, Eomma, tapi sesuai perjanjian kita minggu lalu, hari ini jatuh tenggat waktu kompensasi yang diberikan oleh rumah sakit pada Taemin. Rumah sakit telah memberikan kesempatan seminggu kepada Taemin untuk menunjukkan keajaibannya. Tapi sampai detik ini tak ada, Eomma. Malah fungsi organ lain pun ikut menurun. Aku juga berharap bisa memberikan waktu lebih kepada Taemin untuk bertahan dengan alat-alat tersebut. Berharap ia dapat sadar dan aku bisa menemuinya dan berbincang dengannya. Tapi, kesemua ini ada akhir, Eomma. Dengan berat hati, kami akan melepaskan alat bantu penopang tubuh Taemin serta melakukan penghentian terapi pada Taemin. Ini surat pernyataannya. Apakah Eomma bersedia?‖ tanya Jinki dengan wajah muram. Ia benar-benar tak tahan harus menjalani perannya sebagai dokter di saat seperti ini. Ia merasa ingin untuk berada di posisi keluarga pasien dan berharap untuk menolak permintaan dari rumah sakit. Ia berharap agar dapat menyobek kertas pernyataan ini dan memohon-mohon kepada pihak rumah sakit. Seandainya ia bisa masa bodoh dengan profesi yang menjadi amanahnya saat ini. ―Bersedia.‖
152
Jinki terhenyak. Jawaban tadi benar-benar berasal dari ibunya. Dan, ia dapat memastikan bahwa saat ini ibunya tak menangis sedikit pun. Bagaimana bisa ibunya setegar ini? ―Kami telah melepaskannya, Jinki. Berbuatlah sesuai ilmu yang kamu punya. Eomma beserta adikmu ini, Minho, bersedia akan pernyataan ini,‖ jawab Ibunya tenang, walau dari sorot matanya, Jinki masih bisa merasakan rasa sedih yang mendalam atas kenyataan ini. Jinki beralih menatap Minho. Minho dengan tenang memberikan anggukan kecil kepadanya. Jinki mau tak mau merelakan ibunya untuk menandatangani inform consent ini. Ia pun menyodorkan sebuah pena kepada ibunya. Tanpa menunggu waktu yang lama, surat itu ditandatangani oleh ibunya. Ia mengambil surat itu dan membacanya sekilas. Lalu surat itu ia masukkan kembali ke dalam sebuah map yang ia bawa tadi. ―Baiklah, dengan ini inform consent selesai dilakukan,‖ tutup Jinki. ―Kami masih bisa menyaksikan Taemin di saat-saat terakhirnya, ‗kan?‖ tanya Minho. ―Tentu saja bisa, Minho,‖ jawab Jinki sambil berdiri dari kursinya. Nyonya Lee dan Minho pun ikut berdiri. Namun sesaat kemudian, gerakan Jinki terhenti. Ia menatap Ibunya kembali. Lalu sebaris pertanyaan ia lontarkan pada Ibunya. ―Bolehkah aku memelukmu, Eomma?‖ tanya Jinki. Nyonya Lee membalasnya dengan senyuman haru. Matanya kembali berkaca-kaca, ―Tentu saja, Jinki-ya!‖ Jinki langsung menghamburkan dirinya ke pelukan ibunya. Pelukan pertama setelah sekian lama ia berpisah. Dan kini, pertahanan dirinya pun runtuh. Ia tak dapat menolak perasaan anak yang sebenarnya pada ibunya. Jinki menangis terisak sambil mendekap ibunya hangat. ―Aku merindukanmu selama ini, Eomma. Tetaplah berada di sisiku,‖ bisik Jinki di tengah-tengah tangisannya. Ibunya menganggukkan kepalanya semangat. Tangannya mengelus rambut Jinki dengan penuh kasih sayang. Minho pun ikut berkaca-kaca menyaksikan hyung-nya memeluk tubuh ibunya. Ia pun memilih untuk keluar dan menunggu di luar ruangan. ***
Author’s note : Hanya sekadar sharing info untuk marga di Korea. http://en.wikipedia.org/wiki/Korean_name http://en.wikipedia.org/wiki/Married_and_maiden_names#Korea
Part 3 : Miracle
Summary
: “Ketika akhirnya hati kita terhubung oleh benang-benang takdir yang tak terlihat.”
Pintu ICU bergeser memberi jalan kepada perawat untuk masuk. Di dalamnya telah berdiri Jinki, Shinwoo, Nyonya Lee, dan Minho untuk menunggu proses pelepasan alat bantu yang digunakan Taemin. ―Maaf, Tuan, Nyonya, silakan tunggu di luar,‖ kata perawat tersebut di balik maskernya. Jinki langsung menyela, ―Biarkan saja, Suster.‖
153
―Tapi Dok—― ―—tak apa apa,‖ jawab Jinki sambil menganggukkan kepalanya pelan. Minho merangkul bahu Ibunya erat. Mereka berdua akan disuguhkan pemandangan memilukan untuk kali kedua dalam hidup mereka. Yaitu melepaskan kepergian orang yang dicintai selamanya. Nyonya Lee berusaha tegar, tetap tenang. Kali ini ia bertekad tidak akan menangisi kepergian Taemin, anak bungsunya. ―Mari kita mulai,‖ kata Jinki memberi aba-aba dengan penuh wibawa. Perlahan, tangannya melepaskan jarum infus dari lengan kiri taemin. Dalam waktu yang bersamaan, Shinwoo juga menutup saluran vena sentral yang terpasang di bagian tengah dada Taemin. Perawat membantu mereka berdua merapikan alat-alat tersebut di tempatnya. Lalu, Jinki melepaskan saluran nasogastric tempat penyaluran makanan yang masuk melewati hidung Taemin. Dengan gentle ia melakukannya, perlahan. Setelahnya, Jinki menghentikan asupan oksigen dari Taemin, lalu melepaskan alat bantu ventilatornya. Shinwoo melepaskan alat-alat lain yang terpasang di tubuh Taemin. Di saat itu, alat monitor jantung masih menunjukkan keadaan yang stabil. Angka saturasi oksigen bergerak turun. Namun, wajah Taemin tak bergerak sedikit pun. Ada aura kedamaian di sana. Jinki membiarkan jantung Taemin bergerak sampai akhirnya melambat, lalu berhenti. Lengkingan suara nyaring panjang menjadi akhir dari semuanya. Saat itulah, Minho tak bisa menguasai diri. Ia menutup sebagian wajahnya, lalu terisak. Nyonya Lee hanya memandang Taemin dengan wajah datar tanpa ekspresi. Jinki melirik Minho dan ibunya sekilas. Matanya langsung berkaca-kaca. Saat itulah ia kembali merasakan rasa sesak di dadanya. Tapi ia tak bisa menangis sekarang. Ia harus melanjutkan tindakannya. ―Saatnya melepaskan alat terakhir, Shinwoo,‖ ujar Jinki sambil menatap lurus ke arah Shinwoo. Shinwoo menganggukkan kepalanya. Alat terakhir yang dimaksudkan oleh Jinki adalah alat perekam jantung, salah satu pertanda apakah masih terdapatnya kehidupan di dalam tubuh Taemin. “Hhh…” Tiba-tiba, Jinki merasakan bajunya ditarik oleh seseorang. Ia langsung mengarahkan tatapannya ke bawah. Sebuah tangan menarik bajunya. … Dan tangan itu milik Taemin. ―Taemin!‖ pekik Nyonya Lee. Ia berusaha mendekati Taemin, namun perawat mencegahnya untuk tidak mendekat. ―Biarkan dokter memberikan pertolongan terlebih dahulu, Nyonya. Tolong mundur sebentar,‖ ujar perawat tersebut. Tangisan Nyonya Lee yang sedari tadi ia tahan langsung pecah. Minho berusaha menguatkan ibunya. Taemin menarik napas berulang kali dengan cepat. Ia terlihat sesak. Lampu indikator monitor jantung langsung berkedip pertanda kegawatan. Jinki langsung menyambar masker oksigen yang diserahkan oleh perawat, lalu memasangkannya pada wajah Taemin. Shinwoo mengatur saturasi oksigen sampai angka tertentu. Nyonya Lee tak bisa menahan dirinya. Ia langsung bergegas mendekati anak bungsunya. ―Taemin! Kau masih hidup, Nak? Bertahanlah!‖ tangisnya sambil menggenggam tangan kanan Taemin. ―Eomma….” Taemin masih megap-megap di balik masker oksigennya. Jinki mengambil satu ampul obat, memasukkannya ke dalam alat suntik, lalu dengan cepat ia menyuntikkannya ke lengan kurus Taemin perlahan. Shinwoo juga ikut melakukan sesuatu untuk menolong Taemin.
154
―Bertahanlah, Taemin!‖ gumam Jinki sedikit keras. Ia menarik jarum suntik tersebut, lalu kembali melihat ke arah monitor dan wajah Taemin secara bergantian. Perlahan angka saturasi oksigennya meningkat, dan denyutan jantungnya kembali normal. Taemin tampak lebih tenang. ―Eomma,‖ lirih Taemin lemah. ―Iya Sayang, bicaralah,‖ ujar Nyonya Lee. Minho bergerak mendekati Taemin. ―Eomma, jangan tinggalkan aku…,‖ ujar Taemin perlahan. ―Tentu saja, Sayang. Eomma tetap di sini di sampingmu,‖ ujar Nyonya Lee sambil menyentuh wajah pucat Taemin. Sementara Minho tak sanggup berkata apa-apa hingga saat ini. Ia terlalu shock melihat keajaiban ini. Ia terlalu bahagia sehingga tak mampu melakukan apa-apa selain ikut menggenggam lengan Taemin. Taemin menggenggam tangan Eommanya lebih kuat. Ia menolehkan wajahnya kepada hyung-nya. ―Minho Hyung…,‖ Minho menarik napas dalam. Air matanya kembali mengalir mendengar Taemin memanggil namanya. Perlahan, ia mencium dahi Taemin, bentuk ungkapan rasa bahagia atas kembalinya sang adik ke dalam kehidupan mereka. ―Jangan tinggalkan hyung lagi, Taemin!‖ gumamnya berat. Taemin tersenyum samar. Ia mengacak rambut Taemin dengan penuh kasih sayang. Jinki dan Shinwoo menarik napas lega. Jinki bersyukur karena keajaiban benar-benar telah datang padanya. Ia mengusap pipinya yang tak ia sadari basah karena air mata kebahagiaan. Perlahan, ia berjalan menjauh meninggalkan Taemin beserta keluarganya. Ia mengikuti Shinwoo dan perawat keluar ruangan. ―Jinki-ya!‖ sahut Nyonya Lee. Langkah Jinki pun terhenti. Ia membalikkan badannya kembali. ―Jeongmal kamsahamnida.‖ Nyonya Lee berdiri dari kursinya, lalu membungkuk dalam. Minho pun mengikutinya. Jinki kembali menghampiri Ibu kandungnya. ―Sama-sama. Berterimakasihlah kepada Tuhan. Saya hanya sebagai perantara saja untuk Taemin. Saya juga ingin
menyampaikan
terima
kasih
kepada
Taemin
karena
sudah
mau
kembali
untuk
menemui eomma dan hyung-nya,‖ ujar Jinki sambil menatap ibunya, lalu beralih kepada Taemin. Taemin membalas tatapan Jinki. ―Terima kasih, Dok,‖ lirih Taemin pelan. Mata Jinki menatap wajah Taemin terharu. Ia senang bercampur sedih. Ia senang karena Taemin mengucapkan terima kasih padanya. Namun ia sedih karena Taemin tampaknya tak menyadari maksud kata hyung dalam ucapannya barusan ditujukan untuk Minho dan juga dirinya. Benar, Taemin belum mengetahui status Jinki yang sesungguhnya. ***
Seoul, 23 Desember 2012 Jinki mengaduk coklat hangat buatannya. Ia menggeser sebuah bangku di ruangan jaga IGD. Ya, ia kembali bertugas di IGD hari ini. Tepatnya untuk malam hari nanti. Sekarang, ia hanya menghabiskan waktu di rumah sakit sambil membereskan beberapa rekam medis pasien yang ditanganinya. Seakan-akan tak ada hari Minggu untuk dokter seperti dirinya. Baru saja ia hendak membuka map rekam medis pertama, ponsel khusus keluarganya berdering di atas meja. Jinki pun buru-buru mengangkatnya. ―Yoboseyo?‖
155
―Yoboseyo! Hyung, apa kabarmu?‖ Jinki menyandarkan punggungnya ke kursi, ―Baik, Kibum-ah. Ada perlu apa menelpon pagi-pagi begini?‖ ―Apa benar Taemin sudah siuman?‖ tanya Kibum dengan nada cukup keras. ―Iya..benar. Kemarin dia udah siuman.‖ ―Astaga, Hyung! Kenapa kau tak langsung menelepon aku kemarin?‖ Jinki tersenyum lugu, ―Aah, mianhae… hyung benar-benar lupa. Kemarin hyung tak sempat memegang ponsel ini. Tugasku terlalu banyak.‖ ―Aahh, untung saja Minho hyung memberitahukannya padaku. Gak apa-apa kok, Hyung. Sekarang, dia dirawat di mana? Apa dia sudah dipindahkan dari ICU?‖ tanya Kibum. ―Sudah, baru tadi malam dia keluar. Sekarang dia dirawat di bangsal neuro. Kamu mau membesuknya?‖ ―Tentu saja, Hyung! Oke, sebentar lagi aku ke sana. Selamat bertugas! Bye!‖ ―Bye!‖ Kibum memutuskan sambungan teleponnya. Ia mendesah panjang. ―Aah… Taemin…,‖ gumamnya. Sinar matahari pagi yang masuk menembus jendela kamar menerpa wajah cerianya. Betapa bahagianya Kibum saat mendengar kepastian kabar dari Jinki mengenai keadaan sahabatnya, walau sebelumnya Minho telah mengabarinya. Tak mau menunggu berlama-lama, ia bergegas ke rumah sakit segera. Ia mengayuh sepeda santainya dengan penuh kebahagiaan sambil menikmati kesegaran udara pagi ini. *** Minho melirik jam tangannya. Ia baru saja menunggui ibunya yang tertidur pulas. Maklum, dua malam terakhir ini mereka berdua menghabiskan waktu mereka hanya untuk menjaga Taemin. Terlebih tadi malam, mereka berbincang hangat di ruangan rawat Taemin. Tentu saja, karena mereka telah merindukan suara Taemin selama lebih dari dua bulan lamanya. Minho merapatkan selimut yang menutupi Ibunya. Ia melirik jam dinding sekilas. ―Eomma, aku ke rumah sakit dulu, ya.‖ Minho tau ibunya takkan menjawab. Tapi setidaknya ia telah berpamitan. Ia memberikan kecupan hangat di pipi Ibunya, lalu berbalik arah. Tanpa ia sadari, mata ibunya membuka perlahan dan menatap kepergian Minho yang mulai menghilang dari balik pintu. *** Kibum melangkah cepat di lorong rumah sakit di lantai tempat ruangan rawat Taemin berada. Ia berhenti di depan sebuah pintu lalu mencocokkan nomor yang tertera di pintu tersebut dengan memori ingatannya. Tepat, di sinilah ruangannya. Ia melirik ke dalam melewati kaca di pintu tersebut. Tak ada satu pun orang di sana. ―Ke mana Taemin?‖ tanyanya pada diri sendiri. Kibum mengurungkan niat untuk membuka dan menerobos masuk ke ruangan Taemin. Ia berbalik melihat ke sepanjang lorong untuk mencari perawat yang bertugas di sana. Mungkin saja ada yang mengetahui keberadaan Taemin sekarang. Tak lama kemudian, seorang perawat muncul dari ujung lorong sambil mendorong kursi roda. Mata Kibum langsung berbinar bahagia. Ia menutup mulutnya yang menganga.
156
Orang yang duduk di kursi roda tersebut adalah Taemin, sahabatnya. ―Kibum—ah!‖ sapa Taemin dari kejauhan. Ia melambaikan tangan ke arah Kibum. Ia bergegas mendekati Taemin. Ia berkata pada sang perawat, ―Biar aku saja yang membawanya, Suster.‖ Perawat pun menyerahkan pegangan kursi roda kepada Kibum. Ia berjalan di belakang mengiringi Kibum dan Taemin. ―Bagaimana kabarmu?‖ tanya Kibum. Ia menundukkan kepalanya agar dapat melihat wajah Taemin secara jelas. ―Semakin membaik,‖ jawab Taemin singkat. ―Sudah lama menunggu?‖ tanya Taemin lagi. ―Enggak, aku baru saja datang. Memangnya kau dari mana?‖ tanya Kibum. ―Tadi dari ruangan fisioterapi. Sepertinya tidur 2 bulan membuat gaya jalanku menjadi tak normal. Belum lagi seluruh otot-ototku tak lagi berkoordinasi dengan baik. Ternyata tidur lama itu tak mengenakkan, ya?‖ keluh Taemin. Kibum tergelak, ―Itu kamu tahu! Setelah ini, jangan tidur lagi, ya! Jangan tinggalin aku lagi!‖ pinta Kibum. Taemin tersenyum lebar, ―Yak! Mana bisa manusia hidup tanpa tidur?‖ ―Aku tak menyangka sehabis koma kamu jadi bawel seperti ini,‖ keluh Kibum. Ia mengacak rambut Taemin sambil tersenyum gemas. Taemin langsung mengusir tangan Kibum dari kepalanya, lalu memperbaiki rambutnya asal. Akhirnya mereka memasuki ruangan Taemin. Kibum memapah dan membantu Taemin mencapai ranjangnya. Taemin kembali membaringkan tubuhnya di ranjang yang posisinya dibuat setengah duduk. Setelah dirasa nyaman, Taemin menghembuskan napas lega. ―Terima kasih, Kibum,‖ gumamnya. Kibum menanggapinya dengan ekspresi sudahlah-jangan-terlaluberlebihan. Perawat pun pamit dan meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan. ―Minho hyung mana?‖ tanya Kibum, ―kamu sendiri aja dari tadi?‖ ―Dia pulang sebentar mengantar eomma ke rumah. Sekalian mengambil barang-barang yang ada di kamar penginapan keluarga pasien katanya.‖ ―Jadi…kamu besok udah bisa pulang kalau begitu?‖ tanya Kibum. Wajah keduanya langsung sumringah. ―Kalau keadaanku makin membaik, sepertinya besok sudah bisa pulang. Yang penting, eomma tak perlu menungguiku malam-malam lagi,‖ balas Taemin sambil tersenyum. Kibum mengatupkan kedua tangannya, ―Syukurlah… ah, aku ada sesuatu buat kamu.‖ Kedua alis Taemin bertaut penasaran, ―Apa?‖ Kibum mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebotol minuman yang begitu tak asing bagi Taemin, sekaligus minuman yang sangat ia rindukan saat ini. ―Banana Milk!‖ teriaknya lantang saat melihat botol yang disodorkan oleh Kibum. ―Aah, kau memang sahabatku yang paling pengertian, Kibummie. Gomawo!‖ ―Yak! Jangan panggil dengan nama itu. Geli tau!‖ balas Kibum tak terima. ―Eh, tapi ngomong-ngomong pasien boleh meminum minuman dari luar?‖ tanya Kibum ragu. ―Ini kan cuma susu. Susu baik untuk kesehatan dan perbaikan kondisi tubuh. Jadi tak ada salahnya, ‗kan?‖ bela Taemin.
157
―Oke. Kalau gitu aku tak bertanggung jawab kalau pencernaan kamu bermasalah nanti,‖ ujar Kibum sambil meneguk
minuman kaleng miliknya. Suasana
hening
sejenak
sampai akhirnya Taemin meletakkan
botol banana milk yang telah kosong ke atas meja. Mata Kibum membelalak. ―Habis? Cepatnya. Kamu benar-benar sudah lama ya tak meminumnya?‖ komentar Kibum. Taemin hanya terkekeh. Ia tahu pertanyaan barusan tak perlu dijawab karena Kibum sendiri sudah tahu jawabannya apa. ―Oh iya, katanya kamu yang mengantar aku pas kecelakaan itu ya ke rumah sakit?‖ tanya Taemin membuka topik pembicaraan baru. ―Eum… iya… hehe… ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya kamu bisa kecelakaan seperti itu?‖ tanya Kibum. Taemin berusaha mengingat sejenak, ―Aah, waktu itu kalau tak salah ingat hujan lebat. Jadi aku kurang fokus sewaktu menyebrang. Itu saja.‖ ―Itu saja katamu? Sampai koma dua bulan seperti ini bukan itu saja namanya Taemin-ah. Lain kali hati-hati. Apalagi waktu hujan lebat itu kendaraan sering menaikkan kecepatannya.‖ ―Iya, Eomma. Iyaa… Kalau cerita dari kamu gimana? Bukannya jalan menuju rumahmu nggak lewat persimpangan itu, ‗kan?‖ tanya Taemin balik. ―Ooh… waktu itu aku dari toko alat tulis beli cat minyak. Tiba-tiba jalanan mendadak macet. Aku langsung penasaran, terus turun dari bus yang aku tumpangi. Ternyata korban tabrak lari. Aku kaget saat mengetahui seragam sekolah si korban sama dengan yang aku kenakan. Buru-buru aku mencoba mengenal wajah korban, dan ternyata itu kamu! Ya ampun, sumpah beneran aku panik. Sampai-sampai aku nggak ingat nomor telepon ambulans berapa,‖ jelas Kibum berapi-api. ―Haha, padahal ngakunya adik dokter…,‖ ledek Taemin. Kibum pun tertawa. ―Nah, itu dia! Aku langsung menghubungi Minho hyung untuk minta pendapat. Aah, untunglah kamu bisa diselamatkan Taemin-ah!‖ tutur Kibum. ―Satu lagi, aku menemukan boneka kelinci itu tak jauh darimu. Untung Cuma retak sedikit, padahal biasanya boneka tanah liat itu kalau terpelanting sedikit langsung pecah. Kok bisa ya?‖ tanya Kibum sambil mengerutkan keningnya. Taemin langsung tersenyum penuh arti, ―Hmm, rahasia…‖ ―Kan… gitu ya sama sobat sendiri.‖ ―Tapi prakaryanya jadi dikumpulkan?‖ tanya Taemin. Kibum mengangguk. ―Pas hari H, aku ke sini ambil boneka itu untuk dinilai. Nilai kamu paling tinggi di antara para cowok. Benarbenar tak masuk akal. Padahal sudah retak sana-sini.‖ Tawa Taemin langsung pecah, ―Jangan sepelekan kekuatan kelinci buatanku, Kibum! Itu buktinya aku buat kelinci tersebut pakai hati, pakai niat tulus.‖ ―Iya deh… iyaa…,‖ balas Kibum asal.
Ttok…ttok…
Dua ketukan menghentikan candaan mereka berdua. ―Siapa itu?‖ tanya Kibum. Mereka berdua langsung mengarahkan pandangan ke pintu ruangan. Pintu pun bergeser perlahan. Seorang pemuda dengan jas putih masuk ke dalam ruangan. Ia menatap Taemin dan Kibum bergantian. ―Permisi.‖
158
Kibum langsung berdiri dari kursinya, ―Selamat pagi, Dok,‖ sapanya. Taemin hanya menatap dokter tersebut sambil tersenyum. ―Selamat pagi. Maaf mengganggu, saya ingin melakukan pemeriksaan sebentar pada Taemin,‖ balas dokter tersebut. Kibum menoleh pada Taemin yang tampaknya tak mengetahui kalau dokter yang berada di hadapannya kini adalah hyung-nya Kibum, Jinki. Kibum buru-buru pamit, ―Ooh, silakan Dok. Aku beli minuman sebentar ke bawah.‖ ―Hah, belum cukup memangnya?‖ tanya Taemin menanggapi. Kibum hanya tertawa kecil. Ia benar-benar canggung sekarang. Kibum sendiri tak tahu mengapa perasaan aneh ini menyelimuti dirinya. Ia pun berlalu keluar dan berlari di lorong rumah sakit. Jinki berjalan menuju infus drip di tepi ranjang Taemin. Ia mengecek sekilas sambil menuliskan sesuatu di papan status yang ia bawa sedari tadi. ―Ada sesuatu yang mengganggu yang kamu rasakan sekarang, Taemin?‖ tanya Jinki membuka pembicaraan. ―Sejauh ini aman, Dok,‖ jawab Taemin. ―Nafsu makannya baik? Atau mengeluh mual?‖ tanya Jinki lagi. Matanya fokus menatap wajah Taemin. Taemin menggeleng, ―Tidak, baik-baik saja.‖ ―Oke, berarti ini infus terakhir ya,‖ ujar Jinki sambil mencatat hal-hal lain yang ia perlukan. Jinki melakukan beberapa pemeriksaan lainnya. Tanpa ia sadari, Taemin sedari tadi memperhatikan dirinya dengan berbagai pertanyaan yang mengumpul di benaknya. ―Dok, apa benar Dokter adalah saudaraku?‖ tanya Taemin tiba-tiba. Atmosfer ruangan mendadak berubah karena pertanyaan yang baru saja Taemin lontarkan. Jinki menegakkan badannya dan menatap Taemin lekat-lekat. ―Tadi malam, aku mendapatkan berita ini dari eomma. Eomma telah bercerita semua. Apa benar itu, Dok?‖ Bola mata Jinki bergerak tak tenang. Ia panik. Jinki belum mempersiapkan diri untuk menghadapi atmosfer seperti ini, atmosfer yang akan terbangun antara dirinya dan Taemin. Ia memutuskan untuk mengangguk pelan, ―Benar. Apa yang telah dijelaskan oleh eomma-mu benar. Apa kamu keberatan?‖ Ia
tahu
pertanyaan
yang
baru
saja
ia
lontarkan
akan
membuahkan
kemungkinan
jawaban
yang
menyakitkan. Aku keberatan. Lalu setelahnya? Apa dia akan berkata ‗Oh sudahlah, tidak usah dipikirkan‘ lalu berusaha menghilang dari penglihatan Taemin selamanya? Jinki menunggu jawaban dari Taemin sambil berharap cemas. Taemin memiliki hak untuk menolak dirinya bergabung ke dalam keluarganya. Taemin berhak melakukan itu. Dan kini, Jinki pasrah dengan semuanya. Setelah hening sesaat, Taemin menanggapi pertanyaan Jinki, ―Tentu saja tidak, Hyung. Aku senang mendengarnya. Ah, berarti aku punya Minho hyung dan Jinki hyung sekarang. Ah, senangnya punya dua kakak.‖ Jinki terkejut. Semua pikiran negatifnya sirna sudah dengan jawaban tulus dari Taemin. Saudara seibunya kini menatapnya lekat. Ada guratan kebahagiaan di sana. ―Gomawo, Taemin. Terima kasih kau telah membuka pintu untuk Hyung.‖ *** Kibum melirik tas plastik bening berisi minuman yang baru saja ia beli di kafetaria. Sebotol susu pisang dan soda.
159
―Taemin pasti belum puas dengan sebotol susu pisang tadi. Ah, anak itu benar-benar sudah lama tak meminumnya,‖ ujarnya bermonolog. Ia terus tersenyum di sepanjang lorong. Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu ruangan rawat Taemin. Ia melirik ke arah kaca di pintu tersebut untuk melihat apakah hyungny-a masih melakukan pemeriksaan kepada Taemin. Ternyata benar. Jinki berdiri membelakangi pintu dan tengah berbicara pada Taemin. “Tentu
saja
tidak, Hyung.
Aku
senang
mendengarnya.
Ah,
berarti
aku
punya
Minho hyung dan
Jinki hyung sekarang. Ah, senangnya punya dua kakak.” Apa?! Punya dua kakak? Minho hyung dan Jinki…hyung? Taemin saudara seibunya Jinki-hyung? Tangan Kibum melemas seketika. Tanpa ia sadari, tas belanjanya terjatuh tertarik medan gravitasi yang mengalahkan tahanan tangannya.
Klontang!
Taemin menolehkan kepalanya kilat ke arah pintu, ―Suara apa itu?‖ tanya Taemin penasaran. ―Mungkin petugas kebersihan yang lewat. Ah, hyung pamit keluar dulu. Nanti seusai jaga, hyung temui kamu lagi. Selamat beristirahat.‖ Taemin mengangguk, ―Baik Hyung. Selamat bekerja.‖ *** Kibum langsung berlari menjauh. Tangannya mengusap bulir air mata yang jatuh begitu saja membasahi pipinya. Ia berharap dengan berlari dan menjauh dari sini pikirannya akan tenang. Ia terus berlari menuju ujung lorong rumah sakit. Kini, aku bukan satu-satunya saudara yang Jinki hyung miliki. Apakah hyung akan meninggalkanku setelah ini?
BRUK!
Kibum menegakkan wajahnya yang sedari tadi tertunduk menatap lantai. Ia baru saja menabrak seorang lakilaki bersetelan semi formal yang kini berusaha mengenal wajahnya. ―Kibum? Kau menangis?‖ tanya orang tersebut. Kibum tak kuat menjawab. Ia hanya merangkul orang di hadapannya. ―Minho Hyung, apakah Jinki hyung akan pergi meninggalkanku?‖ tanya Kibum dengan suara serak. Minho terkaget, ―Kamu telah mengetahui semuanya?‖ ―Aku bingung dengan perasaanku sekarang. Apa yang harus kulakukan? Aku belum siap kehilangan kasih sayang seorang kakak, Hyung! Aku baru saja berhasil mendapatkan seluruh pengertiannya padaku. Dan sekarang—― ―—kamu tenang dulu. Pelan-pelan. Kita duduk dulu, ya?‖ ujar Minho sambil memapah Kibum. Kibum hanya mengikuti arah langkah Minho dengan tak bersemangat. Pikirannya benar-benar tumpul sekarang.
160
Kibum mendudukkan badannya di kursi tunggu. Ia mengatupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang kini perlahan basah oleh beberapa tetes air mata. Tangan Minho langsung bergerak merangkul bahu Kibum dan mengusapnya. Berharap dengan begitu emosi Kibum kembali tenang. ―Tenangkan dirimu dulu. Rileks. Semua yang kamu takutkan tak akan terjadi. Percayalah,‖ tutur Minho tenang. Ia mengelus bahu Kibum. Wajah Kibum masih tertunduk berusaha menahan tangisannya untuk keluar lebih banyak. *** Jinki berjalan menuju pintu. Ia melirik keluar sekilas sebelum menggeser pintu tersebut. Tak ada siapa-siapa di luar. Ia pun menggeser pintu perlahan. Sekaleng minuman soda dan sebotol susu berguling mendekati sepatunya. Perasaannya berubah tak enak. Ia melirik ke sepanjang lorong. Matanya membulat sempurna saat ia menangkap objek yang ia kenal. Kibum dan Minho. Mereka berdua tampak berangkulan. Kibum berusaha menutup wajahnya dan tertunduk dalam. ―Ada apa, Hyung? Ada masalah di luar?‖ tanya Taemin sambil berusaha turun dari ranjang. Jinki masih terpaku di balik pintu ruangan yang setengah terbuka. Pasti Kibum baru saja mendengar percakapanku dengan Taemin. Kibum pasti salah paham.Apa yang harus kulakukan? Taemin berjalan perlahan hingga akhirnya berdiri di belakang Jinki, ―Kenapa Hyung?‖ Jinki terkejut. Ia segera berbalik arah dan mencegah Taemin melihat keluar. ―Kenapa kamu ke sini? Sudah, istirahatlah dengan tenang. Tak ada apa-apa…,‖ ujar Jinki setengah panik. Ia menggeser tubuh Taemin mundur. ―Tak mungkin. Pasti ada sesuatu. Apa di luar ada Kibum? Kibum kenapa?‖ tanya Taemin. Jinki tak menggubris pertanyaan Taemin segera. Ia berusaha melawan tenaga Taemin yang lemah dan membaringkan adiknya di atas tempat tidur. Taemin masih menampilkan raut wajah yang khawatir. ―Sudah, kamu istirahat saja. Tak ada yang perlu dicemaskan. Biar hyung yang menjelaskan semuanya pada Kibum.‖ ―Jadi Kibum benar-benar di luar? Apa Kibum marah? Kenap—― ―—kamu sekarang istirahat saja, ya? Tenang. Semua akan baik-baik saja,‖ jawab Jinki sambil memegang kedua bahu Taemin agar tak bergerak dan bersandar penuh di atas kasur. Taemin pun merilekskan otot ekstremitasnya yang menegang. ―Hyung keluar dulu ya. Maaf kalau membuatmu tak nyaman. Permisi.‖ Taemin menatap Jinki yang berlalu dari hadapannya. Dengan langkah tegap dan kibasan ujung jas putihnya perlahan membuat Taemin sedikit tenang. Ya, Jinki hyung pasti bisa menjelaskan semuanya. Sedetik kemudian, Taemin tersentak. Kedua matanya membulat karena kaget dengan alur pikiran yang terlintas di benaknya. Tangannya menutup mulutnya yang refleks terbuka. ―Sebentar.
Apa
jangan-jangan
Jinki hyung itu…
saudara
Kibum?
Astaga!
Bagaimana
bisa
aku
tak
menyadarinya?‖ gumam Taemin panik. Kini ia khawatir dengan perasaan sahabatnya itu. Apa dia benar-benar mendengar percakapannya dengan Jinki hyung? ***
161
Di saat yang bersamaan, Minho menangkap sosok Jinki keluar dari ruang rawat Taemin. Jinki menatapnya lalu membungkukkan badannya sekilas. Walau samar, Minho menangkap gumaman kata yang keluar dari mulut Jinki dari kejauhan. “Tolong tenangkan Kibum.” Setelah itu, Jinki berlalu berjalan menuju ujung lorong yang lain. Orang yang kini duduk di sebelah kirinya mulai menegakkan kepalanya dan bersandar penuh di kursi. Matanya masih memerah. Kibum menghembuskan napas panjang. ―Apa yang harus aku lakukan, Hyung?‖ ―Kamu tak sendiri, Kibum-ah. Kamu jangan takut. Aku juga mengalami apa yang kamu rasakan sekarang,‖ ujar Minho. Matanya menerawang ke arah dinding putih di hadapannya. Seolah-olah dinding tersebut sedang memutar perjalanan masa lalunya dengan Taemin. Minho melanjutkan, ―Kau tahu? Posisi hyung sama dengan Jinki. Dan posisi kamu sama dengan Taemin.‖ Kibum menatap Minho serius, ―Maksudnya?‖ ―Kita sama-sama memiliki saudara tiri. Aku dan Taemin juga berstatus saudara seayah. Sama dengan status kamu dengan Jinki. Aku sudah lama diasuh oleh ayahku sendiri. Ayahku merawatku seorang diri hingga umurku 6 tahun dan akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan ibu kandung Jinki. Setahun kemudian, lahirlah Taemin, adikku satu-satunya.‖ Kibum tak bergerak. Ia terdiam mendengarkan penjelasan Minho seksama. ―Dan kamu lebih beruntung, Kibum. Dari dulu hingga sekarang, Taemin belum pernah digendong oleh ayahnya sendiri. Ia tak sempat bertemu dan berbicara dengan beliau. Taemin terlahir sebagai anak yatim, Kibum. Kau pasti belum mengetahui fakta ini, bukan?‖ ―Maksud Hyung? Jadi selama ini Taemin menutupi segalanya? Berita kalau ayahnya kerja di Jepang itu tak benar?‖ Minho mengangguk, ―Taemin tak bermaksud membohongi kalian. Ia hanya tak ingin ada teman yang mengasihaninya karena statusnya sebagai anak yatim. Ia ingin merasakan pertemanan, di mana bisa saling cerita tentang kehidupannya dengan orang tuanya. Dan ia sendiri telah memiliki imajinasi sendiri tentang ayahnya.‖ ―Taemin…,‖ gumam Kibum sambil mengusap dahinya. ―Taemin itu orangnya kuat. Ia bahkan tak pernah menangis di hadapanku. Bahkan ia tak menangis saat kami pergi ke pemakaman almarhum ayah. Apa kamu bisa seperti itu, Kibum?‖ ―Kamu masih memiliki Ayah, Ibu, dan Jinki-Hyung. Ditambah lagi dengan Taemin dan Hyung sendiri kalau kamu menginginkannya. Jadilah orang yang kuat, Kibum. Jangan mudah bersedih hanya karena sesuatu yang belum pasti. Sesuatu yang hanya sekadar pikiran negatif. Dibalik kecemasan itu, pasti ada hasil yang lebih baik. Kamu harus bisa kuat. Kamu harus bisa menyambut hasil itu dengan senyuman. Kamu harus bisa menerima kebahagiaan yang Jinki dapatkan saat menemukan ibu kandungnya dan saudara seibunya, Kibum. Itulah rasa sayang yang sebenarnya.‖ Mata Kibum kembali berkaca-kaca. “Hyung sendiri awalnya juga kaget dengan berita ini. Memang sedikit menyakitkan ketika kamu mengetahui kalau kamu harus berbagi apa yang kamu miliki selama ini dengan orang lain. Takut rasanya ketika rasa sayang yang kamu dapatkan selama ini akan berkurang. Tapi kembali lagi ke inti dari segalanya. Bagaimana bisa kamu berbahagia, egois memiliki semuanya, sementara yang kamu lindungi selama ini sedang mencari asal-usulnya. Ingin mencari kebahagiaan yang sebenarnya? Dan itu yang selama ini Jinki hyung rasakan
162
selama ini. Lihatlah raut wajah bahagianya ketika ia telah mengetahui ibu kandungnya, ketika ia juga menemukan kebahagiaan lain bahwa ia memiliki saudara seibu. Kamu ikut bahagia, bukan?‖ Kibum berlahan tersenyum. Ia menyadari kesalahannya. Kesalahannya yang begitu egois untuk memiliki Jinki di hidupnya tanpa boleh dimiliki orang lain. ―Hyung yakin Jinki tak akan meninggalkanmu. Percayalah denganku,‖ ujar Minho sambil mengeratkan cengkramannya di bahu Kibum. Kibum mencoba untuk tersenyum. Kibum merasa lega sekarang. Hal yang ia takutkan perlahan menghilang dari benaknya. Ia tak sendiri. Ia menatap Minho di sampingnya. Wajah Minho tetap tenang meski mungkin ada sebersit kesedihan di sana. Ia harus bisa tegar dan tersenyum. ―Gomawo, Hyung.‖ ―Sama-sama. Ya sudah, kamu masih mau bertemu Taemin sekarang?‖ tanya Minho. ―Tidak usah, kapan-kapan saja. Wajahku sudah berantakan seperti ini. Mungkin besok aku ke sini lagi. Aku pamit dulu,‖ ujar Kibum sambil berdiri dari kursi. Ia pun tersenyum pada Minho sambil membungkukkan badannya. Minho melepas kepergian Kibum dari hadapannya. Ia tahu, Kibum masih butuh waktu untuk menerima semuanya secara mantap. Tak jauh berbeda dengan dirinya kemarin malam. Saat ibunya membeberkan masa lalunya di hadapan Taemin dan dirinya. Minho berdiri, lalu berjalan menuju ruangan tempat Taemin beristirahat. Ia menatap sekaleng minuman dan sebotol susu pisang yang tergeletak di depan pintu ruangan Taemin. Tangannya bergerak untuk mengambilnya kembali dan membawanya masuk ke dalam ruangan. *** Jinki melangkah gontai menuju ruang kerjanya. Ia menatap keluar melewati jendela yang berderet-deret di sisi kirinya. Matahari tampak bersembunyi di balik kabut awan. Siang kali ini begitu dingin bagi Jinki yang sedang memikirkan perasaan adiknya, Kibum. Selintas lalu, ia mencoba melihat kerumunan orang-orang yang berjalan di pekarangan rumah sakit. Ia menangkap seseorang yang sedang berlari membelah jalanan kecil menuju gerbang utama. Sesekali orang tersebut membenarkan posisi tali tasnya yang menggantung di bahu kanannya. Orang tersebut mengambil sepeda di parkiran, lalu mengayuhnya hingga menghilang dari pandangan Jinki. ―Kibum, kuharap dirimu bisa mengerti kondisiku sekarang,‖ batinnya. ―Dokter Jinki!‖ Jinki berbalik memutar badannya ke suara panggilan, ―Iya, Suster?‖ ―Ini hasil pemeriksaan Tuan Jung yang dokter minta tadi pagi.‖ Jinki melihat map yang disodorkan oleh perawat tersebut. ―Oh, iya. Kamsahamnida,‖ ujarnya tersenyum. Tersenyum untuk menutupi perasaan tak tenang yang kembali berkecamuk di dalam dirinya.
Part 4: Bond
Summary
: “Ketika akhirnya hati kita terhubung oleh benang-benang takdir yang tak terlihat.”
Minho menggeser pintu ruangan Taemin, berjalan masuk, lalu menutupnya kembali. Taemin membalikkan badannya yang tengah berbaring untuk melihat siapa orang yang masuk ke ruangannya tersebut.
163
―Hyung!‖ sapa Taemin. ―Hai Taemin, bagaimana kabarmu?‖ tanya Minho. Ia menarik salah satu kursi ke sisi kanan tempat tidur Taemin. ―Ah, lumayan. Eomma di mana?‖ ―Eomma masih istirahat di rumah. Mungkin beliau kecapaian sehabis bergadang semalam,‖ jawab Minho sambil tersenyum ke arah Taemin. Ada arti tersirat di dalamnya. Taemin membalasnya dengan gerakan canggung. Semalam mereka bertiga menghabiskan waktu dengan bercengkrama saling kangen dan juga berbicara mengenai fakta penting yang belum mereka ketahui sebelumnya. ―Aku baru tahu kalau kakak kandung Kibum itu adalah Jinki hyung,‖ kata Taemin sambil memainkan botol minuman yang baru saja disodorkan Minho kepadanya. Sebotol susu pisang kesukaannya yang dibeli oleh sahabatnya beberapa menit yang lalu. Taemin tak berani membuka minuman tersebut. Minho membuka baju hangat yang dipakainya, lalu menanggapi perkataan Taemin sambil tersenyum. ―Aku juga baru tahu saat di IGD sewaktu kamu kecelakaan dulu, Taemin. Aku baru menyadarinya saat melihat tatapan Jinki kepada Kibum yang berbeda. Tatapan seorang kakak. Walau bukan kakak kandung.‖ Taemin sontak terkejut, ―Hah?‖ ―Iya. Kondisi kita dengan mereka hampir sama. Kamu bisa membayangkannya sekarang, ‗kan?‖ Taemin terdiam. Matanya tak terlepas dari botol minuman yang masih utuh di genggamannya. ―Saat eomma memberitahukan masa lalu eomma yang sebenarnya, aku benar-benar penasaran terhadap respon yang akan kamu keluarkan. Perihal statusku yang kini hanya sebagai pendatang dalam kehidupan kalian. Aku sering termenung memikirkan keadaan ini. Semenjak appa meninggal, bisa dibilang hubungan di antara kita sudah terputus, bukan?‖ Taemin hanya bergeming mendengar perkataan Minho. Ia berusaha mengingat jelas kilas balik hidupnya dulu. ―Aku benar-benar beruntung bisa diterima dengan hangat. Bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan juga seorang adik. Walau kita hanya bertiga, kehidupan kita begitu bahagia, bukan?‖ Taemin mengangguk kecil. ―Tadi Kibum mendengar pembicaraan kalian dari balik pintu. Awalnya dia panik dan kecewa. Setelah kuberi penjelasan, barulah ia mengerti. Aku juga memberi tahu tentang keberadaan appa yang sebenarnya. Tak apaapa, ‗kan?‖ tanya Minho. ―Kalau itu bisa membuatnya tenang dan tak salah paham, tak masalah, Hyung. Memang seharusnya aku tak boleh menutupi hal tersebut dengan teman-temanku,‖ balas Taemin tenang. ―Bagaimana rencanamu selanjutnya, Taemin?‖ tanya Minho. Taemin bingung, ―Rencana mengenai?‖ ―Mengenai Jinki dan keluarganya.‖ Taemin menghembuskan napas berat. ―Aku sekarang lebih mengkhawatirkanmu, Hyung.‖ Minho menautkan kedua alisnya, ―Kenapa?‖ ―Apa Hyung tak keberatan perhatianku selama ini kepada Hyung harus terbagi dengan Jinki hyung?‖ tanya Taemin sambil memberanikan diri menatap wajah Minho. ―Tenang saja. Memang sewajarnya hubungan saudara seibu lebih dekat daripada saudara seayah, bukan?‖ balas Minho tenang, walau ada secercah rasa kehilangan di sana. ―Kita sudah bersama sejak 17 tahun yang lalu. Sudah banyak kebahagiaan di sana. Sudah banyak waktu yang kita habiskan bersama. Sudah banyak rahasia yang kita bagi bersama. Hyung benar-benar berterima kasih
164
atas respon yang kamu berikan. Jadi aku tak keberatan berbagi peran dengan Jinki setelah ini. Aku akan beri ia kesempatan untuk merasakan betapa hangatnya dirimu yang sebenarnya,‖ ujar Minho. ―Aku tak tahu harus menjawab apa. Namun yang jelas, terima kasih, Hyung.‖ Mereka berdua tersenyum. Minho mengacak rambut Taemin dengan penuh kasih sayang. Ia menikmati guratan senyum hangat Taemin yang diarahkan padanya. ―Hyung senang dengan kelincimu itu. Hyung benar-benar tak menyangka kamu benar-benar serius dengan janjimu dulu.‖ ―Eh? Apa Hyung juga sudah membaca catatan kecil dalam boneka itu?‖ tanya Taemin. ―Sudah dong. Aih, kamu benar-benar tau gimana caranya buat hyung menangis ya?‖ ―Hyung menangis? Demi apa?‖ ledek Taemin bercanda. ―Gimana nggak nangis? Kamu hampir benar-benar pergi dari kehidupanku dan kamu sempat-sempatnya memberikan hadiah di saat-saat terakhirmu pada hyung. Aku terharu…,‖ ujar Minho dengan ekspresi wajah berlebihan. ―Yaah, gagal sudah rencanaku.‖ ―Hah?‖ ―Boneka itu sebenarnya untuk kejutan sewaktu Hyung ulang tahun nanti. Biar efeknya lebih wah,‖ jawab Taemin sambil mengerucutkan bibirnya. Minho menaikkan sebelah alisnya. ―Ulang tahunku? Bentar dulu, kamu tahu sekarang tanggal berapa?‖ tanya Minho. Taemin terlihat berpikir keras. Ia mencoba mencari petunjuk berupa kalender di dinding ruangan. Memang ada tertempel di sana, tapi matanya rabun untuk melihat jelas angka yang tercantum di sana. Alhasil, Taemin hanya menggeleng polos. ―Sekarang tanggal 23 Desember, Adik manis. Sudah lewat 13 hari dari ultahku. Ah, bahkan aku baru sempat mendapatkannya dua hari yang lalu. Jadi, momennya sudah terlambat.‖ Taemin mendengus kecewa. ―Aku kira masih bulan November.‖ ―Makanya, jangan koma lama-lama,‖ balas Minho sambil terkekeh jahil. Taemin pun tak menerima. Ia meninju lengan Minho sekuat tenaga. Minho mengerang pelan, lalu kembali tertawa. ―Makasih ya atas hadiahnya. Bikin lagi yang banyak. Terus kamu jual. Lumayan, ‗kan?‖ ujar Minho. ―Dasar otak bisnis,‖ ujar Taemin. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar. Ia senang mengetahui Minho tak keberatan dengan segalanya. Ia bersyukur hyung-nya masih bisa diajak bercanda. Ditambah lagi kalau Minho senang dengan hadiah ulang tahun pemberiannya. Sebuah kelinci dari tanah liat, yang kini tengah duduk manis di atas meja kamar Minho. *** Jinki menutup pintu mobilnya. Ia berjalan pelan menuju pintu utama rumah. Tangannya merogoh saku celananya untuk mengambil duplikat kunci rumah miliknya. Ia memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci. Di saat yang bersamaan, pintunya terbuka. ―Selamat datang, Hyung!‖ Sapaan lembut menyambutnya. Dan kini tas ransel yang selalu ia bawa kerja telah berpindah tangan dengan orang yang berada di balik pintu rumah. ―Kamu belum tidur, Kibum?‖ tanya Jinki sedikit terheran. Ia berusaha menutupi kecanggungannya sambil tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Kibum menutup pintu tersebut, kemudian menguncinya. ―Aku menunggumu pulang seperti biasa. Yuk, kita duduk dulu. Hyung pasti kecapaian.‖
165
Jinki tak henti mengarahkan tatapannya ke arah Kibum yang kini berjalan menuju ruang tengah. Jinki menyusulnya, berjalan sambil membuka syal rajut yang melilit lehernya semenjak pulang dari rumah sakit. Kibum mengambil segelas mug dari atas meja, lalu menyodorkannya kepada Jinki. ―Ini diminum dulu.‖ Jinki menerimanya sambil tersenyum. ―Terima kasih.‖ Ia pun duduk di atas sofa, lalu menyesap coklat hangat buatan Kibum perlahan. Remang-remang lampu ruang tengah serta detik jam dinding menemani keheningan yang tercipta di antara mereka. Kibum memainkan jemarinya sambil menunggu Jinki menikmati coklat hangat buatannya. ―Appa dan eomma sudah tidur?‖ tanya Jinki. Tangannya meletakkan mug bewarna putih yang sedari tadi ia genggam di atas meja. ―Sudah,‖ jawab Kibum mengangguk. ―Aku benar-benar minta maaf atas kejadian tadi, Kibum.‖ Kibum tersenyum, ―Tak apa-apa, Hyung. Tenang saja. Aku sudah mengerti semuanya. Maaf juga atas keegoisan aku selama ini.‖ ―Itu bukan egois, Kibum. Perhatian penuh dari hyung itu adalah hak kamu. Aku yang belum memenuhi kewajibanku tersebut padamu.‖ ―Dan sekarang, rencana Hyung apa?‖ tanya Kibum. ―Rencana mengenai?‖ ―Mengenai Taemin dan eomma-mu, Hyung. Apa Hyung akan pindah ke sana?‖ tanya Kibum sambil berusaha mengatur nada suaranya agar tak terlihat sedang bersedih. ―Hyung sebenarnya belum memikirkan hal dengan serius. Tapi yang jelas, hyung tetap tinggal di sini dan kamu tetap jadi adikku. Kamu jangan mencemaskan hal ini lagi ya? Hyung tak akan pergi meninggalkanmu,‖ ujar Jinki sambil merangkul bahu Kibum yang duduk di sebelah kanannya. Kibum menganggukkan kepalanya sambil menghela napas berat. Jinki menatap wajah Kibum sambil tersenyum. Ia mengusap bahu Kibum dengan penuh kasih sayang. ―Aku bingung harus bagaimana. Aku bingung memilih Taemin menjadi sahabatku atau jadi saudaraku nanti ke depannya.‖ ―Kenapa harus bingung?‖ ―Kedekatan seorang sahabat dengan kedekatan seorang saudara kan berbeda jauh, Hyung. Apa sebaiknya aku hanya sekadar menganggapnya sahabat saja?‖ ―Kenapa kamu tak mengkombinasikannya saja?‖ ujar Jinki memancing Kibum untuk berpikir lagi. ―Seorang sahabat yang begitu dekat, secara otomatis dan secara tak sadar ia sudah menganggap sahabatnya sebagai saudaranya sendiri, ‗kan? Apa yang harus kamu cemaskan lagi, Kibum-ah?‖ ―Begitukah?‖ ―Nah, ‗kan. Kamu sendiri tak menyadari kalau persahabatan kalian itu semakin erat. Apalagi setelah Taemin kecelakaan kemarin. Nah, kenapa kamu tak memanfaatkan kemudahan kalau kamu sudah mendapatkan status sebagai saudara sesungguhnya bagi Taemin? Apalagi kamu hampir setahun lebih tua darinya. Jadi, anggaplah kamu punya seorang adik laki-laki sekarang. Ya, ‗kan?‖ Kibum mencoba merenungkan ucapan hyung-nya tersebut. Benar, kemudahan telah terhampar luas di hadapannya sekarang. Apa yang harus ia cemaskan? Ia pun teringat kata-kata Minho sebelumnya, “Kamu masih memiliki ayah, ibu, dan Jinki hyung. Ditambah lagi dengan Taemin dan hyung sendiri kalau kamu menginginkannya…”
166
Kibum tersenyum. Ya, sedari dulu ia telah berharap memiliki seorang adik laki-laki. Dan kini, Tuhan telah menghadiahinya dengan seseorang yang tak ia duga. Seseorang yang telah dekat dengannya, yaitu Taemin. Ia tak perlu lagi sibuk-sibuk beradaptasi. ―Nah, gitu dong.‖ Ia pun menghabiskan coklat panas yang kini mulai mendingin di dalam mug. ―Yuk, kita istirahat. Besok siang kita ke rumah sakit mengantarkan Taemin pulang. Terima kasih untuk coklat panasnya, Kibum.‖ Mereka berdua berjalan beriringan menuju lantai dua di mana kamar mereka berada. *** Seoul, 24 Desember 2012 Minho menutup risleting tas travel yang berisi pakaian Taemin. Taemin memasukkan beberapa perkakas kecil dan beberapa buku-buku ke dalam tas ranselnya. Tak lama kemudian, Nyonya Lee masuk ke dalam ruangan. ―Kenapa lama sekali, Eomma? Ada masalah?‖ tanya Taemin menghentikan kegiatannya. ―Enggak. Urusan administrasi lancar dan sudah beres. Tadi eomma mencari Jinki dulu sekalian pamit. Tapi kata suster yang bertugas, Jinki ambil cuti dua hari. Ya sudah, Eomma balik lagi ke sini.‖ Minho mengangguk paham. Taemin memasang raut wajah kecewa karena tak sempat berpamitan dengan Jinki. ―Ya sudah. Nanti eomma coba hubungi ponsel Jinki kembali. Sekarang kita ke rumah dulu. Ada lagi barangbarang yang tertinggal?‖ tanya nyonya Lee. ―Sudah dicek semua, Eomma. Semuanya sudah beres,‖ jawab Taemin. Minho menjinjing tas travel, lalu berjalan ke arah pintu, ―Oke. Kita ke bawah sekarang.‖ Taemin mengikuti Minho dari belakang. Nyonya Lee mengiringi Taemin berjalan, menjaga agar Taemin tak hilang keseimbangan. Sebenarnya Taemin telah ditawarkan memakai kursi roda oleh perawat yang bertugas, namun Taemin bersikeras untuk menggunakan kedua kakinya untuk berjalan. Ia beralasan agar sekalian latihan berjalan dan tak ingin memanjakan badannya. Minho yang berada paling depan tiba-tiba berhenti. Otomatis Taemin dan ibunya ikut menghentikan langkah mereka. ―Apakah kami terlambat?‖ ―Kibum-ah!‖ sapa Taemin saat melihat sosok yang muncul dari sisi luar pintu. Kibum mengangkat tangan kanannya, bermaksud memberi sapaan kepada Taemin. Kibum mengambil posisi di sebelah Taemin sambil membantu memapahnya berjalan. ―Jinki,‖ sapa Minho hampir datar karena masih terkejut dengan kedatangan Kibum dan Jinki secara tiba-tiba di hadapan mereka. ―Ah, biar kubantu membawa salah satu tas itu,‖ balas Jinki sambil mengambil beban yang berada di tangan kiri Minho. ―Gomawo,‖ balas Minho singkat. Mereka pun mulai berjalan. ―Jinki! Eomma kira kamu sedang cuti. Padahal tadi kami ingin berpamitan denganmu,‖ ujar nyonya Lee sambil berjalan keluar ruangan. ―Aku memang lagi cuti, Eomma,‖ kata Jinki menanggapi sambil menoleh ke arah ibunya. ―Iya, Jinki hyung meliburkan diri karena ingin mengantarmu pulang, Taeminnie,‖ goda Kibum ke arah Taemin. Taemin langsung salah tingkah.
167
―Terima kasih, Hyung.‖ Hanya sebaris kalimat ia ucapkan pada Jinki. Ia sendiri tak menyangka bahwa keluarga barunya ikut mengantarkannya pulang. Jinki hanya tersenyum.
EPILOG
Malam beranjak larut, namun jalanan kota Seoul masih saja ramai oleh pejalan kaki dan kendaraan dengan tujuan berbeda. Nyonya Lee termasuk ke dalam salah satu dari mereka, yang ingin segera sampai di rumah karena tak sabar ingin bertemu keluarga. Melihat jalanan Seoul yang padat dan taksi yang ditumpanginya tak kunjung sampai, ia menyesali keputusannya untuk menghadiri reuni alumni SMA tempatnya dulu bersekolah. Kira-kira 30 menit kemudian, taksi berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang sederhana. Nyonya Lee keluar dari taksi dan menemukan rumahnya dalam keadaan gelap, bahkan lampu teras belum dinyalakan. Hatinya bertanya-tanya, apakah kedua anaknya sedang tidak berada di rumah? Mengapa mereka belum pulang? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Minho dan Taemin? Dengan rasa was-was, nyonya Lee membuka kunci pintu rumahnya. Perlahan, ia melangkahkan kaki, dan tibatiba jantungnya berdetak lebih cepat karena ada sesuatu yang menghalangi pandangannya. ―Siapa itu?‖ tanyanya, berusaha tenang. ―Ini aku, Eomma, jangan takut. Berjalanlah seperti biasa, aku akan membimbing Eomma dari belakang.‖ Tanpa bertanya lebih lanjut, Nyonya Lee terus berjalan. Ia tahu persis sang pemilik suara, meskipun ia tida bisa melihat apapun. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh langkah, seseorang yang berada di belakangnya memberi isyarat untuk berhenti. ―Nah, kita sudah sampai. Dalam hitungan ketiga, Eomma buka mata, ya? Satu, dua, tiga….‖ Perlahan, nyonya Lee membuka matanya. Tak ada cahaya menyilaukan dari lampu neon, ruang makan tempatnya berada masih saja temaram bercahayakan lilin. Ia terpana begitu melihat kursi makan yang kini ditempati oleh tiga orang, Minho, Jinki, dan Kibum. Nyonya Lee menolehkan kepalanya ke kiri dan menemukan anak bungsunya, Choi Taemin berdiri di sampingnya. ―Benar perkiraan eomma, bahkan sebelum kamu bersuara, eomma tahu bahwa itu kamu, Taemin,‖ ucap nyonya Lee lega sambil memegang pundak Taemin. ―Sepanjang perjalanan pulang tadi eomma takut kamu kesepian di rumah, syukurlah hal itu tidak terjadi.‖ ―Eomma jangan terlalu cemas, aku baik-baik saja,‖ balas Taemin sembari menggenggam tangan kanan ibunya yang bebas. ―Ini kejutan yang kami persiapkan khusus untuk memperingati Hari Ibu. Maaf, karena kejadian itu, perayaannya jadi terlambat.‖ Nyonya Lee tak kuasa menahan air matanya. ―Jangan berkata seperti itu, Taemin. Keberadaanmu di samping eomma di rumah ini saja sudah membuat eomma merasa sangat bersyukur.‖ Taemin memeluk ibunya erat. ―Selamat Hari Ibu, Eomma. Terima kasih untuk segala yang kuterima dari Eomma hingga detik ini.‖ ―Taemin-ah…,‖ gumam Nyonya Lee sambil tersedu. ―Ini hari spesial untuk Eomma. Jangan menangis,‖ bisik Taemin sambil melepaskan pelukannya. Kemudian, Minho bangkit dari tempat duduknya, melakukan hal yang sama dengan adiknya. ―Mungkin aku tak terlahir dari rahim Eomma, tapi percayalah, aku menyayangi Eomma seperti ibu kandungku sendiri,
dengan
rasa
sayang
yang
sama
seperti
yang
Taemin
miliki.
Tetaplah
jadi
ibuku
untuk
selamanya, Eomma.‖ Nyonya Lee mengangguk pelan, mengusap air matanya. ―Terima kasih, Minho.‖
168
Minho melepaskan pelukannya, memberi isyarat kepada Jinki yang kini berdiri dengan canggung. Jinki berjalan perlahan mendekati nyonya Lee, terdiam sebentar, pikirannya begitu sibuk memilih kata yang tepat untuk diutarakan. ―Aku menyayangi Eomma,‖ ucap Jinki, akhirnya. ―Maafkan aku, Eomma, aku baru menyatakan rasa sayangku pada Eomma sekarang. Mungkin dibandingkan dengan Minho dan Taemin, aku masih tertinggal jauh, tetapi aku akan berusaha untuk membahagiakan Eomma.‖ ―Tidak ada yang terlambat, Jinki. Kalian semua tetap berada di hati eomma, tak ada yang kalah atau pun menang dari yang lain.‖ Jinki tersenyum lega, ia memeluk ibunya. Air matanya yang sedari tadi ia tahan mati-matian, akhirnya jatuh, mengalir pelan, sebelum kemudian menjadi semakin deras dan tak mampu ia kendalikan. ―Jinki? Kamu baik-baik saja? Kenapa menangis?‖ Jinki melepaskan pelukannya perlahan. ―Aku takut kehilangan Eomma lagi. ― ―Tidak, tidak akan,‖ ujar nyonya Lee sambil tersenyum. Tangannya menepuk pundak Jinki perlahan. Jinki mengusap air matanya, ia merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang begitu menenangkan dari sentuhan ibu kandungnya. Hal yang telah lama tidak dirasakannya selama ini. ―Ah, aku jadi iri dengan Minho Hyung, Jinki Hyung, dan Taemin. Memiliki ibu seperti ahjumma, mereka pastilah sangat beruntung.‖ Nyonya Lee menoleh, mendapati Kibum yang berdiri di sebelah kirinya. Melihat wajah cemberut Kibum, Nyonya Lee tak tahan untuk tertawa. ―Siapa bilang kamu tidak beruntung, Kibum? Kamu boleh memanggilku eomma jika mau. Kamu dan Taemin kan sama-sama adik Jinki.‖ Kibum tersenyum lebar. ―Selamat Hari Ibu … Eomma.‖ ―Terima kasih, Kibum. Tolong jaga Taemin baik-baik, ya. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi.‖ ―Siap, Eomma!‖ seru Kibum sembari melakukan gerakan hormat ala tentara. Ia menatap Taemin dengan tatapan jahil. Yang ditatap hanya memanyunkan bibir, tak senang dianggap seperti anak kecil. ―Jangan cemberut begitu, dong, Taemin. Harusnya kamu senang punya saudara sebanyak ini,‖ bujuk Kibum. ―Ya tetap saja, aku tidak suka diperlakukan seperti anak-anak.‖ Melihat pertengkaran kecil itu, Minho berinisiatif menengahi. ―Sudah-sudah. Sampai kapan kalian akan bertengkar terus seperti ini?‖ ―Ingat, kalian itu saudara, bukan sekadar sahabat lagi. Harus bisa saling memahami,‖ timpal Jinki. Kibum mendelik malas. ―Huh, ternyata kali ini Hyung kita sependapat, Taem.‖ ―Memangnya kenapa kalau sependapat? Masalah?‖ tantang Taemin. ―Ah, kalian ini benar-benar tidak bisa dilerai, ya. Lihat, lilinnya sudah semakin pendek,‖ ujar Minho sembari menunjuk ke arah lilin yang hampir tak berbentuk karena lelehannya yang meluber seenaknya. ―Sebaiknya kita segera mulai acara makan-makan, sebelum semuanya menjadi dingin.‖ ―Kau benar. Sup buatanku sepertinya sudah tidak hangat lagi,‖ balas Jinki, menyetujui pendapat Minho. ―Ah, ya, Eomma silakan duduk,‖ ajaknya sambil membimbing Nyonya Lee untuk duduk di satu-satunya kursi yang kosong. ―Hore, aku duduk di sebelah kanan Eomma!‖ seru Taemin riang. ―Hei, itu tempat dudukku!‖ protes Jinki. ―Aish…,‖ gerutunya kesal.
169
Minho yang sudah bersiap duduk di sebelah kiri nyonya Lee memilih untuk mengalah. ―Ya sudah, Jinki, kau duduk di sini saja.‖ ―Benarkah? Gomawo, Minho,‖ ucap Jinki. Minho mengambil posisi di sebelah Kibum, berpura-pura menggerutu. ―Ah, ternyata benar apa yang dikatakan Kibum. Kamu masih seperti anak kecil, Taemin-ah.‖ ―Ah, Hyung, jangan ikut-ikutan Kibum…,‖ keluh Taemin pada Minho. Nyonya Lee terkekeh mendengarnya. ―Selamat makan!‖ koor Taemin dan Kibum serempak. Mereka berlima menyantap makanan yang tersedia dengan tenang dan penuh kebahagiaan. Tentulah hal ini tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya. Kembali dipersatukan oleh sebuah kejadian yang tak sepercik pun terlintas di benak mereka. Jinki menemukan ibu kandungnya tanpa proses yang panjang dan rumit. Mereka telah melakukan kontak mata sebelumnya. Hanya saja, butuh beberapa hari untuk menyadari hubungan di antara mereka. Dan saat satu untaian benang telah bersatu, untaian lain pun ikut bertemu. Terhubung, terjalin, terangkai indah membentuk keluarga. Ya, mulai detik ini dan seterusnya, hati mereka saling terkait oleh benang yang bernama cinta. *** Kibum membereskan peralatan makan dan membawanya ke dapur untuk dibersihkan. Taemin turut membantunya dengan membereskan peralatan masak yang masih tergeletak di meja dapur. Minho menemani nyonya Lee berbincang-bincang dengan Jinki di ruang tengah. Ting tong… ―Siapa itu?‖ tanya Jinki saat mendengar bel rumah berbunyi. Ia melempar pandangannya ke arah pintu utama. ―Tumben ada tamu malam-malam seperti ini?‖ komentar Minho. Ia pun berinisiatif untuk berdiri membukakan pintu untuk tamu yang berkunjung. Ia memutar kunci dan kenop pintu, lalu membukanya. ―Selamat malam!‖ Seorang pemuda berdiri tegap memakai jaket biru gelap menyambut pandangan Minho. Sosok yang ia kenal sebelumnya. ―Jonghyun, ada apa bertamu malam-malam seperti ini?‖ tanya Minho. ―Ayo, masuk dulu!‖ Jonghyun melangkah masuk ke dalam rumah. Ia memberi salam hormat saat pandangannya bertemu dengan Nyonya Lee yang melihatnya dari arah ruang keluarga. Minho mempersilakannya untuk duduk. ―Begini, aku mau mengantarkan berkas-berkas presentasi untuk lusa. Aku baru saja pulang dari kantor, jadi maaf kalau terlalu malam berkunjung ke rumahmu.‖ ―Oh, tak masalah. Maaf juga kalau merepotkanmu seperti ini. Kenapa tidak besok saja?‖ tanya Minho basabasi. ―Aku tak mau mengganggu liburmu dan liburku besok. Haha…,‖ jawab Jonghyun asal sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Minho mengamati berkas-berkas yang di hadapannya. Ia mengangguk sekilas. Jonghyun menunggu reaksi Minho selanjutnya sambil mengedarkan pandangan ke seisi rumah. Saat itulah matanya bertemu oleh sosok lain yang perlahan berjalan ke arahnya. ―Jinki? Kok bisa di sini?‖ tanya Jonghyun terheran. Yang ditanya hanya memutar bola mata sambil memikirkan jawaban yang tepat. Jinki tak mungkin menjelaskan secara panjang lebar kisahnya malam ini. ―Dia ingin mengunjungi adikku,‖ jawab Minho menggantikan Jinki.
170
―Ah, apa jangan-jangan siswa SMA yang kamu maksud itu Taemin?‖ tanya Jonghyun. Jinki mengangguk canggung. Jonghyun hanya bisa membulatkan mulutnya heran. Dunia begitu sempit, pikirnya. ―Ada yang kurang, Minho?‖ tanya Jonghyun untuk mencairkan keheningan. ―Pas. Ini sudah sangat lengkap. Gomawo,‖ balas Minho sambil tersenyum kecil. ―Jonghyun, aku boleh minta tolong?‖ tanya Jinki sambil berjalan menuju sofa ruang tengah dan mengambil sebuah benda dari dalam tas miliknya. Jonghyun penasaran, ―Minta tolong apa?‖ Jinki kembali berjalan menghampiri Jonghyun dan menyerahkan kamera DSLR kepunyaannya. ―Bisa fotoin kita nggak?‖ bujuk Jinki sambil mengarahkan wajahnya kepada Minho, lalu Taemin dan Kibum yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Jonghyun menghela napas berat, ―Baiklah. Untukmu, apalah yang tak akan kukerjakan?‖ godanya pada sahabatnya, Jinki. ―Kita mau difoto?‖ tanya Kibum bersemangat. Ia berteriak girang sambil melayangkan senyuman lebar kepada Taemin di sebelahnya. ―Ayo, ayo, merapat semua!‖ panggil Minho memberi aba-aba. Mereka berjalan mendekat ke sofa yang tengah diduduki Nyonya Lee sedari tadi. Nyonya Lee melambaikan tangannya ke arah anak-anaknya untuk duduk di sampingnya. Jonghyun mengambil posisi yang pas. Sesekali ia mengarahkan objek bidikannya agar dapat berpose dengan baik. Setelah dirasa pas, tangannya mulai menyentuh tombol shutter sambil berseru, ―Ya! Senyum semua! Satu…dua…ti….‖ END
171
Resolution
Author
: Faciikan
Main Cast
: Choi Minho and her
Support Cast
: -none-
Length
: ficlet
Genre
: friendship
Rating
: General
Summary
: He was in stress, and he snapped, and she was sort of angry.
A.N
: If only this thing could be a little bit better *tearing
The room was crowded with men and women in classic suits and dresses and he was in between feeling confused and having a little of headache by the chirping sounds of the executives. He—desperately—wanted to go somewhere else. It was not like he hated the party or the people inside this ballroom but the thing he had to do that time was way more important than saving a billion grand of money. He actually tended to enjoy this party but it wasn‘t as planned. The problem he suffered kept running on his small head making him feeling less comfy. I got to go, it was spinning on his head, but how, it was another matter. After avoiding some conversations; some people; some executives and some label mates, he eventually out of the room to the long eerie corridor. He sighed in relieve and how he hoped he‘d survive the next day because of the escaping from company annual New Year Party. But he was extremely happy. He drove his red convertible literally like slicing the metropolis city. He drew some attention—not to mention his car was quite cool—and he was not even budge. He knew where she was only by his terrific guessing—or because he just knew her too well. He didn‘t manage to put on any kind of disguise things he went out with merely him with his ultimate black coat; still in silver holy Armani tux, well made hair that marked him as star. The place was too crowded so no one literally recognize him. His head circled here and there scanning the place to find her lovely face. Instead of face, he found her back. The red cashmere trench coat she wore that day and the must-be-hand-knitted white beanie he pinned in his head, it must be her, and it had to be her. He patted her shoulder, and in split second he was mesmerized; like she always did unconsciously. She was with some of her girl friends and he knew how dangerous it was to speak with her in that very place. She was a bit shocked by his sudden appearance before her own two eyes. She tried to let his hand off her wrist but as she always knew he had strong grip. But she managed to whisper, ―we will talk,‖ then he grinned, ―After I tell my friends.‖ So he nodded in response and watching her from behind as she talked to her friends. He started to draw some attention and people recognize him. He pulled her into his cool convertible and they stayed in silence. He drove to a silence hill outside the crowd. She got out from the car and found a bench to sit there. The view was good and he placed himself on another side of the bench, sat there—both of them—in silence. ―I desperately wanted to talk to you,‖ he couldn‘t bear it any longer so he snapped. She answered coldly, ―and talk you shall.‖ ―I know I am the wrong one, I'm feeling guilty as hell so that‘s why I beg your forgiveness,‖ he faced her. She was still on her poker face mode, ―about what?‖
172
―About everything, sorry I ditched you that day I, I..,‖ ―I was in fight with my girlfriend,‖ ―And the company freaks me out my brain!‖ ―About some drama offers and the script,‖ ―I was just,‖ She sighed, ―I know, since when I don‘t understand that? We have been best friends from ancients ago. What I don‘t get is why did you snapped at me and ditched me when I asked you what happened.‖ ―I‘m so sorry,‖ he pouted. ―I know it was just a stress side effect. Stop playing tough,‖ she stroked his head. ―Oh, and I have one more thing,‖ she said. She started to stir off her bag. He saw a long black muffler and how loved the fact that she loved to knit. ―I made it for you for your birthday present actually. But that time we were in some sort of awkwardness, so, here you go, good sir.‖ Then they waited for the fireworks to burst. It was the New Year Eve, and that silent hill was just perfect. ―It is strange that I have a girlfriend, you got a boyfriend and we are still like this. Seems like you are way more important than my own girl,‖ he starred to the view. She blew her breath out loud, ―look Minho, I don‘t really care. You are my best friend; it is poles apart from my boyfriend.‖ He grinned, ―yeah, the truth is I somewhat treasure you more than my girlfriend.‖ Not so long after, the fireworks filled the night sky. He could see twinkles in her eyes. After the fireworks show was done he asked her, ―so are we cool?‖ ―I‘m hot, you‘re cool,‖ she answered with a chuckle. END
173
Nobody Knows
Author
: Bella Jo
Main Cast
: Lee [Onew] Jinki | Choi Minho | Lee Jinri | Park Hyunyo
Suport Cast
: The rest of SHINee‘s member
Genre
: Romance, incest, family
Type/Length
: twohots/ 1 of 2
Rating
: PG 16
Summary
: ‖Jangan pernah tinggalkan Jinri.”
Part 1
Hidup disusun oleh sekumpulan takdir yang tak pernah dapat ditebak jalannya. Semakin lama hidup, semakin mengerti pula rumitnya benang nasib yang merajut dunia. Perasaan dijadikan bumbu penyedapnya, menambah pelik rajutan yang telah tercipta. Terkadang logika dan perasaan tak sejalan, tak dapat dipungkiri ketidakselarasannya. Saat degup jantung tak dapat dikendalikan logika kompleks, saat semburat rasa malu tapi mau menghiasi pipi karena kehadiran seseorang, tak ada yang tahu siapa atau apa lagi yang dapat menghentikannya. Karena satu sentuhan kecil dapat menyebar sengat lewat rajutan sel-sel saraf, merambat ke pikiran bahkan terhantar dalam jalur aliran darah. Dan saat itulah logika dipaksa mengikuti perasaan, menyebabkan sebuah kata sayang melantun pelan dengan ketidaksengajaan. Sebuah bangunan putih megah berdiri kokoh di kompleks perumahan di daerah Gangnam. Kontras dengan warna bangunan rumahnya, pagar rumah itu berwarna hitam legam dengan dinding beton pagar bermotif corak catur berwarna hitam-merah. Mewah, mungkin itu kesan pertama orang yang melihat bangunan tersebut. Ditambah lagi dengan letaknya yang jelas berada di daerah perumahan elit Kota Seoul. Rumah itu punya taman yang cukup luas di sekelilingnya dan kolam ikan besar di sudut tamannya. Tak lupa mawar aneka warna ikut menyemarakkan suasana. Orang yang lewat pun pasti kagum dengan keindahannya. ‘Orang-orang yang hidup di sana pasti bahagia‘, mungkin pikiran itu yang terbesit di benak orang lain, orang luar yang tidak hidup di rumah itu. Siapa yang menyangka kalau yang terjadi malah hal yang sebaliknya. Karena bukan itu kenyataan yang sebenarnya. Tak ada yang tahu... Semua orang itu munafik Kami tidak butuh mereka Semua hanya ‟orang luar‟ Tak akan masuk di antara kami Kata mereka hanya merajut dusta Tingkah mereka hanya berupa khianat Karenanya, semua itu tak nyata bagi kami Hanya kami yang hidup di dunia ini
Bunyi jam dinding yang berdetak dengan jarum detiknya entah kenapa terdengar nyaring di rumah itu. Dinding lorong rumah yang berwarna coklat muda itu tampak gelap, hanya samar cahaya mentari yang menyeruak celah jendela. Kembali detik jam menggema, memenuhi seisi rumah dengan nadanya yang teratur
174
berirama. Sepi... Layaknya tak ada yang mengisi bangun tiga dimensi megah tersebut. Namun tanpa disangka masih ada yang duduk di salah satu ruangnya. Dua orang anak dengan wajah serupa tapi tak sama meringkuk di sudut ruangan, gerak halus tubuh mereka tampak menggigil. Yang lebih kecil terdengar menangis sesenggukan. Yang satunya lagi memeluk gadis kecil itu dengan hangat. ‖Oppa, apa eomma dan appa pulang hari ini? Apa nanti mereka pulang?‖ ‖Oppa tidak tahu. Biarkan saja mereka tidak pulang, selama kita masih berdua..‖ ‖Oppa, apa mereka tidak lagi peduli pada kita? Apa mereka sudah tidak menyayangi kita lagi?‖ ‖Oppa tidak tahu. Biarkan saja appa dan eomma tidak lagi menyayangi kita. Yang penting kita saling sayang di sini.‖ Si gadis kecil menghentikan tangisnya. Ia menatap lurus lelaki kecil yang balas menatap lembut dirinya. Lelaki kecil itu menghapus air mata yang masih membekaskan aliran di pipi adiknya. Mereka berdua saling pandang dalam diam. Perlahan lelaki kecil itu tersenyum manis ke arahnya, ‖Sudah tenang?‖ tanyanya lembut. Si gadis kecil mengangguk pelan lalu memeluk oppa-nya lagi. ‖Oppa, apa oppa mencintai Jinri?‖ ‖Ne.‖ ‖Sebagai apa?‖ ‖Sebagai oppa pada dongsaeng-nya.‖ Gadis itu diam, membuat bocah lelaki yang tengah mendekapnya sedikit heran. Ia mengencangkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam dekapan bocah itu. Si bocah lelaki yang mulai mengerti kini membelai lembut kepala adikya. Segaris senyum tercipta di bibirnya yang tak terlalu tebal. Senyum hangat yang tulus dari hatinya. ‖Apa tidak bisa lebih dari itu? Jinri memang mencintai Oppa juga. Tapi....‖ ‖Tentu oppa mencintaimu lebih dari apa pun, melebihi segala hal yang pernah kau bayangkan...‖ ‖Sungguhkah? Kalau gitu, berjanjilah satu hal pada Jinri, Oppa!‖ ‖Apa itu?‖ ‖Jangan pernah tinggalkan Jinri.‖ *** Waktu berlalu layaknya aliran sungai menuju laut. Tak ada yang dapat menghentikan alirannya, bahkan sebuah keinginan kuat sekalipun. Bersama lalunya waktu, hal yang tak terduga semakin menampakkan diri, berlarut-larut karena enggan dipisahkan. Angin berhembus lembut, membuat dua anak adam yang berada di tepi kolam merasakan ketenangan yang dalam di sana. Gemericik suara air membuat mereka hanyut akan suasana. Keduanya saling pandang dengan senyum manis merekah di bibir keduanya. Si lelaki mengelus lembut rambut sang gadis, lalu membelai pipinya yang mulai menunjukkan rona kemerahan. ‖Oppa sangat berharap kita bisa terus seperti ini, Jinri-ah. Hanya kamu dan oppa dalam ketenangan yang menghanyutkan,‖ ucap si lelaki pada si gadis. Gadis itu merapatkan tubuhnya dan membenamkan kepalanya dalam pelukan laki-laki itu. ‖Jinki Oppa.... aku juga berharap begitu...,‖ ia mempererat pelukannya,‖ selama tidak ada yang mengusik kita berdua, itu saja sudah cukup... aku bersyukur kita terlahir kembar seperti ini...‖ ‖Karena untuk hidup hanya sendirian saja di rumah besar nan megah kita, itu sangat berat,‖ tambah Jinki. Laki-laki berusia lima belas tahun itu membelai lagi kepala dongsaeng perempuannya itu dengan sangat lembut. ‖ Terkadang orang-orang luar itu menakutkan, tapi tidak semenakutkan rasa kesepian yang mencekam hati saat sendiri berada di keluarga yang tampak tidak begitu peduli....‖
175
Kedua orang itu terus tetap berada di posisinya selama beberapa lama. Pikiran mereka kembali teringat akan kenangan-kenangan masa lalu yang selalu mereka jalani berdua tanpa pernah berpisah. ―Tapi bukan karena rasa kesepian aku ingin selalu bersama Oppa,‖ ucap Jinri kemudian, membuat Jinki menatap wajahnya yang agak sendu. ‖Namun rasa cinta yang menghiasi hati ini yang membuatku selalu ingin berlama-lama dan selalu ingin berada di samping Oppa.‖ Jinki mencium puncak kepala dongsaeng-nya, ‖Itu juga yang oppa rasakan, Jinri-ah.‖ ‖Aku tahu, karena aku selalu tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiran Oppa. Karena kita kembar, karena kita dilahirkan bersama, dan karena kita tumbuh dan besar bersama. Serta karena...‖ ‖Kau mencintaiku...,‖ucap Jinki lembut. Jinri mengangguk pelan lalu mengecup mesra pipi Jinki,‖Dan kau pun mencintaiku...,‖ tambahnya. Jinki agak tergelak mendengarnya. ‖Kau mengatakannya dengan begitu percaya diri, Agassi. Apa kau yakin kalau aku juga mencintaimu?‖ godanya. Jinri melepas pelukannya dan memanyunkan bibirnya,‖Tentu saja. Karena sikapmu selalu menunjukkan hal itu.‖ ‖Seperti apa misalnya?‖uji Jinki. ‖Kecupanmu, belaianmu, pelukanmu, dan kata-kata manismu!‖ ucap Jinri dengan gaya sebal. Jinki semakin terkekeh. Ia kembali merangkul tubuh meungil Jinri,‖Kau benar, Jinri-ah. Kau benar. Aku mencintaimu.‖ "Aku juga mencintaimu, Jinki...‖ ‖Hei, kau tidak menyebut kata ‘oppa‘ setelah meyebut namaku...,‖ ucap Jinki bersungut-sungut. Kali ini Jinri yang tertawa,‖Itu artinya aku serius dengan kata-kataku, Jinki. Aku mencintaimu bukan sebagai kakakku, tapi sebagai seorang wanita kepada lelaki....‖ *** ‖Andwae, Eomma! Kami tidak mau dipisahkan! Aku tidak mau tinggal di rumah Kim Ahjumma! Lepaskan aku, Eomma! Lepaskan!‖ pekik Jinri kuat, tak kalah kuat dengan usahanya untuk melepaskan diri dari tarikan wanita berblus biru yang ada di depannya. Tubuhnya terus meronta keras, sementara satu orang lagi menariknya ke arah berlawanan dari arah wanita itu menarik tubuh Jinri. ‖Pokoknya kamu harus eomma bawa ke tempat Kim Ahjumma, Jinri-ah! Kalian berdua harus dipisahkan! Kalau tidak, akan terjadi hal yang buruk nantinya!‖ pekik sang wanita yang adalah eomma-nya Jinri dan Jinki itu dengan tidak kalah kuat. Air mata Jinri mengalir deras, ia menatap Jinki seakan memohon agar oppa-nya itu terus berusaha juga agar eomma-nya tidak berhasil membawa ia pergi dari rumah tempatnya dibesarkan itu. ‖Eomma, hentikan! Lepaskan Jinri!‖ seru Jinki keras. Tangannya terus berusaha menarik tangan dan tubuh Jinri dari eomma-nya. Ia sama sekali tidak rela membiarkan adik kembarnya itu dibawa pergi dengan paksa dari dirinya. Apalagi ia menyimpan perasaan mendalam yang sudah terpupuk selama bertahun-tahun ini. Apapun akan ia lakukan demi membuat Jinri tetap tinggal bersamanya.
Janji kami sudah terikrar Kami tak boleh dipisahkan Kalian tidak mengerti Kalian takkan pernah mengerti Kasih kami hanya untuk kami Takkan pernah kami duakan Apalagi untuk orang luar Mereka tak tahu dan tak pernah mengerti
176
*** ‖Jinki, eomma akan menjodohkanmu dengan gadis baik pilihan eomma,‖ ujar wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa tamu dengan tenang, tangannya membawa amplop cokelat besar yang berisikan foto dan biodata gadis yang ia maksud ke hadapan Jinki. Jinki mengerutkan keningnya. Dia menolak amplop tersebut dengan kasar, lalu tersenyum sinis
ke
arah
eomma-nya. ‖Gomawo
sudah mencemaskan masalah
percintaanku, Eomma. Tapi maaf saja, aku tidak akan pernah mau menerimanya,‖ ucapnya dengan nada dingin. Wanita paruh baya itu tertegun melihat reaksi sinis anak laki-lakinya, walau ia sudah sering diperlakukan dingin oleh Jinki. Ia menarik nafas menahan emosi,‖ Apa maksudmu, Jinki?‖ Tawa sinis Jinki semakin menjadi, ‖Eomma tidak mendengarkanku? Aku bilang aku tidak mau. Titik. Apa Eomma mau aku mengulanginya lagi supaya Eomma bisa mendengarnya dengan lebih jelas?‖ ‖Jinki! Kamu harus ikut perjodohan ini!‖ tuntut eomma-nya tegas. ‖Lalu apa? Menikahi gadis pilihan Eomma ini setelah menjodohkannya denganku?‖ Jinki menggenggam jarinya dengan kuat dan penuh emosi. Jarang sekali ia merasa semarah ini kepada ‘orang luar‘ yang selalu ia perlakukan dengan dingin. ‖Apa tindakan Eomma delapan tahun yang lalu masih belum cukup?‖ ucapnya pelan dengan suara yang ditekan, ‖Apa tindakan Eomma memisahkanku dengan Jinri dan tidak ernah membiarkanku menghubunginya sekalipun juga MASIH BELUM CUKUP?!?‖ tekannya dengan emosi yang meluap-luap. Ingatan perpisahannya dengan Jinri delapan tahun yang lalu kembali terbayang di kepalanya. ‖KENAPA EOMMA MASIH MAU MENJODOHKANKU SETELAH MENYAKITIKU SAMPAI SEBEGITUNYA?!‖ kesalnya. ‖Shikureo!‖ ucap eomma-nya. ‖Hajiman...,‖ Jinki masih berusaha membangkang. ‖EOMMA BILANG DIAM!!‖ bentak eomma-nya. Akhinya Jinki diam dan menghempaskan tubuhnya yang sempat bangkit kembali ke sofa. Eomma-nya menarik nafas panjang untu menenangkan dirinya sendiri. Jinki melipat tangan di dada dengan kesal. ‖Kamu dan Jinri harus mengerti kalau eomma melakukan hal itu demi kebaikan kalian berdua. Cinta kalian terlarang. Kalian bersaudara, bahkan saudara kembar. Kau pasti mengerti, ‗kan?‖ jelas eomma-nya pelan. Jinki masih tampak kesal, pandangannya masih terlihat dingin. ‖Tapi Eomma tidak perlu memisahkan kami! Eomma tidak punya hak memutuskan hubungan kami sesuka hati eomma!‖ ucapnya kembali dengan nada sinis. ‖Kalau Eomma tidak melakukannya, kalian pasti terjebak dalam lingkaran dosa sekarang!‖ Wanita itu mendengus, ‖sudah berapa kali kalian melakukannya?‖ ‖Apa?‖ ‖Jangan pura-pura bodoh, Jinki. Kau pasti tahu apa yang eomma maksud,‖ ucap eomma-nya dengan nada dan pandangan yang tak kalah tajam dari pandangan Jinki tadi. Senyum sinis Jinki kembali keluar,‖ Maksud Eomma ‘ciuman‘? Sudah berkali-kali. Eomma tidak akan tahu jelasnya berapa kali. Bukannya itu sudah lama berlalu? Eomma kan sudah pernah menanyakannya!‖ pekik Jinki. ‖Lihat, ‗kan? Kalian sudah melakukan hal yang tidak pantas seperti itu... Kalian tidak pernah melakukan hal yang lebih dari itu, ‗kan?‖ selidik eomma. Kepalanya ia gelengkan dengan tegas. Jinki mendecak sebal,‖Tidak, tidak pernah.‖ ‖Baguslah kalau begitu,‖ ujar wanita itu sambil berlalu meninggalkan Jinki di ruangan itu. Jinki juga hendak berbalik pergi, namun langkahnya terhenti saat amplop cokelat tadi melayang dan jatuh tepat di tangannya.
177
‖Bacalah isi amplop itu dan temui gadis yang datanya tertera di sana,‖ ucap eomma-nya. Wanita itu mendengus, ‖Seharusnya kalian bersyukur karena Eomma memisahkan kalian berdua di umur segitu. Kalau tidak, kamu pasti sudah melamar Jinri sekarang.‖ Jinki hanya diam, ia kembali melangkah dengan tidak peduli. ‖Jinki,‖ panggil eomma-nya lagi. Wanita itu mendesah resah sebelum melanjutkan kata-katanya,‖ jangan kecewakan Eomma...‖ *** ‖Annyeonghasseo, Choi Minho imnida. Kamu Jinri, ‗kan?‖ sapa seorang lelaki ramah pada seorang gadis yang sedang duduk sambil memutar-mutar sedotan jusnya. Jinri mendongakkan wajahnya menatap lelaki yang baru pertama kali ia temui itu. Ia bangkit dari duduknya dan sedikit membungkukkan badan, ‖Selamat siang. Aku Lee Jinri.‖ Selama beberapa menit keduanya duduk dalam keheningan. Si lelaki mulai buka suara,‖ Mmm... boleh saya tahu kenapa kamu menyetujui perjodohan ini, Agassi?‖ tanyanya hati-hati. Jinri tersenyum melihat lelaki itu,‖Tidak ada alasan khusus. Lagipula yang mengusulkan ini adalah waliku...‖ Minho mengerutkan alisnya dengan heran,‖ Wali?‖ ulangnya. Gadis di hadapannya itu memaksakan diri untuk tersenyum,‖ Ya, orang tuaku tinggal di kota yang jauh. Aku di sini karena diungsikan...‖ ‖Ungsi?‖ lagi-lagi Minho mengulang kata-kata Jinri dengan semakin bingung. Jinri hanya tersenyum penuh misteri ke arahnya. Lelaki berambut hitam rapi dan bergaya itu berusaha mengalihkan pembicaraan,‖Mmmm... Apa kamu ingin kita ke tahap yang lebih serius lagi?‖ ‖Menurutmu?‖ ‖Entahlah. Kamu sulit sekali untuk ditebak, Agassi...,‖ aku lelaki itu jujur. Jinri tertawa,‖Jangan bersikap terlalu sopan. Panggil saja aku Jinri, Tuan.‖ Jinri berjalan perlahan menuju Kim Ahjumma, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu sudah menunggunya sejak tadi di depan rumah. Wanita itu tersenyum,‖ Bagaimana? Sudah ketemu dengan orangnya kan? Kamu suka?‖ Jinri menghela nafas lalu balas tersenyum,‖ Kalaupun aku menyukainya, tidak akan melebihi rasa suka maupun rasa cintaku pada Jinki oppa...,‖ jawabnya. Pandangan matanya menyendu sayu. Senyum di bibir Kim Ahjumma perlahan hilang begitu mendengar nama Jinki. Kim Ahjumma mendekati gadis itu dengan tatapan keibuan yang cemas,‖ Jinri, kau masih mencintai oppamu sampai sekarang?‖ tanyanya ragu. ‖Ne, Ahjumma. Bukan hanya sampai sekarang aku mencintainya. Aku akan mencintainya sampai kapan pun, mungkin juga sampai aku menghembuskan nafas terakhirku...,‖ lirihnya. Jinri masuk ke dalam rumah dengan mengacuhkan kata-kata Kim Ahjumma selanjutnya. Dia masuk ke dalam kamar yang didominasi oleh dua warna yang merupakan warna kesukaannya dan Jinki, hitam dan merah. Dia menjatuhkan badannya ke kasur sambil memandang penuh arti dinding merahhitamnya. Dia menoleh ke kiri, di mana foto Jinki dan dirinya terpajang rapi dengan bingkai indah berwarna merah-hitam pula. Foto dirinya dan Jinki yang tampak sangat bahagia dengan tawa mereka. Diraihnya foto tersebut,‖ Jinki Oppa-ku sayang, Jinri pulang...,‖ dia tersenyum manis sambil menatap wajah Jinki yang tak terlalu jauh berbeda dari wajahnya. Air matanya berlinang dan menetes saat tangannya mulai menyentuh potret Jinki tersebut,‖ Oppa, Jinri rindu oppa.... benar-benar rindu...‖
Kapan dunia puas menyiksa kami? Kapan semua penderitaan kan hilang?
178
Semua mendekat tanpa tahu apa pun... Tanpa tahu apa pun...
Pikiran Jinri melayang ke hari dua minggu yang lalu, saat ia mendapat kiriman amplop cokelat yang tanpa diketahuinya serupa dengan amplop yang diterima Jinki dari eomma-nya. Bahu Jinri semakin naik turun saat mengingatnya. “Ma, apa-apaan kiriman Eomma itu?! Eomma bercanda, „kan? Kalau Eomma berniat bercanda, ini sama sekali tidak lucu!!” semprot Jinri kesal dengan ponsel tertempel di telinga kirinya. Dadanya sesak saking kesalnya, nafasnya memburu.” ”Eomma sama sekali tidak bercanda, Jinri. Eomma serius. Eomma mengirimkan itu padamu untuk kebaikanmu juga...,” terdengar suara eomma-nya membela diri di seberang telepon. ”Apa belum cukup? Apa tindakan Eomma memisahkanku dengan Jinki oppa dan tidak pernah membiarkanku menghubunginya sekalipun juga MASIH BELUM CUKUP?!?” luapnya emosi. ” APA PERPISAHAN KAMI MASIH BELUM CUKUP?! APA PATAH HATINYA KAMI BERDUA JUGA MASIH BELUM CUKUP BAGI APPA DAN EOMMA??!!!” seru Jinri kuat. Emosinya sudah benar-benar meledak dan ia tak sanggup untuk menahannya sama sekali. Nafasnya sampai sesak. Air mata mengalir deras dari kelopak matanya. Tangannya bergetar dan bahunya pun naik-turun. Terdengar helaan nafas panjang dari seberang telepon. ”Reaksimu sama seperrti Jinki,” cibir eomma-nya. ” Kamu terlalu berlebihan!” ”Pokoknya Jinri tidak mau ikut perjodohan ini, sama sekali tidak setuju! Biarkan Jinri bicara dulu dengan Jinki oppa , baru Jinri mau!!” pintanya memaksa. Baginya hanya itu jalan agar ia bisa mendengar kembali suara Jinki yang sudah tidak ia dengar selama delapan tahun terakhir itu. ”Kamu tahu, Jinki sudah mengikuti perjodohan ini dan langsung menyetujuinya setelah menemui calon istrinya,” ucap eomma-nya enteng. GELEGAR!! Jinri seakan tersambar petir di siang bolong. Ia terperanjat tidak percaya dengan kata-kata eomma-nya tadi. Lututnya melemas dan tangannya semakin kuat bergetar, bergerak menutupi mulutnya yang menganga tidak percaya,” Oppa sudah setuju dengan perjohan yang Eomma berikan padanya?” dia menggeleng perlahan, namun semakin lama semakin kuat,”tidak... tidak mungkin... tidak
boleh...”Ponsel Jinri jatuh dari
genggamannya dan ia langsung terduduk lemas di lantai. ”Ini tidak mungkin „kan, kak? Cintaku cuma untuk oppa.... cinta oppa juga untukku, „kan...?”bisiknya di sela tangisnya yang menjadi.
Cintaku hanya untukmu Cintamu hanya untukku Kasih kita untuk kita Sayang kita untuk kita
Berjanjilah jangan tinggalkan aku Kau pergi, aku ikut Karena kita sudah ikrarkan janji Takkan ada dusta di sini
179
*** Seorang gadis berambut panjang lurus mendekati Jinki yang sedang duduk termenung di salah satu kursi taman. Ia mengerti ada yang sedang dipikirkan laki-laki berkulit putih itu, dan dia tahu itu bukan tentang dirinya. Begitu sampai di depan Jinki, ia berjongkok dan memandang wajah Jinki dengan ramah. Ia memasang senyum termanisnya. Salah satu tangannya menyodorkan satu centong es krim cokelat-vanilla. ―Lama menunggu?‖ sapanya. Jinki tersadar dari lamunannya. Ia membalas senyuman gadis itu dengan agak terpaksa, ‖Tidak juga, tenang aja...‖ Gadis itu tertawa melihat reaksi Jinki, ‖Kenapa kaku begitu? Ini sudah tiga bulan sejak pertunangan kita. Padahal kau yang menerimanya dan memintaku pula. Apa kau masih belum bisa menerimaku?‖ Jinki mengambil amplop yang tadi disodorkan eommanya itu. Ia membuka isi amplop tersebut dengan enggan. Tampaklah selembar foto ukuran A4 yang menampilkan gambar close-up seorang gadis cantik bernama Park Hyunhyo. Ia melihat beberapa lembar data tentang gadis itu. ”Hmmm.... anak perempuan pengusaha mebel ternama. Sudah lama bekerja di redaksi majalah YOUNG yang terkenal di kalangan masyarakat umum. Belum pernah pacaran dan termasuk gadis yang periang. Punya banyak kenalan dan koneksi dengan orang-orang terkenal maupun seniman di berbagai provinsi....,” Jinki membaca data tersebut seraya menngambil kesimpulan sementara. Keningnya langsung mengerut saat melihat tulisan selanjutnya, ”Punya saudara kembar laki-laki yang merupakan kakaknya?!” serunya spontan. *** ”Jadi kau menemuiku karena aku punya saudara kembar?” tanya Hyunhyo sambil memainkn sedotannya. Kemudian ia tertawa geli, ”Kau orang yang sangat aneh.” ”Aku hanya ingin tahu, apa hubunganmu dengan oppa-mu itu normal-normal saja layaknya saudara? Atau mungkin... ada timbul perasaan yang aneh di antara kalian?” tanya Jinki to the point. Ia menatap lurus gadis di hadapannya itu. ”Aneh?” ulang Hyunhyo, ”Maksudmu seperti ‟cinta‟?” tanyanya memastikan. Jinki mengangguk pasti walau dalam hatinya dia masih agak malu. Hyunhyo tersenyum simpul sambil saling menyilangkan jari-jarinya untuk menopang dagunya, ”Ya, aku dan oppa-ku pernah merasakannya. Itu tidak aneh karena kami tumbuh bersama, melihatnya setiap hari yang selalu melindungiku, tersenyum begitu manis hanya untukku, dan memperlakukanku lebih spesial di antara semua wanita dalam hidupnya membuatku begitu mencintainya.” Kata-kata Hyunhyo terhenti. Gadis itu tersenyum sedih, ”Tapi, kau pasti tahu kalau aku tidak boleh mencintainya, bukan? Percintaan antara saudara itu ditentang semua pihak. Aku dan oppa-ku menyerah pada belenggu takdir kami dan kami memutuskan untuk tinggal terpisah agar tidak lagi terpengaruh dan merasakan getaran-getaran cinta itu...,” jelasnya lagi. Hati Jinki tergetar. Situasi yang sama seperti dirinya seakan terceritakan ulang di hadapannya. ”Tapi, kami berusaha dengan begitu kuat sehingga mau tak mau perasaan itu pun terkikis di makan waktu. Sekarang kami sudah bisa bertemu sesuka kami karena kami takkan berdosa lagi jika bertemu tanpa merasakan getaran itu sama sekali,” tambah Hyunhyo mengakhiri ceritanya.ia menyerut habis jus apel pesanannya itu. ”Berarti... aku bisa minta tolong padamu..,” ucap Jinki kemudian. ”Eh?”
180
Part 2
Jinki terdiam. Tangannya menerima es krim yang disodorkan padanya, sementara gadis bernama Hyunhyo itu duduk di sampingnya. Gadis itu mencoba mengerti, sambil tersenyum dia berkata, ‖Kukira kau sudah menerimaku karena hanya orang sepertiku yang bisa masuk di antara kalian berdua…. Yaaah, aku juga satusatunya orang yang tahu akan hal ‘itu‘...‖ Suasana di anatara mereka hening. Jinki terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan tanpa sadar membiarkan es krim dalam genggamannya mencair. Hyunhyo sadar akan hal itu dan langsung menjilat lelehan es tersebut dengan cepat. Jinki tersentak kaget melihat pemandangan itu.
“Aaaah… dingin….” Jinki tersenyum melihat tingkah dongsaeng kembar dengan wajah serupa tapi tak samanya itu. Dia menyeka pinggiran mulut dongsaeng-nya yang dipenuhi es krim, ”Apa kau sebegitu inginnya memakan es krimku, Jinri? Kenapa kau langsung melahapnya begitu? Dasar!” Jinri tersenyum manis ke arah oppanya, ”Karena aku ingin dapat makanan atau minuman yang baru dimakan Oppa...” Jinki mengangkat alisnya, ”Untuk apa?” ”Ra-ha-si-a!! Hal seperti ini lagi beken di kalangan anak-anak perempuan. Harus dari orang yang ditaksirnya.” ”Kau naksir aku, Jinri-ah? Oppa kembarmu sendiri?” ”Tentu. Hanya Oppa. Selamanya hanya Oppa.” ”Ya, aku juga. Selamanya hanya dirimu seorang.”
―Jinki Oppa?‖ Jinki lagi-lagi tertegun, kali ini karena mendengar suara yang memanggil dirinya. Itu nada yang sangat dirindukannya. Dia langsung menoleh dan tergagap, ‖Jin..Ri…-ah…?‖ Namun sinar harapan di matanya langsung sirna saat melihat sosok orang yang ada di depannya. Hyunhyo tersenyum maklum. ―Aku tahu kalian begitu saling mencintai…,‖ Hyunhyo menghela nafas, ‖semua semakin terasa saat aku melihat kau yang masih berharap mendengar panggilan itu keluar dari bibir dongsaeng-mu....‖ Hyunhyo mendongak menatap Jinki dengan tatapan lembut yang tegas. Jinki terdiam saat sadar dia pernah menemui ekspresi di wajah Hyunhyo itu sebelumnya.
‖Tapi berjanjilah satu hal padaku...,‖ lirih Hyunhyo. ‖A... apa itu?‖ tanya Jinki. ‖Jangan pernah tinggalkan aku...‖ Jinki tertegun lagi, ‖Kata-kata itu......‖
Kami kira semua akan berjalan mulus Tapi ternyata tidak mereka yang tidak tahu, bukan? Atau malah kami yang tidak mengerti?
Apa karena kami belum dewasa?
181
Atau mungkin hanya kesoktahuan orang dewasa Jangan gerakkan hati kami Karena kami tetap takkan berubah
*** ‖Jinri!‖ panggil Minho penuh semangat. Jinri menoleh dan hanya tersenyum sepenuhnya. ‖Apa kau sudah makan, jagi?‖ tanya Minho begitu ia sudah berhadapan dengan gadis itu. Jinri menggeleng pelan, ‖Belum. Nanti saja, aku belum lapar....‖ ‖Kenapa begitu? Bagaimana kalau kau sakit? Ayo makan!‖ ucap lelaki berkulit putih itu dengan nada setengah memaksa. Tangannya menarik lengan Jinri yang mengikutinya dengan benar-benar enggan. ”Laki-laki ini aneh. Dia bukan tipeku, jauh sekali. Dia pemaksa, ceria dan agak jorok. Kadang-kadang dia berteriak kegirangan hanya karena hal kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Dia memang sangat menyayangiku.... Tapi dia tetaplah bukan tipeku! Aku tidak mau dengannya. Jinki Oppa, kembalilah padaku...,‖ batin Jinri berseru-seru namun tetap tanpa suara pada kenyataannya. Baginya, Jinki dan Minho sangatlah berbeda. Jinki berhati lembut, kalem, sering memberinya kejutan yang menyenangkan, sangat mengerti dirinya maupun keinginannya, dan satu hal yang pasti Jinki sangat mencintainya. Minho sangat bertolak belakang dengan Jinki. Tapi ada satu hal yang sama, satu hal yang sangat disadari Jinri, kedua lelaki itu menyayanginya. Karena itulah Jinri tetap bertahan sebagai tunangannya selama empat bulan ini. Makanan sudah terhidang lengkap di atas meja, tapi Jinri tidak menyentuhnya sedikit pun. Ia hanya menyesap pelan jusnya. Minho menatapnya dengan semakin cemas dan bingung. ‖Jinri-ah, neo gwaenchana?? Apa kau sakit?‖ Jinri menggeleng,‖Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Hanya agak lelah...‖ Gadis itu ingin sekali pergi dari tempat itu dan kembali ke kamarnya. Tapi reaksi Minho berkata lain. HAP Jinri kaget begitu sepotong kentang sudah menyusup masuk ke mulutnya. Matanya menangkap tangan Minho yang menyuapkan benda itu dengan tiba-tiba. Ia menatap Minho seakan bertanya-tanya. ‖Kenapa? Kalau orang lelah, harus makan banyak! Kau bagaimana sih?!‖ ucap Minho santai sambil menyuapkan sepotong kentang lagi ke mulut Jinri. ‖Tenang saja. Aku akan menjagamu. Apa pun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu...‖ *** ‖Apa Eomma yakin dengan keputusan eomma ini?‖ tanya seorang pria paruh baya dengan cemas sambil melihat catatan rencana pesta pernikahan Jinki dan Jinri. Wanita yang ditanyai mengangguk pasti, ‖Tentu. Eomma sangat yakin. Setidaknya ini akan jadi pertemuan terakhir mereka sebelum melepas masa lajang. Pertemuan terakhir sebelum perpisahan...‖ ‖Tapi kalau begini appa tidak setuju!!‖ ‖Appa mau tidak mau harus setuju. Karena kita sudah banyak berbuat salah pada mereka. Ini cara terakhir kita menebus dosa...‖ *** Dua minggu kemudian, Hyunhyo dan Jinki sudah berada di suatu ruangan dalam satu gedung resepsi yang telah lama mereka nantikan. Hari ini tepat satu tahun sejak pertunangan mereka. Dan ini saatnya mereka melangkah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Hyunhyo tahu sekarang Jinki sudah berubah, tidak sekaku
182
maupun sedingin dulu lagi. Benih sayang sudah tumbuh di antara keduanya. Dan itu membuat keduanya berhubungan hangat. ‖Jinki Oppa sayang, apa kau baik-baik saja?‖ tanya Hyunhyo cemas saat melihat wajah pucat Jinki. Tangan, wajah, dan tubuh lelaki itu terasa dingin. Jinki tersenyum dan memeluk gadis itu perlahan,‖Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Setidaknya sampai acara ini selesai...‖ Tangis Hyunhyo terdengar pelan. Ia melepaskan pelukan Jinki dengan lembut,‖Baiklah, tapi jangan paksakan dirimu, Oppa! Kalau kau tidak bisa, tidak masalah.‖ Jinki mengerutkan keningnya,‖ Kenapa kau berkata begitu? Hari ini hari penting bagi kita berdua. Aku tidak akan mungkin menghancurkannya...‖ Tapi kemudian Jinki terbatuk-batuk dan ia segera bergegas ke luar menuju toilet. Hyunhyo semakin takut sesuatu terjadi pada calon suaminya itu. Namun ia segera menata hati, merapikan gaunnya yang agak kusut, dan memoles kembali riasannya yang tadi luntur karena air mata. Ia menatap cermin besar di hadapannya dan menghimpun seluruh tenaga dan semangatnya. ―Hari ini hari pentingku! Ini hari di mana kebahagiaan kami dimulai, walau semua ini tidak akan bertahan lama...‖ *** Jinri mematut dirinya di depan cermin hias. Wajah ovalnya yang cantik tampak suntuk dan tidak bersemangat. Di sampingnya berdiri dua orang yang sudah lama tidak ia temui. ‖Kenapa eomma dan appa membarkan pernikahanku dilakukan bersamaan dengan pasangan lain? Setidaknya biarkan aku mendapatkan hari pernikahanku sendiri!‖ keluh Jinri tanpa menatap kedua orang tuanya. Sebenarnya ia sedang menahan tangis keengganannya untuk menikah. ‖Jinri, apa kamu mencintai Minho?‖ ‖Tidak.‖ ―Lalu, kenapa kau setuju dengan perjodohan, pertunangan, dan pernikahan ini?‖ Tangis Jinri sudah tidak terbendung lagi. Dengan pipi yang basah dengan genangan air mata, ia berbalik an berseru dengan suara serak,‖ Karena aku tidak bisa bersama oppa! Karena kebahagiaanku sudah kandas sebelumnya! Jadi, apa gunanya aku menolak, heh?! Kalian tidak akan merubah apapun, ‗kan? Jawab Appa, Eomma!!‖ ‖Jinri...‖ Jinri segera menghapus air matanya dan menenangkan dirinya. Gadis yang sudah hendak menjadi isteri orang itu berucap,‖ Karena itu, semua sama saja bagiku. Sejak dulu kalian telah membekukan hatiku, tapi sekarang kalian malah mebuatnya menjadi panas. Lebih baik ini cepat berakhir... kalian sudah berjanji akan mempertemukanku dengan oppa, ‗kan? Maka aku akan melakukannya...‖ ‖Pengantin wanita segera bersiap-siap! Sebentar lagi acara akan dimulai!‖ ucap salah seorang staf pengatur pernikahan dari balik pintu. Jinri menelan liurnya,‖Sekarang sudah saatnya...‖ *** Jinri berdiri di balik pintu yang nantinya akan terbuka dan mengantarkannya ke depan altar. Wajahnya kusut tak karuan. Sementara itu, di sampingnya berdiri seorang gadis yang juga bergaun putih. Ia tidak sadar kalau gaun yang dipakainya sama persis dengan gaun gadis itu. Berbeda dengan Jinri, wajah gadis itu tampak begitu bahagia sekaligus tegang. ‖Kau siap, Jinri-ah ?‖ tanya appa-nya sambil mempersilakan tangan Jinri bergelayut di lengannya. Jinri hanya menganggu pelan tanpa semangat. Wali pria gadis yang satunya juga sudah tiba di sana. Pintu mulai terbuka dan kenyataan pahit pun terungkap.
183
Saat ini aku memandangmu Aku telah menemukanmu Tapi kenapa dada ini terasa sakit? Kenapa hatiku malah melayu?
Tidakkah kau menungguku? Lalu apa arti penantianku? Sekarang kau berdiri di sana Tapi bukan untukku...
”Kenapa dia berdiri di sana? Kenapa dia berada di samping Hyunhyo? Apa ini lelucon? Semua hanya lelucon Appa dan Eomma?” “Kenapa dia berada di depan altar sana? Kenapa dia di samping Minho? Ini bohong kan? Jangan-jangan... gadis ini...” Jinri dan Jinki saling pandang dalam diam. Tubuh keduanya membeku kaku. Tapi Jinri mau tak mau terus berjalan beriringan dengan ayahnya. Jinki berusaha mengendalikan pikiran dan kesadarannya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Hyunhyo dan mengulas senyum kepada gadis yang tampak bahagia itu. Melihat itu hati Jinri seperti tertusuk ribuan pedang. Tanpa ekspresi dan pandangan kosong, air mata mengalir dari sebelah matanya. ”Jinri, semua sudah berubah... aku merindukanmu...” Hyunhyo dan Jinri mengakhiri langkah mereka saat keduanya tepat berada di samping pasangan masingmasing. Posisi Jinri berada di antara Jinki dan Minho. Gadis itu mencuri pandang dengan iri ke arah Hyunhyo yang tangannya digenggam Jinki dengan begitu hangat. Semakin iri lagi saat menyadari bahwa ia sudah tidak ada dalam tatapan Jinki. Sementara itu, acara janji suci dimulai. ‖Oppa, aku tidak mau menikah dengannya. Aku mau denganmu...,‖ bisik Jinri dengan suara bergetar. Tak ada reaksi dari Jinki. Jinri menggapai tangan Jinki yang berada di sampingnya,‖Kak, kumohon...‖ ‖Hentikanlah. Kita sudah cukup sampai di sini. Aku sudah menemukan kebahagiaanku dengan gadis ini. Semua sudah berakhir...,‖ balas Jinki berbisik juga. Jinri tercekat. Tangannya melemas dan akhirnya melepaskan tangan Jinki yang digenggamnya. ‖Oh, begitukah? Berarti kekerasan hatiku selama ini sia-sia? Baiklah....‖ Kata-katanya terhenti saat Jinki berbalik menggenggam tangannya. ‖Kau akan mengerti alasanku nanti...‖ *** Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan keempat orang itu. Jinri sama sekali tidak bisa tersenyum sejak hari itu. Padahal, Minho sudah mengusahakan berbagai cara untuk mengembalikan senyuman di wajahnya. Hari ini gadis yang sudah menjadi istri orang itu duduk di balkon tempat mereka menginap selama bulan madu di Jepang. Matanya menunjukkan seakan tubuh itu tak berjiwa. Ingatannya kembali ke hari dua minggu lalu...
“Oppa serius dengan semua ini?” Tanya Jinri pada Jinki, matanya menerawang. Jinki tampak bingung, atau mungkin pura-pura bingung,” Apa maksudmu, Jinri-ah?” ”Janji kita. Oppa mengingkarinya? Janji yang membuat Jinri tetap hidup sampai sekarang, Oppa ingkari?”
184
”Oppa tidak mengingkarinya. Oppa tetap bersamamu walau kau sudah menikah. Oppa tidak meninggalkanmu, „kan?” jawab Jinki santai. Jinri terdiam mendengarnya. Beberapa saat kemudian, Hyunhyo datang menghampiri dan mengajak Jinki untuk menyalami tamu-tamu yang hadir dalam acara itu. Jinri sudah mau berbalik dengan tatapan yang semakin nanar, tapi tangan Jinki menahannya perlahan. Lelaki itu berbisik,”Ini juga demi kita, Jinri-ah. Kau...,” lelaki itu menghela nafas,”... Kau akan mengerti suatu saat nanti.”
Walau dua minggu sudah berlalu, Jinri masih belum menemukan jawaban yang disebut-sebut Jinki saat itu. Gadis itu merapatkan dirinya ke dinding dan kembali tenggelam dalam pikirannya lagi. Tiba-tiba Minho datang dengan tergesa-gesa. Saat sampai di hadapan Jinri, nafasnya tersengal-sengal namun Jinri tetap tidak peduli. Minho buka suara,‖ Jinri-ah, ada berita buruk...,‖ ucapnya. Jinri menjawab dengan reaksi datar,‖Apa?‖ ‖Orang dari keluargamu tadi menelpon. Katanya oppa kembarmu...,‖ Minho kembali sibuk mengatur nafasnya. Jinri langsung menoleh dengan penuh takut ke arahnya,‖ Ada apa? Apa yang terjadi dengan Jinki Oppa?‖ tanyanya panik. ‖Jinki hyung... meninggal tadi siang...‖
Katakan padaku...
‖Apa?‖ Jinri terperanjat kaget dan langsung menunjukkan wajah tak percaya,‖kau... bohong, ‘kan? Hal itu tidak mungkin.... tidak mungkin!!‖
Bukankah kau sudah berjanji padaku?
Minho semakin mendekati Jinri dan menarik paksa bahu gadis yang sedang panik itu. Ia berkata tegas,‖Tidak, Jinri-ah. Itu semua kenyataan. Kamu harus percaya padaku!‖ Minho berusaha tenang,‖dia meninggal tadi siang di rumah sakit yang ada di Singapura. Dia menderita kanker hati sejak dua tahun yang lalu...,‖Lelaki itu menghentikan ucapannya dan mengerutkan alisnya dengan heran. Ia bertanya dengan nada yang sangat hatihati,‖ kau... tidak tahu?‖
Bukankah kau sudah berjanji padaku?
Jinri menggeleng tetap dengan tidak percaya. ‖Semua itu bohong. Kau bohong! Aku mau ke sana sekarang!‖ pekiknya berurai air mata. Sebenarnya ia sedang menentang kata hatinya sendiri. Ia punya firasat bahwa hal yang dikatakan Minho itu memang benar. Jinri memang sudah merasakan sakit yang terus menjalar di sekitar organ dalamnya, terutama hati, sejak dua tahun lalu. Namun, dokter mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Rasa sakit itu juga mencapai puncaknya pada siang tadi, dan sejak siang ia tidak merasakan rasa sakit itu lagi. Ia merasa bahwa itu merupakan hasil dari kontak batin dengan oppa kembarnya itu. Dengan kaki lemas, Jinri melangkahkan kakinya menuju luar. Minho tidak tahu apa ia harus menghentikan gadis yang sedang panik itu atau bagaimana. Akhirnya ia berujar,‖Semua sudah berakhir. Dia sudah pergi, dan kau harus percaya ini...‖ Kepala Jinri terasa sangat sakit, dadanya sesak. Tubuhnya semakin lemas. Dia hendak berbalik ke arah Minho untuk kembali menyangkal perkataan lelaki itu. Tapi, begitu ia berbalik, kesadarannya hilang.
185
Jangan pernah tinggalkan aku... *** Seorang wanita berpakaian serba hitam memasuki wilayah pemakaman. Di tangannya ada sebuket bunga bakung yang dihias indah. Di tangannya yang satu lagi digenggam tas tenteng warna merah-hitam. Dia berhenti tepat di depan kuburan dengan nisan yang bertuliskan nama Lee Jinki. Wanita itu menatapnya penuh arti, lalu meletakkan buket yang ia bawa di atasnya. Wanita itu tersenyum,‖Jinki Oppa, apa kabar? Jinri datang lagi. Jinri rindu Oppa lagi...‖ Jinri mengelus lembut nisan tersebut, bibirnya tersenyum,‖Sudah lama Jinri tidak datang ke mari. Sudah enam bulan lebih. Apa Oppa rindu Jinri?‖ Dia mengambil sepucuk surat dari tas tangannya,‖sekarang Jinri sudah mengerti alasan Oppa berbuat begitu, berkat surat yang Oppa tuliskan sebelum meninggal.‖ ‖Oppa tidak mau aku menderita terus karena takdir yang mengikat hidup kita. Oppa ingin aku tetap bahagia dan mendapat pasangan walau kita tidak bisa bersama. Oppa ingin aku melanjutkan hidupku dengan seorang teman yang setia bersamaku. Oppa ingin keluarga kita punya keturunan. Oppa ingin memenuhi permintaan eomma dan appa untuk terakhir kalinya. Oppa ingin bisa bertemu lagi denganku setelah sekian lamanya...,‖ semakin lama suara Jinri semakin bergetar. Titik-titik air mata perlahan mengalir turun dari pelupuk matanya. ‖Dan oppa ingin agar Jinri bahagia....‖ Jinri menghentikan ucapannya. Ia meraih sapu tanfan berwarna merah-hitam dari dalam tas tangannya. Ia menarik nafas dan berusaha mengendalikan dirinya kembali. Ia menatap nisan itu semakin dalam, terlihat ada rasa yang begitu terpendam di hatinya. ‖Tapi Jinri belum mengerti, kenapa Oppa tidak mau membagi rasa itu denganku? Bagaimanapun kita bersaudara, ‗kan? Bahkan kita ini saudara kembar. Perbuatan Oppa itulah yang menyakitiku...‖ ‖Tapi tak apa. Sekarang Jinri sudah bisa menerima Hyunhyo sebagai kakak ipar. Apa dia sebegitu miripnya denganku? Oh, Jinri juga bisa menyayangi Minho dengan sepenuh hati sekarang. Ternyata dia juga lelaki yang baik, tak kalah baiknya dengan Oppa. Hanya Hyunhyo yang tahu sakitmu dan kau juga begitu menyayanginya, ‗kan? Maka Jinrilah yang akan menjaganya untukmu.‖ Jinri bangkit dan beranjak pergi. ‖Oppa, ini genap tahun ketiga sejak kepergianmu. Aku sudah bisa menerimanya dengan ikhlas. Oh, aku baru saja memberikanmu seorang keponakan. Aku harap Oppa merasa senang di sana.‖ Wanita itu meletakkan selembar kartu di samping bunganya. Kemudian ia melangkah keluar dari area pemakaman
itu.
Minho
sudah
menunggunya
di
luar.
‖Sudah
selesai?‖
tanya
Minho
ramah.
Jinri
tersenyum,‖Sudah. Ayo kita pulang. Aku akan masak enak malam ini.‖ Minho tersenyum riang,‖Benarkah? Ayo kita pulang!‖ ajaknya sambil merangkul bahu Jinri. Wanita itu teringat akan sesuatu,‖Kita ajak juga Hyunhyo makan bersama kita malam ini. Pasti tidak menyenangkan jika ia sendirian saja menikmati makan malamnya.‖ ‖Itu ide bagus. Ayo!‖ Minho dan Jinri bejalan bersamaan masuk ke dalam mobil dan segera pulang. Di kartu yang diletakkan di samping bunga itu ada bebeapa baris kalimat yang tertulis dengan tinta merahhitam. Kata-kata penuh perasaan yang diukir dengan goresan pena.
Big Bro, they don‟t know how big we hate them They don‟t know how big we love them But, the outsiders are not outsiders anymore No one knows how we feel
186
No one knows how we hurt No one knows how we cry
But I know something now I love you, you love me They love us too This is a kind of eternal love I have my immortal love for you, Just for you With love, Jinri
END
187
Kutukan Natal
Author
: Lee Hana
Main cast
: Lee Jinki and Kim Kibum.
Support Cast
: Pak Tua Cheon, Leeteuk, Nyonya Lee ( Jinki Eomma )
Genre
: Gore and Supernatural
Length
: Trilogy
Rating
: PG
Summary: Jeritan memekakan telinga menggema di seluruh rumah besar itu. Eomma dan Leeteuk yang tengah tertidur lelap sontak terbangun dan berlari menuju kamar Jinki dengan panik. Di tempat itu, dilihatnya Jinki telah terkapar tak sadarkan diri di dekat pintu. Mata mereka membulat lebar.
Part 1
Jinki menyipitkan matanya ke arah bangunan tua di hadapannya. ―Apa Eomma yakin ini rumahnya?‖ tanya Jinki ragu. ―Tentu saja.‖ ―Kau tak usah protes, Jinki. Rumah bergaya klasik ini benar-benar keren, mungkin hanya perlu sedikit perbaikan saja,‖ timpal Leeteuk dengan pandangan kagum. Rumah yang benar-benar mewah sekaligus menyeramkan. Terlihat begitu gelap dan sunyi, seolah tak ada kehidupan di sana. Bahkan cahaya matahari pun serasa enggan menyinarinya. Sedangkan pekarangannya, sangat gersang. Hanya ada tumbuhan yang kering tanpa daun dan rumput liar yang telah menguning. Tumbuhan yang telah lama mati, entah sejak kapan. Dengan awan hitam tepat mengambang di atasnya dengan setia. Membuatnya heran kenapa Eomma-nya membeli rumah yang mengerikan seperti ini. Tapi Jinki bukanlah orang yang mempercayai hal-hal seperti hantu. Ia selalu berpikir logis karena IQ-nya yang tinggi, atau terlalu bodoh tanpa bisa menyadari semua tanda-tanda yang diberikan alam padanya. Tetapi tak bisa disangkal, rumah ini memang benar-benar megah, meskipun sama sekali tak terlihat indah. Jinki menyeringai kesal atas jawaban yang diberikan hyung-nya tadi. Sedangkan laki-laki tua yang telah begitu renta itu membuka pintu gerbang besar dari besi setelah berusaha membuka gemboknya beberapa saat. Mungkin, usianya hampir menginjak kepala tujuh. Kau bisa melihat dari kaki rapuhnya serta keriput yang memenuhi tubuh kurusnya. Mereka memasuki pekarangan rumah itu seraya memandang sekitar. Sungguh pemandangan yang tak indah, membuat
seorang namja dan
seorang
wanita
paruh
baya
memandang
ngeri,
yang
tidak
lain
adalah eomma dan hyung-nya. Sedangkan Jinki sendiri, cuek. Sibuk menatap lurus sambil menarik koper hitam miliknya yang besar. Berjalan beberapa meter dan memasuki bangunan besar itu. Mereka terperangah, tentu kecuali Pak tua dan eomma yang telah melihat sebelumnya. Takjub dan tak bisa berkata-kata, itulah ekspresi yang terbaca jelas di wajah kedua namja itu. Rumah yang megah dan mewah, semua itu membuat mereka tak menyadari hal yang tak kalah penting dari semua itu. Hawa pengap dan hawa lain yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. ―Rumah ini benar-benar hebat,‖ decak Leeteuk dengan mata berbinar-binar.
188
―Ini kuncinya, Nyonya,‖ ujar Pak tua Cheon seraya memberikan sebuah benda kecil pipih kepada Ibu Jinki. ―Tapi di rumah ini ada sebuah peraturan, Nyonya. Kalian tak boleh merayakan natal di rumah ini. Apapun yang berhubungan dengan natal. Pohon natal, pesta, kado dan yang lainnya,‖ sambung Pak tua Cheon memperingatkan dengan wajah serius. ―Kenapa?‖ tanya Jinki penasaran. ―Karena kutukan,‖ jawabnya bersamaan dengan kilat dan di selingi dengan guntur yang memekakan telinga, membuat semua orang tersentak serentak. Sedetik kemudian ribuan tetes air yang sejak beberapa waktu lalu tertahan secara serentak jatuh ke bumi, bersamaan dengan udara dingin yang menyeruak masuk melalui pintu rumah mewah itu, yang masih terbuka lebar. Orang-orang itu memandang takut ke arah Pak tua Cheon yang masih beraut serius, bersamaan dengan debaran keras yang mereka rasakan, tentu kecuali Jinki. Yah, kau tahu, yang tak percaya dengan hal-hal mistis, meski cukup terkejut dengan suara petir besar itu. Jinki menyunggingkan senyum remeh. ―Kutukan?‖ ―Kutukan itu sudah lama terjadi, bertahun-tahun yang lalu. Setiap orang yang melanggarnya akan mendapat kemalangan dan akan berujung kepada kematian.‖ Jinki terkekeh geli, sedangkan yang lain semakin ketakutan. ―Maaf ya, Kakek. Apa tidak salah? Ini tahun 2012. Mana ada yang seperti itu,‖ bantah Jinki dengan nada mengejek. ―Kau boleh tidak percaya, tapi sudah ada yang mengalaminya, Nak. Kau sebaiknya jangan coba-coba. Sekarang tugas saya sudah selesai. Saya harus pergi sekarang.‖ Laki-laki renta itu pergi meninggalkan mereka bertiga di dalam rumah besar itu. Kilat kembali datang menyabang panjang dan diselingi dengan gemuruhnya. Datang secara bertahap. Dengan setia mengiringi hujan lebat pada malam ini. Jinki memutar matanya ke atas kemudian memandang ke arah eomma dan hyung-nya. ―Dimana kamarku?‖ ―Di atas ada dua kamar. Kalian pilih saja mana kamar yang ingin kalian tempati,‖ jawab Nyonya Lee. Jinki segera melangkahkan kaki menaiki anak tangga dengan karpet merah di atasnya. Ia menarik kopernya. Di sana ia memilih sebuah kamar yang sangat besar, lebih besar dari kamar yang lainnya. Kamar dengan ranjang super besar, di depannya ada sebuah lemari besar empat pintu. Di kanan ranjang ada sebuah jendela kaca yang tepat di sampingnya ada sebuah meja belajar, tentu beserta kursinya juga. Ruangan yang terlihat sangat luas, dan juga kosong. ―Ini empat kali lebih luas dari kamarku sebelumnya,‖ ujar Jinki puas kemudian segera melempar tubuhnya ke atas ranjang besar miliknya. Seseorang membuka pintu dengan tiba-tiba. Sebuah kepala muncul dari pintu yang tak terbuka sepenuhnya dan memperhatikan seluruh sudut kamar itu. Terlihat kekecewaan dari wajah itu begitu jelas. Ia pun membuka pintu itu dan memasukinya. Melipat tangannya dengan kesal. ―Kamarmu lebih luas dan lebih bagus dari kamarku,‖ protes Leeteuk. ―Aku yang mendapatkannya duluan.‖ ―Arraseo.‖ *** Jinki membuka matanya yang terasa berat. Memandang kosong ke atas beberapa saat kemudian terduduk. Mengedarkan pandangan dengan keadaan mengantuk. Dengan keadaan mata yang tak jelas terbuka atau terpejam. Tak ada siapapun.
189
Sejenak raut wajahnya berubah bingung, dan sesekali ia menguap. Rasanya tadi ia mendengar sesuatu. Mendengar seseorang memanggilnya. Terdengar lirih dan menyedihkan. Apa telinganya bermasalah? Seperti biasanya, ia tak begitu peduli. Dari pada memikirkanya, ia lebih memilih menyumpalkan headset di telingannya. Tertidur lelap kembali ketika kepalanya telah berada pada posisi semula. Di atas bantalnya. *** Jinki memandang ke arah seseorang yang tengah duduk memandang keluar dari jendela kelas. Entah apa yang ia lihat tetapi orang itu selalu begitu. Ia hampir tak pernah berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Lebih banyak diam dari pada berbicara, bahkan wajahnya hampir tak pernah menunjukkan ekspresi. ―Anak aneh,‖ gumam Jinki, namun seketika anak yang sejak tadi Jinki perhatikan menatap Jinki dengan matanya yang tajam. Menatap seakan tahu apa yang baru saja ia katakan. Tentu saja itu membuat Jinki terkejut dan segera memalingkan wajahnya takut. Entah kenapa tatapan itu sangat berbeda. Sesuatu yang membius hingga orang merinding melihatnya. *** Jinki memasuki rumahnya. Memandang setiap sudut dengan pandangan heran. ―Kemana semua orang?‖ Sebuah pesan masuk di ponselnya.
From: Leeteuk Hyung Aku pulang sedikit terlambat, dan Eomma pulang sore nanti. Sebaiknya kau jaga rumah dan jangan berbuat macam-macam!
―Macam-macam?‖ gumam Jinki kemudian memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya dan pergi ke kamarnya. *** Leeteuk memasuki pekarangan rumahnya. Hari hampir menjelang malam dan keadaan sudah mulai gelap. Dari tempatnya melangkah ia dapat melihat cahaya lampu telah menerangi rumahnya. Leeteuk membuka pintu rumah itu dan sontak matanya membulat lebar. Raut ketakutan terukir sangat jelas di wajahnya, bahkan hingga tubuhnya serasa merinding. ―JINKIIIIII!‖ teriak Leeteuk seraya berlari menghampiri adiknya yang tengah sibuk menyiapkan makanan. ―Apa yang kau lakukan, Bodoh?!‖ teriak Leeteuk setelah melihat keadaan rumah mereka. ―Apa kau sudah gila?!‖ sambungnya lagi seraya mengguncang-guncang tubuh Jinki dengan paniknya. ―Kau apa-apaan, Hyung?!” Jinki menjauhkan kedua tangan Leteuk dari bahunya dengan kasar. “Jangan bilang kau percaya pada kutukan itu. Kau percaya pada pak tua itu?!‖ Leeteuk terlihat sangat geram pada adiknya itu. Tanpa banyak bicara lagi ia segera mematikan lilin-lilin itu, serta lampu-lampu hias yang telah susah payah Jinki pajang. Leeteuk turunkan semua hiasan natal tanpa sedikitpun keraguan, dan hampir saja ia ingin membuang semua makanan yang Jinki masak untuk mereka. Jinki berusaha menghentikan hyung-nya, tetapi tidak berguna, karena semua jerih payahnya kini sudah tak tersisa lagi. Yang tertinggal hanya makanan-makanan itu. ―Hyung, apa yang kau lakukan?!‖ teriak Jinki marah. Menatap Leeteuk tajam. ―Menyelamatkanmu dari kutukan, Bodoh!‖ ―Kau tahu, aku mempersiapkan semua ini dari pulang sekolah?!‖
190
Leeteuk memegangi kepalanya yang sakit karena darahnya telah naik memenuhi kepalanya. ―Aku tahu kau ingin merayakan natal, Jinki. Tapi bukan di sini! Eomma akan mengajak kita makan malam di luar. Kenapa kau tak mau bersabar?‖ ―Kau tak memberitahuku. Jadi mana kutahu. Aku hanya ingin memberi kejutan pada kalian,‖ bantahnya kesal dan kecewa seraya melipat tangannya dengan wajah kecut. Berbalik memunggungi Leeteuk. *** Mereka telah keluar dari rumah itu. Semua hiasan yang Jinki buat telah benar-benar disingkirkan. Sedangkan makanan-makanan itu disimpan ibunya di kulkas. Itu sungguh membuat Jinki kecewa dan sedih. Tapi itu tak berlangsung lama ketika mobil mereka berhenti pada sebuah halaman depan restoran yang bisa dikatakan cukup mewah. ―Wah! Aku tidak ingat terakhir kita makan di restoran mewah seperti ini,‖ ujar Jinki senang. Mereka meninggalkan mobil mereka yang sudah terparkir dan memasuki tempat itu. Tapi bahkan belum sempat Jinki merasakan nyamannya kursi di sana, seorang pelayan menabraknya dan menumpahkan minuman ke bajunya. Jinki menatap marah ke arah pelayan itu. ―Apa yang kau lakukan?!‖bentaknya. ―Aku minta maaf, Tuan!‖ ujar pelayan itu seraya membungkuk dalam. Merasa takut dan sangat bersalah. ―Arrgggh!‖geram Jinki. Jinki segera meninggalkan keluarganya dan pergi menuju kamar mandi dalam keadaan kesal. Tanpa sadar kutukan telah dimulai. Kutukan yang seketika bisa merubah hidupnya penuh dengan ketakutan dan sewaktuwaktu bisa membuatnya kehilangan nyawa. Jinki memasuki kamar mandi. Ada beberapa orang di sana dan mereka memperhatikan kemeja Jinki yang kotor, sedangkan ia sendiri tidak terlalu memperdulikannya dan sibuk membersihkan pakaiannya sambil bergerutu di depan cermin besar di hadapannya. Hingga beberapa saat berlalu, orang-orang itu telah pergi meninggalkan Jinki sendirian. Membuat keadaan menjadi sangat sepi dan sunyi. Begitu sunyinya bahkan membuat tetesan air dapat terdengar jelas di telinganya setelah ia menutup keran. Ia mengambil tisu dan mengeringkan tangannya yang basah. Lampu tiba-tiba berubah redup dan terang untuk beberapa saar. Sesaat Jinki memperhatikan benda yang kira ia rusak, tertempel di atas atap kamar mandi. Ia jadi teringat cerita horor yang pernah ia tonton bersama teman-temannya. Entah mengapa ia menjadi tegang dan adrenalinnya naik. Ia memegangi tengkuknya takut, tapi ia tak mau berpikir macam-macam. Sekali lagi. Namja itu sekali lagi menepis ketakutannya dengan pemikiran dangkal anak zaman modern. Lampu kembali terang dan kali ini tak meredup lagi, membuat Jinki berhenti melihat ke atas dan mengembalikan perhatiannya pada sang cermin.
Deg
Sebuah sosok mata merah menatapnya tajam dari balik cermin. Terpantul bersama bayangannya, di belakangnya. Begitu menyeramkan. Jinki berbalik. Kosong.... Kali ini bagaimana bisa ia menepisnya? Wajahnya seketika pucat. Tanpa banyak berpikir ia berlari keluar. Berlari secepat yang ia bisa bahkan hampir terpeleset. Ia benar-benar ketakutan.
191
Di sana—di luar kamar mandi—suasana begitu berbeda. Terdengar bising dan begitu ramai. Beberapa orang sibuk mondar-mandir dan yang lainnya duduk dengan tenang di kursinya. Jinki segera menghampiri keluarganya dengan wajah panik. ―Kau mau pesan apa, Jinki?‖ tanya eomma ketika seorang pelayan tengah bersiap mencatat pesanan. ―Tidak. Ayo kita pulang! Disini angker,‖ ujar Jinki panik dan wajahnya pucat. Ia menarik-narik lengan ibunya. ―Kau bicara apa?‖ tanya Leeteuk bingung. ―Aku lihat hantu, Hyung. Matanya merah. Dia di kamar mandi,‖ ungkap Jinki masih dengan kepanikkannya seraya menunjuk ke arah kamar mandi yang baru saja ia masuki. ―Duduklah dulu! Tenangkan dirimu, Jinki!‖ pinta eomma halus. ―AKU BILANG AKU MAU PULANG! AKU TAKUUUUT!!!‖ teriak Jinki hilang kendali, membuat seluruh isi restoran menatap mereka. *** Jarum jam terus berputar. Mengeluarkan suara tik... tok... tik... tok... dengan hentakan yang selalu sama. Satu-satunya suara yang menemaninya dalam sunyinya malam. Semua tampak begitu suram. Rembulan dengan para teman kecilnya pun tak ada yang mau menemaninya. Hanya awan hitamlah yang terus setia di atas sana. Jinki memeluk lutut dan menenggelamkan kepalanya dalam. Ia bahkan tak bisa tidur hingga selarut ini. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan mata merah itu. Mata penuh kebencian. Ini pertama kalinya ia melihat sosok seperti itu. Ia kira itu hanya ada di film-film. Menepis keyakinannya dalam tempo beberapa detik. Entah mengapa udara menjadi semakin dingin. Tetapi ini bukanlah dingin yang berasal dari udara musim dingin atau pun tumpukan salju yang turun beberapa waktu lalu. Hawa dingin yang membuatnya merinding. ―Tolong aku... keluarkan... sempit...‖
Deg
Jinki tersentak. Napasnya tertahan. Seketika ia mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan dengan cepat. Masih kosong. Tak ada siapapun. Sunyi....
Tik... tok... tik... tok...
Jarum jam kembali terdengar setelah tadi hilang beberapa saat, terganti dengan lirihan yang membuat bulu kuduk berdiri. Sunyi telah kembali, dan Jinki dapat membuang napas lega. Ia pikir ia harus pergi ke dokter THT besok. ―Tolong aku... keluarkan... sempit...‖
Deg
Suara itu terdengar kembali. Tubuh Jinki seketika menegang. Kaku. Ia kini yakin telinganya tak bermasalah, tapi suara itu dari mana asalnya? Ia yakin itu bukan suara Leeteuk, sedangkan laki-laki di rumah ini hanya mereka berdua.
192
Jinki memutar kepalanya ke kanan dengan kaku, mengikuti arah bola matanya yang lebih dahulu bergerak. Terlihat sebuah sosok keluar dari dalam tembok. Sosok menyeramkan dengan tubuh trasparan. Meski begitu dengan jelas ia bisa melihatnya. Wajah pucat. Darah yang mengering memenuhi pakaiannya. Mata sendu dengan raut dingin. Jinki membatu, tetapi sosok itu semakin mendekat. ―AAARGH!‖ teriaknya ketika telah memasuki alam sadarnya. Berlari ketakutan menuju pintu. ―Kenapa ini?!‖ gumam Jinki panik ketika pintu itu tak kunjung terbuka meski ia telah berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Sedangkan sosok menyeramkan itu semakin mendekatinya, dengan tangan terangkat dan ingin meraihnya. Berkali-kali Jinki bergantian melempar pandangan kepada hantu namja yang seumuran dengannya dan kenop pintu yang terus ia guncang-guncang dengan panik dan ketakutannya. ―Jangan! Jangan dekati aku! Ja... AAAAARGH!‖ Jeritan memekakan telinga menggema di selutuh penjuru rumah besar itu. Nyonya Lee dan Leeteuk yang tengah tertidur lelap pun sontak terbangun dan berlari menuju kamar Jinki dengan paniknya. Di tempat itu, dilihatnya Jinki telah terkapar tak sadarkan diri di dekat pintu. Mata mereka membulat lebar. *** ―AWAAAAAS!‖ teriak seseorang seraya mendorong Jinki dari tempatnya berdiri. Mereka terjatuh. Di saat yang bersamaan terjatuh sebuah pot yang siap membuat kepala Jinki hancur lebur. Jinki menatap takut kepingan-kepingan pot yang bisa dikatakan cukup besar itu. Cukup besar untuk membuatnya mati seketika. Tubuh Jinki bergetar hebat dan ia terpaku. ―Yaah! Sadarlah!‖ teriak orang yang kini berada di sampingnya. Mengguncang-guncang tubuh Jinki dengan kuat. Jinki tersadar dan menatap kaku wajah di hadapannya. Ketakutan masih begitu lekat di wajahnya. Ia begitu pucat. Sedangkan jantungnya masih berpacu dengan begitu cepat. ―Kau tak apa-apa?‖ Jinki menelan ludahnya keras kemudian mengangguk, masih dengan pandangan tak percaya. ―Te... terima kasih!‖ ujarnya terbata. Dibawa Jinki ke sebuah tempat sepi dan diberikannya Jinki minuman hangat. ―Minumlah!‖ Jinki meneguknya pelan. ―Terima kasih, Kim Kibum! Aku ucapkan terima kasih sekali lagi. Aku kira kau orang yang aneh, ternyata kau orang yang baik.‖ ―Tidak apa-apa. Aku memang aneh,‖ ujar Kibum kemudian terlihat berpikir. ―Kau... apa kau melakukan sesuatu?‖ tanyanya hati-hati. ―Melakukan sesuatu?‖ ―Kau diikuti makhluk halus, Jinki,‖ ungkap Kibum sontak membuat Jinki tersedak dan terbatuk-batuk. Jinki melihat ke arah Kibum tidak percaya, sedangkan Kibum membalas tatapannya dengan wajah serius. ―Ka... kau bisa lihat hantu?‖ tanya Jinki takut. Kibum mengangguk. Itu membuat Jinki terdiam dan berpikir. Mengingat apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu. ―Kutukan itu!‖ pekik Jinki dengan raut pucat. ―Kutukan?‖
193
―Kutukan yang terjadi jika kau merayakan natal di rumah itu. Dan aku melakukannya beberapa hari yang lalu,‖ ujar Jinki semakin ketakutan. ―Kau telah membuatnya marah, Jinki. Harusnya kau tak melakukannya,‖ ujar Kibum dengan raut datar, sontak membuat Jinki bergidik. ―Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa dia ada di sini?‖ tanya Jinki takut seraya mengedarkan pandangan. ―Tenanglah! Dia tak ada di sini.‖ ―Kau kan bisa melihatnya, Kibum. Bagaimana jika kau jadi bodyguard-ku? Jadi kau pasti bisa melindungiku. Aku akan memberikan semua tabunganku dan uang jajanku untukmu,‖ pinta Jinki penuh harap seraya menggengam tangan Kibum erat. Kibum menarik tangannya kasar. ―Aku tidak mau,‖ tolak Kibum terang-terangan. ―Kenapa?‖ tanya Jinki kecewa. ―Karena....‖ Mata Jinki terbelalak ketika melihat sosok itu muncul kembali. Sosok yang masih menatapinya dengan mata merah menyalanya. ―Arrrgh! Kibum! Kibum, di sana! Dia di sana!‖ teriak Jinki ketakutan seraya menunjuk sebuah sosok yang tengah berdiri menatapnya, kemudian berlari menjauh. Kibum menghela napas kemudian mengejar Jinki setelah ia melihat hantu itu menghilang dari hadapannya. ―Sial! Ternyata dia bisa lihat. Ini pasti jadi sangat sulit,‖ ujar Kibum dalam hati. Dalam langkahnya Kibum mencoba berteriak, ―Jinki, jangan! Jangan berlari! Cepat berhenti!‖ ujarnya berkalikali. Kibum semakin mempercepat lajunya dan dapat mengejar Jinki dengan susah payah. Ia menarik kerah Jinki dengan sangat kuat hingga namja itu terjatuh di lantai. ―Dia mengikutiku, Kibum,‖ ujar Jinki gemetaran. Kibum memegangi kuat bahu Jinki dan menatapnya tajam. ―Diamlah!‖ teriak Kibum. Jinki tersentak hingga rasa gemetarannya hilang seketika. ―Kau akan mati jika kau panik, mengerti?‖ ujar Kibum dengan wajah serius. Jinki menangis diam dan ia mengangguk pelan. ―Ayo kita ke kelas!‖
Part 2
Summary
: ―AAAAAGRH!‖ pekik wanita itu lalu pingsan seketika setelah melihat tulang belulang di kamar
anaknya. Sedangkan mereka berdua dengan paniknya menghampiri Nyonya Lee yang tergeletak di pintu kamar Jinki. ***
Kibum hanya diam beberapa saat tanpa ekspresi setelah mendengar cerita Jinki. Bukan hanya cerita tentang kutukan itu, tetapi suara serta sosok lain yang ia lihat di kamarnya. Ia menatap Jinki datar. Kemudian merunduk dan kembali bergelut dengan pikirannya. ―Bicaralah, Kibum! Apa yang harus aku lakukan?‖
194
Kibum menatap Jinki kemudian menggeleng. ―Kau jangan bercanda! Aku tak mau mati di usia muda!‖ ujar Jinki mulai panik. ―Aku bilang jangan panik!‖ teriak Kibum. Jinki mengangguk takut. ―Aku akan melihat rumahmu.‖ *** Kibum menahan napasnya sesaat dan memejamkan matanya, kemudian membuanganya perlahan bersamaan dengan terbukanya matanya kembali. Meski merinding, tapi Kibum sadar bahwa ia tak boleh kalah dengan ketakutannya. Ia menatap rumah itu dari luar gerbang bersama Jinki. Mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut pekarangan gersang itu. ―A... apa yang kau lihat?‖ tanya Jinki ragu ketika melihat ekspresi yang Kibum tunjukkan. ―Arwah-arwah itu menangis dan menjerit. Mereka tak bisa menerima kematian mereka.‖ ―Apa maksudnya, Kibum?‖ ―Mereka yang terdahulu menghuni rumah ini masih ada di sini. Mereka mati karena kutukan itu,‖ ujar Kibum masih dengan mata yang menatap lurus ke arah pekarangan rumah Jinki. Jinki terbelalak dan ia menelan ludahnya keras. ―Ayo kita pergi dari sini!‖ ajak Jinki takut seraya melangkahkan kakinya menjauh. ―Tak ada tempat untuk bersembunyi, Jinki,‖ ujar Kibum dingin. Jinki berhenti dan terdiam dalam keadaan bingung. ―Ayo kita masuk! Ada misteri yang harus kita pecahkan jika kau masih mau hidup,‖ sambung Kibum yang menatap Jinki tajam. Mereka berdua pun memasukinya. Meski dengan perasaan gusar. Di sana Kibum tak melihat kejanggalan. Hanya hampa dan pengap yang ia rasa. Ia terdiam kemudian menaiki anak tangga satu persatu. Jinki terus mengekor. Memasuki kamar besarnya kemudian melihat ke luar jendela, melihat pekarangan rumah Jinki yang kini telah dipenuhi salju sekali lagi. Kibum menghela berat. ―Aku kasihan sekali pada mereka,‖ gumamnya. Kali ini Kibum mengalihkan perhatiannya pada isi kamar Jinki, memandang sekitarnya. ―Kau melihatnya? Kau melihat anak itu?‖ tanya Jinki penasaran. Kibum menggeleng. ―Di sini hawanya berbeda. Di sini, dingin,‖ ujar Kibum seraya mendekap dadanya. ―Di... dingin?‖ tanya Jinki gugup dan takut. Ia teringat kembali hawa yang sama ketika anak laki-laki sebayanya itu muncul di hadapannya. ―Dia sudah tak ada di sini, Jinki. Dia tak mengikutimu ke kamar ini. Setidaknya kau takkan mati di sini,‖ ungkap Kibum tenang. ―Dia memang tidak mengikutiku, tetapi anak itu bagaimana?‖ tanya Jinki khawatir. Kibum menoleh ke arah Jinki dengan raut dingin. ―Bukankah dia meminta pertolonganmu? Dia sudah menjauhkanmu darinya. Jadi kau harus menolongnya!‖ ―Apa kau gila, Kibum!‖ pekik Jinki. ―Dia menangis, Jinki. Dia sangat sedih. Kau tak merasakannya? Aku bisa merasakan dengan sangat jelas. Dia takkan membunuhmu. Jadi, jangan bersikap pengecut!‖ ujar Kibum serius membuat Jinki tersentak. ***
195
―Hyung!‖ Seorang anak laki-laki berumur delapan belas tahun melihat namja yang lebih tua lima tahun darinya itu berjalan memasuki kamarnya. Beberapa lama memandangi adiknya yang tengah berdiri di dekat jendela. Melihat salju putih yang tengah turun malam itu. ―Hyung, ada apa? Kau butuh sesuatu?‖ tanya namja itu seraya mengalihkan pandangannya pada sang kakak. Laki-laki itu diam. Dia selalu begitu. Tak pernah banyak bicara. Semua kata-katanya ia ucapkan lewat mata serta ekspresi dinginnya. Itu pun jika kau bisa membacanya. Meski tahu, sayangnya adiknya selalu berpurapura. Ia tak pernah menunjukkan apa yang ia rasakan, bahwa ia mengetahui perasaan kakaknya padanya. Mata laki-laki itu menyipit dan menatap semakin tajam. Meski takut, anak itu tetap berusaha tersenyum. ―Hyung,‖ panggilnya khawatir. ―Kau mengambil semuanya, Taemin. Hanya menyisakan sampah di hatiku,‖ ungkap namja itu dingin seraya berjalan mendekati adiknya dengan langkah perlahan. Taemin masih berusaha tersenyum. ―Apa maksudmu, Hyung? Apa Eomma melukaimu lagi? Aku minta maaf,‖ tanyanya lembut seperti biasa. Akhirnya laki-laki itu tersenyum juga. Tersenyum dengan senyuman yang begitu aneh. Sama sekali tak hangat dan tak tulus. ―Aku ingin tahu, bagaimana jika anak kesayangan mereka hilang.‖
Deg
Mata Taemin membulat penuh melihat sebuah benda berujung runcing ia keluarkan dari belakang punggunggnya. ―Hyung, jangan main-main dengan pisau itu!‖ ujar Taemin dengan tatapan takut ke arah pisau yang kini kakaknya tunjukkan. Ia mulai berjalan manjauhi kakaknya yang semakin mendekat ke arahnya. ―Tenanglah, Adikku! Aku tak pernah main-main. Karena aku tak pernah memiliki mainan setelah kedatanganmu,‖ ujarnya dingin. ―Hyung,‖ lirih Taemin. Masih melangkah penuh ketakutan, tetapi langkahnya terhenti ketika tubuhnya membentur pelan tembok kamarnya. ―Appa selalu ingin kau tinggal di sini bersamaku. Tapi aku tak mau bersamamu. Jadi sebaiknya kau tak pernah keluar dari sini dan aku takkan ke sini lagi. Mati kau!‖ Seiring kata-kata itu terlontar, tangan laki-laki itu pun bergerak ke depan. Maju tanpa keraguan. Gesit. Menusukkan benda runcing itu menuju dada yang kini berada tak jauh darinya. ―AAAARGH!‖ jerit Jinki bersamaan dengan keringat dingin yang memenuhi wajahnya. Meluncur cepat pada lekuk lehernya. Membuka matanya lebar dengan napas yang tersengal. Tertahan ketika ia tertidur. Ia melihat ke arah dadanya, kemudian memandang takut ke sekitarnya. Ia meringkuk di kasurnya dan menangis beberapa saat. Matanya yang membulat mengeluarkan air mata ketakutan. ―A... aku... aku tak mau mati sepertimu, Taemin. Aku masih mau hidup,‖ lirih Jinki gemetaran. *** Jinki berjalan menuju kelasnya. Menahan napasnya berkali-kali. Terus memperhatikan sekitarnya. Sosok itu muncul kemudian menghilang, muncul dan menghilang. Menatapnya tajam dengan mata merah menyalanya. Sesekali sesuatu yang tak terduga datang, dan beruntung Jinki bisa menghindarinya. Sungguh beruntung.... Jinki berlari ketika melihat Kibum tak jauh darinya. Menghampiri Kibum dengan wajah pucatnya. ***
196
Jinki dan Kibum berjalan. Tetapi mereka tak berjalan beriringan. Jinki berjalan beberapa langkah di depannya, sedangkan Kibum di belakang memperhatikan dengan jeli apa yang ada di depannya. Sering kali hantu itu melakukan hal-hal yang dapat melukai Jinki, dan Kibum dapat melihatnya. Air di tangga, terpal yang jatuh, mobil yang kehilangan kendalinya, dan semua itu hampir membuat Jinki tewas jika ia tak benar-benar memperhatikan. Tak jarang ia hampir mati juga. Hingga sore ini, mereka telah berada di sekitar wilayah rumah Jinki. Tetapi bukan rumah itu yang ingin mereka kunjungi, melainkan rumah tua yang terletak cukup jauh dari rumah besar itu. Rumah itu terlihat sedikit berbeda dari rumah-rumah lainnya. Agak suram dan tak terawat. Tak jauh berbeda dari rumah yang kini Jinki tinggali, hanya besar dan kemewahan yang membedakannya jika kau melihatnya hanya dengan cara biasa orang melihat. Jinki mengetuk pelan pintu kayu yang sudah cukup rapuh itu. Mengetuknya beberapa kali karena tak ada yang menyahut dan membukakan pintu itu untuk mereka. ―Bagaimana ini?‖ tanya Jinki pada Kibum yang tengah menunggu di pekarangan. Anak itu tengah melihat sekitarnya dengan tatapan yang aneh. Kibum tak menjawab. ―Yaaah! Kau dengar aku tidak?!‖ teriak Jinki membuyarkan lamunan Kibum. ―Oh, dengar. Hanya saja....‖ ―Apa?‖ ―Di sini sangat suram, tetapi aku tak melihat apapun. Agak aneh,‖ ungkap Kibum. ―Lalu bagaimana ini?‖ ―Kita tunggu hingga orang itu datang.‖ *** Matahari telah meluncur hilang. Menyisakan warna merah pada langit dengan udara dingin yang semakin membuat tubuh mereka serasa beku. Salju yang memenuhi pekarangan rumah itu semakin bertumpuk kala butiran-butiran lain berjatuh dan menggumpal bersama salju yang lain. ―Aku tak kuat lagi,‖ ujar Kibum menggigil. Tapi Jinki tak memberi jawaban dan sibuk menggosok-gosokkan lengannya. Rasanya ia hampir beku. Seseorang datang dan menatap mereka tak suka. Kibum dan Jinki yang sejak tadi berjongkok segera berdiri dan memandang ke arah orang tua itu dengan senyum cerah. ―Apa yang kalian lakukan di sini?‖ tanya Pak Tua ketus ketika berada di hadapan mereka. ―Aku terkena kutukan, Kek,‖ ungkap Jinki. Pak Tua mendesah berat. ―Pergilah! Aku tak bisa membantu apa-apa,‖ ujar kakek itu dingin. Membuka pintu yang terkunci itu dan bersiap memasukinya. ―Tapi mungkin Kakek bisa membantu Taemin. Apa Kakek mengenalnya?‖ ujar Jinki membuat pandangan Pak Tua terlalih padanya sepenuhnya. Ia menyipitkan matanya pada dua anak muda di hadapannya kemudian menyuruh mereka masuk. Mereka duduk di atas kursi kayu yang tak jauh dari sebuah perapian yang kini tengah Pak tua Cheon berusaha nyalakan, menenggak teh hangat yang telah ia berikan untuk mereka. Perapian itu menyala, dan pak tua itu pun duduk menghadap mereka dengan tatapan serius. ―Aku adalah tukang kebun di sana saat itu. Dari mana kau tahu Tuan muda Taemin?‖ ―Dia datang kepadaku dan dia meminta pertolonganku,‖ ungkap Jinki tak kalah serius.
197
―Dia menemuimu?! Di mana dia? Aku ingin bertemu dengannya. Ibunya mencarinya,‖ ujar Pak tua Cheon menggebu-gebu. ―Apa?!‖ pekik Kibum dan Jinki serentak. Mereka bertukar pandangan dengan raut tak percaya. ―Kakek, benar-benar ingin bertemu dengannya?‖ tanya Jinki ragu. Tiba-tiba Kibum mencengkeram kuat tangan Jinki dan menelan ludahnya keras. Melihat kembali dengan matanya yang membulat ke arah perapian. Jinki menoleh ke arah Kibum yang telah kaku. Melihat ekspresi Kibum ia tahu apa yang tengah ia lihat. Jinki kembali menggerakkan kepalanya perlahan dan begitu kaku. Mengarah ke arah pandangan Kibum. Ia merunduk ketakutan. ―Kalian kenapa?‖ tanya Pak tua Cheon khawatir melihat keadaan dua anak muda yang tak bisa dikatakan baik. Mereka terlihat sangat ketakutan. ―Dia ada di sini,‖ ungkap Kibum gemetaran, masih berusaha menatap sosok itu yang belum menghilang ataupun bergerak. Memperhatikan pergerakkannya dengan mata yang terbuka lebar. ―Dia? Siapa?‖ ―Ka... ka... Kakak Taemin,‖ ujar Jinki gagap seraya mengangkat kepalanya ragu. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. ―Tuan muda Minho?‖ lirih Pak Tua dengan alis bertaut. Bayangan itu menghilang, dan seketika keduanya bisa bernapas lega setelah udara tertahan di tenggorokan mereka beberapa lama. Posisi duduk mereka merosot dengan tubuh lemas. ―Kalian bisa melihatnya?‖ tanya Pak tua Cheon serius. ―Sebenarnya saya ke sini ingin mengetahui sesuatu tentang pem... pem...‖ Jinki menghentikan ucapannya ketika sosok itu muncul kembali tepat di belakang Pak tua Cheon. Tubuh mereka kaku kembali. ―Kalian akan mati!‖ ujar bayangan itu dengan tatapan tajam ke arah mereka, sedangkan tangannya memegang belati dengan kuat. Mengangkatnya ke arah keduanya. ―AAAARGH!‖ pekik keduanya dengan mata terbelalak lebar. Tanpa basa-basi mereka segera pergi. Berlari keluar meninggalkan Pak tua Cheon dalam keadaan bingung. Memasuki gelapnya malam. Berlari secepat mungkin penuh dengan ketakutan. Berusaha keras menyelamatkan diri mereka. Setelah kepergian mereka pak tua Cheon melihat ke belakangnya, namun kosong. Tanpa mereka sadari mereka panik dan itu sungguh berbahaya. Di saat seperti itu mereka tak bisa berpikir jernih dan tak bisa benar-benar menyadari bahaya apa saja yang menghampiri mereka. Tak peduli apa yang mereka lewati. Yang penting mereka sampai di kamar Jinki dan berlindung di sana. Bahkan sempat Jinki terserempet oleh sebuah motor, tetapi beruntung ia tak apa-apa. Setelahnya ia tetap berlari sekuat tenaga bersama Kibum seraya memegangi bahunya yang sakit. Mereka memasuki rumah itu dan segera berlari menuju kamar. Memasukinya. Mengunci pintu itu rapat-rapat dan melompat ke atas tempat tidur masih dengan sepatu yang terpasang di kaki mereka. Di sana mereka saling berpeluk seraya memandangi sekitar. Mereka sama-sama bisa merasakan getaran dan ketakutan mereka satu sama lain. Mereka bernapas lega ketika beberapa menit berlalu. Ketika sosok itu benar-benar tak mereka lihat. ―Dia tadi benar-benar mengejar kita, kau tahu?‖ tanya Kibum gemetaran. Jinki mengagguk kaku seraya menelan ludahnya keras. ―Ini alasannya aku tak mau membantumu. Aku takut terseret pada masalah ini!‖ ujar Kibum panik.
198
―Aku minta maaf,‖ ujar Jinki tak kalah gemetar. ―Aku akan tidur di sini bersamamu. Aku tak ingin mati. Aku benar-benar tak ingin mati, Jinki!‖ *** Kibum membuka matanya. Tidurnya tak nyenyak. Yang pasti itu bukan karena ia tak biasa tidur di tempat asing, melainkan hawa dingin yang ia rasa. Ia menoleh ke arah Jinki setelah sepersekian detik menatap atap putih di atasnya. Kibum terkesiap. Dilihatnya Jinki tengah terbujur kaku dengan tubuh penuh keringat. Wajahnya terpancar ketakutan meski matanya tetap terpejam. Ia masih berada dalam alam bawah sadarnya. ―Jinki,‖ gumam Kibum terkejut. Sontak bangkit dan menatap sahabatnya itu. Dilihatnya tangan Jinki yang terkepal kuat dengan tubuh tegang. Ia benar-benar tak bergerak dan kaku. Baru saja Kibum ingin meraih Jinki dan membangunkannya, tetapi sebuah tangan muncul dan melingkar tibatiba di pergelangan tangannya. Menahannya dengan tangan dingin pucatnya. Kibum meringis kesakitan dan memandang ke sebelahnya. Sosok itu melihatnya dengan tatapan sendu. ―Arrgh!‖ sontak Kibum memekik dan segera mundur dengan panik. Tanpa sadar tangannya terlepas begitu saja. Sosok itu menghilang, dan ia melihat ke arah pergelangan tangannya yang telah membiru. Kibum tersentak. Untuk kedua kalinya ia terkejut. Kali ini karena Jinki yang tiba-tiba bangun dari posisinya dengan mata melotot. Anehnya ia tak bersuara sama sekali dan terlihat berpikir. ―Jinki, kau....‖ Jinki turun dari ranjang besarnya dan berlari keluar dari tempat itu dengan tiba-tiba, sehingga Kibum tak bisa melanjutkan kata-katanya. ―Apa dia ingin mati keluar sendirian?‖ gumam Kibum geram seraya mengejar Jinki. Berlari mengikuti arah kaki Jinki melangkah. Menuruni tangga dan melangkah cepat mengimbangi langkah Jinki ke arah gudang. Sesampainya di sana, Kibum langsung berjaga di depan pintu menjaga Jinki yang tengah sibuk mencari sesuatu di dalam ruangan dengan penerangan yang minim itu. Kibum mengedarkan pandangan dengan perasaan was-was. ―Apa yang kau cari?‖ tanya Kibum yang sesekali mengalihkan pandangannya ke arah Jinki. ―Ini!‖ Jinki menunjukkan dua pasang alat pahat dengan sumringah, kemudian segera berlari ke arah Kibum dan meraih tangannya. Kembali berlari dengan tergesa-gesa menuju kamarnya. Mereka mengerem mendadak dengan mata membulat penuh, beriringan dengan degup jantung serta urat yang menegang muncul pada tubuh mereka. Dengan pandangan penuh ketakutan mereka melihat Minho yang tengah berdiri di depan tangga dengan tatapan mata merah menyalanya yang penuh dengan kebencian. Napas mereka tertahan beberapa saat dengan ludah yang begitu sulitnya untuk masuk ke dalam kerongkongan. Kibum mulai gemetaran sedangkan Jinki berusaha memberanikan dirinya meski sama-sama gemetar dan ketakutan. Tak kurang dari ketakutan Kibum. ―Kau tak boleh!‖ ujar Minho serak. ―A... aku akan menolongnya,‖ jawab Jinki masih berusaha mengalahkan rasa takutnya. ―Kau harus melewatiku dulu.‖ Tanpa banyak bicara lagi Jinki menarik Kibum dan menutup matanya. Berlari menembus Minho yang kemudian menghilang dengan napas yang tertahan. Menaiki anak tangga dan memasuki kamarnya. Berlari secepat mungkin.
199
Jinki menutup pintu kamarnya dengan kasar hingga menimbulkan suara keras. Jinki menyandarkan tubuhnya pada pintu sambil terengah-engah. Begitu takut jika Minho dapat masuk ke dalam kamarnya juga. Beberapa saat berposisi seperti itu akhirnya Jinki membiarkan tubuhnya merosot dan terduduk pada lantai dingin kamarnya. Ia melepas ketakutannya. Sedangkan Kibum masih kaku di tempatnya. Tak menyangka sahabatnya yang biasanya bernyali ciut itu menjadi begitu pemberani. Jinki kembali berdiri ketika tenaganya telah terkumpul kembali. Melihat ke arah tembok di samping ranjangnya yang menjadi penyeka antar kamar besar itu dengan sebuah ruangan kosong, sebuah perpustakaan kecil. ―Bantu aku mengeluarkannya, Kibum! Dia pasti sangat tersiksa di dalam,‖ perintah Jinki dengan raut serius. Kibum tak banyak bicara dan segera mengikuti perintah Jinki. Mereka berdua memalu dan memahat tembok berwarna biru itu dengan begitu hati-hati. Takut-takut menghancurkan sisa tubuh tanpa daging yang begitu rapuh itu. Selang beberapa menit, Jinki dan Kibum melihat sesuatu berwarna putih pucat tertimbun di sana. Semakin yakin bahwa di sanalah tubuh Taemin berada. Matahari mulai terbit dan cahayanya pun telah memasuki kamar Jinki melewati celah kecil dari jendela yang tertutup tirai putihnya. Semua keringat itu terbayarkan ketika sebuah kerangka utuh telah tergeletak di atas lantai kamar Jinki, yang merupakan kamar Taemin saat dahulu. Tiba-tiba seseorang membuka pintu. ―AAAAAGRH!‖ pekik wanita itu lalu pingsan seketika setelah melihat tulang belulang di kamar anaknya. Sedangkan mereka berdua dengan paniknya menghampiri Nyonya Lee yang tergeletak di pintu kamar Jinki tanpa kesadaran. *** Jinki dan Kibum masih terlihat berpikir keras. ―Bagaimana bisa seorang kakak melakukan hal itu pada adik kandungnya?‖ Itu adalah pertanyaan yang memenuhi kepala mereka. Pertanyaan yang bagaimanapun mereka pikirkan mereka takkan pernah bisa mengerti. Terlebih Jinki. Ia masih cukup terguncang dengan mimpi-mimpi yang Taemin tunjukkan padanya. Ia yakin semua yang dilakukan Minho sudah terencana dengan sangat matang. Terbukti tak ada yang bisa menemukan mayat Taemin saat itu. Seseorang mengetuk pintu kamar Jinki, membuyarkan lamunan mereka. Itu adalah Leeteuk. Dia membawakan makan siang untuk Jinki dan Kibum. ―Gomaweo, Hyung!‖ ujar Jinki ketika makanan itu telah tergeletak pada meja yang berada pada meja kecil di samping ranjang. ―Sampai kapan kalian mau mengurung diri di kamar ini? Kalian bahkan tak sekolah,‖ tanya Leeteuk khawatir setelahmengambil kursi belajar Jinki dan duduk di samping ranjang. ―Kami tak tahu. Setelah penemuan tulang itu pasti Minho sangat marah pada kami. Jika kami keluar dari sini kami bisa-bisa mati,‖ ungkap Jinki yang ternyata sangat ketakutan. ―Minho? Maksudmu si pembunuh yang te....?‖ cetus Leeteuk membuat Kibum segera membekap mulutnya. ―Jangan pernah bicara sembarangan jika kau tak mau seperti kami, Hyung!‖ ujar Kibum dengan pandangan tajamnya. Leeteuk mengangguk takut dan Kibum melepaskannya. ―Apa aku akan baik-baik saja?‖ tanya Leeteuk khawatir. ―Selama kau menjaga sikap dan kata-katamu,‖ ujar Kibum dingin. Leeteuk kembali mengangguk. Seseorang kembali mengetuk pintu itu. Dan kini sosok Nyonya Lee yang terlihat.
200
―Kakek ingin bertemu dengan kalian,‖ ujarnya setelah membuka pintu besar kamar Jinki. ―Suruh saja dia masuk!‖ perintah Jinki. ―Aku sebaiknya pergi saja. Aku tak mau masuk terlalu dalam. Nanti bisa-bisa aku jadi incarannya juga,‖ ujar Leeteuk kemudian bergidik. ―Pemikiran yang bagus,‖ balas Kibum seraya mengangguk. Seseorang masuk bersamaan dengan keluarnya Leeteuk. Pak tua Cheon melihat ke arah tembok yang sudah berlubang itu. Lubang yang sangat besar. Ia terlihat sangat sedih dan menyesal. ―Duduklah, Kek!‖ Orang tua itu sedikit membungkuk kemudian duduk pada kursi yang tadi diduduki Leeteuk, sedangkan keduanya masih bertengger di atas kasur. ―Saya benar-benar tak tahu bahwa Tuan muda Minho sangat membenci adiknya. Saya tak pernah melihat mereka bertengkar,‖ ungkapnya dalam sesal. Kibum dan Jinki diam. Tak berkomentar. Mereka hanya merunduk, menyesali apa yang telah terjadi. ―Tuan muda Minho adalah anak yang baik. Ia sangat penurut dan tak pernah mengeluh. Ia tak pernah membuat kami kerepotan seperti anak-anak pada umumnya. Meski begitu Kakek akui, dia sangat pendiam dan tertutup. Ia selalu menyimpan masalahnya sendiri.‖ ―Tapi dia sangat cemburu pada Taemin. Aku lihat dia sangat membenci adiknya. Bahkan ketika menusuknya tak ada rasa kasihan sama sekali di matanya,‖ ungkap Jinki mengingat mimpi yang pernah ia lihat. ―Dia memang tak pernah mau berdekat-dekat dengan adiknya. Tapi Tuan muda Taemin justru sangat ingin dekat dengan kakaknya.‖ ―Tapi apa Kakek tahu penyebab Minho meninggal?‖ tanya Jinki penasaran. ―Dibunuh....‖
Part 3
Summary
: Sosok Minho kini telah berada di hadapan mereka. Menyunggikan senyum kemenangan pada
mereka yang tengah meronta dan berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Sayangnya mereka bahkan tak bisa menyentuh tangan yang kini membuat mereka hampir mati. Jika kau tak bisa melihatnya, itu hanya telihat seperti keduanya tengah memegang leher masing-masing, seakan-akan tengah berusaha mencekik leher mereka sendiri sambil meronta-ronta seperti orang gila.
Flashback
Minho menyibak tirai jendela kamarnya. Melihat ke arah pekarangan rumah yang kosong dengan ekspresi cemburu dan marah, kemudian melihat ke arah langit yang kelam tanpa seonggok cahaya rembulan ataupun kerlipan kecil dari para temannya. Malam semakin larut. ―Sepi, seperti biasanya. Kenapa mereka melakukannya? Mereka takkan menemukannya di sana. Mencarinya hingga seperti itu,‖ ujar Minho dingin kemudian menyunggingkan senyum sinisnya. Setelah puas melihat kosongnya jalan di depan rumahnya, ia keluar dan berdiri di depan pintu kamarnya. Kali ini ia memandang sebuah pintu tanpa ekspresi untuk beberapa saat. Melangkahkan kembali kakinya santai
201
menuju pintu yang terpasang tak jauh dari kamarnya itu. Pintu sebuah kamar yang selalu menjadi pusat perhatiannya. Minho membukanya dan melihat ke dalam kamar besar itu dengan tatapan kosong. Ia berdiri diam tepat di luar pintu seraya memasukkan kedua tangannya pada saku celananya. ―Tetaplah disini, adikku!‖ ujarnya pelan.
PRANG!
Sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Kali ini ia menengok ke arah lantai satu, kemudian dengan segera berlari menuruni tangga dengan sigap dengan raut was-was. Langkahnya terhenti ketika kakinya telah berada di atas lantai kamar ruang utama. Di saat bersamaan seseorang keluar dari kamar ayahnya dengan pakaian serba hitam. Membawa sebuah tas besar di punggungnya. Mereka saling berpandang. Minho memandang orang bertopeng itu dengan tatapan tajam membuat orang itu segera berlari. Minho dengan cepat berlari dan menahannya dengan menarik tas punggung itu. Tetapi sungguh Minho tak menduga bahwa si perampok telah menyiapkan sebilah pisau di tangannya. Ketika perampok itu memutar tubuhnya menghadap Minho, di saat itulah ia menusukkan pisau itu ke perut Minho dengan cepat, dan dengan cepat pula kembali menarik pisau yang tertancap dalam pada perut itu. Membuat Minho mengerang. Setelahnya si perampok berlari dengan tas di punggungnya ketakutan, sedangkan Minho sudah tak bisa berbuat apa-apa. Minho melihat ke arah perutnya. Membuat napasnya tertahan ketika melihat cairan merah merembes keluar dari dalam perutnya. Ia berusaha menekan perutnya sekuat tenaga agar darahnya tak keluar lebih banyak, tetapi sia-sia. Ia meringis menahan sakit yang tak pernah bisa ia tahan. Minho terjatuh ke lantai dan tergeletak tak berdaya di atas lantai putih itu. ―Inikah yang kau rasakan?‖ tanya Minho. Ia memandang pintu kamar Taemin yang terletak di lantai dua dan masih terbuka lebar. Minho terkekeh aneh kemudian mengerang hingga tubuhnya semakin lemas. Pandangannya mengabur bersamaan dengan napas yang mulai tersengal. Meregang nyawa beberapa menit kemudian dengan darah yang memenuhi lantai ruangan besar itu. *** Matahari belum muncul, tetapi cahayanya sudah sedikit terlihat dari ufuk timur. Perlahan tapi pasti, benda bulat bercahaya itu naik, semakin menyebarkan cahaya lebih banyak dan memberikan kehangatan di pagi yang begitu dingin. Melawan dinginnya salju di setiap sudut tempat itu. Dua buah mobil masuk dan terparkir di halaman, dan keluarlah sekelompok orang dengan mata yang sudah merah. Menandakan bahwa mereka tak tidur semalaman. Mereka terlihat sangat lelah dan kacau. Salah satu dari mereka adalah seorang wanita anggun yang kini tengah berjalan memasuki rumah besar itu. ―AAAAAAARGH!‖ Pekikkan terdengar nyaring ketika sebuah mata terbelalak melihat pemandangan yang begitu mencengangkan. *** Sebuah suara terdengar nyaring di tengah perjalanan seseorang. Itu adalah suara yang berasal dari sebuah ponsel.
202
“Anyeong! Ada apa Pak Cheon?” “Tuan muda Minho, Tuan,” ujar Pak Cheon panik. “Kenapa Minho?” “Tuan muda Minho meninggal dan Rumah Tuan kerampokan.” “Apa?! Saya sedang menuju rumah. Sebentar lagi saya sampai.”
Sambungan terputus dan Tuan Lee semakin mempercepat laju mobilnya dengan keadaan panik. Bahkan karena terlalu paniknya ia tak melihat lampu merah dan menerobosnya begitu saja. Sebuah mobil lain muncul dan menghantam kuat mobil Tuan Lee di perempatan, membuat mobil mewah itu terbalik seketika.
Flashback End
Jinki dan Kibum terdiam mendengar cerita tragis tentang keluarga ini. Kepala mereka merunduk dalam. *** Jinki berkali-kali melihat sebuah tulisan di atas secarik kertas. Menyocokkannya dengan tulisan yang berada pada sebuah tembok sebuah bangunan. Sebuah bangunan yang merupakan sebuah rumah sakit jiwa. ―Ayo kita masuk!‖ ―Tunggu dulu! Aku tidak yakin, Kibum,‖ ujar Jinki ragu. ―Kau tunggu apa lagi? Kita beruntung sejak kemarin hantu Minho tak mengikuti kita. Sebaiknya kita cepat sebelum dia membunuh kita.‖ ―Ta... tapi aku takut,‖ ujar Jinki terbata. ―Baiklah. Kau di sini saja. Jaga dirimu baik-baik!‖ ujar Kibum membuat Jinki ketakutan. Maksud kata Kibum jika dijelaskan adalah ‗Sebaiknya kau bisa menjaga dirimu sendiri ketika Minho muncul, atau ketika ia tengah bersiap membunuhmu‘. ―Aku ikut Kibum!‖ teriak Jinki segera berlari menghampiri Kibum yang berada beberapa langkah di depannya. *** Tok! Tok! Tok!
―Nyonya Lee, ada yang ingin bertemu denganmu,‖ ujar seorang suster kemudian mempersilahkan kedua orang itu masuk. Kibum masuk, diikuti Jinki yang melangkah dengan takut. ―Anyeonghaseyo!‖ sapa keduanya ramah. Wanita itu tak menjawab. Hanya membalasnya dengan anggukan pelan tanpa ekspresi. ―Kami membawa kabar tentang Taemin, Nyonya,‖ ujar Kibum. Wanita itu memandang ke arah keduanya setelah memandang ke arah salju-salju yang kini telah memenuhi pandangan jendela miliknya. ―Ta... Taemin? Anakku? Dia di mana? Aku sudah mencarinya kemana-mana,‖ ujar Nyonya Lee dengan mata berbinar.
203
Dengan berat hati Kibum memberikan sebuah koran. Tepatnya sebuah berita yang tercetak pada halaman depan koran.
Berita yang membuat Nyonya Lee hampir pingsan setelah membacanya. Berita tentang
ditemukannya kerangka Taemin di rumah besar itu. ―Anda tak apa-apa, Nyonya Lee?‖ tanya keduanya khawatir seraya memegangi bahu orang tua yang telah penuh dengan keriput itu. ―Anakku. Karena aku. Taemin meninggal karena aku,‖ lirihnya dalam sesal. Ia menangis. ―Nyonya...,‖ ujar Jinki pilu. ―Itu karena aku. Aku yang selalu membuat kecemburuan Minho muncul. Memisahkannya dari ayahnya.‖ Flashback
Minho 5 tahun ―Lihat ini! Anak Ayah yang tampan,‖ puji Tuan Lee seraya mengendong anaknya yang kini tengah berumur satu tahun. ―Anak Ibu benar-benar pintar,‖ puji Nyonya Lee seraya mencubit pipi anaknya, sedangkan Taemin kecil hanya tertawa riang menerima semua perlakuan itu. Kebahagiaan itu berbanding terbalik dengannya, yang hanya bisa menatap mereka dari balik tembok. Menatap dengan penuh kecemburuan. Entahlah... laki-laki kecil itu bahkan tidak ingat terakhir kali ia sebahagia Taemin. Ia tak pernah ingat, atau memang hal itu tidak pernah terjadi. Rahang Minho mengeras. Dadanya rasanya sesak sekali. Rasanya ia ingin sekali menangis. Tapi Minho kecil tak menangis, ia lebih memilih menahannya dan berlalu.
Minho 9 Tahun
Tuan Lee mengajak Minho bicara. Mereka duduk berhadapan. Untuk kali ini, Minho merasa senang. Tak banyak waktu yang appa-nya miliki hanya untuk hal sederhana seperti ini. Sekali lagi, ia senang. Minho tersenyum melihat wajah Tuan Lee yang menatapnya hangat. ―Minho anak yang hebat, ‗kan? Minho mandiri, ‗kan? Minho pintar, ‗kan?‖ Entah pujian atau pertanyaan yang terlontar dari mulut appa-nya. Minho tak mengerti, tetapi ia hanya mengangguk mantap dengan bahagia. ―Appa, eomma, dan Taemin akan pergi sementara waktu. Jadi Minho bisa tinggal di sini dengan baik tanpa kami, ‗kan?‖ tanya Tuan Lee Lembut. Senyuman kecil Minho pupus perlahan. Matanya memandang ayahnya dengan tatapan tak percaya. Sesuatu yang bening itu menggenangi matanya. Matanya berkaca-kaca. ―Appa...,‖ lirih Minho. ―Aku tak mau,‖ Minho menggeleng. Cairan bening itu menyungai dan menetes dari dagu kecilnya, kemudian ia menunduk sedih. ―Jangan menangis, Minho! Kau laki-laki, ‗kan?‖ tanya Tuan Lee seraya meraih tangan kecil Minho dan menggenggamnya. ―Appa, aku takut tinggal sendirian,‖ lirih Minho seraya mengangkat kepalanya dan menatap sendu pada ayahnya. Berharap itu bisa merubah keputusan ayahnya. ―Tapi kamu tidak tinggal sendirian, Minho. Ada Ibu dan Pak Cheon yang akan menemanimu,‖ bantah Tuan Lee. ―Tapi Taemin, dia boleh ikut,‖ protes Minho dengan terisak.
204
―Dia masih kecil. Kami tidak bisa meninggalkannya sendirian,‖ bantah Tuan Lee lagi. ―Minho. Kau ‗kan anak appa yang hebat, jadi kamu harus bisa mandiri, oke?‖ Minho tak menyahut. Ia hanya menangis dalam tundukannya. Ia hanya bisa pasrah. Apa yang bisa anak seusianya lakukan? Ia hanya berusaha untuk menurut, meski ia sama sekali tak menyukainya.
Minho 14 tahun
Minho memasuki rumahnya. Dilihatnya lampu hias, pohon natal, makanan dan hiasan-hiasan lainnya. Tapi tak terlihat kebahagiaan di wajahnya. Ia berlalu begitu saja dengan menahan kesedihannya tanpa sedikit pun memandang semua hal yang kini tengah mempercantik ruangan besar di sana. Minho kembali berusaha menghubungi ayahnya. Entah untuk keberapa kalinya di hari ini hingga ia benarbenar merasa muak. Hal-hal seperti ini membuatnya sadar, bahwa hari-hari bahagia seperti inilah yang membuatnya begitu kecewa dan tersakiti.
PRANG!!!
Ponsel itu ia lempar dengan kuat hingga hancur berkeping-keping di lantai kamarnya. Berserakan memenuhi lantai itu. Dengan napas memburu ia membuka pintu kamarnya kasar dan berjalan cepat menuju lantai satu. Tepatnya hiasan-hiasan itu terpasang. Minho menghancurkan semua hiasan natal yang terpajang itu dengan penuh kekesalan dan amarah. Ia mengamuk dengan mata panas. Membanting apapun yang ada di hadapannya, termasuk semua makanan yang telah tersedia di meja makan, ia lempar begitu saja bersama iringan teriakan kebenciannya untuk semua yang ia dapatkan: kebencian, iri, amarah dan kesepiannya. ―Tuan muda! Apa yang anda lakukan?!‖ tanya ibu Cheon panik. ―Dengar! Tak ada natal! Jangan pernah melakukan hal ini lagi, mengerti?! Tak ada pohon natal dan semacamnya! Aku membencinya!‖ teriak Minho dengan mata membulat lebar. Tak pernah mereka melihat anak yang biasanya sangat penurut itu begitu murka hingga seperti ini. Minho kembali masuk ke dalam kamarnya. Ketika kebanyakan orang berbahagia dan membagi kebahagiaan mereka dengan orang lain, Minho malah melalui malam natalnya dengan tangisan dan rintihan yang begitu menyesakkan. Baginya, natal hanyalah omong kosong.
Minho 20 Tahun
―Minho! Lee Minho!‖ panggil seorang temannya dari belakang. Ia menepuk bahu Minho dengan akrab. Minho segera berbalik ketika nama terkutuk itu memasuki indera pendengarnya. Ia segera mencengkeram kerah temannya dan menhujaninya dengan tatapan tajam. ―Jangan panggil aku begitu?! Aku bukan Lee Minho! Aku Choi Minho!‖ teriak Minho. Ia sangat benci. Begitu bencinya pada nama Lee. Lee Taemin yang secara genetika memiliki DNA turunan yang sama dengan ayahnya. Meski memiliki darah yang sama, ia membencinya. Membenci kanyataan bahwa ia adalah bagian dari sebuah keluarga yang bahkan ia berpikir ia tak pernah berharap menjadi bagian darinya. Nama Choi. Nama seseorang yang bahkan Minho tak ingat parasnya. Seorang wanita yang ia yakini begitu menyayanginya. Seorang yang memberi banyak perhatian dan kasih sayang di waktu yang bersamaan, dan
205
dalam waktu yang singkat pula, dua tahun. Sebelum akhirnya ia pergi meninggalkannya karena penyakit yang dideritanya. Setidaknya, itulah yang pernah ia dengar dari orang-orang disekitarnya. Ibunya. *** Minho memasuki pekarangan rumahnya. Matanya menyipit ketika dilihatnya seorang anak laki-laki berumur enam belas tahun tengah bercengkerama dengan ayahnya dan wanita itu. Mereka tersenyum dan tertawa lepas, hal yang bahkan Minho tak yakin bahwa ia pernah sebebas itu ketika kepergian orang-orang itu. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kini mereka kembali setelah sepuluh tahun pergi meninggalkannya. Kembali seperti tak pernah ada yang terjadi. Bahwa mereka telah memberikan luka yang dalam untuknya. Minho menghampiri mereka tanpa ekspresi apapun. Pandangannya sangatlah dingin. Seseorang melihatnya dan tersenyum manis kepadanya, itu adalah Taemin, adik satu ayah beda ibu. Tetapi sungguh, ia tak menyukainya. “Anyeonghaseyo, Hyung!” sapanya sopan dengan membungkuk hormat. Minho tak menyahut. Ia lebih memilih menatap dua orang paruh baya di hadapannya dengan tatapan sinis. ―Dia Taemin. Dia adikmu, Minho. Kalian sudah lama tak bertemu, kan? Lihatlah! Dia manis kan? Sekarang kita bisa tinggal bersama lagi. Adikmu akan menemanimu di sini,‖ ujar Tuan Lee. ―Aku baik-baik saja, Tuan Lee. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku,‖ ujar Minho dingin kemudian berlalu begitu saja. Kembali berjalan melewati mereka dan masuk ke dalam kamarnya. Ia benci. Bahkan seseorang yang ia harapkan tak sedikitpun menyinggung tentang keadaannya. Seseorang menyunggingkan senyum tak suka pada Minho. Seseorang yang secara hukum adalah istri dari Tuan Lee, dan seseorang yang secara hukum juga telah menjadi ibunya. Sedangkan Tuan Lee terlihat cukup khawatir dengan perubahan besar yang ia lihat pada Minho setelah sekian lama. *** Minho memasuki rumahnya. Terlihat lampu kerlap-kerlip, pohon natal serta benda-banda lain telah terhias indah di tempat itu. Membuatnya terlihat hangat dan menyenangkan. ―Apa-apaan ini?!‖ teriak Minho marah. ―Maaf Tuan muda. Tapi Nyonya menyuruh kami....‖ ―Ayahmu ingin merayakan natal bersama kami dengan meriah. Jika kau tak suka, kau boleh mengunci dirimu di kamar seperti biasanya,‖ cetus Nyonya Lee yang tiba-tiba muncul dengan tatapan menantang dan langkah angkuhnya. Minho hanya mendengus kemudian pergi menuju kamarnya. ―Serigala.‖ Untuk kesekian kalinya Minho tersakiti lagi. Mungkin seharusnya ia bahagia karena setidaknya apa yang pernah menjadi impiannya telah terkabul sekarang. Tetapi Minho telah berubah seiring dunia yang berubah kepadanya. Ia benci, karena bukan karena dialah semua itu ada, tetapi karena Taemin. Baginya, semua ini hanya mengeruk kepedihannya di masa lalu. Flashback End
―Ini!‖ ujar Nyonya Lee seraya menyodorkan sebuah kado. ―Itu adalah hadiah yang suamiku ingin berikan untuk Minho. Itu ditemukan di dalam mobil ketika kecelakaan itu terjadi. Aku menyimpannya karena aku merasa bersalah.‖ *** Ketika kesedihan yang telah terperangkap telah lepas. Ketika tubuh yang terhimpit tak lagi di tempatnya. Ketika jiwa yang terkekang telah pergi, maka di saat yang sama janji itu pun putus. Untaian kata penuh
206
amarah telah benar ditepati. Kini semua itu tak berguna lagi untuk membelenggu semua ketakutan dari dua insan yang tengah mencari perlindungan dari mata merah yang terbentuk dari kebencian. Membuat Minho tak lagi harus terus menjalani janji bodohnya. Kini hawa dingin hanyalah dinginnya udara malam ataupun salju yang turun di musim ini. Hal besar itu sungguh tak benar-benar mereka sadari. Mereka tenggelam dalam kenyamanan dan fatamorgana dari kesedihan yang melindungi. Sesuatu yang menyiksa tetapi melindungi mereka. Tubuh Taemin bersama dingin dari kesedihannya. Ketika Taemin tak lagi di sana, maka tak ada lagi alasan Minho tak memasuki tempat itu. Hawa pengap menyusup masuk. Kebencian yang masih tertahan berubah menjadi hawa lain. Hawa yang jauh lebih hitam dan mengerikan, hawa membunuh. Ketika keduanya tertidur lelap tak terasa tenggorokan mereka tak dapat kembali memberikan asupan oksigen untuk paru-paru mereka.
Napas mereka tertahan dan sesak, membuat mereka mau tidak mau harus
membuka mata. Kerongkongan mereka menyempit karena tangan dingin Minho telah melingkar pada leher keduanya. Dengan kuat dan tanpa kasihan. Menghujani mereka dengan tatapan penuh amarah. Warna merah yang semakin menyala. Sosok Minho kini telah berada di hadapan mereka. Menyunggingkan senyum kemenangan pada mereka yang tengah meronta dan berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Sayangnya mereka bahkan tak bisa menyentuh tangan yang kini membuat mereka hampir mati. Jika kau tak bisa melihatnya, itu hanya telihat seperti keduanya tengah memegang leher masing-masing, seakan-akan tengah berusaha mencekik leher mereka sendiri sambil meronta-ronta seperti orang gila. Bola mata Kibum dan Jinki mulai naik, dan lidah mulai menjulur keluar ketika mulut mereka mulai terbuka. Sakit yang luar biasa dan tak tertahankan. Rasa di dada mereka serasa membakar dan membuat mereka hampir mati ketika cengkeraman itu semakin menguat. Tetapi tanpa diduga Minho tertarik ke belakang sehingga ia dengan terpaksa melepaskan dua mangsanya. Kibum dan Jinki selamat. Dua tangan dari dua bayangan yang berada di belakang Minho menyelamatkan mereka. Kurasa Taemin tak benar-benar meninggalkan mereka. Kini mereka bisa bernapas kembali. Napas memburu yang diselingi batuk. Mereka masih memegangi leher mereka. Segera beranjak dan merapat pada tembok dengan pandangan takut. Menjauh dari tiga sosok yang kini saling bertatap. Di saat yang sama mereka berusaha kembali mengumpulkan tenaga dan oksigen. Mereka sungguh tak memiliki kekuatan lagi, bahkan untuk tegang atau bergetar seperti biasanya. Mereka hanya bisa memadangi ketiganya dengan napas tersengal. Mata merah Minho semakin menyala terang ketika melihat dua sosok laki-laki di hadapannya. Tapi ia tak mengatakan apapun. Hanya menatap penuh kebencian dan kemarahan seperti yang biasa ia lakukan ketika hidup. “Hyung!” ―Minho!‖ Panggil Taemin dan Tuan Lee bersamaan. ―Kami menyayangimu, Minho,‖ ujar Tuan Lee dengan wajah pucat penuh kesedihan. Minho tak bereaksi. Ia masih diam. ―Ke... kenapa... kenapa kau bi... bisa masuk?‖ tanya Jinki gemetaran. Minho menatapnya tajam, dan itu membuat Jinki tak bisa bergerak. Ia memeluk Kibum erat. Sedangkan Minho hanya menyunggingkan senyum remehnya. Tersirat sesuatu dari senyuman pendek itu, membuat Jinki menyadari perbuatannya seketika.
207
―Hyung, kami menyayangimu. Ikutlah dengan kami!‖ pinta Taemin lirih. ―Bagaimana bisa? Setelah menjadikanku anak buangan, kini kalian mengatakan kebohongan itu di hadapanku. Kalian yang membuatku menjadi seperti ini. Berani sekali kalian menampakkan diri di hadapanku?‖ ―Mereka menyayangimu,‖ ujar Kibum memberanikan dirinya. Minho menatap Kibum tajam, ―Kau tak tahu apapun.‖ ―Aku tahu, karena kami mendengarnya,‖ jawab Kibum mantap. ―Minho, Nyonya Lee sudah menceritakan semuanya pada kami. Semua yang terjadi padamu adalah ulahnya. Dia sengaja menjauhkanmu dari ayahmu hanya karena ingin Taemin mewarisi perusahaan Tuan Lee,‖ timpal Jinki. Minho tak bereaksi. Kini Jinki berjalan merapat pada tembok, meninggalkan Kibum sendirian. Berjalan menuju lemari yang berada di belakang Minho tanpa sedikitpun melepas pandangannya kepada Minho was-was yang bahkan sosok itu memadang kosong ke depan. Di dalam benda besar itu, ia mengambil sebuah benda kotak yang dibungkus kertas berwarna cerah. ―Itu! Itu adalah hadiah dari ayahmu untukmu,‖ Jinki melempar benda itu ke dekat Minho, kemudian buru-buru ia berlari menuju Kibum dan memegang tangan sahabatnya erat. Tangan Jinki gemetaran dan dingin dan Kibum dapat dengan jelas merasakan ketakutan Jinki. Minho menatap hadiah yang kini tergeletak di lantai itu dengan ekspresi yang tetap datar. Kibum dengan penuh keberanian berjalan mendekati Minho. Berjongkok kemudian merobek bungkus yang terbuat dari kertas itu dan membuka penutup kotaknya. Menunjukkan pada Minho sebuah jas beserta dasi masih terlipat rapi di dalamnya. Kibum mundur dan kembali ke tempatnya. ―Itu adalah hadiah dari appa dan Taemin. Appa berniat mengajakmu bekerja di perusahaan. Dengan begitu kita memiliki lebih banyak waktu untuk bersama dan appa bisa lebih mengenalmu. Appa bekerja keras selama ini hanya karena appa ingin memberikan sebuah perusahaan besar padamu. Tapi appa tidak tahu bahwa itu membuatmu menderita karena kesepian. Maafkan appa,‖ ungkap Tuan Lee dengan tatapan penuh penyesalan kepada Minho. Mata merah menyala Minho perlahan meredup dan berubah menjadi hitam seperti halnya mata Taemin dan Tuan Lee. Ia terlihat sangat tenang sekarang. Kini air mata mulai menggenangi pelupuk matanya kemudian terjatuh ke lantai dan menguap dalam sekejap. Perasaan cinta adik dan ayahnya telah sampai pada hati Minho. Menyembuhkan luka yang telah menganga lebar dalam sekejap meski harus berusaha keras. ―Ikutlah dengan kami, Hyung!‖ ujar Taemin seraya mengulurkan tangannya, dan Tuan Lee melakukan hal yang sama. Mereka berdua tersenyum tipis kepada Minho penuh ketulusan. Dengan tatapan bahagia Minho menyambut tangan-tangan itu. Perlahan mereka menghilang bersama-sama, diiringi kata terima kasih yang mereka ucapkan kepada Jinki dan Kibum yang kini tengah menatap haru. ―Akhir yang bahagia,‖ gumam Kibum, dan Jinki mengangguk setuju. Akhirnya mereka bisa bernapas lega.
Satu tahun kemudian
Tok! Tok! Tok!
208
Jinki membuka pintu rumahnya. ―Akhirnya kau datang juga, Kibum. Kami sudah menunggumu sejak tadi,‖ ujar Jinki. Kibum memasuki rumah itu. Melihat betapa meriahnya pesta natal tahun ini di rumah yang pernah menjadi saksi kesepian dan rasa benci seseorang. Perayaan yang diadakan setelah bertahun-tahun lamanya menghilang. ―Sangat berbeda ketika pertama kali aku kemari,‖ gumam Kibum. ―Akhirnya aku bisa merayakannya juga di sini. Benar-benar menyenangkan,‖ sahut Jinki. ―Yaaah! Pohon natalnya takkan lari. Berhenti memandangi itu! Ayo kita makan!‖ ujar Leeteuk ketika melihat dua orang sahabat menatap erat benda besar di hadapan mereka. Kibum dan Jinki pergi menuju meja makan yang telah dipenuhi dengan kue dan makanan lainnya. Mereka merayakannya dengan meriah dan penuh dengan kebahagiaan. Rumah ini begitu hangat, tak suram, tak dingin, tak pengap. Semua berubah menjadi begitu menyenangkan. END
209
33 Days Contract
Author
: Choi Ye Joon (Chan Yoen)/ Yunn Wahyunee
Main Casts
: Minho a.k.a Choi Minho, Go Han Ni (OC)
Support Casts
: Taemin a.k.a Lee Taemin and others
Genre
: Horror (mystery), Fantasy, Romance (?)
Length
: Two Shoot
Rating
: PG-15
Summary
:
―Semua yang ada di depan matamu hanyalah ilusi. Aku mempermainkanmu karena aku menginginkanmu. Kamu tidak akan bisa pergi dariku, kamu akan selalu kembali padaku. Kamu akan menjadi milikku, selamanya‖
Part 1
December 11th, 2012 Langit terlihat begitu muram siang ini. Hamparan salju di luar sana tidak lagi berkilauan seperti biasanya. Bahkan suasana jalanan yang selalu ramai oleh hiruk pikuk orang dan kendaraan yang berlalu-lalang berubah sepi sunyi. Udara yang sangat dingin memaksa untuk menembus kulit. Rasa dingin itu menembus tulang, sangat dalam. ―Haaah….‖ Helaan napas kasar memecah kesunyian. Seorang pemuda berkulit putih dengan rambut coklat gelap menyandarkan punggungnya di sebuah dinding yang tidak terlihat kokoh. Sesekali dia menoleh ke arah pintu di sebelah kanannya, menunggu seseorang keluar dari sana. Dia tidak memperdulikan angin dingin meniup kencang rambut dan syal hijau toskanya. Otaknya sedang sibuk memikirkan sesuatu, bukan hal sepele seperti rasa dingin. Tiga puluh lima menit sudah dia berdiri di sana, menghela napas berkali-kali. Dia mulai terlihat kesal, bukan karena orang yang dia tunggu tidak kunjung keluar, tetapi hal lain. Masalah yang selama ini menjadi perdebatan antara dia dan orang yang sedang berada di dalam rumah atap ini. Rumah atap itu terlihat sederhana, bahkan terlalu amat sederhana. Mungkin untuk sebagian orang, rumah atap ini tidak layak huni. Dindingnya sedikit retak di mana-mana, jendela satu-satunya dari rumah atap itu hanya terbungkus koran yang disatukan selotip coklat ukuran besar. Beberapa tanaman bunga terlihat disekitar 1 meter di sebelah kanan pintu masuk, membentuk taman bunga kecil. Taman bunga itu terlihat terlalu rapi dan indah untuk ukuran rumah atap kumuh ini. Sama sekali tidak cocok.
Klek
Seseorang membuka pintu. Pemuda yang menunggu sejak tadi sigap menegakkan tubuhnya. Dia membantu membuka pintu itu lebar-lebar, dan menahannya agar tidak tertutup kembali. Koper besar berwarna biru gelap keluar lebih dahulu dari dalam rumah atap itu. Kemudian disusul gadis mungil, pemilik rumah atap ini. ―Taemin-ah… apa kamu sudah lama menunggu? Kenapa tidak langsung masuk tadi?‖ Gadis itu menatap Taemin dengan mata bulatnya.
210
―Aku hanya tidak bisa membantumu membereskan barang-barangmu. Jadi daripada aku menganggu, aku tunggu saja disini‖ jawabnya santai dan acuh. Go Han Ni—gadis pemilik rumah atap—hanya mengerutkan dahinya mendengar alasan aneh Taemin. ―Bukankah di luar dingin? Aku tidak berharap dan memaksa kamu harus membantuku, setidaknya masuk ke dalam, di luar dingin.‖ Han Ni menatap khawatir. ―Lihat, bibirmu membiru.‖ ―Han Ni-ya…‖ Taemin membenamkan wajahnya ke dalam syal. ―Apakah kamu yakin akan pergi?‖ ―Ne.‖ ―Tidak bisakah kamu membatalkannya? Aku sudah menemukan pekerjaan untukmu. Teman aboji akan memberikanmu pekerjaan. Dia berjanji untuk tidak akan menceritakannya pada aboji.‖ ―Chagiya… mianhae, aku tidak bisa. Aku sudah menandatangani kontrak.‖ Han Ni memeluk Taemin erat. ―Aku hanya akan pergi selama 33 hari, setelah itu akan akan kembali.‖ Taemin membalas pelukan hangat Han Ni. ―Tetapi tidak ada libur Natal dan tahun baru. Pekerjaan macam apa itu? Bagaimana dengan rencana Natal bersama kita?‖ ―Mianhae…,‖ Han Ni melepas pelukannya. ―Kau tahu ini kesempatan emas untukku. Aku hanya cukup bekerja selama 33 hari dan mendapat bayaran yang cukup untuk membayar kuliahku semester depan, bahkan aku bisa membelikan dongsaeng-ku kado natal yang saat dia inginkan.‖ ―Aku bisa membayarkan kuliahmu dan membelikan dongsaeng-mu hadiah natal.‖ ―Ania Taemin-ah… aku tidak mau kamu berbohong dan meminta kepada aboji-mu demi aku. Kamu tahu ‗kan bagaimana jadinya seperti waktu itu?‖ ―Mianhae… aku memang salah waktu itu. Tetapi aku punya tabungan sekarang, aku bisa memakai tabunganku.‖ ―Jangan Taemin-ah …. aku janji ini yang terakhir, tahun berikutnya kita akan merayakan natal bersama, eoh?‖ ―Aku memang tidak bisa mengubah keinginanmu, dasar keras kepala.‖ Taemin menyentil halus dahi Han Ni. *** Han Ni menyeret kopernya perlahan keluar dari bandara Pulau Jeju. Dia tertunduk sedih, wajah murung Taemin masih terbayang di benaknya. Taemin adalah pacarnya sejak 1,5 tahun yang lalu. Hubungan mereka sangat tidak di sukai oleh ayah Taemin. Dia sangat tidak menyukai Han Ni yang bisa dikatakan berasal dari keluarga yang sangat tidak beruntung. Sedangkan Taemin adalah anak laki-laki satu-satunya yang akan meneruskan perusahaan ayahnya. Ayah Taemin memang keras, tidak seperti ibu Taemin yang sangat menyukai kekasih Taemin itu. Han Ni adalah gadis yang mandiri, sopan dan pintar. Ibu Taemin sangat menyukainya karena sejak Taemin mengenal Han Ni, Taemin menjadi pribadi yang berbeda. Pribadi yang tidak membantah, Han Ni mampu mengubah Taemin menjadi pemuda yang dewasa. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Han Ni masih sabar menunggu jemputannya. Mulai besok dia akan menjalani pekerjaannya sesuai kontrak.
Beberapa minggu yang lalu Han Ni mendapat info lowongan
pekerjaan yang cukup menggiurkan. Persyaratan untuk mendapat pekerjaan ini tidaklah sulit. Dia hanya perlu mengorbankan hari Natal dan tahun barunya. Selain itu, gaji yang ditawarkan cukup besar. Dia bisa membayar kuliahnya semester depan, memperpanjang kontrak rumah atapnya dan membelikan adik kesayangannya kado natal dan tahun baru. Dan beruntungnya dia mendapatkan pekerjaan itu. ―Agassi… apakah Anda Go Han Ni?‖ tanya seorang pria paruh baya. ―Ne.‖
211
―Mari silahkan, Agassi! Tuan Muda mengutus saya untuk menjemput Anda.‖ Pria itu membukakan pintu sebuah mobil mewah berwarna hitam. Han Ni hanya tercengang mendapati dirinya duduk di dalam sebuah mobil super mewah. Pekerjaan yang akan dia dapatkan ini hanyalah sebatas pelayan rumah tanggga. Walaupun dalam kontrak menyebutkan bahwa pekerjaannya adalah sebagai asisten rumah tangga. Dan menurutnya tidak ada bedanya dengan pelayan rumah tangga. Pemandangan di sepanjang perjalanan menuju rumah sang majikan baru Han Ni sangatlah indah. Ladang bunga nan indah terhampar luas bak permadani. Perlahan Han Ni menurunkan kaca mobil dan membiarkan angin laut yang sejuk menerobos masuk. Sesekali dia melirik pria yang sedang menyetir didepannya, hanya untuk memastikan apakah dia merasa terusik dengan jendela yang terbuka. *** ―Agassi… kita sudah sampai‖ Pria itu membangunkan Han Ni yang tertidur di kursi belakang. Han Ni menggeliat kecil. ―Oh, mianhae, Ahjushi.‖ ―Tidak apa-apa Agassi, Anda pasti sangat lelah.‖ ―Emmmm… gomawo.‖ Perlahan Han Ni keluar dari mobil. Han Ni kembali tercengang menemui rumah yang sangat besar dan super mewah serta megah. Rumah itu mirip sebuah istana, istana yang sangat besar. Rumah bak istana itu didominasi warna putih. Di samping rumah terdapat taman bunga dengan atap kaca yang jika dibandingkan dengan miliknya di Seoul, sangat amat jauh berbeda. Pohon-pohon pinus tinggi menjulang di halaman belakang rumah. Hamparan salju yang berkilauan sama sekali tidak mengurangi sensasi sejuk dari tanaman-tanaman hijau di sekeliling rumah. Han Ni belum puas merasa tercengang. Mulutnya masih terbuka lebar melihat rumah ini dan sekelilingnya. Dia sangat beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Rasa kagum Han Ni yang berlebihan terinterupsi oleh suara pintu rumah yang terbuka. Pria separuh baya itu membawa koper Han Ni masuk. Han Ni yang sudah kembali normal mengejar pria itu, dia hendak membawa kopernya sendiri. ―Go Han Ni Agassi, selamat datang di kediaman Tuan Muda Choi.‖ Han Ni sedikit terkejut oleh seorang wanita. ―Oh,‖ Han Ni hanya memberi hormat kecil. ―Biarkan Pak Kim yang mengurus barang-barang Anda,‖ tambahnya. ―Mari ikuti saya. Saya akan menunjukkan kamar Anda.‖ ―Baiklah… emmm?‖ ―Panggil saya, Kepala pelayan Jo. Saya adalah penanggung jawab disini, dan saya yang menghubungi Anda waktu itu‖ Han Ni menunduk kaku. ―Ne… Joeneun…” Wanita itu segera memotong. ―Siapkan perkenalan diri Anda untuk nanti. Sekarang saya akan menunjukkan kamar Anda dan setelah itu kita akan menemui Tuan Muda Choi.‖ Han Ni hanya mengangguk mengiyakan. Wanita di depannya ini terlihat sangat cantik. Hasil pengamatannya mengatakan bahwa dia hanya lebih tua beberapa tahun darinya. Tetapi dari cara berbicara dan bertingkah lakunya sangatlah luar biasa. Dia sangat anggun, berkharisma, menawan, dan sangat dewasa. Diumurnya yang masih muda, dia sudah bisa menjadi kepala pelayan untuk orang sekaya Tuan Muda Choi ini. ―Ini kamar Anda.‖ Mereka berhenti disebuah pintu ukiran yang sangat megah dan unik. Kepala pelayan Jo membukakan pintu itu dengan susah payah, mungkin karena terlalu berat. Han Ni makin tercengang melihat isi dari kamar itu. Sebuah tempat tidur double berwarna krem dan berpilar ukir yang sangat mewah bertengger di tengan
212
ruangan yang sangat besar itu. Sebuah lemari yang sangat besar memenuhi satu sisi dinding kamar itu. Jendela super besar juga memenuhi sisi seberang dari lemari itu. Nuansa krem yang klasik dan anggun memenuhi kamar itu. Han Ni mencari-cari kopernya, tidak ada diruangan itu. Dia berfikir mungkin kamar ini bukan kamarnya, dia hanya salah dengar tadi. ―Silahkan Agassi bersiap-siap. Satu jam lagi Tuan Muda Choi ingin menemui Anda.‖ ―Ini kamarku?‖ Han Ni masih tidak percaya. Wanita itu hanya menyungingkan senyum sepersekian detik. ―Ne, Agassi. Ini akan menjadi kamar Anda sampai 33 hari ke depan.‖ ―Bukankan aku hanya pelayan rumah tangga?‖ Han Ni terdiam sejenak, dia berbicara dalam bahasa informal. ―Mianhamnida, maksud saya bukankah saya hanya pelayan rumah tangga? Kenapa saya menempati kamar ini dan bukan kamar pelayan?‖ ―Agassi, Anda bukan pelayan rumah tangga tetapi asisten rumah tangga. Jabatan Anda di rumah ini berada di atas saya, Anda adalah tangan kanan langsung Tuan Muda Choi di rumah ini.‖ ―Mwo?‖ ―Sebaiknya Anda segera bersiap Agassi. Barang-barang Anda sudah siap di dalam lemari. Sebelum Anda menemui Tuan Muda Choi, saya akan menjelaskan tugas-tugas Anda yang belum terlampir jelas dalam kontrak‖ Han Ni hanya mengangguk kecil. ―Ne.‖ ―Saya permisi dulu.‖ Wanita itu memberi hormat dan keluar dengan menutup pintu. *** Han Ni sudah siap di dalam kamarnya. Dia masih memikirkan pekerjaan aneh yang akan dia lakukan ini. Sebenarnya memang sejak awal pekerjaan ini aneh. Dia hanya menjadi asisten rumah tangga dan menerima gaji yang sangat besar. Dia tidak terlalu pusing memikirkannya, yang ada dibenaknya hanya gaji yang bisa dia dapatkan. Han Ni mengenakan pakaian yang sudah di sediakan di dalam lemari. Awalnya dia ingin mengenakan pakaian yang dia bawa sendiri, tetapi setelah mengingat penampilan wanita tadi, dia berubah pikiran. Dia kembali berdiri di depan cermin yang tentu saja mewah untuk memperbaiki jepitan rambutnya. Rambut pendek sebahunya hanya bisa di berikan jepitan rambut simple untuk membuatnya terlihat rapi. Sesekali dia memutar tubuhnya, memperhatikan penampilan barunya. Rok sepan diatas lutut berwarna hitam dengan atasan kemeja putih serta jas berwarna hitam melekat dengan pas di badannya. Dia juga heran, kenapa pakaian ini bisa pas ditubuhnya. ―Agassi, apakan Anda sudah siap?‖ panggil seseorang di balik pintu. ―Ne.‖ *** Sebuah kertas kontrak baru tergeletak di atas meja. Han Ni baru saja selesai membacanya. Dia terlihat berpikir keras, tetapi berusaha untuk tidak terlihat. Segala rincian tugas yang tercantum di dalam kontrak itu tidaklah berat, hanya saja dia merasa ada suatu kejanggalan. Dia diperlakukan secara spesial di rumah ini. ―Bagaimana, Agassi? Apakah Anda sanggup? Jika Anda menolak, Tuan Muda Choi akan memulangkan Anda. Beliau tidak akan menuntut atas kontrak sebelumnya yang telah Anda tanda tangani. Kontrak itu akan secara sah di batalkan. Kemudian untuk 20% pembayaran gaji Anda sebelumnya, Tuan Muda tidak akan memintanya kembali‖ Han Ni tercengang, Tuan Muda Choi itu pasti sangat kaya. ―Bagaimana bisa begitu?‖
213
―Semuanya itu dianggap sebagai bayaran bagi Anda yang bersedia meluangkan waktu untuk datang kemari. Bagaimana Agassi, apakah keputusan Anda?‖ ―Baiklah saya terima,‖ jawab Han Ni mantap. Dia bukanlah tipe orang yang akan menerima sesuatu secara percuma. Dia juga sudah bertekad bulat untuk bekerja dengan serius. Selain itu dari kontrak baru ini tidak ada yang merugikan baginya. Tugas yang dia emban juga tidak sulit. Dia hanya perlu menjadi asisten rumah tangga pribadi bagi Tuan Muda Choi. ―Tetapi apakah Agassi sanggup untuk tidak menghubungi orang diluar rumah ini saat Anda bekerja kecuali Tuan Muda Choi mengizinkan? Anda harus menjaga setiap hal mengenai Tuan Muda Choi dan hal lainnya tentang rumah ini maupun isinya. Semuanya adalah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang luar, termasuk keluarga dan orang terdekat Anda. ―Baiklah… aku sanggup.‖ ―Satu lagi, Anda jangan pernah mencoba melanggar kontrak yang ada. Terutama masalah lama kontrak Anda. Anda harus menyelesaikan seluruh pekerjaan Anda selama 33 hari. Tidak boleh kurang, dan tidak boleh lebih. Setelah 33 hari Anda baru diizinkan pergi dari sini.‖ ―Algessoyo.‖ ―Silahkan tanda tangan kontrak. Beberapa saat setelah Anda menanda tangani kontrak ini, gaji Anda sudah lunas terbayar‖ Han Ni mengurungkan niatnya untuk tanda tangan.―Tetapi aku belum selesai bekerja?‖ ―Tuan Muda Choi percaya pada Anda. Beliau yakin Anda tidak akan kabur begitu saja tanpa menyelesaikan tugas Anda.‖ ―Baiklah.‖ Han Ni melanjutkan menanda tangani kontrak itu. „Kenapa Tuan Muda Choi sangat mempercayaiku, bisa saja aku kabur‟ katanya dalam hati. ―Tuan Muda Choi yang memilih Anda secara pribadi dari 3333 orang yang mendaftar,‖ jelas kepala pelayan Jo, dia seolah bisa membaca pikiran Han Ni. ―Oh… ne.” *** Seorang pemuda duduk di sebuah kursi dengan sandaran yang sangat tinggi, bahkan melebihi tinggi tubuhnya sendiri. Pemuda itu tersenyum dingin. Wajahnya tidak jelas terlihat. Dia duduk di sudut ruangan yang tidak terkena cahaya lampu, sudut tergelap di kamar itu. Kamar itu hanya bercahayakan sebuah lampu yang cahaya tidak seberapa, cahaya lampu itu mirip cahaya sebatang lilin. Dekorasi kamar itu tidak jauh berbeda dengan kamar-kamar utama lainnya di rumah ini. Bisa di bilang semuanya sama. Sang pemilik rumah tidak terlalu menyukai ke istimewaan. Dia tidak ingin yang dia miliki lebih istimewa dari yang lain. Kecuali beberapa hal yang tidak bisa dia rubah. Pemuda itu mulai tidak sabaran. Dia terlihat memainkan jari-jarinya mengetuk lengan kursinya. Dia tidak sabar untuk menemui seseorang. Seseorang yang cukup lama dia nantikan. Seseorang yang dia pilih sendiri untuk selalu di sampingnya.
Krieeet.
Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya yang lebih terang memasuki ruangan itu. Tepat di tengah-tengah pintu yang terbuka, terbentuk sebuah bayangan. Bayangan mungil seorang gadis, gadis yang dinanti oleh pemuda
214
itu. Perlahan gadis itu masuh ke dalam kamar dan pintu di belakangnya tertutup. Gadis itu terlihat takut dan hanya menunduk. ―Akhirya Anda datang, Han Ni-ssi.‖ Suara berat pemuda itu memecah kesunyian. ―Ne… Tuan Muda Choi,‖ jawab Han Ni sedikit gugup. Pemuda yang ternyata Tuan Muda Choi itu beranjak dari tempat duduknya. Dia meraih sesuatu di atas meja yang tepat berada di sebelah kirinya. Dia terlihat melakukan sesuatu pada benda itu, dalam sekejap kamar itu berubah terang benderang. Han Ni memincingkan matanya, terkejut oleh cahaya yang tiba-tiba berubah drastis. ―Bagaimana kabar Anda, Han Ni-ssi?‖ ―Baik, Tuan Muda,‖ jawab Han Ni kaku dan masih tertunduk. ―Panggil saja aku, Oppa. Bukankah kita akan menjadi teman dekat?‖ Han Ni kaget dan refleks menatap lawan bicara. ‖Nde?‖ ―Dan aku bisa memanggilmu dengan lebih santai?‖ Minho –Tuan Muda Choi- berbicara lebih santai, informal. ―Semua itu terserah pada Anda, Tuan Muda.‖ Han Ni kembali tertunduk. ―Begitukah? Kalau begitu panggil aku Minho Oppa, Han Ni-ya.‖ ―Nde?‖ ―Bukankah kamu bilang terserah padaku? Sekarang sebagai tugas pertamamu, panggil aku Minho Oppa.‖ ―Emmm…,‖ Han Ni terdiam sejenak. ―Baiklah, Minho Oppa.” ―Han Ni-ya, aku harap kita tidak hanya menjadi teman dekat selama 33 hari ke depan.‖ Minho tersenyum pada Han Ni. Han Ni segera menunduk setelah menerima senyuman dari Minho. *** December 12th, 2012 Pagi-pagi sekali dan matahari baru saja terbit, Han Ni sudah siap di depan kamar Minho untuk membawakan sarapannya. Han Ni sesekali melirik gelas bening tinggi di atas nampan yang dia bawa. Dia tidak bertugas untuk menyiapkan makanan untuk Minho, dia hanya bertugas mengantarkannya. Minho tidak ingin siapapun selain asisten rumah tangganya, masuk ke dalam kamarnya. Sekali lagi Han Ni melirik gelas bening itu. Isi dari gelas itu bukanlah susu yang umumnya diminum orang di pagi hari. Tetapi sesuatu berwarna merah kental. ―Masuklah, Han Ni-ya!‖ teriak Minho dari dalam. Kedua pelayan wanita yang berdiri di dekat pintu membukakan pintu untuknya. Han Ni mengucapkan terima kasih tanpa mengeluarkan suara. Kedua pelayan wanita itu hanya mengangguk tanpa ekspresi. Minho terlihat bersandar pada tempat tidurnya dan membaca sebuah buku tebal dengan sampul berwarna hitam dan terdapat gambar mirip percikan darah di buku itu. Han Ni melirik buku itu sebentar dan tidak menemukan judul buku. Tidak ada yang aneh dengan buku tanpa judul, hanya saja buku itu terlihat menyeramkan. ―Taruh saja di meja dekat jendela itu. Dan tolong buka jendelanya.‖ Minho menutup bukunya dan mengeliat kecil kemudian turun dari tempat tidur. Han Ni segera menaruh nampan itu di atas meja. Dia berlari kecil menuju jendela super besar itu dan membukanya gorden yang menutupi. Dengan susah payah dia menarik gorden itu agar bisa terbuka. Gorden itu sangat berat dan cukup menguras tenaga tubuhnya yang mungil itu. Minho sudah duduk pada sebuah kursi dan meja bundar yang menghadap jendela.
215
Han Ni berhasil membuka gorden jendela. Berbondong-bondong cahaya matahari menyinari bagian dalam kamar Minho. Minho hanya menyipitkan matanya sebentar kemudian mencoba membiasakan diri. Han Ni melirik ke arah Minho. Dia terlihat begitu indah, bahkan mengalahkan salju dan pemandangan indah diluar sana. Dia sangat tampan dengan kulit putih pucatnya. Dia sangat tampan mengalahkan malaikat. ―Apakah kamu tidak masalah merayakan natal di sini? Bukankah akan lebih indah merayakan natal bersama keluarga atau namjachingu-mu?‖ Han Ni langsung terhentak dari lamunannya. Dia terlalu lama menatap Minho tadi, mungkin pipinya sangat merah sekarang menahan malu. Han Ni tertunduk, menarik napas untuk menenangkan diri. Apa yang dia lakukan tadi? Menatap majikannya dengan tatapan yang mungkin sangat mesum itu? ―Han Ni-ya‖ ―Oh… mianhae, Tuan Muda. Uupss… Oppa.” Minho tertawa kecil dan dia terlihat semakin tampan. ―Apakah kamu tidak masalah merayakan natal di sini? Bukankah akan lebih indah merayakan natal bersama keluarga atau namjachingu-mu?‖ ulangnya. ―Emmm… aku tidak keberatan menjalani natal di sini. Tidak ada bedanya merayakan natal di sini atau di mana pun. Bukankah yang terpenting semangat kita?‖ Minho mengangguk kecil. ―Kamu benar, Han Ni-ya.‖ Han Ni memandangi Minho tanpa berkedip. Pemuda di depannya ini terlihat tidak terlalu tua darinya. Dia terlihat masih muda dan seharusnya masih kuliah seperti dirinya. Tetapi mengapa dia tinggal sendiri di rumah sebesar ini, tanpa orangtua. Secara teknis, dia tidak tinggal sendirian. Sekitar 23 pelayan, termasuk Han Ni, tinggal di rumah besar dan terpencil ini. Han Ni juga baru menyadari bahwa tidak ada pemukiman penduduk sekitar radius 10 kilometer dari sini, hanya rumah besar ini satu-satunya pengisi wilayah ini. Minho meneguk cairan merah kental yang ada di gelas bening tinggi. Isi gelas itu sempat menjadi pertanyaan besar bagi Han Ni. Minho meminum cairan itu kurang hati-hati, sehingga mengalir di sudut bibirnya. Perlahan Minho membersihkan cairan yang mengalir di sudut bibirnya itu. Han Ni memperhatikan dengan seksama, cairan kental itu meninggal jejak merah di pipi Minho. Beberapa saat kemudian kulit pucat Minho berubah merona merah. Han Ni semakin bingung. ―Han Ni-ya… kamu bisa keluar. Aku akan memanggilmu jika aku memerlukanmu.‖ Minho melayangkan senyumnya. ―Ne… Oppa.” Han Ni berjalan keluar. Sebelum benar-benar keluar, Han Ni menatap ke arah Minho yang akan memakan roti isinya. Han Ni memperhatikan roti isi itu dengan seksama. Bentuk roti isi itu tidaklah normal. Bagian tengahnya mengembung seperti sesuatu yang bulat adalah isinya. Tiba-tiba bagian tengah roti isi itu seperti bergerak, lebih tepatnya berdenyut. Han Ni mulai merinding dan menghapus anggapan aneh yang terlintas di kepalanya. Dia sudah siap membuka pintu, tetapi matanya tetap tertuju pada Minho yang akan mengigit makanannya. Minho sudah mengigit makanannya. Bibirnya blepotan oleh suatu cairan kental berwarna merah. Han Ni berusaha memfokuskan mata, ingin melihat lebih jelas. Isi roti itu bergerak lagi. Dan sesuatu yang panjang menyerupai urat terjulur dari roti itu. Han Ni membelalakan mata, dia baru saja melihat isi roti isi itu. Dia menemukan jantung di dalam roti isi yang baru saja di makan Minho. Secepat kilat Han Ni membuka pintu dan berlari keluar. Napasnya berubah tidak teratur karena keterkejutannya. Apakah dia baru saja mengantarkan segelas darah dan roti isi jantung? Apakah hanya imanjinasinya saja? Han Ni melangkah kakinya dengan cepat menuju kamarnya. Setelah sampai di sana, dia segera mengunci pintu. Dia mulai mondar-mandir, mencoba menelaah apa yang baru saja dia lihat.
216
―Tuan Muda Choi meminum darah dan memakan jantung? Apakah aku salah lihat tadi? Tetapi itu jelas-jelas jantung.‖
Rrrrtrrrt.
Ponsel
Han
Ni
memanggil.
―Yumseo….?‖
Han
Ni
mendengar
dengan
seksama
lawan
bicaranya.
―Baik Oppa, saya akan ke sana.‖ Han ni segera membuang jauh berbagai pemikiran gila, aneh, dan tidak masuk akal yang baru saja melekat di otaknya. Dia tidak mau Minho melihat ekspresi wajahnya berubah karena terlalu memikirkan hal itu. Minho baru saja meneleponnya dan memintanya untuk segera ke kamarnya. Minho butuh beberapa bantuan. *** ―Apakah kamu sudah memutuskan pakaian yang cocok untukku, Han Ni-ya?‖ Minho keluar dari kamar mandi dan masih mengenakan handuk untuk mengeringkan seluruh badannya. ―Emmm… saya tidak tahu apakah Oppa akan menyukainya.‖ Ragu-ragu Han Ni menyodorkan satu setel pakaian pada Minho. Minho meraih pakaian itu dan terlihat sedikit menimbang. Han Ni memilihkan sebuah sweater tebal berkerah V dan berwarna putih, dengan celana panjang berwarna hitam. Selera yang sangat sederhana, tetapi cukup untuk menarik senyum Minho. ―Aku suka.‖ Minho melangkah ke sebuah ruangan untuk berganti baju. Han Ni hanya tertunduk menerima pujian dari Minho. Sudut mata Han Ni terus saja mengikuti ke mana Minho pergi hingga lenyap di balik pintu. Han Ni menghela napas panjang dan kembali menegakkan tubuhnya. Minho bukanlah pemuda yang galak dan terlalu mengaturnya. Tetapi entah kenapa aura Minho membuat Han Ni terkadang takut dan segan padanya. Salju kembali turun di luar, terlihat begitu indah dan menenangkan hati. Perlahan-lahan Han Ni berjalan mendekati jendela kamar Minho untuk melihat lebih jelas salju yang berjatuhan dari langit. Sekelebat pemikiran tentang Taemin melintas di otaknya. Dia sangat merindukan Taemin. Dia masih terpikirkan janjinya pada Taemin yang harus dibatalkan karena dia harus bekerja di sini demi mendapatkan uang. ―Han Ni-ya,‖ panggil Minho. Tidak ada jawaban dari Han Ni, dia masih bergulat dengan pikirannya sendiri. ―Han Ni-ya.‖ Han Ni masih terlihat memandangi salju yang turun. Minho menghampiri Han Ni dan memegak pundaknya. ―Han Ni-ya…‖ ―Oh… mianhae, Oppa.‖ Han Ni segera menunduk, dia baru saja sedikit melalaikan tugasnya. ―Gwenchana… aku akan pergi sampai malam. Jadi aku akan makan siang dan makan malam di luar. Tolong kamu bereskan kamarku. Jika kamu tidak mampu melakukannya sendiri, minta bantuan kepala pelayan Jo.‖ ―Baik, saya akan melakukannya.‖ ―Berhentilah berkata formal padaku, arasseo?‖ ―Algessoyo.‖ *** December 17th, 2012 Ini adalah hari ke-4 Han Ni mengurus segala keperluan Minho. Beberapa hari sebelumnya berlalu dengan normal tidak seperti hari pertama. Tetapi hari ini, kejadian aneh hari pertama itu terulang lagi. Han Ni harus mengantarkan sarapan dengan menu aneh ini. Segelas penuh cairan kental merah dan roti isi yang berdenyut.
217
Han Ni ingin sekali mengecek makanan ini, tetapi dia tidak bisa.
Tatapan pelayan yang lain selalu
mengawasinya. ―Oppa… aku membawakan sarapan untuk Oppa.” Kali ini Han Ni tidak menemukan sang pemilik kamar, Minho tidak ada di kamarnya. Han Ni berinisiatif sendiri untuk membuka gorden dan membiarkan cahaya masuk ke dalam kamar yang hampir setiap saat gelap dan terlihat pengap. Nampan sarapan yang dia bawa sudah bertengger di tempat biasa, sebuah meja bundar di dekat jendela. Sepersekian detik setelah membuka gorden, cahaya menyinari seluruh ruangan. Gelas bening tempat cairan kental yang menjadi menu Minho hari ini berkilauan di terpa cahaya. Han Ni memperhatikan isi gelas itu, sangat pekat dan kental. Cahaya matahari tidak mampu menembus cairan itu. Sedangkan roti isi itu bergerak semakin jelas, denyutannya semakin kencang. Han Ni bergidik dan menjauh dari nampan itu. ―Selamat pagi, Han Ni-ya.‖ Suara berat yang sangat akrab baginya belakangan ini mengagetkannya. ―Oppa… aku mengantarkan sarapan.‖ Minho memperhatikan Han Ni. ―Kamu seperti ketakutan. Ada apa?‖ ―Obsoyoe…” Minho terlihat sangat lemah hari ini. Apakah dia sedang sakit? Han Ni terus menatap Minho yang sudah duduk di kursinya. Dia sangat pucat dan terlihat lebih kurus. Garis gelap di bawa kelopak matanya menunjukkan mungkin dia tidak tidur semalaman. Tetapi semua itu tidak menghapus sedikitpun ketampanan di wajahnya. Dia tetap tampan dengan piyama putihnya. Gelas dengan cairan kental mencurigakan itu sudah berpindah ke tangan Minho. Sebentar lagi isi dari gelas itu akan melewati tenggorokan Minho. Han Ni memperhatikan dengan seksama. Dia tidak tega melihat cairan aneh itu masuk ke dalam tubuh Minho. Han Ni ingin sekali melarang Minho meminun cairan itu. Bukankah 4 hari yang sebelumnya sarapan untuk Minho normal? Segelas susu dan roti isi yang tidak berdenyut. ―Ada yang salah, Han Ni-ya?‖ Minho mendapati ekspresi wajah Han Ni yang berubah. ―Oh…itu!‖ Han Ni bingung harus mengatakan apa. ―Sepertinya aku salah membawakan sarapan. Aku akan menggantikannya‖ Minho tersenyum. ―Ini memang menu untukku hari ini. Apakah kepala pelayan Jo belum memberi tahumu?‖ ―Tetapi Oppa… sarapan itu…‖ ―Aneh? Ini hanya jus stroberi dan alpukat. Cobalah jika kamu tidak percaya.‖ ―Nde?‖ Han Ni menerima gelas yang di sodorkan Minho. ―Cobalah! Ini bukan darah seperti yang kamu pikirkan.‖ Han Ni langsung tercengang. Bagaimana Minho bisa tahu apa yang dia pikirkan? ―Oh, satu lagi. Roti isi ini tidak berdenyut, aku rasa hanya efek dari bias cahaya matahari. Ini hanya roti isi dengan daging domba dimasak medium rare.‖ Minho menyingkirkan roti di bagian atas agar isinya dapat terlihat jelas. Han Ni hanya mengangguk kecil. ―Mianhae.” ―Emm…‖ Minho hanya tertawa. ―Dan jangan mengkhwatirkan aku. Aku tidak sedang sakit. Aku hanya terlalu lelah mengurus beberapa pekerjaan perusahaan. Satu lagi, kepala pelayan Jo memang memiliki daftar sendiri untuk semua menu makanan setiap harinya, dan itu terus berulang.‖ ―Oh…ne.” Han Ni hanya menunduk. Dia tidak menyangka Minho dapat dengan mudah membaca pikirannya. Apakah semuanya tergambar dengan jelas di wajahnya?
218
―Asisten rumah tangga sebelum dirimu juga menanyakan hal yang sama. Jadi aku bukan membaca pikiranmu, hanya menebak.‖ ―Ne.‖ Han Ni hanya mengangguk kecil. *** December 20th, 2012 ―Beberapa hari lagi natal. Apakah kamu tidak ingin pulang?‖ Minho memecah keheningan di antara mareka. Han Ni masih tertunduk dan mengikuti Minho dari belakang. Hari ini Minho tidak pergi ke kantor seperti biasanya. Dia hanya berniat untuk istirahat di rumah. Pagi ini setelah selesai sarapan dan membersihkan diri, dia meminta Han Ni untuk sedikit berjalan-jalan di halaman rumah yang sangat luas ini. Beberapa pelayan hanya mengawasi dari jauh dan membiarkan mereka jalan berdua. ―Aku sudah lama tidak pulang. Aku selalu merayakan Natal sendiri.‖ ―Ternyata kita memiliki beberapa kesamaan, aku juga selalu merayakan Natal sendiri. Jadi aku sangat berharap kamu mau menemaniku.‖ ―Kenapa bisa begitu? Di manakah Tuan Choi dan Nyonya Choi?‖ ―Aku tidak tahu.‖ Han Ni terkekeh. ―Bagaimana bisa begitu? Bukankah beliau orang tua Oppa?” ―Kepala pelayan Jo tidak mengizinkan aku menemui mereka.‖ ―Wae? Kepala pelayan Jo seolah sesepuh saja.‖ Minho menatap Han Ni. ―Dia memang sesepuh. Dia sudah bekerja disini sejak umurku 3 tahun. Kamu tahu, dia sama sekali tidak berubah sejak dulu.‖ ―Mwo?‖ Mata Han Ni terbelalak, ―dia ahjumma?‖ ―Emm….‖ Han Ni masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Minho. Apakah kepala pelayan Jo—yang selama ini dia kagumi—setua itu? Han Ni melirik ke belakang, tepat ke arah para pelayan dan kepala pelayan Jo yang mengawasi. Tatapan mereka sangat dingin, khususnya kepala pelayan Jo. Belakangan ini dia terlihat sangat tegang. Terutama sejak Minho terlihat kurang sehat. Minho terus berjalan di depan Han Ni. Semakin jauh dari pengawasan kepala pelayan Jo. Han Ni hanya mengikuti dari belakang dan tidak banyak bertanya. Langkah Minho terhenti ketika mereka sampai di perbatasan hutan pinus dengan halaman belakang rumah Minho. Minho mengulurkan tangannya, meminta Han Ni untuk menggandengnya. ―Ayolah… aku hanya ingin agar kamu tidak terjatuh nanti. Tanah di sini sangat licin.‖ Han Ni hanya menuruti keinginan Minho tanpa menggambarkan pertanyaan di wajahnya. Han Ni kembali menatap kebelakang, kepala pelayan Jo dan yang lain sudah tidak terlihat lagi. Mereka tidak membuntuti lagi. Minho mengajaknya masuk ke dalam hutan pinus. Entah apa yang ingin ditunjukkan Minho padanya. ―Kenapa kita ke sini, Oppa?‖ Han Ni memberanikan diri bertanya setelah Minho menghentikan langkahnya. ―Aku hanya ingin menjauh dari mereka. Mereka tidak akan berani ke sini.‖ ―Wae?‖ ―Mereka takut akan mitos di sini, tentang manusia abadi. Mereka takut jika memasuki hutan, mereka akan dibunuh oleh manusia abadi.‖ Han Ni mengerutkan dahi. ―Mitos macam apa itu?‖ ―Apakah kamu tidak menyadari bahwa kepala pelayan Jo itu penyihir?‖
219
―Eyyy?‖ reaksi Han Ni sangat lucu. Minho tertawa. ―Dia itu penyihir yang mempunyai ramuan awet muda, oleh sebab itu dia masih sangat muda sekarang. Padahal mungkin saja umurnya 50 tahun atau bahkan lebih? Seratus tahun, mungkin.‖ ―Oppa terlalu banyak membaca buku horor. Mana mungkin ada hal seperti itu?‖ ―Aku serius! Aku tidak bisa mengatakannya di rumah karena dia memiliki pengawasan ketat di rumah itu. Hutan pinus ini satu-satunya tempat yang paling aman. Karena menurut mitos, penyihir itu takut memasuki hutan karena hutan adalah teritori manusia abadi.‖ ―Sangat hebat, Oppa. Cerita karangan Oppa sangat bagus. Kajja, Oppa! Kepala pelayan Jo dan yang lain pasti menunggu. Sudah waktunya makan siang.‖ Han Ni berjalan meninggalkan Minho yang tersenyum nakal. Dia terlihat senang bisa membohongi Han Ni dengan cerita aneh karangannya. Han Ni yang terlihat sedikit kesal meninggalkan Minho begitu saja. Minho masih terdiam dan menatap Han Ni yang terus menjauh. Tawa nakalnya perlahan menghilang. Kini raut wajah dingin tergurat di wajah Minho dan senyum sinis tersungging di bibir merahnya. *** ―Agassi, malam ini Tuan Muda Choi akan makan malam di kamarnya,‖ jelas kepala pelayan, tatapannya begitu sinis pada Han Ni. ―Ne… Kepala Pelayan Jo. Algessoyeo.” ―Apakah keadaan Tuan Muda Choi baik-baik saja?‖ tanyanya penuh selidik. ―Saya rasa, iya,‖ jawab Han Ni santai. Kepala pelayan Jo menatap Han Ni dengan kesal. ―Saya tidak sedang bercanda, Agassi! Seperti yang saya lihat, Tuan Muda Choi tidak baik-baik saja. Beliau terlihat pucat dan kurus belakangan ini. Apakah Anda tidak menyadarinya?‖ ―Emmm… dia memang terihat seperti itu. Tetapi dia bilang, dia baik-baik saja. Dia hanya kurang tidur.‖ Han Ni tidak berani menatap kepala pelayan Jo yang sedang memelototinya. ―Kami disini sangat peduli akan kesehatan Tuan Muda Choi. Tugas utama anda di sini adalah mengurusi Tuan Muda Choi secara sungguh-sungguh. Saya harap Anda jangan bermain-main dan awasi Tuan Muda Choi. Jika terjadi sesuatu pada Tuan Muda Choi, saya secara pribadi tidak akan membiarkan Anda baik-baik saja.‖ Han Ni menelan ludah. ―Mianhae, Kepala Pelayan Jo. Saya mungkin tidak terlalu memperhatikan Tuan Muda Choi.‖ ―Sebaiknya Anda harus berusaha keras mulai sekarang.‖ Kepala pelayan Jo meninggalkan Han Ni. Han Ni bergidik. Kepala pelayan yang selama ini dia kagumi ternyata sangat galak dan menakutkan. Wanita seangggun dan semenawan kepala pelayan Jo baru saja mengancamnya. Dia seolah ingin membunuh Han Ni, jika hal buruk dialami oleh Minho. Sifatnya sekarang memang mirip penyihir. „Kenapa aku menyangkut-pautkan dengan cerita karangan Minho oppa?‟ gumam Han Ni dalam hati. *** Han Ni membawakan troli berisikan makan malam untuk Minho. Sepanjang perjalanan dari dapur menuju kamar Minho, tatapan sinis menusuk-nusuk tubuh Han Ni. Dia tidak berani melirik dari mana asal tatapan sinis itu. Tetapi ada 1 hal yang bisa dia pastikan, seluruh penghuni rumah Minho sangat membencinya. Han Ni sama sekali tidak tahu penyebabnya. Minho selalu terlihat pucat dan sekarang sedikit kurus. Apakah itu salahnya? Dia hanya bertugas membawakan makanan dan menjalankan keinginan Minho. Sedangkan seluruh jadwal kegiatan dan menu makanan Minho diatur oleh kepala pelayan Jo. Bukankah semua ini salah kepala
220
pelayan Jo? Dia terlalu membuat Minho lelah dan makanan yang diberikan kepada Minho sama sekali tidak bergizi. Wajah Han Ni masih cemberut ketika memasuki kamar Minho. Pria itu sudah bersedia mengalihkan perhatiannya dari buku kesukaannya dan menyapa Han Ni. Tetapi Han Ni hanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. ―Makan malammu, Oppa,‖ kata Han Ni datar dan menaruh makan malam Minho ke meja persegi disisi lain kamar gelap itu. ―Bolehkan aku menyalakan lampu?‖ ―Tentu.‖ Minho menutup bukunya dan menghampiri meja persegi dengan 3 buah kursi itu. ―Apa menu makan malamku?‖ ―Aku tidak tahu. Kepala pelayan Jo melarangku untuk membuka tudung saji. Dia tidak ingin udara kotor menyentuh makanan Oppa. Dasar nenek sihir,‖ gerutu Han Ni. Minho tertawa. ―Ternyata kamu percaya dengan ceritaku.‖ ―Mungkin ada benarnya juga. Dia memang seorang penyihir jahat.‖ ―Hey… jangan katakan keras-keras. Di sini ada kamera pengawas, kepala pelayan Jo memantau kita.‖ Han Ni mencari kamera pengawas yang dikatakan Minho. ―Mwo? Banyak sekali.‖ Han Ni langsung berbisik mendapati sekitar 4 kamera pengawas terpasang di setiap sudut. Entah ada berapa banyak lagi. ―Sepertinya aku akan mulai makan.‖ Han Ni menyiapkan makan malam untuk Minho. Sebuah piring perak bundar lengkap dengan tudung perak bulatnya sudah tersedia di depan Minho. Han Ni membukakan tudung itu untuk Minho yang terlihat sudah sangat lapar. ―Silahkan, Oppa.‖ Han Ni tersenyum setelah membuka tudung saju. ―Aaaakkkk!‖ Tiba-tiba dia berteriak dan menjauh dari meja. ―Ada apa?‖ Minho akan menyendok makan malamnya. ―Andwae, Oppa!‖ teriak Han Ni Han Ni segera menjauhkan makanan itu dari hadapan Minho. Han Ni menatap makanan itu bergidik dan hendak muntah. Makanan itu adalah sebuah pasta dengan bola mata bundar sebagai pelengkapnya. Bahkan bisa dibilang sausnya adalah darah merah yang kental. Han Ni segera mengecek minuman untuk Minho. Seperti dugaannya , lagi-lagi minuman merah kental itu. Apakah kepala pelayan ingin membunuh Minho? ―Ada apa?‖ ―Jangan dimakan, Oppa!” ―Wae?” ―Oppa tidak lihat? Kepala pelayan Jo menyiapkan pasta bola mata untuk Oppa, dan…‖ Minho terkekeh,bahkan tertawa terbahak. ―Han Ni-ya… apa katamu? Pasta bola mata? Itu hanya pasta dengan bola daging dan saus tomat kesukaanku. Berikan padaku!‖ ―Tetapi, Oppa…‖ Han Ni kembali melirik pasta dengan bola mata itu. ―Berikan Han Ni-ya… kamu ingin lihat aku mati kelaparan?‖ Minho mulai kesal. ―Mianhae, Oppa.” Han Ni memberikan kembali piring perak itu. Minho mulai makan dengan lahap. Han Ni menahan diri untuk tidak muntah. Pisau tajam di tangan kiri Minho memotong kecil-kecil bola mata bundar itu. Tanpa ragu Minho menancapkan garpunya pada potongan bola mata itu. Cairan merah kental—pasti darah—keluar saat garpu tertancap pada potongan mata. Dalam beberapa detik potongan mata itu masuk ke dalam mulut Minho. Han Ni semakin ingin muntah.
221
―Hentikan!‖ Han Ni merebut piring perak itu dan membuang isinya. ―Han Ni-ya…ada apa denganmu?‖ ―Oppa tidak lihat? Oppa baru saja memakan bola mata.‖ ―Itu hanya bola daging. Lihatlah baik-baik.‖ Han Ni dengan ragu kembali memungut bola mata itu dengan garpu. ―Oh!‖ Dia terkejut mendapati bahwa makanan itu memang bola daging, hanya bola daging. ―Apakah kamu membaca buku horor milikku, Go Han Ni?‖ ―Ania… aku akan mengambilkan makanan untuk Oppa lagi.‖ Han Ni segera membereskan kekacauan yang telah dia buat. ―Apakah rumah ini terlalu mengunci kebebasanmu, Han Ni-ya?‖ Han Ni hanya menoleh dan menggeleng kecil. ―Apakah kamu ingin pulang?‖ ―Ania… walaupun aku ingin, aku tidak akan bisa pulang. Aku masih memiliki kontrak disini. Aku harus menyelesaikannya dulu.‖ ―Aku bisa membatalkan kontrak itu.‖ ―Tetapi aku tidak mau, Oppa. Aku harus melaksanakan tugasku hingga akhir.‖ ―Baiklah… aku senang mendengar itu.‖ Minho tersenyum hangat *** ―Membacakan buku cerita?‖ kata Han Ni setengah berteriak. Minho hanya mengangguk sambil nyengir kuda. Belakangan ini dia tidak bisa tidur saat malam tiba. Dan ide gila yang tercetus di otaknya adalah dibacakan dongeng tidur. Han Ni tidak masalah dengan permintaan Minho, hanya saja Minho meminta dibacakan salah satu koleksi buku horornya. Han Ni sudah menggengam buku usang dengan sampul hitam yang selalu dibaca Minho. Aroma khas buku yang telah sangat lama dan usang menyeruak. ―Oppa tidak mau aku bacakan buku yang lain saja?‖ Minho hanya menggelengkan kepala, persis seperti anak kecil. Kelakuan Minho memang terkadang kekanakkanakan, sangat kekanak-kanakan. Tetapi dia lebih sering bersikap dingin dan misterius. Sudah 1 minggu penuh Han Ni bertugas mengantarkan makanan ke kamar Minho dan menjalankan keinginan aneh Minho. Selama itu pula kepribadian Minho berubah-ubah. Minho sama sekali tidak pernah keluar dari kamarnya dan berinteraksi dengan para pelayan selain Han Ni dan pria paruh baya yang menjemput Han Ni di bandara. Bahkan kepala pelayan Jo yang bertugas mengatur jadwal Minho hanya bisa menghubungi Minho via telelpon, tanpa tatap muka. Satu lagi peraturan aneh yang dikhususkan untuk Han Ni. Dia dilarang untuk memasuki wilayah dapur utama, ruang cuci dan kamar pelayan—rumah bagian belakang. Dia sebagai asisten rumah tangga dilarang bergaul dengan para pelayan kecuali kepala pelayan Jo. Seperti hal itu juga berlaku bagi para pelayan. Mereka tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun pada Han Ni. Mereka hanya bisa mengangguk atau menggelengkan kepala. Han Ni juga memasak makanannya sendiri di dapur bersih—lebih kecil dari dapur utama. Itu semua bukan karena peraturan yang ada, tetapi dia yang meminta sendiri. Dia tidak sanggup harus memakan makanan yang disediakan di rumah ini setelah beberapa kali dia menemukan ada kejanggalan dalam makanan tersebut. ―Han Ni-ya… palli, bacakan aku halamam 313.‖
222
Perlahan Han Ni membuka buku itu. Hawa menyeramkan serasa menyeruak dari dalam buku. Bau anyir juga tertiup menuju hidung Han Ni. Gadis yang kaget itu segera menutup buku tersebut. Napas Han Ni berubah tidak teratur. ―Wae?‖ ―Obsoyo.‖ Han Ni kembali membuka buku itu, dia menahan napasnya sejenak. ―Immortal human?‖ Han Ni menatap Minho penuh tanya. ―Emmm… bacakan untukku.‖ ―Bukankah ini mitos yang Oppa ceritakan?‖ ―Ne… aku mengetahuinya dari buku itu, kebetulan aku temukan di hutan pinus 2 tahun yang lalu. Kamu bilang aku mengarang cerita. Sekarang bacalah, kamu akan sadar kalau aku tidak mengarang.‖ Han Ni menelan ludah. ―Seratus tiga puluh dua tahun yang lalu…‖ … ―…
dan
penyihir
yang
mengutuk namja itu
menjadi
manusia
abadi
akhirnya
menjadi
budak
sang namja sebagai hukuman atas pelontaran kutukannya itu. Penyihir harus melayani namja itu selamanya demi keselamatan keturunan sang penyihir.‖ Han Ni mengakhiri ceritanya. ―Cerita macam apa ini? kenapa si penyihir harus mengutuk namja itu kalau akhirnya takut dan menjadi budaknya? Dasar penyihir babo!‖
Krusuk.
Terdengar bunyi gesekan selimut saat Minho menggerakan badannya. Rupanya dia telah tertidur pulas. Entah jam berapa sekarang, tidak ada satu pun penunjuk waktu di kamar Minho. Han Ni menggeliat pelan, tubuhnya terasa kaku khususnya bagian rahang bawah. Dia sudah membaca dongeng horor aneh itu selama lebih dari satu jam. Itu bukan dongeng, lebih tepatnya cerita fiksi aneh. ―Hoaaam….‖ Han Ni menguap kecil dan mulai jatuh tertidur. Han Ni sudah jatuh tertidur dengan pulas di kursi tempat sedari tadi membaca buku. Entah kenapa dia tibatiba merasa sangat mengantuk dan tertidur di sana. Suasana malam ini sangat hening dan sedikit mencekam. Hawa dingin mengalahkan pemanas ruangan dan menusuk-nusuk tulang. Minho semakin membenamkan dirinya didalam selimut. Sedangkan Han Ni menerima dengan setengah hati angin dingin itu. Dia sama sekali tidak berniat pindah ke kamarnya. Dia sudah sangat lelah dan mengantuk.
Krieeeek.
Suara decitan engsel pintu terdengar sangat dekat. Seberkas cahaya kecil masuk ke kamar Minho melalui celah pintu yang terbuka. Seseorang terlihat mengintip dari celah itu. Terdengar suara berbisik yang hampir sama dengan hembusan angin. Han Ni masih tertidur pulas. Cahaya dari celah pintu yang mengenai wajahnya tidak mampu mengusik tidurnya.
Krieeeek.
Pintu itu ditutup perlahan dan… klek, menimbulkan suara yang cukup besar. Minho hanya menggeliat sedikit untuk memperbaiki posisi tidurnya yang mungkin kurang nyaman. Ternyata suara yang satu itu cukup untuk
223
mengusik Han Ni. Perlahan dia membuka matanya, mengerjap-ngerjapkan 2 kali perdetik, dan diakhiri dengan menguap kecil. ―Aigoo… aku tertidur di sini. Emmmm…‖ Dia menggeliat. ―Badanku pegal, tenggorokanku juga kering. Sebaiknya aku mengambil minum dan tidur di kamarku sendiri.‖ Han Ni berbicara sendiri, sepertinya dia belum sepenuhnya terbangun. Dengan langkah sedikit terseok-seok, Han Ni berusaha keluar dari kamar Minho tanpa harus membuat empunya kamar terbangun. Pintu sedikit mengeluarkan bunyi ketika dia membukanya. Suasana di luar kamar Minho tidak kalah sepi. Seluruh pelayan sepertinya sudah tertidur. Cahaya lampu di rumah super besar ini diatur sedemikian rupa dan menampakkan kesan misterius. Han Ni bergidik melirik beberapa sudut rungan yang sangat gelap. Perlahan Han Ni menuruni anak tangga dan hendak menuju dapur. ―Apa yang harus kita lakukan? Waktunya semakin dekat, Kepala Pelayan Jo.‖ Terdengar suara wanita berbisik. ―Kecilkan suaramu. Aku juga sedang berpikir.‖ Han Ni mengenali suara yang satu ini, kepala pelayan Jo. Terdengar suara berdehem. ―Yeoja itu sama sekali tidak membantu.‖ ―Kita belum bisa menyimpulkan seperti itu‖ suara seorang pria yang sangat berat. Han Ni terus berjalan, mengendap-endap. Dia mencoba mencari asal suara. Sepertinya ada yang belum tertidur dan sedang melakukan rapat sederhana di tengah malam begini. ―Eomma….apa yang harus kita lakukan?‖ Suara wanita yang lain lagi. ―Pertama kita harus memastikan persediaan jantung, darah dan yang lain untuk Tuan Muda Choi adalah kualitas terbaik. Kalian harus mencari dengan benar.‖ Nada suara kepela pelayan Jo mendominasi. Han Ni segera menutup mulutnya sebelum memekik keras. Ternyata dugaan dia selama ini benar. Ada yang aneh dengan menu makanan yang diberikan kepada Minho. Han Ni sudah menemukan ruangan tempat orangorang tersebut berada. Mereka sedang berkumpul di dapur utama. Han Ni melanggar sedikit aturan karena rasa penasaranya. ―Eomma, itu semua tidak cukup.‖ Suara pria yang selama ini adalah pelayan yang mengurusi kendaraan Minho angkat bicara. Terdapat 5 orang, belum termasuk kepala pelayan Jo. Mereka terlihat sangat serius membicarakan sesuatu dengan berbisik di ruangan yang bercahaya minim. Han Ni masih berusaha mengenali mereka satu persatu. Dia juga masih berusaha menangkap arah pembicaraan mereka. ―Apakah kita harus segera menyingkirkan yeoja itu dan segera mencari yang baru?‖ Salah satu pelayan yang selalu menjaga di depan pintu kamar Minho menunjukkan seringai sinisnya. ―Bukankah kita membuang-buang waktu mempertahankannya? Dia sama sekali tidak membantu. Dia bukan yang kita cari.‖ ―Tutup mulutmu!‖ Kepala pelayan Jo sedikit membentak. ―Kita tidak bisa melakukan itu. Dia dipilih sendiri olehnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia turun tangan untuk memilih dari sekian banyak yang kita ajukan. Dia seperti menyukainya.‖ ―Tetapi, Eomma…‖ Pelayan yang mengurusi makanan Minho memangil kepala pelayan Jo dengan sebutan ibu. Han Ni membelalakan matanya. „Kepala pelayan Jo punya anak seumuranku?‟ katanya dalam hati. „Apakah mereka semua anaknya?‟ ―Waktu kita semakin menipis. Semoga kali ini berhasil. Aku sudah bosan harus tunduk padanya. Aku tidak mau melihat salah satu di antara keturunanku diusik olehnya. Tidak akan ada lagi.‖ Nada suara kepala pelayan Jo terdengar pasrah. ―Aku tidak ingin kalian dan keturunanku yang lain dibantai olehnya.‖ „Dia siapa?‟ pikir Han Ni.
224
―Sebelum tahun ini berakhir, yeoja itu harus menjadi miliknya. Apakah kalian sudah mendapatkan yang kita butuhkan untuk membuat ramuan itu?‖ ―Sudah, Chagiya!‖ Han Ni mundur selangkah. Pria paruh baya yang menjadi supir dan asisten Minho—yang menjemput Han Ni di bandara—adalah suami kepala pelayan Jo. ―Kita hanya perlu menunggu dia pulih dan meminta kita untuk melakukannya. Tanpa darahnya, ramuan itu tidak akan sempurna.‖ ―Akankah dia pulih? Belakangan ini dia terlihat kacau.‖ Pelayan yang mengurus pakaian Minho angkat bicara. ―Jika terus seperti ini. Dia akan marah dan menghancurkan kita seperti sebelumnya.‖ Kepala pelayan Jo tersenyum sinis di bawah redupnya cahaya. ―yeoja ini istimewa. Sepertinya, dia hampir menyadari semuanya‖ ―Apakah dia tahu kalau….?‖ Kalimat pelayan termuda—ang mengurusi makanan Minho—terpotong. ―Sssssttt…. Hentikan. Dia di sini!‖ Tatapan kepala pelayan Jo mengarah pada tempat persembunyian Han Ni. Han Ni dengan gugup berusaha menjauh.
Pranggg.
Dia menyenggol sebuah vas dan menjatuhkannya hingga menimbulkan suara yang cukup besar. Han
Ni
segera berlari menjauh dari tempat mereka. Dia berusaha berlari di rumah yang super besar dan tidak dia kuasai denahnya itu. Dia tidak begitu menghafal bagian demi bagian rumah. Tetapi apa pedulinya? Dia terus berlari menjauh dari tempat tadi.Bukk. Han Ni menambrak sesuatu, atau mungkin seseorang. ―Agassi… apakah Anda tersesat?‖ ―Emmm… kepala pelayan Jo, Anda… Anda…?‖ ―Mari saya antar ke kamar Anda. Sepertinya Anda masih sangat mengantuk,‖ bujuk kepala pelayan Jo halus. Han Ni segera berdiri. Dia berusaha mengatur napasnya yang semakin lama semakin tidak teratur dan mencekiknya. ―Aku bisa sendiri,‖ bantahnya sedikit kasar. ―Anda sebaiknya menerima tawaran saya, Agassi. Tidak baik terus berkeliaran dan mungkin secara tidak sengaja menguping pembicaraan orang. Uupss… sepertinya saya harus membuat Anda kembali tertidur dan melupakan apa yang baru saja Anda curi dengar.‖ ―Kau… siapa kamu?‖ teriak Han Ni ―Ssst…. Jangan berisik. Apa Anda mau membangunkan Tuan Muda Choi? Dia belakangan ini susah tidur, jadi jangan mengusiknya.‖ Han Ni tidak mau berbicara banyak lagi dengan pelayan Jo. Dia segera menabrakan dirinya sekuat tenaga pada kepala pelayan Jo dan berlari menjauh. Kepala pelayan Jo yang terjatuh hanya tertawa kecil namun dengan seringai yang sangat menyeramkan. Han Ni masih berlari, mencoba mencari jalan menuju kamarnya di lantai 1. Tiba-tiba terasa seperti seseorang yang menahan kakinya. Dia tidak bisa bergerak dan diam terpaku di anak tangga. ―Dasar yeoja tidak berguna.‖ Pelayan penjaga pintu kamar Minho menahan Han Ni entah dengan apa. ―Aku akan membuatmu tertidur.‖ Dia terlihat menghentakan tangannya. “Aaaaaaakkkk!‖ teriak Han Ni, dan semuanya berubah gelap.
225
Part 2
Summary : ―Semua yang ada di depan matamu hanyalah ilusi. Aku mempermainkanmu karena aku menginginkanmu. Kau tidak akan bisa pergi dariku, kau akan selalu kembali padaku. Kau akan menjadi milikku, selamanya.‖
*** nd
December 22 , 2012 Kepala Han Ni terasa sangat berat, terasa berdenyut dengan keras. Dia berusaha menggerakan tubuhnya, tetapi tidak bisa. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya. Dia hanya bisa meringis menahan sakit. Perlahan dia mencoba membuka kelopak matanya yang sepertinya enggan untuk terbuka. Otak Han Ni memerintah dengan keras sang kelopak mata agar mau terbuka. Susah payah Han Ni menggerakkan kelopak matanya. Perlahan tetapi pasti, kelopak mata Han Ni terbuka. Berkas cahaya segera berbondong-bondong menyapa, begitu menyilaukan. Han Ni berhasil membuka matanya, semuanya terlihat memudar tidak jelas. Beberapa kali dia mengerjapkan matanya. Berusaha melatih matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan ini. ―Han
Ni-ya…
kamu
sudah
terbangun?‖
Suara
Minho
sedikit
menyadarkannya.
―Han
Ni-ya,
jawab
aku. Gwenchanayo?‖ Han Ni berusaha menjawab, tetapi suaranya tidak bisa keluar. Tenggorokannya terasa perih, kering. Mungkin pita suaranya sudah menyusut dan tidak bisa bekerja lagi. Mata Han Ni sudah bisa melihat dengan jelas lagi. Tepat dihadapannya terpampang makhluk paling indah yang pernah dia lihat. Dia adalah Minho, pemuda yang memperkerjakannya di rumah ini. ―Han Ni-ya… gwanchanayo?‖ Minho terdengar sangat khawatir, tetapi ada terselip amarah di nada suaranya itu. ―Oppa?‖ Suara Han Ni tertahan. Minho segera menuju pintu dan menyentak pintu itu dengan kasar. Dia terlihat marah besar. Dibukanya pintu itu lebar-lebar. Dua orang pelayan refleks menunduk memberi hormat, tetapi lebih tepatnya ketakutan. ―Panggil kepala pelayan Jo, sekarang!‖ katanya halus, tetapi dengan penekanan di setiap katanya. ―Panggil dia sekarang,‖ ulangnya. Minho kembali masuk menemui Han Ni. Pintu yang tepat ada di belakangnya tertutup perlahan oleh pelayan yang ada di luar. Minho mengembangkan senyumnya, menatap Han Ni dengan iba. Han Ni hanya terdiam. Dia sedang berusaha mengumpulkan ingatanya. Apa yang terjadi dengannya? ―Ssstst… jangan buang-buang tenagamu yang sangat sedikit ini.‖ Minho duduk di sebelah Han Ni. Dia menghela napas, sangat berat. Tanpa berkedip Han Ni memperhatikan wajah pemuda di depannya ini. Dia terlihat semakin pucat dan kurus. Garis hitam di bawah matanya sangat tebal, terlihat begitu jelas. Penampilannya juga sangat berantakan, tidak seperti biasanya. Dia hanya menggunakan kaos tebal lengan panjang berwarna merah dan celana panjang berwarna hijau toska, sedikit memiliki konsep Natal. Tetapi pakaian yang dia kenakan tidak akan mampu menghangatkan dirinya dari udara yang sangat dingin ini. Minho memperbaiki letak selimut Han Ni. ―Kau memang keras kepala.‖ Han Ni hanya menatap bingung.
226
―Aku sudah bilang jangan memaksa diri untuk menghias pohon Natal itu, tetapi kamu tetap bersikukuh. Lihat sekarang, kamu terjatuh dan akhirnya seperti ini.‖ Minho membelai rambut Han Ni perlahan. „Menghias pohon natal?‟ kata Han Ni dalam hati. ―Aku hampir frustasi, takut kalau kamu tidak akan membaik dan terus seperti ini hingga Natal.‖ Han Ni sedikit bergidik. Tangan Minho terasa sangat dingin. Sepertinya dia juga sedang tidak enak badan. Semua terlihat jelas dari pergerakan tubuhnya yang seperti tanpa tenaga. ―Syukur demammu sudah turun,‖ dia tersenyum ke arah Han Ni. Pintu kamar Han Ni terbuka lebar. Terlihat kepala pelayan Jo dan 3 orang pelayan lainnya memasuki kamar sambil
tetap
menunduk,
menyembunyikan
wajahnya.
Minho
membantu
Han
Ni
untuk
duduk
dan
menyandarkan dirinya pada bagian kepala tempat tidur. Han Ni terdengar meringis kesakitan. Raut wajah Minho semakin terlihat khawatir. Sedangkan kepala pelayan Jo dan pelayan yang lain semakin ketakutan. ―Taruh semuanya di sana dan segera keluar!‖ Minho menunjuk meja disamping tempat tidur. ―Bawakan susu hangat itu ke sini.‖ Dengan langkah cepat, kepala pelayan Jo membawakan susu hangat. ― Ini, Tuan Muda.‖ ―Emmm… segera keluar!‖ Minho enggan menatap kepala pelayan Jo. ―Minumlah ini, Han Ni-ya, agar tenggorokanmu lebih baik.‖ Han Ni hanya menurut. Tatapannya tidak lepas dari Minho. Selain itu, dia masih berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar dia terjatuh saat berusaha menghias pohon Natal? Apakah Natal sudah lewat? Kenapa dia sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi? ―Oppa.‖ Suara Han Ni terdengar serak, ―tanggal berapa sekarang?‖ ―Tanggal 21 desember, kamu pingsan sekitar 2 hari. Tidak benar-benar pingsan, tetapi memang kamu demam tinggi,‖ jelas Minho. Han Ni menghela napas, dia tidak melewati malam natal. ―Lalu pekerjaanku?‖ ―Jangan bahas pekerjaan. Selama kamu sakit tetapi dihitung sebagai hari kerjamu. Sekarang beristirahatlah. Jika kamu sudah merasa baik, kamu bisa kerja lagi‖ Minho berdiri dan hendak meninggalkan Han Ni. ―Tetapi Oppa…?‖ Minho membalik badan dan menghentikan langkahnya. ―Ini perintah, jadi anggap saja kamu sedang bekerja. Satu lagi, ponselmu terus berdering dari kemarin. Sepertinya seseorang sangat mengkhawatirkanmu.‖ Han Ni segera melirik ponselnya sudah berada di sebelahnya. ―Oppa…‖ Minho sudah menghilang di balik pintu. Han Ni menatap ponselnya lekat-lekat. Ada 24 panggilan tidak terjawab dan 56 pesan masuk. Han Ni segera mengeceknya, semua berasal dari Taemin. semuanya tertanggal 2 hari lalu dan kemarin. Segera Han Ni menekan tombol untuk memanggil dan berharap segera tersambung pada Taemin. ―Yeoboseo, Han Ni-ya…” tersengar suara seseorang yang selama ini sangat dia rindukan. ―Chagiya… kenapa kamu tidak mengangkat teleponku kemarin? Kamu membuat aku khawatir. Kamu baik-baik saja, „kan? Aku sangat merindukanmu.‖ Han Ni hanya terdiam dan membiarkan Taemin terus berbicara. Tanpa dia sadari, dia mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak, diremas-remas. Segala firasat buruk
memenuhi batinnya. Semuanya
menghujam tanpa ampun. ―Han Ni-ya… apa kamu masih di sana?‖ ―Emmm… bogosiposo!‖ ―Hey… apakah kamu menangis? Apakah terjadi sesuatu padamu?” Taemin terdengar sangat khawatir.
227
―Emm… aku tidak menangis, hanya sedikit flu. Aku baik-baik saja. Mianhae, tidak menghubungi. Aku sedikit sibuk belakangan ini,‖ bohongnya. Taemin tertawa kecil. ―Aku ada di Jeju‖ ―Mwo? Kau di Jeju?‖ ―Ne… aku sangat merindukanmu. Katamu, kamu tidak diizinkan keluar sebelum kontrak habis. Jadi, aku yang akan menemuimu. Kita akan merayakan natal bersama. Bisakah kamu memberikan alamat rumah majikanmu?‖ ―Aku tidak tahu.‖ “Eyy….kenapa bisa tidak tahu?” ―Aku juga baru sadar sekarang kalau aku tidak tahu alamat rumah ini. Aku akan mencari tahu.‖ Han Ni diam sejenak. ―Taemin-ya…‖ ―Nde?‖ ―Saranghamnida.‖ Taemin terkekeh. ―Na do…neomu saranghae.‖ Taemin kembali tertawa. ―Ada apa denganmu? Kenapa terdengar sedih? Apakah kamu sangat merindukanku? Kamu merindukan wajahku yang tampan ini?‖ Han Ni mengangguk dalam diam. ―Aku akhiri, eoh? Aku harus kembali bekerja.‖ “Ne… aku akan segera kesana untuk menemuimu‖ *** Minho terlihat gelisah di kamarnya, lebih tepatnya marah. Dia masih sangat marah atas kejadian yang menimpa Han Ni. Melihat keadaan Han Ni yang cukup parah itu membuat dia ingin mencabik-cabik seseorang yang seharusnya bertanggungjawab atas kejadian ini. ―Tuan Muda Choi, apakah Tuan Muda memanggil saya?‖ Minho segera menoleh ke sumber suara. ―Ne… saya memanggil Anda, Kepala Pelayan Jo.‖ ―Ada yang Tuan Muda inginkan dari saya?‖ Kepala pelayan Jo tertunduk, takut. ―Aku ingin kau musnah,‖ kata Minho kasar setengah berteriak dan dalam sekejap kembali normal. ―Tetapi mungkin aku tidak akan melakukannya dalam waktu dekat ini. Tergantung kondisi Han Ni nanti. Emmm… dimanakah anakmu yang kurang ajar itu? apakah kamu sudah menyembunyikannya dengan baik?‖ Kepala pelayan Jo hanya menunduk, menyembunyikan wajahnya makin dalam. Minho melihat ke luar jendela kamarnya. ―Anak tertuamu itu memang sangat kuat. Penerusmu yang paling kuat, sayangnya dia sangat tidak tahu diri. Aku tahu selain karena rasa patuhnya padaku dan ingin melindungiku, dia juga ingin aku memilihnya, ‗kan?‖ Sontak wajah kepala pelayan Jo berubah tegang. Dia terkejut dengan perkataan Minho. ―Tuan Muda Choi.‖ ―Aku tahu anakmu itu sangat menginginkanku. Aku tidak bisa menyalahkannya, karena aku memang patut untuk diinginkan. Apakah kamu sadar? Hukuman dari kutukanmu itu tidak akan pernah berakhir.‖ Minho tersenyum sinis. ―Tuan Muda Choi, apakah tidak sebaiknya ingatan Agassi sedikit di….‖ Kepala pelayan Jo mengalihkan pembicaraan. Minho segera menghampiri kepala pelayan Jo dan mencengkram lehernya. ―Jangan berani bermain dengan ramuan sialanmu itu. Apa kamu ingin membuatnya gila, eoh?‖ ―Tetapi Tuan Muda…,‖ Kepala pelayan Jo susah bernapas.,―Agassi sudah mengetahui semuanya.‖
228
―Karena itu dia istimewa dan kau payah. Dia bisa mematahkan ilusi kampunganmu itu. Kau tahu? Aku harus terus berusaha keras meyakinkannya kalau tidak ada yang aneh dengan makananku.‖ Min Ho membanting kepala pelayan Jo ke tanah. ―Sampai kontraknya habis, jangan pernah sekalipun menyentuhnya. Jika waktunya tiba, aku sendiri yang akan memintamu untuk membuat ramuan sialmu itu. Untuk saat ini, aku masih ingin bermain dengannya. Biarkan dia tahu semuanya, karena dia akan menjadi milikku.‖ *** rd
December 23 , 2012 Pagi-pagi buta Han Ni sudah terbangun. Dia kembali mimpi buruk, mimpi buruk yang sama beberapa hari belakang ini. Kesehatannya sudah pulih kembali. Dia sudah bersiap-siap sejak tadi dengan seragamnya. Dia harus segera mulai bekerja untuk Minho, menjadi asisten rumah tangga. Han Ni duduk dengan manis didepan cermin sambil menyisir rambutnya—yang tidak
terlalu panjang—
perlahan. Beberapa kali dia menghela napas berat. Batinnya sangat tidak tenang. Kurang dari 2 minggu dia bekerja di rumah ini, tetapi entah mengapa terasa begitu lama. Kontrak kerjanya yang hanya 33 hari terasa tidak akan berakhir dengan cepat. Bukan karena dia bosan dan malas bekerja. Dia hanya ingin segera pergi dari rumah yang penuh misteri ini. Mimpi buruk itu kembali berkelebat di benak Han Ni. Mimpi di mana dia berlari dengan kencang di dalam rumah, berusaha menghindari seseorang. Tetapi dia gagal melarikan diri dan tertangkap. Kemudian tubuhnya terpelanting jauh dan membentur tiang kokoh di rumah ini. Dan mimpi itu berakhir di sana. ―Hahh… mimpi itu terasa nyata. Apakah itu memang mimpi? Kenapa aku tidak bisa ingat tentang menghias pohon Natal dan akhirnya cedera seperti ini? Ingatanku hanya sampai membacakan buku untuk Tuan Muda Choi. Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Apakah kepalaku terbentur terlalu keras dan sedikit mengacaukan memoriku?‖ Han Ni bertanya pada dirinya sendiri yang terpantul di cermin.
Rrrrtrrt.
Han Ni segera menjawab telepon yang masuk. ―Emmm…‖ ―Chagiya… apakah kau sudah mendapatkan alamatnya?‖ Taemin terdengar tidak sabaran. ―Aku tidak bisa menemukannya. Rumah ini tidak pernah mendapat surat, dan pelayan yang lain tidak tahu atau lebih tepatnya tidak mau memberi tahuku‖ ―Apakah kamu tidak bertanya pada majikanmu?‖ ―Ania… aku tidak berani. Belakangan ini dia sering keluar rumah, ke kantornya.‖ ―Sh… bukankah dia pengusaha muda. Apa kamu tahu nama perusahaannya? Mungkin aku bisa menemukan alamatnya. Aku sangat merindukanmu”. ―MH company… seingatku itu yang tertulis di kontrak.‖ ―Gomawo, Chagiya. Aku akan segera ke sana. Kamu merindukanku, eoh?” Han Ni tertawa kecil mendengar godaan Taemin. ―Emmm…‖ *** Seperti sebelumnya, Han Ni kembali mengantarkan sarapan ke kamar Minho. Dia berjalan perlahan, menahan sedikit rasa sakit di kaki kirinya yang terkilir. Terpincang-pincang dia memasuki kamar Minho. Kamar itu terlihat sepi dan mencekam seperti sebelumnya. Bahkan kali ini lebih mencekam. Hawa dingin menusuk tulang. Tidak ada rasa hangat dari pemanas ruangan.
229
„Apakah pelayan yang bertanggung jawab lupa menyalakan pemanas?‟ pikir Han Ni. Han Ni segera membuka gorden agar cahaya masuk dan mengusir hawa dingin ini. Dalam sekejap seluruh ruangan disinari cahaya matahari dari jendela super besar itu. Han Ni sedikit terkejut mendapati pohon Natal besar, mungkin 2 kali tingginya, terpajang di sudut antara pintu dan jendela. Pohon natal itu sangat indah, dan dia mengenali beberapa hiasan di sana. Hiasan itu, hiasan favoritnya. Han Ni selalu menghias pohon natal dengan cara dan bentuk yang sama setiap tahunnya. ―Itu pohon yang kamu hias, aku sedikit menambahkan hiasan yang belum terpasang. Apakah sesuai seleramu?‖ Minho terbangun dari tidurnya. Han Ni kembali memperhatikan pohon Natal itu. Pohon Nal itu memang pohon Natalnya. PohonNatal dengan gayanya. Jadi, apakah semua sudah terjawab? Dia benar-benar terjatuh saat menghias pohon Natal dan sedikit mengalami ganguan pada memorinya karena kepala yang terbentur? Han Ni tidak benar-benar yakin. ―Sarapan apa yang kau bawakan untukku?‖ ―Emmm… masakanku, Oppa.‖ Han Ni memberikan sarapan buatannya pada Minho. ―Aku tidak tahu mengapa, kepala pelayan Jo memintaku untuk membuatkan Oppa sarapan. Bukankah seharusnya pelayan dapur utama yang melakukannya?‖ Han Ni terlihat bingung. Minho tersenyum. ―Aku yang memerintahkannya. Aku bosan dengan masakan pelayan dapur utama. Apakah kamu keberatan memasak untukku?‖ ―Ania… dengan senang hati. Tetapi, aku tidak yakin Oppa akan menyukainya.‖ ―Aku suka,‖ Minho sudah mulai makan, ―apalagi kau tidak berteriak dan mencegahku untuk makan. Apakah sekarang makananku baik-baik saja?‖ godanya. ―Emmm…mianhamnida” *** December 24th, 2012 ―Apa yang harus kita lakukan? Waktunya semakin dekat, Kepala Pelayan Jo.‖ ―Kecilkan suaramu. Aku juga sedang berpikir.‖ ―Yeoja itu sama sekali tidak membantu.‖ ―Kita belum bisa menyimpulkan seperti itu.‖ ―Eomma… apa yang harus kita lakukan?‖ ―Pertama kita harus memastikan persediaan jantung, darah dan yang lainnya untuk Tuan Muda Choi adalah kualitas terbaik. Kalian harus mencari dengan benar.‖ ―Eomma, itu semua tidak cukup.‖ ―Apakah kita harus segera menyingkirkan yeoja itu dan segera mencari yang baru? Bukankah kita membuang-buang waktu mempertahankannya? Dia sama sekali tidak membantu. Dia bukan yang kita cari.‖ ―Tutup mulutmu! Kita tidak bisa melakukan itu. Dia dipilih sendiri olehnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia turun tangan untuk memilih dari sekian banyak yang kita ajukan. Dia sepertinya menyukainya.‖ ―Tetapi eomma…‖ ―Waktu kita semakin menipis. Semoga kali ini berhasil. Aku sudah bosan harus tunduk padanya. Aku tidak mau melihat salah satu di antara keturunanku diusik olehnya. Tidak akan ada lagi. aku tidak ingin kalian dan keturunanku yang lain dibantai olehnya.‖ ―Sebelum tahun ini berakhir, yeoja itu harus menjadi miliknya. Apakah kalian sudah mendapatkan yang kita butuhkan untuk membuat ramuan itu?‖
230
―Sudah, Chagiya! ―Kita hanya perlu menunggu dia pulih dan meminta kita untuk melakukannya. Tanpa darahnya ramuan itu tidak akan sempurna.‖ ―Akankah dia pulih? Belakangan ini dia terlihat kacau. Jika terus seperti ini. Dia akan marah dan menghancurkan kita seperti sebelumnya.‖ ―Yeoja ini istimewa. Sepertinya dia hampir menyadari semuanya.‖ ―Apakah dia tahu kalau….?‖ ―Sssssttt… hentikan. Dia di sini.‖ ―Aaaaakkkkk!‖
Han Ni terbangun dari tidurnya. Dia baru saja mimpi buruk. Mimpi buruk yang selama ini menghantuinya. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Terus mengalir melalui pipinya yang merona merah dan menetes kepangkuannya ketika mencapai dagu. Han Ni susah payah mengatur napasnya. Dadanya naik turun dengan drastis. Dia sangat shock. Napas Han Ni mulai teratur. Dia mencoba tenang, menenangkan diri. Sepertinya kali ini dia dapat mengingatnya dengan jelas mimpi buruknya. Dia bisa mengingat dengan jelas siapa, di mana dan bagaimana mimpi itu. Satu hal yang tidak bisa dia lupakan, kepala pelayan Jo dan ‗dia‘. Entah siapa yang mereka maksud dengan ‗dia‘. Han Ni mencoba mengingat, mungkin dia bisa menemukan jawabannya. Ssssssss. Sekelebat bayangan melintas beberapa meter di depan Han Ni. Han Ni tidak bisa melihat bayangan itu. Kamarnya hanya diterangi oleh lampu tidur yang tepat berada di sebelahnya, selebihnya gelap gulita. Han Ni turun dari tempat tidurnya. Dia berniat untuk menyalakan lampu, agar seluruh ruangan terlihat dengan jelas. Sakelar lampu utama terletak di dekat pintu masuk. Perlahan Han Ni menyeret kakinya yang masih terkilir menuju sakelar.
Klek.
Seseorang membuka pintu dan kelebat bayangan terlihat berlari keluar. Han Ni hampir berteriak karena kaget, tetapi dia bisa menahan diri. Rasa penasarannya membawa dia untuk mengikuti bayangan itu. Han Ni segera keluar dan mengikuti bayangan itu. Entah jam berapa sekarang, mungkin jam 1 pagi atau 2 pagi? Han Ni tidak peduli akan itu. Mata Han Ni terus berfokus untuk menemukan bayangan itu. Sebenarnya dia sangat takut, tetapi entah dorongan dari mana yang menyuruhnya untuk tetap mengikuti bayangan itu.
Kresek.
Terdengar suara dari arah anak tangga. Han Ni mempercepat langkahnya untuk menuju sumber suara. Sesosok bayangan seperti sengaja menunggunya tepat di anak tangga terakhir, lantai dasar rumah. Han Ni semakin yakin untuk mengikuti sosok bayangan itu. Bayangan itu seolah meminta Han Ni untuk terus mengikutinya, mungkin ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Han Ni. Bayangan itu menunggu Han Ni di pintu keluar. Han Ni terus mempercepat langkahnya agar tidak kehilangan jejak sang bayangan.
231
Wusssh.
Angin malam yang sangat dingin berhembus kencang dan menyambut Han Ni didepan pintu. Langit malam tidak terlalu gelap. Bulan setengah purnama memantulkan sinar matahari dengan baik. Han Ni merinding kedinginan. Ingin rasanya dia kembali ke kamarnya terlebih dahulu untuk mengambil mantel sebelum kembali mengikuti bayangan itu. Tetapi keinginannya itu tidaklah mungkin. Sang bayangan semakin terlihat tidak sabar dan memintanya untuk terus mengikutinya, bukannya diam terpaku di ambang pintu. Ragu-ragu Han Ni menapakan kakinya di hamparan salju yang tebal. Dinginnya salju menusuk syaraf-syaraf di telapak kaki Han Ni secara langsung. Dia nekat melangkahkan kakinya di salju yang dingin tanpa alas kaki. Sang bayangan terus saja memerintah Han Ni untuk terus berjalan tanpa henti. Han Ni mencoba menebak, ke mana bayangan itu akan membawanya? Mereka terus saja menerobos angin malam tanpa ampun. Beberapa kali Han Ni mengosok telapak tangannya untuk mendapatkan sedikit kehangatan. Bibirnya mulai beku dan kedua pipinya merah menahan dingin. ―Oh… kemana dia?‖ Han Ni kehilangan bayangan itu di halaman belakang rumah. ―Hahahaha.‖ Han Ni mendengar tawa di kejauhan. Tiga buah bayangan terlihat sedang berjalan menuju hutan pinus di belakang rumah Minho. Kali ini Han Ni dapat mengenali bayangan itu, setidaknya jenis kelamin mereka. Dua di antara mereka adalah wanita dengan kaki jenjang dan rambut yang panjang bergelombang. Di antara mereka terdapat seorang pria yang terlihat sangat bahagia diapit oleh wanita-wanita itu. ―Nuguseyo?‖ Han Ni memfokuskan matanya. ―Bukakah itu…?‖ Han Ni seperti mengenali salah satu di antara mereka. Buru-buru dan perlahan Han Ni mengikuti mereka memasuki hutan pinus. Pasti ada alasan sang bayangan misterius itu membawanya ke sini. Dia pasti ingin Han Ni mengikuti 3 orang itu. Han Ni kembali melangkahkan kakinya yang tanpa alas menuju hutan pinus. Menginjak-injak salju yang semakin tebal. *** ―Hahaha,‖ wanita yang berada di sebelah kanan Minho tertawa. Minho hanya tersenyum melihat dua wanita yang sedang dia rangkul dalam kondisi setengah sadar. Kedua wanita itu adalah pengunjung pantai yang beberapa saat lalu dia kunjungi. Dia memang sengaja ke pantai itu untuk mendapatkan ‗mainan‘. Tidak susah untuk membujuk kedua wanita untuk mengikutinya. Siapa yang akan menolak pria tampan, tinggi, kaya, dan masih sangat muda seperti Minho. Kharismanya akan membuat para wanita lupa diri dan menyerahkan begitu saja dirinya pada Minho tanpa banyak bertanya. Minho membawa kedua gadis itu memasuki hutan pinus. Hutan pinus yang sangat gelap dan dingin. Cahaya dari bulan sama sekali tidak bisa menerobos masuk karena pohon-pohon pinus yang terlalu rapat. Pohonpohon pinus tersebut seolah menyembunyikan sesuatu di dalam hutan. Mereka tidak ingin siapapun tahu. Biarlah tetap gelap dan penuh dengan kemisteriusan. ―Tunggu dulu… kita akan masuk ke sana, Oppa?‖ kata wanita bergaun hitam yang sangat sexy di sebelah kiri Minho. Minho hanya mengangguk kecil. ―Ada masalah? Apa kalian takut?‖ ―Ania….‖ Wanita di sebelah kanan Minho menggeleng. Rambut wanita itu berwarna coklat, panjang hingga punggungnya
dan
sedikit
bergelombang.
―Bukankah
kita
akan
ke
rumah, Oppa?‖
Nada
suaranya
menggambarkan kalau dia sedang mabuk.
232
―Di rumahku? Kita tidak akan bisa bermain dengan puas di sana.‖ Minho menekankan pada kata ‗bermain‘. ―Kita akan lebih leluasa di dalam hutan. Tenang saja, aku punya gubuk sederhana di sana.‖ Minho tersenyum, senyumnya terlihat menawan di bawah sinar bulan. ―Baiklah… aku akan menurutimu, karena kamu sangat tampan,‖ goda wanita sexy dan tertawa renyah. ―Emmmm… aku suka namja sepertimu,‖ wanita rambut panjang menambahkan. ―Gomawo.‖ Minho ikut tertawa kecil. Mereka melanjutkan langkah mereka yang sempat tertahan beberapa meter dari jalan masuk menuju hutan pinus itu. Minho terlihat meminta kedua wanita itu untuk berjalan dengan hati-hati. Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari jauh. Orang tersebut berusaha untuk tetap tidak terlihat. Dia tidak ingin Minho dan kedua wanita itu menyadari keberadaannya. Beberapa menit kemudian, Minho dan kedua wanita itu telah memasuki hutan pinus. Mereka terus masuk, semakin dalam, menuju daerah yang benarbenar gelap dan tidak tersinari cahaya bulan. *** Han Ni mengatur jarak sedemikian jauh agar Minho tidak menyadari keberadaannya dan juga tidak kehilangan jejak mereka. Han Ni sangat penasaran sekarang. Ini kali pertama dia melihat Minho membawa orang lain ke lingkungan rumahnya. Selama Han Ni bekerja di sini, tidak ada seorang pun tamu untuk Minho. Dan sekarang dia membawa dua wanita tidak dikenal. Tetapi tidak ke rumah, melainkan memasuki hutan pinus yang jelasjelas cukup menyeramkan itu. Kaki Han Ni yang tanpa alas kaki mulai terbiasa oleh dinginnya tanah yang dia pijak. Dia terus masuk ke dalam hutan pinus, mengikuti Minho dengan hati-hati. Suasana di dalam hutan pinus sangat mencekam. Gelap, dingin, pengap, dan sunyi—sangat sunyi. Han Ni bisa mendengar sendiri hembusan napas dan detak jantungnya.
Kretek.
Han Ni menginjak ranting kayu dan sedikit membuat suara. Dia berdiri terpaku, takut orang yang diikutinya akan mendengar patahan kayu itu. Dia melanjutkan langkahnya lagi perlahan dan ragu. Dia kehilangan jejak Minho dan 2 wanita itu. Sepertinya dia tersesat sekarang. ―Auch….‖ Lengan Han Ni tergores sesuatu. Baju yang dia kenakan sedikit sobek dan terdapat luka goresan pada lengannya. ―Oh… appeun!‖ Han Ni mengelus lengannya yang terluka oleh ranting kecil yang entah berasal dari mana. Han Ni kembali melangkahkan kakinya. Dia benar-benar kehilangan jejak sekarang. Sesekali dia menggosok kedua telapak tangannya untuk mendapat kehangantan. Dia mulai mengigil, udara semakin dingin. Tidak banyak salju di permukaan tanah, tetapi dinginnya udara menusuknya tanpa ampun. Di sekitar Han Ni gelap gulita, hanya ada 1 atau 2 berkas cahaya bulan yang berhasil menerobos lebatnya hutan pinus itu. ―Aaaakkk!‖ teriak seseorang.
Bukk.
Kemudian terdengar sesuatu menghantam tanah atau pohon.
233
Tubuh Han Ni bergidik, jantungnya berpacu dengan kencang. Dia mulai ketakutan sekarang, sangat ketakutan. Apakah dia hanya berhalusinasi mendengar teriakan seorang wanita? Han Ni mengatur napasnya,menajamkan pendengarannya. Dia berharap dapat menemukan sesuatu. ―Eeeemmm.‖ Terdegar geraman kecil seseorang, suaranya seolah tidak dapat keluar. Han Ni menerobos semak-semak. Dia tidak peduli dengan kulitnya yang mungkin akan tergores. Dia tidak peduli dengan kakinya yang mulai mati rasa, tidak dapat merasakan pijakannya di tanah—keram. Dia sepertinya menemukan arah suara itu berasal. Segala perkiraan tentang apa yang sebenarnya terjadi melintas di benaknya. Segala kemungkinan terburuk yang akan dia temui jika terus melangkahkan kakinya seolah melarangnya untuk meneruskan pencariannya. Dia takut, sangat takut, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar lagi. ―Aakk…lep…pas…lepas…kan,‖ rintih seseorang dari balik batang super besar sebuah pohon pinus yang berjarak sekitar 3 meter dari tempat Han Ni mematung. ―Tsk…,‖ ―Lep…pas…kan,‖ ulang suara itu lagi, suara wanita. ―Tsk….‖ Hanya itu jawaban yang dia terima. Selain 2 suara itu, terdengar rintihan kesakitan dari orang lain. Han Ni perlahan mendekat, mendekat dengan ragu ke arah sumber suara. Dia menahan napas agar tidak ada yang menyadari keberadaannya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia gemetar, entah karena kedinginan atau karena rasa takutnya.
Bukk.
Sekali lagi terdengar sesuatu yang di lembar dan menubruk sesuatu dengan keras. Suara itu terdengar begitu keras, sangat dekat dari tempat dia berdiri sekarang. ―Hiks…,‖ Seseorang menangis pilu, ―lepaskan aku! Jebal, lepaskan aku.‖ ―Bukankah kamu ingin bermain denganku? Beginilah cara aku bermain.‖ Han Ni membekap mulutnya sendiri yang hampir berteriak. Dia tidak bisa percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Tepat di bawah kakinya—di balik batang pohon pinus besar, seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang tergeletak tak berdaya. Entah karena dia pingsan atau tidak bernyawa lagi. Darah segar mengalir dari pelipis dan hidung
wanita itu. Penampilannya sudah sangat berantakan. Beberapa memar
menghiasi wajah dan permukaan kulit lainnya. Han Ni masih bersembunyi di belakang batang pohon. Perlahan dia menjulurkan tanganya untuk menyentuh wanita itu, memastikan apakah dia masih hidup atau tidak.
Bukk.
―Aaaakkk!‖ Terdengar teriakan lagi. Han Ni reflek menarik tanganya, membatalkan niatnya. Air mata sudah mengalir deras di pipinya, membentuk sungai kecil. Kedua tangannya sudah membekap mulutnya, menahan isakan tangis yang mungkin akan keluar. Angin dingin kembali bertiup, membisikkan kata-kata yang akan membuat nyali seseorang menciut. Dedaunan bergemerisik, bergesekan satu sama lain. Han Ni kembali memberanikan diri untuk mengintip dari balik batang pinus. Dia ingin memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. ―Eeekkkk.‖ ―Wae? Katakan saja apa maumu.‖
234
―Oppa?‖ kata Han Ni dalam hati. Cahaya bulan sedikit membantu Han Ni untuk melihat apa yang terjadi di depannya. Seorang namja yang ternyata adalah Minho—terlihat bersama wanita bergaun hitam. Mereka tidak mengobrol atau aktivitas normal yang mungkin dilakukan sepasang manusia. Tangan kekar Minho tidak merangkul pundak wanita itu atau membelai rambutnya melainkan bertengger di leher wanita itu. Umumnya hal itu disebut, mencekik. Minho mencekik wanita itu tanpa rasa iba. ―Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih padamu.‖ Minho tersenyum sinis, begitu kejam. ―Beberapa hari ini aku bingung harus melampiaskan kemarahanku kepada siapa. Dan kalian dengan senang hati mau menjadi wadah emosiku.‖ ―Le… lep… pas… kan… aku!‖ Wanita dalam cengkraman Minho meronta-ronta tanpa tenaga. Minho hanya terkekeh. Dia terlihat senang melihat wanita yang dicekiknya mulai melemas. ―Aku pasti akan melepaskanmu.‖ Tawa Minho semakin kencang, tawa yang menyeramkan. Suara tawa itu menggelegar di seluruh penjuru hutan. Beberapa serangga kecil sontak ketakutan dan menyembunyikan diri mereka. Tidak perlu menunggu lama, setelah puas tertawa Minho mempererat cengkramannya. Wajah wanita yang dia cekik berubah merah, matanya seolah akan keluar. Dia terus meronta, mencakar lengan Minho yang mencengkram lehernya. Minho tidak bergeming dengan cakaran itu. Dia malah terlihat semakin senang dan memberikan tenaga lebih pada cengkramannya. Han Ni yang melihat kejadian itu, terduduk dan menangis. Dia sama sekali tidak memiliki tenaga untuk melarikan diri. Tenaganya hanya cukup untuk membekap mulutnya sendiri, menahan isakan tangisnya. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memaksa dirinya berlari menyelamatkan diri dan membiarkan wanita itu mati? Atau haruskah dia menjadi pahlawan yang membentak Minho untuk menghentikan apa yang dia lakukan padahal semua itu percuma?
Bukkk.
Wanita bergaun hitam itu sudah dilempar dengan kejam oleh Minho dan menabrak batang pohon pinus. Tidak terdengar teriakan ataupun rintihan kecil kesakitan. Sunyi sepi, tanpa suara ataupun perlawanan. Mungkin wanita itu sudah tidak bernyawa lagi sekarang. Sama seperti nasib temannya, wanita dengan rambut panjang bergelombang. Minho masih berdiri tegap dan bangga, menatap dua ‗mainan‘ yang sepertinya sudah tidak bernyawa lagi. Kedua wanita itu bukanlah ‗mainan‘ pertamanya. Sebelumnya dia pernah melakukan ini, mencari ‗mainan‘ dan memperlakukannya dengan cara yang sama persis bahkan bisa lebih kejam, tergantung bagaimana perasaannya. Dia melakukan ini bukan karena darah ingin membunuhnya bergejolak, dia hanya marah-marah besar. Dia marah pada keadaan yang menimpanya, suatu ketidakadilan yang menimpanya. ―Uhuk… uhuk.‖ Han Ni tanpa sengaja terbatuk setelah membekap mulutnya begitu lama. Secepat kilat Minho menoleh ke batang pohon pinus terbesar yang ada disekitarnya—tempat Han Ni bersembunyi. Han Ni yang menyadari kesalahan fatal yang dia lakukan, segera berdiri. Dia mengumpulkan segenap kekuatannya untuk segera pergi dari tempat itu. Minho semakin mendekat, senyum yang ada di wajahnya telah berubah menjadi seringai marah. ―Han Ni-ya?‖ panggilnya.
235
Jantung Han Ni berdetak dengan kencang. Darahnya terasa membeku, tidak mengalir lagi di dalam tubuhnya. Seluruh kulit Han Ni berubah pucat. Dia melangkah kakinya perlahan, mengambil ancang-ancang untuk berlari. Langkah kaki Minho terdengar sangat dekat, semakin dekat. Han Ni menelan ludah ragu.
Kletek.
Han Ni menginjak ranting kering. Dia reflek menahan napasnya dan mulai menangis dalam diam. ―Han Ni-ya… kajima. Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan menjelaskan semuanya.‖ Nada suara Minho terdengar membujuk. Tanpa pikir panjang Han Ni berlari menjauh, memecah keheningan malam hutan pinus itu. Dia terus berlari tak tentu arah, yang ada di pikirannya adalah segera menjauh dari tempatnya tadi. Dia terus berlari sambil menangis. Tidak peduli semak-semak berduri merobek halus kulitnya, meninggalkan luka kecil yang mengeluarkan darah. Dia tidak peduli pada telapak kakinya yang kesakitan karena menginjak duri, batu tajam, dan benda lainnya. Dia terus berlari di tengah angin dingin yang membekukan darahnya. ―Aaaakkk!‖ Han Ni jatuh tersungkur. Dia tersandung akar pohon. Dia melihat sekeliling, gelap mencekam. Dia tidak tahu di mana dia sekarang. Apakah dia telah dekat dengan pinggir hutan atau semakin tersesat di dalamnya? Han Ni berusaha berdiri, kakinya terasa nyeri. Celana panjang piyamanya telah sobek di mana-mana, begitu juga bajunya. Han Ni kembali berusaha berlari, tetapi kakinya yang awalnya sudah terkilir dan belum sembuh total, kini semakin parah. Dia terus merintih kesakitan, menyeret kakinya perlahan. ―Han Ni-ya….kajima.‖Minho memeluk Han Ni dari belakang. Han Ni—yang terkejut—terdiam, mematung. Sejak kapan Minho ada di belakangnya? Dia sama sekali tidak merasakan kedatangan seseorang. Dia juga sudah memastikan kalau Minho tidak mengejarnya tadi. Minho mempererat pelukannya di pinggang mungil Han Ni. Dengan manja Minho menopangkan dagunya pada pundak Han Ni. Han Ni hanya bergidik merasakan hembusan napas Minho di sekitar leher dan telinga sebelah kirinya. ―Jangan lari lagi! Kamu hanya menyakiti dirimu sendiri. Lihatlah luka-luka ini. Kamu ingin membuatku khawatir?‖ Minho mengecup pipi Han Ni lembut. ―Kenapa kamu keluar di tengah malam begini?‖ Tangan kiri Minho membelai rambut Han Ni. ―Kajja! Kita pulang. Aku akan mengantarmu ke kamar.‖ Han Ni kembali menangis. Dia ingin meronta dan melepaskan dirinya dari pelukan Minho, tetapi dia tidak bisa. Tenaga Han Ni seketika hilang, seolah terserap oleh Minho. ―Uljima… apakah aku membuatmu takut?‖ Minho membalik badan Han Ni agar berhadapan dengannya, ―apakah ada yang sakit?‖ Han Ni hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Minho. Dia teramat takut untuk menatap Minho. Pundak Han Ni naik turun, menandakan dia sedang menangis terisak. Pada waktu yang hampir bersamaan, kenangannya dengan keluarga, teman, dan tentunya Taemin—berputar ulang dalam benaknya. Apakah ini pertanda kalau hidupnya akan berakhir di sini, sekarang? ―Han Ni-ya.‖ Minho memegang dagu Han Ni dan memintanya untuk menatap wajahnya. ―Apakah aku membuatmu takut? Apakah kau membenciku?‖ Sedikit ragu Han Ni menatap mata Minho. Mata itu terlihat begitu tulus, tidak ada sinar kekejaman dan keinginan untuk membunuh di sana. Han Ni masih menatap mata itu lekat-lekat, mencoba menemukan sedikit kebohongan, tetapi nihil. Penglihatan Han Ni semakin memudar, mungkin karena air mata yang sudah
236
memenuhi matanya. Perlahan Han Ni tidak bisa melihat apapun, semuanya gelap. Dan akhirnya Han Ni tidak merasakan apapun. ―Mianhae…‖ Minho membenamkan wajah Han Ni dalam pelukannya. Wajah yang terlihat sangat pucat dan tanpa ekspresi. Mata Han Ni masih terbuka, tetapi tatapannya kosong seolah tidak ada ruh di dalam jasad itu. ―Walaupun kamu membenciku atau mungkin takut,‖ Minho mempererat pelukannya pada Han Ni yang sudah tidak sadarkan diri itu, ― aku akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu. Aku akan membuatmu menjadi milikku apapun caranya.‖ *** Matahari sudah cukup tinggi, hampir tepat di puncak tertinggi langit. Cerahnya sinar matahari tidak mampu melumerkan salju di atas permukaan tanah. Han Ni terlihat masih tertidur, tidur dengan nyenyak di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya. Dia tidak bergerak sedikitpun, matanya terpejam sempurna dan napasnya terdengar teratur—sangat nyenyak. Mungkin tidak akan ada yang bisa membangunkannya, dia tertidur pulas bak putri tidur. ―Hahhh….‖ Mata Han Ni terbuka, dia sudah terbangun. ―Apakah tidurmu nyenyak?‖ Suara berat itu mengagetkan Han Ni. ―Op….pa?‖ kata Han Ni ragu. ―Apa yang Oppa lakukan di sini?‖ Minho tertawa kecil. ―Menunggumu terbangun,‖ Minho menghampiri Han Ni. ―Emmm….‖ Han Ni segera memperbaiki posisinya. Dia mulai takut sekarang. ―Han Ni-ya… ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat ketakutan?‖ tanya Minho polos, seolah tidak tahu jawabannya. ―Oppa, jebal!” ―Ada apa denganmu?‖ Minho sudah duduk di tepi tempat tidur Han Ni. Han Ni beringsut menjauh dari Minho ke sisi lain dari tempat tidur. ―Mianhae, Oppa.” ―Apa yang kamu katakan? Kamu tidak salah apa-apa.‖ Minho terus memperkecil jarak di antara mereka. ―Apakah kamu demam?‖ Minho menyentuh pipi Han Ni dengan tangan dinginnya. ―Oppa.” Setetes air mata mengalir di pipi Han Ni. ―Uljima… aku tidak akan melakukan hal buruk padamu.‖ ―Tetapi kenapa Oppa melakukan itu semua pada mereka? Siapa Oppa sebenarnya?‖ Han Ni memberanikan diri bertanya. ―Aku hanya marah,‖ Minho tersenyum santai, ―aku adalah Choi Minho. Bukankah kau sudah tahu itu?‖ Han Ni ingin tidak percaya. ―Apa yang Oppa inginkan dariku?‖ ―Apa kamu ingin sesuatu untuk makan malam Natal kita?‖ Minho mengalihkan pembicaraan. ―Aku akan meminta kepala pelayan Jo menyiapkam makanan, makanan yang sewajarnya untuk kita.‖ ―Oppa!‖ panggil Han Ni lirih. Minho hanya membalas dengan senyum hangatnya. Kemudian meninggalkan Han Ni sendiri. Tangis Han Ni meledak setelah Minho benar-benar tidak terlihat lagi. Dia memeluk lututnya erat dan membenamkan wajahnya. Menyembunyikan suara tangisnya. Kenapa ini semua terjadi padanya? Kenapa dia harus menerima kontrak menggiurkan dan aneh ini? *** ―Apakah kamu habis menangis, Han Ni-ya?‖
237
Han Ni menggelengkan kepala perlahan. Dia dan Minho sudah siap di meja makan, kali pertama mereka duduk di meja makan dan hendak makan bersama. Han Ni terus tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab. Dia tidak bertugas melayani Minho malam ini. Dia adalah pasangan Minho, yang akan menemani makan malam. ―Apakah tamu kita belum datang?‖ tanya Minho pada kepala pelayan Jo. ―Sepertinya sebentar lagi, Tuan Muda Choi.‖ ―Sebaiknya dia cepat!‖ kata Minho santai, namun cukup membuat bulu kuduk merinding. Han Ni berpikir keras, siapakah tamu yang akan datang? Minho sama sekali tidak pernah membawa orang luar ke rumah ini. Dia seperti menutup diri, tidak ingin identitasnya terbongkar. Han Ni sudah tahu semua sekarang. Kepala pelayan Jo adalah penyihir yang dikatakan dalam buku horor yang pernah dibaca Han Ni dan juga mitos konyol yang diceritakan Minho. Dan Minho? Sudah jelas siapa dia, manusia abadi yang dikutuk penyihir. Awalnya Han Ni tidak ingin percaya, tetapi semua kejadian yang dia temui memberitahukan dengan jelas. Seorang pelayan wanita berlari kecil dari arah ruang tamu. ―Tuan Muda Choi, tamu Anda sudah datang.‖ ―Jinja? Baiklah… aku akan ke sana.‖ Minho tertawa kecil. ―Kajja, Han Ni-ya! Kau pasti sangat menyukai tamu kita. Kamu pasti sangat mengharapkan kedatangannya.‖ ―Nde?‖ Mata Han Ni membulat. Apa maksud perkataan Minho? Minho menghampiri Han Ni yang masih duduk dan terpaku. Dia masih memikirkan, siapakah tamu yang sangat dia inginkan? Lalu apa maksud Minho mengundangnya? Apapun alasannya, semoga semua baik-baik saja. Minho tidak akan melakukan hal buruk pada tamu ini. Minho meraih tangan Han Ni dan memintanya secara halus untuk mengikutnya, menyambut sang tamu. Han Ni tidak bisa menolak, lebih tepatnya tidak berani menolak. Setidaknya hal ini yang bisa dia lakukan agar dia tetap hidup, melakukan apapun permintaan Minho tanpa perlawanan. ―Selamat datang, Lee Taemin-ssi.‖ Minho menyapa tamunya dengan sopan. Han Ni membelalakkan mata. ―Taemin-ah?‖ ―Han Ni-ya‖ Taemin tersenyum. ―Apa…? Kenapa…?‖ Han Ni menatap Minho. ―Silahkan masuk!‖ Minho tidak memperdulikan tatapan penuh tanya dari Han Ni dan menyambut Taemin, tamu istimewanya. *** Minho terlihat sangat akrab dengan Taemin. Mereka terlihat asyik mengobrol, bercerita ini dan itu. Han Ni hanya diam, tatapannya tidak lepas dari Minho. Dia terus mengawasi Minho, mengawasi tiap gerak geriknya. Han Ni tahu, senyum dan tawa yang dilayangkan Minho untuknya dan Taemin adalah kebohongan. Bukankah memang Minho selama ini membohonginya? ―Mianhae… Minho-ssi,‖ panggil Han Ni. ―Boleh saya berbicara sebentar dengan Taemin-ssi?‖ pintanya ragu. Minho tersenyum. ―Oh, silahkan. Kebetulan aku ada perlu sebentar dan harus meninggalkan kalian berdua. Silahkan…‖ Minho mempersilahkan dengan sopan. ―Aku tinggal, eoh?‖ ―Ne, Minho-ssi! Gomawo….” Kini hanya ada Taemin dan Han Ni di ruang santai. Para pelayan yang lain telah pergi mengikuti Minho menuju ruang kerjanya atau entah kemana. Han Ni segera menyeret Taemin untuk mengikutinya. Setidaknya ke kamarnya, tempat yang mungkin sedikit aman. Taemin hanya pasrah menuruti keinginan Han Ni. Dia tahu, gadisnya itu pasti sangat merindukannya dan akan sedikit manja.
238
Mereka sudah di kamar Han Ni. Gadis itu segera menutup pintu, bahkan menguncinya. Setelah itu, dia kembali menyeret Taemin dan memaksanya duduk di tepi tempat tidur. Han Ni terus menatap Taemin tanpa berkedip. Pemuda di depannya ini sama sekali tidak tahu bahaya yang menantinya. Dia tersenyum pada Han Ni tanpa tahu bagaimana gejolak rasa takut di dada Han Ni. Dia tersenyum polos, dia tidak tahu apa-apa. ―Yakk… babo!” bisik Han Ni pada Taemin dan duduk di sampingnya. ―Nde?‖ ―Neomu babo… kenapa kamu ke sini, hah?‖ Han Ni memandang Taemin kesal. Taemin yang tidak mengerti hanya melongo. ―Apa salahku, Go Han Ni? Aku disini sekarang. Apakah kau tidak merindukanku?‖ Taemin merentangkan tanganya. ―Apakah kau tidak merindukan pelukanku?‖ tanyanya nakal. ―Babo… babonikae!‖ Han Ni yang kesal menghujani dada Taemin dengan pukulan tanganya. ―Pulang sana! Cepat pergi!‖ Han Ni terisak. ―Cepat pergi jauh dari rumah ini.‖ ―Ada apa denganmu?‖ Taemin bingung. Dia sudah menahan tangan Han Ni yang terus memukulinya. ―Chagiya… ada apa? Kau kenapa?‖ ―Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa mengenal dia?‖ bentak Han Ni frustasi dan mulai menangis. Taemin segera memeluk Han Ni untuk menenangkannya. ―Uljima…. Aku bertemu dengan Minho-ssi di resort. Dia mengenaliku, katanya pernah melihat fotoku di ponselmu. Jadi, di sinilah aku sekarang. Bukankah dia majikan yang baik? Dia mengizinkan aku ke sini dan menyiapkan makan malam yang enak.‖ ―Babo….‖ Han Ni memeluk Taemin erat. ―Mwoya?‖ Han Ni melepaskan diri dari pelukan Taemin. ―Kau harus pulang sekarang, palli. Sebelum terlalu malam. Kau tidak boleh di sini, jebal.” “Ada apa denganmu? Berhentilah menangis, apakah terjadi sesuatu yang buruk?‖ ―Aku tidak tahu harus memulai dari mana menjelaskannya padamu. Tetapi aku mohon, pergilah dari sini. Demi aku Taemin-ah, jebal.‖ ―Kau ini aneh sekali. Apa jangan-jangan, kamu dan Minho-ssi…?‖ ―Ania, Taemin-ah. Ini semua demi kebaikanmu. Cepatlah pulang, buatlah alasan apa saja untuk pamit pulang. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika kau tidak segera keluar dari rumah ini.‖ ―Han Ni-ah, sadarlah! Apakah Minho-ssi melakukan hal buruk padamu? Katakan padaku, aku akan menyelesaikannya malam ini jika ternyata dia berbuat buruk padamu. Aku sudah curiga kalau ada yang aneh dengan pekerjaan ini.‖ ―Bukan itu semua inti permasalahanya. Aku hanya mohon padamu, pulanglah sekarang juga!‖ ―Han Ni-ah, jangan menutupi apapun dariku. Kamu membuat aku bingung.‖ Taemin mulai kesal. Han Ni bingung setengah mati untuk menjelaskan semuanya. Dia tidak bisa menjelaskannya. Bukan karena dia tidak mau, tetapi seperti ada yang menghalanginya untuk menjelaskan semuanya. Mulutnya seolah dibatasi oleh sesuatu. Mulutnya tidak bisa mengelurkan kata-kata yang akan menjelaskan semua. Dia ingin sekali menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Bagaikan ada sebuah sihir, mulut Han Ni terkunci rapat. ―Kamu sangat aneh Han Ni-ah. Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Kenapa kamu menyuruhku untuk pergi dari sini?‖ Han Ni terlihat gelisah. ―Dia…,‖ lidahnya kelu, ―rumah ini…,‖ kata-kata Han Ni tertahan. ―Kau harus pergi dari sini. Jebal, dengarkan aku Taemin-ah.‖ Taemin terkekeh. ―Kau semakin aneh, Chagi.‖
239
―Aneh… rumah ini dan dia yang aneh, Lee Taemin.‖
Tok Tok Tok.
Seseorang mengetuk pintu. Taemin masih terkekeh. Dia mengacak-acak rambut Han Ni sebelum pergi membuka pintu. Han Ni hanya bisa cemberut, kesal, geram, dongkol, semuanya bercampur aduk. Kenapa Taemin tidak mau mengerti? Kenapa juga dengan mulutnya? Kenapa dia tidak bisa menceritakan semuanya? Taemin sudah membuka pintu kamar Han Ni dan mendapati Minho berdiri di depan pintu dengan senyum ramah yang sangat menawan. ―Mianhae, Minho-ssi. Kau tahu? Han Ni terkadang sangat manja.‖ Taemin tertawa kecil. ―Oh… gwenchana. Aku mengerti, dia pasti sangat merindukanmu.‖ Minho ikut tertawa. Han Ni segera berdiri di samping Taemin dan menggandengan lengan Taemin. Kini dia menatap Minho bukan dengan tatapan takut, tetapi tatapan menantang. Dia tahu senyum itu palsu. Dia sadar Taemin tidak akan dibiarkan baik-baik saja olehnya. Dia pasti memiliki rencana buruk untuknya dan Taemin. Mengapa Taemin harus ikut campur? Tidak cukupkah hanya dirinya? ―Kajja… kita lanjutkan pesta kecil kita! Aku punya kejutan kecil untuk kalian.‖ „Kejutan?‟ pikir Han Ni. *** Bukk.
―Aaaaak!‖ teriakan lirih kesakitan seseorang terdengar. Han Ni terduduk di lantai rumah yang dingin. Dia menangis sekencang yang dia bisa. Air mata mengalir dengan deras di pipinya. Dia sudah tidak bisa bernapas lagi, dadanya terasa sakit. Dia terus menangis, mengutuki
kebodohannya.
Dia
memohon,
memelas,
tetapi
tidak
ada
yang
peduli,
tak
ada
yang
menggubrisnya. ―Aku mohon hentikan!‖ teriaknya sekuat tenaga. Minho hanya tertawa, tawa yang kejam dan dingin. Dia senang bermain-main. Mempermainkan gadis di depannya ini. Seharusnya gadis di depannya ini tertawa, bukankah mereka sedang bermain? Tetapi anehnya dia menangis, terus menangis hingga air matanya mungkin akan kering. Perlahan dia menghampiri Han Ni yang terduduk lemas di sudut ruang tamu. Han Ni terlihat berantakan dengan wajah yang basah oleh keringat dingin dan airmata. ―Uljima… aku benci melihatmu menangis. Suara tangismu menyayat hatiku.‖ „Cih, hati?‟ Hal itu yang ingin Han Ni katakan di sela tangisnya. Sayangnya dia tidak memiliki keberanian sebesar itu. Minho sudah ada di hadapan Han Ni. Tangan kanan Minho membelai rambut Han Ni lembut. Menyingkirkan perlahan beberapa helai rambut yang mungkin menghalangi wajah manis Han Ni. Gadis itu terus tertunduk, menyembunyikan wajahnya, dan terus terisak. Tangan kekar dengan kemeja hitam itu berpindah ke pipi Han Ni, membelainya dengan lembut. Jari-jari panjangnya mengusap perlahan air mata Han Ni. ―Apakah kamu sangat mencintainya?‖ katanya setengah berbisik. Han Ni semakin tersedu-sedu. Dia memberanikan diri menatap Minho. ―Apa maumu? Jangan sakiti dia!‖ bentaknya
240
Minho mulai mengerakkan tangan kirinya yang sedari tadi bersembunyi di balik punggungnya. Dia menggenggam sesuatu di tangan kirinya. Sesuatu yang akan membuat Han Ni berteriak. ―Uuuupss… rupanya kamu sangat mencintainya, Han Ni-ya. Dan aku pastikan dia juga sangat mencintaimu. Lihatlah!‖ Benda yang tergenggam di tangan kiri Minho tepat berada di depan mata Han Ni. Sebuah benda berwarna merah—tidak benar—benar merah, tidak lebih besar dari kepalan tangan manusia. Minho mengenggam benda itu dengan bangga. Dia tidak jijik dengan cairan kental yang belepotan di tangannya dan mengotori lengan kemejanya. Benda itu bergerak seperti memompa—seperti kerja pompa—mengembang dan mengempis. Ada sekitar 4 utas saluran menyerupai tali yang sangat panjang menghubungkan benda itu dengan sesuatu. Tidak menunggu lama, Han Ni lupa cara bernapas. Organ yang menempati dada kirinya serasa ingin meloncat keluar dari tubuhnya. Han Ni menelusuri 4 utas saluran itu. Dia menggelengkan kepalanya keras. Merontokkan segala anggapan yang langsung terbersit di otaknya. Han Ni membekap mulutnya, pangkal dari saluran itu merujuk pada pemilik benda yang sedang digenggam Minho. ―Lihatlah baik-baik! Seperti dia juga sangat mencintaimu. Jantungnya berdetak dengan kencang di dekatmu. Jadi, kamu tidak perlu meragukan cintanya lagi.‖ Minho tersenyum dingin sedangkan matanya menatap Han Ni dengan eyes smile-nya. ―Aaaaaaaaa!‖ teriaknya sambil menangis dan mengutuk Minho dalam hati. ―Taemin-ah, andwae! Lee Taemin!‖ *** December 25th, 2012 Taemin menggoyangkan perlahan tubuh Han Ni. Sedari tadi Han Ni terus menangis dalam tidurnya. Dia terus memanggil, berteriak menyebut namanya. ―Han Ni-ah, irona. Ironaseyo!‖ Setengah terkejut Han Ni membuka matanya. ―Taemin?‖ Dia segera memeluk Taemin dan menangis. ―Hiks… Taemin-ah.‖ ―Gwenchanayo? Apakah kau mimpi buruk, Chagi?‖ Tangannya mengelus punggung Han Ni dengan lembut, berharap Han Ni dapat tenang kembali. Han Ni menggeleng kecil, masih dalam pelukan Taemin. Namja itu hanya tersenyum. Han Ni tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia gadis yang kuat. Bahkan Taemin tidak pernah melihatnya menangis. ―Hiks….‖ Han Ni memeluk Taemin semakin erat. ―Yakk… Go Han Ni. Aku tidak bisa bernapas.‖ Han Ni segera melepas pelukannya. ―Kita harus pergi dari sini sekarang!‖ kata Han Ni serius. ―Ini baru jam 2 pagi. Tidak bisakah menunggu matahari terbit?‖ Taemin tampak bingung. ―Oh… aku lupa. Marry Christmas.‖ Han Ni tidak mempedulikan ucapan selamat Natal dari Taemin. Dia turun dari tempat tidur dan segera membuka lemari, mengambil baju miliknya. Kemudian dia mengambil koper biru gelapnya dan memasukkan bajunya tidak teratur ke dalam sana. Taemin hanya menatap bingung. Kenapa Han Ni terlihat panik dan terburu-buru? ―Han Ni-ya, ada apa? Apa kau masih mabuk?‖ ―Mabuk?‖ Han Ni mengeryitkan dahinya sambil terus membereskan barang-barangnya. ―Ne. Semalam kau meneguk segelas penuh anggur yang diberikan Minho-ssi padaku dan jatuh pingsan,‖ Taemin terkekeh, ―dan sekarang kau mau pergi dari sini? Bukankah kontrak kerjamu belum habis?‖ ―Aku tidak
peduli dengan kontrak kerja itu. Kita
harus
keluar
dari rumah ini sebelum mereka
bangun. Arasseo?‖ Nada suara Han Ni memerintah.
241
Taemin menghampiri Han Ni yang terlihat tidak bisa menutup kopernya. ―Tenanglah, Han Ni-ya. ceritakan semuanya perlahan. Kau membuatku bingung.‖ ―Kita harus pergi dari rumah ini,‖ Han Ni menangis, ―dia, rumah ini, dan semua yang ada dirumah ini adalah kebohongan. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Kita harus pergi!‖ Han Ni memohon. ―Arrayo… uljima. Baiklah kita akan pergi dari sini sesuai keinginanmu. Sepertinya kau mulai bosan bekerja di sini dan ingin sedikit bertindak nakal? Baiklah, yeoja-ku ingin bertindak curang rupanya. Kajja, kita akan mengendap-endap dan kabur.‖ Taemin memainkan alisnya, menggoda Han Ni. *** Han Ni sudah selesai membereskan barang-barangnya. Sekarang dia dan Taemin sedang mengendap-endap untuk keluar rumah secara diam-diam. Kebetulan Taemin meminjam mobil hotel tempat dia menginap. Waktu baru menunjukkan pukul 02:46 pagi. Suasana rumah sangat sepi, seperti seluruh penghuni rumah masih tertidur pulas. Han Ni tidak yakin akan itu, tetapi setidaknya meyakini mereka masih tertidur cukup untuk membuat keberaniannya muncul. Tangan kedua sepasang kekasih itu tergenggam erat. Mereka mirip sepasang pencuri yang berusaha kabur dengan barang jarahannya. Taemin menawarkan diri untuk membawa koper Han Ni yang tidak berat itu. Kedua tangan Han Ni bertengger di lengan Taemin, dia tidak ingin terpisah dari pemuda ini. ―Han Ni-ya… pintunya tidak terkunci.‖ bisik Taemin. Han Ni menghembuskan napas lega, ―Palli…!‖ ―Arraseo.‖ Kini mereka berdua sudah bersiap di dalam mobil putih yang dibawa Taemin—mobil hotel. Taemin tersenyum menatap gadis di sampingnya ini—yang seperti terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Dia tidak menyangka Han Ni akan melanggar kontraknya ini begitu saja. Dia bukan tipe orang yang seperti ini. Apapun alasannya Taemin tidak peduli. Berbuat ‗kejahatan‘ sedikit, bukan masalah besar, ‗kan? ―Apa yang kau lamunkan? Kita harus segera pergi, nanti mereka terbangun.‖ ―Siap, Tuan Putri Nakal!‖ Taemin terkekeh. Terdengar deru mobil yang baru saja dinyalakan Taemin. Tanpa pikir panjang, Taemin menginjak pedal gas dan melaju kencang meninggalkan rumah putih super megah, kediaman Choi Minho. Han Ni menyandarkan punggungnya dengan santai setelah mereka jauh dari rumah itu. Menyusuri jalan raya yang masih sangat sepi. Angin malam masih berhembus. Angin itu bagaikan kebebasan bagi Han Ni. Semudah inikah dia keluar dari rumah itu? Tidak ada yang mencegahnya, menghalangi jalannya untuk keluar dari rumah itu. Semuanya berjalan sesuai keinginannya. Bukankah yang dia hadapi adalah makhluk yang seharusnya hanya ada di dongeng? Seharusnya mereka akan menyadari tindakannya in—kabur. Mereka adalah penyihir, manusia abadi atau entah apa nama aneh mereka. Apakah mereka hanya menipunya? Mereka sebenarnya hanyalah psicopat, orang aneh? ―Hahahahaha.‖ Han Ni tertawa, terbahak. Taemin
menoleh
kepada
Han
Ni
yang
bertindak
aneh.
―Ada
apa?
Kelihatannya
kau
sangat
senang, Chagi. Apakah melanggar kontrak seperti ini sangat menyenangkan?‖ Han Ni mengangguk keras. ―Dasar penipu bodoh!‖ *** ―Tuan Muda Choi… mereka sudah perg,i‖ lapor kepala pelayan Jo. Wajah Minho mengeras. ―Baguslah… aku akan membiarkannya bersenang-senang sebentar.‖
242
―Apakah Anda yakin dengan keputusan Anda? Kami bisa mengejarnya sekarang jika Tuan Muda Choi berubah pikiran.‖ ―Ania… biarkan saja dia kembali ke kehidupanya seperti biasa. Karena dia tidak akan bisa menikmatinya lagi nanti.‖ Kepala pelayan Jo menundukan kepala. ―Tetapi ,Tuan Muda…‖ ―Apa lagi, kepala pelajan Jo?‖ Minho mulai kesal. ―Jangan mencoba mempengaruhi keputusanku. Sebaiknya kau urus anakmu itu. Beraninya dia membimbing Han Ni malam itu.‖ ―Oh… Tuan Muda Choi.‖ Wajah kepala pelayan Jo berubah tegang. ―Sekali lagi aku akan memaafkannya, karena aku sedang senang sekarang.‖ Minho tersenyum sinis. Matanya mengarah pada halaman rumahnya yang masih diselimuti gelap. ―Sisa berapa hari lagi?‖ ―Kontraknya akan berakhir tanggal 13 januari 2013, sekitar 19 hari lagi.‖ Minho tertawa. ―Dia baru 2 minggu berada disini. Kenapa aku bisa secepat itu menyukainya? Dia memang menarik.‖ Kepala pelayan Jo hanya menganguk kecil. ―Apakah ramuanmu akan selesai tepat waktu?‖ ―Saya rasa bisa, Tuan Muda Choi.‖ ―Kamu harus membuatnya dengan benar. Bukankah keberhasilanmu dalam membuat ramuan itu akan menjadi kunci untuk melepaskan diri dariku?‖ Kepala
pelayan
Jo
menghembuskan
napas
lega.
―Ne, Tuan
Muda
Choi.
Saya
akan
menyiapkan
ramuan cordage-nya. Setelah agassi meminum ramuan ini, agassi akan menjadi seperti Anda dan sepenuhnya milik Tuan Muda Choi.‖ ―Kamu akan menjadi milikku selamaya, Go Han Ni. Mungkin lebih tepatnya… Choi Han Ni.‖ *** th
January 12 , 2013 Udara cukup menghangat pagi ini. Seorang gadis terlihat sedang menyiram bunga di taman bunga mini miliknya. Bunga-bunga di taman baru miliknya ini lebih banyak daripada sebelumnya. Bagaimana tidak, dia memiliki tempat yang lebih luas untuk membuat sebuah taman bunga. Sudah hampir 1 minggu dia memiliki taman ini, di sebuah rumah kontrakan mungilnya. Sekarang dia tidak tinggal lagi di rumah atap yang hampir tidak layak huni itu. Dia sudah pindah, demi keselamatan dirinya. Semua orang pasti bertanya, dari mana dia dapat uang untuk mengontrak di rumah mungil ini. Tentu saja dari gaji yang dia dapatkan selama bekerja di tempat aneh itu. Dia tidak mengambil semuanya, dia hanya mengambil bagiannya. Dan yang bukan haknya, telah dikembalikan kepada sang pemilik dengan beribu kata maaf. ―Chagi, Han Ni-ya!‖ panggil Taemin dari gerbang rumah. ―Emmm….‖ Han Ni masih berkonsentari menyiram bunga-bunga indahnya. ―Cuma itu caramu menyambutku? Aku ini namjachingu-mu, bisakah kau memanggilku dengan baik? Misalnya… Oppa?‖ ―Yakk…
Lee
Taemin,
bagaimana
bisa
aku
memanggilmu oppa?
Bukankah
seharusnya
kau
memanggilku noona?‖ goda Han Ni. Taemin mengerucutkan bibirnya. ―Yakk! Lee Han Ni!‖ ―Lee?‖ Han Ni membelalakan matanya.
243
―Ne, Lee Han Ni. Jangan merasa bangga hanya karena kau lebih tua 4 bulan dariku, tidak lebih. Aku ini tetap namjachingu-mu dan akan menjadi appa dari anak-anakmu nanti.‖ ―Memangnya siapa yang mau menikah dengan anak kecil sepertimu? Shiro!” Taemin terlihat kesal. ―Diam ditempat!‖ perintahnya ―Apa yang akan kamu lakukan?‖ ―Menculikmu!‖ Tae Min merebut selang air yang dipegang Han Ni dan menarik Han Ni untuk mengikutinya. ―Kita mau ke mana?‖ ―Menemui kedua orang tuamu. Akan akan melamarmu.‖ ―Eeeeek?‖ Han Ni membentuk ekspresi wajah yang lucu. *** Han Ni masih memandang pemuda di sampingnya ini. Dia terlihat serius mengemudikan mobilnya. Dan dia serius dengan ucapannya tadi. Han Ni mengenal tiap jalan yang mereka lewati. Ini adalah satu-satunya rute menuju rumah kedua orang taunya. ―Taemin-ah… kau serius?‖ ―Emmm… aku serius.‖ Taemin tersenyum lembut. Han Ni menunduk lesu. ―Sepertinya aku tidak bisa menolak.‖ ―Tentu saja.‖ Lama mereka terdiam. Suasana jadi canggung. Sesekali han Ni hanya memainkan ujung syal yang dia kenakan,
sedangkan
Taemin
masih
serius
menyetir.
Mungkin
sekarang
Taemin
sedang
berusaha
mengumpulkan segenap keberaniannya untuk berbicara kepada orang tua Han Ni. Sedangkan Han Ni, sedang tertawa di dalam hati. Taemin serius akan melamarnya. ―Apa kamu lapar?‖ Taemin memecah kecanggungan. Han Ni mengangguk kecil. ―Aku belum sarapan, dan kamu menculikku. Penculik macam apa yang tidak memberi makan?‖ ―Ada sekotak coklat di kursi belakang. Tadi eomma menitipkannya untukmu, hampir saja aku lupa.‖ Han Ni mengambil coklat di kursi belakang. ―kenapa eommonim merepotkan diri untuk membelikanku coklat?‖ ―Eomma mendapat kiriman coklat itu dari temannya. Lagipula tidak ada yang suka coklat di rumah, jadi itu milikmu.‖ ―Gomawo.” Han Ni segera melahap makanan kesukaannya itu. ―Enak sekali, kau mau?‖ Taemin geleng-geleng kepala. ―Tidak, untukmu saja.‖ ―Dasar, ini enak sekali tahu.‖ Han Ni terus memakan coklatnya dengan lahap. Dia memang mirip orang yang kesurupan jika sudah bertemu benda yang bisa dimakan, manis dan lumer dengan sempurna di mulut. Han Ni hampir memakan setengah dari kotak coklat ukuran medium itu. ―Uhuk…uhuk…uhuk.‖ Han Ni terbatuk. Taemin melirik Han Ni sebentar, dan kembali memandang lurus ke jalan raya. ―Gwenchana?‖ ―Uhuk… uhuk… uhuk… Taemin-ah, tenggorokanku,‖ kata Han Ni tertahan. ―Kau kenapa? Jangan membuatku panik!‖ Taemin ingin menepi, tetapi tidak mungkin. Mereka sedang ada di jalan tol.
244
Kotak coklat yang dipangku Han Ni terjatuh, coklat-coklat itu berserakan di bawah kaki Han Ni. Gadis itu menggeliat kesakitan, memegangi lehernya. Taemin sontak panik. Han Ni tidak alergi pada coklat. Lalu kenapa dia merintih kesakitan setelah memakan coklat itu? ―Hoekkk.‖ Han Ni muntah. ―Han Ni-ya!‖ Taemin mencoba memijit tengkuk Han Ni dengan tangan kanannya. ―Kau kenapa? Tunggu sebentar, beberapa menit lagi ada rest area.” Han Ni terus menunduk. Dia terbatuk-batuk dan memuntahkan isi perutnya. Taemin semakin panik melihat Han Ni seperti ini. Gadis itu kembali meronta-ronta. Sekarang dia memegangi dadanya. Dia merasakan sakit yang luar biasa, seperti sebuah batu menghujam dadanya. ―Han Ni-ya… kau kenapa?‖ Taemin panik setengah mati. ―Taemin-ah,‖ katanya lirih. ―Neomu appeun,‖ Han Ni menangis menahan sakit. ―Uhuk… uhuk.‖ Taemin membelalakan mata. Darah merah segar keluar dari mulut Han Ni. Kekasihnya itu baru saja memuntahkan darah. Beberapa menit kemudian Han Ni tidak bergerak. Taemin terus memanggil namanya dan menggoyangkan tubuh Han Ni. Tetapi gadis itu tetap tidak bergerak. Taemin tidak peduli ada di jalan tol atau tidak. Dia segera menginjak rem mobilnya, menghentikan mobilnya. ―Han Ni-ya!‖ teriak Taemin. Dia memeriksa denyut nadi Han Ni. Nihil. ―Andwae, Go Han Ni!‖
Dinnn… dinnn…dinnnn… Duarrrrrrrr…
*** Dua keluarga yang berbeda marga terlihat mondar-mandir di depan pintu sebuah ruangan di rumah sakit Seoul. Kedua orang ibu dari kedua keluarga tersebut terlihat terus menangis. Mereka menangisi seseorang yang ada didalam ruangan itu.
Klek.
Seorang perawat membuka pintu lebar-lebar. Kemudian perawat lainnya terlihat mendorong 2 buah tempat tidur yang terbuat dari besi. Di masing-masing tempat tidur terbaring seseorang yang diselimuti kain berwarna putih. Kedua ibu itu semakin menangis histeris melihat perawat itu membawa kedua tempat tidur itu menuju sebuah ruangan. ―Han
Ni-ya…
kenapa
kamu
meninggalkan eomma? Kenapa
kamu
pergi
dengan
sangat
cepat.
Seharusnya eomma yang berada di posisimu sekarang.‖ Ibu Han Ni terus menangis. ―Eomma….‖ Adik Han Ni ikut menangis. ―Istriku… yeobo!” teriak tuan Lee, ayah Taemin. Ibu Taemin jatuh pingsan setelah melihat jasad anaknya di bawa oleh perawat itu. *** rd
January 13 , 2013 Kamar ini memang selalu gelap, pengap dan menyeramkan. Seseorang terlihat tidak sabar menunggu. Dia tidak pernah bergeming dari kursi santainya di dekat jendela kamar. Ini pertama kalinya gorden jendela kamarnya terbuka lagi setelah dia pergi. ‗Dia‘ adalah gadis unik yang mampu meluluhkanya. Gadis yang dia
245
pilih sendiri untuk mendampinginya. Gadis yang akan menjadi pasangan hidupnya, selamanya. Hari ini adalah hari yang telah lama dia nanti. Hari dimana
sang gadis akan datang dan menghampirinya. Kemudian
menyerahkan dirinya seutuhnya kepada dirinya. ―Tuan Muda Choi.‖ ―Emmm… apakah semua berjalan lancar?‖ Kepala pelayan Jo mengangguk kecil, namun sekarang tidak terlalu kaku seperti sebelumnya. ―Ne, Tuan Muda. Saya sudah mengganti jasad agassi dengan orang lain. Dan…,‖ Minho mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat untuk berhenti. ―Aku tidak butuh laporan bertele-tele darimu. Yang aku tanyakan lebih spesifik.‖ ―Agassi ada di kamarnya. Dia sedang bersiap-siap dengan pelayan yang lain.‖ ―Baiklah… aku akan menemuinya.‖ Minho tersenyum Minho berjalan dengan gagah menuju sebuah kamar yang hanya berjarak 2 kamar dari kamar tidurnya. Seseorang yang selama ini dia tunggu telah berada di rumah ini, sedang bersiap-siap untuk tampil sempurna demi dirinya. Minho memperbaiki jasnya sebelum membuka pintu kamar orang istimewanya. ―Kalian boleh keluar!‖ perintah Minho pada pelayan-pelayan yang ada di kamar itu. ―Bagaimana kabar Anda, Nyonya mMuda Choi?‖ tanyanya dengan senyum menawan. Dia terlihat sangat tampan. ―Nyonya Muda Choi?‖ ―Emmm… Choi Han Ni. Apakah kau lupa?‖ Han Ni mencoba mengingat. ―Mianhae, oppa. Aku memang sedikit pikun.‖ Dia terkekeh. Gadis di depannya ini tertawa dengan manis. Kulit putih pucat dengan bibir semerah darah, dia terlihat sempurna. Rambut sebahunya yang hitam mengkilat dan bola mata yang hitam, sebuah keindahan yang tidak ada tandingannya. Minho menghampiri gadisnya itu, kemudian memeluknya erat. ―Oppa?‖ tanyanya polos. ―Apakah aku membuat Oppa khawatir?‖ ―Ania… qku hanya ingin memelukmu. Aku selalu ingin melakukan ini, Istriku.‖ Han Ni terkekeh. ―Oppa… kau aneh‖ ―Aaranghae… sekarang kamu akan menjadi milikku selamanya. Bahkan kematian tidak akan memisahkan kita.‖ Han Ni hanya mengangguk kecil. Pemuda tampan yang sedang memeluknya ini adalah suaminya. Dia tidak ingat jelas kapan mereka menjalin hubungan ini. Tetapi yang terpenting adalah, dia sangat mencintai pemuda ini. Pemuda yang akan selalu bersamanya, selamanya. Mereka akan abadi selamanya. END
246