Creating a scene: Kemunculan Punk Bali Emma Baulch
Abstrak Promosi musik alternatif melalui deregulasi televisi dan industri rekaman, bersamaan dengan peningkatan kehadiran metropolis, bertemu dalam lanskap kultural dan fisik orang-orang Bali tahun 1990an. Pencerminan pembangunan pada masyarakat yang lebih luas, wacana regionalis, yang mempertentangkan ide-ide ‘pusat’ dan ‘pinggiran’, muncul di antara anak-anak muda Bali dalam konteks scene band lokal. Untuk musisi-musisi tertentu, keaslian musikal benar-benar berakar pada kondisi kultural dan geografis, dan terartikulasikan dengan ketidaksenangan mereka untuk bersosialisasi di mall. Berlawanan dengan itu, musisi alternatif Bali ini melihat keaslian pada metropolitan elsewhere (di suatu tempat lain). Artikel ini adalah studi kasus mengenai pelokalan kode ‘global’ pada daerah pinggiran nonbarat. Artikel ini mempertentangkan argumen-argumen sifat ‘post-imperial’ dari globalisasi, dan menunjukkan kepentingan yang berkelanjutan dari dialektika pusat-pinggiran pada wacana lokal. Pada saat yang sama, kajian ini memperlihatkan peran progresif superkultur metropolitan yang dapat bermain pada pembaruan kultural daerah pinggiran.
Artikel ini dikutip dan diterjemahkan dari: Baulch, Emma (2002a) – lihat referensi
1
Introduksi Pada tahun 1993, terjadi kekacauan ketika sebuah band thrash metal Metallica dari Amerika mengadakan pertunjukan di Jakarta. Analisa dominan yang dilaporkan oleh media di Indonesia adalah bahwa kekacauan itu, penggemar yang tidak mampu membeli tiket konser menghancurkan barang-barang dan properti mewah nan elit di ibu kota, dikarenakan jarak yang melebar antara si miskin dan si kaya.1 Tanggapan resmi, bagaimanapun juga, hanya melihat kekacauan dari sudut pandang hukum dan aturan (Thompson, 1993). Dengan menimpakan kesalahan pada ‘preman yang tidak bertanggung jawab’, pemerintah menolak mengeluarkan ijin pementasan rock untuk lebih dari satu tahun, demikian hubungan antara kriminalitas, kemiskinan dan musik rock dipererat dalam wacana resmi. Seiring berlalunya waktu, pementasan rock diijinkan lagi, media tidak lagi mempertentangkan tema resmi ini. Ketika, pada bulan Januari 1996, Jakarta menjadi tuan rumah untuk pertunjukan band-band rock dari Amerika seperti Sonic Youth, Beastie Boys dan Foo Fighter pada Jakarta Alternatif Pop Festival (JAPF), dan band punk dari California Green Day mengadakan pertunjukan di ibu kota sebulan kemudian, konstruksi media mengenai musik alternatif menggambarkan genre itu sebagai ruang damai ‘pop’, sebuah ruang perlindungan hak istimewa di mana kemiskinan dengan jelas tidak masuk di dalamnya. Berlawanan dengan hasrat media untuk melaporkan kekacauan Metallica, perselisihan serupa (meski lebih kecil) yang terjadi antara satuan pengaman dan penggemar Green Day yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli tiket, tidak dibesar-besarkan oleh media. Perubahan konstruksi media pada penggemar musik rock pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru berkaitan dengan deregulasi media, di mana pemerintah menyerahkan monopoli atas televisi dan membuka industri musik lokal pada label rekaman internasional. Sebagai hasilnya, peran imaji-imaji media dalam penyebaran informasi tentang musik menjadi lebih besar, dan anak-anak muda miskin dan terpinggirkan semakin berjarak dengan pertunjukan rock yang menjadi wilayah eksklusif bagi anak muda dari kelas kaya baru (Baulch, 2002). Fakta ini terjadi dalam kasus musik alternatif. Tidak seperti band Sepultura dari Brazil (salah satu band death metal yang paling dikenal dan paling populer di dunia), yang harga tiketnya hanya sebesar 7000 rupiah baik untuk konser di Surabaya maupun Jakarta ketika mereka melakukan tur ke Indonesia pada tahun 1992, Green Day dan juga band-band yang konser di JPAF tidak menggelar konser di daerah sama sekali. Demikian pula, tidak seperti kebanyakan band-band rock dan pop Indonesia, band alternatif Indonesia jarang menggelar tur ke daerah. Deregulasi televisi memanjangkan jangkauan imaji media dalam hal ke-alternatif-an, melukiskan genre alternatif sebagai praktek eksklusif anak-anak muda dari kelas kaya baru yang berakar di metropolitan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana produksi kultur ‘global’ dilokalkan pada level pinggiran, seandainya gambaran itu dihasilkan oleh kampanye musik alternatif Indonesia yang mungkin melibatkan usaha kelas kaya baru untuk membawa penggemar musik rock ke dalam konsumerisme dan hedonisme, kampanye tersebut tidaklah benar-benar melahirkan nilai seperti itu. Imaji media memainkan peran sentral pada penyebaran musik alternatif ke Bali, di mana genre ini diperlakukan sebagai sumber inspirasi yang penting pada awal perkembangan scene punk di Bali. Sebagaimana beberapa band baru yang membawakan lagu-lagu Green Day, dalam scene ini juga ada beberapa band yang lebih tua, yaitu band-band grunge yang terinspirasi oleh 1
Konser tersebut menjadi simbol peningkatan ketidakadilan sosio-ekonomi, dengan mengesampingkan popularitas Metallica di antara anak muda dari kaum urban miskin, tingginya harga tiket membuat mereka tidak bisa menonton konser. Dengan demikian, konser menjadi terbatas pada fans metal kaya saja.
2
Nirvana. Bagaimanapun juga, baru pada awal tahun 1996 lah hal ini secara kolektif merujuk pada scene alternatif atau punk. Meminjam dari penggabungan istilah-istilah ini dalam wacana lokal, saya mengacu pada genre punk yang muncul sebagai sebuah scene pada awal 1996 sebagai ‘alternapunk’. Artikel ini memeriksa bagaimana scene tersebut dimulai sebagai penegosiasian identitas anak-anak muda di sekitar gambaran ke-alternatif-an yang mereka lihat di tv dan yang mereka baca di majalah-majalah. Saya mulai dengan mendiskusikan beberapa aspek konteks politik lokal yang berlaku pada anak-anak muda Bali yang disertakan dalam musik alternatif.2 Secara spesifik, saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana mereka menggabungkan gambaran alternatif ke dalam wacana regionalis lokal sebelumnya, yang mempertentangkan ide-ide pusat dan pinggiran. Dua respon yang paling menghentak terhadap musik alternatif di antara musisi Bali jelas terlihat pada dialog antara musisi death metal dan alternapunk. Ketika musisi-musisi death metal merendahkan sifat ikut-ikutan dan nuansa neo-kolonial yang, menurutnya, alternapunk merangkul genre yang selama ini mereka lihat ke-metropolitan-nya, sebuah esensi antikemapanan. Dua respon ini merujuk pada proses dialogis pendefinisian praktek alternapunk. Dialog ini mirip dengan wacana regionalis yang didiskusikan oleh Warren (1994, 1995, 1998a, 1998b)3. Tapi tidak seperti wacana ini, ia tidak terartikulasikan dalam sebuah debat, yang dimediasi oleh pers lokal, akan tetapi dipertunjukkan di mall. Secara spesifik, argumen saya untuk penggunaan wilayah mall yang inovatif dari alternapunk menyentuh pertanyaan bagaimana membaca subkultur yang berorientasi pada musik, dan menunjukkan pentingnya mempertimbangkan tidak hanya elemen style dan lirik, tapi juga aspek territorial dan performatif, dalam rangka menangkap makna-maknanya. Di bawah, saya berargumen bahwa pemaknaan mengenai penerimaan unik anak-anak muda Bali atas musik alternatif dapat dibaca sebagai sebuah gestur dalam menghadapi pembaruan kultural lewat pemisahan dari repertoir lokal. Pada gilirannya, gestur ini dapat dibaca sebagai usaha anak-anak muda kelas menengah Bali untuk menjembatani sebuah jurang yang menganga antara fantasi media akan suatu ke-alternatif-an dengan realitas lokal. Harapan awal anak-anak muda borjuis adalah kesempatan tanpa batas dalam sebuah supermarket of style, tapi dalam kesempatan selanjutnya hanya sebatas tuntutan industri pariwisata.4 Musisi-musisi muda Bali yang menginginkan pembaruan kultural menegaskan dan menyadari gerakan punk yang berkembang sepanjang 1996-99, berkembang dengan aspek spektakuler dan responsif pada 2
Artikel ini menggambarkan wawancara dengan musisi-musisi dan anak-anak muda lain yang tergabung dalam scene band lokal (dalam kebanyakan wawancara menggunakan bahasa resmi nasional, bahasa Indonesia, dan bukan bahasa lokal, bahasa Bali), sebagaimana telah didaftar dalam bagian referensi. Ini adalah bagian dari kajian yang lebih luas yang berfokus pada tiga genre musik yang dekat dan saling terhubung dalam proses tersebut: punk, death metal dan reggae. 3 Definisi dialogis alternapunk yang dijabarkan dalam artikel ini juga mengingatkan pada peranan hubungan dalang ‘tradisional’ dan kartunis ‘modern’, dan menyediakan contoh lain ‘dialog orang-orang Bali dengan dirinya sendiri, dan kontestasi makna impor dengan mana mereka bergulat’. 4 Tentu saja, anak-anak muda Bali mungkin lebih beruntung dibandingkan dengan mereka yang berada di pinggiran nusantara. Sebagaimana banyak orang-orang Bali yang meningkat kesejahteraannya selama ledakan turisme akhir tahun 1980an dan awal 1990an, terjadi peningkatan jumlah anak-anak muda lokal yang menginginkan gitar elektrik dan bas. Sebagai hasilnya terbentuk banyak sekali band, yang bagaimana pun juga, tidak terakomodasi oleh ‘scene’ lokal. Sampai tahun 1996, pertunjukan rock sangat sedikit dan sangat jarang, dan tidak ada studio rekaman di mana band rock lokal bisa merekam lagu-lagu mereka. Membuat musik rock tidak termasuk dalam pencarian artistik di Bali yang lebih mempertimbangkan keuntungannya. Jaminan akan mendapat kontrak untuk bermain musik Top 40 di hotel bisa dilihat sebagai bukti dari karir yang menjanjikan sebagai musisi kontemporer (yang berbeda dengan musisi ‘tradisional’).
3
pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, artikel ini dibatasi hanya untuk memeriksa peranan dari apa yang disebut sebagai alternapunk pada periode 1996 sebagai pendasaran atas apa yang kemudian memunculkan scene ‘counter-cultural punk underground’ yang lebih spektakuler. Sifat dialogis wacana alternapunk juga menyoroti relevansi kajian terbaru sampai diskusi ilmiah mengenai peran globalisasi dalam perubahan kultural, khususnya mengenai industri musik. Yang paling utama, ia menantang ide bahwa globalisasi mencoba untuk mencairkan perbedaan pusat-pinggiran yang menonjol, di mana dalam konsumsi anak-anak muda Bali atas musik alternatif, wacana pusat-pinggiran sangat menonjol. Lebih jauh lagi, ketika pembedaan death metal dengan alternapunk sesuai dengan argumen bahwa globalisasi produk kultural mempertimbangkan perbedaan dan dapat membantu membebaskan anak-anak muda dari wacana negara yang opresif, praktek alternapunk itu sendiri tidak cocok dengan kedua hipotesis tersebut. Bukannya menolak kehadiran pusat neokolonial yang semakin meningkat, musisi alternapunk Bali malah mengidealkan metropolitan sebagai sebuah perlindungan nilai-nilai esensial yang sejalan dengan genre pilihan mereka –sebuah esensi, yang dalam pandangan mereka, tidak hadir dalam’ke-Bali-an’. Dalam pandangan ini, alternapunk Bali mempengaruhi pembaruan kultural tidak dengan menggabungkan kode global pada repertoir Bali yang telah ada, yang dengan demikian membentuk sebuah bentuk hibrid, tapi dengan menentang wacana regionalis lokal dan mengidentifikasikannya dengan ‘pinggiran “asing” yang lain, yaitu pusat’ (Warren, 1995:385). Catatan atas Scene Di Bali, promosi konser Green Day telah terdengar efeknya pada akhir tahun 1995. Meskipun konser mereka hanya digelar di ibu kota, dengan harga tiket yang cukup mahal, 60.000 rupiah, musik Green Day bergema ke seluruh provinsi. Kemudian tiga sampai empat anak muda lokal berkumpul di sebuah kamar dan studio musik mengorganisir band-band alternatif yang tampil pada Sunday Hot Music (SHM), satu-satunya pertunjukan reguler dan pan-genre di Bali. Beragam genre tampil di SHM. Pertunjukan tersebut menampilkan enam band setiap kali pertunjukan. Tiga band senior5 diundang oleh pengorganisir dan tiga band diseleksi dari audisi yang dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Setiap pertunjukan memasukkan kombinasi klasik rock, pop, reggae, heavy metal, death metal/grindcore/thrash dan alternatif/punk. Setahun setelah Rahmat Hariyanto mendirikan bisnis persewaan sound Crapt Entertaintment pada tahun 1992, scene pertunjukan di Bali mulai mengalami kelesuan. Sebagaimana yang diingat oleh musisi lokal, kelesuan ini karena pobia penguasa akan kekacauan rock setelah terjadinya kekacauan konser Metallica, dan hasilnya adalah pelarangan pertunjukan publik dan non-eksklusif, seperti misalnya yang dipentaskan di kampus atau di bangunanbangunan umum dan yang memungkinkan menarik penonton dalam jumlah besar. Sadar kalau fakta bahwa ‘jika scene band lokal menghilang, maka demikian juga dengan bisnis rental saya’, Rahmat Hariyanto menggagas Sunday Hot Music pada tahun 1994 (wawancara, 4 April 1996). Pada tahun itu dan tahun-tahun selanjutnya, SHM menggelar empat pertunjukan yang bertalian selama bulan Mei –yang disebut ‘month of Sundays’– yang tiketnya hanya 2500 rupiah dan mengambil tempat auditorium Art Centre, Denpasar. Dalam konteks pelarangan yang membuat musisi-musisi rock cukup menderita akibat kekacauan konser Metallica, SHM menyediakan sejenis panggung pan-genre, pertunjukan di depan publik yang sangat jarang didapat oleh band lokal. Lebih jauh, SHM memasukkan empat jenis pertunjukan dalam kalender pertunjukan tahunan di pulau itu –tentu saja hal ini sungguh 5
Band-band yang dianggap senior oleh SHM adalah mereka yang memiliki pengalaman di bar-bar, dengan tambahan mereka yang telah konser, dan dengan sukses diterima, paling tidak dalam dua pertunjukan besar.
4
penting jika mengingat bahwa pertunjukan itu menawarkan genre-genre musik rock, suatu jenis ruang pertunjukan yang pada tahun-tahun 1993 sampai 1996 pernah ditolak. Dan musisi-musisi yang saya wawancara pada awal 1996 itu masih ingat periode tanpa pertunjukan tersebut, suatu waktu yang sepi, hampa dan tenang, demikian Month of Sundays-nya SHM dengan baik mampu menjaga langkah dengan peningkatan tajam pada jumlah band dalam periode yang sama. Sungguh, banyak ingatan akan peningkatan formasi jumlah band yang mendorong SHM menjadi sebuah pertunjukan dua mingguan. Lebih jauh lagi, ada persepsi umum di antara musisi nonalternapunk bahwa antusiasme terhadap musik alternatif tidak hanya menimbulkan terjadinya ledakan band, tapi secara khusus juga didominasi oleh band-band yang membawakan lagu-lagu Green Day. Jajaran pengisi acara pada delapan acara SHM yang diadakan selama tahun 1996 tidak mendukung pandangan ini. Namun, penekanan pernyataan yang di atas menguatkan validitas identifikasi sebagai praktek identitas.6 Di bawah, saya menunjukkan bagaimana persepsi bahwa band-band yang membawakan lagu-lagu Green Day mendominasi scene, jika ketidakbenarannya menjadi alasan, secara politis ia menjadi penting. Bahwa Green Day adalah simbol superkultur metropolitan di mana mediascape (khususnya televisi) adalah pengalaman para musisi. Nonalternapunk merasa bahwa mediascape ini adalah sesuatu yang jelas-jelas asing –yang berlawanan dan mengancam kultur anak muda otentik yang telah ada sebelumnya, di mana mereka adalah bagian darinya. Dalam pandangan ini, pe-lain-an (othering) alternapunk paralel dengan wacana regionalis yang mengambil tempat masyarakat yang lebih luas. Pe-lain-an Alternapunk sebagai Wacana Regionalis Ciri-ciri umum penulisan ilmiah mengenai pengalaman globalisasi Bali adalah perhatiannya pada kartun. Rubinstein dan Connor (1999), Vickers (1996) dan Picard (1996) semuanya memakai gambar-gambar sejenis yang dibuat oleh seniman-seniman Bali, dan Warren (1998a) mengacu pada sejenis karikatur sebagai bagian dari wacana kritis lokal yang dikonteskan dengan formulasi resmi pembangunan dan kemajuan. Salah satu gambaran yang sering kali direproduksi, karya Surya Dharma, melukiskan kemajuan sebagai sebuah jam pasir yang mentransformasikan sawah padi menjadi hutan baja. Bila pelukis kartun ini adalah Agus Lempog (seorang gitaris profesional yang secara teratur menggelar konser di bar-bar turis), gitar, amplifier dan drum mungkin pernah akan menggantikan hutan baja yang dilukiskan Surya Dharma dalam kartun yang tergambar di atas. Lempog beralasan bahwa peningkatan jumlah band adalah karena: alat-alat musik sekarang lebih gampang didapat. Lihat di Jimbaran, misalnya. Orang-orang jual tanah dan kalau mereka punya anak remaja mereka belikan alat musik. Untuk anakanak, mereka jadi gengsi dan dapat hobi baru (Wawancara, 13 April 1996).
Kepemilikan tanah dan statusnya seringkali merupakan tema yang dimunculkan berulangkali dalam karya kartunis Bali sepanjang 1990an. Karikatur-karikatur mereka secara ironis melekatkan simbol-simbol penduduk asli (babi-babi hidup, tempat suci Hindu, lelaki 6
Sebagaimana pengamatan Thornton (1997: 208), yang menulis tentang club culture Inggris: ‘dengan sangat menarik, logika social capital subkultural menyatakan dirinya dengan lebih jelas lewat hal-hal yang tidak disukai dan hal-hal yang benar-benar bukan bagian mereka.’ Dalam artikel yang sama Thornton menggambarkan clubbers yang mengeluhkan pengandaian komodifikasi kultur ‘bawah tanah’ mereka dengan: ‘apakah ‘mainstream’ ini menggambarkan grup-grup sosial secara empiris atau tidak, mereka memamerkan ejekan dalam bentuk parodi yang berlebihan dari sebuah pembayangan atas “yang lain”...mengutip Bourdieu…”tak ada sesuatu yang dapat mengklasifikasikan seseorang lebih dari pada caranya mengklasifikasikan dirinya”‘ (1997:204).
5
bertelanjang dada yang mengenakan sarung dan udeng - penutup kepala khas Bali) di atas semua kehadiran metropolitan lokal (kursus golf, hutan baja, televisi). Nilai komik dari superimposisi ini menyoroti keraguan dari semacam ko-eksistensi.7 Dengan demikian tercapailah sebuah dikotomi. Warren (1998a) mengacu pada peranan kartun dalam mempopulerkan ide-ide pendikotomian kultur Bali dalam konteks refleksi massa pada identitas orang-orang Bali yang dipercepat oleh ledakan turisme yang dimulai pada akhir 1980an8. Dia mengamati bagaimana karikatur mengenai identitas orang-orang Bali diterbitkan secara berkala di Bali Post, yang memposisikan modal besar melawan rakyat kecil, kepentingan pribadi melawan kepentingan komunal dan polusi kultural melawan keaslian kultural. Dalam banyak komentarnya mengenai timbulnya wacana regionalis di Bali, ia menyatakan bahwa: Penggunaan simbol dan istilah yang menyangkut lingkungan –referensi pada pengikisan kultural dan natural, ‘hutan baja’ pada lanskap kultural urban dan seterusnya – acap kali dihubungkan dengan ekspresi ketidakpercayaan akan pusat, oleh mereka yang berada di pinggiran. Hal ini mungkin menyarankan permulaan wacana regionalis yang menentang nasionalisme sentris. (Warren, 1995:385)
Wacana alternapunk menggali persamaannya pada kelahiran regionalisme ini. Musisimusisi reggae dan death metal biasanya menghubungkan kepatuhan, kenaifan, kurangnya kreativitas, kelabilan dan ‘ABG’ dengan praktek alternapunk. Lebih jauh, Green Day, televisi dan Jakarta sama-sama melibatkan perasaan penyeragaman dari scene band lokal. Dengan cara ini, pelainan (othering) alternapunk menggambarkan musisi alternapunk sebagai karikatur yang bersandar pada dikotomi pinggiran-pusat. Maka, bagi yang bukan alternapunk, alternapunk merupakan polutan tanpa akar yang melawan sesuatu yang oleh musisi death metal dan reggae didefinisikan sebagai identitas otentik mereka. Selebihnya, politik identitas scene band lokal ini tampil sebagai sebuah teater pada kontestasi ruang mall. Hetherington berargumen bahwa ruang dan performa adalah elemen kunci pada formasi ekspresif identitas. Lebih jauh lagi, ia mencatat bagaimana ‘tempat-tempat tertentu memiliki arti simbolik dalam proses perkembangan identitas’, dan tempat tersebut mengacu pada sejenis tempat seperti ‘tempat suci’ (1998:106). Ruang dan performa juga merupakan kunci dalam kajian politik identitas scene band Bali pada tahun 1990an. Pada setiap genre yang didiskusikan, penggunaan ruang lebih menyatakan identitas band daripada penggunaan bentuk literal (seperti lirik lagu atau jawaban-jawaban mereka dalam wawancara, misalnya). Sebagai contoh, musisi death metal dan punk kurang peduli pada makna lirik berbahasa Inggris yang mereka bawakan, mereka lebih peduli pada 7
Hubungan antara ‘Bali’ dengan ‘foreign other’, yaitu pusat, dalam kartun ini bertentangan dengan cara pelukis Bali I Made Budi dalam melukiskan hubungan antara the tourist other dan lanskap lokal. Lukisannya, digunakan dalam kampanye iklan untuk Garuda Airlines dan direproduksi dalam buku Picard (1996: xiv-xv), menggambarkan turis yang mengambil gambar, surfing, ski air dan menumpang sepeda motor, disesuaikan dengan alam yang hijau, subur. Tidak seperti kartun yang hadir setelahnya, karya Budi menggambarkan kebaikan industri pariwisata, yang tidak memiliki efek merusak lingkungan lokal. 8 Ledakan ini berakibat spekulasi dan peningkatan massif pada nilai tanah di tempat-tempat tertentu, Jimbaran, yang disebutkan oleh Agus Lempog, adalah salah satu contohnya. Pengembangan resort mengundang spekulan tanah dan mendorong peningkatan tajam pada nilai tanah yang dikelilingi oleh bebatuan dan tidak rata tersebut. Beberapa orang tuan tanah kecil mengambil keuntungan dalam hal ini, dan beberapa diantaranya menikmati kekayaan yang baru didapatnya dengan berinvestasi pada benda-benda mewah dan stereotipe lifestyle-nya dihubungkan oleh kelas menengah terpelajar lokal dengan orang kaya baru dari Jakarta.
6
kebisingan dan energi yang dibawa bahasa Inggris pada penampilan mereka. Lebih jauh lagi, pada tahun 1997, sebuah debat yang memperhatikan keotentikan di scene musik underground, yang dimediasi oleh harian lokal Bali Post dan stasiun radio Denpasar Casanova, diluluhluntakkan ketika musisi yang berpartisipasi menarik kesimpulan bahwa apa yang merupakan ‘underground’ seharusnya tidak merupakan subyek sebuah debat (Baulch, 1997; Syahreza, 1997a, 1997b). Politik ruang lebih merupakan pusat pada wacana alternapunk dibanding debat itu sendiri. Karena kepentingan khusus yang membentuk definisi alternapunk adalah ruang mall. Mall menjamur di seluruh Indonesia pada 1990an, mempengaruhi pertimbangan transformasi lanskap urban sepanjang nusantara. Seringkali, mall mengakomodasi praktek-praktek subkultural. Meski demikian, di Bali, gambaran dominan mengenai mall merupakan simbol pelanggaran batas superkultur metropolitan –sebuah jenis aksi neokolonialisme yang mengancam penghapusan nilai agraria dan mata pencaharian lokal, termasuk di dalamnya pasar tradisional. Sebagai contoh, luapan artikel yang membanjiri pers lokal pada tahun 1995-96, mengutuk kekacauan dan pemaksaan pembangunan Denpasar, yang dengan kuat melibatkan mall dalam transformasi kota.9 Alternapunk dilihat dengan jijik oleh musisi ‘senior’ di atas panggung. Akan tetapi dalam aspek performatif ini, pentingnya peranan dialog antara musisi death metal dan alternapunk dalam membentuk wacana alternapunk menjadi lebih jelas. Musisi death metal menunjukkan pelainan (othering) pada alternapunk melalui ketidakhadiran yang mencolok pada mall. Dalam penjelasan mereka mengenai kenapa mereka memilih untuk tidak menunjukkan diri mereka di mall, musisi death metal menghadirkan karikatur musisi alternapunk sebagai seseorang yang benar-benar kaya, ABG yang selalu tunduk. Dalam kajiannya mengenai West Edmonton mall, Shields (1989:148) mendiskusikan bagaimana sifat dasar diskursif ruang diangkat oleh praktek-praktek spasial yang mengambil tempat di dalam dan di sekitar mereka. Dia mengistilahkan hal ini sebagai ‘social spatialisation’ – pada saat yang sama adalah ‘sebuah mode ke-ada-an, sebuah sikap melihat dan cara melakukan sesuatu’. Lebih jauh ia mencatat (1989: 154) bagaimana ‘menempatkan sebuah pertunjukan sebagai sesuatu yang konkret dalam membangun lingkungan dan mengendapkannya dalam sebuah lanskap’ dan menyebutkan pengamatan Barthes bahwa ‘pengguna kota mengambil potongan-potongannya untuk mengaktualisasikannya....Ia menghukum tempat-tempat tertentu untuk melembamkan atau untuk membusukkan, dan dari yang lain ia membuat suatu “bentuk” penjarakan yang “ganjil” (tanpa suatu sebab) dan ilegal....’ Dengan memainkan suatu ketiadaan, musisi death metal Bali juga mengutuk mall di Denpasar untuk ‘melebamkan atau...membusukkan’. Shields membuat istilah ‘truant proximity’ (ketidakhadiran yang menandai kedekatan), untuk menyampaikan kesejajaran antara ketidakhadiran dan kehadiran dalam konstitusi aspek diskursif dari suatu ruang (1992). Hal serupa terjadi di Bali, di mana ketidakhadiran musisi-musisi death metal dalam mall justru berkontribusi pada kontruksi mall sebagai ’tempat suci’. Oposisi, Hibriditas atau Dislokasi? Pe-lain-an (othering) death metal terhadap alternapunk melalui ‘truant proximity’ pada mall memberikan sebuah contoh hibriditas regionalisme yang diacu oleh Warren (1995:386). Seperti 9
Suardika juga (1998: 8) mengeluhkan tranformasi yang cepat dari lanskap urban Denpasar, mengidentifikasikan mall sebagai ‘sebuah contoh dari bagaimana penataan ulang lanskap fisik Denpasar yang tergesa-gesa menimbulkan kultur urban yang baru’.
7
misalnya, ia konsisten dengan kritik tesis imperialisme kultural dalam literatur terkini mengenai globalisasi industri musik. Teoritisi imperialisme kultural tahun 1970an dan 1980an memberikan hipotesa bahwa pengglobalan media yang bersumber pada kekuatan politik dan ekonomi bisa mendorong homogenisasi kultural. Sekarang, merupakan standar sarjana-sarjana politik identitas untuk melihat globalisasi sebagai unifikasi dan pemecahan yang simultan (Hesmondhalgh, 1998; Mitchell,1996). Isu penerimaan audiens merupakan kepentingan sentral dalam argumen ini. Banyak sarjana-sarjana rock dan pop memperdebatkan bahwa konsumen teks barat yang non barat cenderung menegosiasikan makna teks tersebut sebagaimana mereka mencari amunisi diskursif untuk melawan tekanan lokal (Laing, 1986; Shuker, 1995). Ide hibriditas juga yang mendasari ide bahwa kepatuhan/penundukkan dan pasifitas jarang mengkarakterkan konsumsi teks media. Penyokong hibridisasi beralasan bahwa teoritisi imperialisme kultural takut akan penyeragaman kultural (Lomax dalam Mitchell, 1996), secara tidak nyata, bukanlah sesuatu yang baru karena ia merangkai sebuah pembayangan keaslian dunia ketiga melawan barat, yang pada dasarnya tidaklah otentik. Malahan, mode tafsiran yang sekarang ini menonjol dalam perhitungan para sarjana mengenai pandangan pelokalan produk kultural asing sebagai proses kreatif yang penuh dengan kritik dan perlawanan, dan berhasil pada penganekaragaman kultural yang tanpa akhir (lihat Appadurai, 1996:7; Lakha, 1999:261). Sifat pe-lain-an (othering) anak-anak muda Bali terhadap alternapunk mendukung ide bahwa globlisasi menghasilkan identitas yang sinkretis, dan dengan demikian mendukung perbedaan. Musisi death metal Bali (dengan tidak sadar) mengacu pada bahasa teoritisi imperialisme kultural, mencela tendensi homogenisasi alternapunk, dengan demikian menyediakan contoh hibridisasi spektakuler yang paling ironik. Juga menegaskan argumen bahwa globalisasi bisa menghubungkan komunitas lokal dengan wacana asing yang menyokong perlawanan pada rezim yang opresif. Pada kasus ini, anak-anak muda Bali merujuk pada reggae dan death metal –keduanya merupakan kode-kode asing– yang mengekspresikan suatu lokalisme yang melawan gangguan superkultur metropolitan, sebagaimana tergambar dalam pandangan mereka mengenai alternapunk. Tapi jika musisi death metal mengacuhkan metropolitan, alternapunk mengidealkannya; jika musisi death metal mempraktekkan ketidakhadiran yang menyolok dari mall, alternapunk mengisyaratkannya.10 Maka, makna alternapunk sangat licin, seperti menolak untuk digantungkan pada ide konvensional mengenai bentuk perlawanan dan hibridisasi. Ide konvensional ini cenderung mengistimewakan pelokalan yang disimbolkan dengan penggunaan bahasa, penggunaan ruang atau poliitk badan yang tertentu, dan cenderung mengacuhkan contoh dislokasi kultural. Yaitu, ketika dislokasi kultural pada konteks bukan barat diakui, ia seringkali ditempatkan sebagai ‘perlawanan’ daripada sebagai hibridisasi.11 Ide dislokasi jarang dipakai 10
Saya mengatakan ‘mengisyaratkan’ kerena kesetiaan alternpunk pada ruang mall cukup lemah. Sementara sejumlah band alternapunk menghubungkan identitas musikal mereka dengan kehadiran di mall, mereka tidak pernah berkumpul di sana dalam jumlah yang besar, dan interaksi mereka berada hanya pada level imajinasi pada mediascape. Yaitu, jika para alternapunk berkumpul, itu hanya disekitar idealisasi metropolis yang, sedikit subversif, yang mereka identifikasikan sebagai ‘pusat ketidakteraturan’. Bagaimanapun juga, tidak seperti imaji media atas identitas alternatif, di Bali para alternapunk tidak responsif pada suatu pertunjukan dan style mereka kurang spektakuler. 11 Sebagai contoh, Rubenstein dan Connor (1999: 4) menyatakan bahwa, di Bali, ‘globalisasi menandakan suatu pengertian partisipasi pada sebuah tatanan internasional yang membuka ruang untuk menantang meta-narasi nasional’, serta Sen dan Hill (2000: 110) menyebutkan media global sebagai ‘sekutu oposisi melawan seorang penguasa yang makin tua’.
8
pada area pinggiran seperti Bali, seolah metropolitan nasional sudah terlebih dulu tidak mampu menghantarkan bentuk-bentuk kultural yang dapat membebaskan orang-orang dari rezim lokal khusus di pinggir, dan seolah sifat intinya pinggiran adalah sifat yang tertekan, dan sifat inti metropolis adalah sifat yang opresif. Demikian bias yang terang dalam penegasan Rubenstein dan Connor bahwa ‘orang-orang Bali mengenali kelokalan sebagai sumber utama dalam pasar internasional’ (2006:6; penekanan oleh saya). Demikian pandangan yang mengganggu dalam pembacaan alternapunk Bali sebagai sebuah contoh pelokalan kode . Mengikuti pandangan ini, seseorang akan tertarik untuk melihat idealisasi alternapunk pada metropolitan sebagai bukti penggabungannya dengan wacana dominan dan hegemonik. Akan tetapi, sebagaimana yang akan saya tunjukkan di bawah, hal itu mungkin juga dilihat sebagai pencarian alternapunk untuk mencabut dirinya sebagai usaha untuk melepaskan diri dari wacana dominan yang spesifik pada ‘pinggiran’ lokal ini. Alternapunk: ‘lifestyle shopping’ atau ‘ludic practice of resistance’? Beberapa penulis telah meneorikan ludus (bermain) untuk menyoroti pentingnya peran bermain dalam praktek sosial. Victor Turner, sebagai contoh, menyatakan bahwa ‘cara orang-orang bermain mungkin lebih bisa menjelaskan sebuah kultur dari pada cara mereka bekerja’ (1983:104). Dalam sebuah karya yang menggambarkan ide Turner mengenai liminoid (lihat Turner, 1991: 37), Hetherington (1998a: 103) mempertimbangkan bagaimana cara ‘ruang, melalui penciptaan situasi transgresif dan penunjukan, memperlihatkan bagaimana pertunjukan di suatu tempat yang dianggap marjinal menjadi penting untuk praktek transgresif dan praktek bermain dalam perlawanan’. Beberapa penulis juga menyebut permainan, humor dan drama sebagai strategi yang digunakan oleh yang lemah, atau massa, untuk bertahan dari otoritarianisme.12 Drama dan keramahan, bagaimanapun juga, mungkin tidak selalu terlihat subversif. Sebagai contoh, Hetherington (1998:1) merujuk pada lifestyle shopping sebagai ‘praktek mengkonsumsi yang mengindikasikan kesadaran akan kesukaan untuk bermain pada arena pertunjukan identitas dan bricolage di antara populasi urban, tukang belanja muda dari kelas menengah tertarik pada mall dan label desainer’. Demikian yang dilukiskan death metal mengenai alternapunk sebagai korban fashion yang selalu tunduk. Dalam artikel ini, sangat berguna untuk memeriksa hubungan antara perlawanan dan bermain, untuk alternapunk Bali sifat perlawanan dan kualitas bermain merupakan genre pilihan mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan Superman is Dead: “Kalau punk itu anti-kemapanan, nggak suka yang mapan-mapan….Bebas! Teriak apa aja, boleh.” Tetapi, sebagai upaya untuk mengetahui implikasi lokal antikemapanan, ketika saya menanyai para musisi mengenai bagaimana mereka menyatakan hasrat kebebasan dalam kehidupan mereka sendiri, dengan cepat mereka menyangkal:
12
Sebagai contoh, Appadurai (1996: 7) menyebutkan humor sebagai salah satu strategi yang digunakan oleh orangorang dalam konsumsi kritis mereka atas imaji media massa. Menyebutkan (secara naif) idealisasi subversif anakanak akan penjahat-penjahat komunis, Heryanto (1999: 162) membedakan ‘kekeliruan membaca yang ramah’ dari ‘resistensi a la Weapon of The Weak-nya James Scott [dan] topsy turvy carnival-nya Mikhail Bakhtin’. Agaknya, ia menggambarkan secara paralel antara autobiografi meta-naratif Orde Baru dengan rezim simulacral-nya Mbembe yang ‘membebaskan potensi untuk bermain, impovisasi dan hiburan dalam batas-batas yang ditentukan secara resmi’ (Mbembe dalam Heryanto, 1999:163). Menuliskan idiom keseharian koh ngomong (malas ngomong), Santikarma (1995: 2) mengklaim bahwa ‘yang lemah menggunakannya dalam prosedur taktis konsumsi’, dan dalam melakukannya menciptakan ruang integritas dan humor untuk penghargaan pada kuasa’.
9
(Kurt Cobain) orangnya cuwek, jiwanya. Tapi untuk nerapkan kayak gitu kayaknya nggak bisa di Bali kecuali kalau kita luar Bali itu mungkin bisa, kita di sini di Bali itu terikat dengan adapt. Biasanya yang suka lagu lagu alternatif itu lagu itu bukan karena pengin lepas. Enak aja, enak dimainkan. Kita masih percaya kok sama yang di atas.... Emang itu. Kalau sekarang kan gini ngatur ngatur waktu lah kalau semacam anak muda sifatnya gini kalau nanti ada upacara ini kita harus lupakan itu semua..Fleksibel artinya. (Obligasi) Tapi anti-kemapanannya kami bukan an ti kemapanan dalam hidup. Kami pengin hidup bagus. Semua orang pengin hidup bagus. Cuman antikemapanan dalam musik. (Superman is Dead) Komentar-komentar ini menunjukkan bahwa sebuah aspirasi pada suatu jenis kemerdekaan, pelepasan atau antikemapanan berhubungan dengan praktek alternapunk. Dan meski begitu, kapan pun saya mendesak para musisi untuk menjelaskan bagaimana mereka menjalankan aspirasi tersebut pada realitas kehidupan sehari-hari mereka, mereka terus menerus tidak terungkap seolah ke-alternatif-an tidak menyentuh nilai yang nyata pada anak-anak muda Bali. Secara sekilas, kemudian, alternapunk tidak lebih sebagai contoh dari shopping lifestyle Hetherington (1998a:1). Hipotesa ini didukung oleh kehambaran style dan tiadanya respon performatif dalam ruang di mana mereka acap kali muncul pada paruh pertama tahun 1996 –di mall dan di SHM. Ketidakresponsifan ini sangat berbeda dengan foto-foto dari Jakarta Alternatif Pop Festival di majalah Hai yang menggambarkan ke-alternatif-an sebagai sebuah style yang penuh permainan. Gambaran yang dipaparkan Hai adalah aktivitas mengecat rambut, perhiasan murah dan kacamata renang. Mereka muncul dalam foto-foto dengan seringai aneh, antusiasme yang meluap-luap, bersuka ria dalam atmosfer perayaan mosh pit di mana tubuh-tubuh seperti berbenturan di udara, dan lengan yang terlihat memukul, terlindung dari tanah yang keras oleh lautan telapak tangan. Pertunjukan alternapunk Bali di Sunday Hot Music awal 1996 nyata-nyata bertentangan dengan imaji-imaji ini. Ketika Superman is Dead dan Utero konser pada bulan Maret, dan Triple Punk serta Obligasi pada bulan Mei, mereka tidak memicu terjadinya sejenis perayaan dan energi agresif seperti yang diperlihatkan oleh imaji alternatif Hai. Agaknya, penggemar dan temanteman para musisi itu tetap kalem dan dingin, santai, dan dalam bisu serta kediaman mereka itu, konser terlihat seperti siaran televisi. Di SHM, tidak terdapat permainan dan kenakalan seperti biasanya sebuah festival. Ketika beberapa musisi yang tampil meniru Billy Joe dari Green Day dengan mengenakan rok, atau kaos berlengan yang dipadukan dengan dasi besar, para penontonnya justru tampil sangat biasa dengan mengenakan jeans dan T-shirt. Bahkan, meski Jerink dan Bobby, dua personel Superman is Dead yang menonton konser Green Day di Jakarta, menceritakan dengan antusias betapa membludaknya sepatu boot, rantai dan mohawk di sana, scene Bali seperti tak tersentuh oleh kuatnya pengaruh pertunjukan Green Day. Hambarnya style juga merupakan ciri dari penampilan alternapunk di mall –sebuah ruang yang secara stereotype selalu dihubungkan dengan alternapunk. Pada tahun 1996, pilihan alternapunk untuk berkumpul adalah Nu Dewata Ayu (NDA). Tidak seperti Matahari dan Siwa Plaza, dua mall lain yang ada di Denpasar saat itu, NDA tidak memiliki gerai makanan di bagian depannya dan dengan demikian tidak ada ruang di mana alternapunk bisa dengan legal berkumpul dan berinteraksi dengan spontan sebagaimana yang bisa mereka lakukan di Matahari.
10
Meskipun mereka bisa berkumpul di gerai yang ada di KFC Matahari atau Swensen tanpa harus terpaksa berbelanja, MC Donald yang ada di bagian depan NDA hanya diperuntukkan bagi mereka yang berbelanja, dan orang-orang yang suka berkumpul dipindahkan dari sana. Ketika alternapunk masuk mereka langsung terhubung dengan Timezone, tempat yang meminimalisir interaksi verbal dan mengarahkan perhatian orang pada obyek-obyek konsumsi. Ketika mereka berkumpul di NDA, mereka terlihat seperti alternapunk yang akan berbelanja. Inilah yang pertama kali menarik perhatian saya, ketika setelah mewawancarai mereka untuk pertama kalinya pada bulan April 1996, anggota Superman is Dead mengundang saya untuk bergabung bersama mereka di NDA. Saya dengan segera menyetujuinya, berharap bisa bergabung dengan musisi-musisi lainnya dan juga alternapunk lain dan bercakap-cakap. Tapi, saya malah diajak ke eskalator menuju sebuah ruang di suatu sudut lantai atas yang tidak digunakan, yang mengingatkan saya pada sebuah scene masa remaja saya, di mana raungan video games melenyapkan setiap kemungkinan percakapan; menggiring kita menjadi seperti anak-anak yang terpaku pada layar kaca video game. Persoalan Tujuan Karena itu, identitas alternapunk dalam aspek performatifnya terlihat sejajar dengan stereotype naif dan selalu tunduk terhadap sesuatu di mana ia dibentuk. Bagaimanapun juga, dalam tinjuannya, sulit untuk menerima pandangan ini, bila melihat peran penting musisi yang disebut di artikel ini dalam peningkatan style punk yang berkembang secara spektakuler selama tahuntahun berikutnya. Stereotype musisi alternapunk yang naif dan tunduk juga tidak benar-benar solid dalam pengertian yang saya peroleh dari percakapan-percakapan dengan mereka sebagai orang-orang responsif dan kreatif yang menyembunyikan pengertian yang tajam dan penuh ironi.13 Mungkin awal ketidakresponsifan mereka dapat dihubungkan pada peranan imaji media dalam mengilhami mereka untuk membentuk sebuah band alternatif.14 Tentu saja, salah satu aspek imaji stereotipikal yang disetujui oleh musisi alternapunk adalah peranan imaji media dalam menginspirasi mereka untuk membentuk band alternatif. Maka, meskipun mereka mengakui bahwa SHM menyediakan ruang untuk konser, musisi-musisi alternapunk mengidentifikasikan proses konsumsi media sebagai sumber genre pilihan mereka. Mereka diantaranya mengidentifikasikan televisi, video dan kaset sebagai sumber antusiasme terhadap Green Day dan musik alternatif secara umum. Peranan musisi alternapunk yang dihubungkan dengan media dalam hal menginspirasi mereka untuk memulai karir sebagai musisi, melahirkan pertanyaan tentang bagaimana mereka dihubungkan dengan imaji-imaji ini. Secara spesifik, imaji-imaji ini menghubungkan mereka pada hal apa? Jawaban mereka atas pertanyaan ini mengandung beberapa tema umum dan menunjukkan beberapa contoh aneh mengenai pembacaan yang subversif. Salah satu dari tema ini adalah ide bahwa imaji media berasal dari pusat (‘Jakarta’ atau ‘Jawa’) yang di dalamnya memuat tidak hanya jantung industri musik bangsa tapi juga nilai ideal khusus yang dirasakan 13
Wawancara saya dengan musisi alternatif penuh dengan perspektif juga ejekan penuh ironi dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan mengafirmasi masukan Appadurai (1996: 7) bahwa ‘imaji media dengan cepat bergerak pada repertoir ironi lokal’. 14 Hipotesa ini kelihatannya telah terjadi dalam penyebaran musik alternatif dari Jakarta ke Bali. Seperti kebanyakan ‘pinggiran’ Indonesia, para alternapunk Bali tidak memiliki pengalaman sebagai penonton JAPF dengan mosh pitnya sebagai ekspresi spontan yang disetujui dan dianjurkan, tapi sebagai konsumen imaji media, dan penampilan identitas alternatif mereka sangat tumpul jika dibandingkan dengan mereka yang menghadiri pertunjukan Pop Alternatif dan Green Day.
11
sebagai esensi ke-alternatif-an. Oleh karena itu, Jakarta merupakan ciri utama dalam definisi-diri alternapunk, persis seperti persepsi yang dimiliki musisi reggae dan death metal. Namun bagaimanapun juga, hal yang membedakan adalah cara dua grup ini berhubungan dengan metropolitan. Ketika non alternapunk mengidentifikasikan Jakarta sebagai sumber polusi kultural, alternapunk mengasosiasikannya dengan keaslian.15 Dengan menempatkan pusat kultural ke-alternatif-an pada jantung industri musik metropolitan nasional, subyek wawancara mengkonstruksi Bali sebagai pinggiran scene; sebagai pinggiran di mana pusat nilai ke-alternatif-an secara signifikan dicairkan. Maka, idealisasi mereka mengenai metropolitan disajikan sebagai kebalikan bagi pengkarakteran mereka mengenai anak-anak muda Bali. Secara spesifik, musisi alternatif yang saya wawancara mengeluhkan keloyoan anak-anak muda lokal dalam mengkonsumsi imaji media yang, dalam opini mereka, menghadang spontanitas dan kekacauan ideal pada pusat ke-alternatif-an metropolitan. Karakterisasi kritis anak-anak muda lokal pada gilirannya membentangkan jarak yang menghubungkan stereotype alternapunk sebagai ‘korban fashion’ dengan musik alternatif. Musisi-musisi alternapunk juga mengidentifikasikan diri mereka berbeda dengan reggae dan death metal, secara berurutan. Mereka menghubungkan reggae dengan ruang industri turisme, dan sebuah dunia di mana kebebasan artistik terbatasi. Alternapunk Bali menghindar untuk mengadakan pertunjukan di bar-bar turis, sama dengan kelakuan musisi death metal yang tidak hadir di mall. Hal ini menggambarkan perbedaan penting dari peran tradisional bagi turis dan turisme dalam konstruksi timbal balik antara orang lain dan diri sendiri bagi orang Bali (Picard, 1990a, 1990b, 1996). Sebaliknya dengan musisi death metal, sebagai pelaku utama yang menaruh perhatian pada keahlian, tatanan, frustasi, kesedihan, melodi dan eksklusivitas, alternapunk mengejawantahkan ketidakteraturan, egalitarianisme, pelepasan, grunge, ketiadaan kontrol dan keterbukaan. Dalam sebuah essay kritis, Stanley Cohen (1997:156) memeriksa teoritisi mahzab Birmingham yang menyatakan bahwa ‘ketetapan impuls untuk mengurai simbol style hanya dalam terminologi oposisi dan perlawanan’. Dia berkata dengan sinis mengenai tendensi mereka untuk mengabaikan contoh style konservatif yang mendukung penyebaran kultur komersial dominan, ‘karena –sebagaimana kita semua tahu– style adalah sebuah pencampuradukan (bricolage) yang tidak konsisten dan bagaimanapun juga, sesuatu tidaklah terlihat sebagaimana adanya sehingga makna konservatif yang terlihat justru menyembunyikan kebalikannya’ (1997: 153-4). Style alternapunk memang terlihat konservatif. Bagaimanapun juga, fakta bahwa alternapunk dikembangkan dalam style subkultural dan penampilan yang menyolok dalam tahuntahun selanjutnya, membuatnya sulit untuk mengabaikan kemungkinan tujuan antikemapanan alternapunk. Salah satu kontribusi yang berguna dari mahzab Birmingham adalah peletakan style subkultural dalam relasi ‘tiga struktur kultural yang lebih luas – kultur “orang tua”, kultur dominan dan kultur massa’ (Gelder, 1997: 83), yang menggambarkan perhatian pada ciri ‘kemapanan’ yang terpecah dan multilevel. Kompetisi sengit yang terjadi di antara strukturstruktur ini muncul secara jelas di Bali tahun 1990an. Di sini suatu kultur konsumen metropolitan bertemu dengan wacana regionalis subaltern –sebuah wacana identitas orang-orang Bali yang pada saat sama menguasai pers lokal dan menantang ‘meta-narasi nasionalis’. Hal ini membingungkan kesejajaran dualisme ‘kemapanan: counter culture’, ‘dominasi: perlawanan’, ‘konservatif: radikal’. Dalam banyak hal, wacana regionalis yang mendorong anak-anak muda 15
Perbedaan pandangan musisi-musisi death metal dengan punk tehadap metropolis mengingatkan pada jalan alternatif yang diikuti oleh hippies dan punk di Amerika (lihat Goldthorpe, 1992: 38).
12
memodelkan orang yang memelihara hal-hal ideal, ternyata lebih terbatas dan konservatif daripada kultur massa metropolitan, sebagaimana halnya dengan musisi yang tersebut di atas. Dilema tersebut mengajukan kembali deskripsi Hebdige (1979:62-3) mengenai pilihan yang diambil oleh punk Inggris. Daripada menampilkan keaslian ke-putih-an mereka yaitu kultur orang tua kelas pekerja, mereka memilih punk sebagai ‘sebuah terjemahan putih atas etnisitas hitam’.. Kejernihan dan konsensus di antara alternapunk dalam cara mereka memposisikan diri ketika berhadapan dengan metropolis, reggae, death metal dan stereotipikal ‘korban fashion’ dari imaji ke-alternatif-an, menunjukkan kalau mereka dengan sadar terikat pada praktek penegosiasian identitas. Begitulah mereka menentang pen-stereotype-an reputasi mereka sebagai ‘naif dan mudah diserang’ pada scene band lokal. Pembacaan ini memaksakan sebuah penilaian ulang mengenai keraguan para musisi ini tentang penghubungan nilai pusat ke-alternatif-an dengan makna menjadi orang-orang Bali bagi mereka, yang ditafsirkan sebagai sebuah contoh ciri kesementaraan alternapunk. Dalam konteks kekinian, keraguan menjadi bukti bahwa anakanak muda yang bermain dalam band grunge dan punk memahami hidup mereka sebagai sebuah eksistensi ganda. Hal itu terbentuk dalam sebuah momen pengalaman yang pada satu sisi adalah keterbatasan dalam dunia keaslian yang penuh tata aturan tradisi; sementara di sisi lain merupakan pelepasan, suatu kebebasan dan antikemapanan yang hanya mungkin ada ketika mereka memainkan musik mereka. Dengan cara ini, alternapunk berbelok dari ide-ide yang mencirikan kelokalan. Hal ini sampai sekarang tetap berbeda dengan cara-cara musisi-musisi death metal dan reggae. Organisasi death metal 1921 mendorong anggota-anggotanya untuk ‘merengkuh kultur lokal’ dan bekerja sama dengan filasafat tradisional, nilai-nilai dan bebunyian orang-orang Bali ke dalam musik mereka. Musisi reggae menghubungkan kesuksesan mereka di bar-bar turis dengan ide-ide perdamaian musik reggae yang sejalan dengan esensi orang-orang Bali. Dorongan di antara musisi alternapunk untuk tidak diidentifikasikan sebagai orang Bali juga merupakan bukti jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka memilih untuk menuliskan lagu-lagu dalam bahasa Inggris daripada bahasa ibu atau bahasa nasional mereka, bahasa Indonesia: T: Bawa karya sendiri? J: Ya, kami baru berusaha. Baru punya sekarang, baru punya lagu.. baru punya enam lagu, tapi yang paling sering dibawakan cuma tiga lagu. Tapi kaum metal pasti bawa karya lain Ada yang bahasa Indonesia tapi kami cenderung memilih Bahasa Inggris... T: Kenapa? J: Lebih menarik...Kalau pakai bahasa Inggris kayaknya pas. (Superman is Dead) Bahasa Indonesia bawa alterantif itu susah.... (Rest in Peace)
T: Kemarin bicara dengan Blackburn, kenapa suka heavy metal. katanya agak sama nadanya dengan musik tradisional Bali... J: Ah, kami nggak mau masukin uunsur-unsur gitu. Soalnya punk terlalu jauh. (Superman is Dead)
13
Cohen menyerang teoritisi mahzab Birmingham dengan membuat interpretasi optimistik yang berlebihan mengenai sebuah ‘style konservatif ... yang utuh dibawa melalui kultur dominan’ (1997:155). Akan tetapi bentuk kultural tidaklah tetap ‘utuh’ ketika ia menyeberangi batas kultural dan diskursif, seperti yang memisahkan ‘Jakarta’ dari ‘Bali’. Alternapunk Bali tidaklah pada intinya bersifat subversif atau oposisional. Sebagaimana dijelaskan, jika bicara tentang stilistikal, scene Bali sedikit konservatif. Akan tetapi, reggae dan death metal mungkin juga bisa dinilai konservatif dalam cara yang berbeda. Tidak ada bentuk kultural yang secara keseluruhan konservatif atau secara keseluruhan radikal, akan tetapi keduanya, pada saat yang sama mengandung elemen-elemen persetujuan dan penolakan. Ciri kehilangan arah dalam praktek alternapunk dan kapasitasnya untuk mengelak dari pengkategorian sebagai pinggiran dan perlawanan atau sebagai penguatan diri style metropolitan, dapat dilihat dari gestur alternapunk melalui mall. Semenjak kedatangan turisme, dan mungkin juga sebelumnya, kehadiran turis secara massif menyiratkan secara bersamaan kehadiran elsewhere (tempat lain), telah membentuk dualitas eksklusi dan inklusi dalam wacana identitas orang-orang Bali, dengan mengingat istilah dari Shields (1992: 184) ‘truant proximity’. Akan tetapi dalam wacana kontemporer identitas, turis menjadi sangat akrab dan menyatu dalam tatanan rasional keduniaan dan banal dalam kehidupan sehari-hari. Jenis baru orang asing dianggap memiliki peran penting dalam ide lokal mengenai apa yang merupakan ‘orang dalam’. ‘Orang asing’ pada tahun 1990an menyimbolkan metropolitan, lifestylenya ‘orang kaya baru’.. Dalam dunia kultur anak muda, hal ini termanifestasikan dalam ruang mall. Peningkatan kehadiran mall pada tanah lokal berarti bahwa ke-metropolitan-nan asing pada saat yang sama hadir dan absen dalam sebuah ‘hyperspace’. Hyperspasialitas mendorong untuk memotong tali yang mengikat dualitas paralel kehadiran-ketidakhadiran, interioritas-eksterioritas dan inklusieksklusi. Sebagai contoh, musisi death metal menunjukkan kelokalan (kehadiran) melalui truant proximity pada mall, sebaliknya alternapunk mempraktekkan kemangkiran dari kelokalan dengan secara konstan hadir di sana. Simpulan: Makna Kultural dari ‘Elsewhere’ Artikel ini merupakan pengantar diskusi mengenai bagaimana anak muda Bali menegosiasikan identitas mereka di sekitar imaji identitas alternatif media. Dalam kesimpulan ini saya akan menelaah kembali ide negosiasi dan menaksir kembali daya kemampuannya bagi kajian kekinian. Banyak penulis menggunakan istilah negosiasi untuk menyatakan agensi dalam konsumsi teks-teks media. Ide bahwa teks-teks media bisa dinegosiasikan dapat menyimpang secara signifikan dari tesis imperialisme kultural yang populer di antara sarjana sayap kiri pada tahun 1970an dan 1980an. Sebagaimana ditunjukkan oleh Mitchell (1996:48-51) dan Hesmondhalgh (1998: 163-83) dalam tinjauan mereka mengenai literatur ini, sebagaimana para teoritisi berargumen bahwa pengglobalan media, dengan sumber mereka pada pusat kuasa politik dan ekonomi, mendorong hegemonisasi kultural dengan mendesakkan produksi dan lifestyle AngloAmerika pada audiens bukan-barat. Akan tetapi bukti bahwa audiens itu adalah agen yang aktif dan tidak pasif merupakan sebuah ciri penting teori kritik globalisasi yang meluas dari model imperialisme kultural, dan saya mencoba untuk menunjukkan bahwa alternapunk Bali bukanlah konsumen yang pasif. Meski demikian, ada elemen-elemen lain dari teori globalisasi yang merupakan praktek alternapunk dan perluasannya, aspek diskursif tidaklah mendukung. Satu aspek dari kritik
14
sarjana musik pop dan rock mengenai model imperialisme kultural adalah argumen mereka bahwa pengglobalan industri musik diikuti oleh model post-imperial. Sebagai contoh, Appadurai menyatakan bahwa ‘ekonomi kultur global baru terlihat sebagai sebuah kompleks, saling melengkapi, tatanan yang memiliki kecenderungan untuk terpecah yang tidak lagi bisa dipahami dalam istilah model kehadiran pusat-pinggir’. Ia melanjutkan, ‘seperti media (elektronik) yang menghubungkan audiens dan pemain yang menyeberangi batas-batas nasional, kita menemukan jumlah ruang publik diasporik yang bertambah: tempat sebuah tatanan post-nasional’ (Appadurai, 1996: 3, 31). Sebaliknya, kasus alternapunk Bali tidak menyediakan bukti penurunan peran pusat nasional dalam memediasi produksi dan promosi musik oleh label-label rekaman besar. Faktanya, deregulasi media yang membuat musik alternatif ditransmisikan ke Bali sebenarnya menaikkan peranan ibu kota dalam hidup sehari-hari anak-anak muda lokal, dan ketika ledakan turisme terjadi, sebuah superkultur metropolitan bertambah pada lanskap lokal. Sebagai catatan, musisi muda Bali –yang bukan maupun yang seperti alternapunk– menghubungkan musik alternatif bukan dengan kode global akan tetapi dengan sebuah superkultur metropolitan, dan mereka mengartikulasi negosiasi identitas alternatif mereka dalam bahasa wacana regionalis yang luas. Daripada memberikan mereka akses langsung pada repertoir asing, mediascape alternatif mendorong mereka untuk lebih berfokus pada metropolis dalam mencari inspirasi bagi kultur anak muda mereka. Keberlangsungan model pusat-pinggiran yang menyolok mata dalam wacana dominan lokal sangat penting untuk praktek altenapunk. Daripada mempersetankan metropolis, mereka mengidealkannya sebagai sebuah pusat ketidakteraturan, sehingga memberi pengaruh kepada pembalikan carnivalesque terhadap ide resmi pusat sebagai sebuah simbol tatanan. Hal ini berhubungan dengan penggunaan ruang pedesaan oleh para pengembara New Age di Inggris, yang didiskusikan oleh Hetherington sebagai sebuah contoh ‘utopics’, yang menjelaskan: penerjemahan dari ide mengenai masyarakat yang baik ke dalam praktek ruang (spasial), dapat dijelaskan sebagai performa kultural penataan moral melalui praktek ruang. Performa kultural ini mengambil tempat pada sebuah kekosongan, sebuah ruang ketidakpastian yang...digambarkan dalam Derrida sebagai différance, di mana makna teks terlihat tidak tepat sebagai akibat dari ketundukan yang tiada akhir (Hethrington, 1998b: 328-43).
Menurut Hetherington, différance juga hadir dalam teks pedesaan Inggris, yang ‘sementara untuk banyak orang...diimajinasikan sebagai lukisan indah di tempat antah berantah, tenang dan tak terbatas waktu, bebas dari masalah kota, tapi untuk para pengembara New Age, pedesaan menghadirkan sesuatu yang berbeda: kebebasan, otentisitas, misteri, spiritualitas dan nomadisme’ (Hetherington, 1998b: 330). Oleh karena itu, para pengembara mempraktekkan otentisitas pedesaan yang sangat kontras dengan romansa pedesaan dalam wacana dominan. Hal tersebut ‘didasarkan pada sebuah identifikasi dengan solidaritas komunal skala kecil yang sering diekspresikan melalui ide kesukuan, melalui sebuah identifikasi dengan nomadisme yang terlihat lebih otentik dibandingkan dengan sosialitas masyarakat industri modern’ (Hetherington, 1998b:330). Tidak seperti para pengembara New Age, ide alternapunk Bali mengenai otentisitas berpusat pada wilayah urban, khususnya ruang-ruang metropolitan. ‘Otentisitas utopics metropolitan’ ini lebih jauh terbalut oleh ketidakpastian dan kontestasi makna mediascape alternatif, dan menyoroti yang secara positif dilubangi oleh différance. Gambaran dominan mengenai identitas alternatif di media publikasi remaja Indonesia mewujudkan konsumerisme
15
dan hedonisme sebagai kualitas ideal bagi perayaan status orang kaya baru. Seperti yang ditunjukkan di atas, musisi death metal mengenyampingkan idealisasi ini. Dalam pandangan mereka, hal tersebut mengancam penyeragaman dari subkultur-subkultur rock yang lokal dan otentik, dan kecurigaan ini dijalankan sebagai basis kejijikan mereka pada para alternapunk. Sementara itu, para alternapunk juga menggugat representasi dominan identitas alternatif. Jika media nasional menggambarkan ke-alternatif-an sebagai dunia penuh kedamaian hak istimewa dan sebuah perlindungan lifestyle metropolitan kaya baru, alternapunk Bali mengidentifikasikan Jakarta sebagai sebuah pusat ketidakteraturan. Dalam pandangan ini, sebagaimana para pengembara New Age me-redefinisi-kan ide-ide dominan otentitas pedesaan, para alternapunk Bali menumbangkan representasi hegemonik Jakarta sebagai pusat tatanan kultur nasional. Ada suatu kecenderungan untuk melihat dislokasi dalam konteks bukan barat progresif hanya sejauh ia ‘beroposisi’-sebuah ide yang secara terus menerus melawan wacana resmi (negara). Appadurai adalah salah satu dari sedikit sarjana globalisasi yang mengeksplorasi potensi transformasi dislokasi kultural secara umum. Dia tidak mengacu pada oposisi, dan meneorikan bahwa era ‘modern global’ dikarakterkan dengan imajinasi transformasi dari ‘kemampuan terberi intelektual’ ke dalam properti kolektif (1996:7). Berhutang pada penyebaran global dari mediasi massa, orang-orang sekarang secara kolektif mengimajinasikan eksistensi yang berbeda dari realitas sosial di mana mereka hidup. Demikian, pengaruh media elektronik dalam imajinasi menyajikan bukan hanya suatu pelarian, ataupun untuk ‘mengutamakan orangorang biasa untuk kerja industrial’, tapi sebagai sebuah ‘pementasan lapis bawah untuk sebuah aksi’. Lebih jauh lagi, dia berargumen bahwa ‘sebagaimana mediasi massa didominasi oleh media elektronik...kita menemukan pertumbuhan jumlah ruang publik diasporik’ (1996: 229-60). Penjarakan sosial mall di Bali menyediakan contoh utama sebuah ‘ruang publik diasporik’. Mall West Edmonton-nya Shields ‘menghadirkan sebuah penolakan alegorik dunia geografik pusat yang berjarak di mana Edmonton berada di pinggiran’, dan melebihi ‘batas geografik jarak di mana sejak lama ibukota provinsi Edmonton secara kultural terisolasi’ (Shields, 1989: 153). Seperti halnya NDA beroperasi sebagai hyperspace yang meruntuhkan dikotomi paralel lokal-asing, pusat-pinggir, orang dalam-orang luar. Melalui cara ini mall menunjukkan jenis ruang marjinal yang, menurut Hetherington, mengasumsikan ‘sentralitas sosial’ dalam formasi dan performa identitas ekspresif (1998:107-8). Bagaimana pun juga, hal ini hanya akan menjadi jelas ketika kita melihat alternapunk baik secara retrospektif, yaitu sebagai wadah style ‘underground punk’ yang kemudian berkembang, maupun secara kontekstual, dengan berada di tengah beragamnya wacana identitas yang eksis di Bali awal tahun 1996. Utopia death metal mengenai otentisitas lokal dilakukan melalui sebuah ketidakhadiran yang mencolok mata dari mall sebagaimana musisi-musisi death metal mencoba memasukkan tema-tema Hindu-Bali kedalam lagu-lagu ciptaan mereka. Sebaliknya, alternapunk memungkiri setiap hubungan antara ke-Bali-an dengan genre pilihan mereka. Orientasi mereka atas penunggangan-différance mall, dan idealisasi mereka atas Jakarta yang diimajinasikan sebagai ‘pusat ketidakteraturan’, membuat praktek alternapunk muncul sebagai sebuah pembangun pernyataan pembuangan. Hal tersebut merupakan diasporisasi-diri, dan sebuah strategi yang dengannya anak muda Bali mengubah diri menjadi ‘alien di tengah-tengah kita’ yang tidak tertekan (Hebdige, 1997: 401). Referensi
16
Appadurai, Arjun (1996) Modernity at Large: The Cultural Dimensions of Globalisation. Minneapolis: University of Minnesota Press. Baulch, Emma (1997) ‘Underground: Ketika Perdebatan Terputus’, Bali Post, 23 November. Baulch, Emma. (2002a) ‘Creating a Scene: Balinese Punk’s Beginnings’, International Journal of Cultural Studies 5(2): 153-178 Baulch, Emma (2002b) ‘Alternative Music and Mediation in Late New Order Indonesia’, Inter-Asia Cultural Studies 3(2): 219-234 Cohen, Albert (1997) ‘A General Theory of Subcultures’, in Ken Gelder and Sarah Thornton (eds) The Subcultures ReaderLondon: Routledge: 44–54. Cohen, Stanley (1997) ‘Symbols of Trouble’, in Ken Gelder and Sarah Thornton (eds) The Suckultures Reader, London: Routledge:149–62 Gelder, Ken (1997) ‘Introduction to Part Two’ in Ken Gelder and Sarah Thornton (eds) The Subcultures Reader, London: Routledge: 83–9 Goldthorpe, Jeff (1992) ‘Intoxicated Culture: Punk Symbolism and Punk Protest’, Socialist Review 22(2): 36–64. Hebdige, Dick (1979) Subculture: The Meaning of Style, London: Methuen. Hebdige, Dick (1997) ‘Posing Threats, Striking Poses: Youth Surveillance and Display’, in K. Gelder and S. Thornton (eds) The Subcultures Reader, London: Routledge: 393–405 Heryanto, Ariel (1999) ‘Where Communism Never Dies: Violence, Trauma and Narration in the last Cold War Capitalist Authoritarian State’, International Journal of Cultural Studies 2(2): 147–77. Hesmondhalgh, David (1998) ‘Globalisation and Cultural Imperialism: A Case Study of the Music Industry’, in Ray Kiely and Phil Marfleet (eds) Globalisation and the Third World, London: Routledge:163–183 Hetherington, Kenneth (1998a) Expressions of Identity: Space, Performance, Politics. London: Sage. Hetherington, Kenneth (1998b) ‘Vanloads of Uproarious Humanity: New Age Travellers and the Utopics of the Countryside’, in T. Skelton and G. Valentine (eds) Cool Places: Geographies of Youth Kultures, London: Routledge: 328–42. Laing, Dave (1986) ‘The Music Industry and the “Cultural Imperialism” Thesis’, Media, Kulture and Society 8(3): 331–341. Lakha, Salim (1999) ‘The State, Globalisation and Indian Middle-class Identity’, in Michael Pinches (ed.) Culture and Privilege in Capitalist Asia, pp. 251–74. London: Routledge. Lent, John (1995) Asian Popular Culture. Boulder, CO: Westview Press. Merrin, William (1999) ‘Television is Killing the Art of Symbolic Exchange: Baudrillard’s Theory of Communication’, Theory, Culture & Society 16(3): 119–40. Mitchell, Tony (1996) Popular Music and Local Identity: Rock, Pop and Rap in Europe and Oceania. London and New York: Leicester University Press. Picard, Michel (1990a) ‘ “Cultural tourism” in Bali: Cultural Performances as Tourist Attraction’, Inside Indonesia 49: 37–74. Picard, Michel (1990b) ‘Kebalian orang Bali: Tourism and the Uses of “Balinese culture” in New Order Indonesia’, Review of Indonesian and Malayan Affairs 24(2): 1–38. Picard, Michel (1996) Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago.
17
Rubinstein, Raechelle and Linda Connor, eds (1999) Staying Local in the Global Village. Honoulu: University of Hawaii Press. Santikarma, Degung (1995) ‘Koh Ngomong, the Balinese Tactic and the Spirit of Resistance’, paper presented to the Fourth International Bali Studies Conference, Sydney University, July. Sen, Krishna and David Hill (2000) Media, Culture and Politics in Indonesia. Melbourne: Oxford University Press. Shields, Rob (1989) ‘Social Spatialisation and the Built Environment: The West Edmonton Mall’, Environment and Planning D: Society and Space 7: 147–64. Shields, Rob (1992) ‘A Truant Proximity: Presence and Absence in the Space of Modernity’, Environment and Planning D: Society and Space 10: 181–98. Shuker, Roy (1995) Understanding Popular Music. London: Routledge. Straw, Will (1991) ‘Systems of Articulation, Logics of Change: Communities and Scenes in Popular Music’. Cultural Studies 5(3): 368–88. Suardika, Wayan (1999) ‘Welcome to Denpasar’, Bali Echo VII (039) (February– March): 6–15. Syahreza, Andre (1997a) ‘Ramai-ramai kecam komersialisasi underground’, Bali Post 2 November 1997. Syahreza, Andre (1997b) ‘Seputar perdebatan eksistensi underground: dari sejarah sosialisasi sampai kumpulan orang cerdas’ Bali Post 9 November 1997. Thompson, Edmund (1993) ‘Rock and Riots’, Inside Indonesia 35: 46–7. Thornton, Sarah (1997) ‘The Social Logic of Subkultural Capital’, in Ken Gelder and Sarah Thornton (eds) The Subcultures Reader, London: Routledge: 200–9. Turner, Victor (1983) ‘Carnaval in Rio: Dionysian Drama in Industrializing Society’, in Frank E. Manning (ed.) The Celebration of Society: Perspectives in Contemporary Cultural Performance, Bowling Green, OH: Bowling Green University Popular Press: 103–24 Turner, Victor (1991) ‘Variations on a Theme of Liminality’, in Sally F. Moore and Barbara G. Myerhoff (eds) Secular Ritual, Amsterdam: Van Gorcom: 35–52. Vickers, Adrian, ed. (1996) Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven, CT: Yale University Press. Warren, Carol (1994) Centre and Periphery in Indonesia: Environment, Politics and Human Rights in the Regional Press (Bali). Working Paper No. 42, Asia Research Centre, Murdoch University. Warren, Carol (1995) ‘The GWK debate: Environment, Kulture and Discourses of Nationalism in Late New Order Bali’, in B. Werlen and S. Walty (eds) Kulturen un Raum, Zurich: Verlag Ruegger: 377–87. Warren, Carol (1998a) ‘Mediating Modernity in Bali’, International Journal of Cultural Studies 1(1): 83–108. Warren, Carol (1998b) ‘Tanah Lot: The Cultural and Environmental Politics of Resort Development in Bali’, in Phil Hirsch and Carol Warren (eds) The Politics of Environment in Southeast Asia, London and New York: Routledge: 229–60. Wawancara Band-band alternapunk Rest in Peace (RIP), 31 Mei 1996 Superman is Dead (SID), 10 April 1996
18
Triple Punk, 29 Mei 1996 Obligasi, Mei 1996 Utero, Mei 1996 Musisi Death metal Angel Head, band death metal, 26 April 1996 Ari, basis band death metal Phobia, 13 Juni 1996 Sabdo Moelyo, vokalis/basis band death metal Eternal Madness, 13 Juli 1996 dan 2 Februari 1998 Dek Ben, vokalis band death metal Triple Six, 1 Maret 1996 Agus Yanky, Ketua organisasi death metal Bali ‘1921’, 4 Februari 1996 Age, penjual merchandise death metal, 6 Februari 1998 Lain-lain Rahmat Hariyanto, manajer Crapt Entertainment, 4 April 1996 Gung Joni, musisi reggae, 16 April 1996 Gregor, penyiar Radio Casanova and co-organizer dalam Kompetisi Band tingkat SMP se-Bali yang disponsori oleh majalah Hai, AN-TEVE and Radio Casanova, 3 April 1996 Gus Martin, nara sumber sejarah scene band lokal di Bali Post, 26 Maret 1996 Agus Lempog, seorang musisi profesioal rock ‘senior’ yang secara rutin main di bar-bar turis, 13 April 1996
EMMA BAULCH tinggal di Bali. Bukunya, Making Scenes: reggae, punk dan death metal in 1990s’ Bali, diterbitkan oleh Duke University press pada 2007 Alamat : Jalan Pulau Solor 10, Sanglah, Denpasar, Bali [email:
[email protected]]
19